Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, tempat dan
ide hanya kebetulan belaka
PEMIKAT NYI SEKAR DAYANG KUNTI
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh
isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti
SATU
Bau busuk menyeruak menyengat hidung. Para
penduduk desa Rawa Kandar merasa resah dengan
aroma yang membuat perut mereka mual. Mereka juga
bukannya tidak tahu dari mana asal bau busuk itu...
Dari sebuah gubuk reyot! Gubuk kecil yang nampak
kotor dan tak terurus. Dari celah-celah dinding bilik
yang nampak rombeng, banyak bertebaran lalat-lalat
hijau keluar masuk dalam gubuk itu.
Pemiliknya seorang nenek keriput bernama Ni Luh
Wedas. Dia memang tidak pernah mengurusi rumah-
nya. Sehari-harinya ia selalu sibuk dengan putrinya
yang sudah sekian lama terbaring dalam sebuah ka-
mar.
Keadaan Narsiah, putrinya memang harus menda-
pat perawatan khusus. Penyakit yang selama ini dide-
rita sangat aneh dan kian parah. Seluruh pori-porinya
nampak mengeluarkan darah. Kulitnya seperti meleleh
hampir copot. Mungkin itulah yang mengundang lalat-
lalat berdatangan.
Dalam gubuk itu, Ni Luh Wedas sudah terbiasa
dengan bau busuk yang berasal dari tubuh Narsiah. Ia
pun hampir putus asa menghadapi kenyataan yang di-
derita putrinya. Dan siang itu, Ni Luh Wedas betul-
betul terkejut melihat orang-orang kampung berdatan-
gan memenuhi halaman gubuk reyot yang menyebar
kan bau busuk. Cepat-cepat Ni Luh Wedas menutup
pintu.
"Ni Luh Wedas...! Kami sudah hilang kesabaran...!
Bukan kami bertindak jahat ataupun tidak memiliki si-
fat persaudaraan..." Parto yang berdiri paling depan
berbicara lantang. Beberapa orang di sebelahnya nam-
pak muntah-muntah sambil memegangi perut. Yang
lainnya menutup lobang hidung.
"Kami semua berharap agar Ni Luh Wedas mening-
galkan kampung ini..." kata Parto suaranya lebih ken-
cang lagi.
"Betul...! Penyakit putrimu itu akan membawa ben-
cana bagi orang-orang kampung ini...! Penyakit kusta
sangat berbahaya dan menular...!" kata Welang Galih
yang rumahnya paling dekat dengan gubuk itu. Ni Luh
Wedas tidak menjawab.
Tubuh kurusnya gemetar menahan takut. Narsiah
yang ikut mendengar teriakan-teriakan itu memeluk
ibunya.
"Kalau kau tidak mau pergi dari sini, kami akan
mengusir kalian...! Ini demi kebaikan kampung ini...!"
Parto masih berteriak. Beberapa orang yang tadi mun-
tah-muntah mengambil beberapa gelintir batu, lalu
mereka melemparinya.... Batu-batu itu melesat meng-
hujani gubuk. Timbul suara yang mirip serentetan le-
dakan senjata. Ni Luh Wedas semakin takut.
"Mereka tidak menjawab, Parto.... Aku khawatir
mereka berdua sudah menjadi mayat! Coba kalian
mengendus. Bau busuknya lebih parah, bukan...?" ka-
ta Welang Galih.
"Kalau benar mereka semua mampus, bakar saja
gubuk penyebar penyakit ini..." usul seseorang.
"Ya...! Lebih baik dimusnahkan! Biar penyakit tu-
runan itu tidak menular pada sanak saudara kita...!"
Seseorang menimpali.
"Bakar...!"
"Betul...! Bakar gubuk itu, bakar.,.!" Suara teriakan
mereka ramai memenuhi halaman muka. Suasana jadi
kacau. Beberapa orang mulai menyulut api, di anta-
ranya Parto dan Welang Galih.... Dari dalam gubuk Ni
Luh Wedas melihat nyala api meletup-letup dari bebe-
rapa batang obor. Mereka semua yang berada di luar
halaman sudah nekad dan siap menurut perintah me-
lemparkan batang-batang obor ke atas atap jerami.
Semuanya tergantung dari perintah Parto yang me-
mimpin rombongan itu. Pandangan Parto sendiri su-
dah tidak sabaran. Ingin rasanya gubuk itu cepat-
cepat menjadi arang. Ketika ia hendak memberikan pe-
rintah,
"Hentikan!" Suara teriakan seseorang terdengar ti-
dak jauh dari situ.
Semuanya menoleh ke arah suara. Parto dan We-
lang Galih tersentak. Ki Lurah Sentanu tiba-tiba saja
berada di situ. Wajahnya nampak memancarkan sinar
kemarahan.
"Kalian hendak melakukan apa...? Membakar me-
reka hidup-hidup...? Sungguh picik pikiran kalian...!"
kata Ki Lurah Sentanu sambil melangkah mendekati
keramaian itu.
"Apakah kalian pikir dengan membakar mereka sa-
tu cara yang terbaik...?" kata Ki Lurah lagi. Mereka ti-
dak ada yang berani jawab. Kecuali Parto....
"Apakah Ki Lurah Sentanu tidak menyadari kalau
penyakit turunan itu amat berbahaya dan menular...?
Kalau mereka dibiarkan menetap di kampung ini, ma-
ka kampung ini akan terancam...!"
"Itu bukan berarti kalian harus membakar mereka
hidup-hidup...! Mestinya kalian musyawarah dulu!"
jawab Ki Lurah Sentanu.
"Buat apa...! Musyawarah atau tidak, hasilnya
akan sama saja! Kami tidak setuju dengan adanya me-
reka di sini.... Apa Ki Lurah Sentanu masih ingat ke-
matian putraku yang masih kecil pada beberapa ming-
gu yang lalu...?" Welang Galih maju mendekati Ki Lu-
rah.
"Itu karena mereka...! Dukun mengatakan putraku
mengidap penyakit keparat itu! Bagaimana penyele-
saiannya..? Yang jelas anak beranak itu mesti dibikin
mampus." katanya lagi lebih lantang.
"Itu bukan suatu usul yang benar...!" bentak Ki Lu-
rah Sentanu sambil menatap Welang Galih.
"Sekarang kalian bubar...! Ayo bubar...! Nanti ma-
lam kalian semua berkumpul di balai desa untuk
membicarakan masalah ini.... Ayo bubar...!" perintah
Ki Lurah Sentanu tidak main-main.... Kontan satu de-
mi satu mundur menjauh. Orang-orang itu melangkah
meninggalkan gubuk itu. Hanya Parto dan Welang Ga-
lih masih tetap berdiri menatap Ki Lurah Sentanu.
"Nanti malam kalian pun harus hadir...!" kata Ki
Lurah tidak kalah menatap mereka. Parto dan Welang
Galih gelagapan mendapat tatapan yang demikian
angker. Keduanya melangkah mundur. Lalu dengan
cepat mereka membalikkan tubuh segera berlalu dari
situ dengan menggumamkan sumpah serapah.
Ki Lurah Sentanu mencium bau busuk dari dalam
gubuk itu. Tapi ia berusaha menahannya. Ia berjalan
melangkah mendekati pintu. Ni Luh Wedas yang sedari
tadi mengintip dari balik pintu merasa lega, karena
orang-orang kampung sudah tidak mengepung ru-
mahnya lagi.
Ia pun memberanikan diri membuka pintu. Daun
pintu terbuka dengan disertai deritan yang berat....
Bau busuk menyeruak ke luar. Ki Lurah Sentanu
hampir tidak menguasainya. Isi perutnya serasa anjlok
ke luar.
"Sebaiknya menjelang gelap nanti kalian mening-
galkan kampung ini... Aku khawatir mereka akan ber-
tindak kasar. Aku memang sebagai Lurah....Tapi aku
tidak dapat berbuat banyak! Mereka sudah tidak dapat
dikendalikan lagi...." kata Ki Lurah Sentanu setengah
berbisik. Ni Luh Wedas nampak cemas....
"Ka-ka-kami harus pergi ke mana, Ki.... Lagi pula
keadaan putriku..."
"Aku tahu, Ni.... Tapi ini demi keselamatan kalian...
Pergilah dari tempat ini, sebelum mereka bertindak se-
perti yang tidak kita inginkan..." usul Ki Lurah Senta-
nu halus. Sebenarnya Ki Lurah Sentanu sendiri tidak
tega melihat keadaan keluarga kecil Ni Luh Wadas
yang amat terpojok itu.
Bagaimana tidak, penduduk kampung tidak me-
nyukai adanya seorang penderita kusta. Ni Luh Wedas
sendiri merasakannya. Betapa mereka mengucilkan di-
rinya. Pahit memang..! Semua orang tidak menerima
kehadirannya. Pernah suatu waktu, ketika ia memba-
wa putrinya Narsiah ke sungai untuk memandikannya.
Para wanita yang kebetulan mencuci pakaian di sungai
melempari dengan batu-batu kali. Mereka sangat jijik
melihat keadaan Narsiah. Mereka takut kalau Narsiah
mandi di kali itu akan menularkan penyakit keturu-
nannya. Luka dikepala mereka tidak seberapa hebat
dengan rasa sakit yang ada di hati... Sampai sekarang
luka itu masih membekas!
Ni Luh Wedas tidak lebih bagai seekor makhluk
yang amat mengerikan. Tidak ada satu orang pun yang
berani mendekat ketika ia melewati perkampungan.
Mereka semua beringsut kabur masuk ke dalam ru-
mah. Jangankan mendekat atau berpapasan secara
kebetulan, baru melihat sosok tua renta itu saja mere-
ka sudah menyingkir jauh-jauh.
Pernah sewaktu ia berjalan ke pasar. Meskipun ia
membawa uang yang sedikit ia tetap bermaksud mem-
beli sesuatu yang dapat mengisi perut bersama pu-
trinya. Seorang pedagang tidak mau melayani.... Bah-
kan pedagang itu lari pontang-panting meninggalkan
dagangannya. Sekalinya ada, seorang pedagang tidak
mau menerima uangnya. Pedagang itu hanya melem-
parkan beberapa batang singkong ke tanah sembari
meludahi. Dan semua orang tertawa mengejek melihat
sosok tua itu memunguti singkong-singkong yang ber-
serakan di tanah.
Ni Luh Wedas tersadar dari lamunannya ketika so-
sok Ki Lurah Sentanu sudah berada jauh dari gubuk-
nya. Ia menatap tubuh lelaki yang berjalan semakin
menjauh. Dan ia kembali masuk ketika Narsiah me-
manggil-manggil...
*
* *
DUA
Hari hampir gelap, dalam sebuah ruangan di balai
desa nampak dipenuhi oleh para penduduk desa Rawa
Kandar. Semuanya duduk bersila menghadap kepada
Ki Lurah Sentanu yang duduk di depan ditemani den-
gan Mayan Danang, putra tertuanya.
"Kita belum bisa mulai kalau seluruh penduduk ini
belum kumpul...!" kata Ki Lurah Sentanu memecahkan
kegaduhan dalam ruangan itu. Pertemuan malam itu
memang tidak seperti biasanya.... Malam itu Ki Lurah
Sentanu sengaja mengundang semua kepala keluarga
desa Rawa Kandar.
"Mana Parto dan Welang Galih...? Kenapa mereka
belum muncul...!'" katanya lagi.
Semuanya saling mencari-cari dua sosok yang
amat dinantikan Ki Lurah Sentanu. Namun Parto dan
Welang Galih tetap tidak ada.
"Apa pentingnya mereka, Ayah.... Tanpa mereka
pun kita bisa mulai..." kata Mayan Danang putra ter-
tuanya yang duduk di samping sang ayah.
"Karena masalah ini merupakan gagasan mereka..."
jawab sang ayah. Tiba-tiba terdengar suara kentongan
tanda berita bertalu-talu dipukul oleh orang. Semua
orang yang ada di situ menjadi ribut seketika. Ada di
antaranya banyak yang keluar sehingga menimbulkan
kekacauan.
Suara kentongan yang bertalu-talu itu amat men-
cemaskan bagi orang-orang yang menghadiri perte-
muan. Bagaimanapun mereka dapat mengartikan isya-
rat kentongan... Tanda adanya kebakaran! Dari muka
balai desa sudah terlihat asap api yang membubung
tinggi menyala dalam kegelapan malam.
Suasana dalam ruangan balai desa morat-marit.
Orang-orang itu berdesakkan ke luar. Menyaksikan
nyala api yang begitu hebat. Mereka pun berlarian
mendekati arah kebakaran. Ki Lurah Sentanu bersama
putranya Mayan Danang terpaksa ikut berlari mengi-
kuti mereka.
Api masih berkobar membakar sebuah gubuk kecil.
Sekeliling gubuk yang kian panas telah dikerumuni
orang-orang kampung. Semuanya terjadi, seperti tidak
wajar.... Tidak ada satu orang pun dari puluhan warga
desa Rawa Kandar yang berusaha memadamkan koba-
ran api tersebut. Semuanya hanya menonton dengan
perasaan puas.
Sementara itu jeritan panjang terdengar jelas dari
dalam gubuk yang terbakar. Seorang perempuan tua
berusaha keluar dari kurungan api. Orang-orang kam-
pung melihat jelas perempuan tua itu menggapai-gapai
meminta pertolongan.
"Jangan bawa anakku...! Kalian jahat...! Jangan
bawa Narsiah...!" Suara itu jelas terdengar dari dalam
kobaran api. Tapi seakan-akan para penduduk Rawa
Kandar tidak mendengarnya sama sekali. Malah....
"Aaaaaaaaaarght!" Nampak jelas tubuh renta ber-
gerak-gerak termakan api yang demikian membara.
Tubuh itu kelojotan di tanah dalam kurungan pagar
api. Sampai akhirnya sebuah tiang jatuh menimpa tu-
buh berkelojotan itu.
Ki Lurah Sentanu bersama anaknya baru tiba di
tempat kejadian. Ia menatap cemas ke arah gubuk
yang mulai habis termakan api.
"Bagaimana keadaan Ni Luh Wedas bersama pu-
trinya...?" tanya Ki Lurah Sentanu ketika mereka me-
langkah ke depan melihat kobaran api.
"Entahlah.... Dari tadi tidak mendengar sua-
ranya..." jawab orang yang ditanya acuh.
Lalu ia berusaha untuk tidak menatap Ki Lurah
Sentanu yang berdiri di sebelahnya. Ki Lurah Sentanu
menarik lengan orang itu.
"Kau lihat Parto dan Welang Galih...?" tanya Ki Lu-
rah lagi. Orang itu hanya mengangkat bahu.
"Mengapa ayah selalu menanyakan mereka...?"
tanya putranya Mayan Danang.
"Aku yakin ini hasil perbuatan mereka! Pasti...!"
jawab Ki Lurah Sentanu.
"Belum tentu ayah...! Siapa tahu keluarga Ni Luh
Wedas memang bermaksud bunuh diri...!" pendapat
Mayan Danang.
Kandar tidak mendengarnya sama sekali. Malah....
"Aaaaaaaaaarght!" Nampak jelas tubuh renta ber-
gerak-gerak termakan api yang demikian membara.
Tubuh itu kelojotan di tanah dalam kurungan pagar
api. Sampai akhirnya sebuah tiang jatuh menimpa tu-
buh berkelojotan itu.
Ki Lurah Sentanu bersama anaknya baru tiba di
tempat kejadian. Ia menatap cemas ke arah gubuk
yang mulai habis termakan api.
"Bagaimana keadaan Ni Luh Wedas bersama pu-
trinya...?" tanya Ki Lurah Sentanu ketika mereka me-
langkah ke depan melihat kobaran api.
"Entahlah.... Dari tadi tidak mendengar sua-
ranya..." jawab orang yang ditanya acuh.
Lalu ia berusaha untuk tidak menatap Ki Lurah
Sentanu yang berdiri di sebelahnya. Ki Lurah Sentanu
menarik lengan orang itu.
"Kau lihat Parto dan Welang Galih...?" tanya Ki Lu-
rah lagi. Orang itu hanya mengangkat bahu.
"Mengapa ayah selalu menanyakan mereka...?"
tanya putranya Mayan Danang.
"Aku yakin ini hasil perbuatan mereka! Pasti...!"
jawab Ki Lurah Sentanu.
"Belum tentu ayah...! Siapa tahu keluarga Ni Luh
Wedas memang bermaksud bunuh diri...!" pendapat
Mayan Danang.
*
* *
Narsiah sudah tidak dapat berteriak lagi. Tubuh-
nya telah terjerat dengan dua utas tambang. Dua
orang bertubuh kekar berusaha menyeretnya cepat.
Dua orang itu tidak lain Parto dan Welang Galih, me-
reka membawanya masuk ke dalam hutan belukar
yang gelap dan menyeramkan.
Suara binatang malam maupun burung hantu
mengiringi langkah-langkah mereka yang menyeret tu-
buh Narsiah dengan terburu-buru. Langkah-
langkahnya menyeruak menyibak alang-alang liar. Tu-
buh Narsiah yang diseretnya tidak nampak karena ter-
halang dengan alang-alang yang tumbuh tinggi. Kedua
orang yang menyeret tidak perduli bilamana kepala
Narsiah membentur batu. Sekalipun mereka menden-
gar suara benturan itu sampai membledar.
"Biar mampus sekalian!" sumpah Parto.
Pohon-pohon besar berakar rambat menyaksikan
perjalanan mereka.
"Cepat, Welang Galih... Langkahmu kian lama kian
lambat saja...! Kenapa? Takut?" kata Parto menarik le-
bih cepat.
"Bukannya aku takut.... Aku bingung, sebentar ki-
ta mau ke mana...?" jawab Welang Galih.
"Ah kau ini...! Makanya sewaktu Den Mayan Danang bicara kau, dengarkan...!" kata Parto. Ia mengi-
baskan lengannya memberi aba-aba, maka Welang Ga-
lih pun menarik cepat tali tambang itu. Kembali suara
benturan membledar! Entah apa yang mengenai di tu-
buh Narsiah.
Udara dingin menyengat kulit, manakala suasana
yang begitu menyeramkan menampakkan dua sosok
tubuh kekar berjalan menyusuri tepian jeram. Dua so-
sok itu berhenti menatap gelapnya dasar jurang. Se-
perti telah direncanakan, mereka menarik tambang le-
bih kuat! Maka sosok tubuh berlumuran darah me-
nyembul dari hamparan alang-alang. Sosok tubuh
Narsiah yang sudah tak sadarkan diri. Kedua orang
yang menyeret itu mengikatkan batu pada tiap-tiap
ujung tambang. Batu-batu yang dipilihnya cukup be-
sar. Mereka sendiri susah payah mengambil batu-batu
itu. Untuk mengikat pada kedua batu itu mereka tidak
perlu waktu lama...
"Sudah beres Parto...!" kata Welang Galih selesai
mengikat. Parto pun demikian. Tanpa menjawab ia
mendorong batu itu. Welang Galih mengikutinya... Se-
bentar saja batu-batu menggelinding. Begitu juga den-
gan tubuh Narsiah yang terikat di antara batu-batu
ikut terbawa terjerumus ke bawah sana yang demikian
gelapnya...
Parto dan Welang Galih merasa tugasnya telah se-
lesai. Merekapun tersenyum puas. Mereka belum beranjak dari tempat yang menyeramkan itu. Masih ada
yang mereka tunggu. Yaitu mendengar suara degum
batu-batu dari dasar jurang. Karena hal itu meyakin-
kan mereka, bahwa batu-batu yang mereka lemparkan
akan hancur bersama tubuh Narsiah si penyebar ma-
lapetaka!
Batu-batu yang membawa tubuh Narsiah memang
meluncur deras. Sebelum batu-batu itu jatuh ke dasar
jurang, terlebih dahulu membentur tebing-tebing beba-
tuan yang menjorok ke bawah. Berkali-kali batu-batu
itu menggelinding akibat benturan dinding tebing. Par-
to sendiri yang menantikan dari atas tebing sudah ti-
dak sabaran menantikan deguman batu-batu yang di-
ikatnya.
Wajah Parto maupun Welang Galih tersentak kaget
tatkala suara deguman batu amat nyaring menggema.
Ingin sebenarnya mereka melongok ke dasar jurang.
Sayang ia merasa agak takut dan ngeri karena tebing
berbatu itu amat terjal dan dalam. Sambil bergidik
membayangkan apa yang terjadi di bawah sana, kedua
orang itu berlari menerobos hutan.
Dua bongkah batu besar yang jatuh ke dasar ju-
rang masih menggelinding terpisah berlainan arah. Ba-
tu-batu besar itu tidak hancur. Tetapi utuh seperti
semula. Hanya tambang pengikat tubuh Narsiah saja
yang nampak tersayat-sayat seperti terpotong-potong
kecil... Yang lebih aneh, tubuh gadis yang berpenyakit
kusta itu tidak ada di sekitar batu-batu dan potongan-
potongan tambang... Memang tidak mungkin! Parto
dan Welang Galih sudah yakin ikatannya itu begitu
kencang. Mereka telah berpendapat tubuh Narsiah
akan sama hancurnya bersama batu-batu itu.
Parto dan Welang Galih mana tahu raibnya tubuh
Narsiah di dasar jurang. Yang mereka tahu hanyalah
degumam benturan batu-batu yang amat dahsyat! Kini
mereka berdua berlari menerobos gelapnya hutan
kayu. Sesekali mereka harus melompati akar-akar po-
hon yang malang melintang. Kedua kaki mereka pun
terasa sekali perih di saat bergesekkan dengan rum-
put-rumput berduri. Tidak heran kalau mulai menam-
pakkan baret-baret ringan di kedua betis mereka. La-
rinya makin kencang ketika mereka hampir berada di
pinggir hutan. Mereka pun masih dapat melihat sisa-
sisa asap hitam mengepul membumbung ke atas.
Api yang semula berkobar-kobar, kini perlahan-
lahan padam akibat siraman-siraman para penduduk
yang karena terpaksa atas perintah Ki Lurah Sentanu.
Tinggal asap hitam saja yang masih mengepul.
Parto dan Welang Galih sudah berada di situ. Me-
reka langsung menyelinap dalam kerumunan puluhan
orang. Seorang anak muda mengenakan pakaian bulu
binatang merasa kaget karena terdorong oleh Parto.
Welang Galih sempat menatap anak muda itu, ia pun
sama acuhnya dengan Parto. Malah langsung mendesak menerobos kerumunan menyusul.
Mayan Danang yang sudah dapat melihat kehadi-
ran Parto dan Welang Galih langsung melangkah mun-
dur, kemudian berbalik menemuinya. Anak muda yang
mengenakan baju bulu binatang itu menatap aneh
kearah mereka. Ia pun bersikap masa bodoh seakan
tak mau ambil pusing, mungkin mereka tengah men-
gurusi kebakaran itu sampai sedemikian seriusnya.
Pikir anak muda itu.
"Singkirkan puing-puing ini... Ayo bantu aku..." ka-
ta Ki Lurah Sentanu melangkah mendekati gubuk yang
telah menjadi arang. Ia berharap tidak ada korban ba-
rang seorang pun.
Ada suatu keanehan dalam pikiran anak muda ini.
Mengapa sekarang baru mengadakan pertolongan..?
Kenapa tidak di saat-saat api masih berkobar...?
"Ayo...! Bantu aku! Kenapa kalian diam saja!" ben-
tak Ki Lurah Sentanu.
"Tapi, Ki Lurah.... Puing-puing itu masih sangat
panas." jawab salah seorang berada di dekatnya.
"Bodoh! Gunakan sebatang bambu...!" Ki Lurah
Sentanu sengit sambil melemparkan sebatang bambu
yang semula digenggamnya. Dengan gelagapan orang
itu menerimanya. Ki Lurah Sentanu mengais-ngais
lengannya menyingkirkan puing-puing serta abu-abu
bekas atap jerami. Ia tidak melihat apa-apa. Orang-
orang berdatangan mengerumuni. Cuma menonton...!
Ah buat apa aku harus berdiri di sini mengikuti
menonton yang semesti memerlukan pertolongan, biar
saja! Sekarang aku tidak perlu ikut campur... Besok
pun pasti ada beritanya, kata anak muda itu dalam
hati sambil berlalu meninggalkan kerumunan orang-
orang kampung. Baju bulunya bergerak-gerak tertiup
angin. Ujung celananya yang compang-camping ikut
bergerak-gerak saat ia melangkah.
Ki Lurah Sentanu membelalakkan matanya, ketika
ia melihat sosok hangus tertimbun sebatang tiang yang
habis termakan api. Cepat ia melangkah ke situ. Di-
pandanginya sosok kaku itu. Ki Lurah Sentanu men-
gernyitkan alis... Ia betul-betul tidak dapat mengena-
linya lagi... Tubuh Ni Luh Wedas dan Narsiah putrinya
hampir sama... Ia tidak dapat membedakan mayat sia-
pa yang tertimbun hangus menghitam bagai arang,
dengan wajah yang hampir rata tanpa wujud. Bau bu-
suk sudah lenyap sama sekali, kini berganti bau wan-
ginya daging panggang. Ki Lurah Sentanu menoleh ke
belakang ketika mendengar suara beberapa orang
mendekati. Ternyata anaknya, Mayan Danang bersama
Parto dan Welang Galih.
"Kalian yang melakukan semua ini...?" tanya Ki Lu-
rah Sentanu dengan nada marah.
"Bukan ayah! Mereka mana berani melakukan-
nya... Menurut mereka, sebelum terjadi kebakaran,
Parto dan Welang Galih tengah menuju ke balai desa,"
jawab Mayan Danang membela. Ki Lurah membelalak-
kan mata....
"Kenapa kalian tidak ada di sini ketika orang-orang
bergerombolan menuju ke sini..."
"Siapa bilang..! Malah aku dan Welang Galih lebih
dulu berada di sini... Kami sembunyi saat melihat Ki
Lurah bersama Mayan Danang datang... Kami takut
kesalahan." jawab Parto merengut. Welang Galih me-
langkah, lalu ia mengangkat tiang kayu yang menim-
bun tubuh hangus itu. Melihat tiang itu sudah terang-
kat, Parto datang membantu menarik tubuh yang
hampir menjadi arang. Sebenarnya ia merasa jijik, tapi
lantaran di hadapan Ki Lurah Sentanu, Parto merasa
seolah-olah dirinya pahlawan.
*
* *
Anak muda itu berhenti melangkah di sebuah los-
men yang cukup ramai. Di atas pintu gerbang losmen
terpampang papan nama yang bertuliskan: Mawar Ma-
lam! Para pendatang banyak yang keluar masuk pintu
itu. Belasan wanita penghibur menyambut ramah jika
ada tamu-tamu yang memasuki pintu gerbang. Bah-
kan sambutan mereka begitu menyolok. Membawa ke-
san jorok dan menegangkan saraf.
Anak muda itu masih berdiri memandangi papan
nama yang terpampang di atas pintu gerbang yang mi-
rip sebuah gapura. Tembok dindingnya tidak ada. Jadi
ia bisa melihat keramaian di situ dari luar. Dan ia pun
tersentak kaget ketika seorang wanita menarik tubuh-
nya terpojok ke tiang pintu gerbang.
"Mau cari hiburan..? Ayo masuk... Aku biasa me-
layani anak-anak muda sepertimu! Ayo jangan malu-
malu.... Sudah datang kenapa tidak masuk...?" kata
wanita itu penuh manja. Anak muda itu berontak dari
pelukannya.
"Ah.... Maaf. Aku ke sini hanya untuk menumpang
bermalam..."
"Di dalam akan lebih hangat.... Aku bisa menema-
nimu..." Wanita itu terus merangsak, anak muda itu
mendorong kasar.
"Aku tidak membutuhkan kamu...! Lagi pula aku
tidak punya uang...!" jawabnya. Wanita itu pergi sam-
bil menggerutu.
"Sial mimpi apa aku semalam, sampai menda-
patkan seorang gembel... huh! Dari tadi aku memang
sudah mencium baunya... Sungguh tolol...!" Wanita itu
kembali ke tempat semula pasang aksi di depan pintu
gerbang. Teman-teman seprofesinya mentertawai.
Mendengar itu anak muda ini menahan tawanya. Ia
melangkah agak jauh dari situ. Kemudian ia duduk
jongkok bersandar pada pagar pendek. Matanya masih
terus menyaksikan keramaian orang-orang yang bernama yang terpampang di atas pintu gerbang yang mi-
rip sebuah gapura. Tembok dindingnya tidak ada. Jadi
ia bisa melihat keramaian di situ dari luar. Dan ia pun
tersentak kaget ketika seorang wanita menarik tubuh-
nya terpojok ke tiang pintu gerbang.
"Mau cari hiburan..? Ayo masuk... Aku biasa me-
layani anak-anak muda sepertimu! Ayo jangan malu-
malu.... Sudah datang kenapa tidak masuk...?" kata
wanita itu penuh manja. Anak muda itu berontak dari
pelukannya.
"Ah.... Maaf. Aku ke sini hanya untuk menumpang
bermalam..."
"Di dalam akan lebih hangat.... Aku bisa menema-
nimu..." Wanita itu terus merangsak, anak muda itu
mendorong kasar.
"Aku tidak membutuhkan kamu...! Lagi pula aku
tidak punya uang...!" jawabnya. Wanita itu pergi sam-
bil menggerutu.
"Sial mimpi apa aku semalam, sampai menda-
patkan seorang gembel... huh! Dari tadi aku memang
sudah mencium baunya... Sungguh tolol...!" Wanita itu
kembali ke tempat semula pasang aksi di depan pintu
gerbang. Teman-teman seprofesinya mentertawai.
Mendengar itu anak muda ini menahan tawanya. Ia
melangkah agak jauh dari situ. Kemudian ia duduk
jongkok bersandar pada pagar pendek. Matanya masih
terus menyaksikan keramaian orang-orang yang berdatangan. Celoteh dan cekikikikan para penghibur
membisingkan tempat itu. Anak muda ini hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
*
* *
TIGA
Ingin rasanya anak muda itu tertawa ngakak ketika
melihat seorang pelacur memekik di saat seorang ta-
munya mencubit alat vitalnya. Perempuan itu memba-
las membuka kain yang membungkus tubuhnya lalu
menungging menunjukkan pantatnya. Maka berderai-
lah tawa orang-orang yang berada di situ. Tawa mereka
segera berhenti ketika melihat tiga orang mendatangi
tempat itu. Malah mereka menyerbu mendatangi tiga
orang yang baru datang itu. Tiga orang itu hanya ter-
senyum bangga mendapat perlakuan dari para wanita
penghibur.
Anak muda itu pun mengernyitkan alisnya, se-
pertinya ia mengenali ketiga orang itu. Ingatannya ma-
sih sangat kuat. Meskipun ia hanya sepintas melihat
mereka sewaktu melihat kejadian gubuk kecil yang
terbakar. Mereka tidak lain Mayan Danang bersama
Parto dan Welang Galih... Yaaah! Tidak salah lagi!
Dalam pada itu pun Welang Galih melihat seorang
pemuda berpakaian bulu binatang duduk berjongkok
memandangi kedatangan mereka. Welang Galih acuh
tak perduli, ia menganggap pertemuan yang kedua ini
hanyalah suatu kebetulan. Kembali ia asyik dengan
wanita-wanita penghibur itu. Mayan Danang telah me-
nemukan wanita pilihannya. Wanita penghibur itu
memang lebih cantik dari yang lainnya. Tidak heran
kalau Mayan Danang bermata hijau kuning. Wanita itu
hanya diam ketika Mayan Danang mendekatinya. Se-
nyum wanita itu membuat langkah Mayan Danang
semakin cepat.
Ia langsung memeluk erat bermaksud memba-
wanya ke dalam losmen, tapi... Sosok lengan kekar
mencengkeram kerah baju Mayan Danang. Cepat
Mayan Danang menoleh ke belakang. Dilihatnya sosok
tubuh besar dengan wajah yang sangat menyeramkan
menyeringai.
"Perempuan itu Gundikku, Sobat..! Kau boleh
mencari perempuan lain..!" kata orang bertubuh kekar.
Mayan Danang membalikkan tubuhnya...
"Perempuan-perempuan di sini milik bersama...
Lagipula kau tidak tahu siapa diriku..! Kau kenal den-
gan Ki Sentanu...?" kata Mayan Danang menantang.
"Ki Sentanu yang lurah itu... Jadi kau anaknya..?
Apa yang perlu ditakutkan. Ini tempat kotor! Kita sa-
ma-sama nista.... Jadi kita sama...!" jawab orang itu.
"Bangsaaat...!" Mayan Danang geram. Ia melayang
kan tinjunya...
Plak! Orang bertubuh kekar itu menangkis tenang.
Akibat benturan itu Mayan Danang meringis. Parto
dan Welang Galih meluruk mendekati Mayan Danang.
Keduanya memandang geram terhadap orang yang
menyeramkan itu.
"Hancurkan monyet itu...! Cepaaaat...!" teriak
Mayan Danang. Parto dan Welang Galih langsung me-
nerjang. Melihat terjangan mereka, orang itu bermak-
sud mencabut senjata dari pinggangnya. Tapi ia tidak
keburu. Parto sudah lebih dulu menendang...
Blaak!
Dengan memutar lengannya orang itu dapat me-
nangkis tendangan Parto... Disusul oleh serbuan We-
lang Galih. Tinjunya yang cepat hampir mengenai mu-
ka yang menyeramkan itu.
Sekali Mayan Danang ikut melancarkan serangan.
Mengambil kesempatan luang. Tapi justru setiap han-
taman Mayan Danang selalu mengenai tepat. Sedang-
kan Parto dan Welang Galih merasa sulit melancarkan
hantaman.
Suasana jadi hiruk pikuk. Para wanita penghibur
menjerit-jerit ketakutan. Semua orang yang berada da-
lam losmen mengira ada apa, mereka berhamburan ke
luar. Pertempuran masih berlangsung. Pemuda itu
masih duduk tenang, meskipun sebenarnya ikut me-
nyaksikan perkelahian itu.
"Sungguh berani mereka mengeroyok Kebo Dung-
kil... Mereka cari penyakit!" kata salah seorang yang
berada di situ. Mereka tidak ada yang berani mende-
kat. Para wanita penghibur bersembunyi di balik tu-
buh para lelaki.
Parto memekik di saat hantaman keras melanda
punggungnya. Hantaman yang sangat keras itu mem-
buat tubuhnya terbanting keras... Saat itu pula Mayan
Danang melesat melancarkan tendangan...
Bwak!
Orang itu memekik. Pipinya yang terkena tendan-
gan itu terasa panas. Ia melotot garang... Baru ia hen-
dak menerjang menyerang, Welang Galih menghalan-
ginya dengan sabetan lengan kirinya…. Orang itu cepat
mundur, tapi kakinya cepat bergerak memutar meng-
hantam pinggang....
Deeees!
Welang Galih memekik hebat. Sewaktu orang itu
melancarkan tendangan, Mayan Danang sempat me-
lancarkan tinjunya. Cukup keras menghantam pung-
gung.
Sekarang Parto maupun Welang Galih sudah tidak
dapat bangun. Mayan Danang tidak akan mendapat
kesempatan melancarkan serangan. Kini ia berdiri gu-
gup. Meskipun gerakannya seperti mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya.
Tapi ketika orang yang sangat menyeramkan itu
menerjang Mayan Danang tidak sempat mengelaknya...
Deeeer!
Tendangan yang begitu keras menghantam dada.
Tubuh Mayan Danang terlempar jauh bergulingan di
hadapan seorang pemuda yang duduk tenang bersan-
dar pada pagar. Sosok kekar itu melompat ke arah
Mayan Danang sambil menarik sebuah golok besar da-
ri pinggangnya.
Sinar lampu memantul dari bilah golok yang berke-
lebat cepat mengarah ke kepala Mayan Danang. Sebe-
lum golok itu memecah belah kepala itu... Pemuda
yang duduk tenang bersandar mengangkat tangannya
ke atas....
Plaaaak!
Golok dalam genggaman itu terpental. Orang kekar
yang bernama Kebo Dungkil menjerit. Telapak tangan-
nya terasa seperti kesemutan.... Pemuda yang tadi me-
nepak golok bangkit berdiri memandangi keduanya.
Semua orang jadi ngeri, semula mereka tidak men-
duga bahwa kepala Mayan Danang pasti terbelah dua.
Mereka semua tidak melihat saat golok itu bergerak.
Saat itu mereka semua memejamkan mata lantaran
ngeri... Ketika mereka membuka mata, seorang anak
muda telah berdiri menghadapi di antara Mayan Da-
nang dan Kebo Dungkil.
"Gembel keparat...! Berani kau mencampuri urusan
Kebo Dungkil.... Rasakan ini...!" Lengannya yang memakai gelang bahar bersiap menghantam dengan tu-
buh yang cepat menerjang.
Kebo Dungkil seakan tak percaya dengan pengliha-
tannya. Sewaktu ia melancarkan hantaman, ternyata
pemuda itu telah melayang ke atas. Hantamannya itu
hanya mengenai tempat yang kosong. Pemuda yang
berjumpalitan di udara mendorong punggung dengan
kakinya....
Bugg!
Tendangan itu tidak begitu keras, tapi cukup
membuat Kebo Dungkil tersungkur ke depan.
Parto dan Welang Galih cepat bangun berlari ke
arah Mayan Danang. Mereka membantu anak Ki Lurah
Sentanu bangkit berdiri. Mayan Danang masih kehe-
ranan melihat kehebatan seorang pemuda yang telah
menyelamatkannya. Mereka dapat melihat anak muda
itu dapat mengecoh Kebo Dungkil berkali-kali.
"Siapa dia, Parto...?" tanya Mayan Danang.
"Kalau tidak salah aku pernah melihat dia sewaktu
terjadi kebakaran..." Welang Galih memotong perta-
nyaan Mayan Danang.
"Siapa dia...?"
"Entahlah.... Sepertinya dia orang asing di sini...!"
Kebo Dungkil memekik keras saat dirasakan tulang
leher berdetak keras. Sebuah hantaman karate telak
menghantam. Setelah melancarkan hantaman itu,
anak muda ini hanya berdiri tenang melihat tubuh Kebo Dungkil bergulingan, sesaat kemudian ia pingsan.
Melihat ambruknya tubuh Kebo Dungkil, semua orang
yang berada di situ membelalakkan mata. Belum per-
nah mereka melihat seseorang yang dapat merubuh-
kan Kebo Dungkil. Apalagi orang hebat itu tidak lain
seorang anak muda.
Terlebih-lebih pada seorang wanita penghibur yang
tadi pertama kali menemui pemuda itu di pintu ger-
bang losmen. Sambil tersenyum malu ia berlari meng-
hampiri pemuda itu. Sebelum wanita itu mendekat,
Parto menyingkirkannya lebih dahulu. Mayan Danang
dan Welang Galih mendekati anak muda itu.
"Terima kasih anak muda... Kau telah menyela-
matkan diriku.... Mari...! Untuk mengucapkan rasa te-
rima kasihku, kau kuundang makan.... Ayo masuk...!"
ajak Mayan Danang.
"Tapi..." Anak muda itu ragu-ragu.
"Ayolah.... Aku paling tidak suka tawaranku dito-
lak!" Mayan Danang menarik lengan anak muda itu. Ia
pun mengikuti....
Mereka sudah menghadapi meja besar berisi rupa-
rupa makanan. Mayan Danang sengaja menuangkan
arak ke dalam gelas yang dihadapi anak muda itu. Par-
to dan Welang Galih senyum-senyum menatap anak
muda itu.
"Ah.... Anggap saja ini sekedar unjuk rasa dan tan-
da perkenalan.... oh ya siapa nama anda..." kata
Mayan Danang setelah menuangkan arak.
"Panggil saja aku Wintara... Hanya itu namaku..!"
jawab Wintara.
"Saudara Wintara.... Sebenarnya aku merasa malu
dengan kejadian tadi..."
"Itu biasa... Di tempat-tempat seperti ini, apalagi
kalau bukan soal berebut perempuan...? Itukan wa-
jar...!" kata Wintara sambil meraih gelas berisi arak. Ia
hanya menenggaknya sedikit.
Para wanita penghibur mulai berdatangan. Dengan
lenggak-lenggok yang genit mereka mendekati setiap
lelaki yang menghadapi meja besar. Tidak terkecuali
pada Wintara. Mayan Danang sengaja memilihkan un-
tuknya wanita yang paling cantik di losmen Mawar Ma-
lam.
Wintara merasa kikuk menghadapi wanita yang
demikian agresif. Berkali-kali ia melepaskan diri di
saat wanita itu berusaha memeluknya.
"Anda demikian hebat, tuan pendekar...! Orang-
orang losmen Mawar Malam memang tidak menyukai
dia.... Tapi kami semua khawatir, kami takut kalau
pimpinan mereka akan datang ke sini untuk membuat
perhitungan..." kata perempuan itu berusaha meme-
luk. Wintara berontak mengelak.
"Kebo Dungkil mempunyai seorang pemimpin...?"
Mayan Danang ketakutan. Begitu juga Parto dan We-
lang Galih. Mereka tidak berani mengeluarkan suara.
"Kebo Dungkil sebenarnya seorang yang hebat...
Anak buahnya saja sudah sedemikian tangguh, apalagi
pemimpinnya…" kata Wintara duduk tenang.
"Singo Kobar seorang yang memiliki ilmu tinggi,
itulah sebabnya ia menguasai daerah ini... Tapi ia bu-
kan orang jahat! Ia paling tidak suka anak buahnya
diganggu orang!" Perempuan di sebelah Parto menje-
laskan.
"Kalau begitu, aku terancam bahaya.... Aku harus
meminta maaf kepada Kebo Dungkil." Mayan Danang
gemetar menahan takut. Wintara tersenyum.
"Sebenarnya dalam hal ini akulah yang bertang-
gung jawab...! Karena akulah yang membuatnya jatuh
pingsan!" kata Wintara bangkit dari kursinya.
"Kalau Singo Kobar mau membuat perhitungan,
katakan saja aku menunggunya di Bukit Kendal pada
malam purnama nanti..." katanya lagi.
Losmen Mawar Malam kembali ramai seperti semu-
la. Orang-orang yang berada di situ sudah tidak perdu-
li lagi dengan peristiwa yang terjadi di depan pintu ger-
bang. Tiap-tiap meja telah penuh dengan para tamu
dan juga para wanita penghibur. Beberapa orang dari
mereka sudah. ada yang nampak mulai mabuk.... Tapi
suasana seperti itu memang sudah biasa di losmen
Mawar Malam. Justru hal yang semacam itu menye-
marakkan suasana.
Gelak tawa yang hiruk pikuk bercampur dengan
musik gending Jawa yang mengalun memenuhi ruan-
gan itu. Wintara telah menghabiskan arak yang berisi
dalam gelasnya. Tiba-tiba.... Mayan Danang beringsut
bangun ke belakang Wintara. Sosok Kebo Dungkil ber-
jalan sempoyongan mendekati meja mereka.
"Ingat anak muda...! Kami akan membuat perhi-
tungan denganmu...!" katanya nanar.
"Tentunya kalian tidak ingin merusak tempat ini
bukan...? Katakan pada pemimpinmu Singo Kobar...
Akan kutunggu di Bukit Kendal pada malam purnama
pertama..." jawab Wintara. Setelah membuang ludah,
Kebo Dungkil beranjak dari situ. Langkah-nya masih
sempoyongan.
*
* *
EMPAT
Ruangan itu sangat terang menampakkan bentuk
bangunan yang sangat indah. Seluruh dinding dan pi-
lar-pilarnya memancarkan sinar kuning keemasan. Ti-
dak ada sebuah kerajaan manapun yang menyamai
keindahan ruangan itu.
Hawa di sekitar ruangan itu sangat harum. Seper-
tinya wangi bunga-bunga hidup yang menghambur di
sekitar lantai. Dari balik tembok yang berwarna keemasan terdengar derai tawa beberapa perempuan. Tak
lama perempuan-perempuan itu menampakkan diri.
Semuanya berjumlah dua belas orang. Pakaian mereka
amat menyolok. Tubuh mereka yang ramping-ramping
hanya mengenakan selembar kain sutra yang amat ti-
pis. Membuat lekuk tubuh para wanita itu jelas keliha-
tan.
Semuanya berlarian menuju ke sebuah ruangan
yang lebih terang. Dalam ruangan itu telah menunggu
seorang wanita cantik terbaring miring di atas sebuah
pelaminan. Pelaminan yang terbentuk bagai sebuah
bangku panjang berwarna keemasan pula; Hampir se-
luruh pelaminan itu dihiasi dengan ratusan permata
yang berwarna warni menghiasi. Dan para perempuan
itu langsung berderet di belakang seorang wanita can-
tik terbaring miring.
Wanita cantik itu memakai mahkota berhias per-
mata pula. Kalung, gelang kaki serta gelang tangan,
semuanya terbuat dari emas. Tubuhnya tidak melekat
selembar benangpun. Buah dada serta auratnya tertu-
tup oleh rambut hitamnya yang panjangnya sekitar sa-
tu setengah tombak. Senyumnya tersungging di saat
kedua belas orang perempuan di belakangnya serem-
pak mengipasi dengan kipas-kipas melebar bagai bulu
merak.
Sesaat kemudian wanita cantik itu menepukkan te-
lapak tangannya sebanyak tiga kali... Plok...! Plok...!
Plok! Maka berdatangan lagi empat wanita. Keadaan
empat wanita itu sama, mereka mengenakan kain su-
tra sebagai penutup tubuhnya yang bugil.
"Ada apa tuan ku, Putri...!" Keempatnya langsung
menghaturkan sembah.
"Bagaimana keadaan gadis itu, Dayang-dayang
Ayu..?" kata wanita cantik itu sambil melemparkan se-
nyum yang tak pernah putus.
"Beliau tidak apa-apa, hanya sukar sekali untuk
menyadarkannya..." jawab keempat wanita yang masih
merunduk hormat. Wanita cantik itu beranjak bangun.
Rambutnya yang panjang terjuntai ke lantai. Buah da-
danya nampak sekal dengan puting yang merah ra-
num.
"Coba kalian bawa ke mari..." katanya halus. Lalu
keempat wanita bangkit memberi hormat. Kemudian
berlalu dari hadapan sang putri. Setelah kepergian
keempat wanita itu, ia menoleh ke belakang menatap
dua belas orang perempuan yang memegang kipas.
"Kalian boleh beristirahat...! Pergilah! Nanti setelah
aku membutuhkan kalian, akan kupanggil lagi...!" Ke-
dua belas orang perempuan itu pun berjalan perlahan
berbaris masuk ke balik dinding.
Tak lama keempat wanita yang semula diperintah-
kan oleh sang putri datang lagi dengan membawa so-
sok tubuh seorang perempuan yang berlumuran da-
rah. Tanpa merasa jijik sang putri meraba sekujur tubuh penuh luka yang menimbulkan bau busuk. Begitu
juga dengan keempat wanita yang disebut 'Dayang-
dayang Ayu'. Mereka tidak merasa geli memapah tu-
buh itu.
"Kasihan.... Bagaimanapun ia seorang wanita yang
masih hidup! Bawa ia ke ruang semedi..." kata wanita
cantik yang tak lain sang putri junjungan mereka.
Keempat dayang-dayang ayu tidak menyahut, me-
reka segera membawa tubuh berlumuran darah itu ke
sebuah ruang. Sang putri berjalan lebih dahulu mema-
suki ruang semedi. Ruangan itu cukup remang tidak
ada sinar lampu barang sedikit pun. Membuat suasa-
na ruangan itu nampak hijau. Lantainya tertutup oleh
asap putih yang menghampar di bawah ruangan....
Hawa dingin menyengat kulit.
Seperti sudah mengerti akan tugasnya, keempat
perempuan itu meletakkan sosok tubuh yang berlumu-
ran darah pada sebuah tempat empuk berlapiskan su-
tra kehijauan seperti lumut. Sang putri memberi aba-
aba, maka keempat perempuan itu pergi meninggalkan
ruangan itu.
Setelah pintu ruang semedi tertutup, ruangan itu
nampak semakin hijau pekat. Wanita cantik itu mem-
perhatikan raut wajah sosok yang terbaring pingsan.
Jari-jari tangannya yang lembut menyentuh kening so-
sok berlumuran darah itu. Sang putri membacakan
mantera yang tidak dapat dimengerti oleh bangsa apa
pun. Hanya terlihat mulutnya yang mungil nampak
komat-kamit.... Sesaat kemudian ia tersentak.
Wanita cantik itu bergetar, sebelah lengannya
nampak memegangi kepalanya. Wanita cantik itu
seakan melihat serentetan peristiwa yang dialami oleh
sosok kaku yang terbujur di atas sutra hijau. Semua-
nya tergambar jelas... Tiga orang nampak membicara-
kan sesuatu, lalu yang dua orang pergi menyulut dua
batang obor. Keduanya berlari menuju ke sebuah gu-
buk. Setelah menendang pintu gubuk, salah seo-
rang dari mereka mengikat tubuh seorang gadis yang
terluka parah...
Kemudian membakar gubuk itu dan membiarkan
seorang nenek keriput terbakar hangus sambil menje-
rit-jerit.... Dua orang yang telah membakar gubuk itu
membawa sosok luka. Mereka menyeretnya sampai ke
tepi jurang.... Wanita cantik itu tersentak lagi seolah
telah sadar dari perjalanan jauhnya, lalu....
"Laki-laki keparat itu harus menerima balasan-
nya... Mereka akan rasakan nanti akibat perbuatan-
nya..." Wanita cantik itu menatap garang, wajahnya
berubah menyeramkan.... Lalu kedua telapak tangan-
nya bergerak cepat menyentuh bagian perut serta dada
pada sosok yang terbaring.
"Bangun Cah Ayu...!" Dengan seketika tubuh ber-
lumuran darah itu membuka matanya. Karena kaget ia
mendadak bangkit. Pandangannya masih sangat suram. Ia takut sekali melihat pemandangan dalam
ruangan yang sangat gelap itu. Di hadapannya telah
berdiri seorang perempuan cantik tersenyum manis.
Wanita itu datang mendekati, tapi....
"Jangan...! Jangan bunuh aku...! Mana ibuku, ma-
na...? Kalian telah membunuhnya! kalian kejam... Ka-
lian keparat!"
Sosok berlumuran darah itu memaki-maki. Namun
sekali wanita cantik itu mengibaskan sebelah lengan-
nya, sosok terluka parah itu pingsan lagi. Tubuhnya
jatuh tertelungkup di atas kasur empuk berlapis sutra
hijau Wanita cantik tersenyum lagi. Ia melepas kan se-
luruh pakaian yang telah kotor berlumur darah.
Setelah tubuh berbau busuk itu membugil. Wanita
cantik meletakkan kedua telapak tangannya ke bagian
punggung. Mendadak saja tubuh pingsan itu menge-
rang kesakitan. Beberapa kali tubuhnya mengejang,
setelah itu mulutnya menyemburkan darah... Pandan-
gannya seperti normal kembali, seluruh rasa sakitnya
hilang dengan seketika.
"Jangan takut, Cah Ayu.... Aku tidak bermaksud
jahat, akulah yang telah menyelamatkan nyawamu da-
ri lembah maut ini."
Gadis yang telah telanjang bulat namun masih ber-
lumuran darah karena penyakitnya menatap kehera-
nan. Sebab ia sudah tidak ingat apa-apa lagi ketika
Parto dan Welang Galih menyeretnya masuk ke dalam
hutan. Sampai sejauh inikah mereka membuang di-
rinya ke dasar jurang? Sungguh terkutuk perbuatan
mereka! Sekarang ia telah berada di hadapan seorang
wanita yang mengaku telah menyelamatkan dirinya.
"Kau ingin membalas dendam terhadap mereka...?"
Mendengar tawaran yang menarik ia masih ragu
akan siapa adanya wanita cantik. itu.
"Tak perlu ragu ataupun takut, Cah Ayu...! Aku
penguasa istana lembah ini. Namaku: Dayang Kunti
Naga.... Kau sebenarnya seorang gadis yang cantik jeli-
ta.... Aku pikir kau tak akan percaya dengan ucapan-
ku.... Ke marilah ikut denganku.... Ayo, Cah Ayu..."
Wanita cantik yang menamakan dirinya 'Dayang Kunti
Naga' menuntun gadis yang masih ketakutan. Ia geme-
tar sekali, karena lantai yang ia pijak banyak meng-
hampar asap-asap putih sebatas mata kaki.
Setelah mereka melangkah kira-kira lima tombak,
Nyi Dayang Kunti Naga menghembuskan angin dari
mulutnya... Maka tersibaklah asap-asap putih yang
menghampar di lantai. Menampakkan tujuh buah lu-
bang berisi air berwarna warni.
"Kau harus tahu siapa dirimu, Cah Ayu... Nah me-
rendamlah di situ.... Itu namanya: Sumur Banyu Pi-
tu.... Kau harus merendam diri pada sumur-sumur
itu.... Ayo...!"
Nyi Dayang Kunti Naga membujuk, dengan gemetar
tubuh bugil berlumuran darah itu melangkah. Kaki
kanannya dicelupkan lebih dahulu. Terasa dingin se-
kali air yang menyentuh telapak kakinya... Untuk kaki
kirinya ia tidak ragu-ragu lagi... Kembali terasa dingin,
maka ia menceburkan diri sekaligus... Ternyata air
yang merendamnya hanya sebatas dada. Gadis itu
nampak menggigil.
"Menyelamlah, Cah Ayu... Menyelam…" perintah
Nyi Dayang Kunti Naga. Gadis itu menurut. Sekali sen-
tak. Tubuh itu telah lenyap tenggelam, beberapa saat
kemudian gadis itu menyembul dengan nafas yang te-
rengah-engah seperti kehabisan udara.
"Sekarang berpindahlah pada sumur berikutnya...
Lakukan seperti tadi..." Gadis itu menurut, hati-hati
sekali ia melangkah. Karena ia tahu lantai sekitar situ
sangat licin dan banyak ditumbuhi lumut. Untuk su-
mur kedua itu tidak perlu takut lagi. Sekaligus ia me-
rendamkan diri kemudian tanpa disuruh lagi, gadis itu
langsung menyelam. Begitu seterusnya dari sumur ke
sumur, gadis itu menyelami, sampai akhirnya pada
sumur ketujuh. Begitu gadis itu menyembulkan kepa-
lanya, Nyi Dayang Kunti Naga tertawa menyeramkan.
"Hi-hi-hi-hi-hi-hi.... Apa kataku, Cah Ayu.... Kau
akan lihat sendiri."
Dengan tubuh yang menggigil ia keluar dari sumur
itu. Nyi Dayang Kunti Naga langsung merangkul sam-
bil menuntun, gadis itu hanya menurut ke mana Nyi
Dayang Kunti Naga membawanya....
Ruangan itu sudah tidak gelap lagi. Semua dinding
yang tadi nampak kehijauan menyeramkan jadi terang
benderang. Seluruhnya memancarkan sinar keemasan.
Gadis itu seakan tidak percaya melihatnya.
Ia tersentak kaget dan segera menutup mata, keti-
ka melihat sebuah cermin besar memantulkan sosok
bayangan dirangkul Nyi Dayang Kunti Naga, sosok
bayangan bugil berkulit halus yang sangat menyolok
mata.... Nyi Dayang Kunti sendiri telanjang bulat! Tapi
rambutnya yang panjang menutupi bagian auratnya.
Sedang bayangan di samping Nyi Dayang Kunti Naga
tidak ada selembar rambut pun yang menutupi bagian
dada dan auratnya....
Perlahan gadis itu membuka matanya, tetap saja
bayangan itu selalu nampak. Nyi Dayang Kunti Naga
tersenyum...
"Kenapa heran, Cah Ayu..., Itulah tubuhmu yang
sebenarnya... Kau boleh memegang tubuhmu sendiri
bila masih tak percaya... Semua luka-luka di tubuhmu
telah lenyap, karena kau telah merendam diri di Su-
mur Banyu Pitu!"
Seperti tidak percaya gadis itu melihat kedua len-
gannya yang nampak halus mulus. Begitu juga dengan
buah dada yang putih mengkal.... Tubuhnya yang
ramping aduhai.... Kedua pangkal pahanya yang pu-
tih... Ia betul-betul hampir tidak percaya, sewaktu ke-
dua lengannya menyentuh permukaan cermin ma
tanya terbelalak!.. Betul! Itu bayangan dirinya! Nyi
Dayang Kunti Naga tertawa lagi...
"Hi-hi-hi-hi-hi-hi-hi...." Tidak malu-malu lagi gadis
itu menghadap ke arah Nyi Dayang Kunti Naga. Wa-
jahnya berseri... Karena penyakit yang selama ini men-
jadi duri dalam kehidupannya telah hilang. Namun da-
lam sesaat ia berubah muram. Terbayang ibunya yang
tua renta berkelojotan termakan api. Begitu juga den-
gan wajah Parto.... Kemudian wajah Welang Galih, lalu
secara naluri wajah Mayan Danang ikut tergambar pu-
la.
"Apakah kau ingin membalas dendam terhadap
mereka...?" tanya Nyi Dayang Kunti Naga. Pertanyaan
itu terulang kedua kalinya. Sambil menatap tajam ga-
dis itu menjawab....
"Kalau saja diperkenankan oleh sang putri Nyi
Dayang Kunti Naga, ingin rasanya kuhirup habis da-
rahnya...!" Gadis itu berkata mantap.
*
* *
LIMA
"Lakukan saja, Cah Ayu.... Kenapa tidak boleh?
Justru orang-orang yang berada di sini semuanya telah
dipengaruhi oleh dendam! Dendam memang harus segera dilenyapkan dalam hatimu.... Aku memang telah
memupuknya dari sekarang.... Nah, sekarang se-
butkan namamu..."
"Narsiah!" jawab gadis itu.
"Mulai sekarang namamu bukan Narsiah lagi... Ta-
pi, Nyi Sekar Dayang Kunti! Kau dengar...?" Narsiah
mengangguk.
"Tubuhmu masih kosong, Sekar Dayang Kunti...
Kau belum bisa melepaskan maksud dendammu! Ber-
lututlah di sini, akan ku salurkan tenaga dalam un-
tukmu..."
Nyi Sekar Dayang Kunti alias Narsiah langsung
berlutut di hadapan Nyi Dayang Kunti Naga yang mulai
menggerak-gerakkan lengannya. Dan ketika kedua te-
lapak tangan itu menyentuh bagian dada, Nyi Sekar
Dayang Kunti mengerang hebat.
"Tahan, Sekar...!" Keduanya serasa bergetar. Kerin-
gat mengucur dari tubuh bugil Nyi Sekar Dayang Kun-
ti. Kepala seperti berdenyut dengan puluhan bintang
yang bertaburan dalam benaknya.
Tak lama kemudian hening, keduanya masih berlu-
tut diam saling berhadapan. Nyi Dayang Kunti Naga
membuka mata lebih dulu. Lalu ia bangkit membiar-
kan tubuh bugil Nyi Sekar Dayang Kunti tetap berlutut
memejamkan matanya. Ia belum berani bangkit sebe-
lum sang putri Nyi Dayang Kunti Naga memerintah.
"Ada suatu pesan buatmu, Sekar... Kau boleh melampiaskan dendammu. Tapi jangan sampai melam-
piaskan dendammu terhadap orang-orang yang tidak
pernah menyakitimu! Cukup terhadap Parto, Welang
Galih dan Mayan Danang... Atau juga orang-orang
yang bakal mengganggumu nanti... Hanya itu pesan-
ku.... Kau ingat?" Nada bicara Nyi Dayang Kunti Naga
seakan mengancam. Nyi Sekar Dayang Kunti men-
gangguk.
*
* *
Begitu mendengar suara langkah kaki yang berja-
lan cepat di lantai teras, Kunta Danang cepat beranjak
menuju pintu dan membukanya. Ia melihat Mayan
Danang dengan wajah merah padam. Kunta Danang
membiarkan Mayan Danang masuk.
"Kakang Mayan Danang dari mana saja? Sejak ter-
jadinya kebakaran di gubuk Ni Luh Wedas pada bebe-
rapa hari yang lalu, Kakang jarang pulang ke rumah...
Sudah lama ayah menunggumu Kakang..." kata Kunta
Danang mengikuti langkah Mayan Danang.
"Aaah...! Tahu apa kau? Minggir!" Mayan Danang
mendorong tubuh Kunta Danang.
"Mayan Danang! Ke mari kau!" Ki Lurah Sentanu
yang mendengar suara Mayan Danang membentak.
Pintu kamar ayahnya memang terbuka. Mayan Danang
sendiri sudah melihat Ki Lurah Sentanu duduk meng-
hadapi meja kerjanya dengan wajah angker.
Dengan langkah malas, Mayan Danang memasuki
ruangan itu. Ayahnya menatap tajam.
"Ada apa, ayah...?"
"Selama ini aku curiga bahwa kau bersekongkol
dengan Parto dan Welang Galih yang membakar gubuk
Ni Luh Wedas!" kata Ki Lurah Sentanu langsung me-
mojokkan.
"Kenapa ayah sampai berkata begitu...? Aku tidak
melakukan apa-apa...!" jawab Mayan Danang sambil
melangkah mendekat.
"Setelah kuselidik-selidik, banyak orang mengata-
kan kau selalu pergi dengan mereka ke tempat-tempat
pelacuran...! Kau telah menyiram muka ayahmu den-
gan air comberan, Mayan Danang...!" bentak
ayahnya.
"Yah! Aku sering ke tempat-tempat itu bersama
Parto dan Welang Galih! Tapi tidak ada hubungannya
sama sekali dengan terbakarnya gubuk Ni Luh We-
das...!" jawab Mayan Danang sengit. Ki Lurah Sentanu
melotot. ,
"Bagaimanapun peristiwa itu merupakan suatu
pembunuhan! Aku akan membawa kalian kepada
orang yang berhak menghukum kalian.... Aku rela ke-
hilangan seorang anak, kalau anak itu berhati bina-
tang...!"
"Kau rela menjebloskan aku ke dalam tahanan
yang bukan tempatku...?" Mayan Danang balas mena-
tap. Ki Lurah Sentanu bangkit berdiri tatapannya me-
remehkan sekali....
"Kenapa tidak...?"
Braaak! Mayan Danang menggebrak meja, sesaat
kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah cepat
ke luar dari ruangan itu. Kunta Danang, adiknya yang
sedari tadi mendengar percakapan mereka di muka
pintu tertabrak oleh Mayan Danang yang berjalan se-
rampangan.
Mayan Danang sendiri menghempaskan tubuhnya
pada sebuah kursi empuk di ruangan tamu. Pikiran-
nya serasa kacau dan kalut. Secara tidak langsung
perbuatannya telah terbongkar. Dia sendiri sudah me-
rasa takut. Sukar rasanya untuk mengelakkan diri...
Dan ucapan ayahnya itu tidak main-main.
Berulang-ulang ia berusaha memejamkan matanya
yang terserang rasa ngantuk. Namun begitu ia meme-
jamkan matanya selalu saja tersentak dengan pera-
saan was-was. Membuat ia susah tidur. Kepalanya se-
perti pening berputar.
Ia menghentakkan tubuhnya bangkit dari kursi.
Pandangannya menoleh ke sana-ke mari. Setelah itu ia
berjalan mendekati sebuah lemari. Pintu lemari itu
mudah sekali terbuka. Bahkan hampir tidak mengelu-
arkan suara sedikitpun. Di situ ia mengambil sesuatu
dari tumpukan barang-barang berharga. Benda kecil
itu dimasukkannya ke dalam saku baju.
Dengan langkah yang hati-hati ia menuju dapur.
Hari memang masih sore, ia melihat Mang Toyop si
pembantu tengah sibuk membuat sesuatu.
"Sedang apa, Mang Toyop...?" tegur Mayan Danang
mengejutkan orang itu.
"Aduh! Den Mayan Danang...! Mamang sampai ka-
get.... Anu, Den.... Saya sedang membuat minuman
buat Ki Lurah." jawab! Mang Toyop sambil mengaduk
minuman itu dengan sendok.
"Tinggalkan saja dulu itu, Mang.... Tolong sediakan
aku air hangat, aku mau mandi. Hari ini rasanya ba-
danku kurang enak..." kata Mayan Danang mendekati
Mang Toyop. Mang Toyop sendiri langsung membiar-
kan gelas di atas meja. Setengah membungkuk ia me-
lewati Mayan Danang yang berdiri menghadapinya.
Mang Toyop memang tahu Mayan Danang selalu me-
minta air hangat untuk mandi.
Sepeninggal Mang Toyop, Mayan Danang mendeka-
ti gelas yang tergeletak di atas meja. Asap dari hawa
panasnya air masih mengepul dari permukaan gelas.
Dengan sedikit gemetaran ia mengeluarkan sebuah
bungkusan kecil dari saku bajunya. Diam-diam ia me-
lurukkan bubuk isi dalam bungkusan kecil ke dalam
gelas. Gerak-geriknya jadi tidak tenang.
Sebelum Mang Toyop datang, Mayan Danang sudah meninggalkan tempat itu. Ia berjalan sambil mem-
buka bajunya. Tak lama....
"Sudah, Den.... Air hangat sudah saya sediakan..."
kata Mang Toyop yang berpapasan. Tanpa menjawab
Mayan Danang memasuki ruangan mandi. Bak besar
dari kayu yang berada di sudut ruangan memang su-
dah berisi air hangat, setelah membuka celananya, ia
merendam diri. Sepertinya nyaman sekali.... Tapi apa-
kah hatinya akan dapat tenang? Sengaja ia berlama-
lama merendam dalam air hangat itu. Sekalipun ia te-
lah menggosok bersih seluruh tubuhnya. Tapi ia belum
juga mau bangkit dari bak kayu yang cukup besar. Se-
pertinya ada sesuatu yang ia tunggu-tunggu.... Lama
sekali ia merenung. Kedua matanya menatap dinding
yang mulai ditumbuhi lumut.
Air yang semula hangat kini lama-kelamaan men-
jadi dingin. Mayan Danang tersentak ketika pintu ka-
mar mandi diketuk orang manakala tubuhnya telah
menjadi dingin....
"Den.... Den Mayan Danang...! Apakah Den Mayan
Danang sudah selesai mandi?" Itu suara Mang Toyop.
"Ada apa...!" tanya Mayan Danang dari dalam.
"Ah, tidak apa-apa.... Den Mayan Danang mandi
terlalu lama.... Saya khawatir Aden akan sakit." kata
Mang Toyop lagi. Terdengar kecipak suara air. Kemu-
dian suara orang mengenakan pakaian.... Tak lamapun
Mayan Danang keluar.
Sebelum Mayan Danang melangkah ia sempat me-
lirik pada sebuah meja. Gelas yang diberikan bubuk
olehnya sudah tidak ada. Lalu ia meneruskan lang-
kahnya.
Suasana ruangan itu telah sepi. Tapi ruang kerja Ki
Lurah Sentanu masih terbuka lebar. Ia pun sempat
melihat ketika melaluinya. Di atas meja kerja Ki Lurah
Sentanu ada sebuah gelas yang telah kosong. Ki Lurah
Sentanu sendiri telah tertidur tertelungkup di atas me-
ja.... Mayan Danang tersenyum puas.... Ia terkejut ke-
tika mendengar suara.... Klotaak!
Mayan Danang menoleh ke arah suara yang men-
curigakan dari kamar Kunta Danang. Maka ia segera
melangkah ke situ, dengan cepat ia membuka pintu
kamar. Ia melihat Kunta Danang tertidur pulas sambil
mendengkur. Mayan Danang menghela nafas.
Ia pun melangkah lagi menuju ke kamarnya. Ketika
tubuhnya telah rebah ke atas kasur empuk pikirannya
melayang lagi... Apakah yang telah ia lakukan tadi?
Sampai hatikah ia meracuni ayahnya sendiri...? Semu-
anya telah terlanjur! Dan semua itu memang ia ingin-
kan! Jiwanya akan terancam bila ayahnya masih hi-
dup... Mayan Danang akan mendekam dalam sel yang
paling menakutkan...
*
* *
Puing-puing bekas kebakaran masih berserakan.
Debu-debu beterbangan tertiup angin. Udara di situ
sudah bersih. Tidak lagi tercium bau busuk. Rumah-
rumah penduduk nampak terang. Meskipun para pen-
duduknya tidak ada yang keluar rumah. Mereka se-
mua asyik bercengkerama bersama keluarganya. Ada
juga yang sudah tertidur pulas karena udara yang be-
gitu dingin.
Rumah Parto sendiri yang paling diterangi oleh be-
berapa lampu gembreng. Karena tadi siang istrinya ba-
ru melahirkan. Beberapa orang penduduk banyak be-
gadang di situ menemani keluarga Parto.
Sejak tadi sore Parto tidak beranjak pergi dari
samping istrinya yang terbaring di balai beralas tikar.
Tidak puas-puasnya ia memandangi bayi pertamanya
yang mungil. Bayi perempuan.
"Kang Parto.... Kita tidak punya apa-apa lagi untuk
menyuguhkan mereka yang menemani kita malam
ini... Uang untuk membeli kopi sudah habis tadi siang
buat bayar dukun beranak... Kasihan mereka hanya
minum air putih saja..." kata istrinya dengan suara li-
rih.
"Habis mau bagaimana...? Lagipula mereka men-
gerti, kita ini orang tidak punya" jawab Parto. Istrinya
menghela nafas.
"Rasanya nggak enak, Kang... Paling tidak kita harus menyuguhkan mereka makanan.... Cobalah Ka-
kang pergi ke rumah Den Mayan Danang, beliau kan
teman baik Kakang.... Cobalah pinjam uang pa-
danya..." kata istrinya lagi.
Parto terdiam. Bagaimana caranya ia bisa mempe-
roleh uang dari Mayan Danang? Sebenarnya ia memili-
ki uang banyak, tapi sebelum anaknya lahir. Uang itu
pun upah dari hasil membakar gubuk Ni Luh Wedas.
Sekarang uang itu telah ludes di tempat pelacuran.
Kalau sekarang ia datang lagi untuk meminjam
uang mana mungkin Mayan Danang percaya. Mayan
Danang pasti mengira ia akan pergi lagi ke tempat me-
sum itu. Karena selama ini Mayan Danang tahu betul
sikap Parto... Parto tidak pernah perduli dengan is-
trinya yang sedang hamil. Sekarang ia betul-betul ser-
ba salah...
"Pergilah, Kang... Mayan Danang pasti memberi
uang..." kata istrinya yakin.
Dengan perasaan yang masih gelisah ia bangkit.
Keluar dari kamar. Orang-orang di luar sudah ramai
berkumpul. Parto berusaha bersikap ramah terhadap
orang-orang yang menemani begadang menjaga is-
trinya yang melahirkan... Dengan tubuh setengah
membungkuk ia melewati orang-orang itu....
"Mau ke mana, Kang...?" Salah seorang menegur-
nya.
"Aku hendak membeli kopi sekalian makanan ke
cil..." kata Parto sambil tersenyum.
"Tidak usah repot-repot.... Kalau perlu bawa saja
semua yang ada...!" Yang lain bergurau, maka mele-
daklah tawa mereka. Parto ikut tertawa.
Langkahnya cepat bergerak meninggalkan gubuk-
nya. Pikirannya telah berobah! Ia tidak akan pergi ke
rumah Mayan Danang, tapi tujuannya kepada Welang
Galih. Ia berharap Welang Galih masih punya sisa
uang upah dari Mayan Danang. Kalaupun Welang Ga-
lih tidak dapat membantu, terpaksa ia harus menemui
Mayan Danang. Dalam perjalanannya ia mengutuki di-
rinya. Kenapa ia harus tergila-gila main perempuan?
Pada saat-saat begini membutuhkan uang ia merasa
kesulitan sekali. Sebenarnya tanpa menyuguhkan apa-
apa pun tidak jadi masalah. Tapi semua ini lantaran
tradisi desa Rawa Kandar. Setiap orang yang baru me-
lahirkan mesti dibegadangi selama tujuh hari tujuh
malam. Untuk itu ia harus menyediakan tetek bengek
untuk menyuguhkan tamu-tamunya yang ikut mene-
mani selama semalam suntuk.
Selama ia melangkah pikirannya kosong. Namun
langkah semakin cepat. Untuk mencapai gubuk We-
lang Galih ia. harus melewati surau kecil yang menga-
lirkan air. Matanya begitu terbelalak ketika tanpa sen-
gaja ia melihat ke arah surau. Sebuah pelita kecil me-
nerangi seorang gadis yang sedang mandi. Parto dapat
melihat tubuh mulus itu! meskipun terhalang dengan
pagar bilik sebatas pinggang.
Langkahnya terhenti mendadak. Parto menelan lu-
dah saat gadis itu menggosok-gosok lengannya. Kemu-
dian berdiri membersihkan bagian pinggang. Gadis itu
seakan-akan tidak tahu akan kehadiran Parto yang
dapat memandang jelas seluruh tubuh molek itu... Ka-
rena gadis itu memang berdiri membelakangi.
Tanpa menoleh gadis itu bermaksud meraih kain
yang sengaja ia sangkutkan pada pagar bilik, tapi tan-
pa sengaja pula tangannya menyentuh jatuh kain itu.
Parto tersentak ketika melihat wajah gadis itu. Wajah
yang demikian cantik mempesona! Belum pernah ia
melihat wanita secantik bidadari seperti ini... Tubuh
yang selangit, buah dada yang mengkal... Serta... Ser-
ta... Ah! Melihat itu Parto makin gemetar.
Melihat adanya seorang lelaki yang memandangi
seperti itu, gadis itu tersenyum.
"Kakang.... Tolong ambilkan kainku yang terja-
tuh..." kata gadis itu lirih. Parto gelagapan, tanpa ber-
kedip ia memandangi tubuh gadis itu, lengannya yang
gemetar mengambil kain yang tergeletak di tanah. Lalu
ia memberikannya....
"Terima kasih.... Kakang begitu baik...!" kata gadis
itu. Begitu baik? Hanya membantu mengambilkan kain
dari tanah dan mendapat imbalan melihat tubuh bugil
gadis itu dikatakan begitu baik..? Parto masih meman-
dangi gadis itu yang memulai memakai kainnya. Ketika
gadis itu keluar, Parto mengikutinya...
"Kakang mau ke mana..? Bukankah istri kakang
baru melahirkan..?"
"Aku baru melihatmu... Kau tinggal di mana?" Par-
to memberanikan diri. Gadis itu menunjuk tempat
tinggalnya dengan jari telunjuk. Parto melihat gubuk
Welang Galih. Di samping gubuk itu terdapat sebuah
gubuk cukup kecil namun bersih dan terang.
"Kalau mau mampir boleh saja. Mumpung hari ma-
sih sore." Gadis itu sengaja tidak menoleh. Ia mene-
ruskan langkahnya. Bagai terkena hipnotis Parto men-
gikutinya. Sebentar saja gadis itu telah memasuki gu-
buknya. Parto tidak berani masuk. Ia mencium bau
wewangian yang sangat merangsang.
"Kenapa di luar saja.... ayo masuk," kata gadis itu
dari dalam
*
* *
ENAM
Parto melangkah masuk. Gadis itu tersenyum
membuka kain penutup tubuhnya di samping ranjang.
Dalam ruangan itu Parto tidak melihat apa-apa selain
sebuah ranjang dan beberapa kursi yang nampak ba-
gus.
"Sepertinya kakang sedang kesusahan...? Ada
apa?" tanya gadis itu sambil memborehi seluruh tu-
buhnya dengan bedak wewangian. Kedua lengannya ke
atas mengikat ikal rambutnya, maka kedua buah dada
yang mengkal nampak mencuat menantang.
"Be-be-betul Nyi.... Aku kekurangan uang...!" kata
Parto jujur. Gadis itu tersenyum ia mengambil sesuatu
dari bawah kasur berlapis sprei sutra. Sebelah lengan
gadis itu memegang ujung kain yang menutupi tubuh-
nya.
"Aku punya hanya sekian... Barangkali cukup un-
tuk keperluan Kakang..." kata gadis itu sambil menyo-
dorkan sekantong uang. Parto melotot.
"Uang itu terlalu banyak, Nyi.... Aku hanya..." kata
Parto melangkah mendekat.
"Ambil sajalah.... Aku tidak punya sanak saudara
di sini, mereka mengusirku..." kata gadis itu memberi-
kan uang dalam telapak tangan Parto. Terasa sekali te-
lapak tangan yang halus lembut.
"Sanak saudaramu mengusirmu...?" tanya Parto.
"Yah...!"' Gadis itu hampir menangis. Kainnya ter-
lepas. Jatuh menutupi bagian aurat dan pahanya. Par-
to melangkah lebih dekat lagi tambah jelaslah buah
dada yang bergerak-gerak saat gadis itu menangis teri-
sak. Dada Parto bergemuruh.
"Aku memang telah salah jalan.... Selama ini aku
mencukupi hidupnya dengan melacurkan diri..." Gadis
itu berkata jujur.... Pantas ia banyak uang, pikir Parto.
Tiba-tiba saja gadis itu memeluk Parto. Pelukannya
hangat sekali. Parto membelai.... Belaiannya itu bukan
sekedar rasa sayang, tapi nafsu! Berkali-kali ia mengu-
sap-usap buah dada yang kian membengkak kencang.
Gadis itu menggelinjang.
"Berhentilah jadi pelacur...! Lebih baik kau jadi is-
triku, Nyi..." bisik Parto meremas buah dada itu. Gadis
itu menganga menahan nikmat.
"Kau sudah punya istri.... Lagi pula baru melahir-
kan, apa kata mereka nanti bila mereka tahu kalau
aku ini seorang pelacur... kata gadis itu mempererat
pelukannya.
"Tidak perduli, Nyi.... Tidak perduli...!" Nafas Parto
kian memburu.
"Tidak ada orang sebaik Kakang.... Aki Sekar
Dayang Kunti merasa beruntung." kata gadis itu mere-
bahkan diri di atas sprei sutra yang lembut. Dengan
tidak sabaran Parto menarik kain yang menutupi aurat
gadis itu. Gadis itu telah telanjang bulat dengan gera-
kan-gerakan yang menantang.
Udara makin dingin. Angin berhembus kencang
mengerikan. Manakala suara binatang malam terus
mengiringi suasana gelap. Seekor burung hantu ber-
tengger dengan memancarkan kedua mata yang nya-
lang. Menatap ke tiap-tiap rumah penduduk yang kini
sudah tertidur lelap. Hanya lampu-lampu pelita yang
menerangi pada tiap-tiap halaman rumah tetap berkelap-kelip mengikuti perjalanan malam yang demikian
panjang.
Menjelang subuh, orang-orang yang berada di gu-
buk Parto merasakan mencium sesuatu. Aroma yang
kurang menyedapkan itu, seperti bau busuk. Membuat
percakapan mereka selama menemani istri Parto yang
melahirkan jadi terputus.
Bau busuk itu sebentar-sebentar hilang, sebentar-
sebentar timbul terbawa angin. Tapi mereka tidak per-
duli. Ada beberapa orang yang menguap terserang ha-
wa ngantuk, dan mereka mulai rebahan pada sebuah
tikar lebar yang memang sudah disediakan oleh Parto.
"Kalau Parto datang, bangunkan aku...! Biar ku
damprat habis-habisan dia!" pesan seseorang yang
mulai mengambil tempat kosong untuk rebahan. Yang
mendengarkan ucapan itu acuh saja. Mereka pun sa-
ma kesalnya. Karena sejak tadi sore setelah Parto ke
luar rumah sampai sekarang belum juga nongol batang
hidungnya. Jangan-jangan ia ngendon di rumah istri
mudanya, pikir mereka.
Matahari merambat naik, sinar kemerahan menye-
ruak bercampur dengan kabut yang bergerak perlahan
sirna. Kicau burung-burung dan kokok ayam jantan
saling bersahutan. Orang-orang yang semalaman be-
gadang di gubuk Parto berpamitan dengan istri yang
masih rebahan menyusui bayinya, lalu mereka berebut
ke luar dari gubuk itu.
Bau busuk itu menyebar lagi menyengat hidung.
Setiap mereka melangkah bau busuk itu makin santer
tercium. Adanya bau busuk itu, mengingatkan mereka
pada peristiwa beberapa hari yang lalu.... Mereka cu-
kup bergidik! Dan ketika mereka melewati puing-puing
bekas sebuah gubuk yang terbakar. Sosok tubuh ber-
gerak-gerak dari tumpukan tiang-tiang arang. Sosok
tubuh itu mengerang-erang seperti menahan rasa sa-
kit. Orang-orang yang baru saja melewatinya seakan
tak percaya, justru bau busuk itu berasal dari bekas
reruntuhan gubuk yang terbakar milik Ni Luh We-
das...! Mereka semuanya hampir lari ketakutan ketika
sosok yang bergerak- gerak tadi bangkit berdiri....
Bagaimana tidak? Tubuh yang menyebarkan bau
busuk dengan keadaan yang mengerikan. Seluruh ku-
litnya yang tanpa selembar benangpun mengalirkan
darah. Wajahnya sudah tidak nampak karena terge-
nang oleh darah.. Jelas sosok itu tubuh seorang lelaki.
"To-to-to-toloooooong.... A-a-aku.... Pa- Pa-
Partoooo! Aku Partoooo!" jerit sosok berlumuran darah
itu.
Siapa yang mau mendekatinya? Tentu saja mereka
semua jijik, apalagi bau busuk nya cukup membuat
beberapa orang muntah-muntah! Keadaan kulitnya
yang nampak meleleh dikerubungi oleh lalat-lalat yang
mulai berdatangan. Sosok tubuh itu berkelojotan di
tanah. Ia berguling-guling sambil mengerang terus. Kulit dagingnya mengelupas akibat gesekan dengan ta-
nah.
Semua orang menatap ngeri. Merekapun heran dari
mana datangnya sosok tubuh berpenyakit kusta ini...
Satu orang telah disingkirkan datang manusia berpe-
nyakit kutukan ini... Apakah desa ini memang telah
mengalami kutukan dari yang Maha Kuasa...?
Pagi itu desa Rawa Kandar menjadi heboh. Semua
penduduk keluar rumah untuk menyaksikan sosok
berpenyakit kusta bergulingan ngamuk tak terkendali.
Sekalipun mereka melihat sosok bergelimang darah
itu, mereka tidak berani mendekat,
"Aku Partoooo...! Aku Partooo.... Tolooooong!"
Orang itu menjerit-jerit bergulingan. Darah yang ke-
luar dari pori-pori kulitnya muncrat ke sana-ke mari.
Orang-orang berlari menjauh takut terkena cipratan
darah yang pasti bakal menularkan penyakit kutukan
itu.
Sekalipun mereka yakin sosok itu adalah Parto,
siapa yang berani mereka memberikan pertolongan?
Kecuali mereka hanya menyaksikan dari kejauhan.
Hampir semua warga desa Rawa Kandar memenuhi
tempat itu. Antara takut jijik dan penasaran mereka
menyerbu ke tempat kejadian yang menghebohkan itu.
Seorang anak muda mengenakan baju bulu binatang
berlari ke arah itu. Dari kerumunan itu ia dapat meli-
hat sosok bergulingan kelojotan di tanah.
"Lagi-lagi di tempat ini terjadi keanehan...! Salah
apa desa ini...?" kata anak muda yang tak lain adalah
Wintara.... Pendekar Kelana Sakti. Ia masih melihat je-
las tiang kayu yang telah hitam menjadi arang.
Sesaat kemudian tubuh bergelimang darah itu
mengejang kaku, dadanya yang tadi naik turun kini
diam menghembuskan nafasnya yang terakhir. Winta-
ra menghela nafas, ia tahu betul siapa orang itu. Parto!
Salah seorang yang pernah mengajaknya makan mi-
num di Losmen Mawar Malam.
Bau busuk hilang bersamaan dengan berakhirnya
ajal Parto. Para penduduk mulai berdesakkan mende-
kati. Yang mereka lihat adalah benar. Sosok tubuh
Parto. Wintara membalikkan tubuhnya, tapi ia tidak
jadi.... Karena sebuah cengkeraman melekat erat pada
pundaknya. Ia hanya menoleh ke belakang. Kebo
Dungkil bersamaan seorang temannya menyeringai.
"Sudah kukatakan padamu Kebo Dungkil...! Akan
kutunggu pemimpinmu Singo Kobar di Bukit Kendal
pada bulan purnama pertama.... Apakah orang yang
bersamamu itu pemimpinmu?" kata Wintara sambil
menepiskan cengkeraman Kebo Dungkil.
"Bukan...! Mana mau Singo Kobar menghadapi ce-
coro macam kamu! Lagipula menunggu bulan purna-
ma terlalu lama! Biarlah aku bersama Somat Codet
akan membuat perhitungan! Mumpung kebetulan kita
bertemu di sini..." Kebo Dungkil menantang. Ia sudah
bergerak-gerak mengeluarkan jurus. Tapi orang yang
menamakan dirinya Somat Codet cepat menarik.
"Kau sudah pecundangi, Kebo Dungkil...! Biar aku
yang ukur kehebatan anak muda ini... Kau menying-
kirlah...!" Somat Codet menggebrak tanah. Lalu kedua
lengannya bergerak cepat menyilang di depan dada.
Kebo Dungkil mundur sambil nyengir.
Wintara diam melihat gerak-gerik orang yang mulai
mengeluarkan jurus. Ia sedikit kaget juga ketika sebe-
lah lengannya menyambar ke samping, pukulan an-
ginnya mampu menggetarkan baju bulunya.
Para penduduk desa Rawa Kandar sama sekali ti-
dak menyadari kalau akan terjadi sebuah perkelahian
di sekitar situ. Karena mereka sibuk menyaksikan so-
sok mayat menjijikkan terkapar bersimbah darah. Me-
reka belum menyadari. Dan begitu mendengar suara
teriakan yang menggelegar, serempak orang-orang itu
menoleh ke arah suara yang menggelegar itu. Mereka
jadi kaget! Dalam situasi yang seperti ini, masih ada
peristiwa lain yang betul-betul menghebohkan desa
itu.
Somat Codet melancarkan serangan gencar bagai
seekor banteng. Menyeruduk dan melayangkan tin-
junya berkali-kali. Wintara mundur-mundur menghin-
darinya. Kebo Dungkil yang masih merasa dendam, di-
am-diam ikut melancarkan serangan. Hal itu bukan-
nya Wintara tidak tahu, maka ketika Somat Codet melancarkan tendangannya, Wintara cepat melesat ke
atas sambil kakinya berputar ke arah Kebo Dungkil...
Bugg!!
Lumayan, cukup membuat Kebo Dungkil jungkir
balik. Melihat temannya dibuat seperti itu, Somat Co-
det makin geram. Tendangannya yang bagai kilat ber-
putar. Wintara hanya dapat menangkis dua kali....
Begg!
Untuk ketiga kalinya, Wintara terhuyung mundur.
Tendangan itu cukup keras mengenai pinggang. Tapi
Wintara hanya senyum merasakan itu.
Orang-orang desa Rawa Kandar menghambur
buyar. Semuanya menatap bingung.... Dan tidak men-
gerti! Apa sebab musabab mereka sampai berkelahi di
tempat ini...? Tapi mana sempat mereka memikirkan
hal itu.... Sekarang mereka hanya menyaksikan se-
buah perkelahian yang tidak seimbang. Mereka me-
mang cukup mengenal siapa Kebo Dungkil dan Somat
Codet, tapi untuk pemuda asing yang mengenakan pa-
kaian bulu binatang itu, merupakan suatu hal yang
menarik perhatian. Bagaimana tidak? Mereka dapat
melihat gerakan pemuda itu di saat Kebo Dungkil dan
Somat Codet menyerang bersamaan. Tendangan mau-
pun pukulan mereka hanya nyeplos mengenai angin.
Sedangkan si pemuda itu sendiri dapat beterbangan,
bahkan berjumpalitan berkali-kali di udara menghin-
dari serangan-serangan itu.
Orang-orang itu dapat melihat betapa kerasnya
Somat Codet mendesak dengan serangan-serangan
yang mematikan. Wintara sendiri tidak pernah akan
menyangka, di saat kakinya menginjak tanah setelah
be-jumpalitan tadi....
Deess!!
Tahu-tahu sebuah hantaman mengenai bagian
punggung. Secepatnya Wintara membalikkan tubuh,
jelas sekali Somat Codet melancarkan tendangannya
lagi, tapi....
Plak!!
Wintara merunduk sambil mengangkat lengannya
ke atas menangkis. Masih dalam keadaan merunduk di
luar dugaan Wintara mendorong telapak tangan ki-
rinya menghantam dada Somat Codet...
Bwaaak!
Kontan tubuhnya menggeledak ke tanah!
Tidak ada anak muda sepantaran Wintara di desa
itu yang sanggup menjatuhkan Somat Codet, karena
mereka tidak ada yang berani. Selain itu mereka juga
tahu kalau Somat Codet maupun Kebo Dungkil san-
gatlah berilmu tinggi. Tapi saat ini mereka baru betul-
betul kena batunya. Keduanya dibuat jatuh bangun.
Namun begitu, mereka masih saja penasaran
menghadapi pemuda yang demikian tangguh ini. Win-
tara pun tetap melayaninya, walaupun tidak dengan
sungguh-sungguh! Tapi lama-kelamaan Wintara bosan
juga dengan permainan ini. Sekali ia hentakkan sebe-
lah kakinya, tubuh Kebo Dungkil menabrak Somat Co-
det yang baru saja ingin melancarkan serangan....
Bruaaaak!!
Keduanya bergulingan di tanah.
*
* *
TUJUH
Mayan Danang terjaga dari tidurnya ketika men-
dengar suara seperti orang yang sedang menggali lu-
bang. Ia tidak segera bangkit untuk melihat ke arah
suara. Lengannya mengucek-ngucek kedua matanya
yang masih perih. Matahari sudah tinggi menerobos
jendela... Sekali lagi ia mendengar suara cangkul me-
nyentuh tanah.
Cepat ia bangkit dari pembaringan dan melangkah
ke arah jendela. Ia melihat Mang Toyop menggali se-
buah lubang yang cukup besar. Maka ia teringat akan
serbuk racun yang dibubuhkan pada gelas minuman
ayahnya semalam.... Ia tersenyum puas! Pastilah
ayahnya telah mampus, pikirnya....
Setelah ia mengganti pakaiannya, Mayan Danang
lari ke samping rumah menemui Mang Toyop yang te-
lah banjir keringat. Mang Toyop yang melihat kehadiran Mayan Danang kembali giat menggali lagi.
"Lubang sebesar ini buat apa, Mang..." tanya
Mayan Danang seolah-olah tidak tahu.
"Semalam ayam-ayam milik Den Kunta Danang ada
yang meracuni, Den...!" jawab Mang Toyop sambil me-
nyeka keringatnya yang mengalir di keningnya. Mata
Mayan Danang terbelalak mendengar ucapan Mang
Toyop. Dengan penasaran ia berbalik melangkah... Dan
ia terperangah sekali ketika hampir menabrak sosok
tubuh Ki Lurah Sentanu yang tengah menuju ke arah
Mang Toyop... Setengah gelagapan Mayan Danang te-
rus berlari. Ia melihat pula Kunta Danang membawa
enam ekor ayam yang telah kaku biru.
Mengapa semuanya jadi berubah dan tidak sesuai
dengan rencana? Siapa yang telah menukar minuman
ayahnya yang berisi racun...? Ia melangkah cepat ke
luar da rumah. Perasaannya dihantui oleh perasaan
takut. Ia tidak berani menuduh terhadap Mang Toyop
maupun adiknya Kunta Danang. Kalaupun ia berani
menuduh ada yang menukar gelas minuman ayahnya,
itu sama saja membongkar rahasianya sendiri.
Mayan Danang melewati terus jalan-jalan yang ber-
liku. Rumah-rumah penduduk nampak sepi.... Tidak
seperti biasanya! Tidak ada tegur sapa sekedar rasa
hormat terhadap dirinya karena desa itu kini betul-
betul sepi seperti kehilangan penduduknya.
Namun tak berapa lama kemudian, baru tahulah ia
sekarang! Semua penduduk desa berkerumun me-
nyaksikan suatu perkelahian. Dia sendiripun heran,
hanya ada sebuah perkelahian saja semua orang kam-
pung sampai budal menyaksikan. Ia lebih terkejut lagi
ketika ia melihat siapa yang berkelahi itu.
Wintara...! Astaga.... Kenapa ia harus berkelahi di
sini, dan lagi itu Kebo Dungkil bersama temannya sen-
gaja mengeroyok. Mungkin ia masih menaruh dendam
terhadap Wintara atas peristiwa malam itu di Losmen
Mawar Malam, pikir Mayan Danang.
Pikirannya masih terheran-heran, tiba-tiba seseo-
rang menariknya menjauh dari tempat itu... Mayan
Danang merasa lega! Sebelumnya ia mengira orang itu
adalah Ki Lurah Sentanu... ternyata bukan orang itu
Welang Galih.
"Parto tewas..." bisik Welang Galih. Mayan Danang
tersentak!
"Siapa yang membunuhnya... Mereka itukah?"
tanya Mayan Danang penasaran.
"Bukan.... Ia tewas secara mengerikan! lihat itu di
sana...!" Welang Galih mengarahkan telunjuknya.
Mayan Danang dapat melihat apa yang ditunjukkan
oleh Welang Galih. Sosok mayat berlumuran darah mi-
rip orang penderita kusta tergeletak kaku di tanah.
Mayan Danang bergidik menahan jijik.
"Kenapa sampai begini, Welang...? Pasti ada yang
membunuhnya! Paling tidak ia dibakar orang..."
"Entahlah! Kejadiannya baru diketahui tadi pagi..."
jawab Welang Galih. Mayan Danang menoleh ketika
mendengar teriakan dahsyat....
Heaaaaaaa!
Somat Codet melesat dengan tinjunya siap menga-
rah, begitu juga dengan Kebo Dungkil, tendangan ter-
bangnya siap melancarkan maut.
Wintara malah maju... Lengannya dapat menangkis
jotosan Somat Codet yang begitu keras, lalu kakinya
menyambut terbang Kebo Dungkil. Setelah itu tubuh
Wintara melintir, kedua lengannya bergerak melancar-
kan pukulan menyilang....
Bwaaaak! Deeeees!
Mendapat hantaman begitu, Somat Codet ter-
huyung hampir jatuh. Tapi Kebo Dungkil yang tidak
dapat mengelakkan hantaman itu, kembali tubuhnya
terbanting.... Kali ini mulutnya! menyemburkan darah.
Seluruh tulang dadanya remuk ia meringis tak dapat
bangkit.
Bukan kepalang marahnya Somat Codet. Kini ia
berdiri tegak dengan kedua lengan berputar menghim-
pun tenaga dalamnya. Lalu kedua lengan yang semula
di atas disilangkan di depan dada.... Dengan terjangan
yang sangat cepat Somat Codet menghempaskan ke-
dua telapak tangannya ke arah Wintara....
Bwueeees!
Wintara yang bermaksud hendak menangkis serangan itu mendadak terdorong terkena angin pukulan
Somat Codet. Tubuh Wintara melayang perlahan ba-
gaikan selembar daun yang tertiup angin. Dan hinggap
di tanah tanpa bersuara.
Melihat itu Somat Codet menerjang lagi dengan se-
rentetan hantaman, Wintara menghentakkan kakinya,
maka sebentar saja tubuhnya sudah melesat bagai
terbang menyambar tubuh Somat Codet....
Bug...! Bug!
Dua pukulan sekaligus menghantam bagian ping-
gang dan dada! Somat Codet terpelanting dan bergul-
ing berkali-kali. Nafasnya terasa sesak.
Wintara melangkah berjalan mendekati Somat Co-
det yang sudah tidak dapat bangkit lagi. Kebo Dungkil
mengira pastilah anak muda itu bakal menghajar So-
mat Codet lagi.
"Kedatanganku ke desa ini bukan untuk mencari
permusuhan.... Aku lebih senang kalau kalian mau
bersahabat denganku... itu akan lebih baik!" kata Win-
tara sambil membantu Somat Codet bangkit.
"Kau masih bisa berjalan, bukan?" kata Wintara la-
gi. Tapi Somat Codet segera menepiskan lengan Winta-
ra yang masih membantunya berdiri. Somat Codet ber-
jalan sendiri meski tubuhnya masih sempoyongan.
"Bantulah sahabatmu Kebo Dungkil, mungkin ka-
kinya terkilir..!" Wintara memberi saran. Somat Codet
menatap penuh kebencian, kedua lengannya mengangkat berdiri tubuh Kebo Dungkil. Lalu dengan ter-
paksa Somat Codet setengah menyeret tubuh Kebo
Dungkil yang meringis menahan sakit pada kakinya.
Mayan Danang dan Welang Galih menghampiri
Wintara yang menatap kepergian Somat Codet mema-
pah setengah mati tubuh Kebo Dungkil. Sebelum me-
reka mendekat, Wintara sudah membalikkan tubuh-
nya. Ia pun tersenyum.
"Rupanya dunia ini terlalu sempit untuk kita, sobat
Wintara...! Sepagi ini kita dapat bertemu lagi..." sapa
Mayan Danang. Wintara nyengir.
"Bagaimana menurutmu mengenai kematian Parto
itu...?" tanya Wintara.
"Mungkin dia sendiri telah mengidap penyakit kus-
ta... Desa ini memang telah kena kutukan!" jawab We-
lang Galih.
"Secepat itukah penyakit kusta menjalar? Padahal
belum lama ini..." kata-kata Wintara terputus karena
Mayan Danang segera memotong.
"Namanya juga penyakit kutukan! Datang dan per-
ginya selalu tak dapat diketahui. Mungkin juga nanti
giliran Welang Galih, ataupun aku kemudian..." kata
Mayan Danang. Wintara manggut-manggut.
"Lalu bagaimana dengan mayat Parto itu.... Kasi-
han istrinya yang baru melahirkan." Welang Galih
khawatir. Perasaannya pun menjadi kurang enak.
"Tentunya kalian sebagai warga desa ini harus bisa
mengurusinya." kata Wintara tegas. Ia menatap Mayan
Danang kemudian kepada Welang Galih.
"Ya-ya...! Kami akan mengurusnya...!" jawab Mayan
Danang.
Saat itu sosok Ki Lurah Sentanu mendatangi tem-
pat itu. Ia mendapat laporan dari beberapa orang war-
ganya. Wintara pun dapat melihat sosok yang berpa-
kaian serba putih. Orang itu menghampiri mereka.
Mayan Danang tertunduk ketika Ki Lurah Sentanu ada
di antara mereka....
"Apa yang terjadi di sini, Mayan Danang...?" tanya
Ki Lurah Sentanu secara tiba-tiba.
"Kau mau menyalahkan aku lagi...! Pasti kau me-
nuduh aku yang membunuh Parto! Iya, kan...!" Mayan
Danang bicara lantang di hadapan ayahnya.
"Diam!" Ki Lurah Sentanu membentak Mayan Da-
nang bungkam.
"Parto tewas secara mendadak tadi pagi, Ki Lu-
rah..." Welang Galih menjelaskan.
Ki Lurah Sentanu berjalan mendekati mayat yang
nampak menjijikkan itu. Ia memperhatikan mayat itu
dari ujung kaki sampai kepala. Sudah tidak dapat di-
kenali lagi. Sekalipun ia tahu itu mayat Parto. Itu pun
laporan dari warganya.
"Mayan Danang! Welang Galih! Bawa mayat Parto
ke rumahnya dan urus sebagaimana mestinya...! Ce-
pat!" Mayan Danang maupun Welang Galih tidak dapat
menolak. Ia melangkah enggan. Tapi mereka harus
menuruti perintah Ki Lurah Sentanu. Mayan Danang
dan Welang Galih membuka kain sarungnya. Mereka
membungkus mayat yang menjijikkan itu dengan kain-
kain mereka, barulah mereka membawa tubuh itu.
Sebelum mereka beranjak Ki Lurah Sentanu mena-
hannya, lalu,
"Ini semua akibat ulah kalian..." katanya pelan
agar tidak ada yang mendengarnya.
Seperti tidak mengerti ucapan Ki Lurah Sentanu,
mereka terus membawa sosok kaku itu. Mayat itu
memang sudah tidak menyebarkan bau busuk. Hanya
saja darah masih merembes dari kain sarung yang
membungkusnya.
Orang-orang kampung berduyun-duyun mengiringi
Mayan Danang dan Welang Galih. Membuat mereka
berdua susah melangkah. Sebenarnya mereka merasa
keki mendapat tugas seperti ini. Ki Lurah sendiri dapat
melihat langkah-langkah mereka yang begitu enggan.
Ki Lurah Sentanu berbalik menatap ke arah Winta-
ra. Anak muda itu tetap berdiri ketika orang yang ber-
pakaian serba putih itu datang mendekat.
"Anak muda! Aku rasa kau bukanlah warga desa
ini.... Kenapa bikin onar! Apalagi sampai berurusan
dengan orang-orang Singo Kobar! Kau bakal celaka!"
kata Ki Lurah Sentanu. Wintara menunduk, lalu....
"Aku memang bukan warga sini.... Baru saja seminggu yang lalu aku singgah di desa ini.... Bahkan
aku sempat berkenalan dengan anakmu, Ki Lurah....
Kalaupun orang-orang Singo Kobar bermaksud ingin
mencelakakan diriku, itupun lantaran aku pernah me-
nolong Mayan Danang ketika Kebo Dungkil hendak
membunuh Mayan Danang..." Ki Lurah Sentanu terte-
gun mendengar ucapan Wintara. Sebentar kemu-
dian....
"Terima kasih atas pertolonganmu terhadap anak-
ku, Mayan Danang... Tapi aku berharap sekali kau
pergi meninggalkan desa ini, anak muda," Mendengar
ucapan itu Wintara tersenyum....
"Sebenarnya aku pun ingin pergi dari desa yang
mulai tidak bersih ini...! Desa ini semestinya aman dan
damai, mungkin karena ada beberapa orang yang me-
rubah desa ini menjadi seperti kena kutuk...! Anakmu
terancam bahaya dari orang-orang Singo Kobar, Ki
Lurah. Asalnya memang dari anakmu.... Aku hanya
sekedar menyelamatkannya. Ternyata peristiwa itu
menjadi berkepanjangan... Aku khawatir Mayan Da-
nang akan celaka bila aku meninggalkannya.... Aku
bertanggung jawab atas segalanya untuk orang-orang
Singo Kobar...."
"Anak muda, siapa sebenarnya dirimu...?" Ki Lu-
rah Sentanu heran melihat sikap tenang Wintara.
Sikap Ki Lurah Sentanu nampak lebih ramah.
"Aku hanya seorang pengelana, Ki Lurah.... Tidak
lebih dari itu!" jawab Wintara.
"Betulkah Mayan Danang dalam bahaya...?" Nada
bicara Ki Lurah Sentanu khawatir.
"Kira-kira begitu.... Aku di sini akan berjaga-jaga
saja. Sekalian ingin tahu siapa adanya Singo Kobar
itu...!"
"Sebaiknya kita bicarakan hal ini di rumahku,
anak muda.... Bagaimana pun Mayan Danang adalah
anakku. Aku pun patut melindunginya...!"
Rumah Parto ramai dikerumuni orang. Mayan Da-
nang merebahkan mayat yang dibungkus kain itu di
atas balai teras. Istrinya yang baru beranak itu lang-
sung pingsan mendengar suaminya tewas secara men-
gerikan. Dalam suasana itu seorang gadis cantik ada di
antara orang-orang yang berkerumun di gubuk itu,
Mayan Danang yang tanpa sengaja tiba-tiba saja dapat
melihat raut wajah cantik seorang gadis di antara ke-
rumunan orang-orang kampung. Ketika ia bermaksud
ingin mendekatinya, gadis itu sudah menghilang entah
ke mana. Mayan Danang penasaran.
*
* *
DELAPAN
Mayan Danang merasa senang akan kehadiran
Wintara di rumahnya. Sebab keadaannya lebih terja-
min dari ancaman orang-orang Singo. Kobar. Ia sen-
diri pun tahu kalau Wintara adalah bukan pemuda
yang sembarangan.
Namun di rumah itu Mayan Danang tidak lebih ba-
gai hidup di neraka. Ayahnya yang Lurah selalu men-
gungkit-ungkit peristiwa kebakaran di gubuk Ni Luh
Wedas. Padahal peristiwa itu sudah berlalu satu ming-
gu.
Di hadapan Wintara, Ki Lurah Sentanu terus men-
desak agar Mayan Danang mau mengakui perbuatan-
nya.
"Baik aku, Parto maupun Welang Galih sama sekali
tidak melakukan apa-apa, ayah. Mana mungkin aku
berani membakar gubuk Ni Luh Wedas...! Kalau aku
menyuruh mereka membakarnya, sama saja menghia-
nati jabatan ayah sebagai Lurah...! Aku akui peristiwa
yang terjadi di Losmen Mawar Malam memang itu ke-
salahanku! Wintara pun tahu!" kata Mayan Danang
menyangkal.
"Lalu siapa yang menaruh racun ke dalam gelas
minuman ayah!" Tiba-tiba saja terdengar suara lantang
dari dalam kamar. Kemudian orang bicara tadi keluar.
Wintara dan Ki Lurah Sentanu menatap orang itu yang
melangkah kian mendekat.
"Kunta Danang! Kau bicara apa...!" bentak Mayan
Danang.
"Aku bicara yang sebenarnya...! Kalau saja aku ti-
dak cepat-cepat mengganti minuman ayah, mungkin..."
"Bohong...! Kau ngelantur! Kau mimpi! Jangan me-
nambah sulit persoalan, Kunta!" Mayan Danang bang-
kit, tapi Wintara cepat mencegah.
"Masih ingat tadi pagi? Delapan ekor ayamku mati
semua! Itu akibat racun dalam gelas yang kau taburi
racun untuk ayah!" kata-kata Kunta Danang jelas se-
kali.
"Semula aku tidak yakin kau akan meracuni ayah!
Makanya setelah kuganti dengan air yang lain, air itu
ku tuang ke dalam tempat minum ayam.... Hasilnya
kau dan ayah tahu sendiri..."
"Bangsat kau, Kunta...! Mulutmu perlu kurobek!
Itu fitnah! Fitnah! Aku tidak melakukan apa-apa...
Sungguh!" Mayan Danang melompat menerjang. Win-
tara tidak sempat menghalangi. Amarahnya meluap...
Tinjunya melayang...
Wwwes!
Kunta Danang tenang menghindar, sebelah len-
gannya nyeruduk masuk ke lambung Mayan Danang,
ia pun jatuh menggelosoh menahan nafas yang sesak.
"Lebih baik mengaku dan minta ampunlah pada
ayah, Kakang..." kata Kunta Danang bijaksana. Ki Lu
rah Sentanu, tidak percaya dengan apa yang dije-
laskan Kunta Danang. Wintara beranggapan lain,
Mayan Danang dan Kunta Danang memiliki watak
yang berbeda, tapi soal siapa yang berniat meracuni
sang ayah, Wintara sendiri masih bingung untuk me-
nentukan.
Lagi pula bukan urusannya, kehadirannya di ru-
mah itu bukan untuk soal racun. Yang jelas sekarang
ia harus bisa menenangkan suasana agar tidak terjadi
keributan di antara saudara. Kalau saja sampai terjadi,
Mayan Danang tidak mungkin dapat mengalahkan
sang adik. Karena Wintara dapat melihat dari gerakan
Kunta Danang tadi sewaktu menghindar dan memba-
las dengan sebuah serangan yang sangat cepat.
"Benarkah apa yang dikatakan adikmu itu,
Mayan...?" tanya Ki Lurah Sentanu. Mayan Danang di-
am saja, malah tatapannya liar terhadap Kunta Da-
nang.
"Katakan, Mayan...!" Ki Lurah Sentanu memben-
tak, tiba-tiba....
Praaaang!
Kaca jendela pecah. Beberapa batu masuk ke da-
lam ruangan itu. Orang-orang yang berada dalam
ruangan itu terkejut. Wintara cepat bangkit menyeli-
nap di balik jendela.
"Ki Lurah Sentanu...! Serahkan Mayan Danang be-
serta orang sewaanmu itu pada kami sekarang juga...!
Kalau tidak...!" Suara itu terdengar dari halaman ru-
mah. Wintara dapat melihat jumlah mereka dari balik
jendela yang pecah itu. Satu.... Dua.... Tiga.... Em-
pat.... Semuanya tujuh orang.
"Kaukah yang bernama Singo Kobar...?" kata Win-
tara teriak, suaranya terdengar sampai ke luar.
"Kau kira Singo Kobar itu siapa? Beliau paling pan-
tang menghadapi musuh yang bukan tandingannya...!"
Tujuh orang itu berdiri berjajar menghadapi rumah
Ki Lurah Sentanu. Wintara memberi aba-aba agar me-
reka yang ada di ruangan itu tenang dan jangan men-
geluarkan suara. Kunta Danang diam-diam bergerak
ke arah pintu, lalu secepat kilat ia membuka pintu dan
berlari ke luar....
"Kunta Danang...! Kembali...!" Wintara berteriak,
Kunta Danang mengacuhkannya.
"Kalau kalian menghendaki kedua orang itu, Iang-
kahi dulu mayatku...!" kata Kunta Danang setelah be-
rada di luar. Sudah tentu ketujuh orang itu datang me-
luruk memenuhi permintaannya.
Tiga orang sekaligus datang melancarkan seran-
gan. Kunta Danang yang sudah siap-siap itu menyam-
but. Kedua lengannya bergerak-gerak lincah menang-
kis serangan-serangan itu. Bahkan kakinya sempat
menendang salah seorang yang bermaksud menyerang
dari belakang.... Deees! Orang itu jatuh bergulingan ke
samping.
Dua orang yang dihadapinya masih terus melan-
carkan serangan. Kunta Danang tidak kalah gesit me-
nyambut, benturan-benturan lengan mereka saling be-
radu. Dan di saat sebuah hantaman melesat ke arah
muka, Kunta Danang merunduk! Sambil menangkis
serangan yang lain, kakinya maju menghantam perut
lawannya....
Bugg!
Datang lagi empat orang menyerang Kunta Da-
nang. Sudah tentu Kunta Danang tidak mungkin dapat
menghadapi orang-orang itu. Wintara yang melihat
tindakan mereka langsung melesat dari jendela itu.
Gerakannya sulit sekali untuk dilihat. Tahu-tahu saja
ia sudah menghajar orang yang bermaksud melancar-
kan serangan terhadap Kunta Danang. Ketujuh orang
itu pun beringsut kaget!
"Orang inikah yang telah membuat Kebo Dungkil
dan Somat Codet jatuh bangun?"
"Bukan jatuh bangun! Tapi sekedar memberi pela-
jaran tata sopan santun!" jawab Wintara...
"Bangsat...! Kepung...!" kata salah seorang pemim-
pin dari ketujuh orang itu. Maka ketujuh orang itu
mengelilingi Wintara dan Kunta Danang yang berdiri di
tengah-tengah mereka.
Dari balik jendela itu pula, Ki Lurah Sentanu me-
nyaksikan kenekadan anaknya. Lalu,
"Kau lihat, Mayan Danang...! Kau lihat adikmu....
Kau bisa apa!" Ki Lurah Sentanu membentak marah,
telapak tangannya melayang mendarat di pipi Mayan
Danang....
Ploook!
Kemudian ia pun melesat melalui pintu yang sudah
terbuka.
Di luar pertempuran sedang berlangsung. Kunta
Danang kelabakan menghadapi serangan-serangan
mereka yang datang secara beruntun. Untunglah Win-
tara ada di situ melindunginya. Kunta Danang sendiri
sebenarnya masih mampu menjatuhkan lawan-
lawannya, meskipun dia harus mendapat hantaman
dari salah seorang lawannya. Kalau ia mendapat sekali
hantaman, tapi ia bisa membalas menjatuhkan dua
orang sekaligus.
Melihat itu Wintara membiarkan Kunta Danang
mengurus dirinya dari serangan-serangan musuhnya,
karena Wintara sendiri tidak tinggal diam. Ia menja-
tuhkan satu demi satu musuh-musuh lainnya. Han-
taman Wintara malam itu betul-betul tidak kepalang
tanggung. Sekali hantam ada yang giginya rontok! Ada
pula yang lengannya patah. Tapi mereka begitu alot....
Meskipun banyak di antara mereka yang terluka, me-
reka masih saja menyerang.
Sekali waktu Kunta Danang jatuh terbanting men-
dapat hantaman dari salah seorang lawannya, tu-
buhnya bergulingan menghindari serangan-serangan
yang dilancarkan oleh beberapa orang yang mengejar-
nya..... Dalam pada itu Ki Lurah Sentanu cepat datang,
maka....
Des!... Des!... Des…!
Tiga tubuh sekaligus berpentalan oleh hantaman Ki
Lurah Sentanu.... Kunta Danan bangkit di belakang
ayahnya.
*
* *
Mendengar adanya Wintara di rumah Mayan Da-
nang, Welang Galih jadi gelisah. Ingin sebenarnya ia
datang ke sana untuk ngobrol dengan pemuda yang
berilmu tinggi itu. Tapi sang istri sudah berpesan agar
malam ini ia tidak perlu ke luar rumah.
Tapi kalau malam ini ia tidak ke luar rumah ra-
sanya tidak akan ada kesempatan lagi bertemu dengan
pemuda hebat Wintara. Susah rasanya mencari alasan
agar bisa ke luar rumah. Sejak tadi istrinya selalu be-
rada di dekatnya terus.
"Nyi.... Habis makan tidak menyulut rokok rasanya
hambar." Tiba-tiba tercetus alasan yang tepat. Istrinya
tidak perduli, ia malah bersandar di samping Welang
Galih.
"Tolong ambilkan, Nyi... Barangkali masih ada di
saku bajuku." katanya lagi. Dengan malas sang istri
beringsut bangkit. Ia menuju pada sangkutan baju pa-
da tiang pintu kamar. Ia merogoh pada tiap-tiap saku
baju yang tergantung, tidak sebatang rokok pun yang
ada di situ.
"Tidak ada, Kang...!"
"Ah, yang benar.... Perasaanku tadi ada satu ba-
tang lagi...!"
"Masa aku bohong... Sudah, Kakang beli saja di
warung. Tapi ingat jangan lama-lama." pesan istrinya.
Welang Galih tersenyum. Di saku bajunya memang ti-
dak ada sebatang rokok pun, itu hanya siasatnya saja
agar bisa ke luar rumah. Welang Galih meraih bajunya
yang tergantung pada tiang pintu kamar. Lalu ia men-
genakannya. Ia pura-pura merogoh saku celananya
dan mengeluarkan beberapa keping uang.
"Aku pergi, Nyi..." kata Welang Galih sambil me-
langkah ke luar. Udaranya memang cukup dingin. Se-
lintas ia menatap reruntuhan kayu bekas kebakaran
yang tadi pagi terjadi peristiwa kematian Parto yang
mengerikan. Welang Galih bergidik! Ia tidak berani
menatap bekas kebakaran itu lama-lama.
Sengaja ia memotong jalan. Tidak berani ia mele-
wati tempat itu sekalipun hari masih sore. Pikirannya
hanya tertuju bahwa ia harus sampai di rumah Mayan
Danang. Soal pulang terlambat, atau istrinya bakal
mendamprat... Itu bisa diatur. Ngomelnya akan lenyap
bila melihat sejumlah uang.... Mudah-mudahan saja
nanti Mayan Danang bisa meminjamkan uang seba-
gaimana biasanya.
Mayan Danang pasti akan memberi. Apalagi di ha-
dapan Wintara, rasa sok dermawannya pasti keluar.
Lihat saja.... pikir Welang Galih mantap. Langkahnya
semakin cepat menjauh. Pelita-pelita yang ada di se-
tiap depan rumah-rumah berkelap-kelip. Jalan kecil
yang melintas menghubungkan ke rumah Mayan Da-
nang nampak terang. Sambil bersiul-siul Welang Galih
melangkah.
Alisnya mengernyit ketika dilihatnya sosok tubuh
berjalan yang melalui jalan itu makin lama makin de-
kat. Ah! Kiranya seorang wanita! Tapi siapa...? Welang
Galih tidak perduli. Semakin dekat semakin jelas wa-
jah perempuan itu....
Wuaaaaaah!
Welang Galih bagai melihat bidadari. Ia sendiri
menghentikan langkahnya. Belum puas kalau tidak
menatapnya lebih lama, perempuan itu pun terse-
nyum.... Bahkan....
"Kakang..." Perempuan itu menarik lengan Welang
Galih. Lelaki itu pun terperangah.
"Sejak dari siang aku kesasar, maksud tujuanku
hendak mencari rumah Ni Luh Wedas. Apakah seki-
ranya Kakang tahu...?" kata perempuan itu. Suaranya
lebih lembut. Nada suara itu memang pelan, tapi We-
lang Galih yang mendengarnya seperti suatu guntur
yang menyambar di telinganya. Mukanya pucat seketi-
ka. Dalam pikirannya tergambar seonggokan kayu-
kayu telah usang menjadi arang. Lalu berganti sesosok
tubuh kurus bergulingan termakan api...
"E-e-e-rumah Ni Luh Wedas sudah pindah... Dulu
memang gubuknya di sini..." kata Welang Galih gugup.
Perempuan itu tersenyum. Welang Galih mundur men-
jauh....
"Ni Luh Wedas bersama putrinya memang berpe-
nyakit kusta.... Tapi saudaranya tidak! Coba lihat
ini..." Perempuan itu tanpa malu-malu membuka ke-
bayanya.
Astaga! Tubuh tanpa kutang terlihat jelas dengan
mata kepala Welang Galih. Meskipun hanya diterangi
lampu pelita jalanan nampak jelas kemulusan tubuh-
nya.
"Kalau Ni Luh Wedas sudah pindah dari sini, aku
harus ke mana.... Tempat asalku jauh sekali... Aku ta-
kut pulang sendirian." Perempuan itu mengenakan
kembali kebayanya.
"Tidak jauh dari sini ada gubuk kosong kau bisa
bermalam di sana..." kata Welang Galih yang kini mu-
lai berani mendekat. Rasanya, ingin sekali lagi ia meli-
hat kemulusan yang dimiliki oleh perempuan itu.
*
* *
SEMBILAN
"Sendirian...? Aku tidak berani, Kang.... Bagaimana
kalau Kakang menemani..?" Tawaran yang menarik!
Welang Galih seakan tidak percaya dengan pendenga-
rannya sendiri.
"Di mana gubuk kosong itu, Kang... Jauhkah dari
sini?"
"Tidak... Ma-mari kuantar...!" Welang Galih men-
cengkeram erat lengan perempuan itu,
Ia membawanya menerobos alang-alang dan se-
mak-semak. Tidak jauh dari situ memang ada sebuah
gubuk usang yang sudah tidak terurus. Suasana yang
gelap dan menyeramkan sama sekali tak membuat me-
reka takut. Begitu mereka mendekati gubuk kosong,
puluhan kelelawar beterbangan ke luar.
Welang Galih masuk lebih dulu ke dalam gubuk
itu. Ia mencari beberapa batang kayu untuk dibakar.
Perempuan itu hanya berdiri di depan gubuk. Seper-
tinya ia merasa takut sekali dengan suasana sesunyi
ini. Ketika api unggun mulai menyala, barulah perem-
puan itu berani masuk. Nampak ruangan dalam gubuk
itu semerawut tak terurus.
Tiba-tiba Welang Galih mengeluarkan sesuatu yang
berkilat dari pinggangnya, sebuah pedang pendek. La-
lu....
"Jangan berteriak kalau tidak ingin mampus...!
Kau telah membuatku menjadi jalang, perempuan can-
tik! Ayo buka semua pakaianmu...! Cepat!" Welang Ga-
lih membentak, tangannya yang menggenggam pedang
pendek mengarah ke tenggorokan perempuan itu...
"Kakang.... kau..." Perempuan itu ketakutan.
"Jangan banyak bicara... Ayo buka!" bentaknya la-
gi. Perempuan itu makin takut. Welang Galih makin
geram. Ia menarik kain yang dikenakannya....
"Breeet!"
Maka terlihatlah paha yang begitu mulus. Perem-
puan itu memekik. Kembali Welang Galih menarik ke-
bayanya. Hanya dengan sekali sentak, tubuh itu telah
telanjang dada. Sobekan-sobekan kebayanya masih
ada yang tertinggal. Welang Galih tertawa menyeringai.
"Sekarang bukalah olehmu sendiri, Nyi.... kalau ti-
dak..." Welang Galih siap menikam pedang pendeknya,
padahal ia hanya menakut-nakuti saja, tapi perem-
puan itu segera melepaskan semua yang melekat di
tubuhnya. Melihat itu Welang Galih menelan ludah.
Belum pernah ia melihat tubuh yang begitu mulus se-
perti ini.... Pernah ia mengintip seorang gadis yang pal-
ing tercantik di desa ini ketika sedang mandi, tapi
keindahannya tidak seperti apa yang ia lihat sekarang.
Sinar api unggun menerangi tubuh bugil itu. Namun
justru dalam keremangan yang seperti itu membuat
darah Welang Galih tersirap.
"Sekarang terlentang di sini.... Ayo!" Pedang pendek
menakut-nakuti lagi. Gadis itu menurut. Ia menelen-
tangkan diri. Tanpa diperintahkan lagi kedua kaki pe-
rempuan itu mengangkang. Welang Galih membuka
semua pakaiannya dengan dada yang bergemuruh. Pe-
rempuan itu sama sekali tidak berontak saat Welang
Galih menindih. Nafasnya yang seperti kuda menden-
gus-dengus. Tidak ada reaksi, tidak ada rontaan juga
tidak ada jeritan, seolah-olah perempuan itu pasrah
dan tidak ada pemaksaan...! Aneh!
Api unggun yang menyala menerangi ruangan itu
meletup-letup. Lidah-lidah api menjilat habis kayu ba-
kar itu sedikit demi sedikit. Hawa di sekitar itu menja-
di hangat Rumput alang-alang yang menghampar d
sekitar gubuk bergoyang-goyang tertiup angin. Langit
di atas makin kelam menakutkan.
Welang Galih membuka matanya. Nyala api un-
ggun masih meletup-letup. Perempuan yang tadi ber-
samanya sudah tidak ada di situ. Tapi ia masih meli-
hat sobekan-sobekan kain yang berserakan di sekitar
ruangan yang kotor itu. Ia menggaruk-garuk tubuhnya
yang terasa gatal. Ah! Mungkin kotoran yang berada di
tempat ini melekat di tubuhnya sehingga menimbulkan
gatal-gatal.
Ia meraih pakaiannya yang tergeletak di situ. Sece-
patnya ia mengenakannya. Namun rasa gatal itu selalu
saja mengganggu. ia menggaruk-garuk terus. Lalu ia
pergi meninggalkan gubuk itu.... Masa bodoh perempuan itu pergi ke mana! Yang penting ia sudah puas!
Lagi pula mana mungkin gadis! itu akan menuntut, ia
tidak mengenali Welang Galih.... Pikirnya.
Langkahnya masih tetap pada tujuan semula, ke
rumah Mayan Danang. Tapi sepanjang jalan tidak hen-
ti-hentinya ia menggaruk. Sepertinya seluruh tubuh-
nya terasa gatal-gatal. Dan ia terkejut setengah mati
ketika melihat telapak tangannya penuh dengan cairan
lendir... Karena suasana gelap ia tidak dapat memasti-
kan cairan apa yang melekat pada telapak tangan-
nya.... Yang jelas ia terus menggaruk dan menggaruk.
*
* *
Wintara tidak menyangka sama sekali, kalau Ki Lu-
rah Sentanu ternyata memiliki kepandaian yang tidak
bisa dianggap enteng. la sempat melirik sewaktu
menghadapi lawan-lawannya. Ki Lurah Sentanu dapat
memukul jatuh lawannya sekaligus dua orang.
Wintara sempat pula melihat Kunta Danang kewa-
lahan menghadapi dua orang lawannya. Wintara sendi-
ri sibuk menghadapi tiga orang yang menyerang den-
gan gencar. Kedua lengannya bergerak menyilang me-
nyambut pukulan tiga orang yang mengarah ke mu-
kanya. Sambil menangkis begitu, Wintara mendorong
kakinya ke samping menghantam Orang yang menyerang dari samping itu....
Bugg!!
Kontan orang itu berguling ke tanah dengan me-
nyemburkan darah. Datang lagi seorang penyerang.
Kali ini dengan terjangan melompat ke atas. Wintara
cepat merunduk dengan kedua lengan yang masih me-
nyilang. Di luar dugaan lengan itu menyambar kaki
yang masih melesat ke atas. Lalu Wintara menariknya
sekuat tenaga.... Dan melemparkannya.... Bruuuuug!
Terbanting dengan keras dan tak bangun lagi.
Kunta Danang memekik! Tulang rusuknya terasa
patah. Sebuah hantaman tidak dapat dielakkan oleh-
nya, mendengar anaknya memekik, Ki Lurah Sentanu
melompat ke belakang. Melancarkan serangan kepada
orang yang menghantam Kunta Danang Namun seran-
gan-serangan datang lagi semakin sengit. Ki Lurah
Sentanu yang sudah kelewat murka maju mengi-
baskan kedua lengannya....
Bwes!... Bwes!
Beberapa orang bergulingan, tapi salah seorang
dapat melancarkan sebuah pukulan tepat mengena
ulu hati....
Deeeeeees!
Menahan rasa sakit yang sangat menyesakkan
pernafasan, Ki Lurah Sentanu menggelosoh ke tanah.
Beberapa orang lawannya yang masih segar bugar
langsung meluruk menerjang.
Pada waktu itu, Wintara sudah membereskan la-
wan-lawannya. Ia melihat Ki Lurah Sentanu bersama
anaknya dalam keadaan bahaya. Maka secepat kilat ia
melesat. Para penyerang yang tadi hampir melancar-
kan hantaman, tiba-tiba saja mereka bergelimpangan
sambil memekik hebat. Ternyata ketika Wintara tadi
melesat ia melancarkan pukulan maut yang dapat me-
robohkan para penyerang itu. Dengan geram para pe-
nyerang itu bangkit lagi. Mereka tinggal empat orang.
Masing-masing mengucurkan darah dari hidungnya.
Wintara sudah dapat mengukur kekuatan mereka.
Maka ia pun nampak mengeluarkan sebuah jurus yang
sangat aneh. Keempat orang itu tidak langsung maju.
Mereka mengepung dari segala arah. Wintara melirik
ke samping, ia merasa lega. Sebab Ki Lurah Sentanu
sudah bangkit dan sekarang ia membantu Kunta Da-
nang berdiri.
Ketika keempat orang itu datang menerjang, Winta-
ra melesat ke atas. Tubuhnya berputar seperti gangs-
ing, begitu juga sebelah kakinya. Menyambar dua
orang sekaligus....
Des!... Des!
Dua orang itu hanya terhuyung ke belakang..Dua
orang lagi melancarkan serangan dengan pukulan-
pukulan berantai saat Wintara hinggap di tanah. Men-
dapat serangan seperti itu Wintara mundur salto ke
belakang....
Wuk!... Wuk!... Wuk!... Wuk!
Begitu Wintara berhenti salto, kaki melayang ke
depan menghantam muka penyerang yang melancar-
kan serangan berantai tadi....
Deeees! Tubuh itu terjungkal tak bangun lagi.
Tiga orang yang masih ada nampak beringas mena-
tap Wintara. Ketiga orang inilah yang nampaknya lebih
lumayan dibanding dengan yang lainnya. Wintara tidak
main-main lagi menghadapi mereka. Setelah ia me-
langkah dua kali tubuh Wintara melesat lagi ke atas!
Berputar di udara bagaikan sebuah kitiran. Ketiga
orang inipun mengikuti melesat ke atas. Masing-
masing melancarkan serangan. Tubuh Wintara masih
berputar. Meskipun begitu ia dapat melihat ketiga se-
rangan yang datang dari arah yang berlainan.
Sebelah lengannya berhasil menangkis sebuah
hantaman yang hampir mengenai mukanya.... Kakinya
bergerak lagi ke samping menahan sebuah tendangan,
tapi.... Wintara tidak dapat menghindar! sebuah puku-
lan yang menghantam bagian punggungnya....
Bug!
Bersamaan dengan itu, Wintara membarengi den-
gan melancarkan hantaman yang sangat keras terha-
dap penyerangnya itu....
Dueeeees!
Seorang penyerangnya yang tadi menghantam
punggung terbanting ke tanah.... Wintara masih merasakan sakit pada punggungnya. Tapi ia tetap bersiap-
siap menghadapi para penyerang itu.
Kedua penyerang itu menerjang beterbangan bagai
rajawali menyambar mangsa ke arah Wintara, Wintara
yang dapat melihat betapa cepatnya terjangan mereka,
langsung merebahkan diri ke tanah. Dalam keadaan
terlentang begitu Wintara menendangkan kedua ka-
kinya ke atas menyambar mereka, maka....
Deeees!... Deeees!
Keduanya terlempar jauh membentur dinding batu
dengan masing-masing kepala yang remuk. Tujuh
orang telah bergelimpangan. Ada yang tewas, ada pula
yang pingsan.
*
* *
SEPULUH
Mereka yang masih bisa bangkit langsung lari ter-
birit-birit. Wintara sengaja tidak mengejar mereka. Ki
Lurah Sentanu pun mengharapkan demikian. Kunta
Danang melangkah mendekati mereka, nafasnya masih
terasa sesak. Ia tersenyum setelah menatap Wintara.
Wintara pun demikian. Setelah Kunta Danang mende-
kati Wintara merangkul.
"Tidak kusangka, anak Ki Lurah Sentanu yang satu
ini luar biasa..."
"Ah! Kaulah yang sebenarnya luar biasa! Aku dan
Kunta Danang bisa apa? Untung saja ada kau Wintara,
kalau tidak-..?"
Tiba-tiba saja ketiganya tersentak mendengar se-
suatu yang berderak! Sosok tubuh melesat dari dalam
rumah menerobos pintu yang hancur berantakan.
Sosok itu membawa tubuh Mayan Danang yang me-
ronta-ronta dalam dekapannya.
"Ia membawa Mayan Danang, ayah...!" seru Kunta
Danang. Wintara reflek mengejar sosok itu yang mele-
sat menembus di kegelapan malam. Matanya yang jeli
dapat melihat sosok itu pergi, tapi....
"Jangan mengejar sobat! Kalau tidak Mayan Da-
nang akan mati sekarang juga!.. Aku Singo Kobar akan
menunggumu di bukit Kendal besok malam di bulan
purnama!... Kembalilah!" Suara itu hilang bersamaan
dengan hilangnya sosok tubuh yang membawa Mayan
Danang.
Wintara berhenti mengejar. Sekalipun ia merasa
khawatir akan diri Mayan Danang yang berada di tan-
gan Singo Kobar. Ia melesat kembali menemui Ki Lu-
rah Sentanu dan Kunta Danang yang menunggu di
rumahnya.
"Mayan Danang dijadikan sandera! Singo Kobar
menginginkan diriku sebagai penebusnya... Ki Lurah
Sentanu tak perlu khawatir, seperti yang pernah kuka
takan kemarin, aku bertanggung jawab atas Mayan
Danang.... Mudah-mudahan saja besok Mayan Danang
selamat." kata Wintara sesampainya di hadapan mere-
ka. Belum Ki Lurah Sentanu menjawab, mereka dike-
jutkan lagi oleh sesuatu....
"Mayan Danang...! Aaarght! Mayan Danang. To-
looooong!' Sosok tubuh berlumuran darah jatuh ban-
gun di hadapan mereka. Seluruh kulitnya nampak me-
leleh seperti mau lepas dari daging. Tubuh itu meng-
gapai-gapai....
"Dia.... dia Nyi Sekar Dayang Kunti...! Mayan Da-
nang. Tolooooong!" Sosok tubuh itu menjerit-jerit me-
nahan sakit. Wintara, Ki Lurah Sentanu maupun Kun-
ta Danang menatap keheranan. Ketiganya tidak ada
yang berani mendekat. Sosok tubuh itu tidak ubahnya
seperti seekor makhluk yang mengerikan.
"Aku Welang Galih...! Aku Welang Galih...! To-
looong!" Tubuh menjijikkan itu berkelojotan di tanah.
"Nyi Sekar Dayang Kunti.... Dia.... Dia....
Arghhhhhht!" Tubuh itu berhenti dari kejang-kejang,
kemudian kaku tak bergeming. Ki Lurah Sentanu me-
natap wajah yang sangat dikenalinya itu. Wajah We-
lang Galih. Mereka melihat cara kematian yang sama
yang dialami oleh Parto. Tubuh meleleh mengeluarkan
darah, seperti penderita kusta. Ketiganya saling pan-
dang. Masih terngiang kata-kata Welang Galih yang ke-
luar ketika ia menghembuskan nafas yang terakhir...
Nyi Sekar Dayang Kunti...! Belum pernah mereka
mendengar nama yang amat menyeramkan itu.... Siapa
Nyi Sekar Dayang Kunti sebenarnya? Hal itu menjadi
bahan pemikiran mereka!
"Mungkin mereka kena tuntutan dari arwah Ni Luh
Wedas!" kata Kunta Danan Dalam ruangan itu Wintara
hanya berdiri di samping jendela yang telah rusak. Ki
Lurah Sentanu duduk berhadapan dengan anaknya.
"Tidak mungkin, Kunta.... Mana mungkin arwah
bisa menuntut! Menurut pemikiran ku.... Pasti ada se-
seorang yang sengaja menteror desa ini dengan cara
yang keji..." kata Ki Lurah Sentanu
Mang Toyop keluar membawa sebuah nampan
yang berisi tiga buah gelas air. Dari tadi ia sudah men-
dengar percakapan mereka.
"Saya memang pernah dengar sebuah nama yang
sangat menyeramkan... Tapi bukan Nyi Sekar Dayang
Kunti..! Waktu itu seorang perempuan di kampung
saya kesurupan, ia mengaku dirinya Nyi Dayang Kunti
Naga... Tapi setan perempuan itu tidak berbahaya, sa-
ma sekali tidak ada kematian setelah menyurupi... Ia
hanya berpesan agar penduduk desa saya jangan
mengganggu ketenangannya..." kata Mang Toyop sete-
lah meletakkan ketiga gelas itu di atas meja. Ki Lurah
Sentanu menoleh ke arah Mang Toyop dengan pan-
dangan yang amat tidak suka. Melihat gelagat yang
kurang baik, Mang Toyop cepat mundur kembali kedapur.
"Nampaknya kematian mereka seperti suatu pem-
balasan, Ki Lurah..." kata Wintara yang tetap berdiri di
samping jendela.
"Aku khawatir Mayan Danang akan menjadi kor-
ban yang ketiga...!" katanya lagi.
*
* *
Bulan yang bersinar penuh tertutup awan berarak
berjalan perlahan. Manakala langit makin lama me-
nampakkan bintang-bintang yang bertebaran berkelap-
kelip. Dan ketika awan berarak itu berlalu. Sinar bulan
menerangi bukit Kendal.
Sebuah bukit dengan dataran yang sangat luas di-
tumbuhi rumput halus, di mana sisi dataran tersebut
dirimbuni oleh semak-semak dan pohon-pohon yang
sangat lebat. Di tengah-tengah dataran itu terdapat
sebatang tonggak bekas batang pohon yang telah pa-
tah tersambar petir. Pada batang pohon itu, sosok tu-
buh terikat menggantung sambil meronta-ronta. Sosok
itu tidak lain tubuh Mayan Danang. Mulutnya tidak
bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya tersumbat
oleh secarik kain yang mengikat sampai ke belakang
kepala.
Ia hanya meronta-ronta, namun tambang pengikat
tubuhnya sangat kuat. Sehingga tubuhnya yang ter-
gantung bergoyang-goyang kesana kemari.
Sesosok tubuh menerobos ke luar dari rerimbunan
semak yang amat lebat. Sosok yang mengenakan baju
bulu binatang itu tidak terus melangkah ketika tiba di
dataran berumput. Wintara datang ke tempat itu un-
tuk memenuhi janjinya. Ia menatap sebatang pohon
yang telah patah. Ia pun dapat melihat jelas sosok tu-
buh Mayan Danang tergantung pada pohon itu. Winta-
ra melangkah lagi.
Ingin rasanya ia cepat-cepat bertemu dengan orang
yang menamakan dirinya Singa Kobar. Seperti macam
apa dia? Melihat dam belasan anak buahnya yang ra-
ta-rata sangar, tentulah pemimpinnya lebih sangar la-
gi. Paling tidak, amat menakutkan! Wintara melangkah
terus ke tengah-tengah dataran itu. Mayan Danang
meronta-ronta terus.
"Singo Kobar...! Tunjukkan dirimu...! Aku datang
memenuhi janjiku...!" teriak Wintara. Suasana tetap
hening. Tidak ada jawab an.
"Singo Kobar, keluarlah...!" teriak Wintara makin
lantang.
Lapat-lapat terdengar suara gerakan baju yang ter-
tiup angin, cepat Wintara menoleh ke arah suara itu.
Ia melihat sosok tubuh melesat bergerak cepat mene-
robos rimbunnya pepohonan. Tubuh itu terus melesat
bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Sesaat
kemudian tubuh yang melesat itu berputar di udara,
lalu hinggap di tanah tanpa bersuara. Wintara mena-
tap tenang. Mata Wintara terbelalak melihat beberapa
orang yang pernah dihadapi keluar, dari semak-semak.
Mereka berdiri di belakang orang yang tadi berjumpali-
tan tadi.
"Siapa di antara kalian yang bernama Singo Ko-
bar...? Aku datang hanya untuk menemuinya...!" kata
Wintara tegas. Kebo Dungkil dan Somat Codet ada di
deretan itu. Seseorang yang berdiri paling depan me-
langkah maju.... Wintara masih ingat orang itu tadi
yang melesat bagai anak panah.
"Aku Singo Kobar...! Bagus! Kau datang memenuhi
janjimu! Cukup ksatria...!" Wintara setengah tidak per-
caya! Orang yang mengaku Singo Kobar ternyata seo-
rang anak muda sepantarannya. Seorang pemuda
tampan.
Semula Wintara mengira Singo Kobar seorang yang
amat menyeramkan, bertubuh besar, berewok, berma-
ta nyalang, dan macam-macam dalam pikirannya. Tapi
setelah ia melihat siapa adanya Singo Kobar. Seakan-
akan Wintara tak percaya!
"Aku ingin tahu sampai di mana kehebatanmu, so-
bat...! Ilmu apa yang membuat aku harus kehilangan
beberapa orang anak buahku...! Juga lima anak bua-
hku ada yang menderita patah tulang...!" kata anak
muda yang tak lain Singo Kobar.
"Mengapa harus menanyakan soal ilmu padaku...
Aku rasa setiap orang punya. ilmu! Lagi pula soal ke-
matian atau patah tulang anak buahmu, bukan aku
yang menghendaki.... Tapi..."
"Jangan banyak omong! Kau boleh menukar nya-
wamu dengan nyawa Mayan Danang!"
"Tentu setelah aku menjadi mayat, bukan...?" ja-
wab Wintara.
"Dan bukan karena aku harus bunuh diri di si-
ni...!" kata Wintara lagi.
Mendengar ucapan yang begitu menggelitik kuping.
Singo Kobar menghentakkan kedua kakinya. Lalu ke-
dua tangannya bergerak ke atas sambil mengeluarkan
teriakan yang begitu dahsyat!
*
* *
SEBELAS
Berbarengan dengan suara teriakan yang begitu
menggelegar, tiba-tiba saja angin kencang bertiup. Ma-
kin lama makin kencang bagai badai angin. Beberapa
anak buahnya yang berderet di belakangnya berpenta-
lan terdorong putaran angin yang melanda bagai to-
pan... Tubuh Mayan Danang terombang ambing. Kalau
saja tubuhnya tidak terikat kencang, mungkin Mayan
Danang sudah terlempar jauh.
Teriakan Singo Kobar masih menggelegar seakan
tidak pernah putus mendatangkan angin topan yang
deras menerjang. Wintara tetap berdiri, seolah-olah
angin yang mendorong sangat kuat itu tidak berarti
apa-apa. Rambutnya yang gondrong serta baju bulu
yang dikenakan Wintara berderai-derai terkena getaran
angin yang begitu kencang! Tubuhnya tidak bergeser
sejengkalpun.
Di luar dugaan, Wintara mendorong ke dua telapak
tangannya ke depan. Kedua telapak tangan itu nam-
pak bergetar. Tapi akibatnya sangat dahsyat pula...!
Angin itu kembali berputar berbalik menerjang Singo
Kobar.... Mendapat serangan yang demikian menda-
dak, Singo Kobar melesat ke atas... Angin kencang te-
rus menerjang anak buah Singo Kobar yang berusaha
bertahan. Tubuh Singo Kobar yang melesat itu terus
menukik melancarkan serangan.
Menghadapi seorang lawan yang memiliki kepan-
daian luar biasa ini, Wintara harus pentang mata. Ia
tidak boleh menganggap remeh tiap serangan-serangan
yang dilancarkan oleh Singo Kobar. Wintara sendiri
mengakui akan kehebatan tenaga dalam lawannya. Se-
tiap kali serangan itu hampir menyerempet, ia sudah
merasakan getaran angin yang mendorong demikian
keras. Sudah tentu Wintara tidak hanya menghindar
terus menerus, sesekali ia berusaha membalas serangan itu....
Deeees!
Hantaman mereka beradu.
Keduanya sama-sama melompat ke atas. Singo Ko-
bar melepaskan pukulan ke depan. Wintara menyam-
but dengan sebelah telapak tangannya. Sebenarnya
pukulan yang dilancarkan Singo Kobar sangatlah ke-
ras, namun karena Wintara menyambut sama keras-
nya.... Sehingga menimbulkan suara yang amat dah-
syat. Keduanya sama-sama jatuh ke tanah dengan po-
sisi yang tidak berubah. Tinju serta telapak tangan me-
reka tetap menyatu. Sebelah lengan Wintara yang se-
dari tadi menunggu kesempatan, maju menghantam
dada Singo Kobar....
Deees!
Singo Kobar memang terpelanting, tapi dalam kea-
daan yang seperti itu, Singo Kobar sempat melancar-
kan tendangannya....
Plaaak!
Wintara cepat menangkis. Akibat tangkisan yang
disertai tenaga penuh, tubuh Singo Kobar makin ter-
banting keras!
Hanya dalam sekejap tubuh Singo Kobar bangkit
lagi. Wintara sengaja menunggu lawannya menyerang
lebih dulu. Dan begitu Singo Kobar menerjang, Wintara
hanya memutar sebelah lengannya. Hantaman Singo
Kobar luput. Tapi lututnya yang setengah menekuk
menghantam perut Wintara.
Dua anak muda yang sama-sama memiliki kepan-
daian tinggi ini makin ganas saling terjang. Benturan-
benturan hantaman mereka yang tidak perlu sebenar-
nya menghamburkan tenaga tertuang dengan sia-sia.
Singo Kobar yang selalu melesat melancarkan seran-
gannya geram dan penasaran. Wintara pun begitu. Se-
kali ia melancarkan hantaman....
Deeeeer!
Singo Kobar yang sudah kehabisan tenaga terlem-
par sambil menyemburkan darah dari mulutnya.
Wintara sendiri terhuyung. Rupanya ketika tadi ia
melancarkan hantaman, ia menguras semua tena-
ganya. Dengan seloyongan Singo Kobar bangkit berdiri.
Kedua matanya menatap nanar.... Wintara berusaha
berdiri tenang, ia menganggap Singo Koba betul-betul
kuat dan tangguh. Matanya selalu mengawasi gerakan
Singo Kobar yang nampak berusaha menerjang lagi.
Dengan disertai teriakan yang menggelegar, Singo
Kobar melancarkan dua tinjunya sekaligus. Meskipun
gerakannya terhuyung, Wintara dapat menepis puku-
lan-pukulan itu. Sebelum Wintara membalas seran-
gan....
Buugg!
Tendangan Singo Kobar masuk ke perut Wintara.
Belum hilang rasa sakitnya, tahu-tahu tubuh Singo
Kobar berputar. Sebelah lengannya menghantam keras
muka Wintara.
Tubuh Wintara bergulingan di tanah, sesaat kemu-
dian ia duduk bersila dengan pandangan yang berpu-
tar. Kedua telapak tangannya menyatu di depan dada.
Matanya terpejam rapat. Singo Kobar dengan garang
maju melancarkan pukulannya berkali-kali ke tubuh
Wintara yang masih tetap duduk bersila. Bahkan
tendangannya dua kali menghantam leher. Namun
bagai batu karang yang tegar, Wintara tetap diam tak
bergerak. Darah mulai keluar dari lobang hidungnya.
Singo Kobar masih terus menghujani tubuh Wintara
dengan segala hantaman maupun tendangan.
Entah pada hantaman yang keberapa kali Wintara
berteriak menggelegar sambil mulutnya menyembur-
kan darah bagai air mancur. Kedua lengannya berge-
rak cepat menyilang. Singo Kobar yang berada di de-
katnya terpental jauh terkena sambaran sebelah len-
gan Wintara.
Mendadak saja tubuh Wintara melesat ke atas da-
lam keadaan duduk bersila dan kedua mata yang ma-
sih terpejam. Tubuhnya melayang mengikuti ke mana
arah Singo Kobar terbanting. Dan begitu kedua mata
Wintara terbuka, hantamannya beruntun mengarah di
tubuh Singo Kobar. Singo Kobar sendiri tidak dapat
mengelakkan amukan Wintara yang melancarkan se-
rangan terus-menerus. Rupanya sewaktu Wintara du-
duk bersila tadi, ia tengah menghimpun tenaga baru.
Meskipun tadi Singo Kobar berusaha mengacaukan ja-
lan pikirannya dengan melancarkan serangan-
serangan yang melanda di tubuh Wintara. Ia berusaha
bertahan walaupun harus mengeluarkan darah.... Dan
sekarang tenaga inti itu telah menjelma menyalur ke
seluruh tubuhnya... Tendangannya yang keras meng-
hantam kepala Singo Kobar.... Saking kerasnya ten-
dangan itu, kulit kepala bagian pelipis Singo Kobar
terkelupas sampai ke rambut-rambutnya.
"Waaaaaaarghat!"
Jeritan Singo Kobar tidak kepalang tanggung ke-
rasnya. Tubuhnya kelojotan menahan sakit yang tidak
terkira! Dengan nafas yang memburu Wintara menatap
tubuh yang sekarat itu. Sebenarnya kalau Wintara
mau membunuhnya, bisa saja. Tapi ia sengaja melihat
Singo Kobar bergelintingan menjerit-jerit.
"Tobaaaat...! Tobaaaat...! Waaaaaarght" Singo Ko-
bar masih bergelintingan.
"Hei...! Kalian manusia-manusia keparat! Bawa
pergi Singo Kobar dari sini...! Kalian ingin melihat da-
rahnya membanjiri bukit Kendal ini...?" bentak Winta-
ra kepada anak buah Singo Kobar yang berdiri ketaku-
tan di balik semak-semak yang merimbun.
Maka dengan memberanikan diri para anak buah
Singo Kobar menampakkan diri satu per satu. Mereka
berjalan perlahan-lahan dengan tatapan ngeri menga-
rah pada Wintara. Setelah mereka mendekati Singo
Kobar yang masih kelojotan, mereka langsung mem-
bawa cepat tubuh majikannya.
Mayan Danang masih tergantung pada batang po-
hon di tengah dataran bukit Kendal. Ia merasa lega
melihat orang-orang Singo Kobar meninggalkan bukit
itu. Ia tidak meronta-ronta lagi saat Wintara melang-
kah mendekati.
"Ingat Mayan Danang...! Aku mempertaruhkan
nyawaku demi kau! Kalau sampai terjadi apa-apa lagi
terhadap dirimu, aku lepas tangan... Rubahlah segala
sikap burukmu. Karena selama ini segala tindak tan-
dukmu telah ku baca!" kata Wintara mengancam. Da-
rah yang mengalir di sudut bibirnya belum mengering.
Mayan Danang tidak berani menjawab.
*
* *
Selama tiga hari ini Mayan Danang tidak pernah ke
luar rumah. Cerita ayahnya tentang kematian Welang
Galih yang serupa dengan Singo Kobar sangat mem-
pengaruhi dirinya. Perasaan takut selalu menghantui,
membuat dirinya harus terkurung di dalam rumah. Se-
lama itu pula ayahnya maupun Kunta Danang tidak
pernah mau menemuinya. Mayan Danang merasa di-
rinya terkucil. Hanya Wintara yang senantiasa mene-
mui ngobrol di kala senggang.
Wintara sendiri sudah tidak perlu lagi tinggal di
rumah Ki Lurah Sentanu berlama-lama. Sekalipun Ki
Lurah Sentanu merasa tidak keberatan seandainya
Wintara harus tinggal di situ selamanya. Tapi bagi seo-
rang pengelana sebuah rumah sama sekali tak ada ar-
tinya. Ki Lurah Sentanu tidak bisa menahannya.
Siang itu Wintara pamit kepada keluarga Ki Lurah
Sentanu. Dengan berat Ki Lurah Sentanu melepaskan
kepergian seseorang sangat berjasa bagi kehidupan ke-
luarganya. Segalanya dapat tenang kembali berkat
Wintara. Mayan Danang berniat mengantarkannya
sampai ke pintu desa. Wintara tidak keberatan.
Keduanya berjalan beriringan saling bisu. Mayan
Danang merasa seperti ada kebebasan setelah menghi-
rup udara lepas. Wajahnya begitu berseri. Selama tiga
hari ini sepertinya banyak berubah. Para pedagang
yang biasanya dapat dihitung, kini para pedagang itu
berderet memenuhi sepanjang jalan. Malah mereka itu
ada yang bertengkar mulut karena berebut tempat.
Apa yang menyebabkannya para pedagang itu jadi de-
mikian banyak berjubal bagai air bah.... Pikir Mayan
Danang! Mungkin... Pasti karena Singo Kobar sudah
tidak lagi berhak memegang kekuasaan di daerah ini....
Sesaat Mayan Danang sempat melirik pada sebuah
losmen yang sangat bagus dan bersih. Pada pintu ger-
bang yang mirip sebuah gapura tergantung papan na-
ma yang bertuliskan: Mawar Malam... Sesiang itu pun
tempat itu demikian ramai dikunjungi para pendatang.
Mayan Danang tidak menyadari kalau sejak tadi Win-
tara memperhatikannya....
"Terima kasih, Mayan Danang.... Kau boleh men-
gantarku sampai di sini saja. Aku bisa meneruskan ja-
lanku sendiri... Hanya satu pesanku itu yang harus
kau ingat...! Dan juga jangan keluar malam selama
keadaan belum jernih betul..." kata Wintara. Ia pun
melangkah meneruskan perjalanannya. Baju bulu
Wintara bergeming tertiup angin. Langkahnya makin
lama semakin menjauh, Mayan Danang menatap terus
sampai Wintara sudah tidak nampak lagi.
*
* *
DUA BELAS
Dengan penuh semangat, Mayan Danang melewati
pintu gerbang yang bertuliskan Mawar Malam. Sebe-
lumnya para perempuan penghibur yang banyak berdi-
ri di situ menyambutnya dengan segala cara mereka,
Mayan Danang tidak meladeni.
Kedatangannya ke situ untuk menemui seorang pe-
rempuan. Perempuan itu pula yang menyebabkan di-
rinya sampai berurusan dengan orang-orang Singo Ko-
bar. Sekarang ia datang untuk mengangkat perempuan
itu dari lembah hitam. Mayan Danang berniat menja-
dikan istrinya.
Kurang lebih setanakan nasi, Mayan Danang be-
lum juga menemukan perempuan itu. Ia hampir putus
asa. Tiap-tiap kamar ia telusuri, namun tetap saja ha-
silnya sama. Matanya memandang ke ruangan atas. Di
situ berderet beberapa kamar dengan pintu terbuka
semua. Betapa kecewanya Mayan Danang... Ia memilih
tempat duduk paling tengah. Lalu ia memesan sepundi
arak.
Sambil meminum arak matanya terus berputar
mengawasi tiap-tiap perempuan yang berlalu-lalang
dalam ruangan itu. Mukanya telah memerah. Kuping-
nya pun berdenging mendengarkan bisingnya suasana
itu...
Tiba-tiba saja matanya terbelalak menatap seorang
perempuan menaiki anak tangga yang menuju ke
ruangan kamar atas.... Dengan cepat Mayan Danang
mengejar ke arah perempuan yang dilihatnya, gera-
kannya yang terburu-buru menyenggol pundi arak itu
sampai jatuh dan pecah. Semua orang menoleh dan
menganggap Mayan Danang mabuk. Mayan Danang
sendiri tidak perduli.
Merasa dibuntuti seseorang, perempuan itu meng-
hentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar yang
terbuka. Ia menatap wajah Mayan Danang yang ter-
cengang setelah berhadapan. Perempuan itu tersenyum. Mayan Danang seperti melihat senyum yang
memikat itu....
Yah...! Ia masih ingat ketika membawa jenazah Par-
to ke rumahnya. Perempuan itu ada di antara keru-
munan orang-orang kampung.... Tapi kenapa sekarang
ia harus berada di tempat ini? Apakah...?
"Kakang perlu saya temani...?" Tiba-tiba saja pe-
rempuan yang cantik luar biasa mengeluarkan suara.
Mayan Danang tersentak. Matanya liar menatap ke-
cantikan itu.
"Lebih dari itu, Nyi.... Semula aku memang mencari
seseorang untuk kujadikan istri.... Tapi setelah melihat
kau.... Aku seperti ingin memiliki mu.... Bersediakah
kau menjadi istriku, Nyi... Bersediakah...?" Mayan Da-
nang mendorong tubuh perempuan itu masuk ke da-
lam kamar. Perempuan it tertunduk malu.
"Kakang ini bicara apa.... Mana ada seorang lelaki
terpandang seperti Kakang mau beristrikan seorang
pelacur.... Kakang pasti mabuk." jawab perempuan itu.
"Tidak! Aku tidak mabuk! Sungguh aku ingin
memperistrikan mu, Nyi..." Mayan Danang memeluki
tubuh perempuan itu yang tidak berontak sama sekali.
"Tutup pintunya, Kang.... Aku malu dilihat orang
dari bawah..." Mayan Danang menyepakkan kakinya
ke arah daun pintu yang terbuka lebar, maka pintu
pun berdentum menutup. Mayan Danang makin gila
mempereteli seluruh pakaian yang melekat pada tubuh
perempuan itu. Dari ikat rambut, kebaya... Bahkan
sampai pada kain yang melekat di sekitar pinggang.
Tubuh ramping yang menggiurkan setiap lelaki te-
lah berdiri bugil. Kulit yang putih mulus membuat
Mayan Danang menelan ludah. Dengan tidak sabaran
pula Mayan Danang melepaskan semua pakaiannya....
Kini keduanya sama-sama bugil berdiri berhadapan.
Saat mereka bersentuhan terasa sekali kehangatan bi-
rahi yang menyerang dalam tubuh Mayan Danang.
Bagai srigala liar lelaki itu merengkuh kuat-kuat
tubuh yang ramping menggelinjang dengan nafas yang
tersengal-sengal. Mayan Danang membaringkannya
dengan hati-hati sekali, Perempuan itu terpejam saat
Mayan Danang menindih serta mengangkat setengah
duduk tubuh yang menggeliat itu dalam pangkuannya.
Tiba-tiba saja perempuan itu mendorong keras tu-
buh Mayan Danang. Ia mendengar beberapa orang me-
langkah menaiki tangga. Langkah-langkah yang begitu
banyak berhenti di depan pintu kamar di mana mereka
berada....
Braaak!
Pintu itu terbuka lebar. Nampak beberapa orang
berwajah beringas memasuki kamar itu. Mayan Da-
nang maupun perempuan yang bersamanya masih
membugil. Beberapa orang datang menyeret tubuh
Mayan Danang. Tapi....
Praaak!
Perempuan bugil itu mengibaskan tangannya, ma-
ka beberapa orang itu berpentalan. Salah seorang di
antaranya ambruk dengan kepala pecah.
"Kalian mau membunuh Mayan Danang...? Tidak
bisa! Dia bagianku...! Kalian tidak berhak! Menyingkir-
lah..."
Seseorang muncul lagi. Seorang lelaki dengan balu-
tan di kepalanya. Laki-laki itu tidak lain Singo Kobar....
"Cepat! Kalau perlu bunuh saja mereka...! Ayo bu-
nuh!" kata Singo Kobar sengit.
"Hi.... hi.... hi.... hi.... Kalian cari mampus! Aku Nyi
Sekar Dayang Kunti tidak bakal mati.... Heaaaaat!"
Sambil berkata begitu kedua lengannya menyebar
ke atas. Maka beberapa orang beterbangan mencelat.
Bahkan sampai jatuh ke ruangan bawah. Suasana itu
menjadi, ricuh. Orang-orang yang berada di situ men-
jadi panik. Mereka melihat seorang perempuan telan-
jang bulat mengamuk.
Perempuan itu masih terus melancarkan seran-
gannya. Dan setiap kali lengannya bergerak, beberapa
orang ambruk berjatuhan ke lantai bawah dengan lu-
ka-luka yang tidak ringan. Beberapa meja pun terpak-
sa hancur berderak tertimpa tubuh-tubuh yang berja-
tuhan dari ruangan atas. Melihat anak buahnya cerai
berai berjatuhan, Singo Kobar menerjang geram! Pe-
rempuan cantik itu menyambutnya dengan sebuah
tendangan mengarah perut....
Breeees!
Kaki yang putih mulus itu menembus di perut Sin-
go Kobar! Dan ketika perempuan itu menghentakkan
kakinya, tubuh Singo Kobar mencelat ke bawah den-
gan darah yang menyembur dari perut membanjiri lan-
tai ruangan bawah. Tubuhnya terlentang kaku tak
berkutik.
Mayan Danang yang mendengar siapa nama pe-
rempuan itu langsung teringat akan cerita ayahnya...
Nyi Sekar Dayang Kunti...! Perempuan itu pula yang
telah membunuh Parto dan Welang Galih. Cepat-cepat
ia meraih celananya. Tapi perempuan yang menyebut
diri Nyi Sekar Dayang Kunti berbalik menghadapi
Mayan Danang.
Orang-orang yang berada di bawah segera me-
nyingkir dari losmen itu. Mereka semua ketakutan me-
lihat seorang perempuan cantik telanjang bulat men-
gamuk bagai kesetanan! Tubuh itu memang nampak
mulus dan menggiurkan, tapi itu tadi.... Sekarang sa-
ma sekali tidak ada kesan membangkitkan birahi.
Mayan Danang beringsut mundur ketika Nyi Sekar
Dayang Kunti me-langkah mendekati.
"Hi.... hi.... hi.... hi.... Setelah tadi kau merasakan
kenikmatan tubuhku, sekarang kau harus menikmati
pula rasanya kematian.... Hi.... hi.... hi.... hi.... Aku ti-
dak perlu mengotori tanganku, Mayan Danang...! Kau
akan mati dengan sendirinya.... Hi... hi... hi...hi...!" Nyi
Sekar Dayang Kunti tertawa menakutkan.
Dalam pada itu sosok tubuh melesat ke atas dari
lantai bawah ke ruangan itu. Nyi Sekar Dayang Kunti
yang melihat lesatan tubuh seseorang memasuki ruan-
gan itu cepat menyambar dengan lengannya. Serangan
itu melesat hanya menyerempet bulu-bulu yang kasar.
Bulu-bulu kasar itu tidak lain pakaian yang dikenakan
Wintara.
Wintara melompat ke arah Mayan Danang, tapi se-
belum ia mencapainya Nyi Sekar Dayang Kunti mendo-
rong telapak tangannya ke depan, maka Wintara ter-
sungkur ke depan sambil memekik. Pukulan itu sangat
keras menghantam punggung Wintara. Ia merasa ser-
ba salah menghadapi perempuan yang telanjang bulat
berdiri mengangkang di hadapannya. Wintara meng-
hentakkan kedua kakinya, maka sebentar saja tubuh-
nya melesat berputar di ruangan itu. Sambil menyerin-
gai, Nyi Sekar Dayang Kunti melancarkan tendangan
ke atas....
Dees!
Wintara tidak dapat menghindari tendangan yang
berkelebat demikian cepatnya.... Tubuh itu terlempar
ke bawah berdegum di lantai.... Dirasakan tulang
punggungnya remuk.
Sosok tubuh bugil itu terus memburu menukik ke
bawah. Sebelah telapak tangannya siap melancarkan
hantaman. Sebelum hantaman itu mengenai, Wintara
berguling ke samping.
"Sekar Dayang Kunti...! Hentikan...!" Terdengar su-
ara seorang perempuan membentak.
Nyi Sekar Dayang Kunti menghentikan serangan-
nya. Ia mengarah ke arah suara. Tidak ada sosok ma-
nusia di sana.... Kecuali seberkas sinar yang amat me-
nyilaukan. Orang-orang yang berada di luar losmen
menjadi sangat takut.
"Kau telah melanggar perjanjian, Sekar...!" Sinar
menyilaukan itu berkerlip-kerlip.
"Maaf, Nyi.... Aku terpaksa.... Dendam ku belum
terlaksana, tapi mereka mencoba menghalangi...!" kata
Nyi Sekar Dayang Kunti.
"Apanya yang belum terlaksana! Orang itu telah
menyerap racun kusta mu.... Dia pasti mati! Ayo, Se-
kar! Kau harus menjadi dayang-dayang ku...!" Sinar itu
nampak lebih menyilaukan. Wintara menutupi kedua
matanya dengan lengan.
"Tidak, Nyi.... Aku tidak mau jadi dayang-dayang
mu! Sekarang aku cantik, mulus tidak ada cacat bekas
penyakit kusta.... Aku akan tetap di sini...!" jawab Nyi
Sekar Dayang Kunti.
"Makhluk terkutuk! Tidak sadarkah semua kea-
daan yang ada padamu itu titipan...?"
"Ku mohon padamu, Nyi.... Biarkanlah aku...!" Nyi
Sekar Dayang Kunti berlutut. Ia tidak perduli tubuh-
nya yang bugil dipandangi orang banyak, meskipun
orang-orang itu hanya melihat dari kejauhan.
"Kau tidak bisa menentang kehendakku, Sekar...!
Bersiaplah...!" Sinar menyilaukan itu berputar-putar di
udara. Lalu melesat ke arah Wintara yang masih me-
nutupi kedua matanya dengan lengan. Sinar yang ber-
putar-putar di udara mendadak berhenti di atas kepala
Wintara. Semua orang tertegun tatkala sinar itu masuk
menembus melalui ubun-ubun kepala.
Mendadak saja Wintara bangkit berdiri; dengan ke-
dua mata yang terbelalak. Langkahnya berat menuju
Nyi Sekar Dayang Kunti berlutut menghadapinya. Be-
gitu Wintara mendekati, Nyi Sekar Dayang Kunti me-
lancarkan serangan....
Buuug!
Pukulan itu menghantam dada Wintara.
"Bagus kau berani memukul ku, Sekar.... Bersiap-
lah! Aku akan menjemput mu...! Dan akan menghu-
kum mu di sana...!" kata Wintara. Suara itu jelas bu-
kan suaranya, tapi suara seorang perempuan yang be-
rasal dari sinar yang amat menyilaukan tadi.
Kedua lengan kekar Wintara mencengkeram erat
kepala Nyi Sekar Dayang Kunti, lalu mulutnya yang
menganga mendekat seperti hendak menelan kepala
itu bulat-bulat.
"Jangan, Nyi.... Jangaaaaaaaaaaaaan...!" Nyi Sekar
Dayang Kunti memekik hebat ketika mulut Wintara
yang menganga melekat di batok kepalanya. Tubuh
bugil itu kelojotan bergoser-goser. Teriakannya keras
memenuhi ruangan itu. Buah dada serta auratnya
membentang ke mana-mana. Sampai akhirnya tubuh
bugil itu terkulai lemas terlentang di lantai.
Wintara tersentak ketika sinar menyilaukan keluar
dari kepalanya. Ia seperti baru bangun dari tidurnya.
Rasa sakit dan ngilu yang menggeram dalam tubuhnya
hilang seketika. Di bawah kedua kakinya terlentang
sosok bugil.
Lengannya cepat menutupi kedua matanya saat si-
nar menyilaukan itu terbang mendekati.
"Terima kasih, anak muda.... Aku telah meminjam
ragamu untuk melumpuhkan perempuan itu… Aku ti-
dak menyangka daya tahan tubuhmu begitu kuat....
Tadi aku mengira kau akan mati, makanya aku mem-
pergunakan ragamu....
Kalau saja manusia biasa, tentunya ia akan mati
saat aku keluar dari tubuhnya.... Karena inti tenaga
yang tersalur tadi energi panas, bahkan lebih panas
dari inti api.... Kau boleh mempergunakan inti api itu,
anak muda! Aku akan datang setiap kau betul-betul
membutuhkannya, sebut saja namaku sambil seme-
di.... Nyi Dayang Kunti Naga.... Aku pasti datang mem-
bantu.... Nah, sekarang aku pergi dulu.... Sampai ke-
temu lagi anak muda!" Sinar menyilaukan itu sirna
menjelma asap keputihan yang kemudian menghilang
sama sekali.
Wintara masih tertegun, mulutnya terasa terkunci.
Orang-orang yang bersembunyi di balik tembok mulai
bermunculan satu per satu. Para wanita penghibur
berlarian masuk ke dalam kamar. Semua orang ramai
memenuhi ruangan itu.
Mayan Danang turun dari anak tangga sambil
menggaruk-garuk tubuhnya yang terasa gatal. Ia ber-
lari cepat ke arah Wintara sepuluh jarinya tidak ber-
henti menggaruk. Wintara menatap aneh. Darah mulai
keluar dari setiap titik lobang pori-pori. Kulitnya-mulai
mengeriput. Lama-kelamaan nampak seperti meleleh
menjijikkan.
Wintara mundur ketika Mayan Danang yang mulai
kehilangan bentuk mendekatinya. Cepat ia melompat
ke atas dan masuk ke salah satu kamar yang masih
terbuka. Kemudian ia turun lagi dengan membawa se-
lembar kain seprei. Dengan gerakan yang sangat cepat
ia membungkus seluruh tubuh Mayan Danang... Sete-
lah itu ia menerobos orang-orang yang berkerumun di
ruangan itu sambil membawa tubuh Mayan Danang
kembali ke rumahnya.
Orang-orang masih memenuhi ruangan losmen.
Tubuh yang aduhai, mulus, putih.... Dan.... Tiba-tiba
saja orang-orang yang berada di situ membelalakkan
mata. Tubuh mulus itu berangsur-angsur berubah.
Kulit yang mulus mulai mengeriput.... Dagingnya yang
gempal menciut. Warna kulitnya yang putih berubah
kian memerah.... Mencair. Wajah cantik mempesona
berobah kembali asal.... Mereka memekik ketika wajah
itu mulai nampak. Wajah yang selama ini paling dita-
kuti.... Wajah Narsiah putri tunggal Ni Luh Wedas.
Kontan semuanya berlarian pating serabut takut kena
ketularan penyakit itu. Dalam sekejap losmen itu men-
jadi sepi, tinggallah tubuh busuk Narsiah terlentang
tanpa nyawa.
*
* *
Mayan Danang mengerang-ngerang kesakitan. Tu-
buhnya masih terbungkus dengan kain sprei. Ki Lurah
Sentanu dan Kunta Danang menatap penuh iba. Win-
tara yang berdiri di situ tidak dapat berbuat apa-apa.
Semuanya telah terjadi. Tangis sang ayah dan adiknya
meledak saat Mayan Danang menghembuskan nafas-
nya....
"Bakar rumah Ki Lurah.... Bakar!" Tiba-tiba saja
terdengar suara orang-orang kampung Rawa Kandar
meluruk memasuki halaman Ki Lurah Sentanu.
"Desa ini harus bersih dari penyakit kutukan... Ayo
Bakar...!" Semua orang sudah membawa obor yang
menyala.
"Tunggu apa lagi! Ayo bakar!" Mereka melempari
rumah itu dengan obor.
Ki Lurah Sentanu melihat seorang pemuda me-
mimpin orang-orang kampung. Pemuda itu mirip Par-
to! Tapi yang jelas dia bukan Parto! Parto telah tewas!
Ki Lurah Sentanu dan Kunta Danang tidak ingat apa-
apa lagi. Tubuh mereka terasa melayang terbang. Dan
mereka masih sempat merasakan seseorang membawa
mereka menerobos pintu belakang. Siapa lagi kalau
bukan Wintara yang membawa tubuh mereka dari jila-
tan-jilatan api yang mulai membakar habis rumahnya.
Mereka dapat melihat jelas api berkobar-kobar
menjilati tiang-tiang rumah. Ki Lurah Sentanu bersa-
ma Kunta Danang menyaksikan sampai tuntas ru-
mahnya menjadi arang. Dari kejauhan mereka masih
dapat melihat asap hitam membumbung tinggi ke ang-
kasa. Mereka berdua berdiri tak bergeming sedikit pun.
Air mata Ki Lurah Sentanu mengalir.... Dan di saat ia
menoleh ke belakang, sosok Wintara sudah hilang entah ke mana....
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar