..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE CINTA MEMENDAM DENDAM

Cinta Memendam Dendam

 

CINTA MEMENDAM DENDAM

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode:

Cinta Memendam Dendam

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


CINTA, suatu ungkapan yang indah. Cinta terlahir 

sejak jaman dahulu, sejak manusia belum mengenal 

tulisan maupun bahasa. Dulu walau hanya dengan 

isyarat, namun tetap saja dinamakan cinta. Bagi me-

reka yang tengah menyanyikan alunan cinta, merasa-

kan indahnya dunia. Lupa akan semua yang bakal ter-

jadi, lupa akan kenyataan hidup. Walaupun segalanya 

akan berubah, tapi dengan cinta segalanya menjadi in-

dah. Itulah Cinta, yang datang membuat hati senang 

dan lupa akan segalanya. Yang pergi menjadikan luka 

yang tiada dapat terobati. Kadang cinta mampu mem-

buat orang gila, merana bahkan trauma. Dikopi, khu-

sus untuk Ninie bagaimana dengan Kak Erwannya...?

Dua muda mudi tengah duduk-duduk di tepi tela-

ga, keduanya nampak mesra. Sekali-kali keduanya sal-

ing lempar senyum, atau saling cubit-mencubit. Gelak 

tawa pun membahana, saat salah seorang dari kedua-

nya mengucapkan kata-kata yang mungkin bagi seo-

rangnya lagi dianggap lucu.

"Kakang, apakah kita akan selalu begini terus me-

nerus?"

"Maksudmu, Dinda?" tanya si pemuda yang ber-

nama Warakas sembari memandang pada si gadis yang 

bernama Sulastri. Keduanya sudah hampir tiga bulan 

menjalin cinta, lewat pandangan pertama yang mung-

kin tak akan pernah terjadi lagi.

"Apakah kita akan selalu begini?" kembali Sulastri 

bertanya.

Warakas terdiam hening nan bisu, ia belum me-

mikirkan akan apa yang dinamakan perkawinan. Lagi 

pula, bukankah ia baru mengenal Sulastri tiga bulan 

yang lalu? "Ah, kesusu anak ini," gumam hati Wara


kas, "Apakah dikira untuk perkawinan cuma kawin sa-

ja? Kalau kawin saja sih, aku mau. Tapi membentuk 

sebuah keluarga, aku belum siap lahir maupun batin."

"Bagaimana, Kakang? Kenapa kau tercenung di-

am?"

"Ah, ti-tidak," jawab Warakas terbata karena ter-

sentak oleh pertanyaan Sulastri yang tiba-tiba. "Sula-

stri, untuk membentuk sebuah perkawinan kita perlu 

adanya modal yang kuat. Bukan hanya siap mental, 

namun kita harus siap segalanya. Apalagi aku belum 

mempunyai pekerjaan tetap. Apakah kita akan menu-

runi orang tua kita yang menjadi petani? Ah, aku tak 

sanggup untuk itu, Sulastri? Aku telah dididik oleh 

guru segala macam ilmu, apakah aku hanya menyerah 

pada nasib? Aku ingin kita nantinya kaya, dan hidup 

serba cukup. Cukup sandang pangan, cukup sega-

lanya. Kau harus sabar, Sulastri."

Sulastri yang gadis lugu, seketika manggut-

manggut dengan hati senang demi mendengar segala 

cita-cita kekasihnya. Entahlah, mengapa Sulastri 

mempercayai segala omongan Warakas. Padahal ia be-

lum tahu siapa sebenarnya Warakas, lalu dengan 

maksud apa pemuda gagah itu mendekatinya. Padahal 

banyak gadis-gadis di kampung Sulastri yang tertarik 

pada Warakas, namun Warakas kenapa memilih di-

rinya yang bodoh dan anak orang tak mampu? Banyak 

anak Lurah atau para pamong praja yang menyu-

kainya, tapi kenapa Warakas memilih Sulastri? Kalau 

ingat itu semua Sulastri hanya dapat tersenyum, se-

nyum polos dari seorang gadis desa yang lugu.

Mungkin karena Sulastri merupakan gadis desa 

yang masih polos dan lugu itulah, yang membuat Wa-

rakas memilihnya. Mungkinkah ada maksud lain di 

hati Warakas pada Sulastri? Entah, yang tahu pasti 

adalah Warakas sendiri sebagai pelaku utama dalam


jalinan cinta yang keduanya bina.

Awal pertemuan cinta mereka awali dengan pan-

dangan pertama yang indah, yang mampu menggu-

ratkan sebuah catatan tersendiri di hati insan Tuhan 

itu. Waktu itu Warakas datang ke kampung Dukuh 

Gempol dengan tujuan menemui pamannya yang men-

jadi seorang guru ngaji.

Sulastri yang juga mengaji di tempat Kyai Safei, 

tiba-tiba hatinya menjadi gundah manakala mengadu 

pandang dengan Warakas. Mata keduanya beradu, 

seakan ingin mengulur benang-benang yang telah me-

reka rajut. Dan tanpa malu-malu, Warakas malam itu 

juga menawarkan jasa pada Sulastri untuk mengan-

tarkan ke rumah.

"Aku antar, ya?"

"Ah tak usah, aku berani kok," jawab Sulastri 

sembari tersenyum ramah. Senyumnya itulah yang 

membuat jantung Warakas seketika berdegup dengan 

kencang. Perasaannya tak menentu, bergelut dengan 

segala macam kalimat.

"Tapi bolehkan kalau aku mengenalmu?" tanya 

Warakas kemudian.

Sulastri hanya terdiam, matanya berkaca-kaca. 

Tiba-tiba mulut Sulastri yang mungil berseru pada te-

mannya, "Hamidah, ayo kita bareng berjalan!"

Tersentak Warakas mendengar seruan Sulastri, 

yang dirasa telah mengacuhkannya. Hati Warakas se-

ketika bergumul dengan rasa, dan berkata dengan ke-

luh.

"Hem, rupanya dia belum kenal siapa aku. Nanti 

kaulah yang akan mengejar-ngejar aku." Dengan hati 

masih dipenuhi seribu macam perasaan Warakas ak-

hirnya berlalu kembali ke rumah pamannya, tak hi-

raukan lagi pada segala gelap malam yang menyelu-

bungi bumi.


Malam itu Warakas tak dapat tidur, bayangan wa-

jah Sulastri terus menggayut dalam benaknya. Pera-

saan untuk menaklukkan Sulastri terus meledak-ledak 

di dalam hatinya, seperti bara api yang tak mau padam 

begitu lupa. Entahlah, sepertinya dalam hati Warakas 

hanya ada satu wajah, Sulastri,

"Aku harus dapat! Ya, aku harus dapat menak-

lukkannya!" desah Warakas dalam hati. Matanya yang 

sedari tadi diajak tidur, tak juga mau terpejam. Pera-

saan kecewa karena ditolak mengantar Sulastri ke ru-

mah, menjadikan Warakas bagaikan ditantang.

Seperti halnya Warakas, saat itu juga Sulastri pun 

merasakan hal yang serupa. Perasaan bersalah telah 

menolak Warakas untuk mengantarnya, seperti menje-

lajahi hati. Entahlah, mengapa Warakas yang baru ia 

kenal begitu menggurat hati? Sulastri sebenarnya pun 

menaruh hati pada Warakas (Seperti Mbak Ninie yang 

juga waktu itu menaruh hati pada Kak Erwan Tan-

jung), namun karena merasa orang tak punya dan bo-

doh menjadikan Sulastri menekan sedapat mungkin 

perasaannya.

"Apakah mungkin, aku yang bodoh dan miskin ini 

menerima cinta Warakas yang pintar dan keturunan 

orang berada? Apakah nantinya aku tidak dijadikan 

sebagai budaknya, bukan sebagai istri?"

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadikan 

Sulastri terus menekan gejolak jiwanya. Belum juga 

masalah keluarga, apakah mungkin orang tua Wara-

kas akan mau menerimanya? Ya, memang biasanya 

orang akan melakukan penyeleksian yang ketat pada 

segala yang bakal menjadi milik diri atau anggota di-

rinya.

Seperti halnya Warakas, Sulastri pun malam itu 

tak dapat memejamkan mata barang sekejappun. 

Bayangan Wakaras, bayangan keadaan diri, juga


bayangan keluarga Warakas yang Santri. Ah, semua-

nya seperti memaksa hati Sulastri untuk berpikir dan 

berpikir sebelum menerima cinta Warakas. 

"Ooh, adakah cinta harus mengenal kelas? Ada-

kah aku dilahirkan sesuai dengan kodratku? Kenapa 

aku tak menjadi anak orang berada seperti Warakas, 

sehingga aku dapat mendampinginya? Oh... Warakas, 

mungkinkah kita akan dapat menyatu...?" keluh Sula-

stri penuh kebimbangan.

Malam itu pun, dilalui Sulastri dan Warakas den-

gan segala macam pikiran (Layaknya seperti Mbak Ni-

nie pada waktu itu. Bukan begitu, Mbak Ninie? Aku ki-

ra kau pun begitu saat itu. Tidur tak nyenyak, makan 

tak enak. Pokoknya ingat Kakak Erwan Tanjung, he, 

he!). Kadang Sulastri atau Warakas tersenyum geli 

sembari gelengkan kepala, entah apa yang keduanya 

pikirkan. Malam pun berlanjut, membawa hening dan 

sunyi. Ketika lamat-lamat terdengar kokok sang ayam, 

keduanya baru dapat tertidur. Hal itu menjadikan ke-

duanya lupa sholat Subuh. Pada waktu Kyai Safei 

membangunkan kemenakannya, mata Kyai Syafei se-

ketika terbelalak. Bagaimana mungkin, sang kemena-

kan masih tertidur padahal hari telah pagi.

"Warakas! Warakas, bangunlah hari sudah pagi. 

Apakah kau tidak sholat Subuh?" tanya Kyai Safei 

membangunkan Warakas. Warakas sesaat menggeliat, 

lalu bangun dengan terlebih dahulu mengucak-ucak 

matanya yang masih terasa ngantuk.

"Astagfirullah! Warakas, kau...!" seru Kyai Safei 

kaget, menjadikan Warakas celigukan bagai orang ke-

bingungan seraya bertanya tak mengerti.

"Ada apa, Paman?"

"Kau ngompol...?" tanya Kyai Safei kembali, ma-

tanya membelalak kaget tak percaya. "Kau...."

"Ah...." Warakas tersentak, serta merta menu


tupkan tangannya ke bawah. Dengan terbata-bata Wa-

rakas segera mengatakan apa yang menjadikan dirinya 

bisa begitu. "Ma... maaf, Paman. A... aku..."

"Ah, sudahlah. Ayo kau mandi besar, sana!"

Dengan tanpa banyak kata lagi Warakas segera 

berlari ke belakang menuju sumur. Perasaan malunya, 

menjadikan Warakas melipir berjalan meninggalkan 

pamannya yang hanya geleng-geleng kepala. Dengan 

tersenyum kecut, sang paman pun segera berlalu per-

gi.

***

Sebagaimana kata pepatah, orang akan berusaha 

mendapatkan apa yang belum ia dapatkan walau den-

gan pengorbanan yang besar. Seperti pepatah tersebut, 

Warakas pun tak mau mundur begitu saja. Apalagi Su-

lastri telah mampu membuat ia terkencing dalam ti-

dur, menjadikan Warakas mau tak mau terus berusa-

ha mendapatkannya.

"Sulastri, terus terang aku...."

"Aku kenapa? Kenapa kau gugup?" tanya Sulastri 

pada Warakas, demi mendengar ucapan Warakas yang 

gugup yang saat itu kembali menghadangnya manaka-

la Sulastri habis mengaji di Kyai Safei. "Bukankah kau 

laki-laki, kenapa mesti gugup? Katakanlah!"

Mendengar ucapan Sulastri yang sepertinya men-

dorong, Warakas seketika tersenyum. Dan setelah ter-

lebih dahulu menyeka keringat yang ada di pelipis, 

Warakas pun berkata, walau masih tampak tersendat.

"Sulastri, aku... aku mencintaimu...."

"Ah!" tersentak Sulastri mendengar ucapan Wara-

kas. Walau hati kecilnya sebenarnya berkata, "Oh, 

mengapa aku miskin? Mengapa aku diciptakan untuk

menjadi orang miskin?"


"Kenapa, Sulastri? Apakah kau tak mau menerima 

cintaku?"

"Bu... bukan," jawab Sulastri tersentak dari lamu-

nannya. Mata Sulastri berkaca-kaca, seakan ia ingin 

menangis. Ya, Sulastri ingin sekali menangis. Tapi tan-

gis apa? Apakah tangis bahagia? Atau barangkali tan-

gis akibat luapan emosinya? "Aku hanya kaget!"

"Kaget...? Kaget kenapa..;?" tanya Warakas masih 

belum mengerti, matanya menyipit sempit memandang 

pada Sulastri yang akhirnya tertunduk. Dan tiba-tiba 

dari mata Sulastri mengalir air bening, meleleh mem-

basahi pipi. "Kenapa kau menangis, Sulastri? Kau se-

dih?"

Sulastri gelengkan kepala, menjadikan Warakas 

terpaku tak tahu harus berbuat apa. Keduanya hanya 

terdiam membisu, tanpa kata tanpa reaksi. Warakas 

masih terus terbawa oleh alunan kebisuan, dengan ta-

tapan matanya memandang pada mata Sulastri yang 

menangis.

"Ehm... ehm!"

Tersentak keduanya manakala mendengar suara 

deheman. Seketika keduanya menengok ke arah suara 

itu. Mata keduanya terbelalak, manakala tahu siapa 

adanya yang datang.

"Paman...." desah Warakas.

"Guru...."

Kyai Safei tersenyum melihat murid dan kemena-

kannya kaget. Digelengkan kepala dengan senyum 

yang masih terurai di bibir, lalu katanya kemudian, 

"Sulastri, apakah kau tak pulang? Hari telah larut.... 

Warakas, antarkan dia!" 

"Ti...." Sulastri hendak menolak, manakala dengan 

segera Kyai Safei memotongnya.

"Jangan menolak, Lastri! Hari telah begini larut, 

tak baik untuk seorang gadis."


"Benar apa yang diutarakan paman, memang tak 

baik kalau seorang gadis malam-malam begini harus 

berjalan sendirian. Percayalah padaku, aku dengan tu-

lus mengantarmu," menambahkan Warakas, sementa-

ra bibirnya masih terurai senyum.

Sulastri akhirnya hanya terdiam dan diam dengan 

seribu macam perasaan yang ada di dalam hati. Kedua 

muda-mudi itu pun akhirnya berjalan beriringan me-

ninggalkan pondok Kyai Safei. Kyai Safei hanya mam-

pu menggelengkan kepalanya melihat kemenakannya 

yang nampak mempunyai hati dengan muridnya.

"Memang cocok mereka. Ah, apakah aku akan te-

ga membiarkan hati mereka gundah?" keluh Kyai Safei 

dalam hati. "Biarlah! Kalau memang jodoh, mau apa 

lagi?"

Kedua muda-mudi itu berjalan dalam diam, tanpa 

ada yang berani untuk mendahului berkata. Hanya se-

kali-kali keduanya saling pandang, lalu bibir mereka 

pun tersenyum. Hingga dengan pandang dan senyum 

itulah, kedua muda mudi yang tengah dimabuk asma-

ra mengutarakan apa yang terkandung dalam hati me-

reka.

"Lastri...."

"Ya...." jawab Lastri setengah mendesah.

"Apakah kau tak suka denganku?" tanya Warakas 

kemudian, setelah untuk beberapa lama hanya diam 

dan diam. Mata Warakas yang tajam, menghunjam ta-

jam pada mata Sulastri. Keduanya berhenti melang-

kah, saling pandang dan kaitkan hati. Tak terasa, tan-

gan Warakas perlahan menggenggam tangan Sulastri. 

Mulanya Sulastri bermaksud menolak, namun ketika 

ditatapnya mata Warakas yang seakan mengandung 

harapan, Sulastri pun hanya diam. Tangan keduanya 

saling remas, membuat sebuah keratan-keratan lem-

but yang menjalar hingga ke hati keduanya. (Bagaima


na mbak Ninie, apa masih teringat kejadian begitu...

He... he... he... Becanda lho!. Keduanya lama diam, 

tangan mereka saling kait dan mata mereka saling 

pandang. Ah, mesranya cinta. Lama kejadian itu berja-

lan, sehingga tak terasa waktu makin berlalu dengan 

cepat. Setelah dirasa telah begitu lama, Warakas pun 

kembali mengajak Sulastri berjalan.

"Kau mau menerima cintaku, Lastri?" tanya Wara-

kas.

"Apakah perlu aku katakan lagi, Kakang?" 

"Ah, sungguh sejuk kedengarannya kau sebut 

aku, Kakang!" ledek Warakas menjadikan Sulastri se-

ketika memelototkan mata. Melihat hat itu Warakas 

bukannya takut, bahkan dengan lembut dipetiknya 

mata Sulastri dengan jari telunjuk. Sulastri merengah, 

seperti merasakan indahnya malam itu.

"Apakah pantas aku yang miskin ini untuk men-

cintaimu, Kakang?"

"Kenapa tidak, Lastri," jawab Warakas, menjadi-

kan binar-binar kebahagiaan di mata Sulastri. "Cinta 

tak mengenal miskin atau kaya, juga golongan atau se-

gala macam tetek bengek. Yang penting cinta, ya cin-

ta."

Sulastri tersenyum melebar mendengar ucapan 

Warakas.

"Kenapa tersenyum?" Warakas menyipitkan mata 

demi melihat senyum manis Sulastri yang menghias 

bibir. "Adakah yang lucu?"

"Ada! Dan memang ada," jawab Sulastri manja.

"Apa itu, Lastri?"

"Kau... Ya, kau lucu, Kakang."

Kedua muda mudi itu akhirnya kembali bergelak 

tawa, saling gandeng tangan melangkah menuju ke 

rumah Sulastri yang telah tampak di hadapan mereka. 

Kini hati mereka berbunga, ya bunga cinta kasih yang


semestinya dialami oleh anak cucu Adam. Bukankah 

cinta memang dicipta untuk kita? Bukankah cinta itu 

suci? Tapi kenapa masih banyak orang yang menga-

gungkan cinta akhirnya jatuh? Salah siapakah ini se-

mua? Apakah pelakunya? Atau alam cinta yang makin 

lama makin membara? Entahlah, yang penting cinta 

itu indah dan suci. Tapi kenapa kadang kala diwarnai 

oleh tuntutan-tuntutan psikologi? Jangankan manu-

sia, malaikat pun mungkin tak akan mampu untuk 

menjawabnya. Ya, banyak gadis-gadis korban cinta. 

Mulut yang mendayu dayu dengan segala rayuan, ter-

kadang hilang manakala telah mencicipi keperawa-

nan... Oh, apakah ini pertanda cinta telah pudar mak-

nanya?

Ketika keduanya telah sampai di depan rumah Su-

lastri, Warakas kembali berkata. "Lastri, mungkin esok 

kita kan dapat bertemu lagi?"

"Kenapa tidak, Kakang," jawab Sulastri dengan 

senyum.

"Selamat malam, Lastri!"

"Malam, Kakang," jawab Sulastri.

Setelah untuk sesaat keduanya kembali saling 

pandang, Sulastri akhirnya masuk ke dalam rumah se-

telah dilihatnya Warakas berlalu pergi kembali ke pon-

dok pamannya. Kini hati Sulastri berbunga, bunga 

yang hanya tumbuh untuk sekali dan tak pernah akan 

tumbuh lagi. Walaupun tumbuh, tentu bunga itu tak 

akan seindah pertama.

Dengan senyum di bibir Sulastri melangkah per-

lahan, sehingga kedua orang tuanya hanya bengong 

tak mengerti dengan tingkah laku anaknya.

Sulastri lupa mengucap salam, membuat kedua 

orang tuanya makin membelalakkan mata kaget. Beta-

pa tidak! Hari ini Sulastri jelas berbeda dengan hari-

hari biasanya. Biasanya Sulastri datang-datang men


gucap salam, tapi kini? Sulastri nyelonong saja, tak hi-

raukan kedua orang tuanya yang tengah bercakap-

cakap sambil menikmati kopi dan sepiring singkong 

rebus. Ketika Sulastri hendak langsung masuk ke da-

lam kamar, sang ayah berseru memanggilnya. "La-

stri...!"

Sulastri menghentikan langkahnya, mematung di 

depan pintu kamarnya.

"Ya, Ayah?" jawabnya tanpa reaksi. "Kemarilah se-

bentar!"

