SERIAL JAKA SEMBUNG
Karya Djair Warni
Judul asli Si Gila Dari Muara Bondet
Alih versi Syahlendra Maulana
Penerbit SARANA KARYA
Cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau
pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
Parmin menempuh perjalanan melalui pe-
dalaman. Ia tidak mau melalui jalan yang dibuat
sebagai jalan perintis oleh Kumpeni Belanda yang
meminta banyak korban rakyat jelata. Sudah cu-
kup jauh jalan yang ditempuhnya. Sepanjang ja-
lan hanya pohon-pohon besar dan semak-semak
belukar yang ia jumpai. Sekali-sekali Parmin juga
menemui satu dua orang yang sedang menebang
pohon untuk dijadikan kayu bakar. Belum satu-
pun ia menjumpai pondok perkampungan. Par-
min terus berjalan menelusuri hutan sampai ak-
hirnya ia tiba di sebuah tempat yang terbuka.
Hari itu teramat panas dirasakan Parmin.
Apalagi sekarang ia sudah meninggalkan hutan.
Tiada lagi pohon-pohon yang menghalangi sinar
matahari yang menyengat ubun-ubunnya dan se-
karang sinar matahari terasa membakar ubun-
ubunnya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Rasa haus menggerogoti kerongkongannya. Par-
min ingin sekali beristirahat untuk sekedar mem-
basahi kerongkongannya yang terasa kering dan
ia berharap akan menemukan sebuah warung.
Dengan sabar Parmin terus berjalan perla-
han-lahan dengan harapan ia menemukan se-
buah warung. Akhirnya tak seberapa jauh ia me-
langkahkan kaki dari kejauhan terlihat sebuah
warung. Parmin segera mempercepat langkahnya
menuju warung itu. Setelah sampai, Parmin lang-
sung duduk sambil melepaskan capingnya dan di-
taruhnya diatas bangku kayu yang terletak dide-
pan warung itu. Ia menyeka peluh di keningnya
dengan kain sarung yang menyilang di dadanya.
Suasana warung itu benar-benar nyaman
dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan
rimbun. Angin bertiup sepoi-sepoi di daerah seki-
tarnya membuat orang betah duduk berjam-jam
lamanya di warung itu. Pemiliknya seorang ba-
pak-bapak yang berumur sekitar tujuh puluhan
dengan kumis dan jenggot yang hampir memutih
semuanya.
"Pak, apakah ini yang namanya kampung
Celancang?" tanya Parmin sambil terus mengipasi
dirinya dengan caping.
"O ya! Ya! Kira-kira satu jam lamanya den-
gan berjalan kaki." jawab pemilik warung itu
sambil mengaduk kopi.
"Tolong buatkan teh tubruk manis, pak!"
pinta Parmin.
"Baik nak." sahut pemilik warung sambil
memberikan segelas kopi tersebut kepada seorang
pembeli yang duduk di bangku sebelah kiri meja
dagangannya.
Dari ruang dalam terdengar gelak tawa
yang sangat nyaring. Sekelompok orang laki-laki
sedang asyik main domino. Mereka berempat.
Dua orang bertampang seram dan bertubuh tegap
mengenakan kain sarung yang menyilang di da-
danya. Satu orang bertubuh gendut memakai be-
lang-belang dan satunya lagi bertubuh kurus
memakai baju putih dengan golok terselip diping-
gangnya. Mereka masing-masing memakai ikat
kepala dengan berbagai corak warnanya.
"Wah, hari ini nasibku sedang sial! Aku se-
lalu mati!" teriak si gendut membanting kartu
domino yang berada di tangannya ke atas meja.
"Tentu saja karena kau belum mandi!" le-
dek si kurus sambil memonyongkan bibirnya.
Melihat bibir si kurus yang monyong, kon-
tan saja teman-temannya tertawa terbahak-
bahak. Demikian juga dengan pemilik warung itu,
ia tertawa terpingkal-pingkal sehingga hampir sa-
ja gelas berisi kopi yang dibawanya hampir tum-
pah. Parmin hanya tersenyum melihat tingkah la-
ku mereka dan ia kembali menikmati teh tubruk-
nya.
Sementara itu dari kejauhan terlihat seo-
rang laki-laki berjalan memanggul sebuah peti
yang besar dipundaknya yang terbuat dari kayu
jati mendekati warung tersebut. Peti yang diba-
wanya kelihatan sangat berat, tetapi ia tenang sa-
ja berjalan seperti membawa peti kertas yang be-
risi kapas.
Dengan lirikan matanya, Parmin dapat me-
lihat gerak langkah pemuda itu sangat ringan
tanpa menimbulkan suara!
Orang itu masih sangat muda. Hanya saja
ia kelihatan tua karena tubuhnya kotor tak terurus. Rambutnya panjang sebatas pinggang dan
sebuah golok panjang terselip di pinggangnya.
Kain sarung menyilang di dadanya yang bidang.
Kepalanya berikat kain yang serupa dengan kain
yang menyilang didadanya. Pakaian yang melekat
di tubuhnya sudah sangat kumal. Tatapan ma-
tanya begitu kosong seperti orang yang dilanda
kesedihan dan putus asa.
Parmin agak terkejut ketika ia melihat den-
gan lirikan mata bagaimana cara orang itu berja-
lan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Pasti
ia memiliki tenaga dalam yang tinggi dan mengu-
asai ilmu silat yang tinggi pula.
Pemuda pembawa peti itu berhenti sejenak
di depan warung kopi.
"Aku haus sekali...! Berilah aku air dingin
segelas!!" katanya dengan lirih kepada pemilik wa-
rung itu.
Kemudian ia berjalan menghampiri sebuah
pohon yang terletak didepan warung tersebut. Ia
lalu menaruh peti yang dipanggulnya ke atas ta-
nah dan ia sendiri duduk seenaknya di bawah
pohon yang teduh itu.
Selang beberapa saat kemudian terdengar
ia mengoceh sendirian dengan suara yang lirih
sambil mengelus-elus peti itu. Ia seperti membelai
sesuatu yang sangat disayanginya dan perka-
taannya seperti ditujukan kepada isi peti kayu
itu.
"Kita beristirahat dulu ya, sayang? Kita
haus sekali, bukan? Bersabarlah sedikit, aku sedang memesan segelas air putih. Sepanjang hari
ini tampaknya kau sangat gelisah, mengapa?" ka-
tanya dengan penuh kelembutan dan matanya
seakan-akan menembus ke dalam peti kayu itu.
Parmin memperhatikan semua itu. Di ha-
tinya terbersit rasa iba terhadap pemuda itu.
"Siapakah orang itu, pak? Barangkali ba-
pak kenal?" tanya Parmin.
"Ah, kasihan dia! Biarlah kuberi minum
anak muda yang miring otaknya itu!" kata pemilik
warung sambil menuangkan air putih dalam teko
ke dalam gelas. Kemudian ia berjalan meninggal-
kan warungnya dan Parmin yang sedang makan
kue serabi menghampiri anak muda itu.
Beberapa orang anak kecil bertelanjang ba-
ju datang mendekati pemuda itu sambil berolok-
olok.
"Guik! Guik! Ciluuuuuuuuuuuk.....
Baaaaa!! Orang gila! Pakaian mu bau apek!
Weeeeee.....!" teriak salah seorang anak yang ber-
tubuh kurus sambil menjulur-julurkan lidahnya
ke arah pemuda lusuh yang sedang beristirahat
itu.
Seorang anak kecil yang berkopiah mem-
bungkukkan tubuhnya memperhatikan peti kayu
yang terletak disebelahnya.
"Apa isi peti itu, hai orang gila? Boleh ku-
tukar dengan singkong bakar?"
Tapi ia nampak tenang saja seraya terse-
nyum-senyum tanpa menghiraukan ocehan anak-
anak nakal itu.
Seorang anak kecil berkepala botak berdiri
di belakang pemuda gila itu sambil memperhati-
kan semua yang ada pada dirinya.
"Lihat! Dia bawa pedang! Bagus juga pe-
dangnya. Buat apa, ya? Idiiiiiiih....!" seru anak itu
takut kepada teman-temannya dan ia menyem-
bunyikan dirinya di balik pohon.
"Oee! Oeee! Jelek! Jelek! Weeee...!" ledek
yang satunya sambil terus menjulur-julurkan li-
dahnya.
Pemuda itu kembali tersenyum.
Anak-anak kecil itu tiba-tiba dikejutkan
oleh datangnya si pemilik warung yang membawa
segelas air putih.
"Hei! Bocah-bocah cilik! Ayo pergi! Pergi
semua! Jangan ganggu dia, ayo! Nanti kalau dia
marah, rasain lho!" bentak orang tua tersebut
menakut-nakuti mereka. Anak-anak itu kemu-
dian kabur sambil tertawa cekikikan dan mencari
tempat bermain yang lain.
"Ini air yang kau minta. Jika kau masih
haus nanti boleh tambah lagi!"
Pemilik warung itu mengulurkan tangan-
nya untuk memberikan gelas yang dipegangnya
kepada pemuda gila itu. Tetapi tiba-tiba sebuah
bayangan golok berkelebat menyambar dan gelas
tersebut jatuh ke tanah pecah berantakan me-
numpahkan air yang berada di dalamnya.
Ketika pemilik warung itu menoleh ke be-
lakang ia terperanjat melihat empat orang pende-
kar yang bertubuh kekar dan berwajah bengis telah berdiri di situ. Tanpa banyak bicara lagi ia se-
gera mundur beberapa langkah dan berlari menu-
ju warungnya dengan wajah diliputi kecemasan.
Ia membayangkan peristiwa keji bakal terjadi.
"Ha ha ha ha ha ha ha! Lihat monyet ini
ternyata masih ada di dunia! Aku telah lama
mencarimu untuk kubuat sate!" kata salah seo-
rang di antara mereka sambil menyarungkan go-
loknya setelah menyabet gelas, tadi. Ia rupanya
menaruh rasa dendam terhadap pemuda lusuh
itu. Di antara mereka agaknya ada persoalan yang
belum terselesaikan.
Si Gila hanya tersenyum menatap orang di
depannya.
"He, ayo bangun monyet! Jangan tidur di
situ!!" teriak orang itu marah melihat calon kor-
bannya tak merasa gentar sedikitpun disusul se-
buah tendangan ke wajah pemuda.
Tetapi apa yang terjadi? Seketika terdengar
suara kaki yang beradu keras dengan batang po-
hon. Ternyata pemuda itu sudah tidak berada di
tempatnya. Begitu gesit gerakannya, hingga tahu-
tahu ia sudah berdiri di belakang mereka, tanpa
mereka sendiri sempat melihat kapan pemuda itu
berkelebat.
Keempat pendekar itu memandang Si Gila
setengah heran dan kaget bukan main. Sementa-
ra pemuda itu berdiri tegak memandang mereka
dengan sinar mata yang menyala-nyala.
"Dulu kalian boleh menghinaku seperti anj-
ing kurap!! Karena aku lemah dan aku bodoh! Tetapi sekarang jangan coba-coba menganggap re-
meh orang yang kelihatan lemah!" katanya den-
gan lantang.
Mendengar kata-kata yang dilontarkan Si
Gila kepada mereka, keempat pendekar itu seke-
tika menjadi marah bukan main. Agaknya perka-
taan itu merupakan suatu tantangan bagi mere-
ka.
Sekilas wajah mereka merah padam.
"Bangsat!" teriak pemimpin mereka dengan
gigi yang gemeretuk.
Kemudian keempat pendekar itu segera
mengurung Si Gila dengan cepat dari segala arah.
Masing-masing membentuk kuda-kuda dengan
golok yang terhunus. Sedangkan pendekar yang
berkepala botak memutar-mutarkan senjata rante
bandulnya sehingga menimbulkan suara yang
menderu-deru seperti angin puyuh. Tetapi Si Gila
tetap berdiri tak bergeming. Sinar matanya yang
tajam siap menghadapi segala kemungkinan yang
terjadi.
"Siap kawan-kawan!! Aku tidak akan per-
nah puas kalau belum memusnahkan bangsat ini!
Dialah orang yang menghancurkan semua hara-
panku!" teriak seseorang diantara mereka yang
bernama Badar dan menjadi pemimpin dari ketiga
orang pendekar lainnya.
Si Gila tetap berdiri tak bergerak. Namun
bersikap siap siaga.
"Karena kaulah semua rencanaku menjadi
gagal! Kau tikus laknat yang telah mengacaukan
hidupku! Kini terimalah ajalmu, monyet gembel!"
serunya sambil menyilangkan goloknya ke depan
siap menyerang. Suaranya menggeram memben-
tuk raungan akibat dari luapan rasa dendam
yang begitu besar memenuhi dadanya terhadap
lawan yang sudah sekian lama dilacak dan dibu-
runya dari kampung ke kampung.
Si Gila tetap saja berdiri tenang ditengah-
tengah kepungan mereka. Angin bertiup menerpa
rambutnya yang panjang. Terlihat betapa gagah-
nya dia! Wajahnya yang masih belia itu dihiasi
bulu-bulu halus yang meremang di atas bibir dan
dagunya.
Di saat-saat seperti itu seakan-akan ia
menjelma menjadi seorang pendekar tangguh
yang gagah perkasa dan bukan lagi seorang pe-
muda yang tidak waras.
"Bagiku semua ini adalah takdir yang rela
kuterima. Semua telah selesai, Badar! Walaupun
hatiku sakit, tapi membalas dendam adalah pan-
tang bagiku! Tak ada gunanya dan tak akan me-
rubah jiwaku yang sudah hancur! Juga tidak
akan membuat kekasih-ku Nuraini hidup kemba-
li!" katanya lirih.
"Aku enggan meladenimu, Badar! Biarlah
kuterima semua penghinaanmu, karena aku me-
mang dilahirkan ke dunia sebagai orang yang hi-
na-dina. Biarlah aku berlalu membawa duka ha-
tiku..." lanjut Si Gila. Namun ucapan yang penuh
keikhlasan dan kerendahan diri itu justru mem-
buat hati Badar seperti tersundut api.
"Eiiiiiiit... kau menghinaku, monyet! Tahu-
kah kau? Aku tidak akan bisa hidup tenang jika
golokku ini belum bermandikan darahmu bang-
sat...!!" teriak Badar dengan napas yang membu-
ru.
Sementara itu mendengar ribut-ribut di
luar, orang-orang yang berada dalam warung itu-
pun segera berhamburan keluar untuk menyak-
sikan perkelahian tersebut. Mereka rela mening-
galkan permainan dominonya yang asyik. Demi-
kian juga dengan Parmin. Ia segera berdiri dan
meninggalkan bangku tempat duduknya beberapa
langkah ke depan untuk menyaksikan perkela-
hian itu lebih dekat. Entah mengapa nalurinya
menyatakan simpati kepada pemuda yang dijulu-
ki Si Gila dari Muara Bondet itu.
"Hei, lihat ! Itu bukankah Si Gila yang ser-
ing luntang-lantung di desa ini? Si Gila dari Mua-
ra Bondet!! Mengapa orang-orang itu memusu-
hinya?" tanya salah seorang yang berada didepan
warung kepada teman-temannya sambil bersan-
dar tangan pada tiang penyangga warung. Tapi
rupanya tiang itu sudah rapuh ikatannya dan ia
terjengkang bersama robohnya tiang tersebut.
Segera Badar mengisyaratkan kepada ka-
wan-kawannya agar serempak menyerang! Den-
gan satu teriakan yang keras dan panjang, keem-
pat pendekar itu terbang berbarengan menyerang
Si Gila dengan senjatanya masing-masing.
"Sikaaaaaaaaaat!!"
"Oh, kalian mencari mati? Maaf, ini bukan
salahku!" gumam Si Gila di sela teriakan keempat
pendekar itu.
Tubuh Si Gila dari Muara Bondet dengan
lincahnya menghindari serangan senjata rantai
bandul itu.
Tiba-tiba secepat kilat Si Gila mencabut
pedang dari sarungnya membabat perut dari dua
orang penyerang itu dengan satu gerakan yang
tak terduga. Kedua orang itu memekik keras dan
langsung roboh ke tanah dengan isi perut yang
berhamburan keluar. Kemudian Si Gila melesat
ke atas menghindari serangan rante bandul si bo-
tak yang selalu mengikuti kemana tubuhnya ber-
gerak.
Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya
di atas tanah, kembali rante bandul itu menyong-
songnya. Dengan bersalto di udara Si Gila segera
melesat kearah Badar yang sedang mengibas-
ngibaskan golok dengan kelebatan sinarnya
membentuk perisai di depan tubuhnya. Dengan
satu sabetan yang cepat Si Gila menembus perta-
hanan Badar, langsung menebas lehernya. Badar
memekik tertahan. Dari lehernya yang hampir pu-
tus menyembur darah segar ke segala penjuru
dan tubuhnya terjungkal ke balik Semak-semak
menggelepar-gelepar seperti seekor ayam yang
disembelih kemudian diam tak berkutik untuk se-
lama-lamanya.
Melihat teman-temannya tewas secara
mengerikan ditangan Si Gila, si botak menjadi ka-
lap bukan main. Ia memutar-mutarkan senja-
tanya menyerang Si Gila secara membabi buta,
udara di sekitar pertarungan itu menjadi panas
akibat desingan yang ditimbulkan oleh rante ban-
dulnya yang membelah udara dengan disertai te-
naga dalam yang cukup tinggi.
"Ha ha ha ha ha ha! Mungkin kau bisa
mengalahkan tiga orang murid dari perguruan si-
lat Ori Malang. Tetapi kau tak dapat mengalahkan
aku si rante bandul! Terimalah seranganku,
hiaaaaat...!" teriak si botak nyaring seraya melun-
curkan senjatanya ke arah Si Gila dengan cepat.
Si Gila melesat menghindari senjata si bo-
tak yang seolah-olah mempunyai mata. Tetapi
terhadap Si Gila serangan itu selalu mengenai
tempat kosong alias terkena angin belaka tanpa
dapat melukai tubuh Si Gila. Pohon-pohon kecil
banyak yang tumbang akibat terkena hantaman
senjata aneh dan mengerikan itu.
Tubuh Si Gila meliuk-liuk di udara meng-
hindari gempuran senjata si botak. Begitu ringan
ia melakukan gerakan itu bagaikan segumpal ka-
pas yang melayang. Namun sejauh itu ia belum
dapat membalas serangan.
Sementara itu Parmin memperhatikan ja-
lannya pertarungan itu dengan seksama dan pe-
rasaan kagum. Ternyata pemuda tak waras itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang setingkat
berada di atas ilmu meringankan tubuhnya.
"Memang hebat si rante bandul ini! Tetapi
aku berani bertaruh bahwa Si Gila akan bisa me-
nyelesaikannya dalam satu atau dua jurus lagi!"
Pertarungan itu sudah berlangsung cukup
lama dan menelan puluhan jurus silat. Mereka
mengerahkan semua ilmu yang mereka miliki si
botak ternyata mulai kelihatan kewalahan meng-
hadapi serangan balasan yang dilancarkan Si Gi-
la. Melihat Si Gila semakin gencar melancarkan
serangan, si botak mengeluarkan jurus andalan-
nya membentuk lingkaran yang melindungi di-
rinya dari sambaran pedang Si Gila. Putaran
rante bandul demikian cepatnya, sehingga dari
jauh kelihatan seperti membentuk lapisan cahaya
yang membungkus seluruh tubuhnya bagaikan
sebuah selimut logam yang begitu ketat memben-
tengi dirinya. Tetapi tiba-tiba dengan satu teria-
kan histeris, Si Gila berhasil menyusup ke dalam
desingan rante bandul si botak dan membabatkan
pedangnya membobol perut lawannya.
Si botak memekik keras. Perutnya berham-
buran darah segar dan isi yang berada didalam-
nya. Untuk beberapa saat lamanya ia masih tegak
berdiri memegang senjatanya dengan gigi yang
gemeretak menahan sakit yang teramat hebat.
Tubuhnya bergetar. Dan secara tidak terduga ia
meloncat kembali menyerang Si Gila yang sudah
siap dengan jurus barunya menyambut si botak.
Tetapi di tengah langkahnya tiba-tiba si botak
ambruk seperti sebuah nangka busuk yang jatuh
ke tanah sebelum dapat menyentuh kulit Si Gila,
tewas menyusul teman-temannya.
Si Gila menghela napas panjang sambil
menyarungkan pedangnya.
Semua mata melotot kagum! Betapa tidak,
orang yang kelihatan lemah, berotak miring dan
menjadi bahan ejekan anak-anak ternyata ia ada-
lah seorang jago silat yang luar biasa. Hanya
Parmin yang bersikap tenang. Semua orang dalam
warung itu diam tak bergeming menyaksikan se-
luruh kejadian itu dimana Si Gila dalam sekejap
mata menghabisi musuh-musuhnya.
"Sungguh hebat! Siapakah pemuda gila
itu? Mungkin jarang ada seorang jago silat seperti
dia!" desis Parmin kagum.
Si Gila memandangi mayat keempat pen-
dekar itu dengan perasaan menyesal. Wajahnya
tertunduk dan suaranya terdengar parau.
"Aku menyesal mengapa kalian tetap saja
membandel? Selamat tidur kawan-kawan yang
malang...! Sekali lagi maaf...!" katanya sambil
membalikkan tubuh menuju pohon rindang itu.
Kemudian ia menghenyakkan tubuhnya di samp-
ing peti kayu jati yang selama ini selalu diba-
wanya kemana pergi.
Dari balik semak-semak keluarlah suara
kagum bercampur takut dari anak-anak kecil
yang tadi memperolok-olok Si Gila.
"Hiiiiiii...orang gila itu membunuh orang
seperti membabat rumput saja! Hiiii!" teriak salah
seorang anak yang bertubuh gendut sambil me-
nyembunyikan wajahnya di balik rerimbunan po-
hon.
Jari-jari tangannya menutup muka, semen-
tara tanah di bawah kedua kakinya banjir oleh air
kencingnya sendiri.
"Hiiiiii...! Aku takut!!" teriak anak-anak itu
gemetaran. Mereka bergerombol seperti anak-
anak tikus yang saling berpelukan karena takut
melihat seekor kucing.
Si Gila lalu mengangkat peti kayu jati itu
dan dengan tenang memanggulnya ke atas pun-
dak sambil mengayunkan langkahnya berlalu.
Seakan-akan barusan tidak terjadi sesuatu
terhadap dirinya.
"Pantas kau merasa gelisah saja, sayang?
Rupanya kau mendapat firasat buruk bahwa kita
akan bertemu dengan orang yang membenci kita!"
katanya lirih berbisik kepada peti itu.
Si Gila berhenti sejenak seolah-olah ia se-
dang mendengarkan sesuatu dari dalam peti kayu
itu. Lagaknya persis seseorang yang sedang men-
dengarkan orang lain bicara dari dalamnya.
"Ya, ya! Mari kita pergi! Kita cari tempat
yang tenang, bukan? Di mana-mana selalu saja
ada perusuh!" sahut Si Gila. Wajahnya bersun-
gut-sungut dan kembali melanjutkan langkahnya
yang terhenti semakin jauh meninggalkan pohon
rindang itu. Ia berjalan perlahan-lahan mene-
ruskan perjalanannya entah kemana. Peluh
membasahi sekujur tubuhnya akibat pertarungan
tadi.
Anak-anak kecil yang sedang bersembunyi
di balik semak-semak, segera lari tunggang-
langgang melihat Si Gila berjalan menuju dekat
persembunyian mereka.
"Lari! Lariiii...! Nanti kita dibunuhnya kalau
tidak cepat lari...!!" teriak mereka semrawut sambil berlari seperti sedang dikejar-kejar setan. Sa-
lah seorang dari mereka melorot celananya ketika
berlari, sehingga ia menjadi repot sambil berusa-
ha memegangi celananya terus mempercepat
langkahnya menerobos kebun jagung yang berada
didepannya. Berkali-kali ia terjatuh.
Si Gila tersenyum melihatnya.
Lalu ia kembali berjalan menelusuri pinggi-
ran belukar kian jauh meninggalkan perkampun-
gan itu.
Sementara itu Parmin segera membayar
minuman dan makanan tanpa menghiraukan si
pemilik warung yang tegak mematung karena ma-
sih terhanyut dalam peristiwa yang baru saja dili-
hatnya.
Ketika ia tersadar, segera ia memberikan
uang kembalian tetapi Parmin sudah lebih dulu
melesat menuju hutan mengejar Si Gila. Pemilik
warung itu hanya menggaruk-garukkan kepa-
lanya yang tidak gatal. Hari ini ia telah bertemu
dengan seorang pembeli yang tiba-tiba saja
menghilang dari pandangan seperti asap.
Parmin mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya menyusul Si Gila dan langsung ber-
sembunyi di balik sebuah pohon sambil terus
memperhatikan Si Gila dengan cermat. Ia berusa-
ha sedapat mungkin supaya tidak mengejutkan
pemuda aneh itu.
Sementara Si Gila melangkahkan kakinya
dengan tenang. Kepalanya menunduk lesu. Dari
mulutnya keluar kata-kata yang aneh. Agaknya ia
sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang
sangat disayanginya. Kadang-kadang ia terse-
nyum dan tertawa sendiri. Dia terus berjalan me-
nuju arah selatan.
Dia terus berjalan dan terus berjalan.....
Seakan-akan tak peduli walau sampai ke
ujung dunia sekalipun.
***
Parmin berjalan mengendap-endap di balik
semak-semak terus membayangi Si Gila dari jauh.
Ia berusaha agar dirinya tak terlihat oleh pemuda
itu.
"Aku harus tahu siapakah pemuda itu se-
benarnya? Aku harus hati-hati membuntutinya
jangan sampai ketahuan!"
Tak terasa mereka telah jauh menyusup
kedalam hutan. Udara sejuk dirasakan Parmin.
Angin bertiup dengan lembutnya. Riak-riak de-
daunan terdengar begitu merdu di telinga seperti
merdunya irama kehidupan. Burung-burung ber-
kicau dan berlompatan kesana-kemari menambah
indah suasana dalam hutan itu. Sinar matahari
telah mulai menyongsong senja penuh rona ceria.
Semua itu kurang dinikmati oleh Parmin
karena matanya terus mengawasi gerak-gerik Si
Gila.
Dalam hatinya ia bertanya.
"Apakah isi peti yang dibawanya itu? Dan
mau dibawa kemana peti itu? Dia manusia yang
luar biasa pertama kujumpai!"
Tiba-tiba suara kicauan burung-burung di-
atas dahan pohon berhenti, seolah-olah mereka
mengisyaratkan sesuatu pada Parmin. Tempat itu
menjadi begitu sunyi. Hanya suara derit pohon
bambu yang bergesekan dan riak-riak ranting po-
hon yang tertiup angin mewakili detak jantung
dan urat nadi. Sunyi mencekam.
Parmin merasakan suatu firasat buruk
yang akan terjadi di hutan ini. Ia segera memu-
satkan panca inderanya memantau seluruh kea-
daan hutan ini.
Demikian juga halnya dengan Si Gila. Ia
memusatkan pikirannya terhadap isyarat alam
yang didengarnya. Mulutnya tetap berbicara aneh
kepada peti kayu yang dipanggulnya. Sekan-akan
ia membisikkan suasana yang ia rasakan kepada
seseorang di dalamnya.
Tiba-tiba berkelebat sebuah benda melun-
cur secepat kilat membelah dan menyambar ke
arah Si Gila. Dengan satu gerakan yang memu-
kau ia meloncat menghindari serangan yang tak
terduga itu. Tubuhnya bergerak ringan dan lin-
cahnya seperti tak membawa apa-apa di atas
pundaknya.
Benda gelap itu tak mengenai sasarannya,
dan menancap pada batang pohon di dekatnya.
Ternyata benda itu adalah sebuah kapak besi.
Kapak itu hampir seluruhnya menancap ke dalam
batang pohon. Berarti orang yang melemparkan
senjata tersebut memiliki tenaga dalam yang hebat. Bayangkan kalau saja kapak itu mengenai
tubuh Si Gila!
Dari balik semak-semak melompat sesosok
tubuh tinggi besar dengan brewok yang menghiasi
wajahnya tertawa terbahak-bahak. Ia tegak berdi-
ri menghadang Si Gila sambil memegang sebuah
kapak besi di tangan kirinya, tangan kanannya
menyilang di dadanya yang berbulu. Kepalanya
memakai ikat dari kulit ular. Kedua kakinya man-
tap berpijak di atas tanah.
"Kalau kau ingin tetap memiliki nyawamu,
serahkan peti itu kepadaku! Tentu di dalamnya
berisi emas atau perhiasan berharga yang kau cu-
ri dari orang-orang Kumpeni Belanda! Cepat!!" te-
riak laki-laki itu dengan keras. Suaranya mem-
buat unggas-unggas dalam hutan itu terbang ke-
takutan.
Si Gila memasang kuda-kudanya dengan
sigap menjaga kalau-kalau ada serangan menda-
dak yang ditujukan kepadanya. Merasa orang itu
bermaksud merampas peti yang disayanginya,
maka Si Gila segera menaruh peti kayu itu di ba-
wah pohon dan ia mencabut pedangnya membuka
jurus untuk meladeni laki-laki bertampang ang-
ker itu.
"Tapi bila kau membandel, ketahuilah
bahwa sepasang kapak mautku siap membikin
tubuhmu menjadi perkedel!" ancam pendekar se-
pasang kapak maut itu dengan pasti kepada Si
Gila. Napasnya terdengar bergemuruh akibat dari
nafsu membunuhnya yang meluap-luap.
Parmin terkejut melihat orang itu. Ia ingat
pesan gurunya agar berhati-hati bila melewati
daerah sekitar sungai bondet, karena disitu ber-
cokol seorang begal yang berilmu tinggi dan san-
gat ganas.
Si Gila marah mendengar ancaman begal
itu.
"Peti ini sama harganya dengan nyawaku!
Kalau kau menginginkan peti ini berarti kau ha-
rus melangkahi mayatku dahulu!" sahut Si Gila
mengibaskan pedangnya.
Merasa ditantang begitu si begal brewok
menjadi marah bukan kepalang.
"Aha! Rupanya kau sudah bosan hidup, ya
baiklah aku tidak usah lama-lama lagi berbicara.
Sekarang yang penting terimalah seranganku ini.
Ciaaaaaaaaaat!!" teriak si begal menggelegar me-
rangsak Si Gila. Kapak besinya berputar-putar
mencecar tubuh Si Gila dari segala penjuru. Si
Gila berkelit kian-kemari menghindari serangan
yang bertubi-tubi itu. Sampai suatu saat ia me-
loncat melewati kepala si begal dan mendarat di
belakangnya. Ternyata si begal sengaja mendesak
Si Gila agar dapat mengambil kapak besi satunya
lagi yang tertancap pada batang pohon tadi. Tepat
ketika Si Gila melesat ke belakang melewatinya
dengan cepat ia meraih kapak besi tersebut dan
mencabutnya.
Si Gila dari Muara Bondet berkelit dan se-
pasang kampak maut itu menghantam pohon be-
sar itu.
"Tak seorangpun bisa lolos dari si dua sejo-
li kapak mautku ini dan sudah berpuluh-puluh
nyawa orang yang melewati daerah ini kucabut!!
Dan sekarang giliranmu...!" pekik si begal kembali
menyerang Si Gila dengan cepat.
Parmin mengawasi pertarungan itu dari ba-
lik sebuah pohon yang besar. Diameter pohon itu
menelan sosok tubuhnya dari pandangan orang
lain.
"Dua senjata dimainkan sekaligus! Hebat!
Sepasang senjata silat yang berbahaya! Aku sang-
si apakah Si Gila mampu mengalahkannya. Aku
membantu Si Gila bilamana perlu! Aku tak boleh
membiarkan begal itu melukainya!" gumam Par-
min.
Wajahnya cemas menyaksikan pertarungan
tersebut. Ia merasa dirinya berada pada posisi Si
Gila dari Muara Bondet.
"Ilmu silat mereka sebanding! Tetapi ada
keunggulan sedikit pada si begal. Ia bertenaga be-
sar dan menggunakan dua buah senjata! Sedang-
kan Si Gila telah kehabisan tenaga sehabis berta-
rung dengan keempat pendekar di kampung itu,
walaupun jurus-jurus pedang Si Gila sangat cepat
dan aneh! Tetapi sepasang kapak itu sepertinya
menyerang Si Gila dari segala penjuru!" desis
Parmin.
Pertarungan itu telah berlangsung berpu-
luh-puluh jurus. Keduanya saling melancarkan
serangan dengan gencar. Suara bentrokan dua
senjata yang terbuat dari logam itu antara kapak
si begal dengan golok panjang milik Si Gila ter-
dengar nyaring membelah udara dan menimbul-
kan bunga-bunga api. Si begal meliuk-liukkan
kapaknya seperti kincir angin terus mendesak Si
Gila. Ia semakin gencar melancarkan serangan-
nya ketika Si Gila mulai terlihat melemah. Tenaga
dalamnya dilipat gandakan. Itu bisa dilihat dari
otot-otot tubuhnya yang kencang menegang dan
kulit wajahnya yang semakin memerah beringas.
Tetapi didalam keadaan terdesak, Si Gila
masih sempat membalas serangan. Dalam suatu
kesempatan ia dapat membabatkan pedangnya
merobek baju si begal. Melihat bajunya terkena
babatan pedang Si Gila, ia segera mengeluarkan
jurus andalannya dengan memutar-mutarkan ka-
paknya mencerca tubuh Si Gila dari atas sampai
ke bawah berulang-ulang dalam tempo yang san-
gat cepat dan secara bersamaan.
Benar-benar pengerahan tenaga dalam
yang berlipat ganda. Si Gila tampak kepayahan
menghadapi si begal. Ia kalah napas dan mulai
kelelahan.
Tak lama kemudian terdengar satu teria-
kan yang keras, dan kapak si begal merobek dada
Si Gila tanpa ampun. Darah mengucur deras dari
luka yang menganga di dadanya akibat serangan
pada jurus kesepuluh dari rangkaian jurus maut
si begal. Si Gila terhuyung-huyung ke belakang
meringis kesakitan sambil mendekap dadanya.
"Mampus kau setan alas! Sekarang terima-
lah ajalmu...!" teriak si begal sambil meloncat ke
atas seperti burung elang yang akan menyambar
mangsanya dengan kapak besi yang siap membe-
lah kepala Si Gila.
Seketika Parmin terkesiap dan keluar dari
persembunyiannya.
"Si Gila dalam keadaan bahaya! Aku harus
cepat bertindak...!" Parmin melihat saat-saat kri-
tis itu. Maka dengan satu sentakan yang kuat
Parmin melesat menyambar kapak besi yang di-
pegang si begal hingga terpental sebelum meng-
hantam batok kepala Si Gila yang sudah terpojok
tak berdaya.
"He!!" pekik si begal terkejut dan kapak be-
sinya meluncur jauh hilang dibalik semak-semak.
Disusul oleh kelebatan sesosok tubuh seorang
pemuda.
Parmin berpijak diatas dengan ringannya
dan pasang kuda-kuda siap menghadapi si begal
yang masih terkejut.
"Eiiiiiitt! Siapakah kau monyet busuk! Me-
nyerang secara sembunyi-sembunyi! Apa hubun-
ganmu dengan gembel yang hampir mampus ini?
Apakah kau juga menginginkan isi peti kayu itu?"
bentak si begal dengan lantang. Napasnya ngos-
ngosan dengan urat leher menyembul keluar. Se-
pasang matanya merah seperti saga, sedangkan
butir-butir keringat sebesar biji jagung membasa-
hi keningnya yang sebagian tertutup ikat kepala.
"Si Gila minggirlah anda! Hei, begal! Akulah
lawanmu yang sebenarnya!" seru Parmin menatap
si begal dengan pandangan yang menantang.
Sementara Si Gila mengangkat kepalanya
sebentar memperhatikan dengan pandangan yang
penuh tanda tanya mencoba menerka siapa ge-
rangan orang yang tiba-tiba muncul dan membela
dirinya? Tangan kirinya tetap memegangi dadanya
yang terus-menerus mengeluarkan darah, se-
dangkan tangan kanannya menggenggam erat pe-
dangnya yang digunakan untuk menyanggah tu-
buhnya yang semakin melemah. Ia perlahan-
lahan beringsut menggerakkan langkahnya yang
terseok-seok menjauhi pertarungan menuju peti
kayu miliknya.
Tantangan Parmin membuat darah si begal
mendidih naik ke ubun-ubunnya dan biji mata
yang sudah merah semakin membara.
"Coba katakan namamu, anak muda! Sebe-
lum kepalamu yang besar itu menggelinding ku-
babat dengan kapakku!!" bentak si begal.
"Aku adalah pembela kaum yang lemah
tanpa mengharapkan balas jasa!" sahut Parmin
seenaknya. Si begal menggeram merasa tersing-
gung mendengar perkataan Parmin yang bernada
ejekan sengaja menusuk perasaannya. Ia men-
dengus sengit seraya merangsak Parmin dengan
bengis. Jari tangannya diarahkan ke leher Parmin
dan kapak besi yang dipegangnya mengarah ke
perutnya. Serangan itu sangat cepat dan tak ter-
duga. Parmin melejit ke atas berkelebat menghin-
dari serudukan si begal yang sangat berbahaya
itu dan pada saat yang sama ia mengirimkan ten-
dangan ke bahu si begal sehingga terjungkal beberapa tombak ke belakang. Dengan sigap si beg-
al kembali berdiri langsung membuka jurus baru.
"Oh...boleh juga! Boleh! Ilmu silatmu lebih
tinggi dari gembel itu! Siapa gurumu, hei? Rasa-
rasanya aku kenal dengan gaya silatmu!" tanya si
begal merentangkan tangannya sebagai tanda un-
tuk memberi kesempatan bicara kepada lawannya
sekaligus mencari kemungkinan untuk menye-
rang lagi.
"Guruku adalah Ki Sapu Angin! Tahukan
kau? Kata guruku dulu kau hampir mampus ke-
tika kau coba-coba membegal guruku! Agaknya
kau belum kapok juga!" sambut Parmin dibarengi
dengan gerakan tangannya membentuk jurus ba-
ru. Kaki kirinya agak menekuk dan kaki kanan-
nya diayunkan ke depan berpijak dengan mantap
di atas tanah.
Mendengar Ki Sapu Angin adalah guru la-
wannya, si begal tertawa terbahak-bahak sekuat
tenaga hingga merontokkan daun-daun kering
disekitar tempat itu. Dan Si Gila yang sedang du-
duk terkulai segera mengatur napasnya ketika
suara tawa dahsyat itu menerpa telinganya.
"Ya benar! Ha ha ha ha ha ha ha! Aku in-
gat!" seru si begal terbahak tapi lantas wajahnya
segera berubah bengis dan seram. Matanya berpi-
jar mencerminkan dendam yang membusuk da-
lam dadanya.
"Tapi itu lima tahun yang lalu, bukan? Kini
suruh gurumu datang melawan aku kembali. Pas-
ti akan kutebus kekalahanku dulu!"
"Mulutmu terlalu besar, begal! Hadapi saja
muridnya dulu..." ejek Parmin dengan senyum si-
nis sengaja membangkitkan amarah lawannya.
Begal seketika mendengus keras. Wajahnya
merah tembaga. Ia merasa diremehkan oleh pe-
muda ingusan dihadapannya.
"Bangsaaaaaaat!!"
Ia segera menghujamkan kapaknya mende-
sak Parmin dengan napas yang bergemuruh ke
perut lawannya. Tangan kanannya menyabet ce-
lah-celah paha Parmin seperti seekor babi hutan
yang menyeruduk mangsanya. Parmin melesat
sambil membabatkan goloknya membelah dada si
begal dengan sekuat tenaga dan secepat kilat
tanpa dapat ditangkis oleh lawannya. Parmin ke-
mudian salto di udara dengan gerakan yang san-
gat indah dan menjejakkan kakinya di atas tanah
begitu ringan, berdiri tegak seraya memasukkan
golok kembali ke sarungnya.
Sementara itu si begal memekik keras da-
lam posisi membelakangi Parmin. Darah lukanya
menetes jatuh ke tanah membasahi rumput-
rumput di ujung kakinya. Tubuhnya bergetar he-
bat. Tak lama kemudian tubuh tinggi besar itu
roboh ke bumi seperti gunung gugur. Tanah di
sekitarnya ikut bergetar menahan guncangan
yang ditimbulkan olehnya. Napasnya terdengar
menggeros seperti seekor kerbau yang sedang se-
karat. Kemudian beku tak berkutik lagi.
Maka tamatlah riwayat seorang begal yang
ganas dan sangat kejam yang menjadi momok bagi orang-orang yang melewati daerah Celancang
dan daerah sekitarnya. Bagi Parmin sendiri kema-
tian begal brewok adalah termasuk suatu rang-
kaian tugas yang telah dipesankan oleh gurunya
Ki Sapu Angin.
Parmin menarik napas panjang.
"Dosamu sebagai begal sudah terlalu ba-
nyak dan golokku hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang tidak bisa diinsyafkan lagi!"
gumam Parmin menatap mayat si begal yang ber-
kubang darah dengan hati lega.
Sedangkan Si Gila duduk bersandar pada
sebuah pohon dengan tubuh yang lunglai mena-
tap Parmin kagum. Sinar matanya sudah mulai
meredup dan wajahnya terlihat pucat pasi karena
banyak mengeluarkan darah dari luka didadanya
yang menganga.
Parmin segera menghampiri Si Gila yang
mulai kepayahan itu.
Si Gila mengangkat wajahnya.
"Aku tak bisa membalas apa-apa untuk-
mu!" desahnya pelan.
Parmin tersenyum kepada Si Gila seraya
membuka baju pemuda itu perlahan-lahan untuk
melihat luka yang dideritanya. Sekali-sekali Si Gi-
la meringis kesakitan karena secara tak sengaja
bajunya yang dibuka Parmin bergesekan dengan
lukanya.
"Aku hanya menunaikan kewajibanku ter-
hadap sesama manusia. Kau adalah orang yang
baik. Mari kuperiksa lukamu. Untung tak terlalu
dalam dan tidak sampai melukai jantungmu, te-
tapi mungkin beberapa tulang rusukmu ada yang
putus!" kata Parmin sambil meletakkan baju Si
Gila di atas akar pohon yang menyembul dari da-
lam tanah.
Si Gila hanya tertunduk diam. Parmin
mengerti apa yang hendak disampaikan Si Gila
melalui sorot matanya yang sayu.
Parmin bergegas ke dalam hutan untuk
mencari tanaman sebagai bahan ramuan obat
yang diperlukan untuk luka bacok itu secepatnya
dan sebagai seorang jago silat ia mempunyai ilmu
pengobatan yang didapat dari gurunya sebagai
bekal untuk menjaga kesehatan tubuhnya sendi-
ri. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Parmin
menemukan tanaman itu.
"Daun-daun ini bisa ditumbuk halus lalu
dicampur sedikit air, dan luka Si Gila pasti bisa
kering dalam tempo singkat!" gumamnya sambil
memetik daun-daun itu secukupnya. Lalu ia ber-
gegas ke sungai untuk mengambil air. Daun talas
hutan dipergunakan untuk menampung air sun-
gai dan ia segera menemui Si Gila yang masih
duduk terkulai bersandar pada batang pohon itu.
Parmin menumbuk daun-daun yang sudah di-
campur dengan air itu di atas sebuah batu. Da-
lam beberapa saat ramuan tersebut telah siap di-
pakai. Kemudian Parmin melumuri dan menutup
luka Si Gila yang menganga dengan ramuan itu
seluruhnya.
Ia merawat Si Gila dengan cermat dan penuh rasa kasih sayang sebagai sahabat.
"Jangan banyak bergerak dulu! Tetaplah
bersandar di bawah pohon ini. Mudah-mudahan
besok pagi luka anda berangsur-angsur sembuh.
Daun-daun ini sangat mujarab untuk mengobati
luka-luka bacokan!" ujar Parmin sambil membo-
rehi luka itu dengan lembut.
Si Gila hanya diam saja.
Ia memandang jauh menembus dalam hu-
tan. Sinar matanya agak ceria. Sebentar-sebentar
matanya melirik peti kayu jati yang terletak di se-
belahnya.
Sinar matahari mulai meninggalkan bumi.
Cahayanya yang keemasan tampak berkilauan di
ufuk barat menyongsong sang rembulan yang ter-
senyum menyembul ke bumi. Burung-burung su-
dah enggan bernyanyi dan kembali ke sarangnya
masing-masing. Hanya serangga-serangga malam
yang begitu gembira menyambut datangnya ma-
lam. Angin bertiup lembut menyapu dedaunan
sehingga menimbulkan suara berirama seperti
senandung musik malam hari.
***
Parmin menguburkan mayat si begal. Peluh
bercucuran di seluruh wajahnya yang tampan.
Kemudian ia mengayunkan langkahnya menuju
sungai untuk mengambil air wudhu menunaikan
khodo sholat maghrib yang disambung dengan
sholat isya. Rupanya pertarungan sengit yang baru saja berlalu telah menelan waktu cukup pan-
jang. Malam ini ia terpaksa menginap di dalam
hutan menemani Si Gila. Selesai melakukan sho-
lat Parmin melipat kain sarung yang digunakan
sebagai sajadah. Si Gila memperhatikan semua
yang dilakukan Parmin sambil bertanya-tanya da-
lam hati. Agaknya ia sedang mempertanyakan un-
tuk apa orang itu begitu patuh melakukan sholat
lima waktu?
Malampun tiba. Bulan mengambang di
angkasa yang kelabu. Angin bertiup sepoi-sepoi.
Mendesir membelai hati yang rindu terhadap sang
kekasih. Bisu dalam kenikmatan. Kumandang
burung hantu menambah suasana malam itu
menjadi kian beku. Perasaan itu menghantui ke-
dua pendekar muda itu.
Parmin duduk dibawah pohon menatap in-
dahnya bulan purnama. Ia teringat kepada Roi-
jah, si Bajing Ireng kekasihnya, membuat hatinya
ingin melantunkan lagu kiser kesayangannya. Ia
mengeluarkan seruling bambu dari balik bajunya.
Kemudian ditiupnya seruling dengan irama yang
mendayu-dayu. Rasa rindunya kepada Roijah
yang datang merasuk kalbunya membuat irama
seruling yang dialunkan Parmin betul-betul mere-
sap ke dalam hati setiap orang yang mendengar-
kannya. Apalagi bagi mereka yang sedang dima-
buk asmara. Parmin tidak mengetahui bahwa la-
gu yang dibawakannya membuat Si Gila teringat
kembali kepada kekasihnya Nuraini yang telah
tiada. Tak terasa air mata meleleh membasahi kedua pipinya. Mengalir seperti air dari cucuran
atap jatuh ke pelimbahan.
Parmin semakin tenggelam dalam senan-
dung lagunya. Ia mencoba membunuh rasa rin-
dunya lewat seruling bambu itu dan Si Gila juga
semakin hanyut dalam kenangan masa lalunya
yang begitu pahit dan menyedihkan. Rasa sakit
yang baru dialaminya sama sekali tak dirasakan-
nya. Yang ada hanya kesedihan berkepanjangan
dan duka nestapa yang mewarnai hidupnya sela-
ma ini. Sebuah sisa hidup yang tak berarti lagi
baginya.
Parmin sempat melirikkan matanya ke
arah Si Gila. Ia dapat merasakan kesedihan yang
sedang dirundungnya. Seketika serulingnya ber-
henti dan Parmin segera melompat berdiri tersen-
tak tatkala terdengar olehnya isak tangis Si Gila
yang tersedu-sedu seperti anak kecil yang kehi-
langan barang mainannya. Lalu ia menghampiri
Si Gila yang mengelamkan kepalanya di balik ke-
dua kakinya yang menekuk menghimpit kepa-
lanya.
"U...uh...uuh...h! Mengapa aku tidak kau
biarkan mati saja di tangan begal itu?" ratapnya
penuh penyesalan.
"Kadang-kadang aku merindukan kema-
tian! Ohhh...Nuraini!" teriaknya tersendat-sendat
sambil mengangkat kepalanya menengadah ke
atas seakan-akan mengadu pada sang rembulan.
Tapi pada penglihatannya ternyata bulan hanya
diam membisu.
Parmin mendekati Si Gila. Lalu berlutut di
sebelahnya. Ia merasa berdosa telah membuat Si
Gila larut dalam masa lalunya akibat irama serul-
ing yang dimainkannya.
Si Gila memalingkan wajahnya ketika dira-
sakan Parmin duduk di sebelahnya.
"Oh, untuk apakah aku hidup? Aku tak in-
gin hidup lagi!" desahnya lirih. Seluruh wajahnya
basah oleh keringat dingin dan deraian air mata.
Parmin memegang bahu Si Gila.
"Tenanglah, kawan! Sudilah kau menceri-
takan apa yang telah jadi beban pikiranmu? Ceri-
takanlah!" pinta Parmin berharap dapat merin-
gankan penderitaan jiwa yang dialami Si Gila.
Si Gila kembali menatap begitu sedihnya
sambil menelungkupkan dirinya di atas peti kayu
jati yang dibawanya. Air mata membasahi peti itu.
Parmin hanya bisa memandangi punggung Si Gila
dengan perasaan iba dan turut berduka. Ia meli-
hat betapa masalah asmara merupakan segala-
galanya bagi kehidupan orang muda seusia Si Gi-
la dari Muara Bondet ini. Lenyaplah sudah sifat
gagah seorang jago silat.
Si Gila begitu melankolis, cengeng dan ra-
puh!
"Oh, Nuraini! Mengapa kita harus berpisah,
sayangku? Mengapa hidup ini cuma sebagai
mimpi? Lenyap begitu saja seperti dipupus oleh
angin?" Si Gila kembali meratapi kekasihnya yang
telah tiada dan ia mengadu pada isi peti kayu itu
seperti berdialog langsung dengan orang yang di
cintainya.
Parmin diam terpaku tanpa bisa berbuat
apa-apa.
Lalu ia menghela napas dan berlalu me-
ninggalkan Si Gila yang masih meratap.
"Biarlah ia memuaskan tangisnya! Hanya
itu satu-satunya jalan yang terbaik. Dia tadi me-
nyebut-nyebut nama seorang wanita? Aku harus
mengetahui rahasia apa yang menyelubungi di-
rinya dan darimana ia memperoleh ilmu pedang
yang hebat itu!" gumam Parmin dalam sambil
menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. Ia se-
benarnya ingin bertanya pada Si Gila lebih jauh
tetapi di saat ini tidak mungkin untuk menanya-
kan hal itu kepadanya.
"Biarlah ia menumpahkan segala pera-
saannya!" desah Parmin seraya berjalan mencari
tempat untuk memejamkan matanya yang mulai
diserang kantuk.
Dan malam semakin larut. Bulan dengan
setia menyinari alam seluruhnya dan malam itu
kedua pendekar muda itu tidur bertikar rumput
beratap langit dibuai oleh nyanyian serangga-
serangga malam.
Karena lelah menempuh perjalanan sehari
suntuk Parmin akhirnya tertidur juga. Tetapi se-
bagai seorang jago silat nalurinya tetap bekerja
memantau daerah sekitar hutan itu menjaga ke-
mungkinan yang dapat saja terjadi mengancam
jiwa mereka berdua.
Ia dapat melihat juga Si Gila gelisah dan
sering mengigau dalam tidurnya.
"Peti kayu itu sebentar-sebentar dipeluk-
nya. Apakah takut dicuri orang? Apakah di da-
lamnya berisi emas permata seperti kata si begal
tempo hari, atau...apa?" Parmin bertanya-tanya
kepada dirinya sendiri. Akhirnya ia tak tahan lagi
melawan rasa kantuk yang kembali menghantui
dirinya. Tak lama kemudian Parmin dapat meme-
jamkan matanya dan tertidur lelap.
Sementara itu di lain fihak Si Gila duduk
terpaku menatap sang rembulan yang seolah-
olah tersenyum simpul kepadanya. Pikirannya
menerawang. Dan malam terus berputar seiring
detak jantungnya mengikuti perjalanan sang wak-
tu.
***
Pagi-pagi sekali Parmin bangun. Setelah
melakukan sholat subuh, dengan diam-diam ia
pergi mencari makanan ke kampung terdekat
atau mencari bahan makanan apa saja yang da-
pat ditemuinya dalam hutan itu. Parmin berjalan
menembus hutan berselimut kain sarungnya un-
tuk berlindung dari hawa dingin yang menusuk.
Udara pagi itu terasa menggigit tulang
sumsumnya. Sepanjang jalan Parmin terhibur
oleh kicauan burung-burung melantunkan irama
ceria menyambut datangnya sang mentari. Ia ter-
senyum sendiri melihat seekor burung yang se-
dang belajar terbang di salah satu cabang pohon.
Berkali-kali ia terpeleset dari ranting pohon dalam
perjuangannya agar dapat terbang lebih jauh.
"Paling cepat setengah jam aku baru me-
nemukan pinggiran kampung karena hutan ini
ternyata tak ditumbuhi pohon buah-buahan un-
tuk bisa dimakan. Kasihan Si Gila! Tentu ia san-
gat lapar akibat perkelahian sengit dan begadang
hampir semalam suntuk!" gumam Parmin terus
melangkahkan kakinya menelusuri hutan.
Tak lama ia berjalan sampailah dipinggir
hutan. Terlihat sebuah rumah penduduk bera-
tapkan rumbia. Parmin segera menghampiri seo-
rang nenek-nenek yang sedang mengikat kayu
bakarnya diteras pondok itu.
Tanpa berpikir panjang lagi Parmin menya-
pa nenek-nenek itu.
"Assalamualaikum...!" salam Parmin sambil
melipat kain sarungnya dan disampirkan diatas
bahu.
Mendengar ada seseorang yang memberi
salam kepadanya si nenek menoleh ke asal suara
itu.
"Waalaikum salam...!" jawabnya tertahan.
Ia heran melihat seorang pemuda tiba-tiba berdiri
di dekatnya pagi-pagi begini. "Ada apa anak mu-
da?" Parmin tersenyum menatap nenek-nenek itu.
"Maaf nek mengganggu! Bolehkah aku min-
ta makanan apa saja sekedar untuk sarapan?"
tanya Parmin sambil membungkukkan tubuhnya
memberi hormat kepada orang tua itu.
"Oh! Ada nak! Silakan masuk!" sahutnya
meninggalkan pekerjaannya menuju ke dalam
gubuknya. Langkahnya tertatih-tatih dengan tu-
lang punggung yang sudah melengkung.
Parmin mengikuti langkah nenek-nenek itu
masuk ke dalam. Ia kemudian tanpa sungkan-
sungkan menceritakan dirinya dan sekaligus
mengutarakan maksud kedatangannya kemari.
Nenek itu hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya seraya bergegas ke dalam dapur untuk
mengambil segala yang dibutuhkan Parmin. Sete-
lah selesai, Parmin segera mohon diri dan sangat
berterima kasih kepada nenek itu untuk kembali
ke dalam hutan menemui Si Gila yang mungkin
telah bangun.
Matahari mulai menampakkan cahayanya
menerangi hutan dan alam sekitarnya. Kokok
ayam hutan bersahut-sahutan menyongsong te-
rangnya hari.
Dilihatnya Si Gila sedang termangu-mangu
dan masih merenung di sebelah peti kayu jati itu.
"Lagi-lagi peti kayu itu!" desah Parmin se-
raya menghampiri Si Gila.
"Maaf, aku tadi meninggalkan anda seben-
tar. Tampaknya anda sudah mulai sehat?" tanya
Parmin menyapa.
Si Gila menoleh. Wajahnya tampak mulai
ceria. Tetapi matanya terlihat sembab akibat me-
nangis semalaman. Namun ia mencoba untuk
tersenyum kepada kawan barunya yang telah me-
nolongnya itu. Parmin duduk bersila disebelah Si
Gila yang masih saja diam membisu. Lalu Parmin
memeriksa luka pemuda itu dengan cermat dan
luka yang diderita Si Gila sudah kering. Ternyata
telah terbukti betapa mujarabnya ramuan obat
itu. Perubahan pada luka itu terjadi begitu cepat
dan membuat wajah Si Gila mulai terlihat segar.
Matanya bercahaya dan ia mulai mendapatkan
rasa percaya terhadap dirinya.
"Mari kita makan!" Parmin membuka nasi
yang terbungkus daun jati pemberian nenek-
nenek tadi.
"Nasi bungkus ini masih hangat, sangat co-
cok untuk pagi yang dingin seperti ini!" katanya
sambil menyerahkan sebungkus nasi pada Si Gila
dan ia menerimanya tanpa mengucapkan sepatah
katapun.
Ia lebih banyak bercerita melalui sinar ma-
tanya.
Parmin mengerti dan memakluminya.
"Banyak-banyaklah anda makan, agar ke-
sehatan anda cepat pulih kembali!" ujar Parmin
sambil menyuap nasi yang masih berasap itu ke-
dalam mulutnya. Ia teringat, nenek itu menolak
uang pemberiannya sebagai imbalan.
***
Melihat Parmin mulai makan, Si Gila tanpa
malu-malu turut menyuapkan nasi kedalam mu-
lutnya. Dikunyahnya pelan-pelan meyakinkan diri
betapa pulen nasi itu dan betapa gurih rasa ikan
asin.
Kemudian barulah ia menyantapnya den-
gan lahap.
"Anda begitu baik kepadaku yang hina-
dina ini. Apa yang harus kulakukan untuk mem-
balas budi anda?" tanya Si Gila sambil mengu-
nyah nasi yang berada dalam mulutnya. Dalam
sekejap nasi itu tinggal separuhnya.
Parmin agak terkejut mendengar Si Gila
menyapanya. Sepertinya ia ingin berbagi rasa ke-
pada orang yang baru dikenalnya dan sekaligus
dipercaya olehnya.
"Terus terang, aku mengagumi ilmu pedang
yang anda miliki dan kalau boleh aku ingin men-
getahui siapa anda dan darimana anda berasal."
tanya Parmin penuh harap.
Si Gila terdiam sejenak sambil mengha-
biskan nasinya hingga tak tersisa sebutirpun di-
atas daun jati itu.
"Ceritanya sangat panjang! Akupun merasa
gembira bilamana anda mau mendengarkannya.
Aku senang, bahwa di dunia ini masih kutemui
orang yang peduli kepada gembel gelandangan
seperti aku...!" sahut Si Gila mulai menceritakan
asal muasal dirinya hingga memiliki ilmu pedang
yang sangat dikagumi oleh Parmin.
Sedangkan Parmin mendengarkan Si Gila
dengan penuh antusias seraya membenahi daun-
daun jati bekas ajang nasi yang kemudian di
tumpuk jadi satu dan dilipatnya sebelum di-
buang.
***
Lima tahun yang lalu...ya, lima tahun yang
lalu... jauh agak ke hulu sungai bondet, terdapat
sebuah desa yang bernama Ori Malang. Dinama-
kan demikian mungkin dahulu di sana banyak di
tumbuhi pohon duri yang malang melintang atau
bagaimana ia sendiri tidak tahu. Si Gila dari Mua-
ra Bondet itu mempunyai nama asli Karta berasal
dari keluarga yang miskin. Sejak kecil ia sudah
ditinggal ibu dan bapaknya. Ia seorang anak ya-
tim-piatu. Ia dipungut oleh seorang juragan yang
kaya di desa itu yang merasa kasihan padanya
karena tidak mempunyai saudara satupun di de-
sa itu. Ia sebatang kara. Juragan Benjar, demi-
kian namanya, mengangkat Karta bukan sebagai
anak, tetapi sebagai pesuruh. Kerjanya setiap hari
adalah menggembalakan kerbau-kerbau milik ju-
ragannya. Pagi-pagi sekali ia menggembalakan
kerbau-kerbau itu ke tempat yang banyak ditum-
buhi rumput bila menjelang sore barulah ia pu-
lang. Semuanya itu dilakukan sampai menjelang
remaja dan sampai kerbau-kerbau juragannya
berkembang biak semakin banyak jumlahnya.
Karta sangat rajin dan cekatan dalam menjalan-
kan pekerjaannya membuat hati juragan Benjar
menjadi sangat senang.
Ketika menginjak masa remaja Karta jatuh
cita kepada seorang dara yang cantik jelita. Na-
manya Nuraini. Wajahnya bundar bak bulan pur-
nama. Alisnya hitam tebal. Rambutnya panjang
sebatas pinggang dengan tubuh yang ramping
menawan. Sinar matanya bening bagai air telaga.
Ia adalah anak majikannya sendiri. Cinta itu di-
pupuknya sejak masih kecil. Mereka sering ber-
temu dan bercanda di pinggir sungai Jamblang
apabila Karta sedang memandikan semua kerbau-
kerbau majikannya dan Nuraini mencuci pa-
kaiannya di sungai. Mereka saling mengutarakan
perasaannya masing-masing di bawah sebuah
pohon waru yang tumbuh condong dipinggiran
sungai Jamblang tempat mereka bermain. Tiada
hari tanpa cinta, tiada hati tanpa kemesraan.
Sungai Jamblang dan pohon waru itu merupakan
saksi bisu dari hubung an asmara kedua remaja
itu. Hal itu membuat Nuraini selalu pulang telat
berjam-jam lamanya setelah selesai mencuci
hingga juragan Benjar merasa curiga melihat
anaknya selalu pulang terlambat yang kadang-
kadang membuat ayahnya merasa cemas. Tapi
berkat kecerdikannya Nuraini dapat meyakinkan
ayahnya dengan berbagai macam alasan sampai
ayahnya tidak lagi mencurigainya. Karena bagi ju-
ragan Banjar apa yang dikatakan anaknya yang
tercinta dan buah hatinya itu adalah benar.
Di pohon waru condong di tepi kali Jam-
blang itulah mereka sering bertemu dan memadu
kasih.
Tetapi kisah percintaan keduanya menga-
lami suatu rintangan!
Suatu hari sehabis mencuci pakaian di
sungai, Nuraini melihat ayahnya sedang meneri-
ma tamu seorang yang sangat kaya dari desa lain.
Tamu itu adalah seorang juragan tua dan anak
laki-lakinya yang bertubuh tegap bernama Badar.
Ternyata maksud kedatangan mereka tidak lain
dan tidak bukan untuk melamar dirinya.
Nuraini rupanya mendengarkan semua
percakapan mereka dari balik gorden yang mem-
batasi ruang tamu dengan ruang keluarga. Mere-
ka menjanjikan mas kawin yang sangat banyak
dan mahal-mahal sehingga ayahnya langsung se-
tuju dan menerima lamaran mereka hari itu juga.
Direncanakan hari perkawinan sesudah
panen tahun depan. Saat itu juga Nuraini merasa
sangat kecewa karena ayahnya tidak membicara-
kan dan minta pendapat semua itu kepadanya.
Ayahnya begitu mudah memutuskan semua itu
tanpa menanyakan kepadanya apakah ia suka
atau tidak dengan calon suaminya. Yang jelas ia
tidak mau dikawinkan dengan orang lain kecuali
Karta seorang! Kemudian ia berlari sambil me-
nangis menuju kamar tidurnya dan mengunci di-
ri. Hanya isak tangis saja yang ia curahkan seba-
gai tanda protes yang tidak tersampaikan.
Keesokan harinya seperti. biasa Karta
menggembalakan kerbau-kerbau majikannya di
sungai Jamblang. Ia duduk di atas punggung sa-
lah satu kerbaunya yang sedang mengunyah
rumput dengan santai. Tiba-tiba ia melihat keka-
sihnya berjalan menggendong sebuah bakul berisi
pakaian kotor dengan tangis yang terisak-isak
menuju ke arahnya. Ia segera melompat dan ber-
lari menghampiri Nuraini yang jatuh terkulai di
pinggir sungai sambil menangis sesenggukan.
Karta segera meraih bahu kekasihnya.
"Ain, kenapa menangis, sayang? Ada apa?"
tanya Karta dengan lembut sambil membelai
rambut indah milik kekasihnya. Rambut panjang
hitam legam yang selama ini ia kagumi.
Nuraini mengangkat wajahnya. Air ma-
tanya membasahi kedua pipinya yang mulus. Ma-
tanya merah sayu.
"Aku akan dikawinkan dengan orang yang
jadi pilihan ayahku...!" ratapnya lirih kemudian
memeluk tubuh Karta erat-erat yang diam mema-
tung mendengar jawaban Nuraini. Ia seolah-olah
mendengar petir disiang hari! Tanpa terasa ia
membalas pelukan Nuraini dengan erat juga sea-
kan-akan mereka tidak sudi untuk dipisahkan
oleh siapapun.
Betapa hancur hati keduanya. Musnahlah
seluruh harapan mereka dan mulai saat itu mata-
mata dari calon suami Nuraini selalu berada di
sekitarnya untuk menjaga sang dara dari gang-
guan pemuda lain di desa Ori Malang. Pertemuan
mereka menjadi terbatas sekali dan bersifat sem-
bunyi-sembunyi.
Pada suatu ketika fihak calon suaminya,
Badar mencium pertemuan rahasia Karta dengan
calon istrinya Nuraini. Mereka tertangkap basah
sedang bercanda ria di bawah pohon waru tempat
pertemuan mereka selama ini. Badar datang ke
tempat itu bersama beberapa orang begundalnya
yang terdiri dari jago-jago silat bayaran.
"Heii, tikus busuk! Apa yang sedang kau
perbuat dengan calon istriku, hah?!" teriak Badar
geram melihat Nuraini sedang berpegangan tan-
gan begitu mesra dengan seorang pemuda yang
lusuh dan miskin. Matanya mendelik sengit.
Karta dan Nuraini terkejut bukan main
dengan datangnya Badar yang diketahuinya seba-
gai calon suami kekasihnya itu. Seketika pegan-
gan tangan keduanya terlepas. Nuraini ketakutan
sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon
kelapa di dekatnya dengan tangan berpegang erat
sekali pada batang itu. Peluh dingin merembes
keluar dari pori-pori sekujur tubuhnya dan beta-
pa jantungnya serasa berhenti. saat itu juga. Se-
mentara itu Karta berusaha untuk bersikap te-
nang dan menguasai dirinya.
Karta menatap mereka satu persatu den-
gan dada berdebar-debar.
Badar melangkah maju menghampiri me-
reka diikuti oleh anak buahnya dari perguruan si-
lat Ori Malang. Mereka semua berempat.
"Hmm... pantas kau selalu menghindari
aku, Nuraini! Rupanya karena ada monyet dekil
ini!" bentak Badar keras. Matanya merah mena-
han luapan amarahnya yang tak terhingga.
Pandangannya kemudian diarahkan kepa-
da Karta. Napasnya bergemuruh.
"Hei, monyet! Kenalkah siapa aku? kau
memang benar-benar tak tahu diri, hah!!"
Karta mengangkat alisnya karena ia me-
mang belum mengenali siapa Badar dan teman-
temannya itu. Yang ia tahu selama ini hanyalah
bahwa calon suami kekasihnya adalah seorang
anak tuan tanah yang kaya-kaya.
Melihat Karta tidak menjawab pertanyaan-
nya, seketika meledaklah amarah Badar.
"Kurang ajar!! Nih, buat pelajaran bagimu!"
teriaknya sambil mendaratkan telapak kakinya ke
wajah Karta yang tidak memiliki kepandaian bela
diri apa-apa hingga terjengkang ke belakang dan
berguling-guling di tanah. Dari mulutnya menga-
lir darah segar. Bibirnya sobek.
Melihat kekasihnya dipukul oleh Badar,
Nuraini jadi histeris.
"Oh, Karta! Karta...!" teriaknya hendak
memeluk Karta yang sedang meringis kesakitan
sambil meraba bibirnya. Tapi Nuraini segera dita-
rik oleh Badar dengan kasar menjauh darinya.
"Pulang! Ayo pulang, Nur! Apa yang kau
harapkan dari kambing gembel seperti dia!! Puiih!
Anak tak tahu diuntung terhadap majikan!" ben-
tak Badar meludahi wajah Karta yang masih ter-
golek di tanah sambil menarik-narik tangan Nu-
raini yang memberikan perlawanan kepadanya.
Darah remaja yang pantang dihina di hadapan
kekasihnya, membuat darahnya melonjak naik ke
ubun-ubun.
Karta berontak. Ia langsung berdiri tegak.
Tangannya mengepal keras. Giginya gemeretak
kuat. Napasnya terdengar mendengus seperti
banteng ketaton. Ia menatap Badar dengan ge-
ramnya.
Melihat gelagat itu Badar segera mele-
paskan tangan Nuraini siap menghadapi Karta
yang sudah berdiri di hadapannya siap memberi
perlawanan.
"E...eh! Rupanya kau masih penasaran?
Baiklah...! Agaknya kau belum mengenal siapa
Badar sebenarnya? Ha ha ha ha ha!"
Karta langsung merangsak Badar tanpa
perhitungan. Kasihan ia. Rasa sakit hati telah
membutakan dirinya yang tak mempunyai ke-
mampuan apa-apa, walaupun ia tahu bahwa
orang yang sedang dihadapi adalah murid dari
perguruan silat Ori Malang yang sudah mencapai
tingkat lumayan.
Dengan sekali gebrak, tubuh Karta ter-
jungkal jauh ke belakang langsung ambruk ke ta-
nah akibat pukulan Bandar. Mereka tertawa ter-
bahak-bahak melihat Karta merangkak di atas
tanah dan dengan susah payah mencoba bangun.
Ia berusaha menengadahkan wajahnya untuk
menatap mereka. Matanya menyala-nyala oleh
dendam yang sangat besar. Bibirnya digigit me-
nahan sakit dan untuk sesaat tubuhnya bergetar
kuat kemudian ambruk tak sadarkan diri. Badar
dan teman-temannya kembali tertawa keras me-
nyaksikan lawannya hanya mampu memberikan
perlawanan yang tak berarti
Nuraini melolong-lolong menangisi Karta
yang pingsan. Ia berontak sekuat tenaga terhadap
orang yang akan merampas dirinya dari sisi Karta
yang sangat dicintainya.
"Kau kejam! Manusia iblis! Jangan sentuh
aku! Lepaskan! Lepaskan! Aku jijik melihatmu!!"
maki Nuraini pada Badar yang hanya senyum
menanggapinya. Tapi biar bagaimanapun Badar
tak sanggup lagi menghadapi Nuraini yang terus-
terus memaki-maki dirinya. Lalu tiba-tiba tan-
gannya melayang menampar pipi gadis itu se-
hingga ia langsung terkulai lemas. Kemudian Ba-
dar memanggul tubuh Nuraini di atas pundaknya
dan membawa pulang ke rumah calon mertuanya.
Ia tersenyum simpul penuh arti. Calon mertuanya
tentu akan memuji dirinya sebagai malaikat peno-
long.
***
Sementara itu waktu terus berjalan dan en-
tah berapa jam kemudian Karta mulai siuman
kembali. Hari telah malam. Bulan meninggi diatas
langit memancarkan cahayanya yang kemilau.
Angin bertiup lembut mendesir membelai alam
sekitarnya dan seluruh tubuhnya yang terasa ngi-
lu.
Ruas-ruas tulangnya terasa hendak lepas.
Tetapi semua itu tidak terlalu dirasakannya. Yang
terasa hanya hatinya yang begitu perih seperti
disayat sembilu.
Karta mencoba bangkit.
Perlahan-lahan ia merangkak mendekati
sebuah pohon kelapa lalu menyandarkan tubuh-
nya. Hatinya teramat sakit. Ia sadar bahwa di-
rinya tak kuasa untuk membalas sakit hatinya. Ia
merasakan dirinya manusia lemah, miskin, hina-
dina dan tak berharga sama sekali dibandingkan
dengan Badar yang mempunyai segalanya.
Karta berjalan terseok-seok membawa tu-
buhnya pulang ke rumah majikannya. Tubuhnya
jatuh-bangun disepanjang jalan. Dan lebih me-
nyakitkan lagi tatkala ia sampai di rumah maji-
kannya, juragan Benjar Karta disambut dengan
caci-maki serta kalimat yang kotor dan kasar
yang membuatnya semakin merasa hina-dina.
"Anak tak tahu terima kasih! Berani-
beraninya kau mengganggu tunangan orang! Se-
harusnya kau menyadari siapa dirimu sebenar-
nya! Kau tak lebih dari seorang gembel! Gembel
yang kupungut dari tong sampah!" bentak maji-
kannya geram. Tangannya mengepal keras ingin
menghajar Karta, tetapi ia masih mempunyai rasa
kasihan sehingga meja yang berada di depannya
menjadi sasaran empuk kemarahan yang meluap-
luap. Walaupun akibat dari hantaman itu mem-
buat ia sendiri meringis kesakitan karena buku-
buku jarinya ngilu.
Karta tertunduk diam menggigit bibir.
"Kau kira apa pangkatmu, gembel! Masih
untung kau tak kuadukan kepada opas!" maki
majikannya tiada henti bagai semburan mitraliur.
Karta tidak sanggup lagi mendengarkan
semua itu. Sinar matanya tidak lagi memperli
hatkan semangat hidup yang menggebu-gebu lagi
seperti hari-hari sebelumnya. Hatinya sangat pe-
rih dan ngilu teriris-iris. Ia hanya menundukkan
kepalanya tanpa bisa menjawab ataupun me-
nyangkal semua perkataan dan cacian yang men-
cerca dirinya. Ia benar-benar merasa kehilangan
harga dirinya. Bahkan kehilangan segala-galanya.
Dunia rasanya kiamat.
Dan kontan malam itu juga ia dipecat dan
diusir dari rumah majikannya tanpa pesangon
sepeserpun dengan alasan melanggar adat dan
sopan-santun yakni mencintai anak majikannya
sendiri. Di mata juragan Benjar pelanggaran se-
perti itu adalah perbuatan biadab.
Karta dengan lesu segera membereskan
semua barang-barangnya dan pergi meninggalkan
rumah juragan Benjar malam itu juga.
Ia lunglai mengayunkan langkahnya yang
terasa mengambang. Ia akan pergi entah kemana.
Ia sendiri tidak tahu.
Ketika melewati kandang kerbau gemba-
lanya, Karta sempat berhenti sejenak menatap bi-
natang itu dengan sedih. Ia akan meninggalkan
hewan-hewan kesayangannya yang menjadi ka-
wan dekat sejak kecil. Diulurkan tangannya
membelai kepala seekor diantara kerbau itu pe-
nuh kasih sayang. Hewan itu sepertinya mengerti
apa yang telah menimpa gembalanya sehingga
kerbau itu melenguh panjang turut merasakan
kesedihan dan kehampaan yang sedang merun-
dung hati Karta gembalanya.
Kemudian Karta kembali melangkahkan
kakinya terus berjalan lesu sambil sesekali meno-
leh ke belakang seakan begitu berat meninggal-
kan segala sesuatu yang pernah memberinya ke-
hidupan. Dan sejak itu pula Karta tak pernah ber-
jumpa dengan jantung hatinya. Ia telah kehilan-
gan segala-galanya. Pekerjaannya, dan lebih ter-
penting adalah kekasihnya Nuraini.
Hidupnya kini tak tentu arah.
Setiap hari kerjanya hanya luntang-lantung
kesana kemari seperti gelandangan dan mirip
orang sinting. Setiap orang yang menjumpainya
selalu memperhatikan dan kasihan terhadapnya.
Mereka tidak percaya bahwa Karta yang dulunya
dikenal sebagai anak yang rajin dan selalu hormat
kepada semua orang tanpa pandang bulu, kini
mereka melihat kenyataan Karta sudah
menjadi tidak waras lagi. Mereka semua merasa
kasihan tanpa bisa berbuat apa-apa.
***
Begitulah...... Karta. Hari demi hari keluar
masuk setiap kampung tanpa tujuan.
Sementara bumi terus berputar mengikuti
porosnya. Siang malam silih berganti. Minggu
berganti minggu, bulan berganti bulan dan mu-
sim panenpun tiba. Penduduk desa Ori Malang
menyambut gembira musim menunai padi itu.
Tua-muda, besar-kecil semuanya bersuka-ria
apalagi dengan adanya pesta perkawinan anak
seorang juragan terkaya dengan putri juragan
Benjar. Para penduduk benar-benar merasakan
suatu kegembiraan yang begitu besar. Pesta per-
kawinan itu diadakan selama tujuh hari tujuh
malam dengan beraneka macam tontonan gratis
seperti wayang kulit, tayuban, tari topeng, lan-
gendriyan dan lain-lain.
Lain halnya dengan Karta.
Malam itu Karta duduk sendirian meman-
dangi air sungai Jamblang yang jernih dan me-
mantulkan cahaya kemilauan dari bias sinar bu-
lan purnama yang mengelus-elus permukaan air
sungai itu. Ia duduk termenung menundukkan
kepalanya seperti orang yang lagi tepekur diba-
wah sebuah pohon yang tumbuh di pinggir sungai
itu. Pohon waru condong pohon kenangan. Sunyi
mencekam meliputi dirinya. Dari jauh terdengar
sayup-sayup suara gegap-gempitanya pesta itu.
Pesta perkawinan gadis yang dicintainya. Suara
itu dirasakan Karta bagai ribuan jarum-jarum
yang menusuk hatinya. Pesta itu di selenggarakan
di rumah bekas majikannya. Jiwa Karta seperti
lolos dari tubuhnya. Malam yang demikian in-
dahnya itu terasa hampa. Jiwanya merintih.
Wajah rembulan yang biasanya indah me-
nawan bila ia menatapnya bersama Nuraini kini
tampak suram dan tak ada arti apa-apa bagi Kar-
ta. Tak terasa air matanya mengalir jatuh dikedua
pipinya. Air mata yang belum pernah ia keluarkan
sejak ia terlahir ke dunia.
Dan malam semakin larut. Angin mulai
dingin berhembus. Riak-riak air sungai jamblang
terdengar begitu indah. Serangga malam berden-
dang riuh-rendah. Suara gending tetabuhan dari
keramaian pesta perkawinan itu masih mengalun
dan gaungnya terdengar sampai keseluruh penju-
ru desa Ori Malang.
Tiba-tiba secara tak terduga sebuah peris-
tiwa menggemparkan telah terjadi seperti membe-
lah desa Ori Malang. Terdengar suara teriakan
orang-orang di tengah-tengah perayaan itu mere-
dam bunyi gending yang masih mengalun. Pen-
ganten perempuan di malam pertama telah bu-
nuh diri karena tak sudi disentuh oleh yang tak
dicintainya.
Karta tersentak nanar mendengarnya.
Berita itu seperti guntur yang membelah
dan menghancur-leburkan jiwanya. Ia seolah-olah
merasa bumi yang dipijaknya tiba-tiba merekah
menelan dirinya bulat-bulat. Karta tak sanggup
menghadapi kenyataan ini. Begitu kejam. Orang
yang dicintainya telah meninggalkan dunia ini
dengan cara yang mengerikan. Karta tak dapat la-
gi melihat wajah yang selalu dirindukannya. Be-
tapa tragis akhir percintaan mereka. Akhir dari
sebuah cinta remaja yang suci.
Keesokan harinya orang berbondong-
bondong mengantarkan jenazah Nuraini ke peku-
buran. Orang-orang ramai memperbincangkan
kematian Nuraini kembang desa Ori Malang. Me-
reka sebagian mengecam ayah Nuraini yang telah
menyebabkan kematiannya. Juragan Benjar menangis meraung-raung saat jenazah anaknya di-
turunkan ke dalam perut bumi dan Badar hanya
memandang semua itu dengan perasaan kecewa
yang dendam kepada seseorang yang telah me-
nyebabkan kematian istrinya.
Dan Karta sendiri menyaksikan pemaka-
man kekasihnya itu dari kejauhan. Ia mengintip
dari balik sebuah pohon besar, menangis dengan
lirih dengan hati luluh-lantak. Kemudian ia berja-
lan dengan gontai entah kemana. Dilain fihak
pemakaman itu telah selesai dan para penduduk
kembali ke rumahnya masing-masing. Di sepan-
jang jalan mereka masih saja memperbincangkan
peristiwa yang tragis dan menghebohkan itu.
Hari mulai malam. Sinar matahari telah
menyembunyikan wajahnya jauh dari bumi dan
berganti rembulan yang tersenyum simpul. Para
penduduk desa Ori Malang telah tertidur dengan
lelap. Seluruh desa itu sunyi mencekam. Sung-
guhpun masih dicekam oleh peristiwa bunuh diri
sang pengantin yang tak henti-hentinya menjadi
bahan percakapan. Malam itu mereka tidur den-
gan mimpi masing-masing.
Kawasan pekuburan tempat Nuraini dike-
bumikan terasa sunyi dan mencekam. Suara bu-
rung malam berkumandang menambah suasana
seram tempat itu. Kalong-kalong beterbangan di
udara dengan kepak sayapnya yang angker. Sua-
sana tanah pekuburan itu membuat bulu roma
merinding. Angin menghembuskan wewangian
bunga kamboja yang tumbuh merindang bagai
sosok-sosok makhluk yang memberi kesan magis
dan menyeramkan.
Tiba-tiba dari arah barat terlihat seseorang
pemuda berjalan menuju tanah pekuburan itu. Ia
membawa sebuah cangkul di atas bahunya. Dari
pantulan sinar bulan dapat dilihat wajah pemuda
itu.
Ternyata ia adalah Karta!
Ia menghentikan langkahnya di salah satu
kuburan di mana tadi siang Nuraini dimakamkan.
Dengan cepat ia menggali kuburan tersebut dan
tak lama kemudian terlihat papan-papan penutup
mayat Nuraini. Sejenak ia melepaskan cangkul-
nya, dan segera membuka papan itu perlahan-
lahan. Mayat Nuraini yang ditutupi kain kafan itu
segera digendongnya ke atas. Ia keluar dari dalam
liang dan membuka kain pocong yang menutupi
tubuh kekasihnya. Didorong oleh rasa rindu ingin
melihat wajah kekasihnya yang begitu menggebu
membuat ia nekad melakukan semua ini.
Wajah Nuraini yang pucat dipandanginya
dalam-dalam. Dari mulai keningnya terus ke alis
matanya, hidungnya, kedua pipinya, sampai bi-
birnya. Lama sekali...
Wajah itu sangat pucat tetapi tak mengu-
rangi kecantikannya. Bahkan semakin cantik bagi
Karta.
"Oh, Ain! Mengapa kau tega meninggalkan
aku? Mengapa...? Tidak! Tidaaaaaaaaaaaaaak...!!
Kau tidak mati!" ratap Karta melolong-lolong me-
mecah kesunyian malam. Mayat itu terasa dingin
dalam pelukannya, tapi ia tak peduli.
"Kau sedang tidur, tidur, bukan? Jangan!
Jangan tinggalkan aku sendiri! Aku tak mau kau
pergi!" jerit Karta sambil meletakkan kepala
mayat itu kedalam pelukannya.
Karta nekat menggali kuburan itu dan
membawa pergi jenazah Nuraini kekasihnya.
Setelah puas menumpahkan perasaannya,
Karta segera membungkus kembali mayat terse-
but dengan kain kafannya. Ia lalu menimbun
liang kuburan itu seperti semula dan pergi jauh
meninggalkan tanah pekuburan desa Ori Malang
malam itu juga membawa jenazah Nuraini.
"Mari kita pergi, sayang! Kita pergi mening-
galkan orang-orang yang tak menyenangi kita!"
kata Karta sambil memondong mayat itu.
Ia berjalan sejauh mungkin menuju ke ti-
mur dengan menelusuri tepian sungai Jamblang.
Esok harinya jika orang-orang kampung
melewati tanah pekuburan tidak tahu sama sekali
bahwa kuburan Nuraini yang masih tegak berdiri
itu sesungguhnya telah kosong. Dan kemana ge-
rangan Karta pergi tak seorangpun yang menge-
tahuinya.
***
Orang-orang yang kebetulan ada ditepian
sungai hanya mengetahui bahwa ada seorang
pemuda berdiri di atas sebuah rakit dan disebe-
lahnya terdapat sebuah peti kayu jati. Rakit itu
meluncur mengikuti arus sungai Bondet yang me-
rupakan lanjutan dari sungai Jamblang setelah
bergabung dengan sungai Plumbon menuju keutara tempat muara sungai itu bertemu laut. Me-
reka tidak tahu siapa nama pemuda yang keliha-
tan selalu diam dan murung di atas rakitnya.
Hanya tangannya saja yang bergerak sesekali
mengayuh membelah air sungai.
Berhari-hari Karta mendayung rakitnya itu
dibawa impiannya sendiri tanpa makan dan mi-
num kecuali dari air kali dan apa yang ada di
permukaannya. Tanpa terasa lagi ia sudah berada
dimuara sungai Bondet. Di depannya terbentang
laut lepas. Laut Jawa. Seperti hamparan perma-
dani biru. Burung-burung camar menyambut ke-
datangan Karta dengan celotehnya yang riuh-
rendah. Gelombang menghantam rakit Karta se-
hingga semburan air laut membasahi wajah Karta
yang sayu. Tubuhnya kurus dan rambutnya su-
dah tumbuh panjang melewati bahunya.
Para nelayan yang kebetulan melihat ting-
kah laku seorang anak muda itu tentu merasa he-
ran karena melihat pemuda itu mengoceh sendi-
rian seperti orang sinting. Beberapa di antara me-
reka melemparkan sisa bekal makanan tadi ma-
lam ke atas rakit itu. Dari sisa makanan para ne-
layan yang pulang dari laut itulah Karta dapat te-
rus menyambung hidupnya dari hari ke hari.
Sejak saat itu penduduk di pinggir kali
Jamblang sering melihat Karta hilir mudik di atas
sebuah rakit dengan peti kayu jati yang dibawanya.
Rakit itu terapung-apung hilir-mudik se-
panjang pantai teluk Cirebon. Jika matahari ber-
gerak menggelincir ke arah barat maka rakit itu
kembali ke muara Bondet. Dua orang nelayan
yang sedang mengayuh perahunya ke pantai se-
habis menjala ikan ditengah laut berpapasan
dengan rakit Karta yang menuju ke muara. Seje-
nak perahu itu berhenti. Dua orang nelayan itu
melihat rakit Karta melewati perahunya. Salah
seorang berdiri mengangkat kaki kirinya ke atas
pinggiran perahunya sehingga ia dapat memper-
hatikan semua yang dilakukan Karta diatas rakit
itu.
"Coba lihat! Aku tak habis pikir melihat
tingkah laku orang itu! Apa saja yang dikerjakan
setiap hari mondar-mandir begitu? Cuma bicara
sendiri seperti orang gila!" katanya mengernyitkan
dahinya keheranan kepada temannya yang se-
dang memegang dayung duduk di sebelahnya.
"Ya, pak! Tak jemu-jemunya ia sejak bebe-
rapa minggu yang lalu dan peti yang dibawanya
berisi apa, ya? Kadang-kadang peti dielus-elusnya
seperti elusan sayang! Barangkali emas permata!"
sahutnya sambil membetulkan gulungan tali layar
yang terlihat mengendor.
"Ya mungkin juga!" ujar orang itu manggut-
manggut. Kemudian ia kembali meneruskan per-
jalanannya menuju ke hilir, sementara rakit Karta
meninggalkan perahu mereka menjauh-menuju
laut lepas.
Minggu ditelan minggu. Bulan ditimpa bu-
lan dan sudah berjalan satu tahun Karta hilir-
mudik di Muara Kali bondet dan laut teluk Cire-
bon. Rambutnya semakin panjang tak terurus.
Wajahnya keras tetapi sinar matanya terlihat
hampa dengan pandangan yang menerawang jauh
menembus cakrawala dan kaki langit. Akhirnya
para nelayan sudah tidak lagi ambil pusing den-
gan dirinya lagi. Kini bagi mereka sudah merupa-
kan pemandangan biasa dan tak ada keanehan-
nya sama sekali.
Dan mereka menyebutnya dengan nama SI
GILA DARI MUARA BONDET.
Sementara itu para nelayan yang menaruh
belas kasihan kepadanya tetap memberikan sisa
perbekalan makanannya pada Karta dan ia pun
tidak menolak diberi julukan Si Gila oleh mereka
walaupun ia sendiri merasa bahwa pikirannya se-
ratus persen dalam keadaan waras. Mereka ka-
dang-kadang bertanya macam-macam kepada
Karta, tetapi ia menjawab dengan senyuman
hambar dan pancaran mata yang hampa. Ia tidak
mau menceritakan asal muasalnya. Ada juga
orang yang mencoba memegang peti kayu yang
dibawanya tapi segera Karta mencegah dengan
gerakan tangannya tanpa berbicara sepatah kata-
pun. Walaupun maklum, tetapi orang-orang itu
masih tetap ingin tahu apa isi peti kayu tersebut.
Namun mereka hanya bertanya pada dirinya sen-
diri apa kira-kira isi peti itu.
Tapi biar bagaimanapun mereka tidak be
rani berbuat kurangajar terhadap Si Gila. Ada
semacam rasa menghargai terhadap hak-hak
orang lain disertai rasa belas kasihan kepadanya.
Bila malam telah sunyi. Bintang-bintang gemerla-
pan di atas lazuardi. Angin bertiup sepoi seakan-
akan membisikkan kata-kata yang lembut. Om-
bak pantai Cirebon mengalun tenang mengusap
dan membelai rakit Si Gila penuh rasa kasih
sayang. Dia saat seperti Si Gila meratapi peti
kayu jati itu. Suara tangisnya menyayat hati. Tak
seorangpun yang mendengarkannya. Peti itu dipe-
luknya erat-erat. Sebagian kakinya basah terkena
percikan ombak yang menghantam pinggiran ra-
kit itu. Hawa dingin malam yang menyusup ke
dalam tubuh samasekali tak dirasakannya. Ia
tenggelam dalam khayalannya sendiri. Kesendi-
rian merupakan kenikmatan bagi dirinya. Ombak-
ombak laut, bulan dan bintang serta angin malam
adalah saksi bisu dari segala tingkah laku Si Gila
diatas rakit itu.
***
Tahun kedua telah datang. Tampaknya ti-
dak ada perubahan pada diri Karta. Semua tetap
seperti sedia kala. Hanya rambutnya sudah pan-
jang sebatas pinggang. Kulitnya kelihatan hitam
tembaga karena terus-menerus diterpa angin laut
yang kering dan sinar matahari yang menyengat.
Bulu-bulu tubuh meremang di sekitar wajahnya.
Tubuhnya berubah menjadi kekar dan berotot,
namun tatapan matanya tetap saja tampak ko-
song. Dipinggangnya kini terselip sebuah golok
panjang.
Suatu keajaiban telah terjadi dalam diri
Karta. Setiap malam seperti dalam keadaan se-
tengah sadar, Karta melakukan gerakan-gerakan
yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk dan tangannya
direntangkan seiring gerak kakinya. Ia bergerak di
seputaran rakitnya mengitari peti kayu yang be-
rada ditengah rakit itu. Semakin lama gerakan itu
semakin lincah. Karena dilakukan setiap malam
maka tubuh Karta menjadi luwes dan gesit. Gera-
kan yang semula terlihat lamban kini kian hari
kian cepat, sehingga tubuhnya bagaikan selembar
daun yang dipermainkan oleh tiupan-tiupan an-
gin laut yang berhembus dan jika dilihat dari jauh
seperti seekor udang yang sedang melompat-
lompat di atas pasir pantai. Gerakan-gerakan itu
kemudian terbentuk dengan sendirinya tanpa di-
ciptakan menjadi jurus-jurus silat yang aneh tapi
sempurna.
Pada awalnya Si Gila melakukan gerakan
itu hanya di seputaran rakitnya, tapi kini ia telah
dapat melesat keatas dan meliuk-liukkan tubuh-
nya di udara sambil mempermainkan golok pan-
jangnya. Rakit itu turun naik dan kadang-kadang
miring karena dimainkan oleh ombak laut. Tetapi
Si Gila seperti tak menghiraukan semua itu. Bah-
kan ia semakin banyak melakukan gerakan-
gerakan yang bervariasi untuk menjaga keseim-
bangan tubuhnya terhadap gerak oleng rakit yang
diinjaknya.
Tubuhnya berputar-putar di udara. Bila se-
lesai melakukan rangkaian gerakan tersebut, ia
kemudian duduk bersila diatas peti kayunya me-
mejamkan matanya seiring dengan pengaturan
napas untuk menghilangkan rasa lelah sehabis
berlatih. Tanpa ia sadari ilmu peringan tubuh
Karta sudah mencapai tingkat yang sempurna.
Karta mendapatkan semua itu bukan dari seo-
rang guru maupun belajar dari kitab silat, tetapi
ia dapatkan dari imajinasinya sendiri yang timbul
akibat dari tekanan jiwa yang sangat berat. Kea-
jaiban-keajaiban alam yang penuh misteri turut
membantu menggemblengnya.
Dan ada satu hal lagi yang merupakan kea-
jaiban.
Pada suatu hari para nelayan di muara
Bondet dibuat gempar. Mereka terkejut sekali me-
lihat ikan-ikan mati terapung di laut lepas. Ber-
puluh-puluh ekor bahkan beratus-ratus ekor ikan
mati terapung dengan keadaan badan terpotong
menjadi dua bagian. Nelayan itu merasa ditimpa
suatu malapetaka. Mereka mendapat kutukan da-
ri penguasa laut Jawa. Mereka gelisah dan panik
tak menentu.
"Apakah dewa laut sedang marah?"
"Ya! Kita harus menyajikan kepala kerbau
untuk dikuburkan di tengah-tengah laut!"
Para nelayan mencoba menduga-duga apa
yang menyebabkan semua ini terjadi. Masing-
masing tenggelam dalam pikiran dan ilusinya.
Hanya burung-burung camar yang merasa
senang karena kenyang dapat menikmati hikmah
dari peristiwa itu. Dan sekumpulan burung-
burung laut berdatangan menyelimuti laut pantai
Cirebon berpesta pora. Sedangkan para nelayan
menyaksikan semua itu dengan gundah-gulana
dan keluh-kesah berkepanjangan.
Apakah sebab musababnya?
Betulkah dewa laut sedang marah karena
mereka lupa membuat sajian?
Kita lihat rakit Si Gila masih tenang men-
gapung diatas permukaan air laut dengan setia
mengayun-ngayunkan rakitnya. Di atasnya masih
terdapat peti kayu jati, kain sarung, dan baju
pembungkus tubuhnya. Tetapi dia sendiri tidak
kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan?
Bila kita lihat lebih dekat ke permukaan air
laut itu, tampaklah gelembung-gelembung udara
yang muncul ke permukaan. Beruntun dan besar-
besar. Tidak mungkin gelembung itu ditimbulkan
dari napas seekor ikan. Ternyata di dasar muara
Bondet terlihat bayangan sesosok tubuh berkele-
bat kesana kemari dengan gesitnya seperti seekor
ikan hiu mengikuti mangsanya. Gerakannya
luwes sepertinya tidak terhalang oleh hambatan
arus dan tekanan air laut. Tangan kanannya me-
megang sebuah golok panjang yang diayun-
ayunkan melawan arus air yang ditimbulkan oleh
gerakan gelombang laut. Ia membelah-belah air
laut seperti membelah-belah udara. Begitu mu-
dahnya sehingga tampak golok panjang itu man
tap sekali. Setiap ia berkelebat sambil mengi-
baskan pedangnya, dua atau tiga ekor ikan yang
kebetulan mendekatinya menggelepar dalam kea-
daan terpotong menjadi dua bagian yang terpisah,
terkena sabetan pedangnya.
Sosok tubuh itu bukanlah seorang dewa
penguasa laut setempat dan ternyata dia adalah
Si Gila dari Muara Bondet!
Apa yang dilakukannya merupakan latihan
mempertinggi ilmu tenaga dalamnya dan sekali-
gus pula ilmu meringankan tubuhnya. Semua itu
hanya dilakukan oleh Karta seorang diri berda-
sarkan tuntunan nalurinya semata-mata. Si Gila
bergerak meluncur dan melayang sambil mengi-
baskan pedangnya membabat sasaran yang beru-
pa ikan-ikan dari yang besar sampai yang terke-
cil-kecilnya. Dan dapat dibayangkan betapa hebat
tenaga sabetannya, apabila ia melakukan semua
gerakan itu di udara yang tanpa hambatan.
Bisa diukur besar tenaga itu bila benar-
benar dilakukannya di darat. Karena ikan-ikan
yang menjadi sasarannya kadang-kadang ada
yang ukurannya sebesar tubuh seorang anak ke-
cil. Sedangkan kecepatan sabetannya bisa melalui
ikan kecil yang jadi korban. Yang lebih hebat lagi
pendengarannya. Ia dapat bertahan dari tekanan
air laut yang menerpa telinganya. Apalagi Si Gila
kita ketahui bahwa tekanan yang ditimbulkan di
dalam air laut tergantung dari kedalamannya.
Semakin dalam semakin besar tekanan yang di-
timbulkan. Napasnya kuat sekali. Ia dapat berlama-lama melakukan latihan di dasar laut hanya
dengan satu kali tarikan napas. Dan bila Si Gila
sudah kehabisan napas ia kembali muncul ke
permukaan untuk menghirup udara lagi. Hampir
sepuluh jurus dapat ia lakukan dalam satu tari-
kan napas. Persis seperti ikan lumba-lumba. Para
nelayan yang kebetulan melihatnya sedang mun-
cul di permukaan mengira Si Gila sedang mandi
belaka.
Sekali sabet beberapa ekor ikan dan uku-
ran besar dan kecil terpotong menjadi dua bagian.
Begitulah seterusnya Si Gila selalu berlatih
dan berlatih.
Hari demi hari dilalui hanya dengan se-
mangat membara yang timbul dari dasar jiwanya.
Bila saja tiba, ia segera naik ke permukaan laut
untuk kembali menuju ke muara Bondet. Napas-
nya tersengal-sengal ketika ia menggapai pinggir
rakit itu dan mengangkat tubuhnya naik. Seperti
biasa ia duduk bersila mengatur napasnya di atas
peti kayu jati itu untuk menghilangkan rasa lelah
dan mengembalikan kesegaran tubuhnya. Kemu-
dian setelah itu ia memakai pakaiannya dan sege-
ra mengayuh rakitnya.
Empat tahun telah lewat tak terasa. Sela-
ma itu pula Karta hidup di atas rakitnya bersama
peti kayu jati itu. Makan dan tidur juga di situ.
Para nelayan hanya dapat melihat bahwa pemuda
gila itu tubuhnya kian kekar dengan rambut pan-
jang melambai-lambai di tiup angin dan kulit tu-
buh yang semakin hitam tembaga. Semua yang ia
lakukan adalah tumpahan amarah, dendam, ke-
cewa, rindu yang terlukiskan melalui gerakan-
gerakan aneh yang lama-kelamaan terbentuk
menjadi suatu rangkaian jurus-jurus silat yang
lain dari yang lain. Si Gila dari Muara Bondet te-
lah berhasil menciptakan ilmu silat baru yang
aneh dan langka! Sebuah ilmu silat hasil ekspresi
jiwa!
Suatu hari di pagi yang cerah, Karta berka-
cak pinggang berdiri tegak diatas rakitnya yang
dibiarkan meluncur mengikuti gelombang air laut.
Matanya menatap kaki langit yang penuh pesona.
Hari ini ia betul-betul sedang menikmati keinda-
han alam.
Dua orang nelayan yang sedang melintas
dengan perahunya memperhatikan tingkah Si Gila yang kali ini terlihat lain dari biasanya yang ia
lakukan. Mereka saling berpandang-pandangan.
"Lihatlah! Si Gila sekarang mempunyai se-
bilah pedang yang terselip di pinggangnya! Mung-
kin ia sedang berkhayal menjadi seorang kesatria
yang menang perang!"
Memang menurut penglihatan mereka, Si
Gila seperti seorang komandan perang yang berdi-
ri siap menghadapi musuhnya. Mereka tidak tahu
apa sebenarnya yang terbesit dalam pemuda ek-
sentrik itu. Si Gila hanya tersenyum mendengar
percakapan mereka. Memang sangat tajam pen-
dengarannya! Padahal jarak dari rakitnya ke pe-
rahu nelayan itu cukup jauh.
Malam itu bulan terlihat muram. Angin
berdesir kencang. Gelombang laut bergerak dina-
mis mengombang-ambingkan rakit Si Gila.
Ia sedang duduk termenung mengenang
kembali masa silamnya. Teringat masa-masa in-
dah bersama kekasihnya Nuraini. Ia teringat wa-
jahnya, hidungnya, bibirnya, belaiannya, dan se-
gala yang ada pada diri Nuraini. Sampai terke-
nang kembali pada peris-tiwa berdarah yang telah
merenggut nyawa kekasihnya. Timbul kembali ra-
sa dendam yang menyala-nyala dan meledak-
ledak dengan hebatnya. Wajahnya berubah diser-
tai napas yang bergemuruh. Tubuhnya bergetar
kuat sehingga rakitnya turut bergetar.
Tapi lama-kelamaan dendam itu kian me-
reda. Desiran angin laut seakan-akan membelai-
belai hatinya yang panas sehingga lambat-laun
mulai terasa dingin mencair, Malam itu Si Gila
seolah-olah mendengar sesuatu yang merasuk ke
dalam telinganya membuat amarahnya berang-
sur-angsur mereda. Selanjutnya setiap malam,
bisikkan itu mengiang-ngiang di telinganya. Bisi-
kan lembut yang ia sendiri tidak tahu dari mana
datangnya.
Kalimat itu demikian jelas dan dapat di
hafal oleh Karta.
"Seorang pendekar yang sejati pantang me-
nanam dendam... sayangilah musuhmu dan doa-
kanlah semoga ia mendapatkan keinsyafan....!"
Si Gila tersentak dari lamunannya.
Ia segera memantau seluruh permukaan
laut lepas. Sejauh mata memandang hanya terli-
hat hamparan air laut saja yang terbentang luas.
Dan bila ia duduk kembali termenung, suara itu
mengiang lagi di telinganya. Bisikan itu betul-
betul meresap kedalam sanubarinya yang paling
dalam, sehingga didalam hatinya tertanam pera-
saan untuk tidak membalas dendam terhadap
musuh-musuhnya. Dan Si Gila bertekad untuk
tidak kembali ke desa Ori Malang.
Ia lebih senang luntang-lantung di sekitar
muara Bondet. Setiap orang yang mengenalnya
memanggilnya Si Gila. Sampai demikian terkenal-
nya nama itu ke seluruh pelosok desa. Apalagi di
kalangan anak-anak kecil. Setiap ia melangkah-
kan kakinya melewati suatu daerah, anak-anak
kecil selalu mengikuti sambil memperolok-
olokannya.
Begitulah... asal mula Si Gila dari Muara
Bondet.
***
"Selanjutnya anda tentu mengetahuinya!"
kata Si Gila kepada Parmin yang duduk menden-
garkannya bercerita.
Parmin menarik napas panjang setelah
mendengar seluruh penuturan itu. Tak terlu-
kiskan betapa perasaan saat itu. Haru, kagum,
dan berulang kali memuji kebesaran Tuhan yang
menciptakan seluruh kehidupan ini dengan sega-
la keajaibannya. Ia juga bersyukur bahwa Karta
dalam keputus-asaannya tidak sampai menjadi
korban bisikan iblis yang menyesatkan.
"Sesungguhnya tanah air tercinta ini mem-
butuhkan pendekar-pendekar berjiwa luhur se-
perti dia!" desah Parmin dalam hati.
Kemudian ia beringsut dari duduknya
mendekati Si Gila dan menatapnya lekat-lekat.
"Aku merasa terharu mendengar riwayat
anda, Karta! Jika anda mencintai kekasih anda,
maka biarkanlah ia beristirahat dengan tenang di
alam akhirat! Kita harus menguburkan kembali
jenazahnya!"
Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba Si Gila
mendengus dengan pancaran mata menolak.
"Tidak! Aku tidak mau berbuat kejam ter-
hadap Ain kekasihku!" Tangan Si Gila dari muara
Bondet mencengkram kuat-kuat bahu Parmin
.
yang tetap bersikap tenang.
"Siapa bilang kita hendak menyakiti keka-
sihmu, Karta? Nuraini kekasihmu itu tetap ber-
samamu kemanapun kau pergi. Ia ada dalam kal-
bumu! Jiwa kekasihmu hidup abadi, Karta!" kata
Parmin berusaha meyakinkan teman barunya itu.
Sinar mata Parmin memancarkan sugesti dan ini
benar-benar menusuk kalbu Si Gila.
"Tapi ketahuilah bahwa jasadnya berasal
dari alam, dari bumi ini, maka sepatutnyalah ka-
lau isi peti ini kita kembalikan pula ke dalam bu-
mi!" sambung Parmin.
Atas nasihat-nasihat Parmin, akhirnya Kar-
ta mau juga merelakan jenazah Nuraini dikubur-
kan. Peti kayu yang sudah lima tahun berada di-
dekatnya kini harus dikubur. Lima tahun! Tentu
bisa dibayangkan bahwa didalamnya hanya ting-
gal tulang-belulang!
Lama juga Karta menekuri gundukan ta-
nah itu. Tapi ia sudah tidak menangis lagi. Ek-
spresi wajahnya mulai datar dan tatapan matanya
bersinar kesadaran sebagai seorang lelaki yang
waras.
"Beristirahatlah dengan tenang, kekasih-
ku!" kata-kata itu hanya terdegup di dalam kal-
bunya. Karta duduk bersimpuh di depan kuburan
kekasihnya yang berada di bawah sebuah pohon
yang sangat rindang.
Parmin menatap punggung Karta dan turut
bersedih. Tapi ia harus membimbing Si Gila agar
tak larut terus menerus dalam kesedihan itu.
"Semua orang akhirnya akan kembali ke-
pangkuan Ilahi. Kita tidak bisa menolak hal itu.
Semua pertemuan pasti diakhiri dengan perpisa-
han. Tetapi suatu perpisahan belum tentu berak-
hir dengan pertemuan. Kita harus rela melepas
kepergian orang yang kita cintai sebagaimana kita
juga kelak akan meninggalkan orang yang kita
cintai!" kata Parmin sambil berjalan menghampiri
Si Gila yang semakin erat memegang tonggak ni-
san kuburan itu. Matanya menatap mata Si Gila
penuh harap. Ternyata perubahan yang diha-
rapkan sudah mulai tampak. Si Gila dari muara
Bondet mengembangkan senyumnya.
Wajahnya yang tampan itu sebenarnya
sangat manis bila tersenyum.
"Aku kini telah merelakannya! Aku tidak
merasa sendiri lagi di dunia ini. Aku telah mene-
mukan jiwamu yang teduh dimana aku bisa ber-
naung. Aku akan ikut kemana anda pergi, pende-
kar budiman!!"
Parmin memegang bahu Si Gila dan men-
gajak kawan barunya itu untuk bangun dari du-
duknya. Si Gila segera bangkit.
"Nah, begitulah seharusnya sifat seorang
pendekar. Lupakanlah kepahitan itu dengan
mendarmabaktikan diri untuk membela bangsa
dan tanah air!" kata Parmin mengobarkan seman-
gat kesatria yang di miliki Si Gila agar selalu me-
negakkan kebenaran dan keadilan di manapun di
setiap jengkal persada bumi pertiwi ini.
"Sekarang apakah yang harus kulakukan?
Sudah sepatutnya aku yang bodoh ini menerima
segala petunjuk anda!" seru Si Gila merendahkan
diri.
Parmin benar-benar gembira melihatnya,
"Baiklah! Mulai saat ini kau menjadi adikku! Kita
berjanji untuk sehidup-semati berjuang bahu-
membahu!" kata Parmin bersemangat.
Si Gila mengepalkan tinjunya ke atas sam-
bil mengembangkan senyum dan tatapan mata
yang optimis. Segera Parmin menyambutnya den-
gan kepalan tangan yang disilangkan ke tangan
adik angkatnya itu kuat-kuat. Semangat hidup-
nya kembali tumbuh. Matanya berbinar-binar. Si
Gila kini merasa tidak sebatang kara lagi. Ia su-
dah mempunyai semangat tumpuan harapan dan
tujuan hidup yakni berjuang melawan penjajah
Kumpeni Belanda yang sedang menghisap kerin-
gat dan darah bangsanya. Kini di antara kedua
pendekar muda itu telah terjalin ikatan batin
yang sangat kuat. Sepasang pendekar satu cita-
cita satu tujuan! Masing-masing bertekad untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Angin berdesir kencang tatkala mereka ber-
jabat tangan disusul dengan rangkulan hangat.
Seluruh hutan itu menyaksikan ikrar mereka dan
juga tanah yang masih merah di mana di dalam-
nya terbaring sosok tulang-berulang seorang ga-
dis yang setia dengan memilih mati daripada
menjadi milik orang lain.
Tiba-tiba Parmin dan Karta tersentak kaget
dan segera melepaskan rangkulan, ketika terden
gar suara tawa terkekeh-kekeh yang datang dari
atas sebuah pohon besar tak jauh dari mereka.
"Hi hi hi hi hi hi...! Jangan kalian berkhay-
al macam-macam, anak muda! Sebentar lagi ka-
lian akan mati!"
"Nenek....?!"
Parmin terperangah melihat siapa sebenar-
nya sumber suara itu.
Ternyata ia adalah nenek-nenek yang bera-
da di pondok tepi hutan yang telah memberinya
nasi dan kuk untuk sarapan.
Karta pun menatapnya. Hanya saja ia sa-
ma sekali belum mengerti apa kaitannya dan
mengapa perempuan itu hadir di hadapan mere-
ka?
"Ya! Dalam nasi yang kalian makan itu su-
dah kububuhi dengan racun yang bekerja lambat
agar kalian dapat merasakan sakitnya lalu mati
secara pelan-pelan!" lanjut nenek tersebut sambil
menggosok giginya, yang menghitam dengan su-
sur tembakaunya.
Untuk sesaat Parmin tergagap.
"Si... siapakah sebenarnya anda? Mengapa
bermaksud mencelakai kami?" tanya Parmin yang
mulai terpengaruh oleh sugesti nenek bongkok
yang bertengger seenaknya di atas dahan pohon
menandakan bahwa ilmu meringankan tubuhnya
sangat tinggi.
"Orang menjuluki aku dengan nama NYAI
WEWE GENDEL! Hi hi hi...!" dan kali ini dalam
tertawanya tampak nenek itu semakin menye
ramkan seperti apa yang menjadi nama gelarnya.
Wewe Gendel adalah bahasa daerah setempat
yang berarti kuntilanak!
"Kau tentu ingat nama Leonard Van Ei-
sen?" tanya Wewe Gendel mendelik sehingga pu-
tih biji matanya terlihat lebih banyak dan me-
nambah seram tampangnya.
"Tentu! Dialah tuan tanah yang serakah
dan ingin menguasai desa Kandang Haur sebagai
lumbung bahan makanan bagi serdadu Kumpeni
Belanda!" jawab Parmin geram.
"Bagus! Keberadaan Leonard Van Eisen di
tanah Cirebon ini bukan tanpa dukungan, karena
bangsa Belanda itu bermaksud baik yakni akan
menata kehidupan dan mendidik bangsa kita
menjadi bangsa yang maju setaraf dengan bang-
sa-bangsa lain!"
"Dan anda adalah salah satu pendukung-
nya?" tanya Parmin lugas yang membuat keriput-
keriput di wajah Nyai Wewe Gendel seakan ber-
tambah banyak secara mendadak.
"Tak salah, anak muda! Dan pertama-tama
tugasku adalah memusnahkan kerikil tajam se-
perti kau!" jawab Nyai Wewe Gendel sambil me-
nudingkan jarinya dan berkacak pinggang.
"Katakan kepada orang-orang bule itu
bahwa negerinya bukan di sini! Pada mulanya
mereka datang dengan alasan untuk berdagang
segala rempah-rempah yang berasal dari negeri
ini untuk dipasarkan di Eropa sana. Tapi nya-
tanya sampai sekarang mereka masih tetap bercokol disini dan semakin merajalela dengan men-
jadikan bangsa kita sebagai budak-budaknya!
Itukah yang dinamakan menata dan mendidik?"
Parmin berbicara dengan semangat yang berapi-
api dan siap untuk mendahului serangan sebelum
racun yang bersemayam didalam tubuhnya be-
nar-benar akan merenggut nyawanya.
Tapi mendadak sontak tubuh Si Gila dari
Muara Bondet menegang sambil tangannya me-
nekan perutnya sendiri.
"Kang Parmin..!!!"
Disusul dengan robohnya sang adik ang-
katnya itu ke tanah meliuk-liuk dan giginya
mengatup rapat menahan rasa sakit yang sangat
hebat.
Parmin segera menegakkan tubuh Si Gila
dan ia dengan cepat menekan kedua tangannya
ke perut Karta sambil menyalurkan hawa panas
dari dalam tubuhnya sendiri agar dapat mengu-
rangi rasa sakit itu. Tetapi malah sebaliknya. Tin-
dakan ini berakibat fatal bagi dirinya. Dari celah-
celah bibir Parmin seketika meleleh darah hitam
kental sebagai luka yang sudah mengendap da-
lam perutnya. Tubuhnya bergetar. Parmin mena-
han perih di perutnya dan berjuang mengatur
pernapasan untuk membagikannya kepada Si Gi-
la.
Bersamaan dengan itu, Nyai Wewe Gendel
melesat dari dahan pohon besar itu menukik ke
bawah. Tangannya menjulur dengan jari-jari yang
berkuku runcing mengembang terbuka seperti
cakar seekor serigala yang ganas mengancam
tengkuk Parmin dari belakang.
"Heyaaaaaaaaaaaa!!" suaranya merobek
udara pagi itu.
"Awas, kang!" teriak Karta.
Dengan gerakan reflek yang sangat kuat,
Parmin melempar diri ke samping sambil meme-
luk Si Gila erat-erat sehingga kedua pendekar
muda itu berguling-guling di atas tanah menghin-
dar dari serangan Nyai Wewe Gendel seperti se-
buah gulungan benang yang bergulir.
Sementara itu terkaman si nenek menye-
ruak tempat kosong dan menjebol akar-akar po-
hon tempat dua pendekar itu berada.
"Kurang ajar! Kalian tak mungkin lolos dari
cengkramanku, tikus-tikus kecil!" teriak Nyai
Wewe Gendel geram karena serangannya luput.
Lalu ia memutar tubuhnya untuk memasang ju-
rus baru.
Parmin tegak berdiri untuk siap siaga. Ia
berusaha agar rasa nyeri di perutnya tidak dira-
sakannya lagi. Konsentrasi nya tertuju pada iblis
pencabut nyawa yang garang di hadapannya. Air
liur kental bercampur warna coklat tembakau si-
rih meleleh dari sela-sela gigi nenek tersebut yang
sudah tanggal beberapa biji seperti sebuah sisir
yang rompal. Kulit wajahnya yang berkerut-kerut
semakin angker dengan rona merah padam kare-
na didorong nafsu membunuh yang menggebu-
gebu. Buah dadanya yang sudah mengendur se-
perti aliran lahar itu terpontang-panting hampir
ke pusarnya karena kain kemben yang menutupi
tubuhnya hampir terlepas ketika ia terjun bebas
dari atas dahan pohon yang cukup tinggi itu. Nyai
Wewe Gendel tak perduli terhadap semua itu. Ia
siap menyerang lagi.
"Huaaaaah!! Kali ini kalian tak bisa menge-
lak lagi, anak muda jelek! Kalian tak akan dapat
menangkis jurus andalanku Cakar Luwak Wadon
sedang menyusui ini!" teriak Nyai Wewe Gendel
sambil memasang kuda-kuda dengan posisi kaki
dan tangannya seperti seekor musang atau luwak
yang hendak mencakar lawan karena menggang-
gu anak yang sedang disusuinya.
"Bismillah....heep!" Parmin memasang ju-
rus Hening Cipta. Sebuah jurus yang mening-
katkan kepekaan indera untuk menangkap segala
bentuk gejala yang ada pada lawan. Beberapa kali
konsentrasinya buyar karena rasa sakit yang
kembali menusuk-nusuk perutnya sepertinya ra-
cun keparat itu sedang menggerogoti usus-
ususnya dan mencabik-cabiknya. Sesekali Parmin
menggigit bibirnya sendiri dan berusaha sekuat
tenaga untuk memulihkan konsentrasinya.
Ketika telah mencapai keheningan dari
puncak jurus andalannya itu, Parmin dapat meli-
hat titik-titik lemah yang ada pada tubuh Nyai
Wewe Gendel, seperti juga titik-titik lemah seekor
sejenis musang atau luwak yang dipakai lawan-
nya sebagai jiwa dari jurus andalannya.
Dan ketika Nyai Wewe Gendel itu berkele-
bat menyergap Parmin dengan cakar yang menyilang siap mengoyak-ngoyak, ia dengan cepat
mendahuluinya dengan sebuah sodokan lurus
kearah ulu hati. Cakar nenek itu berhasil pula
menyentuh lawannya. Baju Parmin pada bagian
dadanya terkoyak menyilang, tetapi Nyai Wewe
Gendel itu menjerit lengking terjengkang ke bela-
kang dan jatuh terlentang di tanah.
Ketika ia coba bangkit, napasnya seperti
hendak putus. Ia tersekat sehingga wajah nenek
itu menjadi pucat-pasi karena darah dari jan-
tungnya terhambat.
"Bangsat! Jurus apa yang kau pakai?"
"Jurus ikan asin menyeruak nasi!"
"Kurang ajar! Kau memperolok-olokku,
bangsat kecil!" Nyai Wewe Gendel terbatuk-batuk
sambil mendekap dadanya. Ia segera bangkit den-
gan kedua tangan dan jari-jarinya merentang ke
samping.
Tapi nafsu membunuhnya sudah bulat-
bulat menguasai dirinya sehingga membuat sega-
lanya menjadi buta. Ia menerjang dengan ganas.
Tangan kanannya mengarah untuk mencengkram
tenggorokan, sedangkan tangan kirinya bertujuan
membetot sesuatu di celah paha Parmin. Benar-
benar cara Kuntilanak dalam membantai korban-
nya.
"Heyaaaaaatt!" Parmin meloncat ke udara
ketika serangan itu datang sehingga cengkraman
lawan ke arah tenggorokannya kandas menembus
tempat kosong di celah pahanya. Dan tangan kiri
yang ingin membetot alat vitalnya terinjak telapak
kaki Parmin sekaligus untuk melambungkan tu-
buhnya lebih tinggi. Pada saat posisi kepala Nyai
Wewe Gendel tepat di bawah tubuhnya, segera
Parmin mengambil suatu tindakan yang cepat.
Telapak tangannya dalam keadaan miring ia sa-
betkan ke ubun-ubun lawannya.
Dengan cepat dan telak Parmin memukul
ubun-ubun Nyai Wewe Gendel dengan telapak
tangan miring
Seketika terdengar suara berderak keras,
ditandai dengan retaknya kepala nenek tua itu.
Dalam sekejap rambutnya yang panjang seperti
benang lawe itu menjadi merah oleh semburan
darahnya sendiri yang memancar dari ubun-
ubunnya. Dengan jeritan melengking memilukan,
Nyai Wewe Gendel terjungkal ke tanah. Tubuh
kurus bongkok itu berkelojotan seperti seekor
udang dalam penggorengan panas! Terdengar su-
ara gemeletuk gigi-gigi ompongnya menahan sakit
yang hebat dan nafasnya menggerogok seperti
kayu digergaji. Kemudian setelah berkejat bebe-
rapa kali, nafas terakhirnya lolos dari tenggoro-
kan dan tubuhnya lemas tak berkutik lagi.
Rumput-rumput di sekitarnya penuh per-
cikan darah dan sesuatu yang berwarna putih se-
perti tahu mentah.
Parmin bergidik sendirian, sementara ke-
dua kakinya telah mendapat dengan mantap di
atas tanah. Namun tiba-tiba tubuhnya oleng me-
rintih lirih sambil mendekap perutnya dengan ke-
dua tangannya lalu roboh dengan posisi tertekuk
seperti orang sujud. Keringat dingin membasahi
seluruh tubuhnya yang menggigil hebat. Semen-
tara itu Si Gila dari muara Bondet sudah tidak
terdengar lagi suaranya dan tampaknya ia sudah
terbujur tak bergerak sambil memeluk gundukan
tanah kuburan kekasihnya.
"Ya, Allah! Kalau memang di sinilah ajalku,
aku ikhlas menerimanya asal Kau kabulkan per-
mohonanku. Selamatkan nyawa saudara ang-
katku Karta untuk meneruskan perjuangan dan
tugasku!"
Setelah itu tubuh Parmin perlahan-lahan
roboh ke samping untuk tak terlihat tanda-tanda
ia masih hidup.
***
Entah berapa lama Parmin terkapar dalam
hutan dekat pesisir pantai teluk Cirebon itu. An-
gin senja membelai dedaunan dan rerumputan
semak-belukar hutan Celancang. Matahari yang
berwarna merah sudah amblas dikaki langit sebe-
lah barat. Angin senja yang terasa lembut itu juga
membelai sekujur tubuh Parmin yang tergolek tak
bergerak. Sejuknya seolah-olah menyelinap ke se-
genap pori-pori tubuhnya dan beberapa saat ke-
mudian terdengar rintih lirih dari mulutnya. Ke-
lopak matanya perlahan-lahan terbuka.
Pertama kali yang terlihat olehnya adalah
sosok tubuh mengabur yang sedang jongkok di
sampingnya. Ada gerak tangan yang menggun-
cang-guncangkan bahunya dengan perlahan dan
kemudian membantunya untuk bangkit duduk.
"Kau, dik.....? Bagaimana kau bisa lolos da-
ri serangan racun itu?" tanya Parmin untuk pertama kali. Ternyata yang ditanya tak lain adalah
Karta, Si Gila dari muara Bondet yang hanya ter-
senyum mengembang menyambut kebangkitan
saudara angkat yang ia cemaskan.
"Nyatanya kau juga selamat, kang Parmin!
Bisakah kau menjawabnya?"
"Allahu Akbar!" seru Parmin sambil menen-
gadahkan wajahnya ke langit. Pancaran matanya
penuh dengan rasa puji syukur.
"Apa yang kau ucapkan?" tanya Karta he-
ran.
"Kita selamat dari ancaman maut karena
kemurahan Tuhan. Agaknya kita berdua memang
tidak ditakdirkan mati karena racun nenek iblis
yang berkedok malaikat penolong dengan membe-
ri kita nasi untuk makan sarapan!" ujar Parmin
kepada adik angkatnya yang sama sekali awam
terhadap ajaran agama.
"Itu artinya tugas kita masih banyak, Kar-
ta."
"Ya, kang!"
Mereka membisu sejenak sambil saling
berpegangan tangan di bahu masing-masing di-
iringi tatapan mata penuh semangat. Keduanya
lalu bangun dan membenahi pakaian mereka
masing-masing yang sudah acak-acakan. Mereka
harus segera mulai menjalankan tugas dan kewa-
jiban sebagai patriot bangsa.
Kemudian Parmin memberi tugas kepada
Karta untuk mengumpulkan pendekar-pendekar
yang berjiwa patriot yang berada didaerah barat
Cirebon sesuai dengan tempat asal dan kampung
halaman Karta. Parmin sendiri pergi menuju ke
selatan kembali meneruskan tugas yang diama-
natkan oleh gurunya Ki Sapu Angin, demi tanah
air dan bangsa kepadanya.
Si Gila dari Muara Bondet melambaikan
tangannya sambil mengayunkan langkahnya me-
nuju ke barat. Demikian juga dengan Parmin. Ia
pun melangkahkan kakinya dengan rasa bangga
terhadap adik angkatnya itu. Untuk sementara
mereka berpisah dan kelak di suatu saat mereka
kembali berkumpul dan menghimpun kekuatan
untuk mengadakan pemberontakan membe-
baskan tanah air tercinta dari belenggu penjaja-
han Kumpeni Belanda.
Sampai episode ke dua berjudul
Si Gila dari Muara Bondet ini,
kita belum juga bertemu dengan JAKASEMBUNG.
Siapa gerangan dia? Baiklah, kita nantikan saja
kehadiran episode ketiga yang berjudul
"MENUMPAS BERGOLA IJO"
0 comments:
Posting Komentar