“Engkau akan bicara apa?” tanyanya.
Sarwiyah tersenyum. Hatinya merasa senang bahwa
Mahisa Singkir masih seperti yang dulu. Seorang pe-
muda penurut dan selain memperhatikan apa yang ia
katakan.
“Tahukah engkau bahwa aku sekarang ini sedang
dalam keadaan heran, merasa aneh dan merasa seperti
mimpi pula?”
“Kenapa bisa begitu, Mbakyu? Apakah ada hubung-
annya dengan peristiwa tadi?”
“Kau benar. Sesuatu yang baru, yang sama sekali
aneh dan menyebabkan aku sendiri bingung.”
Mahisa Singkir tersenyum. Dalam hati pemuda ini
ingin sekali agar gadis ini mengatakan, apa yang sudah
terjadi tadi memang secara sengaja, memanggil dirinya
agar dapat melihat keadaan dirinya dalam keadaan se-
perti bayi.
“Ahhh... Adi Singkir, kalau perjalananku ini tidak
bersama engkau, mungkin saja aku ini menjadi gila
mendadak.”
“Ahhh...!” seru Mahisa Singkir kaget. “Apakah se-
babnya kau berkata begitu, Mbakyu?”
“Hemmm... tentunya kau sudah mengenal watak
dan tabiatku, bukan? Dan engkau tentu tahu pula,
aku seorang yang tidak percaya kepada adanya setan
dan iblis maupun hantu?!”
“Benar. Aku pun seorang yang tidak percaya kepada
semua itu. Setan, iblis, hantu dan semacamnya itu ti-
dak lain hanyalah permainan dari pikiran kita sendiri,
yang kemudian menimbulkan semacam khayal, lalu
membentuk sesuatu. Setan, iblis, hantu dan seba-
gainya itu merupakan klise atau hafalan saja. Karena
ayah, ibu, nenek dan sebagainya telah memberikan
pengertian itu. Hingga kemudian tercetak dalam benak
setelah ia bangun pada keesokan
paginya, ia menemukan dirinya tidur berdampingan
dengan Kakek Madrim. Dalam marahnya Kakek Ma-
drim ia bunuh dengan pedang.
Tetapi setelah meninggalkan pondok Kakek Madrim,
gadis ini terkuasai oleh khayalannya sendiri tentang
Dewa Asmara. Dan akibatnya jiwanya terganggu.
Celakanya ia bertemu dengan seorang pemuda tam-
pan bernama Sinom Pradopo, dan menurut khayal Sa-
rindah, pemuda inilah suaminya yang bernama Dewa
Asmara itu. Tetapi karena Sinom Pradopo tidak mera-
sa, maka pemuda ini menolak mengakui sebagai iste-
rinya. Akibatnya terjadi perkelahian, dan karena tak
mampu, Sarindah lalu melarikan diri sambil menangis
dan tertawa, menjadi gila.
Sedang Sarwiyah yang akan mencari Julung Pujud
dan Warigagung, di perjalanan dikeroyok penjahat. Da-
lam keadaan hampir putus asa, datanglah pertolongan
dari seorang pemuda yang sudah ia kenal, hingga selamat.
1
Melihat pemimpin mereka sudah melarikan diri ke-
mudian roboh mati oleh tangan pemuda itu, kuncup-
lah nyali mereka. Tiba-tiba mereka sudah berteriak,
kemudian lari tunggang-langgang mencari selamat.
“Hah, mau lari ke mana kamu?!” bentak Sarwiyah
sambil mengejar.
“Jangan!” teriak pemuda itu sambil melompat dan
menghadang di depan Sarwiyah.
Hadangan itu demikian tiba-tiba dan di luar dugaan
Sarwiyah. Gadis ini berusaha menahan langkah, tetapi
masih juga menubruk pemuda itu. Untunglah ketika
itu pedangnya di sebelah kanan tubuh, kalau di depan
mungkin pedang itu bisa makan tuan.
Pemuda yang menolong itu kaget sendiri dan cepat
menggunakan tangannya guna memeluk, menahan
Sarwiyah agar tidak terpelanting jatuh. Adapun Sar-
wiyah sendiri tanpa sesadarnya pula sudah memeluk
pemuda itu, dan pedang runtuh di tanah.
Pemuda itu memang terlalu dekat dalam usaha
menghadang. Maka tidak mengherankan apabila bera-
kibat membuat mereka harus bertubrukan.
“Ahhh...!” jerit Sarwiyah tertahan.
“Mbakyu, maafkanlah aku,” pinta pemuda itu sam-
bil melepaskan pelukannya.
Akan tetapi ketika lengan yang semula memeluk itu
lepas, tiba-tiba mata pemuda ini terbelalak. Baju ba-
gian depan Sarwiyah terbuka. Dan walaupun dada itu
masih tertutup kain penutup dada, namun kain itu
agak merosot dan menyebabkan payudara yang kuning
dan membukit itu separo tampak. Pandangan baru ini
menyebabkan jantung si pemuda bergetar hebat.
Untung ia seorang pemuda yang sopan. Ia malah
merasa malu sendiri dan kemudian menundukkan
muka.
Pada mulanya Sarwiyah heran atas sikap pemuda
ini. Tetapi ketika menunduk dan melihat baju bagian
depan terbuka, ia baru ingat, tadi sudah robek oleh
cengkeraman tangan perampok. Ia memekik kecil,
membalikkan tubuh lalu berusaha menyembunyikan
dada yang membukit. Gadis ini kebingungan sendiri
karena bajunya tak dapat lagi ia rapatkan.
“Mbakyu, gantilah baju dahulu, baru kita nanti bi-
cara.” Sambil berkata demikian pemuda ini sudah
membalikkan tubuh lalu menjauhi.
Tanpa membuka mulut Sarwiyah sudah berlarian
mencari tempat bersembunyi. Lalu dengan cekatan ia
mengambil ganti baju dari bungkusan bekalnya. Da-
lam waktu singkat ia sudah selesai lalu melangkah
menghampiri pemuda penolongnya, yang ketika itu
duduk membelakangi.
Sambil menghampiri ini, diam-diam timbul perta-
nyaan dalam hatinya, mengapa telah terjadi peruba-
han yang aneh dalam diri pemuda ini?
Sarwiyah masih ingat benar. Dahulu ketika pemuda
ini, yang umurnya lebih muda satu tahun dibanding
dirinya, juga salah seorang murid kakeknya, kepan-
daiannya masih di bawah dirinya. Tetapi mengapa se-
karang dalam waktu singkat, dan belum cukup satu
tahun, Mahisa Singkir malah sudah melampaui diri-
nya?
Ketika itu Mahisa Singkir duduk pada akar pohon
yang menonjol. Ia duduk berdiam diri, menunggu gadis
itu selesai ganti baju. Maka ketika mendengar langkah
halus mendekati, Mahisa Singkir memalingkan muka.
Bibir pemuda ini menyungging senyum, lalu katanya,
“Ahh... kau sudah ganti baju, Mbakyu. Mari, duduklah
di sini.”
Sarwiyah juga tersenyum sambil mengangguk. Lalu
duduk pula pada akar pohon berdampingan dengan
Mahisa Singkir.
Sarwiyah membuka percakapan, katanya, “Adi
Singkir, engkau sekarang hebat.”
“Apanya yang hebat, Mbakyu?”
“Kepandaianmu. Sekarang tingkatmu sudah jauh di
atas tingkatku.”
“Ahh... Mbakyu jangan merendah. Manakah mung-
kin aku bisa menang terhadap Mbakyu?”
Sarwiyah memalingkan mukanya dan menatap wa-
jah pemuda itu tajam. Sedang Mahisa Singkir pura-
pura tidak tahu, dan ia memandang lurus ke depan.
“Adi Singkir, engkau jangan berusaha menyembu-
nyikan kepandaianmu. Bukti tidak terbantah lagi, ka-
rena aku tadi melawan pemimpin penjahat itu dengan
pedang saja kewalahan. Tetapi engkau hanya bertan-
gan kosong, telah berhasil mengalahkan. Adi, antara
aku dan engkau merupakan keluarga sendiri. Mengapa
sebabnya engkau berusaha menyembunyikan raha-
sia?”
Wajah Mahisa Singkir merah karena malu. Ia meno-
leh sebentar menatap wajah gadis itu. Akan tetapi be-
gitu memandang Sarwiyah, pemuda ini cepat-cepat
mengalihkan pandang matanya. Sebab masih ter-
bayang dalam benaknya, tadi yang telah ia lihat, dada
yang kuning dan membusung.
Sebagai seorang pemuda dewasa, sudah tentu pe-
mandangan yang baru ini kesannya sulit lupa dalam
waktu singkat.
“Mbakyu, baiklah, aku akan menceritakan apa yang
sudah terjadi atas diriku.” Mahisa Singkir mengambil
napas. Sejenak kemudian ia meneruskan, “Mbakyu,
bukankah ketika itu aku bersama Kakang Tanu Pada
dan Kakang Kebo Pradah, mendapat perintah dari
Guru mencari Adi Sentiko? Nah, aku bertiga menuju
selatan sedang saudara lain menuju arah lain yang
sudah ditentukan. Tetapi anehnya Mbakyu, ketika
kami tiba di Desa Sukorejo, kami bertemu dengan Ka-
kang Sangkan maupun Kaligis. Kami merasa heran.
Bukankah tujuan perjalanan mereka ke timur? Tetapi
Kakang Sangkan mengemukakan berbagai alasan, dan
berlindung nama Guru.”
Mahisa Singkir berhenti dan menghela napas. Peris-
tiwa menyedihkan ketika itu masih mengesan dalam
sanubarinya.
“Waktu itu sudah rembang petang. Maka terpikir
untuk mencari tempat menginap sebelum malam tiba.
Ternyata Sangkan dan Kaligis menggunakan kesempa-
tan itu secara curang. Ketika itu, aku, Kakang Tanu
Pada dan Kakang Kebo Pradah berjalan di depan. Se-
dang dua orang itu di belakang. Ternyata kemudian
Kakang Kebo Pradah dan Kakang Tanu Pada telah me-
reka tikam dari belakang dan mati.”
“Ahhh....” tanpa terasa terdengar jerit tertahan ke-
luar dari mulut Sarwiyah. Tentu saja, karena salah
seorang korban adalah pemuda yang ia cintai.
“Lalu, apakah yang terjadi selanjutnya?” tanya Sar-
wiyah sambil menatap Mahisa Singkir. Walaupun pe-
ristiwa itu sudah lama berlalu, namun dalam dada ga-
dis ini terasa ada yang perih juga.
“Agaknya tikaman itu melanggar jantung!” sahut
Mahisa Singkir dengan nada amat menyesal. “Terbukti
ketika roboh terguling tidak mengerang sama sekali.”
Sarwiyah menundukkan kepalanya.
“Aku kaget dan menjadi bingung, mengapa dua
orang itu sampai hati membunuh saudara sendiri?
Aku tanyakan juga soal itu. Tetapi mereka tidak mau
menerangkan, malah kemudian mengancam. Mereka
melarang aku pulang ke Tosari dan melarang bertemu
dengan Guru. Dan apabila peristiwa ini sampai bocor,
tentu akulah sumbernya. Ancaman itu menyebabkan
aku bingung. Lalu timbullah tekadku lebih baik mati
bunuh diri saja daripada harus berkhianat kepada
Guru.”
“Bagus. Itulah murid yang baik,” puji Sarwiyah. “Te-
tapi kenapa engkau masih hidup juga sampai seka-
rang?”
“Sebenarnya hal ini sudah pernah aku terangkan
kepada Mbakyu Sarindah. Apakah dia belum berceri-
ta?”
“Mbakyu hanya bilang, pembunuh Kakang Tanu
Pada dan Kakang Kebo Pradah, memang dua orang
itulah. Dahulu pernah berhasil aku robohkan bersama
Mbakyu Sarindah. Tetapi dua bangsat itu berhasil lolos
sebelum menerima hukumannya.”
“Sebabnya aku gagal membunuh diri adalah karena
tiba-tiba pedangku runtuh ke tanah. Kemudian di de-
panku sudah berdiri seorang kakek gemuk yang me-
makai jubah putih kedodoran. Dia menyadarkan diri-
ku, tidak baik jika aku melakukan bunuh diri.”
“Ahh, aku tahu sekarang,” Sarwiyah menukas.
“Tentu kakek gendut itu kemudian mengangkat dirimu
sebagai murid, bukan? Hem pantas sekarang kau he-
bat.”
Wajah Mahisa Singkir merah atas pujian Sarwiyah
ini, karena agak malu. Jawabnya kemudian, “Aku ti-
dak beruntung menjadi muridnya, Mbakyu. Tetapi be-
liau juga bukan orang tua yang pelit. Beliau berkenan
hati memberi petunjuk kepadaku dalam waktu dua ta
hun lamanya, tetapi aku tidak boleh mengaku sebagai
muridnya.”
“Ah, pantas! Dan engkau bakal menjadi seorang
yang hebat, Adi Singkir. Buktinya belum satu tahun
engkau mendapat petunjuk, kepandaianmu sudah
jauh meningkat.”
Mahisa Singkir menghela napas pendek. “Ya, mu-
dah-mudahan, Mbakyu. Tetapi sudah lebih setengah
bulan ini aku tidak pernah dapat ketemu dengan be-
liau, sekalipun aku sudah mencari ke sana dan ke ma-
ri. Sayang....”
“Siapakah dia itu, Adi?”
“Mbakyu, maafkanlah aku,” sahutnya sambil meng-
geleng. Aku tidak pernah tahu, siapakah nama mau-
pun gelar beliau, karena memang tidak pernah mem-
beri tahu.”
Mereka berhenti bicara. Sarwiyah memandang tem-
pat jauh, sedang Mahisa Singkir menundukkan kepa-
lanya. Akan tetapi sekalipun demikian, ia selalu meng-
gunakan sudut matanya untuk melirik ke arah dada
Sarwiyah yang membukit. Karena melirik dari samping
dan sebagian baju itu agak terbuka sedikit, maka tam-
paklah kemudian sebagian dada yang membukit itu.
Hati pemuda ini berdesir, tetapi timbul pula rasa se-
nang.
Dahulu, apabila ia berhadapan dengan Sarindah
maupun Sarwiyah, sikapnya tidak bedanya dengan
terhadap kakaknya sendiri. Tetapi setelah ia tadi ber-
pelukan, dan melihat pula Sarwiyah yang koyak ba-
junya, lalu menyelinaplah sesuatu perasaan yang aneh
dalam dadanya.
Beberapa saat kemudian Sarwiyah memalingkan
muka. Ujarnya, “Adi Singkir, apakah engkau sudah ta-
hu Kakek sudah tewas?”
“Ahhh...!” seru Mahisa Singkir tertahan. “Tewas?
Apakah sebabnya?”
“Kakek tewas pada empat bulan lalu,” sahut Sar-
wiyah dengan nada sesal dan sedih. “Kakek kalah ber-
kelahi melawan Gajah Mada.”
“Ahhhh...!” Mahisa Singkir kaget sekali. “Jadi...
Guru sudah ketemu dengan Gajah Mada? Ahh, me-
ngapakah sebabnya Guru bersikeras memusuhi Ma-
hapatih Gajah Mada?”
“Hemm, aku pun sesungguhnya kurang setuju, Adi
Singkir. Lebih lagi setelah aku mengetahui latar bela-
kang terjadinya permusuhan antara Kakek dengan Ga-
jah Mada itu.” Sarwiyah menghela napas. “Akan tetapi
ah.... Mbakyu Sarindah terlalu keras hati dan ingin
meneruskan cita-cita Kakek.”
“Ahh... mana sekarang Mbakyu Sarindah?”
Sarwiyah segera menceritakan tentang perpisahan-
nya dengan kakaknya perempuan. Sarindah pergi
mencari bantuan, sedangkan dirinya mendapat perin-
tah untuk mencari Warigagung.
“Itulah Adi, sebabnya aku dalam hutan ini, tidak
lain dalam perjalananku mencari Warigagung. Kemu-
dian hampir saja aku celaka dikeroyok oleh para pen-
jahat. Untung sekali kau segera datang dan menolong
diriku. O ya, apakah engkau pernah bertemu dengan
Warigagung?”
Mahisa Singkir memandang Sarwiyah dengan he-
ran. “Siapakah Warigagung itu, Mbakyu?”
Sarwiyah tersenyum. Ia baru sadar dan ingat, Mahi-
sa Singkir belum tahu tentang hubungannya dengan
Warigagung. Maka kemudian Sarwiyah menerangkan.
“Adi, pemuda yang bernama Warigagung itu mudah
sekali kau kenal. Sebab, ia seorang pemuda yang ke-
gemarannya bermain-main dengan ular dan binatang
berbisa lainnya.”
“Ahhh... dia? Kau... engkau mau mencari dia?” Ma-
hisa Singkir terbelalak dan ngeri, teringat pengala-
mannya waktu itu.
“Apakah sebabnya, Adi? Jadi, kau sudah pernah
bertemu dengan dia?” selidik Sarwiyah dengan wajah
agak cerah, menduga Mahisa Singkir dapat memberi
keterangan.
“Ahhh... masih ngeri apabila aku teringat peristiwa
ketika itu. Hemm, mestinya hal ini harus aku cerita-
kan sejak tadi, Mbakyu. Sebab peristiwa itu terjadi be-
berapa saat sebelum Kakang Tanu Pada dan Kakang
Kebo Pradah tewas oleh pengkhianatan Kaligis dan
Sangkan.”
Mahisa Singkir berhenti dan mengusap peluh yang
membasahi leher, akibat pengaruh rasa ngeri. Dan se-
jenak kemudian pemuda ini baru meneruskan.
“Ketika itu hampir saja kami berlima mati oleh ke-
ganasan pemuda itu. Dia mengerahkan ularnya untuk
mengeroyok kami.”
“Aku sendiri pun pernah mengalami keroyokan
ular-ularnya.”
“Ohh, kau juga pernah mengalami seperti aku? Te-
tapi apabila Mbakyu pernah celaka oleh ular-ularnya,
mengapa sekarang Mbakyu malah mencari dia? Ahh,
jangan Mbakyu. Pemuda liar seperti itu, manakah bisa
engkau jadikan sahabat?”
Sarwiyah tersenyum, sekalipun hati terasa perih se-
kali. Tunangannya telah dicela terang-terangan oleh
Mahisa Singkir di depan hidungnya sendiri. Namun
demikian ia masih dapat memaafkan kelancangan Ma-
hisa Singkir. Sebab, di samping pemuda ini belum ta-
hu terjadinya “pertunangan” antara dirinya dengan
Warigagung, sebenarnya Sarwiyah sendiri juga tidak
setuju. Ia terpaksa menerima terjadinya pertunangan
ini tidak lain karena berkorban untuk kepentingan ci-
ta-cita kakeknya. Namanya saja Warigagung memang
tunangannya dan sudah sah oleh dua belah pihak.
Namun yang benar ia jauh dari rasa cinta. Lebih lagi ia
ingat Warigagung sendiri juga tidak setuju. Akan tetapi
Warigagung juga tidak bisa menolak, karena gurunya
yang memaksa. Jadi jelas antara dirinya maupun Wa-
rigagung sama-sama sepi dari rasa cinta.
Mahisa Singkir yang tidak tahu hal tersebut mence-
la lagi.
“Mbakyu, jangan...! Engkau jangan mencari dia. Se-
bab aku khawatir, engkau akan terancam oleh ba-
haya.”
Sarwiyah menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Adi Singkir, engkau tidak perlu khawatir. Karena dia
tidak lain adalah tunanganku.”
Kalau ada halilintar menyambar, kiranya tidak se-
kaget Mahisa Singkir sekarang ini. Mendadak saja wa-
jahnya menjadi pucat. Ia sudah mencela Warigagung,
ternyata pemuda itu malah calon suami Sarwiyah.
Saking ketakutan apabila gadis ini marah, ia menjadi
tidak dapat membuka mulut.
“Engkau jangan menjadi kaget dan juga takut kepa-
daku,” hiburnya sambil memaksa tersenyum manis.
Sebab sekalipun tersenyum hatinya terasa perih. “Adi,
ketahuilah namanya saja dia itu tunanganku. Akan te-
tapi hemm, aku tidak mencintai dia....”
Mahisa Singkir keheranan mendengar penjelasan
ini. Apakah sebabnya orang bertunangan tanpa dida-
sari dengan rasa cinta? Mungkinkah ini bisa terjadi?
“Bukan hanya aku, tetapi Warigagung sendiri dalam
keadaan yang sama. Sebab sebenarnya dia juga tidak
mencintai aku.”
“Ahhh, mengapa bisa terjadi seperti itu?”
“Gurunya memaksa dia, dan Kakek pun memaksa
aku. Dua-duanya terpaksa, dan betapa sedih hatiku
sebenarnya dengan masalah ini.” Sarwiyah menghela
napas pendek. “Agaknya sudah menjadi suratan takdir
hidupku ini, dan harus begitu yang terjadi atas diriku.”
Sarwiyah berhenti dan Mahisa Singkir menatap wa-
jah ayu Sarwiyah sekalipun hanya sekilas. Diam-diam
timbul perasaan kasihan kepada gadis ini. Namun de-
mikian ia tidak dapat berbuat apa-apa, justru semua
itu sudah kehendak Si Tangan Iblis.
“Adi, sesungguhnya aku juga tidak suka dan tidak
menyetujui maksud Mbakyu Sarindah ini. Tetapi aku
terpaksa juga melakukan. Aku harus mengabarkan
tentang tewasnya Kakek dalam tangan Gajah Mada.
Dan aku harus minta bantuan Paman Julung Pujud
agar dapat membalaskan sakit hati ini.”
Sesudah itu Sarwiyah kembali lagi menghela napas
sedih. Dan Mahisa Singkir pun ikut bersedih, oleh ke-
kerasan hati Sarindah itu.
“Maafkanlah aku, Mbakyu,” katanya kemudian.
“Kalau boleh aku bicara, sesungguhnya aku sendiri ju-
ga tidak setuju dengan usaha membalas sakit hati dan
dendam itu. Sebab apa yang sudah lalu biarlah lewat.
Mengapa hal itu harus kita aduk dan persoalkan lagi?
Anggap saja semua yang sudah terjadi sudah sesuai
dengan garis Dewata Yang Agung. Sebab manusia ti-
dak dapat membantah dan melawan.”
Mahisa Singkir berhenti dan mencari kesan. Seje-
nak kemudian ia melanjutkan, “Yang jelas, dendam-
mendendam, balas-membalas itu tiada sesuatu yang
dapat kita petik dan kita ambil manfaatnya. Maka kita
semua ini wajib menyadari. Mbakyu, apabila manusia
ini sudah terhinggapi oleh penyakit balas dendam itu,
makin lama akan semakin menjadi parah. Sebab keke-
rasan, kekacauan dan ketakutan akan memenuhi du-
nia ini, sebagai akibat permusuhan yang tiada habis-
nya. Bukankah orang yang kita musuhi dan kita usa-
hakan supaya mati terbunuh itu mempunyai banyak
keluarga dan sanak famili? Kalau kemudian sanak dan
keluarga mereka mempunyai pendapat pula harus
membalas dendam, bukankah ini akan berakibat ter-
jadinya permusuhan yang tidak ada habisnya? Karena
hal itu akan sampai kepada generasi penerusnya.”
Sarwiyah mengangguk-angguk. Ia memuji luasnya
pandangan Mahisa Singkir. Padahal ia sendiri justru
tidak setuju dengan usaha membalas dendam seperti
itu.
“Tetapi Adi Singkir, apa yang harus aku katakan
bahwa diriku ini terpaksa oleh keadaan?” sahut Sar-
wiyah. “Aku tidak setuju, tetapi sebaliknya Mbakyu Sa-
rindah memaksa. Aku tidak berani membantah, maka
sekalipun berat hati aku terpaksa melakukan juga.
Nah, apakah engkau sudah pernah bertemu dengan
Warigagung sesudah terjadinya peristiwa waktu itu?”
Mahisa Singkir menggelengkan kepalanya dan
menghela napas. “Menyesal sekali, Mbakyu, hanya se-
kali itu saja aku bertemu dengan dia.”
Sarwiyah menghela napas panjang lagi. Tadi ia ber-
harap, Mahisa Singkir dapat membantu memberi pe-
tunjuk. Namun sayangnya, dia juga tidak tahu. Tetapi
sekalipun demikian gadis ini mengangkat mukanya,
memandang Mahisa Singkir.
“Adi, bersediakah engkau membantu aku?”
“Tentang apakah, Mbakyu? Jika aku harus mem-
bantu membalaskan sakit hati dan dendam itu, sung-
guh aku amat menyesal dan terpaksa harus menolak.
Mbakyu, sekalipun aku setia dan menghormati Guru
almarhum, namun aku tak dapat berbuat yang berten-
tangan dengan bisikan hatiku. Jika Mbakyu mau me-
maksa juga, lebih baik bunuh sajalah aku dengan ta-
nganmu.”
“Hi hi hik,” Sarwiyah ketawa perlahan, “siapakah
yang mau memaksa dan siapa pula yang akan mem-
bunuh? Ah Adi, engkau jangan cepat salah sangka.
Maksudku demikian. Mengingat apabila aku melaku-
kan perjalanan seorang diri seperti ini, sebagai seorang
gadis adalah kurang baik. Buktinya, hampir saja aku
tadi celaka oleh keroyokan para penjahat. Sekarang
aku minta bantuanmu, Adi, sudilah engkau menjadi
teman perjalananku dalam usahaku mencari Wariga-
gung dan gurunya.”
“Tetapi engkau harus berjanji tidak akan meli-
batkan diriku dalam urusan ini.”
“Ya, aku berjanji, Adi. Percayalah, aku takkan sam-
pai melibatkan dirimu dalam urusanku ini.”
Mahisa Singkir mengangguk dan tersenyum. Tentu
saja ia merasa senang juga menemani perjalanan Sar-
wiyah ini. Entah apa sebabnya, ia sendiri tidak tahu.
Serasa ia ingin selalu berdekatan dengan gadis ini dan
tidak ingin berpisah lagi. Ia juga tidak tahu mengapa
sebabnya justru selama ini tidak pernah terlintas da-
lam pikirannya hal-hal semacam ini.
Bagaimanapun perasaan ini merupakan hal baru
bagi dirinya, karena memang belum pernah terbayang
dalam pikirannya.
Namun tiba-tiba wajah pemuda ini pucat. Lalu ka-
tanya gugup, “Ahhh... nanti dulu, Mbakyu... ah, aku
tidak berani.”
“Kenapa? Apakah engkau sudah tidak mau lagi ber-
sahabat dengan aku?”
“Mbakyu, ohh... bukan itu... bukan itu....”
“Lalu soal apakah yang menyebabkan engkau mem-
batalkan kesanggupanmu membantu diriku?”
“Mbakyu, engkau sudah bertunangan dengan Wari-
gagung. Maka aku menjadi amat khawatir apabila dia
menjadi cemburu dan curiga kepada diriku. Apakah
nasibku tidak celaka apabila dia sampai cemburu? Se-
bab dia bisa menuduh aku merebut tunangan orang
lain.”
Sarwiyah tersenyum. Lalu terdengar desisnya, sea-
kan bukan kemauannya sendiri, “Kalau yang direbut
suka....”
“Engkau bilang apa, Mbakyu?”
Dengan agak malu Sarwiyah menatap Mahisa Sing-
kir.
“Engkau tidak perlu khawatir, Adi. Akulah yang
akan menerangkan kepada Warigagung. Engkau ada-
lah murid kakekku pula, maka kedudukannya sebagai
saudara seperguruan dan juga sebagai pengawal kese-
lamatanku, dalam perjalanan ini. Adi, seharusnya dia
malah harus berterima kasih kepadamu, karena kau
suka sedia berkorban demi keselamatanku dan berarti
pula merupakan kepentingan Warigagung.”
“Tetapi apabila dia tetap tidak mau percaya...?”
“Sudahlah, pendeknya engkau sudi membantu aku
atau tidak? Aku berani mempertanggungjawabkan per-
soalan ini.”
Sesungguhnya dalam hati Mahisa Singkir masih
menyelinap rasa keraguan itu, namun demikian ia
mengangguk juga.
“Baiklah Mbakyu, aku bersedia menemani perjala-
nanmu.”
Sulit terlukiskan betapa gembira gadis ini setelah
mendengarkan kesediaan Mahisa Singkir. Sarwiyah
percaya, mempunyai teman perjalanan seperti Mahisa
Singkir ini, dirinya akan menjadi lebih aman.
“Terima kasih, Adi, engkau baik sekali,” katanya
dengan wajah berseri.
“Lalu bagaimanakah sekarang, Mbakyu? Kapan kita
berangkat? Sekarang, ataukah lain hari?”
“Benar. Kita harus berangkat sekarang juga. Akan
tetapi Adi, aku tidak tahu sampai kapan dapat berte-
mu dengan dia maupun gurunya. Sebab ibaratnya aku
sekarang ini sedang mencari sebatang jarum dalam se-
tumpuk ijuk. Hemm, tetapi sekalipun demikian mu-
dah-mudahan saja, dalam waktu singkat apa yang aku
harapkan ini bisa terkabul.”
“Baiklah Mbakyu, mari berangkat.”
Akhirnya berangkatlah dua orang muda ini dan me-
langkah berdampingan. Ketika itu matahari sudah
rendah di bagian barat. Mereka harus menerobos hu-
tan pada perbukitan Kendeng, namun mereka tidak
khawatir dan tidak kenal takut.
Akan tetapi hutan di perbukitan Kendeng ini sam-
bung-menyambung tanpa putus. Padahal makin lama
matahari semakin rebah di barat.
“Mbakyu, kita masih terus berhadapan dengan hu-
tan,” ujar Mahisa singkir mengisi kesepian. “Padahal
hari telah sore. Hem... bagaimanakah kiranya apabila
kita mengaso dan menginap dalam hutan ini saja?”
“Tentu saja Adi, mengapa sebabnya kau masih juga
bertanya? Di hutan maupun di desa tak ada bedanya.
Kita butuh mengaso, mana tempat pun jadilah. Mari-
lah sekarang kita berusaha mencari tempat untuk
mengaso.”
“Sebaiknya kita mencari goa.”
“Benar. Dengan mengaso dalam goa akan lebih
aman.”
Tidak sulit bagi mereka mencari goa. Sebab pada
perbukitan Kendeng ini memang banyak terdapat goa-
goa alam yang cukup aman guna berlindung. Maka
mereka kemudian dapat menemukan goa yang cukup
luas guna mengaso, justru goa itu letaknya pada lereng
cukup terjal.
Tebing yang demikian ini akan aman dari gangguan
binatang berbisa maupun binatang buas. Dengan de-
mikian mereka akan dapat mengaso dengan aman. Le-
bih lagi disamping tempatnya demikian bagus, goa ini
tidak jauh dari sumber air yang amat jernih, hingga
untuk mencukupi kebutuhan air minum maupun
mandi, dapat mereka cukupi dengan mudah.
Setelah mereka berdua secara gotong royong mem-
bersihkan goa yang kotor itu, kemudian mereka mem-
bagi tugas. Mahisa Singkir yang harus berburu guna
mencari pengisi perut yang lapar, sedang Sarwiyah
yang harus mengumpulkan kayu kering untuk mema-
tangkan daging.
Tak lama kemudian mereka sudah duduk pada tepi
api unggun, dan mereka duduk berdampingan. Mereka
gembira, dan sibuk memanggang daging pelanduk ha-
sil Mahisa Singkir berburu.
“Adi Singkir,” kata Sarwiyah sambil membalikkan
daging yang sedang ia bakar, “apakah tujuanmu sebe-
narnya, dengan selalu mengembara ini?”
“Bukan maksudku terus bergelandangan seperti ini,
Mbakyu,” sahutnya. “Apabila sudah cukup waktu dua
tahun seperti janji kakek gendut itu membimbing diri-
ku, aku akan mengakhiri hidup sebagai gelandangan
ini.”
“Apakah sebabnya harus demikian?”
“Soalnya kakek gendut itu tidak mempunyai tempat
tinggal secara tetap. Maka apabila sampai waktu yang
sudah kakek gendut itu tentukan sendiri dan aku masih terlalu bodoh, bukankah aku sendiri yang akan
menerima akibatnya dan menderita rugi? Sebaliknya
apabila aku hidup seperti burung sekarang ini, kesem-
patan untuk dapat bertemu dengan dia lebih banyak.”
“Apakah pendapatmu itu tidak terbalik, Adi? De-
ngan mempunyai tempat tinggal yang tetap, berarti be-
liau akan gampang dalam usaha mengunjungimu.”
“Mbakyu, beliau mempunyai watak yang aneh. Be-
liau tidak mungkin mau mengunjungi diriku ini apabi-
la aku mempunyai tempat tinggal tetap. Sebab apabila
sedang melatih diriku, tempat yang dipilih tentu sulit
orang lain bisa datang, dan itu pun selalu berpindah-
pindah. Dan malah aku sendiri pun tidak mungkin da-
pat ke tempat ini tanpa bantuan beliau. Pendeknya
Mbakyu, kalau aku mencari beliau sulitnya setengah
mati dan melebihi mencari iblis. Oleh karena itu be-
liaulah yang selalu mendapatkan aku.”
Sarwiyah mengangguk-angguk. Diam-diam ia men-
jadi iri akan keberuntungan Mahisa Singkir, dapat
berkenalan dengan kakek gendut yang aneh itu. Ia su-
dah menentukan, kemudian hari Mahisa Singkir tentu
menjadi seorang pemuda gemblengan dan sakti man-
draguna.
Ketika itu daging dalam tangan Mahisa Singkir
maupun Sarwiyah sudah matang hampir berbareng.
Karena lapar, maka mereka segera menggerogoti da-
ging itu dengan lahap.
Akan tetapi Sarwiyah tidak betah untuk berdiam di-
ri. Maka gadis ini kemudian bertanya, “Apakah selama
ini engkau tidak pernah bertemu dengan murid Kakek
yang lain, maupun Adikku Sentiko?”
Mahisa Singkir menghela napas, kemudian mengge-
leng.
“Aku sendiri agak heran juga, mengapa sampai sekarang belum juga dapat aku temukan? Kalau aku
memikirkan Sentiko, hatiku ini sedih sekali. Sebab ba-
gaimanapun dia adalah keturunan laki-laki satu-
satunya bagi keluargaku.”
Hati Mahisa Singkir terharu juga mendengar kelu-
han Sarwiyah yang nadanya amat menyesal itu. Untuk
beberapa saat mereka termenung, sehingga daging
yang sudah siap dalam tangan masing-masing mereka
biarkan dingin tidak termakan. Adapun daging yang
sedang mereka bakar pun, karena terlambat membalik
menyebabkan daging itu hangus. Dan mereka baru
sadar ketika mencium bau daging yang hangus.
Akhirnya Mahisa Singkir menghibur. “Sudahlah
Mbakyu, semua masalah yang Mbakyu hadapi ini,
kembalikan saja dan serahkan kepada Dewata Yang
Maha Agung. Semoga Sentiko masih dalam keadaan
selamat dan kemudian hari kita dapat bertemu. Mari-
lah sekarang kita nikmati daging ini dulu, guna pengisi
perut.”
Demikianlah, pada akhirnya mereka menggerogoti
daging bakar itu. Karena daging ini mendapat bumbu
dari Sarwiyah, maka tentu saja rasanya menjadi lain
disamping sedap. Mahisa Singkir yang selama ini apa-
bila makan daging bakar tanpa menggunakan bumbu,
maka ia merasakan daging ini lezat sekali dan nikmat.
Tidak aneh pula makannya menjadi lebih banyak.
Merasa enak, Mahisa Singkir memuji sambil meng-
acungkan ibu jari. “Mbakyu, aduhhh... engkau hebat
sekali....”
“Apanya yang hebat?” Sarwiyah terbelalak berba-
reng curiga.
“Daging ini,” sahut Mahisa Singkir sambil tertawa.
“Karena kau beri bumbu, maka rasanya menjadi lezat
sekali. Tetapi... ehh, mengapa sebabnya Mbakyu malah
tidak bernafsu?”
Sarwiyah menjadi bangga oleh pujian Mahisa Sing-
kir ini. Lebih lagi ia sudah kenal watak Mahisa Singkir
yang jujur. Tetapi sekalipun demikian bagi seorang
wanita, walaupun merasa bangga, perasaan itu ia tu-
tup dengan kata-kata, “Ah, Adi, engkau membuat aku
malu saja.”
“Kenapa engkau menjadi malu, Mbakyu? Hemm,
aneh sekali. Ini merupakan kenyataan sebenarnya.
Daging ini kecuali gurih, lezat, juga menjadi wangi.”
“Hemm,” Sarwiyah hanya mengangguk, tetapi ra-
sanya sedih sekali, menyesali nasib dan derita hidup-
nya. Namun untuk tidak membuat Mahisa Singkir ke-
cewa, maka gadis ini menjawab juga, “Silakan Adi ma-
kan sampai kenyang. Berbeda sih, antara laki-laki dan
perempuan. Kalau laki-laki biasanya dapat makan ba-
nyak, sedangkan perempuan, aku biasa makan hanya
sedikit.”
“Aku khawatir apabila Mbakyu makan hanya sedi-
kit, badanmu akan menjadi kurus.”
Sarwiyah merasa geli dan berterima kasih kepada
pemuda ini yang memperhatikan dirinya. Jawabnya,
“Terima kasih, Adi, atas nasihatmu. Tetapi jika sudah
menjadi kebiasaan, perut akan menjadi sakit bila terla-
lu kenyang makan.”
Mahisa Singkir pun tersenyum. Ia sendiri menjadi
agak heran. Mengapa sekarang bertemu dengan Sar-
wiyah ini, ia demikian memperhatikan keadaan gadis
ini? Apakah hal ini terpengaruh oleh keadaan yang cu-
kup lama mereka berpisah?
Setelah mereka kenyang, akhirnya daging yang ma-
sih tersisa mereka bakar pula sampai matang, dengan
maksud dapat mereka pergunakan sarapan esok pagi.
“Mbakyu,” ujar Mahisa Singkir, “Mbakyu sekarang
mengasolah dalam goa, dan biarlah aku yang menjaga
di luar goa.”
“Ahh, kenapa harus engkau jaga segala? Hi hi hik...,
engkau membikin aku kikuk dan malu saja. Sepertinya
aku ini seorang puteri raja yang perlu kau kawal kese-
lamatannya.”
“Bukan demikian maksudku, Mbakyu. Goa ini tidak
begitu luas. Maka sebaiknya kau tidur di dalam dan
akulah yang tidur di luar.”
Alasan Mahisa Singkir memang tidak terbantah.
Goa ini memang tidak begitu luas. Disamping itu me-
mang tidaklah baik apabila seorang wanita muda ber-
sama seorang laki-laki muda pula, tidur dalam satu
ruangan seperti dalam goa ini.
“Terima kasih, Adi,” kata gadis ini kemudian. “Aku
sungguh beruntung sekali bertemu dengan kau.”
“Ahhh, Mbakyu, apakah sebabnya kau harus meng-
ucapkan terima kasih?” Mahisa Singkir menundukkan
mukanya agak malu. “Ini memang sudah sepantasnya
aku lakukan.”
Ketika itu Sarwiyah memang merasa tubuhnya su-
dah demikian letih dan ingin segera dapat mengaso.
Maka iapun melangkah masuk ke dalam goa. Untuk
beberapa saat ia mengatur dahulu rumput kering yang
sudah mereka persiapkan sejak sore untuk alas tidur.
Baru sesudah beres, ia merebahkan diri, dan terasalah
kemudian aliran darahnya lebih lancar menyalur ke
tubuh bagian atas. Ia tidak khawatir lagi kalau sampai
datang bahaya. Mahisa Singkir seorang pemuda yang
penuh tanggung jawab, jujur, dan kepandaiannya cu-
kup tinggi dan masih lebih tinggi atas dirinya.
Teringat akan cepatnya kemajuan yang terjadi atas
diri Mahisa Singkir ini, diam-diam Sarwiyah merasa
heran pula. Timbul pertanyaan dalam hatinya, bagai
manakah cara guru tidak resmi Mahisa Singkir itu
mengajar dan mendidik? Padahal menurut pengakuan
Mahisa Singkir jarang dapat ketemu dengan guru yang
tidak mau disebut sebagai guru itu. Sebaliknya dirinya
yang selalu berkumpul dalam satu rumah dengan ka-
keknya, dan mendapat latihan dan bimbingan setiap
hari secara rajin, namun mengapa sebabnya dirinya
ketinggalan?
Namun karena dirinya lelah maka dalam waktu
singkat gadis ini sudah tidur pulas. Pernafasannya
terdengar demikian halus.
Memang tidak mengherankan apabila Sarwiyah ma-
lam ini dapat tidur pulas dan enak. Beberapa hari la-
manya ia tidak dapat tidur pulas setelah berpisah de-
ngan kakaknya, karena dirinya harus juga menjaga
keselamatan dirinya.
Malah kemarin malam dirinya justru menginap di
dalam hutan pula. Guna menjaga hal-hal yang tidak ia
harapkan, ia terpaksa harus tidur di atas dahan pohon
yang daunnya rindang. Tidur di atas pohon tentu saja
jauh berbeda dengan tiduran di tanah. Di atas pohon
harus berhati-hati dan tidak dapat bergerak bebas. Se-
lain itu karena hanya seorang diri, maka ia lebih ba-
nyak berjaga.
Berbeda dengan sekarang. Ia tidur dalam goa se-
hingga keadaannya jauh lebih hangat dibanding de-
ngan tidur di atas dahan pohon. Lagipula sekarang ada
orang yang menjaga keselamatannya, ialah Mahisa
Singkir. Oleh rasa kepercayaannya kepada Mahisa
Singkir ini maka ia dapat tidur dengan pulas, seperti
tidur dalam kamar yang harum dengan alas kasur
yang empuk.
Demikianlah kenyataannya di dunia ini, manusia
bisa merasakan sesuatu apabila belum tidur. Manusia
bisa merasakan dingin, tempat yang keras, maupun
perasaan lain yang tidak enak adalah pada saat me-
mulai tidur. Tetapi sebaliknya juga dapat merasakan
kenyamanan kamar tidur yang sejuk dan berbau ha-
rum, berdampingan dengan suami maupun isteri ter-
cinta. Masih dapat merasakan kebanggaannya memili-
ki rumah bagus maupun harta benda yang berlimpah
ruah.
Akan tetapi kenyataan semua itu akan segera le-
nyap berbareng dengan saat manusia tidur. Dalam ti-
dur ini manusia tidak lagi dapat membawa apa-apa.
Sekalipun isteri maupun suami yang tidur di samping
pun, tak bisa ia bawa dalam tidur itu.
Itulah sebabnya tidur disebut ibarat mati. Tidur se-
perti tidak berbeda dengan orang mati, karena tidak
dapat membawa apa-apa. Lebih lagi kemudian hari
apabila manusia ini benar-benar sudah mati, semakin
tidak dapat membawa apa-apa kecuali diri sendiri ha-
rus mempertanggung-jawabkan perbuatannya selama
hidup di dunia, di depan pengadilan Yang Maha Tinggi.
Mengingat semua itu, maka wajib bagi setiap manu-
sia ini, tidak hanya memikirkan kepentingan dunia, te-
tapi perlu juga memikirkan akhirat. Memikirkan kala-
mana pada waktunya pulang ke asal. Sebab di sana
setiap manusia harus mempertanggung-jawabkan per-
buatannya selama di dunia.
Untuk dapat memikirkan kepentingan nanti di akhi-
rat, harus memperbanyak perbuatan baik dalam ben-
tuk apapun. Karena hanya dengan perbuatan baik itu
saja, sudah merupakan amal saleh yang bisa dibawa
sebagai bekal manusia pada saat mati. Itulah sebabnya
manusia hidup di dunia ini ibarat hanya singgah mi-
num, tidak panjang. Berbeda di akhirat, adalah tidak
terhitung jumlah tahunnya.
Demikianlah, apabila Sarwiyah dapat tidur dengan
pulas, sebaliknya Mahisa Singkir yang berjaga di luar
goa, duduk sambil menyandarkan punggungnya pada
tepi mulut goa. Dengan tidur seperti ini, menyebabkan
dirinya tidak dapat tidur pulas. Dan dengan demikian
dirinya akan selalu dalam keadaan siap siaga sepan-
jang malam.
Api unggun di luar goa sudah padam. Untung sekali
malam itu bulan hampir penuh menghias angkasa
raya. Sehingga di luar goa terang-benderang dan di da-
lam goa pun tidak begitu gelap.
Pada saat ia sedang duduk sambil menyandarkan
punggung pada tepi mulut goa ini, tiba-tiba telinganya
yang terlatih mendengar suara merintih dari dalam
goa. Ia kaget dan memalingkan muka. Samar-samar ia
melihat Sarwiyah tidur telentang tidak bergerak. Na-
mun mengapakah sebabnya gadis ini merintih? Ia agak
keheranan ada apakah dengan gadis ini?
Sambil memasang telinganya, ia mengamati penuh
perhatian. Namun tiba-tiba pemuda ini menundukkan
kepala, kemudian ia merasa malu sendiri. Sebab de-
ngan melihat Sarwiyah yang tidur telentang seperti itu
dan melihat dadanya yang membusung, tiba-tiba saja
ia teringat pengalamannya siang tadi. Ketika ia tertu-
bruk kemudian berpelukan beberapa saat lamanya
menghindarkan agar Sarwiyah tidak sampai jatuh ter-
pelanting. Ternyata kemudian ia tahu baju bagian de-
pan koyak lebar, sehingga dirinya menyaksikan pan-
dangan baru bagi dirinya, melihat dada Sarwiyah.
Teringat itu lalu timbullah perasaan malu untuk
menghampiri gadis itu, guna membangunkannya.
Namun ternyata suara rintihan Sarwiyah tidak juga
berhenti. Akibatnya ia menjadi khawatir apabila gadis
ini menderita sakit, maka kemudian memaksa dirinya
untuk bangkit dan menghampiri. Sekalipun demikian
pemuda ini tidak berani menyentuh. Ia hanya me-
manggil dalam usaha membangunkan gadis itu.
“Mbakyu... Mbakyu Sarwiyah....”
Sarwiyah pun gadis yang sudah terlatih. Sekalipun
sedang tidur pulas, tetapi panca inderanya akan segera
bekerja menghadapi bahaya. Maka gadis ini segera pu-
la membuka mata, bangkit dan bertanya.
“Adi, apakah sebabnya kau membangunkan aku?”
“Maafkan aku yang sebenarnya tidak ingin meng-
ganggu dirimu. Tetapi aku tadi mendengar kau merin-
tih. Itulah sebabnya kau kubangunkan dan ada apa-
kah?”
“Ohhh... tetapi aku tidak apa-apa, kok.”
“Tidak sakit?”
“Aku sehat-sehat saja, kok.”
“Tetapi kenapa kau merintih?”
“Entahlah! Mungkin aku tadi ngelindur, hingga tan-
pa terasa mulutku mengeluarkan rintihan.”
“Syukurlah jika engkau sehat saja, Mbakyu. Kalau
sakit bilanglah terus terang. Mbakyu, perlunya aku
dapat mencarikan obat.”
“Terima kasih, Adi. Engkau baik sekali. Tetapi aku
tidak sakit, kok. Aku tadi tidur pulas. Hemm, marilah
sekarang kita bergantian. Engkau sekarang yang tidur
dan aku ganti berjaga.”
“Ahh, manakah mungkin? Aku tidak mengantuk.
Tidurlah engkau dan biarlah aku yang menjaga di luar
goa.”
Tanpa menunggu jawaban, Mahisa Singkir sudah
melangkah ke luar goa, lalu kembali duduk di tempat
semula. Pemuda ini menjadi khawatir juga apabila
Sarwiyah sampai memaksa diri untuk berjaga.
Sarwiyah mengamati kepergian Mahisa Singkir dengan bibir tersenyum. Ia berterima kasih sekali, mem-
punyai adik seperguruan seperti Mahisa Singkir ini.
Disamping jujur, pandai menghargai orang lain, juga
pandai mengalah.
Akan tetapi Sarwiyah tidak segera tidur kembali.
Diam-diam ia merasa ngeri juga teringat impiannya ta-
di. Impian yang amat mengerikan, hingga Mahisa
Singkir sampai mendengar rintihannya.
Dalam tidurnya tadi ia merasa sudah bertemu de-
ngan Warigagung. Maka sulit ia lukiskan betapa baha-
gia hatinya dapat bertemu dengan pemuda yang ia ca-
ri.
Akan tetapi ternyata apa yang terjadi kemudian ber-
tentangan dengan harapannya. Sebab entah mengapa
sebabnya, tahu-tahu Warigagung malah meniup seru-
lingnya.
Mendadak muncullah beberapa ekor ular yang be-
sar-besar dan bergerak cepat menuju ke tempat Wari-
gagung dan dirinya berdiri. Ia terbelalak memandang
datangnya puluhan ekor ular itu. Dan di antara ular
yang datang itu, terdapat seekor ular yang besar tu-
buhnya sama dengan paha orang dewasa. Sedang pan-
jangnya, aduh... ia tidak sanggup melukiskan.
Pada saat itu ia takut melihat sejumlah ular ini, ti-
ba-tiba Warigagung melompat lalu menjauhi dirinya
sambil meniup seruling dengan irama tinggi. Ia ber-
maksud menyusul untuk melompat tetapi celaka! Diri-
nya sudah terkurung ratusan ular dengan mulut terus
berdesis.
Ia berteriak dan minta pertolongan Warigagung.
Namun ternyata pemuda yang menjadi tunangannya
itu hanya menertawakan saja dan tidak mau meno-
long. Karena ngeri dan guna menolong diri, ia menjadi
marah. Ia mencabut pedang kemudian mengamuk
membabati ular yang mengurungnya itu. Para ular itu-
pun menjadi marah dan berusaha melawan untuk
menggigit.
Tetapi pengaruh suara seruling Warigagung menye-
babkan ular-ular itu ganas dan tak takut mati. Ular-
ular itu terus menyerbu, dan sebelum ular yang me-
ngurung itu tersapu bersih, telah datang ular yang ba-
ru.
Ia berteriak-teriak memanggil Warigagung dan min-
ta pertolongan. Namun pemuda itu seperti tuli dan ti-
dak mendengar teriakannya. Maka dirinya terpaksa
mengamuk terus dengan pedang. Darah memercik ke
sana dan ke mari, dan banyak pula yang membasahi
pakaiannya. Bau darah ular itu amis sekali, makin la-
ma menyebabkan ia muak dan pening. Karena muak,
pening, dan ular itu masih terus berdatangan, ia men-
jadi roboh terguling, pingsan.
Ketika ia mendapatkan kesadarannya kembali, da-
lam mimpi yang mengerikan itu, ia mendapatkan di-
rinya sudah berdiri terikat pada sebatang tonggak
kayu. Dan yang amat membuat dirinya kaget setengah
mati adalah karena ia mendapatkan dirinya sudah da-
lam keadaan bugil seperti ketika dilahirkan. Ia menjerit
kaget, tetapi Warigagung yang berdiri tak jauh dari
tonggak malah ketawa terbahak-bahak tidak peduli.
Dan Warigagung tampak gembira sekali melihat diri-
nya polos seperti bayi, terikat pada tonggak.
“Heh heh heh heh, kenapa engkau kaget? Engkau
memang harus mendapat hukuman seperti ini!” ejek
Warigagung.
“Apakah salahku?!” jerit Sarwiyah dan air matanya
mulai menitik turun.
“Ha ha ha ha, engkau masih juga bertanya? Kesala-
hanmu sudah jelas. Huh, engkau perempuan yang tak
dapat aku percaya.”
“Apa... apa salahku?”
“Katakanlah terus terang. Siapakah pemuda yang
bersama kau itu?”
“Ohhh... kau terlalu terburu nafsu. Kakang... dia
adalah murid kakekku. Dia adik seperguruanku sendi-
ri, namanya Mahisa Singkir. Dia menyertai perjalanan-
ku mencari kau atas permintaanku. Agar selama da-
lam perjalanan tidak ada orang yang berani menggang-
gu. Kakang, sungguh mati dia seorang baik. Dia ber-
korban demi kepentinganku, maka seharusnya pula
kita mengucapkan terima kasih atas bantuannya.”
Warigagung terbelalak kaget, kemudian katanya,
“Aduh, maafkanlah aku. Mari sekarang aku lepas dari
ikatan ini.”
“Hai, jangan!” mendadak dalam mimpi buruk ini
muncullah guru Warigagung yang bernama Julung Pu-
jud. Kakek ini sudah menghadang sambil membentak.
“Warigagung, kau goblok! Dengan gampang engkau
dapat tertipu perempuan, huh. Tidak perlu berpanjang
mulut. Gadis ini sudah terbukti tidak setia. Sebagai
tunangan orang, berani bepergian dengan pemuda
lain.”
“Tetapi... Guru... dia berani bersumpah tidak mela-
kukan pelanggaran.”
“Huh, murid goblok! Sudahlah, pendeknya perem-
puan ini harus mendapat hukuman sesuai dengan ke-
salahannya. Wanita yang tidak setia ini harus mati se-
cara mengerikan. Hayo, segera perintahkan ular sebe-
sar paha itu, supaya mulai membelit tubuhnya dan
kemudian makan dagingnya.”
Dalam mimpinya itu, Sarwiyah masih dapat mem-
bela diri.
“Sungguh mati, Paman, pemuda itu adalah adik seperguruanku sendiri dan berkorban demi diriku mau-
pun Kakang Warigagung. Paman jangan sekejam ini
terhadap orang tidak bersalah....”
“Heh heh heh heh, siapa mau percaya kepada
omonganmu? Kau bersama dia melakukan perjalanan
berdua berbulan-bulan lamanya. Manakah mungkin
lelaki muda dengan gadis muda dapat menahan diri?”
Mendengar tuduhan Julung Pujud yang tanpa dasar
dan sewenang-wenang ini hatinya amat sakit berba-
reng marah sekali. Ia mencaci maki kalang kabut,
mencela Julung Pujud yang mengukur pribadi orang
lain dengan sepak terjangnya sendiri.
Warigagung juga berusaha mempengaruhi gurunya
agar mengurungkan niatnya menghukum dan mau
memberi maaf. Sebab ia dapat mempercayai ketera-
ngan Sarwiyah.
Namun sebaliknya Julung Pujud tetap pada pendiri-
annya, “Huh, tidak ada ampun bagi perempuan kotor
seperti ini. Belum juga menjadi istrimu sudah berkhia-
nat. Apalagi kalau sudah menjadi istrimu tentu lebih
jalang lagi. Lekas perintahkan ular itu untuk membelit
dan memakan dagingnya. Sedang pemuda jahat itupun
sudah aku hukum dan kulemparkan ke dalam jurang.”
“Ahhh... jangan...!” Sarwiyah memekik kaget sekali.
Tetapi celakanya pekikan ini malah membuat Ju-
lung Pujud semakin percaya tuduhannya benar. Ma-
nakah mungkin Sarwiyah menjerit kaget kalau tidak
mencintai pemuda itu? Padahal jeritan gadis ini karena
merasa kasihan kepada Mahisa Singkir. Pemuda itu
sudah mengorbankan diri, sudi menjadi kawan seper-
jalanan secara jujur, tidak mendapat pujian, sebalik-
nya malah harus mengalami nasib menyedihkan.
Itulah sebabnya Sarwiyah tadi dalam tidurnya me-
rintih ngeri. Mimpi yang amat buruk dan diam-diam
bulu kuduknya masih meremang. Karena gadis ini ma-
sih merasa takut dan ngeri ini, maka ia belum dapat
tidur kembali, tetapi menyandarkan punggungnya ke
dinding goa.
Dalam hatinya bertanya-tanya, disamping merasa
heran, mengapa dirinya harus mimpi buruk macam
ini? Apakah ini merupakan peringatan bagi dirinya, ti-
dak meneruskan perjalanan ini bersama Mahisa Sing-
kir?
“Tidak. Tidak mungkin!” bantah hatinya. “Mahisa
Singkir seorang pemuda yang sopan dan jujur. Me-
ngapa orang harus mencurigai secara membabi buta?
Tuduhan itu terlalu kotor. Tidak! Mahisa Singkir harus
tetap menjadi teman perjalananku mencari Wariga-
gung.”
Karena impian buruknya ini menyangkut Mahisa
singkir, maka ia tadi mengatakan tidak apa-apa. Hal
itu untuk menjaga agar Mahisa Singkir tidak kaget, la-
lu takut kepada bayangan impian buruk tadi.
Pendeknya, sekalipun merasa ngeri, ia takkan me-
ngurungkan perjalanan bersama Mahisa Singkir ini
dalam usaha mencari Warigagung. Dan sekalipun im-
pian buruk ini berpengaruh juga dalam hatinya, na-
mun ia tidak mau percaya demikian saja. Ia lebih per-
caya kepada Dewata Yang Agung dan orang yang tidak
bersalah pasti memperoleh pertolongannya.
Sarwiyah menghela napas panjang dalam usahanya
mengusir kenangan mengerikan dalam impian itu. Ia
mengamati ke luar goa. Dan ia melihat Mahisa Singkir
duduk dengan kaki diluruskan, sedang punggung ber-
sandar pada dinding goa. Ia tahu pemuda itu belum ti-
dur sekalipun tanpa suara.
“Sungguh terlalu apabila pemuda sopan dan baik
seperti Mahisa Singkir ini harus mendapat tuduhan
yang tidak-tidak!” jerit hatinya. “Lihat, dia tidak mau
tidur. Dia mengorbankan dirinya guna kepentingan
orang lain, guna kepentinganku. Dia seorang pemuda
yang penuh rasa tanggung jawab. Huh, tidak...! Tidak-
lah adil apabila pemuda sebaik ini, harus mendapat
tuduhan secara sewenang-wenang.”
Maka Sarwiyah berusaha mengusir kenangan dari
impian yang tidak menyenangkan itu. Setelah sekali
lagi menghela napas panjang, ia kembali merebahkan
dirinya di atas rumput kering. Sebab hanya dengan ti-
dur sajalah dirinya akan dapat melupakan impian
yang buruk tadi.
Pagi sudah tiba dan Sarwiyah agak geragapan keti-
ka bangun, karena sinar matahari cemerlang sudah
masuk ke dalam goa. Ketika ia bangkit duduk, ia meli-
hat Mahisa Singkir masih dalam sikapnya semalam,
kaki dan punggung menempel dinding mulut goa.
Melihat pemuda itu belum bergerak, ia tahu Mahisa
Singkir masih mengantuk. Akibatnya sekalipun pagi
sudah tiba, pemuda itu belum juga bangun.
Akan tetapi ia tidak ingin mengganggu Mahisa
Singkir. Ia tahu, keadaan pemuda itu yang masih
mengantuk. Maka ia mengambil sisir kemudian men-
yisir rambutnya yang tidak teratur. Setelah halus,
rambut itu kemudian disanggul agak tinggi. Ia akan
mandi. Untuk mencegah rambutnya menjadi basah,
maka sanggul itu harus tinggi. Setelah selesai, ia me-
langkah hati-hati lewat di dekat Mahisa Singkir yang
masih tidur.
Sesungguhnya hari masih pagi. Tetapi karena per-
bukitan Kendeng itu termasuk dataran rendah, maka
Sarwiyah sudah merasa gerah. Karena itu setelah tiba
di sumber air, dan melihat air telaga kecil ini jernih
dan agak dalam, timbullah keinginannya untuk mandi
dan sekaligus merendam diri agar tubuhnya menjadi
segar.
Mumpung masih pagi dan Mahisa Singkir masih ti-
dur. Apabila dirinya berenang-renang sambil meren-
dam tubuh, tidak perlu khawatir dirinya yang polos
sampai diketahui atau diintip orang.
Hanya agak sayang, ia tadi lupa membawa pakaian
pengganti. Namun untuk kembali lagi ke goa, rasanya
enggan. Maka biarlah sekarang mandi dulu, nanti toh
bisa ganti pakaian sesudah kembali ke goa.
Air yang jernih itu mendorong keinginan hatinya
untuk lekas berkecimpung dalam air. Maka sambil
menyembunyikan diri di balik batu, gadis ini mele-
paskan pakaiannya satu demi satu. Dan pakaian itu
supaya tidak sampai kabur, ia menumpuk menjadi sa-
tu lalu ia ikat dengan kain penutup dadanya. Lalu
dengan bibir tersenyum manis, gadis ini sudah mence-
burkan diri ke dalam air yang jernih dan sejuk itu. Dan
pengaruh air yang masuk lewat pori-pori kulitnya, da-
pat memberikan rasa segar dan nyaman.
Gadis ini demikian asyik merendam diri dalam air.
Menyebabkan gadis ini tidak melihat, munculnya
mahkluk yang amat aneh dan mendekati telaga. Ke-
mudian wut... pakaian Sarwiyah telah tersambar.
Akan tetapi apabila dalam keadaan seperti itu dan
gadis ini dapat melihat munculnya makhluk seaneh
itu, kemungkinan Sarwiyah malah menjerit ketakutan
dan bisa pingsan kemudian kelelap dalam air.
Makhluk aneh itu bentuknya bulat seperti bola yang
cukup besar. Tidak ada yang tahu, makhluk aneh ini
penghuni bumi ataukah penghuni luar bumi. Yang je-
las, makhluk ini seperti bola, tidak bermata, tidak
mempunyai mulut, tidak berkaki dan tidak bertangan
pula.
Kalau hanya kecil, tentunya mirip dengan telor. Te-
tapi yang aneh dan menyebabkan orang tentu ketaku-
tan, mengapa makhluk ini yang tampaknya tidak ber-
kaki itu, dapat meloncat-loncat gesit dan gerakannya
cepat sekali. Hingga bentuk tubuh yang bulat itu se-
perti bisa melenting sendiri seperti bola.
Yang lebih mengherankan lagi, walaupun makhluk
ini tidak mempunyai tangan, mengapa tiba-tiba dapat
menyambar pakaian Sarwiyah yang bertumpuk di tepi
telaga itu? Munculnya makhluk ini seperti kilat me-
nyambar dan lenyapnya pun sangat cepat dan pan-
dang mata sulit mengikuti.
Sungguh merupakan keajaiban yang tak mampu
terpikirkan oleh manusia di dunia ini, dan hanya De-
wata Yang Agung sajalah yang tahu. Sungguh aneh!
Untuk apakah makhluk aneh ini mencuri pakaian pe-
rempuan?
Oleh gerakan makhluk aneh yang cepat dan tidak
bersuara itulah maka Sarwiyah yang sedang asyik me-
rendam tubuh dan berkecimpung dalam air, tidak sa-
dar dan tidak tahu sama sekali pakaiannya sudah le-
nyap. Ia dengan bibir tersenyum-senyum gembira be-
renang-renang dan apabila berhenti kemudian ia
menggosok-gosok kulitnya yang halus lumar dan kun-
ing itu.
Setelah ia merasa cukup lama merendam tubuh da-
lam air yang jernih itu, dan ia mendapatkan kesegaran
tubuhnya, maka gadis ini menjadi puas. Ia kemudian
berenang kembali mendekat tempat ia tadi meletakkan
pakaiannya, untuk ia pakai kembali.
Akan tetapi tiba-tiba gadis ini terbelalak kaget. Tan-
pa ia ketahui sebabnya, pakaiannya sudah lenyap tan-
pa bekas. Sarwiyah celingukan ke sana dan ke mari.
Maksudnya mencari ke tempat lain barangkali ia tadi
lupa menempatkannya. Namun ternyata sekitar telaga
ini tidak terdapat apa-apa kecuali batu-batu hitam dan
rumput. Pakaiannya sudah lenyap tanpa ia ketahui
sebabnya.
Sarwiyah mengerutkan alis. Mendadak saja ia curi-
ga, tentu Mahisa Singkirlah yang sudah secara kurang
ajar mengambil pakaiannya.
Celaka! Pemuda yang ia sangka sebagai pemuda
baik hati itu ternyata berlawanan dengan kenyataan.
Celaka! Ternyata Mahisa Singkir pemuda mata keran-
jang. Pemuda cabul! Tentu pemuda itu sudah me-
nyembunyikan pakaiannya, dalam usahanya menekan
dirinya untuk minta sesuatu yang tidak senonoh.
“Huh, kubunuh kau, jika berani kurang ajar kepada
diriku. Huh, kalau aku tidak mampu melakukannya,
aku akan minta bantuan Mbakyu Sarindah atau Ka-
kang Warigagung!” desisnya geram.
Akan tetapi gadis ini segera ingat akan keadaannya.
Manakah mungkin dirinya dapat membalas sakit hati
dan membunuh pemuda itu, justru dirinya dalam kea-
daan seperti ini? Sekarang dirinya tanpa mengenakan
apa-apa.
Ingat keadaannya, tidak ada jalan lain kecuali ia
harus menahan rasa marah lalu berteriak memanggil
Mahisa Singkir. Harapannya pemuda itu dapat men-
dengar teriakannya dan cepat datang. Dan ia akan
minta pertolongannya, agar pemuda itu mau menolong
dirinya, mengambilkan pakaiannya di dalam goa.
“Adi Singkir! Mahisa Singkir! Hai... Mahisa Singkir,
datanglah kemari...! Datanglah ke telaga...!”
Sarwiyah berteriak nyaring sekali, karena jarak an-
tara goa dengan telaga itu walaupun dekat, ia tetap
khawatir apabila Mahisa Singkir masih lelap tidur dan
tidak mendengar. Atau Mahisa Singkir pura-pura tidak
mendengar dalam usaha menutupi perbuatannya yang
curang.
Apabila Sarwiyah tahu apa yang terjadi, kiranya
Sarwiyah tidak akan demikian saja menuduh Mahisa
Singkir. Sebab pemuda yang hampir semalam tidak ti-
dur itu masih lelap tidur dalam posisi duduk. Oleh ka-
rena itu manakah mungkin Mahisa Singkir dapat
mendengar panggilan Sarwiyah?
Akan tetapi segera terjadi keanehan lagi. Tiba-tiba
muncullah makhluk aneh yang seperti bola tadi, me-
loncat-loncat ringan sekali seperti bola dan bisa me-
lenting tanpa menimbulkan suara.
Pada saat makhluk aneh ini sedang mengapung
agak tinggi di udara, mendadak melesatlah sebutir
benda yang kecil dari si makhluk aneh itu, dan lang-
sung menyambar ke arah Mahisa Singkir. Untung se-
kali bahwa sambaran benda itu tidak mengenai secara
tepat dan hanya memukul tanah di dekat Mahisa
Singkir yang masih lelap tidur.
Sebagai pemuda yang sudah terlatih, tubuh pemu-
da itu mendadak melesat lebih sedepa jauhnya dan
terbangun. Kemudian ia melompat ke luar goa karena
Mahisa Singkir sadar dirinya telah diserang orang.
Akan tetapi celakanya, ia tidak melihat seseorang.
Tetapi ia tidak mau percaya demikian saja dan kemu-
dian ia menyelidik.
“Hemm, aneh!” desisnya ketika tidak melihat seseo-
rang, walaupun ia sudah menyelidik secara teliti.
Pada saat ia dalam keheranan berbareng penasaran
oleh serangan gelap ini, tiba-tiba telinganya menang-
kap suara panggilan Sarwiyah.
“Mahisa Singkir...! Kemarilah...! Datanglah ke tela-
ga...!”
Alis Mahisa Singkir berkerut. Tetapi kemudian dengan gerakan gesit, ia sudah melompat dan kemudian
berlarian cepat menuju telaga. Mahisa Singkir amat
khawatir, dan ia menduga tentu gadis itu berhadapan
dengan bahaya, hingga perlu minta bantuannya.
Akan tetapi ketika dirinya tiba di tepi telaga, Mahisa
Singkir cepat menekap mulutnya yang hampir berseru
kaget, sedang matanya terbelalak tidak berkedip. Soal-
nya pada pagi hari ini Mahisa Singkir menyaksikan
pemandangan baru dan yang asing sama sekali. Ia se-
karang ini melihat seorang perempuan dewasa yang
sedang merendam tubuh dalam air tanpa memakai
apa-apa.
Dan celakanya lagi, sekalipun ketika itu Sarwiyah
merendam tubuh sampai bawah leher, namun Mahisa
Singkir dapat melihat secara jelas dan utuh, karena air
telaga itu jernih sekali tidak bedanya kaca. Dan semua
ini menyebabkan jantung pemuda ini berdegup keras,
justru ia seperti melihat perempuan bugil di depan
cermin.
Walaupun Sarwiyah sudah menyembunyikan tu-
buhnya dalam air, namun semuanya bisa nampak je-
las dari tempat Mahisa Singkir berdiri.
Masih untung bagi Sarwiyah, karena sambil meren-
dam tubuh itu, tangan kiri menjulur ke bawah menu-
tupi tengah paha, sedang tangan kanan bersilang di
depan dada.
Akhirnya Mahisa Singkir merasa malu sendiri, lalu
membalikkan tubuh sambil berteriak, “Mbakyu, apa-
kah maksudmu memanggil aku kemari? Mengapa se-
babnya engkau tidak cepat naik ke darat dan berpa-
kaian?”
Ucapan Mahisa Singkir ini nadanya menegur, hing-
ga hal ini malah menimbulkan dugaan jelek kepada
Mahisa Singkir. Akibatnya gadis ini tambah marah,
bentaknya, “Enak saja engkau bicara. Menyuruh aku
ke daratan dalam keadaan seperti ini? Dan kau... huh
huh... engkau melihat keadaanku seperti ini?”
Bentakan Sarwiyah ini mengagetkan Mahisa Sing-
kir. Akan tetapi sebagai seorang pemuda sopan, ia ti-
dak sudi menggunakan kesempatan dalam kesempi-
tan. Ia tidak mau membalikkan tubuh dan meman-
dang Sarwiyah. Pemuda ini tetap membelakangi Sar-
wiyah sambil bertanya, “Mbakyu, sebenarnya apakah
maksudmu? Aku tadi mendengar panggilanmu. Mana-
kah mungkin aku datang kemari, apabila aku tahu
kau sedang mandi seperti ini? Sudahlah, apabila eng-
kau tidak apa-apa, aku akan kembali ke goa dan sila-
kan engkau berpakaian.”
Sesungguhnya Sarwiyah termasuk sebagai gadis
penyabar. Kalau saja yang mengalami peristiwa seperti
ini Sarindah yang wataknya keras dan galak, tentu su-
dah marah-marah dan mencaci-maki kalang kabut.
Namun sekalipun Sarwiyah gadis sabar, kesabaran
itu juga ada batasnya. Manakah mungkin dirinya bisa
sabar, kalau harus mengalami keadaan seperti ini?
Sarwiyah sudah menduga, yang mencuri pakaian-
nya adalah Mahisa Singkir. Dan sekarang, pemuda ini
malah datang dan seperti sengaja mengejek dirinya
yang telanjang. Kalau saja pakaian itu tidak lenyap, ti-
dak usah orang menyuruh pun ia tentu sudah berpa-
kaian.
Sarwiyah menjadi marah. Bentaknya, “Singkir! Apa-
kah engkau sudah berubah menjadi pemuda mata....”
Tetapi Sarwiyah cepat menutup mulutnya sendiri
dan juga menyesal. Dirinya saat sekarang ini masih
membutuhkan pertolongan pemuda itu guna mengam-
bil pakaiannya di dalam goa. Disamping itu, semakin
lama dirinya merasa kedinginan, dan apabila terus
berlangsung seperti ini dirinya akan sakit. Karena itu
sekalipun amat mendongkol dan penasaran, Sarwiyah
menyabarkan diri, lalu katanya halus, “Sudahlah, Adi,
sekarang aku mohon pertolonganmu. Lekas kembalilah
engkau ke goa dan ambilkan pakaianku. Hemm, pa-
kaianku hilang secara aneh.”
“Apa? Hilang?!” dalam kagetnya Mahisa Singkir
menjadi lupa dan membalikkan tubuh, berhadapan
dengan Sarwiyah.
Sarwiyah menjerit kecil dan Mahisa Singkir cepat
membalikkan tubuh lagi, sambil berkata gugup,
“Mbakyu, maafkanlah aku. Aku lupa engkau seperti
itu, maka aku sekarang membelakangi engkau lagi. Te-
tapi... katakanlah dahulu, kenapa pakaianmu sampai
bisa hilang? Dan siapa pula yang sudah datang kemari
dan berbuat jahat itu?”
Hampir saja mulut gadis ini membentak dan men-
caci-maki. Untung ia segera sadar, maka rasa marah
itu ia tekan dan kemudian berkata halus, “Cepatlah
ambilkan dulu pakaianku di goa. Aku sudah kedingi-
nan, dan semuanya akan dapat kita bicarakan nanti.”
“Baiklah, Mbakyu.”
Mahisa Singkir segera melompat lalu ia berlarian
menuju goa.
Akan tetapi pada saat Mahisa Singkir masih berla-
rian itu, tiba-tiba saja Sarwiyah terbelalak kaget. Ia
hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendi-
ri. Ia mengucak-ucak matanya, lalu ia mencubit pa-
hanya sendiri. Sakit! Merupakan bukti dirinya tidak ti-
dur dan tidak pula mimpi.
Apa yang sudah terjadi? Secara aneh sekali, tanpa
melihat sesuatu yang bergerak, tidak mendengar pula
suara langkah orang maupun sambaran angin, tahu-
tahu pakaiannya yang tadi hilang lenyap itu sudah
kembali ke tempat semula.
Tanpa setahu Sarwiyah, makhluk aneh yang ben-
tuknya bulat seperti bola tadi, menggunakan kesempa-
tan demikian bagus. Pada saat Sarwiyah dan Mahisa
Singkir sedang berbicara tadi, tanpa suara sudah
mengembalikan pakaian yang tadi ia ambil. Kalau ke-
tika datang pertama kali gerakannya meloncat-loncat
ringan seperti bola yang membal, pada saat mengem-
balikan pakaian ini ia menggelinding perlahan-lahan
lewat sela-sela batu.
Untuk beberapa jenak Sarwiyah terpaku keheranan.
Namun kemudian gadis ini cepat meloncat ke darat
tanpa mempedulikan lagi keadaannya sendiri yang po-
los. Ia lalu menyambar pakaian itu, lalu berlindung di
belakang batu, sambil memakai pakaiannya cepat-
cepat. Ia menginginkan dirinya sudah selesai berpa-
kaian sebelum Mahisa Singkir datang.
Ketika Sarwiyah tinggal memakai baju, telinganya
menangkap suara gerakan orang yang halus. Ia sudah
menduga, tentu yang datang ini Mahisa Singkir.
“Mbakyu... Mbakyu Sarwiyah! Di manakah eng-
kau?!” teriak Mahisa Singkir agak gugup ketika tidak
melihat Sarwiyah.
Sarwiyah muncul dari belakang batu, dan sudah se-
lesai berpakaian sambil mengulum senyum manis.
Dan tiba-tiba gadis ini sudah menubruk Mahisa Sing-
kir lalu memeluk.
Mahisa Singkir ini kaget sekali. Untuk beberapa je-
nak lamanya pemuda ini terbelalak, jantungnya berde-
gup keras sekali dan kalau boleh sesungguhnya ia in-
gin sekali keadaan seperti ini dapat terus berlangsung.
Mendadak saja apa yang tadi telah ia lihat, ketika
Sarwiyah dalam keadaan polos, merendam diri dalam
air, terbayang jelas dalam matanya. Ia tadi dapat melihat lekuk liku tubuh gadis yang sekarang memeluk di-
rinya ini.
Kenangan yang amat menarik dan menyedapkan
mata ini, menyebabkan Mahisa Singkir tanpa sadar,
lengannya sudah membalas memeluk gadis ini. Ada
perasaan yang aneh sekali menyelinap dalam dada
pemuda ini. Dan kemudian tanpa sesadarnya pula jari
tangannya sudah mengusap-usap rambut Sarwiyah
yang hitam dan lebat serta berbau harum itu.
Untunglah Sarwiyah lekas menjadi sadar diri. Ia
melepaskan pelukannya lalu mendorong perlahan. Wa-
jah gadis ini agak merah akibat malu. Ia tadi menu-
bruk dan kemudian memeluk Mahisa Singkir di luar
kesadarannya, dan terdorong oleh perasaan gembira,
pakaiannya yang pernah lenyap sudah kembali ke
tempat semula masih lengkap. Hingga tuduhannya
dan kecurigaannya kepada pemuda ini sudah terusir
dari lubuk hati gadis ini.
Sebagai akibat merasa bersalah karena sudah ter-
buru nafsu menuduh Mahisa Singkir ini, ia menyesal,
sekalipun tuduhan itu masih dalam batin. Itu pula se-
babnya, ketika Mahisa Singkir sudah muncul, ia lalu
menubruk dan kemudian memeluknya.
Akan tetapi sekarang setelah hatinya merasa lega,
Sarwiyah baru sadar, sesungguhnya ia tidak perlu
berbuat seperti ini.
Namun ia sendiri juga tidak tahu, mengapa sebab-
nya ia tadi langsung menubruk dan memeluk pemuda
itu. Kenyataan sudah terjadi, dan ia tidak dapat me-
mungkiri.
Mahisa Singkir memandang Sarwiyah dengan dada
penuh tanda tanya. Dalam hati timbul perasaannya
yang heran, apa sajakah maksud perbuatan Sarwiyah
pada pagi ini? Ia tadi mendengar teriakan Sarwiyah.
Ketika tiba di telaga ini, ternyata ia menyaksikan Sar-
wiyah tidak apa-apa dan masih merendam diri dalam
air. Sebagai akibatnya dirinya harus melihat gadis ini
dalam keadaan tanpa pakaian. Dan sekalipun Sar-
wiyah sudah berusaha menutup dada dan tengah pa-
ha, namun apa yang ia lihat tetap saja membuat ha-
tinya tidak karuan rasanya.
Tadi Sarwiyah juga menegur dirinya dengan benta-
kan tidak senang. Malah kemudian menuduh dirinya
seorang pemuda mata keranjang. Lalu Sarwiyah me-
nyuruh dirinya mengambilkan pakaiannya di dalam
goa sebagai pengganti. Tetapi sekarang setelah dirinya
kembali sambil membawa pakaian, ternyata Sarwiyah
sudah berpakaian lengkap, padahal gadis ini tadi me-
ngatakan hilang.
Lalu ia berusaha ingin dapat memecahkan teka-teki
yang ia hadapi dan menduga maksud Sarwiyah yang
sebenarnya. Kemudian timbul pertanyaan dalam ha-
tinya, mungkinkah gadis ini sengaja mengaduk hati
dan perasaannya, agar dirinya dapat terjebak melihat
keadaan gadis itu yang bugil?
Ia menjadi bingung sendiri. Sebab apabila Sarwiyah
sengaja mengaduk hati dan perasaannya, mengapa se-
telah dirinya datang, Sarwiyah menegur dan menuduh
dirinya sebagai pemuda mata keranjang? Kalau benar
gadis ini sengaja mengaduk perasaannya, tentunya se-
sudah dirinya datang lalu menggoda dengan tingkah
maupun senyumnya yang memikat.
Saking bingung dan tidak dapat menduga maksud
Sarwiyah yang sebenarnya, maka pemuda ini lalu ber-
tanya, “Apakah yang terjadi sebenarnya, Mbakyu? Aku
menjadi bingung menghadapi semua ini.”
Setelah menghela napas panjang, Sarwiyah lalu
menebarkan pandang matanya ke sekeliling, karena
masih terpengaruh oleh perasaan curiga. Adakah
orang yang sengaja mengacau pada pagi hari ini?
Tetapi Sarwiyah merasa yakin hal itu tidak pernah
terjadi. Sebab apabila benar, dirinya tentu dapat meli-
hat pengacau itu. Lalu apakah setan dan iblis? Lebih
tidak masuk akal lagi. Untuk apakah setan dan iblis
menyembunyikan pakaiannya? Atau pandang matanya
sendiri yang kurang teliti? Juga tidak mungkin! Ia tadi
sudah mencari-cari pakaian itu dan tidak tampak.
“Adi Singkir,” ujarnya kemudian, “marilah kita
kembali ke goa. Nanti aku akan segera menceritakan
semuanya. Hem, aku menghadapi peristiwa yang
sungguh aneh dan mengherankan.”
“Lalu pakaianmu ini?”
“Berikan padaku. Dan mari kita cepat kembali ke
goa.”
Mahisa Singkir mengikuti langkah gadis ini. Dan
pemuda ini sengaja melangkah di belakang. Sebab
dengan melangkah di belakang ini berarti dirinya dapat
memandang lekuk lekung gadis itu tanpa rasa malu.
Lalu terbayanglah dalam benak pemuda ini, keadaan
Sarwiyah yang tadi tidak berpakaian sama sekali. Aki-
batnya tanpa terasa jantungnya berdetak keras dan
tubuhnya menjadi meriang. Sebagai pemuda yang be-
lum pernah mengenal perempuan, kenangan dan
bayangan pikiran ini menimbulkan sesuatu yang me-
narik dan nikmat.
Kenyataannya memang demikianlah, pikiran manu-
sia itu sendiri yang menimbulkan pemisahan antara
sebutan manusia jahat maupun manusia baik. Sebab
pikiran itu sendiri yang kemudian mendorong kepada
nafsu untuk melakukan perbuatan itu. Pikiran manu-
sia membimbing ke arah kemajuan, ke arah perada-
ban. Tetapi juga pikiran manusia sendirilah yang bisa
menjerumuskan manusia sendiri kembali ke arah ke-
biadaban dan tidak mengenal hukum. Oleh pikiran
manusia ini pula kemudian timbullah pembunuhan,
kekejaman, perkelahian, pertentangan dan lain seba-
gainya.
Seperti halnya apa yang terjadi dengan Mahisa
Singkir pada pagi ini. Apabila ia hanya menggunakan
mata melulu, melihat dan menikmati sesuatu yang in-
dah, tentu akan nampak keindahan yang asli dalam
segala bentuknya. Ia akan dapat menikmati keindahan
itu seindah-indahnya, tidak ubahnya mata ini melihat
bunga indah dan berbau wangi. Akan tetapi sebaliknya
apabila manusia sudah menggunakan pikirannya,
keindahan itu akan segera ternoda. Karena nafsu akan
segera muncul dan berada paling depan. Mata yang
memandang ini kemudian tidak jujur lagi, karena su-
dah terpengaruh oleh pikiran. Sebab kemudian akan
membayangkan sesuatu yang tidak pada tempatnya,
sehingga timbullah tindakan-tindakan manusia yang
tidak pantas.
Untung sekali Sarwiyah segera merasa bahwa Mahi-
sa Singkir sedang memperhatikan dirinya dari bela-
kang. Lalu gadis inipun ingat, Mahisa Singkir tadi te-
lah melihat dirinya tanpa pakaian. Mendadak saja ga-
dis ini merasa kikuk disamping malu. Sekalipun diri-
nya sekarang ini dalam keadaan berpakaian lengkap,
namun ia sendiri seperti tidak berpakaian.
“Adi,” katanya kemudian dalam usaha menutupi
kegelisahannya, “apakah sebabnya kau di belakang?
Aku menjadi sulit untuk bicara.”
Pemuda ini menjadi sadar dan oleh kehalusan pera-
saannya, ia menjadi malu sendiri. Guna menutupi pe-
rasaannya yang tidak keruan itu, ia meloncat ke de-
pan, lalu melangkah di samping Sarwiyah.
“Engkau akan bicara apa?” tanyanya.
Sarwiyah tersenyum. Hatinya merasa senang bahwa
Mahisa Singkir masih seperti yang dulu. Seorang pe-
muda penurut dan selain memperhatikan apa yang ia
katakan.
“Tahukah engkau bahwa aku sekarang ini sedang
dalam keadaan heran, merasa aneh dan merasa seperti
mimpi pula?”
“Kenapa bisa begitu, Mbakyu? Apakah ada hubung-
annya dengan peristiwa tadi?”
“Kau benar. Sesuatu yang baru, yang sama sekali
aneh dan menyebabkan aku sendiri bingung.”
Mahisa Singkir tersenyum. Dalam hati pemuda ini
ingin sekali agar gadis ini mengatakan, apa yang sudah
terjadi tadi memang secara sengaja, memanggil dirinya
agar dapat melihat keadaan dirinya dalam keadaan se-
perti bayi.
“Ahhh... Adi Singkir, kalau perjalananku ini tidak
bersama engkau, mungkin saja aku ini menjadi gila
mendadak.”
“Ahhh...!” seru Mahisa Singkir kaget. “Apakah se-
babnya kau berkata begitu, Mbakyu?”
“Hemmm... tentunya kau sudah mengenal watak
dan tabiatku, bukan? Dan engkau tentu tahu pula,
aku seorang yang tidak percaya kepada adanya setan
dan iblis maupun hantu?!”
“Benar. Aku pun seorang yang tidak percaya kepada
semua itu. Setan, iblis, hantu dan semacamnya itu ti-
dak lain hanyalah permainan dari pikiran kita sendiri,
yang kemudian menimbulkan semacam khayal, lalu
membentuk sesuatu. Setan, iblis, hantu dan seba-
gainya itu merupakan klise atau hafalan saja. Karena
ayah, ibu, nenek dan sebagainya telah memberikan
pengertian itu. Hingga kemudian tercetak dalam benak
manusia tentang makhluk-makhluk itu, sesuai dengan
gambar yang memberi cerita. Kemudian lalu menim-
bulkan rasa takut dalam hati.”
Mahisa Singkir berhenti, mengambil napas, dan se-
jenak kemudian meneruskan, “Penggambaran hantu
maupun siluman, sama pula dengan kita menghadapi
anak kecil. Anak kecil itu apabila tidak pernah menda-
pat kuliah tentang ketakutan, tidak mungkin menjadi
takut. Tetapi sebaliknya apabila yang tua sudah me-
nakut-nakuti dengan segala macam hantu dan silu-
man itu, membuat anak itu menjadi ketakutan. Khayal
yang menakutkan itu kemudian terkenang seterusnya
sampai menjadi dewasa. Namun apabila menyadari
semua itu hanya permainan dari pikiran ini, tentu
akan menjudi geli sendiri tentang semua itu.”
“Engkau benar, Adi. Anak kecil yang secara sengaja
atau tidak menakut-nakuti bocah dengan kucing, anak
itu akan ketakutan melihat kucing. Namun sesudah
tahu tidak menakutkan, anak itu kemudian tidak ta-
kut lagi.”
Mahisa Singkir tersenyum, katanya, “Ya! Apabila
benar hantu itu ada tentu bentuknya akan sama saja
di seluruh dunia ini. Seperti manusia ini, di seluruh
bumi sama saja bentuknya, dan yang berbeda hanya-
lah warna kulit, rambut, tingkah laku, kebudayaan,
kecerdasan, tinggi tubuh maupun yang lain. Akan te-
tapi dalam keseluruhan si manusia ini adalah sama.
Akan tetapi anehnya, mengapa dalam menggambarkan
tentang hantu dan lelembut itu menjadi berbeda-beda?
Dengan demikian membuktikan semua itu hanyalah
khayal manusia sendiri. Manusia di setiap tempat, da-
lam mengkhayalkan lelembut tadi berbeda-beda. Jadi,
sama sekali tidak ada.”
“Ya, aku pun sependapat dengan kau, Adi.” Sarwiyah menghela napas. “Namun yang aku alami pagi
tadi, menyebabkan aku ini menjadi ragu akan penda-
patku sendiri selama ini.”
“Apakah sebabnya?” Mahisa Singkir heran.
Ketika itu mereka justru sudah hampir mencapai
goa tempat mereka istirahat. Sarwiyah tidak segera
menjawab, malah mempercepat langkahnya. Setelah
gadis ini duduk di depan mulut goa, barulah gadis ini
menghela napas panjang.
“Duduklah, Adi. Sekarang akan aku ceritakan se-
muanya.”
Mahisa Singkir yang tertarik dan ingin pula menda-
pat jawaban pertanyaannya, segera pula duduk. Mere-
ka berhadapan dan mata Mahisa Singkir menatap wa-
jah ayu itu penuh perhatian, membuat gadis ini agak
malu.
Namun ia tidak mau menegur maupun mencegah.
Ia hanya menundukkan muka. Agaknya sikap gadis ini
malah menyadarkan Mahisa Singkir, lalu pemuda ini
menundukkan muka.
“Begini, Adi, seperti aku katakan tadi, aku tidak
percaya kepada segala macam hantu dan lelembut.
Akan tetapi apa yang aku alami tadi, menyebabkan
aku menjadi ragu. Dan tentunya engkau tadi kaget ke-
tika aku memanggil, lalu engkau melihat diriku masih
di dalam telaga.”
Gadis ini berhenti dan mendadak merasa malu diri-
nya tadi tanpa pakaian terlihat oleh Mahisa Singkir.
“Ahhh...!” tiba-tiba Mahisa Singkir melompat berdiri
lalu memandang ke arah telaga.
“Kau ini mengapa?” Sarwiyah berkata sambil terta-
wa lirih melihat tingkah Mahisa Singkir.
“Tentu ada manusia yang sengaja kurang agar, te-
lah menggoda dan menyembunyikan pakaianmu.”
Kalau Mahisa Singkir menduga demikian, hal ini ia
hubungkan dengan apa yang tadi ia alami sendiri. Ia
masih tidur pulas kemudian ada benda yang memben-
tur dekat tubuhnya. Baru sesudah ia bangun, ia men-
dengar panggilan Sarwiyah. Dengan demikian jelas,
memang ada orang yang sengaja mengganggu. Untung
sekali mulutnya tidak secara gegabah menceritakan,
sebab hal ini bisa menimbulkan salah duga bagi Sar-
wiyah. Gadis ini bisa saja menuduh Mahisa Singkir te-
lah sengaja menggoda dirinya, menyelenggarakan ker-
jasama dengan orang lain.
“Aku pun menduga begitu,” sahut Sarwiyah. “Tetapi
duduklah! Tak enak aku bicara dengan duduk tetapi
kau berdiri seperti itu.”
“Marilah kita kembali ke sana melakukan penyelidi-
kan. Siapa tahu orang yang kurang ajar itu masih di
sana. Huh, kita hajar orang itu...!”
Gadis ini menggeleng. “Duduklah! Tidak perlu kita
kembali ke sana, karena tak ada gunanya.”
Apabila gadis ini berkata demikian memang alasan-
nya cukup kuat. Kalau orang yang sengaja menggang-
gu itu benar bisa mereka temukan, mereka berdua
takkan mampu menghadapi. Sebab kalau orang itu
dapat bergerak secepat itu, sehingga tanpa bisa terlihat
dan terdengar oleh telinganya, jelas bukan orang sem-
barangan.
Meskipun demikian, timbul pula rasa keraguannya,
apakah maksud orang itu menyembunyikan pakaian-
nya, kemudian mengembalikan lagi masih dalam kea-
daan utuh?
“Adi, aku tadi pun menduga seperti itu. Tetapi aku
sudah meneliti lebih dari cukup. Kuselidiki, namun
tiada sesuatu yang mencurigakan. Aku tidak menemu-
kan bekas kaki maupun rumput yang roboh. Itulah
sebabnya ketika engkau datang dan membawa pa-
kaianku, aku sudah selesai berpakaian. Sebab setelah
engkau pergi, secara tiba-tiba pakaianku telah berada
di tempat semula. Aku tidak percaya dengan siluman
dan demit maupun hantu. Namun adakah orang yang
dapat berbuat seperti itu?”
Mereka asyik membicarakan peristiwa yang baru
terjadi di telaga. Matahari sudah agak tinggi dan Mahi-
sa Singkir yang belum mandi segera pamit untuk
mandi.
“Mandilah! Dan kita harus segera meneruskan per-
jalanan.”
Ketika Mahisa Singkir pergi, Sarwiyah segera me-
nyisir rambutnya lagi untuk kemudian ia sanggul lebih
patut. Ia tidak mungkin membiarkan dirinya tidak te-
rurus, sekalipun saat ini sedang dalam hutan dan jauh
dari pergaulan dengan manusia lain.
Mahisa Singkir bergerak cepat menuju telaga. Dan
diam-diam pemuda ini penasaran, merasa telah diper-
mainkan orang. Jika orang itu sengaja mencelakai,
tentu sambitannya tadi akan mengena dirinya. Tetapi
karena membentur tempat kosong, berarti orang yang
menyambit maupun orang yang menyembunyikan pa-
kaian Sarwiyah, lalu sengaja membangunkan dirinya
dan memancing agar dirinya menuju ke telaga. Dengan
demikian ia dapat menyaksikan keadaan Sarwiyah
yang polos.
Ia benar-benar menyesal dan penasaran. Kalau ti-
dak melihat Sarwiyah dalam keadaan seperti itu, diri-
nya tentu tidak menjadi seperti sekarang ini. Hatinya
menjadi tidak tenang lagi setelah melihat, wajah Sar-
wiyah yang ayu itu.
Ia menyelidiki ke sekitar telaga. Siapa tahu kalau
orang kurang ajar itu masih di tempat ini. Namun ter
nyata usahanya sia-sia belaka. Sepi, sunyi dan tidak
menemukan seseorang. Dan seperti sudah diterangkan
Sarwiyah tadi, juga tidak tampak adanya bekas kaki
maupun rumput yang roboh.
Akhirnya pemuda ini segera melepaskan pakaian,
mandi dan berkecimpung di dalam air yang sejuk. Tu-
buhnya menjadi segar dan semua rasa lelah maupun
penat menjadi hilang. Seakan ia memperoleh semangat
baru dan Mahisa Singkir menuju kembali ke goa den-
gan wajah berseri serta hati yang gembira.
Ketika jaraknya tidak jauh lagi dengan goa, hidung-
nya kembang kempis menghirup bau sedap dan gurih.
Ia cepat bisa menduga, tentu Sarwiyah sedang mem-
bakar daging sisa kemarin guna sarapan pagi.
Dugaannya ternyata benar, gadis itu sekarang sibuk
memanggang daging di bekas api unggun kemarin ma-
lam.
“Adi, makanlah!” kata Sarwiyah dengan bibir terse-
nyum manis. “Sayang aku tidak mempunyai alat un-
tuk merebus air. Kita tidak dapat minum air hangat
pada pagi ini.”
“Ahh Mbakyu, aku sudah biasa minum air tawar
tanpa mengenal waktu,” sahutnya sambil duduk. “Dan
aku menjadi malu, karena selalu membuat kau repot
saja.”
“Bukan kau, tetapi malah akulah yang membuat
engkau repot. Mestinya kau bebas mengembara, seka-
rang engkau terikat dan harus menemani aku dalam
perjalanan ini.”
“Hemm, sudah seharusnya Mbakyu, engkau adalah
cucu guruku. Apakah artinya yang kulakukan seka-
rang ini apabila dibandingkan dengan pengorbanan
Guru bagi diriku?”
“Sudahlah Adi, marilah kita makan. Kemudian secepatnya kita berangkat meneruskan perjalanan,
mumpung masih pagi!” akhirnya Sarwiyah meng-
alihkan perhatian.
Hal ini memang disengaja guna mencegah hatinya
terharu kepada pemuda ini, oleh sikapnya yang selalu
mengalah dan selalu berusaha merendahkan diri. Ten-
tu pemuda ini akan berusaha menyisihkan kebaikan-
kebaikannya sendiri, ditutup dengan kebaikan yang
pernah diterima dari kakek, mbakyu maupun dirinya
sendiri.
Demikianlah, akhirnya dua orang muda ini mening-
galkan goa ini, lalu meneruskan perjalanan cepat me-
nerobos hutan. Namun diam-diam dalam perjalanan
ini pikiran dan hati Sarwiyah selalu dibebani oleh kek-
hawatiran, oleh mimpi buruk semalam.
Akan tetapi memang lumrah bagi manusia yang hi-
dup di dunia ini, selalu berusaha menghibur diri. Biar-
pun hatinya khawatir, ia akan mencari-cari alasan,
bahwa itu hanyalah impian saja. Sama pula dengan
orang yang suka main perempuan, ia akan selalu
menghibur diri dengan mencari kambing hitam, me-
nyalahkan isteri atau lingkungannya. Atau mengata-
kan, beginilah seharusnya seorang laki-laki, berarti
seorang jantan sejati.
Manusia laki-laki yang tidak jantan. Laki-laki yang
tidak tahu harga diri, mau dijajah oleh perempuan.
Dan anehnya pula, masyarakat tidak akan menuding
dan mencela manusia laki-laki seperti itu.
Namun sebaliknya apabila ada perempuan yang
berbuat semacam ini, akan cepat-cepat mendapat cela,
dicemooh dan dituduh jalang. Adilkah ini? Kalau wani-
ta dilarang, mengapa laki-laki bebas? Kemudian
menghibur diri dengan alasan itulah tata kesopanan
umum. Itulah tradisi! Bukan berarti kalau pria bebas,
wanita pun harus bebas dan berbuat semau gue.
Perlu introspeksi, bahwa penyelewengan, dalam
bentuk apapun dan dengan macam alasan apapun
adalah tidak benar. Tidak baik.
Disadari oleh kesadaran dan tanggung jawab, me-
nyebabkan Mahisa Singkir dan Sarwiyah yang mela-
kukan perjalanan bersama ini dijauhkan dari perbua-
tan yang kurang patut. Padahal apabila mereka mau
melakukan penyelewengan, apakah sulitnya? Sebab
mereka jauh dari manusia lain. Mereka laki-laki muda
dan seorang gadis. Mereka tidak pernah berpisah, ma-
kan bersama-sama dan tidur pun di satu tempat. Pada
saat yang seorang sedang tidur, yang lain akan dapat
menatap dan memperhatikan tanpa gangguan.
***
2
Tanpa terasa mereka bersama-sama telah menem-
puh perjalanan sudah lebih dari satu bulan lamanya.
Mereka demikian rukun, senasib sepenanggungan. Me-
reka saling bantu dan saling memperhatikan. Seakan
mereka ini sepasang kekasih yang sama-sama merasa-
kan kesulitan dan kegembiraan. Hati mereka menjadi
sangat dekat dan saling percaya.
Sayang sekali usaha dan harapan mereka belum ju-
ga terwujud. Warigagung maupun gurunya belum juga
dapat mereka temukan dan tidak seorang pun dapat
memberitahu ke manakah pemuda itu maupun gu-
runya.
Sering juga Sarwiyah mengeluh, setiap sudah me-
ngaso di suatu tempat. Entah dalam goa, entah di ru
mah orang atau di dalam penginapan. Dan sering juga
Sarwiyah turun semangatnya, lalu ingin menghentikan
usahanya dan ingin pulang saja ke Tosari.
Akan tetapi Mahisa Singkir yang selalu setia mene-
mani perjalanan ini selalu menghibur, membangkitkan
semangatnya dan membesarkan hati dan harapan.
Pemuda ini selalu mengingatkan tanggung jawab Sar-
wiyah kepada Sarindah. Dan betapa memalukan apa-
bila orang sudah melarikan diri dari tanggung jawab.
Dan kenyataannya memang oleh dorongan Mahisa
Singkir yang membantu sepenuhnya ini, maka Sar-
wiyah tidak patah semangat di tengah jalan, sekalipun
harapannya makin lama menjadi semakin tipis.
Mereka terus menjelajah hutan maupun pedesaan
dan malah juga kota-kota kecil. Akan tetapi hari ini
seperti hari kemarin, dan seperti minggu-minggu yang
lalu. Mereka tidak juga menemukan Warigagung mau-
pun Julung Pujud. Harapannya masih tetap hampa
dan yang mereka peroleh hanyalah letih, kesengsaraan
maupun kelaparan.
Tetapi justru oleh tekad baja Mahisa Singkir ini me-
nyebabkan Sarwiyah mau meneruskan usahanya, se-
kalipun usaha itu belum memberikan tanda keberhasi-
lan sama sekali. Sejak diawali dari perbukitan Ken-
deng, dengan tekad baja pada akhirnya tibalah mereka
di wilayah Belambangan. Tetapi Belambangan ini wi-
layahnya luas sekali, sehingga usaha mereka pun tetap
sulit justru sejak semula Sarwiyah tidak tahu ancar-
ancar di manakah Julung Pujud bertempat tinggal.
Keadaan ini menyebabkan gadis ini kesulitan dalam
usaha mencari tempat tinggal Julung Pujud. Dan se-
tiap orang yang ditanya tidak seorang pun dapat mem-
beri keterangan.
“Adi,” kata Sarwiyah sambil membantingkan pan
tatnya di atas tanah lalu menghela napas sedih, “telah
berbulan lamanya kita mencari, dan telah jauh pula ja-
rak yang kita tempuh, tetapi harapanku belum juga bi-
sa terwujud. Sampai sekarang tidak seorang pun dapat
menerangkan tempat tinggal Paman Julung Pujud
yang aneh itu. Apakah tidak sebaiknya kita urungkan
saja maksud ini, dan kita pulang saja ke Tosari? Siapa
tahu kita sambil menunggu di sana, guru dan murid
itu datang sendiri? Atau setidak-tidaknya, kita bisa
bertemu dengan Mbakyu Sarindah yang mungkin ma-
lah sudah pulang lebih dulu.”
“Tetapi... Mbakyu,” sahut pemuda ini tampak ragu,
“engkau sendiri sudah mengatakan, baik engkau mau-
pun Mbakyu Sarindah takut pulang ke Tosari.”
“Hemm,” Sarwiyah mengeluh. “Aku menjadi bingung
sendiri, Adi. Lalu apa yang harus kita lakukan selan-
jutnya? Jika terus mencari, aku semakin tidak yakin
dan harapanku semakin tipis. Tetapi sebaliknya apabi-
la tidak mencari, aku pun khawatir apabila Mbakyu
Sarindah sampai salah paham dan menjadi marah.
Bukankah engkau pun sudah mengenal watak dan ta-
biat Mbakyu Sarindah yang keras dan pemarah itu?”
Diingatkan tentang Sarindah yang keras hati dan
pemarah itu, Mahisa Singkir menjadi khawatir sendiri.
Khawatir apabila dirinya dipersalahkan, sudah mem-
pengaruhi Sarwiyah menghentikan usaha ini. Walau-
pun kenyataannya ia selain membesarkan hati dan
mendorong Sarwiyah untuk terus berusaha.
Tetapi walaupun sudah demikian jauh pengorba-
nannya untuk menemani Sarwiyah dalam perjalanan
ini, tentu Sarindah yang kasar dan mudah marah itu
tentu tidak mau tahu. Dan salah-salah dirinya sendiri
malah dimusuhi.
“Sekarang begini saja, Mbakyu,” ujar Mahisa Singkir
kemudian. “Engkau harus mau mendengar pendirian-
ku ini. Biarlah soal ini serahkan saja kepada diriku.
Akan aku cari dia sampai ketemu, sedang engkau
kuantar pulang ke Tosari. Sebaiknya engkau menung-
gu saja di rumah dan siapa tahu apabila Mbakyu Sa-
rindah atau saudara yang lain pulang? Kemudian eng-
kau akan dapat minta bantuan saudara-saudara kita
itu, agar mau ikut mencari. Tetapi untukmu Mbakyu,
lebih baik kau tidak usah pergi saja dan tetap di Tosa-
ri.”
Tiba-tiba Sarwiyah merengut lalu bersungut-
sungut. “Engkau anggap aku ini orang apa?”
Mahisa Singkir kaget dan memandang Sarwiyah.
Lalu ia bertanya, “Apakah maksudmu?”
“Engkau berpayah-payah dan saudara yang lain
bersakit-sakit, sebaliknya aku enak-enak di rumah.
Huh, apakah aku ini seorang pengecut yang lari dari
tanggung jawab dan menjadi seorang yang mencari
enak sendiri?”
“Ahhh, bukan begitu maksudku, Mbakyu. Semua
ini dengan maksud agar aku tidak begitu besar me-
ngorbankan kepentinganmu sendiri maupun urusan
yang lain.”
“Hi hi hik,” Sarwiyah cekikikan. “Apakah engkau ini
sudah linglung, Adi, menganggap urusan ini bukan
urusanku? Sudahlah, pendeknya, kita teruskan saja
usaha pencarian ini dan terima kasih kuucapkan ke-
padamu.”
“Mengapa engkau mengucapkan terima kasih?”
“Mengapa tidak? Engkaulah yang mengorbankan
kepentingan dan urusanmu sendiri, dalam usahamu
membantu kepentinganku. Dan sebagai akibatnya se-
lama ini, engkau mengabaikan kepentinganmu sendiri,
untuk mendapatkan tambahan pelajaran dari kakek
yang baik hati itu.”
“Ahhh Mbakyu... engkau jangan membuat aku malu
saja. Menurut pendapatku, urusanmu juga merupakan
urusanku juga. Jadi sama sekali aku tidak merasa
berkorban untuk urusan ini. Sudahlah Mbakyu, apabi-
la engkau memang tidak mau pulang ke Tosari, siapa
yang memaksa? Marilah kita lanjutkan usaha kita ini.
Kita wajib berikrar pantang mundur dalam usaha ini.
Sungguh Mbakyu, walaupun kemudian hari aku harus
berubah menjadi kakek-kakek, aku akan terus menca-
ri sampai ketemu.”
Ketawa Sarwiyah meledak mendengar ucapan pe-
muda ini.
Tetapi Mahisa Singkir sendiri justru keheranan dan
kemudian bertanya, “Apakah sebabnya kau tertawa?”
“Tentu saja, hi hi hik, bagaimana aku tidak tertawa?
Engkau masih muda belia, tetapi kau bilang sampai
jadi kakek-kakek pun akan terus mencari. Apabila
engkau berubah menjadi kakek, apakah diriku akan
masih tetap seperti sekarang ini? Tentu saja aku pun
akan berubah menjadi nenek-nenek jika engkau men-
jadi kakek. Karena aku justru lebih tua setahun
umurnya dibanding dengan engkau.”
Akhirnya Mahisa Singkir juga tertawa setelah me-
nyadari pernyataannya sendiri memang lucu.
Tetapi diam-diam timbul pertanyaan dalam hatinya,
apakah hal ini tidak lucu dan menggelikan jadinya?
Seorang pemuda dan seorang gadis pergi bersama-
sama sampai menjadi kakek dan nenek, namun sela-
ma itu dua orang yang berlainan jenis ini, masing-
masing masih dapat menjaga diri sehingga masih tetap
sebagai perawan suci dan jejaka thing-thing?
Maka diam-diam dalam hatinya mengeluh juga dan
juga timbul kekhawatirannya apabila hal ini sampai
terjadi juga.
Setelah rasa lelah berkurang, dua orang muda ini
melangkah meneruskan perjalanan. Mereka melang-
kah di atas tebing sungai Sanen yang berliku-liku dan
bertebing curam.
Pada saat itu memang sedang dalam musim kering
dan matahari menyinarkan cahayanya yang amat te-
rik. Perbukitan ini banyak gundul dan rumput pun hi-
dup susah dan banyak yang mati.
Perut mereka merasa lapar, tetapi usaha mereka
mencari binatang hutan tidak pernah terkabul. Tempat
yang kering ini, menyebabkan binatang hutan tidak
kerasan lagi hidup di tempat ini dan berpindah ke hu-
tan lain.
“Sayang...,” Sarwiyah mengeluh pendek, “seekor ti-
kus pun tidak bisa kita peroleh di tempat ini. Ahh, Adi
Singkir, aku hanya membuat engkau menderita seng-
sara saja....”
“Mbakyu, mengapa berkali-kali engkau berkata se-
perti itu? Bagiku, ini kewajiban, Mbakyu. Kewajiban
sebagai saudara seperguruanmu. Bukankah apabila
engkau melakukan perjalanan seorang diri, engkau
akan merasa lebih menderita lagi? Sebab engkau ter-
paksa berdiam diri tanpa seorang pun yang bisa eng-
kau ajak bicara. Tetapi sebaliknya ada aku, setidak-
tidaknya engkau bisa menghibur diri dan berbicara
dengan aku.”
Sarwiyah mengeluh. Jawabnya, “Ya, tetapi agaknya
sekarang ini kita harus berhadapan dengan perut yang
lapar. Di tempat kering seperti ini, seekor tikus pun ti-
dak ada yang bisa kita temukan.”
“Tetapi di sungai itu, aku percaya banyak ikan yang
bisa aku tangkap.”
Sarwiyah tersenyum masam. Sahutnya, “Apakah
engkau ini sudah berubah menjadi tolol? Adi Singkir,
sungai ini berada di perbukitan, air saja sudah hampir
menjadi kering, banyak batu, lalu adakah ikan yang
kerasan hidup di sini?”
Gadis ini berhenti dan menghela napas panjang. Se-
jenak kemudian ia baru meneruskan, “Seperti binatang
hutan, ikan pun telah mengungsi ke tempat lain yang
dapat menjamin hidup senang dan tenteram. Dan ka-
lau toh masih ada yang tersisa, yang kita peroleh tak-
kan sesuai dengan kesulitan kita.”
Mahisa Singkir juga menghela napas. Ia dapat me-
nerima alasan Sarwiyah. Menangkap maupun me-
nyambit ikan dalam air tidak semudah binatang di da-
rat
“Tetapi kita tidak perlu khawatir, Mbakyu. Di dalam
hutan ini masih banyak tumbuh-tumbuhan dan umbi-
umbian yang bisa kita jadikan santapan. Dan asal kita
berusaha, apa yang kita harapkan akan dapat kita pe-
roleh.”
Akhirnya mereka setuju untuk mencari umbi-
umbian saja guna pengisi perut.
Namun berbicara memang lebih mudah, sedang apa
yang harus mereka hadapi adalah lain. Umbi-umbian
itu sudah lama tunasnya mati dan kering. Maka sulit
bagi mereka untuk mencari pengisi perut yang mereka
butuhkan.
***
3
Pada saat mereka sedang menyelidik untuk bisa
mendapat pengisi perut ini, tiba-tiba mereka dike-
jutkan oleh bentakan orang.
“Angkat tanganmu dan serahkan senjatamu!”
Sarwiyah dan Mahisa Singkir terbelalak kaget. Me-
reka kemudian memandang sekeliling dan ternyata
mereka sekarang sudah dikurung oleh belasan laki-
laki yang telanjang dada dan hanya berpakaian cawat
melulu untuk menutupi auratnya.
Wajah orang itu rata-rata bengis dan tubuhnya
tampak kuat disamping adanya urat yang menonjol di
permukaan kulit. Beberapa orang di antara mereka
memegang busur dan anak panah yang siap dibidik-
kan. Sedangkan yang lain, memegang golok mengkilap,
membuktikan golok itu tajam luar biasa. Ada pula
yang bersenjata tombak pendek dan ada pula yang
bersenjata semacam sabit.
Mahisa Singkir dan Sarwiyah sadar bahwa saat ini
berhadapan dengan bahaya maut. Maka secepatnya
mereka beradu punggung. Karena menghadapi keroyo-
kan seperti ini hanya dengan cara beradu punggung
sajalah yang menguntungkan.
Sarwiyah yang belum banyak pengalaman berhada-
pan dengan bahaya diam-diam menjadi khawatir seka-
li. Sebaliknya Mahisa Singkir tampak tenang saja.
“Apakah maksud kalian ini? Dan apa pula kesala-
han kami?” tanya Mahisa Singkir tanpa gentar.
“Hemm,” seorang kurus yang bertindak sebagai pe-
mimpin mendengus dingin. Sahutnya, “Kamu masuk
ke dalam wilayah kami tanpa minta ijin lebih dahulu.
Huh, tetapi semua ini engkau jangan bertanya kepada
kami. Karena kami hanya menerima perintah dari
pimpinan kami. Dan untuk itu menyerahlah kamu un-
tuk segera kami hadapkan kepada pemimpin kami.”
“Kalau kami tidak mau?!” pancing Sarwiyah.
“Menyesal sekali, kami akan menggunakan kekera-
san.”
“Siapakah pemimpinmu itu?” tanya Mahisa Singkir.
“Hemm, kamu tidak usah perlu tahu siapakah pe-
mimpin kami. Yang penting kamu harus segera menye-
rah secara baik-baik, agar kami tidak usah mengguna-
kan kekerasan. Percayalah Kisanak, pemimpin kami
akan bertindak adil dan bijaksana. Tetapi jika sampai
terbukti kalian masuk ke daerah ini tanpa mengan-
dung maksud jahat, tentu saja pemimpin kami akan
membebaskan kalian. Sebaliknya apabila ternyata ka-
lian memang mengandung maksud tidak baik, kamu
jangan menanyakan tentang dosa.”
“Huh, lebih baik kami mati daripada menyerah ke-
pada manusia biadab seperti kamu ini!” bentak Sar-
wiyah yang sudah mempersiapkan pedangnya.
Ketika itu Mahisa Singkir juga sudah memper-
siapkan senjatanya. Sebab pemuda ini juga sadar per-
kelahian sudah tidak mungkin dapat dihindari lagi.
Maka diam-diam ia menjadi mengkhawatirkan kesela-
matan Sarwiyah.
Bisiknya kemudian, “Mbakyu Sarwiyah, aku akan
menyerang mereka, dan engkau harus menggunakan
kesempatan baik guna meloloskan diri.”
Gadis ini mengerutkan alisnya yang lentik. Ta-
nyanya, “Lalu bagaimanakah dengan dirimu sendiri?”
“Mbakyu, engkau tidak perlu memikirkan diriku.
Yang penting adalah Mbakyu selamat, dan aku akan
mengamuk. Syukur aku dapat menyelamatkan diri. Te-
tapi apabila tidak, aku akan mati dengan puas, asal
saja engkau bisa selamat tidak kurang suatu apa.”
Sarwiyah terharu mendengar ucapan pemuda ini,
dan kenyataan ini menjadi bukti sampai di mana per-
tanggungjawaban pemuda ini terhadap dirinya. Di
samping itu membuktikan pula sampai di manakah
kesetiaan Mahisa Singkir kepada seorang saudara se-
perguruannya. Dia sanggup mengorbankan dirinya
sendiri untuk kepentingan orang lain. Bukan main!
Akan tetapi sebaliknya Sarwiyah juga bukan seo-
rang gadis pengecut, dan hanya mementingkan diri
sendiri melulu. Ia juga memiliki keperwiraan, dan ia
takkan membiarkan Mahisa Singkir menjadi korban,
hanya guna melindungi keselamatannya.
“Adi Singkir, engkau bicara tidak keruan. Huh, eng-
kau terlalu menghina diriku.”
Mahisa Singkir kaget mendengar ucapan gadis ini.
“Mbakyu, engkau jangan menjadi salah paham. Mak-
sudku baik, demi tanggung jawabku kepada guru dan
keluargamu.”
Sarwiyah tersenyum, namun Mahisa Singkir yang
membelakangi tidak tahu. Gadis ini memang sengaja
mengucapkan kata-kata yang memancing agar Mahisa
Singkir tersinggung.
“Adi Singkir, jika harus dibicarakan, akulah seha-
rusnya yang bertanggung jawab atas keselamatanmu.
Karena akulah yang menyebabkan engkau tiba di tem-
pat ini dan berhadapan dengan bahaya. Sekarang,
akulah yang akan menyerang dan membuka jalan. Ke-
sempatan baik itu lalu pergunakanlah untuk menye-
lamatkan diri. Engkau jangan mengkhawatirkan diriku
lagi, Adi. Aku akan mati dengan puas asal saja engkau
selamat.”
“Ahh... manakah mungkin bisa terjadi? Engkau se-
dang menunaikan tugas guna kepentingan keluarga
mu. Dan dalam pada itu, ada pula seseorang yang me-
nunggu engkau. Ahh, betapa sedih orang itu jika eng-
kau sampai celaka. Sudahlah Mbakyu, pendeknya
engkau harus segera menggunakan kesempatan dan
aku akan membuka jalan.”
Gadis ini semakin terharu mendengar pernyataan
Mahisa Singkir ini. Ahhh, betapa bahagia hati seorang
gadis apabila memiliki seorang pemuda seperti Mahisa
Singkir ini. Pemuda yang jujur, bertanggungjawab dan
sedia mengorbankan dirinya sendiri guna kepentingan
orang lain tanpa mengharapkan pamrih apapun.
Akan tetapi saat sekarang ini manakah mungkin di-
rinya mau mengalah? Karena ia tidak dapat mengu-
capkan kata-kata lain, maka gadis ini kemudian hanya
menirukan apa yang sudah diucapkan Mahisa Singkir,
“Ahh... mana mungkin? Engkau seorang yang masih
amat muda. Dan dalam pada itu ada pula seorang ga-
dis yang menunggu dirimu. Ahh, betapa sedih gadis itu
apabila engkau sampai celaka. Sudahlah, Adi, pendek-
nya engkau harus segera menggunakan kesempatan
baik ini dan aku akan membuka jalan.”
Mahisa Singkir ketawa terbahak-bahak mendengar
kata-kata Sarwiyah ini, yang menirukan ucapannya.
“Ha ha ha ha, engkau lucu.”
“Hi hi hik, engkau lucu dan menggelikan!” Sarwiyah
menirukan sambil ketawa cekikikan.
Orang-orang yang mengurung rapat itu memandang
dengan perasaan heran. Apakah sebabnya gadis dan
pemuda ini bisik-bisik dan kemudian tertawa? Sung-
guh terlalu! Karena mereka salah duga, mereka kemu-
dian menganggap bahwa sepasang muda-mudi ini se-
dang mengucapkan kata-kata rayuan yang asyik ma-
syuk, sekalipun jelas berhadapan dengan bahaya.
“Hai orang muda!” bentak pemimpin itu marah.
Apakah kamu membandel dan tidak mau menyerah
kepada kami?!”
Mahisa Singkir sudah memperhitungkan, tidak
mungkin pemanah-pemanah yang sudah memper-
siapkan anak panah itu, berani menyerang. Sebab se-
rangan dalam jarak dekat dan saling berhadapan ini
akan mencelakai pihaknya sendiri apabila sampai dila-
kukan. Oleh karena itu Mahisa Singkir tenang saja dan
yang harus diperhitungkan justru orang-orang yang
sudah siap dengan golok, tombak dan yang lain.
“Mbakyu,” katanya lagi, “engkau harus mau men-
dengar apa yang aku katakan ini. Apakah engkau mau
mengerti? Betapa sedih si Warigagung yang menjadi
tunanganmu itu, apabila dirimu sampai celaka!”
Wajah Sarwiyah agak merah diingatkan tentang tu-
nangannya itu. Ia tidak dapat menyalahkan apabila
Mahisa Singkir berkata demikian. Namun justru uca-
pan pemuda ini yang membuat hati gadis ini menjadi
semakin tidak karuan rasanya. Terharu, sedih dan
bangga campur aduk dalam dadanya.
“Hemm, Adi, engkau pun harus mau mendengar
apa yang kukatakan ini. Adi, engkau tidak boleh mati
dalam tahanan orang-orang ini. Apakah engkau men-
gerti? Betapa sedih hatiku apabila dirimu sampai cela-
ka. Engkau pemuda yang baik, jujur dan setia. Engkau
pemuda yang menyenangkan dan harus hidup dan be-
rumur panjang. Agar kemudian hari engkau dapat me-
nikmati hari tuamu dengan isteri dan anak-anakmu,
dalam suasana tenteram dan damai.”
Tetapi ucapan Sarwiyah ini justru membuat Mahisa
Singkir menjadi semakin tidak enak hati. Namun sebe-
lum ia sempat mengucapkan bisikannya, pemimpin
orang bercawat itu sudah membentak.
“Hai orang muda, aku sudah memberi kesempatan
kepada kamu untuk berpikir. Tetapi karena kamu
membandel, maka jangan menyalahkan aku jika aku
harus menggunakan kekerasan. Hayo serbu... dan ke-
royok...”
Orang-orang ini sudah terlatih dalam hal berkelahi
secara mengeroyok. Mereka yang siap dengan busur
dan anak panah sudah berlompatan mundur agak
menjauh dan menempatkan diri berpencar sedemikian
rupa. Setiap lawan yang akan lolos, anak panah mere-
ka akan dapat dengan mudah menyerang. Dan anak
panah yang beracun seperti ini justru sangat berba-
haya. Jangan lagi melukai, baru menyentuh kulit saja
sudah dapat menimbulkan korban keracunan.
Yang lain, yang bersenjata tombak, pedang, sabit
maupun senjata pendek yang lain, secara teratur baik
sekali sudah mengurung dua orang muda itu dengan
rapat. Cara mengurung mereka pun tidak ngawur. Me-
reka membentuk lingkaran dalam beberapa tingkat,
atau berlapis-lapis.
Pada saat orang-orang ini sedang bergerak mulai
mengurung, tiba-tiba sang pemimpin melengking nya-
ring.
Baik Sarwiyah maupun Mahisa Singkir menjadi ka-
get. Sebab belum lenyap suara lengkingan si pemim-
pin, sudah bermunculan puluhan orang laki-laki ben-
gis, yang juga tidak berbaju dan hanya bercawat, su-
dah bergerak cepat dan menambah jumlah manusia
yang mengurung.
Barisan terdepan sebanyak delapan orang. Lapis
kedua enam belas orang, dan lapis ketiga lipat dua
atau tiga puluh dua.
Melihat cara mereka bergerak dan mengurung itu,
Mahisa Singkir sadar orang-orang yang hanya berca-
wat ini, terang mendapat latihan yang amat baik. Musuh seperti ini amat berbahaya dan tidak mudah un-
tuk dapat meloloskan diri.
Melakukan perlawanan dengan siasat mengadu
punggung pun tidak memberi keuntungan cukup baik.
Sebab dengan demikian mereka lebih banyak memper-
tahankan diri.
Siasat mempertahankan diri dengan beradu pung-
gung adalah baik, apabila yang dihadapi hanya terba-
tas. Tetapi apabila jumlahnya sampai puluhan orang
seperti ini, mereka akan menjadi kepayahan dalam
bertahan. Maka diam-diam Mahisa Singkir keheranan,
siapakah pemimpin orang-orang ini?
Tidak mereka sadari sama sekali, bahwa sekarang
ini mereka berhadapan dengan sisa-sisa pemberontak
Sadeng, yang sudah dihancurkan oleh Gajah Mada ta-
hun 1331. Tetapi walaupun pemberontakan Sadeng ini
dapat dipadamkan oleh Gajah Mada, namun tidak se-
mua pemimpin Sadeng itu habis terbunuh atau me-
nyerah. Masih ada salah seorang panglima Sadeng
yang tidak lekas putus asa oleh hancurnya Sadeng ini.
Sedang panglima Sadeng ini bernama Mpu Galuh.
Runtuhnya Sadeng menyebabkan Mpu Galuh men-
jadi duda, sebab isterinya hilang tidak diketahui rim-
banya lagi. Entah ditawan prajurit Adityawarman,
ataukah tewas dalam kekalutan itu. Ia dapat menye-
lamatkan diri bersama pengawalnya dan dua orang
anaknya. Yang seorang laki-laki bernama Rakit Cen-
dana dan yang perempuan bernama Ika Dewi.
Waktu dibawa menyelamatkan diri pada tahun
1331, dua orang anaknya ini masih kanak-kanak. Te-
tapi sekarang Rakit Cendana sudah berumur lebih ku-
rang 22 tahun dan Ika Dewi seorang gadis berumur 19
tahun.
Mpu Galuh memang bercita-cita membangun kekuatan kembali dan bersembunyi pada perbukitan seki-
tar aliran sungai Sanen, di sebelah selatan Gunung
Malang ini.
Guna mencukupi kebutuhan anak buahnya yang
ratusan banyaknya itu, dari hasil cocok tanam dan
berburu binatang hutan. Tetapi kalau perlu juga me-
ngirimkan Hesti Pawana dan Gajah Agni, untuk me-
mimpin belasan orang, mengadakan perampokan-
perampokan ke desa yang jauh dan makmur.
Disamping merampok, mereka apabila pulang bu-
kan saja membawa harta rampasan, tetapi bagi mereka
yang masih bujangan dan juga duda, diperbolehkan
menculik gadis atau perempuan yang disukainya, lalu
dijadikan isterinya. Dengan cara seperti ini maka di
tengah hutan belantara itu sekarang berhasil dibangun
perkampungan dan apabila sudah kuat akan meng-
gempur penguasa sekitarnya dan seterusnya akan
menggempur Majapahit.
Ini pulalah sebabnya tadi, Mahisa Singkir maupun
Sarwiyah tidak melihat seekor tikus sekalipun ketika
berburu. Binatang hutan ini makin lama makin men-
jadi habis, ditangkap anak buah Mpu Galuh atau juga
mengungsi ke tempat lain.
Sekarang setelah dikurung secara rapat dan berla-
pis tiga, kemudian masih ada lagi pasukan pemanah
yang menjaga di lapis keempat, Mahisa Singkir terpak-
sa mempertimbangkan lagi sikapnya. Maka kemudian
ia berbisik lagi kepada Sarwiyah.
“Mbakyu, sekali lagi aku mohon pengertianmu. Mu-
suh ini selain jumlahnya banyak, agaknya sudah amat
terlatih. Maka bagi kita sekarang ini sulit untuk bisa
menanggulangi dan keluar sebagai pemenangnya. Oleh
karena itu tidak benar apabila kita berkeras hati, dan
tidak benar apabila kita harus nekad. Salah seorang di
antara kita harus masih hidup. Dan aku memutuskan
kaulah orangnya yang harus hidup itu. Kenapa harus
begitu? Karena engkau akan masih dapat memba-
laskan kematianku di tangan orang-orang ini oleh ban-
tuan calon suamimu Warigagung dan gurunya. Maka
sekarang kau bersiaplah untuk dapat lolos dan aku
yang akan melindungi keselamatanmu.”
Sarwiyah terharu sekali mendengar pernyataan pe-
muda ini. Sungguh mulia sekali watak dan tabiat Ma-
hisa Singkir ini. Sikap yang demikian ini, disamping
membuat Sarwiyah trenyuh, juga kuasa mengaduk ha-
ti dan perasaannya. Setelah lebih tiga bulan lamanya
mereka melakukan perjalanan bersama, selama ini si-
kap Mahisa Singkir terlalu sopan, hati-hati dan selalu
berusaha melindungi keselamatannya. Hal ini kemu-
dian menimbulkan penilaian gadis ini, tidaklah gam-
pang ia mencari pemuda seperti ini. Ahhh, betapa ba-
hagia hatinya, kalau saja ia mempunyai calon suami
seperti pemuda ini.
Dalam bahaya ini tiba-tiba saja inginlah ia menge-
mukakan isi hatinya ini kepada Mahisa Singkir. Agar
pemuda ini menjadi tahu akan sikapnya dan tidak se-
lalu menganjurkan kepada dirinya supaya menyela-
matkan diri.
Tetapi meskipun hati ingin, tetapi mulut tidak mau
bicara. Kehalusan pribadinya dan kesetiaannya kepada
kakeknya, tidak sanggup dirinya harus mengemuka-
kan perasaannya itu. Biarlah rasa cinta kepada pemu-
da ini ia simpan dan ia rahasiakan dalam hati sampai
nyawa meninggalkan tubuhnya.
Akhirnya sahut gadis ini, “Adi, engkau jangan
hanya mencari menang sendiri dan selalu memaksa
orang lain. Jika engkau sendiri tidak mau lari, kenapa
harus lari? Pendeknya begini, Adi, dengar baik-baik.
Aku takkan mau hidup lagi tanpa kau. Jika kau mati
dalam perlawanan ini, maka biarlah kita mati bersama.
Adi... engkau tidak tahu....”
Terdengar kemudian tarikan napas panjang dan
isak tangis gadis ini perlahan. Mahisa Singkir kaget
berbareng heran. Benarkah apa yang ia dengar tadi?
Sekalipun apa yang sudah terucapkan oleh Sarwiyah
ini samar-samar, namun ia sudah dapat menangkap
maksudnya.
Akan tetapi segera timbul pula rasa bimbang dan
ragunya. Manakah mungkin Sarwiyah mencintai diri-
nya? Gadis ini sudah bertunangan dan telah mendapat
persetujuan dua belah pihak. Karena itu ia mengge-
lengkan kepalanya dan kemudian hatinya berteriak,
“Tidak! Tidak boleh hal ini sampai terjadi.”
Tiba-tiba saja ia merasa berdosa kepada guru mau-
pun Warigagung. Sebab sekalipun diam-diam ia terta-
rik pula kepada pribadi Sarwiyah, akan tetapi ia tidak
ingin merebut milik orang lain.
Guna mengusir perasaan yang mengaduk hatinya
ini, kemudian ia berkata dengan nada sungguh-
sungguh, “Mbakyu, aku sudah memberi jalan, namun
engkau selalu menolak. Baiklah, mari kita lawan me-
reka, sampai titik darah penghabisan. Walaupun hal
ini tidak mungkin terjadi, namun aku akan bahagia
sekali dapat mati bersama dengan kau!”
Mendengar ucapan pemuda ini Sarwiyah pun kaget.
Ahh, ternyata perasaan hatinya sama dengan perasaan
Mahisa Singkir. Ternyata Mahisa Singkir diam-diam
juga mencintai dirinya. Namun demikian selama ini,
perasaan pemuda ini selalu ditutup dan disembunyi-
kan.
Tiba-tiba saja rasa bahagia memenuhi dada gadis
ini. Lebih lagi apabila dirinya ingat, Mahisa Singkirlah
satu-satunya lelaki yang pernah menyaksikan dirinya
dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali. Maka te-
patlah kiranya kalau pemuda ini yang kemudian hari
harus menjadi suaminya, sekalipun umurnya sendiri
lebih tua satu tahun dibanding Mahisa Singkir.
“Marilah Adi, kita gempur mereka sampai kita mati
bersama!” sambut Sarwiyah dengan nada yang mantap
dan bahagia.
Dua orang muda yang sudah beradu punggung ini
kemudian menebarkan pandang mata menyelidik ke
depan, ke kiri dan kanan dalam keadaan siap siaga.
Mereka sadar, setelah sang pemimpin memberi aba-
aba menyerbu, puluhan orang ini akan segera menge-
royok. Dan mereka juga sadar, tidak ada jalan lolos la-
gi.
Namun demikian dalam dada mereka dipenuhi rasa
bahagia apabila dalam perkelahian ini harus mati ber-
sama-sama.
Pada saat keadaan sudah amat gawat ini, tiba-tiba
terdengar suara lengkingan nyaring, mirip dengan sua-
ra burung hantu, yang kemudian kuasa menimbulkan
perubahan. Orang-orang yang hanya bercawat itu
mendadak menjatuhkan diri berlutut ke arah asal sua-
ra.
Mahisa Singkir dan Sarwiyah keheranan. Kalau tadi
mereka beradu punggung, sekarang sudah tidak lagi.
Mereka sudah berdampingan dan mengawasi ke arah
orang-orang itu berlutut.
Dalam keadaan semula tegang itu, kemudian mere-
ka memperoleh kesempatan berdiri berdampingan,
tanpa terasa jari tangan Mahisa Singkir sudah me-
nyambar jari tangan Sarwiyah. Yang terjadi kemudian,
sekalipun mata mereka memandang tak berkedip ke
arah dua orang kakek yang baru datang, namun jari
tangan mereka sekarang bicara sendiri. Jari tangan itu
sekarang saling pijit, saling remas, berkejar-kejaran
dan terasa darah panas mengalir, menimbulkan pera-
saan debar aneh dalam dada masing-masing.
Dua orang kakek itu gerakannya amat cepat seperti
bisa terbang. Yang seorang kurus kering dan tinggi
semampai. Sedang yang seorang pendek tetapi kuat
dan gagah, sekalipun kumis dan jenggotnya semuanya
sudah putih.
Mereka inilah pembantu setia Mpu Galuh, bernama
Hesti Pawana dan Gajah Agni.
Dalam waktu singkat dua kakek ini sudah saling
berhadapan dengan Mahisa Singkir maupun Sarwiyah
yang masih meremas jari tangan penuh perasaan ba-
hagia. Agaknya mereka ini ingin mengatakan rasa ka-
sih dan cintanya, pada saat mereka hampir mati ber-
sama-sama.
“Mundur semua!” perintah Hesti Pawana.
Semua orang bercawat itupun tanpa membantah te-
lah bergerak mundur, kemudian mereka mengurung
dalam lingkaran lebar.
Dua orang kakek inipun seperti puluhan orang itu,
yang tidak memakai baju. Hanya bedanya, jika orang
yang mengurung itu tidak memakai kain panjang dan
ikat kepala, dua orang ini berkain panjang dan berikat
kepala pula.
Tetapi caranya memakai kain panjang berlainan
dengan cara Mahisa Singkir berpakaian. Kain panjang
dua kakek ini hanya ditalikan pada pinggang dan
ujungnya menjulur ke depan dan ke belakang.
Pada pinggang Hesti Pawana tampak melingkar ran-
tai baja sebesar ibu jari kaki, dan itulah senjata yang
amat ia andalkan, sebagai cambuk rantai. Sebaliknya
pada pinggang Gajah Agni bergantung sebatang tombak trisula pendek. Dan di belakang punggung, ber-
gantung pada leher, sebuah perisai.
Dua orang kakek ini mengamati Mahisa Singkir dan
Sarwiyah penuh perhatian seperti menyelidik. Sekali-
pun demikian sikap dua kakek ini jauh berlainan den-
gan orang-orang bercawat itu. Mereka tidak kasar, ter-
bukti dengan suara yang keluar dari mulut Hesti Pa-
wana.
“Anak muda, siapakah kalian ini? Aku yang tua
bernama Hesti Pawana. Sedangkan dia ini adalah Ga-
jah Agni, merupakan pembantu pemimpin kami yang
bergelar Mpu Galuh.”
Karena sikap kakek ini demikian rupa dan kata-
katanya juga halus, maka Mahisa Singkir menjawab
dengan halus pula, “Saya yang muda bernama Mahisa
Singkir, sedangkan dia ini saudara seperguruanku
bernama Sarwiyah. Kami berdua sedang melakukan
perjalanan dan tanpa terasa sudah tiba di tempat ini.
Akan tetapi sungguh membuat kami heran, kenapa
tanpa sebab kami sudah dikurung oleh mereka dan si-
kap mereka mengancam pula?”
“Hemm, anak muda, engkah jangan salah paham.
Mereka ini hanya patuh kepada perintah atasan mere-
ka atau pemimpin kami. Ketahuilah, Anak muda, ka-
mu telah masuk ke wilayah kekuasaan kami tanpa izin
dan tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Oleh sebab itu
pemimpin kami mengundang kalian untuk menghadap
ke sana.”
Hesti Pawana berhenti sejenak mengambil napas,
lalu terusnya, “Ketahuilah Anak muda, pemimpin kami
adalah amat bijaksana. Apabila ternyata kamu masuk
ke wilayah kami ini tidak mengandung maksud yang
kurang baik, tentu saja tiada alasan bagi kami untuk
menahannya. Malah percayalah kalian akan kami anggap sebagai tamu yang terhormat.”
Bibir Mahisa Singkir sudah bergerak untuk menja-
wab. Tetapi pemuda ini mengurungkan maksudnya,
ketika merasa jari tangannya dipijit oleh Sarwiyah. Ke-
tika ia menoleh, Sarwiyah mengedipkan matanya. Ma-
hisa Singkir dapat menangkap isyarat itu, gadis ini in-
gin bicara. Karena itu ia mengalah dan tidak jadi bica-
ra.
Kalau Sarwiyah mencegah Mahisa Singkir membu-
ka mulut memang bukannya tanpa maksud. Ia sudah
mengenal watak pemuda ini yang jujur. Ia menjadi
khawatir kalau pemuda ini terpengaruh oleh kata-kata
yang halus dan sopan itu. Kemudian setuju untuk da-
tang menghadap pemimpin orang-orang ini sebagai
tamu.
“Kami tidak tahu wilayah ini merupakan wilayah
pemimpin kalian,” kata gadis ini halus pula. “Dan kami
baru tahu setelah Kakek memberi tahu. Untuk adilnya
sekarang begini saja. Kalian telah tahu bahwa kami
tersesat jalan. Maka kami sekarang memberitahu, se-
lekasnya kami akan meninggalkan tempat ini guna
meneruskan perjalanan. Menyesal sekali kami tidak
mempunyai waktu untuk memenuhi undangan pe-
mimpin kalian. Untuk itu kami mohon maaf sebesar-
besarnya. Nanti apabila urusan kami selesai, percaya-
lah kami akan datang memenuhi undangan pemimpin
kalian.”
Mendadak kakek pendek Gajah Agni ketawa terba-
hak-bahak. “Ha ha ha ha, enak saja engkau bicara.
Kamu sudah melanggar wilayah kami, namun kamu
menolak atas panggilan pemimpin kami. Huh, orang
muda, yang tidak tahu tingginya langit dan dalamnya
lautan, berani bersikap merendahkan dan menghina
pemimpin kami. Apakah kalian memang ingin menghadap pemimpin kami seperti tawanan, dan bukannya
datang sebagai tamu terhormat? Huh, jika kamu me-
mang menghendaki jalan itu, kami terpaksa akan ber-
tindak selaras dengan wewenang kami.”
Nyata sekali adanya perbedaan watak antara Hesti
Pawana dengan Gajah Agni. Kalau Hesti Pawana sikap
dan tutur bahasanya halus, sebaliknya Gajah Agni si-
kap dan tutur katanya kasar.
Sebenarnya Mahisa Singkir ingin membuka mulut.
Tetapi ia khawatir kalau Sarwiyah yang sudah mulai
memperhatikan dirinya itu menjadi marah. Karena itu
ia berdiam diri dan menyerahkan persoalan ini kepada
Sarwiyah. Apapun keputusan gadis ini ia akan setuju
dan penuh tanggung jawab. Pendeknya ia rela mati as-
al tidak terpisahkan lagi dengan Sarwiyah.
“Hi hi hik,” Sarwiyah ketawa mengejek. “Manakah
ada peraturan seperti itu? Mengundang orang boleh
saja, tetapi tidak boleh secara paksa.” Sarwiyah ber-
henti dan mencari kesan. Sejenak kemudian ia melan-
jutkan, “Ketahuilah bahwa kami mempunyai keperluan
yang tidak dapat ditunda-tunda sekalipun sehari saja.
Maka amat menyesal sekali, dan maafkanlah kami, ha-
ri ini juga kami akan meneruskan perjalanan. Apabila
kalian sengaja menghalangi dan sengaja memusuhi,
bukanlah salah kami. Kalau kalian menggunakan ke-
kerasan, kamipun dapat berbuat sama. Kami sudah
bertekad mati bersama-sama daripada harus menuruti
perintah pemimpinmu yang tidak tahu aturan.”
Gajah Agni mendelik marah. Sebaliknya Hesti Pa-
wana sikapnya masih tetap sabar, lalu katanya, “Anak
muda, engkau jangan cepat menjadi salah paham. Ke-
tahuilah, sudah menjadi peraturan di sini, baik senga-
ja maupun tidak, orang yang masuk dalam wilayah ini,
harus menghadap kepada pemimpin kami. Percayalah
pemimpin kami cukup bijaksana. Apabila kalian tidak
bermaksud jahat, pemimpin kami akan menerima ka-
lian sebagai tamu terhormat. Karena itu anak muda,
aku seyogyakan kalian menerima undangan pemimpin
kami ini, agar kami yang tua ini terhindar dari tudu-
han main paksa kepada orang yang lebih muda.”
“Ha ha ha ha, wujudnya saja kau laki-laki, Kakang,
tetapi sikapmu tidak berbeda dengan perempuan ba-
wel,” sindir Gajah Agni. “Sudahlah Kakang, hayo kita
tangkap saja orang-orang muda yang sikapnya som-
bong dan menghina ini. Tanganku sudah gatal, dan
perintahkanlah aku segera bertindak.”
“Sabar Adi,” bujuk Hesti Pawana dengan sikap yang
masih tetap sabar. “Ingatlah kita ini orang tua. Betapa
kita akan ditertawakan oleh dunia, apabila kita harus
melawan orang muda.”
“Heh heh heh heh, kita ini sedang bertugas, Ka-
kang. Dalam bertugas tidak ada lagi perbedaan umur.
Mereka adalah musuh, harus kita gunakan kekera-
san.”
Sambil mengucap kata-katanya ini, Gajah Agni su-
dah melompat ke depan. Dua tangannya menyambar,
sepuluh jarinya terbuka membentuk seperti cakar bu-
rung.
Sebaliknya Sarwiyah melengking nyaring, sudah
mendahului Mahisa Singkir, menyambut dengan pe-
dangnya.
Cring cring.... Haya...!
Gajah Agni berhasil menangkis sambaran pedang
gadis ini dengan sentilan jari. Namun kemudian kakek
ini menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bela-
kang, ketika hampir saja pinggangnya termakan oleh
ujung pedang, sambil berteriak kaget.
Ternyata dalam kemarahannya dan sadar pula ber
hadapan dengan lawan tangguh, Sarwiyah tidak tang-
gung-tanggung lagi dalam serangannya. Sentilan jari
tangan yang membuat pedangnya mental menyeleweng
dan membuat lengannya kesemutan ini, masih dite-
ruskan dengan tikaman ke arah pinggang. Sebagai
akibatnya Gajah Agni yang tidak pernah menduga, ter-
paksa harus melempar diri ke belakang.
Mahisa Singkir juga sadar, kekerasan tidak dapat
lagi dihindari lagi. Maka ia tidak mau tinggal diam lalu
dengan membentak ia sudah menerjang ke depan dan
menyerang Hesti Pawana.
“Hayaaa...!” Hesti Pawana berseru tertahan sambil
membuang diri ke samping.
Di luar dugaannya sama sekali, gerakan pemuda ini
jauh lebih cepat dibanding dengan si gadis.
Gerakannya demikian aneh. Sekalipun ia seorang
kakek yang telah luas pengalaman, hampir saja dirinya
tertipu. Pedang yang nampaknya mengarah ke kanan
itu, mendadak menukik ke arah kiri, dan ternyata ba-
gian kirilah yang diincar. Agak repot juga Hesti Pawana
dalam melayani hujan serangan pedang ini. Ia tidak
berani menggunakan jari tangannya untuk menyentil.
Sebab salah-salah jari tangannya dapat terpapas pu-
tus. Karena itu ia menggunakan kecepatannya berge-
rak menghindar, disamping itu ia menampar atau me-
mukul untuk dapat membuat pedang lawan terpental
atau menyeleweng.
Mahisa Singkir amat penasaran sekali pedangnya
tidak pernah berhasil menyentuh tubuh lawan. Rasa
penasaran ini kemudian bercampur dengan rasa kha-
watir, ketika mendapat kesempatan untuk melirik ke
arah Sarwiyah. Karena Sarwiyah benar-benar berha-
dapan dengan bahaya dalam melawan kakek pendek
ini.
Sarwiyah seperti seekor tikus kecil berhadapan de-
ngan kucing bangkotan. Berkali-kali terdengar denting
batang pedang yang disentil dan berkali-kali pula ter-
dengar pekik lirih oleh gadis ini. Mahisa Singkir dapat
menduga apa yang terjadi. Agaknya setiap sentilan jari
tangan kakek itu, menyebabkan tangan Sarwiyah ke-
semutan.
Hati pemuda ini tersiksa oleh kenyataan yang diha-
dapi Sarwiyah. Ia ingin sekali membela dan melindungi
gadis ini, tetapi dirinya sendiri berhadapan dengan
musuh, hingga tidaklah mungkin terwujud.
Dirinya sendiri melawan Hesti Pawana yang berta-
ngan kosong saja belum juga berhasil menyentuh
ujung bajunya. Sambaran angin tamparan maupun
pukulan kakek ini kuat sekali. Walaupun ia telah
mengerahkan tenaganya, namun pedangnya selalu
menyeleweng, dan dadanya pun terasa menjadi sesak.
Baru melawan orang yang bertangan kosong saja diri-
nya tidak mampu, apalagi apabila kakek ini sudah
menggunakan senjatanya, pasti dirinya takkan mampu
menandingi.
Rasa gelisah melihat Sarwiyah di bawah angin ini,
menimbulkan kemarahan yang meluap-luap dalam
dada pemuda ini. Ia menjadi nekad, dan serangannya
menjadi lebih cepat dan berbahaya.
Akan tetapi justru kemarahannya itu pula yang se-
benarnya merupakan pantangan orang yang sedang
berkelahi. Sebab akan menjadi kurang pengamatan di-
ri.
Sarwiyah sendiri yang sudah bertekad lebih baik
mati bersama Mahisa Singkir, serangannya menjadi le-
bih ganas dan nekad pula. Gajah Agni mengejek de-
ngan ketawanya yang terkekeh dan tentu saja sikap
yang menghina dan mengejek ini menambah penasaran bagi gadis ini.
Siut... wut... cring cring...!
Lagi-lagi serangan Sarwiyah dapat ditangkis dengan
sentilan jari tangan Gajah Agni.
Perkelahian yang tidak seimbang ini ditonton oleh
orang-orang yang hanya bercawat itu sambil seringkali
bersorak dan mengejek. Sarwiyah seperti mau me-
nangis menghadapi keadaan seperti ini. Ia ingin meng-
amuk tetapi apakah daya? Berhadapan dengan Gajah
Agni yang bertangan kosong saja, dirinya tidak mampu
berbuat apa-apa.
Untung sekali di dalam penasaran ini, kemudian
Mahisa Singkir kembali dapat menekan perasaan dan
kemarahannya. Ia memancing Hesti Pawana untuk bi-
sa mendekati Sarwiyah. Maksudnya jelas sekalipun di-
rinya sendiri sedang berhadapan dengan bahaya, teta-
pi ia ingin menolong gadis itu dan ingin mengorbankan
diri.
Akan tetapi celakanya, Hesti Pawana seorang kakek
yang cerdik pula. Melihat gelagat ini ia cepat dapat
menduga maksud lawan. Karena itu ia mengebutkan
telapak tangannya, sehingga oleh sambaran angin ini
pedang Mahisa Singkir menyeleweng, kemudian meng-
gunakan kesempatan ini Hesti Pawana sudah melom-
pat jauh dan menghadang Mahisa Singkir. Maka aki-
batnya usahanya mendekati Sarwiyah terhalang dan
tidak mungkin lagi.
Pedang Mahisa Singkir kembali berkelebat dengan
cepat melakukan serangan berantai. Namun lagi-lagi
serangan itu dengan gampang telah dapat dihalau oleh
tamparan tangan maupun pukulan Hesti Pawana.
Pada saat dirinya sedang sibuk menyerang sambil
menghalau balasan lawan ini, tiba-tiba ia mendengar
Sarwiyah memekik tertahan. Sebabnya adalah karena
pedang gadis ini sekarang sudah dijepit oleh jari ta-
ngan Gajah Agni dan sesaat kemudian gadis inipun
sudah dapat ditangkap lalu ditawan.
Melihat Sarwiyah sudah dapat ditawan ini, Mahisa
Singkir marah sekali tetapi diam-diam juga mengeluh.
Baginya tidaklah mungkin dirinya dapat menolong ga-
dis itu, justru Hesti Pawana lebih tangguh dan ting-
katnya jauh di atas dirinya.
Sekalipun demikian semangat pemuda ini belum ju-
ga padam. Teriaknya sambil sibuk menghujani se-
rangan kepada Hesti Pawana, “Lepaskan dia! Be-
baskanlah dan jangan diganggu. Biarlah aku menye-
rah, asal saja dia dibebaskan.”
“Bagus!” sambut Hesti Pawana. “Lepaskan pedang-
mu dan menyerahlah. Setelah benar-benar engkau
membuktikan ucapanmu, gadis itu akan segera kami
bebaskan.”
“Tidak...! Jangan!” teriak Sarwiyah yang berusaha
mencegah.
“Bebaskan dia lebih dahulu dan jangan kamu gang-
gu lagi. Dan atas kebaikanmu Kek, aku akan menye-
rah secara tulus!” teriak Mahisa Singkir.
“Aku kagum akan pribadi kalian, orang muda,” Hes-
ti Pawana memuji secara jujur. “Tetapi kami adalah pe-
tugas yang melaksanakan perintah pemimpin kami.
Oleh pemimpin kami telah diperintahkan mengundang
kalian secara hormat. Akan tetapi sebaliknya apabila
kalian membandel, kami terpaksa akan menggunakan
kekerasan.”
“Aku menyerah!” seru Mahisa Singkir sambil mem-
buang pedangnya.
“Adi?! Apakah yang kau lakukan?” Sarwiyah kaget
sekali.
“Tak ada gunanya aku bersikeras melawan, setelah
engkau ditawan, Mbakyu. Karena engkau ditawan, bi-
arlah aku juga menjadi tawanan pula.”
Sarwiyah terbelalak. Dalam dada gadis ini kemu-
dian terdengar isak lirih, tetapi tidak keluar air mata.
Maka sadarlah gadis ini, Mahisa Singkir amat mencin-
tai dirinya, sehingga sampai berbuat senekad itu. Jelas
sekali pemuda itu menyerah dengan maksud agar ti-
dak berpisah dengan dirinya.
Dugaan gadis ini memang tepat. Semangat Mahisa
Singkir segera padam setelah Sarwiyah tidak dapat
berdaya lagi dan menjadi tawanan. Memang Mahisa
Singkir amat mengkhawatirkan keselamatan dan nasib
gadis ini dalam tawanan orang-orang ini. Karena itu
Mahisa Singkir lebih suka menyerah agar dalam tawa-
nan nanti masih dapat berusaha melindungi keselama-
tan Sarwiyah yang diam-diam sudah mencuri hatinya
itu.
Demikianlah, akhirnya dua orang muda ini dibawa
pulang sebagai tawanan. Dalam perjalanan menuju sa-
rang mereka ini, diam-diam Mahisa Singkir heran ber-
bareng kagum.
Dalam menuju ke sarang ini mereka tidak lewat ja-
lan biasa. Membuktikan gerombolan ini diatur sedemi-
kian rupa guna melindungi keselamatan mereka. De-
ngan demikian orang yang berani masuk ke dalam wi-
layah gerombolan ini, sulit dapat keluar lagi disamping
tidak gampang dapat menuju ke sarang mereka.
Hanya beberapa puluh depa dari tempat perkela-
hian tadi. terdapat jurang yang cukup dalam. Hesti
Pawana menggerakkan batu yang bentuknya bundar di
tepi jurang. Sesaat kemudian terdengar suara geme-
risik lalu muncullah semacam lubang yang mempunyai
tangga batu. Dirinya dibawa masuk dalam lubang ini,
yang sempit dan gelap sekali setelah alat rahasia itu
digerakkan dari dalam lubang dan menutup kembali.
Beberapa saat kemudian muncullah mereka di da-
sar jurang. Dan jurang ini merupakan jalan rahasia
guna menuju ke sarang mereka. Cukup lama mereka
menyusuri jurang yang kering ini, lalu tibalah pada se-
buah batu yang menonjol. Ketika batu itu digerakkan
oleh alat rahasia yang terletak di dekatnya, batu yang
menonjol tadi bergeser. Dan kemudian muncullah se-
buah lubang seperti goa.
Masuklah Hesti Pawana ke goa ini, diikuti oleh Ga-
jah Agni yang mengepit Sarwiyah sebagai tawanan.
Goa yang sesungguhnya merupakan jalan rahasia di
bawah tanah ini amat gelap. Dan bagi mereka yang ti-
dak biasa, kalau tidak menggunakan penerangan tentu
harus meraba-raba khawatir apabila terantuk batu.
Hanya pada beberapa tempat saja terdapat sinar
matahari yang menerobos masuk jalan rahasia ini dari
lubang-lubang yang dibuat, guna menjamin kebutuhan
hawa bersih dalam jalan rahasia ini.
Entah berapa lama Sarwiyah dan Mahisa Singkir
yang menjadi tawanan dibawa menyusuri jalan rahasia
di bawah tanah ini. Setelah tiba pada ujung jalan ra-
hasia ini, Hesti Pawana menggerakkan alat rahasia la-
gi, kemudian terbukalah pintu rahasia dari batu.
Mata Mahisa Singkir menjadi agak silau oleh sinar
matahari setelah beberapa lama di dalam jalan rahasia
yang gelap. Ketika mereka telah tiba di luar pintu dan
Hesti Pawana kembali menutup pintu, mulut Mahisa
Singkir ternganga karena kagum disamping menjadi
lebih khawatir lagi. Ia menjadi sadar bahwa tanpa sei-
zin tuan rumah, sulit dirinya dapat melarikan diri dari
tempat seperti ini. Karena daerah ini merupakan dae-
rah terasing yang hanya dihubungkan oleh jalan raha-
sia di bawah tanah.
Ternyata sarang mereka ini terletak di suatu lembah
yang terkurung oleh tebing terjal yang langka dapat di-
panjat maupun dituruni. Sebab lain tebing itu licin,
pohon-pohon yang tumbuh di tebing itu hanya sema-
cam lumut dan tidak mungkin dapat dipergunakan
oleh orang untuk berpegangan.
Dalam pada itu yang berbahaya bagi para penye-
lundup, setiap orang di tebing akan dengan gampang
dapat diawasi orang dari bawah. Hingga orang yang
sengaja datang untuk mengacau, sebelum maksudnya
terwujud, sudah akan mati terpanggang oleh anak pa-
nah beracun yang dilepaskan orang.
Melihat keadaan sarang gerombolan ini, diam-diam
Mahisa Singkir menghela napas sedih. Sebab dalam
hidup dirinya takkan mungkin dapat keluar dari lem-
bah ini, kalau toh dirinya belum dibunuh oleh mereka.
Lain halnya apabila dirinya mempunyai sayap, dirinya
akan dapat terbang dengan enaknya turun dan naik
tebing tinggi yang licin seperti ini.
Perumahan bagi para anggota gerombolan ini ber-
wujud rumah-rumah batu yang berderet memanjang.
Seakan merupakan benteng yang memisahkan sarang
itu dengan tebing. Ia tidak tahu, dari bahan apakah
yang mereka pergunakan sebagai atap. Akan tetapi
tampaknya seperti kayu yang di bagian luarnya ditu-
tup oleh batu yang kemudian dibuat menjadi tipis.
***
Mohon maaf, sampai di sini cerita ini putus dahulu,
untuk kemudian akan muncul cerita baru berjudul
“TERKURUNG DALAM PERUT GUNUNG”. Siapakah
yang terkurung ini? Silakan baca dan Anda ikuti. Anda
akan tahu jawabannya.
0 comments:
Posting Komentar