Dengan perasaan takut-takut Sulastri membalik-

kan tubuh, lalu melangkah dengan pelan menuju di 

mana ayah dan ibunya tengah duduk. Mukanya ter-

tunduk, seakan ada rasa takut yang amat sangat. Tan-

gannya yang menggenggam Al-Quran gemetaran, ham-

pir tak kuasa memegang beban.

"Duduklah, Nak!"

Lega hati Sulastri mendengar ucapan ayahnya 

yang melemah. Dengan pelan sekali Sulastri jatuhkan 

pantatnya di atas kursi bamboo yang menghiasi ruan-

gan itu.

"Ada apa Ayah?" tanyanya setelah duduk dengan 

muka menunduk.

"Kau lupa sesuatu, Anakku?"

Sulastri mengerutkan kening mendengar ucapan 

ayahnya. Setahunya ia tak lupa sesuatu apapun. Sega-

la tugas rumah telah ia kerjakan sebelum ia berangkat 

ngaji. "Apa yang telah aku lupakan?" tanya hatinya 

bimbang. "Bukankah aku telah melakukannya semua? 

Segala pekerjaan rumah telah aku bereskan. Lalu apa 

yang sebenar-nya dikatakan ayah?"

"Apakah Lastri telah lalai. Ayah?" tanya Sulastri 

dengan agak takut-takut, menjadikan sang ayah terse-

nyum. Sulastri adalah anak mereka paling sulung. 

Adiknya dua laki-laki semua, sehingga Sulastri benar


benar merupakan anak wanita satu-satunya. Pantas-

lah kalau segala kehendak-nya dituruti. Namun demi-

kian, Sulastri tak menjadi gadis tak tahu aturan. Dia 

merupakan gadis paling pendiam dan ramah serta ta-

wakal.

"Benar, Anakku!"

"Tentang apakah, Ayah?" tanya Sulastri masih be-

lum mengerti.

"Kau hari ini aneh," kata ayahnya seperti berkata 

pada dirinya sendiri, menjadikan Sulastri terjengah 

makin tak mengerti. "Biasanya sepulang ngaji kau 

mengucap salam, namun malam hari ini kau kayak ar-

ca ngeloyor saja pergi."

"Ah...." Sulastri terjengah. Ia baru menyadari ka-

lau tindakannya telah lali, benar-benar lalai. "Semua 

gara-gara Warakas. Ya, gara-gara dia jadi aku melalai-

kan segala kebiasaanku," keluh Sulastri dalam hati. 

"Tapi, Warakas... Oh, sungguh-sungguhkah aku akan 

dapat mengambil cintanya yang suci dan murni? Ooh, 

Warakas...."

"Kau melamun, Anakku? Kenapa?"

Tersentak Sulastri mendengar pertanyaan ayah-

nya. Segera ia betulkan duduknya, dengan serta merta 

dicobanya untuk membuang gambaran kekagetannya 

dengan senyum.

"Ti... tidak, Ayah!"

"Ya, sudahlah. Sekarang kau tidurlah!" kata ayah-

nya nadanya memerintah.

"Terima kasih, Ayah. Assalamualaikum, Ayah, 

Ibu."

"Waalaikum Salam, Anakku," jawab kedua orang 

tuanya bareng.

Kedua orang tua itu hanya saling pandang setelah 

kepergian anaknya yang dirasa bertindak aneh hari 

itu. Keduanya tak tahu kalau sang anak tengah mera


sakan apa yang dinamakan cinta. Oh... kalau saja me-

reka tahu, mungkin mereka pun akan mendesah berat.

***

DUA



Perjalanan cinta kadangkala tidak selamanya in-

dah. Ada kalanya cinta menjadikan derita, namun ada 

kalanya cinta membuat orang bahagia. Cinta yang se-

sungguhnyalah yang menjadikan orang bahagia, dan 

biasanya dikatakan cinta suci.

Perjalanan cinta Sulastri pun terus berlanjut. Dari 

bersembunyi-sembunyi, lama kelamaan Warakas pun 

memberanikan diri datang ke rumah Sulastri untuk 

menemui kedua orang tua Sulastri. Seperti halnya ma-

lam itu manakala Sulastri pulang dari ngaji, Warakas 

yang ingin menunjukkan pada kedua orang tua Sula-

stri bahwa dirinya benar-benar bertanggung jawab da-

tang menemui. Warakas malam itu tak sendirian, na-

mun ditemani oleh seorang teman dekatnya yang ia 

kenal sejak berada di rumah pamannya, Kyai Safei. 

Malam itu maksud Warakas ingin mengutarakan hal 

yang ada di hatinya pada kedua orang tua Sulastri, 

namun ternyata yang ada saat itu hanya ibu Sulastri.

"Benarkah nak Warakas ingin menjalin hubungan 

dengan Sulastri, anakku?" tanya ibu Sulastri ingin 

meyakinkan, yang diangguki oleh Warakas sembari 

berkata:

"Benar ibu. Saya sengaja datang ke mari semata-

mata untuk mengutarakan maksud hati saya."

"Ah, kenapa nak Warakas harus mencintai anak-

ku?" tanya ibu Sulastri seakan tak yakin. "Nak Wara-

kas tahu sendiri keadaan keluarga Sulastri, miskin


dan bodoh. Apakah nantinya nak Warakas tidak me-

nyesal mengambil Sulastri menjadi isteri?"

"Tidak, Ibu."

"Benar, Bibi," timpal teman Warakas. "Percayalah 

kalau temanku ini adalah benar-benar baik dan ingin 

mengambil isteri pada dik Sulastri. Bukankah bibi te-

lah mengetahui siapa adanya paman temanku ini?"

Wanita setengah baya itu untuk sesaat mendesah 

panjang, hatinya seperti ingin melepaskan segala apa 

saja yang melekat. Mata tuanya menatap pada Wara-

kas, yang duduk di hadapannya dengan menundukkan 

muka. Setelah sesaat menarik napas panjang, wanita 

setengah baya itu kembali berkata:

"Aku tak melarang kalau nak Warakas memang

benar-benar ingin menjadikan anakku isteri. Tapi se-

perti yang aku katakan tadi, apakah nak Warakas ti-

dak malu mengambil isteri anak orang kere?"

Warakas terdiam bisu, seakan ucapan wanita se-

tengah baya itu menghunjam legam di hatinya. Nada 

ucapan wanita setengah baya itu, seakan menghen-

takkan perasaannya.

"Tidak, Ibu. Aku bermaksud mengambil Lastri 

menjadi isteriku sekaligus aku ingin mengangkat mar-

tabat keluarga ini."

"Benar, Bibi. Percayalah, bahwa temanku ini akan 

benar-benar menolong keluarga bibi. Kalau memang 

nanti dia berbuat yang tidak-tidak, maka akulah yang 

akan bertanggung jawab," kembali teman Warakas 

yang sudah dikenal oleh wanita setengah baya itu me-

nambahkan. Bahkan pemuda itu berani menjadikan 

dirinya sebagai jaminan. Hal itu membuat hati Priyani, 

ibu Sulastri, terkesima. Maka tanpa menimbang atau 

memikirkan apa-apa yang nanti bakal terjadi, Priyani 

pun hanya dapat mendesah.

"Ah... aku sebagai orang tua tak dapat berkata


apa-apa, semuanya kembali terserah pada Lastri saja. 

Kalau memang Lastri pun menerima cinta nak Wara-

kas, ibu hanya dapat mendoakan semoga kalian akan 

kekal selamanya. Bukan begitu, Nak Indra?"

"Benar, Bibi. Memang sebaiknya begitu," jawab 

Indra, matanya melirik pada Warakas dengan bibir te-

rurai senyum. "Nak Warakas, kini segala telah beres, 

maka aku pesan padamu jangan sekali-kali kau mem-

buat hal yang tidak-tidak. Baiklah, Ibu, kami pamit 

undur...."

"Eh, bukankah kalian belum kami suguhi?"

"Ah, tak usahlah repot-repot," ucap Warakas den-

gan hormat.

Setelah kedua anak muda itu menyalami Priyani 

dan Lastri, keduanya segera berlalu meninggalkan ru-

mah itu. Keduanya hanya diam, tanpa kata-kata yang 

dapat dijadikan uraian bisunya malam.

***

Sejak saat itu hubungan Warakas dan Sulastri 

pun tak sembunyi-sembunyi lagi. Pulang pergi mengaji 

Sulastri selalu ada yang mendampingi. Keduanya 

nampak rukun-rukun saja, mesra dan nampak har-

monis. Karena keharmonisan merekalah, sampai-

sampai banyak orang yang tak suka. Biasanya mereka 

kebanyakan gadis-gadis yang dulu menjadi teman Su-

lastri. Mereka yang mengejar-ngejar Warakas, ternyata 

Sulastri yang mendapatkannya.

Ucapan sinis dan segala macam cemoohan yang 

datangnya dari orang-orang yang tak senang silih ber-

ganti. Namun kedua remaja yang sedang dimabuk as-

mara tak menggubrisnya. Bagi mereka, yang penting 

cinta mereka berjalan sebagaimana mestinya. Apalah 

artinya orang lain yang tidak menjalankan.


Namun sekuat-kuatnya hati manusia, akhirnya 

terkena juga api kesal. Begitu juga dengan Sulastri, ia 

pun merasakan kekesalan pada orang-orang yang 

mencemoohnya. Pada suatu hari, Sulastri pun menga-

takannya pada Warakas tentang orang-orang yang na-

danya sinis pada hubungan keduanya.

"Kakang, aku tak kuat lagi mendengar ucapan-

ucapan mereka."

"Kenapa, Lastri? Apakah yang telah mereka laku-

kan? Bukankah mereka hanya memandang dan meli-

hat saja? Kau tak usah memikirkan mereka, namun 

pikirkanlah tentang hubungan kita."

"Tapi aku tak kuat, Kakang," menangis Sulastri 

dalam dekapan Warakas, sepertinya di dada Warakas-

lah segalanya akan menjadi tenang. Ditumpahkan se-

gala suka duka yang ia alami, yang menurutnya tak 

akan dapat orang lain untuk memecahkannya.

"Sudahlah, Lastri. Kau tak perlu menangis," ucap 

Warakas mencoba menghibur hati sang kekasih. Dan 

memang benar, Sulastri akhirnya diam dalam dekapan 

tangan Warakas yang kokoh. Sulastri terlena oleh pe-

rasaannya yang kecewa pada seluruh teman-temannya 

yang kini menjauhi. Dan manakala untuk pertama ka-

linya bibir Warakas mencium bibirnya, Sulastri tak 

mampu berkata-kata. Mulanya Sulastri terjengah ber-

maksud menolak, tapi ketika bibir Warakas makin da-

lam mengulum bibirnya, Sulastri akhirnya terdiam. 

Bahkan Sulastri malah membalasnya dengan mesra. 

(Semoga mbak Ninie ingat ini....).

"Lastri, aku ingin kita segera menikah."

"Itu yang kita inginkan, Kakang," desah Sulastri 

manja.

"Aku akan mencari kerja di kerajaan, Lastri."

Tersentak Sulastri mendengar ucapan Warakas, 

sepertinya tersentak oleh ledakan halilintar saja sam


pai-sampai mata Sulastri terbelalak. Hati Sulastri se-

ketika gundah gulana, takut kalau-kalau Warakas 

nanti akan melupakannya setelah di kerajaan.

"Kenapa, Lastri? Apakah kau tak percaya pada-

ku?" tanya Warakas demi melihat kekagetan Sulastri. 

"Percayalah, aku hanya mencintaimu. Tak mungkin 

ada gadis lain yang bakal menyinggahi hatiku," tam-

bahnya mencoba menghibur hati Sulastri.

"Aku takut, Kakang!?"

"Takut kenapa, Lastri?"

"Aku takut kakang akan melupakanku. Bukankah 

nanti di kerajaan banyak gadis-gadis yang melebihi di-

riku?"

Warakas tersenyum sembari gelengkan kepala 

demi mendengar ucapan Sulastri. Makin dieratkan pe-

lukannya, menjadikan napas Sulastri tersengal-sengal. 

Lalu dengan kata-kata mesra yang membuai Sulastri, 

Warakas pun kembali berkata: "Percayalah, Lastri. 

Apapun kenyataannya yang bakal aku hadapi, hanya 

kaulah yang nantinya mendampingi diriku."

"Benarkah itu, Kakang?" tanya Sulastri ingin ke-

pastian.

Warakas hanya menganggukkan kepala disertai 

dengan bibir terurai senyum. Kemudian kedua muda 

mudi itu pun diam dengan bibir-bibir mereka saling 

beradu. Tangan Warakas seketika tanpa dapat dicegah 

bergerak liar, menyusuri lekuk demi lekuk tubuh Sula-

stri. Dan ketika tangan Warakas makin menggila, Su-

lastri yang ingat akan keadaan dirinya segera menya-

darkan Warakas.

"Jangan, Kakang! Kita belum resmi...."

"Tapi...." tergagap Warakas tak mampu memben-

dung gejolak nafsu yang telah melonjak-lonjak di ha-

tinya. "Aku ingin, Lastri."

"Tidak, Kakang! Ingat, kau kemenakan pak Kyai."


Terjengah Warakas demi mendengar ucapan Sula-

stri. Dengan tersentak kaget Warakas segera mele-

paskan tangannya dari tubuh Sulastri yang seketika 

kembali tersenyum. Ditatapnya Sulastri lekat-lekat, 

seperti hendak menembus ke hati.

"Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri. "Baiklah, 

Lastri, tapi aku minta kau jangan ceritakan ini pada 

kedua orang tuamu."

Sulastri hanya menganggukkan kepala. Perasaan-

nya gundah, antara harus menuruti apa kata Warakas 

dengan perasaannya yang penuh ketakutan kalau-

kalau orang tuanya marah. Karena hatinya terjerat se-

gala macam perasaan, menjadikan Sulastri terdiam. 

Begitu juga halnya Warakas, diam membisu.

Mungkin ia pun merasakan hal serupa, serba sa-

lah... Entahlah.

***

Dengan diiringi tatapan Mata Sulastri, Warakas 

pun berangkat menuju ke kerajaan untuk mencari ker-

ja. Memang tujuannya turun gunung setelah lama ber-

guru adalah mengabdi pada kerajaan. Namun kini ia 

terpikat pada seorang gadis, Sulastri, manakala ia 

singgah di rumah pamannya, Kyai Safei....

Kini Sulastri sendiri, tanpa Warakas yang bi-

asanya memberikan rasa manja, memberikan bunga-

bunga cinta. Warakas pergi untuk mencari kerja di ke-

rajaan. Siang malam Sulastri berdoa semoga Warakas 

dapat segera mendapatkan kerja dan diterima men-

gabdi di kerajaan.

Sebulan dua bulan berlalu sudah, Warakas telah 

pergi ke kerajaan. Ketika menginjak bulan ketiga, Wa-

rakas mengirim surat melalui utusannya pada Sula-

stri. Berbunga hati Sulastri mendapatkan surat dari


Warakas. Surat yang sangat dinanti-nantikan untuk 

menghibur hatinya yang telah lama sunyi dan bisu.

Dengan segera Sulastri membuka lembaran daun 

lontar yang berisi surat dari Warakas. Matanya berka-

ca-kaca gembira, senyumnya mengurai. Perlahan den-

gan hati berbunga-bunga Sulastri membaca bait demi 

bait larikan isi surat itu.

Hati Sulastri bersorak girang manakala membaca 

isi surat itu, yang mengabarkan tentang Warakas yang 

telah diterima sebagai prajurit kepala di kerajaan. Ma-

ka dengan bersorak girang Sulastri segera menemui 

ibunya untuk memberitahukan hal surat Warakas ter-

sebut.

"Ibu, bacalah surat ini!"

"Dari siapakah, Lastri?" tanya sang ibu terheran-

heran melihat tingkah anaknya. Begitu juga dengan 

ayahnya, merasa turut berbahagia. Dengan segera 

sang ibu pun membaca isi surat itu setelah Sulastri 

memberitahukan bahwa surat itu dari Warakas.

Menemui dinda Sulastri,

Dinda, kini kakang telah diterima sebagai prajurit 

kepala pada kerajaan. Kakang senang sekali, semoga 

begitu juga halnya dengan dinda Sulastri dan keluarga. 

Oh ya, Dinda, Kakang akan datang bulan depan. Ke-

rinduan kakang pada dinda sudah tak tertahankan la-

gi. Tunggu kedatangan kakang, Dinda.

Salam untuk ayah dan ibu, juga kedua adikmu.

Dariku, 

Warakas

Berseri-seri wajah keluarga Sulastri. Mereka me-

rasakan bahwa Warakas memang benar-benar ingin 

membantu keluarga mereka. Mereka meyakini bahwa 

Warakas memang tak main-main dengan apa yang 

pernah diucapkan bersama temannya, Indra. Yang le


bih bahagia adalah Sulastri. Ia begitu senangnya kare-

na sang kekasih akan datang untuk mengisi kembali 

hari-harinya yang indah walau hanya sesaat.

***

Dari kejauhan tampak tiga orang penunggang ku-

da berjalan dengan kencang, sepertinya si penunggang 

ingin segera sampai di tempat tujuan. Paling depan 

nampak seorang pimpinan prajurit, pakaiannya nam-

pak indah dan mentereng. Wajahnya yang tampan, 

menampakkan kewibawaan sempurna. Bila dilihat se-

pintas, maka nampaklah bahwa dia tak lain Warakas. 

Sementara dua orang lainnya adalah dua anak buah-

nya yang sengaja dia bawa untuk menemani.

"Apakah kita masih jauh, Gusti?" tanya sang pen-

gawal yang bernama Sastono.

"Tidak! Sebentar lagi kita bakal sampai pada tem-

pat yang kita tuju," jawab Warakas. "Lihat! Di depan 

sana sudah nampak pedukuan. Itulah pedukuan yang 

kita tuju. Ayo, kita percepat kuda kita!"

"Daulat, Gusti."

Ketiganya segera memacu lari kuda mereka yang 

memacu bagaikan kelebatan angin. Kuda-kuda itu ba-

gai tak mengenal lelah, terus berlari membawa tubuh 

ketiga tuannya. Tak lama kemudian, ketiganya pun te-

lah sampai pada sebuah pedukuan. Warakas segera 

menuju ke tempat Sulastri, sementara kedua anak 

buahnya disuruhnya untuk sementara menetap di ru-

mah sang paman.

"Kakang Warakas.... Kaukah, Kakang?" seru Sula-

stri girang, demi dilihatnya Warakas datang. Betapa 

tak dapat terkendali rasa rindu yang selama ini ter-

pendam. Maka tanpa malu-malu Sulastri pun segera 

memeluk sang kekasih tercinta yang baru tiba. "Kau


nampaknya senang di kerajaan, sampai-sampai kau 

gemuk, Kakang... !"

"Kau bisa saja, Dinda. Sungguh kakang sangat 

rindu padamu."

"Aah... Kakang...." lenguh Sulastri manja. Tanpa 

sungkan lagi, direbahkan kepalanya pada dada Wara-

kas. Keduanya segera masuk ke dalam rumah. "Apa-

kah Kakang benar-benar masih mencintai ku?"

"Lastri.... Bagaimana mungkin aku tak menyin-

taimu," ucap Warakas membersitkan rasa yakin pada 

hati Sulastri. "Kalau aku tak menyintaimu, apa mung-

kin aku datang dari kerajaan jauh-jauh begini. Untuk 

apa...?"

Sulastri seketika terdiam manja. Matanya me-

mandang tak berkedip, memancar dengan penuh ha-

rap yang sangat dalam. Entah karena apa, tiba-tiba 

hatinya cemburu. Ya, hatinya cemburu, takut kalau-

kalau Warakas di kerajaan mendapatkan gadis lain. 

Gadis yang cantik dan kaya, yang sesuai dengan mar-

tabat Warakas sebagai seorang kepala pasukan.

"Aku takut, Kakang," lenguh Sulastri.

"Kenapa mesti takut?" tanya Warakas tak menger-

ti. Dibimbingnya Sulastri melangkah, dan duduk ber-

dampingan di kursi. "Apa yang kau takuti, Lastri?"

"Aku takut kehilangan dirimu, Kakang!"

"Ah, kenapa kau berpikiran begitu?" Warakas ter-

senyum. "Bukankah telah aku katakan bahwa hanya 

kaulah yang aku cintai."

"Benarkah, Kakang?" tanya Sulastri ingin memas-

tikan.

"Benar. Tak akan aku mencintai gadis lain selain 

dirimu."

Jawaban Warakas menjadikan Sulastri seakan 

tentram hatinya. Ya, jawaban Warakas begitu meya-

kinkan, seakan-akan ingin menjadikan diri kekasihnya


mau menyerahkan segalanya. Dan memang kenya-

taannya begitu. Sungguh pun wanita tak tahu apa se-

benarnya makna ucapan laki-laki, namun tetap saja 

wanita selalu merasakan perasaan tersendiri bila men-

dengar janji-janji yang muluk-muluk. (Bukan begitu 

Ninie? Dulu juga mbak Ninie begitu dengan Kak Er-

wan).

Bila sudah begitu, maka hanya ada satu pilihan 

dalam hati wanita yaitu menyerahkan segenap jiwa 

dan raga.

***

Malam datang begitu cepatnya, seperti ingin men-

gulang kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada ma-

lam-malam yang lalu. Malam itu nampak dua anak 

manusia berjalan menikmati indahnya purnama. Dua 

remaja. Itu adalah Warakas dan Sulastri, entah kedu-

anya hendak pergi ke mana.

Tak seperti biasa-biasanya, malam itu keduanya 

hanya diam seribu bahasa. Tanpa kata yang terucap, 

hanya sekali-kali mata keduanya saling pandang. Ke-

duanya terus melangkah dalam gelapnya malam, me-

nembus pohon-pohon yang berdiri bagaikan bayang-

bayang. Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah 

tempat, yang merupakan tempat indah bagi keduanya.

Malam merambah dengan dingin, menjadikan po-

ri-pori tubuh seperti tersengat. Angin berhembus per-

lahan, namun menjadikan rasa tersendiri di hati kedua 

insan itu.

"Sulastri...." Warakas membuka kata setelah se-

kian lama diam.

"Hem, ada apa, Kakang?" tanya Sulastri manja.

"Kau mencintai ku?"

"Apakah Kakang kurang yakin?"


Ditanya seperti itu, menjadikan Warakas terdiam. 

Kakinya melangkah ke luar dari gubuk. Ditatapnya 

rembulan yang sedang bergayut terang, sepertinya jadi 

saksi cinta keduanya. Melihat Warakas berjalan ke 

luar, Sulastri pun dengan segera mengikuti. Keduanya 

kembali hening dalam bisu, hanya tatapan mata mere-

ka yang berkata-kata.

"Apa yang kakang pikirkan?"

Warakas tersentak, memandang tajam pada Sula-

stri yang tersenyum manis. Melihat Sulastri terse-

nyum, seketika darah kelelakian Warakas bergemuruh 

laksana badai. Perlahan tangan Warakas bereaksi, en-

tah untuk apa. Tiba-tiba saja, Warakas membimbing 

tubuh Sulastri ke dalam. Direbahkan tubuh gadis itu 

di atas tumpukan jerami, menjadikan Sulastri bin-

gung. Namun kemudian Sulastri menyadari apa arti 

semuanya. Tanpa banyak kata lagi, Sulastri akhirnya 

diam menerima segalanya. Bahkan kini Sulastri yang 

makin bereaksi. Matanya perlahan memejam, lalu 

menjerit sesaat ketika Warakas menghentakkan segala 

nafsu yang menggebu pada dirinya.

"Aaah.... Kakang...!"

Hanya kata itu saja yang terucap dari lenguhan 

mulut Sulastri yang akhirnya terkulai lemah.

Darah menetes dari apa yang selama ini diperta-

hankan, terkoyak-koyak oleh nafsu setan. Namun Su-

lastri tak menyesal sedikit pun, bahkan ia bangga. Ya, 

Sulastri bangga telah mampu menunjukkan kese-

tiaannya, walau kesetiaan itu bukan pada tempatnya.

"Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri setelah se-

kian lama tercenung. Entah apa yang tengah bergayut 

dalam pikirannya setelah kejadian itu. "Hari sudah 

malam, aku takut ayah dan ibuku mencurigai apa 

yang telah aku alami!"

"Baiklah, ayo kita pulang!"


"Kakang...."

"Hem, ada apa lagi, Lastri?"

"Apakah Kakang nanti mau bertanggung jawab? 

Kapankah kita nikah, Kakang?" tanya Sulastri dengan 

mata berlinang, menjadikan Warakas seketika terhe-

nyak.

"Kau takut aku meninggalkanmu?" Sulastri hanya 

mengangguk mengiyakan. "Tak akan lama lagi, kita 

akan nikah," menambahkan Warakas berkata, menja-

dikan Sulastri seketika bagaikan mendengar seribu 

macam kata-kata indah. Bahagia melantun di hatinya, 

kebahagiaan akan menjadi seorang isteri dari orang 

yang mempunyai kedudukan di istana. Keduanya den-

gan diam akhirnya berjalan pulang, merambah malam 

yang makin sepi tertimpa oleh tiupan angin.

Esok telah tiba menyibakkan sinar mentari yang 

indah. Dengan penuh linangan air mata, Sulastri me-

lepaskan kepergian Warakas untuk menunaikan tu-

gasnya kembali. Segala apa yang dialami oleh dirinya 

dengan Warakas dipendam dalam-dalam. Tak seorang 

pun yang berhak tahu, begitu juga keluarganya. Sam-

pai-sampai manakala Sulastri mengigau dan ditanya 

oleh sang ibu, bagaikan tak mengalami apa-apa, Sula-

stri berusaha menyembunyikan apa sebenarnya yang 

selalu membayang di lubuk hatinya.

"Kau mengigau dan merintih-rintih, Anakku?" 

tanya sang ibu, setelah membangunkan Sulastri. "Ke-

napa, Anakku?"

Sulastri sesaat tercenung diam, tanpa dapat men-

jawab segala pertanyaan ibunya. Pikirannya kembali 

melayang pada segala kejadian yang ia alami bersama 

Warakas kemarin malam. Kejadian yang telah menja-

dikan dirinya tak dapat untuk melupakan. Kejadian 

yang baru pernah dialaminya, selama ia menjadi seo-

rang gadis. Kejadian itu pula menjadikan kehormatan


nya serta keperawanannya hilang. Sedangkan kepera-

wanan merupakan nilai pokok yang semestinya diper-

tahankan sebagai seorang gadis. "Kenapa aku mesti 

memberikannya pada Warakas? Kenapa aku tidak me-

nolaknya?" keluh Sulastri dalam hati. "Ah, tidak! Kami 

berbuat atas dasar suka sama suka. Aku rela kepera-

wananku terenggut olehnya. Dia aku cintai dan kasihi. 

Oh... Warakas, semoga kau benar-benar mau memper-

tanggung-jawabkan segala apa yang telah kau lakukan 

padaku...!"

Melihat anaknya hanya terdiam, menjadikan sang 

ibu untuk kedua kalinya bertanya. "Kenapa, Anakku? 

Apakah kau dengan Warakas ada masalah?"

"Ti... tidak, Ibu!" jawab Sulastri tergagap. Hal itu 

menjadikan sang ibu tak mau percaya begitu saja, lalu 

untuk kesekian kalinya sang ibu mendesah panjang 

tak mengerti apa yang sebenarnya terpaut di hati anak 

gadisnya. Dalam hati sang ibu menerka-nerka, apa 

yang sebenarnya telah terjadi. Namun semua dibua-

ngnya jauh-jauh, ia tak ingin hal itu benar-benar telah 

melanda anak gadisnya.

"Mungkinkah Warakas telah.... telah... Ah, tidak! 

Betapa aku sebagai orang tua akan malu bila hal itu 

benar-benar terjadi. Anakku dapat menjaga diri!" keluh 

sang ibu mencoba membuang segala perasaan yang 

tak baik. Walau hatinya mengeluh, namun di bibir 

sang ibu tergurat juga seulas senyum. Dan dengan su-

ara lembut penuh kasih, sang ibu pun berkata. "Kau 

sakit, Nak?"

Sulastri menggeleng lemah, menjadikan ibunya 

hanya mengerutkan kening.

"Lalu kenapa dengan dirimu?"

"Aku tak apa-apa, Ibu," jawab Sulastri menutupi 

segala kegelisahan hatinya. "Aku ngantuk, Ibu."

"Tidurlah kalau kau memang mengantuk," akhir


nya sang ibu pun hanya mengalah diam. Perlahan di-

tinggalkan anaknya yang kembali tidur yang sebenar-

nya tidak tidur. Pikiran Sulastri malam itu benar-

benar diisi dengan segala macam pertanyaan. Perta-

nyaan tentang dirinya, tentang orang tuanya yang di-

takutinya, juga pertanyaan bagaimana dengan Wara-

kas selanjutnya. Sulastri hanya membisu, mata mele-

lehkan air mata.

"Akankah aku mengatakannya terus terang pada 

ibu?" tanya hati Sulastri bimbang. "Apakah nanti tidak 

mungkin ibu... Oh, tidak! Aku tak mau kalau ibu yang 

menerimanya. Bagaimana dengan adik-adikku? Dia 

masih butuh kasih sayang. Tuhan, ampunilah aku! 

Sungguh aku adalah hambaMu yang tak menghargai 

rahmatMu. Aku telah terbujuk oleh rayuan setan."

Malam itu dihabiskan Sulastri dengan menangis. 

Ya, menangisi segala yang telah ia alami. Kegelisahan-

nya timbul, mendera di hatinya yang gundah. Baru 

manakala ayam jantan berkokok, mata Sulastri akhir-

nya dapat terpejam, meskipun itu dipaksakan juga. 

Untuk sesaat Sulastri dapat melupakan bayang-

bayang hidupnya. Dan ketika matanya kembali mem-

buka, maka bayang-bayang hidupnya akan kembali 

muncul menggoda, menyuruhnya untuk berpikir dan 

berpikir.

***

TIGA



Hari berulang menjadi minggu, demikian juga 

halnya minggu yang berulang menjadi bulan. Tiga bu-

lan sudah semenjak kejadian itu Warakas tak membe-

rikan kabar apa-apa lagi pada Sulastri, hal itu menjadikan Sulastri seketika gundah. Rasa takut menyeli-

muti hatinya, apalagi kini ia telah terlambat datang 

bulan. Sebagaimana layaknya seorang gadis, jelas ke-

terlambatan datang bulan menjadikan suatu ketaku-

tan yang teramat sangat.

Pagi itu manakala Sulastri hendak mencuci pa-

kaian di sungai, dirasakan olehnya keganjilan pada di-

rinya. Perutnya terasa mual-mual, lalu kemudian Su-

lastri pun muntah-muntah.

"Kenapa aku?" tanyanya pada diri sendiri.

Sulastri yang baru pertama kali mengalami keja-

dian yang aneh, menjadikannya bingung. Bingung ha-

rus berbuat apa. Dengan wajah pucat, Sulastri kembali 

pulang ke rumah. Hal itu menjadikan kedua orang tu-

anya bertanya-tanya tak mengerti.

"Kenapa kau pulang lagi, Anakku?" tanya ibunya 

seraya kerutkan kening melihat wajah Sulastri yang 

pucat. "Kau sakit, Nak?"

Kebimbangan dan bingung terus melanda hati Su-

lastri, menjadikan Sulastri tercenung diam tanpa dapat 

berkata-kata. Ia bingung harus menjawab apa atas 

pertanyaan ibunya. Haruskah ia mengakui segala apa 

yang dirasa? Ia takut untuk mengutarakan hal itu, se-

bab tidak mungkin tidak ibunya akan kecewa. Apalagi 

bila ayahnya mendengar, apalah yang akan terjadi pa-

da dirinya.

"Ti... tidak, Ibu. Lastri hanya pening saja," jawab 

Lastri.

"Kau tadi tidak sarapan?" kembali ibunya ber-

tanya.

Sulastri hanya mengangguk mengiyakan.

"Kalau memang kau sakit, istirahatlah...!"

Mendengar ucapan ibunya, Sulastri segera menu-

rut. Dengan langkah terseret bagaikan berat, Sulastri 

melangkah menuju ke dalam kamarnya. Direbahkan



tubuhnya, dengan segala pikiran yang belum ia kenali 

benar apa yang tengah ia alami. 

"Inikah yang dinamakan hamil?" tanya Sulastri 

pada diri sendiri, seakan tak percaya pada apa yang di-

rasa olehnya saat itu. "Tidak! Aku tidak mau hamil!" 

Sulastri akhirnya menangis, dan menangis tak tahu 

harus berbuat apa. Hal itu menjadikan sang ibu yang 

ada di luar tersentak kaget, demi mendengar isak tan-

gis anaknya. Serta merta sang ibu pun segera melang-

kah masuk ke kamar Sulastri.

Terjengah Sulastri seketika, manakala dilihatnya 

sang ibu tiba-tiba telah berdiri mematung di pintu ka-

mar. Serta merta, Sulastri pun memeluk ibunya dan 

menangis sejadi-jadinya.

Mengerut mata sang ibu melihat hal itu. Ia tak 

mengerti kenapa sang anak tiba-tiba menangis. Den-

gan perasaan tak mengerti, sang ibu pun bertanya. 

"Kenapa kau menangis, Anakku?"

Ditanya seperti itu, menjadikan tangis Sulastri 

makin mengencang. Makin membuat sang ibu tak 

mengerti, yang kembali mengulang pertanyaan. "Sula-

stri, kenapa kau menangis? Apakah kau... kau hamil?"

Terjengah seketika Sulastri mendengar pertanyaan 

ibunya. Matanya yang menangis, seketika memandang 

penuh rasa bersalah pada sang ibu. Mulutnya gemeta-

ran, sepertinya hendak mengutarakan apa yang telah 

terjadi. Dan memang benar, hati Sulastri yang sudah 

tak kuat dengan segala macam kecamuk seketika men-

jerit. Jeritan itu bukan saja di dalam hati, namun le-

wat mulutnya yang mungil. "Ibuuuuu...!"

"Lastri, Anakku. Benarkah akan apa yang ibu du-

ga, Nak?"

Sulastri tak dapat menjawab, malah makin men-

gencangkan tangisnya yang menyayat. Perlahan-lahan 

dari mulutnya yang sedari tadi terkunci, keluar satu


persatu kata-kata, "A... aku... aku hamil, Bu!"

Kedua ibu dan anak itu pun akhirnya saling tan-

gis, seakan ingin mengeluarkan segala beban berat 

yang ada di hati mereka. Penyesalan tiada guna, men-

jadikan manusia kadang frustasi. Namun sebagai seo-

rang ibu, Priyanti berusaha mau mengerti. Dengan pe-

nuh rasa kasih, dibelainya rambut sang anak seraya 

berkata. 

"Sudahlah, Anakku. Semua ini mungkin sudah di-

gariskan oleh Gusti Allah. Terimalah dengan lapang 

dada, jangan kau kecewa atas segalanya."

"Tidak, Bu. Lastri akan mencari kakang Warakas. 

Lastri akan meminta tanggung jawabnya."

"Itu terserah padamu. Tapi ibu minta, janganlah 

kau bawa semuanya pada hidupmu. Anggaplah semua 

hanyalah mimpi. Juga ingat, jangan sampai ayahmu 

tahu!" tutur Priyanti dengan rasa haru, yang diangguki 

oleh anaknya.

Tengah kedua anak dan ibu itu saling tangis, tiba-

tiba sang ayah datang menemui mereka. Sang ayah 

yang baru saja pulang dari sawah, seketika bertanya 

tak mengerti. Beruntung Priyanti mau menutupi kea-

daan anaknya yang sesungguhnya.

"Kenapa anak kita, Bu?" 

"Ti... tidak apa-apa. Ia hanya pusing karena tadi 

pagi berangkat nyuci tidak sarapan dulu," jawab sang 

isteri menutupi. "Kok sudah pulang dari sawah, Pa?"

"Entahlah, Bu. Perasaanku tiba-tiba tak enak," 

jawab Ki Cokro yang mengejutkan sang isteri. Namun 

mengingat suaminya galak, Priyanti pun dengan segera 

mengalihkan perhatian suaminya dengan kembali ber-

tanya.

"Bagaimana dengan jagung kita, Pak?" 

"Alhamdulilah subur. Mungkin dalam bulan-bulan 

ini kita akan memetik buahnya," jawab Ki Cokro. "To


long bikinkan aku kopi, Bu!"

Tanpa banyak bicara lagi Priyanti segera menuruti 

apa yang diminta suaminya. Dengan segera ia pergi 

berlalu menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Tak 

lama kemudian, Priyanti pun telah kembali menemui 

sang suami dengan segelas kopi dan sepiring nasi 

lengkap dengan lauk pauknya. 

"Anak kita tidak bareng makan?" tanya Ki Cokro.

"Dia sedang tak enak badan. Biarlah dia nanti 

bersama adik-adiknya," jawab sang isteri menutupi. 

Ya, memang begitulah kenyataan sebagai ibu. Ia walau 

sejahat apapun, tak akan mau membuka rahasia 

anaknya pada sang suami apalagi pada orang lain. Ke-

dua suami isteri itu pun akhirnya makan bersama-

sama.

***

Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Sula-

stri malam itu keluar meninggalkan rumah. Tujuannya 

hanya satu, menemui Warakas di kerajaan untuk me-

minta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya. 

Dengan berjalan kaki, bagaikan tanpa merasa takut 

sedikitpun Sulastri dengan segala tekadnya terus me-

nyusuri jalan se-tapak yang dapat dilewati. Manakala 

Sulastri tengah berjalan merambah malam, tiba-tiba 

terdengar gemereseknya daun-daun kering terinjak. 

Rasa takut seketika menjalari tubuhnya, menjadikan 

Sulastri menghentikan langkahnya. Belum juga hilang 

rasa takutnya, tiba-tiba...

"Hua, ha, ha... anak manis, mau ke mana malam-

malam begini keluyuran?" terdengar suara orang ber-

gelak tawa, makin menjadikan bulu kuduk Sulastri 

meremang.

"Siapa kau?!" Sulastri mencoba memberanikan di


ri membentak.

"Hua, ha, ha... Akulah penunggu daerah ini!" Ber-

samaan dengan habisnya ucapan itu, sekonyong-

konyong sesosok tubuh berkelebat dan tiba-tiba telah 

menotok jalan darahnya. Sulastri terkulai lemas, tanpa 

dapat berkata-kata barang se-patah pun. Sulastri 

mencoba berontak, namun ternyata bopongan orang 

itu lebih kuat. Dibawanya tubuh Sulastri entah ke ma-

na. Ketika dilihatnya ada sebuah gubuk yang terpam-

pang di depannya, orang yang membawa tubuh Sula-

stri segera menghentikan larinya. Dibawanya tubuh 

kaku Sulastri masuk ke gubuk tersebut.

"Anak manis. Sungguh kebetulan sekali. Lama 

aku tak merasakan enaknya mendekap tubuh seorang 

gadis, eh malam ini akhirnya aku mendapatkannya ju-

ga," terkekeh lelaki berwajah rusak, menjadikan Sula-

stri seketika membeliak. Rasa takut seketika menyeli-

muti dirinya. Ingin Sulastri berteriak, tapi mulutnya 

seakan susah untuk berkata-kata. Belum juga Sulastri 

hilang takutnya, lelaki berwajah buruk itu telah men-

dekap tubuhnya. Tak dapat lagi Sulastri berbuat apa-

apa menghadapi laki-laki berwajah buruk yang bagai-

kan singa kelaparan menerkam dan menggeluti tu-

buhnya. Sulastri hanya dapat meregang lalu akhirnya 

pingsan.

Setelah dapat melampiaskan nafsunya, lelaki ber-

wajah buruk itu segera pergi meninggalkan tubuh Su-

lastri yang masih tergeletak pingsan dengan mening-

galkan gelak tawa berkepanjangan.

***

Ketika pagi telah datang, nampak seorang pemuda 

berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Pemuda itu tak 

lain adalah Jaka Ndableg, terus melangkahkan ka


kinya menikmati alam pagi yang sejuk dan indah. Ma-

nakala ia tengah asyik bernyanyi-nyanyi, tiba-tiba te-

linganya menangkap desah napas berat dari arah gu-

buk. Sesaat Jaka terdiam memusatkan pendengaran-

nya, lalu setelah yakin bahwa memang di gubuk itu 

ada seseorang, Jaka segera berkelebat memasuki gu-

buk tersebut. Dan betapa terkejutnya Jaka manakala 

melihat apa yang ada di dalam gubuk. Saking terke-

jutnya, sampai-sampai Jaka mendesah.

"Ooh Gusti Allah, gerangan apa yang terjadi?"

Dihampirinya gadis itu, yang masih tergeletak 

tanpa berkata. Diperiksa denyut nadi sang gadis, seke-

tika Jaka tertawa sendiri memikirkan ketololannya. 

"Tolol aku, kenapa orang hidup aku periksa de-

nyut nadinya?"

Jaka geleng-gelengkan kepala, sesaat ia meman-

dangi tubuh sang gadis. Ia bingung harus berbuat apa 

terhadap gadis itu, sehingga hanya diam saja sambil

tercenung Jaka di situ.

"Ah, kenapa aku begini dungunya?" keluh Jaka 

dalam hati.

"Nona, kenapakah engkau?" 

Gadis itu nampak memalingkan wajah menghadap 

Jaka, lalu gadis itu menangis membuat Jaka tersentak 

bingung tak mengerti. Spontan itu juga Jaka kembali 

bertanya. "Kenapa nona menangis?" Gadis itu masih 

tetap diam tanpa bicara, sedang air matanya terus me-

leleh membasahi pipi. Hal itu membuat Jaka serba sa-

lah tingkah. "Bagaimana gadis ini? Oh, barangkali ia 

gagu," ucap Jaka setengah mengeluh dalam hati. Ke-

mudian Jaka pun segera berkata kembali dengan ba-

hasa isyarat. Namun kembali gadis itu hanya geleng 

kepala tak mengerti seraya menunjuk pada urat leher-

nya. Kini tahulah Jaka bahwa gadis itu tengah dalam 

keadaan tertotok.


"Ooh, jadi kau tertotok," gumam Jaka setengah 

bertanya. "Maaf, Nona. Sungguh aku tak mengerti. 

Baiklah akan aku bantu membuka totokan itu. Hoop... 

ya!"

"Tuk, tuk, tuk!" 

Tiga kali Jaka menotok urat nadi si gadis yang se-

ketika itu mengeluh. Tak lama kemudian, gadis itu 

pun dapat berkata-kata. Namun gadis itu masih me-

nangis.

"Kenapa nona berada di sini?" tanya Jaka setelah 

membuka totokan pada leher si gadis.

"Namaku Sulastri. Aku... aku telah diperkosa oleh 

orang yang mukanya buruk," jawab Sulastri sambil te-

rus menangis, menjadikan Jaka turut iba melihatnya. 

Jaka juga seketika terperanjat kaget, manakala men-

dengar gadis itu menyebut nama lelaki bermuka bu-

ruk. Saking kagetnya Jaka mendengar gadis itu me-

nyebut lelaki bermuka buruk, seketika Jaka memekik.

"Iblis Muka Bangkai! Heh, apakah nona tahu ke 

mana ia pergi?"

Sulastri hanya menggeleng lemah.

"Sayang...!" keluh Jaka seakan berkata pada diri 

sendiri menjadikan Sulastri seketika hentikan tangis-

nya. Ditatapnya wajah Jaka lekat-lekat, sepertinya in-

gin menanyakan tentang sesuatu. Dan memang benar. 

Manakala Jaka tengah tercenung, gadis itu pun seke-

tika bertanya.

"Apakah tuan kenal dengan orang itu?"

"Ya, bukan saja kenal, tapi musuhku yang harus 

aku tangkap hidup atau mati!" jawab Jaka seraya me-

mandang pada wajah Sulastri.

"Oh..." lenguh Sulastri demi mendengar penga-

kuan Jaka. Ia mengira kalau Jaka adalah teman si Ib-

lis Muka Bangkai.

"Kenapa Nona melenguh?" tanya Jaka tak menger


ti.

"Aku kira... aku kira tuan adalah temannya iblis 

yang tuan tadi sebutkan!" jawab Sulastri seraya me-

nunduk. Sementara Jaka hanya mampu tersenyum se-

raya gelengkan kepala sembari bergumam.

"Nona, nona... apakah tampangku mirip hantu?"

Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Sulastri 

yang menangis tersenyum walau senyumnya nampak 

dipaksakan. Kelakuan Jaka yang lucu itulah, yang 

mengakibatkan Sulastri tersenyum. Seketika hilang 

segala perih di hatinya, terhibur oleh kelucuan Jaka 

yang seperti alami. Dan memang benar Jaka melaku-

kannya dari alam, bukan dibuat-buat. Itulah sebabnya 

dia diberi julukan Jaka Ndableg.

"Kenapa Nona tersenyum-senyum? Apakah aku 

lucu?" kembali Jaka bertanya.

Sulastri tersipu-sipu seraya mengusap air ma-

tanya.

"Kau eh tuan lucu," ucap Sulastri terbata.

"Lucu...? Apanya yang lucu?" tanya Jaka tak men-

gerti. "Malah aku kira kaulah yang lucu. Kau tadi hen-

dak mengatakan kamu, kenapa mesti kau ganti den-

gan tuan? Apakah aku pantas menjadi seorang juragan 

atau tuan tanah? Tidak bukan?"

Sulastri seketika terdiam sembari lebarkan se-

nyumnya. Tingkah laku Jaka dan segala ucapannya, 

menjadikan Sulastri rasanya hilang segala beban hi-

dup yang selama ini ia tanggung. Sulastri tundukkan 

muka malu, manakala Jaka memandangnya.

"Eh Nona, kau belum menjawab pertanyaanku. 

Kenapa kau ada di sini? Lalu hendak ke manakah tu-

juanmu?" tanya Jaka tiba-tiba, menjadikan Sulastri 

tersentak kaget. "Mengapa kau sampai bertemu den-

gan iblis itu?" tambah Jaka.

Sulastri masih menundukkan muka. Dan dengan


suara terbata-bata serta tangisnya meleleh lagi, Sula-

stri pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, 

dari mana ia, serta hendak ke mana tujuannya.

"Begitulah, Tuan."

"Jangan panggil aku tuan. Panggil saja namaku 

Jaka Ndableg!"

Kembali Sulastri tersenyum, kali ini tak dapat 

menahan gelak tawanya hingga Sulastri pun seketika 

tertawa terpingkal-pingkal demi mendengar nama pe-

muda itu. Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan 

kening tak mengerti seraya kembali bertanya. "Hei, 

mengapa engkau tertawa, Nona? Adakah kelucuan lagi 

pada ucapanku?"

"Benar! Memang Tu... eh kau lucu, Jaka," jawab 

Sulastri masih terpingkal-pingkal.

"Lucunya?" tanya Jaka masih belum mengerti

"Kau pemuda tampan dan gagah, mengapa na-

manya mirip-mirip nama orang..."

"Orang apa?" tanya Jaka demi mendengar Sulastri 

berkata tak dilanjutkan. "Orang gila maksudmu?"

Sulastri hanya menganggukkan kepala, menjadi-

kan Jaka seketika ikut tertawa tergelak-gelak setelah 

mengerti. Maka kini giliran Sulastrilah yang menge-

rutkan kening bingung. Bagaimana mungkin pemuda 

ini malah tertawa disebut orang gila, bukankah orang 

lain akan marah-marah?

Belum juga Sulastri memahami apa yang tengah 

diketawakan Jaka, tiba-tiba Jaka telah kembali berka-

ta menerangkan apa yang menjadikan dirinya tertawa.

"Memang nama julukanku lucu. Itu semua ada ce-

ritanya tersendiri. Dulu manakala aku masih remaja, 

aku merupakan anak yang suka ndableg, sampai-

sampai emakku marah melihat tingkahku. Begitu pula 

dengan teman-temanku. Karena aku ndableg, sehingga 

mereka menyebutku dengan nama embel-embelan


Ndableg. Sedang namaku yang sebenarnya adalah Ja-

ka Surya Kelana. Begitulah manusia, kadangkala na-

ma julukan lebih terkenal daripada namanya yang asli. 

Oh ya, Nona. Kalau boleh aku tahu, apa tujuan nona 

hendak ke Kerajaan Panjang Sulara?"

"Aku hendak mencari kekasihku."

"Kekasihmu...?" tanya Jaka sedikit kaget.

"Ya, kekasihku yang telah menanam benih di pe-

rutku," jawab Sulastri menjadikan Jaka seketika be-

liakkan mata kaget. Sampai-sampai mata Jaka seketi-

ka melotot demi mendengar apa yang telah diucapkan 

oleh Sulastri. Tak disadari oleh Jaka yang ndableg, li-

dahnya seketika nyeletuk.

"Wah, kenapa nona sampai kecelakaan begitu ru-

pa?"

"Aku tidak kecelakaan, Jaka."

"Jadi...? Aku jadi tidak mengerti, Nona."

"Aku melakukannya atas dasar cinta kasih yang 

tulus."

"Oooh... begitu?" mendesah Jaka panjang, terhe-

ran-heran mendengar ucapan Sulastri. "Kalau begitu 

nona korban dari kekurangpercayaan diri nona. Nona 

serahkan segalanya demi cinta yang tiada bukti? Oh, 

sungguh kasihan...!"

Mendengar ucapan Jaka yang seakan mengibakan 

dirinya, seketika Sulastri kembali menangis sesenggu-

kan. Hatinya terasa perih bila mengingat segalanya. 

Memang benar apa yang dikatakan oleh Jaka, bahwa 

dia adalah korban dari kebodohannya sendiri.

"Ya, aku memang terlalu bodoh. Hanya karena 

janji-janji muluk dan sanjungan yang berisi dusta aku 

jatuh," mengeluh Sulastri dalam hati. Tangis Sulastri 

makin merembes deras, manakala kembali Jaka me-

nyentuh dagunya dengan takut-takut seraya berkata.

"Sudahlah, Nona. Janganlah nona terlalu menyesali apa yang telah terjadi, toh semuanya belum jelas. 

Apakah nona ingin aku temani ke Kerajaan Panjang 

Sulara? Kebetulan, aku hendak menemui temanku 

yang berada di sana." 

Sulastri tak dapat berkata-kata, ia nampak masih 

sedih mengingat keadaan dirinya. Belum juga ia men-

dapatkan kepastian dari Warakas, di tengah jalan ia 

telah diperkosa oleh Iblis Muka Bangkai. Sungguh 

menderitanya hidup Sulastri, ibarat habis jatuh ter-

timpa tangga.

"Sudahlah nona, aku harap nona mau tabah 

menghadapinya. Kalau nanti memang kekasih nona 

tak bertanggung jawab, nona bisa melakukan tinda-

kan. Biarlah aku nanti akan membantumu mengadu-

kan hal itu pada sang raja," kembali Jaka berkata 

menghibur, sehingga Sulastri pun seketika menghenti-

kan tangisnya.

"Benarkah kau hendak menolongku, Jaka?"

"Ya, kenapa? Apakah kau menyangka aku meno-

longmu karena atas dasar pamrih? Ooh, tidak, Nona. 

Aku hanya ingin kau mau tabah menghadapi sega-

lanya. Aku tak memerlukan pamrih darimu. Maaf, bu-

kannya aku ingin merendahkanmu," jawab Jaka demi 

mendengar pertanyaan Sulastri. "Ah, sudahlah. Mari 

kita ke kerajaan!"

"Apakah kau tak repot, Jaka? Bukankah kau hen-

dak mengejar Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri 

bermaksud mengingatkan Jaka, namun Jaka seketika 

tersenyum seraya berkata.

"Biarlah iblis itu untuk sementara aku umbar. Ka-

lau memang nanti masanya tiba, aku pun akan meng-

hukum tindakannya yang telah membawa korban ba-

nyak termasuk dirimu."

"Jadi... jadi iblis itu suka memperkosa?" tanya Su-

lastri tersentak kaget. Keringat dingin seketika bercu


curan demi mengingat kejadian yang menimpa dirinya 

tadi malam. "Mukanya sungguh mengerikan, Jaka!"

"Ya, karena itulah ia merasa terasing. Dan karena 

mukanya mengerikan dan berbau busuk, dia memper-

kosa gadis-gadis," ucap Jaka menerangkan. "Ayolah, 

kita berangkat ke kerajaan. Aku rasa hari masih pagi 

hingga kita sampai di sana tidak terlalu kemalaman." 

Kedua orang yang baru kenal itu pun akhirnya be-

rangkat menuju ke kerajaan. Angin pagi berhembus 

lambat, mengikuti langkah keduanya. Sinar matahari 

masih belum begitu panas, apalagi ditambah dengan 

kicau burung yang bernyanyi makin menjadikan hawa 

sejuk bagi yang menikmatinya.

***

EMPAT



Betapa luluh lantak hati Sulastri bagaikan dica-

bik-cabik dengan jarum seribu banyaknya setelah me-

nerima apa yang dia alami. Ternyata Warakas yang di-

tuju dan diharapkan mau menerima dirinya sekaligus 

mempertanggung-jawabkan segala yang telah dibuat-

nya, ternyata bertindak sebaliknya. Warakas kini telah 

bersanding dengan seorang gadis dari keturunan nin-

grat yang cantik rupawan.

"Siapa kau?!" tanya Warakas setengah memben-

tak, manakala mendengar panggilan Sulastri. "Aku ra-

sa, aku tak mengenalmu. Pergilah! Jangan sampai aku 

menyuruh prajurit-prajuritku untuk mengusir kalian!"

Sulastri hanya mampu menangis dan menangis 

melihat perilaku Warakas yang tidak diduga-duganya. 

Sementara Jaka yang mengantarkannya, seketika da-

rahnya mendidih mendengar ucapan Warakas yang


sombong dan takabur. Maka dengan geramnya Jaka 

pun tak mau kalah membentak.

"Warakas! Kau jangan sombong oleh kedudukan-

mu. Kalau kau memang melakukan segala perbuatan 

biadab itu, hendaklah kau mau bertanggung-jawab 

pada segalanya yang terjadi. Ternyata kau tak lebih 

seorang manusia berhati binatang!"

"Bedebah! Berani lancang mulutmu, Anak muda!"

"Kenapa tidak, orang sombong! Bagiku, tak ada 

yang perlu ditakuti kalau memang berada di pihak 

yang benar," jawab Jaka kalem, menjadikan Warakas 

seketika itu naik darahnya. Maka dengan terlebih da-

hulu menggeram Warakas kembali membentak seraya 

berkelebat hendak menyerang Jaka.

"Anak edan! Kau rupanya memang perlu diajar ta-

ta krama, hiat....!"

Melihat Warakas bermaksud menyerangnya, den-

gan cepat Jaka yang sudah muak melihat tingkah laku 

panglima prajurit itu segera bersiap-siap. Hampir saja 

kedua orang muda itu hendak bertarung, manakala 

dengan segera Sulastri mencegahnya dengan menjerit 

karena marah.

"Sudah! Kalau memang kau tak mengenali aku, 

tak apa. Ingat Warakas, kelak aku akan menuntut 

mu!" Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan lagi 

pada Warakas yang tersentak mundur karena kaget, 

Sulastri segera berlari sambil menangis. Luka hatinya 

begitu mendalam, sepertinya susah untuk menyem-

buhkannya. Orang yang sangat dicintai dan diagung-

kan ternyata tak lebih dari seorang penipu macam Er-

wan yang tak berani bertanggung jawab pada mbak 

Ninie.

Sambil terus menjerit-jerit, Sulastri terus berlari 

entah ke mana. Hal itu menjadikan Jaka seketika ter-

sentak dan melotot marah pada Warakas seraya mem


bentak gusar.

"Iblis kau, Warakas! Percuma kau menjadi pan-

glima, kalau sifatmu tak lebih dari sifat iblis yang bu-

suk. Kau tega menelantarkan seorang gadis yang telah 

kau renggut keperawanannya. Benih itu tumbuh, men-

jadikan beban baginya. Laki-laki macam apa kau, Wa-

rakas? Tak lebih hanya seorang buaya!"

"Diam!" bentak Warakas yang seketika tersentak 

dari lamunannya melamuni kepergian Sulastri. "Apa-

kah kau tak dapat diam, Anak edan!"

"Hem, percuma kau menyesal. Percuma, Wara-

kas!" seru Jaka sinis menjadikan Warakas seketika 

menggeram marah mendengarnya. Maka tak ayal lagi, 

Warakas yang tengah bingung seketika menyerang Ja-

ka dengan senjata pusakanya Kyai Lutung Gumilir, se-

jenis tombak sakti yang menjadi kebanggaan para pra-

jurit, barang siapa yang memegang senjata tersebut, 

maka dialah yang dapat menjadi panglima prajurit ke-

rajaan.

Diserang begitu tiba-tiba oleh Warakas, dengan 

segera Jaka pun berkelebat menghindar. Sekali-kali 

kakinya melayang, menyodok ke perut Warakas. Na-

mun dengan segera Warakas pun membalasnya den-

gan menusukkan tombak Kyai Lutung Gumilir. Hawa 

dingin menggigil seketika keluar dari tombak itu. Jaka 

tersentak kaget dan melompat mundur ketika merasa-

kan hawa dingin yang melebihi hawa salju. Mata Jaka 

seketika terbelalak, menjadikan Warakas yang som-

bong tertawa bergelak-gelak. Dengan congkaknya Wa-

rakas seketika berseru lantang penuh ejekan.

"Anak edan! Aku harap kau menyerah dan jangan 

banyak turut campur dengan urusanku!"

"Sombong kau, Warakas! Jangan harap aku mau 

menyerah pada iblis macammu!" balik membentak Ja-

ka dengan marahnya. Tak ayal lagi, Warakas yang su


dah di atas angin kembali berkelebat menyerang Jaka.

"Mampuslah kau, Anak Edan!" Ditusukkan senja-

ta Kyai Lutung Gumilir ke arah Jaka, yang seketika 

berkelit menyamping. Jaka segera balik menyerang 

dengan ajian Getih Saktinya, teriaklah Warakas mana-

kala tahu ilmu yang tengah ditakuti oleh hampir selu-

ruh kerabat istana tiba-tiba muncul menghadangnya. 

Maka dengan wajah pucat pasi Warakas segera me-

lemparkan tubuh ke samping menghindar. Tak ayal la-

gi, tembok rumahnya seketika membara.

Warakas hendak kembali menyerang Jaka, mana-

kala terdengar seruan seseorang mencegahnya. Wara-

kas pun mengurungkan niatnya, ia juga sebenarnya 

telah jeri melihat ajian Getih Sakti yang telah meng-

gemparkan dunia persilatan. Beruntung ada orang 

yang datang, kalau tidak...

"Hentikan, Warakas! Apakah kau tidak tahu siapa 

yang tengah kau hadapi?" seru orang itu. "Percuma 

kau melawan pendekar muda itu. Jangankan dirimu, 

kakek gurumu pun aku rasa tak akan mampu meng-

hadapinya!"

"Paman Sodra Jumawa!" seru Warakas tersentak.

Sodra Jumawa segera menjura hormat pada Jaka, 

sepertinya tak menghiraukan Warakas yang terheran-

heran melihat tingkah laku patih kerajaan. Hati Wara-

kas seketika bertanya-tanya, melihat apa yang dilaku-

kan oleh Sodra Jumawa. "Hem, kenapa paman patih 

Sodra Jumawa menghormatinya? Apakah pemuda itu 

saudara sang raja?" tanya Warakas pada diri sendiri.

Tengah Warakas tak mengerti dengan apa yang 

ada di hadapannya, tiba-tiba Sodra Jumawa berkata 

setengah menyuruh. "Warakas, menghormatlah pa-

danya. Kalau kau ingin tahu siapa adanya pemuda ini, 

dialah Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Da-

rah!"


Terbelalak mata Warakas demi mengetahui siapa 

adanya pemuda yang tadi dianggapnya pemuda gelan-

dangan. Ia tak menyangka kalau Pendekar Pedang Si-

luman Darahlah yang tengah ia hadapi. "Pantas kalau 

ia memiliki ajian Getih Sakti," gumam Warakas dalam 

hati. Rasa sesal telah berani lancang membentak dan 

memaki-maki Pendekar Pedang Siluman Darah, men-

jadi-kan Warakas seketika bersujud meminta ampun.

"Ampuni segala tindakanku yang tak tahu sopan 

santun, Tuan Pendekar!"

"Ah, sudahlah. Semua bagiku tak jadi apa. Seka-

rang yang penting kau harus mau menerima gadis itu."

"Tapi...."

"Jangan kau ingkar janji, Warakas. Apakah kau 

ingin aku mengatakannya pada patihmu ini tentang 

segalanya?" potong Jaka dengan agak sedikit gusar 

demi mendengar Warakas hendak kembali tak menga-

kui bahwa ia tak bertindak pada Sulastri. "Bagaimana, 

Warakas? Kau tinggal pilih. Aku katakan semuanya 

pada saudara Sodra Jumawa, atau kau mau mengakui 

segalanya dan menyusul Sulastri?"

"Ba... baiklah, Tuan Pendekar. Aku akan menyu-

sulnya."

"Bagus! Sekarang susullah olehmu, mumpung Su-

lastri belum lama pergi."

Dengan tanpa banyak menentang lagi Warakas 

pun segera menuruti apa yang dikatakan Jaka. Berge-

gas Warakas mengambil kuda dari kandangnya, lalu 

setelah menghormat pada Jaka dan Patih Sodra Ju-

mawa, Warakas pun segera hentakkan kudanya mela-

ju untuk menyusul kepergian Sulastri.

Setelah kepergian Warakas menyusul Sulastri, 

Sodra Jumawa segera mengajak Jaka untuk mampir 

ke rumahnya. Maka kedua orang sahabat itu pun se-

gera berlalu meninggalkan rumah Warakas menuju ke


rumah Sodra Jumawa.

"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Wara-

kas? Tadi kau menyebut-nyebut nama seorang gadis, 

ada apakah dengan gadis itu sama Warakas?" tanya 

Sodra Jumawa sembari melangkah pada Jaka yang 

hanya tersenyum-senyum.

"Biasa urusan anak muda. Mereka dulu pernah 

menjalin cinta, dan... ya. itulah. Karena merasa cinta 

itu agung, sehingga si gadis tak memikirkan apa yang 

bakal terjadi. Diserahkan segala yang ada pada dirinya 

termasuk kehormatan yang seharusnya dijaga."

Terbelalak mata Sodra Jumawa mendengar penu-

turan Jaka Ndableg. Giginya seketika bergemerutuk 

menahan marah. Bagaimana tidak, Warakas yang di-

anggapnya baik tata kramanya, ternyata telah berbuat 

yang menjijikkan.

"Kurang ajar, anak itu! Dia pantas dihukum!" 

"Jangan, saudara Sodra. Bila itu terjadi, maka 

makin tak menentu tindakannya. Biarlah Warakas 

sendiri yang menyelesaikannya dengan Sulastri, toh 

dia kini tengah mengejar dan mau mengakui segala 

kesalahannya. Sebagai seorang pimpinan, kau tak per-

lu terlalu keras pada bawahan," cegah Jaka.

"Tapi dia sudah keterlaluan, saudara Jaka. 

Bayangkan, bagaimana mungkin seorang pimpinan 

prajurit mempunyai watak seperti itu? Jangan-jangan, 

seluruh gadis di kerajaan ini akan habis olehnya."

Jaka tersenyum mendengar ucapan sahabatnya. 

Ia memaklumi betapa Sodra Jumawa yang bijaksana 

akan marah bila mengerti tingkah laku anak buahnya. 

Namun sebagai seorang pendekar Jaka dengan segera 

berusaha menyadarkan sahabatnya dengan berkata.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Seperti juga 

dengan aku, aku pun sangat menyesalkan tindakan-

nya. Kalau saja tak keburu kau datang, entah sudah


bagaimana aku ini. Mungkin tanganku akan terlalu te-

lengas padanya yang terlalu angkuh dan sombong, 

atau barangkali Pedang Siluman Darah telah menghi-

sap darahnya. Ah, sudahlah. Tak perlu kita masalah-

kan, yang penting sekarang dia mau mengakui segala 

tindakannya. Kita tunggu saja apa yang bakal ia laku-

kan pada gadis itu. Kalau ternyata dia melakukannya 

dengan tak baik, maka aku pun tak akan segan-segan 

untuk menurunkan tangan."

Sodra Jurnawa terdiam menurut apa yang dikata-

kan Jaka. Keduanya kembali melangkah menuju ke 

kediaman Sodra Jumawa. Walau pikiran mereka dili-

puti segala masalah Warakas, namun keduanya nam-

pak tenang bahkan tiada ekspresi di wajah mereka ten-

tang kekalutan. 

***

Sulastri terus berlari dengan menangis. Langkah-

nya begitu cepat, sepertinya dibantu oleh tenaga lain. 

Sulastri terus menjerit-jerit dan terkadang-kadang me-

nyumpah-nyumpah nama Warakas. Mungkin saking 

terpukulnya, sehingga Sulastri pun berlari bagaikan 

kesetanan. Ditambah lagi dengan dendam yang melan-

da di hatinya, menjadikan Sulastri tak menghiraukan 

panggilan seseorang yang berada di belakangnya. "Su-

lastri... Tunggu...!"

Sulastri sesaat menengok ke belakang, lalu ketika 

dilihatnya siapa adanya orang yang memanggilnya Su-

lastri bukannya berhenti dari larinya bahkan makin 

mempercepat.

"Lastri... Aku Warakas kekasihmu...!"

"Percuma kau menyebut-nyebut aku kekasih, ib-

lis! Aku tak perlu kau. Aku perlu mati untuk dapat 

menyekik lehermu. Ingat itu Warakas, aku akan mati


dan datang untuk menuntut balas atas segala apa 

yang telah kau lakukan. Aku tak rela kalau cintaku 

kau sia-siakan!" 

"Aku minta maaf, Lastri...!"

"Tidak! Minta maaflah nanti kalau kita sudah sa-

ma-sama di akherat sana!" pekik Sulastri histeris. Ia 

menangis dan terus berlari bagaikan tak mengenal ca-

pai. Kejar mengejarpun terus berjalan, sepertinya ke-

dua orang itu tak ada yang mau mengalah.

Warakas terus memacu kudanya agar berlari ma-

kin cepat. Namun sepertinya Sulastri pun makin cepat 

pula berlari, sehingga jarak keduanya bukan makin 

lama makin pendek malah makin melebar dan jauh sa-

ja.

"Sulastri... Awas di depanmu jurang!" seru Wara-

kas manakala melihat jurang telah menganga di hada-

pan Sulastri.

"Aku tak perduli! Biar aku mati saja!"

"Jangan, Lastri! Jangan...!"

Warakas seketika berkelebat mencoba mengha-

langi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Warakas 

telah melompat dengan cepat, dan berdiri di hadapan 

Sulastri. Melihat hal itu, tiba-tiba Sulastri yang telah 

kalap menggeram marah. Dengan didahului pekikan, 

Sulastri seketika tanpa disadari menyerang Warakas.

Tersentak Warakas mendapat serangan tersebut, 

seketika Warakas pun berkelit mengelakkannya. Na-

mun sungguh tak diduga oleh Warakas, kalau Sulastri 

akhirnya benar-benar nekad. Tanpa ampun lagi, seke-

tika tubuh Sulastri melayang jatuh ke dalam jurang 

dengan diikuti oleh pekikannya yang menyayat. "Aaaa-

aahhhhh...!"

Warakas sejenak terpaku diam, sebelum akhirnya 

menjerit seraya memburu ke bawah jurang. "La-

striiii...!" Warakas seketika tercenung sembari meman


dang ke bawah jurang, di mana tubuh Sulastri hilang 

jatuh ke bawah. Maka dengan lesu Warakas pun sege-

ra kembali meninggalkan jurang itu, menghampiri ku-

danya yang masih berdiri menunggu tuannya.

"Maafkan aku, Lastri," keluh Warakas penuh ses-

al. "Sungguh aku telah berdosa besar padamu..."

Dituntunnya sang kuda melangkah meninggalkan 

jurang itu, jurang yang telah menelan tubuh Sulastri 

bekas kekasihnya. Perasaan Warakas seketika gundah, 

tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana nanti menceri-

takan pada Pendekar Pedang Siluman Darah? Bagai-

mana pula ia harus mempertanggung-jawabkan? Bila 

mengingat itu semua, seketika Warakas pun menangis. 

Dan dengan langkah gontai bagaikan tak bersemangat 

Warakas pun terus menuntun kudanya melangkah 

pergi....

***

LIMA



Setelah mendengar penuturan dari Warakas ten-

tang apa yang dialami Sulastri, Jaka Ndableg pun se-

gera meminta pamit pada temannya yaitu Sodra Ju-

mawa untuk meneruskan pengembaraannya. Niat Ja-

ka yang utama, adalah menyelidiki apakah ucapan 

Warakas benar adanya? Kalau ternyata kematian Su-

lastri yang menjatuhkan diri ke jurang itu atas kekera-

san, maka Jaka tak akan segan-segan lagi berbuat 

menurunkan tangan telengas pada Warakas seperti di-

katakan oleh Sodra Jumawa.

"Aku pamit undur. Sodra."

"Ah, mengapa terburu-buru, Jaka?" tanya Sodra 

seakan tak ingin pertemuan itu segera berakhir dengan



perpisahan. Rasa kangennya pada Jaka yang menjadi 

sahabatnya belum terlunasi. Namun Sodra Jumawa 

maklum siapa adanya Jaka, yang memang dipenuhi 

dengan segala macam masalah dunia persilatan. "Ya, 

begitulah seorang pendekat sepertinya. Tak ada waktu 

sesaat pun baginya untuk dapat mengasoh. Segala 

waktu diserahkan untuk kepentingan orang banyak. 

Sungguh aku merasa kagum padanya. Dialah seorang 

pendekar sejati, yang mengutamakan kepentingan 

orang banyak di atas kepentingan diri sendiri," gumam 

Sodra Jumawa dalam hati.

"Kau tahu sendiri apa yang telah menjadi kebia-

saanku Sodra?"

"Oh, aku mengerti. Kebiasaanmu adalah mengu-

tamakan kepentingan orang banyak di atas kepentin-

gan diri sendiri. Kau rela berkorban untuk ketentra-

man dunia, walau nyawamu sebagai taruhannya."

"Rupanya kau bisa bercanda juga, Sodra? Apakah 

kau tak menjadi dagelan. Ha, ha, ha...."

Sodra Jumawa hanya dapat geleng-geleng kepala 

mendengar ucapan Jaka yang bercanda. Maka tak ayal 

lagi, kedua sahabat itu akhirnya tumpahkan gelak ta-

wanya menjadikan ruangan itu seketika seperti terbe-

lah oleh gelak tawa mereka.

"Baiklah, Jaka. Aku tak dapat mencegahmu, ka-

rena aku tahu kau bukan milikku seorang. Kau adalah 

seorang pendekar penegak kebenaran dan keadilan, 

jadi kau adalah milik masyarakat. Aku hanya dapat 

mengiringi dengan doa, semoga kau selalu dalam lin-

dungan Gusti Allah dan selalu dalam kemenangan-

nya." 

"Terima kasih, Sodra."

Setelah terlebih dahulu menjura hormat, tanpa 

sepengetahuan Sodra secepat kilat Jaka berkelebat. 

Hal itu menjadikan Sodra seketika terjengah heran.


Mata Sodra seketika mencari-cari, namun ternyata Ja-

ka telah jauh meninggalkannya. Tinggallah Sodra yang 

hanya dapat geleng kepala.

Jaka terus berlari dengan tujuan mencari jurang 

yang telah dikatakan oleh Warakas. Tengah Jaka ber-

lari, tiba-tiba dia dikejutkan oleh desingan ratusan 

anak panah yang mengarah ke arahnya. Serta merta 

Jaka lemparkan tubuh ke atas untuk menghindar.

"Monyet-monyet gudigan! Siapa yang telah bertin-

dak seperti monyet?" ngerompil Jaka sewot. Tangannya 

secepat kilat berkelebat, dan ditangkapnya puluhan 

anak panah yang mendesing-desing tertuju ke arah-

nya. "Hei... kalau kalian memang monyet, keluarlah!"

"Hua, ha, ha... Jadi kau kira aku ini monyet! Cuih! 

Kau pun tak lebih dari kunyuk!" bentak seorang lelaki 

pendek dengan kepala gundul yang tiba-tiba berkele-

bat dari semak-semak.

Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, manakala 

melihat tubuh kate di hadapannya. Orang kate itu lu-

cu, berbadan kelewat gendut dan kepala botak ditam-

bah lagi dengan matanya yang besar bagaikan mata 

buta.

"Anak edan! Apa perlumu tertawa, hah!" kembali 

manusia kate itu membentak, manakala tahu bahwa 

Jaka mentertawai dirinya. Hal itu menjadikan Jaka 

malah ganda tawa, lalu dengan terpingkal-pingkal Ja-

ka pun berkata mengejek.

"Duh... duh! Kalau kau mau marah-marah, per-

cuma saja. Mendingan kau mendaftarkan diri saja pa-

da PT ABC, siapa tahu tubuhmu yang kerdil nan lucu 

itu dapat dimanfaatkan untuk iklan!"

"Bedebah! Lancang kau berucap, Anak Siluman!"

"Hua, ha, ha... Kau lucu, Oom kerdil," gelak Jaka 

tertawa seraya berkata. "Tubuhmu kelewatan. Sudah 

pendek, eh malah gemuknya bukan main. Kau persis


kodok bangkong, hua, ha, ha...."

"Bangsat! Kucincang tubuhmu, Anak Edan!"

"Suiit...!"

Lelaki cebol gemuk yang mirip raksasa matanya 

seketika membunyikan suitan. Maka dari balik semak-

semak keluarlah puluhan cebol mengepung Jaka. Jaka 

yang dasarnya ndableg, seketika tertawa bergelak.

"Hua, ha, ha.... Rombongan tuyul dari mana ka-

lian?"

"Edan! Kau terlalu meremehkan kami! Apakah 

kau belum tahu siapa kami, Anak edan!"

"Wuah, aku tahu nama julukan kalian. Kalian 

mendapat julukan di dunia persilatan. Seratus Tuyul 

Pencuri Uang yang bau air kencing. Hua, ha, ha...!"

"Slompret! Anak edan ini tak perlu dikasih hati. 

Serang!"

Mendengar komando itu, secepat kilat puluhan 

orang kate lucu berkepala botak dan bermata lebar itu 

menyerang Jaka. Senjata mereka yang berbentuk arit 

pendek atau parang, berkelebat-kelebat dengan gera-

kan-gerakan tak beraturan tampaknya. Namun gera-

kan-gerakan itu bila dipahami benar-benar akan men-

jadikan sebuah gerakan yang sangat berbahaya. Gera-

kan yang kaku itu, selalu membawa angin besar me-

nerpa pada tubuh dan wajah Jaka.

"Wadaow, kenapa tuyul-tuyul ini galak amat, sih? 

Apakah kalian tak pernah makan sesaji?" mengomel 

Jaka dengan gelak tawanya, menjadikan ketiga puluh 

tuyul yang bergelar Tri Dasa Buta Kuntet makin me-

rengkah marah. Mereka tanpa banyak bicara lagi terus 

berusaha merangsek Jaka. Hampir saja Jaka keteter 

oleh serangan mereka yang datangnya bertubi-tubi dan 

silih berganti.

"Edan! Kenapa kalian anak kecil sudah berani ku-

rang ajar, hah! Apa kalian belum pernah dikasih pela


jaran? Nih, aku berikan pelajaran tata krama pada ka-

lian!"

Setelah berkata begitu, secepat kilat Jaka berkele-

bat bagaikan seekor burung Srigunting. Tangannya 

menyambar-nyambar, dan...

"Tap...."

Tangan Jaka seketika bergerak cepat menangkap 

kepala salah seorang dari kate-kate itu. Tak ampun la-

gi, dibawanya tubuh kate itu ke atas dan dipelintirnya 

kumis kate itu. Maka menjeritlah kate itu karena ku-

misnya tercabut dari tempatnya.

"Tobat...!"

"Hua, ha, ha... Siapa lagi yang ingin mengikuti 

kursus mencuri kelapa?" ledek Jaka dengan ndableg-

nya, sepertinya ia tak merasa sungguh-sungguh berke-

lahi. Sementara kate yang kumisnya telah lepas, nam-

pak berguling-guling sembari memegangi kumisnya 

yang tinggal sebelah. Air matanya mengalir deras, rasa 

sakit yang teramat sangat melanda tubuhnya. Makin 

marahlah kate lainnya melihat hal itu, yang dengan 

segera kembali mengurung Jaka Ndableg.

"Wah, rupanya kalian menginginkan mainan be-

rupa kepiting. Oh... memang menurut cerita, tuyul su-

ka kepiting. Baiklah, aku akan memberi kalian seekor 

kepiting. Nah, ini yang pertama!"

Ditangkapnya seorang lagi kate itu, lalu dengan 

tangan membentuk capit dipelintirnya leher kate itu. 

Menjeritlah seketika sang kate, sampai-sampai leher-

nya berbunyi, "Kretek!".

"Kurang ajar! Kau harus mampus, Anak edan!" 

membentak marah ketua kate itu, demi melihat anak 

buahnya dua orang menggerung-gerung kesakitan. Pa-

rang di tangannya berkelebat cepat, hampir saja mem-

babat tubuh Jaka kalau saja Jaka tidak waspada.

"Ampun, Oom Tuyul! Kenapa kau galak amat,


sih...? Apakah kau kurang sesaji? Nah, aku akan 

memberimu sesaji berupa nasi salak!"

Habis berkata begitu Jaka segera kembali berkele-

bat dengan cepat. Dikiblatkan tangan kanannya den-

gan jari-jari membuka, lalu dengan cepat tangan itu 

bergerak. Namun belum juga tangan Jaka menghan-

tam kening ketua kate, tiba-tiba seseorang berkelebat 

menghadangnya.

"Dessst...!"

Jaka segera tarik undur serangan, manakala 

bayangan itu menghantam tangannya. Tangan Jaka 

seketika kesemutan, terhantam oleh sebuah pukulan 

oleh bayangan orang tersebut yang kini telah berdiri 

dengan senyum sinis padanya.

Tersentak Jaka Ndableg, manakala tahu siapa 

adanya orang yang datang dan telah memukul tangan-

nya hingga kesemutan. Karena sudah mengenal siapa 

adanya orang yang datang, serta merta Jaka berseru.

"Datuk Tuyul Setan! Rupanya kaulah biang dari 

semua ini. Hem, apa maksudmu memerintah pada 

anak buahmu si Tuyul Tri Dasa Buta Kuntet menye-

rangku?"

"Hua, ha, ha... Jaka Ndableg, aku ingin melihat 

sebagaimana ilmu yang kau miliki sebagai seorang 

pendekar yang ditakuti oleh para tokoh golongan sesat. 

Aku ingin mengujimu, Ndableg!"

"Hem, rupanya kau tak lebih dari seorang penge-

cut! Kenapa tidak kau sendiri yang menghadapiku?" 

bentak Jaka marah. merasa kalau dirinya telah ditipu 

mentah-mentah oleh Datuk Tuyul Setan. Namun Da-

tuk Tuyul Setan bukannya gentar mendengar benta-

kan Jaka, bahkan sebaliknya sang Datuk tertawa re-

nyah.

"Bukankah aku kini telah menghadapimu?"

"Apa maumu, Datuk Iblis?"


"Mauku...? Kau harus melepaskan gelarmu seba-

gai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadi-

lan. Biarkan kami golongan hitam bertindak sesuai 

dengan kemauan kami!"

"Apa kau kira semudah itu, Datuk?" 

"Kenapa tidak? Kami akan membuktikannya, 

Anak muda!"

"Jangan mimpi, Datuk! Jangankan untuk menuju 

cita-citamu, untuk bernapaspun kalian akan senen 

kemis," ejek Jaka, menjadikan sang Datuk seketika 

menggeram marah. Maka dengan didahului dengan 

bentakan sang Datuk seketika berkelebat menyerang. 

Tubuhnya yang kecil cebol, layaknya seekor katak me-

lompat menangkap nyamuk. Ya, memang sang datuk 

tengah menggunakan jurus Kodok Bangkong Menang-

kap Nyamuk. Jurus itu merupakan jurus andalan para 

kate, sebab jurus tersebut merupakan jurus yang san-

gat ampuh. Jarang musuh dapat lolos dari sergapan 

jurus tersebut. Tapi Jaka bukanlah pendekar semba-

rangan. Percuma ia digembleng oleh lima guru sekali-

gus. Empat gurunya merupakan tokoh-tokoh yang 

pernah merajai dunia persilatan. Apalagi Ki Bayong 

yang terkenal dengan julukan Pendekar Hati Suci, 

sungguh tak ada tandingannya pada masa itu. Belum 

lagi gurunya dari alam siluman yang datang bila di-

panggil dengan bentuk pedang pusaka. Maka mengha-

dapi gempuran Datuk Tuyul Setan yang menggunakan 

jurus Kodok Bangkong Menangkap Nyamuk, tak men-

jadikan Jaka keteter. Bahkan Jaka dengan masih ber-

gelak tawa ria melayainya. Tarian-tarian tangan Jaka 

yang mengeluarkan jurus Kupu-Kupu Berbisa didikan 

Nyi Rukmini, menjadikan pudar jurus Kodok Bang-

kong.

Terperanjat kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat 

apa yang telah terjadi. Jurus yang diandalkan oleh


hampir seluruh tokoh kate, ternyata dapat dengan 

mudah dihancur-leburkan oleh pendekar muda yang 

bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Maka makin 

gusarlah Datuk Tuyul Setan menerima hal itu.

"Jangan bangga dulu, Anak muda! Aku belum ka-

lah!"

"Aku tak merasa bangga," jawab Jaka tenang.

"Ini untukmu! Hiat...!"

Selarik sinar hitam berkelebat cepat, keluar dari 

telapak tangan Datuk Tuyul Setan. Sesaat Jaka tersen-

tak mundur, lalu dengan segera elakkan pukulan itu.

"Wah, bagaimana kalau kau dijadikan tukang pa-

nah kerajaan? Mungkin kau akan salah sasaran. Atau 

mungkin temanmu sendiri yang terkena. Lihat...!"

Memang benar apa yang dikatakan Jaka, pukulan 

Datuk Tuyul Setan yang bernama ajian Lutuk Gayung

melesat beberapa jengkal dari tubuh Jaka dan meng-

hantam telak pada anak buahnya. Seketika ketiga 

anak buahnya menjerit, lalu mati dengan tubuh mem-

biru. Tubuh mereka terkena racun yang paling ganas, 

yaitu racun Kecubung Ungu.

"Ah, ternyata Datuk Iblis ini memiliki racun Kecu-

bung Ungu. Kalau saja aku tak cepat menghindar, 

sungguh berbahaya," keluh Jaka dalam hati. Dan Jaka 

pun untuk kedua kalinya tersentak kaget, manakala 

sebuah pukulan serupa kembali berkelebat ke arah-

nya. Karena untuk mengelakkannya tak mampu, serta 

merta dengan tanpa perhitungan lagi Jaka hantamkan 

ajian Getih Sakti.

"Sreet...!"

"Crooot...!"

"Blum!"

Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua ajian 

itu bertemu di udara. Kedua orang pemiliknya seketika 

terpental ke belakang namun sungguh menjadikan Ja


ka parah menerimanya. Dari mulut pendekar kita, me-

leleh darah kehitam-hitaman. Rupanya racun Kecu-

bung Ungu yang di-lontarkan bersamaan dengan ajian 

Lutuk Gayung, menghantam tubuhnya. Tanpa ayal la-

gi, tubuh Jaka seketika itu terkena racun ganas. Meli-

hat Jaka dalam keadaan luka, meledaklah tawa Datuk 

Tuyul Setan.

"Hua, ha, ha... ternyata ilmumu hanya sekuku hi-

tam, Anak muda! Dengar olehmu, kau akan mati da-

lam waktu tiga jam apabila kau tak segera menyem-

buhkannya dengan obat penawar yang aku miliki. Ma-

ka itu, aku ingin jawabanmu. Maukah kau menjadi 

anggota Persekutuan Iblis? Jawab olehmu! Bila kau 

menolak, maka kematian-lah yang akan kau alami. 

Tapi bila kau menerima, aku akan memberikan obat 

penawarnya pada dirimu!"

Jaka terdiam menahan sakit yang teramat sangat. 

Denyut jantungnya memburu liar, bagaikan aliran da-

rahnya merambah cepat. Keringat dingin mengucur 

dari seluruh tubuhnya, sampai-sampai baju yang di-

kenakan basah kuyup. Baju berwarna perak yang di-

hadiahkan oleh ayahnya, seketika itu basah kuyup. 

"Ooh Gusti Allah, apakah aku akan mati di tangan Da-

tuk Iblis ini?" keluh Jaka dalam hati. Matanya makin 

lama makin suram, berkunang-kunang untuk melihat. 

Manakala tubuh Jaka hendak jatuh, tiba-tiba sebuah 

bayangan berkelebat dan menyambar tubuh itu.

Tersentak kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat 

seseorang cebol seperti dirinya telah mengangkat tu-

buh Jaka dan membawanya pergi. Maka dengan mem-

bentak Datuk Tuyul Setan pun segera berkelebat men-

gejarnya. "Bedebah! Siapa kau? Jangan lari!"

Namun bagaikan tak mendengar bentakan sang 

Datuk, tubuh cebol itu terus saja berlari membawa tu-

buh Jaka yang tergeletak pingsan. Walaupun tubuh


nya cebol, namun larinya begitu cepat hingga dalam 

sekejap saja tubuh cebol itu telah jauh meninggalkan 

Datuk Tuyul Setan bersama anak buahnya yang terus 

mengejar. 

"Bedebah! Kita telah kehilangan jejaknya!" gerutu 

Datuk Tuyul Setan, manakala tak lagi dilihatnya orang 

cebol yang dikejarnya. "Siapakah dia adanya...?"

"Entahlah, Tuan. Tubuh orang itu seperti kita," 

jawab ketua Tri Dasa Buto Kuntet. "Apakah tidak 

mungkin teman kita sendiri yang bermaksud mengua-

sai rencana kita?"

Sang Datuk manggut-manggut mendengar penu-

turan anak buahnya. Matanya masih memandang ke 

bawah jurang di mana orang kate seperti dirinya yang 

membawa tubuh Jaka berkelebat. Dengan tanpa hasil, 

Datuk Tuyul Setan akhirnya kembali berkelebat pergi 

meninggalkan jurang di depannya untuk kembali me-

nemui rekan-rekannya sesama golongan.

"Ayo kita balik! Siapa tahu memang dia rekan ki-

ta!"

"Daulat Gusti," jawab seluruh anak buahnya hor-

mat. Maka dengan diiringi anak buahnya yang masih 

hidup, sang Datuk kembali melangkah pergi mening-

galkan tempat itu sekaligus meninggalkan mayat-

mayat anak buahnya yang bergelimpangan. Dan tega-

lan itu pun kembali sepi, bagaikan tiada kehidupan di 

situ.

Apakah pendekar kita dapat tertolong nyawanya? 

Nah, ikuti terus bab selanjutnya...!

***

ENAM


Di pagi yang cerah, terdengar seruan seseorang 

berteriak-teriak memecahkan keheningan pagi. Orang 

itu adalah seorang gadis muda yang tengah mendalami 

ilmu silat. Gadis itu tak lain daripada Sulastri adanya 

yang terjatuh di dalam jurang. Duduk di hadapannya 

agak jauh, seorang wanita tua renta yang tak lain gu-

runya bernama Eyang Silir.

"Hiat...!"

Tubuh Sulastri berkelebat cepat laksana seekor 

tupai yang lincah, hinggap dari satu pohon bambu ke 

pohon bambu yang lainnya. Pedang di tangannya ber-

gerak cepat, membabat pohon-pohon bambu itu yang 

seketika puntung terpangkas oleh tebasan pedang ter-

sebut. Wajah sang guru nampak bahagia, menyaksi-

kan kemajuan muridnya yang begitu pesatnya.

"Bagus, Lastri! Ulangi lagi dari mula!" seru sang 

guru memberi semangat. Lastri sesaat menjura hor-

mat, lalu kembali ia pun membuka jurus yang telah ia 

pelajari. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, men-

gapa Lastri yang telah jatuh ke bawah jurang tahu-

tahu hidup? Nah, marilah kita kembali ke kejadian 

itu....

Setelah menyerang Warakas yang telah mengece-

wakan hatinya, Sulastri nekad menceburkan dirinya 

ke jurang yang curam dan terjal. Tujuannya hanya sa-

tu, mati. Ya, menurutnya dengan mati bunuh diri ar-

wah nya akan penasaran dan dapat menuntut balas. 

Sulastri seketika pejamkan mata, siap untuk menyam-

but elmaut. Tapi ajal bukanlah kuasa manusia macam 

Sulastri, maka ketika Sulastri melayang ke bawah, se-

ketika sebuah bayangan berkelebat menangkap tu-

buhnya. Bayangan itu yang ternyata milik seorang ne-

nek sakti, meluncur membawa tubuh Sulastri yang 

pingsan menuju ke pondoknya. Diberinya Sulastri ob-

at, sedang kandungan Sulastri ternyata telah kegugu


ran. Mungkin kandungan itu telah terbentur-bentur 

oleh bebatuan yang menerjal.

Nenek sakti yang bernama Eyang Silir, seketika 

merasa iba melihat Sulastri. Maka manakala Sulastri 

telah sadar dari pingsannya, Eyang Silir Kuning pun 

menanyai kenapa Sulastri sampai berbuat nekad hen-

dak bunuh diri.

"Saya telah frustasi, Eyang. Saya... saya telah di-

kecewakan oleh seorang lelaki yang telah merenggut 

kehormatan saya. Lelaki itu sungguh sangat saya cin-

tai...."

"Bodoh! Mana ada cinta sejati!" bentak Eyang Silir 

Kuning, sepertinya marah demi mendengar penuturan 

Sulastri. Hal itu menjadikan Sulastri kaget bercampur 

dengan heran tak mengerti. "Kenapa karena itu kau 

hendak bunuh diri?"

"Saya... saya sudah tak kuat menanggungnya, 

Eyang! Saya tak mempunyai pilihan lain kecuali mati 

bunuh diri, agar arwahku penasaran yang akhirnya 

nanti dapat menuntut balas pada orang-orang yang te-

lah membuatku menderita."

"Pikiran picik!" kembali Eyang Silir Kuning mem-

bentak. "Apa kau kira dengan berbuat begitu bebanmu 

akan enteng? Huh, dasar anak total! Malah dengan 

berbuat begitu, bebanmu makin bertumpuk. Di dunia 

kau menderita, sedang di akherat kau akan merana 

tak diterima oleh Sang Pencipta!"

Sulastri seketika terdiam demi mendengar penu-

turan Eyang Silir Kuning. Dirasakan olehnya memang 

benar akan apa yang telah dikatakan oleh Eyang Silir 

Kuning. Tak terasa air matanya meleleh deras, seper-

tinya hendak membuang segala derita.

"Kau tahu siapa adanya Warakas itu?" tanya 

Eyang Silir, menjadikan Sulastri seketika mendongak-

kan mukanya memandang pada si Eyang. Sesaat setelah terdiam memandang pada Eyang Silir, Sulastri ak-

hirnya hanya menggeleng kepala.

"Warakas itu bukanlah kemenakan Kyai Safei. Dia 

adalah seorang yang disuruh oleh gurunya Datuk Lin-

go Ketek untuk mengacaukan kerajaan dengan cara 

menyamar sebagai kemenakan Kyai Safei. Karena gu-

runya tokoh sesat seperti diriku, hingga ia pun akhir-

nya jadilah tokoh sesat pula. Memang di antara kami, 

yaitu aku dan Datuk Lingo Ketek terjadi perselisihan. 

Aku memang kurang sepaham dengan cara-caranya. 

Karena kekurang-sepahaman itulah, menjadikan diri-

ku dengan dirinya selalu bertentangan. Kami seringkali 

bersitegang, namun untuk menentukan pertarungan 

antara kami belum juga terlaksana. Karena di samping 

kami sealiran, juga kami selalu dihalangi oleh teman-

teman kami. Maka itulah, kau jangan kaget kalau tin-

dakan Warakas bukanlah tindak orang yang baik. Kau 

yang bodoh! Kenapa kau mudah percaya dengan

rayuan lelaki. Aku pun dulu seperti dirimu. Aku juga 

korban dari kebiadaban lelaki!" Eyang Silir sesaat 

menghentikan ucapannya. Dari matanya yang telah 

tua mengalir air mata. Eyang Silir menangis manakala 

mengingat pengalaman hidupnya.

"Kenapa Eyang menangis?" tanya Sulastri agak 

memberanikan diri manakala melihat Eyang Silir me-

nangis.

Eyang Silir seketika tersentak, menghapus air ma-

tanya seraya memandang pada Sulastri. Ditatapnya le-

kat-lekat wajah Sulastri, sepertinya ingin memperban-

dingkan duka yang ada di wajah Sulastri dengan duka 

yang ada di wajahnya. Setelah sekian lama terdiam 

dengan mata menatap Sulastri, Eyang Silir pun kem-

bali berkata.

"Nasibmu seperti aku, Lastri. Aku pun dulu ter-

makan oleh rayuan lelaki yang tak lain dari gurunya



Warakas!"

Terbelalak Sulastri seketika manakala mendengar 

penuturan Eyang Silir. Namun belum sempat Sulastri 

bertanya, Eyang Silir telah mendahuluinya bercerita 

tentang kehidupannya.

"Lima puluh tahun yang lalu, kala aku masih re-

maja seorang pemuda bernama Briah Sumenep datang 

ke tempatku. Dia datang baik-baik padaku dan menya-

takan cintanya yang tulus. Sebagai seorang gadis lugu, 

aku pun menerima cintanya. Mulanya aku tak melihat 

adanya tanda-tanda kalau dia akan buruk padaku. Ke-

tika cinta terus berjalan, aku pasrahkan segenap jiwa 

dan ragaku hanya untuk dia seorang. Sampai akhirnya 

kehormatanku pun terenggutnya. Aku seperti dirimu, 

pikiranku oleng tak tentu. Dan aku pun nekad hendak 

membunuh diri. Namun niat itu aku urungkan, karena 

aku merasa sia-sia bila sebagai manusia yang diberi 

akal dan pikiran harus mengalah begitu saja. Aku pun 

saat itu mencari guru, dengan tujuan kelak aku akan 

menuntut balas. Maka dengan segala daya dan upaya, 

aku pun mencari guru yang benar-benar sakti yang 

dapat memberiku ilmu tinggi. Lama aku mencari seo-

rang guru, hingga akhirnya aku hampir putus asa. Da-

lam keputusasaanku, aku mendapat petunjuk dari su-

ara gaib agar aku mengabdi pada seorang tokoh sesat 

bernama Datuk Walabar. Mulanya aku bimbang, sebab 

keluargaku semua menjadi seorang pendeta. Tapi ma-

nakala aku kembali ingat pada dendam, akupun mem-

bulatkan tekad!"

"Lalu Eyang berguru juga?" tanya Sulastri.

Eyang Silir Kuning mendesah sesaat. Ditariknya 

napas panjang-panjang, dan ditatapnya sejenak wajah 

Sulastri yang kini agak tenang dari ketegangan. Sete-

lah kembali menarik napas berat, Silir Kuning pun 

kembali berkata.


"Ya, aku hari itu juga berangkat menemui Datuk 

Walabar. Betapa aku saat itu dalam kebimbangan un-

tuk memilih. Apakah aku terus mengikuti keluargaku 

menjadi Pendeta, atau aku harus menjadi seorang to-

koh sesat yang bakal mampu membalas sakit hati pa-

da Briah Sumenep yang telah mengecewakan aku. Ak-

hirnya dorong-an untuk membalas dendam itulah yang 

aku pilih. Lima tahun aku berguru pada Datuk Wala-

bar. Lima tahun pula aku digembleng dengan beraneka 

macam ilmu. Namun hatiku seketika menjerit kembali, 

manakala guruku yang aku hormati mengkoyakkan 

segalanya. Malam naas itu, kehormatanku kembali te-

renggut oleh guruku sendiri. Aku pasrah, ya pasrah 

segalanya. Demi .. cita-citaku, aku telah mengorban-

kan segala yang aku miliki. Akhirnya, aku berangga-

pan bahwa semua lelaki itu sama tak lebihnya dari 

buaya. Di situlah dendamku pada semua lelaki tum-

buh. Setelah aku merampungkan seluruh ilmu yang 

diajarkan oleh Datuk Walabar, aku bunuh guru biadab 

itu. Entahlah, saat itu aku tak merasakan adanya ta-

kut. Yang ada dalam benakku hanya satu, menghan-

curkan setiap lelaki. Karena lelaki bagiku hanya bajin-

gan. Aku terus berkelana mencari korban dengan ha-

rapan dapat bertemu Briah Sumenep. Karena kekeja-

manku, sampai-sampai banyak korban laki-laki di tan-

ganku. Aku pun saat itu mendapat julukan Dewi Bun-

ga Malam Kematian. Nama besarku makin hari makin 

melambung, namun harapanku untuk menjumpai 

orang yang bernama Briah Sumenep tak aku temui. 

Ternyata Briah Sumenep adalah nama samaran. Nama 

aslinya Suntoro atau Datuk Lingo Ketek. Setelah aku 

mendapatkan nama asli Briah Sumenep, aku pun se-

gera memburunya. Namun manakala aku telah berte-

mu dengannya, rasa cintaku kembali tumbuh. Entah 

karena apa, aku tak berani menyakitinya walau dia te


lah menyakiti diriku. Itulah makanya aku bersumpah, 

bahwa kelak setelah aku mengangkat murid maka mu-

ridkulah yang akan membalaskannya. Namun ternyata 

aku menemukan dirimu yang juga senasib denganku. 

Tapi tak apa, kau harus mampu membasmi keturunan 

Lingo Ketek. Basmi Warakas, biar gurunya aku yang 

akan tangani bila memang ia turut campur. Kini aku 

sudah tua, maka tak ada lagi istilah kasihan. Dia telah 

membuatku menderita, merasa rendah diri hingga aku 

tak nikah sampai sekarang!"

"Jadi... jadi... Eyang mau mengangkatku menjadi 

muridmu?"

"Benar, Lastri. Aku akan turunkan segala ilmu 

yang aku miliki untuk membalas segala kekesalan ha-

tiku sekaligus kekesalan dan dendam hatimu pada 

murid Lingo Ketek. Kau mau, Lastri?"

Mendengar pertanyaan Eyang Silir Kuning yang 

memintanya untuk menjadi murid, seketika Sulastri 

jatuhkan diri menyembah. Dari mulutnya yang berge-

tar keluar ucapan yang seperti sumpah. 

"Baiklah, Guru. Aku akan menjadi muridmu yang 

baik. Kelak aku akan membalas segala apa yang per-

nah guru alami juga dengan diriku. Aku akan menum-

pas segala cucu dan anak murid Lingo Ketek!"

"Bagus! Tak sia-sia aku menemukan dirimu. Nah, 

mulai besok aku akan menurunkan segala ilmu yang 

aku miliki!"

Maka sejak saat itu Sulastri pun digembleng oleh 

Eyang Silir Kuning yang menjadi gurunya. Seorang da-

tuk sesat yang nasibnya seperti nasib dirinya sendiri.

***

Jaka Ndableg yang dilarikan oleh seorang kate da-

lam keadaan pingsan masih pingsan saat itu juga. Kate


yang menolongnya tampak masih agak cemas melihat-

nya, walau pil pemunah racun itu telah ia minumkan 

pada Jaka. Memang racun Kecubung Ungu merupakan 

racun yang ganas. Racun itu cepat reaksinya bila tidak 

segera mendapat pertolongan.

"Hem, pendekar muda ini pun mengalami hal se-

rupa. Sungguh suatu racun yang sangat membahaya-

kan. Keterlaluan Datuk Tuyul Setan, aku harus men-

cegahnya agar tidak terus berlarut-larut. Orang akan 

menyangka kalau akulah pelaku semuanya. Oh, Datuk 

Tuyul Setan harus secepatnya aku cegah! Kalau tidak, 

maka korban demi korban akan selalu berjatuhan," 

gumam lelaki kate itu yang berdiri di samping tubuh 

Jaka.

Perlahan mata Jaka Ndableg membuka, ia siuman 

dari pingsannya. Matanya memandang satu persatu 

apa saja yang berada di ruangan itu, lalu akhirnya ter-

paut pada wajah lelaki tua yang berdiri di sampingnya 

dengan tubuh pendek. Lelaki tua kate itu tersenyum, 

menjadikan Jaka yang telah tahu siapa adanya lelaki 

kate itu balas tersenyum sembari berkata.

"Terima kasih atas segala pertolonganmu, Ki. O 

ya, siapakah namamu, Ki?" tanya Jaka.

Lelaki tua kate itu tersenyum melebar, lalu den-

gan masih memandang pada Jaka yang terbaring, Le-

laki tua kate itu pun berkata: "Namaku yang rendah 

dan kerdil sekerdil tubuhku, Loras Jingga atau sering 

orang menyebutku Pendekar Kate dari Matahari."

Terbelalak mata Jaka mendengar nama dan julu-

kan orang yang telah menolongnya. Tidak disangka-

sangka, kalau akhirnya ia harus menjumpai Pendekar 

Kate yang sudah terkenal. Serta merta Jaka bangkit 

dari tidurnya seraya menjura hormat berkata.

"Ooh, maafkan atas segala tingkahku pada Pende-

kar Kate!"


"Siapakah adanya engkau, Anak muda?" tanya 

Kate Dari Matahari setelah untuk sesaat mengangguk-

anggukkan kepala. "Dan kenapa pula kau harus beru-

rusan dengan Datuk Iblis itu?"

"Aku yang bodoh dan telah dapat dikalahkan oleh 

Datuk Tuyul Setan bernama Jaka Ndableg...."

"Jaka Ndableg,..?!" tersentak Pendekar Kate Mata-

hari demi mendengar nama Jaka Ndableg, sampai-

sampai tubuhnya yang kerdil itu melompat karena ka-

getnya. "Jadi... jadi kaukah Pendekar Pedang Siluman 

Darah itu, Anak muda?"

"Itulah adanya, Ki."

Makin kaget saja Kate Matahari setelah pasti bah-

wa pendekar itu adalah Pendekar Pedang Siluman Da-

rah. Maka tanpa sungkan-sungkan ia pun segera men-

jura hormat.

"Ooh, sungguh mata tuaku tak dapat membeda-

kan dengan baik. Ternyata aku terlalu bodoh. Aku 

sungguh-sungguh tak menyadari, kalau ternyata orang 

yang aku tolong adalah seorang pendekar kelas wahid 

yang namanya tengah menggemparkan dunia persila-

tan dengan senjata pusakanya!"

"Ah, tak usahlah Ki Kate terlalu merendah. Bila 

dibandingkan dengan namamu yang agung, namaku 

belum ada sekuku hi tarn," balas Jaka. "Oh ya, Ki. Ta-

hukah kau di mana kediaman Datuk Tuyul Setan? La-

lu apakah penangkal dari racun Kecubung Ungu...?"

Seketika Pendekar Kate Matahari terdiam mana-

kala mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jaka. 

Nafasnya mendesah berat, sementara matanya terpe-

jam. Setelah berbuat begitu agak sedikit lama, tiba-tiba 

Pendekar Kate Matahari menangis. Hal itu menjadikan 

Jaka seketika tersentak tak mengerti, dan bertanya.

"Kenapa Ki Kate menangis? Adakah aku telah ber-

buat kekeliruan yang menyinggung perasaan Ki Kate?


Atau mungkin ucapanku telah membuat Ki Kate tere-

nyuh...?"

"Bukan itu yang aku tangisi. Aku menangisi ten-

tang racun Kecubung Ungu. Sungguh aku ini telah 

berdosa besar...."

"Hei, apa maksudmu, Ki?" tanya Jaka bingung.

"Racun Kecubung Ungu adalah hasil ciptaanku. 

Maka sungguh aku sangat menyesal telah semena-

mena memberikan pada Datuk Tuyul Setan, kalau ak-

hirnya digunakan untuk kejahatan dan pemuas ambi-

sinya yang ingin merajai golongan sesat. Mungkin tak 

akan lama lagi, para Datuk akan bertarung satu sama 

lainnya."

Terbelalak mata Jaka mendengar penuturan Kate 

Matahari, sekaligus ia jadi tahu akan apa yang tengah 

bergolak di antara pada datuk sesat yang selalu ber-

lomba untuk saling menyatakan dirinya yang paling 

sakti. Nah, untuk mengetahui apa yang akan dilaku-

kan oleh para datuk sesat, silahkan anda baca seri 

Pendekar Pedang Siluman Darah berikutnya yang ber-

judul: Pertarungan Dua Datuk.

"Hem, akan ramai akibatnya kalau sampai benar-

benar terjadi!" gumam Jaka.

"Ya, mereka akan saling mengadu kesaktian un-

tuk memperebutkan jabatan sebagai ketua datuk."

"Apakah tak ada faktor lain yang mengakibatkan 

mereka saling tuduh menuduh, Ki?" tanya Jaka men-

coba ingin tahu.

"Maksudmu, pendekar?"

"Mungkin ada faktor lain di antara mereka. Misal-

nya saja perselisihan yang menyangkut diri mereka."

"Memang ada. Seperti Datuk Lingo Ketek dan 

Eyang Silir Kuning. Keduanya terdapat sengketa masa-

lah cinta. Keduanya dulu sewaktu muda pernah men-

jalin cinta, namun akhirnya Lingo Ketek mengkhianati


cinta Eyang Silir Kuning setelah dirinya merusak ke-

hormatan Eyang Silir Kuning!"

"Wuah, kalau begitu mereka terpentok masalah 

cinta?" tanya Jaka seperti berbicara pada diri sendiri. 

"Ooh, sungguh dunia ini penuh keanehan. Sampai-

sampai mereka selalu terjerat oleh iblis. Cinta... Ah, 

mengapa semua gara-gara cinta banyak orang mende-

rita dan putus asa? Seperti temanku, dia pun gara-

gara cinta akhirnya mengalami hal yang tragis, mati 

menceburkan diri ke jurang!"

Pendekar Kate Matahari hanya dapat mendesah 

panjang, dengan sekali-kali mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Ia pun tak habis pikir, mengapa orang-

orang selalu melakukan kesalahan-kesalahan? Menga-

pa kadang para wanita tak mau menyadari segala apa 

yang bakal terjadi? Kalau sudah begini, apakah dapat 

menutupi segala kenyataannya?

"Jaka, kalau kau ingin menyelesaikan masalah 

mu dengan Datuk Tuyul Setan, akupun ingin meminta 

tolong padamu. Mintalah padanya Kitab Racun Kecu-

bung Ungu. Dulu dia meminta padaku dengan menan-

gis-nangis. Aku tak tega melihatnya, sehingga aku tak 

memikir untuk apa kitab tersebut. Baru kini aku sada-

ri, kalau hal itu bila didiamkan berlarut-larut sangat 

bahaya. Ingat, kalau kau menghadapi racun Kecubung 

Ungu lagi, usahakan dirimu jangan menapak di tanah. 

Sebab ajian itu tak akan mempan pada orang yang ka-

kinya berada di atas angin!"

"Baiklah, Ki. Aku akan berusaha mengambil kitab 

tersebut. Aku mohon pamit!" Jaka segera menjura 

hormat, yang dibalas dengan menjura juga oleh Pen-

dekar Kate Matahari. Namun betapa kagetnya Pende-

kar Kate Matahari, manakala ia menegakkan kepa-

lanya ternyata Jaka Ndableg telah tak ada di hadapan-

nya.


"Sungguh pendekar aneh," gumam Kate Matahari 

seraya gelengkan kepala, lalu setelah itu ia pun berke-

lebat pergi meninggalkan tempat itu.

***

TUJUH



Jaka yang telah sembuh dari pengaruh racun Ke-

cubung Ungu segera berkelebat pergi meninggalkan 

Kate Matahari untuk kembali meneruskan pengemba-

raannya. Ia juga hendak mencari Datuk Tuyul Setan 

yang telah dapat menjatuhkan dirinya. Namun bukan 

karena itu tujuan Jaka, tapi Jaka kini mengemban tu-

gas dari Kate Matahari untuk meminta Kitab Racun 

Kecubung Ungu. Sebuah kitab ilmu silat yang dicam-

pur dengan obat-obatan milik Kate Matahari. Kalau ki-

tab itu tak segera diamankan dari tangan Datuk Tuyul 

Setan, niscaya dunia persilatan khususnya para tokoh-

tokoh persilatan akan menjadi korban. Apalagi akan 

diadakan pertarungan antar datuk untuk mencari seo-

rang pimpinan bagi golongan hitam.

"Aku harus dapat mengambil kitab tersebut. Kalau 

sudah mendapatkan kitab itu, maka aku akan menuju 

ke kerajaan yang aku dengar kini dalam keadaan gon-

cang. Kerajaan dalam keadaan yang gawat oleh pembe-

rontakan. Hem, siapakah yang menjadi biang pembe-

rontakan di kerajaan?" gumam Jaka dalam hati.

Dengan menggunakan ajian Angin Puyuhnya Jaka 

berkelebat dengan cepat laksana angin berlari entah ke 

mana. Namun seketika langkahnya terhenti, manakala 

di hadapannya serombongan pasukan kerajaan tiba-

tiba menghadangnya.

"Mau apa mereka dengan diriku?" tanya Jaka pada diri sendiri.

"Berhenti!" menyuruh ketua prajurit yang ternyata 

bukan Warakas adanya. Jaka segera menurut dan 

menghentikan langkahnya. "Kaukah yang bernama 

Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"

Ditanya begitu rupa, seketika Jaka mengerutkan 

keningnya. Ia tak habis pikir, mengapa orang-orang 

kerajaan yang telah mengenalnya tiba-tiba saja mena-

nyakan siapa adanya dirinya? Jaka tersenyum, dipan-

dangi satu persatu dari mereka. Saat itu juga Jaka tak 

mengenali satu di antara mereka yang benar-benar 

prajurit. "Hem, prajurit-prajurit gadungan," gumam 

Jaka dalam hati.

"Ada keperluan apa Ki Sanak sekalian mencegah 

perjalananku?"

"Aku tanya, apakah, kau Jaka Ndableg? Bukan 

malah kau yang balik bertanya, Anak sundel!" bentak 

ketua prajurit gadungan itu marah, namun Jaka yang 

dasarnya ndableg bukannya ketakutan terkencing-

kencing, bahkan Jaka tertawa bergelak-gelak menden-

gar gertakan ketua prajurit.

"Hua, ha, ha... Kau bukan ketua prajurit kerajaan, 

apa hakmu menanyai aku?"

"Setan belang! Akan ku lumatkan dirimu yang 

sombong!"

"Huh, omonganmu bikin perutku mulas saja. Kau 

tak lebihnya dari lalat-lalat kotor. Untuk itu, sepantas-

nya kau aku singkirkan agar perutku bisa sembuh 

kembali!"

Tak alang kepalang marahnya pimpinan prajurit 

gadungan itu mendengar ucapan Jaka yang mengang-

gap dirinya seekor lalat yang menjijikkan. Pimpinan 

prajurit gadungan itu mendengus marah, lalu dengan 

membentak dia berseru.

"Anak Edan! Jangan salahkan kalau kami merencah tubuhmu. Serang...!"

Mendengar komando dari pimpinannya, seketika 

kelima puluh prajurit-prajurit gadungan itu berkelebat 

menyerang Jaka dengan serempak. Tombak-tombak 

yang berada di tangan mereka bergerak laksana hen-

dak menyate tubuh Jaka.

"Waduh.... kenapa aku hendak kalian jadikan 

sate?" seru Jaka seraya melompat menghindar. "Eit, 

meleset. Kau ternyata belum bisa menjadi pesate pro-

fesional. Nih, aku ajari kalau ingin tahu!"

Setelah berkata begitu, segera Jaka merampas 

tombak orang tersebut yang tersentak dan berusaha 

mempertahankan. Namun hentakan tangan Jaka yang 

membetot lebih keras, menjadikan tombak itu seakan

membetot tangan prajurit gadungan yang melenguh 

kesakitan. Belum juga prajurit itu dapat menguasai di-

ri, Jaka dengan segera cocokkan ujung tombak pada 

mata prajurit tersebut. Tak ayal lagi, prajurit itu me-

lengking kesakitan, menjerit-jerit dengan tangan men-

dekap matanya yang melelehkan darah. Mata kanan-

nya hilang, tercocok tombak di tangan Jaka.

"Nah, kalian lihat. Aku akan mengambili satu per-

satu mata kalian, yang akan kujadikan sate nikmat 

sate mata manusia. Ayo, siapa lagi yang dengan suka 

rela mengorbankan matanya sebelah?"

Mendengar seruan Jaka, bukannya mereka takut. 

Bahkan sebaliknya, mereka nampak makin beringas 

menyerang. Melihat hal itu, serta merta Jaka mem-

buang tombak di tangannya dan memapaki serangan 

tersebut.

Melihat Jaka tak bersenjata, makin meledaklah 

keberanian para prajurit gadungan itu. Tak ayal lagi, 

mereka dengan ganas mencerca Jaka dengan tombak 

siap menghunjam tubuh pendekar kita. Namun begitu 

Jaka nampak masih tenang, bahkan dengan ketawa


tawa Jaka melayani mereka.

"Wah, rupanya kalian orang udik, hingga kalian 

tak pernah merasakan nikmatnya Kue Molen. Apakah 

kalian ingin menikmati kue molen? Baik, ini aku be-

ri...!"

Habis berkata begitu Jaka segera kiblatkan tan-

gannya yang mengepal pada musuh. Tangannya berge-

rak cepat, dan...

"Dug, dug, dug, dug...!"

Empat kali berturut-turut terdengar hantaman 

tangan Jaka, dan empat kali pula terdengar pekikan 

orang yang terkena hantaman. Mereka seketika men-

dekap mukanya, sementara dari hidung mereka keluar 

cairan merah. Ya, hidung mereka berdarah, terhantam 

pisang molen Jaka yang keras.

"Hua, ha, ha... Siapa lagi? Nanti kalau kau yang 

menjadi ketua, aku ada sedikit permainan untukmu!"

"Bedebah! Jangan kira aku akan mengalah pada-

mu, Kunyuk!" bentak ketua prajurit gadungan, menja-

dikan Jaka tergelak tawa. 

"Hua, ha, ha... kau rupanya pintar ngomong. 

Mengapa tidak menjadi penjual obat saja?" ledek Jaka.

"Bangsat! Aku cincang tubuhmu! Serang...!"

Kembali sisa-sisa mereka berkelebat menyerang 

Jaka, yang dengan segera berkelit dari tusukan tom-

bak. Kaki dan tangan Jaka berkelebat cepat, menen-

dang dan menghantamkan pisang molen pada musuh-

musuhnya. Tak ayal lagi, musuh-musuhnya satu per-

satu menjerit dibuat tersungkur mencium tanah. Ting-

gallah ketuanya yang nampak gemetaran, namun Jaka 

yang telah gedeg tak mau ambil perduli. Karena mere-

kalah langkahnya untuk mengejar Datuk Tuyul Setan 

terhenti.

"Nah, karena tinggal dirimu, maka aku akan 

memberikan sebuah permainan!"


Habis berkata begitu, Jaka segera totok urat tu-

lang pimpinan prajurit gadungan yang seketika itu 

ngeduprak duduk tak dapat bergerak. Habis melaku-

kan itu Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan 

pimpinan prajurit itu yang tak mengerti. Tak lama ke-

mudian, Jaka telah kembali dengan tangan membawa 

beberapa lembar daun yang banyak ulatnya.

"Nah, inilah permainanku bagi orang yang suka 

menipu! Ulat-ulat daun inilah yang akan menggigit tu-

buhmu sedikit demi sedikit!"

Terbelalak mata lelaki itu mendengar ucapan Ja-

ka, namun untuk berbuat apa-apa ia tak mampu se-

bab tubuhnya telah ditotok urat tulangnya.

"Jangan...! Ampunilah aku! Jangan kau buat aku 

terkencing-kencing ketakutan...!" pinta lelaki itu den-

gan ketakutan. Namun Jaka hanya tersenyum sembari 

gelengkan kepala. Perlahan Jaka melangkah mendeka-

ti tubuh lelaki itu yang tengah menggejubrak. Satu 

persatu daun itu ditaruhnya di tubuh orang tersebut. 

Tak ayal lagi, lelaki yang tadi membentak berani seke-

tika keluar keringat dinginnya deras membasahi tu-

buh. Dan yang lebih dari itu, seketika dari miliknya ke-

luar cairan yang baunya minta ampun.

"Uh, kenapa kau kayak anak kecil?" sentak Jaka 

merasa bau yang menusuk hidung ke luar dari tubuh 

lelaki itu yang gemetaran. Lelaki itu menangis, tak 

mampu lagi mempertahankan diri dan pingsan.

Melihat lelaki itu pingsan, segera Jaka yang me-

mang ndableg berkelebat pergi meninggalkannya un-

tuk meneruskan tujuannya mencari Datuk Tuyul Se-

tan.

Tengah Jaka berlari hendak meneruskan lang-

kahnya, tiba-tiba ia teringat pada pimpinan prajurit 

tadi. 

"Ah, kenapa aku dungu? Kenapa aku membiarkan


segera kejadian berlalu begitu rupa? Hem, akan aku 

tanyakan pada lelaki itu!"

Segera Jaka balik menuju ke tempat yang tadi. 

Langkah larinya dipercepat, sehingga dalam waktu 

yang relatif singkat Jaka pun telah sampai kembali ke 

tempat itu. Tubuh lelaki itu masih pingsan, sementara 

ulat-ulat daun telah hilang dari tubuhnya. Dengan se-

gera Jaka menempeleng pipi lelaki itu, yang seketika 

tersentak bangun kaget.

"Kau...?" lelaki itu tergagap sadar. 

"Ya, aku. Aku akan mengampunimu. asalkan kau 

mau mengatakan siapa adanya dirimu dan siapa pula 

yang menyuruhmu!"

Lelaki itu sesaat menatap Jaka lekat, lalu dengan 

mendesah panjang lelaki itu pun akhirnya berkata.

"Namaku Jarang Legong. Aku disuruh oleh.... 

Akh...!"

Lelaki yang bernama Jaran Legong seketika me-

mekik, manakala sebuah benda berkelebat ke tubuh-

nya. Benda yang berupa belati berkepala burung gagak 

menancap di punggungnya. Seketika tubuh Jaran Le-

gong membiru, bagaikan terkena racun jahat.

Jaka tersentak kaget melihat hal itu, seketika Ja-

ka berkelebat mencari siapa adanya orang yang telah 

berbuat begitu. Namun ternyata orang yang berbuat 

itu telah berlalu meninggalkan tempat-nya. Segera Ja-

ka memburu mengejar, digunakan ajian Angin Puyuh-

nya hingga Jaka pun berkelebat bagaikan angin.

"Berhenti kau!" seru Jaka manakala dilihatnya se-

seorang berlari di depannya. Orang itu seketika meng-

hentikan langkahnya, berdiri menghadapi Jaka. "Kau-

kah yang telah melemparkan pisau itu?"

Ditanya begitu bukannya orang bertopeng itu 

menjawab, malah orang bertopeng itu seketika men-

dengus dan berkelebat menyerang Jaka. Diserang begi


tu rupa, seketika Jaka Pun mengelakkannya.

"Orang gendeng, kenapa engkau menyerangku?" 

bentak Jaka marah. Namun orang itu bagaikan tak 

mendengar, terus merangsek Jaka dengan jurus-jurus 

yang mematikan. Tersentak Jaka seketika, maka den-

gan segera Jaka pun berusaha mengelakkannya. Tu-

buh kedua orang itu berkelebat cepat, saling serang 

dan elak. Jaka yang geram melihat musuhnya, tanpa 

sungkan-sungkan lagi melayani.

"Buka kedokmu, Ki Sanak!" bentak Jaka.

Orang itu tak menggubrisnya, malah serangannya 

makin menjadi-jadi. Merasa ucapannya tak digubris 

oleh orang berkedok, maka marahlah Jaka. Tubuhnya 

bergerak cepat, tangannya menyambar-nyambar beru-

saha membuka kedok penutup wajah orang itu. Na-

mun sejauh itu Jaka tak dapat melaksanakannya, se-

bab setiap tangan Jaka bergerak hendak mencopot ke-

dok saat itu pula tangan orang itu berkelebat menang-

kisnya atau melompat mundur.

"Hem, kalau begini terus menerus aku pasti terde-

sak!" gumam orang berkedok itu dalam hati. "Kenapa 

guru tak datang-datang?"

"Eh, rupanya kau pintar mengelak, Setan! Kenapa 

kau berbuat begitu? Baiklah, akan aku buka kedokmu 

biar aku dapat melihat siapa adanya dirimu!"

Jaka kembali berkelebat dengan cepat, tangannya 

berusaha membuka kedok musuhnya. Jurus-jurus 

ajaran Ki Barwa yang menggunakan nama burung Ja-

lak terus dipakainya. Dari jurus Jalak Mematuk Cac-

ing, Jalak Mengepak Sayap hingga jurus Jalak Menya-

pu Awan. Namun demikian ternyata semua tak berha-

sil membuka kedok orang tersebut. 

"Bahaya, bahaya kalau begini!" pekik orang berke-

dok dalam hati. Kini ia benar-benar terdesak oleh se-

rangan-serangan yang dilancarkan Jalak ke arahnya.


"Kenapa guru tak juga datang?"

Jaka yang merasa dipermainkan dengan segera 

merubah jurus-jurusnya. Dari jurus-jurus yang diajar-

kan oleh Nyi Rukmini, tubuh Jaka kini bagaikan kupu-

kupu, menari-nari lemah gemulai. Tapi dari tarian itu, 

mendesir-desir angin kencang laksana topan. Sengaja 

Jaka menyalurkan tenaga angin puyuhnya dengan ha-

rapan mampu membuka kedok orang tersebut. Dan 

ternyata memang benar, kedok yang dipakai orang itu 

seketika terbuka. Kedok itu terbang ditiup oleh angin 

puting beliung yang keluar dari kibasan tangan Jaka. 

Seketika Jaka tersentak kaget, manakala melihat siapa 

adanya orang yang telah menggunakan kedok tersebut.

"Warakas! Apa maksudmu dengan semua ini?"

Belum juga Warakas menjawab, tiba-tiba terden-

gar bentakan seseorang yang diikuti oleh gemuruhnya 

puluhan orang lain yang berkelebat menuju ke arah 

Jaka.

"Paman guru, Datuk!" seru Warakas setelah meli-

hat siapa adanya orang yang datang. Orang itu ternya-

ta tak lain Datuk Tuyul Setan dan anak buahnya Tri 

Dadsa Buto Kuntet.

"He, he, he... ternyata umurmu diberi panjang, 

Pendekar? Tapi hari ini umurmu tak akan sampai da-

lam waktu tiga jam," ucap Datuk Tuyul Setan sinis.

"Datuk Iblis! Aku memang mencari dirimu...!"

"Mencari diriku? Hua, ha, ha... rupanya kau tak 

kerasan lagi hidup di dunia. Apakah kau mau minta 

tolong padaku untuk mengirimmu ke akherat, atau ba-

rangkali kau mau menjadi anggotaku?"

"Jangan mimpi aku akan menjadi anggotamu! Aku 

mencarimu untuk meminta Kitab Racun Kecubung 

Ungu milik Kate Matahari!"

Terbelalak mata Datuk Tuyul Setan mendengar 

nama Kate Matahari diucapkan oleh Jaka. Seketika


hatinya bergumam, "Hem, kalau begitu Kate Matahari-

lah yang telah menolongnya. Edan! Kalau memang be-

gitu aku rasa pendekar muda ini pun telah mengetahui 

rahasia kelemahan racun Kecubung Ungu. Hem, tapi 

aku tak akan gentar menghadapinya. Aku telah memi-

liki ilmu yang tinggi, aku telah bersekutu dengan pen-

guasa Bukit Tengkorak!"

"Kenapa kau terdiam, datuk? Apakah kau takut?"

Jaka berkata mengejek, menjadikan Datuk Tuyul Se-

tan seketika menggeram marah. Maka dengan didahu-

lui dengan bentakan, Datuk Tuyul Setan seketika ber-

kelebat menyerang Jaka.

"Kau harus mampus, Anak Edan!"

"Eit... kenapa kesusu, Datuk?"

Dengan segera Jaka berkelit dari hantaman sang 

Datuk. Merasa musuhnya dapat menghindar, serta 

merta Datuk Tuyul Setan menambah serangannya. 

Pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Keduanya 

sama-sama tinggi ilmunya, sehingga pertarungan ke-

duanya bagaikan pertarungan dua bayangan saja. Ya, 

mereka kini menghilang dalam gulungan warna pa-

kaian yang dikenakan. Sinar perak yang keluar dari 

pakaian Jaka mengkilap-kilap diterpa matahari, se-

mentara sinar hitam yang keluar dari jubah datuk 

memberikan suatu gambaran keseraman.

"Bangsat! Rupanya aku harus berbuat lebih ba-

nyak. Terimalah kematianmu, Anak Muda!"

Datuk Tuyul Setan tiba-tiba melancarkan ajian 

yang berupa sinar merah membara. Jaka tersentak ka-

get, ia segera melompat mundur untuk mengelakkan-

nya. Namun sinar itu bergerak cepat, sehingga Jaka 

tak sempat lagi menghindarinya. Maka dengan segera 

Jaka pun menghantamkan pukulan yang dilandasi 

ajian Getih Sakti.

"Getih Sakti, hiaat...!"


"Crooot...!"

"Wessst...!"

"Duar...!" 

Terpental tubuh keduanya ke belakang, menjadi-

kan tubuh mereka jatuh bergedebugan menimpa ta-

nah. Jaka seketika tersentak, sebab dari pukulan itu 

tangannya tiba-tiba membiru.

Terkekeh Datuk Tuyul Setan melihat hal itu, lalu 

ia pun segera bangkit dari duduknya akibat jatuh. 

"Bagaimana, Pendekar? Apakah kau mengakui 

keunggulanku?"

"Jangan harap, Datuk Iblis! Lebih baik aku mati di 

tanganmu daripada aku harus menjadi budak iblis!" 

menggeretak Jaka marah.

"Baiklah kalau itu yang engkau mau. Bersiaplah 

untuk mati!" menggeretak sang Datuk. "Anak-anak, 

rencang tubuhnya!"

Tak ayal lagi, tuyul-tuyul kate itu pun seketika 

berkelebat memburu ke arah Jaka. Kate-kate itu begi-

tu ganasnya, mulutnya menyeringai memperlihatkan 

gigi-giginya yang runcing. Jaka seketika tersentak dan 

berusaha bangun walau dengan tangan yang sakit.

"Tuyul-tuyul edan! Terimalah ini, hiat...!"

Terbelalak mata kate-kate itu demi melihat apa 

yang terjadi. Tangan Jaka yang tadinya membiru seke-

tika membara bagaikan mengandung bara api yang 

panasnya bukan main. Itulah ajian Tapak Bahana, se-

buah ajian yang sangat dahsyat.

Jaka sudah begitu marah, sehingga ia pun tak 

sungkan-sungkan mengeluarkan ajiannya yang dah-

syat tersebut.

"Ajian Tapak Bahana, hiat...!"

Bareng dengan pekikannya, tubuh Jaka berkele-

bat bagaikan terbang. Tangannya yang membara lak-

sana bara api neraka, berkelebat mengiblat ke arah


musuh-musuhnya. Tanpa ampun lagi, seketika tubuh 

musuh-musuhnya yang terkena hangus lalu hancur 

menjadi debu beterbangan disapu angin pukulan Jaka. 

Bergidik musuh-musuhnya yang masih hidup. Namun 

belum sempat mereka berpikir, terdengar kembali se-

ruan sang datuk.

"Serang lagi, jangan kalian mengalah!"

Dengan hati setengah takut, mereka pun kembali 

menyerang Jaka. Jaka yang rupanya sudah marah, tak 

mau lagi meladeni mereka dengan main-main. Maka 

tangannya yang telah disaluri Ajian Tapak Bahana te-

rus berkeliaran mencari mangsa.

Jerit kematian susul menyusul, dibarengi dengan 

sirnanya tubuh-tubuh kate itu satu persatu menjadi 

debu. Melihat hal itu, Warakas seketika terbeliak. Ia 

baru tahu siapa adanya pendekar muda itu. Maka 

tanpa sepengetahuan Datuk Tuyul Setan, Warakas se-

gera berkelebat pergi meninggalkan tempat pertempu-

ran itu.

Jaka yang memang sudah dilanda amarah, tanpa 

sungkan-sungkan lagi terus menghantamkan ajian Ta-

pak Bahana. Dan tak ayal lagi, tubuh-tubuh mereka 

yang mengeroyok seketika lenyap menjadi abu.

Tengah Warakas berlari menghindari perkelahian 

Jaka yang dikeroyok oleh anak buah Datuk Tuyul Se-

tan, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara gelak ta-

wa seorang wanita.

"Siapa kau?" bentak Warakas, matanya tajam 

memandang pada seorang wanita yang berdiri di hada-

pannya secara tiba-tiba dengan cadar hitam menutupi 

mukanya.

"Warakas, mengapa kau seperti ketakutan. Akulah 

Sulastri yang dulu engkau kecewakan! Aku rohnya da-

tang untuk menuntut balas!"

"Bedebah! Aku tak percaya!" geretak Warakas ma


rah. "Kalau kau benar-benar Sulastri jelas kau kini be-

rada di neraka bersama setan!"

"Hua, ha, ha.... Memang aku kini bersama setan. 

Tapi kau pun tak ubahnya iblis laknat. Kau ternyata 

bukan orang baik-baik, tapi kau adalah iblis buaya 

yang suka mengganggu gadis. Untuk itulah, aku akan 

mengirimmu ke akherat sana, hiat...!"

"Jangan mimpi, Sundel Bolong! Hiat...!"

Warakas yang sudah menyadari siapa adanya wa-

nita itu, seketika memapaki serangan Sulastri yang 

berkelebat laksana burung seriti. Jurus demi jurus te-

rus berlalu, sepertinya mereka ingin segera menjatuh-

kan satu sama lainnya. Namun ternyata keduanya sa-

ma-sama tangguh, sama-sama berilmu cukup tinggi

"Kau harus mati bersamaku, Warakas keparat!"

"Huh, tak sudi. Menyingkirlah kau di akherat sa-

na!"

Kedua orang bekas kekasih itu seketika berkelebat 

saling serang dengan jurus-jurus intinya. Tanpa ayal 

lagi, seketika terdengar ledakan dahsyat membahana 

manakala tangan keduanya beradu.

"Duar...!"

Terpental tubuh Warakas ke belakang, dari bibir-

nya muncrat cairan darah. Sementara Sulastri, tampak 

mengalami hal yang hampir serupa. Namun nampak-

nya masih dapat tertolong. Tengah kedua muda mudi 

itu dalam keadaan yang mengkhawatirkan, seketika 

berkelebat tubuh-tubuh tua menuju ke situ.

"Warakas, muridku...! Kau...!" Datuk Lingo Ketek 

seketika menangis, manakala melihat muridnya telah 

mati. Sesaat Datuk Lingo Ketek memandang ke arah 

orang yang telah mengadu ilmu dengan muridnya, 

tampaklah siapa adanya orang tersebut. Orang yang 

telah mengadu ilmu dengan Warakas, tak lain murid 

dari bekas kekasihnya Eyang Silir Kuning yang kini


nampak membantu membangunkan tubuh muridnya.

"Kenapa kau mengadu muridku dengan muridmu, 

Nini?" tanya Lingo Ketek setelah tahu siapa adanya 

mereka.

"Hi, hi, hi... aku.... Siapa yang mengadu?" balik 

bertanya Eyang Silir Kuning. "Ketahuilah olehmu. Lin-

go, gadis muridku ini pun telah sakit hati pada mu-

ridmu yang tak bertanggung jawab atas perbuatannya. 

Gadis ini aku temukan dalam keadaan mengandung 

yang akhirnya keguguran akibat ulah muridmu. Dasar 

laki-laki tak bertanggung jawab!"

"Nenek peot! Kalau saja aku tak mencintaimu, su-

dah aku remas mulutmu yang usil!"

"Kakek jelek bulukan. Kalau aku juga tak menyin-

taimu, sudah aku betot milikmu, agar tidak lagi men-

jadi laki-laki, hi, hi, hi...! Bagaimana? Apakah kita 

akan saling mengadu ilmu seperti murid-murid kita 

yang bernasib sama?"

"Baik, aku akan mengadu ilmu denganmu. Tapi 

nanti, nanti bila pertemuan antar Datuk!"

Habis berkata begitu Datuk Lingo Ketek segera 

berkelebat seraya membopong tubuh Warakas pergi 

meninggalkan Eyang Silir Kuning yang masih terse-

nyum-senyum sembari memapah muridnya berjalan.

"Diakah yang bernama Datuk Lingo Ketek, Guru?"

"Benar, Muridku. Nanti kau boleh ikut menyaksi-

kan bagaimana aku akan mencabut miliknya. Tapi... 

tapi aku sayang padanya...." Eyang Silir Kuning seketi-

ka menangis, manakala ia teringat bahwa cintanya 

yang suci telah terkait hanya pada Datuk Lingo Ketek.

"Sudahlah, Guru...."

Dengan saling beriringan kedua murid dan guru 

itu pun melangkah pergi, keduanya entah hendak ke 

mana terus berjalan menuju ke arah Barat.

***

DELAPAN



Melihat anak buahnya hancur menjadi debu di-

hantam oleh Ajian Tapak Bahana yang dilontarkan Ja-

ka, marahlah Datuk Tuyul Setan. Seketika itu ia me-

lengking, menjerit sembari menyerang.

"Kau harus membayar kesemuanya ini, Anak 

Edan!"

"Eit, rupanya kau pun beringas juga, Datuk!"

"Jangan banyak bacot! Ayo kita tentukan siapa di 

antara kita yang harus menjadi penghuni akherat sa-

na!"

"Waow, nada bicaramu bagaikan malaikat. Baik, 

aku layani apa yang menjadi maumu."

Kedua orang yang bertentangan haluan itu akhir-

nya terlibat dalam perkelahian. Jurus demi jurus ber-

lalu dengan cepat, sepertinya kedua orang itu ingin se-

cepatnya menyudahi pertarungan. Namun keduanya 

nampak sama-sama tangguh, sama-sama tinggi il-

munya.

"Terimalah jurus Bekutakku, hiat...!"

"Hua, ha, ha... Jurus macam orang teler kau gu-

nakan, mana mungkin mampu berbuat?" ledek Jaka, 

menjadikan Datuk Tuyul Setan menggeretak marah.

"Bedebah! Jangan sombong kau, Anak muda!"

Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu kembali 

berkelebat saling serang dan elak. Karena keduanya 

saking serunya bertarung, sampai-sampai keduanya 

tak menghiraukan bahwa dua pasang mata sedari tadi 

mengawasinya. Dua orang itu tak lain daripada murid 

dan guru yaitu Eyang Silir Kuning dan Sulastri.

"Guru, orang itu adalah Pendekar Jaka Ndableg si 

Pendekar Pedang Siluman Darah!" tutur Sulastri mem


beritahukan pada gurunya yang seketika itu terbelalak 

kaget seraya bergumam.

"Pendekar Pedang Siluman Darah...?"

"Ya, dialah orangnya. Masih muda dan tampan, ya 

guru?"

Sang guru hanya mengangguk sembari tersenyum 

mendengar pengakuan muridnya yang dirasa polos. 

Matanya tak henti-henti mengawasi gerakan-gerakan 

si pemuda yang baru ia tahu adalah Pendekar Pedang 

Siluman Darah yang telah tersohor namanya.

"Ah, siapa yang seorang lagi...?" tanya Sulastri pa-

da gurunya yang seketika tersentak dari perhatiannya.

"Seorang lagi adalah Datuk Tuyul Setan atau Da-

tuk Bermuka-muka," jawab gurunya menerangkan, 

menjadikan Sulastri seketika mengerutkan keningnya 

tak mengerti maksud gurunya.

"Mengapa diberi nama Datuk Bermuka-muka?"

Sang guru masih mengawasi jalannya pertarungan 

kedua orang yang berilmu cukup tinggi itu, lalu den-

gan tanpa memalingkan muka pada muridnya ia men-

jawab.

"Datuk Bermuka-muka adalah nama lain dari Da-

tuk Tuyul Setan. Karena saking bisanya ia mengubah 

muka, jadilah ia diberi gelar oleh kaum datuk dengan 

sebutan tersebut. Kadang kala mukanya bisa membu-

suk bila tengah marah. Kadang kala mukanya mirip 

dengan muka hantu yang menakutkan!"

"Apakah tidak mungkin kalau ia juga mengaku-

aku Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri menerka-

nerka.

"Ya...." jawab sang guru, yang menjadikan muka 

Sulastri seketika berubah merah membara. Tiba-tiba 

terdengar Sulastri memekik berseru.

"Jaka... dia adalah Iblis Muka Busuk. Dialah yang 

telah memperkosaku!"


Tersentak Datuk Tuyul Setan dan Jaka Ndableg 

yang tengah bertarung. Seketika mereka menghentikan 

pertarungan. Tubuh Sulastri berkelebat dengan cepat, 

lalu tanpa diduga oleh Datuk Tuyul Setan, Sulastri te-

lah menyerangnya.

Diserang begitu rupa, sang Datuk dengan mengge-

ram menghantamkan ajian Racun Kecubung Ungunya.

"Awas Lastri...!" Jaka memekik memperingatkan. 

Namun ternyata, Lastri yang tak menyadari seketika 

terus memburu hingga....

"Aaahhh...!" jerit Sulastri, tubuhnya terhantam 

oleh ajian Kecubung Ungu. Dalam sekejap saja tubuh 

Sulastri telah berubah membiru terserang racun yang 

ganas.

"Lastri...!" jerit Eyang Silir Kuning memburu tu-

buh sang murid yang terpental dengan keadaan tak 

bernyawa lagi. "Kau harus mati Datuk! Kau harus mati 

di tanganku! Hiat...!"

"Nyi Silir Kuning, mengapa kau memusuhi aku?" 

tanya Datuk Tuyul Setan sembari mengelakkan seran-

gan Nyi Silir Kuning.

"Jangan banyak omong, kau telah membunuh 

muridku satu-satunya, maka kau pun harus mati di 

tanganku. Hiat....!"

Tanpa sungkan-sungkan lagi Nyi Silir Kuning se-

gera menyerang Datuk Tuyul Setan dengan segala 

ajian yang dimilikinya. Namun Datuk Tuyul setan ter-

nyata bukan musuh yang enteng.

Melihat Eyang Silir Kuning menyerang, serta mer-

ta Datuk Tuyul Setan membentak. "Minggir...!"

Tersentak Eyang Silir Kuning manakala dirasakan 

tubuhnya seperti ada yang mendorong ke belakang. 

Eyang Silir Kuning segera mengerahkan tenaga dalam 

menghindar. Namun belum juga ia tersadar, tiba-tiba 

Datuk Tuyul Setan telah menghantamkan ajiannya


Racun Kecubung Ungu. Hampir saja ajian itu meng-

hantam tubuh Eyang Silir Kuning ketika secara tiba-

tiba sebuah petir yang dahsyat menghalanginya.

"Bletar...!"

Petir yang dilancarkan oleh Jaka dengan ajiannya 

Sewu Petir, dapat menghalangi niat Datuk Tuyul Se-

tan. Sang Datuk tarik kembali serangannya dan kini 

beralih memandang pada Jaka dengan sorot mata ma-

rah. Perlahan-lahan, wajahnya seketika berubah mem-

busuk yang mengeluarkan hawa busuk yang teramat 

sangat menyekat.

"Iblis Muka Busuk...!"

Kedua orang itu seketika melompat mundur ma-

nakala tahu siapa yang kini tengah dihadapi.

"Hem, sungguh bahaya kalau aku mendekatinya. 

Aku harus mengadakan perlawanan dari jarak jauh!" 

gumam Jaka.

"Pendekar, jangan biarkan mahluk itu mendahului 

kita!"

"Tenanglah, Nini... Ajian Petir Sewu! Hiat...!"

Jaka segera melancarkan ajian Petir Sewu kemba-

li, menghantam tubuh mahluk bermuka busuk yang 

menyebarkan hawa beracun. Namun Jaka seketika 

tersentak, manakala melihat apa yang terjadi. Ketika 

suara ledakan hilang, ternyata mahluk itu masih ber-

diri dengan kokoh. Gigi-giginya menyeringai, keluar 

dari mulutnya yang rusak morat marit. Dari koreng-

koreng itu, menetes cairan yang menyebarkan bau bu-

suk.

Perlahan mahluk itu berjalan menghampiri mere-

ka, menjadikan Jaka dan Eyang Silir Kuning seketika 

tersentak kaget. Dan manakala mahluk itu menyerang, 

secepat itu pula kedua orang yang diserang melempar-

kan tubuh ke samping men-jauh.

"Kalian harus mati... Kalian harus mati! Hua, ha,


ha,..!"

"Eyang Silir Kuning, menyingkirlah! Biarkan aku 

yang akan menghadapi mahluk iblis ini!"

Tanpa banyak membantah, Eyang Silir Kuning se-

gera berlari menepi. Kini tinggallah Jaka sendiri meng-

hadapi mahluk Iblis yang perlahan-lahan melangkah 

mendekatinya.

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!" Iblis 

Muka Busuk seketika melompat mundur, padahal ja-

rak antara dia dengan Jaka tinggal beberapa jengkal 

lagi, manakala Pedang Siluman Darah tiba-tiba telah 

tergenggam di tangan Jaka. Melihat sinar pedang yang 

menyala terang kuning kemerah-merahan, seketika 

mata Iblis Muka Busuk membeliak kesilauan. "Hiat...!"

Segera Jaka berkelebat cepat dengan Pedang Si-

luman Darah di tangannya. Dengan cepat sambil me-

nahan napas, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke 

tubuh Iblis Muka Busuk. Seketika menjeritlah Iblis 

Muka Busuk untuk sesaat sebelum akhirnya ambruk 

dengan tubuh terpotong menjadi dua.

Melihat musuhnya telah mati, secepat kilat Jaka 

lompat ke belakang. Dan.... 

"Hoak... hoak...!"

Saking lamanya menahan bau busuk yang me-

nyengat, Jaka muntah-muntah. Melihat hal itu Eyang 

Silir Kuning dengan segera membantunya.

"Tak usah, Eyang. Aku tak apa-apa," ucap Jaka 

sembari kembali berdiri. "Nah, Eyang aku mohon pa-

mit!"

Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Jaka telah 

berkelebat pergi dan lenyap dengan cepat. Eyang Silir 

Kuning hanya terbengong, tanpa mampu harus ber-

buat apa. "Sungguh luar biasa pendekar muda itu. 

Pantas kalau namanya begitu disegani dan ditakuti!" 

gumamnya. Eyang Silir Kuning pun segera berkelebat


dengan membawa tubuh muridnya pergi...

Nah, apakah yang akan terjadi dengan Eyang Silir 

Kuning? Lalu bagaimana pula tindakannya dengan be-

kas kekasihnya Lingo Ketek? Lalu apakah yang terjadi 

pada Kerajaan Panjang Sulara? Nah, bila ingin tahu 

segalanya silahkan ikuti ki-sah berikutnya dengan ju-

dul: "Pertarungan Dua Datuk!"



                              TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar