..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

NAGA GENI EPISODE MAHESA WULUNG

Mahesa Wulung

 SATU


PERAHU yang ditumpanginya kini 
makin mendekati bandar Asemarang. 
Beberapa burung camar meliuk, dan 
terbang mendekati perahu, membuat 
Mahesa Wulung tersenyum. Ditariknya 
nafas dalam-dalam untuk menghirup 
udara pantai yang dikenalnya sejak ia 
masih bocah yang hampir setiap hari 
dijelajahi untuk berlatih renang, 
mengemudikan perahu, dan kadang-kadang 
di pantai itulah ia dilatih pamannya 
dalam tata perkelahian yang cukup 
berat.
Berbagai kesibukkan tampak dari 
perahunya, orang-orang yang bersenjata 
pedang dan tombak tampak mondar mandir 
di bandar itu. Begitu perahu merapat, 
bandar segera dua orang bersenjata 
tadi mendekati. Mahesa Wulung mula-
mula menaruh curiga dengan gelagat 
ini, tapi segera lenyaplah 
kecurigaannya, ketika ia melihat orang 
itu berikat, pinggang merah, satu 
ciri penjaga keamanan bandar 
Asemarang.
Dengan ramahnya, mereka 
mendapatkan Mahesa Wulung yang kini 
sudah naik ke darat.
Selamat Siang, kisanak. Sapa 
mereka.
Dapatlah kami mengetahui tentang 
diri kisanak? Sambil tersenyum Mahesa

Wulung meraba lehernya dan melepaskan 
untaian kalung yang tersembunyi 
dibalik bajunya lalu diacungkan kepada 
kedua pengawal itu sambil 
memperkenalkan dirinya.
Perkenalkanlah, saya Mahesa 
Wulung dari Demak. Kedua pengawal itu 
bukan main terkejutnya melihat medali 
kalung yang dipegang oleh tamunya 
berbentuk seperti cakra bergigi empat, 
seperti penunjuk arah mata angin. 
Itulah tanda buat seorang perwira laut 
Kerajaan Demak. 
Oh, maaf Tuan, kami tidak mengira 
Tuan datang dari Demak. Seru keduanya 
sambil menundukkan kepala memberi 
hormat.
Ah bapak berdua, tidak apalah 
sebab saya memang tidak secara resmi 
datang ke sini. Sayapun hanya 
menumpang perahu dagang saja. Balas 
Mahesa Wulung sambil memberi hormat 
kepada kedua pengawal itu.
Kalau begitu apakah kami dapat 
membantu Tuan dalam kunjungan ke 
Asemarang?
Terima kasih bapak, saya 
bermaksud berlibur di kota ini, selama 
beberapa bulan dan tinggal dengan 
paman saya Ki Sorengrana.
Jadi Tuankah Mahesa Wulung yang 
sering disebut-sebut Ki Sorengrana. 
Beliau sering menceriterakan Tuan 
kepada kami dalam saat-saat istirahat

sehabis latihan keprajuritan. Kalau 
begitu sampaikan pula salam kami 
kepada Ki Sorengrana jika Tuan telah 
tiba di sana. Pakailah kuda kami yang 
tertambat itu, Tuan akan lekas sampai 
di sana.
Terima kasih bapak. Segera Mahesa 
Wulung melepaskan seekor kuda yang 
berwarna hitam dan dengan satu gerakan 
yang sukar diikuti mata, tahu-tahu 
Mahesa Wulung telah ada di punggung 
sikuda hitam dan segera dipacunya ke 
arah selatan masuk ke daerah yang 
berhutan pohon asam.
Kedua pengawal tadi cuma 
menggeleng-gelengkan kepala sambil 
mengguman.
Hmm, pantaslah kalau dia 
kemenakan Ki Sorengrana, dari caranya 
berkuda saja orang mengenalnya.
Setelah melewati pohon randu yang 
besar Mahesa Wulung segera membelokkan 
kudanya ke arah barat dan dari 
kejauhan tampaklah perkampungan kecil, 
sedang rumah pamannya segera dapat 
dikenal dari pohon beringin yang 
tumbuh subur di depan rumahnya. Tapi 
rumah pamannya tampak sepi-sepi saja.
Seperti ada sesuatu yang tidak 
beres dengan kampung ini, semua pintu-
pintu dan jendela-jendela ditutup 
rapat. Pikir Mahesa Wulung sambil 
meloncat turun dari kuda. Begitu 
kakinya menginjak tanah dari arah

belakang terasa ada angin dingin yang 
bertiup hebat bersama satu bayangan 
yang berkelebat dari atas pohon 
beringin.
Pukulan Lebur Waja, pikir Mahesa 
Wulung dengan cepat sambil memutar 
tubuhnya melompat kesamping. Tangan 
kiri ditekuk lurus ke depan sejajar 
kepala sedang yang kanan ditekuk pula 
ke belakang sejajar kepala siap 
mengirimkan serangan, namun tiba-tiba 
terdengar teriakan tahan!
Mahesa Wulung terkejut bukan 
kepalang demi ia membatalkan 
serangannya, didepannya berdiri 
seorang gadis berparas elok. Sinar 
matanya masih membayangkan rasa curiga 
bercampur heran melihat pukulannya 
Lebur Waja bisa dielakkan pemuda ini 
dengan mudahnya, bahkan lebih heran 
lagi pemuda yang biru saja datang ini 
akan membalasnya pula dengan pukulan 
yang sama. 
Ha, ha, ha ! Bagus Wulung, bagus! 
Kau masih tetap menguasai ilmumu 
dengan baik.... terdengar suara dari 
samping rumah dan muncullah pamannya 
yang berwajah cerah, wajah yang telah 
lama dirindukannya. Sebab wajah itu 
bila ditentang lama ia seperti 
berhadapan dengan ayahnya sendiri yang 
telah beberapa tahun yang lalu. 
Mengapa tidak? Sorengrana adalah adik 
dari ayahnya Sorengyuda, hingga tidak

mengherankan bila keduanya mempunyai 
wajah yang mirip. Dengan rangkulan 
yang penuh rasa kasih, Sorengrana 
menyambut Mahesa Wulung, dihatinya 
mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha 
Besar bahwa ia masih berjumpa lagi 
dengan kemenakannya yang telah lama 
meninggalkannya.
Demikianlah sampai beberapa saat 
gadis itu masih berdiri kaku melihat 
gurunya Ki Sorengrana beramah tamah 
dengan pemuda ini. Mahesa wulung 
menyadari hal ini dan iapun bertanya 
kepada pamannya. 
Paman, siapakah gadis ini yang 
tadi tiba-tiba saja menyerangku?
E e e, ya, ya, aku sampai lupa 
memperkenalkannya. Inilah muridku, 
juga teman sepermainanmu sewaktu kecil 
dulu. Dialah Niken Pandan Arum. Kata 
pamannya. 
Pandan Arum ? Teriak Mahesa 
Wulung penuh kagum. 
Pandan Arum yang dulu selalu 
meminta aku memanjat dan memetikkan 
bunga angsoka untuk dibuat untaian 
kalung. Untung paman menyebutkan 
namanya kalau tidak pasti aku tak akan 
mengenalnya lagi.
Dan ini, Pandan. Ini kemenakanku 
Mahesa Wulung. Sambil tersenyum 
tersipu-sipu Pandan Arum mencuri 
pandang ke arah Mahesa Wulung dan 
begitu pandangnya bertumbuk pandangan

pemuda tampan yang hampir menjadi 
lawannya tadi, segera ia menganggukkan 
kepala dengan hormatnya, lalu dibalas 
pula oleh Mahesa Wulung.
Mahesa Wulung harap dimaafkan 
kelakuan Niken Pandan tadi. Kami 
sekampung memang tengah bersiap-siap 
untuk sewaktu-waktu menghadapi 
gerombolan hitam dari Alas Roban. 
Mereka sering membuat kekacauan-
kekacauan, terutama di daerah 
sepanjang pantai utara mulai dari 
Pekalongan sampai bandar Asemarang. 
Dengan paksa penduduk-penduduk di situ 
ditariknya pajak yang tidak sedikit 
jumlahnya. Hal ini terang-terangan 
menentang kewibawaan kerajaan Demak, 
malahan lagi ada didesas-desuskan 
bahwa mereka bersekutu dengan bajak-
bajak laut dari Pulau Ireng, sebuah 
pulau diantara Pulau-pulau 
Karimunjawa.
Lho, ini tamunya kok diajak 
bicara-bicara di luar saja marilah 
kita lanjutkan di dalam saja. Seru 
bibi Mahesa Wulung, Nyi Sorengrana 
yang segera pula ikut ke luar 
menyambut kemenakannya. Setelah mereka 
duduk-duduk dibalai-balai, Pandan Arum 
pergi ke belakang untuk ikut 
menyiapkan hidangan serta membantu Nyi 
Sorengrana yang sibuk di dapur.
Mahesa Wulung ketahuilah bahwa di 
daerah ini sedang timbul gangguan

keamanan, oleh sebab itu kami sering 
mengadakan latihan-latihan 
keprajuritan guna menghadapi setiap 
kemungkinan yang bakal terjadi. Dan 
tadi seperti yang kau lihat, khusus 
kepada Pandan Arum telah saya ajarkan
dasar-dasar aji pukulan Lebur Waja. 
Sorengrana berhenti sejenak sambil 
menghirup kopi panas yang telah 
dihidangkan.
Maka dengan kedatanganmu ini, 
saya turut berharap agar engkau 
membantu menanggulangi bahaya 
pengacauan serta melatih orang-orang 
di daerah ini dalam menggunakan 
senjata.
Baik Paman, sayapun tidak 
berkeberatan untuk tugas ini. Memang 
kedatangan saya ke Asemarang ini di 
samping berlibur juga ada tugas 
tersembunyi dari pimpinan armada 
Demak, yaitu menyelidiki kekacauan-
kekacauan yang terjadi disepanjang 
pantai Utara, yang mungkin pula 
seperti kata paman ada sangkut pautnya 
dengan gerombolan bajak Laut Pulo 
Ireng. Mahesa Wulung menarik nafas 
seperti ada sesuatu yang lama 
tersembunyi di dalam kalbunya.
Selain itu Paman, dapatkah sekali 
ini Paman menceriterakan sejelasnya 
peristiwa gugurnya ayah, Soreng Yuda?
Ya, aku akan ceriterakan padamu, 
tetapi ini disambi hidangannya yang

sederhana buatan bibimu sendiri. Maka 
sebentar mereka mencicipi juadah ketan 
yang terhidang di atas piring 
tembikar.
Begini Wulung, saat itu beberapa 
tahun yang lalu ketika Armada Demak di 
bawah pimpinan Adipati Junus atau 
Pangeran Sabrang Lor dibantu oleh 
Sultan Aceh dan Johor melakukan 
serangan ke Malaka yang telah diduduki 
Portugis sejak tahun 1511. Meski 
akhirnya tidak berhasil mengusir 
Portugis dari Malaka tapi, cukup 
menaikkan bangsa kita dan nyatanya 
Portugis sejak itu tidak lagi berani 
mencoba-coba untuk merebut tanah-tanah 
lainnya. Nah, disaat itulah sekali ia 
ketika itu berada paling belakang dari 
sekian puluh kapal yang beriring-iring 
pulang kembali kepangkalan armada 
Demak yang terletak di Jepara. Begitu 
lewat di Selat Karimata kapal ayahmu 
disergap oleh beberapa kapal galli 
Portugis. Dan rupa-rupanya telah 
bersekutu dengan bajak-bajak laut, 
sebab waktu itu terlihat pula kapal-
kapal jung berbendera naga merah 
dengan dasar hitam.
Kapal ayahmu melawan dengan 
sekuat tenaga. Aku ingat kata-kata 
yang pernah dilahirkan dihadapanku, 
bahwa ia lebih baik hancur bersama 
kapalnya dari pada menyerah kepada 
Portugis. Di samping itu agaknya

ayahmu bertekad untuk mencegah agar 
kapal-kapal Portugis tadi tak sempat 
menyerang iringan kapal kapal Demak 
lainnya, sehingga ia menjadikan 
dirinya perisai. Ayahmu sempat 
menenggelamkan sebuah kapal Portugis, 
sebuah lagi terbakar oleh tembakan 
meriam ayahmu. Tapi mereka jauh lebih 
banyak hingga akhirnya berhasil 
menenggelamkan kapal ayahmu yang 
dengan gagah berani bertempur sampai 
saat terakhir.
Ki Sorengrana sebentar berhenti 
berceritera sebab tenggorokannya 
terasa tersengal, saking terharunya 
dan ketika ia melirik Mahesa Wulung, 
terlihat olehnya butir-butir air mata 
yang menetes di atas pipi 
kemenakannya.
Tabahkan hatimu, engkaulah yang 
akan meneruskan perjuangan ayahmu yang 
tidak sia-sia itu, armada Demak dan 
setiap armada yang ada disegenap 
daerah Nusantara ini, akan lebih 
banyak membutuhkan putra-putranya yang 
berjuang seperti ayahmu itu.
Benar, paman. Sayapun telah 
berjanji untuk melanjutkan perjuangan, 
ayah. Siapa tahu suatu ketika saya 
dapat membekuk bajak-bajak laut yang 
telah membantu Portugis si penjajah 
itu.
Sampai sekian percakapan mereka 
terhenti, karena bibinya telah membawa

nasi liwet dari dapur diikuti bleh 
Pandan arum yang membawa baki berisi 
sayur asem, pindang bandeng, dan 
sambal jeruk. Sambil meletakkan di 
atas balai-balai ia memberikan senyum 
manis kepada Mahesa Wulung. Begitulah, 
penuh suasana keakraban mereka 
berempat segera mulai makan. 
Mahesa Wulung, hari telah sore. 
Sebentar lagi akan gelap. Tolonglah 
kau antar Pandan Arum pulang.
Kau tidak lupa bukan, itu kampung 
Sekaju yang terletak disebelah selatan 
sana. Pasti Ki Soratani akan gembira 
meiihatmu.
Ya, paman aku masih ingat jalan-
jalannya? Waktu sampai di halaman 
Mahesa Wulung lalu melepas tambatan 
kudanya sementara itu muncul Niken 
Pandan Arum dari belakang rumah 
menuntun seekor kuda coklat lalu 
mendekati Mahesa Wulung.
Kakang Mahesa Wulung, apakah kau 
nanti sudi singgah sebentar kerumahku 
yang buruk itu? Pinta Pandan Arum.
Jangankan mengantarmu Pandan, 
akupun masih bersedia memanjatkan 
bunga-bunga soka untuk untaian kalung 
seperti dulu, masa kanak-kanak kita. 
jawab Mahesa Wulung menggoda.
Ah, kakang Mahesa Wulung ini, 
masih suka ndagel, nih, trimalah hih, 
hih. Seru Pandan Arum dengan gemas

sambil beberapa kali mencubit lengan 
Mahesa Wulung.
Keruan saja pemuda ini berteriak 
peringisan. Heh, heh, sudah, sudah 
Pandan, aku kapok !
Ki Sorengrana dan isterinya 
memandang mereka dengan tersenyum-
senyum di depan pintu. Ah, dasar anak 
muda, begitu ya bune kalau dua sahabat 
lama bertemu seperti kita dulu
Oooo, ini pamannya sama saja, 
hih, ini lho! Nyi Sorengrana mencubit 
pula lengan suaminya.
Keduanya tersenyum dan kembali 
masuk ke dalam setelah dua anak muda 
itu melarikan kuda-kudanya ke arah 
selatan serta lenyap dari pandangan 
mereka.
Angin senja yang segar serasa 
mengusap wajah mereka. Kedua anak muda 
itu tidak lagi memacu kudanya, tapi 
membiarkan kudanya berlari lari kecil 
kecil seenaknya. Mendekati semak pohon 
bambu yang terlihat di depan mereka. 
Cepat-cepat Mahesa Wulung berbisik 
kepada Pandan Arum. — Stt, Pandan. 
Waspadalah, ada sesuatu yang 
mencurigai dibalik semak-semak bambu 
itu. Dengarlah baik-baik. 
Tapi sayang sekali ilmu Pandan 
Arum belum setinggi yang dimiliki oleh 
Mahesa Wulung sehingga ia hanya 
mendengar daun bambu yang bergeser-
geser ditiup angin lain tidak! Sedang

Mahesa Wulung berkat ilmu warisan 
ayahnya "Bayu Rasa" yang memungkinkan 
dirinya bergerak ringan seperti angin, 
juga bisa mendengar sesuatu dari jarak 
jauh lewat angin, kali ini merasa ada 
gerak lain diantara gerak-gerak daun 
bambu. Yaitu gerakan daun-daun bambu 
yang dikuakkan oleh tenaga lain. Bukan 
angin, tapi oleh tangan-tangan manusia 
juga terdengar jelas oleh telinganya 
ranting berderak kena injakan kaki.
Hee, siapa itu yang main sembunyi 
di semak bambu! Ayo, cepat keluar! 
Main-main seperti anak kecil saja! 
Teriak Mahesa Wulung dilambari tenaga 
dalam sehingga suaranya bergetar dan 
mengumandang di antara pohon-pohonan 
sekeliling.
Dengan tiba-tiba saja seleret 
sinar putih keluar dari semak bambu. —
Awas, Pandan!— seru Mahesa Wulung. 
Mendengar seruan itu Pandan Arum yang 
telah memasang kesiagaan sejak tadi 
cepat bertindak. Ia menelungkupkan 
dirinya ke leher kudanya sehingga 
datar dengan punggung kuda. Sejengkal 
di atas kepalanya serasa anak panah
lewat dengan sambaran angin yang 
hebat. Sekilas itu juga ia berpikir, 
bahwa Mahesa Wulung yang berkuda 
disampingnya, mungkin terkena panah 
karena ia tadi mendengar suara benda 
yang menancap namun ia menjadi 
terkejut seketika.

Hai, orang pengecut, keluarlah! 
Ini panahmu telah kuterima baik-baik.
Ternyata Mahesa Wulung masih 
tegak duduk di atas kudanya tidak 
kurang suatu apa Tangan kanannya
teracung keatas sedang diantara jari-
jarinya terjepit sebatang anak panah. 
Inilah yang membuat Pandan Arum 
terkejut keheranan. Rupanya, suara 
tadi suara jepitan jari-jari Mahesa 
Wulung yang menangkap anak panah di 
tengah perjalanannya.
Bersamaan dengan itu, Mahesa 
Wulung segera memacu kudanya ke arah 
semak bambu, dari mana anak panah tadi 
ditembakkan. Hanya sayang ia masih 
kalah cepat sebab ia hanya sempat 
melihat kelebatan sosok tubuh yang 
seperti terbang meninggalkan tempat 
itu lalu lenyap digelap senja.
Segera Mahesa Wulung menarik 
kembali kekang kudanya mendapatkan 
Pandan Arum yang masih saja tertegun 
mengalami peristiwa yang baru saja 
terjadi.
Mari Pandan, kita meneruskan 
perjalanan pulang, rupa-rupanya saja 
ada yang tidak senang dengan 
kedatanganku kemari, -ujar Mahesa 
Wulung. Untunglah kita terhindar dari 
pokal yang jahat tadi dan ini anak 
panah yang akan kita jadikan bahan 
penyelidikan.

Terima kasih kakang kau telah 
menyelamatkan diriku. -jawab Mahesa 
Wulung sambil memacu kudanya kembali 
ke arah tujuan semula. Sesaat mereka 
berpacu berdampingan
Hai, orang pengecut, keluarlah! 
Ini panahmu telah kuterima baik-baik! 
-Ternyata Mahesa Wulung masih tegak 
duduk di atas kudanya tidak kurang 
suatu apa. Tangan kanannya teracung ke 
atas sedang diantara jari-jarinya 
terjepit sebatang anak panah.

Nah itu kakang. Dua batang pohon 
asem tua yang saling bertautan itu 
adalah pintu gerbang ke desaku, desa 
Sekaju, setelah mereka melewati 
gerbang desa tadi kemudian Pandan Arum 
membelokkan kudanya ke barat yang 
segera pula diikuti oleh Mahesa 
Wulung. Di depan rumah yang ditumbuhi 
pohon sawo di kiri kanannya, keduanya 
berhenti dan turun dari kuda.
Tampak seorang laki-laki tua 
mendapatkan mereka. Wajahnya penuh 
keramahan, sedang tubuhnya masih cukup 
tegap.
Ayah, inilah kakang Mahesa Wulung 
yang mengantarku. Ia baru saja tiba 
dari Demak. Tentu Ayah belum lupa 
bukan ?
Ya, Ya aku tidak lupa nak, Mahesa 
Wulung putra mendiang Adi Soreng Yuda, 
begitu kan ? Baiklah, mari angger, 
kita duduk-duduk di dalam. -Ajak Ki 
Soratani. Lalu merekapun duduk. 
Serpentara Nyi Soratani menyiapkan ubi 
rebus dan minuman.
Angger Mahesa Wulung aku lihat 
tadi angger menggenggam sebatang anak
panah — bertanya Ki Soratani.
Benar bapak, inilah - kata Mahesa 
Wulung serta menunjukkan anak panah 
yang sejak tadi digenggamnya, 
disambung dengan ceriteranya ketika 
peristiwa pencegatan tadi di semak 
pohon bambu. Kedua alis dan dahi Ki

Soratani terangkat tinggi begitu ia 
menatap anak panah yang kini 
dipegangnya, suatu pertanda bahwa ada 
sesuatu yang membuatnya terkejut. 
Hmm, angger Mahesa Wulung coba 
mendekatlah kemari dan dekatkan kemari 
lampu minyak agar kita dapat seksama 
meneliti anak panah ini. Kata Ki 
Soratani.
Ini perhatikan, mata anak 
panahnya, Bergigi-gigi runcing ke 
belakang dan setahu bapak, hal ini 
tidak wajar sebab daerah Asemarang 
sini hanya menggunakan anak panah mata 
biasa saja, yaitu berujung runcing 
tajem tanpa gigi ke belakang. Sedang 
itu hanya digunakan oleh gerombolan 
hitam dari Alas Roban saja.
Mahesa Wulung terdiam sejenak 
mendengar penuturan Ki Soratani itu, 
lalu otaknya segera berpikir keras 
menghubung-hubungkan peristiwa yang 
satu dengan yang lain sejak ia tiba 
dibandar Asemarang sampai saat ini.
Ya, bapak. Aku ingat sekarang, 
siang tadi ketika saja tiba di bandar, 
seseorang tampak selalu mengawasiku 
dari kedai minuman. Dialah rupanya 
salah seorang anggota gerombolan Alas 
Roban dan peristiwa pencegatan tadi 
pasti ada sangkut pautnya dengan dia.
Demikianlah setelah cukup waktu, 
Mahesa Wulung segera berpamitan kepada

Ki Soratani suami istri dan kepada 
Niken Pandan Arum.
Jangan kapok lho nak, singgah 
kemari. Bapak, ibu akan selalu dengan 
senang hati menerima angger Mahesa 
Wulung, ujar mereka sedang Pandan Arum 
melepaskan pemuda itu disertai senyum 
yang manis. Bila diufuk Timur matahari 
telah mulai melepaskan sinarnya, 
tampaklah kesibukan di kampung Karang 
Asem pagi itu. Orang-orang yang pergi 
ke sawah hanya sebagian saja, terutama 
yang muda-muda pada berkumpul di 
halaman rumah Ki Sorengrana. Beberapa 
diantaranya ada yang membawa tombak, 
pedang dan ada pula bersenjata panah.
Setelah Ki Sorengrana memberi 
penjelasan secukupnya, maka merekapun 
segera mulai mengadakan latihan-
latihan menggunakan bermacam-macam 
senjata.
Di bawah pohon beringin rindang 
tampaklah Pandan Arum melatih jurus-
jurus pukulan maut "Lebur Waja". 
Didekatnya, tegak berdiri 
mengawasinya, Mahesa Wulung.
Adi Pandan, marilah kita berlatih 
bersama biar kita bisa saling 
melengkapi kekurangan-kekurangan yang 
ada. Seru Mahesa Wulung sambil 
meloncat ke muka Pandan Arum 
mengirimkan satu serangan tangan 
kanannya ke arah kepala. Meski semula 
terkejut cepat Pandan Arum menguasai

dirinya dan dengan lincahnya 
memiringkan kepala ke kanan hingga 
serangan Mahesa Wulung mengenai udara 
kosong. Pada saat yang bersamaan itu 
Pandan Arum ganti melancarkan serangan 
ke arah ulu hati dengan kaki kirinya.
Mendapat serangan demikian Mahesa 
Wulung cepat menjejakkan kedua kakinya 
ke tanah sambil menyalurkan aji Bayu 
Rasa. Maka yang terlihat sangat 
mengagumkan. Seperti bola saja Mahesa 
Wulung melanting ke atas, dan ketika 
turun kembali ia membentangkan kedua 
tangannya dengan jari-jari yang 
mencefigkam. Gerak ini dipelajarinya 
dari gerak elang laut yang sering 
dilihat dan diperhatikannya selama ia 
berlayar kemana-mana. Jika elang laut 
sudah membentangkan sayapnya lebar-
lebar pasti ia segera menukik ke air 
dan sejurus saja jari-jari kakinya 
tentu telah mencengkeram rnangsanya 
seekor ikan.
Diserang secara demikian Pandan 
Arum segera surut ke belakang beberapa 
langkah lalu iapun mulai menyalurkan 
aji Lebur Waja guna menyambut terkaman 
Mahesa Wulung. Tapi sekali lagi 
hatinya dibuat terkejut oleh gerakan 
Mahesa Wulung, begitu pukulannya 
hampir mengenai dada, pemuda itu tiba-
tiba surut pula ke belakang dengan 
jungkir balik di udara dan tahu-tahu 
Mahesa Wulung tiba di tanah dengan

berdiri tegak lengkap dengan memasang
kuda-kudanya.
Bagus, kakang. Hebat sekali
gerakanmu. -seru Pandan Arum sedang 
dihatinya iapun memberikan pujian 
kepada pemuda ini.
Terima kasih Pandan. -kata Mahesa 
Wulung- Kaupun pasti akan bisa 
menyamaiku jika rajin-rajin berlatih.
Sementara itu terdengar bunyi 
bende sekali dan merekapun berhenti 
mengadakan latihan keprajuritan. 
Sebagian pergi mencuci muka yang penuh 
dilekati debu, sebagian lagi telah 
menyiapkan sekedar hidangan menjadikan 
saat istirahat itu tampak lebih 
semarak.
Demikian juga Mahesa Wulung dan 
Pandan Arum tampak menikmati 
istirahatnya di bawah pohon beringin. 
Sungguh segar rasanya, lebih-lebih 
dengan duduk-duduk sambil makan juadah 
ketan dan minuman air kelapa muda.
Mahesa Wulung merebahkan dirinya 
ke atas akar-akar beringin sedang 
matanya menatap ke atas memperhatikan 
sulur-sulur beringin dan daunnya yang 
rindang.
Betapa bahagianya aku, seandainya 
bisa mencontoh makna pohon beringin. 
Akar dan sulurnya yang kuat dalam-
dalam masuk ke dalam tanah menyebabkan 
batangnya dapat kokph berdiri. Jika 
aku dan setiap orang benar-benar

berbakti kepada tanah airnya pastilah 
Nusantara akan menjadi satu negara 
yang kokoh. Atau dari daunnya yang 
rindang itu, yang dengan tulus ikhlas 
memberikan naungan kepada siapa saja, 
baik kepada yang miskin ataupun yang 
kaya, kepada yang berpangkat tinggi 
dan kepada yang rendahan. 
Sedemikianlah semoga aku dapat 
mencontohnya.
Belum lagi selesai berpikir-
pikir, terdengar suara bende lagi 
sekali dan terasa tangannya digoncang-
goncang.
Ayo, kakang kita berlatih lagi. 
Jangan melamun saja ah. Pagi-pagi kok 
sudah melamun. -seru Pandan Arum.-
Kali ini paman akan melatih mereka 
menggunakan panah.-sambungnya - Selama 
di Demak apakah kakang masih sering 
menggunakan panah?
Tentu Pandan, aku masih tetap 
membawa panah kemana saja dalam 
mengarungi samodra. Kadang-kadang aku 
menggunakan panah untuk mendapatkan
ikan-ikan di laut di samping 
keuntungan yang lain kudapatkan yaitu 
tetap berlatih panah. Sebab meskipun 
kita pandai setinggi langit tapi tidak 
sering dilatih, lama-lama kepandaian 
itu akan luntur dan surut dan musnah 
pada akhirnya.
Ki Sorengrana tampak sibuk 
membimbing mereka yang sedang

berlatih. Kadang-kadang tak segan-
segannya dia mengulang-ulang 
petunjuknya, malahan tidak jarang 
disertai bentakan-bentakan. Tapi 
orang-orang yang berlatihpun sadar 
bahwa bentakan-bentakan Ki Sorengrana 
itu demi kepentingan bersama, agar 
mereka dapat sempurna berlatih.
Ayo, ayo, perhatikan dalam 
menarik busur panahmu arahkan sejajar 
mata dan jangan lupa mengatur 
pernapasanmu.
Tetapi tiba-tiba kesibukan mereka 
berlatih itu dipecahkan oleh satu 
suara yang berdengung mengikuti 
seleret sinar putih meluncur dari 
gerumbul pohon-pohon pisang. Rupanya 
dengung itu tidak kecil pengaruhnya,
terbukti beberapa orang terlongoh-
longoh kebingungan seperti lumpuh 
tanpa dapat menggerakkan tubuhnya. 
Dengung tadi mempengaruhi perasaan 
seseorang dan juga kesadarannya.
Namun Mahesa Wulung berkat aji 
Bayu Rasanya dapatlah menebak dengan 
tepat bahwa dengung itu adalah dengung 
panah sendaren yang tengah meluncur ke 
arah sasarannya. Tapi siapakah 
sasarannya?
Begitu ia mengikuti dengung itu 
tahulah ia, panah itu meluncur ke arah 
Ki Sorengrana. Secepat kilat Mahesa 
Wulung bertindak. Cepat-cepat ia 
menarik sebatang anak panah dari

kantong kulit yang bergantung 
dipinggangnya dan segera 
ditembakkannya ke arah suara yang 
berdengung itu. Hampir-hampir tidak 
mungkih rasanya itu bisa terjadi, tapi 
itu benar-benar terjadi. Seleret sinar 
putih lain memotong sinar putih 
pertama yang berdengung, lalu 
terdengarlah satu suara benturan yang 
keras, seolah-olah cabang pohon yang. 
dipatahkan oleh tenaga raksasa dan 
tahu-tahu jatuhlah ke atas tanah dua 
batang anak panah. Tapi yang sebuah 
patah terpotong tepat pada leher mata 
panahnya, sedang kira-kira dua jangkah 
tergeletak mata panahnya.
Mahesa Wulung lalu memungutnya, 
dan inilah yang membuatnya 
terperanjat.
Hee, lihat Pandan, lihatlah. 
Paman Sorengrana lihatlah ini, anak 
panah yang sama seperti yang digunakan 
oleh pencegat kemarin terhadap kami 
berdua. Menurut Ki Soratani mata panah 
itu biasa digunakan oleh gerombolan 
hitam Alas Roban.
Ah kau telah menyelamatkan 
nyawaku Mahesa Wulung. Mata Ki 
Sorengrana mengamat-amati mata anak 
panah yang diberikan oleh Mahesa 
Wulung. Dengan berlari-lari tibalah 
dua orang yang tadi mengejar ke arah 
asalnya anak panah sandaren meluncur.

Ki Sorengrana, kami tidak 
menemukan sesuatu, kecuali jejak-jejak 
kaki saja, lapor kedua orang tadi.
Bapak guru, tunggu dulu — potong 
Pandan Arum sambil menunjukkan anak 
panah yang terpotong matanya tadi. Ada 
sesuatu yang diikatkan pada batang 
panah ini.
Ki Sorenprana lalu menerima anak 
panah itu dari Pandan Arum dan segera 
membuka simpul-simpul tali yang 
digunakan untuk mengikat secarik kain. 
Begitu dibukanya lipatan kain itu, 
terlihatlah tulisan dengan warna 
merah, berbau amis. Setelah diamat-
amati ternyata tulisan dengan darah. 
Berbunyi. —Ki Sorengrana dan semuanya, 
jika masih ingin hidup lebih lama 
jangan sekali-kali mencoba menghalang-
halangi pekerjaan kami—. Di bawah 
tulisan tertera semacam gambar, symbol 
kepala singa.
Hmm, benar kau Mahesa Wulung. Ini 
perbuatan gerombolan hitam Alas Roban 
dan ketahuilah lencana kepala singa 
ini sebagai ciri dari kepala 
gerombolan Alas Roban, dialah 
Singalodra- ujar Ki Sorengrana.
Gerombolan Singalodra? berbareng 
orang-orang menyebutnya dengan nada 
suara yang bergetar, pertanda bahwa 
mereka cukup gentar. Mengapa tidak? 
Setiap orang disepanjang pantai utara 
cukup mengenal keganasan Singaiodra.

Dia mempunyai senjata sakti Trisula 
dan disertai dengan ilmunya "Senggara 
Macan" membuat dirinya merajai semua 
gerombolan dari Alas Roban. Beberapa 
saja yang telah jatuh korban karena 
berani menentang Singalodra. 
Kebanyakan mereka jatuh mati sebelum 
sempat mendekatinya. Karena Singalodra 
mempunyai kebiasaan menggertak 
lawannya dari jarak yang cukup jauh 
dilambari ilmunya "Senggara Macan", 
Sekali gertak saja, pasti lawannya 
akan jatuh karena isi rongga dadanya 
akan rontok.
Saudara-saudara sekalian — seru 
Mahesa Wulung memecah kesunyian. —
Janganlah kalian merasa takut akan hal
ini. Kita tidak akan sendiri-sendiri 
menghadapi gerombolan hitam Alas 
Roban. Dengan persatuan yang kokoh 
kita akan bersama-sama melawan mereka, 
saya bersedia membantu saudara-
saudara.
Ya, ya kita akan tetap bersatu, 
kita hancurkan mereka. Serempak orang-
orang berseru sambil mengacungkan 
tangannya ke atas penuh keyakinan.
Oleh sebab itu saudara-saudara, 
latihan seyogyanya kita akhiri sampai 
di sini dahulu, sambung Mahesa Wuiung 
pula. Begitulah, sehabis Ki Sorengrana 
mengucapkan terima kasih atas 
kesungguhan mereka berlatih, maka

orang-orangpun bubar dan kembali 
ketempatnya masing-masing.
Kini tempat ini lalu kembali 
sepi. Yang ada disitu tinggal Ki 
Sorengrana, Mahesa Wulung dan Pandan 
Arum. Tampak Ki Sorengrana masih saja 
meneliti mata anak panah yang ada 
ditangannya.
Mahesa Wulung, aku merasa lega 
dan bangga mempunyai kemenakan seperti 
kau. Semua kepandaian dan keperwiraan 
ayahmu telah kau warisi dengan 
sempurna. Ki Sorengrana berkata.
Tapi apakah kau telah diceritai 
oleh ayahmu tentang guru-guru yang 
pernah mengajarkan keperwiraan dan 
kepandaian kepadanya?
Belum pernah, paman. -jawab 
Mahesa Wulung- Mungkin pernah juga 
tapi aku kini sudah lupa. Waktu ayah 
sering melatihku di pesisir bandar 
Asemarang dulu, aku masih kecil hingga 
kadang-kadang kurang memperhatikan 
ceritera-ceritera ayah. Apakah paman 
mengetahui, ayah pernah mempunyai guru 
ketika itu?
Benar, Wulung. Ayahmu dulu pernah 
berguru kepada pendekar sakti Bayu 
Sekti yang menurut ceritera ayahmu 
dulu, Bayu Sekti adalah masih 
keturunan Majapahit. Nenek moyangnya 
adalah pendekar-pendekar dari 
Bhayangkara, pasukan khusus pengawal 
raja. Ketika Bayu Sekti masih muda dia

termasuk golongan tinggi dari tokoh-
tokoh sakti di masa itu, sehingga ia 
sangat disegani. Terlebih lagi, dia 
suka berbuat kebajikan. Maka tidak 
jarang ia sering terlibat dalam 
pertempuran melawan golongan-golongan 
hitam yang sering membuat kekacauan 
disepanjang pantai utara Jawa.
Tapi kini ia sudah tidak muda 
lagi, lalu mengasingkan diri di 
sebelah selatan Asemarang. Di sana, di 
daerah pegunungan Tanah Putih ia 
tinggal dan memberikan pelajaran-
pelajaran kebajikan serta keluhuran 
budi. Oleh sebab itu, gerombolan-
gerombolan hitam merasa tidak ada lagi 
yang menjadi penghalang. Sehingga 
mereka berani lagi melakukan 
pengacauan-pengacauan yang dulu telah 
lama sekali terhenti akibat tindakan-
tindakan pendekar Bayu Sekti. Kalau 
kau ingin menemuinya, Wulung, itu 
lebih baik. Mungkin kau masih akan 
mendapat lebih banyak bimbingan dari 
Panembahan Bayu Sekti. Seperti ilmu 
yang telah kau punyai. Bayu Rasa, 
itulah hasil ciptaan Panembahan Bayu 
Sekti. Kadang-kadang orang 
memanggilnya pula dengan nama Pa-
nembahan Tanah Putih karena ia tinggal 
dipadepokan Tanah Putih. -Ki 
Sorengrana berhenti sejenak sambil 
menelan ludah, lalu berkata lagi-
Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah

besok pagi-pagi dari sini, Wulung. 
Pesanku, kau harus waspada, sebab 
rupa-rupanya gerombolan hitam Alas 
Roban telah menyelinap ke mana-mana 
terbukti dengan dua peristiwa yang 
telah kita alami. Mungkin mereka 
memata-mataimu dan telah mengetahui 
maksud kita yang sesungguhnya.
Baik paman, besok aku akan 
berangkat pagi-pagi sekali dari sini. 
Apakah benar pegunungan Tanah Putih 
itu terletak di sebelah Tenggara 
arahnya dari kampung Borang? kembali 
Mahesa Wulung bertanya.
Ya. -jawab Ki Sorengrana- Saya 
kira ada baiknya kau tidak usah 
melewati kampung itu. Siapa tahu ke-
pergianmu ini akan menarik perhatian 
gerombolan hitam Alas Roban. Pakailah 
jalan menerobos hutan-hutan di situ 
hingga kau akan cepat tiba di tanah 
Putih dan juga tidak terlalu menyolok.
Dengan tidak terasa, matahari 
telah condong ke Barat, sinarnya kini 
sudah tidak lagi sepanas bara. Malahan 
angin laut yang segar bertiup ke 
selatan. Beberapa gerombolan burung-
burung unggas lewat di-angkasa, pulang 
kembali kesarangnya setelah seharian 
penuh pergi mencari makan.
Sesekali terdengar kokok ayam 
jantan mengalun dengan merdunya. 
Setelah meminta diri, Mahesa Wulung
pergi mengantar Pandan Arum kembali 
kerumahnya.

DUA


MESKIPUN hari masih pagi, Mahesa 
Wulung telah bangun dari tidurnya. 
Demikian pula paman dan bibinya, 
Sorengrana. Mereka sibuk mengatur 
segala sesuatu untuk menyiapkan 
perjalanan Mahesa Wulung. Setelah 
sarapan, Mahesa Wulungpun lalu 
memasang pelana kudanya. 
Mahesa Wulung, hati-hatilah di 
jalanan nak, ini panah paman bawa pula 
olehmu, mungkin ada gunanya nanti. -
ujar Ki Sorengrana sambil mengulurkan 
tangannya memberi salam. Segera Mahesa 
Wulung menerima panah dan menjabat 
tangan pamannya seraya tunduk memberi 
hormat.- Terima kasih paman, segala 
nasehat akan saya perhatikan sungguh-
sungguh. Sekali lagi Mahesa Wulung 
memberi hormat kepada bibinya yang 
juga ikut mengantarnya sampai di 
haiaman rumah.
Selamat jalan Wulung. -seru 
mereka berdua- Semoga engkau berhasil 
dan Tuhan Yang Maha Pemurah akan 
menghindarkanmu dari segala mara 
bahaya. Mahesa Wulung lalu meloncat ke 
atas punggung kudanya dan memacunya ke 
arah selatan. Dalam sekejap saja Ki

Sorengrana dan istrinya tinggal 
melihat debu yang beterbangan, makin 
lama semakin jauh dan akhirnya lenyap 
ditelan hutan. Kini Mahesa Wulung 
telah menerobos hutan dan jalannya 
mengikuti jalan rintisan yang hanya 
biasa dilalui orang. Sebenarnya ada 
jalan yang lebih baik dan lebar tapi 
itu biasa digunakan lalu lintas umum, 
sering orang-orang berkuda lewat di 
sana, orang-orang berdagang hasil 
bumi, sekali-kali lewat pula rombongan 
orang-orang memikul tandu seorang 
pembesar praja. Dengan demikian Mahesa 
Wulung merasa aman sebab ia yakin 
tidak akan seorangpun yang bakal 
menjumpainya di jalan rintisan ini.
Perjalanannya kini makin-jauh 
masuk ke dalam hutan. Udara pagi 
terasa menyegarkan rongga dada. Mahesa 
Wulung diam-diam merasa kagum akan 
keindahan alam di sini, tapi sayang 
kadang-kadang manusia sendirilah yang 
dikatakan makhluk termulia itu, yang 
sering merusak alam yang diciptakan 
oleh Tuhan Yang Maha Pengasih.
Beberapa rumpun anggrek liar 
tumbuh di sana sini dengan beraneka 
warnanya. Udara pagi telah membawa 
baunya yang sedap itu memenuhi alam 
sekelilingnya. Berkas-berkas sinar 
mataharipun mulai menembus lewat 
celah-celah daun menambah indahnya 
panorama alam.

Belum lagi Mahesa Wulung selesai 
menikmati suasana pagi itu, tiba-tiba 
saja ketika ia akan membelokkan 
kudanya menurut arah ke kiri, 
telinganya yang tajam telah menangkap 
derap kaki kuda dari arah selatan
menuju ke utara. Terbiasa menghadapi 
hal-hal yang mendadak ini, Mahesa 
Wulung tidak kehilangan akal. Cepat-
cepat ia membelokkan kudanya masuk ke 
tepi jalan yang rimbun oleh ilalang, 
dan untunglah ia bertindak dengan 
cepat, kalau tidak pasti ia akan 
berpapasan dengan orang yang baru 
datang itu. Berkat naluriahnya yang 
terlatih itu ia mengambil kesimpulan 
bahwa orang yang sedang mendatang itu 
pasti punya maksud-maksud lain, 
seperti Mahesa Wulung sendiri yang 
mencoba menghindari untuk tidak 
bertemu dengan siapa-siapa.
Dari balik rumput ilalang tempat 
ia bersembunyi itu, ia kini dapat 
melihat dengan jelas orang-orang yang 
berkuda itu. Semua ada lima orang 
dengan mengenakan pakaian hitam-hitam. 
Hampir kesemuanya bersenjata panah 
tapi di pinggang mereka tergantung 
pula pedang-pedang pendek.
Tidak hanya keadaan mereka saja 
yang jelas tapi percakapan merekapun 
jelas terdengar oleh Mahesa Wulung.
Kita serahkan saja Panembahan Tua 
bangka itu kepada kakang Sima Gereng

dengan keempat anak buahnya, pasti 
sekejap saja kakek tua itu akan mampus 
olehnya. -kata seorang yang berkumis 
lebat kepada keempat orang lainnya. 
Pelana kudanya dialasi dengan kulit 
macan tutul. Disusul suara ketawa 
cekakakan yang memuakkan.
Rupa-rupanya yang berpelana kulit 
macan tutul itulah kepala dari 
rombongan ini -pikir Mahesa Wulung.-
Dan siapakah yang dimaksud dengan 
sebutan kakek oleh mereka itu? Dilihat 
dari solah tingkahnya dan ciri-cirinya 
setidak-tidaknya mereka dari 
gerombolan penjahat, sebab untuk 
menghadapi seorang kakek saja mereka 
telah mengerahkan lima orang kawannya. 
Seperti yang tersebut tadi dipimpin 
oleh seorang yang bernama Sima Gereng.
Sejurus kemudian rombongan 
berkuda tadi telah lenyap ke sebelah 
utara. Sesaat setelah itu Mahesa 
Wulung kembali membawa kudanya dari 
rumpun ilalang ke jalan yang semula 
dan cepat memacunya ke arah selatan, 
kemudian belok ke timur. Jalan yang 
dilaluinya tidak kini lagi mendatar 
tapi mulai naik dan semakin naik 
berbelok-belok. Mahesa Wulung telah 
mengambah tanah pegunungan di selatan
Asemmarang.
Di sini tanahnya ada yang seperti 
kapur berwarna putih, pastilah saja 
telah tiba di tanah Putih. Berkat

ilmunya "Bayu Rasa", telinganya yang 
tajam itu dapat menangkap suatu 
bentrokan senjata di lembah sebelah 
sana. Meskipun hal itu belum tampak 
dihadapan mata, namun lewat angin yang 
berhembus, dapatlah Mahesa Wulung 
merasakannya.
Mahesa Wulung sudah tidak sabar 
lagi, maka dengan ujung kendali ia 
mencambuk leher kudanya untuk maju ke 
depan lebih cepat lagi.
Kalau mereka tadi menyebut kakek 
tua yang dikeroyok oleh Sima Gereng 
dengan sebuatan Panembahan, pastilah 
ia tidak ada lain lagi, kecuali Panem-
bahan Tanah Putih atau Bayu Sekti yang 
harus ditemuinya. Ah, ini bahaya yang 
besar bagi panembahan itu. Biarpun ia 
gagah perwira, tapi itu kan dulu waktu 
masih muda sedang sekarang ini ia 
sudah tua dan lebih-lebih ia dikeroyok 
pula lima orang.
Mendapat pikiran demikian itu 
Mahesa Wulung sudah tidak sabar lagi, 
cepat-cepat memacu kudanya ke arah 
suara tersebut. Setelah menuruni 
lembah dan membelok ke kiri maka 
terlihat olehnya satu pemandangan yang 
mengagumkan.
Seorang tua berjenggot putih, 
berjubah kelabu dan bersenjata tongkat 
yang bercabang ujungnya telah sibuk 
dan terlibat dalam satu pertempuran 
hebat melawah lima orang. Tiga orang

diantaranya bersenjata pedang pendek, 
seorang lagi bersenjata dua buah pisau 
panjang, dan orang kelima yang 
memimpin serangan keroyokan itu 
bersenjata penggada yang pada 
ujungnya. dipasangi dengan bola besi 
berduri-duri runcing.
Hmm, ternyata dugaanku benar, 
itulah pasti Panembahan Tanah Putih. 
Gerakannya menggunakan unsur aji Bayu 
Rasa seperti yang kumiliki. Tapi yang 
ini lebih hebat lagi, mungkin sudah 
lebih disempurnakan oleh Panembahan 
Tanah Putih. Pukulan dengan tongkatnya 
telah menimbulkan angin yang 
bergulung-gulung. Demikian pikir 
Mahesa Wulung diam-diam, penuh kagum. 
Dengan penuh perhatian ia mengikuti 
pertempuran ini. Untuk itu maka ia 
segera turun dari atas kudanya, lalu 
bersembunyi di belakang semak-semak. 
Saking terpengaruhnya oleh gerak-gerak 
kakek yang luar biasa itu ia secara 
tidak sadar turut menirukan 
gerakannya, mula-mula hanya 
menggerakkan tangannya, disusul 
kakinya dan akhirnya keseluruhan gerak 
kakek itu tertiru olehnya. Mereka, 
antara si kakek dan Mahesa Wulung 
berilmu yang sama yaitu aji Bayu Rasa 
meskipun Mahesa Wulung masih dalam 
tataran yang masih rendah, tapi 
setidak-tidaknya mempunyai dasar-dasar 
yang sama, sehingga meski ada gerak

gerak yang baru dan belum dikenalnya 
tapi dengan mudah dapat segera 
dikerjakannya.
Panembahan Tanah Putih 
bergerak dengan cepatnya ke sana, ke 
mari terkadang meloncat tinggi dan 
turun dengan menerkam lawannya benar-
benar seperti burung sikatan menyambar 
belalang.
Sampai saat itu Mahesa Wulung 
masih sebagai penonton saja serta 
berkali-kali menirukan gerak Pa-
nembahan Tanah Putih sebab tidaklah ia 
melihat kesukaran pada si kakek 
berjenggot putih itu. Namun kini ia 
sudah tidak muda lagi, jadi lama-lama 
ia agak kerepotan juga menghadapi lima 
orang lawan tangguh sekaligus.
Salah seorang dari pengeroyok itu 
secara diam-diam telah menjauhkan diri 
dari titik pertempuran dengan lompatan 
ke belakang. Segera ia memasang panah 
untuk dibidikkan ke arah si kakek.
Tapi belum lagi membidik, Mahesa 
Wulung bertindak lebih cepat lagi. 
Dipungutnya sebutir kerikil dan serta 
merta dilemparkannya ke arah 
sipembidik gelap itu. Yang terlihat 
hanyalah seleret sinar yang menyambar 
kepala si pemanah yang kontan jatuh 
terjungkal sambil peringisan karena 
sakit dan gagallah serangannya oleh 
lemparan kerikil Mahesa Wulung.

Tentu saja orang tadi terjungkal, 
karena lemparan kerikil tadi juga 
dilambari tenaga dalam dan jurus 
pukulan maut "Lebur Waja". Walau masih 
geloyoran orang tersebut mencoba 
berdiri dan bersiaga. Sinar matanya 
penuh kemarahan, sedang pada 
pelipisnya terlihat bengkak kebiru-
biruan mengandung darah sebesar buah 
salak.
Sejurus kemudian Mahesa Wulungpun 
terjun ke dalam pertempuran itu. 
Kedatangannya membuat Panembahan Bayu 
Sekti keheranan, lebih-lebih buat 
lawan-lawannya, maka pertempuran itu 
makin dahsyat. Antara gerak Mahesa 
Wulung dengan Panembahan Bayu Sekti 
terjalin erat saling mengisi. Jika 
yang satu menerkam, yang lain meloncat 
tinggi. Persis dua ekor sikatan 
kembar.
Bagi Mahesa Wulung iapun merasa 
kagum kepada kakek yang dengan lincah 
melayani tiga orang penyerangnya itu. 
Kini kakek itu agak ringan karena 
musuhnya yang dua lagi ganti menyerang 
si pemuda yang baru datang ini. Kini 
gerak kakek itu makin ganas, sedang 
jenggotnya yang putih itu melambai-
lambai lucu tertiup angin. 
Setelah belasan jurus mereka 
bertempur tiba-tiba terdengar satu 
jerit kesakitan dan ternyata 
Panembahan Bayu Sekti berhasil menotok

jalan darah dari salah seorang 
penyerangnya dan bagaikan sehelai kain 
yang dijatuhkan, orang tadi rebah di 
tanah dengan tubuh yang pucat pasi 
tanpa daya. Sekarang masing-masing 
menghadapi dua orang lawan.
Dalam bertempur itu Panembahan 
Bayu Sekti sempat pula melirik wajah 
penolongnya yang baru saja datang itu. 
Ia belum pernah mengenalnya.
Wah, anak muda ini hebat dan yang 
tak habis-heranku, diapun menguasai 
ilmu Bayurasa dengan baik. Tidak boleh 
tidak ia pasti ada hubunganya dengan 
mendiang muridku pahlawan Sorengyuda, 
karena ilmu itu hanya kuajarkan 
kepadanya. -demikian pikir Panembahan 
Bayu Sekti sekilas.
Keempat gerombolan ini terpaksa 
harus bekerja mati-matian menghadapi 
kedua lawannya yang berilmu kembar 
ini. Sima Gereng yang menghadapi Bayu 
Sekti merasa kewalahan biarpun ia 
menggunakan penggada berujung bola 
besi berduri yang menimbulkan 
sambaran-sambaran angin yang dahsyat. 
Kawannya yang seorang juga berjuang 
tak kalah hebatnya, dengan bersenjata 
pedang pendek diputarnya bagaikan 
baling-baling berpijar mengeluarkan 
sinar putih yang bergulung-gulung, 
hingga ia mendapat julukan Kitiran. 
Satu lingkaran pertempuran lagi 
tak kurang dahsyatnya. Mahesa Wulung

yang dikeroyok oleh dua orang itu 
dapat bergerak dengan lincahnya ke 
sana ke mari. Lawannya yang seorang 
bersenjata sepasang pisau panjang 
berkilat-kilat bergerak cukup 
mengerikan.
Dengan kedua tangannya bersenjata 
pisau itu ia mampu menirukan gerak 
kalajengking yang sedang menerkam 
mangsanya, seperti sapitnya saja kedua 
pisau itu saling mencengkeram maka tak 
ada salahnya kalau kawan-kawannya 
memanggil dengan nama Sapit Ireng. 
Sedang lawannya yang seorang lagi 
bersenjata pedang pendek bergerak 
disertai wajah yang merah karena 
kemarahan, disebabkan pemuda yang 
menjadi lawannya inilah yang telah 
berani melempar kepalanya dengan 
sebutir kerikil hingga bengkak. Suatu 
penghinaan yang besar baginya, selama 
ia menjadi anggota gerombolan hitam 
Alas Roban belum pernah begitu mudah 
terjungkal jatuh hanya disebabkan 
lemparan seorang anak muda dengan 
menggunakan batu kerikil saja. Maka ia 
bertekat membalas sakit hatinya dengan 
mencencang lumat anak muda ini. 
Gerakan pedangnya sangat membingungkan 
pandangan, sekali membabat dari atas 
tegak lurus ke bawah dan sekali 
membabat dari samping mendatar sukar 
dikira-kirakan antara serangannya yang

satu dengan berikutnya. Karena 
badannya pendek ia dipanggil Bugelan.
Tapi kali ini lawan yang 
dihadapinya bukan sembarangan, meski 
Mahesa Wulung berusia masih muda 
sekali, tapi ia berpengalaman sangat 
luas, bertempur di mana-mana bersama 
armada Demak melawan orang-orang 
Portugis yang berbaju besi dan ber-
senjata api. Sampai saat terakhir 
belum satupun yang jatuh sebagai 
korban. Tak lama kemudian Sima Gereng 
mengeluarkan satu suwitan yang nyaring 
dan bernada tinggi, yang bagi 
gerombolan Alas Roban berarti harus 
secepatnya, mengakhiri pertempuran dan 
meninggalkan tempat itu. Dalam hati ia 
mengutuk mengumpat sejadi-jadinya 
kepada anak muda yang datang menolong 
Panembahan Tanah Putih. Kalau tidak, 
pasti ia berempat dengan kawannya akan 
dapat mengakhiri pertempuran itu 
dengan kemenangan pada pihaknya.
Maka Sima Gereng dengan ketiga 
kawannya berlompatan mundur 
meninggalkan arena pertempuran. Tapi 
disaat itu juga Panembahan Tanah Putih 
sempat bergerak dengan kilat dan 
memukulkan tongkatnya pada punggung 
Sima Gereng yang mana lalu berteriak 
dengan kesakitan dan darah merah 
terlihat keluar dari mulutnya. Rupanya 
saja Sima Gereng meski luka-luka di 
dalam ia tergolong jagoan dari

gerombolan hitam Alas Roban sehingga 
ia tetap dapat berlari dengan cepatnya 
meninggalkan tempat itu beserta ketiga 
kawannya.
Sedang yang seorang lagi yang 
tertotok jalan darahnya oleh 
Panembahan Tanah Putih tetap 
tertinggal di situ karena dirinya tak 
mampu bergerak. Sewaktu keempatnya 
berlompatan mundur, masih terdengar 
teriakan Sima Gereng mengancam: —Awas 
kau berdua. Sekali waktu akan 
kulumatkan batang tubuhmul— Tapi 
mendengar itu Panembahan Tanah Putih 
cuma tertawa terkekeh-kekeh.
Setelah keempatnya lenyap 
digerumbul semak-semak, Panembahan 
Tanah Putih lalu mendekati Mahesa 
Wulung. —Terima kasih anak muda, 
angger telah bersusah payah sudi 
membantu pekerjaanku. Mereka tadi 
tiba-tiba menyerangku ketika aku 
pulang dari mengobati orang sakit.
Tidak apalah kakek, sayapun minta 
maaf sebelumnya karena telah berani 
turut campur dalam pertempuran tadi, 
hanya terdorong oleh rasa keadilan, 
yang merasa muak karena melihat mereka 
berlima mengeroyok seorang tua seperti 
andika.— jawab Mahesa Wulung sambil 
menghormat.
Marilah kau singgah ditempatku 
angger, agar kita bisa berbincang-
bincang dengan sepuasnya, ajak orang

tua ini. Dan sebelum itu ada baiknya 
kita menanyai orang yang tergeletak 
itu, dari mana asalnya mereka.
Keduanya lalu mendekati orang itu 
badannya kelihatan pucat dan mulutnya 
sebentar-sebentar menahan sakit, 
menyeringai-nyeringai.
Kisanak, siapakah kau dan apa 
maksudmu tadi mengeroyok saya? -tanya 
Panembahan tua itu sambil menyandarkan 
orang tersebut ke sebuah batu besar.
Kami harus melenyapkanmu 
panembahan busuk, karena kaulah yang 
menjadi penghalang gerombolan kami 
Alas Roban melakukan pekerjaan! -sahut 
orang itu dengan napas turun naik.
Dan lagi kami akan membalaskan 
sakit hati Singalodra ketua gerombolan 
kami yang dulu pernah kau lukai dalam 
pertempuran di pesisir Tegal.
Hmm, ya aku ingat sekarang! -
sahut orang tua itu. - Lalu siapa guru 
kalian ? -tanyanya pula.
Guru kami tidak lain Ki Macan 
Kuping. -jawab orang itu lagi.
Mendengar nama Macan Kuping, 
Mahesa Wulung terkejut amat, sebab 
nama itu terkenal dan sering disebut-
sebut orang semasa ia kecil sebagai 
tokoh sakti yang katanya dapat merobah 
dirinya menjadi macan gadungan.
Makin bertambah jelas lagi kini, 
iapun pernah bertempur melawanku 
semasa aku masih muda. Ini semuanya

berkisar antara dendam lama yang turun 
temurun! -geram kakek tua itu. 
Bersamaan dengan itu terdengarlah 
bunyi dengung bernada tinggi dan tahu-
tahu orang itu mengeluarkan teriak 
yang tertahan.
Aaaaacccchhhh! -Sebatang anak 
panah tertunjam pada dadanya dan orang 
tadi mati seketika.
Gila ini! -seru Panembahan Tanah 
Putih. -Mereka tega membunuh sendiri 
anak buahnya.
Rupanya mereka takut orang ini 
berceritera lebih banyak tentang 
gerombolannya. -sambung Mahesa Wulung. 
Sambil lalu ia memperhatikan anak 
panah itu dan juga anak panah yang 
tergantung dipinggang orang yang mati 
itu. Ternyata ujung mata panahnya 
bergigi runcing-runcing ke belakang.
Eh, ngger marilah kita berlalu 
dari tempat ini. Tempatku ada di atas 
sana. - Lalu keduanyapun berjalan 
bersama-beriring. Orang tua itu ada di 
sebelah depan sedang Mahesa Wulung di 
belakang sambil menuntun kudanya. 
Hampir-hampir tak percaya rasanya, 
melihat Panembahan tua itu berjalan 
didepannya disebabkan jalannya yang 
terlalu cepat sedang tempat yang 
dituju masih ada di sebelah atas dan 
jalannya makin menanjak. Sebagai anak 
muda ia merasa kagum menjumpai orang

tua yang dapat berjalan cepat bagaikan 
angin.
Sesudah mereka sampai di pohon 
randu alas yang besar, membelok ke 
kiri memasuki sebuah pintu gerbang 
yang terdiri dari dua buah batu besar 
yang muncul kepermukaan tanah. Sungguh 
amat mengesankan. Kini tibalah mereka 
di sebuah padepokan.
Beberapa orang laki-laki murid 
Panembahan ini tampak menyambut 
kedatangan mereka.
Oh kyai, seru salah seorang 
diantaranya. -Mengapa banyak debu yang 
mengotori jubah Panembahan?
Ini tadi ada sedikit main-main 
dengan anak murid Ki Macan Kuping dari 
Alas Roban, jawab Panembahan tua itu
Dan ini perkenalkan tamuku. 
Namanya .... Eh, siapa anak muda kau 
tadi belum menyebutkan namamu.
Nama saya, Mahesa Wulung, 
Panembahan. –kata Mahesa Wulung.
Baiklah, kita membersihkan badan 
dulu, lalu kita duduk di dalam, -ajak 
Panembahan Tanah Putih kepada Mahesa 
Wulung.
Dalam ruang padepokan yang tampak 
bersih itu, Panembahan Tanah Putih 
duduk bersila sedang dihadapannya 
duduk pula Mahesa Wulung di samping 
murid-murid lainnya. Di ruang itu 
tampak beberapa kitab yang disimpan 
sangat rapi, diantaranya sudah ada

yang kelihatan kekuning-kuningan 
karena lamanya. Terlihat pula oleh 
Mahesa Wulung tulisan-tulisan pada 
daun lontar yang dirangkai dengan tali
berwarna merah.
Angger Mahesa Wulung kemanakah 
tujuanmu yang semula sebelum engkau 
bertemu dengan aku? tanya Panembahan 
kepada Mahesa Wulung.
Sebenarnya tujuan saya semula 
juga akan menghadap Panembahan kemari. 
Saya datang dari Demak dan tinggal di 
Asemarang di rumah paman Ki Soreng-
rana. Mendengar penuturan Mahesa 
Wulung itu tampak wajah Panembahan 
menjadi cerah.
Jadi angger ini kemenakan Ki 
Sorengrana dari Asemarang?
Benar, panembahan. Dan saya juga 
putra Ki Sorengyuda.
Oooo, Allah jadi kau juga putra 
mendiang muridku, Ki Sorengyuda 
perwira itu. -seru panembahan tua itu 
dengan sukanya. Tampak matanya yang 
telah tua itu berkaca-kaca. Ia merasa 
terharu dan dugaannya ternyata benar, 
karena ketika bertempur tadi anak muda 
ini, tidak lain Mahesa Wulung 
menggunakan unsur gerak aji "Bayu 
Rasa" yang pernah diajarkan kepada 
muridnya kinasih Ki Sorengyuda.
Kalau begitu angger Mahesa 
Wulung, tinggallah engkau di sini 
beberapa lama. Kau akan kuberi

gemblengan seperti mendiang ayahmu 
dahulu, -pinta Panembahan Tanah Putih 
kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih Panembahan.
Hari demi hari, selama tinggal di 
padepokan Tanah Putih itu, Mahesa 
Wulung mendapat kemajuan yang amat 
cepatnya dan Panembahan Tanah Putih 
mempunyai kebiasaan yang aneh. Ia 
tidak hanya mengajarkan ilmu hanya 
dengan duduk-duduk di padepokan saja, 
tapi muridnya Mahesa Wulung dibawanya 
pergi berjalan-jalan ke mana-mana.
Sekali waktu diajaknya Mahesa 
Wulung berlari cepat. Bagi orang yang 
belum tahu pasti akan menganggap bahwa 
orang tua ini kurang sehat pikirannya 
masakan sudah tua begitu masih suka 
berlari-lari.
Mahesa Wulung coba tangkap dan 
kejarlah aku! -seru orang tua itu 
kepada muridnya. Semula Mahesa Wulung 
berragu mendengar permintaan orang tua 
ini tapi ketika ia menerkam orang itu 
itu untuk ditangkapnya, tiba-tiba 
meloncat ke atas jungkir balik di 
udara dan tahu-tahu ada di 
belakangnya.
Heee, angger Mahesa Wulung aku 
ada di belakangmu. -seru sang 
panembahan sambil menepuk punggung 
Mahesa Wulung. Untung Mahesa Wulung 
sudah terlatih, kalau tidak, ditepuk

sedemikian pasti akan terhoyong-hoyong 
ke depan.
Heh, heh, heh, ayo Mahesa Wulung 
tangkaplah aku lekas! Kalau demikian 
caramu, kau akan jatuh sekali gebrak 
oleh musuhmu.
Secepat kilat Mahesa Wulung 
membalikkan tubuhnya dan siap menerkam 
ke belakang dengan jurus Lebur Waja. 
Tapi yah, Panembahan itu dengan lincah 
meloncat mundur beberapa langkah ke 
belakang sambil tidak lupa ketawanya 
yang lucu menggema di udara. Kini ia 
berlari-lari yang sebentar-bentar 
diselingi dengan loncatan.
Melihat hal itu, Mahesa Wulung 
segera mengejarnya pula dengan 
mengetrapkan ilmunya Bayu Rasa 
sehingga yang terlihat sangat 
mengagumkan pandangan. Keduanya 
seolah-olah dua ekor kijang yang 
sedang berkejar-kejaran, melompati 
sungai, turun ketebing sebentar naik 
ke lembah, sebentar lagi melompati 
jurang.
Sambil berkejar-kejaran 
Panembahan Tanah Putih memberikan 
petunjuk-petunjuknya kepada Mahesa 
Wulung.
Perhatikan Wulung. Aturlah 
napasmu, waktu melompat tahan dulu 
napasmu, dan sebelum menginjak bumi 
kembali jangan keluarkan.

Suatu ketika hampir saja Mahesa 
Wulung ketika melompati jurang jatuh 
terperosok karena tidak sampai, tapi 
terasa pinggangnya disambar oleh 
Panembahan dan keduanya selamat sampai 
seberang.
Janganlah berbuat sesuatu dengan 
merasa ragu-ragu Wulung, itu akan 
mencelakakanmu nanti. Cepatlah 
berpikir dan bertindak.
Terima kasih guru, -kata Mahesa 
Wulung agak malu karena memang ia tadi 
merasa bimbang ketika akan melompati 
jurang itu.
Pada hari berikutnya diajarkannya 
kepada Mahesa Wulung ilmu memusatkan 
pikiran. Mula-mula latihan yang 
ringan-ringan saja seperti berdiri 
tegak lurus tanpa bergerak sampai 
waktu yang tertentu, kemudian berdiri 
terbalik tegak lurus dengan kepala di 
bawah sedang kedua tangan bertekan 
pada tanah sebagai penumpu. Sepintas 
lalu seperti latihan-latihan Yoga. 
Terakhir ialah latihan di bawah air 
terjun. Diajaknya Mahesa Wulung ke 
arah selatan ke tanah yang berjurang-
jurang. Di sana terdapat air terjun. 
Di sisi tebingnya terlihat ada jenjang 
yang bertingkat-tingkat sangat tinggi. 
Orang-orang disitu menyebutnya tempat 
itu dengan nama Ondo Rante artinya 
tangga yang berantai.

Dengan sikap yang berdiri lurus 
sedang kedua tangan ditekuk di muka 
dada dan kedua telapak tangan 
ditelengkupkan menjadi satu seperti 
tangan yang menyembah, Mahesa Wulung 
tegak di bawah air terjun dan 
memusatkan perhatiannya menjadi satu, 
sehingga hantaman dan deburan air yang 
terjun dari atas menimpa kepala dan 
tubuhnya itu tidak terasa sama sekali. 
Malahan kini rasanya seperti memijat-
mijat tubuhnya dengan segar. Berbeda 
dengan mula-mula waktu mencoba, Mahesa 
Wulung hampir terhuyung-huyung jatuh. 
Ilmu atau sikap ini boleh disebut -
Tugu Wasesa- yang akan membuat 
seseorang tetap tegak meski ada angin 
atau getaran yang keras menimpa 
tubuhnya, laksana sebuah tugu yang 
tidak akan retak kena panas dan tidak 
hanyut oleh hujan.
Begitulah Panembahan Tanah Putih 
tidak tanggung-tanggung dalam melatih 
dan menggembleng muridnya hari demi 
hari dan dari minggu ke minggu. Untuk 
yang terakhir ini panembahan tua itu 
melatih Mahesa Wulung dengan jurus-
jurus pukulan maut yang tak kalah 
hebatnya dengan aji - Lebur Waja- yang 
telah dimiliki oleh muridnya.
Mahesa Wulung, coba kali ini kau 
akan kulatih dengan jurus-jurus 
pukulan maut. Aku belum memberinya 
nama terhadap aji itu, tetapi kau

boleh tetap menyebutnya seperti jurus 
pukulan Lebur Waja yang telah 
diajarkan oleh pamanmu itu. Dengan 
menggabungkan kedua unsur pukulan itu, 
kau akan berhasil memiliki tenaga 
pukulan yang dahsyat sedahsyat aji 
pukulan gada yang pernah dimiliki oleh 
Sang Bima penengah Pendawa ialah gada 
Rujak Polo. Sang Bima itu pernah 
memukul hancur sebuah gunung anakan.
Coba perhatikan, Wulung. 
Salurkanlah sikap Tugu Wasesa yang 
telah kau pelajari dan terkenal tak 
goyah oleh benturan keras itu. Aku 
akan mengujinya dengan tiga kali 
pukulan dari jarak yang cukup jauh. 
Nah, bersiaplah untuk percobaan ini 
sebelum kau terima seluruhnya aji 
pukulan maut dari saya, ini sebagai 
ujian serta dasar-dasar pertama. 
Ini sisi telapak tangan digunakan 
untuk memukul sedang dua jari tengah,
telunjuk dan penengah dirapatkan lurus 
ke depan dan ketiga jari lainnya 
disatukan mengepal pada telapak tangan 
bisa kau gunakan sebagai penusuk 
setajam pedang. -kata orang tua itu 
dan diperhatikan sungguh oleh Mahesa 
Wulung, lanjutnya :
Dengan memusatkan perhatian dan 
menyalurkan tenaga dalam serta 
kekuatanmu, barulah kau memukulkan 
tanganmu. Sekarang yang pertama, -
kata Sang Panembahan menggerakkan

tangannya. Pada waktu itu keduanya ada 
di sebuah lembah yang sepi, tak 
seorangpun yang tampak. Mereka duduk 
berhadapan dengan jarak yang cukup 
jauhnya.
Panembahan Tanah Putih memukul 
dua jarinya ke depan dan akibatnya 
cukup hebat. Mahesa Wulung yang telah 
menyalurkan sikap Tugu Wasesa itu 
masih tergoyang ke belakang dari 
duduknya dan hampir-hampir jatuh 
terjengkang, hanya terkena angin 
pukulannya saja, belum lagi sungguh-
sunggu terpukul. Kali ini Mahesa 
Wulung cukup merasa ngeri, 
dibayangkannya seandainya benar-benar 
terpukul, pasti akan luar biasa 
akibatnya, mungkin ia tak akan melihat 
lagi sinar matahari.
Mahesa Wulung, sekarang kau boleh 
bertahan dengan sikap berdiri!
Baik guru! jawab Mahesa Wulung 
yang segera berdiri dan bersiaga.
Ini yang kedua! -Sang Panembahan 
berganti memukulkan sisi tangannya ke 
depan dan yang kedua ini tak kalah 
hebatnya, Mahesa Wulung terdorong mun-
dur oleh angin pukulan gurunya ke 
belakang beberapa jangkah. Tapi Mahesa 
Wulung yang terkenal tangguh itu 
secepatnya meloncat kembali ke depan 
dengan bersiaga serta menyalurkan aji 
Bayu Rasa dan Tugu Wasesa sekaligus 
sebab ia kini telah merasakan, akibat

angin pukulan gurunya untuk pukulan 
yang ketiga ini Mahesa Wulung tidak 
mau meremehkan kepada gurunya.
Nah, untuk yang terakhir ini, 
terimalah kini pukulan yang ketiga-
seru Panembahan Tanah Putih sambil 
memukulkan sisi telapak tangannya ke 
depan. Tenaga angin dari pukulan yang 
ketiga inilah terhebat dari pada yang
pertama dan kedua. Biarpun Mahesa 
Wulung telah dibentengi oleh aji Bayu 
Rasa dan Tugu Wasesa, tak dapat dibuat 
mempertahankan dirinya dari angin 
pukulan ini, maka tak ampun lagi 
dirinya terpental jatuh ke belakang 
jungkir balik beberapa tumbak jauhnya. 
Di sini aji Bayu Rasa masih ada 
perlunya, sehingga meskipun ia jatuh 
jungkir balik, tidaklah terlalu keras 
terasa dan juga tidak menyebabkan 
luka-luka yang berarti, kecuali 
goresan-goresan kecil yang berdarah.
Heh, heh, memang aku percaya kau 
ulet sekali Mahesa Wulung. Pada 
pundakmulah aku boleh meletakkan 
harapanku, agar kau menjadi seorang 
yang perwira, setia dan berbudi luhur. 
Baiklah, kita pulang dulu sekarang dan 
mengobati luka-lukamu itu. Besok kau 
boleh mulai puasa mutih, sebelum 
kuajarkan padamu jurus pukulan maut 
ini. Hanya pesanku saja, jangan kau 
sembrono dan sembarangan menggunakan 
pukulan maut ini jika tidak perl


sekali. Apakah kau bersedia 
mengindahkan pesanku ini Wulung?
Baik sang Panembahan, saya akan 
sungguh-sungguh mengikuti pesan-pesan 
Panembahan.
Ingatlah, meskipun seseorang 
telah punya kesaktian ataupun 
mempunyai kekuasaan yang besar, bila 
ia menyombongkannya lebih-lebih 
menggunakannya dengan keliru dan 
sewenang-wenang pasti ia akan runtuh, 
sebab Tuhan tidak menyukai orang yang
demikian itu dan Ia akan menghukumnya. 
Sejak zaman dahulu hal ini sudah 
diceriterakan dalam ceritera-ceritera 
wayang, dalam kitab-kitab Mahabharata 
dan Ramayana. Kenapa sang Rahwana Raja 
yang mula-mula sakti dan berkuasa itu 
runtuh, sebab ia menggunakan 
kekuasaannya sewenang-wenang serta 
menyalah gunakan kesaktiannya. -begitu 
tutur Panembahan Tanah Putih kepada 
Mahesa Wulung.
Ia begitu kasih kepada muridnya 
ini, karena ia melihat dari mata anak 
muda itu, terpancar sinar keberanian 
dan keluhuran budi. Hidupnya telah 
dipenuhi dengan berbagai peristiwa 
yang penuh dengan suka duka, 
menjadikan orang itu kaya akan 
pengalaman-pengalaman hidup.
Justru itulah, ia ingin 
memberikan apa-apa yang dimilikinya 
itu kepada seseorang yang dapat

dipercayainya, agar dharma hidupnya 
tidak terputus karena ketuaannya itu, 
tapi dapat dilanjutkan demi 
kepentingan hidup bebrayan di dunia. 
Oleh sebab itu ia tidak setengah hati 
dalam mendidik muridnya. Keesokan 
harinya setelah mencari hari-hari yang 
baik, mulailah oleh Panembahan Tanah 
Putih menggembleng Mahesa Wulung dalam 
menerima ilmunya jurus-jurus pukulan 
maut. Ia merasa bangga dan puas 
melihat Mahesa Wulung muridnya tekun 
dalam mempelajarinya setahap demi 
setahap. Berkat kerajinannya itu dan 
terutama karena memangnya Mahesa 
Wulung sudah mempunyai dasar, maka 
dalam waktu yang tidak terlalu lama ia 
telah dapat menguasai jurus pukulan 
maut itu. Kesemuanya itu tercapai 
berkat bimbingan dan pendidikan 
sempurna dari gurunya.
Pecahan sinar matahari telah 
merayapi bukit-bukit di sebelah timur, 
mengawali matahari yang kini mulai 
menjelma. Kicau-kicau burung terdengar 
dipagi itu sangat ramainya. 
Dikesegaran udara pagi itu tampaklah 
dua orang bergegas-gegas meninggalkan 
padepokan Tanah Putih. Mereka berjalan 
beriring menuju ke arah selatan, 
mendaki perbukitan. Yang depan tampak 
tua, mengenakan jubah dan bertongkat 
sedang yang dibelakangnya berjalan 
seorang yang masih muda berbadan tegap


berikat kepala hitam. Setelah mereka 
menerobos hutan, tibalah keduanya 
dilembah yang subur, ditengahnya 
mengalir sebuah sungai kecil berair 
jernih.
Mahesa Wulung, setelah kau 
kulatih, sekarang aku ingin tahu 
sampai di mana usaha yang telah aku 
rintis itu. Coba kau tunjukkan aji 
pukulan maut ciptaan kita yang baru 
itu kepadaku
Mahesa Wulung segera bersiaga, 
kaki kirinya melangkah ke depan serong 
kiri setengah langkah, sementara 
tangan kirinya ditekuk ke depan dengan 
sisi telapak tangan lurus ke depan 
sejajar kepala sedang tangan kanannya 
dilipat ke samping belakang sejajar 
pula dengan kepala.
Nah, sekarang cobalah dengan 
tusukan dua jari. Wulung! seru 
Panembahan Tanah Putih. Lihat pohon 
pisang besar yang ada di depanmu itu, 
Pakailah ia sebagai sasaran!
Mahesa Wulung menyalurkan, segera 
tenaga dalamnya dilambari dengan 
pemusatan pikiran. Matanya setengah 
terpejam dan redup. Maka dengan gerak 
yang kilat Mahesa Wulung menusukkan 
kedua jarinya ke pohon pisang 
didepannya dan terjadilah satu 
pemandangan yang mengerikan. Begitu 
jarinya menyentuh dan masuk ke dalam 
batang pisang yang besar itu

terjadilah perubahan pada pohon pisang 
yang mula-mula segar bugar kehijauan 
itu mendadak menjadi kuning layu. 
Kemudian kering kerontang bagaikan 
terkena panas api yang berlipat-lipat 
dan setelah itu makin mengering dan 
menjadi abu serta runtuh ke tanah 
berserak-serak ke sana kemari.
Mahesa Wulung yang mengerjakan 
dan melihat sendiri akibat tusukannya 
dengan dua jari itu hampir-hampir tak 
percaya. Selama ini meskipun ia telah 
diajari oleh pamannya tentang aji 
Lebur Waja itu, akibat pukulannya tak 
sehebat ini, paling-paling hanya mampu 
merubuhkan lawannya saja. Tapi kini 
setelah digabungkan dengan aji pukulan 
maut dari Panembahan Tanah Putih, 
bukan saja sasarannya roboh begitu 
saja, tapi hancur menjadi abu hanya 
disebabkan tusukan kedua jarinya. Maka 
seperti orang yang mimpi dan tidak 
percaya ia menggigit bibirnya yang 
ternyata terasa sakit, jadi ia benar-
benar tidak mimpi.
Heh, heh, heh, kau tidak mimpi 
Wulung, itu sungguh-sungguh kau alami. 
kata Panembahan Tanah Putih sambil 
ketawa lucu, janggutnya yang putih dan 
panjang itu ikut tergerai-gerai 
berguncang karena ketawanya.
Ah, Panembahan. Saya hampir-
hampir tak percaya ini semua. Kata 
Mahesa Wulung. Saya tak dapat

membayangkan akibatnya seandainya 
sasaran tadi seorang lawanku seorang 
manusia.
Begitulah Wulung, memang 
akibatnya sangat ngeri. Oleh sebab itu 
tak boleh pukulan aji "Lebur Waja" ini 
kau gunakan sembarangan, lebih-lebih 
terhadap orang-orang lumrah, maksudku 
orang-orang yang tidak mempunyai ilmu 
apa-apa. Saya kira, setahuku hanya Ki 
Macan Kuping yang mempunyai ilmu 
sejajar dengan aji "Lebur Waja", 
Dialah guru kepala gerombolan hitam 
Alas Roban, si Singajodra. Ketika 
sama-sama muda kami pernah terlibat 
dalam satu pertempuran. Biarpun ia 
kukenai pukulan mautku, tetapi 
kulitnya hanya gosong-gosong saja dan 
ia masih sempat melarikan diri dengan 
mengumpat-umpat. Entah waktu itu. 
apakah karena dia memang mempunyai 
daya tahan yang hebat atau mungkin 
juga pukulanku yang kurang mengendap 
dan matang seperti ini. Ujar orang tua 
itu sambil membelai-belai janggutnya 
yang putih.
Nah sekarang Wulung, cobalah 
pukulan sisi telapak tanganmu! 
lanjutnya. Di sebelah itu terdapat 
batu hitam. Pakailah olehmu sebagai 
sasaran,
Mata Mahesa Wulung yang mengikuti 
arah seperti yang ditunjukkan oleh 
jari panembahan tua itu, terbelalak

saking terkejutnya demi terlihat 
olehnya batu hitam yang dimaksud oleh 
gurunya itu, ternyata besarnya sebesar 
kerbau yang sedang mendekam.
Namun sekarang ini ia tidak lagi 
merasa ragu-ragu menghadapi lawan 
seperti apapun.
Begitulah, setelah bersiaga dan 
menyalurkan tenaganya ke sisi telapak 
tangan kanannya, Mahesa Wujung dengan 
satu terkaman loncat yang indah tapi 
menimbulkan sambaran angin panas itu 
memukul batu hitam yang sebesar kerbau 
dan kali ini terjadi pula satu 
kejadian yang lebih dahsyat dari pada 
tadi.
Batu hitam ini dengdn satu 
letusan yang menggelegar pecah dan 
hancur menjadi bubuk pasir setelah 
terpukul oleh sisi telapak tangan 
Mahesa Wulung.
Sekali lagi Mahesa Wulung 
terheran-heran melihat ini semua. Ia 
tidak nyana sama sekali akan memiliki 
aji pukulan yang sedahsyat itu. Di 
dalam hatinya ia mengucap syukur 
kepada Tuhan Yang Maha Besar, atas 
pemberian tenaga yang luar biasa ini. 
Ia pun berjanji akan tidak sembarangan 
menggunakan ajinya ini, kecuali 
terhadap mereka-mereka terutama 
gerombolan-gerombolan hitam yang 
mengacau dan merongrong kewibawaan

pemerintahan Demak serta membuat 
kesengsaraan terhadap sesama manusia.
Nah Wulung, itu tadi kesemuanya 
engkau hanya menghadapi lawan-lawan 
yang tidak bergerak tapi yang akan 
menjadi lawan-lawanmu nanti tidak lain 
juga manusia seperti kita ini dan 
mungkin juga dia mempunyai pula ilmu
yang tinggi. Untuk itu, sekarang 
lawanlah aku, kita telah mempunyai 
ilmu yang sama meskipun kau masih 
harus lebih banyak lagi berlatih.
Mahesa Wulung mendengar penuturan 
gurunya itu, menjadi tunduk beragu. 
Kalau ia kini tahu kehebatan aji Lebur 
Waja, dan harus menggunakan untuk 
melawan gurunya sendiri, ia akan cemas 
melihat akibatnya.
Hee Wulung! Kali ini kau harus 
melawanku sekuat tenaga. Kalau tidak, 
kau akan kuhajar sendiri dengan aji 
"Lebur Waja" sehingga maut. Ayo, 
lawanlah aku! seru Panembahan Tanah 
Putih dengan kerasnya menggelegar 
memantul ketebing-tebing lembah 
disekitarnya.
Saat itu awan yang berarak-arak 
kehitaman membawa uap air berjalan, ke 
arah selatan menghalang-halangi sinar 
matahari pagi sehingga lembah itu 
sebentar terang dan sebentar gelap 
tertimpa bayangan awan hitam.
Uap air yang bertebaran di udara 
itu telah membiaskan sinar matahari

menjadi tujuh warna yang melengkung 
menambah keseraman lembah itu. Ia 
ingat ceritera orang-orang tua yang 
mengatakan bahwa pelangi itu adalah 
tangga yang digunakan oleh para 
bidadari untuk turun ke bumi, karena 
keperluan sesuatu.
Apakah para bidadari itu ingin 
melihat aku bertempur melawan guruku 
sendiri? Ah, pikiran gila! bantahnya 
sendiri. Biarlah seandainya mereka 
turun untuk ini, mereka akan kecewa 
sebab aku tidak akan sudi melawan 
guruku! Belum habis Mahesa Wulung 
berangan-angan itu terpecah oleh suara 
gurunya yang keras. 
Kau tunggu apa lagi Wulung, 
begitukah caramu dalam menghadapi 
seorang lawan? bentak orang tua itu. 
Dahinya mengkerut dan alisnya bertemu 
sedang pada matanya terpancar sinar 
kemarahan. 
Tapi di sini tidak ada lawanku, 
guru. Hanya kita berdua saja. Dan guru 
bukanlah lawanku! jawab Mahesa Wulung 
kecemasan.
Lupakanlah basa-basi itu Wulung. 
Kalau kau belum bertemu lawan akulah 
sendiri yang akan melawanmu sebagai 
lawan yang pertama! Mahesa Wulung tak 
habis herannya melihat perangai 
gurunya itu, lalu ia ingat bahwa 
orang-orang yang sakti, berilmu tinggi 
sering mempunyai tabiat-tabiat yang

aneh. Maka ia mengambil keputusan 
untuk melawan orang tua itu. 
Baiklah guru, kalau itu 
kehendakmu, aku akan melawanmu.
Sebelumnya, aku meminta maaf lebih 
dulu, kata Mahesa Wulung sambil 
mengangguk tunduk, memberi hormat 
kepada Panembahan Tanah Putih.
Di tengah saat ia memberi hormat 
gurunya itu, tiba-tiba ia merasakan 
angin yang bertiup keras sekali dan 
gerak naluriahnya membuat ia 
secepatnya berkelit ke samping sambil 
bersiaga. Untung ia telah mempelajari 
sikap "Tugu Wasesa". Kalau tidak, 
pasti ia akan terbanting jatuh. Tidak 
lain angin yang keras itu ialah tenaga 
pukulan dari gurunya sendiri.
Kini ia ganti menyerang dengan 
sepakan kaki kirinya mengarah lambung 
orang tua ini. Mendapat serangan ini 
orang tua berjenggot putih itu 
secepatnya meloncat mundur sedang 
tangan kanannya membabat kaki kiri 
Mahesa Wulung. Tapi Mahesa Wulung yang 
cekatan itu cepat-cepat menarik 
kembali serangan kakinya hingga 
serangan orang tua itu tidak mengenai 
sasarannya. Begitu mereka bertempur 
dengan serunya disertai gerak-gerak 
yang makin lama makin cepat dan 
berlingkar-lingkar sukar diikuti 
pandangan mata.

Mahesa Wulung bertempur dengan 
gigih laksana seekor banteng yang 
mengamuk sedang orang tua berjenggot 
itu bagaikan seekor rajawali yang 
menyambar-nyambar mengincar mangsanya. 
Setelah beberapa jurus mereka 
bertempur itu; Panembahan Tanah Putih 
tampak mengambil sikap pukulan 
mautnya. Melihat ini Mahesa Wulung 
sejenak terkejut, tapi iapun segera 
pula menyalurkant tenaga dalamnya dan 
mengambil sikap pukulan maut yang 
serupa siap dilontarkan.
Sebaiknya aku juga menggunakan 
pukulan maut Lebur Waja dari pada aku 
mati konyol begitu saja! pikir Mahesa 
Wulung sambil meloncat ke depan. 
Sekejap itu terlihatlah dua bayangan 
berkelebat saling menerkam dengan 
sikap yang sama, dan keduanya tampak 
sama-sama terdorong surut ke belakang 
beberapa langkah. Itulah hebatnya dua 
aji Lebur Waja yang beradu menjadi 
satu. Masing-masing yang terdorong 
tadi kini bersiaga pula untuk 
melanjutkan pertempurannya. Benar-
benar mereka itu tangguh. 
Panembahan tua itu kini menyerang 
Mahesa Wulung dengan menggunakan 
tongkatnya sedang Mahesa Wulung 
melihat lawannya menggunakan senjata 
tongkat, cepat-cepat ia maraba 
pinggangnya dan sekejap tergenggamlah 
pada tangannya sepucuk keris.

Merekapun kembali bertempur dengan 
hebatnya. 
Suatu ketika orang tua itu 
memukulkan tongkatnya ke arah dada 
Mahesa Wulung. Sayangnya, serangan 
dengan tongkat itu kembali menemui
tempat ko-song karena keburu Mahesa 
Wulung dalam saat yang genting itu 
berkelit ke samping kiri, sementara 
keris ditangan kanannya bergerak 
menusuk ke arah perut orang tua 
berjenggot putih.
Sungguh mengejutkan tusukan keris 
Mahesa Wulung bagi orang tua, itu, 
maka ia lekas-lekas merubah gerak 
tongkatnya meluncur kebawah untuk 
menahan keris anak muda yang tengah 
ditusukkan itu. Maka kedua senjata itu 
beradu dan saling melekat sesamanya. 
Baik Panembahan Tanah Putih ataupun 
Mahesa Wulung sejenak itu berdiam diri 
masing-masing seperti sedang 
beristirahat, walau senjata masing-
masing masih tetap terpegang di 
tangan. Hanya kalau kita memperhatikah 
wajah kedua orang itu, tampaklah 
saling tegang menegang, saling 
berpandangan tak berkedip matanya. 
Mereka sedang mengadu tenaga dalam.
Baik Mahesa Wulung atau 
Panembahan Tanah Putih sendiri sama-
sama menyalurkan tenaga dalam, 
kesenjata yang terpegang ditangan. 
Lama-lama oleh Mahesa Wulung terasa

tangannya yang pemegang keris menahan 
tindihan tongkat gurunya, menjadi 
semutan dan bergetar. Satu pertanda 
bahwa meskipun ia mempunyai ilmu yang 
sama dengan gurunya, ia masih tetap 
satu tingkat lebih rendah di bawah 
gurunya. 
Mahesa Wulung masih tetap 
bertahan dengan mengerahkan segenap 
kekuatan dalamnya menahan tekanan 
tongkat sang guru. Pada dahinya terbit 
bintik-bintik keringat yang makin 
besar dan besar lalu mengalir 
kemukanya seperti anak sungai. 
Sementara ketegangan itu berlangsung, 
terjadi pula peristiwa yang lain 
menambah ketegangan itu makin tegang.
Satu desingan nyaring mengikuti 
seleret sinar yang dengan cepatnya 
langsung menuju ke arah Mahesa Wulung. 
Tapi Panembahan Tanah Putih dengan 
segera menggerakkan tongkatnya yang 
sedang menindih keris muridnya dengan 
setengah lingkaran mencegat sinar itu. 
Sesaat kemudian terdengar suara 
benturan keras tak disusul dengan 
jatuhnya benda kecil di tanah di 
samping mereka, ialah sebuah baji, 
sejenis pisau kecil runcing.

Panembahan tua itu kini menyerang 
Mahesa Wulung dengan menggunakan 
tongkatnya sedang Mahesa Wulung 
melihat lawannya menggunakan senjata 
tongkat, cepat cepat ia meraba 
pinggangnya dan sekejap tergenggamlah 
pada tangannya sepucuk keris. Mereka-
pun kembali bertempur dengan hebatnya.

Siapa ini berbuat gila-gilaan!
teriak orang tua itu dengan nada 
setengah marah.
Di sana, kira-kira jarak 
sepelempar lembing terlihat semak 
ilalang yang dikuakkan dan muncullah 
seorang bertubuh besar, berbibir tebal 
dengan kumis dan jenggotnya lebat, 
kemudian berjalan ke arah mereka.
Maaf, bapak Panembahan, itu tadi 
perbuatanku. Kata orang yang baru 
datang itu. Aku tadi melihat anak muda 
ini begitu lancang berani menyerang 
sang Panembahan.
Gangsiran! Kau muncul lagi 
sekarang.....dan masih berani berbuat 
gila-gilaan. Hampir saja kau melukai 
pemuda ini. Kata sang panembahan tua.
Tapi.... tapi kulihat tadi ia 
menyerang panembahan dengan keris 
terhunus. Sebagai bekas murid aku 
ingin menunjukkan rasa terima kasihku. 
Orang itu berkata sambil menundukkan 
kepala karena menghindari tatapan mata 
orang tua itu yang tajam.
Aku tak butuh pertolongamu 
Gangsiran, dan apakah kau sudah lupa 
bahwa aku telah mengusirmu dari 
padepokan dan melarangmu memasuki 
daerah padepokan Tanah Putih!
Masih ingat panembahan, waktu itu 
aku mabuk tuak. Sekarang aku insaf dan 
akan meminta ampun kepadamu sang

panembahan. Perkenankanlah aku menjadi 
muridmu lagi. pinta orang itu.
Tidak! Kau telah menyelewengkan 
ajaran-ajaran yang kuberikan. Sekarang 
lekas berlalu dari sini, sebelum aku 
menjadi marah! begitu hardik Panembah-
an Tanah Putih kepada Gangsiran. Tak 
sudi aku melihat kedatanganmu kemari!
Mendengar itu, Gangsiran 
merebahkan diri ke tanah dihadapan 
sang Panembahan sambil berkata 
menghiba-hiba.
Guru mohon dimaafkan guru, aku 
sudah insaf. Izinkanlah aku 
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang 
telah aku buat. Biarlah Tuhan 
mengutukku kalau aku masih berani 
menyeleweng.
Guru, siapakah dia itu? tanya 
Mahesa Wulung yang sejak tadi 
memperhatikan adegan yang cukup 
mengharukan ini. 
Dialah Gangsiran bekas muridnya 
dulu. Dia pernah beberapa saat tinggal 
di padepokan Tanah Putih untuk 
mempelajari semua ilmu hidup, tentang 
keperwiraan, keluhuran budi dan 
sebagainya. Sebelum itu berjanji patuh 
kepadaku, karena ia benar ingin 
menjadi muridku. Tapi ia suka minum-
minum tuak dan tidak jarang mencuri-
curi turun ke desa Borang, bahkan 
sampai-sampai ke Asemarang untuk 
bermain judi. Itulah sebabnya ia

kuusir dari padepokan, orang tua itu 
berkata dan sebentar ia menarik napas 
dalam-dalam.
Tapi apakah guru sampai hati 
menolak permintaannya tadi? bukankah 
ia telah insaf dan berjanji akan 
memperbaikinya, guru? kata Mahesa 
Wulung merasa terharu melihat wajah 
Gangsiran.
Ya, aku bukan seorang yang kejam. 
Baiklah, kau Gangsiran. Kau aku terima 
lagi menjadi muridku asal kau benar-
benar bertobat.
O, terima kasih Panembahan, 
terima kasih. Seru Gangsiran 
keriangan. Air matanya bercucuran 
saking gembira dan terharu. Aku akan 
sungguh-sungguh mematuhi perintah sang 
Panembahan.
Nah, Gangsiran lihatlah jelas-
jelas pemuda ini yang hampir-hampir 
kau lukai tadi, Dialah muridku 
kemenakan Ki Sorengrana dan putra 
mendiang muridku Ki Sorengyuda. kata 
orang tua itu.
Jadi dia .... dia kemenakan Ki 
Sorengrana? Ah, aku kenal kepadanya. 
Harap dimaafkan aku dimas, atas 
kelakuanku tadi. Semula aku mengira 
bahwa adi benar-benar menyerang sang 
panembahan sebab aku melihat adi 
kelihatan bersungguh-sungguh dalam 
bertempur dengan panembahan !

Sudahlah kakang Gangsiran, 
lupakan sajalah hal itu. Toh kita 
masih selamat tak kurang suatu apa. 
jawab Mahesa Wulung. Keduanya berjabat 
tangan erat-erat.
Latihanpun diakhiri oleh mereka 
dan ketiganya berjalan pulang menuruni 
bukit, menerobos hutan dan akhirnya 
tibalah mereka di jalan kecil yang me-
nuju ke arah padepokan Tanah Putih.
Matahari berangsur-angsur 
bergeser ke arah barat dan makin lama 
makin condong hingga akhirnya lenyap 
di sana di sebelah barat dibalik 
pohon-pohonan seperti ditelan oleh 
mulut seorang raksasa. Di langit 
tampaklah bintang-bintang gemerlapan 
ribuan banyaknya dan malampun tibalah. 
Kesepian menelan padepokan Tanah Putih 
yang terpencil itu.
Kedatangan Gangsiran kembali 
kepadepokan Tanah Putih itu menambah 
kesegaran di situ. Ternyata Gangsiran 
di samping ahli sebagai pelempar baji 
atau pisau kecil, ia juga ahli membuat 
orang tertawa terpingkal-pingkal. 
Gangsiran memang suka be-ceritera dan 
melucu. Kini ia betul-betul telah 
bertobat.
Sang panembahan, beberapa waktu 
yang lalu, saya pernah singgah di 
sebuah kampung dikaki Gunung Brintik 
di barat sana. Orang-orang di situ 
berceritera kepadaku bahwa di angkasa

di atas Gunung Brintik sering terlihat 
seekor ular seperti naga yang 
melayang-layang dan menyala hijau 
kebiru-biruan. Penduduk di situ sering 
pula menyaksikan ular itu muncul dan 
lenyap di sebuah gua di atas Gunung 
Brintik dan mereka menduga ular itu 
berasal dari sebuah senjata.
Sebuah senjata? tanya Mahesa 
Wulung keheranan.
Benar sebuah senjata, tapi apa 
macamnya aku tidak tahu dimas. 
Begitulah aku pernah mencoba untuk 
mendapatkannya tapi tidak berhasii 
bahkan diriku hampir saja tewas karena 
diserang ular itu di dalam gua. Dari 
mulutnya menyembur ke luar seperti api 
yang menyala hijau kebiru-biruan 
sangat panasnya melebihi api biasa 
yang berwarna merah. Gangsiran 
menghentikan ceriteranya.
Memang itu tidak mudah mencari 
senjata, sambung Panembahan Tanah 
Putih. Pertama orangnya harus berhati 
bersih dan berbudi luhur serta tidak 
sombong. Kedua, orangnya, mesti 
mempunyai ilmu yang cukup untuk 
menerima pusaka itu, sebab tidak 
jarang orang yang tidak berilmu apa-
apa menyimpan sebuah pusaka hingga 
pikirannya terguncang dan tidak waras. 
Ketiga, pusaka itu sendiri kadang-
kadang tidak mau begitu saja jatuh dan 
disimpan orang yang tidak

disenanginya. Terhadap sebuah pusaka, 
kita mesti berhati-hati. Begitu kita 
berbuat kesalahan, pusaka itu akan 
lenyap dan pergi meninggalkan diri 
kita. Tentu kalian masih ingat kisah 
keris Sangkelat dan Condong Campur 
yang musna dari tempat penyimpanannya 
karena ia merasa marah dan tidak cocok 
dengan keadaan di situ, sebentar 
Panembahan tua itu berhenti 
berceritera. Ah, kita lupa terlalu 
asyik berceritera. Ini diminum kopinya 
sebelum kebacut dingin.
Sambil menikmati air kopi, Mahesa 
Wulung masih memikir-mikirkan ceritera 
itu tadi. Ia merasa tertarik dengan 
kisah ular yang menyala hijau kebiru-
biruan.
Guru, apakah kiranya aku 
diizinkan jika suatu waktu pergi 
menyelidiki pusaka itu? tanya Mahesa 
Wulung sambil meletakkan kembali air 
kopinya kebalai-balai.
Boleh, kau memang ada perlunya 
pergi ke Gunung Brintik untuk 
menyelidiki ular pusaka itu. Ajaklah 
Gangsiran serta ke sana supaya dapat 
membantumu. Mungkin satu minggu lagi 
baru ada hari yang baik, ujar orang 
tua itu. Dahulu ceritera nenekku, 
entah ini benar atau tidak, berkata 
bahwa mendekati surutnya kerajaan 
Majapahit dan timbulnya pemberontakan-
pemberontakan, ada sebuah pusaka

berbentuk cambuk bernama Kyai Naga 
Geni yang musna dari gedung pusaka 
kerajaan. Mungkin ini tersebab ia 
tidak merasa senang menyaksikan 
perpecahan antara tokoh-tokoh 
Majapahit yang pada hakekatnya sama 
dengan merobek-robek dadanya sendiri 
dari dalam dan inilah yang mempercepat 
keruntuhannya. Pusaka tadi ketika 
pergi meninggalkan tempatnya berubah 
menjadi ular yang menyala hijau 
kebiru-biruan terbang ke angkasa. Jika 
itu ada hubungannya dengan ular yang 
sering tampak melayang di atas Gunung 
Brintik, pastilah bahwa ular itu tidak 
lain ialah pusaka Kyai Naga Geni.
Panembahan Tanah Putih mengakhiri 
ceriteranya, sementara itu Mahesa 
Wulung dan Gangsiran menghabiskan 
kopinya. Keadaan kembali menjadi 
hening. Di luar terdengar desau angin 
diseling suara jengkerik bersahut-
sahutan dengan merdunya.
Nah, angger berdua aku terlalu 
lama berceritera kepada kalian, sampai 
aku lupa bahwa malam telah larut. 
Baiklah, kita pergi tidur sekarang. 
Kita perlu beristirahat. kata 
panembahan tua itu sambil berdiri dan 
lalu disusul oleh Mahesa Wulung serta 
Gangsiran berdiri. Mereka pergi ke 
kamar masing masing dan pergi tidur.

DUA

PADEPOKAN TANAH PUTIH banyak 
ditumbuhi ilalang dan semak bambu, di 
samping pohon-pohon pisang serta lain-
lainnya. Pagi itu angin bertiup dari 
utara cukup kencang menimbulkan suara 
gemersik dedaunan. Tidak jauh dari 
rumah padepokan, Mahesa Wulung duduk 
di atas sebuah batu besar. Ia tengah 
melamun merindukan kota Demak. Di sana 
ia hidup senang tidak kekurangan, 
kawan-kawannyapun banyak serta ramah-
ramah. Teringat ia sering berlayar 
dengan perahunya menjelajah lautan. 
Jiwanya pelaut terasa benar memanggil. 
Di sini ia tidak melihat laut yang 
luas, yang airnya gemerlapan ditimpa 
sinar matahari, tapi hanya tumbuhan-
tumbuh-an dan tanah pegunungan melulu, 
bergunung-gunung dengan lekuk-lekuk 
lembah serta berjurang dengan te-
bingnya yang curam. Di tengah 
lamunannya itu terdengar dari samping 
langkah yang mendekat ke arah 
duduknya.
Adi Mahesa Wulung, kau di sini 
melamun? Aku tadi mencarinya ke mana-
mana, kata orang yang mendekat itu.
Hee, kakang Gangsiran. Sahut 
Mahesa Wulung. Benar kakang, aku 
tengah melamun merindukan kota Demak.


Apakah adi ingin lekas-lekas 
pulang? tanya Gangsiran.
Tidak kakang, aku tidak ingin 
lekas pulang sebelum tugas yang 
dipikulkan kepundakku selesai dan 
beres.
Lihat dimas, di sini banyak 
tumbuh pohon bambu yang bagus. Dari
pada kau melamun, baiklah kubuatkan 
nanti sebuah seruling yang dapat 
mengobati rindumu, kata Gangsiran 
sambil meraba pinggangnya mengeluarkan 
pisau kecil lalu pergi kesemak bambu. 
Tak lama kemudian kembalilah ia dengan 
membawa dua potong bambu kuning.
Ini adi Wulung, kubuatkan kau 
sebuah dan aku sebuah.
Terima kasih kakang. Gangsiran 
memang cekatan dan rajin. Setelah 
sesaat menghaluskan potongan bambu 
itu, segera membuat lubang-lubang nada 
sebanyak enam buah dan sebuah lagi 
lubang untuk meniup seruling itu. 
Hasilnya tidak mengecewakan. Selain 
potongan bambu kuning itu dipilih dari 
batang yang terbaik, pada kedua ujung 
seruling masih dibuatnya lagi goresan-
goresan semacam hiasan menambah 
indahnya.
Kini Mahesa Wulung tidak lagi 
melamun. Kerinduannya akan kotanya,
ayahnya yang sudah tiada disalurkannya 
lewat irama sulingnya. Nadanya 
mengalun-alun indah dibawa oleh tiupan

angin yang berlalu. Kadang-kadang 
berirama naik, kadang-kadang menurun 
mengharukan siapa yang mendengar. 
Gangsiran yang mula-mula juga akan 
meniup serulingnya, menjadi terpesona 
mendengarnya.
Tiba-tiba saja seperti digerakkan 
oleh suatu ilham yang timbul di dalam 
hatinya, Mahesa Wulung berpikir.
Ah, betapa seandainya aku 
menyalurkan aji "Bayu Rasa" yang telah 
aku miliki ini lewat irama serulingku?
Maka bibirnyapun segera bergerak 
meniup seruling itu dengan dilambari 
ilmunya'"Bayu Rasa". Terasa iramanya 
menjadi lain dari pada tadi. Benar-
benar mengherankan. Suara yang keluar 
dari seruling itu menjadi beralun-alun 
dengan hebat, sesekali berubah 
bergulung-gulung sampai memantul ke 
tebing-tebing jurang dan lembah 
dipojok sana. Beberapa burung elang 
yang terbang di angkasa melingkar-
lingkar irama seruling Mahesa Wulung, 
menari-nari dengan indahnya menuju ke 
arah utara. 
Mahesa Wulung yang kini sedang 
asyik meniup serulingnya itu tiba-tiba 
dipecahkan oleh suara gemerisik di 
semak ilalang di sebelah utara. 
Keluarlah dari dalam semak berlari-
lari seekor katak yang tengah dikejar 
seekor ular. Mahesa Wulung terkejut 
kemudian dengan nada setengah marah

kepada ular itu, serulingnya ditiup 
dengan nada meninggi seolah-olah 
sebagai luapan perasaan marahnya. 
Gangsiran yang mengikuti peristiwa 
ini, tidak kalah herannya. Suara 
seruling bernada tinggi ini seperti 
mempunyai daya pukulan. Ular yang 
tengah mengejar katak tadi terpental 
jatuh ke belakang sambil melingkar-
lingkar kesakitan. Rupanya ular itu 
benar-benar timbul kemarahannya karena 
merasa serangannya gagal. Kepalanya 
kembali ditegakkan tinggi-tinggi siap 
menyerang lagi katak yang tengah 
melarikan diri itu. Tapi setiap kali 
ia menyerang dan meluncur ke depan 
setiap kali pula ia dipukul jatuh oleh 
suara seruling Mahesa Wulung yang 
bernada tinggi.
Akhirnya ular itu merasa 
kewalahan dan dengan cepat-cepat 
meluncur balik kembali kesemak-semak 
ilalang. Katak itu meloncat-loncat dan 
sejenak berhenti di muka Mahesa Wulung 
seolah-olah menyatakan rasa terima 
kasihnya karena telah menyelamatkan 
dirinya dari bahaya maut. Setelah itu 
kembali dengan lompatan-lompatan 
panjang berlalu dari tempat itu menuju 
ke sebuah mata air.
Mahesa Wulung tersenyum melihat 
katak itu lenyap dibalik batu-batuan 
dan kembali ia menerukan tiupan 
serulingnya.

Sementara itu Panembahan Tanah 
Putih yang tengah membalik-balik kitab 
daun lontar di padepokan menjadi heran 
pula mendengar alunan nada seruling 
yang mempunyai tenaga dalam itu. Maka 
ditutupnya kitab lontar itu dan 
disimpannya kembali. Panembahan Tanah 
Putih bangkit dari duduknya dan pergi 
mencari arah sipeniup seruling itu.
Ketika ia menerobos semak-semak 
pohon dan tiba di tempat yang 
ditumbuhi pohon bambu dan ilalang 
terlihatlah seseorang duduk di atas 
sebuah batu tengah asyik meniup 
seruling. Sedang di sampingnya berdiri 
pula seorang yang tengah menikmati 
suara seruling itu. Setelah 
didekatinya, Panembahan tua itu tampak 
tersenyum sambil mengangguk-anggukkan 
kepalanya.
Ah, kau benar-benar hebat Wulung, 
Kau telah mengetrapkan aji "Bayu Rasa" 
sebaik-baiknya, kata Panembahan tua 
itu dari belakang. Mahesa Wulung 
terkejut nenghentikan tiupan 
serulingnya seraya menoleh ke belakang 
demikian juga Gangsiran. Tapi irama
serulingnya masih sesaat memantul dan 
bergema di tebing-tebing jurang di 
sebelah selatan.
Oh, sang panembahan, selamat pagi 
guru, kata mereka bersama-sama ketika 
dilihatnya Panembahan Tanah Putih 
berdiri di belakang mereka.

Ya, ya, selamat pagi angger 
semua. Kata panembahan tua itu seraya 
duduk pula di atas batu hitam di 
samping Mahesa Wulung.
Aku tadi merasa terpikat dengan 
tiupan serulingmu, Wulung.
Memang guru, dimas Wulung benar-
benar hebat. Ia telah berhasil 
mengusir dan memukul jatuh seekor ular 
yang sedang mengejar seekor katak. 
Juga beberapa burung elang yang sedang 
terbang di langit ikut menari-nari 
mengikuti irama serulingnya. Gangsiran 
berkata menceriterakan kejadian-
kejadian yang baru saja lewat. 
Begitulah memang harapanku 
Wulung. Seorang guru kadang-kadang 
hanya mengajar seorang muridnya dengan 
dasar-dasarnya yang pokok, tapi sang 
murid itu sendiri mempunyai kewajiban 
untuk mengembangkan ilmu yang telah 
diterima dari gurunya itu sesuai 
dengan pribadinya serta pengalaman-
pengalamannya. Kadang-kadang seorang 
murid sampai bisa melebihi gurunya 
karena ia lebih rajin dan teliti, 
menambah ilmunya.
Terima kasih guru! jawab Mahesa 
Wulung.
Coba aku pinjam sebuah 
serulingnya Gangsiran. pinta orang tua 
itu dan segera pula Gangsiran mem-
berikan seruling dari tangannya.

Wulung dan Gangsiran, marilah 
kita mencoba meniup seruling bersama-
sama dengan aji Bayu Rasa. Aku ingin 
tahu bagaimana jadinya nanti.
Baik sang panembahan.
Tapi jangan lupa mengetrapkan 
sikap Tugu Wasesa agar kalian tahan 
dengan getaran-getaran yang timbul 
dari seruling ini.
Demikianlah setelah mereka 
mengetrapkan sikap Tugu Wasesa.
Panembahan Tanah Putih dan Mahesa 
Wulung bersama-sama meniup serulingnya 
sedang Gangsiran diam mendengarkan 
iramanya. Mula-mula irama mereka sama. 
Terasa getaran di udara mengalun indah 
berlingkar-lingkar saling melilit. 
Sejurus kemudian mulailah mereka 
memperdengarkan irama yang berlainan. 
Kedua getaran iramanya kini saling 
berkejaran dan terkam menerkam seperti 
dua ekor naga yang tengah berkelahi. 
Sesaat lagi yang satu berirama rendah 
sehingga seolah-olah menukik turun ke 
bawah. Sedang yang kedua berirama 
tetap tinggi. Tiba-tiba yang pertama 
tadi berirama tinggi kembali seperti 
mengejar suara yang kedua. Melihat hal
ini maka suara seruling yang kedua 
tidak tinggal diam, maka iapun menjadi 
rendah menyambut suara pertama yang 
tengah naik ke atas. Maka terdengarlah 
dua benturan yang keras menggelegar di 
udara seperti puluhan petir.

Beberapa ekor burung yang tengah 
hinggap di ranting-ranting semak 
terkejut dan terbang sembari
berteriak-teriak. Ketiga-tiganya 
tampak pula terperanjat melihat akibat 
tiupan seruling mereka. Baik 
Panembahan Tanah Putih maupun Mahesa 
Wulung sendiri tidak nyana kalau 
benturan irama seruling yang dilambari 
aji Bayu Rasa bisa sedemikian hebat-
nya.
Gangsiran yang rupa-rupanya belum 
sempurna sikap Tugu Wasesanya terpaksa 
menutup kedua belah telinganya karena 
kurang tahan mendengar getaran irama 
seruling yang beradu itu. Mereka 
bertiga akhirnya menghentikan 
permainan seruling yang mana kala 
matahari mulai lewat di atas kepala 
mereka dan berangsur-angsur bergeser 
ke barat, dan pulanglah mereka bertiga 
kembali kepadepokan Tanah Putih. 
Malamnya Mahesa Wulung dan Gangsiran 
dipanggil oleh Panembahan Tanah Putih 
untuk bercakap-cakap dipendapa.
Wulung, besok adalah hari baik 
yang telah kita nanti-nantikan itu. 
Apakah kau masih berminat menyelidiki 
ular pusaka Kyai Naga Geni? tanya tua 
itu.
Masih berminat, guru, kata Mahesa 
Wulung ingin sekali menyatakan 
ceritera tentang pusaka itu.

Nah, kalau begitu kalian boleh 
berangkat besok pagi-pagi sekali. Dari 
padepokan sini, kamu berdua naik kuda 
saja ke arah Barat lewat tanah 
pegunungan. Bawalah bekal, kamu 
mungkin nanti tidak menjumpai kampung 
dijalanan. Ingat, segala sesuatu yang 
telah aku ajarkan kepada kalian, 
hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya.
Terima kasih Sang Panembahan. 
Apakah kiranya kami diizinkan untuk 
mempersiapkan segala sesuatu malam ini 
juga?.
Ya, ya, itu lebih baik. Dengan 
demikian kalian bisa pagi-pagi memulai 
perjalanan kata orang tua itu.
Saya akan senantiasa berdoa agar 
cita-cita dan tugasmu berhasi!, Wulung 
!
Percakapan singkat malam, itupun 
selesailah, karena Mahesa Wulung dan 
Gangsiran akan segera mengatur barang-
barangnya. Sebenarnya, mereka itu 
masih lelah sebab seharian telah 
bekerja dan berlatih, tapi itupun tak 
terasa sekali, karena mereka memang 
orang-orang yang suka bekerja.
Udara pagi amat cerah, secerah 
wajah-wajah yang berdiri di halaman 
padepokan Tanah Putih. Sang Panembahan 
berjanggut putih dan beberapa orang 
murid kini berjabat tangan dengan 
Mahesa Wulung dan Gangsiran yang 
berdiri di dekat kudanya.

Selamat jalan angger Mahesa 
Wulung dan Gangsiran. Semoga Tuhan 
akan melindungi kalian diperjalanan, 
kata Panembahan Tanah Putih itu, 
sementara matanya yang telah tua 
tampak berkaca-kaca.
Selamat tinggal Sang Panembahan 
dan para kisanak semua mudah-mudahan 
kita akan berjumpa pula dengan tiada 
kurang suatu apa, seru mereka sambil 
meloncat kepunggung kudanya masing-
masing. Sekali lagi sang Panembahan 
mendekati Gangsiran sambil berkata.
Gangsiran, jagalah angger Mahesa Wu-
lung baik-baik dan aku mengampuni 
segala dosa-dosamu. 
Baik guru, aku akan jaga dia 
baik-baik seperti menjaga nyawaku 
sendiri, Gangsiran berkata penuh haru, 
lalu kekang kudanya ditarik dan 
dipukulkan ke leher kudanya untuk 
menyusul Mahesa Wulung yang telah
berjalan lebih dahulu didepannya.
Merekapun meninggalkan padepokan 
itu dengan memacu kuda-kudanya segera 
ke arah barat melewati tanah 
pegunungan yang penuh lekuk-lekuk 
jurang itu. Sepanjang perjalanan 
terlihat semak-ilalang dan rumput-
rumput liar lainnya tumbuh di sana 
sini berombak-ombak bagaikan riak air 
laut yang tersapu oleh angin. Sedang 
pohon-pohon besar tumbuh tidak 
terlampau rapat letaknya, seperti

pohon siwalan yang terlihat berjejer-
jejer tumbuh dengan suburnya.
Adi Mahesa Wulung, aku merasa 
seperti tidak akan pernah sampai lagi 
kepadepokan Tanah Putih, suara 
Gangsiran memecah kesunyian.
Mengapa kakang? tanya Mahesa 
Wulung keheranan.
Entahlah, sebabnya tak dapat aku 
jelaskan dimas. Akupun hanya 
merasakannya secara tiba-tiba.
Janganlah itu dirisaukan kakang.
Serahkan saja hal itu kepada Tuhan. 
Kepada Nyalah kita berlindung dan 
kepada Nya pula kita memohon.
Benar dimas kata-katamu itu.
Terima kasih atas nasehatmu. 
Sementara mereka berdua melarikan 
kudanya ke arah barat, jauh di atas 
sana, di atas tebing jalan itu 
terkuaklah semak ilalang oleh jari-
jari tangan dan sepasang mata dengan 
tajam mengawasi gerak perjalanan 
Mahesa Wulung dan Gangsiran.
Hmm, mereka memacu kudanya ke 
arah barat. Rupa-rupanya mereka menuju 
ke Gunung Brintik dan menaruh minat 
terhadap pusaka Kyai Naga Geni. Ha, 
ha, ha bagus. Manakala mereka berhasil 
mendapatkan pusaka itu, segera disaat 
itu pula sang Naga Geni pasti pindah 
ketanganku.
Bayangan tadi berkelebat dengan 
cepat mendapatkan beberapa orang

temannya yang telah menunggunya sejak 
tadi di balik rumpun bambu.
Ayo cepat naik ke kudamu masing-
masing. Kita buntuti mereka dari jauh! 
Kali ini Sima Gereng akan membuat 
perhitungan dengan Mahesa Wulung, ha, 
ha, ha !
Segera mereka berlompatan dan 
naik kekudanya masing-masing, lalu 
memacunya turun dari atas tebing 
mengikuti jejak jejak kedua mangsanya. 
Mereka sengaja untuk membiarkan Mahesa 
Wulung lebih dahulu berusaha 
mendapatkan pusaka Kyai Naga Geni itu, 
setelah berhasil barulah mereka akan 
merebutnya. Itulah sebabnya mereka 
tidak akan mengganggu kedua mangsanya 
lebih dahulu. Sima Gereng dan orang-
orangnya itu sebenarnya kurang menaruh 
minat terhadap pusaka itu, sedang 
bentuknya pun mereka belum pernah 
tahu. Yang mereka tahu hanyalah, se-
tiap orang bahkan anak buahnya pun 
sendiri yang pernah mencoba masuk ke 
gua dan mencari pusaka itu, pada mati 
konyol dengan badan yang hangus-hangus 
setelah bertempur melawan seekor ular 
besar yang menyala biru kehijau-
hijauan. Hingga semenjak itu tak 
seorangpun berani mencoba memasuki gua 
itu lagi. Kini dengan tiba-tiba saja 
Sima Gereng tahu bahwa Mahesa Wulung 
akan berusaha mendapatkan pusaka itu.

