..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 20 Januari 2025

DEWI SRI TANJUNG EPISODE RAHASIA KI AGENG TUNJUNG BIRU

Rahasia Ki Ageng Tunjung biru

 RAHASIA KI AGENG TUNJUNG BIRU

Serial 10 Dewi Sritanjung

Karya : Widi Widayat

Cover & Illustrasi: Arie-

Penerbit: MELATI Jakarta

HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-undang


1

Anda tanya, saya jawab.

Anda pasti bertanya, mengapa buku ini 

berjudul seperti itu? Memang ada sebabnya. Be-

gini!

Dewi Sritanjung adalah murid tunggal Ki

ageng Tunjung Biru. Selama belasan tahun la-

manya hidup berdua dengan gurunya, Dewi Sri-

tanjung tidak pernah mendapat penjelasan, men-

gapa gurunya hidup seorang diri di dalam hutan.

Dewi Sritanjung berpisah dengan gurunya, 

karena diutus gurunya bertemu dengan Gajah 

Mada dan sekaligus untuk dapat bertemu dengan 

orang tuanya. Maka harapannya sebesar gunung, 

karena selama ini memang belum pernah tahu 

siapakah orang tuanya, dan belum pula mengenal 

wajah ayah bundanya.

Namun ternyata kemudian apa yang ke-

mudian apa yang dialami tidak seperti harapan-

nya semula. Ia hanya mendapat kekecewaan dan 

hatinya terasa sakit. Oleh sebab itu malam hari ia 

pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Tujuan-

nya tidak lain hanyalah ingin kembali ke hutan 

dan hidup lagi bersama gurunya.

Tetapi dalam perjalanan pulang untuk me-

nemui gurunya ini, ia melihat gunung yang men-

geluarkan asap. Ia heran, lalu pergi ke gunung itu 

untuk melihat apa yang terjadi. Namun sungguh 

sayang, dalam perjalanan menuju puncak ini ia


berhadapan dengan bahaya yang tidak pernah ia 

harapkan. Ia terperosok dalam lubang jebakan.

Sebagai akibat kurang pengetahuan dis-

amping kurang hati-hati, maka tiba-tiba saja ka-

kinya merasa menginjak tempat kosong.

Gadis bernama Dewi Sritanjung ini kaget 

dan berusaha melawan luncuran tubuhnya sam-

bil memukulkan kaki dan tangannya ke tepi lu-

bang. Namun sungguh celaka! Tubuhnya terus 

meluncur turun pada lubang yang gelap bukan 

main. Akibatnya sekalipun ia tabah dan penuh 

rasa percaya kepada diri sendiri, Dewi Sritanjung

menjerit nyaring.

Tetapi sekalipun demikian ia masih beru-

saha mengurangi kecepatan luncuran tubuh den-

gan jalan mengatur keseimbangan tubuhnya. 

Hanya sayang sekali, lubang ini ternyata dalam 

sekali, sehingga luncuran bukannya berkurang, 

malah semakin menjadi cepat. Saking kaget, ta-

kut dan ngeri, akhirnya gadis ini menjadi pening 

namun masih tetap sadar.

Entah sudah berapa lama tubuhnya me-

luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa 

tubuhnya tertahan oleh angin yang kuat sekali 

dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas 

kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya 

kembali meluncur turun. Lalu terasa lagi angin 

kuat menyambar dari bawah dan tubuhnya mem-

bal kembali.

Meluncur lalu membal kembali sampai be-

berapa kali ini menyebabkan dirinya seperti dikocok dan kepalanya tambah pening. Dan pada ak-

hirnya gadis ini tidak dapat bertahan lagi lalu 

pingsan!

Hembusan angin yang kuat dari bawah ini 

ternyata dari dorongan seorang nenek yang sudah 

tua renta, kurus kering dan rambutnya awut-

awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir telan-

jang karena pakaiannya sudah cabik-cabik tidak 

keruan.

Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang 

lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-

lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-

pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-

ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi 

semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang 

pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh 

dua tangannya yang kurus kering.

Oleh pertolongan yang tidak terduga dari 

mahkluk yang berdiam di lubang ini, selamatlah 

nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin sekali 

karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga, se-

karang nenek ini dadanya menjadi tersengal-

sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis 

ini yang terbaring di depannya dan masih dalam 

keadaan pingsan.

Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-

batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-

hatian. Desisnya, - Hemm, seorang bocah perem-

puan yang masih muda. Mengapakah sebabnya 

bisa terperosok masuk dalam lubang ini?

Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya,


nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-

tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijatan, 

tiba-tiba gadis ini sadar lalu bangkit

- Ahhhh....... ! gadis ini kaget sekali ketika 

melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua 

renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-

kan dan setengah telanjang.

- Hi hi hik, engkau kaget? Jangan takut! 

Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi 

aku adalah manusia seperti engkau juga.

Mendengar ucapan ini, agak berkurang ra-

sa takutnya. Ia menebarkan pandang matanya ke 

sekeliling. Diam-diam timbullah rasa heran bocah 

ini, mengapa dirinya sekarang berada di tempat 

yang lembab ini? Sebuah jurang yang dalamnya 

sulit diukur dan menyebabkan sinar matahari 

yang terhalang oleh kabut jurang itu tidak begitu 

terang, namun cukup pula menyebabkan jurang 

ini tidak begitu gelap.

- Siapakah yang telah menolong diriku?

- Aku! Kenapa?

Tiba-tiba Dewi Sritanjung berlutut memberi 

hormat. - Terimalah hormat Dewi Sritanjung dan 

terima pulalah ucapan terima kasihku.-

- Apa? Terimakasih? Hi hi hik..... mulut 

manusia memang gampang sekali mengucapkan 

terima kasih. Akan tetapi mulut bukanlah hati 

dan sebaliknya hati bukanlah mulut.-

Dewi Sritanjung keheranan mendengar 

ucapan si nenek yang tidak keruan ujung pang-

kalnya ini. Namun belum juga gadis ini sempat


membuka mulut untuk bertanya, nenek itu sudah 

berkata lagi.

- Hi hi hik, engkau tidak perlu heran, Nak, 

karena engkau masih amat muda. Tetapi kelak 

kemudian hari mungkin engkau akan tahu apa 

yang aku katakan tadi. Sebab di dunia ini, tidak 

berkurang jumlahnya manusia yang lain di mulut 

dan lain di hati.-

- Tetapi Nenek yang baik, aku mengu-

capkan terima kasih ini secara tulus dari hati.-

Dewi Sritanjung membela diri.

- Bocah, apakah engkau tidak takut kepa-

daku?-

- Kenapa takut? Nenek amat baik dan telah 

menyelamatkan nyawaku. Tentu saja aku tidak 

takut malah amat berterima kasih. Apa yang akan 

terjadi, apabila Nenek tadi tidak menolong diriku? 

Tentu tubuhku sudah hancur berkeping-keping 

jatuh di dasar jurang ini.-

Memang setelah hatinya kembali tenang, 

Dewi Sritanjung mengerti, lubang jebakan di tem-

pat dirinya terperosok ini, dihubungkan dengan 

jurang ini. Jurang yang amat dalam dan sulit di-

ukur. Maka kalau dirinya selamat seperti seka-

rang, hanya berkat pertolongan Dewata Yang 

Agung saja.

- Engkau bilang baik, karena aku sudah 

menolong kau, bukan? Tetapi apa yang engkau 

katakan, apabila engkau berhadapan dengan aku 

tanpa lewat pertolongan? Hemm, aku berani ber-

taruh engkau tentu meludah dan jijik melihat di


riku yang tengik, jorok serta tua renta tidak ber-

harga ini.-

- Tidak, Nek, tidak! Aku memandang orang 

bukan bertitik tolak kepada hal-hal yang kasat 

mata. Pakaian maupun keadaan seseorang, me-

nurut pendapatku bukanlah menjadi dasar yang 

menentukan martabat seseorang. Nek, sekalipun 

orang berpakaian mewah, baunya harum, tetapi 

apabila perbuatannya tidak baik, tetap bukan 

manusia yang baik. Lebih berharga seorang pen-

gemis yang pakaiannya compang-camping, karena 

si pengemis makan pemberian orang secara ik-

hlas, tidak memeras maupun memaksa orang. –

- Hi hi hik, ucapanmu amat menarik, Nak.-

Tetapi nenek ini tiba-tiba menghentikan ucapan-

nya. Matanya yang bersinar tajam itu terbelalak 

sejenak, kemudian mendadak menyambar pedang 

pusaka gadis ini.

Dewi Sritanjung kaget sekali. Akan tetapi 

gerakan nenek ini memang cepat sekali dan pe-

dang telah pindah ke tangan nenek tersebut.

Setelah pedang dengan sarungnya dalam 

tangan nenek itu, berubahlah wajahnya. Ia mena-

tap tajam kepada Dewi Sritanjung, hardiknya, -

Dari mana kau peroleh pedang ini?-

Dewi Sritanjung menjadi agak khawatir 

mendengar pertanyaan ini. Ada apakah dengan 

pedang pusaka Tunggul Wulung ini? Akan tetapi 

bagaimanapun ia tidak mencuri, dan pedang itu 

adalah pemberian Ki ageng Tunjung Biru. Meski-

pun demikian sebelum ia menjawab, terpikirlah



untuk bertanya, apakah sebabnya nenek ini terta-

rik kepada pedangku itu.

- Nenek yang baik, mengapa sebabnya Ne-

nek tertarik kepada pedangku ini?- tanyanya.

- Hemm, aku tertarik karena ada pula se-

babnya. Dan sekarang jawablah secara jujur. Dari 

siapakah engkau peroleh pedang ini?-

- Dari Guruku.-

- Ahhh .... lalu siapakah gurumu?-

- Ki ageng Tunjung Biru.-

- Ahhh......Ki ageng Tunjung Biru?-

Dan tiba-tiba saja lengan nenek peyot ini 

gemetaran, wajahnya berubah menjadi pucat, dan 

pedang berikut sarungnya runtuh ke tanah.

Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak berani 

maju untuk mengambil. Sebab ia khawatir kalau 

perbuatannya menyinggung perasaan nenek ini.

Maka gadis ini berdiam diri. Tetapi sesaat 

kemudian gadis ini kaget, karena tiba-tiba nenek 

ini menangis terisak-isak. Ia menangis benar-

benar, sehingga air mata itu mengucur deras se-

kali.

Melihat ini Dewi Sritanjung menjadi tre-

nyuh. Lalu ia memberanikan diri dalam usaha 

menghibur. - Nenek yang baik, sudahlah! Apabila 

Nenek menghendaki pedangku, biarlah dengan 

ikhlas aku berikan kepada Nenek. –

Nenek itu menghapus air matanya. Tetapi 

mungkin karena hati amat sedih, air mata itu be-

lum juga mau menjadi kering. Dengan mata yang 

basah, nenek ini kemudian menatap tajam kepada Dewi Sritanjung, lalu hardiknya.

- Huh! Siapa yang mau mengambil pe-

dangmu? Huh, apakah kiramu aku serakah se-

perti dugaanmu?-

- Ohhh.....- Dewi Sritanjung menjadi kaget 

berbareng khawatir. - Maafkanlah aku, Nenek 

yang baik. Aku tidak sengaja menyinggung pera-

saan Nenek. Akan tetapi..... apakah sebabnya Ne-

nek ..... menangis melihat pedang Tunggul Wu-

lung?-

- Huh huh.....tentu saja ada sebabnya..... -

sahut nenek ini dan kemudian menghela napas 

panjang, seperti orang sedang menyesal.

Karena khawatir nenek ini menjadi salah 

paham, maka Dewi Sritanjung berdiam diri. Akan 

tetapi sekalipun demikian dalam dada gadis ini 

penuh pertanyaan, apa sajakah sebabnya nenek 

yang menolong dirinya ini tiba-tiba sikapnya aneh 

?

- Ambillah pedangmu ..... - perintahnya ti-

ba-tiba.

Si nenek masih menangis dan mengucur-

kan air mata. Malah nenek ini tangisnya menjadi-

jadi, seakan seorang yang sedang menyesali sesu-

atu.

Dewi Sritanjung adalah bocah yang sejak 

kecil tidak pernah merasakan kasih sayang ayah 

bundanya, dan ia dirawat dan dibesarkan oleh Ki 

ageng Tunjung Biru, yang ia akui sebagai kakek-

nya. Dengan kebiasaannya yang hanya berdua 

dengan gurunya itu, menyebabkan gadis ini dapat


mengenal sifat orang yang sudah berusia lanjut, 

yang memang berbeda dengan orang yang masih 

setengah umur. Orang yang sudah pikun menjadi 

orang yang gampang sekali tersinggung, peka dan 

selalu minta diperhatikan. Sikap, kebiasaan dan 

wataknya hampir mirip dengan bocah kecil yang 

belum berumur sepuluh tahun.

Berdasar pengalamannya menghadapi Ki

ageng Tunjung Biru, ia segera tahu apa yang ha-

rus ia lakukan. Katanya kemudian, - Nenek yang 

baik, maafkanlah aku yang muda ini, karena ke-

hadiranku secara tidak sengaja ditempat ini, 

hanya menyebabkan Nenek sedih.-

Nenek ini mengangkat wajahnya yang ba-

sah air mata, lalu dengan sepasang matanya yang 

basah itu pula menatap Dewi Sritanjung. Kemu-

dian terdengarlah nenek ini menghela napas di 

sela sedunya.

- Aduhh ..... Anak muda, mungkinkah 

permohonan ku selama ini...... kepada Dewata 

Yang Agung..... mendapatkan perhatian?

- Aku kurang mengerti apa yang Nenek 

maksudkan.-

Mendadak nenek ini mendelik lalu mem-

bentak, - Haii! Apakah sangkamu, semenjak aku 

lahir di dunia ini, aku sudah bertempat tinggal di 

tempat terkutuk ini?-

- Ohhh !- seru Dewi Sritanjung lirih. - Ka-

lau demikian halnya..... apakah.....-

- Memang ada orang yang mencelakakan 

diriku ...... - potong nenek ini dengan nada geram.


Bangsat! Bedebah! Biadab orang itu! Su-

dah kuberi air susu malah membalas dengan air 

tuba! Tetapi.....ahhh hu hu huuuun..... oh, maaf-

kanlah aku ..... Kakang ..... oh Ki ageng ..... ohh, 

berilah aku ampun .... ya, sekarang aku sudah 

sadar dan insyaf ......

Dewi Sritanjung heran disamping agak bin-

gung, mendengar ucapan nenek ini. Apakah mak-

sud yang sebenarnya? Siapakah orang yang dia 

maki bangsat dan biadab itu, dan siapa pulakah 

yang dia sebut Kakang atau Ki ageng itu? Diam-

diam ia sudah dapat menduga mungkin nenek ini 

terpaksa menjadi penghuni tempat terasing dan 

tidak menyenangkan, adalah akibat kecelakaan 

atau dicelakakan orang.

Apabila dugaannya ini benar, berarti du-

gaannya yang pertama adalah keliru. Ia tadi sete-

lah merasa tertolong oleh nenek ini dari maut, ia 

menduga nenek ini seorang pertapa sakti yang 

sengaja mengasingkan diri dan bertapa di tempat 

aneh ini.

Tetapi apabila benar orang sudah mencela-

kai nenek ini, lalu siapakah yang bisa melaku-

kannya, justru nenek ini sakti? Sebab apabila 

bukan tokoh sakti, manakah mungkin nenek ini 

dapat menyelamatkan dirinya yang terperosok 

masuk ke dalam jurang yang amat dalam ini?

Nenek ini sesudah melihat Dewi Sritanjung 

berdiam diri, agaknya menjadi sadar sudah me-

nyebabkan bocah ini kaget dan takut

- Anak, agaknya engkau kaget dan takut


berhadapan dengan aku ini?- tanyanya.

- Tidak, Nek,- sahut gadis ini sambil meng-

geleng. - Hanya yang menyebabkan aku heran, 

terharu dan sedih, adalah mengapa sebabnya Ne-

nek berada ditempat ini?-

- Kenapa kau ikut bersedih? Hemm..... bu-

kankah engkau tiada sangkut pautnya dengan 

aku?-

- Benar. Dulunya memang tidak. Tetapi se-

jak saat ini, aku mempunyai hubungan dengan 

Nenek. Tempat ini adalah terasing dan aku juga 

merasa berutang budi kepada Nenek. –

- Hemmm.....- nenek ini menghela napas 

pendek.

Agaknya sikap dan ucapan Dewi Sritanjung 

ini mengesan dalam hati si nenek. Maka sesaat 

kemudian ia berkata, - Apakah engkau mengira, 

aku ini seorang nenek berhati baik?-

- Ya! Kalau tidak, Nenek tentu tidak sudi 

menolong aku.-

Tiba-tiba nenek ini terkekeh, sekalipun se-

pasang matanya masih basah air mata. Dan ka-

rena nenek ini masih terisak, maka suara keta-

wanya menjadi aneh dan menakutkan. Kalau saja 

ia mendengar suara ketawa ini belum berhada-

pan, tentu ia menjadi ketakutan karena menjadi 

khawatir apabila nenek ini sudah gila. Adakah 

orang menangis sambil tertawa kalau bukan gila?

Setelah nenek ini berhenti menangis dan 

tertawa, ia menghardik, - Apa katamu? Hatiku 

baik? Huh, tahukah kau jika orang yang terpero


sok ke jurang ini laki-laki? Apakah yang akan aku 

lakukan?-

- Tentu nenek akan menolongnya pula se-

perti yang sudah Nenek lakukan terhadap diriku. 

- Jangan ngomong tidak keruan!- bentak-

nya tiba-tiba. 

Akibatnya Dewi Sritanjung menjadi kaget.

Diam-diam gadis ini heran. Mengapakah 

sebabnya tiba-tiba nenek ini membentak dan ma-

rah? Lalu, apakah kesalahannya?

- Huh huh! - nenek ini bersungut-sungut. 

Sejenak kemudian katanya dengan nada geram, -

Jika ada laki-laki yang terperosok masuk kemari, 

tentu akan aku biarkan mampus terbanting dan 

tubuhnya hancur berantakan.-

- Ihhh.....!- Dewi Sritanjung kaget dan di-

am-diam ngeri. Tanyanya kemudian, - Apakah se-

babnya Nenek berbuat begitu?-

- Mengapa, ya mengapa? Kau heran? Huh, 

manusia laki-laki di dunia ini kecuali..... seorang 

saja, semuanya jahat. Aku benci jadinya. Dan aku 

benci kepada semua laki-laki! Karena mereka itu 

hanyalah penipu. Penipu! Kau dengar?-

Walaupun tidak tahu apakah maksud ne-

nek ini. Gadis ini terpaksa mengangguk juga. Te-

tapi anggukan bocah ini telah dapat membuat si 

nenek menjadi senang, karena merasa mendapat 

perhatian.

- Bagus, hemm! Kau memang seorang anak 

baik. Tidak keliru apabila aku tadi sudah berusaha menyelamatkan engkau. Anak, aku bilang, la-

ki-laki tidak baik, kecuali hanya seorang saja.-

- Hemmm...... nenek ini menghela napas 

panjang dan tidak memberi jawaban. Namun be-

berapa jenak kemudian nenek ini bertanya lirih, -

Apakah gurumu ..... Ki ageng Tunjung Biru tidak 

pernah membicarakan tentang seorang perem-

puan dengan kau?-

- Perempuan?- Dewi Sritanjung kaget ber-

bareng heran.

Menurut seingatnya, sekalipun sudah bela-

san tahun lamanya ia hidup bersama dengan Ki

ageng Tunjung Biru, orang tua itu belum pernah 

membicarakan perempuan. Namun demikian, ia 

masih berusaha mengingat-ingat apa yang sudah 

ia ketahui tentang gurunya.

- Jawablah! Pernahkah dia bicara tentang 

seorang perempuan?-

- Tidak!- ia menggeleng.

- Aduhhh..... hu hu huuuuu.....apakah dia 

belum juga mau memaafkan aku?- tiba-tiba saja 

nenek ini kembali menangis sambil menutupi wa-

jahnya.

Dewi Sritanjung makin tidak mengerti 

mengapa sikap nenek ini demikian aneh. Dalam 

pada itu ia menduga pula apakah yang sudah 

pernah terjadi antara perempuan ini dengan gu-

runya? Kalau tadi begitu melihat pedang Tunggul 

Wulung segera mengenalinya, mengenal sebagai 

milik Ki ageng Tunjung Biru, jelas nenek ini bu-

kan orang asing bagi gurunya.


Disamping ia menduga demikian, iapun 

menjadi heran pula, mengapa perempuan ini 

mengeluh, Ki ageng Tunjung Biru tidak mau me-

maafkan? Lalu apakah salah perempuan ini ter-

hadap gurunya?

Akan tetapi karena sadar bahwa nenek ini 

sifat dan tabiatnya agak aneh, ia tidak berani ber-

tanya dan mendesak. Karena ia menjadi khawatir 

apabila sampai salah ngomong, bisa menyebab-

kan nenek ini marah lagi.

- Hemm, Anak baik, aku mengerti jika eng-

kau menjadi heran, mendengar ucapanku yang 

tidak keruan ujung pangkalnya ini,-

- Ya.- Tetapi sekalipun menjawab gadis ini 

nampak ragu.

- Hemm, tahukah bahwa diriku ini penuh 

rasa dendam dan penasaran? Dan tahu pulakah 

apa jadinya jika engkau terperosok masuk kema-

ri, sebelum aku mendapat penerangan batin dan 

rasa kesadaran? Hemm, Anak baik, sebelum aku 

bertobat kepada Dewata Agung dan mohon am-

pun atas kesalahan-kesalahanku waktu dulu?-

Nenek ini berhenti. Sesungguhnya ia ingin 

mengatakan, ia akan membunuh kepada siapa-

pun yang terperosok masuk ke tempat tinggalnya 

sekarang ini. Akan tetapi kata-kata ini kemudian 

ia telan kembali dan tidak jadi ia ucapkan, sebab 

nenek ini khawatir apabila bocah ini menjadi ke-

takutan.

Entah mengapa sebabnya, setelah mengerti 

bocah ini murid Ki ageng Tunjung Biru, terbit pula rasa yang lain terhadap bocah ini.

- Hemm, sudahlah! Yang sudah biarlah 

berlalu! - akhirnya nenek ini berkata. - Tetapi un-

tuk membuat engkau mengerti duduk perkara 

yang sebenarnya, yang menyebabkan aku meng-

huni tempat ini, engkau harus mau mendengar 

kisah hidupku lebih dahulu.-

Nenek ini berhenti sejenak lagi. Sesudah 

mengambil napas, terusnya, - Anak baik, engkau 

harus tahu, namaku Widoretno.....-

- Ohhh.....Nenek Widoretno?- gadis ini ter-

belalak.

- Ihhh.....agaknya kau kaget? Kenapa? 

Apakah gurumu pernah menyebut namaku?-

- Ya. Satu kali ......

- Katakan! Lekas katakanlah.....apa kata 

gurumu .....?

- Ya. Kakek pernah.....-

Tiba-tiba nenek ini sudah mencengkeram 

leher Dewi Sritanjung dengan tangan kiri, sedang 

jari tangan kanan sudah siap di atas kepala un-

tuk menusuk ubun-ubun.

Gadis ini kaget sekali oleh serangan si ne-

nek yang mendadak dan amat cepat ini. Hingga 

dirinya tidak sempat untuk menghindarkan diri.

- Apa kau bilang? Dia Kakekmu?- desis 

Nenek Widoretno penuh ancaman dan geram. -

Jadi..... jadi..... Ki ageng Tunjung Biru kawin lagi, 

mempunyai anak dan cucu?-

- Apakah sebabnya engkau menanyakan 

tentang kawin lagi, mempunyai anak dan cucu?


tiba-tiba gadis ini menjadi kurang senang atas 

pertanyaan ini dan menjawab dengan nada ketus. 

- Guruku hanya hidup seorang diri di dalam se-

buah pondok kecil di sebuah hutan. Tidak ada 

orang lain dalam pondok itu, kecuali aku seo-

rang.-

- Tetapi dia Kakekmu?- bentak nenek Wi-

doretno.

Dewi Sritanjung menggeleng, - Bukan! 

Akan tetapi aku menganggap Guruku itu sebagai 

Kakekku sendiri. Sebab, Guru merawat diriku 

semenjak aku masih bayi merah.-

- Lalu, siapakah orang tuamu? Bukankah 

orang tuamu itu keturunan Ki ageng Tunjung Bi-

ru?-

- Bukan! Aku adalah anak terbuang!-

- Ahhh... - nenek Widoretno berseru terta-

han, melepaskan cengkeramannya dan meman-

dang Dewi Sritanjung dengan keheranan. Karena 

tiba-tiba saja bocah ini sudah menangis terisak-

isak.

Agak heran juga nenek ini melihat peruba-

han itu. Tadi ketika ia cengkeram sedemikian ru-

pa, bocah ini tidak takut sedikitpun. Tetapi men-

gapa sekarang, setelah diajak bicara tentang 

orang tuanya, mendadak saja gadis ini menjadi 

sedih dan menangis?

- Anak baik.....ohh, Anak baik..... maafkan-

lah aku. Hemm ..... tidak sengaja aku sudah me-

nyebabkan kau sedih.....- ujarnya berubah lembut 

dan menghibur.


Dewi Sritanjung masih menangis terisak-

isak ketika teringat nasibnya sebagai seorang 

anak terbuang. 

Karena Dewi Sritanjung tidak membuka 

mulut nenek Widoretno bertanya lagi, - Anak... 

engkau tadi bilang sebagai anak terbuang...... La-

lu siapakah orang tuamu? Dan mengapa pula se-

babnya engkau dirawat dan dibesarkan oleh Ki

ageng Tunjung Biru?-

Sejak pergi meninggalkan rumah orang tu-

anya. Ia sudah bertekad untuk tidak mengaku 

sebagai puteri Mpu Nala. Ia tidak menginginkan 

ayahnya celaka. Sebaliknya ia malah ingin menja-

ga nama baik dan kehormatan ayahnya. Oleh se-

bab itu ia tidak ingin membawa nama orang tua-

nya selama dirinya berkelana seorang diri tanpa 

tujuan sekarang ini. Maka lebih aman apabila di-

rinya mengaku ayah bundanya sudah meninggal. 

Mengaku sebagai anak yatim piatu, sebagai gadis 

sebatang kara.

Sambil menghapus airmatanya yang mem-

basahi wajahnya, Dewi Sritanjung menjawab, -

Aku tidak tahu lagi, siapakah orang tuaku sebe-

narnya. Menurut cerita Kakek atau Guru yang 

sudah tidak bedanya kakek kandungku sendiri, 

aku dia temukan ketika hanyut di sungai, masih 

sebagai bayi merah. Kemudian dia rawat dan dia 

besarkan. Itulah sebabnya disamping sebagai 

Guru, dia juga aku anggap sebagai Kakekku sen-

diri.-

- Ahhh..... aku menyesal sekali sudah me


nyebabkan engkau kaget, Anak baik.- Widoretno 

mengakui kelancangannya.

- Tetapi ... aku justru malah senang sekali 

apabila Nenek tadi benar-benar membunuh aku... 

-

- Apakah sebabnya engkau berkata seperti 

itu ?-

-Aku hidup sebatang kara.....dan mengem-

bara tanpa tujuan ..... Kalau Nenek mau membu-

nuhku bukankah aku jadi terbebas dari derita 

ini.....?

Widoretno terbelalak. Kemudian secara ti-

ba-tiba tangan nenek ini meraih Dewi Sritanjung, 

lalu dia dekap erat sekali, dan wajahnya dia te-

kankan pada dada yang kerempeng, karena buah 

dadanya sudah kering.

Dewi Sritanjung kaget sekali dan hampir 

saja melepaskan diri, karena mau muntah meng-

hirup bau yang apek dan tengik dari tubuh dan 

pakaian Widoretno. Agaknya nenek ini tidak per-

nah kenal lagi dengan mandi, dan menyebabkan 

tubuh dan pakaiannya menyebarkan bau tidak 

sedap.

Dan sesungguhnya saja ia tersiksa sekali 

oleh dekapan ini. Namun untuk tidak menyebab-

kan nenek yang sudah menolong dirinya ini men-

jadi tersinggung dan marah, ia memaksa diri ti-

dak memberontak dan tidak melepaskan diri.

- Aku menjadi kasihan kepadamu, Anak 

baik. Engkau jangan menangis...... Sudahlah, ini 

namanya jodoh dan takdir. Engkau sebatang kara..... sebaliknya aku juga sebatang kara dan ti-

dak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Seka-

rang, biarlah akupun berbuat sama seperti apa 

yang pernah dilakukan oleh gurumu kepada eng-

kau. Maka anggaplah aku ini sebagai nenekmu 

sendiri..... –

- Nenekku? Terima kasih .....

Widoretno melepaskan pelukannya, kemu-

dian ia terkekeh senang sekali. Agaknya jawaban 

Dewi Sritanjung yang bersedia menjadi cucunya 

ini menyebabkan nenek ini gembira sekali.

Setelah terkekeh beberapa lama, nenek ini 

bertanya, - Cucuku, lekaslah ceritakan apa yang 

sudah pernah dia ceritakan kepadamu tentang di-

riku ini?-

Dewi Sritanjung menatap wajah yang su-

dah peyot itu sejenak. Kemudian ia menjawab, -

Dahulu, Kakek memang sering berdiam diri dan 

kemudian menghela napas berat. Ketika itu aku 

mendekati, lalu aku bertanya, apakah sebabnya 

Kakek merenung dan tampak sedih?-

- Pada mulanya Kakek memang tidak mau 

berterus terang dan membuka rahasia itu. Tetapi 

setelah aku desak, pada akhirnya Kakek berterus 

terang.-

- Hemm, kepada engkau terpaksa aku ber-

terus terang. Tanjung, sebabnya aku sedih karena 

aku teringat kepada seseorang yang sangat aku 

kasihi. - Kakek berkata.

- Siapa? Kakek teringat kepada seorang la-

ki-laki ataukah perempuan?- desakku.


Hemm.....perempuan yang amat Kakek 

kasihi.....-

- Ihhh .....!- seru nenek Widoretno tertahan.

- Benarkah itu? Kau tidak bohong?-

- Nenek tidak percaya?- tantang Dewi Sri-

tanjung. - Aku berkata apa adanya, dan terserah 

Nenek mau percaya atau tidak. Ketika itu Kakek 

memang bilang seperti itu. Kemudian aku mende-

sak, siapa? Dan Kakek menyebut seorang perem-

puan bernama Widoretno, lalu aku bertanya, sia-

pakah Widoretno?-

- Widoretno adalah isteriku.-

- Hemmm.....- Nenek Widoretno mendehem, 

nampaknya nenek ini lega sekali hatinya.

- Nenek,- kata gadis ini, kemudian mene-

ruskan ceritanya. - Ketika itu aku heran berba-

reng kaget. Lalu aku bertanya, kenapa Kakek 

berpisah dengan isterimu? Tetapi sungguh aneh 

kakek hanya diam seribu bahasa, tidak mau men-

jawab pertanyaanku, dan malah tidak mau berce-

rita lagi. Sekalipun demikian, keanehan segera 

terjadi ......

- Keanehan tentang apa?- desak Widoretno.

- Aku bilang aneh karena aku melihat Ka-

kek tiba-tiba menangis.....-

- Benarkah itu? Dia menangis?- Widoretno 

kurang percaya.

- Kenapa tidak? Kakek benar-benar me-

nangis. Dan di tengah tangisnya itu kemudian 

aku mendengar ucapannya yang lirih. Katanya, 

hanya Widoretno seorang saja wanita di dunia ini


yang aku cintai, Tetapi.....Widoretno ..... –

Kakek bilang, Widoretno menghilang... me-

nyebabkan aku amat menderita... kemudian aku 

mengasingkan diri di hutan... dan yang menjadi 

tempat tinggalnya sekarang

- Aduhhh... hu hu huuuuu.... maafkanlah 

aku Ki ageng... maafkan aku... - tiba-tiba saja Wi-

doretno menangis lagi terisak-isak. 

Beberapa saat kemudian barulah ia men-

gangkat kepalanya sambil bertanya -Dimanakah 

Ki ageng sekarang bertempat tinggi?-

- Dalam sebuah hutan yang tidak jauh dari 

tempuran (pertemuan sungai)antara Sungai

Lengkong dengan Sungai Brantas.-

- Ahhh... kalau saja aku bisa ke sana... 

hmmm... tetapi hal itu adalah tidak mungkin... –

- Kenapa tidak mungkin? Nek aku bisa 

pergi bersama Nenek ke sana.-

- Hemmm... kedua kakiku sudah lumpuh-

- Ih...! Nenek lumpuh? – Dewi Sritanjung 

sejak tadi memang kurang memperhatikan kea-

daan nenek ini, karena semenjak tadi nenek ini 

hanya duduk, sehingga tidak menduga sama se-

kali kalau kakinya lumpuh.

Akan tetapi apabila benar nenek ini ingin 

ke sana, bukankah dirinya bisa menggendong? 

Kalau dirinya dapat membawa Nenek Widoretno 

ini kepada Ki ageng Tunjung Biru, bukankah hal 

ini amat menyenangkan? 

Oleh karena itu setelah menatap wajah 

yang keriput itu sesaat, ia berkata - Nek, aku bisa


menggendong kau meninggalkan tempat ini ke-

mudian pergi ke tempat tinggal Kakek. –

- Apa? Heh heh heh heh...- tiba-tiba saja 

nenek ini ketawa terkekeh. -Manakah mungkin 

engkau dapat meninggalkan tempat ini? Hemm, 

bocah, tempat ini adalah terasing dan selama hi-

dupmu akan terkurung seperti aku di sini...-

Tiba-tiba saja wajah Dewi Sritanjung men-

jadi pucat mendengar keterangan ini. Jika benar 

dirinya akan terasing di tempat ini, apakah arti 

hidupnya ini? 

Namun gadis ini tidak percaya. Gadis ini 

menduga, mungkin nenek ini berkata tak mung-

kin dapat keluar, karena dua belah kakinya su-

dah lumpuh. Oleh Sebab itu nenek ini tidak dapat 

menemukan jalan guna keluar dari tempat ini.

Ia memang tidak gampang mau percaya ke-

terangan Widoretno. Menurut pikirannya, apabila 

jurang ini tidak mempunyai tembusan, lalu ke

manakah air yang jatuh ke jurang ini mengalir?

Maka setelah berpikir sejenak, ia berkata. -

Nek, apabila benar tempat ini tidak ada jalan 

tembusannya, manakah mungkin jurang ini dapat 

mengalirkan air? Karena itu aku percaya, tentu 

ada tembusannya. Dan karena Nenek sudah lum-

puh, maka Nenek tidak dapat menyelidiki secara 

baik.-

- Apa?- tiba-tiba nenek ini mendelik. -

Sangkamu setelah kedua kakiku lumpuh, aku ti-

dak dapat bergerak leluasa lagi? Lihatlah!-

- Ihhhh.....!- tiba-tiba Dewi Sritanjung ber

seru tertahan saking kaget berbareng kagum, me-

lihat gerakan si nenek lumpuh ini.

Ternyata sekalipun dua kakinya sudah 

lumpuh dan tidak dapat berjalan, namun nenek 

ini dapat juga bergerak cepat sekali. Nenek ini 

melesat seperti melompat cukup jauh, dan setelah 

turun tubuhnya ditopang dengan dua tangan dan 

kemudian melesat lagi seperti terbang. Gerakan 

Nenek Widoretno secepat ini kiranya tidak kalah 

cepatnya dengan orang yang lari menggunakan 

dua kaki.

- Nah, engkau sekarang sudah tahu, seka-

lipun aku lumpuh, aku masih dapat bergerak ce-

pat juga? kata nenek ini setelah kembali duduk. 

Dan dada nenek ini tidak nampak tersengal, na-

pasnya biasa saja.

Diam-diam Dewi Sritanjung menjadi ka-

gum sekali, membuktikan nenek ini memang sak-

ti mandraguna.

- Cucu, dengan berlompatan seperti katak, 

aku sudah menyelidiki jurang ini, baik ke hulu 

maupun ke hilir. Di hulu sana, jurang ini masuk 

ke dalam tanah yang amat dalam, hingga aku ti-

dak berani masuk. Kemudian di hilir sana, aku-

pun pernah menyelidik, tetapi kemudian terben-

tur dengan jalan buntu. Di sana aku temukan 

semacam sumur yang selalu penuh air dan jernih 

sekali. Dan dari tempat itulah aku mencukupi 

kebutuhan air untuk hidup di tempat terasing 

ini.-

- Air itu asalnya dari mana, Nek?- Dewi Sri


tanjung tertarik dan bertanya.

Gadis ini mempunyai dugaan, tentu air itu 

berasal dari jurang lain. Dan dengan demikian ia 

akan dapat menyusuri jurang itu lalu menyelidik.

Widoretno menggeleng. Jawabnya, - Entah-

lah, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah ju-

rang itu sampai ke sumur yang selalu penuh air 

dan entah dari mana asal air itu maupun ke ma-

na air itu mengalir. Aku sudah cukup menyelidik, 

tetapi tempat itu memang tidak ada tembusan-

nya.-

- Ahhh .....!- akhirnya gadis ini mengeluh.

Apabila benar jurang ini tidak mempunyai 

tembusan, habislah harapannya. Ia kemudian 

menengadah, dan yang tampak hanyalah kabut 

tipis yang menghalangi pemandangan. Untuk 

mendaki tebing jurang yang tinggi tidak terukur 

ini, tidak mungkin ada orang yang sanggup mela-

kukannya, apabila tidak mempunyai sayap.

Tempat ini sepi sekali, dan tidak terdengar 

suara apapun kecuali suara napas dua orang pe-

rempuan ini.

Memang amat kasihan dua perempuan ini, 

harus menghuni jurang sepi di luar kemauannya.

Di dalam jurang ini tidak ada apa-apa yang 

dapat memberi jaminan hidup. Tidak ada pohon 

buah dan tidak ada yang lain. Lalu apakah yang 

dapat digunakan untuk tiang hidup, Widoretno 

selama ini?

Agaknya Widoretno merasa kasihan meli-

hat gadis ini yang sedih dan habis harapan untuk


dapat keluar dari jurang ini.

- Sudahlah, masalah itu bisa kau pikirkan 

kemudian hari. Sebab siapa tahu kalau penyelidi-

kanku kurang teliti dan kau bisa menemukan ja-

lan untuk keluar dari tempat ini? Sekarang du-

duklah yang baik, dan aku akan menceritakan ki-

sah hidupku dikala muda dan kemudian mengan-

tarkan aku hidup di tempat terasing ini -

Agar tidak membuat nenek ini kecewa dan 

juga guna mengurangi ketegangannya pula, Dewi 

Sritanjung menurut, lalu duduk bersila agar da-

pat mendengarkan dengan baik.

2

- Ketika muda dan meningkat kedewa-

saanku, aku merupakan seorang gadis cantik jeli-

ta seperti kau. - Nenek itu memulai ceritanya 

dengan kata-kata yang diucapkan lambat.

- Karena orang bilang aku ini cantik, maka 

kecantikanku menarik perhatian banyak laki-laki, 

baik perjaka maupun yang telah beristeri dan du-

da. Akan tetapi karena sejak muda aku terkenal 

sebagai dara perkasa, sakti mandraguna, maka 

hal ini menyebabkan laki-laki harus bersikap ha-

ti-hati dan tidak berani sembarangan terhadap di-

riku –

Dalam mengucapkan "cantik" dan "sakti 

mandraguna" ini nadanya tajam dan mantap dan

nampaknya Nenek Widoretno menjadi bangga sekali.

Dewi Sritanjung berdiam diri tidak mem-

buka mulut dan mendengarkan penuh perhatian.

Ucapan Widoretno yang bangga ini me-

mang tidak aneh dan ini bukanlah bualan ko-

song. Sebab kenyataannya memang demikian ke-

tika muda, dan terjadi pada kira-kira 45 tahun 

yang lalu. Sebab tidak terhitung jumlahnya laki-

laki baik yang penjahat maupun yang baik, roboh 

dalam tangannya akibat kalah berkelahi.

Disamping banyak laki-laki yang bermak-

sud kurang ajar, tidak kurang pula jumlah laki-

laki benar-benar jatuh cinta kepada Widoretno.

Akan tetapi sungguh sayang sekali, oleh 

pengaruh kecantikannya yang kuasa membuat 

laki-laki tergila-gila itu, ia berubah menjadi seo-

rang gadis yang angkuh, galak dan sombong. Se-

mua laki-laki yang berusaha mendekati dan me-

rayu maupun mengucapkan rasa cintanya tidak 

pernah ia gubris. Kemudian setelah pada setiap 

tempat ia merasa selalu digoda laki-laki, maka 

kemudian timbullah keputusannya yang takabur. 

Ia mengumumkan, dirinya baru mau menjadi is-

teri orang, apabila laki-laki itu dapat mengalah-

kan dirinya dalam pertandingan secara adil, seo-

rang lawan seorang. Ia tidak menentukan syarat, 

laki-laki berhak memperistri dirinya apabila bisa 

menang, sekalipun laki-laki itu sudah tua, punya 

isteri maupun duda.

Akibat dari pengumumannya ini, kemudian 

banyaklah laki-laki yang ingin menyelam sambil


minum, dari yang masih jejaka sampai laki-laki 

yang sudah mempunyai banyak isteri maupun 

kakek-kakek pethakilan (kakek yang masih suka 

daun muda).

Mereka semua menggunakan kesempatan 

untuk mencoba mengadu untung. Harapan mere-

ka hanyalah satu, bukan lain apabila dapat men-

galahkan Widoretno yang terkenal sakti mandra-

guna itu, disamping dirinya memperoleh nama 

harum, juga akan memperoleh pula isteri yang 

cantik jelita bagai bidadari.

Namun ternyata kemudian setiap kali laki-

laki menantang Widoretno, selalu saja Widoretno 

yang muncul sebagai pemenangnya. Sekalipun di 

antara mereka itu sesungguhnya merupakan la-

wan yang memiliki ilmu kesaktian tingkat tinggi.

Apabila kebetulan pada saat perkelahian 

itu terjadi disaksikan oleh penonton, maka penon-

ton akan menjadi keheranan. Sebab jelas Wido-

retno sudah terdesak dan tak lama lagi tentu 

tunduk karena kalah. Namun apabila mulut Wi-

doretno sudah bergerak-gerak seperti mengu-

capkan sesuatu, maka lawannya menjadi ngawur 

dan kemudian dengan gampang dapat dikalahkan 

oleh Widoretno.

Peristiwa yang aneh ini kemudian mem-

buat orang menduga, Widoretno mempunyai Ilmu 

siluman.

Kemudian pada suatu hari, Widoretno ber-

temu dengan seorang laki-laki gagah yang umur-

nya sudah mendekati tiga puluh tahun, tetapi


masih perjaka. Pemuda inipun seperti laki-laki 

yang lain, menantang Widoretno untuk menga-

lahkannya. Sekalipun demikian mereka yang me-

nonton merasa ragu. Apakah pemuda ini dapat 

mengalahkan Widoretno yang mempunyai ilmu si-

luman itu? Maka diam-diam semua orang menja-

di khawatir apabila laki-laki ini sampai kalah me-

lawan Widoretno.

Namun pemuda yang sudah bulat tekad-

nya ini sedikitpun tidak gentar. Ia tidak terpenga-

ruh oleh semua pendapat umum yang mengata-

kan, dirinya akan kalah. Maka pemuda ini meng-

hadapi Widoretno dengan tenang dan penuh rasa 

percaya diri. Pendeknya ia rela mati disiksa oleh 

Widoretno, jika dirinya sampai kalah.

Pemuda ini bernama Kebo Sadewo. Dan ka-

lau laki-laki lain menghadapi Widoretno dengan 

senjata, maka Kebo Sadewo menghadapi gadis itu 

bertangan kosong. Soalnya karena pemuda ini ti-

dak sanggup apabila sampai harus melukai gadis 

yang cantik jelita itu, dan baru berumur duapu-

luh tahun pula.

Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo 

ini malah menyebabkan Widoretno merasa terhi-

na dan merasa direndahkan. Maka setelah Wido-

retno memperingatkan sampai tiga kali supaya 

Kebo Sadewo mencabut senjatanya tidak juga di-

gubris, maka gadis ini kemudian menjadi marah, 

lalu mengancam akan membunuh laki-laki yang 

berani merendahkan dirinya itu.

Tetapi sekalipun Widoretno mengancam


akan membunuh, Kebo Sadewo tetap bertangan 

kosong.

Yang terjadi kemudian memang menyebab-

kan para penonton terbelalak keheranan. Sebab 

sekalipun bertangan kosong, Kebo Sadewo dapat 

melayani sambaran pedang Widoretno dengan 

amat baik. Sambaran pedang Widoretno selalu 

luput, hingga membuat gadis cantik ini semakin 

penasaran dan kemudian menggunakan ilmu si-

lumannya. Widoretno menggerakkan bibirnya 

sambil memandang Kebo Sadewo tidak berkedip.

Yang sudah pernah terjadi, setiap Widoret-

no berkemak-kemik mengucapkan mantranya, 

maka lawan akan menjadi seperti linglung dan 

berkelahi secara ngawur. Kemudian dengan amat 

gampang, gadis ini mengalahkan lawan.

Namun sekarang ini yang terjadi adalah di 

luar dugaan dan meleset dari kebiasaan. Ternyata 

Kebo Sadewo dapat melawan balk sekali, malah 

terus dapat mendesak gadis itu, sehingga pada 

akhirnya pedang Widoretno berhasil ia rebut dan 

kuasai.

Tetapi Widoretno belum juga mau menye-

rah, dan masih tetap melawan sambil mengu-

capkan mantranya yang ampuh itu. Celakanya 

mantra itu tidak mempan, dan yang terjadi ke-

mudian bukanlah Widoretno yang menang, tetapi 

gadis ini malah tidak dapat berontak lagi ketika 

pemuda itu berhasil menangkap dua tangannya.

Apakah sesungguhnya ilmu yang disebut 

siluman milik Widoretno ini? Sesungguhnya dugaan ini keliru. Karena yang benar, apa yang di-

ucapkan oleh Widoretno ini adalah mantra-

mantra gaib semacam ilmu sihir, yang disebut 

dengan nama "Netra Luyub". Maka orang yang 

terpengaruh oleh mantra gaib ini, kemudian akan 

menjadi orang yang linglung, sesuai dengan pe-

rintah Widoretno.

Akan tetapi celakanya, setelah Widoretno 

berhadapan dengan Kebo Sadewo, ilmu Netra 

Luyub ini tidak dapat mempengaruhi. Sebabnya 

tidak lain karena Kebo Sadewo dapat menolak 

pengaruh ilmu tersebut

Maka kemudian sesuai dengan janji yang 

sudah terucapkan, kemudian Widoretno mengak-

hiri masa kegadisannya, lalu kawin dengan Kebo 

Sadewo.

Bahagiakah perkawinan antara Widoretno 

dengan Kebo Sadewo ini? Pada mulanya semua 

orang memang tidak tahu. Sebab memang tam-

paknya suami-isteri sakti ini selalu rukun.

Namun sebenarnya apa yang terjadi, per-

kawinan ini tidak dapat memberikan rasa keba-

hagiaan dalam hati seperti dugaan banyak orang. 

Dan kalau toh nampaknya selalu rukun itu, bu-

kan lain adalah karena sikap Kebo Sadewo yang 

banyak mengalah, sikapnya selalu menjaga den-

gan maksud agar isterinya bahagia.

Tetapi sekalipun sikap Kebo Sadewo amat 

baik kepada isterinya, namun Widoretno masih 

juga banyak ngambek. Setiap kali mulutnya sela-

lu cemberut dan membentak-bentak apabila suaminya mengajak bicara.

Apabila sikap isterinya sudah demikian, 

maka Kebo Sadewo tidak mengimbangi dan men-

galah, lalu ia menghibur diri dengan cara pergi 

dari rumah guna memberi pertolongan kepada se-

tiap orang yang memerlukan pertolongan.

Namun walaupun pergi dari rumah, Kebo 

Sadewo yang amat mencintai dan setia pada iste-

rinya itu, tidak pernah mau menggunakan ke-

sempatan guna melakukan perbuatan menyele-

weng dengan perempuan lain.

Sepuluh tahun lamanya mereka kawin, 

namun ternyata belum juga lahir seorangpun 

anak di tengah keluarga mereka. Inilah sebenar-

nya yang menyebabkan Widoretno lebih sering 

marah, ngambek dan mengajak cekcok.

Akan tetapi bagaimanapun tanggapan iste-

rinya, Kebo Sadewo selalu mengalah dan meng-

gunakan kebijaksanaannya sebagai seorang sua-

mi yang baik dan setia. Sebab pendirian Kebo Sa-

dewo. Isteri ini pemberian Dewata Agung (Tuhan). 

Seorang saja untuk selama hidup. Seorang sudah 

cukup untuk selama hidup, tetapi sebaliknya ka-

lau dua malah kurang, dan tiga atau empat ma-

lah akan menjadi kurang lagi.

Orang yang suka main kawin dan banyak 

istri, belum tentu hidupnya menjadi bahagia. Ke-

mungkinan besar malah akan menimbulkan pe-

rang dingin antara perempuan yang dimadu. Ma-

lah sesungguhnya, isteri seorang saja sudah lebih 

dari cukup dan tidak akan habis. Maka yang tidak puas dengan isteri seorang, berarti hanya 

menuruti nafsu.

Nafsu ini, demikianlah menurut pendirian 

Kebo Sadewo, apabila diumbar, selalu dituruti 

apa kehendaknya, akan menjadi semakin serakah 

dan selalu merasa kurang. Lebih-lebih nafsu main 

perempuan dan main kawin.

Sebaliknya, nafsu yang selalu dikekang 

dan dikendalikan akibatnya juga buruk. Sebab 

nafsu yang dikekang dan dikendalikan itu, adalah 

ibarat kuda yang tersimpan dalam kandang dan 

selalu terikat. Maka sekali waktu apabila kuda itu 

lepas dari kandang dan tidak terikat, akan men-

jadi binal dan semakin berbahaya. Oleh karena 

itu yang tepat apabila nafsu ini tidak diumbar 

maupun dikekang, tetapi terkuasai sambil menye-

lami dan mengikuti perjalanan sang nafsu itu 

sendiri. Orang yang mau mengikuti perjalanan 

sang nafsu dan menyelami, kalamana sudah sa-

dar benar-benar akan menjadi tersenyum sendiri 

dan menyesali segala perbuatan yang sudah per-

nah ia lakukan. Sebab mengumbar nafsu, hanya-

lah membuang waktu dan tenaga sia-sia.

Banyak orang yang menganggap pelacur 

adalah sampah masyarakat. Orang yang hina! 

Orang yang rendah martabatnya.

Lalu sebaliknya, apakah sebutan bagi para 

manusia laki-laki yang suka pelacur itu? Apakah 

dia tidak lebih kotor lagi? Si pelacur sudah jelas 

sengaja menjajakan diri mencari uang, karena ti-

dak mempunyai ketrampilan atau tidak mau be


kerja berat. Kemudian menggunakan kecantikan-

nya untuk memperoleh duit. Dan dari duit itu un-

tuk hidup!

Sebaliknya, laki-laki yang main perempuan 

lacur, bukankah dia harus membayar? Kalau be-

nar pelacur itu merupakan manusia hina, men-

gapa sebabnya laki-laki mau juga datang, mem-

bayar dan malah mengotori dirinya sendiri? Lalu 

apakah sebutan laki-laki macam ini?

Pada suatu ketika Kebo Sadewo dan Wido-

retno melakukan perjalanan bersama seperti bi-

asa mereka lakukan dalam usaha menumpas se-

tiap bentuk kejahatan. Mereka tiba di sebuah de-

sa bernama Lemah Bang, dan perhatian mereka 

menjadi tertarik ketika melihat seorang pemuda 

sedang berkelahi dikeroyok oleh lima orang laki-

laki. Agaknya perkelahian yang tidak seimbang 

itu sudah lama berlangsung. Terbukti pemuda ini 

terdesak hebat sekali dan sudah terluka pada be-

berapa bagian tubuhnya, menyebabkan pakaian 

pemuda itu bernoda darah. Entah apa saja se-

babnya mereka berkelahi dan perkelahian itu ti-

dak seimbang. Keadaan ini menyebabkan Wido-

retno tidak senang lalu timbul niatnya untuk 

membela pemuda yang dikeroyok itu.

- Kakang, pemuda itu terdesak hebat sekali 

dan tidak lama lagi akan roboh dan tewas!- ujar-

nya. - Hemm, lima laki-laki itu tidak tahu malu 

dan sewenang-wenang. Karena itu aku harus tu-

run tangan untuk membela dia.-

- Jangan!- Kebo Sadewo mencegah. - Sebe


lum kau bertindak, kau harus menyelidiki lebih 

dahulu tentang sebab-sebabnya. Karena siapa ta-

hu, pemuda itu memang pada pihak yang salah, 

hingga maksud baikmu itu malah akan berbalik, 

menyebabkan kau dituduh orang sewenang-

wenang. –

- Hemm,- Widoretno mendengus dingin. -

Engkau memang seorang laki-laki lemah dan se-

lalu bertindak terlalu banyak pikir dan pertim-

bangan. Sebaliknya aku, huh, tidak peduli orang 

akan menyebut apa saja kepada diriku. Karena 

yang penting, pengeroyokan terhadap bocah itu 

sudah menjadi bukti perbuatan sewenang-

wenang. –

- Retno, hemm, lalu bagaimanakah penda-

patmu jika seumpama pemuda itu seorang penja-

hat, sedang lima orang itu yang berusaha me-

nangkap dia? Apakah tindakanmu itu tidak ber-

salah dan kemudian dituduh orang engkau sudah 

membela penjahat ?-

- Huh, sudahlah!- bentaknya tidak senang. 

- Jika engkau tidak mau membela bocah itu, biar-

lah aku sendiri yang akan menghajar lima bede-

bah busuk itu. Pendeknya aku mempunyai pen-

dapat, pengeroyokan itu tidak adil. Maka jahat 

dan tidak, adalah urusan belakang. Pendeknya 

aku tidak takut menghadapi tiap orang yang be-

rusaha memusuhi diriku!-

Sesungguhnya Kebo Sadewo tidak sepen-

dapat dengan isterinya, sebelum menyelidiki lebih 

dahulu tentang sebabnya terjadi perkelahian ini.


Akan tetapi sikap Kebo Sadewo terhadap isterinya 

selalu mengalah dan selalu menghindari percek-

cokan. Maksudnya, semua itu tidak lain dalam 

usahanya agar antara dirinya dengan isterinya se-

lalu dapat rukun dan bahagia.

Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo 

gang selalu mengalah, dan selalu menuruti ke-

hendak isterinya ini, malah menyebabkan Wido-

retno menjadi isteri yang manja. Maka ia menjadi 

marah apabila suaminya melarang apa yang ia in-

ginkan.

Guna menghindari hal-hal yang tidak ia in-

ginkan itulah, maka sekarang inipun Kebo Sade-

wo terpaksa mengalah, sekalipun ia tahu keingi-

nan isterinya sekarang ini tidak benar. Melawan 

kesewenangan dan membela orang memang baik, 

tetapi harus tepat pada tempatnya. Hingga tidak 

akan salah langkah sampai membela yang bersa-

lah.

- Baiklah Retno, apabila engkau memang 

menginginkannya. Tetapi biarlah aku di tempat 

ini saja dan akan melindungi keselamatanmu, ji-

ka ada orang yang berani lancang mencampuri 

urusanmu.-

Kebo Sadewo terpaksa setuju, walaupun 

persetujuan ini bertentangan dengan hatinya. 

Maka kemudian ia menempatkan diri dan duduk 

di belakang batu.

Melihat sikap suaminya ini Widoretno ter-

senyum dingin.- Hemm, aku tahu engkau seorang 

laki-laki pengecut, dan takut menghadapi akibat


dari perbuatanmu sendiri!-

Sesungguhnya saja, ucapan isterinya ini 

merupakan ucapan yang amat menyakitkan hati. 

Namun demikian semua itu terpaksa ia telan dan 

tidak membuka mulut. Widoretno akan mengata-

kan apapun, ia anggap sebagai angin lalu, masuk 

telinga kanan keluar lewat telinga kiri. Pendeknya 

biar mengatakan apa saja, ia tidak peduli asal sa-

ja isterinya yang manja itu senang dan tidak ma-

rah.

Demikianlah, tanpa peduli dan tanpa men-

gadakan penyelidikan lebih dahulu, Widoretno 

sudah masuk ke gelanggang perkelahian dalam 

usaha membela pemuda yang dikeroyok lima 

orang itu.

- Bangsat busuk! - bentaknya nyaring 

sambil melompat - Kamu adalah para pengecut 

dan hanya berani kalau main keroyok!-

Sambil membentak ini, Widoretno sudah 

menerjang dengan pedang, menangkis serangan 

dua orang yang sedang menyerang pemuda itu 

dari belakang.

Trang trang..........

- Ailihh.......!

Terjangan Widoretno ini mengejutkan para 

pengeroyok. Sebab bukan saja senjata dua orang 

kawannya itu tertangkis, tetapi juga runtuh di ta-

nah. Lima orang pengeroyok itu kemudian ber-

lompatan mundur dan pemuda yang dikeroyok 

dan sudah terluka tersebut dapat bernapas lega. 

Kemudian pemuda ini memandang Widoretno sekilas.

Mata pemuda ini terbelalak dan lupalah 

untuk sejenak kepada lukanya yang terasa pedih. 

Pemuda ini seakan mimpi, melihat kecantikan si 

wanita penolongnya. Dan walaupun perempuan 

ini sudah berumur sekitar tiga puluh tahun, na-

mun justru malah menunjukkan kematangannya.

Saking terpesona, menyebabkan pemuda 

ini lupa mengucapkan terima kasih, nyawanya 

sudah diselamatkan orang.

Sebaliknya, Widoretno juga terbelalak keti-

ka melihat wajah pemuda ini yang tampan, gan-

teng dan keren. Umur pemuda ini belum dua pu-

luh tahun. Akan tetapi sepasang mata pemuda ini 

bersinar-sinar demikian kuat daya pengaruhnya, 

seperti dapat mengajak dan menjenguk isi da-

danya.

Tiba-tiba saja jantung Widoretno berdebar

keras. Ia merasa aneh sekali dan tiba-tiba saji 

Widoretno menjadi amat tertarik dan terpikat ke-

pada pemuda yang belum ia kenal ini.

Sungguh mati perempuan ini gembira se-

kali dapat menolong pemuda yang ganteng dan 

tampan ini. Dan betapa akan menyesal hatinya, 

kalau saja ia tadi membiarkan pemuda seperti ini, 

harus tewas di tangan para pengeroyok itu.

- Huh, siapa kau perempuan, berani men-

campuri urusan kami ini? - bentak salah seorang,

- Hemm,- Widoretno mendengus dingin. -

Aku adalah aku! Apakah pedulimu? Kamu adalah 

pengecut yang tidak tahu main, huh! Lima orang


mengeroyok seorang muda!-

- Engkau jangan sembarangan membuka 

mulut!- bentak salah seorang. - Tahukah engkau 

akan sebabnya kami mengeroyok bedebah busuk 

dan bajingan tengik ini? Huh, apabila kau men-

dengar persoalannya, engkau akan menyesal ka-

rena lancang mencampuri urusan ini.-

Salah seorang yang lain menyambung, -

Huh, pemuda ini telah membunuh salah seorang 

sahabat kami yang tidak berdosa. Maka sudah 

sepantasnya pula apabila kami mengeroyok un-

tuk menagih hutang nyawa itu!-

- Bangsat busuk! Kamu jangan memfitnah 

orang!- teriak si pemuda dengan lantang. - Aku 

tadi sudah membantah, bukan aku yang melaku-

kan pembunuhan itu. Tetapi kamu mendesak dan 

memaksa aku, mengandalkan jumlah dan menge-

royok sewenang-wenang. –

- Setan alas. Kau jangan mungkir!- teriak 

seorang yang lain lebih keras. - Hayo bangunlah! 

Hayo bantahlah! Ketika terjadi pembunuhan itu, 

bukankah hanya engkau seorang yang berada di 

dekat korban? Jika bukan kau pembunuhnya, 

apa perlunya kau mendekati korban?-

- Hemm benar, saat itu aku berada di dekat 

korban. Tetapi aku bukan pembunuhnya dan aku 

mendekati justru dalam usahaku untuk meno-

long. Sungguh sayang sekali, korban itu sudah 

tewas sehingga tidak mungkin dapat kusela-

matkan lagi. Huh! Tetapi kamu tanpa bertanya 

lebih dahulu sudah menuduh aku secara mem


babi buta. Walaupun aku sudah membantah dan 

menerangkan bukan aku yang membunuh dia. 

Manakah mungkin aku dapat menerima fitnah 

dan tuduhanmu yang tanpa dasar itu?-

Mendengar ini Widoretno yang merasa be-

nar pendiriannya sudah membentak lantang.

- Bajingan pengecut tidak tahu malu! Ter-

nyata kamu telah bertindak sewenang-wenang, 

mengeroyok orang tak bersalah. Huh! Aku takkan 

dapat berpangku tangan melihat perbuatan kamu 

yang tidak adil ini. Jika kamu tidak cepat enyah 

dari tempat ini, jangan salahkan aku jika aku 

menurunkan tangan maut!-

Betapa marah lima orang ini mendengar 

ucapan Widoretno yang terang-terangan membela 

pemuda itu dan secara membabi buta pula. Lima 

orang ini merasa yakin, pemuda inilah yang telah 

membunuh sahabat mereka. Dan apa yang mere-

ka lakukan sekarang ini, sudah sesuai pula den-

gan tugas dan kewajiban untuk membela orang 

tak bersalah. Oleh karena itu, mereka tidak mun-

dur.

- Huh, perempuan hina!- bentak salah seo-

rang! - Jika engkau nekad membela pemuda bu-

suk itu, engkau akan menyesal seumur hidup-

mu!-

- Cerewet! Makanlah pedangku ini!- balas 

Widoretno sambil melesat ke depan, menyerang 

dengan pedang.

Gerakan Widoretno ini amat cepat dan

kuat. Sambaran angin pedangnya mendahului serangan pedang itu sendiri.

Trang trang..........!

Benturan senjata terdengar nyaring, tetapi 

kemudian dua orang ini berubah menjadi pucat 

dan cepat-cepat melompat mundur. Karena pe-

dang mereka telah lepas dari tangan dan terbang 

agak jauh.

Tetapi gerakan pedang Widoretno tidak 

berhenti sampai di situ. Setelah berhasil merun-

tuhkan dua batang senjata lawan, gerakan itu ia 

teruskan untuk menikam salah seorang yang pal-

ing dekat. Untung sekali orang itu cukup waspa-

da, sehingga sambaran pedang itu luput. Namun 

celakanya justru luputnya serangan ini, menye-

babkan Widoretno tambah marah.

- Huh, robohlah!- dalam membentak Wido-

retno sudah mengetrapkan ilmunya yang amat 

berbahaya, bernama Aji Netra Luyub.

Akibatnya adalah hebat. Lima orang itu 

mendadak saja menjadi roboh seperti pingsan 

mendadak.

Melihat apa yang terjadi, pemuda yang di-

bela Widoretno terbelalak kagum. Diam-diam pe-

muda ini merasa heran sekali, mengapa tiba-tiba 

lima orang itu roboh tak bergerak seperti pingsan.

Tetapi justru pada saat itu, ia mendengar 

perintah Widoretno. - Potong sebelah tangan me-

reka sebatas siku!-

Tanpa sesadarnya, pemuda ini sudah me-

lompat dan menggerakkan pedangnya.

Namun sebelum pedang itu berhasil mem


babat lengan menjadi buntung, tiba-tiba terden-

garlah bentakan nyaring sekali dan berpengaruh.

- Jangan!-

Yang membentak ini bukan lain adalah Ke-

bo Sadewo, yang menjadi tidak senang melihat is-

terinya akan melakukan kekejaman yang tidak 

kenal kemanusiaan itu.

Justru sikap Kebo Sadewo ini menyebab-

kan Widoretno tidak senang dan marah, - Kakang! 

Engkau jangan ngacau! Apakah maksudmu mela-

rang ia membuntungi lengan lima bajingan itu?-

- Retno, aku minta engkau jangan melaku-

kan perbuatan biadab seperti itu.- Kebo Sadewo 

memberi nasihat dengan nada sabar dan halus. -

Sadarlah engkau, Retno. Karena perbuatan ma-

cam itu dengan alasan apapun, tidak pantas di 

lakukan oleh seorang yang mengenal jiwa ksatria

dan kemanusiaan.-

Widoretno tersinggung dan menjadi marah. 

Ia ketawa dingin lalu katanya ketus, - Huh, apa-

kah sangkamu hanya kau seorang yang kenal ji-

wa ksatrya dan kemanusiaan? Hemm, bagus! 

Engkau sudah menghina aku, menghina isterimu 

sendiri! Huh, engkau munafik dan ucapanmu itu 

amat menyakitkan hatiku.-

Ia berhenti sejenak sambil mendelik. Tak 

lama kemudian ia meneruskan, - Huh, selama ini 

antara aku dan engkau tidak pernah mendapat 

persesuaian paham. Ibarat air dengan minyak. 

Muak aku melihatmu! Huh, Kebo Sadewo, keta-

huilah bahwa hinaan mu kepada diriku hari ini


tidak lagi dapat aku maafkan. Sudahlah! Dari pa-

da antara kita selalu bertentangan terus dan ti-

dak pernah bisa rukun, lebih baik sejak sekarang 

ini kita berpisah. Mulai saat ini lebih tepat apabila 

kita membebaskan diri dari ikatan dan kita men-

gambil jalan masing-masing.-

- Retno! Apakah sebabnya engkau berkata 

seperti itu?- Dalam mengucapkan kata-katanya 

ini, nadanya gemetar terpengaruh oleh kemara-

han. Sebab bagaimanapun sabarnya menghadapi 

isterinya, Kebo Sadewo menjadi tersinggung oleh 

ucapan Widoretno ini. Harga dirinya sebagai seo-

rang suami tentu saja tidak mau direndahkan se-

perti itu, yang seakan-akan dihina terang-

terangan di depan orang.

- Sudahlah, tidak perlu cerewet! Pendeknya 

sejak sekarang ini aku dan engkau berselisih ja-

lan. Maka sebaiknya kita akhiri saja hubungan 

kita!- bentak Widoretno kasar.

- Hemm, baiklah! Memang sebaiknya aku 

dan engkau mengambil jalan masing-masing.-

Kebo Sadewo menerima tantangan isterinya.

Tetapi walaupun demikian, dalam mengu-

capkan kata-katanya ini, nadanya mengandung 

getaran jiwa yang amat sedih. Bagaimanapun ia 

amat sayang dan kasih kepada isterinya, dan ia-

pun mencintai dengan segenap jiwanya.

Sekalipun demikian sebagai seorang laki-

laki, ia tidak dapat menerima begitu saja, apabila 

isterinya selalu menentang nasihat-nasihatnya, 

sehingga melakukan perbuatan-perbuatan yang


bertentangan dengan jiwanya. Seperti yang dila-

kukan Widoretno sekarang ini, terang-terangan 

amat menusuk perasaannya.

Sungguh, ia tidak habis mengerti mengapa 

isteri yang amat ia cintai itu sampai hati mencaci 

maki dirinya di depan orang lain? Malah sekarang 

ini isterinya membela seorang pemuda yang sama 

sekali belum ia kenal watak dan tabiatnya dan be-

lum tentu pada pihak yang benar.

Setelah berhenti sejenak untuk menekan 

perasaan marah dalam dadanya, ia meneruskan, 

- Apa yang kau lakukan sekarang ini bertentan-

gan dengan jiwa dan nuraniku. Hemm, engkau 

sudah memilih pada pihak yang salah dan karena 

itu semua perbuatanmu tak ada hubungannya 

dengan aku dan semua akibatnya menjadi tang-

gung jawabmu sendiri.

Widoretno terkekeh sejenak. - Heh heh heh 

heh, aku bilang kau cerewet seperti burung beo 

belajar bicara. Huh, apakah engkau tidak lekas 

enyah dari tempat ini?-

Sepasang mata Kebo Sadewo menyala sak-

ing marah mendengar pengusiran isterinya ini. 

Akan tetapi mata yang menyala itu hanya seben-

tar saja, kemudian kembali seperti biasa, setelah 

ia berhasil menekan perasaan.

- Hemm, baiklah aku pergi sekarang juga! 

Tetapi ingatlah baik-baik, aku bukanlah seorang 

laki-laki rendah budi seperti dugaanmu. Demi 

sayang dan kasihku kepada engkau, aku tidak 

bakal berdekatan lagi dengan perempuan.


Kemudian laki-laki ini melompat, dan me-

langkah cepat tanpa berpaling. Namun demikian 

di luar tahu Widoretno, dari sudut mata laki-laki 

ini berloncatanlah air mata.

Benar! Sekarang ini Kebo Sadewo memang 

menangis, karena diusir oleh isteri. tercinta dan 

terpaksa harus berpisah dengan Widoretno. Me-

mang benar-benar menyakitkan sekali sikap dan 

perbuatan perempuan seperti ini, yang selalu me-

rasa menang sendiri dan benar sendiri.

Kebo Sadewo menghela napas berkali-kali, 

karena ia amat menyesal, mengapa apa yang ter-

jadi justru tidak sesuai dengan harapannya. Ia 

sudah selalu bersikap mengalah, dan apapun 

yang ia lakukan dalam usaha membahagiakan is-

terinya. Namun yang terjadi sekarang, isteri yang 

ia cintai itu malah tidak segan-segan mengusir di-

rinya dan disaksikan pula orang lain.

- Hemm, tetapi memang sebaiknya begini, 

dari pada setiap saat pendirianku selalu berten-

tangan dengan pendiriannya!- desisnya sambil 

melangkah cepat, dengan maksud agar secepat-

nya dapat melupakan Widoretno.

Sulit terlukiskan betapa gembira hati Wido-

retno, setelah ia berhasil mengusir suaminya yang 

amat setia itu. Terus terang saja hati perempuan 

ini menjadi tertarik dan jatuh cinta pada pandan-

gan pertamanya terhadap pemuda tampan dan 

masih muda ini. Dan ia sudah membayangkan 

betapa bahagia hatinya kemudian hari, jika di-

rinya dapat hidup sebagai suami isteri dengan


pemuda ganteng ini.

Oleh sebab itu setelah Kebo Sadewo pergi, 

ia sekarang mengerling penuh arti kepada pemu-

da di sampingnya ini, lalu berkata merdu, - Seka-

rang sudah tiada penghalang lagi. Maka lakukan 

hukuman potong tangan itu, agar semua orang 

tidak berani gegabah lagi terhadap kita.-

Berdebar hati pemuda ini menangkap kerl-

ing mata Widoretno yang penuh daya tarik itu. 

Kemudian seperti seorang hamba yang patuh se-

kali kepada tuannya, pemuda ini sudah men-

gangkat pedang dan kemudian membuntungi len-

gan lima orang lawan itu, satu persatu disaksikan 

oleh Widoretno dengan bibir tersenyum manis.

- Bagus!- pujinya. - Dan marilah sekarang 

ikut aku. Engkau terluka, biarlah aku yang men-

gobati dan menyembuhkan lukamu.-

Tanpa rasa main, kikuk dan sungkan lagi, 

Widoretno sudah menyambar lengan pemuda 

yang memikat hatinya itu, kemudian ia melang-

kah pergi meninggalkan lima orang korbannya 

yang menderita.

Setelah Widoretno pergi meninggalkan me-

reka, maka lima laki-laki yang tadi terpengaruh 

oleh Aji Netra Luyub menjadi buyar dan hampir. 

berbareng mereka mengeluh dan membuka mata.

Mereka kaget sekali dan merintih kesaki-

tan, kemudian terbelalak kaget ketika melihat 

lengan kanan telah buntung sebatas siku. Pada 

mulanya mereka merasa heran, tetapi setelah in-

gatan mereka terkumpul kembali, teringatlah mereka apa yang sudah terjadi.

Mereka tadi mengeroyok seorang pemuda 

yang sudah membunuh salah seorang sahabat 

mereka. Pada saat pemuda itu hampir dapat me-

reka kalahkan, datang perempuan yang menolong 

dan merobohkan mereka.

Semenjak peristiwa itu terjadi, Kebo Sade-

wo tidak pernah terdengar lagi namanya. Dan se-

menjak itu pula telah mengganti namanya dengan 

Tunjung Biru. Yang pada akhirnya kemudian ha-

ri, setiap orang mengenal dirinya dengan nama Ki 

ageng Tunjung Biru sebagai kakak seperguruan 

Gajah Mada.

Adapun Widoretno dengan jantung berde-

baran, menggandeng pemuda itu masuk ke dalam 

sebuah hutan.

Kalau jantung perempuan ini tidak keruan, 

lebih-lebih pemuda yang masih hijau ini, jan-

tungnya melonjak-lonjak seperti mau copot.

Sambil melangkah perlahan setengah dipa-

pah, terasalah telapak tangan dan jari-jari tangan 

yang halus ini memegang tangannya. Dan dis-

amping itu sengaja atau tidak, lengan itu sering 

didesak oleh benda yang lunak lembut pada dada 

perempuan itu,

- Siapakah namamu, Adik yang baik?- ta-

nyanya halus dan terdengar amat merdu masuk 

dalam rongga telinga pemuda itu.

- Aku.....aku Sobrah Tulus.....- sahut pe-

muda ini tidak lancar, saking dadanya terasa 

amat tegang dan berdebaran. - Dan...... dan.....


Mbakyu, siapa?

- Hi hi hik, aku Widoretno.-

- Widoretno? Ahhh.....namamu bagus seka-

li.. menarik seperti, -

- Seperti siapa? Katakanlah terus terang.-

Widoretno mendesak dan matanya mengerling 

penuh arti dibarengi dengan bibir menyungging 

senyum manis sekali.

Dan karena masih melangkah berdampin-

gan, lengan Sobrah Tulus masih dipegang oleh 

Widoretno, maka kembali benda yang lunak lem-

but itu menekan lengan si pemuda.

- Seperti.....ah ..... aku takut-

- Kenapa takut? Takut kepada siapa?- Wi-

doretno pura-pura tidak tahu.

- Takut kepada Mbakyu. Khawatir.....kau 

tersinggung ...... -

- Katakanlah, Adik yang baik, jangan ragu-

ragu. Bukankah aku tidak menakutkan? Atau 

kau memang tidak suka berkenalan dengan aku? 

- Ahhh.....Mbakyu..... aku lebih dari su-

ka.....karena .... karena kau amat can.....-

- Can apa? Canthoka? Berarti aku ini ka-

tak?- namun dalam mengucapkan kata-katanya 

ini, bibir Widoretno tersenyum, sama sekali tidak 

tampak marah.

- Ahhhh, manakah ada katak seperti 

Mbakyu? Jika Mbakyu katak, lalu apakah aku 

ini? Ha ha ha ha, yang benar Mbakyu adalah seo-

rang wanita yang amat cantik ...... –


Sobrah Tulus yang pada mulanya takut-

takut itu, setelah melihat sikap dan mendengar-

kan kata-katanya, sekarang hilang rasa takutnya 

dan malah sudah berani tertawa.

Mendengar pemuda ini tertawa, maka Wi-

doretno juga lalu tertawa, suaranya merdu sekali 

terdengar dalam telinga Sobrah Tulus. Seakan 

suara tawa yang merdu itu, masuk ke dalam te-

linganya lalu menyelinap ke dalam kalbu.

- Ahhh, kau bohong - ucap Widoretno yang 

berusaha memancing perhatian Sobrah Tulus, te-

tapi hati perempuan ini terasa bahagia sekali.

Tiba-tiba Sobrah Tulus menghentikan 

langkahnya, lalu memutar tubuh menghadapi 

Widoretno. Mereka kemudian berdiri berhadapan 

dalam jarak dekat sekali. Dua pasang mata ber-

taut, dan dari mata dua pasang ini memancarlah 

sinar kasih yang menyebabkan jantung mereka 

berdua makin berdenyutan lebih keras. Dan ke-

mudian seperti terpengaruh oleh kekuatan yang 

tidak terlawan lagi, tangan Widoretno terulur ke 

depan.

Lengan perempuan ini memegang pundak 

Sobrah Tulus. Dan pemuda ini yang pada mu-

lanya takut-takut, menjadi bangkit keberaniannya 

setelah perempuan cantik ini memegang pundak-

nya.

Dua lengan Sobrah Tulus segera terangkat 

pula. Pada mulanya gerakan ini agak ragu dan 

gemetaran, dalam memegang lengan Widoretno 

itu. Namun ketika perempuan ini tidak mele


paskan rabaan tangannya, maka jari tangan So-

brah Tulus bergerak merayap sepanjang lengan 

itu, dan akhirnya sampai di bawah pundak. Ke-

mudian jari tangan pemuda itu bergerak turun 

sampai pinggang.

- Ihhh ..... kau.....- tiba-tiba saja Widoretno 

tak kuasa menahan hatinya lagi, lalu memeluk 

pemuda ini erat sekali dan langsung menyerang 

bibir si pemuda.

Widoretno menjadi lupa diri berhadapan 

dengan pemuda tampan dan ganteng ini, masih 

muda pula. Ia tidak ingat lagi bahwa saat seka-

rang ini sebenarnya Sobrah Tulus sedang terluka 

pada beberapa bagian tubuhnya. Dan hanya oleh 

pengaruh perasaan aneh yang memenuhi da-

danya saja, Sobrah Tulus menjadi lupa kepada 

keadaan tubuhnya yang terluka.

Akan tetapi setelah mendapat pelukan Wi-

doretno, pundaknya yang terluka terasa sakit

- Ahhhh.....!- terdengar desah dari mulut 

Sobrah Tulus ketika Widoretno melepaskan bibir 

pemuda itu.

Tubuh Sobrah Tulus menggigil, dan tentu 

pemuda itu sudah roboh apabila tidak cepat dipe-

luk lagi oleh perempuan itu.

- Aduhhh ..... maafkanlah aku sampai ter-

lupa kau terluka. –

Sambil berkata demikian Widoretno mem-

bimbing pemuda yang memikat hatinya ini, ke-

mudian mereka duduk di bawah pohon rindang.

- Biarlah aku yang memeriksa dan mengo


bati-

Sobrah Tulus menahan rasa sakit dan pe-

dih pada lukanya. Dan ia membiarkan ketika jari 

tangan Widoretno melepas bajunya yang bernoda 

darah. 

- Ahhh, untung sekali lukamu ringan saja. 

Setelah aku obati dalam waktu singkat tentu su-

dah sembuh kembali!- ujarnya lirih dengan nada 

menghibur.

Sobrah Tulus mengangguk. Namun ia me-

ringis juga ketika luka yang darahnya sudah 

mengering itu dibersihkan oleh Widoretno.

Cekatan juga jari tangan Widoretno dalam 

membersihkan dan mengobati luka-luka itu. Sete-

lah membubuhi obat, luka itu kemudian ia balut 

menggunakan kain penutup dadanya yang dibagi-

bagi. Dan pada saat Widoretno melepas kain pe-

nutup dadanya ini, maka Widoretno terpaksa me-

nyingsingkan bajunya ke atas.

Mereka berhadapan dan dada pemuda ini 

bergetar hebat sekali ketika melihat Widoretno 

melepas kain penutup dada itu, disamping amat 

berterima kasih.

Aneh juga yang dilakukan perempuan ini. 

Ia mempunyai persediaan ganti pakaian dalam 

bungkusan. Mestinya kalau memerlukan kain pe-

nutup dada, ia bisa mengambil dari bungkusan 

itu. Tetapi mengapa malah melepas yang sudah ia 

pakai?

Jari tangan Widoretno cekatan sekali keti-

ka melepas kain penutup dada itu. Dan ketika


kain penutup dada lepas, perempuan ini lalu si-

buk merobek-robek kain ini untuk pembalut

Saking sibuk, perempuan ini menjadi lupa 

bahwa waktu itu bajunya terbuka ke atas, dan 

dada yang tanpa penutup itu sekarang tampak 

membukit penuh di depan mata Sobrah Tulus.

Mata pemuda ini silau memandang dada 

membukit penuh tanpa penutup itu, tetapi mata 

itu malah melotot dan menelan ludah.

Semenjak dirinya menjadi dewasa, baru 

pertama kali ini saja dirinya melihat pemandan-

gan menarik seperti ini. Pandangan asing dan ba-

ru bagi dirinya, bukit kembar yang halus, kuning 

dan montok.

Untung sekali ketika itu Widoretno segera 

sadar keadaan. Ia menjerit lirih dan secepatnya 

menurunkan ujung baju dan dadanya sekarang 

tertutup kembali. Namun sekalipun sudah tertu-

tup kembali, pemuda ini masih juga memandang 

seakan dapat menembus baju.

Widoretno tersenyum memikat sekali. Ke-

mudian katanya dengan nada manja, -

Aihhh.....apakah sejak sekarang, panggilan itu ti-

dak kita ubah menjadi sebaliknya?-

- Apakah maksudmu?- Sobrah Tulus kehe-

ranan,

- Hemm, aku adalah perempuan yang suka 

blak-blakan. Sekarang aku bertanya, bagaimana-

kah perasaanmu kepada diriku ?-

- Perasaan yang mana?-

- Hemm, engkau jangan pura-pura tidak


tahu. Hi hi hik, aku perempuan dan kau laki-laki. 

Katakanlah, apakah engkau tidak tertarik kepa-

daku?-

- Aku.....aku.....- Sobrah Tulus gelagapan.

Sebenarnya ia memang amat tertarik kepa-

da perempuan cantik ini. Tetapi ia tidak tahu, 

apakah getaran jantungnya sekarang ini merupa-

kan tanda dirinya sudah jatuh cinta? Namun ke-

nyataannya memang timbul pula rasa suka kepa-

da perempuan ini. Dan kemudian timbul pula ha-

rapannya agar selalu dapat berdekatan dengan 

Widoretno.

- Hi hi hik ..... aku.....aku apa?- Widoretno 

ketawa lirih setengah mengejek.

Ketika Sobrah Tulus tidak juga menjawab, 

ia mengulang, - Hi hi hik ..... aku .....aku apa?-

- Aku.....aku......ya.....- Sobrah Tulus sulit 

untuk mengucapkan kata-katanya, sehingga ja-

waban yang keluar dari mulutnya hanya seperti 

itu.

Namun jawaban ini sudah cukup jelas bagi 

Widoretno. Perempuan ini tahu, Sobrah Tulus la-

ki-laki perjaka yang belum pernah kenal perem-

puan. Terbukti dari sikapnya yang malu-malu 

dan kata-katanya yang setengah takut. Untuk itu 

maka dirinyalah yang harus memimpin dan me-

mulai.

Manusia di dunia ini, biasanya menjadi 

paling lemah apabila berhadapan dengan nafsu 

birahi. Manusia yang sanggup menghadapi amu-

kan nafsu birahi, hanyalah terbatas jumlahnya,


sehingga tidak gampang diperkuda oleh nafsu itu, 

karena jiwanya kuat.

Manusia yang disebut kuat jiwanya bukan-

lah terbawa semenjak dilahirkan, tetapi terbentuk 

oleh pengaruh pendidikan yang dilambari kesada-

ran. Sebab pendidikan takkan dapat menolong 

tanpa adanya kesadaran. Pendidikan menyebab-

kan orang mengerti, tetapi kalau tidak menyadari, 

manakah mungkin bisa terjadi?

Sebagai manusia mereka adalah sama-

sama memiliki nafsu birahi ini. Maka apabila ma-

nusia tidak mau menyadari bakal menjadi binal 

dan buas. Demikian pula yang terjadi dan berke-

camuk dalam dada Widoretno ini. Dahulu ketika 

dirinya kawin dengan Kebo Sadewo. sesungguh-

nya ia merasa terpaksa. Ia tidak dapat mencintai 

Kebo Sadewo yang umurnya terpaut jauh. Dan 

kalau toh ia kawin dengan Kebo Sadewo tidak lain 

karena sudah kalah janji.

Pada mulanya melihat sikap suaminya 

yang amat mencintai dirinya secara tulus dan se-

lalu bersikap mengalah, ia selalu berusaha meng-

hibur diri. Ia berusaha untuk mencintai Kebo Sa-

dewo. Namun ternyata kemudian usahanya ini 

bertemu dengan kegagalan, setelah tahu Kebo 

Sadewo seorang laki-laki yang lebih suka menyi-

bukkan diri dengan urusan di luar rumah, di-

banding dengan memperhatikan pembinaan cinta 

kasih sebagai suami isteri.

Lebih lagi setelah sepuluh tahun kawin be-

lum juga mendapatkan keturunan, menyebabkan


ia menjadi masygul dan selalu menyalahkan su-

aminya. Widoretno hanya ingin menang saja, tan-

pa mau berpikir bahwa seal anak ini ada bebera-

pa penyebabnya. 

Mungkin Widoretno sendiri yang mandul. 

Mungkin juga Kebo Sadewo yang mandul. Atau 

dua-duanya mempunyai penyakit, sehingga 

menghalangi untuk memperoleh keturunan. Atau 

ada sebab lain, disamping juga sudah menjadi 

kehendak Dewata Yang Agung.

Sebagai akibat rasa kecewa dan kemasygu-

lannya inilah kemudian mendorong Widoretno in-

gin lepas dari kekangan Kebo Sadewo, setelah ia 

melihat ketampanan dan wajah ganteng pemuda 

bernama Sobrah Tulus. Saking tertarik dan terpi-

kat hatinya inilah maka kemudian Widoretno 

sengaja membuat Kebo Sadewo marah dengan ka-

ta-kata yang menusuk perasaan suami. Dan usa-

hanya ternyata berhasil, maka sekarang seperti 

seekor kuda yang lepas dari kandang, Widoretno 

menjadi banal. Ia merayu Sobrah Tulus baik den-

gan sikap, perbuatan maupun ucapan.

Jadilah kemudian Widoretno dan Sobrah 

Tulus hidup sebagai suami isteri. Mereka hidup 

amat rukun, sebab sekalipun umurnya lebih tua, 

namun sebagai perempuan sakti mandraguna 

dan berpengalaman, dapat membuat Sobrah Tu-

lus bertekuk lutut

Akan tetapi benarkah Sobrah Tulus men-

cintai setulus hati? Terbuktilah bahwa Sobrah 

Tulus tidak mencintai Widoretno sepenuh hati.


Dan kalau toh pemuda ini sedia kawin dengan 

Widoretno, memang ada maksud tersembunyi. 

Dorongan yang terutama bagi Sobrah Tulus 

mengawini Widoretno, adalah ingin bisa mempe-

roleh rahasia ilmu yang dapat merobohkan lawan 

hanya dengan mantra itu, ialah Aji Netra Luyub.

Pada mulanya Widoretno memang kikir 

dan tidak bersedia membuka rahasia ilmu terse-

but. Namun berkat kecerdikan dan bujuk rayu, 

akhirnya Sobrah Tulus dapat menguasai ilmu ter-

sebut.

Kemudian apakah yang terjadi? Ternyata 

laki-laki ini curang. Kemudian ia mencampurkan 

obat tidur dengan nasi dan minuman Widoretno. 

Kemudian menggunakan kesempatan pada saat 

Widoretno tertidur ini Sobrah Tulus membuang 

Widoretno ke dalam jurang amat dalam.

Apa yang ia lakukan ini bukan lain karena 

Sobrah Tulus tidak tega membunuh isteri dan se-

kaligus gurunya itu. Maka menurut pendapatnya, 

dengan jalan ia buang ke jurang, nyawa Widoret-

no tentu melayang.

Namun Sobrah Tulus tidak menyadari, 

orang bisa mengharapkan tetapi ketentuan di 

tangan Yang Maha Tinggi. Ternyata Widoretno ti-

dak mati dan hanya menderita patah dua kakinya 

dan luka-luka ringan yang lain, hingga akibatnya 

Widoretno menjadi lumpuh. Dan kemudian, 

sungguh merupakan keajaiban yang diciptakan 

oleh Yang Maha Tinggi, Nenek Widoretno masih 

hidup.


Widoretno menghela napas panjang men-

gambil napas. Kemudian katanya kepada Dewi 

Sritanjung, - Anak baik, itulah kisah hidupku 

yang kemudian menyebabkan aku menderita se-

perti ini. Aku amat menyesal sekali dan merasa 

berdosa pula kepada Kakang Kebo Sadewo..... 

yang kemudian berganti nama Ki ageng Tunjung 

Biru itu....... Kalau saja aku tetap menjadi iste-

rinya, tentu aku takkan sampai mengalami nasib 

buruk ini.-

Nenek Widoretno menyeka air mata yang 

bercucuran dari matanya, menyesali nasib.

- Tetapi Nek, kenapa yang kau ceritakan 

kok hanya Sobrah Tulus. Lalu Klinthung Waluh 

itu, siapa?- tanya Dewi Sritanjung.

- Hemm.....Sobrah Tulus dan Klinthung 

Waluh itu sama saja orangnya -

- Ahhhh.....biadab benar manusia busuk 

itu. Huh, apabila aku cepat membawa Nenek ke-

luar dari tempat ini, akan aku lumatkan kepa-

lanya.-

- Heh heh heh heh .....- Nenek Widoretno 

terkekeh. - Engkau jangan melamun kosong. Ma-

nakah mungkin kita bisa keluar dari tempat ini?-

- Tetapi Nek, apabila aku berusaha terus, 

aku percaya Dewata Agung akan mengulurkan 

tangan dan menolong. Entah keajaiban apa yang 

akan terjadi, tetapi aku percaya kelak kemudian 

hari akan dapat keluar dari tempat ini,-

Mendengar tekad gadis yang penuh seman-

gat ini Widoretno tidak tega untuk membuat tipis


harapan. Katanya kemudian, - Ya! Akupun berha-

rap agar kau dapat menemukan jalan keluar itu. 

Dan harapanku pula, engkau akan dapat memba-

laskan sakit hatiku.-

- Hemm, tentu Nek. Nenek adalah isteri 

Kakekku dan juga Guruku. Manakah mungkin 

aku membiarkan manusia biadab itu hidup enak 

dan terlepas dari hukuman ?-

Sesungguhnya saja ketika muda, Widoret-

no seorang perempuan angkuh, suka menurutkan 

kemauannya sendiri disamping congkak. Tetapi 

sesudah puluhan tahun lamanya terhukum dan 

tersiksa di tempat terasing ini, jiwa perempuan ini 

kemudian memperoleh kesadaran. Wataknya be-

rubah seperti bumi dengan langit. Maka ketika 

melihat gadis ini secara tidak sengaja terperosok 

masuk ke dalam jurang ini, Widoretno menjadi 

amat kasihan kepada Dewi Sritanjung.

Lebih-lebih setelah ia mengerti, Dewi Sri-

tanjung merupakan pewaris ilmu kesaktian dari 

suaminya, maka hanya kepada gadis ini sajalah 

yang menjadi tumpuan harapannya, agar kelak 

kemudian hari dapat membalaskan sakit hatinya.

Tiba-tiba Widoretno teringat sesuatu, lalu 

katanya halus, - Cucuku, ahhh..... manakah 

mungkin kau sanggup berhadapan dengan Klin-

thung Waluh, justru dia mempunyai Aji Netra 

Luyub?-

Mendengar ini Dewi Sritanjung lalu teringat 

kepada peristiwa yang sudah ia alami. Kalau tidak 

tertolong oleh Mpu Kepakisan, tentu dirinya sudah celaka dalam tangan Klinthung Waluh, seba-

gai akibat terpengaruh oleh Aji Netra Luyub itu. 

Untung sekali gadis bernama Dewi Sritanjung ini 

seorang gadis cerdik. Kalau saja sekarang dirinya 

dapat memiliki Aji Netra Luyub seperti Klinthung 

Waluh, tentunya akan dapat membalas dendam 

kepada orang itu.

Maka kemudian Dewi Sritanjung menatap 

Widoretno. Ujarnya, - Nenek yang baik, kalau 

Klinthung Waluh bisa memiliki Aji Netra Luyub 

itu atas ajaran Nenek, apakah aku tidak dapat 

pula memperoleh Ajian tersebut dari Nenek?-

Widoretno terkekeh mendengar permintaan 

ini. Jawabnya, - Heh heh heh heh, ternyata eng-

kau cucuku yang cerdik. Asalkan kau mau dan 

tekun, mengapa tidak? Tentu saja aku akan dapat 

pula menurunkan ilmu atau aji tersebut untuk 

kepentinganmu.-

Betapa gembira gadis ini mendengar kese-

diaan Widoretno. Tiba-tiba saja gadis ini berlutut 

sambil membenturkan dahinya ke tanah.

- Terima kasih, Nenek, dan sekaligus Gu-

ruku, atas kesediaan Nenek untuk mengajarkan 

Aji Netra Luyub untuk diriku,- katanya mantap.

- Heh heh heh heh, bangkitlah! Sudah, kau 

tidak perlu berlutut. Sebab sudah sewajarnya pu-

la, jika engkau sebagai murid suamiku, maka 

engkau juga muridku pula.-

Saking gembira gadis ini sampai tak ingat 

lagi tempatnya sekarang ini terpisah dengan du-

nia ramai. Manakah mungkin Dewi Sritanjung

dapat memanfaatkan aji kesaktian tersebut apabi-

la selama hidup terus terkurung di tempat ini?

3

Bagaimanapun sedih dan sengsara hati 

Dewi Sritanjung yang terperosok ke dalam jurang 

yang buntu ini, kiranya masih lebih enak apabila 

dibandingkan dengan nasib Mahisa Singkir dan 

Sarwiyah. Sebab sekalipun di tempat terasing, te-

tapi Dewi Sritanjung bisa bebas, bisa sesuka hati,

tidak tertekan perasaannya oleh siapapun. Se-

dangkan Nenek Widoretno sikapnya amat baik 

dan malah mengajarkan Aji Netra Luyub pula.

Siapakah Mahisa Singkir dan Sarwiyah ini? 

Untuk dapat mengetahui secara rinci, kiranya 

Pembaca perlu membaca buku berjudul "Perjala-

nan Yang Berbahaya" dan "Terkurung Di Perut 

Gunung". Dua orang muda ini sedang dalam per-

jalanan menuju Belambangan untuk mencari tu-

nangannya Warigagung dan guru pemuda itu 

bernama Julungpujud, dengan maksud minta 

bantuan agar dapat membalaskan sakit hatinya 

kepada Gajah Mada. Tetapi sungguh celaka dalam 

perjalanan ini mereka tertangkap dan kemudian 

tertawan dalam lembah terasing yang penuh ra-

hasia. Pada lembah ini yang berkuasa adalah 

Mpu Galuh, sisa pemberontak Sadeng.

Memang setelah Mahisa Singkir dan Sar-

wiyah secara paksa harus hidup di dalam kamar


tahanan, sikap para penjaga memang baik dan 

menghormat. Pelayanannya pun baik, karena se-

mua orang tahu belaka, baik si pemuda maupun 

si gadis merupakan calon-calon menantu Mpu 

Galuh. Akan tetapi walaupun demikian, manakah 

mungkin dua orang muda ini bisa merasakan hi-

dup senang?

Selama dua hari dalam tahanan di kamar 

ini, Sarwiyah terus menerus menangis dan mogok 

makan. Akibatnya mata yang semula indah itu 

sekarang menjadi merah dan pelupuk matanya 

bengkak.

Dalam keadaan sedih dan menangis ini 

kemudian ia teringat kepada kakeknya yang su-

dah meninggal maupun kakak perempuannya Sa-

rindah dan adik laki-lakinya yang lenyap bersama 

Sentiko. Lalu di manakah Sentiko sekarang ini? 

Masih hidup ataukah sudah mati? Dan di mana 

pula kakak perempuannya itu, yang setelah ber-

pisah dengan dirinya tidak pernah ia dengar ka-

barnya lagi?

- Mbakyu ..... ohhh .....- desisnya di tengah 

isak dan tangisnya. - Kalau saja aku dan kau ti-

dak berpisah, kiranya takkan sampai menderita 

seperti ini ......

Benar, gadis ini sekarang amat menyesal, 

mengapa ketika itu kakak perempuannya me-

maksa, supaya dirinya pergi seorang diri mencari 

Julung Pujung dan Wariagung. Sedang Sarindah 

kemudian menyatakan ingin mencari juru tenung 

yang pandai untuk menenung Gajah Mada.


Sekarang timbul pertanyaan dalam hati, 

berhasilkah usaha kakak perempuannya itu? Ka-

lau benar kakak perempuannya itu berhasil 

membunuh Gajah Mada dari tempat jauh, sekali-

pun dirinya sekarang menderita sengsara, ada pe-

rasaan lega juga. Sebab cita-cita kakeknya yang 

ingin dapat membunuh Gajah Mada telah berha-

sil. Akan tetapi sebaliknya apabila usaha kakak 

perempuannya itu sampai gagal, bukankah berar-

ti semua pengorbanan ini hanya sia-sia belaka?

Karena selama dalam tahanan ini Sarwiyah 

mogok makan, maka dalam waktu singkat saja, 

gadis ini menjadi pucat dan kurus. Rambutnya 

menjadi kusut dan terurai awut-awutan, pakaian 

kusut tidak mau ganti, sehingga dari gadis muda 

cantik jelita, sekarang berubah menjadi seperti 

perempuan gila.

Apabila Sarwiyah selalu menangis dan se-

dih, sebaliknya Mahisa Singkir tidak kurang pula 

sedihnya. Namun demikian cara berpikir pemuda 

ini lain dengan Sarwiyah. Sebab Mahisa Singkir 

tidak mogok makan seperti Sarwiyah, melainkan 

semua pemberian jatah makanan itu, ia terima 

dan ia makan dengan lahap. Sebabnya ia bersi-

kap seperti ini karena ia sadar, raganya membu-

tuhkan makanan dan guna menjaga kekuatan 

dan kesehatannya pula. Supaya pada saat perlu, 

dan pada saat berhadapan dengan bahaya, ia bisa 

menggunakan tenaganya. Oleh sebab itu tubuh-

nya masih segar seperti ketika masih bebas, wa-

laupun wajahnya agak pucat.


Dalam kamar tahanan inipun disamping 

menjaga kekuatan dan kesehatan tubuhnya, ia-

pun tidak pernah lupa untuk melatih diri, sekali-

pun ia tidak mempunyai harapan dapat melo-

loskan diri.

Ia tidak pernah melupakan pesan kakek 

gemuk yang baik hati dan bernama Mpu Anusa 

Dwipa itu. Kakek yang sudah menyelamatkan 

nyawanya, kemudian malah bersedia menggem-

bleng dirinya, sekalipun tidak diakui sebagai mu-

ridnya.

- Bocah, - kata Mpu Anusa Dwipa ketika 

itu. - Dalam keadaan yang bagaimanapun, mela-

tih diri sambil mawas diri, adalah penting kau la-

kukan secara rajin. Sebab semua itu akan bergu-

na bagi dirimu sendiri dan dalam usahamu me-

nunaikan tugas.-

Pesan kakek gendut ini tidak pernah ia ab-

aikan dan ia lupakan. Maka selama dalam taha-

nan di tempat ini, waktu malah ia pergunakan 

sebaik-baiknya. Sebab siapa tahu kemudian hari 

ia memerlukan tenaganya sendiri apabila mempe-

roleh kesempatan lolos?

Manusia tidak seharusnya lekas patah ha-

rapan dan tanpa berusaha, sekalipun takdir tentu 

berlaku terhadap semua manusia hidup. Itulah 

sebabnya setiap usai makan, seperti yang terjadi 

pada sore tadi, pemuda ini lalu duduk bersila di 

pembaringan batu guna melatih ilmu ajaran Mpu 

Anusa Dwipa. Ajaran itu adalah mengumpulkan 

hawa sakti dalam tubuh, lalu ia salurkan ke selu


ruh bagian tubuhnya.

Karena ia sedang tenggelam dalam melatih 

diri dengan bersamadi ini, Mahisa Singkir sampai 

tidak tahu dan tidak mendengar, pintu kamar ta-

hanannya terbuka. Kemudian seseorang masuk 

ke dalam kamar sambil membawa lentera kecil 

dari minyak kelapa. Mula-mula orang ini menyu-

luhi sekitar kamar. Tetapi kemudian memusatkan 

perhatian kepada Mahisa Singkir yang duduk ti-

dak bergerak.

- Bangunlah!- tegur orang itu dengan suara 

halus dan merdu, dan sambil berdiri di depan 

Mahisa Singkir.

Mahisa Singkir geragapan kaget, wajahnya 

tersorot oleh sinar lampu, sedangkan suara yang 

halus merdu itu menyelundup masuk dalam 

rongga telinganya. Untuk sejenak pemuda ini ter-

belalak menatap wajah perempuan yang cantik di 

depannya ini. Wajah yang sebenarnya malah lebih 

cantik apabila dibandingkan dengan Sarwiyah.

- Ohhhh ..... apakah maksudmu masuk ke 

kamar ini?- tanyanya agak gugup.

Bibir indah itu tersenyum. Sepasang mata 

yang redup menarik ini memandang tanpa rasa 

kikuk. Diam-diam tergetar juga jantung Mahisa 

Singkir mendapat tatapan demikian rupa oleh se-

pasang mata gadis itu. Maka cepat-cepat pemuda 

pemalu ini menundukkan muka. Dan karena ga-

dis ini belum juga menjawab, maka dalam usa-

hanya untuk menekan perasaan, Mahisa Singkir 

mengulang pertanyaannya.


Apakah sebabnya engkau masuk kema-

ri?-

- Apakah tidak boleh?-

Jawaban Ika Dewi, puteri Mpu Galuh ini 

menyebabkan Mahisa Singkir melengak untuk se-

jenak. Tentu saja sebagai seorang puteri raja di 

wilayah ini, Ika Dewi mempunyai kebebasan pergi 

kemanapun.

- Ya.....Memang tidak ada yang dapat mela-

rang kau pergi kemana kau suka...- ujar Mahisa 

Singkir seperti menyesali apa yang tadi telah ia 

ucapkan sendiri. - Akan tetapi apakah sebabnya 

kau masuk dalam kamar tahananku ini?-

Bibir Ika Dewi tersenyum lagi dan manis 

sekali. Dan sebenarnya senyum gadis ini bagi 

pemuda yang masih hijau ini, cukup membuat 

jantungnya bergetar hebat sekali.

Ika Dewi kemudian meletakkan lampu pe-

nyuluh itu di lantai kamar. Dan bagian tembok 

yang terkena oleh sinar lampu itu menjadi terang. 

Tetapi bagian di mana Mahisa Singkir duduk itu 

agak gelap, sebab sinar lampu teraling oleh papan 

kayu.

Sesudah meletakkan lampu suluh itu, Ika 

Dewi segera duduk di pembaringan, dan kemu-

dian mereka duduk berhadapan,

Pemuda yang jujur dan sopan ini kaget dan 

cepat mencegah.

- Aduhhh ..... jangan! Apakah..... maksud-

mu? Ayahmu bisa marah.....jika tahu kau di da-

lam kamarku ini.....


Ika Dewi memandang Mahisa Singkir den-

gan sepasang matanya yang bersinar. Bibir gadis 

ini tersenyum lagi, lalu jawabnya halus.

- Engkau tidak perlu takut maupun kha-

watir. Sebab aku datang ke kamarmu ini sudah 

sepengetahuan Ayahku ......-

- Untuk apa...? - Mahisa Singkir kaget 

mendengar jawaban ini dan memandang tajam 

kepada Dewi Ika.

Gadis ini bersenyum lagi, jawabnya, - Guna 

meninjau kesehatanmu.-

- Ohhh.....terima kasih ...... –

- Ihhh.....- Ika Dewi berseru tertahan. –

Apakah sebabnya kau mengucapkan terima ka-

sih?-

- Karena kau.....baik hati..... dan sudi me-

ninjau keselamatanku.....sebagai tawanan di sini 

...... -

- Ohhh! Engkau jangan ..... salah paham 

dan berkata seperti itu, Mahisa Singkir. Sebab ti-

dak ada maksud Ayahku untuk menempatkan 

engkau di kamar ini.-

- Tetapi buktinya.....-

- Ya, memang untuk sementara waktu saja. 

Selama kau belum memberi keputusan seperti 

harapan Ayah..... dan harapanku...-

Mahisa Singkir mengangkat kepala me-

mandang Ika Dewi. Pada saat itu Ika Dewi juga 

sedang memandang Mahisa Singkir, dan dua pa-

sang mata bertaut. Lalu disusul bibir gadis ini 

menyungging senyum manis sekali.


Diam-diam Mahisa Singkir mengakui gadis 

ini manis dan tak dapat ia cela. Disamping itu ge-

rak-geriknya pun halus, dan ucapannya pun se-

juk dan merdu dalam telinganya. Sikap dan uca-

pan gadis ini sesungguhnya menimbulkan rasa 

hormat dalam hatinya.

Kalau saja hatinya belum terisi oleh Sar-

wiyah, bisa jadi dirinya akan terpikat oleh manis-

nya wajah gadis ini

Mahisa Singkir menundukkan kepala sam-

bil menghela napas pendek. Sesungguhnya dalam 

hati timbul pula semacam perasaan yang agak 

menyesal, mengapa dirinya menjadi jatuh cinta 

kepada Sarwiyah? Padahal ia sudah tahu, Sar-

wiyah sudah menjadi calon isteri Warigagung. 

Bukankah sesungguhnya rasa cinta yang timbul 

dalam hatinya bisa dikatakan sesat jalan?

Banyak gadis yang masih bebas, mengapa 

sebabnya malah mencintai gadis yang sudah ber-

tunangan? Apakah hal ini kemudian hari tidak 

akan menimbulkan hal-hal yang tidak ia ha-

rapkan?

Lebih-lebih sedikit banyak ia sudah men-

dengar watak Warigagung maupun Julung Pujud 

yang ganas dan kejam. Jika dirinya merebut Sar-

wiyah dari tangan Warigagung, apakah perbua-

tannya itu benar?

Akan tetapi entah mengapa, rasa kesada-

rannya ini kalah pengaruh dengan keinginan ha-

tinya. Entah mengapa sebabnya, dirinya menjadi 

tergila-gila kepada Sarwiyah. Ia tidak tahu sebab


nya, namun mungkin sekali, sebabnya ia menjadi 

tertarik adalah oleh peristiwa di luar kesengajan-

nya. Ialah akibat perjalanannya hanya berdua 

dengan Sarwiyah sampai berbulan-bulan, me-

nempuh perjalanan jauh dengan saling penger-

tian.

Witing trisna jalaran saka kulina (sebabnya 

timbul rasa cinta oleh sebab terbiasa dalam per-

gaulan). Disamping itu mungkin juga oleh penga-

ruh kejadian pada suatu pagi, ketika ia melihat 

Sarwiyah dalam keadaan polos, merendam diri 

dalam telaga kecil di tengah hutan waktu itu. Apa 

yang sudah ia saksikan menjadi kenangan dalam 

benaknya, tidak pernah mau diusir dan ia lupa-

kan.

- Pandanglah aku..... Kakang.....- ujar Ika

Dewi dengan nada halus, tetapi penuh 

permintaan.

Mahisa Singkir mengangkat kepalanya dan 

menatap Ika Dewi. Tetapi hanya sejenak saja, 

kemudian ia kembali menundukkan kepala sam-

bil menghela napas pendek. Ia merasa malu ber-

tatap pandang dengan gadis ini dalam jarak dekat 

sekali.

- Kenapa kau malu?- tegur Ika Dewi tanpa 

rasa rikuh sedikitpun,

Tetapi sikap yang terang-terangan ini, se-

benarnya tidak pada tempatnya bagi seorang ga-

dis.

Namun hal ini juga perlu dimaklumi, kare-

na Ika Dewi hidup di tempat yang terasing dari


pergaulan masyarakat luas. Maka gadis ini dalam 

menghadapi Mahisa Singkir tidak perlu merasa 

malu untuk berterus terang sesuai dengan ke-

hendak hatinya.

Karena agak bingung menghadapi gadis 

yang berterus terang seperti ini, menyebabkan 

Mahisa Singkir gelagapan dan bingung. Jawabnya 

tidak lancar, - Ahhh ..... ohhh..... mengapa sebe-

narnya kau ini.....?-

- Bukankah ayah sudah memberitahu ke-

pada dirimu ?-

- Tetapi ah..... tetapi.....aku hanyalah seo-

rang pemuda tidak berharga.....-

- Hi hi hik,- Ika Dewi ketawa lirih. – Apakah 

sebabnya kau berkata seperti itu? Dan apa pula 

sebabnya kau merendahkan diri macam itu? Yang 

dapat menilai dirimu bukan dirimu sendiri, tetapi 

orang lain, termasuk diriku. Hemmm.....-

Ika Dewi berhenti dan sejenak kemudian 

gadis ini meneruskan. - Cinta kasih itu, bagiku 

tidak ditentukan oleh pangkat, kedudukan dan 

martabat seseorang. Kakang..... aku mencintaimu 

dengan sepenuh hati, sejak aku melihat kau per-

tama kali. Apakah engkau tidak merasa...?-

Setelah berkata Ika Dewi menundukkan 

muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-kata 

ini, Ika Dewi menjadi lega, namun merasa malu 

juga.

Sedang Mahisa Singkir menghela napas la-

gi, ujarnya, - Hem.....sudilah engkau memaafkan 

aku. Karena..... karena.....


Tiba-tiba gadis ini mengangkat kepalanya, 

menatap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu ter-

dengar ucapannya bernada sengit - Karena kau 

sudah mencintai gadis lain, bukan ...?!-

Mahisa Singkir yang jujur itu mengangguk 

sambil menghela napas.

- Gadis yang bersama kau itukah.....?- ma-

ta Ika Dewi berbinar, dan tiba-tiba saja bibir yang 

semula menyungging senyum itu sekarang le-

nyap.

Mahisa Singkir menggelengkan kepalanya, 

- Manakah mungkin aku berani mencintai dia?-

- Jangan bohong!- bentak Ika Dewi tiba-

tiba. - Huh..... tentu kau mencintai dia. Kalau 

demikian huh! Dia akan kubunuh.....!-

- Jangan.....! - teriak Mahisa Singkir yang 

menjadi amat khawatir. - Bukan dia! Manakah 

mungkin aku berani mencintai gadis yang sudah 

menjadi calon isteri orang lain? Dia itu ..... dia itu 

calon isteri Warigagung dan calon menantu tokoh 

sakti Julung Pujud.-

Memang tidak biasa Mahisa Singkir mem-

bohong seperti ini. Tetapi ia sadar, apabila dirinya

berterus terang, tentu akan memancing kemara-

han Ika Dewi nan bisa jadi ancaman akan mem-

bunuh ini benar-benar dia lakukan.

- Hemm, kau bohong.....!- hardik Ika Dewi 

dingin.

- Tidak!- Mahisa Singkir menggeleng. 

- Jika kau tidak saling cinta dengan dia..... 

mengapa ketika kamu berdua menghadap Ayah


ku, engkau dengan dia saling genggam jari .....?-

- Ohh ..... itu.....itu ...... –

- Huh! Kau dusta!- bentak Ika Dewi marah. 

- Engkau sudah saling cinta dengan gadis itu!-

- Tidak! Oh ..... aku tidak dusta .....!- Mahi-

sa Singkir yang gelagapan membela diri. Lalu ce-

pat-cepat menekan perasaan agar hatinya tidak 

berdebaran. - Engkau jangan menuduh yang ti-

dak-tidak. Engkau menuduh orang ngawur bela-

ka..... –

- Huh! Siapa yang menuduh secara nga-

wur?-

- Itu dalam usahaku mencegah agar dia ti-

dak bersikap kurang ajar terhadap ayahmu!-

- Huh! Dapat berbuat apakah dia andaika-

ta berani kurang ajar di sini?-

- Itulah sebabnya aku melarang dia agar 

tunduk!-

Untuk sejenak mereka berdiam diri. Kamar 

ini menjadi hening. Yang terdengar hanyalah he-

laan napas mereka berdua.

Ika Dewi tanpa malu menatap Mahisa 

Singkir. Sebaliknya pemuda ini malah menun-

dukkan kepalanya.

Diam-diam pemuda ini menjadi bingung 

disamping khawatir menghadapi gadis ini, yang 

sudah terang-terangan mengucapkan cintanya, 

dan malah sekarang berani berkunjung ke ka-

marnya. Kejujuran hatinya sebenarnya membe-

rontak harus berbohong. Tetapi sebaliknya iapun 

sadar, Sarwiyah dalam bahaya apabila ia berterus-terang.

- Kakang Mahisa Singkir.....- Ika Dewi me-

mecah kesepian kamar. - Katakanlah terus te-

rang! Siapakah gadis yang engkau cintai itu?-

Sungguh, merupakan pertanyaan yang ter-

lalu berani bagi seorang gadis. Akan tetapi sejak 

kecil Ika Dewi memang terpisah dari masyarakat 

luas, sehingga sopan santun kurang ia ketahui. 

Gadis ini tidak tahu, tabu bagi seorang gadis 

mengejar laki-laki, karena hal itu hanya akan 

menurunkan derajatnya atau martabatnya sendiri 

sebagai seorang gadis.

Sebaliknya Mahisa Singkir tidak cepat da-

pat menjawab. Ia menjadi bingung sendiri dalam 

usahanya untuk memberi jawaban.

- Lekas katakanlah. Siapa dia?- desak ga-

dis ini yang tidak sabar.

Desakan ini menyebabkan Mahisa Singkir 

gugup. Jawabnya, - Ahhh..... anu..... anu.....gadis 

tetanggaku sendiri.....-

- Dari desa mana?-

- Desa Koripan.....-

- Siapakah namanya?-

- Suripah.....-

- Hemm.....cantikkah.....?-

Mahisa Singkir mengangkat kepala dan 

menatap gadis itu sejenak. Tetapi ketika bertatap 

pandang dengan Ika Dewi, maka pemuda ini le-

kas-lekas menundukkan kepalanya lagi.

- Entahlah.....- sahutnya tanpa pikir.

- Engkau ini aneh. Mengapa mencintai pe


rempuan tidak dapat menyebut cantik atau ti-

dak?-

- Hemm.....aku tak tahu gadis itu cantik 

atau tidak. Tetapi yang jelas aku suka.....-

- Sekarang katakan. Lebih cantik mana dia 

dengan aku?-

Mahisa Singkir kembali terbelalak dan 

memandang wajah manis Ika Dewi sejenak.

- Engkau .... jauh lebih cantik .....!- Tetapi 

setelah mengucapkan jawaban ini diam-diam ia 

kaget sendiri.

- Hi hi hik, terima kasih,- sahut Ika Dewi 

sambil ketawa senang sekali. - Apabila demikian 

jelas di dalam segala hal, aku lebih menang di-

banding gadismu itu, bukan?-

- Benar ...... –

- Dan kau akan lebih beruntung menjadi 

suamiku ...... –

Mahisa Singkir menjadi kaget setengah ma-

ti ketika secara tiba-tiba Ika Dewi sudah menu-

bruk dan memeluk.

Untung sekali Mahisa Singkir dalam kea-

daan sadar sepenuhnya. Bagaimanapun ia tidak 

mencintai gadis ini, sekalipun sekarang dirinya 

dalam kekuasaan ayah Ika Dewi. Maka dengan 

halus ia sudah melepaskan pelukan Ika Dewi 

sambil mendorong halus.

- Jangan! ..... Jangan kau lakukan ..... - ce-

gahnya.

Ika Dewi menjadi kecewa dan tidak senang 

oleh sikap pemuda ini. Maka gadis ini mendelik


marah, lalu bentaknya, - Huh! Engkau pemuda 

tidak tahu di untung.....! Engkau berani menolak 

aku? Huh! Apakah aku kurang cantik dan kurang 

berharga?-

Tetapi setelah membentak, tiba-tiba saja 

gadis ini terisak-isak. Agaknya hati gadis ini men-

jadi kecewa dan marah. Sebagai gadis ia sudah 

mendahului dan berterus terang menyatakan cin-

ta kasihnya, tetapi pemuda tolol ini tidak juga 

mau tahu!

Mahisa Singkir menjadi semakin kebingun-

gan menghadapi Ika Dewi ini. Menghadapi gadis 

yang berani dan tidak tahu malu. Karena bin-

gung, pemuda ini tidak dapat menemukan jawa-

ban yang tepat. Dan akibatnya pula pemuda ini 

hanya berdiam diri.

- Mahisa Singkir!- hardik gadis ini sengit 

dan menjadi tidak senang. - Katakanlah. Apakah 

engkau tetap menolak aku.....? –

- Aku.....aku ...... –

- Yang jelas! -

Bentakan Ika Dewi ini, yang pada mulanya 

membuat Mahisa Singkir kebingungan, tiba-tiba 

menyadarkan dirinya. Sekalipun dirinya sekarang 

ini sebagai tawanan, tetapi dirinya tidak bisa di-

hina dan direndahkan orang. Lebih baik dirinya 

mati terbunuh, daripada dirinya tidak mendapat 

penghargaan sewajarnya sebagai manusia.

- Huh! Engkau jangan menghina aku!- ben-

tak Mahisa Singkir tiba-tiba, setelah menda-

patkan kesadarannya kembali.


Bentakan ini menyebabkan Ika Dewi kaget 

dan terbelalak. Kemudian wajahnya merah pa-

dam.

- Huh! Mahisa Singkir. Boleh dibunuh te-

tapi tidak boleh dihina. Tahu?- hardiknya. - Pen-

deknya aku tidak mencintai kau! Huh, kau wanita 

tidak tahu malu! Kau gadis rendah, dan lekaslah 

enyah dari kamar ini.-

- Kau ..... kau.....! –

Sekarang giliran Ika Dewi yang gelagapan.

Wajah gadis ini sekarang pucat dan ma-

tanya terbelalak. Hingga yang bisa ia ucapkan 

hanyalah seperti itu.

- Jangan cerewet! Lekas pergi atau tidak? -

hardiknya lagi.

Tiba-tiba saja Ika Dewi menangis. Bibirnya 

gemetaran seperti mau mengucapkan kata-kata, 

tetapi tiada ucapan yang bisa terdengar. Dan 

mendadak gadis ini berdiri lalu ...plak plak!

Tanpa terduga sama sekali telapak tangan 

Ika Dewi yang lumar dan halus itu sudah bersa-

rang ke pipi Mahisa Singkir. Sejenak kemudian 

gadis ini menjerit lirih lalu keluar dari kamar 

sambil berlarian. Dan gadis ini sampai lupa tidak 

membawa keluar lentera yang tadi ia bawa.

Sebenarnya saja apabila ia mau, tidak sulit 

bagi Mahisa Singkir untuk menghindari tamparan 

gadis itu. Tetapi pemuda ini sengaja tidak mau 

menghindar, dan pipinya ia pergunakan menang-

kis tamparan dua kali itu, hingga terasa panas. 

Meskipun demikian pemuda ini tersenyum, lebih


baik ia memberikan pipinya mendapat tamparan 

daripada gadis itu terus berusaha merayu dan 

membujuk.

Hatinya terasa sebal dan rasa gandrungnya 

(cintanya) kepada Sarwiyah menjadi semakin 

mendalam. Perbedaan antara Sarwiyah dengan 

Ika Dewi ibarat bumi dengan langit. Sarwiyah 

adalah gadis yang halus, sebaliknya, Ika Dewi be-

randalan. Ya, hanya sebutan berandalan ini saja 

yang tepat bagi gadis yang baru saja meninggal-

kan kamarnya itu. Sebab jika bukan gadis beran-

dalan, manakah sanggup mengucapkan cinta, 

mendahului pihak pria? Sebab bagi gadis timur 

yang tahu sopan santun, bagaimanapun akan 

menahan diri untuk tidak mendahului pihak pria.

Setelah Ika Dewi meninggalkan kamar ta-

hanannya, Mahisa Singkir hanya menghela napas 

saja dan masih tetap duduk di pembaringan.

Mahisa Singkir menghela napas pendek. 

Sebenarnya, sesuai dengan wataknya yang jujur 

dan sederhana, ia merasa kasihan juga kepada 

Ika Dewi yang terpaksa harus ia tolak mentah-

mentah pernyataan cintanya. Sebagai seorang 

pemuda, sebenarnya ia mengakui baik wajah 

maupun bentuk tubuh, Ika Dewi lebih menonjol 

dibanding dengan Sarwiyah. Maka kalau saja ha-

tinya belum terisi oleh Sarwiyah, mungkin dirinya 

bisa membalas cinta gadis itu. Tetapi karena da-

lam hatinya sudah terisi oleh Sarwiyah, maka ia 

memutuskan akan tetap setia kepada cintanya 

yang pertama. Apapun dan bagaimanapun yang


akan terjadi, hanya Sarwiyah saja yang pantas 

menjadi kekasih dan isterinya.

- Ahhhh .... tetapi dia calon isteri Wariga-

gung Apakah dengan perbuatanku ini tidak berar-

ti aku merebut calon isteri lain orang ? Lalu, apa-

kah yang akan terjadi kalau Warigagung sampai 

marah?-

Terpikir demikian, mau tak mau pemuda 

ini menghela napas dan agak khawatir pula. Apa-

kah tidak memalukan apabila dirinya harus ber-

kelahi dengan Warigagung hanya karena persoa-

lan wanita saja?

- Ahhh .....tidak boleh!- bentaknya sendiri.

- Ini tidak benar! Sarwiyah harus tetap 

menjadi isteri Warigagung!-

- Akan tetapi aku.....lalu bagaimana?- bisik 

hatinya. - Apakah aku harus menderita akibat 

gagal mencintai wanita?-

Mahisa Singkir menghela napas dalam lagi.

Ketika itu seorang penjaga kamar tahanan 

masuk untuk mengambil lentera yang tadi dibawa 

Ika Dewi. Sambil memegang lentera itu, penjaga 

mendelik dan menghardik.

- Huh! Kau berani menghina puteri junjun-

ganku? Kau akan celaka apabila penghinaanmu 

ini sampai dia laporkan kepada Gusti Mpu Ga-

luh.-

Mahisa Singkir mengangkat kepalanya, 

memandang orang itu sejenak. Tetapi kemudian 

ia menundukkan kepalanya lagi dan bersikap 

acuh tak acuh. Sebab tidak ada gunanya ia menjawab maupun berbantahan dengan penjaga itu. 

Kalau toh Mpu Galuh marah, ia takkan dapat 

berbuat apa-apa. Sebab seluruh nasibnya seka-

rang ini telah ia serahkan bulat-bulat kepada De-

wata Yang Agung.

Kalau saja ia mau, menyerang dan mero-

bohkan penjaga yang masuk kamarnya ini tidak-

lah sulit.

Kemudian menggunakan kamar yang ter-

buka ia dapat meloloskan diri.

Tetapi untuk apa lolos, jika Sarwiyah tetap 

menjadi tawanan di tempat ini? Tidak urung di-

rinya akan menderita dan penuh penyesalan apa-

bila gadis itu sampai celaka dalam tahanan ini. 

Bagaimanapun ia merasa bertanggung jawab. Ka-

rena Sarwiyah tertawan di tempat ini tidak lain 

sedang melakukan perjalanan bersama dengan 

dirinya. Jika dirinya membiarkan Sarwiyah men-

derita, apakah yang ia lakukan ini bukan perbua-

tan pengecut? Betapa rasa sesal gadis itu, apabila 

tahu adik seperguruannya dapat lolos tanpa mau 

memberi pertolongan.

Mahisa Singkir kembali menghela napas 

panjang. Kemudian ia teringat, lembah ini meru-

pakan lembah terasing dan hanya bisa keluar dan 

masuk lewat jalan rahasia. Manakah mungkin di-

rinya bisa lolos dengan selamat dari tempat ini?

Guna menentramkan hatinya, ia kemudian 

kembali samadi di pembaringan untuk mene-

ruskan melatih hawa sakti. Tetapi walaupun ia te-

lah berusaha menenteramkan hati, ia gagal. Hatinya tidak enak dan tidak tenteram, karena tim-

bul kekhawatiran dalam hatinya, Sarwiyah yang 

ditahan di kamar lain itu, malam ini mendapat 

kunjungan Rakit Cendana dan berusaha membu-

juk.

Apabila yang perempuan saja, Ika Dewi ti-

dak mengenal tata santun, manakah mungkin 

pemuda itu mengenal sopan santun?

4

Dugaan Mahisa Singkir memang tidak keli-

ru.

Sebab tidak bedanya dengan Ika Dewi, ma-

ka Rakit Cendana juga telah membuka kamar 

Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Selama dua hari 

setelah Sarwiyah berhasil tertawan, pemuda ini 

menjadi tidak bisa tidur. Sebab wajah ayu Sar-

wiyah selalu menggoda dan terbayang dalam be-

naknya, menyebabkan pemuda ini amat rindu 

dan ingin menjumpainya.

Ia merasa tidak kuasa lagi menahan hati. 

Ia ingin bertemu, ingin bercakap, ingin merayu 

dan ingin pula memeluk gadis itu.

Akan tetapi ketika Rakit Cendana membu-

ka pintu kamar, pemuda ini menjadi kaget, meli-

hat Sarwiyah rambutnya awut-awutan, wajahnya 

pucat dan kurus.

Mula-mula pemuda ini keheranan, kenapa 

hanya dalam waktu dua hari saja, sudah terjadi


perubahan atas diri gadis ini? Namun setelah 

berbisik dan bertanya kepada penjaga, pemuda 

ini menjadi tahu sebabnya. Perubahan ini terjadi 

tidak lain karena selama dua hari, gadis ini mo-

gok makan.

Gerakan Rakit Cendana yang masuk dalam 

kamar ini memang perlahan dan berhati-hati se-

kali. Menyebabkan Sarwiyah yang ketika itu se-

dang duduk di pembaringan dan memejamkan 

mata kurang perhatian, karena memang tidak 

pernah menduga malam ini Rakit Cendana akan 

datang berkunjung. Tahu-tahu si pemuda sudah 

masuk ke dalam kamar, dan menyebabkan gadis 

ini kaget dan terbelalak.

- Kau ..... kau.....!- hanya itu sajalah yang 

keluar dari mulut Sarwiyah.

- Ya, aku! Adik yang manis. malam ini aku 

berkunjung kepadamu,- sahut Rakit Cendana 

sambil bersenyum, dalam usahanya untuk memi-

kat perhatian.

- Kau.....kau.....apakah maksudmu? –

Sarwiyah cepat melompat turun dari pem-

baringan ketika melihat Rakit Cendana meng-

hampiri.

Memang sekarang ini wajah Sarwiyah tam-

pak pucat pasi. Pakaiannya tidak terurus, justru 

selama dua hari Sarwiyah tidak sempat mengurus 

diri dan terus saja menangis. Oleh karena itu, se-

pasang matanya merah dan agak bengkak.

Hanya dalam waktu dua hari saja, keadaan 

gadis ini sudah jauh berbeda. Dari seorang gadis


yang cantik dan menarik, tubuhnya padat berisi 

sekarang menjadi kurus. Akan tetapi sekalipun 

demikian, dalam pandangan Rakit Cendana gadis 

ini tetap cantik dan menarik. Amat memikat dis-

amping mempesona. Justru selama dua hari ini 

wajah Sarwiyah selalu terbayang dan menggoda 

benaknya dan menyebabkan pemuda ini tidak 

dapat tidur.

- Sarwiyah, Adikku yang cantik......-

- Aku bukan adikmu!- bentak Sarwiyah 

sengit, tanpa memberi waktu kepada Rakit Cen-

dana selesai mengucapkan kata-katanya.

- Heh heh heh heh,- Rakit Cendana tertawa 

terkekeh. Kemudian katanya, - Ya, aku keliru! 

Engkau bukan adikku, tetapi adalah calon isteri-

ku.....-

- Jangan sembarangan membuka mulut! -

Saking marahnya Sarwiyah membentak nyaring, 

sepasang matanya menyala dan dua belah tan-

gannya bertolak pinggang.

- Eh.....ehh..... apakah sebabnya engkau 

menjadi marah, Manisku?-

- Sudahlah lekas enyah dari kamar ini. Aku 

tidak sudi bicara dengan engkau !-

Sesungguhnya tidak biasa bagi Sarwiyah 

menjadi pemarah seperti ini. Karena ia adalah 

seorang gadis yang sabar, perasaannya halus dan 

tidak mudah marah.

Perubahan dalam waktu singkat yang ter-

jadi atas diri gadis ini, tak lain adalah karena ga-

dis ini menjadi sedih berbareng penasaran, karena telah ditawan dalam kamar yang sempit ini. 

Disamping itu ia telah mendengar pula, pemuda 

ini menginginkan dirinya untuk dipaksa menjadi 

isteri.

Akan tetapi Rakit Cendana seperti tidak 

mendengar apa yang sudah diucapkan oleh Sar-

wiyah. Pemuda ini sudah duduk di pembaringan 

batu. Namun demikian perhatiannya tidak pernah 

lepas kepada Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Wa-

jah gadis ini pucat dan tubuhnya agak kurus. 

Namun demikian tidak mengurangi kecantikan 

dan rasa terpikatnya.

Sebaliknya Sarwiyah berdiri dengan berto-

lak pinggang, sepasang matanya yang merah itu 

bertambah merah lagi seperti mengeluarkan api.

- Hemmm ..... engkau tak segera enyah dari 

tempat ini?-

- Sarwiyah, kenapa engkau aku kunjungi 

malah marah-marah seperti ini? Aku.....-

- Cerewet!- potong Sarwiyah tanpa me-

nunggu selesainya ucapan Rakit Cendana. - Aku 

tidak butuh kunjunganmu. Huh, aku tahu di ba-

lik kunjungan mu ini, di balik sikapmu yang ha-

lus, engkau bermaksud kurang baik. Lagi pula 

apakah kesalahanku harus kau lawan di kamar 

yang sempit dan jorok ini? -

- Sabarlah dahulu, dan berilah kesempatan 

aku bicara. Sarwiyah, aku akan menerangkan 

supaya kau tidak salah mengerti. Begini.....-

Lagi-lagi Sarwiyah yang penasaran ini me-

motong ucapan Rakit Cendana yang belum selesai, - Huh! Aku sudah tahu! Sudah, tidak perlu 

kau banyak mulut!-

Karena ucapannya selalu dipotong Sar-

wiyah sebelum selesai, maka Rakit Cendana yang 

biasa dihormati dan dimanja ini, menjadi dongkol 

dan marah. Di tempat ini, dirinya merupakan 

anak "raja". Dirinya merupakan orang kedua sete-

lah ayahnya. Oleh karena itu biasanya orang 

akan selalu tunduk, selalu patuh dan tidak berani 

membantah, lebih-lebih memotong kata-katanya 

yang belum selesai seperti ini, dan malah mem-

bentak. Mengapa sekarang ia tidak mendapat 

penghormatan di depan "tawanannya" ini? Padah-

al ibaratnya sekarang ini ia bisa menghitam pu-

tihkan Sarwiyah. Dirinya dapat berbuat apa saja, 

bisa menyiksa maupun membunuh.

Teringat kedudukannya sebagai orang yang 

selalu dihormati itu, mata pemuda ini tiba-tiba 

mendelik. Mulutnya hampir saja menyemprot dan 

mencaci maki tawanannya ini.

Akan tetapi sebelum membuka mulut un-

tuk menyemprot, tiba-tiba ia ingat kepada kepen-

tingannya terhadap gadis ini. Kalau dirinya dapat 

membujuk dan merayu, mengapa tidak melaku-

kannya, agar gadis ini mau tunduk secara halus?! 

Teringat hal ini ia kemudian menekan perasaan-

nya dan menyabarkan diri.

- Sarwiyah, hemm, kenapa engkau menjadi 

begini dan juga tidak mau mengerti?- katanya ha-

lus. - Baik aku maupun Ayah tidak bermaksud 

menyulitkan kau. Sebab tujuan Ayah maupun


aku adalah sebaliknya, dengan maksud akan 

membahagiakan kau. Sarwiyah, hem ..... engkau 

harus mau tahu bahwa di daerah ini Ayahlah 

yang berkuasa tidak bedanya seorang raja. Jika 

kau bersedia mendengar apa yang aku katakan 

ini, percayalah kau akan hidup bahagia dan seka-

lian penduduk daerah ini akan menghormati. -

Karena Sarwiyah tidak memotong kata-

katanya, maka Rakit Cendana gembira. Setelah 

menatap sejenak, terusnya, - Sarwiyah, dengar-

lah! Hanya kau seorang sajalah wanita di dunia 

ini yang kucintai dan kukasihi. Maka ketika meli-

hat engkau, aku sudah tak dapat melupakan lagi 

dan jatuh cinta. Ohhhh..... Sarwiyah, dunia ini 

akan menjadi sepi tanpa engkau berada di sam-

pingku. Hidupku ini akan menjadi tidak berarti, 

dan aku akan selalu dalam kegelapan tanpa kerl-

ing mata dan senyum bibirmu. Oleh sebab itu, 

Adikku yang cantik, dengarlah jerit hatiku dan 

dengar pula detak jantungku yang selalu mengha-

rapkan.....-

- Sudah! Tutup mulutmu!- bentak Sar-

wiyah tiba-tiba memotong ucapan Rakit Cendana 

yang sesungguhnya masih banyak lagi. - Aku 

muak..... tahu? Muak melihat tampangmu dan ti-

dak sudi mendengar bujuk rayumu yang beracun. 

Hayo, kau lekas enyah dari kamar ini apa tidak? 

Huh, tidak tahu malu!-

Wajah Rakit Cendana merah padam men-

dapat bentakan seperti itu dan sekaligus merasa 

terhina. Rasa penasaran dan mendongkol yang


semula dapat ia tekan itu, tiba-tiba memberontak 

dan meledak. Kalau tadi apa yang ia ucapkan na-

danya halus, sekarang menjadi berubah kasar la-

gi.

- Huh! Apa katamu? Engkau berani meng-

hina aku? Huh, sundal busuk! Sundal keparat! 

Apakah kau tidak menyadari sudah dalam kekua-

saanku dan aku bisa berbuat apa saja terhadap

kau?-

Pemuda ini menatap Sarwiyah dengan se-

pasang mata menyala. Tetapi Sarwiyah tidak 

menjadi gentar maupun takut. Ia masih tetap ber-

tolak pinggang, sedang mata gadis itupun mena-

tap tajam seperti mengeluarkan api. Tantangnya 

kemudian.

- Huh! Siapa takut akan ancamanmu? Aku 

tahu baik engkau maupun ayahmu adalah manu-

sia busuk !-

- Bedebah! Setan alas! Engkau jangan bica-

ra sembarangan!- teriak Rakit Cendana yang ti-

dak kuasa lagi menahan ledakan kemarahannya.

- Siapa yang dapat melarang aku membuka 

mulut? Hayo, mau bunuh silakan bunuh! Apakah 

sangkamu aku takut mati?-

Tiba-tiba saja Rakit Cendana ketawa terke-

keh, - Heh heh heh heh, terlalu enak bagimu jika 

kubunuh begitu saja!-

Mata gadis ini terbelalak sejenak menden-

gar ancaman itu. Bagi orang-orang seperti pemu-

da ini, ayahnya maupun para pembantunya, Sar-

wiyah sadar dan bisa menduga, akan sanggup


melakukan perbuatan di luar batas kemanusiaan.

Karena itu ia cukup maklum akan arti 

ucapan Rakit Cendana tadi, ucapan yang bisa ia 

artikan sebagai ancaman yang mengerikan. Ia sa-

dar pemuda ini akan sampai hati untuk menyiksa 

orang.

Tetapi walaupun sadar dirinya sekarang ini 

sulit bisa lolos maupun menyelamatkan diri, ia ti-

dak mau mundur dan menyerah. Ia malu apabila 

orang menganggap takut ancaman. Maka katanya 

dingin.

- Hemm.....siapa takut ancamanmu? Aku 

tidak takut mati. Huh, makanlah ini!-

Tanpa memberi kesempatan lagi, Sarwiyah 

sudah menerjang ke depan dan melancarkan pu-

kulan dan tendangan kakinya.

Dengan gesit Rakit Cendana melompat ke 

samping menghindarkan diri. Kalau saja menu-

rutkan amarahnya, inginlah ia mencabut guna 

membalas serangan tawanannya ini. Akan tetapi 

sayang sekali, hatinya yang sudah tergila-gila ke-

pada gadis ini mencegah, sedapat-dapatnya harus 

menahan diri dan menahan tangannya dan jan-

gan sampai mencelakai gadis ini.

Plak.....! sambaran pukulan Sarwiyah ia 

tangkis dengan tangan kiri, sedang tangan kanan 

secepat kilat sudah berusaha mencengkeram 

pundak guna menangkap. Tetapi sayang sekali 

dengan gesit, Sarwiyah sudah menghindarkan di-

ri.

Rakit Cendana kaget dan terhuyung oleh


cengkeramannya yang luput, sedangkan lengan 

kirinya tergetar hebat.

Ternyata sekalipun hanya perempuan, 

Sarwiyah bukan perempuan lemah, malah tan-

gannya cukup kuat. Untuk menjaga segala ke-

mungkinan yang bisa terjadi, dengan wajah me-

rah padam pemuda ini sudah siap siaga dengan 

kuda-kuda kokoh.

Apabila diam-diam Rakit Cendana menjadi 

kaget, maka Sarwiyah menjadi lebih kaget lagi. 

Belum juga lama bergerak, tiba-tiba saja tubuh-

nya terasa lemas dan tenaganya seperti habis.

Merasakan perubahan tubuhnya ini, baru-

lah gadis ini ingat selama dua hari perutnya ko-

song tidak terisi oleh makanan. Maka diam-diam 

timbullah rasa sesal dalam hatinya, mengapa se-

lama dua hari dirinya hanya menurutkan hati 

mendongkol dan penasaran dan menyebabkan di-

rinya mogok makan. Kalau saja dalam dua hari ia 

tidak mogok makan, tentu tenaganya tidak seperti 

sekarang ini.

Dan celakanya lagi, disamping tubuhnya 

sekarang terasa lemas, perutnya pun tiba-tiba 

melilit-lilit minta isi. Apabila dirinya memaksa, ti-

dak urung dirinya sendiri akan roboh kehabisan 

tenaga. Apabila sampai terjadi demikian akan ce-

lakalah dirinya dalam kekuasaan pemuda yang 

sudah marah dan pada dasarnya berwatak jahat 

itu.

Sadar akan keadaan, Sarwiyah tidak segera 

menerjang lagi melanjutkan serangannya. Sedang


Rakit Cendana sendiri juga tidak bergerak, masih 

menunggu serangan gadis itu.

Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri 

saling pandang dalam keadaan siaga penuh. 

Agaknya pemuda ini merasa ragu untuk membu-

ka serangannya membalas terjangan Sarwiyah

Setiap orang yang berhadapan dengan ba-

haya tentu akan menggunakan akal dan kepan-

daiannya guna mencari daya. Demikian pula Sar-

wiyah sekarang ini sambil berdiri memutar otak-

nya guna mencari daya guna menyelamatkan diri.

Sebenarnya apabila sama-sama dalam 

keadaan segar dan sehat, bagaimanapun ilmu ke-

saktian Sarwiyah masih di atas Rakit Cendana. 

Mana tidak mungkin pemuda ini sanggup mena-

han amukan gadis ini? Namun sekarang Sarwiyah 

dalam keadaan perut kosong, tubuhnya lemas. 

Keadaan menjadi berbalik. Apabila diteruskan, 

tentu gadis ini sendiri yang akan kalah.

- Rakit Cendana. Apakah kau akan meng-

gunakan kekerasan dan kesewenangan terhadap 

diriku?- tanya gadis ini setelah beberapa saat la-

manya menatap pemuda itu.

Rakit Cendana tersenyum mendengar nada 

suara Sarwiyah sudah berubah, tidak seperti tadi. 

Ia cepat bisa menduga terjadinya perubahan pada 

gadis ini. Bagi dirinya, dalam usaha menunduk-

kan gadis ini memang tidak menginginkan lewat 

kekerasan, karena sadar jalan itu tidak baik. 

Hanya kalau Sarwiyah tetap membandel, apa bo-

leh buat! Kekerasan akan ia lakukan juga, guna


mencegah maksudnya sampai gagal memperistri

gadis ini.

- Adikku Sarwiyah yang ayu, apakah yang 

engkau kehendaki?- tanya Rakit Cendana dengan 

wajah yang dibuat semanis mungkin.

- Jawablah sejujurnya. Engkau benar-

benar mencintai diriku ini, ataukah hanya terdo-

rong oleh nafsu kebinatanganmu?-

- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-

kau masih belum mau percaya, Adikku manis? 

Sungguh mati, hanya Kau seorang sajalah yang 

pantas menjadi isteriku. Adikku, hanya kau seo-

rang sajalah yang dapat mengisi hidupku ini. 

Tanpa kau, hidupku selanjutnya takkan ada ar-

tinya lagi. Hemm, apa yang kuucapkan ini meru-

pakan pencerminan hatiku yang tulus, Sarwiyah.-

Diam-diam Rakit Cendana gembira sekali, 

lalu kakinya sudah bergeser maju untuk mende-

kati gadis itu. Sekalipun gadis ini sekarang awut-

awutan dan wajahnya pucat, namun pengaruh 

rasa gandrungnya kepada gadis ini menyebabkan 

dalam pandang matanya semakin menarik dan 

menggiurkan. Ia merasa tidak kuat lagi menahan 

hati, dan sekarang juga ia ingin dapat memeluk 

dan menciumi bibir indah itu.

- Berhenti!- bentak Sarwiyah tiba-tiba.

Dan sungguh aneh, pemuda yang biasanya 

selalu minta perhatian dan manja itu, secara tiba-

tiba menghentikan langkahnya.

- Hemm..... tak gampang kau mencintai di-

riku - Sarwiyah berkata tandas. - Dan tidak gampang pula aku percaya ucapanmu, sebelum aku 

mendapat pembuktian.-

- Engkau ingin bukti? Apakah kau ingin 

kubuktikan sekarang juga?- sahut pemuda itu. 

Dan sesudah berkata ia melangkah maju sambil 

mengembangkan dua tangannya.

- Ehhh.....tunggu! Berhenti di situ!-

Sarwiyah menjadi kaget sekali maka seda-

pat bisa ia mencegah sambil mundur. - Bukan itu 

yang aku maksudkan. Tetapi jika benar kau men-

cintai diriku, kau harus berani bersumpah.-

- Sumpah? Sumpah yang bagaimana?-

- Sumpah ya sumpah. Nanti akulah yang 

akan menuntun kau mengucapkan kata-kata 

sumpah yang harus kau ucapkan.-

- Bagaimana bunyi sumpah itu?-

- Bagaimana bunyi sumpah itu?-

- Sudahlah, pendeknya kau bersedia ber-

sumpah ataukah tidak? Jika kau tidak mau ber-

sumpah dan menuruti apa yang aku inginkan, 

hemm, jangan harap kau dapat memiliki aku da-

lam keadaan masih hidup. Sebab bagiku, jika 

engkau tidak mau menurut, lebih baik aku mati 

daripada harus melayani kau sebagai suami. Ka-

renanya tanya kau lain di mulut dan lain di hati.-

Untuk beberapa jenak lamanya Rakit Cen-

dana tidak membuka mulut dan menjawab. Se-

bab ia harus berpikir lebih dahulu sebelum men-

jawab, karena ia khawatir sampai tertipu.

Ia justru seorang licik. Karena itu ia men-

dengus dingin, ujarnya, - Huh, engkau jangan


mencoba menipu aku.-

- Siapakah yang akan menipu kau? Huh, 

aku menginginkan agar kau bersumpah, bukan 

menipu! Tetapi ..... sudahlah! Tak mau bersum-

pah, silakan! Hanya saja kau jangan mengha-

rapkan lagi dapat memiliki diriku dan masih da-

lam keadaan hidup!-

Sarwiyah kemudian membalikkan tubuh. 

Namun diam-diam selalu siap siaga menghadapi 

serangan Rakit Cendana yang tidak terduga.

Melihat Sarwiyah menjadi ngambek, Rakit 

Cendana menjadi khawatir. Ia sudah terlanjur ja-

tuh hati kepada gadis ini, Apakah salahnya untuk 

memikat perhatian Sarwiyah dengan cara menga-

lah sedikit?

- Baiklah! Aku setuju dengan syaratmu,-

akhirnya pemuda ini menyetujui, kemudian me-

langkah maju guna mendekati gadis ini.

Sarwiyah melompat ke samping, hardiknya, 

- Rakit Cendana! Jika engkau benar-benar men-

cintai diriku, kau harus tunduk kepadaku. Berdiri 

di situ dan jangan mendekati sebelum kau men-

gucapkan sumpahmu! –

Rakit Cendana meringis dan terpaksa men-

galah. - Baiklah, lekas katakanlah sumpah itu

dan akan ku tirukan.-

- Tetapi kau benar bersedia?-

- Lekas katakanlah!-

- Aku bersumpah, demi Dewata Yang 

Agung, yang menguasai bumi dan langit ini.....-

Dan seperti beo belajar bicara, Rakit Cen


dana menirukan.

- Aku bersumpah, demi Dewata Yang 

Agung, yang menguasai bumi dan langit.....-

- Demi cinta kasihku kepada seorang gadis 

bernama Sarwiyah, maka sebagai pembuktian 

cinta itu, aku harus selalu mendengar dan mema-

tuhi apa yang dikatakan oleh gadis itu.....-

- Ehhhh.....mengapa begitu?- Rakit Cenda-

na tidak segera menirukan tetapi membantah. -

Aku tidak sudi menirukan kata-katamu sebagai 

sumpah, apabila kau akan menjerumuskan diriku 

kepada kesulitan. Bukankah dengan selalu men-

dengar dan mematuhi apa yang kau katakan, 

engkau dapat menyalahgunakan sumpah itu?-

Sarwiyah mendelik tidak senang. Hardik-

nya, - Huh! Sangkamu aku ini orang macam apa 

hingga engkau berani menduga seperti itu? Huh! 

Aku tidak akan memaksa kau. Dan kau tidak 

mau bersumpah, itu adalah hakmu dan aku tidak 

dapat memaksa. Tetapi sekarang cepatlah kau 

meninggalkan kamar ini!-

- Ohhhh.....ehhh.....mengapa kau menjadi 

begitu dan cepat marah?-

- Hemm, siapakah yang tidak menjadi ma-

rah jika kau mencurigai aku yang tidak-tidak? 

Huh! Jika kau tidak mau, akupun tidak akan 

memaksa.-

- Tetapi bagaimanakah jika kau menyalah-

gunakan sumpah itu, apakah tebusanmu?-

- Hemm, dengarkan baik-baik. Apabila aku 

sampai menyalahgunakan sumpah ini, mudah


mudahan Dewata Yang Agung akan menghukum 

dan mengutuk diriku. Dan setelah aku mati, akan 

menjadi setan gentayangan. Nah, bukankah sum-

pahku ini juga berat? Sebaliknya sumpah ini pun 

akan berlaku pula bagi kau. Apabila kau berani 

melanggar sumpahmu, kau akan mendapat kutu-

kan Dewata Yang Agung, dan setelah kau mati 

akan menjadi setan gentayangan. –

- Baik, baik! Aku setuju sekarang!- sahut 

Rakit Cendana dengan wajah berseri dan bibir 

bersenyum. Kemudian ia sedia menirukan apa 

yang tadi sudah diucapkan oleh Sarwiyah

Dan Sarwiyah menjadi gembira sekali 

mendengar sumpah pemuda ini. Lalu berlindung 

kepada sumpah yang telah diucapkan Rakit Cen-

dana sendiri, sekarang dirinya akan dapat men-

gusir Rakit Cendana dari kamar ini secara halus.

- Terima kasih Rakit Cendana, ternyata 

kau memang pemuda baik.-

- Tentu saja,- katanya bangga. - Aku me-

mang pemuda baik. Maka engkau akan menjadi 

isteriku dan kita akan hidup bahagia.-

Sambil berkata pemuda ini yang gembira, 

segera melangkah maju, ingin sekali bisa meme-

luk dan menciumi pipi dan bibir merekah gadis 

itu.

Sarwiyah cepat memperingatkan, - Demi 

sumpahmu, kau jangan maju mendekati aku.-

Rakit Cendana terbelalak, tetapi kakinya 

berhenti melangkah juga, karena takut kepada 

sumpah yang sudah ia ucapkan. Sudah tentu ia


tidak ingin setelah mati dirinya menjadi setan 

gentayangan.

Dan Sarwiyah mulai menggunakan penga-

ruh sumpah itu. Namun sesuai dengan watak dan 

tabiatnya yang halus, dalam mengucapkan kata-

katanya inipun, nadanya halus dan enak terden-

gar.

- Kakang Rakit Cendana!- gadis ini sengaja 

sudah menggunakan "Kakang". Hal ini dengan 

maksud agar pemuda ini tidak menjadi curiga 

dan ia dapat menyelamatkan diri dari tindak ke-

kerasan.

Dan ternyata pancingannya ini berhasil 

baik sekali karena pemuda ini menjadi senang 

sekali, lalu terkekeh gembira.

- Kakang Rakit Cendana, karena engkau 

ternyata seorang pria yang baik dan suka menu-

ruti apa yang aku inginkan, maka terus terang 

aku katakan pada dirimu, bahwa sebenarnya 

akupun .....cinta kepada dirimu.....-

Dalam mengucapkan "cinta" ini, sesung-

guhnya bibir Sarwiyah hampir mogok tidak mau 

bergerak. Tetapi demi keselamatan dan dalam 

usaha menghindarkan diri dari kekerasan, ter-

paksa ia menghibur diri.

- Aduh biyung..... aduh biyung.....heh heh 

heh heh, terima kasih ..... Adikku yang manis ...... 

Saking hatinya gembira, pemuda ini ber-

jingkrakan lalu bermaksud menubruk Sarwiyah.

- Ihhh! Dengar dulu!- Sarwiyah cepat men


cegah sambil menghindar,

- Kenapa? Bukankah kau mencintai aku 

juga? Heh heh heh heh.....- ujarnya.

- Benar. Tetapi dengar dulu!-

- Marilah Sarwiyah, kita buktikan cinta ka-

sih kita bersama. Aku akan memeluk kau dan 

aku akan memberi hadiah ciuman mesra.....-

Wajah Sarwiyah menjadi merah mendengar 

ucapan Rakit Cendana ini. Akan tetapi ia cukup 

sadar apabila dirinya sampai lupa dan bersikap 

kasar sedikit saja, pemuda ini akan curiga, se-

hingga usahanya yang sudah hampir berhasil bi-

sa gagal total.

- Ingatlah Kakang Rakit Cendana, engkau 

harus menurut dan mau mendengar peringatan-

ku,- ia memperingatkan tetapi ucapannya halus. -

Kakang, kau harus mau mengerti takkan lari gu-

nung dikejar. Secara terus terang tadi sudah aku 

katakan, akupun mencintaimu sepenuh hatiku. 

Lambat atau cepat, aku dan kau akan menjadi 

suami isteri! Tetapi apakah sebabnya kau menjadi 

kurang sabar? Cinta yang suci tidak boleh terko-

tori oleh dorongan nafsu yang merusak. Apakah 

engkau bisa mengerti, Kakang?-

Walaupun sebenarnya Rakit Cendana me-

rasa kecewa, ia terpaksa mengangguk setuju. Se-

bab ia sudah kalah janji, seperti sumpah yang 

sudah ia ucapkan sendiri.

- Nah, memang tidak salah dugaanku eng-

kau memang pemuda baik hati dan baik budi. 

Engkau memang pemuda yang pantas menjadi pi


lihan setiap wanita, karena ternyata kau pandai 

memegang sumpahmu sendiri. Sekarang dengar-

lah kataku, dan kata-kataku ini tidak boleh kau 

bantah maupun kau langgar. Jika kau sampai be-

rani melanggar, engkau bakal dikutuk oleh Dewa-

ta Yang Agung dan kau akan menjadi setan gen-

tayangan –

- Ya.....ya.....aku tak ingin jadi setan gen-

tayangan.- Rakit Cendana menjawab sambil 

menghela napas pendek.

- Bagus!- puji Sarwiyah untuk menggembi-

rakan pemuda ini. - Sungguh gembira hatiku, 

Kakang, kau mau mengerti. Sekarang aku minta 

kepada kau agar mau bersabar, menunggu sete-

lah tiba saatnya kita kawin. Katakanlah kepada 

ayahmu, aku setuju kawin dengan kau, sebulan 

lagi. -

- Ihhh! Apakah sebabnya begitu lama? Se-

baiknya esok hari saja perkawinan itu kita laku-

kan.-

- Sebulan lagi, Kakang. Dengar kataku, se-

bulan lagi! Apakah engkau akan melanggar sum-

pahmu sendiri, dengan membantah kehendak-

ku?-

- Ahhh, tetapi sebulan itu terlalu lama, 

Adikku,- ratapnya. - Kalau begitu, sebaiknya satu 

minggu lagi saja.-

- Aku bilang satu bulan, tidak bisa kurang. 

- Setengah bulan saja ah.....setuju kan, se-

tengah bulan? Adikku yang manis, aku minta setengah bulan lagi.-

Rakit Cendana masih berusaha membujuk 

dan setengah meratap.

- Tidak! Harus satu bulan lagi!- Sarwiyah 

kokoh pada pendiriannya.

- Ahhh, kenapa kau ini? Adikku, apakah 

kau belum pernah pergi dan berbelanja ke pasar? 

Di pasar banyak kali terjadi tawar-menawar. Satu 

pihak menurunkan harga yang diminta semula 

sedang pihak lain menaikkan tawarannya. Ehh, 

Sarwiyah, dari satu hari, kemudian satu minggu 

dan sekarang naik setengah bulan, teta-

pi.....kenapa kau tidak juga mau turun? Aku min-

ta belas kasihanmu, Adikku, hendaknya kau mau 

mengurangi lagi, jangan sebulan ...... –

Geli tetapi juga mendongkol hati gadis ini 

mendengar ucapan Rakit Cendana ini. Kenapa da-

lam persoalan ini Rakit Cendana menggunakan 

contoh orang yang jual beli di pasar? Akan tetapi 

ia juga bukan orang tolol. Ia tahu pasti, apabila 

dirinya tetap pada pendirian salah-salah bisa me-

nimbulkan kecurigaan. Untuk ini sekalipun tera-

sa berat, akhirnya ia mengurangi juga.

- Baiklah! Sekarang aku kurangi satu hari.! 

Jadi, duapuluh sembilan hari lagi.-

- Ahhh, kenapa kau pelit? Jangan hanya 

sehari ahh, aku minta kurangilah sepuluh hari. 

Jadi, kita kawin dua puluh hari lagi? –

- Hemm, pendeknya kau mau menurut aku 

apa tidak? Dalam hal perkawinan, pihak pria ha-

rus mau menuruti kemauan pihak wanita. Sekarang inipun demikian pula, kau harus mau mene-

rima. Dan apabila kau tidak mau menerima, apa-

kah engkau akan melanggar sumpahmu sendiri? 

Bukankah waktu yang hanya sebulan kurang se-

hari Itu tidak lama?-

Rakit Cendana tidak cepat membuka mu-

lut. Pemuda ini menundukkan kepala beberapa 

saat lamanya. Dan ketika mengangkat kepalanya 

ia menghela napas panjang.

- Bagaimana?-

Rakit Cendana tergagap. Kemudian ia 

mengangguk sambil menjawab, - Hemm, baiklah! 

Aku terpaksa setuju permintaanmu. Tetapi..... –

- Tetapi apa .....?-

- Jika aku menuruti apa yang kau katakan, 

maka sekarang akupun minta agar kau sudi me-

nuruti apa yang kuminta.-

- Tidak mungkin! Kau harus ingat, kau te-

rikat sumpah, sebaliknya aku tidak!-

- Tetapi aku mohon.....Sarwiyah, aku mo-

hon -

Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri ber-

lutut di depan Sarwiyah. Lalu dengan sepasang 

matanya yang tak berkedip, ia meneruskan, - Aku 

mohon, untuk mengobati kerinduanku padamu, 

izinkanlah aku memeluk dan menciummu.-

- Ihhhh.....! -

Kaget juga gadis ini mendengar permintaan 

itu. Sebagai seorang gadis yang masih suci murni, 

ia menjadi malu dan pipinya berubah kemerahan.

Namun Sarwiyah takkan sedia menuruti


permintaan ini. Permintaan duapuluh sembilan 

hari lagi bukan lain dalam usahanya mengulur 

waktu dan bukannya mencintai pemuda ini. Da-

lam hati ia berharap agar dalam waktu yang cu-

kup panjang itu datanglah pertolongan hingga 

dapat membebaskan dirinya dari tempat yang ti-

dak menyenangkan ini.

Dan sesungguhnya saja mendengar per-

mintaan Rakit Cendana ini, Sarwiyah menjadi 

marah dan ingin sekali menampar mulut lancang 

ini. Namun perasaannya ini ia tekan, kemudian 

katanya halus.

- Kakang, kenapa engkau menjadi tidak 

sabaran seperti ini? Engkau adalah pemuda tam-

pan, pemuda berbudi dan hanya kau seorang saja 

yang aku cintai. Apakah kau ingin membuat hati-

ku menjadi kecewa?-

- Ahhh ..... ahhh .....sudahlah, jika kau ti-

dak mau, tidaklah mengapa .....- jawab pemuda 

ini gugup, khawatir jika gadis pujaan kati ini 

menjadi kurang senang hatinya. - Ya, duapuluh 

sembilan hari lagi. Tetapi.....setelah kita kawin, 

tentunya kau tidak menolak lagi, bukan?-

- Hemm, sudahlah! Kita telah cukup! Seka-

rang kau harus meninggalkan kamar ini agar aku 

dapat mengaso.-

- Tetapi..... tetapi aku akan minta kepada 

Ayah, agar kau mau pindah kamar. Kau harus 

aku tempatkan di kamar yang sepadan sebagai 

calon pengantin wanita yang terhormat.-

- Sudahlah, hal itu tak perlu lagi kau pikir


kan. Aku sudah kerasan di dalam kamar ini, ka-

rena memang lebih cocok. Yang penting sekarang 

keluarlah dari kamar ini, aku sudah mengantuk 

dan ingin tidur.-

- Jika kau memang mengantuk, silakan ti-

dur. Aku akan menjagamu agar tidak ada lalat 

maupun nyamuk yang mengganggu dirimu.-

- Hush! Sekalipun tidak kau jaga, nyamuk 

dan lalat tidak dapat masuk ke dalam kamar ini. 

Sudahlah, sekarang kau harus pergi. –

Rakit Cendana masih berusaha mencari 

alasan lagi, supaya dapat lebih lama dalam kamar 

ini. Bujuknya, - Aku sudah menurut dan menye-

tujui waktu duapuluh sembilan hari seperti yang 

kau minta. Tetapi kenapa kau demikian pelit dan 

tidak bersedia memberi kesempatan kepada diri-

ku untuk lebih lama dalam kamar ini?-

Agak kewalahan juga Sarwiyah menghada-

pi Rakit Cendana yang keras kepala ini. Namun ia 

tidak kekurangan akal, sahutnya, - Bukannya 

aku pelit, Kakang. Tetapi semua ini dalam usaha 

menjaga nama baik masing-masing. Kau putra 

mahkota raja yang berkuasa di daerah ini dan se-

baliknya aku seorang gadis yang masih suci. Ma-

nusia di dunia ini ada yang dengki dan ada yang 

baik. Nah kalau yang melihat kau masuk kamar 

ini, yang dengki dia bisa memfitnah kita dengan 

tuduhan buruk. Bagaimanakah kita akan me-

nangkis, kalau ada tuduhan kita telah berbuat ti-

dak senonoh di kamar ini? Tidak urung kau dan 

aku sendiri yang menjadi malu, bukan?


Siapakah yang berani berbuat seperti itu? 

- Rakit Cendana membelalakkan matanya. - Jika 

orang itu masih kepengin hidup, takkan mungkin 

berani menuduh aku dan dirimu berbuat tidak 

senonoh. Nah, karena itu kau tidak perlu khawa-

tir dan takut, Adikku.-

- Tidak!- Sarwiyah membentak. - Pokoknya 

sekarang juga kau harus meninggalkan kamar 

ini. Aku sudah mengantuk dan ingin tidur. 

Hemm, masih banyak waktu untuk kita gunakan 

bertemu.-Akhirnya Rakit Cendana terpaksa men-

galah. Namun demikian hatinya sudah mene-

tapkan, esok malam ia akan menggunakan cara 

lain agar Sarwiyah dapat ia tundukkan dengan 

mudah. Ia sudah tidak kuasa lagi menahan ha-

tinya yang gandrung.

Apa yang akan terjadi? Rakit Cendana 

akan mencampur obat yang selalu berhasil me-

nundukkan siapapun, yang menjadi andalan ke-

rajaan terasing ini. Ia merasa pasti Sarwiyah men-

jadi lupa daratan dan menyerah.

Pikiran Rakit Cendana ini sejalan dengan 

pikiran Ika Dewi yang juga tidak kuasa menahan 

hatinya lagi kepada Mahisa Singkir. Ia takkan 

puas sebelum dapat menundukkan pemuda itu.

Benarkah rencana kakak beradik ini ber-

hasil? Ikutilah buku baru yang akan terbit, berju-

dul "JANGAN KAU SIKSA HATIKU". Percayalah 

buku baru ini takkan mengecewakan hati Anda, 

karena cerita dalam buku baru ini lebih menarik 

dan mengesankan. Antara lain akan anda jumpai


adegan seperti di bawah ini.

..... Mpu Galuh mengerutkan alis dan me-

natap tajam kepada anaknya, - Apa katamu?-

Ika Dewi langsung menubruk dan memeluk 

ayahnya. Gadis ini tidak peduli kepada orang lain, 

lalu berkata tidak lancar.

- Ayah ..... aku sudah mencampurkan obat 

racun.....Kemudian dia.....dan aku sudah menjadi 

suami-isteri.....Ayah ... tetapi ahh, aku tadi terti-

dur.....Ketika aku terjaga.....Kakang Mahisa Sing-

kir sudah tidak ada lagi......

Mpu Galuh mendorong pundak Ika Dewi 

secara kasar. Ika Dewi terhuyung kemudian jatuh 

terduduk.

- Ayah... kenapa kau.....?- protes Ika Dewi 

sambil melompat bangkit. Wajah yang sudah pu-

cat itu tampak lebih pucat lagi. - Ayah.....kau..... 

kau tega kepada anakmu sendiri .....? Aku kehi-

langan suamiku ..... Ayah tidak menghibur..... te-

tapi malah marah-marah......

..... Julung Pujud terbelalak untuk sejenak 

kemudian terkekeh dan berkata, - Heh heh heh 

heh, apakah yang akan kau lakukan di sana?-

- Jika Guru berhadapan dengan Gajah Ma-

da, apakah murid tidak dapat berhadapan dengan 

yang lain? Hemm, biarlah Guru tahu, murid bu-

kan seorang penakut. Murid akan memilih salah 

seorang pembantu Gajah Mada yang paling sakti!-

- Jika kau sampai tak mampu melawan, 

apakah jadinya?-

- Bukankah taruhannya hanya mati? Apa


bila toh murid tewas dalam perkelahian itu, bu-

kankah murid akan mati dengan puas? Murid 

mati membela nama baik Kakek mertua, dan da-

lam usaha membalaskan sakit hati keluarga ......

Nah para Pembaca Yang Baik, silakan 

mengikuti cerita baru berjudul "JANGAN KAU 

SIKSA HATIKU", segar, mengesankan dan menarik.


                           s e l e s a i


Sala, pertengahan Mei 1987













































Share:

0 comments:

Posting Komentar