NERAKA KARANG HANTU
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Karya : D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 005 :
Neraka Karang Hantu
SATU
Rimba belantara Bukit Manoreh masih
berselimut kabut tebal di pagi itu. Hujan deras
yang turun sejak dua hari yang lalu, membuat
tanah di sekitar perbukitan menjadi longsor di
sana sini.
Tiada terdengar kicauan burung-burung,
tiada pula suara lenguh terompet gajah. Hanya
desau angin dan gemuruh suara hujan yang tiada
henti. Udara terasa dingin menggigit, tanah
dataran di sekitarnya semakin lembab. Hutan
Rimba Manoreh memang tampak memberi kesan
angker pada siapa pun. Akan tetapi biar pun
begitu, agaknya hal itu tidak berlaku bagi kedua
orang ini.
Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya
mereka terus berlari menuruni lekuk lengkung
tanah-tanah berbukit di bawah pohon-pohon yang
telah berumur ratusan tahun
Beberapa saat kemudian tatkala mereka
sampai di sebuah bukit paling tinggi kedua orang
ini hentikan langkahnya. Sekilas dua orang
perempuan berbadan katai ini memandang
berkeliling. Suasana sunyi sepi! Sejurus mereka
saling berpandangan sesamanya. Ada rasa saling
curiga membayang di wajah kedua orang ini.
Wajah perempuan katai berjubah kulit macan tiba-
tiba saja memucat. Kemudian tanpa basa basi lagi
tubuh yang hanya tujuh puluh senti itu melesat ke
atas pohon, kemudian berloncatan bagai seekor
tupai dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya.
Dalam waktu sekejab mereka sudah berlalu jauh
meninggalkan Bukit Manoreh.
Kini sampailah mereka di sebuah dataran
rendah lainnya. Dataran rendah ini banyak di kenal
orang sebagai Rawa Kematian. Tanah yang
luasnya ribuan tombak ini sesungguhnya
merupakan tanah gambut yang apabila satu
sisinya tersentuh oleh kaki makhluk apapun
mengakibatkan timbulnya getaran di sana sini.
Tidak ubahnya sebuah ombak yang saling
menyambung tiada henti. Kalau hal itu tentu
makhluk buas dan reptil lainnya yang mendiami
dasar rawa-rawa itu sudah dapat di pastikan
segera bangkit dan menyerang makhluk apa saja
yang berada di atasnya. Agaknya mereka ini juga
tahu akan bahaya yang mengancam mereka andai
keduanya dengan nekad melakukan
penyeberangan, terbukti sejak mereka melompat
turun dari sebuah pohon terakhir orang ini masih
saja tercenung di pinggiran rawa-rawa itu.
"Sampai mampus sekalipun kalau kita cuma
termenung di sini tak bakal sampai ke seberang
sana Jola...!" rutuk salah seorang dari mereka
yang bernama Losi. Perempuan katai yang satunya
nampak terdiam, kedua bola matanya yang besar
sebelah dan membangkitkan rasa ciut bagi lawan-
lawannya nampak menatap lurus ketengah-tengah
rawa.
"Lagi pula aku tak percaya kalau rawa-rawa
ini dapat membahayakan kita!" sambung si Katai
Losi mencemooh.
"Mulutmu terlalu sombong, Kakang Mbok.
Aku pernah sampai di sini belasan tahun yang lalu.
Saat itu murid-murid dari berbagai perguruan
mencoba menyeberangi rawa ini. Akan tetapi
pemandangan yang terjadi sungguh sangat
mengerikan sekali. Ratusan orang lenyap tanpa
bekas, mereka terkubur di dalam rawa penghisap
di tengah-tengah sana. Atau mungkin juga jasad
mereka terkubur di dalam perut makhluk penghuni
rawa-rawa ini...!" kata si Katai Jola terkenang
masa lalu. Si Katai Losi kerutkan kening,
seingatnya saat itu dia memang belum pernah
bertemu dengan saudara kandungnya Jola. Karena
memang dengan tekunnya dia mempelajari ilmu
sakti yang diberi nama Mulih Pati yang terkenal
dahsyat. Itulah sebabnya meski pun di dalam
perguruan Sangga Langit, dia merupakan murid
paling tua, akan tetapi malang melintang di rimba
persilatan dia tergolong masih miskin pengalaman,
walaupun begitu dalam hal sepak terjangnya
menghadapi lawan-lawannya sudah barang tentu
Jola masih jauh di bawah tingkatannya. Apalagi
kini dengan ilmu baru yang sangat di yakininya itu.
Mulih Pati! Sebuah ilmu langka yang hampir lima
tahun terakhir menggetarkan kaum persilatan
bagian Selatan. Siapa yang tak kenal si Katai Jola
dan Losi. Tokoh-tokoh persilatan sering merasa
enggan berurusan dengan mereka ini. Dua orang
dedengkot persilatan golongan setan tak segan-
segan membunuh lawan-lawannya hanya dengan
sekedipan mata saja. Tak perduli apakah lawan di
pihak yang benar apalagi di pihak yang salah.
Dengan ilmu Mulih Pati, yang dapat membuat layu
pohon kayu sebesar apa pun, beratus-ratus jiwa
telah melayang di tangannya hanya dengan sekali
sentil.
Kalau hari ini kedua perempuan katai ini
sampai di Rawa Kematian yang berada di wilayah
Bukit Manoreh. Hal ini adalah semata-mata hanya
demi menemukan kembali Pedang Pusaka Belibis
Sakti milik perguruan mereka yang telah di curi
oleh si maling arif yang bernama Bosa. Kini
kembali pada si Katai Jola dan Losi yang sudah
mulai mencak-mencak tak sabar melihat tingkah
adiknya yang cuma duduk ongkang-ongkang di
pinggiran rawa-rawa itu,
"Jola! Kalau begini terus aku sudah tak kanti
lagi. Mestinya kau juga harus turut memikirkan
bagaimana caranya agar kita dapat sampai ke
tempat kediaman maling Bosa...!" bentak Losi
kesal.
"Aku harus berbuat apa Kakang Mbok! jalan
satu-satunya yang paling tepat dan tidak
membahayakan keselamatan kita hanyalah dengan
cara menunggu Si Maling Bosa keluar dari
rumahnya di tengah rawa ini. Atau setidak-
tidaknya kita harus mengetahui jalan rahasia yang
sering di lewati maling Bosa setiap harinya...!" Losi
agaknya kurang setuju dengan keputusan yang
diambil oleh adiknya, maka dengan cepat dia
menyela:
"Selamanya aku paling tak menyukai
pekerjaan yang bertele-tele. Gagasan yang kau
katakan itu tak lebih merupakan sebuah
kepengecutan dari seorang yang berjiwa rendah.
Aku tak menyukainya...!" Si Katai Jola tersenyum
getir, dalam hati benar dia mengakui akan
keberanian yang dimiliki oleh kakaknya. Akan
tetapi keberanian yang gegabah tanpa
memperhitungkan untung ruginya, biasanya selalu
berakibat fatal.
"Kakang Mbok! Berpikir sebelum bertindak
hal itu malah lebih baik daripada sekedar menuruti
hawa nafsu...!" Si Katai Losi yang hanya memiliki
satu mata ini nampak menjadi berang, kedua
rahangnya terkatup rapat dan menimbulkan suara
bergemeletukan.
"Huh. Aku tak butuh khotbahmu, sekarang
engkau mau ikut denganku atau cuma sekedar
ingin menonton dari pinggir rawa-rawa ini?" Si
Katai Losi menyela marah. Agaknya saudara
seperguruan yang satu ini termasuk orang yang
sangat sabar melihat kemarahan kakak
seperguruannya dia masih bisa bersikap tenang
tenang saja. Dengan suaranya yang selalu
terdengar lirih dia pun berucap:
"Aku tidak mengatakan tidak ikut. Kalau aku
berniat demikian tentu sudah sejak dari perguruan
kita hal itu kulakukan. Tapi sebelum aku dan
engkau memutuskan untuk menyeberangi tanah
hidup ini, alangkah lebih baik kalau engkau melihat
dulu apakah tempat ini benar-benar berbahaya
seperti yang pernah kulihat dulu atau tidak...!"
Usai berkata begitu, si Katai Jola memungut
sebuah batu besar yang terdapat tidak begitu jauh
dari tempat dia duduk. Setelah menimang-nimang
batu ditangannya itu untuk beberapa saat
lamanya. Si Katai Jola langsung melemparkan batu
tersebut ke arah rawa.
"Buk!"
"Blung!" Air disekitar tanah gambut itu
beriak seketika. Tak terlihat reaksi apapun dari
dalamnya. Si Katai Losi hampir saja membuka
mulutnya untuk melabrak adiknya, namun
akhirnya urung begitu dia melihat air di dalam
rawa bergolak, kemudian bermunculan makhluk-
makhluk berbisa yang jumlahnya mencapai
puluhan ribu ekor. Binatang-binatang itu dengan
ganas menyerang batu yang sudah tenggelam di
dasar rawa berkedalaman hampir lima meter.
"Huh! Benar-benar makhluk keparat yang
sangat mejijikan...!" Serunya memandang jijik.
"Nasib kita tidak terbayangkan andai kita
nekad melintasi rawa-rawa terkutuk ini, Kakang
Mbok...!" Si Katai Jola menyela. Perempuan yang
bernama Losi itu mengerutkan alisnya yang sudah
mulai tampak memutih di sana-sini. Lalu dia
berucap:
"Kita harus mencari jalan keluar! Dan andai
saja pedang Pusaka Belibis Sakti itu dapat kurebut
kembali dari tangan Maling Bosa, hal itu tidak akan
mempengaruhi maksudku untuk membunuhnya..!"
ucap si Katai Losi sangat geramnya.
"Untuk itulah aku sedang memikirkan jalan
keluarnya!"
"Sedari tadi hanya itu saja yang kau
katakan, tapi mana hasilnya...?!" Si Katai Jola
usap-usap rambutnya yang tebal namun sudah
memutih keseluruhannya. Sesungguhnya dia
sudah sangat kesal dengan ulah saudara
seperguruannya itu, akan tetapi dia tidak punya
keberanian untuk membantah terkecuali mengurut
dadanya yang kerempeng.
"Kakang Mbok! Dalam masalah ini kita tak
bisa bertindak tergesa-gesa. Maling Bosa bukanlah
orang yang bodoh. Mungkin saja dia sengaja
memancing kita untuk meluruk ke sarangnya.
Kalau kita tak sabar menunggu, bisa mungkin ini
merupakan satu kesempatan baginya untuk
memusnahkan kita tanpa ambil resiko apa pun...!"
jelas si Katai Jola secara panjang lebar. Si Katai
Losi terdiam untuk beberapa saat lamanya,
kemudian dengan suara lirih dia menyahut:
"Kau benar juga! Kalau begitu mari kita cari
jalan lainnya, Maling Bosa sudah pasti memiliki
jalan rahasia untuk sampai ke rumahnya di tengah
rawa-rawa itu...."
"Kalau begitu mari kita mulai!" Si Katai Jola
menyahuti. Selang beberapa saat kemudian kedua
perempuan katai itu telah berkelebat pergi
mengelilingi pinggiran Rawa Kematian.
* * *
DUA
Maling Bosa atau yang lebih dikenal dengan
julukan si Maling Arif Bosa, siang itu nampak
sedang asyik menikmati sebumbung tuak di salah
satu kedai makanan yang terletak di sebuah desa
yang bernama Hutan Panjang. Sementara itu di
kanan kirinya duduk pula beberapa orang laki-laki
berpakaian gembel. Mereka ini sesungguhnya
Ketua Pengemis Partai Tenggara, yang juga
merupakan sahabat Maling Bosa selama hampir
belasan tahun terakhir. Belakangan ini ketiga
orang itu memang kerap kali mengadakan
pertemuan, terlebih-lebih dengan semakin
banyaknya tuduhan dari berbagai partai persilatan
berkenaan dengan hilangnya senjata pusaka milik
perguruan mereka.
Karena rata-rata, ketua dari berbagai
perguruan yang merasa kehilangan lebih
cenderung menuduh bahwa Maling Bosalah yang
telah menjadi biang keladi dalam berbagai aksi
pencurian itu. Sudah barang tentu Arya Pasangran
yaitu ketua Pengemis Partai Tenggara tidak ingin
membiarkan sahabat karibnya mengalami berbagai
kesulitan. Arya Pasangran menyadari meski pun
sahabatnya si Maling Bosa, sesuai julukannya
memang benar merupakan seorang pencuri ulung.
Akan tetapi ruang lingkup kegiatannya hanya
berkisar mencuri harta benda para saudagar kaya
yang teramat pelit dan tidak mau ambil peduli
dengan penderitaan rakyat kecil. Lebih dari itu,
sebagaimana kebiasaannya setiap hasil
pencuriannya selalu di bagi-bagikan pada kaum
rakyat jelata. Itulah sebabnya mengapa kaum
persilatan memberi julukan si Maling Arif Bosa.
Kalau kini hampir semua ketua berbagai
perguruan mengacungkan terunjuk dan menuduh
Maling Bosa lah yang telah melakukan berbagai
aksi pencurian senjata perguruan, sebagai sahabat
terdekat tentu Arya Pasangran akan membelanya
mati-matian. Demikianlah sambil menikmati tuak
yang enak dan wangi mereka terus bercakap-
cakap.
"Kakang Bosa! Hari-hari terakhir ini berbagai
partai perguruan nampaknya cenderung menuduh
bahwa engkaulah yang telah mencuri pusaka
perguruan mereka. Meski pun aku percaya bahwa
hal itu bukan merupakan pekerjaanmu! Akan
tetapi bagaimana mungkin mereka bisa percaya?"
Kata ketua pengemis partai Tenggara coba
menasihati. Si Maling Bosa yang berbadan gemuk
dan berkumis tebal itu, tampak mengerutkan
alisnya. Dalam hati dia tak habis bertanya-tanya,
mengapa justru lenyapnya senjata-senjata pusaka
milik berbagai perguruan di kaitkan dengan
dirinya. Padahal selama ini belum pernah sekali
pun mencuri pusaka lambang kebesaran perguruan
manapun. Kalau mencuri harta benda milik para
saudagar pelit memang iya! Akan tetapi hasilnya
bukanlah untuk dirinya, harta curian itu selalu dia
bagikan pada rakyat yang benar-benar tidak
mampu. Jika sekarang ini tokoh-tokoh persilatan
menuduh bahkan mencari dirinya untuk di bunuh
dengan dasar alasan hilangnya pusaka-pusaka
yang bagi dirinya sendiri tak ada guna. Hal ini
benar-benar sangat keterlaluan sekali! Dia harus
menerangkan duduk persoalan yang sebenarnya,
bahkan kalau perlu dia pun akan turun tangan
mencari siapa sebenarnya yang telah melakukan
pencurian pusaka-pusaka tersebut!
"Maksudmu aku harus mengakui semua
tuduhan mereka walau yang sesungguhnya aku
tidak tahu menahu dengan berbagai pusaka yang
tiada guna itu...?" Si Maling Bosa menyela setelah
beberapa saat lamanya terdiam dalam
lamunannya. Arya Pasangran gelengkan kepala,
kemudian dengan sangat berhati-hati dia
bergumam.
"Maaf Kang! Jangan salah sangka. Bagiku
apa pun, yang akan terjadi Perkumpulan Kaum
Partai Pengemis Tenggara, tetap berada di
pihakmu!" Kata Arya Pesangran. Kemudian dengan
lebih berhati-hati lagi dia menyambung:
"Tapi menurut pendapatku, alangkah lebih
baik lagi jika Kakang tidak terlalu sering muncul di
dunia ramai sehingga perse-lisihan paham dapat di
hindari...!" Menden-gar ucapan Arya Pasangran
memerah lah wajah si Maling Bosa, di tatapnya
wajah Ketua Perkumpulan Partai Pengemis
Tenggara lekat-lekat. Seolah dia tak percaya de-
ngan apa yang baru saja di dengarnya.
"Maksudmu aku haru menetap di Rawa
Kematian? Huh! Sekali pun nyawaku harus
melayang, aku tak akan bertindak sepengecut
itu...!" dengus si Maling Bosa dengan mata
melotot. Mengetahui sahabat karibnya nampak
sangat tersinggung karena salah pengertian,
cepat-cepat Arya Pasangran meralat ucapannya:
"Ee... maksudku begini Kakang! Semua itu
demi menjaga nama baik Kakang Bosa sendiri...!"
Belum lagi Arya Pasangran usai dengan kata-
katanya, tiba-tiba Maling Bosa tergelak-gelak,
matanya yang memang sipit itu bertambah
menyipit.
"Adi Pasangran! Nama baik apakah yang kau
maksud, bukankah aku sendiri seorang maling?
Kalau sudah maling, mana ada yang baik!" Si
Maling Bosa mencela.
"Kakang tak mengerti maksudku...!" "Tak
usah kau jelaskan aku pun sudah tahu Arya
Pasangran! Kau fikirlah sendiri. Kalau aku menuruti
nasehatmu, pandangan tengik-tengik yang
kehilangan pusaka itu sudah barang tentu menjadi
lain. Berarti mereka mengganggap bahwa
sangkaan mereka itu benar adanya, aku ngumpet
mereka lantas menuduhku bahwa memang aku
malingnya...!"
"Jadi apa rencana Kakang selanjutnya...?"
tanya Arya Pasangran mengalah. Si Maling Bosa
terdiam untuk beberapa saat lamanya, dielusnya
kumis tebal yang tak pernah terawat itu berulang-
ulang, kemudian:
“Cgluuk... cgluuk... cgluu...!" Dengan tiga
kali teguk tuak di dalam bumbung bambu yang
tinggal setengah itu pun tuntas. Kedua bola mata
Maling Bosa kini sudah semakin bertambah merah.
Akan tetapi meski pun dia sudah menghabiskan
lebih dari em pat bumbung tuak, tapi masih belum
ada tanda-tanda dirinya mulai mabuk.
"Untuk diriku sendiri aku telah memikirkan
jalan yang terbaik...!" kata si Maling Bosa penuh
keyakinan.
"Maksudmu...?" tanya Arya Pasangran
penuh keingin tahuan.
"Aku akan menjumpai mereka-mereka yang
kehilangan pusakanya, kemudian aku jelaskan
duduk persoalan yang sebenarnya...!" Ketua Partai
Pengemis Tenggara itu menyadari tak akan ada
gunanya menasihati si Maling Bosa yang keras
kepala. Untuk menghindari suasana yang tidak
enak, akhirnya dia cuma mampu geleng-geleng
kepala.
Sementara itu tanpa mereka sadari sudah
sejak tadi ada orang lain yang juga berada di kedai
itu ikut mendengarkan pembicaraan mereka.
Mengetahui semuanya sudah jelas, kini orang itu
dengan langkah mantap nampak berjalan
menghampiri si Maling Bosa dan dua kawannya
dari partai pengemis. Begitu sampai di depan
ketiga orang ini, langsung saja si gadis
membentak:
"Pencuri Bosa berlumur dosa! Didunia ini
mana ada seorang maling yang mau mengakui
perbuatannya. Baru saja engkau tadi malam
menyantroni Perguruan Nganti Mulih dan mencuri
Pusaka Keris Kencana, masihkah engkau mau
mungkir...!" Gadis itu menyela dengan sikap
menuduh! Bagai disengat kala jengking, bukan
main terperanjatnya si Maling Bosa dan dua orang
Ketua Partai Pengemis Tenggara ini. Meski pun dia
seorang pencuri yang sangat lihai, namun di tuduh
sedemikian rupa oleh seorang gadis yahg masih
sangat muda belia. Di samping tuduhan itu pun
tidak beralas-an, maka marahlah si Maling Bosa.
"Bocah! Melihat tampang dan nama
perguruanmu saja baru kali ini, datang-datang kau
menuduhku dengan kata-kata yang tak patut oleh
seorang gadis secantik engkau...!" kata si Maling
Bosa berusaha meredam kemarahannya.
Sebaliknya si gadis malah bertolak pinggang.
"Maling celaka masih juga kau mungkir! aku
tak butuh sanjungan dari mulutmu yang busuk itu.
Sekarang kembalikan Keris Pusaka milik perguruan
kami setelah itu kau potonglah sebelah tanganmu,
mudah-mudahan aku tidak akan memperpanjang
persoalan ini...!" Wajah Maling Bosa berubah
kelam membesi, kemarahannya memang sudah
sampai pada puncaknya. Biar pun dia seorang
pencuri ulung, baginya lebih baik diberaki
wajahnya dari pada dimaki sedemikian rupa oleh
seorang gadis yang masih ingusan.
"Bocah! Lancang sekali mulutmu! Tidakkah
kau dengar tadi bahwa aku sendiri merasa di fitnah
dengan hilangnya berbagai pusaka dari perguruan
Setan Belang?” Bentak si Maling Bosa saking
kesalnya.
"Maling terkutuk! Agaknya aku harus
memaksamu baru kemudian engkau mau
mengakui semua perbuatan busukmu...!" Tukas si
gadis kesal, dan tak begitu lama kemudian dia
sudah melolos sebilah pedang yang sangat tajam.
Arya Pasangran yang sejak tadi diam saja, kini
demi mengetahui gelagat yang kurang baik
langsung saja beranjak dari tempatnya, kemudian
langsung melangkah ke hadapan si gadis. Setelah
menjura hormat dia langsung bertanya:
"Nona! Siapakah gerangan nona ini, datang-
datang langsung marah-marah begini. Bukankah
anda sebaiknya bertanya dulu dan menjelaskan
persoalan yang sebenarnya...!" ucapnya dengan
nada kurang senang!
Si gadis sejenak memandang sinis pada
Ketua Perkumpulan Pengemis Tenggara. Begitu
mengetahui siapa adanya orang yang sedang
dihadapinya, gadis berpakaian kuning gading itu
pun tersenyum mencemooh.
"Huh! Engkau rupanya Ketua Perkumpulan
Gembel dari Tenggara! Minggir! Engkau tak perlu
ikut campur...!" Dengus si gadis sambil
memandang remeh. Arya Pasangran seorang laki-
laki setengah baya yang terkenal sangat penyabar
walaupun begitu di rendahkan oleh seorang gadis
yang agaknya memang sedikit sinting sampai saat
itu masih dapat menahan kesabarannya. Dengan
suara masih merendah dia kembali bertanya:
"Nona, jelaskan dulu siapa dirimu kemudian
kita bisa bersama-sama mencari siapa sebenarnya
yang telah mencuri senjata pusaka milik
perguruanmu itu...!"
"Bangsat! Pencurinya saja sudah jelas-jelas
berada di pelupuk mata, masih juga kau berpura-
pura...?"
"Bocah semakin kurang ajar saja mulutmu,
gurumu Palingga saja masih menaruh hormat
padaku, engkau sebagai muridnya tidak punya
peradatan! Sangat disayangkan Perguruan Nganti
Mulih yang terkenal itu mempunyai seorang murid
berpandangan sepicik engkau...!" Si gadis yang
sesungguhnya bernama Dewi Sekar Tanjung ini
beberapa saat lamanya sempat di buat
terperangah, dia tak pernah menyangka kalau
Ketua Perkumpulan Partai Pengemis Tenggara
mengenal nama gurunya. Meskipun begitu, si
gadis yang memang keras kepala itu mana mau
mengalah begitu saja. Meskipun pada akhirnya dia
tahu bahwa Ketua Pengemis Partai Tenggara ini
sesungguhnya merupakan sahabat baik gurunya
sendiri.
"Ketua Partai Pengemis Tenggara!” Kata
Dewi Sekar Tanjung dengan sedikit lirih. Arya
Pasangran gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Tidak cah ayu! Sebagaimana hubunganku
dengan Palingga gurumu, dengan saudara Bosa
aku pun bersahabat sudah sangat lama, aku dapat
memastikan bahwa Kakang Bosa tak mungkin mau
mencuri pusaka milik perguruan Nganti Mulih,
sebab Kakang Bosa masih bersahabat dengan
gurumu!" Ujar Arya Pasangran menjelaskan.
* * *
TIGA
Demi mendengar keputusan Arya
Pasangran, semakin bertambah gusarlah Dewi
Sekar Tanjung di buatnya.
"Hmmm... Kalau engkau memang berniat
melindungi maling terkutuk itu jangan kau
salahkan aku! Hari ini juga segala pengemis hina
akan kuenyahkan dari permukaan bumi ini,
Sheaat...!" Dengan pedang terhunus Dewi Sekar
Tanjung langsung menerjang .Arya Pasangran dan
seorang kawannya. Pedang di tangan murid
perguruan Nganti Mulih itu menderu dan
berkelebat-kelebat menyambar ke berbagai arah
dari pertahanan yang rawan. Ruangan di dalam
kedai tuak itu sebentar saja menjadi berantakan.
Sementara itu mengetahui Arya Pasangran dan
kawannya sudah turun tangan, sudah barang tentu
si Maling Bosa yang sesungguhnya masih
merupakan tokoh persilatan golongan putih tidak
mau main keroyokan. Apalagi lawan yang mereka
hadapi itu sesungguhnya masih merupakan anak
murid sahabatnya sendiri.
Pertarungan sengit itu pun dalam waktu
Sekejab telah mencapai belasan jurus. Arya
Pasangran dan kawannya Luki Denta dalam
menghadapi serangan si gadis kini telah
mempergunakan jurus Pengemis Meminta
Sedekah. Akan tetapi jurus-jurus pedang yang di
mainkan si gadis bukanlah jurus-jurus
sembarangan. Bidadari Menyergap Pengintip itu
adalah sebuah jurus pedang yahg intinya saja
terdiri dari sembilan bagian. Jurus ini dulu pernah
menggegerkan dunia persilatan ketika pada jaman
jayanya Palingga, yaitu ketua perguruan Nganti
Mulih yang sekarang. Kini meski pun sepuluh jurus
inti "Bidadari Menyergap Pengintip" dimainkan oleh
seorang gadis yang terhitung masih sangat muda,
akan tetapi Arya Pasangran dan Luki Denta tidak
dapat memandang remeh, terlebih Dewi Sekar
Tanjung memiliki kesempurnaan dalam hal ilmu
mengentengi tubuh. Sudah barang tentu Arya
Pasangran dan Luki Denta yang bertahan dengan
tangan kosong mulai dibuat kewalahan.
Beberapa jurus di muka Arya Pasangran dan
Luki Denta mulai jatuh di bawah angin. Dewi Sekar
Tanjung agaknya sudah tidak memberi
kesempatan lagi pada ketua pertai pengemis ini,
sambil mengirimkan satu tusukan ganas dia
berteriak lantang:
"Ketua Partai Pengemis Tenggara, cabutlah
senjata kalian! Kalau tidak kalian berdua akan
menyesal seumur-umur!"
"Kami tidak mempunyai permusuhan! Untuk
itu kedua tangan kami ini pun sudah dapat kami
pergunakan sebagai senjata...!" tukas Arya
Pasangran coba berkelit dari tusukan pedang
lawannya. Tubuh Arya Pasangran melesat ke
udara, sementara itu dengan senjatanya berupa
sebuah toya, Luki Denta mencoba memapaki
serangan pedang lawannya. Dengan gerakan
memutar Kendi Membalikkan Isi. Toya di tangan
Luki Denta menderu dan menimbulkan suara
bercuit-an. Senjata di tangannya terus berputar
ber-ubah laksana puluhan baling-baling. Tatkala
pada satu saat, kedua orang itu sudah tidak
mungkin lagi dapat menahan senjata masing-
masing yang terus meluruk sementara yang
lainnya terus berputar.
"Crak!"
"Trang! Trang!"
Percikan bunga api berpijar, Luki Denta
terpelanting bebarapa tombak dengan tubuh
menabrak segala perabotan kedai yang ada di
sekitarnya. Secepat dia tercengkang maka secepat
itu pula dia bangkit kembali. Sementara itu Dewi
Sekar Tanjung yang cuma tergetar beberapa saat
dengan tangan bagai kesemutan segera memapaki
serangan tangan kosong yang dilancarkan oleh
Arya Pasangran.
Ketika Arya Pasangran bermaksud lancarkan
satu totokan pada bagian leher Dewi Sekar
Tanjung, gadis itu nampak tergagap, dia mencoba
untuk mengkelit serangan tersebut. Akan tetapi
jemari tangan Arya Pasangran bagai bermata saja
terus memburunya. Dalam keadaan terjepit seperti
itu, Dewi Sekar Tanjung kiblatkan pedangnya. Arya
Pasangran yang sudah hampir berhasil dengan
usahanya sempat menarik kembali tangannya. Dia
nampak gugup, akan tetapi semuanya sudah
terlambat.
"Crees!" Ketua perkumpulan Partai Pengemis
Tenggara itu menjerit tertahan, jemari tangannya
berjatuhan. bagai ranting-ranting kering ke segala
arah. Dengan cepat dia totok jalan darah.
Sementara itu Luki Denta begitu melihat ketuanya
kena di kerjain oleh gadis dari perguruan Nganti
Mulih, Dengan kemarahan yang meluap-luap dia
bermaksud menyerang Dewi Sekar Tanjung.
Mendadak terdengar suara bentakan.
"Mundur kalian semuanya!" Bersamaan
dengan suaranya, hanya dengan sekali lompat,
Maling Bosa yang sejak tadi hanya memperhatikan
pertarungan itu kini benar-sudah berhadapan
dengan Dewi Sekar Tanjung. Untuk sesaat
lamanya Maling Bosa memperhatikan gadis itu.
Dihatinya ada perasaan sesal yang terasa
menghimpit, Dia menyayangkan mengapa Palingga
yaitu Ketua Perguruan Nganti Mulih secara
serampangan saja mengutus muridnya yang
tampak kurang dewasa dalam bertindak. Kalau
saja dia tak memandang muka pada Palingga
sahabatnya itu. Sudah pasti dia tidak akan
bertindak setengah-setengah untuk menurunkan
tangan jahat. Berfikir sampai kesitu, si Maling Bosa
diam-diam menarik nafasnya yang terasa semakin
menyesak.
"Bocah! Sungguh keterlaluan sekali kau
dalam bertindak! Dia sama sekali tidak punya
urusan denganmu. Tapi kau malah bertindak
telenggas...!" kata si Maling Bosa dengan nada
suaranya tertahan. Memerahlah paras gadis itu,
kedua bola matanya mendelik dan memandang
penuh kebencian pada Maling Bosa. Kemudian
dengan bentakan tinggi melengking dia berkata:
"Maling Bosa pengecut-pengecut! Sedari tadi kau
hanya nonton kawan-kawanmu. Kini engkau malah
menuduhku bertindak telenggas, siapa suruh dia
mencampuri urusanku?" Kata Gadis berkulit putih
itu dengan sesungging senyum mengejek. Dengan
tiada peduli, lagi-lagi dengan sikap sabar si Maling
Bosa menyela.
"Kawanku itu hanya ingin kau mengerti
tentang persoalan yang sebenarnya! Lagi pula
kalau engkau menuduhku bahwa aku yang telah
mencuri keris pusaka kebesaran perguruan, hal itu
tak beralasan sama sekali...!" Dewi Sekar Tanjung
nampak mendengus begitu mendengar pengakuan
si Maling Bosa.
"Mengapa harus dia, bukan engkau saja
sekalian yang maju...!" bentak Dewi Sekar
Tanjung semakin bertambah marah.
"Aku tak punya kesalahan dengan perguruan
Nganti Mulih! Untuk apa aku melayani bocah
tengik sepertimu...?" kata si Maling Bosa mulai tak
dapat menahan kesabarannya.
"Jahanam! Maling busuk, masih juga kau
tidak mau mengakui perbuatanmu...!" Kini Dewi
Sekar Tanjung kembali menghunus pedangnya. Si
Maling Bosa nampak tersenyum sinis.
Sesungguhnya dalam gertakan pendahuluan dia
memang sudah tahu kalau ilmu pedang si gadis
bengal itu tidak dapat dibuat sembarangan, akan
tetapi Maling Bosa bukanlah seorang tokoh yang
bisa di pandang enteng. Kepandaian silatnya sudah
jelas di atas ketua perkumpulan partai Tenggara.
Atau mungkin juga setarap dengan kepandaian
yang dimiliki oleh Palingga, guru si gadis urakan
itu.
"Sudah kubilang, aku tak tahu menahu akan
hilangnya berbagai pusaka milik banyak
perguruan. lagipula aku tak membutuhkan segala
jenis harta kebesaran seperti yang diributkan
tikus-tikus comberan...!" bentak Maling Bosa
saking kesalnya.
"Kalau begitu mampuslah kau...!"
"Hiaaa...! Ciaaat...!" Dengan pedangnya
Dewi Sekar Tanjung melabrak si Maling Bosa,
segera saja maling berewokan ini pun berjumplitan
menjauh, beberapa saat kemudian tubuhnya tanpa
menimbulkan suara sudah nampak berdiri di luar
halaman kedai itu. Dewi Sekar Tanjung mengira si
Maling Bosa hendak kabur, maka dengan cepat dia
pun memburu lawannya.
"Maling keparat, jangan coba-coba
mengelabuhi aku...!" Bentak si gadis dengan
kemarahan yang meluap-luap. Melihat kenekatan
Dewi Sekar Tanjung semakin bertambah gusarlah
laki-laki berewokan ini dibuatnya.
"Budak sialan! Mengadulah pada gurumu!
Kalau kau tidak segera pergi dari hadapanku. Aku
pasti akan memenjarakanmu di Rawa
Kematian...!" ancam si Maling Bosa hilang
kesabarannya.
"Kentut busuk! Kau penjara di neraka
sekalipun siapa takut?" Dewi Sekar Tanjung
menggerendek. Sebentar kemudian dia telah
melakukan serangan-serangan gencar kembali.
Pedang ditangannya bergerak sebat, dengan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah mencapai tarap
sempurna, tubuhnya berkelebat dengan cepatnya.
Meskipun begitu, Maling Bosa adalah seorang
tokoh persilatan yang sudah kenyang makan asam
garam dunia persilatan. Apalagi sebelum dulu
mereka mengikat tali persahabatan dengan
Palingga, dia pernah bentrok dengan laki-laki yang
merupakan guru si gadis. Sedikit banyaknya tentu
dia sudah dapat membaca permainan pedang
lawannya. Meskipun tusukan dan sabetan pedang
di tangan lawan terkenal cepat dan ganas, akan
tetapi si Maling Bosa dengan begitu mudahnya
dapat mengelakkan setiap serangan. Menghadapi
kenyataan itu mendidihlah darah si gadis. Kini dia
semakin meningkatkan permainan pedangnya.
Tubuhnya berkelebat laksana kilat, dalam waktu
sekejap si Maling Bosa sudah terkurung rapat.
Agaknya si gadis yang sangat menggiurkan itu
telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Sejauh itu si Maling Bosa dengan masih
mempergunaan jurus Maling Menidurkan Majikan
nampak berkelit kian kemari. Hingga sampai pada
puncaknya, laki-laki itu balik lancarkan serangan.
Dengan mempergunakan ilmu totokan si Jari Maut
dia bermaksud segera merobohkan si gadis tanpa
melukai tubuhnya. Sekali lagi tubuhnya
berkelebat-kelebat, secepat kilat dengan satu
sentilan yang sangat pelan saja.
"Tess!"
"Blugk!" Dewi Sekar Tanjung yang mem-
punya wajah dan bentuk tubuh yang sangat
menggiurkan memperdengarkan suara mengeluh
untuk kemudian jatuh terguling-gu-ling tanpa
daya. Si Maling Bosa tersenyum mengejek, tak
berapa lama kemudian dia menoleh pada
sahabatnya.
"Adi Arya Pasangran dan adi Luki Denta!
Sesuai dengan janjiku, aku akan memenjarakan
gadis bengal ini di Rawa Kematian...!" Mendengar
ucapan si Maling Bosa, pucatlah wajah Dewi Sekar
Tanjung bagaikan kapas. Dalam keadaan tertotok
seperti itu sudah jelas dia tak mampu berbuat
banyak. Jangankan untuk bergerak, menjerit pun
dia sudah tak mampu, Maling Bosa pun kiranya
telah menotok jalan darahnya pula. Meskipun dia
merupakan seorang gadis pemberani, tak urung
tubuhnya menggigil juga membayangkan apa yang
akan menimpa dirinya di Rawa Kematian nanti.
Belum lagi pupus bayangan kengerian dari
benaknya tiba-tiba si Maling Bosa sudah
menyambar tubuh tanpa daya itu untuk kemudian
segera berkelebat pergi. Sepeninggalnya Maling
Bosa, Arya Pasangran dan Luki Denta nampak
saling pandang. Beberapa saat berikutnya kedua
orang itu pun melangkah pergi meninggalkan
warung tuak yang porak peranda.
EMPAT
Dengan tubuh basah kuyup pemuda itu kini
kembali mengenakan pakaiannya yang dia
tinggalkan di tepi pantai utara selama hampir lebih
dua belas jam. Usai berpakaian pemuda
berpakaian merah dengan rambutnya yang
dikuncir sebatas bahu itu segera menyambar
sebuah periuk besar yang selalu dia bawa kemana
pun dia pergi. Tak lama kemudian dari dalamnya
dia sudah keluarkan beberapa potong dendeng
ikan lumba-lumba. Secara perlahan namun rakus,
potongan demi potongan dendeng ikan itu pun
lenyap tak tersisa. Kini kedua bola matanya
memandang ke laut lepas, dalam keadaan seperti
itu tiba-tiba dia teringat akan gurunya si
Bangkotan Koreng Seribu yang sudah sekian lama
di tinggalkannya. Udara laut yang terasa menusuk
dan selalu berherumbus keras, membangkitkan
kenangannya pada saat-saat latihan dulu, di Pantai
Karang Tanjung Api. Dia berfikir! Andai saja hidup
bisa terulang, dan jika boleh memilih. Sudah
barang pasti dia tidak akan meninggalkan tempat
kediaman gurunya di Pantai Karang Tanjung Api,
yang kini telah berjarak lebih dari delapan ratus
purnama perjalanan. Di sana akan merawat guru
yang sekaligus merupakan orang tua angkatnya,
hingga orang tua yang sangat sakti itu menutup
mata.
Hatinya semakin kecewa, terlebih-lebih
dalam usaha mencari orang tua kandungnya, yaitu
si Piton Utara hingga detik itu belum juga
membuahkan hasil. Bahkan sejak tadi pagi dia
sudah menyelam sampai ke dasar laut demi
menemukan letak tapa ayahandanya si Raja
Negeri Bunian yang berwujud seekor Ular Piton
raksasa. Akan tetapi selama hampir dua belas jam
dia hilang timbul di bawah permukaan air, bahkan
sampai ke relung yang paling dalam dan gelap di
dasar sana, sejauh itu masih belum ada tanda-
tanda di mana ayahandanya berada. Si pemuda
yang sesungguhnya pendekar Hina Kelana,
nampak tepuk-tapuk jidatnya yang terasa berat.
Tiba-tiba saja dia bergumam:
"Mungkin ini sudah merupakan suratan
nasibku! Di lahirkan membawa mati emak, bapak
demi menebus kesalahannya malah bertapa dan
mengasingkan diri di dasar laut. Ayahanda seorang
raja, akan tetapi raja yang berbuntut dan bersisik.
Laut luas, sungai panjang. Di laut yang mana aku
harus mencari seekor ular raksasa yang
sesungguhnya merupakan ayahanda kandungku.
Di dasar sana tadi aku jumpa banyak ular, ular
kecil, bersisik kecil. Mana mungkin ayahanda
sebesar itu!" Pendekar Hina Kelana mengomel
seorang diri bagai seorang tolol yang sedang
menghitung laba rugi. Lagi-lagi dia tepuk-tepuk
keningnya..
"Mengapa akau harus secengeng ini! Si
Bangkotan Koreng Seribu pasti akan marah bila
melihat muridnya mempunyai hati lemah seperti
aku. Dasar nasib apek bau terasi...!" Selesai
dengan sumpah serapah. Buang Sengketa segera
menyambar periuknya. Dengan sekali genjot
lenyaplah tubuh pemuda berwajah sangat tampan
itu ditelan kegelapan senja yang sudah
merembang malam. Dan apabila malam telah
datang, maka pemuda itu pun melewatkan
kesunyian malam di sembarang tempat.
Terkadang bila dia mau maka dia pun tidur di
cabang-cabang pohon, di tengah belukar di ladang,
atau pun di gubuk reot yang sudah ditinggalkan
oleh pemiliknya.
Ketika keesokan paginya Pendekar dari
Negeri Bunian itu kembali melanjutkan
perjalanannya. Suasana pagi yang cerah, burung-
burung bernyanyi di ranting nan hijau. Udara yang
bertiup sepoi-sepoi sesekali menyibakkan anak
rambutnya yang dibiarkan memanjang sampai
sebatas alis matanya. Langkah pemuda itu kini
sudah semakin bertambah menjauh, hingga pada
suatu tempat yang agak berbukit pemuda itu
mendadak hentikan langkahnya. Bahkan kini dia
berusaha bersembunyi pada rumpun semak-semak
yang terdapat tidak begitu jauh dari tempatnya
berdiri. Dan kini melalui celah-celah dedaunan
dengan pandangan curiga di perhatikannya sosok
tubuh yang semakin lama semakin mendekat. Tak
lama setelah orang itu mendekat maka
terkesiaplah darah Pendekar Hina Keiana. Kini
jarak mereka hanya sepulu tombak, dengan jeias
dia melihat seorang laki-laki berusia berkisar
empat puluh tahun nampak sedang memondong
satu buntalan besar di bagian punggungnya.
Buang Sengketa menduga bahwa mungkin saja
orang yang kini nampak sedang duduk berleha-
leha itu merupakan seorang pedagang berbagai
peralatan dapur, dan sedang melakukan
perjalanan yang sangat jauh. Akan tetapi naluri
hewannya mengatakan, tidak mungkin laki-laki itu
memperjual belikan pisau dapur atau pun golok
penjagal babi. Sebab melihat rupa dagang di
antara barang-barang yang tersembul itu, sudah
jelas merupakan jenis pusaka yang sangat
berharga, tidak mungkin barang-barang itu
diperjual belikan.
Kini pendekar Hina Kelana lebih terkesiap
lagi begitu secara sekilas dia sempat melihat rupa
dari laki-laki itu. Sosok wajah yang sangat
mengerikan, dengan bekas-bekas luka yang masih
belum kering secara keseluruhan. Agaknya wajah
orang itu, bekas di cakar-cakar makhluk yang
sangat buas, atau mungkin pula bekas terhempas
dari atas sebuah jurang yang mengerikan. Wajah
laki-laki itu benar-benar sangat rusak dan
menjijikkan. Bahkan terlalu buruk dari makhluk
apapun. Apakah yang telah terjadi pada laki-laki
bertampang sadis dan sangat rusak itu? Buang
Sengketa bertanya-tanya, dan tanpa dia sadari
bulu kuduknya merinding. Sesaat kemudian dia
sudah bermaksud meninggalkan tempat itu ketika
secara tiba-tiba laki-laki berwajah rusak itu
tertawa tergelak-gelak bagai orang yang sedang
kesurupan. Terkesiaplah darah Pendekar Hina
Kelana begitu menyadari bahwa suara tawa laki-
laki itu sesungguhnya mengandung tenaga dalam
yang sangat sempurna. Dari niatnya untuk berlalu
meninggalkan tempat itu, kini Buang Sengketa
malah bermaksud ingin mengetahui lebih banyak
lagi tentang laki-laki itu. Dengan sangat hati-hati
dia mulai mengendap-endap menghampiri
sebatang pohon yang hanya berjarak satu tombak
dari tempatnya semula. Semakin bertambah
jelaslah wajah dari laki-laki itu, sebentar kemudian
angin Barat Daya berhembus kencang, segera bau
yang tak sedap terasa menusuk hidung si pemuda
mendadak perutnya terasa bagai di aduk-aduk,
mual dan ingin muntah. Buang Sengketa berusaha
agar jangan sampai semua isi perutnya ke luar.
Sebab andai saja hal itu sampai terjadi, sudah
barang tentu perbuatannya yang kurang terpuji itu
sudah jelas segera di ketahui oleh laki-laki yang
kini masih terus tertawa-tawa bagai orang gila.
Tak lama kemudian laki-laki berwajah buruk itu
hentikan tawanya, rupanya yang dipenuhi dengan
goresan-goresan luka yang mengerikan nampak
tertunduk, mendadak dia menangis menggerung
bagai seorang bocah ditinggal mati emak dan
bapaknya. Suara tangis itu terasa demikian sedih
dan menyayat, bahkan kini dia sudah ngedeprok di
atas tanah yang lembab. Kaki berkelojotan, tangan
memukul-mukul bagian dadanya, semakin lama
suara tangisnya semakin menjadi-jadi. Mungkin
saja laki-laki itu sedang mengalami guncangan
batin yang hebat, atau pula dia orang yang kurang
waras. Demikianlah Buang Sengketa mereka-reka.
Hanya beberapa saat sesudahnya, laki-laki
buruk rupa itu pun hentikan tangisnya. Seketika
pandangan matanya berubah nanar dan buas, dia
langsung berdiri. Kemudian dengan suaranya yang
berat dan parau dia berteriak seorang diri.
"Kenapa nasib yang tidak pernah berpihak! Engkau
telah mencampakkan aku pada jurang yang paling
menyakitkan. Lorong-lorong nista dan terkutuk
yang pernah digali oleh ayah kandungku sendiri,
mengapa aku yang harus terperangkap di
dalamnya? Puih! Aku tak terima, aku telah
berkorban untuk seluruh hidup ku karena luka
yang terkutuk ini. Kini aku sudah bertindak, setiap
perguruan pasti akan saling bunuh, karena
kehilangan pusaka! Celakalah bagimu hai Maling
Bosa. Celaka... karena kau tidak tahu akal
muslihatku...!" Usai berkata begitu, laki-laki buruk
rupa itu meraba bungkusan yang menggelantung
di punggungnya.
"Ha... ha... ha...! Hu... hu... hu...!" Laki-laki
berwajah buruk itu kembali tergelak-gelak!
Wajahnya membiaskan kelicikan jiwanya.
"Dengan senjata pusaka kebesaran dari
berbagai perguruan di tanganku ini secara tidak
langsung aku telah merajai dunia persilatan dari
berbagai golongan. Tidak percuma... tidak
percuma!" Dengus Nyaur Pati dengan
kesombongan yang sangat berlebihan. Demi
mendengar ucapan laki-laki yang berjuluk Nyaur
Pati itu, mendidihlah darah Pendekar Hina Kelana
ini. Secara tidak langsung dia sudah mengadu
domba satu perguruan dengan perguruan lain.
Bahkan dengan tindakannya itu, dunia persilatan
akan saling curiga mencurigai, bahkan akan
bertarung sesamanya. Hal itu akan sangat
mengerikan sekali akibatnya. Akan bagaimana
jadinya dengan nasib si Maling Bosa seperti yang
disebut-sebut oleh Nyaur Pati si buruk rupa itu?
Kalau tidak di cegah tentu Maling Bosa yang belum
di kenal oleh Buang Sengketa akan mengalami
nasib yang sangat menyedihkan. Semula dia
menyangka kalau laki-laki buruk rupa itu adalah
pedagang pisau dapur atau golok jagal babi. Tak
dinyata kiranya seorang keluarga iblis yang
kesasar di daerah itu. Pendekar Hina Kelana
nampak gusar sekali. Kedua bibirnya terkatup
rapat, rahang bergemeletukan menahan marah.
Akhirnya tanpa dapat di cegah lagi tubuhnya
berkelebat seringan kapas. Tahu-tahu dia sudah
berdiri dihadapan si Buruk Rupa.
Laki-laki berwajah buruk itu sangat terkejut
sekali, begitu melihat kehadiran Pendekar Hina
Kelana yang tidak disangka-sangka. Meskipun
Nyaur Pati menyadari kalau pemuda yang kini
berdiri di hadapannya itu sedikit banyaknya tentu
berkepandaian, akan tetapi dengan gusar dia
membentak:
"Hem! Rupanya ada juga anjing geladak
berkeliaran di tempat yang sesunyi ini...?" ucapnya
dingin. Tanpa menjawab Buang Sengketa menatap
tajam pada sosok wajah yang menjijikkan dan
mengeluarkan bau yang sangat busuk.
"Bocah pentil! Tahukah engkau bahwa siapa
pun yang pernah bertemu dengan si Nyaur Pati,
jiwanya tak akan terampuni lagi!" Kata laki-laki
berwajah sangat buruk itu mengancam.
Mendengar ancaman itu Pendekar Hina Kelana
leletkan lidah, lalu garuk-garuk pantatnya yang
tidak gatal. Dengan cengegesan dia menjawab:
"Tahuku, namamu Nyaur Utang! Hutang-
hutangmu akan semakin bertumpuk kalau tidak
engkau bayar dari saat sekarang...!" kata Buang
Sengketa mencemooh. Wajah Nyaur Pati nampak
menegang begitu mendengar ucapan Pendekar
Hina Kelana. Bersamaan dengan kemarahannya
yang meluap-luap, puluhan belatung dari celah-
celah lukanya yang membusuk berjatuhan ke
tanah. Diam-diam si pemuda mengkirik. Ironisnya
lagi, begitu belatung-belatung itu menggeliat-geliat
di atas tanah, si buruk rupa segera memungutnya,
kemudian satu demi satu belatung-belatung itu di
kremusnya. Tanpa menghiraukan Buang Sengkata
dia bergumam seorang diri.
"Karena engkau telah memakan dagingku!
Maka kini aku harus memakan dagingmu pula!"
Seusai dengan ucapannya itu, dengan cepat dia
kembali memandang si pemuda, beberapa kali dia
meludah, laki-laki buruk rupa itu terus
menyambung:
"Bocah! Bicaramu terlalu sombong, tahukah
engkau bahwa sebentar lagi engkau akan menjadi
budakku di belantara Karang Hantu?"
"Hak.. hak... hak...!" Pendekar Hina Kelana
tergelak-gelak.
"Manusia iblis budak setan! Jangan banyak
tingkah, lebih baik kau tinggal senjata pusaka milik
berbagai perguruan itu. Kemudian
menggelindinglah dari hadapanku!" Bentak si
pemuda.
* * *
LIMA
”Budak hina! Besar sekali nyalimu,
ketahuilah biar pun engkau punya sepuluh tangan
sepuluh kaki. Engkau tidak bakalan unggul
menghadapi Majikan Karang Hantu!"
"Pencuri tengik, jangak banyak cingcong!
Tinggalkan pusaka-pusaka itu, atau tubuh
busukmu akan berkubang darah...!" bentak Buang
Sengketa sudah sangat marah sekali.
"Kalau begitu aku membatalkan niatku
untuk mengangkatmu menjadi budak! Dan sebagai
gantinya kau harus mampus...!" Bersamaan
dengan ucapannya itu, Nyaur Pati melambaikan
tangannya. Meskipun gerakan tangan itu seperti
hanya bermain-main, akan tetapi akibatnya
sungguh sangat luar biasa. Sesaat kemudian badai
angin Puting Beliung menderu, laksana kilat
meluruk ke arah Pendekar Hina Kelana. Pemuda
itu nampak tersentak kaget untuk beberapa saat
lamanya. Akan tetapi begitu menyadari akan
bahaya besar yang mengancam jiwanya, dengan
pergunakan pukulan Empat Anasir Kehidupan
tangannya cepat berkiblat memapaki. Selarik
gelombang Ultra Violet melesat lebih cepat
menyongsong datangnya pukulan Badai Puting
Beliung. Benturan tenaga sakti itu pun tak
terelakan lagi.
"Blaam!" Bumi tergetar hebat, langit seakan
runtuh! Tubuh Pendekar Hina Kelana terlempar
dua tombak. Dari hidung dan bibirnya meleleh
darah kental. Pemuda itu segera atur nafasnya
yang terasa menyesak! Tak begitu lama kemudian
dia sudah bangkit kembali. Sementara itu di pihak
lawan, tubuh Nyaur Pati hanya bergetar sedikit,
kedua kakinya amblas ke bumi sampai sebatas
tumit. Meskipun begitu dia masih merasakan hawa
panas dari pukulan lawan, masih terasa
menyelimuti tubuhnya. Sadarlah dia bahwa
pemuda berpakaian lusuh dengan rambut dikuncir
ini merupakan seorang lawan yang memiliki
kepandaian tinggi. Meskipun begitu masih dengan
senyum mencibir dia menyela:
"Bagus! Kiranya kau berkepandaian juga
rupanya. Pantas saja engkau berani jual lagak di
depan hidungku...!"
Buang Sengketa tersenyum kecut, dalam
hati dia sangat menyayangkan si Buruk Rupa
kiranya mempunyai perangai lebih buruk dari
wajahnya yang memang ancur-ancuran. Manusia
berilmu sangat tinggi seperti dirinya menempuh
cara hidup yang sangat sesat dan tercela.
"Bangsat Muka Setan, aku masih belum
kalah! Majulah... aku tidak akan pernah mundur
menghadapi iblis sepertimu...!" Tiba-tiba saja
Buang Sengketa menyela. Mendengar tantangan si
pemuda, Nyaur Pati tertawa ganda.
"Kau benar-benar mencari penyakit bocah
pentil! Keluarkanlah segala ilmu simpananmu,
sebelum aku benar-benar mengirimmu ke liang
kubur...!"
"Bangsat terkutuk! Mampuslah...!" Diiringi
dengan teriakan menggelepar, Pendekar Hina
Kelana langsung menerjang. Dan langsung pula
pergunakan jurus Membendung Gelombang
Menimba Samudra. Maka dalam waktu sekejap
tubuh si pemuda sudah berkelebat sedemikian
cepatnya. Akan tetapi Nyaur Pati bukanlah
manusia berkepandaian rendah, bagi pembunuh
berdarah dingin ini, bertarung dengan memainkan
jurus-jurus hanyalah merupakan pekerjaan yang
bertele-tele dan menyita banyak waktu. Meskipun
dia menyadari bahwa apa yang ditampilkan oleh si
pemuda sesungguhnya memang permainan silat
tingkat yang sangat tinggi. Akan tetapi dia
mempunyai pilihan yang sangat tepat untuk
menyeret lawannya pada pertarungan tingkat yang
paling tinggi. Tiada pilihan terbaik terkecuali
mengadu kesaktian dan kelebihan pukulan-pukulan
simpanannya.
Buang Sengketa terus memperhebat
serangan-serangannya, sebaliknya Nyaur Pati
dengan penuh tipu muslihat malah menyurut
langkah. Dengan cepat, dia gosok-gosokkan kedua
tangannya. Dari tangan yang menyatu rapt itu
beberapa saat kemudian telah mengepulkan uap
biru yang menyebarkan bau sangat busuk. Buang
Sengketa baru menyadari kalau Nyaur Pati sedang
bersiap-siap melepaskan pukulan maut kepadanya.
Sontak dia langsung hentikan serangannya.
Seketika itu juga dia siapkan pukulan Empat Anasir
Kehidupan tingkat kedua. Setengah dari tenaganya
kini tertumpu pada kedua tangannya. Tubuh Nyaur
Pati kini sepenuhnya telah terbungkus kabut biru,
bau tak sedap mulai menyebar di mana-mana. Dan
sesungguhnya pula saat itu laki-laki buruk rupa itu
telah menghimpun tenaga sakti yang diberi nama
Selaksa Hantu Menyebar Maut. Yang memang
telah banyak memakan korban. Tak begitu lama
kemudian, tiba-tiba Nyaur Pati melengking
dahsyat. Tubuhnya lenyap seketika itu juga.
Bangsat Ilmu Siluman!
Buang Sengketa mengeluh di dalam hati. Dia
merasakan desakan angin kencang menyambar
berseliweran di atas kepalanya. Semakin lama se-
makin terasa deras dan bertambah banyak. Buang
Sengketa nampak kebingungan. Tubuhnya
berputar-putar mencari di mana posisi lawan yang
sesungguhnya. Dalam posisi yang mungkin tidak
menguntungkan bagi keselamatan dirinya,
Pendekar Hina Kelana membagi-bagi pukulan
mautnya pada delapan penjuru mata angin.
"Blar! Blar! Blar! Blar...!" Terdengar tawa
mengekeh begitu pukulan Pendekar Hina Kelana
terlepas. Tanpa mencapai sasaran. Pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dilancarkannya
menghantam pohon-pohon di sekelilingnya. Bunyi
bergemuruh dari rubuhnya pohon-pohon itu
membuat binatang-binatang di sekitarnya berlarian
tunggang langgang. Sementara itu Nyaur Pati yang
pada saat Buang Sengketa lancarkan serangan
memang tidakherada di posisi sasaran. Kini
semakin tergelak-gelak. Keadaan itu memang
sangat di kehendakinya. Setelah lawan lepaskan
pukulan baru kemudian dia memukul. Inilah saat
yang sangat tepat. Diiringi dengan tawa
kemenangan dia lepaskan pukulannya.
"Mampuslah! Hait...! Hiaa...!"
"Wer! Wer!" Secepat kilat pukulan yang
memancarkan cahaya kebiru-biruan itu melesat
dan mengisyaratkan hawa kematian. Celakalah
bagi Buang Sengketa yang saat itu masih belum
siap pada posisinya. Pukulan maut yang dilepaskan
oleh Nyaur Pati dan berkelebat demikian cepatnya
sudah tak mungkin terelakkan lagi. Secara reflek
dia meraba punggungnya, akan tetapi sudah tidak
keburu. Pukulan yang di lepaskan oleh nyaur Pati
langsung melabrak tubuhnya.
"Blam!" Tanpa ampun lagi tubuh si pemuda
langsung terpelanting dan menabrak pohon yang
berada di belakangnya. Andai saja bukan Pendekar
Hina Kelana yang terkena pukulan itu sudah dapat
di pastikan tewas seketika itu juga dengan
keadaan tubuh hangus membiru. Karena
sesungguhnya pukulan Selaksa Hantu Menyebar
Maut itu merupakan pukulan beracun yang
sangat keji. Dan masih merupakan keuntungan
pula bagi si pemuda bahwa tubuhnya kebal
terhadap segala macam racun. Meskipun begitu
darah segar berhamburan dari mulut Buang
Sengketa, dada laksana remuk, pandangan
matanya nanar. Bahkan kepalanya berdenyut sakit
pusing dan mau muntah. Secepatnya dia menyeka
darah yang berlelehan di celah-celah bibirnya.
Lebih cepat lagi dia himpun hawa murninya.
Sebentar kemudian wajahnya yang pucat pasi itu,
kini telah kembali kemerah-merahan. Akan tetapi
belum lagi dia beringsut dari tempatnya. Nyaur
Pati demi mengetahui lawannya tidak mampus
oleh pukulan saktinya nampak marah sekali dan
kini lancarkan serangan jarak jauh yang lebih
besar dan ganas. Kembali seberkas sinar warna
biru menyala meluruk si pemuda.
Buang Sengketa yang sudah merasa sangat
geram melihat keganasan pukulan yang telah
dilancarkan lawannya, sudah jelas tak mau ambil
resiko. Secepat sinar maut itu menderu, dua kali
lebih cepat pendekar Hina Kelana mencabut
pusaka Golok Buntungnya. Laksana auman ratusan
Harimau yang sedang kelaparan senjata di tangan
si pemuda menderu dahsyat.
"'Tes!" Pukulan Selaksa Hantu Menyebar
Maut yang dilancarkan oleh si buruk rupa disambut
oleh kedahsyatan pusaka Golok Buntung. Anehnya
begitu pukulan maut itu membentur pusaka di
tangan Buang Sengketa, Nyaur Pati merasakan
tubuhnya terbetot dan bagai sebuah magnet tubuh
si buruk rupa bagai disentakkan ribuan tangan-
tangan setan. Nyaur Pati bertahan mati-matian
demi membuyarkan daya tarik senjata di tangan
lawanya yang begitu hebat. Keringat dingin mulai
meleleh membasahi wajahnya yang semakin
menimbulkan bau busuk di sekelilingnya. Dalam
detik-detik yang sangat menegangkan itu, agaknya
Nyaur Pati sudah semakin tak berani mengadu
tenaga dalam. Kalau pun hal itu sangat terpaksa
harus dia lakukan sudah barang tentu dia akan
mengalami nasib yang konyol. Sifat dari pusaka
Golok Buntung adalah menyedot tenaga inti sang
lawan, andai pun dia berani melakukan tindakan
itu. Ini berarti dia hanya menjadi penyumbang te-
naga sakti pada pihak lawan. Kiranya Buang
Sengketa dapat membaca apa yang sedang di
pikirkan oleh pihak lawannya. Untuk menyudahi
pertarungan bagi si pemuda terasa sangat mudah!
Akan tetapi sudah menjadi pantangannya untuk
tidak bermain kotor. Meskipun sesungguhnya dia
menyadari bahwa lawannya hanyalah seorang
tokoh dari golongan hitam yang sewaktu-waktu
dapat bertindak licik. Masih dalam posisi semula,
ketika si Hina Kelana lontarkan satu pukulan
Empat Anasir Kehidupan terhadap si Buruk Muka.
Selarik gelombang yang teramat panas menderu
dan langsung menghajar tubuh Nyaur Pati yang
masih dalam posisi bertahan. Laki-laki bertampang
amburadul itu terpekik keras sewaktu sinar Ultra
Violet menabrak tubuhnya, secara praktis Nyaur
Pati terlepas dari pengaruh daya tarik Golok
Buntung di tangan Buang Sengketa. Laki-laki
majikan Karang Hantu itu terbanting keras di atas
batu-batu cadas yang berada di sekitar tempat itu.
Akan tetapi ternyata Nyaur Pati memiliki daya
tahan yang sangat luar biasa hebatnya. Si buruk
muka hanya terbatuk beberapa kali. Kemudian dia
seka hidungnya yang tampak mengalirkan darah
kental. Meskipun begitu tidak sedikit pun wajah
yang sangat rusak itu membayangkan rasa takut,
apalagi jera. Pendekar Hina Kelana melangkah
hampir di depan Nyaur Pati yang kini sudah mulai
berdiri, meskipun dengan kaki sedikit gemetaran.
Saat itu Buang Sengketa sudah siap-siap dengan
pukulan kedua. Dalam pada itu tiba-tiba Nyaur Pati
menyela:
"Bocah keparat! Siapakah engkau ini...! Ilmu
pukulanmu seperti pernah aku kenal!" Ujar Nyaur
Pati berusaha mengingatingat. Pendekar Hina
Kelana tertawa ganda.
"Manusia edan muka hantu, lebih baik kau
serahkan bungkusan pusaka yang telah kau colong
dari berbagai perguruan! Sebab aku takut engkau
tak keburu mendengar apa yang akan kukatan
nanti...!"
"Bangsat sombong! Terimalah...!" Berkata
begitu Nyaur Pati lemparkan satu benda ke arah
Pendekar Hina Kelana dan begitu tangan si
pemuda menyampoknya, benda itu meledak dan
menyebarkan asap yang sangat tebal. Tahulah si
pemuda bahwa Nyaur Pati berusaha melarikan diri
dengan asap penghilang jejak tersebut. Buang
Sengketa kebut-kebutkan tangannya, takut kalau-
kalau asap yang menyebar ke mana-mana itu
mengandung racun yang ganas. Dalam pada itu
terdengar pula suara Nyaur Pati yang sudah sangat
jauh:
"Budak Hina! Kalau kau memang benar-
benar seorang kesatria. Kutunggu engkau di
Neraka Karang Hantu...!" Demikianlah begitu
kabut asap itu lenyap sama sekali, Nyaur Pati
benar-benar telah merat dari tempat itu. Pendekar
Hina Kelana nampak sangat kesal sekali.
Sial! Aku tak tahu kearah mana larinya si
wajah berantakan itu! Rutuknya panjang pendek.
Dengan menyimpan kedongkolan yang di dalam
hati, tak lama kemudian pemuda itu kembali
meneruskan perjalananya. Dengan satu tujuan,
mencari si Maling Bosa yang malang itu.
* * *
ENAM
Matahari sudah hampir condong ke ufuk
Barat, ketika kedua manusia Katai itu menelusuri
jalan setapak menuju kota Paring Katon. Wajah
mereka yang nampak lusuh, membayangkan hati
yang dalam. Berhari-hari mereka mengitari Rawa-
rawa Kematian, hanya demi menemukan si Maling
Bosa yang mereka duga telah melarikan pedang
Pusaka Belibis Sakti milik perguruan Sangga Langit
yang juga masih merupakan perguruan mereka.
Seperti di ceritakan, kedua perempuan Katai itu
mengalami kesulitan untuk menjarah tempat
kediaman si Maling Bosa yang terletak di tengah-
tengah Rawa Kematian, dikarenakan Rawa-rawa
itu dipenuhi dengan berbagai binatang berbisa
yang terkenal sangat ganas. Sementara itu usaha
mereka mencari jalan rahasia untuk sampai di
tengah Rawa juga mengalami jalan buntu. Tak ada
tanda-tanda jalan yang sering dipergunakan si
Maling Bosa untuk mencapai tempat tinggalnya.
Tak ada pilihan lain terkecuali kembali atau
mencari si Maling Bosa di tempat lain. Tanpa
berkata-kata mereka terus menelusuri jalan
setapak, sampai pada akhirnya membelok di
sebuah tikungan yang sempit. Begitu tiba dijalan
yang lurus kedua perempuan Katai itu melihat dua
sosok manusia berlari-lari kecil menyongsong
kehadiran mereka. Agaknya si Katai ini mengenali
dua laki-laki yang dalam suasana tergesa. Tanpa
menghiraukan si Katai, kedua laki-laki yang
sesungguhnya Arya Pasangra dan Luki Denta,
dengan sikap acuh terus melewati mereka. Tentu
saja perempuan Katai ini merasa kurang senang,
diri mereka di remehkan seperti itu. Tiba-tiba
tanpa menoleh tangan kiri si Katai bergerak ringan
ke arah belakang.
"Wuut!" Meskipun mereka berlari-lari kecil,
agaknya Arya Pasangra menyadari kalau kedua
orang Katai itu punya maksud-maksud tertentu
terhadap mereka, Itulah sebabnya begitu dia
merasakan angin pukulan menyambar ke arah
Arya Pasangra, tangan kanannya dengan cepat
menangkis:
"Plak!" Bukan main terkejutnya kedua pe-
rempuan Katai itu. Mulanya mereka menyangka
bahwa dua orang Ketua Partai Perkumpulan
Pengemis Tenggara ini akan tersungkur jatuh
begitu pukulan gelap yang mereka lancarkan
melabrak tubuh Arya Pasangra. Tidak dinyana,
ternyata Ketua Partai Pengemis ini cukup berisi
juga. Arya Pasangra dan Luki Denta balikkan
langkah. Kedua perempuan Katai itu memandang
sinis pada mereka.
"Dua kunyuk gembel tak tahu adat! Kalian
sungguh-sungguh tidak memandang muka pada
kami, berjalan seenaknya bagai dua ekor anjing
geladak!" Maki si Katai Losi, menuding dengan jari
telunjuknya yang buntek. Mendapat makin
sedemikian rupa, sudah barang tentu Arya
Pasangra dan Luki Denta menjadi marah. Arya
Pasangra maju setindak.
"Manusia kerdil kesasar! Siapa salah. Jalan
ini milik orang banyak, untuk apa harus memakai
segala peradatan...!" Si katai Jola mendengus,
wajahnya berubah merah padam. Begitu sinis dia
memandang wajah Ketua Pengemis Partai
Tenggara.
"Bagus! Bangsanya pengemis memang tak
pernah mengenal peradatan...!"
"Katai sialan, kau bukanlah seorang raja.
Bukan pula seorang majikanku, untuk apa harus
memakai segala peradatan segala...?!"
"Kakang! Mungkin mereka sengaja mencari
gara-gara pada kita...!" Luki Denta menyela. Arya
Pasangra anggukkan kepala.
"Bagus kalau kalian sudah mengetahui
tujuan kami! Untuk itu andai kalian masih
sayangkan nyawa. Kami mau kalian menjawab
bebarapa pertanyaan kami!" kata si katai Losi.
"Manusia kerdil dari perguruan Sangga
Langit! Selamanya kaum pengemis Partai
Tenggara tak mempunyai persoalan apa pun
dengan perguruan kalian. Akan tetapi jika kalian
menghendaki jawaban dari kami, sebelumnya kami
harus mengetahui pertanyaan apa yang harus
kami jawab...!" kata Arya Pasangra dengan nada
sedikit lunak. Kedua orang perempuan kerdil itu
tertawa rawan.
"Pertanyaannya tidak terlalu sulit! Akan
tetapi jika kalian tidak benar memberikan
keterangan, jiwa kalian pasti melayang." Kata si
Katai Jola peruh ancaman.
"Bicara saja muter-muter! Katakan saja
dengan jelas bangsat busuk...!" Bentak Luki Denta
sudah tak sabaran. Lagi-lagi kedua perempuan
katai itu tersenyum penuh kelicikan.
"Bukankah kalian berdua merupakan
sahabatnya si Maling Bosa?" Pancing si Katai Losi.
Mendapat pertanyaan seperti itu Arya Pasangra
maupun Luki Denta sudah dapat meraba kemana
arahnya pertanyaan-pertanyaan selanjutnya.
Ketua partai kaum pengemis ini menyadari bahwa
malapetaka besar bakal menimpa diri sahabatnya.
Tanpa sadar kedua laki-laki itu saling pandang. Si
Katai mengekeh kedua orang itu merasa yakin
kalau Arya Pasangra dan Luki Denta mengetahui di
mana sesungguhnya Maling Bosa berada. Tak lama
kemudian si katai Losi menyambung:
"Kalau kalian tak ingin cepat-cepat masuk ke
liang kubur, cepat katakan di mana si Maling
terkutuk itu bersembunyi...!" Bentaknya dengan
sesungging senyum maut. Arya Pasangra
terkekeh! Cepat-cepat dia menyahuti:
"Kalian berdua juga pasti menuduh bahwa si
Maling Bosalah yang telah mencuri senjata
kebesaran milik perguruan kalian...!" Kata laki-laki
itu menduga-duga.
"Bagus sekali kalau kalian benar-benar
sudah mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya! Kami tidak usah bersusah payah
memberi penjelasan pada kalian berdua...." Arya
Pasangra gelengkan kepala." Tidak! Maling Bosa
bukanlah manusia yang rakus akan senjata
pusaka. Tuduhan itu sama sekali tidak
beralasan...."
"Jahanam... kalian rupanya sengaja
bersekutu dengan maling terkutuk itu. Kalau
begitu celakalah bagi kalian berdua...!" Kata si
katai Jola sangat marah sekali. Arya Pasangra
meskipun merasa tersinggung, akan tetapi dia
malah tertawa tergelak-gelak. Dalam hati dia
bertanya-tanya, mengapa di kolong langit ini,
masih banyak terdapat orang berkepandaian tinggi
namun berpandangan sangat picik. Arya Pasangra
bertolak pinggang, kemudian beliakkan mata pada
si Katai Mata Picak dan juga rekannya yang
bermata satu.
"Bangsat kerdil! Sesuai dengan keadaan
tubuhmu, kiranya kalian pun berpandangan kerdil
dan cetek! Meskipun si Maling Bosa seorang
pencuri ulung, kiranya masih lebih baik dari kalian
yang mengaku dari golongan bersih. Catatlah
dalam otak kalian, andai pun kami sebangsanya
pengemis. Tidak nantinya kami bersekutu dengan
iblis!" Dihina sedemikian rupa semakin bertambah
gusarlah, kedua perempuan katai ini.
"Bangsat! Rupanya kalian lebih pantas
mampus...!" Belum lagi si Katai Jola usai dengan
kata-katanya, tiba-tiba si Katai Losi yang sudah
tidak dapat menahan kemarahannya sudah
lambaikan tangannya meng-arah pada Arya
Pasangra dan Luki Denta. Ketua Partai Pengemis
dari Tenggara yang memang sudah bersikap
waspada sejak semula. Begitu melihat si Katai
pukulkan tangannya ke arah mereka, dengan
cepat pula menghindar. Pukulan maut pertama
dapat dielakkan dengan baik oleh kedua laki-laki
itu. Si Katai Losi tergelak-gelak. Padahal hatinya
sangat mendongkol! Tanpa memberi kesempatan
lagi, kembali dia lancarkan pukulan. Arya Pasangra
segera mencabut sebilah pedang pendek yang
terselip di pinggangnya, sementara Luki Denta
dengan cepat pula memutar Toya di tangannya.
Meskipun begitu, kedua orang ini nampak tergetar
hebat ketika pukulan yang dilancarkan oleh si katai
Losi melabrak pertahanan mereka. Luki Denta
mengeluh, Arya Pasangra memerah parasnya.
Meskipun dia sudah memutar pedang untuk
melindungi diri ternyata pukulan yang dilancarkan
manusia kerdil itu masih sempat menyambar bahu
kirinya. Bajunya sampai robek sebatas dada. Si
Katai Losi yang sudah kalap tidak memberinya
kesempatan lagi. Kembali dia mengumbar
pukulan-pukulan mautnya.
Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat
luar biasa, baik Luki Denta maupun Arya Pasangra
cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan
kearah mereka. Dengan jurus Pengemis Meminta
Sedekah, kedua orang ini kembali menyerbu. Si
Katai Losi tidak sempat melihat gerakan kedua
orang ini, tahu-tahu tubuhnya sudah berada
sangat dekat sekali dengan mata pedang maupun
Toya di tangan lawan-lawannya. Hanya tiga
seperempat detik si Katai Losi terkesiap melihat
pedang yang sudah begiti dekat dengan lehernya.
Sementara senjata Toya di tangan Luki Denta
dengan gembar menyambar ke arah bagian kaki.
Sesaat kemudian tangan kanannya sudah bergerak
menangkis serangan Toya, sedangkan bagian
badannya mengkelit mata pedang yang hampir
saja memapras batang lehernya. Si Katai Losi
nampak berjumpalitan ke belakang begitu merasa
terbebas dari ancaman senjata di tangan lawan-
lawannya Sementara itu si Katai Jola yang sedari
tadi hanya menonton pertarungan itu nampak
tersenyum-senyum. Dia merasa tak perlu turun
tangan. Bagaimana pun dia merasa tak perlu turun
tangan. Bagaimana dia merasa sangat yakin
dengan kemampuan yang dimiliki saudara
seperguruan yang seperti diketahui memang lebih
tinggi dari dirinya sendiri.
Pertarungan terus berlangsung, Arya
Pasangra dan Luki Denta terus memburu lawan-
lawanya tanpa ampun. Si katai Losi leletkan lidah,
dia mencaci maki panjang pendek. Dalam pada itu
tiba-tiba terdengar seruan si Katai Jola:
"Kakang Mbok, mengapa begitu bodoh!
Bertarung dengan cara seperti itu hanya
memperpanjang umur kunyuk-kunyuk sialan itu
bertambah beberapa menit. Alangkah baiknya jika
kau pergunakan ajian Mulih Pati...!" Kata si Katai
Jola menyela. Mendengar teguran adik
seperguruannya, sambil melayani lawan-lawannya
si Katai Losi terkekeh:
"Hik... hik... hik...! Ajian Mulih Pati, hi... hi...
hi... Ajian Mulih Pati! Mengapa tak sedari tadi aku
pergunakan ajian itu? Benar-benar aku yang
tolol...!" Demi mendengar disebut-sebutnya ajian
Mulih Pati, tersiraplah darah Arya Pasangra dan
Luki Denta. Sepengetahuan Ketua Partai Pengemis
Tenggara, ajian Mulih Pati merupakan sebuah ilmu
yang terkenal ganas dan dahsyat. Makhluk apa
pun, bila tersentuh ajian yang sangat langka ini,
akan tewas seketika itu juga dengan keadaan
tubuh mengering dan layu. Dulu ajian ini pernah
digunakan malang melintang oleh datuk sesat si
Dewa Gila Akan tetapi, pamor tokoh sesat itu
kemudian runtuh di tangan tokoh maha sakti yang
namanya sudah melegenda di rimba persilatan
yaitu Si Bangkotan Koreng Seribu. Bahkan konon
begitu geramnya si Bangkotan Koreng Seribu
sampai-sampai beliau mencapkakan mayat si
Dewa Gila ke dalam Kawah Pitulaya. Bagaimana
mungkin perempuan kerdil itu bisa mendapatkan
ilmu yang kabarnya sudah sejak ratusan tahun
yang lalu lenyap dari permukaan bumi ini. Andai
pun mungkin masih ada, bagaimana mungkin bisa
secepat itu si kerdil ini menguasainya. Meskipun
hatinya masih diliputi keraguan, tak urung dia
memperingati Luki Denta:
"Adik Luki Denta, berhati-hati! Jangan
sampai tubuhmu tersentuh tangan manusia dajal
ini!" ucapnya dengan suara tergetar.
Dalam pada itu, nampaknya si Katai Losi
sedang merapal mantra ajian Mulih Pati. bibirnya
nampak komat-kamit, sesekali terdengar gerengan
suara anjing gila yang terluka. Tak lama kemudian
kedua mata yang terkatup itu kini secara perlahan
mulai membuka. Nampaknya kedua bola matanya
yang memerah saga, api kematian memancar pula
dari kedua mata yang setengah picak itu.
* * *
TUJUH
Mungkin hanya dengan jurus Pengemis
Lontarkan Tongkatlah kedua laki-laki ini mampu
mengatasi serangan si Katai Losi. Arya Pasangra
langsung memberi isyarat pada Luki Denta untuk
mempergunakan jurus-jurus ini. Dengan diiringi
teriakan membahana si Katai Losi langsung
menyerang Arya Pasangra dan Luki Denta. Tanpa
ampun Ketua Pengemis Partai Tenggara dengan
sebat putar pedangnya kesegala arah. Begitu pun
halnya dengan Luki Denta. Toya di tangannya
berputar laksana baling-baling. Sambaran angin
yang ditimbulkan oleh senjata di tanganya
menimbulkan suara bersiuran. Daun-daun kering
beterbangan, dalam waktu sekejab, tubuh ketua
pengemis Partai Tenggara ini nampak lenyap
tergulung putaran senjata masing-masing. Si Katai
Losi yang hampir saja memukul kedua lawannya
dengan tangan kiri nampak menarik balik
serangan-serangannya. Kemudian dengan gerakan
memutar dia bermaksud menyerang lawannya
bagian belakang yang nampak rawan
pertahanannya, dengan sebat dia memukul pada
bagian punggung pihak lawan. Namun pada saat
yang kritis bagi Luki Denta, kiranya Arya Pasangra
mengetahui maksud licik si Katai Losi. Dengan
membentak marah dia babatkan pedangnya ke
arah tangan kiri si Katai Losi yang hampir saja
berhasil menyentuh punggung Luki Denta. '
"Bet!" Si Katai Losi yang tak menyangka
gerakan pedang di tangan Arya Pasangra
berkelebat secepat itu nampak berseru tertahan.
Andai sepersepuluh detik saja dia terlambat
menarik balik tangan kirinya, sudah dapat di
pastikan tangan itu sudah putus tersambat
ketajaman pedang di tangan lawannya. Cepat-
cepat si Katai Losi menyurut beberapa tidak. Caci
maki berhamburan dari mulutnya yang senantiasa
bau jengkol.
"Goblok! Aku tak inginkan uluran
tanganmu...!" Si Katai Losi nampak marah sekali,
baginya membunuh Ketua Pengemis Partai
Tenggara sama mudahnya dengan membalikkan
telapak tangan. Meskipun Arya Pasangran
memiliki jurus-jurus pedang yang tinggi, hal itu
bukan berarti banyak bagi si Katai ini. Sejauh itu
dia sesungguhnya ingin mengetahui lebih banyak
lagi sampai di mana sesungguhnya kehebatan
pamor yang dimiliki oleh Arya Pasangran mau pun
Luki Denta.
"Tapi Kakang Mbok nampaknya memberi
angin pada kedua bangsat kunyuk itu. Mereka bisa
besar kepala, Kakang Mbok...?" Tukas si Katai Jola
memprotes.
"Diam! Ini urusanku...!" Bentak si katai Losi
semakin bertambah-tambah kegusarannya.
