..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 13 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE AIRMATA KASIH TERTUMPAH DI KANDANG HAUR

AIRMATA KASIH TERTUMPAH DI KANDANG HAUR

 

Karya Djair Warni

Penerbit Sarana Karya, Jakarta

Cetakan pertama 1991

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau 

pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


AIRMATA KASIH 

TERTUMPAH

DI KANDANG HAUR

"Tar...! Tar...! Tar...!" Suara lecutan cam-buk 

menghantam tubuh gadis itu, terdengar nyaring 

dan sambung-menyambung. Terdengar pula jerit 

dan rintih kesakitan. Beberapa pasang mata me-

natap dengan buas, sementara puluhan lainnya 

menyaksikan dengan airmata berlinang-Linang.

Roijah! Gadis berusia muda itu sedang mene-

rima hukuman berupa siksaan. Tubuhnya hampir 

telanjang, karena seluruh pakaiannya telah so-

bek. Begitu juga kulit tubuhnya akibat kerasnya 

cambukan yang menerpa dirinya.

Darah segar menetes, bahkan di beberapa 

bagian tubuhnya bercucuran, membasahi bumi 

persada. Tanah di sekelilingnya merah dan basah, 

seperti sedang melukiskan sejarah yang kelak 

akan turun-temurun.

Perlahan kepala gadis itu terkulai lemas. 

Rambutnya yang hitam panjang terurai menutupi 

sebagian wajahnya. Kedua kelopak matanya pun 

tertutup. Lalu ia tak ingat apa-apa lagi.

Di desa Kandang Haur, kejadian seperti itu 

bukanlah hal yang aneh bagi penduduk. Tentara 

kumpeni Belanda tampaknya menerapkan sistim 

hukum rimba, di mana setiap orang, terutama pa-

ra pendekar yang dianggap pembangkang disiksa 

habis-habisan. Tragisnya lagi, penyiksaan itu


sengaja dilakukan di depan umum dengan mak-

sud sebagai peringatan kepada penduduk lainnya 

agar tidak membangkang

Roijah telah cukup lama dikenal sebagai pen-

dekar yang memiliki sifat kesatria yang patut diti-

ru. Selain ramah tamah, ia juga selalu ringan 

tangan memberikan pertolongan bagi orang yang 

sedang kesusahan.

Hampir semua penduduk Kandang Haur me-

rasa simpati padanya. Namun sebaliknya, Kum-

peni Belanda menganggapnya musuh yang harus 

dilenyapkan. Sepak terjangnya selama ini telah 

membuat penjajah kalang kabut.

Gadis itu bagaikan siluman saja masuk ke loji 

musuh, lalu mencuri perbekalan tentara Belanda, 

seperti beras, ikan, bahkan uang dan perhiasan 

emas. Demikian lihainya gadis itu, sehingga sela-

ma ini ia selalu lolos dari sergapan musuh. Di ka-

langan pasukan Residen Cirebon yang dipimpin 

oleh Leonard Van Eisen, gadis itu dijuluki "Bajing 

Ireng" yang dapat diartikan sebagai maling yang 

menyerupai seekor Tupai berbulu hitam, karena 

pakaian Bajing Ireng memang serba hitam.

Roijah adalah putri Kepala Desa Kandang 

Haur, Bek Marto. Usia gadis itu baru sekitar dua 

puluh tahun. Rambutnya yang hitam legam dan

agak bergelombang dibiarkan jatuh terurai sam-

pai ke pinggul. Wajahnya mulus dengan raut wa-

jah yang bulat telor. Hidungnya agak mancung, 

bibirnya merah merekah dan jika mengulum se-

nyum kelihatan seperti bunga mawar yang sedang 

mekar. Sepasang matanya bening dan selalu bersinar-sinar. Alis matanya lentik dan tebal menan-

dakan ia seorang yang berpendirian kokoh.

Seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai 

melompat, sekali-sekali pasti jatuh juga. Demi-

kianlah nasib putri Kepala Desa itu. Dalam per-

sembunyiannya, ketika hari masih pagi, ia dike-

pung puluhan pasukan Residen.

Roijah melarikan diri sampai ke hutan di be-

lakang desa. Namun pasukan musuh kali ini ru-

panya tidak mau bertindak tanggung-tanggung. 

Ke mana pun ia melarikan diri, pasukan lawan te-

lah menghadang. Dan akhirnya, setelah mero-

bohkan beberapa orang pasukan penjajah, Roijah 

dapat diringkus.

Kedua tangan Roijah segera diikat ke bela-

kang.

"Bawa pemberontak itu ke alun-alun!" perin-

tah pemimpin pasukan itu.

Dalam keadaan tak berdaya, Roijah dilempar-

kan ke dalam kereta kuda beroda dua. Kereta ku-

da yang biasanya digunakan untuk mengangkut 

barang-barang itu kemudian digiring ke alun-alun 

pasar Kandang Haur

"Hei, minggir! Semua minggir!" teriak pasukan 

itu sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Pen-

duduk menjadi ketakutan dan segera menyingkir.

"Hei, kalian semua! Dengar dan perhatian 

baik-baik siapa perempuan di dalam gerobak ini. 

Dia menjadi contoh buat kalian bahwa siapa saja 

yang coba-coba membangkang atau memberontak 

akan mengalami nasib seperti dia!"

Mengetahui wanita yang baru tertangkap itu


adalah Roijah, penduduk menjadi terkejut. Mere-

ka berhamburan keluar rumah ingin menyaksi-

kan keadaan gadis itu. Namun tak ada yang be-

rani mendekat karena takut melihat kebengisan 

pasukan pemerintah.

"Kasihan... Roijah ditangkap," kata seorang 

lelaki setengah baya.

Kaum ibu-ibu di desa Kandang Haur bahkan 

tak sedikit yang menitikkan air mata, karena me-

reka sudah bisa membayangkan hukuman apa 

yang bakal menimpa Roijah. Orang yang tak ber-

salah saja sering disiksa apalagi yang dituduh 

bersalah.

Suara derap langkah kuda terdengar jelas, 

karena keadaan sangat sepi. Tak ada penduduk 

yang berani bicara keras-keras, sehingga yang 

kadang-kadang terdengar hanya suara bisikan 

dan isak tangis.

Tak lama kemudian, gerobak kuda itu pun 

sampai di alun-alun pasar. Dari jarak sekitar se-

puluh meter, penduduk bergerombol ingin me-

nyaksikan hukuman yang akan diterima Roijah.

Di antara kerumunan penduduk itu, ada seo-

rang gadis yang kira-kira berusia jauh lebih muda 

dari Roijah. Gadis itu pun cantik jelita. Rambut-

nya yang cukup panjang dikuncir ke belakang, 

Sinar matanya pun tampak selalu bersinar-sinar. 

Ia mengenakan baju kurung dengan dada agak 

terbuka, dan mengenakan celana panjang seten-

gah betis. Di punggungnya tergantung sebilah pe-

dang bermata dua. Tak salah lagi, ia pastilah seo-

rang pendekar muda yang memiliki ilmu yang cukup tinggi, Namun melihat gerak-geriknya dapat-

lah diterka bahwa ia bukan warga desa Kandang 

Haur.

Siapakah sebenarnya pendekar wanita itu? 

dia adalah Ranti, putri angkat raja rampok Gem-

bong Wungu dari desa Perbutulan, yang jaraknya 

berpuluh-puluh kilo meter dari desa Kandang 

Haur. Tak ada yang tahu maksud kedatangan ga-

dis itu, bahkan kehadirannyapun kurang diperha-

tikan, karena mata penduduk desa Kandang Haur 

selalu tertuju kepada Roijah.

"Siapakah dia, pak? Kenapa dia sampai digir-

ing Kumpeni Belanda? Apa salahnya?" tanya Ran-

ti kepada lelaki di sampingnya.

"Dia adalah Roijah, anak Bek Marto kepala 

desa di sini. Ayah dan anak itu dituduh pembe-

rontak oleh pemerintah."

"Pemberontak?"

"Ya. Ayahnya dituduh pemberontak karena 

tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Sedang 

putrinya ini sering mencuri beras dari gudang 

tuan tanah Van Eisen. Tapi ia mencurinya untuk 

dibagikan kepada penduduk. Keduanya sangat 

baik. Ah... beberapa waktu lalu Bek Marto ditem-

bak mati di alun-alun pasar ini. Sekarang Roijah 

tentu akan menyusul. Sungguh malang nasib 

pendekar itu, ya Tuhan!"

Mendengar penjelasan lelaki itu, makin terke-

jutlah Ranti. Roijah, bisik hatinya. Kalau begitu 

inilah orang yang kucari-cari, kekasih Parmin. 

Ternyata Roijah adalah seorang pendekar sejati. 

Semua penduduk di desa ini menangisi nasibnya,


karena sebentar lagi ia akan ditembak.

Pada waktu lalu, Parmin yang dijuluki pende-

kar Jaka Sembung itu telah menceritakan tentang 

kekasihnya ini kepada Ranti. Pemuda itu secara 

halus menolak kehadiran Ranti di sisinya, sebab 

ia sudah terikat janji dengan Roijah.

Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Ranti 

adalah putri kandung guru silat desa Perbutulan, 

yakni Gagak Ciremai. Namun ketika ia masih ke-

cil, ayahnya dibunuh Gembong Wungu yang ke-

mudian memungut Ranti sebagai anak angkat.

Sepak terjang pendekar bermata satu Gem-

bong Wungu kemudian sangat sadis dan brutal. 

Tetapi kemudian, Ranti dendam pada ayah ang-

katnya itu, terutama setelah ibu kandungnya 

yang muncul tiba-tiba tewas di ujung golok Gem-

bong Wungu.

Pada saat itulah Parmin muncul, bahkan ke-

mudian dapat merobohkan raja rampok itu berkat 

bantuan monyet-monyet di hutan 'Plangon' tak 

jauh dari desa Perbutulan. Tanpa disadari, Ranti 

kemudian menaruh hati kepada Parmin, namun 

cintanya bertepuk sebelah tangan.

Ranti sangat terpukul. Juga penasaran. Ia in-

gin tahu gadis seperti apa sebenarnya kekasih 

Parmin itu. Maka ia pun berangkat ke desa Kan-

dang Haur. Tepat ketika ia tiba di desa itu, ia me-

lihat Roijah sedang digiring ke tempat penyiksaan 

di alun-alun pasar Kandang Haur.

Putri kepala desa itu kini diseret ke tengah 

alun-alun. Di situ telah disediakan pancangan 

kayu yang mirip gawang setinggi sekitar satu meter. Tali yang mengikat kedua tangan pendekar 

wanita berkebaya kembang-kembang itu dibuka, 

lalu diikatkan ke masing-masing sudut pancang 

kayu itu. Roijah terlihat setengah jongkok di ba-

wah tatapan mata cemas para penduduk.

Salah seorang tukang pukul pemerintah 

Kumpeni tampil ke depan. Ia mengambil selembar 

surat kemudian membacakannya dengan suara 

keras-keras.

"Saudara-saudara sekalian. Hari ini kalian 

kembali menyaksikan pelaksanaan hukuman ter-

hadap seorang pemberontak di desa ini. Kalian 

dengarkan, perempuan ini adalah seorang pembe-

rontak yang bersekongkol dengan ayahnya. Oleh 

karena itu, atas nama dan kuasa Residen Cire-

bon, hari ini ia akan dijatuhi hukuman.

Selain itu, ia ternyata adalah si Bajing Ireng, 

maling besar yang telah menghabiskan berpuluh 

kuintal beras dari gudang penggilingan tuan Van 

Eisen di Kandang Haur. Ini akan menjadi contoh 

buat kalian. Sekali lagi kuperingatkan, jangan co-

ba-coba menentang pemerintah kalau tak ingin 

nasibnya seperti ini."

Penduduk menahan nafas. Sebagian di anta-

ranya memalingkan muka karena merasa tak ta-

han menyaksikan hukuman yang bakal dijatuh-

kan kepada Roijah.

"Cambuk dia!" perintah kepala tukang pukul 

itu.

Seorang algojo segera mengayunkan cambuk-

nya berulangkali ke tubuh Roijah.

Ya, Allah... kuatkanlah hambamu menahan


siksaan ini, sampai ajalku tiba. Parmin... oh, ka-

sihku. Selamat tinggal, Oh, Tuhan ampunilah se-

gala dosaku.. bisik hati gadis itu dengan airmata 

berlinang-linang.

"Kurang ajar! Biadab!" Tiba-tiba Ratih berkata 

tanpa sadar. Ia sungguh sangat benci dan geram 

melihat kekejaman pemerintah Kumpeni Belanda, 

ia ingin menebas batang leher algojo itu hingga 

putus. Tetapi ia masih bisa berfikir dengan te-

nang, karena bagaimana pun juga, ia tidak boleh 

bertindak sembrono dalam keadaan seperti itu. 

Apalagi karena pasukan pemerintah Belanda di-

perlengkapi bedil. Ia tak mungkin bisa berbuat 

apa-apa. Bahkan jika berani melawan, ia pasti 

mati konyol. 

Setelah Roijah jatuh tak sadarkan diri, tu-

buhnya kemudian di lemparkan ke dalam gerobak 

kuda.

"Bawa dia!" teriak kepala tukang pukul itu.

Ranti menjadi semakin cemas. Mau dibawa ke 

mana dia? tanya hatinya was-was, ia mencoba 

membuntuti dari belakang, tetapi hanya sampai 

di sekitar alun-alun saja, karena gerobak dan pa-

sukan Kumpeni Belanda menuju ke arah loji. Tak 

seorang penduduk pun di perbolehkan mendekat.

Dengan langkah lesu, Ranti meninggalkan 

tempat itu. Perutnya mulai terasa lapar. Maka ia 

segera mampir ke salah satu warung makan di 

sekitar alun-alun pasar. Di warung itu, Ranti 

kembali mendengarkan pembicaraan hangat para 

pengunjung warung itu mengenai ditangkapnya 

Roijah. Sehingga Ranti semakin sadar bahwa Roi


jah merupakan tokoh yang sangat dikagumi seka-

ligus dikasihi penduduk desa Kandang Haur

Perlahan-lahan, matahari mulai condong ke 

barat. Bahkan kini telah tenggelam di ufuk barat. 

Hari mulai malam. Beringsut-ingsut hingga ten-

gah malam. Para centeng di desa itu memukul 

besi bulat sebagai ganti lonceng sebanyak dua be-

las kali, terdengar dari arah gudang penggilingan 

milik Van Eisen. Suara itu bergema sampai ke pe-

losok desa.

Ranti sudah berbaring, tetapi belum pulas. 

Gadis itu kini tidur di kandang kerbau, di bela-

kang rumah salah seorang penduduk di desa itu. 

Gadis itu menumpuk jemari dan menjadikannya 

alas tidur, tanpa selimut. Bau tak sedap kotoran 

kerbau menusuk hidung dan sesekali terdengar 

pula lenguh kerbau itu. 

Tetapi bukan keadaan yang kurang menye-

nangkan itu yang membuat Ranti tak bisa meme-

jamkan mata. Ia kini teringat pada Roijah. Ya, 

Roijah.

Bagaimanakah nasib gadis itu sekarang? 

tanya hati Ranti. Ia mengetahui Roijah dipenjara-

kan di dekat gudang penggilingan beras milik Van 

Eisen. Tetapi ia juga menyadari bahwa penjagaan 

di tempat itu sangat ketat dan rapat.

Diam-diam Ranti merasa bimbang juga, bah-

kan khawatir tidak bisa menerobos masuk gu-

dang tanpa diketahui penjaga. Sambil menghela 

nafas dalam-dalam, Ranti duduk bersandar pada 

tiang kandang kerbau itu. Ia memutar otak men-

cari akal untuk bisa masuk ke ruang penjara Roi


jah.

Sejak kecil, Ranti memang sudah digembleng 

mempelajari berbagai ilmu silat dari ayah angkat-

nya Gembong Wungu. Hampir semua ilmu raja 

rampok itu telah dipelajarinya. Tetapi karena se-

lama ini ia belum pernah bertarung dengan mu-

suh, ia khawatir nantinya malah jadi gugup apa-

lagi menghadapi musuh dalam jumlah banyak.

Tidak mengherankan jika Ranti merasa demi-

kian. Bagaimana pun juga, sikap Gembong Wun-

gu dalam mengasuh dan membesarkannya tentu-

lah sangat berpengaruh bagi perkembangan ji-

wanya. Selama ini Ranti selalu dimanjakan Gem-

bong Wungu dan apa saja kemauannya selalu di-

penuhi. Penduduk yang sebagian besar adalah 

perampok di desa Perbutulan tak ada yang berani 

macam-macam terhadap gadis itu. Bahkan untuk 

menggodanya pun tak ada yang berani. Padahal 

sebagai gadis remaja yang cantik jelita tentulah 

banyak yang tertarik atau menaruh hati pada 

Ranti.

Jika misalnya ada yang bersikap men-

jengkelkan, Ranti segera saja memberi-

tahukannya kepada Gembong Wungu. Biasanya 

tanpa bertanya lebih dulu, Gembong Wungu lang-

sung saja menghukum orang tersebut, bahkan ji-

ka sudah kalap, raja rampok itu tak segan-segan 

menghabisi nyawa orang yang berbuat tak baik 

kepada Ranti.

Aneh memang! Gembong Wungu yang selalu 

bersikap kejam dan sadis di luaran senantiasa 

bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada


Ranti. Maka setelah hidup menyendiri sekarang, 

Ranti memiliki sifat yang agak kurang percaya 

pada diri sendiri.

Ketika sedang termenung dan berpikir-pikir 

dalam kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara 

irama seruling diiringi petikan gitar.

Kombinasi kedua alat musik itu terdengar 

sangat serasi, merdu dan mendayu-dayu. Sepinya 

malam seperti tertegun oleh alunan irama itu.

Rupanya dua pemuda pemusik jalanan yang 

menamakan dirinya sebagai "Group Tarling" 

iseng-iseng muncul di desa Kandang Haur. Seje-

nak, alunan nada yang mereka bawakan dengan 

penuh perasaan menciptakan suasana romantis, 

sekaligus keresahan terutama bagi gadis-gadis 

desa. Hal itu karena lirik lagu yang diperdengar-

kan, biar agak lucu namun dapat mengung-

kapkan kegelisahan bagi wanita yang sedang pa-

tah hati.

Beberapa gadis yang kebetulan sulit meme-

jamkan mata segera membuka pintu rumah, begi-

tu juga warga lainnya ingin menyaksikan tonto-

nan "Tarling" itu.

Ranti pun merasa tertarik, sehingga pikiran-

nya terpusat pada nyanyian dan musik kedua le-

laki itu. Suara gitar dan seruling yang sangat 

merdu. Siapakah gerangan orang itu? tanya ha-

tinya.

Mendengar suara merdu seruling itu, Ranti 

jadi teringat kepada Parmin. Ya, Parmin pun san-

gat mahir dan suka meniup seruling dengan nada 

yang mendayu-dayu, sambil duduk menyendiri.


Ranti masih ingat, suatu malam ketika ia dan 

Parmin akan berpisah. Malam itu, Parmin meniup 

seruling mengalunkan nada-nada rindu dan cinta 

asmara yang tertahan. Dengan perasaan tak me-

nentu, Ranti menghampiri pemuda itu.

Dengan berbagai cara, Ranti mencoba mem-

bujuk Parmin agar mau tinggal di desa Perbutu-

lan, sedikitnya dalam beberapa hari saja. Namun 

dengan tegas dikatakan oleh pemuda itu bahwa ia 

harus segera berangkat, untuk menghubungi pa-

ra pendekar di seluruh lereng gunung Ciremai un-

tuk bersatu mengusir penjajah dari bumi tercinta.

Sebagai seorang gadis, Ranti merasa kikuk 

juga mengungkapkan isi hatinya. Tetapi karena 

perasaan itu tak bisa ditahan-tahan lagi, ia ak-

hirnya mengatakannya. Suaranya tersendat-

sendat dan bibirnya gemetaran saat menyatakan 

cinta kepada Parmin.

Dan apa yang dikatakan Parmin, kemudian 

meluluhlantakkan harapan Ranti. Parmin ternya-

ta telah punya pilihan lain yakni Roijah yang kini 

sedang dipenjarakan Kumpeni Belanda.

Ah, Parmin. Parmin! bisik hati Ranti sedih.

Gadis itu kemudian tersentak mendengar su-

ara pemusik jalanan itu, menyanyikan sebuah la-

gu yang seolah-olah ditujukan padanya.

"Kucing kurus mandi di kali tidak tahu sang ti-

kus geli tertawa badan kurus memikirkan si jan-

tung hati karena si dia tak mau membalas cinta"

Mendengar lirik lagu yang jenaka itu ditam-

bah permainan musik yang sangat merdu, maka 

makin banyak juga penduduk yang keluar rumah


sekadar menghibur hati, karena seharian bekerja 

keras ditambah lagi tekanan bathin oleh perla-

kuan pemerintah Kumpeni Belanda yang kurang 

manusiawi.

Setelah berjoget dan berjingkrak-jingkrak se-

bentar, Parto anggota grup pemusik jalanan itu 

kembali melantunkan lirik lagu yang jenaka.

"Jauh-jauh bangau datang mencari ikan di 

rawa jauh-jauh andinda datang karena hati me-

mendam cin...trong"

Kurang ajar! maki Ranti di dalam hati, karena 

merasa tersindir. Saking geramnya, gadis itu me-

mukul tiang kandang kerbau hingga nyaris patah.

Sementara itu, centeng-centeng Van Eisen ju-

ga sangat tertarik mendengar lagu-lagu pemusik 

jalanan itu. Mereka menjadi lalai akan tugasnya, 

lalu ikut nimbrung bersama penduduk menyaksi-

kan penampilan Parto dan kawannya.

Ranti menjadi girang menyaksikannya. Ia se-

gera bangkit dan keluar dari kandang kerbau. Da-

ra yang tangkas itu tak ingin menyia-nyiakan ke-

sempatan baik itu.

Dengan gerakan yang sangat ringan sehingga 

tidak menimbulkan suara mencurigakan, Ranti 

meloncat ke dekat kamar tahanan itu. Hm, inilah 

tempatnya, aku akan segera memasukinya. Kata 

hati Ranti tanpa ragu-ragu lagi.

Tetapi manakala ia menyaksikan gembok be-

sar yang mengunci pintu tahanan itu, ia pun me-

rasa ragu lagi. Ranti sempat bingung bagaimana 

caranya membuka gembok besar itu.

Ah, dengan pedang bermata dua hadiah al


marhum ayahnya Gagak Ciremai, ia tentu bisa 

mematahkan gembok yang terbuat dari kuningan 

itu. Ia tahu bahwa pedang itu terbuat dari baja pi-

lihan, namun selama ini ia belum pernah meng-

gunakannya. Sekaranglah saat terbaik untuk 

menguji kemampuan pedang itu. Maka Ranti pun 

segera mencabut pedang itu dari sarungnya, 

sehingga tampak cahaya berkilauan di gelapan 

malam.

Tetapi ketika ia hendak mengayunkan tenaga 

melalui ujung senjatanya untuk membabat gem-

bok itu, tiba-tiba ia ragu. Bahkan merasa dirinya 

sangat bodoh.

Alangkah bodohnya kau! Untuk apa kau da-

tang jauh-jauh dari lereng Ciremai ke Kandang 

Haur? Hanya untuk mengemis cinta dan meminta 

belas kasihan Roijah? Mengapa pula kau hendak 

membebaskan Roijah? Kenapa tak kau biarkan 

dia disiksa Kumpeni Belanda sampai mampus? 

Kata-kata itu seperti terngiang-ngiang di telinga 

Ranti, sehingga untuk beberapa saat, gadis itu 

hanya diam terpaku bagaikan patung.

Ya, memang benar! Jika ia membebaskan 

Roijah dari penjara Belanda, maka tak mungkin 

lagi baginya untuk hidup berdampingan dengan 

Parmin. Sebab rasanya tak mungkin Parmin mau 

mengingkari janjinya kepada Roijah

Sebaliknya, jika ia membiarkan Roijah terbe-

lenggu di penjara, besar sekali kemungkinan ga-

dis itu akan disiksa untuk kemudian di hukum 

mati. Jika itu terjadi, terbukalah peluang bagi 

Ranti mendekati Parmin.


Tetapi... ah, hati kecil Ranti benar-benar tidak 

setuju. Itu bukan sikap seorang kesatria, melain-

kan sikap seorang pengecut busuk. Apalagi jika ia 

teringat pesan almarhum ibunya sesaat sebelum 

menghembuskan nafas terakhir, yang memin-

tanya untuk mengabdi pada sesama manusia, te-

rutama yang sedang kesusahan.

Saat itu ibu Ranti bertarung habis-habisan 

dengan Gembong Wungu di Cadas Kuriling. Kea-

daan ibu Ranti waktu itu sangat memprihatinkan, 

tak ubahnya orang gila atau gelandangan. Tidak-

lah aneh, sebab selama lima belas tahun wanita 

tua itu hidup menyendiri dilembah dedemit sam-

bil memperdalam ilmu silatnya.

Namun ketika membalaskan dendam atas 

kematian suaminya, ia tewas di ujung golok Gem-

bong Wungu. Sebelum menghembuskan nafas te-

rakhir, Ranti masih sempat memeluk tubuh 

ibunya yang berlumuran darah. Saat itulah 

ibunya berpesan agar Ranti mengabdi kepada 

kemanusiaan, mengamalkan ilmunya untuk ke-

bajikan.

Sekarang, melihat Roijah dipenjara dan akan 

dihukum mati, apakah ia masih harus membiar-

kannya? Lalu di mana rasa kemanusiaannya dan 

di mana sifat kependekarannya? Apakah ilmunya 

hanya untuk berbuat kejahatan seperti yang dila-

kukan ayah angkatnya Gembong Wungu?

Oh, tidak! Tidak! Ranti tidak ingin seperti raja 

rampok itu.

Ia harus menyelamatkan Roijah, harus mem-

bebaskannya dari penjara Kumpeni. Maka sambil


mengerahkan tenaga dalamnya, Ranti mengayun-

kan senjatanya membabat gembok penjara itu.

"Trak!" Gembok itu pun putus seketika. Tan-

pa menunggu lebih lama lagi, Ranti segera masuk 

ke ruangan itu.

Di dalam ruangan itu, tubuh Roijah ter-

telungkup lemah di atas lantai. Bagian pung-

gungnya yang tak ditutupi pakaian lagi tampak 

penuh luka-luka bekas cambukan.

Oh, kasihan betul dia, bisik hati Ranti sambil 

berjalan berjingkat-jingkat mendekati tubuh Roi-

jah.

Ranti menyentuh pundak Roijah, lalu meng-

goyang-goyangnya dengan pelan.

"Kak Roijah...?" bisiknya. Tetapi Roijah tidak 

menyahut. Dengan nafasnya terdengar sangat pe-

lan. Mungkin gadis itu sedang dalam keadaan 

masih pingsan.

"Aku akan membebaskanmu," bisik Ranti. 

Dipanggulnya tubuh Roijah di atas pundak sebe-

lah kiri. Setelah itu, ia meloncat keluar dari ruan-

gan penjara.

Tatkala Ranti sedang berlari keluar ruang 

penjara sambil memanggul tubuh Roijah, seorang 

centeng berjalan ke arah ruangan penjara. Agak-

nya, lelaki itu sangat terhibur oleh kehadiran pe-

musik jalanan group "Tarling" itu. Centeng penja-

ga gudang Van Eisen itupun bernyanyi-nyanyi 

dengan nada jenaka, menirukan gaya kedua pe-

musik jalanan itu : "Pohon angker pohon beringin, 

lebih tinggi pohon kelapa. Malam ini begitu din-

gin, lebih enak tidur sama janda".


Tiba-tiba nyanyian centeng itu terhenti, kare-

na ia melihat bayangan berkelebat melarikan diri 

dari alah penjara.

"Hei, berhenti kau monyet! Siapa kau, hah?" 

bentaknya sambil berlari mengejar bayangan itu.

Ranti menjadi terkejut dan cemas setelah 

menyadari bahwa perbuatannya telah diketahui 

musuh. Sambil mengerahkan segenap tenaganya, 

gadis itu melarikan diri sekencang-kencangnya. 

Tetapi centeng itu pun rupanya memiliki ilmu 

yang cukup lumayan. Dalam waktu yang tidak 

terlalu lama, ia berhasil mengejar Ranti.

Tak ada lagi pilihan lain bagi Ranti. Sambil 

memanggul tubuh Roijah, ia mencabut pedang-

nya. Secepat kilat mengayunkannya ke arah ke-

pala centeng itu.

Sebelum sempat mencabut senjatanya, cen-

teng itu tertegun menyaksikan cahaya putih me-

nyambar ke arah kepalanya. Ia hendak mengelak, 

namun tak sempat lagi. Tiba-tiba sekujur tubuh-

nya gemetaran, dan kepalanya terasa pedih.

Disertai suara jerit panjang, tubuh centeng 

itu ambruk dan terkapar di tanah dengan kepala 

hampir terbelah dua, terkena sabetan pedang di 

tangan Ranti.

"Mampus kau, tikus busuk!" maki Ranti lalu 

kembali melarikan diri. Namun sebelum berhasil 

lari jauh, ia sudah dikepung para penjaga lainnya. 

Rupanya suara jeritan tadi terdengar oleh para 

penjaga, lalu berlarian ke arah suara itu. Alang-

kah terkejutnya mereka menyaksikan di bawah 

sinar rembulan yang sedang terang benderang


seorang gadis berusaha melarikan sambil me-

manggul seorang wanita.

"Kawan-kawan, hati-hati menghadapi singa 

betina ini. Lihat, ia telah membunuh si Bagor te-

man kita. Ha-ha-ha, ternyata cantik juga setan 

betina ini, kawan-kawan. Tapi dia berani menan-

tang jago-jago Kandang Haur, seolah-olah men-

ganggap kita hanya seperti tauco. Buat mengha-

dapi dia cukup ku keluarkan ilmu 'Deprok Man-

jangan' ini." kata si Punuk sambil tertawa-tawa.

Kepungan pun makin diperketat. Para jagoan 

itu menghunus golok dan bersiap-siap menyerang 

Ranti dari segala penjuru. Apa boleh buat, dari-

pada menyerah lebih baik mati bersimbah darah 

dengan cara kesatria.

Maka Ranti lebih dulu memulai serangan. 

Tidak tanggung-tanggung. Serangan yang dikelu-

arkannya sangat cepat dan mematikan. Gadis itu 

memang telah memutuskan, sekali menyerang 

sedikitnya harus bisa menjatuhkan seorang la-

wan. Sinar senjatanya yang bermata dua berkele-

batan ke sana ke mari. "Mampus kau anjing-

anjing Kumpeni!" bentaknya. Dalam beberapa ge-

brakan, goloknya berhasil membabat tiga empat 

orang musuh. Para centeng itu menjadi terkejut. 

Mereka baru sadar bahwa gadis itu yang dihadapi 

sekarang ini bukanlah orang sembarangan. Mere-

ka tidak boleh anggap remeh, karena salah-salah 

bisa jadi nyawa mereka yang melayang.

"Bangsat! Rupanya kau boleh juga, setan be-

tina! Kawan-kawan, hati-hati, ia memiliki ilmu si-

luman. Kepung rapat-rapat dan serang serentak


dari segala penjuru. Modar kau, setan betina..." 

teriak si Punuk sambil melancarkan serangan 

mautnya.

Pada dasarnya, Ranti sebenarnya sudah me-

miliki ilmu silat yang sangat tinggi, bahkan boleh 

dikatakan ilmu yang dikuasainya jarang bisa di-

tandingi ilmu lainnya. Tidak percuma hampir se-

lama lima belas tahun tokoh sesat Gembong 

Wungu yang memiliki kesaktian yang sangat ting-

gi menggemblengnya dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi karena Ranti masih sangat muda 

dan pengalamannya pun boleh dikatakan masih 

sangat dangkal, ia merasa kewalahan juga meng-

hadapi lawan yang sedemikian banyaknya. Apala-

gi saat ini ia harus selalu menjaga keselamatan 

Roijah agar jangan sampai terkena serangan la-

wan. Di samping itu, berat tubuh Roijah juga 

sangat mempengaruhi kelincahannya. Seandainya 

ia bertarung tanpa memanggul orang, barangkali 

ia tidak akan secepat itu terdesak

Makin lama, perlawanan Ranti semakin le-

mah. Bahkan kini ia tak punya kesempatan- lagi 

untuk memberikan serangan balasan, karena se-

rangan bertubi-tubi dari gerombolan musuh. 

Hanya karena semangatnya yang menggebu-gebu 

saja ia masih bisa bertahan

"Sebaiknya kau menyerah, nona cantik. Kau 

akan kujadikan gundikku yang kesepuluh dan 

kau akan merasakan nikmatnya tidur bersama-

ku," kata si Punuk sambil tertawa terkekeh-

kekeh.

"Diam kau, monyet! Lebih baik mati daripada


menyerah di hadapanmu!" bentak Ranti geram. 

Gadis tangkas itu menerjang si Punuk dengan se-

rangan mautnya. Sementara kaki kirinya me-

nyambar dengan dahsyat mengarah ke pusar si 

Punuk.

Jurus itu adalah salah satu dari sekian puluh 

macam jurus mematikan yang diajarkan si mata 

satu Gembong Wungu kepada Ranti, yaitu bagian 

dari ilmu "Dewa Banyu Nitis", jurus "Angin Be-

liung". Jurus itu pada dasarnya bertitik pusat pa-

da senjata di tangan yang sengaja diarahkan ke-

pada bagian-bagian tubuh yang sangat penting di 

tubuh lawan. Dan untuk lebih memperkuat se-

rangan, Ranti mengayunkan kaki kirinya dengan 

maksud perhatian lawan terpecah.

Sama seperti namanya "Angin Beliung", pe-

dang di tangan Rantipun diputar cepat sekali se-

hingga kelihatan seolah-oleh jadi banyak sekali. 

Di samping itu, Ranti pun mengerahkan tenaga 

dalam sehingga putaran senjatanya menimbulkan 

putaran angin beliung.

Sayang tenaga dalam Ranti belum men-capai 

kesempurnaan dan keadaan saat ini juga kurang 

menguntungkan karena berat tubuh Roijah, se-

hingga serangannya tidak bisa dilancarkan secara 

sempurna.

Seandainya almarhum Gembong Wungu mi-

salnya yang mengeluarkan jurus itu, besar sekali 

kemungkinan para centeng Van Eisen itu sudah 

terjungkal hanya karena putaran angin beliung 

yang tercipta dari jurus maut itu.

Dengan gerakan yang cepat, si Punuk meng


geser tubuhnya ke sebelah kanan, sehingga ten-

dangan kaki kiri Ranti tidak mengenai sasaran. 

Namun pada saat yang bersamaan, pedang Ranti 

menyambar ke arah lehernya. Sambil berseru ka-

get karena tak mengira akan diserang seperti itu, 

si Punuk mengangkat goloknya menangkis seran-

gan lawan.

"Trang...!" 

Kedua golok itu beradu keras, menimbulkan 

pijaran bunga api menandakan betapa kuatnya 

pertemuan kedua senjata itu.

Tubuh Ranti sampai terjungkal, sedang-kan 

tubuh si Punuk terlempar beberapa meter ke be-

lakang, menandakan tenaga dalam Ranti masih 

unggul dibandingkan lawan.

Secepat kilat, Ranti bangkit kembali masih te-

tap dengan memanggul Roijah. Namun baru saja 

berdiri, serangan lawan sudah datang bertubi-

tubi.

Mungkin riwayat ku akan berakhir sampai di 

sini, bisik hati gadis itu sedih. Betapa tidak, ia 

bukan hanya tidak berhasil menyelamatkan Roi-

jah, tetapi keselamatannya pun kini terancam.

Di saat-saat kritis itu, tiba-tiba muncul seso-

sok tubuh kecil dari dalam semak-semak. Gadis 

itu masih kecil, usianya mungkin baru sekitar li-

ma tahun. Rambutnya dikepang dua ke samping, 

sehingga mirip tanduk kambing. Ia mengenakan 

baju kembang-kembang sama dengan celana pan-

jangnya. Sedangkan di pinggangnya terlilitkan 

kain sarung yang membuatnya mirip badut. Di 

pinggangnya diselipkan sebuah senjata ketepel.


Siapakah sebenarnya si 'Upik' itu? Pembaca 

tentu masih ingat akan seorang gadis kecil yang 

menangis di tengah malam karena sangat lapar. 

Nah, itulah dia si Kinong.

Cecunguk-cecunguk itu harus diberi pe-

lajaran. Biar tahu rasa dulu mereka, si Kinong 

bergumam geram. Kemudian ia memanggil keta-

pelnya dan mengarahkan peluruhnya yang beru-

pa batu-batu kecil itu ke arah para jagoan desa 

Kandang Haur yang sedang mengeroyok Ranti.

Kinong ternyata sangat mahir menggunakan 

senjatanya. Peluru ketapelnya secara beruntun 

menghantam bagian wajah, kepala dan tubuh pa-

ra centeng lawan Ranti.

"Aduh..!" si Punuk berterik kesakitan ketika 

sebuah batu kecil menghantam mulutnya. Te-

man-temannya yang lain juga mengalami nasib 

yang sama. Maka kalang kabut jugalah komplo-

tan centeng Tuan tanah Van Eisen karena seran-

gan rahasia si Kinong.

"Aduh, ada apa ini hah?" teriak si Punuk ke-

sakitan.

"Ada setan menyerang dari semak-semak," te-

riak temannya. 

Melihat para pengeroyoknya kalang kabut, 

Ranti pun segera melarikan diri ke arah hutan tak 

jauh dari tempat itu.

Tentu saja para centeng itu menjadi terkejut, 

melihat Ranti melarikan diri.

"Hei, dia melarikan diri. Kejar dia! Ayo, jangan 

sampai lolos" teriak si Punuk dengan suara 

menggelegar.


"Tangkap!" teriak teman-temannya.

Ranti sengaja melarikan diri ke arah asal batu 

peluru ketapel si Kinong barusan. Sebab sewaktu 

bertempur tadi, sekilas ia sempat melihat bayan-

gan tubuh gadis cilik itu di balik semak-semak. 

Siapakah gerangan anak kecil itu? Kenapa ia 

membantu aku? tanya hati Ranti.

Diam-diam, gadis itu merasa bersyukur juga 

atas bantuan orang misterius itu. Sebab tanpa 

bantuannya, entah apa yang bakal menimpa Ran-

ti maupun Roijah. Ranti memang memiliki ilmu 

tinggi, tetapi dalam keadaan seperti itu tadi, san-

gat tipis harapannya untuk dapat meloloskan diri 

atau merobohkan semua lawannya.

Ketika dahulu Gembong Wungu menggem-

blengnya, si raja rampok itu selalu berpesan agar 

Ranti berusaha bersikap tenang biar dalam kea-

daan bagaimana pun juga. Orang yang bersikap 

tenang, biasanya akan bisa menemukan jalan ke-

luar menghadapi kesulitannya.

Memang benarlah apa yang dikatakan Gem-

bong Wungu. Dalam hidup ini, manusia sering 

merasa gugup atau panik jika sedang menghadapi 

kesulitan. Karena rasa gugup dan panik itu, piki-

ran orang bersangkutan pun menjadi kalut dan 

tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Aki-

batnya jalan keluar yang sebenarnya sudah bera-

da di depan mata tidak terlihat lagi olehnya. Se-

hingga kadang-kadang orang itu malah mengam-

bil jalan yang salah.

Agaknya Ranti pun kurang tenang tadi, se-

waktu menghadapi lawan-lawannya. Seharusnya


jika pertarungan memang tidak bisa dielakkan la-

gi ia menurunkan tubuh Roijah kemudian mener-

jang musuh dengan leluasa. Seandainya itu dila-

kukan, hampir dapat dipastikan bahwa dalam 

waktu singkat ia akan dapat merobohkan lawan-

lawannya.

Setelah itu, ia bisa melarikan diri sambil 

membawa Roijah dengan lebih leluasa. Sebab pa-

da kenyataannya, centeng-centeng itu belumlah 

mampu mengimbanginya sekalipun menyerang 

secara berbarengan.

Namun dalam pertarungan itu tadi, Ranti 

hanya berfikir untuk bisa melarikan diri. Bahkan 

karena belum pernah bertarung secara sunggu-

han, ia menjadi panik. Ia merasa takut gagal me-

nyelamatkan dirinya dan Roijah.

Kini gadis itu telah memasuki hutan. Semen-

tara musuh-musuhnya masih mengejar di bela-

kang. Ranti menerjang rerumputan dan semak-

semak dengan berlari sekuat tenaga.

"Bangsat! Sialan! Setan betina itu makin 

jauh. Ayo, cepat. Kita harus menangkapnya!" Ter-

dengar teriakan di belakangnya.

Makin lama, Ranti makin jauh masuk hutan 

hingga akhirnya memasuki kawasan hutan 

Loyang.

"Stop! Stop!" teriak si Punuk geram.

Teman-temannya sesama centeng berhenti, 

lalu menghampirinya dengan nafas tersengal-

sengal.

"Ada apa? Kenapa kita berhenti?"

"Kita tak perlu mengejarnya lagi. Hutan ini


angker, dihuni dedemit yang buas, dan binatang-

binatang berbahaya. Biarlah wanita iblis itu mati 

diterkam macan."

'Ya, kau memang benar. Hutan ini angker. Se-

jak dari dulu, hanya orang gila yang mau masuk 

ke sini. Aku juga takut, sebaiknya kita pulang sa-

ja," sambung si Gotom yang rupanya hanya ku-

misnya saja yang panjang tapi nyalinya sangat 

kecil.

"Tapi bagaimana nanti nasib kita? Van Eisen 

tentu akan marah besar, bahkan pasti akan 

menghukum kita. Menurut pendapat ku, sebaik-

nya kita mengejar monyet betina itu dan harus 

menangkapnya. Ia tentu tak bisa melarikan diri 

jauh-jauh, karena di samping sangat letih, saya 

yakin ia belum mengetahui seluk-beluk hutan 

ini."

"Ah, biarlah!" kata si Punuk dengan ketus, 

"Biarlah nanti aku yang bertanggungjawab. Da-

lam keadaan malam begini, bagaimana bisa kita 

mengejarnya? Kalian lihat sendiri tadi, wanita si-

luman itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Nya-

wa ku nyaris melayang di ujung senjatanya."

"Aku sangat setuju. Di samping itu, wanita 

itu tentu tidak akan bisa selamat selama berada 

di tengah hutan angker ini. Kalau tidak diterkam 

binatang buas, tentu ia akan dimangsa setan 

penghuni hutan ini."

"Tuan Van Eisen sudah memutuskan akan 

menghukum mati Roijah. Sekarang ia dibawa ka-

bur. Mungkin nanti kita sendiri yang akan dihu-

kum mati sebagai gantinya"


"Kau terlalu khawatir, sobat. Saat ini kita 

memang gagal menangkapnya. Tetapi percayalah, 

cepat atau lambat orang itu pasti tertangkap. Ayo, 

kita pulang saja," kata si Punuk seraya menarik 

lengan kawannya.

"Ya, baiklah kalau begitu." Para centeng pen-

jaga gudang penggilingan Van Eisen itu segera 

pulang meninggalkan hutan itu. Tanpa mereka 

sadari, si Kinong mendengar semua pembicaraan 

mereka dari balik pepohonan hanya beberapa me-

ter dari tempat itu.

Anak kecil yang sangat lincah itu sebenarnya 

bermaksud mengejar Ranti tadi. Tetapi karena ka-

lah cepat, Kinong akhirnya jadi tertinggal. Se-

dangkan para centeng itu pun semakin dekat, se-

hingga ia segera bersembunyi di balik pepohonan.

Kini setelah para centeng bertampang seram 

itu meninggalkan hutan, Kinong menjadi gembira. 

Ia segera keluar dari tempat persembunyiannya, 

lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan, sambil ber-

nyanyi-nyanyi.

"Jrik pung jrik. Plang ketimpang plang. Paling 

enak siang-siang makan rujak pecel, dimakannya 

di bawah pohon aren. Centeng-centeng itu kayak 

sambel, itulah kerbo piaraan Van Eisen..."

Lagu itu dinyanyikannya berulang-ulang, se-

hingga suaranya terdengar dan bergema ke seke-

liling penjuru hutan. Suara Kinong yang kecil 

nyaring, membuat gema suaranya terdengar agak 

menyeramkan.

Seandainya ada yang mendengarnya, mung-

kin orang itu akan ketakutan karena mengira suara itu adalah suara kuntilanak sedang me-

nyanyi.

Sementara itu, si dara tangkas Ranti masih 

berlari sekencang-kencangnya, seolah-olah cen-

teng-centeng Van Eisen masih mengejar di bela-

kang. Roijah yang berada di pundaknya belum ju-

ga sadarkan diri. Agaknya wanita itu menderita 

luka-luka yang sangat parah. Ia seharusnya men-

dapat perawatan yang baik, bukannya dipanggul 

dengan berlari-lari. Goncangan-goncangan yang 

dialaminya karena dibawa berlari-lari tentu akan 

membuat luka-lukanya semakin parah. Tetapi 

Ranti seperti tidak menyadarinya.

Dara jelita itu terus berlari walaupun kecepa-

tannya mulai berkurang karena tenaganya sema-

kin terkuras. Ia makin jauh masuk hutan. Pepo-

honan semakin tinggi dan rapat dengan akar-akar 

malang melintang. Ranti menjadi sangat hati-hati, 

takut tersandung, atau siapa tahu ada jurang 

yang tertutup dedaunan dan semak-semak.

Agaknya, hutan itu belum pernah didatangi 

manusia. Tak ada tanda-tanda bahwa hutan itu 

telah pernah didatangi apalagi dihuni orang. Hal 

itu membuat Ranti semakin hati-hati.

Tiba-tiba kaki Ranti menginjak rawa-rawa, ge-

lap dan dingin sekali. "Aduh! aku masuk rawa-

rawa!" kata gadis itu tanpa sadar. Karena sudah 

terlanjur, Ranti meneruskan langkahnya. Makin 

ke tengah rawa-rawa itu ternyata semakin dalam 

hingga sampai sebatas dadanya.

Dasar rawa-rawa itu terlumpur dan seper-

tinya mengandung tenaga sedotan yang sangat


kuat. Ranti mulai cemas, apalagi karena rawa-

rawa itu cukup luas. Sejenak ia menyesal karena 

terlanjur masuk ke sana. Tetapi untuk berbalik 

lagi juga sudah percuma.

Sewaktu kecil, Ranti sudah pernah menden-

gar cerita bahwa di tengah-tengah hutan biasanya 

ada rawa-rawa yang sangat berbahaya. Rawa-

rawa seperti itu bisa menyedot benda apa saja 

yang masuk hingga tenggelam dan hilang. Karena 

hal itu, orang-orang sering bilang di dalam rawa-

rawa itu ada makhluk halus pemangsa manusia.

Akan tetapi Gembong Wungu dahulu menje-

laskan kepada Ranti bahwa sebenarnya di tengah 

rawa seperti itu tidak ada apa-apa. Adanya daya 

sedot rawa-rawa bukanlah karena ada setan dan 

sejenisnya, melainkan karena adanya pergeseran 

air dan lumpur sewaktu terinjak.

Oleh karena itu, jika sudah terlanjur masuk 

rawa-rawa berbahaya, sebaiknya jangan panik 

dan meronta-ronta. Hal itu bukannya bisa mem-

berikan jalan keluar, malahan akan membuat tu-

buh lebih cepat terbenam. Demikian pesan Gem-

bong Wungu.

Untuk membuktikan ucapannya itu, si raja 

rampok Gembong Wungu pernah membawa Ranti 

ke sebuah rawa-rawa di tengah hutan di lereng 

Ciremai. Disaksikan oleh Ranti, pendekar berma-

ta satu itu masuk ke dalam rawa-rawa dan me-

ronta-ronta. Akibatnya, tubuhnya menjadi terbe-

nam. Jagoan yang memiliki berbagai ilmu kesak-

tian itu kemudian memperlihatkan cara yang pal-

ing baik untuk menyelamatkan diri dari dalam


rawa-rawa itu.

Ranti teringat pesan ayah angkatnya itu. Ia 

pun berhenti sejenak sambil menghela nafas da-

lam-dalam. Ia memusatkan perhatiannya, lalu 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak lama 

kemudian, Ranti menggerak-gerakkan kedua ka-

kinya, setelah berjalan dan berenang.

Benar juga pesan Gembong Wungu itu. Tu-

buh Ranti tidak terbenam lagi. Bahkan makin la-

ma, ia semakin dekat ke tepi rawa dan akhirnya 

selamatlah dia bersama Roijah.

Uh, aku sudah sangat lemah, keluhnya dalam 

hati. Tetapi kemudian, Ranti merasa terkejut ke-

tika merasakan benda-benda kecil dan licin me-

rayap di kedua kakinya. Geli dan terasa menjijik-

kan. Benda apakah gerangan itu?

Ranti memperhatikan kedua kakinya. Ternya-

ta lintah! Puluhan binatang kecil penghisap darah 

itu tampak sedang merayap di kakinya. Hampir 

saja Ranti berteriak kaget. Tapi ia segera dapat 

menguasai diri. Ia menurunkan tubuh Roijah, la-

lu berusaha melepaskan lintah-lintah itu.

Kata orang, melepaskan lintah harus mema-

kai air ludah, pikirnya. Lalu ia membasahi tan-

gannya dengan air ludah. Benar juga, lintah-

lintah itu dengan mudah dapat dilepaskannya.

Lintah-lintah sialan. Kau seperti serdadu 

Kumpeni Belanda saja, kerjanya hanya menghi-

sap darah orang! Maki Ranti geram. Ia lalu men-

gangkat tubuh Roijah dan melanjutkan perjala-

nan.

Ia mulai berfikir bahwa tempat itu kurang


menyenangkan. Padahal sebenarnya tubuhnya 

sudah sangat lelah. Itu sebabnya ia memaksakan 

diri meninggalkan tempat itu untuk mencari tem-

pat peristirahatan yang cukup nyaman.

Ranti terus berjalan dengan langkah yang 

mulai terseok-seok.

Tanpa ia sadari, ada sepasang mata me-

ngawasinya dari atas pepohonan. Ia seorang wa-

nita berusia tua, mungkin sudah berumur sekitar 

enam puluh tahun.

Agaknya wanita berambut putih itu bukanlah 

orang sembarangan. Ia bukannya duduk di dahan 

pohon melainkan bergelantungan dengan posisi 

kepala ke bawah, sementara kedua ujung kakinya 

dikaitkan ke dahan. Kedua tangannya didekapkan 

di dada. Nafasnya terdengar sangat teratur. Posisi 

seperti itu adalah semedi yang sangat baik untuk 

mengatur kelancaran peredaran darah. Tetapi di 

kalangan dunia persilatan, semedi dengan posisi 

tubuh terbalik seperti itu biasanya hanya dilaku-

kan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesak-

tian tinggi. Karena di samping harus mampu 

menguasai peredaran darahnya yang jadi terbalik, 

ia juga harus menumpukan berat badannya 

hanya pada kedua ujung kakinya yang terkait ke 

dahan.

Ranti terus melangkah tanpa menyadari 

orang aneh yang sedang berada di atas. Namun 

baru beberapa meter melewati tempat itu, tiba-

tiba terdengar sapaan yang membuat Ranti terke-

jut bukan main.

"Tunggu dulu, nona..."


Hah, seperti suara wanita. Apakah aku tidak 

salah dengar? Jangan-jangan itu suara kuntila-

nak, pikir Ranti sambil menggenggam hulu pe-

dangnya.

Ketika Ranti membalikkan tubuh, tampaklah 

olehnya seorang wanita meloncat dari atas pohon 

dan mendarat di tanah dengan sangat ringan se-

hingga hampir tak menimbulkan suara. Diam-

diam Ranti terkejut juga, karena sebagai orang 

yang memiliki ilmu silat kelas tinggi, ia segera da-

pat melihat bahwa wanita tua itu bukanlah orang 

sembarangan.

"Siapakah yang kau gendong itu, nona ma-

nis? Hendak kau bawa ke mana dia?" tanya wani-

ta itu juga. 

Ranti tidak segera menjawab. Matanya yang 

senantiasa berbinar tajam mengawasi wanita tua 

di depannya. Rambut wanita itu cukup panjang 

dan sudah hampir semuanya memutih, dibiarkan 

awut-awutan sampai ke pinggulnya. Ia mengena-

kan baju dan celana panjang sebatas betis serba 

hijau dan di pinggangnya dililitkan ikat pinggang 

berupa sabuk dari kain berwarna hitam.

Wajah nenek tua itu sudah keriputan teruta-

ma di bagian kening dan pipinya. Kulit tangannya 

pun sudah mengendur dan tubuhnya kurus. 

Akan tetapi sinar mata wanita tua itu tampak 

masih berbinar tajam, pertanda ia masih memiliki 

semangat hidup yang berkobar-kobar.

Ranti tidak lupa memperhatikan senyum di 

bibir nenek tua itu.

Menurut penilaiannya, senyum itu tulus dan


tampaknya wanita itu memiliki hati yang welas 

asih dan bersikap lembut. Tetapi dalam keadaan 

seperti sekarang ini, Ranti tidak mau percaya be-

gitu saja. Sebab bagaimana pun juga, orang yang 

tampaknya baik hati itu belum tentu kenyataan-

nya begitu.

Buah yang dari luar tampak bagus juga be-

lum tentu rasanya enak. Begitu halnya buah yang 

kelihatannya jelek, mungkin isinya enak, seperti 

buah embacang misalnya. Ranti sudah sering 

mendengarnya, bahkan membuktikan sendiri.

"Hai nona manis, kenapa kau diam saja? Sia-

pa yang kau gendong itu dan hendak mau kau 

bawa ke mana dia?" tanya wanita tua itu lagi.

"Kenapa kau menanyakannya, nenek tua? 

Siapakah kau?"

"Tampaknya kau seorang gadis yang galak, 

padahal wajahmu cantik jelita. Buat apa kau me-

nanyakan diriku, nona manis?"

"Baiklah kalau begitu. Di antara kita tak ada 

urusan apa-apa. Harap kau minggir agar aku me-

lanjutkan perjalanan."

"He-he-he, tidak semudah itu nona manis. 

Jawab dulu pertanyaan saya tadi, baru kau boleh 

pergi."

"Dasar nenek peot, tak tahu diri. Kalau kau 

memang ingin tahu siapa aku, sebutkan dulu 

namamu. Jangan kau kira aku takut padamu 

Ayo, jangan sampai aku kehilangan kesabaran."

"Aduh, galak sekali! Tapi baiklah, aku perke-

nalkan diriku. Namaku Nyi Saidah. Cukup, bu-

kan? Sekarang giliranmu memperkenalkan diri,


setelah itu berikan wanita yang kau gendong itu 

padaku."

Mendengar ucapan Nyi Saidah yang terakhir 

tadi, bukan main marahnya Ranti. Dadanya ba-

gaikan hendak meledak menahan amarah. Ia su-

dah mempertaruhkan nyawa untuk membawa 

Roijah melarikan diri. Sekarang nenek peot yang 

mengaku bernama Nyi Saidah itu malah memin-

tanya dengan sikap seolah-olah sangat pandang 

remeh pada Ranti. Maka tanpa pikir panjang lagi, 

Ranti segera menghunus senjatanya dan bersiap-

siap mengadu nyawa dengan wanita tua di hada-

pannya.

Dalam pikiran gadis itu, Nyi Saidah adalah 

antek-antek Kumpeni Belanda yang sengaja dis-

uruh untuk merebut Roijah kembali. Demi apa-

pun juga, Ranti bertekad akan mempertahankan 

Roijah. Bahkan ia rela mati daripada harus mele-

paskan Roijah ke pihak musuh.

"Rupanya nenek tua yang sudah hampir ma-

suk liang kubur masih mau jadi anjing penjajah 

Belanda. Sekarang terimalah ini, hiaaaat..!"

Sambil menggendong tubuh Roijah, Ranti me-

loncat dengan kecepatan tinggi dan menyabetkan 

goloknya ke arah pinggang Nyi Saidah. Serangan 

itu masih cukup berbahaya dan jika mengenai sa-

saran niscaya lawan akan rubuh dan tewas seke-

tika.

Namun dengan gerakan yang sangat ringan, 

Nyi Saidah meloncat tinggi ke udara, sehingga sa-

betan golok Ranti hanya mengenai angin. Sewak-

tu masih melayang di udara, tubuh Nyi Saidah


berjumpalitan beberapa kali menjauhi Ranti.

"Tunggu dulu, nona manis. Jangan menye-

rang aku seperti itu. Apakah kau tidak kasihan 

melihat nenek tua seperti aku? Seranganmu san-

gat ganas, aku bisa kehilangan nyawa di ujung 

senjatamu."

Mendengar ucapan Nyi Saidah, makin panas 

juga hati Ranti. Sebab gadis itu menanggapi kata-

kata nenek tua itu adalah sindiran, seolah-olah 

mengatakan serangan Ranti tidak ada apa-

apanya, bahkan jika mau, Nyi Saidah dalam Se-

kejap bisa membunuh Ranti. 

Sebagai gadis yang sudah terbiasa hidup 

manja, amarah Ranti lebih cepat berkobar. Dulu 

sewaktu masih hidup dalam asuhan Gembong 

Wungu, tak seorang pun berani berlaku kasar 

padanya. Semua penduduk di desa Perbutulan 

menghormati dan menakutinya. Selain karena 

Ranti memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, 

penduduk juga sangat menakuti Gembong Wun-

gu. Sedangkan Ranti sendiri suka mengadu kepa-

da ayah angkatnya itu. Dan biasanya Gembong 

Wungu tidak mau tahu apakah Ranti yang salah 

atau benar. Ia langsung saja menghukum orang 

yang diadukan Ranti, tanpa memberikan orang

itu kesempatan untuk membela diri.

Sekarang mendengar ada orang yang berani 

mengejek sekaligus merendahkan dirinya, bukan 

main geramnya Ranti. Ia kembali berteriak nyar-

ing sambil menyerang Nyi Saidah, dengan ganas.

Namun kembali wanita tua itu dapat dengan 

mudah mengelakkan serangan Ranti. Tubuhnya


bagaikan kapas saja melayang tinggi ke udara, 

kemudian kedua kakinya mendarat dengan rin-

gan di atas dahan pepohonan.

"Tunggu dulu, nona manis. Aku ingin menga-

takan sesuatu padamu. Percayalah, aku tak ber-

maksud jelek," kata Nyi Saidah dari atas pohon.

"Tidak! Ayo, turun kau nenek peot. Biar kau 

tahu, aku lebih baik mati daripada menyerahkan 

orang ini padamu. Kalau kau memang mengin-

ginkannya, turunlah. Mari kita selesaikan persoa-

lan kita sampai salah seorang di antara kita mati. 

Jangan kau kira aku takut padamu, nenek silu-

man. Akan kucincang tubuhmu sampai halus."

"Kau terlalu takabur, nona. Serahkan dia pa-

daku," bentak Nyi Saidah. Tubuh wanita tua itu 

tiba-tiba jungkir balik. Kedua kakinya mengait 

dahan pohon sehingga tubuhnya bergayutan se-

perti seekor monyet. Beberapa detik kemudian, 

kedua tangannya mencengkeram ke arah Roijah.

Tentu saja Ranti sangat terkejut melihat ke-

hebatan wanita tua itu. Apalagi setelah menyak-

sikan betapa cepatnya gerakan musuh. Ia segera 

merunduk sehingga kedua tangan Nyi Saidah ti-

dak berhasil menjangkau tubuh Roijah. Dengan 

kecepatan kilat, Ranti lalu menyabetkan pedang-

nya ke arah perut Nyi Saidah.

"Tak ada gunanya menyerang aku, nona!" ka-

ta Nyi Saidah sambil mengayunkan tubuh ke be-

lakang sehingga senjata Ranti kembali gagal men-

genai sasaran.

"Kau pasti mampus di tanganku, nenek peot!" 

bentak Ranti tak kalah geramnya. Pedang ia


ayunkan secara beruntun mengincar tubuh la-

wan.

Dengan gerakan yang sangat cepat tetapi ter-

lihat santai, Nyi Saidah menggoyang-goyangkan 

tubuhnya sedemikian rupa sehingga semua se-

rangan Ranti tidak mengenai sasaran.

Dan sampai sebegitu jauh, Nyi Saidah tidak 

balas menyerang seolah-olah sedang memberikan 

kesempatan kepada lawan untuk mengeluarkan 

semua ilmunya. Tak terkatakan betapa kesalnya 

hati Ranti. Tidak adakah artinya ilmu yang sela-

ma ini ia pelajari? Masakan hanya menyerang la-

wan yang sedang bergelantungan di atas pohon 

saja dia tidak bisa? Sialnya lagi, Nyi Saidah sama 

sekali tidak melawan, seperti hendak memper-

mainkannya.

Nyi Saidah rupanya sudah bisa membaca pi-

kiran Ranti. Wanita tua itu tetap bergelantungan 

dengan posisi terbalik, sehingga makin lama Ranti 

semakin penasaran. Serangannya pun semakin 

ngawur, apalagi dalam kondisi yang sangat lemah 

seperti itu, belum lagi karena ia sedang memang-

gul tubuh seorang gadis.

Saking kesalnya melihat serangannya tak sa-

tu pun berhasil melukai lawan, Ranti melempar-

kan pedang persis mengarah ke bagian dada Nyi 

Saidah. Senjata itu menyambar sangat cepat se-

hingga membentuk kilatan cahaya bagaikan pe-

langi. Selain itu, Ranti menyambitkan tiga bilah 

pisau kecil ke arah musuh yang sangat diben-

cinya itu.

"Serangan yang sangat berbahaya," kata Nyi


Saidah. Wanita tua itu lalu melesat ke atas dahan 

yang lebih tinggi lagi. Pisau-pisau Ranti lagi-lagi 

hanya mengenai angin, lalu tertancap di dahan 

pohon.

Nyi Saidah memang berhasil mengelakkan 

serangan beruntun dari Ranti, tetapi ia sempat 

terdesak dan terpaksa meloncat lebih tinggi lagi. 

Kesempatan itu digunakan Ranti untuk melarikan 

diri dari hutan tersebut.

Apa boleh buat, aku harus menyingkir dari 

tempat ini. Tetapi aku tak takut padanya. Suatu 

saat nanti, aku pasti akan membuatnya bertekuk 

lutut di hadapanku. Akan kurobek mulutnya yang 

teramat lancang itu, Bahkan bila perlu akan ku-

cincang tubuhnya, kata Ranti dalam hati.

Setelah memungut pedangnya, Ranti segera 

mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya 

lalu melesat dengan mempergunakan ilmu lonca-

tan 'Kidang Lembayung', sehingga tubuhnya me-

loncat sejauh beberapa tombak. Ranti berlari me-

nembus semak belukar dan berkelebatan di anta-

ra pepohonan.

Ranti telah menyadari bahwa dalam keadaan 

seperti sekarang ini, ia tak mungkin mampu men-

galahkan nenek tua itu. Terlalu memaksakan diri 

juga tak ada artinya. Itu sebabnya Ranti terpaksa 

pula menekan rasa dongkol dalam hatinya. Ia 

masih sangat penasaran dan belum menerima ka-

lah dari nenek tua itu.

Tunggulah nenek sialan. Suatu saat nanti 

aku akan mencarimu. Akan kucincang tubuhmu! 

Aku tidak takut padamu! Ranti memaki-maki di


dalam hati. Ia merasa bahwa hatinya tidak akan 

pernah lega sebelum membuat Nyi Saidah berte-

kuk lutut.

Ranti terus berlari, entah sudah berapa jauh. 

Ia hampir lupa segala-galanya, sebab ia pikirkan 

sekarang adalah bagaimana dapat berlari sejauh 

mungkin membawa Roijah agar tidak ada yang 

mengganggunya lagi.

Putri kandung Gagak Ciremai itu memang 

memiliki kekuatan luar biasa. Semangatnya juga 

masih berkobar-kobar ditambah tekad kokoh ba-

gaikan batu karang. Sejak dari desa Kandang 

Haur sambil menggendong tubuh Roijah ia berta-

rung habis-habisan dengan puluhan centeng Van 

Eisen. Kemudian berlari lagi dan bertarung den-

gan Nyi Saidah. Setelah itu berlari lagi dengan 

mengerahkan segenap tenaganya.

Sejak kecil, Ranti juga sudah digembleng 

dengan keras oleh almarhum Gembong Wungu. 

Selama latihan, ia sudah terbiasa menguras tena-

ga. Tetapi bagaimana juga, gadis itu juga sama 

seperti manusia lainnya yakni mempunyai ke-

mampuan yang terbatas.

Orang bisa saja menguasai ilmu kelas tinggi 

yang mungkin jarang tandingannya. Boleh memi-

liki tenaga luar biasa pula, tetapi ada batasnya. 

Ranti seolah-olah lupa akan keadaan dirinya sen-

diri, sehingga masih terus memaksakan diri ber-

lari. Tiba-tiba tubuhnya kejang karena terlalu ba-

nyak menguras tenaga. Kakinya terpeleset, ke-

mudian terpelanting beberapa meter bersama tu-

buh Roijah.


Sejenak kedua tubuh gadis itu berguling-

gulingan, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi 

dengan posisi tubuh miring dan saling berdeka-

tan. Ranti tidak ingat apa-apa lagi.

Di saat Ranti tak sadarkan diri, tiba-tiba Nyi 

Saidah muncul di tempat itu. Diam-diam wanita 

tua itu rupanya mengikuti ke mana Ranti tadi 

melarikan diri. Ketika diserang Ranti dengan pi-

sau, dia terpaksa melompat ke dahan pohon yang 

lebih tinggi lagi. Kesempatan itu digunakan Ranti 

melarikan diri. 

Akan tetapi dengan ilmunya yang sangat ting-

gi, Nyi Saidah dengan segera dapat menyusul 

Ranti dan terus membuntuti dari belakang tanpa 

sepengetahuan gadis itu. Sebenarnya, wanita be-

rambut putih itu tidak sungguh-sungguh tadi se-

waktu bertarung atau sewaktu diserang Ranti. 

Seandainya ia mengerahkan segenap ke-

mampuannya dan jika ia mau, mungkin kea-

daannya akan jadi lain. Namun ada satu pertim-

bangan bagi Nyi Saidah yang membuatnya mera-

sa tak perlu melayani kekerasan hati Ranti. Apa-

lagi ketika Ranti menuduhnya anjing Belanda 

yang hendak merebut Roijah, diam-diam Nyi Sai-

dah merasa geli juga sekaligus gemas. Tetapi tadi, 

Ranti tidak mau memberinya kesempatan menje-

laskan siapa dia sebenarnya.

Melihat Ranti terjatuh tadi, tahulah Nyi Sai-

dah bahwa gadis itu sudah pingsan. Ia segera 

menghampiri tubuh Roijah dan mengurut urut 

tubuh gadis itu dengan maksud untuk mengem-

balikan daya guna urat syaraf Roijah.


Nyi Saidah tampak menghela nafas sambil 

menggeleng-gelengkan kepala ketika memperhati-

kan luka-luka di bagian punggung Roijah. Untuk 

Roijah segera bisa tertolong. Kalau tidak, luka-

luka bekas cambukan di tubuhnya bisa berakibat 

fatal.

Sambil mengurut-urut tubuh Roijah, mulut 

nenek tua yang sudah ompong itu tak henti-

hentinya mengunyah-ngunyah daun-daunan un-

tuk dijadikan obat mengobati luka-luka di sekujur 

tubuh gadis itu. Ramuan itu kemudian dioleskan 

ke luka-luka di tubuh Roijah.

Sehabis mengobati Roijah, Nyi Saidah segera 

meninggalkan tempat itu. Mungkin wanita tua itu 

hendak mencari ramuan obat yang lebih baik lagi. 

Atau mungkin juga sengaja merahasiakan kehadi-

rannya entah dengan maksud apa.

Malam sudah berganti pagi. Embun turun 

membasahi bumi. Udara di pagi itu dipenuhi 

bunyi kicauan burung-burung, seolah-olah men-

ciptakan nada-nada yang sangat ceria, datang da-

ri jarak berbeda-beda. Jarak seluas udara itu seo-

lah-olah menunjukkan sebuah kehidupan.

Oh, alangkah senangnya hidup. Alangkah in-

dahnya kalau bisa hidup dan mencintai hidup. 

Dan jika hidup itu sendiri tidak menjanjikan pen-

deritaan dan perpisahan yang sangat menya-

kitkan, terutama dengan orang-orang yang dicin-

tai.

Tetapi adakah hidup yang hanya menjanjikan 

keindahan? Di mana gerangan ada kehidupan se-

perti itu? Ranti sudah sering memikirkannya,


namun belum pernah menemukan jawabannya. 

Ia sekarang sudah bangun dari tidurnya. Tubuh-

nya terasa lebih segar setelah istirahat dan tidur 

entah berapa jam lamanya. Sinar mentari pagi 

menerobos dari celah-celah dedaunan, menerpa 

wajahnya, seolah-olah menyuruh Ranti untuk se-

gera bangkit.

Ketika Ranti menggosok-gosok matanya, Roi-

jah pun terbangun. Ia masih tidur menelungkup, 

karena sekujur punggungnya yang penuh luka 

cambuk masih nyeri. Ia melirik ke sekelilingnya, 

hanya pepohonan dan semak-semak. Roijah me-

rasa sangat asing, atau apakah ia sedang ber-

mimpi? Seingatnya, ia berada di dalam penjara 

gudang penggilingan padi milik Van Eisen. Tetapi 

kenapa ia sekarang berada di tengah hutan? Apa-

kah ia benar-benar telah terbebas dari sekapan 

serdadu penjajah?

"Oh, di manakah aku sekarang?" ujar Roijah 

dengan suara setengah merintih.

Ranti melirik ke arah Roijah dengan girang.

"Kau sudah terbangun, kak Roijah?"

Roijah menatap Ranti. Tak terkatakan betapa 

terkejutnya gadis itu ketika menyadari bahwa ga-

dis yang kini berada di dekatnya sama sekali tak 

ia kenal. Seumur hidupnya rasanya ia belum per-

nah melihat wajah itu. Lama juga Roijah mengin-

gat-ingat, sebab siapa tahu ia telah lupa. Tetapi ia 

kembali merasa yakin bahwa ia belum pernah 

bertemu dengan wanita di sampingnya.

Akan tetapi kenapa wanita cantik di dekatnya 

itu mengetahui namanya? Bahkan wanita itu me


nyebut namanya dengan sikap akrab seolah-olah 

mereka sudah cukup lama saling kenal.

"Kenapa kau diam saja, kak Roijah?" tanya 

Ranti membuat lamunan Roijah buyar.

"Aku...aku tak tahu. Di manakah aku seka-

rang? Kenapa ada di tengah hutan ini? Apakah 

aku sedang bermimpi? Siapakah kau sebenarnya? 

Aku..." kata Roijah tergagap.

Ranti tersenyum manis. Ia bisa memaklumi 

sikap Roijah. Bahkan seandainya ia sendiri yang 

mengalami nasib seperti Roijah, sikapnya pun 

pasti seperti itu. Ya, siapa pun tentu akan heran 

sekaligus cemas jika tanpa sadar telah berada di 

tengah hutan bersama seseorang yang tak diken-

al.

Roijah sama sekali belum kenal kepada Ranti. 

Dan apa maksud gadis itu belum diketahui. Ranti 

bisa saja bermaksud baik padanya, tetapi juga tak 

tertutup kemungkinannya sebagai orang jahat 

yang bermaksud buruk padanya. Sedangkan saat 

ini, kondisi Roijah masih sangat lemah, luka-

lukanya pun masih sangat nyeri. Jadi seandainya 

nanti Ranti hendak mencelakakan dirinya, tak 

ada kemungkinan baginya untuk menyelamatkan 

diri.

"Tenanglah, kak Roijah. Tetaplah berbaring. 

Tubuhmu masih sangat lemah, luka-lukamu ma-

sih sangat parah. Jangan banyak bergerak nanti 

keadaanmu tambah parah."

"Apakah kau yang menolongku? Siapakah 

kau sebenarnya?"

"Ah, kak Roijah. Sebaiknya kau bisa agak


bersabar sejenak. Saat ini sebaiknya kau tak per-

lu tahu siapa aku sebenarnya. Nanti aku akan 

menjelaskan semuanya."

"Aku masih penasaran," ujar Roijah sambil 

berusaha bangkit. Tetapi tiba-tiba, tubuhnya ja-

tuh lemas kembali. Luka-lukanya terasa semakin 

nyeri. Bahkan karena terlalu memaksakan diri 

bergerak tadi luka cambuk di tubuhnya sebagian 

mengeluarkan darah kembali.

"Aduh..." rintih Roijah hampir tak terdengar.

"Apa kubilang, kak Roijah? Sebaiknya kau te-

nang-tenang saja dulu. Tetaplah berbaring seperti 

tadi."

"Aku masih sangat penasaran. Tolong kata-

kan, siapa kau sebenarnya? Jika kau adalah 

orang-orang dari fihak Kumpeni Belanda, tolong 

jangan biarkan aku hidup lebih lama lagi. Bunuh-

lah aku sekarang juga daripada harus diserahkan 

kembali kepada Kumpeni Belanda."

"Ah, kak Roijah. Apakah tampangku memang 

mirip anjing Belanda atau adakah alasan bagimu 

mencurigaiku seperti itu?"

"Kalau begitu, siapakah kau sebenarnya?"

"Nanti aku akan menceritakannya, kak Roi-

jah. Sekarang berbaringlah dengan tenang agar 

luka-lukamu lebih cepat sembuh. Aku akan me-

nyiapkan sarapan pagi kita."

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Roijah 

segera berbaring. Ranti membalikkan badan, lalu 

melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak se-

gera mencari sarapan pagi, melainkan terlebih 

dulu mandi di sebuah kolam kecil berupa mata


air yang sangat jernih dan sejuk sekali.

Tadi Ranti sebenarnya kebetulan saja lewat 

dari tempat itu ketika sedang mencari makanan 

sekadar mengganjal perut. Tanpa pikir panjang 

lagi, gadis itu segera menanggalkan semua pa-

kaiannya. Lalu ia berendam sepuas hati.

Sambil berendam di air sejuk dan jernih, 

Ranti teringat akan perkenalannya dengan Par-

min beberapa waktu lalu. Saat itu Ranti masih 

dalam asuhan si raja rampok Gembong Wungu 

dan sama sekali belum mengetahui bahwa jagoan 

bermata satu itu bukanlah ayah kandungnya.

Ketika itu, Ranti mandi di kali di hutan sepi 

tak jauh di belakang desa Perbutulan. Ketika se-

dang menyisir rambut sambil berjemur di atas se-

bongkah batu, tiba-tiba ia melihat Parmin tak 

jauh dari tempatnya mandi. Ranti geram bukan 

main, karena mengira lelaki itu sedang mengin-

tipnya mandi.

Tanpa memberikan Parmin kesempatan 

membela diri, Ranti segera menyerang dengan 

ganas. Seandainya Parmin tidak memiliki ilmu si-

lat tinggi, besar kemungkinan ia akan mati di 

tangan Ranti. Sebab saat itu Ranti masih sangat 

kolokan dan siapa saja yang dianggap berani lan-

cang berbuat kotor padanya harus diserang tanpa 

tanggung-tanggung. Dan jika orang itu misalnya 

mati, itu dianggap hukuman setimpal. Ayahnya 

Gembong Wungu pun tidak akan menyalahkan, 

bahkan pasti membelanya dan membenarkan si-

kapnya itu. Melirikan mata sedikit saja kepada 

Ranti sudah dianggap sangat kurang ajar, apalagi


kalau sampai mengintipnya mandi.

Tetapi ternyata, Parmin bukanlah orang sem-

barangan. Pemuda itu selain memiliki wajah tam-

pan dan sikap yang simpatik, juga memiliki ilmu 

yang sangat tinggi. Kemudian Ranti mengetahui 

pula bahwa Parmin adalah pendekar sakti yang 

namanya tersohor ke seluruh lereng Ciremai, 

yakni pendekar Jaka Sembung.

Di kalangan dunia persilatan, nama itu telah 

bagaikan suatu perlambang kehebatan dan kesa-

triaan seorang pendekar. Karena Jaka Sembung 

tidak pernah menggunakan ilmunya untuk me-

nyusahkan orang, bahkan senantiasa membela 

yang baik dan orang-orang dalam kesusahan. 

Pendekar itu juga berupa keras mengusir kaum 

penjajah dari bumi nusantara tercinta. Bukan se-

perti tokoh lainnya, seperti Gembong Wungu mi-

salnya, malahan menambah penderitaan rakyat 

yang tadinya sudah sengsara lantaran kejamnya 

pemerintahan Kumpeni Belanda.

Ranti tidak terlalu mempersalahkan diri sen-

diri karena terlanjur mencintai Parmin. Bahkan 

menurut perkiraannya, siapa pun pasti menaruh 

perasaan yang sama jika punya pengalaman yang 

sama sewaktu bertemu dengan lelaki perkasa itu.

Dulu Ranti hampir selalu bisa memiliki apa 

saja yang ia inginkan. Sebab apa saja yang ia 

minta, pastilah akan dikabulkan Gembong Wun-

gu. Tetapi sekarang, gadis itu menyadari bahwa 

dalam hidup ini tidaklah semua keinginan itu bi-

sa dipenuhi. Seandainya pun dia masih hidup 

bersama Gembong Wungu seperti dulu, ayahnya


itu tentulah tidak akan bisa memberikan atau 

merampas cinta dari hati Parmin untuk diberikan 

padanya.

Manusia bisa diperbudak, bisa ditaklukkan 

dengan berbagai cara dan usaha. Tetapi hati nu-

raninya tetaplah miliknya, tidak bisa di kuasai 

orang lain. Itu sebab jasad manusia bisa dijajah, 

namun tidaklah demikian dengan hati sanuba-

rinya.

Dalam kehidupan sekarang ini, orang-orang 

masih banyak yang kurang menyadarinya. Anak-

anak orang kaya misalnya bisa saja meminta 

keinginannya kepada orang tuanya. Tetapi jika 

meminta cinta tentulah tidak akan bisa diberikan. 

Sebab cinta lahir sendiri, tanpa disadari dan tan-

pa direncanakan. Dan cinta itu tidaklah bisa di-

paksakan.

Seseorang bisa dipaksa untuk melakukan se-

suatu, tetapi ia tak mungkin bisa dipaksa men-

cintai seseorang. Di sinilah terlihat, bahwa di da-

lam hidup ini semuanya serba terbatas. Dan har-

ta duniawi bukanlah jaminan bagi orang untuk 

meraih kebahagiaan. Jadi jika ada yang berang-

gapan bahwa yang bahagia itu hanyalah orang 

kaya, itu bukanlah anggapan yang benar. Kurang 

apa rupanya Ranti sewaktu di dalam asuhan 

Gembong Wungu? Tetapi ia kemudian merasa hi-

dupnya gersang, setelah jatuh cinta kepada Par-

min. Ia merasa dalam hidupnya ada yang kurang, 

bahkan terasa ada yang hilang.

Setelah usai mandi, Ranti mulai menyusuri 

hutan itu mencari apa saja yang bisa dijadikan


sarapan pagi. Rupanya di hutan itu jarang sekali 

ada pohon yang buahnya bisa dimakan. Hanya 

pohonnya saja yang besar dan tinggi, buahnya tak 

ada gunanya!

Gadis itu bersungut-sungut dalam hati. Jan-

gan-jangan aku mati kelaparan di tengah hutan 

ini, pikirnya kesal. Tetapi tiba-tiba telinganya 

mendengar suara gemerisik dedaunan kering, 

pasti itu binatang. Tanpa menimbulkan suara 

mencurigakan, Ranti mendekat ke arah suara itu 

dan mengintip dari balik semak-semak.

Seekor rusa jantan yang beranjak dewasa 

tampak sedang memakan rumput dengan lahap, 

sama sekali tak menyadari ada sepasang mata 

sedang mengawasi. Pucuk dicinta ulam tiba. Ini 

kesempatan baik, tak boleh dilewatkan begitu sa-

ja. Ini makanan yang amat lezat, pikir Ranti sam-

bil memungut batu yang sedikit lebih besar dari 

kepalan tangannya.

Sambil mengerahkan tenaga dalam, Ranti 

menyambitkan batu itu ke arah rusa jantan yang 

sedang merumput. Batu itu menyambar cepat se-

kali.

"Tak!" Dengan sangat telaknya, batu itu 

menghantam tepat bagian batok kepala rusa jan-

tan itu. Demikian kuatnya sambitan batu itu 

hingga kepala rusa itu pecah. Sambil mengoek, 

tubuh rusa itu ambruk.

Darah segar bercampur benak berhamburan 

dari kepalanya yang telah berantakan.

"Ha-ha-ha... dapat makanan yang enak aku 

hari ini. Roijahpun tentu akan senang nanti," gumam Ranti sambil melangkah menghampiri rusa 

itu.

Dibelai-belainya bulu binatang bertanduk itu 

dengan lembut. Sayang, pikirnya, binatang seelok 

engkau harus mati di tanganku. Tapi mungkin 

sudah takdirmu, mungkin jika tidak begini eng-

kau pun akan dimangsa macan. Bukankah lebih 

baik aku yang memakanmu daripada macan?

Sambil tersenyum-senyum, Ranti memanggul 

tubuh rusa bernasib malang itu. Tetesan darah 

dari bagian kepala binatang itu tidak di perduli-

kan Ranti, sehingga bajunya basah dan merah. 

Ranti benar-benar girang, sewaktu berjalan pu-

lang ke tempatnya tadi tidur bersama Roijah, ia 

bernyanyi-nyanyi kecil.

Ternyata Roijah sudah duduk bersandar pada 

batang pohon besar di tempat itu. Wajahnya tidak 

sepucat tadi lagi. Sepasang matanya mulai bersi-

nar-sinar, menatap ke arah Ranti yang sedang 

membawa seekor rusa jantan.

"Hai, apakah yang kau bawa itu? Dapat dari 

mana kau rusa sebesar itu?" tanya Roijah terhe-

ran-heran.

"Tenanglah, kak Roijah. Kita akan makan be-

sar hari ini. Orang Belanda yang paling kaya pun 

belum tentu mampu makan menjangan seperti 

ini."

"Kau selalu menyebut-nyebut Belanda. Apa-

kah kau punya hubungan dengan penjajah itu?" 

tanya Roijah sambil mengerenyitkan kening hing-

ga tampak berkerut-kerut. 

"Ya," sahut Ranti seenaknya.


"Kau tentu kenal baik bangsat-bangsat sialan 

itu. Bahkan bisa jadi... maaf, orang-orang kita 

pun banyak yang mau jadi anjing mereka. Bah-

kan kaum perempuan kita tidak sedikit yang jadi 

gundik serdadu penjajah itu..."

"Ya, kau benar!" sahut Ranti tanpa melirik 

kepada Roijah. Gadis itu meletakkan rusa di atas 

tanah. Setelah itu, ia mengumpulkan dedaunan 

dan ranting-ranting kering. Dua buah bongkah 

batu cadas ia adukan disertai tenaga dalam hing-

ga menimbulkan percikan api. Dengan cara kuno 

seperti itu, Ranti dapat menyalakan api.

Dalam sekejap, api sudah menyala-nyala. 

Ranti lalu menguliti dan memotong-motong dag-

ing rusa itu dan menusuknya dengan ranting-

ranting kayu.

"Hari ini kita akan makan daging panggang 

sepuas-puas hati. Kau tentu senang, bukan?"

Roijah memperhatikan ketrampilan Ranti 

dengan pandangan rasa kagum. Diam-diam, ia 

merasa bersyukur juga, karena dalam keadaan 

seperti itu ada orang yang mau menolongnya, bi-

arpun di dalam hati ia yakin bahwa di balik ke-

baikan Ranti, pasti ada maksud tertentu. Entah 

apa!

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi," 

ujar Roijah.

"O, iya? Aku lupa. Kak Roijah menanyakan 

apa tadi?" tanya Ranti ternyata melirik wanita itu 

sejenak. Lalu ia mulai memutar-mutar daging ru-

sa yang telah dipotong-potongnya di atas api.

"Itu tadi, masalah gundik Belanda. Bukankah


tadi kau pun mengakui bahwa gadis-gadis kita 

banyak yang jadi gundik penjajah itu adik yang 

manis?"

"Iya, ya. Memang banyak gadis kita seperti 

itu. Maksud kakak sebenarnya apa? Apa mak-

sudnya menanyakan masalah gundik Belanda?"

"Kau tadi bilang punya hubungan dengan Be-

landa. Tapi... saya tak berani mengatakan jika 

seandainya adik yang demikian muda dan cantik 

jelita adalah wanita seperti itu."

Ranti tertawa ngakak sehingga suara tawanya 

bergema sampai keseluruh penjuru hutan belan-

tara itu. Ia merasa sangat geli mendengar ucapan 

Roijah. Tetapi ia sama sekali tidak tersinggung, 

sebab ia yakin Roijah sengaja memancingnya un-

tuk menceritakan siapa sebenarnya dirinya.

"Jadi kak Roijah menuduh saya ini gundik 

Belanda?"

"Ah, aku tidak menuduh seperti itu. Aku 

hanya bertanya saja. Adik jangan salah paham."

"Aku tidak salah paham. Tapi kalau memang 

aku ini adalah gundik Belanda, kak Roijah mau 

apa? Itu hak ku, bukan? Aku kira kak Roijah tak 

berhak melarangku bersenang-senang dengan pa-

ra serdadu penjajah itu."

"Jadi...?" seru Roijah tercekat.

Ranti tampak tak acuh. Sambil tersenyum, ia 

memanggang daging lainnya. Bau sedap daging 

panggang itu memenuhi sekitar hutan. Roijah di-

am-diam merasa sangat lapar. Tetapi ia masih 

sangat penasaran karena Ranti tadi sepertinya te-

lah mengakui dirinya adalah gundik Belanda.


"Adik yang baik hati, bolehkah aku tahu na-

mamu? Dari mana asalmu?"

"Tunggulah, kak Roijah. Tak baik mem-

bicarakan hal-hal serius dalam keadaan lapar. 

Kata temanku dahulu, jika bicara selagi lapar li-

dah kita bisa keseleo."

"Bila perlu aku tidak akan makan. Jangan ki-

ra aku mau makan-makanan anjing Belanda. Le-

bih baik aku mati kelaparan."

Ranti tidak menyahut lagi. Daging panggang-

nya sudah matang. Ia meletakkannya di atas de-

daunan dan kemudian menyuguhkannya di ha-

dapan Roijah.

"Sayang tidak ada garam dan cabe. Daging 

panggang ini pasti semakin lezat. Tapi tak apalah, 

tanpa apa-apa juga enak, bukan? Ayo, kita ma-

kan saja. Makanlah sebanyak-banyaknya biar ke-

sehatanmu cepat pulih kembali."

Roijah menatap Ranti dengan sinar mata 

yang terlalu sukar di mengerti makanannya. Ada 

keraguan terpancar dalam sinar mata gadis itu, 

ada rasa tak senang dan entah apa lagi. Ia mem-

perhatikan Ranti yang sedang makan daging 

panggang dengan sangat lahapnya.

"Hei, kenapa kak Roijah diam saja? Ayo, ma-

kanlah, kak. Jangan diam saja. Ingat, kakak se-

dang sakit. Jika tak makan banyak, penyakit ka-

kak pasti susah sembuhnya."

"Aku tak mau makan sebelum kau mengakui 

siapa sebenarnya dirimu."

"Ah, kak Roijah tampaknya terlalu sulit per-

caya pada orang. Padahal kakak adalah seorang


pendekar yang dikagumi orang. Sekalipun misal-

nya ada alasan bagi kakak untuk mencurigai 

saya, apakah sikap seperti itu baik?"

"Ah, adik yang manis. Saya jadi merasa tak 

enak. Tapi baiklah sekarang aku akan makan 

bersamamu." Roijah lalu makan dengan lahap se-

perti halnya Ranti.

Sambil mengunyah-ngunyah daging panggang 

itu, Roijah memperhatikan wajah Ranti. Sungguh 

sangat cantik dan cerdas pikirnya. Tetapi tam-

paknya gadis di hadapannya itu agak kolokan dan 

tidak begitu perduli akan perasaan orang lain.

Melihat gerak-gerik Ranti, yakin pulalah Roi-

jah bahwa gadis itu bukan orang sembarangan. 

Pastilah pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi. 

Kalau tidak demikian, mustahil Ranti bisa mem-

bawanya kabur dari tahanan gudang Van Eisen, 

kemudian melarikannya sampai ke tengah hutan 

ini.

Entah siapa sebenarnya gadis di hadapannya 

itu dan dari golongan mana pula, sehingga mau 

menyelamatkannya. Sejenak Roijah agak ragu ju-

ga mengenai kecurigaannya terhadap Ranti. Se-

bab menurut pikiran Roijah, kalau misalnya Ranti 

bermaksud jelek padanya bisa saja gadis itu 

membunuhnya sewaktu ia sedang tak sadarkan 

diri. Tapi siapa tahu, Ranti memang ingin me-

nangkapnya hidup-hidup. Bukankah orang-orang 

Kumpeni Belanda suka berbuat seperti itu?

"Adik yang manis," ujar Roijah setelah bebe-

rapa saat terdiam dan termenung, "Saya sebenar-

nya sangat berterima kasih padamu terutama


atas keberanianmu menyelamatkan aku dari pen-

jara Van Eisen. Saya tak tahu bagaimana caranya 

membalas budi baikmu ini. Sekalipun misalnya 

adik bermaksud jelek padaku, tapi sedikitnya un-

tuk saat ini saya bisa menikmati udara bebas. 

Sekarang kalau adik tidak keberatan, tolonglah 

katakan, siapa sebenarnya adik ini?"

"Kak Roijah, sebaiknya kita selesai makan 

dulu. Ayah ku... eh, maksudku teman ku dulu 

sering bilang tidak baik bicara kalau lagi makan. 

Nanti sajalah, kak. Percayalah, saya akan mence-

ritakan semuanya." 

Mereka makan kembali dengan lahapnya. 

Ranti makan dengan sikap yang santai dan tidak 

malu-malu. Mulutnya tampak terbuka lebar-lebar 

di kala mengunyah makanan dan menimbulkan 

bunyi menciplak keras. Lain halnya dengan Roi-

jah, tampak agak hati-hati dan makan dengan 

mulut kebanyakan tertutup kalau sedang mengu-

nyah, karena ia memang seorang anak bangsa-

wan.

Melihat cara makan kedua gadis itu, bisa di-

terka keduanya mempunyai sifat yang agak ber-

beda. Ranti lebih supel dan terbuka dan tampak 

lebih ceria dan lincah. Ia tidak terlalu pintar me-

nyembunyikan isi hatinya, karena cenderung bi-

cara ceplas-ceplos.

Lain halnya dengan Roijah, selain tampak 

jauh lebih dewasa dari Ranti, gadis ayu itu keliha-

tannya punya sifat yang agak hati-hati dan perasa 

pula. Di samping itu, Roijah tampaknya kurang 

ceria dan suka termenung.


Ranti sendiri tidak terlalu memperdulikan si-

kap Roijah. Sebab selama ini ia memang sudah 

terbiasa tidak mau perduli akan perasaan orang. 

Ranti sekarang datang ke kawasan Kandang Haur

bukan karena ia seorang pejuang yang ingin bahu 

membahu dengan pendekar lainnya untuk men-

gusir penjajah. Selama ini malah hampir tidak 

pernah memikirkan masalah pen-jajahan dan ba-

gaimana mengusir Belanda dari bumi nusantara 

tercinta. Ia mempunyai maksud lain yang sifatnya 

sangat pribadi dan hanya perlu diketahui Roijah 

sendiri.

Demikian bergejolaknya hasrat di hati Ranti 

untuk mengatakannya kepada Roijah, sehingga ia 

menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan 

jalan kaki dari desa Perbutulan ke desa Kandang 

Haur. Ia berlari dan berjalan masuk keluar hutan 

kurang lebih dari satu minggu, sebelum sampai di 

desa Kandang Haur.

Namun tadinya, Ranti sama sekali tidak me-

nyangka bahwa Roijah akan mengalami musibah 

ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh peme-

rintah Kumpeni Belanda. Untunglah ia segera tiba 

di desa itu dan berhasil menyelamatkan Roijah. 

Seandainya tidak, barangkali Roijah tidak akan 

bisa hidup lebih lama lagi.

Seusai makan, Ranti segera membenahi sisa-

sisa makanan mereka dan menyimpan daging ru-

sa yang tersisa. Ia lalu mengambil air minum dari 

mata air jernih dan sejuk tak jauh dari tempat itu 

dengan dedaunan, kemudian memberikannya ke-

pada Roijah.


"Minumlah, kak. Tentunya kau sudah haus 

setelah makan panggang tadi."

"Terimakasih, dik. Kau sangat baik."

"Terimakasih juga atas pujian kakak."

"Ah, kau pintar bicara. Sekarang bolehkah 

saya mengulangi pertanyaanku tadi?"

"Mengenai apakah itu? Maaf, aku suka lupa 

kalau lagi kenyang. Sejak dari kecil aku begitu. 

Kakak tanya apa tadi?"

"Adik yang manis, siapakah kau sebenarnya? 

Kenapa kau bersusah-susah menolong aku dari 

siksaan Belanda? Maaf, aku bukannya tak senang 

kau tolong, tapi aku masih sangat penasaran se-

belum mendengar penjelasan darimu."

"Baiklah kalau begitu. Agaknya kakak me-

mang tidak akan bisa tenang sebelum mendengar 

penjelasan dariku. Namaku adalah Ranti, ya Ran-

ti. Sekali lagi Ranti, ingat baik-baik, kak Roijah. 

Nanti kakak lupa."

"Nama yang bagus, lalu siapakah kau sebe-

narnya?"

"Saya adalah putri tunggal Gagak Ciremai, 

seorang guru silat dari desa Perbutulan. Kakak 

tahu desa Perbutulan, bukan?"

"Ya, saya pernah dengar walaupun belum 

pernah ke sana. Kenapa sejauh itu adik datang ke 

mari?"

"Tunggu dulu, kak Roijah. Tadi kau mena-

nyakan siapa aku sebenarnya, biar kujawab dulu. 

Ayahku tadi adalah Gagak Ciremai. Tapi aku sen-

diri tak pernah mengenalnya, karena menurut ce-

rita pada usia satu tahun, maksudku ketika aku


berusia sekecil itu, ayahku itu meninggal. Me-

ninggal karena apa tak perlu kuceritakan."

"Lalu siapakah ibumu?"

"Ah, itu tak perlu kuceritakan. Sekarang gili-

ranmu bercerita, siapakah kau sebenarnya dan 

kenapa sampai ditangkap dan disiksa Belanda?"

"Bukankah kau sudah tahu namaku?"

"Ya, Lalu kenapa kau sampai ditangkap Be-

landa? Aku sempat melihatmu disiksa di alun-

alun pasar Kandang Haur."

"Panjang ceritanya, dik Ranti. Tapi baiklah, 

aku akan menceritakannya. Sebelumnya aku 

sangat berterima kasih karena kau telah meno-

longku. Masih semuda ini kau telah mempunyai 

sikap kesatria. Aku kagum padamu." 

"Kak Roijah tak perlu bicara bertele-tele. Ceri-

takanlah semuanya."

"Ya, dik Ranti. Selain sudah tahu namaku, 

barangkali kau pun sudah pernah dengar bahwa 

aku adalah pencuri yang dijuluki si Bajing Ireng. 

Julukan maling itu diberikan Kumpeni Belanda, 

karena aku memang mencuri setiap ada kesempa-

tan dari mereka."

"Oh jadi kau ini rupanya suka mencuri, ya?"

"Ya, betul. Beberapa tahun terakhir ini aku 

selalu mencuri dari bangsa penjajah, dan sama 

sekali belum pernah mencuri dari bangsaku sen-

diri. Setiap kali beraksi, aku selalu mengenakan 

pakaian dan penutup muka yang serba hitam. 

Karena itulah aku dijuluki Bajing Ireng. Walau-

pun demikian, selama ini tak ada yang tahu siapa 

sebenarnya Bajing Ireng itu. Bukan hanya pihak

Belanda bahkan ayah ku sendiri pun tak pernah 

tahu siapa maling yang muncul dan hilang bagai-

kan siluman itu. Tetapi seperti kata pepatah, se-

pandai-pandai tupai melompat sekali-sekali jatuh 

juga. Demikian juga diriku. Belanda yang rupanya 

sangat penasaran menyebar mata-mata di selu-

ruh penjuru desa Kandang Haur."

"Terus kak Roijah tertangkap, begitu?"

"Ya, aku dan ayah sama-sama tertangkap pu-

la. Belanda membuka kedok penyamaranku dan 

baru saat itulah ayahku mengetahui bahwa Baj-

ing Ireng adalah putrinya sendiri."

"Kenapa ayahmu ditangkap? Apakah ayahmu 

juga suka mencuri seperti dirimu?"

"Tidak, dik Ranti. Saya sebenarnya agak malu 

menceritakannya. Tapi biarlah dik Ranti menge-

tahui semuanya. Ayahku Bek Marto sebenarnya 

adalah... adalah..." Roijah tak meneruskan uca-

pannya. Ia tiba-tiba menangis tersedu-sedu sam-

bil menutupi wajahnya dengan kedua belah tela-

pak tangannya.

"Kenapa kakak menangis? Ada apa sebenar-

nya?"

Roijah menyeka airmata, lalu menghela nafas 

dalam-dalam sekadar untuk menenangkan pera-

saannya yang tak menentu. Setelah itu ia melan-

jutkan ceritanya.

"Bek Marto, ayahku itu adalah Kepala Desa di 

Kandang Haur. Seperti halnya kepala Desa di 

mana saja daerah jajahan Belanda, ayahku pun 

sebenarnya adalah penghianat bangsa. Ayahku 

mau diperbudak penjajah demi harta duniawi. Ji


ka adik mencemoohkan ayahku, terserahlah."

"Oh, tak kusangka keadaannya seperti itu."

"Apa boleh buat, barangkali si Bajing Ireng 

memang sudah di takdirkan punya ayah seorang 

penghianat sebelum akhirnya ia juga sadar. Teta-

pi kemudian Belanda menangkap ayahku dengan 

tuduhan telah bersekongkol denganku, karena 

terbukti bahwa Bajing Ireng adalah anaknya sen-

diri, padahal seperti yang kukatakan tadi, ayahku 

baru mengetahuinya setelah aku tertangkap. 

Ayahku memang membela diri, bahkan aku pun 

mengaku dengan terus terang. Tapi semuanya 

sudah terlanjur, hukuman Kumpeni Belanda tak 

bisa ditawar-tawar lagi."

Masih tetap dengan airmata berlinang-linang, 

Roijah menceritakan saat-saat ketika ayahnya di-

tangkap dan diseret serdadu Kumpeni Belanda 

untuk menjalani hukuman. 

Hari itu masih siang. Puluhan tentara dan al-

gojo pemerintah Kumpeni Belanda menggiring 

Bek Marto dengan kedua tangan terikat ke alun-

alun pasar Kandang Haur. Seperti halnya ketika 

Roijah dihukum. Belanda pun sengaja melaksa-

nakan hukuman mati terhadap Bek Marto di 

tempat umum dengan maksud agar penduduk tak 

berani lagi memberontak terhadap penjajah Be-

landa.

Puluhan bahkan ratusan penduduk berdiri 

agak jauh dari tempat itu sambil memperhatikan 

Bek Marto dengan mata hampir tak berkedip dan 

tanpa mengeluarkan suara. Semuanya diliputi ke-

tegangan dan kecemasan, sebab pemerintah Belanda telah mengumumkan bahwa Bek Marto 

akan dihukum mati! Dihukum mati di hadapan 

regu tembak. 

Sebelum menjalani hukuman mati, Bek Marto 

masih diberi kesempatan untuk mengucapkan 

pesan-pesan terakhir. Dengan sangat tenang Bek 

Marto berdiri di tengah alun-alun. Ia mengenakan 

peci dan kain sarung seperti halnya orang yang 

hendak sembahyang. Dan orangtua itu memang 

benar-benar berdoa, menyerahkan segenap jiwa 

raganya ke hadapan yang Maha Kuasa.

Bek Marto berdoa bukan karena takut meng-

hadapi hukuman mati. Sama sekali tidak. Orang-

tua itu malah kelihatan senang menghadapi hu-

kuman seperti itu, karena ia telah menyadari 

bahwa selama ini ia telah mengkhianati bang-

sanya sendiri. Ia patut dihukum dengan huku-

man yang paling berat.

Sejenak orangtua itu menitikkan airmata. Ia 

menatap ke segala penjuru. Tampaklah olehnya 

rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana 

bahkan mencerminkan kemiskinan yang teramat 

sangat. Wajah-wajah penduduk desa tampak mu-

ram, sepertinya di wajah-wajah itu Bek Marto me-

lihat lukisan penderitaan dan kesengsaraan, oleh 

karena kejamnya penjajah. Sekalipun demikian, 

di mata penduduk masih terlihat kasih sayang 

dan rasa prihatin atas nasib Bek Marto.

Tak terkatakan betapa terharunya hati Kepala 

Desa itu menyaksikannya. Kenapa baru sekarang 

aku menyadarinya? Pikirnya dengan hati perih 

bagaikan diiris-iris. Ia seharusnya berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mengusir pen-

jajah. Bumi tempatnya berpijak sekarang adalah 

warisan nenek moyangnya, bukan kekuasaan 

kaum penjajah dan bangsa asing manapun.

Tuhanku, jika seandainya dosa-dosaku tidak 

termaafkan lagi, aku tidak akan terlalu menyesal. 

Tetapi janganlah kiranya ada lagi penghianat se-

perti aku di bumi tercinta ini, kata hati Bek Mar-

to.

Ketika ia mendapat isyarat dari pimpinan al-

gojo agar segera bicara, Bek Marto segera melang-

kah ke depan. Ia kembali menatap ke arah sekeli-

lingnya, kemudian mulai berkata:

"Saudara-saudara tercinta. Mungkin tiada la-

gi artinya penyesalan bagiku, karena setan yang 

selama ini merasuki pikiranku mungkin akan ter-

tawa dan mencemoohkan diriku. Sekarang aku 

baru menyadari betapa licik dan durjananya 

kaum penjajah yang telah sekian puluh tahun 

menguasai daerah kita....."

Bek Marto berhenti sejenak, lalu melan-

jutkan:

"Pada detik-detik terakhir ini, aku mengha-

rapkan semoga darah dan dagingku bisa menyu-

burkan bumi kita tercinta sebagai pertanda bah-

wa saya dilahirkan, dibesarkan dan mati di sini, 

walaupun mungkin tak patut untuk dikenang. Te-

tapi setidaknya saya sangat berharap semoga ke-

musnahanku di ujung senjata penjajah akan 

menjadi contoh bagi pemimpin lainnya yang ba-

rangkali belum sadar dan masih mau menjilat te-

lapak kaki penjajah bangsanya sendiri. Selamat


tinggal saudara-saudaraku. Doaku beserta kalian 

semua. Berjuanglah sampai titik darah penghabi-

san dan percayalah, penjajah laknat akan angkat 

kaki dari negeri kita..."

Setelah Bek Marto selesai mengucapkan pe-

san terakhirnya, komandan algojo memberi isya-

rat, sambil mengangkat pedang panjangnya ting-

gi-tinggi. Sebanyak enam orang anggota regu 

tampak segera bersiap-siap di hadapan Bek Mar-

to. Laras senapan segera diangkat dan diarahkan 

ke bagian tubuh Bek Marto.

Komandan regu menatap anggotanya sejenak, 

lalu melirik Bek Marto. Setelah itu, ia berteriak 

memberi aba-aba. Bersamaan dengan turunnya 

pedang di tangannya, terdengar suara tembakan 

secara serempak, mengoyak-ngoyak udara dan 

bergema sampai ke tengah hutan. Tubuh Bek 

Marto ambruk ke tanah dalam keadaan bersim-

bah darah.

Penduduk menutup mata sambil mengu-

capkan. Bek Marto telah menemui ajalnya. Da-

rahnya mengucur deras membasahi tanah airnya. 

Kini semuanya telah berakhir. Nama Bek Marto 

hanya tinggal jadi kenangan.

"Itulah kisah kematian ayahku, dik Ranti..." 

ujar Roijah dengan suara serak.

"Kasihan ayahmu..."

"Aku tak bisa melukiskan bagaimana pera-

saanku saat itu, dik Ranti. Tetapi jauh di lubuk 

hatiku masih ada rasa bangga, karena di saat ak-

hir hidupnya ayah menyadari kekeliruannya dan 

mengharapkan kematiannya jadi contoh bagi pemimpin lainnya agar tidak mau diperbudak penja-

jah."

"Aku sangat prihatin mendengar itu, kak Roi-

jah. Semoga Tuhan mengampuni ayahmu."

"Ya, dik Ranti. Tetapi sekarang aku telah se-

batangkara. Tidak ada lagi sanak saudaraku," ka-

ta Roijah dengan tangis semakin menjadi-jadi. Ia 

menyandarkan tubuh ke batang pohon menum-

pahkan segala yang bergejolak di dalam hatinya.

"Sudahlah, kak Roijah. Sebagai pendekar, ki-

ta tidak boleh terlalu sedih atas segala cobaan 

yang kita hadapi. Aku mengerti perasaanmu, kak. 

Hidup sebatangkara memang menyakitkan. Tetapi 

aku pun telah sebatang kara. Tak ada ayah dan 

ibu, begitu juga sanak pamili."

"Kau benar, dik Ranti. Ah, betapa tololnya 

aku terlalu menyesali semua yang telah terjadi. 

Yang telah terjadi itu biarlah terjadi. Mungkin 

semua ini telah takdir. Terimakasih, dik Ranti. 

Kau sangat baik."

"Ah, kak Roijah. Bahkan kalau dipikir-pikir, 

kakak masih lebih beruntung daripada aku. Ka-

rena saat ini masih ada yang mencintaimu, kak!"

Roijah agak terkejut juga mendengar ucapan 

Ranti itu. Sambil menyeka airmata, gadis itu me-

natap Ranti dalam-dalam, "Apa maksudmu, dik 

Ranti?" 

"Kakak masih beruntung karena Parmin 

mencintaimu. Bukankah kakak juga sangat men-

cintainya?"

"Hah? Jadi... jadi kau mengenal Parmin?"

"Ya, kak. Aku mengenalnya."


"Dimanakah kau mengenalnya dan di mana 

dia sekarang? Aku sudah lama tak bertemu den-

gannya."

"Kak Roijah, maafkan aku. Sebenarnya untuk 

itulah aku datang ke mari." Ranti kemudian men-

jatuhkan dirinya ke pangkuan Roijah. Dan tak 

lama kemudian, tangisnya pun meledak. Air ma-

tanya bagaikan air hujan ditumpahkan dari lan-

git.

Lama gadis itu menangis terisak-isak, semen-

tara Roijah mendekap dan membelai-belai ram-

butnya dengan penuh rasa haru. Roijahpun tak 

henti-hentinya mengucapkan kata-kata hiburan 

agar Ranti segera diam dan bisa menguasai pera-

saannya.

"Sudahlah, dik Ranti. Hatiku tambah sedih 

melihatmu menangis. Hapuslah air matamu, jan-

gan terlalu sedih. Bukankah tadi kau sendiri yang 

bilang agar kita jangan terlalu sedih? Kau bilang 

tadi, sebagai pendekar, kita tidak boleh menangis. 

Katakanlah hatimu. Dan coba ceritakan bagaima-

na kau bisa berkenalan dengan Parmin."

"Baiklah, kak Roijah!" sahut Ranti seraya me-

nyeka airmata. Ia pun menghela nafas dalam-

dalam untuk menenangkan perasaannya yang ga-

lau. Setelah perasaannya agak tenang, Ranti pun 

mulai bercerita.

"Kak Roijah, seperti yang saya ceritakan tadi 

aku adalah putri Gagak Ciremai. Tapi sejak kecil, 

karena ayahku keburu meninggal dunia, aku di-

pungut sebagai anak angkat oleh Gembong Wun-

gu."


"Gembong Wungu? Maksudmu pendekar 

bermata satu itu?"

"Ya. Apakah kak Roijah mengenalnya?"

"Tidak, dik Ranti. Tetapi aku sering menden-

gar namanya. Kabarnya dia adalah raja rampok 

yang memiliki kesaktian yang jarang ada tanding-

nya."

"Ya, mungkin begitulah keadaannya. Tapi ta-

hukah kakak betapa hancurnya perasaanku ke-

mudian? Lima belas tahun setelah ayahku me-

ninggal aku mengetahui bahwa Gembong Wungu 

bukanlah ayah kandungku bahkan punya hu-

bungan familipun tidak. Bahkan kemudian kuke-

tahui dia sendirilah yang membunuh ayahku Ga-

gak Ciremai."

"Sungguh kejam. Lalu bagaimana dengan 

ibumu?"

"Setelah ayahku terbunuh oleh Gembong 

Wungu, ibuku melarikan diri ke hutan dan baru 

lima belas tahun kemudian muncul di desa Per-

butulan dengan maksud hendak membalas den-

dam. Selama lima belas tahun itu, ibuku rupanya 

diam-diam memperdalam ilmu untuk membalas 

dendam. Tetapi ibuku pun akhirnya meninggal di 

ujung senjata Gembong Wungu."

"Kurang ajar! Benar-benar biadab si raja 

rampok itu!" seru Roijah geram.

"Saat itulah aku berkenalan dengan Parmin. 

Kebetulan ia singgah didesa Perbutulan untuk 

bekerja sebagai petani upahan karena dalam per-

jalanan katanya kehabisan bekal."

"Lalu bagaimana selanjutnya?"


"Aku nekat menantang Gembong Wungu un-

tuk bertarung sampai dia atau saya yang mati. 

Tetapi Parmin menasehatiku, katanya bajingan 

itu bukanlah tandinganku. Apalagi sebelum me-

ninggal, ibuku sempat berpesan agar aku tak 

membalaskan dendam terhadap Gembong Wun-

gu. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Un-

tunglah saat itu Parmin datang dan sebagai seo-

rang kesatria menantang Gembong Wungu berta-

rung."

"Lalu? Lalu... siapa yang kalah...?"

"Yang kalah pastilah yang salah. Saya me-

nyaksikan sendiri pertarungan itu. Tampaknya 

Parmin sendiri pun tidak kuat menghadapi apala-

gi mengalahkan Gembong Wungu..."

"Jadi... dia telah meninggal...?" sela Roijah 

dengan wajah yang tiba-tiba berubah pucat pasi.

"Tidak, kak. Sewaktu bertarung, tiba-tiba ra-

tusan bahkan mungkin ribuan monyet menyerbu 

Gembong Wungu. Karena sangat kesakitan, Gem-

bong Wungu berlari tak tentu arah hingga akhir-

nya terjatuh ke dalam sebuah jurang yang sangat 

dalam dan akhirnya menemui ajalnya di jurang 

itu."

"Oh... kak Parmin..." desah Roijah lega.

"Sejak itu, aku mulai menyadari bahwa aku 

telah jatuh cinta padanya. Maafkan aku, kak Roi-

jah. Aku tahu kakak mencintainya dan telah ber-

janji padanya. Tetapi ketahuilah, kak Roijah. Cin-

tamu belum tentu lebih besar daripada cintaku 

padanya."

Lama Roijah termenung mendengar ucapan


Ranti itu. Sepertinya kata-kata itu merupakan

suatu isyarat baginya bahwa ia harus siap meng-

hadapi kenyataan. Pantas saja Ranti jauh-jauh 

mau menemuinya. Rupanya antara gadis itu dan 

Parmin telah terjalin hubungan rahasia.

Sebagaimana halnya kaum gadis pada 

umumnya, rasa cemburu pun langsung bergejo-

lak di dalam hati Roijah. Tetapi karena gadis itu 

sudah dewasa dan sudah terbiasa menghadapi 

berbagai macam problema dalam hidupnya, Roi-

jah bisa menyembunyikan isi hatinya. Walau den-

gan perasaan hancur, ia toh masih bisa menyada-

ri bahwa jika kekasihnya memang telah berpaling 

pada gadis lain, ia tidak akan bisa berbuat apa-

apa. Bukankah masalah cinta itu adalah hak aza-

si manusia?

Sama seperti tidak bisa memaksa seseorang 

mencintai, seseorang juga tidak bisa terlalu di-

paksa untuk setia. Orang bisa berjanji bahkan 

bersumpah, tetapi berbagai hal kemudian bisa 

membuat orang tersebut benar-benar melupakan 

atau terpaksa melupakan janjinya itu.

Akan tetapi cinta memang boleh dikatakan 

tak pernah lepas dari rasa egois. Mementingkan 

diri sendiri. Orang mencintai berarti ingin memili-

ki, bahkan menguasai. Sadar atau tidak sadar, 

seorang pemuda misalnya biasanya tidak senang 

melihat pacarnya pergi bersama lelaki lain. Pa-

dahal antara kekasihnya itu dengan lelaki lain ta-

di belum tentu ada apa-apa. Tetapi dengan alasan 

antara mereka ada hubungan cinta yang dinilai 

sebagai penguasaan, si pemuda pun merasa


punya hak melarang, bahkan marah.

Itulah sekilas tenang cinta, yang barangkali

sering disalah tafsirkan. Cinta yang kata orang bi-

sa mendatangkan kebahagiaan tetapi juga bisa 

mendatangkan kehancuran dalam kehidupan. 

Entah itu namanya cinta sejati, atau hanya seka-

dar keegoisan dan dorongan untuk menguasai, 

wallahualam.

Roijah merupakan pendekar wanita yang 

memiliki ilmu tinggi. Ia juga memiliki keberanian 

luar biasa dan telah sering menghadapi kesulitan 

dalam hidupnya sebagai seorang pendekar. Tetapi 

mendengar kata-kata Ranti itu tadi, perasaannya 

jadi tak menentu. Diam-diam ia merasa seperti 

takut menghadapi kenyataan menyakitkan, jika ia 

harus berpisah dengan kekasihnya.

"Saya tak mengira persoalannya demikian. 

Rupanya dik Rantipun mencintainya. Apakah 

Parmin juga mencintaimu? Kalau memang demi-

kian..." 

"Tidak, Kak Roijah!" sela Ranti cepat, "Parmin 

tidak mencintai diriku. Di hatinya hanya ada kau 

seorang, kak."

"Jadi..?" kata Roijah bingung bercampur ce-

mas.

Ranti tidak menyahut. Gadis itu tiba-tiba 

bangkit, kemudian meloncat jauh ke belakang. 

Wajahnya yang tadi pucat pasi kini berubah me-

rah padam. Sepasang matanya menatap liar, ba-

gaikan singa kelaparan siap menerkam mangsa. 

Diam-diam Roijah terkejut menyaksikan peruba-

han Ranti. Gadis itu tampak berubah menjadi ganas dan buas. Sikapnya sekarang menunjukkan 

bahwa ia sedang sungguh-sungguh hendak men-

gadu nyawa dengan Roijah.

"Tidak! Seorang pendekar tidak boleh menan-

gis. Sekarang mari kita bertarung untuk menen-

tukan siapa yang paling berhak untuk memiliki 

cinta Parmin. Kau atau aku. Ayo, bangkitlah! Ca-

but senjata mu dan kita selesaikan persoalan ini 

sampai salah seorang di antara kita mampus."

"Aduh, dik Ranti. Kau telah menyelamatkan 

nyawaku dari tangan penjajah. Aku berhutang 

nyawa padamu. Kalau kau memang berhak mem-

bunuhku, seharusnya kau melakukannya ketika 

aku belum sadar tadi. Tapi sekarang, terserah 

padamulah, dik Ranti. Aku tidak akan mau mela-

wanmu. Bunuhlah aku sekarang juga!"

"Itu bukan sifat seorang kesatria," kata Ranti 

sambil menghunus senjatanya, "Kau adalah seo-

rang pendekar hebat. Tapi aku tidak takut pada-

mu. Aku siap mengadu nyawa denganmu. Ayo, 

bangkitlah dan hadapi aku!"

"Dik Ranti, selain berhutang nyawa padamu, 

aku juga sangat menyayangimu. Demi langit dan 

bumi, aku tidak ingin mengecewakan hatimu, dik! 

Kau boleh membenciku, tapi aku tidak akan per-

nah membencimu. Sekarang aku telah menyadari 

bahwa diriku memang tidak pantas mengha-

rapkan Parmin. Pergilah padanya, antara aku dan 

dia tak ada apa-apa lagi. Atau kalau dik Ranti 

memang tidak bisa menahan hasrat untuk mem-

bunuhku, silahkan. Aku sudah rela, dik. Aku 

akan bangga mati di tanganmu. Itu lebih baik daripada mati di tangan Penjajah Belanda laknat 

itu."

"Huh, aku tak membutuhkan senjata ini," te-

riak Ranti sembari melemparkan senjatanya ke 

tanah. Ia lalu melangkah ke hadapan Roijah dan 

menatap wanita itu dengan sikap yang tampak 

semakin ganas.

"Mari kita bertarung secara kesatria"

"Dik Ranti, aku sudah mengatakan semuanya 

padamu. Kenapa kau belum juga melakukan niat 

hatimu? Seharusnya kau tak membuang senja-

tamu itu. Ambillah, dan laksanakan niat hatimu 

sepuas hati. Aku menyayangimu, dik! aku sudah 

merelakan nyawaku untukmu!" 

"Jangan banyak omong. Aku tak butuh kata-

kata seperti itu. Jangan bersikap pengecut. Bajing 

Ireng. Aku tidak mau menyerang orang yang tak 

mengadakan perlawanan. Bangkitlah!"

"Berbuatlah sesukamu, adikku yang manis."

Roijah menatap Ranti dengan tatapan sendu. 

Mata gadis itu berkaca-kaca, sedih, terharu, me-

nyesal dan entah apa lagi. Ia sungguh tak me-

nyangka persoalannya akan jadi begini. Tetapi 

melihat betapa besarnya harapan Ranti terhadap 

Parmin, diam-diam Roijah telah merelakan keka-

sihnya untuk hidup berdampingan dengan Ranti. 

Maka Roijah pun sudah pasrah, siap menerima 

kematian di tangan Ranti.

Melihat Roijah tetap tidak mau memberikan 

perlawanan, makin panas jugalah hati Ranti. In-

gin rasanya ia menerjang Roijah dengan serangan 

mautnya. Tetapi bagaimana mungkin ia menyerang orang yang tak mau memberikan perlawa-

nan?

"Bangsat kau, Bajing Ireng! Kau pengecut, 

kau..."

Ranti menghentikan ucapannya. Tiba-tiba da-

ri balik pepohonan meluncur sebatang tombak 

dengan kecepatan tinggi ke arah Roijah. Sebagai 

pendekar yang memiliki ilmu tinggi, Roijah sebe-

narnya dapat menyadari bahwa dirinya terancam 

bahaya. Tetapi karena kondisi tubuhnya sangat 

lemah, kecil kemungkinan baginya untuk menge-

lak. Di samping itu, dalam waktu yang singkat 

itu, ia telah memutuskan lebih baik mati agar 

Ranti merasa bebas berdekatan dengan Parmin. 

Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa, 

Ranti meloncat bagaikan burung elang menyam-

bar tubuh Roijah sehingga wanita itu lolos dari 

maut. Senjata tombak itu menancap ke batang 

pohon tempat Roijah tadi bersandar.

Ketika tubuh Ranti dan Roijah masih berada 

di udara, menyusul lagi puluhan batang tombak 

menyambar. Sambil berteriak nyaring, Ranti ber-

jumpalitan beberapa kali sambil mendekap tubuh 

Roijah sehingga senjata-senjata yang dilontarkan 

dari tempat tersembunyi itu tidak ada yang ber-

hasil melukai kedua gadis itu.

Ranti memang memiliki ilmu silat luar biasa. 

Pendekar yang ilmunya biasa-biasa saja, mustahil 

akan bisa menyelamatkan diri apa lagi sambil 

membopong tubuh Roijah.

Dengan gerakan yang sangat ringan, Ranti 

mendaratkan kakinya di atas tanah. Ia mengerahkan segenap perhatiannya untuk bersiap- siap 

jikalau diserang lagi.

"Hei, orang-orang pengecut! Keluarlah, jangan 

berani menyerang dari tempat persembunyian. 

Hai, anjing-anjing, monyet-monyet, keluarlah. 

Hadapi aku secara jantan. Akan kucincang tubuh 

kalian."

Ranti memaki-maki sambil mengacung-

acungkan senjata.

Roijah yang kondisi tubuhnya masih sangat 

lemah, berusaha untuk berdiri dan bersiap-siap 

untuk menghadapi serangan lawan. Diam-diam, 

Roijah kagum juga melihat ketangkasan Ranti ta-

di menyelamatkan dirinya. Tampaknya ilmunya 

sendiri belum tentu lebih tinggi dari gadis itu. En-

tah siapa sebenarnya yang menyerang mereka se-

cara gelap.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa sam-

bung-menyambung dari segala penjuru. Ranti 

dan Roijah saling memutar tubuh sambil menatap 

ke sekelilingnya, karena suara tawa itu tampak-

nya datang dari segala penjuru.

Selain sangat keras, suara tawa itu juga men-

gandung tenaga dalam yang sangat tinggi, sehing-

ga terasa menusuk-nusuk anak telinga dan mem-

buat dada Ranti dan Roijah berdebar-debar. Ta-

hulah Ranti bahwa lelaki yang mengeluarkan sua-

ra tawa itu bukanlah orang sembarangan.

Ia sudah sering mendengar bahwa di dunia 

persilatan banyak pendekar yang memiliki ke-

mampuan menyerang lawan dengan suaranya. 

Serangan seperti itu hanya bisa dilakukan jika


orang bersangkutan sudah memiliki tenaga dalam 

yang sangat kuat. Sebagai contoh, suara auman 

harimau bisa membuat orang gemetar dan lemas, 

memperlihatkan betapa suara auman itu men-

gandung kekuatan. Ranti sendiri sudah pernah 

diajari ayahnya menggunakan ilmu seperti itu, 

walaupun hanya secara garis besarnya saja.

"Kak Roijah, tutup pendengaranmu. Agaknya 

si bangsat itu hendak bermain-main denganku."

"Ya, dik Ranti. Hati-hatilah, tampaknya orang 

itu bukan orang sembarangan," sahut Roijah was-

was.

Ranti memusatkan perhatiannya sejenak. Ia 

menahan nafas sambil menghimpun tenaga da-

lamnya. Setelah itu, ia mengeluarkan suara leng-

kingan berkepanjangan. Luar biasa! Suara leng-

kingan gadis jelita itu terasa menggetarkan de-

daunan dan mengalahkan suara gelak tawa lelaki 

misterius itu.

Suara gelak tawa itu pun terhenti. Bersamaan 

dengan itu, puluhan lelaki bertampang seram ber-

loncatan dari balik pepohonan dan langsung 

membentuk lingkaran, mengepung Ranti dan Roi-

jah. Para lelaki itu hampir semuanya bersenjata 

golok selain beberapa orang di antaranya meme-

gang senjata tombak berukuran sekitar satu se-

tengah meter.

"Licik!" bentak Ranti geram.

"Ha-ha-ha.,.!" gerombolan lelaki itu sama-

sama tertawa tergelak kembali.

"Huh, anjing-anjing kurap, tak tahu diri, Ke-

napa jumlah kalian hanya segini saja? Di mana


yang lain? Kebetulan aku sudah cukup lama ti-

dak latihan. Senjataku pun sudah haus minum 

darah. Ayo bangsat-bangsat siluman, majulah. 

Akan kucincang tubuh kalian!"

"Hei, hati-hati kawan-kawan semua. Jangan 

sampai kedua tikus cantik ini lolos. Tangkap me-

reka hidup-hidup!" bentak si Cenot, pemimpin ge-

rombolan itu.

"Kak Roijah, tetaplah berlindung di be-

lakangku. Akan kusikat mereka satu per satu!" 

kata Ranti sambil memasang kuda-kuda

"Hati-hati, dik!"

Gerombolan lelaki yang sedikitnya berjumlah 

lima belas orang itu mengepung semakin rapat. 

Sementara si Cenot sendiri agak jauh di belakang 

untuk memberi komando.

"Siap, kawan-kawan. Serbuuu...!" teriak si 

Cenot dengan suara menggelegar.

Gerombolan lelaki yang ternyata adalah se-

waan pemerintah Kumpeni Belanda itu mulai me-

nyerang dengan ganas.

"Mampus kalian anjing-anjing Belanda!" ben-

tak Ranti. Gadis itu segera mengeluarkan ilmunya 

yang paling hebat yakni ‘Grojogan Sewu’ yang 

membuat senjatanya tampak berubah jadi banyak 

sekali dan menyerang lawan dari segala penjuru.

Ilmu tersebut ternyata luar biasa cepat dan 

setiap serangan selalu mengarah ke bagian-

bagian tubuh yang sangat vital bagi lawan hanya 

dalam beberapa jurus saja, Ranti berhasil mero-

bohkan empat lawan hingga terjungkal berlumu-

ran darah.


Ranti mengamuk bagaikan banteng ter-luka. 

Sedikit pun ia tidak mau memberikan lawan ke-

sempatan untuk menyerang. Sementara Roijah 

sendiri hanya bergerak alakadarnya saja, sebab 

tubuhnya masih sangat lemah. Roijah kebanya-

kan menghindar sambil berusaha berlindung di 

belakang tubuh Ranti.

"Hei, kawan-kawan. Hati-hati!" teriak si Cenot 

yang rupanya terkejut juga menyaksikan sepak 

terjang Ranti yang sangat ganas. Mendengar te-

riakan Cenot, para pengeroyok Ranti dan Roijah 

serentak meloncat mundur. Mereka melirik te-

man-temannya yang terkapar tak bernyawa. Sete-

lah itu kemudian melirik Cenot, seolah-olah minta 

petunjuk.

"Gunakan sergapan kita yang paling ampuh! 

Kedua singa betina itu pasti tidak akan berkutik!" 

kata Cenot.

Sebanyak tujuh orang sisa anak buah Cenot 

segera mengangguk. Mereka lalu membentuk 

lingkaran, mengelilingi Ranti dan Roijah. Tak la-

ma kemudian, mereka berteriak-teriak sambil 

berlari-lari mengelilingi kedua lawannya.

Makin lama gerak lari gerombolan pengeroyok 

makin cepat. Hebatnya lagi, sambil bergerak me-

lingkar, mereka juga mengeluarkan suara untuk 

membingungkan lawan. Rupanya benar juga 

omongan Cenot tadi bahwa itu adalah serangan 

andalan mereka.

Diam-diam Ranti terkejut juga. Sebab seumur 

hidupnya ia belum pernah menghadapi serangan 

seperti itu. Untunglah Roijah segera dapat membaca gelagat yang kurang baik itu, karena ia me-

mang jauh lebih berpengalaman dari pada Ranti 

sendiri.

"Dik Ranti, hati-hatilah. Serangan seperti ini 

sangat berbahaya. Kita harus melumpuhkan sa-

lah seorang di antaranya agar lingkaran setan itu 

buyar."

Ranti mengangguk. Sebelum lawan menye-

rang, ia sudah meloncat menyerang salah seorang 

di antara musuh. Senjata di tangannya bergerak 

cepat bagaikan kilat menyambar.

Tetapi alangkah terkejutnya gadis itu, ketika 

lawan yang diserangnya tidak mengelak, bahkan 

balas menyerang dengan mengarahkan goloknya 

ke arah dada Ranti.

Sementara lelaki di belakangnya melindungi 

temannya dari serangan Ranti.

Ranti terpaksa menarik senjatanya untuk 

menangkis serangan lawan. Terdengar suara ber-

dentang disertai pijaran bunga api karena berte-

munya kedua senjata itu.

"Kurang ajar!" bentak Ranti geram. Ia lalu 

mempersiapkan serangan baru yaitu permainan 

silat 'Angin Beliung' yang merupakan puncak 

dari ilmu 'Dewa Banyu Nitis'.

Ranti menerjang dengan dahsyat. Tubuhnya 

melayang, kemudian menyambar turun bagaikan 

burung elang. Senjata di tangannya diputar me-

nangkis serangan lawan. Sementara tangan kiri 

dan kaki kirinya menyambar dengan kekuatan 

dahsyat.

Bersamaan ketika senjata mereka beradu,


kaki kiri Ranti dengan telak menghantam dada 

salah seorang lawan. Begitu, kuatnya tendangan 

dara jelita itu, sehingga lawannya terlempar bebe-

rapa meter. Darah kental kehitam-hitaman ter-

sembur dari mulutnya. Setelah itu kepalanya ter-

kulai. Nyawanya telah melayang.

Dengan lumpuhnya salah seorang di antara 

gerombolan pengeroyok itu, serangan mereka pun 

menjadi kacau. Kesempatan itu tak disia-siakan 

Ranti. Ia mengamuk lagi membabat lawan-

lawannya dengan serangan mautnya.

Satu per satu kawanan pengeroyok itu roboh 

di ujung senjata Ranti. Darah segar tercecer di 

mana-mana. Mayat bergelimpangan sehingga se-

kitar tempat itu tampak sangat mengerikan.

Ketika matahari telah condong ke barat, se-

mua anak buah Cenot telah roboh. Sekarang 

tinggal Cenot seorang. Lelaki itu terkejut juga 

menyaksikan kehebatan Ranti. Hampir ia tak per-

caya belasan anak buahnya roboh di tangan seo-

rang gadis cantik jelita dan masih sangat muda 

lagi.

Siapakah gerangan pendekar wanita yang 

memiliki ilmu tinggi dan jika mengamuk tampak 

sangat beringas dan ganas? Si Cenot tidak bisa 

menebak, tetapi menurut perkiraannya pendekar 

wanita itu pastilah mempunyai hubungan dengan 

Roijah. Mungkin keduanya masih satu perguruan.

Sekalipun Cenot memang belum pernah ber-

tarung dengan Roijah, namun ia sudah menden-

gar sepak terjang Roijah yang sangat hebat. Entah 

sudah berapa orang yang tewas di tangan gadis


itu. Bahkan selama ini pemerintah Kumpeni Be-

landa sering menyewa jagoan-jagoan hanya untuk 

membekuk Roijah yang dijuluki si Bajing Ireng 

itu. Namun tidak ada yang berhasil menangkap 

Roijah.

Pemerintah Kumpeni Belanda akhirnya 

menghubungi pendekar yang memiliki ilmu yang 

sangat tinggi yakni si Cenot sendiri, seorang ja-

goan dari Juntinyungat Karang Panjalin yang di-

juluki Malaikat Samber Nyawa. Lelaki ini sudah 

cukup lama dikenal sebagai pendekar tanpa tand-

ing di wilayah Jawa Barat.

Tampaknya Belanda tidak mau main-main la-

gi, terutama setelah Roijah menghilang dari pen-

jara dibawa kabur oleh seorang pendekar wanita 

yang ilmunya juga sangat tinggi. Itulah makanya 

Si Cenot bersama belasan orang anak buahnya 

disewa untuk menangkap Roijah kembali.

Sekarang melihat kehebatan Ranti, si Cenot 

pun harus mengakui kagum. Bahkan terus-terang 

ia tidak menyangka ia akan bisa menemukan wa-

nita yang sangat muda dan cantik jelita memiliki 

ilmu setinggi itu. Tetapi sebagai seorang pendekar 

yang sudah puluhan tahun malang melintang di 

dunia persilatan dan sudah sangat berpengala-

man pula. Si malaikat Samber Nyawa itu tidak 

gentar sama sekali. Ia yakin sekali bahwa ia akan 

dapat mengalahkan Ranti.

Maka ia pun tertawa terpingkal-pingkal sete-

lah semua anak buahnya roboh.

"Hebat! Luar biasa! Tadinya singa betina ini 

kukira hanyalah anak tikus. Tapi jangan semba


rang mengumbar bacot di hadapanku. Akulah si 

Cenot yang dijuluki Malaikat Samber Nyawa yang 

tiada tandingan di Jawa Barat. Aku sengaja 

memperkenalkan diri agar kalian tidak mati pe-

nasaran. Sebaliknya, aku juga tidak ingin mem-

bunuh orang yang belum kuketahui namanya. 

Ayo, sekarang harap kalian berdua tidak kebera-

tan untuk memperkenalkan diri."

"Hati-hati, dik Ranti. Ia bukan orang semba-

rangan," bisik Roijah was-was.

"Tenanglah, kak Roijah. Sebaiknya kakak 

menyingkir. Biar saya yang menghadapi si ku-

nyuk tua itu."

"Hei, kalian tak perlu bisik-bisik. Ayo, bicara-

lah!" kata Cenot lagi.

Ranti masih tetapi tidak menyahut. Dara jeli-

ta itu memperhatikan Cenot. Lelaki itu sudah tua, 

mungkin sudah berumur lima puluh tahun. Tu-

buhnya agak pendek dan kurus. Ia mengenakan 

pakaian serba hijau bergaris-garis dengan celana 

panjang sebatas betis, dan di pinggangnya yang 

ramping dililitkan kain sarung sejenis songket. 

Kedua pipi Cenot agak gempal dan sepasang ma-

tanya tampak selalu melotot, sehingga kalau ia 

tertawa ia mirip sekali badut. Sikapnya agak tidak 

perduli terhadap orang lain yang jika berjalan ke-

lihatan loyo. 

Pendekar yang dijuluki Malaikat Samber 

Nyawa itu mempunyai sebilah golok mengkilap 

yang kini telah terhunus di tangan kirinya.

Agaknya biarpun sikapnya tampak anggap 

remeh terhadap lawan, namun ia sudah bertekad


untuk tidak main-main. Selain karena lawan me-

miliki ilmu yang cukup tinggi, ia juga ingin sece-

patnya melumpuhkan kemudian menyerahkan 

kepada Van Eisen.

"Hei, nona cantik. Kenapa kau diam saja? 

Siapakah namamu?"

"Huh, monyet kelaparan. Jangan kira aku ta-

kut padamu. Aku sudah siap mengadu nyawa 

denganmu. Kau tak perlu banyak bicara. Jika kau 

memang bukan pengecut, hadapilah aku. Aku 

sudah siap!"

"Baiklah kalau begitu. Agaknya kau memang 

sudah di takdirkan mati di tanganku. Sayang dua 

nona cantik seperti kalian harus mati sekarang. 

Seharusnya kalian berdua jadi biniku. Tapi tak 

apalah nona manis. Nanti aku akan kaya raya, 

dapat hadiah melimpah ruah dari Van Eisen se-

bagai ganti kedua kepala kalian."

"Bangsat tak tahu diri. Akan kucincang tu-

buhmu, bedebah!"

Sambil tertawa-tawa, si Cenot pasang kuda-

kuda. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar, kemu-

dian kedua lututnya ditekuk hingga hampir me-

rapat ke dada. Dengan posisi seperti orang jong-

kok seperti itu, ia meliuk-liukkan badan dengan 

gaya yang sangat lemas dan mirip kucing sedang 

sakit perut. Sementara tangan kanannya yang ki-

ni memegang golok diacung tinggi-tinggi ke bela-

kang. Gaya main silat yang sangat aneh. Ranti di-

am-diam terkejut juga, sebab ia sudah dapat me-

nerka bahwa di balik gaya yang tampak semrawut 

itu tersimpan sesuatu gerak yang sangat berbahaya. Untuk menghadapi lawan seperti ini diper-

lukan kewaspadaan yang tinggi, tidak boleh len-

gah sedikit pun juga apalagi menganggap remeh.

Ranti mempersiapkan diri untuk memulai se-

rangan dengan jurus maut bagian dari ilmu silat, 

Dewa Banyu Nitis. Sambil berteriak nyaring, dara 

muda itu meloncat tinggi ke arah lawan. Tangan 

kiri disilangkan di depan dada, sementara tangan 

kanan yang memegang senjata dilipat di sebelah 

kiri. Kari kanannya ditekuk, sehingga posisinya 

memungkinkan Ranti bisa menyerang dari berba-

gai arah dan dengan perkembangan jurus yang 

sulit ditebak.

Si Cenot pun berteriak nyaring sambil me-

mindahkan goloknya ke tangan kiri. Agaknya si 

Malaikat Samber Nyawa itu segera menyadari 

bahwa serangan Ranti sangat berbahaya, dan 

dengan senjata di tangan kiri, lebih menguntung-

kan baginya menghadapi serangan itu. Dan itu 

merupakan salah satu keistimewaan Cenot, di 

mana tangan kiri maupun tangan kanannya sama 

berbahayanya jika memegang senjata.

Didahului serangan kaki dan tangan, senjata 

Ranti menyambar dahsyat ke arah dada Cenot. 

Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh, Cenot 

menghindar, lalu mengangkat goloknya menang-

kis sabetan senjata lawan.

"Trang...!" Kedua senjata itu beradu keras, 

disertai percikan bunga api. Tubuh Rianti yang 

sedang melayang di udara terdorong mundur, se-

hingga ia terpaksa melakukan salto beberapa kali 

ke belakang untuk menguasai keseimbangan tubuh. Sedangkan tubuh Cenot juga terdorong be-

berapa langkah.

Dapatlah diketahui bahwa tenaga dalam Ce-

not sedikit lebih kuat dibanding Ranti. Hal itu 

membuat Ranti sangat geram. Ia kembali mener-

jang dengan ganas. Benarlah seperti apa yang di-

duganya semula bahwa Cenot bukanlah orang 

sembarangan. Lelaki itu selain memiliki gerakan 

yang sangat cepat, juga terasa sangat aneh, se-

pertinya tak lazim diperlihatkan para pendekar.

Untunglah Rianti memiliki semangat baja dan 

kelincahan tubuh yang sangat baik, sehingga 

sampai pertarungan itu berlangsung berpuluh-

puluh jurus, ia masih dapat bertahan sambil se-

kali-sekali balas menyerang.

Namun makin lama tenaganya makin terku-

ras juga. Apalagi karena sebelumnya ia mengha-

dapi keroyokan belasan anak buah Cenot. Walau-

pun lawan-lawannya itu rata-rata tidak memiliki 

ilmu yang tinggi, namun cukup banyak menguras 

tenaga Ranti. Makin lama perlawanan Ranti ma-

kin melemah.

Hari mulai senja, langit telah kelabu. Tiba-

tiba saja permainan silat Cenot sering ngawur, 

bacokan-bacokan goloknya sering salah sasaran. 

Tahulah Ranti bahwa musuhnya itu mempunyai 

kelemahan yakni matanya rabun ayam.

Tentu saja Ranti sangat girang. Semangatnya 

berkobar kembali, dan seperti memberikan tenaga 

baru baginya. Kalau tadi ia terdesak oleh lawan, 

kini keadaan telah berbalik. Ranti yang berada di 

atas angin dan tampaknya hanya menunggu waktu saja untuk merobohkan lawan.

Benar saja! Beberapa saat kemudian, senjata 

di tangan Ranti dengan telak menyabet leher Ce-

not hingga hampir putus. Lelaki itu menjerit pan-

jang. Tubuhnya ambruk ke tanah dengan darah 

segar memancar deras membasahi pakaian dan 

tanah di sekitarnya. Sejenak tubuh jagoan Malai-

kat Samber Nyawa itu menggelepar-gelepar, sete-

lah itu tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya telah 

melayang entah ke mana.

"Mampus kau bangsat!" maki gadis itu sambil 

meludah. Ia lalu menyeka keringat yang memba-

sahi wajah. Sungguh suatu pertarungan yang 

luar biasa. Seumur hidup, Ranti belum pernah 

menghadapi lawan setangguh Cenot. Seandainya 

lawannya itu tidak rabun ayam, entah apa yang 

bakal terjadi. Mungkin Ranti sendiri yang akan 

mengalami nasib naas.

"Sungguh hebat kau, dik Ranti. Kau adalah 

yang amat perkasa, bisa mengalahkan jagoan se-

tangguh itu," kata Roijah yang sejak tadi menga-

wasi pertarungan itu dengan dada berdebar-

debar.

Ranti hanya melirik sekejap. Setelah itu, ia 

kembali menyeka keringat dengan sikap seperti 

tak mendengar ucapan Roijah.

"Dik Ranti, aku sangat kagum padamu."

"Tidak!" Tiba-tiba Ranti berteriak nyaring 

sambil melemparkan senjatanya, "Kau tak perlu 

memujiku. Mari kita selesaikan kembali urusan 

kita. Ayo, bersiap-siaplah. Aku akan mengadu 

nyawa denganmu sampai salah seorang di antara


kita yang mampus."

Roijah sangat terkejut mendengar kata-kata 

Ranti. Sungguh ia tak menyangka Ranti masih 

bersikap galak padanya. Bahkan tampak masih

ingin bertarung dengannya. Diam-diam Roijah 

mengeluh, karena gadis yang sangat dikaguminya 

itu masih bersikap aneh padanya.

"Kau jangan diam saja, Bajing Ireng! Bersiap-

siaplah menghadapi aku!"

"Dik Ranti, untuk kedua kalinya kau menye-

lamatkan nyawaku. Kau sangat berjasa terhadap 

diriku. Mungkin aku tidak akan pernah bisa 

membalas budi baikmu. Karena itu, ketahuilah, 

apapun yang akan terjadi, aku Roijah anak dari 

Bek Marto tidak akan mau melawanmu. Lakukan-

lah apa yang kau lakukan sesuai kehendak hati-

mu. "

"Diam! Aku bukan pengecut! Pokoknya kita 

harus bertarung demi Parmin. Kau harus mela-

wanku, jangan bersikap pengecut seperti itu. Mari 

kita selesaikan. Bersiaplah kau, Bajing Ireng!"

"Dik Ranti, kenapa kau masih harus banyak 

bicara? Kenapa tak segera kau ambil senjatamu 

dan membunuhku?"

Karena sangat kesal, tiba-tiba Ranti menam-

par pipi Roijah. Demikian kerasnya tamparan itu, 

sehingga tubuh Roijah terpelanting dan terjerem-

bab ke tanah.

"Agaknya kau harus diberi pemanasan. Su-

dah cukup, bukan? Sekarang bangkitlah. Ayo, 

bangkit. Jangan sampai membuat aku kehilangan 

kesabaran!"


"Bunuhlah aku, dik Ranti. Aku sudah rela se-

perti halnya aku merelakanmu berdampingan 

dengan Parmin, asalkan kau betul-betul mencin-

tainya. Demi Tuhan aku benar-benar rela..."

"Kurang ajar! Agaknya aku harus menyeret 

tubuhmu agar mau melawanku..."

"Tunggu!" Tiba-tiba terdengar suara agak pe-

lan namun mengandung wibawa yang sangat da-

lam. Ketika Ranti menoleh.

Tampaklah olehnya Nyi Saidah, nenek tua 

yang beberapa hari lalu berniat merampas Roijah 

dari tangan Ranti.

"Oh, kau lagi nenek peot!" bentak Ranti ge-

ram.

Melihat kedatangan Nyi Saidah, tiba-tiba Roi-

jah bangkit, lalu berlutut sambil memeluk kedua 

kaki wanita tua itu.

"Ibu guru..." ujar Roijah penuh haru.

"Oh, betapa merananya hidupmu, muridku. 

Betul, kau jangan meladeni nona yang berkela-

kuan aneh itu." Ujar Nyi Saidah alias Nini Sari.

"Oh, jadi kaukah gurunya, nenek peot? Kupe-

ringatkan padamu, jangan mencampuri urusanku 

dengannya. Kalau tidak, kalian berdua boleh ma-

ju mengeroyokku. Akan kukirim kalian ke neraka 

seperti anjing-anjing Belanda ini!"

"Aduh, anak manis. Kenapa kau segalak itu? 

Roijah adalah muridku. Sebagai guru, saya tentu 

patut mengetahui persoalan yang dihadapinya."

"Ah, nenek peot seperti kau tahu apa?"

"Aku mengerti, anak manis. Justru karena 

itu aku perlu memberimu nasehat, anak jelita."


"Aku tak butuh nasehatmu, nenek siluman!"

"Aku menghaturkan terimakasih padamu atas 

segala kebaikanmu telah menyelamatkan nyawa 

muridku sebanyak dua kali. Tetapi haruslah kau 

sadari pula bahwa cinta bukan suatu barang yang 

bisa diperebutkan seperti piala. Cinta hanya bisa 

terpadu juga dua hati saling menyentuh."

"Sudah kubilang aku tak butuh nasehatmu. 

Jangan berkotbah di hadapanku, nenek peot. Le-

bih baik kau cabut senjatamu dan kita selesaikan 

persoalan ini secara kesatria."

"Anak manis, aku tahu kau bicara kasar se-

perti itu pastilah tidak keluar dari hati nuranimu. 

Kau hanya terpengaruh oleh emosi yang tak me-

nentu. Sadarilah itu, anak manis. Kau adalah 

seorang pendekar yang tangguh. Tanyalah hati 

nuranimu sendiri apakah sikap seperti itu me-

mang baik atau tidak."

"Baik atau tidak itu urusanku. Kalau kau 

memang keberatan, hadapilah aku."

"Tak ada gunanya kau menantang kau, anak 

manis. Sebab aku tak akan menghadapimu seka-

lipun harus kau bunuh."

"Hm, guru dan muridnya sama saja, sama-

sama pengecut."

"Aku juga pernah muda. Sebelum kau lahir, 

aku sudah merasakan apa itu cinta. Cinta itu la-

hir sendiri, anak manis. Tanpa disadari dan tanpa 

direncanakan. Oleh karena itu, cinta tidaklah bisa 

dipaksakan. Muridku Roijah telah mengalah pa-

damu. Ia rela kau berdampingan dengan Parmin. 

Tetapi apakah itu bisa sebagai jaminan bagimu


bahwa lelaki itu akan mau menerimamu?"

Ranti tidak menyahut lagi. Sebab jauh di lu-

buk hatinya, ia mulai mengakui kebenaran kata-

kata Nyi Saidah itu.

"Camkanlah itu, anak manis. Aku yakin kau 

sudah cukup dewasa untuk bisa merenung-

renungkannya. Kasihan Roijah. Janganlah me-

nambah penderitaan bathin baginya. Kau tentu 

tahu, ayahnya baru saja ditembak mati Belanda. 

Setelah itu ia disiksa dan dipenjarakan. Tapi un-

tunglah kau menyelamatkannya. Sungguh perbu-

atan yang sangat mulia. Karena itu, aku saran-

kan, carilah pria lain yang lebih patut mendam-

pingimu. Pria di dunia ini bukan hanya satu 

orang saja. Kau muda dan cantik serta memiliki 

ilmu tinggi. Pasti banyak yang jatuh cinta pada-

mu."

Mendengar itu, menitiklah airmata Ranti. Ia 

mulai menyadari kekeliruannya. Bahkan kini ia 

merasa malu pada dirinya sendiri. Tak terlu-

kiskan lagi perasaan gadis itu sekarang.

"Ah, aku tak tahu harus bicara apa lagi. Ter-

nyata cinta itu terlalu menyakitkan bagiku. Kusa-

dari pula betapa tulus dan sucinya cintamu, kak 

Roijah. Tak ada hak bagiku untuk mengganggu-

mu. Sekarang aku harus pergi. Ya, biarlah aku 

pergi..."

"Dik Ranti, jangan berkata begitu..." seru Roi-

jah terharu. Ia pun meneteskan airmata, memba-

sahi pipinya yang pucat.

"Maafkan aku, kak. Biarlah aku pergi. Ku-

doakan semoga kakak hidup bahagia.


"Selamat tinggal..." Setelah berkata begitu, 

Ranti segera meloncat meninggalkan tempat itu.

"Dik Ranti, Tunggu!" teriak Roijah.

"Biarkanlah dia pergi. Hatinya sekeras baja. 

Ia perlu waktu untuk menyadari kekeliruannya 

dan juga untuk mengobati luka dalam hatinya," 

ujar Nyi Sadah alias Nini Sari dengan suara lem-

but.

Ranti berlari menembus kegelapan malam, 

membawa kegelapan di dalam hatinya. Dara jelita 

itu terus berlari dan berlari dengan isak tangis 

yang tersendat-sendat. Ia berlari seperti ketika 

pertama kalinya datang ke daerah utara itu. Na-

mun di dalam hatinya kini tergores sebuah luka 

yang kelak barangkali akan menjadi kenangan 

seumur hidup baginya.

T A M A T

Cinta memang indah, penuh mimpi nan 

membuai memberikan harapan-harapan menjan-

jikan dunia milik berdua dan Ranti ingin meraih-

nya di antara duri-duri serta acungan senjata tapi 

cinta yang pertama singgah dalam hidupnya tidak 

seindah apa yang dibayangkan.

Bagaimanakah nasib dara jelita itu setelah 



Episode ini? Kita nantikan saja judul berikutnya, 

yaitu:

"SI CAKAR RAJAWALI"



Share:

0 comments:

Posting Komentar