Karya Djair Warni
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
Cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau
pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
AIRMATA KASIH
TERTUMPAH
DI KANDANG HAUR
"Tar...! Tar...! Tar...!" Suara lecutan cam-buk
menghantam tubuh gadis itu, terdengar nyaring
dan sambung-menyambung. Terdengar pula jerit
dan rintih kesakitan. Beberapa pasang mata me-
natap dengan buas, sementara puluhan lainnya
menyaksikan dengan airmata berlinang-Linang.
Roijah! Gadis berusia muda itu sedang mene-
rima hukuman berupa siksaan. Tubuhnya hampir
telanjang, karena seluruh pakaiannya telah so-
bek. Begitu juga kulit tubuhnya akibat kerasnya
cambukan yang menerpa dirinya.
Darah segar menetes, bahkan di beberapa
bagian tubuhnya bercucuran, membasahi bumi
persada. Tanah di sekelilingnya merah dan basah,
seperti sedang melukiskan sejarah yang kelak
akan turun-temurun.
Perlahan kepala gadis itu terkulai lemas.
Rambutnya yang hitam panjang terurai menutupi
sebagian wajahnya. Kedua kelopak matanya pun
tertutup. Lalu ia tak ingat apa-apa lagi.
Di desa Kandang Haur, kejadian seperti itu
bukanlah hal yang aneh bagi penduduk. Tentara
kumpeni Belanda tampaknya menerapkan sistim
hukum rimba, di mana setiap orang, terutama pa-
ra pendekar yang dianggap pembangkang disiksa
habis-habisan. Tragisnya lagi, penyiksaan itu
sengaja dilakukan di depan umum dengan mak-
sud sebagai peringatan kepada penduduk lainnya
agar tidak membangkang
Roijah telah cukup lama dikenal sebagai pen-
dekar yang memiliki sifat kesatria yang patut diti-
ru. Selain ramah tamah, ia juga selalu ringan
tangan memberikan pertolongan bagi orang yang
sedang kesusahan.
Hampir semua penduduk Kandang Haur me-
rasa simpati padanya. Namun sebaliknya, Kum-
peni Belanda menganggapnya musuh yang harus
dilenyapkan. Sepak terjangnya selama ini telah
membuat penjajah kalang kabut.
Gadis itu bagaikan siluman saja masuk ke loji
musuh, lalu mencuri perbekalan tentara Belanda,
seperti beras, ikan, bahkan uang dan perhiasan
emas. Demikian lihainya gadis itu, sehingga sela-
ma ini ia selalu lolos dari sergapan musuh. Di ka-
langan pasukan Residen Cirebon yang dipimpin
oleh Leonard Van Eisen, gadis itu dijuluki "Bajing
Ireng" yang dapat diartikan sebagai maling yang
menyerupai seekor Tupai berbulu hitam, karena
pakaian Bajing Ireng memang serba hitam.
Roijah adalah putri Kepala Desa Kandang
Haur, Bek Marto. Usia gadis itu baru sekitar dua
puluh tahun. Rambutnya yang hitam legam dan
agak bergelombang dibiarkan jatuh terurai sam-
pai ke pinggul. Wajahnya mulus dengan raut wa-
jah yang bulat telor. Hidungnya agak mancung,
bibirnya merah merekah dan jika mengulum se-
nyum kelihatan seperti bunga mawar yang sedang
mekar. Sepasang matanya bening dan selalu bersinar-sinar. Alis matanya lentik dan tebal menan-
dakan ia seorang yang berpendirian kokoh.
Seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai
melompat, sekali-sekali pasti jatuh juga. Demi-
kianlah nasib putri Kepala Desa itu. Dalam per-
sembunyiannya, ketika hari masih pagi, ia dike-
pung puluhan pasukan Residen.
Roijah melarikan diri sampai ke hutan di be-
lakang desa. Namun pasukan musuh kali ini ru-
panya tidak mau bertindak tanggung-tanggung.
Ke mana pun ia melarikan diri, pasukan lawan te-
lah menghadang. Dan akhirnya, setelah mero-
bohkan beberapa orang pasukan penjajah, Roijah
dapat diringkus.
Kedua tangan Roijah segera diikat ke bela-
kang.
"Bawa pemberontak itu ke alun-alun!" perin-
tah pemimpin pasukan itu.
Dalam keadaan tak berdaya, Roijah dilempar-
kan ke dalam kereta kuda beroda dua. Kereta ku-
da yang biasanya digunakan untuk mengangkut
barang-barang itu kemudian digiring ke alun-alun
pasar Kandang Haur
"Hei, minggir! Semua minggir!" teriak pasukan
itu sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Pen-
duduk menjadi ketakutan dan segera menyingkir.
"Hei, kalian semua! Dengar dan perhatian
baik-baik siapa perempuan di dalam gerobak ini.
Dia menjadi contoh buat kalian bahwa siapa saja
yang coba-coba membangkang atau memberontak
akan mengalami nasib seperti dia!"
Mengetahui wanita yang baru tertangkap itu
adalah Roijah, penduduk menjadi terkejut. Mere-
ka berhamburan keluar rumah ingin menyaksi-
kan keadaan gadis itu. Namun tak ada yang be-
rani mendekat karena takut melihat kebengisan
pasukan pemerintah.
"Kasihan... Roijah ditangkap," kata seorang
lelaki setengah baya.
Kaum ibu-ibu di desa Kandang Haur bahkan
tak sedikit yang menitikkan air mata, karena me-
reka sudah bisa membayangkan hukuman apa
yang bakal menimpa Roijah. Orang yang tak ber-
salah saja sering disiksa apalagi yang dituduh
bersalah.
Suara derap langkah kuda terdengar jelas,
karena keadaan sangat sepi. Tak ada penduduk
yang berani bicara keras-keras, sehingga yang
kadang-kadang terdengar hanya suara bisikan
dan isak tangis.
Tak lama kemudian, gerobak kuda itu pun
sampai di alun-alun pasar. Dari jarak sekitar se-
puluh meter, penduduk bergerombol ingin me-
nyaksikan hukuman yang akan diterima Roijah.
Di antara kerumunan penduduk itu, ada seo-
rang gadis yang kira-kira berusia jauh lebih muda
dari Roijah. Gadis itu pun cantik jelita. Rambut-
nya yang cukup panjang dikuncir ke belakang,
Sinar matanya pun tampak selalu bersinar-sinar.
Ia mengenakan baju kurung dengan dada agak
terbuka, dan mengenakan celana panjang seten-
gah betis. Di punggungnya tergantung sebilah pe-
dang bermata dua. Tak salah lagi, ia pastilah seo-
rang pendekar muda yang memiliki ilmu yang cukup tinggi, Namun melihat gerak-geriknya dapat-
lah diterka bahwa ia bukan warga desa Kandang
Haur.
Siapakah sebenarnya pendekar wanita itu?
dia adalah Ranti, putri angkat raja rampok Gem-
bong Wungu dari desa Perbutulan, yang jaraknya
berpuluh-puluh kilo meter dari desa Kandang
Haur. Tak ada yang tahu maksud kedatangan ga-
dis itu, bahkan kehadirannyapun kurang diperha-
tikan, karena mata penduduk desa Kandang Haur
selalu tertuju kepada Roijah.
"Siapakah dia, pak? Kenapa dia sampai digir-
ing Kumpeni Belanda? Apa salahnya?" tanya Ran-
ti kepada lelaki di sampingnya.
"Dia adalah Roijah, anak Bek Marto kepala
desa di sini. Ayah dan anak itu dituduh pembe-
rontak oleh pemerintah."
"Pemberontak?"
"Ya. Ayahnya dituduh pemberontak karena
tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Sedang
putrinya ini sering mencuri beras dari gudang
tuan tanah Van Eisen. Tapi ia mencurinya untuk
dibagikan kepada penduduk. Keduanya sangat
baik. Ah... beberapa waktu lalu Bek Marto ditem-
bak mati di alun-alun pasar ini. Sekarang Roijah
tentu akan menyusul. Sungguh malang nasib
pendekar itu, ya Tuhan!"
Mendengar penjelasan lelaki itu, makin terke-
jutlah Ranti. Roijah, bisik hatinya. Kalau begitu
inilah orang yang kucari-cari, kekasih Parmin.
Ternyata Roijah adalah seorang pendekar sejati.
Semua penduduk di desa ini menangisi nasibnya,
karena sebentar lagi ia akan ditembak.
Pada waktu lalu, Parmin yang dijuluki pende-
kar Jaka Sembung itu telah menceritakan tentang
kekasihnya ini kepada Ranti. Pemuda itu secara
halus menolak kehadiran Ranti di sisinya, sebab
ia sudah terikat janji dengan Roijah.
Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Ranti
adalah putri kandung guru silat desa Perbutulan,
yakni Gagak Ciremai. Namun ketika ia masih ke-
cil, ayahnya dibunuh Gembong Wungu yang ke-
mudian memungut Ranti sebagai anak angkat.
Sepak terjang pendekar bermata satu Gem-
bong Wungu kemudian sangat sadis dan brutal.
Tetapi kemudian, Ranti dendam pada ayah ang-
katnya itu, terutama setelah ibu kandungnya
yang muncul tiba-tiba tewas di ujung golok Gem-
bong Wungu.
Pada saat itulah Parmin muncul, bahkan ke-
mudian dapat merobohkan raja rampok itu berkat
bantuan monyet-monyet di hutan 'Plangon' tak
jauh dari desa Perbutulan. Tanpa disadari, Ranti
kemudian menaruh hati kepada Parmin, namun
cintanya bertepuk sebelah tangan.
Ranti sangat terpukul. Juga penasaran. Ia in-
gin tahu gadis seperti apa sebenarnya kekasih
Parmin itu. Maka ia pun berangkat ke desa Kan-
dang Haur. Tepat ketika ia tiba di desa itu, ia me-
lihat Roijah sedang digiring ke tempat penyiksaan
di alun-alun pasar Kandang Haur.
Putri kepala desa itu kini diseret ke tengah
alun-alun. Di situ telah disediakan pancangan
kayu yang mirip gawang setinggi sekitar satu meter. Tali yang mengikat kedua tangan pendekar
wanita berkebaya kembang-kembang itu dibuka,
lalu diikatkan ke masing-masing sudut pancang
kayu itu. Roijah terlihat setengah jongkok di ba-
wah tatapan mata cemas para penduduk.
Salah seorang tukang pukul pemerintah
Kumpeni tampil ke depan. Ia mengambil selembar
surat kemudian membacakannya dengan suara
keras-keras.
"Saudara-saudara sekalian. Hari ini kalian
kembali menyaksikan pelaksanaan hukuman ter-
hadap seorang pemberontak di desa ini. Kalian
dengarkan, perempuan ini adalah seorang pembe-
rontak yang bersekongkol dengan ayahnya. Oleh
karena itu, atas nama dan kuasa Residen Cire-
bon, hari ini ia akan dijatuhi hukuman.
Selain itu, ia ternyata adalah si Bajing Ireng,
maling besar yang telah menghabiskan berpuluh
kuintal beras dari gudang penggilingan tuan Van
Eisen di Kandang Haur. Ini akan menjadi contoh
buat kalian. Sekali lagi kuperingatkan, jangan co-
ba-coba menentang pemerintah kalau tak ingin
nasibnya seperti ini."
Penduduk menahan nafas. Sebagian di anta-
ranya memalingkan muka karena merasa tak ta-
han menyaksikan hukuman yang bakal dijatuh-
kan kepada Roijah.
"Cambuk dia!" perintah kepala tukang pukul
itu.
Seorang algojo segera mengayunkan cambuk-
nya berulangkali ke tubuh Roijah.
Ya, Allah... kuatkanlah hambamu menahan
siksaan ini, sampai ajalku tiba. Parmin... oh, ka-
sihku. Selamat tinggal, Oh, Tuhan ampunilah se-
gala dosaku.. bisik hati gadis itu dengan airmata
berlinang-linang.
"Kurang ajar! Biadab!" Tiba-tiba Ratih berkata
tanpa sadar. Ia sungguh sangat benci dan geram
melihat kekejaman pemerintah Kumpeni Belanda,
ia ingin menebas batang leher algojo itu hingga
putus. Tetapi ia masih bisa berfikir dengan te-
nang, karena bagaimana pun juga, ia tidak boleh
bertindak sembrono dalam keadaan seperti itu.
Apalagi karena pasukan pemerintah Belanda di-
perlengkapi bedil. Ia tak mungkin bisa berbuat
apa-apa. Bahkan jika berani melawan, ia pasti
mati konyol.
Setelah Roijah jatuh tak sadarkan diri, tu-
buhnya kemudian di lemparkan ke dalam gerobak
kuda.
"Bawa dia!" teriak kepala tukang pukul itu.
Ranti menjadi semakin cemas. Mau dibawa ke
mana dia? tanya hatinya was-was, ia mencoba
membuntuti dari belakang, tetapi hanya sampai
di sekitar alun-alun saja, karena gerobak dan pa-
sukan Kumpeni Belanda menuju ke arah loji. Tak
seorang penduduk pun di perbolehkan mendekat.
Dengan langkah lesu, Ranti meninggalkan
tempat itu. Perutnya mulai terasa lapar. Maka ia
segera mampir ke salah satu warung makan di
sekitar alun-alun pasar. Di warung itu, Ranti
kembali mendengarkan pembicaraan hangat para
pengunjung warung itu mengenai ditangkapnya
Roijah. Sehingga Ranti semakin sadar bahwa Roi
jah merupakan tokoh yang sangat dikagumi seka-
ligus dikasihi penduduk desa Kandang Haur
Perlahan-lahan, matahari mulai condong ke
barat. Bahkan kini telah tenggelam di ufuk barat.
Hari mulai malam. Beringsut-ingsut hingga ten-
gah malam. Para centeng di desa itu memukul
besi bulat sebagai ganti lonceng sebanyak dua be-
las kali, terdengar dari arah gudang penggilingan
milik Van Eisen. Suara itu bergema sampai ke pe-
losok desa.
Ranti sudah berbaring, tetapi belum pulas.
Gadis itu kini tidur di kandang kerbau, di bela-
kang rumah salah seorang penduduk di desa itu.
Gadis itu menumpuk jemari dan menjadikannya
alas tidur, tanpa selimut. Bau tak sedap kotoran
kerbau menusuk hidung dan sesekali terdengar
pula lenguh kerbau itu.
Tetapi bukan keadaan yang kurang menye-
nangkan itu yang membuat Ranti tak bisa meme-
jamkan mata. Ia kini teringat pada Roijah. Ya,
Roijah.
Bagaimanakah nasib gadis itu sekarang?
tanya hati Ranti. Ia mengetahui Roijah dipenjara-
kan di dekat gudang penggilingan beras milik Van
Eisen. Tetapi ia juga menyadari bahwa penjagaan
di tempat itu sangat ketat dan rapat.
Diam-diam Ranti merasa bimbang juga, bah-
kan khawatir tidak bisa menerobos masuk gu-
dang tanpa diketahui penjaga. Sambil menghela
nafas dalam-dalam, Ranti duduk bersandar pada
tiang kandang kerbau itu. Ia memutar otak men-
cari akal untuk bisa masuk ke ruang penjara Roi
jah.
Sejak kecil, Ranti memang sudah digembleng
mempelajari berbagai ilmu silat dari ayah angkat-
nya Gembong Wungu. Hampir semua ilmu raja
rampok itu telah dipelajarinya. Tetapi karena se-
lama ini ia belum pernah bertarung dengan mu-
suh, ia khawatir nantinya malah jadi gugup apa-
lagi menghadapi musuh dalam jumlah banyak.
Tidak mengherankan jika Ranti merasa demi-
kian. Bagaimana pun juga, sikap Gembong Wun-
gu dalam mengasuh dan membesarkannya tentu-
lah sangat berpengaruh bagi perkembangan ji-
wanya. Selama ini Ranti selalu dimanjakan Gem-
bong Wungu dan apa saja kemauannya selalu di-
penuhi. Penduduk yang sebagian besar adalah
perampok di desa Perbutulan tak ada yang berani
macam-macam terhadap gadis itu. Bahkan untuk
menggodanya pun tak ada yang berani. Padahal
sebagai gadis remaja yang cantik jelita tentulah
banyak yang tertarik atau menaruh hati pada
Ranti.
Jika misalnya ada yang bersikap men-
jengkelkan, Ranti segera saja memberi-
tahukannya kepada Gembong Wungu. Biasanya
tanpa bertanya lebih dulu, Gembong Wungu lang-
sung saja menghukum orang tersebut, bahkan ji-
ka sudah kalap, raja rampok itu tak segan-segan
menghabisi nyawa orang yang berbuat tak baik
kepada Ranti.
Aneh memang! Gembong Wungu yang selalu
bersikap kejam dan sadis di luaran senantiasa
bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada
Ranti. Maka setelah hidup menyendiri sekarang,
Ranti memiliki sifat yang agak kurang percaya
pada diri sendiri.
Ketika sedang termenung dan berpikir-pikir
dalam kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara
irama seruling diiringi petikan gitar.
Kombinasi kedua alat musik itu terdengar
sangat serasi, merdu dan mendayu-dayu. Sepinya
malam seperti tertegun oleh alunan irama itu.
Rupanya dua pemuda pemusik jalanan yang
menamakan dirinya sebagai "Group Tarling"
iseng-iseng muncul di desa Kandang Haur. Seje-
nak, alunan nada yang mereka bawakan dengan
penuh perasaan menciptakan suasana romantis,
sekaligus keresahan terutama bagi gadis-gadis
desa. Hal itu karena lirik lagu yang diperdengar-
kan, biar agak lucu namun dapat mengung-
kapkan kegelisahan bagi wanita yang sedang pa-
tah hati.
Beberapa gadis yang kebetulan sulit meme-
jamkan mata segera membuka pintu rumah, begi-
tu juga warga lainnya ingin menyaksikan tonto-
nan "Tarling" itu.
Ranti pun merasa tertarik, sehingga pikiran-
nya terpusat pada nyanyian dan musik kedua le-
laki itu. Suara gitar dan seruling yang sangat
merdu. Siapakah gerangan orang itu? tanya ha-
tinya.
Mendengar suara merdu seruling itu, Ranti
jadi teringat kepada Parmin. Ya, Parmin pun san-
gat mahir dan suka meniup seruling dengan nada
yang mendayu-dayu, sambil duduk menyendiri.
Ranti masih ingat, suatu malam ketika ia dan
Parmin akan berpisah. Malam itu, Parmin meniup
seruling mengalunkan nada-nada rindu dan cinta
asmara yang tertahan. Dengan perasaan tak me-
nentu, Ranti menghampiri pemuda itu.
Dengan berbagai cara, Ranti mencoba mem-
bujuk Parmin agar mau tinggal di desa Perbutu-
lan, sedikitnya dalam beberapa hari saja. Namun
dengan tegas dikatakan oleh pemuda itu bahwa ia
harus segera berangkat, untuk menghubungi pa-
ra pendekar di seluruh lereng gunung Ciremai un-
tuk bersatu mengusir penjajah dari bumi tercinta.
Sebagai seorang gadis, Ranti merasa kikuk
juga mengungkapkan isi hatinya. Tetapi karena
perasaan itu tak bisa ditahan-tahan lagi, ia ak-
hirnya mengatakannya. Suaranya tersendat-
sendat dan bibirnya gemetaran saat menyatakan
cinta kepada Parmin.
Dan apa yang dikatakan Parmin, kemudian
meluluhlantakkan harapan Ranti. Parmin ternya-
ta telah punya pilihan lain yakni Roijah yang kini
sedang dipenjarakan Kumpeni Belanda.
Ah, Parmin. Parmin! bisik hati Ranti sedih.
Gadis itu kemudian tersentak mendengar su-
ara pemusik jalanan itu, menyanyikan sebuah la-
gu yang seolah-olah ditujukan padanya.
"Kucing kurus mandi di kali tidak tahu sang ti-
kus geli tertawa badan kurus memikirkan si jan-
tung hati karena si dia tak mau membalas cinta"
Mendengar lirik lagu yang jenaka itu ditam-
bah permainan musik yang sangat merdu, maka
makin banyak juga penduduk yang keluar rumah
sekadar menghibur hati, karena seharian bekerja
keras ditambah lagi tekanan bathin oleh perla-
kuan pemerintah Kumpeni Belanda yang kurang
manusiawi.
Setelah berjoget dan berjingkrak-jingkrak se-
bentar, Parto anggota grup pemusik jalanan itu
kembali melantunkan lirik lagu yang jenaka.
"Jauh-jauh bangau datang mencari ikan di
rawa jauh-jauh andinda datang karena hati me-
mendam cin...trong"
Kurang ajar! maki Ranti di dalam hati, karena
merasa tersindir. Saking geramnya, gadis itu me-
mukul tiang kandang kerbau hingga nyaris patah.
Sementara itu, centeng-centeng Van Eisen ju-
ga sangat tertarik mendengar lagu-lagu pemusik
jalanan itu. Mereka menjadi lalai akan tugasnya,
lalu ikut nimbrung bersama penduduk menyaksi-
kan penampilan Parto dan kawannya.
Ranti menjadi girang menyaksikannya. Ia se-
gera bangkit dan keluar dari kandang kerbau. Da-
ra yang tangkas itu tak ingin menyia-nyiakan ke-
sempatan baik itu.
Dengan gerakan yang sangat ringan sehingga
tidak menimbulkan suara mencurigakan, Ranti
meloncat ke dekat kamar tahanan itu. Hm, inilah
tempatnya, aku akan segera memasukinya. Kata
hati Ranti tanpa ragu-ragu lagi.
Tetapi manakala ia menyaksikan gembok be-
sar yang mengunci pintu tahanan itu, ia pun me-
rasa ragu lagi. Ranti sempat bingung bagaimana
caranya membuka gembok besar itu.
Ah, dengan pedang bermata dua hadiah al
marhum ayahnya Gagak Ciremai, ia tentu bisa
mematahkan gembok yang terbuat dari kuningan
itu. Ia tahu bahwa pedang itu terbuat dari baja pi-
lihan, namun selama ini ia belum pernah meng-
gunakannya. Sekaranglah saat terbaik untuk
menguji kemampuan pedang itu. Maka Ranti pun
segera mencabut pedang itu dari sarungnya,
sehingga tampak cahaya berkilauan di gelapan
malam.
Tetapi ketika ia hendak mengayunkan tenaga
melalui ujung senjatanya untuk membabat gem-
bok itu, tiba-tiba ia ragu. Bahkan merasa dirinya
sangat bodoh.
Alangkah bodohnya kau! Untuk apa kau da-
tang jauh-jauh dari lereng Ciremai ke Kandang
Haur? Hanya untuk mengemis cinta dan meminta
belas kasihan Roijah? Mengapa pula kau hendak
membebaskan Roijah? Kenapa tak kau biarkan
dia disiksa Kumpeni Belanda sampai mampus?
Kata-kata itu seperti terngiang-ngiang di telinga
Ranti, sehingga untuk beberapa saat, gadis itu
hanya diam terpaku bagaikan patung.
Ya, memang benar! Jika ia membebaskan
Roijah dari penjara Belanda, maka tak mungkin
lagi baginya untuk hidup berdampingan dengan
Parmin. Sebab rasanya tak mungkin Parmin mau
mengingkari janjinya kepada Roijah
Sebaliknya, jika ia membiarkan Roijah terbe-
lenggu di penjara, besar sekali kemungkinan ga-
dis itu akan disiksa untuk kemudian di hukum
mati. Jika itu terjadi, terbukalah peluang bagi
Ranti mendekati Parmin.
Tetapi... ah, hati kecil Ranti benar-benar tidak
setuju. Itu bukan sikap seorang kesatria, melain-
kan sikap seorang pengecut busuk. Apalagi jika ia
teringat pesan almarhum ibunya sesaat sebelum
menghembuskan nafas terakhir, yang memin-
tanya untuk mengabdi pada sesama manusia, te-
rutama yang sedang kesusahan.
Saat itu ibu Ranti bertarung habis-habisan
dengan Gembong Wungu di Cadas Kuriling. Kea-
daan ibu Ranti waktu itu sangat memprihatinkan,
tak ubahnya orang gila atau gelandangan. Tidak-
lah aneh, sebab selama lima belas tahun wanita
tua itu hidup menyendiri dilembah dedemit sam-
bil memperdalam ilmu silatnya.
Namun ketika membalaskan dendam atas
kematian suaminya, ia tewas di ujung golok Gem-
bong Wungu. Sebelum menghembuskan nafas te-
rakhir, Ranti masih sempat memeluk tubuh
ibunya yang berlumuran darah. Saat itulah
ibunya berpesan agar Ranti mengabdi kepada
kemanusiaan, mengamalkan ilmunya untuk ke-
bajikan.
Sekarang, melihat Roijah dipenjara dan akan
dihukum mati, apakah ia masih harus membiar-
kannya? Lalu di mana rasa kemanusiaannya dan
di mana sifat kependekarannya? Apakah ilmunya
hanya untuk berbuat kejahatan seperti yang dila-
kukan ayah angkatnya Gembong Wungu?
Oh, tidak! Tidak! Ranti tidak ingin seperti raja
rampok itu.
Ia harus menyelamatkan Roijah, harus mem-
bebaskannya dari penjara Kumpeni. Maka sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, Ranti mengayun-
kan senjatanya membabat gembok penjara itu.
"Trak!" Gembok itu pun putus seketika. Tan-
pa menunggu lebih lama lagi, Ranti segera masuk
ke ruangan itu.
Di dalam ruangan itu, tubuh Roijah ter-
telungkup lemah di atas lantai. Bagian pung-
gungnya yang tak ditutupi pakaian lagi tampak
penuh luka-luka bekas cambukan.
Oh, kasihan betul dia, bisik hati Ranti sambil
berjalan berjingkat-jingkat mendekati tubuh Roi-
jah.
Ranti menyentuh pundak Roijah, lalu meng-
goyang-goyangnya dengan pelan.
"Kak Roijah...?" bisiknya. Tetapi Roijah tidak
menyahut. Dengan nafasnya terdengar sangat pe-
lan. Mungkin gadis itu sedang dalam keadaan
masih pingsan.
"Aku akan membebaskanmu," bisik Ranti.
Dipanggulnya tubuh Roijah di atas pundak sebe-
lah kiri. Setelah itu, ia meloncat keluar dari ruan-
gan penjara.
Tatkala Ranti sedang berlari keluar ruang
penjara sambil memanggul tubuh Roijah, seorang
centeng berjalan ke arah ruangan penjara. Agak-
nya, lelaki itu sangat terhibur oleh kehadiran pe-
musik jalanan group "Tarling" itu. Centeng penja-
ga gudang Van Eisen itupun bernyanyi-nyanyi
dengan nada jenaka, menirukan gaya kedua pe-
musik jalanan itu : "Pohon angker pohon beringin,
lebih tinggi pohon kelapa. Malam ini begitu din-
gin, lebih enak tidur sama janda".
Tiba-tiba nyanyian centeng itu terhenti, kare-
na ia melihat bayangan berkelebat melarikan diri
dari alah penjara.
"Hei, berhenti kau monyet! Siapa kau, hah?"
bentaknya sambil berlari mengejar bayangan itu.
Ranti menjadi terkejut dan cemas setelah
menyadari bahwa perbuatannya telah diketahui
musuh. Sambil mengerahkan segenap tenaganya,
gadis itu melarikan diri sekencang-kencangnya.
Tetapi centeng itu pun rupanya memiliki ilmu
yang cukup lumayan. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, ia berhasil mengejar Ranti.
Tak ada lagi pilihan lain bagi Ranti. Sambil
memanggul tubuh Roijah, ia mencabut pedang-
nya. Secepat kilat mengayunkannya ke arah ke-
pala centeng itu.
Sebelum sempat mencabut senjatanya, cen-
teng itu tertegun menyaksikan cahaya putih me-
nyambar ke arah kepalanya. Ia hendak mengelak,
namun tak sempat lagi. Tiba-tiba sekujur tubuh-
nya gemetaran, dan kepalanya terasa pedih.
Disertai suara jerit panjang, tubuh centeng
itu ambruk dan terkapar di tanah dengan kepala
hampir terbelah dua, terkena sabetan pedang di
tangan Ranti.
"Mampus kau, tikus busuk!" maki Ranti lalu
kembali melarikan diri. Namun sebelum berhasil
lari jauh, ia sudah dikepung para penjaga lainnya.
Rupanya suara jeritan tadi terdengar oleh para
penjaga, lalu berlarian ke arah suara itu. Alang-
kah terkejutnya mereka menyaksikan di bawah
sinar rembulan yang sedang terang benderang
seorang gadis berusaha melarikan sambil me-
manggul seorang wanita.
"Kawan-kawan, hati-hati menghadapi singa
betina ini. Lihat, ia telah membunuh si Bagor te-
man kita. Ha-ha-ha, ternyata cantik juga setan
betina ini, kawan-kawan. Tapi dia berani menan-
tang jago-jago Kandang Haur, seolah-olah men-
ganggap kita hanya seperti tauco. Buat mengha-
dapi dia cukup ku keluarkan ilmu 'Deprok Man-
jangan' ini." kata si Punuk sambil tertawa-tawa.
Kepungan pun makin diperketat. Para jagoan
itu menghunus golok dan bersiap-siap menyerang
Ranti dari segala penjuru. Apa boleh buat, dari-
pada menyerah lebih baik mati bersimbah darah
dengan cara kesatria.
Maka Ranti lebih dulu memulai serangan.
Tidak tanggung-tanggung. Serangan yang dikelu-
arkannya sangat cepat dan mematikan. Gadis itu
memang telah memutuskan, sekali menyerang
sedikitnya harus bisa menjatuhkan seorang la-
wan. Sinar senjatanya yang bermata dua berkele-
batan ke sana ke mari. "Mampus kau anjing-
anjing Kumpeni!" bentaknya. Dalam beberapa ge-
brakan, goloknya berhasil membabat tiga empat
orang musuh. Para centeng itu menjadi terkejut.
Mereka baru sadar bahwa gadis itu yang dihadapi
sekarang ini bukanlah orang sembarangan. Mere-
ka tidak boleh anggap remeh, karena salah-salah
bisa jadi nyawa mereka yang melayang.
"Bangsat! Rupanya kau boleh juga, setan be-
tina! Kawan-kawan, hati-hati, ia memiliki ilmu si-
luman. Kepung rapat-rapat dan serang serentak
dari segala penjuru. Modar kau, setan betina..."
teriak si Punuk sambil melancarkan serangan
mautnya.
Pada dasarnya, Ranti sebenarnya sudah me-
miliki ilmu silat yang sangat tinggi, bahkan boleh
dikatakan ilmu yang dikuasainya jarang bisa di-
tandingi ilmu lainnya. Tidak percuma hampir se-
lama lima belas tahun tokoh sesat Gembong
Wungu yang memiliki kesaktian yang sangat ting-
gi menggemblengnya dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi karena Ranti masih sangat muda
dan pengalamannya pun boleh dikatakan masih
sangat dangkal, ia merasa kewalahan juga meng-
hadapi lawan yang sedemikian banyaknya. Apala-
gi saat ini ia harus selalu menjaga keselamatan
Roijah agar jangan sampai terkena serangan la-
wan. Di samping itu, berat tubuh Roijah juga
sangat mempengaruhi kelincahannya. Seandainya
ia bertarung tanpa memanggul orang, barangkali
ia tidak akan secepat itu terdesak
Makin lama, perlawanan Ranti semakin le-
mah. Bahkan kini ia tak punya kesempatan- lagi
untuk memberikan serangan balasan, karena se-
rangan bertubi-tubi dari gerombolan musuh.
Hanya karena semangatnya yang menggebu-gebu
saja ia masih bisa bertahan
"Sebaiknya kau menyerah, nona cantik. Kau
akan kujadikan gundikku yang kesepuluh dan
kau akan merasakan nikmatnya tidur bersama-
ku," kata si Punuk sambil tertawa terkekeh-
kekeh.
"Diam kau, monyet! Lebih baik mati daripada
menyerah di hadapanmu!" bentak Ranti geram.
Gadis tangkas itu menerjang si Punuk dengan se-
rangan mautnya. Sementara kaki kirinya me-
nyambar dengan dahsyat mengarah ke pusar si
Punuk.
Jurus itu adalah salah satu dari sekian puluh
macam jurus mematikan yang diajarkan si mata
satu Gembong Wungu kepada Ranti, yaitu bagian
dari ilmu "Dewa Banyu Nitis", jurus "Angin Be-
liung". Jurus itu pada dasarnya bertitik pusat pa-
da senjata di tangan yang sengaja diarahkan ke-
pada bagian-bagian tubuh yang sangat penting di
tubuh lawan. Dan untuk lebih memperkuat se-
rangan, Ranti mengayunkan kaki kirinya dengan
maksud perhatian lawan terpecah.
Sama seperti namanya "Angin Beliung", pe-
dang di tangan Rantipun diputar cepat sekali se-
hingga kelihatan seolah-oleh jadi banyak sekali.
Di samping itu, Ranti pun mengerahkan tenaga
dalam sehingga putaran senjatanya menimbulkan
putaran angin beliung.
Sayang tenaga dalam Ranti belum men-capai
kesempurnaan dan keadaan saat ini juga kurang
menguntungkan karena berat tubuh Roijah, se-
hingga serangannya tidak bisa dilancarkan secara
sempurna.
Seandainya almarhum Gembong Wungu mi-
salnya yang mengeluarkan jurus itu, besar sekali
kemungkinan para centeng Van Eisen itu sudah
terjungkal hanya karena putaran angin beliung
yang tercipta dari jurus maut itu.
Dengan gerakan yang cepat, si Punuk meng
geser tubuhnya ke sebelah kanan, sehingga ten-
dangan kaki kiri Ranti tidak mengenai sasaran.
Namun pada saat yang bersamaan, pedang Ranti
menyambar ke arah lehernya. Sambil berseru ka-
get karena tak mengira akan diserang seperti itu,
si Punuk mengangkat goloknya menangkis seran-
gan lawan.
"Trang...!"
Kedua golok itu beradu keras, menimbulkan
pijaran bunga api menandakan betapa kuatnya
pertemuan kedua senjata itu.
Tubuh Ranti sampai terjungkal, sedang-kan
tubuh si Punuk terlempar beberapa meter ke be-
lakang, menandakan tenaga dalam Ranti masih
unggul dibandingkan lawan.
Secepat kilat, Ranti bangkit kembali masih te-
tap dengan memanggul Roijah. Namun baru saja
berdiri, serangan lawan sudah datang bertubi-
tubi.
Mungkin riwayat ku akan berakhir sampai di
sini, bisik hati gadis itu sedih. Betapa tidak, ia
bukan hanya tidak berhasil menyelamatkan Roi-
jah, tetapi keselamatannya pun kini terancam.
Di saat-saat kritis itu, tiba-tiba muncul seso-
sok tubuh kecil dari dalam semak-semak. Gadis
itu masih kecil, usianya mungkin baru sekitar li-
ma tahun. Rambutnya dikepang dua ke samping,
sehingga mirip tanduk kambing. Ia mengenakan
baju kembang-kembang sama dengan celana pan-
jangnya. Sedangkan di pinggangnya terlilitkan
kain sarung yang membuatnya mirip badut. Di
pinggangnya diselipkan sebuah senjata ketepel.
Siapakah sebenarnya si 'Upik' itu? Pembaca
tentu masih ingat akan seorang gadis kecil yang
menangis di tengah malam karena sangat lapar.
Nah, itulah dia si Kinong.
Cecunguk-cecunguk itu harus diberi pe-
lajaran. Biar tahu rasa dulu mereka, si Kinong
bergumam geram. Kemudian ia memanggil keta-
pelnya dan mengarahkan peluruhnya yang beru-
pa batu-batu kecil itu ke arah para jagoan desa
Kandang Haur yang sedang mengeroyok Ranti.
Kinong ternyata sangat mahir menggunakan
senjatanya. Peluru ketapelnya secara beruntun
menghantam bagian wajah, kepala dan tubuh pa-
ra centeng lawan Ranti.
"Aduh..!" si Punuk berterik kesakitan ketika
sebuah batu kecil menghantam mulutnya. Te-
man-temannya yang lain juga mengalami nasib
yang sama. Maka kalang kabut jugalah komplo-
tan centeng Tuan tanah Van Eisen karena seran-
gan rahasia si Kinong.
"Aduh, ada apa ini hah?" teriak si Punuk ke-
sakitan.
"Ada setan menyerang dari semak-semak," te-
riak temannya.
Melihat para pengeroyoknya kalang kabut,
Ranti pun segera melarikan diri ke arah hutan tak
jauh dari tempat itu.
Tentu saja para centeng itu menjadi terkejut,
melihat Ranti melarikan diri.
"Hei, dia melarikan diri. Kejar dia! Ayo, jangan
sampai lolos" teriak si Punuk dengan suara
menggelegar.
"Tangkap!" teriak teman-temannya.
Ranti sengaja melarikan diri ke arah asal batu
peluru ketapel si Kinong barusan. Sebab sewaktu
bertempur tadi, sekilas ia sempat melihat bayan-
gan tubuh gadis cilik itu di balik semak-semak.
Siapakah gerangan anak kecil itu? Kenapa ia
membantu aku? tanya hati Ranti.
Diam-diam, gadis itu merasa bersyukur juga
atas bantuan orang misterius itu. Sebab tanpa
bantuannya, entah apa yang bakal menimpa Ran-
ti maupun Roijah. Ranti memang memiliki ilmu
tinggi, tetapi dalam keadaan seperti itu tadi, san-
gat tipis harapannya untuk dapat meloloskan diri
atau merobohkan semua lawannya.
Ketika dahulu Gembong Wungu menggem-
blengnya, si raja rampok itu selalu berpesan agar
Ranti berusaha bersikap tenang biar dalam kea-
daan bagaimana pun juga. Orang yang bersikap
tenang, biasanya akan bisa menemukan jalan ke-
luar menghadapi kesulitannya.
Memang benarlah apa yang dikatakan Gem-
bong Wungu. Dalam hidup ini, manusia sering
merasa gugup atau panik jika sedang menghadapi
kesulitan. Karena rasa gugup dan panik itu, piki-
ran orang bersangkutan pun menjadi kalut dan
tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Aki-
batnya jalan keluar yang sebenarnya sudah bera-
da di depan mata tidak terlihat lagi olehnya. Se-
hingga kadang-kadang orang itu malah mengam-
bil jalan yang salah.
Agaknya Ranti pun kurang tenang tadi, se-
waktu menghadapi lawan-lawannya. Seharusnya
jika pertarungan memang tidak bisa dielakkan la-
gi ia menurunkan tubuh Roijah kemudian mener-
jang musuh dengan leluasa. Seandainya itu dila-
kukan, hampir dapat dipastikan bahwa dalam
waktu singkat ia akan dapat merobohkan lawan-
lawannya.
Setelah itu, ia bisa melarikan diri sambil
membawa Roijah dengan lebih leluasa. Sebab pa-
da kenyataannya, centeng-centeng itu belumlah
mampu mengimbanginya sekalipun menyerang
secara berbarengan.
Namun dalam pertarungan itu tadi, Ranti
hanya berfikir untuk bisa melarikan diri. Bahkan
karena belum pernah bertarung secara sunggu-
han, ia menjadi panik. Ia merasa takut gagal me-
nyelamatkan dirinya dan Roijah.
Kini gadis itu telah memasuki hutan. Semen-
tara musuh-musuhnya masih mengejar di bela-
kang. Ranti menerjang rerumputan dan semak-
semak dengan berlari sekuat tenaga.
"Bangsat! Sialan! Setan betina itu makin
jauh. Ayo, cepat. Kita harus menangkapnya!" Ter-
dengar teriakan di belakangnya.
Makin lama, Ranti makin jauh masuk hutan
hingga akhirnya memasuki kawasan hutan
Loyang.
"Stop! Stop!" teriak si Punuk geram.
Teman-temannya sesama centeng berhenti,
lalu menghampirinya dengan nafas tersengal-
sengal.
"Ada apa? Kenapa kita berhenti?"
"Kita tak perlu mengejarnya lagi. Hutan ini
angker, dihuni dedemit yang buas, dan binatang-
binatang berbahaya. Biarlah wanita iblis itu mati
diterkam macan."
'Ya, kau memang benar. Hutan ini angker. Se-
jak dari dulu, hanya orang gila yang mau masuk
ke sini. Aku juga takut, sebaiknya kita pulang sa-
ja," sambung si Gotom yang rupanya hanya ku-
misnya saja yang panjang tapi nyalinya sangat
kecil.
"Tapi bagaimana nanti nasib kita? Van Eisen
tentu akan marah besar, bahkan pasti akan
menghukum kita. Menurut pendapat ku, sebaik-
nya kita mengejar monyet betina itu dan harus
menangkapnya. Ia tentu tak bisa melarikan diri
jauh-jauh, karena di samping sangat letih, saya
yakin ia belum mengetahui seluk-beluk hutan
ini."
"Ah, biarlah!" kata si Punuk dengan ketus,
"Biarlah nanti aku yang bertanggungjawab. Da-
lam keadaan malam begini, bagaimana bisa kita
mengejarnya? Kalian lihat sendiri tadi, wanita si-
luman itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Nya-
wa ku nyaris melayang di ujung senjatanya."
"Aku sangat setuju. Di samping itu, wanita
itu tentu tidak akan bisa selamat selama berada
di tengah hutan angker ini. Kalau tidak diterkam
binatang buas, tentu ia akan dimangsa setan
penghuni hutan ini."
"Tuan Van Eisen sudah memutuskan akan
menghukum mati Roijah. Sekarang ia dibawa ka-
bur. Mungkin nanti kita sendiri yang akan dihu-
kum mati sebagai gantinya"
"Kau terlalu khawatir, sobat. Saat ini kita
memang gagal menangkapnya. Tetapi percayalah,
cepat atau lambat orang itu pasti tertangkap. Ayo,
kita pulang saja," kata si Punuk seraya menarik
lengan kawannya.
"Ya, baiklah kalau begitu." Para centeng pen-
jaga gudang penggilingan Van Eisen itu segera
pulang meninggalkan hutan itu. Tanpa mereka
sadari, si Kinong mendengar semua pembicaraan
mereka dari balik pepohonan hanya beberapa me-
ter dari tempat itu.
Anak kecil yang sangat lincah itu sebenarnya
bermaksud mengejar Ranti tadi. Tetapi karena ka-
lah cepat, Kinong akhirnya jadi tertinggal. Se-
dangkan para centeng itu pun semakin dekat, se-
hingga ia segera bersembunyi di balik pepohonan.
Kini setelah para centeng bertampang seram
itu meninggalkan hutan, Kinong menjadi gembira.
Ia segera keluar dari tempat persembunyiannya,
lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan, sambil ber-
nyanyi-nyanyi.
"Jrik pung jrik. Plang ketimpang plang. Paling
enak siang-siang makan rujak pecel, dimakannya
di bawah pohon aren. Centeng-centeng itu kayak
sambel, itulah kerbo piaraan Van Eisen..."
Lagu itu dinyanyikannya berulang-ulang, se-
hingga suaranya terdengar dan bergema ke seke-
liling penjuru hutan. Suara Kinong yang kecil
nyaring, membuat gema suaranya terdengar agak
menyeramkan.
Seandainya ada yang mendengarnya, mung-
kin orang itu akan ketakutan karena mengira suara itu adalah suara kuntilanak sedang me-
nyanyi.
Sementara itu, si dara tangkas Ranti masih
berlari sekencang-kencangnya, seolah-olah cen-
teng-centeng Van Eisen masih mengejar di bela-
kang. Roijah yang berada di pundaknya belum ju-
ga sadarkan diri. Agaknya wanita itu menderita
luka-luka yang sangat parah. Ia seharusnya men-
dapat perawatan yang baik, bukannya dipanggul
dengan berlari-lari. Goncangan-goncangan yang
dialaminya karena dibawa berlari-lari tentu akan
membuat luka-lukanya semakin parah. Tetapi
Ranti seperti tidak menyadarinya.
Dara jelita itu terus berlari walaupun kecepa-
tannya mulai berkurang karena tenaganya sema-
kin terkuras. Ia makin jauh masuk hutan. Pepo-
honan semakin tinggi dan rapat dengan akar-akar
malang melintang. Ranti menjadi sangat hati-hati,
takut tersandung, atau siapa tahu ada jurang
yang tertutup dedaunan dan semak-semak.
Agaknya, hutan itu belum pernah didatangi
manusia. Tak ada tanda-tanda bahwa hutan itu
telah pernah didatangi apalagi dihuni orang. Hal
itu membuat Ranti semakin hati-hati.
Tiba-tiba kaki Ranti menginjak rawa-rawa, ge-
lap dan dingin sekali. "Aduh! aku masuk rawa-
rawa!" kata gadis itu tanpa sadar. Karena sudah
terlanjur, Ranti meneruskan langkahnya. Makin
ke tengah rawa-rawa itu ternyata semakin dalam
hingga sampai sebatas dadanya.
Dasar rawa-rawa itu terlumpur dan seper-
tinya mengandung tenaga sedotan yang sangat
kuat. Ranti mulai cemas, apalagi karena rawa-
rawa itu cukup luas. Sejenak ia menyesal karena
terlanjur masuk ke sana. Tetapi untuk berbalik
lagi juga sudah percuma.
Sewaktu kecil, Ranti sudah pernah menden-
gar cerita bahwa di tengah-tengah hutan biasanya
ada rawa-rawa yang sangat berbahaya. Rawa-
rawa seperti itu bisa menyedot benda apa saja
yang masuk hingga tenggelam dan hilang. Karena
hal itu, orang-orang sering bilang di dalam rawa-
rawa itu ada makhluk halus pemangsa manusia.
Akan tetapi Gembong Wungu dahulu menje-
laskan kepada Ranti bahwa sebenarnya di tengah
rawa seperti itu tidak ada apa-apa. Adanya daya
sedot rawa-rawa bukanlah karena ada setan dan
sejenisnya, melainkan karena adanya pergeseran
air dan lumpur sewaktu terinjak.
Oleh karena itu, jika sudah terlanjur masuk
rawa-rawa berbahaya, sebaiknya jangan panik
dan meronta-ronta. Hal itu bukannya bisa mem-
berikan jalan keluar, malahan akan membuat tu-
buh lebih cepat terbenam. Demikian pesan Gem-
bong Wungu.
Untuk membuktikan ucapannya itu, si raja
rampok Gembong Wungu pernah membawa Ranti
ke sebuah rawa-rawa di tengah hutan di lereng
Ciremai. Disaksikan oleh Ranti, pendekar berma-
ta satu itu masuk ke dalam rawa-rawa dan me-
ronta-ronta. Akibatnya, tubuhnya menjadi terbe-
nam. Jagoan yang memiliki berbagai ilmu kesak-
tian itu kemudian memperlihatkan cara yang pal-
ing baik untuk menyelamatkan diri dari dalam
rawa-rawa itu.
Ranti teringat pesan ayah angkatnya itu. Ia
pun berhenti sejenak sambil menghela nafas da-
lam-dalam. Ia memusatkan perhatiannya, lalu
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak lama
kemudian, Ranti menggerak-gerakkan kedua ka-
kinya, setelah berjalan dan berenang.
Benar juga pesan Gembong Wungu itu. Tu-
buh Ranti tidak terbenam lagi. Bahkan makin la-
ma, ia semakin dekat ke tepi rawa dan akhirnya
selamatlah dia bersama Roijah.
Uh, aku sudah sangat lemah, keluhnya dalam
hati. Tetapi kemudian, Ranti merasa terkejut ke-
tika merasakan benda-benda kecil dan licin me-
rayap di kedua kakinya. Geli dan terasa menjijik-
kan. Benda apakah gerangan itu?
Ranti memperhatikan kedua kakinya. Ternya-
ta lintah! Puluhan binatang kecil penghisap darah
itu tampak sedang merayap di kakinya. Hampir
saja Ranti berteriak kaget. Tapi ia segera dapat
menguasai diri. Ia menurunkan tubuh Roijah, la-
lu berusaha melepaskan lintah-lintah itu.
Kata orang, melepaskan lintah harus mema-
kai air ludah, pikirnya. Lalu ia membasahi tan-
gannya dengan air ludah. Benar juga, lintah-
lintah itu dengan mudah dapat dilepaskannya.
Lintah-lintah sialan. Kau seperti serdadu
Kumpeni Belanda saja, kerjanya hanya menghi-
sap darah orang! Maki Ranti geram. Ia lalu men-
gangkat tubuh Roijah dan melanjutkan perjala-
nan.
Ia mulai berfikir bahwa tempat itu kurang
menyenangkan. Padahal sebenarnya tubuhnya
sudah sangat lelah. Itu sebabnya ia memaksakan
diri meninggalkan tempat itu untuk mencari tem-
pat peristirahatan yang cukup nyaman.
Ranti terus berjalan dengan langkah yang
mulai terseok-seok.
Tanpa ia sadari, ada sepasang mata me-
ngawasinya dari atas pepohonan. Ia seorang wa-
nita berusia tua, mungkin sudah berumur sekitar
enam puluh tahun.
Agaknya wanita berambut putih itu bukanlah
orang sembarangan. Ia bukannya duduk di dahan
pohon melainkan bergelantungan dengan posisi
kepala ke bawah, sementara kedua ujung kakinya
dikaitkan ke dahan. Kedua tangannya didekapkan
di dada. Nafasnya terdengar sangat teratur. Posisi
seperti itu adalah semedi yang sangat baik untuk
mengatur kelancaran peredaran darah. Tetapi di
kalangan dunia persilatan, semedi dengan posisi
tubuh terbalik seperti itu biasanya hanya dilaku-
kan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesak-
tian tinggi. Karena di samping harus mampu
menguasai peredaran darahnya yang jadi terbalik,
ia juga harus menumpukan berat badannya
hanya pada kedua ujung kakinya yang terkait ke
dahan.
Ranti terus melangkah tanpa menyadari
orang aneh yang sedang berada di atas. Namun
baru beberapa meter melewati tempat itu, tiba-
tiba terdengar sapaan yang membuat Ranti terke-
jut bukan main.
"Tunggu dulu, nona..."
Hah, seperti suara wanita. Apakah aku tidak
salah dengar? Jangan-jangan itu suara kuntila-
nak, pikir Ranti sambil menggenggam hulu pe-
dangnya.
Ketika Ranti membalikkan tubuh, tampaklah
olehnya seorang wanita meloncat dari atas pohon
dan mendarat di tanah dengan sangat ringan se-
hingga hampir tak menimbulkan suara. Diam-
diam Ranti terkejut juga, karena sebagai orang
yang memiliki ilmu silat kelas tinggi, ia segera da-
pat melihat bahwa wanita tua itu bukanlah orang
sembarangan.
"Siapakah yang kau gendong itu, nona ma-
nis? Hendak kau bawa ke mana dia?" tanya wani-
ta itu juga.
Ranti tidak segera menjawab. Matanya yang
senantiasa berbinar tajam mengawasi wanita tua
di depannya. Rambut wanita itu cukup panjang
dan sudah hampir semuanya memutih, dibiarkan
awut-awutan sampai ke pinggulnya. Ia mengena-
kan baju dan celana panjang sebatas betis serba
hijau dan di pinggangnya dililitkan ikat pinggang
berupa sabuk dari kain berwarna hitam.
Wajah nenek tua itu sudah keriputan teruta-
ma di bagian kening dan pipinya. Kulit tangannya
pun sudah mengendur dan tubuhnya kurus.
Akan tetapi sinar mata wanita tua itu tampak
masih berbinar tajam, pertanda ia masih memiliki
semangat hidup yang berkobar-kobar.
Ranti tidak lupa memperhatikan senyum di
bibir nenek tua itu.
Menurut penilaiannya, senyum itu tulus dan
tampaknya wanita itu memiliki hati yang welas
asih dan bersikap lembut. Tetapi dalam keadaan
seperti sekarang ini, Ranti tidak mau percaya be-
gitu saja. Sebab bagaimana pun juga, orang yang
tampaknya baik hati itu belum tentu kenyataan-
nya begitu.
Buah yang dari luar tampak bagus juga be-
lum tentu rasanya enak. Begitu halnya buah yang
kelihatannya jelek, mungkin isinya enak, seperti
buah embacang misalnya. Ranti sudah sering
mendengarnya, bahkan membuktikan sendiri.
"Hai nona manis, kenapa kau diam saja? Sia-
pa yang kau gendong itu dan hendak mau kau
bawa ke mana dia?" tanya wanita tua itu lagi.
"Kenapa kau menanyakannya, nenek tua?
Siapakah kau?"
"Tampaknya kau seorang gadis yang galak,
padahal wajahmu cantik jelita. Buat apa kau me-
nanyakan diriku, nona manis?"
"Baiklah kalau begitu. Di antara kita tak ada
urusan apa-apa. Harap kau minggir agar aku me-
lanjutkan perjalanan."
"He-he-he, tidak semudah itu nona manis.
Jawab dulu pertanyaan saya tadi, baru kau boleh
pergi."
"Dasar nenek peot, tak tahu diri. Kalau kau
memang ingin tahu siapa aku, sebutkan dulu
namamu. Jangan kau kira aku takut padamu
Ayo, jangan sampai aku kehilangan kesabaran."
"Aduh, galak sekali! Tapi baiklah, aku perke-
nalkan diriku. Namaku Nyi Saidah. Cukup, bu-
kan? Sekarang giliranmu memperkenalkan diri,
setelah itu berikan wanita yang kau gendong itu
padaku."
Mendengar ucapan Nyi Saidah yang terakhir
tadi, bukan main marahnya Ranti. Dadanya ba-
gaikan hendak meledak menahan amarah. Ia su-
dah mempertaruhkan nyawa untuk membawa
Roijah melarikan diri. Sekarang nenek peot yang
mengaku bernama Nyi Saidah itu malah memin-
tanya dengan sikap seolah-olah sangat pandang
remeh pada Ranti. Maka tanpa pikir panjang lagi,
Ranti segera menghunus senjatanya dan bersiap-
siap mengadu nyawa dengan wanita tua di hada-
pannya.
Dalam pikiran gadis itu, Nyi Saidah adalah
antek-antek Kumpeni Belanda yang sengaja dis-
uruh untuk merebut Roijah kembali. Demi apa-
pun juga, Ranti bertekad akan mempertahankan
Roijah. Bahkan ia rela mati daripada harus mele-
paskan Roijah ke pihak musuh.
"Rupanya nenek tua yang sudah hampir ma-
suk liang kubur masih mau jadi anjing penjajah
Belanda. Sekarang terimalah ini, hiaaaat..!"
Sambil menggendong tubuh Roijah, Ranti me-
loncat dengan kecepatan tinggi dan menyabetkan
goloknya ke arah pinggang Nyi Saidah. Serangan
itu masih cukup berbahaya dan jika mengenai sa-
saran niscaya lawan akan rubuh dan tewas seke-
tika.
Namun dengan gerakan yang sangat ringan,
Nyi Saidah meloncat tinggi ke udara, sehingga sa-
betan golok Ranti hanya mengenai angin. Sewak-
tu masih melayang di udara, tubuh Nyi Saidah
berjumpalitan beberapa kali menjauhi Ranti.
"Tunggu dulu, nona manis. Jangan menye-
rang aku seperti itu. Apakah kau tidak kasihan
melihat nenek tua seperti aku? Seranganmu san-
gat ganas, aku bisa kehilangan nyawa di ujung
senjatamu."
Mendengar ucapan Nyi Saidah, makin panas
juga hati Ranti. Sebab gadis itu menanggapi kata-
kata nenek tua itu adalah sindiran, seolah-olah
mengatakan serangan Ranti tidak ada apa-
apanya, bahkan jika mau, Nyi Saidah dalam Se-
kejap bisa membunuh Ranti.
Sebagai gadis yang sudah terbiasa hidup
manja, amarah Ranti lebih cepat berkobar. Dulu
sewaktu masih hidup dalam asuhan Gembong
Wungu, tak seorang pun berani berlaku kasar
padanya. Semua penduduk di desa Perbutulan
menghormati dan menakutinya. Selain karena
Ranti memang sudah memiliki ilmu silat tinggi,
penduduk juga sangat menakuti Gembong Wun-
gu. Sedangkan Ranti sendiri suka mengadu kepa-
da ayah angkatnya itu. Dan biasanya Gembong
Wungu tidak mau tahu apakah Ranti yang salah
atau benar. Ia langsung saja menghukum orang
yang diadukan Ranti, tanpa memberikan orang
itu kesempatan untuk membela diri.
Sekarang mendengar ada orang yang berani
mengejek sekaligus merendahkan dirinya, bukan
main geramnya Ranti. Ia kembali berteriak nyar-
ing sambil menyerang Nyi Saidah, dengan ganas.
Namun kembali wanita tua itu dapat dengan
mudah mengelakkan serangan Ranti. Tubuhnya
bagaikan kapas saja melayang tinggi ke udara,
kemudian kedua kakinya mendarat dengan rin-
gan di atas dahan pepohonan.
"Tunggu dulu, nona manis. Aku ingin menga-
takan sesuatu padamu. Percayalah, aku tak ber-
maksud jelek," kata Nyi Saidah dari atas pohon.
"Tidak! Ayo, turun kau nenek peot. Biar kau
tahu, aku lebih baik mati daripada menyerahkan
orang ini padamu. Kalau kau memang mengin-
ginkannya, turunlah. Mari kita selesaikan persoa-
lan kita sampai salah seorang di antara kita mati.
Jangan kau kira aku takut padamu, nenek silu-
man. Akan kucincang tubuhmu sampai halus."
"Kau terlalu takabur, nona. Serahkan dia pa-
daku," bentak Nyi Saidah. Tubuh wanita tua itu
tiba-tiba jungkir balik. Kedua kakinya mengait
dahan pohon sehingga tubuhnya bergayutan se-
perti seekor monyet. Beberapa detik kemudian,
kedua tangannya mencengkeram ke arah Roijah.
Tentu saja Ranti sangat terkejut melihat ke-
hebatan wanita tua itu. Apalagi setelah menyak-
sikan betapa cepatnya gerakan musuh. Ia segera
merunduk sehingga kedua tangan Nyi Saidah ti-
dak berhasil menjangkau tubuh Roijah. Dengan
kecepatan kilat, Ranti lalu menyabetkan pedang-
nya ke arah perut Nyi Saidah.
"Tak ada gunanya menyerang aku, nona!" ka-
ta Nyi Saidah sambil mengayunkan tubuh ke be-
lakang sehingga senjata Ranti kembali gagal men-
genai sasaran.
"Kau pasti mampus di tanganku, nenek peot!"
bentak Ranti tak kalah geramnya. Pedang ia
ayunkan secara beruntun mengincar tubuh la-
wan.
Dengan gerakan yang sangat cepat tetapi ter-
lihat santai, Nyi Saidah menggoyang-goyangkan
tubuhnya sedemikian rupa sehingga semua se-
rangan Ranti tidak mengenai sasaran.
Dan sampai sebegitu jauh, Nyi Saidah tidak
balas menyerang seolah-olah sedang memberikan
kesempatan kepada lawan untuk mengeluarkan
semua ilmunya. Tak terkatakan betapa kesalnya
hati Ranti. Tidak adakah artinya ilmu yang sela-
ma ini ia pelajari? Masakan hanya menyerang la-
wan yang sedang bergelantungan di atas pohon
saja dia tidak bisa? Sialnya lagi, Nyi Saidah sama
sekali tidak melawan, seperti hendak memper-
mainkannya.
Nyi Saidah rupanya sudah bisa membaca pi-
kiran Ranti. Wanita tua itu tetap bergelantungan
dengan posisi terbalik, sehingga makin lama Ranti
semakin penasaran. Serangannya pun semakin
ngawur, apalagi dalam kondisi yang sangat lemah
seperti itu, belum lagi karena ia sedang memang-
gul tubuh seorang gadis.
Saking kesalnya melihat serangannya tak sa-
tu pun berhasil melukai lawan, Ranti melempar-
kan pedang persis mengarah ke bagian dada Nyi
Saidah. Senjata itu menyambar sangat cepat se-
hingga membentuk kilatan cahaya bagaikan pe-
langi. Selain itu, Ranti menyambitkan tiga bilah
pisau kecil ke arah musuh yang sangat diben-
cinya itu.
"Serangan yang sangat berbahaya," kata Nyi
Saidah. Wanita tua itu lalu melesat ke atas dahan
yang lebih tinggi lagi. Pisau-pisau Ranti lagi-lagi
hanya mengenai angin, lalu tertancap di dahan
pohon.
Nyi Saidah memang berhasil mengelakkan
serangan beruntun dari Ranti, tetapi ia sempat
terdesak dan terpaksa meloncat lebih tinggi lagi.
Kesempatan itu digunakan Ranti untuk melarikan
diri dari hutan tersebut.
Apa boleh buat, aku harus menyingkir dari
tempat ini. Tetapi aku tak takut padanya. Suatu
saat nanti, aku pasti akan membuatnya bertekuk
lutut di hadapanku. Akan kurobek mulutnya yang
teramat lancang itu, Bahkan bila perlu akan ku-
cincang tubuhnya, kata Ranti dalam hati.
Setelah memungut pedangnya, Ranti segera
mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya
lalu melesat dengan mempergunakan ilmu lonca-
tan 'Kidang Lembayung', sehingga tubuhnya me-
loncat sejauh beberapa tombak. Ranti berlari me-
nembus semak belukar dan berkelebatan di anta-
ra pepohonan.
Ranti telah menyadari bahwa dalam keadaan
seperti sekarang ini, ia tak mungkin mampu men-
galahkan nenek tua itu. Terlalu memaksakan diri
juga tak ada artinya. Itu sebabnya Ranti terpaksa
pula menekan rasa dongkol dalam hatinya. Ia
masih sangat penasaran dan belum menerima ka-
lah dari nenek tua itu.
Tunggulah nenek sialan. Suatu saat nanti
aku akan mencarimu. Akan kucincang tubuhmu!
Aku tidak takut padamu! Ranti memaki-maki di
dalam hati. Ia merasa bahwa hatinya tidak akan
pernah lega sebelum membuat Nyi Saidah berte-
kuk lutut.
Ranti terus berlari, entah sudah berapa jauh.
Ia hampir lupa segala-galanya, sebab ia pikirkan
sekarang adalah bagaimana dapat berlari sejauh
mungkin membawa Roijah agar tidak ada yang
mengganggunya lagi.
Putri kandung Gagak Ciremai itu memang
memiliki kekuatan luar biasa. Semangatnya juga
masih berkobar-kobar ditambah tekad kokoh ba-
gaikan batu karang. Sejak dari desa Kandang
Haur sambil menggendong tubuh Roijah ia berta-
rung habis-habisan dengan puluhan centeng Van
Eisen. Kemudian berlari lagi dan bertarung den-
gan Nyi Saidah. Setelah itu berlari lagi dengan
mengerahkan segenap tenaganya.
Sejak kecil, Ranti juga sudah digembleng
dengan keras oleh almarhum Gembong Wungu.
Selama latihan, ia sudah terbiasa menguras tena-
ga. Tetapi bagaimana juga, gadis itu juga sama
seperti manusia lainnya yakni mempunyai ke-
mampuan yang terbatas.
Orang bisa saja menguasai ilmu kelas tinggi
yang mungkin jarang tandingannya. Boleh memi-
liki tenaga luar biasa pula, tetapi ada batasnya.
Ranti seolah-olah lupa akan keadaan dirinya sen-
diri, sehingga masih terus memaksakan diri ber-
lari. Tiba-tiba tubuhnya kejang karena terlalu ba-
nyak menguras tenaga. Kakinya terpeleset, ke-
mudian terpelanting beberapa meter bersama tu-
buh Roijah.
Sejenak kedua tubuh gadis itu berguling-
gulingan, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi
dengan posisi tubuh miring dan saling berdeka-
tan. Ranti tidak ingat apa-apa lagi.
Di saat Ranti tak sadarkan diri, tiba-tiba Nyi
Saidah muncul di tempat itu. Diam-diam wanita
tua itu rupanya mengikuti ke mana Ranti tadi
melarikan diri. Ketika diserang Ranti dengan pi-
sau, dia terpaksa melompat ke dahan pohon yang
lebih tinggi lagi. Kesempatan itu digunakan Ranti
melarikan diri.
Akan tetapi dengan ilmunya yang sangat ting-
gi, Nyi Saidah dengan segera dapat menyusul
Ranti dan terus membuntuti dari belakang tanpa
sepengetahuan gadis itu. Sebenarnya, wanita be-
rambut putih itu tidak sungguh-sungguh tadi se-
waktu bertarung atau sewaktu diserang Ranti.
Seandainya ia mengerahkan segenap ke-
mampuannya dan jika ia mau, mungkin kea-
daannya akan jadi lain. Namun ada satu pertim-
bangan bagi Nyi Saidah yang membuatnya mera-
sa tak perlu melayani kekerasan hati Ranti. Apa-
lagi ketika Ranti menuduhnya anjing Belanda
yang hendak merebut Roijah, diam-diam Nyi Sai-
dah merasa geli juga sekaligus gemas. Tetapi tadi,
Ranti tidak mau memberinya kesempatan menje-
laskan siapa dia sebenarnya.
Melihat Ranti terjatuh tadi, tahulah Nyi Sai-
dah bahwa gadis itu sudah pingsan. Ia segera
menghampiri tubuh Roijah dan mengurut urut
tubuh gadis itu dengan maksud untuk mengem-
balikan daya guna urat syaraf Roijah.
Nyi Saidah tampak menghela nafas sambil
menggeleng-gelengkan kepala ketika memperhati-
kan luka-luka di bagian punggung Roijah. Untuk
Roijah segera bisa tertolong. Kalau tidak, luka-
luka bekas cambukan di tubuhnya bisa berakibat
fatal.
Sambil mengurut-urut tubuh Roijah, mulut
nenek tua yang sudah ompong itu tak henti-
hentinya mengunyah-ngunyah daun-daunan un-
tuk dijadikan obat mengobati luka-luka di sekujur
tubuh gadis itu. Ramuan itu kemudian dioleskan
ke luka-luka di tubuh Roijah.
Sehabis mengobati Roijah, Nyi Saidah segera
meninggalkan tempat itu. Mungkin wanita tua itu
hendak mencari ramuan obat yang lebih baik lagi.
Atau mungkin juga sengaja merahasiakan kehadi-
rannya entah dengan maksud apa.
Malam sudah berganti pagi. Embun turun
membasahi bumi. Udara di pagi itu dipenuhi
bunyi kicauan burung-burung, seolah-olah men-
ciptakan nada-nada yang sangat ceria, datang da-
ri jarak berbeda-beda. Jarak seluas udara itu seo-
lah-olah menunjukkan sebuah kehidupan.
Oh, alangkah senangnya hidup. Alangkah in-
dahnya kalau bisa hidup dan mencintai hidup.
Dan jika hidup itu sendiri tidak menjanjikan pen-
deritaan dan perpisahan yang sangat menya-
kitkan, terutama dengan orang-orang yang dicin-
tai.
Tetapi adakah hidup yang hanya menjanjikan
keindahan? Di mana gerangan ada kehidupan se-
perti itu? Ranti sudah sering memikirkannya,
namun belum pernah menemukan jawabannya.
Ia sekarang sudah bangun dari tidurnya. Tubuh-
nya terasa lebih segar setelah istirahat dan tidur
entah berapa jam lamanya. Sinar mentari pagi
menerobos dari celah-celah dedaunan, menerpa
wajahnya, seolah-olah menyuruh Ranti untuk se-
gera bangkit.
Ketika Ranti menggosok-gosok matanya, Roi-
jah pun terbangun. Ia masih tidur menelungkup,
karena sekujur punggungnya yang penuh luka
cambuk masih nyeri. Ia melirik ke sekelilingnya,
hanya pepohonan dan semak-semak. Roijah me-
rasa sangat asing, atau apakah ia sedang ber-
mimpi? Seingatnya, ia berada di dalam penjara
gudang penggilingan padi milik Van Eisen. Tetapi
kenapa ia sekarang berada di tengah hutan? Apa-
kah ia benar-benar telah terbebas dari sekapan
serdadu penjajah?
"Oh, di manakah aku sekarang?" ujar Roijah
dengan suara setengah merintih.
Ranti melirik ke arah Roijah dengan girang.
"Kau sudah terbangun, kak Roijah?"
Roijah menatap Ranti. Tak terkatakan betapa
terkejutnya gadis itu ketika menyadari bahwa ga-
dis yang kini berada di dekatnya sama sekali tak
ia kenal. Seumur hidupnya rasanya ia belum per-
nah melihat wajah itu. Lama juga Roijah mengin-
gat-ingat, sebab siapa tahu ia telah lupa. Tetapi ia
kembali merasa yakin bahwa ia belum pernah
bertemu dengan wanita di sampingnya.
Akan tetapi kenapa wanita cantik di dekatnya
itu mengetahui namanya? Bahkan wanita itu me
nyebut namanya dengan sikap akrab seolah-olah
mereka sudah cukup lama saling kenal.
"Kenapa kau diam saja, kak Roijah?" tanya
Ranti membuat lamunan Roijah buyar.
"Aku...aku tak tahu. Di manakah aku seka-
rang? Kenapa ada di tengah hutan ini? Apakah
aku sedang bermimpi? Siapakah kau sebenarnya?
Aku..." kata Roijah tergagap.
Ranti tersenyum manis. Ia bisa memaklumi
sikap Roijah. Bahkan seandainya ia sendiri yang
mengalami nasib seperti Roijah, sikapnya pun
pasti seperti itu. Ya, siapa pun tentu akan heran
sekaligus cemas jika tanpa sadar telah berada di
tengah hutan bersama seseorang yang tak diken-
al.
Roijah sama sekali belum kenal kepada Ranti.
Dan apa maksud gadis itu belum diketahui. Ranti
bisa saja bermaksud baik padanya, tetapi juga tak
tertutup kemungkinannya sebagai orang jahat
yang bermaksud buruk padanya. Sedangkan saat
ini, kondisi Roijah masih sangat lemah, luka-
lukanya pun masih sangat nyeri. Jadi seandainya
nanti Ranti hendak mencelakakan dirinya, tak
ada kemungkinan baginya untuk menyelamatkan
diri.
"Tenanglah, kak Roijah. Tetaplah berbaring.
Tubuhmu masih sangat lemah, luka-lukamu ma-
sih sangat parah. Jangan banyak bergerak nanti
keadaanmu tambah parah."
"Apakah kau yang menolongku? Siapakah
kau sebenarnya?"
"Ah, kak Roijah. Sebaiknya kau bisa agak
bersabar sejenak. Saat ini sebaiknya kau tak per-
lu tahu siapa aku sebenarnya. Nanti aku akan
menjelaskan semuanya."
"Aku masih penasaran," ujar Roijah sambil
berusaha bangkit. Tetapi tiba-tiba, tubuhnya ja-
tuh lemas kembali. Luka-lukanya terasa semakin
nyeri. Bahkan karena terlalu memaksakan diri
bergerak tadi luka cambuk di tubuhnya sebagian
mengeluarkan darah kembali.
"Aduh..." rintih Roijah hampir tak terdengar.
"Apa kubilang, kak Roijah? Sebaiknya kau te-
nang-tenang saja dulu. Tetaplah berbaring seperti
tadi."
"Aku masih sangat penasaran. Tolong kata-
kan, siapa kau sebenarnya? Jika kau adalah
orang-orang dari fihak Kumpeni Belanda, tolong
jangan biarkan aku hidup lebih lama lagi. Bunuh-
lah aku sekarang juga daripada harus diserahkan
kembali kepada Kumpeni Belanda."
"Ah, kak Roijah. Apakah tampangku memang
mirip anjing Belanda atau adakah alasan bagimu
mencurigaiku seperti itu?"
"Kalau begitu, siapakah kau sebenarnya?"
"Nanti aku akan menceritakannya, kak Roi-
jah. Sekarang berbaringlah dengan tenang agar
luka-lukamu lebih cepat sembuh. Aku akan me-
nyiapkan sarapan pagi kita."
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Roijah
segera berbaring. Ranti membalikkan badan, lalu
melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak se-
gera mencari sarapan pagi, melainkan terlebih
dulu mandi di sebuah kolam kecil berupa mata
air yang sangat jernih dan sejuk sekali.
Tadi Ranti sebenarnya kebetulan saja lewat
dari tempat itu ketika sedang mencari makanan
sekadar mengganjal perut. Tanpa pikir panjang
lagi, gadis itu segera menanggalkan semua pa-
kaiannya. Lalu ia berendam sepuas hati.
Sambil berendam di air sejuk dan jernih,
Ranti teringat akan perkenalannya dengan Par-
min beberapa waktu lalu. Saat itu Ranti masih
dalam asuhan si raja rampok Gembong Wungu
dan sama sekali belum mengetahui bahwa jagoan
bermata satu itu bukanlah ayah kandungnya.
Ketika itu, Ranti mandi di kali di hutan sepi
tak jauh di belakang desa Perbutulan. Ketika se-
dang menyisir rambut sambil berjemur di atas se-
bongkah batu, tiba-tiba ia melihat Parmin tak
jauh dari tempatnya mandi. Ranti geram bukan
main, karena mengira lelaki itu sedang mengin-
tipnya mandi.
Tanpa memberikan Parmin kesempatan
membela diri, Ranti segera menyerang dengan
ganas. Seandainya Parmin tidak memiliki ilmu si-
lat tinggi, besar kemungkinan ia akan mati di
tangan Ranti. Sebab saat itu Ranti masih sangat
kolokan dan siapa saja yang dianggap berani lan-
cang berbuat kotor padanya harus diserang tanpa
tanggung-tanggung. Dan jika orang itu misalnya
mati, itu dianggap hukuman setimpal. Ayahnya
Gembong Wungu pun tidak akan menyalahkan,
bahkan pasti membelanya dan membenarkan si-
kapnya itu. Melirikan mata sedikit saja kepada
Ranti sudah dianggap sangat kurang ajar, apalagi
kalau sampai mengintipnya mandi.
Tetapi ternyata, Parmin bukanlah orang sem-
barangan. Pemuda itu selain memiliki wajah tam-
pan dan sikap yang simpatik, juga memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Kemudian Ranti mengetahui
pula bahwa Parmin adalah pendekar sakti yang
namanya tersohor ke seluruh lereng Ciremai,
yakni pendekar Jaka Sembung.
Di kalangan dunia persilatan, nama itu telah
bagaikan suatu perlambang kehebatan dan kesa-
triaan seorang pendekar. Karena Jaka Sembung
tidak pernah menggunakan ilmunya untuk me-
nyusahkan orang, bahkan senantiasa membela
yang baik dan orang-orang dalam kesusahan.
Pendekar itu juga berupa keras mengusir kaum
penjajah dari bumi nusantara tercinta. Bukan se-
perti tokoh lainnya, seperti Gembong Wungu mi-
salnya, malahan menambah penderitaan rakyat
yang tadinya sudah sengsara lantaran kejamnya
pemerintahan Kumpeni Belanda.
Ranti tidak terlalu mempersalahkan diri sen-
diri karena terlanjur mencintai Parmin. Bahkan
menurut perkiraannya, siapa pun pasti menaruh
perasaan yang sama jika punya pengalaman yang
sama sewaktu bertemu dengan lelaki perkasa itu.
Dulu Ranti hampir selalu bisa memiliki apa
saja yang ia inginkan. Sebab apa saja yang ia
minta, pastilah akan dikabulkan Gembong Wun-
gu. Tetapi sekarang, gadis itu menyadari bahwa
dalam hidup ini tidaklah semua keinginan itu bi-
sa dipenuhi. Seandainya pun dia masih hidup
bersama Gembong Wungu seperti dulu, ayahnya
itu tentulah tidak akan bisa memberikan atau
merampas cinta dari hati Parmin untuk diberikan
padanya.
Manusia bisa diperbudak, bisa ditaklukkan
dengan berbagai cara dan usaha. Tetapi hati nu-
raninya tetaplah miliknya, tidak bisa di kuasai
orang lain. Itu sebab jasad manusia bisa dijajah,
namun tidaklah demikian dengan hati sanuba-
rinya.
Dalam kehidupan sekarang ini, orang-orang
masih banyak yang kurang menyadarinya. Anak-
anak orang kaya misalnya bisa saja meminta
keinginannya kepada orang tuanya. Tetapi jika
meminta cinta tentulah tidak akan bisa diberikan.
Sebab cinta lahir sendiri, tanpa disadari dan tan-
pa direncanakan. Dan cinta itu tidaklah bisa di-
paksakan.
Seseorang bisa dipaksa untuk melakukan se-
suatu, tetapi ia tak mungkin bisa dipaksa men-
cintai seseorang. Di sinilah terlihat, bahwa di da-
lam hidup ini semuanya serba terbatas. Dan har-
ta duniawi bukanlah jaminan bagi orang untuk
meraih kebahagiaan. Jadi jika ada yang berang-
gapan bahwa yang bahagia itu hanyalah orang
kaya, itu bukanlah anggapan yang benar. Kurang
apa rupanya Ranti sewaktu di dalam asuhan
Gembong Wungu? Tetapi ia kemudian merasa hi-
dupnya gersang, setelah jatuh cinta kepada Par-
min. Ia merasa dalam hidupnya ada yang kurang,
bahkan terasa ada yang hilang.
Setelah usai mandi, Ranti mulai menyusuri
hutan itu mencari apa saja yang bisa dijadikan
sarapan pagi. Rupanya di hutan itu jarang sekali
ada pohon yang buahnya bisa dimakan. Hanya
pohonnya saja yang besar dan tinggi, buahnya tak
ada gunanya!
Gadis itu bersungut-sungut dalam hati. Jan-
gan-jangan aku mati kelaparan di tengah hutan
ini, pikirnya kesal. Tetapi tiba-tiba telinganya
mendengar suara gemerisik dedaunan kering,
pasti itu binatang. Tanpa menimbulkan suara
mencurigakan, Ranti mendekat ke arah suara itu
dan mengintip dari balik semak-semak.
Seekor rusa jantan yang beranjak dewasa
tampak sedang memakan rumput dengan lahap,
sama sekali tak menyadari ada sepasang mata
sedang mengawasi. Pucuk dicinta ulam tiba. Ini
kesempatan baik, tak boleh dilewatkan begitu sa-
ja. Ini makanan yang amat lezat, pikir Ranti sam-
bil memungut batu yang sedikit lebih besar dari
kepalan tangannya.
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Ranti
menyambitkan batu itu ke arah rusa jantan yang
sedang merumput. Batu itu menyambar cepat se-
kali.
"Tak!" Dengan sangat telaknya, batu itu
menghantam tepat bagian batok kepala rusa jan-
tan itu. Demikian kuatnya sambitan batu itu
hingga kepala rusa itu pecah. Sambil mengoek,
tubuh rusa itu ambruk.
Darah segar bercampur benak berhamburan
dari kepalanya yang telah berantakan.
"Ha-ha-ha... dapat makanan yang enak aku
hari ini. Roijahpun tentu akan senang nanti," gumam Ranti sambil melangkah menghampiri rusa
itu.
Dibelai-belainya bulu binatang bertanduk itu
dengan lembut. Sayang, pikirnya, binatang seelok
engkau harus mati di tanganku. Tapi mungkin
sudah takdirmu, mungkin jika tidak begini eng-
kau pun akan dimangsa macan. Bukankah lebih
baik aku yang memakanmu daripada macan?
Sambil tersenyum-senyum, Ranti memanggul
tubuh rusa bernasib malang itu. Tetesan darah
dari bagian kepala binatang itu tidak di perduli-
kan Ranti, sehingga bajunya basah dan merah.
Ranti benar-benar girang, sewaktu berjalan pu-
lang ke tempatnya tadi tidur bersama Roijah, ia
bernyanyi-nyanyi kecil.
Ternyata Roijah sudah duduk bersandar pada
batang pohon besar di tempat itu. Wajahnya tidak
sepucat tadi lagi. Sepasang matanya mulai bersi-
nar-sinar, menatap ke arah Ranti yang sedang
membawa seekor rusa jantan.
"Hai, apakah yang kau bawa itu? Dapat dari
mana kau rusa sebesar itu?" tanya Roijah terhe-
ran-heran.
"Tenanglah, kak Roijah. Kita akan makan be-
sar hari ini. Orang Belanda yang paling kaya pun
belum tentu mampu makan menjangan seperti
ini."
"Kau selalu menyebut-nyebut Belanda. Apa-
kah kau punya hubungan dengan penjajah itu?"
tanya Roijah sambil mengerenyitkan kening hing-
ga tampak berkerut-kerut.
"Ya," sahut Ranti seenaknya.
"Kau tentu kenal baik bangsat-bangsat sialan
itu. Bahkan bisa jadi... maaf, orang-orang kita
pun banyak yang mau jadi anjing mereka. Bah-
kan kaum perempuan kita tidak sedikit yang jadi
gundik serdadu penjajah itu..."
"Ya, kau benar!" sahut Ranti tanpa melirik
kepada Roijah. Gadis itu meletakkan rusa di atas
tanah. Setelah itu, ia mengumpulkan dedaunan
dan ranting-ranting kering. Dua buah bongkah
batu cadas ia adukan disertai tenaga dalam hing-
ga menimbulkan percikan api. Dengan cara kuno
seperti itu, Ranti dapat menyalakan api.
Dalam sekejap, api sudah menyala-nyala.
Ranti lalu menguliti dan memotong-motong dag-
ing rusa itu dan menusuknya dengan ranting-
ranting kayu.
"Hari ini kita akan makan daging panggang
sepuas-puas hati. Kau tentu senang, bukan?"
Roijah memperhatikan ketrampilan Ranti
dengan pandangan rasa kagum. Diam-diam, ia
merasa bersyukur juga, karena dalam keadaan
seperti itu ada orang yang mau menolongnya, bi-
arpun di dalam hati ia yakin bahwa di balik ke-
baikan Ranti, pasti ada maksud tertentu. Entah
apa!
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi,"
ujar Roijah.
"O, iya? Aku lupa. Kak Roijah menanyakan
apa tadi?" tanya Ranti ternyata melirik wanita itu
sejenak. Lalu ia mulai memutar-mutar daging ru-
sa yang telah dipotong-potongnya di atas api.
"Itu tadi, masalah gundik Belanda. Bukankah
tadi kau pun mengakui bahwa gadis-gadis kita
banyak yang jadi gundik penjajah itu adik yang
manis?"
"Iya, ya. Memang banyak gadis kita seperti
itu. Maksud kakak sebenarnya apa? Apa mak-
sudnya menanyakan masalah gundik Belanda?"
"Kau tadi bilang punya hubungan dengan Be-
landa. Tapi... saya tak berani mengatakan jika
seandainya adik yang demikian muda dan cantik
jelita adalah wanita seperti itu."
Ranti tertawa ngakak sehingga suara tawanya
bergema sampai keseluruh penjuru hutan belan-
tara itu. Ia merasa sangat geli mendengar ucapan
Roijah. Tetapi ia sama sekali tidak tersinggung,
sebab ia yakin Roijah sengaja memancingnya un-
tuk menceritakan siapa sebenarnya dirinya.
"Jadi kak Roijah menuduh saya ini gundik
Belanda?"
"Ah, aku tidak menuduh seperti itu. Aku
hanya bertanya saja. Adik jangan salah paham."
"Aku tidak salah paham. Tapi kalau memang
aku ini adalah gundik Belanda, kak Roijah mau
apa? Itu hak ku, bukan? Aku kira kak Roijah tak
berhak melarangku bersenang-senang dengan pa-
ra serdadu penjajah itu."
"Jadi...?" seru Roijah tercekat.
Ranti tampak tak acuh. Sambil tersenyum, ia
memanggang daging lainnya. Bau sedap daging
panggang itu memenuhi sekitar hutan. Roijah di-
am-diam merasa sangat lapar. Tetapi ia masih
sangat penasaran karena Ranti tadi sepertinya te-
lah mengakui dirinya adalah gundik Belanda.
"Adik yang baik hati, bolehkah aku tahu na-
mamu? Dari mana asalmu?"
"Tunggulah, kak Roijah. Tak baik mem-
bicarakan hal-hal serius dalam keadaan lapar.
Kata temanku dahulu, jika bicara selagi lapar li-
dah kita bisa keseleo."
"Bila perlu aku tidak akan makan. Jangan ki-
ra aku mau makan-makanan anjing Belanda. Le-
bih baik aku mati kelaparan."
Ranti tidak menyahut lagi. Daging panggang-
nya sudah matang. Ia meletakkannya di atas de-
daunan dan kemudian menyuguhkannya di ha-
dapan Roijah.
"Sayang tidak ada garam dan cabe. Daging
panggang ini pasti semakin lezat. Tapi tak apalah,
tanpa apa-apa juga enak, bukan? Ayo, kita ma-
kan saja. Makanlah sebanyak-banyaknya biar ke-
sehatanmu cepat pulih kembali."
Roijah menatap Ranti dengan sinar mata
yang terlalu sukar di mengerti makanannya. Ada
keraguan terpancar dalam sinar mata gadis itu,
ada rasa tak senang dan entah apa lagi. Ia mem-
perhatikan Ranti yang sedang makan daging
panggang dengan sangat lahapnya.
"Hei, kenapa kak Roijah diam saja? Ayo, ma-
kanlah, kak. Jangan diam saja. Ingat, kakak se-
dang sakit. Jika tak makan banyak, penyakit ka-
kak pasti susah sembuhnya."
"Aku tak mau makan sebelum kau mengakui
siapa sebenarnya dirimu."
"Ah, kak Roijah tampaknya terlalu sulit per-
caya pada orang. Padahal kakak adalah seorang
pendekar yang dikagumi orang. Sekalipun misal-
nya ada alasan bagi kakak untuk mencurigai
saya, apakah sikap seperti itu baik?"
"Ah, adik yang manis. Saya jadi merasa tak
enak. Tapi baiklah sekarang aku akan makan
bersamamu." Roijah lalu makan dengan lahap se-
perti halnya Ranti.
Sambil mengunyah-ngunyah daging panggang
itu, Roijah memperhatikan wajah Ranti. Sungguh
sangat cantik dan cerdas pikirnya. Tetapi tam-
paknya gadis di hadapannya itu agak kolokan dan
tidak begitu perduli akan perasaan orang lain.
Melihat gerak-gerik Ranti, yakin pulalah Roi-
jah bahwa gadis itu bukan orang sembarangan.
Pastilah pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi.
Kalau tidak demikian, mustahil Ranti bisa mem-
bawanya kabur dari tahanan gudang Van Eisen,
kemudian melarikannya sampai ke tengah hutan
ini.
Entah siapa sebenarnya gadis di hadapannya
itu dan dari golongan mana pula, sehingga mau
menyelamatkannya. Sejenak Roijah agak ragu ju-
ga mengenai kecurigaannya terhadap Ranti. Se-
bab menurut pikiran Roijah, kalau misalnya Ranti
bermaksud jelek padanya bisa saja gadis itu
membunuhnya sewaktu ia sedang tak sadarkan
diri. Tapi siapa tahu, Ranti memang ingin me-
nangkapnya hidup-hidup. Bukankah orang-orang
Kumpeni Belanda suka berbuat seperti itu?
"Adik yang manis," ujar Roijah setelah bebe-
rapa saat terdiam dan termenung, "Saya sebenar-
nya sangat berterima kasih padamu terutama
atas keberanianmu menyelamatkan aku dari pen-
jara Van Eisen. Saya tak tahu bagaimana caranya
membalas budi baikmu ini. Sekalipun misalnya
adik bermaksud jelek padaku, tapi sedikitnya un-
tuk saat ini saya bisa menikmati udara bebas.
Sekarang kalau adik tidak keberatan, tolonglah
katakan, siapa sebenarnya adik ini?"
"Kak Roijah, sebaiknya kita selesai makan
dulu. Ayah ku... eh, maksudku teman ku dulu
sering bilang tidak baik bicara kalau lagi makan.
Nanti sajalah, kak. Percayalah, saya akan mence-
ritakan semuanya."
Mereka makan kembali dengan lahapnya.
Ranti makan dengan sikap yang santai dan tidak
malu-malu. Mulutnya tampak terbuka lebar-lebar
di kala mengunyah makanan dan menimbulkan
bunyi menciplak keras. Lain halnya dengan Roi-
jah, tampak agak hati-hati dan makan dengan
mulut kebanyakan tertutup kalau sedang mengu-
nyah, karena ia memang seorang anak bangsa-
wan.
Melihat cara makan kedua gadis itu, bisa di-
terka keduanya mempunyai sifat yang agak ber-
beda. Ranti lebih supel dan terbuka dan tampak
lebih ceria dan lincah. Ia tidak terlalu pintar me-
nyembunyikan isi hatinya, karena cenderung bi-
cara ceplas-ceplos.
Lain halnya dengan Roijah, selain tampak
jauh lebih dewasa dari Ranti, gadis ayu itu keliha-
tannya punya sifat yang agak hati-hati dan perasa
pula. Di samping itu, Roijah tampaknya kurang
ceria dan suka termenung.
Ranti sendiri tidak terlalu memperdulikan si-
kap Roijah. Sebab selama ini ia memang sudah
terbiasa tidak mau perduli akan perasaan orang.
Ranti sekarang datang ke kawasan Kandang Haur
bukan karena ia seorang pejuang yang ingin bahu
membahu dengan pendekar lainnya untuk men-
gusir penjajah. Selama ini malah hampir tidak
pernah memikirkan masalah pen-jajahan dan ba-
gaimana mengusir Belanda dari bumi nusantara
tercinta. Ia mempunyai maksud lain yang sifatnya
sangat pribadi dan hanya perlu diketahui Roijah
sendiri.
Demikian bergejolaknya hasrat di hati Ranti
untuk mengatakannya kepada Roijah, sehingga ia
menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan
jalan kaki dari desa Perbutulan ke desa Kandang
Haur. Ia berlari dan berjalan masuk keluar hutan
kurang lebih dari satu minggu, sebelum sampai di
desa Kandang Haur.
Namun tadinya, Ranti sama sekali tidak me-
nyangka bahwa Roijah akan mengalami musibah
ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh peme-
rintah Kumpeni Belanda. Untunglah ia segera tiba
di desa itu dan berhasil menyelamatkan Roijah.
Seandainya tidak, barangkali Roijah tidak akan
bisa hidup lebih lama lagi.
Seusai makan, Ranti segera membenahi sisa-
sisa makanan mereka dan menyimpan daging ru-
sa yang tersisa. Ia lalu mengambil air minum dari
mata air jernih dan sejuk tak jauh dari tempat itu
dengan dedaunan, kemudian memberikannya ke-
pada Roijah.
"Minumlah, kak. Tentunya kau sudah haus
setelah makan panggang tadi."
"Terimakasih, dik. Kau sangat baik."
"Terimakasih juga atas pujian kakak."
"Ah, kau pintar bicara. Sekarang bolehkah
saya mengulangi pertanyaanku tadi?"
"Mengenai apakah itu? Maaf, aku suka lupa
kalau lagi kenyang. Sejak dari kecil aku begitu.
Kakak tanya apa tadi?"
"Adik yang manis, siapakah kau sebenarnya?
Kenapa kau bersusah-susah menolong aku dari
siksaan Belanda? Maaf, aku bukannya tak senang
kau tolong, tapi aku masih sangat penasaran se-
belum mendengar penjelasan darimu."
"Baiklah kalau begitu. Agaknya kakak me-
mang tidak akan bisa tenang sebelum mendengar
penjelasan dariku. Namaku adalah Ranti, ya Ran-
ti. Sekali lagi Ranti, ingat baik-baik, kak Roijah.
Nanti kakak lupa."
"Nama yang bagus, lalu siapakah kau sebe-
narnya?"
"Saya adalah putri tunggal Gagak Ciremai,
seorang guru silat dari desa Perbutulan. Kakak
tahu desa Perbutulan, bukan?"
"Ya, saya pernah dengar walaupun belum
pernah ke sana. Kenapa sejauh itu adik datang ke
mari?"
"Tunggu dulu, kak Roijah. Tadi kau mena-
nyakan siapa aku sebenarnya, biar kujawab dulu.
Ayahku tadi adalah Gagak Ciremai. Tapi aku sen-
diri tak pernah mengenalnya, karena menurut ce-
rita pada usia satu tahun, maksudku ketika aku
berusia sekecil itu, ayahku itu meninggal. Me-
ninggal karena apa tak perlu kuceritakan."
"Lalu siapakah ibumu?"
"Ah, itu tak perlu kuceritakan. Sekarang gili-
ranmu bercerita, siapakah kau sebenarnya dan
kenapa sampai ditangkap dan disiksa Belanda?"
"Bukankah kau sudah tahu namaku?"
"Ya, Lalu kenapa kau sampai ditangkap Be-
landa? Aku sempat melihatmu disiksa di alun-
alun pasar Kandang Haur."
"Panjang ceritanya, dik Ranti. Tapi baiklah,
aku akan menceritakannya. Sebelumnya aku
sangat berterima kasih karena kau telah meno-
longku. Masih semuda ini kau telah mempunyai
sikap kesatria. Aku kagum padamu."
"Kak Roijah tak perlu bicara bertele-tele. Ceri-
takanlah semuanya."
"Ya, dik Ranti. Selain sudah tahu namaku,
barangkali kau pun sudah pernah dengar bahwa
aku adalah pencuri yang dijuluki si Bajing Ireng.
Julukan maling itu diberikan Kumpeni Belanda,
karena aku memang mencuri setiap ada kesempa-
tan dari mereka."
"Oh jadi kau ini rupanya suka mencuri, ya?"
"Ya, betul. Beberapa tahun terakhir ini aku
selalu mencuri dari bangsa penjajah, dan sama
sekali belum pernah mencuri dari bangsaku sen-
diri. Setiap kali beraksi, aku selalu mengenakan
pakaian dan penutup muka yang serba hitam.
Karena itulah aku dijuluki Bajing Ireng. Walau-
pun demikian, selama ini tak ada yang tahu siapa
sebenarnya Bajing Ireng itu. Bukan hanya pihak
Belanda bahkan ayah ku sendiri pun tak pernah
tahu siapa maling yang muncul dan hilang bagai-
kan siluman itu. Tetapi seperti kata pepatah, se-
pandai-pandai tupai melompat sekali-sekali jatuh
juga. Demikian juga diriku. Belanda yang rupanya
sangat penasaran menyebar mata-mata di selu-
ruh penjuru desa Kandang Haur."
"Terus kak Roijah tertangkap, begitu?"
"Ya, aku dan ayah sama-sama tertangkap pu-
la. Belanda membuka kedok penyamaranku dan
baru saat itulah ayahku mengetahui bahwa Baj-
ing Ireng adalah putrinya sendiri."
"Kenapa ayahmu ditangkap? Apakah ayahmu
juga suka mencuri seperti dirimu?"
"Tidak, dik Ranti. Saya sebenarnya agak malu
menceritakannya. Tapi biarlah dik Ranti menge-
tahui semuanya. Ayahku Bek Marto sebenarnya
adalah... adalah..." Roijah tak meneruskan uca-
pannya. Ia tiba-tiba menangis tersedu-sedu sam-
bil menutupi wajahnya dengan kedua belah tela-
pak tangannya.
"Kenapa kakak menangis? Ada apa sebenar-
nya?"
Roijah menyeka airmata, lalu menghela nafas
dalam-dalam sekadar untuk menenangkan pera-
saannya yang tak menentu. Setelah itu ia melan-
jutkan ceritanya.
"Bek Marto, ayahku itu adalah Kepala Desa di
Kandang Haur. Seperti halnya kepala Desa di
mana saja daerah jajahan Belanda, ayahku pun
sebenarnya adalah penghianat bangsa. Ayahku
mau diperbudak penjajah demi harta duniawi. Ji
ka adik mencemoohkan ayahku, terserahlah."
"Oh, tak kusangka keadaannya seperti itu."
"Apa boleh buat, barangkali si Bajing Ireng
memang sudah di takdirkan punya ayah seorang
penghianat sebelum akhirnya ia juga sadar. Teta-
pi kemudian Belanda menangkap ayahku dengan
tuduhan telah bersekongkol denganku, karena
terbukti bahwa Bajing Ireng adalah anaknya sen-
diri, padahal seperti yang kukatakan tadi, ayahku
baru mengetahuinya setelah aku tertangkap.
Ayahku memang membela diri, bahkan aku pun
mengaku dengan terus terang. Tapi semuanya
sudah terlanjur, hukuman Kumpeni Belanda tak
bisa ditawar-tawar lagi."
Masih tetap dengan airmata berlinang-linang,
Roijah menceritakan saat-saat ketika ayahnya di-
tangkap dan diseret serdadu Kumpeni Belanda
untuk menjalani hukuman.
Hari itu masih siang. Puluhan tentara dan al-
gojo pemerintah Kumpeni Belanda menggiring
Bek Marto dengan kedua tangan terikat ke alun-
alun pasar Kandang Haur. Seperti halnya ketika
Roijah dihukum. Belanda pun sengaja melaksa-
nakan hukuman mati terhadap Bek Marto di
tempat umum dengan maksud agar penduduk tak
berani lagi memberontak terhadap penjajah Be-
landa.
Puluhan bahkan ratusan penduduk berdiri
agak jauh dari tempat itu sambil memperhatikan
Bek Marto dengan mata hampir tak berkedip dan
tanpa mengeluarkan suara. Semuanya diliputi ke-
tegangan dan kecemasan, sebab pemerintah Belanda telah mengumumkan bahwa Bek Marto
akan dihukum mati! Dihukum mati di hadapan
regu tembak.
Sebelum menjalani hukuman mati, Bek Marto
masih diberi kesempatan untuk mengucapkan
pesan-pesan terakhir. Dengan sangat tenang Bek
Marto berdiri di tengah alun-alun. Ia mengenakan
peci dan kain sarung seperti halnya orang yang
hendak sembahyang. Dan orangtua itu memang
benar-benar berdoa, menyerahkan segenap jiwa
raganya ke hadapan yang Maha Kuasa.
Bek Marto berdoa bukan karena takut meng-
hadapi hukuman mati. Sama sekali tidak. Orang-
tua itu malah kelihatan senang menghadapi hu-
kuman seperti itu, karena ia telah menyadari
bahwa selama ini ia telah mengkhianati bang-
sanya sendiri. Ia patut dihukum dengan huku-
man yang paling berat.
Sejenak orangtua itu menitikkan airmata. Ia
menatap ke segala penjuru. Tampaklah olehnya
rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana
bahkan mencerminkan kemiskinan yang teramat
sangat. Wajah-wajah penduduk desa tampak mu-
ram, sepertinya di wajah-wajah itu Bek Marto me-
lihat lukisan penderitaan dan kesengsaraan, oleh
karena kejamnya penjajah. Sekalipun demikian,
di mata penduduk masih terlihat kasih sayang
dan rasa prihatin atas nasib Bek Marto.
Tak terkatakan betapa terharunya hati Kepala
Desa itu menyaksikannya. Kenapa baru sekarang
aku menyadarinya? Pikirnya dengan hati perih
bagaikan diiris-iris. Ia seharusnya berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mengusir pen-
jajah. Bumi tempatnya berpijak sekarang adalah
warisan nenek moyangnya, bukan kekuasaan
kaum penjajah dan bangsa asing manapun.
Tuhanku, jika seandainya dosa-dosaku tidak
termaafkan lagi, aku tidak akan terlalu menyesal.
Tetapi janganlah kiranya ada lagi penghianat se-
perti aku di bumi tercinta ini, kata hati Bek Mar-
to.
Ketika ia mendapat isyarat dari pimpinan al-
gojo agar segera bicara, Bek Marto segera melang-
kah ke depan. Ia kembali menatap ke arah sekeli-
lingnya, kemudian mulai berkata:
"Saudara-saudara tercinta. Mungkin tiada la-
gi artinya penyesalan bagiku, karena setan yang
selama ini merasuki pikiranku mungkin akan ter-
tawa dan mencemoohkan diriku. Sekarang aku
baru menyadari betapa licik dan durjananya
kaum penjajah yang telah sekian puluh tahun
menguasai daerah kita....."
Bek Marto berhenti sejenak, lalu melan-
jutkan:
"Pada detik-detik terakhir ini, aku mengha-
rapkan semoga darah dan dagingku bisa menyu-
burkan bumi kita tercinta sebagai pertanda bah-
wa saya dilahirkan, dibesarkan dan mati di sini,
walaupun mungkin tak patut untuk dikenang. Te-
tapi setidaknya saya sangat berharap semoga ke-
musnahanku di ujung senjata penjajah akan
menjadi contoh bagi pemimpin lainnya yang ba-
rangkali belum sadar dan masih mau menjilat te-
lapak kaki penjajah bangsanya sendiri. Selamat
tinggal saudara-saudaraku. Doaku beserta kalian
semua. Berjuanglah sampai titik darah penghabi-
san dan percayalah, penjajah laknat akan angkat
kaki dari negeri kita..."
Setelah Bek Marto selesai mengucapkan pe-
san terakhirnya, komandan algojo memberi isya-
rat, sambil mengangkat pedang panjangnya ting-
gi-tinggi. Sebanyak enam orang anggota regu
tampak segera bersiap-siap di hadapan Bek Mar-
to. Laras senapan segera diangkat dan diarahkan
ke bagian tubuh Bek Marto.
Komandan regu menatap anggotanya sejenak,
lalu melirik Bek Marto. Setelah itu, ia berteriak
memberi aba-aba. Bersamaan dengan turunnya
pedang di tangannya, terdengar suara tembakan
secara serempak, mengoyak-ngoyak udara dan
bergema sampai ke tengah hutan. Tubuh Bek
Marto ambruk ke tanah dalam keadaan bersim-
bah darah.
Penduduk menutup mata sambil mengu-
capkan. Bek Marto telah menemui ajalnya. Da-
rahnya mengucur deras membasahi tanah airnya.
Kini semuanya telah berakhir. Nama Bek Marto
hanya tinggal jadi kenangan.
"Itulah kisah kematian ayahku, dik Ranti..."
ujar Roijah dengan suara serak.
"Kasihan ayahmu..."
"Aku tak bisa melukiskan bagaimana pera-
saanku saat itu, dik Ranti. Tetapi jauh di lubuk
hatiku masih ada rasa bangga, karena di saat ak-
hir hidupnya ayah menyadari kekeliruannya dan
mengharapkan kematiannya jadi contoh bagi pemimpin lainnya agar tidak mau diperbudak penja-
jah."
"Aku sangat prihatin mendengar itu, kak Roi-
jah. Semoga Tuhan mengampuni ayahmu."
"Ya, dik Ranti. Tetapi sekarang aku telah se-
batangkara. Tidak ada lagi sanak saudaraku," ka-
ta Roijah dengan tangis semakin menjadi-jadi. Ia
menyandarkan tubuh ke batang pohon menum-
pahkan segala yang bergejolak di dalam hatinya.
"Sudahlah, kak Roijah. Sebagai pendekar, ki-
ta tidak boleh terlalu sedih atas segala cobaan
yang kita hadapi. Aku mengerti perasaanmu, kak.
Hidup sebatangkara memang menyakitkan. Tetapi
aku pun telah sebatang kara. Tak ada ayah dan
ibu, begitu juga sanak pamili."
"Kau benar, dik Ranti. Ah, betapa tololnya
aku terlalu menyesali semua yang telah terjadi.
Yang telah terjadi itu biarlah terjadi. Mungkin
semua ini telah takdir. Terimakasih, dik Ranti.
Kau sangat baik."
"Ah, kak Roijah. Bahkan kalau dipikir-pikir,
kakak masih lebih beruntung daripada aku. Ka-
rena saat ini masih ada yang mencintaimu, kak!"
Roijah agak terkejut juga mendengar ucapan
Ranti itu. Sambil menyeka airmata, gadis itu me-
natap Ranti dalam-dalam, "Apa maksudmu, dik
Ranti?"
"Kakak masih beruntung karena Parmin
mencintaimu. Bukankah kakak juga sangat men-
cintainya?"
"Hah? Jadi... jadi kau mengenal Parmin?"
"Ya, kak. Aku mengenalnya."
"Dimanakah kau mengenalnya dan di mana
dia sekarang? Aku sudah lama tak bertemu den-
gannya."
"Kak Roijah, maafkan aku. Sebenarnya untuk
itulah aku datang ke mari." Ranti kemudian men-
jatuhkan dirinya ke pangkuan Roijah. Dan tak
lama kemudian, tangisnya pun meledak. Air ma-
tanya bagaikan air hujan ditumpahkan dari lan-
git.
Lama gadis itu menangis terisak-isak, semen-
tara Roijah mendekap dan membelai-belai ram-
butnya dengan penuh rasa haru. Roijahpun tak
henti-hentinya mengucapkan kata-kata hiburan
agar Ranti segera diam dan bisa menguasai pera-
saannya.
"Sudahlah, dik Ranti. Hatiku tambah sedih
melihatmu menangis. Hapuslah air matamu, jan-
gan terlalu sedih. Bukankah tadi kau sendiri yang
bilang agar kita jangan terlalu sedih? Kau bilang
tadi, sebagai pendekar, kita tidak boleh menangis.
Katakanlah hatimu. Dan coba ceritakan bagaima-
na kau bisa berkenalan dengan Parmin."
"Baiklah, kak Roijah!" sahut Ranti seraya me-
nyeka airmata. Ia pun menghela nafas dalam-
dalam untuk menenangkan perasaannya yang ga-
lau. Setelah perasaannya agak tenang, Ranti pun
mulai bercerita.
"Kak Roijah, seperti yang saya ceritakan tadi
aku adalah putri Gagak Ciremai. Tapi sejak kecil,
karena ayahku keburu meninggal dunia, aku di-
pungut sebagai anak angkat oleh Gembong Wun-
gu."
"Gembong Wungu? Maksudmu pendekar
bermata satu itu?"
"Ya. Apakah kak Roijah mengenalnya?"
"Tidak, dik Ranti. Tetapi aku sering menden-
gar namanya. Kabarnya dia adalah raja rampok
yang memiliki kesaktian yang jarang ada tanding-
nya."
"Ya, mungkin begitulah keadaannya. Tapi ta-
hukah kakak betapa hancurnya perasaanku ke-
mudian? Lima belas tahun setelah ayahku me-
ninggal aku mengetahui bahwa Gembong Wungu
bukanlah ayah kandungku bahkan punya hu-
bungan familipun tidak. Bahkan kemudian kuke-
tahui dia sendirilah yang membunuh ayahku Ga-
gak Ciremai."
"Sungguh kejam. Lalu bagaimana dengan
ibumu?"
"Setelah ayahku terbunuh oleh Gembong
Wungu, ibuku melarikan diri ke hutan dan baru
lima belas tahun kemudian muncul di desa Per-
butulan dengan maksud hendak membalas den-
dam. Selama lima belas tahun itu, ibuku rupanya
diam-diam memperdalam ilmu untuk membalas
dendam. Tetapi ibuku pun akhirnya meninggal di
ujung senjata Gembong Wungu."
"Kurang ajar! Benar-benar biadab si raja
rampok itu!" seru Roijah geram.
"Saat itulah aku berkenalan dengan Parmin.
Kebetulan ia singgah didesa Perbutulan untuk
bekerja sebagai petani upahan karena dalam per-
jalanan katanya kehabisan bekal."
"Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Aku nekat menantang Gembong Wungu un-
tuk bertarung sampai dia atau saya yang mati.
Tetapi Parmin menasehatiku, katanya bajingan
itu bukanlah tandinganku. Apalagi sebelum me-
ninggal, ibuku sempat berpesan agar aku tak
membalaskan dendam terhadap Gembong Wun-
gu. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Un-
tunglah saat itu Parmin datang dan sebagai seo-
rang kesatria menantang Gembong Wungu berta-
rung."
"Lalu? Lalu... siapa yang kalah...?"
"Yang kalah pastilah yang salah. Saya me-
nyaksikan sendiri pertarungan itu. Tampaknya
Parmin sendiri pun tidak kuat menghadapi apala-
gi mengalahkan Gembong Wungu..."
"Jadi... dia telah meninggal...?" sela Roijah
dengan wajah yang tiba-tiba berubah pucat pasi.
"Tidak, kak. Sewaktu bertarung, tiba-tiba ra-
tusan bahkan mungkin ribuan monyet menyerbu
Gembong Wungu. Karena sangat kesakitan, Gem-
bong Wungu berlari tak tentu arah hingga akhir-
nya terjatuh ke dalam sebuah jurang yang sangat
dalam dan akhirnya menemui ajalnya di jurang
itu."
"Oh... kak Parmin..." desah Roijah lega.
"Sejak itu, aku mulai menyadari bahwa aku
telah jatuh cinta padanya. Maafkan aku, kak Roi-
jah. Aku tahu kakak mencintainya dan telah ber-
janji padanya. Tetapi ketahuilah, kak Roijah. Cin-
tamu belum tentu lebih besar daripada cintaku
padanya."
Lama Roijah termenung mendengar ucapan
Ranti itu. Sepertinya kata-kata itu merupakan
suatu isyarat baginya bahwa ia harus siap meng-
hadapi kenyataan. Pantas saja Ranti jauh-jauh
mau menemuinya. Rupanya antara gadis itu dan
Parmin telah terjalin hubungan rahasia.
Sebagaimana halnya kaum gadis pada
umumnya, rasa cemburu pun langsung bergejo-
lak di dalam hati Roijah. Tetapi karena gadis itu
sudah dewasa dan sudah terbiasa menghadapi
berbagai macam problema dalam hidupnya, Roi-
jah bisa menyembunyikan isi hatinya. Walau den-
gan perasaan hancur, ia toh masih bisa menyada-
ri bahwa jika kekasihnya memang telah berpaling
pada gadis lain, ia tidak akan bisa berbuat apa-
apa. Bukankah masalah cinta itu adalah hak aza-
si manusia?
Sama seperti tidak bisa memaksa seseorang
mencintai, seseorang juga tidak bisa terlalu di-
paksa untuk setia. Orang bisa berjanji bahkan
bersumpah, tetapi berbagai hal kemudian bisa
membuat orang tersebut benar-benar melupakan
atau terpaksa melupakan janjinya itu.
Akan tetapi cinta memang boleh dikatakan
tak pernah lepas dari rasa egois. Mementingkan
diri sendiri. Orang mencintai berarti ingin memili-
ki, bahkan menguasai. Sadar atau tidak sadar,
seorang pemuda misalnya biasanya tidak senang
melihat pacarnya pergi bersama lelaki lain. Pa-
dahal antara kekasihnya itu dengan lelaki lain ta-
di belum tentu ada apa-apa. Tetapi dengan alasan
antara mereka ada hubungan cinta yang dinilai
sebagai penguasaan, si pemuda pun merasa
punya hak melarang, bahkan marah.
Itulah sekilas tenang cinta, yang barangkali
sering disalah tafsirkan. Cinta yang kata orang bi-
sa mendatangkan kebahagiaan tetapi juga bisa
mendatangkan kehancuran dalam kehidupan.
Entah itu namanya cinta sejati, atau hanya seka-
dar keegoisan dan dorongan untuk menguasai,
wallahualam.
Roijah merupakan pendekar wanita yang
memiliki ilmu tinggi. Ia juga memiliki keberanian
luar biasa dan telah sering menghadapi kesulitan
dalam hidupnya sebagai seorang pendekar. Tetapi
mendengar kata-kata Ranti itu tadi, perasaannya
jadi tak menentu. Diam-diam ia merasa seperti
takut menghadapi kenyataan menyakitkan, jika ia
harus berpisah dengan kekasihnya.
"Saya tak mengira persoalannya demikian.
Rupanya dik Rantipun mencintainya. Apakah
Parmin juga mencintaimu? Kalau memang demi-
kian..."
"Tidak, Kak Roijah!" sela Ranti cepat, "Parmin
tidak mencintai diriku. Di hatinya hanya ada kau
seorang, kak."
"Jadi..?" kata Roijah bingung bercampur ce-
mas.
Ranti tidak menyahut. Gadis itu tiba-tiba
bangkit, kemudian meloncat jauh ke belakang.
Wajahnya yang tadi pucat pasi kini berubah me-
rah padam. Sepasang matanya menatap liar, ba-
gaikan singa kelaparan siap menerkam mangsa.
Diam-diam Roijah terkejut menyaksikan peruba-
han Ranti. Gadis itu tampak berubah menjadi ganas dan buas. Sikapnya sekarang menunjukkan
bahwa ia sedang sungguh-sungguh hendak men-
gadu nyawa dengan Roijah.
"Tidak! Seorang pendekar tidak boleh menan-
gis. Sekarang mari kita bertarung untuk menen-
tukan siapa yang paling berhak untuk memiliki
cinta Parmin. Kau atau aku. Ayo, bangkitlah! Ca-
but senjata mu dan kita selesaikan persoalan ini
sampai salah seorang di antara kita mampus."
"Aduh, dik Ranti. Kau telah menyelamatkan
nyawaku dari tangan penjajah. Aku berhutang
nyawa padamu. Kalau kau memang berhak mem-
bunuhku, seharusnya kau melakukannya ketika
aku belum sadar tadi. Tapi sekarang, terserah
padamulah, dik Ranti. Aku tidak akan mau mela-
wanmu. Bunuhlah aku sekarang juga!"
"Itu bukan sifat seorang kesatria," kata Ranti
sambil menghunus senjatanya, "Kau adalah seo-
rang pendekar hebat. Tapi aku tidak takut pada-
mu. Aku siap mengadu nyawa denganmu. Ayo,
bangkitlah dan hadapi aku!"
"Dik Ranti, selain berhutang nyawa padamu,
aku juga sangat menyayangimu. Demi langit dan
bumi, aku tidak ingin mengecewakan hatimu, dik!
Kau boleh membenciku, tapi aku tidak akan per-
nah membencimu. Sekarang aku telah menyadari
bahwa diriku memang tidak pantas mengha-
rapkan Parmin. Pergilah padanya, antara aku dan
dia tak ada apa-apa lagi. Atau kalau dik Ranti
memang tidak bisa menahan hasrat untuk mem-
bunuhku, silahkan. Aku sudah rela, dik. Aku
akan bangga mati di tanganmu. Itu lebih baik daripada mati di tangan Penjajah Belanda laknat
itu."
"Huh, aku tak membutuhkan senjata ini," te-
riak Ranti sembari melemparkan senjatanya ke
tanah. Ia lalu melangkah ke hadapan Roijah dan
menatap wanita itu dengan sikap yang tampak
semakin ganas.
"Mari kita bertarung secara kesatria"
"Dik Ranti, aku sudah mengatakan semuanya
padamu. Kenapa kau belum juga melakukan niat
hatimu? Seharusnya kau tak membuang senja-
tamu itu. Ambillah, dan laksanakan niat hatimu
sepuas hati. Aku menyayangimu, dik! aku sudah
merelakan nyawaku untukmu!"
"Jangan banyak omong. Aku tak butuh kata-
kata seperti itu. Jangan bersikap pengecut. Bajing
Ireng. Aku tidak mau menyerang orang yang tak
mengadakan perlawanan. Bangkitlah!"
"Berbuatlah sesukamu, adikku yang manis."
Roijah menatap Ranti dengan tatapan sendu.
Mata gadis itu berkaca-kaca, sedih, terharu, me-
nyesal dan entah apa lagi. Ia sungguh tak me-
nyangka persoalannya akan jadi begini. Tetapi
melihat betapa besarnya harapan Ranti terhadap
Parmin, diam-diam Roijah telah merelakan keka-
sihnya untuk hidup berdampingan dengan Ranti.
Maka Roijah pun sudah pasrah, siap menerima
kematian di tangan Ranti.
Melihat Roijah tetap tidak mau memberikan
perlawanan, makin panas jugalah hati Ranti. In-
gin rasanya ia menerjang Roijah dengan serangan
mautnya. Tetapi bagaimana mungkin ia menyerang orang yang tak mau memberikan perlawa-
nan?
"Bangsat kau, Bajing Ireng! Kau pengecut,
kau..."
Ranti menghentikan ucapannya. Tiba-tiba da-
ri balik pepohonan meluncur sebatang tombak
dengan kecepatan tinggi ke arah Roijah. Sebagai
pendekar yang memiliki ilmu tinggi, Roijah sebe-
narnya dapat menyadari bahwa dirinya terancam
bahaya. Tetapi karena kondisi tubuhnya sangat
lemah, kecil kemungkinan baginya untuk menge-
lak. Di samping itu, dalam waktu yang singkat
itu, ia telah memutuskan lebih baik mati agar
Ranti merasa bebas berdekatan dengan Parmin.
Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa,
Ranti meloncat bagaikan burung elang menyam-
bar tubuh Roijah sehingga wanita itu lolos dari
maut. Senjata tombak itu menancap ke batang
pohon tempat Roijah tadi bersandar.
Ketika tubuh Ranti dan Roijah masih berada
di udara, menyusul lagi puluhan batang tombak
menyambar. Sambil berteriak nyaring, Ranti ber-
jumpalitan beberapa kali sambil mendekap tubuh
Roijah sehingga senjata-senjata yang dilontarkan
dari tempat tersembunyi itu tidak ada yang ber-
hasil melukai kedua gadis itu.
Ranti memang memiliki ilmu silat luar biasa.
Pendekar yang ilmunya biasa-biasa saja, mustahil
akan bisa menyelamatkan diri apa lagi sambil
membopong tubuh Roijah.
Dengan gerakan yang sangat ringan, Ranti
mendaratkan kakinya di atas tanah. Ia mengerahkan segenap perhatiannya untuk bersiap- siap
jikalau diserang lagi.
"Hei, orang-orang pengecut! Keluarlah, jangan
berani menyerang dari tempat persembunyian.
Hai, anjing-anjing, monyet-monyet, keluarlah.
Hadapi aku secara jantan. Akan kucincang tubuh
kalian."
Ranti memaki-maki sambil mengacung-
acungkan senjata.
Roijah yang kondisi tubuhnya masih sangat
lemah, berusaha untuk berdiri dan bersiap-siap
untuk menghadapi serangan lawan. Diam-diam,
Roijah kagum juga melihat ketangkasan Ranti ta-
di menyelamatkan dirinya. Tampaknya ilmunya
sendiri belum tentu lebih tinggi dari gadis itu. En-
tah siapa sebenarnya yang menyerang mereka se-
cara gelap.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa sam-
bung-menyambung dari segala penjuru. Ranti
dan Roijah saling memutar tubuh sambil menatap
ke sekelilingnya, karena suara tawa itu tampak-
nya datang dari segala penjuru.
Selain sangat keras, suara tawa itu juga men-
gandung tenaga dalam yang sangat tinggi, sehing-
ga terasa menusuk-nusuk anak telinga dan mem-
buat dada Ranti dan Roijah berdebar-debar. Ta-
hulah Ranti bahwa lelaki yang mengeluarkan sua-
ra tawa itu bukanlah orang sembarangan.
Ia sudah sering mendengar bahwa di dunia
persilatan banyak pendekar yang memiliki ke-
mampuan menyerang lawan dengan suaranya.
Serangan seperti itu hanya bisa dilakukan jika
orang bersangkutan sudah memiliki tenaga dalam
yang sangat kuat. Sebagai contoh, suara auman
harimau bisa membuat orang gemetar dan lemas,
memperlihatkan betapa suara auman itu men-
gandung kekuatan. Ranti sendiri sudah pernah
diajari ayahnya menggunakan ilmu seperti itu,
walaupun hanya secara garis besarnya saja.
"Kak Roijah, tutup pendengaranmu. Agaknya
si bangsat itu hendak bermain-main denganku."
"Ya, dik Ranti. Hati-hatilah, tampaknya orang
itu bukan orang sembarangan," sahut Roijah was-
was.
Ranti memusatkan perhatiannya sejenak. Ia
menahan nafas sambil menghimpun tenaga da-
lamnya. Setelah itu, ia mengeluarkan suara leng-
kingan berkepanjangan. Luar biasa! Suara leng-
kingan gadis jelita itu terasa menggetarkan de-
daunan dan mengalahkan suara gelak tawa lelaki
misterius itu.
Suara gelak tawa itu pun terhenti. Bersamaan
dengan itu, puluhan lelaki bertampang seram ber-
loncatan dari balik pepohonan dan langsung
membentuk lingkaran, mengepung Ranti dan Roi-
jah. Para lelaki itu hampir semuanya bersenjata
golok selain beberapa orang di antaranya meme-
gang senjata tombak berukuran sekitar satu se-
tengah meter.
"Licik!" bentak Ranti geram.
"Ha-ha-ha.,.!" gerombolan lelaki itu sama-
sama tertawa tergelak kembali.
"Huh, anjing-anjing kurap, tak tahu diri, Ke-
napa jumlah kalian hanya segini saja? Di mana
yang lain? Kebetulan aku sudah cukup lama ti-
dak latihan. Senjataku pun sudah haus minum
darah. Ayo bangsat-bangsat siluman, majulah.
Akan kucincang tubuh kalian!"
"Hei, hati-hati kawan-kawan semua. Jangan
sampai kedua tikus cantik ini lolos. Tangkap me-
reka hidup-hidup!" bentak si Cenot, pemimpin ge-
rombolan itu.
"Kak Roijah, tetaplah berlindung di be-
lakangku. Akan kusikat mereka satu per satu!"
kata Ranti sambil memasang kuda-kuda
"Hati-hati, dik!"
Gerombolan lelaki yang sedikitnya berjumlah
lima belas orang itu mengepung semakin rapat.
Sementara si Cenot sendiri agak jauh di belakang
untuk memberi komando.
"Siap, kawan-kawan. Serbuuu...!" teriak si
Cenot dengan suara menggelegar.
Gerombolan lelaki yang ternyata adalah se-
waan pemerintah Kumpeni Belanda itu mulai me-
nyerang dengan ganas.
"Mampus kalian anjing-anjing Belanda!" ben-
tak Ranti. Gadis itu segera mengeluarkan ilmunya
yang paling hebat yakni ‘Grojogan Sewu’ yang
membuat senjatanya tampak berubah jadi banyak
sekali dan menyerang lawan dari segala penjuru.
Ilmu tersebut ternyata luar biasa cepat dan
setiap serangan selalu mengarah ke bagian-
bagian tubuh yang sangat vital bagi lawan hanya
dalam beberapa jurus saja, Ranti berhasil mero-
bohkan empat lawan hingga terjungkal berlumu-
ran darah.
Ranti mengamuk bagaikan banteng ter-luka.
Sedikit pun ia tidak mau memberikan lawan ke-
sempatan untuk menyerang. Sementara Roijah
sendiri hanya bergerak alakadarnya saja, sebab
tubuhnya masih sangat lemah. Roijah kebanya-
kan menghindar sambil berusaha berlindung di
belakang tubuh Ranti.
"Hei, kawan-kawan. Hati-hati!" teriak si Cenot
yang rupanya terkejut juga menyaksikan sepak
terjang Ranti yang sangat ganas. Mendengar te-
riakan Cenot, para pengeroyok Ranti dan Roijah
serentak meloncat mundur. Mereka melirik te-
man-temannya yang terkapar tak bernyawa. Sete-
lah itu kemudian melirik Cenot, seolah-olah minta
petunjuk.
"Gunakan sergapan kita yang paling ampuh!
Kedua singa betina itu pasti tidak akan berkutik!"
kata Cenot.
Sebanyak tujuh orang sisa anak buah Cenot
segera mengangguk. Mereka lalu membentuk
lingkaran, mengelilingi Ranti dan Roijah. Tak la-
ma kemudian, mereka berteriak-teriak sambil
berlari-lari mengelilingi kedua lawannya.
Makin lama gerak lari gerombolan pengeroyok
makin cepat. Hebatnya lagi, sambil bergerak me-
lingkar, mereka juga mengeluarkan suara untuk
membingungkan lawan. Rupanya benar juga
omongan Cenot tadi bahwa itu adalah serangan
andalan mereka.
Diam-diam Ranti terkejut juga. Sebab seumur
hidupnya ia belum pernah menghadapi serangan
seperti itu. Untunglah Roijah segera dapat membaca gelagat yang kurang baik itu, karena ia me-
mang jauh lebih berpengalaman dari pada Ranti
sendiri.
"Dik Ranti, hati-hatilah. Serangan seperti ini
sangat berbahaya. Kita harus melumpuhkan sa-
lah seorang di antaranya agar lingkaran setan itu
buyar."
Ranti mengangguk. Sebelum lawan menye-
rang, ia sudah meloncat menyerang salah seorang
di antara musuh. Senjata di tangannya bergerak
cepat bagaikan kilat menyambar.
Tetapi alangkah terkejutnya gadis itu, ketika
lawan yang diserangnya tidak mengelak, bahkan
balas menyerang dengan mengarahkan goloknya
ke arah dada Ranti.
Sementara lelaki di belakangnya melindungi
temannya dari serangan Ranti.
Ranti terpaksa menarik senjatanya untuk
menangkis serangan lawan. Terdengar suara ber-
dentang disertai pijaran bunga api karena berte-
munya kedua senjata itu.
"Kurang ajar!" bentak Ranti geram. Ia lalu
mempersiapkan serangan baru yaitu permainan
silat 'Angin Beliung' yang merupakan puncak
dari ilmu 'Dewa Banyu Nitis'.
Ranti menerjang dengan dahsyat. Tubuhnya
melayang, kemudian menyambar turun bagaikan
burung elang. Senjata di tangannya diputar me-
nangkis serangan lawan. Sementara tangan kiri
dan kaki kirinya menyambar dengan kekuatan
dahsyat.
Bersamaan ketika senjata mereka beradu,
kaki kiri Ranti dengan telak menghantam dada
salah seorang lawan. Begitu, kuatnya tendangan
dara jelita itu, sehingga lawannya terlempar bebe-
rapa meter. Darah kental kehitam-hitaman ter-
sembur dari mulutnya. Setelah itu kepalanya ter-
kulai. Nyawanya telah melayang.
Dengan lumpuhnya salah seorang di antara
gerombolan pengeroyok itu, serangan mereka pun
menjadi kacau. Kesempatan itu tak disia-siakan
Ranti. Ia mengamuk lagi membabat lawan-
lawannya dengan serangan mautnya.
Satu per satu kawanan pengeroyok itu roboh
di ujung senjata Ranti. Darah segar tercecer di
mana-mana. Mayat bergelimpangan sehingga se-
kitar tempat itu tampak sangat mengerikan.
Ketika matahari telah condong ke barat, se-
mua anak buah Cenot telah roboh. Sekarang
tinggal Cenot seorang. Lelaki itu terkejut juga
menyaksikan kehebatan Ranti. Hampir ia tak per-
caya belasan anak buahnya roboh di tangan seo-
rang gadis cantik jelita dan masih sangat muda
lagi.
Siapakah gerangan pendekar wanita yang
memiliki ilmu tinggi dan jika mengamuk tampak
sangat beringas dan ganas? Si Cenot tidak bisa
menebak, tetapi menurut perkiraannya pendekar
wanita itu pastilah mempunyai hubungan dengan
Roijah. Mungkin keduanya masih satu perguruan.
Sekalipun Cenot memang belum pernah ber-
tarung dengan Roijah, namun ia sudah menden-
gar sepak terjang Roijah yang sangat hebat. Entah
sudah berapa orang yang tewas di tangan gadis
itu. Bahkan selama ini pemerintah Kumpeni Be-
landa sering menyewa jagoan-jagoan hanya untuk
membekuk Roijah yang dijuluki si Bajing Ireng
itu. Namun tidak ada yang berhasil menangkap
Roijah.
Pemerintah Kumpeni Belanda akhirnya
menghubungi pendekar yang memiliki ilmu yang
sangat tinggi yakni si Cenot sendiri, seorang ja-
goan dari Juntinyungat Karang Panjalin yang di-
juluki Malaikat Samber Nyawa. Lelaki ini sudah
cukup lama dikenal sebagai pendekar tanpa tand-
ing di wilayah Jawa Barat.
Tampaknya Belanda tidak mau main-main la-
gi, terutama setelah Roijah menghilang dari pen-
jara dibawa kabur oleh seorang pendekar wanita
yang ilmunya juga sangat tinggi. Itulah makanya
Si Cenot bersama belasan orang anak buahnya
disewa untuk menangkap Roijah kembali.
Sekarang melihat kehebatan Ranti, si Cenot
pun harus mengakui kagum. Bahkan terus-terang
ia tidak menyangka ia akan bisa menemukan wa-
nita yang sangat muda dan cantik jelita memiliki
ilmu setinggi itu. Tetapi sebagai seorang pendekar
yang sudah puluhan tahun malang melintang di
dunia persilatan dan sudah sangat berpengala-
man pula. Si malaikat Samber Nyawa itu tidak
gentar sama sekali. Ia yakin sekali bahwa ia akan
dapat mengalahkan Ranti.
Maka ia pun tertawa terpingkal-pingkal sete-
lah semua anak buahnya roboh.
"Hebat! Luar biasa! Tadinya singa betina ini
kukira hanyalah anak tikus. Tapi jangan semba
rang mengumbar bacot di hadapanku. Akulah si
Cenot yang dijuluki Malaikat Samber Nyawa yang
tiada tandingan di Jawa Barat. Aku sengaja
memperkenalkan diri agar kalian tidak mati pe-
nasaran. Sebaliknya, aku juga tidak ingin mem-
bunuh orang yang belum kuketahui namanya.
Ayo, sekarang harap kalian berdua tidak kebera-
tan untuk memperkenalkan diri."
"Hati-hati, dik Ranti. Ia bukan orang semba-
rangan," bisik Roijah was-was.
"Tenanglah, kak Roijah. Sebaiknya kakak
menyingkir. Biar saya yang menghadapi si ku-
nyuk tua itu."
"Hei, kalian tak perlu bisik-bisik. Ayo, bicara-
lah!" kata Cenot lagi.
Ranti masih tetapi tidak menyahut. Dara jeli-
ta itu memperhatikan Cenot. Lelaki itu sudah tua,
mungkin sudah berumur lima puluh tahun. Tu-
buhnya agak pendek dan kurus. Ia mengenakan
pakaian serba hijau bergaris-garis dengan celana
panjang sebatas betis, dan di pinggangnya yang
ramping dililitkan kain sarung sejenis songket.
Kedua pipi Cenot agak gempal dan sepasang ma-
tanya tampak selalu melotot, sehingga kalau ia
tertawa ia mirip sekali badut. Sikapnya agak tidak
perduli terhadap orang lain yang jika berjalan ke-
lihatan loyo.
Pendekar yang dijuluki Malaikat Samber
Nyawa itu mempunyai sebilah golok mengkilap
yang kini telah terhunus di tangan kirinya.
Agaknya biarpun sikapnya tampak anggap
remeh terhadap lawan, namun ia sudah bertekad
untuk tidak main-main. Selain karena lawan me-
miliki ilmu yang cukup tinggi, ia juga ingin sece-
patnya melumpuhkan kemudian menyerahkan
kepada Van Eisen.
"Hei, nona cantik. Kenapa kau diam saja?
Siapakah namamu?"
"Huh, monyet kelaparan. Jangan kira aku ta-
kut padamu. Aku sudah siap mengadu nyawa
denganmu. Kau tak perlu banyak bicara. Jika kau
memang bukan pengecut, hadapilah aku. Aku
sudah siap!"
"Baiklah kalau begitu. Agaknya kau memang
sudah di takdirkan mati di tanganku. Sayang dua
nona cantik seperti kalian harus mati sekarang.
Seharusnya kalian berdua jadi biniku. Tapi tak
apalah nona manis. Nanti aku akan kaya raya,
dapat hadiah melimpah ruah dari Van Eisen se-
bagai ganti kedua kepala kalian."
"Bangsat tak tahu diri. Akan kucincang tu-
buhmu, bedebah!"
Sambil tertawa-tawa, si Cenot pasang kuda-
kuda. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar, kemu-
dian kedua lututnya ditekuk hingga hampir me-
rapat ke dada. Dengan posisi seperti orang jong-
kok seperti itu, ia meliuk-liukkan badan dengan
gaya yang sangat lemas dan mirip kucing sedang
sakit perut. Sementara tangan kanannya yang ki-
ni memegang golok diacung tinggi-tinggi ke bela-
kang. Gaya main silat yang sangat aneh. Ranti di-
am-diam terkejut juga, sebab ia sudah dapat me-
nerka bahwa di balik gaya yang tampak semrawut
itu tersimpan sesuatu gerak yang sangat berbahaya. Untuk menghadapi lawan seperti ini diper-
lukan kewaspadaan yang tinggi, tidak boleh len-
gah sedikit pun juga apalagi menganggap remeh.
Ranti mempersiapkan diri untuk memulai se-
rangan dengan jurus maut bagian dari ilmu silat,
Dewa Banyu Nitis. Sambil berteriak nyaring, dara
muda itu meloncat tinggi ke arah lawan. Tangan
kiri disilangkan di depan dada, sementara tangan
kanan yang memegang senjata dilipat di sebelah
kiri. Kari kanannya ditekuk, sehingga posisinya
memungkinkan Ranti bisa menyerang dari berba-
gai arah dan dengan perkembangan jurus yang
sulit ditebak.
Si Cenot pun berteriak nyaring sambil me-
mindahkan goloknya ke tangan kiri. Agaknya si
Malaikat Samber Nyawa itu segera menyadari
bahwa serangan Ranti sangat berbahaya, dan
dengan senjata di tangan kiri, lebih menguntung-
kan baginya menghadapi serangan itu. Dan itu
merupakan salah satu keistimewaan Cenot, di
mana tangan kiri maupun tangan kanannya sama
berbahayanya jika memegang senjata.
Didahului serangan kaki dan tangan, senjata
Ranti menyambar dahsyat ke arah dada Cenot.
Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh, Cenot
menghindar, lalu mengangkat goloknya menang-
kis sabetan senjata lawan.
"Trang...!" Kedua senjata itu beradu keras,
disertai percikan bunga api. Tubuh Rianti yang
sedang melayang di udara terdorong mundur, se-
hingga ia terpaksa melakukan salto beberapa kali
ke belakang untuk menguasai keseimbangan tubuh. Sedangkan tubuh Cenot juga terdorong be-
berapa langkah.
Dapatlah diketahui bahwa tenaga dalam Ce-
not sedikit lebih kuat dibanding Ranti. Hal itu
membuat Ranti sangat geram. Ia kembali mener-
jang dengan ganas. Benarlah seperti apa yang di-
duganya semula bahwa Cenot bukanlah orang
sembarangan. Lelaki itu selain memiliki gerakan
yang sangat cepat, juga terasa sangat aneh, se-
pertinya tak lazim diperlihatkan para pendekar.
Untunglah Rianti memiliki semangat baja dan
kelincahan tubuh yang sangat baik, sehingga
sampai pertarungan itu berlangsung berpuluh-
puluh jurus, ia masih dapat bertahan sambil se-
kali-sekali balas menyerang.
Namun makin lama tenaganya makin terku-
ras juga. Apalagi karena sebelumnya ia mengha-
dapi keroyokan belasan anak buah Cenot. Walau-
pun lawan-lawannya itu rata-rata tidak memiliki
ilmu yang tinggi, namun cukup banyak menguras
tenaga Ranti. Makin lama perlawanan Ranti ma-
kin melemah.
Hari mulai senja, langit telah kelabu. Tiba-
tiba saja permainan silat Cenot sering ngawur,
bacokan-bacokan goloknya sering salah sasaran.
Tahulah Ranti bahwa musuhnya itu mempunyai
kelemahan yakni matanya rabun ayam.
Tentu saja Ranti sangat girang. Semangatnya
berkobar kembali, dan seperti memberikan tenaga
baru baginya. Kalau tadi ia terdesak oleh lawan,
kini keadaan telah berbalik. Ranti yang berada di
atas angin dan tampaknya hanya menunggu waktu saja untuk merobohkan lawan.
Benar saja! Beberapa saat kemudian, senjata
di tangan Ranti dengan telak menyabet leher Ce-
not hingga hampir putus. Lelaki itu menjerit pan-
jang. Tubuhnya ambruk ke tanah dengan darah
segar memancar deras membasahi pakaian dan
tanah di sekitarnya. Sejenak tubuh jagoan Malai-
kat Samber Nyawa itu menggelepar-gelepar, sete-
lah itu tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya telah
melayang entah ke mana.
"Mampus kau bangsat!" maki gadis itu sambil
meludah. Ia lalu menyeka keringat yang memba-
sahi wajah. Sungguh suatu pertarungan yang
luar biasa. Seumur hidup, Ranti belum pernah
menghadapi lawan setangguh Cenot. Seandainya
lawannya itu tidak rabun ayam, entah apa yang
bakal terjadi. Mungkin Ranti sendiri yang akan
mengalami nasib naas.
"Sungguh hebat kau, dik Ranti. Kau adalah
yang amat perkasa, bisa mengalahkan jagoan se-
tangguh itu," kata Roijah yang sejak tadi menga-
wasi pertarungan itu dengan dada berdebar-
debar.
Ranti hanya melirik sekejap. Setelah itu, ia
kembali menyeka keringat dengan sikap seperti
tak mendengar ucapan Roijah.
"Dik Ranti, aku sangat kagum padamu."
"Tidak!" Tiba-tiba Ranti berteriak nyaring
sambil melemparkan senjatanya, "Kau tak perlu
memujiku. Mari kita selesaikan kembali urusan
kita. Ayo, bersiap-siaplah. Aku akan mengadu
nyawa denganmu sampai salah seorang di antara
kita yang mampus."
Roijah sangat terkejut mendengar kata-kata
Ranti. Sungguh ia tak menyangka Ranti masih
bersikap galak padanya. Bahkan tampak masih
ingin bertarung dengannya. Diam-diam Roijah
mengeluh, karena gadis yang sangat dikaguminya
itu masih bersikap aneh padanya.
"Kau jangan diam saja, Bajing Ireng! Bersiap-
siaplah menghadapi aku!"
"Dik Ranti, untuk kedua kalinya kau menye-
lamatkan nyawaku. Kau sangat berjasa terhadap
diriku. Mungkin aku tidak akan pernah bisa
membalas budi baikmu. Karena itu, ketahuilah,
apapun yang akan terjadi, aku Roijah anak dari
Bek Marto tidak akan mau melawanmu. Lakukan-
lah apa yang kau lakukan sesuai kehendak hati-
mu. "
"Diam! Aku bukan pengecut! Pokoknya kita
harus bertarung demi Parmin. Kau harus mela-
wanku, jangan bersikap pengecut seperti itu. Mari
kita selesaikan. Bersiaplah kau, Bajing Ireng!"
"Dik Ranti, kenapa kau masih harus banyak
bicara? Kenapa tak segera kau ambil senjatamu
dan membunuhku?"
Karena sangat kesal, tiba-tiba Ranti menam-
par pipi Roijah. Demikian kerasnya tamparan itu,
sehingga tubuh Roijah terpelanting dan terjerem-
bab ke tanah.
"Agaknya kau harus diberi pemanasan. Su-
dah cukup, bukan? Sekarang bangkitlah. Ayo,
bangkit. Jangan sampai membuat aku kehilangan
kesabaran!"
"Bunuhlah aku, dik Ranti. Aku sudah rela se-
perti halnya aku merelakanmu berdampingan
dengan Parmin, asalkan kau betul-betul mencin-
tainya. Demi Tuhan aku benar-benar rela..."
"Kurang ajar! Agaknya aku harus menyeret
tubuhmu agar mau melawanku..."
"Tunggu!" Tiba-tiba terdengar suara agak pe-
lan namun mengandung wibawa yang sangat da-
lam. Ketika Ranti menoleh.
Tampaklah olehnya Nyi Saidah, nenek tua
yang beberapa hari lalu berniat merampas Roijah
dari tangan Ranti.
"Oh, kau lagi nenek peot!" bentak Ranti ge-
ram.
Melihat kedatangan Nyi Saidah, tiba-tiba Roi-
jah bangkit, lalu berlutut sambil memeluk kedua
kaki wanita tua itu.
"Ibu guru..." ujar Roijah penuh haru.
"Oh, betapa merananya hidupmu, muridku.
Betul, kau jangan meladeni nona yang berkela-
kuan aneh itu." Ujar Nyi Saidah alias Nini Sari.
"Oh, jadi kaukah gurunya, nenek peot? Kupe-
ringatkan padamu, jangan mencampuri urusanku
dengannya. Kalau tidak, kalian berdua boleh ma-
ju mengeroyokku. Akan kukirim kalian ke neraka
seperti anjing-anjing Belanda ini!"
"Aduh, anak manis. Kenapa kau segalak itu?
Roijah adalah muridku. Sebagai guru, saya tentu
patut mengetahui persoalan yang dihadapinya."
"Ah, nenek peot seperti kau tahu apa?"
"Aku mengerti, anak manis. Justru karena
itu aku perlu memberimu nasehat, anak jelita."
"Aku tak butuh nasehatmu, nenek siluman!"
"Aku menghaturkan terimakasih padamu atas
segala kebaikanmu telah menyelamatkan nyawa
muridku sebanyak dua kali. Tetapi haruslah kau
sadari pula bahwa cinta bukan suatu barang yang
bisa diperebutkan seperti piala. Cinta hanya bisa
terpadu juga dua hati saling menyentuh."
"Sudah kubilang aku tak butuh nasehatmu.
Jangan berkotbah di hadapanku, nenek peot. Le-
bih baik kau cabut senjatamu dan kita selesaikan
persoalan ini secara kesatria."
"Anak manis, aku tahu kau bicara kasar se-
perti itu pastilah tidak keluar dari hati nuranimu.
Kau hanya terpengaruh oleh emosi yang tak me-
nentu. Sadarilah itu, anak manis. Kau adalah
seorang pendekar yang tangguh. Tanyalah hati
nuranimu sendiri apakah sikap seperti itu me-
mang baik atau tidak."
"Baik atau tidak itu urusanku. Kalau kau
memang keberatan, hadapilah aku."
"Tak ada gunanya kau menantang kau, anak
manis. Sebab aku tak akan menghadapimu seka-
lipun harus kau bunuh."
"Hm, guru dan muridnya sama saja, sama-
sama pengecut."
"Aku juga pernah muda. Sebelum kau lahir,
aku sudah merasakan apa itu cinta. Cinta itu la-
hir sendiri, anak manis. Tanpa disadari dan tanpa
direncanakan. Oleh karena itu, cinta tidaklah bisa
dipaksakan. Muridku Roijah telah mengalah pa-
damu. Ia rela kau berdampingan dengan Parmin.
Tetapi apakah itu bisa sebagai jaminan bagimu
bahwa lelaki itu akan mau menerimamu?"
Ranti tidak menyahut lagi. Sebab jauh di lu-
buk hatinya, ia mulai mengakui kebenaran kata-
kata Nyi Saidah itu.
"Camkanlah itu, anak manis. Aku yakin kau
sudah cukup dewasa untuk bisa merenung-
renungkannya. Kasihan Roijah. Janganlah me-
nambah penderitaan bathin baginya. Kau tentu
tahu, ayahnya baru saja ditembak mati Belanda.
Setelah itu ia disiksa dan dipenjarakan. Tapi un-
tunglah kau menyelamatkannya. Sungguh perbu-
atan yang sangat mulia. Karena itu, aku saran-
kan, carilah pria lain yang lebih patut mendam-
pingimu. Pria di dunia ini bukan hanya satu
orang saja. Kau muda dan cantik serta memiliki
ilmu tinggi. Pasti banyak yang jatuh cinta pada-
mu."
Mendengar itu, menitiklah airmata Ranti. Ia
mulai menyadari kekeliruannya. Bahkan kini ia
merasa malu pada dirinya sendiri. Tak terlu-
kiskan lagi perasaan gadis itu sekarang.
"Ah, aku tak tahu harus bicara apa lagi. Ter-
nyata cinta itu terlalu menyakitkan bagiku. Kusa-
dari pula betapa tulus dan sucinya cintamu, kak
Roijah. Tak ada hak bagiku untuk mengganggu-
mu. Sekarang aku harus pergi. Ya, biarlah aku
pergi..."
"Dik Ranti, jangan berkata begitu..." seru Roi-
jah terharu. Ia pun meneteskan airmata, memba-
sahi pipinya yang pucat.
"Maafkan aku, kak. Biarlah aku pergi. Ku-
doakan semoga kakak hidup bahagia.
"Selamat tinggal..." Setelah berkata begitu,
Ranti segera meloncat meninggalkan tempat itu.
"Dik Ranti, Tunggu!" teriak Roijah.
"Biarkanlah dia pergi. Hatinya sekeras baja.
Ia perlu waktu untuk menyadari kekeliruannya
dan juga untuk mengobati luka dalam hatinya,"
ujar Nyi Sadah alias Nini Sari dengan suara lem-
but.
Ranti berlari menembus kegelapan malam,
membawa kegelapan di dalam hatinya. Dara jelita
itu terus berlari dan berlari dengan isak tangis
yang tersendat-sendat. Ia berlari seperti ketika
pertama kalinya datang ke daerah utara itu. Na-
mun di dalam hatinya kini tergores sebuah luka
yang kelak barangkali akan menjadi kenangan
seumur hidup baginya.
T A M A T
Cinta memang indah, penuh mimpi nan
membuai memberikan harapan-harapan menjan-
jikan dunia milik berdua dan Ranti ingin meraih-
nya di antara duri-duri serta acungan senjata tapi
cinta yang pertama singgah dalam hidupnya tidak
seindah apa yang dibayangkan.
Bagaimanakah nasib dara jelita itu setelah
Episode ini? Kita nantikan saja judul berikutnya,
yaitu:
"SI CAKAR RAJAWALI"
0 comments:
Posting Komentar