..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 14 Desember 2024

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE PEMIKAT NYI SEKAR DAYANG KUNTI

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE PEMIKAT NYI SEKAR DAYANG KUNTI

 Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, tempat dan 

ide hanya kebetulan belaka

PEMIKAT NYI SEKAR DAYANG KUNTI

Oleh Buce L. Hadi

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Hak Cipta ada pada Penerbit

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-

ruh

isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Buce L. Hadi

Serial Pendekar Kelana Sakti

dalam episode: Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti



SATU


Bau busuk menyeruak menyengat hidung. Para 

penduduk desa Rawa Kandar merasa resah dengan 

aroma yang membuat perut mereka mual. Mereka juga 

bukannya tidak tahu dari mana asal bau busuk itu... 

Dari sebuah gubuk reyot! Gubuk kecil yang nampak 

kotor dan tak terurus. Dari celah-celah dinding bilik 

yang nampak rombeng, banyak bertebaran lalat-lalat 

hijau keluar masuk dalam gubuk itu.

Pemiliknya seorang nenek keriput bernama Ni Luh 

Wedas. Dia memang tidak pernah mengurusi rumah-

nya. Sehari-harinya ia selalu sibuk dengan putrinya 

yang sudah sekian lama terbaring dalam sebuah ka-

mar.

Keadaan Narsiah, putrinya memang harus menda-

pat perawatan khusus. Penyakit yang selama ini dide-

rita sangat aneh dan kian parah. Seluruh pori-porinya 

nampak mengeluarkan darah. Kulitnya seperti meleleh 

hampir copot. Mungkin itulah yang mengundang lalat-

lalat berdatangan.

Dalam gubuk itu, Ni Luh Wedas sudah terbiasa 

dengan bau busuk yang berasal dari tubuh Narsiah. Ia 

pun hampir putus asa menghadapi kenyataan yang di-

derita putrinya. Dan siang itu, Ni Luh Wedas betul-

betul terkejut melihat orang-orang kampung berdatan-

gan memenuhi halaman gubuk reyot yang menyebar


kan bau busuk. Cepat-cepat Ni Luh Wedas menutup 

pintu.

"Ni Luh Wedas...! Kami sudah hilang kesabaran...! 

Bukan kami bertindak jahat ataupun tidak memiliki si-

fat persaudaraan..." Parto yang berdiri paling depan 

berbicara lantang. Beberapa orang di sebelahnya nam-

pak muntah-muntah sambil memegangi perut. Yang 

lainnya menutup lobang hidung.

"Kami semua berharap agar Ni Luh Wedas mening-

galkan kampung ini..." kata Parto suaranya lebih ken-

cang lagi.

"Betul...! Penyakit putrimu itu akan membawa ben-

cana bagi orang-orang kampung ini...! Penyakit kusta 

sangat berbahaya dan menular...!" kata Welang Galih 

yang rumahnya paling dekat dengan gubuk itu. Ni Luh 

Wedas tidak menjawab.

Tubuh kurusnya gemetar menahan takut. Narsiah 

yang ikut mendengar teriakan-teriakan itu memeluk 

ibunya.

"Kalau kau tidak mau pergi dari sini, kami akan 

mengusir kalian...! Ini demi kebaikan kampung ini...!" 

Parto masih berteriak. Beberapa orang yang tadi mun-

tah-muntah mengambil beberapa gelintir batu, lalu 

mereka melemparinya.... Batu-batu itu melesat meng-

hujani gubuk. Timbul suara yang mirip serentetan le-

dakan senjata. Ni Luh Wedas semakin takut.

"Mereka tidak menjawab, Parto.... Aku khawatir


mereka berdua sudah menjadi mayat! Coba kalian 

mengendus. Bau busuknya lebih parah, bukan...?" ka-

ta Welang Galih.

"Kalau benar mereka semua mampus, bakar saja 

gubuk penyebar penyakit ini..." usul seseorang.

"Ya...! Lebih baik dimusnahkan! Biar penyakit tu-

runan itu tidak menular pada sanak saudara kita...!" 

Seseorang menimpali. 

"Bakar...!"

"Betul...! Bakar gubuk itu, bakar.,.!" Suara teriakan 

mereka ramai memenuhi halaman muka. Suasana jadi 

kacau. Beberapa orang mulai menyulut api, di anta-

ranya Parto dan Welang Galih.... Dari dalam gubuk Ni 

Luh Wedas melihat nyala api meletup-letup dari bebe-

rapa batang obor. Mereka semua yang berada di luar 

halaman sudah nekad dan siap menurut perintah me-

lemparkan batang-batang obor ke atas atap jerami. 

Semuanya tergantung dari perintah Parto yang me-

mimpin rombongan itu. Pandangan Parto sendiri su-

dah tidak sabaran. Ingin rasanya gubuk itu cepat-

cepat menjadi arang. Ketika ia hendak memberikan pe-

rintah,

"Hentikan!" Suara teriakan seseorang terdengar ti-

dak jauh dari situ.

Semuanya menoleh ke arah suara. Parto dan We-

lang Galih tersentak. Ki Lurah Sentanu tiba-tiba saja 

berada di situ. Wajahnya nampak memancarkan sinar


kemarahan.

"Kalian hendak melakukan apa...? Membakar me-

reka hidup-hidup...? Sungguh picik pikiran kalian...!" 

kata Ki Lurah Sentanu sambil melangkah mendekati 

keramaian itu.

"Apakah kalian pikir dengan membakar mereka sa-

tu cara yang terbaik...?" kata Ki Lurah lagi. Mereka ti-

dak ada yang berani jawab. Kecuali Parto....

"Apakah Ki Lurah Sentanu tidak menyadari kalau 

penyakit turunan itu amat berbahaya dan menular...? 

Kalau mereka dibiarkan menetap di kampung ini, ma-

ka kampung ini akan terancam...!"

"Itu bukan berarti kalian harus membakar mereka 

hidup-hidup...! Mestinya kalian musyawarah dulu!" 

jawab Ki Lurah Sentanu.

"Buat apa...! Musyawarah atau tidak, hasilnya 

akan sama saja! Kami tidak setuju dengan adanya me-

reka di sini.... Apa Ki Lurah Sentanu masih ingat ke-

matian putraku yang masih kecil pada beberapa ming-

gu yang lalu...?" Welang Galih maju mendekati Ki Lu-

rah.

"Itu karena mereka...! Dukun mengatakan putraku 

mengidap penyakit keparat itu! Bagaimana penyele-

saiannya..? Yang jelas anak beranak itu mesti dibikin 

mampus." katanya lagi lebih lantang.

"Itu bukan suatu usul yang benar...!" bentak Ki Lu-

rah Sentanu sambil menatap Welang Galih.


"Sekarang kalian bubar...! Ayo bubar...! Nanti ma-

lam kalian semua berkumpul di balai desa untuk 

membicarakan masalah ini.... Ayo bubar...!" perintah 

Ki Lurah Sentanu tidak main-main.... Kontan satu de-

mi satu mundur menjauh. Orang-orang itu melangkah 

meninggalkan gubuk itu. Hanya Parto dan Welang Ga-

lih masih tetap berdiri menatap Ki Lurah Sentanu.

"Nanti malam kalian pun harus hadir...!" kata Ki 

Lurah tidak kalah menatap mereka. Parto dan Welang 

Galih gelagapan mendapat tatapan yang demikian 

angker. Keduanya melangkah mundur. Lalu dengan 

cepat mereka membalikkan tubuh segera berlalu dari 

situ dengan menggumamkan sumpah serapah.

Ki Lurah Sentanu mencium bau busuk dari dalam 

gubuk itu. Tapi ia berusaha menahannya. Ia berjalan 

melangkah mendekati pintu. Ni Luh Wedas yang sedari 

tadi mengintip dari balik pintu merasa lega, karena 

orang-orang kampung sudah tidak mengepung ru-

mahnya lagi.

Ia pun memberanikan diri membuka pintu. Daun 

pintu terbuka dengan disertai deritan yang berat.... 

Bau busuk menyeruak ke luar. Ki Lurah Sentanu 

hampir tidak menguasainya. Isi perutnya serasa anjlok 

ke luar.

"Sebaiknya menjelang gelap nanti kalian mening-

galkan kampung ini... Aku khawatir mereka akan ber-

tindak kasar. Aku memang sebagai Lurah....Tapi aku


tidak dapat berbuat banyak! Mereka sudah tidak dapat 

dikendalikan lagi...." kata Ki Lurah Sentanu setengah 

berbisik. Ni Luh Wedas nampak cemas....

"Ka-ka-kami harus pergi ke mana, Ki.... Lagi pula 

keadaan putriku..."

"Aku tahu, Ni.... Tapi ini demi keselamatan kalian... 

Pergilah dari tempat ini, sebelum mereka bertindak se-

perti yang tidak kita inginkan..." usul Ki Lurah Senta-

nu halus. Sebenarnya Ki Lurah Sentanu sendiri tidak 

tega melihat keadaan keluarga kecil Ni Luh Wadas

yang amat terpojok itu.

Bagaimana tidak, penduduk kampung tidak me-

nyukai adanya seorang penderita kusta. Ni Luh Wedas 

sendiri merasakannya. Betapa mereka mengucilkan di-

rinya. Pahit memang..! Semua orang tidak menerima 

kehadirannya. Pernah suatu waktu, ketika ia memba-

wa putrinya Narsiah ke sungai untuk memandikannya. 

Para wanita yang kebetulan mencuci pakaian di sungai 

melempari dengan batu-batu kali. Mereka sangat jijik 

melihat keadaan Narsiah. Mereka takut kalau Narsiah 

mandi di kali itu akan menularkan penyakit keturu-

nannya. Luka dikepala mereka tidak seberapa hebat 

dengan rasa sakit yang ada di hati... Sampai sekarang 

luka itu masih membekas!

Ni Luh Wedas tidak lebih bagai seekor makhluk 

yang amat mengerikan. Tidak ada satu orang pun yang 

berani mendekat ketika ia melewati perkampungan.


Mereka semua beringsut kabur masuk ke dalam ru-

mah. Jangankan mendekat atau berpapasan secara 

kebetulan, baru melihat sosok tua renta itu saja mere-

ka sudah menyingkir jauh-jauh.

Pernah sewaktu ia berjalan ke pasar. Meskipun ia 

membawa uang yang sedikit ia tetap bermaksud mem-

beli sesuatu yang dapat mengisi perut bersama pu-

trinya. Seorang pedagang tidak mau melayani.... Bah-

kan pedagang itu lari pontang-panting meninggalkan 

dagangannya. Sekalinya ada, seorang pedagang tidak 

mau menerima uangnya. Pedagang itu hanya melem-

parkan beberapa batang singkong ke tanah sembari 

meludahi. Dan semua orang tertawa mengejek melihat 

sosok tua itu memunguti singkong-singkong yang ber-

serakan di tanah.

Ni Luh Wedas tersadar dari lamunannya ketika so-

sok Ki Lurah Sentanu sudah berada jauh dari gubuk-

nya. Ia menatap tubuh lelaki yang berjalan semakin 

menjauh. Dan ia kembali masuk ketika Narsiah me-

manggil-manggil...

*

* *


DUA


Hari hampir gelap, dalam sebuah ruangan di balai 

desa nampak dipenuhi oleh para penduduk desa Rawa 

Kandar. Semuanya duduk bersila menghadap kepada 

Ki Lurah Sentanu yang duduk di depan ditemani den-

gan Mayan Danang, putra tertuanya.

"Kita belum bisa mulai kalau seluruh penduduk ini

belum kumpul...!" kata Ki Lurah Sentanu memecahkan 

kegaduhan dalam ruangan itu. Pertemuan malam itu 

memang tidak seperti biasanya.... Malam itu Ki Lurah 

Sentanu sengaja mengundang semua kepala keluarga 

desa Rawa Kandar.

"Mana Parto dan Welang Galih...? Kenapa mereka 

belum muncul...!'" katanya lagi.

Semuanya saling mencari-cari dua sosok yang 

amat dinantikan Ki Lurah Sentanu. Namun Parto dan 

Welang Galih tetap tidak ada.

"Apa pentingnya mereka, Ayah.... Tanpa mereka 

pun kita bisa mulai..." kata Mayan Danang putra ter-

tuanya yang duduk di samping sang ayah.

"Karena masalah ini merupakan gagasan mereka..." 

jawab sang ayah. Tiba-tiba terdengar suara kentongan 

tanda berita bertalu-talu dipukul oleh orang. Semua 

orang yang ada di situ menjadi ribut seketika. Ada di 

antaranya banyak yang keluar sehingga menimbulkan 

kekacauan.


Suara kentongan yang bertalu-talu itu amat men-

cemaskan bagi orang-orang yang menghadiri perte-

muan. Bagaimanapun mereka dapat mengartikan isya-

rat kentongan... Tanda adanya kebakaran! Dari muka 

balai desa sudah terlihat asap api yang membubung 

tinggi menyala dalam kegelapan malam.

Suasana dalam ruangan balai desa morat-marit. 

Orang-orang itu berdesakkan ke luar. Menyaksikan 

nyala api yang begitu hebat. Mereka pun berlarian 

mendekati arah kebakaran. Ki Lurah Sentanu bersama 

putranya Mayan Danang terpaksa ikut berlari mengi-

kuti mereka.

Api masih berkobar membakar sebuah gubuk kecil. 

Sekeliling gubuk yang kian panas telah dikerumuni 

orang-orang kampung. Semuanya terjadi, seperti tidak

wajar.... Tidak ada satu orang pun dari puluhan warga 

desa Rawa Kandar yang berusaha memadamkan koba-

ran api tersebut. Semuanya hanya menonton dengan 

perasaan puas.

Sementara itu jeritan panjang terdengar jelas dari 

dalam gubuk yang terbakar. Seorang perempuan tua 

berusaha keluar dari kurungan api. Orang-orang kam-

pung melihat jelas perempuan tua itu menggapai-gapai 

meminta pertolongan.

"Jangan bawa anakku...! Kalian jahat...! Jangan 

bawa Narsiah...!" Suara itu jelas terdengar dari dalam 

kobaran api. Tapi seakan-akan para penduduk Rawa


Kandar tidak mendengarnya sama sekali. Malah....

"Aaaaaaaaaarght!" Nampak jelas tubuh renta ber-

gerak-gerak termakan api yang demikian membara. 

Tubuh itu kelojotan di tanah dalam kurungan pagar 

api. Sampai akhirnya sebuah tiang jatuh menimpa tu-

buh berkelojotan itu.

Ki Lurah Sentanu bersama anaknya baru tiba di 

tempat kejadian. Ia menatap cemas ke arah gubuk 

yang mulai habis termakan api. 

"Bagaimana keadaan Ni Luh Wedas bersama pu-

trinya...?" tanya Ki Lurah Sentanu ketika mereka me-

langkah ke depan melihat kobaran api.

"Entahlah.... Dari tadi tidak mendengar sua-

ranya..." jawab orang yang ditanya acuh.

Lalu ia berusaha untuk tidak menatap Ki Lurah 

Sentanu yang berdiri di sebelahnya. Ki Lurah Sentanu 

menarik lengan orang itu.

"Kau lihat Parto dan Welang Galih...?" tanya Ki Lu-

rah lagi. Orang itu hanya mengangkat bahu.

"Mengapa ayah selalu menanyakan mereka...?" 

tanya putranya Mayan Danang.

"Aku yakin ini hasil perbuatan mereka! Pasti...!" 

jawab Ki Lurah Sentanu.

"Belum tentu ayah...! Siapa tahu keluarga Ni Luh 

Wedas memang bermaksud bunuh diri...!" pendapat 

Mayan Danang.


Kandar tidak mendengarnya sama sekali. Malah....

"Aaaaaaaaaarght!" Nampak jelas tubuh renta ber-

gerak-gerak termakan api yang demikian membara. 

Tubuh itu kelojotan di tanah dalam kurungan pagar 

api. Sampai akhirnya sebuah tiang jatuh menimpa tu-

buh berkelojotan itu.

Ki Lurah Sentanu bersama anaknya baru tiba di 

tempat kejadian. Ia menatap cemas ke arah gubuk 

yang mulai habis termakan api. 

"Bagaimana keadaan Ni Luh Wedas bersama pu-

trinya...?" tanya Ki Lurah Sentanu ketika mereka me-

langkah ke depan melihat kobaran api.

"Entahlah.... Dari tadi tidak mendengar sua-

ranya..." jawab orang yang ditanya acuh.

Lalu ia berusaha untuk tidak menatap Ki Lurah 

Sentanu yang berdiri di sebelahnya. Ki Lurah Sentanu 

menarik lengan orang itu.

"Kau lihat Parto dan Welang Galih...?" tanya Ki Lu-

rah lagi. Orang itu hanya mengangkat bahu.

"Mengapa ayah selalu menanyakan mereka...?" 

tanya putranya Mayan Danang.

"Aku yakin ini hasil perbuatan mereka! Pasti...!" 

jawab Ki Lurah Sentanu.

"Belum tentu ayah...! Siapa tahu keluarga Ni Luh 

Wedas memang bermaksud bunuh diri...!" pendapat 

Mayan Danang.


*

* *

Narsiah sudah tidak dapat berteriak lagi. Tubuh-

nya telah terjerat dengan dua utas tambang. Dua 

orang bertubuh kekar berusaha menyeretnya cepat. 

Dua orang itu tidak lain Parto dan Welang Galih, me-

reka membawanya masuk ke dalam hutan belukar

yang gelap dan menyeramkan.

Suara binatang malam maupun burung hantu 

mengiringi langkah-langkah mereka yang menyeret tu-

buh Narsiah dengan terburu-buru. Langkah-

langkahnya menyeruak menyibak alang-alang liar. Tu-

buh Narsiah yang diseretnya tidak nampak karena ter-

halang dengan alang-alang yang tumbuh tinggi. Kedua 

orang yang menyeret tidak perduli bilamana kepala 

Narsiah membentur batu. Sekalipun mereka menden-

gar suara benturan itu sampai membledar.

"Biar mampus sekalian!" sumpah Parto. 

Pohon-pohon besar berakar rambat menyaksikan 

perjalanan mereka.

"Cepat, Welang Galih... Langkahmu kian lama kian 

lambat saja...! Kenapa? Takut?" kata Parto menarik le-

bih cepat.

"Bukannya aku takut.... Aku bingung, sebentar ki-

ta mau ke mana...?" jawab Welang Galih.

"Ah kau ini...! Makanya sewaktu Den Mayan Danang bicara kau, dengarkan...!" kata Parto. Ia mengi-

baskan lengannya memberi aba-aba, maka Welang Ga-

lih pun menarik cepat tali tambang itu. Kembali suara 

benturan membledar! Entah apa yang mengenai di tu-

buh Narsiah.

Udara dingin menyengat kulit, manakala suasana 

yang begitu menyeramkan menampakkan dua sosok 

tubuh kekar berjalan menyusuri tepian jeram. Dua so-

sok itu berhenti menatap gelapnya dasar jurang. Se-

perti telah direncanakan, mereka menarik tambang le-

bih kuat! Maka sosok tubuh berlumuran darah me-

nyembul dari hamparan alang-alang. Sosok tubuh 

Narsiah yang sudah tak sadarkan diri. Kedua orang 

yang menyeret itu mengikatkan batu pada tiap-tiap 

ujung tambang. Batu-batu yang dipilihnya cukup be-

sar. Mereka sendiri susah payah mengambil batu-batu 

itu. Untuk mengikat pada kedua batu itu mereka tidak 

perlu waktu lama...

"Sudah beres Parto...!" kata Welang Galih selesai 

mengikat. Parto pun demikian. Tanpa menjawab ia 

mendorong batu itu. Welang Galih mengikutinya... Se-

bentar saja batu-batu menggelinding. Begitu juga den-

gan tubuh Narsiah yang terikat di antara batu-batu 

ikut terbawa terjerumus ke bawah sana yang demikian 

gelapnya...

Parto dan Welang Galih merasa tugasnya telah se-

lesai. Merekapun tersenyum puas. Mereka belum beranjak dari tempat yang menyeramkan itu. Masih ada 

yang mereka tunggu. Yaitu mendengar suara degum 

batu-batu dari dasar jurang. Karena hal itu meyakin-

kan mereka, bahwa batu-batu yang mereka lemparkan 

akan hancur bersama tubuh Narsiah si penyebar ma-

lapetaka!

Batu-batu yang membawa tubuh Narsiah memang 

meluncur deras. Sebelum batu-batu itu jatuh ke dasar 

jurang, terlebih dahulu membentur tebing-tebing beba-

tuan yang menjorok ke bawah. Berkali-kali batu-batu 

itu menggelinding akibat benturan dinding tebing. Par-

to sendiri yang menantikan dari atas tebing sudah ti-

dak sabaran menantikan deguman batu-batu yang di-

ikatnya.

Wajah Parto maupun Welang Galih tersentak kaget 

tatkala suara deguman batu amat nyaring menggema. 

Ingin sebenarnya mereka melongok ke dasar jurang. 

Sayang ia merasa agak takut dan ngeri karena tebing 

berbatu itu amat terjal dan dalam. Sambil bergidik 

membayangkan apa yang terjadi di bawah sana, kedua 

orang itu berlari menerobos hutan.

Dua bongkah batu besar yang jatuh ke dasar ju-

rang masih menggelinding terpisah berlainan arah. Ba-

tu-batu besar itu tidak hancur. Tetapi utuh seperti 

semula. Hanya tambang pengikat tubuh Narsiah saja 

yang nampak tersayat-sayat seperti terpotong-potong 

kecil... Yang lebih aneh, tubuh gadis yang berpenyakit


kusta itu tidak ada di sekitar batu-batu dan potongan-

potongan tambang... Memang tidak mungkin! Parto 

dan Welang Galih sudah yakin ikatannya itu begitu 

kencang. Mereka telah berpendapat tubuh Narsiah 

akan sama hancurnya bersama batu-batu itu.

Parto dan Welang Galih mana tahu raibnya tubuh 

Narsiah di dasar jurang. Yang mereka tahu hanyalah 

degumam benturan batu-batu yang amat dahsyat! Kini 

mereka berdua berlari menerobos gelapnya hutan 

kayu. Sesekali mereka harus melompati akar-akar po-

hon yang malang melintang. Kedua kaki mereka pun

terasa sekali perih di saat bergesekkan dengan rum-

put-rumput berduri. Tidak heran kalau mulai menam-

pakkan baret-baret ringan di kedua betis mereka. La-

rinya makin kencang ketika mereka hampir berada di 

pinggir hutan. Mereka pun masih dapat melihat sisa-

sisa asap hitam mengepul membumbung ke atas.

Api yang semula berkobar-kobar, kini perlahan-

lahan padam akibat siraman-siraman para penduduk 

yang karena terpaksa atas perintah Ki Lurah Sentanu. 

Tinggal asap hitam saja yang masih mengepul.

Parto dan Welang Galih sudah berada di situ. Me-

reka langsung menyelinap dalam kerumunan puluhan 

orang. Seorang anak muda mengenakan pakaian bulu 

binatang merasa kaget karena terdorong oleh Parto. 

Welang Galih sempat menatap anak muda itu, ia pun 

sama acuhnya dengan Parto. Malah langsung mendesak menerobos kerumunan menyusul.

Mayan Danang yang sudah dapat melihat kehadi-

ran Parto dan Welang Galih langsung melangkah mun-

dur, kemudian berbalik menemuinya. Anak muda yang 

mengenakan baju bulu binatang itu menatap aneh 

kearah mereka. Ia pun bersikap masa bodoh seakan 

tak mau ambil pusing, mungkin mereka tengah men-

gurusi kebakaran itu sampai sedemikian seriusnya. 

Pikir anak muda itu. 

"Singkirkan puing-puing ini... Ayo bantu aku..." ka-

ta Ki Lurah Sentanu melangkah mendekati gubuk yang 

telah menjadi arang. Ia berharap tidak ada korban ba-

rang seorang pun.

Ada suatu keanehan dalam pikiran anak muda ini. 

Mengapa sekarang baru mengadakan pertolongan..? 

Kenapa tidak di saat-saat api masih berkobar...?

"Ayo...! Bantu aku! Kenapa kalian diam saja!" ben-

tak Ki Lurah Sentanu.

"Tapi, Ki Lurah.... Puing-puing itu masih sangat 

panas." jawab salah seorang berada di dekatnya.

"Bodoh! Gunakan sebatang bambu...!" Ki Lurah 

Sentanu sengit sambil melemparkan sebatang bambu 

yang semula digenggamnya. Dengan gelagapan orang 

itu menerimanya. Ki Lurah Sentanu mengais-ngais 

lengannya menyingkirkan puing-puing serta abu-abu 

bekas atap jerami. Ia tidak melihat apa-apa. Orang-

orang berdatangan mengerumuni. Cuma menonton...!


Ah buat apa aku harus berdiri di sini mengikuti 

menonton yang semesti memerlukan pertolongan, biar 

saja! Sekarang aku tidak perlu ikut campur... Besok 

pun pasti ada beritanya, kata anak muda itu dalam 

hati sambil berlalu meninggalkan kerumunan orang-

orang kampung. Baju bulunya bergerak-gerak tertiup 

angin. Ujung celananya yang compang-camping ikut 

bergerak-gerak saat ia melangkah.

Ki Lurah Sentanu membelalakkan matanya, ketika 

ia melihat sosok hangus tertimbun sebatang tiang yang 

habis termakan api. Cepat ia melangkah ke situ. Di-

pandanginya sosok kaku itu. Ki Lurah Sentanu men-

gernyitkan alis... Ia betul-betul tidak dapat mengena-

linya lagi... Tubuh Ni Luh Wedas dan Narsiah putrinya 

hampir sama... Ia tidak dapat membedakan mayat sia-

pa yang tertimbun hangus menghitam bagai arang, 

dengan wajah yang hampir rata tanpa wujud. Bau bu-

suk sudah lenyap sama sekali, kini berganti bau wan-

ginya daging panggang. Ki Lurah Sentanu menoleh ke 

belakang ketika mendengar suara beberapa orang 

mendekati. Ternyata anaknya, Mayan Danang bersama 

Parto dan Welang Galih.

"Kalian yang melakukan semua ini...?" tanya Ki Lu-

rah Sentanu dengan nada marah.

"Bukan ayah! Mereka mana berani melakukan-

nya... Menurut mereka, sebelum terjadi kebakaran, 

Parto dan Welang Galih tengah menuju ke balai desa,"


jawab Mayan Danang membela. Ki Lurah membelalak-

kan mata....

"Kenapa kalian tidak ada di sini ketika orang-orang 

bergerombolan menuju ke sini..."

"Siapa bilang..! Malah aku dan Welang Galih lebih 

dulu berada di sini... Kami sembunyi saat melihat Ki 

Lurah bersama Mayan Danang datang... Kami takut 

kesalahan." jawab Parto merengut. Welang Galih me-

langkah, lalu ia mengangkat tiang kayu yang menim-

bun tubuh hangus itu. Melihat tiang itu sudah terang-

kat, Parto datang membantu menarik tubuh yang 

hampir menjadi arang. Sebenarnya ia merasa jijik, tapi 

lantaran di hadapan Ki Lurah Sentanu, Parto merasa 

seolah-olah dirinya pahlawan.

*

* *

Anak muda itu berhenti melangkah di sebuah los-

men yang cukup ramai. Di atas pintu gerbang losmen 

terpampang papan nama yang bertuliskan: Mawar Ma-

lam! Para pendatang banyak yang keluar masuk pintu 

itu. Belasan wanita penghibur menyambut ramah jika 

ada tamu-tamu yang memasuki pintu gerbang. Bah-

kan sambutan mereka begitu menyolok. Membawa ke-

san jorok dan menegangkan saraf.

Anak muda itu masih berdiri memandangi papan


nama yang terpampang di atas pintu gerbang yang mi-

rip sebuah gapura. Tembok dindingnya tidak ada. Jadi 

ia bisa melihat keramaian di situ dari luar. Dan ia pun 

tersentak kaget ketika seorang wanita menarik tubuh-

nya terpojok ke tiang pintu gerbang.

"Mau cari hiburan..? Ayo masuk... Aku biasa me-

layani anak-anak muda sepertimu! Ayo jangan malu-

malu.... Sudah datang kenapa tidak masuk...?" kata 

wanita itu penuh manja. Anak muda itu berontak dari 

pelukannya.

"Ah.... Maaf. Aku ke sini hanya untuk menumpang 

bermalam..."

"Di dalam akan lebih hangat.... Aku bisa menema-

nimu..." Wanita itu terus merangsak, anak muda itu 

mendorong kasar. 

"Aku tidak membutuhkan kamu...! Lagi pula aku 

tidak punya uang...!" jawabnya. Wanita itu pergi sam-

bil menggerutu.

"Sial mimpi apa aku semalam, sampai menda-

patkan seorang gembel... huh! Dari tadi aku memang 

sudah mencium baunya... Sungguh tolol...!" Wanita itu 

kembali ke tempat semula pasang aksi di depan pintu 

gerbang. Teman-teman seprofesinya mentertawai. 

Mendengar itu anak muda ini menahan tawanya. Ia 

melangkah agak jauh dari situ. Kemudian ia duduk 

jongkok bersandar pada pagar pendek. Matanya masih 

terus menyaksikan keramaian orang-orang yang bernama yang terpampang di atas pintu gerbang yang mi-

rip sebuah gapura. Tembok dindingnya tidak ada. Jadi 

ia bisa melihat keramaian di situ dari luar. Dan ia pun 

tersentak kaget ketika seorang wanita menarik tubuh-

nya terpojok ke tiang pintu gerbang.

"Mau cari hiburan..? Ayo masuk... Aku biasa me-

layani anak-anak muda sepertimu! Ayo jangan malu-

malu.... Sudah datang kenapa tidak masuk...?" kata 

wanita itu penuh manja. Anak muda itu berontak dari 

pelukannya.

"Ah.... Maaf. Aku ke sini hanya untuk menumpang 

bermalam..."

"Di dalam akan lebih hangat.... Aku bisa menema-

nimu..." Wanita itu terus merangsak, anak muda itu 

mendorong kasar. 

"Aku tidak membutuhkan kamu...! Lagi pula aku 

tidak punya uang...!" jawabnya. Wanita itu pergi sam-

bil menggerutu.

"Sial mimpi apa aku semalam, sampai menda-

patkan seorang gembel... huh! Dari tadi aku memang 

sudah mencium baunya... Sungguh tolol...!" Wanita itu 

kembali ke tempat semula pasang aksi di depan pintu 

gerbang. Teman-teman seprofesinya mentertawai. 

Mendengar itu anak muda ini menahan tawanya. Ia 

melangkah agak jauh dari situ. Kemudian ia duduk 

jongkok bersandar pada pagar pendek. Matanya masih 

terus menyaksikan keramaian orang-orang yang berdatangan. Celoteh dan cekikikikan para penghibur 

membisingkan tempat itu. Anak muda ini hanya 

menggeleng-gelengkan kepala.

*

* *

TIGA



Ingin rasanya anak muda itu tertawa ngakak ketika 

melihat seorang pelacur memekik di saat seorang ta-

munya mencubit alat vitalnya. Perempuan itu memba-

las membuka kain yang membungkus tubuhnya lalu 

menungging menunjukkan pantatnya. Maka berderai-

lah tawa orang-orang yang berada di situ. Tawa mereka 

segera berhenti ketika melihat tiga orang mendatangi 

tempat itu. Malah mereka menyerbu mendatangi tiga 

orang yang baru datang itu. Tiga orang itu hanya ter-

senyum bangga mendapat perlakuan dari para wanita 

penghibur.

Anak muda itu pun mengernyitkan alisnya, se-

pertinya ia mengenali ketiga orang itu. Ingatannya ma-

sih sangat kuat. Meskipun ia hanya sepintas melihat 

mereka sewaktu melihat kejadian gubuk kecil yang

terbakar. Mereka tidak lain Mayan Danang bersama 

Parto dan Welang Galih... Yaaah! Tidak salah lagi!

Dalam pada itu pun Welang Galih melihat seorang


pemuda berpakaian bulu binatang duduk berjongkok 

memandangi kedatangan mereka. Welang Galih acuh 

tak perduli, ia menganggap pertemuan yang kedua ini 

hanyalah suatu kebetulan. Kembali ia asyik dengan 

wanita-wanita penghibur itu. Mayan Danang telah me-

nemukan wanita pilihannya. Wanita penghibur itu 

memang lebih cantik dari yang lainnya. Tidak heran 

kalau Mayan Danang bermata hijau kuning. Wanita itu 

hanya diam ketika Mayan Danang mendekatinya. Se-

nyum wanita itu membuat langkah Mayan Danang 

semakin cepat. 

Ia langsung memeluk erat bermaksud memba-

wanya ke dalam losmen, tapi... Sosok lengan kekar 

mencengkeram kerah baju Mayan Danang. Cepat 

Mayan Danang menoleh ke belakang. Dilihatnya sosok 

tubuh besar dengan wajah yang sangat menyeramkan 

menyeringai.

"Perempuan itu Gundikku, Sobat..! Kau boleh 

mencari perempuan lain..!" kata orang bertubuh kekar. 

Mayan Danang membalikkan tubuhnya...

"Perempuan-perempuan di sini milik bersama... 

Lagipula kau tidak tahu siapa diriku..! Kau kenal den-

gan Ki Sentanu...?" kata Mayan Danang menantang.

"Ki Sentanu yang lurah itu... Jadi kau anaknya..? 

Apa yang perlu ditakutkan. Ini tempat kotor! Kita sa-

ma-sama nista.... Jadi kita sama...!" jawab orang itu.

"Bangsaaat...!" Mayan Danang geram. Ia melayang


kan tinjunya... 

Plak! Orang bertubuh kekar itu menangkis tenang. 

Akibat benturan itu Mayan Danang meringis. Parto 

dan Welang Galih meluruk mendekati Mayan Danang. 

Keduanya memandang geram terhadap orang yang 

menyeramkan itu.

"Hancurkan monyet itu...! Cepaaaat...!" teriak 

Mayan Danang. Parto dan Welang Galih langsung me-

nerjang. Melihat terjangan mereka, orang itu bermak-

sud mencabut senjata dari pinggangnya. Tapi ia tidak 

keburu. Parto sudah lebih dulu menendang...

Blaak! 

Dengan memutar lengannya orang itu dapat me-

nangkis tendangan Parto... Disusul oleh serbuan We-

lang Galih. Tinjunya yang cepat hampir mengenai mu-

ka yang menyeramkan itu.

Sekali Mayan Danang ikut melancarkan serangan. 

Mengambil kesempatan luang. Tapi justru setiap han-

taman Mayan Danang selalu mengenai tepat. Sedang-

kan Parto dan Welang Galih merasa sulit melancarkan 

hantaman.

Suasana jadi hiruk pikuk. Para wanita penghibur 

menjerit-jerit ketakutan. Semua orang yang berada da-

lam losmen mengira ada apa, mereka berhamburan ke 

luar. Pertempuran masih berlangsung. Pemuda itu 

masih duduk tenang, meskipun sebenarnya ikut me-

nyaksikan perkelahian itu.


"Sungguh berani mereka mengeroyok Kebo Dung-

kil... Mereka cari penyakit!" kata salah seorang yang 

berada di situ. Mereka tidak ada yang berani mende-

kat. Para wanita penghibur bersembunyi di balik tu-

buh para lelaki.

Parto memekik di saat hantaman keras melanda 

punggungnya. Hantaman yang sangat keras itu mem-

buat tubuhnya terbanting keras... Saat itu pula Mayan 

Danang melesat melancarkan tendangan...

Bwak! 

Orang itu memekik. Pipinya yang terkena tendan-

gan itu terasa panas. Ia melotot garang... Baru ia hen-

dak menerjang menyerang, Welang Galih menghalan-

ginya dengan sabetan lengan kirinya…. Orang itu cepat 

mundur, tapi kakinya cepat bergerak memutar meng-

hantam pinggang.... 

Deeees! 

Welang Galih memekik hebat. Sewaktu orang itu 

melancarkan tendangan, Mayan Danang sempat me-

lancarkan tinjunya. Cukup keras menghantam pung-

gung.

Sekarang Parto maupun Welang Galih sudah tidak 

dapat bangun. Mayan Danang tidak akan mendapat 

kesempatan melancarkan serangan. Kini ia berdiri gu-

gup. Meskipun gerakannya seperti mengeluarkan ju-

rus-jurus andalannya.

Tapi ketika orang yang sangat menyeramkan itu


menerjang Mayan Danang tidak sempat mengelaknya...

Deeeer! 

Tendangan yang begitu keras menghantam dada. 

Tubuh Mayan Danang terlempar jauh bergulingan di 

hadapan seorang pemuda yang duduk tenang bersan-

dar pada pagar. Sosok kekar itu melompat ke arah

Mayan Danang sambil menarik sebuah golok besar da-

ri pinggangnya.

Sinar lampu memantul dari bilah golok yang berke-

lebat cepat mengarah ke kepala Mayan Danang. Sebe-

lum golok itu memecah belah kepala itu... Pemuda 

yang duduk tenang bersandar mengangkat tangannya 

ke atas.... 

Plaaaak! 

Golok dalam genggaman itu terpental. Orang kekar 

yang bernama Kebo Dungkil menjerit. Telapak tangan-

nya terasa seperti kesemutan.... Pemuda yang tadi me-

nepak golok bangkit berdiri memandangi keduanya.

Semua orang jadi ngeri, semula mereka tidak men-

duga bahwa kepala Mayan Danang pasti terbelah dua. 

Mereka semua tidak melihat saat golok itu bergerak. 

Saat itu mereka semua memejamkan mata lantaran 

ngeri... Ketika mereka membuka mata, seorang anak 

muda telah berdiri menghadapi di antara Mayan Da-

nang dan Kebo Dungkil.

"Gembel keparat...! Berani kau mencampuri urusan 

Kebo Dungkil.... Rasakan ini...!" Lengannya yang memakai gelang bahar bersiap menghantam dengan tu-

buh yang cepat menerjang.

Kebo Dungkil seakan tak percaya dengan pengliha-

tannya. Sewaktu ia melancarkan hantaman, ternyata 

pemuda itu telah melayang ke atas. Hantamannya itu 

hanya mengenai tempat yang kosong. Pemuda yang 

berjumpalitan di udara mendorong punggung dengan 

kakinya.... 

Bugg! 

Tendangan itu tidak begitu keras, tapi cukup 

membuat Kebo Dungkil tersungkur ke depan.

Parto dan Welang Galih cepat bangun berlari ke 

arah Mayan Danang. Mereka membantu anak Ki Lurah 

Sentanu bangkit berdiri. Mayan Danang masih kehe-

ranan melihat kehebatan seorang pemuda yang telah 

menyelamatkannya. Mereka dapat melihat anak muda 

itu dapat mengecoh Kebo Dungkil berkali-kali.

"Siapa dia, Parto...?" tanya Mayan Danang.

"Kalau tidak salah aku pernah melihat dia sewaktu 

terjadi kebakaran..." Welang Galih memotong perta-

nyaan Mayan Danang.

"Siapa dia...?"

"Entahlah.... Sepertinya dia orang asing di sini...!" 

Kebo Dungkil memekik keras saat dirasakan tulang 

leher berdetak keras. Sebuah hantaman karate telak 

menghantam. Setelah melancarkan hantaman itu, 

anak muda ini hanya berdiri tenang melihat tubuh Kebo Dungkil bergulingan, sesaat kemudian ia pingsan. 

Melihat ambruknya tubuh Kebo Dungkil, semua orang 

yang berada di situ membelalakkan mata. Belum per-

nah mereka melihat seseorang yang dapat merubuh-

kan Kebo Dungkil. Apalagi orang hebat itu tidak lain 

seorang anak muda. 

Terlebih-lebih pada seorang wanita penghibur yang 

tadi pertama kali menemui pemuda itu di pintu ger-

bang losmen. Sambil tersenyum malu ia berlari meng-

hampiri pemuda itu. Sebelum wanita itu mendekat, 

Parto menyingkirkannya lebih dahulu. Mayan Danang 

dan Welang Galih mendekati anak muda itu. 

"Terima kasih anak muda... Kau telah menyela-

matkan diriku.... Mari...! Untuk mengucapkan rasa te-

rima kasihku, kau kuundang makan.... Ayo masuk...!" 

ajak Mayan Danang.

"Tapi..." Anak muda itu ragu-ragu.

"Ayolah.... Aku paling tidak suka tawaranku dito-

lak!" Mayan Danang menarik lengan anak muda itu. Ia 

pun mengikuti....

Mereka sudah menghadapi meja besar berisi rupa-

rupa makanan. Mayan Danang sengaja menuangkan 

arak ke dalam gelas yang dihadapi anak muda itu. Par-

to dan Welang Galih senyum-senyum menatap anak 

muda itu.

"Ah.... Anggap saja ini sekedar unjuk rasa dan tan-

da perkenalan.... oh ya siapa nama anda..." kata


Mayan Danang setelah menuangkan arak.

"Panggil saja aku Wintara... Hanya itu namaku..!" 

jawab Wintara.

"Saudara Wintara.... Sebenarnya aku merasa malu 

dengan kejadian tadi..."

"Itu biasa... Di tempat-tempat seperti ini, apalagi 

kalau bukan soal berebut perempuan...? Itukan wa-

jar...!" kata Wintara sambil meraih gelas berisi arak. Ia 

hanya menenggaknya sedikit.

Para wanita penghibur mulai berdatangan. Dengan 

lenggak-lenggok yang genit mereka mendekati setiap 

lelaki yang menghadapi meja besar. Tidak terkecuali 

pada Wintara. Mayan Danang sengaja memilihkan un-

tuknya wanita yang paling cantik di losmen Mawar Ma-

lam.

Wintara merasa kikuk menghadapi wanita yang 

demikian agresif. Berkali-kali ia melepaskan diri di 

saat wanita itu berusaha memeluknya.

"Anda demikian hebat, tuan pendekar...! Orang-

orang losmen Mawar Malam memang tidak menyukai 

dia.... Tapi kami semua khawatir, kami takut kalau 

pimpinan mereka akan datang ke sini untuk membuat 

perhitungan..." kata perempuan itu berusaha meme-

luk. Wintara berontak mengelak.

"Kebo Dungkil mempunyai seorang pemimpin...?" 

Mayan Danang ketakutan. Begitu juga Parto dan We-

lang Galih. Mereka tidak berani mengeluarkan suara.


"Kebo Dungkil sebenarnya seorang yang hebat... 

Anak buahnya saja sudah sedemikian tangguh, apalagi 

pemimpinnya…" kata Wintara duduk tenang.

"Singo Kobar seorang yang memiliki ilmu tinggi, 

itulah sebabnya ia menguasai daerah ini... Tapi ia bu-

kan orang jahat! Ia paling tidak suka anak buahnya 

diganggu orang!" Perempuan di sebelah Parto menje-

laskan.

"Kalau begitu, aku terancam bahaya.... Aku harus 

meminta maaf kepada Kebo Dungkil." Mayan Danang 

gemetar menahan takut. Wintara tersenyum.

"Sebenarnya dalam hal ini akulah yang bertang-

gung jawab...! Karena akulah yang membuatnya jatuh 

pingsan!" kata Wintara bangkit dari kursinya.

"Kalau Singo Kobar mau membuat perhitungan, 

katakan saja aku menunggunya di Bukit Kendal pada 

malam purnama nanti..." katanya lagi. 

Losmen Mawar Malam kembali ramai seperti semu-

la. Orang-orang yang berada di situ sudah tidak perdu-

li lagi dengan peristiwa yang terjadi di depan pintu ger-

bang. Tiap-tiap meja telah penuh dengan para tamu 

dan juga para wanita penghibur. Beberapa orang dari 

mereka sudah. ada yang nampak mulai mabuk.... Tapi 

suasana seperti itu memang sudah biasa di losmen 

Mawar Malam. Justru hal yang semacam itu menye-

marakkan suasana.

Gelak tawa yang hiruk pikuk bercampur dengan


musik gending Jawa yang mengalun memenuhi ruan-

gan itu. Wintara telah menghabiskan arak yang berisi 

dalam gelasnya. Tiba-tiba.... Mayan Danang beringsut 

bangun ke belakang Wintara. Sosok Kebo Dungkil ber-

jalan sempoyongan mendekati meja mereka.

"Ingat anak muda...! Kami akan membuat perhi-

tungan denganmu...!" katanya nanar.

"Tentunya kalian tidak ingin merusak tempat ini 

bukan...? Katakan pada pemimpinmu Singo Kobar... 

Akan kutunggu di Bukit Kendal pada malam purnama 

pertama..." jawab Wintara. Setelah membuang ludah, 

Kebo Dungkil beranjak dari situ. Langkah-nya masih 

sempoyongan.

*

* *

EMPAT



Ruangan itu sangat terang menampakkan bentuk 

bangunan yang sangat indah. Seluruh dinding dan pi-

lar-pilarnya memancarkan sinar kuning keemasan. Ti-

dak ada sebuah kerajaan manapun yang menyamai 

keindahan ruangan itu.

Hawa di sekitar ruangan itu sangat harum. Seper-

tinya wangi bunga-bunga hidup yang menghambur di 

sekitar lantai. Dari balik tembok yang berwarna keemasan terdengar derai tawa beberapa perempuan. Tak 

lama perempuan-perempuan itu menampakkan diri. 

Semuanya berjumlah dua belas orang. Pakaian mereka 

amat menyolok. Tubuh mereka yang ramping-ramping 

hanya mengenakan selembar kain sutra yang amat ti-

pis. Membuat lekuk tubuh para wanita itu jelas keliha-

tan.

Semuanya berlarian menuju ke sebuah ruangan 

yang lebih terang. Dalam ruangan itu telah menunggu 

seorang wanita cantik terbaring miring di atas sebuah 

pelaminan. Pelaminan yang terbentuk bagai sebuah 

bangku panjang berwarna keemasan pula; Hampir se-

luruh pelaminan itu dihiasi dengan ratusan permata 

yang berwarna warni menghiasi. Dan para perempuan 

itu langsung berderet di belakang seorang wanita can-

tik terbaring miring.

Wanita cantik itu memakai mahkota berhias per-

mata pula. Kalung, gelang kaki serta gelang tangan, 

semuanya terbuat dari emas. Tubuhnya tidak melekat 

selembar benangpun. Buah dada serta auratnya tertu-

tup oleh rambut hitamnya yang panjangnya sekitar sa-

tu setengah tombak. Senyumnya tersungging di saat 

kedua belas orang perempuan di belakangnya serem-

pak mengipasi dengan kipas-kipas melebar bagai bulu 

merak.

Sesaat kemudian wanita cantik itu menepukkan te-

lapak tangannya sebanyak tiga kali... Plok...! Plok...!


Plok! Maka berdatangan lagi empat wanita. Keadaan 

empat wanita itu sama, mereka mengenakan kain su-

tra sebagai penutup tubuhnya yang bugil.

"Ada apa tuan ku, Putri...!" Keempatnya langsung 

menghaturkan sembah.

"Bagaimana keadaan gadis itu, Dayang-dayang 

Ayu..?" kata wanita cantik itu sambil melemparkan se-

nyum yang tak pernah putus.

"Beliau tidak apa-apa, hanya sukar sekali untuk 

menyadarkannya..." jawab keempat wanita yang masih 

merunduk hormat. Wanita cantik itu beranjak bangun. 

Rambutnya yang panjang terjuntai ke lantai. Buah da-

danya nampak sekal dengan puting yang merah ra-

num.

"Coba kalian bawa ke mari..." katanya halus. Lalu 

keempat wanita bangkit memberi hormat. Kemudian 

berlalu dari hadapan sang putri. Setelah kepergian 

keempat wanita itu, ia menoleh ke belakang menatap 

dua belas orang perempuan yang memegang kipas.

"Kalian boleh beristirahat...! Pergilah! Nanti setelah 

aku membutuhkan kalian, akan kupanggil lagi...!" Ke-

dua belas orang perempuan itu pun berjalan perlahan 

berbaris masuk ke balik dinding.

Tak lama keempat wanita yang semula diperintah-

kan oleh sang putri datang lagi dengan membawa so-

sok tubuh seorang perempuan yang berlumuran da-

rah. Tanpa merasa jijik sang putri meraba sekujur tubuh penuh luka yang menimbulkan bau busuk. Begitu 

juga dengan keempat wanita yang disebut 'Dayang-

dayang Ayu'. Mereka tidak merasa geli memapah tu-

buh itu.

"Kasihan.... Bagaimanapun ia seorang wanita yang 

masih hidup! Bawa ia ke ruang semedi..." kata wanita 

cantik yang tak lain sang putri junjungan mereka.

Keempat dayang-dayang ayu tidak menyahut, me-

reka segera membawa tubuh berlumuran darah itu ke 

sebuah ruang. Sang putri berjalan lebih dahulu mema-

suki ruang semedi. Ruangan itu cukup remang tidak 

ada sinar lampu barang sedikit pun. Membuat suasa-

na ruangan itu nampak hijau. Lantainya tertutup oleh 

asap putih yang menghampar di bawah ruangan.... 

Hawa dingin menyengat kulit.

Seperti sudah mengerti akan tugasnya, keempat 

perempuan itu meletakkan sosok tubuh yang berlumu-

ran darah pada sebuah tempat empuk berlapiskan su-

tra kehijauan seperti lumut. Sang putri memberi aba-

aba, maka keempat perempuan itu pergi meninggalkan 

ruangan itu.

Setelah pintu ruang semedi tertutup, ruangan itu 

nampak semakin hijau pekat. Wanita cantik itu mem-

perhatikan raut wajah sosok yang terbaring pingsan. 

Jari-jari tangannya yang lembut menyentuh kening so-

sok berlumuran darah itu. Sang putri membacakan 

mantera yang tidak dapat dimengerti oleh bangsa apa


pun. Hanya terlihat mulutnya yang mungil nampak 

komat-kamit.... Sesaat kemudian ia tersentak.

Wanita cantik itu bergetar, sebelah lengannya 

nampak memegangi kepalanya. Wanita cantik itu 

seakan melihat serentetan peristiwa yang dialami oleh 

sosok kaku yang terbujur di atas sutra hijau. Semua-

nya tergambar jelas... Tiga orang nampak membicara-

kan sesuatu, lalu yang dua orang pergi menyulut dua 

batang obor. Keduanya berlari menuju ke sebuah gu-

buk. Setelah menendang pintu gubuk, salah seo-

rang dari mereka mengikat tubuh seorang gadis yang 

terluka parah...

Kemudian membakar gubuk itu dan membiarkan 

seorang nenek keriput terbakar hangus sambil menje-

rit-jerit.... Dua orang yang telah membakar gubuk itu 

membawa sosok luka. Mereka menyeretnya sampai ke 

tepi jurang.... Wanita cantik itu tersentak lagi seolah 

telah sadar dari perjalanan jauhnya, lalu....

"Laki-laki keparat itu harus menerima balasan-

nya... Mereka akan rasakan nanti akibat perbuatan-

nya..." Wanita cantik itu menatap garang, wajahnya 

berubah menyeramkan.... Lalu kedua telapak tangan-

nya bergerak cepat menyentuh bagian perut serta dada 

pada sosok yang terbaring. 

"Bangun Cah Ayu...!" Dengan seketika tubuh ber-

lumuran darah itu membuka matanya. Karena kaget ia 

mendadak bangkit. Pandangannya masih sangat suram. Ia takut sekali melihat pemandangan dalam 

ruangan yang sangat gelap itu. Di hadapannya telah 

berdiri seorang perempuan cantik tersenyum manis. 

Wanita itu datang mendekati, tapi....

"Jangan...! Jangan bunuh aku...! Mana ibuku, ma-

na...? Kalian telah membunuhnya! kalian kejam... Ka-

lian keparat!" 

Sosok berlumuran darah itu memaki-maki. Namun 

sekali wanita cantik itu mengibaskan sebelah lengan-

nya, sosok terluka parah itu pingsan lagi. Tubuhnya 

jatuh tertelungkup di atas kasur empuk berlapis sutra 

hijau Wanita cantik tersenyum lagi. Ia melepas kan se-

luruh pakaian yang telah kotor berlumur darah.

Setelah tubuh berbau busuk itu membugil. Wanita 

cantik meletakkan kedua telapak tangannya ke bagian 

punggung. Mendadak saja tubuh pingsan itu menge-

rang kesakitan. Beberapa kali tubuhnya mengejang, 

setelah itu mulutnya menyemburkan darah... Pandan-

gannya seperti normal kembali, seluruh rasa sakitnya 

hilang dengan seketika.

"Jangan takut, Cah Ayu.... Aku tidak bermaksud 

jahat, akulah yang telah menyelamatkan nyawamu da-

ri lembah maut ini."

Gadis yang telah telanjang bulat namun masih ber-

lumuran darah karena penyakitnya menatap kehera-

nan. Sebab ia sudah tidak ingat apa-apa lagi ketika

Parto dan Welang Galih menyeretnya masuk ke dalam


hutan. Sampai sejauh inikah mereka membuang di-

rinya ke dasar jurang? Sungguh terkutuk perbuatan 

mereka! Sekarang ia telah berada di hadapan seorang 

wanita yang mengaku telah menyelamatkan dirinya.

"Kau ingin membalas dendam terhadap mereka...?"

Mendengar tawaran yang menarik ia masih ragu 

akan siapa adanya wanita cantik. itu. 

"Tak perlu ragu ataupun takut, Cah Ayu...! Aku 

penguasa istana lembah ini. Namaku: Dayang Kunti 

Naga.... Kau sebenarnya seorang gadis yang cantik jeli-

ta.... Aku pikir kau tak akan percaya dengan ucapan-

ku.... Ke marilah ikut denganku.... Ayo, Cah Ayu..." 

Wanita cantik yang menamakan dirinya 'Dayang Kunti 

Naga' menuntun gadis yang masih ketakutan. Ia geme-

tar sekali, karena lantai yang ia pijak banyak meng-

hampar asap-asap putih sebatas mata kaki.

Setelah mereka melangkah kira-kira lima tombak, 

Nyi Dayang Kunti Naga menghembuskan angin dari 

mulutnya... Maka tersibaklah asap-asap putih yang 

menghampar di lantai. Menampakkan tujuh buah lu-

bang berisi air berwarna warni.

"Kau harus tahu siapa dirimu, Cah Ayu... Nah me-

rendamlah di situ.... Itu namanya: Sumur Banyu Pi-

tu.... Kau harus merendam diri pada sumur-sumur 

itu.... Ayo...!" 

Nyi Dayang Kunti Naga membujuk, dengan gemetar 

tubuh bugil berlumuran darah itu melangkah. Kaki


kanannya dicelupkan lebih dahulu. Terasa dingin se-

kali air yang menyentuh telapak kakinya... Untuk kaki 

kirinya ia tidak ragu-ragu lagi... Kembali terasa dingin, 

maka ia menceburkan diri sekaligus... Ternyata air 

yang merendamnya hanya sebatas dada. Gadis itu 

nampak menggigil.

"Menyelamlah, Cah Ayu... Menyelam…" perintah 

Nyi Dayang Kunti Naga. Gadis itu menurut. Sekali sen-

tak. Tubuh itu telah lenyap tenggelam, beberapa saat 

kemudian gadis itu menyembul dengan nafas yang te-

rengah-engah seperti kehabisan udara.

"Sekarang berpindahlah pada sumur berikutnya... 

Lakukan seperti tadi..." Gadis itu menurut, hati-hati 

sekali ia melangkah. Karena ia tahu lantai sekitar situ 

sangat licin dan banyak ditumbuhi lumut. Untuk su-

mur kedua itu tidak perlu takut lagi. Sekaligus ia me-

rendamkan diri kemudian tanpa disuruh lagi, gadis itu 

langsung menyelam. Begitu seterusnya dari sumur ke 

sumur, gadis itu menyelami, sampai akhirnya pada 

sumur ketujuh. Begitu gadis itu menyembulkan kepa-

lanya, Nyi Dayang Kunti Naga tertawa menyeramkan.

"Hi-hi-hi-hi-hi-hi.... Apa kataku, Cah Ayu.... Kau 

akan lihat sendiri."

Dengan tubuh yang menggigil ia keluar dari sumur 

itu. Nyi Dayang Kunti Naga langsung merangkul sam-

bil menuntun, gadis itu hanya menurut ke mana Nyi 

Dayang Kunti Naga membawanya....


Ruangan itu sudah tidak gelap lagi. Semua dinding 

yang tadi nampak kehijauan menyeramkan jadi terang 

benderang. Seluruhnya memancarkan sinar keemasan. 

Gadis itu seakan tidak percaya melihatnya.

Ia tersentak kaget dan segera menutup mata, keti-

ka melihat sebuah cermin besar memantulkan sosok 

bayangan dirangkul Nyi Dayang Kunti Naga, sosok 

bayangan bugil berkulit halus yang sangat menyolok 

mata.... Nyi Dayang Kunti sendiri telanjang bulat! Tapi 

rambutnya yang panjang menutupi bagian auratnya. 

Sedang bayangan di samping Nyi Dayang Kunti Naga 

tidak ada selembar rambut pun yang menutupi bagian 

dada dan auratnya....

Perlahan gadis itu membuka matanya, tetap saja 

bayangan itu selalu nampak. Nyi Dayang Kunti Naga 

tersenyum...

"Kenapa heran, Cah Ayu..., Itulah tubuhmu yang 

sebenarnya... Kau boleh memegang tubuhmu sendiri 

bila masih tak percaya... Semua luka-luka di tubuhmu 

telah lenyap, karena kau telah merendam diri di Su-

mur Banyu Pitu!" 

Seperti tidak percaya gadis itu melihat kedua len-

gannya yang nampak halus mulus. Begitu juga dengan 

buah dada yang putih mengkal.... Tubuhnya yang 

ramping aduhai.... Kedua pangkal pahanya yang pu-

tih... Ia betul-betul hampir tidak percaya, sewaktu ke-

dua lengannya menyentuh permukaan cermin ma


tanya terbelalak!.. Betul! Itu bayangan dirinya! Nyi 

Dayang Kunti Naga tertawa lagi...

"Hi-hi-hi-hi-hi-hi-hi...." Tidak malu-malu lagi gadis 

itu menghadap ke arah Nyi Dayang Kunti Naga. Wa-

jahnya berseri... Karena penyakit yang selama ini men-

jadi duri dalam kehidupannya telah hilang. Namun da-

lam sesaat ia berubah muram. Terbayang ibunya yang 

tua renta berkelojotan termakan api. Begitu juga den-

gan wajah Parto.... Kemudian wajah Welang Galih, lalu 

secara naluri wajah Mayan Danang ikut tergambar pu-

la.

"Apakah kau ingin membalas dendam terhadap 

mereka...?" tanya Nyi Dayang Kunti Naga. Pertanyaan 

itu terulang kedua kalinya. Sambil menatap tajam ga-

dis itu menjawab.... 

"Kalau saja diperkenankan oleh sang putri Nyi 

Dayang Kunti Naga, ingin rasanya kuhirup habis da-

rahnya...!" Gadis itu berkata mantap.

*

* *

LIMA



"Lakukan saja, Cah Ayu.... Kenapa tidak boleh? 

Justru orang-orang yang berada di sini semuanya telah 

dipengaruhi oleh dendam! Dendam memang harus segera dilenyapkan dalam hatimu.... Aku memang telah 

memupuknya dari sekarang.... Nah, sekarang se-

butkan namamu..."

"Narsiah!" jawab gadis itu.

"Mulai sekarang namamu bukan Narsiah lagi... Ta-

pi, Nyi Sekar Dayang Kunti! Kau dengar...?" Narsiah 

mengangguk.

"Tubuhmu masih kosong, Sekar Dayang Kunti... 

Kau belum bisa melepaskan maksud dendammu! Ber-

lututlah di sini, akan ku salurkan tenaga dalam un-

tukmu..."

Nyi Sekar Dayang Kunti alias Narsiah langsung 

berlutut di hadapan Nyi Dayang Kunti Naga yang mulai 

menggerak-gerakkan lengannya. Dan ketika kedua te-

lapak tangan itu menyentuh bagian dada, Nyi Sekar 

Dayang Kunti mengerang hebat.

"Tahan, Sekar...!" Keduanya serasa bergetar. Kerin-

gat mengucur dari tubuh bugil Nyi Sekar Dayang Kun-

ti. Kepala seperti berdenyut dengan puluhan bintang 

yang bertaburan dalam benaknya.

Tak lama kemudian hening, keduanya masih berlu-

tut diam saling berhadapan. Nyi Dayang Kunti Naga 

membuka mata lebih dulu. Lalu ia bangkit membiar-

kan tubuh bugil Nyi Sekar Dayang Kunti tetap berlutut 

memejamkan matanya. Ia belum berani bangkit sebe-

lum sang putri Nyi Dayang Kunti Naga memerintah.

"Ada suatu pesan buatmu, Sekar... Kau boleh melampiaskan dendammu. Tapi jangan sampai melam-

piaskan dendammu terhadap orang-orang yang tidak 

pernah menyakitimu! Cukup terhadap Parto, Welang 

Galih dan Mayan Danang... Atau juga orang-orang 

yang bakal mengganggumu nanti... Hanya itu pesan-

ku.... Kau ingat?" Nada bicara Nyi Dayang Kunti Naga 

seakan mengancam. Nyi Sekar Dayang Kunti men-

gangguk.

*

* *

Begitu mendengar suara langkah kaki yang berja-

lan cepat di lantai teras, Kunta Danang cepat beranjak 

menuju pintu dan membukanya. Ia melihat Mayan 

Danang dengan wajah merah padam. Kunta Danang 

membiarkan Mayan Danang masuk.

"Kakang Mayan Danang dari mana saja? Sejak ter-

jadinya kebakaran di gubuk Ni Luh Wedas pada bebe-

rapa hari yang lalu, Kakang jarang pulang ke rumah... 

Sudah lama ayah menunggumu Kakang..." kata Kunta 

Danang mengikuti langkah Mayan Danang.

"Aaah...! Tahu apa kau? Minggir!" Mayan Danang 

mendorong tubuh Kunta Danang.

"Mayan Danang! Ke mari kau!" Ki Lurah Sentanu 

yang mendengar suara Mayan Danang membentak. 

Pintu kamar ayahnya memang terbuka. Mayan Danang


sendiri sudah melihat Ki Lurah Sentanu duduk meng-

hadapi meja kerjanya dengan wajah angker.

Dengan langkah malas, Mayan Danang memasuki 

ruangan itu. Ayahnya menatap tajam.

"Ada apa, ayah...?"

"Selama ini aku curiga bahwa kau bersekongkol 

dengan Parto dan Welang Galih yang membakar gubuk 

Ni Luh Wedas!" kata Ki Lurah Sentanu langsung me-

mojokkan.

"Kenapa ayah sampai berkata begitu...? Aku tidak 

melakukan apa-apa...!" jawab Mayan Danang sambil 

melangkah mendekat.

"Setelah kuselidik-selidik, banyak orang mengata-

kan kau selalu pergi dengan mereka ke tempat-tempat 

pelacuran...! Kau telah menyiram muka ayahmu den-

gan air comberan, Mayan Danang...!" bentak

ayahnya.

"Yah! Aku sering ke tempat-tempat itu bersama 

Parto dan Welang Galih! Tapi tidak ada hubungannya 

sama sekali dengan terbakarnya gubuk Ni Luh We-

das...!" jawab Mayan Danang sengit. Ki Lurah Sentanu 

melotot. ,

"Bagaimanapun peristiwa itu merupakan suatu 

pembunuhan! Aku akan membawa kalian kepada 

orang yang berhak menghukum kalian.... Aku rela ke-

hilangan seorang anak, kalau anak itu berhati bina-

tang...!"


"Kau rela menjebloskan aku ke dalam tahanan 

yang bukan tempatku...?" Mayan Danang balas mena-

tap. Ki Lurah Sentanu bangkit berdiri tatapannya me-

remehkan sekali.... 

"Kenapa tidak...?"

Braaak! Mayan Danang menggebrak meja, sesaat 

kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah cepat 

ke luar dari ruangan itu. Kunta Danang, adiknya yang 

sedari tadi mendengar percakapan mereka di muka 

pintu tertabrak oleh Mayan Danang yang berjalan se-

rampangan.

Mayan Danang sendiri menghempaskan tubuhnya 

pada sebuah kursi empuk di ruangan tamu. Pikiran-

nya serasa kacau dan kalut. Secara tidak langsung 

perbuatannya telah terbongkar. Dia sendiri sudah me-

rasa takut. Sukar rasanya untuk mengelakkan diri... 

Dan ucapan ayahnya itu tidak main-main.

Berulang-ulang ia berusaha memejamkan matanya 

yang terserang rasa ngantuk. Namun begitu ia meme-

jamkan matanya selalu saja tersentak dengan pera-

saan was-was. Membuat ia susah tidur. Kepalanya se-

perti pening berputar.

Ia menghentakkan tubuhnya bangkit dari kursi. 

Pandangannya menoleh ke sana-ke mari. Setelah itu ia 

berjalan mendekati sebuah lemari. Pintu lemari itu 

mudah sekali terbuka. Bahkan hampir tidak mengelu-

arkan suara sedikitpun. Di situ ia mengambil sesuatu


dari tumpukan barang-barang berharga. Benda kecil 

itu dimasukkannya ke dalam saku baju.

Dengan langkah yang hati-hati ia menuju dapur. 

Hari memang masih sore, ia melihat Mang Toyop si 

pembantu tengah sibuk membuat sesuatu.

"Sedang apa, Mang Toyop...?" tegur Mayan Danang 

mengejutkan orang itu.

"Aduh! Den Mayan Danang...! Mamang sampai ka-

get.... Anu, Den.... Saya sedang membuat minuman 

buat Ki Lurah." jawab! Mang Toyop sambil mengaduk 

minuman itu dengan sendok.

"Tinggalkan saja dulu itu, Mang.... Tolong sediakan 

aku air hangat, aku mau mandi. Hari ini rasanya ba-

danku kurang enak..." kata Mayan Danang mendekati 

Mang Toyop. Mang Toyop sendiri langsung membiar-

kan gelas di atas meja. Setengah membungkuk ia me-

lewati Mayan Danang yang berdiri menghadapinya. 

Mang Toyop memang tahu Mayan Danang selalu me-

minta air hangat untuk mandi.

Sepeninggal Mang Toyop, Mayan Danang mendeka-

ti gelas yang tergeletak di atas meja. Asap dari hawa 

panasnya air masih mengepul dari permukaan gelas. 

Dengan sedikit gemetaran ia mengeluarkan sebuah 

bungkusan kecil dari saku bajunya. Diam-diam ia me-

lurukkan bubuk isi dalam bungkusan kecil ke dalam 

gelas. Gerak-geriknya jadi tidak tenang.

Sebelum Mang Toyop datang, Mayan Danang sudah meninggalkan tempat itu. Ia berjalan sambil mem-

buka bajunya. Tak lama....

"Sudah, Den.... Air hangat sudah saya sediakan..." 

kata Mang Toyop yang berpapasan. Tanpa menjawab 

Mayan Danang memasuki ruangan mandi. Bak besar 

dari kayu yang berada di sudut ruangan memang su-

dah berisi air hangat, setelah membuka celananya, ia 

merendam diri. Sepertinya nyaman sekali.... Tapi apa-

kah hatinya akan dapat tenang? Sengaja ia berlama-

lama merendam dalam air hangat itu. Sekalipun ia te-

lah menggosok bersih seluruh tubuhnya. Tapi ia belum 

juga mau bangkit dari bak kayu yang cukup besar. Se-

pertinya ada sesuatu yang ia tunggu-tunggu.... Lama 

sekali ia merenung. Kedua matanya menatap dinding 

yang mulai ditumbuhi lumut.

Air yang semula hangat kini lama-kelamaan men-

jadi dingin. Mayan Danang tersentak ketika pintu ka-

mar mandi diketuk orang manakala tubuhnya telah 

menjadi dingin....

"Den.... Den Mayan Danang...! Apakah Den Mayan 

Danang sudah selesai mandi?" Itu suara Mang Toyop.

"Ada apa...!" tanya Mayan Danang dari dalam.

"Ah, tidak apa-apa.... Den Mayan Danang mandi 

terlalu lama.... Saya khawatir Aden akan sakit." kata 

Mang Toyop lagi. Terdengar kecipak suara air. Kemu-

dian suara orang mengenakan pakaian.... Tak lamapun 

Mayan Danang keluar.


Sebelum Mayan Danang melangkah ia sempat me-

lirik pada sebuah meja. Gelas yang diberikan bubuk 

olehnya sudah tidak ada. Lalu ia meneruskan lang-

kahnya.

Suasana ruangan itu telah sepi. Tapi ruang kerja Ki 

Lurah Sentanu masih terbuka lebar. Ia pun sempat 

melihat ketika melaluinya. Di atas meja kerja Ki Lurah

Sentanu ada sebuah gelas yang telah kosong. Ki Lurah 

Sentanu sendiri telah tertidur tertelungkup di atas me-

ja.... Mayan Danang tersenyum puas.... Ia terkejut ke-

tika mendengar suara.... Klotaak!

Mayan Danang menoleh ke arah suara yang men-

curigakan dari kamar Kunta Danang. Maka ia segera 

melangkah ke situ, dengan cepat ia membuka pintu 

kamar. Ia melihat Kunta Danang tertidur pulas sambil 

mendengkur. Mayan Danang menghela nafas.

Ia pun melangkah lagi menuju ke kamarnya. Ketika 

tubuhnya telah rebah ke atas kasur empuk pikirannya 

melayang lagi... Apakah yang telah ia lakukan tadi? 

Sampai hatikah ia meracuni ayahnya sendiri...? Semu-

anya telah terlanjur! Dan semua itu memang ia ingin-

kan! Jiwanya akan terancam bila ayahnya masih hi-

dup... Mayan Danang akan mendekam dalam sel yang 

paling menakutkan...

*

* *


Puing-puing bekas kebakaran masih berserakan. 

Debu-debu beterbangan tertiup angin. Udara di situ 

sudah bersih. Tidak lagi tercium bau busuk. Rumah-

rumah penduduk nampak terang. Meskipun para pen-

duduknya tidak ada yang keluar rumah. Mereka se-

mua asyik bercengkerama bersama keluarganya. Ada 

juga yang sudah tertidur pulas karena udara yang be-

gitu dingin.

Rumah Parto sendiri yang paling diterangi oleh be-

berapa lampu gembreng. Karena tadi siang istrinya ba-

ru melahirkan. Beberapa orang penduduk banyak be-

gadang di situ menemani keluarga Parto.

Sejak tadi sore Parto tidak beranjak pergi dari 

samping istrinya yang terbaring di balai beralas tikar. 

Tidak puas-puasnya ia memandangi bayi pertamanya 

yang mungil. Bayi perempuan.

"Kang Parto.... Kita tidak punya apa-apa lagi untuk 

menyuguhkan mereka yang menemani kita malam 

ini... Uang untuk membeli kopi sudah habis tadi siang 

buat bayar dukun beranak... Kasihan mereka hanya 

minum air putih saja..." kata istrinya dengan suara li-

rih.

"Habis mau bagaimana...? Lagipula mereka men-

gerti, kita ini orang tidak punya" jawab Parto. Istrinya 

menghela nafas.

"Rasanya nggak enak, Kang... Paling tidak kita harus menyuguhkan mereka makanan.... Cobalah Ka-

kang pergi ke rumah Den Mayan Danang, beliau kan

teman baik Kakang.... Cobalah pinjam uang pa-

danya..." kata istrinya lagi.

Parto terdiam. Bagaimana caranya ia bisa mempe-

roleh uang dari Mayan Danang? Sebenarnya ia memili-

ki uang banyak, tapi sebelum anaknya lahir. Uang itu 

pun upah dari hasil membakar gubuk Ni Luh Wedas. 

Sekarang uang itu telah ludes di tempat pelacuran.

Kalau sekarang ia datang lagi untuk meminjam 

uang mana mungkin Mayan Danang percaya. Mayan 

Danang pasti mengira ia akan pergi lagi ke tempat me-

sum itu. Karena selama ini Mayan Danang tahu betul 

sikap Parto... Parto tidak pernah perduli dengan is-

trinya yang sedang hamil. Sekarang ia betul-betul ser-

ba salah...

"Pergilah, Kang... Mayan Danang pasti memberi

uang..." kata istrinya yakin.

Dengan perasaan yang masih gelisah ia bangkit. 

Keluar dari kamar. Orang-orang di luar sudah ramai 

berkumpul. Parto berusaha bersikap ramah terhadap 

orang-orang yang menemani begadang menjaga is-

trinya yang melahirkan... Dengan tubuh setengah 

membungkuk ia melewati orang-orang itu....

"Mau ke mana, Kang...?" Salah seorang menegur-

nya. 

"Aku hendak membeli kopi sekalian makanan ke


cil..." kata Parto sambil tersenyum.

"Tidak usah repot-repot.... Kalau perlu bawa saja 

semua yang ada...!" Yang lain bergurau, maka mele-

daklah tawa mereka. Parto ikut tertawa.

Langkahnya cepat bergerak meninggalkan gubuk-

nya. Pikirannya telah berobah! Ia tidak akan pergi ke 

rumah Mayan Danang, tapi tujuannya kepada Welang 

Galih. Ia berharap Welang Galih masih punya sisa 

uang upah dari Mayan Danang. Kalaupun Welang Ga-

lih tidak dapat membantu, terpaksa ia harus menemui 

Mayan Danang. Dalam perjalanannya ia mengutuki di-

rinya. Kenapa ia harus tergila-gila main perempuan? 

Pada saat-saat begini membutuhkan uang ia merasa 

kesulitan sekali. Sebenarnya tanpa menyuguhkan apa-

apa pun tidak jadi masalah. Tapi semua ini lantaran 

tradisi desa Rawa Kandar. Setiap orang yang baru me-

lahirkan mesti dibegadangi selama tujuh hari tujuh 

malam. Untuk itu ia harus menyediakan tetek bengek 

untuk menyuguhkan tamu-tamunya yang ikut mene-

mani selama semalam suntuk.

Selama ia melangkah pikirannya kosong. Namun 

langkah semakin cepat. Untuk mencapai gubuk We-

lang Galih ia. harus melewati surau kecil yang menga-

lirkan air. Matanya begitu terbelalak ketika tanpa sen-

gaja ia melihat ke arah surau. Sebuah pelita kecil me-

nerangi seorang gadis yang sedang mandi. Parto dapat 

melihat tubuh mulus itu! meskipun terhalang dengan


pagar bilik sebatas pinggang.

Langkahnya terhenti mendadak. Parto menelan lu-

dah saat gadis itu menggosok-gosok lengannya. Kemu-

dian berdiri membersihkan bagian pinggang. Gadis itu 

seakan-akan tidak tahu akan kehadiran Parto yang 

dapat memandang jelas seluruh tubuh molek itu... Ka-

rena gadis itu memang berdiri membelakangi.

Tanpa menoleh gadis itu bermaksud meraih kain 

yang sengaja ia sangkutkan pada pagar bilik, tapi tan-

pa sengaja pula tangannya menyentuh jatuh kain itu. 

Parto tersentak ketika melihat wajah gadis itu. Wajah 

yang demikian cantik mempesona! Belum pernah ia 

melihat wanita secantik bidadari seperti ini... Tubuh 

yang selangit, buah dada yang mengkal... Serta... Ser-

ta... Ah! Melihat itu Parto makin gemetar.

Melihat adanya seorang lelaki yang memandangi 

seperti itu, gadis itu tersenyum.

"Kakang.... Tolong ambilkan kainku yang terja-

tuh..." kata gadis itu lirih. Parto gelagapan, tanpa ber-

kedip ia memandangi tubuh gadis itu, lengannya yang 

gemetar mengambil kain yang tergeletak di tanah. Lalu 

ia memberikannya....

"Terima kasih.... Kakang begitu baik...!" kata gadis 

itu. Begitu baik? Hanya membantu mengambilkan kain 

dari tanah dan mendapat imbalan melihat tubuh bugil 

gadis itu dikatakan begitu baik..? Parto masih meman-

dangi gadis itu yang memulai memakai kainnya. Ketika


gadis itu keluar, Parto mengikutinya...

"Kakang mau ke mana..? Bukankah istri kakang 

baru melahirkan..?"

"Aku baru melihatmu... Kau tinggal di mana?" Par-

to memberanikan diri. Gadis itu menunjuk tempat 

tinggalnya dengan jari telunjuk. Parto melihat gubuk 

Welang Galih. Di samping gubuk itu terdapat sebuah 

gubuk cukup kecil namun bersih dan terang.

"Kalau mau mampir boleh saja. Mumpung hari ma-

sih sore." Gadis itu sengaja tidak menoleh. Ia mene-

ruskan langkahnya. Bagai terkena hipnotis Parto men-

gikutinya. Sebentar saja gadis itu telah memasuki gu-

buknya. Parto tidak berani masuk. Ia mencium bau 

wewangian yang sangat merangsang.

"Kenapa di luar saja.... ayo masuk," kata gadis itu 

dari dalam

*

* *

ENAM



Parto melangkah masuk. Gadis itu tersenyum 

membuka kain penutup tubuhnya di samping ranjang. 

Dalam ruangan itu Parto tidak melihat apa-apa selain 

sebuah ranjang dan beberapa kursi yang nampak ba-

gus.

"Sepertinya kakang sedang kesusahan...? Ada

apa?" tanya gadis itu sambil memborehi seluruh tu-

buhnya dengan bedak wewangian. Kedua lengannya ke 

atas mengikat ikal rambutnya, maka kedua buah dada 

yang mengkal nampak mencuat menantang.

"Be-be-betul Nyi.... Aku kekurangan uang...!" kata 

Parto jujur. Gadis itu tersenyum ia mengambil sesuatu 

dari bawah kasur berlapis sprei sutra. Sebelah lengan 

gadis itu memegang ujung kain yang menutupi tubuh-

nya.

"Aku punya hanya sekian... Barangkali cukup un-

tuk keperluan Kakang..." kata gadis itu sambil menyo-

dorkan sekantong uang. Parto melotot.

"Uang itu terlalu banyak, Nyi.... Aku hanya..." kata 

Parto melangkah mendekat.

"Ambil sajalah.... Aku tidak punya sanak saudara 

di sini, mereka mengusirku..." kata gadis itu memberi-

kan uang dalam telapak tangan Parto. Terasa sekali te-

lapak tangan yang halus lembut.

"Sanak saudaramu mengusirmu...?" tanya Parto.

"Yah...!"' Gadis itu hampir menangis. Kainnya ter-

lepas. Jatuh menutupi bagian aurat dan pahanya. Par-

to melangkah lebih dekat lagi tambah jelaslah buah 

dada yang bergerak-gerak saat gadis itu menangis teri-

sak. Dada Parto bergemuruh.

"Aku memang telah salah jalan.... Selama ini aku 

mencukupi hidupnya dengan melacurkan diri..." Gadis 

itu berkata jujur.... Pantas ia banyak uang, pikir Parto.


Tiba-tiba saja gadis itu memeluk Parto. Pelukannya 

hangat sekali. Parto membelai.... Belaiannya itu bukan 

sekedar rasa sayang, tapi nafsu! Berkali-kali ia mengu-

sap-usap buah dada yang kian membengkak kencang. 

Gadis itu menggelinjang.

"Berhentilah jadi pelacur...! Lebih baik kau jadi is-

triku, Nyi..." bisik Parto meremas buah dada itu. Gadis 

itu menganga menahan nikmat.

"Kau sudah punya istri.... Lagi pula baru melahir-

kan, apa kata mereka nanti bila mereka tahu kalau 

aku ini seorang pelacur... kata gadis itu mempererat 

pelukannya. 

"Tidak perduli, Nyi.... Tidak perduli...!" Nafas Parto 

kian memburu.

"Tidak ada orang sebaik Kakang.... Aki Sekar 

Dayang Kunti merasa beruntung." kata gadis itu mere-

bahkan diri di atas sprei sutra yang lembut. Dengan 

tidak sabaran Parto menarik kain yang menutupi aurat 

gadis itu. Gadis itu telah telanjang bulat dengan gera-

kan-gerakan yang menantang.

Udara makin dingin. Angin berhembus kencang 

mengerikan. Manakala suara binatang malam terus 

mengiringi suasana gelap. Seekor burung hantu ber-

tengger dengan memancarkan kedua mata yang nya-

lang. Menatap ke tiap-tiap rumah penduduk yang kini 

sudah tertidur lelap. Hanya lampu-lampu pelita yang 

menerangi pada tiap-tiap halaman rumah tetap berkelap-kelip mengikuti perjalanan malam yang demikian 

panjang.

Menjelang subuh, orang-orang yang berada di gu-

buk Parto merasakan mencium sesuatu. Aroma yang 

kurang menyedapkan itu, seperti bau busuk. Membuat 

percakapan mereka selama menemani istri Parto yang 

melahirkan jadi terputus. 

Bau busuk itu sebentar-sebentar hilang, sebentar-

sebentar timbul terbawa angin. Tapi mereka tidak per-

duli. Ada beberapa orang yang menguap terserang ha-

wa ngantuk, dan mereka mulai rebahan pada sebuah 

tikar lebar yang memang sudah disediakan oleh Parto.

"Kalau Parto datang, bangunkan aku...! Biar ku

damprat habis-habisan dia!" pesan seseorang yang 

mulai mengambil tempat kosong untuk rebahan. Yang 

mendengarkan ucapan itu acuh saja. Mereka pun sa-

ma kesalnya. Karena sejak tadi sore setelah Parto ke 

luar rumah sampai sekarang belum juga nongol batang 

hidungnya. Jangan-jangan ia ngendon di rumah istri 

mudanya, pikir mereka.

Matahari merambat naik, sinar kemerahan menye-

ruak bercampur dengan kabut yang bergerak perlahan 

sirna. Kicau burung-burung dan kokok ayam jantan 

saling bersahutan. Orang-orang yang semalaman be-

gadang di gubuk Parto berpamitan dengan istri yang 

masih rebahan menyusui bayinya, lalu mereka berebut 

ke luar dari gubuk itu.


Bau busuk itu menyebar lagi menyengat hidung. 

Setiap mereka melangkah bau busuk itu makin santer 

tercium. Adanya bau busuk itu, mengingatkan mereka

pada peristiwa beberapa hari yang lalu.... Mereka cu-

kup bergidik! Dan ketika mereka melewati puing-puing 

bekas sebuah gubuk yang terbakar. Sosok tubuh ber-

gerak-gerak dari tumpukan tiang-tiang arang. Sosok 

tubuh itu mengerang-erang seperti menahan rasa sa-

kit. Orang-orang yang baru saja melewatinya seakan 

tak percaya, justru bau busuk itu berasal dari bekas 

reruntuhan gubuk yang terbakar milik Ni Luh We-

das...! Mereka semuanya hampir lari ketakutan ketika

sosok yang bergerak- gerak tadi bangkit berdiri....

Bagaimana tidak? Tubuh yang menyebarkan bau 

busuk dengan keadaan yang mengerikan. Seluruh ku-

litnya yang tanpa selembar benangpun mengalirkan 

darah. Wajahnya sudah tidak nampak karena terge-

nang oleh darah.. Jelas sosok itu tubuh seorang lelaki.

"To-to-to-toloooooong.... A-a-aku.... Pa- Pa-

Partoooo! Aku Partoooo!" jerit sosok berlumuran darah 

itu.

Siapa yang mau mendekatinya? Tentu saja mereka 

semua jijik, apalagi bau busuk nya cukup membuat 

beberapa orang muntah-muntah! Keadaan kulitnya 

yang nampak meleleh dikerubungi oleh lalat-lalat yang 

mulai berdatangan. Sosok tubuh itu berkelojotan di 

tanah. Ia berguling-guling sambil mengerang terus. Kulit dagingnya mengelupas akibat gesekan dengan ta-

nah.

Semua orang menatap ngeri. Merekapun heran dari 

mana datangnya sosok tubuh berpenyakit kusta ini... 

Satu orang telah disingkirkan datang manusia berpe-

nyakit kutukan ini... Apakah desa ini memang telah 

mengalami kutukan dari yang Maha Kuasa...?

Pagi itu desa Rawa Kandar menjadi heboh. Semua 

penduduk keluar rumah untuk menyaksikan sosok 

berpenyakit kusta bergulingan ngamuk tak terkendali. 

Sekalipun mereka melihat sosok bergelimang darah 

itu, mereka tidak berani mendekat,

"Aku Partoooo...! Aku Partooo.... Tolooooong!" 

Orang itu menjerit-jerit bergulingan. Darah yang ke-

luar dari pori-pori kulitnya muncrat ke sana-ke mari. 

Orang-orang berlari menjauh takut terkena cipratan 

darah yang pasti bakal menularkan penyakit kutukan 

itu.

Sekalipun mereka yakin sosok itu adalah Parto, 

siapa yang berani mereka memberikan pertolongan? 

Kecuali mereka hanya menyaksikan dari kejauhan. 

Hampir semua warga desa Rawa Kandar memenuhi 

tempat itu. Antara takut jijik dan penasaran mereka 

menyerbu ke tempat kejadian yang menghebohkan itu. 

Seorang anak muda mengenakan baju bulu binatang 

berlari ke arah itu. Dari kerumunan itu ia dapat meli-

hat sosok bergulingan kelojotan di tanah.


"Lagi-lagi di tempat ini terjadi keanehan...! Salah 

apa desa ini...?" kata anak muda yang tak lain adalah 

Wintara.... Pendekar Kelana Sakti. Ia masih melihat je-

las tiang kayu yang telah hitam menjadi arang.

Sesaat kemudian tubuh bergelimang darah itu 

mengejang kaku, dadanya yang tadi naik turun kini 

diam menghembuskan nafasnya yang terakhir. Winta-

ra menghela nafas, ia tahu betul siapa orang itu. Parto! 

Salah seorang yang pernah mengajaknya makan mi-

num di Losmen Mawar Malam.

Bau busuk hilang bersamaan dengan berakhirnya 

ajal Parto. Para penduduk mulai berdesakkan mende-

kati. Yang mereka lihat adalah benar. Sosok tubuh 

Parto. Wintara membalikkan tubuhnya, tapi ia tidak 

jadi.... Karena sebuah cengkeraman melekat erat pada 

pundaknya. Ia hanya menoleh ke belakang. Kebo 

Dungkil bersamaan seorang temannya menyeringai.

"Sudah kukatakan padamu Kebo Dungkil...! Akan 

kutunggu pemimpinmu Singo Kobar di Bukit Kendal 

pada bulan purnama pertama.... Apakah orang yang 

bersamamu itu pemimpinmu?" kata Wintara sambil 

menepiskan cengkeraman Kebo Dungkil.

"Bukan...! Mana mau Singo Kobar menghadapi ce-

coro macam kamu! Lagipula menunggu bulan purna-

ma terlalu lama! Biarlah aku bersama Somat Codet 

akan membuat perhitungan! Mumpung kebetulan kita 

bertemu di sini..." Kebo Dungkil menantang. Ia sudah


bergerak-gerak mengeluarkan jurus. Tapi orang yang 

menamakan dirinya Somat Codet cepat menarik.

"Kau sudah pecundangi, Kebo Dungkil...! Biar aku 

yang ukur kehebatan anak muda ini... Kau menying-

kirlah...!" Somat Codet menggebrak tanah. Lalu kedua 

lengannya bergerak cepat menyilang di depan dada. 

Kebo Dungkil mundur sambil nyengir.

Wintara diam melihat gerak-gerik orang yang mulai 

mengeluarkan jurus. Ia sedikit kaget juga ketika sebe-

lah lengannya menyambar ke samping, pukulan an-

ginnya mampu menggetarkan baju bulunya.

Para penduduk desa Rawa Kandar sama sekali ti-

dak menyadari kalau akan terjadi sebuah perkelahian 

di sekitar situ. Karena mereka sibuk menyaksikan so-

sok mayat menjijikkan terkapar bersimbah darah. Me-

reka belum menyadari. Dan begitu mendengar suara 

teriakan yang menggelegar, serempak orang-orang itu 

menoleh ke arah suara yang menggelegar itu. Mereka 

jadi kaget! Dalam situasi yang seperti ini, masih ada 

peristiwa lain yang betul-betul menghebohkan desa 

itu.

Somat Codet melancarkan serangan gencar bagai 

seekor banteng. Menyeruduk dan melayangkan tin-

junya berkali-kali. Wintara mundur-mundur menghin-

darinya. Kebo Dungkil yang masih merasa dendam, di-

am-diam ikut melancarkan serangan. Hal itu bukan-

nya Wintara tidak tahu, maka ketika Somat Codet melancarkan tendangannya, Wintara cepat melesat ke 

atas sambil kakinya berputar ke arah Kebo Dungkil... 

Bugg!! 

Lumayan, cukup membuat Kebo Dungkil jungkir 

balik. Melihat temannya dibuat seperti itu, Somat Co-

det makin geram. Tendangannya yang bagai kilat ber-

putar. Wintara hanya dapat menangkis dua kali.... 

Begg! 

Untuk ketiga kalinya, Wintara terhuyung mundur. 

Tendangan itu cukup keras mengenai pinggang. Tapi 

Wintara hanya senyum merasakan itu.

Orang-orang desa Rawa Kandar menghambur 

buyar. Semuanya menatap bingung.... Dan tidak men-

gerti! Apa sebab musabab mereka sampai berkelahi di 

tempat ini...? Tapi mana sempat mereka memikirkan 

hal itu.... Sekarang mereka hanya menyaksikan se-

buah perkelahian yang tidak seimbang. Mereka me-

mang cukup mengenal siapa Kebo Dungkil dan Somat 

Codet, tapi untuk pemuda asing yang mengenakan pa-

kaian bulu binatang itu, merupakan suatu hal yang 

menarik perhatian. Bagaimana tidak? Mereka dapat 

melihat gerakan pemuda itu di saat Kebo Dungkil dan 

Somat Codet menyerang bersamaan. Tendangan mau-

pun pukulan mereka hanya nyeplos mengenai angin. 

Sedangkan si pemuda itu sendiri dapat beterbangan, 

bahkan berjumpalitan berkali-kali di udara menghin-

dari serangan-serangan itu.


Orang-orang itu dapat melihat betapa kerasnya 

Somat Codet mendesak dengan serangan-serangan 

yang mematikan. Wintara sendiri tidak pernah akan 

menyangka, di saat kakinya menginjak tanah setelah 

be-jumpalitan tadi.... 

Deess!! 

Tahu-tahu sebuah hantaman mengenai bagian 

punggung. Secepatnya Wintara membalikkan tubuh, 

jelas sekali Somat Codet melancarkan tendangannya 

lagi, tapi.... 

Plak!! 

Wintara merunduk sambil mengangkat lengannya 

ke atas menangkis. Masih dalam keadaan merunduk di 

luar dugaan Wintara mendorong telapak tangan ki-

rinya menghantam dada Somat Codet... 

Bwaaak! 

Kontan tubuhnya menggeledak ke tanah!

Tidak ada anak muda sepantaran Wintara di desa 

itu yang sanggup menjatuhkan Somat Codet, karena 

mereka tidak ada yang berani. Selain itu mereka juga 

tahu kalau Somat Codet maupun Kebo Dungkil san-

gatlah berilmu tinggi. Tapi saat ini mereka baru betul-

betul kena batunya. Keduanya dibuat jatuh bangun.

Namun begitu, mereka masih saja penasaran 

menghadapi pemuda yang demikian tangguh ini. Win-

tara pun tetap melayaninya, walaupun tidak dengan 

sungguh-sungguh! Tapi lama-kelamaan Wintara bosan


juga dengan permainan ini. Sekali ia hentakkan sebe-

lah kakinya, tubuh Kebo Dungkil menabrak Somat Co-

det yang baru saja ingin melancarkan serangan.... 

Bruaaaak!!

Keduanya bergulingan di tanah.

*

* *

TUJUH



Mayan Danang terjaga dari tidurnya ketika men-

dengar suara seperti orang yang sedang menggali lu-

bang. Ia tidak segera bangkit untuk melihat ke arah 

suara. Lengannya mengucek-ngucek kedua matanya 

yang masih perih. Matahari sudah tinggi menerobos 

jendela... Sekali lagi ia mendengar suara cangkul me-

nyentuh tanah.

Cepat ia bangkit dari pembaringan dan melangkah 

ke arah jendela. Ia melihat Mang Toyop menggali se-

buah lubang yang cukup besar. Maka ia teringat akan 

serbuk racun yang dibubuhkan pada gelas minuman 

ayahnya semalam.... Ia tersenyum puas! Pastilah 

ayahnya telah mampus, pikirnya....

Setelah ia mengganti pakaiannya, Mayan Danang 

lari ke samping rumah menemui Mang Toyop yang te-

lah banjir keringat. Mang Toyop yang melihat kehadiran Mayan Danang kembali giat menggali lagi.

"Lubang sebesar ini buat apa, Mang..." tanya 

Mayan Danang seolah-olah tidak tahu.

"Semalam ayam-ayam milik Den Kunta Danang ada 

yang meracuni, Den...!" jawab Mang Toyop sambil me-

nyeka keringatnya yang mengalir di keningnya. Mata 

Mayan Danang terbelalak mendengar ucapan Mang

Toyop. Dengan penasaran ia berbalik melangkah... Dan 

ia terperangah sekali ketika hampir menabrak sosok 

tubuh Ki Lurah Sentanu yang tengah menuju ke arah 

Mang Toyop... Setengah gelagapan Mayan Danang te-

rus berlari. Ia melihat pula Kunta Danang membawa 

enam ekor ayam yang telah kaku biru.

Mengapa semuanya jadi berubah dan tidak sesuai 

dengan rencana? Siapa yang telah menukar minuman 

ayahnya yang berisi racun...? Ia melangkah cepat ke 

luar da rumah. Perasaannya dihantui oleh perasaan

takut. Ia tidak berani menuduh terhadap Mang Toyop 

maupun adiknya Kunta Danang. Kalaupun ia berani 

menuduh ada yang menukar gelas minuman ayahnya, 

itu sama saja membongkar rahasianya sendiri.

Mayan Danang melewati terus jalan-jalan yang ber-

liku. Rumah-rumah penduduk nampak sepi.... Tidak 

seperti biasanya! Tidak ada tegur sapa sekedar rasa 

hormat terhadap dirinya karena desa itu kini betul-

betul sepi seperti kehilangan penduduknya.

Namun tak berapa lama kemudian, baru tahulah ia


sekarang! Semua penduduk desa berkerumun me-

nyaksikan suatu perkelahian. Dia sendiripun heran, 

hanya ada sebuah perkelahian saja semua orang kam-

pung sampai budal menyaksikan. Ia lebih terkejut lagi 

ketika ia melihat siapa yang berkelahi itu.

Wintara...! Astaga.... Kenapa ia harus berkelahi di 

sini, dan lagi itu Kebo Dungkil bersama temannya sen-

gaja mengeroyok. Mungkin ia masih menaruh dendam 

terhadap Wintara atas peristiwa malam itu di Losmen 

Mawar Malam, pikir Mayan Danang.

Pikirannya masih terheran-heran, tiba-tiba seseo-

rang menariknya menjauh dari tempat itu... Mayan 

Danang merasa lega! Sebelumnya ia mengira orang itu 

adalah Ki Lurah Sentanu... ternyata bukan orang itu 

Welang Galih.

"Parto tewas..." bisik Welang Galih. Mayan Danang

tersentak!

"Siapa yang membunuhnya... Mereka itukah?" 

tanya Mayan Danang penasaran.

"Bukan.... Ia tewas secara mengerikan! lihat itu di 

sana...!" Welang Galih mengarahkan telunjuknya. 

Mayan Danang dapat melihat apa yang ditunjukkan 

oleh Welang Galih. Sosok mayat berlumuran darah mi-

rip orang penderita kusta tergeletak kaku di tanah. 

Mayan Danang bergidik menahan jijik.

"Kenapa sampai begini, Welang...? Pasti ada yang 

membunuhnya! Paling tidak ia dibakar orang..."


"Entahlah! Kejadiannya baru diketahui tadi pagi..." 

jawab Welang Galih. Mayan Danang menoleh ketika 

mendengar teriakan dahsyat.... 

Heaaaaaaa! 

Somat Codet melesat dengan tinjunya siap menga-

rah, begitu juga dengan Kebo Dungkil, tendangan ter-

bangnya siap melancarkan maut.

Wintara malah maju... Lengannya dapat menangkis 

jotosan Somat Codet yang begitu keras, lalu kakinya 

menyambut terbang Kebo Dungkil. Setelah itu tubuh 

Wintara melintir, kedua lengannya bergerak melancar-

kan pukulan menyilang.... 

Bwaaaak! Deeeees! 

Mendapat hantaman begitu, Somat Codet ter-

huyung hampir jatuh. Tapi Kebo Dungkil yang tidak 

dapat mengelakkan hantaman itu, kembali tubuhnya 

terbanting.... Kali ini mulutnya! menyemburkan darah. 

Seluruh tulang dadanya remuk ia meringis tak dapat 

bangkit.

Bukan kepalang marahnya Somat Codet. Kini ia 

berdiri tegak dengan kedua lengan berputar menghim-

pun tenaga dalamnya. Lalu kedua lengan yang semula 

di atas disilangkan di depan dada.... Dengan terjangan 

yang sangat cepat Somat Codet menghempaskan ke-

dua telapak tangannya ke arah Wintara.... 

Bwueeees! 

Wintara yang bermaksud hendak menangkis serangan itu mendadak terdorong terkena angin pukulan 

Somat Codet. Tubuh Wintara melayang perlahan ba-

gaikan selembar daun yang tertiup angin. Dan hinggap 

di tanah tanpa bersuara.

Melihat itu Somat Codet menerjang lagi dengan se-

rentetan hantaman, Wintara menghentakkan kakinya, 

maka sebentar saja tubuhnya sudah melesat bagai 

terbang menyambar tubuh Somat Codet.... 

Bug...! Bug! 

Dua pukulan sekaligus menghantam bagian ping-

gang dan dada! Somat Codet terpelanting dan bergul-

ing berkali-kali. Nafasnya terasa sesak.

Wintara melangkah berjalan mendekati Somat Co-

det yang sudah tidak dapat bangkit lagi. Kebo Dungkil 

mengira pastilah anak muda itu bakal menghajar So-

mat Codet lagi.

"Kedatanganku ke desa ini bukan untuk mencari 

permusuhan.... Aku lebih senang kalau kalian mau 

bersahabat denganku... itu akan lebih baik!" kata Win-

tara sambil membantu Somat Codet bangkit.

"Kau masih bisa berjalan, bukan?" kata Wintara la-

gi. Tapi Somat Codet segera menepiskan lengan Winta-

ra yang masih membantunya berdiri. Somat Codet ber-

jalan sendiri meski tubuhnya masih sempoyongan.

"Bantulah sahabatmu Kebo Dungkil, mungkin ka-

kinya terkilir..!" Wintara memberi saran. Somat Codet 

menatap penuh kebencian, kedua lengannya mengangkat berdiri tubuh Kebo Dungkil. Lalu dengan ter-

paksa Somat Codet setengah menyeret tubuh Kebo 

Dungkil yang meringis menahan sakit pada kakinya.

Mayan Danang dan Welang Galih menghampiri 

Wintara yang menatap kepergian Somat Codet mema-

pah setengah mati tubuh Kebo Dungkil. Sebelum me-

reka mendekat, Wintara sudah membalikkan tubuh-

nya. Ia pun tersenyum.

"Rupanya dunia ini terlalu sempit untuk kita, sobat 

Wintara...! Sepagi ini kita dapat bertemu lagi..." sapa 

Mayan Danang. Wintara nyengir.

"Bagaimana menurutmu mengenai kematian Parto

itu...?" tanya Wintara.

"Mungkin dia sendiri telah mengidap penyakit kus-

ta... Desa ini memang telah kena kutukan!" jawab We-

lang Galih.

"Secepat itukah penyakit kusta menjalar? Padahal 

belum lama ini..." kata-kata Wintara terputus karena 

Mayan Danang segera memotong.

"Namanya juga penyakit kutukan! Datang dan per-

ginya selalu tak dapat diketahui. Mungkin juga nanti 

giliran Welang Galih, ataupun aku kemudian..." kata 

Mayan Danang. Wintara manggut-manggut.

"Lalu bagaimana dengan mayat Parto itu.... Kasi-

han istrinya yang baru melahirkan." Welang Galih 

khawatir. Perasaannya pun menjadi kurang enak.

"Tentunya kalian sebagai warga desa ini harus bisa


mengurusinya." kata Wintara tegas. Ia menatap Mayan 

Danang kemudian kepada Welang Galih.

"Ya-ya...! Kami akan mengurusnya...!" jawab Mayan 

Danang.

Saat itu sosok Ki Lurah Sentanu mendatangi tem-

pat itu. Ia mendapat laporan dari beberapa orang war-

ganya. Wintara pun dapat melihat sosok yang berpa-

kaian serba putih. Orang itu menghampiri mereka. 

Mayan Danang tertunduk ketika Ki Lurah Sentanu ada 

di antara mereka....

"Apa yang terjadi di sini, Mayan Danang...?" tanya 

Ki Lurah Sentanu secara tiba-tiba.

"Kau mau menyalahkan aku lagi...! Pasti kau me-

nuduh aku yang membunuh Parto! Iya, kan...!" Mayan 

Danang bicara lantang di hadapan ayahnya.

"Diam!" Ki Lurah Sentanu membentak Mayan Da-

nang bungkam.

"Parto tewas secara mendadak tadi pagi, Ki Lu-

rah..." Welang Galih menjelaskan.

Ki Lurah Sentanu berjalan mendekati mayat yang 

nampak menjijikkan itu. Ia memperhatikan mayat itu 

dari ujung kaki sampai kepala. Sudah tidak dapat di-

kenali lagi. Sekalipun ia tahu itu mayat Parto. Itu pun 

laporan dari warganya.

"Mayan Danang! Welang Galih! Bawa mayat Parto 

ke rumahnya dan urus sebagaimana mestinya...! Ce-

pat!" Mayan Danang maupun Welang Galih tidak dapat


menolak. Ia melangkah enggan. Tapi mereka harus 

menuruti perintah Ki Lurah Sentanu. Mayan Danang 

dan Welang Galih membuka kain sarungnya. Mereka 

membungkus mayat yang menjijikkan itu dengan kain-

kain mereka, barulah mereka membawa tubuh itu. 

Sebelum mereka beranjak Ki Lurah Sentanu mena-

hannya, lalu,

"Ini semua akibat ulah kalian..." katanya pelan 

agar tidak ada yang mendengarnya.

Seperti tidak mengerti ucapan Ki Lurah Sentanu, 

mereka terus membawa sosok kaku itu. Mayat itu 

memang sudah tidak menyebarkan bau busuk. Hanya 

saja darah masih merembes dari kain sarung yang 

membungkusnya.

Orang-orang kampung berduyun-duyun mengiringi 

Mayan Danang dan Welang Galih. Membuat mereka 

berdua susah melangkah. Sebenarnya mereka merasa 

keki mendapat tugas seperti ini. Ki Lurah sendiri dapat 

melihat langkah-langkah mereka yang begitu enggan.

Ki Lurah Sentanu berbalik menatap ke arah Winta-

ra. Anak muda itu tetap berdiri ketika orang yang ber-

pakaian serba putih itu datang mendekat.

"Anak muda! Aku rasa kau bukanlah warga desa 

ini.... Kenapa bikin onar! Apalagi sampai berurusan 

dengan orang-orang Singo Kobar! Kau bakal celaka!" 

kata Ki Lurah Sentanu. Wintara menunduk, lalu....

"Aku memang bukan warga sini.... Baru saja seminggu yang lalu aku singgah di desa ini.... Bahkan 

aku sempat berkenalan dengan anakmu, Ki Lurah.... 

Kalaupun orang-orang Singo Kobar bermaksud ingin 

mencelakakan diriku, itupun lantaran aku pernah me-

nolong Mayan Danang ketika Kebo Dungkil hendak 

membunuh Mayan Danang..." Ki Lurah Sentanu terte-

gun mendengar ucapan Wintara. Sebentar kemu-

dian....

"Terima kasih atas pertolonganmu terhadap anak-

ku, Mayan Danang... Tapi aku berharap sekali kau 

pergi meninggalkan desa ini, anak muda," Mendengar 

ucapan itu Wintara tersenyum....

"Sebenarnya aku pun ingin pergi dari desa yang 

mulai tidak bersih ini...! Desa ini semestinya aman dan 

damai, mungkin karena ada beberapa orang yang me-

rubah desa ini menjadi seperti kena kutuk...! Anakmu

terancam bahaya dari orang-orang Singo Kobar, Ki 

Lurah. Asalnya memang dari anakmu.... Aku hanya 

sekedar menyelamatkannya. Ternyata peristiwa itu 

menjadi berkepanjangan... Aku khawatir Mayan Da-

nang akan celaka bila aku meninggalkannya.... Aku 

bertanggung jawab atas segalanya untuk orang-orang 

Singo Kobar...."

"Anak muda, siapa sebenarnya dirimu...?" Ki Lu-

rah Sentanu heran melihat sikap tenang Wintara. 

Sikap Ki Lurah Sentanu nampak lebih ramah.

"Aku hanya seorang pengelana, Ki Lurah.... Tidak


lebih dari itu!" jawab Wintara.

"Betulkah Mayan Danang dalam bahaya...?" Nada 

bicara Ki Lurah Sentanu khawatir.

"Kira-kira begitu.... Aku di sini akan berjaga-jaga 

saja. Sekalian ingin tahu siapa adanya Singo Kobar 

itu...!"

"Sebaiknya kita bicarakan hal ini di rumahku, 

anak muda.... Bagaimana pun Mayan Danang adalah 

anakku. Aku pun patut melindunginya...!"

Rumah Parto ramai dikerumuni orang. Mayan Da-

nang merebahkan mayat yang dibungkus kain itu di 

atas balai teras. Istrinya yang baru beranak itu lang-

sung pingsan mendengar suaminya tewas secara men-

gerikan. Dalam suasana itu seorang gadis cantik ada di 

antara orang-orang yang berkerumun di gubuk itu, 

Mayan Danang yang tanpa sengaja tiba-tiba saja dapat 

melihat raut wajah cantik seorang gadis di antara ke-

rumunan orang-orang kampung. Ketika ia bermaksud 

ingin mendekatinya, gadis itu sudah menghilang entah 

ke mana. Mayan Danang penasaran.

*

* *


DELAPAN


Mayan Danang merasa senang akan kehadiran 

Wintara di rumahnya. Sebab keadaannya lebih terja-

min dari ancaman orang-orang Singo. Kobar. Ia sen-

diri pun tahu kalau Wintara adalah bukan pemuda

yang sembarangan.

Namun di rumah itu Mayan Danang tidak lebih ba-

gai hidup di neraka. Ayahnya yang Lurah selalu men-

gungkit-ungkit peristiwa kebakaran di gubuk Ni Luh 

Wedas. Padahal peristiwa itu sudah berlalu satu ming-

gu.

Di hadapan Wintara, Ki Lurah Sentanu terus men-

desak agar Mayan Danang mau mengakui perbuatan-

nya.

"Baik aku, Parto maupun Welang Galih sama sekali 

tidak melakukan apa-apa, ayah. Mana mungkin aku 

berani membakar gubuk Ni Luh Wedas...! Kalau aku 

menyuruh mereka membakarnya, sama saja menghia-

nati jabatan ayah sebagai Lurah...! Aku akui peristiwa 

yang terjadi di Losmen Mawar Malam memang itu ke-

salahanku! Wintara pun tahu!" kata Mayan Danang 

menyangkal.

"Lalu siapa yang menaruh racun ke dalam gelas 

minuman ayah!" Tiba-tiba saja terdengar suara lantang 

dari dalam kamar. Kemudian orang bicara tadi keluar. 

Wintara dan Ki Lurah Sentanu menatap orang itu yang


melangkah kian mendekat.

"Kunta Danang! Kau bicara apa...!" bentak Mayan 

Danang.

"Aku bicara yang sebenarnya...! Kalau saja aku ti-

dak cepat-cepat mengganti minuman ayah, mungkin..."

"Bohong...! Kau ngelantur! Kau mimpi! Jangan me-

nambah sulit persoalan, Kunta!" Mayan Danang bang-

kit, tapi Wintara cepat mencegah.

"Masih ingat tadi pagi? Delapan ekor ayamku mati 

semua! Itu akibat racun dalam gelas yang kau taburi 

racun untuk ayah!" kata-kata Kunta Danang jelas se-

kali.

"Semula aku tidak yakin kau akan meracuni ayah! 

Makanya setelah kuganti dengan air yang lain, air itu 

ku tuang ke dalam tempat minum ayam.... Hasilnya 

kau dan ayah tahu sendiri..."

"Bangsat kau, Kunta...! Mulutmu perlu kurobek! 

Itu fitnah! Fitnah! Aku tidak melakukan apa-apa... 

Sungguh!" Mayan Danang melompat menerjang. Win-

tara tidak sempat menghalangi. Amarahnya meluap... 

Tinjunya melayang... 

Wwwes! 

Kunta Danang tenang menghindar, sebelah len-

gannya nyeruduk masuk ke lambung Mayan Danang, 

ia pun jatuh menggelosoh menahan nafas yang sesak.

"Lebih baik mengaku dan minta ampunlah pada 

ayah, Kakang..." kata Kunta Danang bijaksana. Ki Lu


rah Sentanu, tidak percaya dengan apa yang dije-

laskan Kunta Danang. Wintara beranggapan lain, 

Mayan Danang dan Kunta Danang memiliki watak

yang berbeda, tapi soal siapa yang berniat meracuni 

sang ayah, Wintara sendiri masih bingung untuk me-

nentukan.

Lagi pula bukan urusannya, kehadirannya di ru-

mah itu bukan untuk soal racun. Yang jelas sekarang 

ia harus bisa menenangkan suasana agar tidak terjadi 

keributan di antara saudara. Kalau saja sampai terjadi, 

Mayan Danang tidak mungkin dapat mengalahkan 

sang adik. Karena Wintara dapat melihat dari gerakan 

Kunta Danang tadi sewaktu menghindar dan memba-

las dengan sebuah serangan yang sangat cepat.

"Benarkah apa yang dikatakan adikmu itu, 

Mayan...?" tanya Ki Lurah Sentanu. Mayan Danang di-

am saja, malah tatapannya liar terhadap Kunta Da-

nang.

"Katakan, Mayan...!" Ki Lurah Sentanu memben-

tak, tiba-tiba....

Praaaang! 

Kaca jendela pecah. Beberapa batu masuk ke da-

lam ruangan itu. Orang-orang yang berada dalam 

ruangan itu terkejut. Wintara cepat bangkit menyeli-

nap di balik jendela.

"Ki Lurah Sentanu...! Serahkan Mayan Danang be-

serta orang sewaanmu itu pada kami sekarang juga...!


Kalau tidak...!" Suara itu terdengar dari halaman ru-

mah. Wintara dapat melihat jumlah mereka dari balik 

jendela yang pecah itu. Satu.... Dua.... Tiga.... Em-

pat.... Semuanya tujuh orang.

"Kaukah yang bernama Singo Kobar...?" kata Win-

tara teriak, suaranya terdengar sampai ke luar.

"Kau kira Singo Kobar itu siapa? Beliau paling pan-

tang menghadapi musuh yang bukan tandingannya...!" 

Tujuh orang itu berdiri berjajar menghadapi rumah 

Ki Lurah Sentanu. Wintara memberi aba-aba agar me-

reka yang ada di ruangan itu tenang dan jangan men-

geluarkan suara. Kunta Danang diam-diam bergerak 

ke arah pintu, lalu secepat kilat ia membuka pintu dan 

berlari ke luar....

"Kunta Danang...! Kembali...!" Wintara berteriak, 

Kunta Danang mengacuhkannya.

"Kalau kalian menghendaki kedua orang itu, Iang-

kahi dulu mayatku...!" kata Kunta Danang setelah be-

rada di luar. Sudah tentu ketujuh orang itu datang me-

luruk memenuhi permintaannya.

Tiga orang sekaligus datang melancarkan seran-

gan. Kunta Danang yang sudah siap-siap itu menyam-

but. Kedua lengannya bergerak-gerak lincah menang-

kis serangan-serangan itu. Bahkan kakinya sempat 

menendang salah seorang yang bermaksud menyerang 

dari belakang.... Deees! Orang itu jatuh bergulingan ke 

samping.


Dua orang yang dihadapinya masih terus melan-

carkan serangan. Kunta Danang tidak kalah gesit me-

nyambut, benturan-benturan lengan mereka saling be-

radu. Dan di saat sebuah hantaman melesat ke arah 

muka, Kunta Danang merunduk! Sambil menangkis 

serangan yang lain, kakinya maju menghantam perut 

lawannya.... 

Bugg!

Datang lagi empat orang menyerang Kunta Da-

nang. Sudah tentu Kunta Danang tidak mungkin dapat 

menghadapi orang-orang itu. Wintara yang melihat 

tindakan mereka langsung melesat dari jendela itu. 

Gerakannya sulit sekali untuk dilihat. Tahu-tahu saja 

ia sudah menghajar orang yang bermaksud melancar-

kan serangan terhadap Kunta Danang. Ketujuh orang 

itu pun beringsut kaget!

"Orang inikah yang telah membuat Kebo Dungkil 

dan Somat Codet jatuh bangun?"

"Bukan jatuh bangun! Tapi sekedar memberi pela-

jaran tata sopan santun!" jawab Wintara...

"Bangsat...! Kepung...!" kata salah seorang pemim-

pin dari ketujuh orang itu. Maka ketujuh orang itu 

mengelilingi Wintara dan Kunta Danang yang berdiri di 

tengah-tengah mereka.

Dari balik jendela itu pula, Ki Lurah Sentanu me-

nyaksikan kenekadan anaknya. Lalu,

"Kau lihat, Mayan Danang...! Kau lihat adikmu....


Kau bisa apa!" Ki Lurah Sentanu membentak marah, 

telapak tangannya melayang mendarat di pipi Mayan 

Danang.... 

Ploook! 

Kemudian ia pun melesat melalui pintu yang sudah 

terbuka.

Di luar pertempuran sedang berlangsung. Kunta 

Danang kelabakan menghadapi serangan-serangan 

mereka yang datang secara beruntun. Untunglah Win-

tara ada di situ melindunginya. Kunta Danang sendiri 

sebenarnya masih mampu menjatuhkan lawan-

lawannya, meskipun dia harus mendapat hantaman 

dari salah seorang lawannya. Kalau ia mendapat sekali 

hantaman, tapi ia bisa membalas menjatuhkan dua 

orang sekaligus.

Melihat itu Wintara membiarkan Kunta Danang 

mengurus dirinya dari serangan-serangan musuhnya, 

karena Wintara sendiri tidak tinggal diam. Ia menja-

tuhkan satu demi satu musuh-musuh lainnya. Han-

taman Wintara malam itu betul-betul tidak kepalang 

tanggung. Sekali hantam ada yang giginya rontok! Ada 

pula yang lengannya patah. Tapi mereka begitu alot.... 

Meskipun banyak di antara mereka yang terluka, me-

reka masih saja menyerang.

Sekali waktu Kunta Danang jatuh terbanting men-

dapat hantaman dari salah seorang lawannya, tu-

buhnya bergulingan menghindari serangan-serangan


yang dilancarkan oleh beberapa orang yang mengejar-

nya..... Dalam pada itu Ki Lurah Sentanu cepat datang, 

maka.... 

Des!... Des!... Des…!

Tiga tubuh sekaligus berpentalan oleh hantaman Ki 

Lurah Sentanu.... Kunta Danan bangkit di belakang 

ayahnya.

*

* *

Mendengar adanya Wintara di rumah Mayan Da-

nang, Welang Galih jadi gelisah. Ingin sebenarnya ia 

datang ke sana untuk ngobrol dengan pemuda yang 

berilmu tinggi itu. Tapi sang istri sudah berpesan agar 

malam ini ia tidak perlu ke luar rumah.

Tapi kalau malam ini ia tidak ke luar rumah ra-

sanya tidak akan ada kesempatan lagi bertemu dengan 

pemuda hebat Wintara. Susah rasanya mencari alasan 

agar bisa ke luar rumah. Sejak tadi istrinya selalu be-

rada di dekatnya terus.

"Nyi.... Habis makan tidak menyulut rokok rasanya 

hambar." Tiba-tiba tercetus alasan yang tepat. Istrinya 

tidak perduli, ia malah bersandar di samping Welang 

Galih.

"Tolong ambilkan, Nyi... Barangkali masih ada di 

saku bajuku." katanya lagi. Dengan malas sang istri


beringsut bangkit. Ia menuju pada sangkutan baju pa-

da tiang pintu kamar. Ia merogoh pada tiap-tiap saku 

baju yang tergantung, tidak sebatang rokok pun yang 

ada di situ.

"Tidak ada, Kang...!"

"Ah, yang benar.... Perasaanku tadi ada satu ba-

tang lagi...!"

"Masa aku bohong... Sudah, Kakang beli saja di 

warung. Tapi ingat jangan lama-lama." pesan istrinya. 

Welang Galih tersenyum. Di saku bajunya memang ti-

dak ada sebatang rokok pun, itu hanya siasatnya saja 

agar bisa ke luar rumah. Welang Galih meraih bajunya 

yang tergantung pada tiang pintu kamar. Lalu ia men-

genakannya. Ia pura-pura merogoh saku celananya 

dan mengeluarkan beberapa keping uang.

"Aku pergi, Nyi..." kata Welang Galih sambil me-

langkah ke luar. Udaranya memang cukup dingin. Se-

lintas ia menatap reruntuhan kayu bekas kebakaran 

yang tadi pagi terjadi peristiwa kematian Parto yang 

mengerikan. Welang Galih bergidik! Ia tidak berani 

menatap bekas kebakaran itu lama-lama.

Sengaja ia memotong jalan. Tidak berani ia mele-

wati tempat itu sekalipun hari masih sore. Pikirannya 

hanya tertuju bahwa ia harus sampai di rumah Mayan 

Danang. Soal pulang terlambat, atau istrinya bakal 

mendamprat... Itu bisa diatur. Ngomelnya akan lenyap 

bila melihat sejumlah uang.... Mudah-mudahan saja


nanti Mayan Danang bisa meminjamkan uang seba-

gaimana biasanya.

Mayan Danang pasti akan memberi. Apalagi di ha-

dapan Wintara, rasa sok dermawannya pasti keluar. 

Lihat saja.... pikir Welang Galih mantap. Langkahnya 

semakin cepat menjauh. Pelita-pelita yang ada di se-

tiap depan rumah-rumah berkelap-kelip. Jalan kecil 

yang melintas menghubungkan ke rumah Mayan Da-

nang nampak terang. Sambil bersiul-siul Welang Galih 

melangkah.

Alisnya mengernyit ketika dilihatnya sosok tubuh 

berjalan yang melalui jalan itu makin lama makin de-

kat. Ah! Kiranya seorang wanita! Tapi siapa...? Welang 

Galih tidak perduli. Semakin dekat semakin jelas wa-

jah perempuan itu.... 

Wuaaaaaah! 

Welang Galih bagai melihat bidadari. Ia sendiri 

menghentikan langkahnya. Belum puas kalau tidak 

menatapnya lebih lama, perempuan itu pun terse-

nyum.... Bahkan....

"Kakang..." Perempuan itu menarik lengan Welang 

Galih. Lelaki itu pun terperangah.

"Sejak dari siang aku kesasar, maksud tujuanku 

hendak mencari rumah Ni Luh Wedas. Apakah seki-

ranya Kakang tahu...?" kata perempuan itu. Suaranya 

lebih lembut. Nada suara itu memang pelan, tapi We-

lang Galih yang mendengarnya seperti suatu guntur


yang menyambar di telinganya. Mukanya pucat seketi-

ka. Dalam pikirannya tergambar seonggokan kayu-

kayu telah usang menjadi arang. Lalu berganti sesosok 

tubuh kurus bergulingan termakan api...

"E-e-e-rumah Ni Luh Wedas sudah pindah... Dulu 

memang gubuknya di sini..." kata Welang Galih gugup. 

Perempuan itu tersenyum. Welang Galih mundur men-

jauh....

"Ni Luh Wedas bersama putrinya memang berpe-

nyakit kusta.... Tapi saudaranya tidak! Coba lihat 

ini..." Perempuan itu tanpa malu-malu membuka ke-

bayanya.

Astaga! Tubuh tanpa kutang terlihat jelas dengan 

mata kepala Welang Galih. Meskipun hanya diterangi 

lampu pelita jalanan nampak jelas kemulusan tubuh-

nya.

"Kalau Ni Luh Wedas sudah pindah dari sini, aku 

harus ke mana.... Tempat asalku jauh sekali... Aku ta-

kut pulang sendirian." Perempuan itu mengenakan 

kembali kebayanya.

"Tidak jauh dari sini ada gubuk kosong kau bisa 

bermalam di sana..." kata Welang Galih yang kini mu-

lai berani mendekat. Rasanya, ingin sekali lagi ia meli-

hat kemulusan yang dimiliki oleh perempuan itu.

*

* *


SEMBILAN


"Sendirian...? Aku tidak berani, Kang.... Bagaimana 

kalau Kakang menemani..?" Tawaran yang menarik! 

Welang Galih seakan tidak percaya dengan pendenga-

rannya sendiri.

"Di mana gubuk kosong itu, Kang... Jauhkah dari 

sini?"

"Tidak... Ma-mari kuantar...!" Welang Galih men-

cengkeram erat lengan perempuan itu,

Ia membawanya menerobos alang-alang dan se-

mak-semak. Tidak jauh dari situ memang ada sebuah 

gubuk usang yang sudah tidak terurus. Suasana yang 

gelap dan menyeramkan sama sekali tak membuat me-

reka takut. Begitu mereka mendekati gubuk kosong, 

puluhan kelelawar beterbangan ke luar.

Welang Galih masuk lebih dulu ke dalam gubuk 

itu. Ia mencari beberapa batang kayu untuk dibakar. 

Perempuan itu hanya berdiri di depan gubuk. Seper-

tinya ia merasa takut sekali dengan suasana sesunyi 

ini. Ketika api unggun mulai menyala, barulah perem-

puan itu berani masuk. Nampak ruangan dalam gubuk 

itu semerawut tak terurus.

Tiba-tiba Welang Galih mengeluarkan sesuatu yang 

berkilat dari pinggangnya, sebuah pedang pendek. La-

lu....

"Jangan berteriak kalau tidak ingin mampus...!


Kau telah membuatku menjadi jalang, perempuan can-

tik! Ayo buka semua pakaianmu...! Cepat!" Welang Ga-

lih membentak, tangannya yang menggenggam pedang 

pendek mengarah ke tenggorokan perempuan itu...

"Kakang.... kau..." Perempuan itu ketakutan.

"Jangan banyak bicara... Ayo buka!" bentaknya la-

gi. Perempuan itu makin takut. Welang Galih makin 

geram. Ia menarik kain yang dikenakannya.... 

"Breeet!" 

Maka terlihatlah paha yang begitu mulus. Perem-

puan itu memekik. Kembali Welang Galih menarik ke-

bayanya. Hanya dengan sekali sentak, tubuh itu telah 

telanjang dada. Sobekan-sobekan kebayanya masih 

ada yang tertinggal. Welang Galih tertawa menyeringai.

"Sekarang bukalah olehmu sendiri, Nyi.... kalau ti-

dak..." Welang Galih siap menikam pedang pendeknya, 

padahal ia hanya menakut-nakuti saja, tapi perem-

puan itu segera melepaskan semua yang melekat di 

tubuhnya. Melihat itu Welang Galih menelan ludah. 

Belum pernah ia melihat tubuh yang begitu mulus se-

perti ini.... Pernah ia mengintip seorang gadis yang pal-

ing tercantik di desa ini ketika sedang mandi, tapi 

keindahannya tidak seperti apa yang ia lihat sekarang. 

Sinar api unggun menerangi tubuh bugil itu. Namun 

justru dalam keremangan yang seperti itu membuat 

darah Welang Galih tersirap.

"Sekarang terlentang di sini.... Ayo!" Pedang pendek


menakut-nakuti lagi. Gadis itu menurut. Ia menelen-

tangkan diri. Tanpa diperintahkan lagi kedua kaki pe-

rempuan itu mengangkang. Welang Galih membuka 

semua pakaiannya dengan dada yang bergemuruh. Pe-

rempuan itu sama sekali tidak berontak saat Welang 

Galih menindih. Nafasnya yang seperti kuda menden-

gus-dengus. Tidak ada reaksi, tidak ada rontaan juga 

tidak ada jeritan, seolah-olah perempuan itu pasrah

dan tidak ada pemaksaan...! Aneh!

Api unggun yang menyala menerangi ruangan itu 

meletup-letup. Lidah-lidah api menjilat habis kayu ba-

kar itu sedikit demi sedikit. Hawa di sekitar itu menja-

di hangat Rumput alang-alang yang menghampar d 

sekitar gubuk bergoyang-goyang tertiup angin. Langit 

di atas makin kelam menakutkan.

Welang Galih membuka matanya. Nyala api un-

ggun masih meletup-letup. Perempuan yang tadi ber-

samanya sudah tidak ada di situ. Tapi ia masih meli-

hat sobekan-sobekan kain yang berserakan di sekitar 

ruangan yang kotor itu. Ia menggaruk-garuk tubuhnya 

yang terasa gatal. Ah! Mungkin kotoran yang berada di 

tempat ini melekat di tubuhnya sehingga menimbulkan 

gatal-gatal.

Ia meraih pakaiannya yang tergeletak di situ. Sece-

patnya ia mengenakannya. Namun rasa gatal itu selalu 

saja mengganggu. ia menggaruk-garuk terus. Lalu ia 

pergi meninggalkan gubuk itu.... Masa bodoh perempuan itu pergi ke mana! Yang penting ia sudah puas! 

Lagi pula mana mungkin gadis! itu akan menuntut, ia 

tidak mengenali Welang Galih.... Pikirnya.

Langkahnya masih tetap pada tujuan semula, ke 

rumah Mayan Danang. Tapi sepanjang jalan tidak hen-

ti-hentinya ia menggaruk. Sepertinya seluruh tubuh-

nya terasa gatal-gatal. Dan ia terkejut setengah mati 

ketika melihat telapak tangannya penuh dengan cairan 

lendir... Karena suasana gelap ia tidak dapat memasti-

kan cairan apa yang melekat pada telapak tangan-

nya.... Yang jelas ia terus menggaruk dan menggaruk.

*

* *

Wintara tidak menyangka sama sekali, kalau Ki Lu-

rah Sentanu ternyata memiliki kepandaian yang tidak 

bisa dianggap enteng. la sempat melirik sewaktu 

menghadapi lawan-lawannya. Ki Lurah Sentanu dapat 

memukul jatuh lawannya sekaligus dua orang.

Wintara sempat pula melihat Kunta Danang kewa-

lahan menghadapi dua orang lawannya. Wintara sendi-

ri sibuk menghadapi tiga orang yang menyerang den-

gan gencar. Kedua lengannya bergerak menyilang me-

nyambut pukulan tiga orang yang mengarah ke mu-

kanya. Sambil menangkis begitu, Wintara mendorong 

kakinya ke samping menghantam Orang yang menyerang dari samping itu.... 

Bugg!! 

Kontan orang itu berguling ke tanah dengan me-

nyemburkan darah. Datang lagi seorang penyerang. 

Kali ini dengan terjangan melompat ke atas. Wintara 

cepat merunduk dengan kedua lengan yang masih me-

nyilang. Di luar dugaan lengan itu menyambar kaki 

yang masih melesat ke atas. Lalu Wintara menariknya 

sekuat tenaga.... Dan melemparkannya.... Bruuuuug! 

Terbanting dengan keras dan tak bangun lagi.

Kunta Danang memekik! Tulang rusuknya terasa 

patah. Sebuah hantaman tidak dapat dielakkan oleh-

nya, mendengar anaknya memekik, Ki Lurah Sentanu 

melompat ke belakang. Melancarkan serangan kepada

orang yang menghantam Kunta Danang Namun seran-

gan-serangan datang lagi semakin sengit. Ki Lurah 

Sentanu yang sudah kelewat murka maju mengi-

baskan kedua lengannya....

Bwes!... Bwes! 

Beberapa orang bergulingan, tapi salah seorang 

dapat melancarkan sebuah pukulan tepat mengena 

ulu hati.... 

Deeeeeees! 

Menahan rasa sakit yang sangat menyesakkan 

pernafasan, Ki Lurah Sentanu menggelosoh ke tanah. 

Beberapa orang lawannya yang masih segar bugar 

langsung meluruk menerjang.


Pada waktu itu, Wintara sudah membereskan la-

wan-lawannya. Ia melihat Ki Lurah Sentanu bersama 

anaknya dalam keadaan bahaya. Maka secepat kilat ia 

melesat. Para penyerang yang tadi hampir melancar-

kan hantaman, tiba-tiba saja mereka bergelimpangan 

sambil memekik hebat. Ternyata ketika Wintara tadi 

melesat ia melancarkan pukulan maut yang dapat me-

robohkan para penyerang itu. Dengan geram para pe-

nyerang itu bangkit lagi. Mereka tinggal empat orang. 

Masing-masing mengucurkan darah dari hidungnya.

Wintara sudah dapat mengukur kekuatan mereka. 

Maka ia pun nampak mengeluarkan sebuah jurus yang 

sangat aneh. Keempat orang itu tidak langsung maju. 

Mereka mengepung dari segala arah. Wintara melirik 

ke samping, ia merasa lega. Sebab Ki Lurah Sentanu 

sudah bangkit dan sekarang ia membantu Kunta Da-

nang berdiri.

Ketika keempat orang itu datang menerjang, Winta-

ra melesat ke atas. Tubuhnya berputar seperti gangs-

ing, begitu juga sebelah kakinya. Menyambar dua 

orang sekaligus.... 

Des!... Des! 

Dua orang itu hanya terhuyung ke belakang..Dua 

orang lagi melancarkan serangan dengan pukulan-

pukulan berantai saat Wintara hinggap di tanah. Men-

dapat serangan seperti itu Wintara mundur salto ke 

belakang....


Wuk!... Wuk!... Wuk!... Wuk!

Begitu Wintara berhenti salto, kaki melayang ke 

depan menghantam muka penyerang yang melancar-

kan serangan berantai tadi.... 

Deeees! Tubuh itu terjungkal tak bangun lagi.

Tiga orang yang masih ada nampak beringas mena-

tap Wintara. Ketiga orang inilah yang nampaknya lebih 

lumayan dibanding dengan yang lainnya. Wintara tidak 

main-main lagi menghadapi mereka. Setelah ia me-

langkah dua kali tubuh Wintara melesat lagi ke atas! 

Berputar di udara bagaikan sebuah kitiran. Ketiga 

orang inipun mengikuti melesat ke atas. Masing-

masing melancarkan serangan. Tubuh Wintara masih 

berputar. Meskipun begitu ia dapat melihat ketiga se-

rangan yang datang dari arah yang berlainan. 

Sebelah lengannya berhasil menangkis sebuah 

hantaman yang hampir mengenai mukanya.... Kakinya 

bergerak lagi ke samping menahan sebuah tendangan, 

tapi.... Wintara tidak dapat menghindar! sebuah puku-

lan yang menghantam bagian punggungnya....

Bug!

Bersamaan dengan itu, Wintara membarengi den-

gan melancarkan hantaman yang sangat keras terha-

dap penyerangnya itu.... 

Dueeeees! 

Seorang penyerangnya yang tadi menghantam 

punggung terbanting ke tanah.... Wintara masih merasakan sakit pada punggungnya. Tapi ia tetap bersiap-

siap menghadapi para penyerang itu.

Kedua penyerang itu menerjang beterbangan bagai 

rajawali menyambar mangsa ke arah Wintara, Wintara 

yang dapat melihat betapa cepatnya terjangan mereka, 

langsung merebahkan diri ke tanah. Dalam keadaan 

terlentang begitu Wintara menendangkan kedua ka-

kinya ke atas menyambar mereka, maka.... 

Deeees!... Deeees! 

Keduanya terlempar jauh membentur dinding batu 

dengan masing-masing kepala yang remuk. Tujuh 

orang telah bergelimpangan. Ada yang tewas, ada pula 

yang pingsan.

*

* *

SEPULUH



Mereka yang masih bisa bangkit langsung lari ter-

birit-birit. Wintara sengaja tidak mengejar mereka. Ki 

Lurah Sentanu pun mengharapkan demikian. Kunta 

Danang melangkah mendekati mereka, nafasnya masih 

terasa sesak. Ia tersenyum setelah menatap Wintara. 

Wintara pun demikian. Setelah Kunta Danang mende-

kati Wintara merangkul.

"Tidak kusangka, anak Ki Lurah Sentanu yang satu

ini luar biasa..."

"Ah! Kaulah yang sebenarnya luar biasa! Aku dan 

Kunta Danang bisa apa? Untung saja ada kau Wintara, 

kalau tidak-..?"

Tiba-tiba saja ketiganya tersentak mendengar se-

suatu yang berderak! Sosok tubuh melesat dari dalam 

rumah menerobos pintu yang hancur berantakan. 

Sosok itu membawa tubuh Mayan Danang yang me-

ronta-ronta dalam dekapannya.

"Ia membawa Mayan Danang, ayah...!" seru Kunta 

Danang. Wintara reflek mengejar sosok itu yang mele-

sat menembus di kegelapan malam. Matanya yang jeli 

dapat melihat sosok itu pergi, tapi....

"Jangan mengejar sobat! Kalau tidak Mayan Da-

nang akan mati sekarang juga!.. Aku Singo Kobar akan 

menunggumu di bukit Kendal besok malam di bulan 

purnama!... Kembalilah!" Suara itu hilang bersamaan 

dengan hilangnya sosok tubuh yang membawa Mayan 

Danang.

Wintara berhenti mengejar. Sekalipun ia merasa 

khawatir akan diri Mayan Danang yang berada di tan-

gan Singo Kobar. Ia melesat kembali menemui Ki Lu-

rah Sentanu dan Kunta Danang yang menunggu di 

rumahnya.

"Mayan Danang dijadikan sandera! Singo Kobar 

menginginkan diriku sebagai penebusnya... Ki Lurah 

Sentanu tak perlu khawatir, seperti yang pernah kuka


takan kemarin, aku bertanggung jawab atas Mayan 

Danang.... Mudah-mudahan saja besok Mayan Danang 

selamat." kata Wintara sesampainya di hadapan mere-

ka. Belum Ki Lurah Sentanu menjawab, mereka dike-

jutkan lagi oleh sesuatu....

"Mayan Danang...! Aaarght! Mayan Danang. To-

looooong!' Sosok tubuh berlumuran darah jatuh ban-

gun di hadapan mereka. Seluruh kulitnya nampak me-

leleh seperti mau lepas dari daging. Tubuh itu meng-

gapai-gapai....

"Dia.... dia Nyi Sekar Dayang Kunti...! Mayan Da-

nang. Tolooooong!" Sosok tubuh itu menjerit-jerit me-

nahan sakit. Wintara, Ki Lurah Sentanu maupun Kun-

ta Danang menatap keheranan. Ketiganya tidak ada 

yang berani mendekat. Sosok tubuh itu tidak ubahnya 

seperti seekor makhluk yang mengerikan.

"Aku Welang Galih...! Aku Welang Galih...! To-

looong!" Tubuh menjijikkan itu berkelojotan di tanah.

"Nyi Sekar Dayang Kunti.... Dia.... Dia.... 

Arghhhhhht!" Tubuh itu berhenti dari kejang-kejang, 

kemudian kaku tak bergeming. Ki Lurah Sentanu me-

natap wajah yang sangat dikenalinya itu. Wajah We-

lang Galih. Mereka melihat cara kematian yang sama 

yang dialami oleh Parto. Tubuh meleleh mengeluarkan 

darah, seperti penderita kusta. Ketiganya saling pan-

dang. Masih terngiang kata-kata Welang Galih yang ke-

luar ketika ia menghembuskan nafas yang terakhir...


Nyi Sekar Dayang Kunti...! Belum pernah mereka 

mendengar nama yang amat menyeramkan itu.... Siapa 

Nyi Sekar Dayang Kunti sebenarnya? Hal itu menjadi

bahan pemikiran mereka!

"Mungkin mereka kena tuntutan dari arwah Ni Luh 

Wedas!" kata Kunta Danan Dalam ruangan itu Wintara 

hanya berdiri di samping jendela yang telah rusak. Ki 

Lurah Sentanu duduk berhadapan dengan anaknya.

"Tidak mungkin, Kunta.... Mana mungkin arwah 

bisa menuntut! Menurut pemikiran ku.... Pasti ada se-

seorang yang sengaja menteror desa ini dengan cara 

yang keji..." kata Ki Lurah Sentanu

Mang Toyop keluar membawa sebuah nampan 

yang berisi tiga buah gelas air. Dari tadi ia sudah men-

dengar percakapan mereka. 

"Saya memang pernah dengar sebuah nama yang 

sangat menyeramkan... Tapi bukan Nyi Sekar Dayang 

Kunti..! Waktu itu seorang perempuan di kampung 

saya kesurupan, ia mengaku dirinya Nyi Dayang Kunti 

Naga... Tapi setan perempuan itu tidak berbahaya, sa-

ma sekali tidak ada kematian setelah menyurupi... Ia 

hanya berpesan agar penduduk desa saya jangan 

mengganggu ketenangannya..." kata Mang Toyop sete-

lah meletakkan ketiga gelas itu di atas meja. Ki Lurah 

Sentanu menoleh ke arah Mang Toyop dengan pan-

dangan yang amat tidak suka. Melihat gelagat yang 

kurang baik, Mang Toyop cepat mundur kembali kedapur.

"Nampaknya kematian mereka seperti suatu pem-

balasan, Ki Lurah..." kata Wintara yang tetap berdiri di 

samping jendela.

"Aku khawatir Mayan Danang akan menjadi kor-

ban yang ketiga...!" katanya lagi.

*

* *

Bulan yang bersinar penuh tertutup awan berarak 

berjalan perlahan. Manakala langit makin lama me-

nampakkan bintang-bintang yang bertebaran berkelap-

kelip. Dan ketika awan berarak itu berlalu. Sinar bulan 

menerangi bukit Kendal.

Sebuah bukit dengan dataran yang sangat luas di-

tumbuhi rumput halus, di mana sisi dataran tersebut 

dirimbuni oleh semak-semak dan pohon-pohon yang 

sangat lebat. Di tengah-tengah dataran itu terdapat 

sebatang tonggak bekas batang pohon yang telah pa-

tah tersambar petir. Pada batang pohon itu, sosok tu-

buh terikat menggantung sambil meronta-ronta. Sosok 

itu tidak lain tubuh Mayan Danang. Mulutnya tidak 

bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya tersumbat 

oleh secarik kain yang mengikat sampai ke belakang

kepala.

Ia hanya meronta-ronta, namun tambang pengikat


tubuhnya sangat kuat. Sehingga tubuhnya yang ter-

gantung bergoyang-goyang kesana kemari.

Sesosok tubuh menerobos ke luar dari rerimbunan 

semak yang amat lebat. Sosok yang mengenakan baju 

bulu binatang itu tidak terus melangkah ketika tiba di 

dataran berumput. Wintara datang ke tempat itu un-

tuk memenuhi janjinya. Ia menatap sebatang pohon 

yang telah patah. Ia pun dapat melihat jelas sosok tu-

buh Mayan Danang tergantung pada pohon itu. Winta-

ra melangkah lagi.

Ingin rasanya ia cepat-cepat bertemu dengan orang 

yang menamakan dirinya Singa Kobar. Seperti macam 

apa dia? Melihat dam belasan anak buahnya yang ra-

ta-rata sangar, tentulah pemimpinnya lebih sangar la-

gi. Paling tidak, amat menakutkan! Wintara melangkah 

terus ke tengah-tengah dataran itu. Mayan Danang 

meronta-ronta terus.

"Singo Kobar...! Tunjukkan dirimu...! Aku datang 

memenuhi janjiku...!" teriak Wintara. Suasana tetap 

hening. Tidak ada jawab an.

"Singo Kobar, keluarlah...!" teriak Wintara makin 

lantang. 

Lapat-lapat terdengar suara gerakan baju yang ter-

tiup angin, cepat Wintara menoleh ke arah suara itu. 

Ia melihat sosok tubuh melesat bergerak cepat mene-

robos rimbunnya pepohonan. Tubuh itu terus melesat 

bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Sesaat


kemudian tubuh yang melesat itu berputar di udara, 

lalu hinggap di tanah tanpa bersuara. Wintara mena-

tap tenang. Mata Wintara terbelalak melihat beberapa 

orang yang pernah dihadapi keluar, dari semak-semak. 

Mereka berdiri di belakang orang yang tadi berjumpali-

tan tadi.

"Siapa di antara kalian yang bernama Singo Ko-

bar...? Aku datang hanya untuk menemuinya...!" kata 

Wintara tegas. Kebo Dungkil dan Somat Codet ada di 

deretan itu. Seseorang yang berdiri paling depan me-

langkah maju.... Wintara masih ingat orang itu tadi 

yang melesat bagai anak panah.

"Aku Singo Kobar...! Bagus! Kau datang memenuhi 

janjimu! Cukup ksatria...!" Wintara setengah tidak per-

caya! Orang yang mengaku Singo Kobar ternyata seo-

rang anak muda sepantarannya. Seorang pemuda 

tampan.

Semula Wintara mengira Singo Kobar seorang yang 

amat menyeramkan, bertubuh besar, berewok, berma-

ta nyalang, dan macam-macam dalam pikirannya. Tapi 

setelah ia melihat siapa adanya Singo Kobar. Seakan-

akan Wintara tak percaya!

"Aku ingin tahu sampai di mana kehebatanmu, so-

bat...! Ilmu apa yang membuat aku harus kehilangan 

beberapa orang anak buahku...! Juga lima anak bua-

hku ada yang menderita patah tulang...!" kata anak 

muda yang tak lain Singo Kobar.


"Mengapa harus menanyakan soal ilmu padaku... 

Aku rasa setiap orang punya. ilmu! Lagi pula soal ke-

matian atau patah tulang anak buahmu, bukan aku 

yang menghendaki.... Tapi..."

"Jangan banyak omong! Kau boleh menukar nya-

wamu dengan nyawa Mayan Danang!"

"Tentu setelah aku menjadi mayat, bukan...?" ja-

wab Wintara. 

"Dan bukan karena aku harus bunuh diri di si-

ni...!" kata Wintara lagi.

Mendengar ucapan yang begitu menggelitik kuping. 

Singo Kobar menghentakkan kedua kakinya. Lalu ke-

dua tangannya bergerak ke atas sambil mengeluarkan 

teriakan yang begitu dahsyat!

*

* *

SEBELAS



Berbarengan dengan suara teriakan yang begitu 

menggelegar, tiba-tiba saja angin kencang bertiup. Ma-

kin lama makin kencang bagai badai angin. Beberapa 

anak buahnya yang berderet di belakangnya berpenta-

lan terdorong putaran angin yang melanda bagai to-

pan... Tubuh Mayan Danang terombang ambing. Kalau 

saja tubuhnya tidak terikat kencang, mungkin Mayan


Danang sudah terlempar jauh.

Teriakan Singo Kobar masih menggelegar seakan 

tidak pernah putus mendatangkan angin topan yang 

deras menerjang. Wintara tetap berdiri, seolah-olah 

angin yang mendorong sangat kuat itu tidak berarti 

apa-apa. Rambutnya yang gondrong serta baju bulu 

yang dikenakan Wintara berderai-derai terkena getaran 

angin yang begitu kencang! Tubuhnya tidak bergeser

sejengkalpun.

Di luar dugaan, Wintara mendorong ke dua telapak 

tangannya ke depan. Kedua telapak tangan itu nam-

pak bergetar. Tapi akibatnya sangat dahsyat pula...! 

Angin itu kembali berputar berbalik menerjang Singo

Kobar.... Mendapat serangan yang demikian menda-

dak, Singo Kobar melesat ke atas... Angin kencang te-

rus menerjang anak buah Singo Kobar yang berusaha 

bertahan. Tubuh Singo Kobar yang melesat itu terus 

menukik melancarkan serangan.

Menghadapi seorang lawan yang memiliki kepan-

daian luar biasa ini, Wintara harus pentang mata. Ia 

tidak boleh menganggap remeh tiap serangan-serangan 

yang dilancarkan oleh Singo Kobar. Wintara sendiri 

mengakui akan kehebatan tenaga dalam lawannya. Se-

tiap kali serangan itu hampir menyerempet, ia sudah 

merasakan getaran angin yang mendorong demikian 

keras. Sudah tentu Wintara tidak hanya menghindar 

terus menerus, sesekali ia berusaha membalas serangan itu.... 

Deeees! 

Hantaman mereka beradu.

Keduanya sama-sama melompat ke atas. Singo Ko-

bar melepaskan pukulan ke depan. Wintara menyam-

but dengan sebelah telapak tangannya. Sebenarnya 

pukulan yang dilancarkan Singo Kobar sangatlah ke-

ras, namun karena Wintara menyambut sama keras-

nya.... Sehingga menimbulkan suara yang amat dah-

syat. Keduanya sama-sama jatuh ke tanah dengan po-

sisi yang tidak berubah. Tinju serta telapak tangan me-

reka tetap menyatu. Sebelah lengan Wintara yang se-

dari tadi menunggu kesempatan, maju menghantam 

dada Singo Kobar.... 

Deees! 

Singo Kobar memang terpelanting, tapi dalam kea-

daan yang seperti itu, Singo Kobar sempat melancar-

kan tendangannya.... 

Plaaak! 

Wintara cepat menangkis. Akibat tangkisan yang 

disertai tenaga penuh, tubuh Singo Kobar makin ter-

banting keras!

Hanya dalam sekejap tubuh Singo Kobar bangkit 

lagi. Wintara sengaja menunggu lawannya menyerang 

lebih dulu. Dan begitu Singo Kobar menerjang, Wintara 

hanya memutar sebelah lengannya. Hantaman Singo 

Kobar luput. Tapi lututnya yang setengah menekuk


menghantam perut Wintara.

Dua anak muda yang sama-sama memiliki kepan-

daian tinggi ini makin ganas saling terjang. Benturan-

benturan hantaman mereka yang tidak perlu sebenar-

nya menghamburkan tenaga tertuang dengan sia-sia. 

Singo Kobar yang selalu melesat melancarkan seran-

gannya geram dan penasaran. Wintara pun begitu. Se-

kali ia melancarkan hantaman.... 

Deeeeer! 

Singo Kobar yang sudah kehabisan tenaga terlem-

par sambil menyemburkan darah dari mulutnya.

Wintara sendiri terhuyung. Rupanya ketika tadi ia 

melancarkan hantaman, ia menguras semua tena-

ganya. Dengan seloyongan Singo Kobar bangkit berdiri. 

Kedua matanya menatap nanar.... Wintara berusaha

berdiri tenang, ia menganggap Singo Koba betul-betul 

kuat dan tangguh. Matanya selalu mengawasi gerakan 

Singo Kobar yang nampak berusaha menerjang lagi.

Dengan disertai teriakan yang menggelegar, Singo 

Kobar melancarkan dua tinjunya sekaligus. Meskipun 

gerakannya terhuyung, Wintara dapat menepis puku-

lan-pukulan itu. Sebelum Wintara membalas seran-

gan.... 

Buugg! 

Tendangan Singo Kobar masuk ke perut Wintara. 

Belum hilang rasa sakitnya, tahu-tahu tubuh Singo 

Kobar berputar. Sebelah lengannya menghantam keras


muka Wintara.

Tubuh Wintara bergulingan di tanah, sesaat kemu-

dian ia duduk bersila dengan pandangan yang berpu-

tar. Kedua telapak tangannya menyatu di depan dada. 

Matanya terpejam rapat. Singo Kobar dengan garang 

maju melancarkan pukulannya berkali-kali ke tubuh 

Wintara yang masih tetap duduk bersila. Bahkan 

tendangannya dua kali menghantam leher. Namun 

bagai batu karang yang tegar, Wintara tetap diam tak 

bergerak. Darah mulai keluar dari lobang hidungnya. 

Singo Kobar masih terus menghujani tubuh Wintara 

dengan segala hantaman maupun tendangan.

Entah pada hantaman yang keberapa kali Wintara 

berteriak menggelegar sambil mulutnya menyembur-

kan darah bagai air mancur. Kedua lengannya berge-

rak cepat menyilang. Singo Kobar yang berada di de-

katnya terpental jauh terkena sambaran sebelah len-

gan Wintara.

Mendadak saja tubuh Wintara melesat ke atas da-

lam keadaan duduk bersila dan kedua mata yang ma-

sih terpejam. Tubuhnya melayang mengikuti ke mana 

arah Singo Kobar terbanting. Dan begitu kedua mata 

Wintara terbuka, hantamannya beruntun mengarah di 

tubuh Singo Kobar. Singo Kobar sendiri tidak dapat 

mengelakkan amukan Wintara yang melancarkan se-

rangan terus-menerus. Rupanya sewaktu Wintara du-

duk bersila tadi, ia tengah menghimpun tenaga baru.


Meskipun tadi Singo Kobar berusaha mengacaukan ja-

lan pikirannya dengan melancarkan serangan-

serangan yang melanda di tubuh Wintara. Ia berusaha 

bertahan walaupun harus mengeluarkan darah.... Dan 

sekarang tenaga inti itu telah menjelma menyalur ke 

seluruh tubuhnya... Tendangannya yang keras meng-

hantam kepala Singo Kobar.... Saking kerasnya ten-

dangan itu, kulit kepala bagian pelipis Singo Kobar 

terkelupas sampai ke rambut-rambutnya.

"Waaaaaaarghat!" 

Jeritan Singo Kobar tidak kepalang tanggung ke-

rasnya. Tubuhnya kelojotan menahan sakit yang tidak 

terkira! Dengan nafas yang memburu Wintara menatap 

tubuh yang sekarat itu. Sebenarnya kalau Wintara 

mau membunuhnya, bisa saja. Tapi ia sengaja melihat 

Singo Kobar bergelintingan menjerit-jerit.

"Tobaaaat...! Tobaaaat...! Waaaaaarght" Singo Ko-

bar masih bergelintingan.

"Hei...! Kalian manusia-manusia keparat! Bawa 

pergi Singo Kobar dari sini...! Kalian ingin melihat da-

rahnya membanjiri bukit Kendal ini...?" bentak Winta-

ra kepada anak buah Singo Kobar yang berdiri ketaku-

tan di balik semak-semak yang merimbun.

Maka dengan memberanikan diri para anak buah 

Singo Kobar menampakkan diri satu per satu. Mereka 

berjalan perlahan-lahan dengan tatapan ngeri menga-

rah pada Wintara. Setelah mereka mendekati Singo


Kobar yang masih kelojotan, mereka langsung mem-

bawa cepat tubuh majikannya.

Mayan Danang masih tergantung pada batang po-

hon di tengah dataran bukit Kendal. Ia merasa lega 

melihat orang-orang Singo Kobar meninggalkan bukit 

itu. Ia tidak meronta-ronta lagi saat Wintara melang-

kah mendekati. 

"Ingat Mayan Danang...! Aku mempertaruhkan 

nyawaku demi kau! Kalau sampai terjadi apa-apa lagi 

terhadap dirimu, aku lepas tangan... Rubahlah segala 

sikap burukmu. Karena selama ini segala tindak tan-

dukmu telah ku baca!" kata Wintara mengancam. Da-

rah yang mengalir di sudut bibirnya belum mengering. 

Mayan Danang tidak berani menjawab.

*

* *

Selama tiga hari ini Mayan Danang tidak pernah ke 

luar rumah. Cerita ayahnya tentang kematian Welang 

Galih yang serupa dengan Singo Kobar sangat mem-

pengaruhi dirinya. Perasaan takut selalu menghantui, 

membuat dirinya harus terkurung di dalam rumah. Se-

lama itu pula ayahnya maupun Kunta Danang tidak 

pernah mau menemuinya. Mayan Danang merasa di-

rinya terkucil. Hanya Wintara yang senantiasa mene-

mui ngobrol di kala senggang.


Wintara sendiri sudah tidak perlu lagi tinggal di 

rumah Ki Lurah Sentanu berlama-lama. Sekalipun Ki 

Lurah Sentanu merasa tidak keberatan seandainya 

Wintara harus tinggal di situ selamanya. Tapi bagi seo-

rang pengelana sebuah rumah sama sekali tak ada ar-

tinya. Ki Lurah Sentanu tidak bisa menahannya.

Siang itu Wintara pamit kepada keluarga Ki Lurah 

Sentanu. Dengan berat Ki Lurah Sentanu melepaskan 

kepergian seseorang sangat berjasa bagi kehidupan ke-

luarganya. Segalanya dapat tenang kembali berkat 

Wintara. Mayan Danang berniat mengantarkannya 

sampai ke pintu desa. Wintara tidak keberatan.

Keduanya berjalan beriringan saling bisu. Mayan 

Danang merasa seperti ada kebebasan setelah menghi-

rup udara lepas. Wajahnya begitu berseri. Selama tiga 

hari ini sepertinya banyak berubah. Para pedagang 

yang biasanya dapat dihitung, kini para pedagang itu 

berderet memenuhi sepanjang jalan. Malah mereka itu 

ada yang bertengkar mulut karena berebut tempat. 

Apa yang menyebabkannya para pedagang itu jadi de-

mikian banyak berjubal bagai air bah.... Pikir Mayan 

Danang! Mungkin... Pasti karena Singo Kobar sudah 

tidak lagi berhak memegang kekuasaan di daerah ini.... 

Sesaat Mayan Danang sempat melirik pada sebuah 

losmen yang sangat bagus dan bersih. Pada pintu ger-

bang yang mirip sebuah gapura tergantung papan na-

ma yang bertuliskan: Mawar Malam... Sesiang itu pun


tempat itu demikian ramai dikunjungi para pendatang. 

Mayan Danang tidak menyadari kalau sejak tadi Win-

tara memperhatikannya....

"Terima kasih, Mayan Danang.... Kau boleh men-

gantarku sampai di sini saja. Aku bisa meneruskan ja-

lanku sendiri... Hanya satu pesanku itu yang harus 

kau ingat...! Dan juga jangan keluar malam selama 

keadaan belum jernih betul..." kata Wintara. Ia pun 

melangkah meneruskan perjalanannya. Baju bulu 

Wintara bergeming tertiup angin. Langkahnya makin 

lama semakin menjauh, Mayan Danang menatap terus 

sampai Wintara sudah tidak nampak lagi.

*

* *

DUA BELAS



Dengan penuh semangat, Mayan Danang melewati 

pintu gerbang yang bertuliskan Mawar Malam. Sebe-

lumnya para perempuan penghibur yang banyak berdi-

ri di situ menyambutnya dengan segala cara mereka, 

Mayan Danang tidak meladeni.

Kedatangannya ke situ untuk menemui seorang pe-

rempuan. Perempuan itu pula yang menyebabkan di-

rinya sampai berurusan dengan orang-orang Singo Ko-

bar. Sekarang ia datang untuk mengangkat perempuan


itu dari lembah hitam. Mayan Danang berniat menja-

dikan istrinya.

Kurang lebih setanakan nasi, Mayan Danang be-

lum juga menemukan perempuan itu. Ia hampir putus 

asa. Tiap-tiap kamar ia telusuri, namun tetap saja ha-

silnya sama. Matanya memandang ke ruangan atas. Di 

situ berderet beberapa kamar dengan pintu terbuka 

semua. Betapa kecewanya Mayan Danang... Ia memilih 

tempat duduk paling tengah. Lalu ia memesan sepundi 

arak.

Sambil meminum arak matanya terus berputar 

mengawasi tiap-tiap perempuan yang berlalu-lalang 

dalam ruangan itu. Mukanya telah memerah. Kuping-

nya pun berdenging mendengarkan bisingnya suasana 

itu... 

Tiba-tiba saja matanya terbelalak menatap seorang 

perempuan menaiki anak tangga yang menuju ke 

ruangan kamar atas.... Dengan cepat Mayan Danang 

mengejar ke arah perempuan yang dilihatnya, gera-

kannya yang terburu-buru menyenggol pundi arak itu 

sampai jatuh dan pecah. Semua orang menoleh dan 

menganggap Mayan Danang mabuk. Mayan Danang 

sendiri tidak perduli.

Merasa dibuntuti seseorang, perempuan itu meng-

hentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar yang 

terbuka. Ia menatap wajah Mayan Danang yang ter-

cengang setelah berhadapan. Perempuan itu tersenyum. Mayan Danang seperti melihat senyum yang 

memikat itu.... 

Yah...! Ia masih ingat ketika membawa jenazah Par-

to ke rumahnya. Perempuan itu ada di antara keru-

munan orang-orang kampung.... Tapi kenapa sekarang 

ia harus berada di tempat ini? Apakah...?

"Kakang perlu saya temani...?" Tiba-tiba saja pe-

rempuan yang cantik luar biasa mengeluarkan suara. 

Mayan Danang tersentak. Matanya liar menatap ke-

cantikan itu.

"Lebih dari itu, Nyi.... Semula aku memang mencari 

seseorang untuk kujadikan istri.... Tapi setelah melihat 

kau.... Aku seperti ingin memiliki mu.... Bersediakah 

kau menjadi istriku, Nyi... Bersediakah...?" Mayan Da-

nang mendorong tubuh perempuan itu masuk ke da-

lam kamar. Perempuan it tertunduk malu.

"Kakang ini bicara apa.... Mana ada seorang lelaki 

terpandang seperti Kakang mau beristrikan seorang 

pelacur.... Kakang pasti mabuk." jawab perempuan itu.

"Tidak! Aku tidak mabuk! Sungguh aku ingin 

memperistrikan mu, Nyi..." Mayan Danang memeluki 

tubuh perempuan itu yang tidak berontak sama sekali.

"Tutup pintunya, Kang.... Aku malu dilihat orang 

dari bawah..." Mayan Danang menyepakkan kakinya 

ke arah daun pintu yang terbuka lebar, maka pintu 

pun berdentum menutup. Mayan Danang makin gila 

mempereteli seluruh pakaian yang melekat pada tubuh


perempuan itu. Dari ikat rambut, kebaya... Bahkan 

sampai pada kain yang melekat di sekitar pinggang.

Tubuh ramping yang menggiurkan setiap lelaki te-

lah berdiri bugil. Kulit yang putih mulus membuat 

Mayan Danang menelan ludah. Dengan tidak sabaran 

pula Mayan Danang melepaskan semua pakaiannya.... 

Kini keduanya sama-sama bugil berdiri berhadapan. 

Saat mereka bersentuhan terasa sekali kehangatan bi-

rahi yang menyerang dalam tubuh Mayan Danang.

Bagai srigala liar lelaki itu merengkuh kuat-kuat 

tubuh yang ramping menggelinjang dengan nafas yang 

tersengal-sengal. Mayan Danang membaringkannya 

dengan hati-hati sekali, Perempuan itu terpejam saat 

Mayan Danang menindih serta mengangkat setengah 

duduk tubuh yang menggeliat itu dalam pangkuannya.

Tiba-tiba saja perempuan itu mendorong keras tu-

buh Mayan Danang. Ia mendengar beberapa orang me-

langkah menaiki tangga. Langkah-langkah yang begitu 

banyak berhenti di depan pintu kamar di mana mereka 

berada.... 

Braaak! 

Pintu itu terbuka lebar. Nampak beberapa orang 

berwajah beringas memasuki kamar itu. Mayan Da-

nang maupun perempuan yang bersamanya masih 

membugil. Beberapa orang datang menyeret tubuh 

Mayan Danang. Tapi.... 

Praaak!


Perempuan bugil itu mengibaskan tangannya, ma-

ka beberapa orang itu berpentalan. Salah seorang di 

antaranya ambruk dengan kepala pecah.

"Kalian mau membunuh Mayan Danang...? Tidak 

bisa! Dia bagianku...! Kalian tidak berhak! Menyingkir-

lah..."

Seseorang muncul lagi. Seorang lelaki dengan balu-

tan di kepalanya. Laki-laki itu tidak lain Singo Kobar....

"Cepat! Kalau perlu bunuh saja mereka...! Ayo bu-

nuh!" kata Singo Kobar sengit.

"Hi.... hi.... hi.... hi.... Kalian cari mampus! Aku Nyi 

Sekar Dayang Kunti tidak bakal mati.... Heaaaaat!" 

Sambil berkata begitu kedua lengannya menyebar 

ke atas. Maka beberapa orang beterbangan mencelat. 

Bahkan sampai jatuh ke ruangan bawah. Suasana itu 

menjadi, ricuh. Orang-orang yang berada di situ men-

jadi panik. Mereka melihat seorang perempuan telan-

jang bulat mengamuk.

Perempuan itu masih terus melancarkan seran-

gannya. Dan setiap kali lengannya bergerak, beberapa 

orang ambruk berjatuhan ke lantai bawah dengan lu-

ka-luka yang tidak ringan. Beberapa meja pun terpak-

sa hancur berderak tertimpa tubuh-tubuh yang berja-

tuhan dari ruangan atas. Melihat anak buahnya cerai 

berai berjatuhan, Singo Kobar menerjang geram! Pe-

rempuan cantik itu menyambutnya dengan sebuah 

tendangan mengarah perut....


Breeees! 

Kaki yang putih mulus itu menembus di perut Sin-

go Kobar! Dan ketika perempuan itu menghentakkan 

kakinya, tubuh Singo Kobar mencelat ke bawah den-

gan darah yang menyembur dari perut membanjiri lan-

tai ruangan bawah. Tubuhnya terlentang kaku tak 

berkutik.

Mayan Danang yang mendengar siapa nama pe-

rempuan itu langsung teringat akan cerita ayahnya... 

Nyi Sekar Dayang Kunti...! Perempuan itu pula yang 

telah membunuh Parto dan Welang Galih. Cepat-cepat 

ia meraih celananya. Tapi perempuan yang menyebut 

diri Nyi Sekar Dayang Kunti berbalik menghadapi 

Mayan Danang.

Orang-orang yang berada di bawah segera me-

nyingkir dari losmen itu. Mereka semua ketakutan me-

lihat seorang perempuan cantik telanjang bulat men-

gamuk bagai kesetanan! Tubuh itu memang nampak 

mulus dan menggiurkan, tapi itu tadi.... Sekarang sa-

ma sekali tidak ada kesan membangkitkan birahi. 

Mayan Danang beringsut mundur ketika Nyi Sekar 

Dayang Kunti me-langkah mendekati. 

"Hi.... hi.... hi.... hi.... Setelah tadi kau merasakan 

kenikmatan tubuhku, sekarang kau harus menikmati 

pula rasanya kematian.... Hi.... hi.... hi.... hi.... Aku ti-

dak perlu mengotori tanganku, Mayan Danang...! Kau 

akan mati dengan sendirinya.... Hi... hi... hi...hi...!" Nyi


Sekar Dayang Kunti tertawa menakutkan. 

Dalam pada itu sosok tubuh melesat ke atas dari 

lantai bawah ke ruangan itu. Nyi Sekar Dayang Kunti 

yang melihat lesatan tubuh seseorang memasuki ruan-

gan itu cepat menyambar dengan lengannya. Serangan 

itu melesat hanya menyerempet bulu-bulu yang kasar. 

Bulu-bulu kasar itu tidak lain pakaian yang dikenakan 

Wintara.

Wintara melompat ke arah Mayan Danang, tapi se-

belum ia mencapainya Nyi Sekar Dayang Kunti mendo-

rong telapak tangannya ke depan, maka Wintara ter-

sungkur ke depan sambil memekik. Pukulan itu sangat

keras menghantam punggung Wintara. Ia merasa ser-

ba salah menghadapi perempuan yang telanjang bulat 

berdiri mengangkang di hadapannya. Wintara meng-

hentakkan kedua kakinya, maka sebentar saja tubuh-

nya melesat berputar di ruangan itu. Sambil menyerin-

gai, Nyi Sekar Dayang Kunti melancarkan tendangan 

ke atas.... 

Dees! 

Wintara tidak dapat menghindari tendangan yang 

berkelebat demikian cepatnya.... Tubuh itu terlempar 

ke bawah berdegum di lantai.... Dirasakan tulang 

punggungnya remuk.

Sosok tubuh bugil itu terus memburu menukik ke 

bawah. Sebelah telapak tangannya siap melancarkan 

hantaman. Sebelum hantaman itu mengenai, Wintara


berguling ke samping.

"Sekar Dayang Kunti...! Hentikan...!" Terdengar su-

ara seorang perempuan membentak.

Nyi Sekar Dayang Kunti menghentikan serangan-

nya. Ia mengarah ke arah suara. Tidak ada sosok ma-

nusia di sana.... Kecuali seberkas sinar yang amat me-

nyilaukan. Orang-orang yang berada di luar losmen 

menjadi sangat takut.

"Kau telah melanggar perjanjian, Sekar...!" Sinar 

menyilaukan itu berkerlip-kerlip.

"Maaf, Nyi.... Aku terpaksa.... Dendam ku belum 

terlaksana, tapi mereka mencoba menghalangi...!" kata 

Nyi Sekar Dayang Kunti.

"Apanya yang belum terlaksana! Orang itu telah 

menyerap racun kusta mu.... Dia pasti mati! Ayo, Se-

kar! Kau harus menjadi dayang-dayang ku...!" Sinar itu 

nampak lebih menyilaukan. Wintara menutupi kedua 

matanya dengan lengan.

"Tidak, Nyi.... Aku tidak mau jadi dayang-dayang

mu! Sekarang aku cantik, mulus tidak ada cacat bekas 

penyakit kusta.... Aku akan tetap di sini...!" jawab Nyi 

Sekar Dayang Kunti.

"Makhluk terkutuk! Tidak sadarkah semua kea-

daan yang ada padamu itu titipan...?"

"Ku mohon padamu, Nyi.... Biarkanlah aku...!" Nyi 

Sekar Dayang Kunti berlutut. Ia tidak perduli tubuh-

nya yang bugil dipandangi orang banyak, meskipun


orang-orang itu hanya melihat dari kejauhan.

"Kau tidak bisa menentang kehendakku, Sekar...! 

Bersiaplah...!" Sinar menyilaukan itu berputar-putar di 

udara. Lalu melesat ke arah Wintara yang masih me-

nutupi kedua matanya dengan lengan. Sinar yang ber-

putar-putar di udara mendadak berhenti di atas kepala 

Wintara. Semua orang tertegun tatkala sinar itu masuk 

menembus melalui ubun-ubun kepala.

Mendadak saja Wintara bangkit berdiri; dengan ke-

dua mata yang terbelalak. Langkahnya berat menuju 

Nyi Sekar Dayang Kunti berlutut menghadapinya. Be-

gitu Wintara mendekati, Nyi Sekar Dayang Kunti me-

lancarkan serangan.... 

Buuug! 

Pukulan itu menghantam dada Wintara.

"Bagus kau berani memukul ku, Sekar.... Bersiap-

lah! Aku akan menjemput mu...! Dan akan menghu-

kum mu di sana...!" kata Wintara. Suara itu jelas bu-

kan suaranya, tapi suara seorang perempuan yang be-

rasal dari sinar yang amat menyilaukan tadi.

Kedua lengan kekar Wintara mencengkeram erat 

kepala Nyi Sekar Dayang Kunti, lalu mulutnya yang 

menganga mendekat seperti hendak menelan kepala 

itu bulat-bulat.

"Jangan, Nyi.... Jangaaaaaaaaaaaaan...!" Nyi Sekar 

Dayang Kunti memekik hebat ketika mulut Wintara 

yang menganga melekat di batok kepalanya. Tubuh


bugil itu kelojotan bergoser-goser. Teriakannya keras 

memenuhi ruangan itu. Buah dada serta auratnya 

membentang ke mana-mana. Sampai akhirnya tubuh 

bugil itu terkulai lemas terlentang di lantai.

Wintara tersentak ketika sinar menyilaukan keluar 

dari kepalanya. Ia seperti baru bangun dari tidurnya. 

Rasa sakit dan ngilu yang menggeram dalam tubuhnya 

hilang seketika. Di bawah kedua kakinya terlentang 

sosok bugil.

Lengannya cepat menutupi kedua matanya saat si-

nar menyilaukan itu terbang mendekati.

"Terima kasih, anak muda.... Aku telah meminjam 

ragamu untuk melumpuhkan perempuan itu… Aku ti-

dak menyangka daya tahan tubuhmu begitu kuat.... 

Tadi aku mengira kau akan mati, makanya aku mem-

pergunakan ragamu.... 

Kalau saja manusia biasa, tentunya ia akan mati 

saat aku keluar dari tubuhnya.... Karena inti tenaga 

yang tersalur tadi energi panas, bahkan lebih panas

dari inti api.... Kau boleh mempergunakan inti api itu, 

anak muda! Aku akan datang setiap kau betul-betul 

membutuhkannya, sebut saja namaku sambil seme-

di.... Nyi Dayang Kunti Naga.... Aku pasti datang mem-

bantu.... Nah, sekarang aku pergi dulu.... Sampai ke-

temu lagi anak muda!" Sinar menyilaukan itu sirna

menjelma asap keputihan yang kemudian menghilang 

sama sekali.


Wintara masih tertegun, mulutnya terasa terkunci. 

Orang-orang yang bersembunyi di balik tembok mulai 

bermunculan satu per satu. Para wanita penghibur 

berlarian masuk ke dalam kamar. Semua orang ramai 

memenuhi ruangan itu.

Mayan Danang turun dari anak tangga sambil 

menggaruk-garuk tubuhnya yang terasa gatal. Ia ber-

lari cepat ke arah Wintara sepuluh jarinya tidak ber-

henti menggaruk. Wintara menatap aneh. Darah mulai 

keluar dari setiap titik lobang pori-pori. Kulitnya-mulai 

mengeriput. Lama-kelamaan nampak seperti meleleh 

menjijikkan.

Wintara mundur ketika Mayan Danang yang mulai 

kehilangan bentuk mendekatinya. Cepat ia melompat 

ke atas dan masuk ke salah satu kamar yang masih 

terbuka. Kemudian ia turun lagi dengan membawa se-

lembar kain seprei. Dengan gerakan yang sangat cepat 

ia membungkus seluruh tubuh Mayan Danang... Sete-

lah itu ia menerobos orang-orang yang berkerumun di 

ruangan itu sambil membawa tubuh Mayan Danang 

kembali ke rumahnya.

Orang-orang masih memenuhi ruangan losmen. 

Tubuh yang aduhai, mulus, putih.... Dan.... Tiba-tiba 

saja orang-orang yang berada di situ membelalakkan 

mata. Tubuh mulus itu berangsur-angsur berubah. 

Kulit yang mulus mulai mengeriput.... Dagingnya yang 

gempal menciut. Warna kulitnya yang putih berubah


kian memerah.... Mencair. Wajah cantik mempesona 

berobah kembali asal.... Mereka memekik ketika wajah 

itu mulai nampak. Wajah yang selama ini paling dita-

kuti.... Wajah Narsiah putri tunggal Ni Luh Wedas. 

Kontan semuanya berlarian pating serabut takut kena 

ketularan penyakit itu. Dalam sekejap losmen itu men-

jadi sepi, tinggallah tubuh busuk Narsiah terlentang 

tanpa nyawa.

*

* *

Mayan Danang mengerang-ngerang kesakitan. Tu-

buhnya masih terbungkus dengan kain sprei. Ki Lurah 

Sentanu dan Kunta Danang menatap penuh iba. Win-

tara yang berdiri di situ tidak dapat berbuat apa-apa. 

Semuanya telah terjadi. Tangis sang ayah dan adiknya 

meledak saat Mayan Danang menghembuskan nafas-

nya....

"Bakar rumah Ki Lurah.... Bakar!" Tiba-tiba saja 

terdengar suara orang-orang kampung Rawa Kandar 

meluruk memasuki halaman Ki Lurah Sentanu.

"Desa ini harus bersih dari penyakit kutukan... Ayo 

Bakar...!" Semua orang sudah membawa obor yang 

menyala.

"Tunggu apa lagi! Ayo bakar!" Mereka melempari 

rumah itu dengan obor.


Ki Lurah Sentanu melihat seorang pemuda me-

mimpin orang-orang kampung. Pemuda itu mirip Par-

to! Tapi yang jelas dia bukan Parto! Parto telah tewas! 

Ki Lurah Sentanu dan Kunta Danang tidak ingat apa-

apa lagi. Tubuh mereka terasa melayang terbang. Dan 

mereka masih sempat merasakan seseorang membawa 

mereka menerobos pintu belakang. Siapa lagi kalau 

bukan Wintara yang membawa tubuh mereka dari jila-

tan-jilatan api yang mulai membakar habis rumahnya.

Mereka dapat melihat jelas api berkobar-kobar 

menjilati tiang-tiang rumah. Ki Lurah Sentanu bersa-

ma Kunta Danang menyaksikan sampai tuntas ru-

mahnya menjadi arang. Dari kejauhan mereka masih 

dapat melihat asap hitam membumbung tinggi ke ang-

kasa. Mereka berdua berdiri tak bergeming sedikit pun. 

Air mata Ki Lurah Sentanu mengalir.... Dan di saat ia 

menoleh ke belakang, sosok Wintara sudah hilang entah ke mana....




                           T A M A T










Share:

0 comments:

Posting Komentar