MUNCULNYA RATU SILUMAN DARAH
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama,1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam ep-
isode:
Munculnya Ratu Siluman Darah
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Renggana yang merasa dirinya telah tiada ar-
ti sama sekali telah putus asa. Dia bertekad tak
akan keluar-keluar lagi menginjakkan kakinya di
dunia persilatan. Dia begitu terpukul perasaan-
nya begitu tersayat-sayat. Segalanya seakan ber-
ubah bagi dirinya. Cita-citanya untuk menjadi
Datuk segala Datuk kini terkubur sudah dengan
penyesalan. Dia bertekad untuk mencoba hidup
di jalan yang benar, jalan yang ditempuh oleh
adik seperguruannya.
Dengan hati penuh rasa sesal, Renggana te-
rus berlari dan berlari meninggalkan Jaka Nda-
bleg dan Senggara yang mengejarnya jauh di be-
lakang. Renggana malu, malu pada kenyataan di-
rinya yang telah lupa pada segalanya.
"Kakang, tunggu!" Senggara terus mencoba
menyadarkan kakak seperguruannya, namun
nampaknya Renggana tak perduli akan seruan
adiknya. Dia terus berlari, makin cepat dan cepat.
"Kakang... kenapa kakang meninggalkan aku?!"
"Pergi kalian! Jangan ikuti aku!"
"Tidak! Kami tak akan pergi sebelum engkau
mau sadar!" Jaka yang ikut mengejar terus mem-
bantu menyadarkan diri Renggana. "Percayalah
kami sangat mengharapkan dirimu! Kami sangat
membutuhkan pikiranmu!"
"Tidak! Aku bukan orang baik-baik! Aku tak
pantas harus sejajar dengan langkah-langkahmu,
juga langkah adikku! Biarkanlah aku pergi men
cari ketenangan diri!"
Jaka yang melihat Renggana terus berlari
dan mendekati jurang yang menganga di hadap-
annya, segera percepat larinya untuk mengha-
dang. Dikerahkan ajian Angin Puyuh, sehingga
tubuh Jaka melesat bagaikan terbang mendahu-
lui Senggara yang hanya terbengong melihat hal
itu. Jaka terus melesat, tapi ilmu lari Renggana
yang seperti burung Gagak mampu membuat Ja-
ka agak kewalahan dan tertinggal jauh. Jaka tak
mau putus asa, dia terus mengerahkan ilmu la-
rinya. Angin Puyuh tingkat satu, dua, tiga... hing-
ga akhirnya tingkat terakhir Jaka kerahkan. Na-
mun jarak antaranya dengan Renggana nampak
masih agak jauh.
"Ilmu lari macam apa dia hingga ajian Angin
Puyuhku tak mampu menandingi?" keluh Jaka
dalam hati, kaget bercampur tak mengerti rae-
nyelimuti hatinya. Bagaimana mungkin ada orang
yang mampu lari melebihi kecepatan angin?
Sungguh tidak masuk di akal. "Wah, bagai-
mana aku ini? Kenapa ajian Angin Puyuhku tak
ada arti sama sekali untuk menandingi ilmu la-
rinya?"
Jaka tak mau begitu saja mengalah, segera
ia kerahkan segenap tenaganya untuk menambah
larinya. Hingga dalam sekejap saja tubuh kedua
orang tersebut melesat bagaikan dua larikan si-
nar yang bergerak di alam bebas.
"Ki Sanak Renggana, berhentilah!"
"Tidak! Jangan kau paksa aku!"
"Aku tidak memaksamu, tapi aku hanya in
gin kau sadar!" Jaka terus ngotot meminta agar
Renggana mau menghentikan larinya yang sung-
guh begitu cepat. "Berpikirlah kembali dengan
penuh ketenangan, apakah jalan yang hendak
engkau tempuh sudah benar?"
"Perduli kau!" bentak Renggana marah.
"Minggatlah jangan kau terus paksa aku, atau ba-
rangkali engkau minta aku harus menyingkirkan
dirimu!"
"Ah...." Jaka mengeluh.
"Cepat minggat dari sini!" kembali Renggana
menggeretak,
"Kalau aku tak mau...?"
"Heh, jangan harap engkau mampu lolos dari
tangan mautku!"
Jaka merasakan ucapan Renggana bukan
ucapan sekedar gertak sambal belaka. Ia tahu
sungguh ilmu Renggana bukanlah ilmu semba-
rangan. Namun bila ia mengalah, maka kema-
langanlah yang akan diterima oleh Renggana ka-
rena dia akan nekad menjeburkan dirinya ke da-
lam jurang. Pikiran Jaka berkecamuk, bingung
harus memilih yang mana. Menghalangi Rengga-
na, atau membiarkan Renggana dengan kenesta-
paannya membunuh diri sendiri. Ah, macam apa
dirinya kalau harus mengalah begitu saja. "Aku
harus berbuat sesuatu. Apa pun resikonya, aku
harus mampu memberikan arti bagi kehidupan
Renggana. Ya, aku harus berbuat sesuatu," gu-
mam hatinya. Maka dengan tak hiraukan anca-
man Renggana, Jaka segera mempercepat larinya
manakala Renggana memperlambat larinya.
"Rupanya kau nekad, Anak muda! Kau minta
mampus!" Renggana nampak gusar, sehingga gu-
ratan-guratan wajahnya yang mencerminkan ke-
beringasan jelas kentara. Napasnya mendesah be-
rat, membuat suara napasnya bagaikan gema
yang sangat menggetarkan hati para pendengar-
nya.
"Demi adikmu, aku rela kalau tubuhku kau
hancurkan sekalipun. Aku relakan diriku, asal
engkau dan adikmu dapat berkumpul kembali
dan melangkah seiring di jalan yang benar." Jaka
mencoba kembali menyadarkan Renggana.
"Hem, jangan kau kira mampu memaksa-
mu!"
"Aku tidak memaksamu, Renggana! Sekali
lagi, aku tidak memaksa dirimu!"
"Kau terlalu rewel!" dengus Renggana jeng-
kel.
"Mungkin begitu," Jaka enak saja menyahuti
tanpa memperlihatkan rasa gentar sedikit pun.
Matanya memandang penuh kesiapsiagaan pada
Renggana yang nampaknya sewot. "Aku memang
rewel, tapi kerewelanku semata demi kebaikan."
Renggana tampak diam, sepertinya Rengga-
na juga berpikir tentang segala kemungkinan
yang hendak ia perbuat. Ia telah tahu siapa ada-
nya Jaka Ndableg, seorang pendekar yang tidak
dapat disepelekan begitu saja. Pendekar yang na-
manya telah kondang dengan senjatanya yang
sangat sakti yaitu Pedang Siluman Darah. "Hem,
mampukah aku menggempurnya?!" desis hati
Renggana. Sementara matanya kini memandang
tajam pada Jaka, menyala bagaikan kobaran api
yang setiap saat siap membakar apa saja.
"Aku minta, pergilah kau dan adikku dan
jangan sekali-sekali ganggu aku!"
"Sudah aku katakan, bahwa aku dan adik-
mu ingin agar engkau jangan menjadi orang yang
pesimis. Tabahkan hatimu, dan katakan pada di-
rimu bahwa engkau sebenarnya bisa baik."
"Diomong malah ngomong! Kau rupanya
memang keras adat. Jangan salahkan aku kalau
aku akhirnya nekad melawanmu."
"Aku sudah siap, Renggana!" Jaka akhirnya
menyadari bahwa Renggana memang tak bisa di-
ajak kompromi. Ia sadar, Renggana bukanlah
orang sembarangan. Ia juga telah melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana kehebatan Reng-
gana. Tapi demi menegakkan kebenaran, Jaka re-
la tubuhnya sebagai wadal bagi Renggana.
Renggana nampak mendesis, seketika ma-
tanya nampak makin menyala. Sementara Seng-
gara pun telah datang, berdiri mendampingi Jaka
seraya memandang tajam penuh ketidakmengerti-
an pada kakak seperguruannya yang penuh mis-
teri.
"Kakang, apabila engkau memang keras ke-
pala, maka jangan salahkan aku dan Jaka me-
nindakmu."
Bergelak tawa Renggana demi mendengar
ancaman Senggara. Entah karena apa, tiba-tiba
saja Renggana tak ada takut sedikit pun pada
adik seperguruannya yang dijuluki anak Dewa.
Renggana yang telah tahu bahwa adiknya dan
Jaka bukan orang-orang sembarangan, seperti-
nya tak hiraukan semua itu. Ditatapnya lekat-
lekat saling berganti, sesekali mendesis atau le-
bih tepat dikata menggerekak. "Kalian memang
manusia-manusia tak mau diuntung! Kalian ru-
panya hendak menentang pada Raja Siluman Gu-
nung Kapur. Hem, apakah kalian memang sudah
siap menghadapi diriku, orang-orang bodoh!" ben-
tak Renggana sengit.
"Sudah aku duga, bahwa sebenarnya di da-
lam dirimu kini telah bersemayam roh siluman
atau roh iblis! Pantas ambisimu terlalu tinggi dan
mengada-ada, menentang dengan kodrat Ilahi
yang menentukan semuanya!" Senggara nampak
mendengus marah, tak mau kalah dengan apa
yang dikatakan kakak seperguruannya. Tekadnya
hanya satu yaitu mengusir roh jahat di diri ka-
kaknya atau mati bersama-sama pendekar Jaka
Ndableg.
"Jangan banyak kotbah! Sekali lagi aku ka-
takan, kalian mau minggat dari sini atau mau te-
rus menghalangi maksudku!" Renggana nampak
sudah marah. Mulutnya nampak menganga lebar,
seakan hendak memangsa dua orang yang ada di
hadapannya.
"Kami mau pergi, asalkan engkau mau men-
gikuti kami!" Jaka berkata dengan tenang, seper-
tinya ia tak merasakan adanya getaran aneh yang
keluar bersamaan habisnya ucapan Renggana. Di
sampingnya Senggara nampak memucat muka,
seakan Renggana kini merupakan iblis di hada-
pan mukanya. Dan memang begitulah adanya,
Renggana bagi Senggara yang mampu meman-
dang lubuk hati melihat yang berdiri di hadapan-
nya kini bukan kakaknya, melainkan Iblis Sedayu
Mukti. Iblis yang sangat sakti dan berkehendak
untuk menghancurkan umat manusia di dunia.
Jaka tersentak kaget manakala Senggara mende-
sis.
"Sedayu Mukti, apa tujuanmu mempengaru-
hi jiwa kakakku!"
"Heh, ternyata Senggara mampu menembus
alam gaib. Oh, kenapa aku tak menggunakan
ajian Pembuka Tabir. Baik, akan aku lihat siapa
sebenarnya yang ada di tubuh Renggana," Jaka
bergumam dalam hatinya. Perlahan dikibaskan
tangannya, menyapu lewat di depan kedua ma-
tanya. Kini tampaklah oleh Jaka siapa yang te-
ngah berdiri di hadapannya.
"Sedayu Mukti!"
"Apa kabar Pendekar sombong!" Sedayu
Mukti menyeringai sinis pada Jaka yang telah
mampu melihat siapa adanya dia. "Dulu engkau
berbuat seenaknya pada segala keturunanku,
maka kini aku akan melenyapkan dirimu!"
"Pantas! Apa hakmu mempengaruhi jiwa
Renggana, Sedayu!" bentak Jaka sengit. Ia kini
benar-benar telah was-was dengan apa yang ada.
Bukannya Jaka takut kalah bila harus menan-
dingi Iblis yang terkenal dengan ajiannya yang be-
raneka ragam, tapi ia takut kalau ilmunya akan
membuat tubuh Renggana berantakan. "Aku min-
ta, minggatlah engkau, jangan ganggu jiwa orang
itu, Sedayu!"
"Tidak! Aku akan memakainya karena kami
sudah saling mengikat janji."
"Bedebah!" gertak Senggara marah. "Ming-
gatlah engkau, Iblis! Jangan kau ganggu kakak-
ku, atau aku dengan terpaksa menghujatmu!"
"Lakukan bila kau mampu, Senggara! Aku
tak akan takut!" Sedayu Mukti berkata "Dan kau
Pendekar sombong! Kau tentunya tak akan tega
dengan tubuh ini, bukan?!"
"Kurang ajar! Kenapa kau pengecut seperti
itu, Renggana! Sedayu keluarlah dari tubuhnya,
dan hadapilah aku!" Jaka bimbang, sebab ia tahu
kalau ajiannya menghantam tubuh Renggana
maka sia-sialah ia berbuat. Bukannya Sedayu
Mukti yang lenyap, tapi tubuh Rengganalah yang
akan hancur. Sedangkan untuk mengusir Sedayu
Mukti sangatlah susah kalau tidak harus dengan
ajian Tapak Bahananya. Jaka benar-benar serba
salah. Sesaat diliriknya Senggara, nampaknya
Senggara pun mengalami hal yang seperti dialami
oleh dirinya. "Bagaimana, Saudara Senggara?"
"Kita terpaksa!''
"Terpaksa...?" Jaka membeliak kaget men-
dengar ucapan Senggara. "Terpaksa bagaimana
maksudmu...?"
"Kita terpaksa harus berkorban. Kita yang
hancur, atau tubuh kakak seperguruanku yang
hancur. Iblis memang begitu, Saudara Jaka. Iblis
tak akan mau pergi tanpa membawa korban!"
Jaka tercenung demi mendengar ucapan
Senggara. Memang benar akan apa yang dikata-
kan oleh Senggara, bahwa Iblis tak akan mau
pergi tanpa membawa korban.
"Kenapa saudara Jaka...?" Senggara me-
nanya demi melihat Jaka nampak bimbang. "Kau
nampaknya ragu untuk bertindak."
"Benar! Hanya karena Iblis, kita harus me-
ngorbankan salah satu di antara kita," jawab Ja-
ka.
"Aku minta engkau jangan pikirkan itu. La-
kukanlah apa yang kau anggap baik. Jangan hi-
raukan siapa adanya kakakku, kalau akhirnya
kelak dia akan menyusahkan kita dan manusia
lainnya."
"Hai! Kalian manusia-manusia sombong, ka-
lau kalian takut aku minta cepatlah minggat dari
sini jangan sampai aku mengirim kalian ke akhe-
rat sana!"
"Bagaimana saudara Jaka?"
"Baiklah Senggara, aku akan berbuat," jawab
Jaka akhirnya. Kini hatinya agak tenang menden-
gar penuturan Senggara yang telah menumbuh-
kan rasa percaya diri. Memang apa artinya pe-
ngorbanan seseorang, kalau akhirnya menjadi ke-
tentraman orang lain. Kini Jaka sadar, kalau
Renggana tidak musnah, maka petaka akan se-
lalu datang menimpa umat manusia. Sejenak Ja-
ka memandang tajam pada Renggana, sepertinya
hendak menembus sorot mata penghuni jasad
Renggana yaitu Sedayu Mukti. "Sedayu Mukti,
sekali lagi aku katakan pergilah engkau jangan
ganggu jasad orang tersebut atau dengan terpak-
sa aku akan menghancur leburkan dirimu!"
"Hua, ha, ha....! Lakukan bila memang eng
kau menghendaki tubuh orang ini hancur, Jaka!
Lakukanlah dengan ajian yang engkau miliki atau
dengan Pedang Siluman Darah! Hua, ha, ha...!
Aku Sedayu Mukti, Iblis dari segala Iblis tak akan
dapat engkau usir dari muka bumi ini!"
"Sombong!" Senggara menggeretak marah,
mendengus penuh kobaran api emosi. "Biar aku
yang akan menghajarnya terlebih dahulu, Jaka!"
"Hati-hatilah, Senggara!" Jaka memperingat-
kan. "Serang dia dengan ketenangan batinmu.
Jangan engkau gentar bila dia berubah banyak,
sebab dia hanyalah hendak menipu pandangan
mu saja. Cerca yang satu."
"Baik, akan aku turuti apa yang menjadi sa-
ranmu," Senggara segera maju ke muka, dihampi-
rinya Renggana kakaknya yang nampak terse-
nyum bagai menyepelekannya. "Sedayu, aku ter-
paksa harus memaksamu untuk minggat dari tu-
buh kakakku. Bersiaplah!"
"Hua, ha, ha...! Percuma, kau tak akan
mampu menandingi ilmu yang aku miliki," Reng-
gana berkata sombong.
"Kita buktikan saja, Sedayu!" dengus Seng-
gara, pucat wajahnya karena dilanda kemarahan.
Batinnya bergolak, kesal dan marah berbaur
menjadi satu. "Minggatlah kau dari sini, Sedayu.
Hiat...!"
Tanpa banyak kata lagi Senggara segera ber-
kelebat menyerang Sedayu yang dengan segera
berkelebat mengelakkannya. Kini dengan cepat
kedua kakak beradik itu saling serang, saling in-
gin menunjukkan siapa di antara keduanya yang
berilmu tinggi. Jurus demi jurus berlalu, hampir
segala jurus-jurus yang mereka miliki keluarkan.
Yang lebih sangat mengejutkan, hampir segala ju-
rus milik keduanya sama persis hingga setiap kali
Senggara menyerang dengan cepat Sedayu me-
mapaki dan memunahkannya.
"Sudah aku katakan, percuma sebab aku tak
akan mampu mengembangkan segala ilmu yang
engkau miliki karena aku pun mampu mengeta-
hui dan memecahkannya," gelak Sedayu som-
bong.
"Jangan senang dulu, Iblis. Mari kita terus-
kan. Hiat...!"
Kembali Senggara berkelebat menyerang
dengan cepat, kini jurus yang ia gunakan adalah
jurus-jurus yang dahsyat. Jurus-jurus yang tidak
dimiliki oleh kakak seperguruannya. Ya, Senggara
sadar bahwa kalau ia menggunakan jurus yang
diajarkan oleh gurunya niscaya iblis Sedayu akan
dapat mengetahui titik kelemahannya karena iblis
tersebut kini telah mampu menjalankan pikiran
kakaknya. Terbukti, setelah Senggara mengguna-
kan jurus-jurus lain, Renggana tak dapat meme-
cahkannya.
"Ah...." Renggana terdengar mengeluh. Ma-
tanya membeliak kaget melihat jurus-jurus kem-
bangan yang dilancarkan oleh adik seperguruan-
nya. Tapi ia telah dikuasai iblis, menjadikan di-
rinya seperti tak kenal takut barang setitik darah
pun. Dalam hatinya hanya ada satu bisikan:
"Jangan takut, Renggana. Aku ada di sampingmu.
Aku akan membantumu."
"Menyerahlah, Iblis!" bentak Senggara sam-
bil terus mencerca.
"Tidak! Pantang bagiku untuk menyerah!"
balas Renggana keras. "Lihat...!" Tiba-tiba tu-
buhnya berputar kencang, memusingkan pan-
dangan Senggara yang kini bingung dan terdiam.
"Ilmu Siluman Iblis!" pekik Senggara kaget
melompat ke belakang dua tombak. Tampak kini
tubuh Renggana keluar satu demi satu dari ba-
ling-baling tubuh utamanya. Tubuh Renggana te-
rus bertambah banyak, dari 1... 2, 3, 4, 25... 40...
100... 1000. Ya, kini tubuh Renggana nampak
ada seribu sosok yang sama persis, susah untuk
menentukan mana yang asli dan mana yang
hanya bayang-bayang Iblis.
"Hua, ha, ha...! Bagaimana Senggara, apakah
kau tak mau mengakui kekalahanmu?!" bergelak
Renggana sombong. Keseribu tubuhnya melang-
kah mendekati Senggara yang menyurut mundur.
Senggara memang benar-benar terpojok, tak ta-
hu harus berbuat bagaimana untuk menghadapi
ilmu Iblis kakaknya. Tengah Senggara tersurut ke
belakang, dan Renggana hendak menyerang tiba-
tiba terdengar seruan Jaka.
"Saudara Senggara, serang dengan mata ba-
tinmu. Jangan engkau terpengaruh dengan pan-
dangan semu mu!"
"Hem, apa benar ucapan Jaka? Tapi baiklah,
aku percaya kalau dia memang benar-benar se-
orang tokoh silat yang bukan sembarangan. Akan
aku coba...." Senggara segera pejamkan mata,
mulutnya komat kamit mengucap mantra pem
buka batin. Kini nampaklah mana yang asli tu-
buh kakaknya. Maka dengan tanpa membuat-
buang waktu lagi Senggara segera berkelebat ma-
nakala kakaknya juga hendak menyerangnya.
"Hiat...!"
"Kau harus minggat dari dunia, Senggara.
Hiat...!"
Seribu tubuh Renggana mengurung, namun
dengan cepat Senggara memapaki dan langsung
menggenjotkan tubuh melayang menyerang ke
arah tubuh yang asli.
"Bug, bug, bug!"
"Ah...!" Renggana mengeluh, tubuhnya men-
tal terhantam pukulan yang dilontarkan Sengga-
ra. Renggana nampak terheran-heran melihat
Senggara mampu memecahkan ilmunya. Sambil
meringis menahan sakit Renggana tiba-tiba me-
mekik. "Keaak...! Kuhancurkan kau, Senggara!"
Tersentak Jaka yang melihat hal itu, Sengga-
ra kini nampak terkejut, heran pukulannya yang
dilandasi oleh tenaga dalam yang kuat seakan tak
ada artinya sama sekali. Namun ia sebagai seo-
rang yang dijuluki Anak Dewa tak mau kalah be-
gitu saja. Secepat kilat ia rubah tubuhnya menja-
di Cobra Merah. Ular Cobra besar sebesar pohon
kelapa berwarna merah seketika mendesis dan
memapaki serangan Renggana.
Tersentak Renggana kini, demi melihat adik-
nya telah mengubah ujud menjadi seekor Cobra
Merah. Jelas bahwa Senggara atau si Cobra Me-
rah telah benar-benar marah. Tak hanya Rengga-
na yang telah mengerti maksud Senggara, Jaka
pun kini nampak tersentak kaget demi melihat
kejadian tersebut. Renggana telah mengerti bah-
wa adik seperguruannya kini benar-benar siap
mengadu jiwa.
"Rupanya kau benar-benar ingin mengadu
jiwa denganku, Senggara!" desis Renggana me-
nyurut mundur, mengurungkan niatnya untuk
menyerang.
"Terpaksa! Terpaksa ini aku lakukan, karena
ternyata engkau tak mau minggir dari tubuh ka-
kak seperguruanku!" jawab Ular Cobra Merah.
Dari mulutnya keluar desisan keras, sepertinya
Cobra Merah itu hendak menunjukkan bahwa di-
rinya telah siap segala-galanya.
"Baik, kalau itu yang engkau mau! Jangan
kira aku akan mau mengalah dan meninggalkan
tubuh kakakmu, karena dia telah berhutang budi
padaku. Kau tahu, dari siapa kakakmu memiliki
kesaktian? Huh, dia memiliki kesaktian seperti-
mu bukan dari gurumu, sebab gurumu tak mem-
berikannya. Dia ngiri padamu, dia ingin memiliki
ilmu yang sepertimu. Dengan aku mau memberi-
kan ilmu seperti yang engkau miliki, kakakmu re-
la kalau tubuhnya untuk menjadi sandaran suk-
maku. Aku akan kembali ke dunia, aku akan
menguasai alam ini. Manusia harus tunduk pa-
daku.... Aku telah dendam, dendam pada anak
cucu Adam! Hua, ha, ha...!"
Berbarengan dengan habisnya suara Sedayu,
seketika tubuh Renggana berubah menjadi bu-
rung gagak hitam besar, sebesar burung dalam
masa kepurbaan.
"Kak... Kak... kak...! Ayo, Senggara kita buk-
tikan!"
"Wuss... wusss! Mari, kita mengadu jiwa.
Wuss...!"
Jaka yang menyaksikan nampak hanya
mampu memandang dengan takjub dan mata tak
berkedip. Ia begitu tercekam dengan kenyataan
yang ia lihat. Sungguh tidak disangka kalau ke-
dua kakak beradik itu harus saling serang demi
ambisi mereka masing-masing. Memang apa yang
dilakukan Senggara benar adanya, ia ingin agar
kakaknya yang ditumpangi Iblis Sedayu Mukti
sadar. Namun kenyataannya hanya dengan jalan
pertarungan saja yang akan dapat menyelesaikan.
Kini dua hewan raksasa jelmaan dua manu-
sia kakak beradik tersebut saling serang bagaikan
dua kekuatan dahsyat beradu. Setiap kebasan
sayap Gagak Hitam legam itu mengeluarkan an-
gin besar yang mampu menerbangkan dan meng-
goncangkan pepohonan. Sebaliknya desisan Co-
bra Merah, nampak begitu menggema dan mam-
pu meruntuhkan gunung kapur yang tak jauh da-
ri tempat mereka bertarung. Pertarungan tersebut
berjalan dengan alot, tampak seru. Tak ada yang
mau mengalah atau mengakhiri pertarungan ter-
sebut.
"Bahaya kalau begitu terus-menerus! Malah
bisa-bisa keduanya yang akan jadi korban," Jaka
nampak bimbang untuk menentukan langkahnya.
Sebenarnya hatinya tak ingin menyaksikan dua
kakak beradik itu saling gempur yang akan meng-
akibatkan keduanya harus mengalami hal yang
tak diinginkan. Betapa akan tragis bila keduanya
sangat menghendaki salah seorang di antaranya
harus mati. "Hem, semua ini gara-gara Iblis lak-
nat Sedayu. Tapi aku.... Ah, aku tak dapat harus
berbuat apa?"
Dua mahluk hewan jejadian dari dua tokoh
sakti itu terus saling serang dan gempur. Naga-
naganya keduanya tak akan ada yang dapat me-
ngendalikan hawa membunuh. Dari serangannya
nampak betapa mereka benar-benar menguras
segala ilmu yang mereka miliki. Kilatan-kilatan
api nampak menyembur dari Cobra Merah mana-
kala mulutnya menganga. Sebaliknya Gagak Hi-
tam pun tak mau kalah, dari matanya membersit
sinar ungu berubah hitam legam menyerang Co-
bra Merah. Sungguh pertarungan penentuan an-
tara hidup dan mati. Jaka melihat gundah, cemas
dan bingung harus berbuat apa. "Apakah aku
akan membiarkan kedua-duanya mengalami ke-
matian? Ah, sungguh aku tiada guna!"
Jaka tersentak kaget, manakala selarik sinar
ungu berbaur hitam melesat hendak menghantam
tubuh Cobra Merah. Mata Jaka melotot, tak per-
caya pada apa yang dilihatnya. Dengan gerak ce-
pat, Jaka segera hantamkan pukulan jarak jauh-
nya menangkis serangan yang hampir saja me-
renggut riwayat Cobra Merah.
"Getih Sakti. Hiat...!"
"Crooot...!"
Getih Sakti yang keluar dari telunjuk Jaka
melesat, kencang laksana seberkas sinar merah
membara dan...!
"Duar...!"
"Ah...!" Gagak Hitam melenguh, tubuhnya
mental ke belakang.
Jaka nampak terpaku melihat hal itu. Sebe-
narnya ia tak ingin turun tangan. Tapi bila meli-
hat bahwa Cobra Merah akan mengalami kenaa-
san, maka dengan terpaksalah Jaka melaku-
kannya. Kini nampak Gagak Hitam mengalihkan
pandangannya pada Jaka. Sinar matanya nam-
pak merah, lalu dengan memekak Gagak Hitam
melejit terbang memburu di mana Jaka berada.
"Keak...!" suaranya begitu keras, sepertinya
mengatakan bahwa kematian harus diterima Jaka
yang telah turut campur masalah itu. Jaka ter-
sentak, hindarkan dari sabetan sayap Gagak Hi-
tam yang menderu laksana topan. Merasa seran-
gannya gagal, segera Gagak Hitam putar tubuh
dan menghadap Jaka lalu kembali menyerang.
"Keak...!"
"Cobra Merah, bagaimana ini?!" Jaka berseru
seraya hindarkan serangan Gagak Hitam yang
benar-benar menghendaki kematiannya.
"Lakukan apa yang engkau mampu, Jaka!"
"Tapi...!" Jaka ragu.
"Jangan engkau ragu. Biarlah ia lenyap demi
ketentraman umat manusia. Lakukan apa yang
kau bisa. Lakukan!"
"Baiklah! Kalau memang itu yang harus aku
lakukan!"
Burung Gagak Hitam raksasa itu kembali
mengarah ke arah Jaka. Sinar matanya nampak
memendam kebengisan yang teramat sangat, se
pertinya mengisyaratkan sebuah dendam. Ya,
dendam dan kemarahan yang meluap-luap. Jaka
juga sudah tahu siapa adanya yang bersemayam
pada tubuh Gagak Hitam, tak lain Iblis Sedayu
Mukti musuhnya. Tapi Jaka masih menghendaki
kompromi, sebab ia tak menginginkan adanya
korban. Korban yang merenggut nyawa seorang
manusia. Walau manusia itu seorang yang terlalu
angkara, tapi tetap saja manusia juga. Apalagi dia
adalah kakak seperguruan Cobra Merah.
Jaka tampak merenung, manakala tiba-tiba
terdengar seruan Cobra Merah menyadarkannya:
"Awas Jaka, serangan!"
Jaka Ndableg tampak kaget, sementara bu-
rung Gagak Hitam raksasa benar-benar susah
untuk dapatlah dihindarkan lagi. Jarak burung
Gagak dengannya tinggal setombak belaka. Paruh
burung itu menganga, seakan menunjukkan ke-
kuatannya.
"Keak...!"
"Mati aku!" renguh Jaka dalam hati.
Burung Gagak Hitam itu menukik siap un-
tuk mematuk Jaka yang ada di bawahnya. Den-
gan tanpa mempertimbangkan apa yang akan ter-
jadi Jaka segera hantamkan pukulan Petir Se-
wunya.
"Bletar! Bletar! Bletar!" Suara petir memba-
hana, menyambut tubuh burung Gagak Hitam
yang tersentak berusaha mengelak. Namun tak
urung, salah sebuah lidah petir menghantam ma-
tanya yang seketika melelehkan darah. Mata bu-
rung Gagak itu pecah berantakan. Sesaat burung
Gagak Hitam putar-putar tubuh menahan sakit
yang teramat sangat, lalu tubuhnya kelabakan di
tanah sesaat dan berubah menjadi Renggana
kembali. Cobra Merah dan Jaka segera bermak-
sud menghampiri, manakala Renggana yang mu-
kanya sudah hancur dan menyerupai hantu
bangkit menyerang Jaka. Jaka yang tersentak ka-
get tak mampu lagi berbuat banyak. Serta merta
Jaka hantamkan Tapak Bahananya.
"Hiat...!"
"Aahhh...!"
Tubuh Renggana atau Gagak Hitam mela-
yang mental ke bawah jurang. Tubuh itu hancur
berantakan. Tapi yang membuat Jaka heran
Renggana tidak menjadi serpihan abu seperti mu-
suh lainnya bila berhadapan dengan Tapak Ba-
hananya.
"Dia telah mati oleh tanganku," keluh Jaka
sepertinya menyesal menjadikan Senggara seketi-
ka mendekatinya seraya berkata menghibur.
"Jangan kau sesali, Jaka. Aku rela, sebab bi-
la tidak demikian Iblis tersebut tak akan lenyap."
Dengan beriringan, kedua pendekar itu sege-
ra meninggalkan Jurang Gunung Kapur yang
telah menelan sesosok tubuh milik Renggana.
Apakah Renggana benar-benar mati? Apakah Iblis
Sedayu Mukti benar-benar merelakan Renggana
yang dijadikan sebagai penitip sukmanya mati?
Ikuti saja terus cerita ini.
***
DUA
Pedati yang ditarik oleh dua ekor kuda itu
melintasi jalan bulakan di Gunung Kapur. Wajah
penunggang-penunggangnya nampak penuh ke-
tegangan. Sejak dua bulan terakhir setelah kema-
tian Gagak Hitam daerah Gunung Kapur terkenal
dengan keangkerannya. Pernah sekali seorang
musyafir memergoki sebuah bayangan berkelebat
dari bawah jurang mencelat dan meng-
hadangnya. Dan manakala musyafir itu meman-
dangnya dengan seksama, ternyata orang terse-
but berbentuk sesosok tubuh menyeramkan. Tu-
buh orang itu hancur berantakan, sehingga kulit-
kulitnya mengelupas, bergumpal-gumpal laksana
dera darah kering atau lilin yang terkena panas.
Musyafir itu tanpa banyak pikir panjang lagi
segera berlari menghindari. Namun tampaknya
sosok manusia hancur berantakan itu tak mau
melepaskannya begitu saja. Sosok hancur beran-
takan tersebut terus mengejarnya, lalu dengan
ganas ditangkapnya tubuh sang musyafir. Musya-
fir itu meronta meminta dilepaskan, tapi dengan
sadis digigitnya leher musyafir itu hingga lehernya
tembus terhantam gigi-giginya yang runcing. Ma-
ka dalam sekejap saja, darah musyafir itu habis
terhisap.
Wajah para penunggang pedati itu makin
tambah pucat pasi ketakutan, manakala pedati
makin melaju tak menentu. Sepertinya lari kedua
kuda itu ada yang menuntun dan makin mendekat ke arah jurang yang telah menelan tubuh
Renggana.
"Mang kusir, kenapa ke arah ini?" tanya sa-
lah seorang penunggang pedati dengan mata
membeliak dan wajah pucat pasi ketakutan.
"Ia mang, kenapa ke sini?" yang lainnya ikut
bicara.
"Kenapa kalian ribut!"
Tersentak kaget seluruh penunggang pedati,
manakala mendengar bentakan sang kusir. Sung-
guh mereka tidak menyangka kalau kusir pedati
itu berani membentak. Keenam orang jawara yang
terkenal itu sangat geram. Mereka yang terkenal
dengan sebuatan Enam Jalak Sungu dari Waran-
grang, belum pernah sekalipun dibentak. Jang-
kan membentak, orang mendengarnya saja akan
lari terkencing-kencing. Tapi tukang pedati ini
sungguh lancang, berani membentak. Mungkin
tukang pedati belum tahu siapa adanya mereka,
sehingga tanpa sadar berani menentang. Maka
dengan geram Jalak Kuning yang merupakan Ja-
lak tertua membentak balik.
"Kusir kurang ajar! Berani kau membentak
kami! Apa kau tak tahu siapa adanya kami,
hah?!"
Sang kusir tak hiraukan caci maki orang ter-
sebut, ia tampak asyik mengendalikan kudanya
melangkah menuju makin dekat saja ke arah ju-
rang.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja, Kusir!"
kembali Jalak Kuning membentak marah. "Apa
kau ingin kami mencabut nyawa tuamu!"
"Kusir, helakan kuda-kudamu jangan sam-
pai terus ke arah situ. Bahaya," Jalak Merah yang
berkata, nada suaranya agak sedikit sabar tidak
seperti kakaknya. "Tak dapatkah kau diajak kom-
promi?"
Kusir itu terus diam saja, sepertinya tak
mendengar kata-kata yang diucapkan para pe-
nunggangnya. Menengok pun ia tidak, matanya
terus memandang ke muka, sepertinya ada sesua-
tu yang menarik pandangannya ke sana.
Tak dapat lagi keenam Jalak Sakti itu me-
nahan amarahnya, segera dengan cepat Jalak
Kuning menyerobot ke muka dengan maksud un-
tuk mengambil alih kais kuda. Namun seketika
Jalak Kuning terjengah, wajahnya pucat demi me-
lihat apa yang terjadi pada diri kusir pedati yang
ditumpanginya. Hal itu menjadikan Jalak lainnya
serentak bertanya: "Ada apa, Kakang?"
"Dia... dia bukan manusia!" Jalak Kuning
memekik, loncatkan tubuhnya melesat pergi. Me-
lihat kakaknya meloncat, serta merta kelima Ja-
lak lainnya pun mengikutinya keluar dari pedati.
Tukang pedati itu segera hentikan kuda-ku-
danya, lalu dengan sekali lompat ia telah berdiri
di hadapan keenam Jalak Sakti. Di buangnya topi
yang menutupi wajahnya, dan kini tampaklah wa-
jah tukang pedati sesungguhnya. Wajah yang
sangat menyeramkan tak nampak seperti manu-
sia melainkan wajah hantu.
"Ah...." mengeluh keenam Jalak Sakti kaget.
Tak terasa kaki mereka menyurut mundur.
Manusia bertampang rusak pekak tak ka
ruan terus berjalan menghampiri mereka yang ke-
takutan. Mulutnya menyeringai, menunjukkan gi-
ginya yang tajam bertaring. Matanya yang sebe-
lah kiri telah hancur, membentuk lubang dalam.
Hidungnya rusak berat, tinggal daging-daging bu-
suk mengkiwil-kiwil menyebarkan bau busuk
yang teramat sangat. Orang bertampang hantu
yang nampak lelaki itu seketika membuka pakai-
annya. Dan seketika mata keenam Jalak Sakti itu
kembali membelalakkan mata, tak percaya pada
apa yang kini mereka lihat.
"Ah...!" Kembali mereka mendesah dengan
mata melotot. Mereka melihat bahwa tubuh lelaki
itu pun tak karuan adanya. Dagingnya bagaikan
teriris-iris, atau dapat dikatakan meleleh. Ketika
angin gunung Kapur berhembus, bau daging bu-
suk pun seketika menyengat hidung mereka. "Ib-
lis Sedayu Mukti! Kenapa engkau bangkit!" Jalak
Kuning berseru kaget.
"Hua, ha, ha...! Aku memang yang bangkit
dari kematian! Aku bangkit untuk melakukan
pembalasan! Pembalasan yang akan menimpa se-
genap manusia. Hua, ha, ha...!"
Bergidig keenam Jalak Sakti mendengar sua-
ra orang amburadul fisiknya itu. Bagaimana-pun
juga, walau mereka tidak termasuk golongan lu-
rus tapi mereka manusia. Kalau benar Iblis itu
bermaksud mengadakan pembalasan pada manu-
sia, jelas mereka pun akan terkena juga.
"Tapi kami bukan musuh-musuhmu, Se-
dayu," Jalak Kuning berkata mencoba mencari ja-
lan untuk dapat meloloskan diri mereka dari daf
tar Iblis Sedayu. "Bukankah musuh-musuhmu
tak lain adik seperguruanmu Senggara dan Pen-
dekar muda Pedang Siluman Darah."
"Aku tak perduli!"
"Ah...." Jalak Hijau mendesah berat,
"Kenapa begitu? Bukankah kita sealiran?"
Jalak Coklat turut buka suara dengan harapan
hati Iblis Sedayu mau melemah dan dapat diajak
kerja sama. Mereka tahu bahwa Iblis itu bukan-
lah orang sembarangan. Pendekar Pedang Silu-
man Darah dan Cobra Merah yang terkenal sakti
mandraguna pun hampir saja kerepotan mengha-
dapinya, apalagi dengan diri mereka?
"Sekali lagi aku tak perduli! Aku butuh da-
rah!"
"Ah...! Apa kau tak mau sabar? Biarlah nanti
kami yang mencarikan darah untukmu," Jalak Bi-
ru juga ikut buka suara. Tujuannya sama, ia
mengharap agar Iblis Sedayu mau mengampuni
nyawa mereka dan mau menjadi sekutu mereka.
"Benar! Kami akan mencarikan darah un-
tukmu!" Jalak Ungu yang paling muda pun kini
ikut berkata. "Biarlah kami menjadi pengikutmu."
Renggana yang berantakan tubuhnya itu se-
ketika terdiam. Namun begitu, sorot matanya
nampak masih tajam menghunjam, memandang
pada keenam Jalak Sakti yang masih berdiri di
hadapannya mematung dengan penuh harap-
harap cemas. Mereka takut kalau-kalau Iblis Se-
dayu tak mau menerima. Renggana dan Iblis Se-
dayu masih terdiam bisu, sepertinya tengah ber-
pikir dengan pengajuan kerja sama yang disaran
kan oleh Jalak Sakti. Sesaat kemudian mulutnya
menyeringai. Sebenarnya ia tersenyum, namun
dikarenakan mulutnya telah rusak berantakan
hingga senyumnya bukanlah berupa senyum tapi
berupa seringai.
"Baiklah, aku ampuni nyawa kalian. Tapi in-
gat, setiap malam Jum'at kalian harus memper-
sembahkan darah manusia atau manusia hidup-
hidup padaku. Taruh manusia itu di tepi jurang
ini. Kalau kalian ingkar, hem.... Kalian akan tahu
apa akibatnya."
"Baiklah! Kami juga akan selalu menuruti
apa yang engkau pinta, tapi kami juga minta sya-
rat," Jalak Kuning membuka kata.
"Apa syaratmu."
"Kami minta engkau mau melindungi kami
bila kami dalam kesusahan."
"Hua, ha, ha...! Gampang, gampang! Semua
bagiku mudah! Baiklah, aku akan datang mem-
bantu kalian bila kalian tengah menghadapi ke-
susahan. Panggilah aku tiga kali, maka aku akan
datang."
"Bagaimana aku harus menyebutmu?"
"Sebut Raja Iblis. Maka aku akan segera ter-
gugah dari tidurku dan akan segera datang me-
nemui kalian. Kini aku akan kembali tidur, kalian
pergilah, cari oleh kalian manusia-manusia ge-
muk yang darahnya banyak. Ingat, hari Jum'at
tinggal dua hari lagi."
Tanpa hiraukan keenam Jalak Sakti segera
Renggana yang sudah amburadul tubuhnya ber-
kelebat pergi tinggalkan mereka kembali menuju
ke bawah jurang Gunung Kapur. Tinggallah kee-
nam Jalak Sakti yang terbengong-bengong tak
percaya bahwa diri mereka akan luput dari maut.
"Bagaimana, apakah kalian sanggup untuk
mempersembahkan seorang manusia dalam dua
hari lagi?"
Kelima adiknya nampak terdiam demi men-
dengar pertanyaan Jaka Kuning. Hatinya bim-
bang untuk menjawabnya. Pertama mereka takut
pada Iblis Sedayu Mukti, lalu kedua mereka takut
kalau Pendekar Pedang Siluman Darah atau Co-
bra Merah mendengarnya. Kini mereka bagaikan
berdiri di antara dua sisi jurang yang siap me-
nelan tubuh-tubuh mereka ke dalamnya. Bila me-
reka salah jatuh, maka tak ayal lagi remuklah tu-
buh mereka.
"Bagaimana?!" kembali Jalak Kuning mena-
nya demi melihat kelima adiknya masih terdiam
tak ada yang menjawab. "Apakah kita akan men-
jadi korban Iblis Sedayu?"
Bergidik kelima Jalak Sakti lainnya demi
mendengar kakaknya menyebut korban. Jelas
mereka tak mau menjadi korban Iblis yang terke-
nal sakti itu. Tapi mereka pun tak ingin jadi ajang
kemarahan Dua Pendekar yaitu Jaka Ndableg dan
Senggara.
"Tidak...!" jawab mereka serentak.
"Nah, apakah kita siap untuk menghadapi
segalanya?"
"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang,"
Jalak Merah mengutarakan apa yang sebenarnya
tersandung di hatinya juga adik-adiknya. "Kami
merasa takut juga apabila kegiatan kami nantinya
dapat diketahui oleh Jaka Ndableg atau si Cobra
Merah."
Jalak Kuning tercenung diam. Memang be-
nar apa yang dikatakan oleh adiknya. Kini pun
mereka dalam pengejaran Jaka Ndableg karena
mereka telah berbuat yang membikin keonaran
diwilayah tengah, yaitu merampok Bupati Slawi.
Keenam Jalak Sakti masih terdiam, bingung
harus berbuat bagaimana. Kalau menentang, me-
reka tentu akan menggantikan korban-korbannya
dengan diri mereka sendiri. Tapi kalau menurut,
jelas mereka harus berkeliaran mencari korban,
sampai akhirnya Jaka mendengar dan memburu
mereka kembali. Sungguh sebuah pilihan yang
sangat sulit. Ibarat mereka kini menghadapi buah
Simalakama. Dimakan ayah mati, tidak dimakan
ibu pun mati juga. Tengah mereka terdiam dalam
kebimbangan, tiba-tiba terdengar suara bentakan
dari dalam jurang mengagetkan mereka.
"Kenapa kalian masih di situ, hah!"
"Ampun, kami hendak segera pergi!" jawab
mereka serentak setelah dapat menyadarkan diri
mereka dari kekagetan.
"Cepatlah kalian minggat! Aku berisik tak
dapat tidur!"
"Baik, Ketua...!"
"Ayo, apa lagi yang kalian pikirkan! Kalian
apa mau menentangku, hah!"
"Ti-tidak...!"
Dengan hati diselimuti rasa bimbang dan ta-
kut keenam Jalak Sakti itu pun tanpa banyak bi
cara lagi segera berkelebat pergi tinggalkan Ju-
rang Gunung Kapur yang kembali nampak sunyi
dan sepi sepertinya penuh keangkeran. Kini yang
terdengar hanya dengkur keras dari si Iblis Se-
dayu, yang suaranya begitu menggema mampu
mendirikan bulu kuduk bagi yang mendengar.
Bagaimana tidak, mereka yang mendengar pasti
akan mencari-cari asal dengkuran yang begitu
besar padahal mahluk yang tidur ada di bawah
jurang yang cukup dalam.
***
TIGA
Sejak munculnya Iblis Sedayu, kini teror
mencekam para penduduk. Sebentar-sebentar
mereka kehilangan warganya, sebentar-sebentar
terjadi penculikan. Penduduk desa Slawi nampak
resah, gelisah dan tak tenang untuk hidup. Ba-
nyak sudah korban-korban yang menghilang. Dan
manakala mereka ditemukan, tubuh mereka telah
kering kerontang di dekat jurang Gunung Kapur.
Untuk mengambil tubuh-tubuh korban, jelas me-
reka tidak berani karena mereka tak mau menjadi
korban.
Untuk sekian lama mereka tercekam dalam
ketakutan, tak tahu siapa sebenarnya pelaku dari
semua kejadian yang mengganas dan menimpa
desa Slawi. Mereka tidak menyangka siapa
adanya pelaku semuanya. Mereka hanya mengerti
bahwa korban-korban tersebut merupakan kor-
ban dari Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur.
Malam itu telah larut, diselingi dengan rinti-
kan hujan yang turun secara mendadak. Entah
apa sebabnya, sepertinya hujan pun turut mera-
tapi segala bencana yang menimpa desa Slawi.
Malam itu adalah malam Jum'at, di mana malam-
malam yang mengandung misteri bagi orang-
orang yang mempercayai adanya Hantu Demit,
Setan Marakayangan. Di malam itu pula, bi-
asanya orang-orang yang mengikuti aliran Ani-
nisme dan Dinamisme selalu membakar dupa,
memanjatkan do'a-do'a bagi roh-roh yang berse-
mayam di batu-batu besar atau pohon-pohon
yang terkenal angker. Namun malam itu nam-
paknya hal seperti sebelumnya tak terjadi, sepi
bagaikan mati. Mungkin karena gerimis yang me-
nyayat, atau karena petaka yang datang bertubi-
tubi melanda yang menjadikan mereka takut un-
tuk keluar rumah.
Dalam rintikan gerimis yang mengiris, nam-
pak enam orang bertudung melintas berlari me-
nerobos gelap malam, memecah rintikan hujan.
Keenam orang tersebut terus menuju ke kam-
pung, entah apa yang hendak mereka lakukan.
Keenam orang tersebut, tak lain dari Enam Jalak
Sakti. Mereka adalah utusan-utusan Iblis Peng-
huni Jurang Gunung Kapur untuk mencari darah
manusia setiap Jum'at.
"Rupanya penduduk desa ini telah dapat kita
perdayai," gumam Jalak Kuning di sela-sela lari
kecilnya.
"Ya! Itu malah makin menjadikan kita gam-
pang beroperasi," kata yang lainnya. "Dengan be-
gitu, kita tak akan mendapat rintangan yang su-
kar."
"Apakah Pendekar itu belum mendengar?"
tanya Jalak Merah.
"Aku harap tidak," desis Jalak Kuning. Ha-
tinya nampak ciut manakala mendengar nama
Pendekar Pedang Siluman Darah. Bagaimana-
pun, mereka pernah merasakan batunya oleh
Pendekar Jaka Ndableg, manakala mereka ben-
trok akibat tindakan mereka merampok.
Akibat kejadian tersebut, mereka benar-
benar merasakan ketakutan pada Jaka. Mereka
telah sebisa-bisanya menghindar untuk tidak
sampai ketahuan oleh Jaka. Sebab mereka akan
mengalami hal yang makin menyulitkan bila ter-
nyata Jaka tahu siapa adanya pembuat bencana
di desa Slawi.
"Sudahlah, jangan kita memikirkan Pende-
kar Muda itu," Jalak Biru segera menengahi agar
kedua saudaranya jangan merisaukan pendekar
yang telah membuat mereka lari puntang-panting,
sampai akhirnya bertemu dengan Iblis Sedayu.
"Kalau kita memikirkan Pendekar Pedang Silu-
man Darah, jelas kitalah yang akan merugi sendi-
ri. Kita akan takut dalam segala apa yang hendak
kita lakukan. Dan bukanlah hal itu malah menja-
dikan kita celaka? Jaka Ndableg masih dapat
memaafkan, tapi Iblis Sedayu...? Tak ada kata
maaf baginya untuk manusia. Hii...!" Jalak Biru
bergidik sendiri bila mengingat apa yang dilaku
kan oleh Iblis Sedayu pada orang-orang yang di-
jadikan korban. Mereka mati mendelik, mengering
dengan mulut menganga bagaikan orang mati ba-
nyak dosa.
"Benar juga katamu, Biru. Memang Jaka
Ndableg masih mau memberi ampun, tapi Iblis
Sedayu...? Kalian tahu sendiri bagaimana Iblis itu
mengancam kita. Dan kalian pun tahu sendiri,
betapa korbannya sungguh sangat mengerikan,"
Jalak Kuning menimpali. "Ah, sudahlah jangan
kita membicarakan Iblis tersebut. Yang penting
bagaimana Kita mendapatkan korban untuknya
agar kita aman."
Kembali keenam Jalak Sakti itu berlari, kini
mereka makin mempercepat larinya menuju ke
kampung yang tampak tak begitu jauh dari tem-
patnya. Hujan terus menerpa, namun mereka tak
hiraukannya. Dalam benak mereka hanya ada sa-
tu prinsip, mencari korban untuk mereka per-
sembahkan kepada Iblis Sedayu.
Sungguh perasaan apa yang malam itu men-
dera Ki Perwira yang menjadi ketua kampung. Ha-
ti Ki Perwira menghentak dan mengajaknya untuk
melek tak tidur. Hawa panas menyengat tubuh-
nya, sampai-sampai keringat deras bercucuran
membasahi tubuh, padahal malam itu hujan tu-
run.
Ki Perwira mencoba menghibur diri dengan
menghisap rokok kawungnya. Namun hatinya se-
ketika makin bertambah gundah. Semakin asap
rokok bergulung-gulung menyelimuti ruangan di
mana dirinya termenung, semakin bertambah tak
menentu saja degup jantungnya. Apakah ini per-
tanda bahwa dia menderita penyakit jantung se-
perti orang-orang kaya jaman komputerisasi nan-
ti? Atau barangkali karena seharian ia capai me-
mikirkan nomor SDSB yang tak tembus-tembus
seperti Bapak Subari? Entahlah, yang jelas bukan
karena itu semua jantung Ki Perwira berdegup
keras.
"Hem, ada gerangan apa lagi hingga jantung-
ku berdegup memburu?" gumam Ki Perwira da-
lam kehehingannya sendirian. "Apakah bencana
itu akan datang lagi? Oh, Yang Widi, sampai ka-
pankah kami rakyat desa Slawi ini tenang tanpa
banyak tantangan dan teror seperti sekarang ini?
Dulu perampokan, kini penculikan gadis dan pe-
ngorbanan gadis di Jurang Gunung Kapur."
Ki Perwira terus merenung tak tahu apa se-
benarnya yang telah menimpa desa yang diketuai
olehnya. Ia tak habis pikir mengapa bencana demi
bencana selalu menyelimuti desanya. Baru saja
desanya aman dari penggarongan dan pencurian,
kini timbul petaka baru yang lebih menakutkan
yaitu penculikan dan pengorbanan para gadis di
tepi jurang Gunung Kapur.
Ki Perwira sebenarnya ingin menghentikan
semua kejadian yang selama ini menimpa de-
sanya, namun mana ada keberaniannya mengha-
dapi Iblis Penghuni Jurang Gunung Kapur yang
telah terkenal telengas dengan segala macam tin-
dakannya.
Tengah Ki Perwira tercenung dalam hening,
tiba-tiba pintu rumah terdengar digedor dari lu
ar. Mata Ki Perwira melotot, menghunjam pada
pintu rumahnya. Ada sedikit rasa takut menyeli-
muti tatapan mata Ki Perwira, seorang lelaki tua
renta yang masih mengabdi pada desanya. Berta-
hun-tahun hampir setengah abad ia menjadi ke-
pala kampung, baru sekarang ini kampungnya di-
rencah oleh orang-orang yang sangat biadab.
"Siapa...?" tanya Ki Perwira dengan suara be-
rat. Dimatikan rokok kawungnya, matanya me-
mandang tajam pada pintu yang masih digedor
dari luar. Tak ada jawaban dari pertanyaannya.
"Siapa yang malam-malam begini datang?"
"Ki Perwira, buka pintu," terdengar suara se-
rak dibuat-buat berkata, menjadikan Ki Perwira
makin mendera saja keringat dinginnya. Perla-
han ia bangkit, tapi diurungkannya dan kembali
duduk sepertinya tak mau perduli dengan orang
yang menggedor pintu.
"Ki Perwira... bukakan pintu...." suara itu
seperti merintih, makin menjadikan Ki Perwira
tambah takut bukan alang kepalang dengan mata
kini berurai air mata. Ya, Ki Perwira yang tua ren-
ta itu menangis ketakutan.
"Ooh... Bune, kenapa engkau mendahului
aku, Bune? Kini aku sebatang kara Bune. Hu, hu,
hu... Bune, mungkinkah engkau yang datang me-
nyambut diriku yang telah renta ini? Kalau benar
engkau maka aku pun akan menurut, Bune. Biar-
lah aku mati bersama dirimu, sebab aku tak ta-
han harus hidup begini. Hu, hu, hu...."
"Ki Perwira... Ki Perwira... Ki Perwira... buka-
kan pintu...!"
"Tidak...! Jangan ganggu aku!" pekik Ki Per-
wira ketakutan dan tersentak dari tangisnya. Ma-
tanya melotot, memandang penuh rasa takut ke
arah pintu rumahnya yang terdengar berderek-
derek didorong dari luar. "Jangan...! Jangan kau
paksa aku. Jangan!"
Ki Perwira yang sudah ketakutan dengan
puntang langkang lari ke dalam kamar. Saking ta-
kutnya hingga Ki Perwira tanpa sadar berlari se-
rabutan, maka ketika dia melompat tak ayal kaki
yang tinggal tulang kering itu menghantam kursi
yang terbuat dari kayu jati. Tak ayal, Ki perwira
pun terjerembab mencium tanah dengan tulang
kaki terasa sakit yang bukan alang kepalang. Se-
sontak itu juga Ki Perwira pun menjerit: "Aduh...!
Bune, aku tersentak kursi... Bune, sakit, Bune."
Ki Perwira kembali menggerung-gerung ka-
rena sakit yang tak alang kepalang di tulang ker-
ing kakinya. Namun seketika isak tangisnya ber-
henti manakala pintu dari luar terbuka dengan
paksa. Sepontan Ki Perwira bangkit dengan mata
melotot, lalu sepontan itu juga Ki Perwira lari
dengan serabutan ke kamar seraya menjerit-jerit
ketakutan:
"Wadauw demit, mengapa demit itu da-
tang....! Hu, hu,hu...! Bune, tolonglah suamimu
ini, Bune."
Ki Perwira sembunyikan kepalanya di bawah
tikar tempatnya tidur dengan harapan demit yang
datang tidak ia ketahui. Namun seketika Ki Perwi-
ra tersentak, manakala sebuah tangan merayap di
kepalanya yang tertutup tikar itu.
"Jangan...! Jangan ganggu aku...!"
"Ki Perwira... kenapa kau begitu, sayang...?"
rintihan suara itu makin menjadikan Ki Perwira
tak dapat lagi menahan ketakutannya. Manakala
kepalanya mendongak, sepontanitas pingsanlah
Ki Perwira dengan segala ketakutannya.
Orang yang menakut-nakuti segera buka kedok-
nya, dan nampaklah siapa adanya orang-orang
tersebut yang tidak lain Keenam Jalak Sakti. Kee-
nam Jalak Sakti dengan sabar menunggui kesa-
daran Ki Perwira.
***
Lama juga Ki Perwira terbaring pingsan, na-
mun keenam Jalak Sakti dengan sabar menung-
guinya. Sesaat kemudian Ki Perwira tampak
menggeliat, rupanya ia kini telah siuman. Ma-
tanya yang telah tua membuka pelan dan me-
mandang sekeliling.
"Di manakah aku? Apakah aku telah mati?"
tanyanya seperti pada diri sendiri. "Hai, kalian-
kah...? Oh, rupanya aku banyak dosa hingga ha-
rus bertemu dengan kalian," keluhnya kemudian.
"Kau belum mati, Ki," Jalak Kuning berkata:
"Kau masih hidup, kami menemukan dirimu da-
lam keadaan pingsan, sehingga kami yang tadinya
hendak mencegah setan itu agar jangan meng-
ganggumu telah terlambat. Benarkah engkau te-
lah diganggu setan, Ki?"
Ki Perwira mencoba mengingat-ingat akan
apa yang dialami olehnya. Setelah ingat, nampak
Ki Perwira anggukkan kepalanya membenarkan
apa yang menjadi pertanyaan Jalak Kuning. "Be-
nar, tadi aku baru saja diganggu oleh sebuah
hantu. Oh, untung ada kalian datang, kalau ti-
dak...!"
"Kalau tidak, mungkin nyawamu bahkan
nyawa warga desa ini akan menjadi tiada arti.
Nah, Ki Perwira telah tahu sendiri. Hantu itulah
yang menginginkan korban. Kalau Ki Perwira tak
percaya, kami akan mengajak Ki Perwira dan se-
genap warga desa ini untuk melihat kebenaran-
nya. Asalkan malam ini kami harus mendapatkan
seorang korban wanita muda yang masih gadis,"
Jalak Biru berkata: "Sekarang tunjukkanlah pada
kami di mana adanya gadis yang masih pera-
wan?"
Ki Perwira kejapkan mata tuanya meman-
dang sesaat bergantian seperti tak mempercayai
kata-kata Jalak Biru yang dikenalnya sebagai ga-
rong yang telah menjarah desanya beberapa wak-
tu yang lalu. "Untuk apa...?" tanyanya kemudian.
"Ki Perwira, bukankah telah kami katakan
bahwa gadis itu, yaitu gadis yang masih suci un-
tuk korban hantu yang telah tadi mengganggu Ki
Perwira? Kalau permintaannya tak dipenuhi,
sungguh petakalah bagi warga desa ini," Jalak
Ungu kini yang ngomong.
"Kalian tidak mendusta?"
"Untuk apa?" Jalak Coklat mencoba meya-
kinkan. "Kalau kami berdusta, toh kami biarkan
saja hantu itu menteror desa ini. Bukankah kami
tak rugi? Kami hanya ingin menolong warga desa
ini dari bencana, Ki Perwira. Memang dulu kami
oleh kalian terkenal orang-orang yang menyusah-
kan kalian, untuk itulah, sekarang kami ingin
membantu kalian dari bencana."
Kembali Ki Perwira tercenung diam, seper-
tinya dia tengah memikirkan segalanya. Ya, me-
mang segalanya harus dipikirkan masak-masak
untung ruginya. Kalaulah memang benar ucapan
keenam Jalak Sakti, tapi bila tidak! Jelas dirinya-
lah yang akan mendapat kecaman dari warganya
atau barangkali dirinyalah yang akan menjadi
korban amukan warga desanya.
"Baiklah, mari kita temui warga yang lain,"
ucap Ki Perwira kemudian. "Memang aku sebagai
ketua desa di sini, namun untuk menentukan se-
galanya aku perlu mengadakan pembicaraan den-
gan warga desanya."
"Tak apa, Ki," jawab Jalak Kuning. "Memang
kami pun menghendaki demikian. Kami pun tak
ingin warga desa ini terus menerus menuduh ka-
mi dalam keburukan belaka. Kami pun ingin agar
warga desa Slawi ini melihat bahwa kami ingin
berbuat baik kepada mereka."
"Kalau begitu, marilah kita menemui para
penduduk lainnya. Bukankah malam telah makin
larut? Aku takut Iblis itu tak sabar,"
Bergidik seketika kelima Jalak Sakti lainnya
demi mendengar Jalak Coklat berkata. Ya, mereka
tahu kalau mereka terlambat memberikan korban
maka diri merekalah yang akan menjadi korban-
nya. Sedangkan waktu yang ditentukan oleh Iblis
Sedayu hanya sampai waktu dini hari.
"Ayo, Ki...!" Jalak Kuning mengajak, nampak
di wajahnya ketakutan mendera. "Kita jangan
sampai terlambat."
Ki Perwira dengan rasa tak mengerti segera
menuruti apa yang dikehendaki oleh keenam Ja-
lak Sakti. Ia pun sepertinya tak ingin korban ma-
kin banyak hanya karena tidak mau memberikan
korban seorang pun pada Iblis Penguasa Jurang
Gunung Kapur. Ketujuh orang itu pun segera ke-
luar dari rumah Ki Perwira.
***
Hujan masih turun rintik-rintik, manakala
ketujuh orang tersebut melangkahkan kaki me-
nerobos hujan untuk mendatangi rumah-rumah
penduduk. Satu persatu para penduduk keluar
untuk menghadiri apa yang hendak dikatakan
dan dilakukan oleh Kepala Desanya dengan kee-
nam Jalak Sakti. Tak lama kemudian telah ba-
nyak penduduk yang keluar rumah. Mereka ber-
kumpul di sebuah lapangan, mengelilingi Ki Per-
wira dan keenam Jalak Sakti yang berdiri di ten-
gah.
"Ada apakah hingga Ki Perwira mengundang
kami?"
"Tenang saudara-saudara. Kami mengun-
dang kalian semata-mata ingin supaya desa kita
aman. Bukankah kalian tidak menghendaki teror
dan penculikan-penculikan berlarut-larut?!" tanya
Ki Perwira mencoba menenangkan rakyatnya
yang tampak sudah tak sabaran.
"Memang hal itu yang kami inginkan! Tapi
untuk apa kami mesti menuruti apa yang dikata-
kan oleh bekas garong?!" seseorang yang agak be-
rani menyeru. Nadanya seperti tak suka pada
keenam Jalak Sakti yang sudah dikenal oleh me-
reka sebagai orang-orang yang telah membuat
keonaran dan kejahatan di desa mereka. "Kami
takut malah mereka akan memperdaya kita, Ki?!"
Keenam Jalak Sakti nampak tenang tidak
seperti biasanya. Memang mereka sengaja ber-
buat demikian dengan maksud supaya seluruh
warga desa Slawi mempercayai mereka. Mereka
yang biasanya telengas dan cepat marah, kini ba-
gaikan tak menghiraukannya. Malah dengan sua-
ra tenang Jalak Kuning selaku Jalak tertua dari
Jalak Sakti berkata: "Memang dulu kami menjadi
orang jahat. Tapi apakah kami tak boleh untuk
berbuat baik pada orang-orang yang telah kami
jahati? Kami ingin membantu menolong kalian
dari bencana besar yang sewaktu-waktu akan
mengganas di desa ini. Kami juga mengajak ka-
lian untuk melihat dengan mata kalian sendiri
apa sebenarnya yang selama ini telah meminta
korban kalian, manusia. Nah, malam ini kami in-
gin mengajak kalian semua untuk menemani ka-
mi ke tempat di mana Iblis itu berada. Kami
hanya perantara agar kalian tidak selalu mendera
kami dengan tuduhan-tuduhan yang sungguh
kami tidak melaksanakannya. Maka kami minta
malam ini juga sediakan korban seorang wanita."
Terjengah seketika semuanya demi menden-
gar ucapan Jalak Kuning. Hati mereka masih di
tandai dengan seribu satu macam pertanyaan,
yang tak mudah mereka lupakan adalah tindakan
Jalak Sakti pada dua bulan yang lalu. Tindakan
mereka sungguh menjadikan dendam yang men-
dalam, yang tergurat bagaikan sebuah catatan
terpahat di hati mereka. Tapi malam itu mereka
benar-benar bagaikan di tengah-tengah perasaan
lain. Perasaan untuk tidak mempercayai ucapan
Jalak Sakti, atau mempercayai dengan harapan
dapat terlepas dari bencana yang bakal menimpa.
Melihat semuanya terdiam tiada seorang pun
berkata, kembali Jalak Kuning meneruskan bica-
ra: "Dengan kalian menjadi pengikut Penguasa
Jurang Gunung Kapur, maka kalian akan tenang.
Rejeki kalian juga akan banyak berdatangan."
"Apakah kalian tak mendusta?!" tanya seo-
rang dari warga yang rupanya tertarik juga den-
gan ucapan Jalak Kuning.
"Benar! Apakah kalian tak mendusta?" yang
lainnya ikut bertanya.
"Tidak! Sekali lagi kami tidak mendusta.
Nah, kalau kalian tak percaya, kami malam ini
mengajak kalian untuk ikut bersama kami menu-
ju ke Jurang Gunung Kapur untuk menemui Pen-
guasanya."
Rupanya setan lebih berpengaruh di hati
orang-orang yang memang diliputi oleh rasa takut
dan kurang percaya diri. Ya, begitulah janji setan,
ia akan mengajak umat manusia dengan jalan
membuat manusia takut dan mempercayai apa
yang sebenarnya belum berarti dibandingkan
azab dari Tuhan.
Malam itu juga setelah mereka memaksa sa-
lah seorang gadis warga desanya mereka segera
berangkat menuju ke Jurang Gunung Kapur. Ma-
lam itu mereka benar-benar telah menjadi hamba
Iblis, yang menuruti apa yang dikehendaki oleh
Iblis.
***
Hujan masih turun, kali ini malah makin de-
ras, sepertinya menangisi atas segala perbuatan
mereka yang hendak mengorbankan gadis yang
tak berdosa. Juga hujan itu seperti menangisi
keingkaran mereka pada Yang Mencipta yaitu Tu-
han Yang Maha Esa. Orang-orang itu sepertinya
tak perduli pada hujan, tak perduli pada malam
yang gelap. Mereka terus melangkah, memapaki
kaki mereka yang berjalan dengan terseret menu-
ju ke Jurang Gunung Kapur.
Semakin langkah mereka mendekati Jurang
Gunung Kapur, hawa dingin terasa makin meng-
iris pada tubuh mereka. Hawa dingin itu makin
bertambah, manakala mereka makin terus men-
dekati jurang tersebut. Mereka tak ada yang ber-
kata-kata, bisu seribu kata. Hati mereka begitu
tercekam, rasa takut menggayut dan menyelimuti
tatapan mata mereka yang kosong bagaikan tak
bersemangat.
Keenam Jalak Sakti berjalan di muka dengan
gadis calon korban berada di mukanya. Seperti
orang-orang yang mengikuti di belakang, di wajah
keenam Jalak Sakti pun terbersit ketakutan yang
teramat sangat manakala kaki mereka makin
mendekat ke tepi jurang. Tengah kesemuanya ter-
cekam diam, tiba-tiba dari dasar jurang mencelat
sesosok tubuh berkelebat naik dengan gelak tawa
bagaikan orang bungah dan tiba-tiba telah berdiri
di depan menghadang mereka.
"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus! Rupanya ka-
lian telah menjalankan apa yang telah aku tugas-
kan pada kalian dengan baik," Orang yang bertu-
buh amburadul tak karuan tersebut makin men-
dekat. Sorot matanya menyala, seperti bara api
yang mampu menerangi keadaan di sekitar itu.
Maka tampaklah oleh orang-orang yang ada di si-
tu bentuk sebenarnya mahluk yang kini mengha-
dapi mereka. Seketika semua yang berada di situ
terjengah. Di wajah kesemuanya tampak ketaku-
tan, mereka hendak lari manakala dirasakan lu-
tut mereka goyah. Tubuh mereka gemetaran, tak
kuat menahan beban tubuh. Maka tanpa ayal la-
gi, mereka pun akhirnya menggeleprak dengan
lemah, sementara dari milik mereka deras men-
gucur cairan yang baunya bukan alang kepalang.
"Ini yang kami bawa, Raja," Jalak Kuning
berkata: "Semoga baginda Raja Penguasa Jurang
Gunung Kapur sekaligus penguasa para Iblis ber-
kenan menerimanya,"
"Hua, ha, ha...! Bagus! Bagus!" Renggana
atau Iblis Sedayu Mukti kembali bergelak. "Nah,
kalian pergilah, aku akan menyantap dulu darah
gadis ini. Eh tunggu...!" serunya manakala kee-
nam Jalak Sakti hendak melangkah meninggal-
kannya.
"Adakah kesalahan kami, Paduka?" tanya
Jalak Kuning seraya hentikan langkahnya. "Kalau
memang ada, kami mohon ampun."
"Kalian tidak salah. Hem, Jalak Kuning, sia-
pakah mereka adanya yang kalian bawa ke mari?"
"Mereka adalah pengikut-pengikut baginda
yang Mulia."
"Bagus,, bagus!" Renggana nampak kegirang-
an, sehingga matanya tampak berbinar-binar.
"Kalian semua, kalau kalian menurut pada aku,
maka kalian akan tentram dan aman serta akan
aku bantu rejekinya. Asal kalian setiap malam
Jum'at harus memberiku darah wanita muda.
Mengerti kalian?"
"Da-daulat, Baginda...!" jawab mereka masih
penuh ketakutan dan dengan tubuh masih meng-
gigil menggejuprak di atas batu kapur. Mereka tak
ada yang berani lagi memandang ke mahluk ter-
sebut setelah mereka tahu ujud dari mahluk itu.
Ujud yang menyeramkan, yang mampu mendiri-
kan bulu kuduk bagi yang melihatnya.
"Nah, bila kalian mengikuti apa kataku, ma-
ka kalian akan tentram murah rejeki dan panjang
usia. Tapi bila kalian ingkar, maka aku tak akan
segan-segan mencabut nyawa kalian dan menghi-
sapnya seperti gadis ini."
Bergidik semua orang yang berada di situ,
manakala melihat mahluk menyeramkan itu me-
nunjukkan gigi-giginya yang runcing dan tajam.
Gigi-gigi itu langsung menghunjam di leher gadis
yang masih pingsan akibat ketakutan.
"Aah...!" sesaat gadis itu memekik, kelojotan
bagaikan tak rela darahnya terhisap lalu lemas
terkulai. Mata mereka yang ada di situ seketika
memejam, ngeri dan tak kuasa untuk melihat hal
tersebut.
Mahluk menyeramkan itu sesaat menyeri-
ngai, lalu dengan mulut masih belepotan darah ia
berkata: "Nah, mulai sekarang kalian harus me-
nurut denganku. Kalian harus setia padaku, se-
bab aku akan memberikan pada kalian segala apa
yang kalian inginkan!"
Setelah berkata begitu, tanpa hiraukan
orang-orang yang masih terlolong-lolong bengong
Renggana segera berkelebat pergi turun ke dalam
jurang. Mereka seketika membelalakkan mata,
seakan baru saja sadar dari pengaruh sihir. Den-
gan langkah gontai mereka pun melangkah kem-
bali pulang, meninggalkan Jurang Gunung Kapur
yang kembali sunyi senyap dengan sejuta misteri,
meninggalkan sesosok tubuh yang terkulai tanpa
nyawa. Tubuh seorang gadis yang tak mengetahui
apa sebabnya ia dijadikan korban untuk iblis.
***
EMPAT
Bila dilihat dari kejauhan Gunung Sumbing
nampak begitu sepi bagaikan tak ada penghuni-
nya. Sepi dan tenang, terbalut oleh kabut yang
bergulung-gulung, menyelimuti puncaknya yang
menjulang ke angkasa. Biru, laksana ketenangan
yang abadi akan bertengger di sana. Memang ke-
tenangan itu jelas nampak di Gunung Sumbing,
di mana Eyang Dewa Ilmu tinggal. Eyang Dewa
Ilmu adalah guru dari Senggara dan Renggana.
Eyang Dewa Ilmu merupakan tokoh persilatan
yang wataknya angin-anginan. Ia tak akan mau
ambil perduli dengan segala apa yang terjadi bila
bukan atas keinginannya, tapi ia akan begitu ngo-
tot bila itu merupakan yang sesuai dengan apa
yang ada di hatinya. Seperti hari itu, nampak
Eyang Dewa Ilmu tengah duduk bersilah. Di ha-
dapannya duduk pula dengan bersilah salah seo-
rang muridnya yaitu Senggara atau si Cobra Me-
rah.
"Senggara, ketahuilah olehmu bahwa Reng-
gana itu kini bukanlah kakak seperguruanmu la-
gi. Dia kini telah mengumbar nafsu Iblisnya yang
sungguh-sungguh harus dihentikan. Dia yang ki-
ni bersekutu dengan Iblis Sedayu telah membuat
keresahan dengan mengambil korban setiap ma-
lam Jum'at."
Senggara terkejut kaget demi mendengar pe-
nuturan gurunya. Ia kaget bukan apa, ia kaget
karena merasa yakin kalau kakak seperguruan-
nya telah mati manakala terhantam oleh ajian
yang dilontarkan oleh Jaka Ndableg. Mana mung-
kin dapat hidup kembali? Sungguh tidak masuk
di akal kedengarannya. Dan hal itulah yang ak-
hirnya ditanyakan oleh Senggara pada gurunya.
"Tapi guru, bukankah Renggana telah mati
manakala jatuh ke dalam jurang tatkala dihantam
oleh ajian Tapak Banana manakala kami berta
rung?"
Sang guru tersenyum, seakan pertanyaan
muridnya lucu. Begitulah sifat Eyang Dewa Ilmu,
aneh dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun.
"Kau harus tahu, Iblis tak akan mati selama
bertarung dengan manusia. Iblis akan mati bila
harus bertarung dengan sebangsanya yang tercip-
ta dari api atau cahaya. Dia akan dapat mati bila
ia bertarung dengan Siluman atau Malaikat. Tapi
Malaikat sudah diutus oleh Tuhan untuk tidak
mengganggu Iblis, sampai akhir jaman nantinya.
Maka hanya ada satu yang kita harapkan, yaitu
Jin atau Siluman." Eyang Dewa Ilmu menarik na-
pas sesaat, lalu kembali berkata menuturi murid-
nya yang masih nampak terdiam tundukkan ke-
palanya: "Dia tidak mati. Yang mati adalah jasad
Renggana, sementara sukma Renggana dan suk-
ma Iblis itu masih hidup. Jadi biarpun jasad
Renggana telah hancur mengerikan, Renggana te-
tap saja hidup karena pengaruh sukmanya."
"Lalu apa yang harus murid lakukan, Guru?"
Eyang Dewa Ilmu kembali mendesah pan-
jang dan berat, sepertinya ada sesuatu yang san-
gat berat menimpa pikiran dan perasaannya. Ia
menyadari sebagai seorang tokoh persilatan harus
turun tangan menyelesaikan kemelut yang me-
landa kehidupan. Tapi ia tak dapat berbuat apa-
apa, sebab tubuhnya telah lemah tak dapat untuk
menjalankan segala apa yang diinginkannya. Dia
hanya berharap muridnya saja yang mampu me-
laksanakannya. Tapi murid-muridnya kini telah
jauh-jauh, mengabdi pada kerajaan-kerajaan, di
mana dulu mereka dilahirkan. Tinggallah kini
murid yang paling akhir Senggara atau yang se-
ring dijuluki Anak Dewa. Namun Eyang Dewa Il-
mu tak dapat memastikan kalau muridnya ini
pun akan mampu menandingi Renggana yang su-
dah bersekutu dengan iblis.
"Senggara...."
"Saya, Guru," jawab Senggara masih menun-
duk kepala.
"Sebagai seorang manusia, memang kita di-
tuntut untuk menghentikan sepak terjangnya.
Tapi sudah saya katakan tadi, bahwa mereka tak
akan dapat mati kalau bukan dari kehendak Yang
Maha Kuasa atau mahluk sejenisnya."
"Bagaimana dengan Pendekar Pedang Silu-
man Darah, Guru?"
Eyang Dewa Ilmu kembali terdiam ditanya
oleh muridnya. Mata tuanya memandang pada
sang murid dengan bersinar-sinar, sepertinya me-
nemukan sesuatu yang dapat membuka jalan.
Kepalanya mengangguk-angguk, lalu katanya
kemudian: "Hem, kau kenal dengannya, Sengga-
ra? Dia adalah seorang pendekar yang mumpuni
dan memiliki ilmu-ilmu siluman. Kau kenal den-
gannya di mana, Senggara?"
"Dialah yang bernama Jaka Ndableg, Guru,"
jawab Senggara.
"Oh, jadi diakah yang memiliki ajian Tapak
Bahana itu?"
"Benar, Guru."
"Dan kabarnya ia memiliki sebuah senjata
berupa pedang yang mampu mengeluarkan darah
bila berhadapan dengan musuh. Pedang tersebut
juga kabarnya bersinar kuning kemerahan?"
"Begitulah yang murid ketahui, Guru."
"Hem...." Eyang Dewa Ilmu kembali angguk-
anggukan kepala, sepertinya mengerti apa yang
dikatakan oleh muridnya. "Mungkin hanya dia
yang mampu mengalahkannya."
"Kenapa guru yakin?"
"Menurut pengetahuan mata batinku, dia
adalah murid angkat siluman yang sangat sakti
yang tak dapat ditandingi ilmunya oleh mahluk
apapun juga," Eyang Dewa Ilmu menerangkan,
menjadikan Senggara terdiam mengerti. Kini ia
makin kagum dan simpati dengan temannya Jaka
Ndableg. Tidak disangka kalau anak semuda itu
telah memiliki ilmu yang begitu tinggi, juga mem-
punyai guru angkat siluman yang sangat ditakuti
oleh mahluk halus lainnya yaitu Siluman Darah.
"Siluman Darah. Ya, dia adalah anak angkat
sekaligus murid angkat Siluman Darah, seorang
siluman yang sangat sakti mandraguna dan me-
miliki segala ilmu yang tidak dimiliki oleh para le-
lembut lainnya. Para prajuritnya saja sangat sak-
ti, apalagi Ratunya?" Eyang Dewa Ilmu bergumam
sendiri, seakan ia tengah merenungi keberadaan
Ratu Siluman Darah. Memang mata batinnya
yang sudah sidik dalam segala hal telah mengeta-
hui alam gaib di mana para siluman berada.
"Lalu bagaimana menurut pendapat guru?"
tanya Senggara menyentakkan lamunan gurunya
yang telah melayang pada kejadian-kejadian di
alam keramaian, di mana seorang pendekar muda
yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah
sebagai pelakunya. Pendekar yang disegani baik
kawan maupun lawan. Pendekar yang banyak te-
man tapi tak sedikit musuhnya yang berusaha
menghancurkannya.
"Sungguh dia merupakan seorang yang ta-
bah. Dia banyak kawan, tetapi dia juga banyak
lawan-lawannya yang benci dan sirik dan ber-
maksud menjatuhkannya," Eyang Dewa Ilmu
kembali bergumam, tak hiraukan pertanyaan mu-
ridnya.
"Siapa yang guru maksudkan?"
"Temanmu itu yang bernama Jaka Ndableg."
Keduanya kembali hening, seakan keduanya
tengah meresapi apa yang telah terjadi pada sisi
kehidupan di mana Jaka Ndableg seorang pe-
muda harus bersusah payah untuk memerangi
segala kemungkaran sendirian tanpa ada yang
membantu. Ia juga harus menghadapi orang-
orang yang tidak menyukainya, walau banyak se-
kali teman-temannya. Ia juga harus bergulat da-
lam dua jalan untuk menjadikan gadis-gadis yang
menyintainya tidak menaruh dendam cinta pada
dirinya.
"Guru, kalau memang itu jalan satu-
satunya, maka aku akan mencari Jaka atau aku
akan berusaha untuk sementara mencegah tin-
dakan Iblis tersebut. Saya hanya minta do'a dari
guru."
"Ya, kalau memang itu yang hendak engkau
lakukan aku hanya dapat mengiringimu dengan
do'a. Hati-hatilah dalam menghadapi Iblis terse
but. Dia tak kenal siapa adanya dirimu, sebab dia
kini bukanlah kakakmu. Dia kini adalah musuh-
mu yang sangat mendendam pada dirimu juga di-
ri temanmu, Jaka Ndableg atas segala yang per-
nah kalian lakukan terhadapnya. Aku juga akan
membantumu dari kejauhan, dan akan berusaha
mencari Jaka Ndableg."
Terhanyut Senggara mendengar penuturan
gurunya. Ia tak terasa melelehkan air bening. Ya,
Senggara kini menangis, terharu bukan sedih. Ia
begitu terharu dengan segala petuah gurunya. Ia
juga terharu dengan sahabatnya Jaka Ndableg,
yang walau masih muda tapi beban yang dipikul-
nya sungguh bukan ringan.
"Baiklah, Guru. Saya mohon pamit."
"Ya, hati-hatilah. Ingat olehmu, Tuhan akan
selalu bersamamu bila kau selalu dalam kebe-
naran. Dan Tuhan akan selalu di pihakmu." Di-
usapnya dengan lembut rambut Senggara. Seng-
gara tak menyadari bahwa gurunya secara diam-
diam telah menyalurkan sebuah ilmu yang men-
jadi rahasianya tanpa sepengetahuan murid-mu-
rid yang lain pada dirinya. Hingga ketika gurunya
tiba-tiba menggeletak pingsan, Senggara tersen-
tak kaget bukan alang kepalang.
"Guru...! Guru...! Kenapa kau, Guru!"
Tengah Senggara meratapi gurunya yang ti-
ba-tiba pingsan, terdengar suara gurunya meng-
gema dalam goa itu berkata padanya: "Senggara
anakku, aku hanya mati suri. Aku telah membe-
kali dirimu dengan ilmu yang tidak seorang ka-
kak-kakak seperguruanmu yang tahu. Ilmu itu
bernama aji Jati Diri, yaitu sebuah ajian yang da-
pat menangkal Iblis. Bila memang Renggana hen-
dak membunuhmu, maka kau tak akan dapat
mati olehnya. Kalau kau nanti kalah olehnya,
maka tak akan dia mampu membunuhmu. Aku
tahu bahwa Renggana memang kini bukan tan-
dinganmu juga tandingan diriku, tapi dengan il-
mu tersebut kau mampu menangkal dari kema-
tian yang bukan atas kehendak Allah. Nah, be-
rangkatlah. Gunakan ilmu yang engkau miliki un-
tuk kebenaran, jangan seperti kakakmu yang te-
lah durhaka pada Tuhannya."
"Terimakasih, Guru." Senggara segera me-
nyembah, lalu dengan terlebih dahulu membetul-
kan letak tidur gurunya, Senggara pun kemudian
berangkat untuk menuju ke Jurang Gunung Ka-
pur.
***
Dengan menggunakan ilmu larinya, Sengga-
ra terus melesat dari wilayah Kulon menuju ke
wilayah Wetan. Senggara harus menempuh pulu-
han hari perjalanan untuk dapat sampai ke tem-
pat yang dituju. Dengan tekad untuk dapat
menghentikan sepak terjang Iblis Sedayu tak dihi-
raukannya kaki yang untuk berlari telah begitu
letih.
Hari telah beranjak sore, manakala Senggara
sampai di perbatasan wilayah Kulon dengan wi-
layah Wetan. Tiga hari telah ia lalui dengan cepat,
tanpa mengenal lelah Senggara terus menyusuri
jalan pegunungan. Sore itu Senggara sampai di
daerah Cirebon, di mana mau tidak mau Sengga-
ra harus beristirahat untuk melepas segala ke-
penatan. Dicarinya sebuah penginapan, yang se-
kaligus mempunyai kedai karena perutnya telah
begitu laparnya.
Tak begitu lama Senggara mencari sebuah
penginapan, ia pun akhirnya menemukannya.
Sebuah penginapan yang memiliki kedai sendiri.
Tanpa banyak pikir lagi Senggara pun segera me-
mesan sebuah kamar.
"Masih adakah kamar yang tersisa?" tanya
Senggara pada pemilik kedai yang telah ditemui-
nya.
"Wah, sudah disewa semua," jawab pemilik
penginapan dengan nada menyesal, menjadikan
Senggara kerutkan kening. "Baru saja orang-
orang itu datang menyewanya. Orangnya sih cu-
ma ada lima tapi mereka minta agar kamar yang
lainnya tidak boleh disewakan. Mereka nampak-
nya orang galak, Tuan," bisik pemilik penginapan
dengan takut-takut.
"Hem, apakah di belakang tak ada tempat
kosong?"
"Ada, Tuan. Apakah tuan mau?" pemilik
penginapan balik bertanya, yang dengan segera
dipelototi oleh Senggara.
"Bukan untukku, tapi untuk tamu-tamumu."
"Bangsat! Siapa yang berani lancang pada
kami!" tiba-tiba terdengar suara membentak dari
dalam kamar yang letaknya berdekatan dengan
Senggara dan pemilik kedai yang nampak ketaku
tan dengan wajah pucat pasi berbicara: "Siapa
anjing busuk itu, Kempo? Apakah kau tak dapat
mengusir anjing kurapan yang menjijikkan itu!"
"Siapa dia adanya, Pak?" tanya Senggara..
"A-anu, Tuan.... Sudahlah, tuan jangan hi-
raukan. Sekarang tuan pergilah dan carilah pen-
ginapan lain. Mereka bukan orang baik-baik. Me-
reka orang jahat," Kempo kembali berbisik, yang
hanya disenyumi oleh Senggara.
"Hai, para kuntilanak yang berada di dalam,
kalau kalian ingin mengusirku keluarlah. Aku jadi
ingin melihat tampang-tampang kalian. Kayaknya
kalian bertampang buruk saja, sehingga kalian
terlalu takut kalau muka kalian diketahui oleh
orang lain, ya!" Senggara berteriak-teriak bagai-
kan di hutan. Memang sengaja ia berbuat begitu,
dengan harapan kelima wanita yang berada di da-
lam kamar mau menunjukkan muka-muka mere-
ka. Dan memang benar, kelima wanita yang ter-
nyata cantik-cantik dan muda itu berkelebat ke-
luar menemui Senggara. Kelima wanita muda itu
seketika terkesiap, manakala menyaksikan siapa
adanya yang telah berkata lancang. Tadinya me-
reka menyangka orang yang bertampang jelek,
atau gembel yang tak tahu diri. Tapi nyata-nya
seorang lelaki tampan dengan sorot mata tajam
menghunjam yang mereka temui, sehingga kelima
Gadis Liar itu seketika cengengesan sendiri.
"Kaukah orangnya?" tanya Gadis Liar yang
berpakaian seronok warna orange dengan se-
nyum genit memikat. Matanya mengedip pada
Senggara yang nampak hanya balas senyum
hambar.
"Ya, aku orangnya. Masihkah kalian hendak
melarang aku ikut nginap di sini?"
"Oh, jelas tidak. Malah kami sangat suka
kau mau nginap di sini, apalagi bila...." Gadis Liar
berbaju orange tak meneruskan ucapannya. Ia
tampak menggeliat manja, menjadikan Senggara
hanya gelengkan kepala.
"Jadi kalian mengijinkan aku nginap di sini?"
"Ya, asalkan kau mau tidur dengan kami,"
kembali gadis berpakaian orange berkata.
"Bukan begitu adik-adikku?"
Keempat Gadis Liar lainnya mengangguk
sambil lemparkan senyumnya yang memikat ke
arah Senggara. Senggara tak hiraukan ucapan
mereka, dan dengan segera berlalu masuk ke da-
lam salah satu kamar. Hal itu menjadikan kelima
Gadis Liar tersebut marah. Mereka seperti diang-
gap angin saja oleh Senggara. Tanpa dapat di-
cegah, kemarahan mereka pun seketika meledak.
Dengan menggeram keras kelimanya segera
memburu dan hendak mencengkeram Senggara.
Senggara tanpa menoleh segera kibaskan tangan-
nya. Tanpa ampun, kelima Gadis Liar itu mental
terhantam angin pukulan yang dilontarkan oleh
Senggara.
"Brak!"
Pintu kamar itu ditutupnya, lalu dengan tak
hiraukan caci maki kelima Gadis Liar Senggara
langsung rebahkan tubuhnya untuk melepas le-
lah.
"Macam-macam saja kehidupan," desisnya
seraya gelengkan kepala demi mengingat kejadian
yang baru saja terjadi. Sementara caci maki keli-
ma Gadis Liar itu masih menggema, namun nam-
paknya kelima gadis itu tak berani menerobos
masuk. Mungkin mereka menyadari bahwa ilmu
mereka belum seberapa bila dibandingkan dengan
ilmu yang dimiliki oleh Senggara.
"Siapa adanya engkau hai manusia som-
bong!" geretak gadis baju orange. "Katakan siapa
adanya kau, biar kami nanti dapat membalas per-
lakuanmu malam ini!"
"Kenapa mesti menunggu nanti? Kalau ka-
lian ingin melakukan pembalasan karena kalian
tak senang padaku, lakukanlah! Aku Senggara
atau Cobra Merah atau Datuk Putih! Nah, kalian
dengar!"
Tersentak kelima gadis-gadis itu demi men-
dengar nama orang yang telah membuat mereka
kecewa. "Pantas...." gumam mereka bareng den-
gan penuh kelesuan, seorang tokoh silat dari Ku-
lon yang ilmunya bukan alang kepalang. Dengan
wajah lesu dan tak berani berkoar lagi, kelimanya
segera masuk ke kamar masing-masing dan me-
nutup pintu. Tinggallah pemilik penginapan yang
bengong melihat tingkah laku kelimanya sembari
gelengkan kepala.
***
LIMA
Malam telah larut, ketika nampak enam
orang berjalan dengan langkah cepat menuju ke
desa Slawi. Wajah keenam orang itu nampak
kuyu, sepertinya keenam orang tersebut memen-
dam ketakutan yang teramat sangat. Langkah-
langkah mereka jelas merupakan langkah-
langkah yang memburu waktu. Keenam orang
tersebut tak lain Jalak Sakti adanya. Mereka ber-
gerak begitu terburu-buru karena mereka kini da-
lam kecemasan karena hari telah begitu larut ma-
lam.
"Inilah akibat engkau menyepelekan waktu!"
Jalak Kuning ngedumel yang ditujukan kepada
adiknya Jalak Ungu. Memang Jalak Ungu yang
masih muda tersebut telah membuang-buang
waktu dengan bermesra ria bersama wanita-
wanita penghibur.
"Lagi pula, apa kau tidak takut terkena pe-
nyakit kelamin kalau saban hari main melulu,
Ungu!" timpal Jalak Merah.
"Bagaimana kalau kita terlambat memberi-
kan korban?" tanya Jalak Hitam seakan pada diri
sendiri. "Bukankah kita yang akan mendapat
murka sang Raja Iblis?"
"Ah, sudahlah. Kini aku mengakui salah,
yang penting sekarang kita harus cepat-cepat
agar kita tak terlambat. Mungkin orang-orang de-
sa telah menanti kedatangan kita." Jalak Ungu
yang merasa disudutkan dengan segala tetek ben-
gek kesalahan segera mencoba mengalihkan
pembicaraan.
Kembali mereka melangkah dengan bisu,
hampir dapat dikatakan mereka itu lari. Ya, me-
reka nampak berlari-lari dengan harapan dapat
mengejar waktu yang tinggal beberapa jam lagi.
Bulan bersinar dengan terangnya, menjadi-
kan bayang-bayang mereka seperti bayang-ba-
yang hantu yang panjang bergerak-gerak seirama
dengan gerakan lari mereka. Sesosok tubuh den-
gan mata tajam terus mengawasi mereka dari ja-
rak yang agak jauh. Tubuh orang itu sesekali ber-
kelebat, lalu berhenti manakala jarak antara-nya
dengan keenam Jalak Sakti agak dekatan.
"Apa yang akan mereka lakukan?" tanya
orang tersebut pada dirinya sendiri. "Sepertinya
mereka adalah Jalak Sakti. Ya, mereka tak lain
Jalak Sakti adanya. Hem, rupanya mereka tak
kapok-kapok dengan apa yang telah mereka te-
rima. Tapi biarlah apa yang akan mereka laku-
kan, biar aku awasi dulu mereka."
Tubuh lelaki muda yang ternyata Jaka Ndab-
leg adanya perlahan-lahan melangkah meng-ikuti
langkah-langkah keenam Jalak Sakti yang terus
menuju ke desa tanpa hiraukan bahwa mereka
ada yang menguntitnya.
"Dengar, nampaknya orang-orang desa su-
dah tak sabar menunggu kedatangan kita," yang
berkata Jalak Kuning.
"Ya, mari kita percepat langkah kita," Jalak
Merah menimpali.
Dengan segera keenam Jalak Sakti pun seke-
tika melesat berlari dengan ilmu lari yang mereka
miliki. Maka tak lama kemudian mereka pun te
lah sampai di tempat yang seperti biasanya mere-
ka gunakan untuk pertemuan.
"Maaf saudara-saudara kami terlambat," Ja-
lak Kuning segera membuka kata meminta maaf
karena kedatangan mereka yang terlambat. "Se-
moga kalian semua mau memakluminya. Nah,
apakah sekarang kita akan langsung menuju ke
sana? Sudahkah ada korban yang telah kalian
persiapkan?!"
"Sudah! Kami sudah mempersiapkannya.
Bukankah setelah kami menjadi pengikut Pengu-
asa Jurang Gunung Kapur hidup kami makin ten-
tram? Kami juga merasakan rejeki kami makin
bertambah!" seseorang di antara penduduk berka-
ta. "Maka sebagai ungkapan rasa terima kasih
dan rasa kesetiaan kami, kami setiap malam
Jum'at telah merelakan korban. Dan yang menja-
di korban pun kini mau merelakan tubuhnya un-
tuk menjadi santapan Raja Agung!"
"He, apa pula dengan mereka?" gumam Jaka
demi mendengar disebut-sebut oleh mereka kor-
ban. "Apa yang sebenarnya yang dijadikan kor-
ban? Lalu pada siapa korban itu diberikan?
Sungguh merupakan teka teki."
Jaka segera menyelinap bersembunyi, ma-
nakala dilihatnya orang-orang tersebut berjalan
melewati tempat yang ada dirinya. Lebih kaget
Jaka manakala melihat seorang gadis dengan ta-
tapan mata hampa berjalan di depan mereka yang
lelaki semua. Tubuh-tubuh mereka menggunakan
tudung tinggi, menutupi kepala dan hanya muka
mereka yang tak tertutup. Mereka berjalan laksa
na robot, tiada berpaling-paling sedikit pun, lurus
tanpa suara yang keluar dari mulut mereka.
"Apa yang sesungguhnya telah terjadi di desa
ini? Sepertinya mereka memang hendak mengor-
bankan gadis itu. Pada siapa gadis itu hendak
mereka korbankan? Baiklah, aku akan mengikuti
mereka."
Jaka segera melangkah perlahan menjaga ja-
rak di belakang mereka yang terus berjalan den-
gan kebisuan. Langkah mereka bagaikan sudah
teratur rapi, tak seorang pun mereka berjalan se-
rabutan. Sebenarnya mereka bukannya membisu,
namun rasa tercekam karena takut telah berhasil
mempengaruhi mereka untuk diam seribu kata.
Pandangan mereka pun seperti diperintahkan
oleh sesuatu kekuatan, sehingga pandangan mata
mereka hanya lurus ke muka itu pun pandangan
kosong tanpa gairah. Wajah mereka walau ma-
lam, nampak pucat, putih seperti tak berdarah
setetes pun
***
Orang-orang itu terus melangkah, makin la-
ma makin jauh meninggalkan kampung dan terus
berjalan menuju ke Selatan di mana Gunung Ka-
pur menjulang tinggi. Warnanya yang putih, me-
mantulkan sinar rembulan, menjadikan bias yang
indah. Namun bila tahu apa sebenarnya yang ter-
kandung di sana, kita akan melupakan keinda-
han warna tersebut.
Jaka Ndableg yang terus mengikuti langkah
mereka seketika tercengang manakala melihat
bahwa mereka berjalan menuju ke Gunung Ka-
pur. Ingatan Jaka kembali melayang pada keja-
dian lima bulan yang lalu di mana ia telah menja-
tuhkan seorang tokoh persekutuan Iblis Rengga-
na ke dalam jurang.
"Mungkinkah mereka menuju ke jurang ter-
sebut?" Jaka bertanya pada diri sendiri. Ia belum
percaya bahwa orang-orang tersebut hendak me-
nuju ke jurang tersebut. "Memang aku mendengar
sejak kematian Renggana tempat ini terkenal
angker. Kabarnya ada pernah seorang musyafir
menjadi korban di tempat ini. Hem, apakah se-
mua itu cerita benar bukan cerita isapan jempol
belaka? Kalau memang benar adanya, jadi Reng-
gana tidak mati. Ah, lebih baik aku ikuti mereka
saja."
Dengan melesat cepat Jaka segera menguntit
mereka di belakang. Perlahan-lahan Jaka me-
langkah, lalu bersembunyi di balik pepohonan
yang ada di sekitar tempat itu manakala mereka
menengok ke arahnya.
Orang-orang itu terus melangkah mengham-
piri pinggir jurang. Dan mereka hentikan langkah
manakala mereka benar-benar telah berada di sisi
jurang. Sementara gadis yang diam tanpa kata
dengan wajah pucat pasi itu mereka dirikan di
pinggir jurang. Mereka terdiam tanpa kata, tun-
dukkan kepala seperti mengheningkan cipta.
Keenam Jalak Sakti duduk menyiku di deretan
paling muka, di belakang gadis yang berdiri me-
matung tanpa ada reaksi. Tiba-tiba dari mulut
orang-orang tersebut keluar lantunan lagu-lagu
pujian yang entah ditujukan pada siapa.
Jaka kerutkan kening demi mendengar nya-
nyian yang tampaknya sudah diatur sedemikian
rupa. Sambil nyanyi-nyanyi, nampak tubuh me-
reka meliuk-liuk. Semakin keras alunan lagu,
semakin kencang tarian tubuh mereka.
"Pengikut Iblis!" maki Jaka dalam hati.
"Sungguh mereka orang-orang yang harus dis-
adarkan. Tapi aku tak mau mengusik mereka le-
bih dulu. Aku ingin melihat apa yang bakal terjadi
setelah nyanyian orang-orang itu habis."
Orang-orang pengikut Penguasa Jurang Gu-
nung Kapur masih menyanyi. Kini tangannya di-
angkat ke angkasa, diputar-putarkan tangannya
bagaikan hendak meminta sesuatu dengan mu-
lutnya tidak henti-hentinya menyanyi.
"Alur-alur Kembang Jambu,
Kembang Putri Kencana,
Siapa mau menjadi hambamu,
Kelak ia akan bahagia.... "
Bait-bait lagu itu yang mereka lantunkan,
berulang-ulang seperti tak puas-puasnya. Mereka
berbuat begitu sambil menunggu kemunculan Ib-
lis Sedayu yang dianggap oleh mereka penolong.
Memang sejak mereka mengabdi pada Iblis terse-
but, mereka mendapatkan kebahagiaan. Dialah
rejeki mereka gampang datang, juga desa mereka
kini jarang tertimpa bencana.
"Benar-benar manusia-manusia sirik," gu
mam Jaka.
Tengah Jaka tercenung dalam ketidakme-
ngertian dengan apa yang tengah dilakukan oleh
orang-orang tersebut, tiba-tiba Jaka dikagetkan
oleh suara gelak tawa seseorang. Bersamaan den-
gan gelak tawa tersebut, sesosok tubuh yang
mengerikan mencelat dari dalam jurang dan ber-
diri dengan congkaknya menghadang mereka.
"Gusti Allah! Ternyata benar apa yang diceri-
takan oleh orang-orang, bahwa Renggana atau Ib-
lis Sedayu masih hidup. Hem, walau ajian Tapak
Bahana telah menghancurkan tubuhnya, ternyata
Iblis itu masih mampu bertahan!" pekik Jaka li-
rih, matanya melotot tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Dikucaknya kedua mata dengan
tangan, ia berharap ia tengah dalam mimpi. Tapi
nyatanya ia tidak bermimpi. Dicubitnya tangan,
terasa sakit. "Heh, tak aku sangka kalau dia
mampu hidup dengan tubuh amburadul begitu
rupa!"
"Hua, ha, ha...! Bagus-bagus! Kalian ternyata
hamba-hambaku yang setia! Kalian akan selalu
aku lindungi, aku jaga dan aku berikan kebaha-
giaan. Apakah ini korban untukku?" tanya Iblis
Sedayu yang dijawab serentak oleh orang-orang
yang mengaku sebagai hamba-hambanya.
"Benar, Baginda!"
Iblis Sedayu pandangkan mata pada gadis
yang masih mematung berdiri. Ditatapnya dari
ujung kaki ke ujung rambut si gadis yang masih
terdiam. Keringat dingin nampak mengalir dari
pelipis si gadis yang menahan rasa takut yang
amat sangat. Tengah Iblis Sedayu memandangi
gadis tersebut, gadis itu seketika memekik.
"Aaaah...!"
Tersentak Iblis Sedayu seketika, demi meli-
hat tubuh si gadis terkulai pingsan. Mata Iblis
Sedayu seketika menyapu segenap tempat terse-
but, mencari siapa adanya orang yang telah bera-
ni mencampuri urusannya.
"Bangsat! Siapa yang telah berani membuat
ulah di sini! Tunjukkan mukamu!" pekik Iblis Se-
dayu marah.
"Aku di sini, Sedayu!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan orang
tersebut, seketika melompat sesosok bayangan
berkelebat dan menghadang Iblis Sedayu yang
terjengah melompat mundur.
"Kau...!"
"Ya, masih ingat denganku, Iblis busuk!"
maki orang tersebut.
"Mengapa kau datang menggangguku lagi,
Senggara!"
"Karena tindakanmu sudah keterlaluan! Kau
sesatkan manusia untuk mengikutimu. Kalau
kau memang tak menggunakan tubuh kakakku,
aku tak akan ambil perduli. Tapi kau telah meng-
gunakan tubuh kakakku yang hancur itu, yang
seharusnya telah tenang di alamnya hingga aku
harus perduli."
Sedayu nampak menggeretak marah demi
mendengar omongan Senggara. Mulutnya me-
nyeringai, lalu terdengar suara menggelegar ba-
gaikan suara gertakan: "Hoar...! Kau rupanya tak
mau tahu bahwa kau tak akan mampu membu-
nuhku!"
"Aku tahu, tapi demi ketentraman dunia,
maka aku terpaksa pura-pura tak tahu. Aku telah
siap untuk engkau jadikan wadal bila memang
harus begitu!"
"Jadi kau mencari mampus, Senggara!"
Senggara nampak tenang, tersenyum bagaikan
sebuah sunggingan yang berarti. Sunggingan bi-
birnya, nampak sebuah sunggingan yang me-
ngandung seribu makna. Entah itu ejekan atau
senyum kecut atas ucapan Sedayu.
"Kau bukan Tuhan, maka kau tak berhak
menentukan mati hidupnya seseorang termasuk
diriku. Walau kau Iblis, atau raja Iblis sekalipun,
kalau memang harus mati kau pun mati!"
"Bedebah! Jangan kau sebut-sebut nama
Tuhan! Serang...!"
Bagaikan orang-orang yang terkena sihir, se-
rentak semua yang ada di situ serentak bangkit
dari duduknya. Mereka bagaikan monster menye-
rang keroyokan Senggara. Mulut mereka diam,
hanya pandangan mereka saja yang menyala ba-
gaikan mengandung percikan-percikan api pem-
bunuhan.
Diserang begitu rupa, tidak menjadikan
Senggara murid Dewa Ilmu gentar atau takut.
Dengan hanya bergerak cepat Senggara mampu
menghindari serangan-serangan mereka.
"Kalian orang-orang sirik. Kalian telah ter-
pengaruh oleh iblis hingga melupakan pada Tu-
han kalian! Minggatlah dari sini!" Senggara me
maki-maki marah. Tangan dan kakinya berkele-
bat cepat, dan setiap kelebatannya menjadikan
pekikan kesakitan orang yang terkenanya. Orang
yang terkena pukulan dan tendangan Senggara
sesaat menggelepar-gelepar, lalu terkulai lemah
dengan nyawa melayang terbang dari raganya.
Melihat para pengikutnya banyak yang mati,
Iblis Sedayu seketika lupa tubuh gadis yang ter-
kulai itu. Sejenak Iblis Sedayu memandang pada
Senggara yang masih sibuk dikeroyok oleh para
pengikutnya, lalu dengan nada mengejek ia berse-
ru: "Senggara, bermain-mainlah engkau dengan
para pengikutku! Bila nanti engkau ternyata me-
nang, aku tunggu dirimu di bawah jurang!"
"Iblis busuk! Jangan lari!" Senggara memaki-
maki marah melihat Iblis Sedayu hendak mening-
galkannya. Namun secepat kilat sesosok tubuh
berkelebat dari balik pohon dan langsung meng-
hadang Iblis tersebut sembari berseru pada Seng-
gara.
"Senggara, kau urusi dulu keroco-keroco Ib-
lis itu, biar aku mengurus Iblis ini!"
"Jaka Ndableg, kebetulan kau datang!" seru
Senggara dengan mata berbinar-binar penuh ke-
tenangan. Bagaimanapun juga dengan kedatan-
gan Jaka sedikit banyaknya bebannya untuk me-
numpas Iblis-iblis itu akan agak ringan.
"Kau...!" Iblis Sedayu memekik kaget, Jom-
patkan tubuh ke belakang. "Kau pun rupanya su-
ka usil dengan apa yang dilakukan orang lain,
Jaka!"
"Aku tak akan usil, asalkan engkau tidak
menuntun mereka pada jalanmu yang sesat!" Ja-
ka tersenyum dingin menghadapi Iblis yang su-
dah ia ketahui betapa ilmunya ternyata tinggi.
"Hem, aku jadi tak habis pikir, mengapa iblis ini
sanggup menghadapi ajian Tapak Bahanaku. Pa-
dahal ajian itu adalah ajian yang dahsyat!" gu-
mam hati Jaka penuh ketidakmengertian. "Apa-
kah ia mampu menghadapi Pedang Siluman Da-
rah,?"
Mata Iblis itu nampak menyala, memakukan
pandangannya pada Jaka yang juga memandang-
nya dengan penuh kesiagaan. Jaka menyadari
bahwa bagaimanapun juga Iblis di hadapannya
bukanlah Iblis sembarangan. Bagaimana bentuk
Iblis apa pun, bila terhantam ajian Tapak Bahana
akan luluh lantak, tapi Iblis Sedayu sepertinya
tak mempan ajian tersebut. Kedua musuh be-
buyutan itu saling pandang, sepertinya hendak
menancapkan sorot mata masing-masing ke ulu
hati musuh.
"Jaka Ndableg, seharusnya kau sadar bahwa
ilmu yang engkau miliki tiada arti bagiku. Aku sa-
rankan, jadilah pengikutku!"
"Hem, jangan kau bermimpi. Lebih baik aku
mati daripada harus menjadi budakmu!" Jaka
membalas dengan sengit.
"Manusia tak mau diuntung! Bersiaplah kau
aku kirim ke akherat sana. Hiat...!" Iblis Sedayu
tiba-tiba berkelebat menyerang. Serangannya kini
tak tanggung-tanggung, langsung dengan segala
ajian yang ia miliki.
Jaka yang sudah tahu siapa adanya Iblis di
hadapannya segera berkelebat mengelakkannya.
Dengan segera Jaka pun balas menyerang dengan
ajian-ajian yang ia miliki.
"Getih Sakti. Hiat...!"
"Wuss...! Crooot...!"
"Duar! Duar...!"
Terdengar ledakan manakala dua kekuatan
itu beradu di udara di tengah-tengah tubuh me-
reka. Keduanya seketika terpental ke belakang.
Namun dengan segera Iblis Sedayu bangkit, lalu
tanpa menunggu Jaka bangkit ia hantamkan
ajiannya.
"Lulur Iblis. Hiat...!"
"Ah... mati aku!" Jaka mengeluh, segera ia
pun dengan cepat tanpa pikir panjang lagi han-
tamkan Petir Sewunya untuk memapaki serangan
tersebut.
"Petir Sewu. Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Ledakan-ledakan petir seketika membahana,
menjadikan semua orang yang saat itu tengah
mengeroyok Senggara tersentak dan bagaikan ba-
ru tersadar dari sihir mereka memekik. Telinga
mereka yang tak tahan langsung mengeluarkan
darah. Mereka seketika menggelepar-gelepar se-
saat, sebelum akhirnya ambruk dengan darah ke-
luar membasahi hidung, mulut dan telinga mere-
ka. Hanya enam Jalak Sakti yang tidak langsung
mati, tapi keadaan mereka pun cukup parah. Kini
ringanlah Senggara, yang segera melesat ke arah
di mana Jaka dan Iblis Sedayu tengah bertarung.
"Jaka, mari kita serang bareng! Iblis itu su
kar untuk dibinasakan!"
"Aku pun menyadari itu, Senggara! Biarlah,
lebih baik aku mati daripada Iblis ini merajalela di
depan hidungku. Hiat...!" Jaka Ndableg telah
kembali mencelat menyerang.
"Hiat...!" Begitu pula dengan Senggara. Maka
kini Iblis Sedayu dikeroyok oleh dua orang mu-
suh-musuhnya. Dua orang yang telah membuat
tubuhnya hancur berantakan.
Nampak Iblis Sedayu menyeringai demi me-
lihat kedua orang yang dianggapnya akan meng-
halangi segala tindakannya menyerang. Hal itu
memang telah ditunggu-tunggunya. Maka dengan
segera Iblis Sedayu pun berkelebat memapakinya.
"Hiat...!"
"Tapak Prahara. Hiat...!"
"Cobra Api. Hiat...!"
Bareng keduanya hantamkan ajian yang me-
rupakan ajian pamungkas mereka. Api menyala-
nyala dari tangan keduanya, seperti hendak mem-
bakar apa saja yang ada di sekitar tempat itu.
Dan manakala Iblis Sedayu menyerang, secepat
kilat keduanya hantamkan ajian mereka masing-
masing. Tak ayal lagi, seketika api yang keluar
dari tangan keduanya membakar tubuh Iblis Se-
dayu, rapat menutupi tubuh Iblis Sedayu. Kedua-
nya nampak agak sedikit tenang, menyaksikan
api yang mereka ciptakan melalap habis tubuh Ib-
lis tersebut. Tapi baru saja mereka merasa se-
nang, tiba-tiba mereka membeliak kaget manaka-
la melihat kejadian yang tidak masuk akal. Tubuh
Iblis Sedayu yang kini tinggal kerangka hitam,
masih mampu menghadapi mereka.
"Gusti Allah, apakah aku tidak tengah ber-
mimpi?" keluh Jaka kaget. Bagaimana mungkin,
tubuh yang sudah menjadi arang masih dapat
bangkit dan menyerang mereka.
"Edan! Ini jelas-Jelas kelakuan Iblis!" maki
Senggara.
Namun keduanya tak sempat berkata-kata
lama, sebab tiba-tiba saja keduanya telah dike-
jutkan oleh hantaman yang dilontarkan oleh ma-
nusia tulang-belulang tersebut.
"Awas serangan!" Jaka memekik, melempar-
kan tubuhnya ke samping. Begitu juga Senggara,
dengan sigap lemparkan tubuh ke samping hing-
ga larikan sinar yang keluar dari tulang-tulang
tangan orang yang hangus itu membersit di ten-
gah-tengah. Sinar itu terus melesat, lalu meng-
hantam tubuh orang-orang yang masih tergeletak.
Seketika tubuh orang yang terkena hantaman itu
langsung meleleh. Dan dari sinar tersebut, nam-
pak mahluk-mahluk menyeramkan berupa kepala
manusia beterbangan.
"Gusti Allah, ini tidak bisa dibuat main-
main!" Jaka mendengus demi melihat ratusan ke-
pala hidup beterbangan dan menuju ke arahnya.
"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!" Pedang
Siluman Darah tiba-tiba muncul, terbang me-
layang-layang dan langsung tanpa dipegang oleh
Jaka berkelebat-kelebat menyerang kepala-kepala
hidup tersebut. Seketika memekiklah kepala-
kepala itu lalu lenyap menjadi serpihan-serpihan
debu. Pedang Siluman Darah segera kembali me
lesat dan hinggap di tangan Jaka yang langsung
menerimanya.
Senggara masih terus berusaha menyerang
Iblis Sedayu, namun serangannya seperti tak ber-
arti sama sekali bagi Iblis tersebut. Bahkan kini
Iblis Sedayu malah balik menyerang. Senggara
yang marah tanpa sungkan-sungkan lagi han-
tamkan ajiannya kembali. "Cobra Api. Hiat...!"
Api kembali membakar tulang-tulang terse-
but. Tulang-tulang itu berantakan dan berserak-
an copot dari sel-selnya. Tersenyum Senggara
menyangka Iblis itu telah mati. Ya, memang tu-
lang-tulang itu telah berserakan. Namun benar-
kah Iblis Sedayu telah mati? Kedua pendekar itu
berdiri mematung memandang pada tulang-
tulang yang berserakan. Mereka tak menyadari
bahwa bahaya telah siap mengancam jiwa mere-
ka. Salah seorang dari Jalak Sakti yang tengah
pingsan, tiba-tiba bangkit dan...
Pedang Siluman Darah seperti berontak dari
tangan Jaka, menjadikan Jaka tersentak. Pedang
itu selalu mengacungkan ujungnya ke belakang
seperti ada yang ingin dikatakan pada tuannya.
Dan manakala Jaka mengikuti arah Pedang Silu-
man Darah, seketika Jaka memekik.
"Awas!" Ternyata Jalak Ungu telah dekat dan
sebentar saja bila Pedang Siluman Darah tidak
menunjukkan padanya niscaya dirinya dan Seng-
gara telah jadi korban. Keduanya segera loncat ke
muka, menghindari cengkeraman Jalak Ungu.
"Bangsat! Ternyata kau masih hidup, Iblis!"
maki Senggara.
"Hua, ha, ha...! Sudah aku katakan, bahwa
aku tak akan kalah oleh kalian!"
"Sombong! Terimalah ini. Hiat...!"
Bersamaan Jaka berkelebat dengan Pedang
Siluman Darahnya, berkelebat pula Senggara
dengan senjatanya Pecut Cobra Merah. Dua sen-
jata itu bagaikan menyala-nyala, lalu dengan ber-
barengan keduanya hantamkan senjata masing-
masing.
"Cros…!"
"Bletar!"
Hancur lebur tubuh Jalak Ungu, terbelah
dan terhisap darahnya oleh Pedang Siluman Da-
rah. Tubuhnya hancur, tercambuk oleh Cambuk
Cobra Merah. Namun sungguh tak keduanya sa-
dar. Manakala keduanya menghantamkan senjata
mereka, ternyata Iblis tersebut telah meninggal-
kan tubuh Jalak Ungu. Tanpa ayal lagi, tubuh Ja-
lak Ungulah yang jadi sasaran. Dan manakala Ib-
lis Sedayu hantamkan pukulan, keduanya tak
mampu untuk melayang menghindar. Tanpa da-
pat dihindari keduanya pun seketika melayang
bagaikan ditiup angin. Tubuh keduanya mental,
lalu melayang ke dalam jurang. Berbarengan den-
gan keduanya menjerit, dua buah bayangan ber-
kelebat dengan entengnya menangkap tubuh ke-
duanya dengan cepat sebelum keduanya jatuh ke
dasar jurang.
"Wess...!"
"Suit...!"
Tap! Tap!"
Kedua orang pemilik tubuh itu hanya saling
pandang sesaat dengan senyum, lalu keduanya
melesat membawa tubuh Jaka dan Senggara ke
tujuan masing-masing.
***
"Hua, ha, ha...! Kini tak ada lagi penghalang-
ku. Kini akulah yang paling berkuasa di dunia.
Akan aku jadikan semua manusia sebagai abdi-
ku. Akan aku jadikan dunia ini sebagai istanaku.
Istana Raja Iblis!" Iblis Sedayu tertawa bergelak-
gelak, lalu dengan ilmu iblisnya dia bangkitkan
tubuh-tubuh anak buahnya yang terdiri dari em-
pat Jalak Sakti dan warga desa Slawi. Sementara
dia sendiri menggunakan jasad Jalak Kuning se-
bagai pengganti jasad Renggana yang telah han-
cur berantakan.
"Kalian telah aku hidupkan kembali. Maka
kalian mulai sekarang harus menjadi pengikut-
pengikutku. Akan aku bangun kerajaan di muka
bumi ini, kerajaan Iblis Penguasa Gunung Kapur!
Kalian harus memanggilku, Sri Baginda Raja Di-
raja Iblis Sedayu Mukti. Hua, ha, ha...!"
"Daulat, Sri Baginda Raja Diraja Sedayu
Mukti...." serentak mereka menyembah. "Hamba
mohon ampun bila hamba telah melakukan sega-
la kesalahan!"
"Hua, ha, ha...! Tidak! Kalian tidak salah. Ki-
ni kalian aku perintahkan untuk makin perba-
nyaklah korban-korban yang kalian persembah-
kan pada rajamu ini!"
"Daulat, Sri Baginda...!"
Makin bergelak tawa Sedayu melihat manu-
sia-manusia bonekanya yang nampak menurut
dan patuh. Memang, sejak saat itu pula resmilah
Sedayu mengangkat dirinya sebagai Raja Iblis
yang memerintahkan manusia. Ke manakah Jaka
dan Senggara? Apakah ia mati? Marilah kita ikuti
terus bab demi bab selanjutnya.
***
ENAM
KERAJAAN SILUMAN DARAH....
Kerajaan Siluman Darah nampak sepi. Para
pengawal istana nampak terdiam bisu dengan
senjata siap selalu di tangan mereka masing-
masing. Mereka nampaknya tengah menunggu se-
seorang yang bakal datang. Dan memang tak be-
rapa lama kemudian sesosok bayangan merah
berkelebat menuju ke arah istana. Bayangan ter-
sebut adalah milik seorang wanita, dialah Ratu
Siluman Darah. Di tangan sang Ratu yang cantik
jelita itu, tergeletak sesosok tubuh muda beram-
but gondrong dan berwajah tampan pingsan, pe-
muda itu tak lain Jaka Ndableg si Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Pedang Siluman Darah
nampak masih tergenggam di tangan kanannya.
Memang Jaka waktu tiba-tiba terhantam
oleh pukulan tenaga dalam yang dilontarkan oleh
Iblis Sedayu, tak mampu mengelakkannya karena
Jaka tak sadar bahwa orang yang dibelah dengan
pedangnya tak lain adalah jasad yang telah ko-
song ditinggal oleh Iblis Sedayu yang sudah me-
mikirkan bahwa Jaka dan Senggara pasti akan
menyerang dengan senjata pusaka masing-
masing. Maka ketika Jaka membabatkan pedang-
nya, si Iblis Sedayu telah berkelebat ke luar dan
telah siaga di belakang kedua orang penyerang-
nya. Maka tak ayal lagi dengan mudah Iblis Se-
dayu mampu menjatuhkan dua pendekar sekali-
gus.
"Bukakan pintu!" Ratu Siluman Darah me-
merintah pada pengawalnya yang dengan segera
membuka pintu gerbang tabir alam siluman.
Dengan cepat Ratu Siluman Darah pun berkele-
bat masuk menuju ke sebuah ruangan pengoba-
tan.
"Panggil Nenek Darah Biru ke mari!" kembali
ia memerintah.
Dengan tanpa membantah orang yang disu-
ruh itu segera berkelebat pergi meninggalkan
sang Ratu yang telah membaringkan Jaka di ka-
sur untuk memanggil Nenek Darah Biru. Tak la-
ma kemudian Nenek Darah Biru pun datang ber-
samaan Siluman yang tadi diutus. Nenek Darah
Biru segera menyembah, lalu dengan suara tua-
nya ia berkata: "Sri Ratu memanggil hamba?"
"Benar! Tolong kau rawat Jaka. Dia mende-
rita luka dalam."
"Daulat, Sri Ratu," jawab Nenek Darah Biru.
Sri Ratu Siluman Darah tanpa hiraukan Ne-
nek Darah Biru segera meninggalkannya dan me-
langkah menuju ke kamar pribadinya di mana bi
asanya ia akan mengurung diri selama tiga hari
tiga malam untuk melakukan Tapa Brata. Namun
ternyata kali ini ia tidak hendak melakukan Tapa
Brata, tapi ia tengah melakukan sebuah upacara
adat yang hanya dilakukan oleh dirinya sendiri.
Matanya terpejam, tangan bersilang dengan kaki
dilipat menyila.
Sementara di ruang pengobatan Nenek Da-
rah Biru terus berusaha mengobati luka-luka Ja-
ka. Jaka masih pingsan, nampaknya ia benar-
benar terpukul manakala melayang ke jurang
Gunung Kapur.
"Pemuda ini sungguh sangat hebat. Jarang
orang yang memiliki tulang-tulang serapi dan se-
kokoh ini. Hem, pantas kalau Sri Ratu mau men-
gangkatnya menjadi murid sekaligus anak," gu-
mam Nenek Darah Biru manakala tangannya me-
mijit tubuh Jaka. Jaka nampak menggeliat dan
meringis setiap kali tangan Nenek Darah Biru
memijit dan mengurutnya.
Sebenarnya pijitan dan urutan si Nenek Da-
rah Biru bukanlah pijitan dan urutan biasa, teta-
pi urutan dan pijitan itu mengandung sebuah ke-
kuatan magis yang mampu membuat bertambah
kekuatan Jaka, sebab secara tak langsung si Ne-
nek Darah Biru telah menyalurkan tenaga ke tu-
buh Jaka. Dan pada waktu pijitan yang terakhir,
Jaka seketika menjerit keras. Jaka merasakan
bagaikan hawa panas menyengat sendi-sendi tu-
buhnya. "Aaah...!"
"Tenang Jaka, kau tak akan apa-apa," Nenek
Darah Biru berkata menghibur: "Setelah kau di
urut dan dipijit, niscaya tubuhmu akan seperti
sedia kala."
Jaka menurut diam, tak berkata-kata lagi.
Pijitan dan urutan tangan Nenek Darah Biru te-
rus menyelusuri tubuhnya. Pijitan itu sangat ke-
ras, menekan-nekan pada sendi-sendi yang dira-
sakan perlu. Setelah beberapa lama kemudian
dan di-rasa cukup, Nenek Darah Biru berkata:
"Sudah! Kini engkau telah sempurna tulang dan
aliran darahnya."
"Sebenarnya aku ini berada di mana. Nek?"
Jaka bertanya ingin mengetahui keberadaannya.
Matanya memandang sekeliling tempat itu, tem-
pat yang indah dengan mutiara dan permata yang
serba gemerlapan mewarnai tempat tersebut.
"Sepertinya aku pernah singgah di tempat
ini. Kapankah? Dan di manakah?" Jaka mere-
nung dalam hati, merasakan bahwa dia merasa
pernah singgah di tempat tersebut. Matanya tera-
sa memandang sekeliling, lalu setelah sekian la-
ma ia berbuat begitu Jaka pun akhirnya mengin-
gat bahwa dia memang pernah berada di tempat
tersebut. "Ya, aku ingat. Aku memang pernah di
tempat ini manakala aku bertarung dengan Pra-
hista. Oh, di manakah ayah dan ibu?"
"Nek, bukankah ini kerajaan Siluman Da-
rah?" tanyanya pada Nenek Darah Biru yang
mengangguk sembari tersenyum. "Di manakah
ayah dan emakku, Nek?"
"Ayah dan ibumu ada di sini, mungkin se-
bentar lagi akan datang bersama Sri Ratu."
Memang benar apa yang dikatakan oleh Ne
nek Darah Biru, sebab tak lama kemudian dari
ruangan lain nampak tiga orang berjalan menuju
ke ruangan di mana Jaka berbaring istirahat. Tiga
orang itu tak lain dua orang wanita cantik dan
seorang lelaki tampan yang wajahnya persis se-
perti Jaka. Dua orang wanita itu tak lain Ratu Si-
luman Darah dan ibunya Jaka. Sementara yang
lelaki tidak lain adalah ayahnya Eka Bilawa. Ke-
tiga orang tersebut nampak mengurai senyum di
bibir mereka, dan terkadang bercakap-cakap.
"Sampurasun...!" ketiganya menyapa.
"Rampes...!" Jaka dan Nenek Darah Biru
membalas. Nenek Darah Biru segera menjura
hormat, lalu menyingkir menepi memberikan ja-
lan pada ketiganya untuk menghampiri Jaka.
"Ayah, Ibu...! Oh, benarkah itu ibu, Ayah?"
tanya Jaka terheran-heran melihat ibunya nam-
pak masih begitu muda dan cantik.
"Benar, Anakku. Akulah ibumu," wanita can-
tik itu menjawab mendahului si lelaki yang hanya
tersenyum. "Kau sungguh sudah dewasa, Anak-
ku." Dengan rasa haru dipeluknya tubuh Jaka
yang segera membalas memeluk ibunya.
Suasana di tempat itu kini nampak sahdu,
penuh rasa haru, bungah dan macam-macam ra-
sa yang tak dapat diurai kata-kata. Ketiga sanak
beranak itu terus saling melepas kerinduan yang
sekian lama tak pernah bertemu. Jaka bagaikan
anak kecil, menangis dalam pelukan ibunya.
"Ayah, Jaka ingin tinggal di sini saja. Jaka
sudah bosan di dunia ramai yang selalu diwarnai
oleh banyak masalah yang rumit. Sepertinya Jaka
hendak tak mampu untuk menghadapinya," Jaka
berkata seperti putus asa, menjadikan sang ayah
dan Ratu Siluman Darah gelengkan kepala tak
menyetujui akan permintaan Jaka.
"Tidak, Anakku. Kau harus tetap di dunia
ramai. Ketahuilah, bahwa dirimu memang sudah
dikodratkan harus menjadi seorang pendekar
yang memerangi kejahatan. Dan sebagai seorang
pendekar maka sudah selayaknya mendapat rin-
tangan, karena kau manusia juga. Manusia itu
kadang jaya, kadang pula harus kalah. Kau harus
ingat bahwa di atas segalanya hanya Yang Maha
Kuasa saja yang paling mampu berbuat sega-
lanya. Tak ada mahluk apa pun yang dapat me-
nandingi-Nya." Ayahnya menuturi.
"Benar Jaka. Memang apa yang dikatakan
oleh ayahmu benar adanya. Kembalilah kau ke
sana lagi, jangan kau putus asa hanya karena
kau menderita kalah. Ingat, kekalahan bukan se-
lamanya berpihak pada dirimu. Kekalahan se-
baiknya jadikanlah pelajaran atau guru yang
utama untukmu," Ratu Siluman Darah yang ber-
kata. "Aku akan memberikan padamu bekal, bek-
al yang nantinya dapat engkau gunakan. Tapi un-
tuk menghadapi musuhmu yang sekarang, maka
aku akan ikut membantu. Aku akan muncul di
alam manusia."
"Mengapa Sri Ratu hendak ke alam manu-
sia?"
"Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu itu
bukanlah mahluk sembarangan. Dia tak akan
dapat mati oleh tangan manusia, sebab Yang Ku
asa memang mentakdirkan begitu. Musuhmu
adalah orangku, maka hanya akulah yang akan
mampu menghancurkannya," Ratu Siluman Da-
rah berkata berapi-api, sepertinya dalam kata-
katanya mengandung sesuatu yang besar. "Dia
adalah Panglima Perangku. Dia melarikan diri se-
telah pemberontakan yang dilakukan olehnya be-
serta beberapa anak buahnya dapat kami tum-
pas. Ternyata dia nekad lari ke alam manusia.
Sebenarnya ia tak dapat hidup lama kalau saja ia
tidak segera menemukan Renggana. Tapi sudah-
lah tak usah dipikirkan masalah itu. Kini yang
penting kau akan aku gembleng untuk menam-
bah ilmu yang engkau miliki. Bila kau telah ram-
pung, maka kau pun akan menjadi manusia yang
berilmu Siluman."
"Oh, benarkah itu, Sri Ratu?" Jaka bertanya.
"Sungguhkah aku akan memiliki ilmu-ilmu Silu-
man?"
"Ya, mengapa? Kau tak suka, Jaka?" Sri Ra-
tu bertanya.
"Suka! Saya memang ingin menambah ilmu
yang ada pada diri saya, Sri Ratu."
"Nah, mulai saat ini kau harus rajin belajar
dengan ayahmu, sebab ayahmulah yang akan
mendidikmu mengenai ilmu-ilmu mahluk silu-
man!" Ratu Siluman Darah melirik pada Eka Bi-
lawa dengan bibir terurai senyum, sepertinya ia
tidak cemburu sama sekali kalau Eka Bilawa se-
karang telah bersanding dengan istrinya. Namun
malah sebaliknya ia bangga, sebab Eka Bilawa ti-
dak membedakan istri-istrinya. Eka Bilawa ber
tindak adil dan bijaksana. Wajah Eka Bilawa yang
tampan memang persis Jaka, sehingga menjadi-
kan Ratu Siluman Darah menyayangi Jaka sam-
pai-sampai ke mana pun Jaka selalu didampingi.
Sejak saat itu Jaka untuk sementara menja-
di penghuni Kerajaan Siluman Darah. Sejak saat
itu juga Jaka harus berlatih apa yang diajarkan
oleh ayahnya Eka Bilawa dalam hal ilmu-ilmu Si-
luman yang hanya dimiliki oleh para siluman be-
laka. Hal itu dimaksudkan agar Jaka makin
mampu menangani segala apa yang menjadi rin-
tangan, juga agar Jaka dapat melakukan kewaji-
bannya sebagai seorang pendekar untuk menum-
pas segala kejahatan.
***
TUJUH
Sejak menghilangnya Jaka Ndableg dari du-
nia entah ke mana, maka kejahatan yang kini di-
pimpin oleh Iblis Sedayu yang mengangkat dirinya
sebagai Raja Diraja Iblis makin merajalela. Kini
Iblis Sedayu yang telah menggunakan jasa Jalak
Kuning, tak segan-segan melakukan tindakan te-
lengas pada umat manusia.
Pada umumnya, para anggota Raja Diraja Ib-
lis bertindak dengan tanpa mengenal belas ka-
sihan. Memang bukannya mereka merampok har-
ta, namun mereka merampok bahkan yang lebih
dari itu yaitu merampok nyawa seseorang untuk
dijadikan korban.
Bukan itu saja, cita-cita Iblis Sedayu untuk
menjadikan seorang Raja Iblis pertama yang me-
mimpin manusia perlahan namun pasti dijalan-
kan...
"Untuk mendapatkan segala cita-citaku, ma-
ka aku harus menundukkan kerajaan-kerajaan di
tanah Jawa ini. Aku akan mengutus abdiku un-
tuk melakukannya. Aku sebentar lagi akan men-
jadi Raja Diraja Iblis yang mampu me-mimpin
manusia untuk mengikuti jalanku. Seperti janjiku
pada Tuhan, maka aku pun akan berusaha men-
gajak sebanyak-banyaknya anak cucu Adam un-
tuk menjadi sahabatku yang kelak akan mene-
maniku di neraka. Hua, ha ha...!" bergelak tawa
Iblis Sedayu bila mengingat hal itu, sementara
keempat Jalak Sakti lainnya yang ia angkat seba-
gai patih serta penasehatnya nampak tundukan
kepala duduk bersila di hadapannya.
"Jalak Merah!"
"Daulat, Baginda Raja Diraja," jawab Jalak
Merah sembari menyembah
"Aku perintahkan padamu untuk kumpulkan
tentara guna menyerang kerajaan Sebrang Gu-
nung!"
Jalak Merah terdiam tanpa kata mendengar-
kan ucapan Rajanya. Hati kecilnya sebenarnya
tak suka, sebab ia tahu sendiri bahwa kerajaan
Sebrang Gunung banyak tokoh-tokoh silat yang
berilmu tinggi. Namun untuk menolaknya, jelas ia
tak berani karena tidak mungkin tidak rajanya
akan murka. Dan apa bila rajanya telah murka
pasti dirinyalah yang menjadi korban. maka den-
gan segala ketakutan itu jalak merah pun berka-
ta: "daulat, baginda raja diraja yang mulia, kami
akan melaksanakan segala titah paduka."
"bagus! sekarang juga persiapkan para pra-
jurit!"
"daulat, yang mulia!" jalak merah kembali
menyembah, lalu dengan beringsut ia pun segera
berlalu meninggalkan tempat tersebut untuk me-
nemui para prajuritnya yang dihimpun dari ma-
syarakat desa slawi. langkahnya nampak tak
bersemangat, sepertinya langkah itu sedikit di-
paksa hingga nampak terseret. jalak merah terus
melangkah meninggalkan keraton menuju ke la-
pangan yang telah dijadikan alun-alun. di situ
jalak merah hentikan langkah, lalu dengan
menggunakan tenaga dalam ia berseru.
"para prajurit, berkumpul...!"
ternyata seruan jalak merah sungguh ken-
cang, sehingga dari jarak yang cukup jauh pun
dapat didengar. maka seketika berbondong-bon-
dong para prajurit yang terdiri dari warga desa
slawi tersebut berdatangan menuju ke lapangan
di mana jalak merah telah menunggu berdiri di
tengah-tengah lapangan itu.
"para prajurit, berkumpulah! ada berita pen-
ting...!"
"berita apakah, tuan patih?!" warga yang
sudah mendekat bertanya: "adakah berita yang
membuat bencana? atau berita kegembiraan?!"
"kalian berkumpul dulu, jangan banyak ber-
tanya!"
Warga desa itu menurut diam, sepertinya
mereka merasakan ketakutan. Mata mereka me-
mandang hampa, tak berani menatap pandang
pada Jalak Merah yang telah dianggap oleh mere-
ka sebagai patihnya. Mereka terus melangkah,
makin dekat dan dekat menuju ke lapangan di
mana Jalak Merah berada. Dan tak lama kemu-
dian, mereka pun telah berkumpul membentuk
sebuah lingkaran mengelilingi Jalak Merah.
"Sri Baginda Raja Diraja memerintahkan kita
untuk mengadakan peperangan. Kita akan me-
nyerang kerajaan Sebrang Gunung. Apakah ka-
lian telah siap!" terdengar suara Jalak Merah ber-
seru, memberitahukan. Seketika semua yang ha-
diir terdiam, sedangkan diri mereka tak menghen-
daki perang. Dalam hati mereka bertanya-tanya,
mengapa harus berperang? Bukankah sekarang
telah tentram dan damai? Mereka tak tahu apa
sebenarnya yang dikehendaki oleh raja mereka
sesungguhnya. Sebenarnya mereka ingin meno-
lak, namun mereka tak berani. Di samping kare-
na raja mereka sakti dan telah mampu mengalah-
kan dua pendekar yang tiada tanding itu, juga
mereka merasa berhutang budi pada raja mereka
yang telah memberikan segala apa yang mereka
pinta.
Tengah mereka tercenung diam, dari ke-
jauhan tepatnya dari kerajaan berjalan dengan
langkah-langkah bagaikan terbang seseorang
yang mengenakan pakaian kebesaran. Dialah raja
mereka, yaitu Raja Diraja Sedayu. Karena Sedayu
berlari dengan menggunakan ilmu larinya, maka
dalam beberapa kejap saja tubuhnya telah sampai
di tempat tersebut. Mata Sedayu seketika me-
mandang pada para prajuritnya yang seketika itu
pula tundukan muka sembari menyembah.
"Terimalah sembah kami, Yang Mulia...!"
"Hua, ha, ha...! Bagus! Sembah kalian aku
terima!" Sedayu nampak senang dan katanya ke-
mudian: "Apakah kalian telah tahu mengapa ka-
lian dikumpulkan di tempat ini?"
"Daulat, Yang Mulia, kami telah mengetahui-
nya!"
"Kalian jangan takut, sebab kalian akan aku
bantu dengan prajurit-prajurit lelembutku. Nah,
kini di samping-samping kalian telah muncul me-
reka."
Tersentak semuanya manakala menengok-
kan kepala ke samping kirinya telah ada mahluk
serupa dengan dirinya. Mereka seperti tak per-
caya, menjadikan mereka terus memandang pada
mahluk-mahluk yang bagi mereka adalah bayan-
gan mereka sendiri. Tapi ternyata bukan. Mahluk-
mahluk itu bukan bayangan mereka, terbukti
mahluk-mahluk itu tidak memandang balik me-
lainkan diam mematung dengan wajah terus tegar
memaku ke muka.
"Nah, itulah teman kalian untuk menyerang
kerajaan Sebrang Gunung. Mereka akan menuru-
ti apa yang kalian perintahkan! Tapi mereka akan
dapat mengadu bila ternyata kalian tidak menu-
ruti segala perintahku! Maka apabila ada teman
kalian yang mengadu padaku bahwa kalian ada
yang tidak menurut, kalian tentunya tahu apa
hukumannya? Hukumannya adalah teman kalian
sendiri yang akan menghisap darah kalian sampai
kering kerontang!"
Bergidik juga orang-orang itu mendengar pe-
nuturan rajanya. Mereka tahu bahwa ucapan ra-
janya bukanlah ucapan penakut anak kecil be-
laka, tetapi ucapan yang benar-benar akan ter-
laksana bila mereka membangkang.
"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"
"Nah, berangkatlah kalian! Tegarkan hati ka-
lian dengan semangat bahwa kalian akan mampu
menundukkan kerajaan Sebrang Gunung!"
"Daulat, Baginda Yang Mulia...!"
"Ampun, Baginda Yang Mulia, saya menja-
lankan tugas!" Jalak Merah menyembah, lalu
dengan melangkah mundur ia pun segera menuju
ke barisan prajurit dan berjalan paling muka. Me-
lihat para prajuritnya telah melangkah, segera
Iblis Sedayu berkelebat pergi tinggalkan lapangan
kembali ke istananya.
***
Para prajurit itu bagaikan monster yang sela-
lu dikendalikan oleh pemiliknya. Mereka berjalan
dengan bisu, sepertinya tak ada gairah untuk
berkata-kata. Di setiap seorang prajurit, nampak
sesuatu mahluk yang menyerupai mereka berja-
lan mengiringi. Mahluk-mahluk tersebut adalah
ciptaan Iblis Sedayu yang diambil dari darah ke-
hidupan mereka, sehingga wajar kalau mahluk-
mahluk tersebut menyerupai mereka. Mahluk
mahluk itulah yang akan mengantar mereka dan
membantu mereka dalam menyerbu ke kerajaan
Sebrang Gunung.
Sebenarnya warga desa yang dijadikan pra-
jurit itu merasakan takut untuk menghadapi pra-
jurit-prajurit Sebrang Gunung. Walau mereka da-
lam pengaruh Iblis Sedayu, namun mereka masih
dapat sadar dan mengingat-ingat segalanya. Me-
reka tahu bahwa di kerajaan Sebrang Gunung
banyak berkumpul para tokoh persilatan yang ti-
dak berilmu rendah. Namun bila mereka ingat
akan ancaman dan karena jasa raja yang telah
membantu mereka selama ini, mereka pun den-
gan takut dan jeri menurut.
Barisan prajurit yang terdiri dari manusia
dan duplikatnya yang tak lain bangsa Iblis terus
melangkah. Barisan itu panjang, hampir menye-
rupai kelokan-kelokan ular naga bila dilihat dari
kejauhan. Mereka berjalan menyusuri lereng gu-
nung, menuruni sungai dan lembah, seakan tiada
rasa lelah sedikit pun.
***
"Heh, seperti ada iring-iringan menuju ke
mari!" teriak seseorang warga kerajaan Sebrang
Gunung yang bekerja sebagai pencari kayu berka-
ta pada temannya.
"Benar! Ya, sepertinya mereka itu para pra-
jurit!"
"Mereka seperti hendak berperang!"
"Mereka menuju ke mari! Ayo kita tinggal
kan tempat ini untuk memberitahukan pada Pa-
man Patih Sungkar!"
Dengan segera ketiga orang pencari kayu itu
berlari meninggalkan hutan itu. Mereka berlari
bagai kesetanan, sehingga tak mereka hiraukan
segala apa yang menghalangi mereka diterobos-
nya. Mereka juga, nampak berlari kencang, ham-
pir dapat dikatakan mereka yang hanya seorang
petani pencari kayu mampu menggunakan tenaga
mereka untuk menyalurkan ke kaki-kaki mereka
hingga mereka, bagai terbang.
"Ada musuh...! Musuh datang...!" Mereka
berteriak-teriak bagaikan kesetanan, menjadikan
orang-orang yang saat itu berada di pasar berse-
rabutan lari tunggang langgang sembari me-
neruskan teriakan ketiga orang pencari kayu, se-
hingga dengan sendirinya riuhlah mereka dengan
teriakan-teriakan yang sama.
Ketiga orang pencari kayu itu terus berlari
dengan cepat sambil berseru-seru menyebut-
nyebut musuh datang. Mereka terus menuju ke
arah Utara di mana kerajaan berada.
"Musuh datang...! Musuh datang...!" Walau
jarak kerajaan sudah dekat, namun mereka terus
berlari dengan kencang, sepertinya mereka tak
ingin dapat ditangkap oleh musuh yang datang
masih jauh. Hal itu menjadikan seorang prajurit
yang melihatnya seketika menghentikan lari me-
reka!
"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian berteriak-
teriak?"
"Musuh datang, Tuan Prajurit!" jawab seo
rang dari mereka dengan napas ngos-ngosan,
menjadikan prajurit itu kerutkan kening meman-
dang mereka satu persatu seperti belum mau per-
caya begitu saja pada apa yang dikatakan ketiga
tukang kayu itu.
"Benarkah...?"
"Benar, Tuan Prajurit, kami melihat musuh
datang dengan ribuan prajurit yang siap bertem-
pur," Yang berkata tukang kayu yang nampak
masih muda di antara kedua orang lainya.
"Baiklah, kalian ikut aku!"
Dengan tak menghiraukan orang-orang yang
masih serabutan untuk lari, keempat orang itu
pun segera melesat menuju ke istana kerajaan.
Langkah mereka begitu lebar, seakan mereka tak
ingin didahului dengan kedatangan musuh yang
sudah berada di gunung. Tak begitu lama kemu-
dian mereka pun telah sampai di kerajaan.
"Ada apa, Sasongko? Sepertinya ada hal yang
penting?" Seorang penjaga pintu istana bertanya
pada Sasongko, yaitu prajurit yang membawa ke-
tiga tukang kayu itu.
"Paman patih ada?"
"Ada. Dia ada di dalam bersama Baginda Ra-
ja."
"Aku dan ketiga orang ini ingin menghadap."
Penjaga pintu istana kerutkan kening me-
mandang pada Sasongko dan ketiga tukang kayu
itu sesaat. Kemudian salah seorang dari penjaga
pintu itu pun berkelebat masuk ke dalam istana.
Tak lama kemudian ia kembali keluar menemui
Sasongko dan berkata: "Kalian dipersilahkan ma
suk!"
Sasongko dan ketiga tukang kayu yang
nampak gemetaran sebab tak biasa memasuki is-
tana segera menuju ke dalam. Di sana nampak
Sri Baginda dengan dihadapi oleh para tokoh per-
silatan dan patih serta pembesar istana lainnya
tengah berbincang-bincang. Sasongko dan ketiga
tukang kayu itu segera menyembah.
"Ada gerangan apa kalian menghadapku?"
"Ampun, Yang Mulia Baginda Raja sesem-
bahan hamba. Kami menghadap untuk mengha-
dapkan ketiga tukang kayu ini yang hendak
memberikan kabar pada Yang Mulia," Sasongko
berkata, dengan terlebih dahulu menyembah.
"Ada kabar apa yang kalian bawa, Pak?"
Ketiga pencari kayu itu nampak menelan lu-
dah, seperti sukar untuk berkata-kata. Keringat
dingin keluar membasahi pelipis mereka. Mereka
begitu tegang, maklum mereka baru pertama kali
menginjakkan kaki dan menghadap rajanya. Wa-
lau mereka tahu bahwa raja mereka adalah seo-
rang raja yang bijaksana, namun sebagai seorang
rakyat jelata jelas mereka merasakan hawa lain.
Rasa takut dan kaku pun menyelimuti ketiganya.
Hal itu diketahui oleh Sri Baginda yang dengan
segera kembali berkata: "Kenapa? Kalian tak perlu
takut. Aku rajamu, aku juga abdi kalian. Kata-
kanlah apa yang menjadi unek-unek kalian."
"Mu-musuh menuju ke mari, Baginda," ja-
wab salah seorang dari ketiganya, menjadikan Sri
Baginda dan orang-orang yang berada di situ se-
ketika terperanjat kaget.
"Musuh!"
"Ya, mereka telah sampai di gunung Kidul."
Tengah mereka dalam keterkejutan, tiba-tiba
di luar terdengar suara seruan rakyat yang lari
serabutan sambil berteriak-teriak: "Musuh da-
tang...! Musuh Datang...!"
Serta merta semua yang hadir di situ berke-
lebat ke luar. Semuanya kini dengan tergesa-gesa
mempersiapkan para prajurit untuk segera me-
nanggulangi musuh yang sudah tak mungkin da-
pat dibendung. Dan memang benar, musuh telah
tiba. Maka tanpa dapat berkata-kata lagi, praju-
rit-prajurit Kerajaan Sebrang Gunung pun segera
memapaki hingga terjadilah pertempuran. Namun
karena mereka tak mempersiapkan segalanya, ju-
ga karena di pihak musuh dibantu oleh para Iblis
yang sukar untuk dikalahkan, mereka dari pihak
kerajaan Sebrang Gunung pun nampak keteter.
Tak ada arti sama sekali para tokoh persilatan
yang ikut turun menyerang musuh.
Pertarungan terus berkobar, sepertinya ke-
dua prajurit dua kerajaan itu tak mau ada yang
kalah dan mundur. Kedua prajurit kerajaan itu
seperti ganas, membabi buta dalam setiap se-
rangannya. Darah telah membanjir di alun-alun,
diselingi oleh jerit kematian.
Melihat bahwa para prajuritnya nampak tak
dapat membendung musuh, dengan dibantu oleh
ponggawa istana raja dan keluarganya segera me-
ninggalkan istana untuk mengungsi. Dan me-
mang benar bahwa prajurit-prajurit kerajaan Se-
brang Gunung tak mampu menghalau musuh,
apalagi ketika Iblis Sedayu tiba-tiba muncul. Ma-
ka makin kacaulah para prajurit kerajaan Se-
brang Gunung. Dalam sekejap saja mereka den-
gan cepat dapat ditaklukkan.
"Hua, ha, ha...! Kini akulah yang bakal men-
jadi Raja Diraja! Akulah yang mampu memban-
gun sebuah kerajaan di tanah Jawa ini! Akulah
Raja Iblis yang mampu membuat anak cucu
Adam menuruti apa yang menjadi perintahku.
Hua, ha, ha...!" Iblis Sedayu seketika bergelak ta-
wa. Tampak kebahagiaan menyelimuti sorot ma-
tanya yang menyala-nyala. Ya, sejak itu Kerajaan
Sebrang Gunung resmilah di bawah cengkraman
Iblis.
***
DELAPAN
Dengan menyerang ke kerajaan Sebrang Gu-
nung, maka makin terkenal saja nama Iblis Se-
dayu. Namanya begitu ditakuti, tersebar di mana-
mana. Nama Iblis Sedayu Mukti, kini menjadi
momok bagai orang mendengar nama Tuhan Yang
Maha Kuasa saja. Bagi orang yang memang suka
berbuat jahat, jelas hal itu merupakan sebuah
lampu hijau untuk kembali menampakkan diri
mereka dan berkecimpung di dunia kejahatan.
Tapi bagi orang yang mencintai ketentraman dan
kedamaian, jelas nama Iblis Sedayu merupakan
nama yang harus sebisa mungkin dilenyapkan.
Siang itu di daerah pesisir Utara nampak se-
seorang bercadar putih ala ninja melangkah me-
nyusuri pesisir yang panas terik. Kakinya begitu
ringan menapak, sehingga pasir-pasir yang diin-
jaknya bagaikan tak amblas semili pun. Yang le-
bih aneh adalah cadar penutup kepalanya. Apa-
kah ia tidak merasakan kepanasan? Padahal hari
begitu teriknya. Ternyata cadar itu juga bukan
hanya sebatas kepala saja, tapi kain putih pem-
bungkus itu membungkus segenap tubuhnya. Di-
lihat dari pakainnya yang begitu aneh, kita dapat
mengetahui siapa adanya dia. Dialah Murid Su-
nan Kali Jaga, yang bergelar Maling Siluman.
"Aku tidak mendengar adanya Jaka. Mung-
kinkah Jaka telah mengetahui kejadian yang kini
menimpa dunia persilatan?" gumamnya bertanya
pada diri sendiri. "Atau barangkali Jaka tak men-
dengarnya? Ah, itu tidak mungkin, sebab Jaka se-
lalu berkelana ke mana saja. Sungguh-sungguh
sebuah bencana bila hal ini tidak segera dihenti-
kan."
Maling Siluman terus melangkah menyusuri
pantai laut Jawa menuju ke Selatan. Tengah ia
berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat
mendahuluinya berlari. Hal itu menjadikan Mal-
ing Siluman tersentak kaget, segera ia pun me-
ngejarnya.
"Hoi...! Jangan lari!"
Maling Siluman terus mengejar, dan nam-
paknya orang tersebut yang ternyata seorang wa-
nita menghentikan langkah larinya. Wanita muda
yang tak lain Miranti si Bidadari Selendang Ungu
membalikkan mukanya memandang pada Maling
Siluman.
"Ada apa engkau menyuruhku berhenti?"
"Apakah boleh aku tahu, ke mana tujuan Ni
Sanak?"
"Aku hendak ke Kerajaan Sebrang Gunung.
Aku ingin menjajaki ilmu yang dimiliki oleh Iblis
Sedayu yang kabarnya mampu mengalahkan Ja-
ka Ndableg," Miranti berkata, menjadikan Maling
Siluman seketika tersentak kaget seraya memekik
tertahan.
"Ah...! Benarkah, Ni Sanak?!"
"Untuk apa aku berdusta. Aku adalah.... Oh,
sudahlah!"
"Kenapa Ni Sanak? Sepertinya kau ragu un-
tuk mengatakannya?"
Miranti terdiam didesak pertanyaan begitu
rupa oleh Maling Siluman. Wajahnya seketika re-
dup, seakan ia tengah memendam sebuah pera-
saan tersendiri pada Jaka. Dan memang begitulah
adanya. Sejak ia bertemu dengan Jaka, hati Mi-
ranti seperti diselimuti oleh perasaan rindu yang
mendayu-dayu seperti rindunya tak dapat dihi-
langkan atau dihibur.
"Aku, aku... aku mencintainya," Miranti ber-
kata polos, menjadikan Maling Siluman yang te-
lah tua mengerti akan perasaan yang berkecamuk
di dada gadis ini.
"Ah, tidak engkau saja yang sedih, Ni Sa-
nak," hibur Maling Siluman. "Aku pun begitu.
Kami adalah dua sahabat, seiring sejalan yang ra-
sanya sukar untuk dipisahkan."
"Aku telah sebatang kara. Maka apabila Jaka
benar-benar telah mati, maka lebih baik aku pun
ikut mati saja."
"Ah...." Maling Siluman mendesah. Ia sadar
bahwa cinta Miranti sungguh tulus dan suci pada
Jaka. Maling Siluman hanya mampu terpaku di-
am, tak tahu apa yang harus dibuatnya. Tengah
kedua orang pendekar itu berdiri mematung da-
lam diam, seseorang berjalan menuju ke arahnya.
Orang itu nampak bukan orang-orang tanah Ja-
wa. Kulit orang itu kuning langsat, menjadikan
pemuda itu nampak seperti orang Cina. Dan me-
mang, pemuda itu yang tak lain Daeng Surih
adanya adalah keturunan Cina-Jawa. Bapaknya
adalah Amangkurat, yaitu seorang Jawa, sedang
ibunya adalah Nan-Cin-Cu putri kerajaan Cina.
Daeng Surih menghampiri keduanya, lalu
dengan menjura hormat terlebih dahulu ia pun
bertanya: "Ki Sanak dan Ni Sanak, dapatkah ka-
lian berdua menunjukkan pada kami untuk me-
nemui tempat Kerajaan Sebrang Gunung?"
"Siapakah adanya, Ki Sanak? Dan dari ma-
nakah Ki Sanak sebenarnya, serta ada keperluan
apakah hendak menuju ke Kerajaan Sebrang Gu-
nung?" tanya Maling Siluman.
"Hamba yang rendah ini bernama Daeng Su-
rih. Orang sering menjuluki hamba dengan se-
butan Pendekar Suling Kematian. Hamba datang
dari tanah Andalas tepatnya di Gunung Kerinci ke
mari semata-mata ingin mengecek kebenaran ten-
tang kalahnya sahabat hamba yang bernama Ja-
ka Ndableg oleh seorang Iblis. Kalau memang sa
habatku kalah dan mati, maka hamba akan tu-
rut berperang dengan Iblis tersebut sampai ham-
ba atau Iblis itu mati."
"Jadi Ki Sanak adalah sahabat Jaka?" tiba-
tiba Miranti menanya.
"Ya, hamba adalah sahabatnya."
"Kalau begitu kita setujuan."
"Setujuan bagaimana maksudmu, Nona?"
"Kami berdua juga sahabat Jaka, bahkan no-
na ini adalah kekasihnya," Maling Siluman mene-
rangkan, menjadikan Miranti tersipu-sipu meme-
rah pipinya. Sementara Daeng Surih yang telah
tahu siapa adanya Miranti, segera menjura penuh
hormat seraya kembali berkata:
"Oh, kalau begitu hambalah yang terlalu bo-
doh tak mau tahu siapa adanya Nona. Maafkan
segala kelancangan hamba."
"Tidak mengapa. Kau tidak bersalah. Kita
adalah sahabat yang patut saling bantu. Marilah
kita selekasnya ke sana. Aku merasa bahwa kita
belum terlambat untuk mencegah perbuatannya
yang telengas."
"Baiklah, Nona! Mari, Ki Sanak Daeng Su-
rih!" Maling Siluman mengajak. Dengan segera
ketiganya pun berkelebat meninggalkan pesisir
Utara yang kembali sepi dengan desahan gelom-
bang yang bergulung-gulung menepiskan pasir-
pasir dan sampah-sampah yang akhirnya menepi
di pantai. Angin pantai semilir bertiup, menam-
bah kesejukan dan rasa tenang.
***
Ternyata tidak hanya para pendekar saja
yang merasa gundah dengan hilangnya Jaka yang
menurut desas-desus jatuh ke jurang Gunung
Kapur, akan tetapi para tokoh masyarakat dan
para pimpinan perguruan-perguruan yang berali-
ran putih pun merasakan hal yang serupa. Juga
para kerajaan yang pernah merasa berhutang bu-
di pada Jaka Ndableg, seketika menjadi panas
oleh desas-desus tersebut.
Maka sebagai pelampiasan kemarahan me-
reka pada Iblis Sedayu yang kini berkuasa di Ke-
rajaan Sebrang Gunung, mereka pun mengirim
pasukan dengan maksud membumi hanguskan
kerajaan Sebrang Gunung dan apabila mampu
membunuh rajanya.
Dari beberapa kerajaan itu langsung dipim-
pin oleh patih utamanya, sementara dari pergu-
ruan-perguruan seperti Rajawali, Teratai, Tangan
Dewa, dan perguruan lainnya langsung dipimpin
oleh pimpinan sekaligus guru mereka.
Dari arah Selatan, Barat, Utara, dan Timur
nampak rombongan-rombongan itu berjalan me-
nuju ke satu arah yaitu Kerajaan Sebrang Gu-
nung di mana Iblis Sedayu menjadi rajanya.
Ketiga orang yang juga bertujuan sama seke-
tika tersentak manakala ketiganya mendengar se-
ruan-seruan dari belakang yang keluar dengan
nada marah dan dendam yang dilontarkan untuk
mencaci maki Iblis Sedayu Mukti.
"Kita ganyang Iblis laknat itu!"
"Kita lumatkan dengan tanah!"
Berbagai macam caci maki keluar dari para
prajurit dan orang-orang persilatan yang berjalan
dari sebelah Utara di mana ketiga pendekar itu
juga berasal.
"Nampaknya berita hilangnya Jaka telah
menjadikan beberapa kerajaan dan perguruan
yang pernah dibantunya marah. Apakah kita
akan bergabung dengan mereka?" tanya Maling
Siluman pada kedua rekannya.
"Sebaiknya menurutmu, bagaimana?" Miran-
ti balik bertanya.
"Kita bergabung saja?"
"Ya, kita bergabung dengan mereka saja,"
jawab Daeng Surih.
Maka setelah mengambil keputusan begitu
ketiganya segera berkelebat menuju ke arah di
mana mereka datang. Dan tanpa mengalami ke-
sulitan ketiga pendekar tersebut akhirnya diteri-
ma bergabung dengan mereka.
Mereka terus berjalan menapak demi seta-
pak menuju ke Kerajaan Sebrang Gunung. Da-
lam hati mereka ada satu tujuan yang sama, yai-
tu menghancurleburkan kerajaan Sebrang Gu-
nung beserta rajanya.
***
Kehadiran para tokoh persilatan, kerajaan-
kerajaan, serta perguruan-perguruan yang datang
dari empat penjuru itu menjadikan hirup pikuk
rakyat kerajaan Sebrang Gunung. Mereka ada
yang senang karena merasa akan datang ke-
bebasan dari cengkraman raja mereka yang selalu
meminta korban setiap Jum'at hingga gadis-gadis
di situ sudah hampir habis. Ya, setelah kerajaan
dipimpin oleh Raja Iblis Sedayu, maka sudah
menjadi kebiasaan bagi rakyatnya untuk selalu
mengorbankan seorang gadis untuk tumbal ra-
janya.
Tak terkecuali tokoh-tokoh persilatan di wi-
layah kerajaan, mereka menyambut kedatangan
para prajurit persatuan itu dengan hati bungah,
sebab tidak mungkin tidak bahwa kebebasan me-
reka untuk kembali mendirikan perguruan akan
kembali muncul. Maka sebelum para penyerbu
itu sampai, para tokoh persilatan di kerajaan Se-
brang Gunung segera menyambut mereka.
Makin bertambah banyak saja jumlah mere-
ka dengan menggabungnya banyak warga kera-
jaan Sebrang Gunung. Kini kekuatan mereka be-
nar-benar sebuah kekuatan dahsyat. Namun
apakah mereka akan mampu membunuh Iblis
Sedayu Mukti?
Orang-orang yang datang dari empat penjuru
itu kini makin mendekat ke wilayah Kerajaan Se-
brang Gunung. Hal itu menjadikan amarah Se-
dayu yang dengan segera menyiapkan pasukan-
nya untuk memapaki mereka. Pasukan yang ter-
diri dari bangsa manusia dan bangsa Iblis itu se-
gera menuju ke alun-alun, menanti kedatangan
para pemberontak yang jumlahnya hampir sera-
tus kali jumlah mereka. Sebenarnya hati prajurit
manusia Kerajaan Sebrang Gunung ciut juga me-
lihat hal tersebut, namun karena tugasnya seba-
gai prajurit mau tak mau ia harus menjalankan
nya.
"Serang...! Hancur leburkan Iblis laknat!"
Tanpa ayal lagi, mereka pun segera terlibat
dalam pertempuran. Nampaknya para prajurit-
prajurit yang bercampur baur dengan tokoh-
tokoh persilatan itu tanpa mengenal adanya takut
mati. Di hati mereka hanya ada satu pilihan, lebih
baik mati demi membela kebenaran dan keadilan
daripada hidup harus nantinya terkekang oleh Ib-
lis.
Sebaliknya para prajurit Kerajaan Sebrang
Gunung, walau jumlah mereka kecil namun dika-
renakan mereka mendera rasa takut pada rajanya
hingga keberanian mereka pun seperti api. Di-
tambah lagi dengan bantuan prajurit-prajurit Ib-
lis, makin ramailah perang besar itu.
"Trang! Trang!"
"Aaaah...!"
Senjata saling beradu, yang akhirnya harus
diakhiri dengan lengkingan kematian dari salah
seorang di antara yang bertarung. Dan bila mu-
suhnya telah mati, maka orang yang menang se-
gera mencari musuh yang lain.
Tiga pendekar terdiri dari Maling Siluman,
Daeng Surih dan Miranti nampak mengamuk
membabi buta. Setiap hantaman tangan dan kaki
mereka seketika menjadikan kematian bagi yang
terkena. Apalagi Miranti, dengan Selendang Un-
gunya yang setiap kali dikibaskan menjadikan
bunyi ledakan yang mampu menghancurkan gu-
nung tanpa ayal lagi mengamuk menghantamkan
selendangnya. Sepuluh orang musuh mati dengan
tubuh hancur, terkena sabetan Selendang Ungu.
Dalam sekejap saja prajurit-prajurit kerajaan
Sebrang Gunung dapat terdesak mundur. Tengah
keadaan genting menyelimuti prajurit-prajurit ke-
rajaan Sebrang Gunung, tiba-tiba terdengar suara
bentakan membahana. Bersamaan dengan itu,
sesosok tubuh berkelebat menghadang ketiga
pendekar tersebut.
"Mundurlah kalian semua! Biar aku yang
menghadapi mereka!"
"Iblis Sedayu! Memang engkaulah yang aku
tunggu-tunggu!" bentak Miranti marah.
"Hua, ha, ha...! Kalian mau mengantar nya-
wa rupanya! Jangankan kalian, Jaka Ndableg
yang kalian anggap manusia dewa pun dengan
mudah aku bunuh!" Iblis Sedayu bergelak tawa
sombong, menjadikan ketiga pendekar tersebut
melototkan mata marah. Hati mereka bagaikan
dibakar api. Ya, ketiganya kini telah dibakar oleh
api amarah pada Iblis tersebut. Sementara para
prajurit dua kekuatan itu telah mundur, mereka
hanya diam untuk menyaksikan apa yang bakal
terjadi.
"Sombong kau, Iblis! Kami datang untuk me-
musnahkan nyawa busukmu!" yang membentak
ini Maling Siluman. "Serang...!"
Dengan segera ketiganya pun berkelebat me-
nyerang bergantian. Namun demikian, sepertinya
Iblis Sedayu tak merasakan apa-apa di-serang
oleh tokoh-tokoh persilatan kelas wahid.
Pertempuran antara ketiga tokoh utama per-
silatan mengeroyok Iblis Sedayu terus berjalan.
Miranti dengan Selendang Ungunya tanpa segan-
segan mencerca dengan jurus-jurus yang dahsyat.
Dan Maling Siluman dengan pedangnya terus
membabatkan pedang di tangannya ke arah yang
mematikan. Sementara Daeng Surih dengan Su-
ling Kematiannya dengan enaknya meniup seru-
ling yang ditujukan langsung ke arah musuh. Aki-
bat tiupan seruling itu, seketika prajurit-prajurit
kerajaan Sebrang Gunung hancur berantakan.
Dan prajurit-prajurit manusianya seketika ber-
buat aneh. Mereka mencekik leher mereka sendiri
hingga mati melotot dengan lidah menjulur ke-
luar.
"Hiat...!" suara Miranti menggelegar.
"Hiat…!" Maling Siluman.
"Hiat...!" Daeng Surih. Ketiganya bersama-
sama hantamkan ilmu yang mereka miliki, dan...
"Duar...!"
Meledak seketika tubuh Jalak Kuning, han-
cur berantakan terhantam oleh ajian-ajian yang
mereka miliki. Seketika bersorak giranglah para
prajurit yang menonton. Namun belum juga hi-
lang rasa bahagia mereka, tiba-tiba terdengar ge-
lak tawa membahana memecahkan keramaian.
"Kalian jangan bungah dulu, aku masih hi-
dup! Hua, ha, ha...!"
Tersentak semuanya yang berada di situ ter-
masuk ketiga pendekar itu. Mata mereka tak per-
caya demi melihat apa yang kini berjalan ke arah
mereka. Sebuah mahluk yang terdiri dari darah
belaka berjalan menuju ke arah ketiga pendekar
tersebut.
"Inilah ujudku! Kalian tak akan mampu
membunuhku. Hua...!"
Mahluk itu segera berkelebat menyerang ke-
tiga pendekar tersebut yang dengan segera ber-
maksud menghindar. Namun cipratan darah itu
begitu cepat, hampir saja dapat mengenai tubuh
mereka, ketika nampak dua buah bayangan ber-
kelebat memapakinya.
"Wuuuttt...!"
"Desst...!"
"Kau....'" pekik mahluk itu demi melihat sia-
pa adanya yang datang. Tak kalah kaget dan se-
nangnya ketiga pendekar itu demi melihat siapa
yang kini tengah tersenyum menghadapi mahluk
menyeramkan. Dia adalah Jaka Ndableg yang di-
gegerkan telah mati.
"Jaka...." seru ketiganya demi melihat Jaka
telah ada bersamaan dengan seorang wanita can-
tik jelita di sisinya. Miranti nampak mengkerut,
melengos cemburu. Namun segera Jaka yang ta-
hu hal itu kedipkan mata, sehingga Miranti kini
tahu siapa adanya wanita di sisi Jaka.
"Dia adalah gurunya!"
"Gurunya...?!" terheran-heran Maling Silu-
man dan Daeng Surih mendengar penuturan Mi-
ranti. "Bagaimana mungkin gadis semuda itu ada-
lah guru Jaka?"
Namun pertanyaan Daeng Surih dan Maling
Siluman tak terjawab ketika dengan segera terpe-
cah oleh sebuah bentakan yang dilontarkan oleh
gadis cantik bak bidadari yang berdiri di samping
Jaka.
"Sedayu! Kau ternyata telah membuat nama
kerajaan cemar! Masihkah engkau akan mela-
wanku! Masihkah engkau akan menentangku! Ka-
lau memang begitu jangan salahkan aku ber-
tindak!" Ratu Siluman Darah nampak ngotot ma-
rah.
"Aku kini bukan wargamu! Maka engkau
minggirlah!"
"Hem, kau kira kau mudah untuk menjadi-
kan dirimu sebagai Raja bagi manusia. Sayang
Sedayu, ternyata usahamu akan mengalami ke-
siasiaan, sebab anakku inilah yang akan men-
gakhiri petualanganmu." Ratu Siluman Darah ci-
birkan bibirnya. "Nah Jaka, hadapilah dia. Guna-
kan ilmu yang ayahmu ajarkan. Hanya dengan
ilmu itu dia akan mati."
"Baik, Ibunda Ratu. Segala apa yang dis-
arankan ibunda akan Jaka laksanakan."
Tengah Jaka bersiap-siap, tiba-tiba Iblis Se-
dayu telah berkelebat menyerangnya. Dengan se-
gera Jaka pun rapalkan ajian yang telah di-
ajarkan oleh ayahnya yaitu ajian Penghalau Ber-
kala Iblis.
"Ajian Penghalau Iblis. Hiat...!" Tersentak Ib-
lis Sedayu melihat Jaka mengeluarkan ajian yang
hanya dimiliki oleh bangsa Siluman Darah saja.
Sayang ia tidak memilikinya, menjadikan Iblis Se-
dayu tak dapat berbuat banyak. Larikan sinar
merah, kuning, hijau, perak dan lainnya seperti
pelangi bergerak cepat. Bersamaan dengan lari-
kan sinar pelangi itu, segera Jaka ambil Pedang
Siluman Darah yang tergantung di punggungnya
dan diarahkan ke tubuh mahluk darah tersebut.
Sinar pelangi itu seperti menyedot tubuh da-
rah mahluk itu, semakin dekat dan dekat ke arah
Jaka. Dan manakala jarak mereka tinggal bebera-
pa jengkal, Jaka segera kiblatkan Pedang Siluman
Darah. Maka dalam sekejap saja darah yang be-
rada di tubuh mahluk itu tersedot masuk ke da-
lam pedang. Tinggallah mata mahluk itu mengge-
letak tak berdaya.
Jaka kembali hantamkan ajiannya, seketika
mata itu hancur berantakan ditimpa sinar pelan-
gi. Lenyaplah sudah Iblis Sedayu. Sorak sorai ke-
gembiraan pun mewarnai tempat itu. Mereka se-
gera memburu pada Jaka yang masih terpaku
memegangi Pedang Siluman Darah. Setelah me-
nyaksikan muridnya mampu menunaikan tugas,
dengan segera Ratu Siluman Darah pun lenyap,
menjadikan semua yang ada di situ terheran-
heran.
Miranti nampak tersenyum, lalu dengan
manja merebahkan kepalanya di dada bidang Ja-
ka yang berjalan membawanya melangkah me-
ninggalkan kerumunan massa.
"Siapakah adanya gadis cantik tadi, Jaka?"
tanya Miranti manja, manakala keduanya terus
melangkah.
"Kau cemburu rupanya, Sayang?"
Miranti bersungut, dicubitnya pinggang Ja-
ka.
"Aku sangat mencintaimu, Jaka."
"Aku juga. Tapi jangan terlalu cemburu be-
gitu, Sayang. Dia adalah ibuku."
"Ibumu...?!" membeliak mata Miranti men-
dengar penuturan Jaka. Bagaimana mungkin ibu-
nya semuda itu? Jaka yang melihat keragu-
raguan di mata Miranti dengan segera menerang-
kan.
"Dia ibuku. Ibuku adalah bangsa Siluman,
jadi selamanya masih muda saja, bukan?"
Ucapan Jaka yang konyol, seketika mengun-
dang rasa gemes di hati Miranti yang dengan se-
gera mencium bibirnya. Daeng Surih dan Maling
Siluman hanya gelengkan kepala, seakan menger-
ti perasaan kedua sejoli itu....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar