..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE MUNCULNYA RATU SILUMAN DARAH

Munculnya Ratu Siluman Darah


MUNCULNYA RATU SILUMAN DARAH

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama,1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-

isode:

Munculnya Ratu Siluman Darah

128 hal; 12 x 18 cm



SATU


Renggana yang merasa dirinya telah tiada ar-

ti sama sekali telah putus asa. Dia bertekad tak 

akan keluar-keluar lagi menginjakkan kakinya di 

dunia persilatan. Dia begitu terpukul perasaan-

nya begitu tersayat-sayat. Segalanya seakan ber-

ubah bagi dirinya. Cita-citanya untuk menjadi 

Datuk segala Datuk kini terkubur sudah dengan 

penyesalan. Dia bertekad untuk mencoba hidup 

di jalan yang benar, jalan yang ditempuh oleh 

adik seperguruannya.

Dengan hati penuh rasa sesal, Renggana te-

rus berlari dan berlari meninggalkan Jaka Nda-

bleg dan Senggara yang mengejarnya jauh di be-

lakang. Renggana malu, malu pada kenyataan di-

rinya yang telah lupa pada segalanya.

"Kakang, tunggu!" Senggara terus mencoba 

menyadarkan kakak seperguruannya, namun 

nampaknya Renggana tak perduli akan seruan 

adiknya. Dia terus berlari, makin cepat dan cepat. 

"Kakang... kenapa kakang meninggalkan aku?!"

"Pergi kalian! Jangan ikuti aku!"

"Tidak! Kami tak akan pergi sebelum engkau 

mau sadar!" Jaka yang ikut mengejar terus mem-

bantu menyadarkan diri Renggana. "Percayalah 

kami sangat mengharapkan dirimu! Kami sangat 

membutuhkan pikiranmu!" 

"Tidak! Aku bukan orang baik-baik! Aku tak 

pantas harus sejajar dengan langkah-langkahmu, 

juga langkah adikku! Biarkanlah aku pergi men


cari ketenangan diri!" 

Jaka yang melihat Renggana terus berlari 

dan mendekati jurang yang menganga di hadap-

annya, segera percepat larinya untuk mengha-

dang. Dikerahkan ajian Angin Puyuh, sehingga 

tubuh Jaka melesat bagaikan terbang mendahu-

lui Senggara yang hanya terbengong melihat hal 

itu. Jaka terus melesat, tapi ilmu lari Renggana 

yang seperti burung Gagak mampu membuat Ja-

ka agak kewalahan dan tertinggal jauh. Jaka tak 

mau putus asa, dia terus mengerahkan ilmu la-

rinya. Angin Puyuh tingkat satu, dua, tiga... hing-

ga akhirnya tingkat terakhir Jaka kerahkan. Na-

mun jarak antaranya dengan Renggana nampak 

masih agak jauh. 

"Ilmu lari macam apa dia hingga ajian Angin 

Puyuhku tak mampu menandingi?" keluh Jaka 

dalam hati, kaget bercampur tak mengerti rae-

nyelimuti hatinya. Bagaimana mungkin ada orang 

yang mampu lari melebihi kecepatan angin?

Sungguh tidak masuk di akal. "Wah, bagai-

mana aku ini? Kenapa ajian Angin Puyuhku tak 

ada arti sama sekali untuk menandingi ilmu la-

rinya?"

Jaka tak mau begitu saja mengalah, segera 

ia kerahkan segenap tenaganya untuk menambah 

larinya. Hingga dalam sekejap saja tubuh kedua 

orang tersebut melesat bagaikan dua larikan si-

nar yang bergerak di alam bebas.

"Ki Sanak Renggana, berhentilah!"

"Tidak! Jangan kau paksa aku!"

"Aku tidak memaksamu, tapi aku hanya in


gin kau sadar!" Jaka terus ngotot meminta agar 

Renggana mau menghentikan larinya yang sung-

guh begitu cepat. "Berpikirlah kembali dengan 

penuh ketenangan, apakah jalan yang hendak 

engkau tempuh sudah benar?"

"Perduli kau!" bentak Renggana marah. 

"Minggatlah jangan kau terus paksa aku, atau ba-

rangkali engkau minta aku harus menyingkirkan 

dirimu!"

"Ah...." Jaka mengeluh.

"Cepat minggat dari sini!" kembali Renggana 

menggeretak,

"Kalau aku tak mau...?"

"Heh, jangan harap engkau mampu lolos dari 

tangan mautku!"

Jaka merasakan ucapan Renggana bukan 

ucapan sekedar gertak sambal belaka. Ia tahu 

sungguh ilmu Renggana bukanlah ilmu semba-

rangan. Namun bila ia mengalah, maka kema-

langanlah yang akan diterima oleh Renggana ka-

rena dia akan nekad menjeburkan dirinya ke da-

lam jurang. Pikiran Jaka berkecamuk, bingung 

harus memilih yang mana. Menghalangi Rengga-

na, atau membiarkan Renggana dengan kenesta-

paannya membunuh diri sendiri. Ah, macam apa 

dirinya kalau harus mengalah begitu saja. "Aku 

harus berbuat sesuatu. Apa pun resikonya, aku 

harus mampu memberikan arti bagi kehidupan 

Renggana. Ya, aku harus berbuat sesuatu," gu-

mam hatinya. Maka dengan tak hiraukan anca-

man Renggana, Jaka segera mempercepat larinya 

manakala Renggana memperlambat larinya.


"Rupanya kau nekad, Anak muda! Kau minta 

mampus!" Renggana nampak gusar, sehingga gu-

ratan-guratan wajahnya yang mencerminkan ke-

beringasan jelas kentara. Napasnya mendesah be-

rat, membuat suara napasnya bagaikan gema 

yang sangat menggetarkan hati para pendengar-

nya.

"Demi adikmu, aku rela kalau tubuhku kau 

hancurkan sekalipun. Aku relakan diriku, asal 

engkau dan adikmu dapat berkumpul kembali 

dan melangkah seiring di jalan yang benar." Jaka 

mencoba kembali menyadarkan Renggana.

"Hem, jangan kau kira mampu memaksa-

mu!"

"Aku tidak memaksamu, Renggana! Sekali 

lagi, aku tidak memaksa dirimu!" 

"Kau terlalu rewel!" dengus Renggana jeng-

kel.

"Mungkin begitu," Jaka enak saja menyahuti 

tanpa memperlihatkan rasa gentar sedikit pun. 

Matanya memandang penuh kesiapsiagaan pada 

Renggana yang nampaknya sewot. "Aku memang 

rewel, tapi kerewelanku semata demi kebaikan."

Renggana tampak diam, sepertinya Rengga-

na juga berpikir tentang segala kemungkinan 

yang hendak ia perbuat. Ia telah tahu siapa ada-

nya Jaka Ndableg, seorang pendekar yang tidak 

dapat disepelekan begitu saja. Pendekar yang na-

manya telah kondang dengan senjatanya yang 

sangat sakti yaitu Pedang Siluman Darah. "Hem, 

mampukah aku menggempurnya?!" desis hati 

Renggana. Sementara matanya kini memandang


tajam pada Jaka, menyala bagaikan kobaran api 

yang setiap saat siap membakar apa saja.

"Aku minta, pergilah kau dan adikku dan 

jangan sekali-sekali ganggu aku!"

"Sudah aku katakan, bahwa aku dan adik-

mu ingin agar engkau jangan menjadi orang yang 

pesimis. Tabahkan hatimu, dan katakan pada di-

rimu bahwa engkau sebenarnya bisa baik."

"Diomong malah ngomong! Kau rupanya 

memang keras adat. Jangan salahkan aku kalau 

aku akhirnya nekad melawanmu."

"Aku sudah siap, Renggana!" Jaka akhirnya 

menyadari bahwa Renggana memang tak bisa di-

ajak kompromi. Ia sadar, Renggana bukanlah 

orang sembarangan. Ia juga telah melihat dengan 

mata kepala sendiri bagaimana kehebatan Reng-

gana. Tapi demi menegakkan kebenaran, Jaka re-

la tubuhnya sebagai wadal bagi Renggana.

Renggana nampak mendesis, seketika ma-

tanya nampak makin menyala. Sementara Seng-

gara pun telah datang, berdiri mendampingi Jaka 

seraya memandang tajam penuh ketidakmengerti-

an pada kakak seperguruannya yang penuh mis-

teri. 

"Kakang, apabila engkau memang keras ke-

pala, maka jangan salahkan aku dan Jaka me-

nindakmu."

Bergelak tawa Renggana demi mendengar 

ancaman Senggara. Entah karena apa, tiba-tiba 

saja Renggana tak ada takut sedikit pun pada 

adik seperguruannya yang dijuluki anak Dewa. 

Renggana yang telah tahu bahwa adiknya dan


Jaka bukan orang-orang sembarangan, seperti-

nya tak hiraukan semua itu. Ditatapnya lekat-

lekat saling berganti, sesekali mendesis atau le-

bih tepat dikata menggerekak. "Kalian memang 

manusia-manusia tak mau diuntung! Kalian ru-

panya hendak menentang pada Raja Siluman Gu-

nung Kapur. Hem, apakah kalian memang sudah 

siap menghadapi diriku, orang-orang bodoh!" ben-

tak Renggana sengit.

"Sudah aku duga, bahwa sebenarnya di da-

lam dirimu kini telah bersemayam roh siluman 

atau roh iblis! Pantas ambisimu terlalu tinggi dan 

mengada-ada, menentang dengan kodrat Ilahi 

yang menentukan semuanya!" Senggara nampak 

mendengus marah, tak mau kalah dengan apa 

yang dikatakan kakak seperguruannya. Tekadnya 

hanya satu yaitu mengusir roh jahat di diri ka-

kaknya atau mati bersama-sama pendekar Jaka 

Ndableg.

"Jangan banyak kotbah! Sekali lagi aku ka-

takan, kalian mau minggat dari sini atau mau te-

rus menghalangi maksudku!" Renggana nampak 

sudah marah. Mulutnya nampak menganga lebar, 

seakan hendak memangsa dua orang yang ada di 

hadapannya.

"Kami mau pergi, asalkan engkau mau men-

gikuti kami!" Jaka berkata dengan tenang, seper-

tinya ia tak merasakan adanya getaran aneh yang 

keluar bersamaan habisnya ucapan Renggana. Di 

sampingnya Senggara nampak memucat muka, 

seakan Renggana kini merupakan iblis di hada-

pan mukanya. Dan memang begitulah adanya,


Renggana bagi Senggara yang mampu meman-

dang lubuk hati melihat yang berdiri di hadapan-

nya kini bukan kakaknya, melainkan Iblis Sedayu 

Mukti. Iblis yang sangat sakti dan berkehendak 

untuk menghancurkan umat manusia di dunia. 

Jaka tersentak kaget manakala Senggara mende-

sis.

"Sedayu Mukti, apa tujuanmu mempengaru-

hi jiwa kakakku!"

"Heh, ternyata Senggara mampu menembus 

alam gaib. Oh, kenapa aku tak menggunakan 

ajian Pembuka Tabir. Baik, akan aku lihat siapa 

sebenarnya yang ada di tubuh Renggana," Jaka 

bergumam dalam hatinya. Perlahan dikibaskan 

tangannya, menyapu lewat di depan kedua ma-

tanya. Kini tampaklah oleh Jaka siapa yang te-

ngah berdiri di hadapannya.

"Sedayu Mukti!" 

"Apa kabar Pendekar sombong!" Sedayu 

Mukti menyeringai sinis pada Jaka yang telah 

mampu melihat siapa adanya dia. "Dulu engkau

berbuat seenaknya pada segala keturunanku, 

maka kini aku akan melenyapkan dirimu!"

"Pantas! Apa hakmu mempengaruhi jiwa 

Renggana, Sedayu!" bentak Jaka sengit. Ia kini 

benar-benar telah was-was dengan apa yang ada. 

Bukannya Jaka takut kalah bila harus menan-

dingi Iblis yang terkenal dengan ajiannya yang be-

raneka ragam, tapi ia takut kalau ilmunya akan 

membuat tubuh Renggana berantakan. "Aku min-

ta, minggatlah engkau, jangan ganggu jiwa orang 

itu, Sedayu!"


"Tidak! Aku akan memakainya karena kami 

sudah saling mengikat janji." 

"Bedebah!" gertak Senggara marah. "Ming-

gatlah engkau, Iblis! Jangan kau ganggu kakak-

ku, atau aku dengan terpaksa menghujatmu!"

"Lakukan bila kau mampu, Senggara! Aku 

tak akan takut!" Sedayu Mukti berkata "Dan kau 

Pendekar sombong! Kau tentunya tak akan tega 

dengan tubuh ini, bukan?!"

"Kurang ajar! Kenapa kau pengecut seperti 

itu, Renggana! Sedayu keluarlah dari tubuhnya, 

dan hadapilah aku!" Jaka bimbang, sebab ia tahu 

kalau ajiannya menghantam tubuh Renggana 

maka sia-sialah ia berbuat. Bukannya Sedayu 

Mukti yang lenyap, tapi tubuh Rengganalah yang 

akan hancur. Sedangkan untuk mengusir Sedayu 

Mukti sangatlah susah kalau tidak harus dengan 

ajian Tapak Bahananya. Jaka benar-benar serba 

salah. Sesaat diliriknya Senggara, nampaknya 

Senggara pun mengalami hal yang seperti dialami 

oleh dirinya. "Bagaimana, Saudara Senggara?"

"Kita terpaksa!''

"Terpaksa...?" Jaka membeliak kaget men-

dengar ucapan Senggara. "Terpaksa bagaimana 

maksudmu...?"

"Kita terpaksa harus berkorban. Kita yang 

hancur, atau tubuh kakak seperguruanku yang 

hancur. Iblis memang begitu, Saudara Jaka. Iblis 

tak akan mau pergi tanpa membawa korban!"

Jaka tercenung demi mendengar ucapan 

Senggara. Memang benar akan apa yang dikata-

kan oleh Senggara, bahwa Iblis tak akan mau


pergi tanpa membawa korban.

"Kenapa saudara Jaka...?" Senggara me-

nanya demi melihat Jaka nampak bimbang. "Kau 

nampaknya ragu untuk bertindak."

"Benar! Hanya karena Iblis, kita harus me-

ngorbankan salah satu di antara kita," jawab Ja-

ka.

"Aku minta engkau jangan pikirkan itu. La-

kukanlah apa yang kau anggap baik. Jangan hi-

raukan siapa adanya kakakku, kalau akhirnya 

kelak dia akan menyusahkan kita dan manusia 

lainnya."

"Hai! Kalian manusia-manusia sombong, ka-

lau kalian takut aku minta cepatlah minggat dari 

sini jangan sampai aku mengirim kalian ke akhe-

rat sana!"

"Bagaimana saudara Jaka?"

"Baiklah Senggara, aku akan berbuat," jawab 

Jaka akhirnya. Kini hatinya agak tenang menden-

gar penuturan Senggara yang telah menumbuh-

kan rasa percaya diri. Memang apa artinya pe-

ngorbanan seseorang, kalau akhirnya menjadi ke-

tentraman orang lain. Kini Jaka sadar, kalau 

Renggana tidak musnah, maka petaka akan se-

lalu datang menimpa umat manusia. Sejenak Ja-

ka memandang tajam pada Renggana, sepertinya 

hendak menembus sorot mata penghuni jasad

Renggana yaitu Sedayu Mukti. "Sedayu Mukti, 

sekali lagi aku katakan pergilah engkau jangan 

ganggu jasad orang tersebut atau dengan terpak-

sa aku akan menghancur leburkan dirimu!"

"Hua, ha, ha....! Lakukan bila memang eng


kau menghendaki tubuh orang ini hancur, Jaka! 

Lakukanlah dengan ajian yang engkau miliki atau 

dengan Pedang Siluman Darah! Hua, ha, ha...! 

Aku Sedayu Mukti, Iblis dari segala Iblis tak akan 

dapat engkau usir dari muka bumi ini!"

"Sombong!" Senggara menggeretak marah, 

mendengus penuh kobaran api emosi. "Biar aku 

yang akan menghajarnya terlebih dahulu, Jaka!"

"Hati-hatilah, Senggara!" Jaka memperingat-

kan. "Serang dia dengan ketenangan batinmu. 

Jangan engkau gentar bila dia berubah banyak, 

sebab dia hanyalah hendak menipu pandangan 

mu saja. Cerca yang satu."

"Baik, akan aku turuti apa yang menjadi sa-

ranmu," Senggara segera maju ke muka, dihampi-

rinya Renggana kakaknya yang nampak terse-

nyum bagai menyepelekannya. "Sedayu, aku ter-

paksa harus memaksamu untuk minggat dari tu-

buh kakakku. Bersiaplah!"

"Hua, ha, ha...! Percuma, kau tak akan 

mampu menandingi ilmu yang aku miliki," Reng-

gana berkata sombong.

"Kita buktikan saja, Sedayu!" dengus Seng-

gara, pucat wajahnya karena dilanda kemarahan. 

Batinnya bergolak, kesal dan marah berbaur 

menjadi satu. "Minggatlah kau dari sini, Sedayu. 

Hiat...!"

Tanpa banyak kata lagi Senggara segera ber-

kelebat menyerang Sedayu yang dengan segera 

berkelebat mengelakkannya. Kini dengan cepat 

kedua kakak beradik itu saling serang, saling in-

gin menunjukkan siapa di antara keduanya yang


berilmu tinggi. Jurus demi jurus berlalu, hampir 

segala jurus-jurus yang mereka miliki keluarkan. 

Yang lebih sangat mengejutkan, hampir segala ju-

rus milik keduanya sama persis hingga setiap kali 

Senggara menyerang dengan cepat Sedayu me-

mapaki dan memunahkannya.

"Sudah aku katakan, percuma sebab aku tak 

akan mampu mengembangkan segala ilmu yang 

engkau miliki karena aku pun mampu mengeta-

hui dan memecahkannya," gelak Sedayu som-

bong.

"Jangan senang dulu, Iblis. Mari kita terus-

kan. Hiat...!"

Kembali Senggara berkelebat menyerang 

dengan cepat, kini jurus yang ia gunakan adalah 

jurus-jurus yang dahsyat. Jurus-jurus yang tidak 

dimiliki oleh kakak seperguruannya. Ya, Senggara 

sadar bahwa kalau ia menggunakan jurus yang 

diajarkan oleh gurunya niscaya iblis Sedayu akan 

dapat mengetahui titik kelemahannya karena iblis 

tersebut kini telah mampu menjalankan pikiran 

kakaknya. Terbukti, setelah Senggara mengguna-

kan jurus-jurus lain, Renggana tak dapat meme-

cahkannya.

"Ah...." Renggana terdengar mengeluh. Ma-

tanya membeliak kaget melihat jurus-jurus kem-

bangan yang dilancarkan oleh adik seperguruan-

nya. Tapi ia telah dikuasai iblis, menjadikan di-

rinya seperti tak kenal takut barang setitik darah 

pun. Dalam hatinya hanya ada satu bisikan: 

"Jangan takut, Renggana. Aku ada di sampingmu. 

Aku akan membantumu."


"Menyerahlah, Iblis!" bentak Senggara sam-

bil terus mencerca.

"Tidak! Pantang bagiku untuk menyerah!" 

balas Renggana keras. "Lihat...!" Tiba-tiba tu-

buhnya berputar kencang, memusingkan pan-

dangan Senggara yang kini bingung dan terdiam.

"Ilmu Siluman Iblis!" pekik Senggara kaget 

melompat ke belakang dua tombak. Tampak kini 

tubuh Renggana keluar satu demi satu dari ba-

ling-baling tubuh utamanya. Tubuh Renggana te-

rus bertambah banyak, dari 1... 2, 3, 4, 25... 40... 

100... 1000. Ya, kini tubuh Renggana nampak 

ada seribu sosok yang sama persis, susah untuk 

menentukan mana yang asli dan mana yang 

hanya bayang-bayang Iblis.

"Hua, ha, ha...! Bagaimana Senggara, apakah 

kau tak mau mengakui kekalahanmu?!" bergelak 

Renggana sombong. Keseribu tubuhnya melang-

kah mendekati Senggara yang menyurut mundur. 

Senggara memang benar-benar terpojok, tak ta-

hu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi 

ilmu Iblis kakaknya. Tengah Senggara tersurut ke 

belakang, dan Renggana hendak menyerang tiba-

tiba terdengar seruan Jaka.

"Saudara Senggara, serang dengan mata ba-

tinmu. Jangan engkau terpengaruh dengan pan-

dangan semu mu!"

"Hem, apa benar ucapan Jaka? Tapi baiklah, 

aku percaya kalau dia memang benar-benar se-

orang tokoh silat yang bukan sembarangan. Akan 

aku coba...." Senggara segera pejamkan mata, 

mulutnya komat kamit mengucap mantra pem


buka batin. Kini nampaklah mana yang asli tu-

buh kakaknya. Maka dengan tanpa membuat-

buang waktu lagi Senggara segera berkelebat ma-

nakala kakaknya juga hendak menyerangnya.

"Hiat...!"

"Kau harus minggat dari dunia, Senggara. 

Hiat...!"

Seribu tubuh Renggana mengurung, namun 

dengan cepat Senggara memapaki dan langsung 

menggenjotkan tubuh melayang menyerang ke 

arah tubuh yang asli.

"Bug, bug, bug!"

"Ah...!" Renggana mengeluh, tubuhnya men-

tal terhantam pukulan yang dilontarkan Sengga-

ra. Renggana nampak terheran-heran melihat 

Senggara mampu memecahkan ilmunya. Sambil 

meringis menahan sakit Renggana tiba-tiba me-

mekik. "Keaak...! Kuhancurkan kau, Senggara!"

Tersentak Jaka yang melihat hal itu, Sengga-

ra kini nampak terkejut, heran pukulannya yang 

dilandasi oleh tenaga dalam yang kuat seakan tak 

ada artinya sama sekali. Namun ia sebagai seo-

rang yang dijuluki Anak Dewa tak mau kalah be-

gitu saja. Secepat kilat ia rubah tubuhnya menja-

di Cobra Merah. Ular Cobra besar sebesar pohon 

kelapa berwarna merah seketika mendesis dan 

memapaki serangan Renggana.

Tersentak Renggana kini, demi melihat adik-

nya telah mengubah ujud menjadi seekor Cobra 

Merah. Jelas bahwa Senggara atau si Cobra Me-

rah telah benar-benar marah. Tak hanya Rengga-

na yang telah mengerti maksud Senggara, Jaka


pun kini nampak tersentak kaget demi melihat 

kejadian tersebut. Renggana telah mengerti bah-

wa adik seperguruannya kini benar-benar siap 

mengadu jiwa.

"Rupanya kau benar-benar ingin mengadu 

jiwa denganku, Senggara!" desis Renggana me-

nyurut mundur, mengurungkan niatnya untuk 

menyerang.

"Terpaksa! Terpaksa ini aku lakukan, karena 

ternyata engkau tak mau minggir dari tubuh ka-

kak seperguruanku!" jawab Ular Cobra Merah. 

Dari mulutnya keluar desisan keras, sepertinya 

Cobra Merah itu hendak menunjukkan bahwa di-

rinya telah siap segala-galanya.

"Baik, kalau itu yang engkau mau! Jangan 

kira aku akan mau mengalah dan meninggalkan 

tubuh kakakmu, karena dia telah berhutang budi 

padaku. Kau tahu, dari siapa kakakmu memiliki 

kesaktian? Huh, dia memiliki kesaktian seperti-

mu bukan dari gurumu, sebab gurumu tak mem-

berikannya. Dia ngiri padamu, dia ingin memiliki 

ilmu yang sepertimu. Dengan aku mau memberi-

kan ilmu seperti yang engkau miliki, kakakmu re-

la kalau tubuhnya untuk menjadi sandaran suk-

maku. Aku akan kembali ke dunia, aku akan 

menguasai alam ini. Manusia harus tunduk pa-

daku.... Aku telah dendam, dendam pada anak 

cucu Adam! Hua, ha, ha...!" 

Berbarengan dengan habisnya suara Sedayu, 

seketika tubuh Renggana berubah menjadi bu-

rung gagak hitam besar, sebesar burung dalam 

masa kepurbaan.


"Kak... Kak... kak...! Ayo, Senggara kita buk-

tikan!"

"Wuss... wusss! Mari, kita mengadu jiwa. 

Wuss...!"

Jaka yang menyaksikan nampak hanya 

mampu memandang dengan takjub dan mata tak 

berkedip. Ia begitu tercekam dengan kenyataan 

yang ia lihat. Sungguh tidak disangka kalau ke-

dua kakak beradik itu harus saling serang demi 

ambisi mereka masing-masing. Memang apa yang 

dilakukan Senggara benar adanya, ia ingin agar 

kakaknya yang ditumpangi Iblis Sedayu Mukti 

sadar. Namun kenyataannya hanya dengan jalan 

pertarungan saja yang akan dapat menyelesaikan.

Kini dua hewan raksasa jelmaan dua manu-

sia kakak beradik tersebut saling serang bagaikan 

dua kekuatan dahsyat beradu. Setiap kebasan 

sayap Gagak Hitam legam itu mengeluarkan an-

gin besar yang mampu menerbangkan dan meng-

goncangkan pepohonan. Sebaliknya desisan Co-

bra Merah, nampak begitu menggema dan mam-

pu meruntuhkan gunung kapur yang tak jauh da-

ri tempat mereka bertarung. Pertarungan tersebut 

berjalan dengan alot, tampak seru. Tak ada yang 

mau mengalah atau mengakhiri pertarungan ter-

sebut.

"Bahaya kalau begitu terus-menerus! Malah 

bisa-bisa keduanya yang akan jadi korban," Jaka 

nampak bimbang untuk menentukan langkahnya. 

Sebenarnya hatinya tak ingin menyaksikan dua 

kakak beradik itu saling gempur yang akan meng-

akibatkan keduanya harus mengalami hal yang


tak diinginkan. Betapa akan tragis bila keduanya 

sangat menghendaki salah seorang di antaranya 

harus mati. "Hem, semua ini gara-gara Iblis lak-

nat Sedayu. Tapi aku.... Ah, aku tak dapat harus 

berbuat apa?"

Dua mahluk hewan jejadian dari dua tokoh 

sakti itu terus saling serang dan gempur. Naga-

naganya keduanya tak akan ada yang dapat me-

ngendalikan hawa membunuh. Dari serangannya 

nampak betapa mereka benar-benar menguras 

segala ilmu yang mereka miliki. Kilatan-kilatan 

api nampak menyembur dari Cobra Merah mana-

kala mulutnya menganga. Sebaliknya Gagak Hi-

tam pun tak mau kalah, dari matanya membersit 

sinar ungu berubah hitam legam menyerang Co-

bra Merah. Sungguh pertarungan penentuan an-

tara hidup dan mati. Jaka melihat gundah, cemas 

dan bingung harus berbuat apa. "Apakah aku 

akan membiarkan kedua-duanya mengalami ke-

matian? Ah, sungguh aku tiada guna!"

Jaka tersentak kaget, manakala selarik sinar 

ungu berbaur hitam melesat hendak menghantam 

tubuh Cobra Merah. Mata Jaka melotot, tak per-

caya pada apa yang dilihatnya. Dengan gerak ce-

pat, Jaka segera hantamkan pukulan jarak jauh-

nya menangkis serangan yang hampir saja me-

renggut riwayat Cobra Merah. 

"Getih Sakti. Hiat...!"

"Crooot...!"

Getih Sakti yang keluar dari telunjuk Jaka 

melesat, kencang laksana seberkas sinar merah 

membara dan...!


"Duar...!"

"Ah...!" Gagak Hitam melenguh, tubuhnya 

mental ke belakang.

Jaka nampak terpaku melihat hal itu. Sebe-

narnya ia tak ingin turun tangan. Tapi bila meli-

hat bahwa Cobra Merah akan mengalami kenaa-

san, maka dengan terpaksalah Jaka melaku-

kannya. Kini nampak Gagak Hitam mengalihkan 

pandangannya pada Jaka. Sinar matanya nam-

pak merah, lalu dengan memekak Gagak Hitam 

melejit terbang memburu di mana Jaka berada.

"Keak...!" suaranya begitu keras, sepertinya 

mengatakan bahwa kematian harus diterima Jaka 

yang telah turut campur masalah itu. Jaka ter-

sentak, hindarkan dari sabetan sayap Gagak Hi-

tam yang menderu laksana topan. Merasa seran-

gannya gagal, segera Gagak Hitam putar tubuh 

dan menghadap Jaka lalu kembali menyerang. 

"Keak...!"

"Cobra Merah, bagaimana ini?!" Jaka berseru 

seraya hindarkan serangan Gagak Hitam yang 

benar-benar menghendaki kematiannya.

"Lakukan apa yang engkau mampu, Jaka!"

"Tapi...!" Jaka ragu.

"Jangan engkau ragu. Biarlah ia lenyap demi 

ketentraman umat manusia. Lakukan apa yang 

kau bisa. Lakukan!"

"Baiklah! Kalau memang itu yang harus aku 

lakukan!"

Burung Gagak Hitam raksasa itu kembali 

mengarah ke arah Jaka. Sinar matanya nampak 

memendam kebengisan yang teramat sangat, se



pertinya mengisyaratkan sebuah dendam. Ya, 

dendam dan kemarahan yang meluap-luap. Jaka 

juga sudah tahu siapa adanya yang bersemayam 

pada tubuh Gagak Hitam, tak lain Iblis Sedayu 

Mukti musuhnya. Tapi Jaka masih menghendaki 

kompromi, sebab ia tak menginginkan adanya 

korban. Korban yang merenggut nyawa seorang 

manusia. Walau manusia itu seorang yang terlalu 

angkara, tapi tetap saja manusia juga. Apalagi dia 

adalah kakak seperguruan Cobra Merah.

Jaka tampak merenung, manakala tiba-tiba 

terdengar seruan Cobra Merah menyadarkannya: 

"Awas Jaka, serangan!"

Jaka Ndableg tampak kaget, sementara bu-

rung Gagak Hitam raksasa benar-benar susah 

untuk dapatlah dihindarkan lagi. Jarak burung 

Gagak dengannya tinggal setombak belaka. Paruh 

burung itu menganga, seakan menunjukkan ke-

kuatannya. 

"Keak...!"

"Mati aku!" renguh Jaka dalam hati.

Burung Gagak Hitam itu menukik siap un-

tuk mematuk Jaka yang ada di bawahnya. Den-

gan tanpa mempertimbangkan apa yang akan ter-

jadi Jaka segera hantamkan pukulan Petir Se-

wunya.

"Bletar! Bletar! Bletar!" Suara petir memba-

hana, menyambut tubuh burung Gagak Hitam 

yang tersentak berusaha mengelak. Namun tak 

urung, salah sebuah lidah petir menghantam ma-

tanya yang seketika melelehkan darah. Mata bu-

rung Gagak itu pecah berantakan. Sesaat burung


Gagak Hitam putar-putar tubuh menahan sakit 

yang teramat sangat, lalu tubuhnya kelabakan di 

tanah sesaat dan berubah menjadi Renggana 

kembali. Cobra Merah dan Jaka segera bermak-

sud menghampiri, manakala Renggana yang mu-

kanya sudah hancur dan menyerupai hantu 

bangkit menyerang Jaka. Jaka yang tersentak ka-

get tak mampu lagi berbuat banyak. Serta merta 

Jaka hantamkan Tapak Bahananya.

"Hiat...!"

"Aahhh...!" 

Tubuh Renggana atau Gagak Hitam mela-

yang mental ke bawah jurang. Tubuh itu hancur 

berantakan. Tapi yang membuat Jaka heran 

Renggana tidak menjadi serpihan abu seperti mu-

suh lainnya bila berhadapan dengan Tapak Ba-

hananya.

"Dia telah mati oleh tanganku," keluh Jaka 

sepertinya menyesal menjadikan Senggara seketi-

ka mendekatinya seraya berkata menghibur. 

"Jangan kau sesali, Jaka. Aku rela, sebab bi-

la tidak demikian Iblis tersebut tak akan lenyap."

Dengan beriringan, kedua pendekar itu sege-

ra meninggalkan Jurang Gunung Kapur yang

telah menelan sesosok tubuh milik Renggana. 

Apakah Renggana benar-benar mati? Apakah Iblis 

Sedayu Mukti benar-benar merelakan Renggana 

yang dijadikan sebagai penitip sukmanya mati? 

Ikuti saja terus cerita ini.

***


DUA


Pedati yang ditarik oleh dua ekor kuda itu 

melintasi jalan bulakan di Gunung Kapur. Wajah 

penunggang-penunggangnya nampak penuh ke-

tegangan. Sejak dua bulan terakhir setelah kema-

tian Gagak Hitam daerah Gunung Kapur terkenal 

dengan keangkerannya. Pernah sekali seorang 

musyafir memergoki sebuah bayangan berkelebat 

dari bawah jurang mencelat dan meng-

hadangnya. Dan manakala musyafir itu meman-

dangnya dengan seksama, ternyata orang terse-

but berbentuk sesosok tubuh menyeramkan. Tu-

buh orang itu hancur berantakan, sehingga kulit-

kulitnya mengelupas, bergumpal-gumpal laksana 

dera darah kering atau lilin yang terkena panas.

Musyafir itu tanpa banyak pikir panjang lagi 

segera berlari menghindari. Namun tampaknya 

sosok manusia hancur berantakan itu tak mau 

melepaskannya begitu saja. Sosok hancur beran-

takan tersebut terus mengejarnya, lalu dengan 

ganas ditangkapnya tubuh sang musyafir. Musya-

fir itu meronta meminta dilepaskan, tapi dengan 

sadis digigitnya leher musyafir itu hingga lehernya 

tembus terhantam gigi-giginya yang runcing. Ma-

ka dalam sekejap saja, darah musyafir itu habis 

terhisap.

Wajah para penunggang pedati itu makin 

tambah pucat pasi ketakutan, manakala pedati 

makin melaju tak menentu. Sepertinya lari kedua 

kuda itu ada yang menuntun dan makin mendekat ke arah jurang yang telah menelan tubuh 

Renggana.

"Mang kusir, kenapa ke arah ini?" tanya sa-

lah seorang penunggang pedati dengan mata 

membeliak dan wajah pucat pasi ketakutan.

"Ia mang, kenapa ke sini?" yang lainnya ikut 

bicara.

"Kenapa kalian ribut!"

Tersentak kaget seluruh penunggang pedati, 

manakala mendengar bentakan sang kusir. Sung-

guh mereka tidak menyangka kalau kusir pedati 

itu berani membentak. Keenam orang jawara yang 

terkenal itu sangat geram. Mereka yang terkenal 

dengan sebuatan Enam Jalak Sungu dari Waran-

grang, belum pernah sekalipun dibentak. Jang-

kan membentak, orang mendengarnya saja akan 

lari terkencing-kencing. Tapi tukang pedati ini 

sungguh lancang, berani membentak. Mungkin 

tukang pedati belum tahu siapa adanya mereka, 

sehingga tanpa sadar berani menentang. Maka 

dengan geram Jalak Kuning yang merupakan Ja-

lak tertua membentak balik.

"Kusir kurang ajar! Berani kau membentak 

kami! Apa kau tak tahu siapa adanya kami, 

hah?!"

Sang kusir tak hiraukan caci maki orang ter-

sebut, ia tampak asyik mengendalikan kudanya 

melangkah menuju makin dekat saja ke arah ju-

rang.

"Bedebah! Rupanya kau sengaja, Kusir!" 

kembali Jalak Kuning membentak marah. "Apa 

kau ingin kami mencabut nyawa tuamu!"


"Kusir, helakan kuda-kudamu jangan sam-

pai terus ke arah situ. Bahaya," Jalak Merah yang 

berkata, nada suaranya agak sedikit sabar tidak 

seperti kakaknya. "Tak dapatkah kau diajak kom-

promi?"

Kusir itu terus diam saja, sepertinya tak 

mendengar kata-kata yang diucapkan para pe-

nunggangnya. Menengok pun ia tidak, matanya 

terus memandang ke muka, sepertinya ada sesua-

tu yang menarik pandangannya ke sana.

Tak dapat lagi keenam Jalak Sakti itu me-

nahan amarahnya, segera dengan cepat Jalak 

Kuning menyerobot ke muka dengan maksud un-

tuk mengambil alih kais kuda. Namun seketika 

Jalak Kuning terjengah, wajahnya pucat demi me-

lihat apa yang terjadi pada diri kusir pedati yang 

ditumpanginya. Hal itu menjadikan Jalak lainnya 

serentak bertanya: "Ada apa, Kakang?"

"Dia... dia bukan manusia!" Jalak Kuning 

memekik, loncatkan tubuhnya melesat pergi. Me-

lihat kakaknya meloncat, serta merta kelima Ja-

lak lainnya pun mengikutinya keluar dari pedati.

Tukang pedati itu segera hentikan kuda-ku-

danya, lalu dengan sekali lompat ia telah berdiri 

di hadapan keenam Jalak Sakti. Di buangnya topi 

yang menutupi wajahnya, dan kini tampaklah wa-

jah tukang pedati sesungguhnya. Wajah yang 

sangat menyeramkan tak nampak seperti manu-

sia melainkan wajah hantu.

"Ah...." mengeluh keenam Jalak Sakti kaget. 

Tak terasa kaki mereka menyurut mundur. 

Manusia bertampang rusak pekak tak ka


ruan terus berjalan menghampiri mereka yang ke-

takutan. Mulutnya menyeringai, menunjukkan gi-

ginya yang tajam bertaring. Matanya yang sebe-

lah kiri telah hancur, membentuk lubang dalam. 

Hidungnya rusak berat, tinggal daging-daging bu-

suk mengkiwil-kiwil menyebarkan bau busuk 

yang teramat sangat. Orang bertampang hantu 

yang nampak lelaki itu seketika membuka pakai-

annya. Dan seketika mata keenam Jalak Sakti itu 

kembali membelalakkan mata, tak percaya pada 

apa yang kini mereka lihat.

"Ah...!" Kembali mereka mendesah dengan 

mata melotot. Mereka melihat bahwa tubuh lelaki 

itu pun tak karuan adanya. Dagingnya bagaikan 

teriris-iris, atau dapat dikatakan meleleh. Ketika 

angin gunung Kapur berhembus, bau daging bu-

suk pun seketika menyengat hidung mereka. "Ib-

lis Sedayu Mukti! Kenapa engkau bangkit!" Jalak 

Kuning berseru kaget.

"Hua, ha, ha...! Aku memang yang bangkit 

dari kematian! Aku bangkit untuk melakukan 

pembalasan! Pembalasan yang akan menimpa se-

genap manusia. Hua, ha, ha...!"

Bergidig keenam Jalak Sakti mendengar sua-

ra orang amburadul fisiknya itu. Bagaimana-pun 

juga, walau mereka tidak termasuk golongan lu-

rus tapi mereka manusia. Kalau benar Iblis itu 

bermaksud mengadakan pembalasan pada manu-

sia, jelas mereka pun akan terkena juga.

"Tapi kami bukan musuh-musuhmu, Se-

dayu," Jalak Kuning berkata mencoba mencari ja-

lan untuk dapat meloloskan diri mereka dari daf


tar Iblis Sedayu. "Bukankah musuh-musuhmu 

tak lain adik seperguruanmu Senggara dan Pen-

dekar muda Pedang Siluman Darah."

"Aku tak perduli!"

"Ah...." Jalak Hijau mendesah berat,

"Kenapa begitu? Bukankah kita sealiran?" 

Jalak Coklat turut buka suara dengan harapan 

hati Iblis Sedayu mau melemah dan dapat diajak 

kerja sama. Mereka tahu bahwa Iblis itu bukan-

lah orang sembarangan. Pendekar Pedang Silu-

man Darah dan Cobra Merah yang terkenal sakti 

mandraguna pun hampir saja kerepotan mengha-

dapinya, apalagi dengan diri mereka?

"Sekali lagi aku tak perduli! Aku butuh da-

rah!"

"Ah...! Apa kau tak mau sabar? Biarlah nanti 

kami yang mencarikan darah untukmu," Jalak Bi-

ru juga ikut buka suara. Tujuannya sama, ia 

mengharap agar Iblis Sedayu mau mengampuni 

nyawa mereka dan mau menjadi sekutu mereka.

"Benar! Kami akan mencarikan darah un-

tukmu!" Jalak Ungu yang paling muda pun kini 

ikut berkata. "Biarlah kami menjadi pengikutmu."

Renggana yang berantakan tubuhnya itu se-

ketika terdiam. Namun begitu, sorot matanya 

nampak masih tajam menghunjam, memandang 

pada keenam Jalak Sakti yang masih berdiri di 

hadapannya mematung dengan penuh harap-

harap cemas. Mereka takut kalau-kalau Iblis Se-

dayu tak mau menerima. Renggana dan Iblis Se-

dayu masih terdiam bisu, sepertinya tengah ber-

pikir dengan pengajuan kerja sama yang disaran


kan oleh Jalak Sakti. Sesaat kemudian mulutnya 

menyeringai. Sebenarnya ia tersenyum, namun 

dikarenakan mulutnya telah rusak berantakan 

hingga senyumnya bukanlah berupa senyum tapi 

berupa seringai. 

"Baiklah, aku ampuni nyawa kalian. Tapi in-

gat, setiap malam Jum'at kalian harus memper-

sembahkan darah manusia atau manusia hidup-

hidup padaku. Taruh manusia itu di tepi jurang 

ini. Kalau kalian ingkar, hem.... Kalian akan tahu 

apa akibatnya."

"Baiklah! Kami juga akan selalu menuruti 

apa yang engkau pinta, tapi kami juga minta sya-

rat," Jalak Kuning membuka kata.

"Apa syaratmu." 

"Kami minta engkau mau melindungi kami 

bila kami dalam kesusahan."

"Hua, ha, ha...! Gampang, gampang! Semua 

bagiku mudah! Baiklah, aku akan datang mem-

bantu kalian bila kalian tengah menghadapi ke-

susahan. Panggilah aku tiga kali, maka aku akan 

datang."

"Bagaimana aku harus menyebutmu?"

"Sebut Raja Iblis. Maka aku akan segera ter-

gugah dari tidurku dan akan segera datang me-

nemui kalian. Kini aku akan kembali tidur, kalian 

pergilah, cari oleh kalian manusia-manusia ge-

muk yang darahnya banyak. Ingat, hari Jum'at 

tinggal dua hari lagi."

Tanpa hiraukan keenam Jalak Sakti segera 

Renggana yang sudah amburadul tubuhnya ber-

kelebat pergi tinggalkan mereka kembali menuju


ke bawah jurang Gunung Kapur. Tinggallah kee-

nam Jalak Sakti yang terbengong-bengong tak 

percaya bahwa diri mereka akan luput dari maut.

"Bagaimana, apakah kalian sanggup untuk 

mempersembahkan seorang manusia dalam dua 

hari lagi?"

Kelima adiknya nampak terdiam demi men-

dengar pertanyaan Jaka Kuning. Hatinya bim-

bang untuk menjawabnya. Pertama mereka takut 

pada Iblis Sedayu Mukti, lalu kedua mereka takut 

kalau Pendekar Pedang Siluman Darah atau Co-

bra Merah mendengarnya. Kini mereka bagaikan 

berdiri di antara dua sisi jurang yang siap me-

nelan tubuh-tubuh mereka ke dalamnya. Bila me-

reka salah jatuh, maka tak ayal lagi remuklah tu-

buh mereka.

"Bagaimana?!" kembali Jalak Kuning mena-

nya demi melihat kelima adiknya masih terdiam 

tak ada yang menjawab. "Apakah kita akan men-

jadi korban Iblis Sedayu?"

Bergidik kelima Jalak Sakti lainnya demi 

mendengar kakaknya menyebut korban. Jelas 

mereka tak mau menjadi korban Iblis yang terke-

nal sakti itu. Tapi mereka pun tak ingin jadi ajang 

kemarahan Dua Pendekar yaitu Jaka Ndableg dan 

Senggara.

"Tidak...!" jawab mereka serentak. 

"Nah, apakah kita siap untuk menghadapi 

segalanya?"

"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang," 

Jalak Merah mengutarakan apa yang sebenarnya 

tersandung di hatinya juga adik-adiknya. "Kami


merasa takut juga apabila kegiatan kami nantinya 

dapat diketahui oleh Jaka Ndableg atau si Cobra 

Merah."

Jalak Kuning tercenung diam. Memang be-

nar apa yang dikatakan oleh adiknya. Kini pun 

mereka dalam pengejaran Jaka Ndableg karena 

mereka telah berbuat yang membikin keonaran 

diwilayah tengah, yaitu merampok Bupati Slawi.

Keenam Jalak Sakti masih terdiam, bingung 

harus berbuat bagaimana. Kalau menentang, me-

reka tentu akan menggantikan korban-korbannya 

dengan diri mereka sendiri. Tapi kalau menurut, 

jelas mereka harus berkeliaran mencari korban, 

sampai akhirnya Jaka mendengar dan memburu 

mereka kembali. Sungguh sebuah pilihan yang 

sangat sulit. Ibarat mereka kini menghadapi buah 

Simalakama. Dimakan ayah mati, tidak dimakan 

ibu pun mati juga. Tengah mereka terdiam dalam 

kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara bentakan 

dari dalam jurang mengagetkan mereka.

"Kenapa kalian masih di situ, hah!"

"Ampun, kami hendak segera pergi!" jawab 

mereka serentak setelah dapat menyadarkan diri 

mereka dari kekagetan.

"Cepatlah kalian minggat! Aku berisik tak 

dapat tidur!"

"Baik, Ketua...!" 

"Ayo, apa lagi yang kalian pikirkan! Kalian 

apa mau menentangku, hah!" 

"Ti-tidak...!"

Dengan hati diselimuti rasa bimbang dan ta-

kut keenam Jalak Sakti itu pun tanpa banyak bi


cara lagi segera berkelebat pergi tinggalkan Ju-

rang Gunung Kapur yang kembali nampak sunyi 

dan sepi sepertinya penuh keangkeran. Kini yang 

terdengar hanya dengkur keras dari si Iblis Se-

dayu, yang suaranya begitu menggema mampu 

mendirikan bulu kuduk bagi yang mendengar. 

Bagaimana tidak, mereka yang mendengar pasti 

akan mencari-cari asal dengkuran yang begitu 

besar padahal mahluk yang tidur ada di bawah 

jurang yang cukup dalam.

***

TIGA



Sejak munculnya Iblis Sedayu, kini teror 

mencekam para penduduk. Sebentar-sebentar 

mereka kehilangan warganya, sebentar-sebentar 

terjadi penculikan. Penduduk desa Slawi nampak 

resah, gelisah dan tak tenang untuk hidup. Ba-

nyak sudah korban-korban yang menghilang. Dan

manakala mereka ditemukan, tubuh mereka telah 

kering kerontang di dekat jurang Gunung Kapur. 

Untuk mengambil tubuh-tubuh korban, jelas me-

reka tidak berani karena mereka tak mau menjadi 

korban.

Untuk sekian lama mereka tercekam dalam 

ketakutan, tak tahu siapa sebenarnya pelaku dari 

semua kejadian yang mengganas dan menimpa 

desa Slawi. Mereka tidak menyangka siapa 

adanya pelaku semuanya. Mereka hanya mengerti


bahwa korban-korban tersebut merupakan kor-

ban dari Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur.

Malam itu telah larut, diselingi dengan rinti-

kan hujan yang turun secara mendadak. Entah 

apa sebabnya, sepertinya hujan pun turut mera-

tapi segala bencana yang menimpa desa Slawi. 

Malam itu adalah malam Jum'at, di mana malam-

malam yang mengandung misteri bagi orang-

orang yang mempercayai adanya Hantu Demit, 

Setan Marakayangan. Di malam itu pula, bi-

asanya orang-orang yang mengikuti aliran Ani-

nisme dan Dinamisme selalu membakar dupa, 

memanjatkan do'a-do'a bagi roh-roh yang berse-

mayam di batu-batu besar atau pohon-pohon 

yang terkenal angker. Namun malam itu nam-

paknya hal seperti sebelumnya tak terjadi, sepi 

bagaikan mati. Mungkin karena gerimis yang me-

nyayat, atau karena petaka yang datang bertubi-

tubi melanda yang menjadikan mereka takut un-

tuk keluar rumah.

Dalam rintikan gerimis yang mengiris, nam-

pak enam orang bertudung melintas berlari me-

nerobos gelap malam, memecah rintikan hujan. 

Keenam orang tersebut terus menuju ke kam-

pung, entah apa yang hendak mereka lakukan. 

Keenam orang tersebut, tak lain dari Enam Jalak 

Sakti. Mereka adalah utusan-utusan Iblis Peng-

huni Jurang Gunung Kapur untuk mencari darah 

manusia setiap Jum'at. 

"Rupanya penduduk desa ini telah dapat kita 

perdayai," gumam Jalak Kuning di sela-sela lari 

kecilnya.


"Ya! Itu malah makin menjadikan kita gam-

pang beroperasi," kata yang lainnya. "Dengan be-

gitu, kita tak akan mendapat rintangan yang su-

kar."

"Apakah Pendekar itu belum mendengar?" 

tanya Jalak Merah.

"Aku harap tidak," desis Jalak Kuning. Ha-

tinya nampak ciut manakala mendengar nama 

Pendekar Pedang Siluman Darah. Bagaimana-

pun, mereka pernah merasakan batunya oleh 

Pendekar Jaka Ndableg, manakala mereka ben-

trok akibat tindakan mereka merampok.

Akibat kejadian tersebut, mereka benar-

benar merasakan ketakutan pada Jaka. Mereka 

telah sebisa-bisanya menghindar untuk tidak 

sampai ketahuan oleh Jaka. Sebab mereka akan 

mengalami hal yang makin menyulitkan bila ter-

nyata Jaka tahu siapa adanya pembuat bencana 

di desa Slawi.

"Sudahlah, jangan kita memikirkan Pende-

kar Muda itu," Jalak Biru segera menengahi agar 

kedua saudaranya jangan merisaukan pendekar 

yang telah membuat mereka lari puntang-panting, 

sampai akhirnya bertemu dengan Iblis Sedayu. 

"Kalau kita memikirkan Pendekar Pedang Silu-

man Darah, jelas kitalah yang akan merugi sendi-

ri. Kita akan takut dalam segala apa yang hendak 

kita lakukan. Dan bukanlah hal itu malah menja-

dikan kita celaka? Jaka Ndableg masih dapat 

memaafkan, tapi Iblis Sedayu...? Tak ada kata 

maaf baginya untuk manusia. Hii...!" Jalak Biru 

bergidik sendiri bila mengingat apa yang dilaku


kan oleh Iblis Sedayu pada orang-orang yang di-

jadikan korban. Mereka mati mendelik, mengering 

dengan mulut menganga bagaikan orang mati ba-

nyak dosa.

"Benar juga katamu, Biru. Memang Jaka 

Ndableg masih mau memberi ampun, tapi Iblis 

Sedayu...? Kalian tahu sendiri bagaimana Iblis itu 

mengancam kita. Dan kalian pun tahu sendiri, 

betapa korbannya sungguh sangat mengerikan," 

Jalak Kuning menimpali. "Ah, sudahlah jangan 

kita membicarakan Iblis tersebut. Yang penting 

bagaimana Kita mendapatkan korban untuknya 

agar kita aman."

Kembali keenam Jalak Sakti itu berlari, kini 

mereka makin mempercepat larinya menuju ke 

kampung yang tampak tak begitu jauh dari tem-

patnya. Hujan terus menerpa, namun mereka tak 

hiraukannya. Dalam benak mereka hanya ada sa-

tu prinsip, mencari korban untuk mereka per-

sembahkan kepada Iblis Sedayu.

Sungguh perasaan apa yang malam itu men-

dera Ki Perwira yang menjadi ketua kampung. Ha-

ti Ki Perwira menghentak dan mengajaknya untuk 

melek tak tidur. Hawa panas menyengat tubuh-

nya, sampai-sampai keringat deras bercucuran

membasahi tubuh, padahal malam itu hujan tu-

run.

Ki Perwira mencoba menghibur diri dengan 

menghisap rokok kawungnya. Namun hatinya se-

ketika makin bertambah gundah. Semakin asap 

rokok bergulung-gulung menyelimuti ruangan di 

mana dirinya termenung, semakin bertambah tak


menentu saja degup jantungnya. Apakah ini per-

tanda bahwa dia menderita penyakit jantung se-

perti orang-orang kaya jaman komputerisasi nan-

ti? Atau barangkali karena seharian ia capai me-

mikirkan nomor SDSB yang tak tembus-tembus 

seperti Bapak Subari? Entahlah, yang jelas bukan 

karena itu semua jantung Ki Perwira berdegup 

keras.

"Hem, ada gerangan apa lagi hingga jantung-

ku berdegup memburu?" gumam Ki Perwira da-

lam kehehingannya sendirian. "Apakah bencana 

itu akan datang lagi? Oh, Yang Widi, sampai ka-

pankah kami rakyat desa Slawi ini tenang tanpa 

banyak tantangan dan teror seperti sekarang ini? 

Dulu perampokan, kini penculikan gadis dan pe-

ngorbanan gadis di Jurang Gunung Kapur."

Ki Perwira terus merenung tak tahu apa se-

benarnya yang telah menimpa desa yang diketuai 

olehnya. Ia tak habis pikir mengapa bencana demi 

bencana selalu menyelimuti desanya. Baru saja 

desanya aman dari penggarongan dan pencurian, 

kini timbul petaka baru yang lebih menakutkan 

yaitu penculikan dan pengorbanan para gadis di 

tepi jurang Gunung Kapur.

Ki Perwira sebenarnya ingin menghentikan 

semua kejadian yang selama ini menimpa de-

sanya, namun mana ada keberaniannya mengha-

dapi Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur yang 

telah terkenal telengas dengan segala macam tin-

dakannya. 

Tengah Ki Perwira tercenung dalam hening, 

tiba-tiba pintu rumah terdengar digedor dari lu


ar. Mata Ki Perwira melotot, menghunjam pada 

pintu rumahnya. Ada sedikit rasa takut menyeli-

muti tatapan mata Ki Perwira, seorang lelaki tua 

renta yang masih mengabdi pada desanya. Berta-

hun-tahun hampir setengah abad ia menjadi ke-

pala kampung, baru sekarang ini kampungnya di-

rencah oleh orang-orang yang sangat biadab.

"Siapa...?" tanya Ki Perwira dengan suara be-

rat. Dimatikan rokok kawungnya, matanya me-

mandang tajam pada pintu yang masih digedor 

dari luar. Tak ada jawaban dari pertanyaannya. 

"Siapa yang malam-malam begini datang?"

"Ki Perwira, buka pintu," terdengar suara se-

rak dibuat-buat berkata, menjadikan Ki Perwira 

makin mendera saja keringat dinginnya. Perla-

han ia bangkit, tapi diurungkannya dan kembali 

duduk sepertinya tak mau perduli dengan orang 

yang menggedor pintu.

"Ki Perwira... bukakan pintu...." suara itu 

seperti merintih, makin menjadikan Ki Perwira 

tambah takut bukan alang kepalang dengan mata 

kini berurai air mata. Ya, Ki Perwira yang tua ren-

ta itu menangis ketakutan.

"Ooh... Bune, kenapa engkau mendahului 

aku, Bune? Kini aku sebatang kara Bune. Hu, hu, 

hu... Bune, mungkinkah engkau yang datang me-

nyambut diriku yang telah renta ini? Kalau benar 

engkau maka aku pun akan menurut, Bune. Biar-

lah aku mati bersama dirimu, sebab aku tak ta-

han harus hidup begini. Hu, hu, hu...."

"Ki Perwira... Ki Perwira... Ki Perwira... buka-

kan pintu...!"


"Tidak...! Jangan ganggu aku!" pekik Ki Per-

wira ketakutan dan tersentak dari tangisnya. Ma-

tanya melotot, memandang penuh rasa takut ke 

arah pintu rumahnya yang terdengar berderek-

derek didorong dari luar. "Jangan...! Jangan kau 

paksa aku. Jangan!"

Ki Perwira yang sudah ketakutan dengan 

puntang langkang lari ke dalam kamar. Saking ta-

kutnya hingga Ki Perwira tanpa sadar berlari se-

rabutan, maka ketika dia melompat tak ayal kaki 

yang tinggal tulang kering itu menghantam kursi 

yang terbuat dari kayu jati. Tak ayal, Ki perwira 

pun terjerembab mencium tanah dengan tulang 

kaki terasa sakit yang bukan alang kepalang. Se-

sontak itu juga Ki Perwira pun menjerit: "Aduh...! 

Bune, aku tersentak kursi... Bune, sakit, Bune."

Ki Perwira kembali menggerung-gerung ka-

rena sakit yang tak alang kepalang di tulang ker-

ing kakinya. Namun seketika isak tangisnya ber-

henti manakala pintu dari luar terbuka dengan 

paksa. Sepontan Ki Perwira bangkit dengan mata 

melotot, lalu sepontan itu juga Ki Perwira lari 

dengan serabutan ke kamar seraya menjerit-jerit 

ketakutan:

"Wadauw demit, mengapa demit itu da-

tang....! Hu, hu,hu...! Bune, tolonglah suamimu 

ini, Bune."

Ki Perwira sembunyikan kepalanya di bawah 

tikar tempatnya tidur dengan harapan demit yang 

datang tidak ia ketahui. Namun seketika Ki Perwi-

ra tersentak, manakala sebuah tangan merayap di 

kepalanya yang tertutup tikar itu.


"Jangan...! Jangan ganggu aku...!"

"Ki Perwira... kenapa kau begitu, sayang...?" 

rintihan suara itu makin menjadikan Ki Perwira 

tak dapat lagi menahan ketakutannya. Manakala 

kepalanya mendongak, sepontanitas pingsanlah

Ki Perwira dengan segala ketakutannya. 

Orang yang menakut-nakuti segera buka kedok-

nya, dan nampaklah siapa adanya orang-orang 

tersebut yang tidak lain Keenam Jalak Sakti. Kee-

nam Jalak Sakti dengan sabar menunggui kesa-

daran Ki Perwira.

***

Lama juga Ki Perwira terbaring pingsan, na-

mun keenam Jalak Sakti dengan sabar menung-

guinya. Sesaat kemudian Ki Perwira tampak 

menggeliat, rupanya ia kini telah siuman. Ma-

tanya yang telah tua membuka pelan dan me-

mandang sekeliling.

"Di manakah aku? Apakah aku telah mati?" 

tanyanya seperti pada diri sendiri. "Hai, kalian-

kah...? Oh, rupanya aku banyak dosa hingga ha-

rus bertemu dengan kalian," keluhnya kemudian.

"Kau belum mati, Ki," Jalak Kuning berkata: 

"Kau masih hidup, kami menemukan dirimu da-

lam keadaan pingsan, sehingga kami yang tadinya 

hendak mencegah setan itu agar jangan meng-

ganggumu telah terlambat. Benarkah engkau te-

lah diganggu setan, Ki?"

Ki Perwira mencoba mengingat-ingat akan 

apa yang dialami olehnya. Setelah ingat, nampak


Ki Perwira anggukkan kepalanya membenarkan 

apa yang menjadi pertanyaan Jalak Kuning. "Be-

nar, tadi aku baru saja diganggu oleh sebuah 

hantu. Oh, untung ada kalian datang, kalau ti-

dak...!"

"Kalau tidak, mungkin nyawamu bahkan 

nyawa warga desa ini akan menjadi tiada arti. 

Nah, Ki Perwira telah tahu sendiri. Hantu itulah 

yang menginginkan korban. Kalau Ki Perwira tak 

percaya, kami akan mengajak Ki Perwira dan se-

genap warga desa ini untuk melihat kebenaran-

nya. Asalkan malam ini kami harus mendapatkan 

seorang korban wanita muda yang masih gadis," 

Jalak Biru berkata: "Sekarang tunjukkanlah pada 

kami di mana adanya gadis yang masih pera-

wan?"

Ki Perwira kejapkan mata tuanya meman-

dang sesaat bergantian seperti tak mempercayai 

kata-kata Jalak Biru yang dikenalnya sebagai ga-

rong yang telah menjarah desanya beberapa wak-

tu yang lalu. "Untuk apa...?" tanyanya kemudian.

"Ki Perwira, bukankah telah kami katakan 

bahwa gadis itu, yaitu gadis yang masih suci un-

tuk korban hantu yang telah tadi mengganggu Ki 

Perwira? Kalau permintaannya tak dipenuhi, 

sungguh petakalah bagi warga desa ini," Jalak 

Ungu kini yang ngomong.

"Kalian tidak mendusta?"

"Untuk apa?" Jalak Coklat mencoba meya-

kinkan. "Kalau kami berdusta, toh kami biarkan 

saja hantu itu menteror desa ini. Bukankah kami 

tak rugi? Kami hanya ingin menolong warga desa


ini dari bencana, Ki Perwira. Memang dulu kami 

oleh kalian terkenal orang-orang yang menyusah-

kan kalian, untuk itulah, sekarang kami ingin 

membantu kalian dari bencana."

Kembali Ki Perwira tercenung diam, seper-

tinya dia tengah memikirkan segalanya. Ya, me-

mang segalanya harus dipikirkan masak-masak 

untung ruginya. Kalaulah memang benar ucapan 

keenam Jalak Sakti, tapi bila tidak! Jelas dirinya-

lah yang akan mendapat kecaman dari warganya 

atau barangkali dirinyalah yang akan menjadi 

korban amukan warga desanya.

"Baiklah, mari kita temui warga yang lain," 

ucap Ki Perwira kemudian. "Memang aku sebagai 

ketua desa di sini, namun untuk menentukan se-

galanya aku perlu mengadakan pembicaraan den-

gan warga desanya."

"Tak apa, Ki," jawab Jalak Kuning. "Memang 

kami pun menghendaki demikian. Kami pun tak 

ingin warga desa ini terus menerus menuduh ka-

mi dalam keburukan belaka. Kami pun ingin agar 

warga desa Slawi ini melihat bahwa kami ingin 

berbuat baik kepada mereka."

"Kalau begitu, marilah kita menemui para 

penduduk lainnya. Bukankah malam telah makin 

larut? Aku takut Iblis itu tak sabar,"

Bergidik seketika kelima Jalak Sakti lainnya 

demi mendengar Jalak Coklat berkata. Ya, mereka 

tahu kalau mereka terlambat memberikan korban 

maka diri merekalah yang akan menjadi korban-

nya. Sedangkan waktu yang ditentukan oleh Iblis 

Sedayu hanya sampai waktu dini hari.


"Ayo, Ki...!" Jalak Kuning mengajak, nampak 

di wajahnya ketakutan mendera. "Kita jangan 

sampai terlambat."

Ki Perwira dengan rasa tak mengerti segera 

menuruti apa yang dikehendaki oleh keenam Ja-

lak Sakti. Ia pun sepertinya tak ingin korban ma-

kin banyak hanya karena tidak mau memberikan 

korban seorang pun pada Iblis Penguasa Jurang 

Gunung Kapur. Ketujuh orang itu pun segera ke-

luar dari rumah Ki Perwira.

***

Hujan masih turun rintik-rintik, manakala 

ketujuh orang tersebut melangkahkan kaki me-

nerobos hujan untuk mendatangi rumah-rumah 

penduduk. Satu persatu para penduduk keluar 

untuk menghadiri apa yang hendak dikatakan 

dan dilakukan oleh Kepala Desanya dengan kee-

nam Jalak Sakti. Tak lama kemudian telah ba-

nyak penduduk yang keluar rumah. Mereka ber-

kumpul di sebuah lapangan, mengelilingi Ki Per-

wira dan keenam Jalak Sakti yang berdiri di ten-

gah. 

"Ada apakah hingga Ki Perwira mengundang 

kami?"

"Tenang saudara-saudara. Kami mengun-

dang kalian semata-mata ingin supaya desa kita 

aman. Bukankah kalian tidak menghendaki teror 

dan penculikan-penculikan berlarut-larut?!" tanya 

Ki Perwira mencoba menenangkan rakyatnya 

yang tampak sudah tak sabaran.


"Memang hal itu yang kami inginkan! Tapi 

untuk apa kami mesti menuruti apa yang dikata-

kan oleh bekas garong?!" seseorang yang agak be-

rani menyeru. Nadanya seperti tak suka pada 

keenam Jalak Sakti yang sudah dikenal oleh me-

reka sebagai orang-orang yang telah membuat 

keonaran dan kejahatan di desa mereka. "Kami 

takut malah mereka akan memperdaya kita, Ki?!"

Keenam Jalak Sakti nampak tenang tidak 

seperti biasanya. Memang mereka sengaja ber-

buat demikian dengan maksud supaya seluruh 

warga desa Slawi mempercayai mereka. Mereka 

yang biasanya telengas dan cepat marah, kini ba-

gaikan tak menghiraukannya. Malah dengan sua-

ra tenang Jalak Kuning selaku Jalak tertua dari 

Jalak Sakti berkata: "Memang dulu kami menjadi 

orang jahat. Tapi apakah kami tak boleh untuk 

berbuat baik pada orang-orang yang telah kami 

jahati? Kami ingin membantu menolong kalian 

dari bencana besar yang sewaktu-waktu akan 

mengganas di desa ini. Kami juga mengajak ka-

lian untuk melihat dengan mata kalian sendiri 

apa sebenarnya yang selama ini telah meminta 

korban kalian, manusia. Nah, malam ini kami in-

gin mengajak kalian semua untuk menemani ka-

mi ke tempat di mana Iblis itu berada. Kami 

hanya perantara agar kalian tidak selalu mendera 

kami dengan tuduhan-tuduhan yang sungguh 

kami tidak melaksanakannya. Maka kami minta 

malam ini juga sediakan korban seorang wanita."

Terjengah seketika semuanya demi menden-

gar ucapan Jalak Kuning. Hati mereka masih di


tandai dengan seribu satu macam pertanyaan, 

yang tak mudah mereka lupakan adalah tindakan 

Jalak Sakti pada dua bulan yang lalu. Tindakan 

mereka sungguh menjadikan dendam yang men-

dalam, yang tergurat bagaikan sebuah catatan 

terpahat di hati mereka. Tapi malam itu mereka 

benar-benar bagaikan di tengah-tengah perasaan 

lain. Perasaan untuk tidak mempercayai ucapan 

Jalak Sakti, atau mempercayai dengan harapan 

dapat terlepas dari bencana yang bakal menimpa.

Melihat semuanya terdiam tiada seorang pun 

berkata, kembali Jalak Kuning meneruskan bica-

ra: "Dengan kalian menjadi pengikut Penguasa 

Jurang Gunung Kapur, maka kalian akan tenang. 

Rejeki kalian juga akan banyak berdatangan."

"Apakah kalian tak mendusta?!" tanya seo-

rang dari warga yang rupanya tertarik juga den-

gan ucapan Jalak Kuning.

"Benar! Apakah kalian tak mendusta?" yang 

lainnya ikut bertanya.

"Tidak! Sekali lagi kami tidak mendusta. 

Nah, kalau kalian tak percaya, kami malam ini 

mengajak kalian untuk ikut bersama kami menu-

ju ke Jurang Gunung Kapur untuk menemui Pen-

guasanya."

Rupanya setan lebih berpengaruh di hati 

orang-orang yang memang diliputi oleh rasa takut 

dan kurang percaya diri. Ya, begitulah janji setan, 

ia akan mengajak umat manusia dengan jalan 

membuat manusia takut dan mempercayai apa 

yang sebenarnya belum berarti dibandingkan 

azab dari Tuhan.


Malam itu juga setelah mereka memaksa sa-

lah seorang gadis warga desanya mereka segera 

berangkat menuju ke Jurang Gunung Kapur. Ma-

lam itu mereka benar-benar telah menjadi hamba 

Iblis, yang menuruti apa yang dikehendaki oleh 

Iblis.

***

Hujan masih turun, kali ini malah makin de-

ras, sepertinya menangisi atas segala perbuatan 

mereka yang hendak mengorbankan gadis yang 

tak berdosa. Juga hujan itu seperti menangisi 

keingkaran mereka pada Yang Mencipta yaitu Tu-

han Yang Maha Esa. Orang-orang itu sepertinya 

tak perduli pada hujan, tak perduli pada malam 

yang gelap. Mereka terus melangkah, memapaki 

kaki mereka yang berjalan dengan terseret menu-

ju ke Jurang Gunung Kapur.

Semakin langkah mereka mendekati Jurang 

Gunung Kapur, hawa dingin terasa makin meng-

iris pada tubuh mereka. Hawa dingin itu makin 

bertambah, manakala mereka makin terus men-

dekati jurang tersebut. Mereka tak ada yang ber-

kata-kata, bisu seribu kata. Hati mereka begitu 

tercekam, rasa takut menggayut dan menyelimuti 

tatapan mata mereka yang kosong bagaikan tak 

bersemangat.

Keenam Jalak Sakti berjalan di muka dengan 

gadis calon korban berada di mukanya. Seperti 

orang-orang yang mengikuti di belakang, di wajah 

keenam Jalak Sakti pun terbersit ketakutan yang


teramat sangat manakala kaki mereka makin 

mendekat ke tepi jurang. Tengah kesemuanya ter-

cekam diam, tiba-tiba dari dasar jurang mencelat 

sesosok tubuh berkelebat naik dengan gelak tawa 

bagaikan orang bungah dan tiba-tiba telah berdiri 

di depan menghadang mereka.

"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus! Rupanya ka-

lian telah menjalankan apa yang telah aku tugas-

kan pada kalian dengan baik," Orang yang bertu-

buh amburadul tak karuan tersebut makin men-

dekat. Sorot matanya menyala, seperti bara api 

yang mampu menerangi keadaan di sekitar itu. 

Maka tampaklah oleh orang-orang yang ada di si-

tu bentuk sebenarnya mahluk yang kini mengha-

dapi mereka. Seketika semua yang berada di situ 

terjengah. Di wajah kesemuanya tampak ketaku-

tan, mereka hendak lari manakala dirasakan lu-

tut mereka goyah. Tubuh mereka gemetaran, tak 

kuat menahan beban tubuh. Maka tanpa ayal la-

gi, mereka pun akhirnya menggeleprak dengan 

lemah, sementara dari milik mereka deras men-

gucur cairan yang baunya bukan alang kepalang.

"Ini yang kami bawa, Raja," Jalak Kuning 

berkata: "Semoga baginda Raja Penguasa Jurang 

Gunung Kapur sekaligus penguasa para Iblis ber-

kenan menerimanya,"

"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus!" Renggana 

atau Iblis Sedayu Mukti kembali bergelak. "Nah, 

kalian pergilah, aku akan menyantap dulu darah 

gadis ini. Eh tunggu...!" serunya manakala kee-

nam Jalak Sakti hendak melangkah meninggal-

kannya.



"Adakah kesalahan kami, Paduka?" tanya 

Jalak Kuning seraya hentikan langkahnya. "Kalau 

memang ada, kami mohon ampun."

"Kalian tidak salah. Hem, Jalak Kuning, sia-

pakah mereka adanya yang kalian bawa ke mari?"

"Mereka adalah pengikut-pengikut baginda 

yang Mulia."

"Bagus,, bagus!" Renggana nampak kegirang-

an, sehingga matanya tampak berbinar-binar. 

"Kalian semua, kalau kalian menurut pada aku, 

maka kalian akan tentram dan aman serta akan 

aku bantu rejekinya. Asal kalian setiap malam 

Jum'at harus memberiku darah wanita muda. 

Mengerti kalian?"

"Da-daulat, Baginda...!" jawab mereka masih 

penuh ketakutan dan dengan tubuh masih meng-

gigil menggejuprak di atas batu kapur. Mereka tak 

ada yang berani lagi memandang ke mahluk ter-

sebut setelah mereka tahu ujud dari mahluk itu. 

Ujud yang menyeramkan, yang mampu mendiri-

kan bulu kuduk bagi yang melihatnya.

"Nah, bila kalian mengikuti apa kataku, ma-

ka kalian akan tentram murah rejeki dan panjang 

usia. Tapi bila kalian ingkar, maka aku tak akan 

segan-segan mencabut nyawa kalian dan menghi-

sapnya seperti gadis ini."

Bergidik semua orang yang berada di situ, 

manakala melihat mahluk menyeramkan itu me-

nunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam. 

Gigi-gigi itu langsung menghunjam di leher gadis 

yang masih pingsan akibat ketakutan.

"Aah...!" sesaat gadis itu memekik, kelojotan


bagaikan tak rela darahnya terhisap lalu lemas 

terkulai. Mata mereka yang ada di situ seketika 

memejam, ngeri dan tak kuasa untuk melihat hal 

tersebut.

Mahluk menyeramkan itu sesaat menyeri-

ngai, lalu dengan mulut masih belepotan darah ia 

berkata: "Nah, mulai sekarang kalian harus me-

nurut denganku. Kalian harus setia padaku, se-

bab aku akan memberikan pada kalian segala apa 

yang kalian inginkan!"

Setelah berkata begitu, tanpa hiraukan 

orang-orang yang masih terlolong-lolong bengong 

Renggana segera berkelebat pergi turun ke dalam 

jurang. Mereka seketika membelalakkan mata, 

seakan baru saja sadar dari pengaruh sihir. Den-

gan langkah gontai mereka pun melangkah kem-

bali pulang, meninggalkan Jurang Gunung Kapur 

yang kembali sunyi senyap dengan sejuta misteri, 

meninggalkan sesosok tubuh yang terkulai tanpa 

nyawa. Tubuh seorang gadis yang tak mengetahui 

apa sebabnya ia dijadikan korban untuk iblis.

***

EMPAT



Bila dilihat dari kejauhan Gunung Sumbing 

nampak begitu sepi bagaikan tak ada penghuni-

nya. Sepi dan tenang, terbalut oleh kabut yang 

bergulung-gulung, menyelimuti puncaknya yang 

menjulang ke angkasa. Biru, laksana ketenangan


yang abadi akan bertengger di sana. Memang ke-

tenangan itu jelas nampak di Gunung Sumbing, 

di mana Eyang Dewa Ilmu tinggal. Eyang Dewa 

Ilmu adalah guru dari Senggara dan Renggana. 

Eyang Dewa Ilmu merupakan tokoh persilatan 

yang wataknya angin-anginan. Ia tak akan mau 

ambil perduli dengan segala apa yang terjadi bila 

bukan atas keinginannya, tapi ia akan begitu ngo-

tot bila itu merupakan yang sesuai dengan apa 

yang ada di hatinya. Seperti hari itu, nampak 

Eyang Dewa Ilmu tengah duduk bersilah. Di ha-

dapannya duduk pula dengan bersilah salah seo-

rang muridnya yaitu Senggara atau si Cobra Me-

rah.

"Senggara, ketahuilah olehmu bahwa Reng-

gana itu kini bukanlah kakak seperguruanmu la-

gi. Dia kini telah mengumbar nafsu Iblisnya yang 

sungguh-sungguh harus dihentikan. Dia yang ki-

ni bersekutu dengan Iblis Sedayu telah membuat 

keresahan dengan mengambil korban setiap ma-

lam Jum'at." 

Senggara terkejut kaget demi mendengar pe-

nuturan gurunya. Ia kaget bukan apa, ia kaget 

karena merasa yakin kalau kakak seperguruan-

nya telah mati manakala terhantam oleh ajian 

yang dilontarkan oleh Jaka Ndableg. Mana mung-

kin dapat hidup kembali? Sungguh tidak masuk 

di akal kedengarannya. Dan hal itulah yang ak-

hirnya ditanyakan oleh Senggara pada gurunya.

"Tapi guru, bukankah Renggana telah mati 

manakala jatuh ke dalam jurang tatkala dihantam 

oleh ajian Tapak Banana manakala kami berta


rung?"

Sang guru tersenyum, seakan pertanyaan 

muridnya lucu. Begitulah sifat Eyang Dewa Ilmu, 

aneh dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun.

"Kau harus tahu, Iblis tak akan mati selama 

bertarung dengan manusia. Iblis akan mati bila 

harus bertarung dengan sebangsanya yang tercip-

ta dari api atau cahaya. Dia akan dapat mati bila 

ia bertarung dengan Siluman atau Malaikat. Tapi 

Malaikat sudah diutus oleh Tuhan untuk tidak 

mengganggu Iblis, sampai akhir jaman nantinya. 

Maka hanya ada satu yang kita harapkan, yaitu 

Jin atau Siluman." Eyang Dewa Ilmu menarik na-

pas sesaat, lalu kembali berkata menuturi murid-

nya yang masih nampak terdiam tundukkan ke-

palanya: "Dia tidak mati. Yang mati adalah jasad 

Renggana, sementara sukma Renggana dan suk-

ma Iblis itu masih hidup. Jadi biarpun jasad 

Renggana telah hancur mengerikan, Renggana te-

tap saja hidup karena pengaruh sukmanya."

"Lalu apa yang harus murid lakukan, Guru?"

Eyang Dewa Ilmu kembali mendesah pan-

jang dan berat, sepertinya ada sesuatu yang san-

gat berat menimpa pikiran dan perasaannya. Ia 

menyadari sebagai seorang tokoh persilatan harus 

turun tangan menyelesaikan kemelut yang me-

landa kehidupan. Tapi ia tak dapat berbuat apa-

apa, sebab tubuhnya telah lemah tak dapat untuk 

menjalankan segala apa yang diinginkannya. Dia 

hanya berharap muridnya saja yang mampu me-

laksanakannya. Tapi murid-muridnya kini telah 

jauh-jauh, mengabdi pada kerajaan-kerajaan, di

mana dulu mereka dilahirkan. Tinggallah kini 

murid yang paling akhir Senggara atau yang se-

ring dijuluki Anak Dewa. Namun Eyang Dewa Il-

mu tak dapat memastikan kalau muridnya ini 

pun akan mampu menandingi Renggana yang su-

dah bersekutu dengan iblis. 

"Senggara...."

"Saya, Guru," jawab Senggara masih menun-

duk kepala.

"Sebagai seorang manusia, memang kita di-

tuntut untuk menghentikan sepak terjangnya. 

Tapi sudah saya katakan tadi, bahwa mereka tak 

akan dapat mati kalau bukan dari kehendak Yang 

Maha Kuasa atau mahluk sejenisnya."

"Bagaimana dengan Pendekar Pedang Silu-

man Darah, Guru?"

Eyang Dewa Ilmu kembali terdiam ditanya 

oleh muridnya. Mata tuanya memandang pada 

sang murid dengan bersinar-sinar, sepertinya me-

nemukan sesuatu yang dapat membuka jalan. 

Kepalanya mengangguk-angguk, lalu katanya 

kemudian: "Hem, kau kenal dengannya, Sengga-

ra? Dia adalah seorang pendekar yang mumpuni 

dan memiliki ilmu-ilmu siluman. Kau kenal den-

gannya di mana, Senggara?"

"Dialah yang bernama Jaka Ndableg, Guru," 

jawab Senggara.

"Oh, jadi diakah yang memiliki ajian Tapak 

Bahana itu?"

"Benar, Guru."

"Dan kabarnya ia memiliki sebuah senjata 

berupa pedang yang mampu mengeluarkan darah


bila berhadapan dengan musuh. Pedang tersebut 

juga kabarnya bersinar kuning kemerahan?" 

"Begitulah yang murid ketahui, Guru."

"Hem...." Eyang Dewa Ilmu kembali angguk-

anggukan kepala, sepertinya mengerti apa yang 

dikatakan oleh muridnya. "Mungkin hanya dia 

yang mampu mengalahkannya."

"Kenapa guru yakin?"

"Menurut pengetahuan mata batinku, dia 

adalah murid angkat siluman yang sangat sakti 

yang tak dapat ditandingi ilmunya oleh mahluk 

apapun juga," Eyang Dewa Ilmu menerangkan, 

menjadikan Senggara terdiam mengerti. Kini ia 

makin kagum dan simpati dengan temannya Jaka 

Ndableg. Tidak disangka kalau anak semuda itu 

telah memiliki ilmu yang begitu tinggi, juga mem-

punyai guru angkat siluman yang sangat ditakuti 

oleh mahluk halus lainnya yaitu Siluman Darah.

"Siluman Darah. Ya, dia adalah anak angkat 

sekaligus murid angkat Siluman Darah, seorang 

siluman yang sangat sakti mandraguna dan me-

miliki segala ilmu yang tidak dimiliki oleh para le-

lembut lainnya. Para prajuritnya saja sangat sak-

ti, apalagi Ratunya?" Eyang Dewa Ilmu bergumam 

sendiri, seakan ia tengah merenungi keberadaan 

Ratu Siluman Darah. Memang mata batinnya 

yang sudah sidik dalam segala hal telah mengeta-

hui alam gaib di mana para siluman berada.

"Lalu bagaimana menurut pendapat guru?" 

tanya Senggara menyentakkan lamunan gurunya 

yang telah melayang pada kejadian-kejadian di 

alam keramaian, di mana seorang pendekar muda


yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah 

sebagai pelakunya. Pendekar yang disegani baik 

kawan maupun lawan. Pendekar yang banyak te-

man tapi tak sedikit musuhnya yang berusaha 

menghancurkannya.

"Sungguh dia merupakan seorang yang ta-

bah. Dia banyak kawan, tetapi dia juga banyak 

lawan-lawannya yang benci dan sirik dan ber-

maksud menjatuhkannya," Eyang Dewa Ilmu 

kembali bergumam, tak hiraukan pertanyaan mu-

ridnya.

"Siapa yang guru maksudkan?"

"Temanmu itu yang bernama Jaka Ndableg."

Keduanya kembali hening, seakan keduanya 

tengah meresapi apa yang telah terjadi pada sisi 

kehidupan di mana Jaka Ndableg seorang pe-

muda harus bersusah payah untuk memerangi 

segala kemungkaran sendirian tanpa ada yang 

membantu. Ia juga harus menghadapi orang-

orang yang tidak menyukainya, walau banyak se-

kali teman-temannya. Ia juga harus bergulat da-

lam dua jalan untuk menjadikan gadis-gadis yang 

menyintainya tidak menaruh dendam cinta pada 

dirinya. 

"Guru, kalau memang itu jalan satu-

satunya, maka aku akan mencari Jaka atau aku 

akan berusaha untuk sementara mencegah tin-

dakan Iblis tersebut. Saya hanya minta do'a dari 

guru."

"Ya, kalau memang itu yang hendak engkau 

lakukan aku hanya dapat mengiringimu dengan 

do'a. Hati-hatilah dalam menghadapi Iblis terse


but. Dia tak kenal siapa adanya dirimu, sebab dia 

kini bukanlah kakakmu. Dia kini adalah musuh-

mu yang sangat mendendam pada dirimu juga di-

ri temanmu, Jaka Ndableg atas segala yang per-

nah kalian lakukan terhadapnya. Aku juga akan 

membantumu dari kejauhan, dan akan berusaha 

mencari Jaka Ndableg."

Terhanyut Senggara mendengar penuturan 

gurunya. Ia tak terasa melelehkan air bening. Ya, 

Senggara kini menangis, terharu bukan sedih. Ia 

begitu terharu dengan segala petuah gurunya. Ia 

juga terharu dengan sahabatnya Jaka Ndableg, 

yang walau masih muda tapi beban yang dipikul-

nya sungguh bukan ringan.

"Baiklah, Guru. Saya mohon pamit."

"Ya, hati-hatilah. Ingat olehmu, Tuhan akan 

selalu bersamamu bila kau selalu dalam kebe-

naran. Dan Tuhan akan selalu di pihakmu." Di-

usapnya dengan lembut rambut Senggara. Seng-

gara tak menyadari bahwa gurunya secara diam-

diam telah menyalurkan sebuah ilmu yang men-

jadi rahasianya tanpa sepengetahuan murid-mu-

rid yang lain pada dirinya. Hingga ketika gurunya 

tiba-tiba menggeletak pingsan, Senggara tersen-

tak kaget bukan alang kepalang.

"Guru...! Guru...! Kenapa kau, Guru!"

Tengah Senggara meratapi gurunya yang ti-

ba-tiba pingsan, terdengar suara gurunya meng-

gema dalam goa itu berkata padanya: "Senggara 

anakku, aku hanya mati suri. Aku telah membe-

kali dirimu dengan ilmu yang tidak seorang ka-

kak-kakak seperguruanmu yang tahu. Ilmu itu


bernama aji Jati Diri, yaitu sebuah ajian yang da-

pat menangkal Iblis. Bila memang Renggana hen-

dak membunuhmu, maka kau tak akan dapat 

mati olehnya. Kalau kau nanti kalah olehnya, 

maka tak akan dia mampu membunuhmu. Aku 

tahu bahwa Renggana memang kini bukan tan-

dinganmu juga tandingan diriku, tapi dengan il-

mu tersebut kau mampu menangkal dari kema-

tian yang bukan atas kehendak Allah. Nah, be-

rangkatlah. Gunakan ilmu yang engkau miliki un-

tuk kebenaran, jangan seperti kakakmu yang te-

lah durhaka pada Tuhannya."

"Terimakasih, Guru." Senggara segera me-

nyembah, lalu dengan terlebih dahulu membetul-

kan letak tidur gurunya, Senggara pun kemudian 

berangkat untuk menuju ke Jurang Gunung Ka-

pur.

***

Dengan menggunakan ilmu larinya, Sengga-

ra terus melesat dari wilayah Kulon menuju ke 

wilayah Wetan. Senggara harus menempuh pulu-

han hari perjalanan untuk dapat sampai ke tem-

pat yang dituju. Dengan tekad untuk dapat 

menghentikan sepak terjang Iblis Sedayu tak dihi-

raukannya kaki yang untuk berlari telah begitu 

letih.

Hari telah beranjak sore, manakala Senggara 

sampai di perbatasan wilayah Kulon dengan wi-

layah Wetan. Tiga hari telah ia lalui dengan cepat, 

tanpa mengenal lelah Senggara terus menyusuri


jalan pegunungan. Sore itu Senggara sampai di 

daerah Cirebon, di mana mau tidak mau Sengga-

ra harus beristirahat untuk melepas segala ke-

penatan. Dicarinya sebuah penginapan, yang se-

kaligus mempunyai kedai karena perutnya telah 

begitu laparnya.

Tak begitu lama Senggara mencari sebuah 

penginapan, ia pun akhirnya menemukannya. 

Sebuah penginapan yang memiliki kedai sendiri. 

Tanpa banyak pikir lagi Senggara pun segera me-

mesan sebuah kamar.

"Masih adakah kamar yang tersisa?" tanya 

Senggara pada pemilik kedai yang telah ditemui-

nya.

"Wah, sudah disewa semua," jawab pemilik 

penginapan dengan nada menyesal, menjadikan 

Senggara kerutkan kening. "Baru saja orang-

orang itu datang menyewanya. Orangnya sih cu-

ma ada lima tapi mereka minta agar kamar yang 

lainnya tidak boleh disewakan. Mereka nampak-

nya orang galak, Tuan," bisik pemilik penginapan 

dengan takut-takut.

"Hem, apakah di belakang tak ada tempat 

kosong?"

"Ada, Tuan. Apakah tuan mau?" pemilik 

penginapan balik bertanya, yang dengan segera 

dipelototi oleh Senggara.

"Bukan untukku, tapi untuk tamu-tamumu."

"Bangsat! Siapa yang berani lancang pada 

kami!" tiba-tiba terdengar suara membentak dari 

dalam kamar yang letaknya berdekatan dengan 

Senggara dan pemilik kedai yang nampak ketaku



tan dengan wajah pucat pasi berbicara: "Siapa 

anjing busuk itu, Kempo? Apakah kau tak dapat 

mengusir anjing kurapan yang menjijikkan itu!"

"Siapa dia adanya, Pak?" tanya Senggara..

"A-anu, Tuan.... Sudahlah, tuan jangan hi-

raukan. Sekarang tuan pergilah dan carilah pen-

ginapan lain. Mereka bukan orang baik-baik. Me-

reka orang jahat," Kempo kembali berbisik, yang 

hanya disenyumi oleh Senggara.

"Hai, para kuntilanak yang berada di dalam, 

kalau kalian ingin mengusirku keluarlah. Aku jadi 

ingin melihat tampang-tampang kalian. Kayaknya 

kalian bertampang buruk saja, sehingga kalian 

terlalu takut kalau muka kalian diketahui oleh 

orang lain, ya!" Senggara berteriak-teriak bagai-

kan di hutan. Memang sengaja ia berbuat begitu, 

dengan harapan kelima wanita yang berada di da-

lam kamar mau menunjukkan muka-muka mere-

ka. Dan memang benar, kelima wanita yang ter-

nyata cantik-cantik dan muda itu berkelebat ke-

luar menemui Senggara. Kelima wanita muda itu 

seketika terkesiap, manakala menyaksikan siapa 

adanya yang telah berkata lancang. Tadinya me-

reka menyangka orang yang bertampang jelek, 

atau gembel yang tak tahu diri. Tapi nyata-nya 

seorang lelaki tampan dengan sorot mata tajam 

menghunjam yang mereka temui, sehingga kelima 

Gadis Liar itu seketika cengengesan sendiri.

"Kaukah orangnya?" tanya Gadis Liar yang 

berpakaian seronok warna orange dengan se-

nyum genit memikat. Matanya mengedip pada 

Senggara yang nampak hanya balas senyum


hambar.

"Ya, aku orangnya. Masihkah kalian hendak 

melarang aku ikut nginap di sini?"

"Oh, jelas tidak. Malah kami sangat suka 

kau mau nginap di sini, apalagi bila...." Gadis Liar 

berbaju orange tak meneruskan ucapannya. Ia 

tampak menggeliat manja, menjadikan Senggara 

hanya gelengkan kepala.

"Jadi kalian mengijinkan aku nginap di sini?"

"Ya, asalkan kau mau tidur dengan kami," 

kembali gadis berpakaian orange berkata. 

"Bukan begitu adik-adikku?"

Keempat Gadis Liar lainnya mengangguk 

sambil lemparkan senyumnya yang memikat ke 

arah Senggara. Senggara tak hiraukan ucapan 

mereka, dan dengan segera berlalu masuk ke da-

lam salah satu kamar. Hal itu menjadikan kelima 

Gadis Liar tersebut marah. Mereka seperti diang-

gap angin saja oleh Senggara. Tanpa dapat di-

cegah, kemarahan mereka pun seketika meledak. 

Dengan menggeram keras kelimanya segera 

memburu dan hendak mencengkeram Senggara. 

Senggara tanpa menoleh segera kibaskan tangan-

nya. Tanpa ampun, kelima Gadis Liar itu mental 

terhantam angin pukulan yang dilontarkan oleh 

Senggara.

"Brak!"

Pintu kamar itu ditutupnya, lalu dengan tak 

hiraukan caci maki kelima Gadis Liar Senggara 

langsung rebahkan tubuhnya untuk melepas le-

lah.

"Macam-macam saja kehidupan," desisnya


seraya gelengkan kepala demi mengingat kejadian 

yang baru saja terjadi. Sementara caci maki keli-

ma Gadis Liar itu masih menggema, namun nam-

paknya kelima gadis itu tak berani menerobos 

masuk. Mungkin mereka menyadari bahwa ilmu 

mereka belum seberapa bila dibandingkan dengan 

ilmu yang dimiliki oleh Senggara.

"Siapa adanya engkau hai manusia som-

bong!" geretak gadis baju orange. "Katakan siapa 

adanya kau, biar kami nanti dapat membalas per-

lakuanmu malam ini!"

"Kenapa mesti menunggu nanti? Kalau ka-

lian ingin melakukan pembalasan karena kalian 

tak senang padaku, lakukanlah! Aku Senggara 

atau Cobra Merah atau Datuk Putih! Nah, kalian 

dengar!"

Tersentak kelima gadis-gadis itu demi men-

dengar nama orang yang telah membuat mereka 

kecewa. "Pantas...." gumam mereka bareng den-

gan penuh kelesuan, seorang tokoh silat dari Ku-

lon yang ilmunya bukan alang kepalang. Dengan 

wajah lesu dan tak berani berkoar lagi, kelimanya 

segera masuk ke kamar masing-masing dan me-

nutup pintu. Tinggallah pemilik penginapan yang 

bengong melihat tingkah laku kelimanya sembari 

gelengkan kepala.

***

LIMA


Malam telah larut, ketika nampak enam 

orang berjalan dengan langkah cepat menuju ke 

desa Slawi. Wajah keenam orang itu nampak 

kuyu, sepertinya keenam orang tersebut memen-

dam ketakutan yang teramat sangat. Langkah-

langkah mereka jelas merupakan langkah-

langkah yang memburu waktu. Keenam orang 

tersebut tak lain Jalak Sakti adanya. Mereka ber-

gerak begitu terburu-buru karena mereka kini da-

lam kecemasan karena hari telah begitu larut ma-

lam.

"Inilah akibat engkau menyepelekan waktu!" 

Jalak Kuning ngedumel yang ditujukan kepada 

adiknya Jalak Ungu. Memang Jalak Ungu yang 

masih muda tersebut telah membuang-buang 

waktu dengan bermesra ria bersama wanita-

wanita penghibur.

"Lagi pula, apa kau tidak takut terkena pe-

nyakit kelamin kalau saban hari main melulu, 

Ungu!" timpal Jalak Merah.

"Bagaimana kalau kita terlambat memberi-

kan korban?" tanya Jalak Hitam seakan pada diri 

sendiri. "Bukankah kita yang akan mendapat 

murka sang Raja Iblis?"

"Ah, sudahlah. Kini aku mengakui salah, 

yang penting sekarang kita harus cepat-cepat 

agar kita tak terlambat. Mungkin orang-orang de-

sa telah menanti kedatangan kita." Jalak Ungu 

yang merasa disudutkan dengan segala tetek ben-

gek kesalahan segera mencoba mengalihkan 

pembicaraan.


Kembali mereka melangkah dengan bisu, 

hampir dapat dikatakan mereka itu lari. Ya, me-

reka nampak berlari-lari dengan harapan dapat 

mengejar waktu yang tinggal beberapa jam lagi.

Bulan bersinar dengan terangnya, menjadi-

kan bayang-bayang mereka seperti bayang-ba-

yang hantu yang panjang bergerak-gerak seirama 

dengan gerakan lari mereka. Sesosok tubuh den-

gan mata tajam terus mengawasi mereka dari ja-

rak yang agak jauh. Tubuh orang itu sesekali ber-

kelebat, lalu berhenti manakala jarak antara-nya 

dengan keenam Jalak Sakti agak dekatan.

"Apa yang akan mereka lakukan?" tanya 

orang tersebut pada dirinya sendiri. "Sepertinya 

mereka adalah Jalak Sakti. Ya, mereka tak lain 

Jalak Sakti adanya. Hem, rupanya mereka tak 

kapok-kapok dengan apa yang telah mereka te-

rima. Tapi biarlah apa yang akan mereka laku-

kan, biar aku awasi dulu mereka."

Tubuh lelaki muda yang ternyata Jaka Ndab-

leg adanya perlahan-lahan melangkah meng-ikuti 

langkah-langkah keenam Jalak Sakti yang terus 

menuju ke desa tanpa hiraukan bahwa mereka 

ada yang menguntitnya.

"Dengar, nampaknya orang-orang desa su-

dah tak sabar menunggu kedatangan kita," yang 

berkata Jalak Kuning.

"Ya, mari kita percepat langkah kita," Jalak 

Merah menimpali.

Dengan segera keenam Jalak Sakti pun seke-

tika melesat berlari dengan ilmu lari yang mereka 

miliki. Maka tak lama kemudian mereka pun te


lah sampai di tempat yang seperti biasanya mere-

ka gunakan untuk pertemuan.

"Maaf saudara-saudara kami terlambat," Ja-

lak Kuning segera membuka kata meminta maaf 

karena kedatangan mereka yang terlambat. "Se-

moga kalian semua mau memakluminya. Nah, 

apakah sekarang kita akan langsung menuju ke 

sana? Sudahkah ada korban yang telah kalian 

persiapkan?!" 

"Sudah! Kami sudah mempersiapkannya. 

Bukankah setelah kami menjadi pengikut Pengu-

asa Jurang Gunung Kapur hidup kami makin ten-

tram? Kami juga merasakan rejeki kami makin 

bertambah!" seseorang di antara penduduk berka-

ta. "Maka sebagai ungkapan rasa terima kasih 

dan rasa kesetiaan kami, kami setiap malam 

Jum'at telah merelakan korban. Dan yang menja-

di korban pun kini mau merelakan tubuhnya un-

tuk menjadi santapan Raja Agung!"

"He, apa pula dengan mereka?" gumam Jaka 

demi mendengar disebut-sebut oleh mereka kor-

ban. "Apa yang sebenarnya yang dijadikan kor-

ban? Lalu pada siapa korban itu diberikan? 

Sungguh merupakan teka teki."

Jaka segera menyelinap bersembunyi, ma-

nakala dilihatnya orang-orang tersebut berjalan 

melewati tempat yang ada dirinya. Lebih kaget 

Jaka manakala melihat seorang gadis dengan ta-

tapan mata hampa berjalan di depan mereka yang 

lelaki semua. Tubuh-tubuh mereka menggunakan 

tudung tinggi, menutupi kepala dan hanya muka 

mereka yang tak tertutup. Mereka berjalan laksa


na robot, tiada berpaling-paling sedikit pun, lurus 

tanpa suara yang keluar dari mulut mereka.

"Apa yang sesungguhnya telah terjadi di desa 

ini? Sepertinya mereka memang hendak mengor-

bankan gadis itu. Pada siapa gadis itu hendak 

mereka korbankan? Baiklah, aku akan mengikuti 

mereka."

Jaka segera melangkah perlahan menjaga ja-

rak di belakang mereka yang terus berjalan den-

gan kebisuan. Langkah mereka bagaikan sudah 

teratur rapi, tak seorang pun mereka berjalan se-

rabutan. Sebenarnya mereka bukannya membisu, 

namun rasa tercekam karena takut telah berhasil 

mempengaruhi mereka untuk diam seribu kata. 

Pandangan mereka pun seperti diperintahkan

oleh sesuatu kekuatan, sehingga pandangan mata 

mereka hanya lurus ke muka itu pun pandangan 

kosong tanpa gairah. Wajah mereka walau ma-

lam, nampak pucat, putih seperti tak berdarah 

setetes pun

***

Orang-orang itu terus melangkah, makin la-

ma makin jauh meninggalkan kampung dan terus 

berjalan menuju ke Selatan di mana Gunung Ka-

pur menjulang tinggi. Warnanya yang putih, me-

mantulkan sinar rembulan, menjadikan bias yang 

indah. Namun bila tahu apa sebenarnya yang ter-

kandung di sana, kita akan melupakan keinda-

han warna tersebut.

Jaka Ndableg yang terus mengikuti langkah


mereka seketika tercengang manakala melihat 

bahwa mereka berjalan menuju ke Gunung Ka-

pur. Ingatan Jaka kembali melayang pada keja-

dian lima bulan yang lalu di mana ia telah menja-

tuhkan seorang tokoh persekutuan Iblis Rengga-

na ke dalam jurang.

"Mungkinkah mereka menuju ke jurang ter-

sebut?" Jaka bertanya pada diri sendiri. Ia belum 

percaya bahwa orang-orang tersebut hendak me-

nuju ke jurang tersebut. "Memang aku mendengar 

sejak kematian Renggana tempat ini terkenal 

angker. Kabarnya ada pernah seorang musyafir 

menjadi korban di tempat ini. Hem, apakah se-

mua itu cerita benar bukan cerita isapan jempol 

belaka? Kalau memang benar adanya, jadi Reng-

gana tidak mati. Ah, lebih baik aku ikuti mereka 

saja."

Dengan melesat cepat Jaka segera menguntit 

mereka di belakang. Perlahan-lahan Jaka me-

langkah, lalu bersembunyi di balik pepohonan 

yang ada di sekitar tempat itu manakala mereka 

menengok ke arahnya.

Orang-orang itu terus melangkah mengham-

piri pinggir jurang. Dan mereka hentikan langkah 

manakala mereka benar-benar telah berada di sisi 

jurang. Sementara gadis yang diam tanpa kata 

dengan wajah pucat pasi itu mereka dirikan di 

pinggir jurang. Mereka terdiam tanpa kata, tun-

dukkan kepala seperti mengheningkan cipta. 

Keenam Jalak Sakti duduk menyiku di deretan 

paling muka, di belakang gadis yang berdiri me-

matung tanpa ada reaksi. Tiba-tiba dari mulut


orang-orang tersebut keluar lantunan lagu-lagu 

pujian yang entah ditujukan pada siapa.

Jaka kerutkan kening demi mendengar nya-

nyian yang tampaknya sudah diatur sedemikian 

rupa. Sambil nyanyi-nyanyi, nampak tubuh me-

reka meliuk-liuk. Semakin keras alunan lagu, 

semakin kencang tarian tubuh mereka.

"Pengikut Iblis!" maki Jaka dalam hati. 

"Sungguh mereka orang-orang yang harus dis-

adarkan. Tapi aku tak mau mengusik mereka le-

bih dulu. Aku ingin melihat apa yang bakal terjadi 

setelah nyanyian orang-orang itu habis."

Orang-orang pengikut Penguasa Jurang Gu-

nung Kapur masih menyanyi. Kini tangannya di-

angkat ke angkasa, diputar-putarkan tangannya 

bagaikan hendak meminta sesuatu dengan mu-

lutnya tidak henti-hentinya menyanyi.

"Alur-alur Kembang Jambu,

Kembang Putri Kencana,

Siapa mau menjadi hambamu,

Kelak ia akan bahagia.... "

Bait-bait lagu itu yang mereka lantunkan, 

berulang-ulang seperti tak puas-puasnya. Mereka 

berbuat begitu sambil menunggu kemunculan Ib-

lis Sedayu yang dianggap oleh mereka penolong. 

Memang sejak mereka mengabdi pada Iblis terse-

but, mereka mendapatkan kebahagiaan. Dialah 

rejeki mereka gampang datang, juga desa mereka 

kini jarang tertimpa bencana.

"Benar-benar manusia-manusia sirik," gu


mam Jaka.

Tengah Jaka tercenung dalam ketidakme-

ngertian dengan apa yang tengah dilakukan oleh 

orang-orang tersebut, tiba-tiba Jaka dikagetkan 

oleh suara gelak tawa seseorang. Bersamaan den-

gan gelak tawa tersebut, sesosok tubuh yang 

mengerikan mencelat dari dalam jurang dan ber-

diri dengan congkaknya menghadang mereka.

"Gusti Allah! Ternyata benar apa yang diceri-

takan oleh orang-orang, bahwa Renggana atau Ib-

lis Sedayu masih hidup. Hem, walau ajian Tapak 

Bahana telah menghancurkan tubuhnya, ternyata 

Iblis itu masih mampu bertahan!" pekik Jaka li-

rih, matanya melotot tak percaya dengan apa 

yang dilihatnya. Dikucaknya kedua mata dengan 

tangan, ia berharap ia tengah dalam mimpi. Tapi 

nyatanya ia tidak bermimpi. Dicubitnya tangan, 

terasa sakit. "Heh, tak aku sangka kalau dia 

mampu hidup dengan tubuh amburadul begitu 

rupa!" 

"Hua, ha, ha...! Bagus-bagus! Kalian ternyata 

hamba-hambaku yang setia! Kalian akan selalu 

aku lindungi, aku jaga dan aku berikan kebaha-

giaan. Apakah ini korban untukku?" tanya Iblis 

Sedayu yang dijawab serentak oleh orang-orang 

yang mengaku sebagai hamba-hambanya.

"Benar, Baginda!"

Iblis Sedayu pandangkan mata pada gadis 

yang masih mematung berdiri. Ditatapnya dari 

ujung kaki ke ujung rambut si gadis yang masih 

terdiam. Keringat dingin nampak mengalir dari 

pelipis si gadis yang menahan rasa takut yang


amat sangat. Tengah Iblis Sedayu memandangi 

gadis tersebut, gadis itu seketika memekik.

"Aaaah...!"

Tersentak Iblis Sedayu seketika, demi meli-

hat tubuh si gadis terkulai pingsan. Mata Iblis 

Sedayu seketika menyapu segenap tempat terse-

but, mencari siapa adanya orang yang telah bera-

ni mencampuri urusannya.

"Bangsat! Siapa yang telah berani membuat 

ulah di sini! Tunjukkan mukamu!" pekik Iblis Se-

dayu marah. 

"Aku di sini, Sedayu!"

Bersamaan dengan habisnya ucapan orang 

tersebut, seketika melompat sesosok bayangan 

berkelebat dan menghadang Iblis Sedayu yang 

terjengah melompat mundur.

"Kau...!"

"Ya, masih ingat denganku, Iblis busuk!" 

maki orang tersebut.

"Mengapa kau datang menggangguku lagi, 

Senggara!"

"Karena tindakanmu sudah keterlaluan! Kau 

sesatkan manusia untuk mengikutimu. Kalau 

kau memang tak menggunakan tubuh kakakku, 

aku tak akan ambil perduli. Tapi kau telah meng-

gunakan tubuh kakakku yang hancur itu, yang 

seharusnya telah tenang di alamnya hingga aku 

harus perduli."

Sedayu nampak menggeretak marah demi 

mendengar omongan Senggara. Mulutnya me-

nyeringai, lalu terdengar suara menggelegar ba-

gaikan suara gertakan: "Hoar...! Kau rupanya tak


mau tahu bahwa kau tak akan mampu membu-

nuhku!"

"Aku tahu, tapi demi ketentraman dunia, 

maka aku terpaksa pura-pura tak tahu. Aku telah 

siap untuk engkau jadikan wadal bila memang 

harus begitu!"

"Jadi kau mencari mampus, Senggara!" 

Senggara nampak tenang, tersenyum bagaikan 

sebuah sunggingan yang berarti. Sunggingan bi-

birnya, nampak sebuah sunggingan yang me-

ngandung seribu makna. Entah itu ejekan atau 

senyum kecut atas ucapan Sedayu.

"Kau bukan Tuhan, maka kau tak berhak 

menentukan mati hidupnya seseorang termasuk 

diriku. Walau kau Iblis, atau raja Iblis sekalipun, 

kalau memang harus mati kau pun mati!"

"Bedebah! Jangan kau sebut-sebut nama 

Tuhan! Serang...!"

Bagaikan orang-orang yang terkena sihir, se-

rentak semua yang ada di situ serentak bangkit 

dari duduknya. Mereka bagaikan monster menye-

rang keroyokan Senggara. Mulut mereka diam, 

hanya pandangan mereka saja yang menyala ba-

gaikan mengandung percikan-percikan api pem-

bunuhan.

Diserang begitu rupa, tidak menjadikan 

Senggara murid Dewa Ilmu gentar atau takut. 

Dengan hanya bergerak cepat Senggara mampu 

menghindari serangan-serangan mereka.

"Kalian orang-orang sirik. Kalian telah ter-

pengaruh oleh iblis hingga melupakan pada Tu-

han kalian! Minggatlah dari sini!" Senggara me


maki-maki marah. Tangan dan kakinya berkele-

bat cepat, dan setiap kelebatannya menjadikan 

pekikan kesakitan orang yang terkenanya. Orang 

yang terkena pukulan dan tendangan Senggara 

sesaat menggelepar-gelepar, lalu terkulai lemah 

dengan nyawa melayang terbang dari raganya.

Melihat para pengikutnya banyak yang mati, 

Iblis Sedayu seketika lupa tubuh gadis yang ter-

kulai itu. Sejenak Iblis Sedayu memandang pada 

Senggara yang masih sibuk dikeroyok oleh para 

pengikutnya, lalu dengan nada mengejek ia berse-

ru: "Senggara, bermain-mainlah engkau dengan 

para pengikutku! Bila nanti engkau ternyata me-

nang, aku tunggu dirimu di bawah jurang!"

"Iblis busuk! Jangan lari!" Senggara memaki-

maki marah melihat Iblis Sedayu hendak mening-

galkannya. Namun secepat kilat sesosok tubuh 

berkelebat dari balik pohon dan langsung meng-

hadang Iblis tersebut sembari berseru pada Seng-

gara.

"Senggara, kau urusi dulu keroco-keroco Ib-

lis itu, biar aku mengurus Iblis ini!"

"Jaka Ndableg, kebetulan kau datang!" seru 

Senggara dengan mata berbinar-binar penuh ke-

tenangan. Bagaimanapun juga dengan kedatan-

gan Jaka sedikit banyaknya bebannya untuk me-

numpas Iblis-iblis itu akan agak ringan.

"Kau...!" Iblis Sedayu memekik kaget, Jom-

patkan tubuh ke belakang. "Kau pun rupanya su-

ka usil dengan apa yang dilakukan orang lain, 

Jaka!"

"Aku tak akan usil, asalkan engkau tidak


menuntun mereka pada jalanmu yang sesat!" Ja-

ka tersenyum dingin menghadapi Iblis yang su-

dah ia ketahui betapa ilmunya ternyata tinggi. 

"Hem, aku jadi tak habis pikir, mengapa iblis ini 

sanggup menghadapi ajian Tapak Bahanaku. Pa-

dahal ajian itu adalah ajian yang dahsyat!" gu-

mam hati Jaka penuh ketidakmengertian. "Apa-

kah ia mampu menghadapi Pedang Siluman Da-

rah,?"

Mata Iblis itu nampak menyala, memakukan 

pandangannya pada Jaka yang juga memandang-

nya dengan penuh kesiagaan. Jaka menyadari 

bahwa bagaimanapun juga Iblis di hadapannya 

bukanlah Iblis sembarangan. Bagaimana bentuk 

Iblis apa pun, bila terhantam ajian Tapak Bahana 

akan luluh lantak, tapi Iblis Sedayu sepertinya 

tak mempan ajian tersebut. Kedua musuh be-

buyutan itu saling pandang, sepertinya hendak 

menancapkan sorot mata masing-masing ke ulu 

hati musuh.

"Jaka Ndableg, seharusnya kau sadar bahwa 

ilmu yang engkau miliki tiada arti bagiku. Aku sa-

rankan, jadilah pengikutku!"

"Hem, jangan kau bermimpi. Lebih baik aku 

mati daripada harus menjadi budakmu!" Jaka 

membalas dengan sengit.

"Manusia tak mau diuntung! Bersiaplah kau 

aku kirim ke akherat sana. Hiat...!" Iblis Sedayu 

tiba-tiba berkelebat menyerang. Serangannya kini 

tak tanggung-tanggung, langsung dengan segala 

ajian yang ia miliki.

Jaka yang sudah tahu siapa adanya Iblis di


hadapannya segera berkelebat mengelakkannya. 

Dengan segera Jaka pun balas menyerang dengan 

ajian-ajian yang ia miliki.

"Getih Sakti. Hiat...!"

"Wuss...! Crooot...!"

"Duar! Duar...!"

Terdengar ledakan manakala dua kekuatan 

itu beradu di udara di tengah-tengah tubuh me-

reka. Keduanya seketika terpental ke belakang. 

Namun dengan segera Iblis Sedayu bangkit, lalu 

tanpa menunggu Jaka bangkit ia hantamkan 

ajiannya.

"Lulur Iblis. Hiat...!"

"Ah... mati aku!" Jaka mengeluh, segera ia 

pun dengan cepat tanpa pikir panjang lagi han-

tamkan Petir Sewunya untuk memapaki serangan 

tersebut.

"Petir Sewu. Hiat...!"

"Bletar! Bletar! Bletar!"

Ledakan-ledakan petir seketika membahana, 

menjadikan semua orang yang saat itu tengah 

mengeroyok Senggara tersentak dan bagaikan ba-

ru tersadar dari sihir mereka memekik. Telinga 

mereka yang tak tahan langsung mengeluarkan 

darah. Mereka seketika menggelepar-gelepar se-

saat, sebelum akhirnya ambruk dengan darah ke-

luar membasahi hidung, mulut dan telinga mere-

ka. Hanya enam Jalak Sakti yang tidak langsung 

mati, tapi keadaan mereka pun cukup parah. Kini 

ringanlah Senggara, yang segera melesat ke arah 

di mana Jaka dan Iblis Sedayu tengah bertarung.

"Jaka, mari kita serang bareng! Iblis itu su


kar untuk dibinasakan!"

"Aku pun menyadari itu, Senggara! Biarlah, 

lebih baik aku mati daripada Iblis ini merajalela di 

depan hidungku. Hiat...!" Jaka Ndableg telah 

kembali mencelat menyerang.

"Hiat...!" Begitu pula dengan Senggara. Maka 

kini Iblis Sedayu dikeroyok oleh dua orang mu-

suh-musuhnya. Dua orang yang telah membuat 

tubuhnya hancur berantakan.

Nampak Iblis Sedayu menyeringai demi me-

lihat kedua orang yang dianggapnya akan meng-

halangi segala tindakannya menyerang. Hal itu 

memang telah ditunggu-tunggunya. Maka dengan 

segera Iblis Sedayu pun berkelebat memapakinya. 

"Hiat...!"

"Tapak Prahara. Hiat...!"

"Cobra Api. Hiat...!"

Bareng keduanya hantamkan ajian yang me-

rupakan ajian pamungkas mereka. Api menyala-

nyala dari tangan keduanya, seperti hendak mem-

bakar apa saja yang ada di sekitar tempat itu. 

Dan manakala Iblis Sedayu menyerang, secepat 

kilat keduanya hantamkan ajian mereka masing-

masing. Tak ayal lagi, seketika api yang keluar 

dari tangan keduanya membakar tubuh Iblis Se-

dayu, rapat menutupi tubuh Iblis Sedayu. Kedua-

nya nampak agak sedikit tenang, menyaksikan 

api yang mereka ciptakan melalap habis tubuh Ib-

lis tersebut. Tapi baru saja mereka merasa se-

nang, tiba-tiba mereka membeliak kaget manaka-

la melihat kejadian yang tidak masuk akal. Tubuh 

Iblis Sedayu yang kini tinggal kerangka hitam,


masih mampu menghadapi mereka.

"Gusti Allah, apakah aku tidak tengah ber-

mimpi?" keluh Jaka kaget. Bagaimana mungkin, 

tubuh yang sudah menjadi arang masih dapat 

bangkit dan menyerang mereka.

"Edan! Ini jelas-Jelas kelakuan Iblis!" maki 

Senggara.

Namun keduanya tak sempat berkata-kata 

lama, sebab tiba-tiba saja keduanya telah dike-

jutkan oleh hantaman yang dilontarkan oleh ma-

nusia tulang-belulang tersebut.

"Awas serangan!" Jaka memekik, melempar-

kan tubuhnya ke samping. Begitu juga Senggara, 

dengan sigap lemparkan tubuh ke samping hing-

ga larikan sinar yang keluar dari tulang-tulang 

tangan orang yang hangus itu membersit di ten-

gah-tengah. Sinar itu terus melesat, lalu meng-

hantam tubuh orang-orang yang masih tergeletak. 

Seketika tubuh orang yang terkena hantaman itu 

langsung meleleh. Dan dari sinar tersebut, nam-

pak mahluk-mahluk menyeramkan berupa kepala 

manusia beterbangan.

"Gusti Allah, ini tidak bisa dibuat main-

main!" Jaka mendengus demi melihat ratusan ke-

pala hidup beterbangan dan menuju ke arahnya. 

"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Pedang 

Siluman Darah tiba-tiba muncul, terbang me-

layang-layang dan langsung tanpa dipegang oleh 

Jaka berkelebat-kelebat menyerang kepala-kepala 

hidup tersebut. Seketika memekiklah kepala-

kepala itu lalu lenyap menjadi serpihan-serpihan 

debu. Pedang Siluman Darah segera kembali me


lesat dan hinggap di tangan Jaka yang langsung 

menerimanya.

Senggara masih terus berusaha menyerang 

Iblis Sedayu, namun serangannya seperti tak ber-

arti sama sekali bagi Iblis tersebut. Bahkan kini 

Iblis Sedayu malah balik menyerang. Senggara 

yang marah tanpa sungkan-sungkan lagi han-

tamkan ajiannya kembali. "Cobra Api. Hiat...!"

Api kembali membakar tulang-tulang terse-

but. Tulang-tulang itu berantakan dan berserak-

an copot dari sel-selnya. Tersenyum Senggara 

menyangka Iblis itu telah mati. Ya, memang tu-

lang-tulang itu telah berserakan. Namun benar-

kah Iblis Sedayu telah mati? Kedua pendekar itu 

berdiri mematung memandang pada tulang-

tulang yang berserakan. Mereka tak menyadari 

bahwa bahaya telah siap mengancam jiwa mere-

ka. Salah seorang dari Jalak Sakti yang tengah 

pingsan, tiba-tiba bangkit dan...

Pedang Siluman Darah seperti berontak dari 

tangan Jaka, menjadikan Jaka tersentak. Pedang 

itu selalu mengacungkan ujungnya ke belakang 

seperti ada yang ingin dikatakan pada tuannya. 

Dan manakala Jaka mengikuti arah Pedang Silu-

man Darah, seketika Jaka memekik. 

"Awas!" Ternyata Jalak Ungu telah dekat dan 

sebentar saja bila Pedang Siluman Darah tidak 

menunjukkan padanya niscaya dirinya dan Seng-

gara telah jadi korban. Keduanya segera loncat ke 

muka, menghindari cengkeraman Jalak Ungu.

"Bangsat! Ternyata kau masih hidup, Iblis!" 

maki Senggara.


"Hua, ha, ha...! Sudah aku katakan, bahwa 

aku tak akan kalah oleh kalian!"

"Sombong! Terimalah ini. Hiat...!"

Bersamaan Jaka berkelebat dengan Pedang 

Siluman Darahnya, berkelebat pula Senggara 

dengan senjatanya Pecut Cobra Merah. Dua sen-

jata itu bagaikan menyala-nyala, lalu dengan ber-

barengan keduanya hantamkan senjata masing-

masing.

"Cros…!"

"Bletar!"

Hancur lebur tubuh Jalak Ungu, terbelah 

dan terhisap darahnya oleh Pedang Siluman Da-

rah. Tubuhnya hancur, tercambuk oleh Cambuk 

Cobra Merah. Namun sungguh tak keduanya sa-

dar. Manakala keduanya menghantamkan senjata 

mereka, ternyata Iblis tersebut telah meninggal-

kan tubuh Jalak Ungu. Tanpa ayal lagi, tubuh Ja-

lak Ungulah yang jadi sasaran. Dan manakala Ib-

lis Sedayu hantamkan pukulan, keduanya tak 

mampu untuk melayang menghindar. Tanpa da-

pat dihindari keduanya pun seketika melayang 

bagaikan ditiup angin. Tubuh keduanya mental, 

lalu melayang ke dalam jurang. Berbarengan den-

gan keduanya menjerit, dua buah bayangan ber-

kelebat dengan entengnya menangkap tubuh ke-

duanya dengan cepat sebelum keduanya jatuh ke 

dasar jurang.

"Wess...!" 

"Suit...!" 

Tap! Tap!"

Kedua orang pemilik tubuh itu hanya saling


pandang sesaat dengan senyum, lalu keduanya 

melesat membawa tubuh Jaka dan Senggara ke 

tujuan masing-masing. 

***

"Hua, ha, ha...! Kini tak ada lagi penghalang-

ku. Kini akulah yang paling berkuasa di dunia. 

Akan aku jadikan semua manusia sebagai abdi-

ku. Akan aku jadikan dunia ini sebagai istanaku. 

Istana Raja Iblis!" Iblis Sedayu tertawa bergelak-

gelak, lalu dengan ilmu iblisnya dia bangkitkan 

tubuh-tubuh anak buahnya yang terdiri dari em-

pat Jalak Sakti dan warga desa Slawi. Sementara 

dia sendiri menggunakan jasad Jalak Kuning se-

bagai pengganti jasad Renggana yang telah han-

cur berantakan.

"Kalian telah aku hidupkan kembali. Maka 

kalian mulai sekarang harus menjadi pengikut-

pengikutku. Akan aku bangun kerajaan di muka 

bumi ini, kerajaan Iblis Penguasa Gunung Kapur! 

Kalian harus memanggilku, Sri Baginda Raja Di-

raja Iblis Sedayu Mukti. Hua, ha, ha...!"

"Daulat, Sri Baginda Raja Diraja Sedayu 

Mukti...." serentak mereka menyembah. "Hamba 

mohon ampun bila hamba telah melakukan sega-

la kesalahan!"

"Hua, ha, ha...! Tidak! Kalian tidak salah. Ki-

ni kalian aku perintahkan untuk makin perba-

nyaklah korban-korban yang kalian persembah-

kan pada rajamu ini!"

"Daulat, Sri Baginda...!"


Makin bergelak tawa Sedayu melihat manu-

sia-manusia bonekanya yang nampak menurut 

dan patuh. Memang, sejak saat itu pula resmilah 

Sedayu mengangkat dirinya sebagai Raja Iblis 

yang memerintahkan manusia. Ke manakah Jaka 

dan Senggara? Apakah ia mati? Marilah kita ikuti 

terus bab demi bab selanjutnya.

***

ENAM



KERAJAAN SILUMAN DARAH....

Kerajaan Siluman Darah nampak sepi. Para 

pengawal istana nampak terdiam bisu dengan 

senjata siap selalu di tangan mereka masing-

masing. Mereka nampaknya tengah menunggu se-

seorang yang bakal datang. Dan memang tak be-

rapa lama kemudian sesosok bayangan merah 

berkelebat menuju ke arah istana. Bayangan ter-

sebut adalah milik seorang wanita, dialah Ratu 

Siluman Darah. Di tangan sang Ratu yang cantik 

jelita itu, tergeletak sesosok tubuh muda beram-

but gondrong dan berwajah tampan pingsan, pe-

muda itu tak lain Jaka Ndableg si Pendekar Pe-

dang Siluman Darah. Pedang Siluman Darah 

nampak masih tergenggam di tangan kanannya.

Memang Jaka waktu tiba-tiba terhantam 

oleh pukulan tenaga dalam yang dilontarkan oleh 

Iblis Sedayu, tak mampu mengelakkannya karena 

Jaka tak sadar bahwa orang yang dibelah dengan



pedangnya tak lain adalah jasad yang telah ko-

song ditinggal oleh Iblis Sedayu yang sudah me-

mikirkan bahwa Jaka dan Senggara pasti akan 

menyerang dengan senjata pusaka masing-

masing. Maka ketika Jaka membabatkan pedang-

nya, si Iblis Sedayu telah berkelebat ke luar dan 

telah siaga di belakang kedua orang penyerang-

nya. Maka tak ayal lagi dengan mudah Iblis Se-

dayu mampu menjatuhkan dua pendekar sekali-

gus.

"Bukakan pintu!" Ratu Siluman Darah me-

merintah pada pengawalnya yang dengan segera 

membuka pintu gerbang tabir alam siluman. 

Dengan cepat Ratu Siluman Darah pun berkele-

bat masuk menuju ke sebuah ruangan pengoba-

tan.

"Panggil Nenek Darah Biru ke mari!" kembali 

ia memerintah.

Dengan tanpa membantah orang yang disu-

ruh itu segera berkelebat pergi meninggalkan 

sang Ratu yang telah membaringkan Jaka di ka-

sur untuk memanggil Nenek Darah Biru. Tak la-

ma kemudian Nenek Darah Biru pun datang ber-

samaan Siluman yang tadi diutus. Nenek Darah 

Biru segera menyembah, lalu dengan suara tua-

nya ia berkata: "Sri Ratu memanggil hamba?"

"Benar! Tolong kau rawat Jaka. Dia mende-

rita luka dalam."

"Daulat, Sri Ratu," jawab Nenek Darah Biru.

Sri Ratu Siluman Darah tanpa hiraukan Ne-

nek Darah Biru segera meninggalkannya dan me-

langkah menuju ke kamar pribadinya di mana bi


asanya ia akan mengurung diri selama tiga hari 

tiga malam untuk melakukan Tapa Brata. Namun 

ternyata kali ini ia tidak hendak melakukan Tapa 

Brata, tapi ia tengah melakukan sebuah upacara 

adat yang hanya dilakukan oleh dirinya sendiri. 

Matanya terpejam, tangan bersilang dengan kaki 

dilipat menyila.

Sementara di ruang pengobatan Nenek Da-

rah Biru terus berusaha mengobati luka-luka Ja-

ka. Jaka masih pingsan, nampaknya ia benar-

benar terpukul manakala melayang ke jurang 

Gunung Kapur.

"Pemuda ini sungguh sangat hebat. Jarang 

orang yang memiliki tulang-tulang serapi dan se-

kokoh ini. Hem, pantas kalau Sri Ratu mau men-

gangkatnya menjadi murid sekaligus anak," gu-

mam Nenek Darah Biru manakala tangannya me-

mijit tubuh Jaka. Jaka nampak menggeliat dan 

meringis setiap kali tangan Nenek Darah Biru 

memijit dan mengurutnya.

Sebenarnya pijitan dan urutan si Nenek Da-

rah Biru bukanlah pijitan dan urutan biasa, teta-

pi urutan dan pijitan itu mengandung sebuah ke-

kuatan magis yang mampu membuat bertambah 

kekuatan Jaka, sebab secara tak langsung si Ne-

nek Darah Biru telah menyalurkan tenaga ke tu-

buh Jaka. Dan pada waktu pijitan yang terakhir, 

Jaka seketika menjerit keras. Jaka merasakan 

bagaikan hawa panas menyengat sendi-sendi tu-

buhnya. "Aaah...!"

"Tenang Jaka, kau tak akan apa-apa," Nenek 

Darah Biru berkata menghibur: "Setelah kau di


urut dan dipijit, niscaya tubuhmu akan seperti 

sedia kala."

Jaka menurut diam, tak berkata-kata lagi. 

Pijitan dan urutan tangan Nenek Darah Biru te-

rus menyelusuri tubuhnya. Pijitan itu sangat ke-

ras, menekan-nekan pada sendi-sendi yang dira-

sakan perlu. Setelah beberapa lama kemudian 

dan di-rasa cukup, Nenek Darah Biru berkata: 

"Sudah! Kini engkau telah sempurna tulang dan 

aliran darahnya."

"Sebenarnya aku ini berada di mana. Nek?" 

Jaka bertanya ingin mengetahui keberadaannya. 

Matanya memandang sekeliling tempat itu, tem-

pat yang indah dengan mutiara dan permata yang 

serba gemerlapan mewarnai tempat tersebut.

"Sepertinya aku pernah singgah di tempat 

ini. Kapankah? Dan di manakah?" Jaka mere-

nung dalam hati, merasakan bahwa dia merasa 

pernah singgah di tempat tersebut. Matanya tera-

sa memandang sekeliling, lalu setelah sekian la-

ma ia berbuat begitu Jaka pun akhirnya mengin-

gat bahwa dia memang pernah berada di tempat 

tersebut. "Ya, aku ingat. Aku memang pernah di 

tempat ini manakala aku bertarung dengan Pra-

hista. Oh, di manakah ayah dan ibu?"

"Nek, bukankah ini kerajaan Siluman Da-

rah?" tanyanya pada Nenek Darah Biru yang 

mengangguk sembari tersenyum. "Di manakah 

ayah dan emakku, Nek?"

"Ayah dan ibumu ada di sini, mungkin se-

bentar lagi akan datang bersama Sri Ratu."

Memang benar apa yang dikatakan oleh Ne


nek Darah Biru, sebab tak lama kemudian dari 

ruangan lain nampak tiga orang berjalan menuju 

ke ruangan di mana Jaka berbaring istirahat. Tiga 

orang itu tak lain dua orang wanita cantik dan 

seorang lelaki tampan yang wajahnya persis se-

perti Jaka. Dua orang wanita itu tak lain Ratu Si-

luman Darah dan ibunya Jaka. Sementara yang 

lelaki tidak lain adalah ayahnya Eka Bilawa. Ke-

tiga orang tersebut nampak mengurai senyum di 

bibir mereka, dan terkadang bercakap-cakap.

"Sampurasun...!" ketiganya menyapa.

"Rampes...!" Jaka dan Nenek Darah Biru 

membalas. Nenek Darah Biru segera menjura 

hormat, lalu menyingkir menepi memberikan ja-

lan pada ketiganya untuk menghampiri Jaka.

"Ayah, Ibu...! Oh, benarkah itu ibu, Ayah?" 

tanya Jaka terheran-heran melihat ibunya nam-

pak masih begitu muda dan cantik.

"Benar, Anakku. Akulah ibumu," wanita can-

tik itu menjawab mendahului si lelaki yang hanya 

tersenyum. "Kau sungguh sudah dewasa, Anak-

ku." Dengan rasa haru dipeluknya tubuh Jaka 

yang segera membalas memeluk ibunya.

Suasana di tempat itu kini nampak sahdu, 

penuh rasa haru, bungah dan macam-macam ra-

sa yang tak dapat diurai kata-kata. Ketiga sanak 

beranak itu terus saling melepas kerinduan yang 

sekian lama tak pernah bertemu. Jaka bagaikan 

anak kecil, menangis dalam pelukan ibunya.

"Ayah, Jaka ingin tinggal di sini saja. Jaka 

sudah bosan di dunia ramai yang selalu diwarnai 

oleh banyak masalah yang rumit. Sepertinya Jaka


hendak tak mampu untuk menghadapinya," Jaka 

berkata seperti putus asa, menjadikan sang ayah 

dan Ratu Siluman Darah gelengkan kepala tak 

menyetujui akan permintaan Jaka.

"Tidak, Anakku. Kau harus tetap di dunia 

ramai. Ketahuilah, bahwa dirimu memang sudah 

dikodratkan harus menjadi seorang pendekar 

yang memerangi kejahatan. Dan sebagai seorang 

pendekar maka sudah selayaknya mendapat rin-

tangan, karena kau manusia juga. Manusia itu 

kadang jaya, kadang pula harus kalah. Kau harus 

ingat bahwa di atas segalanya hanya Yang Maha 

Kuasa saja yang paling mampu berbuat sega-

lanya. Tak ada mahluk apa pun yang dapat me-

nandingi-Nya." Ayahnya menuturi.

"Benar Jaka. Memang apa yang dikatakan 

oleh ayahmu benar adanya. Kembalilah kau ke 

sana lagi, jangan kau putus asa hanya karena 

kau menderita kalah. Ingat, kekalahan bukan se-

lamanya berpihak pada dirimu. Kekalahan se-

baiknya jadikanlah pelajaran atau guru yang 

utama untukmu," Ratu Siluman Darah yang ber-

kata. "Aku akan memberikan padamu bekal, bek-

al yang nantinya dapat engkau gunakan. Tapi un-

tuk menghadapi musuhmu yang sekarang, maka 

aku akan ikut membantu. Aku akan muncul di 

alam manusia."

"Mengapa Sri Ratu hendak ke alam manu-

sia?"

"Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu itu 

bukanlah mahluk sembarangan. Dia tak akan 

dapat mati oleh tangan manusia, sebab Yang Ku


asa memang mentakdirkan begitu. Musuhmu 

adalah orangku, maka hanya akulah yang akan 

mampu menghancurkannya," Ratu Siluman Da-

rah berkata berapi-api, sepertinya dalam kata-

katanya mengandung sesuatu yang besar. "Dia 

adalah Panglima Perangku. Dia melarikan diri se-

telah pemberontakan yang dilakukan olehnya be-

serta beberapa anak buahnya dapat kami tum-

pas. Ternyata dia nekad lari ke alam manusia. 

Sebenarnya ia tak dapat hidup lama kalau saja ia 

tidak segera menemukan Renggana. Tapi sudah-

lah tak usah dipikirkan masalah itu. Kini yang 

penting kau akan aku gembleng untuk menam-

bah ilmu yang engkau miliki. Bila kau telah ram-

pung, maka kau pun akan menjadi manusia yang 

berilmu Siluman." 

"Oh, benarkah itu, Sri Ratu?" Jaka bertanya. 

"Sungguhkah aku akan memiliki ilmu-ilmu Silu-

man?"

"Ya, mengapa? Kau tak suka, Jaka?" Sri Ra-

tu bertanya.

"Suka! Saya memang ingin menambah ilmu 

yang ada pada diri saya, Sri Ratu."

"Nah, mulai saat ini kau harus rajin belajar 

dengan ayahmu, sebab ayahmulah yang akan 

mendidikmu mengenai ilmu-ilmu mahluk silu-

man!" Ratu Siluman Darah melirik pada Eka Bi-

lawa dengan bibir terurai senyum, sepertinya ia 

tidak cemburu sama sekali kalau Eka Bilawa se-

karang telah bersanding dengan istrinya. Namun 

malah sebaliknya ia bangga, sebab Eka Bilawa ti-

dak membedakan istri-istrinya. Eka Bilawa ber


tindak adil dan bijaksana. Wajah Eka Bilawa yang 

tampan memang persis Jaka, sehingga menjadi-

kan Ratu Siluman Darah menyayangi Jaka sam-

pai-sampai ke mana pun Jaka selalu didampingi.

Sejak saat itu Jaka untuk sementara menja-

di penghuni Kerajaan Siluman Darah. Sejak saat 

itu juga Jaka harus berlatih apa yang diajarkan 

oleh ayahnya Eka Bilawa dalam hal ilmu-ilmu Si-

luman yang hanya dimiliki oleh para siluman be-

laka. Hal itu dimaksudkan agar Jaka makin 

mampu menangani segala apa yang menjadi rin-

tangan, juga agar Jaka dapat melakukan kewaji-

bannya sebagai seorang pendekar untuk menum-

pas segala kejahatan.

***

TUJUH



Sejak menghilangnya Jaka Ndableg dari du-

nia entah ke mana, maka kejahatan yang kini di-

pimpin oleh Iblis Sedayu yang mengangkat dirinya 

sebagai Raja Diraja Iblis makin merajalela. Kini 

Iblis Sedayu yang telah menggunakan jasa Jalak 

Kuning, tak segan-segan melakukan tindakan te-

lengas pada umat manusia.

Pada umumnya, para anggota Raja Diraja Ib-

lis bertindak dengan tanpa mengenal belas ka-

sihan. Memang bukannya mereka merampok har-

ta, namun mereka merampok bahkan yang lebih 

dari itu yaitu merampok nyawa seseorang untuk


dijadikan korban.

Bukan itu saja, cita-cita Iblis Sedayu untuk 

menjadikan seorang Raja Iblis pertama yang me-

mimpin manusia perlahan namun pasti dijalan-

kan...

"Untuk mendapatkan segala cita-citaku, ma-

ka aku harus menundukkan kerajaan-kerajaan di 

tanah Jawa ini. Aku akan mengutus abdiku un-

tuk melakukannya. Aku sebentar lagi akan men-

jadi Raja Diraja Iblis yang mampu me-mimpin 

manusia untuk mengikuti jalanku. Seperti janjiku 

pada Tuhan, maka aku pun akan berusaha men-

gajak sebanyak-banyaknya anak cucu Adam un-

tuk menjadi sahabatku yang kelak akan mene-

maniku di neraka. Hua, ha ha...!" bergelak tawa 

Iblis Sedayu bila mengingat hal itu, sementara 

keempat Jalak Sakti lainnya yang ia angkat seba-

gai patih serta penasehatnya nampak tundukan 

kepala duduk bersila di hadapannya.

"Jalak Merah!"

"Daulat, Baginda Raja Diraja," jawab Jalak 

Merah sembari menyembah

"Aku perintahkan padamu untuk kumpulkan 

tentara guna menyerang kerajaan Sebrang Gu-

nung!"

Jalak Merah terdiam tanpa kata mendengar-

kan ucapan Rajanya. Hati kecilnya sebenarnya 

tak suka, sebab ia tahu sendiri bahwa kerajaan 

Sebrang Gunung banyak tokoh-tokoh silat yang 

berilmu tinggi. Namun untuk menolaknya, jelas ia 

tak berani karena tidak mungkin tidak rajanya 

akan murka. Dan apa bila rajanya telah murka


pasti dirinyalah yang menjadi korban. maka den-

gan segala ketakutan itu jalak merah pun berka-

ta: "daulat, baginda raja diraja yang mulia, kami 

akan melaksanakan segala titah paduka."

"bagus! sekarang juga persiapkan para pra-

jurit!"

"daulat, yang mulia!" jalak merah kembali 

menyembah, lalu dengan beringsut ia pun segera 

berlalu meninggalkan tempat tersebut untuk me-

nemui para prajuritnya yang dihimpun dari ma-

syarakat desa slawi. langkahnya nampak tak

bersemangat, sepertinya langkah itu sedikit di-

paksa hingga nampak terseret. jalak merah terus 

melangkah meninggalkan keraton menuju ke la-

pangan yang telah dijadikan alun-alun. di situ 

jalak merah hentikan langkah, lalu dengan 

menggunakan tenaga dalam ia berseru.

"para prajurit, berkumpul...!"

ternyata seruan jalak merah sungguh ken-

cang, sehingga dari jarak yang cukup jauh pun 

dapat didengar. maka seketika berbondong-bon-

dong para prajurit yang terdiri dari warga desa 

slawi tersebut berdatangan menuju ke lapangan 

di mana jalak merah telah menunggu berdiri di 

tengah-tengah lapangan itu.

"para prajurit, berkumpulah! ada berita pen-

ting...!"

"berita apakah, tuan patih?!" warga yang 

sudah mendekat bertanya: "adakah berita yang 

membuat bencana? atau berita kegembiraan?!"

"kalian berkumpul dulu, jangan banyak ber-

tanya!"


Warga desa itu menurut diam, sepertinya 

mereka merasakan ketakutan. Mata mereka me-

mandang hampa, tak berani menatap pandang 

pada Jalak Merah yang telah dianggap oleh mere-

ka sebagai patihnya. Mereka terus melangkah, 

makin dekat dan dekat menuju ke lapangan di 

mana Jalak Merah berada. Dan tak lama kemu-

dian, mereka pun telah berkumpul membentuk 

sebuah lingkaran mengelilingi Jalak Merah.

"Sri Baginda Raja Diraja memerintahkan kita 

untuk mengadakan peperangan. Kita akan me-

nyerang kerajaan Sebrang Gunung. Apakah ka-

lian telah siap!" terdengar suara Jalak Merah ber-

seru, memberitahukan. Seketika semua yang ha-

diir terdiam, sedangkan diri mereka tak menghen-

daki perang. Dalam hati mereka bertanya-tanya, 

mengapa harus berperang? Bukankah sekarang 

telah tentram dan damai? Mereka tak tahu apa 

sebenarnya yang dikehendaki oleh raja mereka 

sesungguhnya. Sebenarnya mereka ingin meno-

lak, namun mereka tak berani. Di samping kare-

na raja mereka sakti dan telah mampu mengalah-

kan dua pendekar yang tiada tanding itu, juga 

mereka merasa berhutang budi pada raja mereka 

yang telah memberikan segala apa yang mereka 

pinta.

Tengah mereka tercenung diam, dari ke-

jauhan tepatnya dari kerajaan berjalan dengan 

langkah-langkah bagaikan terbang seseorang 

yang mengenakan pakaian kebesaran. Dialah raja 

mereka, yaitu Raja Diraja Sedayu. Karena Sedayu 

berlari dengan menggunakan ilmu larinya, maka


dalam beberapa kejap saja tubuhnya telah sampai 

di tempat tersebut. Mata Sedayu seketika me-

mandang pada para prajuritnya yang seketika itu 

pula tundukan muka sembari menyembah.

"Terimalah sembah kami, Yang Mulia...!"

"Hua, ha, ha...! Bagus! Sembah kalian aku 

terima!" Sedayu nampak senang dan katanya ke-

mudian: "Apakah kalian telah tahu mengapa ka-

lian dikumpulkan di tempat ini?"

"Daulat, Yang Mulia, kami telah mengetahui-

nya!"

"Kalian jangan takut, sebab kalian akan aku 

bantu dengan prajurit-prajurit lelembutku. Nah, 

kini di samping-samping kalian telah muncul me-

reka."

Tersentak semuanya manakala menengok-

kan kepala ke samping kirinya telah ada mahluk 

serupa dengan dirinya. Mereka seperti tak per-

caya, menjadikan mereka terus memandang pada 

mahluk-mahluk yang bagi mereka adalah bayan-

gan mereka sendiri. Tapi ternyata bukan. Mahluk-

mahluk itu bukan bayangan mereka, terbukti 

mahluk-mahluk itu tidak memandang balik me-

lainkan diam mematung dengan wajah terus tegar 

memaku ke muka.

"Nah, itulah teman kalian untuk menyerang 

kerajaan Sebrang Gunung. Mereka akan menuru-

ti apa yang kalian perintahkan! Tapi mereka akan 

dapat mengadu bila ternyata kalian tidak menu-

ruti segala perintahku! Maka apabila ada teman 

kalian yang mengadu padaku bahwa kalian ada 

yang tidak menurut, kalian tentunya tahu apa


hukumannya? Hukumannya adalah teman kalian 

sendiri yang akan menghisap darah kalian sampai 

kering kerontang!"

Bergidik juga orang-orang itu mendengar pe-

nuturan rajanya. Mereka tahu bahwa ucapan ra-

janya bukanlah ucapan penakut anak kecil be-

laka, tetapi ucapan yang benar-benar akan ter-

laksana bila mereka membangkang.

"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"

"Nah, berangkatlah kalian! Tegarkan hati ka-

lian dengan semangat bahwa kalian akan mampu 

menundukkan kerajaan Sebrang Gunung!"

"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"

"Ampun, Baginda Yang Mulia, saya menja-

lankan tugas!" Jalak Merah menyembah, lalu 

dengan melangkah mundur ia pun segera menuju 

ke barisan prajurit dan berjalan paling muka. Me-

lihat para prajuritnya telah melangkah, segera

Iblis Sedayu berkelebat pergi tinggalkan lapangan 

kembali ke istananya.

***

Para prajurit itu bagaikan monster yang sela-

lu dikendalikan oleh pemiliknya. Mereka berjalan 

dengan bisu, sepertinya tak ada gairah untuk 

berkata-kata. Di setiap seorang prajurit, nampak 

sesuatu mahluk yang menyerupai mereka berja-

lan mengiringi. Mahluk-mahluk tersebut adalah 

ciptaan Iblis Sedayu yang diambil dari darah ke-

hidupan mereka, sehingga wajar kalau mahluk-

mahluk tersebut menyerupai mereka. Mahluk


mahluk itulah yang akan mengantar mereka dan 

membantu mereka dalam menyerbu ke kerajaan 

Sebrang Gunung.

Sebenarnya warga desa yang dijadikan pra-

jurit itu merasakan takut untuk menghadapi pra-

jurit-prajurit Sebrang Gunung. Walau mereka da-

lam pengaruh Iblis Sedayu, namun mereka masih 

dapat sadar dan mengingat-ingat segalanya. Me-

reka tahu bahwa di kerajaan Sebrang Gunung 

banyak berkumpul para tokoh persilatan yang ti-

dak berilmu rendah. Namun bila mereka ingat 

akan ancaman dan karena jasa raja yang telah 

membantu mereka selama ini, mereka pun den-

gan takut dan jeri menurut.

Barisan prajurit yang terdiri dari manusia 

dan duplikatnya yang tak lain bangsa Iblis terus 

melangkah. Barisan itu panjang, hampir menye-

rupai kelokan-kelokan ular naga bila dilihat dari 

kejauhan. Mereka berjalan menyusuri lereng gu-

nung, menuruni sungai dan lembah, seakan tiada 

rasa lelah sedikit pun.

***

"Heh, seperti ada iring-iringan menuju ke 

mari!" teriak seseorang warga kerajaan Sebrang 

Gunung yang bekerja sebagai pencari kayu berka-

ta pada temannya.

"Benar! Ya, sepertinya mereka itu para pra-

jurit!" 

"Mereka seperti hendak berperang!"

"Mereka menuju ke mari! Ayo kita tinggal


kan tempat ini untuk memberitahukan pada Pa-

man Patih Sungkar!" 

Dengan segera ketiga orang pencari kayu itu 

berlari meninggalkan hutan itu. Mereka berlari 

bagai kesetanan, sehingga tak mereka hiraukan 

segala apa yang menghalangi mereka diterobos-

nya. Mereka juga, nampak berlari kencang, ham-

pir dapat dikatakan mereka yang hanya seorang 

petani pencari kayu mampu menggunakan tenaga 

mereka untuk menyalurkan ke kaki-kaki mereka 

hingga mereka, bagai terbang.

"Ada musuh...! Musuh datang...!" Mereka 

berteriak-teriak bagaikan kesetanan, menjadikan 

orang-orang yang saat itu berada di pasar berse-

rabutan lari tunggang langgang sembari me-

neruskan teriakan ketiga orang pencari kayu, se-

hingga dengan sendirinya riuhlah mereka dengan 

teriakan-teriakan yang sama.

Ketiga orang pencari kayu itu terus berlari 

dengan cepat sambil berseru-seru menyebut-

nyebut musuh datang. Mereka terus menuju ke 

arah Utara di mana kerajaan berada.

"Musuh datang...! Musuh datang...!" Walau 

jarak kerajaan sudah dekat, namun mereka terus 

berlari dengan kencang, sepertinya mereka tak 

ingin dapat ditangkap oleh musuh yang datang 

masih jauh. Hal itu menjadikan seorang prajurit 

yang melihatnya seketika menghentikan lari me-

reka!

"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian berteriak-

teriak?"

"Musuh datang, Tuan Prajurit!" jawab seo


rang dari mereka dengan napas ngos-ngosan, 

menjadikan prajurit itu kerutkan kening meman-

dang mereka satu persatu seperti belum mau per-

caya begitu saja pada apa yang dikatakan ketiga 

tukang kayu itu.

"Benarkah...?"

"Benar, Tuan Prajurit, kami melihat musuh 

datang dengan ribuan prajurit yang siap bertem-

pur," Yang berkata tukang kayu yang nampak 

masih muda di antara kedua orang lainya.

"Baiklah, kalian ikut aku!"

Dengan tak menghiraukan orang-orang yang 

masih serabutan untuk lari, keempat orang itu 

pun segera melesat menuju ke istana kerajaan. 

Langkah mereka begitu lebar, seakan mereka tak 

ingin didahului dengan kedatangan musuh yang 

sudah berada di gunung. Tak begitu lama kemu-

dian mereka pun telah sampai di kerajaan.

"Ada apa, Sasongko? Sepertinya ada hal yang 

penting?" Seorang penjaga pintu istana bertanya 

pada Sasongko, yaitu prajurit yang membawa ke-

tiga tukang kayu itu.

"Paman patih ada?" 

"Ada. Dia ada di dalam bersama Baginda Ra-

ja."

"Aku dan ketiga orang ini ingin menghadap." 

Penjaga pintu istana kerutkan kening me-

mandang pada Sasongko dan ketiga tukang kayu 

itu sesaat. Kemudian salah seorang dari penjaga 

pintu itu pun berkelebat masuk ke dalam istana. 

Tak lama kemudian ia kembali keluar menemui 

Sasongko dan berkata: "Kalian dipersilahkan ma


suk!"

Sasongko dan ketiga tukang kayu yang 

nampak gemetaran sebab tak biasa memasuki is-

tana segera menuju ke dalam. Di sana nampak 

Sri Baginda dengan dihadapi oleh para tokoh per-

silatan dan patih serta pembesar istana lainnya 

tengah berbincang-bincang. Sasongko dan ketiga 

tukang kayu itu segera menyembah.

"Ada gerangan apa kalian menghadapku?"

"Ampun, Yang Mulia Baginda Raja sesem-

bahan hamba. Kami menghadap untuk mengha-

dapkan ketiga tukang kayu ini yang hendak 

memberikan kabar pada Yang Mulia," Sasongko 

berkata, dengan terlebih dahulu menyembah.

"Ada kabar apa yang kalian bawa, Pak?"

Ketiga pencari kayu itu nampak menelan lu-

dah, seperti sukar untuk berkata-kata. Keringat 

dingin keluar membasahi pelipis mereka. Mereka 

begitu tegang, maklum mereka baru pertama kali 

menginjakkan kaki dan menghadap rajanya. Wa-

lau mereka tahu bahwa raja mereka adalah seo-

rang raja yang bijaksana, namun sebagai seorang 

rakyat jelata jelas mereka merasakan hawa lain. 

Rasa takut dan kaku pun menyelimuti ketiganya. 

Hal itu diketahui oleh Sri Baginda yang dengan 

segera kembali berkata: "Kenapa? Kalian tak perlu 

takut. Aku rajamu, aku juga abdi kalian. Kata-

kanlah apa yang menjadi unek-unek kalian." 

"Mu-musuh menuju ke mari, Baginda," ja-

wab salah seorang dari ketiganya, menjadikan Sri 

Baginda dan orang-orang yang berada di situ se-

ketika terperanjat kaget.

"Musuh!"

"Ya, mereka telah sampai di gunung Kidul."

Tengah mereka dalam keterkejutan, tiba-tiba 

di luar terdengar suara seruan rakyat yang lari 

serabutan sambil berteriak-teriak: "Musuh da-

tang...! Musuh Datang...!"

Serta merta semua yang hadir di situ berke-

lebat ke luar. Semuanya kini dengan tergesa-gesa 

mempersiapkan para prajurit untuk segera me-

nanggulangi musuh yang sudah tak mungkin da-

pat dibendung. Dan memang benar, musuh telah 

tiba. Maka tanpa dapat berkata-kata lagi, praju-

rit-prajurit Kerajaan Sebrang Gunung pun segera 

memapaki hingga terjadilah pertempuran. Namun 

karena mereka tak mempersiapkan segalanya, ju-

ga karena di pihak musuh dibantu oleh para Iblis 

yang sukar untuk dikalahkan, mereka dari pihak 

kerajaan Sebrang Gunung pun nampak keteter. 

Tak ada arti sama sekali para tokoh persilatan 

yang ikut turun menyerang musuh.

Pertarungan terus berkobar, sepertinya ke-

dua prajurit dua kerajaan itu tak mau ada yang 

kalah dan mundur. Kedua prajurit kerajaan itu 

seperti ganas, membabi buta dalam setiap se-

rangannya. Darah telah membanjir di alun-alun, 

diselingi oleh jerit kematian.

Melihat bahwa para prajuritnya nampak tak 

dapat membendung musuh, dengan dibantu oleh 

ponggawa istana raja dan keluarganya segera me-

ninggalkan istana untuk mengungsi. Dan me-

mang benar bahwa prajurit-prajurit kerajaan Se-

brang Gunung tak mampu menghalau musuh,


apalagi ketika Iblis Sedayu tiba-tiba muncul. Ma-

ka makin kacaulah para prajurit kerajaan Se-

brang Gunung. Dalam sekejap saja mereka den-

gan cepat dapat ditaklukkan. 

"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang bakal men-

jadi Raja Diraja! Akulah yang mampu memban-

gun sebuah kerajaan di tanah Jawa ini! Akulah 

Raja Iblis yang mampu membuat anak cucu 

Adam menuruti apa yang menjadi perintahku. 

Hua, ha, ha...!" Iblis Sedayu seketika bergelak ta-

wa. Tampak kebahagiaan menyelimuti sorot ma-

tanya yang menyala-nyala. Ya, sejak itu Kerajaan 

Sebrang Gunung resmilah di bawah cengkraman 

Iblis.

***

DELAPAN



Dengan menyerang ke kerajaan Sebrang Gu-

nung, maka makin terkenal saja nama Iblis Se-

dayu. Namanya begitu ditakuti, tersebar di mana-

mana. Nama Iblis Sedayu Mukti, kini menjadi 

momok bagai orang mendengar nama Tuhan Yang 

Maha Kuasa saja. Bagi orang yang memang suka 

berbuat jahat, jelas hal itu merupakan sebuah 

lampu hijau untuk kembali menampakkan diri 

mereka dan berkecimpung di dunia kejahatan. 

Tapi bagi orang yang mencintai ketentraman dan 

kedamaian, jelas nama Iblis Sedayu merupakan 

nama yang harus sebisa mungkin dilenyapkan.


Siang itu di daerah pesisir Utara nampak se-

seorang bercadar putih ala ninja melangkah me-

nyusuri pesisir yang panas terik. Kakinya begitu

ringan menapak, sehingga pasir-pasir yang diin-

jaknya bagaikan tak amblas semili pun. Yang le-

bih aneh adalah cadar penutup kepalanya. Apa-

kah ia tidak merasakan kepanasan? Padahal hari 

begitu teriknya. Ternyata cadar itu juga bukan 

hanya sebatas kepala saja, tapi kain putih pem-

bungkus itu membungkus segenap tubuhnya. Di-

lihat dari pakainnya yang begitu aneh, kita dapat 

mengetahui siapa adanya dia. Dialah Murid Su-

nan Kali Jaga, yang bergelar Maling Siluman.

"Aku tidak mendengar adanya Jaka. Mung-

kinkah Jaka telah mengetahui kejadian yang kini 

menimpa dunia persilatan?" gumamnya bertanya 

pada diri sendiri. "Atau barangkali Jaka tak men-

dengarnya? Ah, itu tidak mungkin, sebab Jaka se-

lalu berkelana ke mana saja. Sungguh-sungguh 

sebuah bencana bila hal ini tidak segera dihenti-

kan."

Maling Siluman terus melangkah menyusuri 

pantai laut Jawa menuju ke Selatan. Tengah ia 

berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat 

mendahuluinya berlari. Hal itu menjadikan Mal-

ing Siluman tersentak kaget, segera ia pun me-

ngejarnya.

"Hoi...! Jangan lari!"

Maling Siluman terus mengejar, dan nam-

paknya orang tersebut yang ternyata seorang wa-

nita menghentikan langkah larinya. Wanita muda 

yang tak lain Miranti si Bidadari Selendang Ungu


membalikkan mukanya memandang pada Maling 

Siluman.

"Ada apa engkau menyuruhku berhenti?"

"Apakah boleh aku tahu, ke mana tujuan Ni 

Sanak?"

"Aku hendak ke Kerajaan Sebrang Gunung. 

Aku ingin menjajaki ilmu yang dimiliki oleh Iblis 

Sedayu yang kabarnya mampu mengalahkan Ja-

ka Ndableg," Miranti berkata, menjadikan Maling 

Siluman seketika tersentak kaget seraya memekik 

tertahan.

"Ah...! Benarkah, Ni Sanak?!"

"Untuk apa aku berdusta. Aku adalah.... Oh, 

sudahlah!"

"Kenapa Ni Sanak? Sepertinya kau ragu un-

tuk mengatakannya?"

Miranti terdiam didesak pertanyaan begitu 

rupa oleh Maling Siluman. Wajahnya seketika re-

dup, seakan ia tengah memendam sebuah pera-

saan tersendiri pada Jaka. Dan memang begitulah 

adanya. Sejak ia bertemu dengan Jaka, hati Mi-

ranti seperti diselimuti oleh perasaan rindu yang 

mendayu-dayu seperti rindunya tak dapat dihi-

langkan atau dihibur.

"Aku, aku... aku mencintainya," Miranti ber-

kata polos, menjadikan Maling Siluman yang te-

lah tua mengerti akan perasaan yang berkecamuk 

di dada gadis ini. 

"Ah, tidak engkau saja yang sedih, Ni Sa-

nak," hibur Maling Siluman. "Aku pun begitu. 

Kami adalah dua sahabat, seiring sejalan yang ra-

sanya sukar untuk dipisahkan."


"Aku telah sebatang kara. Maka apabila Jaka 

benar-benar telah mati, maka lebih baik aku pun 

ikut mati saja."

"Ah...." Maling Siluman mendesah. Ia sadar 

bahwa cinta Miranti sungguh tulus dan suci pada 

Jaka. Maling Siluman hanya mampu terpaku di-

am, tak tahu apa yang harus dibuatnya. Tengah 

kedua orang pendekar itu berdiri mematung da-

lam diam, seseorang berjalan menuju ke arahnya. 

Orang itu nampak bukan orang-orang tanah Ja-

wa. Kulit orang itu kuning langsat, menjadikan 

pemuda itu nampak seperti orang Cina. Dan me-

mang, pemuda itu yang tak lain Daeng Surih 

adanya adalah keturunan Cina-Jawa. Bapaknya 

adalah Amangkurat, yaitu seorang Jawa, sedang 

ibunya adalah Nan-Cin-Cu putri kerajaan Cina.

Daeng Surih menghampiri keduanya, lalu 

dengan menjura hormat terlebih dahulu ia pun 

bertanya: "Ki Sanak dan Ni Sanak, dapatkah ka-

lian berdua menunjukkan pada kami untuk me-

nemui tempat Kerajaan Sebrang Gunung?"

"Siapakah adanya, Ki Sanak? Dan dari ma-

nakah Ki Sanak sebenarnya, serta ada keperluan 

apakah hendak menuju ke Kerajaan Sebrang Gu-

nung?" tanya Maling Siluman.

"Hamba yang rendah ini bernama Daeng Su-

rih. Orang sering menjuluki hamba dengan se-

butan Pendekar Suling Kematian. Hamba datang 

dari tanah Andalas tepatnya di Gunung Kerinci ke 

mari semata-mata ingin mengecek kebenaran ten-

tang kalahnya sahabat hamba yang bernama Ja-

ka Ndableg oleh seorang Iblis. Kalau memang sa

habatku kalah dan mati, maka hamba akan tu-

rut berperang dengan Iblis tersebut sampai ham-

ba atau Iblis itu mati."

"Jadi Ki Sanak adalah sahabat Jaka?" tiba-

tiba Miranti menanya.

"Ya, hamba adalah sahabatnya."

"Kalau begitu kita setujuan."

"Setujuan bagaimana maksudmu, Nona?"

"Kami berdua juga sahabat Jaka, bahkan no-

na ini adalah kekasihnya," Maling Siluman mene-

rangkan, menjadikan Miranti tersipu-sipu meme-

rah pipinya. Sementara Daeng Surih yang telah 

tahu siapa adanya Miranti, segera menjura penuh 

hormat seraya kembali berkata:

"Oh, kalau begitu hambalah yang terlalu bo-

doh tak mau tahu siapa adanya Nona. Maafkan 

segala kelancangan hamba."

"Tidak mengapa. Kau tidak bersalah. Kita 

adalah sahabat yang patut saling bantu. Marilah 

kita selekasnya ke sana. Aku merasa bahwa kita 

belum terlambat untuk mencegah perbuatannya 

yang telengas."

"Baiklah, Nona! Mari, Ki Sanak Daeng Su-

rih!" Maling Siluman mengajak. Dengan segera 

ketiganya pun berkelebat meninggalkan pesisir 

Utara yang kembali sepi dengan desahan gelom-

bang yang bergulung-gulung menepiskan pasir-

pasir dan sampah-sampah yang akhirnya menepi 

di pantai. Angin pantai semilir bertiup, menam-

bah kesejukan dan rasa tenang.

***


Ternyata tidak hanya para pendekar saja 

yang merasa gundah dengan hilangnya Jaka yang 

menurut desas-desus jatuh ke jurang Gunung 

Kapur, akan tetapi para tokoh masyarakat dan 

para pimpinan perguruan-perguruan yang berali-

ran putih pun merasakan hal yang serupa. Juga 

para kerajaan yang pernah merasa berhutang bu-

di pada Jaka Ndableg, seketika menjadi panas 

oleh desas-desus tersebut.

Maka sebagai pelampiasan kemarahan me-

reka pada Iblis Sedayu yang kini berkuasa di Ke-

rajaan Sebrang Gunung, mereka pun mengirim 

pasukan dengan maksud membumi hanguskan 

kerajaan Sebrang Gunung dan apabila mampu 

membunuh rajanya.

Dari beberapa kerajaan itu langsung dipim-

pin oleh patih utamanya, sementara dari pergu-

ruan-perguruan seperti Rajawali, Teratai, Tangan 

Dewa, dan perguruan lainnya langsung dipimpin 

oleh pimpinan sekaligus guru mereka.

Dari arah Selatan, Barat, Utara, dan Timur 

nampak rombongan-rombongan itu berjalan me-

nuju ke satu arah yaitu Kerajaan Sebrang Gu-

nung di mana Iblis Sedayu menjadi rajanya.

Ketiga orang yang juga bertujuan sama seke-

tika tersentak manakala ketiganya mendengar se-

ruan-seruan dari belakang yang keluar dengan 

nada marah dan dendam yang dilontarkan untuk 

mencaci maki Iblis Sedayu Mukti.

"Kita ganyang Iblis laknat itu!"

"Kita lumatkan dengan tanah!"

Berbagai macam caci maki keluar dari para


prajurit dan orang-orang persilatan yang berjalan 

dari sebelah Utara di mana ketiga pendekar itu 

juga berasal.

"Nampaknya berita hilangnya Jaka telah 

menjadikan beberapa kerajaan dan perguruan 

yang pernah dibantunya marah. Apakah kita 

akan bergabung dengan mereka?" tanya Maling 

Siluman pada kedua rekannya.

"Sebaiknya menurutmu, bagaimana?" Miran-

ti balik bertanya.

"Kita bergabung saja?"

"Ya, kita bergabung dengan mereka saja," 

jawab Daeng Surih.

Maka setelah mengambil keputusan begitu 

ketiganya segera berkelebat menuju ke arah di 

mana mereka datang. Dan tanpa mengalami ke-

sulitan ketiga pendekar tersebut akhirnya diteri-

ma bergabung dengan mereka.

Mereka terus berjalan menapak demi seta-

pak menuju ke Kerajaan Sebrang Gunung. Da-

lam hati mereka ada satu tujuan yang sama, yai-

tu menghancurleburkan kerajaan Sebrang Gu-

nung beserta rajanya.

***

Kehadiran para tokoh persilatan, kerajaan-

kerajaan, serta perguruan-perguruan yang datang 

dari empat penjuru itu menjadikan hirup pikuk 

rakyat kerajaan Sebrang Gunung. Mereka ada 

yang senang karena merasa akan datang ke-

bebasan dari cengkraman raja mereka yang selalu


meminta korban setiap Jum'at hingga gadis-gadis 

di situ sudah hampir habis. Ya, setelah kerajaan 

dipimpin oleh Raja Iblis Sedayu, maka sudah 

menjadi kebiasaan bagi rakyatnya untuk selalu 

mengorbankan seorang gadis untuk tumbal ra-

janya.

Tak terkecuali tokoh-tokoh persilatan di wi-

layah kerajaan, mereka menyambut kedatangan 

para prajurit persatuan itu dengan hati bungah, 

sebab tidak mungkin tidak bahwa kebebasan me-

reka untuk kembali mendirikan perguruan akan 

kembali muncul. Maka sebelum para penyerbu 

itu sampai, para tokoh persilatan di kerajaan Se-

brang Gunung segera menyambut mereka.

Makin bertambah banyak saja jumlah mere-

ka dengan menggabungnya banyak warga kera-

jaan Sebrang Gunung. Kini kekuatan mereka be-

nar-benar sebuah kekuatan dahsyat. Namun 

apakah mereka akan mampu membunuh Iblis 

Sedayu Mukti?

Orang-orang yang datang dari empat penjuru 

itu kini makin mendekat ke wilayah Kerajaan Se-

brang Gunung. Hal itu menjadikan amarah Se-

dayu yang dengan segera menyiapkan pasukan-

nya untuk memapaki mereka. Pasukan yang ter-

diri dari bangsa manusia dan bangsa Iblis itu se-

gera menuju ke alun-alun, menanti kedatangan 

para pemberontak yang jumlahnya hampir sera-

tus kali jumlah mereka. Sebenarnya hati prajurit 

manusia Kerajaan Sebrang Gunung ciut juga me-

lihat hal tersebut, namun karena tugasnya seba-

gai prajurit mau tak mau ia harus menjalankan


nya.

"Serang...! Hancur leburkan Iblis laknat!"

Tanpa ayal lagi, mereka pun segera terlibat 

dalam pertempuran. Nampaknya para prajurit-

prajurit yang bercampur baur dengan tokoh-

tokoh persilatan itu tanpa mengenal adanya takut 

mati. Di hati mereka hanya ada satu pilihan, lebih 

baik mati demi membela kebenaran dan keadilan 

daripada hidup harus nantinya terkekang oleh Ib-

lis.

Sebaliknya para prajurit Kerajaan Sebrang 

Gunung, walau jumlah mereka kecil namun dika-

renakan mereka mendera rasa takut pada rajanya 

hingga keberanian mereka pun seperti api. Di-

tambah lagi dengan bantuan prajurit-prajurit Ib-

lis, makin ramailah perang besar itu.

"Trang! Trang!"

"Aaaah...!"

Senjata saling beradu, yang akhirnya harus 

diakhiri dengan lengkingan kematian dari salah 

seorang di antara yang bertarung. Dan bila mu-

suhnya telah mati, maka orang yang menang se-

gera mencari musuh yang lain.

Tiga pendekar terdiri dari Maling Siluman, 

Daeng Surih dan Miranti nampak mengamuk 

membabi buta. Setiap hantaman tangan dan kaki 

mereka seketika menjadikan kematian bagi yang 

terkena. Apalagi Miranti, dengan Selendang Un-

gunya yang setiap kali dikibaskan menjadikan 

bunyi ledakan yang mampu menghancurkan gu-

nung tanpa ayal lagi mengamuk menghantamkan 

selendangnya. Sepuluh orang musuh mati dengan


tubuh hancur, terkena sabetan Selendang Ungu.

Dalam sekejap saja prajurit-prajurit kerajaan 

Sebrang Gunung dapat terdesak mundur. Tengah 

keadaan genting menyelimuti prajurit-prajurit ke-

rajaan Sebrang Gunung, tiba-tiba terdengar suara 

bentakan membahana. Bersamaan dengan itu, 

sesosok tubuh berkelebat menghadang ketiga 

pendekar tersebut.

"Mundurlah kalian semua! Biar aku yang 

menghadapi mereka!"

"Iblis Sedayu! Memang engkaulah yang aku 

tunggu-tunggu!" bentak Miranti marah.

"Hua, ha, ha...! Kalian mau mengantar nya-

wa rupanya! Jangankan kalian, Jaka Ndableg 

yang kalian anggap manusia dewa pun dengan 

mudah aku bunuh!" Iblis Sedayu bergelak tawa 

sombong, menjadikan ketiga pendekar tersebut 

melototkan mata marah. Hati mereka bagaikan 

dibakar api. Ya, ketiganya kini telah dibakar oleh 

api amarah pada Iblis tersebut. Sementara para 

prajurit dua kekuatan itu telah mundur, mereka

hanya diam untuk menyaksikan apa yang bakal 

terjadi.

"Sombong kau, Iblis! Kami datang untuk me-

musnahkan nyawa busukmu!" yang membentak 

ini Maling Siluman. "Serang...!"

Dengan segera ketiganya pun berkelebat me-

nyerang bergantian. Namun demikian, sepertinya 

Iblis Sedayu tak merasakan apa-apa di-serang 

oleh tokoh-tokoh persilatan kelas wahid.

Pertempuran antara ketiga tokoh utama per-

silatan mengeroyok Iblis Sedayu terus berjalan.


Miranti dengan Selendang Ungunya tanpa segan-

segan mencerca dengan jurus-jurus yang dahsyat. 

Dan Maling Siluman dengan pedangnya terus 

membabatkan pedang di tangannya ke arah yang 

mematikan. Sementara Daeng Surih dengan Su-

ling Kematiannya dengan enaknya meniup seru-

ling yang ditujukan langsung ke arah musuh. Aki-

bat tiupan seruling itu, seketika prajurit-prajurit 

kerajaan Sebrang Gunung hancur berantakan. 

Dan prajurit-prajurit manusianya seketika ber-

buat aneh. Mereka mencekik leher mereka sendiri 

hingga mati melotot dengan lidah menjulur ke-

luar.

"Hiat...!" suara Miranti menggelegar. 

"Hiat…!" Maling Siluman. 

"Hiat...!" Daeng Surih. Ketiganya bersama-

sama hantamkan ilmu yang mereka miliki, dan...

"Duar...!"

Meledak seketika tubuh Jalak Kuning, han-

cur berantakan terhantam oleh ajian-ajian yang 

mereka miliki. Seketika bersorak giranglah para 

prajurit yang menonton. Namun belum juga hi-

lang rasa bahagia mereka, tiba-tiba terdengar ge-

lak tawa membahana memecahkan keramaian.

"Kalian jangan bungah dulu, aku masih hi-

dup! Hua, ha, ha...!"

Tersentak semuanya yang berada di situ ter-

masuk ketiga pendekar itu. Mata mereka tak per-

caya demi melihat apa yang kini berjalan ke arah 

mereka. Sebuah mahluk yang terdiri dari darah 

belaka berjalan menuju ke arah ketiga pendekar 

tersebut.


"Inilah ujudku! Kalian tak akan mampu 

membunuhku. Hua...!"

Mahluk itu segera berkelebat menyerang ke-

tiga pendekar tersebut yang dengan segera ber-

maksud menghindar. Namun cipratan darah itu 

begitu cepat, hampir saja dapat mengenai tubuh 

mereka, ketika nampak dua buah bayangan ber-

kelebat memapakinya.

"Wuuuttt...!"

"Desst...!"

"Kau....'" pekik mahluk itu demi melihat sia-

pa adanya yang datang. Tak kalah kaget dan se-

nangnya ketiga pendekar itu demi melihat siapa 

yang kini tengah tersenyum menghadapi mahluk 

menyeramkan. Dia adalah Jaka Ndableg yang di-

gegerkan telah mati.

"Jaka...." seru ketiganya demi melihat Jaka 

telah ada bersamaan dengan seorang wanita can-

tik jelita di sisinya. Miranti nampak mengkerut, 

melengos cemburu. Namun segera Jaka yang ta-

hu hal itu kedipkan mata, sehingga Miranti kini 

tahu siapa adanya wanita di sisi Jaka.

"Dia adalah gurunya!"

"Gurunya...?!" terheran-heran Maling Silu-

man dan Daeng Surih mendengar penuturan Mi-

ranti. "Bagaimana mungkin gadis semuda itu ada-

lah guru Jaka?"

Namun pertanyaan Daeng Surih dan Maling 

Siluman tak terjawab ketika dengan segera terpe-

cah oleh sebuah bentakan yang dilontarkan oleh 

gadis cantik bak bidadari yang berdiri di samping 

Jaka.


"Sedayu! Kau ternyata telah membuat nama 

kerajaan cemar! Masihkah engkau akan mela-

wanku! Masihkah engkau akan menentangku! Ka-

lau memang begitu jangan salahkan aku ber-

tindak!" Ratu Siluman Darah nampak ngotot ma-

rah.

"Aku kini bukan wargamu! Maka engkau 

minggirlah!" 

"Hem, kau kira kau mudah untuk menjadi-

kan dirimu sebagai Raja bagi manusia. Sayang 

Sedayu, ternyata usahamu akan mengalami ke-

siasiaan, sebab anakku inilah yang akan men-

gakhiri petualanganmu." Ratu Siluman Darah ci-

birkan bibirnya. "Nah Jaka, hadapilah dia. Guna-

kan ilmu yang ayahmu ajarkan. Hanya dengan 

ilmu itu dia akan mati."

"Baik, Ibunda Ratu. Segala apa yang dis-

arankan ibunda akan Jaka laksanakan."

Tengah Jaka bersiap-siap, tiba-tiba Iblis Se-

dayu telah berkelebat menyerangnya. Dengan se-

gera Jaka pun rapalkan ajian yang telah di-

ajarkan oleh ayahnya yaitu ajian Penghalau Ber-

kala Iblis.

"Ajian Penghalau Iblis. Hiat...!" Tersentak Ib-

lis Sedayu melihat Jaka mengeluarkan ajian yang 

hanya dimiliki oleh bangsa Siluman Darah saja. 

Sayang ia tidak memilikinya, menjadikan Iblis Se-

dayu tak dapat berbuat banyak. Larikan sinar 

merah, kuning, hijau, perak dan lainnya seperti 

pelangi bergerak cepat. Bersamaan dengan lari-

kan sinar pelangi itu, segera Jaka ambil Pedang 

Siluman Darah yang tergantung di punggungnya


dan diarahkan ke tubuh mahluk darah tersebut.

Sinar pelangi itu seperti menyedot tubuh da-

rah mahluk itu, semakin dekat dan dekat ke arah 

Jaka. Dan manakala jarak mereka tinggal bebera-

pa jengkal, Jaka segera kiblatkan Pedang Siluman 

Darah. Maka dalam sekejap saja darah yang be-

rada di tubuh mahluk itu tersedot masuk ke da-

lam pedang. Tinggallah mata mahluk itu mengge-

letak tak berdaya.

Jaka kembali hantamkan ajiannya, seketika 

mata itu hancur berantakan ditimpa sinar pelan-

gi. Lenyaplah sudah Iblis Sedayu. Sorak sorai ke-

gembiraan pun mewarnai tempat itu. Mereka se-

gera memburu pada Jaka yang masih terpaku 

memegangi Pedang Siluman Darah. Setelah me-

nyaksikan muridnya mampu menunaikan tugas, 

dengan segera Ratu Siluman Darah pun lenyap, 

menjadikan semua yang ada di situ terheran-

heran.

Miranti nampak tersenyum, lalu dengan 

manja merebahkan kepalanya di dada bidang Ja-

ka yang berjalan membawanya melangkah me-

ninggalkan kerumunan massa.

"Siapakah adanya gadis cantik tadi, Jaka?" 

tanya Miranti manja, manakala keduanya terus 

melangkah.

"Kau cemburu rupanya, Sayang?"

Miranti bersungut, dicubitnya pinggang Ja-

ka.

"Aku sangat mencintaimu, Jaka."

"Aku juga. Tapi jangan terlalu cemburu be-

gitu, Sayang. Dia adalah ibuku."


"Ibumu...?!" membeliak mata Miranti men-

dengar penuturan Jaka. Bagaimana mungkin ibu-

nya semuda itu? Jaka yang melihat keragu-

raguan di mata Miranti dengan segera menerang-

kan.

"Dia ibuku. Ibuku adalah bangsa Siluman, 

jadi selamanya masih muda saja, bukan?"

Ucapan Jaka yang konyol, seketika mengun-

dang rasa gemes di hati Miranti yang dengan se-

gera mencium bibirnya. Daeng Surih dan Maling 

Siluman hanya gelengkan kepala, seakan menger-

ti perasaan kedua sejoli itu....



                                TAMAT





 

Share:

0 comments:

Posting Komentar