..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 29 November 2024

MAHESA KELUD EPISODE MENGGEBRAK KOTARAJA

MAHESA KELUD EPISODE MENGGEBRAK KOTARAJA

MENGGEBRAK KOTARAJA

Oleh : Bastian Tito

Hak Cipta Dan Copy Right

Pada Penerbit

Dibawah Lindungan Undang-Undang

Dilarang Mengcopy atau 

Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Bastian Tito

Serial Mahesa Kelud

Pedang Sakti Keris Ular Emas

Dalam Episode :

Menggebrak Kotaraja


SATU


Matahari baru saja muncul di ufuk 

timur. Sinarnya masih merah kekuningan. 

Dia sampai ke sebuah sungai kecil dan 

berhenti di sana. Alangkah menyegarkan 

udara pagi di tepi sungai tersebut. 

Sungai berair jernih serta dangkal. 

Timbullah niat di hati gadis ini untuk 

turun mandi membersihkan diri. Dia

memandang berkeliling. Memang tak ada 

dilihatnya seorangpun di sekitar sana.

Tapi bagian tepi sungai itu kelewat 

terbuka. Dia melangkah menyusuri tepi 

sungai itu kelewat terbuka. Dia menyusuri 

tepi sungai menuju ke hilir. Di satu 

bagian sungai yang banyak ditumbuhi 

pohon-pohon serta semak belukar lebat dia 

menghentikan langkah. Di sini adalah 

tempat yang baik untuk mandi karena sepi 

serta kelindungan.

Ditinggikannya ikatan rambutnya yang 

hitam lebih ke atas kepala. Kemudian dia 

melangkah ke balik semak belukar dekat 

pohon keladi besar. Di sini gadis 

tersebut membuka pakaian luarnya yang 

berwarna kuning. Pakaian ini dibuat 

seperti pakaian laki-laki yaitu celana 

panjang serta baju lengan panjang yang 

diikat dengan sehelai selendang warna 

kuning pula pada pinggangnya.

Pakaian kuning itu dihamparkannya di 

atas semak-semak kemudian dia mulai 

memasukkan kakinya satu demi satu ke 

dalam air sungai. Dingin. Dia agak 

menggigil. Tapi diteruskannya juga


membuka pakaian dalamnya. Kini gadis itu 

berada dalam keadaan sebagaimana dia 

dahulu dilahirkan oleh ibunya ke dunia 

yakni tanpa pakaian. Dipandanginya 

tubuhnya itu. Sinar matahari yang jatuh 

dibadannya seakan-akan membuat kulit 

badannya yang kuning mulus itu seperti 

bercahaya. Dia bangga memiliki tubuh 

begitu indah, yang masih suci dan belum 

pernah disentuh atau dijamah satu tangan 

laki-laki pun, juga belum oleh kekasihnya 

yang tercinta!

Gadis ini melemparkan pakaian 

dalamnya ke bawah semak-semak di mana 

baju dan celana kuningnya tadi 

dihamparkannya. Kemudian dia melangkah 

ketengah air naik sebatas lutut, terus 

kepaha dan sampai di pinggang. Di atas 

permukaan air hanya tubuh sebatas ping-

gang ke ataslah kini yang terlihat. Gadis 

ini menyeka dadanya, mulai mandi 

membersihkan diri. Sambil mandi dia 

bernyanyi-nyanyi kecil. Suara nyanyiannya 

ditingkahi oleh kicauan burung-burung 

yang baru keluar dari sarang masing-

masing. Binatang-binatang itu seakan-akan 

gembira menyambut datangnya pagi dengan 

menyaksikan seorang gadis berparas 

cantik, tanpa pakaian, tengah mandi di 

sungai jernih. Kalau saja burung-burung 

ini mempunyai akal seperti manusia dan 

melihat seorang gadis dalam keadaan 

seperti itu mungkin mereka akan menyesali 

diri, mengapa mereka diciptakan Tuhan 

menjadi burung, bukan seorang pemuda, 

bukan seorang laki-laki, bukan seorang 

manusia, sehingga mereka bisa menikmati


pemandangan luar biasa di tengah sungai 

sepagi itu! Tapi mereka tetap binatang, 

tetap burung kecil yang tak tahu apa-apa, 

yang tak akan perduli apa-apa meski 

dihadapan mata mereka ada seorang gadis 

berparas cantik jelita, berkulit halus 

mulus, mandi telanjang di dalam sungai!

Gadis itu menyelamkan tubuhnya sampai 

kekening untuk terakhir kali lalu menuju 

ke tepian kembali. Naik ke daratan 

tubuhnya terasa segar. Diambilnya pakaian 

dalam yang baru dari buntalan kecil yang 

dibawanya lalu cepat-cepat mengenakannya. 

Kemudian di lekatkannya pula baju serta 

celana kuningnya. Terakhir sekali 

dibereskannya letak rambutnya dan sesudah 

itu cepat-cepat ia meninggalkan sungai 

tersebut.

Ketika dia berada di puncak bukit 

kecil itu, dibawahnya kelihatan sesosok 

tubuh berpakaian kuning lari dengan 

sangat cepat. Saat itu jaraknya dengan 

manusia baju kuning tersebut terlalu jauh 

sehingga dia tak dapat memastikan apakah 

orang yang lari itu seorang laki-laki 

atau perempuan, apakah orang tersebut 

adalah orang yang tengah dicari-carinya 

sejak hampir satu tahun yang lewat. Hati 

Jaliteng berdebar keras, jantungnya 

mendegup kencang. Kedua kakinya bergerak, 

sesaat kemudian diapun lari menuruni 

bukit tersebut mengejar si baju kuning di 

bawah sana. Ilmu lari yang diajarkan 

gurunya yang kedua yaitu Si Harimau 

Betina ternyata tidak mengecewakan, 

apalagi memang dari gurunya yang pertama 

yakni Si Cakar Setan pemuda ini sudah


mendapat pelajaran ilmu lari pula. Ilmu 

lari ajaran kedua guru tersebut 

"digabungkannya" sehingga jadilah satu 

ilmu lari yang hebat dan mengagumkan!

Meski demikian, untuk dapat mengejar 

orang berbaju kuning di muka sana, 

Jaliteng terpaksa mengeluarkan 

banyaktenaga dan keringat serta 

membutuhkan waktu agak lama juga karena 

rupanya orang yang dikejarnya itu 

memiliki pula ilmu lari yang lihay!

Pada jarak lima puluh tombak lebih 

baru dia dapat mengenali orang yang 

dikejarnya itu.

Tak sabaran lagi dia berteriak keras 

penuh gembira: 

"Wulan! Wulansari!"

Orang berbaju kuning di muka sana 

memutar kepala dengan terkejut lalu 

menghentikan langkah. Sesaat kemudian 

Jaliteng sampai di hadapannya. Dan 

masing-masing mereka sama berseru 

gembira.

"Wulan!".

"Kakak!"

Kedua orang itu sama mengulurkan 

tangan dan saling berangkulan. Sesaat 

kemudian dengan kemalu-maluan serta paras 

yang kemerahan Wulansari melepaskan 

dirinya dari pelukan kakak 

seperguruannya.

"Aduh Wulan, aku sudah sangat rindu 

padamu. Kemana saja kau selama hampir 

satu tahun belakangan ini?" tanya 

Jaliteng.

"Mengembara" jawab Wulansari. "Dan 

kau sendiri?"


Pemuda itu menuturkan riwayatnya. 

Lalu: "Kau tambah cantik saja, Wulan."

"Ah, kakak bisa saja. Kau sendiri 

tambah tampan dan gemukan..." balas 

memuji Wulansari.

Jaliteng tertawa. Kedua matanya 

senantiasa memandang tepat-tepat pada 

gadis di hadapannya itu. Sesungguhnya 

sudah sejak lama, sejak tahunan, sejak 

mereka sama-sama diambil murid oleh Si 

Cakar Setan, bahwasanya Jaliteng secara 

diam-diam mencintai Wulansari. Karena 

mereka masih berada dipertapaan saat itu 

maka Jaliteng tak pernah menerangkan 

secara terus terang perasaan hatinya. 

Lagipula pikirannya dipusatkan pada 

setiap ilmu pelajaran yang diberikan 

gurunya kepadanya. Kini bertemu muka 

berhadap-hadapan dan melihat bagaimana 

Wulansari sudah jauh berbeda dari dahulu, 

tambah cantik dan tambah mekar dewasa 

tubuhnya maka dengan sendirinya kerinduan 

selama ini kembaii bergejolak 

menggelombang menimbulkan hawa asmara 

yang berkobar!

"Adikku Wulan, kemanakah tujuanmu 

saat ini?" tanya Jaliteng.

Gadis itu hendak menjawab bahwa dia 

tengah dalam perjalanan kembaii menuju ke 

goa gurunya Si Suara Tanpa Rupa karena 

satu tahun sudah lewat dan waktu untuk 

kembali sudah datang. Namun Wulan 

memutuskan untuk merahasiakan hal 

tersebut. Bukan dia tidak mau bicara 

jujur pada kakak seperguruannya itu, tapi 

karena ia kawatir apakah sang guru Suara 

Tanpa Rupa, tidak akan marah bila


mengenai dirinya dikatakan pada lain 

orang.

"Aku tengah mengembara" jawab 

Wulansari pada akhirnya berdusta.

"Mengembara! Gadis secantikmu ini me-

ngembara dan sendirian pula!" Jaliteng 

bertolak pinggang dan menggelengkan 

kepalanya. "Apa kau tidak takut akan 

bahaya, Wulan?"

"Mengapa aku takut kakak. Percuma 

saja kalau begitu kita memiliki ilmu 

kepandaian tinggi."

"Betul... betul. Tapi Wulan, jika kau 

tak keberatan ikutlah bersamaku. Kita... 

kita bisa membangun...." Pemuda itu tak 

dapat meneruskan kalimatnya. Dia 

memandang ke tanah.

"Membangun apa, kakak?" tanya 

Wulansari.

"Maksudku... membangun... membangun 

sebuah rumah... rumahmu dan rumahku... 

sebuah rumah tangga Wulan...."

"Oh" Betapa terkejutnya gadis itu. 

Parasnya merah sekali. Dia coba tersenyum 

dan berkata: "Kau ini ada ada saja, 

kakak. Masakan kau suka pada gadis 

seburukku ini. Kan banyak yang jauh lebih 

cantik...."

"Siapa bilang kau buruk Wulan? Kau 

cantik, cantik sekali...."

"Ah, kau main-main kakak...."

"Tidak Wulan, tidak adikku. Aku

sungguhan. Aku sudah mengasihimu sejak 

kita sama-sama menuntut pelajaran pada 

guru dahulu...."

Wulansari menjadi gelisah. Sekujur 

tubuhnya gemetar. Dia tahu Jaliteng


seorang pemuda berhati baik serta 

parasnyapun gagah. Dia suka kepada pemuda 

ini, suka sebagai seorang adik pada 

kakaknya. Tapi untuk mencintai pemuda 

ini, apalagi kawin dengan dia... itu 

adalah satu hal yang jauh diluar 

perkiraannya. Dia hanya punya satu hati 

dan hatinya itu sudah diberikannya untuk 

satu orang. Dia hanya punya satu rasa 

kasih sayang yang jujur murni dan rasa 

kasih sayang itu juga hanya untuk satu 

orang yakni Mahesa Kelud! Dan kini 

dihadapannya berdiri Jaliteng. Apakah 

akan jawabnya?. Bagaimana dia harus 

menolak dengan tidak mengecewakan serta 

menyakiti hati pemuda ini?

"Kakak," kata Wulansari pada 

akhirnya. "Kau ini seperti yang tidak 

tahu saja siapa kita adanya. Bukankah 

kita saudara seperguruan?"

"Lantas kalau saudara seperguruan 

memangnya kenapa...?" tanya Jaliteng.

"Mana boleh kita berumah tangga" 

jawab gadis itu.

"Siapa kata tidak boleh, Wulan? Tak 

ada larangan. Baik larangan adat ataupun 

agama."

Wulansari tahu bahwa apa yang 

dikatakan Jaliteng tersebut adalah benar. 

Kembaii gadis ini menjadi gelisah dan 

terdesak. Otaknya berputar mencari akal. 

Kemudian dia membuka mulutnya yang 

mungil, berkata memutar pembicaraan. 

"Kakak, apa kau tak tahu bahwa guru sudah 

meninggal?"

"Aku tahu Wulan, justru 

pengembaraanku adalah untuk mencari si


pembunuh di samping juga mencarimu."

"Dan kau sudah tahu siapa yang 

membunuh beliau?" tanya Wulansari pula.

"Yang, seorang yang bernama Ma...."

Jaliteng tak bisa meneruskan 

ucapannya karena pada saat itu dari 

samping kiri terdengar langkah orang 

berlari dan seruan keras.

"Wulan, adikku!"

Kedua orang itu terkejut. Mereka sama 

ber-paling. 

"Mahesa!" pekik Wulansari penuh 

gembira ketika melihat dan mengenali 

siapa adanya orang yang datang itu. Dia 

berlari menyongsong dan memeluk 

kekasihnya yang sudah sangat dirindui 

itu, yang sudah satu tahun lamanya tak 

pernah jumpa!

Bergetar sekujur tubuh Jaliteng, 

mendidih darahnya dan meluap amarahnya 

sampai ke kepala ketika melihat bagaimana 

kedua orang itu berpelukan mesra, 

bagaimana si pemuda mencium Wulansari 

gadis yang dicintainya pada keningnya! 

Ditambah pula Jaliteng segera mengenali 

bahwa manusia itulah yang tengah dicari-

carinya. Mahesa Kelud! Orang yang 

diketahuinya sebagai pembunuh gurunya!

"Wulansari! Menjauh dari manusia 

itu!" kata Jaliteng dengan suara 

menggeledek!

Mereka yang tengah berangkulan 

terkejut dan memutar kepala masing-masing 

memandang kepada Jaliteng. Wulansari 

melihat bagaimana kakak seperguruannya 

berdiri dengan sebatang tongkat besi di 

tangan. Parasnya buas merah mengelam!


"Wulan! Menjauh kataku!" perintah 

Jaliteng sekali lagi.

Perlahan-lahan Mahesa melepaskan 

pelukannya. Dia bertanya: "Wulan, siapa 

pemuda ini?"

"Dia adalah kakak seperguruanku, 

Jaliteng."

Jaliteng maju dua langkah dan berkata 

dengan membentak. "Wulan, sungguh menusuk 

mata sekali apa yang kau lakukan di 

hadapanku! Apakah kau tidak punya sopan-

santun dan peradaban! Apa kau sudah gila 

memeluk manusia itu sedemikian rupa, di 

hadapanku?! Minggir Wulan! Kau tidak tahu 

bangsat inilah yang kucari-cari. Dia yang 

membunuh guru kita!"

"Kakak," kata Wulansari cepat. "Kau 

jangan salah sangka... Dia adalah Mahesa 

Kelud...."

"Ya, memang itu namanya. Mahesa 

Kelud! Pembunuh!"

"Tidak kakak, bukan dia yang membunuh 

guru kita...."

"Bukan dia katamu?!" tanya Jaliteng 

dengan mata membeliak.

"Betul bukan dia, tapi Warok Kate!"

"Ha... ha... pemuda ini tentu telah 

menipumu, adikku! Menipu lalu 

memperrnainkanmu!"

"Kakak, jangan bicara demikian...."

"Minggir!" bentak Jaliteng geram.

"Bukan dia yang membunuh guru kita! 

Tapi Warok Kate. Percayalah. Aku akan 

berikan keterangan lebih jelas jika kau 

sudi...."

"Tutup mulutmu, Wulan! Kau berusaha 

hendak melindungi pembunuh bejat ini?


Pembunuh gurumu sendiri?! Cukup bukti-

bukti bagiku bahwa dia memang manusianya 

bahkan dia melarikan pedang Naga Kuning 

milik mendiang guru!"

Sebenarnya dendam Jaliteng terhadap 

Mahesa Kelud yang disangkanya sebagai 

pembunuh gurunya meskipun demikian 

besarnya namun maslih bisa baginya untuk 

bicara dengan hati sabar serta kepala 

dingin. Tapi apa yang membuat amarahnya 

itu menggejolak ialah melihat bagaimana 

Wulansari, gadis yang dikasihinya selama 

bertahun-tahun, berpelukan dengan pemuda 

musuh besarnya, di hadapan mata kepalanya 

sendiri! Bahkan pemuda itu mencium si 

gadis pada keningnya! Sesungguhnya, 

bilamana dendam kesumat, amarah yang 

meluap dan rasa cemburu sakit hati yang 

amat sangat bercampur aduk menjadi satu, 

maka memang sukar bagi seseorang untuk 

diberi penjelasan, untuk berpikir secara 

tenang dan hati sabar.

Demikianlah, tubuh Jaliteng menggigil 

panas dingin. Dia maju satu langkah lagi 

dan berdiri beberapa tornbak di hadapan 

Mahesa Kelud.

"Bangsat rendah!" semprot Jaliteng. 

"Dicari-cari tidak bertemu. Kini datang 

sendiri mengantar nyawa!"

Mahesa Kelud yang sejak tadi diam 

saja memperhatikan gerak-gerik Jaliteng 

dan membiarkan saja dia dicaci-maki, kini 

membuka mulut, bicara dengan tenang. 

"Saudara, segala sesuatunya yang dimulai 

dengan cara tidak baik serta kesusu dan 

marah tak karuan, pasti akan tidak baik 

pula akibatnya. Aku...."


"Keparat! Jangan pidato! Bersiaplah 

untuk mampus!" serentak dengan itu 

Jaliteng menerjang ke muka. Tongkat 

besinya membabat ke kepala Mahesa Kelud.

"Kakak!" jerit Wulansari. "Tahan! 

Jangan...!"

Tapi Jaliteng yang sudah tidak punya 

hati kemanusiaan lagi dan sudah lenyap 

pikiran sehatnya tidak mengacuhkan 

teriakan adik seperguruannya itu. Malahan 

teriakan itu membuat dia bertambah nekat 

serta mendorongnya untuk cepat-cepat 

memecahkan kepala Mahesa Kelud.

* * *

DUA



Mahesa telah melihat bahwa tongkat 

besi di tangan Jaliteng bukan tongkat 

sembarangan. Menurut taksirannya senjata 

ini sekitar sepuluh sampai lima belas 

kilo beratnya. Tapi Jaliteng memegang 

senjata tersebut seperti memegang sebuah 

tongkat dari kayu halus belaka dan ringan 

sekali! Ini satu pertanda bahwa kakak 

seperguruan kekasihnya itu di samping 

dengan Si Cakar Setan tentu telah berguru 

pula pada seorang sakti lainnya yang 

lebih tinggi ilmu kepandaiannya dari Si 

Cakar Setan. Karenanya Mahesa Kelud 

bertindak hati-hati penuh waspada.

Pada saat tongkat besi Jaliteng 

menyambar ganas ke kepalanya, Mahesa 

Kelud dengan cepat melompat ke belakang. 

Sementara itu Wulansari tiada hentinya


berteriak: "Kakak Jaliteng, tahan! 

Hentikan semua ini! Bukan Mahesa yang 

membunuh guru, tapi Warok Kate! Dan Warok

Kate aku sendiri yang membunuhnya!" 

Ketika suaranya mulai parau dan Jaliteng 

sama sekali tidak mengacuhkannya maka 

gadis ini menangis terisak-isak. Dari 

gerakan-gerakan kakak seperguruannya itu 

dan dari senjata tongkat besi di 

tangannya Wulan tahu bahwa kakak 

seperguruannya itu sudah berguru pula 

pada seorang sakti lainnya. Dia khawatir 

kalau-kalau kekasihnya, Mahesa Kelud, tak 

sanggup mempertahankan diri!

Tiga kali sudah serangannya dielakkan 

dengan mudah oleh lawan. Ini membuat 

Jaliteng jadi penasaran dan naik pitam. 

Dia mengamuk. Tongkat besinya yang berat 

bersiur kian ke-rnari mencari sasaran di 

tubuh lawan. Untuk mengimbangi kehebatan 

serangan senjata lawan Mahesa Kelud harus 

bergerak cepat, berkelebat kian kemari! 

Delapan jurus berlalu sangat cepat 

Jaliteng geram sekali karena jangankan 

berhasil memukul lawan bahkan mendesakpun 

dia tidak bisa. Di lain pihak Wulansari 

merasa lega melihat bahwa ilmu kepandaian 

kekasihnya lebih tinggi dari pada Jali-

teng. Ini membuat dia tak perlu kawatir 

Mahesa Kelud akan roboh atau kena celaka 

oleh kakak seperguruannya.

Jaliteng merobah cara berkelahinya. 

Kini tangan kirinya yang berkuku-kuku 

panjang serta kedua kakinya kiri kanan 

turut bekerja. Tapi meskipun demikian 

untuk menghadapi Mahesa Kelud yang sudah 

digembleng oleh beberapa orang sakti,


Jaliteng tetap berada di bawah angin. 

Saudara seperguruan Wulansari ini mulai 

terdesak ketika Mahesa mengeluarkan 

jurus-jurus pukulan yang mengandung aji 

"batu karang" Jaliteng dibuat repot. 

Beberapa kali hampir saja dada atau 

perutnya kena jotosan. Tongkat besinya 

yang berat diputar semakin cepat laksana 

titiran. Tak disangkanya musuh besar yang 

dicapnya sebagai pembunuh gurunya 

berkepandaian tinggi sekali!

Keringat dingin mulai mengucur di 

tengkuk dan di kening Jaliteng. Lawannya 

mendesak terus. Dia kepepet ke dekat 

sebatang pohon, lalu dengan cepat 

melompat ke samping seraya menghantamkan 

tongkat besinya ke perut Mahesa Kelud. 

Yang diserang memiringkan tubuh ke 

samping. Begitu tongkat lewat, laksana 

seekor ular yang tengah mematil Mahesa 

melompat ke samping. Dari sini dia 

melancarkan jotosan "batu karang" ke arah 

sambungan siku lawan yang memegang 

tongkat. Melihat ba-haya ini Jaliteng 

segera melompat ke udara tapi sayang 

kurang cepat! Di saat dia melompat ke 

atas tubuh bagian bawahnya terbuka tiada 

terlindung lagi. Ini satu peluang yang 

bagus serta empuk bagi Mahesa. Tapi 

mengingat lawannya saat itu adalah masih 

saudara seperguruan Wulansari maka Mahesa 

masih mempunyai hati belas kasihan. 

Dengan pukulan tangan kiri yang 

mengandung aji "batu karang" sebenarnya 

dia dapat memukul dan menghancurkan perut 

Jaliteng. Tapi ini tak dilakukannya. 

Sebaliknya Mahesa merunduk cepat.


Tangannya yang sebelah kiri menangkap 

betis kanan Jaliteng. Terdengar bentakan 

keras dari mulut Mahesa Kelud. Jaliteng 

berseru kaget! Tongkat besinya terlepas 

dan terlempar jauh. Tubuhnya sendiri 

jatuh ke tanah. Sebenarnya dia sanggup 

untuk jatuh dengan kedua kaki lebih 

dahulu karena ilmu mengentengi tubuhnya 

tidak rendah. Tapi dalam keadaan gugup 

Jaliteng tak berdaya apa-apa. Dia jatuh 

ke tanah dengan keras, masih untung dia 

bisa menyelamatkan mukanya, kalau tidak 

pasti muka itu lecet berkelukuran di 

parut tanah!

Untuk beberapa lamanya Jaliteng 

tergeletak nanar di tanah tanpa bergerak. 

Tubuhnya sakit dan pemandangannya gelap. 

Sesaat kemudian dia berdiri dengan 

periahan dan huyung. Pemuda ini maklum 

walau sampai seribu juruspun dia tak akan 

bisa mengalahkan Mahesa Kelud, bahkan 

sebaliknya dirinyalah yang akan dapat 

celaka.

Jaliteng melangkah mengambil tongkat 

besinya.

"Akan diteruskan saudara, atau cukup 

sampai di sini saja?" tanya Mahesa.

Panas telinga Jaliteng mendengar 

ejekan itu. Mukanya merah gelap. Dia tak 

menjawab.

"Kakak" seru Wulansari ketika gadis 

itu melihat saudara seperguruannya hendak 

melangkah pergi.

"Tutup mulutmu Wulan!" bentak 

Jaliteng. "Mulai hari ini jangan panggil 

aku kakak lagi! Mulai hari ini tali 

persaudaraan kita putus! Kau bersekutu



dengan pembunuh gurumu sendiri! Kau murid 

murtad, Wulan! Arwah gurumu akan mengutuk 

kau seumur hidup dari liang kubur! Ingat 

baik-baik, satu ketika aku akan kembaii 

untuk membunuh kau dan bangsat ini!"

"Kakak, dengar dulu..." kata 

Wulansari sam-bil lari memburu. Tapi 

lengannya dipegang oleh Mahesa Kelud.

"Biarkan saja dia pergi, Wulan..." 

kata Mahesa Wulansari menangis terisak-

isak. Mahesa menyeka air mata gadis itu 

lalu memeluknya. Wulan menyandarkan 

kepalanya ke dada si pemuda. "Sudahlah, 

tak perlu menangis. Mari kita ke tempat 

guru. Kurasa sudah waktunya kita kembaii 

ke sana."

Wulansari membetulkan rambutnya, 

merapikan bajunya lalu menyeka matanya 

dengan selendang kuning. Ketika dia 

menoleh pada Mahesa, dilihatnya pemuda 

ini tersenyum. Wulansari tersenyum pula. 

Mahesa Kelud memegang jari-jari tangan 

kiri gadis itu. Dengan berpegangan 

seperti itu, keduanya kemudian berlari 

meneruskan perjalanan menuju ke goa 

tempat kediaman guru mereka Si Suara 

Tanpa Rupa.

Ketika malam tiba mereka berhenti di 

tepi sebuah hutan. Mahesa Kelud mencari 

ranting-ranting kering lalu menyalakan 

api unggun. Di tengah jalan sebelumnya 

mereka sudah mem-beii dua bungkus nasi. 

Meskipun nasi itu dingin serta basi tapi 

karena keduanya sudah sangat lapar maka 

akhirnya nasi tersebut licin tandas juga 

masuk ke dalam perut mereka!

Keduanya duduk di muka api unggun


berhadap-hadapan. Mahesa Kelud menatap 

paras kekasihnya. Memandang wajah yang 

cantik itu hatinya terasa tenang dan 

bahagia. "Wulan," katanya, "kau tambah 

cantik saja, dik."

Gadis itu tersipu malu. Dia ingat 

bahwa Jaliteng kakak seperguruannya, 

waktu bertemu tadi siang juga memujinya 

demikian.

"Coba tuturkan riwayat pengembaraanmu 

selama satu tahun ini," kata Mahesa.

"Kau lebih dahulu," balas Wulansari.

Mahesa tersenyum dan menuturkan 

segala kisah pengalamannya, terutama 

waktu dia datang ke Banten. Satu hal yang 

tidak diterangkan oleh pemuda ini ialah 

"peristiwa"nya dengan Kemaladewi.

Selesai Mahesa Kelud menceritakan 

riwayatnya maka kemudian Wulansari pun 

menceritakan pula pengalaman 

pengembaraannya. Mereka bicara-bicara 

sampai jauh malam. Kemudian Mahesa 

membentangkan alas ketiduran buat 

kekasihnya itu.

“Tidurlah Wulan. Aku akan 

menjagamu...." Si gadis mengangguk lalu 

mencium jari-jari tangan kanan pemuda 

itu.

Beberapa hari kemudian sampailah 

kedua muda-mudi gagah ini ke tempat 

tujuan. Anehnya, seperti yang sudah tahu 

saja bahwa mereka akan datang, maka di 

mulut gua yang tertutup dan tersembunyi 

rapat oleh semak belukar telah menunggu 

Joko Cilik yaitu anak rusa sakti 

peliharaan guru mereka Si Suara Tanpa 

Rupa. Binatang ini melompatkan-lompat


kian kemari lalu menyelinap-nyelinapkan 

badannya ke kaki kedua orang itu.

"Hai Joko! Kau sudah besar sekarang 

ya?" kata Wulansari seraya menangkap 

binatang itu dan mendukungnya. Joko Cilik 

mengedip-ngedipkan kedua matanya yang 

bening dan Wulansari mengusap kepala 

binatang itu.

Joko Cilik melepaskan diri dari 

dukungan gadis itu, lalu lari menyeruak 

di balik semak belukar, hilang lenyap 

masuk ke dalam goa. Mahesa segera 

menyibakkan semak belukar rapat, memberi 

jalan pada Wulansari lebih dahulu untuk 

masuk ke dalam goa lalu dia menyusul dari 

belakang.

Satu tahun lamanya mereka 

meninggalkan tempat tersebut dan ketika 

kembali saat itu tak ada sedikit 

perbedaanpun yang mereka lihat di dalam 

goa. Joko Cilik duduk di atas batu karang 

putih licin. Mahesa Kelud serta Wulansari 

menjura dan berlutut di lantai.

"Guru, kami murid-muridmu, kembali ke 

sini..." kata Mahesa Kelud.

Sunyi beberapa detik, kemudian baru 

terdengar satu suara yang pelahan tapi 

menggetarkan dinding-dinding karang goa 

batu tersebut. Sedang orangnya yang 

berkata sama sekali tidak kelihatan.

"Bagus Mahesa, kau kembaii ke sini 

bersama saudara seperguruanmu tepat pada 

waktu yang aku sudah janjikan. Ini 

berarti bahwa kalian berdua akan mendapat 

pelajaran lanjutan atau tambahan dariku 

selama beberapa bulan, mungkin satu 

tahun, tergantung pada kemampuan kalian


masing-masing. Tapi sebelum semua itu 

dimulai, kalian berdua pergilah ke sebuah 

sungai terdekat dan bersihkan diri kalian 

di sana, lalu baru kembali ke sini. 

Dengar...?"

"Dengar guru" jawab kedua orang 

tersebut hampir bersamaan. Mereka menjura 

lalu meninggalkan goa tersebut. Tak 

berapa jauh dari situ mereka menemukan 

sebuah sungai kecil. Keduanya berpisah 

mencari tempat mandi masing-masing yang 

agak berjauhan., Selesai membersihkan 

diri, mereka segera kembaii ke goa. Dan 

mulai hari itulah Mahesa Kelud serta 

Wulansari menuntut ilmu kembaii pada guru 

mereka. Dalam waktu beberapa bulan saja 

ilmu pedang mereka sudah meningkat jauh 

menuju kesempurnaannya. Demikian juga 

tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh 

semakin mencapai tingkat tertinggi. 

Pelajaran terakhir yang diberikan oleh 

guru mereka ialah mempergunakan sejenis 

pasir berwarna merah panas sebagai 

senjata. Pasir merah ini tersimpan di 

bekas lobang-lobang dalam di mana dulu 

telah dikeluarkan sepasang Pedang Dewi 

Delapan Penjuru Angin. Mempelajari ilmu 

senjata rahasia ini tidak mudah. Pasir-

pasir halus merah itu panasnya bukan main 

dalam satu minggu pertama kulit tangan 

kedua orang itu merah melepuh. Sebulan 

kemudian barulah mereka terbiasa dengan 

benda tersebut!

Akhirnya sampailah pada suatu hari.

"Murid-muridku," kata Suara Tanpa 

Rupa dari tempatnya yang tiada terlihat. 

"Hari ini berakhirlah segala pelajaran


yang aku berikan padamu. Banyak hal yang 

harus kalian ingat, murid-muridku. 

Pertama kalian harus sadar bahwa 

betapapun tingginya segala ilmu luar dan 

dalam yang kalian miliki saat ini, tapi 

itu semua belum mencapai kesempurnaannya 

karena memang itulah sifat segala apa 

saja yang ada di dunia yaitu tak pernah 

sempurna! Kedua, juga jangan kalian 

menduga bahwa dengan ilmu kepandaian 

serta pedang-pedang sakti yang kalian 

miliki, kalian sudah menjadi manusia-

manusia terpandai dan terjago di atas 

bumi ini atau kalian menjadi bersifat 

sombong congkak. Ingatlah selalu bahwa 

masih banyak, puluhan bahkan ratusan 

manusia-manusia yang lebih pandai dari 

kalian. Ingatlah pula bahwa di atas 

langit ada lagi langit! Ketiga, ilmu-ilmu 

pelajaran yang kalian miliki itu hanya 

dan harus dipergunakan untuk maksud-

maksud baik dan lurus serta diridhoi

Tuhan. Jika kalian menyimpang, 

menyeleweng dan mempergunakan untuk 

maksud-maksud jahat, maka ilmu-ilmu itu 

sendiri yang akan berbalik mengutuk 

kalian sampai kalian akhirnya mendapat 

celaka sendiri! Nah, itulah pesan-pesanku 

yang penting dan kalian harus ingat baik-

baik. Sekarang kalian boleh pergi. Sudah 

tiba saatnya bagi kalian berdua, terutama 

kau Wulansari, untuk mencari musuh 

besarmu Adipati Madiun Suto Nyamat dan 

membuat perhitungan dengan dia serta 

kaki-kaki tangannya. Sekali lagi ingat, 

Suto Nyamat bukan orang sembarangan dan 

yang lebih berbahaya ialah bahwa dia


mempunyai banyak kaki-kaki tangan yang 

terdiri dari manusia-manusia sakti 

berilmu tinggi. Kalian berdua harus hati-

hati! Nah kalian boleh pergi...." Mahesa 

melirik pada gadis yang duduk di 

sampingnya. Dilihatnya kedua mata 

Wulansari berkaca-kaca. Ketika gadis ini 

hendak berdiri. Mahesa memberi isyarat 

agar dia tetap duduk dulu di tempatnya.

"Guru" berkata pemuda itu. "Sebelum 

kami pergi bolehkah kami memohon untuk 

dapat bertemu muka dengan guru?"

"Aku dapat memaklumi permintaan 

kalian itu," jawab Suara Tanpa Rupa. 

"Tapi sayang sekali, saat ini belum 

waktunya. Nanti suatu ketika pasti kita 

akan bertemu muka juga."

Mahesa Kelud dan Wulansari sedikit 

kecewa mendengar jawaban tersebut. 

"Guru" berkata lagi Mahesa Kelud. 

"Dapatkah saya meminta beberapa 

keterangan?"

"Keterangan apa yang kau maui, 

Mahesa?"

"Waktu saya dilepas oleh guru saya 

yang terdahulu yakni Embah Jagatnata saya 

diberi dua tugas yang mana sampai saat 

ini masih belum dapat saya jalankan...."

"Katakan tugas-tugas tersebut."

"Pertama saya disuruh mencari sebuah 

pedang sakti bernama Samber Nyawa. Yang 

kedua mencari seorang manusia bernama 

Simo Gembong dan membunuhnya! Dapatkah 

guru memberi keterangan-keterangan?" 

Sunyi seketika. Kemudian terdengar suara 

sang guru.

"Pedang Samber Nyawa itu, terakhir


sekali kuketahui berada di Pulau Mayat 

sedang manusia bernama Simo Gembong 

menurut dugaanku bersembunyi di satu 

tempat di tanah Jawa ini. Pastinya aku 

tak tahu...."

Terima kasih, guru," kata Mahesa 

gembira.

"Ada pertanyaan lagi?" tanya Suara 

Tanpa Rupa.

"Ya" jawab Mahesa Kelud. "Seorang 

guru lainnya telah meminta kepada saya 

untuk pergi ke Lembah Maut. Katanya di 

sana berdiam seorang perempuan jahat yang 

telah membunuh murid-muridnya. Saya mohon 

keterangan tentang letak Lembah Maut 

tersebut...."

"Aku memang pernah dengar tentang 

lembah tersebut. Kalau tak salah letaknya 

jauh di ujung timur pulau Jawa ini, 

sekitar kerajaan Hindu, Belambangan...."

"Terima kasih, guru" Mahesa hendak 

menanyakan tentang Sitaraga yakni 

perempuan tua yang bergelar Iblis Buntung 

yang telah memberi obat perangsang 

kepadanya dan Kumaldewi sehingga keduanya 

melakukan hubungan kotor diluar 

kesadaran. Namun Mahesa membatalkan niat 

untuk bertanya itu karena dia kawatir 

kalau itu hanya membuka rahasianya 

sendiri di hadapan Wulansari!

"Ada pertanyaan lagi?" terdengar sang 

guru bertanya.

Mahesa berpaling pada Wulansari. 

Gadis ini kemudian membisikkan sesuatu ke 

telinganMahesa Kelud. Lalu Mahesa cepat-

cepat berkata: "Ada guru, tapi sebenarnya 

bukan pertanyaan. Kami mengharapkan


petunjuk guru...."

"Petunjuk mengenai apa?" tanya Suara 

Tanpa Rupa.

"Harap terlebih dahulu dimaafkan 

kalau ini bagi guru tak pantas 

dikemukakan. Kami... kami mohon petunjuk 

mengenai diri kami berdua...."

"Heh, ada apa dengan diri kalian 

berdua?" tanya sang guru pula.

Mahesa tak segera menjawab. Dia 

melirik ke samping dan melihat Wulansari 

duduk dengan menundukkan kepala sedang 

parasnya yang jelita kelihatan kemerah-

merahan karena jengah!

"Mahesa, ada apa dengan kalian?" 

tanya Suara Tanpa Rupa sekali lagi.

"Begini guru. Apakah... apakah 

menurut guru kami ini cocok satu sama 

lain untuk... untuk membangun... hem... 

rumah tangga...?"

"Maksudmu kalian mau kawin eh?"

"Betul, guru" sahut Mahesa Kelud.

Maka terdengarlah suara tawa terbahak 

si Suara Tanpa Rupa. Mahesa Kelud dan 

Wulansari saling berpandang-pandangan 

tidak mengerti. Selama dua tahun mereka 

pernah menetap di goa tersebut, baru 

inilah kali pertama mereka mendengar guru 

mereka tertawa bergelak sedemikian rupa. 

Tawa sang guru berakhir lalu terdengar 

suaranya bertanya, "Mahesa, apa kau 

mencintai Wulansari?"

"Betul guru. Saya mencintainya" jawab 

Mahesa.

"Dan kau Wulan... kau juga cinta pada 

pemuda ini?"

"Ya, guru." Suara si gadis seperti


orang tercekik karena menjawab agak kikuk 

gugup.

Suara Tanpa Rupa tertawa lagi 

terbahak-bahak. "Ada-ada saja kalian 

berdua ini!" kata-nya. "Kalian harus 

ingat... bahwa soal jodoh itu bukan di 

tangan kita manusia, bukan di tanganku, 

tapi di tangan Yang Kuasa! Di tangan 

Tuhan! Tak ada yang menyuruh kalian untuk 

berumah tangga, juga tak ada yang 

melarangnya. Putusan terletak di tangan 

kalian berdua. Jika memang sudah suka 

sama suka, sudah sama mencintai, perduli 

apa dengan orang lain?! Bukankah 

begitu...?"

"Betul guru" kata Mahesa. Hatinya 

gembira. "Namun sebaiknya hal ini kami 

ajukan supaya guru mengetahui dan nanti 

dikemudian hari tidak menganggap kami 

murid-murid yang tak tahu peradatan dan 

melupakan gurunya...."

"Kalian murid yang baik," kata Suara 

Tanpa Rupa. "Laksanakanlah cita-cita 

kalian itu dengan sebaik-baiknya dan 

dengan cara yang wajar syah. Aku merestui 

kalian. Memang agaknya kalau kalian sudah 

berjodoh dengan sepasang Pedang Dewi itu 

maka kini dari kalian sendiri yang 

berjodoh satu sama lain. Kapan cita-cita 

itu akan kalian laksanakan?"

"Oh... itu masih belum dapat kami

tentukan, guru. Mungkin jika sudah 

selesai urusan kami dengan Adipati Suto 

Nyamat serta kaki-kaki tangannya."

"Memang itu bagus sekali. Selesailah 

semua urusan dulu, baru kawin. Jangan 

kawin dulu lalu membuat urusan, nanti


bisa berabe!"

Mahesa Kelud dan Wulansari tertawa 

mendengar kata-kata guru mereka itu. Tak 

disangka sang guru rupanya suka pula 

bergurau!

"Karena kalian bermaksud demikian, 

maka agaknya perlu pula aku berikan 

sedikit peringatan. Yaitu selama kalian 

belum menjadi suami istri secara syah, 

meskipun saiing mencintai dan suka sama 

suka namun kalian harus perhatikan dan 

ingat betul-betul walau bagaimanapun 

kalian masih tetap orang lain, karenanya 

harus dapat menjaga dan membatasi diri 

masing-masing."

“Terima kasih guru, nasihat itu akan 

kami ingat baik-baik...."

"Bukan hanya diingat, Mahesa" 

memotong sang guru. “Tapi juga harus 

dijalankan."

"Akan kami jalankan," kata Mahesa 

Kelud pula. 

Kedua muda-mudi ini berdiri. "Guru,

kami berdua mohon diri," kata Mahesa. 

Suaranya agak bergetar karena haru. 

Wulansari sendiri berlinang air matanya. 

Begitu besar kecintaan mereka pada sang 

guru meskipun keduanya tak pernah bertemu 

muka sehingga perpisahan itu berat sekali 

rasanya.

Wulansari mengusap Joko Cilik. Sekali 

lagi mereka minta diri dan menjura, lalu 

keduanyapun meninggalkan goa tersebut.

* * *


Dengan mempergunakan ilmu lari cepat 

maka keesokan harinya sampailah kedua 

orang itu ke Madiun. Mereka menunggu 

malam tiba dimana mereka menentukan saat 

penyerbuan ke Kadipaten Madiun tempat 

bersarangnya Suto Nyamat yang telah 

membunuh ayah dan ibu serta kakek dan 

guru Wulansari!

Malam tiba, pintu gerbang kadipaten 

tertutup rapat tanpa seorang pengawalpun 

kelihatan di sekitar sana. Mahesa Kelud

dan Wulansari bergerak ke bagian yang 

lebih gelap. Di sini mereka berdua 

melompati tembok samping Kadipaten yang 

tingginya tak kurang dari

sampai di halaman dalam tanpa 

menimbulkan suara sedikitpun!

Gedung Kadipaten kelihatan sunyi 

sepi. Satu-satunya lampu yang menyala 

hanyalah di bagian belakang gedung 

tersebut. Mahesa dan Wulansari bergerak 

ke sana dengan hati-hati. Mereka menemui 

sebuahh pintu yang terkunci. Mahesa 

mengetuk dengan keras! Tak ada jawaban. 

Pemuda ini mengetuk lagi lebih keras. 

Sesaat kemudian baru terdengar langkah-

langkah kaki, lalu daun pintu terbuka.

Mahesa Kelud dan Wulansari tanpa 

menunggu lebih lama segera menyerbu 

masuk. Orang yang membuka pintu, seorang 

pelayan tua hampir saja terpelanting 

jatuh ke lantai karena ditabrak begitu 

saja oleh Mahesa Kelud.

Orang tua itu berdiri dengan paras 

pucat. "Ka... kalian siapa...?" 

tanyanya....

"Orang tua, mengapa gedung ini sunyi


saja? Mana Suto Nyamat?!" tanya Mahesa 

membentak.

"Adipati Suto Nyamat sudah berangkat 

dua hari yang lalu ke Pajang bersama 

keluarga dan para pengawal..." 

menerangkan pelayan tua itu.

"Dusta!" hardik Wulansari. "Manusia 

keparat itu pasti ada di sini dan 

bersemhunyi!"

"Tidak... Adipati tidak ada di sini. 

Aku tidak dusta," kata si pelayan 

ketakutan.

* * *

TIGA



Kelihatannya orang tua ini tidak 

berdusta. Namun untuk memastikan bahwa 

Suto Nyamat benar-benar tidak ada di sana 

maka Mahesa Kelud dan Wulansari 

menggeledah seluruh pelosok gedung 

Kadipaten! Memang benar tak ada 

seorangpun selain si pelayan tua tersebut 

di dalam gedung.

"Ada urusan apa bangsat itu ke 

kotaraja?!" tanya Wulansari.

"Bang... bangsat siapa?" tanya si 

pelayan. 

"Suto Nyamat!" bentak Wulansari. 

"Kabarnya... kabarnya Baginda yang 

menariknya ke kotaraja untuk memangku 

satu jabatan baru...."

"Lantas siapa yang menggantikannya di 

sini?"

"Aku tidak tahu tapi kabarnya Adipati


yang baru itu akan segera datang ke sini 

dalam tempo sehari dua ini...."

Mahesa Kelud menoleh pada Wulansari. 

Kedua orang ini kemudian meninggalkan 

gedung tersebut dengan cepat. Si pelayan 

tua menarik nafas lega lalu mengunci 

pintu lekas-lekas.

Jarak antara Madiun dan Kotaraja 

tidak dekat. Dengan berlari cepat mereka 

baru bisa sampai ke sana selama seminggu 

mungkin lebih! Karenanya malam itu juga 

kedua orang tersebut memutuskan untuk 

berangkat ke kotaraja.

Hari ke empat, mereka beristirahat di 

satu kaki bukit yang subur. Mereka duduk 

berdampingan dan bersandar ke sebuah 

pohon besar yang rindang. Mahesa 

memandang jauh ke muka. Duduk berdua 

dengan Wulansari, seperti itu 

mengingatkan pemuda ini pada Kemaladewi, 

gadis yang menjadi murid si Dewa Tongkat. 

Bagaimanakah keadaan gadis itu sekarang, 

sesudah ditinggalkannya sejak satu tahun 

yang lewat? Pemuda ini tak habisnya 

mengutuki dirinya sendiri dan menyumpahi 

Si Iblis Buntung yang menjadi biang racun 

dari semua perbuatan terkutuknya atas 

diri Kemaladewi. Kemudian terpikir oleh 

pemuda ini yaitu jika perbuatannya tempo 

hari bersama Kemaladewi menyebabkan gadis 

tersebut sampai hamil, maka saat ini 

tentu Kemala sudah melahirkan seorang 

anak! Anaknya dan anak Kemala! Merinding 

bulu tengkuk Mahesa Kelud.

"Apa yang tengah kau renungkan, Mahe-

sa?" tanya satu suara di sampingnya.

Pemuda ini terkejut. Parasnya pucat


seketika. Lalu dia coba tersenyum untuk 

menyembunyikan rasa terkejutnya itu, tapi

tak berhasil!

"Eh, agaknya kau terkejut mendengar 

pertanyaanku, Mahesa?"

Mahesa diam-diam menjadi takut 

sendiri meski takut yang tak beralasan. 

Dia takut kalau-kalau gadis di sampingnya 

itu mengetahui rahasia atau peristiwanya 

dengan Kemaladewi.

"Kau melamunkan seseorang agaknya, 

Mahesa?"

"Ya. Melamunkan kau." jawab pemuda 

itu berdusta.

"Aku berada di dekatmu, di sampingmu. 

Mengapa harus dilamunkan? Kalau aku jauh 

lain perkara..." kata Wulansari pula.

Ucapan Wulansari itu seperti satu 

tempelak yang keras menghantam mukanya 

bagi Mahesa Kelud. Hatinya serasa diiris. 

Meski perbuatannya atas Kemaladewi bukan 

mau dan diluar kesadarannya namun dia 

tetap saja merasa berdosa. Bukan saja 

berdosa kepada Kemaladewi, berdosa kepada 

Tuhan, tapi lebih dari itu adalah berdosa 

kepada Wulansari, gadis satu-satunya yang 

dikasihinya di dunia ini!

Mahesa tak berkata apa-apa. 

Dipeluknya bahu gadis itu dengan penuh 

kasih sayang, lalu diciumnya keningnya.

"Eh... eh... apa-apaan ini, Mahesa?" 

kata Wulansari sambil menjauhkan 

kepalanya. 

"Apa-apaan apa maksudmu?" 

"Kau lupa pesan guru kita?" 

"Pesan apa...?"

"Bahwa sebelum kita berumah tangga


secara resmi kau dan aku masih tetap 

merupakan orang lain dan mempunyai batas-

batas tertentu...?"

"Aku ingat" jawab Mahesa dengan 

tersenyum. "Tapi kalau cuma peluk cium 

saja kan boleh!"

"Ih, kau ceriwis sekali sekarang!" 

kata Wulansari pula.

Dikatakan "ceriwis" pemuda kita jadi 

penasaran. Kedua tangannya diulurkan 

kemuka memeluk tubuh kekasihnya lalu 

diciumnya muka gadis itu berulang kali.

"Sudah... sudah..." peluk Wulansari 

pelahan. Tapi dia tak berusaha untuk 

menghindarkan ciuman-ciuman pemuda yang 

dikasihinya itu bahkan memberikan 

balasan!

Mahesa melepaskan pelukannya. Kedua 

pipi Wulansari kelihatan merah. Gadis ini 

cepat-cepat menyembunyikan mukanya di 

dada si pemuda. "Kalau kau berani bilang 

aku ceriwis lagi... aku akan cium kau 

sampai lama sekali dan tidak lepas-

lepas!" kata Mahesa Kelud.

"Kau memang ceriwis! Genit!" kata 

Wulansari dengan tertawa merdu lalu 

melepaskan dirinya dan lari.

"Kau mau lari kemana, Wulan?!" kata 

Mahesa seraya mengejar gadis tersebut. 

Dan dengan demikian keduanyapun berlari 

meneruskan perjalanan menuju kotaraja.

* * *

Siang itu mereka mencapai sebuah 

kampung kecil agak jauh diluar kotaraja. 

Keduanya mencari kedai nasi. Satu-satunya


kedai nasi terletak di tengah pasar yang 

sudah agak sepi karena hari sudah tinggi. 

Mereka masuk dan Mahesa mernesan makanan. 

Kedatangan kedua orang ini tentu saja 

menarik perhatian tamu-tamu yang sudah 

terlebih dahulu berada di dalam kedai. 

Pandangan mata yang kagum takjub lebih 

banyak ditujukan kepada Wulansari, gadis 

berparas jelita ini. Wulansari sendiri 

bersikap acuh tak acuh sedang Mahesa 

Kelud yang duduk di sampingnya tenang-

tenang saja.

Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya, 

Wulansari menggeser kursinya lebih dekat 

pada Mahesa lalu dia berkata pelahan, 

"Mahesa... coba kau perhatikan tiga orang 

prajurit yang duduk dipojok sana."

Mahesa pura-pura menjangkau gelas 

minumannya. Lalu sambil menempelkan tepi 

gelas ke bibirnya dia memandang ke arah 

yang dikatakan Wulansari. Di sana duduk 

tiga orang prajurit kerajaan dan 

ketiganya memandang tajam menyorot pada 

mereka. Pandangan mata orang-orang ini 

agaknya sudah disengaja sejak tadi dan 

kurang ajar.

"Aku rasa-rasa pernah bertemu dengan 

mereka..." ujar Mahesa Kelud.

"Aku sendiri juga demikian," kata 

Wulansari..

"Mungkin mereka adalah cecunguk 

cecunguknya si Suto Nyamat."

"Boleh jadi,.. bagaimana kalau beri 

sedikit pelajaran pada mereka?" tanya si 

gadis yang sudah gatal-gatal tangannya 

melihat cara memandang ketiga prajurit 

yang kurang ajar itu.


"Ssssh..." desis Mahesa. "Biarkan 

saja mereka seperti anjing-anjing lapar 

begitu. Kita harus berhati-hati dan 

jangan sampai membuat urusan baru sebelum 

urusan kita dengan Suto Nyamat 

selesai...."

Wulansari tak berkata apa-apa. Gadis 

ini meneruskan makannya. "Satu hal lagi 

yang harus diingat Wulan," ujar Mahesa, 

"Sesampainya kita di kotaraja nanti 

jangan bertindak gegabah. Kotaraja bukan 

saja tempat diamnya Suto Nyamat serta 

pentolan-pentolannya tapi juga sarangnya 

para pendekar gagah pengawal Baginda yang 

sudah barang tentu akan turun tangan bila 

kita mereka anggap sebagai pengacau!"

Tiga prajurit di pojok kedai berdiri. 

Salah satu dari mereka membayar harga 

maka nan lalu bersama kawannya yang dua 

orang lagi segera keluar meninggalkan 

kedai tersebut. Di luar terdengar suara 

derap kaki kuda mereka yang akhirnya 

lenyap di kejauhan.

* * *

Apa yang diduga oleh Mahesa Kelud 

memang tidak meleset. Ternyata ketiga 

prajurit tersebut adalah kaki-kaki tangan 

Suto Nyamat yang kini diam di kotaraja. 

Ketiganya memacu kuda masing-masing 

menuju kotaraja. Mereka adalah sebagian 

dari bawahan Braja Kurrto yang tempo hari 

pernah bertempur dengan Mahesa Kelud 

serta Wulansari di dekat goa kediaman 

guru kedua orang ini, cuma sayang Mahesa 

dan Wulan tidak mengingat mereka lagi.


Tak lama kemudian prajurit-prajurit 

Ini sampai ke gedung kediaman Suto 

Nyamat. Salah seorang dari mereka, yang 

bertubuh tinggi kurus turun dari kuda. 

"Kalian berdua tunggu di sini, aku akan 

menemui Adipati. Waspadalah, bukan tidak 

mustahil kedua orang tadi membuntuti 

kita!" Demikianlah, meski kini Suto 

Nyamat sudah diberi kedudukan lain oleh 

Baginda namun para prajurit dan anak 

buahnya tetap saja menyebutnya dengan 

"Adipati."

Saat itu menjelang senja. Suto Nyamat 

baru selesai mandi dan habis berpakaian 

ketika seorang pelayan datang menerangkan 

bahwa ada seorang prajurit hendak 

menghadap.

"Katanya ada satu urusan penting, 

Gusti!" menambahkan pelayan tersebut.

Ketika Suto Nyamat keluar, prajurit 

tinggi kurus tadi menjura.

"Ada apa Lokan?" tanya Suto Nyamat.

"Adipati, masih ingat sepasang muda-

mudi yang tempo hari menyerang ke 

Kadipaten Madiun dan yang kemudian kami 

kejar-kejar?"

"Tentu! Ada apa dengan mereka?"

"Keduanya berada di kampung Tenginan, 

tengah menuju ke sini."

Terkejut Suto Nyamat mendengar 

keterangan prajurit tersebut. "Kau tidak 

salah lihat?... tanyanya.

"Tidak. Saya dan kawan-kawan 

mengenali benar keduanya."

Suto Nyamat berpikir dengan cepat 

"Baiklah," katanya. "Bawa beberapa orang 

kawan-kawanmu ke pintu gerbang kotaraja.


Aku akan menyusul ke sana. Jika sebelum 

aku datang mereka sudah sampai, tahan 

sedapat-dapatnya agar kedua monyet jantan 

betina itu tidak masuk ke sini ke 

kotaraja!"

"Siap Adipati." Lokan menjura dan 

berlalu dengan cepat.

Suto Nyamat sengaja tidak mau 

menghadapi kedua musuh besarnya itu di 

dalam kotaraja karena ini akan membuat 

namanya jadi kurang baik sedangkan dia 

baru saja dipindahkan Baginda untuk 

menduduki jabatan tinggi serta terhormat. 

Karena itu diaturnya rencana untuk 

menghadapi Mahesa Kelud diluar batas 

kota, di pintu gerbang!

Satu tahun yang lewat Mahesa Kelud 

dan Wulansari pernah menyerbu ke gedung 

Kadipaten Madiun bersama seorang kakek-

kakek bernama Sentot Bangil atau yang 

lebih dikenal dengan gelaran Pendekar 

Budiman. Saat itu dengan bantuan 

Waranganaya Toteng para penyerbu berhasil 

dipreteli bahkan Pendekar Budiman sendiri 

meregang nyawa di tangan Waranganaya

Toteng. Kini tahu-tahu Mahesa Kelud dan 

Wulansari muncul kembaii mencarinya! 

Kalau tidak ada sesuatu yang diandalkan 

pasti kedua orang muda tersebut tidak 

akan mengejarnya sampai ke kotaraja. 

Menurut Suto Nyamat yang memang punya 

otak cerdik tapi busuk ini hanya ada dua 

hal menjadi andalan musuh-musuh besarnya 

itu. Pertama mereka datang bersama 

seorang atau beberapa orang sakti yang 

membantu mereka. Kedua mungkin selama 

satu tahun yang lalu mereka berhasil


memperdalam ilmu silat atau berguru pada 

seorang sakti!

Dugaan pertama tidak bisa jadi karena 

Lokan tadi memberi kesempatan bahwa hanya 

Mahesa Kelud serta Wulansari saja yang 

terlihat. Jadi dugaan jatuh pada andalan 

kedua yakni bahwa kedua muda mudi 

tersebut kini sudah memiliki ilmu yang 

jauh lebih tinggi dari dahulu! Suto 

Nyamat harus mengakui bahwa dalam 

pertempuran setahun yang silam, satu 

lawan satu menghadapi salah seorang dari 

muda-mudi itu belum tentu dia akan dapat 

mengalahkan lawannya, apalagi kini! Namun 

demikian dia tak perlu khawatir. 

Waranganaya Toteng memang saat ini tidak 

ada disampingnya yang akan turun tangan 

membantu, tapi kotaraja penuh dengan 

hulubalang-hulubalang dan pendekar 

pendekar Baginda yang rata-rata berilmu 

tinggi dan dikenal baik oleh Suto Nyamat! 

Di samping itu kebetulan sekali di 

gedungnya saat ini ada empat orang tokoh 

kelas tinggi yang menjadi tamunya yang 

sudah pasti bisa dimintakan bantuannya!

Suto Nyamat masuk ke dalam kamarya. 

Ketika dia keluar maka dia sudah 

mengenakan pakaian perang dengan sepasang 

golok panjang tergantung di sisinya!

* * *


EMPAT


Hari mulai gelap. Di langit bintang-

bintang mulai muncul bertaburan. Bulan 

purnama menyusul kemudian menampakkan 

diri sehingga kegelapan malam berkurang 

sedikit oleh sinarnya yang sejuk.

Kedua orang itu lari terus. Masing-

masing memperlambat larinya ketika 

mendekati batas kotaraja. Pada saat 

mereka sampai ke pintu gerbang kota maka 

kelihatanlah selusin manusia berkumpul 

menghadang di muka pintu tersebut! Dalam 

jarak beberapa tombak Mahesa Kelud dan 

Wulansari menghentikan langkah mereka. 

Kedua muda-mudi ini menggeram dalam hati. 

Lebih-lebih ketika mengetahui bahwa 

manusia berkening lebar, bermata besar 

dan berkumis lebat yang mengenakan 

pakaian perang tak lain adalah Suto 

Nyamat, musuh besar mereka! Agak 

kebelakang kelihatan tiga orang berjubah 

ungu yang karena malam kelihatannya 

hitam. Baik Mahesa maupun Wulansari tidak 

tahu siapa mereka adanya namun memaklumi 

bahwa ketiga orang ini tentu memiliki 

ilmu yang tinggi. Di samping kiri Suto 

Nyamat berdiri pula sesosok tubuh yang 

menarik perhatian murid-murid Si Suara 

Tanpa Rupa ini. Sosok tubuh ini adalah 

seorang laki-laki berbadan sangat pendek, 

bermuka buruk dan cuma punya satu tangan 

yakni tangan kanan sedang tangan kirinya 

puntung! Di pinggang si buntung tangan 

ini melilit sebuah rantai baja yang sudah 

dapat dimaklumi merupakan senjata


andalannya! Manusia ini mengenakan 

pakaian aneh. Kalau saja saat itu mereka 

tidak tengah menghadapi musuh besar, 

sudah past! Mahesa Kelud dan Wulansari 

akan tertawa membahak. Betapakah tidak! 

Karena manusia berbadan pendek dan 

bertangan buntung ini mengenakan pakaian 

"baju monyet," seperti anak anak umur 

tiga tahun! Di bagian perut dari baju ini 

terdapat pula sebuah saku besar empat 

segi! Di belakang kelima orang tersebut 

maka berjejerlah tujuh prajurit di mana 

tiga di antaranya adalah yang dilihat 

Mahesa dan Wulansari di kedai siang tadi.

Sambil kedua tangannya bersitekan 

pada hulu-hulu golok Suto Nyamat maju 

satu langkah dan berkata dengan suara 

membentak. "Anak-anak yang masih ingusan! 

Kalian mengandalkan apakah berani-

beranian datang mengantar nyawa kemari?!"

Wulansari, yang sudah sejak tadi 

tidak sabaran melihat musuh besar 

pembunuh ayanbunda, paman serta kakeknya 

ini, menerjang ke muka.

"Iblis bermuka manusia! Bersiaplah 

untuk mampus!" bentak Wulansari. Serentak 

dengan itu kelihatanlah sinar merah 

panjang melesat membabat ke arah Suto 

Nyamat. Sinar merah panjang ini tak lain 

adalah sambaran Pedang Dewi yang dicabut 

oleh Wulansari bersamaan ketika tubuhnya 

melesat ke muka!

Suto Nyamat dengan cepat mencabut go-

lok panjang di sisi kirinya untuk dipakai 

menangkis. Dan 

"Trang!" 

Golok yang masih tergenggam di tangan


laki-laki itu hanya tinggal hulunya saja. 

Bagiannya yang tajam terbabat buntung dan 

dibikin mental oleh teriakan Pedang Dewi 

sakti yang luar biasa tajamnya di tangan 

Wulansari! Tak dapat dilukiskan bagaimana 

terkejutnya Suto Nyamat. Bukan saja 

karena goloknya yang buntung itu tapi 

juga karena tangan kanannya terasa panas 

sekali! Dan sebelum habis rasa 

terkejutnya maka Pedang Dewi di tangan 

Wulansari berbalik membabat deras ke arah 

lehernya!

Sukar bagi Suto Nyamat dalam keadaan 

kepepet begitu untuk mengelak ataupun 

mencabut senjatanya yang satu lagi! 

Manusia ini berteriak ngeri seperti orang 

yang melihat datangnya malaekat maut!

Namun sebelum pedang sakti tersebut 

sempat memisahkan kepala dan badan Suto 

Nyamat, salah seorang dari tiga manusia 

yang mengenakan jubah ungu melompat ke 

muka sambil menusukkan senjatanya, berupa 

sebuah penggada dari batu hitam yang 

lebih kuat daripada besi, ke dada 

Wulansari!

Hal ini membuat Wulansari terpaksa 

menarik pulang serangannya karena kalau 

diteruskan meski dia mungkin berhasil 

menebas batang leher Suto Nyamat namun 

penggada si jubah ungu pasti akan 

bersarang di dadanya pula!

Bukan main geramnya si gadis. Kedua 

matanya melotot. "Tua bangka yang sudah 

bosan hidup!" makinya. "Kau juga harus 

mampus bersama anjing ini!"

"Eeee... e... e. Gadis kurang ajar! 

Kau tak tahu tengah berhadapan deng..."


Si jubah ungu tak sempat meneruskan 

kalimatnya karena saat itu Wulansari 

telah menyerangnya dengan ganas. Dua 

kawannya yang lain maju pula ke muka. 

Ketiganya memiliki senjata yang sama 

yakni penggada batu hitam. Suto Nyamat 

sementara itu sudah mencabut golok 

panjangnya yang satu lagi dan menyerbu 

pula. Melihat kekasihnya dikeroyok 

demikian rupa Mahesa Kelud yang memang 

sudah gatal tangan segera mencabut pedang 

saktinya, maju ke depan membantu 

Wulansari.

Tapi manusia pendek berbaju monyet 

tahu-tahu melompat pula menghalanginya, 

demikian pula tujuh prajurit kerajaan 

anak buah Suto Nyamat!

"Manusia pendek! Rupanya kau kaki ta-

ngan cecunguknya Suto Nyamat juga huh?!"

"Eit! Anak muda bau amis! Kau tahu 

dengan siapa kau berhadapan saat ini 

sampai berani unjukkan nyali besar?! 

Ketahuilah akulah manusianya yang 

dijuluki Setan Puntung!"

"Hem..,. Bagus kalau begitu!" kata 

Mahesa dengan nada mengejek. "Lekas maju 

biar kubikin buntung tanganmu yang satu 

lagi!"

Tak terkirakan marahnya si pendek itu 

diejek demikian rupa oleh Mahesa Kelud, 

dan dihadapan banyak orang pula. 

"Kupecahkan kepalamu, kunyuk!" Sambil 

membentak dibukanya rantai besi yang 

melilit di pinggang lalu menyabetkannya 

ke kepala Mahesa Kelud! Pemuda ini 

menggerakkan pedang saktinya untuk 

memapaki senjata lawan. Si Setan Puntung


yang memaklumi bahwa pedang di tangan 

lawannya bukan pedang sembarangan tapi 

sebuah pedang mustika sakti, tak berani 

mengadu senjata dan cepat-cepat 

menurunkan sedikit tangan kanannya 

sehingga kini rantai besinya menyambar ke 

perut Mahesa Kelud!

Mahesa di lain pihak juga memaklumi 

bahwa lawannya bukan seorang lawan enteng 

dan empuk. Begitu serangannya mengenai 

tempat kosong pemuda ini segera geser 

kedua kakinya dan serentak dengan itu 

pedang mustika merah di tangannya 

membalik membabat ke lengan yang memegang 

rantai dari Si Setan Puntung!

Si Setan Puntung mengeluarkan seruan 

kaget. Tidak diduganya bahwa begitu 

mengelak sang lawan masih sanggup 

melancarkan serangan balasan yang 

sedemikian cepatnya! Manusia pendek 

bertangan satu ini cepat-cepat melompat 

ke belakang menyelamatkan tangannya. 

Ketika dia maju kembaii, maka tujuh 

prajurit yang tadi masih diam saja di 

tempat, turut pula menyerbu Mahesa Kelud. 

Dikeroyok delapan demikian rupa, tidak 

tanggung-tanggung Mahesa Kelud segera 

keluarkan jurus-jurus ilmu "Pedang Dewi 

Delapan Penjura Angin!"

Sesaat kemudian maka terdengarlah 

pekik-pekik tiga orang prajurit 

pengeroyok. Yang satu terpapas buntung 

iengannya, darah muncrat! Yang kedua

meliuk roboh dengan usus berburaian, yang 

ketiga mundur menjerongkang terbacok 

bahunya! Si Setan Puntung sendiri 

mengeluarkan seruan tertahan karena


sebagian dari senjata rantai besinya 

dibabat putus oleh pedang di tangan 

lawan!

Demikianlah hebatnya Pedang Dewi di 

tangan Mahesa Kelud dan lihaynya ilmu 

silat yang dimainkannya sehingga dalam 

satu gebrakan saja dia membuat tiga lawan 

roboh dan yang ke empat menciut nyalinya, 

padahal jurus ilmu "Pedang Dewi Dari 

Delapan Penjura Angin" yang dimainkannya 

tadi baru tingkat terendah saja!

Di bagian lain Wulansari tengah 

mengamuk hebat melawan musuh besarnya 

yakni Suto Nyamat yang dibantu oleh tiga 

orang berjubah ungu yang rata-rata 

memiliki ilmu tinggi! Suto Nyamat telah 

mengambil sebuah golok lagi sehingga 

pedang merah di tangan Wulansari harus 

melayani sepasang golok panjang Suto 

Nyamat serta tiga penggada batu! Dengan 

tiada gentar sedikitpun gadis remaja itu 

melayani keempat musuhnya dengan 

mengeluarkan jurus-jurus menengah dari 

ilmu Pedang Dewi yang dipelajari dari 

gurunya Si Suara Tanpa Rupa. Bukan saja 

gadis ini bisa mengimbangi kehebatan ke 

empat lawan tangguh tersebut bahkan dia 

berhasil pula mendesak mereka. Karena 

dalam hal ini Suto Nyamat adalah musuh 

besar yang paling dibencinya, maka 

kebanyakan dari serangan-serangannya 

diarahkan kepada manusia tersebut. Suto 

Nyamat menjadi sibuk, untung saja tiga 

orang yang membantunya mempunyai 

kepandaian tinggi kalau tidak pasti dalam 

jurus sembilan tadi dia sudah kena 

dibacok bahunya oleh pedang sakti


Wulansari!

Siapakah ketiga manusia berjubah ungu 

ini? Seperti Waranganaya Toteng, mereka 

adalah resi-resi dari kerajaan 

Belambangan yang tersesat dan 

mempergunakan ilmu kepandaian mereka 

untuk membuat kejahatan di setiap pelosok 

negeri. Ketiganya berasal dari satu 

perguruan sehingga pakaian dan juga 

senjata mereka sama semua. Namun 

dibanding dengan ilmunya Waranganaya 

Toteng, ketiganya sangat ketinggalan 

jauh! Mereka tinggal di kotaraja sebagai 

pengawal-pengawal kelas enam. Pedang 

merah di tangan Wulansari menciut 

menyambar ke resi yang paling ujung. Resi 

ini coba menangkis dengan penggadanya, 

namun ujung penggada itu hancur lebur 

dihantam pedang! Suto Nyamat mulai kecut 

nyalinya. lambat laun tetapi pasti dia 

dan kawan-kawannya akan kena celaka, 

apalagi Wulansari senantiasa mengincarnya 

terus-terusan! Ketiga resi tersebut 

merubah permainan gada mereka. Mereka 

berdiri agak merapat dengan Suto Nyamat 

di ujung paling kanan. Salah seorang dari 

resi itu mengeluarkan suara melengking 

tinggi. Serentak dengan itu ketiganya 

berpencar menyerang Wulansari dari tiga 

jurusan. Ini berarti ditambah dengan Suto 

Nyamat, Wulansari harus menghadapi empat 

serangan sekaligus!

Wulansari memutar pedangnya di 

sekeliling tubuh! Sinar merah bergulung 

membungkus dirinya. Bersamaan dengan itu 

dia melompat ke atas tinggi sekali. 

Begitu empat senjata lewat di bawahnya,


maka dengan menggerakkan kedua kakinya 

kelihatanlah kini tubuh gadis itu menukik 

laksana seekor burung rajawali yang 

menyambar empat ekor anak ayam! Terdengar 

suara jeritan keras! Salah seorang dari 

resi itu roboh ke tanah dengan bahu mandi 

darah kena dibacok pedang Wulansari. Dia 

cepat berguling jauh menyelamatkan diri. 

Dua golok panjang yang ada di tangan Suto 

Nyamat kini hanya tinggal gagang-

gagangnya saja karena terbabat buntung 

oleh pedang mustika sakti! Masih untung 

bagi dua resi lainnya karena mereka 

sempat mengelak menyelamatkan diri 

masing-masing!

Melihat naga-naga macam begini tanpa 

pikir panjang lagi Suto Nyamat segera 

putar tubuh dan ambil langkah seribu!

"Manusia keparat! Jangan lari!" 

teriak Wulansari dia segera melompat 

memburu. Namun dua resi tadi secara 

bersamaan menyerangnya dengan tidak 

terduga! Niatnya untuk memburu musuh 

besarnya terpaksa urung seketika untuk 

memberikan hajaran pada kedua manusia 

jubah ungu penghalang itu!

Di bagian yang lain, Mahesa Kelud 

sudah berhasil pula merobohkan dua orang 

prajurit lagi. Namun untuk lekas-lekas 

membereskan si Setan Puntung memang agak 

sukar juga karena harus diakui oleh 

Mahesa bahwa manusia pendek berbaju 

monyet ini mempunyai ilmu yang tinggi 

serta gerakan-gerakannya cepat dan gesit! 

Namun demikian, di lain pihak Si Setan 

Puntung memaklumi pula bahwa dia tak akan 

sanggup mempercundangi Mahesa Kelud


sekalipun dia harus bertempur sampai 

seribu jurus! Karenanya dia segera 

menggeser kedudukannya. Dia bergerak 

mendekati dua resi yang masih mengeroyok 

Wulansari. Maksudnya dengan berada dalam 

satu kelompok itu mereka akan dapat 

membantu satu sama lain.

Tapi justru inilah yang merupakan 

satu kesalahan besar baginya karena 

ketika bergerak berpindah tempat itu dia 

bertindak terlampau kesusu, tak 

memperhitungkan lagi kedudukan lawan. 

Pedang Mahesa Kelud menyambar dari 

samping. Setan Puntung miringkan tubuh,

namun bahu kirinya yang tiada berlengan 

lagi tak urung masih sempat dibabat 

senjata lawan! Baju monyetnya basah oleh 

darah! Prajurit-prajurit yang masih hidup 

yang tak mau mati konyol segera kabur 

meninggalkan tempat itu, apalagi sesudah 

mereka melihat Suto Nyamat sendiri lari 

lintang pukang!

Setan Puntung sendiri dan kedua resi 

baju ungu sebenarnya sudah berpikir-pikir 

pula untuk lari menyelamatkan nyawa, 

namun niat tersebut mereka tahan-tahan 

juga karena diam-diam saling merasa malu 

dan tahan harga diri!

Kini jumlah pengeroyok hanya tinggal 

tiga orang. Satu di antaranya yaitu Setan 

Puntung sudah terluka parah, sebentar 

lagi tubuhnya akan menggeletak mampus 

kena bisa pedang mustika yang panas itu! 

Menurut Mahesa, Wulansari sendiripun akan 

sanggup menumpas ketiganya dalam beberapa 

jurus di muka. Karenanya ketika Suto 

Nyamat melarikan diri pemuda ini berseru:


"Wulan, biar aku yang kejar Suto 

Nyamat keparat itu! Kau bereskanlah 

tikus-tikus tua ini!"

Sebelum Wulansari sempat mengatakan 

sesuatu, Mahesa Kelud sudah berkelebat 

dan lari mengejar kejurusan mana tadi 

Suto Nyamat menghilang!

Dugaan Mahesa Kelud bahwa Wulansari 

akan sanggup merobohkan ketiga lawan yang 

sudah babak belur itu memang benar, tapi 

benarnya adalah kalau keadaan tetap 

seperti itu, artinya jumlah mereka tetap 

terus tiga orang! Tak ada seorang lain 

yang kemudian datang!

Begitulah, beberapa ketika setelah 

Mahesa Kelud meninggalkannya maka 

Wulansari putar pedangnya lebih cepat. 

Resi pertama roboh jungkir balik tanpa 

nyawa. Gadis ini menyerang dan mendesak 

terus sampai Setan Puntung serta resi 

yang satu lagi kewalahan! Keduanya saling 

memberi isyarat, sama-sama hendak 

melarikan diri. Namun ketika itulah da-

tang seseorang yang sangat menggembirakan 

mereka!

"Amboi... amboi! Apakah yang terjadi

di sini?!" terdengar orang yang baru 

datang itu berkata, suaranya tinggi 

melengking, tapi seperti orang tercekik!

* * *


LIMA


Orang yang baru datang ini adalah 

seorang perempuan bermuka hitam, berjubah 

merah. Tubuhnya tinggi sekali. Satu 

jengkal kurang dari dua meter. Mungkin 

karena tubuhnya yang tinggi ini serta 

hatinya yang jahat seperti iblis maka dia 

digelari dalam dunia persilatan sebagai 

"Iblis Jangkung!" Nama sebenarnya ialah 

Niliman Toteng. Dan dia adalah kakak 

seperguruan Waranganaya Toteng dan juga 

kakak kandung resi dari Blambangan itu! 

Sebagai kakak seperguruan, tentu saja 

ilmu kepandaian Niliman Toteng lebih 

tinggi beberapa tingkat dari adiknya, 

Waranganaya Toteng. Sebelumnya sudah kita 

saksikan kehebatan Waranganaya Toteng 

ketika menghadapi dan membunuh Pendekar 

Budiman yang datang menyerbu ke gedung 

Kadipaten Madiun bersama Wulansari dan 

Mahesa Kelud. Karenanya dapatlah 

dibayangkan betapa dahsyatnya Si Iblis 

Jangkung ini dan tak heran biia Si Setan 

Puntung serta resi baju ungu menjadi 

sangat gembira melihat kedatangannya!

Niliman Toteng memandang dengan mata 

menyipit beberapa mayat prajurit serta 

mayat dua orang resi yang dikenalnya baik 

menggeletak di muka pintu gerbang. Di 

hadapannya Setan Puntung dan resi bernama 

Majineh tengah didesak hebat oleh seorang 

gadis muda belia!

Niliman Toteng geleng-gelengkan dia 

punya kepala. 

"Biung... biung... biung! Setan


Puntung dan Majineh, lagi apa kalian di 

sini?! Menghadapi anak gadis yang masih 

menyusu saja kalian sampai dibikin babak 

belur begini? Bahkan kawan-kawan kalian 

dibuat menggeletak mampus? Biung... 

biung!"

Perkataan perempuan sakti itu membuat 

Si Setan Puntung serta Majineh menjadi 

merah muka mereka karena malu!

"Niliman Toteng," kata Si Setan 

Puntung seraya babatkan rantai besinya 

yang sudah pendek akibat ditebas terus-

terusan oleh pedang mustika Wulansari, 

"Jangan berdiri dan menonton saja, 

cobalah maju sejurus dua jurus dan kau 

akan tahu bahwa sesungguhnya bukan gadis 

ini yang masih menyusu, tapi kitalah yang 

musti menyusu kepadanya!"

Maka melengkinglah tertawa perempuan 

sakti berjubah merah, bermuka hitam itu. 

Wulansari sendiri bukan main geramnya 

mendengar kata-kata tersebut. Segera 

pedangnya menyambar kian kemari membuat 

Si Setan Puntung yang sudah terluka pada 

bahu kirinya menjadi sibuk kewalahan!

Jika saja kejadian pertempuran ini 

didengar dari cerita orang lain, maka 

pasti Niliman Toteng tak akan bisa 

mempercayai bagaimana seorang kawakan 

dalam dunia persilatan seperti Si Setan 

Puntung dapat "dipermainkan" oleh seorang 

gadis muda remaja yang umurnya belum lagi 

dua puluh tahun, bahkan Setan Puntung 

dibantu pula oleh seorang resi yang 

berkepandaian cukup tinggi!

Niliman Toteng seorang perempuan 

berhati jahat! Ini dapat dilihat dari


kulit mukanya yang hitam, bibirnya yang 

ungu serta hidungnya yang tinggi bengkok 

seperti paruh burung betet! Meski jahat 

namun diam-diam mengagumi kehebatan 

jurus-jurus permainan silat Wulansari 

yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. 

Dan yang sangat menarik perhatian 

perempuan bergelar "Iblis Jangkung" ini 

ialah pedang mustika sakti yang 

mengeluarkan sinar merah yang dipegang 

oleh Wulansari! Tak salah kalau si Setan 

Puntung bisa dibikin babak belur demikian 

rupa!

Niliman Toteng maju selangkah 

mendekati kalangan pertempuran. "Gadis 

baju kuning, siapakah engkau yang berani 

menumpahkan darah di pintu gerbang 

kotaraja ini?!"

Wulansari tidak menjawab malahan 

memutar pedangnya dengan hebat serta 

cepat sehingga membuat rantai besi di 

tangan Si Setan Puntung terbabat putus 

untuk kesekian kalinya dan kini hanya 

tinggal dua jengkal saja lagi! Sedang 

untuk kesekian kalinya pula Setan Puntung 

merasakan tangannya serta seluruh 

tubuhnya menjadi panas. Keadaannya sudah 

payah sekali cuma karena malu 

diusahakannya untuk bertahan sedapat-

dapatnya. Sementara itu rasa panas akibat 

hawa pedang merah yang sebelumnya 

membabat bahunya terasa semakin menjadi-

jadi. Meski dia sudah kerahkan tenaga 

dalamnya yang tinggi untuk menolak hawa

maut tersebut namun sia-sia belaka! 

Majineh sendiri bertempur setengah mati. 

Diam-diam dia memaki dalam hati karena


sampai saat itu Niliman Toteng masih 

belum juga turun tangan membantu.

Si jangkung maju lagi. "Setan Puntung 

dan kau Majineh, minggirlah! Biar aku 

yang ringkus tikus kuning ini! Kalian 

berdua hanya memalukan sahabat-sahabat 

yang ada di kotaraja saja!"

Setan Puntung dan Majineh gembira 

sekali. Tanpa menunggu lebih lama 

keduanya segera melompat ke luar dari 

kalangan pertempuran. Setan Puntung pergi 

duduk bersandar ke sebatang pohon,

mengatur jalan darah serta pernafasannya. 

Tenaga dalamnya dikerahkan ke seluruh 

bagian tubuhnya. Namun demikian sama 

sekali manusia kate ini tidak sanggup 

menolak dan melenyapkan hawa panas yang 

menjalar di seluruh tubuhnya. Si pendek 

ini mulai mengerang, merintih kesakitan. 

Majineh datang, bantu mengerahkan tenaga 

dalamnya ke tubuh Si Setan Puntung, tapi 

hasilnya nihil. Hawa panas semakin 

menjadi-jadi. Setan Puntung kelangsangan, 

mengerang kelojotan dan tampangnya benar-

benar jadi menyeramkan seperti setan! 

Tiba-tiba erangannya terhenti. Tubuhnya 

tak bergerak lagi! Mati! Setan Puntung 

mati dengan membawa satu penyesalan 

besar. Selama puluhan tahun menjadi tokoh 

dunia persilatan dia telah menghadapi 

berbagai lawan tangguh! Namun hari ini 

akhirnya dia terpaksa menyerahkan nyawa 

di tangan seorang pemuda belia, satu 

kematian yang tak pernah diduganya. 

Inilah penyesalan yang dibawa mati oleh 

si pendek sakti tersebut!

Niliman Toteng berdiri dengan


bertolak pinggang di muka Wulansari. 

"Gadis baju kuning, orang-orang 

menggelariku Iblis Jangkung! Tapi hari 

ini aku masih punya sedikit belas kasihan 

padamu. Terlalu sayang kalau mukamu yang 

cantik itu kukepruk dengan tanganku. 

Serahkan pedangmu padaku, berlutut minta 

ampun dan kau boleh pergi dengan 

aman...."

Wulansari tertawa mendengus. Dia tahu 

manusia di hadapannya ini berilmu tinggi. 

Sua-ranya yang melengking agaknya 

disertai dengan aliran tenaga dalam 

karena Wulansari dapat merasakan 

bagaimana gendang-gendang kedua 

telinganya jadi bergetar!

"Iblis Jangkung, atau siapapun 

namamu..." sahut Wulansari, "aku tak mau 

cari urusan dengan kau yang sudah tua, 

tapi bila kau berpihak pada anjing-anjing 

kotaraja kaki tangan Suto Nyamat 

ketahuilah, aku yang masih muda tidak 

takut terhadapmu!"

Niliman Toteng tertawa melengking 

tinggi. Mukanya kelihatan semakin hitam 

sedang hidungnya tambah membengkak! 

"Bocah sombong! Dikasih hati malahan 

menantang. Di kasih ampun malahan 

melawan! Hari ini Iblis Jangkung akan 

mematahkan batang lehermu!"

Serentak dengan itu maka Niliman 

Toteng melompat ke muka. Kedua tangannya 

diulur ke arah leher si gadis! Tapi tidak 

begitu mudah untuk dapat mematahkan 

begitu saja batang leher "pendekar 

betina" ini! Wulansari memutar pedang 

saktinya. Angin panas keluar menyambar


dari pedang itu ke arah Niliman Toteng 

sedang mata pedang membabat dengan cepat 

memapaki kedua lengannya yang terulur! 

Niliman Toteng cepat bungkukkan tubuh dan 

turunkan kedua tangannya. Kini kedua 

tangan perempuan jangkung ini menyelinap 

dari bawah, berusaha merampas pedang 

merah sakti di tangan Wulansari!

Tapi siapa sangka, begitu lawannya 

menurunkan tangan dengan kecepatan yang 

luar biasa pedang merah itu membabat pula 

ke bawah, seakan-akan tahu apa yang bakal 

dilakukan Niliman Toteng!

Perempuan muka hitam ini terkejut! 

Kini dia benar-benar merasakan sendiri 

kehebatan Wulansari dan cepat-cepat dia 

tarik pulang kedua tangannya! Dari dalam 

saku besar jubah merahnya Niliman Toteng 

kemudian mengeluarkan satu gulungan kain 

berwarna merah yang ternyata adalah 

sebuah stagen! Benda ini salah satu 

senjata ampuh yang dimiliki Niliman 

Toteng. Dia sengaja mengeluarkan stagen 

tersebut karena dia maklum, sebelum dapat 

merampas pedang di tangan Wulansari maka 

akan sukar bagihya untuk meringkus gadis 

baju kuning itu! Dia lebih dari maklum 

bahwa Wulansari adalah murid seorang 

sakti yang tidak boleh dibuat main-main!

Niliman Toteng gerakkan tangan 

kanannya. Gulungan stagen membuka dan 

melesat ke muka laksana seekor ular piton 

bergerak meliuk ke arah pinggang 

Wulansari. Gadis ini cepat-cepat melompat 

ke samping seraya kirimkan satu tusukan 

dahsyat ke dada Niliman

Toteng tapi serangan ini dengan mudah


dapat dielakkan perempuan jangkung itu 

dan malahan stagennya kini meluncur ke 

arah hulu pedang di tangan Wulansari!

Si gadis tinggikan tangannya dan 

putar senjata itu dengan sebat. Stagen 

Niliman Toteng tak berhasil membelit hulu 

pedang bahkan gerakkannya terhalang oleh 

sambaran-sambaran angin pedang mustika 

yang panas itu! Niliman Toteng 

mempercepat gerakannya. Tubuhnya 

berkelebat sehingga sesaat kemudian 

kelihatanlah dua sinar merah di udara. 

Sinar yang pertama bergulung membabat 

kian kemari. Inilah sinar pedang 

Wulansari. Sinar merah kedua membuntal 

dan meliuk cepat laksana seekor ular 

mengamuk, inilah sinar stagen merah 

Niliman Toteng. Beberapa jurus lagi 

berlalu. Perempuan sakti itu geramnya 

bukan main karena sampai saat itu 

usahanya untuk membelit dan merampas 

pedang lawan dengan stagennya tidak 

kunjung berhasil! Bahkan satu kali ketika 

stagen merah itu sudah melilit sebahagian 

dari pedang lawan, siap untuk ditarik dan 

dirampas tahu-tahu seperti seekor belut 

licin, pedang mustika tersebut terlepas 

bahkan jika saja Niliman Toteng tidak 

cepat-cepat menarik stagen pasti sebagian 

dari senjatanya kena dirobek ujung 

pedang!"

Disamping rasa termengkal geram dan 

penasaran terhadap gadis muda belia itu, 

Niliman Toteng juga menjadi malu pada 

diri sendiri, apalagi saat itu Majineh 

ada pula di sana! Siapun yang tidak kenal 

dengan Niliman Toteng yany bergelar Si


Iblis Jangkung itu! Di Blambangan dia 

merupakan orang sakti nomor tiga dan di 

Kotaraja sendiri pahlawan-pahlawan 

Baginda yang berilmu tinggi sekalipun 

menaruh hormat serta jerih kepadanya. 

Tapi hari ini... seorang gadis berbaju 

kuning yang umurnya belum lagi mencapai 

dua puluhan, telah membuat dia benar-

benar gusar mendongkol dan besar kepala! 

Sebenarnya, dalam ilmu mengentengi tubuh 

serta tenaga dalam Wulansari masih berada 

jauh di bawah Niliman Toteng. Namun ka-

rena gadis ini memegang sebilah pedang 

merah yang sakti luar biasa serta 

mempergunakannya dalam jurus-jurus yang 

sebelumnya tak pernah dilihat oleh 

Niliman Toteng, yakni "Dewi Pedang 

Delapan Penjura Angin," maka untuk 

beberapa lamanya perempuan tua sakti yang 

sudah punya berbagai pengalaman dalam 

dunia persilatan itu dibikin tidak 

berdaya, apalagi untuk mendesak 

Wulansari!

Waktu pertempuran hampir memasuki ju-

rus kelima puluh maka Niliman Toteng 

benar-benar kehilangan muka dan malu 

sekali! Dengan mengandalkan ilmu silatnya 

saja dia tak akan sanggup meringkus gadis 

itu! Satu-satunya jalan ialah dengan 

mempergunakan cara yang licik dan busuk! 

Niliman Toteng membentak keras melengking 

tinggi memekakkan anak telinga. Bersamaan 

dengan itu tangan kirinya dengan sangat 

cepat, hampir tidak kelihatan bergerak 

memgeruk saku jubahnya! Sebuah benda 

hitam kemudian melesat ke arah Wulansari 

dan...


Pesss!!!

Kelihatanlah asap hitam mengepul 

ganas di muka Wulansari. Asap ini berbau 

busuk dan amis sekali serta mengandung 

zat yang melumpuhkan bila tercium! 

Bagaimana Wulansari mengerahkan tenaga 

dalamnya untuk menolak bau busuk amis 

tersebut namun pernafasannya telah 

menghirup sedikit dari asap buruk itu, 

terus terbawa ke dalam rongga paru-

parunya! Wulan merasakan kepalanya pusing 

dan berat. Pemandangannya menggelap dan 

akhirnya dengan pedang sakti masih 

tergenggam di tangan gadis ini roboh 

pingsan!

* * *

ENAM



KOTARAJA besar sekali, banyak 

bangunan dan gedung-gedung besar, banyak 

jalan serta persimpangan. Sebagai orang 

baru yang pertama kali datang ke sana 

tentu saja Mahesa Kelud menjadi 

kebingungan. Apalagi di malam seperti itu 

dan tengah mencari seorang buruan pula! 

Tapi dengan tetapkan hati dan dengan 

cara-cara yang tidak mencurigakan 

akhirnya pemuda ini berhasil juga 

mendapat keterangan di mana letak gedung 

kediaman Suto Nyamat yang baru saja 

dipindahkan ke kotaraja.

Gedung ini besar sekali lagi mewah. 

Beberapa pengawal menjaga di pintu 

gerbang. Mahesa Kelud menempuh jalan di


samping gedung. Di bagian yang tidak 

begitu terang, pemuda ini segera gunakan 

ilmu mengentengi tubuhnya untuk melompati 

tembok gedung yang tingginya dua kali 

manusia! Dia sampai di tepi sebuah kolam 

dalam tarn an yang indah. Tak satu 

orangpun kelihatan. Pemuda ini dengan 

cepat tapi tetap waspada segera bergerak 

mendekati gedung utama yang kelihatannya 

sunyi-sunyi saja. Di bagian belakang dari 

gedung ini di mana terdapat sebuah pintu, 

berdiri dua orang pengawal. Mahesa 

mengambil sebuah batu dan melemparkan 

batu itu beberapa langkah di hadapan 

pengawal-pengawal. Ketika kedua pengawal 

ini menjadi terkejut dan memandang ke 

arah benda yang jatuh itu, maka Mahesa 

dengan cepat segera melompat dari ujung 

dinding gedung dan menotok punggung 

mereka. Keduanya rubuh kaku. Mahesa 

menyeret mereka ke bagian taman yang 

gelap!

Pintu belakang tidak terkunci. Dengan 

mudah Mahesa Kelud masuk lewat pintu ini. 

Dia sampai di satu ruang belakang yang 

besar, kemudian melewati dapur lalu 

menyusuri sebuah gang yang lantainya 

ditutupi dengan permadani indah betbunga-

bunga. Gang ini membawanya ke sebuah 

ruangan tengah yang besar dan mewah 

dengan kursi-kursi serta meja yang 

keseluruhannya terbuat dari kayu jati 

berukir-ukir. Di dinding kiri kanan 

ruangan ini terdapat masing-masing tiga 

buah pintu. Mahesa mulai dengan pintu 

paling ujung di samping kiri. Pintu ini 

dibukanya dan ruang di dalamnya ternyata


sebuah kamar yang luas mewah. Tapi tak 

satu orangpun yang dilihatnya. Mahesa 

Kelud keluar dengan cepat dan memeriksa 

kamar kedua. Juga ini sebuah kamar mewah 

tapi juga tiada satu manusiapun ada di 

dalamnya! Di kamar ketiga baru pemuda ini 

menemui orang pertama penghuni gedung dan 

ternyata adalah istri Suto Nyamat yang 

saat itu tengah tertidur nyenyak. 

Perempuan ini tidak cantik dan 

kulitnyapun agak hitam. Tapi untuk jadi 

istri Suto Nyamat yang bertampang buruk, 

dia sudah terlalu bagus!

Dengan berpikir-pikir di mana manusia 

yang dicarinya bersembunyi maka pemuda 

ini segera menuju ke pintu keluar. Tapi 

baru saja daun pintu dibukanya sedikit 

maka matanya yang tajam dapat melihat 

bagaimana pintu paling ujung di dinding 

ruangan di seberangnya terbuka. Seorang 

perempuan separuh baya, yaitu seorang 

pelayan, keluar membawa sebuah baki 

berisi piring serta gelas kotor. Ini 

memberi pertanda pada Mahesa Kelud bahwa 

di dalam kamar itu pasti ada seseorang! 

Pelayan dilihatnya menutupkan pintu kamar 

dan meninggalkan ruangan itu menuju ke 

belakang.

Mahesa Kelud segera keluar dari kamar 

di mana dia berada dan menyeberangi 

ruangan menuju kamar tempat pelayan tadi 

keluar. Di muka pintu dia berdiri 

sebentar untuk memasang telinga. Lalu 

Mahesa membungkuk dan mengintip lewat 

lobang kunci.

Seseorang dilihatnya dalam kamar itu. 

Tapi seseorang ini bukan Suto Nyamat.


Melainkan seorang gadis remaja puteri 

yang parasnya cantik sekali! Demikian 

cantiknya sehingga Mahesa Kelud harus 

mengakui bahwa gadis di dalam kamar ini 

adalah lebih cantik dari Kemaladewi, 

bahkan lebih cantik dari kekasihnya 

sendiri, Wulansari! Siapakah gerangan 

gadis itu? Istri Suto Nyamat yang 

termuda? Tak dapat dipastikan. 

Anaknya....? Mustahil, Suto Nyamat dan 

istrinya bertampang buruk tapi anaknya 

sejelita itu! Mahesa mengintip lagi lewat 

lobang kunci dan kali ini dilihatnya si 

gadis tengah mengambil sesuatu lalu duduk 

di kursi besar. Benda yang diambilnya 

ternyata adalah jahitan. Gadis ini duduk 

dan mulai menyulam.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari 

ujung gang. Mahesa Kelud cepat 

meninggalkan pintu tersebut dan 

bersembunyi di balik sebuah kursi panjang 

besar. Yang datang adalah pelayan 

perempuan tadi. Dia masuk ke dalam kamar 

dan menutupkan pintu. Mahesa menunggu 

sebentar lalu kembali melangkah ke pintu 

tersebut. Pada saat matanya mengintai

maka telinganya mendengar suara yang 

merdu dari gadis di dalam kamar.

"Embok Inah, ayahku masih belum 

pulang?"

"Belum Den Ayu...."

"Aku tak mengerti ke mana beliau 

malam-malam begini.... Setiap malam 

selalu pergi seperti orang yang tak betah 

di rumah!" Gadis itu memutuskan benang 

sulaman dengan gigi-gi-ginya yang rata

bagus serta berkilat lalu mengganti


benang baru.

"Mungkin ayahmu pergi ke istana, Den 

Ayu," terdengar suara Embok Inah, si 

pelayan.

"Mungkin" desis si gadis. "Ibu sudah 

tidur?"

"Sudah."

Kini tahuiah Mahesa Kelud bahwa gadis 

cantik yang tengah menyulam di dalam 

kamar itu memanga adalah putri Suto 

Nyamat. Meski dari pembicaraan yang dapat 

ditangkapnya cukup jelas bahwa Suto 

Nyamat memang tak ada dalam gedung 

tersebut, namun untuk memastikan bahwa 

manusia tersebut benar-benar tidak ada 

maka Mahesa memeriksa dua kamar lainnya 

serta bagian-bagian di seluruh gedung 

itu. Ternyata memang penghuni di dalam 

gedung cuma istri dan anak Suto Nyamat 

serta Embok Inah.

Ketika pemuda itu kembaii mengintai 

lewat lobang kunci maka Embok Inah tak 

ada lagi di kamar. Si gadis masih juga 

menyulam dengan asyiknya. Mahesa Kelud 

berdiri termangu. Apa yang akan 

dilakukannya sesudah mengetahui bahwa 

Suto Nyamat tidak ada di dalam gedung 

itu? Tiba-tiba satu pikiran terlintas di 

kepalanya.

"Jika ini kulakukan... ya, pasti Suto 

Nyamat akan keluar dari 

persembunyiannya!" kata Mahesa dalam 

hati. Lalu dibukanya pintu di hadapannya 

dan masuk ke dalam.

Gadis itu meskipun tahu ada seseorang 

yang masuk masih saja terus menyulam 

tanpa mengangkat kepalanya karena dia


menyangka yang masuk itu adalah 

pelayannya, Embok Kinem. Namun ketika 

akhirnya dia mengangkat kepala betapa 

terkejutnya dia! Matanya terbuka lebar 

mulutnya hendak berteriak tapi teriakan 

itu tiada keluar dari tenggorokannya. 

Seorang pemuda gagah, yang sama sekali 

tak dikenalnya berdiri hanya beberapa 

langkah di hadapannya!

"Saudari, tak usah takut, tak usah 

berteriak. Aku tidak akan 

mengganggumu..." kata Mahesa.

"K... kau... kau mengejutkan aku...."

"Maafkan kalau begitu."

"Kau siapa?!" tanya si gadis, hatinya 

agak tenang sedikit melihat sikap dan 

tutur kata si pemuda yang ramah itu.

"Aku seseorang yang tengah mencari 

ayahmu. Kau anak Suto Nyamat, bukan...?"

Gadis itu terkejut mendengar 

bagaimana Mahesa Kelud menyebut nama 

ayahnya dengan "Suto Nyamat" saja, 

padahal semua orang selalu memanggil 

dengan sebutan Raden Mas, atau Adipati! 

Diletakkannya sulamannya ke atas meja di 

samping kursi.

"Ada apa kau mencari ayahku, 

saudara...?"

"Ada urusan yang harus 

diselesaikannya."

"Urusan apa?" tanya puteri Suto 

Nyamat.

"Urusan nyawa," jawab Mahesa Kelud.

Untuk kedua kalinya mata gadis itu 

jadi membeliak sedang mulutnya menganga. 

Ta hulah dia bahwa pemuda ini tidak 

bermaksud baik terhadap ayahnya.


"Kau hendak membunuh ayahku?"

Mahesa melangkah lebih dekat lalu 

mengangguk. Puteri Suto Nyamat berteriak, 

namun sebelum suara teriakan itu keluar 

dari tenggorokannya tubuhnya sudah kejang 

kaku lebih dahulu karena ditotok oleh 

Mahesa Kelud!

* * *

Dengan cepat Mahesa Kelud membopong 

tubuh gadis itu di bahu kirinya. Dia 

melangkah ke pintu dan keluar. Tapi tiba-

tiba saja tubuhnya bertabrakan dengan 

sesosok tubuh lain, yaitu tubuh Embok 

Inah yang kebetulan hendak masuk ke dalam 

kamar tersebut! Bukan main terkejutnya si 

pelayan melihat ada seorang pemuda tak 

dikenal di hadapannya. Dan jadi lebih 

terkejut lagi ialah menyaksikan bagaimana 

tubuh Retno, puteri majikannya, dipanggul 

oleh pemuda tersebut, entah masih hidup 

entah sudah mati!

Maka berteriaklah pelayan ini 

setinggi langit. 

"Culik! Tolong! Pengawal! Culik...."

Mahesa Kelud keluar dari kamar dengan 

cepat. Badannya membentur tubuh Embok 

Inah, membuat perempuan ini terpelanting 

dan jatuh duduk. Si pelayan berkunang-

kunang pemandangannya seketika. Namun dia 

berdiri dengan cepat dan berteriak 

kembaii. 

"Culik Den Ayu Retno diculik! 

Tolong!"

Ketika Mahesa sampai di ujung gang 

yang menghubungkan ruang tengah dengan


bagian belakang gedung besar itu maka di 

pintu berjubalanlah kira-kira sepuluh 

orang pengawal, masing-masing dengan 

senjata di tangan!

"Maling rendah!" maki pengawal paling 

muka. "Jangan harap kau bisa kabur di 

sini!"

Kesepuluh prajurit tersebut segera 

menyerbu. Mahesa Kelud menjangkau sebuah 

kursi kayu yang berada di dekatnya. Kursi 

ini diputarnya dengan sebat pada para 

penyerang. Beberapa pengawal menjerit 

roboh kena dihantam kursi. Yang lain-lain 

masih coba mengurung pemuda itu. Mahesa 

putarkan lagi patahan kursi yang masih 

ada di tangannya. Kembaii terdengar pekik 

kesakitan. Dua orang pengawal terdekat 

menjerongkang jatuh kena tendangan kaki 

dan sesaat kemudian Mnhonn sudah keluar 

dari pintu belakang, lari ke tamnn 

melompati tembok untuk kemudian hilang di 

telan kegelapan malam sementara isi 

geduny di mana Suto Nyamat tinggal itu 

menjadi hiruk pikuk!

Di pintu gerbang kotaraja Mahesa 

Kelud menghentikan langkahnya. Di tempat 

ini tadi mana terjadi pertempuran antara 

dia dan Wulansari melawan kaki-kaki 

tangan Suto Nyamat maka kini di sini tak 

ada satu orangpun yang dilihatnya! Apakah 

pertempuran sudah selesai? Mana mayat-

mayat yang sebelumnya menggeletak di 

hadapan pintu gerbang ini? Di mana 

Wulansari? Mahesa Kelud tak bisa berpikir 

lebih lama. Dia sudah susun rencana untuk 

menculik dan melarikan puteri Suto Nyamat 

agar musuh besar itu keluar dari


persembunyiannya.

Dengan hati tidak enak pemuda ini 

kemudian lari cepat menuju ke bagian 

timur luar kota. Waktu menuju ke kotaraja 

tadi bersama Wulansari, di satu tempat 

yang sunyi di luar kota mereka telah 

menemui sebuah pondok buruk yang didiami 

oleh seorang nenek-nenek tua renta. 

Perempuan ini baik sekali. Mahesa membawa 

Retno ke pondok ini, akan disembunyikan 

di sini.

Nenek tua yang membuka pintu sangat 

terkejut ketika melihat pemuda yang 

pernah datang ke tempatnya sebelumnya 

kini muncul dengan membawa sesosok tubuh 

gadis berparas cantik yang dari 

pakaiannya segera diketahui bahwa gadis 

ini adalah seorang anak hartawan atau 

orang berpangkat!

"Anak muda," kata si nenek. "Jika kau 

hendak berbuat kotor di pondokku ini, 

lebih baik siang-siang kau angkat kaki 

dari sini!"

Mahesa Kelud masuk dan membaringkan 

gadis culikannya di ata balai-balai yang 

beralastikar pandan. Dia berpaling 

menghadapi si nenek. "Jangan khawatir

nenek. Aku tidak sejahat yang kau 

sangkakan...."

"Lantas mengapa kau culik gadis ini? 

Anak siapa dia...?"

"Sengaja aku larikan ke sini adalah 

untuk memancing keluar ayahnya yang 

tengah bersembunyi dan merupakan musuh 

besarku dan kawanku tempo hari."

"Siapa ayah gadis ini?"

"Suto Nyamat, bekas Adipati Madiun


yang kini dipindahkan ke kotaraja!"

"Suto Nyamat....? Ampun, tobat aku! 

Anak muda kalau ayahnya tahu puterinya 

kau sekap di sini pasti kepalaku akan 

dipancung! Tobat!"

"Tak akan terjadi apa-apa denganmu, 

nenek. Aku jamin," kata Mahesa dengan dua 

jari tangannya pemuda ini kemudian 

melepaskan totokan di tubuh si gadis.

Retno segera sadar dan duduk di tepi 

balai-balai. Dua orang ada di hadapannya. 

yang satu tua renta, tak dikenalnya. Yang 

satu lagi pemuda gagah, penculiknya. 

Gadis ini segera menutup muka dengan 

kedua tangannya yang berjari-jari halus 

panjang dan menangis tersedu-sedu.

"Kembalikan aku... kembalikan aku ke 

rumah," katanya berulang kali di antara 

tangis-nya.

"Den Ayu," demikian Mahesa Kelud 

memanggil gadis itu. Meski Retno adalah 

anak musuh besarnya bersama Wulansari, 

namun dia tetap tidak melupakan 

peradatan, apalagi disadarinya bahwa 

gadis ini tak sangkut paut dengan segala 

kejahatan yang diperbuat ayahnya!

"Aku sekali-kali menculikmu bukan 

untuk membuat sesuatu yang jahat atau 

buruk. Aku terpaksa melakukannya untuk 

memancing agar ayahmu keluar dari 

persembunyiannya. Kalau saja ayahmu bukan 

seorang pengecut yang melarikan diri dan 

sembunyi, mungkin kau tak akan turut 

terlibat dalam persoalan ini!"

"Ayahku bukan seorang pengecut!" 

tukas Retno.

"Mungkin...."


"Dia juga tidak jahat!"

"Mungkin..." jawab Mahesa lagi. Kali 

ini Retno mengangkat kepalanya, menatap 

paras pemuda itu. Aneh, mengapa hatinya 

berdebar melihat paras yang gagah ini? 

Mengapa dia tak sanggup membenci si 

pemuda meski dia tahu bahwa Mahesalah 

yang telah menculik dan melarikannya?!"

"Den Ayu," kata Mahesa Kelud. 

"Dengarlah, aku akan segera pergi. Tapi 

kepergianku ini janganlah kau anggap 

merupakan kesempatan baik bagimu untuk 

melarikan diri! Jika kau lari kembali ke

gedung ayahmu, mungkin keadaanmu akan 

menjadi lebih sulit lagi dari 

sekarang...."

Retno tidak menyahut. Mukanya ditutup 

dengan sehelai sapu tangan dan kembali 

gadis ini menangis tersedu-sedu.

* * *

TUJUH



Ketika dia kembaii lagi ke pintu 

gerbang kotaraja, keadaan tetap seperti 

waktu dia sehabis menculik Retno tadi. 

Tak sepotong manusiapun ada di sana 

sementara hari semakin gelap juga dan 

malam tambah melarut. Pemuda ini mulai 

kawatir. Di mana semua manusia tadi itu 

kini? Dan di mana pula kekasihnya 

Wulansari? Apakah gadis itu berhasil 

mengalahkan semua lawan-lawannya? Atau 

sudah kena celaka, diringkus oleh musuh? 

Tapi yang belakangan ini mustahil adanya


bagi Mahesa karena dia yakin benar dalam 

menghadapi Si Setan Puntung dan dua resi 

baju ungu yang sudah babak belur itu 

Wulansari pasti menang. Tapi kini gadis 

itu hilang lenyap begitu saja!

Dalam dia termenung dan termangu 

seperti itu tiba-tiba melompatlah sesosok 

tubuh ke hadapannya. Orang ini gesrt 

sekali gerakannya dan ternyata dia adalah 

seorang pemuda se-baya Mahesa Kelud dan 

bertampang keren. Potongan tubuh mereka 

hampir sama.

"Kau tengah mencari seseorang sobat?" 

bertanya pemuda yang baru datang.

Mahesa Kelud tak segera menjawab. 

Ditelitinya dulu pemuda itu. Dia segera 

maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu 

tinggi dan orang dari dunia persilatan 

juga. Hulu pedang tersembul di

punggungnya sedang sebilah keris tersisip 

di pinggangnya!

"Saudara," kata Mahesa Kelud, 

"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu aku 

ingin tahu dulu, apakah kau lawan atau 

kawan?"

Yang ditanya mengulum senyum. "Kalau 

kau percaya kau boleh anggap aku kawan," 

sahutnya. "Betul kau mencari seseorang?"

"Betul."

"Gadis baju kuning tua?"

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya 

Mahesa Kelud heran.

Pemuda itu tersenyum lagi. 

"Waktu terjadi pertempuran antara 

kalian dan orang-orangnya Suto Nyamat aku 

berdiri tak jauh dari sini. Kemudian Suto 

Nyamat melarikan diri dan kau


mengejarnya. Menurutku, kau tinggalkan 

kawanmu itu adalah karena kau merasa 

yakin gadis baju kuning tersebut akan 

sanggup menyelesaikan ketiga lawannya. 

Dugaanmu memang betul jika kemudian tidak 

datang seorang lain yang sakti dan 

licik!"

"Jadi kawanku kena diringkus?!" tanya 

Mahesa Kelud tegang.

Pemuda itu mengangguk. "Kawanmu sudah 

merobohkan salah seorang resi baju ungu 

dan melukai Si Setan Puntung. Pada saat 

itu datanglah perempuan tua bertubuh 

jangkung bermuka hitam. Dialah yang 

digelari Si Iblis Jangkung! Nama 

sebenarnya Niliman Toteng. Dia kakak 

kandung dan kakak seperguruan Waranganaya 

Toteng! Ilmunya tinggi sekali dan 

disamping itu dia licik! Bagaimana 

hebatnya kawanmu namun Niliman Toteng 

akhirnya dapat meringkus gadis tersebut!"

Mahesa Kelud hampir tak bisa 

mempercayai kalau kekasihnya yang sudah 

tinggi ilmu kepandaiannya serta memiliki 

pedang sakti masih bisa diringkus dengan 

mudah. Namun dia ingat kata-kata gurunya 

bahwa di luar langit masih ada langit 

lagi! Setiap ada orang pandai akan ada 

pula orang lain yang lebih pandai!

Kemudian terdengar pula pemuda itu 

berkata. "Setelah bertempur beberapa 

puluh jurus maka Niliman Toteng 

mengeluarkan bola beracunnya. Bola itu 

menyebarkan bau amis busuk dan

menyebabkan adikmu jatuh pingsan ketika 

mencium bau amis busuk tersebut. Niliman 

Toteng kemudian melarikannya...."


Mahesa Kelud tiba-tiba teringat 

sesuatu. Dia memandang dengan tajam pada 

pemuda itu. "Tadi kau bilang kepadaku 

sebagai seorang kawan. Jika gadis baju 

kuning itu dicelakai mengapa kau tidak 

bantu...?"

"Namaku Supitmantil," katanya, "Dan 

walau bagaimanapun aku mengambil sikap 

bersahabat terhadap kalian tapi 

membantumu secara terang-terangan itu 

satu hal yang aku tidak bisa lakukan...."

"Mengapa?" tanya Mahesa Kelud pula.

"Karena aku adalah masih orang dalam 

juga yang kenal baik dengan semua 

hulubalang dan pendekar-pendekar istana, 

meski banyak diantara mereka yang aku 

tidak senangi, termasuk Suto Nyamat...."

"Kalau begitu kau manusia ular kepala 

dua," ujar Mahesa Kelud.

"Kau boleh bilang demikian," kata si 

pemuda itu pula dengan tertawa. Tak ada 

perubahan nada pada ucapannya yang 

menandakan bahwa dia tidak marah dengan 

kata-kata Mahesa tadi.

"Kau bisa menunjukkan ke mana kawanku 

gadis baju kuning itu dilarikan?" tanya 

Mahesa.

Supitmantil mengangguk. "Niliman 

Toteng membawanya ke gedung hartawan 

Prajadika, seorang hartawan yang dekat 

hubungannya dengan Baginda. Putra 

hartawan ini bernama Prajakuncara dan 

adalah murid Niliman Toteng. Niliman 

Toteng sangat sayang pada sang murid 

karena Prajakuncara pandai mengambil hati 

sang guru dan memenuhi segala apa saja 

yang diinginkan oleh Niliman Toteng.


Prajakuncara sendiri bukan seorang pemuda 

baik-baik. Dia suka mengganggu istri 

orang, suka mempermainkan dan merusak 

kehormatan anak gadis orang, pokoknya dia 

seorang manusia yang masih muda belia 

tapi terlalu doyan sama perempuan! Kau 

bisa memaklumi apa maksud Niliman Toteng 

membawa sahabatmu ke gedung hartawan 

itu...."

Menggeletar sekujur tubuh Mahesa 

Kelud mendengar itu. Menggeram hatinya 

dan menggejoblak amarahnya. "Lekas 

tunjukkan aku gedung manusia keparat 

itu!" katanya.

"Ikuti aku," jawab Supitmantil.

"Tapi tunggu dulu, Supit."

Si pemuda balikkan tubuh. "Ya?"

"Jika kau coba menipu dan menjebakku, 

itu satu tanda bahwa umurmu tak akan lama 

lagi!"

Supitmantil tersenyum. "Percaya 

padaku, sobat!" katanya.

Kedua pemuda itu berlari cepat 

memasuki kotaraja di malam yang telah 

larut serta gelap pekat itu. Di satu 

jalan mereka menghentikan lari dan 

berjalan seperti biasa.

"Lihat gedung besar dan bagus itu?" 

tanya Supitmantil seraya menunjuk ke 

muka.

Mahesa mengangguk.

"Itulah gedung Prajadika...."

"Mari kita serbu!" kata Mahesa sudah 

tak sabaran.

"Jangan gegabah, sobat," 

memperingatkan Supitmantil. "Kita harus 

hati-hati karena tidak mudah untuk masuk


ke gedung. Banyak orang-orang pandai di 

sana. Kurasa Niliman Toteng sendiri 

menginap di situ!"

"Aku tidak takut sama iblis perempuan 

itu!" kata Mahesa geram.

"Memang banyak orang yang tidak takut 

padanya, tapi harus diingat bahwa selain 

ilmunya tinggi dia juga licik busuk. 

Lihat saja bagaimana dia meringkus gadis 

sahabatmu. Kita sebaiknya atur rencana. 

Aku melompati tembok masuk ke dalam 

menemui Niliman Toteng dan ajak dia 

bicara-bicara. Sementara itu kau melompat 

ke atas genting gedung dan selidiki di 

kamar mana sahabatmu disekap. Aku pasti 

sekali bahwa gadis itu berada di kamar 

Prajakuncara!"

"Baik, cepatlah!"

Di luar, gedung hartawan Prajadika 

memang tidak dijaga oleh siapa-siapa. 

Tapi di dalam gedung terdapat beberapa 

orang berkepandaian tinggi, satu di 

antaranya adalah Niliman Toteng yang saat 

itu tengah duduk menyirih dengan mulut 

komat kamit di samping gedung.

Meski dia tidak melihat orangnya 

namun dia dapat mendengar suara turunnya 

sepasang kaki menginjak tanah di halaman 

samping yang agak gelap itu! Demikianlah 

hebatnya daya dengar Iblis Jangkung ini!

Tanpa memutar kepala ataupun mengge-

ser duduknya, Niliman Toteng bertanya 

membentak: "Tamu tak diundang dari mana 

yang berani datang malam-malam begini?!"

"Niliman Toteng harap dimaafkan dan 

jangan marah kalau aku yang muda ini 

mengganggu ketenteramanmu. Aku


Supitmantil datang untuk bicara dengan 

kau."

Barulah Niliman Toteng memutar duduk-

nya. Dia memang kenal baik dengan pemuda 

bertampang keren itu dan suka bicara-

bicara. Dengan tiada rasa curiga 

sedikitpun dia menyambut kedatangan si 

pemuda. Percakapan yang asyikpun segera 

terjadi.

Sementara itu dari jurusan yang lain 

Mahesa Kelud dengan mengandalkan ilmu 

mengentengi tubuhnya yang tinggi, laksana 

seekor burung rajawali melompat melayang 

ke atas wuwungan gedung tanpa menimbulkan 

sedikit suarapun ketika kedua kakinya 

menginjak wuwungan tersebut! Dia segera 

memulai pemeriksaannya, membuka genteng 

gedung sebagian demi sebagian, mencari di 

kamar mana kekasihnya di sekap.

Ketika dia bergerak mendekati bagian 

tengah dari atap gedung maka didengarnya 

suara bentakan-bentakan lantang 

menggeledek. Hatinya gembira karena dia 

dapat mengenali suara tersebut yang tak 

lain dari pada suara Wulansari adanya! 

Dibukanya bagian genteng di jurusan suara 

itu. Di bawahnya kemudian dilihatnya 

sebuah kamar besar dengan perabotan serta 

mewah.

Di atas tempat tidur di kamar itu 

terbaring Wulansari. Meski gadis ini bisa 

membuka mulut dan bicara keras namun 

tubuhnya tidak dapat bergerak. Ini satu 

tanda bahwa gadis itu ditotok pada bagian 

tubuhnya! Sesudah mencium bau amis dari 

senjata rahasia Niliman Toteng tadi, 

Wulansari jatuh pingsan dan dilarikan ke


gedung tersebut. Niliman kemudian 

memberikan obat penawar sehingga 

Wulansari sadar kembali tapi sebelum 

sadar tubuhnya telah lebih dahulu 

ditotok, hingga biarpun dia bisa bicara 

namun sekujur tubuhnya tetap tumpuh kaku! 

Meskipun gadis ini kerahkan tenaga 

dalamnya untuk membuyarkan totokan 

tersebut namun sia-sia saja karena 

totokan Niliman Toteng benar-benar ampuh.

Di samping kekasihnya sendiri maka 

dalam kamar itu Mahesa Kelud melihat 

seorang pemuda bermuka putih dan 

berpakaian bagus sekali. Pasti ini adalah 

anak si hartawan, Prajakuncara. Pemuda 

ini duduk di tepi tempat tidur dengan 

senyum-senyum meskipun Wulansari mencaci 

makinya habis-habisan.

"Pemuda hidung beiang! Pergi dari 

sini! Terkutuk kau!" Ingin sekali gadis 

ini mengg-rakkan kedua kakinya untuk 

menendang tubuh Prajakuncara tapi apa 

daya kedua kaki dan sekujur tubuhnya 

berada dalam keadaan lumpuh!

"Dengar gadis cantik!" kata 

Prajakuncara sambil dekatkan kepalanya ke 

muka si gadis. "Daripada kau memaki 

berteriak hingga akhirnya suaramu yang 

merdu itu jadi serak. Lebih bagus kita 

secara baik-baik. Kau cantik sekali dan 

pantas jadi istriku! Aku belum punya 

istri dan ingin kawin!"

"Kawinlah dengan setan neraka!" 

bentak Wulansari.

Prajakuncara tertawa membahak. "Kau 

ini ada-ada saja," katanya sambil 

memegang pipi Wulansari dengan kedua


tangannya. "Masakan aku yang begini gagah 

disuruh kawin dengan setan neraka! Kau 

lebih pantas!" Tangan pemuda yang 

memegang pipi turun ke bahu, berhenti di 

sini sebentar lalu bergerak menyusup di 

balik baju kuning Wulansari!

"Keparat jahanam! Jangan jamah 

tubuhku!" teriak Wulansari.

Sebaliknya kedua tangan itu semakin 

menggerayang bahkan Prajakuncara kini 

kelihatan merebahkan tubuhnya di samping 

si gadis dan menyilangkan kakinya di atas 

paha Wulansari!

Seperti disengat kalajengking Mahesa 

Kelud melihat pemandangan ini! Dia segera 

melompat turun dari atas genteng dengan 

pedang merah terhunus!

"Manusia rendah! Hari ini kau musti 

mampus!"

Bukan main kagetnya Prajakuncara. Ta-

ngannya yang meremes dada Wulansari 

keluar dari balik baju. Dengan cepat dia 

segera bangun. Pemuda ini serta merta 

jatuhkan tubuhnya di lantai ketika satu 

sambaran merah melesat ke kepalanya. 

Masih untung dia sempat berbuat begitu, 

kalau tidak pasti kepalanya akan terbelah 

dua!

Ketika dia berdiri lagi maka 

Prajakuncara sudah menghunus sebatang 

pedang hitam. Senjata ini adalah buatan

gurunya Si Iblis Jangkung. Dengan geram 

murid Niliman Toteng ini menyerbu Mahesa 

Kelud. Untuk kedua kalinya pedang dewi di 

tangan Mahesa membabat. Prajakuncara 

gunakan pedangnya untuk menangkis. Namun 

keringat dingin membasahi tubuhnya ketika


senjata tersebut menjadi buntung dua di 

babat pedang lawan. Belum lagi habis rasa 

kaget serta kecut ngerinya maka sinar 

merah menyambar untuk ketiga kalinya! Dan 

kali ini pemuda doyan perempuan itu tidak 

bisa lagi selamatkan nyawanya.

"Cras!"

Kepala dan tubuh Prajakuncara saling 

terpisah satu sama lain! Darah muncrat 

deras.

Tubuh anak hartawan itu rebah ke 

lantai beralaskan permadani indah sedang 

kepalanya menggelinding ke sudut kamar!

Sebagai murid dari Niliman Toteng 

yang sakti sebenarnya Prajakuncara 

memiliki ilmu silat tinggi. Namun karena 

dia berada dalam keadaan kaget serta 

gugup, lagipula dalam menyerang tadi 

Mahesa Kelud mempergunakan jurus yang 

hebat dari ilmu "Dewi Pedang Delapan 

Penjura Angin" yakni jurus yang dinamakan 

"kitiran dewi memapas puncak gunung" maka 

mana sanggup murid Niliman Toteng 

tersebut selamatkan nyawanya!

Dengan cepat Mahesa Kelud melompat ke 

tempat tidur dan melepaskan totokan di 

tubuh kekasihnya. Kedua mata Wulansari 

nampak berkaca-kaca karena gembira dan 

terharu melihat bagaimana pemuda 

kecintaannya sendiri yang melepaskannya 

dari bahaya yang luar biasa terkutuknya 

itu! Dipeluknya Mahesa Kelud erat-erat.

"Wulan, mari kita keluar dari sini 

dan buat perhitungan dengan setan 

perempuan itu!"

"Ya, kita harus cari dia dan bikin 

mampus karena pedang merahku juga telah


dirampasnya!"

"Apa?!" terkejut sekali Mahesa 

mendengar keterangan kekasihnya itu.

Keduanya segera melompat ke atas 

atap.

* * *

DELAPAN



Niliman Toteng tutup mulutnya yang 

sedang bicara ketika mendengar suara 

Wulansari di samping kirinya. 

"Perempuan Iblis! jika kau benar-

benar punya nyali dan sakti, mari kita 

bertempur sampai seribu jurus tanpa 

mempergunakan ilmu yang kotor dan licik!"

Supitmantil, yang tengah bicara 

dengan Niliman Toteng, pura-pura 

terkejut. Niliman Toteng sendiri juga 

terkejut tapi dapat menyembunyikan rasa 

terkejutnya itu!

Niliman Toteng tertawa. "Hem... 

rupanya ada tikus kepala hitam yang 

bebaskan kau sehingga kau kini bisa 

pentang mulut huh?!"

"Perempuan keparat! Jangan banyak 

bacot! Kau takut menerima tantanganku?!" 

bentak Wulansari.

Kedua alis mata Niliman Toteng tampak 

menjadi naik. Kemudian didengarnya pula 

Mahesa Kelud berkata mengejeknya. "Wulan, 

aku pernah dengar tentang riwayat 

perempuan tua buruk ini! Dia seorang 

pelarian dari Blambangan, persis sama 

seperti adiknya si Waranganaya Toteng!


Orang mengatakan bahwa dia lari 

meninggalkan Blambangan karena terjadi 

perpecahan diantara orang-orang pandai di 

sana. Tapi kau tahu hal yang sebenarnya? 

Setan tua ini tak lain melarikan diri 

karena kehilangan muka, dikalahkan oleh 

beberapa orang muda seperti kita yang 

dianggapnya tikus kepala hitam! Datang ke 

sini dia berhasil jual lagak! Buktinya 

dia tak punya nyali melayanimu secara 

jujur tanpa ilmu busuk licik itu!"

Muka Niliman Toteng jadi mengkerut 

karena mendengar ejekan tajam itu. 

Hidungnya yang bengkok semakin tambah 

bengkok! "Pemuda mulut besar! Kau murid 

siluman dari gunung manakah yang berani 

mengejek aku. Sudah bosan hidup, ya?!"

Mahesa Kelud tertawa sinis. "Jika kau 

anggap guruku seorang siluman, maka kau 

tentunya nenek moyang siluman! Tapi dari 

jenis yang pengecut! Menghadapi tantangan 

adik seperguruanku saja kau sudah 

mengkerut!"

Di sampingnya, Supitmantil berbisik 

pada Niliman Toteng. "Hati-hati, Niliman. 

Pemuda ini lebih berbahaya dari gadis 

itu."

"Baiklah, biar kubikin lumat tubuh 

keduanya!" kata Si Iblis Jangkung seraya 

maju ke muka.

"Eh, tunggu dulu Iblis Jangkung!" 

kata Mahesa Kelud sambil angkat tangan 

kirinya. Dari tangan itu keluar angin 

yang menyambar ke arah Niliman Toteng, 

padahal gerakan tangan tersebut demikian 

pelahan!

"Pemuda banyak bacot! Apalagi


maumu?!" bentak Niliman Toteng penuh 

geram dan hentikan langkahnya.

"Aku tidak yakin kau akan melayani 

adik seperguruanku dengan jujur sebelum 

kau kembalikan pedang merahnya!" kata 

Mahesa Kelud.

"Soal pedang soal kemudian!" jawab 

Niliman Toteng.

"Kalau begitu..." ujar Wulansari, 

"Siapa sudi berkelahi dengan maling tua!"

Niliman Toteng menggereng menahan 

amarahnya yang sudah tak terkendalikan. 

Dari balik jubah merahnya dikeluarkannya 

pedang Wulansari.

"Ini, ambillah pedangmu kembaii!" 

kata perempuan jangkung itu. Lemparan 

yang dilakukannya bukan lemparan biasa 

karena pedang tersebut melesat laksana 

anak panah lepas dari busur dengan mata 

pedang mengarah ke dada Wulansari! Jika 

orang berilmu kepalang tanggung pasti 

akan kena celaka bila coba menyambut 

senjata tersebut. Namun dengan sikap acuh 

tak acuh si gadis gerakkan tubuhnya ke 

samping. Tangan kanannya bergerak dan 

tahu-tahu hulu pedang sudah berada dalam 

genggamannya!

"Bagus!" Memuji Si Iblis Jangkung. 

Serentak dengan itu dia keluarkan 

stagennya dari balik jubah dan menyerbu 

Wulansari! Meski cuma sehelai stagen 

namun keampuhannya luar biasa. Ujung dari 

benda ini bisa dipakai untuk menotok, 

memukul mata sampai buta atau mematakan 

tulang-tulang dada dan iga! Belitannya 

dapat mematahkan tulang pinggang atau 

meremukkan tulang leher!


Mahesa Kelud dapat melihat bagaimana 

gerakan-gerakan yang dibuat oleh Niliman 

Toteng sangat gesit, cepat laksana kilat 

dan berbahaya sekali. Stagen merahnya 

meliuk-liuk laksana seekor ular piton dan 

adakalanya seperti sebuah cambuk yang 

dipukuikan dan mengeluarkan suara 

menggelegar! Untuk beberapa lamanya 

Wulansari hanya bisa bertahan. Ketika 

gadis ini mulai mengeluarkan jurus-jurus 

menengah dari ilmu "Dewi Pedang Delapan 

Penjura Angin," maka setiap serangan 

Niliman Toteng menjadi gagal buyar dan 

ngelantur sama sekali. Betapapun 

perempuan tua ini mempercepat gerakannya 

namun sia-sia saja. Tak bisa dia mendesak 

Wulansari, malahan keadaannya jurus demi 

jurus semakin kepepet! Pedang merah 

merambas dan membabat kian kemari! 

Serangan-serangan yang dilancarkan 

Wulansari cepat serta banyak sekali 

perubahannya. Dalam satu tusukan hebat 

senjata itu sampai berubah arah dua tiga 

kali sehingga sukar diduga bagian tubuh 

yang mana dari Niliman Toteng yang 

diserang! Seumur hidupnya baru kali ini 

perempuan tua kawakan itu menghadapi ilmu 

pedang yang demikian anehnya dan 

berbahaya!

Dalam satu gebrakan yang hebat tiba-

tiba: 

"Breet"! 

Jubah merah di bagian dada Niliman 

Toteng robek besar dimakan ujung pedang. 

Perempuan tua ini keluarkan seruan 

tertahan. Keringat dingin memercik di 

tengkuknya. Cepat-cepat dia kerahkan


tenaga dalamnya untuk menolak hawa panas 

yang terasa bersarang di dadanya! 

Penasaran perempuan iblis ini kemudian 

kerahkan tenaga bathinnya. Mulutnya komat 

kamit terpencong-pencong! Jelas sudah 

bahwa Niliman Toteng tengah membaca

mantera-mantera sihir untuk memukul 

lawannya yang tak sanggup dihadapinya 

secara jujur itu!

"Ha... ha! Anak ingusan hendak 

mempermainkan aku?! Rebah! Kau harus 

rebah! Harus! Ayo rebah!"

Suara Niliman Toteng yang diiringi 

dengan tenaga ilmu hitamnya masuk 

memukul-mukul lubang telinga Wulansari, 

menguasai otak serta menanarkan 

pemandangannya.

"Rebah! Kau harus rebah....! Lihat 

aku, rebah!" Kedua lutut Wulansari 

melipat.

"Wulan! Jangan pandang dia!" seru Ma-

hesa Kelud dengan kerahkan tenaga dalam-

nya. "Dia tengah menyihirmu!"

Wulansari sendiri segera maklum bahwa

lawan tengah berlaku licik terhadapnya. 

Dia memandang kejurusan lain sambil 

kerahkan tenaga dalam menolak sihiran 

Niliman Toteng! Bersamaan dengan itu dari 

hulu pedang mustika sakti yang 

dipegangnya keluar hawa panas yang sama-

sama menolak dan memusnahkan pengaruh si-

hir Si Iblis Jangkung! Sesaat kemudian 

kelihatanlah bagaimana tubuh Wulansari 

berkelebat cepat dan dengan ganas kembaii 

mengirimkan serangan bertubi-tubi ke arah 

Niliman Toteng!

Melihat bagaimana ilmu sihirnya tiada


mempan dan tidak sanggup merobohkan la-

wannya bukan main geram dan penasaran se-

kali Niliman Toteng! Tangan kirinya 

bergerak. Kemudian dengan satu teriakan 

peringatan dia melemparkan senjata 

rahasianya berupa jarum-jarum beracun 

yang sangat berbahaya sekali.

"Awas jarum!"

Puluhan jarum berkilauan menyambar ke 

arah Wulansari. Gadis ini putar pedangnya 

di muka dada dan semua senjata rahasia 

Niliman Toteng dibikin mental!

"Keparat!" maki Si Iblis Jangkung 

dalam hatinya. Dia kembaii di desak hebat 

sampai akhirnya bahu kirinya kena 

tersambar ujung pedang. Jubahnya robek 

sedang daging bahunya terkelupas! 

Disamping rasa sakit Niliman Toteng 

merasakan pula bagaimana dari lukanya itu 

menjalar hawa panas menggidikkan! 

Perempuan ini cepat-cepat kerahkan tenaga 

dalamnya yang disertai bacaan mentera-

mantera hingga akhirnya hawa panas itu 

tertolak juga sesudahnya terjadi 

pergumulan seru dalam tubuh Niliman 

Toteng. Jika saja Niliman bukan seorang 

berilmu sangat tinggi, ketika pergumulan 

antara hawa panas dari pedang Wulansari 

dengan tenaga dalamnya, pasti tubuhnya 

akan kelojotan dan mampus seperti yang 

terjadi dengan Si Setan Puntung 

sebelumnya!

Jago tua ini benar-benar kehilangan 

muka. Tanpa malu-malu dia berteriak pada 

Supitmantil. 

"Supit jangan menonton saja! Bantu 

aku!"


Untuk tidak menimbulkan kecurigaan 

orang tua itu maka Supitmantil segera 

cabut kerisnya yang memancarkan sinar 

biru. Senjata ini adalah sebuah mustika 

sakti. Ketika dia maju ke dalam kalangan 

pertempuran maka Mahesa Kelud segera 

memapakinya dengan pedang merah di 

tangan. Kini terjadilah pertempuran yang 

seru di antara kedua anak muda itu. Walau 

bagaimanapun ampuhnya keris di tangan 

Supitmantil namun pedang sakti Mahesa 

Kelud belum dapat ditandinginya. 

Supitmantil sendiri tidak berani beradu 

senjata, disamping itu pertempurannya

melawan Mahesa Kelud dilakukannya dengan 

setengah hati pula! Dengan mengandalkan 

kegesitan yang luar biasa pemuda ini 

masih sanggup membendung serta 

mengelakkan setiap serangan Mahesa Kelud. 

Tapi itu tidak bisa lama dilakukannya. 

Kalau saat itu tidak segera datang kira-

kira setengah lusin orang-orang jago 

kelas tiga, pendekar-pendekar istana, 

mungkin Supitmantil sudah kena dilukai!

Datangnya jago-jago kelas tiga istana 

ini merupakan lawan berat bagi Mahesa 

Kelud serta Wulansari meski mereka 

memiliki sepasang pedang sakti. Mereka 

bisa bertahan sampai ratusan jurus 

sekalipun, tapi selain membuang waktu dan 

menghabiskan tenaga saja maka semua itu 

tak ada gunanya!

Sambil mendekati kekasihnya, Mahesa 

Kelud memberi isyarat untuk lari. 

Diiringi dengan bentakan tinggi dari 

Mahesa Kelud serta lengkingan dahsyat 

dari Wulansari maka kedua orang itupun


putar tubuh, melompati tembok gedung. 

Iblis Jangkung dan beberapa orang lainnya 

segera lemparkan senjata rahasia masing-

masing! Dengan putar pedang sakti mereka 

di belakang tubuh semua senjata rahasia 

itu bermentalan! Mahesa Kelud dan 

Wulansari kemudian membalas serangan 

senjata rahasia tersebut dengan pasir 

panas merah. Sebelum berlalu mereka masih 

sempat mendengar suara pekikan beberapa 

orang yang tubuhnya kena dihantam pasir 

panas! Mereka tidak menduga kalau dua 

muda mudi itu memiliki senjata rahasia 

pula dan di malam yang begitu pekat 

butiran-butiran pasir yang demikian 

kecilnya siapa sanggup melihatnya!

Niliman Toteng segera meninggalkan 

tempat itu menuju ke kamarnya di belakang 

gedung. Dia menuju ke sini bukan saja 

untuk bersemedi guna mengatur jalan darah 

dan pernafasan serta mengobati lukanya, 

tapi juga untuk menghindarkan orang-orang 

di luar sana yang tak sanggup 

dipandangnya karena malu! Namanya sebagai 

jago tua yang disegani seluruh orang 

sakti di kotaraja pasti akan luntur! Ke 

mana mukanya hendak dihadapkan! 

Supitmantil sendiri sesudah Niliman 

Toteng mengunci diri dalam kamar segera 

tinggalkan gedung tersebut.

Gedung hartawan itu untuk beberapa 

lamanya diliputi kesunyian seperti tak 

ada terjadi apa-apa sebelumnya! Tapi 

ketika pelayan menemui mayat tanpa kepala 

Prajakuncara, maka heboh dan hiruk 

pikuklah seluruh isi gedung tersebut!


* * *

Kedua muda-muda itu menuju ke pondok 

di luar kotaraja. Wulansari terkejut 

ketika melihat di dalam pondok itu ada 

seorang gadis cantik jelita, duduk di 

balai-balai kayu. Pakaiannya bagus sekali 

menandakan bahwa dia adalah anak seorang 

berpangkat atau bangsawan kaya raya!

Retno sendiri terkejut pula melihat 

Mahesa Kelud kembaii bersama seorang 

gadis remaja berpakaian kuning dan 

berparas cantik!

"Siapa dia, Mahesa?" tanya Wulansari.

"Dia adalah puteri Suto Nyamat...."

"Puteri Suto Nyamat?! Kalau begitu 

dia harus mampus!" Wulansari mencabut 

pedangnya.

"Wulan! Tahan!" seru Mahesa Kelud 

seraya pegang pergelangan tangan 

kekasihnya!

Wulansari jadi heran dan penasaran 

sekali melihat perbuatan Mahesa Kelud. 

"Mahesa," katanya, "Apa kau lupa manusia 

ini adalah anak musuh besar kita, yang 

telah membunuh ibu serta ayah dan guru?! 

Kau lupa?!"

"Aku tidak lupa, Wulan... masukkan 

pedangmu kembali," kata Mahesa.

Gadis itu merengut. Tapi dia mematuhi 

juga perintah kekasihnya, meski hatinya 

tidak senang sama sekali!

"Wulan, dia memang puteri musuh besar 

kita! Tapi dia tidak berdosa apa-apa dan 

tidak ada sangkut pautnya dengan segala 

kejahatan yang dibuat ayahnya!"

"Tapi dia cukup pantas untuk


menanggung dosa ayahnya!" tukas Wulansari 

tajam.

Mahesa Kelud gelengkan kepala. “Tidak 

Wulan, jika ayahnya bersalah kita tak 

bisa salahkan anaknya. Tapi sebaliknya 

jika anaknya bersalah mungkin kita bisa 

salahkan ayahnya...."

Wulansari tambah penasaran melihat 

sikap dan mendengar kata-kata kekasihnya 

itu. Rasa cemburu segera menjalari 

dirinya terutama ketika dia menyadari 

bahwa anak gadis Suto Nyamat itu memang 

lebih cantik dari dia!

"Siapa namamu?!" tanya Wulansari 

dengan membentak serat kasar.

Retno tak menjawab. Diam-diam dia 

penasaran diperlakukan seperti itu dan 

diam-diam entah mengapa dia merasa benci 

sekali pada Wulansari!

"Kau tak mau menjawab? Minta ditampar 

hah?!" hardik Wulansari.

Air muka Retno merah padam. "Saudari, 

walau bagaimanapun aku adalah manusia 

yang punya harga diri, mungkin lebih 

berharga dari kau! Karena itu tak usah 

menanya dengan membentak. Jika kau mau 

bunuh aku, silahkan! Aku tidak takut 

mati!"

Wulansari jadi naik pitam. Tangannya 

bergerak untuk menampar muka Retno tapi 

lagi-lagi niatnya itu dihalangi oleh 

Mahesa Kelud! Wulansari berpaling dan 

memandang beringas pada kekasihnya. Belum 

pernah Mahesa Kelud melihat gadis itu 

memandang demikian rupa. Tiba-tiba 

Wulansari merenggutkan lengannya dari 

pegangan Mahesa dan lari keluar!


Mahesa Kelud menyusul. Didapatinya 

kekasihnya berdiri menangis dan menutupi 

mukanya dengan kedua tangan. Pemuda itu 

memegang bahu kekasihnya. "Wulan, 

dengarlah..." katanya.

Wulan menggerakkan tubuhnya sehingga 

pegangan kekasihnya terlepas. "Mengapa 

kau ke sini?! Sudah saja di dalam sana! 

Kau membela gadis itu! Belalah terus! 

Pergi sana!"

"Wulan, dengar...."

"Aku tidak mau dengar!"

"Aku tidak membelanya, Wulan."

"Memang tidak, cuma menolongnya! Dia 

lebih cantik dariku, pergilah ke sana! 

Pergi!"

Bergetar tubuh Mahesa Kelud mendengar 

kata-kata itu. Namun dengan tenang dia 

bertanya: "Kau cemburu, adik?!"

"Aku bukan adikmu lagi, Mahesa! Kau 

telah bersekutu dengan puteri musuhku! 

Dia adikmu yang baru!"

Mahesa memutar tubuh gadis itu. 

Ketika berhadapan-hadapan Wulansari yang 

sudah mata gelap dan tak sanggup lagi 

menahan segala kekesalan yang menyesakkan 

dadanya, tanpa disadari memukul mendorong 

Mahesa Kelud sehingga pemuda itu terjajar 

ke belakang!

Mahesa Kelud merasa sedih dan kecewa 

sekali atas sikap tindakan Wulansari itu. 

Dengan langkah gontai ditinggalkannya 

tempat itu. Hatinya murung, pikirannya 

kacau balau. Musuh besar masih 

bersembunyi dan antara dia dengan 

Wulansari terjadi perbantahan yang 

seharusnya tidak boleh terjadi! Apakah


yang akan dilakukan sekarang? Sementara 

malam sudah larut begitu? Langkahnya 

dihentikannya di muka pintu. Di luar sana 

didengarnya Wulansari menangis dan di 

dalam pondok didengarnya pula tangisan 

Retno.

Akhirnya pemuda ini memutar tubuhnya 

dan melangkah meninggalkan tempat itu, 

tak tahu harus pergi ke mana. Dia 

berjalan sipembawa kakinya!

* * *

SEMBILAN



Tanpa disadarinya pemuda ini sampai 

di tepi sebuah anak sungai. Langkahnya 

terhenti waktu kakinya terpeleset di 

tebing sungai. Dia terduduk di tanah 

beberapa lamanya, kemudian berdiri dengan 

perlahan dan melangkah menuju ke sebuah 

batu besar di sebelah sana. Dia duduk di 

atas batu ini, bersila. Kedua matanya 

dipejamkan. Sukar baginya untuk mulai 

bersemedi karena hatinya masih kecewa, 

sedih dan seperti diiris-iris. Karena 

pikirannya kacau balau sukar dipusatkan 

dan karena telinganya seakan-akan masih 

mendengar kata-kata bentakan 

Wulansari.... Kau membela gadis itu... 

belalah terus.... Pergi sana! Aku tidak 

mau dengar... dia lebih cantik dariku, 

pergi kepadanya... pergi!" Dan apa yang 

lebih memedihkan hati pemuda ini ialah 

ketika Wulansari berkata: "Aku bukan


adikmu lagi, Mahesa! Kau telah bersekutu 

dengan puteri musuhku! Dia adikmu yang 

baru!"

"Wulan..." kata Mahesa dalam hatinya. 

"Dari pada kau bicara demikian, lebih 

baik tetakkan pedangmu di kepalaku. Bunuh 

aku! Rasanya itu lebih baik!" Pemuda ini 

menarik nafas dalam. Seperempat jam 

kemudian baru dia dapat memusatkan 

pikirannya dan menutup kelima panca

inderanya, mulai bersemedi.

Gadis itu tidak tahu berapa lama dia 

berdiri menangis seperti itu. Disekanya 

muka serta matanya dengan selendang 

kuning pengikat pinggang pakaiannya. Dia 

memandang berkeliling. Tak terlihat 

Mahesa Kelud. Hanya kegelapan yang ada di 

sekelilingnya. Dirapikannya letak rambut 

serta pakaiannya, disekanya mukanya 

sekali lagi lalu melangkah ke pintu 

pondok yang terbuka sedikit. Pintu 

didorongnya dan mengeluarkan suara 

berkereketan menyebabkan Retno yang saat 

itu masih duduk terisak-isak ditepi 

balai-balai kayu mengangkat kepalanya.

Untuk beberapa detik lamanya 

pandangan kedua gadis ini saling beradu. 

Kemudian Retno cepat-cepat memutar kepala 

berpaiing ke jurusan lain. Nenek-nenek 

pemiiik pondok tersebut duduk di bagian 

lain dari balai-balai kayu tertidur ayam. 

Kedua matanya membuka sedikit dan 

mengikuti Wulansari yang melangkah di 

hadapannya. Di hadapan pintu sebuah kamar 

Wulansari berhenti. Di dalam kamar ini 

ada sebuah tempat tidur juga dari kayu. 

Tempat tidur itu kosong, seluruh kamar


kosong tak ada manusia. Pemuda yang 

dicarinya tak ada di sana. Wulansari 

menuju ke belakang di mana terletak dapur 

sempit yang perabotannya hanya sebuah 

tungku besi yang sudah sumbing dan panci 

kaleng yang bocor! Juga di sini tidak 

ditemuinya pemuda itu. Ketika dia 

melewati bagian muka dari pondok, ingin 

sekali dia menanyakan pada si nenek di 

mana adanya Mahesa Kelud. Tapi niat 

tersebut dibatalnya. Dia melangkah terus, 

keluar dari pondok dan kembaii ke gelapan 

malam serta udara dingin sembilu 

menyambutnya.

Matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya 

turun naik dan dia mulai terisak-isak. 

Kemarah-annya telah mereda dan jauh di 

lubuk hatinya kini terasalah penyesalan 

yang menyesakkan rongga-rongga 

pernafasannya. Dia ingat betapa dia telah 

bicara kasar terhadap kekasihnya itu!

Telah membentak bahkan memukulnya. 

Semuanya itu dilakukannya karena marah 

yang tidak beralasan, karena cemburu buta 

terhadap anak gadis Suto Nyamat!

Dalam hati sedih penuh penyesalan 

itu, dengan air mata mengalir membasahi 

kedua pipinya, dia melangkah perlahan. 

Dia tak tahu di mana Mahesa Kelud berada, 

entah masih di sekitar situ, entah sudah 

pergi jauh meninggalkannya dan tak 

kembali lagi.

"Mahesa..." rintih gadis ini dalam 

hatinya. Dia melangkah terus, kadang-

kadang terhuyung atau tersandung. Dia 

melangkah, dan dia menangis. Di manakah 

kekasihnya... dapatkah Mahesa memaafkan


segala tindak lakunya yang kasar tadi? 

Kalau saja pemuda itu ada di hadapannya 

saat ini, maulah dia berlutut memagut 

kedua kaki Mahesa Kelud dan menangis. 

Tapi Mahesa tidak ada, Entah di mana....

Seperti Mahesa Kelud tadi, Wulansari 

pun dalam ketidak sadarannya melangkah 

sepembawa kakinya hingga akhirnya sampai 

pula di tepi sungai, di bagian yang tidak 

berapa jauh dari tempat di mana Mahesa 

Kelud duduk bersemedi. Wulansari duduk di 

atas batang pohon kayu tumbang. Menutup 

mukanya dengan kedua tangannya dan 

menangis, sejadi-jadi sepuas-puas 

hatinya. Jika saja Mahesa Kelud tidak 

tengah bersemedi, pasti pemuda ini dapat 

mendengar tangis kekasihnya itu!

Tak berapa lama lagi hari akan pagi, 

matahari akan segera terbit. Dari 

pedesaan telah terdengar kokok ayam 

bersahut-sahutan. Perlahan-lahan Mahesa 

Kelud membuka semua panca indera yang 

tadi ditutupnya ketika bersemedi. Meski 

tubuhnya kini segar namun kepedihan hati 

yang begitu mendalam masih belum dapat 

dihilangkannya. Mendadak, lapat-lapat ia 

dengar seorang perempuan yang tengah 

menangis ini, tangisnya demikian sedih 

menusuk perasaan, membuat bertambah

perihnya luka dihati si pemuda.

Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri 

dan meninggalkan tempat itu, menuju ke 

arah datangnya suara tangisan. Samar-

samar dalam kegelapan dilihatnya sosok 

tubuh duduk di atas batang kayu di tepi 

sungai, membelakanginya. Langkahnya serta 

merta terhenti ketika pemuda ini


mengenali siapa adanya orang tersebut.

Satu pergolakan terjadi dalam 

dadanya. Pergolakan antara rasa kasih 

sayang dan kasihan dengan rasa kekecewaan

dan kelukaan hati! Pemuda ini termangu 

sejurus. Rasa kasih sayang dikalahkan 

oleh rasa kekecewaan. Rasa iba dikalahkan 

oleh kelukaan hati yang amat sangat. 

Pemuda ini segera putar tubuhnya namun 

kakinya menginjak sebatang ranting 

kering! Suara patahan ranting terdengar 

jelas dan keras dalam kesunyian itu. 

Orang yang sedang menangis memutar tubuh!

"Mahesa!"

Betapapun, kerasnya hati, namun 

seruan itu, suara itu membuat mau tak mau 

Mahesa Kelud menghentikan langkahnya. 

Wulansari menjatuhkan dirinya di hadapan 

pemuda itu, memeluk kakinya dan menangis 

tersedu-sedu. Mahesa merasakan butiran-

butiran air mata hangat membasahi 

kakinya.

"Mahesa... Mahesa..." ratap 

Wulansari. Hati yang tadi keras, hati 

yang tadi begitu kecewa dan sedih, hati 

yang tadi demikian lukanya, kini seperti 

diguyur air dingin sejuk. Kalau tadi 

Mahesa Kelud mengangkat kepalanya tinggi-

tinggi, memandang ke arah kejauhan, maka 

kini perlahan-lahan kepala itu 

diturunkannya.

"Wulan..." bergetar suara pemuda ini 

ketika menyebut nama kekasihnya. 

"Berdirilah," katanya.

"Kau... kau maafkan aku, Mahesa...?" 

sedu Wulansari.

"Tak ada yang harus dimaafkan,


Wulan."

"Ada, aku salah. Aku bersalah besar 

terhadapmu, Mahesa. Aku berdosa besar!"

"Tak ada kesalahan yang kau buat, 

adik. Tak ada dosa yang kau lakukan. 

Berdirilah."

"Tidak Mahesa, aku merasa bersalah 

dan berdosa meski kau anggap itu semua 

tidak ada. Maafkan dulu aku, Mahesa, 

maafkan dulu adikmu ini, baru aku 

berdiri...."

"Aku maafkan kau Wulan. 

Berdirilah...." Gadis itu berdiri. 

Dipeluknya tubuh Mahesa, disembunyikannya 

kepalanya di dada yang bidang itu. Dia 

masih menangis tapi bukan menangis karena 

sedih, sebaliknya kini menangis gembira!

Mahesa Kelud membelai rambut kekasih-

nya. Kemudian disekanya pipi yang basah 

dengan air mata itu, bahkan dengan penuh 

kasih sayang diciumnya kedua mata yang 

bening berkilauan oleh air mata itu. 

Wulansari tersenyum. Betapa indahnya 

senyum itu, lebih indah rasanya dari yang 

dulu-dulu.

"Wulan, mari kita pergi dari sini..." 

kata Mahesa. Keduanya meninggalkan tempat 

itu, menuju ke pondok. Beberapa tombak 

dari pondok tersebut Mahesa menghentikan 

langkahnya.

"Kau tunggu di sini saja, Wulan."

"Kau mau ke mana, Mahesa...."

"Menemui gadis itu untuk menerangkan 

kepadanya bahwa bila pagi tiba dia bisa 

kembaii ke kotaraja, ke gedung ayahnya."

"Kau tak boleh temui dia, Mahesa. Aku 

benci padanya."


"Aku memaklumi, Wulan.... Kalau 

begitu kaulah yang pergi."

Gadis itu gelengkan kepalanya. 

"Sudah, pergilah...."

"Kau tidak marah...?"

"Tidak."

"Kau tidak cemburu?"

Wulan mencubit lengan Mahesa Kelud. 

Sambil mengusap tangannya yang sakit 

pemuda itu menuju ke pondok. Tak lama 

kemudian dia kembaii mendapatkan 

kekasihnya. "Gadis itu sudah tidur. Aku 

bicara dengan nenek pemiiik pondok. Kau 

marah dan cemburu aku bicara padanya?" 

tanya Mahesa menggoda.

Wulansari mengulurkan tangan kanannya 

dan tahu-tahu telinga kiri Mahesa Kelud 

terjewer keras hingga pemuda ini mengaduh 

ke-sakitan!

"Ampun, tipu ilmu mana yang kau 

pergunakan untuk menjewer telingaku ini, 

Wulan?!"

"Itu namanya tipu gadis manis 

menjewer pemuda ceriwis!" kata Wulansari 

pula sambil tertawa cekikikan.

Mau tak mau Mahesa juga jadi ikut 

tertawa gelak-geiak. Tapi dia tidak 

tinggal diam. Tiba-tiba tangan kirinya 

meraih pinggang gadis itu dan tahu-tahu 

tubuh Wulansari sudah berada di atas bahu 

kirinya untuk kemudian dibawanya lari 

secepat-cepatnya.

"Hai! Kau mau culik aku kemana?!" 

teriak Wulansari. "Lepaskan! Ayo turunkan 

aku!"

"Ha... ha... ha!" bergelak Mahesa 

Kelud. "Ini namanya tipu pemuda ceriwis


menculik pacar genit!"

Wulansari selinapkan tangan kirinya 

di belakang kepala Mahesa. Begitu jari-

jarinya berhasil menangkap daun telinga 

pemuda itu maka segera dipuntir 

dijewernya.

Mahesa terpekik kesakitan tapi dia 

lari terus walau termiring-miring. Betapa 

mesranya ke dua insan itu walau kadang-

kadang kemesraan itu disingkapkan dalam 

cara dan keadaan aneh dan lucu.


                          TAMAT


Segera menyusul!!!


MAHESA KELUD 

PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS

Dengan judul :


LUTUNG GILA



Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar