CINTA MEMENDAM DENDAM
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode:
Cinta Memendam Dendam
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
CINTA, suatu ungkapan yang indah. Cinta terlahir
sejak jaman dahulu, sejak manusia belum mengenal
tulisan maupun bahasa. Dulu walau hanya dengan
isyarat, namun tetap saja dinamakan cinta. Bagi me-
reka yang tengah menyanyikan alunan cinta, merasa-
kan indahnya dunia. Lupa akan semua yang bakal ter-
jadi, lupa akan kenyataan hidup. Walaupun segalanya
akan berubah, tapi dengan cinta segalanya menjadi in-
dah. Itulah Cinta, yang datang membuat hati senang
dan lupa akan segalanya. Yang pergi menjadikan luka
yang tiada dapat terobati. Kadang cinta mampu mem-
buat orang gila, merana bahkan trauma. Dikopi, khu-
sus untuk Ninie bagaimana dengan Kak Erwannya...?
Dua muda mudi tengah duduk-duduk di tepi tela-
ga, keduanya nampak mesra. Sekali-kali keduanya sal-
ing lempar senyum, atau saling cubit-mencubit. Gelak
tawa pun membahana, saat salah seorang dari kedua-
nya mengucapkan kata-kata yang mungkin bagi seo-
rangnya lagi dianggap lucu.
"Kakang, apakah kita akan selalu begini terus me-
nerus?"
"Maksudmu, Dinda?" tanya si pemuda yang ber-
nama Warakas sembari memandang pada si gadis yang
bernama Sulastri. Keduanya sudah hampir tiga bulan
menjalin cinta, lewat pandangan pertama yang mung-
kin tak akan pernah terjadi lagi.
"Apakah kita akan selalu begini?" kembali Sulastri
bertanya.
Warakas terdiam hening nan bisu, ia belum me-
mikirkan akan apa yang dinamakan perkawinan. Lagi
pula, bukankah ia baru mengenal Sulastri tiga bulan
yang lalu? "Ah, kesusu anak ini," gumam hati Wara
kas, "Apakah dikira untuk perkawinan cuma kawin sa-
ja? Kalau kawin saja sih, aku mau. Tapi membentuk
sebuah keluarga, aku belum siap lahir maupun batin."
"Bagaimana, Kakang? Kenapa kau tercenung di-
am?"
"Ah, ti-tidak," jawab Warakas terbata karena ter-
sentak oleh pertanyaan Sulastri yang tiba-tiba. "Sula-
stri, untuk membentuk sebuah perkawinan kita perlu
adanya modal yang kuat. Bukan hanya siap mental,
namun kita harus siap segalanya. Apalagi aku belum
mempunyai pekerjaan tetap. Apakah kita akan menu-
runi orang tua kita yang menjadi petani? Ah, aku tak
sanggup untuk itu, Sulastri? Aku telah dididik oleh
guru segala macam ilmu, apakah aku hanya menyerah
pada nasib? Aku ingin kita nantinya kaya, dan hidup
serba cukup. Cukup sandang pangan, cukup sega-
lanya. Kau harus sabar, Sulastri."
Sulastri yang gadis lugu, seketika manggut-
manggut dengan hati senang demi mendengar segala
cita-cita kekasihnya. Entahlah, mengapa Sulastri
mempercayai segala omongan Warakas. Padahal ia be-
lum tahu siapa sebenarnya Warakas, lalu dengan
maksud apa pemuda gagah itu mendekatinya. Padahal
banyak gadis-gadis di kampung Sulastri yang tertarik
pada Warakas, namun Warakas kenapa memilih di-
rinya yang bodoh dan anak orang tak mampu? Banyak
anak Lurah atau para pamong praja yang menyu-
kainya, tapi kenapa Warakas memilih Sulastri? Kalau
ingat itu semua Sulastri hanya dapat tersenyum, se-
nyum polos dari seorang gadis desa yang lugu.
Mungkin karena Sulastri merupakan gadis desa
yang masih polos dan lugu itulah, yang membuat Wa-
rakas memilihnya. Mungkinkah ada maksud lain di
hati Warakas pada Sulastri? Entah, yang tahu pasti
adalah Warakas sendiri sebagai pelaku utama dalam
jalinan cinta yang keduanya bina.
Awal pertemuan cinta mereka awali dengan pan-
dangan pertama yang indah, yang mampu menggu-
ratkan sebuah catatan tersendiri di hati insan Tuhan
itu. Waktu itu Warakas datang ke kampung Dukuh
Gempol dengan tujuan menemui pamannya yang men-
jadi seorang guru ngaji.
Sulastri yang juga mengaji di tempat Kyai Safei,
tiba-tiba hatinya menjadi gundah manakala mengadu
pandang dengan Warakas. Mata keduanya beradu,
seakan ingin mengulur benang-benang yang telah me-
reka rajut. Dan tanpa malu-malu, Warakas malam itu
juga menawarkan jasa pada Sulastri untuk mengan-
tarkan ke rumah.
"Aku antar, ya?"
"Ah tak usah, aku berani kok," jawab Sulastri
sembari tersenyum ramah. Senyumnya itulah yang
membuat jantung Warakas seketika berdegup dengan
kencang. Perasaannya tak menentu, bergelut dengan
segala macam kalimat.
"Tapi bolehkan kalau aku mengenalmu?" tanya
Warakas kemudian.
Sulastri hanya terdiam, matanya berkaca-kaca.
Tiba-tiba mulut Sulastri yang mungil berseru pada te-
mannya, "Hamidah, ayo kita bareng berjalan!"
Tersentak Warakas mendengar seruan Sulastri,
yang dirasa telah mengacuhkannya. Hati Warakas se-
ketika bergumul dengan rasa, dan berkata dengan ke-
luh.
"Hem, rupanya dia belum kenal siapa aku. Nanti
kaulah yang akan mengejar-ngejar aku." Dengan hati
masih dipenuhi seribu macam perasaan Warakas ak-
hirnya berlalu kembali ke rumah pamannya, tak hi-
raukan lagi pada segala gelap malam yang menyelu-
bungi bumi.
Malam itu Warakas tak dapat tidur, bayangan wa-
jah Sulastri terus menggayut dalam benaknya. Pera-
saan untuk menaklukkan Sulastri terus meledak-ledak
di dalam hatinya, seperti bara api yang tak mau padam
begitu lupa. Entahlah, sepertinya dalam hati Warakas
hanya ada satu wajah, Sulastri,
"Aku harus dapat! Ya, aku harus dapat menak-
lukkannya!" desah Warakas dalam hati. Matanya yang
sedari tadi diajak tidur, tak juga mau terpejam. Pera-
saan kecewa karena ditolak mengantar Sulastri ke ru-
mah, menjadikan Warakas bagaikan ditantang.
Seperti halnya Warakas, saat itu juga Sulastri pun
merasakan hal yang serupa. Perasaan bersalah telah
menolak Warakas untuk mengantarnya, seperti menje-
lajahi hati. Entahlah, mengapa Warakas yang baru ia
kenal begitu menggurat hati? Sulastri sebenarnya pun
menaruh hati pada Warakas (Seperti Mbak Ninie yang
juga waktu itu menaruh hati pada Kak Erwan Tan-
jung), namun karena merasa orang tak punya dan bo-
doh menjadikan Sulastri menekan sedapat mungkin
perasaannya.
"Apakah mungkin, aku yang bodoh dan miskin ini
menerima cinta Warakas yang pintar dan keturunan
orang berada? Apakah nantinya aku tidak dijadikan
sebagai budaknya, bukan sebagai istri?"
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadikan
Sulastri terus menekan gejolak jiwanya. Belum juga
masalah keluarga, apakah mungkin orang tua Wara-
kas akan mau menerimanya? Ya, memang biasanya
orang akan melakukan penyeleksian yang ketat pada
segala yang bakal menjadi milik diri atau anggota di-
rinya.
Seperti halnya Warakas, Sulastri pun malam itu
tak dapat memejamkan mata barang sekejappun.
Bayangan Wakaras, bayangan keadaan diri, juga
bayangan keluarga Warakas yang Santri. Ah, semua-
nya seperti memaksa hati Sulastri untuk berpikir dan
berpikir sebelum menerima cinta Warakas.
"Ooh, adakah cinta harus mengenal kelas? Ada-
kah aku dilahirkan sesuai dengan kodratku? Kenapa
aku tak menjadi anak orang berada seperti Warakas,
sehingga aku dapat mendampinginya? Oh... Warakas,
mungkinkah kita akan dapat menyatu...?" keluh Sula-
stri penuh kebimbangan.
Malam itu pun, dilalui Sulastri dan Warakas den-
gan segala macam pikiran (Layaknya seperti Mbak Ni-
nie pada waktu itu. Bukan begitu, Mbak Ninie? Aku ki-
ra kau pun begitu saat itu. Tidur tak nyenyak, makan
tak enak. Pokoknya ingat Kakak Erwan Tanjung, he,
he!). Kadang Sulastri atau Warakas tersenyum geli
sembari gelengkan kepala, entah apa yang keduanya
pikirkan. Malam pun berlanjut, membawa hening dan
sunyi. Ketika lamat-lamat terdengar kokok sang ayam,
keduanya baru dapat tertidur. Hal itu menjadikan ke-
duanya lupa sholat Subuh. Pada waktu Kyai Safei
membangunkan kemenakannya, mata Kyai Syafei se-
ketika terbelalak. Bagaimana mungkin, sang kemena-
kan masih tertidur padahal hari telah pagi.
"Warakas! Warakas, bangunlah hari sudah pagi.
Apakah kau tidak sholat Subuh?" tanya Kyai Safei
membangunkan Warakas. Warakas sesaat menggeliat,
lalu bangun dengan terlebih dahulu mengucak-ucak
matanya yang masih terasa ngantuk.
"Astagfirullah! Warakas, kau...!" seru Kyai Safei
kaget, menjadikan Warakas celigukan bagai orang ke-
bingungan seraya bertanya tak mengerti.
"Ada apa, Paman?"
"Kau ngompol...?" tanya Kyai Safei kembali, ma-
tanya membelalak kaget tak percaya. "Kau...."
"Ah...." Warakas tersentak, serta merta menu
tupkan tangannya ke bawah. Dengan terbata-bata Wa-
rakas segera mengatakan apa yang menjadikan dirinya
bisa begitu. "Ma... maaf, Paman. A... aku..."
"Ah, sudahlah. Ayo kau mandi besar, sana!"
Dengan tanpa banyak kata lagi Warakas segera
berlari ke belakang menuju sumur. Perasaan malunya,
menjadikan Warakas melipir berjalan meninggalkan
pamannya yang hanya geleng-geleng kepala. Dengan
tersenyum kecut, sang paman pun segera berlalu per-
gi.
***
Sebagaimana kata pepatah, orang akan berusaha
mendapatkan apa yang belum ia dapatkan walau den-
gan pengorbanan yang besar. Seperti pepatah tersebut,
Warakas pun tak mau mundur begitu saja. Apalagi Su-
lastri telah mampu membuat ia terkencing dalam ti-
dur, menjadikan Warakas mau tak mau terus berusa-
ha mendapatkannya.
"Sulastri, terus terang aku...."
"Aku kenapa? Kenapa kau gugup?" tanya Sulastri
pada Warakas, demi mendengar ucapan Warakas yang
gugup yang saat itu kembali menghadangnya manaka-
la Sulastri habis mengaji di Kyai Safei. "Bukankah kau
laki-laki, kenapa mesti gugup? Katakanlah!"
Mendengar ucapan Sulastri yang sepertinya men-
dorong, Warakas seketika tersenyum. Dan setelah ter-
lebih dahulu menyeka keringat yang ada di pelipis,
Warakas pun berkata, walau masih tampak tersendat.
"Sulastri, aku... aku mencintaimu...."
"Ah!" tersentak Sulastri mendengar ucapan Wara-
kas. Walau hati kecilnya sebenarnya berkata, "Oh,
mengapa aku miskin? Mengapa aku diciptakan untuk
menjadi orang miskin?"
"Kenapa, Sulastri? Apakah kau tak mau menerima
cintaku?"
"Bu... bukan," jawab Sulastri tersentak dari lamu-
nannya. Mata Sulastri berkaca-kaca, seakan ia ingin
menangis. Ya, Sulastri ingin sekali menangis. Tapi tan-
gis apa? Apakah tangis bahagia? Atau barangkali tan-
gis akibat luapan emosinya? "Aku hanya kaget!"
"Kaget...? Kaget kenapa..;?" tanya Warakas masih
belum mengerti, matanya menyipit sempit memandang
pada Sulastri yang akhirnya tertunduk. Dan tiba-tiba
dari mata Sulastri mengalir air bening, meleleh mem-
basahi pipi. "Kenapa kau menangis, Sulastri? Kau se-
dih?"
Sulastri gelengkan kepala, menjadikan Warakas
terpaku tak tahu harus berbuat apa. Keduanya hanya
terdiam membisu, tanpa kata tanpa reaksi. Warakas
masih terus terbawa oleh alunan kebisuan, dengan ta-
tapan matanya memandang pada mata Sulastri yang
menangis.
"Ehm... ehm!"
Tersentak keduanya manakala mendengar suara
deheman. Seketika keduanya menengok ke arah suara
itu. Mata keduanya terbelalak, manakala tahu siapa
adanya yang datang.
"Paman...." desah Warakas.
"Guru...."
Kyai Safei tersenyum melihat murid dan kemena-
kannya kaget. Digelengkan kepala dengan senyum
yang masih terurai di bibir, lalu katanya kemudian,
"Sulastri, apakah kau tak pulang? Hari telah larut....
Warakas, antarkan dia!"
"Ti...." Sulastri hendak menolak, manakala dengan
segera Kyai Safei memotongnya.
"Jangan menolak, Lastri! Hari telah begini larut,
tak baik untuk seorang gadis."
"Benar apa yang diutarakan paman, memang tak
baik kalau seorang gadis malam-malam begini harus
berjalan sendirian. Percayalah padaku, aku dengan tu-
lus mengantarmu," menambahkan Warakas, sementa-
ra bibirnya masih terurai senyum.
Sulastri akhirnya hanya terdiam dan diam dengan
seribu macam perasaan yang ada di dalam hati. Kedua
muda-mudi itu pun akhirnya berjalan beriringan me-
ninggalkan pondok Kyai Safei. Kyai Safei hanya mam-
pu menggelengkan kepalanya melihat kemenakannya
yang nampak mempunyai hati dengan muridnya.
"Memang cocok mereka. Ah, apakah aku akan te-
ga membiarkan hati mereka gundah?" keluh Kyai Safei
dalam hati. "Biarlah! Kalau memang jodoh, mau apa
lagi?"
Kedua muda-mudi itu berjalan dalam diam, tanpa
ada yang berani untuk mendahului berkata. Hanya se-
kali-kali keduanya saling pandang, lalu bibir mereka
pun tersenyum. Hingga dengan pandang dan senyum
itulah, kedua muda mudi yang tengah dimabuk asma-
ra mengutarakan apa yang terkandung dalam hati me-
reka.
"Lastri...."
"Ya...." jawab Lastri setengah mendesah.
"Apakah kau tak suka denganku?" tanya Warakas
kemudian, setelah untuk beberapa lama hanya diam
dan diam. Mata Warakas yang tajam, menghunjam ta-
jam pada mata Sulastri. Keduanya berhenti melang-
kah, saling pandang dan kaitkan hati. Tak terasa, tan-
gan Warakas perlahan menggenggam tangan Sulastri.
Mulanya Sulastri bermaksud menolak, namun ketika
ditatapnya mata Warakas yang seakan mengandung
harapan, Sulastri pun hanya diam. Tangan keduanya
saling remas, membuat sebuah keratan-keratan lem-
but yang menjalar hingga ke hati keduanya. (Bagaima
na mbak Ninie, apa masih teringat kejadian begitu...
He... he... he... Becanda lho!. Keduanya lama diam,
tangan mereka saling kait dan mata mereka saling
pandang. Ah, mesranya cinta. Lama kejadian itu berja-
lan, sehingga tak terasa waktu makin berlalu dengan
cepat. Setelah dirasa telah begitu lama, Warakas pun
kembali mengajak Sulastri berjalan.
"Kau mau menerima cintaku, Lastri?" tanya Wara-
kas.
"Apakah perlu aku katakan lagi, Kakang?"
"Ah, sungguh sejuk kedengarannya kau sebut
aku, Kakang!" ledek Warakas menjadikan Sulastri se-
ketika memelototkan mata. Melihat hat itu Warakas
bukannya takut, bahkan dengan lembut dipetiknya
mata Sulastri dengan jari telunjuk. Sulastri merengah,
seperti merasakan indahnya malam itu.
"Apakah pantas aku yang miskin ini untuk men-
cintaimu, Kakang?"
"Kenapa tidak, Lastri," jawab Warakas, menjadi-
kan binar-binar kebahagiaan di mata Sulastri. "Cinta
tak mengenal miskin atau kaya, juga golongan atau se-
gala macam tetek bengek. Yang penting cinta, ya cin-
ta."
Sulastri tersenyum melebar mendengar ucapan
Warakas.
"Kenapa tersenyum?" Warakas menyipitkan mata
demi melihat senyum manis Sulastri yang menghias
bibir. "Adakah yang lucu?"
"Ada! Dan memang ada," jawab Sulastri manja.
"Apa itu, Lastri?"
"Kau... Ya, kau lucu, Kakang."
Kedua muda mudi itu akhirnya kembali bergelak
tawa, saling gandeng tangan melangkah menuju ke
rumah Sulastri yang telah tampak di hadapan mereka.
Kini hati mereka berbunga, ya bunga cinta kasih yang
semestinya dialami oleh anak cucu Adam. Bukankah
cinta memang dicipta untuk kita? Bukankah cinta itu
suci? Tapi kenapa masih banyak orang yang menga-
gungkan cinta akhirnya jatuh? Salah siapakah ini se-
mua? Apakah pelakunya? Atau alam cinta yang makin
lama makin membara? Entahlah, yang penting cinta
itu indah dan suci. Tapi kenapa kadang kala diwarnai
oleh tuntutan-tuntutan psikologi? Jangankan manu-
sia, malaikat pun mungkin tak akan mampu untuk
menjawabnya. Ya, banyak gadis-gadis korban cinta.
Mulut yang mendayu dayu dengan segala rayuan, ter-
kadang hilang manakala telah mencicipi keperawa-
nan... Oh, apakah ini pertanda cinta telah pudar mak-
nanya?
Ketika keduanya telah sampai di depan rumah Su-
lastri, Warakas kembali berkata. "Lastri, mungkin esok
kita kan dapat bertemu lagi?"
"Kenapa tidak, Kakang," jawab Sulastri dengan
senyum.
"Selamat malam, Lastri!"
"Malam, Kakang," jawab Sulastri.
Setelah untuk sesaat keduanya kembali saling
pandang, Sulastri akhirnya masuk ke dalam rumah se-
telah dilihatnya Warakas berlalu pergi kembali ke pon-
dok pamannya. Kini hati Sulastri berbunga, bunga
yang hanya tumbuh untuk sekali dan tak pernah akan
tumbuh lagi. Walaupun tumbuh, tentu bunga itu tak
akan seindah pertama.
Dengan senyum di bibir Sulastri melangkah per-
lahan, sehingga kedua orang tuanya hanya bengong
tak mengerti dengan tingkah laku anaknya.
Sulastri lupa mengucap salam, membuat kedua
orang tuanya makin membelalakkan mata kaget. Beta-
pa tidak! Hari ini Sulastri jelas berbeda dengan hari-
hari biasanya. Biasanya Sulastri datang-datang men
gucap salam, tapi kini? Sulastri nyelonong saja, tak hi-
raukan kedua orang tuanya yang tengah bercakap-
cakap sambil menikmati kopi dan sepiring singkong
rebus. Ketika Sulastri hendak langsung masuk ke da-
lam kamar, sang ayah berseru memanggilnya. "La-
stri...!"
Sulastri menghentikan langkahnya, mematung di
depan pintu kamarnya.
"Ya, Ayah?" jawabnya tanpa reaksi. "Kemarilah se-
bentar!"
Dengan perasaan takut-takut Sulastri membalik-
kan tubuh, lalu melangkah dengan pelan menuju di
mana ayah dan ibunya tengah duduk. Mukanya ter-
tunduk, seakan ada rasa takut yang amat sangat. Tan-
gannya yang menggenggam Al-Quran gemetaran, ham-
pir tak kuasa memegang beban.
"Duduklah, Nak!"
Lega hati Sulastri mendengar ucapan ayahnya
yang melemah. Dengan pelan sekali Sulastri jatuhkan
pantatnya di atas kursi bamboo yang menghiasi ruan-
gan itu.
"Ada apa Ayah?" tanyanya setelah duduk dengan
muka menunduk.
"Kau lupa sesuatu, Anakku?"
Sulastri mengerutkan kening mendengar ucapan
ayahnya. Setahunya ia tak lupa sesuatu apapun. Sega-
la tugas rumah telah ia kerjakan sebelum ia berangkat
ngaji. "Apa yang telah aku lupakan?" tanya hatinya
bimbang. "Bukankah aku telah melakukannya semua?
Segala pekerjaan rumah telah aku bereskan. Lalu apa
yang sebenar-nya dikatakan ayah?"
"Apakah Lastri telah lalai. Ayah?" tanya Sulastri
dengan agak takut-takut, menjadikan sang ayah terse-
nyum. Sulastri adalah anak mereka paling sulung.
Adiknya dua laki-laki semua, sehingga Sulastri benar
benar merupakan anak wanita satu-satunya. Pantas-
lah kalau segala kehendak-nya dituruti. Namun demi-
kian, Sulastri tak menjadi gadis tak tahu aturan. Dia
merupakan gadis paling pendiam dan ramah serta ta-
wakal.
"Benar, Anakku!"
"Tentang apakah, Ayah?" tanya Sulastri masih be-
lum mengerti.
"Kau hari ini aneh," kata ayahnya seperti berkata
pada dirinya sendiri, menjadikan Sulastri terjengah
makin tak mengerti. "Biasanya sepulang ngaji kau
mengucap salam, namun malam hari ini kau kayak ar-
ca ngeloyor saja pergi."
"Ah...." Sulastri terjengah. Ia baru menyadari ka-
lau tindakannya telah lali, benar-benar lalai. "Semua
gara-gara Warakas. Ya, gara-gara dia jadi aku melalai-
kan segala kebiasaanku," keluh Sulastri dalam hati.
"Tapi, Warakas... Oh, sungguh-sungguhkah aku akan
dapat mengambil cintanya yang suci dan murni? Ooh,
Warakas...."
"Kau melamun, Anakku? Kenapa?"
Tersentak Sulastri mendengar pertanyaan ayah-
nya. Segera ia betulkan duduknya, dengan serta merta
dicobanya untuk membuang gambaran kekagetannya
dengan senyum.
"Ti... tidak, Ayah!"
"Ya, sudahlah. Sekarang kau tidurlah!" kata ayah-
nya nadanya memerintah.
"Terima kasih, Ayah. Assalamualaikum, Ayah,
Ibu."
"Waalaikum Salam, Anakku," jawab kedua orang
tuanya bareng.
Kedua orang tua itu hanya saling pandang setelah
kepergian anaknya yang dirasa bertindak aneh hari
itu. Keduanya tak tahu kalau sang anak tengah mera
sakan apa yang dinamakan cinta. Oh... kalau saja me-
reka tahu, mungkin mereka pun akan mendesah berat.
***
DUA
Perjalanan cinta kadangkala tidak selamanya in-
dah. Ada kalanya cinta menjadikan derita, namun ada
kalanya cinta membuat orang bahagia. Cinta yang se-
sungguhnyalah yang menjadikan orang bahagia, dan
biasanya dikatakan cinta suci.
Perjalanan cinta Sulastri pun terus berlanjut. Dari
bersembunyi-sembunyi, lama kelamaan Warakas pun
memberanikan diri datang ke rumah Sulastri untuk
menemui kedua orang tua Sulastri. Seperti halnya ma-
lam itu manakala Sulastri pulang dari ngaji, Warakas
yang ingin menunjukkan pada kedua orang tua Sula-
stri bahwa dirinya benar-benar bertanggung jawab da-
tang menemui. Warakas malam itu tak sendirian, na-
mun ditemani oleh seorang teman dekatnya yang ia
kenal sejak berada di rumah pamannya, Kyai Safei.
Malam itu maksud Warakas ingin mengutarakan hal
yang ada di hatinya pada kedua orang tua Sulastri,
namun ternyata yang ada saat itu hanya ibu Sulastri.
"Benarkah nak Warakas ingin menjalin hubungan
dengan Sulastri, anakku?" tanya ibu Sulastri ingin
meyakinkan, yang diangguki oleh Warakas sembari
berkata:
"Benar ibu. Saya sengaja datang ke mari semata-
mata untuk mengutarakan maksud hati saya."
"Ah, kenapa nak Warakas harus mencintai anak-
ku?" tanya ibu Sulastri seakan tak yakin. "Nak Wara-
kas tahu sendiri keadaan keluarga Sulastri, miskin
dan bodoh. Apakah nantinya nak Warakas tidak me-
nyesal mengambil Sulastri menjadi isteri?"
"Tidak, Ibu."
"Benar, Bibi," timpal teman Warakas. "Percayalah
kalau temanku ini adalah benar-benar baik dan ingin
mengambil isteri pada dik Sulastri. Bukankah bibi te-
lah mengetahui siapa adanya paman temanku ini?"
Wanita setengah baya itu untuk sesaat mendesah
panjang, hatinya seperti ingin melepaskan segala apa
saja yang melekat. Mata tuanya menatap pada Wara-
kas, yang duduk di hadapannya dengan menundukkan
muka. Setelah sesaat menarik napas panjang, wanita
setengah baya itu kembali berkata:
"Aku tak melarang kalau nak Warakas memang
benar-benar ingin menjadikan anakku isteri. Tapi se-
perti yang aku katakan tadi, apakah nak Warakas ti-
dak malu mengambil isteri anak orang kere?"
Warakas terdiam bisu, seakan ucapan wanita se-
tengah baya itu menghunjam legam di hatinya. Nada
ucapan wanita setengah baya itu, seakan menghen-
takkan perasaannya.
"Tidak, Ibu. Aku bermaksud mengambil Lastri
menjadi isteriku sekaligus aku ingin mengangkat mar-
tabat keluarga ini."
"Benar, Bibi. Percayalah, bahwa temanku ini akan
benar-benar menolong keluarga bibi. Kalau memang
nanti dia berbuat yang tidak-tidak, maka akulah yang
akan bertanggung jawab," kembali teman Warakas
yang sudah dikenal oleh wanita setengah baya itu me-
nambahkan. Bahkan pemuda itu berani menjadikan
dirinya sebagai jaminan. Hal itu membuat hati Priyani,
ibu Sulastri, terkesima. Maka tanpa menimbang atau
memikirkan apa-apa yang nanti bakal terjadi, Priyani
pun hanya dapat mendesah.
"Ah... aku sebagai orang tua tak dapat berkata
apa-apa, semuanya kembali terserah pada Lastri saja.
Kalau memang Lastri pun menerima cinta nak Wara-
kas, ibu hanya dapat mendoakan semoga kalian akan
kekal selamanya. Bukan begitu, Nak Indra?"
"Benar, Bibi. Memang sebaiknya begitu," jawab
Indra, matanya melirik pada Warakas dengan bibir te-
rurai senyum. "Nak Warakas, kini segala telah beres,
maka aku pesan padamu jangan sekali-kali kau mem-
buat hal yang tidak-tidak. Baiklah, Ibu, kami pamit
undur...."
"Eh, bukankah kalian belum kami suguhi?"
"Ah, tak usahlah repot-repot," ucap Warakas den-
gan hormat.
Setelah kedua anak muda itu menyalami Priyani
dan Lastri, keduanya segera berlalu meninggalkan ru-
mah itu. Keduanya hanya diam, tanpa kata-kata yang
dapat dijadikan uraian bisunya malam.
***
Sejak saat itu hubungan Warakas dan Sulastri
pun tak sembunyi-sembunyi lagi. Pulang pergi mengaji
Sulastri selalu ada yang mendampingi. Keduanya
nampak rukun-rukun saja, mesra dan nampak har-
monis. Karena keharmonisan merekalah, sampai-
sampai banyak orang yang tak suka. Biasanya mereka
kebanyakan gadis-gadis yang dulu menjadi teman Su-
lastri. Mereka yang mengejar-ngejar Warakas, ternyata
Sulastri yang mendapatkannya.
Ucapan sinis dan segala macam cemoohan yang
datangnya dari orang-orang yang tak senang silih ber-
ganti. Namun kedua remaja yang sedang dimabuk as-
mara tak menggubrisnya. Bagi mereka, yang penting
cinta mereka berjalan sebagaimana mestinya. Apalah
artinya orang lain yang tidak menjalankan.
Namun sekuat-kuatnya hati manusia, akhirnya
terkena juga api kesal. Begitu juga dengan Sulastri, ia
pun merasakan kekesalan pada orang-orang yang
mencemoohnya. Pada suatu hari, Sulastri pun menga-
takannya pada Warakas tentang orang-orang yang na-
danya sinis pada hubungan keduanya.
"Kakang, aku tak kuat lagi mendengar ucapan-
ucapan mereka."
"Kenapa, Lastri? Apakah yang telah mereka laku-
kan? Bukankah mereka hanya memandang dan meli-
hat saja? Kau tak usah memikirkan mereka, namun
pikirkanlah tentang hubungan kita."
"Tapi aku tak kuat, Kakang," menangis Sulastri
dalam dekapan Warakas, sepertinya di dada Warakas-
lah segalanya akan menjadi tenang. Ditumpahkan se-
gala suka duka yang ia alami, yang menurutnya tak
akan dapat orang lain untuk memecahkannya.
"Sudahlah, Lastri. Kau tak perlu menangis," ucap
Warakas mencoba menghibur hati sang kekasih. Dan
memang benar, Sulastri akhirnya diam dalam dekapan
tangan Warakas yang kokoh. Sulastri terlena oleh pe-
rasaannya yang kecewa pada seluruh teman-temannya
yang kini menjauhi. Dan manakala untuk pertama ka-
linya bibir Warakas mencium bibirnya, Sulastri tak
mampu berkata-kata. Mulanya Sulastri terjengah ber-
maksud menolak, tapi ketika bibir Warakas makin da-
lam mengulum bibirnya, Sulastri akhirnya terdiam.
Bahkan Sulastri malah membalasnya dengan mesra.
(Semoga mbak Ninie ingat ini....).
"Lastri, aku ingin kita segera menikah."
"Itu yang kita inginkan, Kakang," desah Sulastri
manja.
"Aku akan mencari kerja di kerajaan, Lastri."
Tersentak Sulastri mendengar ucapan Warakas,
sepertinya tersentak oleh ledakan halilintar saja sam
pai-sampai mata Sulastri terbelalak. Hati Sulastri se-
ketika gundah gulana, takut kalau-kalau Warakas
nanti akan melupakannya setelah di kerajaan.
"Kenapa, Lastri? Apakah kau tak percaya pada-
ku?" tanya Warakas demi melihat kekagetan Sulastri.
"Percayalah, aku hanya mencintaimu. Tak mungkin
ada gadis lain yang bakal menyinggahi hatiku," tam-
bahnya mencoba menghibur hati Sulastri.
"Aku takut, Kakang!?"
"Takut kenapa, Lastri?"
"Aku takut kakang akan melupakanku. Bukankah
nanti di kerajaan banyak gadis-gadis yang melebihi di-
riku?"
Warakas tersenyum sembari gelengkan kepala
demi mendengar ucapan Sulastri. Makin dieratkan pe-
lukannya, menjadikan napas Sulastri tersengal-sengal.
Lalu dengan kata-kata mesra yang membuai Sulastri,
Warakas pun kembali berkata: "Percayalah, Lastri.
Apapun kenyataannya yang bakal aku hadapi, hanya
kaulah yang nantinya mendampingi diriku."
"Benarkah itu, Kakang?" tanya Sulastri ingin ke-
pastian.
Warakas hanya menganggukkan kepala disertai
dengan bibir terurai senyum. Kemudian kedua muda
mudi itu pun diam dengan bibir-bibir mereka saling
beradu. Tangan Warakas seketika tanpa dapat dicegah
bergerak liar, menyusuri lekuk demi lekuk tubuh Sula-
stri. Dan ketika tangan Warakas makin menggila, Su-
lastri yang ingat akan keadaan dirinya segera menya-
darkan Warakas.
"Jangan, Kakang! Kita belum resmi...."
"Tapi...." tergagap Warakas tak mampu memben-
dung gejolak nafsu yang telah melonjak-lonjak di ha-
tinya. "Aku ingin, Lastri."
"Tidak, Kakang! Ingat, kau kemenakan pak Kyai."
Terjengah Warakas demi mendengar ucapan Sula-
stri. Dengan tersentak kaget Warakas segera mele-
paskan tangannya dari tubuh Sulastri yang seketika
kembali tersenyum. Ditatapnya Sulastri lekat-lekat,
seperti hendak menembus ke hati.
"Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri. "Baiklah,
Lastri, tapi aku minta kau jangan ceritakan ini pada
kedua orang tuamu."
Sulastri hanya menganggukkan kepala. Perasaan-
nya gundah, antara harus menuruti apa kata Warakas
dengan perasaannya yang penuh ketakutan kalau-
kalau orang tuanya marah. Karena hatinya terjerat se-
gala macam perasaan, menjadikan Sulastri terdiam.
Begitu juga halnya Warakas, diam membisu.
Mungkin ia pun merasakan hal serupa, serba sa-
lah... Entahlah.
***
Dengan diiringi tatapan Mata Sulastri, Warakas
pun berangkat menuju ke kerajaan untuk mencari ker-
ja. Memang tujuannya turun gunung setelah lama ber-
guru adalah mengabdi pada kerajaan. Namun kini ia
terpikat pada seorang gadis, Sulastri, manakala ia
singgah di rumah pamannya, Kyai Safei....
Kini Sulastri sendiri, tanpa Warakas yang bi-
asanya memberikan rasa manja, memberikan bunga-
bunga cinta. Warakas pergi untuk mencari kerja di ke-
rajaan. Siang malam Sulastri berdoa semoga Warakas
dapat segera mendapatkan kerja dan diterima men-
gabdi di kerajaan.
Sebulan dua bulan berlalu sudah, Warakas telah
pergi ke kerajaan. Ketika menginjak bulan ketiga, Wa-
rakas mengirim surat melalui utusannya pada Sula-
stri. Berbunga hati Sulastri mendapatkan surat dari
Warakas. Surat yang sangat dinanti-nantikan untuk
menghibur hatinya yang telah lama sunyi dan bisu.
Dengan segera Sulastri membuka lembaran daun
lontar yang berisi surat dari Warakas. Matanya berka-
ca-kaca gembira, senyumnya mengurai. Perlahan den-
gan hati berbunga-bunga Sulastri membaca bait demi
bait larikan isi surat itu.
Hati Sulastri bersorak girang manakala membaca
isi surat itu, yang mengabarkan tentang Warakas yang
telah diterima sebagai prajurit kepala di kerajaan. Ma-
ka dengan bersorak girang Sulastri segera menemui
ibunya untuk memberitahukan hal surat Warakas ter-
sebut.
"Ibu, bacalah surat ini!"
"Dari siapakah, Lastri?" tanya sang ibu terheran-
heran melihat tingkah anaknya. Begitu juga dengan
ayahnya, merasa turut berbahagia. Dengan segera
sang ibu pun membaca isi surat itu setelah Sulastri
memberitahukan bahwa surat itu dari Warakas.
Menemui dinda Sulastri,
Dinda, kini kakang telah diterima sebagai prajurit
kepala pada kerajaan. Kakang senang sekali, semoga
begitu juga halnya dengan dinda Sulastri dan keluarga.
Oh ya, Dinda, Kakang akan datang bulan depan. Ke-
rinduan kakang pada dinda sudah tak tertahankan la-
gi. Tunggu kedatangan kakang, Dinda.
Salam untuk ayah dan ibu, juga kedua adikmu.
Dariku,
Warakas
Berseri-seri wajah keluarga Sulastri. Mereka me-
rasakan bahwa Warakas memang benar-benar ingin
membantu keluarga mereka. Mereka meyakini bahwa
Warakas memang tak main-main dengan apa yang
pernah diucapkan bersama temannya, Indra. Yang le
bih bahagia adalah Sulastri. Ia begitu senangnya kare-
na sang kekasih akan datang untuk mengisi kembali
hari-harinya yang indah walau hanya sesaat.
***
Dari kejauhan tampak tiga orang penunggang ku-
da berjalan dengan kencang, sepertinya si penunggang
ingin segera sampai di tempat tujuan. Paling depan
nampak seorang pimpinan prajurit, pakaiannya nam-
pak indah dan mentereng. Wajahnya yang tampan,
menampakkan kewibawaan sempurna. Bila dilihat se-
pintas, maka nampaklah bahwa dia tak lain Warakas.
Sementara dua orang lainnya adalah dua anak buah-
nya yang sengaja dia bawa untuk menemani.
"Apakah kita masih jauh, Gusti?" tanya sang pen-
gawal yang bernama Sastono.
"Tidak! Sebentar lagi kita bakal sampai pada tem-
pat yang kita tuju," jawab Warakas. "Lihat! Di depan
sana sudah nampak pedukuan. Itulah pedukuan yang
kita tuju. Ayo, kita percepat kuda kita!"
"Daulat, Gusti."
Ketiganya segera memacu lari kuda mereka yang
memacu bagaikan kelebatan angin. Kuda-kuda itu ba-
gai tak mengenal lelah, terus berlari membawa tubuh
ketiga tuannya. Tak lama kemudian, ketiganya pun te-
lah sampai pada sebuah pedukuan. Warakas segera
menuju ke tempat Sulastri, sementara kedua anak
buahnya disuruhnya untuk sementara menetap di ru-
mah sang paman.
"Kakang Warakas.... Kaukah, Kakang?" seru Sula-
stri girang, demi dilihatnya Warakas datang. Betapa
tak dapat terkendali rasa rindu yang selama ini ter-
pendam. Maka tanpa malu-malu Sulastri pun segera
memeluk sang kekasih tercinta yang baru tiba. "Kau
nampaknya senang di kerajaan, sampai-sampai kau
gemuk, Kakang... !"
"Kau bisa saja, Dinda. Sungguh kakang sangat
rindu padamu."
"Aah... Kakang...." lenguh Sulastri manja. Tanpa
sungkan lagi, direbahkan kepalanya pada dada Wara-
kas. Keduanya segera masuk ke dalam rumah. "Apa-
kah Kakang benar-benar masih mencintai ku?"
"Lastri.... Bagaimana mungkin aku tak menyin-
taimu," ucap Warakas membersitkan rasa yakin pada
hati Sulastri. "Kalau aku tak menyintaimu, apa mung-
kin aku datang dari kerajaan jauh-jauh begini. Untuk
apa...?"
Sulastri seketika terdiam manja. Matanya me-
mandang tak berkedip, memancar dengan penuh ha-
rap yang sangat dalam. Entah karena apa, tiba-tiba
hatinya cemburu. Ya, hatinya cemburu, takut kalau-
kalau Warakas di kerajaan mendapatkan gadis lain.
Gadis yang cantik dan kaya, yang sesuai dengan mar-
tabat Warakas sebagai seorang kepala pasukan.
"Aku takut, Kakang," lenguh Sulastri.
"Kenapa mesti takut?" tanya Warakas tak menger-
ti. Dibimbingnya Sulastri melangkah, dan duduk ber-
dampingan di kursi. "Apa yang kau takuti, Lastri?"
"Aku takut kehilangan dirimu, Kakang!"
"Ah, kenapa kau berpikiran begitu?" Warakas ter-
senyum. "Bukankah telah aku katakan bahwa hanya
kaulah yang aku cintai."
"Benarkah, Kakang?" tanya Sulastri ingin memas-
tikan.
"Benar. Tak akan aku mencintai gadis lain selain
dirimu."
Jawaban Warakas menjadikan Sulastri seakan
tentram hatinya. Ya, jawaban Warakas begitu meya-
kinkan, seakan-akan ingin menjadikan diri kekasihnya
mau menyerahkan segalanya. Dan memang kenya-
taannya begitu. Sungguh pun wanita tak tahu apa se-
benarnya makna ucapan laki-laki, namun tetap saja
wanita selalu merasakan perasaan tersendiri bila men-
dengar janji-janji yang muluk-muluk. (Bukan begitu
Ninie? Dulu juga mbak Ninie begitu dengan Kak Er-
wan).
Bila sudah begitu, maka hanya ada satu pilihan
dalam hati wanita yaitu menyerahkan segenap jiwa
dan raga.
***
Malam datang begitu cepatnya, seperti ingin men-
gulang kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada ma-
lam-malam yang lalu. Malam itu nampak dua anak
manusia berjalan menikmati indahnya purnama. Dua
remaja. Itu adalah Warakas dan Sulastri, entah kedu-
anya hendak pergi ke mana.
Tak seperti biasa-biasanya, malam itu keduanya
hanya diam seribu bahasa. Tanpa kata yang terucap,
hanya sekali-kali mata keduanya saling pandang. Ke-
duanya terus melangkah dalam gelapnya malam, me-
nembus pohon-pohon yang berdiri bagaikan bayang-
bayang. Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah
tempat, yang merupakan tempat indah bagi keduanya.
Malam merambah dengan dingin, menjadikan po-
ri-pori tubuh seperti tersengat. Angin berhembus per-
lahan, namun menjadikan rasa tersendiri di hati kedua
insan itu.
"Sulastri...." Warakas membuka kata setelah se-
kian lama diam.
"Hem, ada apa, Kakang?" tanya Sulastri manja.
"Kau mencintai ku?"
"Apakah Kakang kurang yakin?"
Ditanya seperti itu, menjadikan Warakas terdiam.
Kakinya melangkah ke luar dari gubuk. Ditatapnya
rembulan yang sedang bergayut terang, sepertinya jadi
saksi cinta keduanya. Melihat Warakas berjalan ke
luar, Sulastri pun dengan segera mengikuti. Keduanya
kembali hening dalam bisu, hanya tatapan mata mere-
ka yang berkata-kata.
"Apa yang kakang pikirkan?"
Warakas tersentak, memandang tajam pada Sula-
stri yang tersenyum manis. Melihat Sulastri terse-
nyum, seketika darah kelelakian Warakas bergemuruh
laksana badai. Perlahan tangan Warakas bereaksi, en-
tah untuk apa. Tiba-tiba saja, Warakas membimbing
tubuh Sulastri ke dalam. Direbahkan tubuh gadis itu
di atas tumpukan jerami, menjadikan Sulastri bin-
gung. Namun kemudian Sulastri menyadari apa arti
semuanya. Tanpa banyak kata lagi, Sulastri akhirnya
diam menerima segalanya. Bahkan kini Sulastri yang
makin bereaksi. Matanya perlahan memejam, lalu
menjerit sesaat ketika Warakas menghentakkan segala
nafsu yang menggebu pada dirinya.
"Aaah.... Kakang...!"
Hanya kata itu saja yang terucap dari lenguhan
mulut Sulastri yang akhirnya terkulai lemah.
Darah menetes dari apa yang selama ini diperta-
hankan, terkoyak-koyak oleh nafsu setan. Namun Su-
lastri tak menyesal sedikit pun, bahkan ia bangga. Ya,
Sulastri bangga telah mampu menunjukkan kese-
tiaannya, walau kesetiaan itu bukan pada tempatnya.
"Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri setelah se-
kian lama tercenung. Entah apa yang tengah bergayut
dalam pikirannya setelah kejadian itu. "Hari sudah
malam, aku takut ayah dan ibuku mencurigai apa
yang telah aku alami!"
"Baiklah, ayo kita pulang!"
"Kakang...."
"Hem, ada apa lagi, Lastri?"
"Apakah Kakang nanti mau bertanggung jawab?
Kapankah kita nikah, Kakang?" tanya Sulastri dengan
mata berlinang, menjadikan Warakas seketika terhe-
nyak.
"Kau takut aku meninggalkanmu?" Sulastri hanya
mengangguk mengiyakan. "Tak akan lama lagi, kita
akan nikah," menambahkan Warakas berkata, menja-
dikan Sulastri seketika bagaikan mendengar seribu
macam kata-kata indah. Bahagia melantun di hatinya,
kebahagiaan akan menjadi seorang isteri dari orang
yang mempunyai kedudukan di istana. Keduanya den-
gan diam akhirnya berjalan pulang, merambah malam
yang makin sepi tertimpa oleh tiupan angin.
Esok telah tiba menyibakkan sinar mentari yang
indah. Dengan penuh linangan air mata, Sulastri me-
lepaskan kepergian Warakas untuk menunaikan tu-
gasnya kembali. Segala apa yang dialami oleh dirinya
dengan Warakas dipendam dalam-dalam. Tak seorang
pun yang berhak tahu, begitu juga keluarganya. Sam-
pai-sampai manakala Sulastri mengigau dan ditanya
oleh sang ibu, bagaikan tak mengalami apa-apa, Sula-
stri berusaha menyembunyikan apa sebenarnya yang
selalu membayang di lubuk hatinya.
"Kau mengigau dan merintih-rintih, Anakku?"
tanya sang ibu, setelah membangunkan Sulastri. "Ke-
napa, Anakku?"
Sulastri sesaat tercenung diam, tanpa dapat men-
jawab segala pertanyaan ibunya. Pikirannya kembali
melayang pada segala kejadian yang ia alami bersama
Warakas kemarin malam. Kejadian yang telah menja-
dikan dirinya tak dapat untuk melupakan. Kejadian
yang baru pernah dialaminya, selama ia menjadi seo-
rang gadis. Kejadian itu pula menjadikan kehormatan
nya serta keperawanannya hilang. Sedangkan kepera-
wanan merupakan nilai pokok yang semestinya diper-
tahankan sebagai seorang gadis. "Kenapa aku mesti
memberikannya pada Warakas? Kenapa aku tidak me-
nolaknya?" keluh Sulastri dalam hati. "Ah, tidak! Kami
berbuat atas dasar suka sama suka. Aku rela kepera-
wananku terenggut olehnya. Dia aku cintai dan kasihi.
Oh... Warakas, semoga kau benar-benar mau memper-
tanggung-jawabkan segala apa yang telah kau lakukan
padaku...!"
Melihat anaknya hanya terdiam, menjadikan sang
ibu untuk kedua kalinya bertanya. "Kenapa, Anakku?
Apakah kau dengan Warakas ada masalah?"
"Ti... tidak, Ibu!" jawab Sulastri tergagap. Hal itu
menjadikan sang ibu tak mau percaya begitu saja, lalu
untuk kesekian kalinya sang ibu mendesah panjang
tak mengerti apa yang sebenarnya terpaut di hati anak
gadisnya. Dalam hati sang ibu menerka-nerka, apa
yang sebenarnya telah terjadi. Namun semua dibua-
ngnya jauh-jauh, ia tak ingin hal itu benar-benar telah
melanda anak gadisnya.
"Mungkinkah Warakas telah.... telah... Ah, tidak!
Betapa aku sebagai orang tua akan malu bila hal itu
benar-benar terjadi. Anakku dapat menjaga diri!" keluh
sang ibu mencoba membuang segala perasaan yang
tak baik. Walau hatinya mengeluh, namun di bibir
sang ibu tergurat juga seulas senyum. Dan dengan su-
ara lembut penuh kasih, sang ibu pun berkata. "Kau
sakit, Nak?"
Sulastri menggeleng lemah, menjadikan ibunya
hanya mengerutkan kening.
"Lalu kenapa dengan dirimu?"
"Aku tak apa-apa, Ibu," jawab Sulastri menutupi
segala kegelisahan hatinya. "Aku ngantuk, Ibu."
"Tidurlah kalau kau memang mengantuk," akhir
nya sang ibu pun hanya mengalah diam. Perlahan di-
tinggalkan anaknya yang kembali tidur yang sebenar-
nya tidak tidur. Pikiran Sulastri malam itu benar-
benar diisi dengan segala macam pertanyaan. Perta-
nyaan tentang dirinya, tentang orang tuanya yang di-
takutinya, juga pertanyaan bagaimana dengan Wara-
kas selanjutnya. Sulastri hanya membisu, mata mele-
lehkan air mata.
"Akankah aku mengatakannya terus terang pada
ibu?" tanya hati Sulastri bimbang. "Apakah nanti tidak
mungkin ibu... Oh, tidak! Aku tak mau kalau ibu yang
menerimanya. Bagaimana dengan adik-adikku? Dia
masih butuh kasih sayang. Tuhan, ampunilah aku!
Sungguh aku adalah hambaMu yang tak menghargai
rahmatMu. Aku telah terbujuk oleh rayuan setan."
Malam itu dihabiskan Sulastri dengan menangis.
Ya, menangisi segala yang telah ia alami. Kegelisahan-
nya timbul, mendera di hatinya yang gundah. Baru
manakala ayam jantan berkokok, mata Sulastri akhir-
nya dapat terpejam, meskipun itu dipaksakan juga.
Untuk sesaat Sulastri dapat melupakan bayang-
bayang hidupnya. Dan ketika matanya kembali mem-
buka, maka bayang-bayang hidupnya akan kembali
muncul menggoda, menyuruhnya untuk berpikir dan
berpikir.
***
TIGA
Hari berulang menjadi minggu, demikian juga
halnya minggu yang berulang menjadi bulan. Tiga bu-
lan sudah semenjak kejadian itu Warakas tak membe-
rikan kabar apa-apa lagi pada Sulastri, hal itu menjadikan Sulastri seketika gundah. Rasa takut menyeli-
muti hatinya, apalagi kini ia telah terlambat datang
bulan. Sebagaimana layaknya seorang gadis, jelas ke-
terlambatan datang bulan menjadikan suatu ketaku-
tan yang teramat sangat.
Pagi itu manakala Sulastri hendak mencuci pa-
kaian di sungai, dirasakan olehnya keganjilan pada di-
rinya. Perutnya terasa mual-mual, lalu kemudian Su-
lastri pun muntah-muntah.
"Kenapa aku?" tanyanya pada diri sendiri.
Sulastri yang baru pertama kali mengalami keja-
dian yang aneh, menjadikannya bingung. Bingung ha-
rus berbuat apa. Dengan wajah pucat, Sulastri kembali
pulang ke rumah. Hal itu menjadikan kedua orang tu-
anya bertanya-tanya tak mengerti.
"Kenapa kau pulang lagi, Anakku?" tanya ibunya
seraya kerutkan kening melihat wajah Sulastri yang
pucat. "Kau sakit, Nak?"
Kebimbangan dan bingung terus melanda hati Su-
lastri, menjadikan Sulastri tercenung diam tanpa dapat
berkata-kata. Ia bingung harus menjawab apa atas
pertanyaan ibunya. Haruskah ia mengakui segala apa
yang dirasa? Ia takut untuk mengutarakan hal itu, se-
bab tidak mungkin tidak ibunya akan kecewa. Apalagi
bila ayahnya mendengar, apalah yang akan terjadi pa-
da dirinya.
"Ti... tidak, Ibu. Lastri hanya pening saja," jawab
Lastri.
"Kau tadi tidak sarapan?" kembali ibunya ber-
tanya.
Sulastri hanya mengangguk mengiyakan.
"Kalau memang kau sakit, istirahatlah...!"
Mendengar ucapan ibunya, Sulastri segera menu-
rut. Dengan langkah terseret bagaikan berat, Sulastri
melangkah menuju ke dalam kamarnya. Direbahkan
tubuhnya, dengan segala pikiran yang belum ia kenali
benar apa yang tengah ia alami.
"Inikah yang dinamakan hamil?" tanya Sulastri
pada diri sendiri, seakan tak percaya pada apa yang di-
rasa olehnya saat itu. "Tidak! Aku tidak mau hamil!"
Sulastri akhirnya menangis, dan menangis tak tahu
harus berbuat apa. Hal itu menjadikan sang ibu yang
ada di luar tersentak kaget, demi mendengar isak tan-
gis anaknya. Serta merta sang ibu pun segera melang-
kah masuk ke kamar Sulastri.
Terjengah Sulastri seketika, manakala dilihatnya
sang ibu tiba-tiba telah berdiri mematung di pintu ka-
mar. Serta merta, Sulastri pun memeluk ibunya dan
menangis sejadi-jadinya.
Mengerut mata sang ibu melihat hal itu. Ia tak
mengerti kenapa sang anak tiba-tiba menangis. Den-
gan perasaan tak mengerti, sang ibu pun bertanya.
"Kenapa kau menangis, Anakku?"
Ditanya seperti itu, menjadikan tangis Sulastri
makin mengencang. Makin membuat sang ibu tak
mengerti, yang kembali mengulang pertanyaan. "Sula-
stri, kenapa kau menangis? Apakah kau... kau hamil?"
Terjengah seketika Sulastri mendengar pertanyaan
ibunya. Matanya yang menangis, seketika memandang
penuh rasa bersalah pada sang ibu. Mulutnya gemeta-
ran, sepertinya hendak mengutarakan apa yang telah
terjadi. Dan memang benar, hati Sulastri yang sudah
tak kuat dengan segala macam kecamuk seketika men-
jerit. Jeritan itu bukan saja di dalam hati, namun le-
wat mulutnya yang mungil. "Ibuuuuu...!"
"Lastri, Anakku. Benarkah akan apa yang ibu du-
ga, Nak?"
Sulastri tak dapat menjawab, malah makin men-
gencangkan tangisnya yang menyayat. Perlahan-lahan
dari mulutnya yang sedari tadi terkunci, keluar satu
persatu kata-kata, "A... aku... aku hamil, Bu!"
Kedua ibu dan anak itu pun akhirnya saling tan-
gis, seakan ingin mengeluarkan segala beban berat
yang ada di hati mereka. Penyesalan tiada guna, men-
jadikan manusia kadang frustasi. Namun sebagai seo-
rang ibu, Priyanti berusaha mau mengerti. Dengan pe-
nuh rasa kasih, dibelainya rambut sang anak seraya
berkata.
"Sudahlah, Anakku. Semua ini mungkin sudah di-
gariskan oleh Gusti Allah. Terimalah dengan lapang
dada, jangan kau kecewa atas segalanya."
"Tidak, Bu. Lastri akan mencari kakang Warakas.
Lastri akan meminta tanggung jawabnya."
"Itu terserah padamu. Tapi ibu minta, janganlah
kau bawa semuanya pada hidupmu. Anggaplah semua
hanyalah mimpi. Juga ingat, jangan sampai ayahmu
tahu!" tutur Priyanti dengan rasa haru, yang diangguki
oleh anaknya.
Tengah kedua anak dan ibu itu saling tangis, tiba-
tiba sang ayah datang menemui mereka. Sang ayah
yang baru saja pulang dari sawah, seketika bertanya
tak mengerti. Beruntung Priyanti mau menutupi kea-
daan anaknya yang sesungguhnya.
"Kenapa anak kita, Bu?"
"Ti... tidak apa-apa. Ia hanya pusing karena tadi
pagi berangkat nyuci tidak sarapan dulu," jawab sang
isteri menutupi. "Kok sudah pulang dari sawah, Pa?"
"Entahlah, Bu. Perasaanku tiba-tiba tak enak,"
jawab Ki Cokro yang mengejutkan sang isteri. Namun
mengingat suaminya galak, Priyanti pun dengan segera
mengalihkan perhatian suaminya dengan kembali ber-
tanya.
"Bagaimana dengan jagung kita, Pak?"
"Alhamdulilah subur. Mungkin dalam bulan-bulan
ini kita akan memetik buahnya," jawab Ki Cokro. "To
long bikinkan aku kopi, Bu!"
Tanpa banyak bicara lagi Priyanti segera menuruti
apa yang diminta suaminya. Dengan segera ia pergi
berlalu menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Tak
lama kemudian, Priyanti pun telah kembali menemui
sang suami dengan segelas kopi dan sepiring nasi
lengkap dengan lauk pauknya.
"Anak kita tidak bareng makan?" tanya Ki Cokro.
"Dia sedang tak enak badan. Biarlah dia nanti
bersama adik-adiknya," jawab sang isteri menutupi.
Ya, memang begitulah kenyataan sebagai ibu. Ia walau
sejahat apapun, tak akan mau membuka rahasia
anaknya pada sang suami apalagi pada orang lain. Ke-
dua suami isteri itu pun akhirnya makan bersama-
sama.
***
Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Sula-
stri malam itu keluar meninggalkan rumah. Tujuannya
hanya satu, menemui Warakas di kerajaan untuk me-
minta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya.
Dengan berjalan kaki, bagaikan tanpa merasa takut
sedikitpun Sulastri dengan segala tekadnya terus me-
nyusuri jalan se-tapak yang dapat dilewati. Manakala
Sulastri tengah berjalan merambah malam, tiba-tiba
terdengar gemereseknya daun-daun kering terinjak.
Rasa takut seketika menjalari tubuhnya, menjadikan
Sulastri menghentikan langkahnya. Belum juga hilang
rasa takutnya, tiba-tiba...
"Hua, ha, ha... anak manis, mau ke mana malam-
malam begini keluyuran?" terdengar suara orang ber-
gelak tawa, makin menjadikan bulu kuduk Sulastri
meremang.
"Siapa kau?!" Sulastri mencoba memberanikan di
ri membentak.
"Hua, ha, ha... Akulah penunggu daerah ini!" Ber-
samaan dengan habisnya ucapan itu, sekonyong-
konyong sesosok tubuh berkelebat dan tiba-tiba telah
menotok jalan darahnya. Sulastri terkulai lemas, tanpa
dapat berkata-kata barang se-patah pun. Sulastri
mencoba berontak, namun ternyata bopongan orang
itu lebih kuat. Dibawanya tubuh Sulastri entah ke ma-
na. Ketika dilihatnya ada sebuah gubuk yang terpam-
pang di depannya, orang yang membawa tubuh Sula-
stri segera menghentikan larinya. Dibawanya tubuh
kaku Sulastri masuk ke gubuk tersebut.
"Anak manis. Sungguh kebetulan sekali. Lama
aku tak merasakan enaknya mendekap tubuh seorang
gadis, eh malam ini akhirnya aku mendapatkannya ju-
ga," terkekeh lelaki berwajah rusak, menjadikan Sula-
stri seketika membeliak. Rasa takut seketika menyeli-
muti dirinya. Ingin Sulastri berteriak, tapi mulutnya
seakan susah untuk berkata-kata. Belum juga Sulastri
hilang takutnya, lelaki berwajah buruk itu telah men-
dekap tubuhnya. Tak dapat lagi Sulastri berbuat apa-
apa menghadapi laki-laki berwajah buruk yang bagai-
kan singa kelaparan menerkam dan menggeluti tu-
buhnya. Sulastri hanya dapat meregang lalu akhirnya
pingsan.
Setelah dapat melampiaskan nafsunya, lelaki ber-
wajah buruk itu segera pergi meninggalkan tubuh Su-
lastri yang masih tergeletak pingsan dengan mening-
galkan gelak tawa berkepanjangan.
***
Ketika pagi telah datang, nampak seorang pemuda
berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Pemuda itu tak
lain adalah Jaka Ndableg, terus melangkahkan ka
kinya menikmati alam pagi yang sejuk dan indah. Ma-
nakala ia tengah asyik bernyanyi-nyanyi, tiba-tiba te-
linganya menangkap desah napas berat dari arah gu-
buk. Sesaat Jaka terdiam memusatkan pendengaran-
nya, lalu setelah yakin bahwa memang di gubuk itu
ada seseorang, Jaka segera berkelebat memasuki gu-
buk tersebut. Dan betapa terkejutnya Jaka manakala
melihat apa yang ada di dalam gubuk. Saking terke-
jutnya, sampai-sampai Jaka mendesah.
"Ooh Gusti Allah, gerangan apa yang terjadi?"
Dihampirinya gadis itu, yang masih tergeletak
tanpa berkata. Diperiksa denyut nadi sang gadis, seke-
tika Jaka tertawa sendiri memikirkan ketololannya.
"Tolol aku, kenapa orang hidup aku periksa de-
nyut nadinya?"
Jaka geleng-gelengkan kepala, sesaat ia meman-
dangi tubuh sang gadis. Ia bingung harus berbuat apa
terhadap gadis itu, sehingga hanya diam saja sambil
tercenung Jaka di situ.
"Ah, kenapa aku begini dungunya?" keluh Jaka
dalam hati.
"Nona, kenapakah engkau?"
Gadis itu nampak memalingkan wajah menghadap
Jaka, lalu gadis itu menangis membuat Jaka tersentak
bingung tak mengerti. Spontan itu juga Jaka kembali
bertanya. "Kenapa nona menangis?" Gadis itu masih
tetap diam tanpa bicara, sedang air matanya terus me-
leleh membasahi pipi. Hal itu membuat Jaka serba sa-
lah tingkah. "Bagaimana gadis ini? Oh, barangkali ia
gagu," ucap Jaka setengah mengeluh dalam hati. Ke-
mudian Jaka pun segera berkata kembali dengan ba-
hasa isyarat. Namun kembali gadis itu hanya geleng
kepala tak mengerti seraya menunjuk pada urat leher-
nya. Kini tahulah Jaka bahwa gadis itu tengah dalam
keadaan tertotok.
"Ooh, jadi kau tertotok," gumam Jaka setengah
bertanya. "Maaf, Nona. Sungguh aku tak mengerti.
Baiklah akan aku bantu membuka totokan itu. Hoop...
ya!"
"Tuk, tuk, tuk!"
Tiga kali Jaka menotok urat nadi si gadis yang se-
ketika itu mengeluh. Tak lama kemudian, gadis itu
pun dapat berkata-kata. Namun gadis itu masih me-
nangis.
"Kenapa nona berada di sini?" tanya Jaka setelah
membuka totokan pada leher si gadis.
"Namaku Sulastri. Aku... aku telah diperkosa oleh
orang yang mukanya buruk," jawab Sulastri sambil te-
rus menangis, menjadikan Jaka turut iba melihatnya.
Jaka juga seketika terperanjat kaget, manakala men-
dengar gadis itu menyebut nama lelaki bermuka bu-
ruk. Saking kagetnya Jaka mendengar gadis itu me-
nyebut lelaki bermuka buruk, seketika Jaka memekik.
"Iblis Muka Bangkai! Heh, apakah nona tahu ke
mana ia pergi?"
Sulastri hanya menggeleng lemah.
"Sayang...!" keluh Jaka seakan berkata pada diri
sendiri menjadikan Sulastri seketika hentikan tangis-
nya. Ditatapnya wajah Jaka lekat-lekat, sepertinya in-
gin menanyakan tentang sesuatu. Dan memang benar.
Manakala Jaka tengah tercenung, gadis itu pun seke-
tika bertanya.
"Apakah tuan kenal dengan orang itu?"
"Ya, bukan saja kenal, tapi musuhku yang harus
aku tangkap hidup atau mati!" jawab Jaka seraya me-
mandang pada wajah Sulastri.
"Oh..." lenguh Sulastri demi mendengar penga-
kuan Jaka. Ia mengira kalau Jaka adalah teman si Ib-
lis Muka Bangkai.
"Kenapa Nona melenguh?" tanya Jaka tak menger
ti.
"Aku kira... aku kira tuan adalah temannya iblis
yang tuan tadi sebutkan!" jawab Sulastri seraya me-
nunduk. Sementara Jaka hanya mampu tersenyum se-
raya gelengkan kepala sembari bergumam.
"Nona, nona... apakah tampangku mirip hantu?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Sulastri
yang menangis tersenyum walau senyumnya nampak
dipaksakan. Kelakuan Jaka yang lucu itulah, yang
mengakibatkan Sulastri tersenyum. Seketika hilang
segala perih di hatinya, terhibur oleh kelucuan Jaka
yang seperti alami. Dan memang benar Jaka melaku-
kannya dari alam, bukan dibuat-buat. Itulah sebabnya
dia diberi julukan Jaka Ndableg.
"Kenapa Nona tersenyum-senyum? Apakah aku
lucu?" kembali Jaka bertanya.
Sulastri tersipu-sipu seraya mengusap air ma-
tanya.
"Kau eh tuan lucu," ucap Sulastri terbata.
"Lucu...? Apanya yang lucu?" tanya Jaka tak men-
gerti. "Malah aku kira kaulah yang lucu. Kau tadi hen-
dak mengatakan kamu, kenapa mesti kau ganti den-
gan tuan? Apakah aku pantas menjadi seorang juragan
atau tuan tanah? Tidak bukan?"
Sulastri seketika terdiam sembari lebarkan se-
nyumnya. Tingkah laku Jaka dan segala ucapannya,
menjadikan Sulastri rasanya hilang segala beban hi-
dup yang selama ini ia tanggung. Sulastri tundukkan
muka malu, manakala Jaka memandangnya.
"Eh Nona, kau belum menjawab pertanyaanku.
Kenapa kau ada di sini? Lalu hendak ke manakah tu-
juanmu?" tanya Jaka tiba-tiba, menjadikan Sulastri
tersentak kaget. "Mengapa kau sampai bertemu den-
gan iblis itu?" tambah Jaka.
Sulastri masih menundukkan muka. Dan dengan
suara terbata-bata serta tangisnya meleleh lagi, Sula-
stri pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi,
dari mana ia, serta hendak ke mana tujuannya.
"Begitulah, Tuan."
"Jangan panggil aku tuan. Panggil saja namaku
Jaka Ndableg!"
Kembali Sulastri tersenyum, kali ini tak dapat
menahan gelak tawanya hingga Sulastri pun seketika
tertawa terpingkal-pingkal demi mendengar nama pe-
muda itu. Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan
kening tak mengerti seraya kembali bertanya. "Hei,
mengapa engkau tertawa, Nona? Adakah kelucuan lagi
pada ucapanku?"
"Benar! Memang Tu... eh kau lucu, Jaka," jawab
Sulastri masih terpingkal-pingkal.
"Lucunya?" tanya Jaka masih belum mengerti
"Kau pemuda tampan dan gagah, mengapa na-
manya mirip-mirip nama orang..."
"Orang apa?" tanya Jaka demi mendengar Sulastri
berkata tak dilanjutkan. "Orang gila maksudmu?"
Sulastri hanya menganggukkan kepala, menjadi-
kan Jaka seketika ikut tertawa tergelak-gelak setelah
mengerti. Maka kini giliran Sulastrilah yang menge-
rutkan kening bingung. Bagaimana mungkin pemuda
ini malah tertawa disebut orang gila, bukankah orang
lain akan marah-marah?
Belum juga Sulastri memahami apa yang tengah
diketawakan Jaka, tiba-tiba Jaka telah kembali berka-
ta menerangkan apa yang menjadikan dirinya tertawa.
"Memang nama julukanku lucu. Itu semua ada ce-
ritanya tersendiri. Dulu manakala aku masih remaja,
aku merupakan anak yang suka ndableg, sampai-
sampai emakku marah melihat tingkahku. Begitu pula
dengan teman-temanku. Karena aku ndableg, sehingga
mereka menyebutku dengan nama embel-embelan
Ndableg. Sedang namaku yang sebenarnya adalah Ja-
ka Surya Kelana. Begitulah manusia, kadangkala na-
ma julukan lebih terkenal daripada namanya yang asli.
Oh ya, Nona. Kalau boleh aku tahu, apa tujuan nona
hendak ke Kerajaan Panjang Sulara?"
"Aku hendak mencari kekasihku."
"Kekasihmu...?" tanya Jaka sedikit kaget.
"Ya, kekasihku yang telah menanam benih di pe-
rutku," jawab Sulastri menjadikan Jaka seketika be-
liakkan mata kaget. Sampai-sampai mata Jaka seketi-
ka melotot demi mendengar apa yang telah diucapkan
oleh Sulastri. Tak disadari oleh Jaka yang ndableg, li-
dahnya seketika nyeletuk.
"Wah, kenapa nona sampai kecelakaan begitu ru-
pa?"
"Aku tidak kecelakaan, Jaka."
"Jadi...? Aku jadi tidak mengerti, Nona."
"Aku melakukannya atas dasar cinta kasih yang
tulus."
"Oooh... begitu?" mendesah Jaka panjang, terhe-
ran-heran mendengar ucapan Sulastri. "Kalau begitu
nona korban dari kekurangpercayaan diri nona. Nona
serahkan segalanya demi cinta yang tiada bukti? Oh,
sungguh kasihan...!"
Mendengar ucapan Jaka yang seakan mengibakan
dirinya, seketika Sulastri kembali menangis sesenggu-
kan. Hatinya terasa perih bila mengingat segalanya.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Jaka, bahwa
dia adalah korban dari kebodohannya sendiri.
"Ya, aku memang terlalu bodoh. Hanya karena
janji-janji muluk dan sanjungan yang berisi dusta aku
jatuh," mengeluh Sulastri dalam hati. Tangis Sulastri
makin merembes deras, manakala kembali Jaka me-
nyentuh dagunya dengan takut-takut seraya berkata.
"Sudahlah, Nona. Janganlah nona terlalu menyesali apa yang telah terjadi, toh semuanya belum jelas.
Apakah nona ingin aku temani ke Kerajaan Panjang
Sulara? Kebetulan, aku hendak menemui temanku
yang berada di sana."
Sulastri tak dapat berkata-kata, ia nampak masih
sedih mengingat keadaan dirinya. Belum juga ia men-
dapatkan kepastian dari Warakas, di tengah jalan ia
telah diperkosa oleh Iblis Muka Bangkai. Sungguh
menderitanya hidup Sulastri, ibarat habis jatuh ter-
timpa tangga.
"Sudahlah nona, aku harap nona mau tabah
menghadapinya. Kalau nanti memang kekasih nona
tak bertanggung jawab, nona bisa melakukan tinda-
kan. Biarlah aku nanti akan membantumu mengadu-
kan hal itu pada sang raja," kembali Jaka berkata
menghibur, sehingga Sulastri pun seketika menghenti-
kan tangisnya.
"Benarkah kau hendak menolongku, Jaka?"
"Ya, kenapa? Apakah kau menyangka aku meno-
longmu karena atas dasar pamrih? Ooh, tidak, Nona.
Aku hanya ingin kau mau tabah menghadapi sega-
lanya. Aku tak memerlukan pamrih darimu. Maaf, bu-
kannya aku ingin merendahkanmu," jawab Jaka demi
mendengar pertanyaan Sulastri. "Ah, sudahlah. Mari
kita ke kerajaan!"
"Apakah kau tak repot, Jaka? Bukankah kau hen-
dak mengejar Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri
bermaksud mengingatkan Jaka, namun Jaka seketika
tersenyum seraya berkata.
"Biarlah iblis itu untuk sementara aku umbar. Ka-
lau memang nanti masanya tiba, aku pun akan meng-
hukum tindakannya yang telah membawa korban ba-
nyak termasuk dirimu."
"Jadi... jadi iblis itu suka memperkosa?" tanya Su-
lastri tersentak kaget. Keringat dingin seketika bercu
curan demi mengingat kejadian yang menimpa dirinya
tadi malam. "Mukanya sungguh mengerikan, Jaka!"
"Ya, karena itulah ia merasa terasing. Dan karena
mukanya mengerikan dan berbau busuk, dia memper-
kosa gadis-gadis," ucap Jaka menerangkan. "Ayolah,
kita berangkat ke kerajaan. Aku rasa hari masih pagi
hingga kita sampai di sana tidak terlalu kemalaman."
Kedua orang yang baru kenal itu pun akhirnya be-
rangkat menuju ke kerajaan. Angin pagi berhembus
lambat, mengikuti langkah keduanya. Sinar matahari
masih belum begitu panas, apalagi ditambah dengan
kicau burung yang bernyanyi makin menjadikan hawa
sejuk bagi yang menikmatinya.
***
EMPAT
Betapa luluh lantak hati Sulastri bagaikan dica-
bik-cabik dengan jarum seribu banyaknya setelah me-
nerima apa yang dia alami. Ternyata Warakas yang di-
tuju dan diharapkan mau menerima dirinya sekaligus
mempertanggung-jawabkan segala yang telah dibuat-
nya, ternyata bertindak sebaliknya. Warakas kini telah
bersanding dengan seorang gadis dari keturunan nin-
grat yang cantik rupawan.
"Siapa kau?!" tanya Warakas setengah memben-
tak, manakala mendengar panggilan Sulastri. "Aku ra-
sa, aku tak mengenalmu. Pergilah! Jangan sampai aku
menyuruh prajurit-prajuritku untuk mengusir kalian!"
Sulastri hanya mampu menangis dan menangis
melihat perilaku Warakas yang tidak diduga-duganya.
Sementara Jaka yang mengantarkannya, seketika da-
rahnya mendidih mendengar ucapan Warakas yang
sombong dan takabur. Maka dengan geramnya Jaka
pun tak mau kalah membentak.
"Warakas! Kau jangan sombong oleh kedudukan-
mu. Kalau kau memang melakukan segala perbuatan
biadab itu, hendaklah kau mau bertanggung-jawab
pada segalanya yang terjadi. Ternyata kau tak lebih
seorang manusia berhati binatang!"
"Bedebah! Berani lancang mulutmu, Anak muda!"
"Kenapa tidak, orang sombong! Bagiku, tak ada
yang perlu ditakuti kalau memang berada di pihak
yang benar," jawab Jaka kalem, menjadikan Warakas
seketika itu naik darahnya. Maka dengan terlebih da-
hulu menggeram Warakas kembali membentak seraya
berkelebat hendak menyerang Jaka.
"Anak edan! Kau rupanya memang perlu diajar ta-
ta krama, hiat....!"
Melihat Warakas bermaksud menyerangnya, den-
gan cepat Jaka yang sudah muak melihat tingkah laku
panglima prajurit itu segera bersiap-siap. Hampir saja
kedua orang muda itu hendak bertarung, manakala
dengan segera Sulastri mencegahnya dengan menjerit
karena marah.
"Sudah! Kalau memang kau tak mengenali aku,
tak apa. Ingat Warakas, kelak aku akan menuntut
mu!" Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan lagi
pada Warakas yang tersentak mundur karena kaget,
Sulastri segera berlari sambil menangis. Luka hatinya
begitu mendalam, sepertinya susah untuk menyem-
buhkannya. Orang yang sangat dicintai dan diagung-
kan ternyata tak lebih dari seorang penipu macam Er-
wan yang tak berani bertanggung jawab pada mbak
Ninie.
Sambil terus menjerit-jerit, Sulastri terus berlari
entah ke mana. Hal itu menjadikan Jaka seketika ter-
sentak dan melotot marah pada Warakas seraya mem
bentak gusar.
"Iblis kau, Warakas! Percuma kau menjadi pan-
glima, kalau sifatmu tak lebih dari sifat iblis yang bu-
suk. Kau tega menelantarkan seorang gadis yang telah
kau renggut keperawanannya. Benih itu tumbuh, men-
jadikan beban baginya. Laki-laki macam apa kau, Wa-
rakas? Tak lebih hanya seorang buaya!"
"Diam!" bentak Warakas yang seketika tersentak
dari lamunannya melamuni kepergian Sulastri. "Apa-
kah kau tak dapat diam, Anak edan!"
"Hem, percuma kau menyesal. Percuma, Wara-
kas!" seru Jaka sinis menjadikan Warakas seketika
menggeram marah mendengarnya. Maka tak ayal lagi,
Warakas yang tengah bingung seketika menyerang Ja-
ka dengan senjata pusakanya Kyai Lutung Gumilir, se-
jenis tombak sakti yang menjadi kebanggaan para pra-
jurit, barang siapa yang memegang senjata tersebut,
maka dialah yang dapat menjadi panglima prajurit ke-
rajaan.
Diserang begitu tiba-tiba oleh Warakas, dengan
segera Jaka pun berkelebat menghindar. Sekali-kali
kakinya melayang, menyodok ke perut Warakas. Na-
mun dengan segera Warakas pun membalasnya den-
gan menusukkan tombak Kyai Lutung Gumilir. Hawa
dingin menggigil seketika keluar dari tombak itu. Jaka
tersentak kaget dan melompat mundur ketika merasa-
kan hawa dingin yang melebihi hawa salju. Mata Jaka
seketika terbelalak, menjadikan Warakas yang som-
bong tertawa bergelak-gelak. Dengan congkaknya Wa-
rakas seketika berseru lantang penuh ejekan.
"Anak edan! Aku harap kau menyerah dan jangan
banyak turut campur dengan urusanku!"
"Sombong kau, Warakas! Jangan harap aku mau
menyerah pada iblis macammu!" balik membentak Ja-
ka dengan marahnya. Tak ayal lagi, Warakas yang su
dah di atas angin kembali berkelebat menyerang Jaka.
"Mampuslah kau, Anak Edan!" Ditusukkan senja-
ta Kyai Lutung Gumilir ke arah Jaka, yang seketika
berkelit menyamping. Jaka segera balik menyerang
dengan ajian Getih Saktinya, teriaklah Warakas mana-
kala tahu ilmu yang tengah ditakuti oleh hampir selu-
ruh kerabat istana tiba-tiba muncul menghadangnya.
Maka dengan wajah pucat pasi Warakas segera me-
lemparkan tubuh ke samping menghindar. Tak ayal la-
gi, tembok rumahnya seketika membara.
Warakas hendak kembali menyerang Jaka, mana-
kala terdengar seruan seseorang mencegahnya. Wara-
kas pun mengurungkan niatnya, ia juga sebenarnya
telah jeri melihat ajian Getih Sakti yang telah meng-
gemparkan dunia persilatan. Beruntung ada orang
yang datang, kalau tidak...
"Hentikan, Warakas! Apakah kau tidak tahu siapa
yang tengah kau hadapi?" seru orang itu. "Percuma
kau melawan pendekar muda itu. Jangankan dirimu,
kakek gurumu pun aku rasa tak akan mampu meng-
hadapinya!"
"Paman Sodra Jumawa!" seru Warakas tersentak.
Sodra Jumawa segera menjura hormat pada Jaka,
sepertinya tak menghiraukan Warakas yang terheran-
heran melihat tingkah laku patih kerajaan. Hati Wara-
kas seketika bertanya-tanya, melihat apa yang dilaku-
kan oleh Sodra Jumawa. "Hem, kenapa paman patih
Sodra Jumawa menghormatinya? Apakah pemuda itu
saudara sang raja?" tanya Warakas pada diri sendiri.
Tengah Warakas tak mengerti dengan apa yang
ada di hadapannya, tiba-tiba Sodra Jumawa berkata
setengah menyuruh. "Warakas, menghormatlah pa-
danya. Kalau kau ingin tahu siapa adanya pemuda ini,
dialah Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Da-
rah!"
Terbelalak mata Warakas demi mengetahui siapa
adanya pemuda yang tadi dianggapnya pemuda gelan-
dangan. Ia tak menyangka kalau Pendekar Pedang Si-
luman Darahlah yang tengah ia hadapi. "Pantas kalau
ia memiliki ajian Getih Sakti," gumam Warakas dalam
hati. Rasa sesal telah berani lancang membentak dan
memaki-maki Pendekar Pedang Siluman Darah, men-
jadi-kan Warakas seketika bersujud meminta ampun.
"Ampuni segala tindakanku yang tak tahu sopan
santun, Tuan Pendekar!"
"Ah, sudahlah. Semua bagiku tak jadi apa. Seka-
rang yang penting kau harus mau menerima gadis itu."
"Tapi...."
"Jangan kau ingkar janji, Warakas. Apakah kau
ingin aku mengatakannya pada patihmu ini tentang
segalanya?" potong Jaka dengan agak sedikit gusar
demi mendengar Warakas hendak kembali tak menga-
kui bahwa ia tak bertindak pada Sulastri. "Bagaimana,
Warakas? Kau tinggal pilih. Aku katakan semuanya
pada saudara Sodra Jumawa, atau kau mau mengakui
segalanya dan menyusul Sulastri?"
"Ba... baiklah, Tuan Pendekar. Aku akan menyu-
sulnya."
"Bagus! Sekarang susullah olehmu, mumpung Su-
lastri belum lama pergi."
Dengan tanpa banyak menentang lagi Warakas
pun segera menuruti apa yang dikatakan Jaka. Berge-
gas Warakas mengambil kuda dari kandangnya, lalu
setelah menghormat pada Jaka dan Patih Sodra Ju-
mawa, Warakas pun segera hentakkan kudanya mela-
ju untuk menyusul kepergian Sulastri.
Setelah kepergian Warakas menyusul Sulastri,
Sodra Jumawa segera mengajak Jaka untuk mampir
ke rumahnya. Maka kedua orang sahabat itu pun se-
gera berlalu meninggalkan rumah Warakas menuju ke
rumah Sodra Jumawa.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Wara-
kas? Tadi kau menyebut-nyebut nama seorang gadis,
ada apakah dengan gadis itu sama Warakas?" tanya
Sodra Jumawa sembari melangkah pada Jaka yang
hanya tersenyum-senyum.
"Biasa urusan anak muda. Mereka dulu pernah
menjalin cinta, dan... ya. itulah. Karena merasa cinta
itu agung, sehingga si gadis tak memikirkan apa yang
bakal terjadi. Diserahkan segala yang ada pada dirinya
termasuk kehormatan yang seharusnya dijaga."
Terbelalak mata Sodra Jumawa mendengar penu-
turan Jaka Ndableg. Giginya seketika bergemerutuk
menahan marah. Bagaimana tidak, Warakas yang di-
anggapnya baik tata kramanya, ternyata telah berbuat
yang menjijikkan.
"Kurang ajar, anak itu! Dia pantas dihukum!"
"Jangan, saudara Sodra. Bila itu terjadi, maka
makin tak menentu tindakannya. Biarlah Warakas
sendiri yang menyelesaikannya dengan Sulastri, toh
dia kini tengah mengejar dan mau mengakui segala
kesalahannya. Sebagai seorang pimpinan, kau tak per-
lu terlalu keras pada bawahan," cegah Jaka.
"Tapi dia sudah keterlaluan, saudara Jaka.
Bayangkan, bagaimana mungkin seorang pimpinan
prajurit mempunyai watak seperti itu? Jangan-jangan,
seluruh gadis di kerajaan ini akan habis olehnya."
Jaka tersenyum mendengar ucapan sahabatnya.
Ia memaklumi betapa Sodra Jumawa yang bijaksana
akan marah bila mengerti tingkah laku anak buahnya.
Namun sebagai seorang pendekar Jaka dengan segera
berusaha menyadarkan sahabatnya dengan berkata.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Seperti juga
dengan aku, aku pun sangat menyesalkan tindakan-
nya. Kalau saja tak keburu kau datang, entah sudah
bagaimana aku ini. Mungkin tanganku akan terlalu te-
lengas padanya yang terlalu angkuh dan sombong,
atau barangkali Pedang Siluman Darah telah menghi-
sap darahnya. Ah, sudahlah. Tak perlu kita masalah-
kan, yang penting sekarang dia mau mengakui segala
tindakannya. Kita tunggu saja apa yang bakal ia laku-
kan pada gadis itu. Kalau ternyata dia melakukannya
dengan tak baik, maka aku pun tak akan segan-segan
untuk menurunkan tangan."
Sodra Jurnawa terdiam menurut apa yang dikata-
kan Jaka. Keduanya kembali melangkah menuju ke
kediaman Sodra Jumawa. Walau pikiran mereka dili-
puti segala masalah Warakas, namun keduanya nam-
pak tenang bahkan tiada ekspresi di wajah mereka ten-
tang kekalutan.
***
Sulastri terus berlari dengan menangis. Langkah-
nya begitu cepat, sepertinya dibantu oleh tenaga lain.
Sulastri terus menjerit-jerit dan terkadang-kadang me-
nyumpah-nyumpah nama Warakas. Mungkin saking
terpukulnya, sehingga Sulastri pun berlari bagaikan
kesetanan. Ditambah lagi dengan dendam yang melan-
da di hatinya, menjadikan Sulastri tak menghiraukan
panggilan seseorang yang berada di belakangnya. "Su-
lastri... Tunggu...!"
Sulastri sesaat menengok ke belakang, lalu ketika
dilihatnya siapa adanya orang yang memanggilnya Su-
lastri bukannya berhenti dari larinya bahkan makin
mempercepat.
"Lastri... Aku Warakas kekasihmu...!"
"Percuma kau menyebut-nyebut aku kekasih, ib-
lis! Aku tak perlu kau. Aku perlu mati untuk dapat
menyekik lehermu. Ingat itu Warakas, aku akan mati
dan datang untuk menuntut balas atas segala apa
yang telah kau lakukan. Aku tak rela kalau cintaku
kau sia-siakan!"
"Aku minta maaf, Lastri...!"
"Tidak! Minta maaflah nanti kalau kita sudah sa-
ma-sama di akherat sana!" pekik Sulastri histeris. Ia
menangis dan terus berlari bagaikan tak mengenal ca-
pai. Kejar mengejarpun terus berjalan, sepertinya ke-
dua orang itu tak ada yang mau mengalah.
Warakas terus memacu kudanya agar berlari ma-
kin cepat. Namun sepertinya Sulastri pun makin cepat
pula berlari, sehingga jarak keduanya bukan makin
lama makin pendek malah makin melebar dan jauh sa-
ja.
"Sulastri... Awas di depanmu jurang!" seru Wara-
kas manakala melihat jurang telah menganga di hada-
pan Sulastri.
"Aku tak perduli! Biar aku mati saja!"
"Jangan, Lastri! Jangan...!"
Warakas seketika berkelebat mencoba mengha-
langi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Warakas
telah melompat dengan cepat, dan berdiri di hadapan
Sulastri. Melihat hal itu, tiba-tiba Sulastri yang telah
kalap menggeram marah. Dengan didahului pekikan,
Sulastri seketika tanpa disadari menyerang Warakas.
Tersentak Warakas mendapat serangan tersebut,
seketika Warakas pun berkelit mengelakkannya. Na-
mun sungguh tak diduga oleh Warakas, kalau Sulastri
akhirnya benar-benar nekad. Tanpa ampun lagi, seke-
tika tubuh Sulastri melayang jatuh ke dalam jurang
dengan diikuti oleh pekikannya yang menyayat. "Aaaa-
aahhhhh...!"
Warakas sejenak terpaku diam, sebelum akhirnya
menjerit seraya memburu ke bawah jurang. "La-
striiii...!" Warakas seketika tercenung sembari meman
dang ke bawah jurang, di mana tubuh Sulastri hilang
jatuh ke bawah. Maka dengan lesu Warakas pun sege-
ra kembali meninggalkan jurang itu, menghampiri ku-
danya yang masih berdiri menunggu tuannya.
"Maafkan aku, Lastri," keluh Warakas penuh ses-
al. "Sungguh aku telah berdosa besar padamu..."
Dituntunnya sang kuda melangkah meninggalkan
jurang itu, jurang yang telah menelan tubuh Sulastri
bekas kekasihnya. Perasaan Warakas seketika gundah,
tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana nanti menceri-
takan pada Pendekar Pedang Siluman Darah? Bagai-
mana pula ia harus mempertanggung-jawabkan? Bila
mengingat itu semua, seketika Warakas pun menangis.
Dan dengan langkah gontai bagaikan tak bersemangat
Warakas pun terus menuntun kudanya melangkah
pergi....
***
LIMA
Setelah mendengar penuturan dari Warakas ten-
tang apa yang dialami Sulastri, Jaka Ndableg pun se-
gera meminta pamit pada temannya yaitu Sodra Ju-
mawa untuk meneruskan pengembaraannya. Niat Ja-
ka yang utama, adalah menyelidiki apakah ucapan
Warakas benar adanya? Kalau ternyata kematian Su-
lastri yang menjatuhkan diri ke jurang itu atas kekera-
san, maka Jaka tak akan segan-segan lagi berbuat
menurunkan tangan telengas pada Warakas seperti di-
katakan oleh Sodra Jumawa.
"Aku pamit undur. Sodra."
"Ah, mengapa terburu-buru, Jaka?" tanya Sodra
seakan tak ingin pertemuan itu segera berakhir dengan
perpisahan. Rasa kangennya pada Jaka yang menjadi
sahabatnya belum terlunasi. Namun Sodra Jumawa
maklum siapa adanya Jaka, yang memang dipenuhi
dengan segala macam masalah dunia persilatan. "Ya,
begitulah seorang pendekat sepertinya. Tak ada waktu
sesaat pun baginya untuk dapat mengasoh. Segala
waktu diserahkan untuk kepentingan orang banyak.
Sungguh aku merasa kagum padanya. Dialah seorang
pendekar sejati, yang mengutamakan kepentingan
orang banyak di atas kepentingan diri sendiri," gumam
Sodra Jumawa dalam hati.
"Kau tahu sendiri apa yang telah menjadi kebia-
saanku Sodra?"
"Oh, aku mengerti. Kebiasaanmu adalah mengu-
tamakan kepentingan orang banyak di atas kepentin-
gan diri sendiri. Kau rela berkorban untuk ketentra-
man dunia, walau nyawamu sebagai taruhannya."
"Rupanya kau bisa bercanda juga, Sodra? Apakah
kau tak menjadi dagelan. Ha, ha, ha...."
Sodra Jumawa hanya dapat geleng-geleng kepala
mendengar ucapan Jaka yang bercanda. Maka tak ayal
lagi, kedua sahabat itu akhirnya tumpahkan gelak ta-
wanya menjadikan ruangan itu seketika seperti terbe-
lah oleh gelak tawa mereka.
"Baiklah, Jaka. Aku tak dapat mencegahmu, ka-
rena aku tahu kau bukan milikku seorang. Kau adalah
seorang pendekar penegak kebenaran dan keadilan,
jadi kau adalah milik masyarakat. Aku hanya dapat
mengiringi dengan doa, semoga kau selalu dalam lin-
dungan Gusti Allah dan selalu dalam kemenangan-
nya."
"Terima kasih, Sodra."
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, tanpa
sepengetahuan Sodra secepat kilat Jaka berkelebat.
Hal itu menjadikan Sodra seketika terjengah heran.
Mata Sodra seketika mencari-cari, namun ternyata Ja-
ka telah jauh meninggalkannya. Tinggallah Sodra yang
hanya dapat geleng kepala.
Jaka terus berlari dengan tujuan mencari jurang
yang telah dikatakan oleh Warakas. Tengah Jaka ber-
lari, tiba-tiba dia dikejutkan oleh desingan ratusan
anak panah yang mengarah ke arahnya. Serta merta
Jaka lemparkan tubuh ke atas untuk menghindar.
"Monyet-monyet gudigan! Siapa yang telah bertin-
dak seperti monyet?" ngerompil Jaka sewot. Tangannya
secepat kilat berkelebat, dan ditangkapnya puluhan
anak panah yang mendesing-desing tertuju ke arah-
nya. "Hei... kalau kalian memang monyet, keluarlah!"
"Hua, ha, ha... Jadi kau kira aku ini monyet! Cuih!
Kau pun tak lebih dari kunyuk!" bentak seorang lelaki
pendek dengan kepala gundul yang tiba-tiba berkele-
bat dari semak-semak.
Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, manakala
melihat tubuh kate di hadapannya. Orang kate itu lu-
cu, berbadan kelewat gendut dan kepala botak ditam-
bah lagi dengan matanya yang besar bagaikan mata
buta.
"Anak edan! Apa perlumu tertawa, hah!" kembali
manusia kate itu membentak, manakala tahu bahwa
Jaka mentertawai dirinya. Hal itu menjadikan Jaka
malah ganda tawa, lalu dengan terpingkal-pingkal Ja-
ka pun berkata mengejek.
"Duh... duh! Kalau kau mau marah-marah, per-
cuma saja. Mendingan kau mendaftarkan diri saja pa-
da PT ABC, siapa tahu tubuhmu yang kerdil nan lucu
itu dapat dimanfaatkan untuk iklan!"
"Bedebah! Lancang kau berucap, Anak Siluman!"
"Hua, ha, ha... Kau lucu, Oom kerdil," gelak Jaka
tertawa seraya berkata. "Tubuhmu kelewatan. Sudah
pendek, eh malah gemuknya bukan main. Kau persis
kodok bangkong, hua, ha, ha...."
"Bangsat! Kucincang tubuhmu, Anak Edan!"
"Suiit...!"
Lelaki cebol gemuk yang mirip raksasa matanya
seketika membunyikan suitan. Maka dari balik semak-
semak keluarlah puluhan cebol mengepung Jaka. Jaka
yang dasarnya ndableg, seketika tertawa bergelak.
"Hua, ha, ha.... Rombongan tuyul dari mana ka-
lian?"
"Edan! Kau terlalu meremehkan kami! Apakah
kau belum tahu siapa kami, Anak edan!"
"Wuah, aku tahu nama julukan kalian. Kalian
mendapat julukan di dunia persilatan. Seratus Tuyul
Pencuri Uang yang bau air kencing. Hua, ha, ha...!"
"Slompret! Anak edan ini tak perlu dikasih hati.
Serang!"
Mendengar komando itu, secepat kilat puluhan
orang kate lucu berkepala botak dan bermata lebar itu
menyerang Jaka. Senjata mereka yang berbentuk arit
pendek atau parang, berkelebat-kelebat dengan gera-
kan-gerakan tak beraturan tampaknya. Namun gera-
kan-gerakan itu bila dipahami benar-benar akan men-
jadikan sebuah gerakan yang sangat berbahaya. Gera-
kan yang kaku itu, selalu membawa angin besar me-
nerpa pada tubuh dan wajah Jaka.
"Wadaow, kenapa tuyul-tuyul ini galak amat, sih?
Apakah kalian tak pernah makan sesaji?" mengomel
Jaka dengan gelak tawanya, menjadikan ketiga puluh
tuyul yang bergelar Tri Dasa Buta Kuntet makin me-
rengkah marah. Mereka tanpa banyak bicara lagi terus
berusaha merangsek Jaka. Hampir saja Jaka keteter
oleh serangan mereka yang datangnya bertubi-tubi dan
silih berganti.
"Edan! Kenapa kalian anak kecil sudah berani ku-
rang ajar, hah! Apa kalian belum pernah dikasih pela
jaran? Nih, aku berikan pelajaran tata krama pada ka-
lian!"
Setelah berkata begitu, secepat kilat Jaka berkele-
bat bagaikan seekor burung Srigunting. Tangannya
menyambar-nyambar, dan...
"Tap...."
Tangan Jaka seketika bergerak cepat menangkap
kepala salah seorang dari kate-kate itu. Tak ampun la-
gi, dibawanya tubuh kate itu ke atas dan dipelintirnya
kumis kate itu. Maka menjeritlah kate itu karena ku-
misnya tercabut dari tempatnya.
"Tobat...!"
"Hua, ha, ha... Siapa lagi yang ingin mengikuti
kursus mencuri kelapa?" ledek Jaka dengan ndableg-
nya, sepertinya ia tak merasa sungguh-sungguh berke-
lahi. Sementara kate yang kumisnya telah lepas, nam-
pak berguling-guling sembari memegangi kumisnya
yang tinggal sebelah. Air matanya mengalir deras, rasa
sakit yang teramat sangat melanda tubuhnya. Makin
marahlah kate lainnya melihat hal itu, yang dengan
segera kembali mengurung Jaka Ndableg.
"Wah, rupanya kalian menginginkan mainan be-
rupa kepiting. Oh... memang menurut cerita, tuyul su-
ka kepiting. Baiklah, aku akan memberi kalian seekor
kepiting. Nah, ini yang pertama!"
Ditangkapnya seorang lagi kate itu, lalu dengan
tangan membentuk capit dipelintirnya leher kate itu.
Menjeritlah seketika sang kate, sampai-sampai leher-
nya berbunyi, "Kretek!".
"Kurang ajar! Kau harus mampus, Anak edan!"
membentak marah ketua kate itu, demi melihat anak
buahnya dua orang menggerung-gerung kesakitan. Pa-
rang di tangannya berkelebat cepat, hampir saja mem-
babat tubuh Jaka kalau saja Jaka tidak waspada.
"Ampun, Oom Tuyul! Kenapa kau galak amat,
sih...? Apakah kau kurang sesaji? Nah, aku akan
memberimu sesaji berupa nasi salak!"
Habis berkata begitu Jaka segera kembali berkele-
bat dengan cepat. Dikiblatkan tangan kanannya den-
gan jari-jari membuka, lalu dengan cepat tangan itu
bergerak. Namun belum juga tangan Jaka menghan-
tam kening ketua kate, tiba-tiba seseorang berkelebat
menghadangnya.
"Dessst...!"
Jaka segera tarik undur serangan, manakala
bayangan itu menghantam tangannya. Tangan Jaka
seketika kesemutan, terhantam oleh sebuah pukulan
oleh bayangan orang tersebut yang kini telah berdiri
dengan senyum sinis padanya.
Tersentak Jaka Ndableg, manakala tahu siapa
adanya orang yang datang dan telah memukul tangan-
nya hingga kesemutan. Karena sudah mengenal siapa
adanya orang yang datang, serta merta Jaka berseru.
"Datuk Tuyul Setan! Rupanya kaulah biang dari
semua ini. Hem, apa maksudmu memerintah pada
anak buahmu si Tuyul Tri Dasa Buta Kuntet menye-
rangku?"
"Hua, ha, ha... Jaka Ndableg, aku ingin melihat
sebagaimana ilmu yang kau miliki sebagai seorang
pendekar yang ditakuti oleh para tokoh golongan sesat.
Aku ingin mengujimu, Ndableg!"
"Hem, rupanya kau tak lebih dari seorang penge-
cut! Kenapa tidak kau sendiri yang menghadapiku?"
bentak Jaka marah. merasa kalau dirinya telah ditipu
mentah-mentah oleh Datuk Tuyul Setan. Namun Da-
tuk Tuyul Setan bukannya gentar mendengar benta-
kan Jaka, bahkan sebaliknya sang Datuk tertawa re-
nyah.
"Bukankah aku kini telah menghadapimu?"
"Apa maumu, Datuk Iblis?"
"Mauku...? Kau harus melepaskan gelarmu seba-
gai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadi-
lan. Biarkan kami golongan hitam bertindak sesuai
dengan kemauan kami!"
"Apa kau kira semudah itu, Datuk?"
"Kenapa tidak? Kami akan membuktikannya,
Anak muda!"
"Jangan mimpi, Datuk! Jangankan untuk menuju
cita-citamu, untuk bernapaspun kalian akan senen
kemis," ejek Jaka, menjadikan sang Datuk seketika
menggeram marah. Maka dengan didahului dengan
bentakan sang Datuk seketika berkelebat menyerang.
Tubuhnya yang kecil cebol, layaknya seekor katak me-
lompat menangkap nyamuk. Ya, memang sang datuk
tengah menggunakan jurus Kodok Bangkong Menang-
kap Nyamuk. Jurus itu merupakan jurus andalan para
kate, sebab jurus tersebut merupakan jurus yang san-
gat ampuh. Jarang musuh dapat lolos dari sergapan
jurus tersebut. Tapi Jaka bukanlah pendekar semba-
rangan. Percuma ia digembleng oleh lima guru sekali-
gus. Empat gurunya merupakan tokoh-tokoh yang
pernah merajai dunia persilatan. Apalagi Ki Bayong
yang terkenal dengan julukan Pendekar Hati Suci,
sungguh tak ada tandingannya pada masa itu. Belum
lagi gurunya dari alam siluman yang datang bila di-
panggil dengan bentuk pedang pusaka. Maka mengha-
dapi gempuran Datuk Tuyul Setan yang menggunakan
jurus Kodok Bangkong Menangkap Nyamuk, tak men-
jadikan Jaka keteter. Bahkan Jaka dengan masih ber-
gelak tawa ria melayainya. Tarian-tarian tangan Jaka
yang mengeluarkan jurus Kupu-Kupu Berbisa didikan
Nyi Rukmini, menjadikan pudar jurus Kodok Bang-
kong.
Terperanjat kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat
apa yang telah terjadi. Jurus yang diandalkan oleh
hampir seluruh tokoh kate, ternyata dapat dengan
mudah dihancur-leburkan oleh pendekar muda yang
bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Maka makin
gusarlah Datuk Tuyul Setan menerima hal itu.
"Jangan bangga dulu, Anak muda! Aku belum ka-
lah!"
"Aku tak merasa bangga," jawab Jaka tenang.
"Ini untukmu! Hiat...!"
Selarik sinar hitam berkelebat cepat, keluar dari
telapak tangan Datuk Tuyul Setan. Sesaat Jaka tersen-
tak mundur, lalu dengan segera elakkan pukulan itu.
"Wah, bagaimana kalau kau dijadikan tukang pa-
nah kerajaan? Mungkin kau akan salah sasaran. Atau
mungkin temanmu sendiri yang terkena. Lihat...!"
Memang benar apa yang dikatakan Jaka, pukulan
Datuk Tuyul Setan yang bernama ajian Lutuk Gayung
melesat beberapa jengkal dari tubuh Jaka dan meng-
hantam telak pada anak buahnya. Seketika ketiga
anak buahnya menjerit, lalu mati dengan tubuh mem-
biru. Tubuh mereka terkena racun yang paling ganas,
yaitu racun Kecubung Ungu.
"Ah, ternyata Datuk Iblis ini memiliki racun Kecu-
bung Ungu. Kalau saja aku tak cepat menghindar,
sungguh berbahaya," keluh Jaka dalam hati. Dan Jaka
pun untuk kedua kalinya tersentak kaget, manakala
sebuah pukulan serupa kembali berkelebat ke arah-
nya. Karena untuk mengelakkannya tak mampu, serta
merta dengan tanpa perhitungan lagi Jaka hantamkan
ajian Getih Sakti.
"Sreet...!"
"Crooot...!"
"Blum!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua ajian
itu bertemu di udara. Kedua orang pemiliknya seketika
terpental ke belakang namun sungguh menjadikan Ja
ka parah menerimanya. Dari mulut pendekar kita, me-
leleh darah kehitam-hitaman. Rupanya racun Kecu-
bung Ungu yang di-lontarkan bersamaan dengan ajian
Lutuk Gayung, menghantam tubuhnya. Tanpa ayal la-
gi, tubuh Jaka seketika itu terkena racun ganas. Meli-
hat Jaka dalam keadaan luka, meledaklah tawa Datuk
Tuyul Setan.
"Hua, ha, ha... ternyata ilmumu hanya sekuku hi-
tam, Anak muda! Dengar olehmu, kau akan mati da-
lam waktu tiga jam apabila kau tak segera menyem-
buhkannya dengan obat penawar yang aku miliki. Ma-
ka itu, aku ingin jawabanmu. Maukah kau menjadi
anggota Persekutuan Iblis? Jawab olehmu! Bila kau
menolak, maka kematian-lah yang akan kau alami.
Tapi bila kau menerima, aku akan memberikan obat
penawarnya pada dirimu!"
Jaka terdiam menahan sakit yang teramat sangat.
Denyut jantungnya memburu liar, bagaikan aliran da-
rahnya merambah cepat. Keringat dingin mengucur
dari seluruh tubuhnya, sampai-sampai baju yang di-
kenakan basah kuyup. Baju berwarna perak yang di-
hadiahkan oleh ayahnya, seketika itu basah kuyup.
"Ooh Gusti Allah, apakah aku akan mati di tangan Da-
tuk Iblis ini?" keluh Jaka dalam hati. Matanya makin
lama makin suram, berkunang-kunang untuk melihat.
Manakala tubuh Jaka hendak jatuh, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat dan menyambar tubuh itu.
Tersentak kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat
seseorang cebol seperti dirinya telah mengangkat tu-
buh Jaka dan membawanya pergi. Maka dengan mem-
bentak Datuk Tuyul Setan pun segera berkelebat men-
gejarnya. "Bedebah! Siapa kau? Jangan lari!"
Namun bagaikan tak mendengar bentakan sang
Datuk, tubuh cebol itu terus saja berlari membawa tu-
buh Jaka yang tergeletak pingsan. Walaupun tubuh
nya cebol, namun larinya begitu cepat hingga dalam
sekejap saja tubuh cebol itu telah jauh meninggalkan
Datuk Tuyul Setan bersama anak buahnya yang terus
mengejar.
"Bedebah! Kita telah kehilangan jejaknya!" gerutu
Datuk Tuyul Setan, manakala tak lagi dilihatnya orang
cebol yang dikejarnya. "Siapakah dia adanya...?"
"Entahlah, Tuan. Tubuh orang itu seperti kita,"
jawab ketua Tri Dasa Buto Kuntet. "Apakah tidak
mungkin teman kita sendiri yang bermaksud mengua-
sai rencana kita?"
Sang Datuk manggut-manggut mendengar penu-
turan anak buahnya. Matanya masih memandang ke
bawah jurang di mana orang kate seperti dirinya yang
membawa tubuh Jaka berkelebat. Dengan tanpa hasil,
Datuk Tuyul Setan akhirnya kembali berkelebat pergi
meninggalkan jurang di depannya untuk kembali me-
nemui rekan-rekannya sesama golongan.
"Ayo kita balik! Siapa tahu memang dia rekan ki-
ta!"
"Daulat Gusti," jawab seluruh anak buahnya hor-
mat. Maka dengan diiringi anak buahnya yang masih
hidup, sang Datuk kembali melangkah pergi mening-
galkan tempat itu sekaligus meninggalkan mayat-
mayat anak buahnya yang bergelimpangan. Dan tega-
lan itu pun kembali sepi, bagaikan tiada kehidupan di
situ.
Apakah pendekar kita dapat tertolong nyawanya?
Nah, ikuti terus bab selanjutnya...!
***
ENAM
Di pagi yang cerah, terdengar seruan seseorang
berteriak-teriak memecahkan keheningan pagi. Orang
itu adalah seorang gadis muda yang tengah mendalami
ilmu silat. Gadis itu tak lain daripada Sulastri adanya
yang terjatuh di dalam jurang. Duduk di hadapannya
agak jauh, seorang wanita tua renta yang tak lain gu-
runya bernama Eyang Silir.
"Hiat...!"
Tubuh Sulastri berkelebat cepat laksana seekor
tupai yang lincah, hinggap dari satu pohon bambu ke
pohon bambu yang lainnya. Pedang di tangannya ber-
gerak cepat, membabat pohon-pohon bambu itu yang
seketika puntung terpangkas oleh tebasan pedang ter-
sebut. Wajah sang guru nampak bahagia, menyaksi-
kan kemajuan muridnya yang begitu pesatnya.
"Bagus, Lastri! Ulangi lagi dari mula!" seru sang
guru memberi semangat. Lastri sesaat menjura hor-
mat, lalu kembali ia pun membuka jurus yang telah ia
pelajari. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, men-
gapa Lastri yang telah jatuh ke bawah jurang tahu-
tahu hidup? Nah, marilah kita kembali ke kejadian
itu....
Setelah menyerang Warakas yang telah mengece-
wakan hatinya, Sulastri nekad menceburkan dirinya
ke jurang yang curam dan terjal. Tujuannya hanya sa-
tu, mati. Ya, menurutnya dengan mati bunuh diri ar-
wah nya akan penasaran dan dapat menuntut balas.
Sulastri seketika pejamkan mata, siap untuk menyam-
but elmaut. Tapi ajal bukanlah kuasa manusia macam
Sulastri, maka ketika Sulastri melayang ke bawah, se-
ketika sebuah bayangan berkelebat menangkap tu-
buhnya. Bayangan itu yang ternyata milik seorang ne-
nek sakti, meluncur membawa tubuh Sulastri yang
pingsan menuju ke pondoknya. Diberinya Sulastri ob-
at, sedang kandungan Sulastri ternyata telah kegugu
ran. Mungkin kandungan itu telah terbentur-bentur
oleh bebatuan yang menerjal.
Nenek sakti yang bernama Eyang Silir, seketika
merasa iba melihat Sulastri. Maka manakala Sulastri
telah sadar dari pingsannya, Eyang Silir Kuning pun
menanyai kenapa Sulastri sampai berbuat nekad hen-
dak bunuh diri.
"Saya telah frustasi, Eyang. Saya... saya telah di-
kecewakan oleh seorang lelaki yang telah merenggut
kehormatan saya. Lelaki itu sungguh sangat saya cin-
tai...."
"Bodoh! Mana ada cinta sejati!" bentak Eyang Silir
Kuning, sepertinya marah demi mendengar penuturan
Sulastri. Hal itu menjadikan Sulastri kaget bercampur
dengan heran tak mengerti. "Kenapa karena itu kau
hendak bunuh diri?"
"Saya... saya sudah tak kuat menanggungnya,
Eyang! Saya tak mempunyai pilihan lain kecuali mati
bunuh diri, agar arwahku penasaran yang akhirnya
nanti dapat menuntut balas pada orang-orang yang te-
lah membuatku menderita."
"Pikiran picik!" kembali Eyang Silir Kuning mem-
bentak. "Apa kau kira dengan berbuat begitu bebanmu
akan enteng? Huh, dasar anak total! Malah dengan
berbuat begitu, bebanmu makin bertumpuk. Di dunia
kau menderita, sedang di akherat kau akan merana
tak diterima oleh Sang Pencipta!"
Sulastri seketika terdiam demi mendengar penu-
turan Eyang Silir Kuning. Dirasakan olehnya memang
benar akan apa yang telah dikatakan oleh Eyang Silir
Kuning. Tak terasa air matanya meleleh deras, seper-
tinya hendak membuang segala derita.
"Kau tahu siapa adanya Warakas itu?" tanya
Eyang Silir, menjadikan Sulastri seketika mendongak-
kan mukanya memandang pada si Eyang. Sesaat setelah terdiam memandang pada Eyang Silir, Sulastri ak-
hirnya hanya menggeleng kepala.
"Warakas itu bukanlah kemenakan Kyai Safei. Dia
adalah seorang yang disuruh oleh gurunya Datuk Lin-
go Ketek untuk mengacaukan kerajaan dengan cara
menyamar sebagai kemenakan Kyai Safei. Karena gu-
runya tokoh sesat seperti diriku, hingga ia pun akhir-
nya jadilah tokoh sesat pula. Memang di antara kami,
yaitu aku dan Datuk Lingo Ketek terjadi perselisihan.
Aku memang kurang sepaham dengan cara-caranya.
Karena kekurang-sepahaman itulah, menjadikan diri-
ku dengan dirinya selalu bertentangan. Kami seringkali
bersitegang, namun untuk menentukan pertarungan
antara kami belum juga terlaksana. Karena di samping
kami sealiran, juga kami selalu dihalangi oleh teman-
teman kami. Maka itulah, kau jangan kaget kalau tin-
dakan Warakas bukanlah tindak orang yang baik. Kau
yang bodoh! Kenapa kau mudah percaya dengan
rayuan lelaki. Aku pun dulu seperti dirimu. Aku juga
korban dari kebiadaban lelaki!" Eyang Silir sesaat
menghentikan ucapannya. Dari matanya yang telah
tua mengalir air mata. Eyang Silir menangis manakala
mengingat pengalaman hidupnya.
"Kenapa Eyang menangis?" tanya Sulastri agak
memberanikan diri manakala melihat Eyang Silir me-
nangis.
Eyang Silir seketika tersentak, menghapus air ma-
tanya seraya memandang pada Sulastri. Ditatapnya le-
kat-lekat wajah Sulastri, sepertinya ingin memperban-
dingkan duka yang ada di wajah Sulastri dengan duka
yang ada di wajahnya. Setelah sekian lama terdiam
dengan mata menatap Sulastri, Eyang Silir pun kem-
bali berkata.
"Nasibmu seperti aku, Lastri. Aku pun dulu ter-
makan oleh rayuan lelaki yang tak lain dari gurunya
Warakas!"
Terbelalak Sulastri seketika manakala mendengar
penuturan Eyang Silir. Namun belum sempat Sulastri
bertanya, Eyang Silir telah mendahuluinya bercerita
tentang kehidupannya.
"Lima puluh tahun yang lalu, kala aku masih re-
maja seorang pemuda bernama Briah Sumenep datang
ke tempatku. Dia datang baik-baik padaku dan menya-
takan cintanya yang tulus. Sebagai seorang gadis lugu,
aku pun menerima cintanya. Mulanya aku tak melihat
adanya tanda-tanda kalau dia akan buruk padaku. Ke-
tika cinta terus berjalan, aku pasrahkan segenap jiwa
dan ragaku hanya untuk dia seorang. Sampai akhirnya
kehormatanku pun terenggutnya. Aku seperti dirimu,
pikiranku oleng tak tentu. Dan aku pun nekad hendak
membunuh diri. Namun niat itu aku urungkan, karena
aku merasa sia-sia bila sebagai manusia yang diberi
akal dan pikiran harus mengalah begitu saja. Aku pun
saat itu mencari guru, dengan tujuan kelak aku akan
menuntut balas. Maka dengan segala daya dan upaya,
aku pun mencari guru yang benar-benar sakti yang
dapat memberiku ilmu tinggi. Lama aku mencari seo-
rang guru, hingga akhirnya aku hampir putus asa. Da-
lam keputusasaanku, aku mendapat petunjuk dari su-
ara gaib agar aku mengabdi pada seorang tokoh sesat
bernama Datuk Walabar. Mulanya aku bimbang, sebab
keluargaku semua menjadi seorang pendeta. Tapi ma-
nakala aku kembali ingat pada dendam, akupun mem-
bulatkan tekad!"
"Lalu Eyang berguru juga?" tanya Sulastri.
Eyang Silir Kuning mendesah sesaat. Ditariknya
napas panjang-panjang, dan ditatapnya sejenak wajah
Sulastri yang kini agak tenang dari ketegangan. Sete-
lah kembali menarik napas berat, Silir Kuning pun
kembali berkata.
"Ya, aku hari itu juga berangkat menemui Datuk
Walabar. Betapa aku saat itu dalam kebimbangan un-
tuk memilih. Apakah aku terus mengikuti keluargaku
menjadi Pendeta, atau aku harus menjadi seorang to-
koh sesat yang bakal mampu membalas sakit hati pa-
da Briah Sumenep yang telah mengecewakan aku. Ak-
hirnya dorong-an untuk membalas dendam itulah yang
aku pilih. Lima tahun aku berguru pada Datuk Wala-
bar. Lima tahun pula aku digembleng dengan beraneka
macam ilmu. Namun hatiku seketika menjerit kembali,
manakala guruku yang aku hormati mengkoyakkan
segalanya. Malam naas itu, kehormatanku kembali te-
renggut oleh guruku sendiri. Aku pasrah, ya pasrah
segalanya. Demi .. cita-citaku, aku telah mengorban-
kan segala yang aku miliki. Akhirnya, aku berangga-
pan bahwa semua lelaki itu sama tak lebihnya dari
buaya. Di situlah dendamku pada semua lelaki tum-
buh. Setelah aku merampungkan seluruh ilmu yang
diajarkan oleh Datuk Walabar, aku bunuh guru biadab
itu. Entahlah, saat itu aku tak merasakan adanya ta-
kut. Yang ada dalam benakku hanya satu, menghan-
curkan setiap lelaki. Karena lelaki bagiku hanya bajin-
gan. Aku terus berkelana mencari korban dengan ha-
rapan dapat bertemu Briah Sumenep. Karena kekeja-
manku, sampai-sampai banyak korban laki-laki di tan-
ganku. Aku pun saat itu mendapat julukan Dewi Bun-
ga Malam Kematian. Nama besarku makin hari makin
melambung, namun harapanku untuk menjumpai
orang yang bernama Briah Sumenep tak aku temui.
Ternyata Briah Sumenep adalah nama samaran. Nama
aslinya Suntoro atau Datuk Lingo Ketek. Setelah aku
mendapatkan nama asli Briah Sumenep, aku pun se-
gera memburunya. Namun manakala aku telah berte-
mu dengannya, rasa cintaku kembali tumbuh. Entah
karena apa, aku tak berani menyakitinya walau dia te
lah menyakiti diriku. Itulah makanya aku bersumpah,
bahwa kelak setelah aku mengangkat murid maka mu-
ridkulah yang akan membalaskannya. Namun ternyata
aku menemukan dirimu yang juga senasib denganku.
Tapi tak apa, kau harus mampu membasmi keturunan
Lingo Ketek. Basmi Warakas, biar gurunya aku yang
akan tangani bila memang ia turut campur. Kini aku
sudah tua, maka tak ada lagi istilah kasihan. Dia telah
membuatku menderita, merasa rendah diri hingga aku
tak nikah sampai sekarang!"
"Jadi... jadi... Eyang mau mengangkatku menjadi
muridmu?"
"Benar, Lastri. Aku akan turunkan segala ilmu
yang aku miliki untuk membalas segala kekesalan ha-
tiku sekaligus kekesalan dan dendam hatimu pada
murid Lingo Ketek. Kau mau, Lastri?"
Mendengar pertanyaan Eyang Silir Kuning yang
memintanya untuk menjadi murid, seketika Sulastri
jatuhkan diri menyembah. Dari mulutnya yang berge-
tar keluar ucapan yang seperti sumpah.
"Baiklah, Guru. Aku akan menjadi muridmu yang
baik. Kelak aku akan membalas segala apa yang per-
nah guru alami juga dengan diriku. Aku akan menum-
pas segala cucu dan anak murid Lingo Ketek!"
"Bagus! Tak sia-sia aku menemukan dirimu. Nah,
mulai besok aku akan menurunkan segala ilmu yang
aku miliki!"
Maka sejak saat itu Sulastri pun digembleng oleh
Eyang Silir Kuning yang menjadi gurunya. Seorang da-
tuk sesat yang nasibnya seperti nasib dirinya sendiri.
***
Jaka Ndableg yang dilarikan oleh seorang kate da-
lam keadaan pingsan masih pingsan saat itu juga. Kate
yang menolongnya tampak masih agak cemas melihat-
nya, walau pil pemunah racun itu telah ia minumkan
pada Jaka. Memang racun Kecubung Ungu merupakan
racun yang ganas. Racun itu cepat reaksinya bila tidak
segera mendapat pertolongan.
"Hem, pendekar muda ini pun mengalami hal se-
rupa. Sungguh suatu racun yang sangat membahaya-
kan. Keterlaluan Datuk Tuyul Setan, aku harus men-
cegahnya agar tidak terus berlarut-larut. Orang akan
menyangka kalau akulah pelaku semuanya. Oh, Datuk
Tuyul Setan harus secepatnya aku cegah! Kalau tidak,
maka korban demi korban akan selalu berjatuhan,"
gumam lelaki kate itu yang berdiri di samping tubuh
Jaka.
Perlahan mata Jaka Ndableg membuka, ia siuman
dari pingsannya. Matanya memandang satu persatu
apa saja yang berada di ruangan itu, lalu akhirnya ter-
paut pada wajah lelaki tua yang berdiri di sampingnya
dengan tubuh pendek. Lelaki tua kate itu tersenyum,
menjadikan Jaka yang telah tahu siapa adanya lelaki
kate itu balas tersenyum sembari berkata.
"Terima kasih atas segala pertolonganmu, Ki. O
ya, siapakah namamu, Ki?" tanya Jaka.
Lelaki tua kate itu tersenyum melebar, lalu den-
gan masih memandang pada Jaka yang terbaring, Le-
laki tua kate itu pun berkata: "Namaku yang rendah
dan kerdil sekerdil tubuhku, Loras Jingga atau sering
orang menyebutku Pendekar Kate dari Matahari."
Terbelalak mata Jaka mendengar nama dan julu-
kan orang yang telah menolongnya. Tidak disangka-
sangka, kalau akhirnya ia harus menjumpai Pendekar
Kate yang sudah terkenal. Serta merta Jaka bangkit
dari tidurnya seraya menjura hormat berkata.
"Ooh, maafkan atas segala tingkahku pada Pende-
kar Kate!"
"Siapakah adanya engkau, Anak muda?" tanya
Kate Dari Matahari setelah untuk sesaat mengangguk-
anggukkan kepala. "Dan kenapa pula kau harus beru-
rusan dengan Datuk Iblis itu?"
"Aku yang bodoh dan telah dapat dikalahkan oleh
Datuk Tuyul Setan bernama Jaka Ndableg...."
"Jaka Ndableg,..?!" tersentak Pendekar Kate Mata-
hari demi mendengar nama Jaka Ndableg, sampai-
sampai tubuhnya yang kerdil itu melompat karena ka-
getnya. "Jadi... jadi kaukah Pendekar Pedang Siluman
Darah itu, Anak muda?"
"Itulah adanya, Ki."
Makin kaget saja Kate Matahari setelah pasti bah-
wa pendekar itu adalah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Maka tanpa sungkan-sungkan ia pun segera men-
jura hormat.
"Ooh, sungguh mata tuaku tak dapat membeda-
kan dengan baik. Ternyata aku terlalu bodoh. Aku
sungguh-sungguh tak menyadari, kalau ternyata orang
yang aku tolong adalah seorang pendekar kelas wahid
yang namanya tengah menggemparkan dunia persila-
tan dengan senjata pusakanya!"
"Ah, tak usahlah Ki Kate terlalu merendah. Bila
dibandingkan dengan namamu yang agung, namaku
belum ada sekuku hi tarn," balas Jaka. "Oh ya, Ki. Ta-
hukah kau di mana kediaman Datuk Tuyul Setan? La-
lu apakah penangkal dari racun Kecubung Ungu...?"
Seketika Pendekar Kate Matahari terdiam mana-
kala mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jaka.
Nafasnya mendesah berat, sementara matanya terpe-
jam. Setelah berbuat begitu agak sedikit lama, tiba-tiba
Pendekar Kate Matahari menangis. Hal itu menjadikan
Jaka seketika tersentak tak mengerti, dan bertanya.
"Kenapa Ki Kate menangis? Adakah aku telah ber-
buat kekeliruan yang menyinggung perasaan Ki Kate?
Atau mungkin ucapanku telah membuat Ki Kate tere-
nyuh...?"
"Bukan itu yang aku tangisi. Aku menangisi ten-
tang racun Kecubung Ungu. Sungguh aku ini telah
berdosa besar...."
"Hei, apa maksudmu, Ki?" tanya Jaka bingung.
"Racun Kecubung Ungu adalah hasil ciptaanku.
Maka sungguh aku sangat menyesal telah semena-
mena memberikan pada Datuk Tuyul Setan, kalau ak-
hirnya digunakan untuk kejahatan dan pemuas ambi-
sinya yang ingin merajai golongan sesat. Mungkin tak
akan lama lagi, para Datuk akan bertarung satu sama
lainnya."
Terbelalak mata Jaka mendengar penuturan Kate
Matahari, sekaligus ia jadi tahu akan apa yang tengah
bergolak di antara pada datuk sesat yang selalu ber-
lomba untuk saling menyatakan dirinya yang paling
sakti. Nah, untuk mengetahui apa yang akan dilaku-
kan oleh para datuk sesat, silahkan anda baca seri
Pendekar Pedang Siluman Darah berikutnya yang ber-
judul: Pertarungan Dua Datuk.
"Hem, akan ramai akibatnya kalau sampai benar-
benar terjadi!" gumam Jaka.
"Ya, mereka akan saling mengadu kesaktian un-
tuk memperebutkan jabatan sebagai ketua datuk."
"Apakah tak ada faktor lain yang mengakibatkan
mereka saling tuduh menuduh, Ki?" tanya Jaka men-
coba ingin tahu.
"Maksudmu, pendekar?"
"Mungkin ada faktor lain di antara mereka. Misal-
nya saja perselisihan yang menyangkut diri mereka."
"Memang ada. Seperti Datuk Lingo Ketek dan
Eyang Silir Kuning. Keduanya terdapat sengketa masa-
lah cinta. Keduanya dulu sewaktu muda pernah men-
jalin cinta, namun akhirnya Lingo Ketek mengkhianati
cinta Eyang Silir Kuning setelah dirinya merusak ke-
hormatan Eyang Silir Kuning!"
"Wuah, kalau begitu mereka terpentok masalah
cinta?" tanya Jaka seperti berbicara pada diri sendiri.
"Ooh, sungguh dunia ini penuh keanehan. Sampai-
sampai mereka selalu terjerat oleh iblis. Cinta... Ah,
mengapa semua gara-gara cinta banyak orang mende-
rita dan putus asa? Seperti temanku, dia pun gara-
gara cinta akhirnya mengalami hal yang tragis, mati
menceburkan diri ke jurang!"
Pendekar Kate Matahari hanya dapat mendesah
panjang, dengan sekali-kali mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia pun tak habis pikir, mengapa orang-
orang selalu melakukan kesalahan-kesalahan? Menga-
pa kadang para wanita tak mau menyadari segala apa
yang bakal terjadi? Kalau sudah begini, apakah dapat
menutupi segala kenyataannya?
"Jaka, kalau kau ingin menyelesaikan masalah
mu dengan Datuk Tuyul Setan, akupun ingin meminta
tolong padamu. Mintalah padanya Kitab Racun Kecu-
bung Ungu. Dulu dia meminta padaku dengan menan-
gis-nangis. Aku tak tega melihatnya, sehingga aku tak
memikir untuk apa kitab tersebut. Baru kini aku sada-
ri, kalau hal itu bila didiamkan berlarut-larut sangat
bahaya. Ingat, kalau kau menghadapi racun Kecubung
Ungu lagi, usahakan dirimu jangan menapak di tanah.
Sebab ajian itu tak akan mempan pada orang yang ka-
kinya berada di atas angin!"
"Baiklah, Ki. Aku akan berusaha mengambil kitab
tersebut. Aku mohon pamit!" Jaka segera menjura
hormat, yang dibalas dengan menjura juga oleh Pen-
dekar Kate Matahari. Namun betapa kagetnya Pende-
kar Kate Matahari, manakala ia menegakkan kepa-
lanya ternyata Jaka Ndableg telah tak ada di hadapan-
nya.
"Sungguh pendekar aneh," gumam Kate Matahari
seraya gelengkan kepala, lalu setelah itu ia pun berke-
lebat pergi meninggalkan tempat itu.
***
TUJUH
Jaka yang telah sembuh dari pengaruh racun Ke-
cubung Ungu segera berkelebat pergi meninggalkan
Kate Matahari untuk kembali meneruskan pengemba-
raannya. Ia juga hendak mencari Datuk Tuyul Setan
yang telah dapat menjatuhkan dirinya. Namun bukan
karena itu tujuan Jaka, tapi Jaka kini mengemban tu-
gas dari Kate Matahari untuk meminta Kitab Racun
Kecubung Ungu. Sebuah kitab ilmu silat yang dicam-
pur dengan obat-obatan milik Kate Matahari. Kalau ki-
tab itu tak segera diamankan dari tangan Datuk Tuyul
Setan, niscaya dunia persilatan khususnya para tokoh-
tokoh persilatan akan menjadi korban. Apalagi akan
diadakan pertarungan antar datuk untuk mencari seo-
rang pimpinan bagi golongan hitam.
"Aku harus dapat mengambil kitab tersebut. Kalau
sudah mendapatkan kitab itu, maka aku akan menuju
ke kerajaan yang aku dengar kini dalam keadaan gon-
cang. Kerajaan dalam keadaan yang gawat oleh pembe-
rontakan. Hem, siapakah yang menjadi biang pembe-
rontakan di kerajaan?" gumam Jaka dalam hati.
Dengan menggunakan ajian Angin Puyuhnya Jaka
berkelebat dengan cepat laksana angin berlari entah ke
mana. Namun seketika langkahnya terhenti, manakala
di hadapannya serombongan pasukan kerajaan tiba-
tiba menghadangnya.
"Mau apa mereka dengan diriku?" tanya Jaka pada diri sendiri.
"Berhenti!" menyuruh ketua prajurit yang ternyata
bukan Warakas adanya. Jaka segera menurut dan
menghentikan langkahnya. "Kaukah yang bernama
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
Ditanya begitu rupa, seketika Jaka mengerutkan
keningnya. Ia tak habis pikir, mengapa orang-orang
kerajaan yang telah mengenalnya tiba-tiba saja mena-
nyakan siapa adanya dirinya? Jaka tersenyum, dipan-
dangi satu persatu dari mereka. Saat itu juga Jaka tak
mengenali satu di antara mereka yang benar-benar
prajurit. "Hem, prajurit-prajurit gadungan," gumam
Jaka dalam hati.
"Ada keperluan apa Ki Sanak sekalian mencegah
perjalananku?"
"Aku tanya, apakah, kau Jaka Ndableg? Bukan
malah kau yang balik bertanya, Anak sundel!" bentak
ketua prajurit gadungan itu marah, namun Jaka yang
dasarnya ndableg bukannya ketakutan terkencing-
kencing, bahkan Jaka tertawa bergelak-gelak menden-
gar gertakan ketua prajurit.
"Hua, ha, ha... Kau bukan ketua prajurit kerajaan,
apa hakmu menanyai aku?"
"Setan belang! Akan ku lumatkan dirimu yang
sombong!"
"Huh, omonganmu bikin perutku mulas saja. Kau
tak lebihnya dari lalat-lalat kotor. Untuk itu, sepantas-
nya kau aku singkirkan agar perutku bisa sembuh
kembali!"
Tak alang kepalang marahnya pimpinan prajurit
gadungan itu mendengar ucapan Jaka yang mengang-
gap dirinya seekor lalat yang menjijikkan. Pimpinan
prajurit gadungan itu mendengus marah, lalu dengan
membentak dia berseru.
"Anak Edan! Jangan salahkan kalau kami merencah tubuhmu. Serang...!"
Mendengar komando dari pimpinannya, seketika
kelima puluh prajurit-prajurit gadungan itu berkelebat
menyerang Jaka dengan serempak. Tombak-tombak
yang berada di tangan mereka bergerak laksana hen-
dak menyate tubuh Jaka.
"Waduh.... kenapa aku hendak kalian jadikan
sate?" seru Jaka seraya melompat menghindar. "Eit,
meleset. Kau ternyata belum bisa menjadi pesate pro-
fesional. Nih, aku ajari kalau ingin tahu!"
Setelah berkata begitu, segera Jaka merampas
tombak orang tersebut yang tersentak dan berusaha
mempertahankan. Namun hentakan tangan Jaka yang
membetot lebih keras, menjadikan tombak itu seakan
membetot tangan prajurit gadungan yang melenguh
kesakitan. Belum juga prajurit itu dapat menguasai di-
ri, Jaka dengan segera cocokkan ujung tombak pada
mata prajurit tersebut. Tak ayal lagi, prajurit itu me-
lengking kesakitan, menjerit-jerit dengan tangan men-
dekap matanya yang melelehkan darah. Mata kanan-
nya hilang, tercocok tombak di tangan Jaka.
"Nah, kalian lihat. Aku akan mengambili satu per-
satu mata kalian, yang akan kujadikan sate nikmat
sate mata manusia. Ayo, siapa lagi yang dengan suka
rela mengorbankan matanya sebelah?"
Mendengar seruan Jaka, bukannya mereka takut.
Bahkan sebaliknya, mereka nampak makin beringas
menyerang. Melihat hal itu, serta merta Jaka mem-
buang tombak di tangannya dan memapaki serangan
tersebut.
Melihat Jaka tak bersenjata, makin meledaklah
keberanian para prajurit gadungan itu. Tak ayal lagi,
mereka dengan ganas mencerca Jaka dengan tombak
siap menghunjam tubuh pendekar kita. Namun begitu
Jaka nampak masih tenang, bahkan dengan ketawa
tawa Jaka melayani mereka.
"Wah, rupanya kalian orang udik, hingga kalian
tak pernah merasakan nikmatnya Kue Molen. Apakah
kalian ingin menikmati kue molen? Baik, ini aku be-
ri...!"
Habis berkata begitu Jaka segera kiblatkan tan-
gannya yang mengepal pada musuh. Tangannya berge-
rak cepat, dan...
"Dug, dug, dug, dug...!"
Empat kali berturut-turut terdengar hantaman
tangan Jaka, dan empat kali pula terdengar pekikan
orang yang terkena hantaman. Mereka seketika men-
dekap mukanya, sementara dari hidung mereka keluar
cairan merah. Ya, hidung mereka berdarah, terhantam
pisang molen Jaka yang keras.
"Hua, ha, ha... Siapa lagi? Nanti kalau kau yang
menjadi ketua, aku ada sedikit permainan untukmu!"
"Bedebah! Jangan kira aku akan mengalah pada-
mu, Kunyuk!" bentak ketua prajurit gadungan, menja-
dikan Jaka tergelak tawa.
"Hua, ha, ha... kau rupanya pintar ngomong.
Mengapa tidak menjadi penjual obat saja?" ledek Jaka.
"Bangsat! Aku cincang tubuhmu! Serang...!"
Kembali sisa-sisa mereka berkelebat menyerang
Jaka, yang dengan segera berkelit dari tusukan tom-
bak. Kaki dan tangan Jaka berkelebat cepat, menen-
dang dan menghantamkan pisang molen pada musuh-
musuhnya. Tak ayal lagi, musuh-musuhnya satu per-
satu menjerit dibuat tersungkur mencium tanah. Ting-
gallah ketuanya yang nampak gemetaran, namun Jaka
yang telah gedeg tak mau ambil perduli. Karena mere-
kalah langkahnya untuk mengejar Datuk Tuyul Setan
terhenti.
"Nah, karena tinggal dirimu, maka aku akan
memberikan sebuah permainan!"
Habis berkata begitu, Jaka segera totok urat tu-
lang pimpinan prajurit gadungan yang seketika itu
ngeduprak duduk tak dapat bergerak. Habis melaku-
kan itu Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan
pimpinan prajurit itu yang tak mengerti. Tak lama ke-
mudian, Jaka telah kembali dengan tangan membawa
beberapa lembar daun yang banyak ulatnya.
"Nah, inilah permainanku bagi orang yang suka
menipu! Ulat-ulat daun inilah yang akan menggigit tu-
buhmu sedikit demi sedikit!"
Terbelalak mata lelaki itu mendengar ucapan Ja-
ka, namun untuk berbuat apa-apa ia tak mampu se-
bab tubuhnya telah ditotok urat tulangnya.
"Jangan...! Ampunilah aku! Jangan kau buat aku
terkencing-kencing ketakutan...!" pinta lelaki itu den-
gan ketakutan. Namun Jaka hanya tersenyum sembari
gelengkan kepala. Perlahan Jaka melangkah mendeka-
ti tubuh lelaki itu yang tengah menggejubrak. Satu
persatu daun itu ditaruhnya di tubuh orang tersebut.
Tak ayal lagi, lelaki yang tadi membentak berani seke-
tika keluar keringat dinginnya deras membasahi tu-
buh. Dan yang lebih dari itu, seketika dari miliknya ke-
luar cairan yang baunya minta ampun.
"Uh, kenapa kau kayak anak kecil?" sentak Jaka
merasa bau yang menusuk hidung ke luar dari tubuh
lelaki itu yang gemetaran. Lelaki itu menangis, tak
mampu lagi mempertahankan diri dan pingsan.
Melihat lelaki itu pingsan, segera Jaka yang me-
mang ndableg berkelebat pergi meninggalkannya un-
tuk meneruskan tujuannya mencari Datuk Tuyul Se-
tan.
Tengah Jaka berlari hendak meneruskan lang-
kahnya, tiba-tiba ia teringat pada pimpinan prajurit
tadi.
"Ah, kenapa aku dungu? Kenapa aku membiarkan
segera kejadian berlalu begitu rupa? Hem, akan aku
tanyakan pada lelaki itu!"
Segera Jaka balik menuju ke tempat yang tadi.
Langkah larinya dipercepat, sehingga dalam waktu
yang relatif singkat Jaka pun telah sampai kembali ke
tempat itu. Tubuh lelaki itu masih pingsan, sementara
ulat-ulat daun telah hilang dari tubuhnya. Dengan se-
gera Jaka menempeleng pipi lelaki itu, yang seketika
tersentak bangun kaget.
"Kau...?" lelaki itu tergagap sadar.
"Ya, aku. Aku akan mengampunimu. asalkan kau
mau mengatakan siapa adanya dirimu dan siapa pula
yang menyuruhmu!"
Lelaki itu sesaat menatap Jaka lekat, lalu dengan
mendesah panjang lelaki itu pun akhirnya berkata.
"Namaku Jarang Legong. Aku disuruh oleh....
Akh...!"
Lelaki yang bernama Jaran Legong seketika me-
mekik, manakala sebuah benda berkelebat ke tubuh-
nya. Benda yang berupa belati berkepala burung gagak
menancap di punggungnya. Seketika tubuh Jaran Le-
gong membiru, bagaikan terkena racun jahat.
Jaka tersentak kaget melihat hal itu, seketika Ja-
ka berkelebat mencari siapa adanya orang yang telah
berbuat begitu. Namun ternyata orang yang berbuat
itu telah berlalu meninggalkan tempat-nya. Segera Ja-
ka memburu mengejar, digunakan ajian Angin Puyuh-
nya hingga Jaka pun berkelebat bagaikan angin.
"Berhenti kau!" seru Jaka manakala dilihatnya se-
seorang berlari di depannya. Orang itu seketika meng-
hentikan langkahnya, berdiri menghadapi Jaka. "Kau-
kah yang telah melemparkan pisau itu?"
Ditanya begitu bukannya orang bertopeng itu
menjawab, malah orang bertopeng itu seketika men-
dengus dan berkelebat menyerang Jaka. Diserang begi
tu rupa, seketika Jaka Pun mengelakkannya.
"Orang gendeng, kenapa engkau menyerangku?"
bentak Jaka marah. Namun orang itu bagaikan tak
mendengar, terus merangsek Jaka dengan jurus-jurus
yang mematikan. Tersentak Jaka seketika, maka den-
gan segera Jaka pun berusaha mengelakkannya. Tu-
buh kedua orang itu berkelebat cepat, saling serang
dan elak. Jaka yang geram melihat musuhnya, tanpa
sungkan-sungkan lagi melayani.
"Buka kedokmu, Ki Sanak!" bentak Jaka.
Orang itu tak menggubrisnya, malah serangannya
makin menjadi-jadi. Merasa ucapannya tak digubris
oleh orang berkedok, maka marahlah Jaka. Tubuhnya
bergerak cepat, tangannya menyambar-nyambar beru-
saha membuka kedok penutup wajah orang itu. Na-
mun sejauh itu Jaka tak dapat melaksanakannya, se-
bab setiap tangan Jaka bergerak hendak mencopot ke-
dok saat itu pula tangan orang itu berkelebat menang-
kisnya atau melompat mundur.
"Hem, kalau begini terus menerus aku pasti terde-
sak!" gumam orang berkedok itu dalam hati. "Kenapa
guru tak datang-datang?"
"Eh, rupanya kau pintar mengelak, Setan! Kenapa
kau berbuat begitu? Baiklah, akan aku buka kedokmu
biar aku dapat melihat siapa adanya dirimu!"
Jaka kembali berkelebat dengan cepat, tangannya
berusaha membuka kedok musuhnya. Jurus-jurus
ajaran Ki Barwa yang menggunakan nama burung Ja-
lak terus dipakainya. Dari jurus Jalak Mematuk Cac-
ing, Jalak Mengepak Sayap hingga jurus Jalak Menya-
pu Awan. Namun demikian ternyata semua tak berha-
sil membuka kedok orang tersebut.
"Bahaya, bahaya kalau begini!" pekik orang berke-
dok dalam hati. Kini ia benar-benar terdesak oleh se-
rangan-serangan yang dilancarkan Jalak ke arahnya.
"Kenapa guru tak juga datang?"
Jaka yang merasa dipermainkan dengan segera
merubah jurus-jurusnya. Dari jurus-jurus yang diajar-
kan oleh Nyi Rukmini, tubuh Jaka kini bagaikan kupu-
kupu, menari-nari lemah gemulai. Tapi dari tarian itu,
mendesir-desir angin kencang laksana topan. Sengaja
Jaka menyalurkan tenaga angin puyuhnya dengan ha-
rapan mampu membuka kedok orang tersebut. Dan
ternyata memang benar, kedok yang dipakai orang itu
seketika terbuka. Kedok itu terbang ditiup oleh angin
puting beliung yang keluar dari kibasan tangan Jaka.
Seketika Jaka tersentak kaget, manakala melihat siapa
adanya orang yang telah menggunakan kedok tersebut.
"Warakas! Apa maksudmu dengan semua ini?"
Belum juga Warakas menjawab, tiba-tiba terden-
gar bentakan seseorang yang diikuti oleh gemuruhnya
puluhan orang lain yang berkelebat menuju ke arah
Jaka.
"Paman guru, Datuk!" seru Warakas setelah meli-
hat siapa adanya orang yang datang. Orang itu ternya-
ta tak lain Datuk Tuyul Setan dan anak buahnya Tri
Dadsa Buto Kuntet.
"He, he, he... ternyata umurmu diberi panjang,
Pendekar? Tapi hari ini umurmu tak akan sampai da-
lam waktu tiga jam," ucap Datuk Tuyul Setan sinis.
"Datuk Iblis! Aku memang mencari dirimu...!"
"Mencari diriku? Hua, ha, ha... rupanya kau tak
kerasan lagi hidup di dunia. Apakah kau mau minta
tolong padaku untuk mengirimmu ke akherat, atau ba-
rangkali kau mau menjadi anggotaku?"
"Jangan mimpi aku akan menjadi anggotamu! Aku
mencarimu untuk meminta Kitab Racun Kecubung
Ungu milik Kate Matahari!"
Terbelalak mata Datuk Tuyul Setan mendengar
nama Kate Matahari diucapkan oleh Jaka. Seketika
hatinya bergumam, "Hem, kalau begitu Kate Matahari-
lah yang telah menolongnya. Edan! Kalau memang be-
gitu aku rasa pendekar muda ini pun telah mengetahui
rahasia kelemahan racun Kecubung Ungu. Hem, tapi
aku tak akan gentar menghadapinya. Aku telah memi-
liki ilmu yang tinggi, aku telah bersekutu dengan pen-
guasa Bukit Tengkorak!"
"Kenapa kau terdiam, datuk? Apakah kau takut?"
Jaka berkata mengejek, menjadikan Datuk Tuyul Se-
tan seketika menggeram marah. Maka dengan didahu-
lui dengan bentakan, Datuk Tuyul Setan seketika ber-
kelebat menyerang Jaka.
"Kau harus mampus, Anak Edan!"
"Eit... kenapa kesusu, Datuk?"
Dengan segera Jaka berkelit dari hantaman sang
Datuk. Merasa musuhnya dapat menghindar, serta
merta Datuk Tuyul Setan menambah serangannya.
Pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Keduanya
sama-sama tinggi ilmunya, sehingga pertarungan ke-
duanya bagaikan pertarungan dua bayangan saja. Ya,
mereka kini menghilang dalam gulungan warna pa-
kaian yang dikenakan. Sinar perak yang keluar dari
pakaian Jaka mengkilap-kilap diterpa matahari, se-
mentara sinar hitam yang keluar dari jubah datuk
memberikan suatu gambaran keseraman.
"Bangsat! Rupanya aku harus berbuat lebih ba-
nyak. Terimalah kematianmu, Anak Muda!"
Datuk Tuyul Setan tiba-tiba melancarkan ajian
yang berupa sinar merah membara. Jaka tersentak ka-
get, ia segera melompat mundur untuk mengelakkan-
nya. Namun sinar itu bergerak cepat, sehingga Jaka
tak sempat lagi menghindarinya. Maka dengan segera
Jaka pun menghantamkan pukulan yang dilandasi
ajian Getih Sakti.
"Getih Sakti, hiaat...!"
"Crooot...!"
"Wessst...!"
"Duar...!"
Terpental tubuh keduanya ke belakang, menjadi-
kan tubuh mereka jatuh bergedebugan menimpa ta-
nah. Jaka seketika tersentak, sebab dari pukulan itu
tangannya tiba-tiba membiru.
Terkekeh Datuk Tuyul Setan melihat hal itu, lalu
ia pun segera bangkit dari duduknya akibat jatuh.
"Bagaimana, Pendekar? Apakah kau mengakui
keunggulanku?"
"Jangan harap, Datuk Iblis! Lebih baik aku mati di
tanganmu daripada aku harus menjadi budak iblis!"
menggeretak Jaka marah.
"Baiklah kalau itu yang engkau mau. Bersiaplah
untuk mati!" menggeretak sang Datuk. "Anak-anak,
rencang tubuhnya!"
Tak ayal lagi, tuyul-tuyul kate itu pun seketika
berkelebat memburu ke arah Jaka. Kate-kate itu begi-
tu ganasnya, mulutnya menyeringai memperlihatkan
gigi-giginya yang runcing. Jaka seketika tersentak dan
berusaha bangun walau dengan tangan yang sakit.
"Tuyul-tuyul edan! Terimalah ini, hiat...!"
Terbelalak mata kate-kate itu demi melihat apa
yang terjadi. Tangan Jaka yang tadinya membiru seke-
tika membara bagaikan mengandung bara api yang
panasnya bukan main. Itulah ajian Tapak Bahana, se-
buah ajian yang sangat dahsyat.
Jaka sudah begitu marah, sehingga ia pun tak
sungkan-sungkan mengeluarkan ajiannya yang dah-
syat tersebut.
"Ajian Tapak Bahana, hiat...!"
Bareng dengan pekikannya, tubuh Jaka berkele-
bat bagaikan terbang. Tangannya yang membara lak-
sana bara api neraka, berkelebat mengiblat ke arah
musuh-musuhnya. Tanpa ampun lagi, seketika tubuh
musuh-musuhnya yang terkena hangus lalu hancur
menjadi debu beterbangan disapu angin pukulan Jaka.
Bergidik musuh-musuhnya yang masih hidup. Namun
belum sempat mereka berpikir, terdengar kembali se-
ruan sang datuk.
"Serang lagi, jangan kalian mengalah!"
Dengan hati setengah takut, mereka pun kembali
menyerang Jaka. Jaka yang rupanya sudah marah, tak
mau lagi meladeni mereka dengan main-main. Maka
tangannya yang telah disaluri Ajian Tapak Bahana te-
rus berkeliaran mencari mangsa.
Jerit kematian susul menyusul, dibarengi dengan
sirnanya tubuh-tubuh kate itu satu persatu menjadi
debu. Melihat hal itu, Warakas seketika terbeliak. Ia
baru tahu siapa adanya pendekar muda itu. Maka
tanpa sepengetahuan Datuk Tuyul Setan, Warakas se-
gera berkelebat pergi meninggalkan tempat pertempu-
ran itu.
Jaka yang memang sudah dilanda amarah, tanpa
sungkan-sungkan lagi terus menghantamkan ajian Ta-
pak Bahana. Dan tak ayal lagi, tubuh-tubuh mereka
yang mengeroyok seketika lenyap menjadi abu.
Tengah Warakas berlari menghindari perkelahian
Jaka yang dikeroyok oleh anak buah Datuk Tuyul Se-
tan, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara gelak ta-
wa seorang wanita.
"Siapa kau?" bentak Warakas, matanya tajam
memandang pada seorang wanita yang berdiri di hada-
pannya secara tiba-tiba dengan cadar hitam menutupi
mukanya.
"Warakas, mengapa kau seperti ketakutan. Akulah
Sulastri yang dulu engkau kecewakan! Aku rohnya da-
tang untuk menuntut balas!"
"Bedebah! Aku tak percaya!" geretak Warakas ma
rah. "Kalau kau benar-benar Sulastri jelas kau kini be-
rada di neraka bersama setan!"
"Hua, ha, ha.... Memang aku kini bersama setan.
Tapi kau pun tak ubahnya iblis laknat. Kau ternyata
bukan orang baik-baik, tapi kau adalah iblis buaya
yang suka mengganggu gadis. Untuk itulah, aku akan
mengirimmu ke akherat sana, hiat...!"
"Jangan mimpi, Sundel Bolong! Hiat...!"
Warakas yang sudah menyadari siapa adanya wa-
nita itu, seketika memapaki serangan Sulastri yang
berkelebat laksana burung seriti. Jurus demi jurus te-
rus berlalu, sepertinya mereka ingin segera menjatuh-
kan satu sama lainnya. Namun ternyata keduanya sa-
ma-sama tangguh, sama-sama berilmu cukup tinggi
"Kau harus mati bersamaku, Warakas keparat!"
"Huh, tak sudi. Menyingkirlah kau di akherat sa-
na!"
Kedua orang bekas kekasih itu seketika berkelebat
saling serang dengan jurus-jurus intinya. Tanpa ayal
lagi, seketika terdengar ledakan dahsyat membahana
manakala tangan keduanya beradu.
"Duar...!"
Terpental tubuh Warakas ke belakang, dari bibir-
nya muncrat cairan darah. Sementara Sulastri, tampak
mengalami hal yang hampir serupa. Namun nampak-
nya masih dapat tertolong. Tengah kedua muda mudi
itu dalam keadaan yang mengkhawatirkan, seketika
berkelebat tubuh-tubuh tua menuju ke situ.
"Warakas, muridku...! Kau...!" Datuk Lingo Ketek
seketika menangis, manakala melihat muridnya telah
mati. Sesaat Datuk Lingo Ketek memandang ke arah
orang yang telah mengadu ilmu dengan muridnya,
tampaklah siapa adanya orang tersebut. Orang yang
telah mengadu ilmu dengan Warakas, tak lain murid
dari bekas kekasihnya Eyang Silir Kuning yang kini
nampak membantu membangunkan tubuh muridnya.
"Kenapa kau mengadu muridku dengan muridmu,
Nini?" tanya Lingo Ketek setelah tahu siapa adanya
mereka.
"Hi, hi, hi... aku.... Siapa yang mengadu?" balik
bertanya Eyang Silir Kuning. "Ketahuilah olehmu. Lin-
go, gadis muridku ini pun telah sakit hati pada mu-
ridmu yang tak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Gadis ini aku temukan dalam keadaan mengandung
yang akhirnya keguguran akibat ulah muridmu. Dasar
laki-laki tak bertanggung jawab!"
"Nenek peot! Kalau saja aku tak mencintaimu, su-
dah aku remas mulutmu yang usil!"
"Kakek jelek bulukan. Kalau aku juga tak menyin-
taimu, sudah aku betot milikmu, agar tidak lagi men-
jadi laki-laki, hi, hi, hi...! Bagaimana? Apakah kita
akan saling mengadu ilmu seperti murid-murid kita
yang bernasib sama?"
"Baik, aku akan mengadu ilmu denganmu. Tapi
nanti, nanti bila pertemuan antar Datuk!"
Habis berkata begitu Datuk Lingo Ketek segera
berkelebat seraya membopong tubuh Warakas pergi
meninggalkan Eyang Silir Kuning yang masih terse-
nyum-senyum sembari memapah muridnya berjalan.
"Diakah yang bernama Datuk Lingo Ketek, Guru?"
"Benar, Muridku. Nanti kau boleh ikut menyaksi-
kan bagaimana aku akan mencabut miliknya. Tapi...
tapi aku sayang padanya...." Eyang Silir Kuning seketi-
ka menangis, manakala ia teringat bahwa cintanya
yang suci telah terkait hanya pada Datuk Lingo Ketek.
"Sudahlah, Guru...."
Dengan saling beriringan kedua murid dan guru
itu pun melangkah pergi, keduanya entah hendak ke
mana terus berjalan menuju ke arah Barat.
***
DELAPAN
Melihat anak buahnya hancur menjadi debu di-
hantam oleh Ajian Tapak Bahana yang dilontarkan Ja-
ka, marahlah Datuk Tuyul Setan. Seketika itu ia me-
lengking, menjerit sembari menyerang.
"Kau harus membayar kesemuanya ini, Anak
Edan!"
"Eit, rupanya kau pun beringas juga, Datuk!"
"Jangan banyak bacot! Ayo kita tentukan siapa di
antara kita yang harus menjadi penghuni akherat sa-
na!"
"Waow, nada bicaramu bagaikan malaikat. Baik,
aku layani apa yang menjadi maumu."
Kedua orang yang bertentangan haluan itu akhir-
nya terlibat dalam perkelahian. Jurus demi jurus ber-
lalu dengan cepat, sepertinya kedua orang itu ingin se-
cepatnya menyudahi pertarungan. Namun keduanya
nampak sama-sama tangguh, sama-sama tinggi il-
munya.
"Terimalah jurus Bekutakku, hiat...!"
"Hua, ha, ha... Jurus macam orang teler kau gu-
nakan, mana mungkin mampu berbuat?" ledek Jaka,
menjadikan Datuk Tuyul Setan menggeretak marah.
"Bedebah! Jangan sombong kau, Anak muda!"
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu kembali
berkelebat saling serang dan elak. Karena keduanya
saking serunya bertarung, sampai-sampai keduanya
tak menghiraukan bahwa dua pasang mata sedari tadi
mengawasinya. Dua orang itu tak lain daripada murid
dan guru yaitu Eyang Silir Kuning dan Sulastri.
"Guru, orang itu adalah Pendekar Jaka Ndableg si
Pendekar Pedang Siluman Darah!" tutur Sulastri mem
beritahukan pada gurunya yang seketika itu terbelalak
kaget seraya bergumam.
"Pendekar Pedang Siluman Darah...?"
"Ya, dialah orangnya. Masih muda dan tampan, ya
guru?"
Sang guru hanya mengangguk sembari tersenyum
mendengar pengakuan muridnya yang dirasa polos.
Matanya tak henti-henti mengawasi gerakan-gerakan
si pemuda yang baru ia tahu adalah Pendekar Pedang
Siluman Darah yang telah tersohor namanya.
"Ah, siapa yang seorang lagi...?" tanya Sulastri pa-
da gurunya yang seketika tersentak dari perhatiannya.
"Seorang lagi adalah Datuk Tuyul Setan atau Da-
tuk Bermuka-muka," jawab gurunya menerangkan,
menjadikan Sulastri seketika mengerutkan keningnya
tak mengerti maksud gurunya.
"Mengapa diberi nama Datuk Bermuka-muka?"
Sang guru masih mengawasi jalannya pertarungan
kedua orang yang berilmu cukup tinggi itu, lalu den-
gan tanpa memalingkan muka pada muridnya ia men-
jawab.
"Datuk Bermuka-muka adalah nama lain dari Da-
tuk Tuyul Setan. Karena saking bisanya ia mengubah
muka, jadilah ia diberi gelar oleh kaum datuk dengan
sebutan tersebut. Kadang kala mukanya bisa membu-
suk bila tengah marah. Kadang kala mukanya mirip
dengan muka hantu yang menakutkan!"
"Apakah tidak mungkin kalau ia juga mengaku-
aku Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri menerka-
nerka.
"Ya...." jawab sang guru, yang menjadikan muka
Sulastri seketika berubah merah membara. Tiba-tiba
terdengar Sulastri memekik berseru.
"Jaka... dia adalah Iblis Muka Busuk. Dialah yang
telah memperkosaku!"
Tersentak Datuk Tuyul Setan dan Jaka Ndableg
yang tengah bertarung. Seketika mereka menghentikan
pertarungan. Tubuh Sulastri berkelebat dengan cepat,
lalu tanpa diduga oleh Datuk Tuyul Setan, Sulastri te-
lah menyerangnya.
Diserang begitu rupa, sang Datuk dengan mengge-
ram menghantamkan ajian Racun Kecubung Ungunya.
"Awas Lastri...!" Jaka memekik memperingatkan.
Namun ternyata, Lastri yang tak menyadari seketika
terus memburu hingga....
"Aaahhh...!" jerit Sulastri, tubuhnya terhantam
oleh ajian Kecubung Ungu. Dalam sekejap saja tubuh
Sulastri telah berubah membiru terserang racun yang
ganas.
"Lastri...!" jerit Eyang Silir Kuning memburu tu-
buh sang murid yang terpental dengan keadaan tak
bernyawa lagi. "Kau harus mati Datuk! Kau harus mati
di tanganku! Hiat...!"
"Nyi Silir Kuning, mengapa kau memusuhi aku?"
tanya Datuk Tuyul Setan sembari mengelakkan seran-
gan Nyi Silir Kuning.
"Jangan banyak omong, kau telah membunuh
muridku satu-satunya, maka kau pun harus mati di
tanganku. Hiat....!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi Nyi Silir Kuning se-
gera menyerang Datuk Tuyul Setan dengan segala
ajian yang dimilikinya. Namun Datuk Tuyul setan ter-
nyata bukan musuh yang enteng.
Melihat Eyang Silir Kuning menyerang, serta mer-
ta Datuk Tuyul Setan membentak. "Minggir...!"
Tersentak Eyang Silir Kuning manakala dirasakan
tubuhnya seperti ada yang mendorong ke belakang.
Eyang Silir Kuning segera mengerahkan tenaga dalam
menghindar. Namun belum juga ia tersadar, tiba-tiba
Datuk Tuyul Setan telah menghantamkan ajiannya
Racun Kecubung Ungu. Hampir saja ajian itu meng-
hantam tubuh Eyang Silir Kuning ketika secara tiba-
tiba sebuah petir yang dahsyat menghalanginya.
"Bletar...!"
Petir yang dilancarkan oleh Jaka dengan ajiannya
Sewu Petir, dapat menghalangi niat Datuk Tuyul Se-
tan. Sang Datuk tarik kembali serangannya dan kini
beralih memandang pada Jaka dengan sorot mata ma-
rah. Perlahan-lahan, wajahnya seketika berubah mem-
busuk yang mengeluarkan hawa busuk yang teramat
sangat menyekat.
"Iblis Muka Busuk...!"
Kedua orang itu seketika melompat mundur ma-
nakala tahu siapa yang kini tengah dihadapi.
"Hem, sungguh bahaya kalau aku mendekatinya.
Aku harus mengadakan perlawanan dari jarak jauh!"
gumam Jaka.
"Pendekar, jangan biarkan mahluk itu mendahului
kita!"
"Tenanglah, Nini... Ajian Petir Sewu! Hiat...!"
Jaka segera melancarkan ajian Petir Sewu kemba-
li, menghantam tubuh mahluk bermuka busuk yang
menyebarkan hawa beracun. Namun Jaka seketika
tersentak, manakala melihat apa yang terjadi. Ketika
suara ledakan hilang, ternyata mahluk itu masih ber-
diri dengan kokoh. Gigi-giginya menyeringai, keluar
dari mulutnya yang rusak morat marit. Dari koreng-
koreng itu, menetes cairan yang menyebarkan bau bu-
suk.
Perlahan mahluk itu berjalan menghampiri mere-
ka, menjadikan Jaka dan Eyang Silir Kuning seketika
tersentak kaget. Dan manakala mahluk itu menyerang,
secepat itu pula kedua orang yang diserang melempar-
kan tubuh ke samping men-jauh.
"Kalian harus mati... Kalian harus mati! Hua, ha,
ha,..!"
"Eyang Silir Kuning, menyingkirlah! Biarkan aku
yang akan menghadapi mahluk iblis ini!"
Tanpa banyak membantah, Eyang Silir Kuning se-
gera berlari menepi. Kini tinggallah Jaka sendiri meng-
hadapi mahluk Iblis yang perlahan-lahan melangkah
mendekatinya.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Iblis
Muka Busuk seketika melompat mundur, padahal ja-
rak antara dia dengan Jaka tinggal beberapa jengkal
lagi, manakala Pedang Siluman Darah tiba-tiba telah
tergenggam di tangan Jaka. Melihat sinar pedang yang
menyala terang kuning kemerah-merahan, seketika
mata Iblis Muka Busuk membeliak kesilauan. "Hiat...!"
Segera Jaka berkelebat cepat dengan Pedang Si-
luman Darah di tangannya. Dengan cepat sambil me-
nahan napas, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke
tubuh Iblis Muka Busuk. Seketika menjeritlah Iblis
Muka Busuk untuk sesaat sebelum akhirnya ambruk
dengan tubuh terpotong menjadi dua.
Melihat musuhnya telah mati, secepat kilat Jaka
lompat ke belakang. Dan....
"Hoak... hoak...!"
Saking lamanya menahan bau busuk yang me-
nyengat, Jaka muntah-muntah. Melihat hal itu Eyang
Silir Kuning dengan segera membantunya.
"Tak usah, Eyang. Aku tak apa-apa," ucap Jaka
sembari kembali berdiri. "Nah, Eyang aku mohon pa-
mit!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Jaka telah
berkelebat pergi dan lenyap dengan cepat. Eyang Silir
Kuning hanya terbengong, tanpa mampu harus ber-
buat apa. "Sungguh luar biasa pendekar muda itu.
Pantas kalau namanya begitu disegani dan ditakuti!"
gumamnya. Eyang Silir Kuning pun segera berkelebat
dengan membawa tubuh muridnya pergi...
Nah, apakah yang akan terjadi dengan Eyang Silir
Kuning? Lalu bagaimana pula tindakannya dengan be-
kas kekasihnya Lingo Ketek? Lalu apakah yang terjadi
pada Kerajaan Panjang Sulara? Nah, bila ingin tahu
segalanya silahkan ikuti ki-sah berikutnya dengan ju-
dul: "Pertarungan Dua Datuk!"
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar