MENGGEBRAK KOTARAJA
Oleh : Bastian Tito
Hak Cipta Dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau
Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Bastian Tito
Serial Mahesa Kelud
Pedang Sakti Keris Ular Emas
Dalam Episode :
Menggebrak Kotaraja
SATU
Matahari baru saja muncul di ufuk
timur. Sinarnya masih merah kekuningan.
Dia sampai ke sebuah sungai kecil dan
berhenti di sana. Alangkah menyegarkan
udara pagi di tepi sungai tersebut.
Sungai berair jernih serta dangkal.
Timbullah niat di hati gadis ini untuk
turun mandi membersihkan diri. Dia
memandang berkeliling. Memang tak ada
dilihatnya seorangpun di sekitar sana.
Tapi bagian tepi sungai itu kelewat
terbuka. Dia melangkah menyusuri tepi
sungai itu kelewat terbuka. Dia menyusuri
tepi sungai menuju ke hilir. Di satu
bagian sungai yang banyak ditumbuhi
pohon-pohon serta semak belukar lebat dia
menghentikan langkah. Di sini adalah
tempat yang baik untuk mandi karena sepi
serta kelindungan.
Ditinggikannya ikatan rambutnya yang
hitam lebih ke atas kepala. Kemudian dia
melangkah ke balik semak belukar dekat
pohon keladi besar. Di sini gadis
tersebut membuka pakaian luarnya yang
berwarna kuning. Pakaian ini dibuat
seperti pakaian laki-laki yaitu celana
panjang serta baju lengan panjang yang
diikat dengan sehelai selendang warna
kuning pula pada pinggangnya.
Pakaian kuning itu dihamparkannya di
atas semak-semak kemudian dia mulai
memasukkan kakinya satu demi satu ke
dalam air sungai. Dingin. Dia agak
menggigil. Tapi diteruskannya juga
membuka pakaian dalamnya. Kini gadis itu
berada dalam keadaan sebagaimana dia
dahulu dilahirkan oleh ibunya ke dunia
yakni tanpa pakaian. Dipandanginya
tubuhnya itu. Sinar matahari yang jatuh
dibadannya seakan-akan membuat kulit
badannya yang kuning mulus itu seperti
bercahaya. Dia bangga memiliki tubuh
begitu indah, yang masih suci dan belum
pernah disentuh atau dijamah satu tangan
laki-laki pun, juga belum oleh kekasihnya
yang tercinta!
Gadis ini melemparkan pakaian
dalamnya ke bawah semak-semak di mana
baju dan celana kuningnya tadi
dihamparkannya. Kemudian dia melangkah
ketengah air naik sebatas lutut, terus
kepaha dan sampai di pinggang. Di atas
permukaan air hanya tubuh sebatas ping-
gang ke ataslah kini yang terlihat. Gadis
ini menyeka dadanya, mulai mandi
membersihkan diri. Sambil mandi dia
bernyanyi-nyanyi kecil. Suara nyanyiannya
ditingkahi oleh kicauan burung-burung
yang baru keluar dari sarang masing-
masing. Binatang-binatang itu seakan-akan
gembira menyambut datangnya pagi dengan
menyaksikan seorang gadis berparas
cantik, tanpa pakaian, tengah mandi di
sungai jernih. Kalau saja burung-burung
ini mempunyai akal seperti manusia dan
melihat seorang gadis dalam keadaan
seperti itu mungkin mereka akan menyesali
diri, mengapa mereka diciptakan Tuhan
menjadi burung, bukan seorang pemuda,
bukan seorang laki-laki, bukan seorang
manusia, sehingga mereka bisa menikmati
pemandangan luar biasa di tengah sungai
sepagi itu! Tapi mereka tetap binatang,
tetap burung kecil yang tak tahu apa-apa,
yang tak akan perduli apa-apa meski
dihadapan mata mereka ada seorang gadis
berparas cantik jelita, berkulit halus
mulus, mandi telanjang di dalam sungai!
Gadis itu menyelamkan tubuhnya sampai
kekening untuk terakhir kali lalu menuju
ke tepian kembali. Naik ke daratan
tubuhnya terasa segar. Diambilnya pakaian
dalam yang baru dari buntalan kecil yang
dibawanya lalu cepat-cepat mengenakannya.
Kemudian di lekatkannya pula baju serta
celana kuningnya. Terakhir sekali
dibereskannya letak rambutnya dan sesudah
itu cepat-cepat ia meninggalkan sungai
tersebut.
Ketika dia berada di puncak bukit
kecil itu, dibawahnya kelihatan sesosok
tubuh berpakaian kuning lari dengan
sangat cepat. Saat itu jaraknya dengan
manusia baju kuning tersebut terlalu jauh
sehingga dia tak dapat memastikan apakah
orang yang lari itu seorang laki-laki
atau perempuan, apakah orang tersebut
adalah orang yang tengah dicari-carinya
sejak hampir satu tahun yang lewat. Hati
Jaliteng berdebar keras, jantungnya
mendegup kencang. Kedua kakinya bergerak,
sesaat kemudian diapun lari menuruni
bukit tersebut mengejar si baju kuning di
bawah sana. Ilmu lari yang diajarkan
gurunya yang kedua yaitu Si Harimau
Betina ternyata tidak mengecewakan,
apalagi memang dari gurunya yang pertama
yakni Si Cakar Setan pemuda ini sudah
mendapat pelajaran ilmu lari pula. Ilmu
lari ajaran kedua guru tersebut
"digabungkannya" sehingga jadilah satu
ilmu lari yang hebat dan mengagumkan!
Meski demikian, untuk dapat mengejar
orang berbaju kuning di muka sana,
Jaliteng terpaksa mengeluarkan
banyaktenaga dan keringat serta
membutuhkan waktu agak lama juga karena
rupanya orang yang dikejarnya itu
memiliki pula ilmu lari yang lihay!
Pada jarak lima puluh tombak lebih
baru dia dapat mengenali orang yang
dikejarnya itu.
Tak sabaran lagi dia berteriak keras
penuh gembira:
"Wulan! Wulansari!"
Orang berbaju kuning di muka sana
memutar kepala dengan terkejut lalu
menghentikan langkah. Sesaat kemudian
Jaliteng sampai di hadapannya. Dan
masing-masing mereka sama berseru
gembira.
"Wulan!".
"Kakak!"
Kedua orang itu sama mengulurkan
tangan dan saling berangkulan. Sesaat
kemudian dengan kemalu-maluan serta paras
yang kemerahan Wulansari melepaskan
dirinya dari pelukan kakak
seperguruannya.
"Aduh Wulan, aku sudah sangat rindu
padamu. Kemana saja kau selama hampir
satu tahun belakangan ini?" tanya
Jaliteng.
"Mengembara" jawab Wulansari. "Dan
kau sendiri?"
Pemuda itu menuturkan riwayatnya.
Lalu: "Kau tambah cantik saja, Wulan."
"Ah, kakak bisa saja. Kau sendiri
tambah tampan dan gemukan..." balas
memuji Wulansari.
Jaliteng tertawa. Kedua matanya
senantiasa memandang tepat-tepat pada
gadis di hadapannya itu. Sesungguhnya
sudah sejak lama, sejak tahunan, sejak
mereka sama-sama diambil murid oleh Si
Cakar Setan, bahwasanya Jaliteng secara
diam-diam mencintai Wulansari. Karena
mereka masih berada dipertapaan saat itu
maka Jaliteng tak pernah menerangkan
secara terus terang perasaan hatinya.
Lagipula pikirannya dipusatkan pada
setiap ilmu pelajaran yang diberikan
gurunya kepadanya. Kini bertemu muka
berhadap-hadapan dan melihat bagaimana
Wulansari sudah jauh berbeda dari dahulu,
tambah cantik dan tambah mekar dewasa
tubuhnya maka dengan sendirinya kerinduan
selama ini kembaii bergejolak
menggelombang menimbulkan hawa asmara
yang berkobar!
"Adikku Wulan, kemanakah tujuanmu
saat ini?" tanya Jaliteng.
Gadis itu hendak menjawab bahwa dia
tengah dalam perjalanan kembaii menuju ke
goa gurunya Si Suara Tanpa Rupa karena
satu tahun sudah lewat dan waktu untuk
kembali sudah datang. Namun Wulan
memutuskan untuk merahasiakan hal
tersebut. Bukan dia tidak mau bicara
jujur pada kakak seperguruannya itu, tapi
karena ia kawatir apakah sang guru Suara
Tanpa Rupa, tidak akan marah bila
mengenai dirinya dikatakan pada lain
orang.
"Aku tengah mengembara" jawab
Wulansari pada akhirnya berdusta.
"Mengembara! Gadis secantikmu ini me-
ngembara dan sendirian pula!" Jaliteng
bertolak pinggang dan menggelengkan
kepalanya. "Apa kau tidak takut akan
bahaya, Wulan?"
"Mengapa aku takut kakak. Percuma
saja kalau begitu kita memiliki ilmu
kepandaian tinggi."
"Betul... betul. Tapi Wulan, jika kau
tak keberatan ikutlah bersamaku. Kita...
kita bisa membangun...." Pemuda itu tak
dapat meneruskan kalimatnya. Dia
memandang ke tanah.
"Membangun apa, kakak?" tanya
Wulansari.
"Maksudku... membangun... membangun
sebuah rumah... rumahmu dan rumahku...
sebuah rumah tangga Wulan...."
"Oh" Betapa terkejutnya gadis itu.
Parasnya merah sekali. Dia coba tersenyum
dan berkata: "Kau ini ada ada saja,
kakak. Masakan kau suka pada gadis
seburukku ini. Kan banyak yang jauh lebih
cantik...."
"Siapa bilang kau buruk Wulan? Kau
cantik, cantik sekali...."
"Ah, kau main-main kakak...."
"Tidak Wulan, tidak adikku. Aku
sungguhan. Aku sudah mengasihimu sejak
kita sama-sama menuntut pelajaran pada
guru dahulu...."
Wulansari menjadi gelisah. Sekujur
tubuhnya gemetar. Dia tahu Jaliteng
seorang pemuda berhati baik serta
parasnyapun gagah. Dia suka kepada pemuda
ini, suka sebagai seorang adik pada
kakaknya. Tapi untuk mencintai pemuda
ini, apalagi kawin dengan dia... itu
adalah satu hal yang jauh diluar
perkiraannya. Dia hanya punya satu hati
dan hatinya itu sudah diberikannya untuk
satu orang. Dia hanya punya satu rasa
kasih sayang yang jujur murni dan rasa
kasih sayang itu juga hanya untuk satu
orang yakni Mahesa Kelud! Dan kini
dihadapannya berdiri Jaliteng. Apakah
akan jawabnya?. Bagaimana dia harus
menolak dengan tidak mengecewakan serta
menyakiti hati pemuda ini?
"Kakak," kata Wulansari pada
akhirnya. "Kau ini seperti yang tidak
tahu saja siapa kita adanya. Bukankah
kita saudara seperguruan?"
"Lantas kalau saudara seperguruan
memangnya kenapa...?" tanya Jaliteng.
"Mana boleh kita berumah tangga"
jawab gadis itu.
"Siapa kata tidak boleh, Wulan? Tak
ada larangan. Baik larangan adat ataupun
agama."
Wulansari tahu bahwa apa yang
dikatakan Jaliteng tersebut adalah benar.
Kembaii gadis ini menjadi gelisah dan
terdesak. Otaknya berputar mencari akal.
Kemudian dia membuka mulutnya yang
mungil, berkata memutar pembicaraan.
"Kakak, apa kau tak tahu bahwa guru sudah
meninggal?"
"Aku tahu Wulan, justru
pengembaraanku adalah untuk mencari si
pembunuh di samping juga mencarimu."
"Dan kau sudah tahu siapa yang
membunuh beliau?" tanya Wulansari pula.
"Yang, seorang yang bernama Ma...."
Jaliteng tak bisa meneruskan
ucapannya karena pada saat itu dari
samping kiri terdengar langkah orang
berlari dan seruan keras.
"Wulan, adikku!"
Kedua orang itu terkejut. Mereka sama
ber-paling.
"Mahesa!" pekik Wulansari penuh
gembira ketika melihat dan mengenali
siapa adanya orang yang datang itu. Dia
berlari menyongsong dan memeluk
kekasihnya yang sudah sangat dirindui
itu, yang sudah satu tahun lamanya tak
pernah jumpa!
Bergetar sekujur tubuh Jaliteng,
mendidih darahnya dan meluap amarahnya
sampai ke kepala ketika melihat bagaimana
kedua orang itu berpelukan mesra,
bagaimana si pemuda mencium Wulansari
gadis yang dicintainya pada keningnya!
Ditambah pula Jaliteng segera mengenali
bahwa manusia itulah yang tengah dicari-
carinya. Mahesa Kelud! Orang yang
diketahuinya sebagai pembunuh gurunya!
"Wulansari! Menjauh dari manusia
itu!" kata Jaliteng dengan suara
menggeledek!
Mereka yang tengah berangkulan
terkejut dan memutar kepala masing-masing
memandang kepada Jaliteng. Wulansari
melihat bagaimana kakak seperguruannya
berdiri dengan sebatang tongkat besi di
tangan. Parasnya buas merah mengelam!
"Wulan! Menjauh kataku!" perintah
Jaliteng sekali lagi.
Perlahan-lahan Mahesa melepaskan
pelukannya. Dia bertanya: "Wulan, siapa
pemuda ini?"
"Dia adalah kakak seperguruanku,
Jaliteng."
Jaliteng maju dua langkah dan berkata
dengan membentak. "Wulan, sungguh menusuk
mata sekali apa yang kau lakukan di
hadapanku! Apakah kau tidak punya sopan-
santun dan peradaban! Apa kau sudah gila
memeluk manusia itu sedemikian rupa, di
hadapanku?! Minggir Wulan! Kau tidak tahu
bangsat inilah yang kucari-cari. Dia yang
membunuh guru kita!"
"Kakak," kata Wulansari cepat. "Kau
jangan salah sangka... Dia adalah Mahesa
Kelud...."
"Ya, memang itu namanya. Mahesa
Kelud! Pembunuh!"
"Tidak kakak, bukan dia yang membunuh
guru kita...."
"Bukan dia katamu?!" tanya Jaliteng
dengan mata membeliak.
"Betul bukan dia, tapi Warok Kate!"
"Ha... ha... pemuda ini tentu telah
menipumu, adikku! Menipu lalu
memperrnainkanmu!"
"Kakak, jangan bicara demikian...."
"Minggir!" bentak Jaliteng geram.
"Bukan dia yang membunuh guru kita!
Tapi Warok Kate. Percayalah. Aku akan
berikan keterangan lebih jelas jika kau
sudi...."
"Tutup mulutmu, Wulan! Kau berusaha
hendak melindungi pembunuh bejat ini?
Pembunuh gurumu sendiri?! Cukup bukti-
bukti bagiku bahwa dia memang manusianya
bahkan dia melarikan pedang Naga Kuning
milik mendiang guru!"
Sebenarnya dendam Jaliteng terhadap
Mahesa Kelud yang disangkanya sebagai
pembunuh gurunya meskipun demikian
besarnya namun maslih bisa baginya untuk
bicara dengan hati sabar serta kepala
dingin. Tapi apa yang membuat amarahnya
itu menggejolak ialah melihat bagaimana
Wulansari, gadis yang dikasihinya selama
bertahun-tahun, berpelukan dengan pemuda
musuh besarnya, di hadapan mata kepalanya
sendiri! Bahkan pemuda itu mencium si
gadis pada keningnya! Sesungguhnya,
bilamana dendam kesumat, amarah yang
meluap dan rasa cemburu sakit hati yang
amat sangat bercampur aduk menjadi satu,
maka memang sukar bagi seseorang untuk
diberi penjelasan, untuk berpikir secara
tenang dan hati sabar.
Demikianlah, tubuh Jaliteng menggigil
panas dingin. Dia maju satu langkah lagi
dan berdiri beberapa tornbak di hadapan
Mahesa Kelud.
"Bangsat rendah!" semprot Jaliteng.
"Dicari-cari tidak bertemu. Kini datang
sendiri mengantar nyawa!"
Mahesa Kelud yang sejak tadi diam
saja memperhatikan gerak-gerik Jaliteng
dan membiarkan saja dia dicaci-maki, kini
membuka mulut, bicara dengan tenang.
"Saudara, segala sesuatunya yang dimulai
dengan cara tidak baik serta kesusu dan
marah tak karuan, pasti akan tidak baik
pula akibatnya. Aku...."
"Keparat! Jangan pidato! Bersiaplah
untuk mampus!" serentak dengan itu
Jaliteng menerjang ke muka. Tongkat
besinya membabat ke kepala Mahesa Kelud.
"Kakak!" jerit Wulansari. "Tahan!
Jangan...!"
Tapi Jaliteng yang sudah tidak punya
hati kemanusiaan lagi dan sudah lenyap
pikiran sehatnya tidak mengacuhkan
teriakan adik seperguruannya itu. Malahan
teriakan itu membuat dia bertambah nekat
serta mendorongnya untuk cepat-cepat
memecahkan kepala Mahesa Kelud.
* * *
DUA
Mahesa telah melihat bahwa tongkat
besi di tangan Jaliteng bukan tongkat
sembarangan. Menurut taksirannya senjata
ini sekitar sepuluh sampai lima belas
kilo beratnya. Tapi Jaliteng memegang
senjata tersebut seperti memegang sebuah
tongkat dari kayu halus belaka dan ringan
sekali! Ini satu pertanda bahwa kakak
seperguruan kekasihnya itu di samping
dengan Si Cakar Setan tentu telah berguru
pula pada seorang sakti lainnya yang
lebih tinggi ilmu kepandaiannya dari Si
Cakar Setan. Karenanya Mahesa Kelud
bertindak hati-hati penuh waspada.
Pada saat tongkat besi Jaliteng
menyambar ganas ke kepalanya, Mahesa
Kelud dengan cepat melompat ke belakang.
Sementara itu Wulansari tiada hentinya
berteriak: "Kakak Jaliteng, tahan!
Hentikan semua ini! Bukan Mahesa yang
membunuh guru, tapi Warok Kate! Dan Warok
Kate aku sendiri yang membunuhnya!"
Ketika suaranya mulai parau dan Jaliteng
sama sekali tidak mengacuhkannya maka
gadis ini menangis terisak-isak. Dari
gerakan-gerakan kakak seperguruannya itu
dan dari senjata tongkat besi di
tangannya Wulan tahu bahwa kakak
seperguruannya itu sudah berguru pula
pada seorang sakti lainnya. Dia khawatir
kalau-kalau kekasihnya, Mahesa Kelud, tak
sanggup mempertahankan diri!
Tiga kali sudah serangannya dielakkan
dengan mudah oleh lawan. Ini membuat
Jaliteng jadi penasaran dan naik pitam.
Dia mengamuk. Tongkat besinya yang berat
bersiur kian ke-rnari mencari sasaran di
tubuh lawan. Untuk mengimbangi kehebatan
serangan senjata lawan Mahesa Kelud harus
bergerak cepat, berkelebat kian kemari!
Delapan jurus berlalu sangat cepat
Jaliteng geram sekali karena jangankan
berhasil memukul lawan bahkan mendesakpun
dia tidak bisa. Di lain pihak Wulansari
merasa lega melihat bahwa ilmu kepandaian
kekasihnya lebih tinggi dari pada Jali-
teng. Ini membuat dia tak perlu kawatir
Mahesa Kelud akan roboh atau kena celaka
oleh kakak seperguruannya.
Jaliteng merobah cara berkelahinya.
Kini tangan kirinya yang berkuku-kuku
panjang serta kedua kakinya kiri kanan
turut bekerja. Tapi meskipun demikian
untuk menghadapi Mahesa Kelud yang sudah
digembleng oleh beberapa orang sakti,
Jaliteng tetap berada di bawah angin.
Saudara seperguruan Wulansari ini mulai
terdesak ketika Mahesa mengeluarkan
jurus-jurus pukulan yang mengandung aji
"batu karang" Jaliteng dibuat repot.
Beberapa kali hampir saja dada atau
perutnya kena jotosan. Tongkat besinya
yang berat diputar semakin cepat laksana
titiran. Tak disangkanya musuh besar yang
dicapnya sebagai pembunuh gurunya
berkepandaian tinggi sekali!
Keringat dingin mulai mengucur di
tengkuk dan di kening Jaliteng. Lawannya
mendesak terus. Dia kepepet ke dekat
sebatang pohon, lalu dengan cepat
melompat ke samping seraya menghantamkan
tongkat besinya ke perut Mahesa Kelud.
Yang diserang memiringkan tubuh ke
samping. Begitu tongkat lewat, laksana
seekor ular yang tengah mematil Mahesa
melompat ke samping. Dari sini dia
melancarkan jotosan "batu karang" ke arah
sambungan siku lawan yang memegang
tongkat. Melihat ba-haya ini Jaliteng
segera melompat ke udara tapi sayang
kurang cepat! Di saat dia melompat ke
atas tubuh bagian bawahnya terbuka tiada
terlindung lagi. Ini satu peluang yang
bagus serta empuk bagi Mahesa. Tapi
mengingat lawannya saat itu adalah masih
saudara seperguruan Wulansari maka Mahesa
masih mempunyai hati belas kasihan.
Dengan pukulan tangan kiri yang
mengandung aji "batu karang" sebenarnya
dia dapat memukul dan menghancurkan perut
Jaliteng. Tapi ini tak dilakukannya.
Sebaliknya Mahesa merunduk cepat.
Tangannya yang sebelah kiri menangkap
betis kanan Jaliteng. Terdengar bentakan
keras dari mulut Mahesa Kelud. Jaliteng
berseru kaget! Tongkat besinya terlepas
dan terlempar jauh. Tubuhnya sendiri
jatuh ke tanah. Sebenarnya dia sanggup
untuk jatuh dengan kedua kaki lebih
dahulu karena ilmu mengentengi tubuhnya
tidak rendah. Tapi dalam keadaan gugup
Jaliteng tak berdaya apa-apa. Dia jatuh
ke tanah dengan keras, masih untung dia
bisa menyelamatkan mukanya, kalau tidak
pasti muka itu lecet berkelukuran di
parut tanah!
Untuk beberapa lamanya Jaliteng
tergeletak nanar di tanah tanpa bergerak.
Tubuhnya sakit dan pemandangannya gelap.
Sesaat kemudian dia berdiri dengan
periahan dan huyung. Pemuda ini maklum
walau sampai seribu juruspun dia tak akan
bisa mengalahkan Mahesa Kelud, bahkan
sebaliknya dirinyalah yang akan dapat
celaka.
Jaliteng melangkah mengambil tongkat
besinya.
"Akan diteruskan saudara, atau cukup
sampai di sini saja?" tanya Mahesa.
Panas telinga Jaliteng mendengar
ejekan itu. Mukanya merah gelap. Dia tak
menjawab.
"Kakak" seru Wulansari ketika gadis
itu melihat saudara seperguruannya hendak
melangkah pergi.
"Tutup mulutmu Wulan!" bentak
Jaliteng. "Mulai hari ini jangan panggil
aku kakak lagi! Mulai hari ini tali
persaudaraan kita putus! Kau bersekutu
dengan pembunuh gurumu sendiri! Kau murid
murtad, Wulan! Arwah gurumu akan mengutuk
kau seumur hidup dari liang kubur! Ingat
baik-baik, satu ketika aku akan kembaii
untuk membunuh kau dan bangsat ini!"
"Kakak, dengar dulu..." kata
Wulansari sam-bil lari memburu. Tapi
lengannya dipegang oleh Mahesa Kelud.
"Biarkan saja dia pergi, Wulan..."
kata Mahesa Wulansari menangis terisak-
isak. Mahesa menyeka air mata gadis itu
lalu memeluknya. Wulan menyandarkan
kepalanya ke dada si pemuda. "Sudahlah,
tak perlu menangis. Mari kita ke tempat
guru. Kurasa sudah waktunya kita kembaii
ke sana."
Wulansari membetulkan rambutnya,
merapikan bajunya lalu menyeka matanya
dengan selendang kuning. Ketika dia
menoleh pada Mahesa, dilihatnya pemuda
ini tersenyum. Wulansari tersenyum pula.
Mahesa Kelud memegang jari-jari tangan
kiri gadis itu. Dengan berpegangan
seperti itu, keduanya kemudian berlari
meneruskan perjalanan menuju ke goa
tempat kediaman guru mereka Si Suara
Tanpa Rupa.
Ketika malam tiba mereka berhenti di
tepi sebuah hutan. Mahesa Kelud mencari
ranting-ranting kering lalu menyalakan
api unggun. Di tengah jalan sebelumnya
mereka sudah mem-beii dua bungkus nasi.
Meskipun nasi itu dingin serta basi tapi
karena keduanya sudah sangat lapar maka
akhirnya nasi tersebut licin tandas juga
masuk ke dalam perut mereka!
Keduanya duduk di muka api unggun
berhadap-hadapan. Mahesa Kelud menatap
paras kekasihnya. Memandang wajah yang
cantik itu hatinya terasa tenang dan
bahagia. "Wulan," katanya, "kau tambah
cantik saja, dik."
Gadis itu tersipu malu. Dia ingat
bahwa Jaliteng kakak seperguruannya,
waktu bertemu tadi siang juga memujinya
demikian.
"Coba tuturkan riwayat pengembaraanmu
selama satu tahun ini," kata Mahesa.
"Kau lebih dahulu," balas Wulansari.
Mahesa tersenyum dan menuturkan
segala kisah pengalamannya, terutama
waktu dia datang ke Banten. Satu hal yang
tidak diterangkan oleh pemuda ini ialah
"peristiwa"nya dengan Kemaladewi.
Selesai Mahesa Kelud menceritakan
riwayatnya maka kemudian Wulansari pun
menceritakan pula pengalaman
pengembaraannya. Mereka bicara-bicara
sampai jauh malam. Kemudian Mahesa
membentangkan alas ketiduran buat
kekasihnya itu.
“Tidurlah Wulan. Aku akan
menjagamu...." Si gadis mengangguk lalu
mencium jari-jari tangan kanan pemuda
itu.
Beberapa hari kemudian sampailah
kedua muda-mudi gagah ini ke tempat
tujuan. Anehnya, seperti yang sudah tahu
saja bahwa mereka akan datang, maka di
mulut gua yang tertutup dan tersembunyi
rapat oleh semak belukar telah menunggu
Joko Cilik yaitu anak rusa sakti
peliharaan guru mereka Si Suara Tanpa
Rupa. Binatang ini melompatkan-lompat
kian kemari lalu menyelinap-nyelinapkan
badannya ke kaki kedua orang itu.
"Hai Joko! Kau sudah besar sekarang
ya?" kata Wulansari seraya menangkap
binatang itu dan mendukungnya. Joko Cilik
mengedip-ngedipkan kedua matanya yang
bening dan Wulansari mengusap kepala
binatang itu.
Joko Cilik melepaskan diri dari
dukungan gadis itu, lalu lari menyeruak
di balik semak belukar, hilang lenyap
masuk ke dalam goa. Mahesa segera
menyibakkan semak belukar rapat, memberi
jalan pada Wulansari lebih dahulu untuk
masuk ke dalam goa lalu dia menyusul dari
belakang.
Satu tahun lamanya mereka
meninggalkan tempat tersebut dan ketika
kembali saat itu tak ada sedikit
perbedaanpun yang mereka lihat di dalam
goa. Joko Cilik duduk di atas batu karang
putih licin. Mahesa Kelud serta Wulansari
menjura dan berlutut di lantai.
"Guru, kami murid-muridmu, kembali ke
sini..." kata Mahesa Kelud.
Sunyi beberapa detik, kemudian baru
terdengar satu suara yang pelahan tapi
menggetarkan dinding-dinding karang goa
batu tersebut. Sedang orangnya yang
berkata sama sekali tidak kelihatan.
"Bagus Mahesa, kau kembaii ke sini
bersama saudara seperguruanmu tepat pada
waktu yang aku sudah janjikan. Ini
berarti bahwa kalian berdua akan mendapat
pelajaran lanjutan atau tambahan dariku
selama beberapa bulan, mungkin satu
tahun, tergantung pada kemampuan kalian
masing-masing. Tapi sebelum semua itu
dimulai, kalian berdua pergilah ke sebuah
sungai terdekat dan bersihkan diri kalian
di sana, lalu baru kembali ke sini.
Dengar...?"
"Dengar guru" jawab kedua orang
tersebut hampir bersamaan. Mereka menjura
lalu meninggalkan goa tersebut. Tak
berapa jauh dari situ mereka menemukan
sebuah sungai kecil. Keduanya berpisah
mencari tempat mandi masing-masing yang
agak berjauhan., Selesai membersihkan
diri, mereka segera kembaii ke goa. Dan
mulai hari itulah Mahesa Kelud serta
Wulansari menuntut ilmu kembaii pada guru
mereka. Dalam waktu beberapa bulan saja
ilmu pedang mereka sudah meningkat jauh
menuju kesempurnaannya. Demikian juga
tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh
semakin mencapai tingkat tertinggi.
Pelajaran terakhir yang diberikan oleh
guru mereka ialah mempergunakan sejenis
pasir berwarna merah panas sebagai
senjata. Pasir merah ini tersimpan di
bekas lobang-lobang dalam di mana dulu
telah dikeluarkan sepasang Pedang Dewi
Delapan Penjuru Angin. Mempelajari ilmu
senjata rahasia ini tidak mudah. Pasir-
pasir halus merah itu panasnya bukan main
dalam satu minggu pertama kulit tangan
kedua orang itu merah melepuh. Sebulan
kemudian barulah mereka terbiasa dengan
benda tersebut!
Akhirnya sampailah pada suatu hari.
"Murid-muridku," kata Suara Tanpa
Rupa dari tempatnya yang tiada terlihat.
"Hari ini berakhirlah segala pelajaran
yang aku berikan padamu. Banyak hal yang
harus kalian ingat, murid-muridku.
Pertama kalian harus sadar bahwa
betapapun tingginya segala ilmu luar dan
dalam yang kalian miliki saat ini, tapi
itu semua belum mencapai kesempurnaannya
karena memang itulah sifat segala apa
saja yang ada di dunia yaitu tak pernah
sempurna! Kedua, juga jangan kalian
menduga bahwa dengan ilmu kepandaian
serta pedang-pedang sakti yang kalian
miliki, kalian sudah menjadi manusia-
manusia terpandai dan terjago di atas
bumi ini atau kalian menjadi bersifat
sombong congkak. Ingatlah selalu bahwa
masih banyak, puluhan bahkan ratusan
manusia-manusia yang lebih pandai dari
kalian. Ingatlah pula bahwa di atas
langit ada lagi langit! Ketiga, ilmu-ilmu
pelajaran yang kalian miliki itu hanya
dan harus dipergunakan untuk maksud-
maksud baik dan lurus serta diridhoi
Tuhan. Jika kalian menyimpang,
menyeleweng dan mempergunakan untuk
maksud-maksud jahat, maka ilmu-ilmu itu
sendiri yang akan berbalik mengutuk
kalian sampai kalian akhirnya mendapat
celaka sendiri! Nah, itulah pesan-pesanku
yang penting dan kalian harus ingat baik-
baik. Sekarang kalian boleh pergi. Sudah
tiba saatnya bagi kalian berdua, terutama
kau Wulansari, untuk mencari musuh
besarmu Adipati Madiun Suto Nyamat dan
membuat perhitungan dengan dia serta
kaki-kaki tangannya. Sekali lagi ingat,
Suto Nyamat bukan orang sembarangan dan
yang lebih berbahaya ialah bahwa dia
mempunyai banyak kaki-kaki tangan yang
terdiri dari manusia-manusia sakti
berilmu tinggi. Kalian berdua harus hati-
hati! Nah kalian boleh pergi...." Mahesa
melirik pada gadis yang duduk di
sampingnya. Dilihatnya kedua mata
Wulansari berkaca-kaca. Ketika gadis ini
hendak berdiri. Mahesa memberi isyarat
agar dia tetap duduk dulu di tempatnya.
"Guru" berkata pemuda itu. "Sebelum
kami pergi bolehkah kami memohon untuk
dapat bertemu muka dengan guru?"
"Aku dapat memaklumi permintaan
kalian itu," jawab Suara Tanpa Rupa.
"Tapi sayang sekali, saat ini belum
waktunya. Nanti suatu ketika pasti kita
akan bertemu muka juga."
Mahesa Kelud dan Wulansari sedikit
kecewa mendengar jawaban tersebut.
"Guru" berkata lagi Mahesa Kelud.
"Dapatkah saya meminta beberapa
keterangan?"
"Keterangan apa yang kau maui,
Mahesa?"
"Waktu saya dilepas oleh guru saya
yang terdahulu yakni Embah Jagatnata saya
diberi dua tugas yang mana sampai saat
ini masih belum dapat saya jalankan...."
"Katakan tugas-tugas tersebut."
"Pertama saya disuruh mencari sebuah
pedang sakti bernama Samber Nyawa. Yang
kedua mencari seorang manusia bernama
Simo Gembong dan membunuhnya! Dapatkah
guru memberi keterangan-keterangan?"
Sunyi seketika. Kemudian terdengar suara
sang guru.
"Pedang Samber Nyawa itu, terakhir
sekali kuketahui berada di Pulau Mayat
sedang manusia bernama Simo Gembong
menurut dugaanku bersembunyi di satu
tempat di tanah Jawa ini. Pastinya aku
tak tahu...."
Terima kasih, guru," kata Mahesa
gembira.
"Ada pertanyaan lagi?" tanya Suara
Tanpa Rupa.
"Ya" jawab Mahesa Kelud. "Seorang
guru lainnya telah meminta kepada saya
untuk pergi ke Lembah Maut. Katanya di
sana berdiam seorang perempuan jahat yang
telah membunuh murid-muridnya. Saya mohon
keterangan tentang letak Lembah Maut
tersebut...."
"Aku memang pernah dengar tentang
lembah tersebut. Kalau tak salah letaknya
jauh di ujung timur pulau Jawa ini,
sekitar kerajaan Hindu, Belambangan...."
"Terima kasih, guru" Mahesa hendak
menanyakan tentang Sitaraga yakni
perempuan tua yang bergelar Iblis Buntung
yang telah memberi obat perangsang
kepadanya dan Kumaldewi sehingga keduanya
melakukan hubungan kotor diluar
kesadaran. Namun Mahesa membatalkan niat
untuk bertanya itu karena dia kawatir
kalau itu hanya membuka rahasianya
sendiri di hadapan Wulansari!
"Ada pertanyaan lagi?" terdengar sang
guru bertanya.
Mahesa berpaling pada Wulansari.
Gadis ini kemudian membisikkan sesuatu ke
telinganMahesa Kelud. Lalu Mahesa cepat-
cepat berkata: "Ada guru, tapi sebenarnya
bukan pertanyaan. Kami mengharapkan
petunjuk guru...."
"Petunjuk mengenai apa?" tanya Suara
Tanpa Rupa.
"Harap terlebih dahulu dimaafkan
kalau ini bagi guru tak pantas
dikemukakan. Kami... kami mohon petunjuk
mengenai diri kami berdua...."
"Heh, ada apa dengan diri kalian
berdua?" tanya sang guru pula.
Mahesa tak segera menjawab. Dia
melirik ke samping dan melihat Wulansari
duduk dengan menundukkan kepala sedang
parasnya yang jelita kelihatan kemerah-
merahan karena jengah!
"Mahesa, ada apa dengan kalian?"
tanya Suara Tanpa Rupa sekali lagi.
"Begini guru. Apakah... apakah
menurut guru kami ini cocok satu sama
lain untuk... untuk membangun... hem...
rumah tangga...?"
"Maksudmu kalian mau kawin eh?"
"Betul, guru" sahut Mahesa Kelud.
Maka terdengarlah suara tawa terbahak
si Suara Tanpa Rupa. Mahesa Kelud dan
Wulansari saling berpandang-pandangan
tidak mengerti. Selama dua tahun mereka
pernah menetap di goa tersebut, baru
inilah kali pertama mereka mendengar guru
mereka tertawa bergelak sedemikian rupa.
Tawa sang guru berakhir lalu terdengar
suaranya bertanya, "Mahesa, apa kau
mencintai Wulansari?"
"Betul guru. Saya mencintainya" jawab
Mahesa.
"Dan kau Wulan... kau juga cinta pada
pemuda ini?"
"Ya, guru." Suara si gadis seperti
orang tercekik karena menjawab agak kikuk
gugup.
Suara Tanpa Rupa tertawa lagi
terbahak-bahak. "Ada-ada saja kalian
berdua ini!" kata-nya. "Kalian harus
ingat... bahwa soal jodoh itu bukan di
tangan kita manusia, bukan di tanganku,
tapi di tangan Yang Kuasa! Di tangan
Tuhan! Tak ada yang menyuruh kalian untuk
berumah tangga, juga tak ada yang
melarangnya. Putusan terletak di tangan
kalian berdua. Jika memang sudah suka
sama suka, sudah sama mencintai, perduli
apa dengan orang lain?! Bukankah
begitu...?"
"Betul guru" kata Mahesa. Hatinya
gembira. "Namun sebaiknya hal ini kami
ajukan supaya guru mengetahui dan nanti
dikemudian hari tidak menganggap kami
murid-murid yang tak tahu peradatan dan
melupakan gurunya...."
"Kalian murid yang baik," kata Suara
Tanpa Rupa. "Laksanakanlah cita-cita
kalian itu dengan sebaik-baiknya dan
dengan cara yang wajar syah. Aku merestui
kalian. Memang agaknya kalau kalian sudah
berjodoh dengan sepasang Pedang Dewi itu
maka kini dari kalian sendiri yang
berjodoh satu sama lain. Kapan cita-cita
itu akan kalian laksanakan?"
"Oh... itu masih belum dapat kami
tentukan, guru. Mungkin jika sudah
selesai urusan kami dengan Adipati Suto
Nyamat serta kaki-kaki tangannya."
"Memang itu bagus sekali. Selesailah
semua urusan dulu, baru kawin. Jangan
kawin dulu lalu membuat urusan, nanti
bisa berabe!"
Mahesa Kelud dan Wulansari tertawa
mendengar kata-kata guru mereka itu. Tak
disangka sang guru rupanya suka pula
bergurau!
"Karena kalian bermaksud demikian,
maka agaknya perlu pula aku berikan
sedikit peringatan. Yaitu selama kalian
belum menjadi suami istri secara syah,
meskipun saiing mencintai dan suka sama
suka namun kalian harus perhatikan dan
ingat betul-betul walau bagaimanapun
kalian masih tetap orang lain, karenanya
harus dapat menjaga dan membatasi diri
masing-masing."
“Terima kasih guru, nasihat itu akan
kami ingat baik-baik...."
"Bukan hanya diingat, Mahesa"
memotong sang guru. “Tapi juga harus
dijalankan."
"Akan kami jalankan," kata Mahesa
Kelud pula.
Kedua muda-mudi ini berdiri. "Guru,
kami berdua mohon diri," kata Mahesa.
Suaranya agak bergetar karena haru.
Wulansari sendiri berlinang air matanya.
Begitu besar kecintaan mereka pada sang
guru meskipun keduanya tak pernah bertemu
muka sehingga perpisahan itu berat sekali
rasanya.
Wulansari mengusap Joko Cilik. Sekali
lagi mereka minta diri dan menjura, lalu
keduanyapun meninggalkan goa tersebut.
* * *
Dengan mempergunakan ilmu lari cepat
maka keesokan harinya sampailah kedua
orang itu ke Madiun. Mereka menunggu
malam tiba dimana mereka menentukan saat
penyerbuan ke Kadipaten Madiun tempat
bersarangnya Suto Nyamat yang telah
membunuh ayah dan ibu serta kakek dan
guru Wulansari!
Malam tiba, pintu gerbang kadipaten
tertutup rapat tanpa seorang pengawalpun
kelihatan di sekitar sana. Mahesa Kelud
dan Wulansari bergerak ke bagian yang
lebih gelap. Di sini mereka berdua
melompati tembok samping Kadipaten yang
tingginya tak kurang dari
sampai di halaman dalam tanpa
menimbulkan suara sedikitpun!
Gedung Kadipaten kelihatan sunyi
sepi. Satu-satunya lampu yang menyala
hanyalah di bagian belakang gedung
tersebut. Mahesa dan Wulansari bergerak
ke sana dengan hati-hati. Mereka menemui
sebuahh pintu yang terkunci. Mahesa
mengetuk dengan keras! Tak ada jawaban.
Pemuda ini mengetuk lagi lebih keras.
Sesaat kemudian baru terdengar langkah-
langkah kaki, lalu daun pintu terbuka.
Mahesa Kelud dan Wulansari tanpa
menunggu lebih lama segera menyerbu
masuk. Orang yang membuka pintu, seorang
pelayan tua hampir saja terpelanting
jatuh ke lantai karena ditabrak begitu
saja oleh Mahesa Kelud.
Orang tua itu berdiri dengan paras
pucat. "Ka... kalian siapa...?"
tanyanya....
"Orang tua, mengapa gedung ini sunyi
saja? Mana Suto Nyamat?!" tanya Mahesa
membentak.
"Adipati Suto Nyamat sudah berangkat
dua hari yang lalu ke Pajang bersama
keluarga dan para pengawal..."
menerangkan pelayan tua itu.
"Dusta!" hardik Wulansari. "Manusia
keparat itu pasti ada di sini dan
bersemhunyi!"
"Tidak... Adipati tidak ada di sini.
Aku tidak dusta," kata si pelayan
ketakutan.
* * *
TIGA
Kelihatannya orang tua ini tidak
berdusta. Namun untuk memastikan bahwa
Suto Nyamat benar-benar tidak ada di sana
maka Mahesa Kelud dan Wulansari
menggeledah seluruh pelosok gedung
Kadipaten! Memang benar tak ada
seorangpun selain si pelayan tua tersebut
di dalam gedung.
"Ada urusan apa bangsat itu ke
kotaraja?!" tanya Wulansari.
"Bang... bangsat siapa?" tanya si
pelayan.
"Suto Nyamat!" bentak Wulansari.
"Kabarnya... kabarnya Baginda yang
menariknya ke kotaraja untuk memangku
satu jabatan baru...."
"Lantas siapa yang menggantikannya di
sini?"
"Aku tidak tahu tapi kabarnya Adipati
yang baru itu akan segera datang ke sini
dalam tempo sehari dua ini...."
Mahesa Kelud menoleh pada Wulansari.
Kedua orang ini kemudian meninggalkan
gedung tersebut dengan cepat. Si pelayan
tua menarik nafas lega lalu mengunci
pintu lekas-lekas.
Jarak antara Madiun dan Kotaraja
tidak dekat. Dengan berlari cepat mereka
baru bisa sampai ke sana selama seminggu
mungkin lebih! Karenanya malam itu juga
kedua orang tersebut memutuskan untuk
berangkat ke kotaraja.
Hari ke empat, mereka beristirahat di
satu kaki bukit yang subur. Mereka duduk
berdampingan dan bersandar ke sebuah
pohon besar yang rindang. Mahesa
memandang jauh ke muka. Duduk berdua
dengan Wulansari, seperti itu
mengingatkan pemuda ini pada Kemaladewi,
gadis yang menjadi murid si Dewa Tongkat.
Bagaimanakah keadaan gadis itu sekarang,
sesudah ditinggalkannya sejak satu tahun
yang lewat? Pemuda ini tak habisnya
mengutuki dirinya sendiri dan menyumpahi
Si Iblis Buntung yang menjadi biang racun
dari semua perbuatan terkutuknya atas
diri Kemaladewi. Kemudian terpikir oleh
pemuda ini yaitu jika perbuatannya tempo
hari bersama Kemaladewi menyebabkan gadis
tersebut sampai hamil, maka saat ini
tentu Kemala sudah melahirkan seorang
anak! Anaknya dan anak Kemala! Merinding
bulu tengkuk Mahesa Kelud.
"Apa yang tengah kau renungkan, Mahe-
sa?" tanya satu suara di sampingnya.
Pemuda ini terkejut. Parasnya pucat
seketika. Lalu dia coba tersenyum untuk
menyembunyikan rasa terkejutnya itu, tapi
tak berhasil!
"Eh, agaknya kau terkejut mendengar
pertanyaanku, Mahesa?"
Mahesa diam-diam menjadi takut
sendiri meski takut yang tak beralasan.
Dia takut kalau-kalau gadis di sampingnya
itu mengetahui rahasia atau peristiwanya
dengan Kemaladewi.
"Kau melamunkan seseorang agaknya,
Mahesa?"
"Ya. Melamunkan kau." jawab pemuda
itu berdusta.
"Aku berada di dekatmu, di sampingmu.
Mengapa harus dilamunkan? Kalau aku jauh
lain perkara..." kata Wulansari pula.
Ucapan Wulansari itu seperti satu
tempelak yang keras menghantam mukanya
bagi Mahesa Kelud. Hatinya serasa diiris.
Meski perbuatannya atas Kemaladewi bukan
mau dan diluar kesadarannya namun dia
tetap saja merasa berdosa. Bukan saja
berdosa kepada Kemaladewi, berdosa kepada
Tuhan, tapi lebih dari itu adalah berdosa
kepada Wulansari, gadis satu-satunya yang
dikasihinya di dunia ini!
Mahesa tak berkata apa-apa.
Dipeluknya bahu gadis itu dengan penuh
kasih sayang, lalu diciumnya keningnya.
"Eh... eh... apa-apaan ini, Mahesa?"
kata Wulansari sambil menjauhkan
kepalanya.
"Apa-apaan apa maksudmu?"
"Kau lupa pesan guru kita?"
"Pesan apa...?"
"Bahwa sebelum kita berumah tangga
secara resmi kau dan aku masih tetap
merupakan orang lain dan mempunyai batas-
batas tertentu...?"
"Aku ingat" jawab Mahesa dengan
tersenyum. "Tapi kalau cuma peluk cium
saja kan boleh!"
"Ih, kau ceriwis sekali sekarang!"
kata Wulansari pula.
Dikatakan "ceriwis" pemuda kita jadi
penasaran. Kedua tangannya diulurkan
kemuka memeluk tubuh kekasihnya lalu
diciumnya muka gadis itu berulang kali.
"Sudah... sudah..." peluk Wulansari
pelahan. Tapi dia tak berusaha untuk
menghindarkan ciuman-ciuman pemuda yang
dikasihinya itu bahkan memberikan
balasan!
Mahesa melepaskan pelukannya. Kedua
pipi Wulansari kelihatan merah. Gadis ini
cepat-cepat menyembunyikan mukanya di
dada si pemuda. "Kalau kau berani bilang
aku ceriwis lagi... aku akan cium kau
sampai lama sekali dan tidak lepas-
lepas!" kata Mahesa Kelud.
"Kau memang ceriwis! Genit!" kata
Wulansari dengan tertawa merdu lalu
melepaskan dirinya dan lari.
"Kau mau lari kemana, Wulan?!" kata
Mahesa seraya mengejar gadis tersebut.
Dan dengan demikian keduanyapun berlari
meneruskan perjalanan menuju kotaraja.
* * *
Siang itu mereka mencapai sebuah
kampung kecil agak jauh diluar kotaraja.
Keduanya mencari kedai nasi. Satu-satunya
kedai nasi terletak di tengah pasar yang
sudah agak sepi karena hari sudah tinggi.
Mereka masuk dan Mahesa mernesan makanan.
Kedatangan kedua orang ini tentu saja
menarik perhatian tamu-tamu yang sudah
terlebih dahulu berada di dalam kedai.
Pandangan mata yang kagum takjub lebih
banyak ditujukan kepada Wulansari, gadis
berparas jelita ini. Wulansari sendiri
bersikap acuh tak acuh sedang Mahesa
Kelud yang duduk di sampingnya tenang-
tenang saja.
Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya,
Wulansari menggeser kursinya lebih dekat
pada Mahesa lalu dia berkata pelahan,
"Mahesa... coba kau perhatikan tiga orang
prajurit yang duduk dipojok sana."
Mahesa pura-pura menjangkau gelas
minumannya. Lalu sambil menempelkan tepi
gelas ke bibirnya dia memandang ke arah
yang dikatakan Wulansari. Di sana duduk
tiga orang prajurit kerajaan dan
ketiganya memandang tajam menyorot pada
mereka. Pandangan mata orang-orang ini
agaknya sudah disengaja sejak tadi dan
kurang ajar.
"Aku rasa-rasa pernah bertemu dengan
mereka..." ujar Mahesa Kelud.
"Aku sendiri juga demikian," kata
Wulansari..
"Mungkin mereka adalah cecunguk
cecunguknya si Suto Nyamat."
"Boleh jadi,.. bagaimana kalau beri
sedikit pelajaran pada mereka?" tanya si
gadis yang sudah gatal-gatal tangannya
melihat cara memandang ketiga prajurit
yang kurang ajar itu.
"Ssssh..." desis Mahesa. "Biarkan
saja mereka seperti anjing-anjing lapar
begitu. Kita harus berhati-hati dan
jangan sampai membuat urusan baru sebelum
urusan kita dengan Suto Nyamat
selesai...."
Wulansari tak berkata apa-apa. Gadis
ini meneruskan makannya. "Satu hal lagi
yang harus diingat Wulan," ujar Mahesa,
"Sesampainya kita di kotaraja nanti
jangan bertindak gegabah. Kotaraja bukan
saja tempat diamnya Suto Nyamat serta
pentolan-pentolannya tapi juga sarangnya
para pendekar gagah pengawal Baginda yang
sudah barang tentu akan turun tangan bila
kita mereka anggap sebagai pengacau!"
Tiga prajurit di pojok kedai berdiri.
Salah satu dari mereka membayar harga
maka nan lalu bersama kawannya yang dua
orang lagi segera keluar meninggalkan
kedai tersebut. Di luar terdengar suara
derap kaki kuda mereka yang akhirnya
lenyap di kejauhan.
* * *
Apa yang diduga oleh Mahesa Kelud
memang tidak meleset. Ternyata ketiga
prajurit tersebut adalah kaki-kaki tangan
Suto Nyamat yang kini diam di kotaraja.
Ketiganya memacu kuda masing-masing
menuju kotaraja. Mereka adalah sebagian
dari bawahan Braja Kurrto yang tempo hari
pernah bertempur dengan Mahesa Kelud
serta Wulansari di dekat goa kediaman
guru kedua orang ini, cuma sayang Mahesa
dan Wulan tidak mengingat mereka lagi.
Tak lama kemudian prajurit-prajurit
Ini sampai ke gedung kediaman Suto
Nyamat. Salah seorang dari mereka, yang
bertubuh tinggi kurus turun dari kuda.
"Kalian berdua tunggu di sini, aku akan
menemui Adipati. Waspadalah, bukan tidak
mustahil kedua orang tadi membuntuti
kita!" Demikianlah, meski kini Suto
Nyamat sudah diberi kedudukan lain oleh
Baginda namun para prajurit dan anak
buahnya tetap saja menyebutnya dengan
"Adipati."
Saat itu menjelang senja. Suto Nyamat
baru selesai mandi dan habis berpakaian
ketika seorang pelayan datang menerangkan
bahwa ada seorang prajurit hendak
menghadap.
"Katanya ada satu urusan penting,
Gusti!" menambahkan pelayan tersebut.
Ketika Suto Nyamat keluar, prajurit
tinggi kurus tadi menjura.
"Ada apa Lokan?" tanya Suto Nyamat.
"Adipati, masih ingat sepasang muda-
mudi yang tempo hari menyerang ke
Kadipaten Madiun dan yang kemudian kami
kejar-kejar?"
"Tentu! Ada apa dengan mereka?"
"Keduanya berada di kampung Tenginan,
tengah menuju ke sini."
Terkejut Suto Nyamat mendengar
keterangan prajurit tersebut. "Kau tidak
salah lihat?... tanyanya.
"Tidak. Saya dan kawan-kawan
mengenali benar keduanya."
Suto Nyamat berpikir dengan cepat
"Baiklah," katanya. "Bawa beberapa orang
kawan-kawanmu ke pintu gerbang kotaraja.
Aku akan menyusul ke sana. Jika sebelum
aku datang mereka sudah sampai, tahan
sedapat-dapatnya agar kedua monyet jantan
betina itu tidak masuk ke sini ke
kotaraja!"
"Siap Adipati." Lokan menjura dan
berlalu dengan cepat.
Suto Nyamat sengaja tidak mau
menghadapi kedua musuh besarnya itu di
dalam kotaraja karena ini akan membuat
namanya jadi kurang baik sedangkan dia
baru saja dipindahkan Baginda untuk
menduduki jabatan tinggi serta terhormat.
Karena itu diaturnya rencana untuk
menghadapi Mahesa Kelud diluar batas
kota, di pintu gerbang!
Satu tahun yang lewat Mahesa Kelud
dan Wulansari pernah menyerbu ke gedung
Kadipaten Madiun bersama seorang kakek-
kakek bernama Sentot Bangil atau yang
lebih dikenal dengan gelaran Pendekar
Budiman. Saat itu dengan bantuan
Waranganaya Toteng para penyerbu berhasil
dipreteli bahkan Pendekar Budiman sendiri
meregang nyawa di tangan Waranganaya
Toteng. Kini tahu-tahu Mahesa Kelud dan
Wulansari muncul kembaii mencarinya!
Kalau tidak ada sesuatu yang diandalkan
pasti kedua orang muda tersebut tidak
akan mengejarnya sampai ke kotaraja.
Menurut Suto Nyamat yang memang punya
otak cerdik tapi busuk ini hanya ada dua
hal menjadi andalan musuh-musuh besarnya
itu. Pertama mereka datang bersama
seorang atau beberapa orang sakti yang
membantu mereka. Kedua mungkin selama
satu tahun yang lalu mereka berhasil
memperdalam ilmu silat atau berguru pada
seorang sakti!
Dugaan pertama tidak bisa jadi karena
Lokan tadi memberi kesempatan bahwa hanya
Mahesa Kelud serta Wulansari saja yang
terlihat. Jadi dugaan jatuh pada andalan
kedua yakni bahwa kedua muda mudi
tersebut kini sudah memiliki ilmu yang
jauh lebih tinggi dari dahulu! Suto
Nyamat harus mengakui bahwa dalam
pertempuran setahun yang silam, satu
lawan satu menghadapi salah seorang dari
muda-mudi itu belum tentu dia akan dapat
mengalahkan lawannya, apalagi kini! Namun
demikian dia tak perlu khawatir.
Waranganaya Toteng memang saat ini tidak
ada disampingnya yang akan turun tangan
membantu, tapi kotaraja penuh dengan
hulubalang-hulubalang dan pendekar
pendekar Baginda yang rata-rata berilmu
tinggi dan dikenal baik oleh Suto Nyamat!
Di samping itu kebetulan sekali di
gedungnya saat ini ada empat orang tokoh
kelas tinggi yang menjadi tamunya yang
sudah pasti bisa dimintakan bantuannya!
Suto Nyamat masuk ke dalam kamarya.
Ketika dia keluar maka dia sudah
mengenakan pakaian perang dengan sepasang
golok panjang tergantung di sisinya!
* * *
EMPAT
Hari mulai gelap. Di langit bintang-
bintang mulai muncul bertaburan. Bulan
purnama menyusul kemudian menampakkan
diri sehingga kegelapan malam berkurang
sedikit oleh sinarnya yang sejuk.
Kedua orang itu lari terus. Masing-
masing memperlambat larinya ketika
mendekati batas kotaraja. Pada saat
mereka sampai ke pintu gerbang kota maka
kelihatanlah selusin manusia berkumpul
menghadang di muka pintu tersebut! Dalam
jarak beberapa tombak Mahesa Kelud dan
Wulansari menghentikan langkah mereka.
Kedua muda-mudi ini menggeram dalam hati.
Lebih-lebih ketika mengetahui bahwa
manusia berkening lebar, bermata besar
dan berkumis lebat yang mengenakan
pakaian perang tak lain adalah Suto
Nyamat, musuh besar mereka! Agak
kebelakang kelihatan tiga orang berjubah
ungu yang karena malam kelihatannya
hitam. Baik Mahesa maupun Wulansari tidak
tahu siapa mereka adanya namun memaklumi
bahwa ketiga orang ini tentu memiliki
ilmu yang tinggi. Di samping kiri Suto
Nyamat berdiri pula sesosok tubuh yang
menarik perhatian murid-murid Si Suara
Tanpa Rupa ini. Sosok tubuh ini adalah
seorang laki-laki berbadan sangat pendek,
bermuka buruk dan cuma punya satu tangan
yakni tangan kanan sedang tangan kirinya
puntung! Di pinggang si buntung tangan
ini melilit sebuah rantai baja yang sudah
dapat dimaklumi merupakan senjata
andalannya! Manusia ini mengenakan
pakaian aneh. Kalau saja saat itu mereka
tidak tengah menghadapi musuh besar,
sudah past! Mahesa Kelud dan Wulansari
akan tertawa membahak. Betapakah tidak!
Karena manusia berbadan pendek dan
bertangan buntung ini mengenakan pakaian
"baju monyet," seperti anak anak umur
tiga tahun! Di bagian perut dari baju ini
terdapat pula sebuah saku besar empat
segi! Di belakang kelima orang tersebut
maka berjejerlah tujuh prajurit di mana
tiga di antaranya adalah yang dilihat
Mahesa dan Wulansari di kedai siang tadi.
Sambil kedua tangannya bersitekan
pada hulu-hulu golok Suto Nyamat maju
satu langkah dan berkata dengan suara
membentak. "Anak-anak yang masih ingusan!
Kalian mengandalkan apakah berani-
beranian datang mengantar nyawa kemari?!"
Wulansari, yang sudah sejak tadi
tidak sabaran melihat musuh besar
pembunuh ayanbunda, paman serta kakeknya
ini, menerjang ke muka.
"Iblis bermuka manusia! Bersiaplah
untuk mampus!" bentak Wulansari. Serentak
dengan itu kelihatanlah sinar merah
panjang melesat membabat ke arah Suto
Nyamat. Sinar merah panjang ini tak lain
adalah sambaran Pedang Dewi yang dicabut
oleh Wulansari bersamaan ketika tubuhnya
melesat ke muka!
Suto Nyamat dengan cepat mencabut go-
lok panjang di sisi kirinya untuk dipakai
menangkis. Dan
"Trang!"
Golok yang masih tergenggam di tangan
laki-laki itu hanya tinggal hulunya saja.
Bagiannya yang tajam terbabat buntung dan
dibikin mental oleh teriakan Pedang Dewi
sakti yang luar biasa tajamnya di tangan
Wulansari! Tak dapat dilukiskan bagaimana
terkejutnya Suto Nyamat. Bukan saja
karena goloknya yang buntung itu tapi
juga karena tangan kanannya terasa panas
sekali! Dan sebelum habis rasa
terkejutnya maka Pedang Dewi di tangan
Wulansari berbalik membabat deras ke arah
lehernya!
Sukar bagi Suto Nyamat dalam keadaan
kepepet begitu untuk mengelak ataupun
mencabut senjatanya yang satu lagi!
Manusia ini berteriak ngeri seperti orang
yang melihat datangnya malaekat maut!
Namun sebelum pedang sakti tersebut
sempat memisahkan kepala dan badan Suto
Nyamat, salah seorang dari tiga manusia
yang mengenakan jubah ungu melompat ke
muka sambil menusukkan senjatanya, berupa
sebuah penggada dari batu hitam yang
lebih kuat daripada besi, ke dada
Wulansari!
Hal ini membuat Wulansari terpaksa
menarik pulang serangannya karena kalau
diteruskan meski dia mungkin berhasil
menebas batang leher Suto Nyamat namun
penggada si jubah ungu pasti akan
bersarang di dadanya pula!
Bukan main geramnya si gadis. Kedua
matanya melotot. "Tua bangka yang sudah
bosan hidup!" makinya. "Kau juga harus
mampus bersama anjing ini!"
"Eeee... e... e. Gadis kurang ajar!
Kau tak tahu tengah berhadapan deng..."
Si jubah ungu tak sempat meneruskan
kalimatnya karena saat itu Wulansari
telah menyerangnya dengan ganas. Dua
kawannya yang lain maju pula ke muka.
Ketiganya memiliki senjata yang sama
yakni penggada batu hitam. Suto Nyamat
sementara itu sudah mencabut golok
panjangnya yang satu lagi dan menyerbu
pula. Melihat kekasihnya dikeroyok
demikian rupa Mahesa Kelud yang memang
sudah gatal tangan segera mencabut pedang
saktinya, maju ke depan membantu
Wulansari.
Tapi manusia pendek berbaju monyet
tahu-tahu melompat pula menghalanginya,
demikian pula tujuh prajurit kerajaan
anak buah Suto Nyamat!
"Manusia pendek! Rupanya kau kaki ta-
ngan cecunguknya Suto Nyamat juga huh?!"
"Eit! Anak muda bau amis! Kau tahu
dengan siapa kau berhadapan saat ini
sampai berani unjukkan nyali besar?!
Ketahuilah akulah manusianya yang
dijuluki Setan Puntung!"
"Hem..,. Bagus kalau begitu!" kata
Mahesa dengan nada mengejek. "Lekas maju
biar kubikin buntung tanganmu yang satu
lagi!"
Tak terkirakan marahnya si pendek itu
diejek demikian rupa oleh Mahesa Kelud,
dan dihadapan banyak orang pula.
"Kupecahkan kepalamu, kunyuk!" Sambil
membentak dibukanya rantai besi yang
melilit di pinggang lalu menyabetkannya
ke kepala Mahesa Kelud! Pemuda ini
menggerakkan pedang saktinya untuk
memapaki senjata lawan. Si Setan Puntung
yang memaklumi bahwa pedang di tangan
lawannya bukan pedang sembarangan tapi
sebuah pedang mustika sakti, tak berani
mengadu senjata dan cepat-cepat
menurunkan sedikit tangan kanannya
sehingga kini rantai besinya menyambar ke
perut Mahesa Kelud!
Mahesa di lain pihak juga memaklumi
bahwa lawannya bukan seorang lawan enteng
dan empuk. Begitu serangannya mengenai
tempat kosong pemuda ini segera geser
kedua kakinya dan serentak dengan itu
pedang mustika merah di tangannya
membalik membabat ke lengan yang memegang
rantai dari Si Setan Puntung!
Si Setan Puntung mengeluarkan seruan
kaget. Tidak diduganya bahwa begitu
mengelak sang lawan masih sanggup
melancarkan serangan balasan yang
sedemikian cepatnya! Manusia pendek
bertangan satu ini cepat-cepat melompat
ke belakang menyelamatkan tangannya.
Ketika dia maju kembaii, maka tujuh
prajurit yang tadi masih diam saja di
tempat, turut pula menyerbu Mahesa Kelud.
Dikeroyok delapan demikian rupa, tidak
tanggung-tanggung Mahesa Kelud segera
keluarkan jurus-jurus ilmu "Pedang Dewi
Delapan Penjura Angin!"
Sesaat kemudian maka terdengarlah
pekik-pekik tiga orang prajurit
pengeroyok. Yang satu terpapas buntung
iengannya, darah muncrat! Yang kedua
meliuk roboh dengan usus berburaian, yang
ketiga mundur menjerongkang terbacok
bahunya! Si Setan Puntung sendiri
mengeluarkan seruan tertahan karena
sebagian dari senjata rantai besinya
dibabat putus oleh pedang di tangan
lawan!
Demikianlah hebatnya Pedang Dewi di
tangan Mahesa Kelud dan lihaynya ilmu
silat yang dimainkannya sehingga dalam
satu gebrakan saja dia membuat tiga lawan
roboh dan yang ke empat menciut nyalinya,
padahal jurus ilmu "Pedang Dewi Dari
Delapan Penjura Angin" yang dimainkannya
tadi baru tingkat terendah saja!
Di bagian lain Wulansari tengah
mengamuk hebat melawan musuh besarnya
yakni Suto Nyamat yang dibantu oleh tiga
orang berjubah ungu yang rata-rata
memiliki ilmu tinggi! Suto Nyamat telah
mengambil sebuah golok lagi sehingga
pedang merah di tangan Wulansari harus
melayani sepasang golok panjang Suto
Nyamat serta tiga penggada batu! Dengan
tiada gentar sedikitpun gadis remaja itu
melayani keempat musuhnya dengan
mengeluarkan jurus-jurus menengah dari
ilmu Pedang Dewi yang dipelajari dari
gurunya Si Suara Tanpa Rupa. Bukan saja
gadis ini bisa mengimbangi kehebatan ke
empat lawan tangguh tersebut bahkan dia
berhasil pula mendesak mereka. Karena
dalam hal ini Suto Nyamat adalah musuh
besar yang paling dibencinya, maka
kebanyakan dari serangan-serangannya
diarahkan kepada manusia tersebut. Suto
Nyamat menjadi sibuk, untung saja tiga
orang yang membantunya mempunyai
kepandaian tinggi kalau tidak pasti dalam
jurus sembilan tadi dia sudah kena
dibacok bahunya oleh pedang sakti
Wulansari!
Siapakah ketiga manusia berjubah ungu
ini? Seperti Waranganaya Toteng, mereka
adalah resi-resi dari kerajaan
Belambangan yang tersesat dan
mempergunakan ilmu kepandaian mereka
untuk membuat kejahatan di setiap pelosok
negeri. Ketiganya berasal dari satu
perguruan sehingga pakaian dan juga
senjata mereka sama semua. Namun
dibanding dengan ilmunya Waranganaya
Toteng, ketiganya sangat ketinggalan
jauh! Mereka tinggal di kotaraja sebagai
pengawal-pengawal kelas enam. Pedang
merah di tangan Wulansari menciut
menyambar ke resi yang paling ujung. Resi
ini coba menangkis dengan penggadanya,
namun ujung penggada itu hancur lebur
dihantam pedang! Suto Nyamat mulai kecut
nyalinya. lambat laun tetapi pasti dia
dan kawan-kawannya akan kena celaka,
apalagi Wulansari senantiasa mengincarnya
terus-terusan! Ketiga resi tersebut
merubah permainan gada mereka. Mereka
berdiri agak merapat dengan Suto Nyamat
di ujung paling kanan. Salah seorang dari
resi itu mengeluarkan suara melengking
tinggi. Serentak dengan itu ketiganya
berpencar menyerang Wulansari dari tiga
jurusan. Ini berarti ditambah dengan Suto
Nyamat, Wulansari harus menghadapi empat
serangan sekaligus!
Wulansari memutar pedangnya di
sekeliling tubuh! Sinar merah bergulung
membungkus dirinya. Bersamaan dengan itu
dia melompat ke atas tinggi sekali.
Begitu empat senjata lewat di bawahnya,
maka dengan menggerakkan kedua kakinya
kelihatanlah kini tubuh gadis itu menukik
laksana seekor burung rajawali yang
menyambar empat ekor anak ayam! Terdengar
suara jeritan keras! Salah seorang dari
resi itu roboh ke tanah dengan bahu mandi
darah kena dibacok pedang Wulansari. Dia
cepat berguling jauh menyelamatkan diri.
Dua golok panjang yang ada di tangan Suto
Nyamat kini hanya tinggal gagang-
gagangnya saja karena terbabat buntung
oleh pedang mustika sakti! Masih untung
bagi dua resi lainnya karena mereka
sempat mengelak menyelamatkan diri
masing-masing!
Melihat naga-naga macam begini tanpa
pikir panjang lagi Suto Nyamat segera
putar tubuh dan ambil langkah seribu!
"Manusia keparat! Jangan lari!"
teriak Wulansari dia segera melompat
memburu. Namun dua resi tadi secara
bersamaan menyerangnya dengan tidak
terduga! Niatnya untuk memburu musuh
besarnya terpaksa urung seketika untuk
memberikan hajaran pada kedua manusia
jubah ungu penghalang itu!
Di bagian yang lain, Mahesa Kelud
sudah berhasil pula merobohkan dua orang
prajurit lagi. Namun untuk lekas-lekas
membereskan si Setan Puntung memang agak
sukar juga karena harus diakui oleh
Mahesa bahwa manusia pendek berbaju
monyet ini mempunyai ilmu yang tinggi
serta gerakan-gerakannya cepat dan gesit!
Namun demikian, di lain pihak Si Setan
Puntung memaklumi pula bahwa dia tak akan
sanggup mempercundangi Mahesa Kelud
sekalipun dia harus bertempur sampai
seribu jurus! Karenanya dia segera
menggeser kedudukannya. Dia bergerak
mendekati dua resi yang masih mengeroyok
Wulansari. Maksudnya dengan berada dalam
satu kelompok itu mereka akan dapat
membantu satu sama lain.
Tapi justru inilah yang merupakan
satu kesalahan besar baginya karena
ketika bergerak berpindah tempat itu dia
bertindak terlampau kesusu, tak
memperhitungkan lagi kedudukan lawan.
Pedang Mahesa Kelud menyambar dari
samping. Setan Puntung miringkan tubuh,
namun bahu kirinya yang tiada berlengan
lagi tak urung masih sempat dibabat
senjata lawan! Baju monyetnya basah oleh
darah! Prajurit-prajurit yang masih hidup
yang tak mau mati konyol segera kabur
meninggalkan tempat itu, apalagi sesudah
mereka melihat Suto Nyamat sendiri lari
lintang pukang!
Setan Puntung sendiri dan kedua resi
baju ungu sebenarnya sudah berpikir-pikir
pula untuk lari menyelamatkan nyawa,
namun niat tersebut mereka tahan-tahan
juga karena diam-diam saling merasa malu
dan tahan harga diri!
Kini jumlah pengeroyok hanya tinggal
tiga orang. Satu di antaranya yaitu Setan
Puntung sudah terluka parah, sebentar
lagi tubuhnya akan menggeletak mampus
kena bisa pedang mustika yang panas itu!
Menurut Mahesa, Wulansari sendiripun akan
sanggup menumpas ketiganya dalam beberapa
jurus di muka. Karenanya ketika Suto
Nyamat melarikan diri pemuda ini berseru:
"Wulan, biar aku yang kejar Suto
Nyamat keparat itu! Kau bereskanlah
tikus-tikus tua ini!"
Sebelum Wulansari sempat mengatakan
sesuatu, Mahesa Kelud sudah berkelebat
dan lari mengejar kejurusan mana tadi
Suto Nyamat menghilang!
Dugaan Mahesa Kelud bahwa Wulansari
akan sanggup merobohkan ketiga lawan yang
sudah babak belur itu memang benar, tapi
benarnya adalah kalau keadaan tetap
seperti itu, artinya jumlah mereka tetap
terus tiga orang! Tak ada seorang lain
yang kemudian datang!
Begitulah, beberapa ketika setelah
Mahesa Kelud meninggalkannya maka
Wulansari putar pedangnya lebih cepat.
Resi pertama roboh jungkir balik tanpa
nyawa. Gadis ini menyerang dan mendesak
terus sampai Setan Puntung serta resi
yang satu lagi kewalahan! Keduanya saling
memberi isyarat, sama-sama hendak
melarikan diri. Namun ketika itulah da-
tang seseorang yang sangat menggembirakan
mereka!
"Amboi... amboi! Apakah yang terjadi
di sini?!" terdengar orang yang baru
datang itu berkata, suaranya tinggi
melengking, tapi seperti orang tercekik!
* * *
LIMA
Orang yang baru datang ini adalah
seorang perempuan bermuka hitam, berjubah
merah. Tubuhnya tinggi sekali. Satu
jengkal kurang dari dua meter. Mungkin
karena tubuhnya yang tinggi ini serta
hatinya yang jahat seperti iblis maka dia
digelari dalam dunia persilatan sebagai
"Iblis Jangkung!" Nama sebenarnya ialah
Niliman Toteng. Dan dia adalah kakak
seperguruan Waranganaya Toteng dan juga
kakak kandung resi dari Blambangan itu!
Sebagai kakak seperguruan, tentu saja
ilmu kepandaian Niliman Toteng lebih
tinggi beberapa tingkat dari adiknya,
Waranganaya Toteng. Sebelumnya sudah kita
saksikan kehebatan Waranganaya Toteng
ketika menghadapi dan membunuh Pendekar
Budiman yang datang menyerbu ke gedung
Kadipaten Madiun bersama Wulansari dan
Mahesa Kelud. Karenanya dapatlah
dibayangkan betapa dahsyatnya Si Iblis
Jangkung ini dan tak heran biia Si Setan
Puntung serta resi baju ungu menjadi
sangat gembira melihat kedatangannya!
Niliman Toteng memandang dengan mata
menyipit beberapa mayat prajurit serta
mayat dua orang resi yang dikenalnya baik
menggeletak di muka pintu gerbang. Di
hadapannya Setan Puntung dan resi bernama
Majineh tengah didesak hebat oleh seorang
gadis muda belia!
Niliman Toteng geleng-gelengkan dia
punya kepala.
"Biung... biung... biung! Setan
Puntung dan Majineh, lagi apa kalian di
sini?! Menghadapi anak gadis yang masih
menyusu saja kalian sampai dibikin babak
belur begini? Bahkan kawan-kawan kalian
dibuat menggeletak mampus? Biung...
biung!"
Perkataan perempuan sakti itu membuat
Si Setan Puntung serta Majineh menjadi
merah muka mereka karena malu!
"Niliman Toteng," kata Si Setan
Puntung seraya babatkan rantai besinya
yang sudah pendek akibat ditebas terus-
terusan oleh pedang mustika Wulansari,
"Jangan berdiri dan menonton saja,
cobalah maju sejurus dua jurus dan kau
akan tahu bahwa sesungguhnya bukan gadis
ini yang masih menyusu, tapi kitalah yang
musti menyusu kepadanya!"
Maka melengkinglah tertawa perempuan
sakti berjubah merah, bermuka hitam itu.
Wulansari sendiri bukan main geramnya
mendengar kata-kata tersebut. Segera
pedangnya menyambar kian kemari membuat
Si Setan Puntung yang sudah terluka pada
bahu kirinya menjadi sibuk kewalahan!
Jika saja kejadian pertempuran ini
didengar dari cerita orang lain, maka
pasti Niliman Toteng tak akan bisa
mempercayai bagaimana seorang kawakan
dalam dunia persilatan seperti Si Setan
Puntung dapat "dipermainkan" oleh seorang
gadis muda remaja yang umurnya belum lagi
dua puluh tahun, bahkan Setan Puntung
dibantu pula oleh seorang resi yang
berkepandaian cukup tinggi!
Niliman Toteng seorang perempuan
berhati jahat! Ini dapat dilihat dari
kulit mukanya yang hitam, bibirnya yang
ungu serta hidungnya yang tinggi bengkok
seperti paruh burung betet! Meski jahat
namun diam-diam mengagumi kehebatan
jurus-jurus permainan silat Wulansari
yang tak pernah dilihatnya sebelumnya.
Dan yang sangat menarik perhatian
perempuan bergelar "Iblis Jangkung" ini
ialah pedang mustika sakti yang
mengeluarkan sinar merah yang dipegang
oleh Wulansari! Tak salah kalau si Setan
Puntung bisa dibikin babak belur demikian
rupa!
Niliman Toteng maju selangkah
mendekati kalangan pertempuran. "Gadis
baju kuning, siapakah engkau yang berani
menumpahkan darah di pintu gerbang
kotaraja ini?!"
Wulansari tidak menjawab malahan
memutar pedangnya dengan hebat serta
cepat sehingga membuat rantai besi di
tangan Si Setan Puntung terbabat putus
untuk kesekian kalinya dan kini hanya
tinggal dua jengkal saja lagi! Sedang
untuk kesekian kalinya pula Setan Puntung
merasakan tangannya serta seluruh
tubuhnya menjadi panas. Keadaannya sudah
payah sekali cuma karena malu
diusahakannya untuk bertahan sedapat-
dapatnya. Sementara itu rasa panas akibat
hawa pedang merah yang sebelumnya
membabat bahunya terasa semakin menjadi-
jadi. Meski dia sudah kerahkan tenaga
dalamnya yang tinggi untuk menolak hawa
maut tersebut namun sia-sia belaka!
Majineh sendiri bertempur setengah mati.
Diam-diam dia memaki dalam hati karena
sampai saat itu Niliman Toteng masih
belum juga turun tangan membantu.
Si jangkung maju lagi. "Setan Puntung
dan kau Majineh, minggirlah! Biar aku
yang ringkus tikus kuning ini! Kalian
berdua hanya memalukan sahabat-sahabat
yang ada di kotaraja saja!"
Setan Puntung dan Majineh gembira
sekali. Tanpa menunggu lebih lama
keduanya segera melompat ke luar dari
kalangan pertempuran. Setan Puntung pergi
duduk bersandar ke sebatang pohon,
mengatur jalan darah serta pernafasannya.
Tenaga dalamnya dikerahkan ke seluruh
bagian tubuhnya. Namun demikian sama
sekali manusia kate ini tidak sanggup
menolak dan melenyapkan hawa panas yang
menjalar di seluruh tubuhnya. Si pendek
ini mulai mengerang, merintih kesakitan.
Majineh datang, bantu mengerahkan tenaga
dalamnya ke tubuh Si Setan Puntung, tapi
hasilnya nihil. Hawa panas semakin
menjadi-jadi. Setan Puntung kelangsangan,
mengerang kelojotan dan tampangnya benar-
benar jadi menyeramkan seperti setan!
Tiba-tiba erangannya terhenti. Tubuhnya
tak bergerak lagi! Mati! Setan Puntung
mati dengan membawa satu penyesalan
besar. Selama puluhan tahun menjadi tokoh
dunia persilatan dia telah menghadapi
berbagai lawan tangguh! Namun hari ini
akhirnya dia terpaksa menyerahkan nyawa
di tangan seorang pemuda belia, satu
kematian yang tak pernah diduganya.
Inilah penyesalan yang dibawa mati oleh
si pendek sakti tersebut!
Niliman Toteng berdiri dengan
bertolak pinggang di muka Wulansari.
"Gadis baju kuning, orang-orang
menggelariku Iblis Jangkung! Tapi hari
ini aku masih punya sedikit belas kasihan
padamu. Terlalu sayang kalau mukamu yang
cantik itu kukepruk dengan tanganku.
Serahkan pedangmu padaku, berlutut minta
ampun dan kau boleh pergi dengan
aman...."
Wulansari tertawa mendengus. Dia tahu
manusia di hadapannya ini berilmu tinggi.
Sua-ranya yang melengking agaknya
disertai dengan aliran tenaga dalam
karena Wulansari dapat merasakan
bagaimana gendang-gendang kedua
telinganya jadi bergetar!
"Iblis Jangkung, atau siapapun
namamu..." sahut Wulansari, "aku tak mau
cari urusan dengan kau yang sudah tua,
tapi bila kau berpihak pada anjing-anjing
kotaraja kaki tangan Suto Nyamat
ketahuilah, aku yang masih muda tidak
takut terhadapmu!"
Niliman Toteng tertawa melengking
tinggi. Mukanya kelihatan semakin hitam
sedang hidungnya tambah membengkak!
"Bocah sombong! Dikasih hati malahan
menantang. Di kasih ampun malahan
melawan! Hari ini Iblis Jangkung akan
mematahkan batang lehermu!"
Serentak dengan itu maka Niliman
Toteng melompat ke muka. Kedua tangannya
diulur ke arah leher si gadis! Tapi tidak
begitu mudah untuk dapat mematahkan
begitu saja batang leher "pendekar
betina" ini! Wulansari memutar pedang
saktinya. Angin panas keluar menyambar
dari pedang itu ke arah Niliman Toteng
sedang mata pedang membabat dengan cepat
memapaki kedua lengannya yang terulur!
Niliman Toteng cepat bungkukkan tubuh dan
turunkan kedua tangannya. Kini kedua
tangan perempuan jangkung ini menyelinap
dari bawah, berusaha merampas pedang
merah sakti di tangan Wulansari!
Tapi siapa sangka, begitu lawannya
menurunkan tangan dengan kecepatan yang
luar biasa pedang merah itu membabat pula
ke bawah, seakan-akan tahu apa yang bakal
dilakukan Niliman Toteng!
Perempuan muka hitam ini terkejut!
Kini dia benar-benar merasakan sendiri
kehebatan Wulansari dan cepat-cepat dia
tarik pulang kedua tangannya! Dari dalam
saku besar jubah merahnya Niliman Toteng
kemudian mengeluarkan satu gulungan kain
berwarna merah yang ternyata adalah
sebuah stagen! Benda ini salah satu
senjata ampuh yang dimiliki Niliman
Toteng. Dia sengaja mengeluarkan stagen
tersebut karena dia maklum, sebelum dapat
merampas pedang di tangan Wulansari maka
akan sukar bagihya untuk meringkus gadis
baju kuning itu! Dia lebih dari maklum
bahwa Wulansari adalah murid seorang
sakti yang tidak boleh dibuat main-main!
Niliman Toteng gerakkan tangan
kanannya. Gulungan stagen membuka dan
melesat ke muka laksana seekor ular piton
bergerak meliuk ke arah pinggang
Wulansari. Gadis ini cepat-cepat melompat
ke samping seraya kirimkan satu tusukan
dahsyat ke dada Niliman
Toteng tapi serangan ini dengan mudah
dapat dielakkan perempuan jangkung itu
dan malahan stagennya kini meluncur ke
arah hulu pedang di tangan Wulansari!
Si gadis tinggikan tangannya dan
putar senjata itu dengan sebat. Stagen
Niliman Toteng tak berhasil membelit hulu
pedang bahkan gerakkannya terhalang oleh
sambaran-sambaran angin pedang mustika
yang panas itu! Niliman Toteng
mempercepat gerakannya. Tubuhnya
berkelebat sehingga sesaat kemudian
kelihatanlah dua sinar merah di udara.
Sinar yang pertama bergulung membabat
kian kemari. Inilah sinar pedang
Wulansari. Sinar merah kedua membuntal
dan meliuk cepat laksana seekor ular
mengamuk, inilah sinar stagen merah
Niliman Toteng. Beberapa jurus lagi
berlalu. Perempuan sakti itu geramnya
bukan main karena sampai saat itu
usahanya untuk membelit dan merampas
pedang lawan dengan stagennya tidak
kunjung berhasil! Bahkan satu kali ketika
stagen merah itu sudah melilit sebahagian
dari pedang lawan, siap untuk ditarik dan
dirampas tahu-tahu seperti seekor belut
licin, pedang mustika tersebut terlepas
bahkan jika saja Niliman Toteng tidak
cepat-cepat menarik stagen pasti sebagian
dari senjatanya kena dirobek ujung
pedang!"
Disamping rasa termengkal geram dan
penasaran terhadap gadis muda belia itu,
Niliman Toteng juga menjadi malu pada
diri sendiri, apalagi saat itu Majineh
ada pula di sana! Siapun yang tidak kenal
dengan Niliman Toteng yany bergelar Si
Iblis Jangkung itu! Di Blambangan dia
merupakan orang sakti nomor tiga dan di
Kotaraja sendiri pahlawan-pahlawan
Baginda yang berilmu tinggi sekalipun
menaruh hormat serta jerih kepadanya.
Tapi hari ini... seorang gadis berbaju
kuning yang umurnya belum lagi mencapai
dua puluhan, telah membuat dia benar-
benar gusar mendongkol dan besar kepala!
Sebenarnya, dalam ilmu mengentengi tubuh
serta tenaga dalam Wulansari masih berada
jauh di bawah Niliman Toteng. Namun ka-
rena gadis ini memegang sebilah pedang
merah yang sakti luar biasa serta
mempergunakannya dalam jurus-jurus yang
sebelumnya tak pernah dilihat oleh
Niliman Toteng, yakni "Dewi Pedang
Delapan Penjura Angin," maka untuk
beberapa lamanya perempuan tua sakti yang
sudah punya berbagai pengalaman dalam
dunia persilatan itu dibikin tidak
berdaya, apalagi untuk mendesak
Wulansari!
Waktu pertempuran hampir memasuki ju-
rus kelima puluh maka Niliman Toteng
benar-benar kehilangan muka dan malu
sekali! Dengan mengandalkan ilmu silatnya
saja dia tak akan sanggup meringkus gadis
itu! Satu-satunya jalan ialah dengan
mempergunakan cara yang licik dan busuk!
Niliman Toteng membentak keras melengking
tinggi memekakkan anak telinga. Bersamaan
dengan itu tangan kirinya dengan sangat
cepat, hampir tidak kelihatan bergerak
memgeruk saku jubahnya! Sebuah benda
hitam kemudian melesat ke arah Wulansari
dan...
Pesss!!!
Kelihatanlah asap hitam mengepul
ganas di muka Wulansari. Asap ini berbau
busuk dan amis sekali serta mengandung
zat yang melumpuhkan bila tercium!
Bagaimana Wulansari mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menolak bau busuk amis
tersebut namun pernafasannya telah
menghirup sedikit dari asap buruk itu,
terus terbawa ke dalam rongga paru-
parunya! Wulan merasakan kepalanya pusing
dan berat. Pemandangannya menggelap dan
akhirnya dengan pedang sakti masih
tergenggam di tangan gadis ini roboh
pingsan!
* * *
ENAM
KOTARAJA besar sekali, banyak
bangunan dan gedung-gedung besar, banyak
jalan serta persimpangan. Sebagai orang
baru yang pertama kali datang ke sana
tentu saja Mahesa Kelud menjadi
kebingungan. Apalagi di malam seperti itu
dan tengah mencari seorang buruan pula!
Tapi dengan tetapkan hati dan dengan
cara-cara yang tidak mencurigakan
akhirnya pemuda ini berhasil juga
mendapat keterangan di mana letak gedung
kediaman Suto Nyamat yang baru saja
dipindahkan ke kotaraja.
Gedung ini besar sekali lagi mewah.
Beberapa pengawal menjaga di pintu
gerbang. Mahesa Kelud menempuh jalan di
samping gedung. Di bagian yang tidak
begitu terang, pemuda ini segera gunakan
ilmu mengentengi tubuhnya untuk melompati
tembok gedung yang tingginya dua kali
manusia! Dia sampai di tepi sebuah kolam
dalam tarn an yang indah. Tak satu
orangpun kelihatan. Pemuda ini dengan
cepat tapi tetap waspada segera bergerak
mendekati gedung utama yang kelihatannya
sunyi-sunyi saja. Di bagian belakang dari
gedung ini di mana terdapat sebuah pintu,
berdiri dua orang pengawal. Mahesa
mengambil sebuah batu dan melemparkan
batu itu beberapa langkah di hadapan
pengawal-pengawal. Ketika kedua pengawal
ini menjadi terkejut dan memandang ke
arah benda yang jatuh itu, maka Mahesa
dengan cepat segera melompat dari ujung
dinding gedung dan menotok punggung
mereka. Keduanya rubuh kaku. Mahesa
menyeret mereka ke bagian taman yang
gelap!
Pintu belakang tidak terkunci. Dengan
mudah Mahesa Kelud masuk lewat pintu ini.
Dia sampai di satu ruang belakang yang
besar, kemudian melewati dapur lalu
menyusuri sebuah gang yang lantainya
ditutupi dengan permadani indah betbunga-
bunga. Gang ini membawanya ke sebuah
ruangan tengah yang besar dan mewah
dengan kursi-kursi serta meja yang
keseluruhannya terbuat dari kayu jati
berukir-ukir. Di dinding kiri kanan
ruangan ini terdapat masing-masing tiga
buah pintu. Mahesa mulai dengan pintu
paling ujung di samping kiri. Pintu ini
dibukanya dan ruang di dalamnya ternyata
sebuah kamar yang luas mewah. Tapi tak
satu orangpun yang dilihatnya. Mahesa
Kelud keluar dengan cepat dan memeriksa
kamar kedua. Juga ini sebuah kamar mewah
tapi juga tiada satu manusiapun ada di
dalamnya! Di kamar ketiga baru pemuda ini
menemui orang pertama penghuni gedung dan
ternyata adalah istri Suto Nyamat yang
saat itu tengah tertidur nyenyak.
Perempuan ini tidak cantik dan
kulitnyapun agak hitam. Tapi untuk jadi
istri Suto Nyamat yang bertampang buruk,
dia sudah terlalu bagus!
Dengan berpikir-pikir di mana manusia
yang dicarinya bersembunyi maka pemuda
ini segera menuju ke pintu keluar. Tapi
baru saja daun pintu dibukanya sedikit
maka matanya yang tajam dapat melihat
bagaimana pintu paling ujung di dinding
ruangan di seberangnya terbuka. Seorang
perempuan separuh baya, yaitu seorang
pelayan, keluar membawa sebuah baki
berisi piring serta gelas kotor. Ini
memberi pertanda pada Mahesa Kelud bahwa
di dalam kamar itu pasti ada seseorang!
Pelayan dilihatnya menutupkan pintu kamar
dan meninggalkan ruangan itu menuju ke
belakang.
Mahesa Kelud segera keluar dari kamar
di mana dia berada dan menyeberangi
ruangan menuju kamar tempat pelayan tadi
keluar. Di muka pintu dia berdiri
sebentar untuk memasang telinga. Lalu
Mahesa membungkuk dan mengintip lewat
lobang kunci.
Seseorang dilihatnya dalam kamar itu.
Tapi seseorang ini bukan Suto Nyamat.
Melainkan seorang gadis remaja puteri
yang parasnya cantik sekali! Demikian
cantiknya sehingga Mahesa Kelud harus
mengakui bahwa gadis di dalam kamar ini
adalah lebih cantik dari Kemaladewi,
bahkan lebih cantik dari kekasihnya
sendiri, Wulansari! Siapakah gerangan
gadis itu? Istri Suto Nyamat yang
termuda? Tak dapat dipastikan.
Anaknya....? Mustahil, Suto Nyamat dan
istrinya bertampang buruk tapi anaknya
sejelita itu! Mahesa mengintip lagi lewat
lobang kunci dan kali ini dilihatnya si
gadis tengah mengambil sesuatu lalu duduk
di kursi besar. Benda yang diambilnya
ternyata adalah jahitan. Gadis ini duduk
dan mulai menyulam.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari
ujung gang. Mahesa Kelud cepat
meninggalkan pintu tersebut dan
bersembunyi di balik sebuah kursi panjang
besar. Yang datang adalah pelayan
perempuan tadi. Dia masuk ke dalam kamar
dan menutupkan pintu. Mahesa menunggu
sebentar lalu kembali melangkah ke pintu
tersebut. Pada saat matanya mengintai
maka telinganya mendengar suara yang
merdu dari gadis di dalam kamar.
"Embok Inah, ayahku masih belum
pulang?"
"Belum Den Ayu...."
"Aku tak mengerti ke mana beliau
malam-malam begini.... Setiap malam
selalu pergi seperti orang yang tak betah
di rumah!" Gadis itu memutuskan benang
sulaman dengan gigi-gi-ginya yang rata
bagus serta berkilat lalu mengganti
benang baru.
"Mungkin ayahmu pergi ke istana, Den
Ayu," terdengar suara Embok Inah, si
pelayan.
"Mungkin" desis si gadis. "Ibu sudah
tidur?"
"Sudah."
Kini tahuiah Mahesa Kelud bahwa gadis
cantik yang tengah menyulam di dalam
kamar itu memanga adalah putri Suto
Nyamat. Meski dari pembicaraan yang dapat
ditangkapnya cukup jelas bahwa Suto
Nyamat memang tak ada dalam gedung
tersebut, namun untuk memastikan bahwa
manusia tersebut benar-benar tidak ada
maka Mahesa memeriksa dua kamar lainnya
serta bagian-bagian di seluruh gedung
itu. Ternyata memang penghuni di dalam
gedung cuma istri dan anak Suto Nyamat
serta Embok Inah.
Ketika pemuda itu kembaii mengintai
lewat lobang kunci maka Embok Inah tak
ada lagi di kamar. Si gadis masih juga
menyulam dengan asyiknya. Mahesa Kelud
berdiri termangu. Apa yang akan
dilakukannya sesudah mengetahui bahwa
Suto Nyamat tidak ada di dalam gedung
itu? Tiba-tiba satu pikiran terlintas di
kepalanya.
"Jika ini kulakukan... ya, pasti Suto
Nyamat akan keluar dari
persembunyiannya!" kata Mahesa dalam
hati. Lalu dibukanya pintu di hadapannya
dan masuk ke dalam.
Gadis itu meskipun tahu ada seseorang
yang masuk masih saja terus menyulam
tanpa mengangkat kepalanya karena dia
menyangka yang masuk itu adalah
pelayannya, Embok Kinem. Namun ketika
akhirnya dia mengangkat kepala betapa
terkejutnya dia! Matanya terbuka lebar
mulutnya hendak berteriak tapi teriakan
itu tiada keluar dari tenggorokannya.
Seorang pemuda gagah, yang sama sekali
tak dikenalnya berdiri hanya beberapa
langkah di hadapannya!
"Saudari, tak usah takut, tak usah
berteriak. Aku tidak akan
mengganggumu..." kata Mahesa.
"K... kau... kau mengejutkan aku...."
"Maafkan kalau begitu."
"Kau siapa?!" tanya si gadis, hatinya
agak tenang sedikit melihat sikap dan
tutur kata si pemuda yang ramah itu.
"Aku seseorang yang tengah mencari
ayahmu. Kau anak Suto Nyamat, bukan...?"
Gadis itu terkejut mendengar
bagaimana Mahesa Kelud menyebut nama
ayahnya dengan "Suto Nyamat" saja,
padahal semua orang selalu memanggil
dengan sebutan Raden Mas, atau Adipati!
Diletakkannya sulamannya ke atas meja di
samping kursi.
"Ada apa kau mencari ayahku,
saudara...?"
"Ada urusan yang harus
diselesaikannya."
"Urusan apa?" tanya puteri Suto
Nyamat.
"Urusan nyawa," jawab Mahesa Kelud.
Untuk kedua kalinya mata gadis itu
jadi membeliak sedang mulutnya menganga.
Ta hulah dia bahwa pemuda ini tidak
bermaksud baik terhadap ayahnya.
"Kau hendak membunuh ayahku?"
Mahesa melangkah lebih dekat lalu
mengangguk. Puteri Suto Nyamat berteriak,
namun sebelum suara teriakan itu keluar
dari tenggorokannya tubuhnya sudah kejang
kaku lebih dahulu karena ditotok oleh
Mahesa Kelud!
* * *
Dengan cepat Mahesa Kelud membopong
tubuh gadis itu di bahu kirinya. Dia
melangkah ke pintu dan keluar. Tapi tiba-
tiba saja tubuhnya bertabrakan dengan
sesosok tubuh lain, yaitu tubuh Embok
Inah yang kebetulan hendak masuk ke dalam
kamar tersebut! Bukan main terkejutnya si
pelayan melihat ada seorang pemuda tak
dikenal di hadapannya. Dan jadi lebih
terkejut lagi ialah menyaksikan bagaimana
tubuh Retno, puteri majikannya, dipanggul
oleh pemuda tersebut, entah masih hidup
entah sudah mati!
Maka berteriaklah pelayan ini
setinggi langit.
"Culik! Tolong! Pengawal! Culik...."
Mahesa Kelud keluar dari kamar dengan
cepat. Badannya membentur tubuh Embok
Inah, membuat perempuan ini terpelanting
dan jatuh duduk. Si pelayan berkunang-
kunang pemandangannya seketika. Namun dia
berdiri dengan cepat dan berteriak
kembaii.
"Culik Den Ayu Retno diculik!
Tolong!"
Ketika Mahesa sampai di ujung gang
yang menghubungkan ruang tengah dengan
bagian belakang gedung besar itu maka di
pintu berjubalanlah kira-kira sepuluh
orang pengawal, masing-masing dengan
senjata di tangan!
"Maling rendah!" maki pengawal paling
muka. "Jangan harap kau bisa kabur di
sini!"
Kesepuluh prajurit tersebut segera
menyerbu. Mahesa Kelud menjangkau sebuah
kursi kayu yang berada di dekatnya. Kursi
ini diputarnya dengan sebat pada para
penyerang. Beberapa pengawal menjerit
roboh kena dihantam kursi. Yang lain-lain
masih coba mengurung pemuda itu. Mahesa
putarkan lagi patahan kursi yang masih
ada di tangannya. Kembaii terdengar pekik
kesakitan. Dua orang pengawal terdekat
menjerongkang jatuh kena tendangan kaki
dan sesaat kemudian Mnhonn sudah keluar
dari pintu belakang, lari ke tamnn
melompati tembok untuk kemudian hilang di
telan kegelapan malam sementara isi
geduny di mana Suto Nyamat tinggal itu
menjadi hiruk pikuk!
Di pintu gerbang kotaraja Mahesa
Kelud menghentikan langkahnya. Di tempat
ini tadi mana terjadi pertempuran antara
dia dan Wulansari melawan kaki-kaki
tangan Suto Nyamat maka kini di sini tak
ada satu orangpun yang dilihatnya! Apakah
pertempuran sudah selesai? Mana mayat-
mayat yang sebelumnya menggeletak di
hadapan pintu gerbang ini? Di mana
Wulansari? Mahesa Kelud tak bisa berpikir
lebih lama. Dia sudah susun rencana untuk
menculik dan melarikan puteri Suto Nyamat
agar musuh besar itu keluar dari
persembunyiannya.
Dengan hati tidak enak pemuda ini
kemudian lari cepat menuju ke bagian
timur luar kota. Waktu menuju ke kotaraja
tadi bersama Wulansari, di satu tempat
yang sunyi di luar kota mereka telah
menemui sebuah pondok buruk yang didiami
oleh seorang nenek-nenek tua renta.
Perempuan ini baik sekali. Mahesa membawa
Retno ke pondok ini, akan disembunyikan
di sini.
Nenek tua yang membuka pintu sangat
terkejut ketika melihat pemuda yang
pernah datang ke tempatnya sebelumnya
kini muncul dengan membawa sesosok tubuh
gadis berparas cantik yang dari
pakaiannya segera diketahui bahwa gadis
ini adalah seorang anak hartawan atau
orang berpangkat!
"Anak muda," kata si nenek. "Jika kau
hendak berbuat kotor di pondokku ini,
lebih baik siang-siang kau angkat kaki
dari sini!"
Mahesa Kelud masuk dan membaringkan
gadis culikannya di ata balai-balai yang
beralastikar pandan. Dia berpaling
menghadapi si nenek. "Jangan khawatir
nenek. Aku tidak sejahat yang kau
sangkakan...."
"Lantas mengapa kau culik gadis ini?
Anak siapa dia...?"
"Sengaja aku larikan ke sini adalah
untuk memancing keluar ayahnya yang
tengah bersembunyi dan merupakan musuh
besarku dan kawanku tempo hari."
"Siapa ayah gadis ini?"
"Suto Nyamat, bekas Adipati Madiun
yang kini dipindahkan ke kotaraja!"
"Suto Nyamat....? Ampun, tobat aku!
Anak muda kalau ayahnya tahu puterinya
kau sekap di sini pasti kepalaku akan
dipancung! Tobat!"
"Tak akan terjadi apa-apa denganmu,
nenek. Aku jamin," kata Mahesa dengan dua
jari tangannya pemuda ini kemudian
melepaskan totokan di tubuh si gadis.
Retno segera sadar dan duduk di tepi
balai-balai. Dua orang ada di hadapannya.
yang satu tua renta, tak dikenalnya. Yang
satu lagi pemuda gagah, penculiknya.
Gadis ini segera menutup muka dengan
kedua tangannya yang berjari-jari halus
panjang dan menangis tersedu-sedu.
"Kembalikan aku... kembalikan aku ke
rumah," katanya berulang kali di antara
tangis-nya.
"Den Ayu," demikian Mahesa Kelud
memanggil gadis itu. Meski Retno adalah
anak musuh besarnya bersama Wulansari,
namun dia tetap tidak melupakan
peradatan, apalagi disadarinya bahwa
gadis ini tak sangkut paut dengan segala
kejahatan yang diperbuat ayahnya!
"Aku sekali-kali menculikmu bukan
untuk membuat sesuatu yang jahat atau
buruk. Aku terpaksa melakukannya untuk
memancing agar ayahmu keluar dari
persembunyiannya. Kalau saja ayahmu bukan
seorang pengecut yang melarikan diri dan
sembunyi, mungkin kau tak akan turut
terlibat dalam persoalan ini!"
"Ayahku bukan seorang pengecut!"
tukas Retno.
"Mungkin...."
"Dia juga tidak jahat!"
"Mungkin..." jawab Mahesa lagi. Kali
ini Retno mengangkat kepalanya, menatap
paras pemuda itu. Aneh, mengapa hatinya
berdebar melihat paras yang gagah ini?
Mengapa dia tak sanggup membenci si
pemuda meski dia tahu bahwa Mahesalah
yang telah menculik dan melarikannya?!"
"Den Ayu," kata Mahesa Kelud.
"Dengarlah, aku akan segera pergi. Tapi
kepergianku ini janganlah kau anggap
merupakan kesempatan baik bagimu untuk
melarikan diri! Jika kau lari kembali ke
gedung ayahmu, mungkin keadaanmu akan
menjadi lebih sulit lagi dari
sekarang...."
Retno tidak menyahut. Mukanya ditutup
dengan sehelai sapu tangan dan kembali
gadis ini menangis tersedu-sedu.
* * *
TUJUH
Ketika dia kembaii lagi ke pintu
gerbang kotaraja, keadaan tetap seperti
waktu dia sehabis menculik Retno tadi.
Tak sepotong manusiapun ada di sana
sementara hari semakin gelap juga dan
malam tambah melarut. Pemuda ini mulai
kawatir. Di mana semua manusia tadi itu
kini? Dan di mana pula kekasihnya
Wulansari? Apakah gadis itu berhasil
mengalahkan semua lawan-lawannya? Atau
sudah kena celaka, diringkus oleh musuh?
Tapi yang belakangan ini mustahil adanya
bagi Mahesa karena dia yakin benar dalam
menghadapi Si Setan Puntung dan dua resi
baju ungu yang sudah babak belur itu
Wulansari pasti menang. Tapi kini gadis
itu hilang lenyap begitu saja!
Dalam dia termenung dan termangu
seperti itu tiba-tiba melompatlah sesosok
tubuh ke hadapannya. Orang ini gesrt
sekali gerakannya dan ternyata dia adalah
seorang pemuda se-baya Mahesa Kelud dan
bertampang keren. Potongan tubuh mereka
hampir sama.
"Kau tengah mencari seseorang sobat?"
bertanya pemuda yang baru datang.
Mahesa Kelud tak segera menjawab.
Ditelitinya dulu pemuda itu. Dia segera
maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu
tinggi dan orang dari dunia persilatan
juga. Hulu pedang tersembul di
punggungnya sedang sebilah keris tersisip
di pinggangnya!
"Saudara," kata Mahesa Kelud,
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu aku
ingin tahu dulu, apakah kau lawan atau
kawan?"
Yang ditanya mengulum senyum. "Kalau
kau percaya kau boleh anggap aku kawan,"
sahutnya. "Betul kau mencari seseorang?"
"Betul."
"Gadis baju kuning tua?"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya
Mahesa Kelud heran.
Pemuda itu tersenyum lagi.
"Waktu terjadi pertempuran antara
kalian dan orang-orangnya Suto Nyamat aku
berdiri tak jauh dari sini. Kemudian Suto
Nyamat melarikan diri dan kau
mengejarnya. Menurutku, kau tinggalkan
kawanmu itu adalah karena kau merasa
yakin gadis baju kuning tersebut akan
sanggup menyelesaikan ketiga lawannya.
Dugaanmu memang betul jika kemudian tidak
datang seorang lain yang sakti dan
licik!"
"Jadi kawanku kena diringkus?!" tanya
Mahesa Kelud tegang.
Pemuda itu mengangguk. "Kawanmu sudah
merobohkan salah seorang resi baju ungu
dan melukai Si Setan Puntung. Pada saat
itu datanglah perempuan tua bertubuh
jangkung bermuka hitam. Dialah yang
digelari Si Iblis Jangkung! Nama
sebenarnya Niliman Toteng. Dia kakak
kandung dan kakak seperguruan Waranganaya
Toteng! Ilmunya tinggi sekali dan
disamping itu dia licik! Bagaimana
hebatnya kawanmu namun Niliman Toteng
akhirnya dapat meringkus gadis tersebut!"
Mahesa Kelud hampir tak bisa
mempercayai kalau kekasihnya yang sudah
tinggi ilmu kepandaiannya serta memiliki
pedang sakti masih bisa diringkus dengan
mudah. Namun dia ingat kata-kata gurunya
bahwa di luar langit masih ada langit
lagi! Setiap ada orang pandai akan ada
pula orang lain yang lebih pandai!
Kemudian terdengar pula pemuda itu
berkata. "Setelah bertempur beberapa
puluh jurus maka Niliman Toteng
mengeluarkan bola beracunnya. Bola itu
menyebarkan bau amis busuk dan
menyebabkan adikmu jatuh pingsan ketika
mencium bau amis busuk tersebut. Niliman
Toteng kemudian melarikannya...."
Mahesa Kelud tiba-tiba teringat
sesuatu. Dia memandang dengan tajam pada
pemuda itu. "Tadi kau bilang kepadaku
sebagai seorang kawan. Jika gadis baju
kuning itu dicelakai mengapa kau tidak
bantu...?"
"Namaku Supitmantil," katanya, "Dan
walau bagaimanapun aku mengambil sikap
bersahabat terhadap kalian tapi
membantumu secara terang-terangan itu
satu hal yang aku tidak bisa lakukan...."
"Mengapa?" tanya Mahesa Kelud pula.
"Karena aku adalah masih orang dalam
juga yang kenal baik dengan semua
hulubalang dan pendekar-pendekar istana,
meski banyak diantara mereka yang aku
tidak senangi, termasuk Suto Nyamat...."
"Kalau begitu kau manusia ular kepala
dua," ujar Mahesa Kelud.
"Kau boleh bilang demikian," kata si
pemuda itu pula dengan tertawa. Tak ada
perubahan nada pada ucapannya yang
menandakan bahwa dia tidak marah dengan
kata-kata Mahesa tadi.
"Kau bisa menunjukkan ke mana kawanku
gadis baju kuning itu dilarikan?" tanya
Mahesa.
Supitmantil mengangguk. "Niliman
Toteng membawanya ke gedung hartawan
Prajadika, seorang hartawan yang dekat
hubungannya dengan Baginda. Putra
hartawan ini bernama Prajakuncara dan
adalah murid Niliman Toteng. Niliman
Toteng sangat sayang pada sang murid
karena Prajakuncara pandai mengambil hati
sang guru dan memenuhi segala apa saja
yang diinginkan oleh Niliman Toteng.
Prajakuncara sendiri bukan seorang pemuda
baik-baik. Dia suka mengganggu istri
orang, suka mempermainkan dan merusak
kehormatan anak gadis orang, pokoknya dia
seorang manusia yang masih muda belia
tapi terlalu doyan sama perempuan! Kau
bisa memaklumi apa maksud Niliman Toteng
membawa sahabatmu ke gedung hartawan
itu...."
Menggeletar sekujur tubuh Mahesa
Kelud mendengar itu. Menggeram hatinya
dan menggejoblak amarahnya. "Lekas
tunjukkan aku gedung manusia keparat
itu!" katanya.
"Ikuti aku," jawab Supitmantil.
"Tapi tunggu dulu, Supit."
Si pemuda balikkan tubuh. "Ya?"
"Jika kau coba menipu dan menjebakku,
itu satu tanda bahwa umurmu tak akan lama
lagi!"
Supitmantil tersenyum. "Percaya
padaku, sobat!" katanya.
Kedua pemuda itu berlari cepat
memasuki kotaraja di malam yang telah
larut serta gelap pekat itu. Di satu
jalan mereka menghentikan lari dan
berjalan seperti biasa.
"Lihat gedung besar dan bagus itu?"
tanya Supitmantil seraya menunjuk ke
muka.
Mahesa mengangguk.
"Itulah gedung Prajadika...."
"Mari kita serbu!" kata Mahesa sudah
tak sabaran.
"Jangan gegabah, sobat,"
memperingatkan Supitmantil. "Kita harus
hati-hati karena tidak mudah untuk masuk
ke gedung. Banyak orang-orang pandai di
sana. Kurasa Niliman Toteng sendiri
menginap di situ!"
"Aku tidak takut sama iblis perempuan
itu!" kata Mahesa geram.
"Memang banyak orang yang tidak takut
padanya, tapi harus diingat bahwa selain
ilmunya tinggi dia juga licik busuk.
Lihat saja bagaimana dia meringkus gadis
sahabatmu. Kita sebaiknya atur rencana.
Aku melompati tembok masuk ke dalam
menemui Niliman Toteng dan ajak dia
bicara-bicara. Sementara itu kau melompat
ke atas genting gedung dan selidiki di
kamar mana sahabatmu disekap. Aku pasti
sekali bahwa gadis itu berada di kamar
Prajakuncara!"
"Baik, cepatlah!"
Di luar, gedung hartawan Prajadika
memang tidak dijaga oleh siapa-siapa.
Tapi di dalam gedung terdapat beberapa
orang berkepandaian tinggi, satu di
antaranya adalah Niliman Toteng yang saat
itu tengah duduk menyirih dengan mulut
komat kamit di samping gedung.
Meski dia tidak melihat orangnya
namun dia dapat mendengar suara turunnya
sepasang kaki menginjak tanah di halaman
samping yang agak gelap itu! Demikianlah
hebatnya daya dengar Iblis Jangkung ini!
Tanpa memutar kepala ataupun mengge-
ser duduknya, Niliman Toteng bertanya
membentak: "Tamu tak diundang dari mana
yang berani datang malam-malam begini?!"
"Niliman Toteng harap dimaafkan dan
jangan marah kalau aku yang muda ini
mengganggu ketenteramanmu. Aku
Supitmantil datang untuk bicara dengan
kau."
Barulah Niliman Toteng memutar duduk-
nya. Dia memang kenal baik dengan pemuda
bertampang keren itu dan suka bicara-
bicara. Dengan tiada rasa curiga
sedikitpun dia menyambut kedatangan si
pemuda. Percakapan yang asyikpun segera
terjadi.
Sementara itu dari jurusan yang lain
Mahesa Kelud dengan mengandalkan ilmu
mengentengi tubuhnya yang tinggi, laksana
seekor burung rajawali melompat melayang
ke atas wuwungan gedung tanpa menimbulkan
sedikit suarapun ketika kedua kakinya
menginjak wuwungan tersebut! Dia segera
memulai pemeriksaannya, membuka genteng
gedung sebagian demi sebagian, mencari di
kamar mana kekasihnya di sekap.
Ketika dia bergerak mendekati bagian
tengah dari atap gedung maka didengarnya
suara bentakan-bentakan lantang
menggeledek. Hatinya gembira karena dia
dapat mengenali suara tersebut yang tak
lain dari pada suara Wulansari adanya!
Dibukanya bagian genteng di jurusan suara
itu. Di bawahnya kemudian dilihatnya
sebuah kamar besar dengan perabotan serta
mewah.
Di atas tempat tidur di kamar itu
terbaring Wulansari. Meski gadis ini bisa
membuka mulut dan bicara keras namun
tubuhnya tidak dapat bergerak. Ini satu
tanda bahwa gadis itu ditotok pada bagian
tubuhnya! Sesudah mencium bau amis dari
senjata rahasia Niliman Toteng tadi,
Wulansari jatuh pingsan dan dilarikan ke
gedung tersebut. Niliman kemudian
memberikan obat penawar sehingga
Wulansari sadar kembali tapi sebelum
sadar tubuhnya telah lebih dahulu
ditotok, hingga biarpun dia bisa bicara
namun sekujur tubuhnya tetap tumpuh kaku!
Meskipun gadis ini kerahkan tenaga
dalamnya untuk membuyarkan totokan
tersebut namun sia-sia saja karena
totokan Niliman Toteng benar-benar ampuh.
Di samping kekasihnya sendiri maka
dalam kamar itu Mahesa Kelud melihat
seorang pemuda bermuka putih dan
berpakaian bagus sekali. Pasti ini adalah
anak si hartawan, Prajakuncara. Pemuda
ini duduk di tepi tempat tidur dengan
senyum-senyum meskipun Wulansari mencaci
makinya habis-habisan.
"Pemuda hidung beiang! Pergi dari
sini! Terkutuk kau!" Ingin sekali gadis
ini mengg-rakkan kedua kakinya untuk
menendang tubuh Prajakuncara tapi apa
daya kedua kaki dan sekujur tubuhnya
berada dalam keadaan lumpuh!
"Dengar gadis cantik!" kata
Prajakuncara sambil dekatkan kepalanya ke
muka si gadis. "Daripada kau memaki
berteriak hingga akhirnya suaramu yang
merdu itu jadi serak. Lebih bagus kita
secara baik-baik. Kau cantik sekali dan
pantas jadi istriku! Aku belum punya
istri dan ingin kawin!"
"Kawinlah dengan setan neraka!"
bentak Wulansari.
Prajakuncara tertawa membahak. "Kau
ini ada-ada saja," katanya sambil
memegang pipi Wulansari dengan kedua
tangannya. "Masakan aku yang begini gagah
disuruh kawin dengan setan neraka! Kau
lebih pantas!" Tangan pemuda yang
memegang pipi turun ke bahu, berhenti di
sini sebentar lalu bergerak menyusup di
balik baju kuning Wulansari!
"Keparat jahanam! Jangan jamah
tubuhku!" teriak Wulansari.
Sebaliknya kedua tangan itu semakin
menggerayang bahkan Prajakuncara kini
kelihatan merebahkan tubuhnya di samping
si gadis dan menyilangkan kakinya di atas
paha Wulansari!
Seperti disengat kalajengking Mahesa
Kelud melihat pemandangan ini! Dia segera
melompat turun dari atas genteng dengan
pedang merah terhunus!
"Manusia rendah! Hari ini kau musti
mampus!"
Bukan main kagetnya Prajakuncara. Ta-
ngannya yang meremes dada Wulansari
keluar dari balik baju. Dengan cepat dia
segera bangun. Pemuda ini serta merta
jatuhkan tubuhnya di lantai ketika satu
sambaran merah melesat ke kepalanya.
Masih untung dia sempat berbuat begitu,
kalau tidak pasti kepalanya akan terbelah
dua!
Ketika dia berdiri lagi maka
Prajakuncara sudah menghunus sebatang
pedang hitam. Senjata ini adalah buatan
gurunya Si Iblis Jangkung. Dengan geram
murid Niliman Toteng ini menyerbu Mahesa
Kelud. Untuk kedua kalinya pedang dewi di
tangan Mahesa membabat. Prajakuncara
gunakan pedangnya untuk menangkis. Namun
keringat dingin membasahi tubuhnya ketika
senjata tersebut menjadi buntung dua di
babat pedang lawan. Belum lagi habis rasa
kaget serta kecut ngerinya maka sinar
merah menyambar untuk ketiga kalinya! Dan
kali ini pemuda doyan perempuan itu tidak
bisa lagi selamatkan nyawanya.
"Cras!"
Kepala dan tubuh Prajakuncara saling
terpisah satu sama lain! Darah muncrat
deras.
Tubuh anak hartawan itu rebah ke
lantai beralaskan permadani indah sedang
kepalanya menggelinding ke sudut kamar!
Sebagai murid dari Niliman Toteng
yang sakti sebenarnya Prajakuncara
memiliki ilmu silat tinggi. Namun karena
dia berada dalam keadaan kaget serta
gugup, lagipula dalam menyerang tadi
Mahesa Kelud mempergunakan jurus yang
hebat dari ilmu "Dewi Pedang Delapan
Penjura Angin" yakni jurus yang dinamakan
"kitiran dewi memapas puncak gunung" maka
mana sanggup murid Niliman Toteng
tersebut selamatkan nyawanya!
Dengan cepat Mahesa Kelud melompat ke
tempat tidur dan melepaskan totokan di
tubuh kekasihnya. Kedua mata Wulansari
nampak berkaca-kaca karena gembira dan
terharu melihat bagaimana pemuda
kecintaannya sendiri yang melepaskannya
dari bahaya yang luar biasa terkutuknya
itu! Dipeluknya Mahesa Kelud erat-erat.
"Wulan, mari kita keluar dari sini
dan buat perhitungan dengan setan
perempuan itu!"
"Ya, kita harus cari dia dan bikin
mampus karena pedang merahku juga telah
dirampasnya!"
"Apa?!" terkejut sekali Mahesa
mendengar keterangan kekasihnya itu.
Keduanya segera melompat ke atas
atap.
* * *
DELAPAN
Niliman Toteng tutup mulutnya yang
sedang bicara ketika mendengar suara
Wulansari di samping kirinya.
"Perempuan Iblis! jika kau benar-
benar punya nyali dan sakti, mari kita
bertempur sampai seribu jurus tanpa
mempergunakan ilmu yang kotor dan licik!"
Supitmantil, yang tengah bicara
dengan Niliman Toteng, pura-pura
terkejut. Niliman Toteng sendiri juga
terkejut tapi dapat menyembunyikan rasa
terkejutnya itu!
Niliman Toteng tertawa. "Hem...
rupanya ada tikus kepala hitam yang
bebaskan kau sehingga kau kini bisa
pentang mulut huh?!"
"Perempuan keparat! Jangan banyak
bacot! Kau takut menerima tantanganku?!"
bentak Wulansari.
Kedua alis mata Niliman Toteng tampak
menjadi naik. Kemudian didengarnya pula
Mahesa Kelud berkata mengejeknya. "Wulan,
aku pernah dengar tentang riwayat
perempuan tua buruk ini! Dia seorang
pelarian dari Blambangan, persis sama
seperti adiknya si Waranganaya Toteng!
Orang mengatakan bahwa dia lari
meninggalkan Blambangan karena terjadi
perpecahan diantara orang-orang pandai di
sana. Tapi kau tahu hal yang sebenarnya?
Setan tua ini tak lain melarikan diri
karena kehilangan muka, dikalahkan oleh
beberapa orang muda seperti kita yang
dianggapnya tikus kepala hitam! Datang ke
sini dia berhasil jual lagak! Buktinya
dia tak punya nyali melayanimu secara
jujur tanpa ilmu busuk licik itu!"
Muka Niliman Toteng jadi mengkerut
karena mendengar ejekan tajam itu.
Hidungnya yang bengkok semakin tambah
bengkok! "Pemuda mulut besar! Kau murid
siluman dari gunung manakah yang berani
mengejek aku. Sudah bosan hidup, ya?!"
Mahesa Kelud tertawa sinis. "Jika kau
anggap guruku seorang siluman, maka kau
tentunya nenek moyang siluman! Tapi dari
jenis yang pengecut! Menghadapi tantangan
adik seperguruanku saja kau sudah
mengkerut!"
Di sampingnya, Supitmantil berbisik
pada Niliman Toteng. "Hati-hati, Niliman.
Pemuda ini lebih berbahaya dari gadis
itu."
"Baiklah, biar kubikin lumat tubuh
keduanya!" kata Si Iblis Jangkung seraya
maju ke muka.
"Eh, tunggu dulu Iblis Jangkung!"
kata Mahesa Kelud sambil angkat tangan
kirinya. Dari tangan itu keluar angin
yang menyambar ke arah Niliman Toteng,
padahal gerakan tangan tersebut demikian
pelahan!
"Pemuda banyak bacot! Apalagi
maumu?!" bentak Niliman Toteng penuh
geram dan hentikan langkahnya.
"Aku tidak yakin kau akan melayani
adik seperguruanku dengan jujur sebelum
kau kembalikan pedang merahnya!" kata
Mahesa Kelud.
"Soal pedang soal kemudian!" jawab
Niliman Toteng.
"Kalau begitu..." ujar Wulansari,
"Siapa sudi berkelahi dengan maling tua!"
Niliman Toteng menggereng menahan
amarahnya yang sudah tak terkendalikan.
Dari balik jubah merahnya dikeluarkannya
pedang Wulansari.
"Ini, ambillah pedangmu kembaii!"
kata perempuan jangkung itu. Lemparan
yang dilakukannya bukan lemparan biasa
karena pedang tersebut melesat laksana
anak panah lepas dari busur dengan mata
pedang mengarah ke dada Wulansari! Jika
orang berilmu kepalang tanggung pasti
akan kena celaka bila coba menyambut
senjata tersebut. Namun dengan sikap acuh
tak acuh si gadis gerakkan tubuhnya ke
samping. Tangan kanannya bergerak dan
tahu-tahu hulu pedang sudah berada dalam
genggamannya!
"Bagus!" Memuji Si Iblis Jangkung.
Serentak dengan itu dia keluarkan
stagennya dari balik jubah dan menyerbu
Wulansari! Meski cuma sehelai stagen
namun keampuhannya luar biasa. Ujung dari
benda ini bisa dipakai untuk menotok,
memukul mata sampai buta atau mematakan
tulang-tulang dada dan iga! Belitannya
dapat mematahkan tulang pinggang atau
meremukkan tulang leher!
Mahesa Kelud dapat melihat bagaimana
gerakan-gerakan yang dibuat oleh Niliman
Toteng sangat gesit, cepat laksana kilat
dan berbahaya sekali. Stagen merahnya
meliuk-liuk laksana seekor ular piton dan
adakalanya seperti sebuah cambuk yang
dipukuikan dan mengeluarkan suara
menggelegar! Untuk beberapa lamanya
Wulansari hanya bisa bertahan. Ketika
gadis ini mulai mengeluarkan jurus-jurus
menengah dari ilmu "Dewi Pedang Delapan
Penjura Angin," maka setiap serangan
Niliman Toteng menjadi gagal buyar dan
ngelantur sama sekali. Betapapun
perempuan tua ini mempercepat gerakannya
namun sia-sia saja. Tak bisa dia mendesak
Wulansari, malahan keadaannya jurus demi
jurus semakin kepepet! Pedang merah
merambas dan membabat kian kemari!
Serangan-serangan yang dilancarkan
Wulansari cepat serta banyak sekali
perubahannya. Dalam satu tusukan hebat
senjata itu sampai berubah arah dua tiga
kali sehingga sukar diduga bagian tubuh
yang mana dari Niliman Toteng yang
diserang! Seumur hidupnya baru kali ini
perempuan tua kawakan itu menghadapi ilmu
pedang yang demikian anehnya dan
berbahaya!
Dalam satu gebrakan yang hebat tiba-
tiba:
"Breet"!
Jubah merah di bagian dada Niliman
Toteng robek besar dimakan ujung pedang.
Perempuan tua ini keluarkan seruan
tertahan. Keringat dingin memercik di
tengkuknya. Cepat-cepat dia kerahkan
tenaga dalamnya untuk menolak hawa panas
yang terasa bersarang di dadanya!
Penasaran perempuan iblis ini kemudian
kerahkan tenaga bathinnya. Mulutnya komat
kamit terpencong-pencong! Jelas sudah
bahwa Niliman Toteng tengah membaca
mantera-mantera sihir untuk memukul
lawannya yang tak sanggup dihadapinya
secara jujur itu!
"Ha... ha! Anak ingusan hendak
mempermainkan aku?! Rebah! Kau harus
rebah! Harus! Ayo rebah!"
Suara Niliman Toteng yang diiringi
dengan tenaga ilmu hitamnya masuk
memukul-mukul lubang telinga Wulansari,
menguasai otak serta menanarkan
pemandangannya.
"Rebah! Kau harus rebah....! Lihat
aku, rebah!" Kedua lutut Wulansari
melipat.
"Wulan! Jangan pandang dia!" seru Ma-
hesa Kelud dengan kerahkan tenaga dalam-
nya. "Dia tengah menyihirmu!"
Wulansari sendiri segera maklum bahwa
lawan tengah berlaku licik terhadapnya.
Dia memandang kejurusan lain sambil
kerahkan tenaga dalam menolak sihiran
Niliman Toteng! Bersamaan dengan itu dari
hulu pedang mustika sakti yang
dipegangnya keluar hawa panas yang sama-
sama menolak dan memusnahkan pengaruh si-
hir Si Iblis Jangkung! Sesaat kemudian
kelihatanlah bagaimana tubuh Wulansari
berkelebat cepat dan dengan ganas kembaii
mengirimkan serangan bertubi-tubi ke arah
Niliman Toteng!
Melihat bagaimana ilmu sihirnya tiada
mempan dan tidak sanggup merobohkan la-
wannya bukan main geram dan penasaran se-
kali Niliman Toteng! Tangan kirinya
bergerak. Kemudian dengan satu teriakan
peringatan dia melemparkan senjata
rahasianya berupa jarum-jarum beracun
yang sangat berbahaya sekali.
"Awas jarum!"
Puluhan jarum berkilauan menyambar ke
arah Wulansari. Gadis ini putar pedangnya
di muka dada dan semua senjata rahasia
Niliman Toteng dibikin mental!
"Keparat!" maki Si Iblis Jangkung
dalam hatinya. Dia kembaii di desak hebat
sampai akhirnya bahu kirinya kena
tersambar ujung pedang. Jubahnya robek
sedang daging bahunya terkelupas!
Disamping rasa sakit Niliman Toteng
merasakan pula bagaimana dari lukanya itu
menjalar hawa panas menggidikkan!
Perempuan ini cepat-cepat kerahkan tenaga
dalamnya yang disertai bacaan mentera-
mantera hingga akhirnya hawa panas itu
tertolak juga sesudahnya terjadi
pergumulan seru dalam tubuh Niliman
Toteng. Jika saja Niliman bukan seorang
berilmu sangat tinggi, ketika pergumulan
antara hawa panas dari pedang Wulansari
dengan tenaga dalamnya, pasti tubuhnya
akan kelojotan dan mampus seperti yang
terjadi dengan Si Setan Puntung
sebelumnya!
Jago tua ini benar-benar kehilangan
muka. Tanpa malu-malu dia berteriak pada
Supitmantil.
"Supit jangan menonton saja! Bantu
aku!"
Untuk tidak menimbulkan kecurigaan
orang tua itu maka Supitmantil segera
cabut kerisnya yang memancarkan sinar
biru. Senjata ini adalah sebuah mustika
sakti. Ketika dia maju ke dalam kalangan
pertempuran maka Mahesa Kelud segera
memapakinya dengan pedang merah di
tangan. Kini terjadilah pertempuran yang
seru di antara kedua anak muda itu. Walau
bagaimanapun ampuhnya keris di tangan
Supitmantil namun pedang sakti Mahesa
Kelud belum dapat ditandinginya.
Supitmantil sendiri tidak berani beradu
senjata, disamping itu pertempurannya
melawan Mahesa Kelud dilakukannya dengan
setengah hati pula! Dengan mengandalkan
kegesitan yang luar biasa pemuda ini
masih sanggup membendung serta
mengelakkan setiap serangan Mahesa Kelud.
Tapi itu tidak bisa lama dilakukannya.
Kalau saat itu tidak segera datang kira-
kira setengah lusin orang-orang jago
kelas tiga, pendekar-pendekar istana,
mungkin Supitmantil sudah kena dilukai!
Datangnya jago-jago kelas tiga istana
ini merupakan lawan berat bagi Mahesa
Kelud serta Wulansari meski mereka
memiliki sepasang pedang sakti. Mereka
bisa bertahan sampai ratusan jurus
sekalipun, tapi selain membuang waktu dan
menghabiskan tenaga saja maka semua itu
tak ada gunanya!
Sambil mendekati kekasihnya, Mahesa
Kelud memberi isyarat untuk lari.
Diiringi dengan bentakan tinggi dari
Mahesa Kelud serta lengkingan dahsyat
dari Wulansari maka kedua orang itupun
putar tubuh, melompati tembok gedung.
Iblis Jangkung dan beberapa orang lainnya
segera lemparkan senjata rahasia masing-
masing! Dengan putar pedang sakti mereka
di belakang tubuh semua senjata rahasia
itu bermentalan! Mahesa Kelud dan
Wulansari kemudian membalas serangan
senjata rahasia tersebut dengan pasir
panas merah. Sebelum berlalu mereka masih
sempat mendengar suara pekikan beberapa
orang yang tubuhnya kena dihantam pasir
panas! Mereka tidak menduga kalau dua
muda mudi itu memiliki senjata rahasia
pula dan di malam yang begitu pekat
butiran-butiran pasir yang demikian
kecilnya siapa sanggup melihatnya!
Niliman Toteng segera meninggalkan
tempat itu menuju ke kamarnya di belakang
gedung. Dia menuju ke sini bukan saja
untuk bersemedi guna mengatur jalan darah
dan pernafasan serta mengobati lukanya,
tapi juga untuk menghindarkan orang-orang
di luar sana yang tak sanggup
dipandangnya karena malu! Namanya sebagai
jago tua yang disegani seluruh orang
sakti di kotaraja pasti akan luntur! Ke
mana mukanya hendak dihadapkan!
Supitmantil sendiri sesudah Niliman
Toteng mengunci diri dalam kamar segera
tinggalkan gedung tersebut.
Gedung hartawan itu untuk beberapa
lamanya diliputi kesunyian seperti tak
ada terjadi apa-apa sebelumnya! Tapi
ketika pelayan menemui mayat tanpa kepala
Prajakuncara, maka heboh dan hiruk
pikuklah seluruh isi gedung tersebut!
* * *
Kedua muda-muda itu menuju ke pondok
di luar kotaraja. Wulansari terkejut
ketika melihat di dalam pondok itu ada
seorang gadis cantik jelita, duduk di
balai-balai kayu. Pakaiannya bagus sekali
menandakan bahwa dia adalah anak seorang
berpangkat atau bangsawan kaya raya!
Retno sendiri terkejut pula melihat
Mahesa Kelud kembaii bersama seorang
gadis remaja berpakaian kuning dan
berparas cantik!
"Siapa dia, Mahesa?" tanya Wulansari.
"Dia adalah puteri Suto Nyamat...."
"Puteri Suto Nyamat?! Kalau begitu
dia harus mampus!" Wulansari mencabut
pedangnya.
"Wulan! Tahan!" seru Mahesa Kelud
seraya pegang pergelangan tangan
kekasihnya!
Wulansari jadi heran dan penasaran
sekali melihat perbuatan Mahesa Kelud.
"Mahesa," katanya, "Apa kau lupa manusia
ini adalah anak musuh besar kita, yang
telah membunuh ibu serta ayah dan guru?!
Kau lupa?!"
"Aku tidak lupa, Wulan... masukkan
pedangmu kembali," kata Mahesa.
Gadis itu merengut. Tapi dia mematuhi
juga perintah kekasihnya, meski hatinya
tidak senang sama sekali!
"Wulan, dia memang puteri musuh besar
kita! Tapi dia tidak berdosa apa-apa dan
tidak ada sangkut pautnya dengan segala
kejahatan yang dibuat ayahnya!"
"Tapi dia cukup pantas untuk
menanggung dosa ayahnya!" tukas Wulansari
tajam.
Mahesa Kelud gelengkan kepala. “Tidak
Wulan, jika ayahnya bersalah kita tak
bisa salahkan anaknya. Tapi sebaliknya
jika anaknya bersalah mungkin kita bisa
salahkan ayahnya...."
Wulansari tambah penasaran melihat
sikap dan mendengar kata-kata kekasihnya
itu. Rasa cemburu segera menjalari
dirinya terutama ketika dia menyadari
bahwa anak gadis Suto Nyamat itu memang
lebih cantik dari dia!
"Siapa namamu?!" tanya Wulansari
dengan membentak serat kasar.
Retno tak menjawab. Diam-diam dia
penasaran diperlakukan seperti itu dan
diam-diam entah mengapa dia merasa benci
sekali pada Wulansari!
"Kau tak mau menjawab? Minta ditampar
hah?!" hardik Wulansari.
Air muka Retno merah padam. "Saudari,
walau bagaimanapun aku adalah manusia
yang punya harga diri, mungkin lebih
berharga dari kau! Karena itu tak usah
menanya dengan membentak. Jika kau mau
bunuh aku, silahkan! Aku tidak takut
mati!"
Wulansari jadi naik pitam. Tangannya
bergerak untuk menampar muka Retno tapi
lagi-lagi niatnya itu dihalangi oleh
Mahesa Kelud! Wulansari berpaling dan
memandang beringas pada kekasihnya. Belum
pernah Mahesa Kelud melihat gadis itu
memandang demikian rupa. Tiba-tiba
Wulansari merenggutkan lengannya dari
pegangan Mahesa dan lari keluar!
Mahesa Kelud menyusul. Didapatinya
kekasihnya berdiri menangis dan menutupi
mukanya dengan kedua tangan. Pemuda itu
memegang bahu kekasihnya. "Wulan,
dengarlah..." katanya.
Wulan menggerakkan tubuhnya sehingga
pegangan kekasihnya terlepas. "Mengapa
kau ke sini?! Sudah saja di dalam sana!
Kau membela gadis itu! Belalah terus!
Pergi sana!"
"Wulan, dengar...."
"Aku tidak mau dengar!"
"Aku tidak membelanya, Wulan."
"Memang tidak, cuma menolongnya! Dia
lebih cantik dariku, pergilah ke sana!
Pergi!"
Bergetar tubuh Mahesa Kelud mendengar
kata-kata itu. Namun dengan tenang dia
bertanya: "Kau cemburu, adik?!"
"Aku bukan adikmu lagi, Mahesa! Kau
telah bersekutu dengan puteri musuhku!
Dia adikmu yang baru!"
Mahesa memutar tubuh gadis itu.
Ketika berhadapan-hadapan Wulansari yang
sudah mata gelap dan tak sanggup lagi
menahan segala kekesalan yang menyesakkan
dadanya, tanpa disadari memukul mendorong
Mahesa Kelud sehingga pemuda itu terjajar
ke belakang!
Mahesa Kelud merasa sedih dan kecewa
sekali atas sikap tindakan Wulansari itu.
Dengan langkah gontai ditinggalkannya
tempat itu. Hatinya murung, pikirannya
kacau balau. Musuh besar masih
bersembunyi dan antara dia dengan
Wulansari terjadi perbantahan yang
seharusnya tidak boleh terjadi! Apakah
yang akan dilakukan sekarang? Sementara
malam sudah larut begitu? Langkahnya
dihentikannya di muka pintu. Di luar sana
didengarnya Wulansari menangis dan di
dalam pondok didengarnya pula tangisan
Retno.
Akhirnya pemuda ini memutar tubuhnya
dan melangkah meninggalkan tempat itu,
tak tahu harus pergi ke mana. Dia
berjalan sipembawa kakinya!
* * *
SEMBILAN
Tanpa disadarinya pemuda ini sampai
di tepi sebuah anak sungai. Langkahnya
terhenti waktu kakinya terpeleset di
tebing sungai. Dia terduduk di tanah
beberapa lamanya, kemudian berdiri dengan
perlahan dan melangkah menuju ke sebuah
batu besar di sebelah sana. Dia duduk di
atas batu ini, bersila. Kedua matanya
dipejamkan. Sukar baginya untuk mulai
bersemedi karena hatinya masih kecewa,
sedih dan seperti diiris-iris. Karena
pikirannya kacau balau sukar dipusatkan
dan karena telinganya seakan-akan masih
mendengar kata-kata bentakan
Wulansari.... Kau membela gadis itu...
belalah terus.... Pergi sana! Aku tidak
mau dengar... dia lebih cantik dariku,
pergi kepadanya... pergi!" Dan apa yang
lebih memedihkan hati pemuda ini ialah
ketika Wulansari berkata: "Aku bukan
adikmu lagi, Mahesa! Kau telah bersekutu
dengan puteri musuhku! Dia adikmu yang
baru!"
"Wulan..." kata Mahesa dalam hatinya.
"Dari pada kau bicara demikian, lebih
baik tetakkan pedangmu di kepalaku. Bunuh
aku! Rasanya itu lebih baik!" Pemuda ini
menarik nafas dalam. Seperempat jam
kemudian baru dia dapat memusatkan
pikirannya dan menutup kelima panca
inderanya, mulai bersemedi.
Gadis itu tidak tahu berapa lama dia
berdiri menangis seperti itu. Disekanya
muka serta matanya dengan selendang
kuning pengikat pinggang pakaiannya. Dia
memandang berkeliling. Tak terlihat
Mahesa Kelud. Hanya kegelapan yang ada di
sekelilingnya. Dirapikannya letak rambut
serta pakaiannya, disekanya mukanya
sekali lagi lalu melangkah ke pintu
pondok yang terbuka sedikit. Pintu
didorongnya dan mengeluarkan suara
berkereketan menyebabkan Retno yang saat
itu masih duduk terisak-isak ditepi
balai-balai kayu mengangkat kepalanya.
Untuk beberapa detik lamanya
pandangan kedua gadis ini saling beradu.
Kemudian Retno cepat-cepat memutar kepala
berpaiing ke jurusan lain. Nenek-nenek
pemiiik pondok tersebut duduk di bagian
lain dari balai-balai kayu tertidur ayam.
Kedua matanya membuka sedikit dan
mengikuti Wulansari yang melangkah di
hadapannya. Di hadapan pintu sebuah kamar
Wulansari berhenti. Di dalam kamar ini
ada sebuah tempat tidur juga dari kayu.
Tempat tidur itu kosong, seluruh kamar
kosong tak ada manusia. Pemuda yang
dicarinya tak ada di sana. Wulansari
menuju ke belakang di mana terletak dapur
sempit yang perabotannya hanya sebuah
tungku besi yang sudah sumbing dan panci
kaleng yang bocor! Juga di sini tidak
ditemuinya pemuda itu. Ketika dia
melewati bagian muka dari pondok, ingin
sekali dia menanyakan pada si nenek di
mana adanya Mahesa Kelud. Tapi niat
tersebut dibatalnya. Dia melangkah terus,
keluar dari pondok dan kembaii ke gelapan
malam serta udara dingin sembilu
menyambutnya.
Matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya
turun naik dan dia mulai terisak-isak.
Kemarah-annya telah mereda dan jauh di
lubuk hatinya kini terasalah penyesalan
yang menyesakkan rongga-rongga
pernafasannya. Dia ingat betapa dia telah
bicara kasar terhadap kekasihnya itu!
Telah membentak bahkan memukulnya.
Semuanya itu dilakukannya karena marah
yang tidak beralasan, karena cemburu buta
terhadap anak gadis Suto Nyamat!
Dalam hati sedih penuh penyesalan
itu, dengan air mata mengalir membasahi
kedua pipinya, dia melangkah perlahan.
Dia tak tahu di mana Mahesa Kelud berada,
entah masih di sekitar situ, entah sudah
pergi jauh meninggalkannya dan tak
kembali lagi.
"Mahesa..." rintih gadis ini dalam
hatinya. Dia melangkah terus, kadang-
kadang terhuyung atau tersandung. Dia
melangkah, dan dia menangis. Di manakah
kekasihnya... dapatkah Mahesa memaafkan
segala tindak lakunya yang kasar tadi?
Kalau saja pemuda itu ada di hadapannya
saat ini, maulah dia berlutut memagut
kedua kaki Mahesa Kelud dan menangis.
Tapi Mahesa tidak ada, Entah di mana....
Seperti Mahesa Kelud tadi, Wulansari
pun dalam ketidak sadarannya melangkah
sepembawa kakinya hingga akhirnya sampai
pula di tepi sungai, di bagian yang tidak
berapa jauh dari tempat di mana Mahesa
Kelud duduk bersemedi. Wulansari duduk di
atas batang pohon kayu tumbang. Menutup
mukanya dengan kedua tangannya dan
menangis, sejadi-jadi sepuas-puas
hatinya. Jika saja Mahesa Kelud tidak
tengah bersemedi, pasti pemuda ini dapat
mendengar tangis kekasihnya itu!
Tak berapa lama lagi hari akan pagi,
matahari akan segera terbit. Dari
pedesaan telah terdengar kokok ayam
bersahut-sahutan. Perlahan-lahan Mahesa
Kelud membuka semua panca indera yang
tadi ditutupnya ketika bersemedi. Meski
tubuhnya kini segar namun kepedihan hati
yang begitu mendalam masih belum dapat
dihilangkannya. Mendadak, lapat-lapat ia
dengar seorang perempuan yang tengah
menangis ini, tangisnya demikian sedih
menusuk perasaan, membuat bertambah
perihnya luka dihati si pemuda.
Perlahan-lahan Mahesa Kelud berdiri
dan meninggalkan tempat itu, menuju ke
arah datangnya suara tangisan. Samar-
samar dalam kegelapan dilihatnya sosok
tubuh duduk di atas batang kayu di tepi
sungai, membelakanginya. Langkahnya serta
merta terhenti ketika pemuda ini
mengenali siapa adanya orang tersebut.
Satu pergolakan terjadi dalam
dadanya. Pergolakan antara rasa kasih
sayang dan kasihan dengan rasa kekecewaan
dan kelukaan hati! Pemuda ini termangu
sejurus. Rasa kasih sayang dikalahkan
oleh rasa kekecewaan. Rasa iba dikalahkan
oleh kelukaan hati yang amat sangat.
Pemuda ini segera putar tubuhnya namun
kakinya menginjak sebatang ranting
kering! Suara patahan ranting terdengar
jelas dan keras dalam kesunyian itu.
Orang yang sedang menangis memutar tubuh!
"Mahesa!"
Betapapun, kerasnya hati, namun
seruan itu, suara itu membuat mau tak mau
Mahesa Kelud menghentikan langkahnya.
Wulansari menjatuhkan dirinya di hadapan
pemuda itu, memeluk kakinya dan menangis
tersedu-sedu. Mahesa merasakan butiran-
butiran air mata hangat membasahi
kakinya.
"Mahesa... Mahesa..." ratap
Wulansari. Hati yang tadi keras, hati
yang tadi begitu kecewa dan sedih, hati
yang tadi demikian lukanya, kini seperti
diguyur air dingin sejuk. Kalau tadi
Mahesa Kelud mengangkat kepalanya tinggi-
tinggi, memandang ke arah kejauhan, maka
kini perlahan-lahan kepala itu
diturunkannya.
"Wulan..." bergetar suara pemuda ini
ketika menyebut nama kekasihnya.
"Berdirilah," katanya.
"Kau... kau maafkan aku, Mahesa...?"
sedu Wulansari.
"Tak ada yang harus dimaafkan,
Wulan."
"Ada, aku salah. Aku bersalah besar
terhadapmu, Mahesa. Aku berdosa besar!"
"Tak ada kesalahan yang kau buat,
adik. Tak ada dosa yang kau lakukan.
Berdirilah."
"Tidak Mahesa, aku merasa bersalah
dan berdosa meski kau anggap itu semua
tidak ada. Maafkan dulu aku, Mahesa,
maafkan dulu adikmu ini, baru aku
berdiri...."
"Aku maafkan kau Wulan.
Berdirilah...." Gadis itu berdiri.
Dipeluknya tubuh Mahesa, disembunyikannya
kepalanya di dada yang bidang itu. Dia
masih menangis tapi bukan menangis karena
sedih, sebaliknya kini menangis gembira!
Mahesa Kelud membelai rambut kekasih-
nya. Kemudian disekanya pipi yang basah
dengan air mata itu, bahkan dengan penuh
kasih sayang diciumnya kedua mata yang
bening berkilauan oleh air mata itu.
Wulansari tersenyum. Betapa indahnya
senyum itu, lebih indah rasanya dari yang
dulu-dulu.
"Wulan, mari kita pergi dari sini..."
kata Mahesa. Keduanya meninggalkan tempat
itu, menuju ke pondok. Beberapa tombak
dari pondok tersebut Mahesa menghentikan
langkahnya.
"Kau tunggu di sini saja, Wulan."
"Kau mau ke mana, Mahesa...."
"Menemui gadis itu untuk menerangkan
kepadanya bahwa bila pagi tiba dia bisa
kembaii ke kotaraja, ke gedung ayahnya."
"Kau tak boleh temui dia, Mahesa. Aku
benci padanya."
"Aku memaklumi, Wulan.... Kalau
begitu kaulah yang pergi."
Gadis itu gelengkan kepalanya.
"Sudah, pergilah...."
"Kau tidak marah...?"
"Tidak."
"Kau tidak cemburu?"
Wulan mencubit lengan Mahesa Kelud.
Sambil mengusap tangannya yang sakit
pemuda itu menuju ke pondok. Tak lama
kemudian dia kembaii mendapatkan
kekasihnya. "Gadis itu sudah tidur. Aku
bicara dengan nenek pemiiik pondok. Kau
marah dan cemburu aku bicara padanya?"
tanya Mahesa menggoda.
Wulansari mengulurkan tangan kanannya
dan tahu-tahu telinga kiri Mahesa Kelud
terjewer keras hingga pemuda ini mengaduh
ke-sakitan!
"Ampun, tipu ilmu mana yang kau
pergunakan untuk menjewer telingaku ini,
Wulan?!"
"Itu namanya tipu gadis manis
menjewer pemuda ceriwis!" kata Wulansari
pula sambil tertawa cekikikan.
Mau tak mau Mahesa juga jadi ikut
tertawa gelak-geiak. Tapi dia tidak
tinggal diam. Tiba-tiba tangan kirinya
meraih pinggang gadis itu dan tahu-tahu
tubuh Wulansari sudah berada di atas bahu
kirinya untuk kemudian dibawanya lari
secepat-cepatnya.
"Hai! Kau mau culik aku kemana?!"
teriak Wulansari. "Lepaskan! Ayo turunkan
aku!"
"Ha... ha... ha!" bergelak Mahesa
Kelud. "Ini namanya tipu pemuda ceriwis
menculik pacar genit!"
Wulansari selinapkan tangan kirinya
di belakang kepala Mahesa. Begitu jari-
jarinya berhasil menangkap daun telinga
pemuda itu maka segera dipuntir
dijewernya.
Mahesa terpekik kesakitan tapi dia
lari terus walau termiring-miring. Betapa
mesranya ke dua insan itu walau kadang-
kadang kemesraan itu disingkapkan dalam
cara dan keadaan aneh dan lucu.
TAMAT
Segera menyusul!!!
MAHESA KELUD
PEDANG SAKTI KERIS ULAR EMAS
Dengan judul :
LUTUNG GILA
0 comments:
Posting Komentar