Heh, heh, heh, inilah kesempatan 
untuk membuat jasa untuk Ki Singalodra 
dan untuk menyerahkan pusaka itu 
kepadanya, ia bersedia menukar dengan 
emas, intan dan uang yang berlimpah. 
Ini namanya menangguk ikan di air 
keruh, pikir Sima Gereng diam-diam, 
kemudian berpesan kepada anak buahnya. 
Awas jangan ganggu mereka, sebelum 
pusaka itu diperolehnya. 
Mereka dengan diam-diam mengikuti 
Mahesa Wulung dan Gangsiran, sedang 
jaraknyapun mereka jaga benar-benar 
agar selalu cukup jauh dan langkah-
langkah mereka tidak terdengar oleh 
Mahesa Wulung yang bertelinga tajam 
itu.
Setelah beberapa lama mereka 
berjalan menempuh tanah pegunungan 
yang berlembah dan bertebing-tebing
itu sampailah di kampung Bergota yang 
dulu disebut juga Pulau Tirang. 
Disinilah pernah tinggal Pangeran Mode 
Pandan putera Adipati Junus, raja 
Demak yang terkenal pula dengan nama 
Pangeran Sabrang Lor karena suka 
berlayar ke Utara bertempur melawan 
orang-orang Portugis. Di Pulau Tirang 
itu Pangeran Mode Pandan mendirikan 
Perguruan Agama dan tinggalah di sana 
bersama puteranya Raden Pandan Aran. 
Sementara itu Sima Gereng bersama anak 
buahnya mengambil jalan lain untuk 
menjauhi kampung Bergota agar tidak

diketahui oleh siapapun. Mahesa Wulung 
dan Gangsiran singgah di desa itu 
beberapa saat untuk melepaskan 
lelahnya sebeium meneruskan tujuannya 
ke Gunung Brintik yang letaknya ada di 
sebelah barat kampung Bergota. Mahesa 
Wulung dan Gangsiran yang singgah di 
desa itu sempat pula bercakap-cakap 
dengan Ki Waru sahabat lama Gangsiran.
Benar-benarkah kisanak berkeras 
hati untuk menyelidiki Pusaka Naga 
Geni dari Gunung Brintik itu? tanya Ki 
Waru dengan wajah yang ragu-ragu.
Benar Ki Waru. Jawab Mahesa 
Wulung.
Kalau boleh saya nasehati, 
sebaiknya Kisanak tidak usah 
meneruskan maksud itu. Telah berapa 
saja jatuh menjadi korban karena 
mencoba mendapatkan Pusaka Kyai Naga 
Geni yang belum pernah diketahui 
bentuknya itu!
Terima kasih atas nasehat itu 
bapak. Tapi kami akan tetap dengan 
sungguh-sungguh menyelidiki Pusaka itu 
supaya kami tahu apakah itu benar-
benar ada atau hanya kabar bohong 
belaka. Tentang berhasil atau 
tidaknya, itu tidak menjadi soal bagi 
kami. Kita manusia wajib berusaha 
tetapi Tuhanlah yang akan menentukan. 
Dengan demikian kami tidak akan 
berkecil hati seandainya kami tidak 
berhasil mendapatkan Pusaka itu.


Demikian Mahesa Wulung berkata dengan 
tenangnya sampai membuat Ki Waru 
mengangguk-angguk karena saking 
kagumnya akan kekerasan tekat kedua 
tamunya itu.
Ah, kisanak, kau memang benar-
benar berjiwa perwira. Aku turut 
bangga berkenalan dan bercakap-cakap 
dengan kisanak berdua. Mereka bertiga 
sangat akbrabnya, berbagai hal mereka 
bicarakan dengan ramahnya tapi bagi Ki 
Waru sangat merasa sayang karena 
waktunya sangat sebentar dan tamunya 
harus meminta diri untuk segera 
melanjutkan perjalanannya ke Gunung 
Brintik. Mahesa Wulung dan Gangsiran 
kini melanjutkan perjalanannya ke arah 
barat serta memacu kudanya.
Kita usahakan untuk tiba di sana 
sebelum matahari terbenam kakang. 
Sebab kalau kemalaman, kita sukar 
mencari letak gua itu diwaktu gelap, 
kata Mahesa Wulung seraya menambah 
kecepatan lari kudanya.
Benar adi Wulung. sahut 
Gangsiran, Ayo kita cepat-cepat. Maka 
keduanyapun memacu kuda-kudanya yang 
kini lari cepat seperti dikejar setan 
itu, dan tak lama kemudian setelah 
membelok ke barat daya sampailah 
mereka di daerah Gunung Brintik. 
Setelah keduanya turun dari kuda, 
segera menuju ke semak-semak di bawah 
pohbn siwalan serta mengikatkan kedua

binatang itu pada sebuah pohon yang 
tersembunyi letaknya. Sinar matahari 
yang masih cukup terang itu memberikan 
bantuan kepada mereka untuk menemukan 
letak gua tersebut.
Pada mulut gua tumbuh semak-semak 
seperti melindungi tempat itu dari 
pandangan mata, sedang dinding-dinding 
mulut gua itu penuh ditumbuhi lumut 
liar coklat kehijauan diseling-seling 
tumbuhnya pohon paku di sana sini 
menambah keseraman suasana.
Kakang Gangsiran, kau menunggu 
aku di luar gua sampai aku keluar 
membawa pusaka itu. Kalau terjadi apa-
apa, lekas beri tahu aku.
Baik adi Wulung, berhati-hatilah.
Nah, kakang aku masuk sekarang 
juga, kata Mahesa Wulung, lalu 
bergegas memasuki gua itu. Sungguh 
seram bentuk gua itu. Di samping 
lumut-lumut liar, pada dindingnya, 
yang lembab oleh air muncul pula akar-
akar pohon yang bergantung-gantung 
seperti ular menantikan mangsanya. 
Dari arah perut gua itu terdengar 
bunyi tetes-tetes air berirama seperti 
lagu maut. Ketika Mahesa Wulung lebih 
masuk lagi, kakinya terantuk sesuatu 
yang berwarna putih dengan tiba-tiba
dan betapa terkejutnya demi dikeruk-
keruk tanah yang menutup benda putih 
itu, muncul tengkorak manusia! Bulu 
tengkuk Mahesa Wulung berdiri

seketika, tapi disaat itu pula 
diucapkan doa dan segera tenanglah 
hatinya. Setelah lima jangkah lagi 
Mahesa Wulung bergerak maju, tampaklah 
sebuah batu hitam besar, licin dengan 
permukaan datar. Di samping batu agak 
jauh letaknya terlihat pula kerangka 
manusia! Rupanya batu itu biasa
digunakan oleh orang-orang untuk 
tempat duduk di dalam ruangan gua yang 
luas itu.
Mahesa Wulung lalu duduk bersila 
di atas batu itu dengan tenangnya 
untuk beristirahat sejenak. Kini senja 
telah tiba. Sebentar lagi gua ini akan 
bertambah gelap dan untuk menyelidiki 
tentang pusaka itu sudah tidak mungkin 
lagi.
Baiklah aku lanjutkan saja 
penyelidikanku besok pagi pikir Mahesa 
Wulung dengan tidak lupa memasang 
kewaspadaannya. 
Keesokan harinya, Mahesa Wulung 
menyelidiki keadaan gua sampai ke
lekuk-lekuk dindingnya. Tapi tidak ada 
tanda-tanda adanya sebuah pusaka, 
bahkan ular naga yang sering disebut-
sebut orang itu juga tidak tampak.
Namun Mahesa Wulung belum 
berputus asa, maka hari demi hari 
ditunggunya sesuatu yang mungkin 
terjadi yang bisa menunjukkan tanda-
tanda, pusaka itu

Sima Gereng yang membuntuti 
Mahesa Wulung dan Gangsiran tiba pula 
di tempat itu. Mereka lalu mencari 
tempat tersembunyi untuk menunggu 
mangsanya. Tampak pula oleh mereka 
Gangsiran yang dengan enaknya duduk 
diantara semak-semak di muka gua.
Anak-anak, lihat dan awasi betul-
betul gua itu. Jika kau lihat 
seseorang keluar dari dajam gua segera 
kita serang bersama-sama. Kini kita 
bergantian istirahat!
Tepat pada hari yang kelima pada 
suatu senja, terlihat cahaya terang di 
langit, berwarna hijau kebiru-biruan 
meluncur dengan cepatnya ke atas Gu-
nung Brintik. Itulah agaknya yang 
biasa disebut orang-orang dengan nama 
NDARU yang menurut kata, barang siapa 
kejatuhan ndaru akan mendapat 
kebahagiaan. Sementara itu Gangsiran 
yang berjaga-jaga di depan gua 
tertidur kelelahan sehingga ia tidak 
melihat cahaya itu. Sebaliknya dengan 
Sima Gereng serta anak buahnya dapat 
menyaksikan cahaya kebiru-biruan itu. 
Mula-mula cahaya itu setelah tiba di 
atas bukit tempat gua itu terletak, 
melayang-layang berputar. Sedang Sima 
Gereng dengan anak buahnya menjadi
terkejut demi terlihat oleh mereka 
diantara sinar kebiruan itu tampak 
bentuk ular naga berwarna hijau 
kebiru-biruan dengan mulutnya yang

sebentar-bentar ternganga serta 
mengeluarkan api dengan warna yang 
serupa kulit tubuhnya. Akhirnya ular 
itu melayang turun dan masuk ke dalam 
gua. 
Cahaya terang yang tiba-tiba 
menyinari gua itu sangat mengejutkan 
Mahesa Wulung lebih-lebih lagi dengan 
masuknya ular besar seperti naga 
berwarna hijau kebiru-biruan itu. 
Agaknya ular itupun terkejut pula 
melihat Mahesa Wulung yang tengah 
duduk bersila. Kepalanya segera 
diangkat tinggi dan menyambar ke arah 
Mahesa Wulung duduk itu, tapi Mahesa 
Wulung yang sudah digembleng oleh 
Panembahan Tanah Putih itu cukup 
waspada maka begitu ular itu 
menyambar, secepat itu pula ia 
mengelak ke samping. Ternyata sambaran 
ular itu menimbulkan angin yang hebat, 
terlihat dari pasir-pasir yang 
terhambur karenanya. Sang ularpun kini 
terhenti sejenak sambil tajam
mengawasi Mahesa Wulung.
Rupa-rupanya ia keheranan melihat 
mangsanya dengan mudah dapat 
menyelamatkan diri dari serangannya, 
kembali ular itu bersiap-siap 
menyerang. Mulutnya ternganga lebar. 
Melihat ini Mahesa Wulung ingat 
ceritera tentang ular itu yang biasa 
menggunakan semburan apinya dalam 
membinasakan lawannya, lalu bersiap

siap pula. Ternyata tepatlah 
perhitungannya, ular itu cepat 
menyemburkan api hijau kebiruan dari 
mulutnya. Mahesa Wulung sekali lagi 
mengelak ke kiri hingga api semburan 
ular itu terkena dinding dan 
terlihatlah betapa lumut-lumut liar 
serta dinding gua yang hangus dan 
terbakar habis menjadi abu, sedang 
dindingnya terlihat berkepul 
mengeluarkan asap karena kepanasan.
Mahesa Wulung kini lebih berhati-hati 
lagi, ia tidak berani menganggap 
ringan ular itu. 
Hemm, aku tak boleh hanya 
mengelakkan serangannya dan selalu 
bertahan saja tapi akupun harus pula 
menyerangnya. Maka secepatnya Mahesa 
Wulung meloncat menyerang ular itu ke 
arah kepalanya dengan pukulan sisi 
telapak tangannya, Tapi sekali ini 
ganti Mahesa Wulung yang dibikin 
terkejut melihat ular itu dengan 
tenangnya memiringkan kepalanya 
sehingga pukulan. Mahesa Wulung lewat 
sejengkal dari kepalanya mengenai 
udara kosong. Dengan begitu Mahesa 
Wulung tiba di samping ular itu dan 
kini ular itupun segera membalas 
serangan lawannya dengan memukulkan 
ekornya ke tubuh Mahesa Wuluhg. 
Mendapat serangan demikian Mahesa 
Wujung secepat kilat meloncat ke kanan 
hingga ekor ular itu tidak, mengenai

tubuhnya tetapi memukul dinding gua. 
Beberapa batu-batu kerikil dan lumut-
lumut liar rontok dari dinding gua 
akibat sabetan ekor ular itu.
Dalam pertempuran di dalam gua 
itu Mahesa Wulung selalu mudah 
mematahkan serangan-serangan ular itu 
karena sinar biru kehijauan yang 
memancar dari ular itulah yang telah 
menolong pandangan Mahesa Wulung, 
sehingga ia dapat mengetahui setiap 
gerak dari serangan-serangannya. Gerak 
Mahesa Wulung kini masih bertambah 
garang bahkan selalu dapat menyusup 
diantara gerakan-gerakan tubuh ular 
yang menyerangnya, laksana burung 
sikatan yang terbang diantara celah 
pohon-pohonan.
Tiba-tiba disaat pertempuran 
melawan ular itu Mahesa Wulung 
teringat pesan gurunya, untuk setiap 
kali menggunakan semua pengalaman-
pengalamannya. Ya ia ada membawa 
seruling yang pernah dicobanya 
dipadepokan Tanah Putih. Mengapa ia 
kini tidak mempergunakannya? Mahesa 
Wulung teringat akan hal ini cepat-
cepat menarik serulingnya lalu 
ditiupnya dengan lambaran ilmunya Bayu 
Rasa. Suaranya mengalun merdu penuh 
rasa kasih sayang dan kelembutan. 
Memang, Mahesa Wulung, berusaha 
mempengaruhi ular untuk kemudian 
ditangkapnya hidup-hidup, karena iapun

merasa heran terhadap ular ini yang 
tubuhnya memancarkan cahaya biru 
kehijauan. Mungkinlah ini petunjuk 
tentang pusaka Naga Geni yang 
dicarinya!
Terkena oleh suara serulingnya, 
ular itu tidak lagi menyerang Mahesa 
Wulung, seakan-akan ia terpesona akan 
iramanya. Kini ia menjadi tenang, ke-
palanya diangkat serta mengangguk ke 
sana ke mari. Malahan oleh Mahesa 
Wulung terlihatlah bahwa mata ular itu 
berkaca-kaca seperti mata seseorang 
yang rindu atau mengharukan sesuatu.

Mahesa Wulung sangat terkejut dan 
herannya melihat hal ini, karena 
selenyap ular itu, di kedua belah ta-
ngannya tergenggam sebuah cambuk yang 
mengeluarkan cahaya biru kehijau-
hijauan. Dengan gemetar cambuk yang 
ada di tangannya itu diamat-amatinya.
Sekarang Mahesa Wulung akan 
mencoba mengakhiri tiupan serulingnya 
serta menangkap ular itu. Begitu cepat 
ia menyelipkan serulingnya 
kepinggangnya, kembali, serta menerkam 
ke arah ular itu. Satu tangan 
mencengkeram kepala, satu tangan lagi 
ke tubuh ular. Sementara sisa-sisa 
tiupan serulingnya masih menggema di 
ruang gua itu. Ular yang tubuhnya 
dicengkeram oleh kedua tangan Mahesa 
Wulung berlandaskan aji Lebur Waja itu 
tak dapat bergerak lagi, hanya ia 
menggetarkan tubuhnya, setelah itu 
terlihat tubuhnya mengeluarkan asap 
dan sedikit demi sedikit tubuhnya 
makin mengecil, kecil dan akhirnya 
lenyap sama sekali. Mahesa Wulung 
sangat terkejut dan herannya melihat
hal ini, karena selenyap ular itu, 
dikedua belah tangannya tergenggam 
sebuah cambuk yang mengeluarkan cahaya 
biru kehijau-hijauan. Dengan gemetar 
cambuk yang ada ditangannya itu

diamat-amatinya. Ternyata pegangan 
cambuk itu berbentuk kepala ular 
sampai kelehernya, sedang batang tubuh 
cambuk sampai keujungnya beranyam-
anyam menyerupai sisik ular. Sambil 
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang 
Maha Besar, diciumnya cambuk itu, 
sebagai pernyataan gembira karena 
Tuhan telah mengizinkan mendapat 
pusaka itu, pusaka kyai Naga Geni yang 
berwujud cambuk.
Mahesa Wulung cepat bergegas 
keluar dari gua itu yang kini kembali 
sunyi, hanya terdengar tetes-tetes air 
saja. Di depan mulut gua itu 
didapatinya Gangsiran menunggu dengan 
berdiri kecemasan. Begitu dilihatnya 
Mahesa Wulung muncul dari dalam gua, 
segera mendapatkannya, 
Ah, adi Mahesa Wulung. Apakah adi 
sehat-sehat saja ? O, Syukur adi 
Mahesa Wulung telah mendapatkannya. 
Aku pun turut menyatakan gembira adi. 
Tiupan serulingmu sungguh-sungguh 
hebat. Bersamaan kata-kata Gangsiran
selesai, sekonyong-konyong 
berlompatanlah kelima orang mengepung 
mereka berdua. Walaupun hanya dalam 
kegelapan senja Mahesa Wulung dapat 
mengenal mereka.
Hemm, diantara mereka pernah 
kukenal dalam pertempuran dipadepokan 
Tanah Putih. pikir Mahesa Wulung.

Hee, apa maksudmu mengepung kami 
berdua! serunya pula.
Ha, ha, ha, kau mau tahu 
maksudku? Serahkan saja pusaka yang 
baru kau dapat itu kepada kami. 
Sebagai gantinya nyawa kalian akan 
selamat, ha, ha, ha. teriak Sima 
Gereng sambil mengacungkan penggadanya 
yang berujung bola besi berduri.
Engkau ingin pusaka ini? Boleh 
kau dapat setelah melayang nyawaku.
Mari ambil sendiri kalau kau ingin 
pusaka ini!
Mendengar kata Mahesa Wulung itu, 
Sima Gereng menjadi marah. Sambil 
berteriak nyaring, Sima Gereng 
bergerak menyerang yang segera pula 
diikuti oleh keempat anak buahnya.
Terjadilah di muka gua itu 
pertempuran yang cukup dahsyat. Mahesa 
Wulung sibuk melayani tiga orang 
lawan, seorang diantaranya adalah Sima 
Gereng sendiri, sedang yang dua lagi 
bersenjata pedang pendek. Untuk kedua 
kalinya Sima Gereng menjadi kecewa 
melihat Mahesa Wulung dengan mudahnya 
mematahkan setiap serangan-serangan. 
Bahkan dengan cambuknya yang bergulung 
rapi itu ia dapat mendesak mundur Sima 
Gereng dengan kedua anak buahnya. Sima 
Gereng menjadi semakin marah.
Ayo, Mahesa Wulung, cepat berikan 
pusaka itu supaya kau masih sempat 
menikmati cahaya matahari besok pagi,

teriak Sima Gereng sambil bertempur 
gerakannya bertambah ganas.
Hee, Sima Gereng, boleh kau 
kerahkan semua tenagamu. Mahesa Wulung 
tidak takut dengan gertak sambalmu. 
Balas Mahesa Wulung yang mana kata-
kata itu makin membuat darah Sima 
Gereng terasa makin mendidih.
Adapun Gangsiran yang dikeroyok 
oleh dua orang bersenjata pedang 
pendek itu dengan baiknya menangkis 
serangan-serangan pedang lawannya yang
menyambar bergulung-gulung mengerikan. 
Sekali-kali ia melirik ke arah Mahesa 
Wulung yang tengah menghadapi tiga 
orang lawannya. Dalam pada itu 
Gangsiran teringat akan janjinya bahwa 
ia dengan sungguh-sungguh akan menjaga 
temannya, Mahesa Wulung. Maka 
secepatnya ia bermaksud mengakhiri 
pertarungan itu serta membantu pula 
Mahesa Wulung.
Gangsiran yang selama ini 
menghadapi lawan-lawannya, hanya 
menggunakan senjata pisau belati 
panjang, sedang pisau-pisau kecilnya 
kali ini belum sempat mempergunakannya 
karena jarak untuk melemparkannya 
harus cukup jauh. Kini kedua lawan 
Gangsiran makin mendesak dari dua arah 
samping kiri dan kanan disertai 
bacokan-bacokan pedang pendeknya. 
Untunglah bahwa ia cukup tangkas, 
bahkan ketika sebuah pedang lawan

hampir mendarat dikepalanya, secepat 
itu pula Gangsiran berkelit ke samping 
lawan dan tangannya yang bersenjata 
pisau belati panjang bergerak dengan 
cepat. Tahu-tahu lawannya tadi 
menggeliat, pedangnya terlepas sedang 
kedua tangannya mencoba memegang 
pinggangnya sambil mengeluarkan 
teriakan tertahan. Terlihat diantara 
sela-sela jari mengalir darah merah 
dan kemudian rebah ke tanah.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang 
dikeroyok ketiga lawannya dapat 
bergerak dengan lincahnya dan seperti 
kilat ia meloncat menghindari setiap 
serangan senjata yang tertuju 
kepadanya, kemudian dengan berjungkir 
batik di udara seperti burung sikatan, 
melenting tinggi dan akhirnya mendarat 
di atas tanah kembali. Ketiga lawannya 
berdesir melihat cara Mahesa, Wulung 
bergerak dan diam-diam mereka mengeluh 
di dalam hati mengapa sampai terlibat 
dalam pertempuran dengan orang ini.
Sima Gereng yang telah habis 
beberapa jurus dalam menyerang Mahesa 
Wulung rupanya sudah tidak sabar lagi 
memperpanjang waktu. Sekonyong-konyong 
tangannya meraba ikat pinggangnya dan 
berkelebat dengan cepat, maka 
melayanglah beberapa butir bulatan 
logam ke arah Mahesa Wulung. Namun 
Mahesa Wulung yang telah sejak semula 
curiga melihat Sima Gereng makin

menjauh dari titik pertempuran, dengan 
tangkasnya mengibaskan cambuknya ke 
udara dan sejurus kemudian butir-butir 
logam yang melayang itu tersapu, 
bersih berjatuhan ke tanah. Sima 
Gereng amat terkejut melihat senjata 
rahasianya gagal dalam tugasnya. 
Selama ini belum pernah seorang 
lawanpun bisa lolos begitu mudah.
Kini ganti kedua anak buah Sima 
Gereng menyerang. Bersamaan dengan 
kedua lawannya yang berbareng 
membacokkan pedang pendeknya kearah 
dada, Mahesa Wulung sekali lagi 
melayangkan cambuknya ke arah mereka 
sambil berseru: Kalian ingin pusaka 
ini, nih ambillah olehmu.
Kedua lawan Mahesa Wulung 
terpental hebat ketika ledakan cambuk 
pusaka itu menimpa mereka, laksana dua 
batang pohon yang kesambar petir 
keduanya tumbang ke tanahdengan kulit 
tubuhnya terbakar hangus.
Baik Mahesa Wulung dan lebih-
lebih Sima gereng sendiri sangat 
terkejut menyaksikan kehebatan pusaka 
cambuk Naga Geni ini. Maka dengan
suwitan nyaring Sima gereng 
berloncatan mundur kesemak-semak
diikuti oleh anak buahnya yang tinggal 
seorang itu. Tapi sekali ini Gangsiran 
tidak mau begitu saja ditinggal lari 
oleh lawannya.

Begitu ia mencoba meloncat 
mundur, Gangsiran menghentikannya 
dengan lemparan pisau belati 
panjangnya hingga lawannya terhenyak 
dan jatuh terkapar di atas ilalang 
dengan sebuah belati menghias dadanya.
Sementara itu Sima Gereng yang 
tengah meloncat melarikan diri 
terlihat oleh Gangsiran yang segera 
pula mengejarnya. Cahaya merah di 
langit barat telah lenyap diganti oleh 
sinar-sinar perak yang purnama dan 
bintang-bintang lainnya yang kini 
tampak bertebaran di langit. Kegelapan 
semak-semaklah yang menolong Sima 
Gereng dapat lolos dari kejaran 
Gangsiran.
Kini Gangsiran berdiri di atas 
rumpun ilalang diantara dua gerumbul 
semak setelah menghentikan kejarannya. 
Ia mencoba-coba mencari arah lenyapnya
Sima Gereng. Ketika itu terdengar 
desir daun-daunan dari sebuah semak-
semak, lalu berkelebatlah sebuah 
bayangan kearahnya dan langsung 
menyerangnya dengan tusukan keris. 
Gangsiran amat terkejut, tapi segera 
dapat menguasai keadaan dan 
keduanyapun segera terlibat dalam 
perkelahian. Mula-mula sekali 
Gangsiran mengira bahwa yang 
menyerangnya itu setidak-tidaknya anak 
buah dari Sima Gereng tapi melihat 
senjata keris lawan serta cara

berpakaiannya yang rapih, tidak 
mungkinlah bahwa orang itu dari 
gerombolan hitam Alas Roban. Belum 
habis keheranannya, sekali lagi 
hatinya dibikin tergoncang ketika dari 
gerumbul semak yang sama meloncat pula 
sebuah bayangan yang segera terjun
menyerang dirinya. Dua orang lawan 
kini yang harus dihadapi dan 
keduanyapun bersenjata keris. Mahesa 
Wulung yang melihat Gangsiran mengejar 
Sima Gereng mula-mula diam 
membiarkannya, tapi setelah lama 
Gangsiran tidak muncul kembali bahkan 
terdengar olehnya derak ilalang 
terpijak-pijak oleh kaki maka 
secepatnya ia meloncat ke arah suara 
itu.
Hee, pasti ada sesuatu yang 
terjadi dengan kakang Gangsiran, pikir 
Mahesa Wulung serta mempercepat 
larinya. Pikirannya memang benar sebab 
begitu ia tiba di tempat itu tampak 
tiga bayangan yang tengah terlibat 
dalam satu perkelahian. Persis seperti 
Gangsiran, mula-mula Mahesa Wulung pun 
mengira bahwa dua orang yang menyerang 
Gangsiran itupun dari gerombolan hitam 
Alas Roban. Tapi begitu ia mendekati 
lingkaran perkelahian itu serta 
melihat senjata mereka keris, Mahesa 
Wulungpun beragu. Tambahan lagi begitu 
ia melihat cara mereka berpakaian

rapih dan melihat ikat pinggangnya 
menyebabkan Mahesa Wulung berteriak:
Berhenti. Ternyata mereka berikat 
pinggang merah. Ketiganya terhenti 
setelah mendengar teriakan yang 
mengguntur itu dan bersama-sama 
menoleh ke arah itu. Terlihatlah 
Mahesa Wulung berjalan dengan tenang 
mendekati mereka. Ditangannya 
tergenggam gulungan cambuk berwarna 
biru kehijauan.
Ooooh, benarkah ini anak mas 
Mahesa Wulung? seru kedua orang itu 
sambil menyarungkan kerisnya. Mahesa 
Wulung sendiri segera dapat mengenali 
mereka, ialah kedua orang penjaga 
bandar Asemarang yang pernah 
meminjamkan kuda kepadanya. Mereka 
adalah Kerpu dan Tambakan.
Ya, bapak berdua, inilah aku 
Mahesa Wulung! Kedua orang itu yang 
dengan ramahnya segera menjabat tangan 
Mahesa Wulung bergantian.
Bapak Kerpu dan Tambakan, mungkin 
tadi terjadi salah paham. Apakah bapak 
berdua tahu siapa tadi yang bapak 
serang?
Belum anak mas, kami memang belum 
tahu. Kalau begitu apakah kami boleh 
mengetahui siapakah kisanak ini yang 
tadi telah mengadu tenaga dengan kami? 
tanya Kerpu sambil melemparkan 
pandangan ke arah Gapgsiran yang masih 
tegak kebingungan.

Nah, bapak berdua, perkenalkan 
ini kakang Gangsiran kakang 
seperguruanku, murid Panembahan Tanah 
Putih.
Murid Panembahan Tanah Putih? 
berseru mereka setengah terkejut, demi 
mendengar nama Panembaban Tanah Putih 
disebut.
Memang benar kami telah salah 
paham kalau begitu. Wah untung belum 
sampai terjadi korban. Anak mas 
Gangsiran, maafkan kami berdua atas 
kekeliruan tadi. Semula kami sewaktu 
melihat angger berlari-lari mengira 
bahwa angger termasuk salah seorang 
gerombolan Alas Roban.
Tidak apalah bapak berdua. 
Kesalahan serta kekeliruan-kekeliruan 
antara sesama manusia dalam kehidupan 
kita adalah kejadian yang wajar. 
Selama kita sadar bahwa kesalahan-
kesalahan itu dapat diperbaiki, maka 
kesalahan itupun akan membuat kita 
lebih dewasa dalam berpikir dan 
bertindak agar hal-hal yang keliru 
tadi tidak terulang kembali, kata 
Gangsiran kepada kedua orang bekas 
lawannya. Maka diam-diam Kerpu dan 
Tambakan manggut-manggut serta memuji 
dalam hati atas kata-kata Gangsiran 
yang bening keluar dari pikiran yang 
cerah. Pertanda bahwa Gangsiran bukan 
orang yang suka mendendam.


Maaf anakmas Mahesa Wulung, 
apakah sebenarnya yang baru terjadi 
disini? bertanya pula Kerpu kepada 
Mahgsa Wulung. 
Beberapa gerombolan hitam Alas 
Roban telah menyerang kami berdua,
bapak.
Begitulah memangnya angger. 
Mereka mulai mengganas di mana-mana 
dengan kejamnya tanpa takut akan dosa 
atas perbuatannya. Dan hal inilah yang 
membuat kami sampai di sini karena 
mencari-cari angger Mahesa Wulung.
Apakah sesuatu yang telah 
terjadi? tanya Mahesa Wulung.
Benar. Sesuatu telah terjadi dan 
telah melanda kampung Karang Asem! 
jawab Kerpu dan seketika kelihatan 
wajah Mahesa Wulung menjadi tegang. 
Pikirannya berlari ke arah pamannya Ki 
Sorengrana.
Melihat angger Mahesa Wulung, 
kami akan menceritakan kejadian itu 
selengkapnya. Tiga hari yang lalu 
ketika kami tengah bertugas di bandar 
Asemarang, seorang petani telah 
menemui kami dan melaporkan bahwa 
kampung Karang Asem pagi itu telah 
diserang oleh gerombolan hitam Alas 
Roban. Kali ini penyerangan dipimpin 
sendiri oleh Singalodra dengan puluhan 
anak buahnya. Pamanmu dan para 
penduduk di situ rupa-rupanya sudah 
tahu akan kabar penyerangan itu,

ternyata bahwa mereka telah bersiap-
siap lebih dulu sehingga dengan gegap 
gempita merekapun pergi menyongsong 
kedatangan Singalodra beserta anak 
buahnya, dan terjadilah saat itu juga 
pertempuran hebat. Jerih payah pamanmu 
Ki Sorengrana yang telah melatih 
mereka menggunakan senjata tidak sia-
sia. Beberapa saat kemudian, beberapa 
orang gerombolan kena dirobohkan oleh 
pukulan maut Lebur Waja dari Ki 
Sorengrana. Sementara itu pula ada 
satu, dua anak buah Ki Sorengrana 
tewas di ujung senjata gerombolan Alas 
Roban. Darah merah yang memercik dari 
luka-luka serta teriak kesakitan 
diseling gemerincingnya senjata yang 
beradu membikin pertempuran itu makin 
lebih berkobar, dan makin gila. Gila 
karena manusia-manusia di saat itu 
saling berbunuhan. Kata-kata damai 
telah hilang dari kamus pikiran. Kini 
mereka hanya teringat semboyan : 
Dimatikan oleh musuh atau mematikan 
musuh. Dalam pertempuran ini tampak 
jelas kekejaman dan kebuasan 
gerombolan Alas Roban. Mereka 
menggunakan apa saja dalam menyerang 
musuhnya. Seperti penggada berujung 
bola besi berduri, kampak, rantai, 
disamping senjata-senjata biasa 
lainnya. Sambil mendobrak pertahanan 
Ki Sorengrana, Singalodra berteriak 
nyaring:


Hee, tikus-tikus kecil, rasakan 
sekarang pembalasanku. Inilah hukuman 
bagi orang-orang yang mencoba 
menghalangi gerombolan Alas Roban! 
Lekas menyerah semua sebelum kalian 
kucincang habis.
Teriakan ancaman Singalodra 
memang cukup mengerikan tapi itu tidak 
digubris sama sekali oleh Ki 
Sorengrana dan anak buahnya, sebab 
mereka telah bertekad lebih baik 
mereka mati membela keadilan dan 
kebenaran dari pada menyerah kepada 
gerombolan Alas Roban. Kemarahan 
Singalodra menjadi-jadi setelah 
melihat bahwa ancamannya tidak 
digubris.
Cepat basmi tikus-tikus itu, 
jangan beri ampun! perintahnya kepada 
anak buahnya dan pertempuranpun 
semakin seru. Beberapa anak buah Ki 
Sorengrana mencoba mengepung 
Singalodra. Melihat itu hantu Alas 
Roban ini menggemakan tertawanya dari 
balik topeng harimaunya. Topengnya 
yang berbentuk sederhana ternyata 
mempunyai pengaruh luar biasa bagi 
setiap lawan yang menghadapinya. Para 
pengepung itu merasa ngeri memandang 
topeng Singalodra sehingga sebagian 
besar pengamatan mereka hilang 
karenanya. Maka mudahlah Singalodra 
menangkis setiap serangan 
pengepungannya bahkan dua orang di

antaranya rebah ke tanah termakan 
ujung senjata trisulanya. Namun 
beberapa orang anak buah Ki Sorengrana 
lainnya terjun pula ke situ ikut 
mengepungnya. Malahan beberapa di 
antaranya segera melepaskan anak 
panahnya ke arah Singalodra. Untuk 
serangan anak panah inipun Singalodra 
cuma memperdengarkan tertawanya yang 
seram dan sekali menggerakkan 
trisulanya setengah lingkaran ke
udara tersapu bersihlah semua anak 
panah serta berjatuhan ke tanah. Para 
pengepung sangat terkejut melihat hal 
ini dan sebelum mereka sadar 
terdengarlah pula gema tertawa 
Singalodra dari balik topengnya yang 
makin lama makin bernada tinggi, 
membikin nyeri rongga dada para 
pengepungnya. Itulah kalau Singalodra 
mulai merancarkan aji pemunahnya. 
Senggara Madan. Tertawanya terus 
menanjak tinggi lalu berubah seperti 
geram dari auman harimau yang marah. 
Akibatnya hebat sekali, satu persatu 
lawannya menjadi pucat pasi dan 
perlahan-lahan jatuh terduduk sambil 
menekankan kedua tangan ke atas dada 
seperti mencoba menahan sesuatu yang 
tengah terjadi. Memanglah, sesuatu 
telah terjadi pada isi rongga dada 
mereka yang mulai rontok akibat ketawa 
dan auman Singalodra. Yang dilambari 
aji Senggara Macan. Akhirnya, sebentar

kemudian rebah ke tanah dengan darah 
mengalir dari mulutnya, sedang 
sebagian melarikan diri sambil
berteriak-teriak.
Belum habis Singalodra menikmati 
kemenangannya mendadak satu bayangan 
berkelebat cepat menyerangnya. Namun 
bagi hal ini tidak mengejutkan 
Singalodra, meski diam-diam ia kagum,
masih ada orang yang berani 
menyerangnya selagi ia tengah 
melancarkan aji Senggara Macannya.
Pantas. Rupanya inilah jagoan 
dari Karang Asem, serunya. 
Benar! Akulah Sorengrana yang 
akan melawanmu! teriak Ki Sorengrana 
sambil menyerangnya dengan pedangnya. 
Ketika Singalodra merasakan bahwa 
serangan Ki Sorengrana cukup berat, ia 
tidak mau bermain-main lagi maka 
geraknyapun menjadi semakin ganas. 
Persis seperti harimau kelaparan yang 
sedang menyerang mangsanya dengan 
rakus. Dengan senjatanya Trisula yang 
bergulung-gulung seperti badai itu, ia 
mampu menangkis setiap serangan pedang 
Ki Sorengrana.
Tetapi Ki'Sorengrana cukup 
tangguh memainkan pedangnya yang sudah 
matang terlatih, sehingga yang 
terlihat hanyalah kilatan sinar 
menyambar-nyambar serta mematuk-matuk 
mengerikan menyerang gulungan tombak 
lawan.

Begitulah pertempuran berlangsung 
dengan dahsyatnya. Singalodra yang 
telah banyak terlatih serta murid 
kinasih Ki Macan Kuping, hantu Alas 
Roban itu beberapa kali menyerbu 
kampung-kampung di sepanjang pantai 
utara Jawa. Karena mereka tidak mau 
membayar pajak yang telah ditetapkan 
oleh Singalodra. Beberapa orang pula 
yang telah cukup terkenal ketika 
mencoba menentang perbuatannya telah 
dicintainya dan berakhir dengan 
bertekuknya lutut mereka serta 
bersedia membayar pajak itu. Dan 
sekali inilah masih ada orang yang 
berani mencoba menentangnya, sehingga 
ia bertekat akan membinasakan lawannya 
Singalodra telah terbiasa oleh 
pekerjaannya. Merampok, menyiksa dan 
membuat baginya seolah-olah nyawa 
adalah barang permainan yang mudah 
didapat.
Satu ketika tusukan tombak 
Singalodra ditangkis oleh sabetan 
pedang Ki Sorengrana. Keduanya sama-
sama mengerahkan tenaga dalamnya 
hingga benturan kedua senjata itu 
telah mengakibatkan keduanya terdorong 
mundur beberapa langkah. Bahkan lebih 
dari itu sebab Ki Sorengrana 
mengetrapkan pukulan Lebur Wajanya 
menyebabkan Singalodra setelah 
terdorong surut lalu jatuh terduduk 
dengan kedua belah tangan masi


menggenggam trisulanya. Kejadian itu 
seperti sekejap mata saja, sebab tiba-
tiba dengan cepat Singalodra berdiri 
pula tegak tanpa cacat sedikitpun. 
Melihat ini, Ki Sorengrana dengan 
geramnya melangkah ke arah Singalodra 
untuk menyerangnya kembali.
Meskipun masih agak berkunang-
kunang, ternyata Singalodra dapat 
mengatasi pukulan Lebur Waja. Dalam 
saat tegang ini, di kala Ki Sorengrana 
melangkahkan kakinya untuk menyerang 
Singalodra yang masih berdiri 
kepeningan itu, satu bayanqan melesat 
ke belakang Ki Sorengrana dengan dua 
ujung jarinya langsung menotok 
punggung Ki Sorengrana dan sejurus 
kemudian iapun jatuh terkulai lemas ke 
tanah. Ternyata jalan darahnya telah 
tertotok oleh orang ini yang berbaju 
hitam panjang, berikat kepala merah 
soga berbencah-bencah hitam serta 
mengenakan ikat pinggang kulit harimau 
tutul, sehingga Ki Sorengrana tak 
berdaya lagi.
Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Nah lihat 
Singalodra, musuh mu telah aku 
rubuhkan dengan totokan jalan darah. 
Dengan hal yang sama telah aku 
rubuhkan pula murid perempuannya yang 
bernama Pandan Arum! Ayo, cepat ikat 
mereka berdua. Kita akan bawa mereka 
ke sarang kita di Alas Roban. Kita 
gunakan mereka untuk memancing Mahesa

Wulung datang ke sana. Ha, ha, ha, ha! 
Macan Kuping tertawa sambil mengelus-
elus kumisnya. 
Melihat Ki Sorengrana jatuh tak 
berdaya, anak buahnya menjadi cerai-
berai bagaikan anak ayam kehilangan 
induknya.
Sebagian melarikan diri mencari 
selamat, sedang sebagian lagi yang 
masih mencoba melawan, dengan mudah 
dirubuhkan mati oleh anak buah 
Singalodra tanpa ampun. Nah, begitulah 
cerita petani tadi kepada kami berdua.
Dialah salah seorang dari 
pengepung-pengepung Singalodra yang 
melarikan diri.
Kerpu sejenak menghentikan 
ceritanya. Keempatnya diam membisu, 
masing-masing sibuk dengan pikirannya. 
Keheningan malam telah terasa betul-
betul mencekam suasana. Kemudian ia 
melanjutkan lagi.
Begitulah setelah kami menerima 
laporan dari petani itu segera kami 
menyiapkan dua regu penjaga keamanan 
bandar Asemarang menuju ke kampung 
Karang Asem. Rumah yang habis terbakar 
masih kelihatan mengepulkan asap hitam 
dengan tiang-tiangnya yang telah hitam 
menjadi arang. Beberapa orang 
perempuan tampak meratapi beberapa 
korban keganasan gerombolan Alas Roban 
yang berkaparan di sana-sini, maka 
secepatnya kami turun tangan membantu

mereka serta mengubur para korban itu. 
Di antara perempuan-perempuan, itu 
kelihatan Nyi Sorengrana. Setelah kami 
mendapatkannya, tahulah kami bahwa 
jauh sebelum penyerangan itu, perempu-
an-perempuan, anak-anak dan orang-
orang tua telah bersembunyi dan 
mengungsi di sebuah hutan di selatan
Karang Asem sehingga mereka selamat 
tak kurang satu apa. Tampak pula sisa-
sisa anak buah Ki Sorengrana yang 
sibuk merawat orang-orang yang
terluka. Sayang sekali bahwa 
kedatangan kami terlambat, kalau tidak 
tentu kami dapat mengusir, setidak-
tidaknya mencegah agar mereka tidak 
dapat membuat korban lebih banyak.
Demikianlah atas keterangan Nyi 
Sorengrana kami segera menempatkan 
sebagian penjaga di Karang Asem sedang 
kami berdua berusaha mencari angger 
Mahesa Wulung untuk menyampaikan 
kejadian tersebut. Mula-mula kami 
menuju ke padepokan tanah putih. Di 
sana kami bertemu dengan Panembahan 
Tanah Putih yang menceriterakan bahwa 
angger Mahesa Wulung sedang 
menyelidiki pusaka Naga Geni di Gunung 
Brintik. Maka secepatnyalah kami ke 
mari mencari angger. Pesan sang 
Panembahan, agar angger Mahesa Wulung 
secepatnya berusaha membebaskan Ki 
Sorengrana dan Pandan Arum. Kerpu 
mengakhiri ceriteranya.

Hemm, sungguh-sungguh mereka 
gerombolan ganas dan licik pula. 
Baiklah kalau demikian kami berdua 
dengan kakang Gangsiran akan diam-diam 
menyusup ke Alas Roban dan membebaskan 
paman Sorengrana serta adi Pandan 
Arum, kata Mahesa Wulung.
Angger Mahesa Wulung, kita atur 
saja mulai sekarang untuk menyerang 
Alas Rpban. Kami secepatnya akan 
kembali ke Asemarang serta menyiapkan 
penyerangan itu. Dengan gabungan 
pasukan pengawal bandar Asemarang 
serta sisa-sisa anak buah Ki Soreng-
rana kami akan berkuda menyusuri 
pantai utara dan kira-kira seminggu 
kami akan tiba di sana. Nah, pada hari 
itulah kami akan melancarkan serangan 
yang mendadak!
Baik bapak. Saya setuju dengan 
rencana bapak berdua itu, lalu 
kapankah bapak Kerpu dan Tambakan 
kembali ke Asemarang?
Angger Mahesa Wulung, sebaiknya 
kami berangkat pulang sekarang. Lebih 
cepat kami menyiapkan diri lebih baik. 
Begitulah setelah berjabat tangan de-
ngan Mahesa Wulung dan Gangsiran, 
mereka cepat mengambil kudanya yang 
tertambat di sebuah semak-semak dan 
kemudian sebentar saja keduanya telah 
berpacu ke utara.
Demikian pula Mahesa Wulung dan 
Gangsiran segera mengambil kuda

kudanya tapi mereka berdua tidak 
memacu kudanya melainkan cuma berjalan 
biasa saja, karena jarak yang mereka 
tempuh masih cukup jauh, sedang mereka 
harus menjaga kuda-kudanya agar tidak 
terlalu lelah. Tambahan lagi jalan
yang dilalui ke barat itu tidak rata 
tapi berbukit-bukit sehingga mereka 
harus berhati-hati.

EMPAT


SINAR perak sang rembulan serta 
bintang-bintang yang bertebaran di 
angkasa telah berjasa membantu mereka 
mencari jalan yang baik. Bunyi dering 
jengkerik terdengar di sana sini dari 
sela-sela rerumputan dan batu-batu. 
Sesekali lewat di depan mereka 
beberapa ekor kunang-kunang yang 
berkedip-kedip cahayanya. Sekarang 
keduanya mufai menuruni bukit-bukit, 
membelokkan kudanya ke arah utara, 
sehingga tibalah mereka di tanah datar 
yang berhutan-hutan kecil. Mereka 
berdua kini melarikan kudanya dengan 
kecepatan yang sedang, terus menuju ke 
utara menyusuri sebuah sungai yang 
mengalir di sebelah barat daerah 
Asemarang. Tak lama kemudian tibalah 
mereka di daerah Kali Banteng. Entah 
mengapa tempat itu disebut demikian,
mungkin di situ dahulu sering terlihat 
banteng.
Kakang Gangsiran, di depan kita 
dibalik gerombol pohon-pohon itu 
terletak sebuah desa. Apakah kakang 
berminat untuk singgah sebentar? 
bertanya Mahesa Wulung.
Terima kasih dimas. Aku kira, 
kita tidak mengambil jalan yang 
melewati desa itu, melainkan kita cari 
jalan melingkar di selatan desa itu, 
jawab Gangsiran pula. Mahesa Wulung 
dapat membenarkan pendapat Gangsiran 
itu, sebab dengan mengambil jalan itu 
mereka menjauhi kemungkinan bertemu 
dengan orang-orang lain, tanpa 
menimbulkan korban yang banyak. Bahkan 
jika mungkin ia akan berusaha mem-
bebaskan pamannya Ki Sorengrana serta 
Pandan Arum tanpa melibatkan pasukan 
Asemarang dalam pertempuran di Alas 
Roban.
Malam itu meskipun bulan bersinar 
dengan terangnya, namun cahayanya tak 
dapat menembus kepekatan rimba Alas 
Roban, yang hampir sebagian besar 
dipenuhi oleh pohon-pohon karet tahun 
yang tumbuh dengan liarnya. Cabang-
cabangnya serta daunnya saling 
bertautan seolah-olah memang sengaja 
menghalang-halangi sinar rembulan 
memasuki daerahnya, bagaikan tangan-
tangan hantu yang menjaga sarangnya.

Tapi dikepekatan rimba yang 
lembab itu jauh di sana, diperut rimba 
itu terdapatlah rumah-rumah kayu 
beberapa buah. Di muka rumah yang 
terbesar di antara rumah-rumah itu 
terdapat sebuah tanah luas sebagai 
halamannya dan terpasanglah di situ 
sebuah api unggun dikelilingi oleh 
orang-orang bersenjata. Sebagian ada 
yang duduk, sebagian lagi berdiri. 
Sedang di pojok timur halaman itu 
terpasang seperangkat gamelan lengkap 
dengan penabuh, pesinden serta 
penarinya. Tetapi kesemuanya diam 
membisu seperti tengah menunggu 
sesuatu yang penting dan semua 
pandangan mata mereka tertuju ke pintu 
rumah besar. Tak lama kemudian pintu 
rumah besar itupun terbukalah serta 
muncul dari dalam rumah, dua sosok 
tubuh yang kekar.
Seorang mengenakan kulit harimau 
tutul sebagai bajunya dan mukanya 
tersembunyi dibalik topeng harimau 
yang seram. Tangannya menggenggam se-
buah tombak trisula.
Seorang lagi berbaju hitam dengan 
ikat kepala merah berbunga-bunga hitam 
dan pada pinggangnya tergantung sebuah 
pedang panjang. Keduanya berjalan ke 
tengah lingkaran orang-orang 
bersenjata itu, serta berhentilah 
mereka, bila keduanya telah tiba di 
sana.

Di antara orang-orang yang 
mengelilingi api unggun itu terdengar 
bisik membisik sesamanya. Mereka telah 
menunggu-nunggu keduanya sejak tadi.
Lihatlah sebentar lagi, Ki Macan 
Kuping serta Singalodra pasti akan 
segera membuka pesta kemenangan kita. 
Dan kita akan mabuk-mabuk minum tuak 
sambil menari-nari bersama gadis-gadis 
itu.
Nah itu-itu lagi yang kau 
bicarakan, seolah-olah hanya menari 
dan mabuk-mabuk yang kau ingat dalam 
benakmu.
Lho apa salahnya dengan diriku, 
bukankah itu hal yang wajar? Menari, 
menyanyi serta mabuk-mabuk akan 
membuat kita awet muda.
Ya, tapi dengan begitu aku 
teringat penyerangan kita ke Karang 
Asem, beberapa hari yang lalu, kata 
seorang yang masih muda.
Mengapa dengan Karang Asem? tanya 
orang yang berkumis tebal teman si
orang muda itu. Kan mereka sudah kita 
hancurkan. 
Dari sebab itulah aku selalu 
teringat! Orang-orang kampung itu yang 
kita binasakan berkaparan di mana-
mana, merintih kesakitan. Dengan 
menari-nari itu, seolah-olah kita 
menari di atas mayat bangkai mereka.
Ah, sudahlah Dugel. Lupakan saja 
hal itu. Aku maklum kau masih anggota

baru, belum terbiasa melihat orang 
mati. Tetapi jangan kuatir, tunggulah. 
Sebentar lagi kau akan biasa 
melihatnya. Bahkan kau akan menyesal 
bila tidak ikut menyembelih orang 
dalam setiap penyerangan gerombolan 
kita ke desa-desa.
Hiiii, menyembelih orano? si 
orang muda yang bernama Dugel 
kelihatan bergetar, bulu tengkuknya 
berdiri mendengar kata kata temannya 
itu.
Sudahlah Dugel, kita selesai 
ngobrol. Nih, minumlah tuak biar lebih 
hangat badanmu! kata sikumis tebal 
sambil menyorongkan tangannya yang 
berisi cangkir tembikar penuh tuak 
yang melimpah kepada si Dugel.
Sejurus kemudian mereka 
menghentikan bisik-bisiknya, bila Ki 
Macan Kuping mengangkat kedua belah 
tangannya.
Anak-anakku semua, aku berterima 
kasih atas keberanianmu yang telah kau 
perlihatkan dalam penyerangan, ke 
Karang Asem. Sekarang pesta ini adalah 
untuk merayakan kemenangan kita itu. 
Nah, malam ini bersuka-sukalah, 
menyanyi, menari bersama gadis-gadis 
itu, minum tuak sepuas-puasmu, atau 
apa saja terserahlah! Besok kita masih 
punya pekerjaan yang besar!
Begitu selesai Ki Macan Kuping 
bicara, serempak gamelan ditabuh orang

dan berdirilah para tledek itu serta 
memulai tarian-tariannya yang 
menggairahkan diseling oleh suara 
pesinden yang tidak kalah gairahnya. 
Sebentar saja suasana menjadi hangat, 
dan bertambah hangat bila beberapa 
orang telah mulai pada mabuk tuak. 
Beberapa orang berdiri dan sambil 
sempoyongan, mereka menandak-nandak 
terjun ke tengah arena tari itu.
Sambil menari, sebentar-sebentar 
diisi mulutnya dengan minuman tuak 
hingga berceceran ke tanah. Seorang 
lagi lebih lucu, kelihatan menari 
sambil mulutnya menggigit setusuk 
satai daging yang masih berkepul-kepul 
kepanasan, melintang pada kedua sudut 
mulutnya.
Heee, lihat itu Bugelan sedang 
beraksi! teriak salah seorang dari 
penonton. Mereka tertawa terbahak-
bahak melihat kelucuan Bugelan. 
Sementara itu seorang lagi yang menari 
dengan tangan serabutan laksana 
geraknya sapit seekor kalajengking 
bergeser-geser mendekati Bugelan.
Wah, itu Sapit Ireng beraksi 
pula! seru mereka. Tiba-tiba dengan 
gerak yang cepat hampir-hampir sukar 
ditangkap mata, Sapit Ireng 
menggerakkan kepalanya kemuka kepala 
Bugelan dan sekejap itu terlihatlah 
mulutnya mencengkam dua iris daging

satai yang terlolos dari tusukan satai 
di mulut Bugelan.
Hebat kau Sapit Ireng! teriak 
seorang penonton. Ia dapat mengambil 
tusukan daging satai dari mulut 
Bugelan. Tidak hanya penonton saja 
yang ketawa, juga Ki Macan Kuping 
serta Singalodra ikut pula tertawa 
menyaksikan ketangkasan Sapit Ireng.
Ayo, konco-konco, puaskan 
gembiramu! Ini adalah pesta untukmu! 
teriak Singalodra keras-keras. 
Serentak mendengar kata Singalodra 
pemimpin mereka itu, beberapa orang 
yang mula-mula malu-malu segera
berdiri pula dan terjun ke tengah 
arena ikut menari kesenangan.
Irama gamelanpun dipukul semakin 
keras, dengan nada yang gila-gilaan. 
Bila sudah demikian, gema iramanya 
mengalun ke segenap penjuru hutan 
sampai ke desa-desa yang terletak di 
sekitar Alas Roban. Bahkan, karena 
letak Alas Roban itu di tepi pantai 
Utara Jawa suara gamelan gila itu 
sekali-sekali terdengar sampai ke 
pantai, membuat siapa saja yang mende-
ngar menjadi meremang bulu tengkuknya, 
karena merekapun sadar bahwa suara 
gamelan itu berasal dari perut hutan 
Alas Roban satu tanda pula kalau 
gerombolan hitam Singalodra dari Alas 
Roban sedang berpesta pora menikmati 
kemenangannya.

Demikianlah, pesta pora itu 
mencapai larut malam dan sekonyong-
konyong saja, kemeriahan pesta agak 
terganggu, bahkan beberapa orang cepat 
menyiapkan senjatanya, manakala derap 
kaki kuda terdengar sayup-sayup yang 
makin lama terdengar bertambah dekat. 
Seorang penjaga pintu gerbang masuk 
sarang gerombolan itu yang berdiri di 
sebelah sana tampak melambai-lambaikan 
pedangnya yang terhunus. Serentak 
mereka pada menarik napas lega, karena 
itu adalah tanda aman dan yang datang 
tentulah kawan sendiri.
Benarlah isyarat lambaian pedang 
itu, sebab tak lama kemudian muncul 
seorang berkuda mendekati mereka 
dengan tubuhnya yang mandi peluh. 
Beberapa goresan luka-luka kecil 
terlihat pula pada tubuhnya.
Hee, bukankah itu kakang Sima 
Gereng! teriak salah seorang dari 
mereka yang serentak berdiri menunggu 
orang berkuda.
Ya, betul itu Sima Gereng! teriak 
yang lain pula. Tapi mengapa ia pulang 
sendiri? Di mana empat orang kawan 
kita yang lain! Sebentar saja mereka 
hiruk-pikuk membicarakan Sima Gereng 
yang pulang sendirian saja, sementara 
gamelanpun menjadi reda, semakin reda 
dan akhirnya berhenti sama sekali yang 
diikuti para penarinya segera 
menghentikan tariannya pula. Bahkan

beberapa orang penari ikut pula
menggerombol mengelilingi Sima Gereng 
yang kini telah turun dari kudanya.
Ki Macan Kuping dan Singalodra 
tampak pula berjalan mendekati Sima 
Gereng.
Mengapa engkau pulang sendirian 
Sima Gereng, di mana keempat anak 
buahmu itu? tanya Singalodra dengan 
pandangan matanya yang tajam mengawasi 
Sima Gereng. 
Kami telah menjalankan tugas ki 
lurah, tapi ketiwasan! jawab Sima 
Gereng sambil menundukkan kepala. 
Sedang napasnya turun naik.
Ketiwasan bagaimana? Ayo, 
ceriterakan tugasmu. Jangan bicara 
sepotong-sepotong! seru Singalodra
dengan marah.
Ampun ki lurah, kami berlima 
telah berhasil menghadang Mahesa 
Wulung yang telah membawa pusaka Naga 
Geni. Wujud pusaka itu ialah sebatang 
cambuk yang menyala kebiruan. Kemudian 
terjadilah pertempuran dan kami 
berusaha merebut pusaka itu, hanya 
sayangnya ternyata Mahesa Wulung tidak 
sendirian tapi membawa teman, seorang 
yang pandai melempar pisau.
Hmmm, itu pasti si Gangsiran, 
penjudi edan! potong Singalodra dengan 
geramnya. Teruskan bicaramu goblok, 
ayo! Dengan gugup Sima Gereng 
meneruskan pula ceriteranya.

Setelah kami bertempur, tiba-tiba 
Mahesa Wulung menggunakan pusaka itu 
untuk melawan kami dan akibatnya luar 
biasa. Dua orang anak buah saya yang 
terkena cambuknya, seketika jatuh mati
dengan tubuh hangus kemerahan seperti 
daging satai yang dipanggang api.
Mendengar keampuhan pusaka itu, 
orang-orang terperanjat sekali, 
termasuk Singalodra serta Ki Macan 
Kuping sendiri yang sudah tergolong 
tingkatan atas dalam ilmu kesaktian. 
Dan juga dengan Mahesa Wultung 
sendiri, ternyata orang yang hebat. 
Angin pukulannya saja bisa 
menumbangkan saya. Untunglah saya 
cukup tangkas ki lurah, hingga saya 
dapat mengelak menghindarkan 
serangannya.
Plak! plak! plak! tiba-tiba 
dengan gesitnya Singalodra menampar 
Sima Gereng yang sekaligus jatuh 
tertelentang dengan sudut mulutnya 
berdarah. Sima Gereng tampak meringis-
ringis sambil meraba bibirnya. 
Sebentar terdengar keruyuk-keruyuk 
dalam mulutnya dan cepat-cepat Sima 
Gereng meludah. Tampak darah merah 
keluar diikuti tiga buah benda putih 
meloncat keluar dari mulutnya, akibat 
tamparan Singalodra.
Ampun! Aduh, aduh, gigi saya 
copot, teriak Sima Gereng kesakitan.

Itulah hukuman bagimu goblog! Kau 
berani memuji-muji musuhmu di depanku 
he! Mengapa kau tidak ikut mampus 
bersama keempat anak buahmu sekali, 
teriak Singalodra kemarahan sambil 
melototkan matanya yang bengis kejam 
itu.
Ampun Ki Lurah, saya berkata 
sebenarnya. Sayapun sudah berjanji 
demi setan-setan penjaga Alas Roban 
ini, bahwa saya suatu ketika akan 
membalas dendam kepada Mahesa Wulung, 
si keparat itu.
Hem, bagus, bagus, aku akan 
pegang sumpahmu itu. Meskipun kau 
gagal, saya akan masih mengampunimu! 
Dan lagi kita telah berhasil menangkap 
paman Mahesa Wulung, Ki Sorengrana 
serta muridnya sekaligus yang bernama 
Pandan Arum. Dengan mereka berdua, 
kita pancing Mahesa Wulung masuk ke 
sarang kita ini. Kita akan tukarkan 
kedua orang itu dengan pusaka Naga 
Geni. Setelah itu baru kita bereskan 
mereka!
Hua, ha, ha, ha, bagaimana anak-
anak?! Seru Singalodra.
Akur! Setuju, ki lurah! teriak 
orang-orang serempak, menyetujui 
pendapat Singalodra.
Nah, kalau begitu sekarang ayo, 
kalian kembali ke tempatnya masing-
masing. Kita teruskan pesta pora ini! 
seru Ki Macan Kuping. Kini gamelanpun

ditabuh lagi dan kembali mereka 
menari-nari, mabuk-mabuk tuak, serta 
menyanyi-nyanyi dengan bebasnya tanpa 
patokan-patokan seni yang ada, tanpa 
aturan tata tertib sehingga kadang-
kadang diantaranya timbul pukul 
memukul dengan ternannya saking 
mabuknya dengan minuman tuak. Jika 
sudah begitu teman-teman yang lain 
cuma tertawa menyaksikan mereka, 
sedang penari-penari malahan tambah 
menari dengan gairahnya. Baginya hal-
hal itu, berkelahi, mabuk-mabuk, sudah 
biasa terjadi di kalangan gerombolan 
hitam Alas Roban sehingga mereka tak 
usah kuatir. Begitulah suasana pesta 
gerombolan hitam Alas Roban terus 
berlangsung sampai langit di sebelah 
Timur disaput oleh warna-warna merah 
sang matahari. Beberapa ayam jantan 
mulai berkokoh bersahut-sahutan, 
suaranya menggema di perkampungan itu 
yang tersembunyi letaknya di perut 
rimba Alas Roban.
Debu serta kerikil-kerikil 
berhamburan oleh kaki-kaki kuda yang 
dipacu secepat angin menyusuri jalan 
sepanjang pantai Utara Jawa.
Kakang Gangsiran, kita telah 
melewati Kali Bodri.
Tapi sayang adi Mahesa Wulung, 
kita tidak sempat singgah di perguruan 
Kyai Kendil Wesi di Kaliwungu. Kalau

singgah, tentu kita mendapat petunjuk-
petunjuk yang perlu.
Benar kakang, tapi tak usah kita 
cemas. Dengan berjalan terus menyusur 
pantai ke barat, pasti kita akan 
sampai ke Alas Roban. Aku masih ingat 
jalan-jalannya ke sana, kata Mahesa 
Wulung. Memang waktu kita amat sempit 
dalam tugas kita ini. Lain kali saja 
kita usahakan singgah ke sana. Berapa 
lama keduanya telah berkuda tak lagi 
terasa, disebabkan perasaan mereka 
yang telah disibuki oleh persoalan-
persoalan yang rumit. Mahesa Wulung 
ingin cepat sampai untuk membebaskan 
pamannya serta Pandan Arum. Sedang 
Gangsiran sibuk pula memikirkan cara-
cara menerobos penjagaan gerombolan 
Alas Roban.
Sekarang kita mulai memasuki desa 
Weleri adi Mahesa Wulung, ujar 
Gangsiran. Lihatlah itu di sana! Pintu 
gerbang masuk ke desa telah dijaga 
oleh orang-orang bersenjata.
Ayolah kita cepat-cepat ke sana 
kakang. Setiap keterangan pasti 
berguna bagi kita, seru Mahesa Wulung 
sambil mempercepat lari kudanya ke 
arah desa itu. Gangsiran tak pula 
ketinggalan cepat-cepat ia mengejar 
Mahesa Wulung, sehingga tak lama kemu-
dian keduanya telah sampai ke pintu 
gerbang masuk desa Weleri. Seorang di 
antara penjaga-penjaga itu, ketika

melihat dua orang asing mendekati 
pintu gerbang, cepat-cepat mendapatkan 
Mahesa Wulung serta Gangsiran. 
Badan orang ini amat tegap, kumis 
dan jenggot yang lebat menumbuhi 
mukanya yang bulat, menambah 
keangkerannya.
Maaf, kisanak berdua. Daerah ini 
tertutup untuk perjalanan ke barat 
sebab gerombolan Alas Roban sedang 
merajalela di sana. Reruntuhan rumah-
rumah di pojok itu, adalah hasil 
kebiadapan mereka yang telah merampok 
desa ini dengan kejamnya. Rumah-rumah 
mereka bakar, sementara beberapa orang 
yang mencoba melawannya telah 
disembelih mati! kata orang itu sambil 
mengawasi Mahesa Wulung dan Gangsiran 
setengah curiga mulai dari kepala 
sampai ke ujung kaki.
Kalau kisanak berdua boleh aku 
peringatkan dan masih cinta akan 
hidup, sebaiknya kisanak kembali saja 
ke timur. 
Mengapa harus kembali ke timur! 
kata Mahesa Wulung tajam. Malah kalau 
kisanak ingin tahu pula, kami berdua 
akan datang ke Alas Roban untuk mem-
bebaskan orang-orang yang tertawan 
oleh gerombolan Alas Roban.
Ha, ha, ha, membebaskan tawanan-
tawanan dari tangan Singalodra? Omong 
kosong! Bualanmu tidak laku di sini 
kisanak. Tahukah kisanak, baru-baru

ini sepasukan desa Karang Asem yang 
dipimpin oleh Ki Sorengrana, telah 
binasa dilabrak oleh gerombolan 
Singalodra. Bahkan Sorengrana sendiri 
kena tertawan oleh mereka, seru orang 
itu dengan nada setengah mengejek. 
Apalagi kisanak cuma berdua saja! 
Mahesa Wulung meloncat turun dari 
atas kudanya lalu mendekati orang yang 
berkata penuh kesombongan itu.
Kisanak, bagi kami berdua tidak 
ada satu halanganpun yang kami 
takutkan, karena kami hanya percaya 
bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan 
memberikan bantuanNya menyelesaikan 
tugas ini.
Tidak! Kalau Dadapan bilang 
tidak, maka tak seorangpun boleh 
melanggar kata-katanya. Kata-katanya 
adalah juga hukumnya. Nah, sebaiknya 
kalian berdua tidak sampai membuat 
jengkel kami. Kalau kisanak memaksa, 
terpaksa harus berhadapan dengan saya, 
si Dadapan murid Perguruan Empu Paku 
Waja, kata Dadapan sambil menepuk-
nepuk dadanya.
Mendengar nama Perguruan Empu 
Paku Waja, Mahesa Wulung serta 
Gangsiran yang masih duduk di atas 
kuda ikut terkejut. Mereka pernah 
mendengar keampuhan Empu Paku Waja 
yang terkenal itu.
Kami datang ke sini tidak untuk 
mencari perselisihan, kisanak, kata

Mahesa Wulung pelan dengan maksud 
untuk meredakan suasana yang telah 
panas. Tapi Dadapan cepat-cepat 
membalasnya.
Ha, itu pendapat anak yang manis. 
Kalau begitu segeralah berlalu dari 
sini, supaya kalian masih bisa 
menikmati sinar matahari.
Terima kasih, kami berdua akan 
tetap memasuki Alas Roban!
Gila! Berani memaksa Dadapan
bertindak? Nah, kau akan merasakan 
sedikit pelajaran dari kekurang 
ajaranmu! Mari kita bermain-main 
sebentar untuk memanaskan badan
Dadapan mulai melancarkan 
serangannya dengan pedang terhunus. 
Sambarannya menimbulkan suara 
berdesing dan angin yang dingin
menderu-deru.
Mula-mula Mahesa Wulung tak ingin 
melayani sikap Dadapan yang sombong 
itu. Tapi bila ia telah diserang 
dengan pedang terhunus maka tak ada 
lagi cara yang baik buat memberi 
pelajaran kepada Dadapan selain dengan 
menyambut serangannya.
Tusukan pertama Dadapan ke arah 
lambung dapat dihindarkan oleh Mahesa 
Wulung dengan memiringkan tubuhnya ke 
kiri sambil tangan kanannya diketukkan 
ke tangan Dadapan yang memegang pe-
dang. Aaaakh. Dadapan berteriak 
setengah tertahan dengan mulutnya yang

menyeringai-nyeringai menahan sakit. 
Merasakan serangannya gagal, Dadapan 
menjadi penasaran. Segera ia 
mengeluarkan permainan pedangnya yang 
hebat. Ujung pedangnya berkelebatan 
dengan sinar yang menyilaukan mata 
merupakan satu lingkaran yang 
mengurung Mahesa Wulung. Diam-diam 
Mahesa Wulung memuji ketinggian ilmu 
pedang Dadapan, hanya sayang 
pemiliknya rupa-rupanya terlalu 
sombong memakainya. Pedang di 
tangannya, gerakannya kini berganti. 
Selain mematuk-matuk ke atas dan ke 
bawah, juga membabat dari samping kiri 
dan kanan.
Mendapat serangan pedang yang 
hebat ini, Mahesa Wulung mengerahkan 
tenaga dalamnya berlambaran ilmunya 
Bayu Rasa dan tiba-tiba tubuhnya 
melenting ke atas berjungkir balik di
udara, kaki ke atas dan kedua 
tangannya ke bawah, menerkam Dadapan 
bagaikan gerak rajawali menyambar 
mangsanya ke bawah. Sekali ini, Mahesa 
Wulung tidak menggunakan pukulan Lebur 
Waja karena ia hanya menggunakannya 
bila melawan gerombolan hitam Alas 
Roban serta orang-orang jahat lainnya. 
Sedang lawannya sekarang. Si Dadapan 
ini, bukanlah orang yang jahat, tapi 
orang yang sombong karena merasa 
dirinya paling berkuasa menjaga 
keamanan di tempat itu sehingga orang

orang harus tunduk kepadanya. Dadapan 
seketika terkejut melihat gerak Mahesa 
Wulung, cepat ia bermaksud 
menghindarkan terkaman lawan tapi 
terlambat! Tahu-tahu tangannya kena 
ditangkap oleh Mahesa Wulung sehingga 
terasa pedangnya yang digenggam kini 
merasa bergetar hebat. Tangan Mahesa 
Wulung yang mencekam pergelangan 
tangan kanannya itu terasa seperti dua 
buah dinding baja yang menghimpit, 
makin lama mengunci semakin keras dan 
tak lama kemudian tangannya terasa 
kesemutan, pandangannya berkunang-
kunang. Dadapan jatuh terduduk dan 
pedangnya terlepas dari genggamannya.
Maaf Dadapan aku tak bermaksud 
menyakitimu. Itu tadi aku lakukan 
karena terpaksa untuk menghindarkan 
seranganmu! Percayalah! Mahesa Wulung 
berkata dengan wajah yang cerah. Sama 
sekali ia tidak menaruh benci. Hatinya 
yang polos itu berkata bahwa musuhnya 
ini bukanlah orang yang jahat 
seharusnya binasa oleh tangannya.
Mula-mula Dadapan agak curiga 
melihat sikap Mahesa Wulung ini. 
Jangan jangan itu hanya siasat saja, 
namun demi dilihatnya wajah Mahesa 
Wulung yang cerah, bahkan kini 
mengulurkan tangan untuk menolongnya 
berdiri yakinlah bahwa Mahesa Wulung 
betul-betul tidak bermaksud 
memusuhinya. Kini terbukalah hati

Dadapan bahwa semua itu terjadi karena 
kesombongannya, karena terlalu 
mengandalkan ilmu pedangnya dari Empu 
Paku Waja, yang tak pernah terkalahkan
itu.
Ooh, maaf kisanak. Maafkan semua 
tindakanku yang kasar dan tolol itu! 
seru Dadapan sambil membungkuk memberi 
hormat lawannya, ia menyesal sekali 
telah memperlakukan Mahesa Wulung 
dengan kasar.
Lupakan hal itu Dadapan, yang 
sudah berlalu biarlah berlalu. Waktu 
yang akan datang masih banyak untuk 
berlaku lebih bijaksana lagi, Dadapan, 
aku tadi sangat mengagumi permainan 
pedangmu itu, mungkin suatu saat akan 
kuminta kau mengajariku. Harapanku 
hanyalah jangan menggunakan ilmu pe-
dangmu itu untuk menuruti nafsu 
kemarahan saja, secara serampangan. 
Sebab walau jaya dan perwiranya 
manusia itu, jika keperwiraannya tadi 
dipergunakan untuk maksud-maksud yang 
bertentangan dengan kehendak Tuhan 
Yang Maha Kuasa, maka akan runtuh dan 
terkutuklah manusia tadi oleh Nya! 
ujar Mahesa Wulung dengan tenang 
sambil menghela napas dalam-dalam.
Dadapan mendengar itu, 
menundukkan kepalanya ke bawah, tak 
terasa matanya berkaca-kaca terharu. 
Selama ini ia sering memperlakukan 
orang lain dengan kasar sehingga ia

ditakuti oleh kawan-kawannya. Hanya 
saja takutnya tadi bukan takut 
lantaran cinta atau sayang, tapi 
orang-orang pada takut karena saking 
bencinya melihat kelakuannya.
Terima kasih Kisanak, terima 
kasih. Kau telah membuatku insyaf akan 
segala kelakuanku yang tidak baik 
selama ini, kata Dadapan pelan. Dan 
kini sebagai rasa terima kasihku, saya 
bersedia membantu kisanak untuk 
membebaskan tawanan-tawanan dari 
cengkeraman gerombolan Alas Goban.
Baiklah Dadapan, saya tidak 
keberatan untuk menerima bantuanmu, 
kata Mahesa Wulung. Nah, hampir saya 
lupa. Ini perkenalkan kakang Gangsiran 
dari Tanah Putih dan saya sendiri 
Mahesa Wulung dari Demak. Betapa 
terkejut Dadapan mendengar nama 
mereka. Keduanya sudah cukup terkenal 
di tanah pesisir Utara Jawa terutama 
Mahesa Wulung sendiri yang terkenal 
sebagai perwira laut Armada Demak, 
namanya sangat ditakuti oleh bajak-
bajak laut dan gerombolan-gerombolan 
hitam. Ia seorang perwira yang masih 
muda, tapi bijaksana dan suka membela 
kebenaran serta keadilan. Untunglah 
pertarungan tadi tidak sampai 
berlarut-larut dan sekarang ia tidak 
perlu cemas karena Mahesa Wulung yang 
bijaksana itu telah mengampuninya.

Demikianlah setelah mengaso 
sejenak, Mahesa Wulung, Gangsiran dan 
Dadapan berangkat meneruskan 
perjalanannya ke arah barat sedang 
beberapa teman Dadapan tetap tinggal 
di tempatnya untuk menjaga keamanan 
daerah Weleri. Mereka bertiga kini 
terus berpacu ke arah barat laut 
karena jalan ke barat biasa dijaga 
oleh orang-orang dari gerombolan Alas 
Roban. Dari jauh sudah terlihat warna
hijau kehitaman yang membentang amat 
panjangnya. Itulah hutan Alas Roban 
yang menjadi sarang gerombolan hitam 
pengacau dan perusak keamanan. Hutan 
itu yang berdinding tebal dengan 
pohon-pohon karet tahun, seperti tak 
tertembus oleh siapapun, lebih-lebih 
orang di sekitarnya percaya bahwa 
hutan itu, tempat tinggal para setan 
dan hantu-hantu bersarang sehingga me-
reka tak pernah mendekati hutan-hutan 
itu apalagi sampai mengimpikan masuk 
ke dalamnya. Bahkan beberapa orang tua 
pernah berkata, walau diupah dengan 
dinar emas sekalipun mereka tak 
bersedia menjamah hutan itu. Rasa 
ngeri, takut dan kabar keangkeran 
hutan itu selalu ditiup-tiupkan oleh 
seorang yang bernama Ki Singa. Ia 
cukup terkenal sebagai seorang pawang 
yang biasa menangkap binatang-binatang 
buas, terutama harimau. Satu keanehan 
pada diri Ki Singa ialah, ia sering

muncul di suatu tempat dengan tiada 
terduga. Sebentar muncul di sini, 
sebentar lagi muncul di tempat lain 
secara tiba-tiba dan orang pun tidak 
ada yang tahu tempat tinggalnya.
Makin dekat, semakin jelas 
terlihat oleh mereka bertiga keadaan 
hutan Alas Roban yang terletak di tepi 
pantai utara. Deburan ombak yang 
memecah ke pantai sayup-sayup 
terdengar. Bila laut pasang naik, maka 
sebagian air laut masuk ke dalam hutan 
sehingga pohon-pohon karet raksasa 
yang tumbuh paling dekat dengan pantai 
tergenang air, menambah seramnya 
keadaan Alas Roban. Itulah kiranya 
mengapa hutan itu sampai disebut Alas 
Roban artinya hutan yang dapat dilanda 
banjir (rob). Matahari makin berkurang 
sinarnya setelah letaknya condong ke 
barat, menjadikan tempat itu samar-
samar oleh kabut putih yang mengambang 
di udara. Baik Mahesa Wulung, 
Gangsiran ataupun Dadapan sekarang 
lebih hati-hati, sebab kesuraman jalan 
yang akan mereka tempuh itu yang penuh 
dengan akar-akar melintang serta 
ceruk-ceruk tanah yang cukup dalam 
bisa mencelakakan langkah-langkah kuda 
mereka. Untuk itu mereke terpaksa 
bergerak maju dengan pelan-pelan.
Sekonyong-konyong tanpa dinyana, 
ketenangan suasana dipecahkan oleh 
berderaknya ranting-ranting serta

dedaunan dan satu bayangan hitam 
berkelebat di muka mereka yang muncul 
tiba-tiba dari balik lekuk-lekuk akar 
pohon karet raksasa.
Berhenti!! teriak orang yang baru 
muncul itu dengan kedua tangannya 
diacungkan ke depan berbareng yang 
mana menimbulkan hempasan angin yang 
menabrak ketiga pendatang itu.
Apa maksud kisanak bertiga pada 
waktu begini keluyuran di tepi hutan 
Alas Roban ini!?
Kami bertiga ingih melihat-lihat 
pemandangan di sini, jawab Mahesa 
Wulung sekaligus meneliti orang itu 
dengan pandangan tajam.
Bohong! teriak orang itu dengan 
membelalakan satu matanya, sementara 
satu matanya tetap menyipit karena ada 
bekas-bekas luka yang membuatnya be-
gitu.
Aku tahu, kalian mencoba 
menipuku. Kalau Ki Singa boleh 
memperingatkan kalian, sebaiknya 
cepat-cepat angkat kaki dari tempat 
ini sebelum satu bencana dari rimba 
larangan ini menimpa kisanak bertiga.
Oh, jadi bapaklah yang biasa 
disebut Ki Singa itu? seru Dadapan 
saking herannya.
Cocok! Akulah yang dipariggil 
orang-orang Ki Singa itu. Hi, hi, ha, 
ha, ha, ha! orang itu tertawa dengan 
suara yang mengerikan. Kumisnya yang

melengkung ke bawah itu ikut 
terguncang-guncang oleh ketawanya.
Apakah kisanak bertiga ini belum 
pernah dengar bahwa rimba ini sarang 
hantu dan setan?
Belum, bapak. Oleh sebab itu kami 
ingin sekali melihat penghuni-penghuni 
rimba, setan-setan dan hantu seperti 
yang bapak ceriterakan tadi, jawab Ma-
hesa Wulung. Mendengar itu Dadapan 
ikut pula menyambung: Malahan kalau 
mungkin, kami akan menangkapnya sekali 
untuk kami pertontonkan kepada orang-
orang, biar mereka tidak lagi takut 
kepada setan dan hantu-hantu.
Hmm, sungguh kurang ajar kisanak 
bertiga! Berani mempermainkan kata-
kata serta peringatanku, ha! Baiklah, 
tapi aku telah katakan semuanya, 
tentang bencana-bencana yang datang 
dari rimba larangan dan kalian bertiga 
semoga mampus olehnya! kata Ki Singa 
keras-keras diiringi loncatan ke 
belakang dan tubuhnya lenyap ditelan 
kepekatan rimba Alas Roban dalam 
sekejap mata, membuat mereka bertiga 
tertegun keheranan. Peristiwa yang 
baru lewat seperti mimpi saja, Ki 
Singa yang muncul tiba-tiba dan lenyap 
pula dengan tiba-tiba.
Cahaya bintang-bintang dan bulan 
yang sebentar-sebentar tertutup mega 
berarak sangat indah dipandang mata,
tapi bagi mereka bertiga, terasa tidak

indah setelah mendengar ancaman Ki 
Singa itu. Ya, bencana apa yang bakal 
muncul, mereka belum tahu. Oleh sebab 
itu mereka lebih waspada, menghadapi 
setiap kemungkinan yang terjadi. 
Setelah mencari tempat yang cukup
baik, ketiganya lalu menambatkan 
kudanya dalam semak-semak. Di antara 
lipatan-lipatan akar-akar sebuah pohon 
karet tahun yang besar, mereka bertiga 
beristirahat.
Sebenarnya mereka ingin sekali 
melanjutkan penyelidikannya menerobos 
hutan Alas Roban itu, tapi malam telah 
turun, hingga keadaan di dalam hutan 
itu tampak hitam pekat tanpa cahaya 
bulan atau bintang yang mampu 
menerobosnya. Daun-daun karet sangat
lebatnya.
Malam bertambah larut dan semakin 
larut. Tak ada sesuatu yang tampak 
mencurigakan bagi mereka. Demikianlah 
antara Mahesa Wulung, Gangsiran dan
Dadapan terjalin rasa persahabatan 
yang erat, mereka merasa senasib di 
dalam hutan itu, sama-sama bertekad 
menumpas gerombolan hitam Alas Roban 
yang ganas dan telah sekian lama 
merajalela di pantai Utara.
Bergantian mereka tidur dan 
berjaga. Embun malam mulai turun dari 
kabut-kabut yang menebai menyelimuti 
tepi hutan itu, berbutir-butir

menempel pada daun-daun yang 
berkilat laksana permata.
Bila bulan makin merendah pada 
cakrawala barat, langit di sebelah 
timurpun mulai cerah dengan saputan 
warna-warna merah jingga. Di antara 
semak-semak dalam hutan itu tampak 
bayangan hitam menyelinap-nyelinap di 
balik pohon-pohonan. Sebentar-sebentar 
bayangan itu mengendap kemudian 
bergerak dengan cepatnya, tapi aneh 
sekali, langkah-langkahnya tak 
menimbulkan suara sedikitpun. Terang 
sekali bahwa orang ini memakai ilmu 
meringankan tubuh, sampai-sampai 
geraknya seperti tidak menginjak 
tanah.
Heh, mereka yang bercokol di tepi 
hutan itu orang-orang berbahaya! 
Kinilah saatnya aku binasakan mereka 
dengan kucing-kucingku ini. Sekaligus 
aku ingin tahu sampai di mana kekuatan 
mereka. 
Bayangan hitam itu bergumam 
sendiri seperti ada sesuatu yang 
diajaknya bicara. Memanglah, ia 
dikawan, oleh dua bayangan bermata 
biru kehijauan dan menyala ganas yang 
berdiri di belakangnya seperti 
prajurit menunggu perintah atasannya.
Dengan satu tepukan kecil dan 
kemudian jari telunjuknya diarahkan ke 
tepi hutan, dua bayangan bermata hijau 
itu melesat menuju kesasarannya.

Telinga Mahesa Wulung yang tajam 
itu mula-mula dapat menangkap sayup-
sayup kokok ayam jantan dari tengah-
tengah rimba Alas Roban.
Hmmm ... ini satu tanda bahwa di 
tengah hutan pasti ada tanda-tanda, 
kehidupan yang lanyak, karena kokok 
ayam jantan tadi bukanlah ayam hutan 
tapi ayam piaraan.
Tetapi sejurus lagi telinganya 
menangkap getaran yang lain pula. 
Cepat Mahesa Wulung memperingatkan 
kedua sahabatnya.
Kakang Gangsiran dan Dadapan, 
hati-hatilah. Aku mendengar sesuatu 
yang bergerak di atas pepohonan!
Begitu selesai berkata dan 
bersiaga ketiganya, mendadak terdengar 
auman harimau dari atas pohon di depan 
mereka. Dua pasang mata hijau liar 
memandang kearah mereka yang kemudian 
bergerak dengan cepat meluncur dan 
menerkamnya bersama-sama.
Awas macan tutul! teriak 
Gangsiran sambil mencabut pisau kecil 
dari ikat pinggangnya dan langsung 
dilemparnya kearah binatang itu. 
Begitu ia melempar pisaunya, tubuhnya 
bergerak kesamping.
Di tengah lompatannya, harimau 
tutul itu mengaum kesakitan sebab 
pisau kecil Gangsiran tepat be-sarang 
menunjam di antara kedua matanya. 
Tubuhnya melayang ke bawah dan begitu

menginjak tanah segera ia bangkit dan 
menerkam sasaran lainnya di sebelah 
kiri. Namun Dadapan telah pula 
bersiaga lalu menyambut terkaman 
binatang itu dengan sabetan pedangnya 
yang terkenal tepat merobek leher 
harimau tutul. Darah merah menyembur 
dari lukanya. Tubuhnya tampak 
terhuyung-huyung dan kemudian rebah ke 
tanah. Mati.
Sementara itu Mahesa Wulung 
berhasil menghindar dari terkaman 
lawannya. Harimau itu, merasa gagal 
serangannya menggeram hebat karena 
marah. Tubuhnya kini merendah ke 
tanah, yang depan mendatar sedang yang 
belakang lebih tinggi. Dengan auman 
keras, ia menerkam Mahesa Wulung yang
telah bersiaga menyalurkan kekuatan 
dalamnya dengan aji Lebur Waja. 
Setelah berkelit ke samping dan 
serangan harimau itu lewat sejengkal 
dari tubuhnya, tampak tangannya segera 
bergerak. Kraaakkk! Suara gemeretak 
tulang pecah berbareng dengan auman 
bernada tinggi, tubuh harimau tutul 
itu melenting tinggi ke atas dan 
sesaat lagi terdengar gemuruh tubuhnya 
jatuh ke tanah tak berkutik lagi. 
Akibatnya pukulan Mahesa Wulung hebat 
sekali. Tubuh harimau itu hangus 
kehitaman sedang kepalanya pecah.
Ketika kedua harimau tutul itu 
mati, bayangan hitam tadi yang tidak

lain ialah Ki Singa sangat 
terperanjat. Kedua binatang itu telah 
terlatih bertahun-tahun dalam membunuh 
orang, kali ini begitu mudah 
dikalahkan oleh mangsanya. Dengan 
mengutuk-ngutuk Ki Singa meloncat ke 
dalam hutan kembali, tubuhnya lenyap 
di balik semak-semak.

LIMA


PERKAMPUNGAN sarang gerombolan 
pagi itu tampak sibuk. Beberapa orang 
kelihatan tengah memasang tiga tonggak 
yang dipancangkan di sebuah halaman 
yang luas membelakangi sebuah rumah 
terbesar. Begitu banyak orang yang 
bekerja, sehingga dalam waktu yang 
singkat selesailah kesibukan itu.
Sejurus kemudian terdengar suara 
bende yang dipukul tiga kali. Orang-
orang serentak bergerak mengelilingi 
tiga tonggak itu dengan memegang 
senjata, merupakan pagar manusia yang
rapat. Pintu rumah terbesar membuka, 
Ki Macan Kuping keluar diikuti 
Singalodra. Suasana menjadi hening 
seketika. Setelah keduanya memandang 
sekeliling, Singalodra memberi 
perintah kepada anak buahnya.
Sima Gereng, cepat keluarkan
ketiga tawanan itu kemari dan segera 
ikat mereka ke tiang-tiangnya itu!

Sima Gereng, diikuti lima orang 
berjalan menuju ke sebuah rumah yang 
jendelanya beruji besi dan dijaga kuat 
oleh beberapa orang bersenjata tombak.
Sesaat kemudian tampak tiga orang 
keluar dari rumah itu dengan tangan 
terikat ke belakang. Mereka dikawal 
kuat yang dipimpin oleh Sima Gereng 
berjalan ke arah tiang-tiang itu.
Tanpa dapat melawan sedikitpun 
ketiganya lalu diikat pada ketiga 
tiang itu erat-erat. Hanya dari sinar 
mata mereka dapat terbaca bahwa mereka 
menaruh kebencian kepada gerombolan 
itu. Sorengrana dan Pandan Arum 
menggeletukkan gigi melihat tingkah 
gerombolan-gerombolan, sedang tubuhnya 
tak dapat berbuat apa-apa akibat 
totokan jalan darah oleh Ki Macan 
Kuping.
Kawan-kawan lihatlah. Kita hari 
ini akan melihat pelaksanaan hukuman 
kepada tiga orang yang telah berani 
menentang gerombolan hitam Alas Roban. 
Singalodra berkata kepada anak 
buahnya, lalu sekali lagi ia 
memberikan isyarat kepada Sima Gereng.
Tapi kita orang-orang pengecut 
kalau membunuh begitu saja orang-orang 
yang tak berdaya. Mereka akan kita 
beri kesempatan untuk mempertahankan 
diri. Nah, Sima Gereng, lepaskan 
tawanan yang ketiga lalu berikan


sebilah pedang biar ia sempat membela
diri.
Meski dengan tubuh masih lemas, 
orang yang ketiga itu masih dapat 
memegang pedang dengan baik dan kedua 
kakinya kukuh berdiri di tengah arena. 
Matanya melirik kepada Ki Sorengrana 
yang terikat seperti meminta sesuatu.
Soma, lawanlah mereka sebisamu 
agar kau tidak mati sia-sia, tapi mati 
sebagai perwira, seru Sorengrana 
sambil berkaca-kaca matanya. Ia 
terharu melihat Soma anak buahnya yang 
kini berdiri di tengah arena. Begitu 
juga dengan Pandan Arum, tak sampai 
hati melihat tontonan ini. Diam-diam 
ia berdoa semoga Tuhan memberikan 
pertolongan-Nya. Tiba-tiba saja ia 
merasa rindu kepada Mahesa Wulung yang 
selama ini selalu membela dirinya. 
Tapi kali ini, apakah ia akan tiba? Ah 
entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu. 
Terdengar suara bende sekali. 
Seorang yang berambut gondrong 
tanpa ikat kepala mendatangi Soma dan 
langsung mengirimkan serangan dengan 
penggada. Soma sempat berkelit ke 
samping namun tak urung tubuhnya kena 
keserempet senjata lawan hingga 
terpental. Terdengar ketawa riuh serta 
ejekan-ejekan dari pagar manusia itu. 
Sekali lagi musuh mengayunkan 
penggadanya, tapi dengan manis Soma 
merendahkan tubuhnya dan tangannya

yang berpedang itu bergerak mendatar. 
Waaak terdengar suara sobekan disusul 
teriakan panjang. Tubuh sirambut 
gondrong itu terhuyung-huyung lalu 
rebah ke tanah. Darah berceceran dari 
luka perutnya yang memanjang dan 
menganga itu. Semua menjadi terkejut 
melihat kejadian ini, maka cepat-cepat 
Singalodra berseru: Ayo, kawan-kawan 
apa yang kalian tunggu? Binasakan 
tawanan ini dengan cepat.
Laksana gelombang samodra orang-
orang bergerak mengepung Soma. 
Meskipun ia masih sempat melawan, 
bahkan melukai beberapa orang anak 
buah Singalodra, akhirnya ia kerepotan 
oleh bacokan-bacokan dan tusukan-
tusukan senjata lawan. Sejurus 
kemudian Soma rebah ke tanah dengan 
luka-luka pada tubuhnya yang 
mengerikan.
Pengecut! Jahanam, teriak 
Sorengrana melihat mengroyokan 
terhadap Soma. Sementara itu Pandan 
Arum memejamkan mata menyaksikan 
kekejaman orang-orang itu.
Lihat ini Sorengrana! Sebentar 
lagi tubuhmu akan seperti itu, ha, ha, 
ha, ha. Singalodra tertawa kegirangan 
seperti anak kecil, menang dalam adu 
jengkerik.
Semua kejadian itu tanpa setahu 
mereka terus diikuti oleh enam pasang 
mata dari tiga jurusan yang berbeda.

Salah seorang dengan bersenjata cambuk 
mengawasi tontonan itu dari atas 
cabang pohon. Dan betapa berdegup 
jantung orang itu bila melihat Si-
ngalodra berjalan ke arah Pandan Arum 
yang terikat pada tonggak itu.
Tapi kau terlalu cantik Arum. Kau 
tak kubiarkan mati asalkan bersedia 
menjadi istriku wong manis! berkata 
begitu Singalodra mendekat lagi untuk 
memegang dagu Pandan Arum yang runcing 
tapi gadis ini secepatnya memalingkan 
kepalanya. 
Cih, aku tak sudi menjadi 
istrimu, penjahat tengik! Lebih baik 
mati berkalang tanah.
Hi, hi, ha, ha, ha, ha. Orang 
cantik kalau marah semakin cantik. 
Eman-eman kalau wong ayu seperti kau 
mati muda. Arum. Percayalah, kau akan 
kujadikan ratu Alas Roban 
mendampingiku. Hi, hi, hi, ha, ha, ha. 
Mata Singalodra dibalik topeng harimau 
itu mengawasi Pandan Arum yang dadanya 
padat itu turun naik menahan marahnya.
Setan. Kalau kalian berani 
mengganggu kami, pasti kalian akan 
binasa! Tuhan akan menghukummu.
Heh, heh, heh, tikus-tikus kecil 
walaupun tak berdaya masih berani 
memberi ancaman?! Bagus, kalau kau 
berkepala batu, akan kuberi pelajaran. 
Sapit Ireng! Cepat tunjukkan ketajaman 
pisaumu kepada gadis itu. Sayat kulit

wajahnya biar hilang cantiknya dan 
sombongnya.
Sapit Ireng segera mencabut dua 
belati panjangnya dan melangkah 
mendekati Pandan Arum. Tapi belum lagi 
sempat mengangkat pisau belatinya, tu-
buhnya jatuh terpelanting seperti 
dihantam petir.
Semua terkejut. Sebentar tubuhnya 
mengejang-ngejang kemudian diam tak 
bergerak. Pada dahi Sapit Ireng 
terpancang dalam-dalam sebuah pisau 
kecil.
Belum habis herannya mereka, 
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu 
bayangan bersenjata cambuk terjun ke 
tengah arena. 
Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Inilah 
yang kutunggu-tunggu. Nah, Mahesa 
Wulung serahkan pusaka cambukmu itu 
untuk kami tukar dengan paman dan 
gadismu itu!
Sudah cukup banyak tingkahmu 
selama ini, Singalodra. Nah, 
sekaranglah kita bertemu muka untuk 
membuat satu perhitungan yang pasti. 
Singalodra tidak menjawab tapi 
langsung menyerang dengan tombaknya 
yang bermata tiga itu dan bergerak 
luar biasa cepatnya seolah-olah, mata 
tombaknya berubah dari tiga menjadi 
ratusan hingga menimbulkan pusaran 
angin dingin. Namun ia terperanjat 
bahwa Mahesa Wulung setiap kali dengan

mudah dapat menghindarkan serangannya 
dengan putaran cambuknya yang dahsyat 
melebihi kecepatan baling-baling. 
Sinar putaran cambuk Mahesa Wulung 
kelihatan menyala biru dengan sambaran 
angin panas.
Beberapa orang yang mencoba 
mengeroyok Mahesa Wulung terkena 
sabetan cambuk Mahesa Wulung, Kiai 
Naga Geni seketika jatuh mati dengan 
badan hangus kehitaman. Melihat ini 
Singalodra berdesir hatinya. Kini 
serangannya lebih terperinci. Selama 
ini belum pernah ada yang sanggup 
melawan ilmu tombaknya
Sekali lagi mereka dibuat 
terkejut dengan melesatnya dua 
bayangan ke tengah arena. Ki Macan 
Kuping tak tinggal diam. Tubuhnya 
meloncat menyambut bayangan yang 
langsung menyerangnya. Begitu pula 
Sima Gereng cepat menghadang bayangan 
yang satu lagi. Kini terjadilah tiga 
lingkaran pertempuran yang berlangsung 
dengan hebatnya. Masing-masing 
mengeluarkan ilmu simpanannya untuk 
menghadapi lawannya. Mereka bertempur 
sampai beberapa jurus.
Sima Gereng yang bersenjata 
penggada dengan berujung bola besi 
berduri itu mendapat perlawanan hebat 
dari lawannya, Gangsiran yang 
bersenjata pisau belati panjang 
melengkung. Lingkaran ketiga adalah

Dadapan dengan ilmu pedangnya Empu 
Paku waja melawan Ki Macan Kuping yang 
bersenjata pedang berukuran luar biasa 
besarnya, menyambar-nyambar dengan 
suara desingan yang menyayat hati.
Belum habis herannya mereka, 
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu 
bayangan bersenjata cambuk terjun ke 
tengah arena.

Ketika matahari makin tinggi dan 
membuat bayang-bayang sepanjang tubuh, 
Mahesa Wulung bergerak makin cepat 
maka sesaat kemudian terasalah 
Singalodra agak terdesak dan keringat 
mengalir dari lubang-lubang kulitnya. 
Suatu ketika cambuk Mahesa Wulung 
membelit tombak trisula Singalodra. 
Keduanya menyalurkan tenaga dalamnya 
untuk menarik senjata lawannya, namun 
Singalodra terpaksa terkejut ketika 
gagang tombaknya yang dipegang terasa 
semakin panas laksana bara api. 
Ternyata keampuhan cambuk Naga Geni 
mulai merayapi tombak trisulanya. 
Dengan satu teriakan nyaring, Mahesa 
Wulung menghentakkan cambuknya hingga 
tombak Singalodra terpental ke udara 
dan patah menjadi dua, membuat 
pemiliknya pucat pasi dan mengutuk 
sejadi-jadinya.
Kemudian sekali lagi cambuk 
Mahesa Wulung melayang menyambar 
mukanya dan topengnya yang selama ini 
memberi kekuatan sakti, pecah terkena 
ujung cambuk Naga Geni. Diam-diam 
Mahesa Wulung mengucap syukur kepada 
Tuhan yang telah memberi kekuatan luar 
biasa itu. Sedang sebaliknya, 
Singalodra makin hilang semangatnya 
karena topeng itu berarti nyawanya 
juga. Mahesa Wulung segera dapat 
mengenal wajah itu sekarang. Tidak

lain adalah Ki Singa yang pernah 
menghadangnya di tepi hutan.
Nah, Singalodra, kau kini tak 
bersenjata lagi. Jangan takut, aku tak 
mau disebut pengecut. Marilah kita 
bermain-main tanpa senjata.
Baru saja Mahesa Wulung selesai 
mengikatkan cambuk Naga Geni 
kepinggangnya, Singalodra telah 
mengambil sikap siaga, dua tangannya 
dipasang lurus ke depan dengan 
memusatkan pikiran dan kekuatan 
dalamnya. Tahu sikap lawannya ini 
Mahesa Wulung yakin bahwa lawannya 
siap melepaskan aji pemungkasnya. 
Tak meleset dugaannya. Dari mulut 
Singalodra keluar geram dan auman 
harimau yang bernada tinggi 
menggetarkan udara sekeliling, bahkan 
lebih dari pada itu, getaran aji 
Senggoro Macan cukup dahsyat. Daun-
daun pohon yang sudah tidak muda lagi 
rontok dari tangkainya. Kelelawar-
kelelawar dan burung-burung 
beterbangan ke udara, malahan satu, 
dua jatuh ke tanah termakan getaran 
itu. Beruntung sekali Mahesa Wulung 
telah dilatih oleh Panembahan Tanah 
Putih untuk menahan getaran-getaran 
yang sekeras geledek, maka dalam 
menghadapi Singalodra ia tak berkecil 
hati biarpun pada gertakan pertama ia 
tergeser ke belakang beberapa jangkah. 
Dalam pada itu ia teringat tiba-tiba

bahwa ia membawa seruling yang 
terselip pada ikat pinggangnya. Maka 
sekejap kemudian ia telah melolos
serulingnya dan mulai meniupnya. 
Suaranya menggema menggelegar 
membelit-belit ke udara dengan nada 
yang tinggi. Kedua getaran yang 
berasal dari dua sumber itu bertemu 
dan mengguntur seperti suara rajanya 
petir. Beberapa kali suara itu beradu 
di udara tapi lama kelamaan getaran 
dari aji Singalodra makin terdesak dan 
punah digulung oleh nada seruling 
Mahesa Wulung. Merasa adjinya 
terkalahkan, Singalodra melesat ke 
depan menyerang lawannya dengan tiba-
tiba. Sayangnya lawannya kali ini 
adalah murid kinasih gemblengan 
Panembahan Tanah Putih, maka Mahesa 
Wulungpun tidak ingin memperpanjang 
waktu lagi, segera disongsongnya 
Singalodra dengan pukulan mautnya 
Lebur Waja. Tubuhnya dimiringkan ke 
kiri mengelakkan terkaman Singalodra 
sekaligus mengirimkan tusukan jarinya 
ke dada lawan. Tubuh Singalodra 
terpental ke belakang dan jatuh ke 
tanah. Pada dadanya terlihat dua buah 
luka bekas tusukan jari Mahesa Wulung 
berwarna merah kehitaman seperti 
terbakar. Tubuhnya menggeliat, mukanya 
membayang warna merah menyala, ke-
mudian berubah putih lalu menjadi 
hijau dan sesaat setelah dari dadanya

terdengar suara keruyuk-keruyuk, 
mulutnya menyeringai mengeluarkan 
darah hitam kental dan matilah 
Singalodra seketika.
Bersamaan dengan itu terdengar 
pula raungan hebat. Kiranya Gangsiran 
telah menyelesaikan pertempurannya. 
Sima Gereng rebah ke tanah dengan be-
lati Gangsiran tertanam pada dadanya. 
Melihat Singalodra murid kinasihnya 
roboh, Ki Macan Kuping meloncat 
meninggalkan Dadapan unjuk menerkam 
Mahesa Wulung dengan sabetan pedang 
pusakanya yang luar biasa besarnya. 
Agak terkejut Mahesa Wulung mendapat 
serangan tiba-tiba ini cepat ia 
memutar tubuhnya dan menangkis pedang 
yang hampir membabat kepalanya itu 
dengan seruling yang masih dipegangnya 
pada tangan kiri. Satu benturan keras 
terdengar disusul terpentalnya tubuh 
Mahesa Wulung ke atas dan seruling di 
tangannya pecah berkeping-keping. 
Demikian pula pedang Ki Macan Kuping 
terpental jatuh, tapi tubuhnya tetap 
tegak berdiri hanya bergeser sedikit 
ke belakang. Memang hebat Ki Macan 
Kuping, hanya dialah sanggup bertahan 
terhadap pukulan Lebur Waja. Mahesa 
Wulung yang terpental itu masih sadar 
akan dirinya hingga ia tiba kembali ke 
atas tanah dengan kaki tegak dan cepat 
bersiaga ini sangat mengherankan Ki 
Macan Kuping.

Hmm, memang tangguh anak muda 
ini. Biasanya siapa yang kena bentur 
tenagaku akan terpental dan hancur 
tubuhnya. 
Pandangan Mahesa Wulung masih 
berkunang-kunang pening. Hal ini 
terlihat oleh Ki Macan Kuping. Cepat 
ia meraba sesuatu pada ikat 
pinggangnya lalu dilemparnya ke arah 
Mahesa Wulung.
Hih! Mampus kau bocah bandel. Di 
saat yang tegang itu satu bayangan 
berkelebat mendekap melindungi tubuh 
Mahesa Wulung.
Ahhh! terdengar teriakan tertahan 
dari mulut orang itu.
Dimas Mahesa Wulung, hati-
hatilah. Dia memakai jarum beracun.
Kakang Gangsiran! Kakang 
Gangsiran! teriak Mahesa Wulung sambil 
mengguncang tubuh Gangsiran yang telah 
lemas. Beberapa jarum berbisa dari 
lemparan Ki Macan Kuping telah 
bersarang ke dalam tubuhnya, berjalan 
mengalir mengikuti peredaran darahnya. 
Bertambah marah Ki Macan Kuping 
melihat Mahesa Wulung masih segar-
bugar, cepat ia memungut pedangnya 
yang menggeletak di tanah dan segera 
menyerang Mahesa Wulung kembali. 
Tetapi tak terduga-duga satu bayangan 
putih melesat memotong jalannya dan 
pedangnya bergetar hebat kemudian

lepas setelah tertimpa sabetan tongkat 
yang ujungnya bercabang dua.
Macan Kuping! Akulah yang akan 
menghadapimu. Tua sama tua.
Heh, heh. Kau Bayu Sekti telah 
sekian lama mendekam di dalam 
kandangmu, kini masih ingin bermain-
main denganku? seru Ki Macan Kuping 
membuka serangannya. Keduanya 
tenggelam dalam pusaran angin yang 
menderu akibat gerakan mereka saling 
terkam menerkam. Kalau gerak Ki Macan 
Kuping seperti harimau, tubuh 
Panembahan Tanah Putih yang ringan 
seperti kapas itu menyerangnya, 
mematuk-matuk seperti burung garuda.
Bersamaan dengan munculnya 
Panembahan Tanah Putih, pasukan 
Asemarang yang bergerak dengan gelar 
tapal kuda itu mengepung sarang 
gerombolan Alas Roban. Kedua ujungnya 
masing-masing dipimpin oleh Kerpu dan 
Tambakan, sedang bagian tengah di-
pimpin oleh Panembahan Tanah Putih 
yang kini telah terlibat pertempuran 
dengan Ki Macan Kuping.
Sementara itu pula Dadapan telah 
melepaskan tali-tali yang mengikat 
tubuh Ki Sorengrana dan Pandan Arum 
lalu keduanya dibawa ke tempat yang 
aman. Gemerincing senjata beradu 
menggema di dalam hutan Alas Roban. 
Melihat beberapa tokoh-tokoh 
andalannya mati, laskar gerombolan

hitam Alas Roban kehilangan 
semangatnya. 
Mahesa Wulung setelah melihat 
Gangsiran jatuh terkulai cepat-cepat 
membawanya, ke bawah sebuah pohon dan 
menyandarkannya di situ. Tubuhnya 
melesat kembali ke tengah arena 
pertempuran itu dengan memutar 
cambuknya. Meskipun beberapa orang 
datang menyerangnya bersama-sama, 
namun dengan mudahnya dapat merobohkan 
mati mereka satu demi satu. Benar-
benar ia mengamuk setelah tahu, kalau 
Gangsiran terluka. Begitulah beberapa 
saat kemudian laskar gerombolan Alas 
Roban dapat ditumpas, beberapa orang 
yang menyerah ditawan oleh laskar 
Asemarang.
Tahu bahwa ia tak mungkin 
memenangkan pertempuran itu, Ki Macan 
Kuping cepat melesat ke belakang untuk 
kabur. Tapi sebelum itu Panembahan 
Tanah Putih sempat mengirimkan pukulan 
tongkatnya ke dada kiri Macan Kuping 
yang seketika terlentang jatuh dengan 
mulutnya mengeluarkan darah merah. 
Memang Ki Macan Kuping punya kekuatan 
luar biasa. Biar tenaganya telah 
hilang separo, tapi ia masih sempat 
kabur dengan satu loncatan panjang ke 
dalam semak-semak, tubuhnya lenyap 
dalam sekejap mata.
Awas kalian! Tunggulah beberapa 
waktu lagi aku datang untuk menebus

kekalahanku ini! teriak ancaman Ki 
Macan Kuping menggema. Melihat 
musuhnya lari, Panembahan Tanah Putih 
cuma tersenyum. Kemudian ia berjalan 
kearah Ki Sorengrana dan Pandan Arum 
yang duduk dengan lemas. Dengan usapan 
tangannya, ia membebaskan pengaruh 
totokan jalan darah pada tubuh Ki 
Sorengrana dan Pandan Arum.
Sang Panembahan, cepatlah. Itu di 
sana kakang Gangsiran terluka! seru 
Dadapan yang datang dengan tergopoh-
gopoh. Merekapun berlompatan ke sana 
mengikuti Dadapan. Di balik sebuah 
semak terlihatlah pemandangan yang 
mengharukan. Mahesa Wulung duduk dan 
pada pangkuannya terbaring tubuh Gang-
siran yang pucat pasi. Orang tua itu 
dengan teliti memeriksa dan mencoba 
mengobati tubuh Gangsiran yang 
terluka, tapi matanya tampak sayu dan 
ia menggelengkan kepalanya.
Terlambat sudah. Racun ini 
terlalu keras kerjanya... kata orang 
tua itu hingga membuat orang-orang di 
situ terkejut, lebih-lebih Mahesa 
Wulung sendiri yang merasa telah 
diselamatkan nyawanya oleh Gangsiran.
Guru biarlah ....! Aku telah 
menunaikan tugasku… dimas Mahesa 
Wulung telah selamat ... apakah guru 
mengampuni .... semua kesalahan-
kesalahanku

Anakku Gangsiran. Kau tak lagi 
mempunyai kesalahan-kesalahan. Sejak 
lama aku telah mengampunimu.... 
Panembahan Tanah Putih berkata dengan 
bercucuran air matanya. Demikian pula 
Mahesa Wulung, Dadapan, Sorengrana, 
Pandan Arum dan lainnya.
Kalau demikian ... aku merasa 
lapang ... Guru, aku pergi sekarang 
selamat tinggal dimas Mahesa Wulung 
... dan semuanya ... aku pamit ... aku 
kembali kepadaNya ... hhhh!
Gangsiran memejamkan mata, 
senyumnya tersungging pada bibirnya 
seolah-olah ia merasa berbahagia 
sekali. Ya, ia kini berbahagia jiwanya 
telah kembali ke alam baka. Gangsiran 
sudah tidak ada lagi di dunia. Pandan 
Arum yang berperasaan halus itu tak 
tahan melihat pemandangan yang 
mengharukan itu. Ia merebahkan kepala 
di dada Mahesa Wulung yang bidang itu. 
Badannya lemah, cepat Mahesa Wulung 
yang masih terharu dan bingung itu 
menangkap tubuh Pandan Arum sebelum ia 
terkulai ke tanah. Dan ternyatalah
bahwa Pandan Arum pingsan.
Pandan! Pandan Arum! Kembali 
Panembahan Tanah Putih sibuk, ia 
memijit-mijit kening gadis itu dan 
dikeluarkan sebuah cupu dari saku 
jubah putihnya. Serbuk putih dituang 
sedikit ke atas tangannya dan 
digosokkan ke dahi Pandan Arum, lalu

sedikit lagi diciumkan ke hidung gadis 
itu dengan sapu tangan yang putih 
bersih. Tak lama kemudian mata Pandan 
Arum tampak bergerak-gerak. Ia telah 
mulai sadar. Atas anjuran orang tua 
itu dipapahlah Pandan Arum ke sebuah 
rumah di tempat itu untuk beristirahat 
seperlunya.
Begitulah mereka istirahat 
sejenak di rumah-rumah perkampungan 
gerombolan hitam Alas Roban. Berkat 
penyelidikan yang teliti dapatlah 
diketemukan beberapa bukti-bukti yang 
menunjukkan adanya hubungan antara 
gerombolan Alas Roban dengan bajak 
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa, 
berupa surat-surat, mata uang dan 
beberapa perhiasan.
Pada suatu sore yang cerah, 
tampaklah iring-iringan laskar 
berjalan menyusuri pantai utara menuju 
ke timur. Dari jauh masih membayang 
hutan Alas Roban dengan deretan pohon-
pohon karet tahun dan sayup-sayup 
terdengar hempasan gelombang laut uta-
ra. Ketika mereka memasuki wilayah 
Asemarang, dari arah timur terlihatlah 
debu berkepul ke udara dan satu 
bayangan orang berkuda mendekati 
mereka. Ia mengenakan seragam prajurit 
Demak dengan baju lengan panjang 
putih. Dengan cekatan ia menghentikan 
kudanya tepat di muka barisan laskar 
Asemarang.

Ahh, ini kakang Kerpu dan 
Tambakan, selamat sore kakang! sapa 
orang itu dengan mengangguk hormat 
kepada dua orang berkuda yang 
terdepan.
E, e, e, ini adi Jagayuda. 
Selamat sore. Kau kelihatan tergopoh-
gopoh adi. Adakah sesuatu yang pen-
ting?
Betul kakang, aku diutus 
menyampaikan surat ini oleh Panglima 
Faletehan untuk Kakang Mahesa Wulung. 
Nah itulah dia yang berkuda di 
tengah barisan ini. Sampaikanlah 
secepatnya surat itu kepadanya. 
Jagayuda segera memacu kudanya ke 
tengah barisan.
Kakang Mahesa Wulung, aku diutus 
menyampaikan surat ini untukmu. 
Terimalah. 
Jagayuda memberikan gulungan 
kertas yang berciri stempel kerajaan 
Demak kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih adi. Mahesa Wulung 
segera membuka surat itu dan 
membacanya. Tampak ia menganggukkan 
kepala, pertanda bahwa ia mengerti 
akan isinya.
Sang Panembahan, paman Sorengrana 
dan adi Pandan Arum, maafkanlah bahwa 
saya terpaksa tidak dapat menyertai 
perjalanan yang menyenangkan ini 
karena saya harus mendahului pulang ke

Demak. Ada tugas baru yang amat 
penting.
Tak apalah angger. Kami sudah 
tahu akan tugas yang terpikul oleh 
angger Mahesa Wulung. Seorang perwira 
lebih mendahulukan kepentingan negara 
dari pada kepentingan diri pribadi. 
Bukankah begitu angger? Nah, selamat 
jalan angger. Doa restu kami 
menyertaimu. Semoga Tuhan memberkahi 
kita semua. Panembahan Tanah Putih 
memberikan salamnya kepada Mahesa 
Wulung dan keduanya berjabat tangan 
dengan eratnya. Setelah itu menyusul 
pamannya Ki Sorengrana dan terakhir ia 
menjabat tangan Pandan Arum. Terasa 
getaran aneh mengalir lewat tangannya. 
Keduanya seperti terkunci mulutnya tak 
mampu berkata panjang lebar. Hanya 
degupan jantungnya yang berkata-kata : 
Selamat jalan, kakang!
Selamat tinggal adi Pandan Arum. 
Kita akan bertemu lagi! kata Mahesa 
Wulung sambil menyentakkan tali kekang 
kudanya keluar dari barisan.
Selamat jalan adi Mahesa Wulung! 
teriak Dadapan dari ekor barisan 
sambil melambai-lambaikan pedangnya.
Selamat tinggal semuanya! teriak 
Mahesa Wulung dengan memacu kudanya 
bersama Jogoyudo meninggalkan barisan 
itu menuju ke arah timur. Sebentar 
saja keduanya sudah merupakan dua 
titik kecil dengan debu berkepul-kepul

yang makin lama makin lenyap. Mata 
Pandan Arum mengikutinya sampai dua 
titik itu lenyap dari pandangan 
matanya. Tak terasa pipinya telah 
basah oleh air mata yang mengalir dari 
sudut matanya yang indah itu.
Ceritera ini berakhir dengan 
tumpasnya gerombolan hitam Alas Roban. 
Tapi apakah tugas baru bagi Mahesa 
Wulung dan bagaimana dengan Ki Macan 
Kuping yang lari itu?
Nah tunggulah ceritera berikutnya 
"RAHASIA BARONG MAKARA" yang tak kalah 
hebatnya. Pembaca akan menjumpai lagi 
Mahesa Wulung yang perkasa itu.


                         T A M A T



Share:

0 comments:

Posting Komentar