(Seri Naga Geni ke 4)
HILANGNYA EMPU BASKARA
Oleh W.H. Wibowo
Gambar kulit dan dalam: Arie
SATU
Hilangnya Empu Baskara benar-benar membikin
cemas siapa saja di daerah Demak ini. Sebagai
seorang ahli pembikin senjata-senjata ampuh, ia
sangat dihormati dan dibanggakan oleh negara dan
segenap rakyatnya. Maka tak heranlah jika
menghilangnya Empu Baskara ini menyebabkan
kesuraman mereka di dalam kehidupannya sehari-
hari.
Di Balai Ksatrian di kota Demak, hari itu kelihatan
kesibukan-kesibukan. Beberapa perwira tampak
berkumpul dan bercakap-cakap, antara lain Mahesa
Wulung, Ranujaya, Jagayuda, Ki Tambakbaya, serta
beberapa orang lainnya. Sedang Ki Camar Seta,
pendekar tua itu pun tampak ikut duduk bersama
mereka.
“Kiranya Andika semua sudah tahu, siapa Empu
Baskara ini. Beliau telah menghilang dari rumahnya
tanpa seorang pun yang tahu,” kata Ranujaya
memulai bicaranya. “Kita telah gagal mencari jejak-
jejak beliau. Yang membuat kita heran dari peristiwa
ini, ialah saat-saat menghilangnya Empu Baskara
dari Demak. Beliau telah hilang sepekan kemudian
setelah ia berhasil menemukan sebuah senjata
ampuh yang baru pertama kali ini pernah diciptakan
oleh para empu di tanah Jawa.”
“Sebuah senjata ampuh, kata Kakang tadi?
Apakah ia berujud keris, tombak, pedang atau macan
lainnya?” Mahesa Wulung berkata menyela.
“Bukan! Ia tidak berbentuk benda pusaka yang
dapat dipegang untuk bertempur, tetapi bentuknya
lebih aneh lagi dan sangat sederhana. Nah, sebaiknya
aku akan menceriterakan selengkapnya tentang
Empu Baskara dan hasil-hasil penemuan yang telah
dibuatnya secara tekun dan menakjubkan.
Kita kembali beberapa bulan yang lewat di tahun
yang telah lalu. Hampir saja bencana paceklik
melanda daerah Demak dan juga daerah-daerah
sekitarnya. Bencana yang ditimbulkan oleh ribuan
belalang yang ganas dan rakus telah menghabiskan
berpetak-petak tanaman jagung dan berbahu-bahu
tanaman padi serta tanaman palawija lainnya. Jika
bencana ini tak teratasi, maka bahaya kelaparan
akan muncul di mana-mana.
Masalah bencana kelaparan atau pun gangguan
hama belalang tadi tidak dapat dihadapi dan
ditanggulangi oleh kuatnya prajurit yang bersenjata
lengkap. Hama tadi datang secara bergelombang dan
tiba-tiba datang di sebuah tempat tanpa tanda-tanda
yang dapat kita ketahui terlebih dulu. Nah, di dalam
saat yang sangat genting inilah Empu Baskara telah
menunjukkan suatu hasil ramuannya yang benar-
benar menakjubkan kita semua. Ia telah berhasil
mendapatkan senjata ampuh guna membinasakan
belalang-belalang yang rakus tadi. Sesudah mengunci
diri dalam kamar kerjanya berhari-hari, iapun
berhasil dan telah pula mencoba senjata ampuhnya
itu.
Pada suatu hari aku telah berkunjung ke
rumahnya untuk melihat senjata itu. Ternyata
senjata itu terbentuk serbuk-serbuk putih seperti
tepung halusnya, yang dipasang pada mata anak
panah.”
“Hanya serbuk-serbuk putih saja?” Mahesa
Wulung berseru kaget.
“Begitulah, Adi. Hanya serbuk-serbuk putih saja.
Aku pun heran mula-mula, tetapi setelah aku
diajaknya mencoba, keherananku tadi berubah
menjadi kekaguman yang tak ada habisnya. Di
sebuah ladang yang luas dan diserang oleh ribuan
belalang pada saat itu, aku dan Empu Baskara telah
mencoba pusaka baru itu. Serbuk-serbuk putih tadi
telah dimasukkan ke dalam mata anak panah yang
dibuat seperti tabung bulat yang runcing dan
berlobang.
Sesaat kemudian anak panah bermata aneh tadi
aku tembakkan ke udara, di atas hamparan ladang
yang diserang oleh ribuan belalang itu. Begitulah,
anak panah tadi melesat ke udara dengan
kencangnya. Sesaat kemudian setelah bergeser
dengan udara, anak panah yang bertabung berisi
serbuk putih itu menyala biru dan mengeluarkan
asap yang selanjutnya menyebar di udara di atas
ladang tersebut.
Apa yang terjadi kemudian sungguh-sungguh
mengerikan. Asap putih tadi kemudian bercampur
udara dan bagaikan kabut embun, turun ke bawah
secara pelahan-lahan. Mendadak belalang-belalang
tadi menjadi biru hangus lalu mengering dan mati.
Dalam pada itu terbayang angan-anganku sendiri,
jika kabut dari serbuk putih tadi menimpa
segerombolan manusia, maka pastilah orang-orang
tersebut akan menjadi biru hangus dan mati dengan
tubuhnya yang mengering, serupa dengan belalang-
belalang itu.
Hih, apa yang aku bayangkan ini pastilah tidak
hanya membuat ngeri diriku sendiri, tapi juga Andika
semua pastilah berperasaan yang sama.”
“Hmmm, memang hebat pusaka yang telah dibuat
oleh Empu Baskara itu. Sebatang anak yang pada
ujung matanya diisi oleh serbuk-serbuk putih dan
mampu memusnahkan makhluk-makhluk hidup
dalam waktu yang tidak lama,” ujar Ki Camar Seta
saking kagumnya.
“Justru kehebatan pusaka itulah yang membuat
kami cemas setelah Empu Baskara hilang dari
Demak. Kami menguatirkan seandainya Empu
Baskara diculik oleh orang-orang dari gerombolan
hitam yang telah sekian kali mencoba merongrong
kewibawaan Demak. Pastilah mereka tidak akan
kepalang-tanggung menggunakan pusaka itu untuk
melawan kita,” Ranujaya berkata dengan tenangnya,
namun wajahnya membayangkan perasaan hatinya
yang cemas.
“Maka kepada Adi Mahesa Wulung kami harapkan
untuk segera mencari Empu Baskara yang hilang
itu.”
“Daerah manakah yang telah Kakang Ranujaya
selidiki untuk mencari jejak-jejak Empu Baskara ini?”
terdengar Mahesa Wulung bertanya.
“Daerah selatan dan barat Demak sampai ke
daerah Asemarang telah kujelajahi, tetapi tak ada
petunjuk dan tanda-tanda di mana Empu Baskara
berada. Sedang daerah utara dan timur sampai ke
Gunung Muria baru kami mulai untuk
menyelidikinya. Kemungkinan besar di daerah inilah
Adi Mahesa Wulung dapat memulai dengan
penyelidikannya.”
“Baiklah, Kakang Ranujaya. Aku akan berusaha
mencari Empu Baskara dengan sebaik-baiknya.
Kapankah aku dapat memulai dengan tugasku ini?”
“Sekarang juga dapat kau mulai dengan tugasmu,
Adi Mahesa Wulung. Dan semua keperluan untuk
tugasmu ini telah disiapkan. Kami berdoa dan
berharap semoga tugas Andika ini berhasil dengan
baik dan memuaskan. Ingatlah, bahwa Empu
Baskara sangat penting artinya bagi keselamatan
negara.”
“Terima kasih, Kakang. Ijinkanlah aku berangkat
sekarang juga.” Mahesa Wulung mengangguk hormat
kepada semua sahabatnya dan mereka pun
membalasnya berbareng.
Ki Ranujaya pun rupanya sudah tidak ada
keperluan lain untuk pertemuan di hari itu, maka ia
pun segera berdiri. “Nah, kiranya tugas telah selesai
kita bagikan, dan pertemuan ini kita akhiri sampai di
sini. Adi Jagayuda, Andika boleh berangkat bersama-
sama Adi Mahesa Wulung. Bantulah ia sebaik-
baiknya.”
“Baik, Kakang. Aku siap berangkat bersama
Kakang Mahesa Wulung.”
“Dan Kakang Camar Seta, Andika baru saja tiba
dari Pulau Karimata setelah bertahun-tahun
mengembara di sana. Maka untuk sementara waktu,
Kakang Camar Seta aku persilahkan untuk
beristirahat di Demak.”
“Terima kasih, Adi Ranujaya. Memang aku telah
lama meninggalkan kota Demak, sehingga keadaan
yang sekarang pastilah sudah jauh berbeda dengan
keadaan waktu aku tinggalkan dahulu.”
“Ha, ha, ha. Aku merasa senang jika Ki Camar Seta
bersedia aku antar berkeliling melihat-lihat
keindahan kota Demak sekarang ini.”
Mereka, para perwira Demak yang berunding itu,
telah meninggalkan Balai Ksatrian. Dengan langkah
yang tegap penuh kepercayaan diri sendiri, mereka
memulai tugasnya yang baru yang benar-benar harus
diselesaikan dengan sempurna.
Mahesa Wulung dan Jagayuda segera mengambil
kudanya dan tak lama kemudian merekapun telah
memacu kudanya ke arah timur. Matahari bersinar
dengan ganas, namun awan-awan mendung hitam
telah berarak-arak menghalangi sinarnya, sehingga
suasana menjadi gelap suram, seperti suramnya
kehidupan di Demak akibat menghilangnya Empu
Baskara yang mereka bangga-banggakan.
Debu dan kerikil berloncatan terkena derap kaki
kuda Mahesa Wulung dan Jagayuda yang dipacu
seperti angin. Sebentar saja mereka melewati pintu
gerbang timur kota Demak dan semakin jauh,
keduanya tampak semakin kecil, seolah-olah dua titik
hitam yang berkejaran.
Menjelang senja temurun dengan perlahan-lahan,
Mahesa Wulung dan Jagayuda telah mendekati
daerah Kudus. Keduanya menghentikan kudanya
yang masih berlari dengan kencang. Kini kedua orang
berkuda berdampingan dan berjalan dengan
seenaknya.
“Adi Jagayuda, apakah Adi akan terus langsung ke
Jepara atau singgah bersama saya di kota Kudus
nanti?”
“Saya kira akan lebih baik jika saya meneruskan
perjalananku ke Jepara, agar tugas ini dapat kita bagi
berdua. Kakang Mahesa Wulung sementara tinggal di
Kudus dan memulai penyelidikannya dari kota ini,
sedang saya akan memulai dari sebelah utara, dari
kota Jepara,” ujar Jagayuda sambil menatap Mahesa
Wulung seperti meminta persetujuan. “Bagaimana,
Kakang?”
“Itu bagus. Aku setuju sekali dengan siasatmu, Adi
Jagayuda. Dan selanjutnya, tunggulah aku di kota
Jepara.”
“Baik, Kakang. Kita berpisah saja di pertigaan jalan
itu. Saya terus menuju ke utara dan Kakang masuk
ke kota Kudus,” Jagayuda segera melecutkan
cemetinya ke perut kudanya dan kuda itupun segera
menderap. “Selamatlah, Kakang Mahesa Wulung!”
“Selamat jalan, Adi”.
Mahesa Wulung melambaikan tangannya ketika
sahabatnya itu telah berpacu mendahuluinya, dan
membelok ke utara pada pertigaan jalan di mukanya.
Kepulan debu yang timbul akibat derapan kaki kuda
Jagayuda semakin menjauh, dan sebentar kemudian
lenyaplah ia dari pandangan mata Mahesa Wulung
setelah Jagayuda menerobos pohon kenari yang
menaungi jalan ke utara itu.
kini Mahesa Wulung berkuda sendirian. Kesunyian
segera terasa mencengkam dirinya, ketika ia berkuda
seorang diri di gelap senja dan memasuki kota
Kudus.
Beberapa orang tampak berjalan membawa
pikulan dan sesekali lewat pula orang-orang yang
berkuda di jalan itu. Hampir setiap kali ia berpapasan
dengan orang yang lewat, Mahesa Wulung
memperhatikan wajah-wajah mereka. Namun tak
seorang pun yang mirip dengan tanda-tanda serta
ciri-ciri yang menunjukkan bentuk tubuh Empu
Baskara.
Mahesa Wulung benar-benar merasa kesulitan
dalam tugasnya kali ini, meski ia sudah diberi
keterangan-keterangan tentang bentuk tubuh dan
wajah Empu Baskara dari Ki Ranujaya. Bahkan lebih
dari itu, Mahesa Wulung sendiri pernah berkenalan
dengan Empu Baskara beberapa tahun yang telah
lalu.
Setelah Mahesa Wulung melewati menara masjid
Kudus yang terkenal itu, sampailah ia di sebuah
warung penginapan. Segera ia turun dari punggung
kudanya dan menambatkannya pada sebuah tonggak
kayu yang terpancang di depan warung.
Mahesa Wulung segera masuk ke dalam dan
menyewa sebuah kamar untuk ditempatinya
beberapa hari lamanya. Warung penginapan ini
ternyata banyak sekali pengunjungnya, dan mereka
satu per satu diawasi oleh mata Mahesa Wulung yang
tajam. Namun tak seorang pun yang tampak
mencurigakan. Sampai saat itu Mahesa Wulung
belum menemukan petunjuk dan jejak-jejak dari
menghilangnya Empu Baskara. Tetapi pada malam
berikutnya, ketika ia berjalan-jalan menghirup udara
malam, Mahesa Wulung secara tiba-tiba berhenti
pada sebuah sudut rumah yang gelap. Tidak jauh
dari tempat ia bersembunyi, berdirilah dua orang
yang bercakap-cakap amat pelan dan menimbulkan
kesan yang mencurigakan bagi Mahesa Wulung.
“Kakang Kalapati, kita sekian lama mencari jejak
Empu Baskara, tetapi sampai saat ini kita belum
menemukannya. Apakah usaha ini akan kita
teruskan?”
“Hah, kau jangan lekas putus asa, Adi
Dandangmala. Apakah kau sudah lupa dengan kata-
kata pemimpin kita. Jorangas? Bukankah kau sendiri
telah mendengar bahwa tugas ini dipercayakan
kepada kita? Dengarlah, aku siang tadi telah
menjelajahi segenap warung penginapan di kota ini,
dan aku mulai mencium jejak Empu Baskara di
daerah timur kota.”
“Tunggu dulu, Kakang Kalapati. Dengarlah! Angin
malam yang bertiup dari selatan telah membawa
dengus nafas manusia,” terdengar oleh Mahesa
Wulung seorang yang bertubuh pendek berkata
memperingatkan temannya. Mahesa Wulung tambah
berhati-hati.
“Yah, benar pula, Adi Dandang. Aku juga
mendengar dengus nafasnya. Rupanya di sudut gelap
itu ada yang mendengar dan memata-matai
percakapan kita.”
“Hmm, mereka betul-betul bertelinga tajam!”
Mahesa Wulung mengeluh karena tempatnya
bersembunyi itu memang searah dengan tiupan
angin, maka tak bahwa kedua orang yang tengah
diawasi itu dapat mendengar dengus nafasnya.
“Jangan takut, Adi Dandangmala. Biarlah aku
yang akan memberi pelajaran kepada si mata-mata
itu.” Sambil berkata, orang yang dipanggil Kalapati
dan bertubuh kekar itu secara tiba-tiba menyabetkan
tangannya dan untunglah Mahesa Wulung telah
bersiaga sejak tadi. Begitu ia berkelit ke bawah, lima
buah sinar menancap di dinding kayu itu.
“Paku-paku baja!” desis Mahesa Wulung.
“Heh, heh, heh, heh,” Mahesa Wulung
memperdengarkan ketawanya yang bernada seram.
“Permainan paku bajamu kurang cermat dan terlatih,
teman. Nah, sekarang terimalah kembali milikmu
ini.” Mahesa Wulung mencabut dua batang paku
yang menancap di dinding kayu, kemudian
melemparkannya kepada kedua orang yang masih
tertegun.
Begitu dua batang paku itu menyambar, kedua
orang itu telah lebih dulu mengambil langkah seribu
sambil memaki-maki, dan membuat Mahesa Wulung
tersenyum geli melihatnya.
***
Ketika matahari bertambah tinggi, kota Kudus
makin bertambah ramai. Seorang bertubuh pendekar
dan gemuk dengan mengenakan sebuah caping,
tampak memasuki sebuah warung penginapan.
Sepintas lalu orang akan tersenyum bila melihat
orang bercaping ini. Mengapa? Ya, orang ini berkumis
terlalu tebal dan tidak seimbang dengan bentuk
tubuhnya. Terlalu tebal dan lebat, ditambah lagi
jenggotnya yang panjang membuat orang merasa
ragu-ragu, jika itu semua adalah barang asli.
Tanpa menggubris orang-orang di situ, setelah ia
memesan kamar, orang inipun cepat melangkah ke
arah kamarnya. Begitu sampai di dalam kamarnya,
dengan cepat-cepat ia menutup pintu kamar serapat-
rapatnya dan sekaligus merebahkan dirinya di balai-
balai. Butir-butir peluh menitik pada dahinya, dan
sebelum ia mengalir, buru-buru diusapnya dengan
lengan bajunya. Si gemuk pendek ini menghela nafas
dalam-dalam, seolah-olah baru terbebas dari bahaya.
“Hmmm, baru kali ini aku sempat beristirahat
dengan tenang,” gumam si gemuk pendek. “Mereka
memang mengejar-ngejarku agar menyerahkan
senjata ciptaanku ke tangan mereka. Akh, sebetulnya
aku dapat melaporkan dan meminta bantuan dari
prajurit-prajurit Demak agar melindungi diriku dari
gerombolan Jorangas itu. Tetapi aku tak ingin
merepotkan mereka, apalagi sampai jatuh korban
karena membelaku. Biarlah kali ini Empu Baskara
akan minggat dari daerah Demak agar hidupku lebih
tenang dari ancaman penjahat-penjahat itu.”
Orang yang gemuk pendek itu kemudian duduk
kembali dan mengusap mukanya dengan selembar
saputangan. Setelah itu ia meraba kumisnya dan
menariknya lepas, lalu janggutnya pun
ditanggalkannya!
“Hehh, untunglah kumis dan jenggot palsu ini
cukup sempurna untuk menyembunyikan mukaku
yang sesungguhnya, sehingga orang-orang tak satu
pun yang mengenalku sebagai Empu Baskara yang
terkenal itu. Heh, heh, heh, Persetan! Aku kadang-
kadang benci dengan diriku sendiri yang telah
berhasil menciptakan senjata panah ‘Braja Kencar’.
Senjataku yang mula-mula kuciptakan untuk
membasmi belalang ternyata menimbulkan gagasan
lain dan aku yakin bahwa penjahat-penjahat itu
bermaksud menyelewengkan kedahsyatan senjataku
tadi untuk pekerjaan-pekerjaan mereka yang
terkutuk. Melawan kekuasaan Demak, inilah tujuan
mereka yang pasti.”
Sekali Empu Baskara menarik nafas lega, lalu
dituangkannya air kendi yang dingin ke dalam
cangkir tembikar yang telah tersedia.
“Hmm, dadaku kini menjadi tenang setelah minum
air sejuk ini. Mudah-mudahan mereka tak akan
mengejarku lagi.”
Meskipun telah merasa aman, Empu Baskara tetap
berhati-hati menjaga dirinya. Seluruh kamar
diperiksanya satu persatu, tetapi ternyata tak ada
yang mencurigakan. Lubang-lubang dinding yang
memungkinkan orang mengintai dirinya dari luar tak
ditemukannya pula. Kini ia merebahkan dirinya ke
atas balai-balai.
Rasa penat dan pegal-pegal tubuhnya sedikit demi
sedikit mulai berkurang setelah ia berhari-hari
menempuh perjalanan yang jauh.
Ia berjalan dari Demak ke Kudus untuk
menghindari pengejaran kaki tangan gerombolan
Jorangas. Hutan-hutan dan semak-semak liar telah
diterobosinya selama perjalanan itu agar tak seorang
pun yang melihat kepergiannya dari kota Demak yang
dicintainya.
Mengenang-ngenang kejadian-kejadian yang telah
lewat itu, terasa matanya semakin bertambah berat
dan mengantuk, maka sebentar kemudian Empu
Baskara itupun tertidur dengan pulasnya. Wajahnya
yang penuh keramahan itu kelihatan sangat tenang
dengan aliran nafasnya yang teratur.
***
DUA
Pada suatu sore, Empu Baskara duduk di ruangan
warung itu menghadapi sebuah meja yang berisi
sepiring ketela rebus dan secangkir kopi panas.
Ia baru merasa aman sungguh-sungguh setelah
tiga hari ia bermalam di warung itu dan tidak seorang
pun yang mencurigainya.
Juga ia tak merasa curiga sedikitpun ketika dua
orang yang berkuda berhenti di warung itu. Selain
kuda tunggang, kedua orang ini membawa pula dua
ekor kuda beban yang dimuati beberapa karung.
Kedua tamu baru itu tampak olehnya memesan
kamar kepada si pemilik warung penginapan. Setelah
menambatkan kuda-kuda itu di kandang belakang,
mereka masuk kembali sambil membawa karung-
karung itu ke dalam kamar.
Empu Baskara terus saja mengawasi kedua tamu
itu, serta karung-karung yang dibawanya. Beberapa
butir putih tercecer dari lubang karung itu.
“Eh, mereka itu pedagang-pedagang beras
rupanya,” pikir Empu Baskara karena melihat butir-
butir putih yang tercecer tadi. Kini, kopi panas di
depannya direguknya beberapa kali.
Beberapa saat kemudian, dilihatnya seorang di
antara tamu-tamu baru tadi keluar kembali dan
duduk di ruangan warung, tidak jauh dari tempat
duduknya. Suatu ketika, Empu Baskara melihat ke
arah orang baru yang bertubuh pendek dan kali ini
betul-betul membuat Empu Baskara terkejut, bahkan
ia merasa ingin menjerit, karena orang baru itu pun
ternyata mengawasi dirinya pula.
Empu Baskara cepat-cepat berusaha menguasai
dirinya, sambil menyeruput lagi air kopinya. Tapi
dasar sial, saking tergesa-gesanya ia minum kopi itu
membuatnya tersedak dan batuk-batuk sampai
belepotan membasahi kumis dan jenggot palsunya.
Lebih sial lagi bagi Empu Baskara, sebab ketika ia
berusaha membersihkan kumis dan jenggotnya dari
air kopi itu, tiba-tiba dilihatnya orang baru yang
bertubuh pendek itu melongo mulutnya.
Empu Baskara pun menjadi kaget. Cepat ia
meraba kumis palsunya. “Ah, persetan! Kurang ajar.”
Kumis palsunya ternyata menjadi miring letaknya.
“Asem tenan!”
Cepat-cepat ia membetulkan kembali letak kumis
palsunya itu. Dan tiba-tiba hati Empu Baskara
merasa berdebar-debar, karena si orang pendek itu
terus saja mengawasi dirinya. Maka iapun segera
bangkit dari tempat duduknya serta melangkah
cepat-cepat ke kamarnya.
Makin mendekati kamarnya, terasa jantungnya
menjadi semakin berdetak keras. Dan betapa
kagetnya ketika pintu kamar itu dijumpainya dalam
keadaan terbuka. Seseorang tampak olehnya sedang
menggeledah-geledah isi kamar. Ya, orang itu yang
bertubuh kekar adalah pedagang beras yang
dilihatnya tadi.
Empu Baskara melihat perbuatan orang itu
menjadi naik darahnya. Betapa tidak, kamar itu telah
dikuncinya dan tak seorang pun yang berhak
menggeledah apalagi membongkar-bongkarnya.
Perbuatan itu sama saja dengan menginjak-injak
harga diri dan kehormatannya. Maka tanpa sadar
akan bahaya yang tengah mengintai dirinya, Empu
Baskara melompat ke dalam kamarnya serta
menggertak orang itu dengan keras.
“Heei keparat, kowe! Apa maksudmu masuk
kemari serta membongkar barang-barangku di dalam
kamar ini, ha?!”
Persis kera yang kena lempar, orang yang kena
gertak itu menjadi geragapan menoleh kesana kemari
dengan wajah yang kepucatan. Namun kekagetannya
itu hanyalah berjalan sesaat saja, sebab orang ini
yang bertubuh kekar dan bernama Kalapati adalah
salah satu tokoh gerombolan hitam Jorangas yang
sangat berani dan kejam.
“Nah, kebetulan sekali kau cepat datang disini,
munyuk tua. Aku butuh beberapa keterangan dan
harus kau jawab beberapa pertanyaan yang akan
kuberikan kepadamu!” Kalapati ganti membentak
Empu Baskara sambil melolos pedang dari sarungnya
yang terikat pada pinggangnya sebelah kiri.
Mendapat gertak balasan itu, Empu Baskara
mengeluh cemas seperti orang yang terjaga dari
mimpi buruknya. “Ooookh!”
Empu Baskara mundur berbalik, hendak
mengambil langkah seribu dan lari dari kamarnya,
tetapi betapa kagetnya di saat ia membalikkan diri itu
sebab di belakangnya telah berdiri sambil
menyeringai kejam si orang baru yang bertubuh
pendek dengan sorotan matanya penuh keganasan.
“Hi, hi, hi, hi, hi, kau merasa kaget, Pak?”
Empu Baskara bermaksud untuk berteriak
meminta tolong dan belum lagi maksud itu
dilaksanakan, mendadak satu benda keras terasa
membentur batok kepalanya, sehingga pandangan
matanya menjadi berkunang-kunang serta berputar.
Tubuh Empu Baskara sesaat masih berusaha untuk
tetap tegak, namun akhirnya menjadi oleng dan
kemudian roboh ke lantai kamar tak sadarkan diri.
“Ha, ha, ha, Adi Dandangmala. Akhirnya dia jatuh
juga ke tangan kita, ya. Sekarang ayo cepat kita
gotong ke dalam kamar kita!”
“Dan kemudian kita akan membawanya kepada
Kakang Jorangas dengan hati lega,” terdengar
Dandangmala menyela.
“Betul, Adi Dandangmala. Jangan lupa, Empu
Baskara ini harus kita larikan dengan memakai
siasat yang telah kita rencanakan!”
Dandangmala cepat melongok keluar. Sepi-sepi
saja.
“Wah, aman ini!”
Kemudian ia memberi isyarat kepada Kalapati dan
kedua penjahat itu dengan tenang dan hati-hati
menggotong tubuh Empu Baskara ke dalam kamar
mereka.
“Nah, letakkan dulu tubuhnya di dekat karung-
karung beras ini, Adi. Biar aku siapkan karung
kosong untuknya,” ujar Kalapati sambil menyiapkan
sebuah karung yang cukup besar.
Sementara itu Dandangmala pun bekerja dengan
cermatnya. Mula-mula ia membungkam mulut Empu
Baskara ini dengan selembar sapu tangan. Setelah itu
mereka cepat-cepat memasukkan tubuh orang tua itu
ke dalam karung.
“Nah, Adi Dandangmala, hari ini pula kita harus
segera meninggalkan tempat ini sebelum orang-orang
mengetahui hilangnya seorang tua itu dari kamarnya.
Karung-karung itu harus kita bawa satu persatu ke
kandang kuda dan sekaligus kita muatkan semuanya
ke atas kuda.”
“Siap Kakang!” Dandangmala berkata dan
tangannya yang kokoh telah mengangkat dua karung
beras, lalu dipindahkannya ke atas bahunya dengan
mudah.
Melihat kekuatan sahabatnya itu, Kalapati
tersenyum-senyum, apalagi jika ia teringat akan
sepak terjang sahabatnya itu, ketika dikeroyok oleh
empat orang penjaga pesisir Rembang beberapa
waktu yang lalu. Mereka itu dengan mudahnya
dibanting oleh Dandangmala satu persatu berkaparan
di atas tanah.
Ketika itu Dandangmala sudah tiba di pintu
warung penginapan dan mendadak seorang pemuda
bergegas masuk ke dalam warung. Tanpa sengaja
pemuda ini telah membentur tubuhnya dan betapa
kagetnya bila kemudian terasa tubuh oleng dan
hampir terjatuh bersama karung yang dipikulnya itu.
Untunglah pemuda ini cepat-cepat menahan tubuh
Dandangmala yang hampir jatuh, dan disertai
permintaan maaf.
“Ooh, maaf, Pak. Aku tak sengaja menabrakmu,”
ujar pemuda itu yang tidak lain adalah Mahesa
Wulung. “Perlu aku bantu, Pak?”
“Tidak usah! Sialan kau! Lain kali matanya dipakai
yang benar!” umpat si Dandangmala disertai matanya
yang melotot marah ke arah Mahesa Wulung. Tetapi
di dalam hati, Dandangmala penuh pertanyaan
terhadap pemuda yang baru saja menabraknya.
Benar-benar dirinya dibuat heran oleh kekuatan
dahsyat si pemuda. “Uh, siapa bocah ini. Kalau
sampai orang tak berhasil merobohkanku, tapi
pemuda ini dengan benturan tubuhnya yang tidak
keras, hampir-hampir saja membuatku jatuh
tersungkur!”
Sebaliknya Mahesa Wulung sendiri terkejut bukan
main, sebab ia merasa pernah mengenal suara orang
yang bertubuh pendek ini. Otaknya cepat. “Eh,
rupanya aku terlalu berprasangka dengan kedua
orang ini. Ternyata mereka adalah orang-orang
pedagang beras dan tak perlu aku mencurigainya.”
Tetapi mendadak hati Mahesa Wulung menjadi
bergoncang keras, apabila telinganya menangkap
getaran aneh di dalam karung yang dipikul oleh
Kalapati yang bertubuh kekar tinggi itu. Ketajaman
telinganya menangkap dengus nafas manusia yang
berbareng tapi berlainan nadanya. Mata Mahesa
Wulung kembali lagi mengawasi karung itu.
“Oh, berisi manusia? Nah, sekarang aku betul-
betul merasa curiga terhadap mereka,” desis Mahesa
Wulung seraya melangkah mengikuti Kalapati.
Ia bermaksud mencegah kepergian kedua orang
itu. Tetapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya,
ketika hati kecilnya mencegah maksudnya tadi. Ia
berpikir dan dalam kepalanya melintas kepada
peristiwa beberapa malam yang telah lalu di saat ia
memergoki dua orang di tempat gelap, tengah
membicarakan akan hilangnya Empu Baskara.
Belum lagi hilang kagetnya, Mahesa Wulung
berpapasan dengan Kalapati yang juga memanggul
sebuah karung dari kamar.
“Mereka rupanya adalah pedagang-pedagang
beras,” pikir Mahesa Wulung dengan cepat, sebab
dari lubang kecil karung itu tercecer beberapa butir
beras. Maka iapun menarik nafas lega karenanya.
“Kalau aku mencegah maksudnya, pastilah akan
menimbulkan keonaran di daerah ini. Biarlah mereka
pergi lebih dahulu dan mereka akan kuikuti terus ke
mana perginya!” Mahesa Wulung berbalik dan
mendekati si pemilik warung penginapan.
“Bapak, siapakah mereka itu?”
“Oh, mereka adalah pedagang-pedagang beras
yang singgah di sini, Kisanak. Apakah Kisanak
bermaksud membeli beras-beras mereka itu?”
“Aku tak bermaksud begitu, Bapak. Malahan
sebenarnya aku menaruh curiga terhadap mereka!”
“Curiga terhadap orang-orang itu!” si pemilik
warung mengerutkan dahinya, karena terkejut
dengan kata-kata ini. “Apa maksud Kisanak yang
sebenarnya?”
“Maaf, Bapak. Aku tak sempat berceritera panjang
lebar di sini. Dan sekarang, aku sekali lagi ingin
bertanya kepada Bapak. Semoga Bapak tidak
keberatan sekali ini.”
Si pemilik warung ternyata mempunyai hati yang
cukup baik dan bahkan ia menjadi tertarik dengan
tamunya yang masih muda dan berwajah tampan ini,
sehingga ia dengan senang hati menjawab pertanyaan
Mahesa Wulung.
“Silahkan bertanya, Kisanak. Bapak akan
berusaha menjawabnya sebisa mungkin.”
“Apakah Bapak pernah kedatangan seorang yang
bertubuh gemuk pendek dan sudah tua?”
“Orang yang bertubuh pendek dan sudah tua?
Hmm, ya, ya, aku ingat sekarang. Memang ada
seorang tamuku berperawakan demikian itu. Ia telah
menginap di sini beberapa hari lamanya dan dialah
satu-satunya tamuku yang paling aneh!”
“Aneh?” potong Mahesa Wulung kaget.
“Ya. Ia memang tamu yang aneh, sebab ia jarang
berkata-kata dengan tamu lainnya dan juga dengan
aku sendiri.”
Mahesa Wulung yakin bahwa ia mulai mencium
jejak Empu Baskara, dan ia lalu ingat bahwa Empu
Baskara adalah seorang pendiam. Jarang ia
mengobrol dengan orang lain. Ia hanya suka
berbicara seperlunya saja.
“Bolehkah aku bertemu dengan dia, Bapak?”
“Tentu saja boleh, Kisanak. Tapi... nanti dulu! Ia
pernah berpesan kepadaku kalau sedang di dalam
kamarnya ia tak mau diganggu. Baiklah aku tengok
dulu kamarnya, mungkin ia tak berkeberatan jika
Kisanak menemuinya.”
“Baiklah, Bapak. Aku akan tunggu di sini saja.”
Si pemilik warung itu cepat melangkah ke dalam,
menuju ke kamar Empu Baskara. Sesaat kemudian ia
berlari-lari keluar sambil berseru kepada Mahesa
Wulung.
“Wah, celaka, Kisanak. Celaka!”
“Mengapa, Bapak?!” seru Mahesa Wulung tak
kalah kagetnya dengan si pemilik warung yang
berwajah pucat penuh tanda tanya.
“Celaka. Orang tua itu telah menghilang dari
kamarnya, dan lihatlah sendiri, isi kamarnya telah
berantakan!”
Mendengar kata-kata itu, tanpa menunggu lebih
lama lagi, Mahesa wulung segera berlari ke kamar
Empu Baskara yang telah ditunjukkan oleh pemilik
warung. Keduanya masuk ke dalam. Isi kamar itu
ternyata memang berserakan menunjukkan bekas
dibongkar atau digeledah oleh tangan-tangan jahil.
Mahesa Wulung cepat memeriksa barang-barang
yang banyak terhampar di lantai.
Dipungutnya sebuah kitab yang terbuat dari kertas
merang kemudian dibuka-bukanya. Tampak Mahesa
Wulung terperanjat apabila di antara halaman-
halaman kitab itu berisi gambar-gambar bentuk
pamor dan hiasan dari mata tombak, panah dan
keris-keris.
“Empu Baskara!” desis Mahesa Wulung seraya
menutup kitab itu. Hanya Empu Baskaralah yang
selalu pergi kemana-mana dengan membawa kitab-
kitab berisi model-model dan keterangan-keterangan
tentang bermacam-macam senjata pusaka.
“Maaf, Bapak. Aku yakin bahwa tamumu itu telah
diculik oleh kedua orang pedagang beras tadi.”
“Tapi, Kisanak, aku tak melihatnya ia keluar dari
kamarnya!” ujar si pemilik warung bingung.
“Bukankah mungkin kalau salah satu dari karung-
karung yang dibawa mereka tadi berisi tubuh
tamumu, si orang tua yang pendiam dan aneh itu?”
“Eh, ya, ya, mungkin juga demikian, Kisanak,” ujar
si pemilik warung.
“Nah, sekarang aku meminta diri, Bapak. Akan
mengejar mereka,” kata Mahesa Wulung sambil
melangkah cepat-cepat keluar warung.
Si pemilik warung tak berkata sepatah pun, dan ia
melangkah cepat-cepat ke pintu depan. Dilihatnya
pemuda tadi meloncat dengan cekatan ke atas
punggung kudanya dan bagaikan kilat, ia berpacu ke
arah utara.
***
Mahesa Wulung terus melarikan kudanya dengan
kencang, tetapi matanya yang tajam itu tak henti-
hentinya mengawasi jejak-jejak kaki kuda yang
tampak masih baru. Kepandaiannya mencari jejak-
jejak dan berburu, sudah digemarinya sejak masa
kecil ketika ia tinggal di Asemarang. Itu semuanya
berkat didikan Ki Sorengrana, pamannya yang amat
dikasihi.
Matahari makin condong ke barat ketika ia telah
agak jauh meninggalkan kota Kudus. Sekali-sekali ia
berhenti dan bertanya kepada orang-orang yang lewat
tentang dua orang berkuda yang membawa karung-
karung dengan kuda bebannya. Dan ternyata dari
jawaban yang diperolehnya, jelaslah bahwa arah
pengejarannya itu tidak keliru. Kedua orang
buruannya itu berlari ke arah utara.
Jalan yang dilalui bertambah mendaki dan orang-
orang yang lewat makin jarang dijumpai, sebab jalan
itu mulai menerobos hutan-hutan kecil dan daerah-
daerah semak ilalang yang amat pekatnya. Angin
bertiup dengan kencang, terasa menampari wajahnya
dan melambai-lambaikan rambut suri kudanya.
“Jalan ini akan sampai di desa Bae. Tapi aku tidak
akan membiarkan buruanku lolos bersama Empu
Baskara,” Mahesa Wulung bergumam sendirian
ketika ia sudah tiba di kaki bukit selatan dari
Gunung Muria yang menjulang tinggi bersaput awan
putih. Jejak-jejak kaki kuda di depannya masih
tampak dengan jelas. Meskipun jejak-jejak tadi amat
banyak, namun Mahesa Wulung dapat menebak
jumlahnya. Sedang seekor di antaranya pasti
bermuatan cukup berat karana terlihat dari jejak-
jejak kakinya yang amat jelas dan agak dalam di atas
tanah.
Keadaan akan bertambah gelap bila matahari telah
tenggelam di cakrawala barat dan pengejaran itu
akan bertambah sulit bagi Mahesa Wulung.
Karenanya Mahesa Wulung lebih mempercepat lari
kudanya agar ia dapat segera mengejar mereka.
Sedang jauh di muka, Kalapati dan Dandangmala
rupanya tahu pula bahwa mereka diikuti oleh
seseorang. Keduanya pun memacu kudanya yang
berlari seperti kilat.
“Adi Dandangmala, cepat kau mendahuluiku dan
mintalah bantuan kepada Kakang Gogorwana di
ujung desa itu!” seru Kalapati kepada sahabatnya.
“Baik, Kakang. Aku berangkat sekarang!” ujar
Dandangmala seraya memacu kudanya lebih cepat ke
arah utara mengikuti arah yang berbelok-belok.
Setelah mendekati pohon beringin tua yang
tumbuh di tepi kanan jalan, Dandangmala
membelokkan kudanya ke kanan menerobos semak-
semak bambu dan sebentar kemudian sampailah ia
di depan sebuah gubuk ilalang. Begitu turun dari
kudanya, Dandangmala langsung mendekat gubuk
itu.
“Eh, kemana si Gogorwana itu?” terdengar
Dandangmala menggerundal. “Di saat yang
berbahaya ini, tenaganya sangat kuperlukan.”
“Kau mencariku, Adi?!” mendadak terdengar suara
yang parau disertai satu gerakan yang mengejutkan
Dandangmala, membuat ia terhuyung ke kanan.
“Ha, ha, ha, ha. Maaf kalau aku telah
mengagetkanmu!” terdengar lagi suara yang parau
dan ketika Dandangmala menoleh ke belakang,
dilihatnya seorang yang bertubuh tegap dan
tangannya memegang sebuah kapak yang berukuran
tidak lumrah besarnya.
“Terlalu! Kau membuatku kaget, Kakang Gogor!”
seru Dandangmala disertai mukanya yang masam
berkerut. “Sampai sekarang kebiasaanmu itu tidak
hilang juga!”
“Ha, ha, ha, ha. Kau pun masih suka cepat
menjadi marah, Adi Dandangmala. Nah, lupakanlah
hal itu tadi. Sekarang apa maksud kedatanganmu
kemari itu?”
“Aku dan Kakang Kalapati sedang menuju ke
Pecangakan dan kami dikejar oleh seorang yang
belum kami kenal. Ia mengikutiku sejak dari Kudus.
Bagaimana, Kakang?”
“Hah! Jadi kalian takut menghadapi musuh yang
hanya seorang diri saja?” jawab Gogorwana. “Di mana
letak keberanianmu yang telah sekian tahun selalu
kau perlihatkan itu?”
“Takut? Kau bilang kami berdua tak berani
menghadapi orang itu? Hah! Anak buah Jorangas tak
pernah mempunyai rasa takut dalam menghadapi
musuhnya! Kami memang sengaja tidak ingin
tertunda dalam perjalanan ini, sebab kami membawa
barang yang penting untuk pemimpin kita, Jorangas.
Nah, kiranya Kakang Gogorwana sudah tahu tugas
yang harus kau kerjakan, toh?”
“Mencegat orang itu,” ujar Gogorwana.
“Ya, mencegat orang yang mengejar kami itu dan
jika perlu Kakang Gogor boleh....”
“Membunuhnya?!” potong Gogorwana disertai
tertawanya yang berderai memenuhi halaman gubuk
ilalang itu.
“Bagus! Memang kebetulan sekali. Sudah lama
tanganku ini gatal untuk bertempur. Tapi jangan lupa
Adi Dandangmala, aku tak pernah mengerjakan
suatu pesanan secara cuma-cuma! Meskipun yang
menyuruh tadi sahabatku sendiri, ha, ha, ha.”
“Kau memang mata duitan, Kakang Gogor!
Baiklah, nih terimalah untukmu!” kata Dandangmala
seraya melempar kantong kecil yang diambil dari ikat
pinggangnya.
Dengan sigap Gogorwana menangkap kantong itu
dan segera membukanya serta menghitung isinya,
seikat mata uang logam.
“Heh, heh, ini sudah cukup, Adi Dandangmala.
Sekarang kau boleh pergi meneruskan perjalananmu.
Biarlah aku hadapi orang itu!”
“Terima kasih, Kakang Gogor. Aku pergi sekarang,”
ujar Dandangmala dan iapun meloncat ke atas
punggung kudanya serta dipacu ke arah jalan yang
semula, menuju utara dan ternyata dilihatnya
Kalapati sudah berpacu agak jauh di depannya.
Kini keduanya berkuda berdampingan dengan hati
lega karena orang yang mengejar mereka telah
dipasrahkan kepada Gogorwana. Sekali-sekali mereka
menoleh ke belakang untuk melihat kuda bebannya
yang digandeng kuda Kalapati. Mereka mencemaskan
karung-karung yang diikat di punggung kuda beban
itu, sebab satu di antaranya berisi tubuh Empu
Baskara yang terikat, tak sadarkan diri dan sangat
berharga bagi gerombolan Jorangas!
***
TIGA
Mahesa Wulung terus mempercepat lari kudanya
menuju ke utara mengikuti jalan yang berbelok-belok
dan menanjak. Tiba-tiba di antara desiran angin
senja yang bertiup itu terdengarlah oleh telinga
Mahesa Wulung bunyi orang menebang pohon yang
berdentang-dentang menggema di arah utara dari
jalan yang akan ditempuhnya.
“Hmm, sungguh aneh bunyi itu. Kalau saja orang
menebang pohon, itu sudah biasa. Tetapi dalam senja
begini ini, bukanlah waktunya yang tepat untuk
menebang pohon! Aku mesti hati-hati mengambah
daerah ini,” Mahesa Wulung berpikir keras untuk
menduga-duga siapakah orangnya yang berbuat itu,
menebang pohon dalam waktu yang tidak semestinya.
Maka ditariknya kekang kudanya agar berkurang
kecepatan larinya.
Dari jauh tampak olehnya puncak-puncak pohon
beringin yang tumbuh subur menaungi jalan yang
berseling-seling dengan pohon kenari. Satu pertanda
bahwa ujung Desa Bae sudah bertambah dekat.
Sesaat kemudian bunyi berdentang-dentang orang
menebang pohon itu berhenti. Mahesa Wulung makin
berhati-hati. Kaki kudanya melangkah terus dan
sekali-kali dari mulut kuda terdengar bunyi
meringkik yang kecil. Hal ini membuat Mahesa
Wulung merasa curiga.
“Kuda ini telah mencium sesuatu yang asing dan
mungkin bahaya yang besar sedang mengintai di
depan!”
Belum habis Mahesa Wulung berpikir itu, tiba-tiba
kudanya mengeluarkan ringkikan yang keras disertai
kepalanya yang sebentar mengangguk serta ditarik-
tarik ke belakang.
“Heeee, kuda ini tidak mau melangkah maju!” desis
Mahesa Wulung ketika dilihatnya kuda itu hanya
berdiri sambil menderap-derapkan kaki depannya ke
tanah.
Mahesa Wulung melihat sekeliling. Sepi! Hanya
pohon-pohon kenari dan beringin yang menaungi
serta memagari jalan itu, bagaikan setan-setan alas
yang berbaris menantikan mangsanya. Mendadak
satu bunyi berderak terdengar amat keras dan satu
pohon kenari bergoyang dan bergerak ke bawah ke
arah Mahesa Wulung bersama kudanya.
Kejadian itu amat mendadak seperti memukau
kesadaran pikiran. Namun Mahesa Wulung bukan
anak kemarin sore, maka melihat batang pohon
kenari yang melayang roboh siap menghancurkan
tubuhnya itu, ia cepat-cepat menarik tali kekang
kudanya. Ternyata kuda Mahesa Wulung itupun
mencium bahaya yang sedang terjadi. Dengan satu
ringkikan keras, begitu ia merasa mulutnya tertarik
oleh tali kekang, iapun mendongak ke samping
kemudian membuat satu loncatan berbalik ke
belakang yang cukup jauh.
Bunyi berderak dari robohnya batang pohon kenari
yang melintang ke jalan, terdengar sangat keras
memenuhi tempat sekelilingnya. Untunglah Mahesa
Wulung dengan kudanya telah bertindak dengan
cepat Kalau sedikit saja terlambat, pastilah mereka
akan hancur lumat ditimpa oleh batang pohon kenari
itu, yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan.
Mahesa Wulung merasa bersyukur, bahwa dirinya
telah terhindar dari maut. Sementara itu tangan
kanannya berkali-kali menepuk-nepuk leher kudanya
agar menjadi tenang kembali
Dalam hati Mahesa Wulung terpesona melihat
besarnya batang pohon kenari yang telah roboh itu.
Dapatlah dibayangkan sepintas lalu, betapa hebatnya
tenaga yang telah mampu menebang putus batang
kenari dalam waktu yang sesingkat itu.
Belum habis rasa kagumnya, tiba-tiba hati Mahesa
Wulung berdesir melihat satu sosok tubuh manusia
yang melesat dari kerimbunan semak-belukar dan
langsung berdiri tegak laksana patung perkasa di
atas batang pohon kenari yang telah roboh melintang
di tengah jalan.
“Hia, ha, ha, ha. Bagus! Kowe pancen gesit! Tapi
jangan lekas membusung dada sebelum bisa
menghadapi Gogorwana!” seru orang tegap yang baru
muncul disertai sorot matanya yang kemerahan.
“Ooo, jadi kaulah yang bernama Gogorwana dan
bergelar Blandong Nyawa?!” ujar Mahesa Wulung
kaget, sebab ia pernah mendengar nama tokoh ini,
yang dikenal sebagai seorang pendekar liar dengan
senjata kapaknya. Kepandaiannya menebang dan
membelah batang pohon sama baiknya jika ia
menebas dan membelah tubuh lawan-lawannya.
“Jadi kau sudah tahu nama gelarku? Ha, ha, ha,
itu lebih baik, agar kau mati dengan kepuasan. Nah,
sekarang hadapilah kematianmu dengan tenang
supaya pekerjaanku menjadi lebih mudah!”
“Tunggu dulu, Kisanak! Kau boleh membunuh
Mahesa Wulung, asal lebih dahulu kamu sebutkan
sebab-musababnya mengapa sampai kau berminat
menghalangi perjalananku ini?”
Sekali ini Gogorwana atau yang bergelar Blandong
Nyawa serentak terperanjat mendengar nama Mahesa
Wulung. Ia telah mendengar nama itu, nama dari
seorang pendekar Demak yang menjadi musuh dari
setiap gerombolan hitam hampir di segenap
Nusantara.
Tapi memang dasar Gogorwana seorang pendekar
liar yang keras kepala serta membanggakan segenap
kekuatannya, maka perasaan cemas dan
terperanjatnya segera lenyap dari sudut-sudut
hatinya, lalu berubah menjadi rasa bangga karena
dapat berhadapan dengan Mahesa Wulung. Satu
tokoh yang selalu menghantui orang-orang
gerombolan hitam.
“Hah, kebetulan sekali jika musuhku kali ini
seorang yang sudah mempunyai nama tenar! Mahesa
Wulung, ketahuilah bahwa kau harus kulenyapkan
dari muka bumi ini, karena telah berkali-kali
menghancurkan teman-temanku dari gerombolan
hitam dan juga kau telah berani mengejar-ngejar
kedua sahabatku!”
“Keparat, kau ternyata antek begundal gerombolan
Jorangas! Kalau begitu, bukan aku yang harus mati,
tapi kamulah yang harus kuantarkan ke neraka!”
teriak Mahesa Wulung sambil bersiaga dan meloncat
turun dari atas kudanya.
“Setan! Memang tanpa tedeng aling-aling, akulah
anak buah gerombolan Jorangas! Makanya kamu
harus mampus!” teriak menggeram Gogorwana
menggema di sekeliling tempat itu dan tahu-tahu ia
bergerak seperti kilat melancarkan serangannya
dengan satu tebasan membujur ke bawah, ke arah
kepala Mahesa Wulung. Mata kapak berkilat
merupakan sinar putih yang siap membelah kepala
Mahesa Wulung dengan cepatnya, namun secepat itu
pula Mahesa Wulung membungkuk menghindari
serangan ini dan tubuhnya berguling ke samping
beberapa langkah jauhnya, kemudian disusul bunyi
menggegar akibat mata kapak raksasa si Gogorwana
melesat dan kemudian membalah hancur batu hitam
di bawahnya.
Mahesa Wulung cepat-cepat berdiri bersiaga
kembali. Demikian pula Gogorwana pun bersiaga,
dibarengi mulutnya yang menggerundal memaki-maki
karena serangannya tadi dengan mudah dielaki oleh
lawannya. Tanpa berkata-kata lagi ia menekap
giginya, dikerahkannya segenap kekuatannya untuk
kemudian sambil berteriak keras ia mengayunkan
kapaknya mendatar, melintang dengan derasnya ke
arah dada Mahesa Wulung yang telah bersiaga.
Sekali lagi Gogorwana dibikin terkejut oleh gerakan
lawannya yang cepat selincah burung sikatan. Begitu
mata kapaknya hampir merobek dada Mahesa
Wulung, lawannya ini membungkukkan tubuhnya
serendah mungkin dan... Wesss! Bunyi berdesir dari
kapak Gogorwana yang melesat dan lewat di atas
kepala Mahesa Wulung terdengar menyerikan telinga,
disusul suara berderak keras. Sebatang pohon dadap
yang cukup basar terbabat putus!
Untuk kedua kalinya serangan Gogorwana gagal,
sedang tubuhnya yang terbawa oleh arah ayunan
kapaknya yang begitu deras, dipergunakan oleh
Mahesa Wulung sebaik-baiknya. Dengan sedikit
tendangan sisi telapak kaki kanannya pada pinggang
Gogorwana, membuat orang ini terhuyung ke depan
dan kemudian jatuh terjungkal ke semak ilalang!
Gogorwana berdiam diri mengatur nafasnya yang
mengalir berdesakan tak teratur. Setelah agak
tenang, ia mengangkat kedua tangannya yang masih
menggenggam kapak itu melintang ke depan
dadanya. Sejurus kemudian dengan pelan-pelan
kapak itu bergerak ke atas dan berhenti setelah
sejajar dengan tubuh Gogorwana, sedang mata kapak
itu menghadap lurus ke arah Mahesa Wulung.
Dan dugaan itu ternyata tidak meleset. Sekejap
saja kapak di tangan Gogorwana telah berputar
seperti angin badai, berdesing-desing dibarengi
kilatan-kilatan mata kapak yang menyilaukan mata
meskipun senja makin menggelap. Bersamaan
Gogorwana mengeluarkan ilmu kapaknya yang
dahsyat itu, Mahesa Wulung pun memutar
pedangnya yang berkelebatan mengerikan hati.
Maka di saat sang purnama mulai muncul di
cakrawala timur, kedua pendekar itupun bertempur
dengan hebatnya. Masing-masing telah mengerahkan
segenap tenaga dan siasatnya guna merobohkan
lawannya dengan secepat mungkin. Beberapa batang
pohon kecil-kecil di sekitar mereka terbabat dan
tersambar putus oleh kedua senjata pendekar itu
yang bersambaran saling mengejar.
Menginjak jurus yang ke lima belas terasa oleh
Gogorwana bahwa kedudukannya sedikit demi sedikit
mulai tergeser oleh Mahesa Wulung yang tandangnya
persis banteng ketaton dengan ujung pedangnya yang
bergerak cepat laksana ujung-ujung tanduk, siap
menjebol setiap lawannya.
Sementara itupun Mahesa Wulung berpikir keras
dalam menghadapi Gogorwana yang bertenaga luar
biasa. Setiap pukulan dan ayunan kapaknya selalu
disertai oleh sambaran angin panas! Pikirannya
melayang ke arah Empu Baskara yang telah dibawa
lari oleh kedua penculiknya. Ya, jika ia semakin lama
bertempur di tempat ini, pastilah jarak kedua
penculik itu akan lebih jauh dan mungkin tidak akan
terkejar lagi. Bahkan mungkin pula ia tidak bisa
menyelamatkan Empu Baskara dari tangan
gerombolan Jorangas!
Mengingat itu semua, Mahesa Wulung mengambil
keputusan untuk menyudahi pertempurannya. Tetapi
bagaimana? Sedang serangan Gogorwana bertubi-
tubi datangnya. Tiba-tiba sekilas senyum tersungging
di bibir Mahesa Wulung, satu pertanda bahwa ia
telah menemukan suatu cara terbaik guna
menyudahi pertempuran itu.
Maka di saat ia melihat satu kesempatan yang
kecil, yang tampaknya tak mungkin dapat ditembus,
Mahesa Wulung telah menggunakannya dengan
sebaik-baiknya. Sebuah tebasan pedangnya yang
mendatar dan amat lincah bergerak dengan manisnya
ke arah perut Gogorwana.
Dess! Gogorwana terpekik kecil sambil mengutuk
sedang tangan kirinya cepat bergerak ke bawah.
Ternyata ujung pedang Mahesa Wulung telah
membabat putus ikat pinggang Gogorwana sampai ke
sebelah dalamnya sekali, sehingga celana beserta
kain Gogorwana melotrok ke bawah karena tidak ada
lagi yang menekan.
Gogorwana menjadi serawutan. Sementara tangan
kirinya menahan celana dan kainnya agar tetap pada
pinggang, tangan kanannya bergerak separo tenaga
dalam mengobat-abitkan kapaknya yang besar itu.
Geraknya menjadi tak karuan, sebab disamping rasa
marah, ia pun menjadi malu karena harus bertempur
dengan cara yang demikian. Maka Gogorwana
meloncat ke belakang dua langkah kemudian berbalik
dan meloncat panjang ke arah semak-semak yang
rimbun dan gelap. Tubuhnya lenyap seolah-olah
ditelan oleh kegelapan malam.
Mahesa Wulung membiarkan lawannya lari. Ia
cukup puas dapat menyudahi pertempuran itu
dengan cara yang mudah, tanpa menimbulkan
korban.
Segera pedangnya disarungkan kembali dan cepat
ia meloncat ke atas punggung kudanya. Dengan satu
sentakan tali kekang pada mulutnya serta depakkan
kecil dari kaki Mahesa Wulung pada perutnya, maka
kuda itupun tahu apa yang dikehendaki oleh
tuannya. Mulutnya mengeluarkan ringkikan panjang
melengking dengan satu loncatan yang manis. Ia
melangkahi batang pohon kenari yang melintang
roboh di tengah jalan itu. Mahesa Wulung
memacunya kembali ke arah utara.
Setelah menanjak dan sekali lagi menurun, tibalah
ia di Desa Bae. Keadaan desa itu tampak sepi, sedang
semua pintu ditutup rapat-rapat, seperti dicengkam
oleh suasana ketakutan. Mahesa Wulung merasa
heran sebab pada umumnya, jika suasana cerah dan
bulan telah timbul, pastilah setiap orang akan
menjadi senang. Mereka biasanya lalu bergerombol
atau duduk-duduk di halaman rumahnya untuk
mengobrol dan bergurau dengan keluarga atau pun
sahabat-sahabatnya. Sedang anak-anak kecil akan
bermain-main sambil bertembangan ataupun berlari
berkejar-kejaran.
Tetapi kali ini bukan suasana begitu yang
dijumpainya, malahan sebaliknya, sepi dan tanpa
suara orang yang bercakap-cakap. Mahesa Wulung
melambatkan lari kudanya untuk sekedar meneliti
suasana desa tersebut.
“Hmm, sayang sekali tak seorang pun yang
tampak. Sebenarnya aku ingin bertanya kepada salah
seorang penduduk desa ini untuk mengetahui ke
mana larinya buruanku tadi?”
Rumah-rumah desa itu berapitan memanjang ke
arah jalan yang tengah dilaluinya. Belum seorang
pun yang tampak! Mahesa Wulung makin mendekati
ujung desa yang sebelah utara dan sebentar lagi
pastilah ia akan tiba di luar desa.
“Berhenti!” teriak seorang yang bertubuh jangkung
bersenjata tombak. Sedang laki-laki bertubuh kekar
di sampingnya, mengacung-acungkan sebilah keris ke
arah Mahesa Wulung.
“Ini pasti orangnya! Pateni bae! Jangan kasih lolos
dia, Kang Joran!” teriak yang bersenjata keris kepada
si jangkung.
“Ya, pasti kita sikat dia. Tapi jangan tergesa-gesa.
Biar aku tanya orang ini lebih dahulu!” seru orang
yang disebut Joran oleh si tubuh kekar itu. “Dan
siapkan orang-orangmu, Adi Siwalan!”
“Baik, Kakang!” teriak si tubuh kekar yang
bernama Siwalan, kemudian ia melambaikan
kerisnya. Serentak beberapa orang lagi muncul dan
mengepung Mahesa Wulung.
“Ooh, ini pasti terjadi salah paham dengan diriku.
Aku mesti hati-hati menghadapinya!” desis Mahesa
Wulung sambil menghentikan kudanya yang masih
meringkik-ringkik kecil.
“Apa maksudmu lewat di desa ini, Kisanak?!”
teriak Joran dengan lantang.
“Maaf, kalian sebenarnya menghalangi jalanku.
Aku tengah mengejar buruanku yang berkuda,
sebanyak dua orang serta membawa kuda beban
yang bermuatan karung-karung!” ujar Mahesa
Wulung.
“Oooo, jadi Kisanaklah yang mengejar-ngejar kedua
orang pedagang beras itu dan bermaksud merampas
harta bendanya!” seru Joran memotong.
“Kisanak telah salah paham!” ujar Mahesa Wulung
dengan tenang, sementara otaknya berpikir keras
menghadapi keadaan yang kini terjadi dan cukup
gawat. Segera ia dapat mengambil kesimpulan bahwa
sesuatu telah terjadi sebelum ia tiba di sini. Dan juga
ia yakin kalau orang-orang ini tidak mempunyai
maksud-maksud yang jahat. Mereka sudah
sepantasnya kalau mencurigai dirinya, sebagai orang
asing di tempat ini, ia tidak akan berbuat sesuatu
yang bisa membikin keadaan bertambah panas.
“Memang aku sedang mengejar kedua orang tadi
yang dikenal sebagai pedagang-pedagang beras,”
Mahesa Wulung berkata pelan. “Tetapi ketahuilah
bahwa mereka sebenarnya adalah anak buah
gerombolan Jorangas!”
Mahesa Wulung kebingungan juga menghadapi
keyakinan mereka yang keliru itu. Kalau jalan baik
dan musyawarah tak dapat dicapai, pastilah satu-
satunya jalan ialah dengan kekerasan. Ia akan
menerobos kepungan orang-orang itu dan
meneruskan pengejaran.
“Begitulah kenyataannya seperti yang telah aku
katakan tadi. Percaya dan tidaknya terserah kepada
saudara-saudara semua. Tetapi lebih dulu berilah
aku jalan untuk meneruskan perjalananku!”
“Ha, ha, ha, itu tidak mungkin! Aku adalah kepala
keamanan desa ini, dan segala kepentingan disini ada
di bawah naunganku, termasuk kedua orang
pedagang beras itu. Mereka telah meminta tolong
kepadaku agar mereka diselamatkan dari orang yang
mengejarnya, yaitu Kisanak sendiri!” Joran berkata
dengan nada yang tajam setengah mengancam. Maka
sebaiknya Kisanak menurut saja untuk kami tahan!”
Kata-kata Joran itu sungguh mengejutkan bagi
Mahesa Wulung dan mengguntur bagai guruh di
telinganya. “Menahanku disini?!”
“Ya! Kisanak akan kutahan disini. Dan setelah
kami periksa serta terbukti kalau Kisanak orang yang
baik-baik, pasti kami akan bebaskan kembali!”
“Aku menolak maksudmu itu!” seru Mahesa
Wulung lantang, sampai membuat orang-orang itu
terperanjat. Baru kali ini ada orang yang berani
menantang keputusan laskar pagar desa, di tempat
mereka sendiri. Maka bagi mereka, itu terasa sebagai
satu penghinaan yang amat besar. Sungguh-sungguh
keterlaluan! Betapa akan hilangnya kewibawaan
mereka, karena di tempat mereka sendiri ada orang
yang berani menentangnya! Beberapa orang tampak
menjadi merah mukanya, sedang Joran dan Siwalan
menggertakkan gigi karena jengkelnya.
“Cincang saja orang ini! Jadikan bergedel!” teriak
Siwalan ganas.
“Keparat, kau minta dipaksa orang asing!”
sambung Joran sambil menyiapkan tombaknya.
“Silahkan, kalau kalian mau menangkapku!” teriak
Mahesa Wulung dan sekali lagi mereka benar-benar
dibuat terperanjat, tapi juga membikin mereka
kehilangan kesabarannya! Kesabaran yang terakhir!
“Hyaaaat!”
Sebuah teriakan nyaring terdengar, berbareng
melesatnya Joran dengan satu tusukan tombaknya
ke arah dada Mahesa Wulung. Serangan itu begitu
cepat dan hampir-hampir saja mengenai sasarannya,
jika Mahesa Wulung tidak keburu merobohkan
tubuhnya ke belakang. Mata tombak itu lewat
sejengkal di depan dadanya dan dengan sigap, tangan
kanan Mahesa Wulung menangkap tombak.
Joran terperanjat melihat Mahesa Wulung
menangkap tangkai tombaknya dan lebih kaget lagi
bila terasa olehnya bahwa ia tak dapat menggerakkan
sama sekali tangkai tombaknya. Seolah-olah telah
dijepit oleh dua dinding baja!
Kemudian dengan tenaga yang tidak begitu besar,
Mahesa Wulung mendorongkan ke belakang tombak
Joran, dan berakibat cukup hebat! Orang ini jatuh
terjengkang ke belakang beberapa langkah di atas
tanah. Orang-orang lain terpekik kecil, seolah-olah
tak percaya melihat peristiwa yang baru saja terjadi.
Joran cepat berdiri dan menyerang kembali,
sementara pada saat itu juga, Siwalan pun
melancarkan serangan kerisnya ke arah Mahesa
Wulung. Dua serangan itu datang berbareng dan
sebagai air bah siap melanda Mahesa Wulung
bersama kudanya.
Mahesa Wulung mengeluh dalam hati. Ia tak
mengira sama sekali bahwa keadaan berkembang ke
arah yang demikian itu. Tetapi segala sesuatu telah
terlanjur dan ibarat orang yang menyeberang sungai,
kalau kainnya sudah dijinjing tinggi-tinggi tapi masih
juga basah, maka lebih baik kalau ia
mencelupkannya sama sekali, agar penyeberangan
tidak terganggu olehnya!
Maka begitu pun dengan Mahesa Wulung. Ia tak
mau mati konyol di tangan orang-orang ini, yang
bukan seharusnya menjadi musuhnya. Dengan satu
kecepatan yang hampir tak terlihat oleh mata,
Mahesa Wulung melolos pedangnya dan sekaligus
diputarnya untuk menghadapi serangan Joran dan
Siwalan yang datangnya berbareng.
Tak! Trang! Dua suara benturan terdengar dan
mata tombak Joran terbabat putus, sedang keris
Siwalan terpental lepas dari tangannya disusul
tubuhnya jatuh terpelanting ke tanah!
“Maaf, Kisanak!” terdengar satu suara lembut,
seolah-olah mempunyai satu perbawa dan membuat
Mahesa Wulung serta orang-orang itu tersadar dari
nafsu amarahnya, nafsu yang bisa menyeret manusia
ke dalam perbuatan yang di luar batas kesadarannya.
Dari sela-sela orang-orang itu, muncullah ke
depan, seorang yang berwajah damai dengan
rambutnya yang keputihan.
“Maaf, Kisanak!” terdengar sekali lagi orang tua itu
berkata dengan lembutnya. “Orang-orangku ini
terlalu kasar, tapi percayalah bahwa mereka bukan
orang-orang kejam yang suka membunuh dan
mencincang!”
“Ooh, Ki Lurah Bae!” desis orang-orang itu,
terdengar oleh telinga Mahesa Wulung.
Cepat-cepat ia meloncat turun dari atas kudanya.
“Tak apalah, Bapak. Aku pun tak mempunyai
maksud yang buruk. Maaf, jika aku telah
merusakkan senjata-senjata mereka!” ujar Mahesa
Wulung sambil menyarungkan pedangnya.
“Kisanak,” Ki Lurah Bae melanjutkan. “Apakah
Kisanak mempunyai kalung?”
“Kalung?” Mahesa Wulung kaget. “Betul aku
membawa sebuah kalung. Tapi apa maksud Bapak?”
“Aku ingin melihatnya, jika Kisanak tak
berkeberatan,” kata orang tua itu.
“Mmm, baiklah, Bapak.”
Mahesa Wulung segera melepaskan untaian
kalungnya dan kemudian menunjukkan sekali
kepada Ki Lurah Bae.
Serentak terdengar suara bergumam dari mulut
orang-orang itu, yang kaget setengah ketakutan!
Sebab hias kalung itu berbentuk lingkaran bergerigi
seperti mata senjata cakra Sang Prabu Kresna, dan
mereka mengenalnya sebagai lambang keperwiraan
dari seorang tamtama Demak!
“Nah, kalau begitu tak salah dugaanku bahwa
Kisanak adalah salah seorang perwira dari Demak,
dan bolehkah aku mengenal nama Tuan?” orang tua
itu berkata lebih hormat. Sedang Joran dan Siwalan
tersirap darahnya setelah mendengar bahwa orang
yang baru saja dilawannya itu tidak lain adalah
seorang perwira dari Demak. Hukuman apakah yang
akan dijatuhkan kepada dirinya, kalau orang-orang
seperti dia telah berani melawan bahkan mengancam
seorang perwira dari Demak.
“Aku biasa dipanggil Mahesa Wulung, Bapak,”
terdengar suara lemah dari mulut Mahesa Wulung,
tapi cukup terasa sebagai sambaran geledeg pada
telinga orang-orang itu, terutama dengan Joran dan
Siwalan.
Mereka telah mendengar nama itu, nama seorang
perwira Demak yang telah berkali-kali mengamankan
serta menjaga Demak dari gangguan-gangguan
kejahatan yang sering kali ditimbulkan oleh
gerombolan hitam, dalam usahanya meruntuhkan
kejayaan Demak.
Maka serentak Joran dan Siwalan melangkah maju
serta membungkuk hormat.
“Maafkan kami, Tuan. Kami orang-orang picik dan
tak berarti ini siap menerima hukuman....”
“Ah sudahlah, Kisanak! Kalian berdua tak
bersalah, sebab aku telah katakan tadi bahwa ini
semua terjadi karena salah paham,” Mahesa Wulung
berkata dengan pelan tapi jelas, bagaikan seorang tua
yang tengah menasehati anaknya karena telah
berbuat kurang baik.”
“Tetapi, mengapakah Bapak Lurah Bae dapat
menduga kalau aku seorang punggawa Demak?”
lanjutnya.
“Aku merasa telah pernah berjumpa dengan Tuan
beberapa tahun yang lalu di alun-alun Demak, dalam
latihan keprajuritan,” ujar Ki Lurah Bae. “Waktu itu
aku tengah menghadap ke Demak dan sempat
menyaksikan latihan itu.”
Mahesa Wulung segera dapat mengenal kembali
wajah Ki Lurah Bae, yang dahulu pernah berkenalan
dengan dirinya. “Untunglah Bapak lekas turun
tangan. Kalau tidak, pastilah menjadi lebih hebat
peristiwa tadi.”
“Begitulah, Tuan. Memang rupanya Tuhan Yang
Maha Besar masih mengulurkan tanganNya, hingga
pertumpahan darah antara sesama sahabat tidak
perlu terjadi. Dan sekarang aku persilahkan Tuan
beristirahat sejenak,” ujar Ki Lurah Bae dengan
ramahnya.
“Terima kasih, Bapak. Tetapi aku masih harus
cepat-cepat melanjutkan pengejaranku. Aku harus
menangkap kedua orang itu, sebelum mereka kabur
terlalu jauh,” ujar Mahesa Wulung. “Nah, selamat
tinggal Ki Lurah dan para kisanak. Aku menyesal
sekali tak dapat bercakap-cakap lebih lama lagi.”
Mahesa Wulung setelah mengangguk hormat
kepada orang-orang itu, dengan lincah dan sigap ia
meloncat ke atas punggung kudanya.
“Selamat jalan, Tuan!” seru mereka hampir
berbareng, ketika Mahesa Wulung mulai memacu
kudanya ke arah utara.
Cahaya purnama menerangi jalan yang
ditempuhnya yang sebentar-sebentar turun naik dan
berbelok-belok bagaikan ular yang melilit kaki
Gunung Muria.
***
EMPAT
Kuda Mahesa Wulung berlari dengan kencang,
seakan-akan mengerti akan kesulitan yang dihadapi
oleh tuannya. Jalan yang naik turun serta berbelok-
belok itu dengan enaknya ditempuh tanpa kesulitan.
Bila Mahesa Wulung melihat ke langit di atas
Gunung Muria dan melihat bintang-bintang yang
bertaburan amat banyak, dapatlah ia segera
mendapatkan gugusan bintang Waluku yang bisa
dipakainya untuk mencari arah utara.
“Hmm, jalan kecil ini menuju ke arah barat laut!”
desis Mahesa Wulung sendirian. “Mungkin sampai ke
Pecangakan!”
Kini Mahesa Wulung melalui jalan yang agak
menurun, sedang di sebelah kiri tampaklah dataran
subur yang terhampar luas. Setelah menyeberangi
sungai kecil, ia menghentikan kudanya, sebab ia
ragu-ragu, apakah kedua orang yang sedang diburu
itu tetap pada jalan yang ditempuhnya.
Cepat-cepat ia turun serta mengambil sesuatu dari
kantong kulit yang tergantung pada pelana kudanya.
“Mudah-mudahan batu api dan kawul ini dapat
menolongku untuk mengetahui jejak kaki kuda
mereka!”
Setelah beberapa kali memukul-mukulkan batu
api itu, memancarlah percikan bunga-bunga api ke
kawul itu dan terbakar menyala. Dengan sebuah
dahan kering, dapatlah ia segera membuat api yang
cukup terang menerangi permukaan tanah.
“Yah, jejak-jejak mereka masih tetap pada
arahnya, menuju ke barat laut,” gumam Mahesa
Wulung sambil meraba-raba jejak kaki kuda itu.
“Jejak-jejak ini masih baru dan pastilah mereka
belum begitu jauh larinya!”
Bagi Mahesa Wulung, soal mencari jejak-jejak serta
mengetahui seluk-beluknya, bukanlah pekerjaan
yang sukar.
Tak terasa oleh Mahesa Wulung, berapa lamanya
ia telah berkuda, sebab perasaannya dipenuhi oleh
ketegangan yang luar biasa. Perhatiannya
sepenuhnya tertumpah pada kedua orang yang
tengah dikejarnya itu. Mereka telah menculik Empu
Baskara. Justru, hal inilah yang telah menjadi
tugasnya! Mencari dan membawa kembali Empu
Baskara ke Demak.
Tetapi sampai saat ini ia tak habis mengerti
mengapa orang tua ini secara diam-diam
meninggalkan Demak. Malahan sekarang ia telah
diculik oleh anak buah gerombolan Jorangas yang
mulai memperlihatkan kegiatannya. Mereka telah
sekian tahun menghilang, tetapi sekarang muncul
kembali.
Jalan yang dilewati semakin menurun, melewati
lembah yang subur, penuh oleh pohon yang besar-
besar dan rumpun pohon pisang yang tumbuh liar.
Di antara sela-sela daun, beberapa ekor kunang-
kunang tampak terbang dengan tenangnya, bagaikan
lentera-lentera kecil yang berkedip-kedip amat
indahnya.
Di antara deru tiupan angin yang kencang itu,
tiba-tiba Mahesa Wulung mendengar getaran-getaran
dari senjata yang beradu, dan arahnya kira-kira dari
barat laut, tepat pada jalan yang kini tengah
ditempuhnya!
Untuk ke sekian kalinya pula Mahesa Wulung
terpaksa berpikir keras. Betapa tidak? Halangan-
halangan dan berbagai peristiwa telah datang saling
susul-menyusul dan ini dirasanya sebagai satu
cobaan, satu ujian yang harus dihadapinya dengan
gigih, apabila ia tidak ingin terseret ke dalam jurang
kehancuran. Demikianlah, semakin cepat Mahesa
Wulung memacu kudanya, semakin jelas suara
senjata-senjata yang berbenturan itu terdengar oleh
telinganya.
“Ah, siapakah yang telah bertempur di sana pada
malam-malam sedingin ini?” Mahesa Wulung
dipenuhi tanda tanya dalam hatinya, apalagi
telinganya yang tajam itu mendengar suara lecutan
yang meledak berkali-kali.
Sekonyong-konyong setelah membelok ke kiri dan
kudanya berlari pada jalan yang telah mendatar, di
tengah jalan ia melihat tiga orang yang terlibat dalam
satu lingkaran pertempuran. Mereka tampak sebagai
bayangan-bayangan hitam yang saling berkelahi,
sambar-menyambar, incar-mengincar.
Seketika Mahesa Wulung tersirap darahnya bila
melihat kepada mereka, sebab salah seorang di
antaranya adalah seorang gadis! Ini dapat
diketahuinya dari bentuk tubuh serta gerakan-
gerakannya yang menarik dan lincah. Meskipun ia
menghadapi dua orang lawan, tapi ia dengan tangguh
melawannya. Yang lebih mengagetkan lagi ialah
senjata yang dipergunakan oleh gadis itu yaitu ia
menggenggam sehelai selendang yang berwarna
jingga merah. Selendang itu dipergunakannya sebagai
senjata yang berputaran amat hebat seperti kitiran,
sedang ujung selendang itu sesekali mematuk ke
arah dua orang lawannya.
“Hee, itu kalau tidak keliru adalah Adi Pandan
Arum. Tapi mengapa ia berada di sini?” desis Mahesa
Wulung saking herannya.
Ketika ia semakin dekat dengan mereka, mata
Mahesa Wulung seketika terbelalak, sebab
dugaannya tadi ternyata benar. Gadis yang
bertempur itu adalah Pandan Arum, sedang kedua
orang lawannya tidak lain adalah Dandangmala dan
Kalapati. Dua orang anak buah Jorangas yang tengah
dikejarnya!
Maka Mahesa Wulung tak menunggu lebih lama
bagi. Dengan cepat dan cekatan ia meloncat dari atas
kudanya dan langsung terjun ke tengah arena
pertempuran!
“Adi Pandan Arum, biar yang seorang ini menjadi
bagianku!” teriak Mahesa Wulung seraya menerjang
Kalapati yang bertubuh kekar. Sebaliknya, Pandan
Arum kaget tapi juga bercampur gembira sebab
kedatangan Mahesa Wulung itu benar-benar tidak
diduganya sama sekali. Memang, dalam hatinya pun
gadis ini telah merasa kangen kepadanya, sebab telah
beberapa waktu ia terpaksa berpisah dengan Mahesa
Wulung. Ia selama itu tinggal di daerah Jepara untuk
menemani bibinya, Nyi Sumekar. Seketika itu
terjadilah dua lingkaran pertempuran yang cukup
hebat, di bawah naungan sinar terang sang purnama.
“Kakang Wulung! Cepat selesaikan musuh-musuh
kita ini. Mereka telah menculik Empu Baskara!” seru
Pandan Arum lantang sampai membuat Mahesa
Wulung terkejut seketika.
“Adi Pandan Arum, dari mana kau tahu hilangnya
Empu Baskara?” seru Mahesa Wulung pula.
“Dari Kakang Jagayuda. Aku telah bertemu dengan
dia di Jepara!”
“Bagus! Kalau begitu, kau pun harus cepat
membereskan lawanmu!” sekali lagi Mahesa Wulung
berseru dan merekapun bertempur semakin gigih.
Dalam pertempuran itu, setelah berjalan beberapa
jurus Kalapati terpaksa mengucurkan keringat
dinginnya. Diam-diam ia mengutuk sejadi-jadinya
karena kedatangan Mahesa Wulung itu. Untuk
menghadapi lawannya, Kalapati tidak kepalang
tanggung mengeluarkan ilmu pedangnya yang
dahsyat. Maka tak heran jika pedang di tangannya itu
bersambaran dengan bunyi mendesing, mengurung
tubuh Mahesa Wulung yang kini menjadi lawannya
itu ternyata pula mempunyai ilmu pedang yang tak
kalah hebatnya, yaitu ‘Sigar Maruta’, yang telah
diajarkan oleh Ki Camar Seta dari Selat Karimata.
Jika dua senjata orang itu beradu, maka
berloncatanlah percikan-percikan bunga pi dan
menerangi tempat itu laksana cahaya siang.
Sementara itu Dandangmala tampak menjadi
kewalahan karena semakin terdesak oleh serangan
selendang Pandan Arum yang menyambar dan
mematuk-matuk seperti ular. Pedang di tangannya
hampir sama sekali tak berarti untuk melawan ilmu
selendang ‘Sabet Alun’ dari Pandan Arum ini. Maka
iapun dengan segera mengambil senjata rahasianya
dari ikat pinggang dan sekaligus melemparkannya
dengan tangan kirinya ke arah Pandan Arum.
Serentak berhamburanlah puluhan paku baja
beracun menuju ke tubuh gadis itu! Bersamaan
dengan teriakan Mahesa Wulung yang
memperingatkan gadis itu terhadap serangan senjata
rahasia yang amat tiba-tiba, Pandan Arum pun
secepat itu pula bertiarap ke tanah.
Sebenarnya ia dapat menangkis serangan itu
dengan senjata selendangnya, tapi serangan paku
beracun itu amat mendadak, sehingga satu-satunya
jalan ialah bertiarap menghindari maut itu.
Ternyata Dandangmala cukup cerdik. Berbareng
Pandan Arum bertiarap menghindari serangannya
itu, cepat-cepat ia melesat ke samping meninggalkan
arena pertempuran dan langsung menuju ke arah
kuda beban. Sebuah karung yang terbesar
disambarnya dan kemudian dipanggul serta
dibawanya kabur.
“Aaaaakh!” terdengar teriakan ngeri keluar dari
mulut Kalapati, ketika sebuah kilatan pedang Mahesa
Wulung menebas lambung kirinya. Dengan mulut
yang menganga seakan tidak percaya, ia masih
mencoba mengerahkan sisa tenaganya untuk
membacok Mahesa Wulung yang dengan tenangnya,
kini berdiri di hadapannya. Tetapi tangannya yang
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan siap
membacok itu, ternyata tidak tahan lagi, Pedangnya
terlepas jatuh ke tanah bersamaan darah merah
segar menyembur dari lambung kirinya. Seketika itu
pun ia terguling rebah dan mati.
“Adi Pandan Arum, cepat bangun! Lawanmu telah
kabur dan membawa lari Empu Baskara. Ayo, kita
kejar dia! Cepat!”
Teriakan Mahesa Wulung itu ternyata berpengaruh
besar bagi Pandan Arum. Bagai orang yang sadar dari
mimpi iapun cepat bangun dan melesat bersama-
sama Mahesa Wulung untuk mengejar Dandangmala
yang telah lari.
Kejar-mengejar terjadi dengan serunya. Mereka
seperti tiga ekor ayam hutan yang saling berkejaran
menyusup menerobos segala semak belukar yang
rimbun dengan amat lincah dan pesatnya. Namun
Mahesa Wulung kepandaiannya berlari lebih unggul
dari Pandan Arum ataupun Dandangmala sendiri.
Maka sebentar kemudian tersusullah Dandangmala
oleh Mahesa Wulung.
Dengan satu loncatan yang manis, Mahesa Wulung
mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan ia
meloncat melayang ke udara untuk kemudian
menubruk Dandangmala. Satu totokan jari-jarinya ke
arah pangkal telinga Dandangmala, sudah cukup
untuk merobohkan orang ini ke tanah bersama-sama
karung yang dipanggulnya.
Bagaikan selembar kain, tubuh Dandangmala
terkapar tanpa daya. Semua anggota badannya
seolah-olah lumpuh, kecuali mata dan mulutnya.
“Nah, Adi Pandan Arum, kini berhasillah tugas
kita! Empu Baskara kembali ke tangan kita!” ujar
Mahesa Wulung sambil mendekati karung yang
tergeletak di tanah.
Pandan Arum pun mendekat, rupanya ia sudah
tidak sabar lagi. Maka cepat-cepat ia membuka tali-
temali yang mengikat karung itu, sementara Mahesa
Wulung mengikutinya dengan pandangan mata serta
hatinya yang berdegup-degup keras.
“Ooooh, apa ini?! Kakang Wulung, lihat!” seru
Pandan Arum keras. Demikian juga Mahesa Wulung
terbelalak matanya demi melihat isi karung yang
telah dibuka itu.
“Kurang ajar! Isinya hanya daun-daun kering
belaka,” seru Mahesa Wulung sambil mengaduk-aduk
isi karung. “Kita tertipu mentah-mentah!”
“Kakang Wulung, mari kita tanyai orang itu.
Mungkin ia tahu kemana mereka menyembunyikan
Empu Baskara!” tukas si Pandan Arum terdengar.
“Ya, aku setuju hal itu,” Mahesa Wulung berkata
seraya mendekati tubuh Dandangmala. Meskipun
setengah lumpuh, orang ini masih juga memancarkan
sinar matanya yang tajam menatap Mahesa Wulung
dan Pandan Arum.
“Hei, Dandangmala! Cepat kau katakan di mana
Empu Baskara kau sembunyikan?!”
Tak menjawab si Dandangmala. Benar-benar ia
mengunci mulutnya. Mahesa Wulung mulai tak
sabar.
“Ayo, lekas katakan, setan! Di mana Empu
Baskara berada!”
Belum juga terdengar jawaban dari mulut
Dandangmala, kecuali dengus nafasnya yang naik
turun amat kencangnya. Hal ini membuat Mahesa
Wulung kehabisan sabarnya.
“Taar! Tar! dua” tamparan tangannya telah singgah
di pipi Dandangmala. Tapi ia masih tetap bungkam
dan Mahesa Wulung betul-betul marah kali ini.
Segera ia menghunus pedangnya.
“Cepat berkata! Kalau tidak, nyawamu akan
melayang di ujung pedangku ini!” Bentak Mahesa
Wulung. “Di mana Empu Baskara!”
Melihat mata pedang menempel dadanya,
Dandangmala menjadi ketakutan. “Baik! Baik...! Aku
akan katakan kepadamu. Tapi jangan... bunuh aku.
Empu Baskara telah dibawa oleh.... Aaaakh!”
Teriakan panjang memilukan terdengar dari
mulutnya, bersamaan sebuah leretan sinar putih
yang menyambar cepat ke arah lehernya dan
menancap di situ! Dandangmala mati seketika.
“Paku baja beracun!” desis keduanya berbareng,
kemudian meloncat berdiri serta bersiaga.
“Ha, ha, ha, ha! Kalian betul-betul goblok! Akulah
yang membawa Empu Baskara! Nah, selamat tinggal
sobat!” teriakan itu terdengar bersamaan sebuah
bayangan berkelebat amat cepat. Gerakannya bagai
hantu. Bayangan itu memanggul sebuah karung pada
bahu kirinya sedang tangan kanannya menjinjing
sebuah kapak besar!
“Tahan, Kakang Wulung! Jangan kejar sekarang
juga. Biarkan ia berlari,” seru Pandan Arum sambil
memegang lengan kanan Mahesa Wulung.
“Mengapa, Adi Pandan?”
“Berbahaya jika dikejar sekarang pula,” jawab
Pandan Arum. “Jangan kuatir, Kakang, aku tahu
sarang mereka, orang-orang gerombolan Jorangas itu!
Kita akan ke sana dan mencari Empu Baskara.”
“Hmm, benar juga katamu itu, Adi,” ujar Mahesa
Wulung. “Tapi kita harus singgah dulu ke Jepara.
Kita akan menjemput Adi Jagayuda disana dan
selanjutnya kita bertiga akan menerobos ke sarang
mereka.”
Tak lama kemudian, Mahesa Wulung telah
menyiapkan kudanya, juga Pandan Arum pun
mengambil salah seekor kuda dari kedua orang
gerombolan Jorangas yang telah mati itu. Keduanya
segera meloncat ke atas punggung kudanya masing-
masing serta berpacu ke arah barat laut dengan
kencangnya.
Bila rembulan semakin bergeser ke arah langit
barat, Mahesa Wulung dan Pandan Arum
mempercepat lari kudanya, mereka ingin lekas-lekas
sampai di Jepara, dan kemudian mencari Empu
Baskara.
Dalam berkuda itu Mahesa Wulung berpikir
dengan heran tentang munculnya Pandan Arum
dalam saat-saat yang tepat. Bukannya ia tidak
merasa senang dengan kedatangan gadis ini. Tetapi
masalah yang kini harus dihadapinya cukup berat
dan berbahaya. la sebenarnya merasa cemas jika
Pandan Arum turut melibatkan dirinya dalam hal ini.
Mahesa Wulung pun tersenyum bila mengingat
sifat gadis yang kini berkuda di sampingnya. Pandan
Arum seorang gadis yang berkemauan sekeras baja
dan kadang-kadang suka menentang bahaya
dimanapun saja. Telah beberapa kali saja, Pandan
Arum bersama dirinya berjuang melawan kejahatan,
melawan gerombolan-gerombolan hitam, dan selama
itu tak sebuah bahaya pun yang mampu menyeret
apalagi sampai memusnahkannya.
Namun kali ini tugas yang dipikulnya jauh lebih
berat dari yang sudah-sudah. Kalau dahulu dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya ia dibantu oleh
sahabat-sahabat dan juga oleh anak-anak buahnya
dari Armada Demak, sekarang ini hanya boleh
diselesaikan secara diam-diam oleh dirinya bersama
Jagayuda. Hanya berdua saja! Maka kedatangan
Pandan Arum ini lebih memperberat tugasnya,
karena ia harus menjaga keselamatan gadis yang
dicintainya itu.
“Adi Pandan Arum, mengapakah Adi begitu
berminat dalam tugasku untuk mencari Empu
Baskara ini?” sapa Mahesa Wulung sambil menoleh
ke samping.
“Oh, aku juga ingin turut mencarinya, Kakang.
Bukankah Empu Baskara penting artinya bagi
Demak? Dan terutama pula dengan tugas ini, aku
akan selalu berada di samping kakang.” Pandan
Arum berkata demikian sekaligus melemparkan
lirikan matanya yang indah itu ke arah Mahesa
Wulung. Karuan saja pendekar ini menjadi
berdegupan jantungnya setengah mati, karena lirikan
gadis yang menjadi tambatan kasihnya, seperti panah
yang menembus ke dada.
“Eh, eh, kalau begitu dan itu benar, aku pun tak
keberatan, Adi Pandan. Sebab jika Adi selalu berada
di sampingku, aku tak kuatir Adi akan hilang
digondol orang,” ujar Mahesa Wulung menggoda
sambil tersenyum.
“Wiiii, yang menggondol ya Kakang Wulung sendiri,
to?” Pandan Arum menyindir dan mencibirkan
bibirnya yang tipis dan merah delima itu, hingga
sekali lagi membuat Mahesa Wulung kelabakan
hatinya.
Memang terasa indah perjalanan itu. Sinar bulan
yang condong di langit barat bersinar dengan
terangnya, dan jauh di arah barat laut sana, berkelip-
kelip cahaya-cahaya lampu minyak dari rumah-
rumah yang bertebaran di dekat sawah-sawah yang
hanya beberapa bahu saja. Pohon-pohon besar
tumbuh pula disana-sini dengan suburnya.
“Kakang Wulung, lihatlah di sana. Bukankah itu
Desa Pecangakan?”
“Tak salah, Adi. Memang, itulah Desa Pecangakan.
Tapi kita hanya lewat saja, Adi Pandan, kita tak perlu
singgah karena malam sudah begini larut,” kata
Mahesa Wulung.
Beberapa saat kemudian mulailah mereka
memasuki jalan desa itu Sepi. Desa itu terasa aman
tampaknya. tak suatu pun yang kelihatan
mencurigakan.
Ketika mereka berdua tiba di pintu keluar dari
jalan desa itu, dari sebuah warung yang telah
tertutup pintunya, keluarlah seseorang yang berjalan
sempoyongan menuju ke arah mereka! Orang itu
sambil sempoyongan menyanyi tak karuan,
sementara bau tuak terhambur dari mulutnya.
“Jenang gula, kowe jangan lupa... Hah, hah, hah.
Wong ayu anaknya siapa... Heei, berhenti kamu yang
berkuda! Beri aku uang untuk beli tuak. Aku sangat
haus. Hah, hah, hah,” orang itu meskipun
sempoyongan, tapi masih juga bisa mengacungkan
telapak tangannya ke arah Mahesa Wulung. “Ayo
lekas beri aku uang!”
Mahesa Wulung tahu bahwa orang ini sedang
mabuk, maka ia tak mau membuat keributan dengan
orang ini. Cepat ia mengambil beberapa mata uang
dari ikat pinggangnya kemudian diulurkan ke telapak
tangan orang ini. Begitu diterimanya, orang ini
dengan rakus menyimpan uang tadi.
“Terima kasih, hah, hah, hah, terima kasih.”
“Kisanak!” sapa Mahesa Wulung kepada orang itu.
“Siapakah engkau, dan tampaknya Kisanak adalah
seorang pelaut yang ulung.”
Mahesa Wulung sengaja memuji orang itu agar ia
mau mengoceh lebih banyak. la tahu, bahwa orang
mabuk suka mengoceh tanpa segan-segan tentang
segala pengalamannya.
“Hah, hah, hah, kalian belum kenal aku? Seorang
pelaut yang telah menjelajahi lima lautan di
Nusantara ini? Akulah Rajungan, anak buah Lajur
Terasi!”
Bagai sambaran petir nama itu terdengar oleh
telinga Mahesa Wulung, sebab Lajur Terasi pernah
menjadi buronan armada Demak lima tahun yang
lalu. Waktu itu ia berhasil lolos dan sejak itu
namanya tak pernah disebut-sebut lagi oleh orang,
sementara ada yang mengatakan kalau ia telah
tenggelam bersama kapalnya, tapi ada pula yang
mengabarkan kalau ia tengah mendekam di Pulau
Nusakambangan untuk memperdalam ilmunya.
“Oh, jadi Kisanak adalah anak buah Lajur Terasi.
Tentu banyak pula pendekar-pendekar yang
menyertainya?” tanya Mahesa Wulung.
“Hah, hah, tepat kata-katamu itu! Pendekar Rikma
Rembyak dan gurunya, Ki Topeng Reges ikut pula
datang kemari!” jawab orang itu tanpa merasa curiga.
Kalau saja ia tahu kalau yang diajaknya bercakap itu
Mahesa Wulung, musuh utama setiap gerombolan
hitam, pastilah ia tidak akan sudi melayaninya. Dan
yang pasti iapun akan mencincangnya habis-habisan!
“Hmm, kalian memang orang-orang yang hebat,”
puji Mahesa Wulung. “Kalau begitu, siapakah yang
mendapat kehormatan atas kunjungan kalian ini?”
“Heh, heh, heh, kami datang kemari untuk
menjemput Empu Baskara!” ujar Rajungan.
“Menjemput Empu Baskara?” berseru Mahesa
Wulung setengah heran.
“Ya! Menjemput Empu Baskara dari tangan
Jorangas. Kami akan menukarnya dengan uang
panas!”
“Ooh,” desis Pandan Arum demi mendengar
ucapan Rajungan yang begitu gamblang. “Di mana
Kisanak akan mengadakan tukar-menukar itu?”
“Heh, heh, heh, heh. Wong ayu kepingin tahu?
Baik, aku akan mengatakannya, tapi kau pun harus
memberi uang kepada Rajungan ini! Heh, heh, heh.”
Dengan cepat Pandan Arum mengambil beberapa
mata uang dari ikat pinggangnya lalu diberikan
kepada orang itu.
“Hmm, cukup banyak uangku sekarang. Kalau
kalian ingin tahu tempatnya, di sana, di kaki barat
Gunung Muria! Pada Jurang Mati itulah kami akan
bertemu dengan mereka.”
Mahesa Wulung merasa cukup akan keterangan-
keterangan yang diocehkan oleh mulut Rajungan.
Maka ia tak bermaksud lebih lama lagi berada di
tempat itu. Apalagi ia telah mendengar nama
Rajungan dipanggil-panggil dari dalam warung.
“Rajungan! Rajungan! Di mana kamu?! Ayo lekas
kembali!”
Segera Mahesa Wulung memberi isyarat kepada
Pandan Arum dan gadis inipun sudah tahu apa yang
harus diperbuatnya. Keduanya segera menghardik
kudanya untuk meninggalkan tempat itu.
“Maaf Rajungan, kami terpaksa meninggalkamu.
Malam sudah sangat larut dan kau dengar tadi,
kawanmu telah memanggilmu kembali!” seru Mahesa
Wulung.
“Heh, heh, heh, pergilah sesukamu! Aku berterima
kasih atas pemberian uangmu ini, Kisanak. Mudah-
mudahan kita akan bertemu kembali.” Rajungan
berkata sambil melangkah ke samping dengan
sempoyongan ia berjalan ke arah warung itu kembali.
Sementara itupun Mahesa Wulung bersama
Pandan Arum telah berpacu meninggalkan desa
Pecangakan, menuju ke arah barat laut, menempuh
jalan yang menuju ke kota Jepara.
***
LIMA
Bila kabut masih menyelimuti kota Jepara, tam–
paklah kesibukan yang sudah menjadi kebiasaan
penduduk kota itu sehari-hari. Mereka telah bangun
bersamaan kokok ayam jantan yang pertama, untuk
kemudian pergi ke tempat pekerjaannya masing-
masing. Yang mempunyai sawah segera menggarap
sawahnya, sedang yang menjadi nelayan, mereka pun
pergi ke laut dengan membawa alat-alatnya. Begitu
pula yang berdagang ke pasar, mereka berbondong-
bondong menggendong barang dagangannya. Yang
laki-laki memikul dan anak-anak pun ada satu dua
yang mengikuti orang tuanya ke pasar.
Maka pada saat kesibukan itulah dari arah tengga–
ra tampak dua orang berkuda memasuki kota Jepara.
“Adi Pandan Arum, kita akan langsung menuju ke
Balai Ksatrian agar Adi Jagayuda segera mengetahui
kedatangan kita,” ujar Mahesa Wulung.
Gadis itu tersenyum. Katanya. “Baik, Kakang
Wulung, tapi apakah kita dapat beristirahat sejenak,
nanti? Aku sudah cukup merasa lapar, Kakang.”
Mahesa Wulung agak terperanjat. Baru kali inilah
ia sempat mengingat bahwa semalaman mereka telah
berkuda menempuh jarak yang cukup jauh. Karena
kesibukan tugas itu, rasa lapar seolah-olah terlupa–
kan. Tapi dengan pertanyaan Pandan Arum itu, iapun
sadar dan bahkan perutnya seketika merasa melilit
lilit kelaparan. Maka berkatalah Mahesa Wulung.
“Oh, aku pun sudah merasa lapar pula, Adi Pan–
dan. Memang kita akan beristirahat sebentar sambil
mengisi perut, dan yang penting kita pun akan be–
runding dengan Adi Jagayuda tentang tugas kita ini!”
Setelah keduanya membelok ke timur dan segera
memasuki pintu gerbang rumah yang berhalaman
luas, merekapun cepat-cepat turun serta menambat–
kan kudanya. Itulah Balai Ksatrian bagi para perwira
dari armada Demak!
Baru saja mereka selesai menambatkan kudanya,
dari arah pendapa keluarlah seseorang yang langsung
datang ke arah mereka.
“Ah, Kakang Mahesa Wulung dan Adi Pandan
Arum! Aku telah lama menunggu-nunggu kalian.
Nah, mari silahkan segera masuk.” Jagayuda mem–
persilahkan kedua sahabatnya itu, dan ketiganya
masuk ke dalam pendapa.
Maka setelah ketiganya duduk tampaklah betapa
akrabnya mereka bertiga. Maklumlah, hampir dalam
setiap tugas ketiga pendekar ini selalu bersama-sama
mengalami suka dan duka. Mereka tak akan lupa
perjuangan mereka menentang gerombolan hitam
Alas Roban, kemudian, mengejar kawanan bajak laut
Karimun Jawa dan terakhir melawan badai di Selat
Karimata. Sedang kali ini ketiganya berhadapan
dengan tugas yang lebih berat, yaitu menemukan
kembali Empu Baskara yang telah hilang.
“Nah, Adi Jagayuda,” ujar Mahesa Wulung sesaat
setelah mereka mengabarkan keselamatan serta
pengalaman mereka masing-masing. “Siang nanti
selewat lohor kita mulailah tugas kita ini. Aku
bersama Pandan Arum akan mencoba menerobos ke
sarang gerombolan Jorangas. Kalau ternyata Empu
Baskara masih berada di situ, kami akan berusaha
membebaskan. Sedang Adi Jagayuda sendiri lang–
sung menuju ke Jurang Mati, untuk menunggu
setiap kemungkinan yang bakal terjadi.”
“Baik, Kakang. Kalau begitu marilah sekarang me–
nyiapkan bekal-bekal kita untuk perjalanan nanti,”
berkata Jagayuda. “Apakah kita perlu membawa
senjata jarak jauh, Kakang?”
“Panah maksudmu itu?” potong Mahesa Wulung.
“Ya,” jawab Jagayuda.
“Hmm, baik. Bawalah senjata itu. Kita memang
menghadapi musuh yang cukup banyak serta berke–
kuatan besar. Pasti panah itu akan besar gunanya.”
Begitulah, di waktu matahari mulai muncul di
lereng Gunung Muria dan sinarnya merayapi puncak-
puncak pohon sawo kecik di halaman pendapa Balai
Ksatrian, ketiga pendekar itu sibuk mempersiapkan
bekal-bekalnya, termasuk senjata-senjata mereka.
Diperiksanya dengan teliti, apakah dalam keadaan
yang baik untuk menghadapi lawan-lawan mereka
yang tidak mustahil bersenjata yang lebih hebat.
Mereka pernah mengenal Pendekar Rikma Rembyak
yang bersenjata tongkat kayu disamping pusaka
terompet kulit siput yang bunyinya mampu
melumpuhkan jiwa dan kesadaran seseorang.
Ditambah dengan pendekar-pendekar lain seperti Ki
Topeng Reges serta orang-orang dari gerombolan
Jorangas, pastilah lawan-lawan yang harus mereka
hadapi tidaklah semudah orang menghalau berandal
yang hanya kecil-kecilan. Berandal yang harus
mereka hadapi kini adalah berandal-berandal yang
jauh lebih besar. Mereka bukan sekedar tukang
mencegat orang yang pergi berdagang ke pasar, tapi
jauh lebih dari itu. Mereka telah berani mengacau
keamanan dan kesentausaan Demak, maka tak ada
pilihan kecuali harus dihancurkan.
Waktu terus bergeser, seperti matahari yang
merayap dari garis edarannya, dari arah timur
perlahan-lahan bergeser ke arah barat, dan bila ia
telah membuat bayang-bayang tubuh condong ke
timur, maka berangkatlah Mahesa Wulung, Jagayuda
dan Pandan Arum meninggalkan pendapa Balai
Ksatrian, mereka menuju ke jalan yang mencapai
kota sebelah timur yang ditempuhnya dalam waktu
hanya sekejap.
“Adi Jagayuda, di sinilah kita berpisah. Engkau
harus menuju ke timur menuju Jurang Mati dan aku
bersama Adi Pandan Arum ke arah tenggara,” kata
Mahesa Wulung. Dan jangan lupa Adi, kau bersem–
bunyi saja di tempat itu untuk mengawasi apa yang
terjadi di situ. Jangan bertindak lebih sebelum aku
datang.”
“Baik, Kakang. Aku akan melaksanakan perintah–
mu sebaik mungkin,” jawab Jagayuda.
“Nah, sekarang mari kita segera berpisah di sini
Adi Jagayuda. Selamat dalam tugasmu kali ini dan
semoga Tuhan melindungi kita sekalian,” seru
Mahesa Wulung sebelum ia bersama Pandan Arum
memutar dan memacu kudanya ke arah tenggara.
Sedang Jagayuda cepat-cepat melarikan kudanya ke
arah timur menuju ke kaki barat Gunung Muria.
Bagi Mahesa Wulung, tugas kali ini tak dapat
dibayangkan betapa kejadian yang bakal mereka
jumpai. Apakah lebih berat, apakah mereka berhasil
menemukan kembali Empu Baskara yang hilang atau
entahlah. Ia pun tak bisa menemukan jawabannya.
Maka jalan satu-satunya ialah berpasrah kepada
Tuhan Yang Maha Besar akan segala nasib mereka.
Sebab nasib mereka pasti telah tersurat, sehingga
manusia tak akan kuasa merubahnya.
Untuk beberapa lama Mahesa Wulung tak berkata-
kata dan Pandan Arum pun sibuk pula memacu
kudanya. Mereka segera mencapai daerah perbukitan
di kaki sebelah barat daya Gunung Muria. Pandangan
mata Mahesa Wulung seakan-akan terpaku pada
bukit yang terbujur membentang di hadapannya,
yang berlekuk-lekuk seolah-olah timbul tenggelam
diseling oleh kerimbunannya pohon-pohonan.
Jalan yang mereka lalui semakin menanjak ber–
liku-liku. Udara pegunungan terasa sejuk meresap ke
dalam lobang-lobang kulit meskipun matahari ber–
sinar dengan terik. Awan-awan putih seperti kapas
melayang-layang menyaput ujung dedaunan di atas
pohon-pohon yang besar.
Bila mereka telah menempuh jalan yang makin
menanjak itu, kuda-kuda mereka semakin berkurang
larinya. Jauh di sana di sebelah barat laut, terham–
parlah dataran rendah yang subur hijau itu seakan-
akan permadani raksasa yang terhampar sampai ke
tepi pantai Jepara. Genting-genting yang merah dari
rumah-rumah di kota Jepara terlihat sangat indah
dan di pantai tampaklah berderet-deret perahu arma–
da Demak yang berlabuh dengan tenang. Sedang jauh
di tengah, perahu-perahu nelayan sibuk memungut
hasil-hasil laut yang berupa ikan-ikan segar.
Di kiri kanan jalan yang mereka lalui terbentang–
lah padang rumput luas, diseling dengan semak-
semak pohon perdu yang berserakan di sana-sini tak
teratur.
Pada lereng-lereng bukit yang cukup curam
tumbuh batang-batang ilalang setinggi dada.
Tiba-tiba Mahesa Wulung melayangkan pandang–
annya ke lereng sebelah selatan, di mana di bawah
kerimbunan pohon-pohon sarangan dan pakis terli–
hatlah oleh matanya yang tajam seperti burung elang,
akan bayangan sebuah goa.
“Adi Pandan Arum, lihatlah di sana!” seru Mahesa
Wulung. “Tampakkah olehmu sebuah goa?”
“Sttt!” bisik Pandan Arum. “Memang itulah tempat
yang kita tuju. Di situlah orang-orang Jorangas
bersarang. Baiknya kita turun saja di sini, Kakang
Wulung!”
“Setuju,” sahut Mahesa Wulung seraya meloncat
turun dari atas kudanya. “Kita tambatkan kuda-kuda
kita di bawah pohon cemara ini, Adi.”
Perasaan terbang segera merayapi hati mereka, se–
telah kuda-kuda selesai ditambatkan pada kerimbu–
nan semak-semak yang cukup tersembunyi. Dengan
mengendap-endap serta menerobos batang-batang
ilalang keduanya sedikit demi sedikit mendekati goa
itu. Mahesa Wulung di sebelah muka dan Pandan
Arum di belakang. Keduanya sangat berhati-hati. Se–
bisa-bisa mereka jangan sampai menginjak batang-
batang dan ranting-ranting yang kering ataupun me–
matahkan cabang-cabang pohon sedikit pun, sebab
itu semua akan menimbulkan bunyi yang mudah
terdengar oleh telinga-telinga gerombolan Jorangas.
Jarak mereka semakin dekat. Keduanya berhasil
bersembunyi di semak-semak pohon pakis tidak
berapa jauh dari goa. Ketika mereka akan bertindak
lebih jauh lagi, tiba-tiba berloncatanlah orang-orang
bersenjata dari balik batu-batu besar dan dari ca–
bang-cabang pohon sarangan, langsung mengepung
mereka.
“Berhenti! Jangan bergerak!” teriak seorang tinggi
kekar bersenjata kapak besar. “Hua, ha, ha, ha.
Suatu kehormatan jika kalian sudi berkunjung ke
tempat yang terpencil ini! Dan kau yang telah
membuat malu kepadaku, kau pasi akan menerima
balasan yang setimpal!” teriak Gogorwana keras-
keras sambil menunjuk ke arah Mahesa Wulung.
Mendengar kata-kata itu, Mahesa Wulung cepat
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Tapi ia
terpaksa menggagalkan sikapnya itu karena dari
dalam goa keluarlah Empu Baskara dengan terikat
tangannya ke belakang, dan di sampingnya berdiri
pula seorang yang berperawakan sedang dan kekar.
Pada ikat pinggangnya tergantung dua buah pengga–
da pendek berujung bola besi berduri.
“Awas, berbuat sesuatu, nyawa Empu Baskara ini
akan segera melayang di tanganku!” ancam orang ini
yang tidak lain adalah Jorangas pemimpin dari
gerombolan Jorangas. “Sekarang katakan apa
maksud kalian datang kemari.”
“Aku mau menjemput Empu Baskara!” kata
Mahesa Wulung lantang.
“Ha, ha, ha, menjemput Empu Baskara? Sayang,
dia sudah ada yang memesan, Kisanak! Mereka akan
menjemput Empu Baskara di Jurang Mati dan tidak
secara cuma-cuma kami menyerahkannya,” ujar
Jorangas sambil ketawa meringis. “Mereka akan me–
nukarnya dengan seperti uang emas! Nah, lumayan
juga, bukan!?”
“Kurang ajar! Kalian memang orang-orang yang
busuk! Sudah sepantasnya kalau kalian dicuci
dengan api neraka!” teriak Mahesa Wulung.
“Ha, ha, ha, kalian memang orang-orang yang
hebat. Berani memasuki sarang harimau!” ejek Jora–
ngas kemudian. Sekarang aku persilahkan kamu
berdua beristirahat dulu dan selamat bermimpi... ha,
ha, ha!”
Begitu berakhir kata-katanya, Jorangas menarik
sebuah tambang besar yang terjurai dari sebuah
lobang dinding goa dan seketika tanah yang dipijak
oleh Mahesa Wulung dan Pandan Arum bergetar
oleng dan merekah serta membuka, laksana pintu
maut yang menganga menanti korbannya.
Tubuh Mahesa Wulung dan Pandan Arum serentak
terperosok ke dalam lobang itu, diiringi oleh derai
ketawa yang gemuruh dari mulut-mulut anak buah
Jorangas.
“Ha, ha, ha, nikmatilah hidupmu yang terakhir!
Sebentar lagi namamu akan musnah dan tak seorang
pun yang bakal menemukan mayatmu!” Sekali lagi
terdengar ejekan Jorangas.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum melayang ter–
pelanting ke bawah. Untungnya mereka tidak kehi–
langan akal sehingga mereka masih dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya. Maka merekapun jatuh ke
dasar lobang tanah itu dengan kakinya lebih dahulu
menginjak tanah.
Sesaat kemudian terdengarlah lapat-lapat derap
kaki kuda meninggalkan tempat itu dengan aba-aba
Jorangas yang lantang.
“Cepat! Kita menuju ke Jurang Mati! Biarkan
kedua orang itu mampus di dalam lobang! Ha, ha,
ha!”
Sesaat kemudian terasa kesunyian mencengkam
tempat itu. Apalagi bagi kedua makhluk yang malang
itu. Ternyata keadaan lobang perangkap dalam tanah
tersebut cukup tinggi dan dalam. Kira-kira setinggi
tiga tombak lebih sedikit, sedang sisi-sisi dinding dari
lobang itu sangat licin, terdiri dari batu-batu gunung
yang rupa-rupanya telah dipasah halus.
Demikian pula dengan udaranya, terasa sangat
pengap berbau belerang. Semua kejadian ini benar-
benar di luar dugaan mereka. Mahesa Wulung dalam
hati mengutuk dirinya sendiri yang begitu kurang
teliti dan mudah kena perangkap musuhnya. Kalau
hanya dialami sendiri akan kejadian yang malang itu,
maka tak seberapalah penyesalannya. Tapi gadis
yang sangat dicintainya, kini terikut pula dalam
lobang perangkap gerombolan Jorangas. Sungguh
sayang. Sayang sekali jika Pandan Arum sampai
menemui bencana di tempat yang terpencil ini.
Kini Mahesa Wulung berdiam diri, sementara
kepalanya berputar mencari siasat untuk melepaskan
diri dari lobang perangkap ini.
Sedang Pandan Arum sendiri melihat Mahesa
Wulung berdiam diri, ia menjadi lebih bingung.
Sekarang timbullah dalam hatinya, satu perasaan
menyesal, karena telah mencampuri tugas kewajiban
Mahesa Wulung dan menyeretnya ke tempat ini,
sehingga mereka sendiri akhirnya terperosok ke
dalam perangkap lawan.
Berpikir begitu, Pandan Arum merasa berputus
asa untuk dapat keluar dari perangkap tersebut.
Nafasnya menjadi kencang tak teratur dan lehernya
serasa tersekat oleh sedu-sedu penuh penyesalan.
Kemudian bersama butir air matanya mulai
menetes dari sudut mata, gadis ini tiba-tiba merasa
cemas. Selanjutnya ia mendekap dada Mahesa
Wulung.
“Oh, Kakang Wulung. Apakah kita akan mati
bersama di lobang tanah ini, Kakang?” isak Pandan
Arum berputus asa. Ternyata naluriahnya sebagai
wanita, yang mudah merasa cemas itu timbul secara
cepat.
“Tenang, Adi Pandan. Tabahkan hatimu dalam
cobaan yang berat ini. Jika kita tak berhasil lolos dan
terpaksa harus mati disini, biarlah Adi. Bukankah
kita tetap berdua dan akan mati bersama-sama?”
“Benar, Kakang. Benar. Cinta kita akan kekal
selama-lamanya. Tapi Kakang Wulung, aku tak mau
mati dengan cara yang sekonyol ini, bagai tikus-tikus
dalam perangkap,” ujar Pandan Arum sambil bersem–
buran sedu-sedannya. “Aku menyesal telah memba–
wamu ke tempat ini, Kakang!”
“Jangan berkata demikian, Adi. Itu mungkin
sebagai suatu rentetan ujian yang harus kita hadapi
dengan sepenuh tenaga. Jika kita telah berputus asa
di tengah jalan, pastilah kita menjadi lebih cepat
hancur!”
“Apakah Kakang menemukan suatu jalan untuk
lolos dari lobang ini?” Pandan Arum bertanya dengan
cemas
“Akan aku coba dengan tenagaku, Adi. Nah, berlin–
dunglah di belakangku. Aku akan mencoba merusak
dinding perangkap ini!” ujar Mahesa Wulung.
Dengan cepat Pandan Arum berdiri di belakang
Mahesa Wulung. Sesaat kemudian, Mahesa Wulung
telah mengerahkan dan memusatkan segenap tenaga
lahir batinnya bersamaan tangan kanannya menekuk
ke belakang serta mengepal.
“Hyaaaat!!!”
Glaaar!
Suara benturan dahsyat akibat pukulan tangan
Mahesa Wulung yang berlandaskan aji ‘Lebur Waja’
menggelegar di dalam lobang itu, hingga Pandan
Arum terpaksa menutupkan kedua belah tangannya
ke telinga. Satu sisi dinding batu gunung yang
merupakan dinding licin perangkap itu telah retak
dan hancur berkeping-keping lembut. Namun mereka
serentak terperanjat setengah mati bila dari lobang
pecahan dinding itu mengalir air yang berkepul
mengeluarkan dan menguapkan bau belerang yang
menyesakkan dada. Pandan Arum terbatuk-batuk
karena uap ini.
“Perangkap!” desis Mahesa Wulung menyaksikan
hal itu. “Mereka sengaja mengatur ini secara terpe–
rinci!”
“Kakang Wulung, aku tak kuat lagi...,” rintih
Pandan Arum diseling dengan batuk-batuk.
“Tahan sebentar lagi, Adi!” seru Mahesa Wulung
sambil melolos cambuknya dari pinggang. “Hanya ini–
lah satu-satunya harapanku!”
Dengan menggenjotkan kakinya ke tanah yang kini
mulai terendam air, Mahesa Wulung melenting ke
atas bersamaan tangannya melecutkan cambuk Naga
Geninya ke arah atas, keluar dari lobang tersebut. Ia
berharap kalau ujung cambuknya berhasil mengait
salah satu benda di sekitar mulut lobang perangkap
itu, pastilah cambuk ini dapat dipakainya sebagai
alat pemanjat yang baik!
Taar! Ujung cambuk itu melesat keluar tapi sesaat
kemudian kembali lagi memantul ke bawah, karena
tak berhasil menemukan pegangan.
Mahesa Wulung menghadap ke arah lain dan se–
kali lagi melecutkan cambuknya ke mulut lobang itu.
Taar! Sretttt!
“Berhasil!” desis Mahesa Wulung gembira, karena
ujung cambuknya terasa menemukan sasarannya
dan cepat-cepat ia mencoba menarik-nariknya, apa–
kah cukup kuat untuk dipakainya memanjat.
Ternyata ujung cambuk Mahesa Wulung telah
melilit akar-akar dari pohon sarangan tua yang tum–
buh di sebelah barat dari mulut lobang perangkap
tersebut.
Sementara itu terasa kalau kaki mereka seakan-
akan tercelup dalam air mendidih yang berbau asap
belerang! Maka tanpa menunggu waktu lebih lama,
Mahesa Wulung segera memeluk pinggang Pandan
Arum dengan tangan kiri sedang tangan kanannya
berpegang cambuk. Hampir saja gadis ini jatuh ke air
panas itu karena badannya telah lemas akibat rasa
cemas dan uap belerang yang mematikan.
Untungnya dengan cepat-cepat ia memeluk ping–
gang gadis itu, Mahesa Wulung berhasil menahan
tubuh Pandan Arum yang mulai merosot ke air ber–
uap belerang panas!
“Adi Pandan! Cepatlah bergantung pada bahuku
dan berpeganglah erat-erat!”
“Baik, Kakang Wulung,” ujar Pandan Arum dengan
lemah. “Aku telah siap!”
Dengan susah payah, mereka berdua sedikit demi
sedikit memanjat ke atas melewati dinding yang telah
retak dan berlobang akibat pukulan Lebur Wajanya
Mahesa Wulung. Sambil menghindari dinding-dinding
yang licin, mereka terus memanjat ke atas dan
akhirnya dengan nafas yang lega, keduanya selamat
sampai pada mulut lobang perangkap itu.
Tetapi baru saja mereka selesai keluar dari lobang
tersebut, mendadak Pandan Arum berteriak nyaring.
“Awas, Kakang Wulung, mereka datang!”
Mata Mahesa Wulung menangkap dua bayangan
yang melesat ke arah mereka dengan bersenjata
pedang.
“Kurang ajar! Kalian ternyata bernyawa rangkap.
Tapi jangan harap lolos dari tempat ini!” seru salah
seorang dari mereka. Kedua anak buah Jorangas
menyerang berbareng dengan tebasan pedangnya.
Dalam saat yang menegangkan ini Pandan Arum
cepat bertindak. Ia melolos selendang jingganya.
Sraat! Seleret sinar merah jingga melibat ke arah
pedang-pedang mereka dan langsung membelitnya
dengan keras. Dengan satu sentakan yang keras,
Pandan Arum menarik selendang jingganya ke bela–
kang. Maka tak ampun lagi kedua orang itu bersama
pedangnya terdorong deras ke muka dan langsung
terpelanting ke arah lobang perangkap. Dua jeritan
berbareng terdengar bersama kedua tubuh mereka
lenyap ke dalam lobang itu.
“Senjata makan tuan!” desis Pandan Arum tajam.
Hatinya kini merasa agak puas, karena sebagian
dendamnya telah terbayar!
“Mereka cuma berdua, Adi Pandan! Lain-lainnya
telah pergi ke Jurang Mati!” ujar Mahesa Wulung.
“Marilah kita cepat-cepat menyusul mereka kesana!”
“Baik, Kakang. Mudah-mudahan kuda-kuda kita
tidak mereka temukan!” sela gadis itu.
Mahesa Wulung mengambil kembali cambuknya
yang masih terkait pada akar pohon sarangan.
Setelah itu keduanya menuju ke arah semak-
semak pohon pakis dan menerobosnya. Terdengarlah
ringkikan kuda yang panjang, membuat Mahesa
Wulung dan Pandan Arum tersenyum.
“Lihat, Kakang. Kuda-kuda kita selamat.”
“Yah, aku bersyukur, Adi. Tapi kita masih harus
memeras tenaga lagi. Kita harus mengejar mereka
secepatnya ke Jurang Mati, sebelum tukar-menukar
itu terjadi!”
Sekarang Mahesa Wulung melepaskan tambatan
kudanya, begitu pula dengan Pandan Arum. Sesaat
kemudian berderaplah langkah-langkah kaki kuda
mereka meninggalkan debu-debu yang berkepul ke
udara di muka goa itu.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum berjalan
beriring, menempuh jalan rintisan yang berkelok-
kelok seperti ular, menuju ke utara.
Matahari semakin bergeser ke cakrawala barat
dengan malasnya. Angin pegunungan terasa meng–
usap-usap tubuh mereka dengan segar, bagaikan
usapan seorang ibu yang begitu kasih kepada anak-
anaknya.
Di sana-sini terdengar kicau burung yang
bersahut-sahutan dari sela dedaunan.
“Hari telah sangat siang,” desis Mahesa Wulung.
“Dan sebentar lagi senja akan segera menjelma,”
sahut Pandan Arum.
Keduanya berdiam diri kembali. Masing-masing
terbenam dalam angan-angannya sendiri. Jiwa Empu
Baskara akan ditukar dengan seperti uang emas oleh
kawanan bajak Lajur Terasi, sungguh suatu perbu–
atan yang keterlaluan dan kelewat batas! Mereka
menganggap orang tua itu sebagai barang dagangan
yang bisa diperjual-belikan. Satu perbuatan yang
harus mereka cela dan kutuk habis-habisan.
“Kita harus tiba di sana sebelum gelap, Adi
Pandan,” kata Mahesa Wulung. “Ayolah, kita lebih
cepat lagi!”
Langkah-langkah kaki kuda mereka bertambah
cepat melewati jalan yang begitu rumpil dan berbatu-
batu. Mereka mesti berhati-hati kalau tidak ingin
jatuh ke tebing jurang yang cukup curam, menganga
bagai mulut-mulut raksasa menanti mangsa.
Tempat yang akan mereka tuju adalah sebuah
dataran luas yang tepinya merupakan jurang yang
curam dengan batu-batunya yang bertonjolan run–
cing. Jauh di dasar jurang, mengalirlah sungai yang
jernih airnya seperti kaca dengan tenang.
Telah beberapa orang yang mati tercampak ke
jurang ketika lewat di situ. Maka tak heranlah bila
orang-orang menyebutnya dengan nama Jurang Mati.
Karena begitu dalamnya jurang itu, kalau orang
berani berdiri di situ serta menatap dasar jurang,
maka pastilah orang tersebut akan terjatuh ke sana
seolah-olah terhisap oleh satu kekuatan ajaib dari
dasar jurang.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum semakin
berdebar mendekati tempat itu. Entah, kejadian apa
yang bakal mereka hadapi.
***
Sementara itu, Jagayuda dengan tekun dan
hampir tak bergerak terus mengawasi dataran itu
dari sela-sela batu terjal yang terlindung oleh semak
pohon pakis.
Bersamaan melayangnya awan putih yang berarak-
arak mengalir ke arah selatan, terdengarlah derap-
derap kaki kuda dari arah barat yang mengepullah
debu ke udara.
“Hmm, gerombolan Lajur Terasi!” gumam Jagayuda
sendirian. “Tapi siapa yang berkuda di depan itu? Oh
tak salah lagi, itulah dia si Rikma Rembyak! Dan
yang di sampingnya itu, siapakah dia? Mengenakan
topeng yang rusak serta mengerikan, persis wajah
dari hantu. Mungkin inilah Ki Topeng Reges guru
saktinya Rikma Rembyak dari Segoro Kidul. Sekarang
tinggal menunggu orang-orang Jorangas. Mudah-
mudahan Kakang Mahesa Wulung tidak terlambat
datang di sini!”
Jagayuda sungguh merasa gelisah melihat
kejadian yang harus dihadapinya. Mengintai dua
gerombolan yang akan bertemu di Jurang Mati. Dan
hatinya akan lebih gelisah bila telah sekian lama
Mahesa Wulung dan Pandan Arum belum juga
datang. Ah, memang, menunggu adalah suatu peker–
jaan yang berat dan membosankan. Yang dikuatirkan
adalah kelambatan!
Jika kedua gerombolan itu telah bertemu dan
berlangsung tukar-menukar itu, sedang Mahesa
Wulung belum juga datang, apakah gerangan yang
harus diperbuatnya? Merebut Empu Baskara seorang
diri? Salah! Itu sama saja dengan bunuh diri. Sebab
seberapakah kekuatan dirinya bila dibanding dengan
tokoh-tokoh utama dari kedua gerombolan itu?
Tetapi dari dalam dada Jagayuda menggeloralah
satu perasaan lain. Perasaan tanggung jawab sebagai
seorang perwira Demak! Bagaimana sukar dan
berbahayanya keadaan yang harus dihadapi, ia tak
boleh berputus asa. Ya, ia akan bertekad merebut
Empu Baskara dari tangan mereka seorang diri, jika
kedua sahabatnya itu betul-betul tidak datang.
Belum lagi habis angan-angan Jagayuda, tiba-tiba
dari arah selatan kelihatan debu yang berkepulan
serta ringkikan kuda.
Dan muncullah kini orang-orang Jorangas. Ber–
kuda paling depan adalah Jorangas sendiri, pemim–
pin gerombolan. Di belakangnya dua orang berkuda
berdampingan, yaitu Gogorwana yang bersenjata
kapak besar dan Empu Baskara dengan kedua
tangannya terikat ke belakang. Kemudian yang paling
belakang adalah tiga orang saudara pendekar pedang
bernama Jurangpitu, Parung dan Growong. Lalu
seorang lagi yang bersenjata tombak dan bernama
Watangan.
Rombongan ini masuk ke dataran Jurang Mati
dengan gagahnya. Jorangas berkali-kali memilin
kumisnya yang lebat dan kaku sebagai pernyataan
rasa bangganya karena berhasil menculik Empu Bas–
kara, seorang ahli menciptakan pusaka-pusaka am–
puh dari Demak. Dalam matanya, sudah terbayang
gemerlapnya sinar-sinar mata uang emas yang sepeti
penuh, dan sebentar lagi akan diterimanya dari
orang-orang Lajur Terasi sebagai penukar Empu
Baskara.
Setelah Jorangas dan orang-orangnya tiba di data–
ran itu, kini berhadap-hadapanlah kedua rombongan
itu laksana dua kekuatan iblis yang bertemu. Kedua-
duanya adalah gerombolan hitam yang gemar mem–
buat kekacauan. Merampok dan membunuh adalah
hal yang biasa bagi mereka dalam mencari rejekinya.
Hingga tak jarang sering antara sesama gerombolan
hitam saling berbentrok karena memperebutkan
sasaran korban yang sama. Memang jarang ada
persesuaian paham antara mereka.
Namun kali ini, dua kekuatan hitam bertemu di
Jurang Mati, tidak untuk bertempur ataupun meng–
adu keunggulan. Kali ini mereka bertemu untuk
berdagang.
Dan Empu Baskara yang menjadi barang daga–
ngan itu, merasa sedih sekali. Tak nyana bahwa diri–
nya diperlakukan serendah ini, berbeda waktu ia
masih berada di Demak. Setiap orang akan mengang–
guk hormat bila bertemu dengan dirinya di jalan.
Hatinya penuh rasa penyesalan bila memikirkan
itu semua. Sungguh malang nasib dirinya! Kalau
dahulu ia bermaksud menghindarkan ancaman
orang-orang Jorangas dengan cara melarikan diri dari
Demak, sekarang ini malah betul-betul ia jatuh ke
tangan mereka.
Sungguh memalukan! Apa kata orang-orang nanti
seandainya mereka tahu bahwa akibat tingkahnya
sendiri, ia telah masuk ke dalam perangkap gerom–
bolan Jorangas.
Sejurus kemudian setelah kedua rombongan itu
berhadap-hadapan, mereka lalu turun dari kudanya
masing-masing. Jagayuda yang melihat hal ini, makin
bertambah gelisah. Namun tiba-tiba terasa pundak–
nya ditepuk dari belakang, hingga Jagayuda mem–
balik cepat seraya melolos pedangnya.
“Tenang, Adi Jagayuda!” terdengar suara yang
berat.
“Oh, Kakang Mahesa Wulung! Kau membuatku
terkejut. Di mana Nimas Pandan Arum sekarang?”
tanya Jagayuda.
“Stt, jangan bicara keras-keras. Tuh, lihat di
semak-semak ilalang di samping pohon kering di
belakangmu,” ujar Mahesa Wulung. “Ia menunggu
kita di sana.”
Jagayuda melihat ke arah tempat itu dan
tersenyumlah ia, karena dilihatnya Pandan Arum
berdiri di sana sambil melambai kepadanya, sedang
di sampingnya tertambat dua ekor kuda yang
tubuhnya berkilat karena basah oleh keringat.
“Nah, Adi Jagayuda. Sebentar lagi kita akan
melaksanakan siasat kita. Apakah kau telah siap,
Adi?”
“Beres, Kakang. Aku paham akan segala tugasku
secara terperinci. Bahkan aku bersedia memperta–
ruhkan nyawaku untuk itu,” jawab Jagayuda.
“Bagus. Kau memang ksatria Demak yang sejati,
Adi. Jasamu akan selalu tercatat dengan tinta emas.
Nah, mudah-mudahan kita akan berhasil kali ini!”
Sementara itu antara Jorangas dan Lajur Terasi
sebagai pemimpin dari rombongan masing-masing
terjadilah serah terima di dataran lembah Jurang
Mati.
“Jorangas, terimalah ini satu peti uang emas
sebagai penukar Empu Baskara!” Lajur Terasi menye–
rahkan peti tersebut dan cepat-cepat disambut oleh
Jorangas dengan tertawa terkekeh-kekeh.
“Ha, ha, ha. Terima kasih, sobat. Terima kasih!
Tapi tunggu dulu! Aku akan melihat lebih dahulu,
apakah uang emas di dalam peti ini betul-betul asli?!”
kata Jorangas kemudian seraya membuka peti itu.
Diambilnya salah satu mata uang emas lalu digigit
serta dibauinya.
“Hmm, emas asli! Kalian memang sobat-sobat yang
baik! Sekarang, terimalah Empu Baskara. Juga
gulungan kertas yang menjadi miliknya ini, terimalah
pula. Itu semua menjadi milik kalian!”
Lajur Terasi menyeringai puas melihat Empu Bas–
kara yang berdiri di hadapannya. Tetapi mendadak
satu alunan nada seruling mengalir ke lembah itu
dengan satu irama yang memukau, menggoncangkan
setiap jiwa!
Mereka sesaat terpaku seperti patung, dan dalam
saat yang menegangkan itu, dari balik batu yang
terjal meluncurlah satu bayangan orang berkuda ke
arah mereka dengan cepat bagai angin. Penunggang
kudanya yang tidak lain adalah Jagayuda, dengan
sigap menyambar pinggang Empu Baskara dan
kemudian dibawanya lari ke arah utara sambil
berseru dengan keras-keras!
“Jorangas, Empu Baskara telah kembali ke tangan
kita! Sekarang, cepatlah kamu berlari dengan peti
uang emas itu!”
Mendengar teriakan itu, wajah-wajah mereka
seketika menjadi tegang dan merah. Sebaliknya
wajah Jorangas sesaat tampak pucat, karena ia sama
sekali tak mengerti, bahkan ia menjadi bingung
dengan teriakan orang yang berkuda itu.
Lajur Terasi, Rikma Rembyak dan Ki Topeng Reges
menjadi marah. Bagi mereka, teriakan orang yang
berkuda serta penyerobotan Empu Baskara itu cukup
memberikan satu pengertian yang gamblang bagi
mereka! Bahwa ada satu tipu muslihat yang diatur
oleh Jorangas.
“Kurang ajar! Mereka memang telah mengatur
siasat yang licik! Empu Baskara telah diserobot
kembali oleh kaki tangannya!” desis Laju Terasi
sekaligus menghunus pedangnya.
“Tunggu dulu, sobat!! seru Jorangas. “Kalian salah
paham dengan kami! Orang berkuda tadi bukan...”
Permainanmu benar-benar mengagumkan kami,
Jorangas! Setelah uang itu kau terima, Empu
Baskara kau serobot kembali,” teriak Rikma Rembyak
menyahut. “Apakah uang itu masih belum cukup
bagimu?!”
“Iblis kurang ajar! Kata-katamu membikin merah
telinga. Kau orang-orang jahat yang tak patut diam–
puni lagi!” Jorangas berteriak jengkel.
“Ha, ha, ha, mulutmu memang pintar mengoceh!
Apakah kau lupa, bahwa kau pun orang yang busuk.
Kita semua memang golongan orang-orang jahat! Ha,
ha, ha!”
Jorangas menjadi bertambah marah. Demikian
pula para anak buahnya segera bersiap dengan sen–
jata-senjatanya.
Jorangaspun cepat mencabut dua penggadanya
yang berujung bola besi berduri dari ikat pinggang.
Baginya tak ada lagi jalan keluar kecuali dengan
bertempur!
Sekonyong-konyong dari semak-semak di belakang
rombongan Lajur Terasi, keluarlah Mahesa Wulung
sambil tertawa.
“Ha, ha, ha, Jorangas memang cukup licik, sobat–
ku Lajur Terasi!”
“Hee, kaulah orangnya yang pernah mencoba
mengambil Empu Baskara dari sarangku!” teriak
Jorangas sambil mengacungkan senjatanya ke arah
Mahesa Wulung.
“Lajur Terasi! Kau pun rupanya mempunyai akal
kancil! Orang itu telah kau kirim ke sarangku untuk
menculik Empu Baskara, sebelum tukar-menukar ini
terjadi. Untunglah ia gagal!”
Kalau tadi Jorangas yang kebingungan, tetapi kini
Lajur Terasi yang menjadi bingung. Melihat hal ini,
Jorangas dan anak buahnya sudah tidak sabar lagi.
Maka dengan teriakan gegap gempita mereka seren–
tak menyerbu berbareng ke arah rombongan Lajur
Terasi.
Di lembah Jurang Mati itu serentak terjadilah
lingkaran pertempuran yang hebat. Gemerincingnya
senjata yang beradu mengumandang di tebing-tebing
jurang sangat mengerikan.
Gogorwana langsung menyerbu ke arah Rikma
Rembyak dengan sabetan kapaknya yang berdesing-
desing. Sedang Ki Topeng Reges menyongsong
serangan pedang dari Jurangpitu dan Parung
berbareng.
Di sebelah selatan, Jorangas menyerbu ke arah
Lajur Terasi penuh nafsu. Dua senjata penggadanya
berputaran laksana angin, siap melanda Lajur Terasi
yang bersenjata pedang lebar. Dan tak jauh dari
tempat itu, Rajungan gigih melawan Growong dengan
pedangnya. Keduanya bersenjata sama dan kedua
pedang itu seperti dua pusaran angin yang setiap kali
berbentur hebat.
Di utara, Mahesa Wulung tanpa kesukaran me–
nyambut serangan dari seorang anak buah Jorangas
yang bersenjata tombak. Mula-mula musuhnya ini
hanya melancarkan serangan-serangan yang tidak
berbahaya dan ini semua secara mudah dihindari
oleh Mahesa Wulung. Tetapi secara sedikit demi
sedikit dan pasti tombak lawan itu semakin hebat
geraknya. Ujung mata tombak itu menjadi puluhan
tampaknya dan menusuk serta mematuk ke arah
tubuhnya.
“Hi. hi, hi, jangan kira nyawamu bisa selamat dari
tombak Watangan!”
Sesungguhnya untuk kelincahan serta kegesitan
lawannya yang bertombak itu, Mahesa Wulung
terpaksa harus bekerja lebih keras. Kalau mula-mula
ia hanya cukup dengan tangan kosong menghadapi
lawannya, namun sekarang ia tidak boleh terus-
menerus mengandalkan kegesitannya melulu, apalagi
serangan tombak dari Watangan itu semakin rapat
mengurung dirinya. Meskipun tidak mengena, ujung
tusukan-tusukan tombak lawan telah memantulkan
angin yang menabrak kulit Mahesa Wulung, dan itu
pun sudah cukup membuatnya merasa perih.
Seharusnya hal itu tidak mungkin terjadi, karena
Mahesa Wulung telah mempunyai ilmu Sikap Tugu
Wasesa yang mampu menahan getaran pukulan atau
pun suara sehebat apapun. Memang, lawan yang
dihadapinya kini bukanlah lawan yang sembarang,
sebab Watangan memang jagoan bermain tombak di
antara anak-anak buah Jorangas lainnya. Sekiranya
Mahesa Wulung tak memiliki cukup tenaga serta
ketangguhan, dalam waktu tidak seberapa lama boleh
dipastikan kalau tubuhnya jebol berlobang-lobang
oleh tusukan-tusukan tombak Watangan.
Mahesa Wulung tidak ingin selalu mengecewakan
Watangan, karena ia telah berkali-kali mendengar
kutukan-kutukan dari mulut Watangan bilamana
setiap tusukan tombaknya tidak berhasil menyentuh
tubuh Mahesa Wulung sedikit pun. Maka segera ia
mencabut cambuk Naga Geni dari pinggangnya dan
diputarnya dengan hebat menyambut serangan
tombak lawan.
Demikianlah, pertempuran mereka jadi lebih seim–
bang jadinya. Masing-masing memiliki ilmu memain–
kan senjata yang cukup bernilai tinggi, sampai setiap
gerakan senjata-senjata itu selalu menimbulkan
gulungan-gulungan angin yang deras sekali. Meski–
pun begitu hati Watangan lama-lama berdesir hebat
sebab cambuk lawannya itu mengeluarkan kilauan
sinar yang menyala biru kehijauan. Maka yakinlah ia
bahwa senjata itu bukan cambuk sembarangan,
seperti cambuk penghalau kerbau, tapi pastilah
cambuk pusaka yang ampuh.
Memang perkiraan Watangan tidak meleset, sebab
cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung itu
bergetar semakin hebat seolah-olah seekor naga yang
menari dengan ekornya yang siap menyambar setiap
orang pengganggu.
Sebuah tusukan tombak dengan saru menerobos
ke arah perut Mahesa Wulung dan hampir-hampir
saja mengenai sasarannya bila Mahesa Wulung tidak
keburu melesat ke udara, sekaligus memutar Naga
Geni ke arah bawah!
“Burung seriti meminum embun!” desis Watangan
melihat gerakan silat Mahesa Wulung yang menukik
ke bawah.
Apa yang dikuatirkan selama ini benar-benar
terjadi. Ujung cambuk Naga Geni itu meluncur pesat
ke arah kepalanya dan satu suara benturan terjadi
bersamaan mulut Watangan meneriakkan satu je–
ritan panjang!
“Aaargh!” Tubuh Watangan terjengkang ke
belakang dengan kepala hangus bagai dibakar. Ia
rebah tanpa berkutik lagi.
Di pojok lain Growong dan Rajungan bertempur
gigih. Mereka saling menyerang dan menangkis silih
berganti, tapi saat itu keduanya belum berhasil
menyudahi pertempurannya.
Sampai dengan saat ini, Lajur Terasi dengan
gigihnya menyambut setiap pukulan dan sambaran
senjata Jorangas, yang datangnya bagaikan hujan
deras.
“Hayoh, Lajur Terasi! Kerahkan segala kesaktian–
mu untuk menghadapi penggada kembarku ini. Kalau
tidak, pasti kepalamu akan remuk disambarnya,”
seru Jorangas mengejek.
“Kamu boleh ngomong semaumu, Jorangas. Tapi
pedangku ini akan lebih dulu membelah tubuhmu!”
teriak Lajur Terasi sambil memutar pedangnya lebih
hebat lagi.
Wess! Week! Sambaran pedangnya mengenai ujung
kain Jorangas yang terjurai pada ikat pinggang bela–
kangnya. Karuan saja Jorangas terperanjat kela–
bakan melihat kainnya tersobek oleh pedang Lajur
Terasi.
Tiba-tiba sebuah tebasan lagi menyambar ke arah
lehernya. Untunglah ia cepat-cepat bertindak! Dengan
mengendap ia berhasil lolos dari tebasan pedang itu.
Tetapi memang Lajur Terasi bukan orang yang
mudah berputus asa, maka sekali lagi ia mengulang
serangannya!
Untuk ketiga kalinya, Jorangas lebih waspada
dalam memperhitungkan siasatnya. Begitu sabetan
pedang Lajur Terasi menyambar kepalanya, cepat ia
berkelit ke samping hingga serangan itu hanya
mengenai tempat kosong. Dalam saat itu juga
Jorangas menggerakkan senjata di tangan kirinya
dengan cepat.
Prak! Penggada berujung bola besi berduri itu
memukul tangan kanan Lajur Terasi yang menggeng–
gam pedang lebar. Maka terlontarlah satu jeritan
panjang dari mulut Lajur Terasi dan pedangnyapun
terpelanting lepas. Setelah itu senjata bola besi di
tangan kanan Jorangas sekaligus meluncur ke bawah
dan menyambar kepala Lajur Terasi. Maka untuk
kedua kalinya ia menjerit dengan keras. Sesaat ia
geluyuran, tapi akhirnya roboh ke tanah dengan
kepala yang rengkah menganga dan matilah sudah
Lajur Terasi!
Melihat lawannya telah berhasil dirobohkan, Jora–
ngas menjadi lebih beringas, maka matanya nyalang
melihat ke sana-kemari. Kebetulan pandangannya
menatap pada Mahesa Wulung yang telah berhasil
memenangkan pertempurannya melawan Watangan.
Tanpa membuang waktu Jorangaspun melesat ke
arah Mahesa Wulung disertai sambaran-sambaran
penggada bola besi di kedua belah tangannya.
Mahesa Wulung cukup waspada melihat berkele–
batnya seseorang yang menuju ke arah dirinya. Se–
gera ia memapaki lawannya itu, dan bertempurlah
keduanya dengan hebat.
Di sebelah lain, Gogorwana memutar senjata
kapaknya yang berdesingan, menyerang tubuh Rikma
Rembyak dari segenap arah. Kalau saja yang menjadi
lawan Gogorwana itu orang biasa saja, pastilah sudah
sedari tadi akan mampus melawannya. Apalagi
senjata kapak Gogorwana itu tidak lumrah besarnya.
Terlalu besar kalau dipergunakan oleh orang-orang
biasa. Tapi bagi Gogorwana, yang tubuhnya tinggi
dan tegap itu, maka kapak tadi memang sangat cocok
serta seimbang untuk dirinya. Sambaran-sambaran–
nya yang sangat berbahaya dan mematikan, setiap
kali mengancam nyawa Rikma Rembyak.
Dalam pada itu, Rikma Rembyak terpaksa menge–
rahkan segenap kekuatannya dalam menghadapi
lawannya yang bertubuh tinggi besar itu. Ia sadar
bahwa dengan kekuatan jasmani dan kekuatan
melulu ia tak akan mampu melawan Gogorwana itu,
maka ia menggunakan kelincahannya.
Sehingga tidak heran jika tubuhnya sebentar-
sebentar melenting ke udara menghindari setiap
tebasan kapak raksasa Gogorwana. Dengan jubahnya
yang berwarna merah darah serta senjatanya tongkat
kayu, Rikma Rembyak terus-menerus mempermain–
kan lawannya dengan berloncatan kesana-kemari,
persis seekor kelelawar hantu pengisap darah.
Betapa panas hati Gogorwana karena dipermain–
kan oleh lawannya yang berambut gondrong awut-
awutan. Dalam matanya, tampaklah seakan-akan
Rikma Rembyak yang berambut gondrong itu adalah
seorang manusia iblis. Gogorwana lebih mempergen–
car serangannya dan makin bertubi-tubi bagai ombak
yang menyapu ke arah Rikma Rembyak.
Melihat perubahan gerak Gogorwana yang makin
garang itu, Rikma Rembyak tak ingin lebih lama
bersikap loncat sana loncat sini menghindari senjata
lawan. Lalu diputarnya tongkat kayu hitamnya me–
magari tubuhnya rapat-rapat. Mula-mula tongkat
hitam itu hanya bergerak di sekitar tubuhnya sekedar
untuk menutup dan menangkis serangan kapak si
Gogorwana. Setelah itu gerak tongkatnya bertambah
meningkat, melonjak jauh dari tubuhnya, seolah-olah
gerakan ular menerkam mangsa.
Gogorwana cepat memapaki tongkat Rikma Rem–
byak dengan tebasan lurus ke bawah. Daar! Dua
senjata yang dilandasi oleh tenaga dalam itu berben–
tur. Masing-masing tangan mereka bergetar hebat
oleh benturan itu.
“Ha, ha, ha, kau tak akan menang melawan
Gogorwana, setan gondrong! Rasakan nanti tajamnya
kapakku ini!” teriak Gogorwana penuh kesombongan.
“Edan! Baru berhasil membentur senjataku saja
sudah berani menyombongkan mulut! Tunggulah
nanti seranganku berikutnya. Rikma Rembyak tak
akan mundur setapak pun!”
Selesai ucapannya, Rikma Rembyak segera mener–
jang ke arah Gogorwana dengan teriakan hebat.
“Haaaat!”
Tubuhnya meluncur cepat, namun betapa
kagetnya Rikma Rembyak bila Gogorwana dengan
gerakan ke samping kiri sekaligus membacokkan
kapaknya ke arah tubuhnya.
Braat! Jubah merah si Rikma Rembyak kena
tersobek sepanjang tiga jengkal jari.
“Kurang ajar!” kutuk Rikma Rembyak melihat
jubah kesayangannya tersobek oleh mata kapak
Gogorwana.
“Ha, ha, ha, jubahmu tersobek, sobat? Maaf, yang
kuincar bukan jubahmu, tapi kulitmulah yang
seharusnya sobek,” ejek Gogorwana.
“Keparat! Kau berani merobekkan jubah
kesayanganku!! desis Rikma Rembyak marah. “Kau
mesti bayar dengan nyawamu!”
“Ha, ha, ha, pasti jubahmu hanya laku dijual di
rombengan saja, sobat! Dan itu pun harus ditembel
lebih dulu, bukan? Ha, ha, ha!” Sekali lagi Gogorwana
mengejek hingga wajah Rikma Rembyak menjadi
semerah bara.
Tanpa diduga-duga ia menerjang ke arah Gogor–
wana.
Mendapat serangan yang tiba-tiba itu, Gogorwana
meloncat ke samping dan menyelinap di balik batang
pohon kering. Tetapi Rikma Rembyak yang sudah
naik darah itu terus menghajar ke arah Gogorwana.
Braak!
Sabetan tongkat hitam Rikma Rembyak memben–
tur batang pohon yang kering itu dan berderak roboh
ke tanah. Gogorwana cepat menghindar, kalau tidak
ingin mati konyol ketimpa pohon yang roboh.
Terbukalah mata Gogorwana betapa hebatnya
kekuatan Rikma Rembyak. Hanya dengan pukulan
tongkatnya saja, sebatang pohon kering yang cukup
besar berhasil dirobohkan begitu mudah.
Begitulah, keduanya bertempur dengan seru,
sampai pada lima belas gebrakan. Masing-masing
saling menunjukkan keunggulan dan keuletannya.
Pada jurus-jurus berikutnya, terlihatlah bahwa
Gogorwana telah mengucurkan keringat dinginnya,
sedang nafasnya berdengusan tak teratur. Itu semua
akibat dari pengerahan segenap tenaga simpanannya,
sebab kapak raksasanya itu membutuhkan tenaga
yang besar dalam menggerakkannya.
Rikma Rembyak tak menyia-nyiakan keadaan
lawannya itu maka cepat ia melancarkan serangan
terakhir dengan menyapukan tongkatnya ke arah
kaki Gogorwana.
Karuan saja lawannya cepat memapaki serangan
itu dengan tebasan kapaknya ke bawah. Tapi
ternyata serangan Rikma Rembyak tadi hanyalah
pancingan saja. Maka, begitu kapak Gogorwana
meluncur ke bawah, sekonyong-konyong tongkat
Rikma Rembyak berganti arah. Tongkat itu tanpa
terduga terus menyambar ke atas, ke arah dada
Gogorwana.
Duk! Ujung tongkat Rikma Rembyak membentur
dada Gogorwana yang seketika menjerit hebat!
Wajah Gogorwana menjadi merah kebiruan sedang
bekas ujung tongkat Rikma Rembyak hanya menim–
bulkan warna biru hangus pada dadanya. Tapi orang
tak akan tahu bahwa bekas yang tampaknya sepele
itu berakibat lebih hebat di dalam rongga dada Go–
gorwana. Semua isi rongga dadanya telah rontok
akibat benturan tongkat lawannya.
Maka Gogorwana mengerang serta memuntahkan
darah hitam kental. Kedua belah tangannya melepas
kapaknya kemudian menekan dadanya seolah-olah
mencoba menahan isi dadanya yang telah hancur.
Namun sejurus kemudian, ia jatuh terjungkal dan
mati seketika.
Dalam saat yang bersamaan, terdengar pula satu
teriakan ngeri dari mulut Rajungan yang termakan
oleh sabetan ujung pedang Growong. Rajungan
menekan lambungnya yang terluka, sedang tangan
kanannya yang masih berpedang itu cepat bergerak.
Dengan sisa tenaganya, ia melontarkan pedang itu ke
arah Growong.
Sayangnya, Growong cukup waspada. Begitu pe–
dang itu meluncur ke arahnya, iapun cepat menang–
kis dengan satu putaran pedang setengah lingkaran,
sehingga pedang Rajungan terpental dan menghun–
jam ke tanah. Ketika Growong hendak menyerang
Rajungan kembali ternyata orang ini telah rebah ke
tanah tak bernyawa.
Jorangas yang masih bertempur melawan Mahesa
Wulung, sekilas melihat bahwa Growong berhasil
mengalahkan musuhnya, maka cepat-cepat ia
berteriak kepada anak buahnya itu.
“Growong! Cepat kau ambil gulungan kertas di
dekat Lajur Terasi itu! Surat itu sangat penting bagi
kita!”
Begitu mendengar seruan pemimpinnya, Growong
cepat-cepat meloncat ke arah mayat Lajur Terasi yang
menggeletak, dan tidak jauh dari tubuh itu,
tampaklah segulungan kertas dan benda itu segera
disambarnya.
“Bawalah lari jauh-jauh dari tempat ini!” terdengar
sekali lagi Jorangas berteriak dan Growongpun me–
laksanakan perintah itu. Maka berlarilah ia ke arah
selatan, cepat seperti anak panah lepas dari busur–
nya.
Teriakan Jorangas tadi ternyata cukup keras,
sampai telinga-telinga lain pun bisa mendengarnya.
Dan di antara orang-orang yang pada saat itu ber–
tempur di dataran Jurang Mati, Rikma Rembyaklah
yang paling menaruh perhatian terhadap peristiwa
ini!
“Hmm, pasti gulungan kertas tadi berisi catatan
penting. Kalau tidak, mengapa Jorangas memerintah
anak buahnya itu untuk membawa kabur gulungan
kertas tadi dari tempat ini?” demikian pikir Rikma
Rembyak. “Aku tidak boleh membiarkan orang itu
minggat dari tempat ini! Gulungan kertas tadi harus
jatuh ke tanganku!”
Rikma Rembyak telah mengambil satu keputusan
dan itu pasti akan dilaksanakan. Maka tak lama
kemudian, melesatlah ia ke arah selatan, untuk
mengejar Growong.
Gerakannya yang dilambari oleh tenaga dalam
serta ilmu meringankan tubuh, membikin larinya itu
seakan-akan tak menyentuh bumi.
Kini, yang masih bertempur di lembah Jurang Mati
itu terdiri dari dua lingkaran. Yang di sebelah barat
ialah Jorangas yang dengan gigih melawan Mahesa
Wulung. Sedang di arah timur, Ki Topeng Reges
melayani Jurangpitu dan Parung dalam satu per–
tempuran yang teramat seru!
Ki Topeng Reges yang diketahui sebagai guru dari
Rikma Rembyak itu, gerakannya benar-benar mirip
hantu. Sebentar lagi ia melenting dan tahu-tahu
sudah berada di belakang Jurangpitu dan Parung.
Karena gerakannya tadi sangat cepat maka sukarlah
ditangkap oleh pandangan mata. Hingga ia seolah-
olah bisa menghilang serta kemudian muncul di
sana-sini.
Selama itu ia tidak menggunakan senjata sama
sekali dalam menghadapi lawannya yang berpedang.
Baginya, cukup mengandalkan kedua belah tangan–
nya yang ampuh dan untuk ini pun, Jurangpitu serta
Parung sudah mengerti akan kesaktian jari-jari Ki
Topeng Reges. Malah beberapa bagian dari tubuh
mereka selama bertempur itu, merasakan singgungan
jari-jari Ki Topeng Reges yang menimbulkan rasa
panas dan nyeri seperti disengat oleh puluhan lebah
berbisa. Maka kedua orang itu lebih berhati-hati
dalam menghadapi lawannya.
Betapapun hebatnya Jorangas yang memutar
kedua penggada bola besinya, toh belum juga ia
berhasil merobohkan Mahesa Wulung. Kalau tadi ia
telah memukul mati Lajur Terasi, terhadap Mahesa
Wulung pun ia mula-mula berharap demikian pula.
Sedang kenyataannya sekarang, menjadi terbalik!
Bukan ia yang memukul hancur lawannya yang jauh
lebih muda itu, tetapi ia sendirilah yang terus-
menerus terdesak oleh putaran cambuk Naga Geni.
Bagi Mahesa Wulung, lawannya yang dihadapinya
kali ini sungguh-sungguh tidak bisa dianggap ringan.
Ia sadar kalau Jorangas termasuk pendekar berilmu
tinggi, dan ini terasa dalam sambaran-sambaran
penggada besinya, yang selalu dibarengi oleh angin
panas.
“Ha, ha, ha.... Hai, Mahesa Wulung! Kalau kau
memang seorang pendekar jagoan, hadapilah senjata
kembarku ini yang sebentar lagi akan merencak
tubuhmu!” Jorangas berteriak nyaring dengan
sombongnya.
“Ya, tertawa dan menyombonglah sepuasmu, sebe–
lum ajalmu tiba, sobat!” jawab Mahesa Wulung.
“Kurang ajar! Kau bocah cilik yang bermulut besar!
Matilah kau sekarang!” seru Jorangas sekaligus
menyapukan tangan kanannya yang menggenggam
penggada bola besi itu ke arah kepala Mahesa
Wulung, berbareng pula penggada kirinya bergerak
pula menyambar dada lawannya.
Bagi Mahesa Wulung tak mungkin untuk meng–
hindari serangan sedemikian cepat dan tiba-tiba.
Satu-satunya jalan ialah berjungkir balik surut ke
belakang sejauh satu tombak, hingga dirinya terbebas
dari pukulan-pukulan maut Jorangas.
Karuan saja mulut Jorangas menghambur-ham–
burkan makian, karena calon korbannya itu berhasil
lolos dari sambaran beruntun penggada besinya.
Mahesa Wulung segera berdiri kembali serta bersi–
aga, sementara Jorangas pun berhenti sejenak untuk
mengatur aliran nafasnya yang tersengal-sengal tak
teratur. Demikian pula dengan Mahesa Wulung.
Kini kedua lawan itu berhadap-hadapan serta
bersiap kembali dengan senjata. Jorangas sekali lagi
memutar kedua penggada bola besinya, siap
merangsang lawannya.
Sekali ini Mahesa Wulung telah matang memper–
hitungkan siasatnya. Sebelum Jorangas terlalu dekat,
ia terlebih dulu melecutkan cambuk Naga Geninya ke
arah lawan. Hal ini sama sekali di luar dugaan Jora–
ngas, sehingga ia cepat-cepat menyilangkan kedua
penggada bola besinya untuk menangkis ujung
cambuk lawan yang meluncur bagai seekor naga ke
arah dadanya!
Sreettt! Ujung cambuk Naga Geni berhasil melilit
kedua senjata Jorangas yang bersilang itu.
Jorangas sendiri meringis gembira melihat tangki–
sannya berhasil. Tetapi kegembiraan ini hanya se–
saat, sebab kedua senjatanya seolah-olah melekat
oleh belitan cambuk Naga Geni.
Jorangas terperanjat, maka cepat-cepat ia menarik
kedua senjatanya itu agar terlepas dari belitan
cambuk lawan. Ia tak ingin kehilangan senjata
kesayangannya yang selama ini telah menjadi
andalannya.
Sebaliknya Mahesa Wulung, begitu terasa cambuk
Naga Geni tertarik oleh lawan, iapun mengerahkan
segenap tenaga dalamnya, sehingga terjadilah tarik-
menarik antara Mahesa Wulung dengan Jorangas.
Tanpa setahu Jorangas, Mahesa Wulung tertawa
dalam hati, sebab memang hal inilah yang telah
diharapkannya! Maka ketika tarikan Jorangas
semakin keras, Mahesa Wulung pun lebih keras lagi
menggenggam cambuk itu dengan kedua belah
tangannya!
Melihat ini, Jorangas menjadi lebih berusaha keras
dengan tarikannya. Dan di saat tarikan Jorangas
sampai pada puncaknya, Mahesa Wulung mengen–
dorkan tarikan cambuknya ke muka, sehingga mau
tak mau Jorangas terhuyung-huyung ke belakang.
Mahesa Wulung tak menyia-nyiakan kesempatan
ini. Dengan meminjam tenaga lawan yang menarik
cambuknya dengan keras, ia melesat ke depan ke
arah Jorangas, sementara kedua tangan masih
menggenggam erat cambuk Naga Geninya.
Gerakan ini sangat mengagumkan! Tubuh Mahesa
Wulung laksana peluru yang melayang di udara dan
langsung menuju ke arah Jorangas.
Untuk ini, lawannya terperanjat bukan main! Ia
tak sempat lagi menghindar ataupun lari. Apalagi
kedua senjatanya itu terbelit ketat oleh cambuk
Mahesa Wulung. Maka kejadian berikutnya sukar di–
tangkap mata, apabila tangan Mahesa Wulung meng–
hentakkan cambuknya ke belakang dengan beberapa
putaran, sehingga terlepaslah ujung cambuknya itu
dari belitan pada penggada Jorangas. Dan selanjut–
nya Mahesa Wulung dengan mengerahkan segenap
tenaga serta ilmu pukulan Lebur Wajanya ia mele–
cutkan cambuk Naga Geni ke bawah, ke arah kepala
Jorangas. Cambuk itu meluncur laksana kilat.
Kraak! Terdengar suara benturan keras, disusul
oleh jerit kesakitan yang panjang terlontar dari mulut
Jorangas. Ia masih mencoba berdiri, tapi serentak
tubuhnya bergemetaran lagi terjengkanglah tubuh
Jorangas ke belakang dengan mata melotot liar serta
darah menyembur dari kepalanya yang pecah.
Mahesa Wulung dalam hati mengucapkan syukur,
karena Jorangas yang menjadi lawannya telah mati.
Kematian yang setimpal bagi seorang yang telah
sekian waktu membuat keonaran serta kejahatan
terhadap bebrayan sehari-hari!
Ketika ia melirik ke arah timur, tampaklah Ki
Topeng Reges masih melayani serangan-serangan
Jurangpitu dan Parung.
“Hmm, biarlah mereka menyelesaikan urusannya
sendiri. Aku masih harus menjemput Empu
Baskara!” gumam Mahesa Wulung sambil melesat ke
arah utara, untuk mencari Jagayuda yang telah
berhasil menyerobot lari Empu Baskara.
Dengan berlari cepat dan diseling oleh loncatan-
loncatan panjang dari batu yang satu ke batu yang
lain, tubuh Mahesa Wulung bergerak persis anak
kijang yang lincah dan binal. Ia berbelok ke arah
barat laut dan sebentar saja lenyaplah di balik batu
terjal dan semak-semak pohon pakis.
Ki Topang Reges melihat pula ke sekeliling tempat
itu. Sepi semua! Kecuali mayat-mayat anak buahnya
sendiri dan juga anak buah Jorangas yang berka–
paran bermandi darah.
Ia sudah cukup lama menghadapi kedua lawannya
yang bersenjata pedang itu. Kini tibalah ia menge–
luarkan ilmu simpanannya.
“Hee, tikus-tikus! Kalian sudah cukup bermain-
main, bukan?! Nah, sekarang hiruplah udara segar
untuk penghabisan kalinya!” Ki Topeng Reges ber–
teriak keras dan suaranya menggema berpantulan
dari tebing ke tebing sangat menyeramkan.
Jurangpitu dan Parung sadar bahwa Ki Topeng
Reges mengeluarkan ilmu simpanannya. Oleh sebab
itu keduanyapun lebih mempergencar serangannya.
Meskipun hal ini tidak banyak gunanya, tapi setidak-
tidaknya dapat memperpanjang hidupnya sesaat.
Ki Topeng Reges merentangkan kedua belah
tangannya ke depan sambil memusatkan kekuatan
ilmunya. Dan terpekiklah bila mata Jurangpitu dan
Parung melihat ke arah wajah Ki Topeng Reges yang
berkedok seperti hantu.
Mata Ki Topeng Reges itu membara merah dan
makin lama makin menyala mengerikan.
“Ha, ha, ha, tikus-tikus berdua! Lihatlah mataku
ini! Lihatlah! Kalian akan merasakan ilmu simpanan–
ku yang tiada bandingannya. Terimalah ilmu ‘Netra
Dahana’ ini!”
Jurangpitu dan Parung tak sempat lagi melarikan
diri atau menghindari serangan dahsyat ilmu ‘Netra
Dahana’. Sebuah sinar merah seperti lidah api me–
mancar dari mata Ki Topeng Reges dan menyambar
ke arah kedua lawannya itu, yang seketika menjerit
hebat.
Jurangpitu serta Parung berjingkrakan kesana-
kemari dengan memegang kepalanya masing-masing,
persis ayam yang disembelih! Sedang kepala mereka
hangus terbakar oleh pancaran api yang keluar dari
mata Ki Topeng Reges!
Kedua orang itu tak lama kemudian roboh ke atas
tanah, diiringi oleh derai ketawa Ki Topeng Reges
yang kepuasan melihat kedua lawannya telah mati.
Ketika ia melihat ke sekeliling, terdengarlah mulutnya
mendesis.
“Hah, ke mana muridku si Rikma Rembyak tadi?
Aku harus mencari dia dan kemudian menemukan
kembali Empu Baskara!”
Segera Ki Topeng Reges melesat ke arah selatan
untuk mencari Rikma Rembyak!
***
Di kegelapan senja, sebuah bayangan manusia
berloncatan menuruni tebing-tebing dan berhenti di
sebuah tanah lebar di tepi Jurang Mati. Dilihatnya di
tempat itu telah berdiri tiga sosok tubuh, yang
terkejut melihat kedatangannya.
“Oh, Kakang Mahesa Wulung!” teriakan yang ber–
nada lembut terdengar dari salah satu bayangan itu.
“Adi Pandan Arum, syukurlah kalian selamat! Dan
inikah Empu Baskara?” tanya Mahesa Wulung sambil
mendekati Empu Baskara yang masih berdiri dengan
wajah murung.
Jagayuda tersenyum melihat kegembiraan itu.
“Ya, inilah Empu Baskara, pamanku dari Demak!”
ujar Pandan Arum membuat Mahesa Wulung
terbeliak kaget! Demikian pula dengan Jagayuda.
“Pamanmu? Empu Baskara ini masih pamanmu
sendiri, Adi Pandan!?” seru Mahesa Wulung.
“Benar, Kakang Wulung. Maaf, aku tak mengata–
kan kepadamu sejak dahulu, karena aku kuatir hal
itu akan menambah kesulitan!”
“Kalian telah terlambat!” potong Empu Baskara
lemah. “Gulungan kertasku yang berisi catatan-
catatan penting rahasia panahku Braja Kencar telah
jatuh ke tangan orang-orang jahat itu!”
“Ooh!” terdengar desis penyesalan dari mulut
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jagayuda.
Suasana sesaat menjadi sunyi. Kecuali bunyi
gemericik air sungai yang mengalir di dasar jurang
dan sesekali terdengar alunan suara burung hantu
yang menambah keseraman.
Bagi Mahesa Wulung, pernyataan Empu Baskara
tadi sangat mengejutkan sekali. Bayangkan! Seandai–
nya catatan rahasia panah Braja Kencar tadi terbuka
oleh penjahat-penjahat itu, pastilah akan berakibat
luar biasa. Mereka pasti akan menggunakannya
dalam pekerjaan-pekerjaan jahat mereka!
Sekonyong-konyong, dari puncak tebing
terdengarlah derai ketawa yang menggetarkan udara
senja, membuat keempat orang itu kaget dan
melongok ke atas ke arah puncak tebing.
“Rikma Rembyak!” desis mereka berbareng, ketika
di tebing itu berdiri bertolak pinggang si pendekar
berambut gondrong awut-awutan!
“Ha, ha, ha, kalian sudah tahu namaku? Itu
bagus! Lihatlah sekarang di tangan kiriku ini.
Segulungan catatan rahasia Empu Baskara yang
telah berhasil kurebut dari tangan si Growong, anak
buah Jorangas! Kalau kalian ingin selamat, serahkan
pula Empu Baskara ke tanganku. Nanti boleh aku
tukar dengan uang emas!”
“Keparat! Kami tak serendah itu! Bagi kami nilai
Empu Baskara sama dengan nyawa kami!” teriak
Mahesa Wulung. “Kau boleh membawanya setelah
berhasil melangkahi mayat-mayat kami bertiga lebih
dulu!”
Rikma Rembyak menggerundal sendiri, sebab ia
tahu tak akan mampu menghadapi ketiga pendekar
bersama-sama sekaligus.
“Diamlah kalian!” seru Empu Baskara memotong.
“Tak perlu lagi kalian memperebutkan diriku yang
telah begini sengsara. Itu semua memang salahku.
Aku telah menciptakan senjata ampuh, panah sakti
Braja Kencar dan akibatnya, keonaranlah yang
timbul! Aku tak ingin menyesali hal itu sepanjang
hari tuaku. Selama aku masih ada, penyesalanku tak
akan habis. Kini biarlah aku mengambil suatu kepu–
tusan,” Empu Baskara berkata sambil terseok-seok
melangkah ke arah tepi Jurang Mati.
Semua mata seolah-olah terpaku seperti kena sihir
dan pukau yang hebat!
Tak seorang pun bergerak kecuali Empu Baskara
yang terus melangkah ke jurang dan sesaat ia
berhenti serta menoleh ke belakang!
“Nah, biarlah aku beristirahat di dasar Jurang Mati
ini. Kalian tak perlu lagi ribut-ribut!”
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jagayuda
bergerak berbareng untuk memburu dan mencegah
maksud Empu Baskara. Tetapi sebuah sambaran
sinar putih disertai derai ketawa, meluncur dari atas
tebing dan lurus menuju ke arah punggung Empu
Baskara yang tengah berdiri termangu di tepi jurang.
“Aaaakh!” Empu Baskara berteriak lemah ketika
jarum-jarum berbisa menembus punggungnya,
kemudian disusul dengan tubuhnya roboh dan
melayang ke bawah, ke dasar jurang yang dialiri oleh
air sungai sejernih kaca.
“Ha, ha, ha, maaf aku telah menolong kematian
orang tua itu lebih cepat dengan jarum-jarum bisaku!
Nah, sekarang aku akan meninggalkan kalian,”
terdengar Rikma Rembyak berseru dari atas tebing.
Tetapi di saat itu, Jagayuda bertindak lebih cepat!
Ia memasang panahnya dan sebentar itu pula
beberapa anak panah telah ditembakkan serta
meluncur ke arah Rikma Rembyak.
Namun sayang Rikma Rembyak waspada. Maka
begitu anak-anak panah itu meluncur ke arah
dirinya, ia memapakinya. Tak! Tak! Trang!
Semua panah Jagayuda tersampok rontok tanpa
satu pun yang menyentuh tubuh Rikma Rembyak.
Jagayuda sangat marah, demikian pula Pandan Arum
yang masih terisak-isak atas kematian Empu
Baskara, seorang pamannya yang telah sekian tahun
dirindukannya!
“Keparat! Aku akan kejar kamu, dan merebut
kembali surat rahasia Empu Baskara!” teriak
Jagayuda sambil meloncat ke arah puncak tebing di
mana Rikma Rembyak berdiri.
Melihat hal itu, Pandan Arum pun tak tinggal
diam. Cepat ia melesat menyusul Jagayuda untuk
mengejar Rikma Rembyak.
Sebentar saja keduanya tiba di puncak tebing, tapi
Rikma Rembyak bukan orang-orang bodoh kalau
masih berdiam diri di tempat itu. Iapun berlari,
sehingga terjadilah kejar-mengejar. Ketiga bayangan
itu bagai tupai-tupai yang lincah berloncatan dan
akhirnya lenyap di balik batu-batu terjal di arah
timur.
Mahesa Wulung tinggal sendirian di tempat itu.
Suatu pukulan hebat bahwa tugasnya ini hampir
seluruhnya gagal. Empu Baskara telah tewas,
demikian pula catatan rahasianya lenyap pula
terbawa oleh Rikma Rembyak. Harapan satu-satunya
ialah kepada Jagayuda dan Pandan Arum yang kini
tengah mengejar Rikma Rembyak. Dapatkah mereka
merebut kembali gulungan kertas itu?
Yah, entahlah, Mahesa Wulung cuma bisa berdoa
dalam hati semoga keduanya berhasil. Dalam hati
iapun maklum bahwa sesuatu tidak selalu berhasil
seperti yang diharapkan. Sekali berhasil sekali-sekali
gagal. Begitulah irama kehidupan!
“Hua, ha, ha, ha. Kini berhasillah aku berhadapan
muka dengan pendekar jagoan dari Demak! Hayo,
perlihatkan semua kesaktianmu, kalau tidak ingin
mati konyol oleh tanganku!” terdengar teriakan
sekonyong-konyong dari atas batu sebelah selatan.
“Ki Topeng Reges!” desis Mahesa Wulung bagai
melihat setan di arah puncak batu sebelah selatan.
Ki Topeng Reges tanpa banyak cakap terus terjun
ke bawah, menyerang Mahesa Wulung.
Untuk menghadapi tokoh sakti ini, Mahesa
Wulung tak kepalang tanggung. Maka dikerahkannya
segenap kepandaian serta ilmunya dalam menyambut
serangan Ki Topeng Reges.
Sebentar saja terjadilah pertempuran seru di tepi
Jurang Mati. Keduanya sambar-menyambar, terkam-
menerkam kadang-kadang melenting ke udara untuk
kemudian mendarat kembali di atas tanah. Debu
berkepulan ke atas dan kerikil-kerikil berpelantingan
kesana-kemari.
Putaran cambuk Naga Geni di tangan Mahesa
Wulung ternyata banyak menolong dirinya, sehingga
tak sekali pun jari-jari Ki Topeng Reges mengenai
bagian-bagian tubuhnya yang penting.
Hal ini membuat lawannya yang bertopeng hantu
itu mengumpat sejadi-jadinya. Apalagi beberapa kali
ujung jarinya ketika tersampok oleh cambuk yang
menyala kebiruan itu, terasa seperti terbakar oleh
jilatan api, sampai berakibat bengkak-bengkak kecil
merah lebam.
Maka Ki Topeng Reges menggeram serta meren–
tangkan kedua tangannya ke depan, siap melancar–
kan serangan hantunya.
“Ha, ha, ha, mati sekarang kau tikus!”
Mahesa Wulung terus memutar cambuk pusaka–
nya tanpa berani menatap mata Ki Topeng Reges.
Sebab itu berarti mengundang maut baginya. Ketika
pancaran lidah api menjilat serta menyambar dari
arah mata Ki Topeng Reges, Mahesa Wulung melesat
dan berjumpalitan di udara, sehingga lidah-lidah api
itu hanya mengenai tempat-tempat kosong saja.
Begitulah, maka tubuh Mahesa Wulung berlen–
tingan ke udara, kesana-kemari, seolah-olah menari-
nari di antara lidah-lidah api yang menyambar-
nyambar semakin rapat serta bertubi-tubi datangnya.
Keringat Mahesa Wulung mengalir menganak
sungai akibat hawa panas dari lidah-lidah api terse–
but, dan setapak demi setapak ia terdesak ke tepi
jurang.
Suatu ketika Mahesa Wulung melenting ke udara
menghindari lidah api, tetapi ketika mendarat kem–
bali, kakinya telah menginjak batu licin berlumut.
Akibatnya tak ampun lagi, Mahesa Wulung terpeleset
dan terpelanting ke arah Jurang Mati disertai iringan
derai ketawa Ki Topeng Reges kepuasan.
Meskipun Mahesa Wulung tak mati terbakar oleh
pancaran api matanya, tapi jurang yang dalam serta
tebing-tebing yang curam cukup untuk menjamin
kematian Mahesa Wulung.
Tubuh Mahesa Wulung melayang ke bawah, ke
arah dasar Jurang Mati yang penuh dengan tonjolan-
tonjolan batu runcing laksana ujung-ujung tombak.
Untunglah ia cepat-cepat bertindak. Selagi ia
melayang ke bawah itu, ia melecutkan cambuknya ke
arah sebuah batang pohon kering yang banyak ber–
tonjolan dari sela-sela dinding jurang.
Sreeet! Ia berhasil! Ujung cambuk itu melilit pohon
kering tadi hingga sesaat ia tergantung-gantung di
situ. Hanya sayang, rupanya pohon kering tersebut
tidak cukup kuat. Dengan suara berderak keras,
patahlah batang pohon kering itu dan tubuh Mahesa
Wulung kembali terpelanting ke dasar jurang.
Dasar Mahesa Wulung bukan orang yang mudah
berputus asa, maka sekali lagi ia melecutkan cambuk
ke arah sebuah batu runcing yang menonjol dari
dinding jurang.
Sraat! Berhasil untuk kedua kalinya! Cambuk
Naga Geni melilit batu runcing tadi sehingga Mahesa
Wulung terayun-ayun di dinding Jurang Mati, seperti
seekor laba-laba yang bergantung pada benangnya.
Ketika Mahesa Wulung melirik ke bawah, tak jauh
dari kakinya, terlihatlah bagian dinding jurang yang
melebar datar, seolah-olah sebuah jalan kecil selebar
setengah depa. Mahesa Wulung melihat tempat itu
dengan menarik nafas lega dan kemudian ia meng–
hentakkan cambuknya, sehingga belitannya pada
batu menonjol di atasnya terlepas.
Buk! Kedua kaki Mahesa Wulung mendarat pada
jalan kecil tersebut dengan sigapnya.
Pertama-tama Mahesa Wulung mengucapkan
syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, karena
dirinya telah terhindar dari maut. Sesudah ia
mengatur ketenangan dirinya, sedikit demi sedikit ia
merayapi dinding jurang itu ke arah kanan sebab di
sebelah kiri, jalan kecil tadi makin menyempit dan
lenyap merupakan dinding curam yang licin.
Tanpa gentar sedikitpun ia bergerak terus ke arah
kanan dengan membelakangi jurang itu, sementara
kedua tangannya bergerayangan pada dinding curam
memilih tempat untuk berpegangan.
Bersamaan lenyapnya cahaya senja yang terakhir,
yang kini diganti oleh munculnya sang purnama serta
tebaran bintang-bintang di langit bersih itu, mata
Mahesa Wulung menangkap adanya bayangan hitam
pada dinding jurang itu, kira-kira sejauh sepuluh
langkah lagi ke kanan.
Bayangan tadi seolah-olah merupakan celah dari
dinding jurang yang menjorok ke dalam sebagai
mulut sebuah goa. Meskipun Mahesa Wulung
berharap untuk dapat beristirahat sejenak di mulut
goa itu, namun tak urung hatinya berdebar-debar
pula mendekati tempat itu.
***
SELESAI
Pembaca budiman, sampai di sinilah cerita
“Hilangnya Empu Baskara” kami akhiri. Kemudian
pembaca akan bertemu lagi dengan tokoh kita
Mahesa Wulung yang waktu itu sedang merayap
mendekati sebuah goa. Nah, tunggulah ceritera Seri
Naga Geni yang kelima untuk Anda: ‘‘Diburu Topeng
Reges”
0 comments:
Posting Komentar