..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 31 Januari 2025

NAGA GENI EPISODE BADAI DI SELAT KARIMATA

Badai Di Selat Karimata

 

BADAI DI SELAT KARIMATA
W.H. Wibowo

SATU


LANGIT di sebelah timur dipenuhi oleh rantai-rantai 
cahaya merah yang berpijar, ketika dua buah perahu 
jung itu tengah membelah laut Jawa dengan lajunya ke 
arah barat laut. Sebentar-sebentar dari permukaan air 
laut muncullah beberapa ekor ikan terbang serta 
membuat loncatan-loncatan panjang di sekitar perahu-
perahu itu, seperti ingin mengajak berlomba rupanya. 
Sungguh suatu pemandangan yang indah.
Di buritan perahu itu berdiri tiga orang yang diam 
membisu memandang ke air laut yang luas, dan 
berbuih buih yang ditinggalkan oleh buritan perahu. 
Mereka seolah-olah sedang mengenang segala 
pengalaman-pengalaman yang telah lewat. Pengalaman 
yang dipenuhi oleh kilatan pedang dan dentuman 
meriam. Terbayang kembali di mata mereka 
pertempuran-pertempuran yang hebat di Karimun 
Jawa ketika mereka berjuang menumpas bajak laut 
Pulau Ireng.
“Kakang Mahesa Wulung, lihatlah di sebelah utara 
itu!” suara Jogoyudo memecah kesunyian pagi yang 
bisu itu.

“Hmm. Mengapa, Adi Jogoyudo? Adakah sesuatu 
yang menguatirkan?” kata Mahesa Wulung kemudian. 
Pikirannya tiba-tiba melayang ke arah peristiwa-
peristiwa lalu, karena di sinilah gerombolan bajak laut 
Iblis Merah sering berkeliaran mencari mangsanya.
Bahkan lebih dari itu, ayahnya pun dikabarkan 
telah lenyap dan tewas puluhan tahun yang lalu di laut 
Selat Karimata ini, akibat keganasan mereka.
“Awan hitam itu sangat tebal. Rupanya badai akan 
turun sebentar lagi, Kakang,” sekali lagi Jogoyudo 
berkata pelan tapi matanya tak lepas-lepas dari awan 
hitam yang tebal dan pekat menggantung di langit 
utara.
“Mungkin benar juga perkiraanmu itu, Adi. Angin 
pun terasa bertiup semakin kencang,” ujar Mahesa 
Wulung.
“Baiknya kau perintahkan saja anak-anak untuk 
bersiap-siap menghadapi badai itu. Ikat erat-erat 
semua barang-barang agar tidak terlepas dari perahu.”
“Adi Pandan Arum, masuklah ke kamar bawah. Itu 
lebih aman kiranya. Kami akan berjuang sekuat tenaga 
jika badai itu benar-benar melanda kita.”
“Baik, Kakang,” sahut Pandan Arum singkat dan ia 
cepat-cepat masuk ke dalam kamar. Sementara 
seluruh awak perahu, sibuk bekerja.
Meriam-meriam diikat lebih erat dan sementara 
layar yang kurang penting ada yang diturunkan. Di 
kapal yang satu tampaklah kesibukan pula. Hang 
Sakti dan Egrang tak henti-hentinya memberi 
petunjuk-petunjuk kepada awak kapal.
Ketika angin bertiup semakin kencang, orang-orang 
di kedua kapal itu dikejutkan oleh alunan suara 
seruling. Sayup-sayup ia meliuk-liuk dibawa angin 
sangat merdunya.

“Seruling Kakang Mahesa Wulung,” desis Egrang.
“Ya, itulah tiupan Dinda Mahesa Wulung. Pantaslah 
ia murid Panembahan Tanah Putih,” ujar Hang Sakti 
menyambung.
Memang di buritan perahu pertama, Mahesa 
Wulung dengan tenangnya meniup seruling yang 
berukir-ukir indah. Orang-orang pun setengah heran 
melihat sikap pimpinannya. Dalam saat-saat yang 
berbahaya ia masih sempat untuk memperdengarkan 
irama serulingnya yang merdu. Ah, tapi pastilah ia 
punya maksud-maksud tertentu dengan sikapnya itu.
Dan, dugaan sementara orang-orang itu memang 
benar juga. Mahesa Wulung yang kini asyik meniup 
seruling itu tidak hanya sekedar tiupan yang kosong 
belaka, tapi ia juga menyalurkan aji ‘Bayu Rasa’ yang 
keluar lewat lubang-lubang nada dari batang seruling 
itu. Dan akibatnya memang hebat sekali. Bersamaan 
dengan bertiupnya badai yang melanda kedua perahu 
jung itu, nada seruling itu pun bertambah semakin 
keras dan melengking.
Badai yang kini melanda laut Selat Karimata itu 
datangnya secara bergelombang dan dahsyat, hingga 
kedua perahu itu hanya seperti sabut kelapa saja yang 
berguncang dan terombang-ambing di air laut.
Angin yang bertiup menimbulkan bunyi 
menyakitkan telinga. Seolah-olah siulan dari setan-
setan laut yang kelaparan. Beberapa orang anak buah 
perahu-perahu itu mulai tak tahan dengan siulan 
angin badai itu, sampai-sampai mereka menutup 
telinganya dengan kedua belah tangan. Tapi justru hal 
inilah kesalahan yang besar yang dibuat oleh mereka. 
Sebab dengan kedua belah tangan yang menempel ke 
telinga itu berarti mereka tak berpegang pada sesuatu 
benda, hingga sebentar kemudian tiga orang di

antaranya terseret oleh ombak yang melambung ke 
tengah geladak perahu.
Melihat hal ini, Jogoyudo berteriak nyaring. “Heee, 
tutup telingamu dengan sobekan kain dan jangan kau 
lepaskan pegangan tanganmu.”
Mendengar seruan Jogoyudo itu, mereka pun segera 
mengerjakannya. Dengan begitu telinga mereka 
terbebas dari pengaruh angin yang bersiul menyerikan.
Sedang di buritan, Mahesa Wulung tetap tegak di 
tempatnya dan nada serulingnya bertambah dahsyat 
seperti berkejaran dengan tiupan badai. Bahkan 
seruling itu bergulung-gulung laksana gerak seekor 
ular raksasa yang mencoba menahan amukan 
gelombang laut yang ganas. Pertempuran ajaib itu 
berjalan beberapa saat tapi cukup menakjubkan dan 
membuat ngeri hati siapa saja yang menyaksikannya.
Dalam pada itu, sambil meniup serulingnya Mahesa 
Wulung di dalam hatinya berdoa dan memohon kepada 
Tuhan Yang Maha Pengasih agar badai yang bertiup 
itu menjadi reda. Dengan hati yang penuh pasrah dan 
rendah hati, permohonan batin itu berulang-ulang 
berkumandang di dalam rongga dadanya. Dan 
sungguh di luar dugaan, badai yang tadinya bertiup 
dahsyat itu kini berangsur-angsur berkurang, dan 
mereda, kecuali bunyi seruling Mahesa Wulung yang 
masih tetap berkumandang tinggi mengalun di 
angkasa.
Dengan diam-diam Mahesa Wulung mengucapkan 
syukur kepada Tuhan, karena badai itu telah mereda. 
Orang-orang di kedua perahu itu pun terheran-heran 
dibuatnya. Entah mengapa badai itu bisa reda. Apakah 
sebab dikalahkan oleh tiupan seruling Mahesa Wulung 
atau memang badai itu mereda karena sudah saatnya, 
tak seorang pun mampu menjawabnya


Tapi yang terang, badai itu kini telah lenyap dan 
mereka pun benar-benar merasa lega.
Awak-awak perahu kini sibuk kembali. Layar-layar 
dipasang seluruhnya dan kedua perahu itu pun 
kembali melaju ke arah barat laut. Beberapa orang 
tampak memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil 
akibat amukan badai tadi.
Matahari muncul dari balik awan hitam kini bertiup 
ke arah barat dan sinarnya itu gemerlapan 
dipantulkan oleh riakan ombak. Kepak-kepak sayap-
sayap burung camar terdengar kembali di sekitar 
perahu membuat tenteram hati awak-awak kapal itu.
Berlayar berhari-hari memang membosankan dan 
membuat lelah di badan, sebab jika memandang ke 
luar perahu yang tampak semata-mata hanyalah air 
laut melulu, melimpah dan luas tak bertepi. Begitu 
luasnya laut hingga tepinya di batas cakrawala itu 
seolah-olah bertemu dan berpaut dengan langit biru. 
Malah sementara nenek moyang, takut berlayar jauh 
karena mereka percaya jika terus berlayar ke tepi sana, 
mereka pasti akan tergelincir dan jatuh ke jurang yang 
dalam bersama perahunya.
Memanglah kalau dibanding dengan luasnya lautan, 
maka diri kita akan terasa kecil sekali dan semakin 
kecil lagi bila kita menatap langit yang maha luas itu, 
yang kesemuanya telah diciptakan oleh Tuhan Yang 
Maha Besar, bagi mahluk-mahlukNya. Dan di laut 
yang luas itulah dua buah perahu jung tetap berlayar 
dengan teguhnya setelah dihajar oleh badai di Selat 
Karimata. Kedua perahu itu terus berlayar ke arah 
barat laut menuju ke gugusan pulau-pulau Riau.
“Ahooi, daratan!” tiba-tiba kesunyian yang 
membosankan terpecah oleh teriakan penjaga tiang 
layar. Kata-kata “daratan” bagi setiap orang yang

berlayar pastilah sangat menggembirakan, bagai air 
dingin menyiram tubuh yang kepanasan. Di situlah 
mereka dapat membayangkan untuk mendapatkan 
persediaan makanan, air, dan lain-lainnya.
Serentak para awak perahu berlarian ke dinding 
perahu sebelah kiri dan wajah-wajah mereka menjadi 
cerah ketika di arah barat laut tampak gugusan pulau-
pulau yang kehijauan subur. Ketika perahu bertambah 
dekat, makin nyata kesuburannya. Puncak-puncak 
pohon nyiur tampak melambai-lambai ditiup angin 
laut.
“Kakang Mahesa Wulung, kita telah sampai di 
Kepulauan Riau. Pastilah Kakang Hang Sakti dan 
Nurlela sudah tak sabar untuk menginjak kembali 
tanah tumpah darahnya,” Jogoyudo yang berdiri di 
samping Mahesa Wulung berkata pelan, dan 
mendengar itu Mahesa Wulung cuma tersenyum 
manis.
“Ya, sebentar lagi kita akan mendarat dan di saat 
inilah kita mulai lagi langkah-langkah pertama untuk 
tugas yang baru,” berkata Mahesa Wulung 
menyambung.
Ketika perahu jung berdua itu makin mendekati 
pantai, tampaklah hal yang ganjil. Semua keadaan 
tampak sepi. Seorang pun tak kelihatan berada di 
bandar, meski beberapa perahu besar berlabuh dan 
perahu-perahu kecil lainnya tertambat di tonggak-
tonggak kayu.
“Hmm, ada sesuatu yang kurang beres rupanya,” 
gumam Mahesa Wulung demi pandangannya 
dilayangkan ke bandar tersebut. “Jogoyudo, lekas 
perintahkan anak buah untuk meningkatkan 
kewaspadaan.”
“Apakah kita mendarat sekarang, Kakang?” tanya

Jogoyudo sementara Mahesa Wulung berpikir keras 
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
“Ya, kita mendarat sekarang juga. Tapi jangan lupa 
beberapa orang tetap tinggal di kapal untuk 
menciptakan meriam-meriam. Jika terpaksa, kita 
mendarat di bawah lindungan tembakan-tembakan 
meriam.”
“Oh, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu!” desis 
Jogoyudo penuh cemas, sebab iapun merasa bahwa di 
balik kesepian bandar Tanjung Pinang itu pastilah ada 
sesuatu yang tersembunyi.
Mungkin mautlah yang akan menyambut 
kedatangan mereka. Sebentar kemudian tampak 
Jogoyudo berkomat-kamit mengucapkan doa agar 
mereka dijauhkan dari bencana.
Mahesa Wulung memberi isyarat kepada perahu 
kedua dengan melambai-lambaikan pedangnya ke arah 
daratan dan segera perahu keduapun tampak sibuk 
menyiapkan pendaratan.
Suasana menjadi tegang. Lebih-lebih setelah 
sampan-sampan pendarat telah turun ke air dan 
didayung ke arah pantai. Semua awak perahu bersiaga 
dengan senjata masing-masing di tangannya.
Begitu kedelapan perahu kecil itu merapat di 
pantai, segera pula berlompatan awak-awak perahu ke 
tanah dan bersiaga. Namun tak sesuatu yang terjadi. 
Melihat hal ini Mahesa Wulung melangkah ke sebelah 
kanan mendapatkan Hang Sakti yang memimpin sayap 
kanan dari pagar manusia bersenjata itu. Sedang di 
pojok kiri, sayap barisan dipimpin oleh Jogoyudo.
“Kanda Hang Sakti, apakah kiranya Andika 
mengetahui seluk-beluk kota ini?” tanya Mahesa 
Wulung.
“Benar Dinda, aku tahu, sebab aku dilahirkan di

sini dan semasa kecil telah kujelajahi segenap pelosok 
pulau ini,” kata Hang Sakti. “Biarlah, sekarang aku 
coba untuk menyelidiki keadaan.”
Hang Sakti tanpa ragu-ragu melangkahkan kakinya 
ke depan sampai beberapa langkah. Setelah kira-kira 
dua tombak jauhnya dari barisan itu iapun berhenti 
tiba-tiba, tepat sebuah teriakan nyaring terdengar dari 
balik-balik rumpun pohon kelapa
“Berhenti! Melangkah lagi berarti maut bagimu!”
Mendengar teriakan ancaman itu Hang Sakti 
tertegun sejenak, sebab suara itu begitu lantang dan 
penuh mengandung tenaga dalam. Demikian juga 
Mahesa Wulung penuh bertanya-tanya dalam hati. 
Siapakah gerangan orang ini? Ia pernah mendengar 
dari perantau-perantau bahwa di Pulau Bintan ini 
tinggal beberapa pendekar sakti dari Malaka yang 
terpaksa bersembunyi di pulau ini setelah Malaka 
jatuh ke tangan Portugis di tahun 1511.
“Aku datang dengan maksud baik,” seru Hang Sakti 
lantang.
Sementara itu tampak Pandan Arum melolos 
senjata ampuhnya berupa selendang berwarna merah 
jingga. Begitu pula berkali-kali meraba cambuk pusaka 
Naga Geni yang diikatkan pada pinggangnya.
“Sebut namamu dahulu!” kembali teriakan nyaring 
terdengar dari rumpun pohon kelapa.
“Aku Hang Sakti dari Bintan.” Hang Sakti sekali lagi 
berteriak menjawab pertanyaan itu.
“Ooo, kau Hang Sakti? Baik, aku datang sekarang. 
Ha, ha, ha, ha.”
Bersamaan dengan derai ketawa yang 
mengumandang, melesatlah satu bayangan dari atas 
pohon kelapa yang mendarat ke tanah dengan 
ringannya seperti seekor tupai tepat tiga tombak di

depan Hang Sakti. Semua terkejut menahan napas, 
lebih-lebih dengan Mahesa Wulung sendiri. Ia begitu 
kagum melihat cara orang itu turun dari atas pohon 
kelapa.
Orang ini berbaju dan celana biru tua dan sarung 
tenun kotak-kotak hitam putih terpasang indah di 
pinggangnya, sedang ikat kepalanya hijau muda. Di 
tangannya tergenggam sebilah pedang yang berkilat 
tertimpa sinar matahari siang.
“Anaknda Hang Sakti?” seru orang itu ragu. 
“Benarkah penglihatanku ini ataukah mimpi, atau 
mungkinkah kau adalah hantunya dari mendiang 
muridku Hang Sakti?”
“Bapak Pendekar Prahara,” Hang Sakti berseru 
keheranan dan pada wajahnya terbayang kebingungan 
menghadapi hal ini. “Akulah Hang Sakti muridmu. Aku 
masih hidup dan kini berbicara di hadapanmu.”
“Aku pernah dengar bahwa kau bersama adikmu 
ketika berlayar ke Demak telah dicegat dan tewas oleh 
gerombolan bajak laut hitam Pulau Ireng.”
“Benar begitu, Bapak. Tapi kami berdua terhindar 
dari maut. Kami ditolong oleh Pendekar Barong 
Makara dari Demak!” berkata Hang Sakti untuk 
meyakinkan gurunya. Juga tiba-tiba dari barisan 
pendarat itu keluarlah Nurlela dan maju ke depan 
mendekati kakaknya yang tengah asyik berbicara 
dengan Pendekar Prahara.
“Bapak Pendekar, kami berdua masih hidup!” ujar 
Nurlela pula, sehingga pendekar setengah tua itu 
menjadi yakin dan manggut-manggut. Wajahnya 
tampak cerah dan ia tersenyum. Meski begitu di sudut 
matanya mengembang butiran air mata pertanda rasa 
haru bercampur gembira.
Melihat ini, Mahesa Wulung pun segera pula

mendekati mereka bertiga. Hang Sakti segera 
memperkenalkan Mahesa Wulung kepada gurunya.
“Bapak Pendekar Prahara, inilah sahabatku, 
Pendekar Barong Makara dari Demak.”
Keduanya berkenalan dan berjabat tangan.
“Perkenalkan Bapa, saya Barong Makara dari 
Demak,” kata Mahesa Wulung sambil mengangguk 
hormat.
Pendekar separo umur itupun mengangguk hormat.
“Terima kasih, Tuan. Anda telah menolong murid-
muridku. Untuk ini Prahara mengucapkan terima 
kasih yang tak terhingga besarnya. Semoga Tuhan 
Yang Maha Pemurah melimpahkan karuniaNya untuk 
Anda.”
Kini suasana tegang beralih cerah dan ketika 
Pendekar Prahara melambaikan tangannya tiga kali ke 
arah rumpun kelapa dan ilalang, dari balik batang-
batang pohon kelapa bermunculanlah orang-orang 
bersenjata.
“Mereka adalah pasukan-pasukan dari pulau ini. 
Maka lebih dulu, harap dimaafkan jika kami 
mengejutkan kalian dengan sikap ini. Beberapa hari 
yang lalu pulau ini telah didatangi oleh segerombolan 
bajak laut Iblis Merah dari Selat Karimata. Hanya 
sayang pada waktu itu saya sedang berjalan jauh 
hingga mereka sempat mengobrak-abrik bandar ini. 
Sebelum gerombolan itu minggat lagi dari tempat ini, 
mereka masih mengancam bahwa suatu ketika mereka 
akan datang kembali. Gerombolan Iblis Merah memang 
termashur keganasannya. Terutama yang paling 
ditakuti orang-orang ialah pemimpinnya yang bernama 
Lanun Sertung.”
“Lanun Sertung?” seru Mahesa Wulung kaget.
“Apakah Anda pernah mendengarnya?” kata

Pendekar Prahara. “Agaknya nama itu amat berkesan 
bagi Tuan Barong Makara.”
“Benar, Bapak. Nama Lanun Sertung selalu terpatri 
di dalam hatiku. Sebab kepadanyalah saya harus 
menumpahkan dendam untuk membalas kematian 
ayahku yang dirampoknya di Selat Karimata,” kata 
Mahesa Wulung, hingga Pendekar Prahara 
mengangguk-angguk.
“Hmm, tapi menjatuhkannya tidaklah semudah 
perkiraan kita. Karena ia terhitung pendekar jagoan 
dengan ilmu pedangnya, ‘Si Mata iblis’ yang tak 
terkalahkan. Ilmu itu lebih hebat dari yang aku punyai 
sekarang ini. Telah berapa saja pendekar-pendekar 
sakti yang tewas di ujung pedangnya. Jika ia telah 
menggerakkan pedangnya, maka kita tidak akan 
melihatnya kecuali hanya bunyi berdesing, dan tahu-
tahu lawannya akan mati tergeletak bermandi darah. 
Begitulah, Lanun Sertung menjadi tokoh yang ditakuti 
dan untuk menyebut namanya saja, orang sudah 
cukup ngeri rasanya. Dengan dasar kenyataan 
tersebut dan ancaman-ancaman yang ditimpakan 
kepada kami, maka tak ada salahnya jika kami 
mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap sepak 
terjangnya yang malang melintang tanpa tandingan. 
Meskipun kami sadar bahwa perlawanan itu tidak 
akan banyak menolong kami, namun kami lebih 
mantap jika menghadapi mereka dengan kekerasan 
pula. Buat kami, mati bertempur melawan mereka 
lebih baik daripada menyerah begitu saja atau mati 
secara cuma-cuma di tangan mereka.”
“Kapankah mereka kira-kira menyerang tempat ini, 
Bapak?” tanya Mahesa Wulung kepada pendekar tua 
itu.
“Itulah yang kami tidak ketahui dengan pasti,” ujar

Prahara. “Mereka punya kebiasaan untuk menyerang 
lawannya secara tiba-tiba. Namun kami telah siap-siap 
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. 
Kedatangan Tuan Barong Makara dan kedua muridku 
itu sungguh di luar dugaan dan sangat kebetulan 
sekali dalam saat-saat seperti ini.”
Prahara berhenti sejenak.
Sementara itu tampaklah keakraban yang cepat 
terjalin antara laskar-laskar dari Bintan dan anak 
buah Mahesa Wulung dari Demak. Di sana-sini mereka 
pada asyik bercerita dan kadang-kadang diselingi 
dengan gelak ketawa.
“Aku kira ada baiknya kalau Tuan Barong Makara 
beristirahat. Bukankah jarak Demak sampai ke Pulau 
Bintan ini cukup jauh? Pastilah perjalanan tersebut 
sangat melelahkan,” ujar Pendekar Prahara dengan 
ramahnya.
“Terima kasih, Bapak. Memang perjalanan sejauh 
itu amat melelahkan,” Mahesa Wulung berkata lirih.
“Besok Tuan akan kami antar ke kota Bintan untuk 
menghadap Sultan Bintan. Beliaulah sebenarnya yang 
mengutus Hang Sakti untuk datang ke Demak.”
***
Tetapi malam itu Mahesa Wulung merasa gelisah 
sedang matanya sukar sekali untuk diajak tidur. 
Mengalami hal ini, Mahesa Wulung teringat akan 
semua kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Sejak 
pertama ketika terlibat dalam pertempuran melawan 
gerombolan hitam Alas Roban di pantai utara Jawa, 
kemudian melawan bajak laut Pulau Ireng dari 
Karimun Jawa dan kini ia sekali lagi ditugaskan 
menumpas kawanan perompak laut Iblis Merah. Tugas 
ini bukanlah tugas yang boleh dipandang ringan begitu

saja, karena ia sebagai ksatrya laut dari armada 
Demak telah sadar bahwa tugas ini, yang telah 
dipercayakan kepada dirinya oleh Kesultanan Demak, 
adalah atas permintaan Sultan Bintan dan benar-
benar harus dilaksanakan dengan baik
Malam itu sungguh terasa dingin sekali, lebih-lebih 
angin bertiup cukup kencang. Daun kelapa terdengar 
bergesek-gesek seperti lagunya orang yang resah, 
seresah hati Mahesa Wulung atau Barong Makara yang 
malam itu berjalan mondar-mandir di kamarnya.
Hawa dingin yang bertiup di larut malam itu terasa 
tidak wajar, seolah-olah bukan dari alam, tapi dari 
suatu kekuatan lain yang luar biasa hebatnya. Barong 
Makara mula-mula juga merasakan dingin, maka 
cepat-cepat ia duduk bersila dan mengerahkan 
segenap kekuatan lahir batinnya untuk menolak rasa 
dingin tersebut. Dalam hati Mahesa Wulung dipenuhi 
oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum ketemu 
jawabannya. Jika orang sudah terserang rasa dingin 
ini, pastilah ia tertidur pulas.
“Hmm, menilik rasa dingin yang menyerang ini, 
pastilah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai 
kesaktian sirep cukup hebat. Tapi siapakah orangnya? 
Tunggulah, aku kini sudah hampir mengatasi 
pengaruh sirepnya.”
Mahesa Wulung yang duduk bersila dengan kedua 
sisi telapak tangan ditekuk lurus ke atas di depan 
dadanya tak lama kemudian berhasil mengatasi rasa 
dingin yang menusuk tulang itu. Dengan pelan 
dibukanya sedikit jendela kamarnya, dan terlihatlah 
bulan penuh mengembang di langit malam dengan 
indahnya.
Maka Mahesa Wulung terus menyelidiki. Mula-mula 
ke pohon-pohon kelapa, kemudian beralih ke tepi

pantai sana. Beberapa perahu tampak berlabuh 
dengan tenangnya di bandar, termasuk kedua perahu 
jung yang dibawanya dari Demak. Tiba-tiba pandangan 
matanya tersampar ke sebelah tenggara, di mana 
tampak sebuah perahu terbujur di pasir terlindung 
oleh semak-semak pohon bakau. Beberapa orang 
tampak mengendap-endap dan mendekati rumah 
tempat ia berada. Sedang penjaga tergeletak tidur 
pulas di tanah karena termakan oleh sirep tadi.
Melihat hal ini, Mahesa Wulung cepat-cepat
bersiaga di belakang pintu masuk. Malam makin 
bertambah larut dan sekali-sekali terdengar suara-
suara binatang malam, sehingga suasana menjadi 
lebih tegang rasanya. Telinga Barong Makara yang 
tajam dapat menangkap bunyi telapak-telapak kaki 
yang menginjak tangga rumah. Bunyi itu berhenti 
tepat di muka pintu masuk dan tiba-tiba sebuah 
tangan menguak pintu pelan-pelan.
Ketika itu sebuah kepala melongok ke dalam rumah 
dan Mahesa Wulung yang telah bersiaga itu, tak mau 
menunggu lebih lama lagi. Cepat ia bertindak!
Betapa terkejutnya orang yang masuk itu ketika 
tangannya terasa ditarik oleh sepasang tangan yang 
kokoh dan belum lagi ia sempat memperbaiki dirinya, 
sebuah kepalan tangan sekeras batu telah menimpa 
rahang kirinya. Maka tak ampun lagi si penyerang 
jatuh terbanting ke lantai.
Semula dengan jatuhnya orang tadi, Mahesa 
Wulung merasa lega, namun tiba-tiba saja orang 
tersebut bangun dengan cekatan dan langsung kedua 
tangannya menyerang leher Mahesa Wulung dengan 
cekikan maut. Barong Makara tidak nyana sama sekali 
mendapat serangan demikian dan betapa terkejutnya, 
mendadak nafasnya menjadi sesak karena serangan

tersebut. Hampir-hampir saja Mahesa Wulung 
kehilangan akal.
Maka cepat-cepat ia mengepal kedua tangannya 
menjadi satu, lalu dengan sekuat tenaganya ia
menghempaskannya ke atas, sampai membentur 
kedua tangan lawannya dengan keras. Sebuah 
teriakan tertahan meluncur dari mulut lawannya dan 
cekikan maut itu terlepaslah.
Yang mengherankan Mahesa Wulung ialah daya 
tahan orang tersebut. Begitu serangannya merasa 
gagal, ia kembali berputar dan sebuah kakinya 
meluncur menyerang Mahesa Wulung di arah ulu hati. 
Kali ini Mahesa Wulung lebih waspada. Sebelum ujung 
kaki itu mengenai dadanya, ia berkelit ke samping dan 
hampir sukar ditangkap dengan mata, tahu-tahu si 
penyerang kena ditangkap kakinya, kemudian 
langsung ia mendorongnya ke arah pintu masuk. 
Disertai bunyi berserak dan jeritan, tubuh si 
penyerang yang didorong itu terhempas ke pintu yang 
ambrol berkeping-keping.
Mahesa Wulung segera memburu, tapi sampai di 
ambang pintu, sekali lagi ia melihat satu pemandangan 
yang sukar ditangkap kebenarannya. Tubuh lawannya 
yang terpelanting keluar rumah dan melayang jauh ke 
bawah, ketika berada di udara ia jungkir balik dan 
dengan kedua kakinya lebih dulu, ia mendarat dan 
berdiri tegak di tanah.
“Hee, keparat kau. Ayo lekas turun kalau kau 
memang laki-laki sejati. Jangan terus-terusan 
bertengger di atas seperti ayam saja,” terdengar 
lawannya menantang dari bawah sambil bertolak 
pinggang sangat sombongnya.
Benar-benar membuat telinga Mahesa Wulung 
merah mendengar tantangan orang tersebut. Maka tak

ada jalan lain kecuali menerimanya. Sambil 
mengetrapkan aji Baju Rasa, Mahesa Wulung segera 
meloncat turun ke tanah dengan enaknya tepat di 
muka lawannya, dan di saat yang bersamaan, 
meloncatlah dari semak-semak gelap di sekelilingnya 
tidak kurang dari sepuluh orang bersenjata pedang 
yang segera mengurungnya serta membuka 
serangannya.
“Tahan! Kalian lihat saja dulu. Biar aku yang 
pertama-tama melawan dan merobohkannya. Setelah 
itu barulah kalian boleh mencincangnya lumat,” seru 
orang yang menjadi lawan utama Mahesa Wulung.
Di saat itu Mahesa Wulung agak merasa kaget, 
sebab ia merasa pernah mendengar suara lawannya. 
Dan ketika sinar purnama menerangi wajah orang itu, 
benar-benar ia merasa kaget. Lawan yang dihadapinya 
berdiri di mukanya, tidak lain adalah Marangsang yang 
dulu pernah bertemu di Karimun Jawa.
“Kau, Marangsang?” desis Barong Makara penuh 
kemarahan. “Kau yang dulu pengecut dan lari dari 
pertempuran melawan kami?”
“Keparat! Kau masih ingat aku, ya! Baiklah. Justru 
kedatanganku ke mari ini untuk mengganyangmu, 
setan!” seru Marangsang garang dan kini telah mulai 
membuka serangannya dengan sabetan sisi telapak 
tangannya.
Dalam hati Mahesa Wulung mengakui ketangguhan 
lawannya, tapi ini bukan berarti membikin kecil 
hatinya, malahan ia lebih hati-hati dan 
memperhitungkan langkah-langkah berikutnya dengan 
teliti.
Dalam sekejap mata saja, tempat itu sudah menjadi 
gelanggang pertempuran dahsyat antara dua jago silat 
yang terbilang gemblengan. Sementara mereka

bertempur, beberapa anak buah Marangsang tetap di 
tempatnya dan berpencar merupakan lingkaran yang 
mengelilingi arena pertempuran tersebut. Masing-
masing terpaku melihat lawannya dapat menandingi 
pemimpin mereka dengan baik.
Marangsang yang selama ini selalu menjadi 
kebanggaan mereka dan terkenal tak terkalahkan, kali 
ini mendapat lawan yang seimbang. Bahkan setelah 
bertempur lima belas jurus, tampaklah oleh mereka 
bahwa Marangsang mulai tergeser kedudukannya. 
Meski begitu, dasar ia seorang yang berkepala batu, 
maka segera ia melipat-gandakan serangannya yang 
datangnya bergulung-gulung laksana badai 
menghempas ke arah Mahesa Wulung.
Suatu kali sebuah tebasan sisi telapak tangan 
Marangsang mendatar dan membabat ke arah kepala 
lawannya. Mahesa Wulung cepat merendahkan tubuh 
dan kedua tangannya disilangkan melindungi kepala, 
siap untuk menyambut gempuran tangan Marangsang. 
Tapi rupa-rupanya gerakan tadi hanyalah tipuan 
belaka, sebab di saat Mahesa Wulung merendahkan 
tubuhnya, tiba-tiba kaki kanan Marangsang meluncur 
dan menggempur kaki kanan lawannya.
Gempuran itu sangat mengagetkan jadinya, sebab 
tubuh Mahesa Wulung jatuh cekakaran di tanah. Dan 
sebaliknya, Marangsang begitu kakinya menggempur 
kaki lawannya, ia mengeluarkan satu jeritan pilu yang 
panjang disusul maki-makian.
Kalau semula ia mengira bahwa gempuran tersebut 
akan mengakibatkan kaki lawannya remuk, tetapi kali 
ini lawannya masih segar bugar ketika terjatuh sedang 
kakinya tak cidera sedikitpun. Lebih heran lagi dengan 
kakinya sendiri, ketika bergempur itu seolah-olah 
kakinya menghantam satu tembok batu karang


sehingga ia sambil menjerit cepat-cepat menarik 
kembali kakinya dan mundur menjauhi Mahesa 
Wulung dengan terpincang-pincang disertai mulutnya 
melolong-lolong kesakitan.
Kejadian yang terjadi demikian cepatnya itu, 
menyebabkan para anak buah Marangsang heran dan 
seperti terpukau. Mereka sesaat diam terpaku seperti 
arca.
Seorang di antaranya tersadar dan cepat melolos 
pedangnya untuk kemudian dilemparkannya ke arah 
Mahesa Wulung yang saat itu masih tergempuran tadi. 
Bagai sinar putih, pedang tadi melesat dan begitu 
seolah-olah hampir menancap di dada Mahesa 
Wulung, pendekar ini dengan satu gerakan yang sukar 
ditangkap mata cepat menggerakkan kedua tangannya 
dan tahu-tahu kedua sisi telapak tangannya telah 
menjepit bagian tengah dari bilah pedang.
Dalam sekejap sambil bangkit, Mahesa Wulung 
telah menguasai pedang tadi yang sekaligus 
diputarnya laksana baling-baling dan menimbulkan 
pusaran angin panas. Melihat ini, ke sepuluh anak 
buah Marangsang segera menyerangnya bersama dari 
segenap jurusan. Mereka tetap dalam tata lingkaran 
dan sambil menyerang Mahesa Wulung, mereka 
bergerak berkeliling berputar-putar dengan tujuan 
untuk membingungkan lawannya.
Ternyata harapan mereka adalah sia-sia belaka. 
Malahan mata pedang Mahesa Wulung bergerak begitu 
cepat seperti ular yang mematuk-matuk, mengancam 
jiwa mereka. Suara gemerincing pedang yang beradu 
diseling dengus nafas dan teriakan-teriakan perang 
menggema di arena pertempuran saling bergantian, tak 
ubah irama kematian.
Rupanya salah seorang anak buah Marangsang

sudah tak sabar lagi, maka ia lekas mengirim tebasan 
pedang ke arah perut Mahesa Wulung.
Trang! Tak!
Si penyerang melongo kecut karena pedangnya kena 
ditangkis oleh pedang Mahesa Wulung yang memagari 
perutnya dengan teguh. Belum lagi ia sempat 
memperbaiki diri, tiba-tiba....
Syraattt!!!
Seleret sinar pedang Mahesa Wulung menebas 
bahunya dan anak buah Marangsang ini menjerit ngeri 
lalu rebah ke tanah dengan luka terbelah pada 
bahunya yang menyemburkan darah segar!
Korban pertama telah jatuh. Biar begitu, kesembilan 
lawan Mahesa Wulung tak menjadi takut, karena bau 
darah bagi perompak-perompak laut itu seperti 
menggugah semangat mereka untuk bertempur lebih 
hebat lagi. Dan lama-lama Mahesa Wulung benar-
benar kerepotan juga menghadapi mereka.
Marangsang masih mengawasi saja jalannya 
pertempuran. Jika rasa nyeri pada kakinya telah 
hilang, pastilah ia segera ikut mengurung Mahesa 
Wulung. Dengan sedikit terpincang-pincang, 
Marangsang melangkahkan ke arah titik pertempuran 
dengan menghunus pedangnya.
Marangsang di dalam hati mengakui kehebatan 
Mahesa Wulung yang telah mampu menghadapi 
kesepuluh anak buahnya yang terpilih dalam tugas ini. 
Bahkan kini seorang di antaranya telah menjadi 
korban sabetan pedang Mahesa Wulung sehingga 
Marangsang betul-betul penasaran melihat kejadian 
tadi.
“Edan! Dia telah berani membunuh seorang anak 
buahku,” geram Marangsang. “Sekali ini kau harus 
mampus di tanganku juga!”

Sambil memutar pedangnya yang berpusaran 
seperti taufan, Marangsang kembali menyerang dengan 
ganas ke arah Mahesa Wulung.
Ternyata yang dikepung itu cukup lincah dan tubuh 
Mahesa Wulung seolah-olah menjadi sepuluh saking 
cepat gerakannya. Hanya saja Marangsang kini ikut 
mengeroyoknya, sehingga terasa bahwa lama-
kelamaan Mahesa Wulung lebih banyak bersifat 
mempertahankan diri daripada menyerang para 
pengepungnya! Sayang sekali, dalam pertempuran ini 
Mahesa Wulung tidak sempat menggunakan senjata 
ampuhnya si cambuk sakti Naga Geni, karena masih 
tersimpan di dalam kamarnya. Dan lagi keadaan 
memang sangat mendesak pada waktu itu, serta 
serangan Marangsang tidak terduga-duga sama sekali 
datangnya.
Di saat pertempuran itu berjalan dengan hebatnya, 
sepasang mata di antara semak-semak di bawah 
pohon kelapa terus mengawasinya dan tiba-tiba saja 
mulut orang ini mengeluarkan tertawa kecil yang 
berderai persis suara ringkikan kuda! Suara itu 
bergetar di udara malam dan membuat mereka yang 
bertempur itu sangat terkejut, sehingga mau tak mau 
terpaksalah mereka berhenti sejenak.
Bersamaan derai ketawa aneh itu menjadi surut, 
bayangan hitam itu meleset dan dengan lincahnya 
melayang turun di tengah lingkaran pertempuran.
Hampir semua orang merasa terpesona dengan 
peristiwa itu, lebih-lebih dengan Mahesa Wulung 
sendiri. Sebab orang tadi yang ketawanya aneh tahu-
tahu saja sudah berdiri di samping Mahesa Wulung.
“Eh, Bapak Pendekar Prahara!” seru Mahesa 
Wulung gembira bercampur kagum, melihat orang tua 
ini bisa terbebas dari pengaruh sirep Marangsang dan

anak buahnya.
“Ha, ha, ha. Selamat malam, Anaknda Barong 
Makara. Aku tadi terganggu tidurku karena suara 
ribut-ribut di luar. Dan ternyata kalian tengah 
bermain-main di bawah sinar bulan. Maka izinkanlah 
aku ikut serta meramaikan permainanmu ini!” ujar 
Pendekar Prahara penuh kelakar.
“Setan tua!” umpat Marangsang jengkel dan marah. 
“Kau jangan turut campur dengan urusanku ini. Kami 
punya persoalan sendiri dengan Barong Makara dan 
harus kami selesaikan tanpa pihak lain yang campur 
tangan.”
“Hmm, kau boleh ngomong semaumu, Marangsang! 
Tapi kau harus ingat bahwa saat ini Barong Makara 
menjadi tamuku di sini. Dan setiap tuan rumah pasti 
akan mati-matian menjaga keselamatan tamunya,” 
kata Pendekar Prahara dengan tenangnya, sampai-
sampai Marangsang dengan anak buahnya 
bergemertakan giginya saking mangkalnya. “Nah, 
kiranya kalian tidak keberatan, bukan, jika aku turut 
bermain-main?”
“Setan tua, aku tak keberatan kau ikut bermain-
main dengan kami. Justru pedang-pedang kami ini 
sudah haus minum darah!” Marangsang berseru 
sambil memberi isyarat kepada ke sembilan anak 
buahnya untuk menyerang kedua lawannya.
Maka terjadilah untuk kedua kalinya di tempat ini 
pertempuran yang lebih hebat daripada yang semula. 
Kalau tadi hanya mampu menangkis serangan-
serangan lawan, kini Mahesa Wulung ganti menyerang 
dan menghantam lawannya. Ini terjadi berkat 
kedatangan Pendekar Prahara yang tepat pada 
waktunya.
Meskipun ilmu pedang Mahesa Wulung tidak

sehebat Pendekar Prahara, tapi keduanya bergerak 
saling mengisi, laksana dua ekor burung sikatan yang 
mengejar belalang.
Sambil bertempur itu Marangsang sibuk memeras 
akalnya, sebab jika ia bersama anak buahnya 
bersama-sama menyerang kedua musuhnya yang 
bergerak berpasangan itu, pastilah pertempuran ini 
tidak ada kesudahannya. Mungkin sampai pagi atau 
siang belum selesai. Dengan satu suitan nyaring dari 
mulutnya, sekali lagi Marangsang memberi isyarat 
kepada anak buahnya dan mereka yang sudah terlatih 
itu, dapat menangkap segera apa maksud isyarat 
pemimpinnya.
Kemudian Marangsang diikuti oleh ke empat anak 
buahnya bergerak ke samping untuk memberi 
tekanan-tekanan berat kepada Mahesa Wulung, 
sementara ke lima anak buahnya yang lain bersama-
sama menyerang ke samping lain untuk menekan ke 
arah Pendekar Prahara. Dengan demikian, mau tidak 
mau akhirnya terpaksalah gerak berpasangan antara 
Barong Makara dengan Pendekar Prahara menjadi 
terpecah belah, sehingga pertempuran itu berubah 
menjadi dua lingkaran.
Pendekar Prahara memang jago pedang yang sudah 
terkenal namanya. Dan seperti namanya sendiri, ilmu 
pedangnya itu mampu bergerak seperti prahara yang 
dahsyat dan ia namakan ‘Seribu Badai’.
Ketika pertempuran itu mencapai jurus yang ke 
lima belas, pendekar tua itu dengan manisnya 
menggenjotkan tubuh ke udara bertepatan dengan ke 
lima pedang lawannya membacok berbareng.
Traaang!
Senjata-senjata mereka saling beradu karena 
sasarannya meleset ke atas. Hampir-hampir tak

percaya mereka melihat pendekar tua itu dengan 
enaknya lolos dari serangan pedang mereka yang rapat 
dan ganas. Selagi pedang-pedang tadi beradu, kembali 
Pendekar Prahara melayang turun sambil 
menggerakkan pedangnya, dengan satu putaran 
secepat baling-baling sampai sukar ditangkap oleh 
pandangan mata kelima lawannya.
Sraaatt!
Terdengar suara tebasan pedang, kemudian disusul 
tiga jeritan ngeri sekeras-kerasnya, memenuhi udara 
malam yang dingin. Dua orang lawan pendekar tua itu 
masing-masing memegang dada dan yang satu 
menekan kepalanya, karena masing-masing terluka 
hebat menyemprotkan darah segar. Sementara itu 
seorang lagi menjerit-jerit karena tangan kanannya 
yang memegang pedang sebatas siku terbabat putus 
oleh pedang Pendekar Prahara dan benda itu 
terhempas ke tanah disertai darah memercik di 
sekitarnya.
Tiga orang lawan pendekar tadi tak lama kemudian 
telah tak bernyawa. Dua orang yang lain melihat hal 
ini serentak mundur ke belakang dengan ketakutan.
Demikian yang lain, ketika terdengar jeritan ngeri, 
Mahesa Wulung yang sibuk menghadapi ke lima 
lawannya sempat melirik ke arah lingkaran 
pertempuran antara Pendekar Prahara dengan anak 
buah Marangsang. Betapa kagetnya ketika ia melihat 
sabetan pedang pendekar tua itu sekaligus 
merobohkan tiga orang lawannya.
Demikian pula dengan Marangsang sendiri. Ia pun 
terkejut menyaksikan ilmu pedang pendekar tua itu. 
Selama ini ia hanya pernah menyaksikan ilmu pedang 
yang dimiliki oleh Lanun Sertung pemimpinnya sendiri 
yang mirip dengan ilmu pedang pendekar tua itu.


Keduanya sama hebatnya.
Oleh sebab itu, ia pun sibuk menebak-nebak sendiri 
di dalam hatinya. Jangan-jangan Barong Makara yang 
kini dihadapinya ini, juga memiliki ilmu pedang yang 
sama dahsyatnya. Maka ia pun mulai bimbang 
hatinya.
Di saat itu tiba-tiba dilihatnya seleret sinar dan 
tahu-tahu pedang Mahesa Wulung meluncur menetak 
ke arah kepalanya. Untung ia sudah banyak 
pengalaman, meski dengan cekakaran ia cepat 
menangkis dengan pedangnya pula. Dua bunyi 
benturan senjata yang keras terdengar, kemudian 
disusul tubuh Marangsang terpental ke tanah, karena 
ia tak kuat menahan benturan pedang Mahesa Wulung 
yang dilambari oleh tenaga dalamnya.
Empat orang anak buahnya, melihat Marangsang 
jatuh ke tanah, cepat-cepat menyerbu Mahesa Wulung 
bersama-sama sebelum lawannya ini bertindak lebih 
jauh. Tapi Mahesa Wulung sekali lagi secepat kilat 
menyambar pedangnya dan dua jeritan terdengar 
berbareng dan seorang bajak laut terluka dadanya 
sedang yang seorang lagi rebah ke tanah dengan 
bahunya yang terpotong dan mengucurkan darah.
Melihat lima orang anak buahnya telah rubuh tak 
bernyawa dan seorang lagi luka-luka, maka hati 
Marangsang menjadi berdebar ketakutan. Lebih-lebih 
jika ia ingat dengan si Lanun Sertung pemimpinnya. 
Apakah kata orang yang terkenal kejam itu, bila ia 
ternyata gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk 
menyingkirkan Barong Makara.
Marangsang akhirnya sampai pada suatu 
kesimpulan bahwa pertempuran ini tidak bakal 
menguntungkan dirinya. Kalau seandainya tadi 
mereka hanya menghadapi Barong Makara seorang

diri, pastilah keadaannya tidak seperti sekarang ini. 
Tapi kedatangan Pendekar Prahara benar-benar 
mengacaukan rencana!
Dengan demikian Marangsang tidak punya pilihan
lain kecuali harus melarikan diri. Karena itu dengan 
suitan nyaring seperti siulan hantu yang bernada 
tinggi dan penuh tenaga dalam, Marangsang memberi 
isyarat kepada anak buahnya, sementara tangannya 
merauk tanah dan secepat kilat dilemparkannya ke 
arah kedua lawannya.
“Awas, Barong Makara! Tiarap!” teriak Pendekar 
Prahara melihat bahaya yang mendatang.
Begitu kedua pendekar itu meniarap ke tanah, 
terasalah di atas tubuh mereka butir-butir pasir pantai 
yang dilemparkan oleh Marangsang itu berdesing-
desing bunyinya lewat dengan kencangnya. Untunglah 
mereka bertiarap dan luput dari serangan aneh tadi. 
Seandainya tidak, pastilah tubuh-tubuh mereka akan 
ditembusi oleh butir-butir pasir dan merasuk ke dalam 
hingga mereka menimbulkan kematian yang 
mengerikan.
Berbareng dengan serangannya itu, Marangsang 
diikuti oleh kelima anak buahnya segera melarikan diri 
ke arah perahu mereka. Semua berjalan dengan 
cepatnya. Mahesa Wulung dan Pendekar Prahara yang 
mengawasi cara berlari dari Marangsang dengan anak 
buahnya benar-benar kagum. Mereka berdua seperti 
kijang.
Seperti berkemauan yang sama, mereka berdua 
tidak berusaha untuk mengejar lawannya sebab masih 
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh 
mereka, yaitu membebaskan orang-orang yang 
termakan sirep hebat dari Marangsang.
Bagai disiram oleh tetesan-tetesan embun malam

yang dingin menyejukkan, terasalah hati Mahesa 
Wulung menjadi lega, setelah maut yang mengancam 
mereka telah berlalu. Kini ia bersama Pendekar 
Prahara sibuk menolong orang-orang dari pengaruh 
sirep.
***
DUA


BEBERAPA hari kemudian, sebuah rumah besar di 
kota Bintan tampaklah berpuluh-puluh prajurit 
menciptakan kudanya. Sementara itu, di depan tangga 
rumah, tampaklah Pendekar Prahara dan Barong 
Makara bergantian berjabat tangan dengan seorang 
berpakaian bangsawan.
“Nah, Tuan Barong Makara,” ujar bangsawan itu, 
“bawalah prajurit-prajuritku ini untuk menjaga bandar 
Tanjungpinang. Jika perlu Tuan boleh membawanya 
ke Selat Karimata untuk menumpas kawanan bajak 
laut Iblis Merah di sana!”
“Terima kasih, Pangeran Ahmad. Semoga keadaan 
tidak berkembang terlalu buruk dan mereka dapat kita 
tumpas dengan cepat,” kata Mahesa Wulung 
kemudian. “Jika mereka benar-benar akan menyerang 
bandar Tanjungpinang, pasti mereka kita hancurkan 
di tempat itu juga!”
“Hmm, yah, aku pun berharap demikian, Tuan 
Barong Makara. Dan Sultan Malaka menyampaikan 
salamnya untuk Anda!”
Belum lagi mereka melanjutkan bicaranya, tiba-tiba 
dari arah tenggara tampaklah debu-debu berkepul-
kepul dan sesaat kemudian tampak seorang yang 
memacu kudanya ke arah mereka dengan wajah yang


membayangkan kecemasan. Begitu menghentikan 
kudanya, penunggang kuda tersebut meloncat turun 
dan langsung mendapatkan Pendekar Prahara. Setelah 
memberi salam orang tersebut berkata dengan 
terengah-engah.
“Wah... Bapak Pendekar Prahara. Ketiwasan, Bapak. 
Mereka telah mengepung bandar Tanjungpinang dari 
lautan dan rupa-rupanya mereka telah bersiap-siap 
menyerbu ke darat!”
“Bandar Tanjungpinang terkepung?” Pendekar 
Prahara terkejut mendengar penuturan orang itu. 
“Siapa yang kau maksud dengan ‘mereka’ itu?”
“Mereka adalah orang-orang bajak laut Iblis Merah 
dari Selat Karimata!”
“Kalau demikian, kita harus selekasnya kembali ke 
Tanjungpinang serta membantu menghalau orang-
orang Iblis Merah!” terdengar Mahesa Wulung 
memotong percakapan.
“Aku setuju dengan pendapatmu itu, Tuan Balung 
Makara,” sela Pangeran Ahmad. “Nah, saya kira kalian 
harus cepat-cepat menuju ke sana! Kami doakan 
semoga Tuhan menjauhkan kalian dari marabahaya.”
“Terima kasih, Pangeran!”
Tak lama kemudian setelah mereka meminta diri 
serta saling berjabat tangan, Mahesa Wulung, 
Pendekar Prahara serta puluhan prajurit dari Bintan 
dengan cepat memacu kudanya masing-masing ke 
arah tenggara sampai debu berkepulan naik ke 
angkasa.
Mereka benar-benar merasa cemas dan ingin lekas 
tiba di Tanjungpinang untuk membantu kawan-kawan 
mereka dalam pertempuran melawan perompak-
perompak laut itu. Kuda Mahesa Wulung dilarikan 
dengan kencangnya di udara siang yang amat panas

menyusuri sebuah teluk. Dan di belakangnya, kira-kira 
satu tombak jaraknya, Pendekar Prahara juga memacu 
kudanya seperti dikejar setan. Di belakangnya pula 
tampaklah prajurit-prajurit Bintan yang berkuda.
Kalau kawanan perompak laut Iblis Merah telah 
menyerang bandar itu, Mahesa Wulung sebenarnya 
merasa senang. Sebab memang itulah yang 
diharapkan. Mereka pasti akan lebih mudah dilawan di 
daratan daripada di laut. Hal ini sesuai dengan 
kemampuan prajurit-prajurit Bintan yang dibawanya. 
Mereka lebih sesuai dan terbiasa untuk pertempuran-
pertempuran di darat.
Sambil berpacu itu, pikirannya jauh melayang ke 
bandar itu, yang hanya dijaga oleh lima puluh orang, 
termasuk Hang Sakti, Nurlela, Pandan Arum dan 
Jogoyudo. Seandainya gerombolan Iblis Merah itu 
mengerahkan semua pasukan, bandar Tanjungpinang 
bisa bertahan sampai malam nanti.
Mengingat ini semua, lebih-lebih dengan 
keselamatan sahabat-sahabatnya, Barong Makara 
menyeringai dan giginya gemeretah penuh dendam 
terhadap gerombolan Iblis Merah yang juga telah 
menewaskan ayahnya di Selat Karimata beberapa 
tahun yang silam.
Beberapa saat mereka berkuda menyusuri teluk 
dan ombak pun menggeru-geru memecah ke pantai, 
seolah-olah berteriak kepada mereka yang tengah 
berkuda ke arah selatan itu, “Cepat! Cepatlah memacu 
kudamu! Teman-temanmu di Tanjungpinang 
memerlukan bantuanmu! Jika kalian terlambat pastilah 
mereka dibinasakan oleh orang-orang Iblis Merah itu.”
Kini mereka telah mendekati daerah Tanjungpinang. 
Dari kejauhan tampaklah asap hitam berkepul 
menggulung-gulung ke angkasa diseling dentuman

meriam terdengar sayup-sayup ke telinga mereka.
“Kebakaran!” seru Pendekar Prahara kepada 
Mahesa Wulung yang kini telah berkuda 
berdampingan. “Kita harus cepat-cepat tiba di sana, 
Barong Makara!”
“Ya, mari kita bersiap-siap memasuki arena 
pertempuran!” teriak Mahesa Wulung keras-keras.
Kemudian tangan kanannya diacungkan ke atas 
dan serentak prajurit Bintan bersiaga. Yang berpedang 
segera menghunus senjata-senjata mereka dari 
sarungnya, dan yang bertombak pun mempersiapkan 
tombaknya pula. Setelah Mahesa Wulung melihat 
prajurit-prajurit telah bersiap, kemudian tangan 
kanannya yang mengacung ke atas segera memberi 
isyarat. Antara ibu jari dan jari telunjuknya 
membentuk setengah lingkaran dan para prajurit itu 
segera tahu akan tugasnya.
Mereka serentak bergerak dan membentuk barisan 
berkuda setengah lingkaran. Pendekar Prahara segera 
pula berpacu ke arah ujung yang kiri dan memimpin 
sayap kiri dari barisan. Sedang Barong Makara 
memimpin sayap kanan.
Berbareng dengan aba-aba “Serbu!!!”, maka 
pasukan berkuda dengan bentuk ‘tapal kuda’ itu cepat 
berpacu ke arah bandar Tanjungpinang, dan mereka 
berbareng meneriakkan semangat perang, gegap 
gempita suaranya.
Sungguh tepat kedatangan pasukan itu, sebab 
pertempuran di bandar itu sudah berlangsung 
beberapa saat. Mereka gerombolan Iblis Merah itu 
sudah mendarat dan kini mereka bertempur di pantai 
dengan ganasnya, seolah-olah mereka seperti 
kerasukan setan.
Beberapa orang prajurit penjaga bandar

Tanjungpinang telah tewas berkaparan di ujung 
senjata para bajak laut itu. Di tepi pantai terlihatlah 
lingkaran-lingkaran pertempuran kecil. Hang Sakti 
terlibat dalam pertempuran melawan seorang yang 
bertubuh jangkung berkumis dan berjenggot kaku dan 
di tangan kirinya terlihatlah gambar hiasan seekor 
naga.
“Hee, keparat. Ayo lekas menyerah kau, setan!” 
teriak orang jangkung itu yang tidak lain adalah Lanun 
Sertung kepala gerombolan Iblis Merah sendiri.
Ia memutar pedangnya laksana baling-baling 
merupakan sebuah lingkaran putih yang mengurung 
tubuh Hang Sakti dengan rapatnya.
“Ha, ha, ha, inilah saatmu yang terakhir, Hang 
Sakti. Tubuhmu akan menjadi potongan-potongan 
kecil. Jika kau bersedia menyerah dan meminta 
ampun, kau akan tetap hidup!”
Walau bagaimanapun keadaannya, bagi seorang 
pendekar seperti Hang Sakti yang tak kenal menyerah 
itu, menjadi tersinggung juga mendengar kata-kata 
Lanun Sertung yang penuh kesombongan itu. Maka 
iapun memperhebat permainan kerisnya untuk 
menangkis serangan-serangan Lanun Sertung.
“Persetan! Kaulah yang harus berlutut di kakiku,”
teriak Hang Sakti dengan penuh kemarahan.
Dalam bertempur itu, sesekali mata Hang Sakti 
melirik ke arah lingkaran pertempuran yang lain. Ia 
sekali ini benar-benar mencemaskan nasib adiknya, 
Nurlela, walaupun gadis ini menguasai lima bagian 
dari ilmu pedang ‘Seribu Badai’ ciptaan Pendekar 
Prahara yang dahsyat itu. Ia pun sadar gerombolan 
Iblis Merah ini sangat kejam. Tetapi ketika lirikan 
matanya sampai ke tempat Nurlela bertempur, iapun 
menarik nafas lega, sebab adiknya bersama Pandan

Arum bergerak berpasangan dalam bertempur 
melawan keroyokan orang-orang Iblis Merah. 
Keduanya sangat lincah. Kalau Nurlela itu memainkan 
pedangnya yang bergerak dan bergetar sangat cepat, 
Pandan Arum lain lagi. Ia memakai senjata selendang 
jingga pemberian bibinya dari lereng Gunung Muria 
yang mampu menyerang setiap lawannya dengan 
ilmunya ‘Sabet Alun’.
Hampir tak seorang pun yang mampu mendekati 
mereka berdua bila senjata di tangan mereka sudah 
beraksi, dan beberapa orang-orang Iblis Merah telah 
binasa di ujung senjata-senjata tadi, ketika mencoba 
mengepung mereka.
Tak jauh dari dua pendekar putri itu, Jogoyudo 
sibuk melayani Marangsang. Keduanya merupakan 
lawan yang seimbang dan bertempur dengan serunya. 
Kali ini putaran pedang Marangsang yang dahsyat 
mendapat lawan sambaran-sambaran keris Jogoyudo 
lincah seperti ular mematuk-matuk.
Sayap kiri pasukan berkuda yang dipimpin oleh 
Pendekar Prahara sudah melingkar sampai ke tepi 
pantai dan sambil berusaha mengepung orang-orang 
Iblis Merah, orang-orang berkuda tadi menyerang 
lawannya dengan tombak-tombaknya. Pertempuran 
bertambah hebat dan beberapa saat kemudian 
suasana menjadi berubah sama sekali. Kalau tadi 
mula-mula kawanan bajak laut Iblis Merah sudah 
hampir menguasai bandar Tanjungpinang, sekarang 
dengan kedatangan pasukan-pasukan dari Bintan 
orang-orang Iblis Merah benar-benar terdesak dan 
mereka tidak sedikit yang telah binasa.
Dengan mengumpat-umpat Lanun Sertung melihat 
anak buahnya porak-poranda dan banyak yang binasa, 
maka marahnya semakin menyala sehingga ia ingin

cepat membinasakan lawannya. Hang Sakti dalam hati 
mengakui kehebatan Lanun Sertung yang telah 
mampu bertempur sampai berjalan puluhan jurus 
tanpa kelihatan lelah ataupun kehabisan nafas. Hal 
inilah merupakan kelebihan yang ada pada Lanun 
Sertung, sedang Hang Sakti sendiri lama-kelamaan 
tenaganya menjadi berkurang dan keringat menetes 
dari dahinya.
Melihat keadaan lawannya itu, Lanun Sertung 
makin mempergencar serangannya. Pedangnya sampai 
menimbulkan angin pusaran.
“Hua, ha, ha, ha, Hang Sakti, inilah saat ajalmu di 
tanganku. Lihatlah sinar matahari untuk penghabisan 
kalinya!” Lanun Sertung berteriak sambil menetakkan 
pedangnya disertai curahan tenaga dalam yang luar 
biasa. Pedangnya berkelebat dan ketika hampir 
membelah kepala Hang Sakti, pendekar muda ini 
menggerakkan kerisnya untuk menangkis pedang 
Lanun Sertung.
Traak!!!
Dua benturan senjata beradu dan kemudian 
disusul tubuh Hang Sakti terhempas ke tanah. 
Kerisnya terlempar lepas dari tangannya. Hang Sakti 
segera bangkit karena badannya lemas tak berdaya, 
bagai dilolosi urat dan tulang-tulangnya.
Oleh sebab itu ia kemudian memasrahkan hidup 
matinya di tangan Tuhan, karena dilihatnya Lanun 
Sertung mendekatinya sambil mengangkat pedangnya 
siap mencabut nyawanya.
“Nah, apa kataku tadi! Kau harus mati di tanganku 
ini, Hang Sakti!”
Sambil menyeringai puas, kepala bajak laut ini 
segera membacokkan pedangnya ke arah dada Hang 
Sakti. Pendekar ini memejamkan mata siap menanti

maut yang sebentar lagi akan merenggutnya. Tapi 
belum lagi pedang itu menyentuh dadanya, tiba-tiba 
terdengar tiga kali ledakan cambuk yang segera 
membentur sisi pedang Lanun Sertung sampai 
tergetar! Pemimpin bajak ini kaget dan ia cepat 
menoleh ke samping untuk melihat orangnya yang 
telah berani menggagalkan bacokan pedangnya.
“Barong Makara!” desis Lanun Sertung setengah 
kaget melihat seorang berkedok kain penutup hidung 
dan mulutnya yang bergambar Makara kuning emas. 
Di tangannya tergenggam sebatang cambuk menyala 
biru kehijauan. “Keparat! Kau berani menghalangi 
maksudku, ha?! Marilah kalau kamu ingin mampus 
berbareng! Belum pernah yang bisa lolos dari serangan 
ilmu pedangku. ‘Mata Iblis ini!’”
Mendengar nama itu Mahesa Wulung terpaksa 
hatinya tergetar, sebab ilmu pedang itu lebih dahsyat 
dari ilmu pedang Pendekar Prahara, dan menurut 
cerita, ilmu itu dipelajari dari kitab-kitab pusaka ilmu 
gaib yang tersimpan di Candi Durga.
Biar nama ilmu tadi mengerikan tapi bagi Mahesa 
Wulung tidak menjadikan kendor semangatnya. 
Bahkan ia bertekad untuk melenyapkan setiap ilmu 
yang diselewengkan untuk kejahatan!
“Lanun Sertung, mari, aku siap meladeni permainan 
pedang terkutuk milikmu itu!” seru Mahesa Wulung.
Kedua pendekar itu saling berpandangan sambil 
menyiapkan masing-masing senjatanya, dan sesaat 
kemudian dengan teriakan-teriakan perang kedua 
pendekar jagoan itu terlibat dalam satu pertempuran 
hebat. Pedang di tangan Lanun Sertung itu bergerak 
amat lincahnya bagaikan halilintar menyambar-
nyambar, persis gerak dewa maut. Kemana saja 
Mahesa Wulung bergerak, pedang itu selalu mengejar

dan mengancamnya seolah-olah mempunyai mata. 
Dan satu hal yang membuat hati Barong Makara
tergetar ialah cara Lanun Sertung memainkan pedang 
itu. Antara pedang dan tangan yang menggenggamnya 
seperti terjalin menjadi satu, bahkan pedang tadi 
seolah-olah merupakan bagian dari tangan Lanun 
Sertung. Itulah kehebatan ilmu pedang ‘Mata Iblis’.
Menghadapi lawannya yang berilmu hebat itu, 
Mahesa Wulung tidak kepalang tanggung dalam 
melawannya. Cambuk pusakanya diputar dan begitu 
ketat memagari tubuhnya dari ancaman ilmu pedang 
‘Mata Iblis’. Cambuk Naga Geni mendapat lawan 
seimbang kali ini.
Yang mengagumkan Mahesa Wulung ialah pedang 
si Lanun Sertung yang seolah-olah mempunyai mata 
dan setiap kali cambuknya mencoba melibat pedang 
itu, dengan mudah Lanun Sertung selalu berhasil 
mengelakkannya. Mahesa Wulung cepat berpikir untuk 
mencari siasat yang cemerlang guna mengalahkan 
musuhnya yang ganas itu. Cepat tangan kirinya 
mencabut sebuah pisau kecil dari ikat pinggangnya 
yang sekaligus dilemparkan ke arah dada Lanun 
Sertung. Tentu saja kepala bajak laut ini tak 
menyangka dengan serangan yang amat tiba-tiba itu.
Begitu pisau itu hampir menyambar dadanya, 
Lanun Sertung menyabetkan pedangnya setengah 
lingkaran ke muka dan, “Trang”, bunyi berdenting dari 
dua senjata beradu. Pisau Mahesa Wulung beradu 
dengan pedang Lanun Sertung sampai terpental ke 
udara, kemudian tercampak ke tanah.
Tapi di saat itu cambuk Naga Geni meluncur dan 
langsung melibat pedang Lanun Sertung dengan 
eratnya sampai kepala bajak ini kaget setengah mati.
Kini kedua pendekar itu saling tarik-menarik

dengan senjatanya yang telah saling melibat dan 
melekat sangat eratnya. Mereka sedang mengadu 
tenaga dalamnya yang tersalur lewat senjatanya itu.
Butir-butir peluh mengalir dari dahi Lanun Sertung 
yang menitik-nitik seperti gerimis, ketika tangan yang 
memegang pedang terasa panas seperti memegang 
bara api. Tetapi Mahesa Wulung pun mengucurkan 
keringat pula, manakala tangannya yang 
menggenggam cambuk Naga Geni menjadi kesemutan 
dan bergetar. Hampir-hampir saja, jika ia tidak 
mengeluarkan segenap tenaganya, pastilah cambuknya 
akan tercabut lepas dari jari-jarinya. Begitulah, dengan 
susah payah akhirnya iapun berhasil mengatasi rasa 
kesemutan di tangannya.
Sementara itu pertempuran menjadi sedikit mereda 
karena sebagian anak buah Lanun Sertung pada 
berebahan tak bernyawa oleh senjata-senjata prajurit 
Bintan. Sedang sebagian lagi sudah mulai menarik diri
dari medan pertempuran dan mendekati perahu-
perahu mereka.
Marangsang yang juga berhasil melepaskan diri dari 
lingkaran pertempuran melawan Jogoyudo kini 
memimpin mereka mundur ke arah pantai. Melihat 
lawannya lari itu, Jogoyudo diikuti oleh beberapa 
prajurit segera mengejar ke arah Marangsang.
Maka terjadilah kejar-mengejar di tepi pantai yang 
sebentar-sebentar diseling oleh pertempuran-
pertempuran pendek, untuk kemudian mereka saling 
berkejaran kembali..
Ketika kedua rombongan itu melewati lingkaran 
pertempuran antara Mahesa Wulung melawan Lanun 
Sertung, tiba-tiba saja pemimpin bajak laut ini segera 
menghentakkan pedangnya sekeras-kerasnya sampai 
berhasil lepas dari belitan cambuk Mahesa Wulung.

Gerakan Lanun Sertung sungguh lincah dan cepat. 
Begitu pedangnya terbebas dari cambuk lawannya, ia 
meloncat ke belakang beberapa langkah dan kemudian 
ia membalik serta berlari meninggalkan Mahesa 
Wulung yang setengah keheranan melihat gerak lincah 
kepala bajak laut itu.
“Ayo, Marangsang. Cepat lari menuju ke perahu. 
Kita harus meninggalkan tempat ini!” seru Lanun 
Sertung ketika ia tiba di rombongan anak buahnya.
“Mereka masih mengejar! Apakah kita tidak perlu 
melawannya?” ujar Marangsang.
“Jangan. Kita terus berlari saja. Biarkan mereka 
mengejar. Nanti akan kubereskan dengan jarum 
bisaku,” kata Lanun Sertung sambil berlari dan 
matanya sebentar-sebentar melirik ke arah para 
pengejarnya.
“Hee, pengecut! Jangan lari begitu hina. Ayo 
bertempur lagi!” teriak Mahesa Wulung yang kini ikut 
mengejar bajak laut itu.
“Keparat, kau masih saja berani menghalangi 
maksudku. Nah, terimalah ini kalau kamu semua ingin 
mampus!” Lanun Sertung berpaling dan tangan 
kanannya begitu cepat mengeluarkan jarum bisa dari 
ikat pinggangnya. Dengan satu gerakan hebat 
tangannya melontarkan senjata rahasianya dibarengi 
teriakan keras menggetarkan udara pantai.
“Awas, Jogoyudo! Itu jarum bisa! Tiarap!” teriak 
peringatan Mahesa Wulung sungguh mengagetkan, 
sebab Jogoyudo dan para prajurit itu tidak melihat
puluhan jarum berbisa yang beterbangan di udara dan 
menuju ke arah mereka seperti air hujan derasnya.
Untungnya Jogoyudo dan beberapa prajurit sempat 
bertiarap, sedang lima orang lagi yang terlambat 
akhirnya jatuh terjungkal dengan beberapa jarum

berbisa bersarang di tubuhnya. Mereka itu terpaksa 
bertiarap agak lama sebab Lanun Sertung tidak hanya 
sekali melempar jarum berbisanya, tetapi diulanginya 
beberapa gelombang sampai bajak laut itu cukup 
mencapai perahu mereka kembali.
Ketika serangan jarum bisa itu reda, mereka 
bermaksud mengejar kembali para bajak itu, 
sayangnya mereka terlambat, sebab Lanun Sertung 
dengan anak buahnya telah berlayar jauh dari pantai. 
Sesaat kemudian kedua perahu bajak laut yang 
berhasil lari itu semakin jauh dan akhirnya lenyap 
diiringi derai ketawa Lanun Sertung yang menyerikan 
telinga.
Mahesa Wulung, Jogoyudo dan enam orang prajurit 
yang tinggal, cepat kembali ke daerah bekas 
pertempuran yang kini telah sepi, kecuali beberapa 
orang yang luka-luka tengah merintih dan di sana-sini
tergeletak mayat-mayat. Ketika Mahesa Wulung tiba di 
tempat itu, Pendekar Prahara, Hang Sakti, Nurlela dan 
Pandan Arum segera menyambutnya.
“Mereka berhasil melarikan diri dengan perahunya,” 
ujar Mahesa Wulung. “Dan lima orang prajurit-prajurit 
kita menjadi korban senjata rahasia mereka, ketika 
mengejarnya.”
“Senjata rahasia?” seru Pendekar Prahara kaget.
“Ya, Lanun Sertunglah yang menyebar jarum-jarum 
berbisa, sehingga kelima orang tadi yang terlambat 
bertiarap telah menjadi korbannya,” kata Mahesa 
Wulung pelan. “Tapi biarlah sementara mereka 
melarikan diri ke sarang mereka di Selat Karimata. 
Segera kita akan mengejarnya.”
Mahesa Wulung berhenti berkata karena matanya 
kini sibuk melihat bekas medan pertempuran. 
Beberapa prajurit tampak berkumpul dan pemimpin

pemimpin kelompok menghitung anak buahnya, untuk 
mengetahui berapa yang meninggal dan berapa yang 
masih hidup. Sementara itu beberapa orang lainnya 
mendapat tugas khusus untuk merawat dan 
mengobati kawan-kawan mereka yang terluka.
Di sebelah timur, tampaklah anggota-anggota bajak 
laut yang tertawan hidup-hidup, sedang di antara 
mereka yang terluka juga mendapat perawatan 
seperlunya. Kalau bagi orang-orang bajak laut hal ini 
dianggap janggal, tetapi bagi prajurit-prajurit Bintan 
sikap ini sudah biasa. Musuh pun kalau terluka harus 
ditolong meskipun toh akhirnya mereka nanti 
dihukum atas kejahatan-kejahatannya.
***
Matahari akhirnya pun menjadi semakin condong 
ke barat dan sinarnya pun tidak begitu panas lagi. 
Angin pantai berdesir lembut menggoyangkan ujung 
daun-daun nyiur dan wajah-wajah mereka yang masih 
pada berada di pantai. Di bandar itu kini telah 
disiapkan sebuah perahu jung oleh para awak 
kapalnya. Di dekat tangga naik ke perahu itu banyak 
sekali orang-orang bergerombol.
Para perwira, prajurit dan penduduk bandar 
Tanjungpinang tampak berkumpul di situ yang akan 
menyaksikan keberangkatan Mahesa Wulung 
meninggalkan pulau itu.
“Tuan Pendekar Barong Makara,” ujar Prahara 
dengan tenangnya. “Sebagai wakil dari penduduk 
bandar Tanjungpinang dan segenap prajurit Bintan, 
kami mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya atas bantuan Tuan Barong Makara dalam 
mengusir para bajak laut dari bandar ini.”
Mendengar kata-kata itu diam-diam Mahesa

Wulung atau yang dipanggil pula sebagai Barong 
Makara menjadi terharu, lebih-lebih semua itu 
diucapkan oleh Pendekar Prahara dengan tulus ikhlas.
“Kami semua tidak dapat membalas jasa-jasa Tuan 
yang begitu besar. Maka sekedar sebagai tanda mata 
dari kami, terimalah ini sebilah pedang.”
Mahesa Wulung melangkah ke depan dan dengan 
tangan bergetar luapan rasa harunya, ia menerima 
pedang itu dari Pendekar Prahara. Setelah itu iapun 
menjabat tangan pendekar tua itu, yang mana segera 
pula menyambutnya dengan erat, seolah-olah mereka 
segan untuk berpisah.
Keasyikan mereka terpecah oleh sebuah isak tangis 
dan serentak keduanya menoleh ke arah suara itu. 
Ternyata Pandan Arum dan Nurlela saling berpelukan 
diserta isak tangis mengharukan siapa saja yang 
menyaksikan. Betapa tidak, kalau dua dara yang telah 
bersahabat erat, bahkan mereka sudah saling 
menganggap sebagai saudara sekandung dan beberapa 
kali mengalami suka duka bersama-sama bertempur 
melawan bajak-bajak laut, menentang kejahatan, dan 
kini harus berpisah. Entah untuk berapa lama, 
mungkin juga untuk selamanya. Jarak Pulau Bintan 
dengan Demak bukan jarak yang pendek yang cukup 
sehari dua hari dicapainya.
Kemudian setelah Mahesa Wulung menerima 
pedang itu dan menggantungkan pada ikat 
pinggangnya, iapun segera menjabat tangan Hang 
Sakti untuk meminta diri. Jogoyudo pun tak 
ketinggalan untuk berpamit kepada mereka, dan 
terakhir adalah Egrang.
Sebelum rombongan Mahesa Wulung naik ke 
perahu, keluarlah dari kelompok prajurit-prajurit 
Bintan seorang yang berperawakan kekar dan

berkumis lebat. Ia maju ke depan didampingi oleh 
Pendekar Prahara ke arah Mahesa Wulung dan 
rombongannya berdiri.
“Tuan Barong Makara, terimalah salah seorang 
prajurit anak buahku ini dalam tugas Tuan untuk 
mengejar Lanun Sertung. Ia akan berjuang di sisi tuan 
sebagai wakil dari prajurit Bintan,” Pendekar Prahara 
berkata sambil memperkenalkan orang tersebut.
Ia bernama Sibahar.
Sungguh tepat nama orang ini, sebab pada 
pergelangan tangan kanannya ia mengenakan sebuah 
gelang besar dari akar bahari. Dengan senang hati 
Mahesa Wulung menerima prajurit ini sebagai anak
buahnya sendiri.
Sesaat kemudian, setelah matahari semakin 
mendekati cakrawala barat dan sinarnya semakin 
pudar bertolaklah perahu jung itu meninggalkan 
bandar Tanjungpinang, diiringi oleh lambaian tangan 
serta sorak-sorai dari orang-orang yang memagari 
bandar itu sebagai ucapan selamat jalan.
Perahu itu semakin jauh dan berlayar ke arah 
tenggara dengan lajunya mengarungi laut yang telah 
dicekam oleh kegelapan senja.
***

TIGA

KEPULAUAN Karimata dan Selat Karimata terletak 
di sebelah barat daya Pulau Kalimantan yang besar 
dan mahaluas. Dari sekian pulau-pulau yang 
berserakan itu hanya dua buah pulau yang terbilang 
besar, yaitu Pulau Karimata sendiri dan di sebelah 
barat dayanya lagi Pulau Serutu. Daerah inilah yang 
telah diperkirakan menjadi sarang dari pusat
gerombolan bajak laut Iblis Merah oleh Mahesa 
Wulung, sebab di daerah perairan inilah sering terjadi 
pencegatan perahu niaga oleh perompak-perompak 
laut.
Juga belasan tahun yang silam, iring-iringan 
perahu armada Demak sehabis menyerang Portugis di 
Malaka telah diganggu oleh mereka di selat ini.
Di suatu senja, di sebuah bandar kecil di Pulau 
Karimata berlabuhlah sebuah jung bendera dengan 
gambar lingkaran cakra kuning emas dan berwarna 
dasar biru hitam.
Lingkaran cakra menunjukkan ke delapan arah 
mata angin itu menandakan bahwa perahu jung itu 
berani menjelajah ke segenap penjuru angin dan 
sekaligus orang akan tahu bahwa perahu itu adalah 
perahu seorang petualang samudra. Tetapi di balik 
rahasia arti sesungguhnya dari gambar lingkaran 
cakra itu, sebenarnya adalah sebagai lambang dari 
seorang perwira laut armada Demak.
Di sebuah warung di bandar itu tampaklah 
beberapa gerombol orang yang tengah minum-minum 
dan ada juga yang berjudi. Di tengah kesibukan 
mereka itu, masuklah ke dalam warung seorang yang 
berperawakan tegap kekar berkumis kecil di bawah

hidungnya yang membuat wajah orang itu lebih keren. 
Ia berjalan seenaknya dan duduk di sebuah bangku 
panjang. Dari tingkah lakunya tampaklah jika ia orang 
baru di pulau ini dan melihat tamu itu, seorang laki-
laki tua pelayan warung ini segera mendekatinya.
“Minumannya, Tuan?” sapa pelayan tua itu ramah.
“Eeh, kasih kopi saja, Pak. Dan juga beberapa iris 
jadah ketan,” ujar orang baru yang berkumis kecil itu 
sambil matanya menyusuri segenap ruangan warung.
Kemudian secara tiba-tiba pandangan mata orang 
baru itu tertambat ke pojok warung, di mana 
segerombolan orang lagi ramai-ramainya berjudi. 
Rupanya ia mengenal seorang di antaranya, terutama 
kepada seorang yang bertubuh pendek tapi kokoh.
“Hmm, itu si Dungkul anak buahku. Ia masih juga 
senang berjudi,”
Orang baru itu bergumam sendiri dan matanya 
tajam menatap si Dungkul, penjudi yang bertubuh 
pendek itu. Orang ini seperti terkena tenaga gaib, tiba-
tiba iapun melayangkan pandangan matanya ke arah 
orang baru tadi dan ia terbelalak ketakutan.
Tetapi agaknya orang ini pandai menguasai 
perasaannya sebab iapun cepat-cepat berpura-pura 
tidak melihatnya.
Beberapa saat kemudian iapun kembali tenggelam 
dalam bantingan-bantingan kartu judinya, sambil 
sebentar-sebentar ia mengisi mulutnya dengan 
minuman tuak yang harum.
“Persetan dengan kedatangannya. Rupanya ia 
membawa sial bagiku. Hmm, berkali-kali kartuku mati 
semenjak ia datang di warung ini. Ia telah berulang-
ulang melarangku untuk berjudi, tapi toh aku orang 
yang merdeka dan orang yang merdeka harus bebas 
memenuhi kegemarannya!”

Begitulah kepala orang ini dipenuhi oleh pikiran-
pikiran yang saling bergelut sendiri dan membuatnya 
semakin bertambah pusing. Tambahan lagi ia terus-
terusan kalah dalam permainan judinya. Juga 
pengaruh tuak yang telah sekian banyak diminumnya 
itu rupanya telah bekerja. Sambil setengah mabuk ia 
menggoncang bahu teman sebelahnya.
“Hehhh, sini aku pinjam uangnya. Nanti aku ganti 
kalau aku menang.”
Teman sebelahnya yang berwajah bengis itu 
menyeringai. “Husss, ngomong seenaknya! Kalau kau 
kalah lagi apa yang akan kau bayarkan sebagai 
gantinya?!”
“Aku tak punya apa-apa lagi, kawan, kecuali 
sebuah keterangan yang tak ternilai harganya. 
Mungkin ini berguna buatmu, kawan.”
Si wajah bengis itu agaknya mulai tertarik oleh 
omongan si Dungkul, sebab ia menyodorkan setumpuk 
mata uang logam ke muka Dungkul.
“Nah ini cukup banyak, bukan? Sekarang cepat 
katakan padaku keterangan yang kau bilang menarik 
itu!”
Si Dungkul mendekatkan mulutnya ke telinga orang 
ini dan berbisik pelan.
“Sttt, kau lihat orang yang duduk sendirian di tepi 
sana?”
“Ya, aku lihat sejak tadi. Tapi mengapa dengan dia?” 
si wajah bengis keheranan.
“Kau belum tahu? Dialah Pendekar Barong Makara 
dari Demak yang menyamarkan diri sebagai petualang 
samudra. Ia sedang mencari Lanun Sertung untuk 
menangkapnya!”
“Gila kau!” hampir setengah berteriak si wajah 
bengis mendengar penuturan Dungkul itu. “Awas,

jangan mencoba menipuku, kawan. Nyawamu bisa 
hilang nanti.”
“Sungguh mati aku berkata yang sebenarnya!” 
Dungkul agak takut juga mendengar ancaman itu.
“Kalau memang betul, kau nanti dapat tambahan 
uang lagi. Tapi aku ingin dulu mencoba orang itu.”
Si wajah bengis pergi ke pemilik warung untuk 
meminta tambahan minuman tuak dan secara cepat 
matanya mengerdip ke pemilik warung mengisyaratkan 
sesuatu.
Pemilik warung sambil menyiapkan semangkuk 
tuak harum cepat ia menuangkan sebungkus tepung 
putih ke dalam mangkuk minuman itu. Kemudian 
disertai senyuman penuh arti ia menyodorkan 
mangkuk itu.
Si wajah bengis sekali lagi meringis dan melirik ke 
arah orang baru itu. Sambil menimang-nimang dua 
mata logam bulat itu ia membelakangi meja kayu 
pemilik warung dan sejenak ia berdiri menghadap ke 
arah orang baru itu, seolah-olah sedang menaksir 
jarak antara mereka.
Tiba-tiba ia mengibaskan tangan kanannya dan 
seleret sinar putih menyambar ke arah orang baru itu 
yang tengah asyik menikmati kopi panasnya! Orang-
orang di dalam warung serentak terpekik menyaksikan 
peristiwa itu, sebab mereka mengenal siapa Garang 
Segara, pendekar tanpa tandingan kaki tangan 
gerombolan bajak laut Iblis Merah.
Sinar yang menyambar itu seolah-olah sudah 
hampir mengenai kepala orang baru tadi, tapi dengan 
tenangnya ia memiringkan kepala ke kanan dan sinar 
tadi menabrak tiang kayu.
Traak!
Serempak orang-orang melongo melihat pada tiang

kayu itu. Sebuah mata uang logam telah menancap 
hampir separo lebih ke dalam kayu! Orang baru yang 
tidak menyangka hal ini juga merasa kagum dengan 
ilmu kepandaian si wajah bengis.
“Sungguh hebat tenaga dalam orang ini, untungnya 
aku masih sempat menghindari permainan mata 
uangnya.” Orang baru berkumis kecil ini, bersukur 
dalam hatinya dan sebutir keringat menetes dari 
dahinya.
“Ha, ha, ha. Hebat! kau memang hebat orang baru! 
Kalau mata uangku yang pertama dapat kau elakkan, 
sekarang cobalah dengan yang kedua ini!” seru Garang 
Segara sambil menimang-nimang mata uang logam 
yang kedua.
“Jangan, Kisanak. Jangan kau ulangi permainanmu 
itu. Aku kuatir yang kedua ini akan benar-benar 
mengenaiku!”
Si orang baru ini tidak lain adalah Mahesa Wulung 
berkata sambil memperlihatkan wajah yang 
tampaknya takut setengah ketololan itu, sehingga 
membikin Garang Segara semakin kesenangan.
“Ha, ha, ha, ha, kau takut, orang baru? Kalau kau 
berani menghindarkan lemparan mata uangku itu 
berarti kau sudah langsung menantangku!”
“Tidak, Kisanak. Itu tadi adalah secara kebetulan 
sekali aku terhindar dari lemparan mata uangmu dan 
aku tak bermaksud sama sekali menantangmu!”
“Persetan! Aku tak perduli dengan ocehanmu itu. 
Kalau mata uangku yang pertama sudah meleset 
mengenaimu, maka setidak-tidaknya kau pasti 
mempunyai sedikit ilmu ketangkasan juga. Nah, 
sekarang bersiap-siaplah untuk menyambut mata 
uangku yang ke dua ini.”
Selesai dengan kata-katanya itu, sekali lagi Garang

Segara mengibaskan tangannya dan seleret sinar putih 
sekali lagi melayang ke arah Mahesa Wulung.
Tetapi untuk yang kedua ini tampaknya Mahesa 
Wulung tidak menunjukkan tanda-tanda mengelakkan 
sinar yang menyambar ke arahnya. Ia hanya 
menggerakkan tangannya ke arah pinggang dan hanya 
terdengar suara benda dicabut, “sraat!”, kemudian 
disusul bunyi benda beradu berbareng dengan 
terpotongnya sinar yang menyambar itu oleh sebuah 
sinar yang lain.
Semuanya itu terjadi dalam waktu yang pendek 
sehingga orang-orang di dalam warung itu termasuk 
Garang Segara sendiri tercengang heran melihat sinar 
berputar dari tangan Mahesa Wulung.
Bersamaan bunyi berdenting, semua orang melihat 
ke arah lantai dan terlihatlah di atas lantai itu, uang 
logam milik Garang Segara, tetapi kini terbelah 
menjadi dua bagian seolah-olah dipotong oleh benda 
yang tajam! Dari arah lantai itu, semua pandangan 
mata kemudian beralih ke arah Mahesa Wulung yang 
dengan cepat tetapi tenang memasukkan kembali 
pedang di tangannya ke dalam sarungnya kembali.
“Huh, untunglah aku tidak membawa cambuk 
pusakaku si Naga Geni dalam penyamaranku ini. Jika 
tidak aku tinggal di perahu, pastilah setiap orang akan 
segera mengenalku sebagai Barong Makara!”
Mata Garang Segara hampir-hampir tak percaya 
melihat mata uang logamnya terbelah menjadi dua 
oleh sabetan pedang Mahesa Wulung.
“Harap dimaafkan, Kisanak. Itu tadi salah satu 
permainan pedangku yang terburuk. Mudah-mudahan 
ia tidak mengejutkanmu!” Mahesa Wulung berkata 
pelan sambil menyeruput air kopinya kemudian 
disusul tangannya mencomot juadah untuk

dimakannya.
Garang Segara menyembunyikan kekagetannya dan 
ia segera mendekati Mahesa Wulung sambil membawa 
semangkuk tuak yang tadi telah dipesannya dari 
pemilik warung itu.
“Maaf, Tuan. Semuanya tadi adalah permainan 
untuk sekedar menghibur orang-orang pengunjung 
warung ini. Aku tak pernah benar-benar bermaksud 
mencelakaimu. Nah, izinkanlah aku duduk bersama 
Tuan!”
“Boleh, silahkan. Aku tak keberatan Kisanak duduk 
di sini,” jawab Mahesa Wulung ramah.
“Perkenalkan aku Garang Segara dari Karimata.”
“Saya Wulung, petualang samudra tak bertempat 
tinggal,” ujar Mahesa Wulung.
“Adakah kepentingan Tuan untuk berlabuh dan 
mengunjungi pulau ini?” Garang mulai menyelidik.
“Ah, saya hanya dagang kecil-kecilan dan tidak ada 
maksud-maksud lain. Apa salahnya seperti aku ini 
orang petualang samudra yang gemar melihat 
keindahan pulau-pulau yang tersebar di nusantara ini, 
untuk berlabuh disini?”
“Syukurlah kalau demikian. Dan untuk 
ketangkasan Tuan Wulung yang hebat tadi izinkanlah 
aku menyuguhkan untuk Anda semangkuk tuak 
harum yang tiada tandingannya!” Garang Segara 
menyodorkan semangkuk tuak untuk Mahesa Wulung 
sementara ia sendiri menikmati semangkuk tuak pula.
Mahesa Wulung yang tidak menyangka sama sekali 
kelicikan Garang Segara yang berkedok keramahan 
itu, dengan tanpa curiga sedikitpun mulai mengangkat 
semangkuk tuak itu, dan ia mulai meminumnya. 
Sesaat kemudian tampaklah perubahan pada wajah 
Mahesa Wulung setelah ia meminum tuak itu. Kelopak

matanya meredup dan tampak seperti orang 
mengantuk, sedang mulutnya beberapa kali menguap.
“Heh, heh, apakah Tuan merasa mengantuk?” 
Garang Segara bertanya disertai mulutnya yang 
menyeringai kepuasan.
“Ya..., aku mengantuk... aku ingin tidur rasanya....” 
Mahesa Wulung berkata terputus-putus, sebab ia 
sudah tak kuat lagi menahan kantuknya, maka sesaat 
kemudian ia merebahkan kepalanya ke atas meja dan 
mulai tidur kepulasan.
“Bagus, obat tidur itu sudah mulai bekerja dengan 
sempurna. Nah, sebentar lagi ia akan mampus di 
tangan Lanun Sertung!” Garang Segara berpikir cepat. 
“Hee, kawan-kawan. Tolonglah sahabatku ini. Bawalah 
ia ke kamar tidur kepunyaanku!”
Dua orang dari keempat kawan Garang Segara yang 
tadi berjudi bersama Dungkul bangkit dari duduknya 
dan cepat mereka menggotong tubuh Mahesa Wulung 
untuk dibawanya ke dalam sebuah kamar.
Pelayan tua yang mengikuti semua kejadian tadi 
sambil memegang tongkatnya, cepat menyelinap keluar 
dari warung. Pemilik warung itu sendiri agak heran 
mula-mula, tapi akhirnya iapun maklum bahwa 
pelayannya yang tua itu sering berkelakuan yang aneh, 
yang kadang-kadang sukar dimengerti olehnya.
Sementara itu kedua orangtua menggotong tubuh 
Mahesa Wulung masuk ke dalam sebuah kamar diikuti 
oleh Garang Segara di belakangnya. Kamar itu agak 
luas dalamnya. Sebuah meja kayu dan dua buah kursi 
terletak menghadap pintu dan di sebelahnya, merapat 
pada dinding terdapat sebuah balai-balai beralasan 
tikar anyaman berwarna-warni. Kalau orang masuk ke 
dalam kamar ini, pastilah perhatiannya akan tertarik 
pada balai-balai dari kayu yang mempunyai kaki

besar-besar yang jarang sekali tandingannya. Sedang 
seluruh lantai itu terdiri dari batu-batu padas yang 
dipotong lebar-lebar tipis empat persegi panjang.
“Sekarang cepat geser ke samping balai-balai ini!” 
terdengar Garang Segara memerintah kedua anak 
buahnya.
Setelah mereka menggeletakkan tubuh Mahesa 
Wulung di lantai, kedua orang ini lalu menggeser balai-
balai kayu dan kemudian keduanya membungkuk ke 
lantai serta menggeser sebuah di antara lantai-lantai 
batu padas ini. Akhirnya dengan sedikit payah berhasil 
pulalah mereka menggesernya. Ternyata dasar lantai 
yang digeser tadi merupakan sebuah lubang yang 
masuk ke dalam tanah.
“Nah, kini bawalah dia turun ke dalam gua.”
Sekali lagi Garang Segara menyuruh kedua anak 
buahnya menggotong tubuh Mahesa Wulung turun ke 
dalam gua di bawah tanah itu. Dan ia sendiri sebelum 
turun ke lubang itu, kembali memanggil seorang anak 
buahnya yang masih duduk-duduk di warung untuk 
menggeser kembali balai-balai tadi.
Ketiga orang yang kini berada di dalam ruangan gua 
di bawah tanah itu cepat-cepat memasang obor, dan 
ruangan itu sekejap menjadi terang-benderang. 
Ruangan itu tidak begitu luas dan cahaya obor itu 
menerangi sebuah jalan terowongan yang memanjang. 
Sebuah lubang di langit-langit terowongan yang dibuat 
dengan ruas-ruas bambu rupa-rupanya menembus 
sampai ke permukaan tanah sehingga udara segar 
mengalir ke dalam terowongan di bawah tanah itu.
“Dia harus kita bawa ke sarang kita di Lembah 
Maut,” kata Garang Segara kepada kedua orang anak 
buahnya yang sedang bersiap-siap menggotong 
kembali tubuh Mahesa Wulung.

“Mengapa tidak kita bereskan di sini saja, dia?” 
bertanya salah seorang anak buah Garang Segara
“Tidak! Ia harus kita tangkap hidup-hidup. 
Begitulah perintah Lanun Sertung kepada kita. Nanti 
dia sendirilah yang akan menghabisi nyawa si Barong 
Makara ini. Dan jangan lupa, untuk ini kita bakal 
menerima upah yang cukup besar dari pemimpin kita!” 
Garang Segara meringis dan kemudian ketiganya 
tertawa cekakakan. Tetapi ketawa mereka terhenti 
sebab tiba-tiba dari mulut Mahesa Wulung terdengar 
suara keluhan dan tubuhnya mulai bergerak-gerak.
“Celaka, ia mulai sadar!” seru salah seorang anak 
buah Garang Segara.
“Tidak, tak mungkin ia sadar. Obat itu bekerja 
sampai besok pagi. Kalian tak perlu khawatir dan biar 
aku yang akan membuatnya pulas kembali!” Garang 
Segara tampak mengepal-ngepalkan jari-jarinya sambil 
menatap tajam ke arah Mahesa Wulung. “Dan 
sekarang tegakkan dia baik-baik!”
Kedua orang itu segera memapah tubuh Mahesa 
Wulung sampai setengah tegak berdiri di atas lantai 
terowongan.
“Awas, peganglah tubuhnya erat-erat!” teriak 
Garang Segara. Berbareng dengan itu ia melayangkan 
kepalan tangan kanannya. “Praak!” Dagu Mahesa 
Wulung kesambar jotosan Garang Segara sampai 
kepala pendekar ini terhempas ke belakang. “Buk!” 
Disusul tangan kiri Garang Segara bersarang ke perut 
Mahesa Wulung sehingga tubuhnya kembali meliuk ke 
depan seperti cacing kepanasan. Kemudian sekali lagi 
“Prak” mulut Pendekar Mahesa Wulung menjadi 
sasaran. Darah merah mengalir dari bibirnya yang 
tersobek. Setelah itu disusul lagi beberapa jotosan 
yang membuat tubuh Mahesa Wulung merosot ke

bawah dan tidur pulas kembali tapi pada wajahnya 
kini dihiasi oleh bengkak-bengkak kecil kebiruan serta 
goresan-goresan merah.
“Dia tidur kembali sekarang.”
Ketiga orang ini sekali lagi tertawa riuh sampai 
mengumandang di segenap ruang terowongan, persis 
ketawa setan yang mendapat korban.
“Nah, sekarang cepat kita bawa ia ke sarang kita!”
Maka ketiganya membawa seolah-olah tak ada 
akhirnya.
***
Sementara itu suasana di dalam warung masih 
tetap ramai dan si pemilik warung sibuk menghitung 
uang dagangannya. Ia memakai baju berlengan 
panjang dan berkumis serta jenggotnya tampak kaku. 
Meski wajahnya kelihatan ramah, namun sinar 
matanya tajam seperti serigala dan membayangkan 
kebengisan.
Saking keasyikan ia menghitung duitnya itu, tak 
sadar bahwa seseorang telah datang dan berdiri di 
muka mejanya.
“Maaf Tuan, izinkanlah aku mengganggu sebentar.”
Pemilik warung terperajat, tapi ia cepat tersenyum 
lebar.
“Ooo, kau Lodan. Stt, bagaimana dengan obat 
tidurku tadi? Apakah ia cukup baik kerjanya?”
“Luar biasa, Tuan. Ia bekerja dengan sempurna. 
Dan kini si petualang samudra Barong Makara di 
tengah perjalanan ke Lembah Maut dalam keadaan 
tertidur pulas.”
“Ha, ha, ha, aku turut merasa senang dengan 
tertangkapnya si Barong Makara. Oleh sebab itu, nih 
terimalah uang ini sekedar sebagai rasa gembiraku.”

Tangan si pemilik warung menyodorkan beberapa 
mata uang logam di atas meja dan oleh Lodan cepat-
cepat dipungutnya serta pindah ke dalam ikat 
pinggangnya.
“Terima kasih Tuan, terima kasih.”
Tiba-tiba mereka dikejutkan sesosok bayangan yang 
meleset ke dalam warung itu sampai menimbulkan 
kegaduhan sejenak. Sedang si pemilik warung sendiri 
begitu menatap orang yang baru datang itu seketika 
membelalak saking heran bercampur kaget melebihi 
sebuah halilintar yang menyambar di sampingnya. 
Berkali-kali matanya dikedip-kedipkan seakan-akan ia 
tak mau percaya dengan apa yang dilihatnya! Seorang 
laki-laki berkedok biru dengan gambar Makara Kuning 
emas dan pada tangannya tergenggam sebatang 
cambuk menyala biru kehijauan!
“Barong Makara!” cetus si pemilik warung.
Yang lebih kaget lagi ialah si Dungkul tadi, sebab 
jelas ia telah melihat dengan mata kepala sendiri 
bahwa si petualang samudra yang tidak lain adalah 
Barong Makara telah mereka tangkap. Tapi kini Barong 
Makara muncul kembali bahkan lengkap dengan ciri-
ciri khusus Pendekar Barong Makara sendiri, terutama 
dengan cambuk Naga Geni yang menyala biru 
kehijauan. Itu lebih meyakinkan bahwa yang baru 
datang ini adalah Barong Makara yang asli. Kalau 
begitu siapakah orangnya yang telah mereka tangkap 
tadi?
Belum lagi mereka selesai dengan hatinya yang 
bergelut dan penuh pertanyaan terhadap pendekar 
yang baru muncul ini, tiba-tiba tamunya telah 
bertanya lebih dulu.
“Hee, kau Dungkul! Aku tahu sahabatku si 
petualang samudra telah datang ke warung ini, tapi


sekarang tak kulihat batang hidungnya lagi. Di mana 
dia sekarang?! Kau sebagai anak buahnya pasti tahu!”
Mendengar pertanyaan si pendekar berkedok ini, 
Dungkul yang telah merasa berbuat curang kepada si 
petualang samudra yang tidak lain adalah Mahesa 
Wulung, dengan sendirinya menjadi pucat ketakutan. 
Peluh dingin mulai menitik dari dahinya.
“Tidak! Aku tidak tahu kalau dia di sini!” teriak 
Dungkul semakin ketakutan ketika tangan pendekar 
itu dilihatnya mulai menggerak-gerakkan cambuknya. 
Sedang dua orang teman berjudinya yang duduk di 
samping Dungkul saling berpandangan seolah-olah 
saling bertanya apa yang bakal dilakukannya. Seorang 
di antaranya menurunkan tangannya di bawah meja 
dengan gerak lamban yang tidak mencurigakan. Tetapi 
sekejap kemudian tangan itu telah menggenggam 
sebatang pisau belati panjang siap dilemparkan ke 
arah pendekar berkedok.
Hanya sayang, orang ini belum tahu siapa dia 
pendekar berkedok itu. Karena dengan gerakan yang 
sukar dimengerti kecepatannya, tangan pendekar 
berkedok telah menggerakkan cambuknya yang 
meluncur ke arah tubuhnya seperti seekor naga dan 
tahu-tahu “Taarr!”, pisau belatinya terbetot lepas dari 
genggamannya dan kemudian terpelanting menancap 
di dinding kayu warung itu.
“Awas, jangan mencoba bermain-main dengan 
saya!” bentak pendekar berkedok keras-keras.
Si pemilik warung segera berbisik kepada Lodan 
yang masih berdiri di sampingnya, “Stt, Lodan, 
cepatlah kau usir orang berkedok itu. Aku akan keluar 
dari warung ini. Hadapilah dia bersama-sama sekuat 
tenaga. Tunjukkan bahwa kau anak buah Lanun 
Sertung yang baik!”

“Baik, Tuan. Kami akan menghadapinya, jangan 
kuatir,” ujar Lodan meyakinkan dan si pemilik warung 
mengangguk puas, kemudian pergi menyelinap 
meninggalkan warung itu.
“He, pengecut berkedok! Kau jangan membuat 
keonaran di sini, tahu! Sebaiknya cepat-cepat kau 
tinggalkan tempat ini sebelum kami semua terpaksa 
melemparkan kamu keluar dari warung ini!” Lodan 
berseru dengan garangnya sambil memberi isyarat 
kepada Dungkul serta kedua orang temannya.
“Ha, ha, ha, aku bukan anak kecil yang harus kau 
takuti dengan ancaman itu!” ujar pendekar berkedok 
setengah mengejek kepada Lodan dengan kawan-
kawannya.
“Baik! Kau memang jantan dengan ucapan-
ucapanmu itu, tapi belum tentu kau mampu 
menghadapi permainan pedangku dari perguruan Mata 
Iblis! Nah, bersiaplah menyambut ajalmu!” Lodan 
dengan kecepatan luar biasa menghunus pedangnya 
dan mulai melancarkan serangannya yang pertama. 
Pedangnya menebas miring ke arah dada pendekar
berkedok.
“Jurus angin menyapu ombak!” desis pendekar 
berkedok melihat pedang lawannya menebas ke arah 
dadanya dengan sambaran angin yang hebat. Namun 
ia pun tak kalah cepatnya untuk melompat mundur 
satu langkah, sampai pedang lawan mengenai tempat 
kosong. Terdengar Lodan mengumpat melihat 
serangan pertamanya gagal.
Pendekar berkedok dengan lincah dan cepat melesat 
keluar dari warung itu.
“Haai, pengecut berkedok, mau lari ke mana, kau?!” 
berteriak Lodan sambil mengejarnya keluar dari 
warung itu, diikuti oleh Dungkul dan kedua orang

temannya yang lain.
“Ha, ha, ha, aku tak pernah melarikan diri dari 
musuh-musuhku. Aku cuma ingin tempat yang lebih 
luas agar permainan cambukku ini bisa leluasa!” 
pendekar berkedok tertawa menjengkelkan keempat 
musuhnya! Pengunjung-pengunjung warung lainnya 
berlompatan ke luar warung.
Kini terjadilah di halaman warung itu pertempuran 
hebat dengan disaksikan oleh para pengunjung 
warung serta beberapa penduduk di situ. Pendekar 
berkedok memutar cambuknya seperti kitiran 
berpusaran dan sebentar-sebentar menyerang 
lawannya.
Lodan dalam beberapa jurus saja sudah mulai 
mengeluh menghadapi pendekar berkedok itu. Namun 
iapun sudah bertekad untuk bertempur sekuat 
tenaganya. Sekonyong-konyong sebuah sabetan 
cambuk Naga Geni meluncur ke arah kepalanya. 
Lodan cepat menangkis dengan putaran pedangnya, 
meskipun ia sadar bahwa itu tidak akan banyak 
menolongnya. Ternyata benar dugaannya, pedangnya 
kena terbentur oleh ujung cambuk Naga Geni dan 
Lodan terpental seperti disambar petir dan pedangnya 
terlepas dari tangan. Sekali lagi Lodan cepat bangun 
sambil melemparkan sesuatu yang baru diambilnya 
dari ikat pinggangnya.
Pendekar berkedok cukup waspada, begitu puluhan 
jarum berbisa melayang ke arah tubuhnya, ia cepat 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan tubuhnya 
melesat ke atas berjumpalitan di udara. Maka puluhan 
jarum berbisa itu lewat di bawah tubuhnya laksana 
hujan deras. Dan sejurus, terdengarlah satu jeritan 
lagi. Ternyata dua orang anggota bajak lain yang 
menjadi lawan pendekar berkedok itu, berebahan ke

tanah. Tubuhnya berubah menjadi hijau kepucatan 
dan matilah mereka.
Begitulah, senjata rahasia kawannya telah 
merenggut nyawa mereka sendiri. Jarum-jarum 
berbisa meminta nyawa! Melihat hal ini, Dungkul 
sudah tak sabar lagi. Ia benar-benar kehilangan 
pengamatannya sambil mengerahkan segenap tenaga 
simpanan, pedangnya diputar mematuk-matuk ke 
arah pendekar berkedok yang telah siap berdiri tegak 
dan memegang cambuk Naga Geninya. Pendekar 
berkedok ini masih berdiri tegak mengawasi tajam 
semua tingkah Dungkul yang memamerkan ilmu 
pedangnya. Berbareng Dungkul menyerbu ke arah 
pendekar berkedok, lawannya ini telah pula memutar 
cambuknya ke arah Dungkul untuk menyambut 
serangannya. Maka sejurus kemudian terjadilah dua 
benturan senjata beradu yang masing-masing telah 
digerakkan oleh dua tenaga berkekuatan tinggi.
Sebetulnya putaran pedang di tangan Dungkul 
berhasil membabat cambuk Naga Geni, tetapi anehnya 
cambuk ini seolah-olah terbuat oleh anyaman baja, 
sehingga ia tidak putus tetapi hanya bergetar saja.
Kemudian Dungkul tak dapat mengelak lagi ketika 
ujung cambuk itu menjegat kepalanya. Satu jeritan 
ngeri kesakitan menggetarkan halaman warung. 
Orang-orang di situ terpekik pula dan melongo ketika 
mereka melihat tubuh Dungkul terbanting ke tanah 
dengan kepala yang hangus seperti disambar petir dan 
mulutnya melelehkan darah kematian, hitam kental.
Pendekar berkedok cepat memutar tubuhnya untuk 
menghadapi Lodan si pelempar jarum berbisa. Tetapi 
Lodan sendiri bukanlah orang yang bodoh jika ia 
masih berdiri di situ. Sebab ketika tubuh Dungkul 
terbanting ke tanah dengan kepala hangus, ia telah

lebih dulu mengambil langkah seribu, menerobos 
pagar-pagar manusia yang menonton pertempuran 
tersebut. Beberapa orang penonton yang tidak 
menduga hal ini terpaksa terdesak, terhempas jatuh 
menimpa teman-temannya di sebelah, sehingga 
mereka pun jatuh terjengkang ke tanah. Terdengar 
makian bercampur merintih berbareng, namun hal itu 
sudah tak terdengar oleh Lodan yang telah lari dan di 
sebuah belokan jalan, tubuhnya sudah lenyap di 
sebuah semak-semak ilalang. Betapa marahnya si 
pendekar berkedok melihat lawannya telah lari dari 
tangannya, terbayang pada sorotan matanya yang 
tajam. Dan ketika pandangannya terpaku pada orang-
orang yang masih berkelesetan di tanah akibat 
tubrukan dari tubuh Lodan tadi, pendekar berkedok 
cepat mendatangi mereka.
“Hmm, memang licik musuhku tadi. Ternyata ia 
tidak lari begitu saja, tapi masih sempat menotok jalan 
darah orang-orang ini!” terdengar ia menggeram.
Pendekar ini cepat-cepat menolong mereka dan 
ketiga orang yang terbaring di tanah separo lumpuh itu 
segera diurut-urut jalan darahnya, agar beredar 
kembali dengan lancar. Sebentar kemudian tampaklah 
mereka ditolong oleh kawan-kawannya untuk berdiri 
dan berhasil! Mereka sempat mengucapkan rasa 
terima kasihnya, pendekar berkedok telah meleset 
masuk ke dalam warung. Orang-orang tadi tak ada 
yang berani bergerak, sebab mereka di samping kagum 
bercampur takut, mereka memang tak ingin mencoba 
mengganggu maksud-maksud si pendekar berkedok. 
Mereka yakin bahwa orang ini bukanlah orang jahat. 
Setelah beberapa saat mereka berdiri di luar warung 
itu, tampaklah pendekar berkedok melangkah keluar 
dari dalam warung. Sekali lagi mereka dibuat terkejut

oleh melesatnya tubuh si pendekar meninggalkan 
tempat itu sambil berseru dengan nyaring!
“Maaf para Kisanak, aku tak sempat berkenalan 
dengan kalian. Lain kali kita ketemu lagi. Selamat 
tinggal.”
Terdengar suara itu mengumandang dan kemudian 
semakin lemah lalu lenyap bersama tubuh si pendekar 
berkedok yang menerabas semak ilalang.
Semuanya seakan-akan terpaku dengan kejadian 
yang baru saja berlalu di hadapan mata mereka. 
Selama ini tak seorang pun berani menentang orang-
orang dari kawanan Iblis Merah, tetapi hari ini mereka 
menyaksikan seorang pendekar berkedok telah 
menewaskan dan menentang mereka. Ah, mereka 
bersukur kepada Tuhan bahwa seseorang telah berani 
merintis, melawan kejahatan. Tetapi siapakah 
pendekar berkedok tadi? Tak seorang pun yang 
mampu menerkanya, sebab pendekar aneh tadi 
memang baru kali ini muncul di tempat tersebut.
***
EMPAT


DI PAGI buta itu embun masih mengembang di 
udara dengan pekat. Di sebuah jalan kecil yang 
menuju ke sebuah bukit, seorang laki-laki tampak 
berjalan tergesa-gesa dan sebentar-sebentar ia 
menoleh ke belakang seperti takut diketahui orang 
atau memang ia takut akan sesuatu yang 
mengejarnya. Jalan yang dilaluinya itu terlindung di 
bawah semak-semak bambu dan ilalang sehingga ia 
sedikit merasa aman.
Ketika ia baru saja melewati rumpun pohon pisang,

tiba-tiba terasa jari-jari tangan kokoh yang 
mencengkam tengkuknya.
“Berhenti kau, Lodan!”
Sebuah teriakan nyaring terdengar membuat 
hatinya serasa terbang. Orang tadi memejamkan mata 
ketika tangan yang kokoh mencengkam tengkuknya. 
Dan ia sudah membayangkan bahwa pendekar 
berkedok telah berada di belakangnya siap mengambil 
nyawa.
“Di mana kawan-kawan yang lain?!” terdengar 
sekali lagi suara nyaring di belakangnya.
Mendengar suara ini Lodan menarik napas lega. 
hatinya tenang kembali seperti disiram oleh seember 
air sendang. Ya, ia sudah mengenal suara di 
belakangnya ini dan telah bertahun-tahun ia 
menghadapinya. Oleh sebab itu ia serentak menoleh ke 
belakang.
“Oooh, Bapak?!”
Di belakangnya ternyata adalah pemilik warung 
yang pada tangan kirinya menggenggam sekantung 
uang penuh padat.
“Lekas jawab, di mana kawan-kawan yang lain?!”
“Ampun, Pak. Mereka bertiga tewas dalam melawan 
pendekar berkedok di halaman warung...,” ujar Lodan 
setengah merengek. Hatinya berdebar-debar sebab ia 
sadar, bahwa dua orang kawannya telah tewas akibat 
senjata jarum bisanya.
“Bagus. Kali ini kau masih kuampuni, setan! Ayo 
kita cepat meninggalkan tempat ini. Pasti kawan-
kawan kita telah menunggu di Lembah maut!”
Lodan tak berani berkata-kata lagi kecuali 
mengikuti langkah-langkah si pemilik warung yang 
menanjak ke arena bukit yang dipenuhi oleh batu-batu 
besar bertonjolan setengah terpendam di dalam tanah.

Begitu banyaknya, bagaikan setan-setan penjaga 
bukit, ditambah lagi beberapa batang pohon mati yang 
cabangnya bergerak-gerak tertiup angin menambah 
seramnya tempat itu.
Maka pantaslah bila tempat tersebut disebut 
Lembah Maut dan orang-orang di pulau ini tak seorang 
pun yang berani mencoba menginjaknya. Setelah 
kedua orang ini melewati kira-kira dua kali setinggi 
manusia, mereka mulai mengikuti jalan menurun ke 
Lembah Maut itu. Segera tampaklah beberapa gubuk 
kecil beratap ilalang di bawah sebuah batang pohon 
kering yang berdiri megah merajai Lembah Maut. 
Kedua orang ini disambut oleh seorang laki-laki 
berwajah garang.
“Selamat datang di Lembah Maut, Bapak.”
“Terima kasih, Garang Segara,” ujar si pemilik 
warung minum sambil mengelus-elus kumis ijuknya. 
“Di mana tamu kita, si petualang samudra, sekarang 
ini?”
“Dia baru beristirahat di sana, Bapak,” kata Garang 
Segara sambil menunjuk ke arah sebuah batu hitam 
besar yang permukaannya datar dan licin sedang di 
sekelilingnya terdapat pula beberapa batu serupa yang 
lebih kecil. Sepintas lalu orang akan membayangkan 
seperti meja besar yang dikelilingi oleh kursi-kursi 
batu.
Si pemilik warung segera mendekati batu meja yang 
besar itu, karena di atasnya terbaringlah sesosok 
tubuh. Ternyata itulah Mahesa Wulung terbaring 
dengan tangan dan kakinya, terikat oleh tali-tali. Meski 
sinar matanya tajam mengawasi orang yang mendekat 
itu, namun ia tak dapat menggerakkan tubuhnya sama 
sekali. Memang hebat pengaruh obat tidur yang 
terminum olehnya. Tubuhnya terasa lemah lunglai

seperti tak bertulang tak berotot. Mendadak mata 
Mahesa Wulung menatap tajam ke arah si pemilik 
warung dan di sampingnya berdiri Marangsang.
“Keparat! Rupanya kau berkomplot dengan orang-
orang jahat ini!” desis Mahesa Wulung sambil giginya 
gemeretakan menahan marah.
“Ha, ha, ha, lihatlah, Kisanak. Siapa yang kau ajak 
bicara ini,” si pemilik warung berkata sambil 
menanggalkan baju panjangnya dan kemudian 
mengusap mukanya yang penuh garis keriput ketuaan.
“Lanun Sertung!” seru Mahesa Wulung kaget 
setelah ia melihat, bahwa si pemilik warung yang 
berdiri di hadapannya itu tidak lain adalah Lanun 
Sertung sendiri. Orang yang harus dicari dan 
ditangkapnya.
“Ha, ha, ha, mengagumkan bukan?” ejek si Lanun 
Sertung kepada musuhnya yang tak berdaya lagi. 
“Ternyata penyamaranku ini cukup sempurna, 
sehingga kau masuk perangkapku! Ha, ha, ha, ha. 
Maaf jika sambutanku kurang menyenangkan dalam 
kunjunganmu ke Pulau Karimata ini. Tapi itu salahmu 
sendiri, jika orang-orang macam kamu berani 
mengejar-ngejar Lanun Sertung dengan 
gerombolannya. Nah, tunggulah sebagai hadiah 
keberanianmu. Siang nanti akan segera habis 
riwayatmu!”
“Huh, jangan kau kira anak buahku akan tinggal 
diam dengan perbuatanmu ini. Sebaiknya (kau) 
membebaskan aku dan menyerah saja!” kata Mahesa 
Wulung dengan tenang. “Akan kuampuni dosamu 
(yang) telah kelewat banyak!”
“Gila! Kawanan Iblis Merah tak kenal arti kata 
menyerah. Mereka hanya kenal semboyan, bertempur 
sampai mati. Kau lihat, biarpun anak buahku habis

binasa di Tanjungpinang, dan kini tinggal lima belas 
orang saja, tetapi mereka cukup berani kalau hanya 
menghadapi anak buahmu!” Lanun Sertung berhenti 
sejenak dengan kata-katanya, namun matanya terus 
menatap tajam ke arah Mahesa Wulung. “Aku punya 
usul, Kisanak. Bagaimana jika Anda bekerja saja 
untukku?”
“Kurang ajar! Kalau kau menghendakinya, aku pun 
bersedia untuk membinasakanmu!” Mahesa Wulung 
merasa puas dengan kata-katanya yang tajam. “Kau 
harus menebus kematian ayahku yang telah kau 
tewaskan di Selat Karimata, pada belasan tahun yang 
lalu.”
“Ya, ya, aku sudah tahu hal ini. Justru itulah kami 
sudah bersiap-siap menyambutnya. Nah, kalau Anda 
memang benar-benar putera Sorengyudo yang telah 
terkubur di bawah laut sana, maka kematianmu tidak 
perlu ditunda-tunda lagi. Sekarang juga kau harus 
mampus!” Lanun Sertung berseru sambil menghunus 
pedangnya siap dibacokkan ke tubuh musuhnya yang 
tergeletak di batu.
Melihat hal ini, Mahesa Wulung benar-benar 
kehilangan akal, apa yang harus diperbuatnya? Tiba-
tiba tanpa diduga oleh siapa saja, sebuah pondok telah 
termakan api, berderak-derak bunyinya.
“Hee, cepat siram dengan air!” perintah Lanun 
Sertung keras-keras. “Ayo, padamkan!”
Serentak orang-orang Iblis Merah sibuk mencari air 
untuk memadamkan pondok ilalang yang terbakar itu. 
Langkah-langkah kaki simpang siur membuat suasana 
makin membingungkan pandangan mata. Belum lagi 
api terpadamkan, mendadak satu pondok yang lainnya 
terbakar pula. Kalau tadi Lanun Sertung hanya 
memberi aba-aba saja, kini ia sendiri turut sibuk

memadamkan api yang berkobar-kobar.
Dengan begitu untuk sementara mereka 
membiarkan Mahesa Wulung yang terikat tubuhnya 
itu, sendirian menggeletak di atas batu, tanpa ada 
yang menjaganya. Mereka seperti lupa bahwa 
tawanannya adalah Mahesa Wulung, seorang pendekar 
dari armada Demak yang terpilih dalam tugas-tugas 
yang berbahaya. Dan lagi, (bagi) setiap gerombolan 
hitam, nyawa Mahesa Wulung berharga ratusan mata 
uang emas.
Di saat nyala api makin berkobar, dari sela-sela 
batang-batang pohon tua yang kering meloncatlah satu 
bayangan ke arah tempat Mahesa Wulung terikat. 
Gerakannya lincah bagaikan hantu, lebih-lebih sosok 
tubuh ini berpakaian putih-putih. Mata Mahesa 
Wulung terbeliak ketika orang ini tiba di dekatnya.
“Bapak pe... la...,” kata-katanya terputus.
Namun orang ini cepat menyambungnya, “Ya, ya 
akulah pelayan warung seperti yang pernah Tuan 
jumpai di warung itu,” kata orang yang tua ini dengan 
ramahnya. Ia mengenakan sebuah caping pada 
kepalanya dan tangan kanannya menggenggam sebuah 
tongkat lurus sepanjang satu depa.
“Maaf, Angger. Sekarang bukan saatnya kita 
berceritera panjang lebar. Aku harus menyelamatkan 
Angger dari tangan-tangan jahat mereka,” ujar orang 
tua ini sambil menarik pangkal tongkatnya.
Luar biasa, ternyata tongkat itu adalah sebilah mata 
pedang yang tajam pada kedua belah sisinya. Tanpa 
memakan waktu yang lebih lama, ujung pedang orang 
tua itu telah memutus tali-tali pengikat tubuh Mahesa 
Wulung.
“Maaf, Bapak, aku tak dapat berlari cepat karena 
pengaruh obat yang meracuni tubuhku belum pun

sama sekali!” berkata Mahesa Wulung pelan sambil 
menggerak-gerakan tubuhnya yang telah bebas dari 
ikatan tali-tali.
“Jangan kuatir, Angger,” orang tua tadi berkata 
penuh hormat. “Kalau Angger tak mampu berjalan 
jauh, biar bapak yang akan menggendongmu!”
“Ah, tidak, Bapak. Terima kasih. Itu tak mungkin 
kulakukan, sebab Bapak lebih tua dan aku senantiasa 
menghormati orang tua.”
“Janganlah segan-segan, Angger. Aku menghormati 
sikapmu itu. Tapi dalam keadaan yang segenting ini 
dan juga mengingat keadaan tubuhmu, maka tak ada 
salahnya jika aku menggendongmu lari dari tempat 
ini.”
Belum lagi mereka beranjak dari tempat itu, 
sekonyong-konyong dari gumpalan asap api muncullah 
satu bayangan menuju ke tempat mereka.
“Nah, Angger, apa kataku tadi? Kita harus cepat-
cepat pergi dari tempat ini. Lihatlah, bahaya yang lain 
sedang mengancam kita.” Orang tua ini cepat-cepat 
bersiaga menanti bayangan yang mendatang.
“Garang Segara!” desis Mahesa Wulung sambil 
menatap bayangan orang yang baru muncul dan kini 
berdiri di hadapan mereka.
Si wajah bengis ini pada ikat pinggangnya 
menyelipkan dua buah pedang dan mata Mahesa 
Wulung yang tajam segera dapat mengenal, bahwa 
salah satu di antara kedua pedang itu adalah 
pedangnya sendiri, hadiah pemberian Pendekar 
Prahara dari Tanjungpinang!
“Hmm, mereka merampas pedangku ketika aku 
jatuh tak sadar di warung, namun bagaimanapun juga 
ia harus kembali ke tanganku!”
Betapa kagetnya hati Garang Segara ketika ia

melihat seorang tua telah melepaskan ikatan tali-tali 
pada tubuh Mahesa Wulung, maka secepat kilat ia 
menghunus pedangnya dan menyerbu ke arah mereka.
“Hee, kau tua bangka bercaping,” bentak Garang 
Segara sambil mengacung-acungkan pedangnya ke 
arah muka si orang tua. “Kau rupanya ingin mampus 
bersama Barong Makara ini! Nah, bersiaplah untuk 
menerima kematianmu!”
Dengan tebasan pedang yang hebat mengagumkan, 
Garang Segara menyerang si orang tua, namun 
lawannya ini hanya menggerakkan pedangnya sedikit 
dan saking cepatnya seolah-olah tampak sebagai 
kilatan sinar yang menyambar perut Garang Segara.
“Waak!” satu suara benda terobek disusul jerit ngeri 
terlontar dari mulut Garang Segara yang tubuhnya 
sesaat tampak kejang tetapi kemudian jatuh berguling 
ke tanah dengan darah merah menyemprot dari 
perutnya.
Mahesa Wulung ternganga heran melihat kehebatan 
ilmu pedang orang tua bercaping ini. Benar-benar lebih 
hebat dari ilmu pedang Pendekar Prahara yang pernah 
dipelajarinya selama ia tinggal di Tanjungpinang.
“Bapak, tolong ambilkan pedangku yang terselip di 
ikat pinggang Garang Segara itu. Ia dirampas dari 
tanganku ketika aku jauh tak sadar di warung.”
Pendekar tua itu segera memenuhi permintaan 
Mahesa Wulung, dan ia melolos pedang yang dimaksud 
dari ikat pinggang Garang Segara yang berlumuran 
darah.
Bersamaan keduanya beranjak meninggalkan 
tempat itu.
Dari arah utara muncullah beberapa sosok tubuh. 
Melihat hal ini, si pendekar tua yang menggendong 
Mahesa Wulung tak mau lebih lama terlibat di tempat

ini, maka ia cepat-cepat meloncat meninggalkan 
tempat itu.
Orang-orang yang baru datang tadi, demi dilihatnya 
tubuh Garang Segara tergeletak tak bernyawa dan 
kemudian mereka melihat orang yang bergendongan 
lari dari tempat itu, mereka serempak berloncatan 
menyerbu. Tetapi sayang, mereka terpaksa melongo 
keheranan sebab orang yang menggendong itu dengan 
lincahnya melompat-lompat dari batu ke batu seperti 
hantu, sementara mulutnya mengeluarkan ketawa 
yang meringkik menyerikan telinga, sehingga membuat 
bulu tengkuk mereka pada meremang ketakutan.
“Hee, goblok kalian! Ayo, kejar mereka!” teriak 
Lanun Sertung yang baru tiba di tempat itu.
Demikian pula Marangsang tak menunggu perintah 
berikutnya, ia segera mengejar tawanannya yang 
dilarikan orang, disusul oleh orang-orang lainnya anak 
buah Lanun Sertung. Kejar-mengejar terjadi di jalan 
yang menanjak berbatu-batu. Para pengejar itu tak 
habis heran menyaksikan sasaran yang dikejarnya. 
Keduanya seperti katak bergendongan yang melompat-
lompat ringan tak bersuara. Setiap orang yang 
mengejarnya merasakan desakan-desakan bergelut 
dalam dada mereka, seakan-akan mau pecah menahan 
napas dalam berlari-lari mengikuti jalan yang mendaki 
cukup tinggi.
Sesaat kemudian tampaklah oleh mereka sasaran 
yang dikejarnya telah melewati pintu gerbang dari batu 
besar dan tubuh mereka lenyap di dalam semak-semak 
ilalang. Marangsang, Lodan, Lanun Sertung dan anak 
buahnya tak berani lagi mengejar mereka, kesemuanya 
berhenti di tempat itu.
“Biarkan mereka lari. Hari hampir pagi. Besok kita 
cari sampai ketemu, meskipun seluruh pelosok pulau

ini harus kita bongkar!” berkata Lanun Sertung kepada 
anak buahnya. “Mari, kita kembali ke sarang.”
***
Dalam hati Mahesa Wulung merasa geli bahwa 
sebesar ini ia masih digendong seperti anak kecil. Tak 
pernah ia membayangkan bahwa selama hidupnya, 
sekali ini ia mengalami hal-hal yang aneh. Seperti 
pertemuannya dengan pendekar tua bercaping ini dan 
cara larinya yang mengagumkan dapatlah ia segera 
mengukur betapa hebatnya tenaga dalam orang tua 
yang menggendongnya.
Mereka berdua keluar dari rumpun semak ilalang 
kemudian melewati sebuah mata air yang jernih 
airnya. Setelah menyusuri sebuah sungai kecil 
sampailah mereka pada sebuah dataran yang subur. 
Pohon nyiur tumbuh di sana-sini dengan buahnya 
bergantungan bulat-bulat besar. Pada sebidang tanah 
kecil yang ditanami pohon-pohon jagung, mereka 
berdua berhenti. Dari kejauhan terdengar deru ombak 
yang memecah di pantai yang letaknya tidak jauh dari 
ladang jagung itu.
“Nah, Angger kita telah sampai. Itulah tempat 
tinggalku sebuah pondok bambu yang tidak terlalu 
buruk.”
Mahesa Wulung turun dari punggung orang tua itu 
dan duduklah ia di atas sebuah batu besar di depan 
pondok bambu.
“Beristirahatlah Angger sejenak. Bapak akan 
mencoba meramu obat untuk menghilangkan racun di 
tubuhmu.”
“Terimakasih, Bapak,” ujar Mahesa Wulung 
berbesar hati.
Mendadak sebuah bayangan melesat dari semak

pohon jagung dan tepat berdiri mencegat di hadapan 
pendekar tua bercaping. Orang ini berkata dengan 
lantang, “Bedebah, rupanya kaulah yang menculik 
sahabatku ini. Sekarang ia akan kuminta kembali.”
Mahesa Wulung ataupun si pendekar tua bercaping 
terkejut bukan main, sebab yang berdiri di hadapan 
mereka adalah seorang yang berkedok biru laut 
dengan gambar makara kuning emas, sedang pada 
tangannya tergenggam sebatang cambuk menyala biru 
kehijauan. Yang paling heran adalah Mahesa Wulung 
sendiri. Ia melihat pusaka cambuknya Naga Geni 
dipegang oleh orang ini. Juga kedoknya pun dipakai 
pula. Kalau demikian siapakah dia yang telah berani 
memakai semua ciri-ciri khusus yang biasa dipakainya 
sebagai Pendekar Barong Makara?
“Nanti dulu, Kisanak yang berkedok,” ujar orang tua 
itu dengan ramahnya. “Kau janganlah keliru 
pengertian terhadapku. Aku bukan penculik 
sahabatmu seperti yang telah kau katakan tadi. 
Bahkan akulah yang telah menolong nyawa dan 
hidupnya dari keganasan kawan-kawan Iblis Merah 
dari Lembah Maut. Untuk meyakinkan kebenaran 
kata-kataku ini, Kisanak sendiri boleh menanyakan 
kepada sahabatmu itu.”
Pendekar berkedok ini segera berpaling kepada 
Mahesa Wulung yang masih duduk di atas batu, 
seolah-olah ingin bertanya tentang kebenaran kata-
kata orang tua yang berdiri di hadapannya.
“Kisanak,” ujar Mahesa Wulung memecah 
kesunyian. “Memang benarlah semua tutur kata Bapak 
ini. Dialah yang menolong diriku dari cengkeraman 
orang-orang Iblis Merah.”
“Hmm, jika hal itu benar, aku pun sudah 
sepantasnya mengucapkan terima kasih kepada

Bapak. Akan tetapi ia akan tetap kuminta dari tangan 
Bapak.”
Ucapan pendekar berkedok ini cukup 
membingungkan Mahesa Wulung sendiri. Tak mengira 
bahwa dirinya dijadikan bahan rebutan antara dua
orang yang belum dikenalnya. Orang tua bercaping 
cuma tersenyum-senyum mendengar ucapan pendekar 
berkedok.
“Sabar, Kisanak. Aku tak punya maksud jahat 
terhadap sahabatmu ini. Biarlah ia akan kutahan di 
sini buat beberapa waktu.”
“Heh, apa kepentinganmu dengan menahan 
sahabatku ini di tempat sepi terpencil seperti ini?”
“Aku ingin mengambilnya sebagai muridku, 
Kisanak. Dan mewariskan segala ilmuku. Telah lama 
aku menginginkan seorang murid dan secara 
kebetulan aku menemukan sahabatmu yang teraniaya 
ini!”
“Hah, kau berkata ingin mengambilnya sebagai 
muridmu? Akan kau ajari apa dia di sini? Oh, 
barangkali Bapak ingin mengajari bertanam jagung 
atau memanjat kelapa kepadanya? Tak kulihat tanda-
tanda keperkasaan atau keperwiraan pada diri Bapak!” 
Sekali lagi pendekar berkedok berkata dengan 
tajamnya!
“Memang bapak sudah tua dan hanya seorang 
petani saja. Tapi bapak sedikit-sedikit dapat bermain 
ini!” Orang tua ini berkata seraya mencabut tongkat 
pedangnya dan satu gerakan yang secepat topan ia 
menggerakkan tangannya. Seleret sinar putih 
menyambar sebatang pohon pisang dan “slaak”, 
tongkat pedang itu kembali ke sarungnya.
Pendekar berkedok dan juga Mahesa Wulung tak 
berkedip melihat gerakan kilat dari orang tua

bercaping yang hampir-hampir sukar diikuti mata. 
Mereka berdua melihat ke arah pohon pisang yang 
kena sambar sinar pedang si orang tua, tetapi pohon 
pisang ini masih berdiri tegak!
“Ha, ha, ha, Bapak Tua, lihatlah pohon pisang itu 
masih utuh. Apakah menebas udara kosong itu yang 
akan kau ajarkan kepadanya?” pendekar berkedok 
kembali memperolokkan si orang tua bercaping.
“Maaf kalau permainanku telah mengecewakan 
Kisanak. Aku pun sangsi apakah pohon pisang itu 
masih utuh atau tidak. Maka kiranya tak berlebihan 
jika aku meminta tolong kepada Kisanak untuk 
memeriksanya!” Meski orang tua itu telah diperolokkan 
oleh si pendekar berkedok namun ia sama sekali tak 
menunjukkan tanda-tanda kemarahan, bahkan ia 
tetap senyum-senyum lucu.
Pendekar berkedok tak sabar tampaknya. Dengan 
segera ia memeriksa dan memegang batang pohon 
pisang tersebut. Tiba-tiba matanya terbeliak kaget 
sebab batang pohon pisang ini mulai terasa bergerak, 
kemudian oleng dan akhirnya berguling rebah bersama 
daun-daunnya. Ternyata batang pohon pisang itu 
terpotong oleh bekas tebasan senjata tajam yang tidak 
lain adalah tongkat pedang si orang tua bercaping. 
Sungguh-sungguh mengagumkan, tetapi juga 
mengerikan!
“Lah, itulah Kisanak, sedikit permainanku yang 
buruk. Sekarang, apakah Kisanak masih keberatan 
jika aku mengambilnya sebagai muridku?”
“Hmm, cukup hebat, Bapak! Kau boleh 
mengambilnya sebagai murid, jika kau dapat 
mengalahkan permainanku dalam lima jurus 
gebrakan!” pendekar berkedok berkata, dan sekaligus 
menyiapkan cambuknya! Melihat ini, pendekar tua itu

pun cepat bersiaga.
Mahesa Wulung bingung menghadapi hal ini. 
Kepada siapakah ia seharusnya berpihak? Tanpa 
menunggu lebih lama pendekar berkedok melayangkan 
pukulan cambuknya ke arah tubuh pendekar tua itu. 
Pendekar tua bercaping tak tinggal diam diserang oleh 
pukulan cambuk lawannya, cepat ia menggenjotkan 
kakinya ke tanah dan tubuhnya berjumpalitan di 
udara.
“Daar!”, suara ledakan terdengar berbareng ujung 
cambuk Naga Geni menggempur batu tempat pendekar 
tua berdiri. Untunglah ia keburu meloncat, kalau tidak 
apakah jadinya. Batu tersebut pecah dengan 
mengeluarkan asap panas berkepul ke udara.
Sambil melayang turun dari udara si orang tua 
menyabetkan tongkat pedangnya ke arah kepala 
pendekar berkedok, namun orang inipun betul-betul 
waspada. Dengan loncatan ke samping dan 
merendahkan kepalanya, ia terbebas dari maut!
Walaupun meleset mata pedang si orang tua masih 
dapat menyambar seekor lalat yang terbang di tempat 
itu.
“Persetan! Kau mengganggu permainanku!”
Tubuh lalat itu jatuh di atas tanah terbelah menjadi 
dua!
Keduanya bertempur hebat sampai mencapai jurus 
ke lima, dan tepat pada jurus terakhir ini, pendekar 
berkedok melayangkan pukulan cambuknya miring ke 
arah si orang tua bercaping. Pada saat yang 
bersamaan pendekar tua tadi menyilangkan mata 
pedangnya mendatar.
Srrttt! Cambuk Naga Geni melibat pedang si orang 
tua dengan eratnya dan segera terjadilah tarik-menarik 
antara mereka berdua untuk mengadu tenaga dalam.

Peluh dingin bercucuran dari wajah mereka.
Tiba-tiba saja tanpa dinyana, tangan kiri si orang 
tua menyambar ke wajah pendekar bertopeng, sambil 
berseru nyaring, “Kau memang hebat, Kisanak. Tapi 
kau harus memperlihatkan wajahmu yang asli. Biar 
aku tahu dengan siapa aku berhadapan!”
Sambaran tangan kiri si orang tua sungguh di luar 
dugaan bagi pendekar berkedok. Maka tanpa sempat 
mengelak, kedok yang dipakainya terjambret lepas dari 
wajahnya.
“Pandan Arum? Dimas Pandan Arum?” terdengar 
teriakan kagum bercampur gembira dari mulut Mahesa 
Wulung ketika dilihatnya wajah asli dari pendekar 
berkedok itu yang tidak lain adalah Pandan Arum 
sendiri.
“Maaf, Kakang Mahesa Wulung. Itu semua aku 
lakukan guna menyelamatkanmu dari orang-orang 
Iblis Merah.”
“Ooh, tobat. Jadi kalian berdua sudah saling 
mengenal!” terdengar si orang tua berseru heran. “Dan 
Angger yang berkedok ini ternyata pula seorang gadis?
Weh, tobat, tobat. Baru kali ini aku melihat seorang 
gadis yang masih remaja sudah memiliki kemampuan 
bertempur yang hebat! Kalau demikian harap bapak 
yang sudah tua ini dimaafkan dan terimalah kembali 
kedokmu ini.”
Pandan Arum menerima kembali kedok yang
dipakainya seraya mengangguk hormat kepada si 
orang tua bercaping. “Aku pun meminta maaf atas 
semua sikapku, Bapak.”
“Weh, weh, lupakanlah hal-hal yang telah lewat. 
Biarkan berlalu sekedar sebagai pengasah budi pekerti 
kita. Jika kita berbuat salah, itu sudah lumrah dalam 
kehidupan manusia. Tetapi hendaknya kesalahan itu

sendiri akan menjadi peringatan bagi kita agar 
manusia tidak mengulangnya kembali perbuatan itu.” 
Orang tua itu berhenti sejenak dengan kata-katanya, 
seolah-olah sedang merenungkan apa-apa yang sudah 
diucapkannya.
“Terima kasih, Bapak. Dan jika diijinkan oleh 
Bapak, aku ingin sementara menemani Kakang 
Mahesa Wulung di sini. Aku punya obat-obatan yang 
mungkin berguna bagi sakitnya.” Pandan Arum 
berkata sambil mengambil sebuah kantung putih dari 
ikat pinggangnya, kemudian mengulurkannya kepada 
si orang tua.
“Hah? Hebat sekali isinya!” Orang tua itu berseru 
setengah heran melihat isi kantung obat-obatan milik 
Pandan Arum. “Hmm, ini isinya cukup lengkap. Ini 
jamu untuk menghilangkan pengaruh racun di tubuh. 
Ini obat menenangkan pikiran, obat penyembuh luka 
dan, wah, ini lebih dari cukup. Pantas kalau Angger 
Pandan Arum ini seorang bakul jamu dan yang diobati 
Angger Mahesa Wulung, hi, hi, hi, hi.” Orang itu 
ketawa dengan lucunya hingga kedua orang muda-
mudi itu terpaksa mesem kemalu-maluan.
“Eh..., tapi nanti dulu, Angger Pandan Arum. 
Apakah semua obat-obatan ini kau sendiri yang 
membuatnya?” bertanya orang tua itu sambil tak 
henti-hentinya meneliti obat-obatan di dalam kantung 
putih tadi.
“Mengapa, Bapak? Adakah sesuatu yang menarik 
bagi Bapak?” Pandan Arum sekarang ganti bertanya.
“Ya, aku heran dengan macam obat-obatanmu itu. 
Nanti dulu, aku akan menunjukkan sesuatu kepada 
Angger berdua!”
Orang tua tadi melepaskan capingnya dan cepat 
masuk ke dalam pondok bambu. Sesaat kemudian

iapun keluar dengan membawa sebuah kantung dan 
ditunjukkan isinya kepada Pandan Arum. Betapa 
kagetnya Pandan Arum melihat isi kantung ini.
“Ah, bukankah isinya ini sama dengan yang aku 
bawa tadi?”
“Benar, Angger. Isinya memang sama jenisnya!” 
orang tua itu membenarkan pendapat Pandan Arum. 
“Itulah yang membuatku heran!”
“Ini saya buat bersama Bibi Nyi Sumekar waktu 
saja tinggal di rumahnya di lereng Gunung Muria.”
“Ooo, jadi Angger Pandan Arum ini adalah 
kemenakan Nyi Sumekar dari Gunung Muria?!” orang 
tua itu tampak tercengang tapi kemudian ia 
menengadah ke atas menatap langit biru, seperti ingin 
mengumpulkan segala ingatannya kembali.
Maka suasana sesaat tampak menjadi hening. 
Mahesa Wulung sibuk berpikir, siapakah gerangan
orang tua ini. Mengapa ia tinggal di tempat terpencil 
sesepi ini? Sementara itu Pandan Arum pun berpikir, 
bagaimana mungkin orang tua ini mempunyai obat-
obatan yang sama jenisnya dengan kepunyaannya 
sendiri?
Melihat kedua tamunya itu, rupa-rupanya orang tua 
itu mengetahui apa yang tengah berkecamuk di dalam 
pikiran mereka, lalu iapun mulai memecah keheningan 
yang mencengkam.
“Angger Kisanak berdua, baiklah aku mencoba 
menyusun kembali segala lelakon saya dan sekaligus 
memperkenalkan diri kepada Angger berdua. Aku akan 
berceritera tentang jalan hidup saya sehingga 
terdampar di tempat ini. Dahulu, bapak pernah tinggal 
di kota Jepara. Masa muda yang gemilang dan 
menggembirakan itu aku isi dengan bekerja keras serta 
rajin menuntut ilmu keperwiraan. Di sebuah tempat, di

lereng Gunung Muria, aku berguru kepada Eyang 
Muria, seorang tua yang bijaksana dan mempunyai 
ilmu yang tinggi di masa itu.
Sungguh banyak murid-murid Eyang Muria ini. 
Kami mendapat bermacam-macam ilmu yang berguna 
bagi kehidupan kita. Ilmu bermasyarakat berbudi 
luhur, ilmu tentang olah senjata, cara membuat obat-
obatan dan masih banyak lagi macamnya.
Di antara murid-murid padepokan Gunung Muria 
itu ada seorang gadis yang bernama Rara Sumekar, 
dan dialah murid puteri yang paling cerdas di antara 
teman-temannya yang lain. Ketrampilannya 
menggunakan selendang sebagai senjata dan 
ketekunannya meracik obat-obatan sungguh 
mengagumkan.
Di saat inilah, sebagai seorang pemuda aku merasa 
sayang kepadanya dan perasaan itu terpupuk subur 
menjadi benih cinta.
Namun sayang sekali, belum lagi aku mencurahkan 
isi hatiku kepadanya, tiba-tiba tugas negara 
memanggilku. Di waktu itu armada Demak berusaha 
menggempur kekuasaan Portugis di Malaka. 
Sekembalinya dari serangan itu, kapal kami yang 
berada di belakang telah dicegat oleh kapal-kapal 
Portugis dan perahu-perahu bajak laut Iblis Merah 
yang membantunya.
Begitulah, sesudah kami bertempur mati-matian, 
kapal kami hancur dan tenggelam di Selat Karimata. 
Mungkin di antara semua awak kapal hanya sayalah 
yang masih hidup, karena beruntung dapat berpegang 
pada bilah-bilah papan, sisa-sisa pecahan kapal yang 
terapung di laut. Setelah berhari-hari dipermainkan 
ombak, akhirnya aku terdampar di pulau kecil ini.”
“Jadi, dari semua awak kapal itu hanya Bapaklah

yang masih hidup?” Mahesa Wulung cepat memotong 
ceritera orang tua itu, karena iapun tiba-tiba teringat 
kepada mendiang ayahnya.
“Ya, ya, hanya akulah Si Camar Seta, orang yang 
tak berguna yang masih hidup...,” ujar si orang tua 
dengan terharu. “Semua tewas termasuk seorang 
perwira laut sahabat karibku bernama Ki Soreng... ah 
aku agak lupa namanya.”
“Ki Sorengyudo maksud Bapak?” sekali lagi Mahesa 
Wulung memotong perkataan Ki Camar Seta sehingga 
membuat orang tua ini terperanjat seraya mendekat ke 
arah Mahesa Wulung.
“Apakah Angger Mahesa Wulung mengenalnya?”
“Dialah ayahku sendiri, Bapak!”
“Ookh, jadi kaulah putera mendiang Ki 
Sorengyudo!” seru Ki Camar Seta seraya memeluk 
Mahesa Wulung penuh harunya. Dua butir air mata 
meleleh di pipinya yang halus licin. “Rupanya Tuhan 
telah mempertemukan kita di tempat yang terpencil 
ini, Angger Mahesa Wulung.”
Pertemuan itu bagi ketiga orang tersebut sungguh 
merupakan kejadian yang tak terduga dan sangat 
menggembirakan. Maka sejak saat itulah Ki Camar 
Seta menganggap Mahesa Wulung sebagai puteranya 
sendiri.
Berkat pengobatan Ki Camar Seta dan perawatan 
Niken Pandan Arum yang cermat dan penuh kasih 
sayang, maka tubuh Mahesa Wulung berangsur-
angsur pulih kembali kesehatannya dan terbebas dari 
pengaruh racun obat yang terminum ke dalam 
tubuhnya.
***

LIMA

SELAMA tinggal di pondok Ki Camar Seta, dari hari 
ke hari Mahesa Wulung dengan tekunnya mengikuti 
semua tuntunan-tuntunan orang tua itu dalam 
mempelajari ilmu pedangnya yang hebat. Hampir 
setiap hari Pandan Arum selalu mendampingi mereka 
berdua, lebih-lebih dalam setiap waktu istirahat 
sehabis latihan. Selain ia menyediakan air minuman, 
juga tak pernah lupa menyiapkan jagung rebus yang 
masih berkepul hangat.
Hari-hari itu rasanya panjang sekali bagi Mahesa 
Wulung, tetapi hal itu tak pernah melemahkan 
semangatnya, sebab ia telah bertekad akan 
menyelesaikan semua pelajaran yang diberikan oleh Ki 
Camar Seta dengan sebaik-baiknya.
“Angger Mahesa Wulung, ingatlah senantiasa cara-
cara memegang tangkai pedang menurut petunjuk-
petunjukku. Tempat itu harus kau pegang dengan 
teguh dan jangan lupa, gerak pergelangan tanganmu 
harus lincah agar mata pedangmu dapat bergerak ke 
segenap penjuru angin.”
Begitulah, setiap kali Ki Camar Seta selalu memberi 
petunjuk-petunjuk dan mengulanginya kembali 
dengan sabar jika muridnya ini membuat kekeliruan. 
Ki Camar Seta sendiri merasa puas dan kagum melihat 
ketangguhan muridnya dalam berlatih di setiap 
harinya.
“Hmm, yah, aku tak heran dengan kekerasan 
jiwanya. Ia benar-benar mirip dengan ayahnya, Ki 
Surengyudo, mendiang sahabatku. Aku adalah bekas 
prajurit armada Demak yang terpencil terdampar di 
pulau sepi ini, sehingga masa-masa tuaku banyak

terbuang sia-sia dari bebrayan agung. Untunglah di 
tempat yang terpencil ini akan dapat melenyapkan 
kesepianku dengan melatih dan memperdalam ilmu 
pedangku dengan sempurna. Namun ketika aku benar-
benar telah menguasainya, rasa cemasku timbul 
disebabkan umur tuaku yang terus meningkat dan 
akhirnya ilmu pedangku ini akan musnah kembali. 
Itulah yang dahulu amat kucemaskan! Tetapi sekarang
ini, dengan perjumpaan yang tak terduga-duga dengan 
Mahesa Wulung dan gadisnya, harapanku kembali 
menyala dengan cemerlang. Kepada merekalah ilmu 
pedangku akan kuwariskan!”
Ki Camar Seta selalu melatih Mahesa Wulung 
bertempur di tempat yang berganti-ganti. Sekali 
diajaknya kedua muridnya berlatih di tempat yang 
terjal di daerah perbukitan, kemudian di dalam hutan 
yang lebat dan tak jarang ketiganya berkejaran di 
antara batu-batu di tengah sungai yang deras 
alirannya. Tapi tempat yang paling banyak dipilih ialah 
daerah pesisir.
Di tepi pantai itulah Ki Camar Seta memberikan 
tataran-tataran tertinggi dari ilmu pedangnya kepada 
muridnya, Mahesa Wulung. Jika keduanya sedang 
berlatih, Pandan Arum selalu menunggunya dan 
mengawaskan dari kejauhan saja. Dia sudah cukup 
puas dengan mempelajari bagian-bagian yang dianggap 
penting dari ilmu pedang Ki Camar Seta. Itu tak 
mengherankan jika ia hanya mempelajari sebagian 
saja, karena dia sendiri sudah mempunyai ilmu Sabet 
Alun ajaran bibinya, Nyi Sumekar. Ciri ilmu itu selalu 
mempergunakan selendang sebagai senjata!
Sering kali ia merasa kagum jika menyaksikan 
kedua orang itu berlatih pedang. Keduanya tampak 
seperti dua ekor burung camar yang berkejaran di tepi

pantai amat lincahnya. Begitu kerasnya berlatih hingga 
kadang-kadang Mahesa Wulung dan Ki Camar Seta tak 
terasa sampai jauh masuk ke dalam air. Pedang di 
tangan mereka seperti baling-baling yang berpusaran 
dan sekali-sekali berbentur dengan dahsyatnya sampai 
menimbulkan bunga-bunga api yang berloncatan. Dan 
jika ombak besar datang dari tengah laut bergulung-
gulung, kedua orang itu berlompatan ke atas hingga 
ombak yang menghempas ke pantai itu dua jengkal 
lewat di bawah kaki-kaki mereka.
“Nah, Angger Mahesa Wulung. Semua telah kau 
pelajari dengan baik. Sekarang cobalah gerakan 
gerakanmu yang dapat kau kerjakan seorang diri. Kau 
boleh menambahnya dengan unsur-unsur gerak yang 
telah kau kuasai sebelumnya. Dengan menggabung-
gabungkan beberapa unsur tadi pastilah gerakanmu 
akan lebih hebat. Maka, sekarang mulailah! Aku akan 
mengawasimu!”
Ki Camar Seta cepat meloncat ke tepi, tak jauh dari 
Pandan Arum berdiri.
Mahesa Wulung segera memulai gerakannya. Ia 
menekuk tangan kirinya menjelang di depan dada 
sedang tangan kanannya yang memegang pedang 
lurus ke depan. Pedang itu tergenggam tegak lurus 
dengan mata pedang menghadap ke arah muka. 
Setelah ia mengangguk hormat kepada Ki Camar Seta, 
Mahesa Wulung mulai memusatkan pikirannya. Tiba-
tiba saja terlintas di hadapannya wajah almarhum 
ayahnya yang tergores pada wajah gurunya itu. Maka 
seperti dicengkam oleh perasaan gaib, tiba-tiba ia 
merasa seolah-olah berhadapan dengan almarhum 
ayahnya sendiri, yang sedang mengujinya.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Besar, 
Mahesa Wulung mulai menggerakkan pedangnya.

Dimulailah dari gerakan-gerakan dasar yang paling 
sederhana. Satu demi satu, setahap demi setahap. 
Kemudian meningkat kepada unsur-unsur gerak yang 
paling sukar dan begitulah akhirnya Mahesa Wulung 
bergerak semakin lama semakin hebat dan 
mengerikan.
Dalam keadaan begitu Mahesa Wulung hampir 
melupakan keadaan sekelilingnya. Lupa bahwa ia 
bergerak seorang diri. Yang terbayang di hadapannya 
adalah wajah ayahnya yang tersenyum-senyum bangga 
memandang ke arah dirinya. Oleh sebab itu Mahesa 
Wulung berusaha mengungkapkan segala ilmu yang 
telah dimilikinya. Tambahan lagi ia menyalurkan aji 
pukulan ‘Lebur Waja’nya dalam setiap sabetan 
pedangnya, sehingga gerakan pedangnya hanya 
tampak sebagai kilatan-kilatan sinar yang menyambar-
nyambar laksana halilintar.
Tubuh Mahesa Wulung sendiri tampak seperti 
menari dengan lincahnya, melesat ke sana, meloncat 
ke mari, kemudian berjumpalitan di udara dan 
mendarat kembali disertai sabetan-sabetan pedangnya 
yang mengerikan.
Tetapi Mahesa Wulung yang sekarang, bukanlah 
Mahesa Wulung pada saat mulai belajar dari tataran 
pertama. Sekarang selain segala unsur gerak ilmu 
pedang dari Ki Camar Seta telah dikuasainya, secara 
tak sengaja ia telah melengkapinya pula dari segala 
macam pengalamannya sejak pertama kali ia 
berhadapan dengan gerombolan hitam Alas Roban di 
pesisir utara Jawa, kemudian melawan bajak-bajak 
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa, ditambah 
gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya dari 
Pendekar Prahara di Tanjungpinang dan juga 
pengalamannya yang terakhir melawan orang-orang

Iblis Merah. Dan dengan begitu tanpa setahu dirinya, 
ia telah berhasil mengungkapkan ilmu pedang yang 
maha dahsyat.
Ki Camar Seta dan Pandan Arum yang mengawasi 
permainan pedang Mahesa Wulung hampir-hampir tak 
percaya melihat kehebatan gerak pedang itu. Gerakan 
tubuh Mahesa Wulung yang lincah dan kadang-kadang 
berlompatan di atas deburan ombak yang memecah ke 
pantai, rupa-rupanya saja menarik perhatian makhluk 
yang lain. Sebab tak lama kemudian terlihatlah 
bayangan hitam di atas pasir pantai yang berputar-
putar dengan cepatnya. Ki Camar Seta dan Pandan 
Arum melihat ke atas berbareng!
“Burung elang laut!” desis Ki Camar Seta.
“Rupanya ia tertarik kepada gerakan Kakang 
Mahesa Wulung, Bapak!” Pandan Arum pun berseru 
dengan kecemasan.
“Ya, benar katamu itu, Angger. Lihatlah elang itu 
mulai melayang dan melingkar-lingkar turun. Pasti ia 
siap menyerang Angger Mahesa Wulung!”
Namun di saat kedua orang itu merasa cemas, 
Mahesa Wulung tetap bermain dengan ilmu pedangnya 
yang dahsyat. Ketika ia menyabetkan pedangnya ke 
atas, terkejutlah Mahesa Wulung seketika, sebab dari 
udara sebuah bayangan hitam menukik dan 
menyambar ke arah kepalanya.
Wesss... Sambaran cakar-cakar elang itu memang 
hebat, tetapi Mahesa Wulung keburu merendahkan 
kepalanya, sehingga sambaran tadi meleset sama 
sekali. Bersamaan waktunya, selesai menghindar 
Mahesa Wulung menyabetkan pedangnya ke arah 
tubuh elang itu. Tetapi burung itupun seperti 
digerakkan oleh naluriahnya, cepat meliuk ke atas dan 
kini tebasan pedang Mahesa Wulung ganti membabat

udara kosong.
Burung elang itu terus membubung ke atas dan 
kembali melingkar-lingkar di udara. Mata Mahesa 
Wulung terus mengawasi gerak burung elang di udara. 
Lama-kelamaan kepala Mahesa Wulung merasa agak 
pening setelah mengikuti gerakan elang yang 
melingkar-lingkar dengan cepatnya. Di saat itulah 
burung elang itu kembali menyambar ke arahnya.
Sekali lagi Mahesa Wulung berusaha menghindar 
dari sambarannya, namun tak urung cakar-cakar 
tajam elang itu berhasil menyambar bajunya sampai 
robek. Berbareng elang itu membubung ke udara, 
Mahesa Wulung membabatkan pedangnya ke arah 
burung elang itu, tetapi meleset! Kecuali dua lembar 
bulu ekornya saja yang terbabat putus!
Mahesa Wulung merasakan sesuatu yang mengalir 
di bahunya dan pedih, maka ia merabanya dengan jari 
kirinya. Darah! Rupanya cakar elang itu telah merobek 
bahunya. Melihat ini Pandan Arum terpekik 
kecemasan.
“Tenanglah engkau, Angger!” seru Ki Camar Seta. 
“Janganlah kita menambah kegugupan kepada Angger 
Mahesa Wulung. Itu akan tambah membahayakan 
dirinya!”
Burung elang laut itu semakin ganas setelah 
melibat darah mengalir dari luka-luka pada bahu 
Mahesa Wulung, maka ia cepat melingkar-lingkar 
dengan derasnya untuk bersiap-siap menyambar 
kembali. Sekali ini Mahesa Wulung telah kenyang akan 
pengalaman dan siasat penyerangan si burung elang
laut. Ia tidak lagi berusaha mengikuti gerakan 
melingkar dari elang itu dengan matanya, sebab akan 
membuat rasa pusing di kepala. Mahesa Wulung 
hanya memusatkan perhatiannya pada ujung mata

pedangnya, sementara itu tangan kirinya melolos 
sarung pedang yang masih tersisip pada ikat 
pinggangnya sebelah kiri.
“Heh, aku harus memakai siasat untuk 
mengalahkannya!”
Burung elang itu menyambar kembali dengan 
dahsyatnya. Cakar-cakarnya yang berkuku tajam 
mengembang penuh, siap merobek-robek dan 
mencengkeram daging korbannya. Sekonyong-konyong 
tangan kiri Mahesa Wulung melemparkan sarung 
pedangnya ke arah tubuh elang laut. Untuk kali ini, 
elang itu kembali menghindari benda yang menyambar 
ke arah tubuhnya, namun di saat itu pula Mahesa 
Wulung melesat ke atas dan membacokkan pedangnya!
Sraat. Tebasan pedang Mahesa Wulung menyambar 
tubuh burung elang ini, dan bersamaan satu jeritan 
keras dari mulutnya, elang laut yang ganas itu runtuh 
ke tanah dengan tubuhnya terbelah dua! Begitulah 
kedahsyatan ilmu pedang Sigar Maruta.
Pandan Arum segera berlari ke arah Mahesa 
Wulung dan memeluknya dengan erat. “Oh, kau 
terluka, Kakang! Aku sungguh ngeri melihat 
pertempuran tadi....”
“Tapi sekarang sudah berlalu, bukan? Dan kiranya 
hanya tanganmu yang haluslah yang dapat 
menyembuhkan luka-luka itu,” Mahesa Wulung 
berkata sambil tersenyum manja, membuat Pandan 
Arum tersipu-sipu.
Saking gemasnya jari-jari gadis ini segera beraksi 
dengan cubitan-cubitannya pada lengan Mahesa 
Wulung.
“Aduh, aduh... piye iki. Diminta mengobati kok 
malah mencubit,” Mahesa Wulung semakin berkelakar, 
sedang Ki Camar Seta yang telah berada di

sampingnya ikut tersenyum-senyum geli.
Luka-luka Mahesa Wulung segera diperiksa oleh 
orang tua itu. “Mmm, luka-lukamu tidak terlalu dalam, 
Angger. Tapi harus cepat-cepat diobati.”
Mereka bertiga pulang ke pondoknya. Meski latihan 
hari itu berakhir dengan peristiwa yang aneh, namun 
bagi Mahesa Wulung sendiri merasa beruntung sebab 
elang laut yang ganas tadi seolah-olah telah mencoba 
ilmu pedangnya yang dahsyat. Dan ternyata meski 
ilmu pedangnya telah hebat, namun satu hal yang tak 
boleh dilupakan ialah siasat dalam bertempur.
***
Matahari semakin jauh bergeser ke arah barat, 
sementara mega putih yang bersaput warna jingga 
kecoklatan berarak-arak mengalir ke arah selatan. Dan 
pada saat-saat warna biru kegelapan mulai merayapi 
langit di sebelah timur, matahari dengan malasnya 
tenggelam di cakrawala. Kini malam telah merajai dan 
alampun seperti tidur tampaknya, semuanya serba 
tenang dan damai.
Pada hari berikutnya setelah luka-luka Mahesa 
Wulung diobati dan mulai kering, kembalilah Ki Camar 
Seta melatihnya dalam ilmu pedangnya. Ketika mereka 
makin tenggelam dalam menekuni gerak-gerak pedang 
di tangannya yang berpusaran seperti prahara dan 
sesekali mematuk-matuk laksana seekor naga yang 
marah, secara tiba-tiba saja ketekunan mereka 
dibuyarkan oleh satu jeritan panjang.
Ya, satu jeritan panjang bernada kengerian dari 
mulut Pandan Arum membuat Mahesa Wulung dan Ki 
Camar Seta berlarian ke arah tempatnya. Tampaklah 
Pandan Arum menjerit sambil menunjuk-nunjuk ke 
arah semak ilalang dan betapa kagetnya ketika Mahesa

Wulung serta Ki Camar Seta melihat ke arah tempat 
itu. Dari sela-sela daun ilalang, muncul sebuah tangan 
yang menggapai-gapai ke atas, dengan belepotan darah 
merah yang telah kering pada jari-jarinya.
Melihat ini, mereka bertiga serentak berlari ke arah 
yang sama untuk memeriksa dan memberikan 
pertolongan seperlunya. Di tempat itu tergeletak 
seorang laki-laki yang rupa-rupanya telah merayap 
dari tempat yang jauh dan mulai kehabisan tenaga, 
sehingga ia hanya kuasa menggapai-gapaikan 
tangannya saja.
“Sibahar,” seru Mahesa Wulung kaget setelah ia 
dapat mengenali wajah orang ini. “Dia adalah seorang 
anak buahku, Bapak!”
“Kasihan dia. Biarlah aku mencoba mengobatinya,” 
ujar Ki Camar Seta sambil menegakkan kepala Sibahar 
dan kemudian diletakkan ke atas pangkuannya.
Sibahar mencoba tersenyum, sementara tangan 
kirinya ditekankan pada dadanya yang terluka.
“Tak ada gunanya, Tuan,” desah Sibahar kemudian. 
“Waktuku tidak banyak lagi. Kini aku merasa 
berbahagia dapat bertemu dengan Tuan Barong 
Makara dan nona pendekar Pandan Arum.” Sibahar 
menarik nafas dalam-dalam. “Aku akan berceritera....”
Mahesa Wulung atau Barong Makara itu segera 
merapatkan dirinya. Katanya, “Aku ingin sekali 
mendengarnya, Sibahar. Tetapi sekarang lebih baik 
engkau beristirahat. Telah terlalu banyak darahmu 
yang keluar. Sudahlah, Sibahar, tenangkanlah dirimu.”
“Tidak apa-apa. Biarlah aku mulai berceritera 
kepada Tuan. Setelah itu aku akan mati dengan 
tenang. Nah, dengarlah.... Setelah Tuan pergi 
meninggalkan kami untuk menyamar dan mencari 
keterangan tentang persembunyian orang-orang Iblis

Merah, beberapa pekan kemudian, nona pendekar 
Pandan Arum pun telah pergi untuk menyusul Tuan.” 
Sibahar berhenti sejenak, sambil mengatur nafasnya 
yang mengalir semakin cepat. “Tetapi, kalian berdua 
terlalu lama pergi sehingga kami benar-benar merasa 
cemas. Akhirnya Kakang Jogoyudo telah menyuruhku 
untuk mencari Tuan berdua. Kami semua berenam 
dengan awak-awak kapal pergi ke tempat-tempat di 
segenap pulau ini. Tetapi malanglah kami, sebab di 
sebuah jalan kecil yang menuju ke Lembah Maut, kami 
telah disergap oleh orang-orang Iblis Merah! Dan 
meskipun kami sekuat tenaga melawan mereka, 
akhirnya orang-orang Iblis Merah itulah yang menang. 
Jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun mereka 
bertempur seperti setan! Kelima awak kapal tadi telah 
dicincang mati, sedang aku hanya dibiarkan dengan 
terluka begini, agar aku masih ada waktu untuk 
mencari Tuan dan menyampaikan tantangannya.” 
Sibahar berkata sambil menekan luka di dadanya.
Mahesa Wulung merasa ngeri melihat luka-luka 
pada dada Sibahar. Juga sebuah mata uang logam 
tertancap hampir seluruhnya di dalam luka-luka itu.
“Tantangan?” desis Mahesa Wulung dengan 
geramnya.
“Yah, mereka telah menantang Tuan untuk 
membuat perhitungan dengan Lanun Sertung, 
pemimpin gerombolan Iblis Merah itu. Mereka menanti 
kita di Lembah Maut, tepat di siang hari jika mata hari 
berada di atas kepala kita.” Sibahar menjadi semakin 
pucat sedang kata-kata yang terakhir hampir-hampir 
diucapkan setengah berbisik.
Sibahar kembali mencoba tersenyum dan berbareng 
jantungnya semakin lemah berdetak, mulut Sibahar 
menyebut nama Tuhan Yang Maha Besar. Setelah itu

tubuh Sibahar terkulai lemah. Ia telah pergi, sedang 
wajahnya masih membayang senyum kepuasan 
seolah-olah menyatakan kerelaannya untuk 
meninggalkan dunia yang ramai ini.
Mereka bertiga menundukkan kepala masing-
masing dengan penuh rasa haru.
Pengorbanan Sibahar tidaklah sia-sia. ia telah 
menunjukkan keperwiraannya. Sebagai wakil dari 
seluruh teman-temannya para prajurit di pulau 
Bintan, ia telah menunaikan kewajibannya dengan 
baik. Meskipun jasadnya terbaring di pulau yang 
terpencil ini, namun namanya akan selalu terpancang 
pada deretan nama-nama laskar armada Demak 
dengan bau harum semerbak.
Dan semenjak saat itu, Mahesa Wulung berjanji di 
dalam hatinya, bahwa ia akan benar-benar memenuhi 
tantangan orang-orang Iblis Merah. Ia akan melawan 
Lanun Sertung dan membinasakannya. Dosanya 
sudah terlalu luber untuk diampuni.
***
Ketika matahari makin bertambah tinggi, udara 
seperti dibakar rasanya. Panas dan engas. Tetapi, di 
jalan kecil menuju ke pintu gerbang batu dari Lembah 
Maut, tampaklah tiga orang mengendap-endap 
mendekati tempat itu. Sebentar saja ketiganya sudah 
sampai di pintu gerbang batu, dan merekapun 
berhenti sejenak.
Seorang tua bercaping yang tidak lain adalah Ki 
Camar Seta tampak memberikan petunjuk-petunjuk.
“Nah, sekarang Angger Mahesa Wulung, masuklah 
engkau ke dalam lembah ini seorang diri terlebih 
dahulu. Jika engkau telah bertempur beberapa jurus, 
barulah kami berdua akan bergabung dengan Angger.

Bapak akan masuk dari sebelah barat, dan Angger 
Pandan Arum dari arah timur. Sudah jelas, bukan? 
Sekarang, mari kita berpencar!” ujar orang tua itu 
setengah berbisik, kemudian iapun berbalik dan mulai 
merayap ke arah barat.
Demikian pula Pandan Arum mengendap-endap ke 
sebelah timur. Sedang Mahesa Wulung sendiri segera 
turun ke dalam Lembah Maut. Ia sangat hati-hati dan 
sebentar-sebentar tangannya mengelus tangkai 
pedangnya. Geraknya lincah. Sambil mengendap, 
sebentar-sebentar ia berhenti di balik batu-batu besar 
yang bertonjolan di sana-sini. Makin lama ia makin 
mendekat ke tengah-tengah lembah, di mana ia pernah 
ditawan beberapa waktu berselang di tempat itu.
Sekali lagi ia berhenti di balik batu besar. 
Pancingannya terus menyelidik. Meja batu besar yang 
terhampar di bawah batang pohon kering yang 
menjulang tinggi ke atas, tampak dengan jelasnya. 
Juga pondok-pondok beratap ilalang pun kelihatan. 
Tetapi suasana di sini tampak sepi. Lengang. Tak ada 
gerak dari makhluk hidup yang lewat, seolah-olah 
tempat ini telah lama ditinggalkan penghuninya, 
orang-orang Iblis Merah.
Mahesa Wulung mulai curiga. Sebentar ia mulai 
memandang ke bawah melihat bayang tubuhnya. 
“Hmm, masih condong sedikit ke barat. Sebentar lagi 
tepat matahari berada di atas kepala dan mereka 
harus muncul menetapi tantangannya.”
Dilangkahkannya kakinya pelan-pelan mendekati 
meja batu. Tepat pada langkah yang ke lima ia 
berhenti kembali. Mahesa Wulung melihat ke bawah. 
Tepat waktunya! Bayangan tubuhnya tepat tegak lurus 
di bawah kaki dan matahari bersinar dengan terik 
seolah-olah mau membakar Lembah Maut itu.

“Heei, orang-orang Iblis Merah! Aku telah siap 
memenuhi tantanganmu! Keluarlah!” teriak Mahesa 
Wulung yang berkumandang kejar-mengejar memantul 
ke segenap sudut Lembah Maut.
Bersamaan lenyapnya gema teriakan Mahesa 
Wulung, dari sebelah utara berdesingan benda-benda 
bersinar yang menyambar ke arah tubuhnya.
“Senjata-senjata rahasia!” desis Mahesa Wulung 
sambil melolos pedangnya dengan gerak yang cepat, 
sekaligus diputarnya memagari tubuhnya.
Trang! Crak! Crak! Puluhan benda bersinar yang 
ternyata mata uang logam itu berpentalan terbelah dua 
ketika beradu dan tersampok oleh putaran pedang 
Mahesa Wulung. Begitu serangan itu berakhir, 
mendadak dari arah barat berkelebat sebuah tangan 
dari balik batu yang besar dan sekali lagi puluhan 
benda bersinar berpusaran menyambar ke arah 
Mahesa Wulung.
Tetapi Mahesa Wulung bukan anak-anak lagi yang 
takut oleh benda-benda berkilatan itu, maka dengan 
tenangnya ia bersiaga. Ketika serangan mata uang 
logam itu hampir menyentuhnya, dengan tiba-tiba 
Mahesa Wulung menggenjotkan kedua kakinya ke 
tanah dan tubuhnya melesat ke udara berjumpalitan 
dengan manisnya. Puluhan mata uang logam itu 
melayang di bawah tubuhnya dengan deras kemudian 
bertancapan ke dalam tanah. Sesaat kemudian 
Mahesa Wulung mendarat kembali dengan berdiri di 
atas kedua kakinya yang kokoh seperti bukit karang, 
tak tergoyahkan oleh badai yang betapapun hebatnya.
“Ha, ha, ha, ha. Kau memang hebat, kawan. Tetapi 
jangan keburu bertepuk dada, sebab sebentar lagi 
riwayatmu akan tamat di Lembah Maut ini!” terdengar 
suara itu bergaung memantul ke tebing-tebing lembah

tanpa diketahui siapa orangnya yang telah berteriak 
itu.
Mahesa Wulung menggertakkan giginya dengan 
marah, sebab ia merasa seperti dijadikan sasaran 
permainan maut oleh orang-orang Iblis Merah.
“Ayo, keluarlah kamu, orang-orang Iblis Merah! 
Hadapilah aku sebagai orang-orang yang jantan!” 
Mahesa Wulung berteriak nyaring.
Sekali lagi terdengar derai ketawa dari arah utara 
dan puluhan mata uang logam menyambar hebat ke 
arahnya. Untunglah Mahesa Wulung cukup waspada 
dan serangan ketiga ini pun gagal karena putaran 
pedang Mahesa Wulung begitu rapat mengurung 
tubuhnya sehingga tak sebutir uang logam pun yang 
berhasil menerobosnya.
Sesaat kemudian, setelah serangan itu reda, 
Mahesa Wulung cepat menyarungkan pedangnya 
kembali. Matanya mengawasi segenap sudut-sudut 
Lembah Maut yang membentang luas di sekitarnya. Ia 
yakin, bahwa di balik batu-batu besar yang bertonjolan 
itu pastilah bersembunyi orang-orang Iblis Merah. 
Namun sampai pada saat itu tak seorang pun yang 
muncul dan secara terang-terangan bertempur 
berhadapan muka.
“Hemm,” desisnya. “Baiklah, jika mereka masih 
main sembunyi, aku akan memaksa mereka untuk 
keluar dari tempatnya.”
Mahesa Wulung melolos serulingnya dari ikat 
pinggangnya yang selama ini hampir dilupakan, 
kemudian ditiupnya dengan tenang.
Sebuah irama, mulai mengalun mendayu-dayu 
memilukan. Makin lama kian memilukan, 
menggetarkan udara Lembah Maut, mempengaruhi 
setiap jiwa insan yang mendengarnya dengan dahsyat.

Irama itu merayapi udara dan bagaikan kekuatan 
sihir, melumpuhkan perasaan manusia yang hebat 
sekalipun.
Tak antara lama dari balik batu-batu besar yang 
bertonjolan itu, bermunculanlah orang-orang Iblis 
Merah dengan terhuyung-huyung meringis, sementara 
kedua tangannya berserabutan menutupi kedua 
telinganya untuk menahan alunan irama seruling 
Mahesa Wulung yang menusuk-nusuk memilukan. 
Hanya Lanun Sertung dan Marangsang yang terbilang 
tokoh jagoan agak tahan melawan alunan seruling itu 
meskipun keduanya harus mengerahkan segenap 
pemusatan tenaga dalamnya.
Kedua orang itu bersemedi untuk mengatur jalan 
nafas dan aliran darahnya agar tetap lancar, sedang 
untuk itu, gigi mereka bergemeletuk dan tubuhnya 
bergetar menggigil sementara peluh dingin keluar dari 
lobang-lobang kulitnya!
Tetapi di balik sebuah batu besar, tampaklah 
seorang yang tetap berdiri tegak laksana tugu karang 
yang perkasa. Rambutnya gondrong tak teratur awut-
awutan. Ia mengenakan jubah panjang berwarna 
merah darah dan pada bahunya tergantung sebuah 
kulit siput berlekuk-lekuk bulat berwarna dengan 
putih kecoklatan.
Orang ini yang berdiri tidak jauh dari Lanun 
Sertung dan Marangsang, dengan tajam dan 
menggeram ia melihat ke sekeliling kepada orang-
orang Iblis Merah lainnya yang kalang kabut terkena 
irama seruling Mahesa Wulung.
“Hah, keparat! Tukang suling itu memang hebat 
luar biasa! Tidak heran kalau sahabat-sahabatku ini 
dibuatnya tak berdaya,” gumam si rambut gondrong 
seraya memegang kulit siputnya. “Memang mereka

bukanlah tandingannya, tetapi akulah yang akan 
menghadapinya!”
Berkata begitu, si rambut gondrong secepatnya 
meniup kulit siput yang merupakan sebuah terompet 
dan melengkinglah suatu bunyi himbauan yang 
berlenggok meliuk-liuk.
Kedua bunyi ini bertemu dan menggelegar di 
lembah itu, dan sesaat kemudian kedua bunyi tersebut 
saling melilit berkejar-kejaran seperti dua ekor ular 
yang bertarung. Namun beberapa waktu kemudian si 
rambut gondrong ini mengerutkan alisnya dan dari 
dahinya bertetesan peluh dingin. Dalam hati ia 
mengumpat sejadi-jadinya.
“Iblis laknat! Dari mana orang muda itu mendapat 
ilmu seruling yang sedahsyat dan sempurna seperti 
itu. Bunyi terompet siputku makin tergeser dan 
terdesak. Jika terus-terusan begini pastilah aku akan 
kalah dan betapa aku akan kehilangan muka di 
hadapan tokoh-tokoh hitam di nusantara ini. Baiknya 
aku serang saja dia. Dengan begitu ia akan terpaksa 
melawanku dan terhentilah irama serulingnya!! Aku 
merasa kasihan melihat sahabat-sahabatku ini terlalu 
lama menderita.”
Si rambut gondrong segera menghentikan tiupan 
terompet siputnya dan sambil menjangkau tongkat 
kayunya, ia melesat turun dari tebing lembah 
melayang turun ke arah Mahesa Wulung berdiri. 
Jubahnya berkelebatan ketiup angin seperti sayap 
seekor kelelawar raksasa siap menyambar mangsanya.
Mahesa Wulung terperanjat! Cepat-cepat ia 
menghentikan tiupan serulingnya dan menyelipkan 
kembali ke ikat pinggangnya. Semula ia merasa syukur 
bisa mengalahkan bunyi lengkingan terompet siput itu, 
tetapi kini ia dikagetkan oleh serangan musuhnya yang

tiba-tiba meluncur ke arah dirinya dibarengi deraian 
ketawa yang menggeledek.
“Hah, ha, ha, ha, kau harus mampus di tanganku, 
orang muda! Tak seorang pun pernah lolos dari tangan 
Rikma Rembyak! Ha, ha, ha, ha!”
Wusss!
Tongkat si rambut gondrong menyabet kepala 
Mahesa Wulung, tapi mendadak satu kilatan sinar 
putih menyambutnya.
Tak!
Ujung tongkat terbabat putus oleh pusaran pedang 
di tangan Mahesa Wulung, membuat Rikma Rembyak 
meloncat mundur dan memaki-maki.
“Edan. Orang muda ini luar biasa!”
Kembali ia bersiaga dan menyerang lagi dengan 
teriakan tinggi ke arah Mahesa Wulung. Keduanya 
segera terlibat dalam pertempuran sengit. Tandang si 
Rikma Rembyak benar-benar mengerikan tak ubah 
gerak seekor kelelawar setan yang meliuk-menyambar 
nyamuk-nyamuk untuk dilalapnya.
Tetapi Mahesa Wulung bukanlah nyamuk-nyamuk 
yang bisa dianggap enteng begitu saja. Sebagai seorang 
perwira laut armada Demak ia tak gampang berputus 
asa menghadapi lawan yang bagaimanapun hebatnya. 
Bahkan ia makin bersemangat dan bila keringat telah 
membasahi dadanya, geraknya menjadi semakin 
garang, seperti banteng ketaton yang menghancurkan 
setiap perintang yang malang-melintang di 
hadapannya.
Debu berkepul beterbangan di tempat kedua orang 
yang bertempur semakin hebat. Sementara itu orang-
orang Iblis Merah telah terbebas oleh pengaruh tiupan 
seruling Mahesa Wulung dan mereka pada mengusap 
keringat yang banyak bertetesan dari lubang-lubang

kulit. Mereka diam-diam merasa kagum melihat 
musuhnya berani bertempur melawan Pendekar Rikma 
Rembyak yang dianggap sebagai gurunya itu. 
Terutama Lanun Sertung dan Marangsang, yang 
menaruh dendam kepada Mahesa Wulung, sehingga 
mereka cepat berlompatan turun mendekati titik 
pertempuran itu.
Suatu ketika Rikma Rembyak memutar tongkat 
kayunya dan menggempur ke arah Mahesa Wulung 
yang telah siap menyambutnya. Dua benturan senjata 
terdengar dan keduanya terpental surut ke belakang 
beberapa langkah.
Betapa kagetnya Rikma Rembyak. Belum lagi ia 
bersiaga, tiba-tiba Mahesa Wulung menerjang maju 
dengan sabetan pedang yang deras sambil berseru 
nyaring.
“Jangan kau mimpi dapat merobohkan Mahesa 
Wulung! Tak ada jalan kabur untukmu, Rikma 
Rembyak!”
Pada detik itu juga, di saat pedang Mahesa Wulung 
mengancam jiwanya, pendekar Rikma Rembyak yang 
namanya telah menghantui sepanjang laut Jawa itu 
melesat ke atas, sekaligus memukulkan tongkatnya ke 
samping ke arah punggung Mahesa Wulung.
Diserang secara demikian, secara cepat dan tiba-
tiba Mahesa Wulung merebahkan badannya lalu 
bergulir menjauh dari tempat itu. Karuan saja pukulan 
maut tongkat Rikma Rembyak meleset tak mengenai 
sasarannya, sebaliknya membentur sebuah batang 
pohon tua sampai berderak roboh ke tanah.
Sekali lagi Rikma Rembyak, pendekar yang 
rambutnya gondrong serawutan itu, memburu ke arah 
Mahesa Wulung dengan tongkatnya yang diputar 
seperti baling-baling.

“Ha, ha, ha, telah kukatakan bahwa tak seorang 
pun yang bisa lolos hidup-hidup dari tangan Rikma 
Rembyak. Nah, ajalmu segera tiba, Mahesa Wulung!”
Sebelum putaran tongkat itu menyentuh tubuhnya, 
Mahesa Wulung cepat berdiri kembali menyongsong 
tongkat Rikma Rembyak!
Traak!
Untuk kedua kalinya ujung tongkat si rambut 
gondrong terbabat putus oleh pedang lawan hampir 
dua jengkal panjangnya.
Melihat kenyataan ini, Rikma Rembyak melompat 
mundur ke arah batu-batu besar sambil berteriak, 
“Lanun Sertung! Marangsang! Keroyoklah wong nekad 
ini. Aku akan beristirahat sebentar!”
Rikma Rembyak berseru sambil napasnya 
berlompatan tak teratur. Selama ini baru sekarang ia 
menghadapi lawan yang semuda itu, tetapi 
keperwiraan dan ilmunya hampir melebihi dirinya.
Lanun Sertung dan Marangsang yang telah 
menunggu saat-saat itu, tak ragu-ragu lagi 
berlompatan menyerbu ke arah Mahesa Wulung. 
Begitu pula orang-orang Iblis Merah lainnya segera 
bergerak mengurung.
Sebelum mereka menyerang, mendadak dari arah 
barat dan timur melesat dua bayangan ke arah 
mereka. Kedua bayangan itu tak lain adalah Ki Camar 
Seta dan Pandan Arum yang muncul dari balik batu-
batu besar. Kini keduanya berdiri di dekat Mahesa 
Wulung.
“Kurang ajar! Ternyata kalian betul-betul sudah 
bosan hidup kiranya. Baiklah, kamu bertiga akan 
mampus berbareng di Lembah Maut ini!” teriak Lanun 
Sertung sambil melolos dan mengelus-elus pedangnya.
“Majulah kalian berbareng! Senjata-senjata kami

sudah siap merenggut nyawamu!” balas Mahesa 
Wulung dengan tenang membikin orang-orang Iblis 
Merah bertambah jengkel dan serentak mereka 
menyerbu dengan teriakan-teriakan yang mengerikan.
Pendekar Rikma Rembyak pun tak ketinggalan. Ia 
turut terjun ke arena pertempuran. Dan Lembah Maut 
itu, kini digetarkan oleh derapan dan langkah-langkah 
kaki mereka yang bertempur dengan sengitnya.
Dengan tangkasnya Mahesa Wulung menyambut 
serangan Lanun Sertung dan Marangsang yang 
datangnya berbareng.
Sekejap saja ketiganya terlibat dalam lingkaran 
pertempuran yang seru. Kalau kedua tokoh bajak laut 
itu bertempur laksana dua ekor serigala yang lapar 
dan ganas, sedang Mahesa Wulung bergerak sangat 
lincah tapi ujung pedangnya bersambaran seperti 
ujung paruh burung garuda yang tajam.
Di bagian lain, Ki Camar Seta yang bercaping itu 
sibuk melawan pendekar Rikma Rembyak. Ditambah 
empat orang Iblis Merah yang juga mengeroyoknya, 
membuat tubuh Ki Camar Seta seperti dikurung oleh 
kilatan-kilatan pedang lawan, dan senjata tongkat 
Rikma Rembyak yang benar-benar membahayakan! 
Maka ia cepat melepas capingnya dan mengagumkan! 
Caping itu ternyata juga sebagai sebuah perisai yang 
mampu menangkis setiap ujung dan setiap benturan 
senjata lawan.
Rikma Rembyak dan keempat orang Iblis Merah itu 
kaget, sebab setiap kali senjata-senjata mereka 
membentur perisai Ki Camar Seta, menjadi terpental 
seperti ditolakkan oleh tenaga raksasa! Seandainya 
mereka tahu, tak perlu mereka heran sebab caping 
perisai Ki Camar Seta yang tampaknya sepele, hitam 
lusuh berdebu itu, dibuatnya dari kulit ikan hiu yang

dikeringkan dan direndam dalam ramuan-ramuan 
daun yang membuatnya sekeras baja, tetapi mudah 
melentur seperti karet, dan kesemuanya itu 
memerlukan waktu dua ratus hari.
Sementara itu Pandan Arum dengan senjata 
cambuk Naga Geni menghadapi Lodan dan enam orang 
Iblis Merah lainnya. Kalau mula-mula Lodan dan 
teman-temannya mengira mudah berhadapan dengan 
seorang gadis dalam pertempuran di Lembah Maut itu, 
setelah berlangsung beberapa gebrakan ternyata 
dugaan mereka keliru sama sekali. Memang jumlah 
mereka lebih banyak dan senjata-senjata di tangan 
mereka mengurung rapat Pandan Arum, tetapi tak 
sebuah pun mampu menembus putaran cambuk Naga 
Geni. Malahan dua orang Iblis Merah tak lama 
kemudian terpental beberapa jangkah dengan dada 
terbakar hangus ketika ujung cambuk itu 
mematuknya. Melihat ini, tandang Lodan dan ke empat 
teman-temannya semakin nekad.
Dari lingkaran pertempuran yang lain terdengar 
pula jeritan parah, dan Ki Camar Seta berhasil 
merobohkan tiga orang di antara para pengepungnya. 
Diam-diam pendekar Rikma Rembyak menggerundal di 
dalam hati. Tadi ia telah merasakan kehebatan ilmu 
pedang Mahesa Wulung dan kini ia kembali 
menghadapi Ki Camar Seta yang mempunyai ilmu 
pedang yang sama.
Di utara tampaklah Mahesa Wulung bertempur 
dengan gigihnya. Kilatan-kilatan pedangnya benar-
benar membingungkan kedua tokoh bajak laut itu, 
sementara sarung pedang di tangan kirinya pun 
bergerak cukup lincah.
Di saat matahari makin jauh bergeser ke arah
barat, pertempuran di Lembah Maut itu bertambah

seru. Bunyi benturan senjata yang beradu dan 
teriakan-teriakan perang yang bergema, membuat 
lembah itu seperti neraka. Secara tiba-tiba 
Marangsang mengambil senjata rahasia dari ikat 
pinggangnya, dan sebentar kemudian puluhan jarum 
beracun beterbangan melesat ke arah Mahesa Wulung.
Untunglah di saat ini Mahesa Wulung telah 
memiliki ilmu pedang ‘Sigar Maruta’ yang hebat, 
sehingga jarum-jarum beracun itu berpentalan 
tersampok oleh kilatan pedangnya yang berputaran.
“Aaahh!” Marangsang menjerit ngeri sebab sebuah 
di antara jarum yang berpentalan itu menyasar 
mengenai lengannya.
Belum lagi Marangsang menyadari peristiwa yang 
baru saja dialaminya, mendadak sebuah sinar kilatan 
pedang Mahesa Wulung menyambar kepalanya.
Sraatt! Taak!
Sebuah goresan merah merupakan garis, menghias 
kepala Marangsang. Sedang kain ikat kepalanya 
terpotong lepas, Ia terbeliak seakan-akan tak percaya 
kepada dirinya. Sesaat ia terhuyung-huyung. Pedang 
di tangannya terlepas dan mendadak goresan garis 
merah di kepalanya itu menyemprotkan darah dan 
rebahlah Marangsang ke tanah dengan luka menganga 
mengerikan pada kepalanya.
Melihat tangan kanannya mati itu, Lanun Sertung 
benar-benar heran. Selama ini Marangsang dianggap 
sebagai wakil dirinya, dan telah bertahun-tahun selalu 
unggul di medan tempur yang bagaimanapun 
dahsyatnya. Oleh sebab itu, Lanun Sertung menjadi 
bertambah marah dan benci menatap wajah Mahesa 
Wulung. Demikian juga sebaliknya, Mahesa Wulung 
merasa muak memandang wajah Lanun Sertung yang 
membayangkan banyak dosa itu. Mereka

berpandangan tajam, seakan-akan ingin saling 
melahap tubuh lawannya.
Belum lagi keduanya saling bertempur, secara tiba-
tiba dua orang Iblis Merah menyerang berbareng ke 
arah Mahesa Wulung. Namun mereka memang bukan 
tandingan pendekar Demak ini, yang gerakannya 
laksana bayangan. Sekali pedangnya berkelebat, kedua 
orang tadi menjerit rebah ke bumi tanpa berkutik lagi!
“Nah, sekarang kita berdua saja, Lanun Sertung. 
Dengan begitu, kita tak terganggu lagi untuk membuat 
perhitungan.”
“Kurang ajar. Kau pendekar bermulut besar! Tak 
mungkin kau lolos dari sini hidup-hidup. Bersedialah 
untuk kematianmu!” seru Lanun Sertung dengan 
geram.
“Hmm... baik! Baik! Aku pun siap untuk menagih 
hutang nyawa sahabat-sahabat dan orang tuaku! Aku 
akan menolong mengirimmu ke neraka.”
“Jahanam!” teriak Lanun Sertung sambil menerjang 
Mahesa Wulung dengan puncak permainan ilmu 
pedangnya ‘Mata Iblis’.
“Hih, jebol dadamu, Mahesa Wulung!”
Terkaman Lanun Sertung sungguh hebat. 
Tubuhnya tampak meluncur seperti loncatan seekor 
tupai, untuk kemudian siap mencincang Mahesa 
Wulung. Mahesa Wulung mengakui, kalau serangan 
Lanun Sertung kali ini yang terhebat. Maka ia pun 
cepat mengendap, merendahkan tubuhnya serendah 
mungkin dan apa yang terjadi kemudian sukar diikuti 
oleh mata.
Ketika tubuh Lanun Sertung lewat sejengkal di atas 
tubuh Mahesa Wulung, terjadilah bentrokan-
bentrokan senjata hebat.
Traak! Sabetan pedang Lanun Sertung tertangkis

oleh sarung pedang Mahesa Wulung, dan kemudian...
Dess! Waaak!
Tubuh Lanun Sertung jatuh terjungkir setelah 
melewati punggung Mahesa Wulung, namun ia cepat 
berdiri dengan pedangnya siap menyerang kembali. 
Mendadak pemimpin bajak laut Iblis Merah ini 
mengerang hebat dan melototkan mata sebab begitu 
tangan kiri meraba perutnya yang terasa pedih, tiba-
tiba saja telah basah oleh darah yang mancur dari 
perutnya yang tersobek oleh pedang Mahesa Wulung. 
Sesaat, Lanun Sertung masih mencoba berdiri tegak, 
tapi kemudian oleng dan ambruk ke bumi tanpa 
berkutik lagi.
Mahesa Wulung sendiri hampir-hampir tak percaya 
dapat menewaskan tokoh hitam bajak laut Iblis Merah 
ini, yang telah bertahun-tahun dengan ganasnya 
malang-melintang di sepanjang Selat Malaka dan Selat 
Karimata.
Mahesa Wulung mengucap syukur dapat 
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Dan ketika ia 
mengangkat pedangnya, terlintaslah di mata Mahesa 
Wulung bayangan wajah ayahnya, Ki Sorengyudo yang 
tersenyum seolah-olah merasa puas atas kematian 
tokoh Iblis Merah, si Lanun Sertung yang ganas.
Lodan dan keempat orang-orang Iblis Merah melihat 
pemimpinnya kena dirobohkan, seketika merasa ngeri 
dan hilang semangatnya. Mereka yakin bahwa mereka 
berhadapan dengan tokoh-tokoh jagoan yang tidak 
boleh dianggap remeh.
Lodan bersuit keras sebagai isyarat bahwa mereka 
harus kabur dari tempat itu. Baru saja mereka 
berbalik untuk kabur, mendadak ujung cambuk Naga 
Geni di tangan Pandan Arum telah menyambar 
mereka.

Seketika Lodan bersama kedua orang temannya 
terpelanting ke tanah tak bernyawa, sedang kedua 
orang Iblis Merah yang lain melarikan diri ke arah 
pintu gerbang batu.
Melihat orang-orang Iblis Merah telah berkaparan 
mati, Pendekar Rikma Rembyak betul-betul kehilangan 
semangat untuk bertempur lebih lanjut. Apalagi ketika 
seorang Iblis Merah yang bertempur di sampingnya 
terbacok rubuh oleh tongkat pedang Ki Camar Seta.
“Hmm, kalau orang-orang Iblis Merah telah 
mampus semuanya, berarti aku tak punya ikatan apa-
apa lagi dengan mereka. Baiknya aku lari saja dari 
tempat ini. Biarlah sementara aku mengaku kalah di 
saat ini, tapi di saat yang lain tunggulah. Aku akan 
memperdalam ilmuku dan membalas dendam kepada 
Mahesa Wulung dan orang-orangnya!” demikianlah 
pikir Rikma Rembyak dan tongkatnya bergerak 
semakin hebat.
Ki Camar Seta terkejut melihat perubahan sikap 
lawannya yang tiba-tiba itu. Sekonyong-konyong 
Rikma Rembyak melesat mundur sambil melontarkan 
tongkat kayunya dengan deras ke arah dada Ki Camar 
Seta.
Begitu pula dengan Mahesa Wulung dan Pandan 
Arum. Betapa kagetnya mereka ketika melihat kilatan 
sinar tongkat Rikma Rembyak yang melesat ke arah Ki 
Camar Seta dengan kecepatan begitu deras seolah-olah 
melebihi suara dan hampir-hampir tak mungkin dapat 
ditangkis oleh pendekar tua ini.
Untunglah gerak naluriah Pandan Arum cepat 
bertindak. Hanya dialah satu-satunya yang membawa 
senjata dengan kemungkinan jarak jangkauan yang 
cukup jauh, yaitu cambuk pusaka Naga Geni.
Maka secepat kilat disertai gerakan meloncat,

Pandan Arum melecutkan cambuk itu. Taarrr!!! 
Sebuah kilatan menyambar dan memotong sinar yang 
menyambar ke arah Ki Camar Seta dan tongkat Rikma 
Rembyak tersedot oleh lilitan cambuk itu kemudian 
berderak patah menjadi dua di udara
Ki Camar Seta menahan nafas. Hampir-hampir saja 
nyawanya melayang oleh benturan tongkat Pendekar 
Rikma Rembyak, jika saja gerakan Pandan Arum 
terlambat sedikit saja!
Peristiwa yang baru saja berlalu dan betul-betul 
menegangkan urat syaraf itu cukup memberikan 
peluang waktu bagi Rikma Rembyak untuk lolos dari 
tempat itu secepat mungkin.
Mirip gerak seekor tupai tubuh Rikma Rembyak itu 
melesat berloncatan dari batu ke batu sambil berteriak 
dengan nyaring.
“Ha, ha, ha, ha, kalian memang lebih hebat kali ini. 
Nah, selamat tinggal para sobatku. Pertempuran ini 
cukup sekian dulu. Tapi tunggulah, kita pasti akan 
bertemu kembali dan rasakanlah pembalasan 
dendamku nanti!”
Sesaat kemudian tubuhnya meloncati sebuah 
dinding batu dan loloslah ia dari Lembah Maut.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum mula-mula 
bersiap untuk mengejar Rikma Rembyak, tetapi Ki 
Camar Seta mencegahnya seraya berkata dengan 
tenangnya.
“Biarlah dia lari, Angger. Sebab dia sudah mengaku 
kalah, bukan? Dan lagi jiwa seorang ksatria tidak 
menghendaki kita untuk menyerang lawan yang sudah 
tak berdaya, lebih-lebih tanpa senjata....”
Seruan Ki Camar Seta itu benar-benar berpengaruh 
dan bagaikan air embun menyusup sampai ke relung-
relung hati kedua pendekar muda itu, membuat

mereka mengurungkan maksudnya. Kebijaksanaan Ki 
Camar Seta itu benar-benar mengagumkan hati bagi 
mereka.
“Nah, Angger berdua, kita tidak perlu merasa cemas 
meskipun si Rikma Rembyak telah mengancam. 
Biarpun seandainya dia memperdalam ilmu untuk 
membinasakan kita, namun percayalah bahwa 
kebenaran akan menang juga pada akhirnya.”
“Terima kasih, Bapak,” ujar Mahesa Wulung dan 
Pandan Arum berbareng.
Di saat itu dari arah pintu gerbang batu tiba-tiba 
muncullah beberapa sosok tubuh menggiring dua 
orang yang terikat pada kedua belah tangannya. Di 
belakangnya lagi menyusul beberapa orang yang 
membawa senjata tombak.
“Eee, Kakang Mahesa Wulung. Bukankah itu 
Kakang Jogoyudo dengan anak buahnya? Dan lihatlah 
itu, dua orang anak buah Iblis Merah yang melarikan 
diri telah mereka tangkap!” Pandan Arum berseru 
dengan gembira dan mereka bertiga segera 
menyambutnya.
“Ooh, Kakang Mahesa Wulung dan Adi Pandan 
Arum, aku telah mencarimu ke mana-mana. Hampir 
segenap penjuru pulau ini telah aku datangi. Kiranya 
kalian berada di Lembah Maut ini. Ketika kami sedang 
mencarimu, tiba-tiba kami dikagetkan oleh dua orang 
yang berlari sangat mencurigakan. Mereka berhasil 
kami tangkap dan atas petunjuknya, sampailah kami 
di lembah ini,” Jogoyudo berhenti sejenak menarik 
nafas dalam-dalam. “Cuma aku merasa heran. 
Beberapa waktu sebelumnya aku telah mengutus 
Sibahar dengan beberapa awak kapal untuk 
mencarimu, tetapi sampai saat ini aku belum bertemu 
dengan mereka.”

“Memang, kita tak akan lagi bertemu dengan 
mereka, Adi. Ketahuilah, bahwa mereka telah 
menunaikan kewajibannya dengan baik. Mereka telah 
tewas sebagai ksatria dalam melawan keganasan 
orang-orang Iblis Merah,” Mahesa Wulung berkata 
dengan tenang dan pelan, tetapi cukup mengagetkan
bagi Jogoyudo dan anak buahnya.
“Oooh,” Jogoyudo mengeluh sedih mendengar 
penuturan Mahesa Wulung, kemudian ia tertunduk 
seakan-akan mengheningkan cipta dan mengenang 
jasa-jasa Sibahar. Demikian pula segenap anak 
buahnya pada menunduk sedih.
Mereka dapat membayangkan betapa susahnya 
sanak keluarga Sibahar di Tanjungpinang sana, jika 
mendengar berita ini.
Tetapi mereka pun sadar bahwa suatu ketika 
mereka juga akan tewas sebagai seorang prajurit 
armada Demak yang selalu berjuang bagi kejayaan 
tanah air, bagi Nusantara yang terbentang indah di 
khatulistiwa. Mereka berjuang dengan tulus ikhlas 
tanpa pamrih pribadi, sebab sebagai seorang prajurit, 
dan juga sebagai manusia, mereka sebelumnya telah 
terdidik untuk berbuat sesuatu, selalu dengan sadar 
dan penuh perhitungan. Mereka tidak akan menjadi 
budak nafsu, terutama nafsu untuk berkuasa dan 
menang sendiri.
Sesaat orang-orang itu dicengkam oleh suasana 
haru, namun merekapun cepat tersadar ketika Mahesa 
Wulung memecah kesunyian itu dengan kata-katanya
“Hmm, hampir-hampir aku lupa. Adi Jogoyudo, 
perkenalkanlah. Ini adalah Ki Camar Seta bekas 
prajurit armada Demak belasan tahun yang silam. 
Beliaulah sahabat mendiang ayahku. Ketika kapalnya 
pecah diserang orang-orang Portugis dan Iblis Merah,

ia terdampar di Pulau Karimata ini. Dan ketahuilah, 
Adi Jogoyudo, ketika aku tertangkap oleh orang-orang 
Iblis Merah dan ditawan di Lembah Maut ini, beliau 
pulalah yang telah menolong dan menyelamatkan 
nyawaku dari keganasan mereka. Juga beliau telah 
berbaik hati untuk melatihku dengan ilmu pedangnya, 
Sigar Maruta yang dahsyat.”
Jogoyudo dan anak buahnya seperti orang yang 
tersadar dari mimpi. Kalau tadi mereka terharu, kini 
ganti mereka dibuat kagum oleh kenyataan yang 
mereka hadapi. Mereka memandangi tubuh Ki Camar 
Seta, seperti tak akan puas. Wajahnya yang cukup tua 
tetap berseri, sedang tubuhnya pun masih tampak 
kokoh dan sepintas lalu masih terlihat bekas-bekas 
keperkasaan di masa remajanya.
Dengan senang dan setengah kagum mereka 
berkenalan dengan Ki Camar Seta.
Lembah Maut itu, kini tidak lagi terbakar oleh 
panasnya sinar matahari. Angin pun bertiup silir 
menyegarkan. Beberapa orang prajurit armada Demak 
tampak membersihkan dan membabat semak ilalang 
yang menutupi jalan masuk ke sebuah lubang dinding 
batu dari lembah ini.
Mereka, atas petunjuk kedua orang Iblis Merah 
yang tertangkap tadi telah dapat menemukan pintu 
terowongan rahasia yang menembus di bawah lantai 
warung minum di dekat bandar Karimata.
Setelah diperiksa, ternyata di dalamnya 
diketemukan bahan pangan yang tertimbun, juga 
beberapa kantong uang emas dan perhiasan yang 
cukup mahal harganya.
Kesemuanya itu mereka angkut ke luar, dan 
Mahesa Wulung memerintahkan untuk membagikan 
sebagian dari harta itu kepada para penduduk Pulau

Karimata yang telah sekian waktu dicengkam oleh 
kecemasan dan dirugikan orang-orang Iblis Merah.
Di saat matahari mendekati cakrawala sebelah 
barat, mereka telah bersiap-siap meninggalkan tempat 
itu.
Begitulah, setelah Mahesa Wulung memberi aba-
aba berangkat, rombongan itu beriring-iring 
meninggalkan Lembah Maut.
Mereka berjalan mendaki ke arah pintu gerbang 
batu. Sesekali ada satu dua orang prajurit yang 
berpaling ke arah Lembah Maut di bawah sana. 
Mereka kadang-kadang meremang bulu romanya bila 
mengingat nama Lembah Maut. Ya, benar-benar 
lembah tempat maut berkeliaran, sebab di sanalah 
orang-orang Iblis Merah bersarang dan di situ pulalah 
mereka terkubur untuk selama-lamanya.
Rombongan itu setelah melewati pintu gerbang batu 
segera berbelok ke kanan dan menuruni jalan berbatu-
batu.
Sesudah melewati bukit-bukit kecil dan menerobos 
sebuah hutan, sampailah mereka di tanah datar. 
Deburan ombak yang memecah di pantai telah 
terdengar sayup-sayup dibawa angin ke telinga 
mereka, seolah-olah sebuah alunan irama lagu dan 
membuat hati mereka merasa rindu. Rindu untuk 
berlayar dan pulang ke Demak serta bertemu kembali 
dengan anak istri dan sanak saudaranya. Oleh sebab 
itu mereka mempercepat langkah untuk secepatnya 
tiba di bandar tempat perahu mereka berlabuh.
Warna langit di sebelah barat dipenuhi oleh 
saputan-saputan mega lembayung ungu yang berarak 
di antara warna kuning jingga, begitu matahari mulai 
menyentuh garis cakrawala barat. Kunang-kunang 
mulai beterbangan keluar dari semak-semak-belukar
seperti hendak ikut menonton rombongan orang-orang 
yang berbaris menuju ke pantai.
Sesudah mereka membelok ke kiri dan melewati 
semak bambu, sampailah mereka di bandar. Di muka 
warung minum, para penduduk bandar telah 
bergerombol menanti kedatangan mereka. Sungguh 
mesra sambutan mereka. Para penduduk itu sungguh-
sungguh merasa berhutang budi kepada orang-orang 
armada Demak, yang telah membebaskan mereka dari 
tindasan orang-orang Iblis Merah.
Mereka kemudian menjamu para tamunya di 
warung itu dengan makan minum secukupnya, dan 
pada kesempatan itulah Mahesa Wulung memberikan 
sebagian harta rampasan dari sarang Lembah Maut 
kepada mereka.
Juga Pandan Arum yang pernah muncul di depan 
warung itu yang menyamar sebagai pendekar Barong 
Makara menetapi janjinya dengan berkenalan kepada 
mereka.
Dari para penduduk itu, Mahesa Wulung dapat 
mengetahui bahwa dahulu warung itu memang bukan 
milik orang-orang Iblis Merah. Tetapi mereka telah 
merebut dan menduduki warung itu sebagai 
sarangnya. Sedang pemilik aslinya telah mereka 
bunuh setelah dengan berani dia menolak kemauan 
orang-orang Iblis Merah agar menjual warungnya 
kepada mereka. Tidak sampai di situ saja tindakan 
semena-mena orang-orang Iblis Merah, malahan 
mereka mengharuskan kepada penduduk pulau itu 
agar semua bahan makanan sebagian diserahkan 
kepada mereka dan setiap harinya para penduduk 
harus mengunjungi warung itu. Mereka bermaksud 
agar penyamaran mereka sebagai orang-orang Iblis 
Merah tidak dapat diketahui oleh para lawannya

Di tengah kemeriahan ramah-tamah yang diseling 
oleh senda gurau, tiba-tiba muncullah seorang 
setengah tua berkumis tebal dengan diantar oleh dua 
orang prajurit bertombak.
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Jogoyudo 
terkejut heran melihat orang itu, sebab ia mengenakan 
pakaian seragam perwira armada Demak. Demikian 
pula semua yang ada di dalam warung itu tak kalah 
herannya.
“Hei, ini Kakang Ranujaya berada di sini? Kapankah 
Andika tiba di sini?” Mahesa Wulung bertanya seraya 
menjabat tangannya setelah ia bangkit dari duduknya. 
Dalam hati Mahesa Wulung dipenuhi oleh tanda tanya. 
Mengapa sahabatnya yang juga menjabat sebagai 
perwira armada Demak telah berada di tempat ini. 
Adakah sesuatu yang penting?
“Adi Mahesa Wulung, aku baru saja tiba di bandar 
Karimata ini. Sebelumnya aku telah berlayar dan 
mencarimu ke Tanjungpinang. Di sana aku telah 
bertemu dengan Bapak Pendekar Prahara dan dari 
beliaulah aku mendapat keterangan bahwa Adi telah 
berlayar ke pulau ini. Maka aku pun segera 
menyusulmu kemari.”
“Hmm, agaknya ada sesuatu yang penting jika 
Kakang Ranujaya telah berlayar begitu jauh untuk 
mencariku.”
“Betul, Adi. Kedatanganku kemari memang diutus 
oleh Sultan agar memanggilmu kembali ke Demak, 
sebab di sana telah terjadi sesuatu yang genting yang 
benar-benar membuat kami merasa cemas.”
“Sesuatu yang genting, Kakang?” tukas Mahesa 
Wulung dengan mengerutkan dahinya.
“Ya. Ketahuilah, Adi, bahwa Empu Baskara telah 
hilang dari Demak tak tentu rimbanya!”

“Empu Baskara yang ahli membuat senjata-senjata 
ampuh itu telah hilang?” ujar Mahesa Wulung kaget.
“Begitulah. Ia telah menghilang setelah berhasil 
menciptakan senjata yang dahsyat. Kami telah gagal 
mencarinya, sehingga kepadamulah tugas ini 
dipercayakan untuk penyelesaiannya.”
“Baiklah, Kakang. Aku selalu dengan senang hati 
menerima tugas itu. Kebetulan sekali kami memang 
bermaksud untuk berlayar kembali ke Demak besok 
pagi. Nah, sekarang apa salahnya jika Kakang 
Ranujaya turut makan minum dan beramah-tamah 
dengan penduduk disini. Marilah, Kakang. Silahkan 
duduk,” Mahesa Wulung mempersilahkan perwira 
Ranujaya mengambil tempat duduknya.
“Terima kasih, Adi Mahesa Wulung. Mmmm,
memang bau sedap masakan di sini membuat perutku 
merasa lapar. Ha, ha, ha, ha.”
Suasana di warung itu kembali meriah. Ranujaya 
duduk semeja dengan Jogoyudo, Pandan Arum, Ki 
Camar Seta dan Mahesa Wulung. Dengan asyiknya ia 
menceriterakan hilangnya Empu Baskara dari Demak. 
Tak seorang pun yang tahu, entah kemana ia telah 
pergi.
Sebelum mencapai tengah malam, pertemuan di 
warung itu telah berakhir. Mereka kembali ke 
tempatnya masing-masing. Juga para prajurit armada 
Demak kembali ke kapalnya, yang berlabuh ber-
dampingan dengan sebuah perahu jung lain 
kepunyaan perwira Ranujaya.
Di waktu kabut pagi masih mengambang di udara, 
kedua perahu jung dari armada Demak itu telah 
mengangkat jangkarnya dan bertolaklah mereka dari 
bandar Pulau Karimata. Mereka dengan lajunya 
membelah air laut menuju ke arah tenggara, kembali ke Demak.

                            —TAMAT—

Yogyakarta Maret 1968.
Sampai di situlah kisah “Badai di Selat Karimata” 
ini berakhir. Ingin tahukah para pembaca, siapa Empu 
Baskara dan mengapa ia sampai menghilang? 
Tunggulah kisah seri NAGA GENI berikutnya yang 
akan sampai kepada Anda, yaitu “HILANGNYA EMPU 
BASKARA”.


Share:

0 comments:

Posting Komentar