RAHASIA KI AGENG TUNJUNG BIRU
Serial 10 Dewi Sritanjung
Karya : Widi Widayat
Cover & Illustrasi: Arie-
Penerbit: MELATI Jakarta
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-undang
1
Anda tanya, saya jawab.
Anda pasti bertanya, mengapa buku ini
berjudul seperti itu? Memang ada sebabnya. Be-
gini!
Dewi Sritanjung adalah murid tunggal Ki
ageng Tunjung Biru. Selama belasan tahun la-
manya hidup berdua dengan gurunya, Dewi Sri-
tanjung tidak pernah mendapat penjelasan, men-
gapa gurunya hidup seorang diri di dalam hutan.
Dewi Sritanjung berpisah dengan gurunya,
karena diutus gurunya bertemu dengan Gajah
Mada dan sekaligus untuk dapat bertemu dengan
orang tuanya. Maka harapannya sebesar gunung,
karena selama ini memang belum pernah tahu
siapakah orang tuanya, dan belum pula mengenal
wajah ayah bundanya.
Namun ternyata kemudian apa yang ke-
mudian apa yang dialami tidak seperti harapan-
nya semula. Ia hanya mendapat kekecewaan dan
hatinya terasa sakit. Oleh sebab itu malam hari ia
pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Tujuan-
nya tidak lain hanyalah ingin kembali ke hutan
dan hidup lagi bersama gurunya.
Tetapi dalam perjalanan pulang untuk me-
nemui gurunya ini, ia melihat gunung yang men-
geluarkan asap. Ia heran, lalu pergi ke gunung itu
untuk melihat apa yang terjadi. Namun sungguh
sayang, dalam perjalanan menuju puncak ini ia
berhadapan dengan bahaya yang tidak pernah ia
harapkan. Ia terperosok dalam lubang jebakan.
Sebagai akibat kurang pengetahuan dis-
amping kurang hati-hati, maka tiba-tiba saja ka-
kinya merasa menginjak tempat kosong.
Gadis bernama Dewi Sritanjung ini kaget
dan berusaha melawan luncuran tubuhnya sam-
bil memukulkan kaki dan tangannya ke tepi lu-
bang. Namun sungguh celaka! Tubuhnya terus
meluncur turun pada lubang yang gelap bukan
main. Akibatnya sekalipun ia tabah dan penuh
rasa percaya kepada diri sendiri, Dewi Sritanjung
menjerit nyaring.
Tetapi sekalipun demikian ia masih beru-
saha mengurangi kecepatan luncuran tubuh den-
gan jalan mengatur keseimbangan tubuhnya.
Hanya sayang sekali, lubang ini ternyata dalam
sekali, sehingga luncuran bukannya berkurang,
malah semakin menjadi cepat. Saking kaget, ta-
kut dan ngeri, akhirnya gadis ini menjadi pening
namun masih tetap sadar.
Entah sudah berapa lama tubuhnya me-
luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa
tubuhnya tertahan oleh angin yang kuat sekali
dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas
kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya
kembali meluncur turun. Lalu terasa lagi angin
kuat menyambar dari bawah dan tubuhnya mem-
bal kembali.
Meluncur lalu membal kembali sampai be-
berapa kali ini menyebabkan dirinya seperti dikocok dan kepalanya tambah pening. Dan pada ak-
hirnya gadis ini tidak dapat bertahan lagi lalu
pingsan!
Hembusan angin yang kuat dari bawah ini
ternyata dari dorongan seorang nenek yang sudah
tua renta, kurus kering dan rambutnya awut-
awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir telan-
jang karena pakaiannya sudah cabik-cabik tidak
keruan.
Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang
lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-
lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-
pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-
ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi
semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang
pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh
dua tangannya yang kurus kering.
Oleh pertolongan yang tidak terduga dari
mahkluk yang berdiam di lubang ini, selamatlah
nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin sekali
karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga, se-
karang nenek ini dadanya menjadi tersengal-
sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis
ini yang terbaring di depannya dan masih dalam
keadaan pingsan.
Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-
batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-
hatian. Desisnya, - Hemm, seorang bocah perem-
puan yang masih muda. Mengapakah sebabnya
bisa terperosok masuk dalam lubang ini?
Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya,
nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-
tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijatan,
tiba-tiba gadis ini sadar lalu bangkit
- Ahhhh....... ! gadis ini kaget sekali ketika
melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua
renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-
kan dan setengah telanjang.
- Hi hi hik, engkau kaget? Jangan takut!
Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi
aku adalah manusia seperti engkau juga.
Mendengar ucapan ini, agak berkurang ra-
sa takutnya. Ia menebarkan pandang matanya ke
sekeliling. Diam-diam timbullah rasa heran bocah
ini, mengapa dirinya sekarang berada di tempat
yang lembab ini? Sebuah jurang yang dalamnya
sulit diukur dan menyebabkan sinar matahari
yang terhalang oleh kabut jurang itu tidak begitu
terang, namun cukup pula menyebabkan jurang
ini tidak begitu gelap.
- Siapakah yang telah menolong diriku?
- Aku! Kenapa?
Tiba-tiba Dewi Sritanjung berlutut memberi
hormat. - Terimalah hormat Dewi Sritanjung dan
terima pulalah ucapan terima kasihku.-
- Apa? Terimakasih? Hi hi hik..... mulut
manusia memang gampang sekali mengucapkan
terima kasih. Akan tetapi mulut bukanlah hati
dan sebaliknya hati bukanlah mulut.-
Dewi Sritanjung keheranan mendengar
ucapan si nenek yang tidak keruan ujung pang-
kalnya ini. Namun belum juga gadis ini sempat
membuka mulut untuk bertanya, nenek itu sudah
berkata lagi.
- Hi hi hik, engkau tidak perlu heran, Nak,
karena engkau masih amat muda. Tetapi kelak
kemudian hari mungkin engkau akan tahu apa
yang aku katakan tadi. Sebab di dunia ini, tidak
berkurang jumlahnya manusia yang lain di mulut
dan lain di hati.-
- Tetapi Nenek yang baik, aku mengu-
capkan terima kasih ini secara tulus dari hati.-
Dewi Sritanjung membela diri.
- Bocah, apakah engkau tidak takut kepa-
daku?-
- Kenapa takut? Nenek amat baik dan telah
menyelamatkan nyawaku. Tentu saja aku tidak
takut malah amat berterima kasih. Apa yang akan
terjadi, apabila Nenek tadi tidak menolong diriku?
Tentu tubuhku sudah hancur berkeping-keping
jatuh di dasar jurang ini.-
Memang setelah hatinya kembali tenang,
Dewi Sritanjung mengerti, lubang jebakan di tem-
pat dirinya terperosok ini, dihubungkan dengan
jurang ini. Jurang yang amat dalam dan sulit di-
ukur. Maka kalau dirinya selamat seperti seka-
rang, hanya berkat pertolongan Dewata Yang
Agung saja.
- Engkau bilang baik, karena aku sudah
menolong kau, bukan? Tetapi apa yang engkau
katakan, apabila engkau berhadapan dengan aku
tanpa lewat pertolongan? Hemm, aku berani ber-
taruh engkau tentu meludah dan jijik melihat di
riku yang tengik, jorok serta tua renta tidak ber-
harga ini.-
- Tidak, Nek, tidak! Aku memandang orang
bukan bertitik tolak kepada hal-hal yang kasat
mata. Pakaian maupun keadaan seseorang, me-
nurut pendapatku bukanlah menjadi dasar yang
menentukan martabat seseorang. Nek, sekalipun
orang berpakaian mewah, baunya harum, tetapi
apabila perbuatannya tidak baik, tetap bukan
manusia yang baik. Lebih berharga seorang pen-
gemis yang pakaiannya compang-camping, karena
si pengemis makan pemberian orang secara ik-
hlas, tidak memeras maupun memaksa orang. –
- Hi hi hik, ucapanmu amat menarik, Nak.-
Tetapi nenek ini tiba-tiba menghentikan ucapan-
nya. Matanya yang bersinar tajam itu terbelalak
sejenak, kemudian mendadak menyambar pedang
pusaka gadis ini.
Dewi Sritanjung kaget sekali. Akan tetapi
gerakan nenek ini memang cepat sekali dan pe-
dang telah pindah ke tangan nenek tersebut.
Setelah pedang dengan sarungnya dalam
tangan nenek itu, berubahlah wajahnya. Ia mena-
tap tajam kepada Dewi Sritanjung, hardiknya, -
Dari mana kau peroleh pedang ini?-
Dewi Sritanjung menjadi agak khawatir
mendengar pertanyaan ini. Ada apakah dengan
pedang pusaka Tunggul Wulung ini? Akan tetapi
bagaimanapun ia tidak mencuri, dan pedang itu
adalah pemberian Ki ageng Tunjung Biru. Meski-
pun demikian sebelum ia menjawab, terpikirlah
untuk bertanya, apakah sebabnya nenek ini terta-
rik kepada pedangku itu.
- Nenek yang baik, mengapa sebabnya Ne-
nek tertarik kepada pedangku ini?- tanyanya.
- Hemm, aku tertarik karena ada pula se-
babnya. Dan sekarang jawablah secara jujur. Dari
siapakah engkau peroleh pedang ini?-
- Dari Guruku.-
- Ahhh .... lalu siapakah gurumu?-
- Ki ageng Tunjung Biru.-
- Ahhh......Ki ageng Tunjung Biru?-
Dan tiba-tiba saja lengan nenek peyot ini
gemetaran, wajahnya berubah menjadi pucat, dan
pedang berikut sarungnya runtuh ke tanah.
Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak berani
maju untuk mengambil. Sebab ia khawatir kalau
perbuatannya menyinggung perasaan nenek ini.
Maka gadis ini berdiam diri. Tetapi sesaat
kemudian gadis ini kaget, karena tiba-tiba nenek
ini menangis terisak-isak. Ia menangis benar-
benar, sehingga air mata itu mengucur deras se-
kali.
Melihat ini Dewi Sritanjung menjadi tre-
nyuh. Lalu ia memberanikan diri dalam usaha
menghibur. - Nenek yang baik, sudahlah! Apabila
Nenek menghendaki pedangku, biarlah dengan
ikhlas aku berikan kepada Nenek. –
Nenek itu menghapus air matanya. Tetapi
mungkin karena hati amat sedih, air mata itu be-
lum juga mau menjadi kering. Dengan mata yang
basah, nenek ini kemudian menatap tajam kepada Dewi Sritanjung, lalu hardiknya.
- Huh! Siapa yang mau mengambil pe-
dangmu? Huh, apakah kiramu aku serakah se-
perti dugaanmu?-
- Ohhh.....- Dewi Sritanjung menjadi kaget
berbareng khawatir. - Maafkanlah aku, Nenek
yang baik. Aku tidak sengaja menyinggung pera-
saan Nenek. Akan tetapi..... apakah sebabnya Ne-
nek ..... menangis melihat pedang Tunggul Wu-
lung?-
- Huh huh.....tentu saja ada sebabnya..... -
sahut nenek ini dan kemudian menghela napas
panjang, seperti orang sedang menyesal.
Karena khawatir nenek ini menjadi salah
paham, maka Dewi Sritanjung berdiam diri. Akan
tetapi sekalipun demikian dalam dada gadis ini
penuh pertanyaan, apa sajakah sebabnya nenek
yang menolong dirinya ini tiba-tiba sikapnya aneh
?
- Ambillah pedangmu ..... - perintahnya ti-
ba-tiba.
Si nenek masih menangis dan mengucur-
kan air mata. Malah nenek ini tangisnya menjadi-
jadi, seakan seorang yang sedang menyesali sesu-
atu.
Dewi Sritanjung adalah bocah yang sejak
kecil tidak pernah merasakan kasih sayang ayah
bundanya, dan ia dirawat dan dibesarkan oleh Ki
ageng Tunjung Biru, yang ia akui sebagai kakek-
nya. Dengan kebiasaannya yang hanya berdua
dengan gurunya itu, menyebabkan gadis ini dapat
mengenal sifat orang yang sudah berusia lanjut,
yang memang berbeda dengan orang yang masih
setengah umur. Orang yang sudah pikun menjadi
orang yang gampang sekali tersinggung, peka dan
selalu minta diperhatikan. Sikap, kebiasaan dan
wataknya hampir mirip dengan bocah kecil yang
belum berumur sepuluh tahun.
Berdasar pengalamannya menghadapi Ki
ageng Tunjung Biru, ia segera tahu apa yang ha-
rus ia lakukan. Katanya kemudian, - Nenek yang
baik, maafkanlah aku yang muda ini, karena ke-
hadiranku secara tidak sengaja ditempat ini,
hanya menyebabkan Nenek sedih.-
Nenek ini mengangkat wajahnya yang ba-
sah air mata, lalu dengan sepasang matanya yang
basah itu pula menatap Dewi Sritanjung. Kemu-
dian terdengarlah nenek ini menghela napas di
sela sedunya.
- Aduhh ..... Anak muda, mungkinkah
permohonan ku selama ini...... kepada Dewata
Yang Agung..... mendapatkan perhatian?
- Aku kurang mengerti apa yang Nenek
maksudkan.-
Mendadak nenek ini mendelik lalu mem-
bentak, - Haii! Apakah sangkamu, semenjak aku
lahir di dunia ini, aku sudah bertempat tinggal di
tempat terkutuk ini?-
- Ohhh !- seru Dewi Sritanjung lirih. - Ka-
lau demikian halnya..... apakah.....-
- Memang ada orang yang mencelakakan
diriku ...... - potong nenek ini dengan nada geram.
Bangsat! Bedebah! Biadab orang itu! Su-
dah kuberi air susu malah membalas dengan air
tuba! Tetapi.....ahhh hu hu huuuun..... oh, maaf-
kanlah aku ..... Kakang ..... oh Ki ageng ..... ohh,
berilah aku ampun .... ya, sekarang aku sudah
sadar dan insyaf ......
Dewi Sritanjung heran disamping agak bin-
gung, mendengar ucapan nenek ini. Apakah mak-
sud yang sebenarnya? Siapakah orang yang dia
maki bangsat dan biadab itu, dan siapa pulakah
yang dia sebut Kakang atau Ki ageng itu? Diam-
diam ia sudah dapat menduga mungkin nenek ini
terpaksa menjadi penghuni tempat terasing dan
tidak menyenangkan, adalah akibat kecelakaan
atau dicelakakan orang.
Apabila dugaannya ini benar, berarti du-
gaannya yang pertama adalah keliru. Ia tadi sete-
lah merasa tertolong oleh nenek ini dari maut, ia
menduga nenek ini seorang pertapa sakti yang
sengaja mengasingkan diri dan bertapa di tempat
aneh ini.
Tetapi apabila benar orang sudah mencela-
kai nenek ini, lalu siapakah yang bisa melaku-
kannya, justru nenek ini sakti? Sebab apabila
bukan tokoh sakti, manakah mungkin nenek ini
dapat menyelamatkan dirinya yang terperosok
masuk ke dalam jurang yang amat dalam ini?
Nenek ini sesudah melihat Dewi Sritanjung
berdiam diri, agaknya menjadi sadar sudah me-
nyebabkan bocah ini kaget dan takut
- Anak, agaknya engkau kaget dan takut
berhadapan dengan aku ini?- tanyanya.
- Tidak, Nek,- sahut gadis ini sambil meng-
geleng. - Hanya yang menyebabkan aku heran,
terharu dan sedih, adalah mengapa sebabnya Ne-
nek berada ditempat ini?-
- Kenapa kau ikut bersedih? Hemm..... bu-
kankah engkau tiada sangkut pautnya dengan
aku?-
- Benar. Dulunya memang tidak. Tetapi se-
jak saat ini, aku mempunyai hubungan dengan
Nenek. Tempat ini adalah terasing dan aku juga
merasa berutang budi kepada Nenek. –
- Hemmm.....- nenek ini menghela napas
pendek.
Agaknya sikap dan ucapan Dewi Sritanjung
ini mengesan dalam hati si nenek. Maka sesaat
kemudian ia berkata, - Apakah engkau mengira,
aku ini seorang nenek berhati baik?-
- Ya! Kalau tidak, Nenek tentu tidak sudi
menolong aku.-
Tiba-tiba nenek ini terkekeh, sekalipun se-
pasang matanya masih basah air mata. Dan ka-
rena nenek ini masih terisak, maka suara keta-
wanya menjadi aneh dan menakutkan. Kalau saja
ia mendengar suara ketawa ini belum berhada-
pan, tentu ia menjadi ketakutan karena menjadi
khawatir apabila nenek ini sudah gila. Adakah
orang menangis sambil tertawa kalau bukan gila?
Setelah nenek ini berhenti menangis dan
tertawa, ia menghardik, - Apa katamu? Hatiku
baik? Huh, tahukah kau jika orang yang terpero
sok ke jurang ini laki-laki? Apakah yang akan aku
lakukan?-
- Tentu nenek akan menolongnya pula se-
perti yang sudah Nenek lakukan terhadap diriku.
–
- Jangan ngomong tidak keruan!- bentak-
nya tiba-tiba.
Akibatnya Dewi Sritanjung menjadi kaget.
Diam-diam gadis ini heran. Mengapakah
sebabnya tiba-tiba nenek ini membentak dan ma-
rah? Lalu, apakah kesalahannya?
- Huh huh! - nenek ini bersungut-sungut.
Sejenak kemudian katanya dengan nada geram, -
Jika ada laki-laki yang terperosok masuk kemari,
tentu akan aku biarkan mampus terbanting dan
tubuhnya hancur berantakan.-
- Ihhh.....!- Dewi Sritanjung kaget dan di-
am-diam ngeri. Tanyanya kemudian, - Apakah se-
babnya Nenek berbuat begitu?-
- Mengapa, ya mengapa? Kau heran? Huh,
manusia laki-laki di dunia ini kecuali..... seorang
saja, semuanya jahat. Aku benci jadinya. Dan aku
benci kepada semua laki-laki! Karena mereka itu
hanyalah penipu. Penipu! Kau dengar?-
Walaupun tidak tahu apakah maksud ne-
nek ini. Gadis ini terpaksa mengangguk juga. Te-
tapi anggukan bocah ini telah dapat membuat si
nenek menjadi senang, karena merasa mendapat
perhatian.
- Bagus, hemm! Kau memang seorang anak
baik. Tidak keliru apabila aku tadi sudah berusaha menyelamatkan engkau. Anak, aku bilang, la-
ki-laki tidak baik, kecuali hanya seorang saja.-
- Hemmm...... nenek ini menghela napas
panjang dan tidak memberi jawaban. Namun be-
berapa jenak kemudian nenek ini bertanya lirih, -
Apakah gurumu ..... Ki ageng Tunjung Biru tidak
pernah membicarakan tentang seorang perem-
puan dengan kau?-
- Perempuan?- Dewi Sritanjung kaget ber-
bareng heran.
Menurut seingatnya, sekalipun sudah bela-
san tahun lamanya ia hidup bersama dengan Ki
ageng Tunjung Biru, orang tua itu belum pernah
membicarakan perempuan. Namun demikian, ia
masih berusaha mengingat-ingat apa yang sudah
ia ketahui tentang gurunya.
- Jawablah! Pernahkah dia bicara tentang
seorang perempuan?-
- Tidak!- ia menggeleng.
- Aduhhh..... hu hu huuuuu.....apakah dia
belum juga mau memaafkan aku?- tiba-tiba saja
nenek ini kembali menangis sambil menutupi wa-
jahnya.
Dewi Sritanjung makin tidak mengerti
mengapa sikap nenek ini demikian aneh. Dalam
pada itu ia menduga pula apakah yang sudah
pernah terjadi antara perempuan ini dengan gu-
runya? Kalau tadi begitu melihat pedang Tunggul
Wulung segera mengenalinya, mengenal sebagai
milik Ki ageng Tunjung Biru, jelas nenek ini bu-
kan orang asing bagi gurunya.
Disamping ia menduga demikian, iapun
menjadi heran pula, mengapa perempuan ini
mengeluh, Ki ageng Tunjung Biru tidak mau me-
maafkan? Lalu apakah salah perempuan ini ter-
hadap gurunya?
Akan tetapi karena sadar bahwa nenek ini
sifat dan tabiatnya agak aneh, ia tidak berani ber-
tanya dan mendesak. Karena ia menjadi khawatir
apabila sampai salah ngomong, bisa menyebab-
kan nenek ini marah lagi.
- Hemm, Anak baik, aku mengerti jika eng-
kau menjadi heran, mendengar ucapanku yang
tidak keruan ujung pangkalnya ini,-
- Ya.- Tetapi sekalipun menjawab gadis ini
nampak ragu.
- Hemm, tahukah bahwa diriku ini penuh
rasa dendam dan penasaran? Dan tahu pulakah
apa jadinya jika engkau terperosok masuk kema-
ri, sebelum aku mendapat penerangan batin dan
rasa kesadaran? Hemm, Anak baik, sebelum aku
bertobat kepada Dewata Agung dan mohon am-
pun atas kesalahan-kesalahanku waktu dulu?-
Nenek ini berhenti. Sesungguhnya ia ingin
mengatakan, ia akan membunuh kepada siapa-
pun yang terperosok masuk ke tempat tinggalnya
sekarang ini. Akan tetapi kata-kata ini kemudian
ia telan kembali dan tidak jadi ia ucapkan, sebab
nenek ini khawatir apabila bocah ini menjadi ke-
takutan.
Entah mengapa sebabnya, setelah mengerti
bocah ini murid Ki ageng Tunjung Biru, terbit pula rasa yang lain terhadap bocah ini.
- Hemm, sudahlah! Yang sudah biarlah
berlalu! - akhirnya nenek ini berkata. - Tetapi un-
tuk membuat engkau mengerti duduk perkara
yang sebenarnya, yang menyebabkan aku meng-
huni tempat ini, engkau harus mau mendengar
kisah hidupku lebih dahulu.-
Nenek ini berhenti sejenak lagi. Sesudah
mengambil napas, terusnya, - Anak baik, engkau
harus tahu, namaku Widoretno.....-
- Ohhh.....Nenek Widoretno?- gadis ini ter-
belalak.
- Ihhh.....agaknya kau kaget? Kenapa?
Apakah gurumu pernah menyebut namaku?-
- Ya. Satu kali ......
- Katakan! Lekas katakanlah.....apa kata
gurumu .....?
- Ya. Kakek pernah.....-
Tiba-tiba nenek ini sudah mencengkeram
leher Dewi Sritanjung dengan tangan kiri, sedang
jari tangan kanan sudah siap di atas kepala un-
tuk menusuk ubun-ubun.
Gadis ini kaget sekali oleh serangan si ne-
nek yang mendadak dan amat cepat ini. Hingga
dirinya tidak sempat untuk menghindarkan diri.
- Apa kau bilang? Dia Kakekmu?- desis
Nenek Widoretno penuh ancaman dan geram. -
Jadi..... jadi..... Ki ageng Tunjung Biru kawin lagi,
mempunyai anak dan cucu?-
- Apakah sebabnya engkau menanyakan
tentang kawin lagi, mempunyai anak dan cucu?
tiba-tiba gadis ini menjadi kurang senang atas
pertanyaan ini dan menjawab dengan nada ketus.
- Guruku hanya hidup seorang diri di dalam se-
buah pondok kecil di sebuah hutan. Tidak ada
orang lain dalam pondok itu, kecuali aku seo-
rang.-
- Tetapi dia Kakekmu?- bentak nenek Wi-
doretno.
Dewi Sritanjung menggeleng, - Bukan!
Akan tetapi aku menganggap Guruku itu sebagai
Kakekku sendiri. Sebab, Guru merawat diriku
semenjak aku masih bayi merah.-
- Lalu, siapakah orang tuamu? Bukankah
orang tuamu itu keturunan Ki ageng Tunjung Bi-
ru?-
- Bukan! Aku adalah anak terbuang!-
- Ahhh... - nenek Widoretno berseru terta-
han, melepaskan cengkeramannya dan meman-
dang Dewi Sritanjung dengan keheranan. Karena
tiba-tiba saja bocah ini sudah menangis terisak-
isak.
Agak heran juga nenek ini melihat peruba-
han itu. Tadi ketika ia cengkeram sedemikian ru-
pa, bocah ini tidak takut sedikitpun. Tetapi men-
gapa sekarang, setelah diajak bicara tentang
orang tuanya, mendadak saja gadis ini menjadi
sedih dan menangis?
- Anak baik.....ohh, Anak baik..... maafkan-
lah aku. Hemm ..... tidak sengaja aku sudah me-
nyebabkan kau sedih.....- ujarnya berubah lembut
dan menghibur.
Dewi Sritanjung masih menangis terisak-
isak ketika teringat nasibnya sebagai seorang
anak terbuang.
Karena Dewi Sritanjung tidak membuka
mulut nenek Widoretno bertanya lagi, - Anak...
engkau tadi bilang sebagai anak terbuang...... La-
lu siapakah orang tuamu? Dan mengapa pula se-
babnya engkau dirawat dan dibesarkan oleh Ki
ageng Tunjung Biru?-
Sejak pergi meninggalkan rumah orang tu-
anya. Ia sudah bertekad untuk tidak mengaku
sebagai puteri Mpu Nala. Ia tidak menginginkan
ayahnya celaka. Sebaliknya ia malah ingin menja-
ga nama baik dan kehormatan ayahnya. Oleh se-
bab itu ia tidak ingin membawa nama orang tua-
nya selama dirinya berkelana seorang diri tanpa
tujuan sekarang ini. Maka lebih aman apabila di-
rinya mengaku ayah bundanya sudah meninggal.
Mengaku sebagai anak yatim piatu, sebagai gadis
sebatang kara.
Sambil menghapus airmatanya yang mem-
basahi wajahnya, Dewi Sritanjung menjawab, -
Aku tidak tahu lagi, siapakah orang tuaku sebe-
narnya. Menurut cerita Kakek atau Guru yang
sudah tidak bedanya kakek kandungku sendiri,
aku dia temukan ketika hanyut di sungai, masih
sebagai bayi merah. Kemudian dia rawat dan dia
besarkan. Itulah sebabnya disamping sebagai
Guru, dia juga aku anggap sebagai Kakekku sen-
diri.-
- Ahhh..... aku menyesal sekali sudah me
nyebabkan engkau kaget, Anak baik.- Widoretno
mengakui kelancangannya.
- Tetapi ... aku justru malah senang sekali
apabila Nenek tadi benar-benar membunuh aku...
-
- Apakah sebabnya engkau berkata seperti
itu ?-
-Aku hidup sebatang kara.....dan mengem-
bara tanpa tujuan ..... Kalau Nenek mau membu-
nuhku bukankah aku jadi terbebas dari derita
ini.....?
Widoretno terbelalak. Kemudian secara ti-
ba-tiba tangan nenek ini meraih Dewi Sritanjung,
lalu dia dekap erat sekali, dan wajahnya dia te-
kankan pada dada yang kerempeng, karena buah
dadanya sudah kering.
Dewi Sritanjung kaget sekali dan hampir
saja melepaskan diri, karena mau muntah meng-
hirup bau yang apek dan tengik dari tubuh dan
pakaian Widoretno. Agaknya nenek ini tidak per-
nah kenal lagi dengan mandi, dan menyebabkan
tubuh dan pakaiannya menyebarkan bau tidak
sedap.
Dan sesungguhnya saja ia tersiksa sekali
oleh dekapan ini. Namun untuk tidak menyebab-
kan nenek yang sudah menolong dirinya ini men-
jadi tersinggung dan marah, ia memaksa diri ti-
dak memberontak dan tidak melepaskan diri.
- Aku menjadi kasihan kepadamu, Anak
baik. Engkau jangan menangis...... Sudahlah, ini
namanya jodoh dan takdir. Engkau sebatang kara..... sebaliknya aku juga sebatang kara dan ti-
dak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Seka-
rang, biarlah akupun berbuat sama seperti apa
yang pernah dilakukan oleh gurumu kepada eng-
kau. Maka anggaplah aku ini sebagai nenekmu
sendiri..... –
- Nenekku? Terima kasih .....
Widoretno melepaskan pelukannya, kemu-
dian ia terkekeh senang sekali. Agaknya jawaban
Dewi Sritanjung yang bersedia menjadi cucunya
ini menyebabkan nenek ini gembira sekali.
Setelah terkekeh beberapa lama, nenek ini
bertanya, - Cucuku, lekaslah ceritakan apa yang
sudah pernah dia ceritakan kepadamu tentang di-
riku ini?-
Dewi Sritanjung menatap wajah yang su-
dah peyot itu sejenak. Kemudian ia menjawab, -
Dahulu, Kakek memang sering berdiam diri dan
kemudian menghela napas berat. Ketika itu aku
mendekati, lalu aku bertanya, apakah sebabnya
Kakek merenung dan tampak sedih?-
- Pada mulanya Kakek memang tidak mau
berterus terang dan membuka rahasia itu. Tetapi
setelah aku desak, pada akhirnya Kakek berterus
terang.-
- Hemm, kepada engkau terpaksa aku ber-
terus terang. Tanjung, sebabnya aku sedih karena
aku teringat kepada seseorang yang sangat aku
kasihi. - Kakek berkata.
- Siapa? Kakek teringat kepada seorang la-
ki-laki ataukah perempuan?- desakku.
Hemm.....perempuan yang amat Kakek
kasihi.....-
- Ihhh .....!- seru nenek Widoretno tertahan.
- Benarkah itu? Kau tidak bohong?-
- Nenek tidak percaya?- tantang Dewi Sri-
tanjung. - Aku berkata apa adanya, dan terserah
Nenek mau percaya atau tidak. Ketika itu Kakek
memang bilang seperti itu. Kemudian aku mende-
sak, siapa? Dan Kakek menyebut seorang perem-
puan bernama Widoretno, lalu aku bertanya, sia-
pakah Widoretno?-
- Widoretno adalah isteriku.-
- Hemmm.....- Nenek Widoretno mendehem,
nampaknya nenek ini lega sekali hatinya.
- Nenek,- kata gadis ini, kemudian mene-
ruskan ceritanya. - Ketika itu aku heran berba-
reng kaget. Lalu aku bertanya, kenapa Kakek
berpisah dengan isterimu? Tetapi sungguh aneh
kakek hanya diam seribu bahasa, tidak mau men-
jawab pertanyaanku, dan malah tidak mau berce-
rita lagi. Sekalipun demikian, keanehan segera
terjadi ......
- Keanehan tentang apa?- desak Widoretno.
- Aku bilang aneh karena aku melihat Ka-
kek tiba-tiba menangis.....-
- Benarkah itu? Dia menangis?- Widoretno
kurang percaya.
- Kenapa tidak? Kakek benar-benar me-
nangis. Dan di tengah tangisnya itu kemudian
aku mendengar ucapannya yang lirih. Katanya,
hanya Widoretno seorang saja wanita di dunia ini
yang aku cintai, Tetapi.....Widoretno ..... –
Kakek bilang, Widoretno menghilang... me-
nyebabkan aku amat menderita... kemudian aku
mengasingkan diri di hutan... dan yang menjadi
tempat tinggalnya sekarang
- Aduhhh... hu hu huuuuu.... maafkanlah
aku Ki ageng... maafkan aku... - tiba-tiba saja Wi-
doretno menangis lagi terisak-isak.
Beberapa saat kemudian barulah ia men-
gangkat kepalanya sambil bertanya -Dimanakah
Ki ageng sekarang bertempat tinggi?-
- Dalam sebuah hutan yang tidak jauh dari
tempuran (pertemuan sungai)antara Sungai
Lengkong dengan Sungai Brantas.-
- Ahhh... kalau saja aku bisa ke sana...
hmmm... tetapi hal itu adalah tidak mungkin... –
- Kenapa tidak mungkin? Nek aku bisa
pergi bersama Nenek ke sana.-
- Hemmm... kedua kakiku sudah lumpuh-
- Ih...! Nenek lumpuh? – Dewi Sritanjung
sejak tadi memang kurang memperhatikan kea-
daan nenek ini, karena semenjak tadi nenek ini
hanya duduk, sehingga tidak menduga sama se-
kali kalau kakinya lumpuh.
Akan tetapi apabila benar nenek ini ingin
ke sana, bukankah dirinya bisa menggendong?
Kalau dirinya dapat membawa Nenek Widoretno
ini kepada Ki ageng Tunjung Biru, bukankah hal
ini amat menyenangkan?
Oleh karena itu setelah menatap wajah
yang keriput itu sesaat, ia berkata - Nek, aku bisa
menggendong kau meninggalkan tempat ini ke-
mudian pergi ke tempat tinggal Kakek. –
- Apa? Heh heh heh heh...- tiba-tiba saja
nenek ini ketawa terkekeh. -Manakah mungkin
engkau dapat meninggalkan tempat ini? Hemm,
bocah, tempat ini adalah terasing dan selama hi-
dupmu akan terkurung seperti aku di sini...-
Tiba-tiba saja wajah Dewi Sritanjung men-
jadi pucat mendengar keterangan ini. Jika benar
dirinya akan terasing di tempat ini, apakah arti
hidupnya ini?
Namun gadis ini tidak percaya. Gadis ini
menduga, mungkin nenek ini berkata tak mung-
kin dapat keluar, karena dua belah kakinya su-
dah lumpuh. Oleh Sebab itu nenek ini tidak dapat
menemukan jalan guna keluar dari tempat ini.
Ia memang tidak gampang mau percaya ke-
terangan Widoretno. Menurut pikirannya, apabila
jurang ini tidak mempunyai tembusan, lalu ke
manakah air yang jatuh ke jurang ini mengalir?
Maka setelah berpikir sejenak, ia berkata. -
Nek, apabila benar tempat ini tidak ada jalan
tembusannya, manakah mungkin jurang ini dapat
mengalirkan air? Karena itu aku percaya, tentu
ada tembusannya. Dan karena Nenek sudah lum-
puh, maka Nenek tidak dapat menyelidiki secara
baik.-
- Apa?- tiba-tiba nenek ini mendelik. -
Sangkamu setelah kedua kakiku lumpuh, aku ti-
dak dapat bergerak leluasa lagi? Lihatlah!-
- Ihhhh.....!- tiba-tiba Dewi Sritanjung ber
seru tertahan saking kaget berbareng kagum, me-
lihat gerakan si nenek lumpuh ini.
Ternyata sekalipun dua kakinya sudah
lumpuh dan tidak dapat berjalan, namun nenek
ini dapat juga bergerak cepat sekali. Nenek ini
melesat seperti melompat cukup jauh, dan setelah
turun tubuhnya ditopang dengan dua tangan dan
kemudian melesat lagi seperti terbang. Gerakan
Nenek Widoretno secepat ini kiranya tidak kalah
cepatnya dengan orang yang lari menggunakan
dua kaki.
- Nah, engkau sekarang sudah tahu, seka-
lipun aku lumpuh, aku masih dapat bergerak ce-
pat juga? kata nenek ini setelah kembali duduk.
Dan dada nenek ini tidak nampak tersengal, na-
pasnya biasa saja.
Diam-diam Dewi Sritanjung menjadi ka-
gum sekali, membuktikan nenek ini memang sak-
ti mandraguna.
- Cucu, dengan berlompatan seperti katak,
aku sudah menyelidiki jurang ini, baik ke hulu
maupun ke hilir. Di hulu sana, jurang ini masuk
ke dalam tanah yang amat dalam, hingga aku ti-
dak berani masuk. Kemudian di hilir sana, aku-
pun pernah menyelidik, tetapi kemudian terben-
tur dengan jalan buntu. Di sana aku temukan
semacam sumur yang selalu penuh air dan jernih
sekali. Dan dari tempat itulah aku mencukupi
kebutuhan air untuk hidup di tempat terasing
ini.-
- Air itu asalnya dari mana, Nek?- Dewi Sri
tanjung tertarik dan bertanya.
Gadis ini mempunyai dugaan, tentu air itu
berasal dari jurang lain. Dan dengan demikian ia
akan dapat menyusuri jurang itu lalu menyelidik.
Widoretno menggeleng. Jawabnya, - Entah-
lah, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah ju-
rang itu sampai ke sumur yang selalu penuh air
dan entah dari mana asal air itu maupun ke ma-
na air itu mengalir. Aku sudah cukup menyelidik,
tetapi tempat itu memang tidak ada tembusan-
nya.-
- Ahhh .....!- akhirnya gadis ini mengeluh.
Apabila benar jurang ini tidak mempunyai
tembusan, habislah harapannya. Ia kemudian
menengadah, dan yang tampak hanyalah kabut
tipis yang menghalangi pemandangan. Untuk
mendaki tebing jurang yang tinggi tidak terukur
ini, tidak mungkin ada orang yang sanggup mela-
kukannya, apabila tidak mempunyai sayap.
Tempat ini sepi sekali, dan tidak terdengar
suara apapun kecuali suara napas dua orang pe-
rempuan ini.
Memang amat kasihan dua perempuan ini,
harus menghuni jurang sepi di luar kemauannya.
Di dalam jurang ini tidak ada apa-apa yang
dapat memberi jaminan hidup. Tidak ada pohon
buah dan tidak ada yang lain. Lalu apakah yang
dapat digunakan untuk tiang hidup, Widoretno
selama ini?
Agaknya Widoretno merasa kasihan meli-
hat gadis ini yang sedih dan habis harapan untuk
dapat keluar dari jurang ini.
- Sudahlah, masalah itu bisa kau pikirkan
kemudian hari. Sebab siapa tahu kalau penyelidi-
kanku kurang teliti dan kau bisa menemukan ja-
lan untuk keluar dari tempat ini? Sekarang du-
duklah yang baik, dan aku akan menceritakan ki-
sah hidupku dikala muda dan kemudian mengan-
tarkan aku hidup di tempat terasing ini -
Agar tidak membuat nenek ini kecewa dan
juga guna mengurangi ketegangannya pula, Dewi
Sritanjung menurut, lalu duduk bersila agar da-
pat mendengarkan dengan baik.
2
- Ketika muda dan meningkat kedewa-
saanku, aku merupakan seorang gadis cantik jeli-
ta seperti kau. - Nenek itu memulai ceritanya
dengan kata-kata yang diucapkan lambat.
- Karena orang bilang aku ini cantik, maka
kecantikanku menarik perhatian banyak laki-laki,
baik perjaka maupun yang telah beristeri dan du-
da. Akan tetapi karena sejak muda aku terkenal
sebagai dara perkasa, sakti mandraguna, maka
hal ini menyebabkan laki-laki harus bersikap ha-
ti-hati dan tidak berani sembarangan terhadap di-
riku –
Dalam mengucapkan "cantik" dan "sakti
mandraguna" ini nadanya tajam dan mantap dan
nampaknya Nenek Widoretno menjadi bangga sekali.
Dewi Sritanjung berdiam diri tidak mem-
buka mulut dan mendengarkan penuh perhatian.
Ucapan Widoretno yang bangga ini me-
mang tidak aneh dan ini bukanlah bualan ko-
song. Sebab kenyataannya memang demikian ke-
tika muda, dan terjadi pada kira-kira 45 tahun
yang lalu. Sebab tidak terhitung jumlahnya laki-
laki baik yang penjahat maupun yang baik, roboh
dalam tangannya akibat kalah berkelahi.
Disamping banyak laki-laki yang bermak-
sud kurang ajar, tidak kurang pula jumlah laki-
laki benar-benar jatuh cinta kepada Widoretno.
Akan tetapi sungguh sayang sekali, oleh
pengaruh kecantikannya yang kuasa membuat
laki-laki tergila-gila itu, ia berubah menjadi seo-
rang gadis yang angkuh, galak dan sombong. Se-
mua laki-laki yang berusaha mendekati dan me-
rayu maupun mengucapkan rasa cintanya tidak
pernah ia gubris. Kemudian setelah pada setiap
tempat ia merasa selalu digoda laki-laki, maka
kemudian timbullah keputusannya yang takabur.
Ia mengumumkan, dirinya baru mau menjadi is-
teri orang, apabila laki-laki itu dapat mengalah-
kan dirinya dalam pertandingan secara adil, seo-
rang lawan seorang. Ia tidak menentukan syarat,
laki-laki berhak memperistri dirinya apabila bisa
menang, sekalipun laki-laki itu sudah tua, punya
isteri maupun duda.
Akibat dari pengumumannya ini, kemudian
banyaklah laki-laki yang ingin menyelam sambil
minum, dari yang masih jejaka sampai laki-laki
yang sudah mempunyai banyak isteri maupun
kakek-kakek pethakilan (kakek yang masih suka
daun muda).
Mereka semua menggunakan kesempatan
untuk mencoba mengadu untung. Harapan mere-
ka hanyalah satu, bukan lain apabila dapat men-
galahkan Widoretno yang terkenal sakti mandra-
guna itu, disamping dirinya memperoleh nama
harum, juga akan memperoleh pula isteri yang
cantik jelita bagai bidadari.
Namun ternyata kemudian setiap kali laki-
laki menantang Widoretno, selalu saja Widoretno
yang muncul sebagai pemenangnya. Sekalipun di
antara mereka itu sesungguhnya merupakan la-
wan yang memiliki ilmu kesaktian tingkat tinggi.
Apabila kebetulan pada saat perkelahian
itu terjadi disaksikan oleh penonton, maka penon-
ton akan menjadi keheranan. Sebab jelas Wido-
retno sudah terdesak dan tak lama lagi tentu
tunduk karena kalah. Namun apabila mulut Wi-
doretno sudah bergerak-gerak seperti mengu-
capkan sesuatu, maka lawannya menjadi ngawur
dan kemudian dengan gampang dapat dikalahkan
oleh Widoretno.
Peristiwa yang aneh ini kemudian mem-
buat orang menduga, Widoretno mempunyai Ilmu
siluman.
Kemudian pada suatu hari, Widoretno ber-
temu dengan seorang laki-laki gagah yang umur-
nya sudah mendekati tiga puluh tahun, tetapi
masih perjaka. Pemuda inipun seperti laki-laki
yang lain, menantang Widoretno untuk menga-
lahkannya. Sekalipun demikian mereka yang me-
nonton merasa ragu. Apakah pemuda ini dapat
mengalahkan Widoretno yang mempunyai ilmu si-
luman itu? Maka diam-diam semua orang menja-
di khawatir apabila laki-laki ini sampai kalah me-
lawan Widoretno.
Namun pemuda yang sudah bulat tekad-
nya ini sedikitpun tidak gentar. Ia tidak terpenga-
ruh oleh semua pendapat umum yang mengata-
kan, dirinya akan kalah. Maka pemuda ini meng-
hadapi Widoretno dengan tenang dan penuh rasa
percaya diri. Pendeknya ia rela mati disiksa oleh
Widoretno, jika dirinya sampai kalah.
Pemuda ini bernama Kebo Sadewo. Dan ka-
lau laki-laki lain menghadapi Widoretno dengan
senjata, maka Kebo Sadewo menghadapi gadis itu
bertangan kosong. Soalnya karena pemuda ini ti-
dak sanggup apabila sampai harus melukai gadis
yang cantik jelita itu, dan baru berumur duapu-
luh tahun pula.
Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo
ini malah menyebabkan Widoretno merasa terhi-
na dan merasa direndahkan. Maka setelah Wido-
retno memperingatkan sampai tiga kali supaya
Kebo Sadewo mencabut senjatanya tidak juga di-
gubris, maka gadis ini kemudian menjadi marah,
lalu mengancam akan membunuh laki-laki yang
berani merendahkan dirinya itu.
Tetapi sekalipun Widoretno mengancam
akan membunuh, Kebo Sadewo tetap bertangan
kosong.
Yang terjadi kemudian memang menyebab-
kan para penonton terbelalak keheranan. Sebab
sekalipun bertangan kosong, Kebo Sadewo dapat
melayani sambaran pedang Widoretno dengan
amat baik. Sambaran pedang Widoretno selalu
luput, hingga membuat gadis cantik ini semakin
penasaran dan kemudian menggunakan ilmu si-
lumannya. Widoretno menggerakkan bibirnya
sambil memandang Kebo Sadewo tidak berkedip.
Yang sudah pernah terjadi, setiap Widoret-
no berkemak-kemik mengucapkan mantranya,
maka lawan akan menjadi seperti linglung dan
berkelahi secara ngawur. Kemudian dengan amat
gampang, gadis ini mengalahkan lawan.
Namun sekarang ini yang terjadi adalah di
luar dugaan dan meleset dari kebiasaan. Ternyata
Kebo Sadewo dapat melawan balk sekali, malah
terus dapat mendesak gadis itu, sehingga pada
akhirnya pedang Widoretno berhasil ia rebut dan
kuasai.
Tetapi Widoretno belum juga mau menye-
rah, dan masih tetap melawan sambil mengu-
capkan mantranya yang ampuh itu. Celakanya
mantra itu tidak mempan, dan yang terjadi ke-
mudian bukanlah Widoretno yang menang, tetapi
gadis ini malah tidak dapat berontak lagi ketika
pemuda itu berhasil menangkap dua tangannya.
Apakah sesungguhnya ilmu yang disebut
siluman milik Widoretno ini? Sesungguhnya dugaan ini keliru. Karena yang benar, apa yang di-
ucapkan oleh Widoretno ini adalah mantra-
mantra gaib semacam ilmu sihir, yang disebut
dengan nama "Netra Luyub". Maka orang yang
terpengaruh oleh mantra gaib ini, kemudian akan
menjadi orang yang linglung, sesuai dengan pe-
rintah Widoretno.
Akan tetapi celakanya, setelah Widoretno
berhadapan dengan Kebo Sadewo, ilmu Netra
Luyub ini tidak dapat mempengaruhi. Sebabnya
tidak lain karena Kebo Sadewo dapat menolak
pengaruh ilmu tersebut
Maka kemudian sesuai dengan janji yang
sudah terucapkan, kemudian Widoretno mengak-
hiri masa kegadisannya, lalu kawin dengan Kebo
Sadewo.
Bahagiakah perkawinan antara Widoretno
dengan Kebo Sadewo ini? Pada mulanya semua
orang memang tidak tahu. Sebab memang tam-
paknya suami-isteri sakti ini selalu rukun.
Namun sebenarnya apa yang terjadi, per-
kawinan ini tidak dapat memberikan rasa keba-
hagiaan dalam hati seperti dugaan banyak orang.
Dan kalau toh nampaknya selalu rukun itu, bu-
kan lain adalah karena sikap Kebo Sadewo yang
banyak mengalah, sikapnya selalu menjaga den-
gan maksud agar isterinya bahagia.
Tetapi sekalipun sikap Kebo Sadewo amat
baik kepada isterinya, namun Widoretno masih
juga banyak ngambek. Setiap kali mulutnya sela-
lu cemberut dan membentak-bentak apabila suaminya mengajak bicara.
Apabila sikap isterinya sudah demikian,
maka Kebo Sadewo tidak mengimbangi dan men-
galah, lalu ia menghibur diri dengan cara pergi
dari rumah guna memberi pertolongan kepada se-
tiap orang yang memerlukan pertolongan.
Namun walaupun pergi dari rumah, Kebo
Sadewo yang amat mencintai dan setia pada iste-
rinya itu, tidak pernah mau menggunakan ke-
sempatan guna melakukan perbuatan menyele-
weng dengan perempuan lain.
Sepuluh tahun lamanya mereka kawin,
namun ternyata belum juga lahir seorangpun
anak di tengah keluarga mereka. Inilah sebenar-
nya yang menyebabkan Widoretno lebih sering
marah, ngambek dan mengajak cekcok.
Akan tetapi bagaimanapun tanggapan iste-
rinya, Kebo Sadewo selalu mengalah dan meng-
gunakan kebijaksanaannya sebagai seorang sua-
mi yang baik dan setia. Sebab pendirian Kebo Sa-
dewo. Isteri ini pemberian Dewata Agung (Tuhan).
Seorang saja untuk selama hidup. Seorang sudah
cukup untuk selama hidup, tetapi sebaliknya ka-
lau dua malah kurang, dan tiga atau empat ma-
lah akan menjadi kurang lagi.
Orang yang suka main kawin dan banyak
istri, belum tentu hidupnya menjadi bahagia. Ke-
mungkinan besar malah akan menimbulkan pe-
rang dingin antara perempuan yang dimadu. Ma-
lah sesungguhnya, isteri seorang saja sudah lebih
dari cukup dan tidak akan habis. Maka yang tidak puas dengan isteri seorang, berarti hanya
menuruti nafsu.
Nafsu ini, demikianlah menurut pendirian
Kebo Sadewo, apabila diumbar, selalu dituruti
apa kehendaknya, akan menjadi semakin serakah
dan selalu merasa kurang. Lebih-lebih nafsu main
perempuan dan main kawin.
Sebaliknya, nafsu yang selalu dikekang
dan dikendalikan akibatnya juga buruk. Sebab
nafsu yang dikekang dan dikendalikan itu, adalah
ibarat kuda yang tersimpan dalam kandang dan
selalu terikat. Maka sekali waktu apabila kuda itu
lepas dari kandang dan tidak terikat, akan men-
jadi binal dan semakin berbahaya. Oleh karena
itu yang tepat apabila nafsu ini tidak diumbar
maupun dikekang, tetapi terkuasai sambil menye-
lami dan mengikuti perjalanan sang nafsu itu
sendiri. Orang yang mau mengikuti perjalanan
sang nafsu dan menyelami, kalamana sudah sa-
dar benar-benar akan menjadi tersenyum sendiri
dan menyesali segala perbuatan yang sudah per-
nah ia lakukan. Sebab mengumbar nafsu, hanya-
lah membuang waktu dan tenaga sia-sia.
Banyak orang yang menganggap pelacur
adalah sampah masyarakat. Orang yang hina!
Orang yang rendah martabatnya.
Lalu sebaliknya, apakah sebutan bagi para
manusia laki-laki yang suka pelacur itu? Apakah
dia tidak lebih kotor lagi? Si pelacur sudah jelas
sengaja menjajakan diri mencari uang, karena ti-
dak mempunyai ketrampilan atau tidak mau be
kerja berat. Kemudian menggunakan kecantikan-
nya untuk memperoleh duit. Dan dari duit itu un-
tuk hidup!
Sebaliknya, laki-laki yang main perempuan
lacur, bukankah dia harus membayar? Kalau be-
nar pelacur itu merupakan manusia hina, men-
gapa sebabnya laki-laki mau juga datang, mem-
bayar dan malah mengotori dirinya sendiri? Lalu
apakah sebutan laki-laki macam ini?
Pada suatu ketika Kebo Sadewo dan Wido-
retno melakukan perjalanan bersama seperti bi-
asa mereka lakukan dalam usaha menumpas se-
tiap bentuk kejahatan. Mereka tiba di sebuah de-
sa bernama Lemah Bang, dan perhatian mereka
menjadi tertarik ketika melihat seorang pemuda
sedang berkelahi dikeroyok oleh lima orang laki-
laki. Agaknya perkelahian yang tidak seimbang
itu sudah lama berlangsung. Terbukti pemuda ini
terdesak hebat sekali dan sudah terluka pada be-
berapa bagian tubuhnya, menyebabkan pakaian
pemuda itu bernoda darah. Entah apa saja se-
babnya mereka berkelahi dan perkelahian itu ti-
dak seimbang. Keadaan ini menyebabkan Wido-
retno tidak senang lalu timbul niatnya untuk
membela pemuda yang dikeroyok itu.
- Kakang, pemuda itu terdesak hebat sekali
dan tidak lama lagi akan roboh dan tewas!- ujar-
nya. - Hemm, lima laki-laki itu tidak tahu malu
dan sewenang-wenang. Karena itu aku harus tu-
run tangan untuk membela dia.-
- Jangan!- Kebo Sadewo mencegah. - Sebe
lum kau bertindak, kau harus menyelidiki lebih
dahulu tentang sebab-sebabnya. Karena siapa ta-
hu, pemuda itu memang pada pihak yang salah,
hingga maksud baikmu itu malah akan berbalik,
menyebabkan kau dituduh orang sewenang-
wenang. –
- Hemm,- Widoretno mendengus dingin. -
Engkau memang seorang laki-laki lemah dan se-
lalu bertindak terlalu banyak pikir dan pertim-
bangan. Sebaliknya aku, huh, tidak peduli orang
akan menyebut apa saja kepada diriku. Karena
yang penting, pengeroyokan terhadap bocah itu
sudah menjadi bukti perbuatan sewenang-
wenang. –
- Retno, hemm, lalu bagaimanakah penda-
patmu jika seumpama pemuda itu seorang penja-
hat, sedang lima orang itu yang berusaha me-
nangkap dia? Apakah tindakanmu itu tidak ber-
salah dan kemudian dituduh orang engkau sudah
membela penjahat ?-
- Huh, sudahlah!- bentaknya tidak senang.
- Jika engkau tidak mau membela bocah itu, biar-
lah aku sendiri yang akan menghajar lima bede-
bah busuk itu. Pendeknya aku mempunyai pen-
dapat, pengeroyokan itu tidak adil. Maka jahat
dan tidak, adalah urusan belakang. Pendeknya
aku tidak takut menghadapi tiap orang yang be-
rusaha memusuhi diriku!-
Sesungguhnya Kebo Sadewo tidak sepen-
dapat dengan isterinya, sebelum menyelidiki lebih
dahulu tentang sebabnya terjadi perkelahian ini.
Akan tetapi sikap Kebo Sadewo terhadap isterinya
selalu mengalah dan selalu menghindari percek-
cokan. Maksudnya, semua itu tidak lain dalam
usahanya agar antara dirinya dengan isterinya se-
lalu dapat rukun dan bahagia.
Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo
gang selalu mengalah, dan selalu menuruti ke-
hendak isterinya ini, malah menyebabkan Wido-
retno menjadi isteri yang manja. Maka ia menjadi
marah apabila suaminya melarang apa yang ia in-
ginkan.
Guna menghindari hal-hal yang tidak ia in-
ginkan itulah, maka sekarang inipun Kebo Sade-
wo terpaksa mengalah, sekalipun ia tahu keingi-
nan isterinya sekarang ini tidak benar. Melawan
kesewenangan dan membela orang memang baik,
tetapi harus tepat pada tempatnya. Hingga tidak
akan salah langkah sampai membela yang bersa-
lah.
- Baiklah Retno, apabila engkau memang
menginginkannya. Tetapi biarlah aku di tempat
ini saja dan akan melindungi keselamatanmu, ji-
ka ada orang yang berani lancang mencampuri
urusanmu.-
Kebo Sadewo terpaksa setuju, walaupun
persetujuan ini bertentangan dengan hatinya.
Maka kemudian ia menempatkan diri dan duduk
di belakang batu.
Melihat sikap suaminya ini Widoretno ter-
senyum dingin.- Hemm, aku tahu engkau seorang
laki-laki pengecut, dan takut menghadapi akibat
dari perbuatanmu sendiri!-
Sesungguhnya saja, ucapan isterinya ini
merupakan ucapan yang amat menyakitkan hati.
Namun demikian semua itu terpaksa ia telan dan
tidak membuka mulut. Widoretno akan mengata-
kan apapun, ia anggap sebagai angin lalu, masuk
telinga kanan keluar lewat telinga kiri. Pendeknya
biar mengatakan apa saja, ia tidak peduli asal sa-
ja isterinya yang manja itu senang dan tidak ma-
rah.
Demikianlah, tanpa peduli dan tanpa men-
gadakan penyelidikan lebih dahulu, Widoretno
sudah masuk ke gelanggang perkelahian dalam
usaha membela pemuda yang dikeroyok lima
orang itu.
- Bangsat busuk! - bentaknya nyaring
sambil melompat - Kamu adalah para pengecut
dan hanya berani kalau main keroyok!-
Sambil membentak ini, Widoretno sudah
menerjang dengan pedang, menangkis serangan
dua orang yang sedang menyerang pemuda itu
dari belakang.
Trang trang..........
- Ailihh.......!
Terjangan Widoretno ini mengejutkan para
pengeroyok. Sebab bukan saja senjata dua orang
kawannya itu tertangkis, tetapi juga runtuh di ta-
nah. Lima orang pengeroyok itu kemudian ber-
lompatan mundur dan pemuda yang dikeroyok
dan sudah terluka tersebut dapat bernapas lega.
Kemudian pemuda ini memandang Widoretno sekilas.
Mata pemuda ini terbelalak dan lupalah
untuk sejenak kepada lukanya yang terasa pedih.
Pemuda ini seakan mimpi, melihat kecantikan si
wanita penolongnya. Dan walaupun perempuan
ini sudah berumur sekitar tiga puluh tahun, na-
mun justru malah menunjukkan kematangannya.
Saking terpesona, menyebabkan pemuda
ini lupa mengucapkan terima kasih, nyawanya
sudah diselamatkan orang.
Sebaliknya, Widoretno juga terbelalak keti-
ka melihat wajah pemuda ini yang tampan, gan-
teng dan keren. Umur pemuda ini belum dua pu-
luh tahun. Akan tetapi sepasang mata pemuda ini
bersinar-sinar demikian kuat daya pengaruhnya,
seperti dapat mengajak dan menjenguk isi da-
danya.
Tiba-tiba saja jantung Widoretno berdebar
keras. Ia merasa aneh sekali dan tiba-tiba saji
Widoretno menjadi amat tertarik dan terpikat ke-
pada pemuda yang belum ia kenal ini.
Sungguh mati perempuan ini gembira se-
kali dapat menolong pemuda yang ganteng dan
tampan ini. Dan betapa akan menyesal hatinya,
kalau saja ia tadi membiarkan pemuda seperti ini,
harus tewas di tangan para pengeroyok itu.
- Huh, siapa kau perempuan, berani men-
campuri urusan kami ini? - bentak salah seorang,
- Hemm,- Widoretno mendengus dingin. -
Aku adalah aku! Apakah pedulimu? Kamu adalah
pengecut yang tidak tahu main, huh! Lima orang
mengeroyok seorang muda!-
- Engkau jangan sembarangan membuka
mulut!- bentak salah seorang. - Tahukah engkau
akan sebabnya kami mengeroyok bedebah busuk
dan bajingan tengik ini? Huh, apabila kau men-
dengar persoalannya, engkau akan menyesal ka-
rena lancang mencampuri urusan ini.-
Salah seorang yang lain menyambung, -
Huh, pemuda ini telah membunuh salah seorang
sahabat kami yang tidak berdosa. Maka sudah
sepantasnya pula apabila kami mengeroyok un-
tuk menagih hutang nyawa itu!-
- Bangsat busuk! Kamu jangan memfitnah
orang!- teriak si pemuda dengan lantang. - Aku
tadi sudah membantah, bukan aku yang melaku-
kan pembunuhan itu. Tetapi kamu mendesak dan
memaksa aku, mengandalkan jumlah dan menge-
royok sewenang-wenang. –
- Setan alas. Kau jangan mungkir!- teriak
seorang yang lain lebih keras. - Hayo bangunlah!
Hayo bantahlah! Ketika terjadi pembunuhan itu,
bukankah hanya engkau seorang yang berada di
dekat korban? Jika bukan kau pembunuhnya,
apa perlunya kau mendekati korban?-
- Hemm benar, saat itu aku berada di dekat
korban. Tetapi aku bukan pembunuhnya dan aku
mendekati justru dalam usahaku untuk meno-
long. Sungguh sayang sekali, korban itu sudah
tewas sehingga tidak mungkin dapat kusela-
matkan lagi. Huh! Tetapi kamu tanpa bertanya
lebih dahulu sudah menuduh aku secara mem
babi buta. Walaupun aku sudah membantah dan
menerangkan bukan aku yang membunuh dia.
Manakah mungkin aku dapat menerima fitnah
dan tuduhanmu yang tanpa dasar itu?-
Mendengar ini Widoretno yang merasa be-
nar pendiriannya sudah membentak lantang.
- Bajingan pengecut tidak tahu malu! Ter-
nyata kamu telah bertindak sewenang-wenang,
mengeroyok orang tak bersalah. Huh! Aku takkan
dapat berpangku tangan melihat perbuatan kamu
yang tidak adil ini. Jika kamu tidak cepat enyah
dari tempat ini, jangan salahkan aku jika aku
menurunkan tangan maut!-
Betapa marah lima orang ini mendengar
ucapan Widoretno yang terang-terangan membela
pemuda itu dan secara membabi buta pula. Lima
orang ini merasa yakin, pemuda inilah yang telah
membunuh sahabat mereka. Dan apa yang mere-
ka lakukan sekarang ini, sudah sesuai pula den-
gan tugas dan kewajiban untuk membela orang
tak bersalah. Oleh karena itu, mereka tidak mun-
dur.
- Huh, perempuan hina!- bentak salah seo-
rang! - Jika engkau nekad membela pemuda bu-
suk itu, engkau akan menyesal seumur hidup-
mu!-
- Cerewet! Makanlah pedangku ini!- balas
Widoretno sambil melesat ke depan, menyerang
dengan pedang.
Gerakan Widoretno ini amat cepat dan
kuat. Sambaran angin pedangnya mendahului serangan pedang itu sendiri.
Trang trang..........!
Benturan senjata terdengar nyaring, tetapi
kemudian dua orang ini berubah menjadi pucat
dan cepat-cepat melompat mundur. Karena pe-
dang mereka telah lepas dari tangan dan terbang
agak jauh.
Tetapi gerakan pedang Widoretno tidak
berhenti sampai di situ. Setelah berhasil merun-
tuhkan dua batang senjata lawan, gerakan itu ia
teruskan untuk menikam salah seorang yang pal-
ing dekat. Untung sekali orang itu cukup waspa-
da, sehingga sambaran pedang itu luput. Namun
celakanya justru luputnya serangan ini, menye-
babkan Widoretno tambah marah.
- Huh, robohlah!- dalam membentak Wido-
retno sudah mengetrapkan ilmunya yang amat
berbahaya, bernama Aji Netra Luyub.
Akibatnya adalah hebat. Lima orang itu
mendadak saja menjadi roboh seperti pingsan
mendadak.
Melihat apa yang terjadi, pemuda yang di-
bela Widoretno terbelalak kagum. Diam-diam pe-
muda ini merasa heran sekali, mengapa tiba-tiba
lima orang itu roboh tak bergerak seperti pingsan.
Tetapi justru pada saat itu, ia mendengar
perintah Widoretno. - Potong sebelah tangan me-
reka sebatas siku!-
Tanpa sesadarnya, pemuda ini sudah me-
lompat dan menggerakkan pedangnya.
Namun sebelum pedang itu berhasil mem
babat lengan menjadi buntung, tiba-tiba terden-
garlah bentakan nyaring sekali dan berpengaruh.
- Jangan!-
Yang membentak ini bukan lain adalah Ke-
bo Sadewo, yang menjadi tidak senang melihat is-
terinya akan melakukan kekejaman yang tidak
kenal kemanusiaan itu.
Justru sikap Kebo Sadewo ini menyebab-
kan Widoretno tidak senang dan marah, - Kakang!
Engkau jangan ngacau! Apakah maksudmu mela-
rang ia membuntungi lengan lima bajingan itu?-
- Retno, aku minta engkau jangan melaku-
kan perbuatan biadab seperti itu.- Kebo Sadewo
memberi nasihat dengan nada sabar dan halus. -
Sadarlah engkau, Retno. Karena perbuatan ma-
cam itu dengan alasan apapun, tidak pantas di
lakukan oleh seorang yang mengenal jiwa ksatria
dan kemanusiaan.-
Widoretno tersinggung dan menjadi marah.
Ia ketawa dingin lalu katanya ketus, - Huh, apa-
kah sangkamu hanya kau seorang yang kenal ji-
wa ksatrya dan kemanusiaan? Hemm, bagus!
Engkau sudah menghina aku, menghina isterimu
sendiri! Huh, engkau munafik dan ucapanmu itu
amat menyakitkan hatiku.-
Ia berhenti sejenak sambil mendelik. Tak
lama kemudian ia meneruskan, - Huh, selama ini
antara aku dan engkau tidak pernah mendapat
persesuaian paham. Ibarat air dengan minyak.
Muak aku melihatmu! Huh, Kebo Sadewo, keta-
huilah bahwa hinaan mu kepada diriku hari ini
tidak lagi dapat aku maafkan. Sudahlah! Dari pa-
da antara kita selalu bertentangan terus dan ti-
dak pernah bisa rukun, lebih baik sejak sekarang
ini kita berpisah. Mulai saat ini lebih tepat apabila
kita membebaskan diri dari ikatan dan kita men-
gambil jalan masing-masing.-
- Retno! Apakah sebabnya engkau berkata
seperti itu?- Dalam mengucapkan kata-katanya
ini, nadanya gemetar terpengaruh oleh kemara-
han. Sebab bagaimanapun sabarnya menghadapi
isterinya, Kebo Sadewo menjadi tersinggung oleh
ucapan Widoretno ini. Harga dirinya sebagai seo-
rang suami tentu saja tidak mau direndahkan se-
perti itu, yang seakan-akan dihina terang-
terangan di depan orang.
- Sudahlah, tidak perlu cerewet! Pendeknya
sejak sekarang ini aku dan engkau berselisih ja-
lan. Maka sebaiknya kita akhiri saja hubungan
kita!- bentak Widoretno kasar.
- Hemm, baiklah! Memang sebaiknya aku
dan engkau mengambil jalan masing-masing.-
Kebo Sadewo menerima tantangan isterinya.
Tetapi walaupun demikian, dalam mengu-
capkan kata-katanya ini, nadanya mengandung
getaran jiwa yang amat sedih. Bagaimanapun ia
amat sayang dan kasih kepada isterinya, dan ia-
pun mencintai dengan segenap jiwanya.
Sekalipun demikian sebagai seorang laki-
laki, ia tidak dapat menerima begitu saja, apabila
isterinya selalu menentang nasihat-nasihatnya,
sehingga melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan jiwanya. Seperti yang dila-
kukan Widoretno sekarang ini, terang-terangan
amat menusuk perasaannya.
Sungguh, ia tidak habis mengerti mengapa
isteri yang amat ia cintai itu sampai hati mencaci
maki dirinya di depan orang lain? Malah sekarang
ini isterinya membela seorang pemuda yang sama
sekali belum ia kenal watak dan tabiatnya dan be-
lum tentu pada pihak yang benar.
Setelah berhenti sejenak untuk menekan
perasaan marah dalam dadanya, ia meneruskan,
- Apa yang kau lakukan sekarang ini bertentan-
gan dengan jiwa dan nuraniku. Hemm, engkau
sudah memilih pada pihak yang salah dan karena
itu semua perbuatanmu tak ada hubungannya
dengan aku dan semua akibatnya menjadi tang-
gung jawabmu sendiri.
Widoretno terkekeh sejenak. - Heh heh heh
heh, aku bilang kau cerewet seperti burung beo
belajar bicara. Huh, apakah engkau tidak lekas
enyah dari tempat ini?-
Sepasang mata Kebo Sadewo menyala sak-
ing marah mendengar pengusiran isterinya ini.
Akan tetapi mata yang menyala itu hanya seben-
tar saja, kemudian kembali seperti biasa, setelah
ia berhasil menekan perasaan.
- Hemm, baiklah aku pergi sekarang juga!
Tetapi ingatlah baik-baik, aku bukanlah seorang
laki-laki rendah budi seperti dugaanmu. Demi
sayang dan kasihku kepada engkau, aku tidak
bakal berdekatan lagi dengan perempuan.
Kemudian laki-laki ini melompat, dan me-
langkah cepat tanpa berpaling. Namun demikian
di luar tahu Widoretno, dari sudut mata laki-laki
ini berloncatanlah air mata.
Benar! Sekarang ini Kebo Sadewo memang
menangis, karena diusir oleh isteri. tercinta dan
terpaksa harus berpisah dengan Widoretno. Me-
mang benar-benar menyakitkan sekali sikap dan
perbuatan perempuan seperti ini, yang selalu me-
rasa menang sendiri dan benar sendiri.
Kebo Sadewo menghela napas berkali-kali,
karena ia amat menyesal, mengapa apa yang ter-
jadi justru tidak sesuai dengan harapannya. Ia
sudah selalu bersikap mengalah, dan apapun
yang ia lakukan dalam usaha membahagiakan is-
terinya. Namun yang terjadi sekarang, isteri yang
ia cintai itu malah tidak segan-segan mengusir di-
rinya dan disaksikan pula orang lain.
- Hemm, tetapi memang sebaiknya begini,
dari pada setiap saat pendirianku selalu berten-
tangan dengan pendiriannya!- desisnya sambil
melangkah cepat, dengan maksud agar secepat-
nya dapat melupakan Widoretno.
Sulit terlukiskan betapa gembira hati Wido-
retno, setelah ia berhasil mengusir suaminya yang
amat setia itu. Terus terang saja hati perempuan
ini menjadi tertarik dan jatuh cinta pada pandan-
gan pertamanya terhadap pemuda tampan dan
masih muda ini. Dan ia sudah membayangkan
betapa bahagia hatinya kemudian hari, jika di-
rinya dapat hidup sebagai suami isteri dengan
pemuda ganteng ini.
Oleh sebab itu setelah Kebo Sadewo pergi,
ia sekarang mengerling penuh arti kepada pemu-
da di sampingnya ini, lalu berkata merdu, - Seka-
rang sudah tiada penghalang lagi. Maka lakukan
hukuman potong tangan itu, agar semua orang
tidak berani gegabah lagi terhadap kita.-
Berdebar hati pemuda ini menangkap kerl-
ing mata Widoretno yang penuh daya tarik itu.
Kemudian seperti seorang hamba yang patuh se-
kali kepada tuannya, pemuda ini sudah men-
gangkat pedang dan kemudian membuntungi len-
gan lima orang lawan itu, satu persatu disaksikan
oleh Widoretno dengan bibir tersenyum manis.
- Bagus!- pujinya. - Dan marilah sekarang
ikut aku. Engkau terluka, biarlah aku yang men-
gobati dan menyembuhkan lukamu.-
Tanpa rasa main, kikuk dan sungkan lagi,
Widoretno sudah menyambar lengan pemuda
yang memikat hatinya itu, kemudian ia melang-
kah pergi meninggalkan lima orang korbannya
yang menderita.
Setelah Widoretno pergi meninggalkan me-
reka, maka lima laki-laki yang tadi terpengaruh
oleh Aji Netra Luyub menjadi buyar dan hampir.
berbareng mereka mengeluh dan membuka mata.
Mereka kaget sekali dan merintih kesaki-
tan, kemudian terbelalak kaget ketika melihat
lengan kanan telah buntung sebatas siku. Pada
mulanya mereka merasa heran, tetapi setelah in-
gatan mereka terkumpul kembali, teringatlah mereka apa yang sudah terjadi.
Mereka tadi mengeroyok seorang pemuda
yang sudah membunuh salah seorang sahabat
mereka. Pada saat pemuda itu hampir dapat me-
reka kalahkan, datang perempuan yang menolong
dan merobohkan mereka.
Semenjak peristiwa itu terjadi, Kebo Sade-
wo tidak pernah terdengar lagi namanya. Dan se-
menjak itu pula telah mengganti namanya dengan
Tunjung Biru. Yang pada akhirnya kemudian ha-
ri, setiap orang mengenal dirinya dengan nama Ki
ageng Tunjung Biru sebagai kakak seperguruan
Gajah Mada.
Adapun Widoretno dengan jantung berde-
baran, menggandeng pemuda itu masuk ke dalam
sebuah hutan.
Kalau jantung perempuan ini tidak keruan,
lebih-lebih pemuda yang masih hijau ini, jan-
tungnya melonjak-lonjak seperti mau copot.
Sambil melangkah perlahan setengah dipa-
pah, terasalah telapak tangan dan jari-jari tangan
yang halus ini memegang tangannya. Dan dis-
amping itu sengaja atau tidak, lengan itu sering
didesak oleh benda yang lunak lembut pada dada
perempuan itu,
- Siapakah namamu, Adik yang baik?- ta-
nyanya halus dan terdengar amat merdu masuk
dalam rongga telinga pemuda itu.
- Aku.....aku Sobrah Tulus.....- sahut pe-
muda ini tidak lancar, saking dadanya terasa
amat tegang dan berdebaran. - Dan...... dan.....
Mbakyu, siapa?
- Hi hi hik, aku Widoretno.-
- Widoretno? Ahhh.....namamu bagus seka-
li.. menarik seperti, -
- Seperti siapa? Katakanlah terus terang.-
Widoretno mendesak dan matanya mengerling
penuh arti dibarengi dengan bibir menyungging
senyum manis sekali.
Dan karena masih melangkah berdampin-
gan, lengan Sobrah Tulus masih dipegang oleh
Widoretno, maka kembali benda yang lunak lem-
but itu menekan lengan si pemuda.
- Seperti.....ah ..... aku takut-
- Kenapa takut? Takut kepada siapa?- Wi-
doretno pura-pura tidak tahu.
- Takut kepada Mbakyu. Khawatir.....kau
tersinggung ...... -
- Katakanlah, Adik yang baik, jangan ragu-
ragu. Bukankah aku tidak menakutkan? Atau
kau memang tidak suka berkenalan dengan aku?
–
- Ahhh.....Mbakyu..... aku lebih dari su-
ka.....karena .... karena kau amat can.....-
- Can apa? Canthoka? Berarti aku ini ka-
tak?- namun dalam mengucapkan kata-katanya
ini, bibir Widoretno tersenyum, sama sekali tidak
tampak marah.
- Ahhhh, manakah ada katak seperti
Mbakyu? Jika Mbakyu katak, lalu apakah aku
ini? Ha ha ha ha, yang benar Mbakyu adalah seo-
rang wanita yang amat cantik ...... –
Sobrah Tulus yang pada mulanya takut-
takut itu, setelah melihat sikap dan mendengar-
kan kata-katanya, sekarang hilang rasa takutnya
dan malah sudah berani tertawa.
Mendengar pemuda ini tertawa, maka Wi-
doretno juga lalu tertawa, suaranya merdu sekali
terdengar dalam telinga Sobrah Tulus. Seakan
suara tawa yang merdu itu, masuk ke dalam te-
linganya lalu menyelinap ke dalam kalbu.
- Ahhh, kau bohong - ucap Widoretno yang
berusaha memancing perhatian Sobrah Tulus, te-
tapi hati perempuan ini terasa bahagia sekali.
Tiba-tiba Sobrah Tulus menghentikan
langkahnya, lalu memutar tubuh menghadapi
Widoretno. Mereka kemudian berdiri berhadapan
dalam jarak dekat sekali. Dua pasang mata ber-
taut, dan dari mata dua pasang ini memancarlah
sinar kasih yang menyebabkan jantung mereka
berdua makin berdenyutan lebih keras. Dan ke-
mudian seperti terpengaruh oleh kekuatan yang
tidak terlawan lagi, tangan Widoretno terulur ke
depan.
Lengan perempuan ini memegang pundak
Sobrah Tulus. Dan pemuda ini yang pada mu-
lanya takut-takut, menjadi bangkit keberaniannya
setelah perempuan cantik ini memegang pundak-
nya.
Dua lengan Sobrah Tulus segera terangkat
pula. Pada mulanya gerakan ini agak ragu dan
gemetaran, dalam memegang lengan Widoretno
itu. Namun ketika perempuan ini tidak mele
paskan rabaan tangannya, maka jari tangan So-
brah Tulus bergerak merayap sepanjang lengan
itu, dan akhirnya sampai di bawah pundak. Ke-
mudian jari tangan pemuda itu bergerak turun
sampai pinggang.
- Ihhh ..... kau.....- tiba-tiba saja Widoretno
tak kuasa menahan hatinya lagi, lalu memeluk
pemuda ini erat sekali dan langsung menyerang
bibir si pemuda.
Widoretno menjadi lupa diri berhadapan
dengan pemuda tampan dan ganteng ini, masih
muda pula. Ia tidak ingat lagi bahwa saat seka-
rang ini sebenarnya Sobrah Tulus sedang terluka
pada beberapa bagian tubuhnya. Dan hanya oleh
pengaruh perasaan aneh yang memenuhi da-
danya saja, Sobrah Tulus menjadi lupa kepada
keadaan tubuhnya yang terluka.
Akan tetapi setelah mendapat pelukan Wi-
doretno, pundaknya yang terluka terasa sakit
- Ahhhh.....!- terdengar desah dari mulut
Sobrah Tulus ketika Widoretno melepaskan bibir
pemuda itu.
Tubuh Sobrah Tulus menggigil, dan tentu
pemuda itu sudah roboh apabila tidak cepat dipe-
luk lagi oleh perempuan itu.
- Aduhhh ..... maafkanlah aku sampai ter-
lupa kau terluka. –
Sambil berkata demikian Widoretno mem-
bimbing pemuda yang memikat hatinya ini, ke-
mudian mereka duduk di bawah pohon rindang.
- Biarlah aku yang memeriksa dan mengo
bati-
Sobrah Tulus menahan rasa sakit dan pe-
dih pada lukanya. Dan ia membiarkan ketika jari
tangan Widoretno melepas bajunya yang bernoda
darah.
- Ahhh, untung sekali lukamu ringan saja.
Setelah aku obati dalam waktu singkat tentu su-
dah sembuh kembali!- ujarnya lirih dengan nada
menghibur.
Sobrah Tulus mengangguk. Namun ia me-
ringis juga ketika luka yang darahnya sudah
mengering itu dibersihkan oleh Widoretno.
Cekatan juga jari tangan Widoretno dalam
membersihkan dan mengobati luka-luka itu. Sete-
lah membubuhi obat, luka itu kemudian ia balut
menggunakan kain penutup dadanya yang dibagi-
bagi. Dan pada saat Widoretno melepas kain pe-
nutup dadanya ini, maka Widoretno terpaksa me-
nyingsingkan bajunya ke atas.
Mereka berhadapan dan dada pemuda ini
bergetar hebat sekali ketika melihat Widoretno
melepas kain penutup dada itu, disamping amat
berterima kasih.
Aneh juga yang dilakukan perempuan ini.
Ia mempunyai persediaan ganti pakaian dalam
bungkusan. Mestinya kalau memerlukan kain pe-
nutup dada, ia bisa mengambil dari bungkusan
itu. Tetapi mengapa malah melepas yang sudah ia
pakai?
Jari tangan Widoretno cekatan sekali keti-
ka melepas kain penutup dada itu. Dan ketika
kain penutup dada lepas, perempuan ini lalu si-
buk merobek-robek kain ini untuk pembalut
Saking sibuk, perempuan ini menjadi lupa
bahwa waktu itu bajunya terbuka ke atas, dan
dada yang tanpa penutup itu sekarang tampak
membukit penuh di depan mata Sobrah Tulus.
Mata pemuda ini silau memandang dada
membukit penuh tanpa penutup itu, tetapi mata
itu malah melotot dan menelan ludah.
Semenjak dirinya menjadi dewasa, baru
pertama kali ini saja dirinya melihat pemandan-
gan menarik seperti ini. Pandangan asing dan ba-
ru bagi dirinya, bukit kembar yang halus, kuning
dan montok.
Untung sekali ketika itu Widoretno segera
sadar keadaan. Ia menjerit lirih dan secepatnya
menurunkan ujung baju dan dadanya sekarang
tertutup kembali. Namun sekalipun sudah tertu-
tup kembali, pemuda ini masih juga memandang
seakan dapat menembus baju.
Widoretno tersenyum memikat sekali. Ke-
mudian katanya dengan nada manja, -
Aihhh.....apakah sejak sekarang, panggilan itu ti-
dak kita ubah menjadi sebaliknya?-
- Apakah maksudmu?- Sobrah Tulus kehe-
ranan,
- Hemm, aku adalah perempuan yang suka
blak-blakan. Sekarang aku bertanya, bagaimana-
kah perasaanmu kepada diriku ?-
- Perasaan yang mana?-
- Hemm, engkau jangan pura-pura tidak
tahu. Hi hi hik, aku perempuan dan kau laki-laki.
Katakanlah, apakah engkau tidak tertarik kepa-
daku?-
- Aku.....aku.....- Sobrah Tulus gelagapan.
Sebenarnya ia memang amat tertarik kepa-
da perempuan cantik ini. Tetapi ia tidak tahu,
apakah getaran jantungnya sekarang ini merupa-
kan tanda dirinya sudah jatuh cinta? Namun ke-
nyataannya memang timbul pula rasa suka kepa-
da perempuan ini. Dan kemudian timbul pula ha-
rapannya agar selalu dapat berdekatan dengan
Widoretno.
- Hi hi hik ..... aku.....aku apa?- Widoretno
ketawa lirih setengah mengejek.
Ketika Sobrah Tulus tidak juga menjawab,
ia mengulang, - Hi hi hik ..... aku .....aku apa?-
- Aku.....aku......ya.....- Sobrah Tulus sulit
untuk mengucapkan kata-katanya, sehingga ja-
waban yang keluar dari mulutnya hanya seperti
itu.
Namun jawaban ini sudah cukup jelas bagi
Widoretno. Perempuan ini tahu, Sobrah Tulus la-
ki-laki perjaka yang belum pernah kenal perem-
puan. Terbukti dari sikapnya yang malu-malu
dan kata-katanya yang setengah takut. Untuk itu
maka dirinyalah yang harus memimpin dan me-
mulai.
Manusia di dunia ini, biasanya menjadi
paling lemah apabila berhadapan dengan nafsu
birahi. Manusia yang sanggup menghadapi amu-
kan nafsu birahi, hanyalah terbatas jumlahnya,
sehingga tidak gampang diperkuda oleh nafsu itu,
karena jiwanya kuat.
Manusia yang disebut kuat jiwanya bukan-
lah terbawa semenjak dilahirkan, tetapi terbentuk
oleh pengaruh pendidikan yang dilambari kesada-
ran. Sebab pendidikan takkan dapat menolong
tanpa adanya kesadaran. Pendidikan menyebab-
kan orang mengerti, tetapi kalau tidak menyadari,
manakah mungkin bisa terjadi?
Sebagai manusia mereka adalah sama-
sama memiliki nafsu birahi ini. Maka apabila ma-
nusia tidak mau menyadari bakal menjadi binal
dan buas. Demikian pula yang terjadi dan berke-
camuk dalam dada Widoretno ini. Dahulu ketika
dirinya kawin dengan Kebo Sadewo. sesungguh-
nya ia merasa terpaksa. Ia tidak dapat mencintai
Kebo Sadewo yang umurnya terpaut jauh. Dan
kalau toh ia kawin dengan Kebo Sadewo tidak lain
karena sudah kalah janji.
Pada mulanya melihat sikap suaminya
yang amat mencintai dirinya secara tulus dan se-
lalu bersikap mengalah, ia selalu berusaha meng-
hibur diri. Ia berusaha untuk mencintai Kebo Sa-
dewo. Namun ternyata kemudian usahanya ini
bertemu dengan kegagalan, setelah tahu Kebo
Sadewo seorang laki-laki yang lebih suka menyi-
bukkan diri dengan urusan di luar rumah, di-
banding dengan memperhatikan pembinaan cinta
kasih sebagai suami isteri.
Lebih lagi setelah sepuluh tahun kawin be-
lum juga mendapatkan keturunan, menyebabkan
ia menjadi masygul dan selalu menyalahkan su-
aminya. Widoretno hanya ingin menang saja, tan-
pa mau berpikir bahwa seal anak ini ada bebera-
pa penyebabnya.
Mungkin Widoretno sendiri yang mandul.
Mungkin juga Kebo Sadewo yang mandul. Atau
dua-duanya mempunyai penyakit, sehingga
menghalangi untuk memperoleh keturunan. Atau
ada sebab lain, disamping juga sudah menjadi
kehendak Dewata Yang Agung.
Sebagai akibat rasa kecewa dan kemasygu-
lannya inilah kemudian mendorong Widoretno in-
gin lepas dari kekangan Kebo Sadewo, setelah ia
melihat ketampanan dan wajah ganteng pemuda
bernama Sobrah Tulus. Saking tertarik dan terpi-
kat hatinya inilah maka kemudian Widoretno
sengaja membuat Kebo Sadewo marah dengan ka-
ta-kata yang menusuk perasaan suami. Dan usa-
hanya ternyata berhasil, maka sekarang seperti
seekor kuda yang lepas dari kandang, Widoretno
menjadi banal. Ia merayu Sobrah Tulus baik den-
gan sikap, perbuatan maupun ucapan.
Jadilah kemudian Widoretno dan Sobrah
Tulus hidup sebagai suami isteri. Mereka hidup
amat rukun, sebab sekalipun umurnya lebih tua,
namun sebagai perempuan sakti mandraguna
dan berpengalaman, dapat membuat Sobrah Tu-
lus bertekuk lutut
Akan tetapi benarkah Sobrah Tulus men-
cintai setulus hati? Terbuktilah bahwa Sobrah
Tulus tidak mencintai Widoretno sepenuh hati.
Dan kalau toh pemuda ini sedia kawin dengan
Widoretno, memang ada maksud tersembunyi.
Dorongan yang terutama bagi Sobrah Tulus
mengawini Widoretno, adalah ingin bisa mempe-
roleh rahasia ilmu yang dapat merobohkan lawan
hanya dengan mantra itu, ialah Aji Netra Luyub.
Pada mulanya Widoretno memang kikir
dan tidak bersedia membuka rahasia ilmu terse-
but. Namun berkat kecerdikan dan bujuk rayu,
akhirnya Sobrah Tulus dapat menguasai ilmu ter-
sebut.
Kemudian apakah yang terjadi? Ternyata
laki-laki ini curang. Kemudian ia mencampurkan
obat tidur dengan nasi dan minuman Widoretno.
Kemudian menggunakan kesempatan pada saat
Widoretno tertidur ini Sobrah Tulus membuang
Widoretno ke dalam jurang amat dalam.
Apa yang ia lakukan ini bukan lain karena
Sobrah Tulus tidak tega membunuh isteri dan se-
kaligus gurunya itu. Maka menurut pendapatnya,
dengan jalan ia buang ke jurang, nyawa Widoret-
no tentu melayang.
Namun Sobrah Tulus tidak menyadari,
orang bisa mengharapkan tetapi ketentuan di
tangan Yang Maha Tinggi. Ternyata Widoretno ti-
dak mati dan hanya menderita patah dua kakinya
dan luka-luka ringan yang lain, hingga akibatnya
Widoretno menjadi lumpuh. Dan kemudian,
sungguh merupakan keajaiban yang diciptakan
oleh Yang Maha Tinggi, Nenek Widoretno masih
hidup.
Widoretno menghela napas panjang men-
gambil napas. Kemudian katanya kepada Dewi
Sritanjung, - Anak baik, itulah kisah hidupku
yang kemudian menyebabkan aku menderita se-
perti ini. Aku amat menyesal sekali dan merasa
berdosa pula kepada Kakang Kebo Sadewo.....
yang kemudian berganti nama Ki ageng Tunjung
Biru itu....... Kalau saja aku tetap menjadi iste-
rinya, tentu aku takkan sampai mengalami nasib
buruk ini.-
Nenek Widoretno menyeka air mata yang
bercucuran dari matanya, menyesali nasib.
- Tetapi Nek, kenapa yang kau ceritakan
kok hanya Sobrah Tulus. Lalu Klinthung Waluh
itu, siapa?- tanya Dewi Sritanjung.
- Hemm.....Sobrah Tulus dan Klinthung
Waluh itu sama saja orangnya -
- Ahhhh.....biadab benar manusia busuk
itu. Huh, apabila aku cepat membawa Nenek ke-
luar dari tempat ini, akan aku lumatkan kepa-
lanya.-
- Heh heh heh heh .....- Nenek Widoretno
terkekeh. - Engkau jangan melamun kosong. Ma-
nakah mungkin kita bisa keluar dari tempat ini?-
- Tetapi Nek, apabila aku berusaha terus,
aku percaya Dewata Agung akan mengulurkan
tangan dan menolong. Entah keajaiban apa yang
akan terjadi, tetapi aku percaya kelak kemudian
hari akan dapat keluar dari tempat ini,-
Mendengar tekad gadis yang penuh seman-
gat ini Widoretno tidak tega untuk membuat tipis
harapan. Katanya kemudian, - Ya! Akupun berha-
rap agar kau dapat menemukan jalan keluar itu.
Dan harapanku pula, engkau akan dapat memba-
laskan sakit hatiku.-
- Hemm, tentu Nek. Nenek adalah isteri
Kakekku dan juga Guruku. Manakah mungkin
aku membiarkan manusia biadab itu hidup enak
dan terlepas dari hukuman ?-
Sesungguhnya saja ketika muda, Widoret-
no seorang perempuan angkuh, suka menurutkan
kemauannya sendiri disamping congkak. Tetapi
sesudah puluhan tahun lamanya terhukum dan
tersiksa di tempat terasing ini, jiwa perempuan ini
kemudian memperoleh kesadaran. Wataknya be-
rubah seperti bumi dengan langit. Maka ketika
melihat gadis ini secara tidak sengaja terperosok
masuk ke dalam jurang ini, Widoretno menjadi
amat kasihan kepada Dewi Sritanjung.
Lebih-lebih setelah ia mengerti, Dewi Sri-
tanjung merupakan pewaris ilmu kesaktian dari
suaminya, maka hanya kepada gadis ini sajalah
yang menjadi tumpuan harapannya, agar kelak
kemudian hari dapat membalaskan sakit hatinya.
Tiba-tiba Widoretno teringat sesuatu, lalu
katanya halus, - Cucuku, ahhh..... manakah
mungkin kau sanggup berhadapan dengan Klin-
thung Waluh, justru dia mempunyai Aji Netra
Luyub?-
Mendengar ini Dewi Sritanjung lalu teringat
kepada peristiwa yang sudah ia alami. Kalau tidak
tertolong oleh Mpu Kepakisan, tentu dirinya sudah celaka dalam tangan Klinthung Waluh, seba-
gai akibat terpengaruh oleh Aji Netra Luyub itu.
Untung sekali gadis bernama Dewi Sritanjung ini
seorang gadis cerdik. Kalau saja sekarang dirinya
dapat memiliki Aji Netra Luyub seperti Klinthung
Waluh, tentunya akan dapat membalas dendam
kepada orang itu.
Maka kemudian Dewi Sritanjung menatap
Widoretno. Ujarnya, - Nenek yang baik, kalau
Klinthung Waluh bisa memiliki Aji Netra Luyub
itu atas ajaran Nenek, apakah aku tidak dapat
pula memperoleh Ajian tersebut dari Nenek?-
Widoretno terkekeh mendengar permintaan
ini. Jawabnya, - Heh heh heh heh, ternyata eng-
kau cucuku yang cerdik. Asalkan kau mau dan
tekun, mengapa tidak? Tentu saja aku akan dapat
pula menurunkan ilmu atau aji tersebut untuk
kepentinganmu.-
Betapa gembira gadis ini mendengar kese-
diaan Widoretno. Tiba-tiba saja gadis ini berlutut
sambil membenturkan dahinya ke tanah.
- Terima kasih, Nenek, dan sekaligus Gu-
ruku, atas kesediaan Nenek untuk mengajarkan
Aji Netra Luyub untuk diriku,- katanya mantap.
- Heh heh heh heh, bangkitlah! Sudah, kau
tidak perlu berlutut. Sebab sudah sewajarnya pu-
la, jika engkau sebagai murid suamiku, maka
engkau juga muridku pula.-
Saking gembira gadis ini sampai tak ingat
lagi tempatnya sekarang ini terpisah dengan du-
nia ramai. Manakah mungkin Dewi Sritanjung
dapat memanfaatkan aji kesaktian tersebut apabi-
la selama hidup terus terkurung di tempat ini?
3
Bagaimanapun sedih dan sengsara hati
Dewi Sritanjung yang terperosok ke dalam jurang
yang buntu ini, kiranya masih lebih enak apabila
dibandingkan dengan nasib Mahisa Singkir dan
Sarwiyah. Sebab sekalipun di tempat terasing, te-
tapi Dewi Sritanjung bisa bebas, bisa sesuka hati,
tidak tertekan perasaannya oleh siapapun. Se-
dangkan Nenek Widoretno sikapnya amat baik
dan malah mengajarkan Aji Netra Luyub pula.
Siapakah Mahisa Singkir dan Sarwiyah ini?
Untuk dapat mengetahui secara rinci, kiranya
Pembaca perlu membaca buku berjudul "Perjala-
nan Yang Berbahaya" dan "Terkurung Di Perut
Gunung". Dua orang muda ini sedang dalam per-
jalanan menuju Belambangan untuk mencari tu-
nangannya Warigagung dan guru pemuda itu
bernama Julungpujud, dengan maksud minta
bantuan agar dapat membalaskan sakit hatinya
kepada Gajah Mada. Tetapi sungguh celaka dalam
perjalanan ini mereka tertangkap dan kemudian
tertawan dalam lembah terasing yang penuh ra-
hasia. Pada lembah ini yang berkuasa adalah
Mpu Galuh, sisa pemberontak Sadeng.
Memang setelah Mahisa Singkir dan Sar-
wiyah secara paksa harus hidup di dalam kamar
tahanan, sikap para penjaga memang baik dan
menghormat. Pelayanannya pun baik, karena se-
mua orang tahu belaka, baik si pemuda maupun
si gadis merupakan calon-calon menantu Mpu
Galuh. Akan tetapi walaupun demikian, manakah
mungkin dua orang muda ini bisa merasakan hi-
dup senang?
Selama dua hari dalam tahanan di kamar
ini, Sarwiyah terus menerus menangis dan mogok
makan. Akibatnya mata yang semula indah itu
sekarang menjadi merah dan pelupuk matanya
bengkak.
Dalam keadaan sedih dan menangis ini
kemudian ia teringat kepada kakeknya yang su-
dah meninggal maupun kakak perempuannya Sa-
rindah dan adik laki-lakinya yang lenyap bersama
Sentiko. Lalu di manakah Sentiko sekarang ini?
Masih hidup ataukah sudah mati? Dan di mana
pula kakak perempuannya itu, yang setelah ber-
pisah dengan dirinya tidak pernah ia dengar ka-
barnya lagi?
- Mbakyu ..... ohhh .....- desisnya di tengah
isak dan tangisnya. - Kalau saja aku dan kau ti-
dak berpisah, kiranya takkan sampai menderita
seperti ini ......
Benar, gadis ini sekarang amat menyesal,
mengapa ketika itu kakak perempuannya me-
maksa, supaya dirinya pergi seorang diri mencari
Julung Pujung dan Wariagung. Sedang Sarindah
kemudian menyatakan ingin mencari juru tenung
yang pandai untuk menenung Gajah Mada.
Sekarang timbul pertanyaan dalam hati,
berhasilkah usaha kakak perempuannya itu? Ka-
lau benar kakak perempuannya itu berhasil
membunuh Gajah Mada dari tempat jauh, sekali-
pun dirinya sekarang menderita sengsara, ada pe-
rasaan lega juga. Sebab cita-cita kakeknya yang
ingin dapat membunuh Gajah Mada telah berha-
sil. Akan tetapi sebaliknya apabila usaha kakak
perempuannya itu sampai gagal, bukankah berar-
ti semua pengorbanan ini hanya sia-sia belaka?
Karena selama dalam tahanan ini Sarwiyah
mogok makan, maka dalam waktu singkat saja,
gadis ini menjadi pucat dan kurus. Rambutnya
menjadi kusut dan terurai awut-awutan, pakaian
kusut tidak mau ganti, sehingga dari gadis muda
cantik jelita, sekarang berubah menjadi seperti
perempuan gila.
Apabila Sarwiyah selalu menangis dan se-
dih, sebaliknya Mahisa Singkir tidak kurang pula
sedihnya. Namun demikian cara berpikir pemuda
ini lain dengan Sarwiyah. Sebab Mahisa Singkir
tidak mogok makan seperti Sarwiyah, melainkan
semua pemberian jatah makanan itu, ia terima
dan ia makan dengan lahap. Sebabnya ia bersi-
kap seperti ini karena ia sadar, raganya membu-
tuhkan makanan dan guna menjaga kekuatan
dan kesehatannya pula. Supaya pada saat perlu,
dan pada saat berhadapan dengan bahaya, ia bisa
menggunakan tenaganya. Oleh sebab itu tubuh-
nya masih segar seperti ketika masih bebas, wa-
laupun wajahnya agak pucat.
Dalam kamar tahanan inipun disamping
menjaga kekuatan dan kesehatan tubuhnya, ia-
pun tidak pernah lupa untuk melatih diri, sekali-
pun ia tidak mempunyai harapan dapat melo-
loskan diri.
Ia tidak pernah melupakan pesan kakek
gemuk yang baik hati dan bernama Mpu Anusa
Dwipa itu. Kakek yang sudah menyelamatkan
nyawanya, kemudian malah bersedia menggem-
bleng dirinya, sekalipun tidak diakui sebagai mu-
ridnya.
- Bocah, - kata Mpu Anusa Dwipa ketika
itu. - Dalam keadaan yang bagaimanapun, mela-
tih diri sambil mawas diri, adalah penting kau la-
kukan secara rajin. Sebab semua itu akan bergu-
na bagi dirimu sendiri dan dalam usahamu me-
nunaikan tugas.-
Pesan kakek gendut ini tidak pernah ia ab-
aikan dan ia lupakan. Maka selama dalam taha-
nan di tempat ini, waktu malah ia pergunakan
sebaik-baiknya. Sebab siapa tahu kemudian hari
ia memerlukan tenaganya sendiri apabila mempe-
roleh kesempatan lolos?
Manusia tidak seharusnya lekas patah ha-
rapan dan tanpa berusaha, sekalipun takdir tentu
berlaku terhadap semua manusia hidup. Itulah
sebabnya setiap usai makan, seperti yang terjadi
pada sore tadi, pemuda ini lalu duduk bersila di
pembaringan batu guna melatih ilmu ajaran Mpu
Anusa Dwipa. Ajaran itu adalah mengumpulkan
hawa sakti dalam tubuh, lalu ia salurkan ke selu
ruh bagian tubuhnya.
Karena ia sedang tenggelam dalam melatih
diri dengan bersamadi ini, Mahisa Singkir sampai
tidak tahu dan tidak mendengar, pintu kamar ta-
hanannya terbuka. Kemudian seseorang masuk
ke dalam kamar sambil membawa lentera kecil
dari minyak kelapa. Mula-mula orang ini menyu-
luhi sekitar kamar. Tetapi kemudian memusatkan
perhatian kepada Mahisa Singkir yang duduk ti-
dak bergerak.
- Bangunlah!- tegur orang itu dengan suara
halus dan merdu, dan sambil berdiri di depan
Mahisa Singkir.
Mahisa Singkir geragapan kaget, wajahnya
tersorot oleh sinar lampu, sedangkan suara yang
halus merdu itu menyelundup masuk dalam
rongga telinganya. Untuk sejenak pemuda ini ter-
belalak menatap wajah perempuan yang cantik di
depannya ini. Wajah yang sebenarnya malah lebih
cantik apabila dibandingkan dengan Sarwiyah.
- Ohhhh ..... apakah maksudmu masuk ke
kamar ini?- tanyanya agak gugup.
Bibir indah itu tersenyum. Sepasang mata
yang redup menarik ini memandang tanpa rasa
kikuk. Diam-diam tergetar juga jantung Mahisa
Singkir mendapat tatapan demikian rupa oleh se-
pasang mata gadis itu. Maka cepat-cepat pemuda
pemalu ini menundukkan muka. Dan karena ga-
dis ini belum juga menjawab, maka dalam usa-
hanya untuk menekan perasaan, Mahisa Singkir
mengulang pertanyaannya.
Apakah sebabnya engkau masuk kema-
ri?-
- Apakah tidak boleh?-
Jawaban Ika Dewi, puteri Mpu Galuh ini
menyebabkan Mahisa Singkir melengak untuk se-
jenak. Tentu saja sebagai seorang puteri raja di
wilayah ini, Ika Dewi mempunyai kebebasan pergi
kemanapun.
- Ya.....Memang tidak ada yang dapat mela-
rang kau pergi kemana kau suka...- ujar Mahisa
Singkir seperti menyesali apa yang tadi telah ia
ucapkan sendiri. - Akan tetapi apakah sebabnya
kau masuk dalam kamar tahananku ini?-
Bibir Ika Dewi tersenyum lagi dan manis
sekali. Dan sebenarnya senyum gadis ini bagi
pemuda yang masih hijau ini, cukup membuat
jantungnya bergetar hebat sekali.
Ika Dewi kemudian meletakkan lampu pe-
nyuluh itu di lantai kamar. Dan bagian tembok
yang terkena oleh sinar lampu itu menjadi terang.
Tetapi bagian di mana Mahisa Singkir duduk itu
agak gelap, sebab sinar lampu teraling oleh papan
kayu.
Sesudah meletakkan lampu suluh itu, Ika
Dewi segera duduk di pembaringan, dan kemu-
dian mereka duduk berhadapan,
Pemuda yang jujur dan sopan ini kaget dan
cepat mencegah.
- Aduhhh ..... jangan! Apakah..... maksud-
mu? Ayahmu bisa marah.....jika tahu kau di da-
lam kamarku ini.....
Ika Dewi memandang Mahisa Singkir den-
gan sepasang matanya yang bersinar. Bibir gadis
ini tersenyum lagi, lalu jawabnya halus.
- Engkau tidak perlu takut maupun kha-
watir. Sebab aku datang ke kamarmu ini sudah
sepengetahuan Ayahku ......-
- Untuk apa...? - Mahisa Singkir kaget
mendengar jawaban ini dan memandang tajam
kepada Dewi Ika.
Gadis ini bersenyum lagi, jawabnya, - Guna
meninjau kesehatanmu.-
- Ohhh.....terima kasih ...... –
- Ihhh.....- Ika Dewi berseru tertahan. –
Apakah sebabnya kau mengucapkan terima ka-
sih?-
- Karena kau.....baik hati..... dan sudi me-
ninjau keselamatanku.....sebagai tawanan di sini
...... -
- Ohhh! Engkau jangan ..... salah paham
dan berkata seperti itu, Mahisa Singkir. Sebab ti-
dak ada maksud Ayahku untuk menempatkan
engkau di kamar ini.-
- Tetapi buktinya.....-
- Ya, memang untuk sementara waktu saja.
Selama kau belum memberi keputusan seperti
harapan Ayah..... dan harapanku...-
Mahisa Singkir mengangkat kepala me-
mandang Ika Dewi. Pada saat itu Ika Dewi juga
sedang memandang Mahisa Singkir, dan dua pa-
sang mata bertaut. Lalu disusul bibir gadis ini
menyungging senyum manis sekali.
Diam-diam Mahisa Singkir mengakui gadis
ini manis dan tak dapat ia cela. Disamping itu ge-
rak-geriknya pun halus, dan ucapannya pun se-
juk dan merdu dalam telinganya. Sikap dan uca-
pan gadis ini sesungguhnya menimbulkan rasa
hormat dalam hatinya.
Kalau saja hatinya belum terisi oleh Sar-
wiyah, bisa jadi dirinya akan terpikat oleh manis-
nya wajah gadis ini
Mahisa Singkir menundukkan kepala sam-
bil menghela napas pendek. Sesungguhnya dalam
hati timbul pula semacam perasaan yang agak
menyesal, mengapa dirinya menjadi jatuh cinta
kepada Sarwiyah? Padahal ia sudah tahu, Sar-
wiyah sudah menjadi calon isteri Warigagung.
Bukankah sesungguhnya rasa cinta yang timbul
dalam hatinya bisa dikatakan sesat jalan?
Banyak gadis yang masih bebas, mengapa
sebabnya malah mencintai gadis yang sudah ber-
tunangan? Apakah hal ini kemudian hari tidak
akan menimbulkan hal-hal yang tidak ia ha-
rapkan?
Lebih-lebih sedikit banyak ia sudah men-
dengar watak Warigagung maupun Julung Pujud
yang ganas dan kejam. Jika dirinya merebut Sar-
wiyah dari tangan Warigagung, apakah perbua-
tannya itu benar?
Akan tetapi entah mengapa, rasa kesada-
rannya ini kalah pengaruh dengan keinginan ha-
tinya. Entah mengapa sebabnya, dirinya menjadi
tergila-gila kepada Sarwiyah. Ia tidak tahu sebab
nya, namun mungkin sekali, sebabnya ia menjadi
tertarik adalah oleh peristiwa di luar kesengajan-
nya. Ialah akibat perjalanannya hanya berdua
dengan Sarwiyah sampai berbulan-bulan, me-
nempuh perjalanan jauh dengan saling penger-
tian.
Witing trisna jalaran saka kulina (sebabnya
timbul rasa cinta oleh sebab terbiasa dalam per-
gaulan). Disamping itu mungkin juga oleh penga-
ruh kejadian pada suatu pagi, ketika ia melihat
Sarwiyah dalam keadaan polos, merendam diri
dalam telaga kecil di tengah hutan waktu itu. Apa
yang sudah ia saksikan menjadi kenangan dalam
benaknya, tidak pernah mau diusir dan ia lupa-
kan.
- Pandanglah aku..... Kakang.....- ujar Ika
Dewi dengan nada halus, tetapi penuh
permintaan.
Mahisa Singkir mengangkat kepalanya dan
menatap Ika Dewi. Tetapi hanya sejenak saja,
kemudian ia kembali menundukkan kepala sam-
bil menghela napas pendek. Ia merasa malu ber-
tatap pandang dengan gadis ini dalam jarak dekat
sekali.
- Kenapa kau malu?- tegur Ika Dewi tanpa
rasa rikuh sedikitpun,
Tetapi sikap yang terang-terangan ini, se-
benarnya tidak pada tempatnya bagi seorang ga-
dis.
Namun hal ini juga perlu dimaklumi, kare-
na Ika Dewi hidup di tempat yang terasing dari
pergaulan masyarakat luas. Maka gadis ini dalam
menghadapi Mahisa Singkir tidak perlu merasa
malu untuk berterus terang sesuai dengan ke-
hendak hatinya.
Karena agak bingung menghadapi gadis
yang berterus terang seperti ini, menyebabkan
Mahisa Singkir gelagapan dan bingung. Jawabnya
tidak lancar, - Ahhh ..... ohhh..... mengapa sebe-
narnya kau ini.....?-
- Bukankah ayah sudah memberitahu ke-
pada dirimu ?-
- Tetapi ah..... tetapi.....aku hanyalah seo-
rang pemuda tidak berharga.....-
- Hi hi hik,- Ika Dewi ketawa lirih. – Apakah
sebabnya kau berkata seperti itu? Dan apa pula
sebabnya kau merendahkan diri macam itu? Yang
dapat menilai dirimu bukan dirimu sendiri, tetapi
orang lain, termasuk diriku. Hemmm.....-
Ika Dewi berhenti dan sejenak kemudian
gadis ini meneruskan. - Cinta kasih itu, bagiku
tidak ditentukan oleh pangkat, kedudukan dan
martabat seseorang. Kakang..... aku mencintaimu
dengan sepenuh hati, sejak aku melihat kau per-
tama kali. Apakah engkau tidak merasa...?-
Setelah berkata Ika Dewi menundukkan
muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-kata
ini, Ika Dewi menjadi lega, namun merasa malu
juga.
Sedang Mahisa Singkir menghela napas la-
gi, ujarnya, - Hem.....sudilah engkau memaafkan
aku. Karena..... karena.....
Tiba-tiba gadis ini mengangkat kepalanya,
menatap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu ter-
dengar ucapannya bernada sengit - Karena kau
sudah mencintai gadis lain, bukan ...?!-
Mahisa Singkir yang jujur itu mengangguk
sambil menghela napas.
- Gadis yang bersama kau itukah.....?- ma-
ta Ika Dewi berbinar, dan tiba-tiba saja bibir yang
semula menyungging senyum itu sekarang le-
nyap.
Mahisa Singkir menggelengkan kepalanya,
- Manakah mungkin aku berani mencintai dia?-
- Jangan bohong!- bentak Ika Dewi tiba-
tiba. - Huh..... tentu kau mencintai dia. Kalau
demikian huh! Dia akan kubunuh.....!-
- Jangan.....! - teriak Mahisa Singkir yang
menjadi amat khawatir. - Bukan dia! Manakah
mungkin aku berani mencintai gadis yang sudah
menjadi calon isteri orang lain? Dia itu ..... dia itu
calon isteri Warigagung dan calon menantu tokoh
sakti Julung Pujud.-
Memang tidak biasa Mahisa Singkir mem-
bohong seperti ini. Tetapi ia sadar, apabila dirinya
berterus terang, tentu akan memancing kemara-
han Ika Dewi nan bisa jadi ancaman akan mem-
bunuh ini benar-benar dia lakukan.
- Hemm, kau bohong.....!- hardik Ika Dewi
dingin.
- Tidak!- Mahisa Singkir menggeleng.
- Jika kau tidak saling cinta dengan dia.....
mengapa ketika kamu berdua menghadap Ayah
ku, engkau dengan dia saling genggam jari .....?-
- Ohh ..... itu.....itu ...... –
- Huh! Kau dusta!- bentak Ika Dewi marah.
- Engkau sudah saling cinta dengan gadis itu!-
- Tidak! Oh ..... aku tidak dusta .....!- Mahi-
sa Singkir yang gelagapan membela diri. Lalu ce-
pat-cepat menekan perasaan agar hatinya tidak
berdebaran. - Engkau jangan menuduh yang ti-
dak-tidak. Engkau menuduh orang ngawur bela-
ka..... –
- Huh! Siapa yang menuduh secara nga-
wur?-
- Itu dalam usahaku mencegah agar dia ti-
dak bersikap kurang ajar terhadap ayahmu!-
- Huh! Dapat berbuat apakah dia andaika-
ta berani kurang ajar di sini?-
- Itulah sebabnya aku melarang dia agar
tunduk!-
Untuk sejenak mereka berdiam diri. Kamar
ini menjadi hening. Yang terdengar hanyalah he-
laan napas mereka berdua.
Ika Dewi tanpa malu menatap Mahisa
Singkir. Sebaliknya pemuda ini malah menun-
dukkan kepalanya.
Diam-diam pemuda ini menjadi bingung
disamping khawatir menghadapi gadis ini, yang
sudah terang-terangan mengucapkan cintanya,
dan malah sekarang berani berkunjung ke ka-
marnya. Kejujuran hatinya sebenarnya membe-
rontak harus berbohong. Tetapi sebaliknya iapun
sadar, Sarwiyah dalam bahaya apabila ia berterus-terang.
- Kakang Mahisa Singkir.....- Ika Dewi me-
mecah kesepian kamar. - Katakanlah terus te-
rang! Siapakah gadis yang engkau cintai itu?-
Sungguh, merupakan pertanyaan yang ter-
lalu berani bagi seorang gadis. Akan tetapi sejak
kecil Ika Dewi memang terpisah dari masyarakat
luas, sehingga sopan santun kurang ia ketahui.
Gadis ini tidak tahu, tabu bagi seorang gadis
mengejar laki-laki, karena hal itu hanya akan
menurunkan derajatnya atau martabatnya sendiri
sebagai seorang gadis.
Sebaliknya Mahisa Singkir tidak cepat da-
pat menjawab. Ia menjadi bingung sendiri dalam
usahanya untuk memberi jawaban.
- Lekas katakanlah. Siapa dia?- desak ga-
dis ini yang tidak sabar.
Desakan ini menyebabkan Mahisa Singkir
gugup. Jawabnya, - Ahhh..... anu..... anu.....gadis
tetanggaku sendiri.....-
- Dari desa mana?-
- Desa Koripan.....-
- Siapakah namanya?-
- Suripah.....-
- Hemm.....cantikkah.....?-
Mahisa Singkir mengangkat kepala dan
menatap gadis itu sejenak. Tetapi ketika bertatap
pandang dengan Ika Dewi, maka pemuda ini le-
kas-lekas menundukkan kepalanya lagi.
- Entahlah.....- sahutnya tanpa pikir.
- Engkau ini aneh. Mengapa mencintai pe
rempuan tidak dapat menyebut cantik atau ti-
dak?-
- Hemm.....aku tak tahu gadis itu cantik
atau tidak. Tetapi yang jelas aku suka.....-
- Sekarang katakan. Lebih cantik mana dia
dengan aku?-
Mahisa Singkir kembali terbelalak dan
memandang wajah manis Ika Dewi sejenak.
- Engkau .... jauh lebih cantik .....!- Tetapi
setelah mengucapkan jawaban ini diam-diam ia
kaget sendiri.
- Hi hi hik, terima kasih,- sahut Ika Dewi
sambil ketawa senang sekali. - Apabila demikian
jelas di dalam segala hal, aku lebih menang di-
banding gadismu itu, bukan?-
- Benar ...... –
- Dan kau akan lebih beruntung menjadi
suamiku ...... –
Mahisa Singkir menjadi kaget setengah ma-
ti ketika secara tiba-tiba Ika Dewi sudah menu-
bruk dan memeluk.
Untung sekali Mahisa Singkir dalam kea-
daan sadar sepenuhnya. Bagaimanapun ia tidak
mencintai gadis ini, sekalipun sekarang dirinya
dalam kekuasaan ayah Ika Dewi. Maka dengan
halus ia sudah melepaskan pelukan Ika Dewi
sambil mendorong halus.
- Jangan! ..... Jangan kau lakukan ..... - ce-
gahnya.
Ika Dewi menjadi kecewa dan tidak senang
oleh sikap pemuda ini. Maka gadis ini mendelik
marah, lalu bentaknya, - Huh! Engkau pemuda
tidak tahu di untung.....! Engkau berani menolak
aku? Huh! Apakah aku kurang cantik dan kurang
berharga?-
Tetapi setelah membentak, tiba-tiba saja
gadis ini terisak-isak. Agaknya hati gadis ini men-
jadi kecewa dan marah. Sebagai gadis ia sudah
mendahului dan berterus terang menyatakan cin-
ta kasihnya, tetapi pemuda tolol ini tidak juga
mau tahu!
Mahisa Singkir menjadi semakin kebingun-
gan menghadapi Ika Dewi ini. Menghadapi gadis
yang berani dan tidak tahu malu. Karena bin-
gung, pemuda ini tidak dapat menemukan jawa-
ban yang tepat. Dan akibatnya pula pemuda ini
hanya berdiam diri.
- Mahisa Singkir!- hardik gadis ini sengit
dan menjadi tidak senang. - Katakanlah. Apakah
engkau tetap menolak aku.....? –
- Aku.....aku ...... –
- Yang jelas! -
Bentakan Ika Dewi ini, yang pada mulanya
membuat Mahisa Singkir kebingungan, tiba-tiba
menyadarkan dirinya. Sekalipun dirinya sekarang
ini sebagai tawanan, tetapi dirinya tidak bisa di-
hina dan direndahkan orang. Lebih baik dirinya
mati terbunuh, daripada dirinya tidak mendapat
penghargaan sewajarnya sebagai manusia.
- Huh! Engkau jangan menghina aku!- ben-
tak Mahisa Singkir tiba-tiba, setelah menda-
patkan kesadarannya kembali.
Bentakan ini menyebabkan Ika Dewi kaget
dan terbelalak. Kemudian wajahnya merah pa-
dam.
- Huh! Mahisa Singkir. Boleh dibunuh te-
tapi tidak boleh dihina. Tahu?- hardiknya. - Pen-
deknya aku tidak mencintai kau! Huh, kau wanita
tidak tahu malu! Kau gadis rendah, dan lekaslah
enyah dari kamar ini.-
- Kau ..... kau.....! –
Sekarang giliran Ika Dewi yang gelagapan.
Wajah gadis ini sekarang pucat dan ma-
tanya terbelalak. Hingga yang bisa ia ucapkan
hanyalah seperti itu.
- Jangan cerewet! Lekas pergi atau tidak? -
hardiknya lagi.
Tiba-tiba saja Ika Dewi menangis. Bibirnya
gemetaran seperti mau mengucapkan kata-kata,
tetapi tiada ucapan yang bisa terdengar. Dan
mendadak gadis ini berdiri lalu ...plak plak!
Tanpa terduga sama sekali telapak tangan
Ika Dewi yang lumar dan halus itu sudah bersa-
rang ke pipi Mahisa Singkir. Sejenak kemudian
gadis ini menjerit lirih lalu keluar dari kamar
sambil berlarian. Dan gadis ini sampai lupa tidak
membawa keluar lentera yang tadi ia bawa.
Sebenarnya saja apabila ia mau, tidak sulit
bagi Mahisa Singkir untuk menghindari tamparan
gadis itu. Tetapi pemuda ini sengaja tidak mau
menghindar, dan pipinya ia pergunakan menang-
kis tamparan dua kali itu, hingga terasa panas.
Meskipun demikian pemuda ini tersenyum, lebih
baik ia memberikan pipinya mendapat tamparan
daripada gadis itu terus berusaha merayu dan
membujuk.
Hatinya terasa sebal dan rasa gandrungnya
(cintanya) kepada Sarwiyah menjadi semakin
mendalam. Perbedaan antara Sarwiyah dengan
Ika Dewi ibarat bumi dengan langit. Sarwiyah
adalah gadis yang halus, sebaliknya, Ika Dewi be-
randalan. Ya, hanya sebutan berandalan ini saja
yang tepat bagi gadis yang baru saja meninggal-
kan kamarnya itu. Sebab jika bukan gadis beran-
dalan, manakah sanggup mengucapkan cinta,
mendahului pihak pria? Sebab bagi gadis timur
yang tahu sopan santun, bagaimanapun akan
menahan diri untuk tidak mendahului pihak pria.
Setelah Ika Dewi meninggalkan kamar ta-
hanannya, Mahisa Singkir hanya menghela napas
saja dan masih tetap duduk di pembaringan.
Mahisa Singkir menghela napas pendek.
Sebenarnya, sesuai dengan wataknya yang jujur
dan sederhana, ia merasa kasihan juga kepada
Ika Dewi yang terpaksa harus ia tolak mentah-
mentah pernyataan cintanya. Sebagai seorang
pemuda, sebenarnya ia mengakui baik wajah
maupun bentuk tubuh, Ika Dewi lebih menonjol
dibanding dengan Sarwiyah. Maka kalau saja ha-
tinya belum terisi oleh Sarwiyah, mungkin dirinya
bisa membalas cinta gadis itu. Tetapi karena da-
lam hatinya sudah terisi oleh Sarwiyah, maka ia
memutuskan akan tetap setia kepada cintanya
yang pertama. Apapun dan bagaimanapun yang
akan terjadi, hanya Sarwiyah saja yang pantas
menjadi kekasih dan isterinya.
- Ahhhh .... tetapi dia calon isteri Wariga-
gung Apakah dengan perbuatanku ini tidak berar-
ti aku merebut calon isteri lain orang ? Lalu, apa-
kah yang akan terjadi kalau Warigagung sampai
marah?-
Terpikir demikian, mau tak mau pemuda
ini menghela napas dan agak khawatir pula. Apa-
kah tidak memalukan apabila dirinya harus ber-
kelahi dengan Warigagung hanya karena persoa-
lan wanita saja?
- Ahhh .....tidak boleh!- bentaknya sendiri.
- Ini tidak benar! Sarwiyah harus tetap
menjadi isteri Warigagung!-
- Akan tetapi aku.....lalu bagaimana?- bisik
hatinya. - Apakah aku harus menderita akibat
gagal mencintai wanita?-
Mahisa Singkir menghela napas dalam lagi.
Ketika itu seorang penjaga kamar tahanan
masuk untuk mengambil lentera yang tadi dibawa
Ika Dewi. Sambil memegang lentera itu, penjaga
mendelik dan menghardik.
- Huh! Kau berani menghina puteri junjun-
ganku? Kau akan celaka apabila penghinaanmu
ini sampai dia laporkan kepada Gusti Mpu Ga-
luh.-
Mahisa Singkir mengangkat kepalanya,
memandang orang itu sejenak. Tetapi kemudian
ia menundukkan kepalanya lagi dan bersikap
acuh tak acuh. Sebab tidak ada gunanya ia menjawab maupun berbantahan dengan penjaga itu.
Kalau toh Mpu Galuh marah, ia takkan dapat
berbuat apa-apa. Sebab seluruh nasibnya seka-
rang ini telah ia serahkan bulat-bulat kepada De-
wata Yang Agung.
Kalau saja ia mau, menyerang dan mero-
bohkan penjaga yang masuk kamarnya ini tidak-
lah sulit.
Kemudian menggunakan kamar yang ter-
buka ia dapat meloloskan diri.
Tetapi untuk apa lolos, jika Sarwiyah tetap
menjadi tawanan di tempat ini? Tidak urung di-
rinya akan menderita dan penuh penyesalan apa-
bila gadis itu sampai celaka dalam tahanan ini.
Bagaimanapun ia merasa bertanggung jawab. Ka-
rena Sarwiyah tertawan di tempat ini tidak lain
sedang melakukan perjalanan bersama dengan
dirinya. Jika dirinya membiarkan Sarwiyah men-
derita, apakah yang ia lakukan ini bukan perbua-
tan pengecut? Betapa rasa sesal gadis itu, apabila
tahu adik seperguruannya dapat lolos tanpa mau
memberi pertolongan.
Mahisa Singkir kembali menghela napas
panjang. Kemudian ia teringat, lembah ini meru-
pakan lembah terasing dan hanya bisa keluar dan
masuk lewat jalan rahasia. Manakah mungkin di-
rinya bisa lolos dengan selamat dari tempat ini?
Guna menentramkan hatinya, ia kemudian
kembali samadi di pembaringan untuk mene-
ruskan melatih hawa sakti. Tetapi walaupun ia te-
lah berusaha menenteramkan hati, ia gagal. Hatinya tidak enak dan tidak tenteram, karena tim-
bul kekhawatiran dalam hatinya, Sarwiyah yang
ditahan di kamar lain itu, malam ini mendapat
kunjungan Rakit Cendana dan berusaha membu-
juk.
Apabila yang perempuan saja, Ika Dewi ti-
dak mengenal tata santun, manakah mungkin
pemuda itu mengenal sopan santun?
4
Dugaan Mahisa Singkir memang tidak keli-
ru.
Sebab tidak bedanya dengan Ika Dewi, ma-
ka Rakit Cendana juga telah membuka kamar
Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Selama dua hari
setelah Sarwiyah berhasil tertawan, pemuda ini
menjadi tidak bisa tidur. Sebab wajah ayu Sar-
wiyah selalu menggoda dan terbayang dalam be-
naknya, menyebabkan pemuda ini amat rindu
dan ingin menjumpainya.
Ia merasa tidak kuasa lagi menahan hati.
Ia ingin bertemu, ingin bercakap, ingin merayu
dan ingin pula memeluk gadis itu.
Akan tetapi ketika Rakit Cendana membu-
ka pintu kamar, pemuda ini menjadi kaget, meli-
hat Sarwiyah rambutnya awut-awutan, wajahnya
pucat dan kurus.
Mula-mula pemuda ini keheranan, kenapa
hanya dalam waktu dua hari saja, sudah terjadi
perubahan atas diri gadis ini? Namun setelah
berbisik dan bertanya kepada penjaga, pemuda
ini menjadi tahu sebabnya. Perubahan ini terjadi
tidak lain karena selama dua hari, gadis ini mo-
gok makan.
Gerakan Rakit Cendana yang masuk dalam
kamar ini memang perlahan dan berhati-hati se-
kali. Menyebabkan Sarwiyah yang ketika itu se-
dang duduk di pembaringan dan memejamkan
mata kurang perhatian, karena memang tidak
pernah menduga malam ini Rakit Cendana akan
datang berkunjung. Tahu-tahu si pemuda sudah
masuk ke dalam kamar, dan menyebabkan gadis
ini kaget dan terbelalak.
- Kau ..... kau.....!- hanya itu sajalah yang
keluar dari mulut Sarwiyah.
- Ya, aku! Adik yang manis. malam ini aku
berkunjung kepadamu,- sahut Rakit Cendana
sambil bersenyum, dalam usahanya untuk memi-
kat perhatian.
- Kau.....kau.....apakah maksudmu? –
Sarwiyah cepat melompat turun dari pem-
baringan ketika melihat Rakit Cendana meng-
hampiri.
Memang sekarang ini wajah Sarwiyah tam-
pak pucat pasi. Pakaiannya tidak terurus, justru
selama dua hari Sarwiyah tidak sempat mengurus
diri dan terus saja menangis. Oleh karena itu, se-
pasang matanya merah dan agak bengkak.
Hanya dalam waktu dua hari saja, keadaan
gadis ini sudah jauh berbeda. Dari seorang gadis
yang cantik dan menarik, tubuhnya padat berisi
sekarang menjadi kurus. Akan tetapi sekalipun
demikian, dalam pandangan Rakit Cendana gadis
ini tetap cantik dan menarik. Amat memikat dis-
amping mempesona. Justru selama dua hari ini
wajah Sarwiyah selalu terbayang dan menggoda
benaknya dan menyebabkan pemuda ini tidak
dapat tidur.
- Sarwiyah, Adikku yang cantik......-
- Aku bukan adikmu!- bentak Sarwiyah
sengit, tanpa memberi waktu kepada Rakit Cen-
dana selesai mengucapkan kata-katanya.
- Heh heh heh heh,- Rakit Cendana tertawa
terkekeh. Kemudian katanya, - Ya, aku keliru!
Engkau bukan adikku, tetapi adalah calon isteri-
ku.....-
- Jangan sembarangan membuka mulut! -
Saking marahnya Sarwiyah membentak nyaring,
sepasang matanya menyala dan dua belah tan-
gannya bertolak pinggang.
- Eh.....ehh..... apakah sebabnya engkau
menjadi marah, Manisku?-
- Sudahlah lekas enyah dari kamar ini. Aku
tidak sudi bicara dengan engkau !-
Sesungguhnya tidak biasa bagi Sarwiyah
menjadi pemarah seperti ini. Karena ia adalah
seorang gadis yang sabar, perasaannya halus dan
tidak mudah marah.
Perubahan dalam waktu singkat yang ter-
jadi atas diri gadis ini, tak lain adalah karena ga-
dis ini menjadi sedih berbareng penasaran, karena telah ditawan dalam kamar yang sempit ini.
Disamping itu ia telah mendengar pula, pemuda
ini menginginkan dirinya untuk dipaksa menjadi
isteri.
Akan tetapi Rakit Cendana seperti tidak
mendengar apa yang sudah diucapkan oleh Sar-
wiyah. Pemuda ini sudah duduk di pembaringan
batu. Namun demikian perhatiannya tidak pernah
lepas kepada Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Wa-
jah gadis ini pucat dan tubuhnya agak kurus.
Namun demikian tidak mengurangi kecantikan
dan rasa terpikatnya.
Sebaliknya Sarwiyah berdiri dengan berto-
lak pinggang, sepasang matanya yang merah itu
bertambah merah lagi seperti mengeluarkan api.
- Hemmm ..... engkau tak segera enyah dari
tempat ini?-
- Sarwiyah, kenapa engkau aku kunjungi
malah marah-marah seperti ini? Aku.....-
- Cerewet!- potong Sarwiyah tanpa me-
nunggu selesainya ucapan Rakit Cendana. - Aku
tidak butuh kunjunganmu. Huh, aku tahu di ba-
lik kunjungan mu ini, di balik sikapmu yang ha-
lus, engkau bermaksud kurang baik. Lagi pula
apakah kesalahanku harus kau lawan di kamar
yang sempit dan jorok ini? -
- Sabarlah dahulu, dan berilah kesempatan
aku bicara. Sarwiyah, aku akan menerangkan
supaya kau tidak salah mengerti. Begini.....-
Lagi-lagi Sarwiyah yang penasaran ini me-
motong ucapan Rakit Cendana yang belum selesai, - Huh! Aku sudah tahu! Sudah, tidak perlu
kau banyak mulut!-
Karena ucapannya selalu dipotong Sar-
wiyah sebelum selesai, maka Rakit Cendana yang
biasa dihormati dan dimanja ini, menjadi dongkol
dan marah. Di tempat ini, dirinya merupakan
anak "raja". Dirinya merupakan orang kedua sete-
lah ayahnya. Oleh karena itu biasanya orang
akan selalu tunduk, selalu patuh dan tidak berani
membantah, lebih-lebih memotong kata-katanya
yang belum selesai seperti ini, dan malah mem-
bentak. Mengapa sekarang ia tidak mendapat
penghormatan di depan "tawanannya" ini? Padah-
al ibaratnya sekarang ini ia bisa menghitam pu-
tihkan Sarwiyah. Dirinya dapat berbuat apa saja,
bisa menyiksa maupun membunuh.
Teringat kedudukannya sebagai orang yang
selalu dihormati itu, mata pemuda ini tiba-tiba
mendelik. Mulutnya hampir saja menyemprot dan
mencaci maki tawanannya ini.
Akan tetapi sebelum membuka mulut un-
tuk menyemprot, tiba-tiba ia ingat kepada kepen-
tingannya terhadap gadis ini. Kalau dirinya dapat
membujuk dan merayu, mengapa tidak melaku-
kannya, agar gadis ini mau tunduk secara halus?!
Teringat hal ini ia kemudian menekan perasaan-
nya dan menyabarkan diri.
- Sarwiyah, hemm, kenapa engkau menjadi
begini dan juga tidak mau mengerti?- katanya ha-
lus. - Baik aku maupun Ayah tidak bermaksud
menyulitkan kau. Sebab tujuan Ayah maupun
aku adalah sebaliknya, dengan maksud akan
membahagiakan kau. Sarwiyah, hem ..... engkau
harus mau tahu bahwa di daerah ini Ayahlah
yang berkuasa tidak bedanya seorang raja. Jika
kau bersedia mendengar apa yang aku katakan
ini, percayalah kau akan hidup bahagia dan seka-
lian penduduk daerah ini akan menghormati. -
Karena Sarwiyah tidak memotong kata-
katanya, maka Rakit Cendana gembira. Setelah
menatap sejenak, terusnya, - Sarwiyah, dengar-
lah! Hanya kau seorang sajalah wanita di dunia
ini yang kucintai dan kukasihi. Maka ketika meli-
hat engkau, aku sudah tak dapat melupakan lagi
dan jatuh cinta. Ohhhh..... Sarwiyah, dunia ini
akan menjadi sepi tanpa engkau berada di sam-
pingku. Hidupku ini akan menjadi tidak berarti,
dan aku akan selalu dalam kegelapan tanpa kerl-
ing mata dan senyum bibirmu. Oleh sebab itu,
Adikku yang cantik, dengarlah jerit hatiku dan
dengar pula detak jantungku yang selalu mengha-
rapkan.....-
- Sudah! Tutup mulutmu!- bentak Sar-
wiyah tiba-tiba memotong ucapan Rakit Cendana
yang sesungguhnya masih banyak lagi. - Aku
muak..... tahu? Muak melihat tampangmu dan ti-
dak sudi mendengar bujuk rayumu yang beracun.
Hayo, kau lekas enyah dari kamar ini apa tidak?
Huh, tidak tahu malu!-
Wajah Rakit Cendana merah padam men-
dapat bentakan seperti itu dan sekaligus merasa
terhina. Rasa penasaran dan mendongkol yang
semula dapat ia tekan itu, tiba-tiba memberontak
dan meledak. Kalau tadi apa yang ia ucapkan na-
danya halus, sekarang menjadi berubah kasar la-
gi.
- Huh! Apa katamu? Engkau berani meng-
hina aku? Huh, sundal busuk! Sundal keparat!
Apakah kau tidak menyadari sudah dalam kekua-
saanku dan aku bisa berbuat apa saja terhadap
kau?-
Pemuda ini menatap Sarwiyah dengan se-
pasang mata menyala. Tetapi Sarwiyah tidak
menjadi gentar maupun takut. Ia masih tetap ber-
tolak pinggang, sedang mata gadis itupun mena-
tap tajam seperti mengeluarkan api. Tantangnya
kemudian.
- Huh! Siapa takut akan ancamanmu? Aku
tahu baik engkau maupun ayahmu adalah manu-
sia busuk !-
- Bedebah! Setan alas! Engkau jangan bica-
ra sembarangan!- teriak Rakit Cendana yang ti-
dak kuasa lagi menahan ledakan kemarahannya.
- Siapa yang dapat melarang aku membuka
mulut? Hayo, mau bunuh silakan bunuh! Apakah
sangkamu aku takut mati?-
Tiba-tiba saja Rakit Cendana ketawa terke-
keh, - Heh heh heh heh, terlalu enak bagimu jika
kubunuh begitu saja!-
Mata gadis ini terbelalak sejenak menden-
gar ancaman itu. Bagi orang-orang seperti pemu-
da ini, ayahnya maupun para pembantunya, Sar-
wiyah sadar dan bisa menduga, akan sanggup
melakukan perbuatan di luar batas kemanusiaan.
Karena itu ia cukup maklum akan arti
ucapan Rakit Cendana tadi, ucapan yang bisa ia
artikan sebagai ancaman yang mengerikan. Ia sa-
dar pemuda ini akan sampai hati untuk menyiksa
orang.
Tetapi walaupun sadar dirinya sekarang ini
sulit bisa lolos maupun menyelamatkan diri, ia ti-
dak mau mundur dan menyerah. Ia malu apabila
orang menganggap takut ancaman. Maka katanya
dingin.
- Hemm.....siapa takut ancamanmu? Aku
tidak takut mati. Huh, makanlah ini!-
Tanpa memberi kesempatan lagi, Sarwiyah
sudah menerjang ke depan dan melancarkan pu-
kulan dan tendangan kakinya.
Dengan gesit Rakit Cendana melompat ke
samping menghindarkan diri. Kalau saja menu-
rutkan amarahnya, inginlah ia mencabut guna
membalas serangan tawanannya ini. Akan tetapi
sayang sekali, hatinya yang sudah tergila-gila ke-
pada gadis ini mencegah, sedapat-dapatnya harus
menahan diri dan menahan tangannya dan jan-
gan sampai mencelakai gadis ini.
Plak.....! sambaran pukulan Sarwiyah ia
tangkis dengan tangan kiri, sedang tangan kanan
secepat kilat sudah berusaha mencengkeram
pundak guna menangkap. Tetapi sayang sekali
dengan gesit, Sarwiyah sudah menghindarkan di-
ri.
Rakit Cendana kaget dan terhuyung oleh
cengkeramannya yang luput, sedangkan lengan
kirinya tergetar hebat.
Ternyata sekalipun hanya perempuan,
Sarwiyah bukan perempuan lemah, malah tan-
gannya cukup kuat. Untuk menjaga segala ke-
mungkinan yang bisa terjadi, dengan wajah me-
rah padam pemuda ini sudah siap siaga dengan
kuda-kuda kokoh.
Apabila diam-diam Rakit Cendana menjadi
kaget, maka Sarwiyah menjadi lebih kaget lagi.
Belum juga lama bergerak, tiba-tiba saja tubuh-
nya terasa lemas dan tenaganya seperti habis.
Merasakan perubahan tubuhnya ini, baru-
lah gadis ini ingat selama dua hari perutnya ko-
song tidak terisi oleh makanan. Maka diam-diam
timbullah rasa sesal dalam hatinya, mengapa se-
lama dua hari dirinya hanya menurutkan hati
mendongkol dan penasaran dan menyebabkan di-
rinya mogok makan. Kalau saja dalam dua hari ia
tidak mogok makan, tentu tenaganya tidak seperti
sekarang ini.
Dan celakanya lagi, disamping tubuhnya
sekarang terasa lemas, perutnya pun tiba-tiba
melilit-lilit minta isi. Apabila dirinya memaksa, ti-
dak urung dirinya sendiri akan roboh kehabisan
tenaga. Apabila sampai terjadi demikian akan ce-
lakalah dirinya dalam kekuasaan pemuda yang
sudah marah dan pada dasarnya berwatak jahat
itu.
Sadar akan keadaan, Sarwiyah tidak segera
menerjang lagi melanjutkan serangannya. Sedang
Rakit Cendana sendiri juga tidak bergerak, masih
menunggu serangan gadis itu.
Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri
saling pandang dalam keadaan siaga penuh.
Agaknya pemuda ini merasa ragu untuk membu-
ka serangannya membalas terjangan Sarwiyah
Setiap orang yang berhadapan dengan ba-
haya tentu akan menggunakan akal dan kepan-
daiannya guna mencari daya. Demikian pula Sar-
wiyah sekarang ini sambil berdiri memutar otak-
nya guna mencari daya guna menyelamatkan diri.
Sebenarnya apabila sama-sama dalam
keadaan segar dan sehat, bagaimanapun ilmu ke-
saktian Sarwiyah masih di atas Rakit Cendana.
Mana tidak mungkin pemuda ini sanggup mena-
han amukan gadis ini? Namun sekarang Sarwiyah
dalam keadaan perut kosong, tubuhnya lemas.
Keadaan menjadi berbalik. Apabila diteruskan,
tentu gadis ini sendiri yang akan kalah.
- Rakit Cendana. Apakah kau akan meng-
gunakan kekerasan dan kesewenangan terhadap
diriku?- tanya gadis ini setelah beberapa saat la-
manya menatap pemuda itu.
Rakit Cendana tersenyum mendengar nada
suara Sarwiyah sudah berubah, tidak seperti tadi.
Ia cepat bisa menduga terjadinya perubahan pada
gadis ini. Bagi dirinya, dalam usaha menunduk-
kan gadis ini memang tidak menginginkan lewat
kekerasan, karena sadar jalan itu tidak baik.
Hanya kalau Sarwiyah tetap membandel, apa bo-
leh buat! Kekerasan akan ia lakukan juga, guna
mencegah maksudnya sampai gagal memperistri
gadis ini.
- Adikku Sarwiyah yang ayu, apakah yang
engkau kehendaki?- tanya Rakit Cendana dengan
wajah yang dibuat semanis mungkin.
- Jawablah sejujurnya. Engkau benar-
benar mencintai diriku ini, ataukah hanya terdo-
rong oleh nafsu kebinatanganmu?-
- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-
kau masih belum mau percaya, Adikku manis?
Sungguh mati, hanya Kau seorang sajalah yang
pantas menjadi isteriku. Adikku, hanya kau seo-
rang sajalah yang dapat mengisi hidupku ini.
Tanpa kau, hidupku selanjutnya takkan ada ar-
tinya lagi. Hemm, apa yang kuucapkan ini meru-
pakan pencerminan hatiku yang tulus, Sarwiyah.-
Diam-diam Rakit Cendana gembira sekali,
lalu kakinya sudah bergeser maju untuk mende-
kati gadis itu. Sekalipun gadis ini sekarang awut-
awutan dan wajahnya pucat, namun pengaruh
rasa gandrungnya kepada gadis ini menyebabkan
dalam pandang matanya semakin menarik dan
menggiurkan. Ia merasa tidak kuat lagi menahan
hati, dan sekarang juga ia ingin dapat memeluk
dan menciumi bibir indah itu.
- Berhenti!- bentak Sarwiyah tiba-tiba.
Dan sungguh aneh, pemuda yang biasanya
selalu minta perhatian dan manja itu, secara tiba-
tiba menghentikan langkahnya.
- Hemm..... tak gampang kau mencintai di-
riku - Sarwiyah berkata tandas. - Dan tidak gampang pula aku percaya ucapanmu, sebelum aku
mendapat pembuktian.-
- Engkau ingin bukti? Apakah kau ingin
kubuktikan sekarang juga?- sahut pemuda itu.
Dan sesudah berkata ia melangkah maju sambil
mengembangkan dua tangannya.
- Ehhh.....tunggu! Berhenti di situ!-
Sarwiyah menjadi kaget sekali maka seda-
pat bisa ia mencegah sambil mundur. - Bukan itu
yang aku maksudkan. Tetapi jika benar kau men-
cintai diriku, kau harus berani bersumpah.-
- Sumpah? Sumpah yang bagaimana?-
- Sumpah ya sumpah. Nanti akulah yang
akan menuntun kau mengucapkan kata-kata
sumpah yang harus kau ucapkan.-
- Bagaimana bunyi sumpah itu?-
- Bagaimana bunyi sumpah itu?-
- Sudahlah, pendeknya kau bersedia ber-
sumpah ataukah tidak? Jika kau tidak mau ber-
sumpah dan menuruti apa yang aku inginkan,
hemm, jangan harap kau dapat memiliki aku da-
lam keadaan masih hidup. Sebab bagiku, jika
engkau tidak mau menurut, lebih baik aku mati
daripada harus melayani kau sebagai suami. Ka-
renanya tanya kau lain di mulut dan lain di hati.-
Untuk beberapa jenak lamanya Rakit Cen-
dana tidak membuka mulut dan menjawab. Se-
bab ia harus berpikir lebih dahulu sebelum men-
jawab, karena ia khawatir sampai tertipu.
Ia justru seorang licik. Karena itu ia men-
dengus dingin, ujarnya, - Huh, engkau jangan
mencoba menipu aku.-
- Siapakah yang akan menipu kau? Huh,
aku menginginkan agar kau bersumpah, bukan
menipu! Tetapi ..... sudahlah! Tak mau bersum-
pah, silakan! Hanya saja kau jangan mengha-
rapkan lagi dapat memiliki diriku dan masih da-
lam keadaan hidup!-
Sarwiyah kemudian membalikkan tubuh.
Namun diam-diam selalu siap siaga menghadapi
serangan Rakit Cendana yang tidak terduga.
Melihat Sarwiyah menjadi ngambek, Rakit
Cendana menjadi khawatir. Ia sudah terlanjur ja-
tuh hati kepada gadis ini, Apakah salahnya untuk
memikat perhatian Sarwiyah dengan cara menga-
lah sedikit?
- Baiklah! Aku setuju dengan syaratmu,-
akhirnya pemuda ini menyetujui, kemudian me-
langkah maju guna mendekati gadis ini.
Sarwiyah melompat ke samping, hardiknya,
- Rakit Cendana! Jika engkau benar-benar men-
cintai diriku, kau harus tunduk kepadaku. Berdiri
di situ dan jangan mendekati sebelum kau men-
gucapkan sumpahmu! –
Rakit Cendana meringis dan terpaksa men-
galah. - Baiklah, lekas katakanlah sumpah itu
dan akan ku tirukan.-
- Tetapi kau benar bersedia?-
- Lekas katakanlah!-
- Aku bersumpah, demi Dewata Yang
Agung, yang menguasai bumi dan langit ini.....-
Dan seperti beo belajar bicara, Rakit Cen
dana menirukan.
- Aku bersumpah, demi Dewata Yang
Agung, yang menguasai bumi dan langit.....-
- Demi cinta kasihku kepada seorang gadis
bernama Sarwiyah, maka sebagai pembuktian
cinta itu, aku harus selalu mendengar dan mema-
tuhi apa yang dikatakan oleh gadis itu.....-
- Ehhhh.....mengapa begitu?- Rakit Cenda-
na tidak segera menirukan tetapi membantah. -
Aku tidak sudi menirukan kata-katamu sebagai
sumpah, apabila kau akan menjerumuskan diriku
kepada kesulitan. Bukankah dengan selalu men-
dengar dan mematuhi apa yang kau katakan,
engkau dapat menyalahgunakan sumpah itu?-
Sarwiyah mendelik tidak senang. Hardik-
nya, - Huh! Sangkamu aku ini orang macam apa
hingga engkau berani menduga seperti itu? Huh!
Aku tidak akan memaksa kau. Dan kau tidak
mau bersumpah, itu adalah hakmu dan aku tidak
dapat memaksa. Tetapi sekarang cepatlah kau
meninggalkan kamar ini!-
- Ohhhh.....ehhh.....mengapa kau menjadi
begitu dan cepat marah?-
- Hemm, siapakah yang tidak menjadi ma-
rah jika kau mencurigai aku yang tidak-tidak?
Huh! Jika kau tidak mau, akupun tidak akan
memaksa.-
- Tetapi bagaimanakah jika kau menyalah-
gunakan sumpah itu, apakah tebusanmu?-
- Hemm, dengarkan baik-baik. Apabila aku
sampai menyalahgunakan sumpah ini, mudah
mudahan Dewata Yang Agung akan menghukum
dan mengutuk diriku. Dan setelah aku mati, akan
menjadi setan gentayangan. Nah, bukankah sum-
pahku ini juga berat? Sebaliknya sumpah ini pun
akan berlaku pula bagi kau. Apabila kau berani
melanggar sumpahmu, kau akan mendapat kutu-
kan Dewata Yang Agung, dan setelah kau mati
akan menjadi setan gentayangan. –
- Baik, baik! Aku setuju sekarang!- sahut
Rakit Cendana dengan wajah berseri dan bibir
bersenyum. Kemudian ia sedia menirukan apa
yang tadi sudah diucapkan oleh Sarwiyah
Dan Sarwiyah menjadi gembira sekali
mendengar sumpah pemuda ini. Lalu berlindung
kepada sumpah yang telah diucapkan Rakit Cen-
dana sendiri, sekarang dirinya akan dapat men-
gusir Rakit Cendana dari kamar ini secara halus.
- Terima kasih Rakit Cendana, ternyata
kau memang pemuda baik.-
- Tentu saja,- katanya bangga. - Aku me-
mang pemuda baik. Maka engkau akan menjadi
isteriku dan kita akan hidup bahagia.-
Sambil berkata pemuda ini yang gembira,
segera melangkah maju, ingin sekali bisa meme-
luk dan menciumi pipi dan bibir merekah gadis
itu.
Sarwiyah cepat memperingatkan, - Demi
sumpahmu, kau jangan maju mendekati aku.-
Rakit Cendana terbelalak, tetapi kakinya
berhenti melangkah juga, karena takut kepada
sumpah yang sudah ia ucapkan. Sudah tentu ia
tidak ingin setelah mati dirinya menjadi setan
gentayangan.
Dan Sarwiyah mulai menggunakan penga-
ruh sumpah itu. Namun sesuai dengan watak dan
tabiatnya yang halus, dalam mengucapkan kata-
katanya inipun, nadanya halus dan enak terden-
gar.
- Kakang Rakit Cendana!- gadis ini sengaja
sudah menggunakan "Kakang". Hal ini dengan
maksud agar pemuda ini tidak menjadi curiga
dan ia dapat menyelamatkan diri dari tindak ke-
kerasan.
Dan ternyata pancingannya ini berhasil
baik sekali karena pemuda ini menjadi senang
sekali, lalu terkekeh gembira.
- Kakang Rakit Cendana, karena engkau
ternyata seorang pria yang baik dan suka menu-
ruti apa yang aku inginkan, maka terus terang
aku katakan pada dirimu, bahwa sebenarnya
akupun .....cinta kepada dirimu.....-
Dalam mengucapkan "cinta" ini, sesung-
guhnya bibir Sarwiyah hampir mogok tidak mau
bergerak. Tetapi demi keselamatan dan dalam
usaha menghindarkan diri dari kekerasan, ter-
paksa ia menghibur diri.
- Aduh biyung..... aduh biyung.....heh heh
heh heh, terima kasih ..... Adikku yang manis ......
–
Saking hatinya gembira, pemuda ini ber-
jingkrakan lalu bermaksud menubruk Sarwiyah.
- Ihhh! Dengar dulu!- Sarwiyah cepat men
cegah sambil menghindar,
- Kenapa? Bukankah kau mencintai aku
juga? Heh heh heh heh.....- ujarnya.
- Benar. Tetapi dengar dulu!-
- Marilah Sarwiyah, kita buktikan cinta ka-
sih kita bersama. Aku akan memeluk kau dan
aku akan memberi hadiah ciuman mesra.....-
Wajah Sarwiyah menjadi merah mendengar
ucapan Rakit Cendana ini. Akan tetapi ia cukup
sadar apabila dirinya sampai lupa dan bersikap
kasar sedikit saja, pemuda ini akan curiga, se-
hingga usahanya yang sudah hampir berhasil bi-
sa gagal total.
- Ingatlah Kakang Rakit Cendana, engkau
harus menurut dan mau mendengar peringatan-
ku,- ia memperingatkan tetapi ucapannya halus. -
Kakang, kau harus mau mengerti takkan lari gu-
nung dikejar. Secara terus terang tadi sudah aku
katakan, akupun mencintaimu sepenuh hatiku.
Lambat atau cepat, aku dan kau akan menjadi
suami isteri! Tetapi apakah sebabnya kau menjadi
kurang sabar? Cinta yang suci tidak boleh terko-
tori oleh dorongan nafsu yang merusak. Apakah
engkau bisa mengerti, Kakang?-
Walaupun sebenarnya Rakit Cendana me-
rasa kecewa, ia terpaksa mengangguk setuju. Se-
bab ia sudah kalah janji, seperti sumpah yang
sudah ia ucapkan sendiri.
- Nah, memang tidak salah dugaanku eng-
kau memang pemuda baik hati dan baik budi.
Engkau memang pemuda yang pantas menjadi pi
lihan setiap wanita, karena ternyata kau pandai
memegang sumpahmu sendiri. Sekarang dengar-
lah kataku, dan kata-kataku ini tidak boleh kau
bantah maupun kau langgar. Jika kau sampai be-
rani melanggar, engkau bakal dikutuk oleh Dewa-
ta Yang Agung dan kau akan menjadi setan gen-
tayangan –
- Ya.....ya.....aku tak ingin jadi setan gen-
tayangan.- Rakit Cendana menjawab sambil
menghela napas pendek.
- Bagus!- puji Sarwiyah untuk menggembi-
rakan pemuda ini. - Sungguh gembira hatiku,
Kakang, kau mau mengerti. Sekarang aku minta
kepada kau agar mau bersabar, menunggu sete-
lah tiba saatnya kita kawin. Katakanlah kepada
ayahmu, aku setuju kawin dengan kau, sebulan
lagi. -
- Ihhh! Apakah sebabnya begitu lama? Se-
baiknya esok hari saja perkawinan itu kita laku-
kan.-
- Sebulan lagi, Kakang. Dengar kataku, se-
bulan lagi! Apakah engkau akan melanggar sum-
pahmu sendiri, dengan membantah kehendak-
ku?-
- Ahhh, tetapi sebulan itu terlalu lama,
Adikku,- ratapnya. - Kalau begitu, sebaiknya satu
minggu lagi saja.-
- Aku bilang satu bulan, tidak bisa kurang.
–
- Setengah bulan saja ah.....setuju kan, se-
tengah bulan? Adikku yang manis, aku minta setengah bulan lagi.-
Rakit Cendana masih berusaha membujuk
dan setengah meratap.
- Tidak! Harus satu bulan lagi!- Sarwiyah
kokoh pada pendiriannya.
- Ahhh, kenapa kau ini? Adikku, apakah
kau belum pernah pergi dan berbelanja ke pasar?
Di pasar banyak kali terjadi tawar-menawar. Satu
pihak menurunkan harga yang diminta semula
sedang pihak lain menaikkan tawarannya. Ehh,
Sarwiyah, dari satu hari, kemudian satu minggu
dan sekarang naik setengah bulan, teta-
pi.....kenapa kau tidak juga mau turun? Aku min-
ta belas kasihanmu, Adikku, hendaknya kau mau
mengurangi lagi, jangan sebulan ...... –
Geli tetapi juga mendongkol hati gadis ini
mendengar ucapan Rakit Cendana ini. Kenapa da-
lam persoalan ini Rakit Cendana menggunakan
contoh orang yang jual beli di pasar? Akan tetapi
ia juga bukan orang tolol. Ia tahu pasti, apabila
dirinya tetap pada pendirian salah-salah bisa me-
nimbulkan kecurigaan. Untuk ini sekalipun tera-
sa berat, akhirnya ia mengurangi juga.
- Baiklah! Sekarang aku kurangi satu hari.!
Jadi, duapuluh sembilan hari lagi.-
- Ahhh, kenapa kau pelit? Jangan hanya
sehari ahh, aku minta kurangilah sepuluh hari.
Jadi, kita kawin dua puluh hari lagi? –
- Hemm, pendeknya kau mau menurut aku
apa tidak? Dalam hal perkawinan, pihak pria ha-
rus mau menuruti kemauan pihak wanita. Sekarang inipun demikian pula, kau harus mau mene-
rima. Dan apabila kau tidak mau menerima, apa-
kah engkau akan melanggar sumpahmu sendiri?
Bukankah waktu yang hanya sebulan kurang se-
hari Itu tidak lama?-
Rakit Cendana tidak cepat membuka mu-
lut. Pemuda ini menundukkan kepala beberapa
saat lamanya. Dan ketika mengangkat kepalanya
ia menghela napas panjang.
- Bagaimana?-
Rakit Cendana tergagap. Kemudian ia
mengangguk sambil menjawab, - Hemm, baiklah!
Aku terpaksa setuju permintaanmu. Tetapi..... –
- Tetapi apa .....?-
- Jika aku menuruti apa yang kau katakan,
maka sekarang akupun minta agar kau sudi me-
nuruti apa yang kuminta.-
- Tidak mungkin! Kau harus ingat, kau te-
rikat sumpah, sebaliknya aku tidak!-
- Tetapi aku mohon.....Sarwiyah, aku mo-
hon -
Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri ber-
lutut di depan Sarwiyah. Lalu dengan sepasang
matanya yang tak berkedip, ia meneruskan, - Aku
mohon, untuk mengobati kerinduanku padamu,
izinkanlah aku memeluk dan menciummu.-
- Ihhhh.....! -
Kaget juga gadis ini mendengar permintaan
itu. Sebagai seorang gadis yang masih suci murni,
ia menjadi malu dan pipinya berubah kemerahan.
Namun Sarwiyah takkan sedia menuruti
permintaan ini. Permintaan duapuluh sembilan
hari lagi bukan lain dalam usahanya mengulur
waktu dan bukannya mencintai pemuda ini. Da-
lam hati ia berharap agar dalam waktu yang cu-
kup panjang itu datanglah pertolongan hingga
dapat membebaskan dirinya dari tempat yang ti-
dak menyenangkan ini.
Dan sesungguhnya saja mendengar per-
mintaan Rakit Cendana ini, Sarwiyah menjadi
marah dan ingin sekali menampar mulut lancang
ini. Namun perasaannya ini ia tekan, kemudian
katanya halus.
- Kakang, kenapa engkau menjadi tidak
sabaran seperti ini? Engkau adalah pemuda tam-
pan, pemuda berbudi dan hanya kau seorang saja
yang aku cintai. Apakah kau ingin membuat hati-
ku menjadi kecewa?-
- Ahhh ..... ahhh .....sudahlah, jika kau ti-
dak mau, tidaklah mengapa .....- jawab pemuda
ini gugup, khawatir jika gadis pujaan kati ini
menjadi kurang senang hatinya. - Ya, duapuluh
sembilan hari lagi. Tetapi.....setelah kita kawin,
tentunya kau tidak menolak lagi, bukan?-
- Hemm, sudahlah! Kita telah cukup! Seka-
rang kau harus meninggalkan kamar ini agar aku
dapat mengaso.-
- Tetapi..... tetapi aku akan minta kepada
Ayah, agar kau mau pindah kamar. Kau harus
aku tempatkan di kamar yang sepadan sebagai
calon pengantin wanita yang terhormat.-
- Sudahlah, hal itu tak perlu lagi kau pikir
kan. Aku sudah kerasan di dalam kamar ini, ka-
rena memang lebih cocok. Yang penting sekarang
keluarlah dari kamar ini, aku sudah mengantuk
dan ingin tidur.-
- Jika kau memang mengantuk, silakan ti-
dur. Aku akan menjagamu agar tidak ada lalat
maupun nyamuk yang mengganggu dirimu.-
- Hush! Sekalipun tidak kau jaga, nyamuk
dan lalat tidak dapat masuk ke dalam kamar ini.
Sudahlah, sekarang kau harus pergi. –
Rakit Cendana masih berusaha mencari
alasan lagi, supaya dapat lebih lama dalam kamar
ini. Bujuknya, - Aku sudah menurut dan menye-
tujui waktu duapuluh sembilan hari seperti yang
kau minta. Tetapi kenapa kau demikian pelit dan
tidak bersedia memberi kesempatan kepada diri-
ku untuk lebih lama dalam kamar ini?-
Agak kewalahan juga Sarwiyah menghada-
pi Rakit Cendana yang keras kepala ini. Namun ia
tidak kekurangan akal, sahutnya, - Bukannya
aku pelit, Kakang. Tetapi semua ini dalam usaha
menjaga nama baik masing-masing. Kau putra
mahkota raja yang berkuasa di daerah ini dan se-
baliknya aku seorang gadis yang masih suci. Ma-
nusia di dunia ini ada yang dengki dan ada yang
baik. Nah kalau yang melihat kau masuk kamar
ini, yang dengki dia bisa memfitnah kita dengan
tuduhan buruk. Bagaimanakah kita akan me-
nangkis, kalau ada tuduhan kita telah berbuat ti-
dak senonoh di kamar ini? Tidak urung kau dan
aku sendiri yang menjadi malu, bukan?
Siapakah yang berani berbuat seperti itu?
- Rakit Cendana membelalakkan matanya. - Jika
orang itu masih kepengin hidup, takkan mungkin
berani menuduh aku dan dirimu berbuat tidak
senonoh. Nah, karena itu kau tidak perlu khawa-
tir dan takut, Adikku.-
- Tidak!- Sarwiyah membentak. - Pokoknya
sekarang juga kau harus meninggalkan kamar
ini. Aku sudah mengantuk dan ingin tidur.
Hemm, masih banyak waktu untuk kita gunakan
bertemu.-Akhirnya Rakit Cendana terpaksa men-
galah. Namun demikian hatinya sudah mene-
tapkan, esok malam ia akan menggunakan cara
lain agar Sarwiyah dapat ia tundukkan dengan
mudah. Ia sudah tidak kuasa lagi menahan ha-
tinya yang gandrung.
Apa yang akan terjadi? Rakit Cendana
akan mencampur obat yang selalu berhasil me-
nundukkan siapapun, yang menjadi andalan ke-
rajaan terasing ini. Ia merasa pasti Sarwiyah men-
jadi lupa daratan dan menyerah.
Pikiran Rakit Cendana ini sejalan dengan
pikiran Ika Dewi yang juga tidak kuasa menahan
hatinya lagi kepada Mahisa Singkir. Ia takkan
puas sebelum dapat menundukkan pemuda itu.
Benarkah rencana kakak beradik ini ber-
hasil? Ikutilah buku baru yang akan terbit, berju-
dul "JANGAN KAU SIKSA HATIKU". Percayalah
buku baru ini takkan mengecewakan hati Anda,
karena cerita dalam buku baru ini lebih menarik
dan mengesankan. Antara lain akan anda jumpai
adegan seperti di bawah ini.
..... Mpu Galuh mengerutkan alis dan me-
natap tajam kepada anaknya, - Apa katamu?-
Ika Dewi langsung menubruk dan memeluk
ayahnya. Gadis ini tidak peduli kepada orang lain,
lalu berkata tidak lancar.
- Ayah ..... aku sudah mencampurkan obat
racun.....Kemudian dia.....dan aku sudah menjadi
suami-isteri.....Ayah ... tetapi ahh, aku tadi terti-
dur.....Ketika aku terjaga.....Kakang Mahisa Sing-
kir sudah tidak ada lagi......
Mpu Galuh mendorong pundak Ika Dewi
secara kasar. Ika Dewi terhuyung kemudian jatuh
terduduk.
- Ayah... kenapa kau.....?- protes Ika Dewi
sambil melompat bangkit. Wajah yang sudah pu-
cat itu tampak lebih pucat lagi. - Ayah.....kau.....
kau tega kepada anakmu sendiri .....? Aku kehi-
langan suamiku ..... Ayah tidak menghibur..... te-
tapi malah marah-marah......
..... Julung Pujud terbelalak untuk sejenak
kemudian terkekeh dan berkata, - Heh heh heh
heh, apakah yang akan kau lakukan di sana?-
- Jika Guru berhadapan dengan Gajah Ma-
da, apakah murid tidak dapat berhadapan dengan
yang lain? Hemm, biarlah Guru tahu, murid bu-
kan seorang penakut. Murid akan memilih salah
seorang pembantu Gajah Mada yang paling sakti!-
- Jika kau sampai tak mampu melawan,
apakah jadinya?-
- Bukankah taruhannya hanya mati? Apa
bila toh murid tewas dalam perkelahian itu, bu-
kankah murid akan mati dengan puas? Murid
mati membela nama baik Kakek mertua, dan da-
lam usaha membalaskan sakit hati keluarga ......
Nah para Pembaca Yang Baik, silakan
mengikuti cerita baru berjudul "JANGAN KAU
SIKSA HATIKU", segar, mengesankan dan menarik.
s e l e s a i
Sala, pertengahan Mei 1987
0 comments:
Posting Komentar