Pertarungan berlangsung sangat cepat, tanpa
terasa sudah memakan puluhan jurus. Akan tetapi
beberapa saat kemudian setelah mengetahui
kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan-lawannya,
si Katai Losi nampak menyeringai penuh
kemenangan. Segalanya tiba-tiba berubah sangat
cepat. Si katai Losi kemudian merubah jurus-jurus
silatnya. Dan secara diam-diam pula dengan
kekuatan yang berlipat ganda, kembali dia
mengerahkan ajian Mulih Pati. Beberapa saat
setelah itu, dengan menggembor bagai kerbau
yang terluka. Tubuh si Katai Losi sedemikian
cepatnya dan langsung kirimkan satu pukulan
ganas kepada Luki Denta, satu pukulan pancingan
dia lepaskan. Luki Denta memutar Toyanya lebih
sebat lagi. Agaknya Luki Denta terpengaruh
dengan pukulan tipuan yang sesungguhnya
merupakan muslihat si Katai Losi untuk melakukan
pukulan yang sesungguhnya dengan telak. Luki
Denta terpancing jauh. Tatkala tangan kiri si Katai
Losi sudah begitu dekat di depan hidungnya, dia
menyambut dengan Toyanya. Pada saat itulah
tangan kanan manusia kerdil itu berkelebat
sedemikian cepatnya ke dada lawannya yang
terbuka. Ketika Arya Pasangran menyadari akan
bahaya yang mengancam Luki Denta, dia sudah
tak dapat berbuat banyaknya. Jarak diantara
mereka benar-benar di luar jangkauan
kemampuannya.
Luki Denta melolong setinggi langit, begitu
pukulan Mulih Pati yang dilancarkan si Katai Losi
menghantam dengan telak tubuhnya. Orang kedua
dalam perkumpulan Partai Pengemis Tenggara itu
terbanting puluhan tombak. Kedua bola matanya
terbelalak bagai mau meloncat ke luar, dalam
waktu singkat tubuh laki-laki malang itu nampak
membiru layu dan kering bagai ikan asin
terpanggang terik matahari. Arya Pasangran
nampak terbelalak tak percaya, kejadian itu benar-
benar terasa sangat meng-guncangkan jiwanya.
Diburunya tubuh Luki Denta yang terkapar tiada
daya. Namun begitu dia mengguncangkan tubuh
kawannya itu, Luki Denta sudah tiada berkutik.
Nyawanya telah melayang sesaat setelah si Katai
Losi mendaratkan pukulan Mulih Pati. Mendadak
Arya Pasangran palingkan muka, lalu memandang
pada kedua manusia katai itu silih berganti. Sorot
matanya memancarkan api dendam, kedua bibir
terkatup rapat. Setindak demi setindak dia
melangkah menghampiri si Katai Losi yang
nampak menyeringai penuh kemenangan. Kira-kira
setengah tombak di depan dia hentikan langkah.
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ketua
Perkumpulan Partai Pengemis Tenggara itu pun
membentak:
"Anjing cebol! Manusia biadab berhati iblis...
kalian harus membayar lunas hutang nyawa
kawanku...!" Tukas Arya Pasangran dengan wajah
kelam membesi. Baik si Katai Losi maupun si Katai
Jola nampak tergelak-gelak begitu mendengar
kata-kata Arya Pasangran yang nampak sangat
marah. Tak lama kemudian si Katai Jola menyela:
"Gembel pengemis, nyawamu sendiri
sebentar lagi segera berangkat ke akhirat
bagaimana mungkin engkau dapat menagih
hutang nyawa...?" Semakin bertambah
mendidihlah darah Arya Pasangran. Tanpa banyak
cingcong lagi ketua perkumpulan kaum pengemis
ini langsung kirimkan serangan ganas.
"Manusia terkutuk! Mampuslah...!" pekik
Arya Pasangran sangat cepatnya membabat
dengan pedangnya. Tercekatlah hati si Katai Losi,
karena tau-tau pedang di tangan Arya Pasangran
sudah menyambar dadanya. Jubah Harimau
terobek sejengkal. sehingga nampaklah bukit
kembarnya yang sudah keriput dan mengalirkan
darah. Si katai Losi menjadi berang, perempuan
kerdil itu meraung bagai harimau tua kelaparan.
Serta merta dia menunjuk cepat-cepat ke arah
Arya Pasangran.
"Bangsat rendah hidung belang! Kau harus
membayar mahal atas segala ulahmu ini...!"
Bentak si Katai Losi sambil berusaha menutupi
sebagian jubahnya yang terobek. Arya Pasangran
meskipun hatinya sangat dongkol, tapi masih juga
tertawa tergelak-gelak.
"Katai jelek, aku bukanlah laki-laki yang
suka iseng! Jangan kau kira aku tertarik dengan
apa yang kulihat. Sudah keriputan begitu siapa
sudi! Jangan kan aku, kucing kurap sekali pun
akan lari terbirit-birit demi melihat kebagusan
dadamu yang aduhai itu...!" Kata Arya Pasangran
mencemooh. Demi mendengar kata-kata Arya
Pasangran yang tak lebih mengejek dirinya
semakin bertambah geramlah si Katai Losi di
buatnya. Amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun,
penghinaan itu benar-benar sangat keterlaluan
sekali. Agaknya si Katai Jola pun sudah tak sabar
melihat saudara seperguruannya mendapat malu
sedemikian rupa. Kini tanpa meminta persetujuan
kakak seperguruannya, dia sudah melompat
menghampiri Arya Pasangran.
"Kakang Mbok! Mari kita satai saja ketua
gembel ini ramai-ramai...!"
"Mungkin inilah yang dia kehendaki adik
Jola!"
Arya Pasangran tertawa berderai, kemudian
memandang pada kedua manusia katai itu silih
berganti,
"Mengapa tidak sedari tadi kau turun tangan
katai sial!" Maki Arya Pasangaran. Kedua
perempuan Katai itu menyeringai: "Mulutmu
terlalu sombong gembel cacingan!"
Sebelum Arya Pasangran membuka mulut,
dia merasa akan angin pukulan menyambar
kebagian tubuhnya. Laki-laki itu menoleh, tahulah
dia bahwa yang melakukan pukulan curian tadi
kiranya si Katai Jola adanya. Tapi dia sudah tak
dapat berfikir panjang karena dua orang kerdil itu
kini telah menggempurnya secara berbareng.
Dalam gebrakan pertama saja kedua orang
ini langsung kirimkan pukulan-pukulan yang
sangat ganas. Arya Pasangran segera memutar
pedangnya membentuk tameng pelindungan diri.
Sinar pedangnya berkelebat kesegala arah,
meskipun begitu nampaknya kedua orang ini tak
gentar menghadapi babatan pedang yang nampak
sebat dan ganas. Mereka terus berangsak sambil
mengirimkan pukulan-pukulan jarak jauhnya.
Meskipun Arya Pasangran memiliki ilmu pedang
yang tinggi, akan tetapi mendapat keroyokan
sedemikian rupa dari dua orang tokoh kelas satu,
tak urung tiga puluh jurus kemudian dia sudah
kena didesak oleh kedua orang lawannya. Bahkan
beberapa saat kemudian mulai jatuh di bawah
angin.
Walaupun begitu, Arya Pasangran tak mudah
menyerah begitu saja. Dia seorang ketua
perkumpulan yang memiliki watak dan pendirian
yang keras. Tanpa memperdulikan keselamatan
dirinya dia terus merangsak lebih nekad lagi.
Meskipun Ketua Perkumpulan Pengemis Tenggara
telah mengarahkan segenap kemampuannya,
masih saja dia terdesak hebat. Bahkan lama-
kelamaan mulai jatuh di bawah angin. Kini
semakin sibuklah Arya Pasangran, sebentar saja
keringat nampak berciciran membasahi sekujur
tubuhnya. Muka Ketua Pengemis Partai Tenggara
nampak pucat pasi, mendadak si Katai Jola
berteriak lantang, tubuhnya berkelebat lenyap,
begitu pun halnya dengan si Katai Losi. Dengan
pukulan-pukulannya yang terkenal ganas dia
menyerang Arya Pasangran pada bagian kaki.
Nyatalah bahwa kerja sama yang dibina oleh
kedua manusia kerdil ini memang terbilang dengan
baik. Menghadapi serangan yang sedemikian
gencarnya, Arya Pasangran untuk seketika
lamanya nampak terkesima, begitu dia menyadari
apa sesungguhnya yang akan dilakukan oleh pihak
lawan. Tahu-tahu tangan kanan si Katai Jola
menyambar kebagian dadanya. Ketua Pengemis
Partai Tenggara itu menjerit tertahan begitu
merasakan ada sesuatu yang membentur dadanya
dan menimbulkan hawa panas yang luar biasa.
Arya Pasangran terhuyung-huyung beberapa
tindak, dengan cepat dia raba dadanya, begitu dia
melirik ke arah dada yang berbulu lebat, dia
melihat lima jemari tangan membekas dan dengan
cepat berubah menghitam. Sadarlah Ketua
Perkumpulan Kaum Pengemis ini bahwa pihak
lawan telah lancarkan pukulan beracun yang
sangat ganas. Walaupun pukulan itu tak separah
Ajian Mulih Pati. Akan tetapi akibatnya tetap sama
saja. Reaksi racun di dada Arya Pasangran dengan
cepat menjalar kemana-mana. Arya Pasangran
merasakan dingin yang luar biasa. Dalam pada itu
kedua perempuan kerdil itu telah hentikan
serangannya. Mereka merasa begitu yakin bahwa
sebentar lagi Arya Pasangran akan segera
menemui ajalnya. Dengan sesungging senyum
kemenangan kedua orang ini memandangi Arya
Pasangran yang sudah mulai nampak kepayahan.
Kedua bola mata Ketua Pertai Pengemis nampak
terbeliak lebar, pedang di tangannya bergetar
hebat. Laki-laki itu merasakan batang lehernya
dicekik setan yang menjijikkan. Kedua bibirnya
nampak terbuka, namun tiada satu pun kata yang
terucap. Beberapa saat kemudian tubuh Arya
Pasangran limbung lalu tersungkur di atas tanah
untuk selama-lamanya. Kedua manusia katai itu
tersenyum puas.
"Bangsat ini sampai akhir hayatnya tetap tak
mau buka mulut! Kata si Katai Jola pada kakak
seperguruannya.
"Ada baiknya kalau kita kembali ke Rawa
Kematian...!" Ujar si Latai Losi mengusulkan.
Tanpa membantah si katai Jola segera mengikuti
langkah kakak seperguruannya.
* * *
DELAPAN
Satu ekor daging menjangan dipanggang
sedemikian rupa membuat jakun si Maling Bosa
turun naik menahan selera. Bau aroma yang
merangsang penciuman serta rasa lapar yang
sejak tadi ditahan-tahannya. Itulah yang menjadi
ciri khusus dalam hidup Maling Bosa selama
puluhan tahun. Memang benar dia merupakan
seorang maling yang lihai. Akan tetapi dalam
kehidupannya tidak secuil pun barang hasil
curiannya dia manfaatkan untuk kebutuhan sehari-
hari. Kalau pun dia mencuri, hal itu semata-mata
dia lakukan karena merasa tak tahan melihat
kehidupan orang melarat. Dan hampir semua hasil
curiannya dia bagi-bagikan pada rakyat jelata.
Bagi mereka kehadiran Maling Bosa tak ubahnya
sebagai dewa penyelamat terhadap musim
paceklik yang panjang.
Maling Bosa bukanlah seorang yang kaya
karena harta curiannya. Bahkan kehidupannya
boleh dikata sangat melarat. Tidak punya sanak
keluarga apalagi istri, bahkan seekor kucing pun
dia tidak punya. Rumahnya di tengah Rawa
Kematian, merupakan sebuah rumah gubuk
bertonggak, dinding terbuat dari rumput ilalang
beratapkan ilalang pula. Di dalam gubuk itu hanya
terdapat sebuah balai kecil yang terbuat dari
anyaman kulit rotan. Di atas balai itulah seorang
gadis yang sangat cantik terbaring. Mata gadis itu
nampak begitu liar memandang seisi gubuk. Dalam
hati dia bertanya-tanya, mengapa kehidupan
seorang maling yang sangat lihai demikian
memperihatinkan. Bahkan berkesan lebih sengsara
bila dibandingkan dengan hidup seorang gembel.
Mungkin ada benarnya dengan apa yang pernah
didengar dari cerita orang. Bahwa sesungguhnya si
Maling Bosa bukanlah orang yang begitu kemaruk
dengan dunia dan seisinya. Rupanya dalam hidup
yang serba singkat ini, laki-laki berkumis sekepel
itu ingin berbuat kebajikan sesama umat. Tidak
perduli apakah barang yang dia sumbangkan
ketengah-tengah orang banyak itu merupakan
barang yang sah atau tidak sah. Sejauh itukah
Maling Bosa bertindak? Semua itu karena masa
lalu hidupnya yang suram dan gelap. Andai saja
hidup boleh memilih, bagi si Maling Bosa lebih baik
tak usah di lahirkan ke alam dunia yang penuh
dengan keserakahan dan hura-hura. Mengapa?
Dulu ayahnya merupakan seorang tokoh sesat
yang banyak menyebar keonaran di mana-mana.
Sedangkan emaknya merupakan nenek
moyangnya tokoh sesat yang tewas karena
memperebutkan harta warisan. Karena demikian
kecewanya dalam hidup ini, akhirnya Maling Bosa
mengasingkan diri di Rawa Kematian.
Dalam pada itu si Maling Bosa telah selesai
dengan kesibukannya, beberapa saat kemudian
laki-laki itu telah mencicipi daging manjangan yang
masih mengepulkan uap panas. Sedang enak-
enaknya menggerogoti daging tersebut. Tiba-tiba
dia teringat pada gadis yang berada di dalam
gubuk. Kemudian berseru ramah.
"Nona galak! Kalau kau merasa lapar
keluarlah...!" Dewi Sekar Tanjung sesungguhnya
sudah mengetahui sejak tadi bahwa si Maling Bosa
sedang enak-enakkan membakar daging
manjangan. Akan tetapi untuk ke luar dan minta
bagian dia malu, Sebab dia telah berlaku kasar
pada si Maling Arif, lebih dari itu dia telah
menuduh yang bukan-bukan. Kini rasa lapar
semakin bertambah-tambah sejak terciumnya bau
daging panggang yang sedap.
"Bocah galak. Kalau engkau terus ngadat,
jangan salahkan aku bila daging yang enak ini
kuhabiskan sendiri...!" Kembali si Maling Bosa
mengingatkan.
Akhirnya dengan malu-malu Dewi Sekar
Tanjung keluar dari gubuk itu. Dia terus
melangkah menuruni anak tangga kayu. Begitu
kedua kakinya menyentuh permukaan tanah.
Tanah itu terasa bergoyang-goyang menahan
berat tubuhnya. Dewi Sekar Tanjung tergagap, lalu
cepat-cepat memandang pada si Maling Bosa yang
nampak tergelak-gelak.
"Terus saja ke sini! Kata si Maling Bosa
sembari menggerogoti daging manjangan dengan
lahap. Dewi Sekar Tanjung tertegun di tempatnya.
Tanpa menoleh laki-laki ber-kumis lebat itu
menyela:
"Kalau kau masih tetap di situ aku akan
menuntunmu kemari...!" Lalu tanpa menunggu
jawaban si gadis, si Maling Bosa bergerak ringan
menghampiri dirinya. Dewi Sekar Tanjung bengong
dibuatnya. Nyata-lah baginya, kalau Si Maling Bosa
mempunyai niat buruk terhadap dirinya, sudah
barang tentu hal itu sangat mudah dia lakukan.
Terbukti selama dua hari di dalam gubuk milik si
Maling Bosa, tak secuil pun laki-laki berkumis tebal
itu mengganggunya.
Dalam beberapa saat si Maling Bosa telah
menyambar pergelangan tangan Dewi Sekar
Tanjung. Sebentar kemudian Dewi Sekar Tanjung
telah sampai di tempat Maling Bosa membakar
manjangan. Cepat-cepat murid dari perguruan
Nganti Mulih itu menjura hormat. Orang tua
dihadapanya tergelak-gelak lalu menggerogoti
sepotong daging bakar berikutnya. Setelah
menyeka mulutnya yang berselemotan daging
panggang, maka si Maling Bosa berkata: "Untuk
apa engkau menjura-jura bagai orang di dalam
Kuil! Aku tidak suruh, aku hanya menyuruhmu
makan daging ini...!" Bentak Si Maling Bosa. Dewi
Sekar Tanjung jadi tersipu malu. Kedua pipinya
yang putih bersih seketika berubah kemerah-
merahan.
"Maafkan aku paman! Aku telah menuduhmu
yang bukan-bukan...!" Kata Dewi Sekar Tanjung
merasa bersalah.
"Setiap orang punya kesalahan. Engkau
tidak jadi membunuhku saja aku sudah merasa
beruntung...!" Ujar Maling Bosa sambil terus
tertawa-tawa.
"Ah... paman menyindirku! Mana mungkin
aku yang tolol ini mampu membunuhmu.”
"Walau engkau tak jadi membunuhku! Apa
pun kejadiannya kau tetap merupakan murid
sahabat baikku...!"
"Terima kasih paman...!" Si Maling Bosa
anggukkan kepala, kemudian dia berkata lagi.
"Duduk sini, daging manjangan muda ini
rasanya enak... enak...."
"Krauk... Krauuk...!" Begitu nikmatnya si
Maling Bosa melahap daging manjangan itu,
sehingga ketika Dewi Sekar Tanjung menikmati
daging tersebut hanya tinggal bersisa
setengahnya. Dengan sikap malu-malu Dewi Sekar
Tanjung menerima daging panggang pemberian
Maling Bosa. Tak lama sesudahnya gadis berwajah
rupawan itu menyela.
"Paman Bosa! Tempat macam apakah .
tempat tinggalmu ini!" Mendengar pertanyaan
seperti itu, Maling Bosa tertawa ringan. Sekejap
dia memandang berkeliling. Kemudian dengan
suara datar "Orang bilang tempat ini bernama
Rawa Kematian... tetapi aku sendiri sudah
menetap di sini selama bertahun-tahun tak pernah
mati...!"
Dewi Sekar Tanjung melonjak kaget begitu
si Maling Bosa menyebut nama tempat itu. Kiranya
tempat tinggal si Maling Bosa hanya merupakan
sebuah daerah berawa-rawa. Pantasan ketika tadi
dia menginjakkan kakinya di bawah gubuk, tanah
itu bagai menari-nari. Guman si gadis terbengong-
bengong.
"Mengapa paman memilih tinggal di tempat
ini...?"
"Hohoho... hohoho...! Terang saja, tempat
ini aman dari gangguan kejahatan lebih dari itu
aku punya banyak kawan yang tak pernah
menyakiti hatiku...!" Kata si Maling Bosa
seenaknya.
"Kawan? Tapi aku tak melihat siapa pun di
sini...!" Dewi Sekar Tanjung keheranan, lalu timbul
pula anggapan di dalam hatinya. Bahwa di
samping laki-laki itu terkenal sebagai orang yang
aneh rupanya juga punya gangguan jiwa. Si Maling
Bosa kembali tergelak-gelak, tiba-tiba dia hentikan
tawanya, lalu berseru lantang: "Hei makhluk yang
berada di bawah sana! Ada sobat kita yang ingin
melihat kehadiran kalian! Datanglah ke
gubukku...!" Beberapa saat kemudian gubuk di
tengah-tengah rawa itu terguncang-guncang.
Tanah di sekitarnya bergerak hebat diiringi bunyi
mendesis yang bersumber dari ribuan makhluk-
makhluk berbisa. Pada saat itu si Maling Bosa
berkata pelan.
"Lihatlah di bawah sana, kawan-kawanku
sudah datang...!" Dengan rasa penasaran Dewi
Sekar Tanjung melongokkan kepalanya ke bawah
gubuk. Terperangahlah gadis ini begitu melihat
kehadiran ribuan binatang berbisa dari berbagai
jenis nampak berbaur menjadi satu. Sebuah
pemandangan yang seumur hidup belum pernah
dia saksikan sebelumnya. Yang anehnya walau pun
binatang-binatang menjijikkan itu terdiri dari
berbagai jenis, mereka tidak saling berbaku
hantam sesamanya. Dewi Sekar Tanjung cepat-
cepat kembali ke tempatnya semula.
"Paman Bosa! Makhluk-makhluk itukah yang
kau bilang sebagai sahabatmu...?" Tanya Dewi
Sekar Tanjung masih dihantui bayang-bayang
ketakutan. Si Maling Bosa mengangguk pelan,
kedua matanya tiba-tiba terpejam. Dia merasakan
adanya kehadiran orang yang tidak diundang di
pinggiran Rawa tempat tinggalnya. Bahkan melalui
ilmu menyusupkan suara dia dapat mendengar ada
satu dua orang panggil-panggil namanya dengan
penuh ancaman. Tak lama kemudian kedua mata
si Maling Bosa kembali terbuka, Dewi Sekar
Tanjung yang sejak tadi merasa keheranan,
langsung menyela:
"Paman ada apakah gerangan...?" Laki-laki
berkumis tebal itu palingkan wajah.
"Engkau diamlah di sini! Kunyuk-kunyuk
edan itu pasti menuduhku sebagai pencuri pusaka
bapak moyangnya." Kertak si Maling Bosa marah
sekali.
"Tidak paman! Aku harus ikut, kalau perlu
aku yang akan menjelaskan pada mereka...!" Si
Maling Bosa gelengkan kepala, "Kedua Katai itu
merupakan manusia dajal, mana mungkin mereka
bisa percaya dengan omonganmu..,!"
Dewi Sekar Tanjung kerutkan wajah. Kalau
orang itu sudah demikian susahnya untuk diberi
pengertian, alamatlah bagi si Maling Bosa untuk
mengadu jiwa. Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi, si
Maling Bosa terlalu baik. Bagaimana pun dia harus
membelanya! Batin Dewi Sekar Tanjung di dalam
hati.
"Kalau begitu mereka pasti bermaksud
mencelakakan paman...!"
"Bila memang hal itu sudah merupakan
nasibku, siapa yang kuasa menolak...." Jawab si
Maling Bosa pasrah. Dewi Sekar Tanjung cepat-
cepat gelengkan kepala.
"Tidak bisa! Apa pun yang akan terjadi aku
harus ikut, paman Bosa pantas untuk dibela...."
Dewi Sekar Tanjung bersikeras. Mendengar ucapan
Dewi Sekar Tanjung, si Maling Bosa tertawa getir.
"Aku ini hanya seorang maling yang
menjijikkan! Sudah selayaknya semua keburukan
itu kupikul di pundakku!"
"Maling tidak maling, buruk tidak buruk! Apa
pun yang akan terjadi aku tetap berada di
pihakmu...!" Mendadak wajah si Maling Bosa
berubah merah padam, baginya terlalu sulit untuk
memberi pengertian pada gadis bandel ini. Dengan
nada penuh amarah dia berkata tegas: "Bocah!
Kuminta jangan fikirkan aku, masa depanmu
masih terlalu panjang jangan campuri urusanku.
Kalau aku mampus di tangan mereka, aku cuma
barang rongsokan yang tiada guna. Dan aku
sendiri akan menerima kematian itu dengan
senang hati...!"
"Maaf paman barangkali aku harus
memaksamu terlebih dulu, baru kemudian engkau
mengijinkan aku untuk turut serta bersamamu...!"
Dewi Sekar Tanjung menyela dan langsung
melolos pedangnya. Si Maling Bosa yang punya
watak angin-anginan itu mendengus dan langsung
berkelebat pergi.
"Aku tak punya waktu untuk bermain-main
denganmu...!" Tukas si Maling Bosa seiring dengan
lenyapnya bayangan laki-laki itu dari pandangan
mata Dewi Sekar Tanjung. Gadis itu bermaksud
menyusulnya, akan tetapi baru saja tubuhnya
melompat dari dalam gubuk. Kedua kakinya
langsung terjeblos ke dalam tanah yang di
bawahnya merupakan sebuah genangan air yang
dalam. Gadis itu memaki-maki ketakutan, ketika
ada makhluk air yang terasa merambati bagian
kaki dan selangkangannya. Meskipun tidak
menggigit tak urung rasa geli membuat wajahnya
merah padam. Dengan sekali lompat tubuhnya
yang terbenam sebatas pinggang melesat keatas
dan langsung jatuh di pintu pondok.
* * *
SEMBILAN
Tubuh Maling Bosa nampak berkelebat
ringan di atas tanah rawa yang dalam airnya.
Dalam waktu sekejap saja dia sudah sampai pada
pinggiran rawa. Kedua perempuan katai
menyambut kehadirannya dengan tawa rawan.
"Bagus sekali! Setelah kau ngumpet seperti
seekor tikus selama beberapa hari, akhirnya
engkau muncul juga...!" Kata si Katai Losi sinis.
"Inikah bangsat yang kita cari-cari itu
Kakang Mbok?" Si Katai Jola menyela, Katai yang
satunya manggut-manggut bagai burung pelatuk.
Kedua perempuan katai itu memandang dingin
pada si Maling Bosa yang berdiri di depannya. Lalu
mereka tertawa melengking-lengking.
"Maling Bosa keparat! Aku akan sudahi
urusan ini sampai di sini saja, asalkan engkau
cepat-cepat kembalikan senjata Pusaka Belibis
Sakti milik perguruan kami yang telah kau curi
beberapa purnama yang lalu!" Bentak si Katai Losi.
Dituduh seperti itu si Maling Bosa tersenyum getir.
"Hmm... mengherankan! Akhir-akhir ini
berpuluh-puluh perguruan telah kehilangan pusaka
kebesarannya! Tetapi anehnya mereka beramai-
ramai menuduhku sebagai biang kerok pencurian
itu. Seperti yang lain-lainnya kiranya matamu yang
picak itu berpandangan picak pula...!" Kata Maling
Bosa mencemooh. Di hina sedemikian rupa oleh
seorang maling pula, mendidih darah kedua
perempuan katai ini sampai ke ubun-ubun.
"Bedebah! Aku tak suruh kau menjawab
yang bukan-bukan. Yang kuinginkan cuma pusaka
milik perguruan kami?!" Bentak Si katai Jola.
"Kunyuk tolol! Aku tak tau menahu segala
senjata pusaka setan belang. Aku sendiri dibuat
repot oleh ulah pencuri sialan itu...!" Si Maling
Bosa balas membentak tak kalah gusarnya.
"Bangsat. Kau malingnya, mengapa masih
berteriak maling...!"
"Memang benar aku seorang maling! Tapi
belum pernah aku mencuri segala jenis pusaka
karatan!" Semakin bertambah gusarlah kedua
perempuan katai itu dibuatnya.
"Lekas serahkan pedang pusaka Belibis Sakti
milik perguruan kami!" Hardik si Katai Jola.
"Orang-orang gila! Apanya yang harus
kuserahkan:..!" Si Maling Bosa yang tak tahu
menahu tentang senjata pusaka itu mendengus! Si
Katai Losi yang sudah merasa kesal itu garuk-
garuk jidatnya yang mirip penggorengan.
"Keparat betul! Engkau mau kembalikan apa
tidak?" Si Maling Bosa mencaci maki habis-habisan
di dalam hati.
"Aku tidak ambil segala senjata pusaka milik
setan! Kalau pun aku mencurinya barangkali cuma
untuk keperluan menggali kakus...!" Tukas Maling
Bosa saking geramnya. Melihat si Maling Bosa
masih tetap tak mengakui perbuatannya, si Katai
Jola sudah tak sabar lagi.
"Kakang mbok! Mengapa harus bertele-tele,
kalau dia tidak mau mengaku. Baiknya kita copot
saja kepalanya?!" Si Katai Losi tanpa
memperdulikan ucapan adik seperguruannya terus
saja mendesak si Maling Bosa.
"Maling terkutuk! Agaknya aku harus
membelah kepalamu...!" Ancam si Katai Losi
kertakkan rahang. Sesungging senyum maut
membuat si Maling Bosa bersiap-siap
menjaga setiap kemungkinan.
"Kalian penggal pun kepalaku tak ada
gunanya... aku memang tak mencuri pusaka
perguruan iblis...!"
Si Katai Losi merah mukanya, panas pula
hatinya. Kemudian dia membentak gusar: "Aku
mau lihat apakah memang benar kepala atos bagai
batu...!" Seusai berkata begitu, sekali dia gerakkan
tangan kanannya lima jemarinya terpentang bagai
cakar burning. Cepat-cepat si Maling Bosa
menyingkir kesamping kiri, mengelakkan totokan
yang dilancarkan oleh si Katai Losi. Dalam
mengelak begitu Maling Bosa tendangkan kakinya
mengarah ke bagian selangkangan si Katai Losi.
Wanita katai itu yang sebelumnya tiada menduga
bahwa si Maling Bosa bisa secepat itu gerakkan
kaki kanannya, dia sudah tak dapat berkelit lagi.
"Duk!" Katai Losi menjerit bercampur malu,
karena selangkangannya kena ditendang oleh si
Maling Bosa. Dia memaki habis-habisan.
"Jahanam bangsat cabul! Kau benar-benar
akan menyesal sampai ke liang kubur karena
perbuatan busukmu itu...!"
"Pada kunyuk-kunyuk sesaat tak perlu
memakai segala peradatan!" Maling Bosa balas
memaki.
"Heiit...! Heep...!"
"Jhee... cuma segitu doang...!" Lagi-lagi si
Maling Bosa mencibir. Si Katai Losi nampak sangat
penasaran begitu serangan yang dilancarkan
berikutnya mengalami kegagalan. Dengan satu
jeritan keras dia menyerang lagi! Maka terjadilah
pertarungan yang dahsyat, dalam waktu sekejap
puluhan jurus sudah terlewati. Di lain pihak si
Katai Jola yang sudah tidak sabaran melihat
pertarungan itu ikut maju mengeroyok si Maling
Bosa. Dengan memandang enteng dia langsung
kirimkan serangan-serangan dahsyat. Si Katai ini
berkeyakinan dengan cara mengeroyok seperti itu
sudah barang tentu sebentar lagi si Maling Bosa
sudah kena di ringkus. Akan tetapi beberapa saat
kemudian dia dibuat terbelalak tak percaya,
karena terkaman yang mengarah pada bagian kaki
pihak lawannya ternyata masih mampu dielakkan
oleh si Maling Bosa dengan baik sekali. Bahkan si
Maling Bosa masih sempat tersenyum mengejek:
"Aha, jurus Kura-Kura Mencatok Ikan seperti
itu hanya pantas kau pergunakan untuk
menangkap tikus cecurut...!" Memerahlah wajah si
Katai Jola demi mendengar lawannya dapat
menggenali jurus-jurus yang dia mainkan.
Meskipun begitu sambil menyerang lawannya dia
membentak.
"Maling busuk! Sudah mau mampus banyak
tingkah...!" Kali ini kedua manusia kerdil itu rubah
jurus-jurus silatnya. Gerakan silatnya sedemikian
cepat, sebentar saja Maling Bosa sudah terkurung
dari dua jurusan. Meskipun begitu laki-laki
berkumis tebal itu masih nampak tenang-tenang
saja.
Gerakan kedua orang katai itu cepat sekali,
tubuh mereka hanya tinggal bayangan, tahu-tahu
secara serentak mereka kirimkan empat totokan
mengarah pada bagian-bagian paling mematikan.
Meskipun demikian, si Maling Bosa bukanlah orang
yang bodoh, ilmu silatnya yang ditempa oleh
pengalamannya sendiri selama puluhan tahun
ditambah lagi dengan kecerdikan akal yang
dimilikinya, membuat dia masih nampak tenang
dalam situasi yang sesungguhnya sudah sangat
terjepit. Begitu jemari tangan lawan-lawannya
hampir mencakar pada bagian leher dan mentotok
pada bagian punggung. Maling Bosa segera
jatuhkan badan dan berguling-guling. Gulingan
tubuhnya sesungguhnya merupakan sebuah jurus
yang ampuh dan chberi nama Ular Putih
menggulung mangsa. Tubuh yang terguling-guling
bergerak sedemkian cepatnya dan langsung
menyapu ke arah bagian kaki lawan-lawannya.
Kedua perempuan katai yang tiada menyangka
akan serangan kaki yang sedemikian cepatnya
nampak kalang kabut. Bagai dua ekor monyet
yang mabuk tahi ayam mereka ini berlompatan
kian ke mari. Si katai Losi mencaci maki habis-
habisan, kemudian kirimkan satu pukulan jarak
jauh. Maling Bosa cepat-cepat menghindar, begitu
merasakan hawa panas menyambar tubuhnya.
Pukulan itu langsung menerpa ruang yang kosong
dan menimbulkan suara yang memekakkan
gendang-gendang telinganya. Mengetahui
serangan ganas yang dilontarkan oleh si Katai Losi
dapat di-elakkan oleh si Maling Bosa dengan baik.
Si Katai Jola yang memang sudah sangat geram
langsung kirimkan pukulan yang sama. Pada saat
itu dengan nekad si Maling Bosa memapaki.
Benturan dua tenaga sakti tak dapat dihindari lagi:
"Bumm!" Tubuh si Katai Jola terlempar
bebarapa tombak, darah mengucur dari hidung
dan celah-celah bibirnya. Sedangkan si Maling
Bosa cuma tergetar beberapa saat lamanya.
Nyatalah bagi mereka bahwa tenaga dalam si
Maling Bosa ternyata dua tingkat di atas si Katai
Jola. Demi melihat kejadian ini, si Katai Losi
gusarnya bukan, alang kepalang. Beberapa saat
berikutnya dia segera merapal ajian Mulih Pati
yang terkenal dahsyat. Mengetahui hal itu Maling
Bosa bergumam:
"Hmm, Ajian Mulih Pati! Aku jadi ingin
melihat kehebatannya...!"
"Kau tak akan sempat melihat maling
keparat, karena sebentar lagi engkau segera
berangkat keliang kubur...!" Bentak si Katai Jola,
tahu-tahu sudah menyerangnya kembali dengan
jarak yang begitu dekat. Serangan yang mendadak
itu bagi si Maling Bosa sudah tak mungkin untuk
dikelit. Dengan sangat penasaran, maling Bosa
hantamkan kedua tangannya atas dan bawah.
Kedua tangan itu pun beradu! Si Katai Jola
berteriak kesakitan, dia menyurut sampai
beberapa tombak, mukanya nampak pucat pasi,
Sadarlah dia tak mungkin bakal unggul
menghadapi si Maling Bosa. Sementara itu si Katai
Losi sudah siap-siap dengan ajian Mulih Pati.
Kedua belah tangannya telah mengepulkan uap
kebiru-biruan, lama-kelamaan kabut biru itu mulai
membungkus tubuh si Katai Losi. Hingga kini
tubuh itu tak ubahnya bagai bayang-bayang
berkabut. Sesungguhnya satu kesalahan telah
dilakukan oleh si Maling Bosa. Andai saja tadi dia
tidak terpancing oleh serangan Katai Jola. Akan
tetapi sebaliknya malah menyerang si Katai Losi
yang sedang berkosentrasi merapal mantra. Sudah
barang tentu manusia kerdil ini tidak sempat
mempergunakan Ajian Mulih Pati. Setidak-tidaknya
dia masih punya banyak kemungkinan untuk
merobohkan kedua orang ini. Akan tetapi kini
keadaannya sudah sangat kasib. Dan Maling Bosa
pun sudah menyadari akan makna ilmu iblis yang
benar-benar sangat berbahaya itu. Dia sudah tidak
mempunyai peluang untuk bertarung dalam jarak
rapat. Bahkan tersentuh pun kalau masih mungkin
harus dihindari. Tiada pilihan lain bagi si Maling
Bosa. Cepat-cepat dia lolos sebilah keris dari
pinggangnya.
Begitu si katai Losi memburu ke arahnya,
dengan cepat Maling Bosa kiblatkan keris di
tangannya, senjata di tangannya menghembuskan
bau yang menyesakkan pernafasan lawan-
lawannya. Sebentar saja keris berlekuk tujuh itu
sudah menggulung si Maling Bosa, dan
membentuk satu pertahanan yang sangat sulit
untuk dicari titik kelemahannya. Kedua Katai itu
memaki panjang pendek. Si Katai Losi segera
maklum, kalau usaha mereka bakal sia-sia dalam
menembus benteng pertahanan lawan yang
demikian ketat dalam melindungi diri. Di benaknya
cuma ada satu jalan untuk merobohkan lawan
dalam waktu secepat mungkin. Cara licik! Cuma
itulah yang ada dalam pikiran si kerdil bangsat itu!
Si Katai Losi segera member! isyarat pada adik
seperguruannya.
Agaknya si Katai Jola .sudah mengetahui
makna isyarat tersebut. Maka dengan cepat dia
kembali lancarkan serangan-serangan ganas.
Sementara itu si Katai Losi nampak memberi
kelonggaran pada lawannya.
Keris lekuk tujuh di tangan si Maling Bosa
laksana seekor ular cobra yang meliuk-liuk sangat
cepat dan begerak kian kemari. Terkadang
bergerak sebat menusuk pada bagian lambung,
terkadang menderu menusuk ke pangkal leher!
Semua itu terjadi berturut-turut cepat bagaikan
kilat. Betapapun si Katai Jola percepat garakan-
gerakan silatnya, namun tetap saja si Katai Jola
dibikin terdesak dan tak sanggup menembus
pertahanan lawannya. Kini si Katai Jola segera
rubah permainan silatnya, dia kembali lancarkan
serangan-serangan yang lebih dahsyat dan gencar.
Bahkan dia telah kerahkan segenap
kemampuanya. Semua itu dia lakukan adalah
dengan maksud untuk memberi peluang pada si
Katai Losi lancarkan pukulannya di tubuh
lawannya. Menghadapi serangan yang datangnya
bertubi-tubi, mau tidak mau Maling Bosa curahkan
segenap perhatiannya pada si Katai Jola. Tanpa dia
sadari telah bersiap-siap pula si Katai Losi dengan
pukulan mautnya.
* * *
SEPULUH
Si Maling Bosa semakin terseret dalam
pertarungan jarak dekat dengan si Katai Jola. Pada
saat dia lengah seperti itulah si Katai Losi
memukul dari bagian belakang. Tak terelakkan
lagi:
"Buk!" Pukulan yang begitu telak dialiri
tenaga dalam yang sempurna dengan
berlambarkan Ajian Mulih Pati. Membuat tubuh si
Maling Bosa tersungkur ke depan. Tiada keluhan
yang terdengar dari mulut si Maling Bosa yang
menyemburkan darah segar. Napasnya nampak
tersendat-sendat, sementara kedua bola matanya
memandang pada kedua orang perempuan katai
yang kini nampak tergelak-gelak. Begitu pun tiada
dendam yang terpancar dari kedua bola matanya
yang kian meredup. Di lain pihak agaknya si Katai
Losi merasa kurang puas dengan apa yang telah
dialami oleh lawannya. Sesaat kemudian dengan
lengkingan dahsyat dia bermaksud mengakhiri
hidup musuhnya yang sudah nampak sekarat.
Pada saat-saat yang sangat keritis itu, mendadak
sebuah bayangan merah berkelebat.
"Plak! Plak!" Si Katai Losi terlempar
beberapa tombak dengan dada bagai terinjak
ribuan gajah. Begitu dia menoleh tahu-tahu di
depannya telah berdiri seorang pemuda yang
sangat tampan., Si pemuda memandang padanya
dengan sinar mata penuh kebencian. Tanpa
menghiraukan kedua orang katai itu, si pemuda
segera melangkah menghamphri si Maling Bosa
yang sudah nampak sekarat. Si pemuda yang tak
lain adalah Buang Sengketa adanya segera
berjongkok. Lalu diperiksanya urat darah yang
berada di pergelangan si Maling Bosa. Lemah!
Agaknya sudah tiada harapan untuk hidup bagi si
Maling Bosa. Mata si Maling Bosa yang sudah
meredup itu nampak sedikit terbuka dan
memandang sayu pada Pendekar Hina Kelana.
Dengan bersusah payah dia berkata pelan sekali:
"0... rang muda yang baik! Agaknya hidupku
sudah tidak lama lagi, di tengah rawa-rawa itu ada
seorang gadis murid sahabatku... Selamatkan lah
dia! Dan cari tau siapa sesungguhnya yang telah
mencuri senjata pusaka milik berbagai perguruan
itu...!" ucapnya. hampir-hampir tak terdengar.
Pendekar Hina Kelana menjadi sangat iba, lalu
cepat-cepat dia bertanya:
"Orang tua! Engkaukah yang bergelar si
Maling Bosa?" tanya Pendekar Hina Kelana sangat
gugupnya. Laki-laki itu tersenyum ramah, tanpa
menjawab dia menggangguk.
"Aku sudah menemukan...!" Buang Sengketa
sudah tak sempat meneruskan kata-katanya
karena sesaat kemudian kepala si Maling Bosa
sudah terkulai, nyawanya melayang saat itu juga.
Bukan main menyesalnya Pendekar Hina Kelana.
Dia memaki diri sendiri! Mengapa tidak sejak tadi
dia turun tangan membantu laki-laki arif itu?
Bahkan dia tak menyangka kalau kedua katai itu
memiliki ilmu setan yang sangat ganas. Kini tanpa
sadar dia beranjak berdiri, kemudian
dipandanginya wajah kedua perempuan katai itu
silih berganti. Kedua matanya nampak memerah
saga. Hawa kesadisan sebentar saja sudah
menyatu dalam jiwanya yang agak terguncang.
"Bangsat rendah pengecut! Tiada sedikit pun
perasaan iba di dalam hatimu...!" geram Buang
Sengketa memendam amarah yang dalam.
Si Katai Losi menyadari kalau pemuda ini
memiliki tenaga dalam tidak jauh terpaut darinya,
bahkan dalam adu tenaga dalam yang tanpa
disengaja tadi dia sempat merasakan tangannya
bagai membentur dinding baja. Tangan bagai
kesemutan. Lebih dari itu tubuhnya terlempar
beberapa tombak dan muntahkan darah segar.
Maklum akan kehebatan pihak lawan, akhirnya dia
berkata lirih.
"Bocah! Ada sangkut paut apakah engkau
dengan si Maling Bosa, sehingga berani sekali
engkau mencampuri urusan kami?"
"Kerdil celaka! Tindakanmu yang sangat
telenggas saja sudah membuat aku harus
menghapus nama Perguruan Sangga Langit hari ini
juga! Masihkah kau pura-pura tak tahu...?"
Bentaknya marah.
"Budak hina! Si Maling Bosa telah mencuri
senjata pusaka milik perguruan kami, haruskan
kami tinggal diam!" Si Katai Jola menimpali.
Semakin bertambah gusarlah Pendekar Hina
Kelana di buatnya.
”Manusia sial mata picak! Sebaiknya ku
korek biji matamu yang tinggal satu itu biar kau
rasakan betapa gelapnya dunia ini...!" Si Katai Losi
tertawa ngakak, cepat-cepat dia menyela: "Bocah
edan kiranya engkau belum tahu siapa kami...!"
"Jahanam! Kalau begitu harus memenggal
kepala kalian saat ini juga!" Tiba-tiba Buang
Sengketa menyurut satu langkah, kemudian sekali
tangannya berkiblat selarik gelombang berhawa
panas luar biasa menderu mengarah pada kedua
manusia katai itu. Cepat-cepat kedua perempuan
katai itu mengelak kesamping kiri dan kanan. Si
Katai Losi terkejut sekali begitu hawa pukulan
yang teramat panas menyambar bagian kakinya.
Belum lagi hilang keterkejutan perempuan kerdil
itu lenyap. Kembali gelombang Sinar Ultra Violet
menderu dan melabrak ke arah mereka. Kedua
perempuan katai itu di buat kalang kabut, bahkan
tak diberi kesempatan sama sekali untuk
membalas. Karena datangannya serangan itu
bertubi-tubi bagai gelombang samudra. Mau tak
mau demi menyelamatkan nyawanya, kedua orang
ini memapaki serangan lawannya. Dengan nekad
kedua perempuan katai ini lancarkan satu pukulan
jarak jauh. Seberkas cahaya berwarna biru
keungu-unguan melesat cepat dari telapak tangan
kedua lawannya. Satu benturan yang sangat keras
sudah tidak dapat dihindari lagi ketika kekuatan
sakti itu saling berbenturan.
"Blam! Blam!" Tubuh si Katai Jola terlempar
sepuluh tombak dan langsung muntah darah,
sedangkan Katai Losi nampak terjengkang tujuh
tombak dengan posisi tubuh tunggang langgang.
Akan tetapi dia cepat-cepat bangkit kembali,
wajahnya pucat pasi. Nyalinya bahkan semakin
ciut begitu melihat lawannya masih tetap tegar
berdiri tanpa kekurangan suatu apapun.
Perempuan katai itu kemudian mengerung bagai
harimau tua terluka:
"Kunyuk hijau keparat! Sebentar lagi engkau
akan merasakan bagaimana hebat ajian Mulih Pati
yang telah merenggut nyawa si Maling Bosa! Dan
kaupun akan mendapat giliran berikutnya.
Mendengar ucapan si Katai Losi, Pendekar Hina
Kelana tertawa rawan.
"Menyesal sekali bangsat kerdil! Sebelum
niatmu itu kesampaian kepalamu sudah
menggelinding terlebih dulu!" Ejek pendekar Hina
Kelana.
"Cunguk sombong! Mulutmu kelewat
takabur...!" Si Katai Losi membentak.
"Kita lihatlah nanti:..!" Serentak dengan itu
perempuan katai sudah alirkan sebagian tenaga
dalamnya ke ujung jemari tangannya. Tangan itu
tergenggam dengan erat, sementara mulutnya
nampak berkemik-kemik membacakan mantra,
Ajian Mulih Pati.
Buang Sengketa tidak memberi kesempatan
pada si Katai Losi untuk bertindak lebih jauh.
Didahului oleh satu bentakan nyaring, Pendekar
Hina Kelana pukulkan tangan kirinya ke arah si
Katai Losi, sementara tangan kanannya begitu
cepat menyambar senjata pusaka yang terselip di
pinggangnya. Kedua perempuan katai itu nampak
terkejut sekali, begitu mereka melihat sebuah
golok Buntung di tangan Buang Sengketa
memancarkan sinar kemerah-merahan. Tiba-tiba
mereka merasakan hawa dingin yang luar biasa.
Sementara mulut Pendekar Hina Kelana telah
keluarkan bunyi mendesis-desis bagai suara
seekor Ular Piton yang sedang marah. Belum lagi
hilang kejut mereka, pemuda itu telah
menyerangnya dengan ganas sekali. Pedang di
tangannya berkelebat cepat, membentuk
gelombang sinar merah menyala yang tiada henti.
Tubuh kedua katai itu nampak menggigil
merasakan hawa dingin yang keluar dari senjata di
tangan lawannya. Cepat-cepat kedua orang ini
membentangi diri dengan jurus Kuakkan
Tempurung Mencatok Cacing. Kedua orang ini
bergerak cepat berusaha menghindari babatan
senjata pusaka lawannya. Namun secepat apa pun
gerakan si katai ini, golok di tangan Pendekar Hina
Kelana bergerak lebih cepat lagi.
Satu sat si katai Losi bermaksud
menyarangkan Ajian Mulih Pati itu mengarah pada
bagian dada si pemuda. Kiranya hal itu tidak luput
dari perhatian Buang Sengketa yang memang
sedari tadi lebih cenderung memperhatikan
gerakan si Katai Losi yang di kenalnya sebagai
sangat berbahaya. Begitu tangan si katai meluncur
deras dan hampir-hampir sampai pada
sasarannya, secepat kilat golok di tangan Buang
Sengketa berkelebat. katai Losi yang tidak mengira
bahwa gerakan golok di tangan lawan bisa
berkiblat secepat itu, sudah tak dapat menarik
tangannya lagi. Tak aval!
"Cras!" si Katai Losi melolong setinggi langit.
Tangan kirinya terbabat sebatas siku, kutungan
tangan mencelat jauh sampai tiga tombak. Darah
memancar deras dari luka yang mengerikan.
Cepat-cepat dia menotok urat darah untuk
mencegah keluarnya darah lebih banyak lagi.
Sementara itu si Katai Jola mengetahui kakak
seperguruannya kena dilukai oleh lawannya.
Lumerlah nyalinya. Meskipun dia masih menyerang
si pemuda akan tetapi hanya setengah hati. Sebab
apa yang ada di dalam benaknya adalah
bagaimana caranya untuk bisa kabur secepatnya.
Dalam pada itu si Katai Losi yang memang sudah
sangat nekad, kembali kirimkan pukulan-pukulan
dahsyat dengan sebelah tangannya. Pendekar Hina
Kelana putarkan badan, kemudian diiringi dengan
bunyi mendesis yang berkepanjangan, tubuhnya
berkelebat sedemikian cepatnya, hingga tinggal
merupakan bayang-bayang merah saja. Si Katai
Losi maupun si Katai Jola benar-benar dibuat
kelabakan. Satu saat tubuh Pendekar Hina Kelana
melesat ke udara, kemudian dengan disertai jerit
melengking tubuhnya lebih cepat lagi menungkik.
Satu babatan yang cukup telak dia lancarkan
mengarah pada bagian kepala si Katai Losi.
Perempuan kerdil itu agaknya tidak menyadari apa
yang bakal menimpa dirinya. Namun begitu dia
merasakan ada angin yang menyambar mengarah
dirinya, cepat-cepat dia coba menghindar. Akan
tetapi golok di tangan Buang Sengketa malah dua
kali lebih cepat.
"Prook!" Kepala si Katai Losi terbelah dua,
darah dan otak berhamburan ke mana-mana.
Hanya bola matanya saja yang nampak melotot
bagai mau meloncat keluar.
Sesaat lamanya si Katai Jola terkesima,
seolah dia tak percaya dengan apa yang di
lihatnya. Buang Sengketa yang sudah kalap itu
sudah tidak memberinya kesempatan lagi. Kembali
Pendekar Hina Kelana babatkan golok Buntungnya.
Si Katai Jola buang tubuhnya ke samping begitu
merasakan ada angin dingin menyambar pada
bagian tubuhnya. Belum lagi dia sempat bangkit,
lagi-lagi golok di tangan Pendekar Hina Kelana
menderu dahsyat mengarah pada bagian leher.
Dalam keadaan terjepit seperti itu, si Katai Jola
sangat gugup dan tangkis sambaran golok dengan
kedua tangannya.
"Cras! Cras!" Tangan si Katai Jola terkutung
menjadi beberapa bagian, perempuan itu menjerit-
jerit bagai orang gila karena menahan rasa sakit
yang teramat sangat. Wajahnya nampak pucat
pasi, tubuh menggigil ketakutan. Pendekar Hina
Kelana yang sudah gelap mata, tiada sedikit pun
memberinya ampun. Diburunya si Katai Jola de-
ngan senjata menderu-deru! Kemudian diawali
dengan teriakan menggelepar senjata di tangan
Pendekar Hina Kelana berkelebat kembali!
"Cras!" Kepala si Katai Jola menggelinding
ke atas tanah, bagai mata air, darah memancar
dari leher si Katai Jola yang terkutung. Beberapa
saat tubuh yang sudah tiada berkepala itu nampak
menegang, kemudian terhuyung-huyung ke depan.
Tak berapa lama setelahnya tubuh si katai itu pun
ambruk ke bumi. Sesaat lamanya Pendekar Hina
Kelana memandangi tubuh yang berlumuran darah
itu. Begitu dia teringat pada pesan si Maling Bosa
tentang gadis yang berada dalam gubuk miliknya
di tengah rawa, cepat-cepat dia bondong tubuh si
Maling Bosa yang sudah kaku itu. Secepat itu pula
tubuhnya berkelabat ringan menuju Rawa
Kematian.
* * *
SEBELAS
Setelah mengurus mayat si Maling Bosa dan
selesai menguburkannya, pendekar Hina Kelana
dan Dewi Sekar Tanjung segera memberi
penghormatan yang terakhir pada si Maling Arif
yang tewas di tangan si Katai Losi yang dengan
cara yang sangat menggenaskan itu. Hari telah
menjelang senja ketika mereka meninggalkan
Rawa Kematian untuk meneruskan perjalanan
menuju Karang Hantu. Sepanjang perjalanan,
Dewi Sekar Tanjung bercerita banyak tentang
kehidupan si Maling Bosa yang terkenal sebagai
seorang yang arif. Bahkan gadis yang sangat
cantik itu pun mengaku dengan terus terang
bahwa semula dia juga bermaksud membunuh
laki-laki itu, hingga kemudian dia
membatalkannya.
Tanpa terasa belantara Bukit Manoreh telah
jauh terlampaui. Setelah melewati hutan gundul
yang cukup luas. Malam sudah menjelang, bulan
purnama di atas sana nampak bersinar cerah.
Nampaknya kedua orang ini akan melewatkan
malam tanpa istirahat. Kedua orang ini terus
terlibat percakapan, sesekali terdengar derai tawa
mereka meningkahi sunyinya malam. Dan sesekali
pula tanpa sepengetahuan Pendekar Hina Kelana,
Dewi Sekar Tanjung mencuri pandang pada si
pemuda yang berjalan tenang di sisinya. Diam-
diam dia mengagumi ketampanan Pendekar Hina
Kelana. Cuma ada sesuatu yang membuat hati si
gadis kurang suka pada pemuda itu. Yaitu periuk
besar yang tergantung di bahunya. Periuk itu
hanya mengesankan bahwa si pemuda orang yang
sangat rakus dengan makanan, atau pula
merupakan seorang kelana yang takut mati
kelaparan. Lebih dari itu pakaian merah yang
dikenakannya dan sangat lusuh pula, hanya akan
memberi kesan pada setiap mata yang
memandangnya bahwa pemuda ini orang yang
jorok bahkan boleh di kata bagai bapak
moyangnya gembel! Tiba-tiba Dewi Sekar Tanjung
merutuk dirinya habis-habisan. Guoblook, tolol!
Mengapa pula dia harus memikirkan pemuda
gembel ini? Bukankah dia sudah di jodohkan
dengan Baya Swara yang juga masih merupakan
kakang seperguruannya sendiri. Baya Swara
merupakan orang yang sangat baik dan penyabar,
lebih dari itu kesetiaan pemuda itu tidak perlu
diragukan lagi! Lagi-lagi Dewi Sekar Tanjung
memakin dirinya sendiri habis-habisan. Dalam
pada itu tiba-tiba Pendekar Hina Kelana bertanya:
"Apakah kita masih jauh untuk sampai ke
Karang Hantu...?!" Dewi Sekar Tanjung agak
tergagap, dan seketika itu juga buyar segala
lamunannya.
"Apa katamu Pendekar?"
Buang Sengketa tersenyum getir begitu
Dewi Sekar Tanjung menyebut dirinya pendekar.
Buru-buru dia menyela: "Aku bukan pendekar!
Namaku si Hina Kelana, panggil saja begitu...!"
"Baiklah, kalau hal itu memang sudah
maumu...! Oh ya, kau tadi bilang apa?" tanya Dewi
Sekar Tanjung bloon. Buang Sengketa tersenyum
lagi.
"Itu makanya jangan melamun terus! Kalau
kubawa engkau ke jurang di depan sana apakah
bukan kematian bagimu...!"
"Sekarang ini kita sudah sampai di mana...?"
sambungnya lagi. Sesaat lamanya Dewi Sekar
Tanjung memandangi kanan kiri, tiba-tiba dia
tersurut mundur, lalu seperti pada dirinya sendiri:
"Celaka! Kita sudah berada di wilayah Sarang Iblis
Neraka...!" ucapnya penuh kejut.
"Bukankah tempat ini yang kita tuju...?"
kata Buang Sengketa keheranan.
"Hati-hati Kelana! Malam hari Karang Hantu
bisa berubah menjadi medan yang sangat
mengerikan...!" Dewi Sekar Tanjung coba
mengingatkan Pendekar Hina Kelana. Belum lagi
Dewi Sekar Tanjung sempat menarik nafas, pada
saat itu juga secara mendadak terdengar bunyi
bergemuruh di kanan kiri bukit-bukit karang. Gadis
itu memekik ketakutan. Tak lama kemudian
terdengar pula bunyi bergemerincing yang sangat
ramai sekali. Batu-batu berjatuhan, bersamaan
dengan itu pula terdengar langkah-langkah kaki
yang begitu berat bahkan menggetarkan tempat
sekitarnya.
"Kelana! Makhluk-makhluk apakah itu...!"
pekik Dewi Sekar Tanjung lalu menunjuk ke arah
satu tombak di depannya. Serentak Buang
Sengketa palingkan wajah! Pemuda ini berseru
tertahan begitu melihat beberapa sosok makhluk
raksasa telah berdiri mengepung mereka berdua.
Makhluk-makhluk raksasa yang berujud manusia
itu memiliki tinggi hampir empat kali lipat dengan
tinggi badan kedua orang ini. Dada mereka yang
tiada mengenakan pakaian nampak berbulu sangat
lebat. Tampang bengis, wajah berewokan.
Sementara jemari tangan mereka berkuku
panjang-panjang. Makhluk-makhluk raksasa itu
menyeringai ganas pada kedua orang ini.
Tampaklah taring-taring yang cukup panjang dan
mengerikan.
"Tempat ini benar-benar merupakan sebuah
neraka tempat tinggalnya para iblis...!" gumam
Pendekar Hina Kelana tanpa sadar.
"Siapakah kalian ini! Minggir, kami mau
lewat...!" bentak Pendekar Hina Kelana pada
makhluk-makhluk yang sangat mengerikan itu.
Mendengar bentakan si pemuda, makhluk-makhluk
raksasa itu saling pandang sesamanya. Tak berapa
lama kemudian dengan lidahnya yang terjulur-
julur. Serentak makhluk-makhluk mengerikan ini
tertawa-tawa secara bersamaan. Suara tawa
mereka yang besar dan parau telah meruntuhkan
batu-batu besar di tebing bukit karang itu. Mau tak
mau Dewi Sekar Tanjung maupun Pendekar Hina
Kelana demi menghindari tertimpanya tubuh
mereka dari batu-batu yang hampir sebesar
kerbau. Pendekar Hina Kelana memaki habis-
habisan.
"Jahanam! Makhluk-makhluk raksasa ini bisa
mencelakakan kita...!"
"Sebaiknya kita cari kesempatan untuk
melarikan diri...!" Dewi Sekar Tanjung menimpali.
Pendekar dari Negeri Bunian ini gelengkan kepala.
Kemudian dia berkata tegas.
"Apapun kehadiran mereka di tempat ini!
Yang jelas makhluk-makhluk ini merupakan
suruhan seseorang. Dan yang lebih pasti lagi,
mereka ini hanyalah makhluk siluman...!"
"Dari mana engkau tahu...?" tanya Dewi
Sekar Tanjung keheranan.
"Bau mereka, itu yang menjadi
pedomanku,..!" Dalam pada itu tiba-tiba saja.
"Kelana awas... makhluk-makhluk itu
menyerang kita...!" kata Dewi Sekar Tanjung
berseru kaget. Memang benar apa yang dikatakan
si gadis, makhluk-makhluk mengerikan itu
langsung menyerang mereka berdua, meskipun
gerakan mereka nampak ringan saja akan tetapi
tubuh mereka enam kali lebih besar bila di
bandingkan tubuh pendekar Hina Kelana, maka
serangan yang nampak asal-asalan itu
menimbulkan deru yang sangat memekakkan
telinga. Buang Sengketa berkelit, kemudian secara
cepat menyambar tubuh Dewi Sekar Tanjung
sambil berseru lantang.
"Untuk sementara kau tinggallah di dalam
periukku! Makhluk-makhluk jahanam ini
kelihatannya sangat buas sekali...!" Tanpa
menghiraukan ronta dan jerit si gadis, Buang
Sengketa segera masukkan tubuh Dewi Sekar
Tanjung ke dalam periuknya. Cepat-cepat pemuda
ini tutup kembali periuknya. Anehnya meskipun
tubuh Dewi Sekar Tanjung terbilang cukup besar,
akan tetapi ruangan dalam periuk itu mampu
menampung tubuhnya.
Sementara itu makhluk-makhluk raksasa
telah mengeroyok Pendekar Hina Kelana secara
beramai-ramai. Dalam waktu hanya sekejap saja
terjadilah pertarungan yang tak seimbang antara
makhluk-makhluk raksasa melawan Buang
Sengketa. Bagi makhluk-makhluk yang tak dapat
berbicara ini, tubuh Pendekar Hina Kelana tak
ubahnya bagai seekor anak ayam melawan bapak
moyangnya musang. Nampak sangat kecil dan
sangat tidak seimbang. Makhluk-makhluk ini
sambil membungkuk terus mencecar Buang
Sengketa. Mereka nampak sangat geram begitu
lawannya yang kelihatan sangat kerdil ini dengan
sangat cepatnya berkelit dan bergerak lincah kian
ke mari. Lama-kelamaan mereka menjadi jengkel,
kaki-kaki mereka menimbulkan gempa yang
sangat hebat. Batu-batu di atas tebing kembali
berjatuhan ke segala arah. Sedapat-dapatnya
Buang Sengketa berusaha mengelakkan benda-
benda tersebut. Biarpun banyak di antara batu-
batu yang sangat tajam itu menimpa tubuh
makhluk-makhluk itu sendiri, akan tetapi
sedikitpun tidak berpengaruh pada mereka.
Bahkan makhluk-makhluk ini nampak semakin
berutal dan genas.
Beberapa saat kemudian Pendekar Hina
Kelana nampak terdesak hebat, jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra yang
terkenal sangat sempurna inipun nampak menjadi
tak layak untuk dipergunakan. Tak ayal lagi, si
pemuda segera rubah jurus-jurus silatnya, tubuh
pemuda itu berkelebat sedemikian hebatnya. Satu
kesempatan yang sangat baik dia menyurut
beberapa tombak, makhluk-makhluk itu secara
beramai-ramai memburunya. Pada saat itulah
Pendekar Hina Kelana melepaskan pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Secepat kilat tangannya
berkiblat, secepat itu pula menderu selarik
gelombang sinar Ultra Violet yang panas luar biasa
meluruk ke arah makhluk-makhluk itu. Akan tetapi
lebih cepat lagi. Makhluk-makhluk ini kirimkan satu
pukulan pula. Delapan gelombang sinar biru
menyala melesat pula dari jemari tangan delapan
raksasa-raksasa itu. Benturan tenaga sakti tidak
dapat dihindari.
"Blang!" Tubuh Pendekar Hina Kelana
terpelanting delapan tombak, darah meleleh dari
celah-celah bibirnya. Si pemuda segera menyadari,
bahwa selain pukulan Empat Anasir Kehidupan
tidak berpengaruh apa-apa bagi makhluk-makhluk
itu. Bahkan pukulan yang dilepaskannya membalik
dan hampir makan dirinya sendiri.
"Tobat!" Pemuda berkuncir ini memaki
panjang pendek. Belum lagi dia siap dengan
posisinya. Makhluk-makhluk itu tanpa memberi
ampun memburunya, kaki-kaki mereka bergerak
cepat dan menimbulkan gempa dan suara
bergemerincingan. Karena memang di pergelangan
kaki itu terdapat benda-benda yang menyerupai
mainan anak-anak. Pendekar Hina Kelana kembali
berkelit menghindari injakan kaki-kaki mereka,
lagi-lagi dia melepas pukulan-pukulan mautnya.
Akan tetapi seperti yang sudah-sudah, pukulan-
pukulan yang dilancarkan oleh Pendekar Hina
Kelana tidak berpengaruh apa-apa bagi makhluk-
makhluk tersebut. Buang Sengketa yang nampak
sudah sangat terdesak, agaknya sudah tidak
mempunyai pilihan lain lagi. Dia cepat raba
pinggangnya.
"Makhluk-makhluk terkutuk! Rupanya aku
harus mengadu jiwa dengan kalian...!" Raksasa-
raksasa tiada menjawab, hanya terdengar derai
tawa mereka saja yang sangat memekakan
gendang-gendang telinga.
Tak lama kemudian, dengan diiringi jerit
tinggi melengking. Mengaunglah senjata di tangan
Pendekar Hina Kelana bagai suara auman puluhan
harimau terluka. Tubuh pemuda itu berkelebat
cepat, senjata di tangan menderu berkiblat laksana
gelegar petir yang sambung menyambung tiada
henti. Secepat gerakannya lebih cepat pula pusaka
Golok Buntung memburu mangsa-mangsanya.
Tiga kali senjata di tangannya menderu, tiga kali
pula senjata itu mencapai sasarannya.
"Crat! Cras! Cras!" Tiga makhluk raksasa
nampak roboh bagai ditebang. Terdengar bunyi
makhluk-makhluk mengerikan ini nampak
berkelojotan untuk kemudian tak berkutik lagi.
Beberapa saat berikutnya terjadi keanehan pula.
Secara mendadak mayat makhluk-makhluk itu raib
tak tentu rimbanya. Bukan main marahnya
Pendekar Hina Kelana menyaksikan kejadian ini. Di
lain pihak demi mengetahui ketiga orang
kawannya dapat dirobohkan oleh si pemuda, Lima
raksasa lainnya menjadi sangat murka. Secara
beramai-ramai mereka menerjang kembali.
Pendekar Hina Kelana sudah nampak kalap
keluarkan bunyi mendesis, lalu putar Golok
Buntung di tangannya laksana kilat. Makhluk-
makhluk itu agaknya menyadari kalau senjata di
tangan lawannya sangat berbahaya sekali. Untuk
itu meskipun serangan-serangan mereka nampak
gencar akan tetapi nampaknya mereka sangat
berhati-hati sekali. Pendekar Hina Kelana yang
sudah semakin tak sabar ini langsung kerahkan
segenap kemampuannya. Begitu makhluk-makhluk
ini kembali menyerang dirinya dan kirimkan
cakaran-cakaran ganas, dia kembali kiblatkan
senjata di tangannya. Tak terelakkan lagi, pusaka
Golok Buntung kembali menderu menyambar
makhluk-makhluk itu.
"Cras!" Makhluk-makhluk itu terhuyung-
huyung, darah bercucuran dari luka yang
menganga. Akan tetapi sungguh aneh sekali,
begitu makhluk-makhluk ini sapu-sapu bagian-
bagian yang terluka, darah seketika itu juga
berhenti sama sekali, bahkan bekas luka yang
diderita oleh merekapun lenyap tanpa bekas.
Beberapa saat kemudian makhluk-makhluk itu
menyerang kembali bagai tiada jera-jeranya.
Buang Sengketa kertakkan rahang.
"Benar-benar bangsat siluman!" Gerutu
pendekar Hina Kelana. Tiba-tiba si pemuda
melengking dahsyat, tubuhnya lenyap sama sekali.
"Nguuung!"
"Ctar! Ctar! Ctar!" Cambuk Gelap Sayuto
pemberian si Bangkotan Koreng Seribu ikut
berbicara. Seketika itu juga bertiuplah angin
topan. Petir menyambar sambung menyambung,
sebentar saja bulan purnama yang tadinya
bersinar cerah tiba-tiba menjadi redup karena
tertutup awan hitam pekat. Tak berapa lama
kemudian suasana di sekitarnya menjadi gelap
gulita. Tinggallah cahaya kemerah-merahan yang
terpancar dari kharisma pusaka Golok Buntung.
Dalam pada itu agaknya makhluk-makhluk
mengerikan ini sudah mulai kedodoran nyalinya.
Mereka nampak saling pandang sesamanya. Mata
mereka saling kedip bagai kunang-kunang di
malam buta.
Buang Sengketa sudah tak perduli akan
semua itu. Golok di kanan cambuk di tangan kiri
dan secara bersama-sama terayun dan berkelebat
ke segala penjuru.
"Ctar! Ctar! Ctar!" Makhluk-makhluk raksasa
itu terpekik ketakutan, kemudian berlarian ke
segala arah. Sebentar saja makhluk-makhluk ini
hilang tak tentu rimbanya. Buang Sengketa
mengerendeng lalu menarik nafas pendek. Cepat-
cepat dia buka tutup periuknya, kemudian
mengerluarkan Dewi Sekar Tanjung dari dalamnya.
"Sudah aman!" ucapnya pendek.
"Sialan...! Aku sampai mau mampus kau
sekap di dalam periukmu...!" kata Dewi Sekar
Tanjung menggerutu.
"Itu masih lumayan! Toh kulihat dendeng
ikan lumba-lumba milikku nampaknya sudah
engkau sikat semuanya...!" sindir Pendekar Hina
Kelana.
Dewi Sekar Tanjung tersipu malu. "Periukmu
ini benar-benar ajaib! Bisa memuat manusia
sebesar aku!" Dewi Sekar Tanjung memuji,
sedangkan pendekar Hina Kelana hanya diam saja.
* * *
DUA BELAS
Baru saja mereka bermaksud meneruskan
perjalanan demi mencari tempat persembunyian
Nyaur Pati. Mendadak tanah tempat mereka
berpijak bergetar hebat. Batu-batu besar di kanan
kiri tebing kembali berjatuhan, sedapatnya mereka
berlari-lari menghindar sambil melindungi diri dari
reruntuhan batu-baru tersebut. Pada saat itu pula
terdengar gelak tawa sambung-menyambung,
Buang Sengketa hentikan langkah kemudian
memandang berkeliling.
"Hak...! Hak...! Hak...! Akhirnya engkau
datang juga di daerah kekuasaanku! Engkau
benar-benar seorang ksatria sejati. Lebih dari itu,
sebagai seorang lawan yang akan kukirim ke
neraka rupanya engkau seorang yang baik budi
engkau bawakan aku seorang calon istri yang
sangat cantik sekali. Sungguh aku sangat
beruntung malam ini...!"
Pendekar Hina Kelana yang memang sudah
sangat mengenali suara Nyaur Pati lantas
menyahut.
"Nyaur Pati bangsat terkutuk! Perhatikanlah
dirimu, aku paling benci pada seorang laki-laki
yang punya watak pengecut...!" bentak Pendekar
dari Negeri Bunian ini. Kembali Nyaur Pati yang
saat itu hanya terdengar suaranya saja menyahuti.
"Aku memang segera hadir di hadapanmu,
dengan dua tujuan! Mengambil gadis itu dan
memenggal kepalamu...!"
"Puih! Siapa sudi pada manusia muka
setan...!" Dewi Sekar Tanjung menyela dengan
wajah merah padam.
"Manusia buruk rupa, cepat-cepatlah
perlihatkan diri! Kalau tidak aku akan hancurkan
tempat persembunyianmu itu!"
"Baik... baiklah...!" Seusai dengan kata-
katanya itu, tahu-tahu Nyaur Pati telah berdiri di
depan mereka berdua. Betapa terkejutnya hati
Dewi Sekar Tanjung demi melihat wajah Nyaur Pati
yang sangat rusak itu, bahkan tanpa sadar dia
sampai-sampai menggit bibirnya. Buang Sengketa
yang memang sudah mengenali wajah Nyaur Pati
pada waktu-waktu sebelumnya nampak tenang-
tenang saja.
"Engkau tak perlu takut padaku nona manis!
Aku calon suami yang dapat membahagiakanmu
dan bahkan selalu dapat membawamu terbang ke
Surga...!" kata Nyaur Pati tersenyum tipis.
Meskipun laki-laki itu tersenyum, akan tetapi
senyumnya ini malah membuat wajahnya yang
ancur-ancuran itu nampak semakin mengerikan.
"Puh! Setan tua muka rusak! Siapa sudi
pada orang sepertimu, sudah wajah tak karuan.
Menjadi maling senjata pusaka milik berbagai
perguruan pula...!"
"Jangan kau hinakan calon suamimu sendiri!
Engkau harus percaya bahwa sekarang ini akulah
jagoan rimba persilatan...!"
"Setan alas, bangsat rendah! Malam ini juga
kami akan membikin hancur badanmu yang busuk
itu...!" bentak Dewi Sekar Tanjung sangat marah
sekali. Sebaliknya Nyaur Pati nampak tergelak-
gelak.
"He... he... he......! Aku suka pada gadism
yang galak! Engkau pasti sangat luar biasa...!"
ucap Nyaur Pati dengan maksud-maksud kotor.
"Jahanam bangsat cabul! Malam ini juga aku
akan hancurkan semua kesombonganmu...!" tukas
Pendekar Hina Kelana sudah tak dapat lagi
menahan kesabarannya.
Tanpa menghiraukan kata-kata Pendekar
Hina Kelana, sebaliknya dia menyela." Engkau
tenang-tenang sajalah Nona, aku hendak
singkirkan penghalang kebahagiaan kita...!"
"Manusia terkutuk muka setan!
Mampuslah...!" Tanpa buka-buka jurus, Pendekar
Hina Kelana langsung kirimkan satu pukulan
dahsyat. Nyaur Pati terkekeh! Lantas dengan cepat
samplokkan tangan kanannya memapaki serangan
Empat Anasir Kehidupan. Bagai menerpa dinding
saja memakan tubuhnya sendiri. Pemuda ini
semakin panjang pendek. Lagi-lagi Nyaur Pati
tergelak-gelak.
"Di wilayah kekuasaanku apa yang dapat
kau lakukan orang muda...!" kata Nyaur Pati
tertawa mengejek. Sebagai jawabannya, Pendekar
Hina Kelana kirimkan pukulan si Hina Kelana
Merana. Seberkas sinar merah menyala menderu
dahsyat meluruk tubuh si Nyaur Pati yang masih
memandang rendah pada pukulan yang
dilancarkan oleh pihak lawannya. Begitu gulungan
sinar merah itu hampir melabrak tubuh Nyaur Pati.
Laki-laki berwajah sangat rusak itu menangkis:
"Blaar!" Tubuh Nyaur Pati terbuntang, lalu
berserosotan dan terpelanting jauh.
Kini balik Buang Sengketa yang tertawa
mengekeh. Cepat-cepat Nyaur Pati bangkit,
kemudian menghapus darah kental yang
berlelehan dari celah ke dua bibirnya. Kedua bola
matanya memandang pada si pemuda dengan
penuh kebencian.
"Bangsat... kiranya engkau berkepandaian
juga, budak...!" geramnya. Bersamaan dengan itu
Nyaur Pati langsung menerjang dan kirimkan
pukulan-pukulan ganas. Dalam waktu sekejap saja
pertarungan sudah mencapai puluhan jurus. Nyaur
Pati agaknya menyadari bahwa lawannya tidak
dapat dianggap sembarangan. Tak ayal lagi, dia
kerahkan segenap kemampuannya. Satu
kesempatan yang baik, dia lancarkan satu pukulan
Hantu Karang Menyergap Mangsa. Satu gelombang
angin topan yang berhawa sangat dingin meluruk
ke arah Pendekar Hina Kelana. Pemuda inipun
maklum kalau pukulan yang dilancarkan oleh
Nyaur Pati merupakan pukulan yang sangat
dahsyat dan terkenal ganas. Cepat-cepat dia
kiblatkan tangannya, satu gelombang sinar merah
menyala melesat dari kedua tangannya. Benturan
tenaga sakti dari kedua pihak yang sama-sama,
ingin secepatnya mengakhiri lawan. Terjadi!
"Blar!" Tubuh Nyaur Pati terhuyung
beberapa tindak ke belakang, sementara tubuh
Pendekar Hina Kelana terpelanting roboh. Dada
terasa remuk, darah menyembur dari mulut dan
hidung Pendekar Hina kelana. Dewi Sekar Tanjung
demi mengetahui kejadian itu terpekik tertahan
dan bermaksud memburu ke arah Nyaur Pati
dengan pedang terhunus. Nyaur Pati terkekeh dan
langsung menyela: "Engkau tak pantas melayaniku
dalam pertarugan ini! Engkau lebih pantas
melayaniku di tempat tidur saja...!" kata Nyaur
Pati dengan tawa tergelak-gelak.
Dalam pada itu Pendekar Hina Kelana yang
baru saja selesai menghimpun hawa murni, sudah
bangkit kembali. Setindak demi setindak dia
melangkah, kemarahannya benar-benar sudah
mencapai puncaknya. Sementara kedua matanya
memandang dingin pada Nyaur Pati yang masih
terus tergelak-gelak. Kemudian dengan suara
tergetar dia membentak: "Manusia dajal yang
berjuluk Nyaur Pati! Kalau hari ini aku tak dapat
memenggal batang lehermu. Lebih baik aku
mengundurkan diri dari dunia persilatan...!" Demi
mendengar ucapan Pendekar Hina Kelana, manusia
buruk rupa ini mendengus dan tersenyum
mengejek.
"Kalaupun engkau mempunyai nyawa
rangkap! Tidak nantinya engkau ungul menghadapi
aku...!"
"Engkau terlalu sombong manusia muka
ancur-ancuran...!" Bersamaan dengan ucapannya
itu, tubuh Buang Sengketa berkelebat lenyap. Kini
hanya tinggal bayang-bayang merah yang
berseliweran kian ke mari. Nyaur Pati tak kalah
hebatnya mengimbangi gerakan-gerakan lawan
sambil lancarkan pukulan-pukulan mautnya.
Pertarungan berlangsung semakin seru. Agaknya
Pendekar Hina Kelana sudah semakin tak sabar
lagi menghadapi lawan penyebar malapetaka ini.
Tak lama kemudian pemuda ini sudah menyurut
beberapa langkah, Nyaur Pati terus memburunya.
Pendekar Hina kelana yang memang sudah
memperhitungkan segala-galanya, nampak
kembali berkelebat dengan keluarkan bunyi
mendesis bagai seekor Ular Piton yang sedang
marah. Tak lama kemudian dengan diiringi dengan
jerit melengking dia sudah cabut senjata Pusaka
Golok Buntung yang sangat terkenal
kedahsyatannya. Golok di tangan pemuda itu
langsung berkelebat cepat dan memancarkan sinar
merah menyala. Udara di sekitarnya mendadak
berubah dingin. Nyaur Pati terkejut bukan main
demi merasakan pengaruh yang ditimbulkan dari
pusaka yang tergenggam di tangan lawannya.
Akan tetapi dia sudah tidak dapat berpikir panjang
lagi sebab golok di tangan Pendekar Hina Kelana
dengan sangat cepat telah menyambarnya.
"Cras! Cras! Cras!" Tubuh Nyaur Pati sudah
tidak sempat terhuyung atau melolong lagi, sebab
tubuh manusia dajal itu telah terkutung menjadi
tiga bagian. Bahkan diapun tak sempat menyadari
apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Tanpa
ampun tubuh yang telah terpotong menjadi tiga
bagian itu langsung ambruk ke bumi dengan
keadaan yang sangat mengerikan.
Mengetahui kenyataan itu, bukan main
gembiranya hati Dewi Sekar Tanjung. Dia berlari-
lari menghampiri Pendekar Hina Kelana dan
langsung memeluknya.
"Engkau hebat sekali Pendekar...!" ucapnya
jujur sambil memberi satu ciuman hangat pada
Pendekar Hina Kelana. Si pemuda tersipu malu,
wajahnya berubah kemerah-merahan. Secara
halus dia menolakkan tubuh Dewi Sekar Tanjung.
Dan cepat-cepat dia mengalihkan perhatian.
"Lihatlah senjata-senjata yang berada di
dalam bungkusan itu! Aku yakin senjata-senjata
inilah yang menjadi biang keributan selama
beberapa purnama ini...!" ujar Pendekar Hina
Kelana sambil memeriksa satu bungkusan besar
yang terletak tak begitu jauh dari mayat si Nyaur
Pati. Setelah bungkusan itu dibuka ternyata
memang benar didalamnya terdapat puluhan
senjata pusaka milik berbagai perguruan.
"Ini senjata milik perguruan kami, Kelana.
Sedangkan yang ini milik si Katai telah engkau
bunuh itu! Yang ini... yang itu... aku tak tahu...!"
ujar Dewi Sekar Tanjung kebingungan sendiri.
"Kalau begitu kita punya kewajiban untuk
mengembalikannya...!"
"Kau benar! Kita memang wajib
mengembalikannya pada yang berhak...!" Kata
Dewi Sekar Tanjung tersenyum penuh arti. Tak
lama kemudian setelah membungkus senjata itu
kembali, kedua orang ini pun berlalu dari Neraka
Karang Hantu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar