BADAI DI SELAT KARIMATA
W.H. Wibowo
SATU
LANGIT di sebelah timur dipenuhi oleh rantai-rantai
cahaya merah yang berpijar, ketika dua buah perahu
jung itu tengah membelah laut Jawa dengan lajunya ke
arah barat laut. Sebentar-sebentar dari permukaan air
laut muncullah beberapa ekor ikan terbang serta
membuat loncatan-loncatan panjang di sekitar perahu-
perahu itu, seperti ingin mengajak berlomba rupanya.
Sungguh suatu pemandangan yang indah.
Di buritan perahu itu berdiri tiga orang yang diam
membisu memandang ke air laut yang luas, dan
berbuih buih yang ditinggalkan oleh buritan perahu.
Mereka seolah-olah sedang mengenang segala
pengalaman-pengalaman yang telah lewat. Pengalaman
yang dipenuhi oleh kilatan pedang dan dentuman
meriam. Terbayang kembali di mata mereka
pertempuran-pertempuran yang hebat di Karimun
Jawa ketika mereka berjuang menumpas bajak laut
Pulau Ireng.
“Kakang Mahesa Wulung, lihatlah di sebelah utara
itu!” suara Jogoyudo memecah kesunyian pagi yang
bisu itu.
“Hmm. Mengapa, Adi Jogoyudo? Adakah sesuatu
yang menguatirkan?” kata Mahesa Wulung kemudian.
Pikirannya tiba-tiba melayang ke arah peristiwa-
peristiwa lalu, karena di sinilah gerombolan bajak laut
Iblis Merah sering berkeliaran mencari mangsanya.
Bahkan lebih dari itu, ayahnya pun dikabarkan
telah lenyap dan tewas puluhan tahun yang lalu di laut
Selat Karimata ini, akibat keganasan mereka.
“Awan hitam itu sangat tebal. Rupanya badai akan
turun sebentar lagi, Kakang,” sekali lagi Jogoyudo
berkata pelan tapi matanya tak lepas-lepas dari awan
hitam yang tebal dan pekat menggantung di langit
utara.
“Mungkin benar juga perkiraanmu itu, Adi. Angin
pun terasa bertiup semakin kencang,” ujar Mahesa
Wulung.
“Baiknya kau perintahkan saja anak-anak untuk
bersiap-siap menghadapi badai itu. Ikat erat-erat
semua barang-barang agar tidak terlepas dari perahu.”
“Adi Pandan Arum, masuklah ke kamar bawah. Itu
lebih aman kiranya. Kami akan berjuang sekuat tenaga
jika badai itu benar-benar melanda kita.”
“Baik, Kakang,” sahut Pandan Arum singkat dan ia
cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Sementara
seluruh awak perahu, sibuk bekerja.
Meriam-meriam diikat lebih erat dan sementara
layar yang kurang penting ada yang diturunkan. Di
kapal yang satu tampaklah kesibukan pula. Hang
Sakti dan Egrang tak henti-hentinya memberi
petunjuk-petunjuk kepada awak kapal.
Ketika angin bertiup semakin kencang, orang-orang
di kedua kapal itu dikejutkan oleh alunan suara
seruling. Sayup-sayup ia meliuk-liuk dibawa angin
sangat merdunya.
“Seruling Kakang Mahesa Wulung,” desis Egrang.
“Ya, itulah tiupan Dinda Mahesa Wulung. Pantaslah
ia murid Panembahan Tanah Putih,” ujar Hang Sakti
menyambung.
Memang di buritan perahu pertama, Mahesa
Wulung dengan tenangnya meniup seruling yang
berukir-ukir indah. Orang-orang pun setengah heran
melihat sikap pimpinannya. Dalam saat-saat yang
berbahaya ia masih sempat untuk memperdengarkan
irama serulingnya yang merdu. Ah, tapi pastilah ia
punya maksud-maksud tertentu dengan sikapnya itu.
Dan, dugaan sementara orang-orang itu memang
benar juga. Mahesa Wulung yang kini asyik meniup
seruling itu tidak hanya sekedar tiupan yang kosong
belaka, tapi ia juga menyalurkan aji ‘Bayu Rasa’ yang
keluar lewat lubang-lubang nada dari batang seruling
itu. Dan akibatnya memang hebat sekali. Bersamaan
dengan bertiupnya badai yang melanda kedua perahu
jung itu, nada seruling itu pun bertambah semakin
keras dan melengking.
Badai yang kini melanda laut Selat Karimata itu
datangnya secara bergelombang dan dahsyat, hingga
kedua perahu itu hanya seperti sabut kelapa saja yang
berguncang dan terombang-ambing di air laut.
Angin yang bertiup menimbulkan bunyi
menyakitkan telinga. Seolah-olah siulan dari setan-
setan laut yang kelaparan. Beberapa orang anak buah
perahu-perahu itu mulai tak tahan dengan siulan
angin badai itu, sampai-sampai mereka menutup
telinganya dengan kedua belah tangan. Tapi justru hal
inilah kesalahan yang besar yang dibuat oleh mereka.
Sebab dengan kedua belah tangan yang menempel ke
telinga itu berarti mereka tak berpegang pada sesuatu
benda, hingga sebentar kemudian tiga orang di
antaranya terseret oleh ombak yang melambung ke
tengah geladak perahu.
Melihat hal ini, Jogoyudo berteriak nyaring. “Heee,
tutup telingamu dengan sobekan kain dan jangan kau
lepaskan pegangan tanganmu.”
Mendengar seruan Jogoyudo itu, mereka pun segera
mengerjakannya. Dengan begitu telinga mereka
terbebas dari pengaruh angin yang bersiul menyerikan.
Sedang di buritan, Mahesa Wulung tetap tegak di
tempatnya dan nada serulingnya bertambah dahsyat
seperti berkejaran dengan tiupan badai. Bahkan
seruling itu bergulung-gulung laksana gerak seekor
ular raksasa yang mencoba menahan amukan
gelombang laut yang ganas. Pertempuran ajaib itu
berjalan beberapa saat tapi cukup menakjubkan dan
membuat ngeri hati siapa saja yang menyaksikannya.
Dalam pada itu, sambil meniup serulingnya Mahesa
Wulung di dalam hatinya berdoa dan memohon kepada
Tuhan Yang Maha Pengasih agar badai yang bertiup
itu menjadi reda. Dengan hati yang penuh pasrah dan
rendah hati, permohonan batin itu berulang-ulang
berkumandang di dalam rongga dadanya. Dan
sungguh di luar dugaan, badai yang tadinya bertiup
dahsyat itu kini berangsur-angsur berkurang, dan
mereda, kecuali bunyi seruling Mahesa Wulung yang
masih tetap berkumandang tinggi mengalun di
angkasa.
Dengan diam-diam Mahesa Wulung mengucapkan
syukur kepada Tuhan, karena badai itu telah mereda.
Orang-orang di kedua perahu itu pun terheran-heran
dibuatnya. Entah mengapa badai itu bisa reda. Apakah
sebab dikalahkan oleh tiupan seruling Mahesa Wulung
atau memang badai itu mereda karena sudah saatnya,
tak seorang pun mampu menjawabnya
Tapi yang terang, badai itu kini telah lenyap dan
mereka pun benar-benar merasa lega.
Awak-awak perahu kini sibuk kembali. Layar-layar
dipasang seluruhnya dan kedua perahu itu pun
kembali melaju ke arah barat laut. Beberapa orang
tampak memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil
akibat amukan badai tadi.
Matahari muncul dari balik awan hitam kini bertiup
ke arah barat dan sinarnya itu gemerlapan
dipantulkan oleh riakan ombak. Kepak-kepak sayap-
sayap burung camar terdengar kembali di sekitar
perahu membuat tenteram hati awak-awak kapal itu.
Berlayar berhari-hari memang membosankan dan
membuat lelah di badan, sebab jika memandang ke
luar perahu yang tampak semata-mata hanyalah air
laut melulu, melimpah dan luas tak bertepi. Begitu
luasnya laut hingga tepinya di batas cakrawala itu
seolah-olah bertemu dan berpaut dengan langit biru.
Malah sementara nenek moyang, takut berlayar jauh
karena mereka percaya jika terus berlayar ke tepi sana,
mereka pasti akan tergelincir dan jatuh ke jurang yang
dalam bersama perahunya.
Memanglah kalau dibanding dengan luasnya lautan,
maka diri kita akan terasa kecil sekali dan semakin
kecil lagi bila kita menatap langit yang maha luas itu,
yang kesemuanya telah diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Besar, bagi mahluk-mahlukNya. Dan di laut
yang luas itulah dua buah perahu jung tetap berlayar
dengan teguhnya setelah dihajar oleh badai di Selat
Karimata. Kedua perahu itu terus berlayar ke arah
barat laut menuju ke gugusan pulau-pulau Riau.
“Ahooi, daratan!” tiba-tiba kesunyian yang
membosankan terpecah oleh teriakan penjaga tiang
layar. Kata-kata “daratan” bagi setiap orang yang
berlayar pastilah sangat menggembirakan, bagai air
dingin menyiram tubuh yang kepanasan. Di situlah
mereka dapat membayangkan untuk mendapatkan
persediaan makanan, air, dan lain-lainnya.
Serentak para awak perahu berlarian ke dinding
perahu sebelah kiri dan wajah-wajah mereka menjadi
cerah ketika di arah barat laut tampak gugusan pulau-
pulau yang kehijauan subur. Ketika perahu bertambah
dekat, makin nyata kesuburannya. Puncak-puncak
pohon nyiur tampak melambai-lambai ditiup angin
laut.
“Kakang Mahesa Wulung, kita telah sampai di
Kepulauan Riau. Pastilah Kakang Hang Sakti dan
Nurlela sudah tak sabar untuk menginjak kembali
tanah tumpah darahnya,” Jogoyudo yang berdiri di
samping Mahesa Wulung berkata pelan, dan
mendengar itu Mahesa Wulung cuma tersenyum
manis.
“Ya, sebentar lagi kita akan mendarat dan di saat
inilah kita mulai lagi langkah-langkah pertama untuk
tugas yang baru,” berkata Mahesa Wulung
menyambung.
Ketika perahu jung berdua itu makin mendekati
pantai, tampaklah hal yang ganjil. Semua keadaan
tampak sepi. Seorang pun tak kelihatan berada di
bandar, meski beberapa perahu besar berlabuh dan
perahu-perahu kecil lainnya tertambat di tonggak-
tonggak kayu.
“Hmm, ada sesuatu yang kurang beres rupanya,”
gumam Mahesa Wulung demi pandangannya
dilayangkan ke bandar tersebut. “Jogoyudo, lekas
perintahkan anak buah untuk meningkatkan
kewaspadaan.”
“Apakah kita mendarat sekarang, Kakang?” tanya
Jogoyudo sementara Mahesa Wulung berpikir keras
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
“Ya, kita mendarat sekarang juga. Tapi jangan lupa
beberapa orang tetap tinggal di kapal untuk
menciptakan meriam-meriam. Jika terpaksa, kita
mendarat di bawah lindungan tembakan-tembakan
meriam.”
“Oh, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu!” desis
Jogoyudo penuh cemas, sebab iapun merasa bahwa di
balik kesepian bandar Tanjung Pinang itu pastilah ada
sesuatu yang tersembunyi.
Mungkin mautlah yang akan menyambut
kedatangan mereka. Sebentar kemudian tampak
Jogoyudo berkomat-kamit mengucapkan doa agar
mereka dijauhkan dari bencana.
Mahesa Wulung memberi isyarat kepada perahu
kedua dengan melambai-lambaikan pedangnya ke arah
daratan dan segera perahu keduapun tampak sibuk
menyiapkan pendaratan.
Suasana menjadi tegang. Lebih-lebih setelah
sampan-sampan pendarat telah turun ke air dan
didayung ke arah pantai. Semua awak perahu bersiaga
dengan senjata masing-masing di tangannya.
Begitu kedelapan perahu kecil itu merapat di
pantai, segera pula berlompatan awak-awak perahu ke
tanah dan bersiaga. Namun tak sesuatu yang terjadi.
Melihat hal ini Mahesa Wulung melangkah ke sebelah
kanan mendapatkan Hang Sakti yang memimpin sayap
kanan dari pagar manusia bersenjata itu. Sedang di
pojok kiri, sayap barisan dipimpin oleh Jogoyudo.
“Kanda Hang Sakti, apakah kiranya Andika
mengetahui seluk-beluk kota ini?” tanya Mahesa
Wulung.
“Benar Dinda, aku tahu, sebab aku dilahirkan di
sini dan semasa kecil telah kujelajahi segenap pelosok
pulau ini,” kata Hang Sakti. “Biarlah, sekarang aku
coba untuk menyelidiki keadaan.”
Hang Sakti tanpa ragu-ragu melangkahkan kakinya
ke depan sampai beberapa langkah. Setelah kira-kira
dua tombak jauhnya dari barisan itu iapun berhenti
tiba-tiba, tepat sebuah teriakan nyaring terdengar dari
balik-balik rumpun pohon kelapa
“Berhenti! Melangkah lagi berarti maut bagimu!”
Mendengar teriakan ancaman itu Hang Sakti
tertegun sejenak, sebab suara itu begitu lantang dan
penuh mengandung tenaga dalam. Demikian juga
Mahesa Wulung penuh bertanya-tanya dalam hati.
Siapakah gerangan orang ini? Ia pernah mendengar
dari perantau-perantau bahwa di Pulau Bintan ini
tinggal beberapa pendekar sakti dari Malaka yang
terpaksa bersembunyi di pulau ini setelah Malaka
jatuh ke tangan Portugis di tahun 1511.
“Aku datang dengan maksud baik,” seru Hang Sakti
lantang.
Sementara itu tampak Pandan Arum melolos
senjata ampuhnya berupa selendang berwarna merah
jingga. Begitu pula berkali-kali meraba cambuk pusaka
Naga Geni yang diikatkan pada pinggangnya.
“Sebut namamu dahulu!” kembali teriakan nyaring
terdengar dari rumpun pohon kelapa.
“Aku Hang Sakti dari Bintan.” Hang Sakti sekali lagi
berteriak menjawab pertanyaan itu.
“Ooo, kau Hang Sakti? Baik, aku datang sekarang.
Ha, ha, ha, ha.”
Bersamaan dengan derai ketawa yang
mengumandang, melesatlah satu bayangan dari atas
pohon kelapa yang mendarat ke tanah dengan
ringannya seperti seekor tupai tepat tiga tombak di
depan Hang Sakti. Semua terkejut menahan napas,
lebih-lebih dengan Mahesa Wulung sendiri. Ia begitu
kagum melihat cara orang itu turun dari atas pohon
kelapa.
Orang ini berbaju dan celana biru tua dan sarung
tenun kotak-kotak hitam putih terpasang indah di
pinggangnya, sedang ikat kepalanya hijau muda. Di
tangannya tergenggam sebilah pedang yang berkilat
tertimpa sinar matahari siang.
“Anaknda Hang Sakti?” seru orang itu ragu.
“Benarkah penglihatanku ini ataukah mimpi, atau
mungkinkah kau adalah hantunya dari mendiang
muridku Hang Sakti?”
“Bapak Pendekar Prahara,” Hang Sakti berseru
keheranan dan pada wajahnya terbayang kebingungan
menghadapi hal ini. “Akulah Hang Sakti muridmu. Aku
masih hidup dan kini berbicara di hadapanmu.”
“Aku pernah dengar bahwa kau bersama adikmu
ketika berlayar ke Demak telah dicegat dan tewas oleh
gerombolan bajak laut hitam Pulau Ireng.”
“Benar begitu, Bapak. Tapi kami berdua terhindar
dari maut. Kami ditolong oleh Pendekar Barong
Makara dari Demak!” berkata Hang Sakti untuk
meyakinkan gurunya. Juga tiba-tiba dari barisan
pendarat itu keluarlah Nurlela dan maju ke depan
mendekati kakaknya yang tengah asyik berbicara
dengan Pendekar Prahara.
“Bapak Pendekar, kami berdua masih hidup!” ujar
Nurlela pula, sehingga pendekar setengah tua itu
menjadi yakin dan manggut-manggut. Wajahnya
tampak cerah dan ia tersenyum. Meski begitu di sudut
matanya mengembang butiran air mata pertanda rasa
haru bercampur gembira.
Melihat ini, Mahesa Wulung pun segera pula
mendekati mereka bertiga. Hang Sakti segera
memperkenalkan Mahesa Wulung kepada gurunya.
“Bapak Pendekar Prahara, inilah sahabatku,
Pendekar Barong Makara dari Demak.”
Keduanya berkenalan dan berjabat tangan.
“Perkenalkan Bapa, saya Barong Makara dari
Demak,” kata Mahesa Wulung sambil mengangguk
hormat.
Pendekar separo umur itupun mengangguk hormat.
“Terima kasih, Tuan. Anda telah menolong murid-
muridku. Untuk ini Prahara mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga besarnya. Semoga Tuhan
Yang Maha Pemurah melimpahkan karuniaNya untuk
Anda.”
Kini suasana tegang beralih cerah dan ketika
Pendekar Prahara melambaikan tangannya tiga kali ke
arah rumpun kelapa dan ilalang, dari balik batang-
batang pohon kelapa bermunculanlah orang-orang
bersenjata.
“Mereka adalah pasukan-pasukan dari pulau ini.
Maka lebih dulu, harap dimaafkan jika kami
mengejutkan kalian dengan sikap ini. Beberapa hari
yang lalu pulau ini telah didatangi oleh segerombolan
bajak laut Iblis Merah dari Selat Karimata. Hanya
sayang pada waktu itu saya sedang berjalan jauh
hingga mereka sempat mengobrak-abrik bandar ini.
Sebelum gerombolan itu minggat lagi dari tempat ini,
mereka masih mengancam bahwa suatu ketika mereka
akan datang kembali. Gerombolan Iblis Merah memang
termashur keganasannya. Terutama yang paling
ditakuti orang-orang ialah pemimpinnya yang bernama
Lanun Sertung.”
“Lanun Sertung?” seru Mahesa Wulung kaget.
“Apakah Anda pernah mendengarnya?” kata
Pendekar Prahara. “Agaknya nama itu amat berkesan
bagi Tuan Barong Makara.”
“Benar, Bapak. Nama Lanun Sertung selalu terpatri
di dalam hatiku. Sebab kepadanyalah saya harus
menumpahkan dendam untuk membalas kematian
ayahku yang dirampoknya di Selat Karimata,” kata
Mahesa Wulung, hingga Pendekar Prahara
mengangguk-angguk.
“Hmm, tapi menjatuhkannya tidaklah semudah
perkiraan kita. Karena ia terhitung pendekar jagoan
dengan ilmu pedangnya, ‘Si Mata iblis’ yang tak
terkalahkan. Ilmu itu lebih hebat dari yang aku punyai
sekarang ini. Telah berapa saja pendekar-pendekar
sakti yang tewas di ujung pedangnya. Jika ia telah
menggerakkan pedangnya, maka kita tidak akan
melihatnya kecuali hanya bunyi berdesing, dan tahu-
tahu lawannya akan mati tergeletak bermandi darah.
Begitulah, Lanun Sertung menjadi tokoh yang ditakuti
dan untuk menyebut namanya saja, orang sudah
cukup ngeri rasanya. Dengan dasar kenyataan
tersebut dan ancaman-ancaman yang ditimpakan
kepada kami, maka tak ada salahnya jika kami
mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap sepak
terjangnya yang malang melintang tanpa tandingan.
Meskipun kami sadar bahwa perlawanan itu tidak
akan banyak menolong kami, namun kami lebih
mantap jika menghadapi mereka dengan kekerasan
pula. Buat kami, mati bertempur melawan mereka
lebih baik daripada menyerah begitu saja atau mati
secara cuma-cuma di tangan mereka.”
“Kapankah mereka kira-kira menyerang tempat ini,
Bapak?” tanya Mahesa Wulung kepada pendekar tua
itu.
“Itulah yang kami tidak ketahui dengan pasti,” ujar
Prahara. “Mereka punya kebiasaan untuk menyerang
lawannya secara tiba-tiba. Namun kami telah siap-siap
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Kedatangan Tuan Barong Makara dan kedua muridku
itu sungguh di luar dugaan dan sangat kebetulan
sekali dalam saat-saat seperti ini.”
Prahara berhenti sejenak.
Sementara itu tampaklah keakraban yang cepat
terjalin antara laskar-laskar dari Bintan dan anak
buah Mahesa Wulung dari Demak. Di sana-sini mereka
pada asyik bercerita dan kadang-kadang diselingi
dengan gelak ketawa.
“Aku kira ada baiknya kalau Tuan Barong Makara
beristirahat. Bukankah jarak Demak sampai ke Pulau
Bintan ini cukup jauh? Pastilah perjalanan tersebut
sangat melelahkan,” ujar Pendekar Prahara dengan
ramahnya.
“Terima kasih, Bapak. Memang perjalanan sejauh
itu amat melelahkan,” Mahesa Wulung berkata lirih.
“Besok Tuan akan kami antar ke kota Bintan untuk
menghadap Sultan Bintan. Beliaulah sebenarnya yang
mengutus Hang Sakti untuk datang ke Demak.”
***
Tetapi malam itu Mahesa Wulung merasa gelisah
sedang matanya sukar sekali untuk diajak tidur.
Mengalami hal ini, Mahesa Wulung teringat akan
semua kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Sejak
pertama ketika terlibat dalam pertempuran melawan
gerombolan hitam Alas Roban di pantai utara Jawa,
kemudian melawan bajak laut Pulau Ireng dari
Karimun Jawa dan kini ia sekali lagi ditugaskan
menumpas kawanan perompak laut Iblis Merah. Tugas
ini bukanlah tugas yang boleh dipandang ringan begitu
saja, karena ia sebagai ksatrya laut dari armada
Demak telah sadar bahwa tugas ini, yang telah
dipercayakan kepada dirinya oleh Kesultanan Demak,
adalah atas permintaan Sultan Bintan dan benar-
benar harus dilaksanakan dengan baik
Malam itu sungguh terasa dingin sekali, lebih-lebih
angin bertiup cukup kencang. Daun kelapa terdengar
bergesek-gesek seperti lagunya orang yang resah,
seresah hati Mahesa Wulung atau Barong Makara yang
malam itu berjalan mondar-mandir di kamarnya.
Hawa dingin yang bertiup di larut malam itu terasa
tidak wajar, seolah-olah bukan dari alam, tapi dari
suatu kekuatan lain yang luar biasa hebatnya. Barong
Makara mula-mula juga merasakan dingin, maka
cepat-cepat ia duduk bersila dan mengerahkan
segenap kekuatan lahir batinnya untuk menolak rasa
dingin tersebut. Dalam hati Mahesa Wulung dipenuhi
oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum ketemu
jawabannya. Jika orang sudah terserang rasa dingin
ini, pastilah ia tertidur pulas.
“Hmm, menilik rasa dingin yang menyerang ini,
pastilah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai
kesaktian sirep cukup hebat. Tapi siapakah orangnya?
Tunggulah, aku kini sudah hampir mengatasi
pengaruh sirepnya.”
Mahesa Wulung yang duduk bersila dengan kedua
sisi telapak tangan ditekuk lurus ke atas di depan
dadanya tak lama kemudian berhasil mengatasi rasa
dingin yang menusuk tulang itu. Dengan pelan
dibukanya sedikit jendela kamarnya, dan terlihatlah
bulan penuh mengembang di langit malam dengan
indahnya.
Maka Mahesa Wulung terus menyelidiki. Mula-mula
ke pohon-pohon kelapa, kemudian beralih ke tepi
pantai sana. Beberapa perahu tampak berlabuh
dengan tenangnya di bandar, termasuk kedua perahu
jung yang dibawanya dari Demak. Tiba-tiba pandangan
matanya tersampar ke sebelah tenggara, di mana
tampak sebuah perahu terbujur di pasir terlindung
oleh semak-semak pohon bakau. Beberapa orang
tampak mengendap-endap dan mendekati rumah
tempat ia berada. Sedang penjaga tergeletak tidur
pulas di tanah karena termakan oleh sirep tadi.
Melihat hal ini, Mahesa Wulung cepat-cepat
bersiaga di belakang pintu masuk. Malam makin
bertambah larut dan sekali-sekali terdengar suara-
suara binatang malam, sehingga suasana menjadi
lebih tegang rasanya. Telinga Barong Makara yang
tajam dapat menangkap bunyi telapak-telapak kaki
yang menginjak tangga rumah. Bunyi itu berhenti
tepat di muka pintu masuk dan tiba-tiba sebuah
tangan menguak pintu pelan-pelan.
Ketika itu sebuah kepala melongok ke dalam rumah
dan Mahesa Wulung yang telah bersiaga itu, tak mau
menunggu lebih lama lagi. Cepat ia bertindak!
Betapa terkejutnya orang yang masuk itu ketika
tangannya terasa ditarik oleh sepasang tangan yang
kokoh dan belum lagi ia sempat memperbaiki dirinya,
sebuah kepalan tangan sekeras batu telah menimpa
rahang kirinya. Maka tak ampun lagi si penyerang
jatuh terbanting ke lantai.
Semula dengan jatuhnya orang tadi, Mahesa
Wulung merasa lega, namun tiba-tiba saja orang
tersebut bangun dengan cekatan dan langsung kedua
tangannya menyerang leher Mahesa Wulung dengan
cekikan maut. Barong Makara tidak nyana sama sekali
mendapat serangan demikian dan betapa terkejutnya,
mendadak nafasnya menjadi sesak karena serangan
tersebut. Hampir-hampir saja Mahesa Wulung
kehilangan akal.
Maka cepat-cepat ia mengepal kedua tangannya
menjadi satu, lalu dengan sekuat tenaganya ia
menghempaskannya ke atas, sampai membentur
kedua tangan lawannya dengan keras. Sebuah
teriakan tertahan meluncur dari mulut lawannya dan
cekikan maut itu terlepaslah.
Yang mengherankan Mahesa Wulung ialah daya
tahan orang tersebut. Begitu serangannya merasa
gagal, ia kembali berputar dan sebuah kakinya
meluncur menyerang Mahesa Wulung di arah ulu hati.
Kali ini Mahesa Wulung lebih waspada. Sebelum ujung
kaki itu mengenai dadanya, ia berkelit ke samping dan
hampir sukar ditangkap dengan mata, tahu-tahu si
penyerang kena ditangkap kakinya, kemudian
langsung ia mendorongnya ke arah pintu masuk.
Disertai bunyi berserak dan jeritan, tubuh si
penyerang yang didorong itu terhempas ke pintu yang
ambrol berkeping-keping.
Mahesa Wulung segera memburu, tapi sampai di
ambang pintu, sekali lagi ia melihat satu pemandangan
yang sukar ditangkap kebenarannya. Tubuh lawannya
yang terpelanting keluar rumah dan melayang jauh ke
bawah, ketika berada di udara ia jungkir balik dan
dengan kedua kakinya lebih dulu, ia mendarat dan
berdiri tegak di tanah.
“Hee, keparat kau. Ayo lekas turun kalau kau
memang laki-laki sejati. Jangan terus-terusan
bertengger di atas seperti ayam saja,” terdengar
lawannya menantang dari bawah sambil bertolak
pinggang sangat sombongnya.
Benar-benar membuat telinga Mahesa Wulung
merah mendengar tantangan orang tersebut. Maka tak
ada jalan lain kecuali menerimanya. Sambil
mengetrapkan aji Baju Rasa, Mahesa Wulung segera
meloncat turun ke tanah dengan enaknya tepat di
muka lawannya, dan di saat yang bersamaan,
meloncatlah dari semak-semak gelap di sekelilingnya
tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata pedang
yang segera mengurungnya serta membuka
serangannya.
“Tahan! Kalian lihat saja dulu. Biar aku yang
pertama-tama melawan dan merobohkannya. Setelah
itu barulah kalian boleh mencincangnya lumat,” seru
orang yang menjadi lawan utama Mahesa Wulung.
Di saat itu Mahesa Wulung agak merasa kaget,
sebab ia merasa pernah mendengar suara lawannya.
Dan ketika sinar purnama menerangi wajah orang itu,
benar-benar ia merasa kaget. Lawan yang dihadapinya
berdiri di mukanya, tidak lain adalah Marangsang yang
dulu pernah bertemu di Karimun Jawa.
“Kau, Marangsang?” desis Barong Makara penuh
kemarahan. “Kau yang dulu pengecut dan lari dari
pertempuran melawan kami?”
“Keparat! Kau masih ingat aku, ya! Baiklah. Justru
kedatanganku ke mari ini untuk mengganyangmu,
setan!” seru Marangsang garang dan kini telah mulai
membuka serangannya dengan sabetan sisi telapak
tangannya.
Dalam hati Mahesa Wulung mengakui ketangguhan
lawannya, tapi ini bukan berarti membikin kecil
hatinya, malahan ia lebih hati-hati dan
memperhitungkan langkah-langkah berikutnya dengan
teliti.
Dalam sekejap mata saja, tempat itu sudah menjadi
gelanggang pertempuran dahsyat antara dua jago silat
yang terbilang gemblengan. Sementara mereka
bertempur, beberapa anak buah Marangsang tetap di
tempatnya dan berpencar merupakan lingkaran yang
mengelilingi arena pertempuran tersebut. Masing-
masing terpaku melihat lawannya dapat menandingi
pemimpin mereka dengan baik.
Marangsang yang selama ini selalu menjadi
kebanggaan mereka dan terkenal tak terkalahkan, kali
ini mendapat lawan yang seimbang. Bahkan setelah
bertempur lima belas jurus, tampaklah oleh mereka
bahwa Marangsang mulai tergeser kedudukannya.
Meski begitu, dasar ia seorang yang berkepala batu,
maka segera ia melipat-gandakan serangannya yang
datangnya bergulung-gulung laksana badai
menghempas ke arah Mahesa Wulung.
Suatu kali sebuah tebasan sisi telapak tangan
Marangsang mendatar dan membabat ke arah kepala
lawannya. Mahesa Wulung cepat merendahkan tubuh
dan kedua tangannya disilangkan melindungi kepala,
siap untuk menyambut gempuran tangan Marangsang.
Tapi rupa-rupanya gerakan tadi hanyalah tipuan
belaka, sebab di saat Mahesa Wulung merendahkan
tubuhnya, tiba-tiba kaki kanan Marangsang meluncur
dan menggempur kaki kanan lawannya.
Gempuran itu sangat mengagetkan jadinya, sebab
tubuh Mahesa Wulung jatuh cekakaran di tanah. Dan
sebaliknya, Marangsang begitu kakinya menggempur
kaki lawannya, ia mengeluarkan satu jeritan pilu yang
panjang disusul maki-makian.
Kalau semula ia mengira bahwa gempuran tersebut
akan mengakibatkan kaki lawannya remuk, tetapi kali
ini lawannya masih segar bugar ketika terjatuh sedang
kakinya tak cidera sedikitpun. Lebih heran lagi dengan
kakinya sendiri, ketika bergempur itu seolah-olah
kakinya menghantam satu tembok batu karang
sehingga ia sambil menjerit cepat-cepat menarik
kembali kakinya dan mundur menjauhi Mahesa
Wulung dengan terpincang-pincang disertai mulutnya
melolong-lolong kesakitan.
Kejadian yang terjadi demikian cepatnya itu,
menyebabkan para anak buah Marangsang heran dan
seperti terpukau. Mereka sesaat diam terpaku seperti
arca.
Seorang di antaranya tersadar dan cepat melolos
pedangnya untuk kemudian dilemparkannya ke arah
Mahesa Wulung yang saat itu masih tergempuran tadi.
Bagai sinar putih, pedang tadi melesat dan begitu
seolah-olah hampir menancap di dada Mahesa
Wulung, pendekar ini dengan satu gerakan yang sukar
ditangkap mata cepat menggerakkan kedua tangannya
dan tahu-tahu kedua sisi telapak tangannya telah
menjepit bagian tengah dari bilah pedang.
Dalam sekejap sambil bangkit, Mahesa Wulung
telah menguasai pedang tadi yang sekaligus
diputarnya laksana baling-baling dan menimbulkan
pusaran angin panas. Melihat ini, ke sepuluh anak
buah Marangsang segera menyerangnya bersama dari
segenap jurusan. Mereka tetap dalam tata lingkaran
dan sambil menyerang Mahesa Wulung, mereka
bergerak berkeliling berputar-putar dengan tujuan
untuk membingungkan lawannya.
Ternyata harapan mereka adalah sia-sia belaka.
Malahan mata pedang Mahesa Wulung bergerak begitu
cepat seperti ular yang mematuk-matuk, mengancam
jiwa mereka. Suara gemerincing pedang yang beradu
diseling dengus nafas dan teriakan-teriakan perang
menggema di arena pertempuran saling bergantian, tak
ubah irama kematian.
Rupanya salah seorang anak buah Marangsang
sudah tak sabar lagi, maka ia lekas mengirim tebasan
pedang ke arah perut Mahesa Wulung.
Trang! Tak!
Si penyerang melongo kecut karena pedangnya kena
ditangkis oleh pedang Mahesa Wulung yang memagari
perutnya dengan teguh. Belum lagi ia sempat
memperbaiki diri, tiba-tiba....
Syraattt!!!
Seleret sinar pedang Mahesa Wulung menebas
bahunya dan anak buah Marangsang ini menjerit ngeri
lalu rebah ke tanah dengan luka terbelah pada
bahunya yang menyemburkan darah segar!
Korban pertama telah jatuh. Biar begitu, kesembilan
lawan Mahesa Wulung tak menjadi takut, karena bau
darah bagi perompak-perompak laut itu seperti
menggugah semangat mereka untuk bertempur lebih
hebat lagi. Dan lama-lama Mahesa Wulung benar-
benar kerepotan juga menghadapi mereka.
Marangsang masih mengawasi saja jalannya
pertempuran. Jika rasa nyeri pada kakinya telah
hilang, pastilah ia segera ikut mengurung Mahesa
Wulung. Dengan sedikit terpincang-pincang,
Marangsang melangkahkan ke arah titik pertempuran
dengan menghunus pedangnya.
Marangsang di dalam hati mengakui kehebatan
Mahesa Wulung yang telah mampu menghadapi
kesepuluh anak buahnya yang terpilih dalam tugas ini.
Bahkan kini seorang di antaranya telah menjadi
korban sabetan pedang Mahesa Wulung sehingga
Marangsang betul-betul penasaran melihat kejadian
tadi.
“Edan! Dia telah berani membunuh seorang anak
buahku,” geram Marangsang. “Sekali ini kau harus
mampus di tanganku juga!”
Sambil memutar pedangnya yang berpusaran
seperti taufan, Marangsang kembali menyerang dengan
ganas ke arah Mahesa Wulung.
Ternyata yang dikepung itu cukup lincah dan tubuh
Mahesa Wulung seolah-olah menjadi sepuluh saking
cepat gerakannya. Hanya saja Marangsang kini ikut
mengeroyoknya, sehingga terasa bahwa lama-
kelamaan Mahesa Wulung lebih banyak bersifat
mempertahankan diri daripada menyerang para
pengepungnya! Sayang sekali, dalam pertempuran ini
Mahesa Wulung tidak sempat menggunakan senjata
ampuhnya si cambuk sakti Naga Geni, karena masih
tersimpan di dalam kamarnya. Dan lagi keadaan
memang sangat mendesak pada waktu itu, serta
serangan Marangsang tidak terduga-duga sama sekali
datangnya.
Di saat pertempuran itu berjalan dengan hebatnya,
sepasang mata di antara semak-semak di bawah
pohon kelapa terus mengawasinya dan tiba-tiba saja
mulut orang ini mengeluarkan tertawa kecil yang
berderai persis suara ringkikan kuda! Suara itu
bergetar di udara malam dan membuat mereka yang
bertempur itu sangat terkejut, sehingga mau tak mau
terpaksalah mereka berhenti sejenak.
Bersamaan derai ketawa aneh itu menjadi surut,
bayangan hitam itu meleset dan dengan lincahnya
melayang turun di tengah lingkaran pertempuran.
Hampir semua orang merasa terpesona dengan
peristiwa itu, lebih-lebih dengan Mahesa Wulung
sendiri. Sebab orang tadi yang ketawanya aneh tahu-
tahu saja sudah berdiri di samping Mahesa Wulung.
“Eh, Bapak Pendekar Prahara!” seru Mahesa
Wulung gembira bercampur kagum, melihat orang tua
ini bisa terbebas dari pengaruh sirep Marangsang dan
anak buahnya.
“Ha, ha, ha. Selamat malam, Anaknda Barong
Makara. Aku tadi terganggu tidurku karena suara
ribut-ribut di luar. Dan ternyata kalian tengah
bermain-main di bawah sinar bulan. Maka izinkanlah
aku ikut serta meramaikan permainanmu ini!” ujar
Pendekar Prahara penuh kelakar.
“Setan tua!” umpat Marangsang jengkel dan marah.
“Kau jangan turut campur dengan urusanku ini. Kami
punya persoalan sendiri dengan Barong Makara dan
harus kami selesaikan tanpa pihak lain yang campur
tangan.”
“Hmm, kau boleh ngomong semaumu, Marangsang!
Tapi kau harus ingat bahwa saat ini Barong Makara
menjadi tamuku di sini. Dan setiap tuan rumah pasti
akan mati-matian menjaga keselamatan tamunya,”
kata Pendekar Prahara dengan tenangnya, sampai-
sampai Marangsang dengan anak buahnya
bergemertakan giginya saking mangkalnya. “Nah,
kiranya kalian tidak keberatan, bukan, jika aku turut
bermain-main?”
“Setan tua, aku tak keberatan kau ikut bermain-
main dengan kami. Justru pedang-pedang kami ini
sudah haus minum darah!” Marangsang berseru
sambil memberi isyarat kepada ke sembilan anak
buahnya untuk menyerang kedua lawannya.
Maka terjadilah untuk kedua kalinya di tempat ini
pertempuran yang lebih hebat daripada yang semula.
Kalau tadi hanya mampu menangkis serangan-
serangan lawan, kini Mahesa Wulung ganti menyerang
dan menghantam lawannya. Ini terjadi berkat
kedatangan Pendekar Prahara yang tepat pada
waktunya.
Meskipun ilmu pedang Mahesa Wulung tidak
sehebat Pendekar Prahara, tapi keduanya bergerak
saling mengisi, laksana dua ekor burung sikatan yang
mengejar belalang.
Sambil bertempur itu Marangsang sibuk memeras
akalnya, sebab jika ia bersama anak buahnya
bersama-sama menyerang kedua musuhnya yang
bergerak berpasangan itu, pastilah pertempuran ini
tidak ada kesudahannya. Mungkin sampai pagi atau
siang belum selesai. Dengan satu suitan nyaring dari
mulutnya, sekali lagi Marangsang memberi isyarat
kepada anak buahnya dan mereka yang sudah terlatih
itu, dapat menangkap segera apa maksud isyarat
pemimpinnya.
Kemudian Marangsang diikuti oleh ke empat anak
buahnya bergerak ke samping untuk memberi
tekanan-tekanan berat kepada Mahesa Wulung,
sementara ke lima anak buahnya yang lain bersama-
sama menyerang ke samping lain untuk menekan ke
arah Pendekar Prahara. Dengan demikian, mau tidak
mau akhirnya terpaksalah gerak berpasangan antara
Barong Makara dengan Pendekar Prahara menjadi
terpecah belah, sehingga pertempuran itu berubah
menjadi dua lingkaran.
Pendekar Prahara memang jago pedang yang sudah
terkenal namanya. Dan seperti namanya sendiri, ilmu
pedangnya itu mampu bergerak seperti prahara yang
dahsyat dan ia namakan ‘Seribu Badai’.
Ketika pertempuran itu mencapai jurus yang ke
lima belas, pendekar tua itu dengan manisnya
menggenjotkan tubuh ke udara bertepatan dengan ke
lima pedang lawannya membacok berbareng.
Traaang!
Senjata-senjata mereka saling beradu karena
sasarannya meleset ke atas. Hampir-hampir tak
percaya mereka melihat pendekar tua itu dengan
enaknya lolos dari serangan pedang mereka yang rapat
dan ganas. Selagi pedang-pedang tadi beradu, kembali
Pendekar Prahara melayang turun sambil
menggerakkan pedangnya, dengan satu putaran
secepat baling-baling sampai sukar ditangkap oleh
pandangan mata kelima lawannya.
Sraaatt!
Terdengar suara tebasan pedang, kemudian disusul
tiga jeritan ngeri sekeras-kerasnya, memenuhi udara
malam yang dingin. Dua orang lawan pendekar tua itu
masing-masing memegang dada dan yang satu
menekan kepalanya, karena masing-masing terluka
hebat menyemprotkan darah segar. Sementara itu
seorang lagi menjerit-jerit karena tangan kanannya
yang memegang pedang sebatas siku terbabat putus
oleh pedang Pendekar Prahara dan benda itu
terhempas ke tanah disertai darah memercik di
sekitarnya.
Tiga orang lawan pendekar tadi tak lama kemudian
telah tak bernyawa. Dua orang yang lain melihat hal
ini serentak mundur ke belakang dengan ketakutan.
Demikian yang lain, ketika terdengar jeritan ngeri,
Mahesa Wulung yang sibuk menghadapi ke lima
lawannya sempat melirik ke arah lingkaran
pertempuran antara Pendekar Prahara dengan anak
buah Marangsang. Betapa kagetnya ketika ia melihat
sabetan pedang pendekar tua itu sekaligus
merobohkan tiga orang lawannya.
Demikian pula dengan Marangsang sendiri. Ia pun
terkejut menyaksikan ilmu pedang pendekar tua itu.
Selama ini ia hanya pernah menyaksikan ilmu pedang
yang dimiliki oleh Lanun Sertung pemimpinnya sendiri
yang mirip dengan ilmu pedang pendekar tua itu.
Keduanya sama hebatnya.
Oleh sebab itu, ia pun sibuk menebak-nebak sendiri
di dalam hatinya. Jangan-jangan Barong Makara yang
kini dihadapinya ini, juga memiliki ilmu pedang yang
sama dahsyatnya. Maka ia pun mulai bimbang
hatinya.
Di saat itu tiba-tiba dilihatnya seleret sinar dan
tahu-tahu pedang Mahesa Wulung meluncur menetak
ke arah kepalanya. Untung ia sudah banyak
pengalaman, meski dengan cekakaran ia cepat
menangkis dengan pedangnya pula. Dua bunyi
benturan senjata yang keras terdengar, kemudian
disusul tubuh Marangsang terpental ke tanah, karena
ia tak kuat menahan benturan pedang Mahesa Wulung
yang dilambari oleh tenaga dalamnya.
Empat orang anak buahnya, melihat Marangsang
jatuh ke tanah, cepat-cepat menyerbu Mahesa Wulung
bersama-sama sebelum lawannya ini bertindak lebih
jauh. Tapi Mahesa Wulung sekali lagi secepat kilat
menyambar pedangnya dan dua jeritan terdengar
berbareng dan seorang bajak laut terluka dadanya
sedang yang seorang lagi rebah ke tanah dengan
bahunya yang terpotong dan mengucurkan darah.
Melihat lima orang anak buahnya telah rubuh tak
bernyawa dan seorang lagi luka-luka, maka hati
Marangsang menjadi berdebar ketakutan. Lebih-lebih
jika ia ingat dengan si Lanun Sertung pemimpinnya.
Apakah kata orang yang terkenal kejam itu, bila ia
ternyata gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk
menyingkirkan Barong Makara.
Marangsang akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pertempuran ini tidak bakal
menguntungkan dirinya. Kalau seandainya tadi
mereka hanya menghadapi Barong Makara seorang
diri, pastilah keadaannya tidak seperti sekarang ini.
Tapi kedatangan Pendekar Prahara benar-benar
mengacaukan rencana!
Dengan demikian Marangsang tidak punya pilihan
lain kecuali harus melarikan diri. Karena itu dengan
suitan nyaring seperti siulan hantu yang bernada
tinggi dan penuh tenaga dalam, Marangsang memberi
isyarat kepada anak buahnya, sementara tangannya
merauk tanah dan secepat kilat dilemparkannya ke
arah kedua lawannya.
“Awas, Barong Makara! Tiarap!” teriak Pendekar
Prahara melihat bahaya yang mendatang.
Begitu kedua pendekar itu meniarap ke tanah,
terasalah di atas tubuh mereka butir-butir pasir pantai
yang dilemparkan oleh Marangsang itu berdesing-
desing bunyinya lewat dengan kencangnya. Untunglah
mereka bertiarap dan luput dari serangan aneh tadi.
Seandainya tidak, pastilah tubuh-tubuh mereka akan
ditembusi oleh butir-butir pasir dan merasuk ke dalam
hingga mereka menimbulkan kematian yang
mengerikan.
Berbareng dengan serangannya itu, Marangsang
diikuti oleh kelima anak buahnya segera melarikan diri
ke arah perahu mereka. Semua berjalan dengan
cepatnya. Mahesa Wulung dan Pendekar Prahara yang
mengawasi cara berlari dari Marangsang dengan anak
buahnya benar-benar kagum. Mereka berdua seperti
kijang.
Seperti berkemauan yang sama, mereka berdua
tidak berusaha untuk mengejar lawannya sebab masih
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh
mereka, yaitu membebaskan orang-orang yang
termakan sirep hebat dari Marangsang.
Bagai disiram oleh tetesan-tetesan embun malam
yang dingin menyejukkan, terasalah hati Mahesa
Wulung menjadi lega, setelah maut yang mengancam
mereka telah berlalu. Kini ia bersama Pendekar
Prahara sibuk menolong orang-orang dari pengaruh
sirep.
***
DUA
BEBERAPA hari kemudian, sebuah rumah besar di
kota Bintan tampaklah berpuluh-puluh prajurit
menciptakan kudanya. Sementara itu, di depan tangga
rumah, tampaklah Pendekar Prahara dan Barong
Makara bergantian berjabat tangan dengan seorang
berpakaian bangsawan.
“Nah, Tuan Barong Makara,” ujar bangsawan itu,
“bawalah prajurit-prajuritku ini untuk menjaga bandar
Tanjungpinang. Jika perlu Tuan boleh membawanya
ke Selat Karimata untuk menumpas kawanan bajak
laut Iblis Merah di sana!”
“Terima kasih, Pangeran Ahmad. Semoga keadaan
tidak berkembang terlalu buruk dan mereka dapat kita
tumpas dengan cepat,” kata Mahesa Wulung
kemudian. “Jika mereka benar-benar akan menyerang
bandar Tanjungpinang, pasti mereka kita hancurkan
di tempat itu juga!”
“Hmm, yah, aku pun berharap demikian, Tuan
Barong Makara. Dan Sultan Malaka menyampaikan
salamnya untuk Anda!”
Belum lagi mereka melanjutkan bicaranya, tiba-tiba
dari arah tenggara tampaklah debu-debu berkepul-
kepul dan sesaat kemudian tampak seorang yang
memacu kudanya ke arah mereka dengan wajah yang
membayangkan kecemasan. Begitu menghentikan
kudanya, penunggang kuda tersebut meloncat turun
dan langsung mendapatkan Pendekar Prahara. Setelah
memberi salam orang tersebut berkata dengan
terengah-engah.
“Wah... Bapak Pendekar Prahara. Ketiwasan, Bapak.
Mereka telah mengepung bandar Tanjungpinang dari
lautan dan rupa-rupanya mereka telah bersiap-siap
menyerbu ke darat!”
“Bandar Tanjungpinang terkepung?” Pendekar
Prahara terkejut mendengar penuturan orang itu.
“Siapa yang kau maksud dengan ‘mereka’ itu?”
“Mereka adalah orang-orang bajak laut Iblis Merah
dari Selat Karimata!”
“Kalau demikian, kita harus selekasnya kembali ke
Tanjungpinang serta membantu menghalau orang-
orang Iblis Merah!” terdengar Mahesa Wulung
memotong percakapan.
“Aku setuju dengan pendapatmu itu, Tuan Balung
Makara,” sela Pangeran Ahmad. “Nah, saya kira kalian
harus cepat-cepat menuju ke sana! Kami doakan
semoga Tuhan menjauhkan kalian dari marabahaya.”
“Terima kasih, Pangeran!”
Tak lama kemudian setelah mereka meminta diri
serta saling berjabat tangan, Mahesa Wulung,
Pendekar Prahara serta puluhan prajurit dari Bintan
dengan cepat memacu kudanya masing-masing ke
arah tenggara sampai debu berkepulan naik ke
angkasa.
Mereka benar-benar merasa cemas dan ingin lekas
tiba di Tanjungpinang untuk membantu kawan-kawan
mereka dalam pertempuran melawan perompak-
perompak laut itu. Kuda Mahesa Wulung dilarikan
dengan kencangnya di udara siang yang amat panas
menyusuri sebuah teluk. Dan di belakangnya, kira-kira
satu tombak jaraknya, Pendekar Prahara juga memacu
kudanya seperti dikejar setan. Di belakangnya pula
tampaklah prajurit-prajurit Bintan yang berkuda.
Kalau kawanan perompak laut Iblis Merah telah
menyerang bandar itu, Mahesa Wulung sebenarnya
merasa senang. Sebab memang itulah yang
diharapkan. Mereka pasti akan lebih mudah dilawan di
daratan daripada di laut. Hal ini sesuai dengan
kemampuan prajurit-prajurit Bintan yang dibawanya.
Mereka lebih sesuai dan terbiasa untuk pertempuran-
pertempuran di darat.
Sambil berpacu itu, pikirannya jauh melayang ke
bandar itu, yang hanya dijaga oleh lima puluh orang,
termasuk Hang Sakti, Nurlela, Pandan Arum dan
Jogoyudo. Seandainya gerombolan Iblis Merah itu
mengerahkan semua pasukan, bandar Tanjungpinang
bisa bertahan sampai malam nanti.
Mengingat ini semua, lebih-lebih dengan
keselamatan sahabat-sahabatnya, Barong Makara
menyeringai dan giginya gemeretah penuh dendam
terhadap gerombolan Iblis Merah yang juga telah
menewaskan ayahnya di Selat Karimata beberapa
tahun yang silam.
Beberapa saat mereka berkuda menyusuri teluk
dan ombak pun menggeru-geru memecah ke pantai,
seolah-olah berteriak kepada mereka yang tengah
berkuda ke arah selatan itu, “Cepat! Cepatlah memacu
kudamu! Teman-temanmu di Tanjungpinang
memerlukan bantuanmu! Jika kalian terlambat pastilah
mereka dibinasakan oleh orang-orang Iblis Merah itu.”
Kini mereka telah mendekati daerah Tanjungpinang.
Dari kejauhan tampaklah asap hitam berkepul
menggulung-gulung ke angkasa diseling dentuman
meriam terdengar sayup-sayup ke telinga mereka.
“Kebakaran!” seru Pendekar Prahara kepada
Mahesa Wulung yang kini telah berkuda
berdampingan. “Kita harus cepat-cepat tiba di sana,
Barong Makara!”
“Ya, mari kita bersiap-siap memasuki arena
pertempuran!” teriak Mahesa Wulung keras-keras.
Kemudian tangan kanannya diacungkan ke atas
dan serentak prajurit Bintan bersiaga. Yang berpedang
segera menghunus senjata-senjata mereka dari
sarungnya, dan yang bertombak pun mempersiapkan
tombaknya pula. Setelah Mahesa Wulung melihat
prajurit-prajurit telah bersiap, kemudian tangan
kanannya yang mengacung ke atas segera memberi
isyarat. Antara ibu jari dan jari telunjuknya
membentuk setengah lingkaran dan para prajurit itu
segera tahu akan tugasnya.
Mereka serentak bergerak dan membentuk barisan
berkuda setengah lingkaran. Pendekar Prahara segera
pula berpacu ke arah ujung yang kiri dan memimpin
sayap kiri dari barisan. Sedang Barong Makara
memimpin sayap kanan.
Berbareng dengan aba-aba “Serbu!!!”, maka
pasukan berkuda dengan bentuk ‘tapal kuda’ itu cepat
berpacu ke arah bandar Tanjungpinang, dan mereka
berbareng meneriakkan semangat perang, gegap
gempita suaranya.
Sungguh tepat kedatangan pasukan itu, sebab
pertempuran di bandar itu sudah berlangsung
beberapa saat. Mereka gerombolan Iblis Merah itu
sudah mendarat dan kini mereka bertempur di pantai
dengan ganasnya, seolah-olah mereka seperti
kerasukan setan.
Beberapa orang prajurit penjaga bandar
Tanjungpinang telah tewas berkaparan di ujung
senjata para bajak laut itu. Di tepi pantai terlihatlah
lingkaran-lingkaran pertempuran kecil. Hang Sakti
terlibat dalam pertempuran melawan seorang yang
bertubuh jangkung berkumis dan berjenggot kaku dan
di tangan kirinya terlihatlah gambar hiasan seekor
naga.
“Hee, keparat. Ayo lekas menyerah kau, setan!”
teriak orang jangkung itu yang tidak lain adalah Lanun
Sertung kepala gerombolan Iblis Merah sendiri.
Ia memutar pedangnya laksana baling-baling
merupakan sebuah lingkaran putih yang mengurung
tubuh Hang Sakti dengan rapatnya.
“Ha, ha, ha, inilah saatmu yang terakhir, Hang
Sakti. Tubuhmu akan menjadi potongan-potongan
kecil. Jika kau bersedia menyerah dan meminta
ampun, kau akan tetap hidup!”
Walau bagaimanapun keadaannya, bagi seorang
pendekar seperti Hang Sakti yang tak kenal menyerah
itu, menjadi tersinggung juga mendengar kata-kata
Lanun Sertung yang penuh kesombongan itu. Maka
iapun memperhebat permainan kerisnya untuk
menangkis serangan-serangan Lanun Sertung.
“Persetan! Kaulah yang harus berlutut di kakiku,”
teriak Hang Sakti dengan penuh kemarahan.
Dalam bertempur itu, sesekali mata Hang Sakti
melirik ke arah lingkaran pertempuran yang lain. Ia
sekali ini benar-benar mencemaskan nasib adiknya,
Nurlela, walaupun gadis ini menguasai lima bagian
dari ilmu pedang ‘Seribu Badai’ ciptaan Pendekar
Prahara yang dahsyat itu. Ia pun sadar gerombolan
Iblis Merah ini sangat kejam. Tetapi ketika lirikan
matanya sampai ke tempat Nurlela bertempur, iapun
menarik nafas lega, sebab adiknya bersama Pandan
Arum bergerak berpasangan dalam bertempur
melawan keroyokan orang-orang Iblis Merah.
Keduanya sangat lincah. Kalau Nurlela itu memainkan
pedangnya yang bergerak dan bergetar sangat cepat,
Pandan Arum lain lagi. Ia memakai senjata selendang
jingga pemberian bibinya dari lereng Gunung Muria
yang mampu menyerang setiap lawannya dengan
ilmunya ‘Sabet Alun’.
Hampir tak seorang pun yang mampu mendekati
mereka berdua bila senjata di tangan mereka sudah
beraksi, dan beberapa orang-orang Iblis Merah telah
binasa di ujung senjata-senjata tadi, ketika mencoba
mengepung mereka.
Tak jauh dari dua pendekar putri itu, Jogoyudo
sibuk melayani Marangsang. Keduanya merupakan
lawan yang seimbang dan bertempur dengan serunya.
Kali ini putaran pedang Marangsang yang dahsyat
mendapat lawan sambaran-sambaran keris Jogoyudo
lincah seperti ular mematuk-matuk.
Sayap kiri pasukan berkuda yang dipimpin oleh
Pendekar Prahara sudah melingkar sampai ke tepi
pantai dan sambil berusaha mengepung orang-orang
Iblis Merah, orang-orang berkuda tadi menyerang
lawannya dengan tombak-tombaknya. Pertempuran
bertambah hebat dan beberapa saat kemudian
suasana menjadi berubah sama sekali. Kalau tadi
mula-mula kawanan bajak laut Iblis Merah sudah
hampir menguasai bandar Tanjungpinang, sekarang
dengan kedatangan pasukan-pasukan dari Bintan
orang-orang Iblis Merah benar-benar terdesak dan
mereka tidak sedikit yang telah binasa.
Dengan mengumpat-umpat Lanun Sertung melihat
anak buahnya porak-poranda dan banyak yang binasa,
maka marahnya semakin menyala sehingga ia ingin
cepat membinasakan lawannya. Hang Sakti dalam hati
mengakui kehebatan Lanun Sertung yang telah
mampu bertempur sampai berjalan puluhan jurus
tanpa kelihatan lelah ataupun kehabisan nafas. Hal
inilah merupakan kelebihan yang ada pada Lanun
Sertung, sedang Hang Sakti sendiri lama-kelamaan
tenaganya menjadi berkurang dan keringat menetes
dari dahinya.
Melihat keadaan lawannya itu, Lanun Sertung
makin mempergencar serangannya. Pedangnya sampai
menimbulkan angin pusaran.
“Hua, ha, ha, ha, Hang Sakti, inilah saat ajalmu di
tanganku. Lihatlah sinar matahari untuk penghabisan
kalinya!” Lanun Sertung berteriak sambil menetakkan
pedangnya disertai curahan tenaga dalam yang luar
biasa. Pedangnya berkelebat dan ketika hampir
membelah kepala Hang Sakti, pendekar muda ini
menggerakkan kerisnya untuk menangkis pedang
Lanun Sertung.
Traak!!!
Dua benturan senjata beradu dan kemudian
disusul tubuh Hang Sakti terhempas ke tanah.
Kerisnya terlempar lepas dari tangannya. Hang Sakti
segera bangkit karena badannya lemas tak berdaya,
bagai dilolosi urat dan tulang-tulangnya.
Oleh sebab itu ia kemudian memasrahkan hidup
matinya di tangan Tuhan, karena dilihatnya Lanun
Sertung mendekatinya sambil mengangkat pedangnya
siap mencabut nyawanya.
“Nah, apa kataku tadi! Kau harus mati di tanganku
ini, Hang Sakti!”
Sambil menyeringai puas, kepala bajak laut ini
segera membacokkan pedangnya ke arah dada Hang
Sakti. Pendekar ini memejamkan mata siap menanti
maut yang sebentar lagi akan merenggutnya. Tapi
belum lagi pedang itu menyentuh dadanya, tiba-tiba
terdengar tiga kali ledakan cambuk yang segera
membentur sisi pedang Lanun Sertung sampai
tergetar! Pemimpin bajak ini kaget dan ia cepat
menoleh ke samping untuk melihat orangnya yang
telah berani menggagalkan bacokan pedangnya.
“Barong Makara!” desis Lanun Sertung setengah
kaget melihat seorang berkedok kain penutup hidung
dan mulutnya yang bergambar Makara kuning emas.
Di tangannya tergenggam sebatang cambuk menyala
biru kehijauan. “Keparat! Kau berani menghalangi
maksudku, ha?! Marilah kalau kamu ingin mampus
berbareng! Belum pernah yang bisa lolos dari serangan
ilmu pedangku. ‘Mata Iblis ini!’”
Mendengar nama itu Mahesa Wulung terpaksa
hatinya tergetar, sebab ilmu pedang itu lebih dahsyat
dari ilmu pedang Pendekar Prahara, dan menurut
cerita, ilmu itu dipelajari dari kitab-kitab pusaka ilmu
gaib yang tersimpan di Candi Durga.
Biar nama ilmu tadi mengerikan tapi bagi Mahesa
Wulung tidak menjadikan kendor semangatnya.
Bahkan ia bertekad untuk melenyapkan setiap ilmu
yang diselewengkan untuk kejahatan!
“Lanun Sertung, mari, aku siap meladeni permainan
pedang terkutuk milikmu itu!” seru Mahesa Wulung.
Kedua pendekar itu saling berpandangan sambil
menyiapkan masing-masing senjatanya, dan sesaat
kemudian dengan teriakan-teriakan perang kedua
pendekar jagoan itu terlibat dalam satu pertempuran
hebat. Pedang di tangan Lanun Sertung itu bergerak
amat lincahnya bagaikan halilintar menyambar-
nyambar, persis gerak dewa maut. Kemana saja
Mahesa Wulung bergerak, pedang itu selalu mengejar
dan mengancamnya seolah-olah mempunyai mata.
Dan satu hal yang membuat hati Barong Makara
tergetar ialah cara Lanun Sertung memainkan pedang
itu. Antara pedang dan tangan yang menggenggamnya
seperti terjalin menjadi satu, bahkan pedang tadi
seolah-olah merupakan bagian dari tangan Lanun
Sertung. Itulah kehebatan ilmu pedang ‘Mata Iblis’.
Menghadapi lawannya yang berilmu hebat itu,
Mahesa Wulung tidak kepalang tanggung dalam
melawannya. Cambuk pusakanya diputar dan begitu
ketat memagari tubuhnya dari ancaman ilmu pedang
‘Mata Iblis’. Cambuk Naga Geni mendapat lawan
seimbang kali ini.
Yang mengagumkan Mahesa Wulung ialah pedang
si Lanun Sertung yang seolah-olah mempunyai mata
dan setiap kali cambuknya mencoba melibat pedang
itu, dengan mudah Lanun Sertung selalu berhasil
mengelakkannya. Mahesa Wulung cepat berpikir untuk
mencari siasat yang cemerlang guna mengalahkan
musuhnya yang ganas itu. Cepat tangan kirinya
mencabut sebuah pisau kecil dari ikat pinggangnya
yang sekaligus dilemparkan ke arah dada Lanun
Sertung. Tentu saja kepala bajak laut ini tak
menyangka dengan serangan yang amat tiba-tiba itu.
Begitu pisau itu hampir menyambar dadanya,
Lanun Sertung menyabetkan pedangnya setengah
lingkaran ke muka dan, “Trang”, bunyi berdenting dari
dua senjata beradu. Pisau Mahesa Wulung beradu
dengan pedang Lanun Sertung sampai terpental ke
udara, kemudian tercampak ke tanah.
Tapi di saat itu cambuk Naga Geni meluncur dan
langsung melibat pedang Lanun Sertung dengan
eratnya sampai kepala bajak ini kaget setengah mati.
Kini kedua pendekar itu saling tarik-menarik
dengan senjatanya yang telah saling melibat dan
melekat sangat eratnya. Mereka sedang mengadu
tenaga dalamnya yang tersalur lewat senjatanya itu.
Butir-butir peluh mengalir dari dahi Lanun Sertung
yang menitik-nitik seperti gerimis, ketika tangan yang
memegang pedang terasa panas seperti memegang
bara api. Tetapi Mahesa Wulung pun mengucurkan
keringat pula, manakala tangannya yang
menggenggam cambuk Naga Geni menjadi kesemutan
dan bergetar. Hampir-hampir saja, jika ia tidak
mengeluarkan segenap tenaganya, pastilah cambuknya
akan tercabut lepas dari jari-jarinya. Begitulah, dengan
susah payah akhirnya iapun berhasil mengatasi rasa
kesemutan di tangannya.
Sementara itu pertempuran menjadi sedikit mereda
karena sebagian anak buah Lanun Sertung pada
berebahan tak bernyawa oleh senjata-senjata prajurit
Bintan. Sedang sebagian lagi sudah mulai menarik diri
dari medan pertempuran dan mendekati perahu-
perahu mereka.
Marangsang yang juga berhasil melepaskan diri dari
lingkaran pertempuran melawan Jogoyudo kini
memimpin mereka mundur ke arah pantai. Melihat
lawannya lari itu, Jogoyudo diikuti oleh beberapa
prajurit segera mengejar ke arah Marangsang.
Maka terjadilah kejar-mengejar di tepi pantai yang
sebentar-sebentar diseling oleh pertempuran-
pertempuran pendek, untuk kemudian mereka saling
berkejaran kembali..
Ketika kedua rombongan itu melewati lingkaran
pertempuran antara Mahesa Wulung melawan Lanun
Sertung, tiba-tiba saja pemimpin bajak laut ini segera
menghentakkan pedangnya sekeras-kerasnya sampai
berhasil lepas dari belitan cambuk Mahesa Wulung.
Gerakan Lanun Sertung sungguh lincah dan cepat.
Begitu pedangnya terbebas dari cambuk lawannya, ia
meloncat ke belakang beberapa langkah dan kemudian
ia membalik serta berlari meninggalkan Mahesa
Wulung yang setengah keheranan melihat gerak lincah
kepala bajak laut itu.
“Ayo, Marangsang. Cepat lari menuju ke perahu.
Kita harus meninggalkan tempat ini!” seru Lanun
Sertung ketika ia tiba di rombongan anak buahnya.
“Mereka masih mengejar! Apakah kita tidak perlu
melawannya?” ujar Marangsang.
“Jangan. Kita terus berlari saja. Biarkan mereka
mengejar. Nanti akan kubereskan dengan jarum
bisaku,” kata Lanun Sertung sambil berlari dan
matanya sebentar-sebentar melirik ke arah para
pengejarnya.
“Hee, pengecut! Jangan lari begitu hina. Ayo
bertempur lagi!” teriak Mahesa Wulung yang kini ikut
mengejar bajak laut itu.
“Keparat, kau masih saja berani menghalangi
maksudku. Nah, terimalah ini kalau kamu semua ingin
mampus!” Lanun Sertung berpaling dan tangan
kanannya begitu cepat mengeluarkan jarum bisa dari
ikat pinggangnya. Dengan satu gerakan hebat
tangannya melontarkan senjata rahasianya dibarengi
teriakan keras menggetarkan udara pantai.
“Awas, Jogoyudo! Itu jarum bisa! Tiarap!” teriak
peringatan Mahesa Wulung sungguh mengagetkan,
sebab Jogoyudo dan para prajurit itu tidak melihat
puluhan jarum berbisa yang beterbangan di udara dan
menuju ke arah mereka seperti air hujan derasnya.
Untungnya Jogoyudo dan beberapa prajurit sempat
bertiarap, sedang lima orang lagi yang terlambat
akhirnya jatuh terjungkal dengan beberapa jarum
berbisa bersarang di tubuhnya. Mereka itu terpaksa
bertiarap agak lama sebab Lanun Sertung tidak hanya
sekali melempar jarum berbisanya, tetapi diulanginya
beberapa gelombang sampai bajak laut itu cukup
mencapai perahu mereka kembali.
Ketika serangan jarum bisa itu reda, mereka
bermaksud mengejar kembali para bajak itu,
sayangnya mereka terlambat, sebab Lanun Sertung
dengan anak buahnya telah berlayar jauh dari pantai.
Sesaat kemudian kedua perahu bajak laut yang
berhasil lari itu semakin jauh dan akhirnya lenyap
diiringi derai ketawa Lanun Sertung yang menyerikan
telinga.
Mahesa Wulung, Jogoyudo dan enam orang prajurit
yang tinggal, cepat kembali ke daerah bekas
pertempuran yang kini telah sepi, kecuali beberapa
orang yang luka-luka tengah merintih dan di sana-sini
tergeletak mayat-mayat. Ketika Mahesa Wulung tiba di
tempat itu, Pendekar Prahara, Hang Sakti, Nurlela dan
Pandan Arum segera menyambutnya.
“Mereka berhasil melarikan diri dengan perahunya,”
ujar Mahesa Wulung. “Dan lima orang prajurit-prajurit
kita menjadi korban senjata rahasia mereka, ketika
mengejarnya.”
“Senjata rahasia?” seru Pendekar Prahara kaget.
“Ya, Lanun Sertunglah yang menyebar jarum-jarum
berbisa, sehingga kelima orang tadi yang terlambat
bertiarap telah menjadi korbannya,” kata Mahesa
Wulung pelan. “Tapi biarlah sementara mereka
melarikan diri ke sarang mereka di Selat Karimata.
Segera kita akan mengejarnya.”
Mahesa Wulung berhenti berkata karena matanya
kini sibuk melihat bekas medan pertempuran.
Beberapa prajurit tampak berkumpul dan pemimpin
pemimpin kelompok menghitung anak buahnya, untuk
mengetahui berapa yang meninggal dan berapa yang
masih hidup. Sementara itu beberapa orang lainnya
mendapat tugas khusus untuk merawat dan
mengobati kawan-kawan mereka yang terluka.
Di sebelah timur, tampaklah anggota-anggota bajak
laut yang tertawan hidup-hidup, sedang di antara
mereka yang terluka juga mendapat perawatan
seperlunya. Kalau bagi orang-orang bajak laut hal ini
dianggap janggal, tetapi bagi prajurit-prajurit Bintan
sikap ini sudah biasa. Musuh pun kalau terluka harus
ditolong meskipun toh akhirnya mereka nanti
dihukum atas kejahatan-kejahatannya.
***
Matahari akhirnya pun menjadi semakin condong
ke barat dan sinarnya pun tidak begitu panas lagi.
Angin pantai berdesir lembut menggoyangkan ujung
daun-daun nyiur dan wajah-wajah mereka yang masih
pada berada di pantai. Di bandar itu kini telah
disiapkan sebuah perahu jung oleh para awak
kapalnya. Di dekat tangga naik ke perahu itu banyak
sekali orang-orang bergerombol.
Para perwira, prajurit dan penduduk bandar
Tanjungpinang tampak berkumpul di situ yang akan
menyaksikan keberangkatan Mahesa Wulung
meninggalkan pulau itu.
“Tuan Pendekar Barong Makara,” ujar Prahara
dengan tenangnya. “Sebagai wakil dari penduduk
bandar Tanjungpinang dan segenap prajurit Bintan,
kami mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya atas bantuan Tuan Barong Makara dalam
mengusir para bajak laut dari bandar ini.”
Mendengar kata-kata itu diam-diam Mahesa
Wulung atau yang dipanggil pula sebagai Barong
Makara menjadi terharu, lebih-lebih semua itu
diucapkan oleh Pendekar Prahara dengan tulus ikhlas.
“Kami semua tidak dapat membalas jasa-jasa Tuan
yang begitu besar. Maka sekedar sebagai tanda mata
dari kami, terimalah ini sebilah pedang.”
Mahesa Wulung melangkah ke depan dan dengan
tangan bergetar luapan rasa harunya, ia menerima
pedang itu dari Pendekar Prahara. Setelah itu iapun
menjabat tangan pendekar tua itu, yang mana segera
pula menyambutnya dengan erat, seolah-olah mereka
segan untuk berpisah.
Keasyikan mereka terpecah oleh sebuah isak tangis
dan serentak keduanya menoleh ke arah suara itu.
Ternyata Pandan Arum dan Nurlela saling berpelukan
diserta isak tangis mengharukan siapa saja yang
menyaksikan. Betapa tidak, kalau dua dara yang telah
bersahabat erat, bahkan mereka sudah saling
menganggap sebagai saudara sekandung dan beberapa
kali mengalami suka duka bersama-sama bertempur
melawan bajak-bajak laut, menentang kejahatan, dan
kini harus berpisah. Entah untuk berapa lama,
mungkin juga untuk selamanya. Jarak Pulau Bintan
dengan Demak bukan jarak yang pendek yang cukup
sehari dua hari dicapainya.
Kemudian setelah Mahesa Wulung menerima
pedang itu dan menggantungkan pada ikat
pinggangnya, iapun segera menjabat tangan Hang
Sakti untuk meminta diri. Jogoyudo pun tak
ketinggalan untuk berpamit kepada mereka, dan
terakhir adalah Egrang.
Sebelum rombongan Mahesa Wulung naik ke
perahu, keluarlah dari kelompok prajurit-prajurit
Bintan seorang yang berperawakan kekar dan
berkumis lebat. Ia maju ke depan didampingi oleh
Pendekar Prahara ke arah Mahesa Wulung dan
rombongannya berdiri.
“Tuan Barong Makara, terimalah salah seorang
prajurit anak buahku ini dalam tugas Tuan untuk
mengejar Lanun Sertung. Ia akan berjuang di sisi tuan
sebagai wakil dari prajurit Bintan,” Pendekar Prahara
berkata sambil memperkenalkan orang tersebut.
Ia bernama Sibahar.
Sungguh tepat nama orang ini, sebab pada
pergelangan tangan kanannya ia mengenakan sebuah
gelang besar dari akar bahari. Dengan senang hati
Mahesa Wulung menerima prajurit ini sebagai anak
buahnya sendiri.
Sesaat kemudian, setelah matahari semakin
mendekati cakrawala barat dan sinarnya semakin
pudar bertolaklah perahu jung itu meninggalkan
bandar Tanjungpinang, diiringi oleh lambaian tangan
serta sorak-sorai dari orang-orang yang memagari
bandar itu sebagai ucapan selamat jalan.
Perahu itu semakin jauh dan berlayar ke arah
tenggara dengan lajunya mengarungi laut yang telah
dicekam oleh kegelapan senja.
***
TIGA
KEPULAUAN Karimata dan Selat Karimata terletak
di sebelah barat daya Pulau Kalimantan yang besar
dan mahaluas. Dari sekian pulau-pulau yang
berserakan itu hanya dua buah pulau yang terbilang
besar, yaitu Pulau Karimata sendiri dan di sebelah
barat dayanya lagi Pulau Serutu. Daerah inilah yang
telah diperkirakan menjadi sarang dari pusat
gerombolan bajak laut Iblis Merah oleh Mahesa
Wulung, sebab di daerah perairan inilah sering terjadi
pencegatan perahu niaga oleh perompak-perompak
laut.
Juga belasan tahun yang silam, iring-iringan
perahu armada Demak sehabis menyerang Portugis di
Malaka telah diganggu oleh mereka di selat ini.
Di suatu senja, di sebuah bandar kecil di Pulau
Karimata berlabuhlah sebuah jung bendera dengan
gambar lingkaran cakra kuning emas dan berwarna
dasar biru hitam.
Lingkaran cakra menunjukkan ke delapan arah
mata angin itu menandakan bahwa perahu jung itu
berani menjelajah ke segenap penjuru angin dan
sekaligus orang akan tahu bahwa perahu itu adalah
perahu seorang petualang samudra. Tetapi di balik
rahasia arti sesungguhnya dari gambar lingkaran
cakra itu, sebenarnya adalah sebagai lambang dari
seorang perwira laut armada Demak.
Di sebuah warung di bandar itu tampaklah
beberapa gerombol orang yang tengah minum-minum
dan ada juga yang berjudi. Di tengah kesibukan
mereka itu, masuklah ke dalam warung seorang yang
berperawakan tegap kekar berkumis kecil di bawah
hidungnya yang membuat wajah orang itu lebih keren.
Ia berjalan seenaknya dan duduk di sebuah bangku
panjang. Dari tingkah lakunya tampaklah jika ia orang
baru di pulau ini dan melihat tamu itu, seorang laki-
laki tua pelayan warung ini segera mendekatinya.
“Minumannya, Tuan?” sapa pelayan tua itu ramah.
“Eeh, kasih kopi saja, Pak. Dan juga beberapa iris
jadah ketan,” ujar orang baru yang berkumis kecil itu
sambil matanya menyusuri segenap ruangan warung.
Kemudian secara tiba-tiba pandangan mata orang
baru itu tertambat ke pojok warung, di mana
segerombolan orang lagi ramai-ramainya berjudi.
Rupanya ia mengenal seorang di antaranya, terutama
kepada seorang yang bertubuh pendek tapi kokoh.
“Hmm, itu si Dungkul anak buahku. Ia masih juga
senang berjudi,”
Orang baru itu bergumam sendiri dan matanya
tajam menatap si Dungkul, penjudi yang bertubuh
pendek itu. Orang ini seperti terkena tenaga gaib, tiba-
tiba iapun melayangkan pandangan matanya ke arah
orang baru tadi dan ia terbelalak ketakutan.
Tetapi agaknya orang ini pandai menguasai
perasaannya sebab iapun cepat-cepat berpura-pura
tidak melihatnya.
Beberapa saat kemudian iapun kembali tenggelam
dalam bantingan-bantingan kartu judinya, sambil
sebentar-sebentar ia mengisi mulutnya dengan
minuman tuak yang harum.
“Persetan dengan kedatangannya. Rupanya ia
membawa sial bagiku. Hmm, berkali-kali kartuku mati
semenjak ia datang di warung ini. Ia telah berulang-
ulang melarangku untuk berjudi, tapi toh aku orang
yang merdeka dan orang yang merdeka harus bebas
memenuhi kegemarannya!”
Begitulah kepala orang ini dipenuhi oleh pikiran-
pikiran yang saling bergelut sendiri dan membuatnya
semakin bertambah pusing. Tambahan lagi ia terus-
terusan kalah dalam permainan judinya. Juga
pengaruh tuak yang telah sekian banyak diminumnya
itu rupanya telah bekerja. Sambil setengah mabuk ia
menggoncang bahu teman sebelahnya.
“Hehhh, sini aku pinjam uangnya. Nanti aku ganti
kalau aku menang.”
Teman sebelahnya yang berwajah bengis itu
menyeringai. “Husss, ngomong seenaknya! Kalau kau
kalah lagi apa yang akan kau bayarkan sebagai
gantinya?!”
“Aku tak punya apa-apa lagi, kawan, kecuali
sebuah keterangan yang tak ternilai harganya.
Mungkin ini berguna buatmu, kawan.”
Si wajah bengis itu agaknya mulai tertarik oleh
omongan si Dungkul, sebab ia menyodorkan setumpuk
mata uang logam ke muka Dungkul.
“Nah ini cukup banyak, bukan? Sekarang cepat
katakan padaku keterangan yang kau bilang menarik
itu!”
Si Dungkul mendekatkan mulutnya ke telinga orang
ini dan berbisik pelan.
“Sttt, kau lihat orang yang duduk sendirian di tepi
sana?”
“Ya, aku lihat sejak tadi. Tapi mengapa dengan dia?”
si wajah bengis keheranan.
“Kau belum tahu? Dialah Pendekar Barong Makara
dari Demak yang menyamarkan diri sebagai petualang
samudra. Ia sedang mencari Lanun Sertung untuk
menangkapnya!”
“Gila kau!” hampir setengah berteriak si wajah
bengis mendengar penuturan Dungkul itu. “Awas,
jangan mencoba menipuku, kawan. Nyawamu bisa
hilang nanti.”
“Sungguh mati aku berkata yang sebenarnya!”
Dungkul agak takut juga mendengar ancaman itu.
“Kalau memang betul, kau nanti dapat tambahan
uang lagi. Tapi aku ingin dulu mencoba orang itu.”
Si wajah bengis pergi ke pemilik warung untuk
meminta tambahan minuman tuak dan secara cepat
matanya mengerdip ke pemilik warung mengisyaratkan
sesuatu.
Pemilik warung sambil menyiapkan semangkuk
tuak harum cepat ia menuangkan sebungkus tepung
putih ke dalam mangkuk minuman itu. Kemudian
disertai senyuman penuh arti ia menyodorkan
mangkuk itu.
Si wajah bengis sekali lagi meringis dan melirik ke
arah orang baru itu. Sambil menimang-nimang dua
mata logam bulat itu ia membelakangi meja kayu
pemilik warung dan sejenak ia berdiri menghadap ke
arah orang baru itu, seolah-olah sedang menaksir
jarak antara mereka.
Tiba-tiba ia mengibaskan tangan kanannya dan
seleret sinar putih menyambar ke arah orang baru itu
yang tengah asyik menikmati kopi panasnya! Orang-
orang di dalam warung serentak terpekik menyaksikan
peristiwa itu, sebab mereka mengenal siapa Garang
Segara, pendekar tanpa tandingan kaki tangan
gerombolan bajak laut Iblis Merah.
Sinar yang menyambar itu seolah-olah sudah
hampir mengenai kepala orang baru tadi, tapi dengan
tenangnya ia memiringkan kepala ke kanan dan sinar
tadi menabrak tiang kayu.
Traak!
Serempak orang-orang melongo melihat pada tiang
kayu itu. Sebuah mata uang logam telah menancap
hampir separo lebih ke dalam kayu! Orang baru yang
tidak menyangka hal ini juga merasa kagum dengan
ilmu kepandaian si wajah bengis.
“Sungguh hebat tenaga dalam orang ini, untungnya
aku masih sempat menghindari permainan mata
uangnya.” Orang baru berkumis kecil ini, bersukur
dalam hatinya dan sebutir keringat menetes dari
dahinya.
“Ha, ha, ha. Hebat! kau memang hebat orang baru!
Kalau mata uangku yang pertama dapat kau elakkan,
sekarang cobalah dengan yang kedua ini!” seru Garang
Segara sambil menimang-nimang mata uang logam
yang kedua.
“Jangan, Kisanak. Jangan kau ulangi permainanmu
itu. Aku kuatir yang kedua ini akan benar-benar
mengenaiku!”
Si orang baru ini tidak lain adalah Mahesa Wulung
berkata sambil memperlihatkan wajah yang
tampaknya takut setengah ketololan itu, sehingga
membikin Garang Segara semakin kesenangan.
“Ha, ha, ha, ha, kau takut, orang baru? Kalau kau
berani menghindarkan lemparan mata uangku itu
berarti kau sudah langsung menantangku!”
“Tidak, Kisanak. Itu tadi adalah secara kebetulan
sekali aku terhindar dari lemparan mata uangmu dan
aku tak bermaksud sama sekali menantangmu!”
“Persetan! Aku tak perduli dengan ocehanmu itu.
Kalau mata uangku yang pertama sudah meleset
mengenaimu, maka setidak-tidaknya kau pasti
mempunyai sedikit ilmu ketangkasan juga. Nah,
sekarang bersiap-siaplah untuk menyambut mata
uangku yang ke dua ini.”
Selesai dengan kata-katanya itu, sekali lagi Garang
Segara mengibaskan tangannya dan seleret sinar putih
sekali lagi melayang ke arah Mahesa Wulung.
Tetapi untuk yang kedua ini tampaknya Mahesa
Wulung tidak menunjukkan tanda-tanda mengelakkan
sinar yang menyambar ke arahnya. Ia hanya
menggerakkan tangannya ke arah pinggang dan hanya
terdengar suara benda dicabut, “sraat!”, kemudian
disusul bunyi benda beradu berbareng dengan
terpotongnya sinar yang menyambar itu oleh sebuah
sinar yang lain.
Semuanya itu terjadi dalam waktu yang pendek
sehingga orang-orang di dalam warung itu termasuk
Garang Segara sendiri tercengang heran melihat sinar
berputar dari tangan Mahesa Wulung.
Bersamaan bunyi berdenting, semua orang melihat
ke arah lantai dan terlihatlah di atas lantai itu, uang
logam milik Garang Segara, tetapi kini terbelah
menjadi dua bagian seolah-olah dipotong oleh benda
yang tajam! Dari arah lantai itu, semua pandangan
mata kemudian beralih ke arah Mahesa Wulung yang
dengan cepat tetapi tenang memasukkan kembali
pedang di tangannya ke dalam sarungnya kembali.
“Huh, untunglah aku tidak membawa cambuk
pusakaku si Naga Geni dalam penyamaranku ini. Jika
tidak aku tinggal di perahu, pastilah setiap orang akan
segera mengenalku sebagai Barong Makara!”
Mata Garang Segara hampir-hampir tak percaya
melihat mata uang logamnya terbelah menjadi dua
oleh sabetan pedang Mahesa Wulung.
“Harap dimaafkan, Kisanak. Itu tadi salah satu
permainan pedangku yang terburuk. Mudah-mudahan
ia tidak mengejutkanmu!” Mahesa Wulung berkata
pelan sambil menyeruput air kopinya kemudian
disusul tangannya mencomot juadah untuk
dimakannya.
Garang Segara menyembunyikan kekagetannya dan
ia segera mendekati Mahesa Wulung sambil membawa
semangkuk tuak yang tadi telah dipesannya dari
pemilik warung itu.
“Maaf, Tuan. Semuanya tadi adalah permainan
untuk sekedar menghibur orang-orang pengunjung
warung ini. Aku tak pernah benar-benar bermaksud
mencelakaimu. Nah, izinkanlah aku duduk bersama
Tuan!”
“Boleh, silahkan. Aku tak keberatan Kisanak duduk
di sini,” jawab Mahesa Wulung ramah.
“Perkenalkan aku Garang Segara dari Karimata.”
“Saya Wulung, petualang samudra tak bertempat
tinggal,” ujar Mahesa Wulung.
“Adakah kepentingan Tuan untuk berlabuh dan
mengunjungi pulau ini?” Garang mulai menyelidik.
“Ah, saya hanya dagang kecil-kecilan dan tidak ada
maksud-maksud lain. Apa salahnya seperti aku ini
orang petualang samudra yang gemar melihat
keindahan pulau-pulau yang tersebar di nusantara ini,
untuk berlabuh disini?”
“Syukurlah kalau demikian. Dan untuk
ketangkasan Tuan Wulung yang hebat tadi izinkanlah
aku menyuguhkan untuk Anda semangkuk tuak
harum yang tiada tandingannya!” Garang Segara
menyodorkan semangkuk tuak untuk Mahesa Wulung
sementara ia sendiri menikmati semangkuk tuak pula.
Mahesa Wulung yang tidak menyangka sama sekali
kelicikan Garang Segara yang berkedok keramahan
itu, dengan tanpa curiga sedikitpun mulai mengangkat
semangkuk tuak itu, dan ia mulai meminumnya.
Sesaat kemudian tampaklah perubahan pada wajah
Mahesa Wulung setelah ia meminum tuak itu. Kelopak
matanya meredup dan tampak seperti orang
mengantuk, sedang mulutnya beberapa kali menguap.
“Heh, heh, apakah Tuan merasa mengantuk?”
Garang Segara bertanya disertai mulutnya yang
menyeringai kepuasan.
“Ya..., aku mengantuk... aku ingin tidur rasanya....”
Mahesa Wulung berkata terputus-putus, sebab ia
sudah tak kuat lagi menahan kantuknya, maka sesaat
kemudian ia merebahkan kepalanya ke atas meja dan
mulai tidur kepulasan.
“Bagus, obat tidur itu sudah mulai bekerja dengan
sempurna. Nah, sebentar lagi ia akan mampus di
tangan Lanun Sertung!” Garang Segara berpikir cepat.
“Hee, kawan-kawan. Tolonglah sahabatku ini. Bawalah
ia ke kamar tidur kepunyaanku!”
Dua orang dari keempat kawan Garang Segara yang
tadi berjudi bersama Dungkul bangkit dari duduknya
dan cepat mereka menggotong tubuh Mahesa Wulung
untuk dibawanya ke dalam sebuah kamar.
Pelayan tua yang mengikuti semua kejadian tadi
sambil memegang tongkatnya, cepat menyelinap keluar
dari warung. Pemilik warung itu sendiri agak heran
mula-mula, tapi akhirnya iapun maklum bahwa
pelayannya yang tua itu sering berkelakuan yang aneh,
yang kadang-kadang sukar dimengerti olehnya.
Sementara itu kedua orangtua menggotong tubuh
Mahesa Wulung masuk ke dalam sebuah kamar diikuti
oleh Garang Segara di belakangnya. Kamar itu agak
luas dalamnya. Sebuah meja kayu dan dua buah kursi
terletak menghadap pintu dan di sebelahnya, merapat
pada dinding terdapat sebuah balai-balai beralasan
tikar anyaman berwarna-warni. Kalau orang masuk ke
dalam kamar ini, pastilah perhatiannya akan tertarik
pada balai-balai dari kayu yang mempunyai kaki
besar-besar yang jarang sekali tandingannya. Sedang
seluruh lantai itu terdiri dari batu-batu padas yang
dipotong lebar-lebar tipis empat persegi panjang.
“Sekarang cepat geser ke samping balai-balai ini!”
terdengar Garang Segara memerintah kedua anak
buahnya.
Setelah mereka menggeletakkan tubuh Mahesa
Wulung di lantai, kedua orang ini lalu menggeser balai-
balai kayu dan kemudian keduanya membungkuk ke
lantai serta menggeser sebuah di antara lantai-lantai
batu padas ini. Akhirnya dengan sedikit payah berhasil
pulalah mereka menggesernya. Ternyata dasar lantai
yang digeser tadi merupakan sebuah lubang yang
masuk ke dalam tanah.
“Nah, kini bawalah dia turun ke dalam gua.”
Sekali lagi Garang Segara menyuruh kedua anak
buahnya menggotong tubuh Mahesa Wulung turun ke
dalam gua di bawah tanah itu. Dan ia sendiri sebelum
turun ke lubang itu, kembali memanggil seorang anak
buahnya yang masih duduk-duduk di warung untuk
menggeser kembali balai-balai tadi.
Ketiga orang yang kini berada di dalam ruangan gua
di bawah tanah itu cepat-cepat memasang obor, dan
ruangan itu sekejap menjadi terang-benderang.
Ruangan itu tidak begitu luas dan cahaya obor itu
menerangi sebuah jalan terowongan yang memanjang.
Sebuah lubang di langit-langit terowongan yang dibuat
dengan ruas-ruas bambu rupa-rupanya menembus
sampai ke permukaan tanah sehingga udara segar
mengalir ke dalam terowongan di bawah tanah itu.
“Dia harus kita bawa ke sarang kita di Lembah
Maut,” kata Garang Segara kepada kedua orang anak
buahnya yang sedang bersiap-siap menggotong
kembali tubuh Mahesa Wulung.
“Mengapa tidak kita bereskan di sini saja, dia?”
bertanya salah seorang anak buah Garang Segara
“Tidak! Ia harus kita tangkap hidup-hidup.
Begitulah perintah Lanun Sertung kepada kita. Nanti
dia sendirilah yang akan menghabisi nyawa si Barong
Makara ini. Dan jangan lupa, untuk ini kita bakal
menerima upah yang cukup besar dari pemimpin kita!”
Garang Segara meringis dan kemudian ketiganya
tertawa cekakakan. Tetapi ketawa mereka terhenti
sebab tiba-tiba dari mulut Mahesa Wulung terdengar
suara keluhan dan tubuhnya mulai bergerak-gerak.
“Celaka, ia mulai sadar!” seru salah seorang anak
buah Garang Segara.
“Tidak, tak mungkin ia sadar. Obat itu bekerja
sampai besok pagi. Kalian tak perlu khawatir dan biar
aku yang akan membuatnya pulas kembali!” Garang
Segara tampak mengepal-ngepalkan jari-jarinya sambil
menatap tajam ke arah Mahesa Wulung. “Dan
sekarang tegakkan dia baik-baik!”
Kedua orang itu segera memapah tubuh Mahesa
Wulung sampai setengah tegak berdiri di atas lantai
terowongan.
“Awas, peganglah tubuhnya erat-erat!” teriak
Garang Segara. Berbareng dengan itu ia melayangkan
kepalan tangan kanannya. “Praak!” Dagu Mahesa
Wulung kesambar jotosan Garang Segara sampai
kepala pendekar ini terhempas ke belakang. “Buk!”
Disusul tangan kiri Garang Segara bersarang ke perut
Mahesa Wulung sehingga tubuhnya kembali meliuk ke
depan seperti cacing kepanasan. Kemudian sekali lagi
“Prak” mulut Pendekar Mahesa Wulung menjadi
sasaran. Darah merah mengalir dari bibirnya yang
tersobek. Setelah itu disusul lagi beberapa jotosan
yang membuat tubuh Mahesa Wulung merosot ke
bawah dan tidur pulas kembali tapi pada wajahnya
kini dihiasi oleh bengkak-bengkak kecil kebiruan serta
goresan-goresan merah.
“Dia tidur kembali sekarang.”
Ketiga orang ini sekali lagi tertawa riuh sampai
mengumandang di segenap ruang terowongan, persis
ketawa setan yang mendapat korban.
“Nah, sekarang cepat kita bawa ia ke sarang kita!”
Maka ketiganya membawa seolah-olah tak ada
akhirnya.
***
Sementara itu suasana di dalam warung masih
tetap ramai dan si pemilik warung sibuk menghitung
uang dagangannya. Ia memakai baju berlengan
panjang dan berkumis serta jenggotnya tampak kaku.
Meski wajahnya kelihatan ramah, namun sinar
matanya tajam seperti serigala dan membayangkan
kebengisan.
Saking keasyikan ia menghitung duitnya itu, tak
sadar bahwa seseorang telah datang dan berdiri di
muka mejanya.
“Maaf Tuan, izinkanlah aku mengganggu sebentar.”
Pemilik warung terperajat, tapi ia cepat tersenyum
lebar.
“Ooo, kau Lodan. Stt, bagaimana dengan obat
tidurku tadi? Apakah ia cukup baik kerjanya?”
“Luar biasa, Tuan. Ia bekerja dengan sempurna.
Dan kini si petualang samudra Barong Makara di
tengah perjalanan ke Lembah Maut dalam keadaan
tertidur pulas.”
“Ha, ha, ha, aku turut merasa senang dengan
tertangkapnya si Barong Makara. Oleh sebab itu, nih
terimalah uang ini sekedar sebagai rasa gembiraku.”
Tangan si pemilik warung menyodorkan beberapa
mata uang logam di atas meja dan oleh Lodan cepat-
cepat dipungutnya serta pindah ke dalam ikat
pinggangnya.
“Terima kasih Tuan, terima kasih.”
Tiba-tiba mereka dikejutkan sesosok bayangan yang
meleset ke dalam warung itu sampai menimbulkan
kegaduhan sejenak. Sedang si pemilik warung sendiri
begitu menatap orang yang baru datang itu seketika
membelalak saking heran bercampur kaget melebihi
sebuah halilintar yang menyambar di sampingnya.
Berkali-kali matanya dikedip-kedipkan seakan-akan ia
tak mau percaya dengan apa yang dilihatnya! Seorang
laki-laki berkedok biru dengan gambar Makara Kuning
emas dan pada tangannya tergenggam sebatang
cambuk menyala biru kehijauan!
“Barong Makara!” cetus si pemilik warung.
Yang lebih kaget lagi ialah si Dungkul tadi, sebab
jelas ia telah melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa si petualang samudra yang tidak lain adalah
Barong Makara telah mereka tangkap. Tapi kini Barong
Makara muncul kembali bahkan lengkap dengan ciri-
ciri khusus Pendekar Barong Makara sendiri, terutama
dengan cambuk Naga Geni yang menyala biru
kehijauan. Itu lebih meyakinkan bahwa yang baru
datang ini adalah Barong Makara yang asli. Kalau
begitu siapakah orangnya yang telah mereka tangkap
tadi?
Belum lagi mereka selesai dengan hatinya yang
bergelut dan penuh pertanyaan terhadap pendekar
yang baru muncul ini, tiba-tiba tamunya telah
bertanya lebih dulu.
“Hee, kau Dungkul! Aku tahu sahabatku si
petualang samudra telah datang ke warung ini, tapi
sekarang tak kulihat batang hidungnya lagi. Di mana
dia sekarang?! Kau sebagai anak buahnya pasti tahu!”
Mendengar pertanyaan si pendekar berkedok ini,
Dungkul yang telah merasa berbuat curang kepada si
petualang samudra yang tidak lain adalah Mahesa
Wulung, dengan sendirinya menjadi pucat ketakutan.
Peluh dingin mulai menitik dari dahinya.
“Tidak! Aku tidak tahu kalau dia di sini!” teriak
Dungkul semakin ketakutan ketika tangan pendekar
itu dilihatnya mulai menggerak-gerakkan cambuknya.
Sedang dua orang teman berjudinya yang duduk di
samping Dungkul saling berpandangan seolah-olah
saling bertanya apa yang bakal dilakukannya. Seorang
di antaranya menurunkan tangannya di bawah meja
dengan gerak lamban yang tidak mencurigakan. Tetapi
sekejap kemudian tangan itu telah menggenggam
sebatang pisau belati panjang siap dilemparkan ke
arah pendekar berkedok.
Hanya sayang, orang ini belum tahu siapa dia
pendekar berkedok itu. Karena dengan gerakan yang
sukar dimengerti kecepatannya, tangan pendekar
berkedok telah menggerakkan cambuknya yang
meluncur ke arah tubuhnya seperti seekor naga dan
tahu-tahu “Taarr!”, pisau belatinya terbetot lepas dari
genggamannya dan kemudian terpelanting menancap
di dinding kayu warung itu.
“Awas, jangan mencoba bermain-main dengan
saya!” bentak pendekar berkedok keras-keras.
Si pemilik warung segera berbisik kepada Lodan
yang masih berdiri di sampingnya, “Stt, Lodan,
cepatlah kau usir orang berkedok itu. Aku akan keluar
dari warung ini. Hadapilah dia bersama-sama sekuat
tenaga. Tunjukkan bahwa kau anak buah Lanun
Sertung yang baik!”
“Baik, Tuan. Kami akan menghadapinya, jangan
kuatir,” ujar Lodan meyakinkan dan si pemilik warung
mengangguk puas, kemudian pergi menyelinap
meninggalkan warung itu.
“He, pengecut berkedok! Kau jangan membuat
keonaran di sini, tahu! Sebaiknya cepat-cepat kau
tinggalkan tempat ini sebelum kami semua terpaksa
melemparkan kamu keluar dari warung ini!” Lodan
berseru dengan garangnya sambil memberi isyarat
kepada Dungkul serta kedua orang temannya.
“Ha, ha, ha, aku bukan anak kecil yang harus kau
takuti dengan ancaman itu!” ujar pendekar berkedok
setengah mengejek kepada Lodan dengan kawan-
kawannya.
“Baik! Kau memang jantan dengan ucapan-
ucapanmu itu, tapi belum tentu kau mampu
menghadapi permainan pedangku dari perguruan Mata
Iblis! Nah, bersiaplah menyambut ajalmu!” Lodan
dengan kecepatan luar biasa menghunus pedangnya
dan mulai melancarkan serangannya yang pertama.
Pedangnya menebas miring ke arah dada pendekar
berkedok.
“Jurus angin menyapu ombak!” desis pendekar
berkedok melihat pedang lawannya menebas ke arah
dadanya dengan sambaran angin yang hebat. Namun
ia pun tak kalah cepatnya untuk melompat mundur
satu langkah, sampai pedang lawan mengenai tempat
kosong. Terdengar Lodan mengumpat melihat
serangan pertamanya gagal.
Pendekar berkedok dengan lincah dan cepat melesat
keluar dari warung itu.
“Haai, pengecut berkedok, mau lari ke mana, kau?!”
berteriak Lodan sambil mengejarnya keluar dari
warung itu, diikuti oleh Dungkul dan kedua orang
temannya yang lain.
“Ha, ha, ha, aku tak pernah melarikan diri dari
musuh-musuhku. Aku cuma ingin tempat yang lebih
luas agar permainan cambukku ini bisa leluasa!”
pendekar berkedok tertawa menjengkelkan keempat
musuhnya! Pengunjung-pengunjung warung lainnya
berlompatan ke luar warung.
Kini terjadilah di halaman warung itu pertempuran
hebat dengan disaksikan oleh para pengunjung
warung serta beberapa penduduk di situ. Pendekar
berkedok memutar cambuknya seperti kitiran
berpusaran dan sebentar-sebentar menyerang
lawannya.
Lodan dalam beberapa jurus saja sudah mulai
mengeluh menghadapi pendekar berkedok itu. Namun
iapun sudah bertekad untuk bertempur sekuat
tenaganya. Sekonyong-konyong sebuah sabetan
cambuk Naga Geni meluncur ke arah kepalanya.
Lodan cepat menangkis dengan putaran pedangnya,
meskipun ia sadar bahwa itu tidak akan banyak
menolongnya. Ternyata benar dugaannya, pedangnya
kena terbentur oleh ujung cambuk Naga Geni dan
Lodan terpental seperti disambar petir dan pedangnya
terlepas dari tangan. Sekali lagi Lodan cepat bangun
sambil melemparkan sesuatu yang baru diambilnya
dari ikat pinggangnya.
Pendekar berkedok cukup waspada, begitu puluhan
jarum berbisa melayang ke arah tubuhnya, ia cepat
mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan tubuhnya
melesat ke atas berjumpalitan di udara. Maka puluhan
jarum berbisa itu lewat di bawah tubuhnya laksana
hujan deras. Dan sejurus, terdengarlah satu jeritan
lagi. Ternyata dua orang anggota bajak lain yang
menjadi lawan pendekar berkedok itu, berebahan ke
tanah. Tubuhnya berubah menjadi hijau kepucatan
dan matilah mereka.
Begitulah, senjata rahasia kawannya telah
merenggut nyawa mereka sendiri. Jarum-jarum
berbisa meminta nyawa! Melihat hal ini, Dungkul
sudah tak sabar lagi. Ia benar-benar kehilangan
pengamatannya sambil mengerahkan segenap tenaga
simpanan, pedangnya diputar mematuk-matuk ke
arah pendekar berkedok yang telah siap berdiri tegak
dan memegang cambuk Naga Geninya. Pendekar
berkedok ini masih berdiri tegak mengawasi tajam
semua tingkah Dungkul yang memamerkan ilmu
pedangnya. Berbareng Dungkul menyerbu ke arah
pendekar berkedok, lawannya ini telah pula memutar
cambuknya ke arah Dungkul untuk menyambut
serangannya. Maka sejurus kemudian terjadilah dua
benturan senjata beradu yang masing-masing telah
digerakkan oleh dua tenaga berkekuatan tinggi.
Sebetulnya putaran pedang di tangan Dungkul
berhasil membabat cambuk Naga Geni, tetapi anehnya
cambuk ini seolah-olah terbuat oleh anyaman baja,
sehingga ia tidak putus tetapi hanya bergetar saja.
Kemudian Dungkul tak dapat mengelak lagi ketika
ujung cambuk itu menjegat kepalanya. Satu jeritan
ngeri kesakitan menggetarkan halaman warung.
Orang-orang di situ terpekik pula dan melongo ketika
mereka melihat tubuh Dungkul terbanting ke tanah
dengan kepala yang hangus seperti disambar petir dan
mulutnya melelehkan darah kematian, hitam kental.
Pendekar berkedok cepat memutar tubuhnya untuk
menghadapi Lodan si pelempar jarum berbisa. Tetapi
Lodan sendiri bukanlah orang yang bodoh jika ia
masih berdiri di situ. Sebab ketika tubuh Dungkul
terbanting ke tanah dengan kepala hangus, ia telah
lebih dulu mengambil langkah seribu, menerobos
pagar-pagar manusia yang menonton pertempuran
tersebut. Beberapa orang penonton yang tidak
menduga hal ini terpaksa terdesak, terhempas jatuh
menimpa teman-temannya di sebelah, sehingga
mereka pun jatuh terjengkang ke tanah. Terdengar
makian bercampur merintih berbareng, namun hal itu
sudah tak terdengar oleh Lodan yang telah lari dan di
sebuah belokan jalan, tubuhnya sudah lenyap di
sebuah semak-semak ilalang. Betapa marahnya si
pendekar berkedok melihat lawannya telah lari dari
tangannya, terbayang pada sorotan matanya yang
tajam. Dan ketika pandangannya terpaku pada orang-
orang yang masih berkelesetan di tanah akibat
tubrukan dari tubuh Lodan tadi, pendekar berkedok
cepat mendatangi mereka.
“Hmm, memang licik musuhku tadi. Ternyata ia
tidak lari begitu saja, tapi masih sempat menotok jalan
darah orang-orang ini!” terdengar ia menggeram.
Pendekar ini cepat-cepat menolong mereka dan
ketiga orang yang terbaring di tanah separo lumpuh itu
segera diurut-urut jalan darahnya, agar beredar
kembali dengan lancar. Sebentar kemudian tampaklah
mereka ditolong oleh kawan-kawannya untuk berdiri
dan berhasil! Mereka sempat mengucapkan rasa
terima kasihnya, pendekar berkedok telah meleset
masuk ke dalam warung. Orang-orang tadi tak ada
yang berani bergerak, sebab mereka di samping kagum
bercampur takut, mereka memang tak ingin mencoba
mengganggu maksud-maksud si pendekar berkedok.
Mereka yakin bahwa orang ini bukanlah orang jahat.
Setelah beberapa saat mereka berdiri di luar warung
itu, tampaklah pendekar berkedok melangkah keluar
dari dalam warung. Sekali lagi mereka dibuat terkejut
oleh melesatnya tubuh si pendekar meninggalkan
tempat itu sambil berseru dengan nyaring!
“Maaf para Kisanak, aku tak sempat berkenalan
dengan kalian. Lain kali kita ketemu lagi. Selamat
tinggal.”
Terdengar suara itu mengumandang dan kemudian
semakin lemah lalu lenyap bersama tubuh si pendekar
berkedok yang menerabas semak ilalang.
Semuanya seakan-akan terpaku dengan kejadian
yang baru saja berlalu di hadapan mata mereka.
Selama ini tak seorang pun berani menentang orang-
orang dari kawanan Iblis Merah, tetapi hari ini mereka
menyaksikan seorang pendekar berkedok telah
menewaskan dan menentang mereka. Ah, mereka
bersukur kepada Tuhan bahwa seseorang telah berani
merintis, melawan kejahatan. Tetapi siapakah
pendekar berkedok tadi? Tak seorang pun yang
mampu menerkanya, sebab pendekar aneh tadi
memang baru kali ini muncul di tempat tersebut.
***
EMPAT
DI PAGI buta itu embun masih mengembang di
udara dengan pekat. Di sebuah jalan kecil yang
menuju ke sebuah bukit, seorang laki-laki tampak
berjalan tergesa-gesa dan sebentar-sebentar ia
menoleh ke belakang seperti takut diketahui orang
atau memang ia takut akan sesuatu yang
mengejarnya. Jalan yang dilaluinya itu terlindung di
bawah semak-semak bambu dan ilalang sehingga ia
sedikit merasa aman.
Ketika ia baru saja melewati rumpun pohon pisang,
tiba-tiba terasa jari-jari tangan kokoh yang
mencengkam tengkuknya.
“Berhenti kau, Lodan!”
Sebuah teriakan nyaring terdengar membuat
hatinya serasa terbang. Orang tadi memejamkan mata
ketika tangan yang kokoh mencengkam tengkuknya.
Dan ia sudah membayangkan bahwa pendekar
berkedok telah berada di belakangnya siap mengambil
nyawa.
“Di mana kawan-kawan yang lain?!” terdengar
sekali lagi suara nyaring di belakangnya.
Mendengar suara ini Lodan menarik napas lega.
hatinya tenang kembali seperti disiram oleh seember
air sendang. Ya, ia sudah mengenal suara di
belakangnya ini dan telah bertahun-tahun ia
menghadapinya. Oleh sebab itu ia serentak menoleh ke
belakang.
“Oooh, Bapak?!”
Di belakangnya ternyata adalah pemilik warung
yang pada tangan kirinya menggenggam sekantung
uang penuh padat.
“Lekas jawab, di mana kawan-kawan yang lain?!”
“Ampun, Pak. Mereka bertiga tewas dalam melawan
pendekar berkedok di halaman warung...,” ujar Lodan
setengah merengek. Hatinya berdebar-debar sebab ia
sadar, bahwa dua orang kawannya telah tewas akibat
senjata jarum bisanya.
“Bagus. Kali ini kau masih kuampuni, setan! Ayo
kita cepat meninggalkan tempat ini. Pasti kawan-
kawan kita telah menunggu di Lembah maut!”
Lodan tak berani berkata-kata lagi kecuali
mengikuti langkah-langkah si pemilik warung yang
menanjak ke arena bukit yang dipenuhi oleh batu-batu
besar bertonjolan setengah terpendam di dalam tanah.
Begitu banyaknya, bagaikan setan-setan penjaga
bukit, ditambah lagi beberapa batang pohon mati yang
cabangnya bergerak-gerak tertiup angin menambah
seramnya tempat itu.
Maka pantaslah bila tempat tersebut disebut
Lembah Maut dan orang-orang di pulau ini tak seorang
pun yang berani mencoba menginjaknya. Setelah
kedua orang ini melewati kira-kira dua kali setinggi
manusia, mereka mulai mengikuti jalan menurun ke
Lembah Maut itu. Segera tampaklah beberapa gubuk
kecil beratap ilalang di bawah sebuah batang pohon
kering yang berdiri megah merajai Lembah Maut.
Kedua orang ini disambut oleh seorang laki-laki
berwajah garang.
“Selamat datang di Lembah Maut, Bapak.”
“Terima kasih, Garang Segara,” ujar si pemilik
warung minum sambil mengelus-elus kumis ijuknya.
“Di mana tamu kita, si petualang samudra, sekarang
ini?”
“Dia baru beristirahat di sana, Bapak,” kata Garang
Segara sambil menunjuk ke arah sebuah batu hitam
besar yang permukaannya datar dan licin sedang di
sekelilingnya terdapat pula beberapa batu serupa yang
lebih kecil. Sepintas lalu orang akan membayangkan
seperti meja besar yang dikelilingi oleh kursi-kursi
batu.
Si pemilik warung segera mendekati batu meja yang
besar itu, karena di atasnya terbaringlah sesosok
tubuh. Ternyata itulah Mahesa Wulung terbaring
dengan tangan dan kakinya, terikat oleh tali-tali. Meski
sinar matanya tajam mengawasi orang yang mendekat
itu, namun ia tak dapat menggerakkan tubuhnya sama
sekali. Memang hebat pengaruh obat tidur yang
terminum olehnya. Tubuhnya terasa lemah lunglai
seperti tak bertulang tak berotot. Mendadak mata
Mahesa Wulung menatap tajam ke arah si pemilik
warung dan di sampingnya berdiri Marangsang.
“Keparat! Rupanya kau berkomplot dengan orang-
orang jahat ini!” desis Mahesa Wulung sambil giginya
gemeretakan menahan marah.
“Ha, ha, ha, lihatlah, Kisanak. Siapa yang kau ajak
bicara ini,” si pemilik warung berkata sambil
menanggalkan baju panjangnya dan kemudian
mengusap mukanya yang penuh garis keriput ketuaan.
“Lanun Sertung!” seru Mahesa Wulung kaget
setelah ia melihat, bahwa si pemilik warung yang
berdiri di hadapannya itu tidak lain adalah Lanun
Sertung sendiri. Orang yang harus dicari dan
ditangkapnya.
“Ha, ha, ha, mengagumkan bukan?” ejek si Lanun
Sertung kepada musuhnya yang tak berdaya lagi.
“Ternyata penyamaranku ini cukup sempurna,
sehingga kau masuk perangkapku! Ha, ha, ha, ha.
Maaf jika sambutanku kurang menyenangkan dalam
kunjunganmu ke Pulau Karimata ini. Tapi itu salahmu
sendiri, jika orang-orang macam kamu berani
mengejar-ngejar Lanun Sertung dengan
gerombolannya. Nah, tunggulah sebagai hadiah
keberanianmu. Siang nanti akan segera habis
riwayatmu!”
“Huh, jangan kau kira anak buahku akan tinggal
diam dengan perbuatanmu ini. Sebaiknya (kau)
membebaskan aku dan menyerah saja!” kata Mahesa
Wulung dengan tenang. “Akan kuampuni dosamu
(yang) telah kelewat banyak!”
“Gila! Kawanan Iblis Merah tak kenal arti kata
menyerah. Mereka hanya kenal semboyan, bertempur
sampai mati. Kau lihat, biarpun anak buahku habis
binasa di Tanjungpinang, dan kini tinggal lima belas
orang saja, tetapi mereka cukup berani kalau hanya
menghadapi anak buahmu!” Lanun Sertung berhenti
sejenak dengan kata-katanya, namun matanya terus
menatap tajam ke arah Mahesa Wulung. “Aku punya
usul, Kisanak. Bagaimana jika Anda bekerja saja
untukku?”
“Kurang ajar! Kalau kau menghendakinya, aku pun
bersedia untuk membinasakanmu!” Mahesa Wulung
merasa puas dengan kata-katanya yang tajam. “Kau
harus menebus kematian ayahku yang telah kau
tewaskan di Selat Karimata, pada belasan tahun yang
lalu.”
“Ya, ya, aku sudah tahu hal ini. Justru itulah kami
sudah bersiap-siap menyambutnya. Nah, kalau Anda
memang benar-benar putera Sorengyudo yang telah
terkubur di bawah laut sana, maka kematianmu tidak
perlu ditunda-tunda lagi. Sekarang juga kau harus
mampus!” Lanun Sertung berseru sambil menghunus
pedangnya siap dibacokkan ke tubuh musuhnya yang
tergeletak di batu.
Melihat hal ini, Mahesa Wulung benar-benar
kehilangan akal, apa yang harus diperbuatnya? Tiba-
tiba tanpa diduga oleh siapa saja, sebuah pondok telah
termakan api, berderak-derak bunyinya.
“Hee, cepat siram dengan air!” perintah Lanun
Sertung keras-keras. “Ayo, padamkan!”
Serentak orang-orang Iblis Merah sibuk mencari air
untuk memadamkan pondok ilalang yang terbakar itu.
Langkah-langkah kaki simpang siur membuat suasana
makin membingungkan pandangan mata. Belum lagi
api terpadamkan, mendadak satu pondok yang lainnya
terbakar pula. Kalau tadi Lanun Sertung hanya
memberi aba-aba saja, kini ia sendiri turut sibuk
memadamkan api yang berkobar-kobar.
Dengan begitu untuk sementara mereka
membiarkan Mahesa Wulung yang terikat tubuhnya
itu, sendirian menggeletak di atas batu, tanpa ada
yang menjaganya. Mereka seperti lupa bahwa
tawanannya adalah Mahesa Wulung, seorang pendekar
dari armada Demak yang terpilih dalam tugas-tugas
yang berbahaya. Dan lagi, (bagi) setiap gerombolan
hitam, nyawa Mahesa Wulung berharga ratusan mata
uang emas.
Di saat nyala api makin berkobar, dari sela-sela
batang-batang pohon tua yang kering meloncatlah satu
bayangan ke arah tempat Mahesa Wulung terikat.
Gerakannya lincah bagaikan hantu, lebih-lebih sosok
tubuh ini berpakaian putih-putih. Mata Mahesa
Wulung terbeliak ketika orang ini tiba di dekatnya.
“Bapak pe... la...,” kata-katanya terputus.
Namun orang ini cepat menyambungnya, “Ya, ya
akulah pelayan warung seperti yang pernah Tuan
jumpai di warung itu,” kata orang yang tua ini dengan
ramahnya. Ia mengenakan sebuah caping pada
kepalanya dan tangan kanannya menggenggam sebuah
tongkat lurus sepanjang satu depa.
“Maaf, Angger. Sekarang bukan saatnya kita
berceritera panjang lebar. Aku harus menyelamatkan
Angger dari tangan-tangan jahat mereka,” ujar orang
tua ini sambil menarik pangkal tongkatnya.
Luar biasa, ternyata tongkat itu adalah sebilah mata
pedang yang tajam pada kedua belah sisinya. Tanpa
memakan waktu yang lebih lama, ujung pedang orang
tua itu telah memutus tali-tali pengikat tubuh Mahesa
Wulung.
“Maaf, Bapak, aku tak dapat berlari cepat karena
pengaruh obat yang meracuni tubuhku belum pun
sama sekali!” berkata Mahesa Wulung pelan sambil
menggerak-gerakan tubuhnya yang telah bebas dari
ikatan tali-tali.
“Jangan kuatir, Angger,” orang tua tadi berkata
penuh hormat. “Kalau Angger tak mampu berjalan
jauh, biar bapak yang akan menggendongmu!”
“Ah, tidak, Bapak. Terima kasih. Itu tak mungkin
kulakukan, sebab Bapak lebih tua dan aku senantiasa
menghormati orang tua.”
“Janganlah segan-segan, Angger. Aku menghormati
sikapmu itu. Tapi dalam keadaan yang segenting ini
dan juga mengingat keadaan tubuhmu, maka tak ada
salahnya jika aku menggendongmu lari dari tempat
ini.”
Belum lagi mereka beranjak dari tempat itu,
sekonyong-konyong dari gumpalan asap api muncullah
satu bayangan menuju ke tempat mereka.
“Nah, Angger, apa kataku tadi? Kita harus cepat-
cepat pergi dari tempat ini. Lihatlah, bahaya yang lain
sedang mengancam kita.” Orang tua ini cepat-cepat
bersiaga menanti bayangan yang mendatang.
“Garang Segara!” desis Mahesa Wulung sambil
menatap bayangan orang yang baru muncul dan kini
berdiri di hadapan mereka.
Si wajah bengis ini pada ikat pinggangnya
menyelipkan dua buah pedang dan mata Mahesa
Wulung yang tajam segera dapat mengenal, bahwa
salah satu di antara kedua pedang itu adalah
pedangnya sendiri, hadiah pemberian Pendekar
Prahara dari Tanjungpinang!
“Hmm, mereka merampas pedangku ketika aku
jatuh tak sadar di warung, namun bagaimanapun juga
ia harus kembali ke tanganku!”
Betapa kagetnya hati Garang Segara ketika ia
melihat seorang tua telah melepaskan ikatan tali-tali
pada tubuh Mahesa Wulung, maka secepat kilat ia
menghunus pedangnya dan menyerbu ke arah mereka.
“Hee, kau tua bangka bercaping,” bentak Garang
Segara sambil mengacung-acungkan pedangnya ke
arah muka si orang tua. “Kau rupanya ingin mampus
bersama Barong Makara ini! Nah, bersiaplah untuk
menerima kematianmu!”
Dengan tebasan pedang yang hebat mengagumkan,
Garang Segara menyerang si orang tua, namun
lawannya ini hanya menggerakkan pedangnya sedikit
dan saking cepatnya seolah-olah tampak sebagai
kilatan sinar yang menyambar perut Garang Segara.
“Waak!” satu suara benda terobek disusul jerit ngeri
terlontar dari mulut Garang Segara yang tubuhnya
sesaat tampak kejang tetapi kemudian jatuh berguling
ke tanah dengan darah merah menyemprot dari
perutnya.
Mahesa Wulung ternganga heran melihat kehebatan
ilmu pedang orang tua bercaping ini. Benar-benar lebih
hebat dari ilmu pedang Pendekar Prahara yang pernah
dipelajarinya selama ia tinggal di Tanjungpinang.
“Bapak, tolong ambilkan pedangku yang terselip di
ikat pinggang Garang Segara itu. Ia dirampas dari
tanganku ketika aku jauh tak sadar di warung.”
Pendekar tua itu segera memenuhi permintaan
Mahesa Wulung, dan ia melolos pedang yang dimaksud
dari ikat pinggang Garang Segara yang berlumuran
darah.
Bersamaan keduanya beranjak meninggalkan
tempat itu.
Dari arah utara muncullah beberapa sosok tubuh.
Melihat hal ini, si pendekar tua yang menggendong
Mahesa Wulung tak mau lebih lama terlibat di tempat
ini, maka ia cepat-cepat meloncat meninggalkan
tempat itu.
Orang-orang yang baru datang tadi, demi dilihatnya
tubuh Garang Segara tergeletak tak bernyawa dan
kemudian mereka melihat orang yang bergendongan
lari dari tempat itu, mereka serempak berloncatan
menyerbu. Tetapi sayang, mereka terpaksa melongo
keheranan sebab orang yang menggendong itu dengan
lincahnya melompat-lompat dari batu ke batu seperti
hantu, sementara mulutnya mengeluarkan ketawa
yang meringkik menyerikan telinga, sehingga membuat
bulu tengkuk mereka pada meremang ketakutan.
“Hee, goblok kalian! Ayo, kejar mereka!” teriak
Lanun Sertung yang baru tiba di tempat itu.
Demikian pula Marangsang tak menunggu perintah
berikutnya, ia segera mengejar tawanannya yang
dilarikan orang, disusul oleh orang-orang lainnya anak
buah Lanun Sertung. Kejar-mengejar terjadi di jalan
yang menanjak berbatu-batu. Para pengejar itu tak
habis heran menyaksikan sasaran yang dikejarnya.
Keduanya seperti katak bergendongan yang melompat-
lompat ringan tak bersuara. Setiap orang yang
mengejarnya merasakan desakan-desakan bergelut
dalam dada mereka, seakan-akan mau pecah menahan
napas dalam berlari-lari mengikuti jalan yang mendaki
cukup tinggi.
Sesaat kemudian tampaklah oleh mereka sasaran
yang dikejarnya telah melewati pintu gerbang dari batu
besar dan tubuh mereka lenyap di dalam semak-semak
ilalang. Marangsang, Lodan, Lanun Sertung dan anak
buahnya tak berani lagi mengejar mereka, kesemuanya
berhenti di tempat itu.
“Biarkan mereka lari. Hari hampir pagi. Besok kita
cari sampai ketemu, meskipun seluruh pelosok pulau
ini harus kita bongkar!” berkata Lanun Sertung kepada
anak buahnya. “Mari, kita kembali ke sarang.”
***
Dalam hati Mahesa Wulung merasa geli bahwa
sebesar ini ia masih digendong seperti anak kecil. Tak
pernah ia membayangkan bahwa selama hidupnya,
sekali ini ia mengalami hal-hal yang aneh. Seperti
pertemuannya dengan pendekar tua bercaping ini dan
cara larinya yang mengagumkan dapatlah ia segera
mengukur betapa hebatnya tenaga dalam orang tua
yang menggendongnya.
Mereka berdua keluar dari rumpun semak ilalang
kemudian melewati sebuah mata air yang jernih
airnya. Setelah menyusuri sebuah sungai kecil
sampailah mereka pada sebuah dataran yang subur.
Pohon nyiur tumbuh di sana-sini dengan buahnya
bergantungan bulat-bulat besar. Pada sebidang tanah
kecil yang ditanami pohon-pohon jagung, mereka
berdua berhenti. Dari kejauhan terdengar deru ombak
yang memecah di pantai yang letaknya tidak jauh dari
ladang jagung itu.
“Nah, Angger kita telah sampai. Itulah tempat
tinggalku sebuah pondok bambu yang tidak terlalu
buruk.”
Mahesa Wulung turun dari punggung orang tua itu
dan duduklah ia di atas sebuah batu besar di depan
pondok bambu.
“Beristirahatlah Angger sejenak. Bapak akan
mencoba meramu obat untuk menghilangkan racun di
tubuhmu.”
“Terimakasih, Bapak,” ujar Mahesa Wulung
berbesar hati.
Mendadak sebuah bayangan melesat dari semak
pohon jagung dan tepat berdiri mencegat di hadapan
pendekar tua bercaping. Orang ini berkata dengan
lantang, “Bedebah, rupanya kaulah yang menculik
sahabatku ini. Sekarang ia akan kuminta kembali.”
Mahesa Wulung ataupun si pendekar tua bercaping
terkejut bukan main, sebab yang berdiri di hadapan
mereka adalah seorang yang berkedok biru laut
dengan gambar makara kuning emas, sedang pada
tangannya tergenggam sebatang cambuk menyala biru
kehijauan. Yang paling heran adalah Mahesa Wulung
sendiri. Ia melihat pusaka cambuknya Naga Geni
dipegang oleh orang ini. Juga kedoknya pun dipakai
pula. Kalau demikian siapakah dia yang telah berani
memakai semua ciri-ciri khusus yang biasa dipakainya
sebagai Pendekar Barong Makara?
“Nanti dulu, Kisanak yang berkedok,” ujar orang tua
itu dengan ramahnya. “Kau janganlah keliru
pengertian terhadapku. Aku bukan penculik
sahabatmu seperti yang telah kau katakan tadi.
Bahkan akulah yang telah menolong nyawa dan
hidupnya dari keganasan kawan-kawan Iblis Merah
dari Lembah Maut. Untuk meyakinkan kebenaran
kata-kataku ini, Kisanak sendiri boleh menanyakan
kepada sahabatmu itu.”
Pendekar berkedok ini segera berpaling kepada
Mahesa Wulung yang masih duduk di atas batu,
seolah-olah ingin bertanya tentang kebenaran kata-
kata orang tua yang berdiri di hadapannya.
“Kisanak,” ujar Mahesa Wulung memecah
kesunyian. “Memang benarlah semua tutur kata Bapak
ini. Dialah yang menolong diriku dari cengkeraman
orang-orang Iblis Merah.”
“Hmm, jika hal itu benar, aku pun sudah
sepantasnya mengucapkan terima kasih kepada
Bapak. Akan tetapi ia akan tetap kuminta dari tangan
Bapak.”
Ucapan pendekar berkedok ini cukup
membingungkan Mahesa Wulung sendiri. Tak mengira
bahwa dirinya dijadikan bahan rebutan antara dua
orang yang belum dikenalnya. Orang tua bercaping
cuma tersenyum-senyum mendengar ucapan pendekar
berkedok.
“Sabar, Kisanak. Aku tak punya maksud jahat
terhadap sahabatmu ini. Biarlah ia akan kutahan di
sini buat beberapa waktu.”
“Heh, apa kepentinganmu dengan menahan
sahabatku ini di tempat sepi terpencil seperti ini?”
“Aku ingin mengambilnya sebagai muridku,
Kisanak. Dan mewariskan segala ilmuku. Telah lama
aku menginginkan seorang murid dan secara
kebetulan aku menemukan sahabatmu yang teraniaya
ini!”
“Hah, kau berkata ingin mengambilnya sebagai
muridmu? Akan kau ajari apa dia di sini? Oh,
barangkali Bapak ingin mengajari bertanam jagung
atau memanjat kelapa kepadanya? Tak kulihat tanda-
tanda keperkasaan atau keperwiraan pada diri Bapak!”
Sekali lagi pendekar berkedok berkata dengan
tajamnya!
“Memang bapak sudah tua dan hanya seorang
petani saja. Tapi bapak sedikit-sedikit dapat bermain
ini!” Orang tua ini berkata seraya mencabut tongkat
pedangnya dan satu gerakan yang secepat topan ia
menggerakkan tangannya. Seleret sinar putih
menyambar sebatang pohon pisang dan “slaak”,
tongkat pedang itu kembali ke sarungnya.
Pendekar berkedok dan juga Mahesa Wulung tak
berkedip melihat gerakan kilat dari orang tua
bercaping yang hampir-hampir sukar diikuti mata.
Mereka berdua melihat ke arah pohon pisang yang
kena sambar sinar pedang si orang tua, tetapi pohon
pisang ini masih berdiri tegak!
“Ha, ha, ha, Bapak Tua, lihatlah pohon pisang itu
masih utuh. Apakah menebas udara kosong itu yang
akan kau ajarkan kepadanya?” pendekar berkedok
kembali memperolokkan si orang tua bercaping.
“Maaf kalau permainanku telah mengecewakan
Kisanak. Aku pun sangsi apakah pohon pisang itu
masih utuh atau tidak. Maka kiranya tak berlebihan
jika aku meminta tolong kepada Kisanak untuk
memeriksanya!” Meski orang tua itu telah diperolokkan
oleh si pendekar berkedok namun ia sama sekali tak
menunjukkan tanda-tanda kemarahan, bahkan ia
tetap senyum-senyum lucu.
Pendekar berkedok tak sabar tampaknya. Dengan
segera ia memeriksa dan memegang batang pohon
pisang tersebut. Tiba-tiba matanya terbeliak kaget
sebab batang pohon pisang ini mulai terasa bergerak,
kemudian oleng dan akhirnya berguling rebah bersama
daun-daunnya. Ternyata batang pohon pisang itu
terpotong oleh bekas tebasan senjata tajam yang tidak
lain adalah tongkat pedang si orang tua bercaping.
Sungguh-sungguh mengagumkan, tetapi juga
mengerikan!
“Lah, itulah Kisanak, sedikit permainanku yang
buruk. Sekarang, apakah Kisanak masih keberatan
jika aku mengambilnya sebagai muridku?”
“Hmm, cukup hebat, Bapak! Kau boleh
mengambilnya sebagai murid, jika kau dapat
mengalahkan permainanku dalam lima jurus
gebrakan!” pendekar berkedok berkata, dan sekaligus
menyiapkan cambuknya! Melihat ini, pendekar tua itu
pun cepat bersiaga.
Mahesa Wulung bingung menghadapi hal ini.
Kepada siapakah ia seharusnya berpihak? Tanpa
menunggu lebih lama pendekar berkedok melayangkan
pukulan cambuknya ke arah tubuh pendekar tua itu.
Pendekar tua bercaping tak tinggal diam diserang oleh
pukulan cambuk lawannya, cepat ia menggenjotkan
kakinya ke tanah dan tubuhnya berjumpalitan di
udara.
“Daar!”, suara ledakan terdengar berbareng ujung
cambuk Naga Geni menggempur batu tempat pendekar
tua berdiri. Untunglah ia keburu meloncat, kalau tidak
apakah jadinya. Batu tersebut pecah dengan
mengeluarkan asap panas berkepul ke udara.
Sambil melayang turun dari udara si orang tua
menyabetkan tongkat pedangnya ke arah kepala
pendekar berkedok, namun orang inipun betul-betul
waspada. Dengan loncatan ke samping dan
merendahkan kepalanya, ia terbebas dari maut!
Walaupun meleset mata pedang si orang tua masih
dapat menyambar seekor lalat yang terbang di tempat
itu.
“Persetan! Kau mengganggu permainanku!”
Tubuh lalat itu jatuh di atas tanah terbelah menjadi
dua!
Keduanya bertempur hebat sampai mencapai jurus
ke lima, dan tepat pada jurus terakhir ini, pendekar
berkedok melayangkan pukulan cambuknya miring ke
arah si orang tua bercaping. Pada saat yang
bersamaan pendekar tua tadi menyilangkan mata
pedangnya mendatar.
Srrttt! Cambuk Naga Geni melibat pedang si orang
tua dengan eratnya dan segera terjadilah tarik-menarik
antara mereka berdua untuk mengadu tenaga dalam.
Peluh dingin bercucuran dari wajah mereka.
Tiba-tiba saja tanpa dinyana, tangan kiri si orang
tua menyambar ke wajah pendekar bertopeng, sambil
berseru nyaring, “Kau memang hebat, Kisanak. Tapi
kau harus memperlihatkan wajahmu yang asli. Biar
aku tahu dengan siapa aku berhadapan!”
Sambaran tangan kiri si orang tua sungguh di luar
dugaan bagi pendekar berkedok. Maka tanpa sempat
mengelak, kedok yang dipakainya terjambret lepas dari
wajahnya.
“Pandan Arum? Dimas Pandan Arum?” terdengar
teriakan kagum bercampur gembira dari mulut Mahesa
Wulung ketika dilihatnya wajah asli dari pendekar
berkedok itu yang tidak lain adalah Pandan Arum
sendiri.
“Maaf, Kakang Mahesa Wulung. Itu semua aku
lakukan guna menyelamatkanmu dari orang-orang
Iblis Merah.”
“Ooh, tobat. Jadi kalian berdua sudah saling
mengenal!” terdengar si orang tua berseru heran. “Dan
Angger yang berkedok ini ternyata pula seorang gadis?
Weh, tobat, tobat. Baru kali ini aku melihat seorang
gadis yang masih remaja sudah memiliki kemampuan
bertempur yang hebat! Kalau demikian harap bapak
yang sudah tua ini dimaafkan dan terimalah kembali
kedokmu ini.”
Pandan Arum menerima kembali kedok yang
dipakainya seraya mengangguk hormat kepada si
orang tua bercaping. “Aku pun meminta maaf atas
semua sikapku, Bapak.”
“Weh, weh, lupakanlah hal-hal yang telah lewat.
Biarkan berlalu sekedar sebagai pengasah budi pekerti
kita. Jika kita berbuat salah, itu sudah lumrah dalam
kehidupan manusia. Tetapi hendaknya kesalahan itu
sendiri akan menjadi peringatan bagi kita agar
manusia tidak mengulangnya kembali perbuatan itu.”
Orang tua itu berhenti sejenak dengan kata-katanya,
seolah-olah sedang merenungkan apa-apa yang sudah
diucapkannya.
“Terima kasih, Bapak. Dan jika diijinkan oleh
Bapak, aku ingin sementara menemani Kakang
Mahesa Wulung di sini. Aku punya obat-obatan yang
mungkin berguna bagi sakitnya.” Pandan Arum
berkata sambil mengambil sebuah kantung putih dari
ikat pinggangnya, kemudian mengulurkannya kepada
si orang tua.
“Hah? Hebat sekali isinya!” Orang tua itu berseru
setengah heran melihat isi kantung obat-obatan milik
Pandan Arum. “Hmm, ini isinya cukup lengkap. Ini
jamu untuk menghilangkan pengaruh racun di tubuh.
Ini obat menenangkan pikiran, obat penyembuh luka
dan, wah, ini lebih dari cukup. Pantas kalau Angger
Pandan Arum ini seorang bakul jamu dan yang diobati
Angger Mahesa Wulung, hi, hi, hi, hi.” Orang itu
ketawa dengan lucunya hingga kedua orang muda-
mudi itu terpaksa mesem kemalu-maluan.
“Eh..., tapi nanti dulu, Angger Pandan Arum.
Apakah semua obat-obatan ini kau sendiri yang
membuatnya?” bertanya orang tua itu sambil tak
henti-hentinya meneliti obat-obatan di dalam kantung
putih tadi.
“Mengapa, Bapak? Adakah sesuatu yang menarik
bagi Bapak?” Pandan Arum sekarang ganti bertanya.
“Ya, aku heran dengan macam obat-obatanmu itu.
Nanti dulu, aku akan menunjukkan sesuatu kepada
Angger berdua!”
Orang tua tadi melepaskan capingnya dan cepat
masuk ke dalam pondok bambu. Sesaat kemudian
iapun keluar dengan membawa sebuah kantung dan
ditunjukkan isinya kepada Pandan Arum. Betapa
kagetnya Pandan Arum melihat isi kantung ini.
“Ah, bukankah isinya ini sama dengan yang aku
bawa tadi?”
“Benar, Angger. Isinya memang sama jenisnya!”
orang tua itu membenarkan pendapat Pandan Arum.
“Itulah yang membuatku heran!”
“Ini saya buat bersama Bibi Nyi Sumekar waktu
saja tinggal di rumahnya di lereng Gunung Muria.”
“Ooo, jadi Angger Pandan Arum ini adalah
kemenakan Nyi Sumekar dari Gunung Muria?!” orang
tua itu tampak tercengang tapi kemudian ia
menengadah ke atas menatap langit biru, seperti ingin
mengumpulkan segala ingatannya kembali.
Maka suasana sesaat tampak menjadi hening.
Mahesa Wulung sibuk berpikir, siapakah gerangan
orang tua ini. Mengapa ia tinggal di tempat terpencil
sesepi ini? Sementara itu Pandan Arum pun berpikir,
bagaimana mungkin orang tua ini mempunyai obat-
obatan yang sama jenisnya dengan kepunyaannya
sendiri?
Melihat kedua tamunya itu, rupa-rupanya orang tua
itu mengetahui apa yang tengah berkecamuk di dalam
pikiran mereka, lalu iapun mulai memecah keheningan
yang mencengkam.
“Angger Kisanak berdua, baiklah aku mencoba
menyusun kembali segala lelakon saya dan sekaligus
memperkenalkan diri kepada Angger berdua. Aku akan
berceritera tentang jalan hidup saya sehingga
terdampar di tempat ini. Dahulu, bapak pernah tinggal
di kota Jepara. Masa muda yang gemilang dan
menggembirakan itu aku isi dengan bekerja keras serta
rajin menuntut ilmu keperwiraan. Di sebuah tempat, di
lereng Gunung Muria, aku berguru kepada Eyang
Muria, seorang tua yang bijaksana dan mempunyai
ilmu yang tinggi di masa itu.
Sungguh banyak murid-murid Eyang Muria ini.
Kami mendapat bermacam-macam ilmu yang berguna
bagi kehidupan kita. Ilmu bermasyarakat berbudi
luhur, ilmu tentang olah senjata, cara membuat obat-
obatan dan masih banyak lagi macamnya.
Di antara murid-murid padepokan Gunung Muria
itu ada seorang gadis yang bernama Rara Sumekar,
dan dialah murid puteri yang paling cerdas di antara
teman-temannya yang lain. Ketrampilannya
menggunakan selendang sebagai senjata dan
ketekunannya meracik obat-obatan sungguh
mengagumkan.
Di saat inilah, sebagai seorang pemuda aku merasa
sayang kepadanya dan perasaan itu terpupuk subur
menjadi benih cinta.
Namun sayang sekali, belum lagi aku mencurahkan
isi hatiku kepadanya, tiba-tiba tugas negara
memanggilku. Di waktu itu armada Demak berusaha
menggempur kekuasaan Portugis di Malaka.
Sekembalinya dari serangan itu, kapal kami yang
berada di belakang telah dicegat oleh kapal-kapal
Portugis dan perahu-perahu bajak laut Iblis Merah
yang membantunya.
Begitulah, sesudah kami bertempur mati-matian,
kapal kami hancur dan tenggelam di Selat Karimata.
Mungkin di antara semua awak kapal hanya sayalah
yang masih hidup, karena beruntung dapat berpegang
pada bilah-bilah papan, sisa-sisa pecahan kapal yang
terapung di laut. Setelah berhari-hari dipermainkan
ombak, akhirnya aku terdampar di pulau kecil ini.”
“Jadi, dari semua awak kapal itu hanya Bapaklah
yang masih hidup?” Mahesa Wulung cepat memotong
ceritera orang tua itu, karena iapun tiba-tiba teringat
kepada mendiang ayahnya.
“Ya, ya, hanya akulah Si Camar Seta, orang yang
tak berguna yang masih hidup...,” ujar si orang tua
dengan terharu. “Semua tewas termasuk seorang
perwira laut sahabat karibku bernama Ki Soreng... ah
aku agak lupa namanya.”
“Ki Sorengyudo maksud Bapak?” sekali lagi Mahesa
Wulung memotong perkataan Ki Camar Seta sehingga
membuat orang tua ini terperanjat seraya mendekat ke
arah Mahesa Wulung.
“Apakah Angger Mahesa Wulung mengenalnya?”
“Dialah ayahku sendiri, Bapak!”
“Ookh, jadi kaulah putera mendiang Ki
Sorengyudo!” seru Ki Camar Seta seraya memeluk
Mahesa Wulung penuh harunya. Dua butir air mata
meleleh di pipinya yang halus licin. “Rupanya Tuhan
telah mempertemukan kita di tempat yang terpencil
ini, Angger Mahesa Wulung.”
Pertemuan itu bagi ketiga orang tersebut sungguh
merupakan kejadian yang tak terduga dan sangat
menggembirakan. Maka sejak saat itulah Ki Camar
Seta menganggap Mahesa Wulung sebagai puteranya
sendiri.
Berkat pengobatan Ki Camar Seta dan perawatan
Niken Pandan Arum yang cermat dan penuh kasih
sayang, maka tubuh Mahesa Wulung berangsur-
angsur pulih kembali kesehatannya dan terbebas dari
pengaruh racun obat yang terminum ke dalam
tubuhnya.
***
LIMA
SELAMA tinggal di pondok Ki Camar Seta, dari hari
ke hari Mahesa Wulung dengan tekunnya mengikuti
semua tuntunan-tuntunan orang tua itu dalam
mempelajari ilmu pedangnya yang hebat. Hampir
setiap hari Pandan Arum selalu mendampingi mereka
berdua, lebih-lebih dalam setiap waktu istirahat
sehabis latihan. Selain ia menyediakan air minuman,
juga tak pernah lupa menyiapkan jagung rebus yang
masih berkepul hangat.
Hari-hari itu rasanya panjang sekali bagi Mahesa
Wulung, tetapi hal itu tak pernah melemahkan
semangatnya, sebab ia telah bertekad akan
menyelesaikan semua pelajaran yang diberikan oleh Ki
Camar Seta dengan sebaik-baiknya.
“Angger Mahesa Wulung, ingatlah senantiasa cara-
cara memegang tangkai pedang menurut petunjuk-
petunjukku. Tempat itu harus kau pegang dengan
teguh dan jangan lupa, gerak pergelangan tanganmu
harus lincah agar mata pedangmu dapat bergerak ke
segenap penjuru angin.”
Begitulah, setiap kali Ki Camar Seta selalu memberi
petunjuk-petunjuk dan mengulanginya kembali
dengan sabar jika muridnya ini membuat kekeliruan.
Ki Camar Seta sendiri merasa puas dan kagum melihat
ketangguhan muridnya dalam berlatih di setiap
harinya.
“Hmm, yah, aku tak heran dengan kekerasan
jiwanya. Ia benar-benar mirip dengan ayahnya, Ki
Surengyudo, mendiang sahabatku. Aku adalah bekas
prajurit armada Demak yang terpencil terdampar di
pulau sepi ini, sehingga masa-masa tuaku banyak
terbuang sia-sia dari bebrayan agung. Untunglah di
tempat yang terpencil ini akan dapat melenyapkan
kesepianku dengan melatih dan memperdalam ilmu
pedangku dengan sempurna. Namun ketika aku benar-
benar telah menguasainya, rasa cemasku timbul
disebabkan umur tuaku yang terus meningkat dan
akhirnya ilmu pedangku ini akan musnah kembali.
Itulah yang dahulu amat kucemaskan! Tetapi sekarang
ini, dengan perjumpaan yang tak terduga-duga dengan
Mahesa Wulung dan gadisnya, harapanku kembali
menyala dengan cemerlang. Kepada merekalah ilmu
pedangku akan kuwariskan!”
Ki Camar Seta selalu melatih Mahesa Wulung
bertempur di tempat yang berganti-ganti. Sekali
diajaknya kedua muridnya berlatih di tempat yang
terjal di daerah perbukitan, kemudian di dalam hutan
yang lebat dan tak jarang ketiganya berkejaran di
antara batu-batu di tengah sungai yang deras
alirannya. Tapi tempat yang paling banyak dipilih ialah
daerah pesisir.
Di tepi pantai itulah Ki Camar Seta memberikan
tataran-tataran tertinggi dari ilmu pedangnya kepada
muridnya, Mahesa Wulung. Jika keduanya sedang
berlatih, Pandan Arum selalu menunggunya dan
mengawaskan dari kejauhan saja. Dia sudah cukup
puas dengan mempelajari bagian-bagian yang dianggap
penting dari ilmu pedang Ki Camar Seta. Itu tak
mengherankan jika ia hanya mempelajari sebagian
saja, karena dia sendiri sudah mempunyai ilmu Sabet
Alun ajaran bibinya, Nyi Sumekar. Ciri ilmu itu selalu
mempergunakan selendang sebagai senjata!
Sering kali ia merasa kagum jika menyaksikan
kedua orang itu berlatih pedang. Keduanya tampak
seperti dua ekor burung camar yang berkejaran di tepi
pantai amat lincahnya. Begitu kerasnya berlatih hingga
kadang-kadang Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta tak
terasa sampai jauh masuk ke dalam air. Pedang di
tangan mereka seperti baling-baling yang berpusaran
dan sekali-sekali berbentur dengan dahsyatnya sampai
menimbulkan bunga-bunga api yang berloncatan. Dan
jika ombak besar datang dari tengah laut bergulung-
gulung, kedua orang itu berlompatan ke atas hingga
ombak yang menghempas ke pantai itu dua jengkal
lewat di bawah kaki-kaki mereka.
“Nah, Angger Mahesa Wulung. Semua telah kau
pelajari dengan baik. Sekarang cobalah gerakan
gerakanmu yang dapat kau kerjakan seorang diri. Kau
boleh menambahnya dengan unsur-unsur gerak yang
telah kau kuasai sebelumnya. Dengan menggabung-
gabungkan beberapa unsur tadi pastilah gerakanmu
akan lebih hebat. Maka, sekarang mulailah! Aku akan
mengawasimu!”
Ki Camar Seta cepat meloncat ke tepi, tak jauh dari
Pandan Arum berdiri.
Mahesa Wulung segera memulai gerakannya. Ia
menekuk tangan kirinya menjelang di depan dada
sedang tangan kanannya yang memegang pedang
lurus ke depan. Pedang itu tergenggam tegak lurus
dengan mata pedang menghadap ke arah muka.
Setelah ia mengangguk hormat kepada Ki Camar Seta,
Mahesa Wulung mulai memusatkan pikirannya. Tiba-
tiba saja terlintas di hadapannya wajah almarhum
ayahnya yang tergores pada wajah gurunya itu. Maka
seperti dicengkam oleh perasaan gaib, tiba-tiba ia
merasa seolah-olah berhadapan dengan almarhum
ayahnya sendiri, yang sedang mengujinya.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Besar,
Mahesa Wulung mulai menggerakkan pedangnya.
Dimulailah dari gerakan-gerakan dasar yang paling
sederhana. Satu demi satu, setahap demi setahap.
Kemudian meningkat kepada unsur-unsur gerak yang
paling sukar dan begitulah akhirnya Mahesa Wulung
bergerak semakin lama semakin hebat dan
mengerikan.
Dalam keadaan begitu Mahesa Wulung hampir
melupakan keadaan sekelilingnya. Lupa bahwa ia
bergerak seorang diri. Yang terbayang di hadapannya
adalah wajah ayahnya yang tersenyum-senyum bangga
memandang ke arah dirinya. Oleh sebab itu Mahesa
Wulung berusaha mengungkapkan segala ilmu yang
telah dimilikinya. Tambahan lagi ia menyalurkan aji
pukulan ‘Lebur Waja’nya dalam setiap sabetan
pedangnya, sehingga gerakan pedangnya hanya
tampak sebagai kilatan-kilatan sinar yang menyambar-
nyambar laksana halilintar.
Tubuh Mahesa Wulung sendiri tampak seperti
menari dengan lincahnya, melesat ke sana, meloncat
ke mari, kemudian berjumpalitan di udara dan
mendarat kembali disertai sabetan-sabetan pedangnya
yang mengerikan.
Tetapi Mahesa Wulung yang sekarang, bukanlah
Mahesa Wulung pada saat mulai belajar dari tataran
pertama. Sekarang selain segala unsur gerak ilmu
pedang dari Ki Camar Seta telah dikuasainya, secara
tak sengaja ia telah melengkapinya pula dari segala
macam pengalamannya sejak pertama kali ia
berhadapan dengan gerombolan hitam Alas Roban di
pesisir utara Jawa, kemudian melawan bajak-bajak
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa, ditambah
gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya dari
Pendekar Prahara di Tanjungpinang dan juga
pengalamannya yang terakhir melawan orang-orang
Iblis Merah. Dan dengan begitu tanpa setahu dirinya,
ia telah berhasil mengungkapkan ilmu pedang yang
maha dahsyat.
Ki Camar Seta dan Pandan Arum yang mengawasi
permainan pedang Mahesa Wulung hampir-hampir tak
percaya melihat kehebatan gerak pedang itu. Gerakan
tubuh Mahesa Wulung yang lincah dan kadang-kadang
berlompatan di atas deburan ombak yang memecah ke
pantai, rupa-rupanya saja menarik perhatian makhluk
yang lain. Sebab tak lama kemudian terlihatlah
bayangan hitam di atas pasir pantai yang berputar-
putar dengan cepatnya. Ki Camar Seta dan Pandan
Arum melihat ke atas berbareng!
“Burung elang laut!” desis Ki Camar Seta.
“Rupanya ia tertarik kepada gerakan Kakang
Mahesa Wulung, Bapak!” Pandan Arum pun berseru
dengan kecemasan.
“Ya, benar katamu itu, Angger. Lihatlah elang itu
mulai melayang dan melingkar-lingkar turun. Pasti ia
siap menyerang Angger Mahesa Wulung!”
Namun di saat kedua orang itu merasa cemas,
Mahesa Wulung tetap bermain dengan ilmu pedangnya
yang dahsyat. Ketika ia menyabetkan pedangnya ke
atas, terkejutlah Mahesa Wulung seketika, sebab dari
udara sebuah bayangan hitam menukik dan
menyambar ke arah kepalanya.
Wesss... Sambaran cakar-cakar elang itu memang
hebat, tetapi Mahesa Wulung keburu merendahkan
kepalanya, sehingga sambaran tadi meleset sama
sekali. Bersamaan waktunya, selesai menghindar
Mahesa Wulung menyabetkan pedangnya ke arah
tubuh elang itu. Tetapi burung itupun seperti
digerakkan oleh naluriahnya, cepat meliuk ke atas dan
kini tebasan pedang Mahesa Wulung ganti membabat
udara kosong.
Burung elang itu terus membubung ke atas dan
kembali melingkar-lingkar di udara. Mata Mahesa
Wulung terus mengawasi gerak burung elang di udara.
Lama-kelamaan kepala Mahesa Wulung merasa agak
pening setelah mengikuti gerakan elang yang
melingkar-lingkar dengan cepatnya. Di saat itulah
burung elang itu kembali menyambar ke arahnya.
Sekali lagi Mahesa Wulung berusaha menghindar
dari sambarannya, namun tak urung cakar-cakar
tajam elang itu berhasil menyambar bajunya sampai
robek. Berbareng elang itu membubung ke udara,
Mahesa Wulung membabatkan pedangnya ke arah
burung elang itu, tetapi meleset! Kecuali dua lembar
bulu ekornya saja yang terbabat putus!
Mahesa Wulung merasakan sesuatu yang mengalir
di bahunya dan pedih, maka ia merabanya dengan jari
kirinya. Darah! Rupanya cakar elang itu telah merobek
bahunya. Melihat ini Pandan Arum terpekik
kecemasan.
“Tenanglah engkau, Angger!” seru Ki Camar Seta.
“Janganlah kita menambah kegugupan kepada Angger
Mahesa Wulung. Itu akan tambah membahayakan
dirinya!”
Burung elang laut itu semakin ganas setelah
melibat darah mengalir dari luka-luka pada bahu
Mahesa Wulung, maka ia cepat melingkar-lingkar
dengan derasnya untuk bersiap-siap menyambar
kembali. Sekali ini Mahesa Wulung telah kenyang akan
pengalaman dan siasat penyerangan si burung elang
laut. Ia tidak lagi berusaha mengikuti gerakan
melingkar dari elang itu dengan matanya, sebab akan
membuat rasa pusing di kepala. Mahesa Wulung
hanya memusatkan perhatiannya pada ujung mata
pedangnya, sementara itu tangan kirinya melolos
sarung pedang yang masih tersisip pada ikat
pinggangnya sebelah kiri.
“Heh, aku harus memakai siasat untuk
mengalahkannya!”
Burung elang itu menyambar kembali dengan
dahsyatnya. Cakar-cakarnya yang berkuku tajam
mengembang penuh, siap merobek-robek dan
mencengkeram daging korbannya. Sekonyong-konyong
tangan kiri Mahesa Wulung melemparkan sarung
pedangnya ke arah tubuh elang laut. Untuk kali ini,
elang itu kembali menghindari benda yang menyambar
ke arah tubuhnya, namun di saat itu pula Mahesa
Wulung melesat ke atas dan membacokkan pedangnya!
Sraat. Tebasan pedang Mahesa Wulung menyambar
tubuh burung elang ini, dan bersamaan satu jeritan
keras dari mulutnya, elang laut yang ganas itu runtuh
ke tanah dengan tubuhnya terbelah dua! Begitulah
kedahsyatan ilmu pedang Sigar Maruta.
Pandan Arum segera berlari ke arah Mahesa
Wulung dan memeluknya dengan erat. “Oh, kau
terluka, Kakang! Aku sungguh ngeri melihat
pertempuran tadi....”
“Tapi sekarang sudah berlalu, bukan? Dan kiranya
hanya tanganmu yang haluslah yang dapat
menyembuhkan luka-luka itu,” Mahesa Wulung
berkata sambil tersenyum manja, membuat Pandan
Arum tersipu-sipu.
Saking gemasnya jari-jari gadis ini segera beraksi
dengan cubitan-cubitannya pada lengan Mahesa
Wulung.
“Aduh, aduh... piye iki. Diminta mengobati kok
malah mencubit,” Mahesa Wulung semakin berkelakar,
sedang Ki Camar Seta yang telah berada di
sampingnya ikut tersenyum-senyum geli.
Luka-luka Mahesa Wulung segera diperiksa oleh
orang tua itu. “Mmm, luka-lukamu tidak terlalu dalam,
Angger. Tapi harus cepat-cepat diobati.”
Mereka bertiga pulang ke pondoknya. Meski latihan
hari itu berakhir dengan peristiwa yang aneh, namun
bagi Mahesa Wulung sendiri merasa beruntung sebab
elang laut yang ganas tadi seolah-olah telah mencoba
ilmu pedangnya yang dahsyat. Dan ternyata meski
ilmu pedangnya telah hebat, namun satu hal yang tak
boleh dilupakan ialah siasat dalam bertempur.
***
Matahari semakin jauh bergeser ke arah barat,
sementara mega putih yang bersaput warna jingga
kecoklatan berarak-arak mengalir ke arah selatan. Dan
pada saat-saat warna biru kegelapan mulai merayapi
langit di sebelah timur, matahari dengan malasnya
tenggelam di cakrawala. Kini malam telah merajai dan
alampun seperti tidur tampaknya, semuanya serba
tenang dan damai.
Pada hari berikutnya setelah luka-luka Mahesa
Wulung diobati dan mulai kering, kembalilah Ki Camar
Seta melatihnya dalam ilmu pedangnya. Ketika mereka
makin tenggelam dalam menekuni gerak-gerak pedang
di tangannya yang berpusaran seperti prahara dan
sesekali mematuk-matuk laksana seekor naga yang
marah, secara tiba-tiba saja ketekunan mereka
dibuyarkan oleh satu jeritan panjang.
Ya, satu jeritan panjang bernada kengerian dari
mulut Pandan Arum membuat Mahesa Wulung dan Ki
Camar Seta berlarian ke arah tempatnya. Tampaklah
Pandan Arum menjerit sambil menunjuk-nunjuk ke
arah semak ilalang dan betapa kagetnya ketika Mahesa
Wulung serta Ki Camar Seta melihat ke arah tempat
itu. Dari sela-sela daun ilalang, muncul sebuah tangan
yang menggapai-gapai ke atas, dengan belepotan darah
merah yang telah kering pada jari-jarinya.
Melihat ini, mereka bertiga serentak berlari ke arah
yang sama untuk memeriksa dan memberikan
pertolongan seperlunya. Di tempat itu tergeletak
seorang laki-laki yang rupa-rupanya telah merayap
dari tempat yang jauh dan mulai kehabisan tenaga,
sehingga ia hanya kuasa menggapai-gapaikan
tangannya saja.
“Sibahar,” seru Mahesa Wulung kaget setelah ia
dapat mengenali wajah orang ini. “Dia adalah seorang
anak buahku, Bapak!”
“Kasihan dia. Biarlah aku mencoba mengobatinya,”
ujar Ki Camar Seta sambil menegakkan kepala Sibahar
dan kemudian diletakkan ke atas pangkuannya.
Sibahar mencoba tersenyum, sementara tangan
kirinya ditekankan pada dadanya yang terluka.
“Tak ada gunanya, Tuan,” desah Sibahar kemudian.
“Waktuku tidak banyak lagi. Kini aku merasa
berbahagia dapat bertemu dengan Tuan Barong
Makara dan nona pendekar Pandan Arum.” Sibahar
menarik nafas dalam-dalam. “Aku akan berceritera....”
Mahesa Wulung atau Barong Makara itu segera
merapatkan dirinya. Katanya, “Aku ingin sekali
mendengarnya, Sibahar. Tetapi sekarang lebih baik
engkau beristirahat. Telah terlalu banyak darahmu
yang keluar. Sudahlah, Sibahar, tenangkanlah dirimu.”
“Tidak apa-apa. Biarlah aku mulai berceritera
kepada Tuan. Setelah itu aku akan mati dengan
tenang. Nah, dengarlah.... Setelah Tuan pergi
meninggalkan kami untuk menyamar dan mencari
keterangan tentang persembunyian orang-orang Iblis
Merah, beberapa pekan kemudian, nona pendekar
Pandan Arum pun telah pergi untuk menyusul Tuan.”
Sibahar berhenti sejenak, sambil mengatur nafasnya
yang mengalir semakin cepat. “Tetapi, kalian berdua
terlalu lama pergi sehingga kami benar-benar merasa
cemas. Akhirnya Kakang Jogoyudo telah menyuruhku
untuk mencari Tuan berdua. Kami semua berenam
dengan awak-awak kapal pergi ke tempat-tempat di
segenap pulau ini. Tetapi malanglah kami, sebab di
sebuah jalan kecil yang menuju ke Lembah Maut, kami
telah disergap oleh orang-orang Iblis Merah! Dan
meskipun kami sekuat tenaga melawan mereka,
akhirnya orang-orang Iblis Merah itulah yang menang.
Jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun mereka
bertempur seperti setan! Kelima awak kapal tadi telah
dicincang mati, sedang aku hanya dibiarkan dengan
terluka begini, agar aku masih ada waktu untuk
mencari Tuan dan menyampaikan tantangannya.”
Sibahar berkata sambil menekan luka di dadanya.
Mahesa Wulung merasa ngeri melihat luka-luka
pada dada Sibahar. Juga sebuah mata uang logam
tertancap hampir seluruhnya di dalam luka-luka itu.
“Tantangan?” desis Mahesa Wulung dengan
geramnya.
“Yah, mereka telah menantang Tuan untuk
membuat perhitungan dengan Lanun Sertung,
pemimpin gerombolan Iblis Merah itu. Mereka menanti
kita di Lembah Maut, tepat di siang hari jika mata hari
berada di atas kepala kita.” Sibahar menjadi semakin
pucat sedang kata-kata yang terakhir hampir-hampir
diucapkan setengah berbisik.
Sibahar kembali mencoba tersenyum dan berbareng
jantungnya semakin lemah berdetak, mulut Sibahar
menyebut nama Tuhan Yang Maha Besar. Setelah itu
tubuh Sibahar terkulai lemah. Ia telah pergi, sedang
wajahnya masih membayang senyum kepuasan
seolah-olah menyatakan kerelaannya untuk
meninggalkan dunia yang ramai ini.
Mereka bertiga menundukkan kepala masing-
masing dengan penuh rasa haru.
Pengorbanan Sibahar tidaklah sia-sia. ia telah
menunjukkan keperwiraannya. Sebagai wakil dari
seluruh teman-temannya para prajurit di pulau
Bintan, ia telah menunaikan kewajibannya dengan
baik. Meskipun jasadnya terbaring di pulau yang
terpencil ini, namun namanya akan selalu terpancang
pada deretan nama-nama laskar armada Demak
dengan bau harum semerbak.
Dan semenjak saat itu, Mahesa Wulung berjanji di
dalam hatinya, bahwa ia akan benar-benar memenuhi
tantangan orang-orang Iblis Merah. Ia akan melawan
Lanun Sertung dan membinasakannya. Dosanya
sudah terlalu luber untuk diampuni.
***
Ketika matahari makin bertambah tinggi, udara
seperti dibakar rasanya. Panas dan engas. Tetapi, di
jalan kecil menuju ke pintu gerbang batu dari Lembah
Maut, tampaklah tiga orang mengendap-endap
mendekati tempat itu. Sebentar saja ketiganya sudah
sampai di pintu gerbang batu, dan merekapun
berhenti sejenak.
Seorang tua bercaping yang tidak lain adalah Ki
Camar Seta tampak memberikan petunjuk-petunjuk.
“Nah, sekarang Angger Mahesa Wulung, masuklah
engkau ke dalam lembah ini seorang diri terlebih
dahulu. Jika engkau telah bertempur beberapa jurus,
barulah kami berdua akan bergabung dengan Angger.
Bapak akan masuk dari sebelah barat, dan Angger
Pandan Arum dari arah timur. Sudah jelas, bukan?
Sekarang, mari kita berpencar!” ujar orang tua itu
setengah berbisik, kemudian iapun berbalik dan mulai
merayap ke arah barat.
Demikian pula Pandan Arum mengendap-endap ke
sebelah timur. Sedang Mahesa Wulung sendiri segera
turun ke dalam Lembah Maut. Ia sangat hati-hati dan
sebentar-sebentar tangannya mengelus tangkai
pedangnya. Geraknya lincah. Sambil mengendap,
sebentar-sebentar ia berhenti di balik batu-batu besar
yang bertonjolan di sana-sini. Makin lama ia makin
mendekat ke tengah-tengah lembah, di mana ia pernah
ditawan beberapa waktu berselang di tempat itu.
Sekali lagi ia berhenti di balik batu besar.
Pancingannya terus menyelidik. Meja batu besar yang
terhampar di bawah batang pohon kering yang
menjulang tinggi ke atas, tampak dengan jelasnya.
Juga pondok-pondok beratap ilalang pun kelihatan.
Tetapi suasana di sini tampak sepi. Lengang. Tak ada
gerak dari makhluk hidup yang lewat, seolah-olah
tempat ini telah lama ditinggalkan penghuninya,
orang-orang Iblis Merah.
Mahesa Wulung mulai curiga. Sebentar ia mulai
memandang ke bawah melihat bayang tubuhnya.
“Hmm, masih condong sedikit ke barat. Sebentar lagi
tepat matahari berada di atas kepala dan mereka
harus muncul menetapi tantangannya.”
Dilangkahkannya kakinya pelan-pelan mendekati
meja batu. Tepat pada langkah yang ke lima ia
berhenti kembali. Mahesa Wulung melihat ke bawah.
Tepat waktunya! Bayangan tubuhnya tepat tegak lurus
di bawah kaki dan matahari bersinar dengan terik
seolah-olah mau membakar Lembah Maut itu.
“Heei, orang-orang Iblis Merah! Aku telah siap
memenuhi tantanganmu! Keluarlah!” teriak Mahesa
Wulung yang berkumandang kejar-mengejar memantul
ke segenap sudut Lembah Maut.
Bersamaan lenyapnya gema teriakan Mahesa
Wulung, dari sebelah utara berdesingan benda-benda
bersinar yang menyambar ke arah tubuhnya.
“Senjata-senjata rahasia!” desis Mahesa Wulung
sambil melolos pedangnya dengan gerak yang cepat,
sekaligus diputarnya memagari tubuhnya.
Trang! Crak! Crak! Puluhan benda bersinar yang
ternyata mata uang logam itu berpentalan terbelah dua
ketika beradu dan tersampok oleh putaran pedang
Mahesa Wulung. Begitu serangan itu berakhir,
mendadak dari arah barat berkelebat sebuah tangan
dari balik batu yang besar dan sekali lagi puluhan
benda bersinar berpusaran menyambar ke arah
Mahesa Wulung.
Tetapi Mahesa Wulung bukan anak-anak lagi yang
takut oleh benda-benda berkilatan itu, maka dengan
tenangnya ia bersiaga. Ketika serangan mata uang
logam itu hampir menyentuhnya, dengan tiba-tiba
Mahesa Wulung menggenjotkan kedua kakinya ke
tanah dan tubuhnya melesat ke udara berjumpalitan
dengan manisnya. Puluhan mata uang logam itu
melayang di bawah tubuhnya dengan deras kemudian
bertancapan ke dalam tanah. Sesaat kemudian
Mahesa Wulung mendarat kembali dengan berdiri di
atas kedua kakinya yang kokoh seperti bukit karang,
tak tergoyahkan oleh badai yang betapapun hebatnya.
“Ha, ha, ha, ha. Kau memang hebat, kawan. Tetapi
jangan keburu bertepuk dada, sebab sebentar lagi
riwayatmu akan tamat di Lembah Maut ini!” terdengar
suara itu bergaung memantul ke tebing-tebing lembah
tanpa diketahui siapa orangnya yang telah berteriak
itu.
Mahesa Wulung menggertakkan giginya dengan
marah, sebab ia merasa seperti dijadikan sasaran
permainan maut oleh orang-orang Iblis Merah.
“Ayo, keluarlah kamu, orang-orang Iblis Merah!
Hadapilah aku sebagai orang-orang yang jantan!”
Mahesa Wulung berteriak nyaring.
Sekali lagi terdengar derai ketawa dari arah utara
dan puluhan mata uang logam menyambar hebat ke
arahnya. Untunglah Mahesa Wulung cukup waspada
dan serangan ketiga ini pun gagal karena putaran
pedang Mahesa Wulung begitu rapat mengurung
tubuhnya sehingga tak sebutir uang logam pun yang
berhasil menerobosnya.
Sesaat kemudian, setelah serangan itu reda,
Mahesa Wulung cepat menyarungkan pedangnya
kembali. Matanya mengawasi segenap sudut-sudut
Lembah Maut yang membentang luas di sekitarnya. Ia
yakin, bahwa di balik batu-batu besar yang bertonjolan
itu pastilah bersembunyi orang-orang Iblis Merah.
Namun sampai pada saat itu tak seorang pun yang
muncul dan secara terang-terangan bertempur
berhadapan muka.
“Hemm,” desisnya. “Baiklah, jika mereka masih
main sembunyi, aku akan memaksa mereka untuk
keluar dari tempatnya.”
Mahesa Wulung melolos serulingnya dari ikat
pinggangnya yang selama ini hampir dilupakan,
kemudian ditiupnya dengan tenang.
Sebuah irama, mulai mengalun mendayu-dayu
memilukan. Makin lama kian memilukan,
menggetarkan udara Lembah Maut, mempengaruhi
setiap jiwa insan yang mendengarnya dengan dahsyat.
Irama itu merayapi udara dan bagaikan kekuatan
sihir, melumpuhkan perasaan manusia yang hebat
sekalipun.
Tak antara lama dari balik batu-batu besar yang
bertonjolan itu, bermunculanlah orang-orang Iblis
Merah dengan terhuyung-huyung meringis, sementara
kedua tangannya berserabutan menutupi kedua
telinganya untuk menahan alunan irama seruling
Mahesa Wulung yang menusuk-nusuk memilukan.
Hanya Lanun Sertung dan Marangsang yang terbilang
tokoh jagoan agak tahan melawan alunan seruling itu
meskipun keduanya harus mengerahkan segenap
pemusatan tenaga dalamnya.
Kedua orang itu bersemedi untuk mengatur jalan
nafas dan aliran darahnya agar tetap lancar, sedang
untuk itu, gigi mereka bergemeletuk dan tubuhnya
bergetar menggigil sementara peluh dingin keluar dari
lobang-lobang kulitnya!
Tetapi di balik sebuah batu besar, tampaklah
seorang yang tetap berdiri tegak laksana tugu karang
yang perkasa. Rambutnya gondrong tak teratur awut-
awutan. Ia mengenakan jubah panjang berwarna
merah darah dan pada bahunya tergantung sebuah
kulit siput berlekuk-lekuk bulat berwarna dengan
putih kecoklatan.
Orang ini yang berdiri tidak jauh dari Lanun
Sertung dan Marangsang, dengan tajam dan
menggeram ia melihat ke sekeliling kepada orang-
orang Iblis Merah lainnya yang kalang kabut terkena
irama seruling Mahesa Wulung.
“Hah, keparat! Tukang suling itu memang hebat
luar biasa! Tidak heran kalau sahabat-sahabatku ini
dibuatnya tak berdaya,” gumam si rambut gondrong
seraya memegang kulit siputnya. “Memang mereka
bukanlah tandingannya, tetapi akulah yang akan
menghadapinya!”
Berkata begitu, si rambut gondrong secepatnya
meniup kulit siput yang merupakan sebuah terompet
dan melengkinglah suatu bunyi himbauan yang
berlenggok meliuk-liuk.
Kedua bunyi ini bertemu dan menggelegar di
lembah itu, dan sesaat kemudian kedua bunyi tersebut
saling melilit berkejar-kejaran seperti dua ekor ular
yang bertarung. Namun beberapa waktu kemudian si
rambut gondrong ini mengerutkan alisnya dan dari
dahinya bertetesan peluh dingin. Dalam hati ia
mengumpat sejadi-jadinya.
“Iblis laknat! Dari mana orang muda itu mendapat
ilmu seruling yang sedahsyat dan sempurna seperti
itu. Bunyi terompet siputku makin tergeser dan
terdesak. Jika terus-terusan begini pastilah aku akan
kalah dan betapa aku akan kehilangan muka di
hadapan tokoh-tokoh hitam di nusantara ini. Baiknya
aku serang saja dia. Dengan begitu ia akan terpaksa
melawanku dan terhentilah irama serulingnya!! Aku
merasa kasihan melihat sahabat-sahabatku ini terlalu
lama menderita.”
Si rambut gondrong segera menghentikan tiupan
terompet siputnya dan sambil menjangkau tongkat
kayunya, ia melesat turun dari tebing lembah
melayang turun ke arah Mahesa Wulung berdiri.
Jubahnya berkelebatan ketiup angin seperti sayap
seekor kelelawar raksasa siap menyambar mangsanya.
Mahesa Wulung terperanjat! Cepat-cepat ia
menghentikan tiupan serulingnya dan menyelipkan
kembali ke ikat pinggangnya. Semula ia merasa syukur
bisa mengalahkan bunyi lengkingan terompet siput itu,
tetapi kini ia dikagetkan oleh serangan musuhnya yang
tiba-tiba meluncur ke arah dirinya dibarengi deraian
ketawa yang menggeledek.
“Hah, ha, ha, ha, kau harus mampus di tanganku,
orang muda! Tak seorang pun pernah lolos dari tangan
Rikma Rembyak! Ha, ha, ha, ha!”
Wusss!
Tongkat si rambut gondrong menyabet kepala
Mahesa Wulung, tapi mendadak satu kilatan sinar
putih menyambutnya.
Tak!
Ujung tongkat terbabat putus oleh pusaran pedang
di tangan Mahesa Wulung, membuat Rikma Rembyak
meloncat mundur dan memaki-maki.
“Edan. Orang muda ini luar biasa!”
Kembali ia bersiaga dan menyerang lagi dengan
teriakan tinggi ke arah Mahesa Wulung. Keduanya
segera terlibat dalam pertempuran sengit. Tandang si
Rikma Rembyak benar-benar mengerikan tak ubah
gerak seekor kelelawar setan yang meliuk-menyambar
nyamuk-nyamuk untuk dilalapnya.
Tetapi Mahesa Wulung bukanlah nyamuk-nyamuk
yang bisa dianggap enteng begitu saja. Sebagai seorang
perwira laut armada Demak ia tak gampang berputus
asa menghadapi lawan yang bagaimanapun hebatnya.
Bahkan ia makin bersemangat dan bila keringat telah
membasahi dadanya, geraknya menjadi semakin
garang, seperti banteng ketaton yang menghancurkan
setiap perintang yang malang-melintang di
hadapannya.
Debu berkepul beterbangan di tempat kedua orang
yang bertempur semakin hebat. Sementara itu orang-
orang Iblis Merah telah terbebas oleh pengaruh tiupan
seruling Mahesa Wulung dan mereka pada mengusap
keringat yang banyak bertetesan dari lubang-lubang
kulit. Mereka diam-diam merasa kagum melihat
musuhnya berani bertempur melawan Pendekar Rikma
Rembyak yang dianggap sebagai gurunya itu.
Terutama Lanun Sertung dan Marangsang, yang
menaruh dendam kepada Mahesa Wulung, sehingga
mereka cepat berlompatan turun mendekati titik
pertempuran itu.
Suatu ketika Rikma Rembyak memutar tongkat
kayunya dan menggempur ke arah Mahesa Wulung
yang telah siap menyambutnya. Dua benturan senjata
terdengar dan keduanya terpental surut ke belakang
beberapa langkah.
Betapa kagetnya Rikma Rembyak. Belum lagi ia
bersiaga, tiba-tiba Mahesa Wulung menerjang maju
dengan sabetan pedang yang deras sambil berseru
nyaring.
“Jangan kau mimpi dapat merobohkan Mahesa
Wulung! Tak ada jalan kabur untukmu, Rikma
Rembyak!”
Pada detik itu juga, di saat pedang Mahesa Wulung
mengancam jiwanya, pendekar Rikma Rembyak yang
namanya telah menghantui sepanjang laut Jawa itu
melesat ke atas, sekaligus memukulkan tongkatnya ke
samping ke arah punggung Mahesa Wulung.
Diserang secara demikian, secara cepat dan tiba-
tiba Mahesa Wulung merebahkan badannya lalu
bergulir menjauh dari tempat itu. Karuan saja pukulan
maut tongkat Rikma Rembyak meleset tak mengenai
sasarannya, sebaliknya membentur sebuah batang
pohon tua sampai berderak roboh ke tanah.
Sekali lagi Rikma Rembyak, pendekar yang
rambutnya gondrong serawutan itu, memburu ke arah
Mahesa Wulung dengan tongkatnya yang diputar
seperti baling-baling.
“Ha, ha, ha, telah kukatakan bahwa tak seorang
pun yang bisa lolos hidup-hidup dari tangan Rikma
Rembyak. Nah, ajalmu segera tiba, Mahesa Wulung!”
Sebelum putaran tongkat itu menyentuh tubuhnya,
Mahesa Wulung cepat berdiri kembali menyongsong
tongkat Rikma Rembyak!
Traak!
Untuk kedua kalinya ujung tongkat si rambut
gondrong terbabat putus oleh pedang lawan hampir
dua jengkal panjangnya.
Melihat kenyataan ini, Rikma Rembyak melompat
mundur ke arah batu-batu besar sambil berteriak,
“Lanun Sertung! Marangsang! Keroyoklah wong nekad
ini. Aku akan beristirahat sebentar!”
Rikma Rembyak berseru sambil napasnya
berlompatan tak teratur. Selama ini baru sekarang ia
menghadapi lawan yang semuda itu, tetapi
keperwiraan dan ilmunya hampir melebihi dirinya.
Lanun Sertung dan Marangsang yang telah
menunggu saat-saat itu, tak ragu-ragu lagi
berlompatan menyerbu ke arah Mahesa Wulung.
Begitu pula orang-orang Iblis Merah lainnya segera
bergerak mengurung.
Sebelum mereka menyerang, mendadak dari arah
barat dan timur melesat dua bayangan ke arah
mereka. Kedua bayangan itu tak lain adalah Ki Camar
Seta dan Pandan Arum yang muncul dari balik batu-
batu besar. Kini keduanya berdiri di dekat Mahesa
Wulung.
“Kurang ajar! Ternyata kalian betul-betul sudah
bosan hidup kiranya. Baiklah, kamu bertiga akan
mampus berbareng di Lembah Maut ini!” teriak Lanun
Sertung sambil melolos dan mengelus-elus pedangnya.
“Majulah kalian berbareng! Senjata-senjata kami
sudah siap merenggut nyawamu!” balas Mahesa
Wulung dengan tenang membikin orang-orang Iblis
Merah bertambah jengkel dan serentak mereka
menyerbu dengan teriakan-teriakan yang mengerikan.
Pendekar Rikma Rembyak pun tak ketinggalan. Ia
turut terjun ke arena pertempuran. Dan Lembah Maut
itu, kini digetarkan oleh derapan dan langkah-langkah
kaki mereka yang bertempur dengan sengitnya.
Dengan tangkasnya Mahesa Wulung menyambut
serangan Lanun Sertung dan Marangsang yang
datangnya berbareng.
Sekejap saja ketiganya terlibat dalam lingkaran
pertempuran yang seru. Kalau kedua tokoh bajak laut
itu bertempur laksana dua ekor serigala yang lapar
dan ganas, sedang Mahesa Wulung bergerak sangat
lincah tapi ujung pedangnya bersambaran seperti
ujung paruh burung garuda yang tajam.
Di bagian lain, Ki Camar Seta yang bercaping itu
sibuk melawan pendekar Rikma Rembyak. Ditambah
empat orang Iblis Merah yang juga mengeroyoknya,
membuat tubuh Ki Camar Seta seperti dikurung oleh
kilatan-kilatan pedang lawan, dan senjata tongkat
Rikma Rembyak yang benar-benar membahayakan!
Maka ia cepat melepas capingnya dan mengagumkan!
Caping itu ternyata juga sebagai sebuah perisai yang
mampu menangkis setiap ujung dan setiap benturan
senjata lawan.
Rikma Rembyak dan keempat orang Iblis Merah itu
kaget, sebab setiap kali senjata-senjata mereka
membentur perisai Ki Camar Seta, menjadi terpental
seperti ditolakkan oleh tenaga raksasa! Seandainya
mereka tahu, tak perlu mereka heran sebab caping
perisai Ki Camar Seta yang tampaknya sepele, hitam
lusuh berdebu itu, dibuatnya dari kulit ikan hiu yang
dikeringkan dan direndam dalam ramuan-ramuan
daun yang membuatnya sekeras baja, tetapi mudah
melentur seperti karet, dan kesemuanya itu
memerlukan waktu dua ratus hari.
Sementara itu Pandan Arum dengan senjata
cambuk Naga Geni menghadapi Lodan dan enam orang
Iblis Merah lainnya. Kalau mula-mula Lodan dan
teman-temannya mengira mudah berhadapan dengan
seorang gadis dalam pertempuran di Lembah Maut itu,
setelah berlangsung beberapa gebrakan ternyata
dugaan mereka keliru sama sekali. Memang jumlah
mereka lebih banyak dan senjata-senjata di tangan
mereka mengurung rapat Pandan Arum, tetapi tak
sebuah pun mampu menembus putaran cambuk Naga
Geni. Malahan dua orang Iblis Merah tak lama
kemudian terpental beberapa jangkah dengan dada
terbakar hangus ketika ujung cambuk itu
mematuknya. Melihat ini, tandang Lodan dan ke empat
teman-temannya semakin nekad.
Dari lingkaran pertempuran yang lain terdengar
pula jeritan parah, dan Ki Camar Seta berhasil
merobohkan tiga orang di antara para pengepungnya.
Diam-diam pendekar Rikma Rembyak menggerundal di
dalam hati. Tadi ia telah merasakan kehebatan ilmu
pedang Mahesa Wulung dan kini ia kembali
menghadapi Ki Camar Seta yang mempunyai ilmu
pedang yang sama.
Di utara tampaklah Mahesa Wulung bertempur
dengan gigihnya. Kilatan-kilatan pedangnya benar-
benar membingungkan kedua tokoh bajak laut itu,
sementara sarung pedang di tangan kirinya pun
bergerak cukup lincah.
Di saat matahari makin jauh bergeser ke arah
barat, pertempuran di Lembah Maut itu bertambah
seru. Bunyi benturan senjata yang beradu dan
teriakan-teriakan perang yang bergema, membuat
lembah itu seperti neraka. Secara tiba-tiba
Marangsang mengambil senjata rahasia dari ikat
pinggangnya, dan sebentar kemudian puluhan jarum
beracun beterbangan melesat ke arah Mahesa Wulung.
Untunglah di saat ini Mahesa Wulung telah
memiliki ilmu pedang ‘Sigar Maruta’ yang hebat,
sehingga jarum-jarum beracun itu berpentalan
tersampok oleh kilatan pedangnya yang berputaran.
“Aaahh!” Marangsang menjerit ngeri sebab sebuah
di antara jarum yang berpentalan itu menyasar
mengenai lengannya.
Belum lagi Marangsang menyadari peristiwa yang
baru saja dialaminya, mendadak sebuah sinar kilatan
pedang Mahesa Wulung menyambar kepalanya.
Sraatt! Taak!
Sebuah goresan merah merupakan garis, menghias
kepala Marangsang. Sedang kain ikat kepalanya
terpotong lepas, Ia terbeliak seakan-akan tak percaya
kepada dirinya. Sesaat ia terhuyung-huyung. Pedang
di tangannya terlepas dan mendadak goresan garis
merah di kepalanya itu menyemprotkan darah dan
rebahlah Marangsang ke tanah dengan luka menganga
mengerikan pada kepalanya.
Melihat tangan kanannya mati itu, Lanun Sertung
benar-benar heran. Selama ini Marangsang dianggap
sebagai wakil dirinya, dan telah bertahun-tahun selalu
unggul di medan tempur yang bagaimanapun
dahsyatnya. Oleh sebab itu, Lanun Sertung menjadi
bertambah marah dan benci menatap wajah Mahesa
Wulung. Demikian juga sebaliknya, Mahesa Wulung
merasa muak memandang wajah Lanun Sertung yang
membayangkan banyak dosa itu. Mereka
berpandangan tajam, seakan-akan ingin saling
melahap tubuh lawannya.
Belum lagi keduanya saling bertempur, secara tiba-
tiba dua orang Iblis Merah menyerang berbareng ke
arah Mahesa Wulung. Namun mereka memang bukan
tandingan pendekar Demak ini, yang gerakannya
laksana bayangan. Sekali pedangnya berkelebat, kedua
orang tadi menjerit rebah ke bumi tanpa berkutik lagi!
“Nah, sekarang kita berdua saja, Lanun Sertung.
Dengan begitu, kita tak terganggu lagi untuk membuat
perhitungan.”
“Kurang ajar. Kau pendekar bermulut besar! Tak
mungkin kau lolos dari sini hidup-hidup. Bersedialah
untuk kematianmu!” seru Lanun Sertung dengan
geram.
“Hmm... baik! Baik! Aku pun siap untuk menagih
hutang nyawa sahabat-sahabat dan orang tuaku! Aku
akan menolong mengirimmu ke neraka.”
“Jahanam!” teriak Lanun Sertung sambil menerjang
Mahesa Wulung dengan puncak permainan ilmu
pedangnya ‘Mata Iblis’.
“Hih, jebol dadamu, Mahesa Wulung!”
Terkaman Lanun Sertung sungguh hebat.
Tubuhnya tampak meluncur seperti loncatan seekor
tupai, untuk kemudian siap mencincang Mahesa
Wulung. Mahesa Wulung mengakui, kalau serangan
Lanun Sertung kali ini yang terhebat. Maka ia pun
cepat mengendap, merendahkan tubuhnya serendah
mungkin dan apa yang terjadi kemudian sukar diikuti
oleh mata.
Ketika tubuh Lanun Sertung lewat sejengkal di atas
tubuh Mahesa Wulung, terjadilah bentrokan-
bentrokan senjata hebat.
Traak! Sabetan pedang Lanun Sertung tertangkis
oleh sarung pedang Mahesa Wulung, dan kemudian...
Dess! Waaak!
Tubuh Lanun Sertung jatuh terjungkir setelah
melewati punggung Mahesa Wulung, namun ia cepat
berdiri dengan pedangnya siap menyerang kembali.
Mendadak pemimpin bajak laut Iblis Merah ini
mengerang hebat dan melototkan mata sebab begitu
tangan kiri meraba perutnya yang terasa pedih, tiba-
tiba saja telah basah oleh darah yang mancur dari
perutnya yang tersobek oleh pedang Mahesa Wulung.
Sesaat, Lanun Sertung masih mencoba berdiri tegak,
tapi kemudian oleng dan ambruk ke bumi tanpa
berkutik lagi.
Mahesa Wulung sendiri hampir-hampir tak percaya
dapat menewaskan tokoh hitam bajak laut Iblis Merah
ini, yang telah bertahun-tahun dengan ganasnya
malang-melintang di sepanjang Selat Malaka dan Selat
Karimata.
Mahesa Wulung mengucap syukur dapat
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dan ketika ia
mengangkat pedangnya, terlintaslah di mata Mahesa
Wulung bayangan wajah ayahnya, Ki Sorengyudo yang
tersenyum seolah-olah merasa puas atas kematian
tokoh Iblis Merah, si Lanun Sertung yang ganas.
Lodan dan keempat orang-orang Iblis Merah melihat
pemimpinnya kena dirobohkan, seketika merasa ngeri
dan hilang semangatnya. Mereka yakin bahwa mereka
berhadapan dengan tokoh-tokoh jagoan yang tidak
boleh dianggap remeh.
Lodan bersuit keras sebagai isyarat bahwa mereka
harus kabur dari tempat itu. Baru saja mereka
berbalik untuk kabur, mendadak ujung cambuk Naga
Geni di tangan Pandan Arum telah menyambar
mereka.
Seketika Lodan bersama kedua orang temannya
terpelanting ke tanah tak bernyawa, sedang kedua
orang Iblis Merah yang lain melarikan diri ke arah
pintu gerbang batu.
Melihat orang-orang Iblis Merah telah berkaparan
mati, Pendekar Rikma Rembyak betul-betul kehilangan
semangat untuk bertempur lebih lanjut. Apalagi ketika
seorang Iblis Merah yang bertempur di sampingnya
terbacok rubuh oleh tongkat pedang Ki Camar Seta.
“Hmm, kalau orang-orang Iblis Merah telah
mampus semuanya, berarti aku tak punya ikatan apa-
apa lagi dengan mereka. Baiknya aku lari saja dari
tempat ini. Biarlah sementara aku mengaku kalah di
saat ini, tapi di saat yang lain tunggulah. Aku akan
memperdalam ilmuku dan membalas dendam kepada
Mahesa Wulung dan orang-orangnya!” demikianlah
pikir Rikma Rembyak dan tongkatnya bergerak
semakin hebat.
Ki Camar Seta terkejut melihat perubahan sikap
lawannya yang tiba-tiba itu. Sekonyong-konyong
Rikma Rembyak melesat mundur sambil melontarkan
tongkat kayunya dengan deras ke arah dada Ki Camar
Seta.
Begitu pula dengan Mahesa Wulung dan Pandan
Arum. Betapa kagetnya mereka ketika melihat kilatan
sinar tongkat Rikma Rembyak yang melesat ke arah Ki
Camar Seta dengan kecepatan begitu deras seolah-olah
melebihi suara dan hampir-hampir tak mungkin dapat
ditangkis oleh pendekar tua ini.
Untunglah gerak naluriah Pandan Arum cepat
bertindak. Hanya dialah satu-satunya yang membawa
senjata dengan kemungkinan jarak jangkauan yang
cukup jauh, yaitu cambuk pusaka Naga Geni.
Maka secepat kilat disertai gerakan meloncat,
Pandan Arum melecutkan cambuk itu. Taarrr!!!
Sebuah kilatan menyambar dan memotong sinar yang
menyambar ke arah Ki Camar Seta dan tongkat Rikma
Rembyak tersedot oleh lilitan cambuk itu kemudian
berderak patah menjadi dua di udara
Ki Camar Seta menahan nafas. Hampir-hampir saja
nyawanya melayang oleh benturan tongkat Pendekar
Rikma Rembyak, jika saja gerakan Pandan Arum
terlambat sedikit saja!
Peristiwa yang baru saja berlalu dan betul-betul
menegangkan urat syaraf itu cukup memberikan
peluang waktu bagi Rikma Rembyak untuk lolos dari
tempat itu secepat mungkin.
Mirip gerak seekor tupai tubuh Rikma Rembyak itu
melesat berloncatan dari batu ke batu sambil berteriak
dengan nyaring.
“Ha, ha, ha, ha, kalian memang lebih hebat kali ini.
Nah, selamat tinggal para sobatku. Pertempuran ini
cukup sekian dulu. Tapi tunggulah, kita pasti akan
bertemu kembali dan rasakanlah pembalasan
dendamku nanti!”
Sesaat kemudian tubuhnya meloncati sebuah
dinding batu dan loloslah ia dari Lembah Maut.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum mula-mula
bersiap untuk mengejar Rikma Rembyak, tetapi Ki
Camar Seta mencegahnya seraya berkata dengan
tenangnya.
“Biarlah dia lari, Angger. Sebab dia sudah mengaku
kalah, bukan? Dan lagi jiwa seorang ksatria tidak
menghendaki kita untuk menyerang lawan yang sudah
tak berdaya, lebih-lebih tanpa senjata....”
Seruan Ki Camar Seta itu benar-benar berpengaruh
dan bagaikan air embun menyusup sampai ke relung-
relung hati kedua pendekar muda itu, membuat
mereka mengurungkan maksudnya. Kebijaksanaan Ki
Camar Seta itu benar-benar mengagumkan hati bagi
mereka.
“Nah, Angger berdua, kita tidak perlu merasa cemas
meskipun si Rikma Rembyak telah mengancam.
Biarpun seandainya dia memperdalam ilmu untuk
membinasakan kita, namun percayalah bahwa
kebenaran akan menang juga pada akhirnya.”
“Terima kasih, Bapak,” ujar Mahesa Wulung dan
Pandan Arum berbareng.
Di saat itu dari arah pintu gerbang batu tiba-tiba
muncullah beberapa sosok tubuh menggiring dua
orang yang terikat pada kedua belah tangannya. Di
belakangnya lagi menyusul beberapa orang yang
membawa senjata tombak.
“Eee, Kakang Mahesa Wulung. Bukankah itu
Kakang Jogoyudo dengan anak buahnya? Dan lihatlah
itu, dua orang anak buah Iblis Merah yang melarikan
diri telah mereka tangkap!” Pandan Arum berseru
dengan gembira dan mereka bertiga segera
menyambutnya.
“Ooh, Kakang Mahesa Wulung dan Adi Pandan
Arum, aku telah mencarimu ke mana-mana. Hampir
segenap penjuru pulau ini telah aku datangi. Kiranya
kalian berada di Lembah Maut ini. Ketika kami sedang
mencarimu, tiba-tiba kami dikagetkan oleh dua orang
yang berlari sangat mencurigakan. Mereka berhasil
kami tangkap dan atas petunjuknya, sampailah kami
di lembah ini,” Jogoyudo berhenti sejenak menarik
nafas dalam-dalam. “Cuma aku merasa heran.
Beberapa waktu sebelumnya aku telah mengutus
Sibahar dengan beberapa awak kapal untuk
mencarimu, tetapi sampai saat ini aku belum bertemu
dengan mereka.”
“Memang, kita tak akan lagi bertemu dengan
mereka, Adi. Ketahuilah, bahwa mereka telah
menunaikan kewajibannya dengan baik. Mereka telah
tewas sebagai ksatria dalam melawan keganasan
orang-orang Iblis Merah,” Mahesa Wulung berkata
dengan tenang dan pelan, tetapi cukup mengagetkan
bagi Jogoyudo dan anak buahnya.
“Oooh,” Jogoyudo mengeluh sedih mendengar
penuturan Mahesa Wulung, kemudian ia tertunduk
seakan-akan mengheningkan cipta dan mengenang
jasa-jasa Sibahar. Demikian pula segenap anak
buahnya pada menunduk sedih.
Mereka dapat membayangkan betapa susahnya
sanak keluarga Sibahar di Tanjungpinang sana, jika
mendengar berita ini.
Tetapi mereka pun sadar bahwa suatu ketika
mereka juga akan tewas sebagai seorang prajurit
armada Demak yang selalu berjuang bagi kejayaan
tanah air, bagi Nusantara yang terbentang indah di
khatulistiwa. Mereka berjuang dengan tulus ikhlas
tanpa pamrih pribadi, sebab sebagai seorang prajurit,
dan juga sebagai manusia, mereka sebelumnya telah
terdidik untuk berbuat sesuatu, selalu dengan sadar
dan penuh perhitungan. Mereka tidak akan menjadi
budak nafsu, terutama nafsu untuk berkuasa dan
menang sendiri.
Sesaat orang-orang itu dicengkam oleh suasana
haru, namun merekapun cepat tersadar ketika Mahesa
Wulung memecah kesunyian itu dengan kata-katanya
“Hmm, hampir-hampir aku lupa. Adi Jogoyudo,
perkenalkanlah. Ini adalah Ki Camar Seta bekas
prajurit armada Demak belasan tahun yang silam.
Beliaulah sahabat mendiang ayahku. Ketika kapalnya
pecah diserang orang-orang Portugis dan Iblis Merah,
ia terdampar di Pulau Karimata ini. Dan ketahuilah,
Adi Jogoyudo, ketika aku tertangkap oleh orang-orang
Iblis Merah dan ditawan di Lembah Maut ini, beliau
pulalah yang telah menolong dan menyelamatkan
nyawaku dari keganasan mereka. Juga beliau telah
berbaik hati untuk melatihku dengan ilmu pedangnya,
Sigar Maruta yang dahsyat.”
Jogoyudo dan anak buahnya seperti orang yang
tersadar dari mimpi. Kalau tadi mereka terharu, kini
ganti mereka dibuat kagum oleh kenyataan yang
mereka hadapi. Mereka memandangi tubuh Ki Camar
Seta, seperti tak akan puas. Wajahnya yang cukup tua
tetap berseri, sedang tubuhnya pun masih tampak
kokoh dan sepintas lalu masih terlihat bekas-bekas
keperkasaan di masa remajanya.
Dengan senang dan setengah kagum mereka
berkenalan dengan Ki Camar Seta.
Lembah Maut itu, kini tidak lagi terbakar oleh
panasnya sinar matahari. Angin pun bertiup silir
menyegarkan. Beberapa orang prajurit armada Demak
tampak membersihkan dan membabat semak ilalang
yang menutupi jalan masuk ke sebuah lubang dinding
batu dari lembah ini.
Mereka, atas petunjuk kedua orang Iblis Merah
yang tertangkap tadi telah dapat menemukan pintu
terowongan rahasia yang menembus di bawah lantai
warung minum di dekat bandar Karimata.
Setelah diperiksa, ternyata di dalamnya
diketemukan bahan pangan yang tertimbun, juga
beberapa kantong uang emas dan perhiasan yang
cukup mahal harganya.
Kesemuanya itu mereka angkut ke luar, dan
Mahesa Wulung memerintahkan untuk membagikan
sebagian dari harta itu kepada para penduduk Pulau
Karimata yang telah sekian waktu dicengkam oleh
kecemasan dan dirugikan orang-orang Iblis Merah.
Di saat matahari mendekati cakrawala sebelah
barat, mereka telah bersiap-siap meninggalkan tempat
itu.
Begitulah, setelah Mahesa Wulung memberi aba-
aba berangkat, rombongan itu beriring-iring
meninggalkan Lembah Maut.
Mereka berjalan mendaki ke arah pintu gerbang
batu. Sesekali ada satu dua orang prajurit yang
berpaling ke arah Lembah Maut di bawah sana.
Mereka kadang-kadang meremang bulu romanya bila
mengingat nama Lembah Maut. Ya, benar-benar
lembah tempat maut berkeliaran, sebab di sanalah
orang-orang Iblis Merah bersarang dan di situ pulalah
mereka terkubur untuk selama-lamanya.
Rombongan itu setelah melewati pintu gerbang batu
segera berbelok ke kanan dan menuruni jalan berbatu-
batu.
Sesudah melewati bukit-bukit kecil dan menerobos
sebuah hutan, sampailah mereka di tanah datar.
Deburan ombak yang memecah di pantai telah
terdengar sayup-sayup dibawa angin ke telinga
mereka, seolah-olah sebuah alunan irama lagu dan
membuat hati mereka merasa rindu. Rindu untuk
berlayar dan pulang ke Demak serta bertemu kembali
dengan anak istri dan sanak saudaranya. Oleh sebab
itu mereka mempercepat langkah untuk secepatnya
tiba di bandar tempat perahu mereka berlabuh.
Warna langit di sebelah barat dipenuhi oleh
saputan-saputan mega lembayung ungu yang berarak
di antara warna kuning jingga, begitu matahari mulai
menyentuh garis cakrawala barat. Kunang-kunang
mulai beterbangan keluar dari semak-semak-belukar
seperti hendak ikut menonton rombongan orang-orang
yang berbaris menuju ke pantai.
Sesudah mereka membelok ke kiri dan melewati
semak bambu, sampailah mereka di bandar. Di muka
warung minum, para penduduk bandar telah
bergerombol menanti kedatangan mereka. Sungguh
mesra sambutan mereka. Para penduduk itu sungguh-
sungguh merasa berhutang budi kepada orang-orang
armada Demak, yang telah membebaskan mereka dari
tindasan orang-orang Iblis Merah.
Mereka kemudian menjamu para tamunya di
warung itu dengan makan minum secukupnya, dan
pada kesempatan itulah Mahesa Wulung memberikan
sebagian harta rampasan dari sarang Lembah Maut
kepada mereka.
Juga Pandan Arum yang pernah muncul di depan
warung itu yang menyamar sebagai pendekar Barong
Makara menetapi janjinya dengan berkenalan kepada
mereka.
Dari para penduduk itu, Mahesa Wulung dapat
mengetahui bahwa dahulu warung itu memang bukan
milik orang-orang Iblis Merah. Tetapi mereka telah
merebut dan menduduki warung itu sebagai
sarangnya. Sedang pemilik aslinya telah mereka
bunuh setelah dengan berani dia menolak kemauan
orang-orang Iblis Merah agar menjual warungnya
kepada mereka. Tidak sampai di situ saja tindakan
semena-mena orang-orang Iblis Merah, malahan
mereka mengharuskan kepada penduduk pulau itu
agar semua bahan makanan sebagian diserahkan
kepada mereka dan setiap harinya para penduduk
harus mengunjungi warung itu. Mereka bermaksud
agar penyamaran mereka sebagai orang-orang Iblis
Merah tidak dapat diketahui oleh para lawannya
Di tengah kemeriahan ramah-tamah yang diseling
oleh senda gurau, tiba-tiba muncullah seorang
setengah tua berkumis tebal dengan diantar oleh dua
orang prajurit bertombak.
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jogoyudo
terkejut heran melihat orang itu, sebab ia mengenakan
pakaian seragam perwira armada Demak. Demikian
pula semua yang ada di dalam warung itu tak kalah
herannya.
“Hei, ini Kakang Ranujaya berada di sini? Kapankah
Andika tiba di sini?” Mahesa Wulung bertanya seraya
menjabat tangannya setelah ia bangkit dari duduknya.
Dalam hati Mahesa Wulung dipenuhi oleh tanda tanya.
Mengapa sahabatnya yang juga menjabat sebagai
perwira armada Demak telah berada di tempat ini.
Adakah sesuatu yang penting?
“Adi Mahesa Wulung, aku baru saja tiba di bandar
Karimata ini. Sebelumnya aku telah berlayar dan
mencarimu ke Tanjungpinang. Di sana aku telah
bertemu dengan Bapak Pendekar Prahara dan dari
beliaulah aku mendapat keterangan bahwa Adi telah
berlayar ke pulau ini. Maka aku pun segera
menyusulmu kemari.”
“Hmm, agaknya ada sesuatu yang penting jika
Kakang Ranujaya telah berlayar begitu jauh untuk
mencariku.”
“Betul, Adi. Kedatanganku kemari memang diutus
oleh Sultan agar memanggilmu kembali ke Demak,
sebab di sana telah terjadi sesuatu yang genting yang
benar-benar membuat kami merasa cemas.”
“Sesuatu yang genting, Kakang?” tukas Mahesa
Wulung dengan mengerutkan dahinya.
“Ya. Ketahuilah, Adi, bahwa Empu Baskara telah
hilang dari Demak tak tentu rimbanya!”
“Empu Baskara yang ahli membuat senjata-senjata
ampuh itu telah hilang?” ujar Mahesa Wulung kaget.
“Begitulah. Ia telah menghilang setelah berhasil
menciptakan senjata yang dahsyat. Kami telah gagal
mencarinya, sehingga kepadamulah tugas ini
dipercayakan untuk penyelesaiannya.”
“Baiklah, Kakang. Aku selalu dengan senang hati
menerima tugas itu. Kebetulan sekali kami memang
bermaksud untuk berlayar kembali ke Demak besok
pagi. Nah, sekarang apa salahnya jika Kakang
Ranujaya turut makan minum dan beramah-tamah
dengan penduduk disini. Marilah, Kakang. Silahkan
duduk,” Mahesa Wulung mempersilahkan perwira
Ranujaya mengambil tempat duduknya.
“Terima kasih, Adi Mahesa Wulung. Mmmm,
memang bau sedap masakan di sini membuat perutku
merasa lapar. Ha, ha, ha, ha.”
Suasana di warung itu kembali meriah. Ranujaya
duduk semeja dengan Jogoyudo, Pandan Arum, Ki
Camar Seta dan Mahesa Wulung. Dengan asyiknya ia
menceriterakan hilangnya Empu Baskara dari Demak.
Tak seorang pun yang tahu, entah kemana ia telah
pergi.
Sebelum mencapai tengah malam, pertemuan di
warung itu telah berakhir. Mereka kembali ke
tempatnya masing-masing. Juga para prajurit armada
Demak kembali ke kapalnya, yang berlabuh ber-
dampingan dengan sebuah perahu jung lain
kepunyaan perwira Ranujaya.
Di waktu kabut pagi masih mengambang di udara,
kedua perahu jung dari armada Demak itu telah
mengangkat jangkarnya dan bertolaklah mereka dari
bandar Pulau Karimata. Mereka dengan lajunya
membelah air laut menuju ke arah tenggara, kembali ke Demak.
—TAMAT—
Yogyakarta Maret 1968.
Sampai di situlah kisah “Badai di Selat Karimata”
ini berakhir. Ingin tahukah para pembaca, siapa Empu
Baskara dan mengapa ia sampai menghilang?
Tunggulah kisah seri NAGA GENI berikutnya yang
akan sampai kepada Anda, yaitu “HILANGNYA EMPU
BASKARA”.
0 comments:
Posting Komentar