SATU
PERAHU yang ditumpanginya kini
makin mendekati bandar Asemarang.
Beberapa burung camar meliuk, dan
terbang mendekati perahu, membuat
Mahesa Wulung tersenyum. Ditariknya
nafas dalam-dalam untuk menghirup
udara pantai yang dikenalnya sejak ia
masih bocah yang hampir setiap hari
dijelajahi untuk berlatih renang,
mengemudikan perahu, dan kadang-kadang
di pantai itulah ia dilatih pamannya
dalam tata perkelahian yang cukup
berat.
Berbagai kesibukkan tampak dari
perahunya, orang-orang yang bersenjata
pedang dan tombak tampak mondar mandir
di bandar itu. Begitu perahu merapat,
bandar segera dua orang bersenjata
tadi mendekati. Mahesa Wulung mula-
mula menaruh curiga dengan gelagat
ini, tapi segera lenyaplah
kecurigaannya, ketika ia melihat orang
itu berikat, pinggang merah, satu
ciri penjaga keamanan bandar
Asemarang.
Dengan ramahnya, mereka
mendapatkan Mahesa Wulung yang kini
sudah naik ke darat.
Selamat Siang, kisanak. Sapa
mereka.
Dapatlah kami mengetahui tentang
diri kisanak? Sambil tersenyum Mahesa
Wulung meraba lehernya dan melepaskan
untaian kalung yang tersembunyi
dibalik bajunya lalu diacungkan kepada
kedua pengawal itu sambil
memperkenalkan dirinya.
Perkenalkanlah, saya Mahesa
Wulung dari Demak. Kedua pengawal itu
bukan main terkejutnya melihat medali
kalung yang dipegang oleh tamunya
berbentuk seperti cakra bergigi empat,
seperti penunjuk arah mata angin.
Itulah tanda buat seorang perwira laut
Kerajaan Demak.
Oh, maaf Tuan, kami tidak mengira
Tuan datang dari Demak. Seru keduanya
sambil menundukkan kepala memberi
hormat.
Ah bapak berdua, tidak apalah
sebab saya memang tidak secara resmi
datang ke sini. Sayapun hanya
menumpang perahu dagang saja. Balas
Mahesa Wulung sambil memberi hormat
kepada kedua pengawal itu.
Kalau begitu apakah kami dapat
membantu Tuan dalam kunjungan ke
Asemarang?
Terima kasih bapak, saya
bermaksud berlibur di kota ini, selama
beberapa bulan dan tinggal dengan
paman saya Ki Sorengrana.
Jadi Tuankah Mahesa Wulung yang
sering disebut-sebut Ki Sorengrana.
Beliau sering menceriterakan Tuan
kepada kami dalam saat-saat istirahat
sehabis latihan keprajuritan. Kalau
begitu sampaikan pula salam kami
kepada Ki Sorengrana jika Tuan telah
tiba di sana. Pakailah kuda kami yang
tertambat itu, Tuan akan lekas sampai
di sana.
Terima kasih bapak. Segera Mahesa
Wulung melepaskan seekor kuda yang
berwarna hitam dan dengan satu gerakan
yang sukar diikuti mata, tahu-tahu
Mahesa Wulung telah ada di punggung
sikuda hitam dan segera dipacunya ke
arah selatan masuk ke daerah yang
berhutan pohon asam.
Kedua pengawal tadi cuma
menggeleng-gelengkan kepala sambil
mengguman.
Hmm, pantaslah kalau dia
kemenakan Ki Sorengrana, dari caranya
berkuda saja orang mengenalnya.
Setelah melewati pohon randu yang
besar Mahesa Wulung segera membelokkan
kudanya ke arah barat dan dari
kejauhan tampaklah perkampungan kecil,
sedang rumah pamannya segera dapat
dikenal dari pohon beringin yang
tumbuh subur di depan rumahnya. Tapi
rumah pamannya tampak sepi-sepi saja.
Seperti ada sesuatu yang tidak
beres dengan kampung ini, semua pintu-
pintu dan jendela-jendela ditutup
rapat. Pikir Mahesa Wulung sambil
meloncat turun dari kuda. Begitu
kakinya menginjak tanah dari arah
belakang terasa ada angin dingin yang
bertiup hebat bersama satu bayangan
yang berkelebat dari atas pohon
beringin.
Pukulan Lebur Waja, pikir Mahesa
Wulung dengan cepat sambil memutar
tubuhnya melompat kesamping. Tangan
kiri ditekuk lurus ke depan sejajar
kepala sedang yang kanan ditekuk pula
ke belakang sejajar kepala siap
mengirimkan serangan, namun tiba-tiba
terdengar teriakan tahan!
Mahesa Wulung terkejut bukan
kepalang demi ia membatalkan
serangannya, didepannya berdiri
seorang gadis berparas elok. Sinar
matanya masih membayangkan rasa curiga
bercampur heran melihat pukulannya
Lebur Waja bisa dielakkan pemuda ini
dengan mudahnya, bahkan lebih heran
lagi pemuda yang biru saja datang ini
akan membalasnya pula dengan pukulan
yang sama.
Ha, ha, ha ! Bagus Wulung, bagus!
Kau masih tetap menguasai ilmumu
dengan baik.... terdengar suara dari
samping rumah dan muncullah pamannya
yang berwajah cerah, wajah yang telah
lama dirindukannya. Sebab wajah itu
bila ditentang lama ia seperti
berhadapan dengan ayahnya sendiri yang
telah beberapa tahun yang lalu.
Mengapa tidak? Sorengrana adalah adik
dari ayahnya Sorengyuda, hingga tidak
mengherankan bila keduanya mempunyai
wajah yang mirip. Dengan rangkulan
yang penuh rasa kasih, Sorengrana
menyambut Mahesa Wulung, dihatinya
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha
Besar bahwa ia masih berjumpa lagi
dengan kemenakannya yang telah lama
meninggalkannya.
Demikianlah sampai beberapa saat
gadis itu masih berdiri kaku melihat
gurunya Ki Sorengrana beramah tamah
dengan pemuda ini. Mahesa wulung
menyadari hal ini dan iapun bertanya
kepada pamannya.
Paman, siapakah gadis ini yang
tadi tiba-tiba saja menyerangku?
E e e, ya, ya, aku sampai lupa
memperkenalkannya. Inilah muridku,
juga teman sepermainanmu sewaktu kecil
dulu. Dialah Niken Pandan Arum. Kata
pamannya.
Pandan Arum ? Teriak Mahesa
Wulung penuh kagum.
Pandan Arum yang dulu selalu
meminta aku memanjat dan memetikkan
bunga angsoka untuk dibuat untaian
kalung. Untung paman menyebutkan
namanya kalau tidak pasti aku tak akan
mengenalnya lagi.
Dan ini, Pandan. Ini kemenakanku
Mahesa Wulung. Sambil tersenyum
tersipu-sipu Pandan Arum mencuri
pandang ke arah Mahesa Wulung dan
begitu pandangnya bertumbuk pandangan
pemuda tampan yang hampir menjadi
lawannya tadi, segera ia menganggukkan
kepala dengan hormatnya, lalu dibalas
pula oleh Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung harap dimaafkan
kelakuan Niken Pandan tadi. Kami
sekampung memang tengah bersiap-siap
untuk sewaktu-waktu menghadapi
gerombolan hitam dari Alas Roban.
Mereka sering membuat kekacauan-
kekacauan, terutama di daerah
sepanjang pantai utara mulai dari
Pekalongan sampai bandar Asemarang.
Dengan paksa penduduk-penduduk di situ
ditariknya pajak yang tidak sedikit
jumlahnya. Hal ini terang-terangan
menentang kewibawaan kerajaan Demak,
malahan lagi ada didesas-desuskan
bahwa mereka bersekutu dengan bajak-
bajak laut dari Pulau Ireng, sebuah
pulau diantara Pulau-pulau
Karimunjawa.
Lho, ini tamunya kok diajak
bicara-bicara di luar saja marilah
kita lanjutkan di dalam saja. Seru
bibi Mahesa Wulung, Nyi Sorengrana
yang segera pula ikut ke luar
menyambut kemenakannya. Setelah mereka
duduk-duduk dibalai-balai, Pandan Arum
pergi ke belakang untuk ikut
menyiapkan hidangan serta membantu Nyi
Sorengrana yang sibuk di dapur.
Mahesa Wulung ketahuilah bahwa di
daerah ini sedang timbul gangguan
keamanan, oleh sebab itu kami sering
mengadakan latihan-latihan
keprajuritan guna menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi. Dan
tadi seperti yang kau lihat, khusus
kepada Pandan Arum telah saya ajarkan
dasar-dasar aji pukulan Lebur Waja.
Sorengrana berhenti sejenak sambil
menghirup kopi panas yang telah
dihidangkan.
Maka dengan kedatanganmu ini,
saya turut berharap agar engkau
membantu menanggulangi bahaya
pengacauan serta melatih orang-orang
di daerah ini dalam menggunakan
senjata.
Baik Paman, sayapun tidak
berkeberatan untuk tugas ini. Memang
kedatangan saya ke Asemarang ini di
samping berlibur juga ada tugas
tersembunyi dari pimpinan armada
Demak, yaitu menyelidiki kekacauan-
kekacauan yang terjadi disepanjang
pantai Utara, yang mungkin pula
seperti kata paman ada sangkut pautnya
dengan gerombolan bajak Laut Pulo
Ireng. Mahesa Wulung menarik nafas
seperti ada sesuatu yang lama
tersembunyi di dalam kalbunya.
Selain itu Paman, dapatkah sekali
ini Paman menceriterakan sejelasnya
peristiwa gugurnya ayah, Soreng Yuda?
Ya, aku akan ceriterakan padamu,
tetapi ini disambi hidangannya yang
sederhana buatan bibimu sendiri. Maka
sebentar mereka mencicipi juadah ketan
yang terhidang di atas piring
tembikar.
Begini Wulung, saat itu beberapa
tahun yang lalu ketika Armada Demak di
bawah pimpinan Adipati Junus atau
Pangeran Sabrang Lor dibantu oleh
Sultan Aceh dan Johor melakukan
serangan ke Malaka yang telah diduduki
Portugis sejak tahun 1511. Meski
akhirnya tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka tapi, cukup
menaikkan bangsa kita dan nyatanya
Portugis sejak itu tidak lagi berani
mencoba-coba untuk merebut tanah-tanah
lainnya. Nah, disaat itulah sekali ia
ketika itu berada paling belakang dari
sekian puluh kapal yang beriring-iring
pulang kembali kepangkalan armada
Demak yang terletak di Jepara. Begitu
lewat di Selat Karimata kapal ayahmu
disergap oleh beberapa kapal galli
Portugis. Dan rupa-rupanya telah
bersekutu dengan bajak-bajak laut,
sebab waktu itu terlihat pula kapal-
kapal jung berbendera naga merah
dengan dasar hitam.
Kapal ayahmu melawan dengan
sekuat tenaga. Aku ingat kata-kata
yang pernah dilahirkan dihadapanku,
bahwa ia lebih baik hancur bersama
kapalnya dari pada menyerah kepada
Portugis. Di samping itu agaknya
ayahmu bertekad untuk mencegah agar
kapal-kapal Portugis tadi tak sempat
menyerang iringan kapal kapal Demak
lainnya, sehingga ia menjadikan
dirinya perisai. Ayahmu sempat
menenggelamkan sebuah kapal Portugis,
sebuah lagi terbakar oleh tembakan
meriam ayahmu. Tapi mereka jauh lebih
banyak hingga akhirnya berhasil
menenggelamkan kapal ayahmu yang
dengan gagah berani bertempur sampai
saat terakhir.
Ki Sorengrana sebentar berhenti
berceritera sebab tenggorokannya
terasa tersengal, saking terharunya
dan ketika ia melirik Mahesa Wulung,
terlihat olehnya butir-butir air mata
yang menetes di atas pipi
kemenakannya.
Tabahkan hatimu, engkaulah yang
akan meneruskan perjuangan ayahmu yang
tidak sia-sia itu, armada Demak dan
setiap armada yang ada disegenap
daerah Nusantara ini, akan lebih
banyak membutuhkan putra-putranya yang
berjuang seperti ayahmu itu.
Benar, paman. Sayapun telah
berjanji untuk melanjutkan perjuangan,
ayah. Siapa tahu suatu ketika saya
dapat membekuk bajak-bajak laut yang
telah membantu Portugis si penjajah
itu.
Sampai sekian percakapan mereka
terhenti, karena bibinya telah membawa
nasi liwet dari dapur diikuti bleh
Pandan arum yang membawa baki berisi
sayur asem, pindang bandeng, dan
sambal jeruk. Sambil meletakkan di
atas balai-balai ia memberikan senyum
manis kepada Mahesa Wulung. Begitulah,
penuh suasana keakraban mereka
berempat segera mulai makan.
Mahesa Wulung, hari telah sore.
Sebentar lagi akan gelap. Tolonglah
kau antar Pandan Arum pulang.
Kau tidak lupa bukan, itu kampung
Sekaju yang terletak disebelah selatan
sana. Pasti Ki Soratani akan gembira
meiihatmu.
Ya, paman aku masih ingat jalan-
jalannya? Waktu sampai di halaman
Mahesa Wulung lalu melepas tambatan
kudanya sementara itu muncul Niken
Pandan Arum dari belakang rumah
menuntun seekor kuda coklat lalu
mendekati Mahesa Wulung.
Kakang Mahesa Wulung, apakah kau
nanti sudi singgah sebentar kerumahku
yang buruk itu? Pinta Pandan Arum.
Jangankan mengantarmu Pandan,
akupun masih bersedia memanjatkan
bunga-bunga soka untuk untaian kalung
seperti dulu, masa kanak-kanak kita.
jawab Mahesa Wulung menggoda.
Ah, kakang Mahesa Wulung ini,
masih suka ndagel, nih, trimalah hih,
hih. Seru Pandan Arum dengan gemas
sambil beberapa kali mencubit lengan
Mahesa Wulung.
Keruan saja pemuda ini berteriak
peringisan. Heh, heh, sudah, sudah
Pandan, aku kapok !
Ki Sorengrana dan isterinya
memandang mereka dengan tersenyum-
senyum di depan pintu. Ah, dasar anak
muda, begitu ya bune kalau dua sahabat
lama bertemu seperti kita dulu
Oooo, ini pamannya sama saja,
hih, ini lho! Nyi Sorengrana mencubit
pula lengan suaminya.
Keduanya tersenyum dan kembali
masuk ke dalam setelah dua anak muda
itu melarikan kuda-kudanya ke arah
selatan serta lenyap dari pandangan
mereka.
Angin senja yang segar serasa
mengusap wajah mereka. Kedua anak muda
itu tidak lagi memacu kudanya, tapi
membiarkan kudanya berlari lari kecil
kecil seenaknya. Mendekati semak pohon
bambu yang terlihat di depan mereka.
Cepat-cepat Mahesa Wulung berbisik
kepada Pandan Arum. — Stt, Pandan.
Waspadalah, ada sesuatu yang
mencurigai dibalik semak-semak bambu
itu. Dengarlah baik-baik.
Tapi sayang sekali ilmu Pandan
Arum belum setinggi yang dimiliki oleh
Mahesa Wulung sehingga ia hanya
mendengar daun bambu yang bergeser-
geser ditiup angin lain tidak! Sedang
Mahesa Wulung berkat ilmu warisan
ayahnya "Bayu Rasa" yang memungkinkan
dirinya bergerak ringan seperti angin,
juga bisa mendengar sesuatu dari jarak
jauh lewat angin, kali ini merasa ada
gerak lain diantara gerak-gerak daun
bambu. Yaitu gerakan daun-daun bambu
yang dikuakkan oleh tenaga lain. Bukan
angin, tapi oleh tangan-tangan manusia
juga terdengar jelas oleh telinganya
ranting berderak kena injakan kaki.
Hee, siapa itu yang main sembunyi
di semak bambu! Ayo, cepat keluar!
Main-main seperti anak kecil saja!
Teriak Mahesa Wulung dilambari tenaga
dalam sehingga suaranya bergetar dan
mengumandang di antara pohon-pohonan
sekeliling.
Dengan tiba-tiba saja seleret
sinar putih keluar dari semak bambu. —
Awas, Pandan!— seru Mahesa Wulung.
Mendengar seruan itu Pandan Arum yang
telah memasang kesiagaan sejak tadi
cepat bertindak. Ia menelungkupkan
dirinya ke leher kudanya sehingga
datar dengan punggung kuda. Sejengkal
di atas kepalanya serasa anak panah
lewat dengan sambaran angin yang
hebat. Sekilas itu juga ia berpikir,
bahwa Mahesa Wulung yang berkuda
disampingnya, mungkin terkena panah
karena ia tadi mendengar suara benda
yang menancap namun ia menjadi
terkejut seketika.
Hai, orang pengecut, keluarlah!
Ini panahmu telah kuterima baik-baik.
Ternyata Mahesa Wulung masih
tegak duduk di atas kudanya tidak
kurang suatu apa Tangan kanannya
teracung keatas sedang diantara jari-
jarinya terjepit sebatang anak panah.
Inilah yang membuat Pandan Arum
terkejut keheranan. Rupanya, suara
tadi suara jepitan jari-jari Mahesa
Wulung yang menangkap anak panah di
tengah perjalanannya.
Bersamaan dengan itu, Mahesa
Wulung segera memacu kudanya ke arah
semak bambu, dari mana anak panah tadi
ditembakkan. Hanya sayang ia masih
kalah cepat sebab ia hanya sempat
melihat kelebatan sosok tubuh yang
seperti terbang meninggalkan tempat
itu lalu lenyap digelap senja.
Segera Mahesa Wulung menarik
kembali kekang kudanya mendapatkan
Pandan Arum yang masih saja tertegun
mengalami peristiwa yang baru saja
terjadi.
Mari Pandan, kita meneruskan
perjalanan pulang, rupa-rupanya saja
ada yang tidak senang dengan
kedatanganku kemari, -ujar Mahesa
Wulung. Untunglah kita terhindar dari
pokal yang jahat tadi dan ini anak
panah yang akan kita jadikan bahan
penyelidikan.
Terima kasih kakang kau telah
menyelamatkan diriku. -jawab Mahesa
Wulung sambil memacu kudanya kembali
ke arah tujuan semula. Sesaat mereka
berpacu berdampingan
Hai, orang pengecut, keluarlah!
Ini panahmu telah kuterima baik-baik!
-Ternyata Mahesa Wulung masih tegak
duduk di atas kudanya tidak kurang
suatu apa. Tangan kanannya teracung ke
atas sedang diantara jari-jarinya
terjepit sebatang anak panah.
Nah itu kakang. Dua batang pohon
asem tua yang saling bertautan itu
adalah pintu gerbang ke desaku, desa
Sekaju, setelah mereka melewati
gerbang desa tadi kemudian Pandan Arum
membelokkan kudanya ke barat yang
segera pula diikuti oleh Mahesa
Wulung. Di depan rumah yang ditumbuhi
pohon sawo di kiri kanannya, keduanya
berhenti dan turun dari kuda.
Tampak seorang laki-laki tua
mendapatkan mereka. Wajahnya penuh
keramahan, sedang tubuhnya masih cukup
tegap.
Ayah, inilah kakang Mahesa Wulung
yang mengantarku. Ia baru saja tiba
dari Demak. Tentu Ayah belum lupa
bukan ?
Ya, Ya aku tidak lupa nak, Mahesa
Wulung putra mendiang Adi Soreng Yuda,
begitu kan ? Baiklah, mari angger,
kita duduk-duduk di dalam. -Ajak Ki
Soratani. Lalu merekapun duduk.
Serpentara Nyi Soratani menyiapkan ubi
rebus dan minuman.
Angger Mahesa Wulung aku lihat
tadi angger menggenggam sebatang anak
panah — bertanya Ki Soratani.
Benar bapak, inilah - kata Mahesa
Wulung serta menunjukkan anak panah
yang sejak tadi digenggamnya,
disambung dengan ceriteranya ketika
peristiwa pencegatan tadi di semak
pohon bambu. Kedua alis dan dahi Ki
Soratani terangkat tinggi begitu ia
menatap anak panah yang kini
dipegangnya, suatu pertanda bahwa ada
sesuatu yang membuatnya terkejut.
Hmm, angger Mahesa Wulung coba
mendekatlah kemari dan dekatkan kemari
lampu minyak agar kita dapat seksama
meneliti anak panah ini. Kata Ki
Soratani.
Ini perhatikan, mata anak
panahnya, Bergigi-gigi runcing ke
belakang dan setahu bapak, hal ini
tidak wajar sebab daerah Asemarang
sini hanya menggunakan anak panah mata
biasa saja, yaitu berujung runcing
tajem tanpa gigi ke belakang. Sedang
itu hanya digunakan oleh gerombolan
hitam dari Alas Roban saja.
Mahesa Wulung terdiam sejenak
mendengar penuturan Ki Soratani itu,
lalu otaknya segera berpikir keras
menghubung-hubungkan peristiwa yang
satu dengan yang lain sejak ia tiba
dibandar Asemarang sampai saat ini.
Ya, bapak. Aku ingat sekarang,
siang tadi ketika saja tiba di bandar,
seseorang tampak selalu mengawasiku
dari kedai minuman. Dialah rupanya
salah seorang anggota gerombolan Alas
Roban dan peristiwa pencegatan tadi
pasti ada sangkut pautnya dengan dia.
Demikianlah setelah cukup waktu,
Mahesa Wulung segera berpamitan kepada
Ki Soratani suami istri dan kepada
Niken Pandan Arum.
Jangan kapok lho nak, singgah
kemari. Bapak, ibu akan selalu dengan
senang hati menerima angger Mahesa
Wulung, ujar mereka sedang Pandan Arum
melepaskan pemuda itu disertai senyum
yang manis. Bila diufuk Timur matahari
telah mulai melepaskan sinarnya,
tampaklah kesibukan di kampung Karang
Asem pagi itu. Orang-orang yang pergi
ke sawah hanya sebagian saja, terutama
yang muda-muda pada berkumpul di
halaman rumah Ki Sorengrana. Beberapa
diantaranya ada yang membawa tombak,
pedang dan ada pula bersenjata panah.
Setelah Ki Sorengrana memberi
penjelasan secukupnya, maka merekapun
segera mulai mengadakan latihan-
latihan menggunakan bermacam-macam
senjata.
Di bawah pohon beringin rindang
tampaklah Pandan Arum melatih jurus-
jurus pukulan maut "Lebur Waja".
Didekatnya, tegak berdiri
mengawasinya, Mahesa Wulung.
Adi Pandan, marilah kita berlatih
bersama biar kita bisa saling
melengkapi kekurangan-kekurangan yang
ada. Seru Mahesa Wulung sambil
meloncat ke muka Pandan Arum
mengirimkan satu serangan tangan
kanannya ke arah kepala. Meski semula
terkejut cepat Pandan Arum menguasai
dirinya dan dengan lincahnya
memiringkan kepala ke kanan hingga
serangan Mahesa Wulung mengenai udara
kosong. Pada saat yang bersamaan itu
Pandan Arum ganti melancarkan serangan
ke arah ulu hati dengan kaki kirinya.
Mendapat serangan demikian Mahesa
Wulung cepat menjejakkan kedua kakinya
ke tanah sambil menyalurkan aji Bayu
Rasa. Maka yang terlihat sangat
mengagumkan. Seperti bola saja Mahesa
Wulung melanting ke atas, dan ketika
turun kembali ia membentangkan kedua
tangannya dengan jari-jari yang
mencefigkam. Gerak ini dipelajarinya
dari gerak elang laut yang sering
dilihat dan diperhatikannya selama ia
berlayar kemana-mana. Jika elang laut
sudah membentangkan sayapnya lebar-
lebar pasti ia segera menukik ke air
dan sejurus saja jari-jari kakinya
tentu telah mencengkeram rnangsanya
seekor ikan.
Diserang secara demikian Pandan
Arum segera surut ke belakang beberapa
langkah lalu iapun mulai menyalurkan
aji Lebur Waja guna menyambut terkaman
Mahesa Wulung. Tapi sekali lagi
hatinya dibuat terkejut oleh gerakan
Mahesa Wulung, begitu pukulannya
hampir mengenai dada, pemuda itu tiba-
tiba surut pula ke belakang dengan
jungkir balik di udara dan tahu-tahu
Mahesa Wulung tiba di tanah dengan
berdiri tegak lengkap dengan memasang
kuda-kudanya.
Bagus, kakang. Hebat sekali
gerakanmu. -seru Pandan Arum sedang
dihatinya iapun memberikan pujian
kepada pemuda ini.
Terima kasih Pandan. -kata Mahesa
Wulung- Kaupun pasti akan bisa
menyamaiku jika rajin-rajin berlatih.
Sementara itu terdengar bunyi
bende sekali dan merekapun berhenti
mengadakan latihan keprajuritan.
Sebagian pergi mencuci muka yang penuh
dilekati debu, sebagian lagi telah
menyiapkan sekedar hidangan menjadikan
saat istirahat itu tampak lebih
semarak.
Demikian juga Mahesa Wulung dan
Pandan Arum tampak menikmati
istirahatnya di bawah pohon beringin.
Sungguh segar rasanya, lebih-lebih
dengan duduk-duduk sambil makan juadah
ketan dan minuman air kelapa muda.
Mahesa Wulung merebahkan dirinya
ke atas akar-akar beringin sedang
matanya menatap ke atas memperhatikan
sulur-sulur beringin dan daunnya yang
rindang.
Betapa bahagianya aku, seandainya
bisa mencontoh makna pohon beringin.
Akar dan sulurnya yang kuat dalam-
dalam masuk ke dalam tanah menyebabkan
batangnya dapat kokph berdiri. Jika
aku dan setiap orang benar-benar
berbakti kepada tanah airnya pastilah
Nusantara akan menjadi satu negara
yang kokoh. Atau dari daunnya yang
rindang itu, yang dengan tulus ikhlas
memberikan naungan kepada siapa saja,
baik kepada yang miskin ataupun yang
kaya, kepada yang berpangkat tinggi
dan kepada yang rendahan.
Sedemikianlah semoga aku dapat
mencontohnya.
Belum lagi selesai berpikir-
pikir, terdengar suara bende lagi
sekali dan terasa tangannya digoncang-
goncang.
Ayo, kakang kita berlatih lagi.
Jangan melamun saja ah. Pagi-pagi kok
sudah melamun. -seru Pandan Arum.-
Kali ini paman akan melatih mereka
menggunakan panah.-sambungnya - Selama
di Demak apakah kakang masih sering
menggunakan panah?
Tentu Pandan, aku masih tetap
membawa panah kemana saja dalam
mengarungi samodra. Kadang-kadang aku
menggunakan panah untuk mendapatkan
ikan-ikan di laut di samping
keuntungan yang lain kudapatkan yaitu
tetap berlatih panah. Sebab meskipun
kita pandai setinggi langit tapi tidak
sering dilatih, lama-lama kepandaian
itu akan luntur dan surut dan musnah
pada akhirnya.
Ki Sorengrana tampak sibuk
membimbing mereka yang sedang
berlatih. Kadang-kadang tak segan-
segannya dia mengulang-ulang
petunjuknya, malahan tidak jarang
disertai bentakan-bentakan. Tapi
orang-orang yang berlatihpun sadar
bahwa bentakan-bentakan Ki Sorengrana
itu demi kepentingan bersama, agar
mereka dapat sempurna berlatih.
Ayo, ayo, perhatikan dalam
menarik busur panahmu arahkan sejajar
mata dan jangan lupa mengatur
pernapasanmu.
Tetapi tiba-tiba kesibukan mereka
berlatih itu dipecahkan oleh satu
suara yang berdengung mengikuti
seleret sinar putih meluncur dari
gerumbul pohon-pohon pisang. Rupanya
dengung itu tidak kecil pengaruhnya,
terbukti beberapa orang terlongoh-
longoh kebingungan seperti lumpuh
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya.
Dengung tadi mempengaruhi perasaan
seseorang dan juga kesadarannya.
Namun Mahesa Wulung berkat aji
Bayu Rasanya dapatlah menebak dengan
tepat bahwa dengung itu adalah dengung
panah sendaren yang tengah meluncur ke
arah sasarannya. Tapi siapakah
sasarannya?
Begitu ia mengikuti dengung itu
tahulah ia, panah itu meluncur ke arah
Ki Sorengrana. Secepat kilat Mahesa
Wulung bertindak. Cepat-cepat ia
menarik sebatang anak panah dari
kantong kulit yang bergantung
dipinggangnya dan segera
ditembakkannya ke arah suara yang
berdengung itu. Hampir-hampir tidak
mungkih rasanya itu bisa terjadi, tapi
itu benar-benar terjadi. Seleret sinar
putih lain memotong sinar putih
pertama yang berdengung, lalu
terdengarlah satu suara benturan yang
keras, seolah-olah cabang pohon yang.
dipatahkan oleh tenaga raksasa dan
tahu-tahu jatuhlah ke atas tanah dua
batang anak panah. Tapi yang sebuah
patah terpotong tepat pada leher mata
panahnya, sedang kira-kira dua jangkah
tergeletak mata panahnya.
Mahesa Wulung lalu memungutnya,
dan inilah yang membuatnya
terperanjat.
Hee, lihat Pandan, lihatlah.
Paman Sorengrana lihatlah ini, anak
panah yang sama seperti yang digunakan
oleh pencegat kemarin terhadap kami
berdua. Menurut Ki Soratani mata panah
itu biasa digunakan oleh gerombolan
hitam Alas Roban.
Ah kau telah menyelamatkan
nyawaku Mahesa Wulung. Mata Ki
Sorengrana mengamat-amati mata anak
panah yang diberikan oleh Mahesa
Wulung. Dengan berlari-lari tibalah
dua orang yang tadi mengejar ke arah
asalnya anak panah sandaren meluncur.
Ki Sorengrana, kami tidak
menemukan sesuatu, kecuali jejak-jejak
kaki saja, lapor kedua orang tadi.
Bapak guru, tunggu dulu — potong
Pandan Arum sambil menunjukkan anak
panah yang terpotong matanya tadi. Ada
sesuatu yang diikatkan pada batang
panah ini.
Ki Sorenprana lalu menerima anak
panah itu dari Pandan Arum dan segera
membuka simpul-simpul tali yang
digunakan untuk mengikat secarik kain.
Begitu dibukanya lipatan kain itu,
terlihatlah tulisan dengan warna
merah, berbau amis. Setelah diamat-
amati ternyata tulisan dengan darah.
Berbunyi. —Ki Sorengrana dan semuanya,
jika masih ingin hidup lebih lama
jangan sekali-kali mencoba menghalang-
halangi pekerjaan kami—. Di bawah
tulisan tertera semacam gambar, symbol
kepala singa.
Hmm, benar kau Mahesa Wulung. Ini
perbuatan gerombolan hitam Alas Roban
dan ketahuilah lencana kepala singa
ini sebagai ciri dari kepala
gerombolan Alas Roban, dialah
Singalodra- ujar Ki Sorengrana.
Gerombolan Singalodra? berbareng
orang-orang menyebutnya dengan nada
suara yang bergetar, pertanda bahwa
mereka cukup gentar. Mengapa tidak?
Setiap orang disepanjang pantai utara
cukup mengenal keganasan Singaiodra.
Dia mempunyai senjata sakti Trisula
dan disertai dengan ilmunya "Senggara
Macan" membuat dirinya merajai semua
gerombolan dari Alas Roban. Beberapa
saja yang telah jatuh korban karena
berani menentang Singalodra.
Kebanyakan mereka jatuh mati sebelum
sempat mendekatinya. Karena Singalodra
mempunyai kebiasaan menggertak
lawannya dari jarak yang cukup jauh
dilambari ilmunya "Senggara Macan",
Sekali gertak saja, pasti lawannya
akan jatuh karena isi rongga dadanya
akan rontok.
Saudara-saudara sekalian — seru
Mahesa Wulung memecah kesunyian. —
Janganlah kalian merasa takut akan hal
ini. Kita tidak akan sendiri-sendiri
menghadapi gerombolan hitam Alas
Roban. Dengan persatuan yang kokoh
kita akan bersama-sama melawan mereka,
saya bersedia membantu saudara-
saudara.
Ya, ya kita akan tetap bersatu,
kita hancurkan mereka. Serempak orang-
orang berseru sambil mengacungkan
tangannya ke atas penuh keyakinan.
Oleh sebab itu saudara-saudara,
latihan seyogyanya kita akhiri sampai
di sini dahulu, sambung Mahesa Wuiung
pula. Begitulah, sehabis Ki Sorengrana
mengucapkan terima kasih atas
kesungguhan mereka berlatih, maka
orang-orangpun bubar dan kembali
ketempatnya masing-masing.
Kini tempat ini lalu kembali
sepi. Yang ada disitu tinggal Ki
Sorengrana, Mahesa Wulung dan Pandan
Arum. Tampak Ki Sorengrana masih saja
meneliti mata anak panah yang ada
ditangannya.
Mahesa Wulung, aku merasa lega
dan bangga mempunyai kemenakan seperti
kau. Semua kepandaian dan keperwiraan
ayahmu telah kau warisi dengan
sempurna. Ki Sorengrana berkata.
Tapi apakah kau telah diceritai
oleh ayahmu tentang guru-guru yang
pernah mengajarkan keperwiraan dan
kepandaian kepadanya?
Belum pernah, paman. -jawab
Mahesa Wulung- Mungkin pernah juga
tapi aku kini sudah lupa. Waktu ayah
sering melatihku di pesisir bandar
Asemarang dulu, aku masih kecil hingga
kadang-kadang kurang memperhatikan
ceritera-ceritera ayah. Apakah paman
mengetahui, ayah pernah mempunyai guru
ketika itu?
Benar, Wulung. Ayahmu dulu pernah
berguru kepada pendekar sakti Bayu
Sekti yang menurut ceritera ayahmu
dulu, Bayu Sekti adalah masih
keturunan Majapahit. Nenek moyangnya
adalah pendekar-pendekar dari
Bhayangkara, pasukan khusus pengawal
raja. Ketika Bayu Sekti masih muda dia
termasuk golongan tinggi dari tokoh-
tokoh sakti di masa itu, sehingga ia
sangat disegani. Terlebih lagi, dia
suka berbuat kebajikan. Maka tidak
jarang ia sering terlibat dalam
pertempuran melawan golongan-golongan
hitam yang sering membuat kekacauan
disepanjang pantai utara Jawa.
Tapi kini ia sudah tidak muda
lagi, lalu mengasingkan diri di
sebelah selatan Asemarang. Di sana, di
daerah pegunungan Tanah Putih ia
tinggal dan memberikan pelajaran-
pelajaran kebajikan serta keluhuran
budi. Oleh sebab itu, gerombolan-
gerombolan hitam merasa tidak ada lagi
yang menjadi penghalang. Sehingga
mereka berani lagi melakukan
pengacauan-pengacauan yang dulu telah
lama sekali terhenti akibat tindakan-
tindakan pendekar Bayu Sekti. Kalau
kau ingin menemuinya, Wulung, itu
lebih baik. Mungkin kau masih akan
mendapat lebih banyak bimbingan dari
Panembahan Bayu Sekti. Seperti ilmu
yang telah kau punyai. Bayu Rasa,
itulah hasil ciptaan Panembahan Bayu
Sekti. Kadang-kadang orang
memanggilnya pula dengan nama Pa-
nembahan Tanah Putih karena ia tinggal
dipadepokan Tanah Putih. -Ki
Sorengrana berhenti sejenak sambil
menelan ludah, lalu berkata lagi-
Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah
besok pagi-pagi dari sini, Wulung.
Pesanku, kau harus waspada, sebab
rupa-rupanya gerombolan hitam Alas
Roban telah menyelinap ke mana-mana
terbukti dengan dua peristiwa yang
telah kita alami. Mungkin mereka
memata-mataimu dan telah mengetahui
maksud kita yang sesungguhnya.
Baik paman, besok aku akan
berangkat pagi-pagi sekali dari sini.
Apakah benar pegunungan Tanah Putih
itu terletak di sebelah Tenggara
arahnya dari kampung Borang? kembali
Mahesa Wulung bertanya.
Ya. -jawab Ki Sorengrana- Saya
kira ada baiknya kau tidak usah
melewati kampung itu. Siapa tahu ke-
pergianmu ini akan menarik perhatian
gerombolan hitam Alas Roban. Pakailah
jalan menerobos hutan-hutan di situ
hingga kau akan cepat tiba di tanah
Putih dan juga tidak terlalu menyolok.
Dengan tidak terasa, matahari
telah condong ke Barat, sinarnya kini
sudah tidak lagi sepanas bara. Malahan
angin laut yang segar bertiup ke
selatan. Beberapa gerombolan burung-
burung unggas lewat di-angkasa, pulang
kembali kesarangnya setelah seharian
penuh pergi mencari makan.
Sesekali terdengar kokok ayam
jantan mengalun dengan merdunya.
Setelah meminta diri, Mahesa Wulung
pergi mengantar Pandan Arum kembali
kerumahnya.
DUA
MESKIPUN hari masih pagi, Mahesa
Wulung telah bangun dari tidurnya.
Demikian pula paman dan bibinya,
Sorengrana. Mereka sibuk mengatur
segala sesuatu untuk menyiapkan
perjalanan Mahesa Wulung. Setelah
sarapan, Mahesa Wulungpun lalu
memasang pelana kudanya.
Mahesa Wulung, hati-hatilah di
jalanan nak, ini panah paman bawa pula
olehmu, mungkin ada gunanya nanti. -
ujar Ki Sorengrana sambil mengulurkan
tangannya memberi salam. Segera Mahesa
Wulung menerima panah dan menjabat
tangan pamannya seraya tunduk memberi
hormat.- Terima kasih paman, segala
nasehat akan saya perhatikan sungguh-
sungguh. Sekali lagi Mahesa Wulung
memberi hormat kepada bibinya yang
juga ikut mengantarnya sampai di
haiaman rumah.
Selamat jalan Wulung. -seru
mereka berdua- Semoga engkau berhasil
dan Tuhan Yang Maha Pemurah akan
menghindarkanmu dari segala mara
bahaya. Mahesa Wulung lalu meloncat ke
atas punggung kudanya dan memacunya ke
arah selatan. Dalam sekejap saja Ki
Sorengrana dan istrinya tinggal
melihat debu yang beterbangan, makin
lama semakin jauh dan akhirnya lenyap
ditelan hutan. Kini Mahesa Wulung
telah menerobos hutan dan jalannya
mengikuti jalan rintisan yang hanya
biasa dilalui orang. Sebenarnya ada
jalan yang lebih baik dan lebar tapi
itu biasa digunakan lalu lintas umum,
sering orang-orang berkuda lewat di
sana, orang-orang berdagang hasil
bumi, sekali-kali lewat pula rombongan
orang-orang memikul tandu seorang
pembesar praja. Dengan demikian Mahesa
Wulung merasa aman sebab ia yakin
tidak akan seorangpun yang bakal
menjumpainya di jalan rintisan ini.
Perjalanannya kini makin-jauh
masuk ke dalam hutan. Udara pagi
terasa menyegarkan rongga dada. Mahesa
Wulung diam-diam merasa kagum akan
keindahan alam di sini, tapi sayang
kadang-kadang manusia sendirilah yang
dikatakan makhluk termulia itu, yang
sering merusak alam yang diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.
Beberapa rumpun anggrek liar
tumbuh di sana sini dengan beraneka
warnanya. Udara pagi telah membawa
baunya yang sedap itu memenuhi alam
sekelilingnya. Berkas-berkas sinar
mataharipun mulai menembus lewat
celah-celah daun menambah indahnya
panorama alam.
Belum lagi Mahesa Wulung selesai
menikmati suasana pagi itu, tiba-tiba
saja ketika ia akan membelokkan
kudanya menurut arah ke kiri,
telinganya yang tajam telah menangkap
derap kaki kuda dari arah selatan
menuju ke utara. Terbiasa menghadapi
hal-hal yang mendadak ini, Mahesa
Wulung tidak kehilangan akal. Cepat-
cepat ia membelokkan kudanya masuk ke
tepi jalan yang rimbun oleh ilalang,
dan untunglah ia bertindak dengan
cepat, kalau tidak pasti ia akan
berpapasan dengan orang yang baru
datang itu. Berkat naluriahnya yang
terlatih itu ia mengambil kesimpulan
bahwa orang yang sedang mendatang itu
pasti punya maksud-maksud lain,
seperti Mahesa Wulung sendiri yang
mencoba menghindari untuk tidak
bertemu dengan siapa-siapa.
Dari balik rumput ilalang tempat
ia bersembunyi itu, ia kini dapat
melihat dengan jelas orang-orang yang
berkuda itu. Semua ada lima orang
dengan mengenakan pakaian hitam-hitam.
Hampir kesemuanya bersenjata panah
tapi di pinggang mereka tergantung
pula pedang-pedang pendek.
Tidak hanya keadaan mereka saja
yang jelas tapi percakapan merekapun
jelas terdengar oleh Mahesa Wulung.
Kita serahkan saja Panembahan Tua
bangka itu kepada kakang Sima Gereng
dengan keempat anak buahnya, pasti
sekejap saja kakek tua itu akan mampus
olehnya. -kata seorang yang berkumis
lebat kepada keempat orang lainnya.
Pelana kudanya dialasi dengan kulit
macan tutul. Disusul suara ketawa
cekakakan yang memuakkan.
Rupa-rupanya yang berpelana kulit
macan tutul itulah kepala dari
rombongan ini -pikir Mahesa Wulung.-
Dan siapakah yang dimaksud dengan
sebutan kakek oleh mereka itu? Dilihat
dari solah tingkahnya dan ciri-cirinya
setidak-tidaknya mereka dari
gerombolan penjahat, sebab untuk
menghadapi seorang kakek saja mereka
telah mengerahkan lima orang kawannya.
Seperti yang tersebut tadi dipimpin
oleh seorang yang bernama Sima Gereng.
Sejurus kemudian rombongan
berkuda tadi telah lenyap ke sebelah
utara. Sesaat setelah itu Mahesa
Wulung kembali membawa kudanya dari
rumpun ilalang ke jalan yang semula
dan cepat memacunya ke arah selatan,
kemudian belok ke timur. Jalan yang
dilaluinya tidak kini lagi mendatar
tapi mulai naik dan semakin naik
berbelok-belok. Mahesa Wulung telah
mengambah tanah pegunungan di selatan
Asemmarang.
Di sini tanahnya ada yang seperti
kapur berwarna putih, pastilah saja
telah tiba di tanah Putih. Berkat
ilmunya "Bayu Rasa", telinganya yang
tajam itu dapat menangkap suatu
bentrokan senjata di lembah sebelah
sana. Meskipun hal itu belum tampak
dihadapan mata, namun lewat angin yang
berhembus, dapatlah Mahesa Wulung
merasakannya.
Mahesa Wulung sudah tidak sabar
lagi, maka dengan ujung kendali ia
mencambuk leher kudanya untuk maju ke
depan lebih cepat lagi.
Kalau mereka tadi menyebut kakek
tua yang dikeroyok oleh Sima Gereng
dengan sebuatan Panembahan, pastilah
ia tidak ada lain lagi, kecuali Panem-
bahan Tanah Putih atau Bayu Sekti yang
harus ditemuinya. Ah, ini bahaya yang
besar bagi panembahan itu. Biarpun ia
gagah perwira, tapi itu kan dulu waktu
masih muda sedang sekarang ini ia
sudah tua dan lebih-lebih ia dikeroyok
pula lima orang.
Mendapat pikiran demikian itu
Mahesa Wulung sudah tidak sabar lagi,
cepat-cepat memacu kudanya ke arah
suara tersebut. Setelah menuruni
lembah dan membelok ke kiri maka
terlihat olehnya satu pemandangan yang
mengagumkan.
Seorang tua berjenggot putih,
berjubah kelabu dan bersenjata tongkat
yang bercabang ujungnya telah sibuk
dan terlibat dalam satu pertempuran
hebat melawah lima orang. Tiga orang
diantaranya bersenjata pedang pendek,
seorang lagi bersenjata dua buah pisau
panjang, dan orang kelima yang
memimpin serangan keroyokan itu
bersenjata penggada yang pada
ujungnya. dipasangi dengan bola besi
berduri-duri runcing.
Hmm, ternyata dugaanku benar,
itulah pasti Panembahan Tanah Putih.
Gerakannya menggunakan unsur aji Bayu
Rasa seperti yang kumiliki. Tapi yang
ini lebih hebat lagi, mungkin sudah
lebih disempurnakan oleh Panembahan
Tanah Putih. Pukulan dengan tongkatnya
telah menimbulkan angin yang
bergulung-gulung. Demikian pikir
Mahesa Wulung diam-diam, penuh kagum.
Dengan penuh perhatian ia mengikuti
pertempuran ini. Untuk itu maka ia
segera turun dari atas kudanya, lalu
bersembunyi di belakang semak-semak.
Saking terpengaruhnya oleh gerak-gerak
kakek yang luar biasa itu ia secara
tidak sadar turut menirukan
gerakannya, mula-mula hanya
menggerakkan tangannya, disusul
kakinya dan akhirnya keseluruhan gerak
kakek itu tertiru olehnya. Mereka,
antara si kakek dan Mahesa Wulung
berilmu yang sama yaitu aji Bayu Rasa
meskipun Mahesa Wulung masih dalam
tataran yang masih rendah, tapi
setidak-tidaknya mempunyai dasar-dasar
yang sama, sehingga meski ada gerak
gerak yang baru dan belum dikenalnya
tapi dengan mudah dapat segera
dikerjakannya.
Panembahan Tanah Putih
bergerak dengan cepatnya ke sana, ke
mari terkadang meloncat tinggi dan
turun dengan menerkam lawannya benar-
benar seperti burung sikatan menyambar
belalang.
Sampai saat itu Mahesa Wulung
masih sebagai penonton saja serta
berkali-kali menirukan gerak Pa-
nembahan Tanah Putih sebab tidaklah ia
melihat kesukaran pada si kakek
berjenggot putih itu. Namun kini ia
sudah tidak muda lagi, jadi lama-lama
ia agak kerepotan juga menghadapi lima
orang lawan tangguh sekaligus.
Salah seorang dari pengeroyok itu
secara diam-diam telah menjauhkan diri
dari titik pertempuran dengan lompatan
ke belakang. Segera ia memasang panah
untuk dibidikkan ke arah si kakek.
Tapi belum lagi membidik, Mahesa
Wulung bertindak lebih cepat lagi.
Dipungutnya sebutir kerikil dan serta
merta dilemparkannya ke arah
sipembidik gelap itu. Yang terlihat
hanyalah seleret sinar yang menyambar
kepala si pemanah yang kontan jatuh
terjungkal sambil peringisan karena
sakit dan gagallah serangannya oleh
lemparan kerikil Mahesa Wulung.
Tentu saja orang tadi terjungkal,
karena lemparan kerikil tadi juga
dilambari tenaga dalam dan jurus
pukulan maut "Lebur Waja". Walau masih
geloyoran orang tersebut mencoba
berdiri dan bersiaga. Sinar matanya
penuh kemarahan, sedang pada
pelipisnya terlihat bengkak kebiru-
biruan mengandung darah sebesar buah
salak.
Sejurus kemudian Mahesa Wulungpun
terjun ke dalam pertempuran itu.
Kedatangannya membuat Panembahan Bayu
Sekti keheranan, lebih-lebih buat
lawan-lawannya, maka pertempuran itu
makin dahsyat. Antara gerak Mahesa
Wulung dengan Panembahan Bayu Sekti
terjalin erat saling mengisi. Jika
yang satu menerkam, yang lain meloncat
tinggi. Persis dua ekor sikatan
kembar.
Bagi Mahesa Wulung iapun merasa
kagum kepada kakek yang dengan lincah
melayani tiga orang penyerangnya itu.
Kini kakek itu agak ringan karena
musuhnya yang dua lagi ganti menyerang
si pemuda yang baru datang ini. Kini
gerak kakek itu makin ganas, sedang
jenggotnya yang putih itu melambai-
lambai lucu tertiup angin.
Setelah belasan jurus mereka
bertempur tiba-tiba terdengar satu
jerit kesakitan dan ternyata
Panembahan Bayu Sekti berhasil menotok
jalan darah dari salah seorang
penyerangnya dan bagaikan sehelai kain
yang dijatuhkan, orang tadi rebah di
tanah dengan tubuh yang pucat pasi
tanpa daya. Sekarang masing-masing
menghadapi dua orang lawan.
Dalam bertempur itu Panembahan
Bayu Sekti sempat pula melirik wajah
penolongnya yang baru saja datang itu.
Ia belum pernah mengenalnya.
Wah, anak muda ini hebat dan yang
tak habis-heranku, diapun menguasai
ilmu Bayurasa dengan baik. Tidak boleh
tidak ia pasti ada hubunganya dengan
mendiang muridku pahlawan Sorengyuda,
karena ilmu itu hanya kuajarkan
kepadanya. -demikian pikir Panembahan
Bayu Sekti sekilas.
Keempat gerombolan ini terpaksa
harus bekerja mati-matian menghadapi
kedua lawannya yang berilmu kembar
ini. Sima Gereng yang menghadapi Bayu
Sekti merasa kewalahan biarpun ia
menggunakan penggada berujung bola
besi berduri yang menimbulkan
sambaran-sambaran angin yang dahsyat.
Kawannya yang seorang juga berjuang
tak kalah hebatnya, dengan bersenjata
pedang pendek diputarnya bagaikan
baling-baling berpijar mengeluarkan
sinar putih yang bergulung-gulung,
hingga ia mendapat julukan Kitiran.
Satu lingkaran pertempuran lagi
tak kurang dahsyatnya. Mahesa Wulung
yang dikeroyok oleh dua orang itu
dapat bergerak dengan lincahnya ke
sana ke mari. Lawannya yang seorang
bersenjata sepasang pisau panjang
berkilat-kilat bergerak cukup
mengerikan.
Dengan kedua tangannya bersenjata
pisau itu ia mampu menirukan gerak
kalajengking yang sedang menerkam
mangsanya, seperti sapitnya saja kedua
pisau itu saling mencengkeram maka tak
ada salahnya kalau kawan-kawannya
memanggil dengan nama Sapit Ireng.
Sedang lawannya yang seorang lagi
bersenjata pedang pendek bergerak
disertai wajah yang merah karena
kemarahan, disebabkan pemuda yang
menjadi lawannya inilah yang telah
berani melempar kepalanya dengan
sebutir kerikil hingga bengkak. Suatu
penghinaan yang besar baginya, selama
ia menjadi anggota gerombolan hitam
Alas Roban belum pernah begitu mudah
terjungkal jatuh hanya disebabkan
lemparan seorang anak muda dengan
menggunakan batu kerikil saja. Maka ia
bertekat membalas sakit hatinya dengan
mencencang lumat anak muda ini.
Gerakan pedangnya sangat membingungkan
pandangan, sekali membabat dari atas
tegak lurus ke bawah dan sekali
membabat dari samping mendatar sukar
dikira-kirakan antara serangannya yang
satu dengan berikutnya. Karena
badannya pendek ia dipanggil Bugelan.
Tapi kali ini lawan yang
dihadapinya bukan sembarangan, meski
Mahesa Wulung berusia masih muda
sekali, tapi ia berpengalaman sangat
luas, bertempur di mana-mana bersama
armada Demak melawan orang-orang
Portugis yang berbaju besi dan ber-
senjata api. Sampai saat terakhir
belum satupun yang jatuh sebagai
korban. Tak lama kemudian Sima Gereng
mengeluarkan satu suwitan yang nyaring
dan bernada tinggi, yang bagi
gerombolan Alas Roban berarti harus
secepatnya, mengakhiri pertempuran dan
meninggalkan tempat itu. Dalam hati ia
mengutuk mengumpat sejadi-jadinya
kepada anak muda yang datang menolong
Panembahan Tanah Putih. Kalau tidak,
pasti ia berempat dengan kawannya akan
dapat mengakhiri pertempuran itu
dengan kemenangan pada pihaknya.
Maka Sima Gereng dengan ketiga
kawannya berlompatan mundur
meninggalkan arena pertempuran. Tapi
disaat itu juga Panembahan Tanah Putih
sempat bergerak dengan kilat dan
memukulkan tongkatnya pada punggung
Sima Gereng yang mana lalu berteriak
dengan kesakitan dan darah merah
terlihat keluar dari mulutnya. Rupanya
saja Sima Gereng meski luka-luka di
dalam ia tergolong jagoan dari
gerombolan hitam Alas Roban sehingga
ia tetap dapat berlari dengan cepatnya
meninggalkan tempat itu beserta ketiga
kawannya.
Sedang yang seorang lagi yang
tertotok jalan darahnya oleh
Panembahan Tanah Putih tetap
tertinggal di situ karena dirinya tak
mampu bergerak. Sewaktu keempatnya
berlompatan mundur, masih terdengar
teriakan Sima Gereng mengancam: —Awas
kau berdua. Sekali waktu akan
kulumatkan batang tubuhmul— Tapi
mendengar itu Panembahan Tanah Putih
cuma tertawa terkekeh-kekeh.
Setelah keempatnya lenyap
digerumbul semak-semak, Panembahan
Tanah Putih lalu mendekati Mahesa
Wulung. —Terima kasih anak muda,
angger telah bersusah payah sudi
membantu pekerjaanku. Mereka tadi
tiba-tiba menyerangku ketika aku
pulang dari mengobati orang sakit.
Tidak apalah kakek, sayapun minta
maaf sebelumnya karena telah berani
turut campur dalam pertempuran tadi,
hanya terdorong oleh rasa keadilan,
yang merasa muak karena melihat mereka
berlima mengeroyok seorang tua seperti
andika.— jawab Mahesa Wulung sambil
menghormat.
Marilah kau singgah ditempatku
angger, agar kita bisa berbincang-
bincang dengan sepuasnya, ajak orang
tua ini. Dan sebelum itu ada baiknya
kita menanyai orang yang tergeletak
itu, dari mana asalnya mereka.
Keduanya lalu mendekati orang itu
badannya kelihatan pucat dan mulutnya
sebentar-sebentar menahan sakit,
menyeringai-nyeringai.
Kisanak, siapakah kau dan apa
maksudmu tadi mengeroyok saya? -tanya
Panembahan tua itu sambil menyandarkan
orang tersebut ke sebuah batu besar.
Kami harus melenyapkanmu
panembahan busuk, karena kaulah yang
menjadi penghalang gerombolan kami
Alas Roban melakukan pekerjaan! -sahut
orang itu dengan napas turun naik.
Dan lagi kami akan membalaskan
sakit hati Singalodra ketua gerombolan
kami yang dulu pernah kau lukai dalam
pertempuran di pesisir Tegal.
Hmm, ya aku ingat sekarang! -
sahut orang tua itu. - Lalu siapa guru
kalian ? -tanyanya pula.
Guru kami tidak lain Ki Macan
Kuping. -jawab orang itu lagi.
Mendengar nama Macan Kuping,
Mahesa Wulung terkejut amat, sebab
nama itu terkenal dan sering disebut-
sebut orang semasa ia kecil sebagai
tokoh sakti yang katanya dapat merobah
dirinya menjadi macan gadungan.
Makin bertambah jelas lagi kini,
iapun pernah bertempur melawanku
semasa aku masih muda. Ini semuanya
berkisar antara dendam lama yang turun
temurun! -geram kakek tua itu.
Bersamaan dengan itu terdengarlah
bunyi dengung bernada tinggi dan tahu-
tahu orang itu mengeluarkan teriak
yang tertahan.
Aaaaacccchhhh! -Sebatang anak
panah tertunjam pada dadanya dan orang
tadi mati seketika.
Gila ini! -seru Panembahan Tanah
Putih. -Mereka tega membunuh sendiri
anak buahnya.
Rupanya mereka takut orang ini
berceritera lebih banyak tentang
gerombolannya. -sambung Mahesa Wulung.
Sambil lalu ia memperhatikan anak
panah itu dan juga anak panah yang
tergantung dipinggang orang yang mati
itu. Ternyata ujung mata panahnya
bergigi runcing-runcing ke belakang.
Eh, ngger marilah kita berlalu
dari tempat ini. Tempatku ada di atas
sana. - Lalu keduanyapun berjalan
bersama-beriring. Orang tua itu ada di
sebelah depan sedang Mahesa Wulung di
belakang sambil menuntun kudanya.
Hampir-hampir tak percaya rasanya,
melihat Panembahan tua itu berjalan
didepannya disebabkan jalannya yang
terlalu cepat sedang tempat yang
dituju masih ada di sebelah atas dan
jalannya makin menanjak. Sebagai anak
muda ia merasa kagum menjumpai orang
tua yang dapat berjalan cepat bagaikan
angin.
Sesudah mereka sampai di pohon
randu alas yang besar, membelok ke
kiri memasuki sebuah pintu gerbang
yang terdiri dari dua buah batu besar
yang muncul kepermukaan tanah. Sungguh
amat mengesankan. Kini tibalah mereka
di sebuah padepokan.
Beberapa orang laki-laki murid
Panembahan ini tampak menyambut
kedatangan mereka.
Oh kyai, seru salah seorang
diantaranya. -Mengapa banyak debu yang
mengotori jubah Panembahan?
Ini tadi ada sedikit main-main
dengan anak murid Ki Macan Kuping dari
Alas Roban, jawab Panembahan tua itu
Dan ini perkenalkan tamuku.
Namanya .... Eh, siapa anak muda kau
tadi belum menyebutkan namamu.
Nama saya, Mahesa Wulung,
Panembahan. –kata Mahesa Wulung.
Baiklah, kita membersihkan badan
dulu, lalu kita duduk di dalam, -ajak
Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa
Wulung.
Dalam ruang padepokan yang tampak
bersih itu, Panembahan Tanah Putih
duduk bersila sedang dihadapannya
duduk pula Mahesa Wulung di samping
murid-murid lainnya. Di ruang itu
tampak beberapa kitab yang disimpan
sangat rapi, diantaranya sudah ada
yang kelihatan kekuning-kuningan
karena lamanya. Terlihat pula oleh
Mahesa Wulung tulisan-tulisan pada
daun lontar yang dirangkai dengan tali
berwarna merah.
Angger Mahesa Wulung kemanakah
tujuanmu yang semula sebelum engkau
bertemu dengan aku? tanya Panembahan
kepada Mahesa Wulung.
Sebenarnya tujuan saya semula
juga akan menghadap Panembahan kemari.
Saya datang dari Demak dan tinggal di
Asemarang di rumah paman Ki Soreng-
rana. Mendengar penuturan Mahesa
Wulung itu tampak wajah Panembahan
menjadi cerah.
Jadi angger ini kemenakan Ki
Sorengrana dari Asemarang?
Benar, panembahan. Dan saya juga
putra Ki Sorengyuda.
Oooo, Allah jadi kau juga putra
mendiang muridku, Ki Sorengyuda
perwira itu. -seru panembahan tua itu
dengan sukanya. Tampak matanya yang
telah tua itu berkaca-kaca. Ia merasa
terharu dan dugaannya ternyata benar,
karena ketika bertempur tadi anak muda
ini, tidak lain Mahesa Wulung
menggunakan unsur gerak aji "Bayu
Rasa" yang pernah diajarkan kepada
muridnya kinasih Ki Sorengyuda.
Kalau begitu angger Mahesa
Wulung, tinggallah engkau di sini
beberapa lama. Kau akan kuberi
gemblengan seperti mendiang ayahmu
dahulu, -pinta Panembahan Tanah Putih
kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih Panembahan.
Hari demi hari, selama tinggal di
padepokan Tanah Putih itu, Mahesa
Wulung mendapat kemajuan yang amat
cepatnya dan Panembahan Tanah Putih
mempunyai kebiasaan yang aneh. Ia
tidak hanya mengajarkan ilmu hanya
dengan duduk-duduk di padepokan saja,
tapi muridnya Mahesa Wulung dibawanya
pergi berjalan-jalan ke mana-mana.
Sekali waktu diajaknya Mahesa
Wulung berlari cepat. Bagi orang yang
belum tahu pasti akan menganggap bahwa
orang tua ini kurang sehat pikirannya
masakan sudah tua begitu masih suka
berlari-lari.
Mahesa Wulung coba tangkap dan
kejarlah aku! -seru orang tua itu
kepada muridnya. Semula Mahesa Wulung
berragu mendengar permintaan orang tua
ini tapi ketika ia menerkam orang itu
itu untuk ditangkapnya, tiba-tiba
meloncat ke atas jungkir balik di
udara dan tahu-tahu ada di
belakangnya.
Heee, angger Mahesa Wulung aku
ada di belakangmu. -seru sang
panembahan sambil menepuk punggung
Mahesa Wulung. Untung Mahesa Wulung
sudah terlatih, kalau tidak, ditepuk
sedemikian pasti akan terhoyong-hoyong
ke depan.
Heh, heh, heh, ayo Mahesa Wulung
tangkaplah aku lekas! Kalau demikian
caramu, kau akan jatuh sekali gebrak
oleh musuhmu.
Secepat kilat Mahesa Wulung
membalikkan tubuhnya dan siap menerkam
ke belakang dengan jurus Lebur Waja.
Tapi yah, Panembahan itu dengan lincah
meloncat mundur beberapa langkah ke
belakang sambil tidak lupa ketawanya
yang lucu menggema di udara. Kini ia
berlari-lari yang sebentar-bentar
diselingi dengan loncatan.
Melihat hal itu, Mahesa Wulung
segera mengejarnya pula dengan
mengetrapkan ilmunya Bayu Rasa
sehingga yang terlihat sangat
mengagumkan pandangan. Keduanya
seolah-olah dua ekor kijang yang
sedang berkejar-kejaran, melompati
sungai, turun ketebing sebentar naik
ke lembah, sebentar lagi melompati
jurang.
Sambil berkejar-kejaran
Panembahan Tanah Putih memberikan
petunjuk-petunjuknya kepada Mahesa
Wulung.
Perhatikan Wulung. Aturlah
napasmu, waktu melompat tahan dulu
napasmu, dan sebelum menginjak bumi
kembali jangan keluarkan.
Suatu ketika hampir saja Mahesa
Wulung ketika melompati jurang jatuh
terperosok karena tidak sampai, tapi
terasa pinggangnya disambar oleh
Panembahan dan keduanya selamat sampai
seberang.
Janganlah berbuat sesuatu dengan
merasa ragu-ragu Wulung, itu akan
mencelakakanmu nanti. Cepatlah
berpikir dan bertindak.
Terima kasih guru, -kata Mahesa
Wulung agak malu karena memang ia tadi
merasa bimbang ketika akan melompati
jurang itu.
Pada hari berikutnya diajarkannya
kepada Mahesa Wulung ilmu memusatkan
pikiran. Mula-mula latihan yang
ringan-ringan saja seperti berdiri
tegak lurus tanpa bergerak sampai
waktu yang tertentu, kemudian berdiri
terbalik tegak lurus dengan kepala di
bawah sedang kedua tangan bertekan
pada tanah sebagai penumpu. Sepintas
lalu seperti latihan-latihan Yoga.
Terakhir ialah latihan di bawah air
terjun. Diajaknya Mahesa Wulung ke
arah selatan ke tanah yang berjurang-
jurang. Di sana terdapat air terjun.
Di sisi tebingnya terlihat ada jenjang
yang bertingkat-tingkat sangat tinggi.
Orang-orang disitu menyebutnya tempat
itu dengan nama Ondo Rante artinya
tangga yang berantai.
Dengan sikap yang berdiri lurus
sedang kedua tangan ditekuk di muka
dada dan kedua telapak tangan
ditelengkupkan menjadi satu seperti
tangan yang menyembah, Mahesa Wulung
tegak di bawah air terjun dan
memusatkan perhatiannya menjadi satu,
sehingga hantaman dan deburan air yang
terjun dari atas menimpa kepala dan
tubuhnya itu tidak terasa sama sekali.
Malahan kini rasanya seperti memijat-
mijat tubuhnya dengan segar. Berbeda
dengan mula-mula waktu mencoba, Mahesa
Wulung hampir terhuyung-huyung jatuh.
Ilmu atau sikap ini boleh disebut -
Tugu Wasesa- yang akan membuat
seseorang tetap tegak meski ada angin
atau getaran yang keras menimpa
tubuhnya, laksana sebuah tugu yang
tidak akan retak kena panas dan tidak
hanyut oleh hujan.
Begitulah Panembahan Tanah Putih
tidak tanggung-tanggung dalam melatih
dan menggembleng muridnya hari demi
hari dan dari minggu ke minggu. Untuk
yang terakhir ini panembahan tua itu
melatih Mahesa Wulung dengan jurus-
jurus pukulan maut yang tak kalah
hebatnya dengan aji - Lebur Waja- yang
telah dimiliki oleh muridnya.
Mahesa Wulung, coba kali ini kau
akan kulatih dengan jurus-jurus
pukulan maut. Aku belum memberinya
nama terhadap aji itu, tetapi kau
boleh tetap menyebutnya seperti jurus
pukulan Lebur Waja yang telah
diajarkan oleh pamanmu itu. Dengan
menggabungkan kedua unsur pukulan itu,
kau akan berhasil memiliki tenaga
pukulan yang dahsyat sedahsyat aji
pukulan gada yang pernah dimiliki oleh
Sang Bima penengah Pendawa ialah gada
Rujak Polo. Sang Bima itu pernah
memukul hancur sebuah gunung anakan.
Coba perhatikan, Wulung.
Salurkanlah sikap Tugu Wasesa yang
telah kau pelajari dan terkenal tak
goyah oleh benturan keras itu. Aku
akan mengujinya dengan tiga kali
pukulan dari jarak yang cukup jauh.
Nah, bersiaplah untuk percobaan ini
sebelum kau terima seluruhnya aji
pukulan maut dari saya, ini sebagai
ujian serta dasar-dasar pertama.
Ini sisi telapak tangan digunakan
untuk memukul sedang dua jari tengah,
telunjuk dan penengah dirapatkan lurus
ke depan dan ketiga jari lainnya
disatukan mengepal pada telapak tangan
bisa kau gunakan sebagai penusuk
setajam pedang. -kata orang tua itu
dan diperhatikan sungguh oleh Mahesa
Wulung, lanjutnya :
Dengan memusatkan perhatian dan
menyalurkan tenaga dalam serta
kekuatanmu, barulah kau memukulkan
tanganmu. Sekarang yang pertama, -
kata Sang Panembahan menggerakkan
tangannya. Pada waktu itu keduanya ada
di sebuah lembah yang sepi, tak
seorangpun yang tampak. Mereka duduk
berhadapan dengan jarak yang cukup
jauhnya.
Panembahan Tanah Putih memukul
dua jarinya ke depan dan akibatnya
cukup hebat. Mahesa Wulung yang telah
menyalurkan sikap Tugu Wasesa itu
masih tergoyang ke belakang dari
duduknya dan hampir-hampir jatuh
terjengkang, hanya terkena angin
pukulannya saja, belum lagi sungguh-
sunggu terpukul. Kali ini Mahesa
Wulung cukup merasa ngeri,
dibayangkannya seandainya benar-benar
terpukul, pasti akan luar biasa
akibatnya, mungkin ia tak akan melihat
lagi sinar matahari.
Mahesa Wulung, sekarang kau boleh
bertahan dengan sikap berdiri!
Baik guru! jawab Mahesa Wulung
yang segera berdiri dan bersiaga.
Ini yang kedua! -Sang Panembahan
berganti memukulkan sisi tangannya ke
depan dan yang kedua ini tak kalah
hebatnya, Mahesa Wulung terdorong mun-
dur oleh angin pukulan gurunya ke
belakang beberapa jangkah. Tapi Mahesa
Wulung yang terkenal tangguh itu
secepatnya meloncat kembali ke depan
dengan bersiaga serta menyalurkan aji
Bayu Rasa dan Tugu Wasesa sekaligus
sebab ia kini telah merasakan, akibat
angin pukulan gurunya untuk pukulan
yang ketiga ini Mahesa Wulung tidak
mau meremehkan kepada gurunya.
Nah, untuk yang terakhir ini,
terimalah kini pukulan yang ketiga-
seru Panembahan Tanah Putih sambil
memukulkan sisi telapak tangannya ke
depan. Tenaga angin dari pukulan yang
ketiga inilah terhebat dari pada yang
pertama dan kedua. Biarpun Mahesa
Wulung telah dibentengi oleh aji Bayu
Rasa dan Tugu Wasesa, tak dapat dibuat
mempertahankan dirinya dari angin
pukulan ini, maka tak ampun lagi
dirinya terpental jatuh ke belakang
jungkir balik beberapa tumbak jauhnya.
Di sini aji Bayu Rasa masih ada
perlunya, sehingga meskipun ia jatuh
jungkir balik, tidaklah terlalu keras
terasa dan juga tidak menyebabkan
luka-luka yang berarti, kecuali
goresan-goresan kecil yang berdarah.
Heh, heh, memang aku percaya kau
ulet sekali Mahesa Wulung. Pada
pundakmulah aku boleh meletakkan
harapanku, agar kau menjadi seorang
yang perwira, setia dan berbudi luhur.
Baiklah, kita pulang dulu sekarang dan
mengobati luka-lukamu itu. Besok kau
boleh mulai puasa mutih, sebelum
kuajarkan padamu jurus pukulan maut
ini. Hanya pesanku saja, jangan kau
sembrono dan sembarangan menggunakan
pukulan maut ini jika tidak perl
sekali. Apakah kau bersedia
mengindahkan pesanku ini Wulung?
Baik sang Panembahan, saya akan
sungguh-sungguh mengikuti pesan-pesan
Panembahan.
Ingatlah, meskipun seseorang
telah punya kesaktian ataupun
mempunyai kekuasaan yang besar, bila
ia menyombongkannya lebih-lebih
menggunakannya dengan keliru dan
sewenang-wenang pasti ia akan runtuh,
sebab Tuhan tidak menyukai orang yang
demikian itu dan Ia akan menghukumnya.
Sejak zaman dahulu hal ini sudah
diceriterakan dalam ceritera-ceritera
wayang, dalam kitab-kitab Mahabharata
dan Ramayana. Kenapa sang Rahwana Raja
yang mula-mula sakti dan berkuasa itu
runtuh, sebab ia menggunakan
kekuasaannya sewenang-wenang serta
menyalah gunakan kesaktiannya. -begitu
tutur Panembahan Tanah Putih kepada
Mahesa Wulung.
Ia begitu kasih kepada muridnya
ini, karena ia melihat dari mata anak
muda itu, terpancar sinar keberanian
dan keluhuran budi. Hidupnya telah
dipenuhi dengan berbagai peristiwa
yang penuh dengan suka duka,
menjadikan orang itu kaya akan
pengalaman-pengalaman hidup.
Justru itulah, ia ingin
memberikan apa-apa yang dimilikinya
itu kepada seseorang yang dapat
dipercayainya, agar dharma hidupnya
tidak terputus karena ketuaannya itu,
tapi dapat dilanjutkan demi
kepentingan hidup bebrayan di dunia.
Oleh sebab itu ia tidak setengah hati
dalam mendidik muridnya. Keesokan
harinya setelah mencari hari-hari yang
baik, mulailah oleh Panembahan Tanah
Putih menggembleng Mahesa Wulung dalam
menerima ilmunya jurus-jurus pukulan
maut. Ia merasa bangga dan puas
melihat Mahesa Wulung muridnya tekun
dalam mempelajarinya setahap demi
setahap. Berkat kerajinannya itu dan
terutama karena memangnya Mahesa
Wulung sudah mempunyai dasar, maka
dalam waktu yang tidak terlalu lama ia
telah dapat menguasai jurus pukulan
maut itu. Kesemuanya itu tercapai
berkat bimbingan dan pendidikan
sempurna dari gurunya.
Pecahan sinar matahari telah
merayapi bukit-bukit di sebelah timur,
mengawali matahari yang kini mulai
menjelma. Kicau-kicau burung terdengar
dipagi itu sangat ramainya.
Dikesegaran udara pagi itu tampaklah
dua orang bergegas-gegas meninggalkan
padepokan Tanah Putih. Mereka berjalan
beriring menuju ke arah selatan,
mendaki perbukitan. Yang depan tampak
tua, mengenakan jubah dan bertongkat
sedang yang dibelakangnya berjalan
seorang yang masih muda berbadan tegap
berikat kepala hitam. Setelah mereka
menerobos hutan, tibalah keduanya
dilembah yang subur, ditengahnya
mengalir sebuah sungai kecil berair
jernih.
Mahesa Wulung, setelah kau
kulatih, sekarang aku ingin tahu
sampai di mana usaha yang telah aku
rintis itu. Coba kau tunjukkan aji
pukulan maut ciptaan kita yang baru
itu kepadaku
Mahesa Wulung segera bersiaga,
kaki kirinya melangkah ke depan serong
kiri setengah langkah, sementara
tangan kirinya ditekuk ke depan dengan
sisi telapak tangan lurus ke depan
sejajar kepala sedang tangan kanannya
dilipat ke samping belakang sejajar
pula dengan kepala.
Nah, sekarang cobalah dengan
tusukan dua jari. Wulung! seru
Panembahan Tanah Putih. Lihat pohon
pisang besar yang ada di depanmu itu,
Pakailah ia sebagai sasaran!
Mahesa Wulung menyalurkan, segera
tenaga dalamnya dilambari dengan
pemusatan pikiran. Matanya setengah
terpejam dan redup. Maka dengan gerak
yang kilat Mahesa Wulung menusukkan
kedua jarinya ke pohon pisang
didepannya dan terjadilah satu
pemandangan yang mengerikan. Begitu
jarinya menyentuh dan masuk ke dalam
batang pisang yang besar itu
terjadilah perubahan pada pohon pisang
yang mula-mula segar bugar kehijauan
itu mendadak menjadi kuning layu.
Kemudian kering kerontang bagaikan
terkena panas api yang berlipat-lipat
dan setelah itu makin mengering dan
menjadi abu serta runtuh ke tanah
berserak-serak ke sana kemari.
Mahesa Wulung yang mengerjakan
dan melihat sendiri akibat tusukannya
dengan dua jari itu hampir-hampir tak
percaya. Selama ini meskipun ia telah
diajari oleh pamannya tentang aji
Lebur Waja itu, akibat pukulannya tak
sehebat ini, paling-paling hanya mampu
merubuhkan lawannya saja. Tapi kini
setelah digabungkan dengan aji pukulan
maut dari Panembahan Tanah Putih,
bukan saja sasarannya roboh begitu
saja, tapi hancur menjadi abu hanya
disebabkan tusukan kedua jarinya. Maka
seperti orang yang mimpi dan tidak
percaya ia menggigit bibirnya yang
ternyata terasa sakit, jadi ia benar-
benar tidak mimpi.
Heh, heh, heh, kau tidak mimpi
Wulung, itu sungguh-sungguh kau alami.
kata Panembahan Tanah Putih sambil
ketawa lucu, janggutnya yang putih dan
panjang itu ikut tergerai-gerai
berguncang karena ketawanya.
Ah, Panembahan. Saya hampir-
hampir tak percaya ini semua. Kata
Mahesa Wulung. Saya tak dapat
membayangkan akibatnya seandainya
sasaran tadi seorang lawanku seorang
manusia.
Begitulah Wulung, memang
akibatnya sangat ngeri. Oleh sebab itu
tak boleh pukulan aji "Lebur Waja" ini
kau gunakan sembarangan, lebih-lebih
terhadap orang-orang lumrah, maksudku
orang-orang yang tidak mempunyai ilmu
apa-apa. Saya kira, setahuku hanya Ki
Macan Kuping yang mempunyai ilmu
sejajar dengan aji "Lebur Waja",
Dialah guru kepala gerombolan hitam
Alas Roban, si Singajodra. Ketika
sama-sama muda kami pernah terlibat
dalam satu pertempuran. Biarpun ia
kukenai pukulan mautku, tetapi
kulitnya hanya gosong-gosong saja dan
ia masih sempat melarikan diri dengan
mengumpat-umpat. Entah waktu itu.
apakah karena dia memang mempunyai
daya tahan yang hebat atau mungkin
juga pukulanku yang kurang mengendap
dan matang seperti ini. Ujar orang tua
itu sambil membelai-belai janggutnya
yang putih.
Nah sekarang Wulung, cobalah
pukulan sisi telapak tanganmu!
lanjutnya. Di sebelah itu terdapat
batu hitam. Pakailah olehmu sebagai
sasaran,
Mata Mahesa Wulung yang mengikuti
arah seperti yang ditunjukkan oleh
jari panembahan tua itu, terbelalak
saking terkejutnya demi terlihat
olehnya batu hitam yang dimaksud oleh
gurunya itu, ternyata besarnya sebesar
kerbau yang sedang mendekam.
Namun sekarang ini ia tidak lagi
merasa ragu-ragu menghadapi lawan
seperti apapun.
Begitulah, setelah bersiaga dan
menyalurkan tenaganya ke sisi telapak
tangan kanannya, Mahesa Wujung dengan
satu terkaman loncat yang indah tapi
menimbulkan sambaran angin panas itu
memukul batu hitam yang sebesar kerbau
dan kali ini terjadi pula satu
kejadian yang lebih dahsyat dari pada
tadi.
Batu hitam ini dengdn satu
letusan yang menggelegar pecah dan
hancur menjadi bubuk pasir setelah
terpukul oleh sisi telapak tangan
Mahesa Wulung.
Sekali lagi Mahesa Wulung
terheran-heran melihat ini semua. Ia
tidak nyana sama sekali akan memiliki
aji pukulan yang sedahsyat itu. Di
dalam hatinya ia mengucap syukur
kepada Tuhan Yang Maha Besar, atas
pemberian tenaga yang luar biasa ini.
Ia pun berjanji akan tidak sembarangan
menggunakan ajinya ini, kecuali
terhadap mereka-mereka terutama
gerombolan-gerombolan hitam yang
mengacau dan merongrong kewibawaan
pemerintahan Demak serta membuat
kesengsaraan terhadap sesama manusia.
Nah Wulung, itu tadi kesemuanya
engkau hanya menghadapi lawan-lawan
yang tidak bergerak tapi yang akan
menjadi lawan-lawanmu nanti tidak lain
juga manusia seperti kita ini dan
mungkin juga dia mempunyai pula ilmu
yang tinggi. Untuk itu, sekarang
lawanlah aku, kita telah mempunyai
ilmu yang sama meskipun kau masih
harus lebih banyak lagi berlatih.
Mahesa Wulung mendengar penuturan
gurunya itu, menjadi tunduk beragu.
Kalau ia kini tahu kehebatan aji Lebur
Waja, dan harus menggunakan untuk
melawan gurunya sendiri, ia akan cemas
melihat akibatnya.
Hee Wulung! Kali ini kau harus
melawanku sekuat tenaga. Kalau tidak,
kau akan kuhajar sendiri dengan aji
"Lebur Waja" sehingga maut. Ayo,
lawanlah aku! seru Panembahan Tanah
Putih dengan kerasnya menggelegar
memantul ketebing-tebing lembah
disekitarnya.
Saat itu awan yang berarak-arak
kehitaman membawa uap air berjalan, ke
arah selatan menghalang-halangi sinar
matahari pagi sehingga lembah itu
sebentar terang dan sebentar gelap
tertimpa bayangan awan hitam.
Uap air yang bertebaran di udara
itu telah membiaskan sinar matahari
menjadi tujuh warna yang melengkung
menambah keseraman lembah itu. Ia
ingat ceritera orang-orang tua yang
mengatakan bahwa pelangi itu adalah
tangga yang digunakan oleh para
bidadari untuk turun ke bumi, karena
keperluan sesuatu.
Apakah para bidadari itu ingin
melihat aku bertempur melawan guruku
sendiri? Ah, pikiran gila! bantahnya
sendiri. Biarlah seandainya mereka
turun untuk ini, mereka akan kecewa
sebab aku tidak akan sudi melawan
guruku! Belum habis Mahesa Wulung
berangan-angan itu terpecah oleh suara
gurunya yang keras.
Kau tunggu apa lagi Wulung,
begitukah caramu dalam menghadapi
seorang lawan? bentak orang tua itu.
Dahinya mengkerut dan alisnya bertemu
sedang pada matanya terpancar sinar
kemarahan.
Tapi di sini tidak ada lawanku,
guru. Hanya kita berdua saja. Dan guru
bukanlah lawanku! jawab Mahesa Wulung
kecemasan.
Lupakanlah basa-basi itu Wulung.
Kalau kau belum bertemu lawan akulah
sendiri yang akan melawanmu sebagai
lawan yang pertama! Mahesa Wulung tak
habis herannya melihat perangai
gurunya itu, lalu ia ingat bahwa
orang-orang yang sakti, berilmu tinggi
sering mempunyai tabiat-tabiat yang
aneh. Maka ia mengambil keputusan
untuk melawan orang tua itu.
Baiklah guru, kalau itu
kehendakmu, aku akan melawanmu.
Sebelumnya, aku meminta maaf lebih
dulu, kata Mahesa Wulung sambil
mengangguk tunduk, memberi hormat
kepada Panembahan Tanah Putih.
Di tengah saat ia memberi hormat
gurunya itu, tiba-tiba ia merasakan
angin yang bertiup keras sekali dan
gerak naluriahnya membuat ia
secepatnya berkelit ke samping sambil
bersiaga. Untung ia telah mempelajari
sikap "Tugu Wasesa". Kalau tidak,
pasti ia akan terbanting jatuh. Tidak
lain angin yang keras itu ialah tenaga
pukulan dari gurunya sendiri.
Kini ia ganti menyerang dengan
sepakan kaki kirinya mengarah lambung
orang tua ini. Mendapat serangan ini
orang tua berjenggot putih itu
secepatnya meloncat mundur sedang
tangan kanannya membabat kaki kiri
Mahesa Wulung. Tapi Mahesa Wulung yang
cekatan itu cepat-cepat menarik
kembali serangan kakinya hingga
serangan orang tua itu tidak mengenai
sasarannya. Begitu mereka bertempur
dengan serunya disertai gerak-gerak
yang makin lama makin cepat dan
berlingkar-lingkar sukar diikuti
pandangan mata.
Mahesa Wulung bertempur dengan
gigih laksana seekor banteng yang
mengamuk sedang orang tua berjenggot
itu bagaikan seekor rajawali yang
menyambar-nyambar mengincar mangsanya.
Setelah beberapa jurus mereka
bertempur itu; Panembahan Tanah Putih
tampak mengambil sikap pukulan
mautnya. Melihat ini Mahesa Wulung
sejenak terkejut, tapi iapun segera
pula menyalurkant tenaga dalamnya dan
mengambil sikap pukulan maut yang
serupa siap dilontarkan.
Sebaiknya aku juga menggunakan
pukulan maut Lebur Waja dari pada aku
mati konyol begitu saja! pikir Mahesa
Wulung sambil meloncat ke depan.
Sekejap itu terlihatlah dua bayangan
berkelebat saling menerkam dengan
sikap yang sama, dan keduanya tampak
sama-sama terdorong surut ke belakang
beberapa langkah. Itulah hebatnya dua
aji Lebur Waja yang beradu menjadi
satu. Masing-masing yang terdorong
tadi kini bersiaga pula untuk
melanjutkan pertempurannya. Benar-
benar mereka itu tangguh.
Panembahan tua itu kini menyerang
Mahesa Wulung dengan menggunakan
tongkatnya sedang Mahesa Wulung
melihat lawannya menggunakan senjata
tongkat, cepat-cepat ia maraba
pinggangnya dan sekejap tergenggamlah
pada tangannya sepucuk keris.
Merekapun kembali bertempur dengan
hebatnya.
Suatu ketika orang tua itu
memukulkan tongkatnya ke arah dada
Mahesa Wulung. Sayangnya, serangan
dengan tongkat itu kembali menemui
tempat ko-song karena keburu Mahesa
Wulung dalam saat yang genting itu
berkelit ke samping kiri, sementara
keris ditangan kanannya bergerak
menusuk ke arah perut orang tua
berjenggot putih.
Sungguh mengejutkan tusukan keris
Mahesa Wulung bagi orang tua, itu,
maka ia lekas-lekas merubah gerak
tongkatnya meluncur kebawah untuk
menahan keris anak muda yang tengah
ditusukkan itu. Maka kedua senjata itu
beradu dan saling melekat sesamanya.
Baik Panembahan Tanah Putih ataupun
Mahesa Wulung sejenak itu berdiam diri
masing-masing seperti sedang
beristirahat, walau senjata masing-
masing masih tetap terpegang di
tangan. Hanya kalau kita memperhatikah
wajah kedua orang itu, tampaklah
saling tegang menegang, saling
berpandangan tak berkedip matanya.
Mereka sedang mengadu tenaga dalam.
Baik Mahesa Wulung atau
Panembahan Tanah Putih sendiri sama-
sama menyalurkan tenaga dalam,
kesenjata yang terpegang ditangan.
Lama-lama oleh Mahesa Wulung terasa
tangannya yang pemegang keris menahan
tindihan tongkat gurunya, menjadi
semutan dan bergetar. Satu pertanda
bahwa meskipun ia mempunyai ilmu yang
sama dengan gurunya, ia masih tetap
satu tingkat lebih rendah di bawah
gurunya.
Mahesa Wulung masih tetap
bertahan dengan mengerahkan segenap
kekuatan dalamnya menahan tekanan
tongkat sang guru. Pada dahinya terbit
bintik-bintik keringat yang makin
besar dan besar lalu mengalir
kemukanya seperti anak sungai.
Sementara ketegangan itu berlangsung,
terjadi pula peristiwa yang lain
menambah ketegangan itu makin tegang.
Satu desingan nyaring mengikuti
seleret sinar yang dengan cepatnya
langsung menuju ke arah Mahesa Wulung.
Tapi Panembahan Tanah Putih dengan
segera menggerakkan tongkatnya yang
sedang menindih keris muridnya dengan
setengah lingkaran mencegat sinar itu.
Sesaat kemudian terdengar suara
benturan keras tak disusul dengan
jatuhnya benda kecil di tanah di
samping mereka, ialah sebuah baji,
sejenis pisau kecil runcing.
Panembahan tua itu kini menyerang
Mahesa Wulung dengan menggunakan
tongkatnya sedang Mahesa Wulung
melihat lawannya menggunakan senjata
tongkat, cepat cepat ia meraba
pinggangnya dan sekejap tergenggamlah
pada tangannya sepucuk keris. Mereka-
pun kembali bertempur dengan hebatnya.
Siapa ini berbuat gila-gilaan!
teriak orang tua itu dengan nada
setengah marah.
Di sana, kira-kira jarak
sepelempar lembing terlihat semak
ilalang yang dikuakkan dan muncullah
seorang bertubuh besar, berbibir tebal
dengan kumis dan jenggotnya lebat,
kemudian berjalan ke arah mereka.
Maaf, bapak Panembahan, itu tadi
perbuatanku. Kata orang yang baru
datang itu. Aku tadi melihat anak muda
ini begitu lancang berani menyerang
sang Panembahan.
Gangsiran! Kau muncul lagi
sekarang.....dan masih berani berbuat
gila-gilaan. Hampir saja kau melukai
pemuda ini. Kata sang panembahan tua.
Tapi.... tapi kulihat tadi ia
menyerang panembahan dengan keris
terhunus. Sebagai bekas murid aku
ingin menunjukkan rasa terima kasihku.
Orang itu berkata sambil menundukkan
kepala karena menghindari tatapan mata
orang tua itu yang tajam.
Aku tak butuh pertolongamu
Gangsiran, dan apakah kau sudah lupa
bahwa aku telah mengusirmu dari
padepokan dan melarangmu memasuki
daerah padepokan Tanah Putih!
Masih ingat panembahan, waktu itu
aku mabuk tuak. Sekarang aku insaf dan
akan meminta ampun kepadamu sang
panembahan. Perkenankanlah aku menjadi
muridmu lagi. pinta orang itu.
Tidak! Kau telah menyelewengkan
ajaran-ajaran yang kuberikan. Sekarang
lekas berlalu dari sini, sebelum aku
menjadi marah! begitu hardik Panembah-
an Tanah Putih kepada Gangsiran. Tak
sudi aku melihat kedatanganmu kemari!
Mendengar itu, Gangsiran
merebahkan diri ke tanah dihadapan
sang Panembahan sambil berkata
menghiba-hiba.
Guru mohon dimaafkan guru, aku
sudah insaf. Izinkanlah aku
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
telah aku buat. Biarlah Tuhan
mengutukku kalau aku masih berani
menyeleweng.
Guru, siapakah dia itu? tanya
Mahesa Wulung yang sejak tadi
memperhatikan adegan yang cukup
mengharukan ini.
Dialah Gangsiran bekas muridnya
dulu. Dia pernah beberapa saat tinggal
di padepokan Tanah Putih untuk
mempelajari semua ilmu hidup, tentang
keperwiraan, keluhuran budi dan
sebagainya. Sebelum itu berjanji patuh
kepadaku, karena ia benar ingin
menjadi muridku. Tapi ia suka minum-
minum tuak dan tidak jarang mencuri-
curi turun ke desa Borang, bahkan
sampai-sampai ke Asemarang untuk
bermain judi. Itulah sebabnya ia
kuusir dari padepokan, orang tua itu
berkata dan sebentar ia menarik napas
dalam-dalam.
Tapi apakah guru sampai hati
menolak permintaannya tadi? bukankah
ia telah insaf dan berjanji akan
memperbaikinya, guru? kata Mahesa
Wulung merasa terharu melihat wajah
Gangsiran.
Ya, aku bukan seorang yang kejam.
Baiklah, kau Gangsiran. Kau aku terima
lagi menjadi muridku asal kau benar-
benar bertobat.
O, terima kasih Panembahan,
terima kasih. Seru Gangsiran
keriangan. Air matanya bercucuran
saking gembira dan terharu. Aku akan
sungguh-sungguh mematuhi perintah sang
Panembahan.
Nah, Gangsiran lihatlah jelas-
jelas pemuda ini yang hampir-hampir
kau lukai tadi, Dialah muridku
kemenakan Ki Sorengrana dan putra
mendiang muridku Ki Sorengyuda. kata
orang tua itu.
Jadi dia .... dia kemenakan Ki
Sorengrana? Ah, aku kenal kepadanya.
Harap dimaafkan aku dimas, atas
kelakuanku tadi. Semula aku mengira
bahwa adi benar-benar menyerang sang
panembahan sebab aku melihat adi
kelihatan bersungguh-sungguh dalam
bertempur dengan panembahan !
Sudahlah kakang Gangsiran,
lupakan sajalah hal itu. Toh kita
masih selamat tak kurang suatu apa.
jawab Mahesa Wulung. Keduanya berjabat
tangan erat-erat.
Latihanpun diakhiri oleh mereka
dan ketiganya berjalan pulang menuruni
bukit, menerobos hutan dan akhirnya
tibalah mereka di jalan kecil yang me-
nuju ke arah padepokan Tanah Putih.
Matahari berangsur-angsur
bergeser ke arah barat dan makin lama
makin condong hingga akhirnya lenyap
di sana di sebelah barat dibalik
pohon-pohonan seperti ditelan oleh
mulut seorang raksasa. Di langit
tampaklah bintang-bintang gemerlapan
ribuan banyaknya dan malampun tibalah.
Kesepian menelan padepokan Tanah Putih
yang terpencil itu.
Kedatangan Gangsiran kembali
kepadepokan Tanah Putih itu menambah
kesegaran di situ. Ternyata Gangsiran
di samping ahli sebagai pelempar baji
atau pisau kecil, ia juga ahli membuat
orang tertawa terpingkal-pingkal.
Gangsiran memang suka be-ceritera dan
melucu. Kini ia betul-betul telah
bertobat.
Sang panembahan, beberapa waktu
yang lalu, saya pernah singgah di
sebuah kampung dikaki Gunung Brintik
di barat sana. Orang-orang di situ
berceritera kepadaku bahwa di angkasa
di atas Gunung Brintik sering terlihat
seekor ular seperti naga yang
melayang-layang dan menyala hijau
kebiru-biruan. Penduduk di situ sering
pula menyaksikan ular itu muncul dan
lenyap di sebuah gua di atas Gunung
Brintik dan mereka menduga ular itu
berasal dari sebuah senjata.
Sebuah senjata? tanya Mahesa
Wulung keheranan.
Benar sebuah senjata, tapi apa
macamnya aku tidak tahu dimas.
Begitulah aku pernah mencoba untuk
mendapatkannya tapi tidak berhasii
bahkan diriku hampir saja tewas karena
diserang ular itu di dalam gua. Dari
mulutnya menyembur ke luar seperti api
yang menyala hijau kebiru-biruan
sangat panasnya melebihi api biasa
yang berwarna merah. Gangsiran
menghentikan ceriteranya.
Memang itu tidak mudah mencari
senjata, sambung Panembahan Tanah
Putih. Pertama orangnya harus berhati
bersih dan berbudi luhur serta tidak
sombong. Kedua, orangnya, mesti
mempunyai ilmu yang cukup untuk
menerima pusaka itu, sebab tidak
jarang orang yang tidak berilmu apa-
apa menyimpan sebuah pusaka hingga
pikirannya terguncang dan tidak waras.
Ketiga, pusaka itu sendiri kadang-
kadang tidak mau begitu saja jatuh dan
disimpan orang yang tidak
disenanginya. Terhadap sebuah pusaka,
kita mesti berhati-hati. Begitu kita
berbuat kesalahan, pusaka itu akan
lenyap dan pergi meninggalkan diri
kita. Tentu kalian masih ingat kisah
keris Sangkelat dan Condong Campur
yang musna dari tempat penyimpanannya
karena ia merasa marah dan tidak cocok
dengan keadaan di situ, sebentar
Panembahan tua itu berhenti
berceritera. Ah, kita lupa terlalu
asyik berceritera. Ini diminum kopinya
sebelum kebacut dingin.
Sambil menikmati air kopi, Mahesa
Wulung masih memikir-mikirkan ceritera
itu tadi. Ia merasa tertarik dengan
kisah ular yang menyala hijau kebiru-
biruan.
Guru, apakah kiranya aku
diizinkan jika suatu waktu pergi
menyelidiki pusaka itu? tanya Mahesa
Wulung sambil meletakkan kembali air
kopinya kebalai-balai.
Boleh, kau memang ada perlunya
pergi ke Gunung Brintik untuk
menyelidiki ular pusaka itu. Ajaklah
Gangsiran serta ke sana supaya dapat
membantumu. Mungkin satu minggu lagi
baru ada hari yang baik, ujar orang
tua itu. Dahulu ceritera nenekku,
entah ini benar atau tidak, berkata
bahwa mendekati surutnya kerajaan
Majapahit dan timbulnya pemberontakan-
pemberontakan, ada sebuah pusaka
berbentuk cambuk bernama Kyai Naga
Geni yang musna dari gedung pusaka
kerajaan. Mungkin ini tersebab ia
tidak merasa senang menyaksikan
perpecahan antara tokoh-tokoh
Majapahit yang pada hakekatnya sama
dengan merobek-robek dadanya sendiri
dari dalam dan inilah yang mempercepat
keruntuhannya. Pusaka tadi ketika
pergi meninggalkan tempatnya berubah
menjadi ular yang menyala hijau
kebiru-biruan terbang ke angkasa. Jika
itu ada hubungannya dengan ular yang
sering tampak melayang di atas Gunung
Brintik, pastilah bahwa ular itu tidak
lain ialah pusaka Kyai Naga Geni.
Panembahan Tanah Putih mengakhiri
ceriteranya, sementara itu Mahesa
Wulung dan Gangsiran menghabiskan
kopinya. Keadaan kembali menjadi
hening. Di luar terdengar desau angin
diseling suara jengkerik bersahut-
sahutan dengan merdunya.
Nah, angger berdua aku terlalu
lama berceritera kepada kalian, sampai
aku lupa bahwa malam telah larut.
Baiklah, kita pergi tidur sekarang.
Kita perlu beristirahat. kata
panembahan tua itu sambil berdiri dan
lalu disusul oleh Mahesa Wulung serta
Gangsiran berdiri. Mereka pergi ke
kamar masing masing dan pergi tidur.
DUA
PADEPOKAN TANAH PUTIH banyak
ditumbuhi ilalang dan semak bambu, di
samping pohon-pohon pisang serta lain-
lainnya. Pagi itu angin bertiup dari
utara cukup kencang menimbulkan suara
gemersik dedaunan. Tidak jauh dari
rumah padepokan, Mahesa Wulung duduk
di atas sebuah batu besar. Ia tengah
melamun merindukan kota Demak. Di sana
ia hidup senang tidak kekurangan,
kawan-kawannyapun banyak serta ramah-
ramah. Teringat ia sering berlayar
dengan perahunya menjelajah lautan.
Jiwanya pelaut terasa benar memanggil.
Di sini ia tidak melihat laut yang
luas, yang airnya gemerlapan ditimpa
sinar matahari, tapi hanya tumbuhan-
tumbuh-an dan tanah pegunungan melulu,
bergunung-gunung dengan lekuk-lekuk
lembah serta berjurang dengan te-
bingnya yang curam. Di tengah
lamunannya itu terdengar dari samping
langkah yang mendekat ke arah
duduknya.
Adi Mahesa Wulung, kau di sini
melamun? Aku tadi mencarinya ke mana-
mana, kata orang yang mendekat itu.
Hee, kakang Gangsiran. Sahut
Mahesa Wulung. Benar kakang, aku
tengah melamun merindukan kota Demak.
Apakah adi ingin lekas-lekas
pulang? tanya Gangsiran.
Tidak kakang, aku tidak ingin
lekas pulang sebelum tugas yang
dipikulkan kepundakku selesai dan
beres.
Lihat dimas, di sini banyak
tumbuh pohon bambu yang bagus. Dari
pada kau melamun, baiklah kubuatkan
nanti sebuah seruling yang dapat
mengobati rindumu, kata Gangsiran
sambil meraba pinggangnya mengeluarkan
pisau kecil lalu pergi kesemak bambu.
Tak lama kemudian kembalilah ia dengan
membawa dua potong bambu kuning.
Ini adi Wulung, kubuatkan kau
sebuah dan aku sebuah.
Terima kasih kakang. Gangsiran
memang cekatan dan rajin. Setelah
sesaat menghaluskan potongan bambu
itu, segera membuat lubang-lubang nada
sebanyak enam buah dan sebuah lagi
lubang untuk meniup seruling itu.
Hasilnya tidak mengecewakan. Selain
potongan bambu kuning itu dipilih dari
batang yang terbaik, pada kedua ujung
seruling masih dibuatnya lagi goresan-
goresan semacam hiasan menambah
indahnya.
Kini Mahesa Wulung tidak lagi
melamun. Kerinduannya akan kotanya,
ayahnya yang sudah tiada disalurkannya
lewat irama sulingnya. Nadanya
mengalun-alun indah dibawa oleh tiupan
angin yang berlalu. Kadang-kadang
berirama naik, kadang-kadang menurun
mengharukan siapa yang mendengar.
Gangsiran yang mula-mula juga akan
meniup serulingnya, menjadi terpesona
mendengarnya.
Tiba-tiba saja seperti digerakkan
oleh suatu ilham yang timbul di dalam
hatinya, Mahesa Wulung berpikir.
Ah, betapa seandainya aku
menyalurkan aji "Bayu Rasa" yang telah
aku miliki ini lewat irama serulingku?
Maka bibirnyapun segera bergerak
meniup seruling itu dengan dilambari
ilmunya'"Bayu Rasa". Terasa iramanya
menjadi lain dari pada tadi. Benar-
benar mengherankan. Suara yang keluar
dari seruling itu menjadi beralun-alun
dengan hebat, sesekali berubah
bergulung-gulung sampai memantul ke
tebing-tebing jurang dan lembah
dipojok sana. Beberapa burung elang
yang terbang di angkasa melingkar-
lingkar irama seruling Mahesa Wulung,
menari-nari dengan indahnya menuju ke
arah utara.
Mahesa Wulung yang kini sedang
asyik meniup serulingnya itu tiba-tiba
dipecahkan oleh suara gemerisik di
semak ilalang di sebelah utara.
Keluarlah dari dalam semak berlari-
lari seekor katak yang tengah dikejar
seekor ular. Mahesa Wulung terkejut
kemudian dengan nada setengah marah
kepada ular itu, serulingnya ditiup
dengan nada meninggi seolah-olah
sebagai luapan perasaan marahnya.
Gangsiran yang mengikuti peristiwa
ini, tidak kalah herannya. Suara
seruling bernada tinggi ini seperti
mempunyai daya pukulan. Ular yang
tengah mengejar katak tadi terpental
jatuh ke belakang sambil melingkar-
lingkar kesakitan. Rupanya ular itu
benar-benar timbul kemarahannya karena
merasa serangannya gagal. Kepalanya
kembali ditegakkan tinggi-tinggi siap
menyerang lagi katak yang tengah
melarikan diri itu. Tapi setiap kali
ia menyerang dan meluncur ke depan
setiap kali pula ia dipukul jatuh oleh
suara seruling Mahesa Wulung yang
bernada tinggi.
Akhirnya ular itu merasa
kewalahan dan dengan cepat-cepat
meluncur balik kembali kesemak-semak
ilalang. Katak itu meloncat-loncat dan
sejenak berhenti di muka Mahesa Wulung
seolah-olah menyatakan rasa terima
kasihnya karena telah menyelamatkan
dirinya dari bahaya maut. Setelah itu
kembali dengan lompatan-lompatan
panjang berlalu dari tempat itu menuju
ke sebuah mata air.
Mahesa Wulung tersenyum melihat
katak itu lenyap dibalik batu-batuan
dan kembali ia menerukan tiupan
serulingnya.
Sementara itu Panembahan Tanah
Putih yang tengah membalik-balik kitab
daun lontar di padepokan menjadi heran
pula mendengar alunan nada seruling
yang mempunyai tenaga dalam itu. Maka
ditutupnya kitab lontar itu dan
disimpannya kembali. Panembahan Tanah
Putih bangkit dari duduknya dan pergi
mencari arah sipeniup seruling itu.
Ketika ia menerobos semak-semak
pohon dan tiba di tempat yang
ditumbuhi pohon bambu dan ilalang
terlihatlah seseorang duduk di atas
sebuah batu tengah asyik meniup
seruling. Sedang di sampingnya berdiri
pula seorang yang tengah menikmati
suara seruling itu. Setelah
didekatinya, Panembahan tua itu tampak
tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Ah, kau benar-benar hebat Wulung,
Kau telah mengetrapkan aji "Bayu Rasa"
sebaik-baiknya, kata Panembahan tua
itu dari belakang. Mahesa Wulung
terkejut nenghentikan tiupan
serulingnya seraya menoleh ke belakang
demikian juga Gangsiran. Tapi irama
serulingnya masih sesaat memantul dan
bergema di tebing-tebing jurang di
sebelah selatan.
Oh, sang panembahan, selamat pagi
guru, kata mereka bersama-sama ketika
dilihatnya Panembahan Tanah Putih
berdiri di belakang mereka.
Ya, ya, selamat pagi angger
semua. Kata panembahan tua itu seraya
duduk pula di atas batu hitam di
samping Mahesa Wulung.
Aku tadi merasa terpikat dengan
tiupan serulingmu, Wulung.
Memang guru, dimas Wulung benar-
benar hebat. Ia telah berhasil
mengusir dan memukul jatuh seekor ular
yang sedang mengejar seekor katak.
Juga beberapa burung elang yang sedang
terbang di langit ikut menari-nari
mengikuti irama serulingnya. Gangsiran
berkata menceriterakan kejadian-
kejadian yang baru saja lewat.
Begitulah memang harapanku
Wulung. Seorang guru kadang-kadang
hanya mengajar seorang muridnya dengan
dasar-dasarnya yang pokok, tapi sang
murid itu sendiri mempunyai kewajiban
untuk mengembangkan ilmu yang telah
diterima dari gurunya itu sesuai
dengan pribadinya serta pengalaman-
pengalamannya. Kadang-kadang seorang
murid sampai bisa melebihi gurunya
karena ia lebih rajin dan teliti,
menambah ilmunya.
Terima kasih guru! jawab Mahesa
Wulung.
Coba aku pinjam sebuah
serulingnya Gangsiran. pinta orang tua
itu dan segera pula Gangsiran mem-
berikan seruling dari tangannya.
Wulung dan Gangsiran, marilah
kita mencoba meniup seruling bersama-
sama dengan aji Bayu Rasa. Aku ingin
tahu bagaimana jadinya nanti.
Baik sang panembahan.
Tapi jangan lupa mengetrapkan
sikap Tugu Wasesa agar kalian tahan
dengan getaran-getaran yang timbul
dari seruling ini.
Demikianlah setelah mereka
mengetrapkan sikap Tugu Wasesa.
Panembahan Tanah Putih dan Mahesa
Wulung bersama-sama meniup serulingnya
sedang Gangsiran diam mendengarkan
iramanya. Mula-mula irama mereka sama.
Terasa getaran di udara mengalun indah
berlingkar-lingkar saling melilit.
Sejurus kemudian mulailah mereka
memperdengarkan irama yang berlainan.
Kedua getaran iramanya kini saling
berkejaran dan terkam menerkam seperti
dua ekor naga yang tengah berkelahi.
Sesaat lagi yang satu berirama rendah
sehingga seolah-olah menukik turun ke
bawah. Sedang yang kedua berirama
tetap tinggi. Tiba-tiba yang pertama
tadi berirama tinggi kembali seperti
mengejar suara yang kedua. Melihat hal
ini maka suara seruling yang kedua
tidak tinggal diam, maka iapun menjadi
rendah menyambut suara pertama yang
tengah naik ke atas. Maka terdengarlah
dua benturan yang keras menggelegar di
udara seperti puluhan petir.
Beberapa ekor burung yang tengah
hinggap di ranting-ranting semak
terkejut dan terbang sembari
berteriak-teriak. Ketiga-tiganya
tampak pula terperanjat melihat akibat
tiupan seruling mereka. Baik
Panembahan Tanah Putih maupun Mahesa
Wulung sendiri tidak nyana kalau
benturan irama seruling yang dilambari
aji Bayu Rasa bisa sedemikian hebat-
nya.
Gangsiran yang rupa-rupanya belum
sempurna sikap Tugu Wasesanya terpaksa
menutup kedua belah telinganya karena
kurang tahan mendengar getaran irama
seruling yang beradu itu. Mereka
bertiga akhirnya menghentikan
permainan seruling yang mana kala
matahari mulai lewat di atas kepala
mereka dan berangsur-angsur bergeser
ke barat, dan pulanglah mereka bertiga
kembali kepadepokan Tanah Putih.
Malamnya Mahesa Wulung dan Gangsiran
dipanggil oleh Panembahan Tanah Putih
untuk bercakap-cakap dipendapa.
Wulung, besok adalah hari baik
yang telah kita nanti-nantikan itu.
Apakah kau masih berminat menyelidiki
ular pusaka Kyai Naga Geni? tanya tua
itu.
Masih berminat, guru, kata Mahesa
Wulung ingin sekali menyatakan
ceritera tentang pusaka itu.
Nah, kalau begitu kalian boleh
berangkat besok pagi-pagi sekali. Dari
padepokan sini, kamu berdua naik kuda
saja ke arah Barat lewat tanah
pegunungan. Bawalah bekal, kamu
mungkin nanti tidak menjumpai kampung
dijalanan. Ingat, segala sesuatu yang
telah aku ajarkan kepada kalian,
hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya.
Terima kasih Sang Panembahan.
Apakah kiranya kami diizinkan untuk
mempersiapkan segala sesuatu malam ini
juga?.
Ya, ya, itu lebih baik. Dengan
demikian kalian bisa pagi-pagi memulai
perjalanan kata orang tua itu.
Saya akan senantiasa berdoa agar
cita-cita dan tugasmu berhasi!, Wulung
!
Percakapan singkat malam, itupun
selesailah, karena Mahesa Wulung dan
Gangsiran akan segera mengatur barang-
barangnya. Sebenarnya, mereka itu
masih lelah sebab seharian telah
bekerja dan berlatih, tapi itupun tak
terasa sekali, karena mereka memang
orang-orang yang suka bekerja.
Udara pagi amat cerah, secerah
wajah-wajah yang berdiri di halaman
padepokan Tanah Putih. Sang Panembahan
berjanggut putih dan beberapa orang
murid kini berjabat tangan dengan
Mahesa Wulung dan Gangsiran yang
berdiri di dekat kudanya.
Selamat jalan angger Mahesa
Wulung dan Gangsiran. Semoga Tuhan
akan melindungi kalian diperjalanan,
kata Panembahan Tanah Putih itu,
sementara matanya yang telah tua
tampak berkaca-kaca.
Selamat tinggal Sang Panembahan
dan para kisanak semua mudah-mudahan
kita akan berjumpa pula dengan tiada
kurang suatu apa, seru mereka sambil
meloncat kepunggung kudanya masing-
masing. Sekali lagi sang Panembahan
mendekati Gangsiran sambil berkata.
Gangsiran, jagalah angger Mahesa Wu-
lung baik-baik dan aku mengampuni
segala dosa-dosamu.
Baik guru, aku akan jaga dia
baik-baik seperti menjaga nyawaku
sendiri, Gangsiran berkata penuh haru,
lalu kekang kudanya ditarik dan
dipukulkan ke leher kudanya untuk
menyusul Mahesa Wulung yang telah
berjalan lebih dahulu didepannya.
Merekapun meninggalkan padepokan
itu dengan memacu kuda-kudanya segera
ke arah barat melewati tanah
pegunungan yang penuh lekuk-lekuk
jurang itu. Sepanjang perjalanan
terlihat semak-ilalang dan rumput-
rumput liar lainnya tumbuh di sana
sini berombak-ombak bagaikan riak air
laut yang tersapu oleh angin. Sedang
pohon-pohon besar tumbuh tidak
terlampau rapat letaknya, seperti
pohon siwalan yang terlihat berjejer-
jejer tumbuh dengan suburnya.
Adi Mahesa Wulung, aku merasa
seperti tidak akan pernah sampai lagi
kepadepokan Tanah Putih, suara
Gangsiran memecah kesunyian.
Mengapa kakang? tanya Mahesa
Wulung keheranan.
Entahlah, sebabnya tak dapat aku
jelaskan dimas. Akupun hanya
merasakannya secara tiba-tiba.
Janganlah itu dirisaukan kakang.
Serahkan saja hal itu kepada Tuhan.
Kepada Nyalah kita berlindung dan
kepada Nya pula kita memohon.
Benar dimas kata-katamu itu.
Terima kasih atas nasehatmu.
Sementara mereka berdua melarikan
kudanya ke arah barat, jauh di atas
sana, di atas tebing jalan itu
terkuaklah semak ilalang oleh jari-
jari tangan dan sepasang mata dengan
tajam mengawasi gerak perjalanan
Mahesa Wulung dan Gangsiran.
Hmm, mereka memacu kudanya ke
arah barat. Rupa-rupanya mereka menuju
ke Gunung Brintik dan menaruh minat
terhadap pusaka Kyai Naga Geni. Ha,
ha, ha bagus. Manakala mereka berhasil
mendapatkan pusaka itu, segera disaat
itu pula sang Naga Geni pasti pindah
ketanganku.
Bayangan tadi berkelebat dengan
cepat mendapatkan beberapa orang
temannya yang telah menunggunya sejak
tadi di balik rumpun bambu.
Ayo cepat naik ke kudamu masing-
masing. Kita buntuti mereka dari jauh!
Kali ini Sima Gereng akan membuat
perhitungan dengan Mahesa Wulung, ha,
ha, ha !
Segera mereka berlompatan dan
naik kekudanya masing-masing, lalu
memacunya turun dari atas tebing
mengikuti jejak jejak kedua mangsanya.
Mereka sengaja untuk membiarkan Mahesa
Wulung lebih dahulu berusaha
mendapatkan pusaka Kyai Naga Geni itu,
setelah berhasil barulah mereka akan
merebutnya. Itulah sebabnya mereka
tidak akan mengganggu kedua mangsanya
lebih dahulu. Sima Gereng dan orang-
orangnya itu sebenarnya kurang menaruh
minat terhadap pusaka itu, sedang
bentuknya pun mereka belum pernah
tahu. Yang mereka tahu hanyalah, se-
tiap orang bahkan anak buahnya pun
sendiri yang pernah mencoba masuk ke
gua dan mencari pusaka itu, pada mati
konyol dengan badan yang hangus-hangus
setelah bertempur melawan seekor ular
besar yang menyala biru kehijau-
hijauan. Hingga semenjak itu tak
seorangpun berani mencoba memasuki gua
itu lagi. Kini dengan tiba-tiba saja
Sima Gereng tahu bahwa Mahesa Wulung
akan berusaha mendapatkan pusaka itu.
Heh, heh, heh, inilah kesempatan
untuk membuat jasa untuk Ki Singalodra
dan untuk menyerahkan pusaka itu
kepadanya, ia bersedia menukar dengan
emas, intan dan uang yang berlimpah.
Ini namanya menangguk ikan di air
keruh, pikir Sima Gereng diam-diam,
kemudian berpesan kepada anak buahnya.
Awas jangan ganggu mereka, sebelum
pusaka itu diperolehnya.
Mereka dengan diam-diam mengikuti
Mahesa Wulung dan Gangsiran, sedang
jaraknyapun mereka jaga benar-benar
agar selalu cukup jauh dan langkah-
langkah mereka tidak terdengar oleh
Mahesa Wulung yang bertelinga tajam
itu.
Setelah beberapa lama mereka
berjalan menempuh tanah pegunungan
yang berlembah dan bertebing-tebing
itu sampailah di kampung Bergota yang
dulu disebut juga Pulau Tirang.
Disinilah pernah tinggal Pangeran Mode
Pandan putera Adipati Junus, raja
Demak yang terkenal pula dengan nama
Pangeran Sabrang Lor karena suka
berlayar ke Utara bertempur melawan
orang-orang Portugis. Di Pulau Tirang
itu Pangeran Mode Pandan mendirikan
Perguruan Agama dan tinggalah di sana
bersama puteranya Raden Pandan Aran.
Sementara itu Sima Gereng bersama anak
buahnya mengambil jalan lain untuk
menjauhi kampung Bergota agar tidak
diketahui oleh siapapun. Mahesa Wulung
dan Gangsiran singgah di desa itu
beberapa saat untuk melepaskan
lelahnya sebeium meneruskan tujuannya
ke Gunung Brintik yang letaknya ada di
sebelah barat kampung Bergota. Mahesa
Wulung dan Gangsiran yang singgah di
desa itu sempat pula bercakap-cakap
dengan Ki Waru sahabat lama Gangsiran.
Benar-benarkah kisanak berkeras
hati untuk menyelidiki Pusaka Naga
Geni dari Gunung Brintik itu? tanya Ki
Waru dengan wajah yang ragu-ragu.
Benar Ki Waru. Jawab Mahesa
Wulung.
Kalau boleh saya nasehati,
sebaiknya Kisanak tidak usah
meneruskan maksud itu. Telah berapa
saja jatuh menjadi korban karena
mencoba mendapatkan Pusaka Kyai Naga
Geni yang belum pernah diketahui
bentuknya itu!
Terima kasih atas nasehat itu
bapak. Tapi kami akan tetap dengan
sungguh-sungguh menyelidiki Pusaka itu
supaya kami tahu apakah itu benar-
benar ada atau hanya kabar bohong
belaka. Tentang berhasil atau
tidaknya, itu tidak menjadi soal bagi
kami. Kita manusia wajib berusaha
tetapi Tuhanlah yang akan menentukan.
Dengan demikian kami tidak akan
berkecil hati seandainya kami tidak
berhasil mendapatkan Pusaka itu.
Demikian Mahesa Wulung berkata dengan
tenangnya sampai membuat Ki Waru
mengangguk-angguk karena saking
kagumnya akan kekerasan tekat kedua
tamunya itu.
Ah, kisanak, kau memang benar-
benar berjiwa perwira. Aku turut
bangga berkenalan dan bercakap-cakap
dengan kisanak berdua. Mereka bertiga
sangat akbrabnya, berbagai hal mereka
bicarakan dengan ramahnya tapi bagi Ki
Waru sangat merasa sayang karena
waktunya sangat sebentar dan tamunya
harus meminta diri untuk segera
melanjutkan perjalanannya ke Gunung
Brintik. Mahesa Wulung dan Gangsiran
kini melanjutkan perjalanannya ke arah
barat serta memacu kudanya.
Kita usahakan untuk tiba di sana
sebelum matahari terbenam kakang.
Sebab kalau kemalaman, kita sukar
mencari letak gua itu diwaktu gelap,
kata Mahesa Wulung seraya menambah
kecepatan lari kudanya.
Benar adi Wulung. sahut
Gangsiran, Ayo kita cepat-cepat. Maka
keduanyapun memacu kuda-kudanya yang
kini lari cepat seperti dikejar setan
itu, dan tak lama kemudian setelah
membelok ke barat daya sampailah
mereka di daerah Gunung Brintik.
Setelah keduanya turun dari kuda,
segera menuju ke semak-semak di bawah
pohbn siwalan serta mengikatkan kedua
binatang itu pada sebuah pohon yang
tersembunyi letaknya. Sinar matahari
yang masih cukup terang itu memberikan
bantuan kepada mereka untuk menemukan
letak gua tersebut.
Pada mulut gua tumbuh semak-semak
seperti melindungi tempat itu dari
pandangan mata, sedang dinding-dinding
mulut gua itu penuh ditumbuhi lumut
liar coklat kehijauan diseling-seling
tumbuhnya pohon paku di sana sini
menambah keseraman suasana.
Kakang Gangsiran, kau menunggu
aku di luar gua sampai aku keluar
membawa pusaka itu. Kalau terjadi apa-
apa, lekas beri tahu aku.
Baik adi Wulung, berhati-hatilah.
Nah, kakang aku masuk sekarang
juga, kata Mahesa Wulung, lalu
bergegas memasuki gua itu. Sungguh
seram bentuk gua itu. Di samping
lumut-lumut liar, pada dindingnya,
yang lembab oleh air muncul pula akar-
akar pohon yang bergantung-gantung
seperti ular menantikan mangsanya.
Dari arah perut gua itu terdengar
bunyi tetes-tetes air berirama seperti
lagu maut. Ketika Mahesa Wulung lebih
masuk lagi, kakinya terantuk sesuatu
yang berwarna putih dengan tiba-tiba
dan betapa terkejutnya demi dikeruk-
keruk tanah yang menutup benda putih
itu, muncul tengkorak manusia! Bulu
tengkuk Mahesa Wulung berdiri
seketika, tapi disaat itu pula
diucapkan doa dan segera tenanglah
hatinya. Setelah lima jangkah lagi
Mahesa Wulung bergerak maju, tampaklah
sebuah batu hitam besar, licin dengan
permukaan datar. Di samping batu agak
jauh letaknya terlihat pula kerangka
manusia! Rupanya batu itu biasa
digunakan oleh orang-orang untuk
tempat duduk di dalam ruangan gua yang
luas itu.
Mahesa Wulung lalu duduk bersila
di atas batu itu dengan tenangnya
untuk beristirahat sejenak. Kini senja
telah tiba. Sebentar lagi gua ini akan
bertambah gelap dan untuk menyelidiki
tentang pusaka itu sudah tidak mungkin
lagi.
Baiklah aku lanjutkan saja
penyelidikanku besok pagi pikir Mahesa
Wulung dengan tidak lupa memasang
kewaspadaannya.
Keesokan harinya, Mahesa Wulung
menyelidiki keadaan gua sampai ke
lekuk-lekuk dindingnya. Tapi tidak ada
tanda-tanda adanya sebuah pusaka,
bahkan ular naga yang sering disebut-
sebut orang itu juga tidak tampak.
Namun Mahesa Wulung belum
berputus asa, maka hari demi hari
ditunggunya sesuatu yang mungkin
terjadi yang bisa menunjukkan tanda-
tanda, pusaka itu
Sima Gereng yang membuntuti
Mahesa Wulung dan Gangsiran tiba pula
di tempat itu. Mereka lalu mencari
tempat tersembunyi untuk menunggu
mangsanya. Tampak pula oleh mereka
Gangsiran yang dengan enaknya duduk
diantara semak-semak di muka gua.
Anak-anak, lihat dan awasi betul-
betul gua itu. Jika kau lihat
seseorang keluar dari dajam gua segera
kita serang bersama-sama. Kini kita
bergantian istirahat!
Tepat pada hari yang kelima pada
suatu senja, terlihat cahaya terang di
langit, berwarna hijau kebiru-biruan
meluncur dengan cepatnya ke atas Gu-
nung Brintik. Itulah agaknya yang
biasa disebut orang-orang dengan nama
NDARU yang menurut kata, barang siapa
kejatuhan ndaru akan mendapat
kebahagiaan. Sementara itu Gangsiran
yang berjaga-jaga di depan gua
tertidur kelelahan sehingga ia tidak
melihat cahaya itu. Sebaliknya dengan
Sima Gereng serta anak buahnya dapat
menyaksikan cahaya kebiru-biruan itu.
Mula-mula cahaya itu setelah tiba di
atas bukit tempat gua itu terletak,
melayang-layang berputar. Sedang Sima
Gereng dengan anak buahnya menjadi
terkejut demi terlihat oleh mereka
diantara sinar kebiruan itu tampak
bentuk ular naga berwarna hijau
kebiru-biruan dengan mulutnya yang
sebentar-bentar ternganga serta
mengeluarkan api dengan warna yang
serupa kulit tubuhnya. Akhirnya ular
itu melayang turun dan masuk ke dalam
gua.
Cahaya terang yang tiba-tiba
menyinari gua itu sangat mengejutkan
Mahesa Wulung lebih-lebih lagi dengan
masuknya ular besar seperti naga
berwarna hijau kebiru-biruan itu.
Agaknya ular itupun terkejut pula
melihat Mahesa Wulung yang tengah
duduk bersila. Kepalanya segera
diangkat tinggi dan menyambar ke arah
Mahesa Wulung duduk itu, tapi Mahesa
Wulung yang sudah digembleng oleh
Panembahan Tanah Putih itu cukup
waspada maka begitu ular itu
menyambar, secepat itu pula ia
mengelak ke samping. Ternyata sambaran
ular itu menimbulkan angin yang hebat,
terlihat dari pasir-pasir yang
terhambur karenanya. Sang ularpun kini
terhenti sejenak sambil tajam
mengawasi Mahesa Wulung.
Rupa-rupanya ia keheranan melihat
mangsanya dengan mudah dapat
menyelamatkan diri dari serangannya,
kembali ular itu bersiap-siap
menyerang. Mulutnya ternganga lebar.
Melihat ini Mahesa Wulung ingat
ceritera tentang ular itu yang biasa
menggunakan semburan apinya dalam
membinasakan lawannya, lalu bersiap
siap pula. Ternyata tepatlah
perhitungannya, ular itu cepat
menyemburkan api hijau kebiruan dari
mulutnya. Mahesa Wulung sekali lagi
mengelak ke kiri hingga api semburan
ular itu terkena dinding dan
terlihatlah betapa lumut-lumut liar
serta dinding gua yang hangus dan
terbakar habis menjadi abu, sedang
dindingnya terlihat berkepul
mengeluarkan asap karena kepanasan.
Mahesa Wulung kini lebih berhati-hati
lagi, ia tidak berani menganggap
ringan ular itu.
Hemm, aku tak boleh hanya
mengelakkan serangannya dan selalu
bertahan saja tapi akupun harus pula
menyerangnya. Maka secepatnya Mahesa
Wulung meloncat menyerang ular itu ke
arah kepalanya dengan pukulan sisi
telapak tangannya, Tapi sekali ini
ganti Mahesa Wulung yang dibikin
terkejut melihat ular itu dengan
tenangnya memiringkan kepalanya
sehingga pukulan. Mahesa Wulung lewat
sejengkal dari kepalanya mengenai
udara kosong. Dengan begitu Mahesa
Wulung tiba di samping ular itu dan
kini ular itupun segera membalas
serangan lawannya dengan memukulkan
ekornya ke tubuh Mahesa Wuluhg.
Mendapat serangan demikian Mahesa
Wujung secepat kilat meloncat ke kanan
hingga ekor ular itu tidak, mengenai
tubuhnya tetapi memukul dinding gua.
Beberapa batu-batu kerikil dan lumut-
lumut liar rontok dari dinding gua
akibat sabetan ekor ular itu.
Dalam pertempuran di dalam gua
itu Mahesa Wulung selalu mudah
mematahkan serangan-serangan ular itu
karena sinar biru kehijauan yang
memancar dari ular itulah yang telah
menolong pandangan Mahesa Wulung,
sehingga ia dapat mengetahui setiap
gerak dari serangan-serangannya. Gerak
Mahesa Wulung kini masih bertambah
garang bahkan selalu dapat menyusup
diantara gerakan-gerakan tubuh ular
yang menyerangnya, laksana burung
sikatan yang terbang diantara celah
pohon-pohonan.
Tiba-tiba disaat pertempuran
melawan ular itu Mahesa Wulung
teringat pesan gurunya, untuk setiap
kali menggunakan semua pengalaman-
pengalamannya. Ya ia ada membawa
seruling yang pernah dicobanya
dipadepokan Tanah Putih. Mengapa ia
kini tidak mempergunakannya? Mahesa
Wulung teringat akan hal ini cepat-
cepat menarik serulingnya lalu
ditiupnya dengan lambaran ilmunya Bayu
Rasa. Suaranya mengalun merdu penuh
rasa kasih sayang dan kelembutan.
Memang, Mahesa Wulung, berusaha
mempengaruhi ular untuk kemudian
ditangkapnya hidup-hidup, karena iapun
merasa heran terhadap ular ini yang
tubuhnya memancarkan cahaya biru
kehijauan. Mungkinlah ini petunjuk
tentang pusaka Naga Geni yang
dicarinya!
Terkena oleh suara serulingnya,
ular itu tidak lagi menyerang Mahesa
Wulung, seakan-akan ia terpesona akan
iramanya. Kini ia menjadi tenang, ke-
palanya diangkat serta mengangguk ke
sana ke mari. Malahan oleh Mahesa
Wulung terlihatlah bahwa mata ular itu
berkaca-kaca seperti mata seseorang
yang rindu atau mengharukan sesuatu.
Mahesa Wulung sangat terkejut dan
herannya melihat hal ini, karena
selenyap ular itu, di kedua belah ta-
ngannya tergenggam sebuah cambuk yang
mengeluarkan cahaya biru kehijau-
hijauan. Dengan gemetar cambuk yang
ada di tangannya itu diamat-amatinya.
Sekarang Mahesa Wulung akan
mencoba mengakhiri tiupan serulingnya
serta menangkap ular itu. Begitu cepat
ia menyelipkan serulingnya
kepinggangnya, kembali, serta menerkam
ke arah ular itu. Satu tangan
mencengkeram kepala, satu tangan lagi
ke tubuh ular. Sementara sisa-sisa
tiupan serulingnya masih menggema di
ruang gua itu. Ular yang tubuhnya
dicengkeram oleh kedua tangan Mahesa
Wulung berlandaskan aji Lebur Waja itu
tak dapat bergerak lagi, hanya ia
menggetarkan tubuhnya, setelah itu
terlihat tubuhnya mengeluarkan asap
dan sedikit demi sedikit tubuhnya
makin mengecil, kecil dan akhirnya
lenyap sama sekali. Mahesa Wulung
sangat terkejut dan herannya melihat
hal ini, karena selenyap ular itu,
dikedua belah tangannya tergenggam
sebuah cambuk yang mengeluarkan cahaya
biru kehijau-hijauan. Dengan gemetar
cambuk yang ada ditangannya itu
diamat-amatinya. Ternyata pegangan
cambuk itu berbentuk kepala ular
sampai kelehernya, sedang batang tubuh
cambuk sampai keujungnya beranyam-
anyam menyerupai sisik ular. Sambil
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Besar, diciumnya cambuk itu,
sebagai pernyataan gembira karena
Tuhan telah mengizinkan mendapat
pusaka itu, pusaka kyai Naga Geni yang
berwujud cambuk.
Mahesa Wulung cepat bergegas
keluar dari gua itu yang kini kembali
sunyi, hanya terdengar tetes-tetes air
saja. Di depan mulut gua itu
didapatinya Gangsiran menunggu dengan
berdiri kecemasan. Begitu dilihatnya
Mahesa Wulung muncul dari dalam gua,
segera mendapatkannya,
Ah, adi Mahesa Wulung. Apakah adi
sehat-sehat saja ? O, Syukur adi
Mahesa Wulung telah mendapatkannya.
Aku pun turut menyatakan gembira adi.
Tiupan serulingmu sungguh-sungguh
hebat. Bersamaan kata-kata Gangsiran
selesai, sekonyong-konyong
berlompatanlah kelima orang mengepung
mereka berdua. Walaupun hanya dalam
kegelapan senja Mahesa Wulung dapat
mengenal mereka.
Hemm, diantara mereka pernah
kukenal dalam pertempuran dipadepokan
Tanah Putih. pikir Mahesa Wulung.
Hee, apa maksudmu mengepung kami
berdua! serunya pula.
Ha, ha, ha, kau mau tahu
maksudku? Serahkan saja pusaka yang
baru kau dapat itu kepada kami.
Sebagai gantinya nyawa kalian akan
selamat, ha, ha, ha. teriak Sima
Gereng sambil mengacungkan penggadanya
yang berujung bola besi berduri.
Engkau ingin pusaka ini? Boleh
kau dapat setelah melayang nyawaku.
Mari ambil sendiri kalau kau ingin
pusaka ini!
Mendengar kata Mahesa Wulung itu,
Sima Gereng menjadi marah. Sambil
berteriak nyaring, Sima Gereng
bergerak menyerang yang segera pula
diikuti oleh keempat anak buahnya.
Terjadilah di muka gua itu
pertempuran yang cukup dahsyat. Mahesa
Wulung sibuk melayani tiga orang
lawan, seorang diantaranya adalah Sima
Gereng sendiri, sedang yang dua lagi
bersenjata pedang pendek. Untuk kedua
kalinya Sima Gereng menjadi kecewa
melihat Mahesa Wulung dengan mudahnya
mematahkan setiap serangan-serangan.
Bahkan dengan cambuknya yang bergulung
rapi itu ia dapat mendesak mundur Sima
Gereng dengan kedua anak buahnya. Sima
Gereng menjadi semakin marah.
Ayo, Mahesa Wulung, cepat berikan
pusaka itu supaya kau masih sempat
menikmati cahaya matahari besok pagi,
teriak Sima Gereng sambil bertempur
gerakannya bertambah ganas.
Hee, Sima Gereng, boleh kau
kerahkan semua tenagamu. Mahesa Wulung
tidak takut dengan gertak sambalmu.
Balas Mahesa Wulung yang mana kata-
kata itu makin membuat darah Sima
Gereng terasa makin mendidih.
Adapun Gangsiran yang dikeroyok
oleh dua orang bersenjata pedang
pendek itu dengan baiknya menangkis
serangan-serangan pedang lawannya yang
menyambar bergulung-gulung mengerikan.
Sekali-kali ia melirik ke arah Mahesa
Wulung yang tengah menghadapi tiga
orang lawannya. Dalam pada itu
Gangsiran teringat akan janjinya bahwa
ia dengan sungguh-sungguh akan menjaga
temannya, Mahesa Wulung. Maka
secepatnya ia bermaksud mengakhiri
pertarungan itu serta membantu pula
Mahesa Wulung.
Gangsiran yang selama ini
menghadapi lawan-lawannya, hanya
menggunakan senjata pisau belati
panjang, sedang pisau-pisau kecilnya
kali ini belum sempat mempergunakannya
karena jarak untuk melemparkannya
harus cukup jauh. Kini kedua lawan
Gangsiran makin mendesak dari dua arah
samping kiri dan kanan disertai
bacokan-bacokan pedang pendeknya.
Untunglah bahwa ia cukup tangkas,
bahkan ketika sebuah pedang lawan
hampir mendarat dikepalanya, secepat
itu pula Gangsiran berkelit ke samping
lawan dan tangannya yang bersenjata
pisau belati panjang bergerak dengan
cepat. Tahu-tahu lawannya tadi
menggeliat, pedangnya terlepas sedang
kedua tangannya mencoba memegang
pinggangnya sambil mengeluarkan
teriakan tertahan. Terlihat diantara
sela-sela jari mengalir darah merah
dan kemudian rebah ke tanah.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang
dikeroyok ketiga lawannya dapat
bergerak dengan lincahnya dan seperti
kilat ia meloncat menghindari setiap
serangan senjata yang tertuju
kepadanya, kemudian dengan berjungkir
batik di udara seperti burung sikatan,
melenting tinggi dan akhirnya mendarat
di atas tanah kembali. Ketiga lawannya
berdesir melihat cara Mahesa, Wulung
bergerak dan diam-diam mereka mengeluh
di dalam hati mengapa sampai terlibat
dalam pertempuran dengan orang ini.
Sima Gereng yang telah habis
beberapa jurus dalam menyerang Mahesa
Wulung rupanya sudah tidak sabar lagi
memperpanjang waktu. Sekonyong-konyong
tangannya meraba ikat pinggangnya dan
berkelebat dengan cepat, maka
melayanglah beberapa butir bulatan
logam ke arah Mahesa Wulung. Namun
Mahesa Wulung yang telah sejak semula
curiga melihat Sima Gereng makin
menjauh dari titik pertempuran, dengan
tangkasnya mengibaskan cambuknya ke
udara dan sejurus kemudian butir-butir
logam yang melayang itu tersapu,
bersih berjatuhan ke tanah. Sima
Gereng amat terkejut melihat senjata
rahasianya gagal dalam tugasnya.
Selama ini belum pernah seorang
lawanpun bisa lolos begitu mudah.
Kini ganti kedua anak buah Sima
Gereng menyerang. Bersamaan dengan
kedua lawannya yang berbareng
membacokkan pedang pendeknya kearah
dada, Mahesa Wulung sekali lagi
melayangkan cambuknya ke arah mereka
sambil berseru: Kalian ingin pusaka
ini, nih ambillah olehmu.
Kedua lawan Mahesa Wulung
terpental hebat ketika ledakan cambuk
pusaka itu menimpa mereka, laksana dua
batang pohon yang kesambar petir
keduanya tumbang ke tanahdengan kulit
tubuhnya terbakar hangus.
Baik Mahesa Wulung dan lebih-
lebih Sima gereng sendiri sangat
terkejut menyaksikan kehebatan pusaka
cambuk Naga Geni ini. Maka dengan
suwitan nyaring Sima gereng
berloncatan mundur kesemak-semak
diikuti oleh anak buahnya yang tinggal
seorang itu. Tapi sekali ini Gangsiran
tidak mau begitu saja ditinggal lari
oleh lawannya.
Begitu ia mencoba meloncat
mundur, Gangsiran menghentikannya
dengan lemparan pisau belati
panjangnya hingga lawannya terhenyak
dan jatuh terkapar di atas ilalang
dengan sebuah belati menghias dadanya.
Sementara itu Sima Gereng yang
tengah meloncat melarikan diri
terlihat oleh Gangsiran yang segera
pula mengejarnya. Cahaya merah di
langit barat telah lenyap diganti oleh
sinar-sinar perak yang purnama dan
bintang-bintang lainnya yang kini
tampak bertebaran di langit. Kegelapan
semak-semaklah yang menolong Sima
Gereng dapat lolos dari kejaran
Gangsiran.
Kini Gangsiran berdiri di atas
rumpun ilalang diantara dua gerumbul
semak setelah menghentikan kejarannya.
Ia mencoba-coba mencari arah lenyapnya
Sima Gereng. Ketika itu terdengar
desir daun-daunan dari sebuah semak-
semak, lalu berkelebatlah sebuah
bayangan kearahnya dan langsung
menyerangnya dengan tusukan keris.
Gangsiran amat terkejut, tapi segera
dapat menguasai keadaan dan
keduanyapun segera terlibat dalam
perkelahian. Mula-mula sekali
Gangsiran mengira bahwa yang
menyerangnya itu setidak-tidaknya anak
buah dari Sima Gereng tapi melihat
senjata keris lawan serta cara
berpakaiannya yang rapih, tidak
mungkinlah bahwa orang itu dari
gerombolan hitam Alas Roban. Belum
habis keheranannya, sekali lagi
hatinya dibikin tergoncang ketika dari
gerumbul semak yang sama meloncat pula
sebuah bayangan yang segera terjun
menyerang dirinya. Dua orang lawan
kini yang harus dihadapi dan
keduanyapun bersenjata keris. Mahesa
Wulung yang melihat Gangsiran mengejar
Sima Gereng mula-mula diam
membiarkannya, tapi setelah lama
Gangsiran tidak muncul kembali bahkan
terdengar olehnya derak ilalang
terpijak-pijak oleh kaki maka
secepatnya ia meloncat ke arah suara
itu.
Hee, pasti ada sesuatu yang
terjadi dengan kakang Gangsiran, pikir
Mahesa Wulung serta mempercepat
larinya. Pikirannya memang benar sebab
begitu ia tiba di tempat itu tampak
tiga bayangan yang tengah terlibat
dalam satu perkelahian. Persis seperti
Gangsiran, mula-mula Mahesa Wulung pun
mengira bahwa dua orang yang menyerang
Gangsiran itupun dari gerombolan hitam
Alas Roban. Tapi begitu ia mendekati
lingkaran perkelahian itu serta
melihat senjata mereka keris, Mahesa
Wulungpun beragu. Tambahan lagi begitu
ia melihat cara mereka berpakaian
rapih dan melihat ikat pinggangnya
menyebabkan Mahesa Wulung berteriak:
Berhenti. Ternyata mereka berikat
pinggang merah. Ketiganya terhenti
setelah mendengar teriakan yang
mengguntur itu dan bersama-sama
menoleh ke arah itu. Terlihatlah
Mahesa Wulung berjalan dengan tenang
mendekati mereka. Ditangannya
tergenggam gulungan cambuk berwarna
biru kehijauan.
Ooooh, benarkah ini anak mas
Mahesa Wulung? seru kedua orang itu
sambil menyarungkan kerisnya. Mahesa
Wulung sendiri segera dapat mengenali
mereka, ialah kedua orang penjaga
bandar Asemarang yang pernah
meminjamkan kuda kepadanya. Mereka
adalah Kerpu dan Tambakan.
Ya, bapak berdua, inilah aku
Mahesa Wulung! Kedua orang itu yang
dengan ramahnya segera menjabat tangan
Mahesa Wulung bergantian.
Bapak Kerpu dan Tambakan, mungkin
tadi terjadi salah paham. Apakah bapak
berdua tahu siapa tadi yang bapak
serang?
Belum anak mas, kami memang belum
tahu. Kalau begitu apakah kami boleh
mengetahui siapakah kisanak ini yang
tadi telah mengadu tenaga dengan kami?
tanya Kerpu sambil melemparkan
pandangan ke arah Gapgsiran yang masih
tegak kebingungan.
Nah, bapak berdua, perkenalkan
ini kakang Gangsiran kakang
seperguruanku, murid Panembahan Tanah
Putih.
Murid Panembahan Tanah Putih?
berseru mereka setengah terkejut, demi
mendengar nama Panembaban Tanah Putih
disebut.
Memang benar kami telah salah
paham kalau begitu. Wah untung belum
sampai terjadi korban. Anak mas
Gangsiran, maafkan kami berdua atas
kekeliruan tadi. Semula kami sewaktu
melihat angger berlari-lari mengira
bahwa angger termasuk salah seorang
gerombolan Alas Roban.
Tidak apalah bapak berdua.
Kesalahan serta kekeliruan-kekeliruan
antara sesama manusia dalam kehidupan
kita adalah kejadian yang wajar.
Selama kita sadar bahwa kesalahan-
kesalahan itu dapat diperbaiki, maka
kesalahan itupun akan membuat kita
lebih dewasa dalam berpikir dan
bertindak agar hal-hal yang keliru
tadi tidak terulang kembali, kata
Gangsiran kepada kedua orang bekas
lawannya. Maka diam-diam Kerpu dan
Tambakan manggut-manggut serta memuji
dalam hati atas kata-kata Gangsiran
yang bening keluar dari pikiran yang
cerah. Pertanda bahwa Gangsiran bukan
orang yang suka mendendam.
Maaf anakmas Mahesa Wulung,
apakah sebenarnya yang baru terjadi
disini? bertanya pula Kerpu kepada
Mahgsa Wulung.
Beberapa gerombolan hitam Alas
Roban telah menyerang kami berdua,
bapak.
Begitulah memangnya angger.
Mereka mulai mengganas di mana-mana
dengan kejamnya tanpa takut akan dosa
atas perbuatannya. Dan hal inilah yang
membuat kami sampai di sini karena
mencari-cari angger Mahesa Wulung.
Apakah sesuatu yang telah
terjadi? tanya Mahesa Wulung.
Benar. Sesuatu telah terjadi dan
telah melanda kampung Karang Asem!
jawab Kerpu dan seketika kelihatan
wajah Mahesa Wulung menjadi tegang.
Pikirannya berlari ke arah pamannya Ki
Sorengrana.
Melihat angger Mahesa Wulung,
kami akan menceritakan kejadian itu
selengkapnya. Tiga hari yang lalu
ketika kami tengah bertugas di bandar
Asemarang, seorang petani telah
menemui kami dan melaporkan bahwa
kampung Karang Asem pagi itu telah
diserang oleh gerombolan hitam Alas
Roban. Kali ini penyerangan dipimpin
sendiri oleh Singalodra dengan puluhan
anak buahnya. Pamanmu dan para
penduduk di situ rupa-rupanya sudah
tahu akan kabar penyerangan itu,
ternyata bahwa mereka telah bersiap-
siap lebih dulu sehingga dengan gegap
gempita merekapun pergi menyongsong
kedatangan Singalodra beserta anak
buahnya, dan terjadilah saat itu juga
pertempuran hebat. Jerih payah pamanmu
Ki Sorengrana yang telah melatih
mereka menggunakan senjata tidak sia-
sia. Beberapa saat kemudian, beberapa
orang gerombolan kena dirobohkan oleh
pukulan maut Lebur Waja dari Ki
Sorengrana. Sementara itu pula ada
satu, dua anak buah Ki Sorengrana
tewas di ujung senjata gerombolan Alas
Roban. Darah merah yang memercik dari
luka-luka serta teriak kesakitan
diseling gemerincingnya senjata yang
beradu membikin pertempuran itu makin
lebih berkobar, dan makin gila. Gila
karena manusia-manusia di saat itu
saling berbunuhan. Kata-kata damai
telah hilang dari kamus pikiran. Kini
mereka hanya teringat semboyan :
Dimatikan oleh musuh atau mematikan
musuh. Dalam pertempuran ini tampak
jelas kekejaman dan kebuasan
gerombolan Alas Roban. Mereka
menggunakan apa saja dalam menyerang
musuhnya. Seperti penggada berujung
bola besi berduri, kampak, rantai,
disamping senjata-senjata biasa
lainnya. Sambil mendobrak pertahanan
Ki Sorengrana, Singalodra berteriak
nyaring:
Hee, tikus-tikus kecil, rasakan
sekarang pembalasanku. Inilah hukuman
bagi orang-orang yang mencoba
menghalangi gerombolan Alas Roban!
Lekas menyerah semua sebelum kalian
kucincang habis.
Teriakan ancaman Singalodra
memang cukup mengerikan tapi itu tidak
digubris sama sekali oleh Ki
Sorengrana dan anak buahnya, sebab
mereka telah bertekad lebih baik
mereka mati membela keadilan dan
kebenaran dari pada menyerah kepada
gerombolan Alas Roban. Kemarahan
Singalodra menjadi-jadi setelah
melihat bahwa ancamannya tidak
digubris.
Cepat basmi tikus-tikus itu,
jangan beri ampun! perintahnya kepada
anak buahnya dan pertempuranpun
semakin seru. Beberapa anak buah Ki
Sorengrana mencoba mengepung
Singalodra. Melihat itu hantu Alas
Roban ini menggemakan tertawanya dari
balik topeng harimaunya. Topengnya
yang berbentuk sederhana ternyata
mempunyai pengaruh luar biasa bagi
setiap lawan yang menghadapinya. Para
pengepung itu merasa ngeri memandang
topeng Singalodra sehingga sebagian
besar pengamatan mereka hilang
karenanya. Maka mudahlah Singalodra
menangkis setiap serangan
pengepungannya bahkan dua orang di
antaranya rebah ke tanah termakan
ujung senjata trisulanya. Namun
beberapa orang anak buah Ki Sorengrana
lainnya terjun pula ke situ ikut
mengepungnya. Malahan beberapa di
antaranya segera melepaskan anak
panahnya ke arah Singalodra. Untuk
serangan anak panah inipun Singalodra
cuma memperdengarkan tertawanya yang
seram dan sekali menggerakkan
trisulanya setengah lingkaran ke
udara tersapu bersihlah semua anak
panah serta berjatuhan ke tanah. Para
pengepung sangat terkejut melihat hal
ini dan sebelum mereka sadar
terdengarlah pula gema tertawa
Singalodra dari balik topengnya yang
makin lama makin bernada tinggi,
membikin nyeri rongga dada para
pengepungnya. Itulah kalau Singalodra
mulai merancarkan aji pemunahnya.
Senggara Madan. Tertawanya terus
menanjak tinggi lalu berubah seperti
geram dari auman harimau yang marah.
Akibatnya hebat sekali, satu persatu
lawannya menjadi pucat pasi dan
perlahan-lahan jatuh terduduk sambil
menekankan kedua tangan ke atas dada
seperti mencoba menahan sesuatu yang
tengah terjadi. Memanglah, sesuatu
telah terjadi pada isi rongga dada
mereka yang mulai rontok akibat ketawa
dan auman Singalodra. Yang dilambari
aji Senggara Macan. Akhirnya, sebentar
kemudian rebah ke tanah dengan darah
mengalir dari mulutnya, sedang
sebagian melarikan diri sambil
berteriak-teriak.
Belum habis Singalodra menikmati
kemenangannya mendadak satu bayangan
berkelebat cepat menyerangnya. Namun
bagi hal ini tidak mengejutkan
Singalodra, meski diam-diam ia kagum,
masih ada orang yang berani
menyerangnya selagi ia tengah
melancarkan aji Senggara Macannya.
Pantas. Rupanya inilah jagoan
dari Karang Asem, serunya.
Benar! Akulah Sorengrana yang
akan melawanmu! teriak Ki Sorengrana
sambil menyerangnya dengan pedangnya.
Ketika Singalodra merasakan bahwa
serangan Ki Sorengrana cukup berat, ia
tidak mau bermain-main lagi maka
geraknyapun menjadi semakin ganas.
Persis seperti harimau kelaparan yang
sedang menyerang mangsanya dengan
rakus. Dengan senjatanya Trisula yang
bergulung-gulung seperti badai itu, ia
mampu menangkis setiap serangan pedang
Ki Sorengrana.
Tetapi Ki'Sorengrana cukup
tangguh memainkan pedangnya yang sudah
matang terlatih, sehingga yang
terlihat hanyalah kilatan sinar
menyambar-nyambar serta mematuk-matuk
mengerikan menyerang gulungan tombak
lawan.
Begitulah pertempuran berlangsung
dengan dahsyatnya. Singalodra yang
telah banyak terlatih serta murid
kinasih Ki Macan Kuping, hantu Alas
Roban itu beberapa kali menyerbu
kampung-kampung di sepanjang pantai
utara Jawa. Karena mereka tidak mau
membayar pajak yang telah ditetapkan
oleh Singalodra. Beberapa orang pula
yang telah cukup terkenal ketika
mencoba menentang perbuatannya telah
dicintainya dan berakhir dengan
bertekuknya lutut mereka serta
bersedia membayar pajak itu. Dan
sekali inilah masih ada orang yang
berani mencoba menentangnya, sehingga
ia bertekat akan membinasakan lawannya
Singalodra telah terbiasa oleh
pekerjaannya. Merampok, menyiksa dan
membuat baginya seolah-olah nyawa
adalah barang permainan yang mudah
didapat.
Satu ketika tusukan tombak
Singalodra ditangkis oleh sabetan
pedang Ki Sorengrana. Keduanya sama-
sama mengerahkan tenaga dalamnya
hingga benturan kedua senjata itu
telah mengakibatkan keduanya terdorong
mundur beberapa langkah. Bahkan lebih
dari itu sebab Ki Sorengrana
mengetrapkan pukulan Lebur Wajanya
menyebabkan Singalodra setelah
terdorong surut lalu jatuh terduduk
dengan kedua belah tangan masi
menggenggam trisulanya. Kejadian itu
seperti sekejap mata saja, sebab tiba-
tiba dengan cepat Singalodra berdiri
pula tegak tanpa cacat sedikitpun.
Melihat ini, Ki Sorengrana dengan
geramnya melangkah ke arah Singalodra
untuk menyerangnya kembali.
Meskipun masih agak berkunang-
kunang, ternyata Singalodra dapat
mengatasi pukulan Lebur Waja. Dalam
saat tegang ini, di kala Ki Sorengrana
melangkahkan kakinya untuk menyerang
Singalodra yang masih berdiri
kepeningan itu, satu bayanqan melesat
ke belakang Ki Sorengrana dengan dua
ujung jarinya langsung menotok
punggung Ki Sorengrana dan sejurus
kemudian iapun jatuh terkulai lemas ke
tanah. Ternyata jalan darahnya telah
tertotok oleh orang ini yang berbaju
hitam panjang, berikat kepala merah
soga berbencah-bencah hitam serta
mengenakan ikat pinggang kulit harimau
tutul, sehingga Ki Sorengrana tak
berdaya lagi.
Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Nah lihat
Singalodra, musuh mu telah aku
rubuhkan dengan totokan jalan darah.
Dengan hal yang sama telah aku
rubuhkan pula murid perempuannya yang
bernama Pandan Arum! Ayo, cepat ikat
mereka berdua. Kita akan bawa mereka
ke sarang kita di Alas Roban. Kita
gunakan mereka untuk memancing Mahesa
Wulung datang ke sana. Ha, ha, ha, ha!
Macan Kuping tertawa sambil mengelus-
elus kumisnya.
Melihat Ki Sorengrana jatuh tak
berdaya, anak buahnya menjadi cerai-
berai bagaikan anak ayam kehilangan
induknya.
Sebagian melarikan diri mencari
selamat, sedang sebagian lagi yang
masih mencoba melawan, dengan mudah
dirubuhkan mati oleh anak buah
Singalodra tanpa ampun. Nah, begitulah
cerita petani tadi kepada kami berdua.
Dialah salah seorang dari
pengepung-pengepung Singalodra yang
melarikan diri.
Kerpu sejenak menghentikan
ceritanya. Keempatnya diam membisu,
masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Keheningan malam telah terasa betul-
betul mencekam suasana. Kemudian ia
melanjutkan lagi.
Begitulah setelah kami menerima
laporan dari petani itu segera kami
menyiapkan dua regu penjaga keamanan
bandar Asemarang menuju ke kampung
Karang Asem. Rumah yang habis terbakar
masih kelihatan mengepulkan asap hitam
dengan tiang-tiangnya yang telah hitam
menjadi arang. Beberapa orang
perempuan tampak meratapi beberapa
korban keganasan gerombolan Alas Roban
yang berkaparan di sana-sini, maka
secepatnya kami turun tangan membantu
mereka serta mengubur para korban itu.
Di antara perempuan-perempuan, itu
kelihatan Nyi Sorengrana. Setelah kami
mendapatkannya, tahulah kami bahwa
jauh sebelum penyerangan itu, perempu-
an-perempuan, anak-anak dan orang-
orang tua telah bersembunyi dan
mengungsi di sebuah hutan di selatan
Karang Asem sehingga mereka selamat
tak kurang satu apa. Tampak pula sisa-
sisa anak buah Ki Sorengrana yang
sibuk merawat orang-orang yang
terluka. Sayang sekali bahwa
kedatangan kami terlambat, kalau tidak
tentu kami dapat mengusir, setidak-
tidaknya mencegah agar mereka tidak
dapat membuat korban lebih banyak.
Demikianlah atas keterangan Nyi
Sorengrana kami segera menempatkan
sebagian penjaga di Karang Asem sedang
kami berdua berusaha mencari angger
Mahesa Wulung untuk menyampaikan
kejadian tersebut. Mula-mula kami
menuju ke padepokan tanah putih. Di
sana kami bertemu dengan Panembahan
Tanah Putih yang menceriterakan bahwa
angger Mahesa Wulung sedang
menyelidiki pusaka Naga Geni di Gunung
Brintik. Maka secepatnyalah kami ke
mari mencari angger. Pesan sang
Panembahan, agar angger Mahesa Wulung
secepatnya berusaha membebaskan Ki
Sorengrana dan Pandan Arum. Kerpu
mengakhiri ceriteranya.
Hemm, sungguh-sungguh mereka
gerombolan ganas dan licik pula.
Baiklah kalau demikian kami berdua
dengan kakang Gangsiran akan diam-diam
menyusup ke Alas Roban dan membebaskan
paman Sorengrana serta adi Pandan
Arum, kata Mahesa Wulung.
Angger Mahesa Wulung, kita atur
saja mulai sekarang untuk menyerang
Alas Rpban. Kami secepatnya akan
kembali ke Asemarang serta menyiapkan
penyerangan itu. Dengan gabungan
pasukan pengawal bandar Asemarang
serta sisa-sisa anak buah Ki Soreng-
rana kami akan berkuda menyusuri
pantai utara dan kira-kira seminggu
kami akan tiba di sana. Nah, pada hari
itulah kami akan melancarkan serangan
yang mendadak!
Baik bapak. Saya setuju dengan
rencana bapak berdua itu, lalu
kapankah bapak Kerpu dan Tambakan
kembali ke Asemarang?
Angger Mahesa Wulung, sebaiknya
kami berangkat pulang sekarang. Lebih
cepat kami menyiapkan diri lebih baik.
Begitulah setelah berjabat tangan de-
ngan Mahesa Wulung dan Gangsiran,
mereka cepat mengambil kudanya yang
tertambat di sebuah semak-semak dan
kemudian sebentar saja keduanya telah
berpacu ke utara.
Demikian pula Mahesa Wulung dan
Gangsiran segera mengambil kuda
kudanya tapi mereka berdua tidak
memacu kudanya melainkan cuma berjalan
biasa saja, karena jarak yang mereka
tempuh masih cukup jauh, sedang mereka
harus menjaga kuda-kudanya agar tidak
terlalu lelah. Tambahan lagi jalan
yang dilalui ke barat itu tidak rata
tapi berbukit-bukit sehingga mereka
harus berhati-hati.
EMPAT
SINAR perak sang rembulan serta
bintang-bintang yang bertebaran di
angkasa telah berjasa membantu mereka
mencari jalan yang baik. Bunyi dering
jengkerik terdengar di sana sini dari
sela-sela rerumputan dan batu-batu.
Sesekali lewat di depan mereka
beberapa ekor kunang-kunang yang
berkedip-kedip cahayanya. Sekarang
keduanya mufai menuruni bukit-bukit,
membelokkan kudanya ke arah utara,
sehingga tibalah mereka di tanah datar
yang berhutan-hutan kecil. Mereka
berdua kini melarikan kudanya dengan
kecepatan yang sedang, terus menuju ke
utara menyusuri sebuah sungai yang
mengalir di sebelah barat daerah
Asemarang. Tak lama kemudian tibalah
mereka di daerah Kali Banteng. Entah
mengapa tempat itu disebut demikian,
mungkin di situ dahulu sering terlihat
banteng.
Kakang Gangsiran, di depan kita
dibalik gerombol pohon-pohon itu
terletak sebuah desa. Apakah kakang
berminat untuk singgah sebentar?
bertanya Mahesa Wulung.
Terima kasih dimas. Aku kira,
kita tidak mengambil jalan yang
melewati desa itu, melainkan kita cari
jalan melingkar di selatan desa itu,
jawab Gangsiran pula. Mahesa Wulung
dapat membenarkan pendapat Gangsiran
itu, sebab dengan mengambil jalan itu
mereka menjauhi kemungkinan bertemu
dengan orang-orang lain, tanpa
menimbulkan korban yang banyak. Bahkan
jika mungkin ia akan berusaha mem-
bebaskan pamannya Ki Sorengrana serta
Pandan Arum tanpa melibatkan pasukan
Asemarang dalam pertempuran di Alas
Roban.
Malam itu meskipun bulan bersinar
dengan terangnya, namun cahayanya tak
dapat menembus kepekatan rimba Alas
Roban, yang hampir sebagian besar
dipenuhi oleh pohon-pohon karet tahun
yang tumbuh dengan liarnya. Cabang-
cabangnya serta daunnya saling
bertautan seolah-olah memang sengaja
menghalang-halangi sinar rembulan
memasuki daerahnya, bagaikan tangan-
tangan hantu yang menjaga sarangnya.
Tapi dikepekatan rimba yang
lembab itu jauh di sana, diperut rimba
itu terdapatlah rumah-rumah kayu
beberapa buah. Di muka rumah yang
terbesar di antara rumah-rumah itu
terdapat sebuah tanah luas sebagai
halamannya dan terpasanglah di situ
sebuah api unggun dikelilingi oleh
orang-orang bersenjata. Sebagian ada
yang duduk, sebagian lagi berdiri.
Sedang di pojok timur halaman itu
terpasang seperangkat gamelan lengkap
dengan penabuh, pesinden serta
penarinya. Tetapi kesemuanya diam
membisu seperti tengah menunggu
sesuatu yang penting dan semua
pandangan mata mereka tertuju ke pintu
rumah besar. Tak lama kemudian pintu
rumah besar itupun terbukalah serta
muncul dari dalam rumah, dua sosok
tubuh yang kekar.
Seorang mengenakan kulit harimau
tutul sebagai bajunya dan mukanya
tersembunyi dibalik topeng harimau
yang seram. Tangannya menggenggam se-
buah tombak trisula.
Seorang lagi berbaju hitam dengan
ikat kepala merah berbunga-bunga hitam
dan pada pinggangnya tergantung sebuah
pedang panjang. Keduanya berjalan ke
tengah lingkaran orang-orang
bersenjata itu, serta berhentilah
mereka, bila keduanya telah tiba di
sana.
Di antara orang-orang yang
mengelilingi api unggun itu terdengar
bisik membisik sesamanya. Mereka telah
menunggu-nunggu keduanya sejak tadi.
Lihatlah sebentar lagi, Ki Macan
Kuping serta Singalodra pasti akan
segera membuka pesta kemenangan kita.
Dan kita akan mabuk-mabuk minum tuak
sambil menari-nari bersama gadis-gadis
itu.
Nah itu-itu lagi yang kau
bicarakan, seolah-olah hanya menari
dan mabuk-mabuk yang kau ingat dalam
benakmu.
Lho apa salahnya dengan diriku,
bukankah itu hal yang wajar? Menari,
menyanyi serta mabuk-mabuk akan
membuat kita awet muda.
Ya, tapi dengan begitu aku
teringat penyerangan kita ke Karang
Asem, beberapa hari yang lalu, kata
seorang yang masih muda.
Mengapa dengan Karang Asem? tanya
orang yang berkumis tebal teman si
orang muda itu. Kan mereka sudah kita
hancurkan.
Dari sebab itulah aku selalu
teringat! Orang-orang kampung itu yang
kita binasakan berkaparan di mana-
mana, merintih kesakitan. Dengan
menari-nari itu, seolah-olah kita
menari di atas mayat bangkai mereka.
Ah, sudahlah Dugel. Lupakan saja
hal itu. Aku maklum kau masih anggota
baru, belum terbiasa melihat orang
mati. Tetapi jangan kuatir, tunggulah.
Sebentar lagi kau akan biasa
melihatnya. Bahkan kau akan menyesal
bila tidak ikut menyembelih orang
dalam setiap penyerangan gerombolan
kita ke desa-desa.
Hiiii, menyembelih orano? si
orang muda yang bernama Dugel
kelihatan bergetar, bulu tengkuknya
berdiri mendengar kata kata temannya
itu.
Sudahlah Dugel, kita selesai
ngobrol. Nih, minumlah tuak biar lebih
hangat badanmu! kata sikumis tebal
sambil menyorongkan tangannya yang
berisi cangkir tembikar penuh tuak
yang melimpah kepada si Dugel.
Sejurus kemudian mereka
menghentikan bisik-bisiknya, bila Ki
Macan Kuping mengangkat kedua belah
tangannya.
Anak-anakku semua, aku berterima
kasih atas keberanianmu yang telah kau
perlihatkan dalam penyerangan, ke
Karang Asem. Sekarang pesta ini adalah
untuk merayakan kemenangan kita itu.
Nah, malam ini bersuka-sukalah,
menyanyi, menari bersama gadis-gadis
itu, minum tuak sepuas-puasmu, atau
apa saja terserahlah! Besok kita masih
punya pekerjaan yang besar!
Begitu selesai Ki Macan Kuping
bicara, serempak gamelan ditabuh orang
dan berdirilah para tledek itu serta
memulai tarian-tariannya yang
menggairahkan diseling oleh suara
pesinden yang tidak kalah gairahnya.
Sebentar saja suasana menjadi hangat,
dan bertambah hangat bila beberapa
orang telah mulai pada mabuk tuak.
Beberapa orang berdiri dan sambil
sempoyongan, mereka menandak-nandak
terjun ke tengah arena tari itu.
Sambil menari, sebentar-sebentar
diisi mulutnya dengan minuman tuak
hingga berceceran ke tanah. Seorang
lagi lebih lucu, kelihatan menari
sambil mulutnya menggigit setusuk
satai daging yang masih berkepul-kepul
kepanasan, melintang pada kedua sudut
mulutnya.
Heee, lihat itu Bugelan sedang
beraksi! teriak salah seorang dari
penonton. Mereka tertawa terbahak-
bahak melihat kelucuan Bugelan.
Sementara itu seorang lagi yang menari
dengan tangan serabutan laksana
geraknya sapit seekor kalajengking
bergeser-geser mendekati Bugelan.
Wah, itu Sapit Ireng beraksi
pula! seru mereka. Tiba-tiba dengan
gerak yang cepat hampir-hampir sukar
ditangkap mata, Sapit Ireng
menggerakkan kepalanya kemuka kepala
Bugelan dan sekejap itu terlihatlah
mulutnya mencengkam dua iris daging
satai yang terlolos dari tusukan satai
di mulut Bugelan.
Hebat kau Sapit Ireng! teriak
seorang penonton. Ia dapat mengambil
tusukan daging satai dari mulut
Bugelan. Tidak hanya penonton saja
yang ketawa, juga Ki Macan Kuping
serta Singalodra ikut pula tertawa
menyaksikan ketangkasan Sapit Ireng.
Ayo, konco-konco, puaskan
gembiramu! Ini adalah pesta untukmu!
teriak Singalodra keras-keras.
Serentak mendengar kata Singalodra
pemimpin mereka itu, beberapa orang
yang mula-mula malu-malu segera
berdiri pula dan terjun ke tengah
arena ikut menari kesenangan.
Irama gamelanpun dipukul semakin
keras, dengan nada yang gila-gilaan.
Bila sudah demikian, gema iramanya
mengalun ke segenap penjuru hutan
sampai ke desa-desa yang terletak di
sekitar Alas Roban. Bahkan, karena
letak Alas Roban itu di tepi pantai
Utara Jawa suara gamelan gila itu
sekali-sekali terdengar sampai ke
pantai, membuat siapa saja yang mende-
ngar menjadi meremang bulu tengkuknya,
karena merekapun sadar bahwa suara
gamelan itu berasal dari perut hutan
Alas Roban satu tanda pula kalau
gerombolan hitam Singalodra dari Alas
Roban sedang berpesta pora menikmati
kemenangannya.
Demikianlah, pesta pora itu
mencapai larut malam dan sekonyong-
konyong saja, kemeriahan pesta agak
terganggu, bahkan beberapa orang cepat
menyiapkan senjatanya, manakala derap
kaki kuda terdengar sayup-sayup yang
makin lama terdengar bertambah dekat.
Seorang penjaga pintu gerbang masuk
sarang gerombolan itu yang berdiri di
sebelah sana tampak melambai-lambaikan
pedangnya yang terhunus. Serentak
mereka pada menarik napas lega, karena
itu adalah tanda aman dan yang datang
tentulah kawan sendiri.
Benarlah isyarat lambaian pedang
itu, sebab tak lama kemudian muncul
seorang berkuda mendekati mereka
dengan tubuhnya yang mandi peluh.
Beberapa goresan luka-luka kecil
terlihat pula pada tubuhnya.
Hee, bukankah itu kakang Sima
Gereng! teriak salah seorang dari
mereka yang serentak berdiri menunggu
orang berkuda.
Ya, betul itu Sima Gereng! teriak
yang lain pula. Tapi mengapa ia pulang
sendiri? Di mana empat orang kawan
kita yang lain! Sebentar saja mereka
hiruk-pikuk membicarakan Sima Gereng
yang pulang sendirian saja, sementara
gamelanpun menjadi reda, semakin reda
dan akhirnya berhenti sama sekali yang
diikuti para penarinya segera
menghentikan tariannya pula. Bahkan
beberapa orang penari ikut pula
menggerombol mengelilingi Sima Gereng
yang kini telah turun dari kudanya.
Ki Macan Kuping dan Singalodra
tampak pula berjalan mendekati Sima
Gereng.
Mengapa engkau pulang sendirian
Sima Gereng, di mana keempat anak
buahmu itu? tanya Singalodra dengan
pandangan matanya yang tajam mengawasi
Sima Gereng.
Kami telah menjalankan tugas ki
lurah, tapi ketiwasan! jawab Sima
Gereng sambil menundukkan kepala.
Sedang napasnya turun naik.
Ketiwasan bagaimana? Ayo,
ceriterakan tugasmu. Jangan bicara
sepotong-sepotong! seru Singalodra
dengan marah.
Ampun ki lurah, kami berlima
telah berhasil menghadang Mahesa
Wulung yang telah membawa pusaka Naga
Geni. Wujud pusaka itu ialah sebatang
cambuk yang menyala kebiruan. Kemudian
terjadilah pertempuran dan kami
berusaha merebut pusaka itu, hanya
sayangnya ternyata Mahesa Wulung tidak
sendirian tapi membawa teman, seorang
yang pandai melempar pisau.
Hmmm, itu pasti si Gangsiran,
penjudi edan! potong Singalodra dengan
geramnya. Teruskan bicaramu goblok,
ayo! Dengan gugup Sima Gereng
meneruskan pula ceriteranya.
Setelah kami bertempur, tiba-tiba
Mahesa Wulung menggunakan pusaka itu
untuk melawan kami dan akibatnya luar
biasa. Dua orang anak buah saya yang
terkena cambuknya, seketika jatuh mati
dengan tubuh hangus kemerahan seperti
daging satai yang dipanggang api.
Mendengar keampuhan pusaka itu,
orang-orang terperanjat sekali,
termasuk Singalodra serta Ki Macan
Kuping sendiri yang sudah tergolong
tingkatan atas dalam ilmu kesaktian.
Dan juga dengan Mahesa Wultung
sendiri, ternyata orang yang hebat.
Angin pukulannya saja bisa
menumbangkan saya. Untunglah saya
cukup tangkas ki lurah, hingga saya
dapat mengelak menghindarkan
serangannya.
Plak! plak! plak! tiba-tiba
dengan gesitnya Singalodra menampar
Sima Gereng yang sekaligus jatuh
tertelentang dengan sudut mulutnya
berdarah. Sima Gereng tampak meringis-
ringis sambil meraba bibirnya.
Sebentar terdengar keruyuk-keruyuk
dalam mulutnya dan cepat-cepat Sima
Gereng meludah. Tampak darah merah
keluar diikuti tiga buah benda putih
meloncat keluar dari mulutnya, akibat
tamparan Singalodra.
Ampun! Aduh, aduh, gigi saya
copot, teriak Sima Gereng kesakitan.
Itulah hukuman bagimu goblog! Kau
berani memuji-muji musuhmu di depanku
he! Mengapa kau tidak ikut mampus
bersama keempat anak buahmu sekali,
teriak Singalodra kemarahan sambil
melototkan matanya yang bengis kejam
itu.
Ampun Ki Lurah, saya berkata
sebenarnya. Sayapun sudah berjanji
demi setan-setan penjaga Alas Roban
ini, bahwa saya suatu ketika akan
membalas dendam kepada Mahesa Wulung,
si keparat itu.
Hem, bagus, bagus, aku akan
pegang sumpahmu itu. Meskipun kau
gagal, saya akan masih mengampunimu!
Dan lagi kita telah berhasil menangkap
paman Mahesa Wulung, Ki Sorengrana
serta muridnya sekaligus yang bernama
Pandan Arum. Dengan mereka berdua,
kita pancing Mahesa Wulung masuk ke
sarang kita ini. Kita akan tukarkan
kedua orang itu dengan pusaka Naga
Geni. Setelah itu baru kita bereskan
mereka!
Hua, ha, ha, ha, bagaimana anak-
anak?! Seru Singalodra.
Akur! Setuju, ki lurah! teriak
orang-orang serempak, menyetujui
pendapat Singalodra.
Nah, kalau begitu sekarang ayo,
kalian kembali ke tempatnya masing-
masing. Kita teruskan pesta pora ini!
seru Ki Macan Kuping. Kini gamelanpun
ditabuh lagi dan kembali mereka
menari-nari, mabuk-mabuk tuak, serta
menyanyi-nyanyi dengan bebasnya tanpa
patokan-patokan seni yang ada, tanpa
aturan tata tertib sehingga kadang-
kadang diantaranya timbul pukul
memukul dengan ternannya saking
mabuknya dengan minuman tuak. Jika
sudah begitu teman-teman yang lain
cuma tertawa menyaksikan mereka,
sedang penari-penari malahan tambah
menari dengan gairahnya. Baginya hal-
hal itu, berkelahi, mabuk-mabuk, sudah
biasa terjadi di kalangan gerombolan
hitam Alas Roban sehingga mereka tak
usah kuatir. Begitulah suasana pesta
gerombolan hitam Alas Roban terus
berlangsung sampai langit di sebelah
Timur disaput oleh warna-warna merah
sang matahari. Beberapa ayam jantan
mulai berkokoh bersahut-sahutan,
suaranya menggema di perkampungan itu
yang tersembunyi letaknya di perut
rimba Alas Roban.
Debu serta kerikil-kerikil
berhamburan oleh kaki-kaki kuda yang
dipacu secepat angin menyusuri jalan
sepanjang pantai Utara Jawa.
Kakang Gangsiran, kita telah
melewati Kali Bodri.
Tapi sayang adi Mahesa Wulung,
kita tidak sempat singgah di perguruan
Kyai Kendil Wesi di Kaliwungu. Kalau
singgah, tentu kita mendapat petunjuk-
petunjuk yang perlu.
Benar kakang, tapi tak usah kita
cemas. Dengan berjalan terus menyusur
pantai ke barat, pasti kita akan
sampai ke Alas Roban. Aku masih ingat
jalan-jalannya ke sana, kata Mahesa
Wulung. Memang waktu kita amat sempit
dalam tugas kita ini. Lain kali saja
kita usahakan singgah ke sana. Berapa
lama keduanya telah berkuda tak lagi
terasa, disebabkan perasaan mereka
yang telah disibuki oleh persoalan-
persoalan yang rumit. Mahesa Wulung
ingin cepat sampai untuk membebaskan
pamannya serta Pandan Arum. Sedang
Gangsiran sibuk pula memikirkan cara-
cara menerobos penjagaan gerombolan
Alas Roban.
Sekarang kita mulai memasuki desa
Weleri adi Mahesa Wulung, ujar
Gangsiran. Lihatlah itu di sana! Pintu
gerbang masuk ke desa telah dijaga
oleh orang-orang bersenjata.
Ayolah kita cepat-cepat ke sana
kakang. Setiap keterangan pasti
berguna bagi kita, seru Mahesa Wulung
sambil mempercepat lari kudanya ke
arah desa itu. Gangsiran tak pula
ketinggalan cepat-cepat ia mengejar
Mahesa Wulung, sehingga tak lama kemu-
dian keduanya telah sampai ke pintu
gerbang masuk desa Weleri. Seorang di
antara penjaga-penjaga itu, ketika
melihat dua orang asing mendekati
pintu gerbang, cepat-cepat mendapatkan
Mahesa Wulung serta Gangsiran.
Badan orang ini amat tegap, kumis
dan jenggot yang lebat menumbuhi
mukanya yang bulat, menambah
keangkerannya.
Maaf, kisanak berdua. Daerah ini
tertutup untuk perjalanan ke barat
sebab gerombolan Alas Roban sedang
merajalela di sana. Reruntuhan rumah-
rumah di pojok itu, adalah hasil
kebiadapan mereka yang telah merampok
desa ini dengan kejamnya. Rumah-rumah
mereka bakar, sementara beberapa orang
yang mencoba melawannya telah
disembelih mati! kata orang itu sambil
mengawasi Mahesa Wulung dan Gangsiran
setengah curiga mulai dari kepala
sampai ke ujung kaki.
Kalau kisanak berdua boleh aku
peringatkan dan masih cinta akan
hidup, sebaiknya kisanak kembali saja
ke timur.
Mengapa harus kembali ke timur!
kata Mahesa Wulung tajam. Malah kalau
kisanak ingin tahu pula, kami berdua
akan datang ke Alas Roban untuk mem-
bebaskan orang-orang yang tertawan
oleh gerombolan Alas Roban.
Ha, ha, ha, membebaskan tawanan-
tawanan dari tangan Singalodra? Omong
kosong! Bualanmu tidak laku di sini
kisanak. Tahukah kisanak, baru-baru
ini sepasukan desa Karang Asem yang
dipimpin oleh Ki Sorengrana, telah
binasa dilabrak oleh gerombolan
Singalodra. Bahkan Sorengrana sendiri
kena tertawan oleh mereka, seru orang
itu dengan nada setengah mengejek.
Apalagi kisanak cuma berdua saja!
Mahesa Wulung meloncat turun dari
atas kudanya lalu mendekati orang yang
berkata penuh kesombongan itu.
Kisanak, bagi kami berdua tidak
ada satu halanganpun yang kami
takutkan, karena kami hanya percaya
bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan
memberikan bantuanNya menyelesaikan
tugas ini.
Tidak! Kalau Dadapan bilang
tidak, maka tak seorangpun boleh
melanggar kata-katanya. Kata-katanya
adalah juga hukumnya. Nah, sebaiknya
kalian berdua tidak sampai membuat
jengkel kami. Kalau kisanak memaksa,
terpaksa harus berhadapan dengan saya,
si Dadapan murid Perguruan Empu Paku
Waja, kata Dadapan sambil menepuk-
nepuk dadanya.
Mendengar nama Perguruan Empu
Paku Waja, Mahesa Wulung serta
Gangsiran yang masih duduk di atas
kuda ikut terkejut. Mereka pernah
mendengar keampuhan Empu Paku Waja
yang terkenal itu.
Kami datang ke sini tidak untuk
mencari perselisihan, kisanak, kata
Mahesa Wulung pelan dengan maksud
untuk meredakan suasana yang telah
panas. Tapi Dadapan cepat-cepat
membalasnya.
Ha, itu pendapat anak yang manis.
Kalau begitu segeralah berlalu dari
sini, supaya kalian masih bisa
menikmati sinar matahari.
Terima kasih, kami berdua akan
tetap memasuki Alas Roban!
Gila! Berani memaksa Dadapan
bertindak? Nah, kau akan merasakan
sedikit pelajaran dari kekurang
ajaranmu! Mari kita bermain-main
sebentar untuk memanaskan badan
Dadapan mulai melancarkan
serangannya dengan pedang terhunus.
Sambarannya menimbulkan suara
berdesing dan angin yang dingin
menderu-deru.
Mula-mula Mahesa Wulung tak ingin
melayani sikap Dadapan yang sombong
itu. Tapi bila ia telah diserang
dengan pedang terhunus maka tak ada
lagi cara yang baik buat memberi
pelajaran kepada Dadapan selain dengan
menyambut serangannya.
Tusukan pertama Dadapan ke arah
lambung dapat dihindarkan oleh Mahesa
Wulung dengan memiringkan tubuhnya ke
kiri sambil tangan kanannya diketukkan
ke tangan Dadapan yang memegang pe-
dang. Aaaakh. Dadapan berteriak
setengah tertahan dengan mulutnya yang
menyeringai-nyeringai menahan sakit.
Merasakan serangannya gagal, Dadapan
menjadi penasaran. Segera ia
mengeluarkan permainan pedangnya yang
hebat. Ujung pedangnya berkelebatan
dengan sinar yang menyilaukan mata
merupakan satu lingkaran yang
mengurung Mahesa Wulung. Diam-diam
Mahesa Wulung memuji ketinggian ilmu
pedang Dadapan, hanya sayang
pemiliknya rupa-rupanya terlalu
sombong memakainya. Pedang di
tangannya, gerakannya kini berganti.
Selain mematuk-matuk ke atas dan ke
bawah, juga membabat dari samping kiri
dan kanan.
Mendapat serangan pedang yang
hebat ini, Mahesa Wulung mengerahkan
tenaga dalamnya berlambaran ilmunya
Bayu Rasa dan tiba-tiba tubuhnya
melenting ke atas berjungkir balik di
udara, kaki ke atas dan kedua
tangannya ke bawah, menerkam Dadapan
bagaikan gerak rajawali menyambar
mangsanya ke bawah. Sekali ini, Mahesa
Wulung tidak menggunakan pukulan Lebur
Waja karena ia hanya menggunakannya
bila melawan gerombolan hitam Alas
Roban serta orang-orang jahat lainnya.
Sedang lawannya sekarang. Si Dadapan
ini, bukanlah orang yang jahat, tapi
orang yang sombong karena merasa
dirinya paling berkuasa menjaga
keamanan di tempat itu sehingga orang
orang harus tunduk kepadanya. Dadapan
seketika terkejut melihat gerak Mahesa
Wulung, cepat ia bermaksud
menghindarkan terkaman lawan tapi
terlambat! Tahu-tahu tangannya kena
ditangkap oleh Mahesa Wulung sehingga
terasa pedangnya yang digenggam kini
merasa bergetar hebat. Tangan Mahesa
Wulung yang mencekam pergelangan
tangan kanannya itu terasa seperti dua
buah dinding baja yang menghimpit,
makin lama mengunci semakin keras dan
tak lama kemudian tangannya terasa
kesemutan, pandangannya berkunang-
kunang. Dadapan jatuh terduduk dan
pedangnya terlepas dari genggamannya.
Maaf Dadapan aku tak bermaksud
menyakitimu. Itu tadi aku lakukan
karena terpaksa untuk menghindarkan
seranganmu! Percayalah! Mahesa Wulung
berkata dengan wajah yang cerah. Sama
sekali ia tidak menaruh benci. Hatinya
yang polos itu berkata bahwa musuhnya
ini bukanlah orang yang jahat
seharusnya binasa oleh tangannya.
Mula-mula Dadapan agak curiga
melihat sikap Mahesa Wulung ini.
Jangan jangan itu hanya siasat saja,
namun demi dilihatnya wajah Mahesa
Wulung yang cerah, bahkan kini
mengulurkan tangan untuk menolongnya
berdiri yakinlah bahwa Mahesa Wulung
betul-betul tidak bermaksud
memusuhinya. Kini terbukalah hati
Dadapan bahwa semua itu terjadi karena
kesombongannya, karena terlalu
mengandalkan ilmu pedangnya dari Empu
Paku Waja, yang tak pernah terkalahkan
itu.
Ooh, maaf kisanak. Maafkan semua
tindakanku yang kasar dan tolol itu!
seru Dadapan sambil membungkuk memberi
hormat lawannya, ia menyesal sekali
telah memperlakukan Mahesa Wulung
dengan kasar.
Lupakan hal itu Dadapan, yang
sudah berlalu biarlah berlalu. Waktu
yang akan datang masih banyak untuk
berlaku lebih bijaksana lagi, Dadapan,
aku tadi sangat mengagumi permainan
pedangmu itu, mungkin suatu saat akan
kuminta kau mengajariku. Harapanku
hanyalah jangan menggunakan ilmu pe-
dangmu itu untuk menuruti nafsu
kemarahan saja, secara serampangan.
Sebab walau jaya dan perwiranya
manusia itu, jika keperwiraannya tadi
dipergunakan untuk maksud-maksud yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa, maka akan runtuh dan
terkutuklah manusia tadi oleh Nya!
ujar Mahesa Wulung dengan tenang
sambil menghela napas dalam-dalam.
Dadapan mendengar itu,
menundukkan kepalanya ke bawah, tak
terasa matanya berkaca-kaca terharu.
Selama ini ia sering memperlakukan
orang lain dengan kasar sehingga ia
ditakuti oleh kawan-kawannya. Hanya
saja takutnya tadi bukan takut
lantaran cinta atau sayang, tapi
orang-orang pada takut karena saking
bencinya melihat kelakuannya.
Terima kasih Kisanak, terima
kasih. Kau telah membuatku insyaf akan
segala kelakuanku yang tidak baik
selama ini, kata Dadapan pelan. Dan
kini sebagai rasa terima kasihku, saya
bersedia membantu kisanak untuk
membebaskan tawanan-tawanan dari
cengkeraman gerombolan Alas Goban.
Baiklah Dadapan, saya tidak
keberatan untuk menerima bantuanmu,
kata Mahesa Wulung. Nah, hampir saya
lupa. Ini perkenalkan kakang Gangsiran
dari Tanah Putih dan saya sendiri
Mahesa Wulung dari Demak. Betapa
terkejut Dadapan mendengar nama
mereka. Keduanya sudah cukup terkenal
di tanah pesisir Utara Jawa terutama
Mahesa Wulung sendiri yang terkenal
sebagai perwira laut Armada Demak,
namanya sangat ditakuti oleh bajak-
bajak laut dan gerombolan-gerombolan
hitam. Ia seorang perwira yang masih
muda, tapi bijaksana dan suka membela
kebenaran serta keadilan. Untunglah
pertarungan tadi tidak sampai
berlarut-larut dan sekarang ia tidak
perlu cemas karena Mahesa Wulung yang
bijaksana itu telah mengampuninya.
Demikianlah setelah mengaso
sejenak, Mahesa Wulung, Gangsiran dan
Dadapan berangkat meneruskan
perjalanannya ke arah barat sedang
beberapa teman Dadapan tetap tinggal
di tempatnya untuk menjaga keamanan
daerah Weleri. Mereka bertiga kini
terus berpacu ke arah barat laut
karena jalan ke barat biasa dijaga
oleh orang-orang dari gerombolan Alas
Roban. Dari jauh sudah terlihat warna
hijau kehitaman yang membentang amat
panjangnya. Itulah hutan Alas Roban
yang menjadi sarang gerombolan hitam
pengacau dan perusak keamanan. Hutan
itu yang berdinding tebal dengan
pohon-pohon karet tahun, seperti tak
tertembus oleh siapapun, lebih-lebih
orang di sekitarnya percaya bahwa
hutan itu, tempat tinggal para setan
dan hantu-hantu bersarang sehingga me-
reka tak pernah mendekati hutan-hutan
itu apalagi sampai mengimpikan masuk
ke dalamnya. Bahkan beberapa orang tua
pernah berkata, walau diupah dengan
dinar emas sekalipun mereka tak
bersedia menjamah hutan itu. Rasa
ngeri, takut dan kabar keangkeran
hutan itu selalu ditiup-tiupkan oleh
seorang yang bernama Ki Singa. Ia
cukup terkenal sebagai seorang pawang
yang biasa menangkap binatang-binatang
buas, terutama harimau. Satu keanehan
pada diri Ki Singa ialah, ia sering
muncul di suatu tempat dengan tiada
terduga. Sebentar muncul di sini,
sebentar lagi muncul di tempat lain
secara tiba-tiba dan orang pun tidak
ada yang tahu tempat tinggalnya.
Makin dekat, semakin jelas
terlihat oleh mereka bertiga keadaan
hutan Alas Roban yang terletak di tepi
pantai utara. Deburan ombak yang
memecah ke pantai sayup-sayup
terdengar. Bila laut pasang naik, maka
sebagian air laut masuk ke dalam hutan
sehingga pohon-pohon karet raksasa
yang tumbuh paling dekat dengan pantai
tergenang air, menambah seramnya
keadaan Alas Roban. Itulah kiranya
mengapa hutan itu sampai disebut Alas
Roban artinya hutan yang dapat dilanda
banjir (rob). Matahari makin berkurang
sinarnya setelah letaknya condong ke
barat, menjadikan tempat itu samar-
samar oleh kabut putih yang mengambang
di udara. Baik Mahesa Wulung,
Gangsiran ataupun Dadapan sekarang
lebih hati-hati, sebab kesuraman jalan
yang akan mereka tempuh itu yang penuh
dengan akar-akar melintang serta
ceruk-ceruk tanah yang cukup dalam
bisa mencelakakan langkah-langkah kuda
mereka. Untuk itu mereke terpaksa
bergerak maju dengan pelan-pelan.
Sekonyong-konyong tanpa dinyana,
ketenangan suasana dipecahkan oleh
berderaknya ranting-ranting serta
dedaunan dan satu bayangan hitam
berkelebat di muka mereka yang muncul
tiba-tiba dari balik lekuk-lekuk akar
pohon karet raksasa.
Berhenti!! teriak orang yang baru
muncul itu dengan kedua tangannya
diacungkan ke depan berbareng yang
mana menimbulkan hempasan angin yang
menabrak ketiga pendatang itu.
Apa maksud kisanak bertiga pada
waktu begini keluyuran di tepi hutan
Alas Roban ini!?
Kami bertiga ingih melihat-lihat
pemandangan di sini, jawab Mahesa
Wulung sekaligus meneliti orang itu
dengan pandangan tajam.
Bohong! teriak orang itu dengan
membelalakan satu matanya, sementara
satu matanya tetap menyipit karena ada
bekas-bekas luka yang membuatnya be-
gitu.
Aku tahu, kalian mencoba
menipuku. Kalau Ki Singa boleh
memperingatkan kalian, sebaiknya
cepat-cepat angkat kaki dari tempat
ini sebelum satu bencana dari rimba
larangan ini menimpa kisanak bertiga.
Oh, jadi bapaklah yang biasa
disebut Ki Singa itu? seru Dadapan
saking herannya.
Cocok! Akulah yang dipariggil
orang-orang Ki Singa itu. Hi, hi, ha,
ha, ha, ha! orang itu tertawa dengan
suara yang mengerikan. Kumisnya yang
melengkung ke bawah itu ikut
terguncang-guncang oleh ketawanya.
Apakah kisanak bertiga ini belum
pernah dengar bahwa rimba ini sarang
hantu dan setan?
Belum, bapak. Oleh sebab itu kami
ingin sekali melihat penghuni-penghuni
rimba, setan-setan dan hantu seperti
yang bapak ceriterakan tadi, jawab Ma-
hesa Wulung. Mendengar itu Dadapan
ikut pula menyambung: Malahan kalau
mungkin, kami akan menangkapnya sekali
untuk kami pertontonkan kepada orang-
orang, biar mereka tidak lagi takut
kepada setan dan hantu-hantu.
Hmm, sungguh kurang ajar kisanak
bertiga! Berani mempermainkan kata-
kata serta peringatanku, ha! Baiklah,
tapi aku telah katakan semuanya,
tentang bencana-bencana yang datang
dari rimba larangan dan kalian bertiga
semoga mampus olehnya! kata Ki Singa
keras-keras diiringi loncatan ke
belakang dan tubuhnya lenyap ditelan
kepekatan rimba Alas Roban dalam
sekejap mata, membuat mereka bertiga
tertegun keheranan. Peristiwa yang
baru lewat seperti mimpi saja, Ki
Singa yang muncul tiba-tiba dan lenyap
pula dengan tiba-tiba.
Cahaya bintang-bintang dan bulan
yang sebentar-sebentar tertutup mega
berarak sangat indah dipandang mata,
tapi bagi mereka bertiga, terasa tidak
indah setelah mendengar ancaman Ki
Singa itu. Ya, bencana apa yang bakal
muncul, mereka belum tahu. Oleh sebab
itu mereka lebih waspada, menghadapi
setiap kemungkinan yang terjadi.
Setelah mencari tempat yang cukup
baik, ketiganya lalu menambatkan
kudanya dalam semak-semak. Di antara
lipatan-lipatan akar-akar sebuah pohon
karet tahun yang besar, mereka bertiga
beristirahat.
Sebenarnya mereka ingin sekali
melanjutkan penyelidikannya menerobos
hutan Alas Roban itu, tapi malam telah
turun, hingga keadaan di dalam hutan
itu tampak hitam pekat tanpa cahaya
bulan atau bintang yang mampu
menerobosnya. Daun-daun karet sangat
lebatnya.
Malam bertambah larut dan semakin
larut. Tak ada sesuatu yang tampak
mencurigakan bagi mereka. Demikianlah
antara Mahesa Wulung, Gangsiran dan
Dadapan terjalin rasa persahabatan
yang erat, mereka merasa senasib di
dalam hutan itu, sama-sama bertekad
menumpas gerombolan hitam Alas Roban
yang ganas dan telah sekian lama
merajalela di pantai Utara.
Bergantian mereka tidur dan
berjaga. Embun malam mulai turun dari
kabut-kabut yang menebai menyelimuti
tepi hutan itu, berbutir-butir
menempel pada daun-daun yang
berkilat laksana permata.
Bila bulan makin merendah pada
cakrawala barat, langit di sebelah
timurpun mulai cerah dengan saputan
warna-warna merah jingga. Di antara
semak-semak dalam hutan itu tampak
bayangan hitam menyelinap-nyelinap di
balik pohon-pohonan. Sebentar-sebentar
bayangan itu mengendap kemudian
bergerak dengan cepatnya, tapi aneh
sekali, langkah-langkahnya tak
menimbulkan suara sedikitpun. Terang
sekali bahwa orang ini memakai ilmu
meringankan tubuh, sampai-sampai
geraknya seperti tidak menginjak
tanah.
Heh, mereka yang bercokol di tepi
hutan itu orang-orang berbahaya!
Kinilah saatnya aku binasakan mereka
dengan kucing-kucingku ini. Sekaligus
aku ingin tahu sampai di mana kekuatan
mereka.
Bayangan hitam itu bergumam
sendiri seperti ada sesuatu yang
diajaknya bicara. Memanglah, ia
dikawan, oleh dua bayangan bermata
biru kehijauan dan menyala ganas yang
berdiri di belakangnya seperti
prajurit menunggu perintah atasannya.
Dengan satu tepukan kecil dan
kemudian jari telunjuknya diarahkan ke
tepi hutan, dua bayangan bermata hijau
itu melesat menuju kesasarannya.
Telinga Mahesa Wulung yang tajam
itu mula-mula dapat menangkap sayup-
sayup kokok ayam jantan dari tengah-
tengah rimba Alas Roban.
Hmmm ... ini satu tanda bahwa di
tengah hutan pasti ada tanda-tanda,
kehidupan yang lanyak, karena kokok
ayam jantan tadi bukanlah ayam hutan
tapi ayam piaraan.
Tetapi sejurus lagi telinganya
menangkap getaran yang lain pula.
Cepat Mahesa Wulung memperingatkan
kedua sahabatnya.
Kakang Gangsiran dan Dadapan,
hati-hatilah. Aku mendengar sesuatu
yang bergerak di atas pepohonan!
Begitu selesai berkata dan
bersiaga ketiganya, mendadak terdengar
auman harimau dari atas pohon di depan
mereka. Dua pasang mata hijau liar
memandang kearah mereka yang kemudian
bergerak dengan cepat meluncur dan
menerkamnya bersama-sama.
Awas macan tutul! teriak
Gangsiran sambil mencabut pisau kecil
dari ikat pinggangnya dan langsung
dilemparnya kearah binatang itu.
Begitu ia melempar pisaunya, tubuhnya
bergerak kesamping.
Di tengah lompatannya, harimau
tutul itu mengaum kesakitan sebab
pisau kecil Gangsiran tepat be-sarang
menunjam di antara kedua matanya.
Tubuhnya melayang ke bawah dan begitu
menginjak tanah segera ia bangkit dan
menerkam sasaran lainnya di sebelah
kiri. Namun Dadapan telah pula
bersiaga lalu menyambut terkaman
binatang itu dengan sabetan pedangnya
yang terkenal tepat merobek leher
harimau tutul. Darah merah menyembur
dari lukanya. Tubuhnya tampak
terhuyung-huyung dan kemudian rebah ke
tanah. Mati.
Sementara itu Mahesa Wulung
berhasil menghindar dari terkaman
lawannya. Harimau itu, merasa gagal
serangannya menggeram hebat karena
marah. Tubuhnya kini merendah ke
tanah, yang depan mendatar sedang yang
belakang lebih tinggi. Dengan auman
keras, ia menerkam Mahesa Wulung yang
telah bersiaga menyalurkan kekuatan
dalamnya dengan aji Lebur Waja.
Setelah berkelit ke samping dan
serangan harimau itu lewat sejengkal
dari tubuhnya, tampak tangannya segera
bergerak. Kraaakkk! Suara gemeretak
tulang pecah berbareng dengan auman
bernada tinggi, tubuh harimau tutul
itu melenting tinggi ke atas dan
sesaat lagi terdengar gemuruh tubuhnya
jatuh ke tanah tak berkutik lagi.
Akibatnya pukulan Mahesa Wulung hebat
sekali. Tubuh harimau itu hangus
kehitaman sedang kepalanya pecah.
Ketika kedua harimau tutul itu
mati, bayangan hitam tadi yang tidak
lain ialah Ki Singa sangat
terperanjat. Kedua binatang itu telah
terlatih bertahun-tahun dalam membunuh
orang, kali ini begitu mudah
dikalahkan oleh mangsanya. Dengan
mengutuk-ngutuk Ki Singa meloncat ke
dalam hutan kembali, tubuhnya lenyap
di balik semak-semak.
LIMA
PERKAMPUNGAN sarang gerombolan
pagi itu tampak sibuk. Beberapa orang
kelihatan tengah memasang tiga tonggak
yang dipancangkan di sebuah halaman
yang luas membelakangi sebuah rumah
terbesar. Begitu banyak orang yang
bekerja, sehingga dalam waktu yang
singkat selesailah kesibukan itu.
Sejurus kemudian terdengar suara
bende yang dipukul tiga kali. Orang-
orang serentak bergerak mengelilingi
tiga tonggak itu dengan memegang
senjata, merupakan pagar manusia yang
rapat. Pintu rumah terbesar membuka,
Ki Macan Kuping keluar diikuti
Singalodra. Suasana menjadi hening
seketika. Setelah keduanya memandang
sekeliling, Singalodra memberi
perintah kepada anak buahnya.
Sima Gereng, cepat keluarkan
ketiga tawanan itu kemari dan segera
ikat mereka ke tiang-tiangnya itu!
Sima Gereng, diikuti lima orang
berjalan menuju ke sebuah rumah yang
jendelanya beruji besi dan dijaga kuat
oleh beberapa orang bersenjata tombak.
Sesaat kemudian tampak tiga orang
keluar dari rumah itu dengan tangan
terikat ke belakang. Mereka dikawal
kuat yang dipimpin oleh Sima Gereng
berjalan ke arah tiang-tiang itu.
Tanpa dapat melawan sedikitpun
ketiganya lalu diikat pada ketiga
tiang itu erat-erat. Hanya dari sinar
mata mereka dapat terbaca bahwa mereka
menaruh kebencian kepada gerombolan
itu. Sorengrana dan Pandan Arum
menggeletukkan gigi melihat tingkah
gerombolan-gerombolan, sedang tubuhnya
tak dapat berbuat apa-apa akibat
totokan jalan darah oleh Ki Macan
Kuping.
Kawan-kawan lihatlah. Kita hari
ini akan melihat pelaksanaan hukuman
kepada tiga orang yang telah berani
menentang gerombolan hitam Alas Roban.
Singalodra berkata kepada anak
buahnya, lalu sekali lagi ia
memberikan isyarat kepada Sima Gereng.
Tapi kita orang-orang pengecut
kalau membunuh begitu saja orang-orang
yang tak berdaya. Mereka akan kita
beri kesempatan untuk mempertahankan
diri. Nah, Sima Gereng, lepaskan
tawanan yang ketiga lalu berikan
sebilah pedang biar ia sempat membela
diri.
Meski dengan tubuh masih lemas,
orang yang ketiga itu masih dapat
memegang pedang dengan baik dan kedua
kakinya kukuh berdiri di tengah arena.
Matanya melirik kepada Ki Sorengrana
yang terikat seperti meminta sesuatu.
Soma, lawanlah mereka sebisamu
agar kau tidak mati sia-sia, tapi mati
sebagai perwira, seru Sorengrana
sambil berkaca-kaca matanya. Ia
terharu melihat Soma anak buahnya yang
kini berdiri di tengah arena. Begitu
juga dengan Pandan Arum, tak sampai
hati melihat tontonan ini. Diam-diam
ia berdoa semoga Tuhan memberikan
pertolongan-Nya. Tiba-tiba saja ia
merasa rindu kepada Mahesa Wulung yang
selama ini selalu membela dirinya.
Tapi kali ini, apakah ia akan tiba? Ah
entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Terdengar suara bende sekali.
Seorang yang berambut gondrong
tanpa ikat kepala mendatangi Soma dan
langsung mengirimkan serangan dengan
penggada. Soma sempat berkelit ke
samping namun tak urung tubuhnya kena
keserempet senjata lawan hingga
terpental. Terdengar ketawa riuh serta
ejekan-ejekan dari pagar manusia itu.
Sekali lagi musuh mengayunkan
penggadanya, tapi dengan manis Soma
merendahkan tubuhnya dan tangannya
yang berpedang itu bergerak mendatar.
Waaak terdengar suara sobekan disusul
teriakan panjang. Tubuh sirambut
gondrong itu terhuyung-huyung lalu
rebah ke tanah. Darah berceceran dari
luka perutnya yang memanjang dan
menganga itu. Semua menjadi terkejut
melihat kejadian ini, maka cepat-cepat
Singalodra berseru: Ayo, kawan-kawan
apa yang kalian tunggu? Binasakan
tawanan ini dengan cepat.
Laksana gelombang samodra orang-
orang bergerak mengepung Soma.
Meskipun ia masih sempat melawan,
bahkan melukai beberapa orang anak
buah Singalodra, akhirnya ia kerepotan
oleh bacokan-bacokan dan tusukan-
tusukan senjata lawan. Sejurus
kemudian Soma rebah ke tanah dengan
luka-luka pada tubuhnya yang
mengerikan.
Pengecut! Jahanam, teriak
Sorengrana melihat mengroyokan
terhadap Soma. Sementara itu Pandan
Arum memejamkan mata menyaksikan
kekejaman orang-orang itu.
Lihat ini Sorengrana! Sebentar
lagi tubuhmu akan seperti itu, ha, ha,
ha, ha. Singalodra tertawa kegirangan
seperti anak kecil, menang dalam adu
jengkerik.
Semua kejadian itu tanpa setahu
mereka terus diikuti oleh enam pasang
mata dari tiga jurusan yang berbeda.
Salah seorang dengan bersenjata cambuk
mengawasi tontonan itu dari atas
cabang pohon. Dan betapa berdegup
jantung orang itu bila melihat Si-
ngalodra berjalan ke arah Pandan Arum
yang terikat pada tonggak itu.
Tapi kau terlalu cantik Arum. Kau
tak kubiarkan mati asalkan bersedia
menjadi istriku wong manis! berkata
begitu Singalodra mendekat lagi untuk
memegang dagu Pandan Arum yang runcing
tapi gadis ini secepatnya memalingkan
kepalanya.
Cih, aku tak sudi menjadi
istrimu, penjahat tengik! Lebih baik
mati berkalang tanah.
Hi, hi, ha, ha, ha, ha. Orang
cantik kalau marah semakin cantik.
Eman-eman kalau wong ayu seperti kau
mati muda. Arum. Percayalah, kau akan
kujadikan ratu Alas Roban
mendampingiku. Hi, hi, hi, ha, ha, ha.
Mata Singalodra dibalik topeng harimau
itu mengawasi Pandan Arum yang dadanya
padat itu turun naik menahan marahnya.
Setan. Kalau kalian berani
mengganggu kami, pasti kalian akan
binasa! Tuhan akan menghukummu.
Heh, heh, heh, tikus-tikus kecil
walaupun tak berdaya masih berani
memberi ancaman?! Bagus, kalau kau
berkepala batu, akan kuberi pelajaran.
Sapit Ireng! Cepat tunjukkan ketajaman
pisaumu kepada gadis itu. Sayat kulit
wajahnya biar hilang cantiknya dan
sombongnya.
Sapit Ireng segera mencabut dua
belati panjangnya dan melangkah
mendekati Pandan Arum. Tapi belum lagi
sempat mengangkat pisau belatinya, tu-
buhnya jatuh terpelanting seperti
dihantam petir.
Semua terkejut. Sebentar tubuhnya
mengejang-ngejang kemudian diam tak
bergerak. Pada dahi Sapit Ireng
terpancang dalam-dalam sebuah pisau
kecil.
Belum habis herannya mereka,
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu
bayangan bersenjata cambuk terjun ke
tengah arena.
Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Inilah
yang kutunggu-tunggu. Nah, Mahesa
Wulung serahkan pusaka cambukmu itu
untuk kami tukar dengan paman dan
gadismu itu!
Sudah cukup banyak tingkahmu
selama ini, Singalodra. Nah,
sekaranglah kita bertemu muka untuk
membuat satu perhitungan yang pasti.
Singalodra tidak menjawab tapi
langsung menyerang dengan tombaknya
yang bermata tiga itu dan bergerak
luar biasa cepatnya seolah-olah, mata
tombaknya berubah dari tiga menjadi
ratusan hingga menimbulkan pusaran
angin dingin. Namun ia terperanjat
bahwa Mahesa Wulung setiap kali dengan
mudah dapat menghindarkan serangannya
dengan putaran cambuknya yang dahsyat
melebihi kecepatan baling-baling.
Sinar putaran cambuk Mahesa Wulung
kelihatan menyala biru dengan sambaran
angin panas.
Beberapa orang yang mencoba
mengeroyok Mahesa Wulung terkena
sabetan cambuk Mahesa Wulung, Kiai
Naga Geni seketika jatuh mati dengan
badan hangus kehitaman. Melihat ini
Singalodra berdesir hatinya. Kini
serangannya lebih terperinci. Selama
ini belum pernah ada yang sanggup
melawan ilmu tombaknya
Sekali lagi mereka dibuat
terkejut dengan melesatnya dua
bayangan ke tengah arena. Ki Macan
Kuping tak tinggal diam. Tubuhnya
meloncat menyambut bayangan yang
langsung menyerangnya. Begitu pula
Sima Gereng cepat menghadang bayangan
yang satu lagi. Kini terjadilah tiga
lingkaran pertempuran yang berlangsung
dengan hebatnya. Masing-masing
mengeluarkan ilmu simpanannya untuk
menghadapi lawannya. Mereka bertempur
sampai beberapa jurus.
Sima Gereng yang bersenjata
penggada dengan berujung bola besi
berduri itu mendapat perlawanan hebat
dari lawannya, Gangsiran yang
bersenjata pisau belati panjang
melengkung. Lingkaran ketiga adalah
Dadapan dengan ilmu pedangnya Empu
Paku waja melawan Ki Macan Kuping yang
bersenjata pedang berukuran luar biasa
besarnya, menyambar-nyambar dengan
suara desingan yang menyayat hati.
Belum habis herannya mereka,
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu
bayangan bersenjata cambuk terjun ke
tengah arena.
Ketika matahari makin tinggi dan
membuat bayang-bayang sepanjang tubuh,
Mahesa Wulung bergerak makin cepat
maka sesaat kemudian terasalah
Singalodra agak terdesak dan keringat
mengalir dari lubang-lubang kulitnya.
Suatu ketika cambuk Mahesa Wulung
membelit tombak trisula Singalodra.
Keduanya menyalurkan tenaga dalamnya
untuk menarik senjata lawannya, namun
Singalodra terpaksa terkejut ketika
gagang tombaknya yang dipegang terasa
semakin panas laksana bara api.
Ternyata keampuhan cambuk Naga Geni
mulai merayapi tombak trisulanya.
Dengan satu teriakan nyaring, Mahesa
Wulung menghentakkan cambuknya hingga
tombak Singalodra terpental ke udara
dan patah menjadi dua, membuat
pemiliknya pucat pasi dan mengutuk
sejadi-jadinya.
Kemudian sekali lagi cambuk
Mahesa Wulung melayang menyambar
mukanya dan topengnya yang selama ini
memberi kekuatan sakti, pecah terkena
ujung cambuk Naga Geni. Diam-diam
Mahesa Wulung mengucap syukur kepada
Tuhan yang telah memberi kekuatan luar
biasa itu. Sedang sebaliknya,
Singalodra makin hilang semangatnya
karena topeng itu berarti nyawanya
juga. Mahesa Wulung segera dapat
mengenal wajah itu sekarang. Tidak
lain adalah Ki Singa yang pernah
menghadangnya di tepi hutan.
Nah, Singalodra, kau kini tak
bersenjata lagi. Jangan takut, aku tak
mau disebut pengecut. Marilah kita
bermain-main tanpa senjata.
Baru saja Mahesa Wulung selesai
mengikatkan cambuk Naga Geni
kepinggangnya, Singalodra telah
mengambil sikap siaga, dua tangannya
dipasang lurus ke depan dengan
memusatkan pikiran dan kekuatan
dalamnya. Tahu sikap lawannya ini
Mahesa Wulung yakin bahwa lawannya
siap melepaskan aji pemungkasnya.
Tak meleset dugaannya. Dari mulut
Singalodra keluar geram dan auman
harimau yang bernada tinggi
menggetarkan udara sekeliling, bahkan
lebih dari pada itu, getaran aji
Senggoro Macan cukup dahsyat. Daun-
daun pohon yang sudah tidak muda lagi
rontok dari tangkainya. Kelelawar-
kelelawar dan burung-burung
beterbangan ke udara, malahan satu,
dua jatuh ke tanah termakan getaran
itu. Beruntung sekali Mahesa Wulung
telah dilatih oleh Panembahan Tanah
Putih untuk menahan getaran-getaran
yang sekeras geledek, maka dalam
menghadapi Singalodra ia tak berkecil
hati biarpun pada gertakan pertama ia
tergeser ke belakang beberapa jangkah.
Dalam pada itu ia teringat tiba-tiba
bahwa ia membawa seruling yang
terselip pada ikat pinggangnya. Maka
sekejap kemudian ia telah melolos
serulingnya dan mulai meniupnya.
Suaranya menggema menggelegar
membelit-belit ke udara dengan nada
yang tinggi. Kedua getaran yang
berasal dari dua sumber itu bertemu
dan mengguntur seperti suara rajanya
petir. Beberapa kali suara itu beradu
di udara tapi lama kelamaan getaran
dari aji Singalodra makin terdesak dan
punah digulung oleh nada seruling
Mahesa Wulung. Merasa adjinya
terkalahkan, Singalodra melesat ke
depan menyerang lawannya dengan tiba-
tiba. Sayangnya lawannya kali ini
adalah murid kinasih gemblengan
Panembahan Tanah Putih, maka Mahesa
Wulungpun tidak ingin memperpanjang
waktu lagi, segera disongsongnya
Singalodra dengan pukulan mautnya
Lebur Waja. Tubuhnya dimiringkan ke
kiri mengelakkan terkaman Singalodra
sekaligus mengirimkan tusukan jarinya
ke dada lawan. Tubuh Singalodra
terpental ke belakang dan jatuh ke
tanah. Pada dadanya terlihat dua buah
luka bekas tusukan jari Mahesa Wulung
berwarna merah kehitaman seperti
terbakar. Tubuhnya menggeliat, mukanya
membayang warna merah menyala, ke-
mudian berubah putih lalu menjadi
hijau dan sesaat setelah dari dadanya
terdengar suara keruyuk-keruyuk,
mulutnya menyeringai mengeluarkan
darah hitam kental dan matilah
Singalodra seketika.
Bersamaan dengan itu terdengar
pula raungan hebat. Kiranya Gangsiran
telah menyelesaikan pertempurannya.
Sima Gereng rebah ke tanah dengan be-
lati Gangsiran tertanam pada dadanya.
Melihat Singalodra murid kinasihnya
roboh, Ki Macan Kuping meloncat
meninggalkan Dadapan unjuk menerkam
Mahesa Wulung dengan sabetan pedang
pusakanya yang luar biasa besarnya.
Agak terkejut Mahesa Wulung mendapat
serangan tiba-tiba ini cepat ia
memutar tubuhnya dan menangkis pedang
yang hampir membabat kepalanya itu
dengan seruling yang masih dipegangnya
pada tangan kiri. Satu benturan keras
terdengar disusul terpentalnya tubuh
Mahesa Wulung ke atas dan seruling di
tangannya pecah berkeping-keping.
Demikian pula pedang Ki Macan Kuping
terpental jatuh, tapi tubuhnya tetap
tegak berdiri hanya bergeser sedikit
ke belakang. Memang hebat Ki Macan
Kuping, hanya dialah sanggup bertahan
terhadap pukulan Lebur Waja. Mahesa
Wulung yang terpental itu masih sadar
akan dirinya hingga ia tiba kembali ke
atas tanah dengan kaki tegak dan cepat
bersiaga ini sangat mengherankan Ki
Macan Kuping.
Hmm, memang tangguh anak muda
ini. Biasanya siapa yang kena bentur
tenagaku akan terpental dan hancur
tubuhnya.
Pandangan Mahesa Wulung masih
berkunang-kunang pening. Hal ini
terlihat oleh Ki Macan Kuping. Cepat
ia meraba sesuatu pada ikat
pinggangnya lalu dilemparnya ke arah
Mahesa Wulung.
Hih! Mampus kau bocah bandel. Di
saat yang tegang itu satu bayangan
berkelebat mendekap melindungi tubuh
Mahesa Wulung.
Ahhh! terdengar teriakan tertahan
dari mulut orang itu.
Dimas Mahesa Wulung, hati-
hatilah. Dia memakai jarum beracun.
Kakang Gangsiran! Kakang
Gangsiran! teriak Mahesa Wulung sambil
mengguncang tubuh Gangsiran yang telah
lemas. Beberapa jarum berbisa dari
lemparan Ki Macan Kuping telah
bersarang ke dalam tubuhnya, berjalan
mengalir mengikuti peredaran darahnya.
Bertambah marah Ki Macan Kuping
melihat Mahesa Wulung masih segar-
bugar, cepat ia memungut pedangnya
yang menggeletak di tanah dan segera
menyerang Mahesa Wulung kembali.
Tetapi tak terduga-duga satu bayangan
putih melesat memotong jalannya dan
pedangnya bergetar hebat kemudian
lepas setelah tertimpa sabetan tongkat
yang ujungnya bercabang dua.
Macan Kuping! Akulah yang akan
menghadapimu. Tua sama tua.
Heh, heh. Kau Bayu Sekti telah
sekian lama mendekam di dalam
kandangmu, kini masih ingin bermain-
main denganku? seru Ki Macan Kuping
membuka serangannya. Keduanya
tenggelam dalam pusaran angin yang
menderu akibat gerakan mereka saling
terkam menerkam. Kalau gerak Ki Macan
Kuping seperti harimau, tubuh
Panembahan Tanah Putih yang ringan
seperti kapas itu menyerangnya,
mematuk-matuk seperti burung garuda.
Bersamaan dengan munculnya
Panembahan Tanah Putih, pasukan
Asemarang yang bergerak dengan gelar
tapal kuda itu mengepung sarang
gerombolan Alas Roban. Kedua ujungnya
masing-masing dipimpin oleh Kerpu dan
Tambakan, sedang bagian tengah di-
pimpin oleh Panembahan Tanah Putih
yang kini telah terlibat pertempuran
dengan Ki Macan Kuping.
Sementara itu pula Dadapan telah
melepaskan tali-tali yang mengikat
tubuh Ki Sorengrana dan Pandan Arum
lalu keduanya dibawa ke tempat yang
aman. Gemerincing senjata beradu
menggema di dalam hutan Alas Roban.
Melihat beberapa tokoh-tokoh
andalannya mati, laskar gerombolan
hitam Alas Roban kehilangan
semangatnya.
Mahesa Wulung setelah melihat
Gangsiran jatuh terkulai cepat-cepat
membawanya, ke bawah sebuah pohon dan
menyandarkannya di situ. Tubuhnya
melesat kembali ke tengah arena
pertempuran itu dengan memutar
cambuknya. Meskipun beberapa orang
datang menyerangnya bersama-sama,
namun dengan mudahnya dapat merobohkan
mati mereka satu demi satu. Benar-
benar ia mengamuk setelah tahu, kalau
Gangsiran terluka. Begitulah beberapa
saat kemudian laskar gerombolan Alas
Roban dapat ditumpas, beberapa orang
yang menyerah ditawan oleh laskar
Asemarang.
Tahu bahwa ia tak mungkin
memenangkan pertempuran itu, Ki Macan
Kuping cepat melesat ke belakang untuk
kabur. Tapi sebelum itu Panembahan
Tanah Putih sempat mengirimkan pukulan
tongkatnya ke dada kiri Macan Kuping
yang seketika terlentang jatuh dengan
mulutnya mengeluarkan darah merah.
Memang Ki Macan Kuping punya kekuatan
luar biasa. Biar tenaganya telah
hilang separo, tapi ia masih sempat
kabur dengan satu loncatan panjang ke
dalam semak-semak, tubuhnya lenyap
dalam sekejap mata.
Awas kalian! Tunggulah beberapa
waktu lagi aku datang untuk menebus
kekalahanku ini! teriak ancaman Ki
Macan Kuping menggema. Melihat
musuhnya lari, Panembahan Tanah Putih
cuma tersenyum. Kemudian ia berjalan
kearah Ki Sorengrana dan Pandan Arum
yang duduk dengan lemas. Dengan usapan
tangannya, ia membebaskan pengaruh
totokan jalan darah pada tubuh Ki
Sorengrana dan Pandan Arum.
Sang Panembahan, cepatlah. Itu di
sana kakang Gangsiran terluka! seru
Dadapan yang datang dengan tergopoh-
gopoh. Merekapun berlompatan ke sana
mengikuti Dadapan. Di balik sebuah
semak terlihatlah pemandangan yang
mengharukan. Mahesa Wulung duduk dan
pada pangkuannya terbaring tubuh Gang-
siran yang pucat pasi. Orang tua itu
dengan teliti memeriksa dan mencoba
mengobati tubuh Gangsiran yang
terluka, tapi matanya tampak sayu dan
ia menggelengkan kepalanya.
Terlambat sudah. Racun ini
terlalu keras kerjanya... kata orang
tua itu hingga membuat orang-orang di
situ terkejut, lebih-lebih Mahesa
Wulung sendiri yang merasa telah
diselamatkan nyawanya oleh Gangsiran.
Guru biarlah ....! Aku telah
menunaikan tugasku… dimas Mahesa
Wulung telah selamat ... apakah guru
mengampuni .... semua kesalahan-
kesalahanku
Anakku Gangsiran. Kau tak lagi
mempunyai kesalahan-kesalahan. Sejak
lama aku telah mengampunimu....
Panembahan Tanah Putih berkata dengan
bercucuran air matanya. Demikian pula
Mahesa Wulung, Dadapan, Sorengrana,
Pandan Arum dan lainnya.
Kalau demikian ... aku merasa
lapang ... Guru, aku pergi sekarang
selamat tinggal dimas Mahesa Wulung
... dan semuanya ... aku pamit ... aku
kembali kepadaNya ... hhhh!
Gangsiran memejamkan mata,
senyumnya tersungging pada bibirnya
seolah-olah ia merasa berbahagia
sekali. Ya, ia kini berbahagia jiwanya
telah kembali ke alam baka. Gangsiran
sudah tidak ada lagi di dunia. Pandan
Arum yang berperasaan halus itu tak
tahan melihat pemandangan yang
mengharukan itu. Ia merebahkan kepala
di dada Mahesa Wulung yang bidang itu.
Badannya lemah, cepat Mahesa Wulung
yang masih terharu dan bingung itu
menangkap tubuh Pandan Arum sebelum ia
terkulai ke tanah. Dan ternyatalah
bahwa Pandan Arum pingsan.
Pandan! Pandan Arum! Kembali
Panembahan Tanah Putih sibuk, ia
memijit-mijit kening gadis itu dan
dikeluarkan sebuah cupu dari saku
jubah putihnya. Serbuk putih dituang
sedikit ke atas tangannya dan
digosokkan ke dahi Pandan Arum, lalu
sedikit lagi diciumkan ke hidung gadis
itu dengan sapu tangan yang putih
bersih. Tak lama kemudian mata Pandan
Arum tampak bergerak-gerak. Ia telah
mulai sadar. Atas anjuran orang tua
itu dipapahlah Pandan Arum ke sebuah
rumah di tempat itu untuk beristirahat
seperlunya.
Begitulah mereka istirahat
sejenak di rumah-rumah perkampungan
gerombolan hitam Alas Roban. Berkat
penyelidikan yang teliti dapatlah
diketemukan beberapa bukti-bukti yang
menunjukkan adanya hubungan antara
gerombolan Alas Roban dengan bajak
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa,
berupa surat-surat, mata uang dan
beberapa perhiasan.
Pada suatu sore yang cerah,
tampaklah iring-iringan laskar
berjalan menyusuri pantai utara menuju
ke timur. Dari jauh masih membayang
hutan Alas Roban dengan deretan pohon-
pohon karet tahun dan sayup-sayup
terdengar hempasan gelombang laut uta-
ra. Ketika mereka memasuki wilayah
Asemarang, dari arah timur terlihatlah
debu berkepul ke udara dan satu
bayangan orang berkuda mendekati
mereka. Ia mengenakan seragam prajurit
Demak dengan baju lengan panjang
putih. Dengan cekatan ia menghentikan
kudanya tepat di muka barisan laskar
Asemarang.
Ahh, ini kakang Kerpu dan
Tambakan, selamat sore kakang! sapa
orang itu dengan mengangguk hormat
kepada dua orang berkuda yang
terdepan.
E, e, e, ini adi Jagayuda.
Selamat sore. Kau kelihatan tergopoh-
gopoh adi. Adakah sesuatu yang pen-
ting?
Betul kakang, aku diutus
menyampaikan surat ini oleh Panglima
Faletehan untuk Kakang Mahesa Wulung.
Nah itulah dia yang berkuda di
tengah barisan ini. Sampaikanlah
secepatnya surat itu kepadanya.
Jagayuda segera memacu kudanya ke
tengah barisan.
Kakang Mahesa Wulung, aku diutus
menyampaikan surat ini untukmu.
Terimalah.
Jagayuda memberikan gulungan
kertas yang berciri stempel kerajaan
Demak kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih adi. Mahesa Wulung
segera membuka surat itu dan
membacanya. Tampak ia menganggukkan
kepala, pertanda bahwa ia mengerti
akan isinya.
Sang Panembahan, paman Sorengrana
dan adi Pandan Arum, maafkanlah bahwa
saya terpaksa tidak dapat menyertai
perjalanan yang menyenangkan ini
karena saya harus mendahului pulang ke
Demak. Ada tugas baru yang amat
penting.
Tak apalah angger. Kami sudah
tahu akan tugas yang terpikul oleh
angger Mahesa Wulung. Seorang perwira
lebih mendahulukan kepentingan negara
dari pada kepentingan diri pribadi.
Bukankah begitu angger? Nah, selamat
jalan angger. Doa restu kami
menyertaimu. Semoga Tuhan memberkahi
kita semua. Panembahan Tanah Putih
memberikan salamnya kepada Mahesa
Wulung dan keduanya berjabat tangan
dengan eratnya. Setelah itu menyusul
pamannya Ki Sorengrana dan terakhir ia
menjabat tangan Pandan Arum. Terasa
getaran aneh mengalir lewat tangannya.
Keduanya seperti terkunci mulutnya tak
mampu berkata panjang lebar. Hanya
degupan jantungnya yang berkata-kata :
Selamat jalan, kakang!
Selamat tinggal adi Pandan Arum.
Kita akan bertemu lagi! kata Mahesa
Wulung sambil menyentakkan tali kekang
kudanya keluar dari barisan.
Selamat jalan adi Mahesa Wulung!
teriak Dadapan dari ekor barisan
sambil melambai-lambaikan pedangnya.
Selamat tinggal semuanya! teriak
Mahesa Wulung dengan memacu kudanya
bersama Jogoyudo meninggalkan barisan
itu menuju ke arah timur. Sebentar
saja keduanya sudah merupakan dua
titik kecil dengan debu berkepul-kepul
yang makin lama makin lenyap. Mata
Pandan Arum mengikutinya sampai dua
titik itu lenyap dari pandangan
matanya. Tak terasa pipinya telah
basah oleh air mata yang mengalir dari
sudut matanya yang indah itu.
Ceritera ini berakhir dengan
tumpasnya gerombolan hitam Alas Roban.
Tapi apakah tugas baru bagi Mahesa
Wulung dan bagaimana dengan Ki Macan
Kuping yang lari itu?
Nah tunggulah ceritera berikutnya
"RAHASIA BARONG MAKARA" yang tak kalah
hebatnya. Pembaca akan menjumpai lagi
Mahesa Wulung yang perkasa itu.
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar