..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE SI GILA DARI MUARA BONDET

JAKA SEMBUNG EPISODE SI GILA DARI MUARA BONDET

 SERIAL JAKA SEMBUNG
Karya Djair Warni
Judul asli Si Gila Dari Muara Bondet
Alih versi Syahlendra Maulana
Penerbit SARANA KARYA
Cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau 
pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


Parmin menempuh perjalanan melalui pe-
dalaman. Ia tidak mau melalui jalan yang dibuat 
sebagai jalan perintis oleh Kumpeni Belanda yang 
meminta banyak korban rakyat jelata. Sudah cu-
kup jauh jalan yang ditempuhnya. Sepanjang ja-
lan hanya pohon-pohon besar dan semak-semak 
belukar yang ia jumpai. Sekali-sekali Parmin juga 
menemui satu dua orang yang sedang menebang 
pohon untuk dijadikan kayu bakar. Belum satu-
pun ia menjumpai pondok perkampungan. Par-
min terus berjalan menelusuri hutan sampai ak-
hirnya ia tiba di sebuah tempat yang terbuka.
Hari itu teramat panas dirasakan Parmin. 
Apalagi sekarang ia sudah meninggalkan hutan. 
Tiada lagi pohon-pohon yang menghalangi sinar 
matahari yang menyengat ubun-ubunnya dan se-
karang sinar matahari terasa membakar ubun-
ubunnya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. 
Rasa haus menggerogoti kerongkongannya. Par-
min ingin sekali beristirahat untuk sekedar mem-
basahi kerongkongannya yang terasa kering dan 
ia berharap akan menemukan sebuah warung.
Dengan sabar Parmin terus berjalan perla-
han-lahan dengan harapan ia menemukan se-
buah warung. Akhirnya tak seberapa jauh ia me-
langkahkan kaki dari kejauhan terlihat sebuah 
warung. Parmin segera mempercepat langkahnya 
menuju warung itu. Setelah sampai, Parmin lang-
sung duduk sambil melepaskan capingnya dan di-
taruhnya diatas bangku kayu yang terletak dide-
pan warung itu. Ia menyeka peluh di keningnya

dengan kain sarung yang menyilang di dadanya.
Suasana warung itu benar-benar nyaman 
dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan 
rimbun. Angin bertiup sepoi-sepoi di daerah seki-
tarnya membuat orang betah duduk berjam-jam 
lamanya di warung itu. Pemiliknya seorang ba-
pak-bapak yang berumur sekitar tujuh puluhan 
dengan kumis dan jenggot yang hampir memutih 
semuanya.
"Pak, apakah ini yang namanya kampung 
Celancang?" tanya Parmin sambil terus mengipasi 
dirinya dengan caping.
"O ya! Ya! Kira-kira satu jam lamanya den-
gan berjalan kaki." jawab pemilik warung itu 
sambil mengaduk kopi.
"Tolong buatkan teh tubruk manis, pak!" 
pinta Parmin.
"Baik nak." sahut pemilik warung sambil 
memberikan segelas kopi tersebut kepada seorang 
pembeli yang duduk di bangku sebelah kiri meja 
dagangannya.
Dari ruang dalam terdengar gelak tawa 
yang sangat nyaring. Sekelompok orang laki-laki 
sedang asyik main domino. Mereka berempat. 
Dua orang bertampang seram dan bertubuh tegap 
mengenakan kain sarung yang menyilang di da-
danya. Satu orang bertubuh gendut memakai be-
lang-belang dan satunya lagi bertubuh kurus 
memakai baju putih dengan golok terselip diping-
gangnya. Mereka masing-masing memakai ikat 
kepala dengan berbagai corak warnanya.

"Wah, hari ini nasibku sedang sial! Aku se-
lalu mati!" teriak si gendut membanting kartu 
domino yang berada di tangannya ke atas meja.
"Tentu saja karena kau belum mandi!" le-
dek si kurus sambil memonyongkan bibirnya.
Melihat bibir si kurus yang monyong, kon-
tan saja teman-temannya tertawa terbahak-
bahak. Demikian juga dengan pemilik warung itu, 
ia tertawa terpingkal-pingkal sehingga hampir sa-
ja gelas berisi kopi yang dibawanya hampir tum-
pah. Parmin hanya tersenyum melihat tingkah la-
ku mereka dan ia kembali menikmati teh tubruk-
nya.
Sementara itu dari kejauhan terlihat seo-
rang laki-laki berjalan memanggul sebuah peti 
yang besar dipundaknya yang terbuat dari kayu 
jati mendekati warung tersebut. Peti yang diba-
wanya kelihatan sangat berat, tetapi ia tenang sa-
ja berjalan seperti membawa peti kertas yang be-
risi kapas.

Dengan lirikan matanya, Parmin dapat me-
lihat gerak langkah pemuda itu sangat ringan 
tanpa menimbulkan suara!
Orang itu masih sangat muda. Hanya saja 
ia kelihatan tua karena tubuhnya kotor tak terurus. Rambutnya panjang sebatas pinggang dan 
sebuah golok panjang terselip di pinggangnya. 
Kain sarung menyilang di dadanya yang bidang. 
Kepalanya berikat kain yang serupa dengan kain 
yang menyilang didadanya. Pakaian yang melekat 
di tubuhnya sudah sangat kumal. Tatapan ma-
tanya begitu kosong seperti orang yang dilanda 
kesedihan dan putus asa.
Parmin agak terkejut ketika ia melihat den-
gan lirikan mata bagaimana cara orang itu berja-
lan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Pasti 
ia memiliki tenaga dalam yang tinggi dan mengu-
asai ilmu silat yang tinggi pula.
Pemuda pembawa peti itu berhenti sejenak 
di depan warung kopi.
"Aku haus sekali...! Berilah aku air dingin 
segelas!!" katanya dengan lirih kepada pemilik wa-
rung itu. 
Kemudian ia berjalan menghampiri sebuah 
pohon yang terletak didepan warung tersebut. Ia 
lalu menaruh peti yang dipanggulnya ke atas ta-
nah dan ia sendiri duduk seenaknya di bawah 
pohon yang teduh itu.
Selang beberapa saat kemudian terdengar 
ia mengoceh sendirian dengan suara yang lirih 
sambil mengelus-elus peti itu. Ia seperti membelai 
sesuatu yang sangat disayanginya dan perka-
taannya seperti ditujukan kepada isi peti kayu 
itu.
"Kita beristirahat dulu ya, sayang? Kita 
haus sekali, bukan? Bersabarlah sedikit, aku sedang memesan segelas air putih. Sepanjang hari 
ini tampaknya kau sangat gelisah, mengapa?" ka-
tanya dengan penuh kelembutan dan matanya 
seakan-akan menembus ke dalam peti kayu itu. 
Parmin memperhatikan semua itu. Di ha-
tinya terbersit rasa iba terhadap pemuda itu.
"Siapakah orang itu, pak? Barangkali ba-
pak kenal?" tanya Parmin.
"Ah, kasihan dia! Biarlah kuberi minum 
anak muda yang miring otaknya itu!" kata pemilik 
warung sambil menuangkan air putih dalam teko 
ke dalam gelas. Kemudian ia berjalan meninggal-
kan warungnya dan Parmin yang sedang makan 
kue serabi menghampiri anak muda itu.
Beberapa orang anak kecil bertelanjang ba-
ju datang mendekati pemuda itu sambil berolok-
olok.
"Guik! Guik! Ciluuuuuuuuuuuk..... 
Baaaaa!! Orang gila! Pakaian mu bau apek! 
Weeeeee.....!" teriak salah seorang anak yang ber-
tubuh kurus sambil menjulur-julurkan lidahnya 
ke arah pemuda lusuh yang sedang beristirahat 
itu.
Seorang anak kecil yang berkopiah mem-
bungkukkan tubuhnya memperhatikan peti kayu 
yang terletak disebelahnya.
"Apa isi peti itu, hai orang gila? Boleh ku-
tukar dengan singkong bakar?"
Tapi ia nampak tenang saja seraya terse-
nyum-senyum tanpa menghiraukan ocehan anak-
anak nakal itu.

Seorang anak kecil berkepala botak berdiri 
di belakang pemuda gila itu sambil memperhati-
kan semua yang ada pada dirinya.
"Lihat! Dia bawa pedang! Bagus juga pe-
dangnya. Buat apa, ya? Idiiiiiiih....!" seru anak itu 
takut kepada teman-temannya dan ia menyem-
bunyikan dirinya di balik pohon.
"Oee! Oeee! Jelek! Jelek! Weeee...!" ledek 
yang satunya sambil terus menjulur-julurkan li-
dahnya.
Pemuda itu kembali tersenyum.
Anak-anak kecil itu tiba-tiba dikejutkan 
oleh datangnya si pemilik warung yang membawa 
segelas air putih.
"Hei! Bocah-bocah cilik! Ayo pergi! Pergi 
semua! Jangan ganggu dia, ayo! Nanti kalau dia 
marah, rasain lho!" bentak orang tua tersebut 
menakut-nakuti mereka. Anak-anak itu kemu-
dian kabur sambil tertawa cekikikan dan mencari 
tempat bermain yang lain.
"Ini air yang kau minta. Jika kau masih 
haus nanti boleh tambah lagi!"
Pemilik warung itu mengulurkan tangan-
nya untuk memberikan gelas yang dipegangnya 
kepada pemuda gila itu. Tetapi tiba-tiba sebuah 
bayangan golok berkelebat menyambar dan gelas 
tersebut jatuh ke tanah pecah berantakan me-
numpahkan air yang berada di dalamnya.
Ketika pemilik warung itu menoleh ke be-
lakang ia terperanjat melihat empat orang pende-
kar yang bertubuh kekar dan berwajah bengis telah berdiri di situ. Tanpa banyak bicara lagi ia se-
gera mundur beberapa langkah dan berlari menu-
ju warungnya dengan wajah diliputi kecemasan. 
Ia membayangkan peristiwa keji bakal terjadi.
"Ha ha ha ha ha ha ha! Lihat monyet ini 
ternyata masih ada di dunia! Aku telah lama 
mencarimu untuk kubuat sate!" kata salah seo-
rang di antara mereka sambil menyarungkan go-
loknya setelah menyabet gelas, tadi. Ia rupanya 
menaruh rasa dendam terhadap pemuda lusuh 
itu. Di antara mereka agaknya ada persoalan yang 
belum terselesaikan.
Si Gila hanya tersenyum menatap orang di 
depannya.
"He, ayo bangun monyet! Jangan tidur di 
situ!!" teriak orang itu marah melihat calon kor-
bannya tak merasa gentar sedikitpun disusul se-
buah tendangan ke wajah pemuda. 
Tetapi apa yang terjadi? Seketika terdengar 
suara kaki yang beradu keras dengan batang po-
hon. Ternyata pemuda itu sudah tidak berada di 
tempatnya. Begitu gesit gerakannya, hingga tahu-
tahu ia sudah berdiri di belakang mereka, tanpa 
mereka sendiri sempat melihat kapan pemuda itu 
berkelebat.
Keempat pendekar itu memandang Si Gila 
setengah heran dan kaget bukan main. Sementa-
ra pemuda itu berdiri tegak memandang mereka 
dengan sinar mata yang menyala-nyala.
"Dulu kalian boleh menghinaku seperti anj-
ing kurap!! Karena aku lemah dan aku bodoh! Tetapi sekarang jangan coba-coba menganggap re-
meh orang yang kelihatan lemah!" katanya den-
gan lantang.
Mendengar kata-kata yang dilontarkan Si 
Gila kepada mereka, keempat pendekar itu seke-
tika menjadi marah bukan main. Agaknya perka-
taan itu merupakan suatu tantangan bagi mere-
ka.
Sekilas wajah mereka merah padam.
"Bangsat!" teriak pemimpin mereka dengan 
gigi yang gemeretuk.
Kemudian keempat pendekar itu segera 
mengurung Si Gila dengan cepat dari segala arah. 
Masing-masing membentuk kuda-kuda dengan 
golok yang terhunus. Sedangkan pendekar yang 
berkepala botak memutar-mutarkan senjata rante 
bandulnya sehingga menimbulkan suara yang 
menderu-deru seperti angin puyuh. Tetapi Si Gila 
tetap berdiri tak bergeming. Sinar matanya yang 
tajam siap menghadapi segala kemungkinan yang 
terjadi.
"Siap kawan-kawan!! Aku tidak akan per-
nah puas kalau belum memusnahkan bangsat ini! 
Dialah orang yang menghancurkan semua hara-
panku!" teriak seseorang diantara mereka yang 
bernama Badar dan menjadi pemimpin dari ketiga 
orang pendekar lainnya.
Si Gila tetap berdiri tak bergerak. Namun 
bersikap siap siaga.
"Karena kaulah semua rencanaku menjadi 
gagal! Kau tikus laknat yang telah mengacaukan

hidupku! Kini terimalah ajalmu, monyet gembel!" 
serunya sambil menyilangkan goloknya ke depan 
siap menyerang. Suaranya menggeram memben-
tuk raungan akibat dari luapan rasa dendam 
yang begitu besar memenuhi dadanya terhadap 
lawan yang sudah sekian lama dilacak dan dibu-
runya dari kampung ke kampung.
Si Gila tetap saja berdiri tenang ditengah-
tengah kepungan mereka. Angin bertiup menerpa 
rambutnya yang panjang. Terlihat betapa gagah-
nya dia! Wajahnya yang masih belia itu dihiasi 
bulu-bulu halus yang meremang di atas bibir dan 
dagunya.
Di saat-saat seperti itu seakan-akan ia 
menjelma menjadi seorang pendekar tangguh 
yang gagah perkasa dan bukan lagi seorang pe-
muda yang tidak waras.
"Bagiku semua ini adalah takdir yang rela 
kuterima. Semua telah selesai, Badar! Walaupun 
hatiku sakit, tapi membalas dendam adalah pan-
tang bagiku! Tak ada gunanya dan tak akan me-
rubah jiwaku yang sudah hancur! Juga tidak 
akan membuat kekasih-ku Nuraini hidup kemba-
li!" katanya lirih.
"Aku enggan meladenimu, Badar! Biarlah 
kuterima semua penghinaanmu, karena aku me-
mang dilahirkan ke dunia sebagai orang yang hi-
na-dina. Biarlah aku berlalu membawa duka ha-
tiku..." lanjut Si Gila. Namun ucapan yang penuh 
keikhlasan dan kerendahan diri itu justru mem-
buat hati Badar seperti tersundut api.

"Eiiiiiiit... kau menghinaku, monyet! Tahu-
kah kau? Aku tidak akan bisa hidup tenang jika 
golokku ini belum bermandikan darahmu bang-
sat...!!" teriak Badar dengan napas yang membu-
ru.
Sementara itu mendengar ribut-ribut di 
luar, orang-orang yang berada dalam warung itu-
pun segera berhamburan keluar untuk menyak-
sikan perkelahian tersebut. Mereka rela mening-
galkan permainan dominonya yang asyik. Demi-
kian juga dengan Parmin. Ia segera berdiri dan 
meninggalkan bangku tempat duduknya beberapa 
langkah ke depan untuk menyaksikan perkela-
hian itu lebih dekat. Entah mengapa nalurinya 
menyatakan simpati kepada pemuda yang dijulu-
ki Si Gila dari Muara Bondet itu.
"Hei, lihat ! Itu bukankah Si Gila yang ser-
ing luntang-lantung di desa ini? Si Gila dari Mua-
ra Bondet!! Mengapa orang-orang itu memusu-
hinya?" tanya salah seorang yang berada didepan 
warung kepada teman-temannya sambil bersan-
dar tangan pada tiang penyangga warung. Tapi 
rupanya tiang itu sudah rapuh ikatannya dan ia 
terjengkang bersama robohnya tiang tersebut.
Segera Badar mengisyaratkan kepada ka-
wan-kawannya agar serempak menyerang! Den-
gan satu teriakan yang keras dan panjang, keem-
pat pendekar itu terbang berbarengan menyerang 
Si Gila dengan senjatanya masing-masing.
"Sikaaaaaaaaaat!!"
"Oh, kalian mencari mati? Maaf, ini bukan

salahku!" gumam Si Gila di sela teriakan keempat 
pendekar itu.
Tubuh Si Gila dari Muara Bondet dengan 
lincahnya menghindari serangan senjata rantai

bandul itu.
Tiba-tiba secepat kilat Si Gila mencabut 
pedang dari sarungnya membabat perut dari dua 
orang penyerang itu dengan satu gerakan yang 
tak terduga. Kedua orang itu memekik keras dan 
langsung roboh ke tanah dengan isi perut yang 
berhamburan keluar. Kemudian Si Gila melesat 
ke atas menghindari serangan rante bandul si bo-
tak yang selalu mengikuti kemana tubuhnya ber-
gerak.
Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya 
di atas tanah, kembali rante bandul itu menyong-
songnya. Dengan bersalto di udara Si Gila segera 
melesat kearah Badar yang sedang mengibas-
ngibaskan golok dengan kelebatan sinarnya 
membentuk perisai di depan tubuhnya. Dengan 
satu sabetan yang cepat Si Gila menembus perta-
hanan Badar, langsung menebas lehernya. Badar 
memekik tertahan. Dari lehernya yang hampir pu-
tus menyembur darah segar ke segala penjuru 
dan tubuhnya terjungkal ke balik Semak-semak 
menggelepar-gelepar seperti seekor ayam yang 
disembelih kemudian diam tak berkutik untuk se-
lama-lamanya.
Melihat teman-temannya tewas secara 
mengerikan ditangan Si Gila, si botak menjadi ka-
lap bukan main. Ia memutar-mutarkan senja-
tanya menyerang Si Gila secara membabi buta, 
udara di sekitar pertarungan itu menjadi panas

akibat desingan yang ditimbulkan oleh rante ban-
dulnya yang membelah udara dengan disertai te-
naga dalam yang cukup tinggi.
"Ha ha ha ha ha ha! Mungkin kau bisa 
mengalahkan tiga orang murid dari perguruan si-
lat Ori Malang. Tetapi kau tak dapat mengalahkan 
aku si rante bandul! Terimalah seranganku, 
hiaaaaat...!" teriak si botak nyaring seraya melun-
curkan senjatanya ke arah Si Gila dengan cepat.
Si Gila melesat menghindari senjata si bo-
tak yang seolah-olah mempunyai mata. Tetapi 
terhadap Si Gila serangan itu selalu mengenai 
tempat kosong alias terkena angin belaka tanpa 
dapat melukai tubuh Si Gila. Pohon-pohon kecil 
banyak yang tumbang akibat terkena hantaman 
senjata aneh dan mengerikan itu. 
Tubuh Si Gila meliuk-liuk di udara meng-
hindari gempuran senjata si botak. Begitu ringan 
ia melakukan gerakan itu bagaikan segumpal ka-
pas yang melayang. Namun sejauh itu ia belum 
dapat membalas serangan.
Sementara itu Parmin memperhatikan ja-
lannya pertarungan itu dengan seksama dan pe-
rasaan kagum. Ternyata pemuda tak waras itu 
memiliki ilmu meringankan tubuh yang setingkat 
berada di atas ilmu meringankan tubuhnya.
"Memang hebat si rante bandul ini! Tetapi 
aku berani bertaruh bahwa Si Gila akan bisa me-
nyelesaikannya dalam satu atau dua jurus lagi!"
Pertarungan itu sudah berlangsung cukup 
lama dan menelan puluhan jurus silat. Mereka

mengerahkan semua ilmu yang mereka miliki si 
botak ternyata mulai kelihatan kewalahan meng-
hadapi serangan balasan yang dilancarkan Si Gi-
la. Melihat Si Gila semakin gencar melancarkan 
serangan, si botak mengeluarkan jurus andalan-
nya membentuk lingkaran yang melindungi di-
rinya dari sambaran pedang Si Gila. Putaran 
rante bandul demikian cepatnya, sehingga dari 
jauh kelihatan seperti membentuk lapisan cahaya 
yang membungkus seluruh tubuhnya bagaikan 
sebuah selimut logam yang begitu ketat memben-
tengi dirinya. Tetapi tiba-tiba dengan satu teria-
kan histeris, Si Gila berhasil menyusup ke dalam 
desingan rante bandul si botak dan membabatkan 
pedangnya membobol perut lawannya.
Si botak memekik keras. Perutnya berham-
buran darah segar dan isi yang berada didalam-
nya. Untuk beberapa saat lamanya ia masih tegak 
berdiri memegang senjatanya dengan gigi yang 
gemeretak menahan sakit yang teramat hebat. 
Tubuhnya bergetar. Dan secara tidak terduga ia 
meloncat kembali menyerang Si Gila yang sudah 
siap dengan jurus barunya menyambut si botak. 
Tetapi di tengah langkahnya tiba-tiba si botak 
ambruk seperti sebuah nangka busuk yang jatuh 
ke tanah sebelum dapat menyentuh kulit Si Gila, 
tewas menyusul teman-temannya.
Si Gila menghela napas panjang sambil 
menyarungkan pedangnya.
Semua mata melotot kagum! Betapa tidak, 
orang yang kelihatan lemah, berotak miring dan

menjadi bahan ejekan anak-anak ternyata ia ada-
lah seorang jago silat yang luar biasa. Hanya 
Parmin yang bersikap tenang. Semua orang dalam 
warung itu diam tak bergeming menyaksikan se-
luruh kejadian itu dimana Si Gila dalam sekejap 
mata menghabisi musuh-musuhnya.
"Sungguh hebat! Siapakah pemuda gila 
itu? Mungkin jarang ada seorang jago silat seperti 
dia!" desis Parmin kagum.
Si Gila memandangi mayat keempat pen-
dekar itu dengan perasaan menyesal. Wajahnya 
tertunduk dan suaranya terdengar parau.
"Aku menyesal mengapa kalian tetap saja 
membandel? Selamat tidur kawan-kawan yang 
malang...! Sekali lagi maaf...!" katanya sambil 
membalikkan tubuh menuju pohon rindang itu. 
Kemudian ia menghenyakkan tubuhnya di samp-
ing peti kayu jati yang selama ini selalu diba-
wanya kemana pergi.
Dari balik semak-semak keluarlah suara 
kagum bercampur takut dari anak-anak kecil 
yang tadi memperolok-olok Si Gila.
"Hiiiiiii...orang gila itu membunuh orang 
seperti membabat rumput saja! Hiiii!" teriak salah 
seorang anak yang bertubuh gendut sambil me-
nyembunyikan wajahnya di balik rerimbunan po-
hon.
Jari-jari tangannya menutup muka, semen-
tara tanah di bawah kedua kakinya banjir oleh air 
kencingnya sendiri.
"Hiiiiii...! Aku takut!!" teriak anak-anak itu

gemetaran. Mereka bergerombol seperti anak-
anak tikus yang saling berpelukan karena takut 
melihat seekor kucing.
Si Gila lalu mengangkat peti kayu jati itu 
dan dengan tenang memanggulnya ke atas pun-
dak sambil mengayunkan langkahnya berlalu.
Seakan-akan barusan tidak terjadi sesuatu 
terhadap dirinya.
"Pantas kau merasa gelisah saja, sayang? 
Rupanya kau mendapat firasat buruk bahwa kita 
akan bertemu dengan orang yang membenci kita!" 
katanya lirih berbisik kepada peti itu.
Si Gila berhenti sejenak seolah-olah ia se-
dang mendengarkan sesuatu dari dalam peti kayu 
itu. Lagaknya persis seseorang yang sedang men-
dengarkan orang lain bicara dari dalamnya. 
"Ya, ya! Mari kita pergi! Kita cari tempat 
yang tenang, bukan? Di mana-mana selalu saja 
ada perusuh!" sahut Si Gila. Wajahnya bersun-
gut-sungut dan kembali melanjutkan langkahnya 
yang terhenti semakin jauh meninggalkan pohon 
rindang itu. Ia berjalan perlahan-lahan mene-
ruskan perjalanannya entah kemana. Peluh 
membasahi sekujur tubuhnya akibat pertarungan 
tadi.
Anak-anak kecil yang sedang bersembunyi 
di balik semak-semak, segera lari tunggang-
langgang melihat Si Gila berjalan menuju dekat 
persembunyian mereka.
"Lari! Lariiii...! Nanti kita dibunuhnya kalau 
tidak cepat lari...!!" teriak mereka semrawut sambil berlari seperti sedang dikejar-kejar setan. Sa-
lah seorang dari mereka melorot celananya ketika 
berlari, sehingga ia menjadi repot sambil berusa-
ha memegangi celananya terus mempercepat 
langkahnya menerobos kebun jagung yang berada 
didepannya. Berkali-kali ia terjatuh.
Si Gila tersenyum melihatnya.
Lalu ia kembali berjalan menelusuri pinggi-
ran belukar kian jauh meninggalkan perkampun-
gan itu.
Sementara itu Parmin segera membayar 
minuman dan makanan tanpa menghiraukan si 
pemilik warung yang tegak mematung karena ma-
sih terhanyut dalam peristiwa yang baru saja dili-
hatnya.
Ketika ia tersadar, segera ia memberikan 
uang kembalian tetapi Parmin sudah lebih dulu 
melesat menuju hutan mengejar Si Gila. Pemilik 
warung itu hanya menggaruk-garukkan kepa-
lanya yang tidak gatal. Hari ini ia telah bertemu 
dengan seorang pembeli yang tiba-tiba saja 
menghilang dari pandangan seperti asap.
Parmin mengerahkan ilmu meringankan 
tubuhnya menyusul Si Gila dan langsung ber-
sembunyi di balik sebuah pohon sambil terus 
memperhatikan Si Gila dengan cermat. Ia berusa-
ha sedapat mungkin supaya tidak mengejutkan 
pemuda aneh itu.
Sementara Si Gila melangkahkan kakinya 
dengan tenang. Kepalanya menunduk lesu. Dari 
mulutnya keluar kata-kata yang aneh. Agaknya ia

sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang 
sangat disayanginya. Kadang-kadang ia terse-
nyum dan tertawa sendiri. Dia terus berjalan me-
nuju arah selatan.
Dia terus berjalan dan terus berjalan.....
Seakan-akan tak peduli walau sampai ke 
ujung dunia sekalipun.
***
Parmin berjalan mengendap-endap di balik 
semak-semak terus membayangi Si Gila dari jauh. 
Ia berusaha agar dirinya tak terlihat oleh pemuda 
itu.
"Aku harus tahu siapakah pemuda itu se-
benarnya? Aku harus hati-hati membuntutinya 
jangan sampai ketahuan!"
Tak terasa mereka telah jauh menyusup 
kedalam hutan. Udara sejuk dirasakan Parmin. 
Angin bertiup dengan lembutnya. Riak-riak de-
daunan terdengar begitu merdu di telinga seperti 
merdunya irama kehidupan. Burung-burung ber-
kicau dan berlompatan kesana-kemari menambah 
indah suasana dalam hutan itu. Sinar matahari 
telah mulai menyongsong senja penuh rona ceria.
Semua itu kurang dinikmati oleh Parmin 
karena matanya terus mengawasi gerak-gerik Si 
Gila.
Dalam hatinya ia bertanya.
"Apakah isi peti yang dibawanya itu? Dan 
mau dibawa kemana peti itu? Dia manusia yang

luar biasa pertama kujumpai!"
Tiba-tiba suara kicauan burung-burung di-
atas dahan pohon berhenti, seolah-olah mereka 
mengisyaratkan sesuatu pada Parmin. Tempat itu 
menjadi begitu sunyi. Hanya suara derit pohon 
bambu yang bergesekan dan riak-riak ranting po-
hon yang tertiup angin mewakili detak jantung 
dan urat nadi. Sunyi mencekam.
Parmin merasakan suatu firasat buruk 
yang akan terjadi di hutan ini. Ia segera memu-
satkan panca inderanya memantau seluruh kea-
daan hutan ini.
Demikian juga halnya dengan Si Gila. Ia 
memusatkan pikirannya terhadap isyarat alam 
yang didengarnya. Mulutnya tetap berbicara aneh 
kepada peti kayu yang dipanggulnya. Sekan-akan 
ia membisikkan suasana yang ia rasakan kepada 
seseorang di dalamnya.
Tiba-tiba berkelebat sebuah benda melun-
cur secepat kilat membelah dan menyambar ke 
arah Si Gila. Dengan satu gerakan yang memu-
kau ia meloncat menghindari serangan yang tak 
terduga itu. Tubuhnya bergerak ringan dan lin-
cahnya seperti tak membawa apa-apa di atas 
pundaknya.
Benda gelap itu tak mengenai sasarannya, 
dan menancap pada batang pohon di dekatnya. 
Ternyata benda itu adalah sebuah kapak besi. 
Kapak itu hampir seluruhnya menancap ke dalam 
batang pohon. Berarti orang yang melemparkan
senjata tersebut memiliki tenaga dalam yang hebat. Bayangkan kalau saja kapak itu mengenai 
tubuh Si Gila!
Dari balik semak-semak melompat sesosok 
tubuh tinggi besar dengan brewok yang menghiasi 
wajahnya tertawa terbahak-bahak. Ia tegak berdi-
ri menghadang Si Gila sambil memegang sebuah 
kapak besi di tangan kirinya, tangan kanannya 
menyilang di dadanya yang berbulu. Kepalanya 
memakai ikat dari kulit ular. Kedua kakinya man-
tap berpijak di atas tanah.
"Kalau kau ingin tetap memiliki nyawamu, 
serahkan peti itu kepadaku! Tentu di dalamnya 
berisi emas atau perhiasan berharga yang kau cu-
ri dari orang-orang Kumpeni Belanda! Cepat!!" te-
riak laki-laki itu dengan keras. Suaranya mem-
buat unggas-unggas dalam hutan itu terbang ke-
takutan.
Si Gila memasang kuda-kudanya dengan 
sigap menjaga kalau-kalau ada serangan menda-
dak yang ditujukan kepadanya. Merasa orang itu 
bermaksud merampas peti yang disayanginya, 
maka Si Gila segera menaruh peti kayu itu di ba-
wah pohon dan ia mencabut pedangnya membuka 
jurus untuk meladeni laki-laki bertampang ang-
ker itu. 
"Tapi bila kau membandel, ketahuilah 
bahwa sepasang kapak mautku siap membikin 
tubuhmu menjadi perkedel!" ancam pendekar se-
pasang kapak maut itu dengan pasti kepada Si 
Gila. Napasnya terdengar bergemuruh akibat dari 
nafsu membunuhnya yang meluap-luap.

Parmin terkejut melihat orang itu. Ia ingat 
pesan gurunya agar berhati-hati bila melewati 
daerah sekitar sungai bondet, karena disitu ber-
cokol seorang begal yang berilmu tinggi dan san-
gat ganas.
Si Gila marah mendengar ancaman begal 
itu.
"Peti ini sama harganya dengan nyawaku! 
Kalau kau menginginkan peti ini berarti kau ha-
rus melangkahi mayatku dahulu!" sahut Si Gila 
mengibaskan pedangnya.
Merasa ditantang begitu si begal brewok 
menjadi marah bukan kepalang.
"Aha! Rupanya kau sudah bosan hidup, ya 
baiklah aku tidak usah lama-lama lagi berbicara. 
Sekarang yang penting terimalah seranganku ini. 
Ciaaaaaaaaaat!!" teriak si begal menggelegar me-
rangsak Si Gila. Kapak besinya berputar-putar 
mencecar tubuh Si Gila dari segala penjuru. Si 
Gila berkelit kian-kemari menghindari serangan 
yang bertubi-tubi itu. Sampai suatu saat ia me-
loncat melewati kepala si begal dan mendarat di 
belakangnya. Ternyata si begal sengaja mendesak 
Si Gila agar dapat mengambil kapak besi satunya 
lagi yang tertancap pada batang pohon tadi. Tepat 
ketika Si Gila melesat ke belakang melewatinya 
dengan cepat ia meraih kapak besi tersebut dan 
mencabutnya.

Si Gila dari Muara Bondet berkelit dan se-
pasang kampak maut itu menghantam pohon be-
sar itu.

"Tak seorangpun bisa lolos dari si dua sejo-
li kapak mautku ini dan sudah berpuluh-puluh 
nyawa orang yang melewati daerah ini kucabut!! 
Dan sekarang giliranmu...!" pekik si begal kembali 
menyerang Si Gila dengan cepat. 
Parmin mengawasi pertarungan itu dari ba-
lik sebuah pohon yang besar. Diameter pohon itu 
menelan sosok tubuhnya dari pandangan orang 
lain.
"Dua senjata dimainkan sekaligus! Hebat! 
Sepasang senjata silat yang berbahaya! Aku sang-
si apakah Si Gila mampu mengalahkannya. Aku 
membantu Si Gila bilamana perlu! Aku tak boleh 
membiarkan begal itu melukainya!" gumam Par-
min.
Wajahnya cemas menyaksikan pertarungan 
tersebut. Ia merasa dirinya berada pada posisi Si 
Gila dari Muara Bondet.
"Ilmu silat mereka sebanding! Tetapi ada 
keunggulan sedikit pada si begal. Ia bertenaga be-
sar dan menggunakan dua buah senjata! Sedang-
kan Si Gila telah kehabisan tenaga sehabis berta-
rung dengan keempat pendekar di kampung itu, 
walaupun jurus-jurus pedang Si Gila sangat cepat 
dan aneh! Tetapi sepasang kapak itu sepertinya 
menyerang Si Gila dari segala penjuru!" desis 
Parmin.
Pertarungan itu telah berlangsung berpu-
luh-puluh jurus. Keduanya saling melancarkan 
serangan dengan gencar. Suara bentrokan dua 
senjata yang terbuat dari logam itu antara kapak

si begal dengan golok panjang milik Si Gila ter-
dengar nyaring membelah udara dan menimbul-
kan bunga-bunga api. Si begal meliuk-liukkan 
kapaknya seperti kincir angin terus mendesak Si 
Gila. Ia semakin gencar melancarkan serangan-
nya ketika Si Gila mulai terlihat melemah. Tenaga 
dalamnya dilipat gandakan. Itu bisa dilihat dari 
otot-otot tubuhnya yang kencang menegang dan 
kulit wajahnya yang semakin memerah beringas.
Tetapi didalam keadaan terdesak, Si Gila 
masih sempat membalas serangan. Dalam suatu 
kesempatan ia dapat membabatkan pedangnya 
merobek baju si begal. Melihat bajunya terkena 
babatan pedang Si Gila, ia segera mengeluarkan 
jurus andalannya dengan memutar-mutarkan ka-
paknya mencerca tubuh Si Gila dari atas sampai 
ke bawah berulang-ulang dalam tempo yang san-
gat cepat dan secara bersamaan.
Benar-benar pengerahan tenaga dalam 
yang berlipat ganda. Si Gila tampak kepayahan 
menghadapi si begal. Ia kalah napas dan mulai 
kelelahan.
Tak lama kemudian terdengar satu teria-
kan yang keras, dan kapak si begal merobek dada 
Si Gila tanpa ampun. Darah mengucur deras dari 
luka yang menganga di dadanya akibat serangan 
pada jurus kesepuluh dari rangkaian jurus maut 
si begal. Si Gila terhuyung-huyung ke belakang 
meringis kesakitan sambil mendekap dadanya. 
"Mampus kau setan alas! Sekarang terima-
lah ajalmu...!" teriak si begal sambil meloncat ke

atas seperti burung elang yang akan menyambar 
mangsanya dengan kapak besi yang siap membe-
lah kepala Si Gila.
Seketika Parmin terkesiap dan keluar dari 
persembunyiannya.
"Si Gila dalam keadaan bahaya! Aku harus 
cepat bertindak...!" Parmin melihat saat-saat kri-
tis itu. Maka dengan satu sentakan yang kuat 
Parmin melesat menyambar kapak besi yang di-
pegang si begal hingga terpental sebelum meng-
hantam batok kepala Si Gila yang sudah terpojok 
tak berdaya.
"He!!" pekik si begal terkejut dan kapak be-
sinya meluncur jauh hilang dibalik semak-semak. 
Disusul oleh kelebatan sesosok tubuh seorang 
pemuda.
Parmin berpijak diatas dengan ringannya 
dan pasang kuda-kuda siap menghadapi si begal 
yang masih terkejut.
"Eiiiiiitt! Siapakah kau monyet busuk! Me-
nyerang secara sembunyi-sembunyi! Apa hubun-
ganmu dengan gembel yang hampir mampus ini? 
Apakah kau juga menginginkan isi peti kayu itu?" 
bentak si begal dengan lantang. Napasnya ngos-
ngosan dengan urat leher menyembul keluar. Se-
pasang matanya merah seperti saga, sedangkan 
butir-butir keringat sebesar biji jagung membasa-
hi keningnya yang sebagian tertutup ikat kepala.
"Si Gila minggirlah anda! Hei, begal! Akulah 
lawanmu yang sebenarnya!" seru Parmin menatap 
si begal dengan pandangan yang menantang.

Sementara Si Gila mengangkat kepalanya 
sebentar memperhatikan dengan pandangan yang 
penuh tanda tanya mencoba menerka siapa ge-
rangan orang yang tiba-tiba muncul dan membela 
dirinya? Tangan kirinya tetap memegangi dadanya 
yang terus-menerus mengeluarkan darah, se-
dangkan tangan kanannya menggenggam erat pe-
dangnya yang digunakan untuk menyanggah tu-
buhnya yang semakin melemah. Ia perlahan-
lahan beringsut menggerakkan langkahnya yang 
terseok-seok menjauhi pertarungan menuju peti 
kayu miliknya.
Tantangan Parmin membuat darah si begal 
mendidih naik ke ubun-ubunnya dan biji mata 
yang sudah merah semakin membara.
"Coba katakan namamu, anak muda! Sebe-
lum kepalamu yang besar itu menggelinding ku-
babat dengan kapakku!!" bentak si begal.
"Aku adalah pembela kaum yang lemah 
tanpa mengharapkan balas jasa!" sahut Parmin 
seenaknya. Si begal menggeram merasa tersing-
gung mendengar perkataan Parmin yang bernada 
ejekan sengaja menusuk perasaannya. Ia men-
dengus sengit seraya merangsak Parmin dengan 
bengis. Jari tangannya diarahkan ke leher Parmin 
dan kapak besi yang dipegangnya mengarah ke 
perutnya. Serangan itu sangat cepat dan tak ter-
duga. Parmin melejit ke atas berkelebat menghin-
dari serudukan si begal yang sangat berbahaya 
itu dan pada saat yang sama ia mengirimkan ten-
dangan ke bahu si begal sehingga terjungkal beberapa tombak ke belakang. Dengan sigap si beg-
al kembali berdiri langsung membuka jurus baru.
"Oh...boleh juga! Boleh! Ilmu silatmu lebih 
tinggi dari gembel itu! Siapa gurumu, hei? Rasa-
rasanya aku kenal dengan gaya silatmu!" tanya si 
begal merentangkan tangannya sebagai tanda un-
tuk memberi kesempatan bicara kepada lawannya 
sekaligus mencari kemungkinan untuk menye-
rang lagi.
"Guruku adalah Ki Sapu Angin! Tahukan 
kau? Kata guruku dulu kau hampir mampus ke-
tika kau coba-coba membegal guruku! Agaknya 
kau belum kapok juga!" sambut Parmin dibarengi 
dengan gerakan tangannya membentuk jurus ba-
ru. Kaki kirinya agak menekuk dan kaki kanan-
nya diayunkan ke depan berpijak dengan mantap 
di atas tanah.
Mendengar Ki Sapu Angin adalah guru la-
wannya, si begal tertawa terbahak-bahak sekuat 
tenaga hingga merontokkan daun-daun kering 
disekitar tempat itu. Dan Si Gila yang sedang du-
duk terkulai segera mengatur napasnya ketika 
suara tawa dahsyat itu menerpa telinganya.
"Ya benar! Ha ha ha ha ha ha ha! Aku in-
gat!" seru si begal terbahak tapi lantas wajahnya 
segera berubah bengis dan seram. Matanya berpi-
jar mencerminkan dendam yang membusuk da-
lam dadanya.
"Tapi itu lima tahun yang lalu, bukan? Kini 
suruh gurumu datang melawan aku kembali. Pas-
ti akan kutebus kekalahanku dulu!"

"Mulutmu terlalu besar, begal! Hadapi saja 
muridnya dulu..." ejek Parmin dengan senyum si-
nis sengaja membangkitkan amarah lawannya.
Begal seketika mendengus keras. Wajahnya 
merah tembaga. Ia merasa diremehkan oleh pe-
muda ingusan dihadapannya.
"Bangsaaaaaaat!!"
Ia segera menghujamkan kapaknya mende-
sak Parmin dengan napas yang bergemuruh ke 
perut lawannya. Tangan kanannya menyabet ce-
lah-celah paha Parmin seperti seekor babi hutan 
yang menyeruduk mangsanya. Parmin melesat 
sambil membabatkan goloknya membelah dada si 
begal dengan sekuat tenaga dan secepat kilat 
tanpa dapat ditangkis oleh lawannya. Parmin ke-
mudian salto di udara dengan gerakan yang san-
gat indah dan menjejakkan kakinya di atas tanah 
begitu ringan, berdiri tegak seraya memasukkan 
golok kembali ke sarungnya.
Sementara itu si begal memekik keras da-
lam posisi membelakangi Parmin. Darah lukanya 
menetes jatuh ke tanah membasahi rumput-
rumput di ujung kakinya. Tubuhnya bergetar he-
bat. Tak lama kemudian tubuh tinggi besar itu 
roboh ke bumi seperti gunung gugur. Tanah di 
sekitarnya ikut bergetar menahan guncangan 
yang ditimbulkan olehnya. Napasnya terdengar 
menggeros seperti seekor kerbau yang sedang se-
karat. Kemudian beku tak berkutik lagi.
Maka tamatlah riwayat seorang begal yang 
ganas dan sangat kejam yang menjadi momok bagi orang-orang yang melewati daerah Celancang 
dan daerah sekitarnya. Bagi Parmin sendiri kema-
tian begal brewok adalah termasuk suatu rang-
kaian tugas yang telah dipesankan oleh gurunya 
Ki Sapu Angin.
Parmin menarik napas panjang.
"Dosamu sebagai begal sudah terlalu ba-
nyak dan golokku hanya diperuntukkan bagi 
orang-orang yang tidak bisa diinsyafkan lagi!" 
gumam Parmin menatap mayat si begal yang ber-
kubang darah dengan hati lega.
Sedangkan Si Gila duduk bersandar pada 
sebuah pohon dengan tubuh yang lunglai mena-
tap Parmin kagum. Sinar matanya sudah mulai 
meredup dan wajahnya terlihat pucat pasi karena 
banyak mengeluarkan darah dari luka didadanya 
yang menganga.
Parmin segera menghampiri Si Gila yang 
mulai kepayahan itu.
Si Gila mengangkat wajahnya.
"Aku tak bisa membalas apa-apa untuk-
mu!" desahnya pelan.
Parmin tersenyum kepada Si Gila seraya 
membuka baju pemuda itu perlahan-lahan untuk 
melihat luka yang dideritanya. Sekali-sekali Si Gi-
la meringis kesakitan karena secara tak sengaja 
bajunya yang dibuka Parmin bergesekan dengan 
lukanya. 
"Aku hanya menunaikan kewajibanku ter-
hadap sesama manusia. Kau adalah orang yang 
baik. Mari kuperiksa lukamu. Untung tak terlalu

dalam dan tidak sampai melukai jantungmu, te-
tapi mungkin beberapa tulang rusukmu ada yang 
putus!" kata Parmin sambil meletakkan baju Si 
Gila di atas akar pohon yang menyembul dari da-
lam tanah.
Si Gila hanya tertunduk diam. Parmin 
mengerti apa yang hendak disampaikan Si Gila 
melalui sorot matanya yang sayu.
Parmin bergegas ke dalam hutan untuk 
mencari tanaman sebagai bahan ramuan obat 
yang diperlukan untuk luka bacok itu secepatnya 
dan sebagai seorang jago silat ia mempunyai ilmu 
pengobatan yang didapat dari gurunya sebagai 
bekal untuk menjaga kesehatan tubuhnya sendi-
ri. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Parmin 
menemukan tanaman itu.
"Daun-daun ini bisa ditumbuk halus lalu 
dicampur sedikit air, dan luka Si Gila pasti bisa 
kering dalam tempo singkat!" gumamnya sambil 
memetik daun-daun itu secukupnya. Lalu ia ber-
gegas ke sungai untuk mengambil air. Daun talas 
hutan dipergunakan untuk menampung air sun-
gai dan ia segera menemui Si Gila yang masih 
duduk terkulai bersandar pada batang pohon itu. 
Parmin menumbuk daun-daun yang sudah di-
campur dengan air itu di atas sebuah batu. Da-
lam beberapa saat ramuan tersebut telah siap di-
pakai. Kemudian Parmin melumuri dan menutup 
luka Si Gila yang menganga dengan ramuan itu 
seluruhnya.
Ia merawat Si Gila dengan cermat dan penuh rasa kasih sayang sebagai sahabat.
"Jangan banyak bergerak dulu! Tetaplah 
bersandar di bawah pohon ini. Mudah-mudahan 
besok pagi luka anda berangsur-angsur sembuh. 
Daun-daun ini sangat mujarab untuk mengobati 
luka-luka bacokan!" ujar Parmin sambil membo-
rehi luka itu dengan lembut.
Si Gila hanya diam saja.
Ia memandang jauh menembus dalam hu-
tan. Sinar matanya agak ceria. Sebentar-sebentar 
matanya melirik peti kayu jati yang terletak di se-
belahnya.
Sinar matahari mulai meninggalkan bumi. 
Cahayanya yang keemasan tampak berkilauan di 
ufuk barat menyongsong sang rembulan yang ter-
senyum menyembul ke bumi. Burung-burung su-
dah enggan bernyanyi dan kembali ke sarangnya 
masing-masing. Hanya serangga-serangga malam 
yang begitu gembira menyambut datangnya ma-
lam. Angin bertiup lembut menyapu dedaunan 
sehingga menimbulkan suara berirama seperti 
senandung musik malam hari.
***
Parmin menguburkan mayat si begal. Peluh 
bercucuran di seluruh wajahnya yang tampan. 
Kemudian ia mengayunkan langkahnya menuju 
sungai untuk mengambil air wudhu menunaikan 
khodo sholat maghrib yang disambung dengan 
sholat isya. Rupanya pertarungan sengit yang baru saja berlalu telah menelan waktu cukup pan-
jang. Malam ini ia terpaksa menginap di dalam 
hutan menemani Si Gila. Selesai melakukan sho-
lat Parmin melipat kain sarung yang digunakan 
sebagai sajadah. Si Gila memperhatikan semua 
yang dilakukan Parmin sambil bertanya-tanya da-
lam hati. Agaknya ia sedang mempertanyakan un-
tuk apa orang itu begitu patuh melakukan sholat 
lima waktu?
Malampun tiba. Bulan mengambang di 
angkasa yang kelabu. Angin bertiup sepoi-sepoi. 
Mendesir membelai hati yang rindu terhadap sang 
kekasih. Bisu dalam kenikmatan. Kumandang 
burung hantu menambah suasana malam itu 
menjadi kian beku. Perasaan itu menghantui ke-
dua pendekar muda itu.
Parmin duduk dibawah pohon menatap in-
dahnya bulan purnama. Ia teringat kepada Roi-
jah, si Bajing Ireng kekasihnya, membuat hatinya 
ingin melantunkan lagu kiser kesayangannya. Ia 
mengeluarkan seruling bambu dari balik bajunya. 
Kemudian ditiupnya seruling dengan irama yang 
mendayu-dayu. Rasa rindunya kepada Roijah 
yang datang merasuk kalbunya membuat irama 
seruling yang dialunkan Parmin betul-betul mere-
sap ke dalam hati setiap orang yang mendengar-
kannya. Apalagi bagi mereka yang sedang dima-
buk asmara. Parmin tidak mengetahui bahwa la-
gu yang dibawakannya membuat Si Gila teringat 
kembali kepada kekasihnya Nuraini yang telah 
tiada. Tak terasa air mata meleleh membasahi kedua pipinya. Mengalir seperti air dari cucuran 
atap jatuh ke pelimbahan.
Parmin semakin tenggelam dalam senan-
dung lagunya. Ia mencoba membunuh rasa rin-
dunya lewat seruling bambu itu dan Si Gila juga 
semakin hanyut dalam kenangan masa lalunya 
yang begitu pahit dan menyedihkan. Rasa sakit 
yang baru dialaminya sama sekali tak dirasakan-
nya. Yang ada hanya kesedihan berkepanjangan 
dan duka nestapa yang mewarnai hidupnya sela-
ma ini. Sebuah sisa hidup yang tak berarti lagi 
baginya.
Parmin sempat melirikkan matanya ke 
arah Si Gila. Ia dapat merasakan kesedihan yang 
sedang dirundungnya. Seketika serulingnya ber-
henti dan Parmin segera melompat berdiri tersen-
tak tatkala terdengar olehnya isak tangis Si Gila 
yang tersedu-sedu seperti anak kecil yang kehi-
langan barang mainannya. Lalu ia menghampiri 
Si Gila yang mengelamkan kepalanya di balik ke-
dua kakinya yang menekuk menghimpit kepa-
lanya.
"U...uh...uuh...h! Mengapa aku tidak kau 
biarkan mati saja di tangan begal itu?" ratapnya 
penuh penyesalan.
"Kadang-kadang aku merindukan kema-
tian! Ohhh...Nuraini!" teriaknya tersendat-sendat 
sambil mengangkat kepalanya menengadah ke 
atas seakan-akan mengadu pada sang rembulan. 
Tapi pada penglihatannya ternyata bulan hanya 
diam membisu.

Parmin mendekati Si Gila. Lalu berlutut di 
sebelahnya. Ia merasa berdosa telah membuat Si 
Gila larut dalam masa lalunya akibat irama serul-
ing yang dimainkannya.
Si Gila memalingkan wajahnya ketika dira-
sakan Parmin duduk di sebelahnya.
"Oh, untuk apakah aku hidup? Aku tak in-
gin hidup lagi!" desahnya lirih. Seluruh wajahnya 
basah oleh keringat dingin dan deraian air mata.
Parmin memegang bahu Si Gila. 
"Tenanglah, kawan! Sudilah kau menceri-
takan apa yang telah jadi beban pikiranmu? Ceri-
takanlah!" pinta Parmin berharap dapat merin-
gankan penderitaan jiwa yang dialami Si Gila.
Si Gila kembali menatap begitu sedihnya 
sambil menelungkupkan dirinya di atas peti kayu 
jati yang dibawanya. Air mata membasahi peti itu. 
Parmin hanya bisa memandangi punggung Si Gila 
dengan perasaan iba dan turut berduka. Ia meli-
hat betapa masalah asmara merupakan segala-
galanya bagi kehidupan orang muda seusia Si Gi-
la dari Muara Bondet ini. Lenyaplah sudah sifat 
gagah seorang jago silat.
Si Gila begitu melankolis, cengeng dan ra-
puh! 
"Oh, Nuraini! Mengapa kita harus berpisah, 
sayangku? Mengapa hidup ini cuma sebagai 
mimpi? Lenyap begitu saja seperti dipupus oleh 
angin?" Si Gila kembali meratapi kekasihnya yang 
telah tiada dan ia mengadu pada isi peti kayu itu 
seperti berdialog langsung dengan orang yang di

cintainya.
Parmin diam terpaku tanpa bisa berbuat 
apa-apa.
Lalu ia menghela napas dan berlalu me-
ninggalkan Si Gila yang masih meratap.
"Biarlah ia memuaskan tangisnya! Hanya 
itu satu-satunya jalan yang terbaik. Dia tadi me-
nyebut-nyebut nama seorang wanita? Aku harus 
mengetahui rahasia apa yang menyelubungi di-
rinya dan darimana ia memperoleh ilmu pedang 
yang hebat itu!" gumam Parmin dalam sambil 
menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. Ia se-
benarnya ingin bertanya pada Si Gila lebih jauh 
tetapi di saat ini tidak mungkin untuk menanya-
kan hal itu kepadanya.
"Biarlah ia menumpahkan segala pera-
saannya!" desah Parmin seraya berjalan mencari 
tempat untuk memejamkan matanya yang mulai 
diserang kantuk.
Dan malam semakin larut. Bulan dengan 
setia menyinari alam seluruhnya dan malam itu 
kedua pendekar muda itu tidur bertikar rumput 
beratap langit dibuai oleh nyanyian serangga-
serangga malam.
Karena lelah menempuh perjalanan sehari 
suntuk Parmin akhirnya tertidur juga. Tetapi se-
bagai seorang jago silat nalurinya tetap bekerja 
memantau daerah sekitar hutan itu menjaga ke-
mungkinan yang dapat saja terjadi mengancam 
jiwa mereka berdua.
Ia dapat melihat juga Si Gila gelisah dan

sering mengigau dalam tidurnya.
"Peti kayu itu sebentar-sebentar dipeluk-
nya. Apakah takut dicuri orang? Apakah di da-
lamnya berisi emas permata seperti kata si begal 
tempo hari, atau...apa?" Parmin bertanya-tanya 
kepada dirinya sendiri. Akhirnya ia tak tahan lagi 
melawan rasa kantuk yang kembali menghantui 
dirinya. Tak lama kemudian Parmin dapat meme-
jamkan matanya dan tertidur lelap.
Sementara itu di lain fihak Si Gila duduk 
terpaku menatap sang rembulan yang seolah-
olah tersenyum simpul kepadanya. Pikirannya 
menerawang. Dan malam terus berputar seiring 
detak jantungnya mengikuti perjalanan sang wak-
tu.
***
Pagi-pagi sekali Parmin bangun. Setelah 
melakukan sholat subuh, dengan diam-diam ia 
pergi mencari makanan ke kampung terdekat 
atau mencari bahan makanan apa saja yang da-
pat ditemuinya dalam hutan itu. Parmin berjalan 
menembus hutan berselimut kain sarungnya un-
tuk berlindung dari hawa dingin yang menusuk.
Udara pagi itu terasa menggigit tulang 
sumsumnya. Sepanjang jalan Parmin terhibur 
oleh kicauan burung-burung melantunkan irama 
ceria menyambut datangnya sang mentari. Ia ter-
senyum sendiri melihat seekor burung yang se-
dang belajar terbang di salah satu cabang pohon.

Berkali-kali ia terpeleset dari ranting pohon dalam 
perjuangannya agar dapat terbang lebih jauh.
"Paling cepat setengah jam aku baru me-
nemukan pinggiran kampung karena hutan ini 
ternyata tak ditumbuhi pohon buah-buahan un-
tuk bisa dimakan. Kasihan Si Gila! Tentu ia san-
gat lapar akibat perkelahian sengit dan begadang 
hampir semalam suntuk!" gumam Parmin terus 
melangkahkan kakinya menelusuri hutan.
Tak lama ia berjalan sampailah dipinggir 
hutan. Terlihat sebuah rumah penduduk bera-
tapkan rumbia. Parmin segera menghampiri seo-
rang nenek-nenek yang sedang mengikat kayu 
bakarnya diteras pondok itu.
Tanpa berpikir panjang lagi Parmin menya-
pa nenek-nenek itu.
"Assalamualaikum...!" salam Parmin sambil 
melipat kain sarungnya dan disampirkan diatas 
bahu.
Mendengar ada seseorang yang memberi 
salam kepadanya si nenek menoleh ke asal suara 
itu.
"Waalaikum salam...!" jawabnya tertahan. 
Ia heran melihat seorang pemuda tiba-tiba berdiri 
di dekatnya pagi-pagi begini. "Ada apa anak mu-
da?" Parmin tersenyum menatap nenek-nenek itu.
"Maaf nek mengganggu! Bolehkah aku min-
ta makanan apa saja sekedar untuk sarapan?" 
tanya Parmin sambil membungkukkan tubuhnya 
memberi hormat kepada orang tua itu.
"Oh! Ada nak! Silakan masuk!" sahutnya

meninggalkan pekerjaannya menuju ke dalam 
gubuknya. Langkahnya tertatih-tatih dengan tu-
lang punggung yang sudah melengkung.
Parmin mengikuti langkah nenek-nenek itu 
masuk ke dalam. Ia kemudian tanpa sungkan-
sungkan menceritakan dirinya dan sekaligus 
mengutarakan maksud kedatangannya kemari. 
Nenek itu hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya seraya bergegas ke dalam dapur untuk 
mengambil segala yang dibutuhkan Parmin. Sete-
lah selesai, Parmin segera mohon diri dan sangat 
berterima kasih kepada nenek itu untuk kembali 
ke dalam hutan menemui Si Gila yang mungkin 
telah bangun.
Matahari mulai menampakkan cahayanya 
menerangi hutan dan alam sekitarnya. Kokok 
ayam hutan bersahut-sahutan menyongsong te-
rangnya hari.
Dilihatnya Si Gila sedang termangu-mangu 
dan masih merenung di sebelah peti kayu jati itu.
"Lagi-lagi peti kayu itu!" desah Parmin se-
raya menghampiri Si Gila.
"Maaf, aku tadi meninggalkan anda seben-
tar. Tampaknya anda sudah mulai sehat?" tanya 
Parmin menyapa.
Si Gila menoleh. Wajahnya tampak mulai 
ceria. Tetapi matanya terlihat sembab akibat me-
nangis semalaman. Namun ia mencoba untuk 
tersenyum kepada kawan barunya yang telah me-
nolongnya itu. Parmin duduk bersila disebelah Si 
Gila yang masih saja diam membisu. Lalu Parmin

memeriksa luka pemuda itu dengan cermat dan 
luka yang diderita Si Gila sudah kering. Ternyata 
telah terbukti betapa mujarabnya ramuan obat 
itu. Perubahan pada luka itu terjadi begitu cepat 
dan membuat wajah Si Gila mulai terlihat segar. 
Matanya bercahaya dan ia mulai mendapatkan 
rasa percaya terhadap dirinya.
"Mari kita makan!" Parmin membuka nasi 
yang terbungkus daun jati pemberian nenek-
nenek tadi.
"Nasi bungkus ini masih hangat, sangat co-
cok untuk pagi yang dingin seperti ini!" katanya 
sambil menyerahkan sebungkus nasi pada Si Gila 
dan ia menerimanya tanpa mengucapkan sepatah 
katapun.
Ia lebih banyak bercerita melalui sinar ma-
tanya. 
Parmin mengerti dan memakluminya.
"Banyak-banyaklah anda makan, agar ke-
sehatan anda cepat pulih kembali!" ujar Parmin 
sambil menyuap nasi yang masih berasap itu ke-
dalam mulutnya. Ia teringat, nenek itu menolak 
uang pemberiannya sebagai imbalan.
***
Melihat Parmin mulai makan, Si Gila tanpa 
malu-malu turut menyuapkan nasi kedalam mu-
lutnya. Dikunyahnya pelan-pelan meyakinkan diri 
betapa pulen nasi itu dan betapa gurih rasa ikan 
asin.

Kemudian barulah ia menyantapnya den-
gan lahap.
"Anda begitu baik kepadaku yang hina-
dina ini. Apa yang harus kulakukan untuk mem-
balas budi anda?" tanya Si Gila sambil mengu-
nyah nasi yang berada dalam mulutnya. Dalam 
sekejap nasi itu tinggal separuhnya.
Parmin agak terkejut mendengar Si Gila 
menyapanya. Sepertinya ia ingin berbagi rasa ke-
pada orang yang baru dikenalnya dan sekaligus 
dipercaya olehnya.
"Terus terang, aku mengagumi ilmu pedang 
yang anda miliki dan kalau boleh aku ingin men-
getahui siapa anda dan darimana anda berasal." 
tanya Parmin penuh harap.
Si Gila terdiam sejenak sambil mengha-
biskan nasinya hingga tak tersisa sebutirpun di-
atas daun jati itu.
"Ceritanya sangat panjang! Akupun merasa 
gembira bilamana anda mau mendengarkannya. 
Aku senang, bahwa di dunia ini masih kutemui 
orang yang peduli kepada gembel gelandangan 
seperti aku...!" sahut Si Gila mulai menceritakan 
asal muasal dirinya hingga memiliki ilmu pedang 
yang sangat dikagumi oleh Parmin.
Sedangkan Parmin mendengarkan Si Gila 
dengan penuh antusias seraya membenahi daun-
daun jati bekas ajang nasi yang kemudian di 
tumpuk jadi satu dan dilipatnya sebelum di-
buang.

***
Lima tahun yang lalu...ya, lima tahun yang 
lalu... jauh agak ke hulu sungai bondet, terdapat 
sebuah desa yang bernama Ori Malang. Dinama-
kan demikian mungkin dahulu di sana banyak di 
tumbuhi pohon duri yang malang melintang atau 
bagaimana ia sendiri tidak tahu. Si Gila dari Mua-
ra Bondet itu mempunyai nama asli Karta berasal 
dari keluarga yang miskin. Sejak kecil ia sudah 
ditinggal ibu dan bapaknya. Ia seorang anak ya-
tim-piatu. Ia dipungut oleh seorang juragan yang 
kaya di desa itu yang merasa kasihan padanya 
karena tidak mempunyai saudara satupun di de-
sa itu. Ia sebatang kara. Juragan Benjar, demi-
kian namanya, mengangkat Karta bukan sebagai 
anak, tetapi sebagai pesuruh. Kerjanya setiap hari 
adalah menggembalakan kerbau-kerbau milik ju-
ragannya. Pagi-pagi sekali ia menggembalakan 
kerbau-kerbau itu ke tempat yang banyak ditum-
buhi rumput bila menjelang sore barulah ia pu-
lang. Semuanya itu dilakukan sampai menjelang 
remaja dan sampai kerbau-kerbau juragannya 
berkembang biak semakin banyak jumlahnya. 
Karta sangat rajin dan cekatan dalam menjalan-
kan pekerjaannya membuat hati juragan Benjar 
menjadi sangat senang.
Ketika menginjak masa remaja Karta jatuh 
cita kepada seorang dara yang cantik jelita. Na-
manya Nuraini. Wajahnya bundar bak bulan pur-
nama. Alisnya hitam tebal. Rambutnya panjang

sebatas pinggang dengan tubuh yang ramping 
menawan. Sinar matanya bening bagai air telaga. 
Ia adalah anak majikannya sendiri. Cinta itu di-
pupuknya sejak masih kecil. Mereka sering ber-
temu dan bercanda di pinggir sungai Jamblang 
apabila Karta sedang memandikan semua kerbau-
kerbau majikannya dan Nuraini mencuci pa-
kaiannya di sungai. Mereka saling mengutarakan 
perasaannya masing-masing di bawah sebuah 
pohon waru yang tumbuh condong dipinggiran 
sungai Jamblang tempat mereka bermain. Tiada 
hari tanpa cinta, tiada hati tanpa kemesraan. 
Sungai Jamblang dan pohon waru itu merupakan 
saksi bisu dari hubung an asmara kedua remaja 
itu. Hal itu membuat Nuraini selalu pulang telat 
berjam-jam lamanya setelah selesai mencuci 
hingga juragan Benjar merasa curiga melihat 
anaknya selalu pulang terlambat yang kadang-
kadang membuat ayahnya merasa cemas. Tapi 
berkat kecerdikannya Nuraini dapat meyakinkan
ayahnya dengan berbagai macam alasan sampai 
ayahnya tidak lagi mencurigainya. Karena bagi ju-
ragan Banjar apa yang dikatakan anaknya yang 
tercinta dan buah hatinya itu adalah benar.

Di pohon waru condong di tepi kali Jam-
blang itulah mereka sering bertemu dan memadu 
kasih.
Tetapi kisah percintaan keduanya menga-
lami suatu rintangan!
Suatu hari sehabis mencuci pakaian di

sungai, Nuraini melihat ayahnya sedang meneri-
ma tamu seorang yang sangat kaya dari desa lain. 
Tamu itu adalah seorang juragan tua dan anak 
laki-lakinya yang bertubuh tegap bernama Badar. 
Ternyata maksud kedatangan mereka tidak lain 
dan tidak bukan untuk melamar dirinya.
Nuraini rupanya mendengarkan semua 
percakapan mereka dari balik gorden yang mem-
batasi ruang tamu dengan ruang keluarga. Mere-
ka menjanjikan mas kawin yang sangat banyak 
dan mahal-mahal sehingga ayahnya langsung se-
tuju dan menerima lamaran mereka hari itu juga.
Direncanakan hari perkawinan sesudah 
panen tahun depan. Saat itu juga Nuraini merasa 
sangat kecewa karena ayahnya tidak membicara-
kan dan minta pendapat semua itu kepadanya. 
Ayahnya begitu mudah memutuskan semua itu 
tanpa menanyakan kepadanya apakah ia suka 
atau tidak dengan calon suaminya. Yang jelas ia 
tidak mau dikawinkan dengan orang lain kecuali 
Karta seorang! Kemudian ia berlari sambil me-
nangis menuju kamar tidurnya dan mengunci di-
ri. Hanya isak tangis saja yang ia curahkan seba-
gai tanda protes yang tidak tersampaikan.
Keesokan harinya seperti. biasa Karta 
menggembalakan kerbau-kerbau majikannya di 
sungai Jamblang. Ia duduk di atas punggung sa-
lah satu kerbaunya yang sedang mengunyah 
rumput dengan santai. Tiba-tiba ia melihat keka-
sihnya berjalan menggendong sebuah bakul berisi 
pakaian kotor dengan tangis yang terisak-isak

menuju ke arahnya. Ia segera melompat dan ber-
lari menghampiri Nuraini yang jatuh terkulai di 
pinggir sungai sambil menangis sesenggukan. 
Karta segera meraih bahu kekasihnya.
"Ain, kenapa menangis, sayang? Ada apa?" 
tanya Karta dengan lembut sambil membelai 
rambut indah milik kekasihnya. Rambut panjang 
hitam legam yang selama ini ia kagumi.
Nuraini mengangkat wajahnya. Air ma-
tanya membasahi kedua pipinya yang mulus. Ma-
tanya merah sayu.
"Aku akan dikawinkan dengan orang yang 
jadi pilihan ayahku...!" ratapnya lirih kemudian 
memeluk tubuh Karta erat-erat yang diam mema-
tung mendengar jawaban Nuraini. Ia seolah-olah 
mendengar petir disiang hari! Tanpa terasa ia 
membalas pelukan Nuraini dengan erat juga sea-
kan-akan mereka tidak sudi untuk dipisahkan 
oleh siapapun.
Betapa hancur hati keduanya. Musnahlah 
seluruh harapan mereka dan mulai saat itu mata-
mata dari calon suami Nuraini selalu berada di 
sekitarnya untuk menjaga sang dara dari gang-
guan pemuda lain di desa Ori Malang. Pertemuan 
mereka menjadi terbatas sekali dan bersifat sem-
bunyi-sembunyi.
Pada suatu ketika fihak calon suaminya, 
Badar mencium pertemuan rahasia Karta dengan 
calon istrinya Nuraini. Mereka tertangkap basah 
sedang bercanda ria di bawah pohon waru tempat 
pertemuan mereka selama ini. Badar datang ke

tempat itu bersama beberapa orang begundalnya 
yang terdiri dari jago-jago silat bayaran.
"Heii, tikus busuk! Apa yang sedang kau 
perbuat dengan calon istriku, hah?!" teriak Badar 
geram melihat Nuraini sedang berpegangan tan-
gan begitu mesra dengan seorang pemuda yang 
lusuh dan miskin. Matanya mendelik sengit.
Karta dan Nuraini terkejut bukan main 
dengan datangnya Badar yang diketahuinya seba-
gai calon suami kekasihnya itu. Seketika pegan-
gan tangan keduanya terlepas. Nuraini ketakutan 
sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon 
kelapa di dekatnya dengan tangan berpegang erat 
sekali pada batang itu. Peluh dingin merembes 
keluar dari pori-pori sekujur tubuhnya dan beta-
pa jantungnya serasa berhenti. saat itu juga. Se-
mentara itu Karta berusaha untuk bersikap te-
nang dan menguasai dirinya.
Karta menatap mereka satu persatu den-
gan dada berdebar-debar.
Badar melangkah maju menghampiri me-
reka diikuti oleh anak buahnya dari perguruan si-
lat Ori Malang. Mereka semua berempat.
"Hmm... pantas kau selalu menghindari 
aku, Nuraini! Rupanya karena ada monyet dekil 
ini!" bentak Badar keras. Matanya merah mena-
han luapan amarahnya yang tak terhingga. 
Pandangannya kemudian diarahkan kepa-
da Karta. Napasnya bergemuruh.
"Hei, monyet! Kenalkah siapa aku? kau 
memang benar-benar tak tahu diri, hah!!"

Karta mengangkat alisnya karena ia me-
mang belum mengenali siapa Badar dan teman-
temannya itu. Yang ia tahu selama ini hanyalah 
bahwa calon suami kekasihnya adalah seorang 
anak tuan tanah yang kaya-kaya.
Melihat Karta tidak menjawab pertanyaan-
nya, seketika meledaklah amarah Badar.
"Kurang ajar!! Nih, buat pelajaran bagimu!" 
teriaknya sambil mendaratkan telapak kakinya ke 
wajah Karta yang tidak memiliki kepandaian bela 
diri apa-apa hingga terjengkang ke belakang dan 
berguling-guling di tanah. Dari mulutnya menga-
lir darah segar. Bibirnya sobek.
Melihat kekasihnya dipukul oleh Badar, 
Nuraini jadi histeris.
"Oh, Karta! Karta...!" teriaknya hendak 
memeluk Karta yang sedang meringis kesakitan 
sambil meraba bibirnya. Tapi Nuraini segera dita-
rik oleh Badar dengan kasar menjauh darinya.
"Pulang! Ayo pulang, Nur! Apa yang kau 
harapkan dari kambing gembel seperti dia!! Puiih! 
Anak tak tahu diuntung terhadap majikan!" ben-
tak Badar meludahi wajah Karta yang masih ter-
golek di tanah sambil menarik-narik tangan Nu-
raini yang memberikan perlawanan kepadanya. 
Darah remaja yang pantang dihina di hadapan 
kekasihnya, membuat darahnya melonjak naik ke 
ubun-ubun.
Karta berontak. Ia langsung berdiri tegak. 
Tangannya mengepal keras. Giginya gemeretak 
kuat. Napasnya terdengar mendengus seperti

banteng ketaton. Ia menatap Badar dengan ge-
ramnya.
Melihat gelagat itu Badar segera mele-
paskan tangan Nuraini siap menghadapi Karta 
yang sudah berdiri di hadapannya siap memberi 
perlawanan.
"E...eh! Rupanya kau masih penasaran? 
Baiklah...! Agaknya kau belum mengenal siapa 
Badar sebenarnya? Ha ha ha ha ha!"
Karta langsung merangsak Badar tanpa 
perhitungan. Kasihan ia. Rasa sakit hati telah 
membutakan dirinya yang tak mempunyai ke-
mampuan apa-apa, walaupun ia tahu bahwa 
orang yang sedang dihadapi adalah murid dari 
perguruan silat Ori Malang yang sudah mencapai 
tingkat lumayan.
Dengan sekali gebrak, tubuh Karta ter-
jungkal jauh ke belakang langsung ambruk ke ta-
nah akibat pukulan Bandar. Mereka tertawa ter-
bahak-bahak melihat Karta merangkak di atas 
tanah dan dengan susah payah mencoba bangun. 
Ia berusaha menengadahkan wajahnya untuk 
menatap mereka. Matanya menyala-nyala oleh 
dendam yang sangat besar. Bibirnya digigit me-
nahan sakit dan untuk sesaat tubuhnya bergetar 
kuat kemudian ambruk tak sadarkan diri. Badar 
dan teman-temannya kembali tertawa keras me-
nyaksikan lawannya hanya mampu memberikan 
perlawanan yang tak berarti
Nuraini melolong-lolong menangisi Karta 
yang pingsan. Ia berontak sekuat tenaga terhadap


orang yang akan merampas dirinya dari sisi Karta 
yang sangat dicintainya.
"Kau kejam! Manusia iblis! Jangan sentuh 
aku! Lepaskan! Lepaskan! Aku jijik melihatmu!!" 
maki Nuraini pada Badar yang hanya senyum 
menanggapinya. Tapi biar bagaimanapun Badar 
tak sanggup lagi menghadapi Nuraini yang terus-
terus memaki-maki dirinya. Lalu tiba-tiba tan-
gannya melayang menampar pipi gadis itu se-
hingga ia langsung terkulai lemas. Kemudian Ba-
dar memanggul tubuh Nuraini di atas pundaknya 
dan membawa pulang ke rumah calon mertuanya. 
Ia tersenyum simpul penuh arti. Calon mertuanya 
tentu akan memuji dirinya sebagai malaikat peno-
long.
***
Sementara itu waktu terus berjalan dan en-
tah berapa jam kemudian Karta mulai siuman 
kembali. Hari telah malam. Bulan meninggi diatas 
langit memancarkan cahayanya yang kemilau. 
Angin bertiup lembut mendesir membelai alam 
sekitarnya dan seluruh tubuhnya yang terasa ngi-
lu.
Ruas-ruas tulangnya terasa hendak lepas. 
Tetapi semua itu tidak terlalu dirasakannya. Yang 
terasa hanya hatinya yang begitu perih seperti 
disayat sembilu.
Karta mencoba bangkit.
Perlahan-lahan ia merangkak mendekati

sebuah pohon kelapa lalu menyandarkan tubuh-
nya. Hatinya teramat sakit. Ia sadar bahwa di-
rinya tak kuasa untuk membalas sakit hatinya. Ia 
merasakan dirinya manusia lemah, miskin, hina-
dina dan tak berharga sama sekali dibandingkan 
dengan Badar yang mempunyai segalanya.
Karta berjalan terseok-seok membawa tu-
buhnya pulang ke rumah majikannya. Tubuhnya 
jatuh-bangun disepanjang jalan. Dan lebih me-
nyakitkan lagi tatkala ia sampai di rumah maji-
kannya, juragan Benjar Karta disambut dengan 
caci-maki serta kalimat yang kotor dan kasar 
yang membuatnya semakin merasa hina-dina.
"Anak tak tahu terima kasih! Berani-
beraninya kau mengganggu tunangan orang! Se-
harusnya kau menyadari siapa dirimu sebenar-
nya! Kau tak lebih dari seorang gembel! Gembel 
yang kupungut dari tong sampah!" bentak maji-
kannya geram. Tangannya mengepal keras ingin 
menghajar Karta, tetapi ia masih mempunyai rasa 
kasihan sehingga meja yang berada di depannya 
menjadi sasaran empuk kemarahan yang meluap-
luap. Walaupun akibat dari hantaman itu mem-
buat ia sendiri meringis kesakitan karena buku-
buku jarinya ngilu.
Karta tertunduk diam menggigit bibir.
"Kau kira apa pangkatmu, gembel! Masih 
untung kau tak kuadukan kepada opas!" maki 
majikannya tiada henti bagai semburan mitraliur.
Karta tidak sanggup lagi mendengarkan 
semua itu. Sinar matanya tidak lagi memperli

hatkan semangat hidup yang menggebu-gebu lagi 
seperti hari-hari sebelumnya. Hatinya sangat pe-
rih dan ngilu teriris-iris. Ia hanya menundukkan 
kepalanya tanpa bisa menjawab ataupun me-
nyangkal semua perkataan dan cacian yang men-
cerca dirinya. Ia benar-benar merasa kehilangan 
harga dirinya. Bahkan kehilangan segala-galanya. 
Dunia rasanya kiamat.
Dan kontan malam itu juga ia dipecat dan 
diusir dari rumah majikannya tanpa pesangon 
sepeserpun dengan alasan melanggar adat dan 
sopan-santun yakni mencintai anak majikannya 
sendiri. Di mata juragan Benjar pelanggaran se-
perti itu adalah perbuatan biadab.
Karta dengan lesu segera membereskan 
semua barang-barangnya dan pergi meninggalkan 
rumah juragan Benjar malam itu juga.
Ia lunglai mengayunkan langkahnya yang 
terasa mengambang. Ia akan pergi entah kemana. 
Ia sendiri tidak tahu.
Ketika melewati kandang kerbau gemba-
lanya, Karta sempat berhenti sejenak menatap bi-
natang itu dengan sedih. Ia akan meninggalkan 
hewan-hewan kesayangannya yang menjadi ka-
wan dekat sejak kecil. Diulurkan tangannya 
membelai kepala seekor diantara kerbau itu pe-
nuh kasih sayang. Hewan itu sepertinya mengerti 
apa yang telah menimpa gembalanya sehingga 
kerbau itu melenguh panjang turut merasakan 
kesedihan dan kehampaan yang sedang merun-
dung hati Karta gembalanya.

Kemudian Karta kembali melangkahkan 
kakinya terus berjalan lesu sambil sesekali meno-
leh ke belakang seakan begitu berat meninggal-
kan segala sesuatu yang pernah memberinya ke-
hidupan. Dan sejak itu pula Karta tak pernah ber-
jumpa dengan jantung hatinya. Ia telah kehilan-
gan segala-galanya. Pekerjaannya, dan lebih ter-
penting adalah kekasihnya Nuraini.
Hidupnya kini tak tentu arah.
Setiap hari kerjanya hanya luntang-lantung 
kesana kemari seperti gelandangan dan mirip 
orang sinting. Setiap orang yang menjumpainya 
selalu memperhatikan dan kasihan terhadapnya. 
Mereka tidak percaya bahwa Karta yang dulunya 
dikenal sebagai anak yang rajin dan selalu hormat 
kepada semua orang tanpa pandang bulu, kini 
mereka melihat kenyataan Karta sudah
menjadi tidak waras lagi. Mereka semua merasa 
kasihan tanpa bisa berbuat apa-apa.
***
Begitulah...... Karta. Hari demi hari keluar 
masuk setiap kampung tanpa tujuan.
Sementara bumi terus berputar mengikuti 
porosnya. Siang malam silih berganti. Minggu 
berganti minggu, bulan berganti bulan dan mu-
sim panenpun tiba. Penduduk desa Ori Malang 
menyambut gembira musim menunai padi itu. 
Tua-muda, besar-kecil semuanya bersuka-ria 
apalagi dengan adanya pesta perkawinan anak

seorang juragan terkaya dengan putri juragan 
Benjar. Para penduduk benar-benar merasakan 
suatu kegembiraan yang begitu besar. Pesta per-
kawinan itu diadakan selama tujuh hari tujuh 
malam dengan beraneka macam tontonan gratis 
seperti wayang kulit, tayuban, tari topeng, lan-
gendriyan dan lain-lain.
Lain halnya dengan Karta.
Malam itu Karta duduk sendirian meman-
dangi air sungai Jamblang yang jernih dan me-
mantulkan cahaya kemilauan dari bias sinar bu-
lan purnama yang mengelus-elus permukaan air 
sungai itu. Ia duduk termenung menundukkan 
kepalanya seperti orang yang lagi tepekur diba-
wah sebuah pohon yang tumbuh di pinggir sungai 
itu. Pohon waru condong pohon kenangan. Sunyi 
mencekam meliputi dirinya. Dari jauh terdengar 
sayup-sayup suara gegap-gempitanya pesta itu. 
Pesta perkawinan gadis yang dicintainya. Suara 
itu dirasakan Karta bagai ribuan jarum-jarum 
yang menusuk hatinya. Pesta itu di selenggarakan 
di rumah bekas majikannya. Jiwa Karta seperti 
lolos dari tubuhnya. Malam yang demikian in-
dahnya itu terasa hampa. Jiwanya merintih.
Wajah rembulan yang biasanya indah me-
nawan bila ia menatapnya bersama Nuraini kini 
tampak suram dan tak ada arti apa-apa bagi Kar-
ta. Tak terasa air matanya mengalir jatuh dikedua 
pipinya. Air mata yang belum pernah ia keluarkan 
sejak ia terlahir ke dunia.
Dan malam semakin larut. Angin mulai

dingin berhembus. Riak-riak air sungai jamblang 
terdengar begitu indah. Serangga malam berden-
dang riuh-rendah. Suara gending tetabuhan dari 
keramaian pesta perkawinan itu masih mengalun 
dan gaungnya terdengar sampai keseluruh penju-
ru desa Ori Malang.
Tiba-tiba secara tak terduga sebuah peris-
tiwa menggemparkan telah terjadi seperti membe-
lah desa Ori Malang. Terdengar suara teriakan 
orang-orang di tengah-tengah perayaan itu mere-
dam bunyi gending yang masih mengalun. Pen-
ganten perempuan di malam pertama telah bu-
nuh diri karena tak sudi disentuh oleh yang tak 
dicintainya.
Karta tersentak nanar mendengarnya.
Berita itu seperti guntur yang membelah 
dan menghancur-leburkan jiwanya. Ia seolah-olah 
merasa bumi yang dipijaknya tiba-tiba merekah 
menelan dirinya bulat-bulat. Karta tak sanggup 
menghadapi kenyataan ini. Begitu kejam. Orang 
yang dicintainya telah meninggalkan dunia ini 
dengan cara yang mengerikan. Karta tak dapat la-
gi melihat wajah yang selalu dirindukannya. Be-
tapa tragis akhir percintaan mereka. Akhir dari 
sebuah cinta remaja yang suci.
Keesokan harinya orang berbondong-
bondong mengantarkan jenazah Nuraini ke peku-
buran. Orang-orang ramai memperbincangkan 
kematian Nuraini kembang desa Ori Malang. Me-
reka sebagian mengecam ayah Nuraini yang telah 
menyebabkan kematiannya. Juragan Benjar menangis meraung-raung saat jenazah anaknya di-
turunkan ke dalam perut bumi dan Badar hanya 
memandang semua itu dengan perasaan kecewa 
yang dendam kepada seseorang yang telah me-
nyebabkan kematian istrinya.
Dan Karta sendiri menyaksikan pemaka-
man kekasihnya itu dari kejauhan. Ia mengintip 
dari balik sebuah pohon besar, menangis dengan 
lirih dengan hati luluh-lantak. Kemudian ia berja-
lan dengan gontai entah kemana. Dilain fihak 
pemakaman itu telah selesai dan para penduduk 
kembali ke rumahnya masing-masing. Di sepan-
jang jalan mereka masih saja memperbincangkan 
peristiwa yang tragis dan menghebohkan itu.
Hari mulai malam. Sinar matahari telah 
menyembunyikan wajahnya jauh dari bumi dan 
berganti rembulan yang tersenyum simpul. Para 
penduduk desa Ori Malang telah tertidur dengan 
lelap. Seluruh desa itu sunyi mencekam. Sung-
guhpun masih dicekam oleh peristiwa bunuh diri 
sang pengantin yang tak henti-hentinya menjadi 
bahan percakapan. Malam itu mereka tidur den-
gan mimpi masing-masing.
Kawasan pekuburan tempat Nuraini dike-
bumikan terasa sunyi dan mencekam. Suara bu-
rung malam berkumandang menambah suasana 
seram tempat itu. Kalong-kalong beterbangan di 
udara dengan kepak sayapnya yang angker. Sua-
sana tanah pekuburan itu membuat bulu roma 
merinding. Angin menghembuskan wewangian 
bunga kamboja yang tumbuh merindang bagai

sosok-sosok makhluk yang memberi kesan magis 
dan menyeramkan.
Tiba-tiba dari arah barat terlihat seseorang 
pemuda berjalan menuju tanah pekuburan itu. Ia 
membawa sebuah cangkul di atas bahunya. Dari 
pantulan sinar bulan dapat dilihat wajah pemuda 
itu.
Ternyata ia adalah Karta!
Ia menghentikan langkahnya di salah satu 
kuburan di mana tadi siang Nuraini dimakamkan. 
Dengan cepat ia menggali kuburan tersebut dan 
tak lama kemudian terlihat papan-papan penutup 
mayat Nuraini. Sejenak ia melepaskan cangkul-
nya, dan segera membuka papan itu perlahan-
lahan. Mayat Nuraini yang ditutupi kain kafan itu 
segera digendongnya ke atas. Ia keluar dari dalam 
liang dan membuka kain pocong yang menutupi 
tubuh kekasihnya. Didorong oleh rasa rindu ingin 
melihat wajah kekasihnya yang begitu menggebu 
membuat ia nekad melakukan semua ini. 
Wajah Nuraini yang pucat dipandanginya 
dalam-dalam. Dari mulai keningnya terus ke alis 
matanya, hidungnya, kedua pipinya, sampai bi-
birnya. Lama sekali...
Wajah itu sangat pucat tetapi tak mengu-
rangi kecantikannya. Bahkan semakin cantik bagi 
Karta.
"Oh, Ain! Mengapa kau tega meninggalkan 
aku? Mengapa...? Tidak! Tidaaaaaaaaaaaaaak...!! 
Kau tidak mati!" ratap Karta melolong-lolong me-
mecah kesunyian malam. Mayat itu terasa dingin

dalam pelukannya, tapi ia tak peduli.
"Kau sedang tidur, tidur, bukan? Jangan! 
Jangan tinggalkan aku sendiri! Aku tak mau kau 
pergi!" jerit Karta sambil meletakkan kepala 
mayat itu kedalam pelukannya.

Karta nekat menggali kuburan itu dan 
membawa pergi jenazah Nuraini kekasihnya.
Setelah puas menumpahkan perasaannya, 
Karta segera membungkus kembali mayat terse-
but dengan kain kafannya. Ia lalu menimbun 
liang kuburan itu seperti semula dan pergi jauh 
meninggalkan tanah pekuburan desa Ori Malang 
malam itu juga membawa jenazah Nuraini.
"Mari kita pergi, sayang! Kita pergi mening-
galkan orang-orang yang tak menyenangi kita!" 
kata Karta sambil memondong mayat itu.
Ia berjalan sejauh mungkin menuju ke ti-
mur dengan menelusuri tepian sungai Jamblang.
Esok harinya jika orang-orang kampung 
melewati tanah pekuburan tidak tahu sama sekali 
bahwa kuburan Nuraini yang masih tegak berdiri 
itu sesungguhnya telah kosong. Dan kemana ge-
rangan Karta pergi tak seorangpun yang menge-
tahuinya.
***
Orang-orang yang kebetulan ada ditepian 
sungai hanya mengetahui bahwa ada seorang 
pemuda berdiri di atas sebuah rakit dan disebe-
lahnya terdapat sebuah peti kayu jati. Rakit itu 
meluncur mengikuti arus sungai Bondet yang me-
rupakan lanjutan dari sungai Jamblang setelah 
bergabung dengan sungai Plumbon menuju keutara tempat muara sungai itu bertemu laut. Me-
reka tidak tahu siapa nama pemuda yang keliha-
tan selalu diam dan murung di atas rakitnya. 
Hanya tangannya saja yang bergerak sesekali 
mengayuh membelah air sungai.
Berhari-hari Karta mendayung rakitnya itu 
dibawa impiannya sendiri tanpa makan dan mi-
num kecuali dari air kali dan apa yang ada di 
permukaannya. Tanpa terasa lagi ia sudah berada 
dimuara sungai Bondet. Di depannya terbentang 
laut lepas. Laut Jawa. Seperti hamparan perma-
dani biru. Burung-burung camar menyambut ke-
datangan Karta dengan celotehnya yang riuh-
rendah. Gelombang menghantam rakit Karta se-
hingga semburan air laut membasahi wajah Karta 
yang sayu. Tubuhnya kurus dan rambutnya su-
dah tumbuh panjang melewati bahunya.
Para nelayan yang kebetulan melihat ting-
kah laku seorang anak muda itu tentu merasa he-
ran karena melihat pemuda itu mengoceh sendi-
rian seperti orang sinting. Beberapa di antara me-
reka melemparkan sisa bekal makanan tadi ma-
lam ke atas rakit itu. Dari sisa makanan para ne-
layan yang pulang dari laut itulah Karta dapat te-
rus menyambung hidupnya dari hari ke hari.

Sejak saat itu penduduk di pinggir kali 
Jamblang sering melihat Karta hilir mudik di atas 
sebuah rakit dengan peti kayu jati yang dibawanya.

Rakit itu terapung-apung hilir-mudik se-
panjang pantai teluk Cirebon. Jika matahari ber-
gerak menggelincir ke arah barat maka rakit itu 
kembali ke muara Bondet. Dua orang nelayan 
yang sedang mengayuh perahunya ke pantai se-
habis menjala ikan ditengah laut berpapasan 
dengan rakit Karta yang menuju ke muara. Seje-
nak perahu itu berhenti. Dua orang nelayan itu 
melihat rakit Karta melewati perahunya. Salah 
seorang berdiri mengangkat kaki kirinya ke atas 
pinggiran perahunya sehingga ia dapat memper-
hatikan semua yang dilakukan Karta diatas rakit 
itu.
"Coba lihat! Aku tak habis pikir melihat 
tingkah laku orang itu! Apa saja yang dikerjakan 
setiap hari mondar-mandir begitu? Cuma bicara 
sendiri seperti orang gila!" katanya mengernyitkan 
dahinya keheranan kepada temannya yang se-
dang memegang dayung duduk di sebelahnya. 
"Ya, pak! Tak jemu-jemunya ia sejak bebe-
rapa minggu yang lalu dan peti yang dibawanya 
berisi apa, ya? Kadang-kadang peti dielus-elusnya 
seperti elusan sayang! Barangkali emas permata!" 
sahutnya sambil membetulkan gulungan tali layar 
yang terlihat mengendor.
"Ya mungkin juga!" ujar orang itu manggut-
manggut. Kemudian ia kembali meneruskan per-
jalanannya menuju ke hilir, sementara rakit Karta 
meninggalkan perahu mereka menjauh-menuju 
laut lepas.

Minggu ditelan minggu. Bulan ditimpa bu-
lan dan sudah berjalan satu tahun Karta hilir-
mudik di Muara Kali bondet dan laut teluk Cire-
bon. Rambutnya semakin panjang tak terurus. 
Wajahnya keras tetapi sinar matanya terlihat 
hampa dengan pandangan yang menerawang jauh 
menembus cakrawala dan kaki langit. Akhirnya 
para nelayan sudah tidak lagi ambil pusing den-
gan dirinya lagi. Kini bagi mereka sudah merupa-
kan pemandangan biasa dan tak ada keanehan-
nya sama sekali.
Dan mereka menyebutnya dengan nama SI 
GILA DARI MUARA BONDET.
Sementara itu para nelayan yang menaruh 
belas kasihan kepadanya tetap memberikan sisa 
perbekalan makanannya pada Karta dan ia pun 
tidak menolak diberi julukan Si Gila oleh mereka 
walaupun ia sendiri merasa bahwa pikirannya se-
ratus persen dalam keadaan waras. Mereka ka-
dang-kadang bertanya macam-macam kepada 
Karta, tetapi ia menjawab dengan senyuman 
hambar dan pancaran mata yang hampa. Ia tidak 
mau menceritakan asal muasalnya. Ada juga 
orang yang mencoba memegang peti kayu yang 
dibawanya tapi segera Karta mencegah dengan 
gerakan tangannya tanpa berbicara sepatah kata-
pun. Walaupun maklum, tetapi orang-orang itu 
masih tetap ingin tahu apa isi peti kayu tersebut. 
Namun mereka hanya bertanya pada dirinya sen-
diri apa kira-kira isi peti itu.
Tapi biar bagaimanapun mereka tidak be

rani berbuat kurangajar terhadap Si Gila. Ada 
semacam rasa menghargai terhadap hak-hak 
orang lain disertai rasa belas kasihan kepadanya. 
Bila malam telah sunyi. Bintang-bintang gemerla-
pan di atas lazuardi. Angin bertiup sepoi seakan-
akan membisikkan kata-kata yang lembut. Om-
bak pantai Cirebon mengalun tenang mengusap 
dan membelai rakit Si Gila penuh rasa kasih 
sayang. Dia saat seperti Si Gila meratapi peti 
kayu jati itu. Suara tangisnya menyayat hati. Tak 
seorangpun yang mendengarkannya. Peti itu dipe-
luknya erat-erat. Sebagian kakinya basah terkena 
percikan ombak yang menghantam pinggiran ra-
kit itu. Hawa dingin malam yang menyusup ke 
dalam tubuh samasekali tak dirasakannya. Ia 
tenggelam dalam khayalannya sendiri. Kesendi-
rian merupakan kenikmatan bagi dirinya. Ombak-
ombak laut, bulan dan bintang serta angin malam 
adalah saksi bisu dari segala tingkah laku Si Gila 
diatas rakit itu.
***
Tahun kedua telah datang. Tampaknya ti-
dak ada perubahan pada diri Karta. Semua tetap 
seperti sedia kala. Hanya rambutnya sudah pan-
jang sebatas pinggang. Kulitnya kelihatan hitam 
tembaga karena terus-menerus diterpa angin laut 
yang kering dan sinar matahari yang menyengat. 
Bulu-bulu tubuh meremang di sekitar wajahnya. 
Tubuhnya berubah menjadi kekar dan berotot,

namun tatapan matanya tetap saja tampak ko-
song. Dipinggangnya kini terselip sebuah golok 
panjang.
Suatu keajaiban telah terjadi dalam diri 
Karta. Setiap malam seperti dalam keadaan se-
tengah sadar, Karta melakukan gerakan-gerakan 
yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk dan tangannya 
direntangkan seiring gerak kakinya. Ia bergerak di 
seputaran rakitnya mengitari peti kayu yang be-
rada ditengah rakit itu. Semakin lama gerakan itu 
semakin lincah. Karena dilakukan setiap malam 
maka tubuh Karta menjadi luwes dan gesit. Gera-
kan yang semula terlihat lamban kini kian hari 
kian cepat, sehingga tubuhnya bagaikan selembar 
daun yang dipermainkan oleh tiupan-tiupan an-
gin laut yang berhembus dan jika dilihat dari jauh 
seperti seekor udang yang sedang melompat-
lompat di atas pasir pantai. Gerakan-gerakan itu 
kemudian terbentuk dengan sendirinya tanpa di-
ciptakan menjadi jurus-jurus silat yang aneh tapi 
sempurna.
Pada awalnya Si Gila melakukan gerakan 
itu hanya di seputaran rakitnya, tapi kini ia telah 
dapat melesat keatas dan meliuk-liukkan tubuh-
nya di udara sambil mempermainkan golok pan-
jangnya. Rakit itu turun naik dan kadang-kadang 
miring karena dimainkan oleh ombak laut. Tetapi 
Si Gila seperti tak menghiraukan semua itu. Bah-
kan ia semakin banyak melakukan gerakan-
gerakan yang bervariasi untuk menjaga keseim-
bangan tubuhnya terhadap gerak oleng rakit yang

diinjaknya.
Tubuhnya berputar-putar di udara. Bila se-
lesai melakukan rangkaian gerakan tersebut, ia 
kemudian duduk bersila diatas peti kayunya me-
mejamkan matanya seiring dengan pengaturan 
napas untuk menghilangkan rasa lelah sehabis 
berlatih. Tanpa ia sadari ilmu peringan tubuh 
Karta sudah mencapai tingkat yang sempurna. 
Karta mendapatkan semua itu bukan dari seo-
rang guru maupun belajar dari kitab silat, tetapi 
ia dapatkan dari imajinasinya sendiri yang timbul 
akibat dari tekanan jiwa yang sangat berat. Kea-
jaiban-keajaiban alam yang penuh misteri turut 
membantu menggemblengnya.
Dan ada satu hal lagi yang merupakan kea-
jaiban.
Pada suatu hari para nelayan di muara 
Bondet dibuat gempar. Mereka terkejut sekali me-
lihat ikan-ikan mati terapung di laut lepas. Ber-
puluh-puluh ekor bahkan beratus-ratus ekor ikan 
mati terapung dengan keadaan badan terpotong 
menjadi dua bagian. Nelayan itu merasa ditimpa 
suatu malapetaka. Mereka mendapat kutukan da-
ri penguasa laut Jawa. Mereka gelisah dan panik 
tak menentu.
"Apakah dewa laut sedang marah?"
"Ya! Kita harus menyajikan kepala kerbau 
untuk dikuburkan di tengah-tengah laut!"
Para nelayan mencoba menduga-duga apa 
yang menyebabkan semua ini terjadi. Masing-
masing tenggelam dalam pikiran dan ilusinya.

Hanya burung-burung camar yang merasa 
senang karena kenyang dapat menikmati hikmah 
dari peristiwa itu. Dan sekumpulan burung-
burung laut berdatangan menyelimuti laut pantai 
Cirebon berpesta pora. Sedangkan para nelayan 
menyaksikan semua itu dengan gundah-gulana 
dan keluh-kesah berkepanjangan.
Apakah sebab musababnya?
Betulkah dewa laut sedang marah karena 
mereka lupa membuat sajian?
Kita lihat rakit Si Gila masih tenang men-
gapung diatas permukaan air laut dengan setia 
mengayun-ngayunkan rakitnya. Di atasnya masih 
terdapat peti kayu jati, kain sarung, dan baju 
pembungkus tubuhnya. Tetapi dia sendiri tidak 
kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan?
Bila kita lihat lebih dekat ke permukaan air 
laut itu, tampaklah gelembung-gelembung udara 
yang muncul ke permukaan. Beruntun dan besar-
besar. Tidak mungkin gelembung itu ditimbulkan 
dari napas seekor ikan. Ternyata di dasar muara 
Bondet terlihat bayangan sesosok tubuh berkele-
bat kesana kemari dengan gesitnya seperti seekor 
ikan hiu mengikuti mangsanya. Gerakannya 
luwes sepertinya tidak terhalang oleh hambatan 
arus dan tekanan air laut. Tangan kanannya me-
megang sebuah golok panjang yang diayun-
ayunkan melawan arus air yang ditimbulkan oleh 
gerakan gelombang laut. Ia membelah-belah air 
laut seperti membelah-belah udara. Begitu mu-
dahnya sehingga tampak golok panjang itu man

tap sekali. Setiap ia berkelebat sambil mengi-
baskan pedangnya, dua atau tiga ekor ikan yang 
kebetulan mendekatinya menggelepar dalam kea-
daan terpotong menjadi dua bagian yang terpisah, 
terkena sabetan pedangnya.
Sosok tubuh itu bukanlah seorang dewa 
penguasa laut setempat dan ternyata dia adalah 
Si Gila dari Muara Bondet!
Apa yang dilakukannya merupakan latihan 
mempertinggi ilmu tenaga dalamnya dan sekali-
gus pula ilmu meringankan tubuhnya. Semua itu 
hanya dilakukan oleh Karta seorang diri berda-
sarkan tuntunan nalurinya semata-mata. Si Gila 
bergerak meluncur dan melayang sambil mengi-
baskan pedangnya membabat sasaran yang beru-
pa ikan-ikan dari yang besar sampai yang terke-
cil-kecilnya. Dan dapat dibayangkan betapa hebat 
tenaga sabetannya, apabila ia melakukan semua 
gerakan itu di udara yang tanpa hambatan. 
Bisa diukur besar tenaga itu bila benar-
benar dilakukannya di darat. Karena ikan-ikan 
yang menjadi sasarannya kadang-kadang ada 
yang ukurannya sebesar tubuh seorang anak ke-
cil. Sedangkan kecepatan sabetannya bisa melalui 
ikan kecil yang jadi korban. Yang lebih hebat lagi 
pendengarannya. Ia dapat bertahan dari tekanan 
air laut yang menerpa telinganya. Apalagi Si Gila 
kita ketahui bahwa tekanan yang ditimbulkan di 
dalam air laut tergantung dari kedalamannya. 
Semakin dalam semakin besar tekanan yang di-
timbulkan. Napasnya kuat sekali. Ia dapat berlama-lama melakukan latihan di dasar laut hanya 
dengan satu kali tarikan napas. Dan bila Si Gila 
sudah kehabisan napas ia kembali muncul ke 
permukaan untuk menghirup udara lagi. Hampir 
sepuluh jurus dapat ia lakukan dalam satu tari-
kan napas. Persis seperti ikan lumba-lumba. Para 
nelayan yang kebetulan melihatnya sedang mun-
cul di permukaan mengira Si Gila sedang mandi 
belaka.

Sekali sabet beberapa ekor ikan dan uku-
ran besar dan kecil terpotong menjadi dua bagian.
Begitulah seterusnya Si Gila selalu berlatih 
dan berlatih.
Hari demi hari dilalui hanya dengan se-
mangat membara yang timbul dari dasar jiwanya. 
Bila saja tiba, ia segera naik ke permukaan laut

untuk kembali menuju ke muara Bondet. Napas-
nya tersengal-sengal ketika ia menggapai pinggir 
rakit itu dan mengangkat tubuhnya naik. Seperti 
biasa ia duduk bersila mengatur napasnya di atas 
peti kayu jati itu untuk menghilangkan rasa lelah 
dan mengembalikan kesegaran tubuhnya. Kemu-
dian setelah itu ia memakai pakaiannya dan sege-
ra mengayuh rakitnya.
Empat tahun telah lewat tak terasa. Sela-
ma itu pula Karta hidup di atas rakitnya bersama 
peti kayu jati itu. Makan dan tidur juga di situ. 
Para nelayan hanya dapat melihat bahwa pemuda 
gila itu tubuhnya kian kekar dengan rambut pan-
jang melambai-lambai di tiup angin dan kulit tu-
buh yang semakin hitam tembaga. Semua yang ia 
lakukan adalah tumpahan amarah, dendam, ke-
cewa, rindu yang terlukiskan melalui gerakan-
gerakan aneh yang lama-kelamaan terbentuk 
menjadi suatu rangkaian jurus-jurus silat yang 
lain dari yang lain. Si Gila dari Muara Bondet te-
lah berhasil menciptakan ilmu silat baru yang 
aneh dan langka! Sebuah ilmu silat hasil ekspresi 
jiwa!
Suatu hari di pagi yang cerah, Karta berka-
cak pinggang berdiri tegak diatas rakitnya yang 
dibiarkan meluncur mengikuti gelombang air laut. 
Matanya menatap kaki langit yang penuh pesona. 
Hari ini ia betul-betul sedang menikmati keinda-
han alam.
Dua orang nelayan yang sedang melintas 
dengan perahunya memperhatikan tingkah Si Gila yang kali ini terlihat lain dari biasanya yang ia 
lakukan. Mereka saling berpandang-pandangan.
"Lihatlah! Si Gila sekarang mempunyai se-
bilah pedang yang terselip di pinggangnya! Mung-
kin ia sedang berkhayal menjadi seorang kesatria
yang menang perang!"
Memang menurut penglihatan mereka, Si 
Gila seperti seorang komandan perang yang berdi-
ri siap menghadapi musuhnya. Mereka tidak tahu 
apa sebenarnya yang terbesit dalam pemuda ek-
sentrik itu. Si Gila hanya tersenyum mendengar 
percakapan mereka. Memang sangat tajam pen-
dengarannya! Padahal jarak dari rakitnya ke pe-
rahu nelayan itu cukup jauh.
Malam itu bulan terlihat muram. Angin 
berdesir kencang. Gelombang laut bergerak dina-
mis mengombang-ambingkan rakit Si Gila.
Ia sedang duduk termenung mengenang 
kembali masa silamnya. Teringat masa-masa in-
dah bersama kekasihnya Nuraini. Ia teringat wa-
jahnya, hidungnya, bibirnya, belaiannya, dan se-
gala yang ada pada diri Nuraini. Sampai terke-
nang kembali pada peris-tiwa berdarah yang telah 
merenggut nyawa kekasihnya. Timbul kembali ra-
sa dendam yang menyala-nyala dan meledak-
ledak dengan hebatnya. Wajahnya berubah diser-
tai napas yang bergemuruh. Tubuhnya bergetar 
kuat sehingga rakitnya turut bergetar.
Tapi lama-kelamaan dendam itu kian me-
reda. Desiran angin laut seakan-akan membelai-
belai hatinya yang panas sehingga lambat-laun

mulai terasa dingin mencair, Malam itu Si Gila 
seolah-olah mendengar sesuatu yang merasuk ke 
dalam telinganya membuat amarahnya berang-
sur-angsur mereda. Selanjutnya setiap malam, 
bisikkan itu mengiang-ngiang di telinganya. Bisi-
kan lembut yang ia sendiri tidak tahu dari mana 
datangnya.
Kalimat itu demikian jelas dan dapat di 
hafal oleh Karta.
"Seorang pendekar yang sejati pantang me-
nanam dendam... sayangilah musuhmu dan doa-
kanlah semoga ia mendapatkan keinsyafan....!"
Si Gila tersentak dari lamunannya.
Ia segera memantau seluruh permukaan 
laut lepas. Sejauh mata memandang hanya terli-
hat hamparan air laut saja yang terbentang luas. 
Dan bila ia duduk kembali termenung, suara itu 
mengiang lagi di telinganya. Bisikan itu betul-
betul meresap kedalam sanubarinya yang paling 
dalam, sehingga didalam hatinya tertanam pera-
saan untuk tidak membalas dendam terhadap 
musuh-musuhnya. Dan Si Gila bertekad untuk
tidak kembali ke desa Ori Malang.
Ia lebih senang luntang-lantung di sekitar 
muara Bondet. Setiap orang yang mengenalnya 
memanggilnya Si Gila. Sampai demikian terkenal-
nya nama itu ke seluruh pelosok desa. Apalagi di 
kalangan anak-anak kecil. Setiap ia melangkah-
kan kakinya melewati suatu daerah, anak-anak 
kecil selalu mengikuti sambil memperolok-
olokannya.

Begitulah... asal mula Si Gila dari Muara 
Bondet.
***
"Selanjutnya anda tentu mengetahuinya!" 
kata Si Gila kepada Parmin yang duduk menden-
garkannya bercerita.
Parmin menarik napas panjang setelah 
mendengar seluruh penuturan itu. Tak terlu-
kiskan betapa perasaan saat itu. Haru, kagum, 
dan berulang kali memuji kebesaran Tuhan yang 
menciptakan seluruh kehidupan ini dengan sega-
la keajaibannya. Ia juga bersyukur bahwa Karta 
dalam keputus-asaannya tidak sampai menjadi 
korban bisikan iblis yang menyesatkan.
"Sesungguhnya tanah air tercinta ini mem-
butuhkan pendekar-pendekar berjiwa luhur se-
perti dia!" desah Parmin dalam hati.
Kemudian ia beringsut dari duduknya 
mendekati Si Gila dan menatapnya lekat-lekat.
"Aku merasa terharu mendengar riwayat 
anda, Karta! Jika anda mencintai kekasih anda, 
maka biarkanlah ia beristirahat dengan tenang di 
alam akhirat! Kita harus menguburkan kembali 
jenazahnya!"
Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba Si Gila 
mendengus dengan pancaran mata menolak.
"Tidak! Aku tidak mau berbuat kejam ter-
hadap Ain kekasihku!" Tangan Si Gila dari muara 
Bondet mencengkram kuat-kuat bahu Parmin
.
yang tetap bersikap tenang.
"Siapa bilang kita hendak menyakiti keka-
sihmu, Karta? Nuraini kekasihmu itu tetap ber-
samamu kemanapun kau pergi. Ia ada dalam kal-
bumu! Jiwa kekasihmu hidup abadi, Karta!" kata 
Parmin berusaha meyakinkan teman barunya itu. 
Sinar mata Parmin memancarkan sugesti dan ini 
benar-benar menusuk kalbu Si Gila.
"Tapi ketahuilah bahwa jasadnya berasal 
dari alam, dari bumi ini, maka sepatutnyalah ka-
lau isi peti ini kita kembalikan pula ke dalam bu-
mi!" sambung Parmin.
Atas nasihat-nasihat Parmin, akhirnya Kar-
ta mau juga merelakan jenazah Nuraini dikubur-
kan. Peti kayu yang sudah lima tahun berada di-
dekatnya kini harus dikubur. Lima tahun! Tentu 
bisa dibayangkan bahwa didalamnya hanya ting-
gal tulang-belulang!
Lama juga Karta menekuri gundukan ta-
nah itu. Tapi ia sudah tidak menangis lagi. Ek-
spresi wajahnya mulai datar dan tatapan matanya 
bersinar kesadaran sebagai seorang lelaki yang 
waras.
"Beristirahatlah dengan tenang, kekasih-
ku!" kata-kata itu hanya terdegup di dalam kal-
bunya. Karta duduk bersimpuh di depan kuburan 
kekasihnya yang berada di bawah sebuah pohon 
yang sangat rindang.
Parmin menatap punggung Karta dan turut 
bersedih. Tapi ia harus membimbing Si Gila agar 
tak larut terus menerus dalam kesedihan itu.

"Semua orang akhirnya akan kembali ke-
pangkuan Ilahi. Kita tidak bisa menolak hal itu. 
Semua pertemuan pasti diakhiri dengan perpisa-
han. Tetapi suatu perpisahan belum tentu berak-
hir dengan pertemuan. Kita harus rela melepas 
kepergian orang yang kita cintai sebagaimana kita 
juga kelak akan meninggalkan orang yang kita 
cintai!" kata Parmin sambil berjalan menghampiri 
Si Gila yang semakin erat memegang tonggak ni-
san kuburan itu. Matanya menatap mata Si Gila 
penuh harap. Ternyata perubahan yang diha-
rapkan sudah mulai tampak. Si Gila dari muara 
Bondet mengembangkan senyumnya.
Wajahnya yang tampan itu sebenarnya 
sangat manis bila tersenyum.
"Aku kini telah merelakannya! Aku tidak 
merasa sendiri lagi di dunia ini. Aku telah mene-
mukan jiwamu yang teduh dimana aku bisa ber-
naung. Aku akan ikut kemana anda pergi, pende-
kar budiman!!"
Parmin memegang bahu Si Gila dan men-
gajak kawan barunya itu untuk bangun dari du-
duknya. Si Gila segera bangkit.
"Nah, begitulah seharusnya sifat seorang 
pendekar. Lupakanlah kepahitan itu dengan 
mendarmabaktikan diri untuk membela bangsa 
dan tanah air!" kata Parmin mengobarkan seman-
gat kesatria yang di miliki Si Gila agar selalu me-
negakkan kebenaran dan keadilan di manapun di 
setiap jengkal persada bumi pertiwi ini.
"Sekarang apakah yang harus kulakukan?

Sudah sepatutnya aku yang bodoh ini menerima 
segala petunjuk anda!" seru Si Gila merendahkan 
diri.
Parmin benar-benar gembira melihatnya, 
"Baiklah! Mulai saat ini kau menjadi adikku! Kita 
berjanji untuk sehidup-semati berjuang bahu-
membahu!" kata Parmin bersemangat.
Si Gila mengepalkan tinjunya ke atas sam-
bil mengembangkan senyum dan tatapan mata 
yang optimis. Segera Parmin menyambutnya den-
gan kepalan tangan yang disilangkan ke tangan 
adik angkatnya itu kuat-kuat. Semangat hidup-
nya kembali tumbuh. Matanya berbinar-binar. Si 
Gila kini merasa tidak sebatang kara lagi. Ia su-
dah mempunyai semangat tumpuan harapan dan 
tujuan hidup yakni berjuang melawan penjajah 
Kumpeni Belanda yang sedang menghisap kerin-
gat dan darah bangsanya. Kini di antara kedua 
pendekar muda itu telah terjalin ikatan batin 
yang sangat kuat. Sepasang pendekar satu cita-
cita satu tujuan! Masing-masing bertekad untuk 
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Angin berdesir kencang tatkala mereka ber-
jabat tangan disusul dengan rangkulan hangat. 
Seluruh hutan itu menyaksikan ikrar mereka dan 
juga tanah yang masih merah di mana di dalam-
nya terbaring sosok tulang-berulang seorang ga-
dis yang setia dengan memilih mati daripada 
menjadi milik orang lain.
Tiba-tiba Parmin dan Karta tersentak kaget 
dan segera melepaskan rangkulan, ketika terden

gar suara tawa terkekeh-kekeh yang datang dari 
atas sebuah pohon besar tak jauh dari mereka.
"Hi hi hi hi hi hi...! Jangan kalian berkhay-
al macam-macam, anak muda! Sebentar lagi ka-
lian akan mati!"
"Nenek....?!"
Parmin terperangah melihat siapa sebenar-
nya sumber suara itu.
Ternyata ia adalah nenek-nenek yang bera-
da di pondok tepi hutan yang telah memberinya 
nasi dan kuk untuk sarapan.
Karta pun menatapnya. Hanya saja ia sa-
ma sekali belum mengerti apa kaitannya dan 
mengapa perempuan itu hadir di hadapan mere-
ka?
"Ya! Dalam nasi yang kalian makan itu su-
dah kububuhi dengan racun yang bekerja lambat 
agar kalian dapat merasakan sakitnya lalu mati 
secara pelan-pelan!" lanjut nenek tersebut sambil 
menggosok giginya, yang menghitam dengan su-
sur tembakaunya.
Untuk sesaat Parmin tergagap.
"Si... siapakah sebenarnya anda? Mengapa 
bermaksud mencelakai kami?" tanya Parmin yang 
mulai terpengaruh oleh sugesti nenek bongkok 
yang bertengger seenaknya di atas dahan pohon 
menandakan bahwa ilmu meringankan tubuhnya 
sangat tinggi.
"Orang menjuluki aku dengan nama NYAI 
WEWE GENDEL! Hi hi hi...!" dan kali ini dalam 
tertawanya tampak nenek itu semakin menye

ramkan seperti apa yang menjadi nama gelarnya. 
Wewe Gendel adalah bahasa daerah setempat 
yang berarti kuntilanak!
"Kau tentu ingat nama Leonard Van Ei-
sen?" tanya Wewe Gendel mendelik sehingga pu-
tih biji matanya terlihat lebih banyak dan me-
nambah seram tampangnya.
"Tentu! Dialah tuan tanah yang serakah 
dan ingin menguasai desa Kandang Haur sebagai 
lumbung bahan makanan bagi serdadu Kumpeni 
Belanda!" jawab Parmin geram.
"Bagus! Keberadaan Leonard Van Eisen di 
tanah Cirebon ini bukan tanpa dukungan, karena 
bangsa Belanda itu bermaksud baik yakni akan 
menata kehidupan dan mendidik bangsa kita 
menjadi bangsa yang maju setaraf dengan bang-
sa-bangsa lain!"
"Dan anda adalah salah satu pendukung-
nya?" tanya Parmin lugas yang membuat keriput-
keriput di wajah Nyai Wewe Gendel seakan ber-
tambah banyak secara mendadak.
"Tak salah, anak muda! Dan pertama-tama 
tugasku adalah memusnahkan kerikil tajam se-
perti kau!" jawab Nyai Wewe Gendel sambil me-
nudingkan jarinya dan berkacak pinggang.
"Katakan kepada orang-orang bule itu 
bahwa negerinya bukan di sini! Pada mulanya 
mereka datang dengan alasan untuk berdagang 
segala rempah-rempah yang berasal dari negeri 
ini untuk dipasarkan di Eropa sana. Tapi nya-
tanya sampai sekarang mereka masih tetap bercokol disini dan semakin merajalela dengan men-
jadikan bangsa kita sebagai budak-budaknya! 
Itukah yang dinamakan menata dan mendidik?" 
Parmin berbicara dengan semangat yang berapi-
api dan siap untuk mendahului serangan sebelum
racun yang bersemayam didalam tubuhnya be-
nar-benar akan merenggut nyawanya.
Tapi mendadak sontak tubuh Si Gila dari 
Muara Bondet menegang sambil tangannya me-
nekan perutnya sendiri. 
"Kang Parmin..!!!"
Disusul dengan robohnya sang adik ang-
katnya itu ke tanah meliuk-liuk dan giginya 
mengatup rapat menahan rasa sakit yang sangat 
hebat.
Parmin segera menegakkan tubuh Si Gila 
dan ia dengan cepat menekan kedua tangannya 
ke perut Karta sambil menyalurkan hawa panas 
dari dalam tubuhnya sendiri agar dapat mengu-
rangi rasa sakit itu. Tetapi malah sebaliknya. Tin-
dakan ini berakibat fatal bagi dirinya. Dari celah-
celah bibir Parmin seketika meleleh darah hitam 
kental sebagai luka yang sudah mengendap da-
lam perutnya. Tubuhnya bergetar. Parmin mena-
han perih di perutnya dan berjuang mengatur 
pernapasan untuk membagikannya kepada Si Gi-
la.
Bersamaan dengan itu, Nyai Wewe Gendel 
melesat dari dahan pohon besar itu menukik ke 
bawah. Tangannya menjulur dengan jari-jari yang 
berkuku runcing mengembang terbuka seperti

cakar seekor serigala yang ganas mengancam 
tengkuk Parmin dari belakang.
"Heyaaaaaaaaaaaa!!" suaranya merobek 
udara pagi itu.
"Awas, kang!" teriak Karta.
Dengan gerakan reflek yang sangat kuat, 
Parmin melempar diri ke samping sambil meme-
luk Si Gila erat-erat sehingga kedua pendekar 
muda itu berguling-guling di atas tanah menghin-
dar dari serangan Nyai Wewe Gendel seperti se-
buah gulungan benang yang bergulir.
Sementara itu terkaman si nenek menye-
ruak tempat kosong dan menjebol akar-akar po-
hon tempat dua pendekar itu berada.
"Kurang ajar! Kalian tak mungkin lolos dari 
cengkramanku, tikus-tikus kecil!" teriak Nyai 
Wewe Gendel geram karena serangannya luput. 
Lalu ia memutar tubuhnya untuk memasang ju-
rus baru.
Parmin tegak berdiri untuk siap siaga. Ia 
berusaha agar rasa nyeri di perutnya tidak dira-
sakannya lagi. Konsentrasi nya tertuju pada iblis 
pencabut nyawa yang garang di hadapannya. Air 
liur kental bercampur warna coklat tembakau si-
rih meleleh dari sela-sela gigi nenek tersebut yang 
sudah tanggal beberapa biji seperti sebuah sisir 
yang rompal. Kulit wajahnya yang berkerut-kerut 
semakin angker dengan rona merah padam kare-
na didorong nafsu membunuh yang menggebu-
gebu. Buah dadanya yang sudah mengendur se-
perti aliran lahar itu terpontang-panting hampir

ke pusarnya karena kain kemben yang menutupi 
tubuhnya hampir terlepas ketika ia terjun bebas 
dari atas dahan pohon yang cukup tinggi itu. Nyai 
Wewe Gendel tak perduli terhadap semua itu. Ia 
siap menyerang lagi.
"Huaaaaah!! Kali ini kalian tak bisa menge-
lak lagi, anak muda jelek! Kalian tak akan dapat 
menangkis jurus andalanku Cakar Luwak Wadon 
sedang menyusui ini!" teriak Nyai Wewe Gendel 
sambil memasang kuda-kuda dengan posisi kaki 
dan tangannya seperti seekor musang atau luwak 
yang hendak mencakar lawan karena menggang-
gu anak yang sedang disusuinya.
"Bismillah....heep!" Parmin memasang ju-
rus Hening Cipta. Sebuah jurus yang mening-
katkan kepekaan indera untuk menangkap segala 
bentuk gejala yang ada pada lawan. Beberapa kali 
konsentrasinya buyar karena rasa sakit yang 
kembali menusuk-nusuk perutnya sepertinya ra-
cun keparat itu sedang menggerogoti usus-
ususnya dan mencabik-cabiknya. Sesekali Parmin 
menggigit bibirnya sendiri dan berusaha sekuat 
tenaga untuk memulihkan konsentrasinya.
Ketika telah mencapai keheningan dari 
puncak jurus andalannya itu, Parmin dapat meli-
hat titik-titik lemah yang ada pada tubuh Nyai 
Wewe Gendel, seperti juga titik-titik lemah seekor 
sejenis musang atau luwak yang dipakai lawan-
nya sebagai jiwa dari jurus andalannya.
Dan ketika Nyai Wewe Gendel itu berkele-
bat menyergap Parmin dengan cakar yang menyilang siap mengoyak-ngoyak, ia dengan cepat 
mendahuluinya dengan sebuah sodokan lurus 
kearah ulu hati. Cakar nenek itu berhasil pula 
menyentuh lawannya. Baju Parmin pada bagian 
dadanya terkoyak menyilang, tetapi Nyai Wewe 
Gendel itu menjerit lengking terjengkang ke bela-
kang dan jatuh terlentang di tanah.
Ketika ia coba bangkit, napasnya seperti 
hendak putus. Ia tersekat sehingga wajah nenek 
itu menjadi pucat-pasi karena darah dari jan-
tungnya terhambat.
"Bangsat! Jurus apa yang kau pakai?"
"Jurus ikan asin menyeruak nasi!"
"Kurang ajar! Kau memperolok-olokku, 
bangsat kecil!" Nyai Wewe Gendel terbatuk-batuk 
sambil mendekap dadanya. Ia segera bangkit den-
gan kedua tangan dan jari-jarinya merentang ke 
samping.
Tapi nafsu membunuhnya sudah bulat-
bulat menguasai dirinya sehingga membuat sega-
lanya menjadi buta. Ia menerjang dengan ganas. 
Tangan kanannya mengarah untuk mencengkram 
tenggorokan, sedangkan tangan kirinya bertujuan 
membetot sesuatu di celah paha Parmin. Benar-
benar cara Kuntilanak dalam membantai korban-
nya.
"Heyaaaaaatt!" Parmin meloncat ke udara 
ketika serangan itu datang sehingga cengkraman 
lawan ke arah tenggorokannya kandas menembus 
tempat kosong di celah pahanya. Dan tangan kiri 
yang ingin membetot alat vitalnya terinjak telapak
kaki Parmin sekaligus untuk melambungkan tu-
buhnya lebih tinggi. Pada saat posisi kepala Nyai 
Wewe Gendel tepat di bawah tubuhnya, segera 
Parmin mengambil suatu tindakan yang cepat. 
Telapak tangannya dalam keadaan miring ia sa-
betkan ke ubun-ubun lawannya.

Dengan cepat dan telak Parmin memukul 
ubun-ubun Nyai Wewe Gendel dengan telapak 
tangan miring
Seketika terdengar suara berderak keras, 
ditandai dengan retaknya kepala nenek tua itu. 
Dalam sekejap rambutnya yang panjang seperti 
benang lawe itu menjadi merah oleh semburan 
darahnya sendiri yang memancar dari ubun-
ubunnya. Dengan jeritan melengking memilukan, 
Nyai Wewe Gendel terjungkal ke tanah. Tubuh 
kurus bongkok itu berkelojotan seperti seekor 
udang dalam penggorengan panas! Terdengar su-
ara gemeletuk gigi-gigi ompongnya menahan sakit 
yang hebat dan nafasnya menggerogok seperti 
kayu digergaji. Kemudian setelah berkejat bebe-
rapa kali, nafas terakhirnya lolos dari tenggoro-
kan dan tubuhnya lemas tak berkutik lagi.
Rumput-rumput di sekitarnya penuh per-
cikan darah dan sesuatu yang berwarna putih se-
perti tahu mentah.
Parmin bergidik sendirian, sementara ke-
dua kakinya telah mendapat dengan mantap di 
atas tanah. Namun tiba-tiba tubuhnya oleng me-
rintih lirih sambil mendekap perutnya dengan ke-
dua tangannya lalu roboh dengan posisi tertekuk 
seperti orang sujud. Keringat dingin membasahi 
seluruh tubuhnya yang menggigil hebat. Semen-
tara itu Si Gila dari muara Bondet sudah tidak 
terdengar lagi suaranya dan tampaknya ia sudah

terbujur tak bergerak sambil memeluk gundukan 
tanah kuburan kekasihnya. 
"Ya, Allah! Kalau memang di sinilah ajalku, 
aku ikhlas menerimanya asal Kau kabulkan per-
mohonanku. Selamatkan nyawa saudara ang-
katku Karta untuk meneruskan perjuangan dan 
tugasku!"
Setelah itu tubuh Parmin perlahan-lahan 
roboh ke samping untuk tak terlihat tanda-tanda 
ia masih hidup.
***
Entah berapa lama Parmin terkapar dalam 
hutan dekat pesisir pantai teluk Cirebon itu. An-
gin senja membelai dedaunan dan rerumputan 
semak-belukar hutan Celancang. Matahari yang 
berwarna merah sudah amblas dikaki langit sebe-
lah barat. Angin senja yang terasa lembut itu juga 
membelai sekujur tubuh Parmin yang tergolek tak 
bergerak. Sejuknya seolah-olah menyelinap ke se-
genap pori-pori tubuhnya dan beberapa saat ke-
mudian terdengar rintih lirih dari mulutnya. Ke-
lopak matanya perlahan-lahan terbuka.
Pertama kali yang terlihat olehnya adalah 
sosok tubuh mengabur yang sedang jongkok di 
sampingnya. Ada gerak tangan yang menggun-
cang-guncangkan bahunya dengan perlahan dan 
kemudian membantunya untuk bangkit duduk.
"Kau, dik.....? Bagaimana kau bisa lolos da-
ri serangan racun itu?" tanya Parmin untuk pertama kali. Ternyata yang ditanya tak lain adalah 
Karta, Si Gila dari muara Bondet yang hanya ter-
senyum mengembang menyambut kebangkitan 
saudara angkat yang ia cemaskan.
"Nyatanya kau juga selamat, kang Parmin! 
Bisakah kau menjawabnya?"
"Allahu Akbar!" seru Parmin sambil menen-
gadahkan wajahnya ke langit. Pancaran matanya 
penuh dengan rasa puji syukur.
"Apa yang kau ucapkan?" tanya Karta he-
ran.
"Kita selamat dari ancaman maut karena 
kemurahan Tuhan. Agaknya kita berdua memang 
tidak ditakdirkan mati karena racun nenek iblis 
yang berkedok malaikat penolong dengan membe-
ri kita nasi untuk makan sarapan!" ujar Parmin 
kepada adik angkatnya yang sama sekali awam 
terhadap ajaran agama.
"Itu artinya tugas kita masih banyak, Kar-
ta."
"Ya, kang!"
Mereka membisu sejenak sambil saling 
berpegangan tangan di bahu masing-masing di-
iringi tatapan mata penuh semangat. Keduanya 
lalu bangun dan membenahi pakaian mereka 
masing-masing yang sudah acak-acakan. Mereka 
harus segera mulai menjalankan tugas dan kewa-
jiban sebagai patriot bangsa.
Kemudian Parmin memberi tugas kepada 
Karta untuk mengumpulkan pendekar-pendekar 
yang berjiwa patriot yang berada didaerah barat

Cirebon sesuai dengan tempat asal dan kampung 
halaman Karta. Parmin sendiri pergi menuju ke 
selatan kembali meneruskan tugas yang diama-
natkan oleh gurunya Ki Sapu Angin, demi tanah 
air dan bangsa kepadanya. 
Si Gila dari Muara Bondet melambaikan 
tangannya sambil mengayunkan langkahnya me-
nuju ke barat. Demikian juga dengan Parmin. Ia 
pun melangkahkan kakinya dengan rasa bangga 
terhadap adik angkatnya itu. Untuk sementara 
mereka berpisah dan kelak di suatu saat mereka 
kembali berkumpul dan menghimpun kekuatan 
untuk mengadakan pemberontakan membe-
baskan tanah air tercinta dari belenggu penjaja-
han Kumpeni Belanda.
Sampai episode ke dua berjudul 
Si Gila dari Muara Bondet ini, 
kita belum juga bertemu dengan JAKASEMBUNG. 
Siapa gerangan dia? Baiklah, kita nantikan saja 
kehadiran episode ketiga yang berjudul 

"MENUMPAS BERGOLA IJO"












Share:

0 comments:

Posting Komentar