..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 11 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE NERAKA KARANG HANTU

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE NERAKA KARANG HANTU

 NERAKA KARANG HANTU

Oleh D. Affandi

Cetakan Pertama

Penerbit Mutiara, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Karya : D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 005 :

Neraka Karang Hantu



SATU


Rimba belantara Bukit Manoreh masih

berselimut kabut tebal di pagi itu. Hujan deras

yang turun sejak dua hari yang lalu, membuat

tanah di sekitar perbukitan menjadi longsor di

sana sini.

Tiada terdengar kicauan burung-burung,

tiada pula suara lenguh terompet gajah. Hanya

desau angin dan gemuruh suara hujan yang tiada

henti. Udara terasa dingin menggigit, tanah

dataran di sekitarnya semakin lembab. Hutan

Rimba Manoreh memang tampak memberi kesan

angker pada siapa pun. Akan tetapi biar pun

begitu, agaknya hal itu tidak berlaku bagi kedua

orang ini.

Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya

mereka terus berlari menuruni lekuk lengkung

tanah-tanah berbukit di bawah pohon-pohon yang

telah berumur ratusan tahun

Beberapa saat kemudian tatkala mereka

sampai di sebuah bukit paling tinggi kedua orang

ini hentikan langkahnya. Sekilas dua orang


perempuan berbadan katai ini memandang

berkeliling. Suasana sunyi sepi! Sejurus mereka

saling berpandangan sesamanya. Ada rasa saling

curiga membayang di wajah kedua orang ini.

Wajah perempuan katai berjubah kulit macan tiba-

tiba saja memucat. Kemudian tanpa basa basi lagi

tubuh yang hanya tujuh puluh senti itu melesat ke

atas pohon, kemudian berloncatan bagai seekor

tupai dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya.

Dalam waktu sekejab mereka sudah berlalu jauh

meninggalkan Bukit Manoreh.

Kini sampailah mereka di sebuah dataran

rendah lainnya. Dataran rendah ini banyak di kenal

orang sebagai Rawa Kematian. Tanah yang

luasnya ribuan tombak ini sesungguhnya

merupakan tanah gambut yang apabila satu

sisinya tersentuh oleh kaki makhluk apapun

mengakibatkan timbulnya getaran di sana sini.

Tidak ubahnya sebuah ombak yang saling

menyambung tiada henti. Kalau hal itu tentu

makhluk buas dan reptil lainnya yang mendiami

dasar rawa-rawa itu sudah dapat di pastikan

segera bangkit dan menyerang makhluk apa saja

yang berada di atasnya. Agaknya mereka ini juga

tahu akan bahaya yang mengancam mereka andai


keduanya dengan nekad melakukan

penyeberangan, terbukti sejak mereka melompat

turun dari sebuah pohon terakhir orang ini masih

saja tercenung di pinggiran rawa-rawa itu.

"Sampai mampus sekalipun kalau kita cuma

termenung di sini tak bakal sampai ke seberang

sana Jola...!" rutuk salah seorang dari mereka

yang bernama Losi. Perempuan katai yang satunya

nampak terdiam, kedua bola matanya yang besar

sebelah dan membangkitkan rasa ciut bagi lawan-

lawannya nampak menatap lurus ketengah-tengah

rawa.

"Lagi pula aku tak percaya kalau rawa-rawa

ini dapat membahayakan kita!" sambung si Katai

Losi mencemooh.

"Mulutmu terlalu sombong, Kakang Mbok.

Aku pernah sampai di sini belasan tahun yang lalu.

Saat itu murid-murid dari berbagai perguruan

mencoba menyeberangi rawa ini. Akan tetapi

pemandangan yang terjadi sungguh sangat

mengerikan sekali. Ratusan orang lenyap tanpa

bekas, mereka terkubur di dalam rawa penghisap

di tengah-tengah sana. Atau mungkin juga jasad

mereka terkubur di dalam perut makhluk penghuni

rawa-rawa ini...!" kata si Katai Jola terkenang


masa lalu. Si Katai Losi kerutkan kening,

seingatnya saat itu dia memang belum pernah

bertemu dengan saudara kandungnya Jola. Karena

memang dengan tekunnya dia mempelajari ilmu

sakti yang diberi nama Mulih Pati yang terkenal

dahsyat. Itulah sebabnya meski pun di dalam

perguruan Sangga Langit, dia merupakan murid

paling tua, akan tetapi malang melintang di rimba

persilatan dia tergolong masih miskin pengalaman,

walaupun begitu dalam hal sepak terjangnya

menghadapi lawan-lawannya sudah barang tentu

Jola masih jauh di bawah tingkatannya. Apalagi

kini dengan ilmu baru yang sangat di yakininya itu.

Mulih Pati! Sebuah ilmu langka yang hampir lima

tahun terakhir menggetarkan kaum persilatan

bagian Selatan. Siapa yang tak kenal si Katai Jola

dan Losi. Tokoh-tokoh persilatan sering merasa

enggan berurusan dengan mereka ini. Dua orang

dedengkot persilatan golongan setan tak segan-

segan membunuh lawan-lawannya hanya dengan

sekedipan mata saja. Tak perduli apakah lawan di

pihak yang benar apalagi di pihak yang salah.

Dengan ilmu Mulih Pati, yang dapat membuat layu

pohon kayu sebesar apa pun, beratus-ratus jiwa


telah melayang di tangannya hanya dengan sekali

sentil.

Kalau hari ini kedua perempuan katai ini

sampai di Rawa Kematian yang berada di wilayah

Bukit Manoreh. Hal ini adalah semata-mata hanya

demi menemukan kembali Pedang Pusaka Belibis

Sakti milik perguruan mereka yang telah di curi

oleh si maling arif yang bernama Bosa. Kini

kembali pada si Katai Jola dan Losi yang sudah

mulai mencak-mencak tak sabar melihat tingkah

adiknya yang cuma duduk ongkang-ongkang di

pinggiran rawa-rawa itu,

"Jola! Kalau begini terus aku sudah tak kanti

lagi. Mestinya kau juga harus turut memikirkan

bagaimana caranya agar kita dapat sampai ke

tempat kediaman maling Bosa...!" bentak Losi

kesal.

"Aku harus berbuat apa Kakang Mbok! jalan

satu-satunya yang paling tepat dan tidak

membahayakan keselamatan kita hanyalah dengan

cara menunggu Si Maling Bosa keluar dari

rumahnya di tengah rawa ini. Atau setidak-

tidaknya kita harus mengetahui jalan rahasia yang

sering di lewati maling Bosa setiap harinya...!" Losi

agaknya kurang setuju dengan keputusan yang


diambil oleh adiknya, maka dengan cepat dia

menyela:

"Selamanya aku paling tak menyukai

pekerjaan yang bertele-tele. Gagasan yang kau

katakan itu tak lebih merupakan sebuah

kepengecutan dari seorang yang berjiwa rendah.

Aku tak menyukainya...!" Si Katai Jola tersenyum

getir, dalam hati benar dia mengakui akan

keberanian yang dimiliki oleh kakaknya. Akan

tetapi keberanian yang gegabah tanpa

memperhitungkan untung ruginya, biasanya selalu

berakibat fatal.

"Kakang Mbok! Berpikir sebelum bertindak

hal itu malah lebih baik daripada sekedar menuruti

hawa nafsu...!" Si Katai Losi yang hanya memiliki

satu mata ini nampak menjadi berang, kedua

rahangnya terkatup rapat dan menimbulkan suara

bergemeletukan.

"Huh. Aku tak butuh khotbahmu, sekarang

engkau mau ikut denganku atau cuma sekedar

ingin menonton dari pinggir rawa-rawa ini?" Si

Katai Losi menyela marah. Agaknya saudara

seperguruan yang satu ini termasuk orang yang

sangat sabar melihat kemarahan kakak

seperguruannya dia masih bisa bersikap tenang


tenang saja. Dengan suaranya yang selalu

terdengar lirih dia pun berucap:

"Aku tidak mengatakan tidak ikut. Kalau aku

berniat demikian tentu sudah sejak dari perguruan

kita hal itu kulakukan. Tapi sebelum aku dan

engkau memutuskan untuk menyeberangi tanah

hidup ini, alangkah lebih baik kalau engkau melihat

dulu apakah tempat ini benar-benar berbahaya

seperti yang pernah kulihat dulu atau tidak...!"

Usai berkata begitu, si Katai Jola memungut

sebuah batu besar yang terdapat tidak begitu jauh

dari tempat dia duduk. Setelah menimang-nimang

batu ditangannya itu untuk beberapa saat

lamanya. Si Katai Jola langsung melemparkan batu

tersebut ke arah rawa.

"Buk!"

"Blung!" Air disekitar tanah gambut itu

beriak seketika. Tak terlihat reaksi apapun dari

dalamnya. Si Katai Losi hampir saja membuka

mulutnya untuk melabrak adiknya, namun

akhirnya urung begitu dia melihat air di dalam

rawa bergolak, kemudian bermunculan makhluk-

makhluk berbisa yang jumlahnya mencapai

puluhan ribu ekor. Binatang-binatang itu dengan


ganas menyerang batu yang sudah tenggelam di

dasar rawa berkedalaman hampir lima meter.

"Huh! Benar-benar makhluk keparat yang

sangat mejijikan...!" Serunya memandang jijik.

"Nasib kita tidak terbayangkan andai kita

nekad melintasi rawa-rawa terkutuk ini, Kakang

Mbok...!" Si Katai Jola menyela. Perempuan yang

bernama Losi itu mengerutkan alisnya yang sudah

mulai tampak memutih di sana-sini. Lalu dia

berucap:

"Kita harus mencari jalan keluar! Dan andai

saja pedang Pusaka Belibis Sakti itu dapat kurebut

kembali dari tangan Maling Bosa, hal itu tidak akan

mempengaruhi maksudku untuk membunuhnya..!"

ucap si Katai Losi sangat geramnya.

"Untuk itulah aku sedang memikirkan jalan

keluarnya!"

"Sedari tadi hanya itu saja yang kau

katakan, tapi mana hasilnya...?!" Si Katai Jola

usap-usap rambutnya yang tebal namun sudah

memutih keseluruhannya. Sesungguhnya dia

sudah sangat kesal dengan ulah saudara

seperguruannya itu, akan tetapi dia tidak punya

keberanian untuk membantah terkecuali mengurut

dadanya yang kerempeng.


"Kakang Mbok! Dalam masalah ini kita tak

bisa bertindak tergesa-gesa. Maling Bosa bukanlah

orang yang bodoh. Mungkin saja dia sengaja

memancing kita untuk meluruk ke sarangnya.

Kalau kita tak sabar menunggu, bisa mungkin ini

merupakan satu kesempatan baginya untuk

memusnahkan kita tanpa ambil resiko apa pun...!"

jelas si Katai Jola secara panjang lebar. Si Katai

Losi terdiam untuk beberapa saat lamanya,

kemudian dengan suara lirih dia menyahut:

"Kau benar juga! Kalau begitu mari kita cari

jalan lainnya, Maling Bosa sudah pasti memiliki

jalan rahasia untuk sampai ke rumahnya di tengah

rawa-rawa itu...."

"Kalau begitu mari kita mulai!" Si Katai Jola

menyahuti. Selang beberapa saat kemudian kedua

perempuan katai itu telah berkelebat pergi

mengelilingi pinggiran Rawa Kematian.

* * *



DUA



Maling Bosa atau yang lebih dikenal dengan

julukan si Maling Arif Bosa, siang itu nampak

sedang asyik menikmati sebumbung tuak di salah

satu kedai makanan yang terletak di sebuah desa

yang bernama Hutan Panjang. Sementara itu di

kanan kirinya duduk pula beberapa orang laki-laki

berpakaian gembel. Mereka ini sesungguhnya

Ketua Pengemis Partai Tenggara, yang juga

merupakan sahabat Maling Bosa selama hampir

belasan tahun terakhir. Belakangan ini ketiga

orang itu memang kerap kali mengadakan

pertemuan, terlebih-lebih dengan semakin

banyaknya tuduhan dari berbagai partai persilatan

berkenaan dengan hilangnya senjata pusaka milik

perguruan mereka.

Karena rata-rata, ketua dari berbagai

perguruan yang merasa kehilangan lebih

cenderung menuduh bahwa Maling Bosalah yang

telah menjadi biang keladi dalam berbagai aksi

pencurian itu. Sudah barang tentu Arya Pasangran

yaitu ketua Pengemis Partai Tenggara tidak ingin


membiarkan sahabat karibnya mengalami berbagai

kesulitan. Arya Pasangran menyadari meski pun

sahabatnya si Maling Bosa, sesuai julukannya

memang benar merupakan seorang pencuri ulung.

Akan tetapi ruang lingkup kegiatannya hanya

berkisar mencuri harta benda para saudagar kaya

yang teramat pelit dan tidak mau ambil peduli

dengan penderitaan rakyat kecil. Lebih dari itu,

sebagaimana kebiasaannya setiap hasil

pencuriannya selalu di bagi-bagikan pada kaum

rakyat jelata. Itulah sebabnya mengapa kaum

persilatan memberi julukan si Maling Arif Bosa.

Kalau kini hampir semua ketua berbagai

perguruan mengacungkan terunjuk dan menuduh

Maling Bosa lah yang telah melakukan berbagai

aksi pencurian senjata perguruan, sebagai sahabat

terdekat tentu Arya Pasangran akan membelanya

mati-matian. Demikianlah sambil menikmati tuak

yang enak dan wangi mereka terus bercakap-

cakap.

"Kakang Bosa! Hari-hari terakhir ini berbagai

partai perguruan nampaknya cenderung menuduh

bahwa engkaulah yang telah mencuri pusaka

perguruan mereka. Meski pun aku percaya bahwa

hal itu bukan merupakan pekerjaanmu! Akan


tetapi bagaimana mungkin mereka bisa percaya?"

Kata ketua pengemis partai Tenggara coba

menasihati. Si Maling Bosa yang berbadan gemuk

dan berkumis tebal itu, tampak mengerutkan

alisnya. Dalam hati dia tak habis bertanya-tanya,

mengapa justru lenyapnya senjata-senjata pusaka

milik berbagai perguruan di kaitkan dengan

dirinya. Padahal selama ini belum pernah sekali

pun mencuri pusaka lambang kebesaran perguruan

manapun. Kalau mencuri harta benda milik para

saudagar pelit memang iya! Akan tetapi hasilnya

bukanlah untuk dirinya, harta curian itu selalu dia

bagikan pada rakyat yang benar-benar tidak

mampu. Jika sekarang ini tokoh-tokoh persilatan

menuduh bahkan mencari dirinya untuk di bunuh

dengan dasar alasan hilangnya pusaka-pusaka

yang bagi dirinya sendiri tak ada guna. Hal ini

benar-benar sangat keterlaluan sekali! Dia harus

menerangkan duduk persoalan yang sebenarnya,

bahkan kalau perlu dia pun akan turun tangan

mencari siapa sebenarnya yang telah melakukan

pencurian pusaka-pusaka tersebut!

"Maksudmu aku harus mengakui semua

tuduhan mereka walau yang sesungguhnya aku

tidak tahu menahu dengan berbagai pusaka yang


tiada guna itu...?" Si Maling Bosa menyela setelah

beberapa saat lamanya terdiam dalam

lamunannya. Arya Pasangran gelengkan kepala,

kemudian dengan sangat berhati-hati dia

bergumam.

"Maaf Kang! Jangan salah sangka. Bagiku

apa pun, yang akan terjadi Perkumpulan Kaum

Partai Pengemis Tenggara, tetap berada di

pihakmu!" Kata Arya Pesangran. Kemudian dengan

lebih berhati-hati lagi dia menyambung:

"Tapi menurut pendapatku, alangkah lebih

baik lagi jika Kakang tidak terlalu sering muncul di

dunia ramai sehingga perse-lisihan paham dapat di

hindari...!" Menden-gar ucapan Arya Pasangran

memerah lah wajah si Maling Bosa, di tatapnya

wajah Ketua Perkumpulan Partai Pengemis

Tenggara lekat-lekat. Seolah dia tak percaya de-

ngan apa yang baru saja di dengarnya.

"Maksudmu aku haru menetap di Rawa

Kematian? Huh! Sekali pun nyawaku harus

melayang, aku tak akan bertindak sepengecut

itu...!" dengus si Maling Bosa dengan mata

melotot. Mengetahui sahabat karibnya nampak

sangat tersinggung karena salah pengertian,

cepat-cepat Arya Pasangran meralat ucapannya:


"Ee... maksudku begini Kakang! Semua itu

demi menjaga nama baik Kakang Bosa sendiri...!"

Belum lagi Arya Pasangran usai dengan kata-

katanya, tiba-tiba Maling Bosa tergelak-gelak,

matanya yang memang sipit itu bertambah

menyipit.

"Adi Pasangran! Nama baik apakah yang kau

maksud, bukankah aku sendiri seorang maling?

Kalau sudah maling, mana ada yang baik!" Si

Maling Bosa mencela.

"Kakang tak mengerti maksudku...!" "Tak

usah kau jelaskan aku pun sudah tahu Arya

Pasangran! Kau fikirlah sendiri. Kalau aku menuruti

nasehatmu, pandangan tengik-tengik yang

kehilangan pusaka itu sudah barang tentu menjadi

lain. Berarti mereka mengganggap bahwa

sangkaan mereka itu benar adanya, aku ngumpet

mereka lantas menuduhku bahwa memang aku

malingnya...!"

"Jadi apa rencana Kakang selanjutnya...?"

tanya Arya Pasangran mengalah. Si Maling Bosa

terdiam untuk beberapa saat lamanya, dielusnya

kumis tebal yang tak pernah terawat itu berulang-

ulang, kemudian:


“Cgluuk... cgluuk... cgluu...!" Dengan tiga

kali teguk tuak di dalam bumbung bambu yang

tinggal setengah itu pun tuntas. Kedua bola mata

Maling Bosa kini sudah semakin bertambah merah.

Akan tetapi meski pun dia sudah menghabiskan

lebih dari em pat bumbung tuak, tapi masih belum

ada tanda-tanda dirinya mulai mabuk.

"Untuk diriku sendiri aku telah memikirkan

jalan yang terbaik...!" kata si Maling Bosa penuh

keyakinan.

"Maksudmu...?" tanya Arya Pasangran

penuh keingin tahuan.

"Aku akan menjumpai mereka-mereka yang

kehilangan pusakanya, kemudian aku jelaskan

duduk persoalan yang sebenarnya...!" Ketua Partai

Pengemis Tenggara itu menyadari tak akan ada

gunanya menasihati si Maling Bosa yang keras

kepala. Untuk menghindari suasana yang tidak

enak, akhirnya dia cuma mampu geleng-geleng

kepala.

Sementara itu tanpa mereka sadari sudah

sejak tadi ada orang lain yang juga berada di kedai

itu ikut mendengarkan pembicaraan mereka.

Mengetahui semuanya sudah jelas, kini orang itu

dengan langkah mantap nampak berjalan


menghampiri si Maling Bosa dan dua kawannya

dari partai pengemis. Begitu sampai di depan

ketiga orang ini, langsung saja si gadis

membentak:

"Pencuri Bosa berlumur dosa! Didunia ini

mana ada seorang maling yang mau mengakui

perbuatannya. Baru saja engkau tadi malam

menyantroni Perguruan Nganti Mulih dan mencuri

Pusaka Keris Kencana, masihkah engkau mau

mungkir...!" Gadis itu menyela dengan sikap

menuduh! Bagai disengat kala jengking, bukan

main terperanjatnya si Maling Bosa dan dua orang

Ketua Partai Pengemis Tenggara ini. Meski pun dia

seorang pencuri yang sangat lihai, namun di tuduh

sedemikian rupa oleh seorang gadis yahg masih

sangat muda belia. Di samping tuduhan itu pun

tidak beralas-an, maka marahlah si Maling Bosa.

"Bocah! Melihat tampang dan nama

perguruanmu saja baru kali ini, datang-datang kau

menuduhku dengan kata-kata yang tak patut oleh

seorang gadis secantik engkau...!" kata si Maling

Bosa berusaha meredam kemarahannya.

Sebaliknya si gadis malah bertolak pinggang.

"Maling celaka masih juga kau mungkir! aku

tak butuh sanjungan dari mulutmu yang busuk itu.


Sekarang kembalikan Keris Pusaka milik perguruan

kami setelah itu kau potonglah sebelah tanganmu,

mudah-mudahan aku tidak akan memperpanjang

persoalan ini...!" Wajah Maling Bosa berubah

kelam membesi, kemarahannya memang sudah

sampai pada puncaknya. Biar pun dia seorang

pencuri ulung, baginya lebih baik diberaki

wajahnya dari pada dimaki sedemikian rupa oleh

seorang gadis yang masih ingusan.

"Bocah! Lancang sekali mulutmu! Tidakkah

kau dengar tadi bahwa aku sendiri merasa di fitnah

dengan hilangnya berbagai pusaka dari perguruan

Setan Belang?” Bentak si Maling Bosa saking

kesalnya.

"Maling terkutuk! Agaknya aku harus

memaksamu baru kemudian engkau mau

mengakui semua perbuatan busukmu...!" Tukas si

gadis kesal, dan tak begitu lama kemudian dia

sudah melolos sebilah pedang yang sangat tajam.

Arya Pasangran yang sejak tadi diam saja, kini

demi mengetahui gelagat yang kurang baik

langsung saja beranjak dari tempatnya, kemudian

langsung melangkah ke hadapan si gadis. Setelah

menjura hormat dia langsung bertanya:


"Nona! Siapakah gerangan nona ini, datang-

datang langsung marah-marah begini. Bukankah

anda sebaiknya bertanya dulu dan menjelaskan

persoalan yang sebenarnya...!" ucapnya dengan

nada kurang senang!

Si gadis sejenak memandang sinis pada

Ketua Perkumpulan Pengemis Tenggara. Begitu

mengetahui siapa adanya orang yang sedang

dihadapinya, gadis berpakaian kuning gading itu

pun tersenyum mencemooh.

"Huh! Engkau rupanya Ketua Perkumpulan

Gembel dari Tenggara! Minggir! Engkau tak perlu

ikut campur...!" Dengus si gadis sambil

memandang remeh. Arya Pasangran seorang laki-

laki setengah baya yang terkenal sangat penyabar

walaupun begitu di rendahkan oleh seorang gadis

yang agaknya memang sedikit sinting sampai saat

itu masih dapat menahan kesabarannya. Dengan

suara masih merendah dia kembali bertanya:

"Nona, jelaskan dulu siapa dirimu kemudian

kita bisa bersama-sama mencari siapa sebenarnya

yang telah mencuri senjata pusaka milik

perguruanmu itu...!"


"Bangsat! Pencurinya saja sudah jelas-jelas

berada di pelupuk mata, masih juga kau berpura-

pura...?"

"Bocah semakin kurang ajar saja mulutmu,

gurumu Palingga saja masih menaruh hormat

padaku, engkau sebagai muridnya tidak punya

peradatan! Sangat disayangkan Perguruan Nganti

Mulih yang terkenal itu mempunyai seorang murid

berpandangan sepicik engkau...!" Si gadis yang

sesungguhnya bernama Dewi Sekar Tanjung ini

beberapa saat lamanya sempat di buat

terperangah, dia tak pernah menyangka kalau

Ketua Perkumpulan Partai Pengemis Tenggara

mengenal nama gurunya. Meskipun begitu, si

gadis yang memang keras kepala itu mana mau

mengalah begitu saja. Meskipun pada akhirnya dia

tahu bahwa Ketua Pengemis Partai Tenggara ini

sesungguhnya merupakan sahabat baik gurunya

sendiri.

"Ketua Partai Pengemis Tenggara!” Kata

Dewi Sekar Tanjung dengan sedikit lirih. Arya

Pasangran gelengkan kepalanya berulang-ulang.

"Tidak cah ayu! Sebagaimana hubunganku

dengan Palingga gurumu, dengan saudara Bosa

aku pun bersahabat sudah sangat lama, aku dapat


memastikan bahwa Kakang Bosa tak mungkin mau

mencuri pusaka milik perguruan Nganti Mulih,

sebab Kakang Bosa masih bersahabat dengan

gurumu!" Ujar Arya Pasangran menjelaskan.

* * *


TIGA


Demi mendengar keputusan Arya

Pasangran, semakin bertambah gusarlah Dewi

Sekar Tanjung di buatnya.

"Hmmm... Kalau engkau memang berniat

melindungi maling terkutuk itu jangan kau

salahkan aku! Hari ini juga segala pengemis hina

akan kuenyahkan dari permukaan bumi ini,

Sheaat...!" Dengan pedang terhunus Dewi Sekar

Tanjung langsung menerjang .Arya Pasangran dan

seorang kawannya. Pedang di tangan murid

perguruan Nganti Mulih itu menderu dan

berkelebat-kelebat menyambar ke berbagai arah

dari pertahanan yang rawan. Ruangan di dalam

kedai tuak itu sebentar saja menjadi berantakan.

Sementara itu mengetahui Arya Pasangran dan

kawannya sudah turun tangan, sudah barang tentu

si Maling Bosa yang sesungguhnya masih

merupakan tokoh persilatan golongan putih tidak

mau main keroyokan. Apalagi lawan yang mereka

hadapi itu sesungguhnya masih merupakan anak

murid sahabatnya sendiri.


Pertarungan sengit itu pun dalam waktu

Sekejab telah mencapai belasan jurus. Arya

Pasangran dan kawannya Luki Denta dalam

menghadapi serangan si gadis kini telah

mempergunakan jurus Pengemis Meminta

Sedekah. Akan tetapi jurus-jurus pedang yang di

mainkan si gadis bukanlah jurus-jurus

sembarangan. Bidadari Menyergap Pengintip itu

adalah sebuah jurus pedang yahg intinya saja

terdiri dari sembilan bagian. Jurus ini dulu pernah

menggegerkan dunia persilatan ketika pada jaman

jayanya Palingga, yaitu ketua perguruan Nganti

Mulih yang sekarang. Kini meski pun sepuluh jurus

inti "Bidadari Menyergap Pengintip" dimainkan oleh

seorang gadis yang terhitung masih sangat muda,

akan tetapi Arya Pasangran dan Luki Denta tidak

dapat memandang remeh, terlebih Dewi Sekar

Tanjung memiliki kesempurnaan dalam hal ilmu

mengentengi tubuh. Sudah barang tentu Arya

Pasangran dan Luki Denta yang bertahan dengan

tangan kosong mulai dibuat kewalahan.

Beberapa jurus di muka Arya Pasangran dan

Luki Denta mulai jatuh di bawah angin. Dewi Sekar

Tanjung agaknya sudah tidak memberi

kesempatan lagi pada ketua pertai pengemis ini,


sambil mengirimkan satu tusukan ganas dia

berteriak lantang:

"Ketua Partai Pengemis Tenggara, cabutlah

senjata kalian! Kalau tidak kalian berdua akan

menyesal seumur-umur!"

"Kami tidak mempunyai permusuhan! Untuk

itu kedua tangan kami ini pun sudah dapat kami

pergunakan sebagai senjata...!" tukas Arya

Pasangran coba berkelit dari tusukan pedang

lawannya. Tubuh Arya Pasangran melesat ke

udara, sementara itu dengan senjatanya berupa

sebuah toya, Luki Denta mencoba memapaki

serangan pedang lawannya. Dengan gerakan

memutar Kendi Membalikkan Isi. Toya di tangan

Luki Denta menderu dan menimbulkan suara

bercuit-an. Senjata di tangannya terus berputar

ber-ubah laksana puluhan baling-baling. Tatkala

pada satu saat, kedua orang itu sudah tidak

mungkin lagi dapat menahan senjata masing-

masing yang terus meluruk sementara yang

lainnya terus berputar.

"Crak!"

"Trang! Trang!"

Percikan bunga api berpijar, Luki Denta

terpelanting bebarapa tombak dengan tubuh


menabrak segala perabotan kedai yang ada di

sekitarnya. Secepat dia tercengkang maka secepat

itu pula dia bangkit kembali. Sementara itu Dewi

Sekar Tanjung yang cuma tergetar beberapa saat

dengan tangan bagai kesemutan segera memapaki

serangan tangan kosong yang dilancarkan oleh

Arya Pasangran.

Ketika Arya Pasangran bermaksud lancarkan

satu totokan pada bagian leher Dewi Sekar

Tanjung, gadis itu nampak tergagap, dia mencoba

untuk mengkelit serangan tersebut. Akan tetapi

jemari tangan Arya Pasangran bagai bermata saja

terus memburunya. Dalam keadaan terjepit seperti

itu, Dewi Sekar Tanjung kiblatkan pedangnya. Arya

Pasangran yang sudah hampir berhasil dengan

usahanya sempat menarik kembali tangannya. Dia

nampak gugup, akan tetapi semuanya sudah

terlambat.

"Crees!" Ketua perkumpulan Partai Pengemis

Tenggara itu menjerit tertahan, jemari tangannya

berjatuhan. bagai ranting-ranting kering ke segala

arah. Dengan cepat dia totok jalan darah.

Sementara itu Luki Denta begitu melihat ketuanya

kena di kerjain oleh gadis dari perguruan Nganti

Mulih, Dengan kemarahan yang meluap-luap dia


bermaksud menyerang Dewi Sekar Tanjung.

Mendadak terdengar suara bentakan.

"Mundur kalian semuanya!" Bersamaan

dengan suaranya, hanya dengan sekali lompat,

Maling Bosa yang sejak tadi hanya memperhatikan

pertarungan itu kini benar-sudah berhadapan

dengan Dewi Sekar Tanjung. Untuk sesaat

lamanya Maling Bosa memperhatikan gadis itu.

Dihatinya ada perasaan sesal yang terasa

menghimpit, Dia menyayangkan mengapa Palingga

yaitu Ketua Perguruan Nganti Mulih secara

serampangan saja mengutus muridnya yang

tampak kurang dewasa dalam bertindak. Kalau

saja dia tak memandang muka pada Palingga

sahabatnya itu. Sudah pasti dia tidak akan

bertindak setengah-setengah untuk menurunkan

tangan jahat. Berfikir sampai kesitu, si Maling Bosa

diam-diam menarik nafasnya yang terasa semakin

menyesak.

"Bocah! Sungguh keterlaluan sekali kau

dalam bertindak! Dia sama sekali tidak punya

urusan denganmu. Tapi kau malah bertindak

telenggas...!" kata si Maling Bosa dengan nada

suaranya tertahan. Memerahlah paras gadis itu,

kedua bola matanya mendelik dan memandang


penuh kebencian pada Maling Bosa. Kemudian

dengan bentakan tinggi melengking dia berkata:

"Maling Bosa pengecut-pengecut! Sedari tadi kau

hanya nonton kawan-kawanmu. Kini engkau malah

menuduhku bertindak telenggas, siapa suruh dia

mencampuri urusanku?" Kata Gadis berkulit putih

itu dengan sesungging senyum mengejek. Dengan

tiada peduli, lagi-lagi dengan sikap sabar si Maling

Bosa menyela.

"Kawanku itu hanya ingin kau mengerti

tentang persoalan yang sebenarnya! Lagi pula

kalau engkau menuduhku bahwa aku yang telah

mencuri keris pusaka kebesaran perguruan, hal itu

tak beralasan sama sekali...!" Dewi Sekar Tanjung

nampak mendengus begitu mendengar pengakuan

si Maling Bosa.

"Mengapa harus dia, bukan engkau saja

sekalian yang maju...!" bentak Dewi Sekar

Tanjung semakin bertambah marah.

"Aku tak punya kesalahan dengan perguruan

Nganti Mulih! Untuk apa aku melayani bocah

tengik sepertimu...?" kata si Maling Bosa mulai tak

dapat menahan kesabarannya.

"Jahanam! Maling busuk, masih juga kau

tidak mau mengakui perbuatanmu...!" Kini Dewi


Sekar Tanjung kembali menghunus pedangnya. Si

Maling Bosa nampak tersenyum sinis.

Sesungguhnya dalam gertakan pendahuluan dia

memang sudah tahu kalau ilmu pedang si gadis

bengal itu tidak dapat dibuat sembarangan, akan

tetapi Maling Bosa bukanlah seorang tokoh yang

bisa di pandang enteng. Kepandaian silatnya sudah

jelas di atas ketua perkumpulan partai Tenggara.

Atau mungkin juga setarap dengan kepandaian

yang dimiliki oleh Palingga, guru si gadis urakan

itu.

"Sudah kubilang, aku tak tahu menahu akan

hilangnya berbagai pusaka milik banyak

perguruan. lagipula aku tak membutuhkan segala

jenis harta kebesaran seperti yang diributkan

tikus-tikus comberan...!" bentak Maling Bosa

saking kesalnya.

"Kalau begitu mampuslah kau...!"

"Hiaaa...! Ciaaat...!" Dengan pedangnya

Dewi Sekar Tanjung melabrak si Maling Bosa,

segera saja maling berewokan ini pun berjumplitan

menjauh, beberapa saat kemudian tubuhnya tanpa

menimbulkan suara sudah nampak berdiri di luar

halaman kedai itu. Dewi Sekar Tanjung mengira si


Maling Bosa hendak kabur, maka dengan cepat dia

pun memburu lawannya.

"Maling keparat, jangan coba-coba

mengelabuhi aku...!" Bentak si gadis dengan

kemarahan yang meluap-luap. Melihat kenekatan

Dewi Sekar Tanjung semakin bertambah gusarlah

laki-laki berewokan ini dibuatnya.

"Budak sialan! Mengadulah pada gurumu!

Kalau kau tidak segera pergi dari hadapanku. Aku

pasti akan memenjarakanmu di Rawa

Kematian...!" ancam si Maling Bosa hilang

kesabarannya.

"Kentut busuk! Kau penjara di neraka

sekalipun siapa takut?" Dewi Sekar Tanjung

menggerendek. Sebentar kemudian dia telah

melakukan serangan-serangan gencar kembali.

Pedang ditangannya bergerak sebat, dengan ilmu

mengentengi tubuh yang sudah mencapai tarap

sempurna, tubuhnya berkelebat dengan cepatnya.

Meskipun begitu, Maling Bosa adalah seorang

tokoh persilatan yang sudah kenyang makan asam

garam dunia persilatan. Apalagi sebelum dulu

mereka mengikat tali persahabatan dengan

Palingga, dia pernah bentrok dengan laki-laki yang

merupakan guru si gadis. Sedikit banyaknya tentu


dia sudah dapat membaca permainan pedang

lawannya. Meskipun tusukan dan sabetan pedang

di tangan lawan terkenal cepat dan ganas, akan

tetapi si Maling Bosa dengan begitu mudahnya

dapat mengelakkan setiap serangan. Menghadapi

kenyataan itu mendidihlah darah si gadis. Kini dia

semakin meningkatkan permainan pedangnya.

Tubuhnya berkelebat laksana kilat, dalam waktu

sekejap si Maling Bosa sudah terkurung rapat.

Agaknya si gadis yang sangat menggiurkan itu

telah mengerahkan segenap kemampuannya.

Sejauh itu si Maling Bosa dengan masih

mempergunaan jurus Maling Menidurkan Majikan

nampak berkelit kian kemari. Hingga sampai pada

puncaknya, laki-laki itu balik lancarkan serangan.

Dengan mempergunakan ilmu totokan si Jari Maut

dia bermaksud segera merobohkan si gadis tanpa

melukai tubuhnya. Sekali lagi tubuhnya

berkelebat-kelebat, secepat kilat dengan satu

sentilan yang sangat pelan saja.

"Tess!"

"Blugk!" Dewi Sekar Tanjung yang mem-

punya wajah dan bentuk tubuh yang sangat

menggiurkan memperdengarkan suara mengeluh

untuk kemudian jatuh terguling-gu-ling tanpa


daya. Si Maling Bosa tersenyum mengejek, tak

berapa lama kemudian dia menoleh pada

sahabatnya.

"Adi Arya Pasangran dan adi Luki Denta!

Sesuai dengan janjiku, aku akan memenjarakan

gadis bengal ini di Rawa Kematian...!" Mendengar

ucapan si Maling Bosa, pucatlah wajah Dewi Sekar

Tanjung bagaikan kapas. Dalam keadaan tertotok

seperti itu sudah jelas dia tak mampu berbuat

banyak. Jangankan untuk bergerak, menjerit pun

dia sudah tak mampu, Maling Bosa pun kiranya

telah menotok jalan darahnya pula. Meskipun dia

merupakan seorang gadis pemberani, tak urung

tubuhnya menggigil juga membayangkan apa yang

akan menimpa dirinya di Rawa Kematian nanti.

Belum lagi pupus bayangan kengerian dari

benaknya tiba-tiba si Maling Bosa sudah

menyambar tubuh tanpa daya itu untuk kemudian

segera berkelebat pergi. Sepeninggalnya Maling

Bosa, Arya Pasangran dan Luki Denta nampak

saling pandang. Beberapa saat berikutnya kedua

orang itu pun melangkah pergi meninggalkan

warung tuak yang porak peranda.


EMPAT


Dengan tubuh basah kuyup pemuda itu kini

kembali mengenakan pakaiannya yang dia

tinggalkan di tepi pantai utara selama hampir lebih

dua belas jam. Usai berpakaian pemuda

berpakaian merah dengan rambutnya yang

dikuncir sebatas bahu itu segera menyambar

sebuah periuk besar yang selalu dia bawa kemana

pun dia pergi. Tak lama kemudian dari dalamnya

dia sudah keluarkan beberapa potong dendeng

ikan lumba-lumba. Secara perlahan namun rakus,

potongan demi potongan dendeng ikan itu pun

lenyap tak tersisa. Kini kedua bola matanya

memandang ke laut lepas, dalam keadaan seperti

itu tiba-tiba dia teringat akan gurunya si

Bangkotan Koreng Seribu yang sudah sekian lama

di tinggalkannya. Udara laut yang terasa menusuk

dan selalu berherumbus keras, membangkitkan

kenangannya pada saat-saat latihan dulu, di Pantai

Karang Tanjung Api. Dia berfikir! Andai saja hidup

bisa terulang, dan jika boleh memilih. Sudah

barang pasti dia tidak akan meninggalkan tempat


kediaman gurunya di Pantai Karang Tanjung Api,

yang kini telah berjarak lebih dari delapan ratus

purnama perjalanan. Di sana akan merawat guru

yang sekaligus merupakan orang tua angkatnya,

hingga orang tua yang sangat sakti itu menutup

mata.

Hatinya semakin kecewa, terlebih-lebih

dalam usaha mencari orang tua kandungnya, yaitu

si Piton Utara hingga detik itu belum juga

membuahkan hasil. Bahkan sejak tadi pagi dia

sudah menyelam sampai ke dasar laut demi

menemukan letak tapa ayahandanya si Raja

Negeri Bunian yang berwujud seekor Ular Piton

raksasa. Akan tetapi selama hampir dua belas jam

dia hilang timbul di bawah permukaan air, bahkan

sampai ke relung yang paling dalam dan gelap di

dasar sana, sejauh itu masih belum ada tanda-

tanda di mana ayahandanya berada. Si pemuda

yang sesungguhnya pendekar Hina Kelana,

nampak tepuk-tapuk jidatnya yang terasa berat.

Tiba-tiba saja dia bergumam:

"Mungkin ini sudah merupakan suratan

nasibku! Di lahirkan membawa mati emak, bapak

demi menebus kesalahannya malah bertapa dan

mengasingkan diri di dasar laut. Ayahanda seorang


raja, akan tetapi raja yang berbuntut dan bersisik.

Laut luas, sungai panjang. Di laut yang mana aku

harus mencari seekor ular raksasa yang

sesungguhnya merupakan ayahanda kandungku.

Di dasar sana tadi aku jumpa banyak ular, ular

kecil, bersisik kecil. Mana mungkin ayahanda

sebesar itu!" Pendekar Hina Kelana mengomel

seorang diri bagai seorang tolol yang sedang

menghitung laba rugi. Lagi-lagi dia tepuk-tepuk

keningnya..

"Mengapa akau harus secengeng ini! Si

Bangkotan Koreng Seribu pasti akan marah bila

melihat muridnya mempunyai hati lemah seperti

aku. Dasar nasib apek bau terasi...!" Selesai

dengan sumpah serapah. Buang Sengketa segera

menyambar periuknya. Dengan sekali genjot

lenyaplah tubuh pemuda berwajah sangat tampan

itu ditelan kegelapan senja yang sudah

merembang malam. Dan apabila malam telah

datang, maka pemuda itu pun melewatkan

kesunyian malam di sembarang tempat.

Terkadang bila dia mau maka dia pun tidur di

cabang-cabang pohon, di tengah belukar di ladang,

atau pun di gubuk reot yang sudah ditinggalkan

oleh pemiliknya.


Ketika keesokan paginya Pendekar dari

Negeri Bunian itu kembali melanjutkan

perjalanannya. Suasana pagi yang cerah, burung-

burung bernyanyi di ranting nan hijau. Udara yang

bertiup sepoi-sepoi sesekali menyibakkan anak

rambutnya yang dibiarkan memanjang sampai

sebatas alis matanya. Langkah pemuda itu kini

sudah semakin bertambah menjauh, hingga pada

suatu tempat yang agak berbukit pemuda itu

mendadak hentikan langkahnya. Bahkan kini dia

berusaha bersembunyi pada rumpun semak-semak

yang terdapat tidak begitu jauh dari tempatnya

berdiri. Dan kini melalui celah-celah dedaunan

dengan pandangan curiga di perhatikannya sosok

tubuh yang semakin lama semakin mendekat. Tak

lama setelah orang itu mendekat maka

terkesiaplah darah Pendekar Hina Keiana. Kini

jarak mereka hanya sepulu tombak, dengan jeias

dia melihat seorang laki-laki berusia berkisar

empat puluh tahun nampak sedang memondong

satu buntalan besar di bagian punggungnya.

Buang Sengketa menduga bahwa mungkin saja

orang yang kini nampak sedang duduk berleha-

leha itu merupakan seorang pedagang berbagai

peralatan dapur, dan sedang melakukan


perjalanan yang sangat jauh. Akan tetapi naluri

hewannya mengatakan, tidak mungkin laki-laki itu

memperjual belikan pisau dapur atau pun golok

penjagal babi. Sebab melihat rupa dagang di

antara barang-barang yang tersembul itu, sudah

jelas merupakan jenis pusaka yang sangat

berharga, tidak mungkin barang-barang itu

diperjual belikan.

Kini pendekar Hina Kelana lebih terkesiap

lagi begitu secara sekilas dia sempat melihat rupa

dari laki-laki itu. Sosok wajah yang sangat

mengerikan, dengan bekas-bekas luka yang masih

belum kering secara keseluruhan. Agaknya wajah

orang itu, bekas di cakar-cakar makhluk yang

sangat buas, atau mungkin pula bekas terhempas

dari atas sebuah jurang yang mengerikan. Wajah

laki-laki itu benar-benar sangat rusak dan

menjijikkan. Bahkan terlalu buruk dari makhluk

apapun. Apakah yang telah terjadi pada laki-laki

bertampang sadis dan sangat rusak itu? Buang

Sengketa bertanya-tanya, dan tanpa dia sadari

bulu kuduknya merinding. Sesaat kemudian dia

sudah bermaksud meninggalkan tempat itu ketika

secara tiba-tiba laki-laki berwajah rusak itu

tertawa tergelak-gelak bagai orang yang sedang


kesurupan. Terkesiaplah darah Pendekar Hina

Kelana begitu menyadari bahwa suara tawa laki-

laki itu sesungguhnya mengandung tenaga dalam

yang sangat sempurna. Dari niatnya untuk berlalu

meninggalkan tempat itu, kini Buang Sengketa

malah bermaksud ingin mengetahui lebih banyak

lagi tentang laki-laki itu. Dengan sangat hati-hati

dia mulai mengendap-endap menghampiri

sebatang pohon yang hanya berjarak satu tombak

dari tempatnya semula. Semakin bertambah

jelaslah wajah dari laki-laki itu, sebentar kemudian

angin Barat Daya berhembus kencang, segera bau

yang tak sedap terasa menusuk hidung si pemuda

mendadak perutnya terasa bagai di aduk-aduk,

mual dan ingin muntah. Buang Sengketa berusaha

agar jangan sampai semua isi perutnya ke luar.

Sebab andai saja hal itu sampai terjadi, sudah

barang tentu perbuatannya yang kurang terpuji itu

sudah jelas segera di ketahui oleh laki-laki yang

kini masih terus tertawa-tawa bagai orang gila.

Tak lama kemudian laki-laki berwajah buruk itu

hentikan tawanya, rupanya yang dipenuhi dengan

goresan-goresan luka yang mengerikan nampak

tertunduk, mendadak dia menangis menggerung

bagai seorang bocah ditinggal mati emak dan


bapaknya. Suara tangis itu terasa demikian sedih

dan menyayat, bahkan kini dia sudah ngedeprok di

atas tanah yang lembab. Kaki berkelojotan, tangan

memukul-mukul bagian dadanya, semakin lama

suara tangisnya semakin menjadi-jadi. Mungkin

saja laki-laki itu sedang mengalami guncangan

batin yang hebat, atau pula dia orang yang kurang

waras. Demikianlah Buang Sengketa mereka-reka.

Hanya beberapa saat sesudahnya, laki-laki

buruk rupa itu pun hentikan tangisnya. Seketika

pandangan matanya berubah nanar dan buas, dia

langsung berdiri. Kemudian dengan suaranya yang

berat dan parau dia berteriak seorang diri.

"Kenapa nasib yang tidak pernah berpihak! Engkau

telah mencampakkan aku pada jurang yang paling

menyakitkan. Lorong-lorong nista dan terkutuk

yang pernah digali oleh ayah kandungku sendiri,

mengapa aku yang harus terperangkap di

dalamnya? Puih! Aku tak terima, aku telah

berkorban untuk seluruh hidup ku karena luka

yang terkutuk ini. Kini aku sudah bertindak, setiap

perguruan pasti akan saling bunuh, karena

kehilangan pusaka! Celakalah bagimu hai Maling

Bosa. Celaka... karena kau tidak tahu akal

muslihatku...!" Usai berkata begitu, laki-laki buruk


rupa itu meraba bungkusan yang menggelantung

di punggungnya.

"Ha... ha... ha...! Hu... hu... hu...!" Laki-laki

berwajah buruk itu kembali tergelak-gelak!

Wajahnya membiaskan kelicikan jiwanya.

"Dengan senjata pusaka kebesaran dari

berbagai perguruan di tanganku ini secara tidak

langsung aku telah merajai dunia persilatan dari

berbagai golongan. Tidak percuma... tidak

percuma!" Dengus Nyaur Pati dengan

kesombongan yang sangat berlebihan. Demi

mendengar ucapan laki-laki yang berjuluk Nyaur

Pati itu, mendidihlah darah Pendekar Hina Kelana

ini. Secara tidak langsung dia sudah mengadu

domba satu perguruan dengan perguruan lain.

Bahkan dengan tindakannya itu, dunia persilatan

akan saling curiga mencurigai, bahkan akan

bertarung sesamanya. Hal itu akan sangat

mengerikan sekali akibatnya. Akan bagaimana

jadinya dengan nasib si Maling Bosa seperti yang

disebut-sebut oleh Nyaur Pati si buruk rupa itu?

Kalau tidak di cegah tentu Maling Bosa yang belum

di kenal oleh Buang Sengketa akan mengalami

nasib yang sangat menyedihkan. Semula dia

menyangka kalau laki-laki buruk rupa itu adalah


pedagang pisau dapur atau golok jagal babi. Tak

dinyata kiranya seorang keluarga iblis yang

kesasar di daerah itu. Pendekar Hina Kelana

nampak gusar sekali. Kedua bibirnya terkatup

rapat, rahang bergemeletukan menahan marah.

Akhirnya tanpa dapat di cegah lagi tubuhnya

berkelebat seringan kapas. Tahu-tahu dia sudah

berdiri dihadapan si Buruk Rupa.

Laki-laki berwajah buruk itu sangat terkejut

sekali, begitu melihat kehadiran Pendekar Hina

Kelana yang tidak disangka-sangka. Meskipun

Nyaur Pati menyadari kalau pemuda yang kini

berdiri di hadapannya itu sedikit banyaknya tentu

berkepandaian, akan tetapi dengan gusar dia

membentak:

"Hem! Rupanya ada juga anjing geladak

berkeliaran di tempat yang sesunyi ini...?" ucapnya

dingin. Tanpa menjawab Buang Sengketa menatap

tajam pada sosok wajah yang menjijikkan dan

mengeluarkan bau yang sangat busuk.

"Bocah pentil! Tahukah engkau bahwa siapa

pun yang pernah bertemu dengan si Nyaur Pati,

jiwanya tak akan terampuni lagi!" Kata laki-laki

berwajah sangat buruk itu mengancam.

Mendengar ancaman itu Pendekar Hina Kelana


leletkan lidah, lalu garuk-garuk pantatnya yang

tidak gatal. Dengan cengegesan dia menjawab:

"Tahuku, namamu Nyaur Utang! Hutang-

hutangmu akan semakin bertumpuk kalau tidak

engkau bayar dari saat sekarang...!" kata Buang

Sengketa mencemooh. Wajah Nyaur Pati nampak

menegang begitu mendengar ucapan Pendekar

Hina Kelana. Bersamaan dengan kemarahannya

yang meluap-luap, puluhan belatung dari celah-

celah lukanya yang membusuk berjatuhan ke

tanah. Diam-diam si pemuda mengkirik. Ironisnya

lagi, begitu belatung-belatung itu menggeliat-geliat

di atas tanah, si buruk rupa segera memungutnya,

kemudian satu demi satu belatung-belatung itu di

kremusnya. Tanpa menghiraukan Buang Sengkata

dia bergumam seorang diri.

"Karena engkau telah memakan dagingku!

Maka kini aku harus memakan dagingmu pula!"

Seusai dengan ucapannya itu, dengan cepat dia

kembali memandang si pemuda, beberapa kali dia

meludah, laki-laki buruk rupa itu terus

menyambung:

"Bocah! Bicaramu terlalu sombong, tahukah

engkau bahwa sebentar lagi engkau akan menjadi

budakku di belantara Karang Hantu?"


"Hak.. hak... hak...!" Pendekar Hina Kelana

tergelak-gelak.

"Manusia iblis budak setan! Jangan banyak

tingkah, lebih baik kau tinggal senjata pusaka milik

berbagai perguruan itu. Kemudian

menggelindinglah dari hadapanku!" Bentak si

pemuda.

* * *


LIMA



”Budak hina! Besar sekali nyalimu,

ketahuilah biar pun engkau punya sepuluh tangan

sepuluh kaki. Engkau tidak bakalan unggul

menghadapi Majikan Karang Hantu!"

"Pencuri tengik, jangak banyak cingcong!

Tinggalkan pusaka-pusaka itu, atau tubuh

busukmu akan berkubang darah...!" bentak Buang

Sengketa sudah sangat marah sekali.

"Kalau begitu aku membatalkan niatku

untuk mengangkatmu menjadi budak! Dan sebagai

gantinya kau harus mampus...!" Bersamaan

dengan ucapannya itu, Nyaur Pati melambaikan

tangannya. Meskipun gerakan tangan itu seperti

hanya bermain-main, akan tetapi akibatnya

sungguh sangat luar biasa. Sesaat kemudian badai

angin Puting Beliung menderu, laksana kilat

meluruk ke arah Pendekar Hina Kelana. Pemuda

itu nampak tersentak kaget untuk beberapa saat

lamanya. Akan tetapi begitu menyadari akan

bahaya besar yang mengancam jiwanya, dengan

pergunakan pukulan Empat Anasir Kehidupan


tangannya cepat berkiblat memapaki. Selarik

gelombang Ultra Violet melesat lebih cepat

menyongsong datangnya pukulan Badai Puting

Beliung. Benturan tenaga sakti itu pun tak

terelakan lagi.

"Blaam!" Bumi tergetar hebat, langit seakan

runtuh! Tubuh Pendekar Hina Kelana terlempar

dua tombak. Dari hidung dan bibirnya meleleh

darah kental. Pemuda itu segera atur nafasnya

yang terasa menyesak! Tak begitu lama kemudian

dia sudah bangkit kembali. Sementara itu di pihak

lawan, tubuh Nyaur Pati hanya bergetar sedikit,

kedua kakinya amblas ke bumi sampai sebatas

tumit. Meskipun begitu dia masih merasakan hawa

panas dari pukulan lawan, masih terasa

menyelimuti tubuhnya. Sadarlah dia bahwa

pemuda berpakaian lusuh dengan rambut dikuncir

ini merupakan seorang lawan yang memiliki

kepandaian tinggi. Meskipun begitu masih dengan

senyum mencibir dia menyela:

"Bagus! Kiranya kau berkepandaian juga

rupanya. Pantas saja engkau berani jual lagak di

depan hidungku...!"

Buang Sengketa tersenyum kecut, dalam

hati dia sangat menyayangkan si Buruk Rupa


kiranya mempunyai perangai lebih buruk dari

wajahnya yang memang ancur-ancuran. Manusia

berilmu sangat tinggi seperti dirinya menempuh

cara hidup yang sangat sesat dan tercela.

"Bangsat Muka Setan, aku masih belum

kalah! Majulah... aku tidak akan pernah mundur

menghadapi iblis sepertimu...!" Tiba-tiba saja

Buang Sengketa menyela. Mendengar tantangan si

pemuda, Nyaur Pati tertawa ganda.

"Kau benar-benar mencari penyakit bocah

pentil! Keluarkanlah segala ilmu simpananmu,

sebelum aku benar-benar mengirimmu ke liang

kubur...!"

"Bangsat terkutuk! Mampuslah...!" Diiringi

dengan teriakan menggelepar, Pendekar Hina

Kelana langsung menerjang. Dan langsung pula

pergunakan jurus Membendung Gelombang

Menimba Samudra. Maka dalam waktu sekejap

tubuh si pemuda sudah berkelebat sedemikian

cepatnya. Akan tetapi Nyaur Pati bukanlah

manusia berkepandaian rendah, bagi pembunuh

berdarah dingin ini, bertarung dengan memainkan

jurus-jurus hanyalah merupakan pekerjaan yang

bertele-tele dan menyita banyak waktu. Meskipun

dia menyadari bahwa apa yang ditampilkan oleh si


pemuda sesungguhnya memang permainan silat

tingkat yang sangat tinggi. Akan tetapi dia

mempunyai pilihan yang sangat tepat untuk

menyeret lawannya pada pertarungan tingkat yang

paling tinggi. Tiada pilihan terbaik terkecuali

mengadu kesaktian dan kelebihan pukulan-pukulan

simpanannya.

Buang Sengketa terus memperhebat

serangan-serangannya, sebaliknya Nyaur Pati

dengan penuh tipu muslihat malah menyurut

langkah. Dengan cepat, dia gosok-gosokkan kedua

tangannya. Dari tangan yang menyatu rapt itu

beberapa saat kemudian telah mengepulkan uap

biru yang menyebarkan bau sangat busuk. Buang

Sengketa baru menyadari kalau Nyaur Pati sedang

bersiap-siap melepaskan pukulan maut kepadanya.

Sontak dia langsung hentikan serangannya.

Seketika itu juga dia siapkan pukulan Empat Anasir

Kehidupan tingkat kedua. Setengah dari tenaganya

kini tertumpu pada kedua tangannya. Tubuh Nyaur

Pati kini sepenuhnya telah terbungkus kabut biru,

bau tak sedap mulai menyebar di mana-mana. Dan

sesungguhnya pula saat itu laki-laki buruk rupa itu

telah menghimpun tenaga sakti yang diberi nama

Selaksa Hantu Menyebar Maut. Yang memang


telah banyak memakan korban. Tak begitu lama

kemudian, tiba-tiba Nyaur Pati melengking

dahsyat. Tubuhnya lenyap seketika itu juga.

Bangsat Ilmu Siluman!

Buang Sengketa mengeluh di dalam hati. Dia

merasakan desakan angin kencang menyambar

berseliweran di atas kepalanya. Semakin lama se-

makin terasa deras dan bertambah banyak. Buang

Sengketa nampak kebingungan. Tubuhnya

berputar-putar mencari di mana posisi lawan yang

sesungguhnya. Dalam posisi yang mungkin tidak

menguntungkan bagi keselamatan dirinya,

Pendekar Hina Kelana membagi-bagi pukulan

mautnya pada delapan penjuru mata angin.

"Blar! Blar! Blar! Blar...!" Terdengar tawa

mengekeh begitu pukulan Pendekar Hina Kelana

terlepas. Tanpa mencapai sasaran. Pukulan Empat

Anasir Kehidupan yang dilancarkannya

menghantam pohon-pohon di sekelilingnya. Bunyi

bergemuruh dari rubuhnya pohon-pohon itu

membuat binatang-binatang di sekitarnya berlarian

tunggang langgang. Sementara itu Nyaur Pati yang

pada saat Buang Sengketa lancarkan serangan

memang tidakherada di posisi sasaran. Kini

semakin tergelak-gelak. Keadaan itu memang


sangat di kehendakinya. Setelah lawan lepaskan

pukulan baru kemudian dia memukul. Inilah saat

yang sangat tepat. Diiringi dengan tawa

kemenangan dia lepaskan pukulannya.

"Mampuslah! Hait...! Hiaa...!"

"Wer! Wer!" Secepat kilat pukulan yang

memancarkan cahaya kebiru-biruan itu melesat

dan mengisyaratkan hawa kematian. Celakalah

bagi Buang Sengketa yang saat itu masih belum

siap pada posisinya. Pukulan maut yang dilepaskan

oleh Nyaur Pati dan berkelebat demikian cepatnya

sudah tak mungkin terelakkan lagi. Secara reflek

dia meraba punggungnya, akan tetapi sudah tidak

keburu. Pukulan yang di lepaskan oleh nyaur Pati

langsung melabrak tubuhnya.

"Blam!" Tanpa ampun lagi tubuh si pemuda

langsung terpelanting dan menabrak pohon yang

berada di belakangnya. Andai saja bukan Pendekar

Hina Kelana yang terkena pukulan itu sudah dapat

di pastikan tewas seketika itu juga dengan

keadaan tubuh hangus membiru. Karena

sesungguhnya pukulan Selaksa Hantu Menyebar

Maut itu merupakan pukulan beracun yang

sangat keji. Dan masih merupakan keuntungan

pula bagi si pemuda bahwa tubuhnya kebal


terhadap segala macam racun. Meskipun begitu

darah segar berhamburan dari mulut Buang

Sengketa, dada laksana remuk, pandangan

matanya nanar. Bahkan kepalanya berdenyut sakit

pusing dan mau muntah. Secepatnya dia menyeka

darah yang berlelehan di celah-celah bibirnya.

Lebih cepat lagi dia himpun hawa murninya.

Sebentar kemudian wajahnya yang pucat pasi itu,

kini telah kembali kemerah-merahan. Akan tetapi

belum lagi dia beringsut dari tempatnya. Nyaur

Pati demi mengetahui lawannya tidak mampus

oleh pukulan saktinya nampak marah sekali dan

kini lancarkan serangan jarak jauh yang lebih

besar dan ganas. Kembali seberkas sinar warna

biru menyala meluruk si pemuda.

Buang Sengketa yang sudah merasa sangat

geram melihat keganasan pukulan yang telah

dilancarkan lawannya, sudah jelas tak mau ambil

resiko. Secepat sinar maut itu menderu, dua kali

lebih cepat pendekar Hina Kelana mencabut

pusaka Golok Buntungnya. Laksana auman ratusan

Harimau yang sedang kelaparan senjata di tangan

si pemuda menderu dahsyat.

"'Tes!" Pukulan Selaksa Hantu Menyebar

Maut yang dilancarkan oleh si buruk rupa disambut


oleh kedahsyatan pusaka Golok Buntung. Anehnya

begitu pukulan maut itu membentur pusaka di

tangan Buang Sengketa, Nyaur Pati merasakan

tubuhnya terbetot dan bagai sebuah magnet tubuh

si buruk rupa bagai disentakkan ribuan tangan-

tangan setan. Nyaur Pati bertahan mati-matian

demi membuyarkan daya tarik senjata di tangan

lawanya yang begitu hebat. Keringat dingin mulai

meleleh membasahi wajahnya yang semakin

menimbulkan bau busuk di sekelilingnya. Dalam

detik-detik yang sangat menegangkan itu, agaknya

Nyaur Pati sudah semakin tak berani mengadu

tenaga dalam. Kalau pun hal itu sangat terpaksa

harus dia lakukan sudah barang tentu dia akan

mengalami nasib yang konyol. Sifat dari pusaka

Golok Buntung adalah menyedot tenaga inti sang

lawan, andai pun dia berani melakukan tindakan

itu. Ini berarti dia hanya menjadi penyumbang te-

naga sakti pada pihak lawan. Kiranya Buang

Sengketa dapat membaca apa yang sedang di

pikirkan oleh pihak lawannya. Untuk menyudahi

pertarungan bagi si pemuda terasa sangat mudah!

Akan tetapi sudah menjadi pantangannya untuk

tidak bermain kotor. Meskipun sesungguhnya dia

menyadari bahwa lawannya hanyalah seorang


tokoh dari golongan hitam yang sewaktu-waktu

dapat bertindak licik. Masih dalam posisi semula,

ketika si Hina Kelana lontarkan satu pukulan

Empat Anasir Kehidupan terhadap si Buruk Muka.

Selarik gelombang yang teramat panas menderu

dan langsung menghajar tubuh Nyaur Pati yang

masih dalam posisi bertahan. Laki-laki bertampang

amburadul itu terpekik keras sewaktu sinar Ultra

Violet menabrak tubuhnya, secara praktis Nyaur

Pati terlepas dari pengaruh daya tarik Golok

Buntung di tangan Buang Sengketa. Laki-laki

majikan Karang Hantu itu terbanting keras di atas

batu-batu cadas yang berada di sekitar tempat itu.

Akan tetapi ternyata Nyaur Pati memiliki daya

tahan yang sangat luar biasa hebatnya. Si buruk

muka hanya terbatuk beberapa kali. Kemudian dia

seka hidungnya yang tampak mengalirkan darah

kental. Meskipun begitu tidak sedikit pun wajah

yang sangat rusak itu membayangkan rasa takut,

apalagi jera. Pendekar Hina Kelana melangkah

hampir di depan Nyaur Pati yang kini sudah mulai

berdiri, meskipun dengan kaki sedikit gemetaran.

Saat itu Buang Sengketa sudah siap-siap dengan

pukulan kedua. Dalam pada itu tiba-tiba Nyaur Pati

menyela:


"Bocah keparat! Siapakah engkau ini...! Ilmu

pukulanmu seperti pernah aku kenal!" Ujar Nyaur

Pati berusaha mengingatingat. Pendekar Hina

Kelana tertawa ganda.

"Manusia edan muka hantu, lebih baik kau

serahkan bungkusan pusaka yang telah kau colong

dari berbagai perguruan! Sebab aku takut engkau

tak keburu mendengar apa yang akan kukatan

nanti...!"

"Bangsat sombong! Terimalah...!" Berkata

begitu Nyaur Pati lemparkan satu benda ke arah

Pendekar Hina Kelana dan begitu tangan si

pemuda menyampoknya, benda itu meledak dan

menyebarkan asap yang sangat tebal. Tahulah si

pemuda bahwa Nyaur Pati berusaha melarikan diri

dengan asap penghilang jejak tersebut. Buang

Sengketa kebut-kebutkan tangannya, takut kalau-

kalau asap yang menyebar ke mana-mana itu

mengandung racun yang ganas. Dalam pada itu

terdengar pula suara Nyaur Pati yang sudah sangat

jauh:

"Budak Hina! Kalau kau memang benar-

benar seorang kesatria. Kutunggu engkau di

Neraka Karang Hantu...!" Demikianlah begitu

kabut asap itu lenyap sama sekali, Nyaur Pati


benar-benar telah merat dari tempat itu. Pendekar

Hina Kelana nampak sangat kesal sekali.

Sial! Aku tak tahu kearah mana larinya si

wajah berantakan itu! Rutuknya panjang pendek.

Dengan menyimpan kedongkolan yang di dalam

hati, tak lama kemudian pemuda itu kembali

meneruskan perjalananya. Dengan satu tujuan,

mencari si Maling Bosa yang malang itu.

* * *


ENAM


Matahari sudah hampir condong ke ufuk

Barat, ketika kedua manusia Katai itu menelusuri

jalan setapak menuju kota Paring Katon. Wajah

mereka yang nampak lusuh, membayangkan hati

yang dalam. Berhari-hari mereka mengitari Rawa-

rawa Kematian, hanya demi menemukan si Maling

Bosa yang mereka duga telah melarikan pedang

Pusaka Belibis Sakti milik perguruan Sangga Langit

yang juga masih merupakan perguruan mereka.

Seperti di ceritakan, kedua perempuan Katai itu

mengalami kesulitan untuk menjarah tempat

kediaman si Maling Bosa yang terletak di tengah-

tengah Rawa Kematian, dikarenakan Rawa-rawa

itu dipenuhi dengan berbagai binatang berbisa

yang terkenal sangat ganas. Sementara itu usaha

mereka mencari jalan rahasia untuk sampai di

tengah Rawa juga mengalami jalan buntu. Tak ada

tanda-tanda jalan yang sering dipergunakan si

Maling Bosa untuk mencapai tempat tinggalnya.

Tak ada pilihan lain terkecuali kembali atau

mencari si Maling Bosa di tempat lain. Tanpa


berkata-kata mereka terus menelusuri jalan

setapak, sampai pada akhirnya membelok di

sebuah tikungan yang sempit. Begitu tiba dijalan

yang lurus kedua perempuan Katai itu melihat dua

sosok manusia berlari-lari kecil menyongsong

kehadiran mereka. Agaknya si Katai ini mengenali

dua laki-laki yang dalam suasana tergesa. Tanpa

menghiraukan si Katai, kedua laki-laki yang

sesungguhnya Arya Pasangra dan Luki Denta,

dengan sikap acuh terus melewati mereka. Tentu

saja perempuan Katai ini merasa kurang senang,

diri mereka di remehkan seperti itu. Tiba-tiba

tanpa menoleh tangan kiri si Katai bergerak ringan

ke arah belakang.

"Wuut!" Meskipun mereka berlari-lari kecil,

agaknya Arya Pasangra menyadari kalau kedua

orang Katai itu punya maksud-maksud tertentu

terhadap mereka, Itulah sebabnya begitu dia

merasakan angin pukulan menyambar ke arah

Arya Pasangra, tangan kanannya dengan cepat

menangkis:

"Plak!" Bukan main terkejutnya kedua pe-

rempuan Katai itu. Mulanya mereka menyangka

bahwa dua orang Ketua Partai Perkumpulan

Pengemis Tenggara ini akan tersungkur jatuh


begitu pukulan gelap yang mereka lancarkan

melabrak tubuh Arya Pasangra. Tidak dinyana,

ternyata Ketua Partai Pengemis ini cukup berisi

juga. Arya Pasangra dan Luki Denta balikkan

langkah. Kedua perempuan Katai itu memandang

sinis pada mereka.

"Dua kunyuk gembel tak tahu adat! Kalian

sungguh-sungguh tidak memandang muka pada

kami, berjalan seenaknya bagai dua ekor anjing

geladak!" Maki si Katai Losi, menuding dengan jari

telunjuknya yang buntek. Mendapat makin

sedemikian rupa, sudah barang tentu Arya

Pasangra dan Luki Denta menjadi marah. Arya

Pasangra maju setindak.

"Manusia kerdil kesasar! Siapa salah. Jalan

ini milik orang banyak, untuk apa harus memakai

segala peradatan...!" Si katai Jola mendengus,

wajahnya berubah merah padam. Begitu sinis dia

memandang wajah Ketua Pengemis Partai

Tenggara.

"Bagus! Bangsanya pengemis memang tak

pernah mengenal peradatan...!"

"Katai sialan, kau bukanlah seorang raja.

Bukan pula seorang majikanku, untuk apa harus

memakai segala peradatan segala...?!"


"Kakang! Mungkin mereka sengaja mencari

gara-gara pada kita...!" Luki Denta menyela. Arya

Pasangra anggukkan kepala.

"Bagus kalau kalian sudah mengetahui

tujuan kami! Untuk itu andai kalian masih

sayangkan nyawa. Kami mau kalian menjawab

bebarapa pertanyaan kami!" kata si katai Losi.

"Manusia kerdil dari perguruan Sangga

Langit! Selamanya kaum pengemis Partai

Tenggara tak mempunyai persoalan apa pun

dengan perguruan kalian. Akan tetapi jika kalian

menghendaki jawaban dari kami, sebelumnya kami

harus mengetahui pertanyaan apa yang harus

kami jawab...!" kata Arya Pasangra dengan nada

sedikit lunak. Kedua orang perempuan kerdil itu

tertawa rawan.

"Pertanyaannya tidak terlalu sulit! Akan

tetapi jika kalian tidak benar memberikan

keterangan, jiwa kalian pasti melayang." Kata si

Katai Jola peruh ancaman.

"Bicara saja muter-muter! Katakan saja

dengan jelas bangsat busuk...!" Bentak Luki Denta

sudah tak sabaran. Lagi-lagi kedua perempuan

katai itu tersenyum penuh kelicikan.


"Bukankah kalian berdua merupakan

sahabatnya si Maling Bosa?" Pancing si Katai Losi.

Mendapat pertanyaan seperti itu Arya Pasangra

maupun Luki Denta sudah dapat meraba kemana

arahnya pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.

Ketua partai kaum pengemis ini menyadari bahwa

malapetaka besar bakal menimpa diri sahabatnya.

Tanpa sadar kedua laki-laki itu saling pandang. Si

Katai mengekeh kedua orang itu merasa yakin

kalau Arya Pasangra dan Luki Denta mengetahui di

mana sesungguhnya Maling Bosa berada. Tak lama

kemudian si katai Losi menyambung:

"Kalau kalian tak ingin cepat-cepat masuk ke

liang kubur, cepat katakan di mana si Maling

terkutuk itu bersembunyi...!" Bentaknya dengan

sesungging senyum maut. Arya Pasangra

terkekeh! Cepat-cepat dia menyahuti:

"Kalian berdua juga pasti menuduh bahwa si

Maling Bosalah yang telah mencuri senjata

kebesaran milik perguruan kalian...!" Kata laki-laki

itu menduga-duga.

"Bagus sekali kalau kalian benar-benar

sudah mengetahui duduk persoalan yang

sebenarnya! Kami tidak usah bersusah payah

memberi penjelasan pada kalian berdua...." Arya


Pasangra gelengkan kepala." Tidak! Maling Bosa

bukanlah manusia yang rakus akan senjata

pusaka. Tuduhan itu sama sekali tidak

beralasan...."

"Jahanam... kalian rupanya sengaja

bersekutu dengan maling terkutuk itu. Kalau

begitu celakalah bagi kalian berdua...!" Kata si

katai Jola sangat marah sekali. Arya Pasangra

meskipun merasa tersinggung, akan tetapi dia

malah tertawa tergelak-gelak. Dalam hati dia

bertanya-tanya, mengapa di kolong langit ini,

masih banyak terdapat orang berkepandaian tinggi

namun berpandangan sangat picik. Arya Pasangra

bertolak pinggang, kemudian beliakkan mata pada

si Katai Mata Picak dan juga rekannya yang

bermata satu.

"Bangsat kerdil! Sesuai dengan keadaan

tubuhmu, kiranya kalian pun berpandangan kerdil

dan cetek! Meskipun si Maling Bosa seorang

pencuri ulung, kiranya masih lebih baik dari kalian

yang mengaku dari golongan bersih. Catatlah

dalam otak kalian, andai pun kami sebangsanya

pengemis. Tidak nantinya kami bersekutu dengan

iblis!" Dihina sedemikian rupa semakin bertambah

gusarlah, kedua perempuan katai ini.


"Bangsat! Rupanya kalian lebih pantas

mampus...!" Belum lagi si Katai Jola usai dengan

kata-katanya, tiba-tiba si Katai Losi yang sudah

tidak dapat menahan kemarahannya sudah

lambaikan tangannya meng-arah pada Arya

Pasangra dan Luki Denta. Ketua Partai Pengemis

dari Tenggara yang memang sudah bersikap

waspada sejak semula. Begitu melihat si Katai

pukulkan tangannya ke arah mereka, dengan

cepat pula menghindar. Pukulan maut pertama

dapat dielakkan dengan baik oleh kedua laki-laki

itu. Si Katai Losi tergelak-gelak. Padahal hatinya

sangat mendongkol! Tanpa memberi kesempatan

lagi, kembali dia lancarkan pukulan. Arya Pasangra

segera mencabut sebilah pedang pendek yang

terselip di pinggangnya, sementara Luki Denta

dengan cepat pula memutar Toya di tangannya.

Meskipun begitu, kedua orang ini nampak tergetar

hebat ketika pukulan yang dilancarkan oleh si katai

Losi melabrak pertahanan mereka. Luki Denta

mengeluh, Arya Pasangra memerah parasnya.

Meskipun dia sudah memutar pedang untuk

melindungi diri ternyata pukulan yang dilancarkan

manusia kerdil itu masih sempat menyambar bahu

kirinya. Bajunya sampai robek sebatas dada. Si


Katai Losi yang sudah kalap tidak memberinya

kesempatan lagi. Kembali dia mengumbar

pukulan-pukulan mautnya.

Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat

luar biasa, baik Luki Denta maupun Arya Pasangra

cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan

kearah mereka. Dengan jurus Pengemis Meminta

Sedekah, kedua orang ini kembali menyerbu. Si

Katai Losi tidak sempat melihat gerakan kedua

orang ini, tahu-tahu tubuhnya sudah berada

sangat dekat sekali dengan mata pedang maupun

Toya di tangan lawan-lawannya. Hanya tiga

seperempat detik si Katai Losi terkesiap melihat

pedang yang sudah begiti dekat dengan lehernya.

Sementara senjata Toya di tangan Luki Denta

dengan gembar menyambar ke arah bagian kaki.

Sesaat kemudian tangan kanannya sudah bergerak

menangkis serangan Toya, sedangkan bagian

badannya mengkelit mata pedang yang hampir

saja memapras batang lehernya. Si Katai Losi

nampak berjumpalitan ke belakang begitu merasa

terbebas dari ancaman senjata di tangan lawan-

lawannya Sementara itu si Katai Jola yang sedari

tadi hanya menonton pertarungan itu nampak

tersenyum-senyum. Dia merasa tak perlu turun


tangan. Bagaimana pun dia merasa tak perlu turun

tangan. Bagaimana dia merasa sangat yakin

dengan kemampuan yang dimiliki saudara

seperguruan yang seperti diketahui memang lebih

tinggi dari dirinya sendiri.

Pertarungan terus berlangsung, Arya

Pasangra dan Luki Denta terus memburu lawan-

lawanya tanpa ampun. Si katai Losi leletkan lidah,

dia mencaci maki panjang pendek. Dalam pada itu

tiba-tiba terdengar seruan si Katai Jola:

"Kakang Mbok, mengapa begitu bodoh!

Bertarung dengan cara seperti itu hanya

memperpanjang umur kunyuk-kunyuk sialan itu

bertambah beberapa menit. Alangkah baiknya jika

kau pergunakan ajian Mulih Pati...!" Kata si Katai

Jola menyela. Mendengar teguran adik

seperguruannya, sambil melayani lawan-lawannya

si Katai Losi terkekeh:

"Hik... hik... hik...! Ajian Mulih Pati, hi... hi...

hi... Ajian Mulih Pati! Mengapa tak sedari tadi aku

pergunakan ajian itu? Benar-benar aku yang

tolol...!" Demi mendengar disebut-sebutnya ajian

Mulih Pati, tersiraplah darah Arya Pasangra dan

Luki Denta. Sepengetahuan Ketua Partai Pengemis

Tenggara, ajian Mulih Pati merupakan sebuah ilmu


yang terkenal ganas dan dahsyat. Makhluk apa

pun, bila tersentuh ajian yang sangat langka ini,

akan tewas seketika itu juga dengan keadaan

tubuh mengering dan layu. Dulu ajian ini pernah

digunakan malang melintang oleh datuk sesat si

Dewa Gila Akan tetapi, pamor tokoh sesat itu

kemudian runtuh di tangan tokoh maha sakti yang

namanya sudah melegenda di rimba persilatan

yaitu Si Bangkotan Koreng Seribu. Bahkan konon

begitu geramnya si Bangkotan Koreng Seribu

sampai-sampai beliau mencapkakan mayat si

Dewa Gila ke dalam Kawah Pitulaya. Bagaimana

mungkin perempuan kerdil itu bisa mendapatkan

ilmu yang kabarnya sudah sejak ratusan tahun

yang lalu lenyap dari permukaan bumi ini. Andai

pun mungkin masih ada, bagaimana mungkin bisa

secepat itu si kerdil ini menguasainya. Meskipun

hatinya masih diliputi keraguan, tak urung dia

memperingati Luki Denta:

"Adik Luki Denta, berhati-hati! Jangan

sampai tubuhmu tersentuh tangan manusia dajal

ini!" ucapnya dengan suara tergetar.

Dalam pada itu, nampaknya si Katai Losi

sedang merapal mantra ajian Mulih Pati. bibirnya

nampak komat-kamit, sesekali terdengar gerengan


suara anjing gila yang terluka. Tak lama kemudian

kedua mata yang terkatup itu kini secara perlahan

mulai membuka. Nampaknya kedua bola matanya

yang memerah saga, api kematian memancar pula

dari kedua mata yang setengah picak itu.

* * *


TUJUH


Mungkin hanya dengan jurus Pengemis

Lontarkan Tongkatlah kedua laki-laki ini mampu

mengatasi serangan si Katai Losi. Arya Pasangra

langsung memberi isyarat pada Luki Denta untuk

mempergunakan jurus-jurus ini. Dengan diiringi

teriakan membahana si Katai Losi langsung

menyerang Arya Pasangra dan Luki Denta. Tanpa

ampun Ketua Pengemis Partai Tenggara dengan

sebat putar pedangnya kesegala arah. Begitu pun

halnya dengan Luki Denta. Toya di tangannya

berputar laksana baling-baling. Sambaran angin

yang ditimbulkan oleh senjata di tanganya

menimbulkan suara bersiuran. Daun-daun kering

beterbangan, dalam waktu sekejab, tubuh ketua

pengemis Partai Tenggara ini nampak lenyap

tergulung putaran senjata masing-masing. Si Katai

Losi yang hampir saja memukul kedua lawannya

dengan tangan kiri nampak menarik balik

serangan-serangannya. Kemudian dengan gerakan

memutar dia bermaksud menyerang lawannya

bagian belakang yang nampak rawan


pertahanannya, dengan sebat dia memukul pada

bagian punggung pihak lawan. Namun pada saat

yang kritis bagi Luki Denta, kiranya Arya Pasangra

mengetahui maksud licik si Katai Losi. Dengan

membentak marah dia babatkan pedangnya ke

arah tangan kiri si Katai Losi yang hampir saja

berhasil menyentuh punggung Luki Denta. '

"Bet!" Si Katai Losi yang tak menyangka

gerakan pedang di tangan Arya Pasangra

berkelebat secepat itu nampak berseru tertahan.

Andai sepersepuluh detik saja dia terlambat

menarik balik tangan kirinya, sudah dapat di

pastikan tangan itu sudah putus tersambat

ketajaman pedang di tangan lawannya. Cepat-

cepat si Katai Losi menyurut beberapa tidak. Caci

maki berhamburan dari mulutnya yang senantiasa

bau jengkol.

"Goblok! Aku tak inginkan uluran

tanganmu...!" Si Katai Losi nampak marah sekali,

baginya membunuh Ketua Pengemis Partai

Tenggara sama mudahnya dengan membalikkan

telapak tangan. Meskipun Arya Pasangran

memiliki jurus-jurus pedang yang tinggi, hal itu

bukan berarti banyak bagi si Katai ini. Sejauh itu

dia sesungguhnya ingin mengetahui lebih banyak


lagi sampai di mana sesungguhnya kehebatan

pamor yang dimiliki oleh Arya Pasangran mau pun

Luki Denta.

"Tapi Kakang Mbok nampaknya memberi

angin pada kedua bangsat kunyuk itu. Mereka bisa

besar kepala, Kakang Mbok...?" Tukas si Katai Jola

memprotes.

"Diam! Ini urusanku...!" Bentak si katai Losi

semakin bertambah-tambah kegusarannya.

Pertarungan berlangsung sangat cepat, tanpa

terasa sudah memakan puluhan jurus. Akan tetapi

beberapa saat kemudian setelah mengetahui

kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan-lawannya,

si Katai Losi nampak menyeringai penuh

kemenangan. Segalanya tiba-tiba berubah sangat

cepat. Si katai Losi kemudian merubah jurus-jurus

silatnya. Dan secara diam-diam pula dengan

kekuatan yang berlipat ganda, kembali dia

mengerahkan ajian Mulih Pati. Beberapa saat

setelah itu, dengan menggembor bagai kerbau

yang terluka. Tubuh si Katai Losi sedemikian

cepatnya dan langsung kirimkan satu pukulan

ganas kepada Luki Denta, satu pukulan pancingan

dia lepaskan. Luki Denta memutar Toyanya lebih

sebat lagi. Agaknya Luki Denta terpengaruh


dengan pukulan tipuan yang sesungguhnya

merupakan muslihat si Katai Losi untuk melakukan

pukulan yang sesungguhnya dengan telak. Luki

Denta terpancing jauh. Tatkala tangan kiri si Katai

Losi sudah begitu dekat di depan hidungnya, dia

menyambut dengan Toyanya. Pada saat itulah

tangan kanan manusia kerdil itu berkelebat

sedemikian cepatnya ke dada lawannya yang

terbuka. Ketika Arya Pasangran menyadari akan

bahaya yang mengancam Luki Denta, dia sudah

tak dapat berbuat banyaknya. Jarak diantara

mereka benar-benar di luar jangkauan

kemampuannya.

Luki Denta melolong setinggi langit, begitu

pukulan Mulih Pati yang dilancarkan si Katai Losi

menghantam dengan telak tubuhnya. Orang kedua

dalam perkumpulan Partai Pengemis Tenggara itu

terbanting puluhan tombak. Kedua bola matanya

terbelalak bagai mau meloncat ke luar, dalam

waktu singkat tubuh laki-laki malang itu nampak

membiru layu dan kering bagai ikan asin

terpanggang terik matahari. Arya Pasangran

nampak terbelalak tak percaya, kejadian itu benar-

benar terasa sangat meng-guncangkan jiwanya.

Diburunya tubuh Luki Denta yang terkapar tiada


daya. Namun begitu dia mengguncangkan tubuh

kawannya itu, Luki Denta sudah tiada berkutik.

Nyawanya telah melayang sesaat setelah si Katai

Losi mendaratkan pukulan Mulih Pati. Mendadak

Arya Pasangran palingkan muka, lalu memandang

pada kedua manusia katai itu silih berganti. Sorot

matanya memancarkan api dendam, kedua bibir

terkatup rapat. Setindak demi setindak dia

melangkah menghampiri si Katai Losi yang

nampak menyeringai penuh kemenangan. Kira-kira

setengah tombak di depan dia hentikan langkah.

Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ketua

Perkumpulan Partai Pengemis Tenggara itu pun

membentak:

"Anjing cebol! Manusia biadab berhati iblis...

kalian harus membayar lunas hutang nyawa

kawanku...!" Tukas Arya Pasangran dengan wajah

kelam membesi. Baik si Katai Losi maupun si Katai

Jola nampak tergelak-gelak begitu mendengar

kata-kata Arya Pasangran yang nampak sangat

marah. Tak lama kemudian si Katai Jola menyela:

"Gembel pengemis, nyawamu sendiri

sebentar lagi segera berangkat ke akhirat

bagaimana mungkin engkau dapat menagih

hutang nyawa...?" Semakin bertambah


mendidihlah darah Arya Pasangran. Tanpa banyak

cingcong lagi ketua perkumpulan kaum pengemis

ini langsung kirimkan serangan ganas.

"Manusia terkutuk! Mampuslah...!" pekik

Arya Pasangran sangat cepatnya membabat

dengan pedangnya. Tercekatlah hati si Katai Losi,

karena tau-tau pedang di tangan Arya Pasangran

sudah menyambar dadanya. Jubah Harimau

terobek sejengkal. sehingga nampaklah bukit

kembarnya yang sudah keriput dan mengalirkan

darah. Si katai Losi menjadi berang, perempuan

kerdil itu meraung bagai harimau tua kelaparan.

Serta merta dia menunjuk cepat-cepat ke arah

Arya Pasangran.

"Bangsat rendah hidung belang! Kau harus

membayar mahal atas segala ulahmu ini...!"

Bentak si Katai Losi sambil berusaha menutupi

sebagian jubahnya yang terobek. Arya Pasangran

meskipun hatinya sangat dongkol, tapi masih juga

tertawa tergelak-gelak.

"Katai jelek, aku bukanlah laki-laki yang

suka iseng! Jangan kau kira aku tertarik dengan

apa yang kulihat. Sudah keriputan begitu siapa

sudi! Jangan kan aku, kucing kurap sekali pun

akan lari terbirit-birit demi melihat kebagusan


dadamu yang aduhai itu...!" Kata Arya Pasangran

mencemooh. Demi mendengar kata-kata Arya

Pasangran yang tak lebih mengejek dirinya

semakin bertambah geramlah si Katai Losi di

buatnya. Amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun,

penghinaan itu benar-benar sangat keterlaluan

sekali. Agaknya si Katai Jola pun sudah tak sabar

melihat saudara seperguruannya mendapat malu

sedemikian rupa. Kini tanpa meminta persetujuan

kakak seperguruannya, dia sudah melompat

menghampiri Arya Pasangran.

"Kakang Mbok! Mari kita satai saja ketua

gembel ini ramai-ramai...!"

"Mungkin inilah yang dia kehendaki adik

Jola!"

Arya Pasangran tertawa berderai, kemudian

memandang pada kedua manusia katai itu silih

berganti,

"Mengapa tidak sedari tadi kau turun tangan

katai sial!" Maki Arya Pasangaran. Kedua

perempuan Katai itu menyeringai: "Mulutmu

terlalu sombong gembel cacingan!"

Sebelum Arya Pasangran membuka mulut,

dia merasa akan angin pukulan menyambar

kebagian tubuhnya. Laki-laki itu menoleh, tahulah


dia bahwa yang melakukan pukulan curian tadi

kiranya si Katai Jola adanya. Tapi dia sudah tak

dapat berfikir panjang karena dua orang kerdil itu

kini telah menggempurnya secara berbareng.

Dalam gebrakan pertama saja kedua orang

ini langsung kirimkan pukulan-pukulan yang

sangat ganas. Arya Pasangran segera memutar

pedangnya membentuk tameng pelindungan diri.

Sinar pedangnya berkelebat kesegala arah,

meskipun begitu nampaknya kedua orang ini tak

gentar menghadapi babatan pedang yang nampak

sebat dan ganas. Mereka terus berangsak sambil

mengirimkan pukulan-pukulan jarak jauhnya.

Meskipun Arya Pasangran memiliki ilmu pedang

yang tinggi, akan tetapi mendapat keroyokan

sedemikian rupa dari dua orang tokoh kelas satu,

tak urung tiga puluh jurus kemudian dia sudah

kena didesak oleh kedua orang lawannya. Bahkan

beberapa saat kemudian mulai jatuh di bawah

angin.

Walaupun begitu, Arya Pasangran tak mudah

menyerah begitu saja. Dia seorang ketua

perkumpulan yang memiliki watak dan pendirian

yang keras. Tanpa memperdulikan keselamatan

dirinya dia terus merangsak lebih nekad lagi.


Meskipun Ketua Perkumpulan Pengemis Tenggara

telah mengarahkan segenap kemampuannya,

masih saja dia terdesak hebat. Bahkan lama-

kelamaan mulai jatuh di bawah angin. Kini

semakin sibuklah Arya Pasangran, sebentar saja

keringat nampak berciciran membasahi sekujur

tubuhnya. Muka Ketua Pengemis Partai Tenggara

nampak pucat pasi, mendadak si Katai Jola

berteriak lantang, tubuhnya berkelebat lenyap,

begitu pun halnya dengan si Katai Losi. Dengan

pukulan-pukulannya yang terkenal ganas dia

menyerang Arya Pasangran pada bagian kaki.

Nyatalah bahwa kerja sama yang dibina oleh

kedua manusia kerdil ini memang terbilang dengan

baik. Menghadapi serangan yang sedemikian

gencarnya, Arya Pasangran untuk seketika

lamanya nampak terkesima, begitu dia menyadari

apa sesungguhnya yang akan dilakukan oleh pihak

lawan. Tahu-tahu tangan kanan si Katai Jola

menyambar kebagian dadanya. Ketua Pengemis

Partai Tenggara itu menjerit tertahan begitu

merasakan ada sesuatu yang membentur dadanya

dan menimbulkan hawa panas yang luar biasa.

Arya Pasangran terhuyung-huyung beberapa

tindak, dengan cepat dia raba dadanya, begitu dia


melirik ke arah dada yang berbulu lebat, dia

melihat lima jemari tangan membekas dan dengan

cepat berubah menghitam. Sadarlah Ketua

Perkumpulan Kaum Pengemis ini bahwa pihak

lawan telah lancarkan pukulan beracun yang

sangat ganas. Walaupun pukulan itu tak separah

Ajian Mulih Pati. Akan tetapi akibatnya tetap sama

saja. Reaksi racun di dada Arya Pasangran dengan

cepat menjalar kemana-mana. Arya Pasangran

merasakan dingin yang luar biasa. Dalam pada itu

kedua perempuan kerdil itu telah hentikan

serangannya. Mereka merasa begitu yakin bahwa

sebentar lagi Arya Pasangran akan segera

menemui ajalnya. Dengan sesungging senyum

kemenangan kedua orang ini memandangi Arya

Pasangran yang sudah mulai nampak kepayahan.

Kedua bola mata Ketua Pertai Pengemis nampak

terbeliak lebar, pedang di tangannya bergetar

hebat. Laki-laki itu merasakan batang lehernya

dicekik setan yang menjijikkan. Kedua bibirnya

nampak terbuka, namun tiada satu pun kata yang

terucap. Beberapa saat kemudian tubuh Arya

Pasangran limbung lalu tersungkur di atas tanah

untuk selama-lamanya. Kedua manusia katai itu

tersenyum puas.


"Bangsat ini sampai akhir hayatnya tetap tak

mau buka mulut! Kata si Katai Jola pada kakak

seperguruannya.

"Ada baiknya kalau kita kembali ke Rawa

Kematian...!" Ujar si Latai Losi mengusulkan.

Tanpa membantah si katai Jola segera mengikuti

langkah kakak seperguruannya.

* * *

DELAPAN


Satu ekor daging menjangan dipanggang

sedemikian rupa membuat jakun si Maling Bosa

turun naik menahan selera. Bau aroma yang

merangsang penciuman serta rasa lapar yang

sejak tadi ditahan-tahannya. Itulah yang menjadi

ciri khusus dalam hidup Maling Bosa selama

puluhan tahun. Memang benar dia merupakan

seorang maling yang lihai. Akan tetapi dalam

kehidupannya tidak secuil pun barang hasil

curiannya dia manfaatkan untuk kebutuhan sehari-

hari. Kalau pun dia mencuri, hal itu semata-mata

dia lakukan karena merasa tak tahan melihat

kehidupan orang melarat. Dan hampir semua hasil

curiannya dia bagi-bagikan pada rakyat jelata.

Bagi mereka kehadiran Maling Bosa tak ubahnya

sebagai dewa penyelamat terhadap musim

paceklik yang panjang.

Maling Bosa bukanlah seorang yang kaya

karena harta curiannya. Bahkan kehidupannya

boleh dikata sangat melarat. Tidak punya sanak

keluarga apalagi istri, bahkan seekor kucing pun


dia tidak punya. Rumahnya di tengah Rawa

Kematian, merupakan sebuah rumah gubuk

bertonggak, dinding terbuat dari rumput ilalang

beratapkan ilalang pula. Di dalam gubuk itu hanya

terdapat sebuah balai kecil yang terbuat dari

anyaman kulit rotan. Di atas balai itulah seorang

gadis yang sangat cantik terbaring. Mata gadis itu

nampak begitu liar memandang seisi gubuk. Dalam

hati dia bertanya-tanya, mengapa kehidupan

seorang maling yang sangat lihai demikian

memperihatinkan. Bahkan berkesan lebih sengsara

bila dibandingkan dengan hidup seorang gembel.

Mungkin ada benarnya dengan apa yang pernah

didengar dari cerita orang. Bahwa sesungguhnya si

Maling Bosa bukanlah orang yang begitu kemaruk

dengan dunia dan seisinya. Rupanya dalam hidup

yang serba singkat ini, laki-laki berkumis sekepel

itu ingin berbuat kebajikan sesama umat. Tidak

perduli apakah barang yang dia sumbangkan

ketengah-tengah orang banyak itu merupakan

barang yang sah atau tidak sah. Sejauh itukah

Maling Bosa bertindak? Semua itu karena masa

lalu hidupnya yang suram dan gelap. Andai saja

hidup boleh memilih, bagi si Maling Bosa lebih baik

tak usah di lahirkan ke alam dunia yang penuh


dengan keserakahan dan hura-hura. Mengapa?

Dulu ayahnya merupakan seorang tokoh sesat

yang banyak menyebar keonaran di mana-mana.

Sedangkan emaknya merupakan nenek

moyangnya tokoh sesat yang tewas karena

memperebutkan harta warisan. Karena demikian

kecewanya dalam hidup ini, akhirnya Maling Bosa

mengasingkan diri di Rawa Kematian.

Dalam pada itu si Maling Bosa telah selesai

dengan kesibukannya, beberapa saat kemudian

laki-laki itu telah mencicipi daging manjangan yang

masih mengepulkan uap panas. Sedang enak-

enaknya menggerogoti daging tersebut. Tiba-tiba

dia teringat pada gadis yang berada di dalam

gubuk. Kemudian berseru ramah.

"Nona galak! Kalau kau merasa lapar

keluarlah...!" Dewi Sekar Tanjung sesungguhnya

sudah mengetahui sejak tadi bahwa si Maling Bosa

sedang enak-enakkan membakar daging

manjangan. Akan tetapi untuk ke luar dan minta

bagian dia malu, Sebab dia telah berlaku kasar

pada si Maling Arif, lebih dari itu dia telah

menuduh yang bukan-bukan. Kini rasa lapar

semakin bertambah-tambah sejak terciumnya bau

daging panggang yang sedap.


"Bocah galak. Kalau engkau terus ngadat,

jangan salahkan aku bila daging yang enak ini

kuhabiskan sendiri...!" Kembali si Maling Bosa

mengingatkan.

Akhirnya dengan malu-malu Dewi Sekar

Tanjung keluar dari gubuk itu. Dia terus

melangkah menuruni anak tangga kayu. Begitu

kedua kakinya menyentuh permukaan tanah.

Tanah itu terasa bergoyang-goyang menahan

berat tubuhnya. Dewi Sekar Tanjung tergagap, lalu

cepat-cepat memandang pada si Maling Bosa yang

nampak tergelak-gelak.

"Terus saja ke sini! Kata si Maling Bosa

sembari menggerogoti daging manjangan dengan

lahap. Dewi Sekar Tanjung tertegun di tempatnya.

Tanpa menoleh laki-laki ber-kumis lebat itu

menyela:

"Kalau kau masih tetap di situ aku akan

menuntunmu kemari...!" Lalu tanpa menunggu

jawaban si gadis, si Maling Bosa bergerak ringan

menghampiri dirinya. Dewi Sekar Tanjung bengong

dibuatnya. Nyata-lah baginya, kalau Si Maling Bosa

mempunyai niat buruk terhadap dirinya, sudah

barang tentu hal itu sangat mudah dia lakukan.

Terbukti selama dua hari di dalam gubuk milik si


Maling Bosa, tak secuil pun laki-laki berkumis tebal

itu mengganggunya.

Dalam beberapa saat si Maling Bosa telah

menyambar pergelangan tangan Dewi Sekar

Tanjung. Sebentar kemudian Dewi Sekar Tanjung

telah sampai di tempat Maling Bosa membakar

manjangan. Cepat-cepat murid dari perguruan

Nganti Mulih itu menjura hormat. Orang tua

dihadapanya tergelak-gelak lalu menggerogoti

sepotong daging bakar berikutnya. Setelah

menyeka mulutnya yang berselemotan daging

panggang, maka si Maling Bosa berkata: "Untuk

apa engkau menjura-jura bagai orang di dalam

Kuil! Aku tidak suruh, aku hanya menyuruhmu

makan daging ini...!" Bentak Si Maling Bosa. Dewi

Sekar Tanjung jadi tersipu malu. Kedua pipinya

yang putih bersih seketika berubah kemerah-

merahan.

"Maafkan aku paman! Aku telah menuduhmu

yang bukan-bukan...!" Kata Dewi Sekar Tanjung

merasa bersalah.

"Setiap orang punya kesalahan. Engkau

tidak jadi membunuhku saja aku sudah merasa

beruntung...!" Ujar Maling Bosa sambil terus

tertawa-tawa.


"Ah... paman menyindirku! Mana mungkin

aku yang tolol ini mampu membunuhmu.”

"Walau engkau tak jadi membunuhku! Apa

pun kejadiannya kau tetap merupakan murid

sahabat baikku...!"

"Terima kasih paman...!" Si Maling Bosa

anggukkan kepala, kemudian dia berkata lagi.

"Duduk sini, daging manjangan muda ini

rasanya enak... enak...."

"Krauk... Krauuk...!" Begitu nikmatnya si

Maling Bosa melahap daging manjangan itu,

sehingga ketika Dewi Sekar Tanjung menikmati

daging tersebut hanya tinggal bersisa

setengahnya. Dengan sikap malu-malu Dewi Sekar

Tanjung menerima daging panggang pemberian

Maling Bosa. Tak lama sesudahnya gadis berwajah

rupawan itu menyela.

"Paman Bosa! Tempat macam apakah .

tempat tinggalmu ini!" Mendengar pertanyaan

seperti itu, Maling Bosa tertawa ringan. Sekejap

dia memandang berkeliling. Kemudian dengan

suara datar "Orang bilang tempat ini bernama

Rawa Kematian... tetapi aku sendiri sudah

menetap di sini selama bertahun-tahun tak pernah

mati...!"


Dewi Sekar Tanjung melonjak kaget begitu

si Maling Bosa menyebut nama tempat itu. Kiranya

tempat tinggal si Maling Bosa hanya merupakan

sebuah daerah berawa-rawa. Pantasan ketika tadi

dia menginjakkan kakinya di bawah gubuk, tanah

itu bagai menari-nari. Guman si gadis terbengong-

bengong.

"Mengapa paman memilih tinggal di tempat

ini...?"

"Hohoho... hohoho...! Terang saja, tempat

ini aman dari gangguan kejahatan lebih dari itu

aku punya banyak kawan yang tak pernah

menyakiti hatiku...!" Kata si Maling Bosa

seenaknya.

"Kawan? Tapi aku tak melihat siapa pun di

sini...!" Dewi Sekar Tanjung keheranan, lalu timbul

pula anggapan di dalam hatinya. Bahwa di

samping laki-laki itu terkenal sebagai orang yang

aneh rupanya juga punya gangguan jiwa. Si Maling

Bosa kembali tergelak-gelak, tiba-tiba dia hentikan

tawanya, lalu berseru lantang: "Hei makhluk yang

berada di bawah sana! Ada sobat kita yang ingin

melihat kehadiran kalian! Datanglah ke

gubukku...!" Beberapa saat kemudian gubuk di

tengah-tengah rawa itu terguncang-guncang.


Tanah di sekitarnya bergerak hebat diiringi bunyi

mendesis yang bersumber dari ribuan makhluk-

makhluk berbisa. Pada saat itu si Maling Bosa

berkata pelan.

"Lihatlah di bawah sana, kawan-kawanku

sudah datang...!" Dengan rasa penasaran Dewi

Sekar Tanjung melongokkan kepalanya ke bawah

gubuk. Terperangahlah gadis ini begitu melihat

kehadiran ribuan binatang berbisa dari berbagai

jenis nampak berbaur menjadi satu. Sebuah

pemandangan yang seumur hidup belum pernah

dia saksikan sebelumnya. Yang anehnya walau pun

binatang-binatang menjijikkan itu terdiri dari

berbagai jenis, mereka tidak saling berbaku

hantam sesamanya. Dewi Sekar Tanjung cepat-

cepat kembali ke tempatnya semula.

"Paman Bosa! Makhluk-makhluk itukah yang

kau bilang sebagai sahabatmu...?" Tanya Dewi

Sekar Tanjung masih dihantui bayang-bayang

ketakutan. Si Maling Bosa mengangguk pelan,

kedua matanya tiba-tiba terpejam. Dia merasakan

adanya kehadiran orang yang tidak diundang di

pinggiran Rawa tempat tinggalnya. Bahkan melalui

ilmu menyusupkan suara dia dapat mendengar ada

satu dua orang panggil-panggil namanya dengan


penuh ancaman. Tak lama kemudian kedua mata

si Maling Bosa kembali terbuka, Dewi Sekar

Tanjung yang sejak tadi merasa keheranan,

langsung menyela:

"Paman ada apakah gerangan...?" Laki-laki

berkumis tebal itu palingkan wajah.

"Engkau diamlah di sini! Kunyuk-kunyuk

edan itu pasti menuduhku sebagai pencuri pusaka

bapak moyangnya." Kertak si Maling Bosa marah

sekali.

"Tidak paman! Aku harus ikut, kalau perlu

aku yang akan menjelaskan pada mereka...!" Si

Maling Bosa gelengkan kepala, "Kedua Katai itu

merupakan manusia dajal, mana mungkin mereka

bisa percaya dengan omonganmu..,!"

Dewi Sekar Tanjung kerutkan wajah. Kalau

orang itu sudah demikian susahnya untuk diberi

pengertian, alamatlah bagi si Maling Bosa untuk

mengadu jiwa. Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi, si

Maling Bosa terlalu baik. Bagaimana pun dia harus

membelanya! Batin Dewi Sekar Tanjung di dalam

hati.

"Kalau begitu mereka pasti bermaksud

mencelakakan paman...!"


"Bila memang hal itu sudah merupakan

nasibku, siapa yang kuasa menolak...." Jawab si

Maling Bosa pasrah. Dewi Sekar Tanjung cepat-

cepat gelengkan kepala.

"Tidak bisa! Apa pun yang akan terjadi aku

harus ikut, paman Bosa pantas untuk dibela...."

Dewi Sekar Tanjung bersikeras. Mendengar ucapan

Dewi Sekar Tanjung, si Maling Bosa tertawa getir.

"Aku ini hanya seorang maling yang

menjijikkan! Sudah selayaknya semua keburukan

itu kupikul di pundakku!"

"Maling tidak maling, buruk tidak buruk! Apa

pun yang akan terjadi aku tetap berada di

pihakmu...!" Mendadak wajah si Maling Bosa

berubah merah padam, baginya terlalu sulit untuk

memberi pengertian pada gadis bandel ini. Dengan

nada penuh amarah dia berkata tegas: "Bocah!

Kuminta jangan fikirkan aku, masa depanmu

masih terlalu panjang jangan campuri urusanku.

Kalau aku mampus di tangan mereka, aku cuma

barang rongsokan yang tiada guna. Dan aku

sendiri akan menerima kematian itu dengan

senang hati...!"

"Maaf paman barangkali aku harus

memaksamu terlebih dulu, baru kemudian engkau


mengijinkan aku untuk turut serta bersamamu...!"

Dewi Sekar Tanjung menyela dan langsung

melolos pedangnya. Si Maling Bosa yang punya

watak angin-anginan itu mendengus dan langsung

berkelebat pergi.

"Aku tak punya waktu untuk bermain-main

denganmu...!" Tukas si Maling Bosa seiring dengan

lenyapnya bayangan laki-laki itu dari pandangan

mata Dewi Sekar Tanjung. Gadis itu bermaksud

menyusulnya, akan tetapi baru saja tubuhnya

melompat dari dalam gubuk. Kedua kakinya

langsung terjeblos ke dalam tanah yang di

bawahnya merupakan sebuah genangan air yang

dalam. Gadis itu memaki-maki ketakutan, ketika

ada makhluk air yang terasa merambati bagian

kaki dan selangkangannya. Meskipun tidak

menggigit tak urung rasa geli membuat wajahnya

merah padam. Dengan sekali lompat tubuhnya

yang terbenam sebatas pinggang melesat keatas

dan langsung jatuh di pintu pondok.

* * *


SEMBILAN



Tubuh Maling Bosa nampak berkelebat

ringan di atas tanah rawa yang dalam airnya.

Dalam waktu sekejap saja dia sudah sampai pada

pinggiran rawa. Kedua perempuan katai

menyambut kehadirannya dengan tawa rawan.

"Bagus sekali! Setelah kau ngumpet seperti

seekor tikus selama beberapa hari, akhirnya

engkau muncul juga...!" Kata si Katai Losi sinis.

"Inikah bangsat yang kita cari-cari itu

Kakang Mbok?" Si Katai Jola menyela, Katai yang

satunya manggut-manggut bagai burung pelatuk.

Kedua perempuan katai itu memandang dingin

pada si Maling Bosa yang berdiri di depannya. Lalu

mereka tertawa melengking-lengking.

"Maling Bosa keparat! Aku akan sudahi

urusan ini sampai di sini saja, asalkan engkau

cepat-cepat kembalikan senjata Pusaka Belibis

Sakti milik perguruan kami yang telah kau curi

beberapa purnama yang lalu!" Bentak si Katai Losi.

Dituduh seperti itu si Maling Bosa tersenyum getir.


"Hmm... mengherankan! Akhir-akhir ini

berpuluh-puluh perguruan telah kehilangan pusaka

kebesarannya! Tetapi anehnya mereka beramai-

ramai menuduhku sebagai biang kerok pencurian

itu. Seperti yang lain-lainnya kiranya matamu yang

picak itu berpandangan picak pula...!" Kata Maling

Bosa mencemooh. Di hina sedemikian rupa oleh

seorang maling pula, mendidih darah kedua

perempuan katai ini sampai ke ubun-ubun.

"Bedebah! Aku tak suruh kau menjawab

yang bukan-bukan. Yang kuinginkan cuma pusaka

milik perguruan kami?!" Bentak Si katai Jola.

"Kunyuk tolol! Aku tak tau menahu segala

senjata pusaka setan belang. Aku sendiri dibuat

repot oleh ulah pencuri sialan itu...!" Si Maling

Bosa balas membentak tak kalah gusarnya.

"Bangsat. Kau malingnya, mengapa masih

berteriak maling...!"

"Memang benar aku seorang maling! Tapi

belum pernah aku mencuri segala jenis pusaka

karatan!" Semakin bertambah gusarlah kedua

perempuan katai itu dibuatnya.

"Lekas serahkan pedang pusaka Belibis Sakti

milik perguruan kami!" Hardik si Katai Jola.


"Orang-orang gila! Apanya yang harus

kuserahkan:..!" Si Maling Bosa yang tak tahu

menahu tentang senjata pusaka itu mendengus! Si

Katai Losi yang sudah merasa kesal itu garuk-

garuk jidatnya yang mirip penggorengan.

"Keparat betul! Engkau mau kembalikan apa

tidak?" Si Maling Bosa mencaci maki habis-habisan

di dalam hati.

"Aku tidak ambil segala senjata pusaka milik

setan! Kalau pun aku mencurinya barangkali cuma

untuk keperluan menggali kakus...!" Tukas Maling

Bosa saking geramnya. Melihat si Maling Bosa

masih tetap tak mengakui perbuatannya, si Katai

Jola sudah tak sabar lagi.

"Kakang mbok! Mengapa harus bertele-tele,

kalau dia tidak mau mengaku. Baiknya kita copot

saja kepalanya?!" Si Katai Losi tanpa

memperdulikan ucapan adik seperguruannya terus

saja mendesak si Maling Bosa.

"Maling terkutuk! Agaknya aku harus

membelah kepalamu...!" Ancam si Katai Losi

kertakkan rahang. Sesungging senyum maut

membuat si Maling Bosa bersiap-siap

menjaga setiap kemungkinan.


"Kalian penggal pun kepalaku tak ada

gunanya... aku memang tak mencuri pusaka

perguruan iblis...!"

Si Katai Losi merah mukanya, panas pula

hatinya. Kemudian dia membentak gusar: "Aku

mau lihat apakah memang benar kepala atos bagai

batu...!" Seusai berkata begitu, sekali dia gerakkan

tangan kanannya lima jemarinya terpentang bagai

cakar burning. Cepat-cepat si Maling Bosa

menyingkir kesamping kiri, mengelakkan totokan

yang dilancarkan oleh si Katai Losi. Dalam

mengelak begitu Maling Bosa tendangkan kakinya

mengarah ke bagian selangkangan si Katai Losi.

Wanita katai itu yang sebelumnya tiada menduga

bahwa si Maling Bosa bisa secepat itu gerakkan

kaki kanannya, dia sudah tak dapat berkelit lagi.

"Duk!" Katai Losi menjerit bercampur malu,

karena selangkangannya kena ditendang oleh si

Maling Bosa. Dia memaki habis-habisan.

"Jahanam bangsat cabul! Kau benar-benar

akan menyesal sampai ke liang kubur karena

perbuatan busukmu itu...!"

"Pada kunyuk-kunyuk sesaat tak perlu

memakai segala peradatan!" Maling Bosa balas

memaki.


"Heiit...! Heep...!"

"Jhee... cuma segitu doang...!" Lagi-lagi si

Maling Bosa mencibir. Si Katai Losi nampak sangat

penasaran begitu serangan yang dilancarkan

berikutnya mengalami kegagalan. Dengan satu

jeritan keras dia menyerang lagi! Maka terjadilah

pertarungan yang dahsyat, dalam waktu sekejap

puluhan jurus sudah terlewati. Di lain pihak si

Katai Jola yang sudah tidak sabaran melihat

pertarungan itu ikut maju mengeroyok si Maling

Bosa. Dengan memandang enteng dia langsung

kirimkan serangan-serangan dahsyat. Si Katai ini

berkeyakinan dengan cara mengeroyok seperti itu

sudah barang tentu sebentar lagi si Maling Bosa

sudah kena di ringkus. Akan tetapi beberapa saat

kemudian dia dibuat terbelalak tak percaya,

karena terkaman yang mengarah pada bagian kaki

pihak lawannya ternyata masih mampu dielakkan

oleh si Maling Bosa dengan baik sekali. Bahkan si

Maling Bosa masih sempat tersenyum mengejek:

"Aha, jurus Kura-Kura Mencatok Ikan seperti

itu hanya pantas kau pergunakan untuk

menangkap tikus cecurut...!" Memerahlah wajah si

Katai Jola demi mendengar lawannya dapat

menggenali jurus-jurus yang dia mainkan.


Meskipun begitu sambil menyerang lawannya dia

membentak.

"Maling busuk! Sudah mau mampus banyak

tingkah...!" Kali ini kedua manusia kerdil itu rubah

jurus-jurus silatnya. Gerakan silatnya sedemikian

cepat, sebentar saja Maling Bosa sudah terkurung

dari dua jurusan. Meskipun begitu laki-laki

berkumis tebal itu masih nampak tenang-tenang

saja.

Gerakan kedua orang katai itu cepat sekali,

tubuh mereka hanya tinggal bayangan, tahu-tahu

secara serentak mereka kirimkan empat totokan

mengarah pada bagian-bagian paling mematikan.

Meskipun demikian, si Maling Bosa bukanlah orang

yang bodoh, ilmu silatnya yang ditempa oleh

pengalamannya sendiri selama puluhan tahun

ditambah lagi dengan kecerdikan akal yang

dimilikinya, membuat dia masih nampak tenang

dalam situasi yang sesungguhnya sudah sangat

terjepit. Begitu jemari tangan lawan-lawannya

hampir mencakar pada bagian leher dan mentotok

pada bagian punggung. Maling Bosa segera

jatuhkan badan dan berguling-guling. Gulingan

tubuhnya sesungguhnya merupakan sebuah jurus

yang ampuh dan chberi nama Ular Putih


menggulung mangsa. Tubuh yang terguling-guling

bergerak sedemkian cepatnya dan langsung

menyapu ke arah bagian kaki lawan-lawannya.

Kedua perempuan katai yang tiada menyangka

akan serangan kaki yang sedemikian cepatnya

nampak kalang kabut. Bagai dua ekor monyet

yang mabuk tahi ayam mereka ini berlompatan

kian ke mari. Si katai Losi mencaci maki habis-

habisan, kemudian kirimkan satu pukulan jarak

jauh. Maling Bosa cepat-cepat menghindar, begitu

merasakan hawa panas menyambar tubuhnya.

Pukulan itu langsung menerpa ruang yang kosong

dan menimbulkan suara yang memekakkan

gendang-gendang telinganya. Mengetahui

serangan ganas yang dilontarkan oleh si Katai Losi

dapat di-elakkan oleh si Maling Bosa dengan baik.

Si Katai Jola yang memang sudah sangat geram

langsung kirimkan pukulan yang sama. Pada saat

itu dengan nekad si Maling Bosa memapaki.

Benturan dua tenaga sakti tak dapat dihindari lagi:

"Bumm!" Tubuh si Katai Jola terlempar

bebarapa tombak, darah mengucur dari hidung

dan celah-celah bibirnya. Sedangkan si Maling

Bosa cuma tergetar beberapa saat lamanya.

Nyatalah bagi mereka bahwa tenaga dalam si


Maling Bosa ternyata dua tingkat di atas si Katai

Jola. Demi melihat kejadian ini, si Katai Losi

gusarnya bukan, alang kepalang. Beberapa saat

berikutnya dia segera merapal ajian Mulih Pati

yang terkenal dahsyat. Mengetahui hal itu Maling

Bosa bergumam:

"Hmm, Ajian Mulih Pati! Aku jadi ingin

melihat kehebatannya...!"

"Kau tak akan sempat melihat maling

keparat, karena sebentar lagi engkau segera

berangkat keliang kubur...!" Bentak si Katai Jola,

tahu-tahu sudah menyerangnya kembali dengan

jarak yang begitu dekat. Serangan yang mendadak

itu bagi si Maling Bosa sudah tak mungkin untuk

dikelit. Dengan sangat penasaran, maling Bosa

hantamkan kedua tangannya atas dan bawah.

Kedua tangan itu pun beradu! Si Katai Jola

berteriak kesakitan, dia menyurut sampai

beberapa tombak, mukanya nampak pucat pasi,

Sadarlah dia tak mungkin bakal unggul

menghadapi si Maling Bosa. Sementara itu si Katai

Losi sudah siap-siap dengan ajian Mulih Pati.

Kedua belah tangannya telah mengepulkan uap

kebiru-biruan, lama-kelamaan kabut biru itu mulai

membungkus tubuh si Katai Losi. Hingga kini


tubuh itu tak ubahnya bagai bayang-bayang

berkabut. Sesungguhnya satu kesalahan telah

dilakukan oleh si Maling Bosa. Andai saja tadi dia

tidak terpancing oleh serangan Katai Jola. Akan

tetapi sebaliknya malah menyerang si Katai Losi

yang sedang berkosentrasi merapal mantra. Sudah

barang tentu manusia kerdil ini tidak sempat

mempergunakan Ajian Mulih Pati. Setidak-tidaknya

dia masih punya banyak kemungkinan untuk

merobohkan kedua orang ini. Akan tetapi kini

keadaannya sudah sangat kasib. Dan Maling Bosa

pun sudah menyadari akan makna ilmu iblis yang

benar-benar sangat berbahaya itu. Dia sudah tidak

mempunyai peluang untuk bertarung dalam jarak

rapat. Bahkan tersentuh pun kalau masih mungkin

harus dihindari. Tiada pilihan lain bagi si Maling

Bosa. Cepat-cepat dia lolos sebilah keris dari

pinggangnya.

Begitu si katai Losi memburu ke arahnya,

dengan cepat Maling Bosa kiblatkan keris di

tangannya, senjata di tangannya menghembuskan

bau yang menyesakkan pernafasan lawan-

lawannya. Sebentar saja keris berlekuk tujuh itu

sudah menggulung si Maling Bosa, dan

membentuk satu pertahanan yang sangat sulit


untuk dicari titik kelemahannya. Kedua Katai itu

memaki panjang pendek. Si Katai Losi segera

maklum, kalau usaha mereka bakal sia-sia dalam

menembus benteng pertahanan lawan yang

demikian ketat dalam melindungi diri. Di benaknya

cuma ada satu jalan untuk merobohkan lawan

dalam waktu secepat mungkin. Cara licik! Cuma

itulah yang ada dalam pikiran si kerdil bangsat itu!

Si Katai Losi segera member! isyarat pada adik

seperguruannya.

Agaknya si Katai Jola .sudah mengetahui

makna isyarat tersebut. Maka dengan cepat dia

kembali lancarkan serangan-serangan ganas.

Sementara itu si Katai Losi nampak memberi

kelonggaran pada lawannya.

Keris lekuk tujuh di tangan si Maling Bosa

laksana seekor ular cobra yang meliuk-liuk sangat

cepat dan begerak kian kemari. Terkadang

bergerak sebat menusuk pada bagian lambung,

terkadang menderu menusuk ke pangkal leher!

Semua itu terjadi berturut-turut cepat bagaikan

kilat. Betapapun si Katai Jola percepat garakan-

gerakan silatnya, namun tetap saja si Katai Jola

dibikin terdesak dan tak sanggup menembus

pertahanan lawannya. Kini si Katai Jola segera


rubah permainan silatnya, dia kembali lancarkan

serangan-serangan yang lebih dahsyat dan gencar.

Bahkan dia telah kerahkan segenap

kemampuanya. Semua itu dia lakukan adalah

dengan maksud untuk memberi peluang pada si

Katai Losi lancarkan pukulannya di tubuh

lawannya. Menghadapi serangan yang datangnya

bertubi-tubi, mau tidak mau Maling Bosa curahkan

segenap perhatiannya pada si Katai Jola. Tanpa dia

sadari telah bersiap-siap pula si Katai Losi dengan

pukulan mautnya.

* * *


SEPULUH



Si Maling Bosa semakin terseret dalam

pertarungan jarak dekat dengan si Katai Jola. Pada

saat dia lengah seperti itulah si Katai Losi

memukul dari bagian belakang. Tak terelakkan

lagi:

"Buk!" Pukulan yang begitu telak dialiri

tenaga dalam yang sempurna dengan

berlambarkan Ajian Mulih Pati. Membuat tubuh si

Maling Bosa tersungkur ke depan. Tiada keluhan

yang terdengar dari mulut si Maling Bosa yang

menyemburkan darah segar. Napasnya nampak

tersendat-sendat, sementara kedua bola matanya

memandang pada kedua orang perempuan katai

yang kini nampak tergelak-gelak. Begitu pun tiada

dendam yang terpancar dari kedua bola matanya

yang kian meredup. Di lain pihak agaknya si Katai

Losi merasa kurang puas dengan apa yang telah

dialami oleh lawannya. Sesaat kemudian dengan

lengkingan dahsyat dia bermaksud mengakhiri

hidup musuhnya yang sudah nampak sekarat.


Pada saat-saat yang sangat keritis itu, mendadak

sebuah bayangan merah berkelebat.

"Plak! Plak!" Si Katai Losi terlempar

beberapa tombak dengan dada bagai terinjak

ribuan gajah. Begitu dia menoleh tahu-tahu di

depannya telah berdiri seorang pemuda yang

sangat tampan., Si pemuda memandang padanya

dengan sinar mata penuh kebencian. Tanpa

menghiraukan kedua orang katai itu, si pemuda

segera melangkah menghamphri si Maling Bosa

yang sudah nampak sekarat. Si pemuda yang tak

lain adalah Buang Sengketa adanya segera

berjongkok. Lalu diperiksanya urat darah yang

berada di pergelangan si Maling Bosa. Lemah!

Agaknya sudah tiada harapan untuk hidup bagi si

Maling Bosa. Mata si Maling Bosa yang sudah

meredup itu nampak sedikit terbuka dan

memandang sayu pada Pendekar Hina Kelana.

Dengan bersusah payah dia berkata pelan sekali:

"0... rang muda yang baik! Agaknya hidupku

sudah tidak lama lagi, di tengah rawa-rawa itu ada

seorang gadis murid sahabatku... Selamatkan lah

dia! Dan cari tau siapa sesungguhnya yang telah

mencuri senjata pusaka milik berbagai perguruan

itu...!" ucapnya. hampir-hampir tak terdengar.


Pendekar Hina Kelana menjadi sangat iba, lalu

cepat-cepat dia bertanya:

"Orang tua! Engkaukah yang bergelar si

Maling Bosa?" tanya Pendekar Hina Kelana sangat

gugupnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, tanpa

menjawab dia menggangguk.

"Aku sudah menemukan...!" Buang Sengketa

sudah tak sempat meneruskan kata-katanya

karena sesaat kemudian kepala si Maling Bosa

sudah terkulai, nyawanya melayang saat itu juga.

Bukan main menyesalnya Pendekar Hina Kelana.

Dia memaki diri sendiri! Mengapa tidak sejak tadi

dia turun tangan membantu laki-laki arif itu?

Bahkan dia tak menyangka kalau kedua katai itu

memiliki ilmu setan yang sangat ganas. Kini tanpa

sadar dia beranjak berdiri, kemudian

dipandanginya wajah kedua perempuan katai itu

silih berganti. Kedua matanya nampak memerah

saga. Hawa kesadisan sebentar saja sudah

menyatu dalam jiwanya yang agak terguncang.

"Bangsat rendah pengecut! Tiada sedikit pun

perasaan iba di dalam hatimu...!" geram Buang

Sengketa memendam amarah yang dalam.

Si Katai Losi menyadari kalau pemuda ini

memiliki tenaga dalam tidak jauh terpaut darinya,


bahkan dalam adu tenaga dalam yang tanpa

disengaja tadi dia sempat merasakan tangannya

bagai membentur dinding baja. Tangan bagai

kesemutan. Lebih dari itu tubuhnya terlempar

beberapa tombak dan muntahkan darah segar.

Maklum akan kehebatan pihak lawan, akhirnya dia

berkata lirih.

"Bocah! Ada sangkut paut apakah engkau

dengan si Maling Bosa, sehingga berani sekali

engkau mencampuri urusan kami?"

"Kerdil celaka! Tindakanmu yang sangat

telenggas saja sudah membuat aku harus

menghapus nama Perguruan Sangga Langit hari ini

juga! Masihkah kau pura-pura tak tahu...?"

Bentaknya marah.

"Budak hina! Si Maling Bosa telah mencuri

senjata pusaka milik perguruan kami, haruskan

kami tinggal diam!" Si Katai Jola menimpali.

Semakin bertambah gusarlah Pendekar Hina

Kelana di buatnya.

”Manusia sial mata picak! Sebaiknya ku

korek biji matamu yang tinggal satu itu biar kau

rasakan betapa gelapnya dunia ini...!" Si Katai Losi

tertawa ngakak, cepat-cepat dia menyela: "Bocah

edan kiranya engkau belum tahu siapa kami...!"


"Jahanam! Kalau begitu harus memenggal

kepala kalian saat ini juga!" Tiba-tiba Buang

Sengketa menyurut satu langkah, kemudian sekali

tangannya berkiblat selarik gelombang berhawa

panas luar biasa menderu mengarah pada kedua

manusia katai itu. Cepat-cepat kedua perempuan

katai itu mengelak kesamping kiri dan kanan. Si

Katai Losi terkejut sekali begitu hawa pukulan

yang teramat panas menyambar bagian kakinya.

Belum lagi hilang keterkejutan perempuan kerdil

itu lenyap. Kembali gelombang Sinar Ultra Violet

menderu dan melabrak ke arah mereka. Kedua

perempuan katai itu di buat kalang kabut, bahkan

tak diberi kesempatan sama sekali untuk

membalas. Karena datangannya serangan itu

bertubi-tubi bagai gelombang samudra. Mau tak

mau demi menyelamatkan nyawanya, kedua orang

ini memapaki serangan lawannya. Dengan nekad

kedua perempuan katai ini lancarkan satu pukulan

jarak jauh. Seberkas cahaya berwarna biru

keungu-unguan melesat cepat dari telapak tangan

kedua lawannya. Satu benturan yang sangat keras

sudah tidak dapat dihindari lagi ketika kekuatan

sakti itu saling berbenturan.


"Blam! Blam!" Tubuh si Katai Jola terlempar

sepuluh tombak dan langsung muntah darah,

sedangkan Katai Losi nampak terjengkang tujuh

tombak dengan posisi tubuh tunggang langgang.

Akan tetapi dia cepat-cepat bangkit kembali,

wajahnya pucat pasi. Nyalinya bahkan semakin

ciut begitu melihat lawannya masih tetap tegar

berdiri tanpa kekurangan suatu apapun.

Perempuan katai itu kemudian mengerung bagai

harimau tua terluka:

"Kunyuk hijau keparat! Sebentar lagi engkau

akan merasakan bagaimana hebat ajian Mulih Pati

yang telah merenggut nyawa si Maling Bosa! Dan

kaupun akan mendapat giliran berikutnya.

Mendengar ucapan si Katai Losi, Pendekar Hina

Kelana tertawa rawan.

"Menyesal sekali bangsat kerdil! Sebelum

niatmu itu kesampaian kepalamu sudah

menggelinding terlebih dulu!" Ejek pendekar Hina

Kelana.

"Cunguk sombong! Mulutmu kelewat

takabur...!" Si Katai Losi membentak.

"Kita lihatlah nanti:..!" Serentak dengan itu

perempuan katai sudah alirkan sebagian tenaga

dalamnya ke ujung jemari tangannya. Tangan itu


tergenggam dengan erat, sementara mulutnya

nampak berkemik-kemik membacakan mantra,

Ajian Mulih Pati.

Buang Sengketa tidak memberi kesempatan

pada si Katai Losi untuk bertindak lebih jauh.

Didahului oleh satu bentakan nyaring, Pendekar

Hina Kelana pukulkan tangan kirinya ke arah si

Katai Losi, sementara tangan kanannya begitu

cepat menyambar senjata pusaka yang terselip di

pinggangnya. Kedua perempuan katai itu nampak

terkejut sekali, begitu mereka melihat sebuah

golok Buntung di tangan Buang Sengketa

memancarkan sinar kemerah-merahan. Tiba-tiba

mereka merasakan hawa dingin yang luar biasa.

Sementara mulut Pendekar Hina Kelana telah

keluarkan bunyi mendesis-desis bagai suara

seekor Ular Piton yang sedang marah. Belum lagi

hilang kejut mereka, pemuda itu telah

menyerangnya dengan ganas sekali. Pedang di

tangannya berkelebat cepat, membentuk

gelombang sinar merah menyala yang tiada henti.

Tubuh kedua katai itu nampak menggigil

merasakan hawa dingin yang keluar dari senjata di

tangan lawannya. Cepat-cepat kedua orang ini

membentangi diri dengan jurus Kuakkan


Tempurung Mencatok Cacing. Kedua orang ini

bergerak cepat berusaha menghindari babatan

senjata pusaka lawannya. Namun secepat apa pun

gerakan si katai ini, golok di tangan Pendekar Hina

Kelana bergerak lebih cepat lagi.

Satu sat si katai Losi bermaksud

menyarangkan Ajian Mulih Pati itu mengarah pada

bagian dada si pemuda. Kiranya hal itu tidak luput

dari perhatian Buang Sengketa yang memang

sedari tadi lebih cenderung memperhatikan

gerakan si Katai Losi yang di kenalnya sebagai

sangat berbahaya. Begitu tangan si katai meluncur

deras dan hampir-hampir sampai pada

sasarannya, secepat kilat golok di tangan Buang

Sengketa berkelebat. katai Losi yang tidak mengira

bahwa gerakan golok di tangan lawan bisa

berkiblat secepat itu, sudah tak dapat menarik

tangannya lagi. Tak aval!

"Cras!" si Katai Losi melolong setinggi langit.

Tangan kirinya terbabat sebatas siku, kutungan

tangan mencelat jauh sampai tiga tombak. Darah

memancar deras dari luka yang mengerikan.

Cepat-cepat dia menotok urat darah untuk

mencegah keluarnya darah lebih banyak lagi.

Sementara itu si Katai Jola mengetahui kakak


seperguruannya kena dilukai oleh lawannya.

Lumerlah nyalinya. Meskipun dia masih menyerang

si pemuda akan tetapi hanya setengah hati. Sebab

apa yang ada di dalam benaknya adalah

bagaimana caranya untuk bisa kabur secepatnya.

Dalam pada itu si Katai Losi yang memang sudah

sangat nekad, kembali kirimkan pukulan-pukulan

dahsyat dengan sebelah tangannya. Pendekar Hina

Kelana putarkan badan, kemudian diiringi dengan

bunyi mendesis yang berkepanjangan, tubuhnya

berkelebat sedemikian cepatnya, hingga tinggal

merupakan bayang-bayang merah saja. Si Katai

Losi maupun si Katai Jola benar-benar dibuat

kelabakan. Satu saat tubuh Pendekar Hina Kelana

melesat ke udara, kemudian dengan disertai jerit

melengking tubuhnya lebih cepat lagi menungkik.

Satu babatan yang cukup telak dia lancarkan

mengarah pada bagian kepala si Katai Losi.

Perempuan kerdil itu agaknya tidak menyadari apa

yang bakal menimpa dirinya. Namun begitu dia

merasakan ada angin yang menyambar mengarah

dirinya, cepat-cepat dia coba menghindar. Akan

tetapi golok di tangan Buang Sengketa malah dua

kali lebih cepat.


"Prook!" Kepala si Katai Losi terbelah dua,

darah dan otak berhamburan ke mana-mana.

Hanya bola matanya saja yang nampak melotot

bagai mau meloncat keluar.

Sesaat lamanya si Katai Jola terkesima,

seolah dia tak percaya dengan apa yang di

lihatnya. Buang Sengketa yang sudah kalap itu

sudah tidak memberinya kesempatan lagi. Kembali

Pendekar Hina Kelana babatkan golok Buntungnya.

Si Katai Jola buang tubuhnya ke samping begitu

merasakan ada angin dingin menyambar pada

bagian tubuhnya. Belum lagi dia sempat bangkit,

lagi-lagi golok di tangan Pendekar Hina Kelana

menderu dahsyat mengarah pada bagian leher.

Dalam keadaan terjepit seperti itu, si Katai Jola

sangat gugup dan tangkis sambaran golok dengan

kedua tangannya.

"Cras! Cras!" Tangan si Katai Jola terkutung

menjadi beberapa bagian, perempuan itu menjerit-

jerit bagai orang gila karena menahan rasa sakit

yang teramat sangat. Wajahnya nampak pucat

pasi, tubuh menggigil ketakutan. Pendekar Hina

Kelana yang sudah gelap mata, tiada sedikit pun

memberinya ampun. Diburunya si Katai Jola de-

ngan senjata menderu-deru! Kemudian diawali


dengan teriakan menggelepar senjata di tangan

Pendekar Hina Kelana berkelebat kembali!

"Cras!" Kepala si Katai Jola menggelinding

ke atas tanah, bagai mata air, darah memancar

dari leher si Katai Jola yang terkutung. Beberapa

saat tubuh yang sudah tiada berkepala itu nampak

menegang, kemudian terhuyung-huyung ke depan.

Tak berapa lama setelahnya tubuh si katai itu pun

ambruk ke bumi. Sesaat lamanya Pendekar Hina

Kelana memandangi tubuh yang berlumuran darah

itu. Begitu dia teringat pada pesan si Maling Bosa

tentang gadis yang berada dalam gubuk miliknya

di tengah rawa, cepat-cepat dia bondong tubuh si

Maling Bosa yang sudah kaku itu. Secepat itu pula

tubuhnya berkelabat ringan menuju Rawa

Kematian.

* * *


SEBELAS



Setelah mengurus mayat si Maling Bosa dan

selesai menguburkannya, pendekar Hina Kelana

dan Dewi Sekar Tanjung segera memberi

penghormatan yang terakhir pada si Maling Arif

yang tewas di tangan si Katai Losi yang dengan

cara yang sangat menggenaskan itu. Hari telah

menjelang senja ketika mereka meninggalkan

Rawa Kematian untuk meneruskan perjalanan

menuju Karang Hantu. Sepanjang perjalanan,

Dewi Sekar Tanjung bercerita banyak tentang

kehidupan si Maling Bosa yang terkenal sebagai

seorang yang arif. Bahkan gadis yang sangat

cantik itu pun mengaku dengan terus terang

bahwa semula dia juga bermaksud membunuh

laki-laki itu, hingga kemudian dia

membatalkannya.

Tanpa terasa belantara Bukit Manoreh telah

jauh terlampaui. Setelah melewati hutan gundul

yang cukup luas. Malam sudah menjelang, bulan

purnama di atas sana nampak bersinar cerah.

Nampaknya kedua orang ini akan melewatkan


malam tanpa istirahat. Kedua orang ini terus

terlibat percakapan, sesekali terdengar derai tawa

mereka meningkahi sunyinya malam. Dan sesekali

pula tanpa sepengetahuan Pendekar Hina Kelana,

Dewi Sekar Tanjung mencuri pandang pada si

pemuda yang berjalan tenang di sisinya. Diam-

diam dia mengagumi ketampanan Pendekar Hina

Kelana. Cuma ada sesuatu yang membuat hati si

gadis kurang suka pada pemuda itu. Yaitu periuk

besar yang tergantung di bahunya. Periuk itu

hanya mengesankan bahwa si pemuda orang yang

sangat rakus dengan makanan, atau pula

merupakan seorang kelana yang takut mati

kelaparan. Lebih dari itu pakaian merah yang

dikenakannya dan sangat lusuh pula, hanya akan

memberi kesan pada setiap mata yang

memandangnya bahwa pemuda ini orang yang

jorok bahkan boleh di kata bagai bapak

moyangnya gembel! Tiba-tiba Dewi Sekar Tanjung

merutuk dirinya habis-habisan. Guoblook, tolol!

Mengapa pula dia harus memikirkan pemuda

gembel ini? Bukankah dia sudah di jodohkan

dengan Baya Swara yang juga masih merupakan

kakang seperguruannya sendiri. Baya Swara

merupakan orang yang sangat baik dan penyabar,


lebih dari itu kesetiaan pemuda itu tidak perlu

diragukan lagi! Lagi-lagi Dewi Sekar Tanjung

memakin dirinya sendiri habis-habisan. Dalam

pada itu tiba-tiba Pendekar Hina Kelana bertanya:

"Apakah kita masih jauh untuk sampai ke

Karang Hantu...?!" Dewi Sekar Tanjung agak

tergagap, dan seketika itu juga buyar segala

lamunannya.

"Apa katamu Pendekar?"

Buang Sengketa tersenyum getir begitu

Dewi Sekar Tanjung menyebut dirinya pendekar.

Buru-buru dia menyela: "Aku bukan pendekar!

Namaku si Hina Kelana, panggil saja begitu...!"

"Baiklah, kalau hal itu memang sudah

maumu...! Oh ya, kau tadi bilang apa?" tanya Dewi

Sekar Tanjung bloon. Buang Sengketa tersenyum

lagi.

"Itu makanya jangan melamun terus! Kalau

kubawa engkau ke jurang di depan sana apakah

bukan kematian bagimu...!"

"Sekarang ini kita sudah sampai di mana...?"

sambungnya lagi. Sesaat lamanya Dewi Sekar

Tanjung memandangi kanan kiri, tiba-tiba dia

tersurut mundur, lalu seperti pada dirinya sendiri:

"Celaka! Kita sudah berada di wilayah Sarang Iblis

Neraka...!" ucapnya penuh kejut.

"Bukankah tempat ini yang kita tuju...?"

kata Buang Sengketa keheranan.

"Hati-hati Kelana! Malam hari Karang Hantu

bisa berubah menjadi medan yang sangat

mengerikan...!" Dewi Sekar Tanjung coba

mengingatkan Pendekar Hina Kelana. Belum lagi

Dewi Sekar Tanjung sempat menarik nafas, pada

saat itu juga secara mendadak terdengar bunyi

bergemuruh di kanan kiri bukit-bukit karang. Gadis

itu memekik ketakutan. Tak lama kemudian

terdengar pula bunyi bergemerincing yang sangat

ramai sekali. Batu-batu berjatuhan, bersamaan

dengan itu pula terdengar langkah-langkah kaki

yang begitu berat bahkan menggetarkan tempat

sekitarnya.

"Kelana! Makhluk-makhluk apakah itu...!"

pekik Dewi Sekar Tanjung lalu menunjuk ke arah

satu tombak di depannya. Serentak Buang

Sengketa palingkan wajah! Pemuda ini berseru

tertahan begitu melihat beberapa sosok makhluk

raksasa telah berdiri mengepung mereka berdua.

Makhluk-makhluk raksasa yang berujud manusia

itu memiliki tinggi hampir empat kali lipat dengan


tinggi badan kedua orang ini. Dada mereka yang

tiada mengenakan pakaian nampak berbulu sangat

lebat. Tampang bengis, wajah berewokan.

Sementara jemari tangan mereka berkuku

panjang-panjang. Makhluk-makhluk raksasa itu

menyeringai ganas pada kedua orang ini.

Tampaklah taring-taring yang cukup panjang dan

mengerikan.

"Tempat ini benar-benar merupakan sebuah

neraka tempat tinggalnya para iblis...!" gumam

Pendekar Hina Kelana tanpa sadar.

"Siapakah kalian ini! Minggir, kami mau

lewat...!" bentak Pendekar Hina Kelana pada

makhluk-makhluk yang sangat mengerikan itu.

Mendengar bentakan si pemuda, makhluk-makhluk

raksasa itu saling pandang sesamanya. Tak berapa

lama kemudian dengan lidahnya yang terjulur-

julur. Serentak makhluk-makhluk mengerikan ini

tertawa-tawa secara bersamaan. Suara tawa

mereka yang besar dan parau telah meruntuhkan

batu-batu besar di tebing bukit karang itu. Mau tak

mau Dewi Sekar Tanjung maupun Pendekar Hina

Kelana demi menghindari tertimpanya tubuh

mereka dari batu-batu yang hampir sebesar


kerbau. Pendekar Hina Kelana memaki habis-

habisan.

"Jahanam! Makhluk-makhluk raksasa ini bisa

mencelakakan kita...!"

"Sebaiknya kita cari kesempatan untuk

melarikan diri...!" Dewi Sekar Tanjung menimpali.

Pendekar dari Negeri Bunian ini gelengkan kepala.

Kemudian dia berkata tegas.

"Apapun kehadiran mereka di tempat ini!

Yang jelas makhluk-makhluk ini merupakan

suruhan seseorang. Dan yang lebih pasti lagi,

mereka ini hanyalah makhluk siluman...!"

"Dari mana engkau tahu...?" tanya Dewi

Sekar Tanjung keheranan.

"Bau mereka, itu yang menjadi

pedomanku,..!" Dalam pada itu tiba-tiba saja.

"Kelana awas... makhluk-makhluk itu

menyerang kita...!" kata Dewi Sekar Tanjung

berseru kaget. Memang benar apa yang dikatakan

si gadis, makhluk-makhluk mengerikan itu

langsung menyerang mereka berdua, meskipun

gerakan mereka nampak ringan saja akan tetapi

tubuh mereka enam kali lebih besar bila di

bandingkan tubuh pendekar Hina Kelana, maka

serangan yang nampak asal-asalan itu


menimbulkan deru yang sangat memekakkan

telinga. Buang Sengketa berkelit, kemudian secara

cepat menyambar tubuh Dewi Sekar Tanjung

sambil berseru lantang.

"Untuk sementara kau tinggallah di dalam

periukku! Makhluk-makhluk jahanam ini

kelihatannya sangat buas sekali...!" Tanpa

menghiraukan ronta dan jerit si gadis, Buang

Sengketa segera masukkan tubuh Dewi Sekar

Tanjung ke dalam periuknya. Cepat-cepat pemuda

ini tutup kembali periuknya. Anehnya meskipun

tubuh Dewi Sekar Tanjung terbilang cukup besar,

akan tetapi ruangan dalam periuk itu mampu

menampung tubuhnya.

Sementara itu makhluk-makhluk raksasa

telah mengeroyok Pendekar Hina Kelana secara

beramai-ramai. Dalam waktu hanya sekejap saja

terjadilah pertarungan yang tak seimbang antara

makhluk-makhluk raksasa melawan Buang

Sengketa. Bagi makhluk-makhluk yang tak dapat

berbicara ini, tubuh Pendekar Hina Kelana tak

ubahnya bagai seekor anak ayam melawan bapak

moyangnya musang. Nampak sangat kecil dan

sangat tidak seimbang. Makhluk-makhluk ini

sambil membungkuk terus mencecar Buang


Sengketa. Mereka nampak sangat geram begitu

lawannya yang kelihatan sangat kerdil ini dengan

sangat cepatnya berkelit dan bergerak lincah kian

ke mari. Lama-kelamaan mereka menjadi jengkel,

kaki-kaki mereka menimbulkan gempa yang

sangat hebat. Batu-batu di atas tebing kembali

berjatuhan ke segala arah. Sedapat-dapatnya

Buang Sengketa berusaha mengelakkan benda-

benda tersebut. Biarpun banyak di antara batu-

batu yang sangat tajam itu menimpa tubuh

makhluk-makhluk itu sendiri, akan tetapi

sedikitpun tidak berpengaruh pada mereka.

Bahkan makhluk-makhluk ini nampak semakin

berutal dan genas.

Beberapa saat kemudian Pendekar Hina

Kelana nampak terdesak hebat, jurus

Membendung Gelombang Menimba Samudra yang

terkenal sangat sempurna inipun nampak menjadi

tak layak untuk dipergunakan. Tak ayal lagi, si

pemuda segera rubah jurus-jurus silatnya, tubuh

pemuda itu berkelebat sedemikian hebatnya. Satu

kesempatan yang sangat baik dia menyurut

beberapa tombak, makhluk-makhluk itu secara

beramai-ramai memburunya. Pada saat itulah

Pendekar Hina Kelana melepaskan pukulan Empat


Anasir Kehidupan. Secepat kilat tangannya

berkiblat, secepat itu pula menderu selarik

gelombang sinar Ultra Violet yang panas luar biasa

meluruk ke arah makhluk-makhluk itu. Akan tetapi

lebih cepat lagi. Makhluk-makhluk ini kirimkan satu

pukulan pula. Delapan gelombang sinar biru

menyala melesat pula dari jemari tangan delapan

raksasa-raksasa itu. Benturan tenaga sakti tidak

dapat dihindari.

"Blang!" Tubuh Pendekar Hina Kelana

terpelanting delapan tombak, darah meleleh dari

celah-celah bibirnya. Si pemuda segera menyadari,

bahwa selain pukulan Empat Anasir Kehidupan

tidak berpengaruh apa-apa bagi makhluk-makhluk

itu. Bahkan pukulan yang dilepaskannya membalik

dan hampir makan dirinya sendiri.

"Tobat!" Pemuda berkuncir ini memaki

panjang pendek. Belum lagi dia siap dengan

posisinya. Makhluk-makhluk itu tanpa memberi

ampun memburunya, kaki-kaki mereka bergerak

cepat dan menimbulkan gempa dan suara

bergemerincingan. Karena memang di pergelangan

kaki itu terdapat benda-benda yang menyerupai

mainan anak-anak. Pendekar Hina Kelana kembali

berkelit menghindari injakan kaki-kaki mereka,


lagi-lagi dia melepas pukulan-pukulan mautnya.

Akan tetapi seperti yang sudah-sudah, pukulan-

pukulan yang dilancarkan oleh Pendekar Hina

Kelana tidak berpengaruh apa-apa bagi makhluk-

makhluk tersebut. Buang Sengketa yang nampak

sudah sangat terdesak, agaknya sudah tidak

mempunyai pilihan lain lagi. Dia cepat raba

pinggangnya.

"Makhluk-makhluk terkutuk! Rupanya aku

harus mengadu jiwa dengan kalian...!" Raksasa-

raksasa tiada menjawab, hanya terdengar derai

tawa mereka saja yang sangat memekakan

gendang-gendang telinga.

Tak lama kemudian, dengan diiringi jerit

tinggi melengking. Mengaunglah senjata di tangan

Pendekar Hina Kelana bagai suara auman puluhan

harimau terluka. Tubuh pemuda itu berkelebat

cepat, senjata di tangan menderu berkiblat laksana

gelegar petir yang sambung menyambung tiada

henti. Secepat gerakannya lebih cepat pula pusaka

Golok Buntung memburu mangsa-mangsanya.

Tiga kali senjata di tangannya menderu, tiga kali

pula senjata itu mencapai sasarannya.

"Crat! Cras! Cras!" Tiga makhluk raksasa

nampak roboh bagai ditebang. Terdengar bunyi


makhluk-makhluk mengerikan ini nampak

berkelojotan untuk kemudian tak berkutik lagi.

Beberapa saat berikutnya terjadi keanehan pula.

Secara mendadak mayat makhluk-makhluk itu raib

tak tentu rimbanya. Bukan main marahnya

Pendekar Hina Kelana menyaksikan kejadian ini. Di

lain pihak demi mengetahui ketiga orang

kawannya dapat dirobohkan oleh si pemuda, Lima

raksasa lainnya menjadi sangat murka. Secara

beramai-ramai mereka menerjang kembali.

Pendekar Hina Kelana sudah nampak kalap

keluarkan bunyi mendesis, lalu putar Golok

Buntung di tangannya laksana kilat. Makhluk-

makhluk itu agaknya menyadari kalau senjata di

tangan lawannya sangat berbahaya sekali. Untuk

itu meskipun serangan-serangan mereka nampak

gencar akan tetapi nampaknya mereka sangat

berhati-hati sekali. Pendekar Hina Kelana yang

sudah semakin tak sabar ini langsung kerahkan

segenap kemampuannya. Begitu makhluk-makhluk

ini kembali menyerang dirinya dan kirimkan

cakaran-cakaran ganas, dia kembali kiblatkan

senjata di tangannya. Tak terelakkan lagi, pusaka

Golok Buntung kembali menderu menyambar

makhluk-makhluk itu.


"Cras!" Makhluk-makhluk itu terhuyung-

huyung, darah bercucuran dari luka yang

menganga. Akan tetapi sungguh aneh sekali,

begitu makhluk-makhluk ini sapu-sapu bagian-

bagian yang terluka, darah seketika itu juga

berhenti sama sekali, bahkan bekas luka yang

diderita oleh merekapun lenyap tanpa bekas.

Beberapa saat kemudian makhluk-makhluk itu

menyerang kembali bagai tiada jera-jeranya.

Buang Sengketa kertakkan rahang.

"Benar-benar bangsat siluman!" Gerutu

pendekar Hina Kelana. Tiba-tiba si pemuda

melengking dahsyat, tubuhnya lenyap sama sekali.

"Nguuung!"

"Ctar! Ctar! Ctar!" Cambuk Gelap Sayuto

pemberian si Bangkotan Koreng Seribu ikut

berbicara. Seketika itu juga bertiuplah angin

topan. Petir menyambar sambung menyambung,

sebentar saja bulan purnama yang tadinya

bersinar cerah tiba-tiba menjadi redup karena

tertutup awan hitam pekat. Tak berapa lama

kemudian suasana di sekitarnya menjadi gelap

gulita. Tinggallah cahaya kemerah-merahan yang

terpancar dari kharisma pusaka Golok Buntung.

Dalam pada itu agaknya makhluk-makhluk


mengerikan ini sudah mulai kedodoran nyalinya.

Mereka nampak saling pandang sesamanya. Mata

mereka saling kedip bagai kunang-kunang di

malam buta.

Buang Sengketa sudah tak perduli akan

semua itu. Golok di kanan cambuk di tangan kiri

dan secara bersama-sama terayun dan berkelebat

ke segala penjuru.

"Ctar! Ctar! Ctar!" Makhluk-makhluk raksasa

itu terpekik ketakutan, kemudian berlarian ke

segala arah. Sebentar saja makhluk-makhluk ini

hilang tak tentu rimbanya. Buang Sengketa

mengerendeng lalu menarik nafas pendek. Cepat-

cepat dia buka tutup periuknya, kemudian

mengerluarkan Dewi Sekar Tanjung dari dalamnya.

"Sudah aman!" ucapnya pendek.

"Sialan...! Aku sampai mau mampus kau

sekap di dalam periukmu...!" kata Dewi Sekar

Tanjung menggerutu.

"Itu masih lumayan! Toh kulihat dendeng

ikan lumba-lumba milikku nampaknya sudah

engkau sikat semuanya...!" sindir Pendekar Hina

Kelana.

Dewi Sekar Tanjung tersipu malu. "Periukmu

ini benar-benar ajaib! Bisa memuat manusia


sebesar aku!" Dewi Sekar Tanjung memuji,

sedangkan pendekar Hina Kelana hanya diam saja.

* * *


DUA BELAS



Baru saja mereka bermaksud meneruskan

perjalanan demi mencari tempat persembunyian

Nyaur Pati. Mendadak tanah tempat mereka

berpijak bergetar hebat. Batu-batu besar di kanan

kiri tebing kembali berjatuhan, sedapatnya mereka

berlari-lari menghindar sambil melindungi diri dari

reruntuhan batu-baru tersebut. Pada saat itu pula

terdengar gelak tawa sambung-menyambung,

Buang Sengketa hentikan langkah kemudian

memandang berkeliling.

"Hak...! Hak...! Hak...! Akhirnya engkau

datang juga di daerah kekuasaanku! Engkau

benar-benar seorang ksatria sejati. Lebih dari itu,

sebagai seorang lawan yang akan kukirim ke

neraka rupanya engkau seorang yang baik budi

engkau bawakan aku seorang calon istri yang

sangat cantik sekali. Sungguh aku sangat

beruntung malam ini...!"

Pendekar Hina Kelana yang memang sudah

sangat mengenali suara Nyaur Pati lantas

menyahut.


"Nyaur Pati bangsat terkutuk! Perhatikanlah

dirimu, aku paling benci pada seorang laki-laki

yang punya watak pengecut...!" bentak Pendekar

dari Negeri Bunian ini. Kembali Nyaur Pati yang

saat itu hanya terdengar suaranya saja menyahuti.

"Aku memang segera hadir di hadapanmu,

dengan dua tujuan! Mengambil gadis itu dan

memenggal kepalamu...!"

"Puih! Siapa sudi pada manusia muka

setan...!" Dewi Sekar Tanjung menyela dengan

wajah merah padam.

"Manusia buruk rupa, cepat-cepatlah

perlihatkan diri! Kalau tidak aku akan hancurkan

tempat persembunyianmu itu!"

"Baik... baiklah...!" Seusai dengan kata-

katanya itu, tahu-tahu Nyaur Pati telah berdiri di

depan mereka berdua. Betapa terkejutnya hati

Dewi Sekar Tanjung demi melihat wajah Nyaur Pati

yang sangat rusak itu, bahkan tanpa sadar dia

sampai-sampai menggit bibirnya. Buang Sengketa

yang memang sudah mengenali wajah Nyaur Pati

pada waktu-waktu sebelumnya nampak tenang-

tenang saja.

"Engkau tak perlu takut padaku nona manis!

Aku calon suami yang dapat membahagiakanmu


dan bahkan selalu dapat membawamu terbang ke

Surga...!" kata Nyaur Pati tersenyum tipis.

Meskipun laki-laki itu tersenyum, akan tetapi

senyumnya ini malah membuat wajahnya yang

ancur-ancuran itu nampak semakin mengerikan.

"Puh! Setan tua muka rusak! Siapa sudi

pada orang sepertimu, sudah wajah tak karuan.

Menjadi maling senjata pusaka milik berbagai

perguruan pula...!"

"Jangan kau hinakan calon suamimu sendiri!

Engkau harus percaya bahwa sekarang ini akulah

jagoan rimba persilatan...!"

"Setan alas, bangsat rendah! Malam ini juga

kami akan membikin hancur badanmu yang busuk

itu...!" bentak Dewi Sekar Tanjung sangat marah

sekali. Sebaliknya Nyaur Pati nampak tergelak-

gelak.

"He... he... he......! Aku suka pada gadism

yang galak! Engkau pasti sangat luar biasa...!"

ucap Nyaur Pati dengan maksud-maksud kotor.

"Jahanam bangsat cabul! Malam ini juga aku

akan hancurkan semua kesombonganmu...!" tukas

Pendekar Hina Kelana sudah tak dapat lagi

menahan kesabarannya.



Tanpa menghiraukan kata-kata Pendekar

Hina Kelana, sebaliknya dia menyela." Engkau

tenang-tenang sajalah Nona, aku hendak

singkirkan penghalang kebahagiaan kita...!"

"Manusia terkutuk muka setan!

Mampuslah...!" Tanpa buka-buka jurus, Pendekar

Hina Kelana langsung kirimkan satu pukulan

dahsyat. Nyaur Pati terkekeh! Lantas dengan cepat

samplokkan tangan kanannya memapaki serangan

Empat Anasir Kehidupan. Bagai menerpa dinding

saja memakan tubuhnya sendiri. Pemuda ini

semakin panjang pendek. Lagi-lagi Nyaur Pati

tergelak-gelak.

"Di wilayah kekuasaanku apa yang dapat

kau lakukan orang muda...!" kata Nyaur Pati

tertawa mengejek. Sebagai jawabannya, Pendekar

Hina Kelana kirimkan pukulan si Hina Kelana

Merana. Seberkas sinar merah menyala menderu

dahsyat meluruk tubuh si Nyaur Pati yang masih

memandang rendah pada pukulan yang

dilancarkan oleh pihak lawannya. Begitu gulungan

sinar merah itu hampir melabrak tubuh Nyaur Pati.

Laki-laki berwajah sangat rusak itu menangkis:

"Blaar!" Tubuh Nyaur Pati terbuntang, lalu

berserosotan dan terpelanting jauh.


Kini balik Buang Sengketa yang tertawa

mengekeh. Cepat-cepat Nyaur Pati bangkit,

kemudian menghapus darah kental yang

berlelehan dari celah ke dua bibirnya. Kedua bola

matanya memandang pada si pemuda dengan

penuh kebencian.

"Bangsat... kiranya engkau berkepandaian

juga, budak...!" geramnya. Bersamaan dengan itu

Nyaur Pati langsung menerjang dan kirimkan

pukulan-pukulan ganas. Dalam waktu sekejap saja

pertarungan sudah mencapai puluhan jurus. Nyaur

Pati agaknya menyadari bahwa lawannya tidak

dapat dianggap sembarangan. Tak ayal lagi, dia

kerahkan segenap kemampuannya. Satu

kesempatan yang baik, dia lancarkan satu pukulan

Hantu Karang Menyergap Mangsa. Satu gelombang

angin topan yang berhawa sangat dingin meluruk

ke arah Pendekar Hina Kelana. Pemuda inipun

maklum kalau pukulan yang dilancarkan oleh

Nyaur Pati merupakan pukulan yang sangat

dahsyat dan terkenal ganas. Cepat-cepat dia

kiblatkan tangannya, satu gelombang sinar merah

menyala melesat dari kedua tangannya. Benturan

tenaga sakti dari kedua pihak yang sama-sama,

ingin secepatnya mengakhiri lawan. Terjadi!


"Blar!" Tubuh Nyaur Pati terhuyung

beberapa tindak ke belakang, sementara tubuh

Pendekar Hina Kelana terpelanting roboh. Dada

terasa remuk, darah menyembur dari mulut dan

hidung Pendekar Hina kelana. Dewi Sekar Tanjung

demi mengetahui kejadian itu terpekik tertahan

dan bermaksud memburu ke arah Nyaur Pati

dengan pedang terhunus. Nyaur Pati terkekeh dan

langsung menyela: "Engkau tak pantas melayaniku

dalam pertarugan ini! Engkau lebih pantas

melayaniku di tempat tidur saja...!" kata Nyaur

Pati dengan tawa tergelak-gelak.

Dalam pada itu Pendekar Hina Kelana yang

baru saja selesai menghimpun hawa murni, sudah

bangkit kembali. Setindak demi setindak dia

melangkah, kemarahannya benar-benar sudah

mencapai puncaknya. Sementara kedua matanya

memandang dingin pada Nyaur Pati yang masih

terus tergelak-gelak. Kemudian dengan suara

tergetar dia membentak: "Manusia dajal yang

berjuluk Nyaur Pati! Kalau hari ini aku tak dapat

memenggal batang lehermu. Lebih baik aku

mengundurkan diri dari dunia persilatan...!" Demi

mendengar ucapan Pendekar Hina Kelana, manusia


buruk rupa ini mendengus dan tersenyum

mengejek.

"Kalaupun engkau mempunyai nyawa

rangkap! Tidak nantinya engkau ungul menghadapi

aku...!"

"Engkau terlalu sombong manusia muka

ancur-ancuran...!" Bersamaan dengan ucapannya

itu, tubuh Buang Sengketa berkelebat lenyap. Kini

hanya tinggal bayang-bayang merah yang

berseliweran kian ke mari. Nyaur Pati tak kalah

hebatnya mengimbangi gerakan-gerakan lawan

sambil lancarkan pukulan-pukulan mautnya.

Pertarungan berlangsung semakin seru. Agaknya

Pendekar Hina Kelana sudah semakin tak sabar

lagi menghadapi lawan penyebar malapetaka ini.

Tak lama kemudian pemuda ini sudah menyurut

beberapa langkah, Nyaur Pati terus memburunya.

Pendekar Hina kelana yang memang sudah

memperhitungkan segala-galanya, nampak

kembali berkelebat dengan keluarkan bunyi

mendesis bagai seekor Ular Piton yang sedang

marah. Tak lama kemudian dengan diiringi dengan

jerit melengking dia sudah cabut senjata Pusaka

Golok Buntung yang sangat terkenal

kedahsyatannya. Golok di tangan pemuda itu


langsung berkelebat cepat dan memancarkan sinar

merah menyala. Udara di sekitarnya mendadak

berubah dingin. Nyaur Pati terkejut bukan main

demi merasakan pengaruh yang ditimbulkan dari

pusaka yang tergenggam di tangan lawannya.

Akan tetapi dia sudah tidak dapat berpikir panjang

lagi sebab golok di tangan Pendekar Hina Kelana

dengan sangat cepat telah menyambarnya.

"Cras! Cras! Cras!" Tubuh Nyaur Pati sudah

tidak sempat terhuyung atau melolong lagi, sebab

tubuh manusia dajal itu telah terkutung menjadi

tiga bagian. Bahkan diapun tak sempat menyadari

apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Tanpa

ampun tubuh yang telah terpotong menjadi tiga

bagian itu langsung ambruk ke bumi dengan

keadaan yang sangat mengerikan.

Mengetahui kenyataan itu, bukan main

gembiranya hati Dewi Sekar Tanjung. Dia berlari-

lari menghampiri Pendekar Hina Kelana dan

langsung memeluknya.

"Engkau hebat sekali Pendekar...!" ucapnya

jujur sambil memberi satu ciuman hangat pada

Pendekar Hina Kelana. Si pemuda tersipu malu,

wajahnya berubah kemerah-merahan. Secara


halus dia menolakkan tubuh Dewi Sekar Tanjung.

Dan cepat-cepat dia mengalihkan perhatian.

"Lihatlah senjata-senjata yang berada di

dalam bungkusan itu! Aku yakin senjata-senjata

inilah yang menjadi biang keributan selama

beberapa purnama ini...!" ujar Pendekar Hina

Kelana sambil memeriksa satu bungkusan besar

yang terletak tak begitu jauh dari mayat si Nyaur

Pati. Setelah bungkusan itu dibuka ternyata

memang benar didalamnya terdapat puluhan

senjata pusaka milik berbagai perguruan.

"Ini senjata milik perguruan kami, Kelana.

Sedangkan yang ini milik si Katai telah engkau

bunuh itu! Yang ini... yang itu... aku tak tahu...!"

ujar Dewi Sekar Tanjung kebingungan sendiri.

"Kalau begitu kita punya kewajiban untuk

mengembalikannya...!"

"Kau benar! Kita memang wajib

mengembalikannya pada yang berhak...!" Kata

Dewi Sekar Tanjung tersenyum penuh arti. Tak

lama kemudian setelah membungkus senjata itu

kembali, kedua orang ini pun berlalu dari Neraka

Karang Hantu.



                         TAMAT








Share:

0 comments:

Posting Komentar