..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

NAGA GENI EPISODE HILANGNYA EMPU BASKARA

Hilangnya Empu Baskara

 

(Seri Naga Geni ke 4)
HILANGNYA EMPU BASKARA
Oleh W.H. Wibowo
Gambar kulit dan dalam: Arie
SATU
Hilangnya Empu Baskara benar-benar membikin 
cemas siapa saja di daerah Demak ini. Sebagai 
seorang ahli pembikin senjata-senjata ampuh, ia 
sangat dihormati dan dibanggakan oleh negara dan 
segenap rakyatnya. Maka tak heranlah jika 
menghilangnya Empu Baskara ini menyebabkan 
kesuraman mereka di dalam kehidupannya sehari-
hari.
Di Balai Ksatrian di kota Demak, hari itu kelihatan 
kesibukan-kesibukan. Beberapa perwira tampak 
berkumpul dan bercakap-cakap, antara lain Mahesa 
Wulung, Ranujaya, Jagayuda, Ki Tambakbaya, serta 
beberapa orang lainnya. Sedang Ki Camar Seta, 
pendekar tua itu pun tampak ikut duduk bersama 
mereka.
“Kiranya Andika semua sudah tahu, siapa Empu 
Baskara ini. Beliau telah menghilang dari rumahnya 
tanpa seorang pun yang tahu,” kata Ranujaya 
memulai bicaranya. “Kita telah gagal mencari jejak-
jejak beliau. Yang membuat kita heran dari peristiwa 
ini, ialah saat-saat menghilangnya Empu Baskara 
dari Demak. Beliau telah hilang sepekan kemudian 
setelah ia berhasil menemukan sebuah senjata 
ampuh yang baru pertama kali ini pernah diciptakan 
oleh para empu di tanah Jawa.”
“Sebuah senjata ampuh, kata Kakang tadi?
Apakah ia berujud keris, tombak, pedang atau macan 
lainnya?” Mahesa Wulung berkata menyela.
“Bukan! Ia tidak berbentuk benda pusaka yang 
dapat dipegang untuk bertempur, tetapi bentuknya 
lebih aneh lagi dan sangat sederhana. Nah, sebaiknya 
aku akan menceriterakan selengkapnya tentang 
Empu Baskara dan hasil-hasil penemuan yang telah 
dibuatnya secara tekun dan menakjubkan.
Kita kembali beberapa bulan yang lewat di tahun 
yang telah lalu. Hampir saja bencana paceklik 
melanda daerah Demak dan juga daerah-daerah 
sekitarnya. Bencana yang ditimbulkan oleh ribuan 
belalang yang ganas dan rakus telah menghabiskan 
berpetak-petak tanaman jagung dan berbahu-bahu 
tanaman padi serta tanaman palawija lainnya. Jika 
bencana ini tak teratasi, maka bahaya kelaparan 
akan muncul di mana-mana.
Masalah bencana kelaparan atau pun gangguan 
hama belalang tadi tidak dapat dihadapi dan 
ditanggulangi oleh kuatnya prajurit yang bersenjata 
lengkap. Hama tadi datang secara bergelombang dan 
tiba-tiba datang di sebuah tempat tanpa tanda-tanda 
yang dapat kita ketahui terlebih dulu. Nah, di dalam 
saat yang sangat genting inilah Empu Baskara telah 
menunjukkan suatu hasil ramuannya yang benar-
benar menakjubkan kita semua. Ia telah berhasil 
mendapatkan senjata ampuh guna membinasakan 
belalang-belalang yang rakus tadi. Sesudah mengunci 
diri dalam kamar kerjanya berhari-hari, iapun 
berhasil dan telah pula mencoba senjata ampuhnya 
itu.
Pada suatu hari aku telah berkunjung ke 
rumahnya untuk melihat senjata itu. Ternyata 
senjata itu terbentuk serbuk-serbuk putih seperti

tepung halusnya, yang dipasang pada mata anak 
panah.”
“Hanya serbuk-serbuk putih saja?” Mahesa 
Wulung berseru kaget.
“Begitulah, Adi. Hanya serbuk-serbuk putih saja. 
Aku pun heran mula-mula, tetapi setelah aku 
diajaknya mencoba, keherananku tadi berubah 
menjadi kekaguman yang tak ada habisnya. Di 
sebuah ladang yang luas dan diserang oleh ribuan 
belalang pada saat itu, aku dan Empu Baskara telah 
mencoba pusaka baru itu. Serbuk-serbuk putih tadi 
telah dimasukkan ke dalam mata anak panah yang 
dibuat seperti tabung bulat yang runcing dan 
berlobang.
Sesaat kemudian anak panah bermata aneh tadi 
aku tembakkan ke udara, di atas hamparan ladang 
yang diserang oleh ribuan belalang itu. Begitulah, 
anak panah tadi melesat ke udara dengan 
kencangnya. Sesaat kemudian setelah bergeser 
dengan udara, anak panah yang bertabung berisi 
serbuk putih itu menyala biru dan mengeluarkan 
asap yang selanjutnya menyebar di udara di atas 
ladang tersebut.
Apa yang terjadi kemudian sungguh-sungguh 
mengerikan. Asap putih tadi kemudian bercampur 
udara dan bagaikan kabut embun, turun ke bawah 
secara pelahan-lahan. Mendadak belalang-belalang 
tadi menjadi biru hangus lalu mengering dan mati.
Dalam pada itu terbayang angan-anganku sendiri, 
jika kabut dari serbuk putih tadi menimpa 
segerombolan manusia, maka pastilah orang-orang 
tersebut akan menjadi biru hangus dan mati dengan 
tubuhnya yang mengering, serupa dengan belalang-
belalang itu.

Hih, apa yang aku bayangkan ini pastilah tidak 
hanya membuat ngeri diriku sendiri, tapi juga Andika 
semua pastilah berperasaan yang sama.”
“Hmmm, memang hebat pusaka yang telah dibuat 
oleh Empu Baskara itu. Sebatang anak yang pada 
ujung matanya diisi oleh serbuk-serbuk putih dan
mampu memusnahkan makhluk-makhluk hidup 
dalam waktu yang tidak lama,” ujar Ki Camar Seta 
saking kagumnya.
“Justru kehebatan pusaka itulah yang membuat 
kami cemas setelah Empu Baskara hilang dari 
Demak. Kami menguatirkan seandainya Empu 
Baskara diculik oleh orang-orang dari gerombolan 
hitam yang telah sekian kali mencoba merongrong 
kewibawaan Demak. Pastilah mereka tidak akan 
kepalang-tanggung menggunakan pusaka itu untuk 
melawan kita,” Ranujaya berkata dengan tenangnya, 
namun wajahnya membayangkan perasaan hatinya 
yang cemas.
“Maka kepada Adi Mahesa Wulung kami harapkan 
untuk segera mencari Empu Baskara yang hilang 
itu.”
“Daerah manakah yang telah Kakang Ranujaya 
selidiki untuk mencari jejak-jejak Empu Baskara ini?” 
terdengar Mahesa Wulung bertanya.
“Daerah selatan dan barat Demak sampai ke 
daerah Asemarang telah kujelajahi, tetapi tak ada 
petunjuk dan tanda-tanda di mana Empu Baskara 
berada. Sedang daerah utara dan timur sampai ke 
Gunung Muria baru kami mulai untuk 
menyelidikinya. Kemungkinan besar di daerah inilah 
Adi Mahesa Wulung dapat memulai dengan 
penyelidikannya.”
“Baiklah, Kakang Ranujaya. Aku akan berusaha

mencari Empu Baskara dengan sebaik-baiknya. 
Kapankah aku dapat memulai dengan tugasku ini?”
“Sekarang juga dapat kau mulai dengan tugasmu, 
Adi Mahesa Wulung. Dan semua keperluan untuk 
tugasmu ini telah disiapkan. Kami berdoa dan 
berharap semoga tugas Andika ini berhasil dengan 
baik dan memuaskan. Ingatlah, bahwa Empu 
Baskara sangat penting artinya bagi keselamatan 
negara.”
“Terima kasih, Kakang. Ijinkanlah aku berangkat 
sekarang juga.” Mahesa Wulung mengangguk hormat 
kepada semua sahabatnya dan mereka pun 
membalasnya berbareng.
Ki Ranujaya pun rupanya sudah tidak ada 
keperluan lain untuk pertemuan di hari itu, maka ia 
pun segera berdiri. “Nah, kiranya tugas telah selesai 
kita bagikan, dan pertemuan ini kita akhiri sampai di 
sini. Adi Jagayuda, Andika boleh berangkat bersama-
sama Adi Mahesa Wulung. Bantulah ia sebaik-
baiknya.”
“Baik, Kakang. Aku siap berangkat bersama 
Kakang Mahesa Wulung.”
“Dan Kakang Camar Seta, Andika baru saja tiba 
dari Pulau Karimata setelah bertahun-tahun 
mengembara di sana. Maka untuk sementara waktu, 
Kakang Camar Seta aku persilahkan untuk 
beristirahat di Demak.”
“Terima kasih, Adi Ranujaya. Memang aku telah 
lama meninggalkan kota Demak, sehingga keadaan 
yang sekarang pastilah sudah jauh berbeda dengan 
keadaan waktu aku tinggalkan dahulu.”
“Ha, ha, ha. Aku merasa senang jika Ki Camar Seta 
bersedia aku antar berkeliling melihat-lihat 
keindahan kota Demak sekarang ini.”

Mereka, para perwira Demak yang berunding itu, 
telah meninggalkan Balai Ksatrian. Dengan langkah 
yang tegap penuh kepercayaan diri sendiri, mereka 
memulai tugasnya yang baru yang benar-benar harus 
diselesaikan dengan sempurna.
Mahesa Wulung dan Jagayuda segera mengambil 
kudanya dan tak lama kemudian merekapun telah 
memacu kudanya ke arah timur. Matahari bersinar 
dengan ganas, namun awan-awan mendung hitam 
telah berarak-arak menghalangi sinarnya, sehingga 
suasana menjadi gelap suram, seperti suramnya 
kehidupan di Demak akibat menghilangnya Empu 
Baskara yang mereka bangga-banggakan.
Debu dan kerikil berloncatan terkena derap kaki 
kuda Mahesa Wulung dan Jagayuda yang dipacu 
seperti angin. Sebentar saja mereka melewati pintu 
gerbang timur kota Demak dan semakin jauh, 
keduanya tampak semakin kecil, seolah-olah dua titik 
hitam yang berkejaran.
Menjelang senja temurun dengan perlahan-lahan, 
Mahesa Wulung dan Jagayuda telah mendekati 
daerah Kudus. Keduanya menghentikan kudanya 
yang masih berlari dengan kencang. Kini kedua orang 
berkuda berdampingan dan berjalan dengan 
seenaknya.
“Adi Jagayuda, apakah Adi akan terus langsung ke 
Jepara atau singgah bersama saya di kota Kudus 
nanti?”
“Saya kira akan lebih baik jika saya meneruskan 
perjalananku ke Jepara, agar tugas ini dapat kita bagi 
berdua. Kakang Mahesa Wulung sementara tinggal di 
Kudus dan memulai penyelidikannya dari kota ini, 
sedang saya akan memulai dari sebelah utara, dari 
kota Jepara,” ujar Jagayuda sambil menatap Mahesa

Wulung seperti meminta persetujuan. “Bagaimana, 
Kakang?”
“Itu bagus. Aku setuju sekali dengan siasatmu, Adi 
Jagayuda. Dan selanjutnya, tunggulah aku di kota 
Jepara.”
“Baik, Kakang. Kita berpisah saja di pertigaan jalan 
itu. Saya terus menuju ke utara dan Kakang masuk 
ke kota Kudus,” Jagayuda segera melecutkan 
cemetinya ke perut kudanya dan kuda itupun segera 
menderap. “Selamatlah, Kakang Mahesa Wulung!”
“Selamat jalan, Adi”.
Mahesa Wulung melambaikan tangannya ketika 
sahabatnya itu telah berpacu mendahuluinya, dan 
membelok ke utara pada pertigaan jalan di mukanya. 
Kepulan debu yang timbul akibat derapan kaki kuda 
Jagayuda semakin menjauh, dan sebentar kemudian 
lenyaplah ia dari pandangan mata Mahesa Wulung 
setelah Jagayuda menerobos pohon kenari yang 
menaungi jalan ke utara itu.
kini Mahesa Wulung berkuda sendirian. Kesunyian 
segera terasa mencengkam dirinya, ketika ia berkuda 
seorang diri di gelap senja dan memasuki kota 
Kudus.
Beberapa orang tampak berjalan membawa 
pikulan dan sesekali lewat pula orang-orang yang 
berkuda di jalan itu. Hampir setiap kali ia berpapasan 
dengan orang yang lewat, Mahesa Wulung 
memperhatikan wajah-wajah mereka. Namun tak 
seorang pun yang mirip dengan tanda-tanda serta 
ciri-ciri yang menunjukkan bentuk tubuh Empu 
Baskara.
Mahesa Wulung benar-benar merasa kesulitan 
dalam tugasnya kali ini, meski ia sudah diberi 
keterangan-keterangan tentang bentuk tubuh dan

wajah Empu Baskara dari Ki Ranujaya. Bahkan lebih 
dari itu, Mahesa Wulung sendiri pernah berkenalan 
dengan Empu Baskara beberapa tahun yang telah 
lalu.
Setelah Mahesa Wulung melewati menara masjid 
Kudus yang terkenal itu, sampailah ia di sebuah 
warung penginapan. Segera ia turun dari punggung 
kudanya dan menambatkannya pada sebuah tonggak 
kayu yang terpancang di depan warung.
Mahesa Wulung segera masuk ke dalam dan 
menyewa sebuah kamar untuk ditempatinya 
beberapa hari lamanya. Warung penginapan ini 
ternyata banyak sekali pengunjungnya, dan mereka 
satu per satu diawasi oleh mata Mahesa Wulung yang 
tajam. Namun tak seorang pun yang tampak 
mencurigakan. Sampai saat itu Mahesa Wulung 
belum menemukan petunjuk dan jejak-jejak dari 
menghilangnya Empu Baskara. Tetapi pada malam 
berikutnya, ketika ia berjalan-jalan menghirup udara 
malam, Mahesa Wulung secara tiba-tiba berhenti 
pada sebuah sudut rumah yang gelap. Tidak jauh 
dari tempat ia bersembunyi, berdirilah dua orang 
yang bercakap-cakap amat pelan dan menimbulkan 
kesan yang mencurigakan bagi Mahesa Wulung.
“Kakang Kalapati, kita sekian lama mencari jejak 
Empu Baskara, tetapi sampai saat ini kita belum 
menemukannya. Apakah usaha ini akan kita 
teruskan?”
“Hah, kau jangan lekas putus asa, Adi 
Dandangmala. Apakah kau sudah lupa dengan kata-
kata pemimpin kita. Jorangas? Bukankah kau sendiri 
telah mendengar bahwa tugas ini dipercayakan 
kepada kita? Dengarlah, aku siang tadi telah 
menjelajahi segenap warung penginapan di kota ini,


dan aku mulai mencium jejak Empu Baskara di 
daerah timur kota.”
“Tunggu dulu, Kakang Kalapati. Dengarlah! Angin 
malam yang bertiup dari selatan telah membawa 
dengus nafas manusia,” terdengar oleh Mahesa 
Wulung seorang yang bertubuh pendek berkata 
memperingatkan temannya. Mahesa Wulung tambah 
berhati-hati.
“Yah, benar pula, Adi Dandang. Aku juga 
mendengar dengus nafasnya. Rupanya di sudut gelap 
itu ada yang mendengar dan memata-matai 
percakapan kita.”
“Hmm, mereka betul-betul bertelinga tajam!” 
Mahesa Wulung mengeluh karena tempatnya 
bersembunyi itu memang searah dengan tiupan 
angin, maka tak bahwa kedua orang yang tengah 
diawasi itu dapat mendengar dengus nafasnya.
“Jangan takut, Adi Dandangmala. Biarlah aku 
yang akan memberi pelajaran kepada si mata-mata 
itu.” Sambil berkata, orang yang dipanggil Kalapati 
dan bertubuh kekar itu secara tiba-tiba menyabetkan 
tangannya dan untunglah Mahesa Wulung telah 
bersiaga sejak tadi. Begitu ia berkelit ke bawah, lima 
buah sinar menancap di dinding kayu itu.
“Paku-paku baja!” desis Mahesa Wulung.
“Heh, heh, heh, heh,” Mahesa Wulung 
memperdengarkan ketawanya yang bernada seram. 
“Permainan paku bajamu kurang cermat dan terlatih, 
teman. Nah, sekarang terimalah kembali milikmu 
ini.” Mahesa Wulung mencabut dua batang paku 
yang menancap di dinding kayu, kemudian 
melemparkannya kepada kedua orang yang masih 
tertegun.
Begitu dua batang paku itu menyambar, kedua

orang itu telah lebih dulu mengambil langkah seribu 
sambil memaki-maki, dan membuat Mahesa Wulung 
tersenyum geli melihatnya.
***
Ketika matahari bertambah tinggi, kota Kudus 
makin bertambah ramai. Seorang bertubuh pendekar 
dan gemuk dengan mengenakan sebuah caping, 
tampak memasuki sebuah warung penginapan. 
Sepintas lalu orang akan tersenyum bila melihat 
orang bercaping ini. Mengapa? Ya, orang ini berkumis 
terlalu tebal dan tidak seimbang dengan bentuk 
tubuhnya. Terlalu tebal dan lebat, ditambah lagi 
jenggotnya yang panjang membuat orang merasa 
ragu-ragu, jika itu semua adalah barang asli.
Tanpa menggubris orang-orang di situ, setelah ia 
memesan kamar, orang inipun cepat melangkah ke 
arah kamarnya. Begitu sampai di dalam kamarnya, 
dengan cepat-cepat ia menutup pintu kamar serapat-
rapatnya dan sekaligus merebahkan dirinya di balai-
balai. Butir-butir peluh menitik pada dahinya, dan 
sebelum ia mengalir, buru-buru diusapnya dengan 
lengan bajunya. Si gemuk pendek ini menghela nafas 
dalam-dalam, seolah-olah baru terbebas dari bahaya.
“Hmmm, baru kali ini aku sempat beristirahat 
dengan tenang,” gumam si gemuk pendek. “Mereka 
memang mengejar-ngejarku agar menyerahkan 
senjata ciptaanku ke tangan mereka. Akh, sebetulnya 
aku dapat melaporkan dan meminta bantuan dari 
prajurit-prajurit Demak agar melindungi diriku dari 
gerombolan Jorangas itu. Tetapi aku tak ingin 
merepotkan mereka, apalagi sampai jatuh korban 
karena membelaku. Biarlah kali ini Empu Baskara 
akan minggat dari daerah Demak agar hidupku lebih

tenang dari ancaman penjahat-penjahat itu.”
Orang yang gemuk pendek itu kemudian duduk 
kembali dan mengusap mukanya dengan selembar 
saputangan. Setelah itu ia meraba kumisnya dan 
menariknya lepas, lalu janggutnya pun 
ditanggalkannya!
“Hehh, untunglah kumis dan jenggot palsu ini 
cukup sempurna untuk menyembunyikan mukaku 
yang sesungguhnya, sehingga orang-orang tak satu 
pun yang mengenalku sebagai Empu Baskara yang 
terkenal itu. Heh, heh, heh, Persetan! Aku kadang-
kadang benci dengan diriku sendiri yang telah 
berhasil menciptakan senjata panah ‘Braja Kencar’. 
Senjataku yang mula-mula kuciptakan untuk 
membasmi belalang ternyata menimbulkan gagasan 
lain dan aku yakin bahwa penjahat-penjahat itu 
bermaksud menyelewengkan kedahsyatan senjataku 
tadi untuk pekerjaan-pekerjaan mereka yang 
terkutuk. Melawan kekuasaan Demak, inilah tujuan 
mereka yang pasti.”
Sekali Empu Baskara menarik nafas lega, lalu 
dituangkannya air kendi yang dingin ke dalam 
cangkir tembikar yang telah tersedia.
“Hmm, dadaku kini menjadi tenang setelah minum 
air sejuk ini. Mudah-mudahan mereka tak akan 
mengejarku lagi.”
Meskipun telah merasa aman, Empu Baskara tetap 
berhati-hati menjaga dirinya. Seluruh kamar 
diperiksanya satu persatu, tetapi ternyata tak ada 
yang mencurigakan. Lubang-lubang dinding yang 
memungkinkan orang mengintai dirinya dari luar tak 
ditemukannya pula. Kini ia merebahkan dirinya ke 
atas balai-balai.
Rasa penat dan pegal-pegal tubuhnya sedikit demi

sedikit mulai berkurang setelah ia berhari-hari 
menempuh perjalanan yang jauh.
Ia berjalan dari Demak ke Kudus untuk 
menghindari pengejaran kaki tangan gerombolan 
Jorangas. Hutan-hutan dan semak-semak liar telah 
diterobosinya selama perjalanan itu agar tak seorang 
pun yang melihat kepergiannya dari kota Demak yang 
dicintainya.
Mengenang-ngenang kejadian-kejadian yang telah 
lewat itu, terasa matanya semakin bertambah berat 
dan mengantuk, maka sebentar kemudian Empu 
Baskara itupun tertidur dengan pulasnya. Wajahnya 
yang penuh keramahan itu kelihatan sangat tenang 
dengan aliran nafasnya yang teratur.
***

DUA

Pada suatu sore, Empu Baskara duduk di ruangan 
warung itu menghadapi sebuah meja yang berisi 
sepiring ketela rebus dan secangkir kopi panas.
Ia baru merasa aman sungguh-sungguh setelah 
tiga hari ia bermalam di warung itu dan tidak seorang 
pun yang mencurigainya.
Juga ia tak merasa curiga sedikitpun ketika dua 
orang yang berkuda berhenti di warung itu. Selain 
kuda tunggang, kedua orang ini membawa pula dua 
ekor kuda beban yang dimuati beberapa karung.
Kedua tamu baru itu tampak olehnya memesan 
kamar kepada si pemilik warung penginapan. Setelah 
menambatkan kuda-kuda itu di kandang belakang, 
mereka masuk kembali sambil membawa karung-
karung itu ke dalam kamar.
Empu Baskara terus saja mengawasi kedua tamu 
itu, serta karung-karung yang dibawanya. Beberapa 
butir putih tercecer dari lubang karung itu.
“Eh, mereka itu pedagang-pedagang beras 
rupanya,” pikir Empu Baskara karena melihat butir-
butir putih yang tercecer tadi. Kini, kopi panas di 
depannya direguknya beberapa kali.
Beberapa saat kemudian, dilihatnya seorang di 
antara tamu-tamu baru tadi keluar kembali dan 
duduk di ruangan warung, tidak jauh dari tempat 
duduknya. Suatu ketika, Empu Baskara melihat ke

arah orang baru yang bertubuh pendek dan kali ini 
betul-betul membuat Empu Baskara terkejut, bahkan 
ia merasa ingin menjerit, karena orang baru itu pun 
ternyata mengawasi dirinya pula.
Empu Baskara cepat-cepat berusaha menguasai 
dirinya, sambil menyeruput lagi air kopinya. Tapi 
dasar sial, saking tergesa-gesanya ia minum kopi itu 
membuatnya tersedak dan batuk-batuk sampai 
belepotan membasahi kumis dan jenggot palsunya.
Lebih sial lagi bagi Empu Baskara, sebab ketika ia 
berusaha membersihkan kumis dan jenggotnya dari 
air kopi itu, tiba-tiba dilihatnya orang baru yang 
bertubuh pendek itu melongo mulutnya.
Empu Baskara pun menjadi kaget. Cepat ia 
meraba kumis palsunya. “Ah, persetan! Kurang ajar.” 
Kumis palsunya ternyata menjadi miring letaknya. 
“Asem tenan!”
Cepat-cepat ia membetulkan kembali letak kumis 
palsunya itu. Dan tiba-tiba hati Empu Baskara 
merasa berdebar-debar, karena si orang pendek itu 
terus saja mengawasi dirinya. Maka iapun segera 
bangkit dari tempat duduknya serta melangkah 
cepat-cepat ke kamarnya.
Makin mendekati kamarnya, terasa jantungnya 
menjadi semakin berdetak keras. Dan betapa 
kagetnya ketika pintu kamar itu dijumpainya dalam 
keadaan terbuka. Seseorang tampak olehnya sedang 
menggeledah-geledah isi kamar. Ya, orang itu yang 
bertubuh kekar adalah pedagang beras yang 
dilihatnya tadi.
Empu Baskara melihat perbuatan orang itu 
menjadi naik darahnya. Betapa tidak, kamar itu telah 
dikuncinya dan tak seorang pun yang berhak 
menggeledah apalagi membongkar-bongkarnya.

Perbuatan itu sama saja dengan menginjak-injak 
harga diri dan kehormatannya. Maka tanpa sadar 
akan bahaya yang tengah mengintai dirinya, Empu 
Baskara melompat ke dalam kamarnya serta 
menggertak orang itu dengan keras.
“Heei keparat, kowe! Apa maksudmu masuk 
kemari serta membongkar barang-barangku di dalam 
kamar ini, ha?!”
Persis kera yang kena lempar, orang yang kena 
gertak itu menjadi geragapan menoleh kesana kemari 
dengan wajah yang kepucatan. Namun kekagetannya 
itu hanyalah berjalan sesaat saja, sebab orang ini 
yang bertubuh kekar dan bernama Kalapati adalah 
salah satu tokoh gerombolan hitam Jorangas yang 
sangat berani dan kejam.
“Nah, kebetulan sekali kau cepat datang disini, 
munyuk tua. Aku butuh beberapa keterangan dan 
harus kau jawab beberapa pertanyaan yang akan 
kuberikan kepadamu!” Kalapati ganti membentak 
Empu Baskara sambil melolos pedang dari sarungnya 
yang terikat pada pinggangnya sebelah kiri.
Mendapat gertak balasan itu, Empu Baskara 
mengeluh cemas seperti orang yang terjaga dari 
mimpi buruknya. “Ooookh!”
Empu Baskara mundur berbalik, hendak 
mengambil langkah seribu dan lari dari kamarnya, 
tetapi betapa kagetnya di saat ia membalikkan diri itu 
sebab di belakangnya telah berdiri sambil 
menyeringai kejam si orang baru yang bertubuh 
pendek dengan sorotan matanya penuh keganasan. 
“Hi, hi, hi, hi, hi, kau merasa kaget, Pak?”
Empu Baskara bermaksud untuk berteriak 
meminta tolong dan belum lagi maksud itu 
dilaksanakan, mendadak satu benda keras terasa

membentur batok kepalanya, sehingga pandangan 
matanya menjadi berkunang-kunang serta berputar. 
Tubuh Empu Baskara sesaat masih berusaha untuk 
tetap tegak, namun akhirnya menjadi oleng dan 
kemudian roboh ke lantai kamar tak sadarkan diri.
“Ha, ha, ha, Adi Dandangmala. Akhirnya dia jatuh 
juga ke tangan kita, ya. Sekarang ayo cepat kita 
gotong ke dalam kamar kita!”
“Dan kemudian kita akan membawanya kepada 
Kakang Jorangas dengan hati lega,” terdengar 
Dandangmala menyela.
“Betul, Adi Dandangmala. Jangan lupa, Empu 
Baskara ini harus kita larikan dengan memakai 
siasat yang telah kita rencanakan!”
Dandangmala cepat melongok keluar. Sepi-sepi 
saja.
“Wah, aman ini!”
Kemudian ia memberi isyarat kepada Kalapati dan 
kedua penjahat itu dengan tenang dan hati-hati 
menggotong tubuh Empu Baskara ke dalam kamar 
mereka.
“Nah, letakkan dulu tubuhnya di dekat karung-
karung beras ini, Adi. Biar aku siapkan karung 
kosong untuknya,” ujar Kalapati sambil menyiapkan 
sebuah karung yang cukup besar.
Sementara itu Dandangmala pun bekerja dengan 
cermatnya. Mula-mula ia membungkam mulut Empu 
Baskara ini dengan selembar sapu tangan. Setelah itu 
mereka cepat-cepat memasukkan tubuh orang tua itu 
ke dalam karung.
“Nah, Adi Dandangmala, hari ini pula kita harus 
segera meninggalkan tempat ini sebelum orang-orang 
mengetahui hilangnya seorang tua itu dari kamarnya. 
Karung-karung itu harus kita bawa satu persatu ke

kandang kuda dan sekaligus kita muatkan semuanya 
ke atas kuda.”
“Siap Kakang!” Dandangmala berkata dan 
tangannya yang kokoh telah mengangkat dua karung 
beras, lalu dipindahkannya ke atas bahunya dengan 
mudah.
Melihat kekuatan sahabatnya itu, Kalapati 
tersenyum-senyum, apalagi jika ia teringat akan 
sepak terjang sahabatnya itu, ketika dikeroyok oleh 
empat orang penjaga pesisir Rembang beberapa 
waktu yang lalu. Mereka itu dengan mudahnya 
dibanting oleh Dandangmala satu persatu berkaparan 
di atas tanah.
Ketika itu Dandangmala sudah tiba di pintu 
warung penginapan dan mendadak seorang pemuda 
bergegas masuk ke dalam warung. Tanpa sengaja 
pemuda ini telah membentur tubuhnya dan betapa 
kagetnya bila kemudian terasa tubuh oleng dan 
hampir terjatuh bersama karung yang dipikulnya itu. 
Untunglah pemuda ini cepat-cepat menahan tubuh 
Dandangmala yang hampir jatuh, dan disertai 
permintaan maaf.
“Ooh, maaf, Pak. Aku tak sengaja menabrakmu,” 
ujar pemuda itu yang tidak lain adalah Mahesa 
Wulung. “Perlu aku bantu, Pak?”
“Tidak usah! Sialan kau! Lain kali matanya dipakai 
yang benar!” umpat si Dandangmala disertai matanya 
yang melotot marah ke arah Mahesa Wulung. Tetapi 
di dalam hati, Dandangmala penuh pertanyaan 
terhadap pemuda yang baru saja menabraknya. 
Benar-benar dirinya dibuat heran oleh kekuatan 
dahsyat si pemuda. “Uh, siapa bocah ini. Kalau 
sampai orang tak berhasil merobohkanku, tapi 
pemuda ini dengan benturan tubuhnya yang tidak

keras, hampir-hampir saja membuatku jatuh 
tersungkur!”
Sebaliknya Mahesa Wulung sendiri terkejut bukan 
main, sebab ia merasa pernah mengenal suara orang 
yang bertubuh pendek ini. Otaknya cepat. “Eh, 
rupanya aku terlalu berprasangka dengan kedua 
orang ini. Ternyata mereka adalah orang-orang 
pedagang beras dan tak perlu aku mencurigainya.”
Tetapi mendadak hati Mahesa Wulung menjadi 
bergoncang keras, apabila telinganya menangkap 
getaran aneh di dalam karung yang dipikul oleh 
Kalapati yang bertubuh kekar tinggi itu. Ketajaman 
telinganya menangkap dengus nafas manusia yang 
berbareng tapi berlainan nadanya. Mata Mahesa 
Wulung kembali lagi mengawasi karung itu.
“Oh, berisi manusia? Nah, sekarang aku betul-
betul merasa curiga terhadap mereka,” desis Mahesa 
Wulung seraya melangkah mengikuti Kalapati.
Ia bermaksud mencegah kepergian kedua orang 
itu. Tetapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, 
ketika hati kecilnya mencegah maksudnya tadi. Ia 
berpikir dan dalam kepalanya melintas kepada 
peristiwa beberapa malam yang telah lalu di saat ia 
memergoki dua orang di tempat gelap, tengah 
membicarakan akan hilangnya Empu Baskara.
Belum lagi hilang kagetnya, Mahesa Wulung 
berpapasan dengan Kalapati yang juga memanggul 
sebuah karung dari kamar.
“Mereka rupanya adalah pedagang-pedagang 
beras,” pikir Mahesa Wulung dengan cepat, sebab 
dari lubang kecil karung itu tercecer beberapa butir 
beras. Maka iapun menarik nafas lega karenanya. 
“Kalau aku mencegah maksudnya, pastilah akan 
menimbulkan keonaran di daerah ini. Biarlah mereka

pergi lebih dahulu dan mereka akan kuikuti terus ke 
mana perginya!” Mahesa Wulung berbalik dan 
mendekati si pemilik warung penginapan.
“Bapak, siapakah mereka itu?”
“Oh, mereka adalah pedagang-pedagang beras 
yang singgah di sini, Kisanak. Apakah Kisanak 
bermaksud membeli beras-beras mereka itu?”
“Aku tak bermaksud begitu, Bapak. Malahan 
sebenarnya aku menaruh curiga terhadap mereka!”
“Curiga terhadap orang-orang itu!” si pemilik 
warung mengerutkan dahinya, karena terkejut 
dengan kata-kata ini. “Apa maksud Kisanak yang 
sebenarnya?”
“Maaf, Bapak. Aku tak sempat berceritera panjang 
lebar di sini. Dan sekarang, aku sekali lagi ingin 
bertanya kepada Bapak. Semoga Bapak tidak 
keberatan sekali ini.”
Si pemilik warung ternyata mempunyai hati yang 
cukup baik dan bahkan ia menjadi tertarik dengan 
tamunya yang masih muda dan berwajah tampan ini, 
sehingga ia dengan senang hati menjawab pertanyaan 
Mahesa Wulung.
“Silahkan bertanya, Kisanak. Bapak akan 
berusaha menjawabnya sebisa mungkin.”
“Apakah Bapak pernah kedatangan seorang yang 
bertubuh gemuk pendek dan sudah tua?”
“Orang yang bertubuh pendek dan sudah tua? 
Hmm, ya, ya, aku ingat sekarang. Memang ada 
seorang tamuku berperawakan demikian itu. Ia telah 
menginap di sini beberapa hari lamanya dan dialah 
satu-satunya tamuku yang paling aneh!”
“Aneh?” potong Mahesa Wulung kaget.
“Ya. Ia memang tamu yang aneh, sebab ia jarang 
berkata-kata dengan tamu lainnya dan juga dengan

aku sendiri.”
Mahesa Wulung yakin bahwa ia mulai mencium 
jejak Empu Baskara, dan ia lalu ingat bahwa Empu 
Baskara adalah seorang pendiam. Jarang ia 
mengobrol dengan orang lain. Ia hanya suka 
berbicara seperlunya saja.
“Bolehkah aku bertemu dengan dia, Bapak?”
“Tentu saja boleh, Kisanak. Tapi... nanti dulu! Ia 
pernah berpesan kepadaku kalau sedang di dalam 
kamarnya ia tak mau diganggu. Baiklah aku tengok 
dulu kamarnya, mungkin ia tak berkeberatan jika 
Kisanak menemuinya.”
“Baiklah, Bapak. Aku akan tunggu di sini saja.”
Si pemilik warung itu cepat melangkah ke dalam, 
menuju ke kamar Empu Baskara. Sesaat kemudian ia 
berlari-lari keluar sambil berseru kepada Mahesa 
Wulung.
“Wah, celaka, Kisanak. Celaka!”
“Mengapa, Bapak?!” seru Mahesa Wulung tak 
kalah kagetnya dengan si pemilik warung yang 
berwajah pucat penuh tanda tanya.
“Celaka. Orang tua itu telah menghilang dari 
kamarnya, dan lihatlah sendiri, isi kamarnya telah 
berantakan!”
Mendengar kata-kata itu, tanpa menunggu lebih 
lama lagi, Mahesa wulung segera berlari ke kamar 
Empu Baskara yang telah ditunjukkan oleh pemilik 
warung. Keduanya masuk ke dalam. Isi kamar itu 
ternyata memang berserakan menunjukkan bekas 
dibongkar atau digeledah oleh tangan-tangan jahil. 
Mahesa Wulung cepat memeriksa barang-barang 
yang banyak terhampar di lantai.
Dipungutnya sebuah kitab yang terbuat dari kertas 
merang kemudian dibuka-bukanya. Tampak Mahesa

Wulung terperanjat apabila di antara halaman-
halaman kitab itu berisi gambar-gambar bentuk 
pamor dan hiasan dari mata tombak, panah dan 
keris-keris.
“Empu Baskara!” desis Mahesa Wulung seraya 
menutup kitab itu. Hanya Empu Baskaralah yang 
selalu pergi kemana-mana dengan membawa kitab-
kitab berisi model-model dan keterangan-keterangan 
tentang bermacam-macam senjata pusaka.
“Maaf, Bapak. Aku yakin bahwa tamumu itu telah 
diculik oleh kedua orang pedagang beras tadi.”
“Tapi, Kisanak, aku tak melihatnya ia keluar dari 
kamarnya!” ujar si pemilik warung bingung.
“Bukankah mungkin kalau salah satu dari karung-
karung yang dibawa mereka tadi berisi tubuh 
tamumu, si orang tua yang pendiam dan aneh itu?”
“Eh, ya, ya, mungkin juga demikian, Kisanak,” ujar 
si pemilik warung.
“Nah, sekarang aku meminta diri, Bapak. Akan 
mengejar mereka,” kata Mahesa Wulung sambil 
melangkah cepat-cepat keluar warung.
Si pemilik warung tak berkata sepatah pun, dan ia 
melangkah cepat-cepat ke pintu depan. Dilihatnya 
pemuda tadi meloncat dengan cekatan ke atas 
punggung kudanya dan bagaikan kilat, ia berpacu ke 
arah utara.
***
Mahesa Wulung terus melarikan kudanya dengan 
kencang, tetapi matanya yang tajam itu tak henti-
hentinya mengawasi jejak-jejak kaki kuda yang 
tampak masih baru. Kepandaiannya mencari jejak-
jejak dan berburu, sudah digemarinya sejak masa 
kecil ketika ia tinggal di Asemarang. Itu semuanya

berkat didikan Ki Sorengrana, pamannya yang amat 
dikasihi.
Matahari makin condong ke barat ketika ia telah 
agak jauh meninggalkan kota Kudus. Sekali-sekali ia 
berhenti dan bertanya kepada orang-orang yang lewat 
tentang dua orang berkuda yang membawa karung-
karung dengan kuda bebannya. Dan ternyata dari 
jawaban yang diperolehnya, jelaslah bahwa arah 
pengejarannya itu tidak keliru. Kedua orang 
buruannya itu berlari ke arah utara.
Jalan yang dilalui bertambah mendaki dan orang-
orang yang lewat makin jarang dijumpai, sebab jalan 
itu mulai menerobos hutan-hutan kecil dan daerah-
daerah semak ilalang yang amat pekatnya. Angin 
bertiup dengan kencang, terasa menampari wajahnya 
dan melambai-lambaikan rambut suri kudanya.
“Jalan ini akan sampai di desa Bae. Tapi aku tidak 
akan membiarkan buruanku lolos bersama Empu 
Baskara,” Mahesa Wulung bergumam sendirian 
ketika ia sudah tiba di kaki bukit selatan dari 
Gunung Muria yang menjulang tinggi bersaput awan 
putih. Jejak-jejak kaki kuda di depannya masih 
tampak dengan jelas. Meskipun jejak-jejak tadi amat 
banyak, namun Mahesa Wulung dapat menebak 
jumlahnya. Sedang seekor di antaranya pasti 
bermuatan cukup berat karana terlihat dari jejak-
jejak kakinya yang amat jelas dan agak dalam di atas 
tanah.
Keadaan akan bertambah gelap bila matahari telah 
tenggelam di cakrawala barat dan pengejaran itu 
akan bertambah sulit bagi Mahesa Wulung. 
Karenanya Mahesa Wulung lebih mempercepat lari 
kudanya agar ia dapat segera mengejar mereka. 
Sedang jauh di muka, Kalapati dan Dandangmala

rupanya tahu pula bahwa mereka diikuti oleh 
seseorang. Keduanya pun memacu kudanya yang 
berlari seperti kilat.
“Adi Dandangmala, cepat kau mendahuluiku dan 
mintalah bantuan kepada Kakang Gogorwana di 
ujung desa itu!” seru Kalapati kepada sahabatnya.
“Baik, Kakang. Aku berangkat sekarang!” ujar 
Dandangmala seraya memacu kudanya lebih cepat ke 
arah utara mengikuti arah yang berbelok-belok.
Setelah mendekati pohon beringin tua yang 
tumbuh di tepi kanan jalan, Dandangmala 
membelokkan kudanya ke kanan menerobos semak-
semak bambu dan sebentar kemudian sampailah ia 
di depan sebuah gubuk ilalang. Begitu turun dari 
kudanya, Dandangmala langsung mendekat gubuk 
itu.
“Eh, kemana si Gogorwana itu?” terdengar 
Dandangmala menggerundal. “Di saat yang 
berbahaya ini, tenaganya sangat kuperlukan.”
“Kau mencariku, Adi?!” mendadak terdengar suara 
yang parau disertai satu gerakan yang mengejutkan 
Dandangmala, membuat ia terhuyung ke kanan.
“Ha, ha, ha, ha. Maaf kalau aku telah 
mengagetkanmu!” terdengar lagi suara yang parau 
dan ketika Dandangmala menoleh ke belakang, 
dilihatnya seorang yang bertubuh tegap dan 
tangannya memegang sebuah kapak yang berukuran 
tidak lumrah besarnya.
“Terlalu! Kau membuatku kaget, Kakang Gogor!” 
seru Dandangmala disertai mukanya yang masam 
berkerut. “Sampai sekarang kebiasaanmu itu tidak 
hilang juga!”
“Ha, ha, ha, ha. Kau pun masih suka cepat 
menjadi marah, Adi Dandangmala. Nah, lupakanlah

hal itu tadi. Sekarang apa maksud kedatanganmu 
kemari itu?”
“Aku dan Kakang Kalapati sedang menuju ke 
Pecangakan dan kami dikejar oleh seorang yang 
belum kami kenal. Ia mengikutiku sejak dari Kudus. 
Bagaimana, Kakang?”
“Hah! Jadi kalian takut menghadapi musuh yang 
hanya seorang diri saja?” jawab Gogorwana. “Di mana 
letak keberanianmu yang telah sekian tahun selalu 
kau perlihatkan itu?”
“Takut? Kau bilang kami berdua tak berani 
menghadapi orang itu? Hah! Anak buah Jorangas tak 
pernah mempunyai rasa takut dalam menghadapi 
musuhnya! Kami memang sengaja tidak ingin 
tertunda dalam perjalanan ini, sebab kami membawa 
barang yang penting untuk pemimpin kita, Jorangas. 
Nah, kiranya Kakang Gogorwana sudah tahu tugas 
yang harus kau kerjakan, toh?”
“Mencegat orang itu,” ujar Gogorwana.
“Ya, mencegat orang yang mengejar kami itu dan 
jika perlu Kakang Gogor boleh....”
“Membunuhnya?!” potong Gogorwana disertai 
tertawanya yang berderai memenuhi halaman gubuk 
ilalang itu.
“Bagus! Memang kebetulan sekali. Sudah lama 
tanganku ini gatal untuk bertempur. Tapi jangan lupa 
Adi Dandangmala, aku tak pernah mengerjakan 
suatu pesanan secara cuma-cuma! Meskipun yang 
menyuruh tadi sahabatku sendiri, ha, ha, ha.”
“Kau memang mata duitan, Kakang Gogor! 
Baiklah, nih terimalah untukmu!” kata Dandangmala 
seraya melempar kantong kecil yang diambil dari ikat 
pinggangnya.
Dengan sigap Gogorwana menangkap kantong itu

dan segera membukanya serta menghitung isinya, 
seikat mata uang logam.
“Heh, heh, ini sudah cukup, Adi Dandangmala. 
Sekarang kau boleh pergi meneruskan perjalananmu. 
Biarlah aku hadapi orang itu!”
“Terima kasih, Kakang Gogor. Aku pergi sekarang,” 
ujar Dandangmala dan iapun meloncat ke atas 
punggung kudanya serta dipacu ke arah jalan yang 
semula, menuju utara dan ternyata dilihatnya 
Kalapati sudah berpacu agak jauh di depannya.
Kini keduanya berkuda berdampingan dengan hati 
lega karena orang yang mengejar mereka telah 
dipasrahkan kepada Gogorwana. Sekali-sekali mereka 
menoleh ke belakang untuk melihat kuda bebannya 
yang digandeng kuda Kalapati. Mereka mencemaskan 
karung-karung yang diikat di punggung kuda beban 
itu, sebab satu di antaranya berisi tubuh Empu 
Baskara yang terikat, tak sadarkan diri dan sangat 
berharga bagi gerombolan Jorangas!
***

TIGA

Mahesa Wulung terus mempercepat lari kudanya 
menuju ke utara mengikuti jalan yang berbelok-belok 
dan menanjak. Tiba-tiba di antara desiran angin 
senja yang bertiup itu terdengarlah oleh telinga 
Mahesa Wulung bunyi orang menebang pohon yang 
berdentang-dentang menggema di arah utara dari 
jalan yang akan ditempuhnya.
“Hmm, sungguh aneh bunyi itu. Kalau saja orang 
menebang pohon, itu sudah biasa. Tetapi dalam senja 
begini ini, bukanlah waktunya yang tepat untuk 
menebang pohon! Aku mesti hati-hati mengambah
daerah ini,” Mahesa Wulung berpikir keras untuk
menduga-duga siapakah orangnya yang berbuat itu, 
menebang pohon dalam waktu yang tidak semestinya. 
Maka ditariknya kekang kudanya agar berkurang 
kecepatan larinya.
Dari jauh tampak olehnya puncak-puncak pohon 
beringin yang tumbuh subur menaungi jalan yang
berseling-seling dengan pohon kenari. Satu pertanda 
bahwa ujung Desa Bae sudah bertambah dekat.
Sesaat kemudian bunyi berdentang-dentang orang 
menebang pohon itu berhenti. Mahesa Wulung makin 
berhati-hati. Kaki kudanya melangkah terus dan 
sekali-kali dari mulut kuda terdengar bunyi 
meringkik yang kecil. Hal ini membuat Mahesa 
Wulung merasa curiga.

“Kuda ini telah mencium sesuatu yang asing dan 
mungkin bahaya yang besar sedang mengintai di 
depan!”
Belum habis Mahesa Wulung berpikir itu, tiba-tiba 
kudanya mengeluarkan ringkikan yang keras disertai 
kepalanya yang sebentar mengangguk serta ditarik-
tarik ke belakang.
“Heeee, kuda ini tidak mau melangkah maju!” desis 
Mahesa Wulung ketika dilihatnya kuda itu hanya 
berdiri sambil menderap-derapkan kaki depannya ke 
tanah.
Mahesa Wulung melihat sekeliling. Sepi! Hanya 
pohon-pohon kenari dan beringin yang menaungi 
serta memagari jalan itu, bagaikan setan-setan alas 
yang berbaris menantikan mangsanya. Mendadak 
satu bunyi berderak terdengar amat keras dan satu 
pohon kenari bergoyang dan bergerak ke bawah ke 
arah Mahesa Wulung bersama kudanya.
Kejadian itu amat mendadak seperti memukau 
kesadaran pikiran. Namun Mahesa Wulung bukan 
anak kemarin sore, maka melihat batang pohon 
kenari yang melayang roboh siap menghancurkan 
tubuhnya itu, ia cepat-cepat menarik tali kekang 
kudanya. Ternyata kuda Mahesa Wulung itupun 
mencium bahaya yang sedang terjadi. Dengan satu 
ringkikan keras, begitu ia merasa mulutnya tertarik 
oleh tali kekang, iapun mendongak ke samping 
kemudian membuat satu loncatan berbalik ke 
belakang yang cukup jauh.
Bunyi berderak dari robohnya batang pohon kenari 
yang melintang ke jalan, terdengar sangat keras 
memenuhi tempat sekelilingnya. Untunglah Mahesa 
Wulung dengan kudanya telah bertindak dengan 
cepat Kalau sedikit saja terlambat, pastilah mereka

akan hancur lumat ditimpa oleh batang pohon kenari 
itu, yang besarnya lebih dari sepemeluk tangan. 
Mahesa Wulung merasa bersyukur, bahwa dirinya 
telah terhindar dari maut. Sementara itu tangan 
kanannya berkali-kali menepuk-nepuk leher kudanya 
agar menjadi tenang kembali
Dalam hati Mahesa Wulung terpesona melihat 
besarnya batang pohon kenari yang telah roboh itu. 
Dapatlah dibayangkan sepintas lalu, betapa hebatnya 
tenaga yang telah mampu menebang putus batang 
kenari dalam waktu yang sesingkat itu.
Belum habis rasa kagumnya, tiba-tiba hati Mahesa 
Wulung berdesir melihat satu sosok tubuh manusia 
yang melesat dari kerimbunan semak-belukar dan 
langsung berdiri tegak laksana patung perkasa di 
atas batang pohon kenari yang telah roboh melintang 
di tengah jalan.
“Hia, ha, ha, ha. Bagus! Kowe pancen gesit! Tapi 
jangan lekas membusung dada sebelum bisa 
menghadapi Gogorwana!” seru orang tegap yang baru 
muncul disertai sorot matanya yang kemerahan.
“Ooo, jadi kaulah yang bernama Gogorwana dan 
bergelar Blandong Nyawa?!” ujar Mahesa Wulung 
kaget, sebab ia pernah mendengar nama tokoh ini, 
yang dikenal sebagai seorang pendekar liar dengan 
senjata kapaknya. Kepandaiannya menebang dan 
membelah batang pohon sama baiknya jika ia 
menebas dan membelah tubuh lawan-lawannya.
“Jadi kau sudah tahu nama gelarku? Ha, ha, ha, 
itu lebih baik, agar kau mati dengan kepuasan. Nah, 
sekarang hadapilah kematianmu dengan tenang 
supaya pekerjaanku menjadi lebih mudah!”
“Tunggu dulu, Kisanak! Kau boleh membunuh 
Mahesa Wulung, asal lebih dahulu kamu sebutkan

sebab-musababnya mengapa sampai kau berminat 
menghalangi perjalananku ini?”
Sekali ini Gogorwana atau yang bergelar Blandong 
Nyawa serentak terperanjat mendengar nama Mahesa 
Wulung. Ia telah mendengar nama itu, nama dari 
seorang pendekar Demak yang menjadi musuh dari 
setiap gerombolan hitam hampir di segenap 
Nusantara.
Tapi memang dasar Gogorwana seorang pendekar 
liar yang keras kepala serta membanggakan segenap 
kekuatannya, maka perasaan cemas dan 
terperanjatnya segera lenyap dari sudut-sudut 
hatinya, lalu berubah menjadi rasa bangga karena 
dapat berhadapan dengan Mahesa Wulung. Satu 
tokoh yang selalu menghantui orang-orang 
gerombolan hitam.
“Hah, kebetulan sekali jika musuhku kali ini 
seorang yang sudah mempunyai nama tenar! Mahesa 
Wulung, ketahuilah bahwa kau harus kulenyapkan 
dari muka bumi ini, karena telah berkali-kali 
menghancurkan teman-temanku dari gerombolan 
hitam dan juga kau telah berani mengejar-ngejar 
kedua sahabatku!”
“Keparat, kau ternyata antek begundal gerombolan 
Jorangas! Kalau begitu, bukan aku yang harus mati, 
tapi kamulah yang harus kuantarkan ke neraka!” 
teriak Mahesa Wulung sambil bersiaga dan meloncat 
turun dari atas kudanya.
“Setan! Memang tanpa tedeng aling-aling, akulah 
anak buah gerombolan Jorangas! Makanya kamu 
harus mampus!” teriak menggeram Gogorwana 
menggema di sekeliling tempat itu dan tahu-tahu ia 
bergerak seperti kilat melancarkan serangannya 
dengan satu tebasan membujur ke bawah, ke arah

kepala Mahesa Wulung. Mata kapak berkilat 
merupakan sinar putih yang siap membelah kepala 
Mahesa Wulung dengan cepatnya, namun secepat itu 
pula Mahesa Wulung membungkuk menghindari 
serangan ini dan tubuhnya berguling ke samping 
beberapa langkah jauhnya, kemudian disusul bunyi 
menggegar akibat mata kapak raksasa si Gogorwana 
melesat dan kemudian membalah hancur batu hitam 
di bawahnya.
Mahesa Wulung cepat-cepat berdiri bersiaga 
kembali. Demikian pula Gogorwana pun bersiaga, 
dibarengi mulutnya yang menggerundal memaki-maki 
karena serangannya tadi dengan mudah dielaki oleh 
lawannya. Tanpa berkata-kata lagi ia menekap 
giginya, dikerahkannya segenap kekuatannya untuk 
kemudian sambil berteriak keras ia mengayunkan 
kapaknya mendatar, melintang dengan derasnya ke 
arah dada Mahesa Wulung yang telah bersiaga.
Sekali lagi Gogorwana dibikin terkejut oleh gerakan 
lawannya yang cepat selincah burung sikatan. Begitu 
mata kapaknya hampir merobek dada Mahesa 
Wulung, lawannya ini membungkukkan tubuhnya 
serendah mungkin dan... Wesss! Bunyi berdesir dari 
kapak Gogorwana yang melesat dan lewat di atas 
kepala Mahesa Wulung terdengar menyerikan telinga, 
disusul suara berderak keras. Sebatang pohon dadap 
yang cukup basar terbabat putus!
Untuk kedua kalinya serangan Gogorwana gagal, 
sedang tubuhnya yang terbawa oleh arah ayunan 
kapaknya yang begitu deras, dipergunakan oleh 
Mahesa Wulung sebaik-baiknya. Dengan sedikit 
tendangan sisi telapak kaki kanannya pada pinggang 
Gogorwana, membuat orang ini terhuyung ke depan 
dan kemudian jatuh terjungkal ke semak ilalang!

Gogorwana berdiam diri mengatur nafasnya yang 
mengalir berdesakan tak teratur. Setelah agak 
tenang, ia mengangkat kedua tangannya yang masih 
menggenggam kapak itu melintang ke depan 
dadanya. Sejurus kemudian dengan pelan-pelan 
kapak itu bergerak ke atas dan berhenti setelah 
sejajar dengan tubuh Gogorwana, sedang mata kapak 
itu menghadap lurus ke arah Mahesa Wulung.
Dan dugaan itu ternyata tidak meleset. Sekejap 
saja kapak di tangan Gogorwana telah berputar 
seperti angin badai, berdesing-desing dibarengi 
kilatan-kilatan mata kapak yang menyilaukan mata 
meskipun senja makin menggelap. Bersamaan 
Gogorwana mengeluarkan ilmu kapaknya yang 
dahsyat itu, Mahesa Wulung pun memutar 
pedangnya yang berkelebatan mengerikan hati.
Maka di saat sang purnama mulai muncul di 
cakrawala timur, kedua pendekar itupun bertempur 
dengan hebatnya. Masing-masing telah mengerahkan 
segenap tenaga dan siasatnya guna merobohkan 
lawannya dengan secepat mungkin. Beberapa batang 
pohon kecil-kecil di sekitar mereka terbabat dan 
tersambar putus oleh kedua senjata pendekar itu 
yang bersambaran saling mengejar.
Menginjak jurus yang ke lima belas terasa oleh 
Gogorwana bahwa kedudukannya sedikit demi sedikit 
mulai tergeser oleh Mahesa Wulung yang tandangnya 
persis banteng ketaton dengan ujung pedangnya yang 
bergerak cepat laksana ujung-ujung tanduk, siap 
menjebol setiap lawannya.
Sementara itupun Mahesa Wulung berpikir keras 
dalam menghadapi Gogorwana yang bertenaga luar 
biasa. Setiap pukulan dan ayunan kapaknya selalu 
disertai oleh sambaran angin panas! Pikirannya

melayang ke arah Empu Baskara yang telah dibawa 
lari oleh kedua penculiknya. Ya, jika ia semakin lama 
bertempur di tempat ini, pastilah jarak kedua 
penculik itu akan lebih jauh dan mungkin tidak akan 
terkejar lagi. Bahkan mungkin pula ia tidak bisa 
menyelamatkan Empu Baskara dari tangan 
gerombolan Jorangas!
Mengingat itu semua, Mahesa Wulung mengambil 
keputusan untuk menyudahi pertempurannya. Tetapi 
bagaimana? Sedang serangan Gogorwana bertubi-
tubi datangnya. Tiba-tiba sekilas senyum tersungging 
di bibir Mahesa Wulung, satu pertanda bahwa ia 
telah menemukan suatu cara terbaik guna 
menyudahi pertempuran itu.
Maka di saat ia melihat satu kesempatan yang 
kecil, yang tampaknya tak mungkin dapat ditembus, 
Mahesa Wulung telah menggunakannya dengan 
sebaik-baiknya. Sebuah tebasan pedangnya yang 
mendatar dan amat lincah bergerak dengan manisnya 
ke arah perut Gogorwana.
Dess! Gogorwana terpekik kecil sambil mengutuk 
sedang tangan kirinya cepat bergerak ke bawah. 
Ternyata ujung pedang Mahesa Wulung telah 
membabat putus ikat pinggang Gogorwana sampai ke 
sebelah dalamnya sekali, sehingga celana beserta 
kain Gogorwana melotrok ke bawah karena tidak ada 
lagi yang menekan.
Gogorwana menjadi serawutan. Sementara tangan 
kirinya menahan celana dan kainnya agar tetap pada 
pinggang, tangan kanannya bergerak separo tenaga 
dalam mengobat-abitkan kapaknya yang besar itu. 
Geraknya menjadi tak karuan, sebab disamping rasa 
marah, ia pun menjadi malu karena harus bertempur 
dengan cara yang demikian. Maka Gogorwana

meloncat ke belakang dua langkah kemudian berbalik 
dan meloncat panjang ke arah semak-semak yang 
rimbun dan gelap. Tubuhnya lenyap seolah-olah 
ditelan oleh kegelapan malam.
Mahesa Wulung membiarkan lawannya lari. Ia 
cukup puas dapat menyudahi pertempuran itu 
dengan cara yang mudah, tanpa menimbulkan 
korban.
Segera pedangnya disarungkan kembali dan cepat 
ia meloncat ke atas punggung kudanya. Dengan satu 
sentakan tali kekang pada mulutnya serta depakkan 
kecil dari kaki Mahesa Wulung pada perutnya, maka 
kuda itupun tahu apa yang dikehendaki oleh 
tuannya. Mulutnya mengeluarkan ringkikan panjang 
melengking dengan satu loncatan yang manis. Ia 
melangkahi batang pohon kenari yang melintang 
roboh di tengah jalan itu. Mahesa Wulung 
memacunya kembali ke arah utara.
Setelah menanjak dan sekali lagi menurun, tibalah 
ia di Desa Bae. Keadaan desa itu tampak sepi, sedang 
semua pintu ditutup rapat-rapat, seperti dicengkam 
oleh suasana ketakutan. Mahesa Wulung merasa 
heran sebab pada umumnya, jika suasana cerah dan 
bulan telah timbul, pastilah setiap orang akan 
menjadi senang. Mereka biasanya lalu bergerombol 
atau duduk-duduk di halaman rumahnya untuk 
mengobrol dan bergurau dengan keluarga atau pun 
sahabat-sahabatnya. Sedang anak-anak kecil akan 
bermain-main sambil bertembangan ataupun berlari 
berkejar-kejaran.
Tetapi kali ini bukan suasana begitu yang 
dijumpainya, malahan sebaliknya, sepi dan tanpa 
suara orang yang bercakap-cakap. Mahesa Wulung 
melambatkan lari kudanya untuk sekedar meneliti

suasana desa tersebut.
“Hmm, sayang sekali tak seorang pun yang
tampak. Sebenarnya aku ingin bertanya kepada salah 
seorang penduduk desa ini untuk mengetahui ke 
mana larinya buruanku tadi?”
Rumah-rumah desa itu berapitan memanjang ke 
arah jalan yang tengah dilaluinya. Belum seorang 
pun yang tampak! Mahesa Wulung makin mendekati 
ujung desa yang sebelah utara dan sebentar lagi 
pastilah ia akan tiba di luar desa.
“Berhenti!” teriak seorang yang bertubuh jangkung 
bersenjata tombak. Sedang laki-laki bertubuh kekar 
di sampingnya, mengacung-acungkan sebilah keris ke 
arah Mahesa Wulung.
“Ini pasti orangnya! Pateni bae! Jangan kasih lolos 
dia, Kang Joran!” teriak yang bersenjata keris kepada 
si jangkung.
“Ya, pasti kita sikat dia. Tapi jangan tergesa-gesa. 
Biar aku tanya orang ini lebih dahulu!” seru orang 
yang disebut Joran oleh si tubuh kekar itu. “Dan 
siapkan orang-orangmu, Adi Siwalan!”
“Baik, Kakang!” teriak si tubuh kekar yang 
bernama Siwalan, kemudian ia melambaikan 
kerisnya. Serentak beberapa orang lagi muncul dan 
mengepung Mahesa Wulung.
“Ooh, ini pasti terjadi salah paham dengan diriku. 
Aku mesti hati-hati menghadapinya!” desis Mahesa 
Wulung sambil menghentikan kudanya yang masih 
meringkik-ringkik kecil.
“Apa maksudmu lewat di desa ini, Kisanak?!” 
teriak Joran dengan lantang.
“Maaf, kalian sebenarnya menghalangi jalanku.
Aku tengah mengejar buruanku yang berkuda, 
sebanyak dua orang serta membawa kuda beban

yang bermuatan karung-karung!” ujar Mahesa 
Wulung.
“Oooo, jadi Kisanaklah yang mengejar-ngejar kedua 
orang pedagang beras itu dan bermaksud merampas 
harta bendanya!” seru Joran memotong.
“Kisanak telah salah paham!” ujar Mahesa Wulung 
dengan tenang, sementara otaknya berpikir keras 
menghadapi keadaan yang kini terjadi dan cukup 
gawat. Segera ia dapat mengambil kesimpulan bahwa 
sesuatu telah terjadi sebelum ia tiba di sini. Dan juga 
ia yakin kalau orang-orang ini tidak mempunyai 
maksud-maksud yang jahat. Mereka sudah 
sepantasnya kalau mencurigai dirinya, sebagai orang 
asing di tempat ini, ia tidak akan berbuat sesuatu 
yang bisa membikin keadaan bertambah panas.
“Memang aku sedang mengejar kedua orang tadi 
yang dikenal sebagai pedagang-pedagang beras,” 
Mahesa Wulung berkata pelan. “Tetapi ketahuilah 
bahwa mereka sebenarnya adalah anak buah 
gerombolan Jorangas!”
Mahesa Wulung kebingungan juga menghadapi 
keyakinan mereka yang keliru itu. Kalau jalan baik 
dan musyawarah tak dapat dicapai, pastilah satu-
satunya jalan ialah dengan kekerasan. Ia akan 
menerobos kepungan orang-orang itu dan 
meneruskan pengejaran.
“Begitulah kenyataannya seperti yang telah aku 
katakan tadi. Percaya dan tidaknya terserah kepada 
saudara-saudara semua. Tetapi lebih dulu berilah 
aku jalan untuk meneruskan perjalananku!”
“Ha, ha, ha, itu tidak mungkin! Aku adalah kepala 
keamanan desa ini, dan segala kepentingan disini ada 
di bawah naunganku, termasuk kedua orang 
pedagang beras itu. Mereka telah meminta tolong

kepadaku agar mereka diselamatkan dari orang yang 
mengejarnya, yaitu Kisanak sendiri!” Joran berkata 
dengan nada yang tajam setengah mengancam. Maka 
sebaiknya Kisanak menurut saja untuk kami tahan!”
Kata-kata Joran itu sungguh mengejutkan bagi 
Mahesa Wulung dan mengguntur bagai guruh di 
telinganya. “Menahanku disini?!”
“Ya! Kisanak akan kutahan disini. Dan setelah 
kami periksa serta terbukti kalau Kisanak orang yang 
baik-baik, pasti kami akan bebaskan kembali!”
“Aku menolak maksudmu itu!” seru Mahesa 
Wulung lantang, sampai membuat orang-orang itu 
terperanjat. Baru kali ini ada orang yang berani 
menantang keputusan laskar pagar desa, di tempat 
mereka sendiri. Maka bagi mereka, itu terasa sebagai 
satu penghinaan yang amat besar. Sungguh-sungguh 
keterlaluan! Betapa akan hilangnya kewibawaan 
mereka, karena di tempat mereka sendiri ada orang 
yang berani menentangnya! Beberapa orang tampak 
menjadi merah mukanya, sedang Joran dan Siwalan 
menggertakkan gigi karena jengkelnya.
“Cincang saja orang ini! Jadikan bergedel!” teriak 
Siwalan ganas.
“Keparat, kau minta dipaksa orang asing!” 
sambung Joran sambil menyiapkan tombaknya.
“Silahkan, kalau kalian mau menangkapku!” teriak 
Mahesa Wulung dan sekali lagi mereka benar-benar 
dibuat terperanjat, tapi juga membikin mereka 
kehilangan kesabarannya! Kesabaran yang terakhir!
“Hyaaaat!”
Sebuah teriakan nyaring terdengar, berbareng 
melesatnya Joran dengan satu tusukan tombaknya 
ke arah dada Mahesa Wulung. Serangan itu begitu 
cepat dan hampir-hampir saja mengenai sasarannya,


jika Mahesa Wulung tidak keburu merobohkan 
tubuhnya ke belakang. Mata tombak itu lewat 
sejengkal di depan dadanya dan dengan sigap, tangan 
kanan Mahesa Wulung menangkap tombak.
Joran terperanjat melihat Mahesa Wulung 
menangkap tangkai tombaknya dan lebih kaget lagi 
bila terasa olehnya bahwa ia tak dapat menggerakkan 
sama sekali tangkai tombaknya. Seolah-olah telah 
dijepit oleh dua dinding baja!
Kemudian dengan tenaga yang tidak begitu besar, 
Mahesa Wulung mendorongkan ke belakang tombak 
Joran, dan berakibat cukup hebat! Orang ini jatuh 
terjengkang ke belakang beberapa langkah di atas 
tanah. Orang-orang lain terpekik kecil, seolah-olah 
tak percaya melihat peristiwa yang baru saja terjadi.
Joran cepat berdiri dan menyerang kembali, 
sementara pada saat itu juga, Siwalan pun 
melancarkan serangan kerisnya ke arah Mahesa 
Wulung. Dua serangan itu datang berbareng dan 
sebagai air bah siap melanda Mahesa Wulung 
bersama kudanya.
Mahesa Wulung mengeluh dalam hati. Ia tak 
mengira sama sekali bahwa keadaan berkembang ke 
arah yang demikian itu. Tetapi segala sesuatu telah 
terlanjur dan ibarat orang yang menyeberang sungai, 
kalau kainnya sudah dijinjing tinggi-tinggi tapi masih 
juga basah, maka lebih baik kalau ia 
mencelupkannya sama sekali, agar penyeberangan 
tidak terganggu olehnya!
Maka begitu pun dengan Mahesa Wulung. Ia tak 
mau mati konyol di tangan orang-orang ini, yang 
bukan seharusnya menjadi musuhnya. Dengan satu 
kecepatan yang hampir tak terlihat oleh mata, 
Mahesa Wulung melolos pedangnya dan sekaligus

diputarnya untuk menghadapi serangan Joran dan 
Siwalan yang datangnya berbareng.
Tak! Trang! Dua suara benturan terdengar dan 
mata tombak Joran terbabat putus, sedang keris 
Siwalan terpental lepas dari tangannya disusul 
tubuhnya jatuh terpelanting ke tanah!
“Maaf, Kisanak!” terdengar satu suara lembut, 
seolah-olah mempunyai satu perbawa dan membuat 
Mahesa Wulung serta orang-orang itu tersadar dari 
nafsu amarahnya, nafsu yang bisa menyeret manusia 
ke dalam perbuatan yang di luar batas kesadarannya.
Dari sela-sela orang-orang itu, muncullah ke 
depan, seorang yang berwajah damai dengan 
rambutnya yang keputihan.
“Maaf, Kisanak!” terdengar sekali lagi orang tua itu 
berkata dengan lembutnya. “Orang-orangku ini 
terlalu kasar, tapi percayalah bahwa mereka bukan 
orang-orang kejam yang suka membunuh dan 
mencincang!”
“Ooh, Ki Lurah Bae!” desis orang-orang itu, 
terdengar oleh telinga Mahesa Wulung.
Cepat-cepat ia meloncat turun dari atas kudanya.
“Tak apalah, Bapak. Aku pun tak mempunyai
maksud yang buruk. Maaf, jika aku telah 
merusakkan senjata-senjata mereka!” ujar Mahesa 
Wulung sambil menyarungkan pedangnya.
“Kisanak,” Ki Lurah Bae melanjutkan. “Apakah 
Kisanak mempunyai kalung?”
“Kalung?” Mahesa Wulung kaget. “Betul aku 
membawa sebuah kalung. Tapi apa maksud Bapak?”
“Aku ingin melihatnya, jika Kisanak tak 
berkeberatan,” kata orang tua itu.
“Mmm, baiklah, Bapak.”
Mahesa Wulung segera melepaskan untaian

kalungnya dan kemudian menunjukkan sekali 
kepada Ki Lurah Bae.
Serentak terdengar suara bergumam dari mulut 
orang-orang itu, yang kaget setengah ketakutan! 
Sebab hias kalung itu berbentuk lingkaran bergerigi 
seperti mata senjata cakra Sang Prabu Kresna, dan 
mereka mengenalnya sebagai lambang keperwiraan 
dari seorang tamtama Demak!
“Nah, kalau begitu tak salah dugaanku bahwa 
Kisanak adalah salah seorang perwira dari Demak, 
dan bolehkah aku mengenal nama Tuan?” orang tua 
itu berkata lebih hormat. Sedang Joran dan Siwalan 
tersirap darahnya setelah mendengar bahwa orang 
yang baru saja dilawannya itu tidak lain adalah 
seorang perwira dari Demak. Hukuman apakah yang 
akan dijatuhkan kepada dirinya, kalau orang-orang 
seperti dia telah berani melawan bahkan mengancam 
seorang perwira dari Demak.
“Aku biasa dipanggil Mahesa Wulung, Bapak,” 
terdengar suara lemah dari mulut Mahesa Wulung, 
tapi cukup terasa sebagai sambaran geledeg pada 
telinga orang-orang itu, terutama dengan Joran dan 
Siwalan.
Mereka telah mendengar nama itu, nama seorang 
perwira Demak yang telah berkali-kali mengamankan 
serta menjaga Demak dari gangguan-gangguan 
kejahatan yang sering kali ditimbulkan oleh 
gerombolan hitam, dalam usahanya meruntuhkan 
kejayaan Demak.
Maka serentak Joran dan Siwalan melangkah maju 
serta membungkuk hormat.
“Maafkan kami, Tuan. Kami orang-orang picik dan 
tak berarti ini siap menerima hukuman....”
“Ah sudahlah, Kisanak! Kalian berdua tak

bersalah, sebab aku telah katakan tadi bahwa ini 
semua terjadi karena salah paham,” Mahesa Wulung 
berkata dengan pelan tapi jelas, bagaikan seorang tua 
yang tengah menasehati anaknya karena telah 
berbuat kurang baik.”
“Tetapi, mengapakah Bapak Lurah Bae dapat 
menduga kalau aku seorang punggawa Demak?” 
lanjutnya.
“Aku merasa telah pernah berjumpa dengan Tuan 
beberapa tahun yang lalu di alun-alun Demak, dalam 
latihan keprajuritan,” ujar Ki Lurah Bae. “Waktu itu 
aku tengah menghadap ke Demak dan sempat 
menyaksikan latihan itu.”
Mahesa Wulung segera dapat mengenal kembali 
wajah Ki Lurah Bae, yang dahulu pernah berkenalan 
dengan dirinya. “Untunglah Bapak lekas turun 
tangan. Kalau tidak, pastilah menjadi lebih hebat 
peristiwa tadi.”
“Begitulah, Tuan. Memang rupanya Tuhan Yang 
Maha Besar masih mengulurkan tanganNya, hingga 
pertumpahan darah antara sesama sahabat tidak 
perlu terjadi. Dan sekarang aku persilahkan Tuan 
beristirahat sejenak,” ujar Ki Lurah Bae dengan 
ramahnya.
“Terima kasih, Bapak. Tetapi aku masih harus 
cepat-cepat melanjutkan pengejaranku. Aku harus 
menangkap kedua orang itu, sebelum mereka kabur 
terlalu jauh,” ujar Mahesa Wulung. “Nah, selamat 
tinggal Ki Lurah dan para kisanak. Aku menyesal 
sekali tak dapat bercakap-cakap lebih lama lagi.”
Mahesa Wulung setelah mengangguk hormat 
kepada orang-orang itu, dengan lincah dan sigap ia 
meloncat ke atas punggung kudanya.
“Selamat jalan, Tuan!” seru mereka hampir

berbareng, ketika Mahesa Wulung mulai memacu 
kudanya ke arah utara.
Cahaya purnama menerangi jalan yang 
ditempuhnya yang sebentar-sebentar turun naik dan 
berbelok-belok bagaikan ular yang melilit kaki 
Gunung Muria.
***

EMPAT

Kuda Mahesa Wulung berlari dengan kencang, 
seakan-akan mengerti akan kesulitan yang dihadapi 
oleh tuannya. Jalan yang naik turun serta berbelok-
belok itu dengan enaknya ditempuh tanpa kesulitan.
Bila Mahesa Wulung melihat ke langit di atas 
Gunung Muria dan melihat bintang-bintang yang 
bertaburan amat banyak, dapatlah ia segera 
mendapatkan gugusan bintang Waluku yang bisa 
dipakainya untuk mencari arah utara.
“Hmm, jalan kecil ini menuju ke arah barat laut!” 
desis Mahesa Wulung sendirian. “Mungkin sampai ke 
Pecangakan!”
Kini Mahesa Wulung melalui jalan yang agak 
menurun, sedang di sebelah kiri tampaklah dataran 
subur yang terhampar luas. Setelah menyeberangi 
sungai kecil, ia menghentikan kudanya, sebab ia 
ragu-ragu, apakah kedua orang yang sedang diburu 
itu tetap pada jalan yang ditempuhnya.
Cepat-cepat ia turun serta mengambil sesuatu dari 
kantong kulit yang tergantung pada pelana kudanya.
“Mudah-mudahan batu api dan kawul ini dapat 
menolongku untuk mengetahui jejak kaki kuda 
mereka!”
Setelah beberapa kali memukul-mukulkan batu 
api itu, memancarlah percikan bunga-bunga api ke 
kawul itu dan terbakar menyala. Dengan sebuah

dahan kering, dapatlah ia segera membuat api yang 
cukup terang menerangi permukaan tanah.
“Yah, jejak-jejak mereka masih tetap pada 
arahnya, menuju ke barat laut,” gumam Mahesa 
Wulung sambil meraba-raba jejak kaki kuda itu. 
“Jejak-jejak ini masih baru dan pastilah mereka 
belum begitu jauh larinya!”
Bagi Mahesa Wulung, soal mencari jejak-jejak serta 
mengetahui seluk-beluknya, bukanlah pekerjaan 
yang sukar.
Tak terasa oleh Mahesa Wulung, berapa lamanya 
ia telah berkuda, sebab perasaannya dipenuhi oleh 
ketegangan yang luar biasa. Perhatiannya 
sepenuhnya tertumpah pada kedua orang yang 
tengah dikejarnya itu. Mereka telah menculik Empu 
Baskara. Justru, hal inilah yang telah menjadi 
tugasnya! Mencari dan membawa kembali Empu 
Baskara ke Demak.
Tetapi sampai saat ini ia tak habis mengerti 
mengapa orang tua ini secara diam-diam 
meninggalkan Demak. Malahan sekarang ia telah 
diculik oleh anak buah gerombolan Jorangas yang 
mulai memperlihatkan kegiatannya. Mereka telah 
sekian tahun menghilang, tetapi sekarang muncul 
kembali.
Jalan yang dilewati semakin menurun, melewati 
lembah yang subur, penuh oleh pohon yang besar-
besar dan rumpun pohon pisang yang tumbuh liar. 
Di antara sela-sela daun, beberapa ekor kunang-
kunang tampak terbang dengan tenangnya, bagaikan 
lentera-lentera kecil yang berkedip-kedip amat 
indahnya.
Di antara deru tiupan angin yang kencang itu, 
tiba-tiba Mahesa Wulung mendengar getaran-getaran

dari senjata yang beradu, dan arahnya kira-kira dari 
barat laut, tepat pada jalan yang kini tengah 
ditempuhnya!
Untuk ke sekian kalinya pula Mahesa Wulung 
terpaksa berpikir keras. Betapa tidak? Halangan-
halangan dan berbagai peristiwa telah datang saling 
susul-menyusul dan ini dirasanya sebagai satu 
cobaan, satu ujian yang harus dihadapinya dengan 
gigih, apabila ia tidak ingin terseret ke dalam jurang 
kehancuran. Demikianlah, semakin cepat Mahesa 
Wulung memacu kudanya, semakin jelas suara 
senjata-senjata yang berbenturan itu terdengar oleh 
telinganya.
“Ah, siapakah yang telah bertempur di sana pada 
malam-malam sedingin ini?” Mahesa Wulung 
dipenuhi tanda tanya dalam hatinya, apalagi 
telinganya yang tajam itu mendengar suara lecutan 
yang meledak berkali-kali.
Sekonyong-konyong setelah membelok ke kiri dan 
kudanya berlari pada jalan yang telah mendatar, di 
tengah jalan ia melihat tiga orang yang terlibat dalam 
satu lingkaran pertempuran. Mereka tampak sebagai 
bayangan-bayangan hitam yang saling berkelahi, 
sambar-menyambar, incar-mengincar.
Seketika Mahesa Wulung tersirap darahnya bila 
melihat kepada mereka, sebab salah seorang di 
antaranya adalah seorang gadis! Ini dapat 
diketahuinya dari bentuk tubuh serta gerakan-
gerakannya yang menarik dan lincah. Meskipun ia 
menghadapi dua orang lawan, tapi ia dengan tangguh 
melawannya. Yang lebih mengagetkan lagi ialah 
senjata yang dipergunakan oleh gadis itu yaitu ia 
menggenggam sehelai selendang yang berwarna 
jingga merah. Selendang itu dipergunakannya sebagai

senjata yang berputaran amat hebat seperti kitiran, 
sedang ujung selendang itu sesekali mematuk ke 
arah dua orang lawannya.
“Hee, itu kalau tidak keliru adalah Adi Pandan 
Arum. Tapi mengapa ia berada di sini?” desis Mahesa 
Wulung saking herannya.
Ketika ia semakin dekat dengan mereka, mata 
Mahesa Wulung seketika terbelalak, sebab 
dugaannya tadi ternyata benar. Gadis yang 
bertempur itu adalah Pandan Arum, sedang kedua 
orang lawannya tidak lain adalah Dandangmala dan 
Kalapati. Dua orang anak buah Jorangas yang tengah 
dikejarnya!
Maka Mahesa Wulung tak menunggu lebih lama 
bagi. Dengan cepat dan cekatan ia meloncat dari atas 
kudanya dan langsung terjun ke tengah arena 
pertempuran!
“Adi Pandan Arum, biar yang seorang ini menjadi 
bagianku!” teriak Mahesa Wulung seraya menerjang 
Kalapati yang bertubuh kekar. Sebaliknya, Pandan 
Arum kaget tapi juga bercampur gembira sebab 
kedatangan Mahesa Wulung itu benar-benar tidak 
diduganya sama sekali. Memang, dalam hatinya pun 
gadis ini telah merasa kangen kepadanya, sebab telah 
beberapa waktu ia terpaksa berpisah dengan Mahesa 
Wulung. Ia selama itu tinggal di daerah Jepara untuk 
menemani bibinya, Nyi Sumekar. Seketika itu 
terjadilah dua lingkaran pertempuran yang cukup 
hebat, di bawah naungan sinar terang sang purnama.
“Kakang Wulung! Cepat selesaikan musuh-musuh 
kita ini. Mereka telah menculik Empu Baskara!” seru 
Pandan Arum lantang sampai membuat Mahesa 
Wulung terkejut seketika.
“Adi Pandan Arum, dari mana kau tahu hilangnya

Empu Baskara?” seru Mahesa Wulung pula.
“Dari Kakang Jagayuda. Aku telah bertemu dengan 
dia di Jepara!”
“Bagus! Kalau begitu, kau pun harus cepat 
membereskan lawanmu!” sekali lagi Mahesa Wulung 
berseru dan merekapun bertempur semakin gigih.
Dalam pertempuran itu, setelah berjalan beberapa 
jurus Kalapati terpaksa mengucurkan keringat 
dinginnya. Diam-diam ia mengutuk sejadi-jadinya 
karena kedatangan Mahesa Wulung itu. Untuk 
menghadapi lawannya, Kalapati tidak kepalang 
tanggung mengeluarkan ilmu pedangnya yang 
dahsyat. Maka tak heran jika pedang di tangannya itu 
bersambaran dengan bunyi mendesing, mengurung 
tubuh Mahesa Wulung yang kini menjadi lawannya 
itu ternyata pula mempunyai ilmu pedang yang tak 
kalah hebatnya, yaitu ‘Sigar Maruta’, yang telah 
diajarkan oleh Ki Camar Seta dari Selat Karimata. 
Jika dua senjata orang itu beradu, maka 
berloncatanlah percikan-percikan bunga pi dan 
menerangi tempat itu laksana cahaya siang.
Sementara itu Dandangmala tampak menjadi 
kewalahan karena semakin terdesak oleh serangan 
selendang Pandan Arum yang menyambar dan 
mematuk-matuk seperti ular. Pedang di tangannya 
hampir sama sekali tak berarti untuk melawan ilmu 
selendang ‘Sabet Alun’ dari Pandan Arum ini. Maka 
iapun dengan segera mengambil senjata rahasianya 
dari ikat pinggang dan sekaligus melemparkannya 
dengan tangan kirinya ke arah Pandan Arum.
Serentak berhamburanlah puluhan paku baja 
beracun menuju ke tubuh gadis itu! Bersamaan 
dengan teriakan Mahesa Wulung yang 
memperingatkan gadis itu terhadap serangan senjata

rahasia yang amat tiba-tiba, Pandan Arum pun 
secepat itu pula bertiarap ke tanah.
Sebenarnya ia dapat menangkis serangan itu 
dengan senjata selendangnya, tapi serangan paku 
beracun itu amat mendadak, sehingga satu-satunya 
jalan ialah bertiarap menghindari maut itu.
Ternyata Dandangmala cukup cerdik. Berbareng 
Pandan Arum bertiarap menghindari serangannya 
itu, cepat-cepat ia melesat ke samping meninggalkan 
arena pertempuran dan langsung menuju ke arah 
kuda beban. Sebuah karung yang terbesar 
disambarnya dan kemudian dipanggul serta 
dibawanya kabur.
“Aaaaakh!” terdengar teriakan ngeri keluar dari 
mulut Kalapati, ketika sebuah kilatan pedang Mahesa 
Wulung menebas lambung kirinya. Dengan mulut 
yang menganga seakan tidak percaya, ia masih 
mencoba mengerahkan sisa tenaganya untuk 
membacok Mahesa Wulung yang dengan tenangnya, 
kini berdiri di hadapannya. Tetapi tangannya yang 
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan siap 
membacok itu, ternyata tidak tahan lagi, Pedangnya 
terlepas jatuh ke tanah bersamaan darah merah 
segar menyembur dari lambung kirinya. Seketika itu 
pun ia terguling rebah dan mati.
“Adi Pandan Arum, cepat bangun! Lawanmu telah 
kabur dan membawa lari Empu Baskara. Ayo, kita 
kejar dia! Cepat!”
Teriakan Mahesa Wulung itu ternyata berpengaruh 
besar bagi Pandan Arum. Bagai orang yang sadar dari 
mimpi iapun cepat bangun dan melesat bersama-
sama Mahesa Wulung untuk mengejar Dandangmala 
yang telah lari.
Kejar-mengejar terjadi dengan serunya. Mereka

seperti tiga ekor ayam hutan yang saling berkejaran 
menyusup menerobos segala semak belukar yang 
rimbun dengan amat lincah dan pesatnya. Namun 
Mahesa Wulung kepandaiannya berlari lebih unggul 
dari Pandan Arum ataupun Dandangmala sendiri. 
Maka sebentar kemudian tersusullah Dandangmala 
oleh Mahesa Wulung.
Dengan satu loncatan yang manis, Mahesa Wulung 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan ia 
meloncat melayang ke udara untuk kemudian 
menubruk Dandangmala. Satu totokan jari-jarinya ke 
arah pangkal telinga Dandangmala, sudah cukup 
untuk merobohkan orang ini ke tanah bersama-sama 
karung yang dipanggulnya.
Bagaikan selembar kain, tubuh Dandangmala 
terkapar tanpa daya. Semua anggota badannya 
seolah-olah lumpuh, kecuali mata dan mulutnya.
“Nah, Adi Pandan Arum, kini berhasillah tugas 
kita! Empu Baskara kembali ke tangan kita!” ujar 
Mahesa Wulung sambil mendekati karung yang 
tergeletak di tanah.
Pandan Arum pun mendekat, rupanya ia sudah 
tidak sabar lagi. Maka cepat-cepat ia membuka tali-
temali yang mengikat karung itu, sementara Mahesa 
Wulung mengikutinya dengan pandangan mata serta 
hatinya yang berdegup-degup keras.
“Ooooh, apa ini?! Kakang Wulung, lihat!” seru 
Pandan Arum keras. Demikian juga Mahesa Wulung
terbelalak matanya demi melihat isi karung yang 
telah dibuka itu.
“Kurang ajar! Isinya hanya daun-daun kering 
belaka,” seru Mahesa Wulung sambil mengaduk-aduk 
isi karung. “Kita tertipu mentah-mentah!”
“Kakang Wulung, mari kita tanyai orang itu.

Mungkin ia tahu kemana mereka menyembunyikan 
Empu Baskara!” tukas si Pandan Arum terdengar.
“Ya, aku setuju hal itu,” Mahesa Wulung berkata 
seraya mendekati tubuh Dandangmala. Meskipun 
setengah lumpuh, orang ini masih juga memancarkan 
sinar matanya yang tajam menatap Mahesa Wulung 
dan Pandan Arum.
“Hei, Dandangmala! Cepat kau katakan di mana 
Empu Baskara kau sembunyikan?!”
Tak menjawab si Dandangmala. Benar-benar ia 
mengunci mulutnya. Mahesa Wulung mulai tak 
sabar.
“Ayo, lekas katakan, setan! Di mana Empu 
Baskara berada!”
Belum juga terdengar jawaban dari mulut 
Dandangmala, kecuali dengus nafasnya yang naik 
turun amat kencangnya. Hal ini membuat Mahesa 
Wulung kehabisan sabarnya.
“Taar! Tar! dua” tamparan tangannya telah singgah 
di pipi Dandangmala. Tapi ia masih tetap bungkam 
dan Mahesa Wulung betul-betul marah kali ini. 
Segera ia menghunus pedangnya.
“Cepat berkata! Kalau tidak, nyawamu akan 
melayang di ujung pedangku ini!” Bentak Mahesa 
Wulung. “Di mana Empu Baskara!”
Melihat mata pedang menempel dadanya, 
Dandangmala menjadi ketakutan. “Baik! Baik...! Aku 
akan katakan kepadamu. Tapi jangan... bunuh aku. 
Empu Baskara telah dibawa oleh.... Aaaakh!” 
Teriakan panjang memilukan terdengar dari 
mulutnya, bersamaan sebuah leretan sinar putih 
yang menyambar cepat ke arah lehernya dan 
menancap di situ! Dandangmala mati seketika.
“Paku baja beracun!” desis keduanya berbareng,

kemudian meloncat berdiri serta bersiaga.
“Ha, ha, ha, ha! Kalian betul-betul goblok! Akulah 
yang membawa Empu Baskara! Nah, selamat tinggal 
sobat!” teriakan itu terdengar bersamaan sebuah 
bayangan berkelebat amat cepat. Gerakannya bagai 
hantu. Bayangan itu memanggul sebuah karung pada 
bahu kirinya sedang tangan kanannya menjinjing 
sebuah kapak besar!
“Tahan, Kakang Wulung! Jangan kejar sekarang 
juga. Biarkan ia berlari,” seru Pandan Arum sambil 
memegang lengan kanan Mahesa Wulung.
“Mengapa, Adi Pandan?”
“Berbahaya jika dikejar sekarang pula,” jawab 
Pandan Arum. “Jangan kuatir, Kakang, aku tahu 
sarang mereka, orang-orang gerombolan Jorangas itu! 
Kita akan ke sana dan mencari Empu Baskara.”
“Hmm, benar juga katamu itu, Adi,” ujar Mahesa 
Wulung. “Tapi kita harus singgah dulu ke Jepara. 
Kita akan menjemput Adi Jagayuda disana dan 
selanjutnya kita bertiga akan menerobos ke sarang 
mereka.”
Tak lama kemudian, Mahesa Wulung telah 
menyiapkan kudanya, juga Pandan Arum pun 
mengambil salah seekor kuda dari kedua orang 
gerombolan Jorangas yang telah mati itu. Keduanya 
segera meloncat ke atas punggung kudanya masing-
masing serta berpacu ke arah barat laut dengan 
kencangnya.
Bila rembulan semakin bergeser ke arah langit 
barat, Mahesa Wulung dan Pandan Arum 
mempercepat lari kudanya, mereka ingin lekas-lekas 
sampai di Jepara, dan kemudian mencari Empu 
Baskara.
Dalam berkuda itu Mahesa Wulung berpikir

dengan heran tentang munculnya Pandan Arum 
dalam saat-saat yang tepat. Bukannya ia tidak 
merasa senang dengan kedatangan gadis ini. Tetapi 
masalah yang kini harus dihadapinya cukup berat 
dan berbahaya. la sebenarnya merasa cemas jika 
Pandan Arum turut melibatkan dirinya dalam hal ini.
Mahesa Wulung pun tersenyum bila mengingat 
sifat gadis yang kini berkuda di sampingnya. Pandan 
Arum seorang gadis yang berkemauan sekeras baja 
dan kadang-kadang suka menentang bahaya 
dimanapun saja. Telah beberapa kali saja, Pandan 
Arum bersama dirinya berjuang melawan kejahatan, 
melawan gerombolan-gerombolan hitam, dan selama 
itu tak sebuah bahaya pun yang mampu menyeret 
apalagi sampai memusnahkannya.
Namun kali ini tugas yang dipikulnya jauh lebih 
berat dari yang sudah-sudah. Kalau dahulu dalam 
menyelesaikan tugas-tugasnya ia dibantu oleh 
sahabat-sahabat dan juga oleh anak-anak buahnya 
dari Armada Demak, sekarang ini hanya boleh 
diselesaikan secara diam-diam oleh dirinya bersama 
Jagayuda. Hanya berdua saja! Maka kedatangan 
Pandan Arum ini lebih memperberat tugasnya, 
karena ia harus menjaga keselamatan gadis yang 
dicintainya itu.
“Adi Pandan Arum, mengapakah Adi begitu 
berminat dalam tugasku untuk mencari Empu 
Baskara ini?” sapa Mahesa Wulung sambil menoleh 
ke samping.
“Oh, aku juga ingin turut mencarinya, Kakang. 
Bukankah Empu Baskara penting artinya bagi 
Demak? Dan terutama pula dengan tugas ini, aku 
akan selalu berada di samping kakang.” Pandan 
Arum berkata demikian sekaligus melemparkan

lirikan matanya yang indah itu ke arah Mahesa 
Wulung. Karuan saja pendekar ini menjadi 
berdegupan jantungnya setengah mati, karena lirikan 
gadis yang menjadi tambatan kasihnya, seperti panah 
yang menembus ke dada.
“Eh, eh, kalau begitu dan itu benar, aku pun tak 
keberatan, Adi Pandan. Sebab jika Adi selalu berada 
di sampingku, aku tak kuatir Adi akan hilang 
digondol orang,” ujar Mahesa Wulung menggoda 
sambil tersenyum.
“Wiiii, yang menggondol ya Kakang Wulung sendiri, 
to?” Pandan Arum menyindir dan mencibirkan 
bibirnya yang tipis dan merah delima itu, hingga 
sekali lagi membuat Mahesa Wulung kelabakan 
hatinya.
Memang terasa indah perjalanan itu. Sinar bulan 
yang condong di langit barat bersinar dengan 
terangnya, dan jauh di arah barat laut sana, berkelip-
kelip cahaya-cahaya lampu minyak dari rumah-
rumah yang bertebaran di dekat sawah-sawah yang 
hanya beberapa bahu saja. Pohon-pohon besar 
tumbuh pula disana-sini dengan suburnya.
“Kakang Wulung, lihatlah di sana. Bukankah itu 
Desa Pecangakan?”
“Tak salah, Adi. Memang, itulah Desa Pecangakan. 
Tapi kita hanya lewat saja, Adi Pandan, kita tak perlu 
singgah karena malam sudah begini larut,” kata 
Mahesa Wulung.
Beberapa saat kemudian mulailah mereka 
memasuki jalan desa itu Sepi. Desa itu terasa aman 
tampaknya. tak suatu pun yang kelihatan 
mencurigakan.
Ketika mereka berdua tiba di pintu keluar dari 
jalan desa itu, dari sebuah warung yang telah

tertutup pintunya, keluarlah seseorang yang berjalan 
sempoyongan menuju ke arah mereka! Orang itu 
sambil sempoyongan menyanyi tak karuan, 
sementara bau tuak terhambur dari mulutnya.
“Jenang gula, kowe jangan lupa... Hah, hah, hah. 
Wong ayu anaknya siapa... Heei, berhenti kamu yang 
berkuda! Beri aku uang untuk beli tuak. Aku sangat 
haus. Hah, hah, hah,” orang itu meskipun 
sempoyongan, tapi masih juga bisa mengacungkan 
telapak tangannya ke arah Mahesa Wulung. “Ayo 
lekas beri aku uang!”
Mahesa Wulung tahu bahwa orang ini sedang 
mabuk, maka ia tak mau membuat keributan dengan 
orang ini. Cepat ia mengambil beberapa mata uang 
dari ikat pinggangnya kemudian diulurkan ke telapak 
tangan orang ini. Begitu diterimanya, orang ini 
dengan rakus menyimpan uang tadi.
“Terima kasih, hah, hah, hah, terima kasih.”
“Kisanak!” sapa Mahesa Wulung kepada orang itu. 
“Siapakah engkau, dan tampaknya Kisanak adalah 
seorang pelaut yang ulung.”
Mahesa Wulung sengaja memuji orang itu agar ia 
mau mengoceh lebih banyak. la tahu, bahwa orang 
mabuk suka mengoceh tanpa segan-segan tentang 
segala pengalamannya.
“Hah, hah, hah, kalian belum kenal aku? Seorang 
pelaut yang telah menjelajahi lima lautan di 
Nusantara ini? Akulah Rajungan, anak buah Lajur 
Terasi!”
Bagai sambaran petir nama itu terdengar oleh 
telinga Mahesa Wulung, sebab Lajur Terasi pernah 
menjadi buronan armada Demak lima tahun yang 
lalu. Waktu itu ia berhasil lolos dan sejak itu 
namanya tak pernah disebut-sebut lagi oleh orang,


sementara ada yang mengatakan kalau ia telah 
tenggelam bersama kapalnya, tapi ada pula yang 
mengabarkan kalau ia tengah mendekam di Pulau 
Nusakambangan untuk memperdalam ilmunya.
“Oh, jadi Kisanak adalah anak buah Lajur Terasi. 
Tentu banyak pula pendekar-pendekar yang 
menyertainya?” tanya Mahesa Wulung.
“Hah, hah, tepat kata-katamu itu! Pendekar Rikma 
Rembyak dan gurunya, Ki Topeng Reges ikut pula 
datang kemari!” jawab orang itu tanpa merasa curiga. 
Kalau saja ia tahu kalau yang diajaknya bercakap itu 
Mahesa Wulung, musuh utama setiap gerombolan 
hitam, pastilah ia tidak akan sudi melayaninya. Dan 
yang pasti iapun akan mencincangnya habis-habisan!
“Hmm, kalian memang orang-orang yang hebat,” 
puji Mahesa Wulung. “Kalau begitu, siapakah yang 
mendapat kehormatan atas kunjungan kalian ini?”
“Heh, heh, heh, kami datang kemari untuk 
menjemput Empu Baskara!” ujar Rajungan.
“Menjemput Empu Baskara?” berseru Mahesa 
Wulung setengah heran.
“Ya! Menjemput Empu Baskara dari tangan 
Jorangas. Kami akan menukarnya dengan uang 
panas!”
“Ooh,” desis Pandan Arum demi mendengar 
ucapan Rajungan yang begitu gamblang. “Di mana 
Kisanak akan mengadakan tukar-menukar itu?”
“Heh, heh, heh, heh. Wong ayu kepingin tahu? 
Baik, aku akan mengatakannya, tapi kau pun harus 
memberi uang kepada Rajungan ini! Heh, heh, heh.”
Dengan cepat Pandan Arum mengambil beberapa 
mata uang dari ikat pinggangnya lalu diberikan 
kepada orang itu.
“Hmm, cukup banyak uangku sekarang. Kalau

kalian ingin tahu tempatnya, di sana, di kaki barat 
Gunung Muria! Pada Jurang Mati itulah kami akan 
bertemu dengan mereka.”
Mahesa Wulung merasa cukup akan keterangan-
keterangan yang diocehkan oleh mulut Rajungan. 
Maka ia tak bermaksud lebih lama lagi berada di 
tempat itu. Apalagi ia telah mendengar nama 
Rajungan dipanggil-panggil dari dalam warung.
“Rajungan! Rajungan! Di mana kamu?! Ayo lekas 
kembali!”
Segera Mahesa Wulung memberi isyarat kepada 
Pandan Arum dan gadis inipun sudah tahu apa yang 
harus diperbuatnya. Keduanya segera menghardik 
kudanya untuk meninggalkan tempat itu.
“Maaf Rajungan, kami terpaksa meninggalkamu. 
Malam sudah sangat larut dan kau dengar tadi, 
kawanmu telah memanggilmu kembali!” seru Mahesa 
Wulung.
“Heh, heh, heh, pergilah sesukamu! Aku berterima 
kasih atas pemberian uangmu ini, Kisanak. Mudah-
mudahan kita akan bertemu kembali.” Rajungan 
berkata sambil melangkah ke samping dengan 
sempoyongan ia berjalan ke arah warung itu kembali.
Sementara itupun Mahesa Wulung bersama 
Pandan Arum telah berpacu meninggalkan desa 
Pecangakan, menuju ke arah barat laut, menempuh 
jalan yang menuju ke kota Jepara.
***
LIMA

Bila kabut masih menyelimuti kota Jepara, tam–
paklah kesibukan yang sudah menjadi kebiasaan 
penduduk kota itu sehari-hari. Mereka telah bangun 
bersamaan kokok ayam jantan yang pertama, untuk 
kemudian pergi ke tempat pekerjaannya masing-
masing. Yang mempunyai sawah segera menggarap 
sawahnya, sedang yang menjadi nelayan, mereka pun 
pergi ke laut dengan membawa alat-alatnya. Begitu 
pula yang berdagang ke pasar, mereka berbondong-
bondong menggendong barang dagangannya. Yang 
laki-laki memikul dan anak-anak pun ada satu dua 
yang mengikuti orang tuanya ke pasar.
Maka pada saat kesibukan itulah dari arah tengga–
ra tampak dua orang berkuda memasuki kota Jepara.
“Adi Pandan Arum, kita akan langsung menuju ke 
Balai Ksatrian agar Adi Jagayuda segera mengetahui 
kedatangan kita,” ujar Mahesa Wulung.
Gadis itu tersenyum. Katanya. “Baik, Kakang 
Wulung, tapi apakah kita dapat beristirahat sejenak, 
nanti? Aku sudah cukup merasa lapar, Kakang.”
Mahesa Wulung agak terperanjat. Baru kali inilah 
ia sempat mengingat bahwa semalaman mereka telah 
berkuda menempuh jarak yang cukup jauh. Karena 
kesibukan tugas itu, rasa lapar seolah-olah terlupa–
kan. Tapi dengan pertanyaan Pandan Arum itu, iapun 
sadar dan bahkan perutnya seketika merasa melilit

lilit kelaparan. Maka berkatalah Mahesa Wulung.
“Oh, aku pun sudah merasa lapar pula, Adi Pan–
dan. Memang kita akan beristirahat sebentar sambil 
mengisi perut, dan yang penting kita pun akan be–
runding dengan Adi Jagayuda tentang tugas kita ini!”
Setelah keduanya membelok ke timur dan segera 
memasuki pintu gerbang rumah yang berhalaman 
luas, merekapun cepat-cepat turun serta menambat–
kan kudanya. Itulah Balai Ksatrian bagi para perwira 
dari armada Demak!
Baru saja mereka selesai menambatkan kudanya,
dari arah pendapa keluarlah seseorang yang langsung 
datang ke arah mereka.
“Ah, Kakang Mahesa Wulung dan Adi Pandan 
Arum! Aku telah lama menunggu-nunggu kalian. 
Nah, mari silahkan segera masuk.” Jagayuda mem–
persilahkan kedua sahabatnya itu, dan ketiganya
masuk ke dalam pendapa.
Maka setelah ketiganya duduk tampaklah betapa 
akrabnya mereka bertiga. Maklumlah, hampir dalam 
setiap tugas ketiga pendekar ini selalu bersama-sama 
mengalami suka dan duka. Mereka tak akan lupa 
perjuangan mereka menentang gerombolan hitam 
Alas Roban, kemudian, mengejar kawanan bajak laut 
Karimun Jawa dan terakhir melawan badai di Selat 
Karimata. Sedang kali ini ketiganya berhadapan 
dengan tugas yang lebih berat, yaitu menemukan 
kembali Empu Baskara yang telah hilang.
“Nah, Adi Jagayuda,” ujar Mahesa Wulung sesaat 
setelah mereka mengabarkan keselamatan serta 
pengalaman mereka masing-masing. “Siang nanti 
selewat lohor kita mulailah tugas kita ini. Aku 
bersama Pandan Arum akan mencoba menerobos ke 
sarang gerombolan Jorangas. Kalau ternyata Empu

Baskara masih berada di situ, kami akan berusaha 
membebaskan. Sedang Adi Jagayuda sendiri lang–
sung menuju ke Jurang Mati, untuk menunggu 
setiap kemungkinan yang bakal terjadi.”
“Baik, Kakang. Kalau begitu marilah sekarang me–
nyiapkan bekal-bekal kita untuk perjalanan nanti,” 
berkata Jagayuda. “Apakah kita perlu membawa 
senjata jarak jauh, Kakang?”
“Panah maksudmu itu?” potong Mahesa Wulung.
“Ya,” jawab Jagayuda.
“Hmm, baik. Bawalah senjata itu. Kita memang 
menghadapi musuh yang cukup banyak serta berke–
kuatan besar. Pasti panah itu akan besar gunanya.”
Begitulah, di waktu matahari mulai muncul di 
lereng Gunung Muria dan sinarnya merayapi puncak-
puncak pohon sawo kecik di halaman pendapa Balai 
Ksatrian, ketiga pendekar itu sibuk mempersiapkan 
bekal-bekalnya, termasuk senjata-senjata mereka. 
Diperiksanya dengan teliti, apakah dalam keadaan 
yang baik untuk menghadapi lawan-lawan mereka 
yang tidak mustahil bersenjata yang lebih hebat. 
Mereka pernah mengenal Pendekar Rikma Rembyak 
yang bersenjata tongkat kayu disamping pusaka 
terompet kulit siput yang bunyinya mampu 
melumpuhkan jiwa dan kesadaran seseorang. 
Ditambah dengan pendekar-pendekar lain seperti Ki 
Topeng Reges serta orang-orang dari gerombolan 
Jorangas, pastilah lawan-lawan yang harus mereka 
hadapi tidaklah semudah orang menghalau berandal 
yang hanya kecil-kecilan. Berandal yang harus 
mereka hadapi kini adalah berandal-berandal yang 
jauh lebih besar. Mereka bukan sekedar tukang 
mencegat orang yang pergi berdagang ke pasar, tapi 
jauh lebih dari itu. Mereka telah berani mengacau

keamanan dan kesentausaan Demak, maka tak ada 
pilihan kecuali harus dihancurkan.
Waktu terus bergeser, seperti matahari yang 
merayap dari garis edarannya, dari arah timur 
perlahan-lahan bergeser ke arah barat, dan bila ia 
telah membuat bayang-bayang tubuh condong ke 
timur, maka berangkatlah Mahesa Wulung, Jagayuda 
dan Pandan Arum meninggalkan pendapa Balai 
Ksatrian, mereka menuju ke jalan yang mencapai 
kota sebelah timur yang ditempuhnya dalam waktu 
hanya sekejap.
“Adi Jagayuda, di sinilah kita berpisah. Engkau 
harus menuju ke timur menuju Jurang Mati dan aku 
bersama Adi Pandan Arum ke arah tenggara,” kata 
Mahesa Wulung. Dan jangan lupa Adi, kau bersem–
bunyi saja di tempat itu untuk mengawasi apa yang 
terjadi di situ. Jangan bertindak lebih sebelum aku 
datang.”
“Baik, Kakang. Aku akan melaksanakan perintah–
mu sebaik mungkin,” jawab Jagayuda.
“Nah, sekarang mari kita segera berpisah di sini 
Adi Jagayuda. Selamat dalam tugasmu kali ini dan 
semoga Tuhan melindungi kita sekalian,” seru 
Mahesa Wulung sebelum ia bersama Pandan Arum 
memutar dan memacu kudanya ke arah tenggara. 
Sedang Jagayuda cepat-cepat melarikan kudanya ke 
arah timur menuju ke kaki barat Gunung Muria.
Bagi Mahesa Wulung, tugas kali ini tak dapat 
dibayangkan betapa kejadian yang bakal mereka 
jumpai. Apakah lebih berat, apakah mereka berhasil 
menemukan kembali Empu Baskara yang hilang atau 
entahlah. Ia pun tak bisa menemukan jawabannya. 
Maka jalan satu-satunya ialah berpasrah kepada 
Tuhan Yang Maha Besar akan segala nasib mereka.

Sebab nasib mereka pasti telah tersurat, sehingga 
manusia tak akan kuasa merubahnya.
Untuk beberapa lama Mahesa Wulung tak berkata-
kata dan Pandan Arum pun sibuk pula memacu 
kudanya. Mereka segera mencapai daerah perbukitan 
di kaki sebelah barat daya Gunung Muria. Pandangan 
mata Mahesa Wulung seakan-akan terpaku pada 
bukit yang terbujur membentang di hadapannya, 
yang berlekuk-lekuk seolah-olah timbul tenggelam 
diseling oleh kerimbunannya pohon-pohonan.
Jalan yang mereka lalui semakin menanjak ber–
liku-liku. Udara pegunungan terasa sejuk meresap ke 
dalam lobang-lobang kulit meskipun matahari ber–
sinar dengan terik. Awan-awan putih seperti kapas 
melayang-layang menyaput ujung dedaunan di atas 
pohon-pohon yang besar.
Bila mereka telah menempuh jalan yang makin 
menanjak itu, kuda-kuda mereka semakin berkurang 
larinya. Jauh di sana di sebelah barat laut, terham–
parlah dataran rendah yang subur hijau itu seakan-
akan permadani raksasa yang terhampar sampai ke 
tepi pantai Jepara. Genting-genting yang merah dari 
rumah-rumah di kota Jepara terlihat sangat indah 
dan di pantai tampaklah berderet-deret perahu arma–
da Demak yang berlabuh dengan tenang. Sedang jauh 
di tengah, perahu-perahu nelayan sibuk memungut 
hasil-hasil laut yang berupa ikan-ikan segar.
Di kiri kanan jalan yang mereka lalui terbentang–
lah padang rumput luas, diseling dengan semak-
semak pohon perdu yang berserakan di sana-sini tak 
teratur.
Pada lereng-lereng bukit yang cukup curam 
tumbuh batang-batang ilalang setinggi dada.
Tiba-tiba Mahesa Wulung melayangkan pandang–

annya ke lereng sebelah selatan, di mana di bawah 
kerimbunan pohon-pohon sarangan dan pakis terli–
hatlah oleh matanya yang tajam seperti burung elang, 
akan bayangan sebuah goa.
“Adi Pandan Arum, lihatlah di sana!” seru Mahesa 
Wulung. “Tampakkah olehmu sebuah goa?”
“Sttt!” bisik Pandan Arum. “Memang itulah tempat 
yang kita tuju. Di situlah orang-orang Jorangas 
bersarang. Baiknya kita turun saja di sini, Kakang 
Wulung!”
“Setuju,” sahut Mahesa Wulung seraya meloncat 
turun dari atas kudanya. “Kita tambatkan kuda-kuda 
kita di bawah pohon cemara ini, Adi.”
Perasaan terbang segera merayapi hati mereka, se–
telah kuda-kuda selesai ditambatkan pada kerimbu–
nan semak-semak yang cukup tersembunyi. Dengan 
mengendap-endap serta menerobos batang-batang 
ilalang keduanya sedikit demi sedikit mendekati goa 
itu. Mahesa Wulung di sebelah muka dan Pandan 
Arum di belakang. Keduanya sangat berhati-hati. Se–
bisa-bisa mereka jangan sampai menginjak batang-
batang dan ranting-ranting yang kering ataupun me–
matahkan cabang-cabang pohon sedikit pun, sebab 
itu semua akan menimbulkan bunyi yang mudah 
terdengar oleh telinga-telinga gerombolan Jorangas.
Jarak mereka semakin dekat. Keduanya berhasil 
bersembunyi di semak-semak pohon pakis tidak 
berapa jauh dari goa. Ketika mereka akan bertindak 
lebih jauh lagi, tiba-tiba berloncatanlah orang-orang 
bersenjata dari balik batu-batu besar dan dari ca–
bang-cabang pohon sarangan, langsung mengepung 
mereka.
“Berhenti! Jangan bergerak!” teriak seorang tinggi 
kekar bersenjata kapak besar. “Hua, ha, ha, ha.

Suatu kehormatan jika kalian sudi berkunjung ke 
tempat yang terpencil ini! Dan kau yang telah 
membuat malu kepadaku, kau pasi akan menerima 
balasan yang setimpal!” teriak Gogorwana keras-
keras sambil menunjuk ke arah Mahesa Wulung.
Mendengar kata-kata itu, Mahesa Wulung cepat 
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Tapi ia 
terpaksa menggagalkan sikapnya itu karena dari 
dalam goa keluarlah Empu Baskara dengan terikat 
tangannya ke belakang, dan di sampingnya berdiri 
pula seorang yang berperawakan sedang dan kekar. 
Pada ikat pinggangnya tergantung dua buah pengga–
da pendek berujung bola besi berduri.
“Awas, berbuat sesuatu, nyawa Empu Baskara ini 
akan segera melayang di tanganku!” ancam orang ini 
yang tidak lain adalah Jorangas pemimpin dari 
gerombolan Jorangas. “Sekarang katakan apa 
maksud kalian datang kemari.”
“Aku mau menjemput Empu Baskara!” kata 
Mahesa Wulung lantang.
“Ha, ha, ha, menjemput Empu Baskara? Sayang, 
dia sudah ada yang memesan, Kisanak! Mereka akan 
menjemput Empu Baskara di Jurang Mati dan tidak 
secara cuma-cuma kami menyerahkannya,” ujar 
Jorangas sambil ketawa meringis. “Mereka akan me–
nukarnya dengan seperti uang emas! Nah, lumayan 
juga, bukan!?”
“Kurang ajar! Kalian memang orang-orang yang 
busuk! Sudah sepantasnya kalau kalian dicuci 
dengan api neraka!” teriak Mahesa Wulung.
“Ha, ha, ha, kalian memang orang-orang yang 
hebat. Berani memasuki sarang harimau!” ejek Jora–
ngas kemudian. Sekarang aku persilahkan kamu 
berdua beristirahat dulu dan selamat bermimpi... ha,

ha, ha!”
Begitu berakhir kata-katanya, Jorangas menarik 
sebuah tambang besar yang terjurai dari sebuah 
lobang dinding goa dan seketika tanah yang dipijak 
oleh Mahesa Wulung dan Pandan Arum bergetar 
oleng dan merekah serta membuka, laksana pintu 
maut yang menganga menanti korbannya.
Tubuh Mahesa Wulung dan Pandan Arum serentak 
terperosok ke dalam lobang itu, diiringi oleh derai 
ketawa yang gemuruh dari mulut-mulut anak buah 
Jorangas.
“Ha, ha, ha, nikmatilah hidupmu yang terakhir! 
Sebentar lagi namamu akan musnah dan tak seorang 
pun yang bakal menemukan mayatmu!” Sekali lagi 
terdengar ejekan Jorangas.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum melayang ter–
pelanting ke bawah. Untungnya mereka tidak kehi–
langan akal sehingga mereka masih dapat menguasai 
keseimbangan tubuhnya. Maka merekapun jatuh ke 
dasar lobang tanah itu dengan kakinya lebih dahulu 
menginjak tanah.
Sesaat kemudian terdengarlah lapat-lapat derap 
kaki kuda meninggalkan tempat itu dengan aba-aba 
Jorangas yang lantang.
“Cepat! Kita menuju ke Jurang Mati! Biarkan 
kedua orang itu mampus di dalam lobang! Ha, ha, 
ha!”
Sesaat kemudian terasa kesunyian mencengkam 
tempat itu. Apalagi bagi kedua makhluk yang malang 
itu. Ternyata keadaan lobang perangkap dalam tanah 
tersebut cukup tinggi dan dalam. Kira-kira setinggi 
tiga tombak lebih sedikit, sedang sisi-sisi dinding dari 
lobang itu sangat licin, terdiri dari batu-batu gunung 
yang rupa-rupanya telah dipasah halus.

Demikian pula dengan udaranya, terasa sangat 
pengap berbau belerang. Semua kejadian ini benar-
benar di luar dugaan mereka. Mahesa Wulung dalam 
hati mengutuk dirinya sendiri yang begitu kurang 
teliti dan mudah kena perangkap musuhnya. Kalau 
hanya dialami sendiri akan kejadian yang malang itu, 
maka tak seberapalah penyesalannya. Tapi gadis 
yang sangat dicintainya, kini terikut pula dalam 
lobang perangkap gerombolan Jorangas. Sungguh 
sayang. Sayang sekali jika Pandan Arum sampai 
menemui bencana di tempat yang terpencil ini.
Kini Mahesa Wulung berdiam diri, sementara 
kepalanya berputar mencari siasat untuk melepaskan 
diri dari lobang perangkap ini.
Sedang Pandan Arum sendiri melihat Mahesa 
Wulung berdiam diri, ia menjadi lebih bingung. 
Sekarang timbullah dalam hatinya, satu perasaan 
menyesal, karena telah mencampuri tugas kewajiban 
Mahesa Wulung dan menyeretnya ke tempat ini, 
sehingga mereka sendiri akhirnya terperosok ke 
dalam perangkap lawan.
Berpikir begitu, Pandan Arum merasa berputus 
asa untuk dapat keluar dari perangkap tersebut. 
Nafasnya menjadi kencang tak teratur dan lehernya 
serasa tersekat oleh sedu-sedu penuh penyesalan.
Kemudian bersama butir air matanya mulai 
menetes dari sudut mata, gadis ini tiba-tiba merasa 
cemas. Selanjutnya ia mendekap dada Mahesa 
Wulung.
“Oh, Kakang Wulung. Apakah kita akan mati 
bersama di lobang tanah ini, Kakang?” isak Pandan 
Arum berputus asa. Ternyata naluriahnya sebagai 
wanita, yang mudah merasa cemas itu timbul secara 
cepat.

“Tenang, Adi Pandan. Tabahkan hatimu dalam 
cobaan yang berat ini. Jika kita tak berhasil lolos dan 
terpaksa harus mati disini, biarlah Adi. Bukankah 
kita tetap berdua dan akan mati bersama-sama?”
“Benar, Kakang. Benar. Cinta kita akan kekal 
selama-lamanya. Tapi Kakang Wulung, aku tak mau 
mati dengan cara yang sekonyol ini, bagai tikus-tikus 
dalam perangkap,” ujar Pandan Arum sambil bersem–
buran sedu-sedannya. “Aku menyesal telah memba–
wamu ke tempat ini, Kakang!”
“Jangan berkata demikian, Adi. Itu mungkin 
sebagai suatu rentetan ujian yang harus kita hadapi 
dengan sepenuh tenaga. Jika kita telah berputus asa 
di tengah jalan, pastilah kita menjadi lebih cepat 
hancur!”
“Apakah Kakang menemukan suatu jalan untuk 
lolos dari lobang ini?” Pandan Arum bertanya dengan 
cemas
“Akan aku coba dengan tenagaku, Adi. Nah, berlin–
dunglah di belakangku. Aku akan mencoba merusak 
dinding perangkap ini!” ujar Mahesa Wulung.
Dengan cepat Pandan Arum berdiri di belakang 
Mahesa Wulung. Sesaat kemudian, Mahesa Wulung 
telah mengerahkan dan memusatkan segenap tenaga 
lahir batinnya bersamaan tangan kanannya menekuk 
ke belakang serta mengepal.
“Hyaaaat!!!”
Glaaar!
Suara benturan dahsyat akibat pukulan tangan 
Mahesa Wulung yang berlandaskan aji ‘Lebur Waja’ 
menggelegar di dalam lobang itu, hingga Pandan 
Arum terpaksa menutupkan kedua belah tangannya 
ke telinga. Satu sisi dinding batu gunung yang 
merupakan dinding licin perangkap itu telah retak

dan hancur berkeping-keping lembut. Namun mereka 
serentak terperanjat setengah mati bila dari lobang 
pecahan dinding itu mengalir air yang berkepul 
mengeluarkan dan menguapkan bau belerang yang 
menyesakkan dada. Pandan Arum terbatuk-batuk 
karena uap ini.
“Perangkap!” desis Mahesa Wulung menyaksikan 
hal itu. “Mereka sengaja mengatur ini secara terpe–
rinci!”
“Kakang Wulung, aku tak kuat lagi...,” rintih 
Pandan Arum diseling dengan batuk-batuk.
“Tahan sebentar lagi, Adi!” seru Mahesa Wulung 
sambil melolos cambuknya dari pinggang. “Hanya ini–
lah satu-satunya harapanku!”
Dengan menggenjotkan kakinya ke tanah yang kini 
mulai terendam air, Mahesa Wulung melenting ke 
atas bersamaan tangannya melecutkan cambuk Naga 
Geninya ke arah atas, keluar dari lobang tersebut. Ia 
berharap kalau ujung cambuknya berhasil mengait 
salah satu benda di sekitar mulut lobang perangkap 
itu, pastilah cambuk ini dapat dipakainya sebagai 
alat pemanjat yang baik!
Taar! Ujung cambuk itu melesat keluar tapi sesaat 
kemudian kembali lagi memantul ke bawah, karena 
tak berhasil menemukan pegangan.
Mahesa Wulung menghadap ke arah lain dan se–
kali lagi melecutkan cambuknya ke mulut lobang itu.
Taar! Sretttt!
“Berhasil!” desis Mahesa Wulung gembira, karena 
ujung cambuknya terasa menemukan sasarannya 
dan cepat-cepat ia mencoba menarik-nariknya, apa–
kah cukup kuat untuk dipakainya memanjat.
Ternyata ujung cambuk Mahesa Wulung telah 
melilit akar-akar dari pohon sarangan tua yang tum–

buh di sebelah barat dari mulut lobang perangkap 
tersebut.
Sementara itu terasa kalau kaki mereka seakan-
akan tercelup dalam air mendidih yang berbau asap 
belerang! Maka tanpa menunggu waktu lebih lama, 
Mahesa Wulung segera memeluk pinggang Pandan 
Arum dengan tangan kiri sedang tangan kanannya 
berpegang cambuk. Hampir saja gadis ini jatuh ke air 
panas itu karena badannya telah lemas akibat rasa 
cemas dan uap belerang yang mematikan.
Untungnya dengan cepat-cepat ia memeluk ping–
gang gadis itu, Mahesa Wulung berhasil menahan 
tubuh Pandan Arum yang mulai merosot ke air ber–
uap belerang panas!
“Adi Pandan! Cepatlah bergantung pada bahuku 
dan berpeganglah erat-erat!”
“Baik, Kakang Wulung,” ujar Pandan Arum dengan 
lemah. “Aku telah siap!”
Dengan susah payah, mereka berdua sedikit demi 
sedikit memanjat ke atas melewati dinding yang telah 
retak dan berlobang akibat pukulan Lebur Wajanya 
Mahesa Wulung. Sambil menghindari dinding-dinding 
yang licin, mereka terus memanjat ke atas dan 
akhirnya dengan nafas yang lega, keduanya selamat 
sampai pada mulut lobang perangkap itu.
Tetapi baru saja mereka selesai keluar dari lobang 
tersebut, mendadak Pandan Arum berteriak nyaring. 
“Awas, Kakang Wulung, mereka datang!”
Mata Mahesa Wulung menangkap dua bayangan 
yang melesat ke arah mereka dengan bersenjata 
pedang.
“Kurang ajar! Kalian ternyata bernyawa rangkap. 
Tapi jangan harap lolos dari tempat ini!” seru salah 
seorang dari mereka. Kedua anak buah Jorangas

menyerang berbareng dengan tebasan pedangnya.
Dalam saat yang menegangkan ini Pandan Arum 
cepat bertindak. Ia melolos selendang jingganya.
Sraat! Seleret sinar merah jingga melibat ke arah 
pedang-pedang mereka dan langsung membelitnya 
dengan keras. Dengan satu sentakan yang keras, 
Pandan Arum menarik selendang jingganya ke bela–
kang. Maka tak ampun lagi kedua orang itu bersama 
pedangnya terdorong deras ke muka dan langsung 
terpelanting ke arah lobang perangkap. Dua jeritan 
berbareng terdengar bersama kedua tubuh mereka 
lenyap ke dalam lobang itu.
“Senjata makan tuan!” desis Pandan Arum tajam. 
Hatinya kini merasa agak puas, karena sebagian 
dendamnya telah terbayar!
“Mereka cuma berdua, Adi Pandan! Lain-lainnya 
telah pergi ke Jurang Mati!” ujar Mahesa Wulung. 
“Marilah kita cepat-cepat menyusul mereka kesana!”
“Baik, Kakang. Mudah-mudahan kuda-kuda kita 
tidak mereka temukan!” sela gadis itu.
Mahesa Wulung mengambil kembali cambuknya 
yang masih terkait pada akar pohon sarangan.
Setelah itu keduanya menuju ke arah semak-
semak pohon pakis dan menerobosnya. Terdengarlah 
ringkikan kuda yang panjang, membuat Mahesa 
Wulung dan Pandan Arum tersenyum.
“Lihat, Kakang. Kuda-kuda kita selamat.”
“Yah, aku bersyukur, Adi. Tapi kita masih harus 
memeras tenaga lagi. Kita harus mengejar mereka 
secepatnya ke Jurang Mati, sebelum tukar-menukar 
itu terjadi!”
Sekarang Mahesa Wulung melepaskan tambatan 
kudanya, begitu pula dengan Pandan Arum. Sesaat 
kemudian berderaplah langkah-langkah kaki kuda

mereka meninggalkan debu-debu yang berkepul ke 
udara di muka goa itu.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum berjalan 
beriring, menempuh jalan rintisan yang berkelok-
kelok seperti ular, menuju ke utara.
Matahari semakin bergeser ke cakrawala barat 
dengan malasnya. Angin pegunungan terasa meng–
usap-usap tubuh mereka dengan segar, bagaikan 
usapan seorang ibu yang begitu kasih kepada anak-
anaknya.
Di sana-sini terdengar kicau burung yang 
bersahut-sahutan dari sela dedaunan.
“Hari telah sangat siang,” desis Mahesa Wulung.
“Dan sebentar lagi senja akan segera menjelma,” 
sahut Pandan Arum.
Keduanya berdiam diri kembali. Masing-masing 
terbenam dalam angan-angannya sendiri. Jiwa Empu 
Baskara akan ditukar dengan seperti uang emas oleh 
kawanan bajak Lajur Terasi, sungguh suatu perbu–
atan yang keterlaluan dan kelewat batas! Mereka 
menganggap orang tua itu sebagai barang dagangan 
yang bisa diperjual-belikan. Satu perbuatan yang 
harus mereka cela dan kutuk habis-habisan.
“Kita harus tiba di sana sebelum gelap, Adi 
Pandan,” kata Mahesa Wulung. “Ayolah, kita lebih 
cepat lagi!”
Langkah-langkah kaki kuda mereka bertambah 
cepat melewati jalan yang begitu rumpil dan berbatu-
batu. Mereka mesti berhati-hati kalau tidak ingin 
jatuh ke tebing jurang yang cukup curam, menganga 
bagai mulut-mulut raksasa menanti mangsa.
Tempat yang akan mereka tuju adalah sebuah 
dataran luas yang tepinya merupakan jurang yang 
curam dengan batu-batunya yang bertonjolan run–

cing. Jauh di dasar jurang, mengalirlah sungai yang 
jernih airnya seperti kaca dengan tenang.
Telah beberapa orang yang mati tercampak ke 
jurang ketika lewat di situ. Maka tak heranlah bila 
orang-orang menyebutnya dengan nama Jurang Mati. 
Karena begitu dalamnya jurang itu, kalau orang 
berani berdiri di situ serta menatap dasar jurang, 
maka pastilah orang tersebut akan terjatuh ke sana 
seolah-olah terhisap oleh satu kekuatan ajaib dari 
dasar jurang.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum semakin 
berdebar mendekati tempat itu. Entah, kejadian apa 
yang bakal mereka hadapi.
***
Sementara itu, Jagayuda dengan tekun dan 
hampir tak bergerak terus mengawasi dataran itu 
dari sela-sela batu terjal yang terlindung oleh semak 
pohon pakis.
Bersamaan melayangnya awan putih yang berarak-
arak mengalir ke arah selatan, terdengarlah derap-
derap kaki kuda dari arah barat yang mengepullah 
debu ke udara.
“Hmm, gerombolan Lajur Terasi!” gumam Jagayuda 
sendirian. “Tapi siapa yang berkuda di depan itu? Oh 
tak salah lagi, itulah dia si Rikma Rembyak! Dan 
yang di sampingnya itu, siapakah dia? Mengenakan 
topeng yang rusak serta mengerikan, persis wajah 
dari hantu. Mungkin inilah Ki Topeng Reges guru 
saktinya Rikma Rembyak dari Segoro Kidul. Sekarang 
tinggal menunggu orang-orang Jorangas. Mudah-
mudahan Kakang Mahesa Wulung tidak terlambat 
datang di sini!”
Jagayuda sungguh merasa gelisah melihat

kejadian yang harus dihadapinya. Mengintai dua 
gerombolan yang akan bertemu di Jurang Mati. Dan 
hatinya akan lebih gelisah bila telah sekian lama 
Mahesa Wulung dan Pandan Arum belum juga 
datang. Ah, memang, menunggu adalah suatu peker–
jaan yang berat dan membosankan. Yang dikuatirkan 
adalah kelambatan!
Jika kedua gerombolan itu telah bertemu dan 
berlangsung tukar-menukar itu, sedang Mahesa 
Wulung belum juga datang, apakah gerangan yang 
harus diperbuatnya? Merebut Empu Baskara seorang 
diri? Salah! Itu sama saja dengan bunuh diri. Sebab 
seberapakah kekuatan dirinya bila dibanding dengan 
tokoh-tokoh utama dari kedua gerombolan itu?
Tetapi dari dalam dada Jagayuda menggeloralah 
satu perasaan lain. Perasaan tanggung jawab sebagai 
seorang perwira Demak! Bagaimana sukar dan 
berbahayanya keadaan yang harus dihadapi, ia tak 
boleh berputus asa. Ya, ia akan bertekad merebut 
Empu Baskara dari tangan mereka seorang diri, jika 
kedua sahabatnya itu betul-betul tidak datang.
Belum lagi habis angan-angan Jagayuda, tiba-tiba 
dari arah selatan kelihatan debu yang berkepulan 
serta ringkikan kuda.
Dan muncullah kini orang-orang Jorangas. Ber–
kuda paling depan adalah Jorangas sendiri, pemim–
pin gerombolan. Di belakangnya dua orang berkuda 
berdampingan, yaitu Gogorwana yang bersenjata 
kapak besar dan Empu Baskara dengan kedua 
tangannya terikat ke belakang. Kemudian yang paling 
belakang adalah tiga orang saudara pendekar pedang 
bernama Jurangpitu, Parung dan Growong. Lalu 
seorang lagi yang bersenjata tombak dan bernama 
Watangan.

Rombongan ini masuk ke dataran Jurang Mati 
dengan gagahnya. Jorangas berkali-kali memilin 
kumisnya yang lebat dan kaku sebagai pernyataan 
rasa bangganya karena berhasil menculik Empu Bas–
kara, seorang ahli menciptakan pusaka-pusaka am–
puh dari Demak. Dalam matanya, sudah terbayang 
gemerlapnya sinar-sinar mata uang emas yang sepeti 
penuh, dan sebentar lagi akan diterimanya dari 
orang-orang Lajur Terasi sebagai penukar Empu 
Baskara.
Setelah Jorangas dan orang-orangnya tiba di data–
ran itu, kini berhadap-hadapanlah kedua rombongan 
itu laksana dua kekuatan iblis yang bertemu. Kedua-
duanya adalah gerombolan hitam yang gemar mem–
buat kekacauan. Merampok dan membunuh adalah 
hal yang biasa bagi mereka dalam mencari rejekinya. 
Hingga tak jarang sering antara sesama gerombolan 
hitam saling berbentrok karena memperebutkan 
sasaran korban yang sama. Memang jarang ada 
persesuaian paham antara mereka.
Namun kali ini, dua kekuatan hitam bertemu di 
Jurang Mati, tidak untuk bertempur ataupun meng–
adu keunggulan. Kali ini mereka bertemu untuk 
berdagang.
Dan Empu Baskara yang menjadi barang daga–
ngan itu, merasa sedih sekali. Tak nyana bahwa diri–
nya diperlakukan serendah ini, berbeda waktu ia 
masih berada di Demak. Setiap orang akan mengang–
guk hormat bila bertemu dengan dirinya di jalan.
Hatinya penuh rasa penyesalan bila memikirkan 
itu semua. Sungguh malang nasib dirinya! Kalau 
dahulu ia bermaksud menghindarkan ancaman 
orang-orang Jorangas dengan cara melarikan diri dari 
Demak, sekarang ini malah betul-betul ia jatuh ke

tangan mereka.
Sungguh memalukan! Apa kata orang-orang nanti 
seandainya mereka tahu bahwa akibat tingkahnya 
sendiri, ia telah masuk ke dalam perangkap gerom–
bolan Jorangas.
Sejurus kemudian setelah kedua rombongan itu 
berhadap-hadapan, mereka lalu turun dari kudanya 
masing-masing. Jagayuda yang melihat hal ini, makin 
bertambah gelisah. Namun tiba-tiba terasa pundak–
nya ditepuk dari belakang, hingga Jagayuda mem–
balik cepat seraya melolos pedangnya.
“Tenang, Adi Jagayuda!” terdengar suara yang 
berat.
“Oh, Kakang Mahesa Wulung! Kau membuatku 
terkejut. Di mana Nimas Pandan Arum sekarang?” 
tanya Jagayuda.
“Stt, jangan bicara keras-keras. Tuh, lihat di 
semak-semak ilalang di samping pohon kering di 
belakangmu,” ujar Mahesa Wulung. “Ia menunggu 
kita di sana.”
Jagayuda melihat ke arah tempat itu dan 
tersenyumlah ia, karena dilihatnya Pandan Arum 
berdiri di sana sambil melambai kepadanya, sedang 
di sampingnya tertambat dua ekor kuda yang 
tubuhnya berkilat karena basah oleh keringat.
“Nah, Adi Jagayuda. Sebentar lagi kita akan 
melaksanakan siasat kita. Apakah kau telah siap, 
Adi?”
“Beres, Kakang. Aku paham akan segala tugasku 
secara terperinci. Bahkan aku bersedia memperta–
ruhkan nyawaku untuk itu,” jawab Jagayuda.
“Bagus. Kau memang ksatria Demak yang sejati, 
Adi. Jasamu akan selalu tercatat dengan tinta emas. 
Nah, mudah-mudahan kita akan berhasil kali ini!”

Sementara itu antara Jorangas dan Lajur Terasi 
sebagai pemimpin dari rombongan masing-masing 
terjadilah serah terima di dataran lembah Jurang 
Mati.
“Jorangas, terimalah ini satu peti uang emas 
sebagai penukar Empu Baskara!” Lajur Terasi menye–
rahkan peti tersebut dan cepat-cepat disambut oleh 
Jorangas dengan tertawa terkekeh-kekeh.
“Ha, ha, ha. Terima kasih, sobat. Terima kasih! 
Tapi tunggu dulu! Aku akan melihat lebih dahulu, 
apakah uang emas di dalam peti ini betul-betul asli?!” 
kata Jorangas kemudian seraya membuka peti itu. 
Diambilnya salah satu mata uang emas lalu digigit 
serta dibauinya.
“Hmm, emas asli! Kalian memang sobat-sobat yang 
baik! Sekarang, terimalah Empu Baskara. Juga 
gulungan kertas yang menjadi miliknya ini, terimalah 
pula. Itu semua menjadi milik kalian!”
Lajur Terasi menyeringai puas melihat Empu Bas–
kara yang berdiri di hadapannya. Tetapi mendadak 
satu alunan nada seruling mengalir ke lembah itu 
dengan satu irama yang memukau, menggoncangkan 
setiap jiwa!
Mereka sesaat terpaku seperti patung, dan dalam 
saat yang menegangkan itu, dari balik batu yang 
terjal meluncurlah satu bayangan orang berkuda ke 
arah mereka dengan cepat bagai angin. Penunggang 
kudanya yang tidak lain adalah Jagayuda, dengan 
sigap menyambar pinggang Empu Baskara dan 
kemudian dibawanya lari ke arah utara sambil 
berseru dengan keras-keras!
“Jorangas, Empu Baskara telah kembali ke tangan 
kita! Sekarang, cepatlah kamu berlari dengan peti 
uang emas itu!”

Mendengar teriakan itu, wajah-wajah mereka 
seketika menjadi tegang dan merah. Sebaliknya 
wajah Jorangas sesaat tampak pucat, karena ia sama 
sekali tak mengerti, bahkan ia menjadi bingung 
dengan teriakan orang yang berkuda itu.
Lajur Terasi, Rikma Rembyak dan Ki Topeng Reges 
menjadi marah. Bagi mereka, teriakan orang yang 
berkuda serta penyerobotan Empu Baskara itu cukup 
memberikan satu pengertian yang gamblang bagi 
mereka! Bahwa ada satu tipu muslihat yang diatur 
oleh Jorangas.
“Kurang ajar! Mereka memang telah mengatur 
siasat yang licik! Empu Baskara telah diserobot 
kembali oleh kaki tangannya!” desis Laju Terasi 
sekaligus menghunus pedangnya.
“Tunggu dulu, sobat!! seru Jorangas. “Kalian salah 
paham dengan kami! Orang berkuda tadi bukan...”
Permainanmu benar-benar mengagumkan kami, 
Jorangas! Setelah uang itu kau terima, Empu 
Baskara kau serobot kembali,” teriak Rikma Rembyak 
menyahut. “Apakah uang itu masih belum cukup 
bagimu?!”
“Iblis kurang ajar! Kata-katamu membikin merah 
telinga. Kau orang-orang jahat yang tak patut diam–
puni lagi!” Jorangas berteriak jengkel.
“Ha, ha, ha, mulutmu memang pintar mengoceh! 
Apakah kau lupa, bahwa kau pun orang yang busuk. 
Kita semua memang golongan orang-orang jahat! Ha, 
ha, ha!”
Jorangas menjadi bertambah marah. Demikian 
pula para anak buahnya segera bersiap dengan sen–
jata-senjatanya.
Jorangaspun cepat mencabut dua penggadanya 
yang berujung bola besi berduri dari ikat pinggang.

Baginya tak ada lagi jalan keluar kecuali dengan 
bertempur!
Sekonyong-konyong dari semak-semak di belakang 
rombongan Lajur Terasi, keluarlah Mahesa Wulung 
sambil tertawa.
“Ha, ha, ha, Jorangas memang cukup licik, sobat–
ku Lajur Terasi!”
“Hee, kaulah orangnya yang pernah mencoba 
mengambil Empu Baskara dari sarangku!” teriak 
Jorangas sambil mengacungkan senjatanya ke arah 
Mahesa Wulung.
“Lajur Terasi! Kau pun rupanya mempunyai akal 
kancil! Orang itu telah kau kirim ke sarangku untuk 
menculik Empu Baskara, sebelum tukar-menukar ini 
terjadi. Untunglah ia gagal!”
Kalau tadi Jorangas yang kebingungan, tetapi kini 
Lajur Terasi yang menjadi bingung. Melihat hal ini, 
Jorangas dan anak buahnya sudah tidak sabar lagi. 
Maka dengan teriakan gegap gempita mereka seren–
tak menyerbu berbareng ke arah rombongan Lajur 
Terasi.
Di lembah Jurang Mati itu serentak terjadilah 
lingkaran pertempuran yang hebat. Gemerincingnya 
senjata yang beradu mengumandang di tebing-tebing 
jurang sangat mengerikan.
Gogorwana langsung menyerbu ke arah Rikma 
Rembyak dengan sabetan kapaknya yang berdesing-
desing. Sedang Ki Topeng Reges menyongsong 
serangan pedang dari Jurangpitu dan Parung 
berbareng.
Di sebelah selatan, Jorangas menyerbu ke arah 
Lajur Terasi penuh nafsu. Dua senjata penggadanya 
berputaran laksana angin, siap melanda Lajur Terasi 
yang bersenjata pedang lebar. Dan tak jauh dari

tempat itu, Rajungan gigih melawan Growong dengan 
pedangnya. Keduanya bersenjata sama dan kedua 
pedang itu seperti dua pusaran angin yang setiap kali 
berbentur hebat.
Di utara, Mahesa Wulung tanpa kesukaran me–
nyambut serangan dari seorang anak buah Jorangas 
yang bersenjata tombak. Mula-mula musuhnya ini 
hanya melancarkan serangan-serangan yang tidak 
berbahaya dan ini semua secara mudah dihindari 
oleh Mahesa Wulung. Tetapi secara sedikit demi 
sedikit dan pasti tombak lawan itu semakin hebat 
geraknya. Ujung mata tombak itu menjadi puluhan 
tampaknya dan menusuk serta mematuk ke arah 
tubuhnya.
“Hi. hi, hi, jangan kira nyawamu bisa selamat dari 
tombak Watangan!”
Sesungguhnya untuk kelincahan serta kegesitan 
lawannya yang bertombak itu, Mahesa Wulung 
terpaksa harus bekerja lebih keras. Kalau mula-mula 
ia hanya cukup dengan tangan kosong menghadapi 
lawannya, namun sekarang ia tidak boleh terus-
menerus mengandalkan kegesitannya melulu, apalagi 
serangan tombak dari Watangan itu semakin rapat 
mengurung dirinya. Meskipun tidak mengena, ujung 
tusukan-tusukan tombak lawan telah memantulkan 
angin yang menabrak kulit Mahesa Wulung, dan itu 
pun sudah cukup membuatnya merasa perih.
Seharusnya hal itu tidak mungkin terjadi, karena 
Mahesa Wulung telah mempunyai ilmu Sikap Tugu 
Wasesa yang mampu menahan getaran pukulan atau 
pun suara sehebat apapun. Memang, lawan yang 
dihadapinya kini bukanlah lawan yang sembarang, 
sebab Watangan memang jagoan bermain tombak di 
antara anak-anak buah Jorangas lainnya. Sekiranya

Mahesa Wulung tak memiliki cukup tenaga serta 
ketangguhan, dalam waktu tidak seberapa lama boleh 
dipastikan kalau tubuhnya jebol berlobang-lobang 
oleh tusukan-tusukan tombak Watangan.
Mahesa Wulung tidak ingin selalu mengecewakan 
Watangan, karena ia telah berkali-kali mendengar 
kutukan-kutukan dari mulut Watangan bilamana 
setiap tusukan tombaknya tidak berhasil menyentuh 
tubuh Mahesa Wulung sedikit pun. Maka segera ia 
mencabut cambuk Naga Geni dari pinggangnya dan 
diputarnya dengan hebat menyambut serangan 
tombak lawan.
Demikianlah, pertempuran mereka jadi lebih seim–
bang jadinya. Masing-masing memiliki ilmu memain–
kan senjata yang cukup bernilai tinggi, sampai setiap 
gerakan senjata-senjata itu selalu menimbulkan 
gulungan-gulungan angin yang deras sekali. Meski–
pun begitu hati Watangan lama-lama berdesir hebat 
sebab cambuk lawannya itu mengeluarkan kilauan 
sinar yang menyala biru kehijauan. Maka yakinlah ia 
bahwa senjata itu bukan cambuk sembarangan,
seperti cambuk penghalau kerbau, tapi pastilah 
cambuk pusaka yang ampuh.
Memang perkiraan Watangan tidak meleset, sebab 
cambuk Naga Geni di tangan Mahesa Wulung itu 
bergetar semakin hebat seolah-olah seekor naga yang 
menari dengan ekornya yang siap menyambar setiap 
orang pengganggu.
Sebuah tusukan tombak dengan saru menerobos 
ke arah perut Mahesa Wulung dan hampir-hampir 
saja mengenai sasarannya bila Mahesa Wulung tidak 
keburu melesat ke udara, sekaligus memutar Naga 
Geni ke arah bawah!
“Burung seriti meminum embun!” desis Watangan

melihat gerakan silat Mahesa Wulung yang menukik 
ke bawah.
Apa yang dikuatirkan selama ini benar-benar 
terjadi. Ujung cambuk Naga Geni itu meluncur pesat 
ke arah kepalanya dan satu suara benturan terjadi 
bersamaan mulut Watangan meneriakkan satu je–
ritan panjang!
“Aaargh!” Tubuh Watangan terjengkang ke 
belakang dengan kepala hangus bagai dibakar. Ia 
rebah tanpa berkutik lagi.
Di pojok lain Growong dan Rajungan bertempur 
gigih. Mereka saling menyerang dan menangkis silih 
berganti, tapi saat itu keduanya belum berhasil 
menyudahi pertempurannya.
Sampai dengan saat ini, Lajur Terasi dengan 
gigihnya menyambut setiap pukulan dan sambaran 
senjata Jorangas, yang datangnya bagaikan hujan 
deras.
“Hayoh, Lajur Terasi! Kerahkan segala kesaktian–
mu untuk menghadapi penggada kembarku ini. Kalau 
tidak, pasti kepalamu akan remuk disambarnya,” 
seru Jorangas mengejek.
“Kamu boleh ngomong semaumu, Jorangas. Tapi 
pedangku ini akan lebih dulu membelah tubuhmu!” 
teriak Lajur Terasi sambil memutar pedangnya lebih 
hebat lagi.
Wess! Week! Sambaran pedangnya mengenai ujung 
kain Jorangas yang terjurai pada ikat pinggang bela–
kangnya. Karuan saja Jorangas terperanjat kela–
bakan melihat kainnya tersobek oleh pedang Lajur 
Terasi.
Tiba-tiba sebuah tebasan lagi menyambar ke arah 
lehernya. Untunglah ia cepat-cepat bertindak! Dengan 
mengendap ia berhasil lolos dari tebasan pedang itu.

Tetapi memang Lajur Terasi bukan orang yang 
mudah berputus asa, maka sekali lagi ia mengulang 
serangannya!
Untuk ketiga kalinya, Jorangas lebih waspada 
dalam memperhitungkan siasatnya. Begitu sabetan 
pedang Lajur Terasi menyambar kepalanya, cepat ia 
berkelit ke samping hingga serangan itu hanya 
mengenai tempat kosong. Dalam saat itu juga 
Jorangas menggerakkan senjata di tangan kirinya 
dengan cepat.
Prak! Penggada berujung bola besi berduri itu 
memukul tangan kanan Lajur Terasi yang menggeng–
gam pedang lebar. Maka terlontarlah satu jeritan 
panjang dari mulut Lajur Terasi dan pedangnyapun 
terpelanting lepas. Setelah itu senjata bola besi di 
tangan kanan Jorangas sekaligus meluncur ke bawah 
dan menyambar kepala Lajur Terasi. Maka untuk 
kedua kalinya ia menjerit dengan keras. Sesaat ia 
geluyuran, tapi akhirnya roboh ke tanah dengan 
kepala yang rengkah menganga dan matilah sudah 
Lajur Terasi!
Melihat lawannya telah berhasil dirobohkan, Jora–
ngas menjadi lebih beringas, maka matanya nyalang 
melihat ke sana-kemari. Kebetulan pandangannya 
menatap pada Mahesa Wulung yang telah berhasil 
memenangkan pertempurannya melawan Watangan.
Tanpa membuang waktu Jorangaspun melesat ke 
arah Mahesa Wulung disertai sambaran-sambaran 
penggada bola besi di kedua belah tangannya.
Mahesa Wulung cukup waspada melihat berkele–
batnya seseorang yang menuju ke arah dirinya. Se–
gera ia memapaki lawannya itu, dan bertempurlah 
keduanya dengan hebat.
Di sebelah lain, Gogorwana memutar senjata

kapaknya yang berdesingan, menyerang tubuh Rikma 
Rembyak dari segenap arah. Kalau saja yang menjadi 
lawan Gogorwana itu orang biasa saja, pastilah sudah 
sedari tadi akan mampus melawannya. Apalagi 
senjata kapak Gogorwana itu tidak lumrah besarnya. 
Terlalu besar kalau dipergunakan oleh orang-orang 
biasa. Tapi bagi Gogorwana, yang tubuhnya tinggi 
dan tegap itu, maka kapak tadi memang sangat cocok 
serta seimbang untuk dirinya. Sambaran-sambaran–
nya yang sangat berbahaya dan mematikan, setiap 
kali mengancam nyawa Rikma Rembyak.
Dalam pada itu, Rikma Rembyak terpaksa menge–
rahkan segenap kekuatannya dalam menghadapi 
lawannya yang bertubuh tinggi besar itu. Ia sadar 
bahwa dengan kekuatan jasmani dan kekuatan 
melulu ia tak akan mampu melawan Gogorwana itu, 
maka ia menggunakan kelincahannya.
Sehingga tidak heran jika tubuhnya sebentar-
sebentar melenting ke udara menghindari setiap 
tebasan kapak raksasa Gogorwana. Dengan jubahnya 
yang berwarna merah darah serta senjatanya tongkat 
kayu, Rikma Rembyak terus-menerus mempermain–
kan lawannya dengan berloncatan kesana-kemari, 
persis seekor kelelawar hantu pengisap darah.
Betapa panas hati Gogorwana karena dipermain–
kan oleh lawannya yang berambut gondrong awut-
awutan. Dalam matanya, tampaklah seakan-akan 
Rikma Rembyak yang berambut gondrong itu adalah 
seorang manusia iblis. Gogorwana lebih mempergen–
car serangannya dan makin bertubi-tubi bagai ombak 
yang menyapu ke arah Rikma Rembyak.
Melihat perubahan gerak Gogorwana yang makin 
garang itu, Rikma Rembyak tak ingin lebih lama 
bersikap loncat sana loncat sini menghindari senjata

lawan. Lalu diputarnya tongkat kayu hitamnya me–
magari tubuhnya rapat-rapat. Mula-mula tongkat 
hitam itu hanya bergerak di sekitar tubuhnya sekedar 
untuk menutup dan menangkis serangan kapak si 
Gogorwana. Setelah itu gerak tongkatnya bertambah 
meningkat, melonjak jauh dari tubuhnya, seolah-olah 
gerakan ular menerkam mangsa.
Gogorwana cepat memapaki tongkat Rikma Rem–
byak dengan tebasan lurus ke bawah. Daar! Dua 
senjata yang dilandasi oleh tenaga dalam itu berben–
tur. Masing-masing tangan mereka bergetar hebat 
oleh benturan itu.
“Ha, ha, ha, kau tak akan menang melawan 
Gogorwana, setan gondrong! Rasakan nanti tajamnya 
kapakku ini!” teriak Gogorwana penuh kesombongan.
“Edan! Baru berhasil membentur senjataku saja 
sudah berani menyombongkan mulut! Tunggulah 
nanti seranganku berikutnya. Rikma Rembyak tak 
akan mundur setapak pun!”
Selesai ucapannya, Rikma Rembyak segera mener–
jang ke arah Gogorwana dengan teriakan hebat.
“Haaaat!”
Tubuhnya meluncur cepat, namun betapa 
kagetnya Rikma Rembyak bila Gogorwana dengan 
gerakan ke samping kiri sekaligus membacokkan 
kapaknya ke arah tubuhnya.
Braat! Jubah merah si Rikma Rembyak kena 
tersobek sepanjang tiga jengkal jari.
“Kurang ajar!” kutuk Rikma Rembyak melihat 
jubah kesayangannya tersobek oleh mata kapak 
Gogorwana.
“Ha, ha, ha, jubahmu tersobek, sobat? Maaf, yang 
kuincar bukan jubahmu, tapi kulitmulah yang 
seharusnya sobek,” ejek Gogorwana.

“Keparat! Kau berani merobekkan jubah 
kesayanganku!! desis Rikma Rembyak marah. “Kau 
mesti bayar dengan nyawamu!”
“Ha, ha, ha, pasti jubahmu hanya laku dijual di 
rombengan saja, sobat! Dan itu pun harus ditembel 
lebih dulu, bukan? Ha, ha, ha!” Sekali lagi Gogorwana 
mengejek hingga wajah Rikma Rembyak menjadi 
semerah bara.
Tanpa diduga-duga ia menerjang ke arah Gogor–
wana.
Mendapat serangan yang tiba-tiba itu, Gogorwana 
meloncat ke samping dan menyelinap di balik batang 
pohon kering. Tetapi Rikma Rembyak yang sudah 
naik darah itu terus menghajar ke arah Gogorwana.
Braak!
Sabetan tongkat hitam Rikma Rembyak memben–
tur batang pohon yang kering itu dan berderak roboh 
ke tanah. Gogorwana cepat menghindar, kalau tidak 
ingin mati konyol ketimpa pohon yang roboh.
Terbukalah mata Gogorwana betapa hebatnya 
kekuatan Rikma Rembyak. Hanya dengan pukulan 
tongkatnya saja, sebatang pohon kering yang cukup 
besar berhasil dirobohkan begitu mudah.
Begitulah, keduanya bertempur dengan seru, 
sampai pada lima belas gebrakan. Masing-masing 
saling menunjukkan keunggulan dan keuletannya.
Pada jurus-jurus berikutnya, terlihatlah bahwa 
Gogorwana telah mengucurkan keringat dinginnya, 
sedang nafasnya berdengusan tak teratur. Itu semua 
akibat dari pengerahan segenap tenaga simpanannya, 
sebab kapak raksasanya itu membutuhkan tenaga 
yang besar dalam menggerakkannya.
Rikma Rembyak tak menyia-nyiakan keadaan 
lawannya itu maka cepat ia melancarkan serangan

terakhir dengan menyapukan tongkatnya ke arah 
kaki Gogorwana.
Karuan saja lawannya cepat memapaki serangan 
itu dengan tebasan kapaknya ke bawah. Tapi 
ternyata serangan Rikma Rembyak tadi hanyalah 
pancingan saja. Maka, begitu kapak Gogorwana 
meluncur ke bawah, sekonyong-konyong tongkat 
Rikma Rembyak berganti arah. Tongkat itu tanpa 
terduga terus menyambar ke atas, ke arah dada 
Gogorwana.
Duk! Ujung tongkat Rikma Rembyak membentur 
dada Gogorwana yang seketika menjerit hebat!
Wajah Gogorwana menjadi merah kebiruan sedang 
bekas ujung tongkat Rikma Rembyak hanya menim–
bulkan warna biru hangus pada dadanya. Tapi orang 
tak akan tahu bahwa bekas yang tampaknya sepele 
itu berakibat lebih hebat di dalam rongga dada Go–
gorwana. Semua isi rongga dadanya telah rontok 
akibat benturan tongkat lawannya.
Maka Gogorwana mengerang serta memuntahkan 
darah hitam kental. Kedua belah tangannya melepas 
kapaknya kemudian menekan dadanya seolah-olah 
mencoba menahan isi dadanya yang telah hancur. 
Namun sejurus kemudian, ia jatuh terjungkal dan 
mati seketika.
Dalam saat yang bersamaan, terdengar pula satu 
teriakan ngeri dari mulut Rajungan yang termakan 
oleh sabetan ujung pedang Growong. Rajungan 
menekan lambungnya yang terluka, sedang tangan 
kanannya yang masih berpedang itu cepat bergerak. 
Dengan sisa tenaganya, ia melontarkan pedang itu ke 
arah Growong.
Sayangnya, Growong cukup waspada. Begitu pe–
dang itu meluncur ke arahnya, iapun cepat menang–

kis dengan satu putaran pedang setengah lingkaran, 
sehingga pedang Rajungan terpental dan menghun–
jam ke tanah. Ketika Growong hendak menyerang 
Rajungan kembali ternyata orang ini telah rebah ke 
tanah tak bernyawa.
Jorangas yang masih bertempur melawan Mahesa 
Wulung, sekilas melihat bahwa Growong berhasil 
mengalahkan musuhnya, maka cepat-cepat ia 
berteriak kepada anak buahnya itu.
“Growong! Cepat kau ambil gulungan kertas di 
dekat Lajur Terasi itu! Surat itu sangat penting bagi 
kita!”
Begitu mendengar seruan pemimpinnya, Growong 
cepat-cepat meloncat ke arah mayat Lajur Terasi yang 
menggeletak, dan tidak jauh dari tubuh itu, 
tampaklah segulungan kertas dan benda itu segera 
disambarnya.
“Bawalah lari jauh-jauh dari tempat ini!” terdengar 
sekali lagi Jorangas berteriak dan Growongpun me–
laksanakan perintah itu. Maka berlarilah ia ke arah 
selatan, cepat seperti anak panah lepas dari busur–
nya.
Teriakan Jorangas tadi ternyata cukup keras, 
sampai telinga-telinga lain pun bisa mendengarnya. 
Dan di antara orang-orang yang pada saat itu ber–
tempur di dataran Jurang Mati, Rikma Rembyaklah 
yang paling menaruh perhatian terhadap peristiwa 
ini!
“Hmm, pasti gulungan kertas tadi berisi catatan 
penting. Kalau tidak, mengapa Jorangas memerintah 
anak buahnya itu untuk membawa kabur gulungan 
kertas tadi dari tempat ini?” demikian pikir Rikma 
Rembyak. “Aku tidak boleh membiarkan orang itu 
minggat dari tempat ini! Gulungan kertas tadi harus

jatuh ke tanganku!”
Rikma Rembyak telah mengambil satu keputusan 
dan itu pasti akan dilaksanakan. Maka tak lama 
kemudian, melesatlah ia ke arah selatan, untuk 
mengejar Growong.
Gerakannya yang dilambari oleh tenaga dalam 
serta ilmu meringankan tubuh, membikin larinya itu 
seakan-akan tak menyentuh bumi.
Kini, yang masih bertempur di lembah Jurang Mati 
itu terdiri dari dua lingkaran. Yang di sebelah barat 
ialah Jorangas yang dengan gigih melawan Mahesa 
Wulung. Sedang di arah timur, Ki Topeng Reges 
melayani Jurangpitu dan Parung dalam satu per–
tempuran yang teramat seru!
Ki Topeng Reges yang diketahui sebagai guru dari 
Rikma Rembyak itu, gerakannya benar-benar mirip 
hantu. Sebentar lagi ia melenting dan tahu-tahu 
sudah berada di belakang Jurangpitu dan Parung. 
Karena gerakannya tadi sangat cepat maka sukarlah 
ditangkap oleh pandangan mata. Hingga ia seolah-
olah bisa menghilang serta kemudian muncul di 
sana-sini.
Selama itu ia tidak menggunakan senjata sama 
sekali dalam menghadapi lawannya yang berpedang. 
Baginya, cukup mengandalkan kedua belah tangan–
nya yang ampuh dan untuk ini pun, Jurangpitu serta 
Parung sudah mengerti akan kesaktian jari-jari Ki 
Topeng Reges. Malah beberapa bagian dari tubuh 
mereka selama bertempur itu, merasakan singgungan 
jari-jari Ki Topeng Reges yang menimbulkan rasa 
panas dan nyeri seperti disengat oleh puluhan lebah 
berbisa. Maka kedua orang itu lebih berhati-hati 
dalam menghadapi lawannya.
Betapapun hebatnya Jorangas yang memutar

kedua penggada bola besinya, toh belum juga ia 
berhasil merobohkan Mahesa Wulung. Kalau tadi ia 
telah memukul mati Lajur Terasi, terhadap Mahesa 
Wulung pun ia mula-mula berharap demikian pula.
Sedang kenyataannya sekarang, menjadi terbalik! 
Bukan ia yang memukul hancur lawannya yang jauh 
lebih muda itu, tetapi ia sendirilah yang terus-
menerus terdesak oleh putaran cambuk Naga Geni.
Bagi Mahesa Wulung, lawannya yang dihadapinya 
kali ini sungguh-sungguh tidak bisa dianggap ringan. 
Ia sadar kalau Jorangas termasuk pendekar berilmu 
tinggi, dan ini terasa dalam sambaran-sambaran 
penggada besinya, yang selalu dibarengi oleh angin 
panas.
“Ha, ha, ha.... Hai, Mahesa Wulung! Kalau kau 
memang seorang pendekar jagoan, hadapilah senjata 
kembarku ini yang sebentar lagi akan merencak 
tubuhmu!” Jorangas berteriak nyaring dengan 
sombongnya.
“Ya, tertawa dan menyombonglah sepuasmu, sebe–
lum ajalmu tiba, sobat!” jawab Mahesa Wulung.
“Kurang ajar! Kau bocah cilik yang bermulut besar! 
Matilah kau sekarang!” seru Jorangas sekaligus 
menyapukan tangan kanannya yang menggenggam 
penggada bola besi itu ke arah kepala Mahesa 
Wulung, berbareng pula penggada kirinya bergerak 
pula menyambar dada lawannya.
Bagi Mahesa Wulung tak mungkin untuk meng–
hindari serangan sedemikian cepat dan tiba-tiba. 
Satu-satunya jalan ialah berjungkir balik surut ke 
belakang sejauh satu tombak, hingga dirinya terbebas 
dari pukulan-pukulan maut Jorangas.
Karuan saja mulut Jorangas menghambur-ham–
burkan makian, karena calon korbannya itu berhasil

lolos dari sambaran beruntun penggada besinya.
Mahesa Wulung segera berdiri kembali serta bersi–
aga, sementara Jorangas pun berhenti sejenak untuk 
mengatur aliran nafasnya yang tersengal-sengal tak 
teratur. Demikian pula dengan Mahesa Wulung.
Kini kedua lawan itu berhadap-hadapan serta 
bersiap kembali dengan senjata. Jorangas sekali lagi 
memutar kedua penggada bola besinya, siap 
merangsang lawannya.
Sekali ini Mahesa Wulung telah matang memper–
hitungkan siasatnya. Sebelum Jorangas terlalu dekat, 
ia terlebih dulu melecutkan cambuk Naga Geninya ke 
arah lawan. Hal ini sama sekali di luar dugaan Jora–
ngas, sehingga ia cepat-cepat menyilangkan kedua 
penggada bola besinya untuk menangkis ujung 
cambuk lawan yang meluncur bagai seekor naga ke 
arah dadanya!
Sreettt! Ujung cambuk Naga Geni berhasil melilit 
kedua senjata Jorangas yang bersilang itu.
Jorangas sendiri meringis gembira melihat tangki–
sannya berhasil. Tetapi kegembiraan ini hanya se–
saat, sebab kedua senjatanya seolah-olah melekat 
oleh belitan cambuk Naga Geni.
Jorangas terperanjat, maka cepat-cepat ia menarik 
kedua senjatanya itu agar terlepas dari belitan 
cambuk lawan. Ia tak ingin kehilangan senjata 
kesayangannya yang selama ini telah menjadi 
andalannya.
Sebaliknya Mahesa Wulung, begitu terasa cambuk 
Naga Geni tertarik oleh lawan, iapun mengerahkan 
segenap tenaga dalamnya, sehingga terjadilah tarik-
menarik antara Mahesa Wulung dengan Jorangas.
Tanpa setahu Jorangas, Mahesa Wulung tertawa 
dalam hati, sebab memang hal inilah yang telah

diharapkannya! Maka ketika tarikan Jorangas 
semakin keras, Mahesa Wulung pun lebih keras lagi 
menggenggam cambuk itu dengan kedua belah 
tangannya!
Melihat ini, Jorangas menjadi lebih berusaha keras 
dengan tarikannya. Dan di saat tarikan Jorangas 
sampai pada puncaknya, Mahesa Wulung mengen–
dorkan tarikan cambuknya ke muka, sehingga mau 
tak mau Jorangas terhuyung-huyung ke belakang.
Mahesa Wulung tak menyia-nyiakan kesempatan 
ini. Dengan meminjam tenaga lawan yang menarik 
cambuknya dengan keras, ia melesat ke depan ke 
arah Jorangas, sementara kedua tangan masih 
menggenggam erat cambuk Naga Geninya.
Gerakan ini sangat mengagumkan! Tubuh Mahesa 
Wulung laksana peluru yang melayang di udara dan 
langsung menuju ke arah Jorangas.
Untuk ini, lawannya terperanjat bukan main! Ia 
tak sempat lagi menghindar ataupun lari. Apalagi 
kedua senjatanya itu terbelit ketat oleh cambuk 
Mahesa Wulung. Maka kejadian berikutnya sukar di–
tangkap mata, apabila tangan Mahesa Wulung meng–
hentakkan cambuknya ke belakang dengan beberapa 
putaran, sehingga terlepaslah ujung cambuknya itu 
dari belitan pada penggada Jorangas. Dan selanjut–
nya Mahesa Wulung dengan mengerahkan segenap 
tenaga serta ilmu pukulan Lebur Wajanya ia mele–
cutkan cambuk Naga Geni ke bawah, ke arah kepala 
Jorangas. Cambuk itu meluncur laksana kilat.
Kraak! Terdengar suara benturan keras, disusul 
oleh jerit kesakitan yang panjang terlontar dari mulut
Jorangas. Ia masih mencoba berdiri, tapi serentak 
tubuhnya bergemetaran lagi terjengkanglah tubuh 
Jorangas ke belakang dengan mata melotot liar serta

darah menyembur dari kepalanya yang pecah.
Mahesa Wulung dalam hati mengucapkan syukur, 
karena Jorangas yang menjadi lawannya telah mati. 
Kematian yang setimpal bagi seorang yang telah 
sekian waktu membuat keonaran serta kejahatan 
terhadap bebrayan sehari-hari!
Ketika ia melirik ke arah timur, tampaklah Ki 
Topeng Reges masih melayani serangan-serangan 
Jurangpitu dan Parung.
“Hmm, biarlah mereka menyelesaikan urusannya 
sendiri. Aku masih harus menjemput Empu 
Baskara!” gumam Mahesa Wulung sambil melesat ke 
arah utara, untuk mencari Jagayuda yang telah 
berhasil menyerobot lari Empu Baskara.
Dengan berlari cepat dan diseling oleh loncatan-
loncatan panjang dari batu yang satu ke batu yang 
lain, tubuh Mahesa Wulung bergerak persis anak 
kijang yang lincah dan binal. Ia berbelok ke arah 
barat laut dan sebentar saja lenyaplah di balik batu 
terjal dan semak-semak pohon pakis.
Ki Topang Reges melihat pula ke sekeliling tempat 
itu. Sepi semua! Kecuali mayat-mayat anak buahnya 
sendiri dan juga anak buah Jorangas yang berka–
paran bermandi darah.
Ia sudah cukup lama menghadapi kedua lawannya 
yang bersenjata pedang itu. Kini tibalah ia menge–
luarkan ilmu simpanannya.
“Hee, tikus-tikus! Kalian sudah cukup bermain-
main, bukan?! Nah, sekarang hiruplah udara segar 
untuk penghabisan kalinya!” Ki Topeng Reges ber–
teriak keras dan suaranya menggema berpantulan 
dari tebing ke tebing sangat menyeramkan.
Jurangpitu dan Parung sadar bahwa Ki Topeng 
Reges mengeluarkan ilmu simpanannya. Oleh sebab

itu keduanyapun lebih mempergencar serangannya. 
Meskipun hal ini tidak banyak gunanya, tapi setidak-
tidaknya dapat memperpanjang hidupnya sesaat.
Ki Topeng Reges merentangkan kedua belah 
tangannya ke depan sambil memusatkan kekuatan 
ilmunya. Dan terpekiklah bila mata Jurangpitu dan 
Parung melihat ke arah wajah Ki Topeng Reges yang 
berkedok seperti hantu.
Mata Ki Topeng Reges itu membara merah dan 
makin lama makin menyala mengerikan.
“Ha, ha, ha, tikus-tikus berdua! Lihatlah mataku 
ini! Lihatlah! Kalian akan merasakan ilmu simpanan–
ku yang tiada bandingannya. Terimalah ilmu ‘Netra 
Dahana’ ini!”
Jurangpitu dan Parung tak sempat lagi melarikan 
diri atau menghindari serangan dahsyat ilmu ‘Netra 
Dahana’. Sebuah sinar merah seperti lidah api me–
mancar dari mata Ki Topeng Reges dan menyambar 
ke arah kedua lawannya itu, yang seketika menjerit 
hebat.
Jurangpitu serta Parung berjingkrakan kesana-
kemari dengan memegang kepalanya masing-masing, 
persis ayam yang disembelih! Sedang kepala mereka 
hangus terbakar oleh pancaran api yang keluar dari 
mata Ki Topeng Reges!
Kedua orang itu tak lama kemudian roboh ke atas 
tanah, diiringi oleh derai ketawa Ki Topeng Reges 
yang kepuasan melihat kedua lawannya telah mati. 
Ketika ia melihat ke sekeliling, terdengarlah mulutnya 
mendesis.
“Hah, ke mana muridku si Rikma Rembyak tadi? 
Aku harus mencari dia dan kemudian menemukan 
kembali Empu Baskara!”
Segera Ki Topeng Reges melesat ke arah selatan

untuk mencari Rikma Rembyak!
***
Di kegelapan senja, sebuah bayangan manusia 
berloncatan menuruni tebing-tebing dan berhenti di 
sebuah tanah lebar di tepi Jurang Mati. Dilihatnya di 
tempat itu telah berdiri tiga sosok tubuh, yang 
terkejut melihat kedatangannya.
“Oh, Kakang Mahesa Wulung!” teriakan yang ber–
nada lembut terdengar dari salah satu bayangan itu.
“Adi Pandan Arum, syukurlah kalian selamat! Dan 
inikah Empu Baskara?” tanya Mahesa Wulung sambil 
mendekati Empu Baskara yang masih berdiri dengan 
wajah murung.
Jagayuda tersenyum melihat kegembiraan itu.
“Ya, inilah Empu Baskara, pamanku dari Demak!” 
ujar Pandan Arum membuat Mahesa Wulung 
terbeliak kaget! Demikian pula dengan Jagayuda.
“Pamanmu? Empu Baskara ini masih pamanmu 
sendiri, Adi Pandan!?” seru Mahesa Wulung.
“Benar, Kakang Wulung. Maaf, aku tak mengata–
kan kepadamu sejak dahulu, karena aku kuatir hal 
itu akan menambah kesulitan!”
“Kalian telah terlambat!” potong Empu Baskara 
lemah. “Gulungan kertasku yang berisi catatan-
catatan penting rahasia panahku Braja Kencar telah 
jatuh ke tangan orang-orang jahat itu!”
“Ooh!” terdengar desis penyesalan dari mulut 
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jagayuda.
Suasana sesaat menjadi sunyi. Kecuali bunyi 
gemericik air sungai yang mengalir di dasar jurang 
dan sesekali terdengar alunan suara burung hantu 
yang menambah keseraman.
Bagi Mahesa Wulung, pernyataan Empu Baskara

tadi sangat mengejutkan sekali. Bayangkan! Seandai–
nya catatan rahasia panah Braja Kencar tadi terbuka 
oleh penjahat-penjahat itu, pastilah akan berakibat 
luar biasa. Mereka pasti akan menggunakannya 
dalam pekerjaan-pekerjaan jahat mereka!
Sekonyong-konyong, dari puncak tebing 
terdengarlah derai ketawa yang menggetarkan udara 
senja, membuat keempat orang itu kaget dan 
melongok ke atas ke arah puncak tebing.
“Rikma Rembyak!” desis mereka berbareng, ketika 
di tebing itu berdiri bertolak pinggang si pendekar 
berambut gondrong awut-awutan!
“Ha, ha, ha, kalian sudah tahu namaku? Itu 
bagus! Lihatlah sekarang di tangan kiriku ini. 
Segulungan catatan rahasia Empu Baskara yang 
telah berhasil kurebut dari tangan si Growong, anak 
buah Jorangas! Kalau kalian ingin selamat, serahkan 
pula Empu Baskara ke tanganku. Nanti boleh aku 
tukar dengan uang emas!”
“Keparat! Kami tak serendah itu! Bagi kami nilai
Empu Baskara sama dengan nyawa kami!” teriak 
Mahesa Wulung. “Kau boleh membawanya setelah 
berhasil melangkahi mayat-mayat kami bertiga lebih 
dulu!”
Rikma Rembyak menggerundal sendiri, sebab ia 
tahu tak akan mampu menghadapi ketiga pendekar 
bersama-sama sekaligus.
“Diamlah kalian!” seru Empu Baskara memotong. 
“Tak perlu lagi kalian memperebutkan diriku yang 
telah begini sengsara. Itu semua memang salahku. 
Aku telah menciptakan senjata ampuh, panah sakti 
Braja Kencar dan akibatnya, keonaranlah yang 
timbul! Aku tak ingin menyesali hal itu sepanjang 
hari tuaku. Selama aku masih ada, penyesalanku tak

akan habis. Kini biarlah aku mengambil suatu kepu–
tusan,” Empu Baskara berkata sambil terseok-seok 
melangkah ke arah tepi Jurang Mati.
Semua mata seolah-olah terpaku seperti kena sihir 
dan pukau yang hebat!
Tak seorang pun bergerak kecuali Empu Baskara 
yang terus melangkah ke jurang dan sesaat ia 
berhenti serta menoleh ke belakang!
“Nah, biarlah aku beristirahat di dasar Jurang Mati 
ini. Kalian tak perlu lagi ribut-ribut!”
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jagayuda 
bergerak berbareng untuk memburu dan mencegah 
maksud Empu Baskara. Tetapi sebuah sambaran 
sinar putih disertai derai ketawa, meluncur dari atas 
tebing dan lurus menuju ke arah punggung Empu 
Baskara yang tengah berdiri termangu di tepi jurang.
“Aaaakh!” Empu Baskara berteriak lemah ketika 
jarum-jarum berbisa menembus punggungnya, 
kemudian disusul dengan tubuhnya roboh dan 
melayang ke bawah, ke dasar jurang yang dialiri oleh 
air sungai sejernih kaca.
“Ha, ha, ha, maaf aku telah menolong kematian 
orang tua itu lebih cepat dengan jarum-jarum bisaku! 
Nah, sekarang aku akan meninggalkan kalian,” 
terdengar Rikma Rembyak berseru dari atas tebing.
Tetapi di saat itu, Jagayuda bertindak lebih cepat! 
Ia memasang panahnya dan sebentar itu pula 
beberapa anak panah telah ditembakkan serta 
meluncur ke arah Rikma Rembyak.
Namun sayang Rikma Rembyak waspada. Maka 
begitu anak-anak panah itu meluncur ke arah 
dirinya, ia memapakinya. Tak! Tak! Trang!
Semua panah Jagayuda tersampok rontok tanpa 
satu pun yang menyentuh tubuh Rikma Rembyak.

Jagayuda sangat marah, demikian pula Pandan Arum 
yang masih terisak-isak atas kematian Empu 
Baskara, seorang pamannya yang telah sekian tahun 
dirindukannya!
“Keparat! Aku akan kejar kamu, dan merebut
kembali surat rahasia Empu Baskara!” teriak 
Jagayuda sambil meloncat ke arah puncak tebing di 
mana Rikma Rembyak berdiri.
Melihat hal itu, Pandan Arum pun tak tinggal 
diam. Cepat ia melesat menyusul Jagayuda untuk 
mengejar Rikma Rembyak.
Sebentar saja keduanya tiba di puncak tebing, tapi 
Rikma Rembyak bukan orang-orang bodoh kalau 
masih berdiam diri di tempat itu. Iapun berlari, 
sehingga terjadilah kejar-mengejar. Ketiga bayangan 
itu bagai tupai-tupai yang lincah berloncatan dan 
akhirnya lenyap di balik batu-batu terjal di arah 
timur.
Mahesa Wulung tinggal sendirian di tempat itu. 
Suatu pukulan hebat bahwa tugasnya ini hampir 
seluruhnya gagal. Empu Baskara telah tewas, 
demikian pula catatan rahasianya lenyap pula 
terbawa oleh Rikma Rembyak. Harapan satu-satunya 
ialah kepada Jagayuda dan Pandan Arum yang kini 
tengah mengejar Rikma Rembyak. Dapatkah mereka 
merebut kembali gulungan kertas itu?
Yah, entahlah, Mahesa Wulung cuma bisa berdoa 
dalam hati semoga keduanya berhasil. Dalam hati 
iapun maklum bahwa sesuatu tidak selalu berhasil 
seperti yang diharapkan. Sekali berhasil sekali-sekali 
gagal. Begitulah irama kehidupan!
“Hua, ha, ha, ha. Kini berhasillah aku berhadapan 
muka dengan pendekar jagoan dari Demak! Hayo, 
perlihatkan semua kesaktianmu, kalau tidak ingin

mati konyol oleh tanganku!” terdengar teriakan 
sekonyong-konyong dari atas batu sebelah selatan.
“Ki Topeng Reges!” desis Mahesa Wulung bagai 
melihat setan di arah puncak batu sebelah selatan.
Ki Topeng Reges tanpa banyak cakap terus terjun 
ke bawah, menyerang Mahesa Wulung.
Untuk menghadapi tokoh sakti ini, Mahesa 
Wulung tak kepalang tanggung. Maka dikerahkannya 
segenap kepandaian serta ilmunya dalam menyambut 
serangan Ki Topeng Reges.
Sebentar saja terjadilah pertempuran seru di tepi 
Jurang Mati. Keduanya sambar-menyambar, terkam-
menerkam kadang-kadang melenting ke udara untuk 
kemudian mendarat kembali di atas tanah. Debu 
berkepulan ke atas dan kerikil-kerikil berpelantingan 
kesana-kemari.
Putaran cambuk Naga Geni di tangan Mahesa 
Wulung ternyata banyak menolong dirinya, sehingga 
tak sekali pun jari-jari Ki Topeng Reges mengenai 
bagian-bagian tubuhnya yang penting.
Hal ini membuat lawannya yang bertopeng hantu 
itu mengumpat sejadi-jadinya. Apalagi beberapa kali 
ujung jarinya ketika tersampok oleh cambuk yang 
menyala kebiruan itu, terasa seperti terbakar oleh 
jilatan api, sampai berakibat bengkak-bengkak kecil 
merah lebam.
Maka Ki Topeng Reges menggeram serta meren–
tangkan kedua tangannya ke depan, siap melancar–
kan serangan hantunya.
“Ha, ha, ha, mati sekarang kau tikus!”
Mahesa Wulung terus memutar cambuk pusaka–
nya tanpa berani menatap mata Ki Topeng Reges. 
Sebab itu berarti mengundang maut baginya. Ketika 
pancaran lidah api menjilat serta menyambar dari

arah mata Ki Topeng Reges, Mahesa Wulung melesat 
dan berjumpalitan di udara, sehingga lidah-lidah api 
itu hanya mengenai tempat-tempat kosong saja.
Begitulah, maka tubuh Mahesa Wulung berlen–
tingan ke udara, kesana-kemari, seolah-olah menari-
nari di antara lidah-lidah api yang menyambar-
nyambar semakin rapat serta bertubi-tubi datangnya.
Keringat Mahesa Wulung mengalir menganak 
sungai akibat hawa panas dari lidah-lidah api terse–
but, dan setapak demi setapak ia terdesak ke tepi 
jurang.
Suatu ketika Mahesa Wulung melenting ke udara 
menghindari lidah api, tetapi ketika mendarat kem–
bali, kakinya telah menginjak batu licin berlumut. 
Akibatnya tak ampun lagi, Mahesa Wulung terpeleset 
dan terpelanting ke arah Jurang Mati disertai iringan 
derai ketawa Ki Topeng Reges kepuasan.
Meskipun Mahesa Wulung tak mati terbakar oleh 
pancaran api matanya, tapi jurang yang dalam serta 
tebing-tebing yang curam cukup untuk menjamin 
kematian Mahesa Wulung.
Tubuh Mahesa Wulung melayang ke bawah, ke 
arah dasar Jurang Mati yang penuh dengan tonjolan-
tonjolan batu runcing laksana ujung-ujung tombak.
Untunglah ia cepat-cepat bertindak. Selagi ia 
melayang ke bawah itu, ia melecutkan cambuknya ke 
arah sebuah batang pohon kering yang banyak ber–
tonjolan dari sela-sela dinding jurang.
Sreeet! Ia berhasil! Ujung cambuk itu melilit pohon 
kering tadi hingga sesaat ia tergantung-gantung di 
situ. Hanya sayang, rupanya pohon kering tersebut 
tidak cukup kuat. Dengan suara berderak keras, 
patahlah batang pohon kering itu dan tubuh Mahesa 
Wulung kembali terpelanting ke dasar jurang.

Dasar Mahesa Wulung bukan orang yang mudah 
berputus asa, maka sekali lagi ia melecutkan cambuk 
ke arah sebuah batu runcing yang menonjol dari 
dinding jurang.
Sraat! Berhasil untuk kedua kalinya! Cambuk 
Naga Geni melilit batu runcing tadi sehingga Mahesa 
Wulung terayun-ayun di dinding Jurang Mati, seperti 
seekor laba-laba yang bergantung pada benangnya.
Ketika Mahesa Wulung melirik ke bawah, tak jauh 
dari kakinya, terlihatlah bagian dinding jurang yang 
melebar datar, seolah-olah sebuah jalan kecil selebar 
setengah depa. Mahesa Wulung melihat tempat itu 
dengan menarik nafas lega dan kemudian ia meng–
hentakkan cambuknya, sehingga belitannya pada 
batu menonjol di atasnya terlepas.
Buk! Kedua kaki Mahesa Wulung mendarat pada 
jalan kecil tersebut dengan sigapnya.
Pertama-tama Mahesa Wulung mengucapkan 
syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, karena 
dirinya telah terhindar dari maut. Sesudah ia 
mengatur ketenangan dirinya, sedikit demi sedikit ia 
merayapi dinding jurang itu ke arah kanan sebab di 
sebelah kiri, jalan kecil tadi makin menyempit dan 
lenyap merupakan dinding curam yang licin.
Tanpa gentar sedikitpun ia bergerak terus ke arah 
kanan dengan membelakangi jurang itu, sementara 
kedua tangannya bergerayangan pada dinding curam 
memilih tempat untuk berpegangan.
Bersamaan lenyapnya cahaya senja yang terakhir, 
yang kini diganti oleh munculnya sang purnama serta 
tebaran bintang-bintang di langit bersih itu, mata 
Mahesa Wulung menangkap adanya bayangan hitam 
pada dinding jurang itu, kira-kira sejauh sepuluh 
langkah lagi ke kanan.

Bayangan tadi seolah-olah merupakan celah dari 
dinding jurang yang menjorok ke dalam sebagai 
mulut sebuah goa. Meskipun Mahesa Wulung 
berharap untuk dapat beristirahat sejenak di mulut 
goa itu, namun tak urung hatinya berdebar-debar 
pula mendekati tempat itu.
***
                              SELESAI


Pembaca budiman, sampai di sinilah cerita 
“Hilangnya Empu Baskara” kami akhiri. Kemudian 
pembaca akan bertemu lagi dengan tokoh kita 
Mahesa Wulung yang waktu itu sedang merayap 
mendekati sebuah goa. Nah, tunggulah ceritera Seri 
Naga Geni yang kelima untuk Anda: ‘‘Diburu Topeng 
Reges”



Share:

0 comments:

Posting Komentar