..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE MUNCULNYA KERA SILUMAN

Munculnya Kera Siluman


MUNCULNYA KERA SILUMAN

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Munculnya Kera Siluman

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Taka Moro yang telah dikalahkan oleh Jaka 

Ndableg terus berlari meninggalkan tempat di 

mana Jaka Ndableg dan Ki Aswatama menetap. 

Taka Moro terus berlari, tujuannya hanya menca-

ri dan menemui Takasita yang masih berada di 

tanah Jawa. Ingin mengutarakan kegagalannya 

pada kakaknya Takasima, jelas ia tidak berani, 

sebab dengan begitu kakaknya akan menyuruh-

nya Harakiri atau dihukum pancung.

Taka Moro tanpa berpaling-paling terus berla-

ri, dan berlari. Dia baru berhenti di sebuah tem-

pat, di mana hutan belukar masih perawan. Seje-

nak ia menengok ke sekeliling, lalu setelah dirasa 

aman dengan sigap Taka Moro menghilang dalam 

rerimbunan pepohonan.

"Berhenti...!" terdengar seorang memerintah.

Taka Moro segera hentikan langkah, lalu den-

gan kilat ia lemparkan senjata rahasianya yang 

berupa bintang. Orang tersebut kebaskan pedang, 

menangkis senjata rahasia yang dilemparkan Ta-

ka Moro. 

"Traannggg...!"

"Setan! Berani engkau menyerang!" kembali 

orang tersebut membentak, lalu dengan kilat 

membabatkan pedangnya menyerang Taka Moro. 

"Kurencah tubuhmu, Bangsat!"

Taka Moro tak berkata, segera egoskan tubuh 

mengelakkan tebasan pedang di tangan orang 

bercadar hitam tersebut. Merasa musuhnya


mampu mengelak, segera orang bercadar hitam 

kembali pertajam serangan. Pedangnya membabat 

dengan cepat dan beringas, seakan tak ingin 

memberikan kesempatan sekali pun bagi Taka 

Moro untuk membalas menyerang.

"Wuuuttt...!"

Pedang orang tersebut membabat ke arah leh-

er Taka Moro. Taka Moro segera lemparkan tubuh 

ke arah tujuan pedang orang bercadar, miringkan 

tubuhnya, lalu dengan cepat lempar-kan tendan-

gan ke arah musuh.

"Wuuuut...!"

"Wesssttt...!"

"Dug!"

Kaki Taka Moro telak menghantam iga orang 

yang menyerangnya, yang seketika itu terpelant-

ing ke belakang. Namun orang tersebut kembali 

bangkit, dan dengan beringas kembali menyerang 

dengan membabi buta.

"Bajero! Kenapa engkau menyerangku, hah!" 

Taka Moro menggeretak penuh marah. Segera dia 

cabut samurainya, lalu dengan kebat dia balik 

menyerang.

"Wuuutt...!"

Samurai di tangan Taka Moro bergerak cepat, 

hampir saja mengenai sasaran kalau musuhnya 

tidak segera lompat mundur mengelak. Melihat 

musuhnya melompat, Taka Moro tampak tak mau 

menghentikan serangannya. Kembali dengan sa-

murai siap menebas, Taka Moro melompat me-

nyerang.

"Wuuut! Wuuuttt...!"


Samurai di tangan Taka Moro makin berkele-

bat dengan cepatnya. Kini samurai tersebut ba-

gaikan hilang dari pandangannya, berubah men-

jadi bayang-bayang warna mengkilap. Musuhnya 

terus berusaha mengelak, dengan sesekali me-

nangkiskan samurainya yang berada di tangan.

"Wuuuuuut!" 

"Wuuuutttt!"

"Traaanggg!"

Dua pedang saling beradu, menempel dengan 

tangan-tangan yang memegangnya bergetar. Mata 

kedua orang dalam topeng ninja itu saling melo-

tot, memandang penuh waspada. Keduanya ter-

diam, saling paku pandangan, lalu dengan kem-

bali berteriak keduanya melompat ke belakang.

"Hiiiiiaaaaa...!" 

"Hiiiiiaaaaa...!"

Dua tubuh tertutup kain hitam dan merah itu 

saling melompat ke belakang, lalu kembali ber-

siap dengan samurai di tangan untuk kembali 

menyerang. Samurai di tangan keduanya berge-

rak cepat, seperti menggambarkan gerakan-

gerakan yang sukar untuk diikuti.

"Hiiiiiaaaaa...!" Taka Moro memekik, tubuhnya 

berkelebat cepat melesat dengan samurai meng-

kiblat ke arah musuh. Begitu juga dengan mu-

suhnya, kini nampak bergerak cepat dengan sa-

murai mengkiblat ke arah Taka Moro.

Tubuh keduanya melompat, bersalto di udara, 

lalu dengan penuh kewaspadaan keduanya me-

luncur ke arah lawan. Samurai di tangan mereka 

benar-benar sebuah nyawa bagi mereka. Samurai



tersebut kini bergerak cepat, mengibas ke arah 

tubuh musuh yang melejit.

"Trang...!"

Kembali dua samurai itu saling bertemu, me-

nempel dengan mengeluarkan bunga api. Kedua-

nya segera menarik senjata masing-masing, lalu 

dengan memekik lagi keduanya kembali menye-

rang menebaskan samurainya

Pertarungan dua ninja itu terus berjalan den-

gan sama-sama tak ada yang mau mengalah atau 

menang. Samurai di tangan mereka tak ubahnya 

sebagai penentu bagi hidup mereka. Di mana sa-

murai itu akan menjadikan bumerang bagi diri 

mereka sendiri bila lengah, atau kurang mahir da-

lam menjalankannya.

Pertarungan itu terus berjalan, dan makin 

nampak seru saja. Taka Moro yang memang telah 

letih dengan perjalanan dan juga lelah oleh perta-

rungan dengan Jaka Ndableg, kini nampak terde-

sak. Samurai di tangan musuh nampak terus 

mencerca dirinya, menjadikan Taka Moro terde-

sak dan hanya mampu mundur.

"Wuuut...!"

Samurai musuh membabat ke arahnya, ber-

maksud membelah.

Taka Moro terkesiap, lalu dengan segera dia 

rundukkan tubuh ke bawah hingga samurai mu-

suh ada di atasnya. Tangannya segera pancang-

kan samurai ke atas, menangkis.

"Traang...!"

Dua samurai itu kembali beradu, menempel 

dengan kerasnya. Asap mengepul, keluar dari dua


batang samurai yang menempel tersebut. Mata 

kedua orang yang saling tatap itu, membeliak ma-

rah membara. Sepertinya dua orang ninja terse-

but tidaklah saling kenal satu dengan yang lain-

nya. Mulut mereka bisu, tanpa kata-kata ungka-

pan.

"Kenapa kau bermaksud membunuhku?" 

tanya Taka Moro.

"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ninja 

Hitam.

"Tugas...? Siapa yang menyuruhmu?" 

"Itu rahasiaku!"

"Bedebah! Jangan harap kau mampu!"

"Akan aku buktikan! Hiaaaaaatttt...!"

Ninja Hitam tarik samurai, lalu dengan cepat 

kibaskan samurai tersebut membabat tubuh Taka 

Moro. Kalau Taka Moro tidak cepat mengelak, 

maka tak ayal lagi tubuhnya akan putung menja-

di dua seperti pohon di belakangnya yang ambruk 

terbabat oleh samurai musuh. Mata Taka Moro 

membelalak, melihat apa yang terjadi pada pohon 

yang terbabat putus tersebut. Pohon itu seketika 

layu, lalu kering, dan akhirnya hangus terbakar 

oleh racun yang berada di samurai.

"Racun Fuji Hitam!" Taka Moro memekik. "Be-

debah! Rupanya kau memang Ninja Hitam yang 

berkelakuan hitam!"

"Jangan banyak omong, Taka Moro!"

"Kau telah mengenalku. Aku yakin, kau utu-

san seseorang untuk membunuhku!"

"Ya! Memang begitu adanya!"

"Katakan siapa yang mengutusmu, Bangsat!"


"Ini yang mengutusku!"

"Wuuut...!"

Tersentak Taka Moro diserang begitu tiba-tiba. 

Namun sebagai seorang ninja, ia telah digembleng 

dengan keberanian dan ilmu silat yang tidak ren-

dah. Juga rasa patriot sebagai seorang ninja un-

tuk lebih baik mati daripada mengalah pada la-

wan. Maka biarpun dicerca begitu rupa Taka Mo-

ro tidak mau menyerahkan nyawanya begitu saja, 

ia terus berusaha membalas menyerang. Namun 

rupanya keberuntungan dan tenaga yang dimiliki 

oleh Taka Moro benar-benar susut, sehingga bu-

kannya Taka Moro mampu mengimbangi, bahkan 

makin lama makin terdesak hebat. Hampir saja 

samurai lawan mengakhiri segalanya, manakala 

berkelebat sebuah bayangan menyentakkan sang 

musuh.

"Wuuutttt...!"

Samurai musuh menderu, dan hampir mem-

babat tubuh Taka Moro ketika bayangan coklat 

keabu-abuan dengan entengnya melesat, meng-

hantam samurai tersebut.

"Nguuuk!"

"Dessstttt...!"

"Aaah...!" Ninja Hitam memekik, tarik kembali 

samurainya ke belakang. Tangannya gemetaran, 

seakan hantaman bayangan yang ternyata seekor 

kera menangkis samurainya. Ninja Hitam menyu-

rut mundur, matanya membelalak.

"Ngguuukkk...!" kera itu kembali mengelua-

rkan suara, berdiri di sisi Taka Moro. "Nguuuk! 

Nggguuuk!"


"Terima kasih, Kera Baik," Taka Moro bergu-

mam, seraya memandang dengan hormat pada 

sang kera yang bagaikan acuh terus memandang 

ke arah Ninja Hitam.

"Bedebah! Rupanya binatang celaka ini ingin 

mampus!"

"Nguuuk!" Si kera cibirkan monyongnya.

"Bangsat! Ngeledek!" Ninja Hitam memaki ma-

rah. "Aku jadikan dirimu perkedel, Monyet!"

"Wuuuuttt...!" 

Samurai Ninja Hitam kembali berkelebat, kali 

ini mengarah pada kera yang dianggapnya telah 

ikut campur dalam masalahnya. Kera itu tampak 

tenang menyambuti serangan Ninja Hitam. Dan 

bagaikan menari-nari saja sang kera lompatkan 

tubuh ke atas pepohonan.

"Nguuuk!" kera tersebut garuk-garuk tubuh, 

lalu dengan gesit kembali melompat mengelak 

manakala samurai lawan membabat ke arahnya. 

"Ngaaiiik...!"

"Wuuuut...!"

Ninja Hitam tak perduli dengan suara kera 

yang nampak telah marah. Ninja Hitam terus be-

rusaha merangsek sang kera dengan babatan-

babatan mautnya. Tapi bagaikan seorang manu-

sia saja, kera tersebut dengan enteng mengelak 

berayun dari satu pohon ke pohon lainnya dengan 

terus mengguguk menyeramkan.

Kera itu benar-benar mengejek segala seran-

gan yang dilancarkan oleh Ninja Hitam ke arah-

nya. Mulutnya terus menyeringai, dengan menun-

jukkan gigi-giginya yang tajam dan runcing ke


arah Ninja Hitam. Gusar dan marah Ninja Hitam 

merasa dipermainkan oleh seekor kera. Dengan 

kemarahan yang meluap Ninja Hitam membabi 

buta menyerang.

"Bagero! Kera Iblis! Hiaaaaaatttt...!"

"Wuuuttt...!"

"Nguuukk...!"

Kera Siluman terkekeh, lompatkan tubuh ma-

kin ke atas pohon mengelakkan serangan Ninja 

Hitam. Tubuh Kera Siluman terus makin naik ke 

atas, menjadikan Ninja Hitam yang sudah terpe-

rangkap amarah dengan segera turut mengejar 

naik. Dengan tangannya yang kokoh dan kuat 

serta masih memegang samurai, Ninja Hitam 

memanjat pohon tersebut mengejar.

"Ngguuuk! Ngguuukkk!" Kera Siluman makin 

mengejek, menjadikan Ninja Hitam makin ber-

tambah marah saja. Dengan cepat Ninja Hitam 

memanjat pohon jati tersebut. Namun sungguh ia 

tidak menyadari akan bahaya yang sebenarnya 

tengah mengancam dirinya. Dan manakala di-

rinya hampir sampai pada Kera Siluman, tiba-tiba 

kera tersebut mengerang dan dengan cepat tanpa

dapat dielakkan menyerangnya.

"Ngggguuukkk! Ngaaaiiiikkkk...!"

"Wessssttt...!"

"Aaaahhhhhhhh...!" memekik seketika Ninja 

Hitam yang tidak mampu lagi menyelamatkan di-

rinya dari serangan Kera Siluman. Samurainya 

lepas, sementara Kera Siluman kini telah men-

cengkeram lehernya dengan jari-jari berkuku 

runcing. Sesaat Kera Siluman menyeringai, lalu


dengan ganas dan tanpa mengenal kasihan gigi-

giginya yang tajam menghunjam di leher Ninja Hi-

tam yang masih berusaha mengelakkannya.

Pergumulan dua mahluk itu terus terjadi, sal-

ing berusaha memenangkan pertarungan hidup 

dan mati. Tetapi rupanya kepanikan telah melan-

da Ninja Hitam, hingga dengan sendirinya tena-

ganya nampak makin bertambah kuat. Tapi wa-

laupun begitu, Kera Siluman sepertinya tak mau 

mengampuni korban yang telah diincarnya. Kera 

Siluman semakin keras dan kokoh mencengke-

ram leher Ninja Hitam, manakala Ninja Hitam ju-

ga makin keras memberontak untuk melepaskan-

nya.

"Taka Moro, tolonglah aku....'"

"Tidak! Aku tak akan menolongmu!" Taka Mo-

ro berkata mengejek, menjadikan Ninja Hitam 

nampak makin ketakutan saja.

"Taka Moro, tolonglah aku...!"

Kata-kata tersebut adalah yang terakhir bagi 

Ninja Hitam memekik, lalu akhirnya Ninja Hitam 

menjerit menyayat manakala gigi-gigi Kera Silu-

man menghunjam ke lehernya. Sejenak Ninja Hi-

tam kelojotan, meregang nyawa, sebelum akhir-

nya terkulai lemas dengan nyawa melayang.

Taka Moro yang tadi berani memandang ke 

arah dua mahluk itu saling gumul, kini nampak 

palingkan muka membuang pandangannya. Ada 

ketakutan menyelimuti dirinya melihat Kera Si-

luman tersebut dengan tanpa ampun membunuh 

Ninja Hitam.

Darah mengalir dari leher yang berlubang,


terhisap dengan rakusnya oleh Kera Siluman.

"Nguuukkk...!" Kera Siluman hentikan ak-

sinya. Ditatapnya Taka Moro yang ketakutan, lalu 

dengan tenangnya berjalan mendekati Taka Moro. 

Dan belum juga Taka Moro hilang dari keterkeju-

tannya, Kera Siluman telah menarik tangannya 

dan bagaikan terbang menggeret lengan Taka Mo-

ro pergi tinggalkan hutan tersebut. Taka Moro tak 

mampu berbuat apa-apa, kecuali diam dan menu-

rut untuk selalu hidup.


DUA



Kereta kuda itu dipacu dengan kencangnya. 

Kereta kuda tersebut bagaikan menggila larinya. 

Orang yang berada di dalamnya tampak tergun-

cang-guncang terbawa oleh kereta kuda tersebut. 

Entah karena apa, kereta kuda tersebut dijalan-

kan dengan cepat oleh sang kusir.

"Paman Jantrang, ke mana tujuan kita?" seo-

rang pemuda kecil dan tampan bertanya pada 

orang yang berada duduk di sebelahnya, yang 

bernama Jantrang. "Kenapa kita mesti lari dari 

keraton, Paman?"

Jantrang sejenak singkapkan kain penutup 

belakang kereta, lalu dengan suara keras berkata 

pada sang kusir. "Kusir! Apakah kau tidak mam-

pu menjalankan kuda-kuda lebih cepat?!"

"Bukankah ini telah begitu cepat, Tuan?"

"Diam! Jangan banyak omong! Lakukan apa 

yang aku katakan!" Jantrang membentak. "Kau


hanyalah seorang kusir, yang aku bayar untuk 

itu."

"Tapi...."

"Tapi apa? Apakah kau minta digantung hah!"

"Ah, mengapa tuan begitu kasar pada saya?"

"Huh...!" Jantrang tak menjawab, malah kem-

bali dia singkapkan kain penutup kereta.

Siapa sebenarnya Jantrang tersebut? Dan sia-

pa sebenarnya bocah kecil tampan yang berada di 

sebelah duduknya? Lalu mengapa Jantrang den-

gan bocah tersebut lari dari keraton?

Bocah kecil itu bernama Raden Anggangga 

Gerta. Ia adalah putra raja Sutresna dari Kera-

jaan Bumi Jawa. Keberadaannya dengan Jan-

trang dikarenakan ia telah diculik oleh Jantrang. 

Marilah kita tengok kejadian sebelum hal ini ter-

jadi.

* * *

Anggangga Gerta sebagai seorang anak raja 

haruslah mempunyai ilmu kanuragan di samping 

ilmu ketatanegaraan. Untuk memenuhi itu se-

mua, sang raja yaitu Prabu Sutresna mendatang-

kan seorang guru untuk mendidik sang anak. 

Guru itu bernama Jaladri dan Jaladru, sepasang 

pendekar kakak beradik kembar.

Dengan kedatangan Jaladri dan Jaladru, jelas 

keberadaan Jantrang sebagai hulubalang di kera-

jaan Bumi Jawa kini terbongkar kedoknya. Jan-

trang yang telah sepuluh tahun lamanya men-

gabdi pada kerajaan, ternyata tak lain dari antek


anteknya Dewi Cendana Biru pemilik Kera Silu-

man yang sudah tak muncul-muncul lagi di dunia 

persilatan.

Jaladri dan Jaladru yang hendak menjadi 

guru bagi pangeran kecil Anggangga Gerta seketi-

ka tersentak manakala keduanya mengetahui 

bahwa Jantrang menjadi hulubalang di situ.

"Kakang Jaladri, bukankah itu Jantrang?"

Jaladri ditanya oleh adiknya segera palingkan 

muka memandang ke arah yang ditunjuk oleh 

adiknya. Sejenak matanya mengawasi lekat-lekat 

kebenaran pandangannya. Dan ketika bertambah 

yakin Jaladri pun berkata: "Benar! Ternyata ku-

nyuk tersebut ada di sini!"

"Mari kita temui, Kakang."

Kedua kakak beradik kembar tersebut segera 

berjalan menemui Jantrang. Dan tak alang kaget-

nya Jantrang manakala kedua pendekar kembar 

tersebut mendekatinya. Mata Jantrang membe-

liak, lalu dengan berusaha tenang ia bertanya.

"Ada gerangan apa, Tuan-tuan pendekar?"

"Apakah kami tidak salah lihat?" Jaladru ber-

tanya.

"Tentang apa, Tuan?'' Jantrang masih berusa-

ha menutup diri dengan balik menanya. "Apakah 

ada yang dapat saya bantu?" 

"Bukankah kau Jantrang?" 

"Ya! Bukankah kau Jantrang adanya?" tambah 

Jaladri meneruskan pertanyaan adiknya, menja-

dikan Jantrang tersentak kaget. Namun Jantrang 

tak mau membuka diri begitu saja, sebab ia tahu 

siapa adanya dua pendekar kembar tersebut.


Jangankan dirinya sendiri mampu menghadapi, 

dengan Dewi sekalipun mungkin mereka belum

dapat dikalahkan dengan mudah. "Mungkin tuan-

tuan salah lihat." 

"Ah...!" kedua kakak beradik kembar memekik 

tertahan mendengar ucapan Jantrang. "Manalah 

mungkin kami ini akan lupa?" gumam Jaladri.

"Ooh, mungkinkah manusia tak akan pernah 

lupa?" Jantrang balik bertanya, seakan ingin te-

rus mengelabui kedua pendekar kakak beradik 

tersebut. "Ah, sudahlah! Maaf tuan-tuan, kita di 

sini mempunyai tugas dan wewenang sendiri-

sendiri. Nah, bukankah tuan-tuan mempunyai 

tugas untuk mendidik tuan pangeran?"

"Benar!" jawab keduanya serempak.

"Nah, saya permisi."

Kedua kakak beradik kembar tersebut tak da-

pat berkata apa-apa manakala Jantrang berlalu 

meninggalkannya. Keduanya hanya sesaat saling 

pandang, lalu dengan terlebih dahulu mengang-

kat bahu kedua pendekar kembar tersebut berlalu 

pergi meninggalkan tempat tersebut untuk menja-

lankan tugas mereka menjadi guru bagi pangeran.

Terbelalak mata kedua pendekar kembar ma-

nakala mendapatkan diri murid mereka telah le-

nyap entah ke mana. Kedua kakak beradik kem-

bar tersebut segera berusaha mencari keberada-

an pangeran, muridnya.

Seluruh pelosok padepokan dicari, namun diri 

murid mereka tidak juga ditemukan.

"Apakah tidak mungkin kalau Jantrang kepa-

rat itu yang telah berbuat rendah ini, Kakang?"

tanya Jaladru setelah merasa pasti tak akan 

mampu menemukan Pangeran Anggangga Gerta.

"Ya! Aku rasa juga begitu," jawab Jaladri. "Ayo, 

kita segera ke kerajaan untuk mengabarkan hal 

ini."

Dengan hati dongkol dan penuh kemarahan 

pada Jantrang kedua pendekar kembar tersebut 

segera berkelebat pergi menuju ke kerajaan untuk 

menyampaikan berita tersebut pada sang Raja.

* * *

"Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah 

hilang," Jaladri menyampaikan berita, menjadi-

kan Sri Baginda Raja tersentak seraya kerutkan 

kening.

"Hilang...? Hilang bagaimana?"

"Pangeran entah ke mana perginya. Mungkin 

pangeran telah diculik oleh Jantrang," Jaladru 

menambahkan.

"Jantrang?" Sri Baginda Raja memikir, meng-

ingat-ingat nama Jantrang. "Ah, benarkah?"

"Daulat, Sri Baginda. Sebenarnya hulubalang 

Utama Kerajaan bukanlah bernama Jalakatunda. 

Dia adalah Jantrang, sekutu Dewi Cendana Biru 

pemilik Kera Siluman."

Tersentak Sri Baginda dan Rama Patih men-

dengar penuturan Jaladri. Betapa tidak, mereka 

telah benar-benar merasa bodoh tak mau menger-

ti adanya musuh yang menyelinap di kerajaan.

"Apakah tuan-tuan pendekar tidak berdusta?" 

Rama patih bertanya. "Apakah mungkin kami ku


rang selektif?"

Jaladri sunggingkan senyum, lalu katanya: 

"Untuk apakah kami yang telah kalian kenal ha-

rus berdusta? Cobalah cari Jantrang di rumah-

nya. Kalau benar Jantrang ada, mungkin kamilah 

yang kurang becus dalam hal ini."

Sri Baginda Raja dan Rama Patih saling pan-

dang. Keduanya membenarkan apa yang dikata-

kan oleh Jaladri, dan setelah sesaat berbuat begi-

tu Sri Baginda Raja pun berkata: "Rama Patih, 

perintahkan tiga orang prajurit menemui Jan-

trang atau siapapun namanya!"

"Daulat, Baginda!" Rama Patih menyembah, 

lalu dengan segera berlalu meninggalkan keraton 

untuk menyuruh para prajuritnya menemui Jan-

trang.

Langkah Rama Patih nampak tergesa, terbukti 

dalam sekejap saja dia telah menghilang dari 

pandangan masuk ke tikungan jalan yang penuh 

sesak oleh rumah-rumah kediaman para prajurit 

keraton. Dan Rama Patih berhenti manakala telah 

berjalan cukup jauh meninggalkan keraton. Di si-

tu berdiri beberapa rumah prajurit pilihan, yang 

sewaktu-waktu siaga bila diperintah.

"Prajurit...! Kumpulll...!"

Dari beberapa rumah keluar para prajurit de-

mi mendengar seruan Rama Patih.

"Daulat, Patih...!"

"Daulat, Rama Patih...!"

"Kalian berkumpullah!"

Dengan tertib para prajurit tersebut berkum-

pul, membuat barisan berjejer di hadapan Rama


Patih. Dan setelah melihat para prajurit berbaris, 

Rama Patih berjalan memeriksa barisannya.

"Kalian tahu apa yang telah terjadi?"

"Tidak, Rama Patih!" jawab semuanya bareng, 

lalu saling pandang seakan bertanya-tanya antara 

Satu dengan yang lainnya. "Pangeran Anggangga 

hilang."

"Apa...!? Apakah Rama Patih tidak sedang 

menguji kami?"

"Tidak! Dan saya memang sengaja memanggil 

kalian untuk meminta pada tiga orang mencari 

sang Pangeran," Rama Patih menerangkan. "Me-

nurut tuan Pendekar Jaladri dan Jaladru, pencu-

lik Kanjeng Pangeran Alit tak lain hulubalang kita 

yang bernama Jalakatunda.".

"Sate bila memang benar!"

"Penggal kepalanya bila terbukti!"

"Kuliti saja, Rama Patih...!"

Rama Patih tak hiraukan pekikan para praju-

ritnya. Dia lebih memilih tenang, berjalan me-

nunduk dengan pikiran yang diliputi rasa keti-

dak-mengertiannya tentang apa sebenarnya yang 

dicari Jalakantunda menculik Pangeran Anggang-

ga. "Mencari penyakit saja Jalakatunda," rungut 

Rama Patih kesal.

"Aku perintahkan, tiga orang di antara kalian 

siapa yang sanggup mencari dan menangkap Ja-

lakatunda?" Rama Patih bertanya pada para pra-

juritnya.

"Kami...!"

"Hem, bagus! Ternyata kalian adalah para pra-

jurit yang tinggi rasa nasionalismenya. Nah, aku


minta tiga orang saja untuk menjalankan tugas 

ini." Rama Patih terdiam sejenak, mencari-cari 

siapa kiranya yang pantas untuk menjalankan 

semuanya. Matanya memandang satu persatu pa-

ra prajurit yang nampaknya telah siap untuk di-

tunjuk. Setelah lama meneliti para prajuritnya, 

Rama Patih akhirnya berkata memerintahkan pa-

da tiga orang prajurit.

"Soka Lima, Dayatri, Enggarta, kalian aku be-

rikan wewenang untuk menjalankan tugas ini. 

Cari Jalakatunda dan Pangeran Anggangga Gerta. 

Kalian jangan kembali sebelum dapat menemu-

kan keduanya. Dan bila Jalakatunda melawan, 

aku berikan pada kalian untuk menyingkirkan-

nya. Mengerti kalian?"

"Daulat, Rama Patih. Segala titah akan kami 

junjung tinggi," jawab ketiga prajurit pilihan se-

rempak.

"Bagus! Yang lainnya, geledah kediaman Jala-

katunda!"

"Daulat, Rama Patih...!" jawab yang lainnya. 

"Kerjakan!"

Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya 

para prajurit Kerajaan Tanah Jawa itu bergegas 

menyebar untuk menjalankan tugas masing-

masing. Ketiga prajurit pilihan bergerak dengan 

menunggang kuda mencari keberadaan Huluba-

lang Jalakatunda atau Jantrang. Sementara pra-

jurit lainnya bergerak untuk menggeledah kedia-

man Jalakatunda.

* * *


Para prajurit yang menggeledah rumah kedia-

man Jalakatunda dengan segera sampai, dipim-

pin oleh seorang panglima prajurit yang bernama 

Raka Berka. Raka Berka merupakan seorang 

panglima perang yang disegani. Di samping otak-

nya yang pandai mengatur strategi perang, ia juga 

terkenal dengan keberaniannya yang pantang 

menyerah pada musuh dalam keadaan apa pun.

"Jalakatunda, keluar kau...!" Raka Berka ber-

seru, manakala dirinya dan sepuluh orang praju-

rit telah tiba di tempat Jalakatunda berada.

Tak ada jawaban.

Raka Berka kerutkan kening, lalu dengan 

mengibaskan tangan Raka Berka memerintah pa-

da anak buahnya untuk menyerbu ke rumah Ja-

lakatunda. Dan dengan penuh keberanian para 

prajurit Tanah Jawa itu bergerak dengan senjata 

siap di tangan menyerbu ke dalam rumah.

"Menyerahlah, Jalakatunda! Kau telah kami 

kepung!"

Kembali tak ada jawaban.

"Bedebah! Serang...!" dengan geram Raka Ber-

ka berseru memerintah pada kesepuluh anak 

buahnya yang dengan segera berkelebat menye-

rang ke dalam. Semua prajurit itu dengan bareng 

menghancurkan kediaman Jalakatunda. Namun 

sungguh mereka terkesima tatkala melihat bahwa 

rumah tersebut telah kosong, tanpa ada penghu-

ninya.

"Kosong, Panglima!"

"Kosong...?" Raka Berka menggumam sendiri. 

"Ke mana larinya Jalakatunda keparat itu?'!"


Raka Berka yang tidak mau percaya begitu sa-

ja pada kesepuluh prajuritnya dengan segera ber-

kelebat masuk ke dalam rumah tersebut. Dan apa 

yang dikatakan oleh kesepuluh prajuritnya ter-

nyata benar adanya. Rumah tersebut telah ko-

song, dibiarkan dalam keadaan begitu rupa oleh 

pemiliknya. Raka Berka nampak makin sewot dan 

marah menerima kenyataan bahwa Jalakatunda 

benar-benar telah menculik Pangeran Anggangga 

Gerta.

"Iblis! Ini benar-benar penghinaan pada Raja!"

"Benar, Panglima! Kita penggal saja bila kita 

dapatkan!"

"Hem, mari kita kembali ke kerajaan untuk 

melaporkan hal ini pada Rama Patih!"

Segera kesebelas prajurit istana yang ditu-

gaskan menyergap rumah Jalakatunda kembali 

menuju ke istana guna menemui pimpinannya 

yaitu Rama Patih. Kesebelas prajurit tersebut 

tampak kemurungan yang teramat sangat di wa-

jahnya. Semua berjalan dengan diam, tak ada ka-

ta-kata menyelimuti mereka. Tengah mereka ber-

jalan dengan bisu, tiba-tiba terdengar suara orang 

berkata mengejek.

"Orang-Orang istana bodoh!"

"Bangsat! Siapa kau!" Raka Berka balik mem-

bentak. "Kalau kau manusia, tunjukkan muka-

mu, Bangsat...!"

"Hua, ha, ha...! Percuma aku menunjukkan 

mukaku. Aku merasa mukaku lebih berharga da-

ripada muka kalian yang tidak ada artinya sama 

sekali!"


"Bedebah! Jangan kira kami akan membiarkan 

monyet usil sepertimu! Seraaanggg...!"

Dengan sekali berseru, maka kesepuluh praju-

rit-prajurit itu berkelebat menyerang ke tempat di 

mana suara tersebut datang. Namun kesepuluh 

orang prajurit kerajaan itu hanya mendapatkan 

bebatuan kosong belaka. Orang yang tadi mengi-

rimkan suara tak ada di sekitar batu tersebut. 

Malah kini orang tersebut makin ganda tertawa 

dengan penuh ejekan.

"Hua, ha, ha...! Kalian benar-benar orang bo-

doh!"

"Bangsat! Jangan bisanya memaki saja! Ke-

luarlah!" Raka Berka kembali membentak. "Kalau 

kau tak mau keluar, jangan salahkan aku akan 

membuat dirimu hancur, Bajingan!"

"Hua, ha, ha...! Raka Berka, Raka Berka, 

omonganmu terlalu besar, tapi tak ada kenya-

taannya!" ejek suara itu.

"Bedebah!" Raka Berka menggeretak marah, 

matanya memandang liar ke segenap penjuru, 

sementara telinganya dipasang dengan tajam un-

tuk mampu mendeteksi di mana keberadaan mu-

suh. Tangannya telah siap menggenggam senjata 

berupa keris pusaka Karta Ludra, yaitu sebuah 

keris yang diberikan oleh gurunya manakala di-

rinya hendak mengabdi pada kerajaan. "Hai! Pe-

milik suara pengecut! Kalau kau manusia yang 

memang berani, keluarlah dari persembunyian-

mu! Jangan sembunyi seperti itu! Hadapi Raka 

Berka!"

"Raka Berka! Sudah aku katakan, percuma


aku menemui dirimu. Sebab tak ada artinya aku 

menemuimu! Kau tidaklah ada gunanya sama se-

kali bagiku!"

"Bangsat!" Raka Berka nampak gusar, emo-

sinya sudah tidak dapat ditahan lagi. "Serang...!"

Mendengar seruan dari pemimpinnya, maka 

dengan segera kesepuluh prajuritnya berkelebat 

menyerang ke arah suara tersebut. Namun belum 

juga mereka sampai pada tujuan, tiba-tiba mere-

ka memekik. Tubuh mereka berjatuhan laksana 

dihempas oleh angin besar. Tubuh mereka bergul-

ing-guling ke bawah, menuruni bukit di mana su-

ara tersebut berasal.

"Hua, ha, ha...! Apa kataku, Raka! Kalian tak 

akan mampu mengetahui di mana dan siapa aku 

adanya! Kalian minggatlah ke akherat sana!"

"Bangsat!" Raka Berka menggeretakkan gi-

ginya marah. Tangannya yang memegang keris 

pusaka tampak bergetar, seakan keris tersebut 

menghentak-hentak hendak membawa dirinya 

terbang menuju ke arah di mana suara tersebut 

berada. Matanya tak henti memandang pada ke-

sepuluh anak buahnya yang masih mengerang 

kesakitan, lalu kembali memandang pada larikan 

bukit yang terpampang di hadapannya.

Orang yang memiliki suara seakan tidak 

memperdulikan bentakan Raka Berka, malah kini 

ia makin ganda tertawa. Sepertinya orang terse-

but benar-benar hendak mengejek habis-habisan 

pada Raka Berka selaku Panglima Perang yang ti-

dak mampu menjalankan tugasnya. Hal ini tidak 

saja menjadikan Raka Berka gusar, tapi kemara


hannya sudah tak terbendung lagi. Maka dengan 

sekali lompat Raka Berka tebaskan keris pusaka 

ke arah bukit-bukit tersebut.

"Hiaaaattt...!"

"Duaaar...!" Bukit di hadapannya yang terkena 

tusukan keris pusaka tersebut seketika meledak 

dan runtuh dengan batu-batuan berhamburan. 

Sungguh dahsyat tuah keris di tangan Raka Ber-

ka, keris tersebut mampu menghancurkan bukit 

bebatuan yang nampak kokoh. Bersamaan den-

gan runtuhnya bukit tersebut, sebuah bayangan 

berkelebat mengelakkan serangan keris di tangan 

Raka Berka.

"Hebat! Hebat...!" Orang yang melompat ke 

luar dari persembunyian tersebut berkata, lalu 

dengan gerak cepat berkelebat menyerang Raka 

Berka.

"Bedebah! Rupanya kau, Rangaspati! Kau ha-

rus mampus!"

Raka Berka tak mau tinggal diam, dengan se-

gera dia tusukkan keris pusakanya ke arah mu-

suh. Larikan sinar merah yang keluar dari keris

membersit mengarah pada Rangaspati. Segera 

Rangaspati lemparkan tubuh bersalto menghin-

dar, hingga sinar merah yang keluar dari keris 

membersit beberapa senti di samping tubuhnya. 

Mata Rangaspati nampak membeliak, ada rasa 

ngeri memancar di sana. Keris pusaka di tangan 

Raka Berka bukanlah senjata sembarangan. Ke-

mampuan tuah keris tersebut sungguh sudah 

kondang.

Raka Berka tak mau membiarkan musuhnya


diam begitu saja, maka dengan penuh perhitun-

gan kembali Raka Berka tebaskan keris pusa-

kanya ke arah musuh. Rangaspati kini tidak mau 

nyawanya menjadi korban, segera ia kembali lem-

parkan tubuh ke samping dengan tangan ki-

baskan ke arah Raka Berka. Dari kibasan tangan 

Rangaspati keluar larikan sinar putih kebiru-

biruan mendesing ke arah Raka Berka.

"Wuuut...!" Raka Berka kembali tebaskan keris 

pusaka menangkis ribuan jarum-jarum beracun 

yang dilemparkan oleh Rangaspati.

Trang, trang...!"

Jarum-jarum itu runtuh, luluh lantak tersapu 

oleh babatan keris pusaka di tangan Raka Berka. 

Mata Rangaspati kembali membeliak, tak percaya 

pada apa yang dilihatnya.

"Hem, sungguh bukan keris sembarangan," 

gumam hati Rangaspati. "Aku tidak boleh main-

main."

Rangaspati segera silangkan kedua tangannya 

di depan dada, lalu dengan memekik Rangaspati 

berkelebat menyerang ke arah Raka Berka. Dari 

kedua telapak tangan Rangaspati nampak dua la-

rik sinar biru kehitam-hitaman, melesat ke arah 

Raka Berka.

"Mampus kau, Raka! Hiiiaaattt...!"

"Wuuutttstt...!"

"Jangan kira semudah itu, Rangaspati, 

Hiaaattt...!"

Raka Berka kembali berkelebat dengan keris 

pusaka yang siap di tangan kanannya. Sementara 

tangan kirinya dengan segera menyalurkan tena


ga dalam untuk siap memapaki serangan yang di-

lancarkan Rangaspati. Dua larik sinar yang men-

gandung tenaga dalam kini melesat ke udara, la-

lu...

"Duuuaaar...!" ledakan dahsyat menggema, 

manakala dua kekuatan tersebut saling beradu. 

Raka Berka lemparkan tubuh bersalto ke bela-

kang, tertolak oleh dorongan tenaga. Begitu juga 

dengan Rangaspati. Tubuh Rangaspati pun tak 

luput terlempar ke belakang.

Semua prajurit kerajaan anak buah Raka Ber-

ka hanya terlongong tak ada yang dapat berbuat 

apa-apa. Kesepuluh orang prajurit tersebut nam-

pak terpaku, diam menyaksikan pertarungan 

yang baru kali itu mereka saksikan.

Raka Berka kembali memasang kuda-

kudanya, lalu dengan keris pusaka masih ter-

genggam di tangannya Raka Berka memekik dan 

kembali melompat menyerang.

"Hiiiiaaattt...!" Keris di tangan Raka Berka ba-

gaikan haus darah. Keris itu kini makin membara 

merah, sepertinya keris tersebut mengandung 

hawa membunuh, hawa ingin menghisap darah.

Melihat Raka Berka telah bangkit dan menye-

rang, dengan masih menahan rasa sakit di da-

danya Rangaspati segera bangkit dari duduknya. 

Perlahan diaturnya napas agar tenang, lalu dis-

alurkan tenaga dalam ke kedua telapak tangan-

nya.

Kini jurus-jurus kematian telah keduanya ra-

palkan. Dan ajian pamungkas yang keduanya mi-

liki benar-benar telah siap merenggut nyawa sa


lah seorang di antara keduanya. "Hiiiiaaaatttt...!"

"Maattii kau, Rangas... Hiaaattt...!"

"Wuuuut...!"

"Wessssttt...!".

Raka Berka hantamkan ajiannya, begitu juga 

dengan Rangaspati. Rangaspati segera miringkan 

tubuh ke samping, lalu tangannya yang sudah di-

rasuki dengan ajian mengarah ke arah datangnya 

larikan sinar yang keluar dari tangan Raka Berka.

"Duaaar...!"

Dua tubuh itu tergontai-gontai ke belakang. 

Mata keduanya melotot, lalu dengan lemah kedu-

anya ambruk jatuh. Sesaat keduanya terdiam, da-

ri mulut mereka keluar lelehan darah menetes. 

Raka Berka nampak membeliak, lalu dengan 

mengibaskan tangannya memerintahkan pada ke-

sepuluh anak buahnya untuk menyerang. Dan 

hal tersebut sungguh tidak diinginkan oleh Ran-

gaspati yang juga dalam keadaan luka parah aki-

bat bentrokan tenaga dengan Raka Berka.

Namun rupanya kesepuluh prajurit tersebut 

tak mau mengerti. Kesepuluh orang prajurit ter-

sebut dengan beringas yang baru saja sembuh 

dari sakitnya menyerang dengan senjata di tan-

gan mereka masing-masing. "Hiiiaaat...!"

Rangaspati yang tidak mau mati dengan begi-

tu saja dengan masih menahan sakit segera 

bangkit. Dengan kemarahan yang meluap-luap, 

Rangaspati papaki serangan kesepuluh orang pra-

jurit kerajaan tersebut.

"Jangan kira aku mau mengalah begitu saja. 

Langkahi dulu mayatku. Hiaaattt...!"


Dengan tangan kosong Rangaspati segera han-

tamkan tangan memukul serta kaki menendang 

musuh. Pertarungan kembali berjalan. Walau 

dengan tangan kosong Rangaspati nampak dapat 

mengimbangi pengeroyokan tersebut.

"Wuuut...!"

Golok di tangan kesepuluh prajurit-prajurit itu 

berkelebat membabat. Segera Rangaspati miring-

kan tubuh, kaki diayun ke muka membentuk se-

buah tendangan kipas. Itulah jurus Jaran Nye-

pak, sebuah jurus yang mengandalkan kecepatan 

gerak kaki dengan tapak kaki sebagai landasan-

nya. Dalam dunia karate dinamakan Mawasi Giri.

"Plak!"

Kaki Rangaspati mendarat telak di pipi mu-

suhnya, yang seketika itu memekik sambil meme-

gangi pipinya yang memerah karena terkena ten-

dangan. Namun begitu kesembilan prajurit lain-

nya tidak mau mengalah begitu saja. Kesembilan 

orang prajurit yang masih penasaran tersebut 

kembali membabatkan senjata di tangan mereka 

ke arah Rangaspati. Segera Rangaspati lemparkan 

tubuh ke atas mengelakkan serangan, lalu den-

gan menukik Rangaspati hantamkan pukulan ke 

arah musuh.

"Bug, bug, bug...!"

"Aaaahhh...!"

Tiga kali, pukulan telak tangan Rangaspati 

mendarat di muka musuh, dan tiga kali tiga orang 

prajurit yang terkena memekik, lalu berguling-

guling menahan sakit dengan tangan memegangi 

muka. Melihat hal tersebut gusarlah Raka Berka,


ia segera bangkit dan dengan membentak Raka 

Berka kembali berkelebat menyerang Rangaspati.

Serangan Raka Berka kini benar-benar seran-

gan yang mengandung hawa kematian. Tangan 

Raka Berka terus mencerca, sepertinya ia tidak 

menghendaki Rangaspati mampu membalas se-

rangannya. Dan memang benar, Rangaspati yang 

memang terluka nampak tidak mampu memba-

las. Rangaspati kini hanya mengelak dan menge-

lak setiap serangan yang dilancarkan oleh Raka 

Berka tanpa mampu membalas. Gerakan Rangas-

pati kini makin melemah, terdesak dengan hebat-

nya. Sementara Raka Berka yang melihat musuh-

nya dapat terus didesak, nampak makin bertam-

bah nafsu. Tangannya bergerak makin cepat. Dan 

pada sebuah kesempatan, tangan Raka Berka 

dengan telaknya berhasil menyampok muka Ran-

gaspati. Seketika itu Rangaspati memekik, darah 

keluar dari pipinya yang tampak tergores kuku 

Raka Berka.

"Aaaaahhhh...!" Rangaspati terhuyung ke be-

lakang dengan mata melotot. Luka barutan di pi-

pinya terasa perih, sepertinya tangan Raka Berka 

mengandung racun. Matanya kunang-kunang me-

lihat. Mulutnya tampak menggeram, dan dengan 

nekat Rangaspati segera menghadang serangan 

Raka Berka. "Hiiiaaaattt...!"

Tubuh keduanya nampak bagaikan terbang, 

melompat ke udara. Dua tubuh itu kini saling 

berhadapan, lalu dengan cepat keduanya saling 

serang di udara. Tangan keduanya bergerak den-

gan cepat menghantam dan menangkis, begitu ju

ga dengan kaki mereka. Namun nampak Rangas-

pati kini benar-benar lemah karena racun yang 

telah bersarang di darahnya. Dalam sekejap saja 

Raka Berka mampu menjadikan Rangaspati seba-

gai bulan-bulanan, sehingga tak ayal lagi Rangas-

pati kini dalam sekejap saja telah menjadi tum-

puan tangan maut Raka Berka. Sampai akhirnya, 

sebuah tendangan telak menghantam ulu ha-

tinya. Melengking Rangaspati seketika, tubuhnya 

terlonjak jauh ke belakang. Tubuh itu sejenak 

mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.

Raka Berka sejenak tercenung diam, meman-

dang pada tubuh Rangaspati yang sudah tanpa 

nyawa. Namun seketika ia merasa dirinya bodoh, 

sebab bukankah Rangaspati yang tahu rahasia di 

mana keberadaan Dewi Cendana Biru dan Kera 

Silumannya?

"Ah, sungguh bodohnya aku ini. Mengapa ti-

dak aku tanyakan di mana pimpinannya?" lenguh 

hati Raka Berka. "Tidak! Kalau dia hidup, tidak 

mungkin aku dapat selamat... Prajurit..,! Kita te-

ruskan ke kerajaan!"

Dengan segera keenam orang prajurit yang 

masih hidup segera mengusung empat orang re-

kannya yang telah binasa. Ketujuh orang tersebut 

kembali melangkahkan kaki mereka untuk mene-

ruskan perjalanan menuju ke kerajaan.


TIGA


Paman, mengapa aku kau ajak ke mari?" 

Pangeran Anggangga bertanya dengan nada ce-

mas. Perasaan sebagai seorang anak-anak yang 

masih polos bagaikan menuntunnya untuk me-

nanyakan keberadaannya. "Apakah kita tidak sa-

lah jalan, Paman?"

"Tidak. Kita tidak salah jalan."

"Tapi, Paman...."

"Sudahlah, jangan banyak tanya."

Tersentak Pangeran kecil Anggangga menden-

gar bentakan hulubalangnya. Memang tidak se-

perti biasanya sang hulubalang berani padanya, 

apalagi membentak seperti sekarang. "Aneh, ke-

napa Paman Hulubalang Jalakatunda kini mem-

bentakku? Apa salahku?" tanya Pangeran Ang-

gangga dalam hati. Matanya memandang tiada 

kedip ke arah Jalakatunda, yang kini tertunduk 

diam. Sementara kereta masih berjalan, terom-

bang-ambing oleh jalanan yang berbatu-batu.

"Paman, mengapa kita menuju ke hutan?" 

kembali Pangeran Anggangga bertanya.

"Sudah aku katakan. Diamlah!" bentak Jala-

katunda.

"Paman...."

"Jangan banyak bicara!" potong Jalakatunda, 

menjadikan Pangeran Anggangga terlolong diam. 

"Ingat! Kini akulah yang berkuasa, bukan dirimu, 

mengerti!"

"Me... mengerti, Paman," jawab Pangeran Ang



gangga dengan takut-takut. Matanya kini tak be-

rani menentang pandang, tertunduk tanpa kata 

lagi.

Mendengar ucapan Jantrang atau Jalakatunda 

yang begitu kasar pada Pangeran Anggangga, 

sang kusir yang sedari tadi diam kini nampak pa-

lingkan muka ke arah dalam. Ada rasa kasihan 

dalam sorot mata sang kusir melihat pangeran 

kecil itu. "Sungguh kasihan Pangeran. Hanya ka-

rena ambisi Iblis ia menjadi korban kebiadaban 

Jantrang yang tidak tahu balas budi," rungut 

sang kusir dalam hati. "Apakah aku akan mengi-

kuti kemauan Iblis ini dan membiarkan pangeran 

menderita?"

Sang kusir kini nampak memperlambat jalan 

kudanya, dengan harapan agar ada prajurit yang 

segera menyusul. Kuda-kuda itu kini bagaikan 

enggan berjalan, apalagi memang keadaan jalan 

di situ tidak enak. Jalanan berlubang dan banyak 

sekali bebatuan yang menghambat. Tidak jarang 

kedua orang penunggangnya harus terguncang-

guncang ke sana ke mari.

"Kusir, apa kau memang sengaja membuat pe-

rutku mules!" bentak Jantrang atau Jalakatunda 

sewot.

"Ah...!" sang kusir mengeluh. "Sungguh saya 

tidak sengaja. Apakah tuan tidak melihat keadaan 

jalan ini?"

Jalakatunda terdiam mendengar ucapan sang 

kusir yang dirasakannya memang benar. Tapi bila 

ingat bahwa para prajurit kerajaan akan menge-

jarnya, maka rasa takut di hati Jantrang kembali


muncul. Dan kembali Jantrang atau Jalakatunda 

kembali memerintah pada sang kusir untuk me-

macu kuda-kudanya.

"Kusir, percepat lari kuda!"

"Tidak bisa, Tuan."

"Bah! Jangan membantah, kusir!" Jantrang 

merungut kesal dan marah. "Kerjakan apa yang 

aku perintahkan!"

"Tapi...."

"Jangan ngomong!" bentak Jantrang memu-

tuskan.

Sang kusir terdiam, namun ia tidak segera 

menjalankan apa yang dikatakan oleh Jantrang. 

Hal ini menjadikan Jantrang makin-makin ma-

rahnya. Napasnya terdengar menderu, memburu 

dengan segala kemarahan yang ada. Dan tanpa 

sepengetahuan sang kusir Jantrang dengan sadis 

tanpa belas kasihan menghantamkan pukulannya 

ke arah sang kusir. Tanpa ampun lagi sang kusir 

yang tidak sadar memekik, lalu dengan kerasnya 

tubuh sang kusir terpelanting jatuh ke bawah.

"Aaaaahhhh...!"

"Bug!"

"Paman jahat!" Pangeran Anggangga memekik, 

ia menutupi mukanya dengan kedua tangan sak-

ing ngerinya melihat tubuh sang kusir yang terpe-

lanting jatuh. Kuda-kuda penarik kereta itu kini 

meringkik, sepertinya kuda-kuda tersebut tahu 

bahaya. Dan kuda-kuda itu kini berserabutan lari 

pontang-panting. Hal itu menjadikan Jantrang 

panik. Dicobanya untuk mampu mengendalikan 

lari kuda-kuda itu, namun nampaknya ia tak


akan berhasil. Kuda-kuda yang panik menyaksi-

kan tuannya jatuh nampak makin beringas dan 

liar. Sekali-kali kuda-kuda tersebut meringkik, la-

lu mengangkatkan kakinya tinggi-tinggi.

"Kuda sialan!" Jantrang memaki, sementara 

Pangeran Anggangga nampak makin ketakutan. 

"Kuda minta mampus! Mengapa kalian menjadi 

liar dan gila, hah!"

Kuda-kuda itu tak mau perduli, dan kuda-

kuda itu pun dengan pontang panting melarikan 

kereta seenaknya. Tinggallah Jantrang dan Pan-

geran Anggangga yang ketakutan. Kuda-kuda ter-

sebut kini lari dengan tak tentu arah. Jantrang 

terus berusaha mengendalikan lari kuda-kuda 

tersebut. Namun rupanya kuda-kuda itu benar-

benar tak mau dikendalikan. Kuda-kuda itu be-

nar-benar panik demi melihat tuannya terjatuh.

"Bahaya!" Jantrang memekik dalam hati. "Aku 

harus berusaha menghindar... Tapi, bagaimana 

dengan pangeran itu? Ah, tak uruslah! Biar ia 

mau bagaimana!"

Dengan tanpa hiraukan Pangeran Anggangga 

yang menjerit-jerit ketakutan di dalam kereta, se-

gera Jantrang melompat dari kereta yang makin 

menggila saja larinya. Tubuh Jantrang berguling-

guling sesaat, sebelum kembali bangkit dan den-

gan pandangan acuh memperhatikan kereta yang 

masih lari dengan tak tentu itu membawa tubuh 

Pangeran Anggangga.

* * *

Kuda-kuda itu terus berlari membawa kereta


yang ada Pangeran Anggangga di dalamnya. Pan-

geran Anggangga tampak menutup mukanya ka-

rena takut dengan kedua telapak tangan. Terka-

dang ia menjerit meminta tolong.

"Toooolooooongggg...!"

Kuda-kuda tersebut makin menggila saja la-

rinya, mungkin kuda-kuda tersebut makin keta-

kutan mendengar seruan Pangeran Anggangga. 

Kereta tersebut kini menikung ke kelokan bukit, 

lalu lurus menuju ke arah jurang. Makin takut 

saja Pangeran Anggangga menyaksikan bahwa 

kuda-kuda tersebut kini menuju ke arah jurang.

"Oh, Rama, mungkinkah aku akan mati?" ke-

luh hati Pangeran Anggangga. "Kalau memang 

benar aku hendak mati di dasar jurang, maka 

sungguh mengerikannya!"

Pangeran Anggangga kini berusaha pasrah, 

pasrah menerima nasib yang bakal ia terima. Se-

mentara kuda-kuda tersebut makin menggila la-

rinya, sepertinya kuda-kuda itu tak hendak mau 

menghentikan larinya. Jarak kereta dengan ju-

rang yang berada di depan makin lama makin de-

kat. Dan Pangeran Anggangga kini makin mera-

patkan telapak tangannya menutup kedua ma-

tanya.

"Matilah aku di sini!" keluhnya.

Tengah segalanya hendak terjadi, tiba-tiba ku-

da-kuda tersebut meringkik. Kuda-kuda tersebut 

bagaikan ketakutan, putar haluan ke arah yang 

berlawanan dengan arah yang dituju. Sementara 

tanpa sepengetahuan pangeran kecil itu, seorang 

pemuda nampak berkelebat mengejar lari sang


kuda. Kelebatan pemuda itu begitu cepatnya, se-

pertinya pemuda tersebut tidak lari, namun ter-

bang.

Pangeran yang merasa dirinya tidak jatuh, ke 

dalam jurang segera buka tangannya. Matanya 

kini membeliak tidak percaya pada apa yang ia 

saksikan. Kuda-kuda penarik kereta kini tidak la-

gi menuju ke jurang, malah kini kembali ke arah 

yang tadi. Namun kepanikan terus saja mengge-

rogoti hati Pangeran Anggangga yang memang su-

dah takut. Hingga dengan menjerit Pangeran Ang-

gangga berusaha meminta tolong juga berusaha 

membuang rasa panik yang kian merambah ha-

tinya.

"Toooooollooooonggg…!"

Pemuda yang sedari tadi hanya menggiring lari 

kuda-kuda tersebut tampak tersentak mendengar 

seruan seorang bocah dalam kereta tersebut. Pe-

muda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya seje-

nak kerutkan kening, lalu dengan secepat kilat 

setelah yakin bahwa segala pendengarannya be-

nar adanya, segera Jaka pun mempercepat la-

rinya memburu ke arah kereta tersebut.

"Heh, rupanya dalam kereta itu ada seorang 

bocah."

Tanpa pikir panjang lagi Jaka percepat larinya 

memburu ke kereta yang makin kencang larinya 

di hadapannya. Perasaannya sebagai seorang 

pendekar yang peka menyuruh hati Jaka untuk 

berusaha menolong bocah yang berada di dalam 

kereta. Dan dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka 

terus mempercepat pengejarannya. Dari Ajian An


gin Puyuh tingkat pertama, kedua, sampai tingkat 

ketujuh yang merupakan ajian tingkat akhir dike-

rahkannya.

"Aku harus dapat mengejar kereta tersebut," 

Jaka terus berupaya memburu laju kereta yang 

liar dan jalang tersebut dengan harapan dapat 

menolong bocah yang berada di dalam kereta.

"Sungguh kasihan bocah tersebut. Sepertinya 

bocah yang ada di dalam kereta adalah anak seo-

rang bangsawan. Ya, dilihat dari kereta yang di-

tumpangi, jelas milik seorang bangsawan kera-

jaan."

"Toooolllloooonnngggg...!" Pangeran Anggangga 

yang mendengar desahan angin orang berlari 

kembali berteriak meminta tolong dengan hara-

pan orang yang mengejar keretanya mau meno-

long menghentikan kereta yang jalang dan liar 

tersebut. Dan memang dugaannya benar, ternyata 

pemuda Jaka Ndableg memang bermaksud meno-

longnya.

"Tenanglah, Dik. Kau jangan panik, aku akan 

berusaha menolongmu!" seru Jaka memberikan 

semangat pada Pangeran Anggangga yang tampak 

makin panik saja. "Kau tak perlu cemas, sebab 

kuda-kuda ini kini sudah tidak menuju ke ju-

rang!"

Kini Jaka benar-benar berlomba dengan kuda-

kuda yang makin menggila. Dan dengan Ajian 

Angin Puyuh tingkat pamungkasnya, Jaka kini 

mampu mensejajari lari kuda-kuda tersebut. 

Dengan tanpa memperhitungkan lagi akan di-

rinya, segera Jaka melompat ke atas kereta. Di


ambilnya kais penarik kuda, lalu dengan segenap 

tenaga Jaka berusaha menghentikan lari kuda-

kuda tersebut. Dan mungkin karena tenaga yang 

dikeluarkan oleh Jaka Ndableg terlalu besar, 

menjadikan kuda-kuda itu seketika meringkik se-

saat, lalu akhirnya menggelepar mati. Ya, kuda-

kuda itu kini mati dengan mulut terbeset. Dan 

kereta itu pun seketika terhenti dengan kencang-

nya, menjadikan Pangeran Anggangga terlempar 

dari dalam kereta. Beruntung Jaka dengan segera 

menangkap tubuh pangeran tersebut dan mem-

bawanya pergi. Kalau tidak, tentunya tubuh Pan-

geran Anggangga akan hancur terbentur beba-

tuan yang berada di depannya ataupun akan pa-

tah tulangnya akibat menghantam depan kereta.

"Sungguh kasihan bocah ini," Jaka meman-

dangi tubuh dan wajah Pangeran Anggangga yang 

pingsan karena takut. Perlahan diturunkannya 

tubuh Pangeran Anggangga, lalu dengan segera 

dicobanya membantu pernapasan sang pangeran. 

Disalurkannya tenaga dalamnya ke tubuh Pange-

ran Anggangga, sehingga pangeran tersebut kini 

nampak menggeliat siuman. "Hem, kuat benar te-

naga pangeran kecil ini."

Pangeran Anggangga membuka matanya, per-

lahan dipandangi sekelilingnya. Akhirnya mata

Pangeran Anggangga tertuju pada sepasang mata 

Jaka Ndableg yang bibirnya terurai senyum.

Berbeda dengan hulubalangnya, pemuda yang 

berjongkok di hadapannya kini nampak ramah 

dan penuh persaudaraan. Pemuda itu tampang-

nya lucu, mungkin suka bercanda.


"Siapakah kakak adanya?" tanya Anggangga 

setelah sekian lama terdiam memperhatikan Jaka 

Ndableg. Jaka Ndableg makin lebarkan senyum.

"Aku...? Ah, aku hanyalah seorang pengelana 

saja yang kebetulan melihat keretamu dalam kea-

daan liar," Jaka Ndableg menjawab. "Tak usahlah 

adik kecil memikirkan siapa adanya aku ini. Yang 

penting, adik kecil selamat."

Jaka Ndableg garuk-garuk kepalanya, lalu 

dengan bibir masih tersenyum Jaka kembali ber-

kata: "Dilihat dari pakaian yang adik kecil kena-

kan, sepertinya adik kecil dari keturunan bang-

sawan."

"Oh, benar adanya apa yang dikatakan oleh-

mu, Kak," jawab Pangeran Anggangga kini dengan 

bibir tersenyum, membalas uraian senyum yang 

dilontarkan Jaka Ndableg. "Aku memang dari ke-

rajaan. Aku adalah Pangeran Anggangga dari Ke-

rajaan Bumi Jawa."

"Oh, sungguh aku tak tahu diri kalau begitu. 

Maafkan segala kebodohan patik," Jaka Ndableg 

menjura hormat, menjadikan Pangeran Anggang-

ga tersenyum. Ada rasa bangga di hati pangeran 

kecil itu menerima penghormatan dari Jaka, yang 

sepengetahuannya berilmu tinggi.

"Ah, tidak usahlah tuan pendekar berbuat be-

gitu. Bukankah tanpa pertolongan tuan pendekar 

aku tak akan selamat?" Pangeran Anggangga ber-

basa basi, sepertinya ia pintar sekali dalam berbi-

cara. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg terbelalak 

kaget hingga mulutnya menganga. Bagaimana 

mungkin anak sekecil itu. mampu melakukan penerapan gaya bahasa yang tinggi? Apakah karena 

kehidupannya yang selalu dalam lingkup istana 

yang menjadikan bocah kecil itu mampu berbuat 

begitu? Jaka Ndableg tak mampu menjawab sega-

la pertanyaan hatinya. Belum juga hilang kaget-

nya Jaka Ndableg, tiba-tiba Pangeran Anggangga 

telah kembali berkata: "Siapakah pendekar 

adanya?" 

"Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka tenang. 

Terbelalak mata Pangeran Anggangga mendengar 

penuturan Jaka tentang siapa adanya dirinya. 

Pangeran kecil itu sering mendengar desas desus 

tentang siapa adanya pendekar muda yang kini 

berada di hadapannya, tapi melihat langsung ba-

rulah kini ia lakukan dan hal itu kebetulan saja.

"Jadi...." Pangeran Anggangga tak mampu me-

neruskan ucapannya. Dipandangi tubuh Jaka da-

ri ujung kaki hingga ujung rambut, sepertinya in-

gin membuktikan kebenaran penglihatannya. Dan 

setelah dapat menenangkan segalanya, pangeran 

kecil itu meneruskan ucapannya. "Jadi kakakkah 

pendekar yang sering diceritakan oleh guru-

guruku?"

"Siapakah guru-gurumu, Adik?" 

"Guruku tak lain Sepasang Pendekar Kembar."

"Pendekar Kembar?" Jaka kerutkan kening. 

"Kalau tidak salah, bukankah gurumu Jaladri 

dan Jaladru?"

"Ah, sungguh aku tak dapat menyangkal ke-

benarannya."

"Hem...." Jaka Ndableg kini menggumam. "Ka-

lau begitu aku tak dapat main-main dengan bocah ini. Gurunya tak lain sepasang pendekar yang 

sudah kondang namanya."

"Kenapa kakak melamun? Apakah kakak ken-

al dengan guru-guruku?" tanya Pangeran Ang-

gangga mengejutkan Jaka yang berusaha terse-

nyum.

"Tidak kenal lagi Gurumu adalah orang-orang 

besar."

"Tapi kata guru, kakaklah yang seorang pen-

dekar besar."

Jaka gelengkan kepala mendengar ucapan 

Pangeran Anggangga yang begitu mahir berdiplo-

masi.

"Kalau aku boleh meminta, sudilah kakak 

singgah ke kerajaan," pinta Pangeran Anggangga.

"Baiklah, Adik. Aku akan singgah ke kera-

jaanmu. Tapi, kalau boleh kakak tahu, mengapa 

adik sampai terbawa oleh kuda-kuda liar terse-

but? Apakah adik tengah main-main?" tanya Jaka 

menjadikan Pangeran Anggangga tertunduk. "Bu-

kankah jarak Bukit Gelatik ini sangat jauh den-

gan kerajaan? Paling tidak setengah hari di-

perlukan waktu untuk menempuhnya?"

Dengan berderai air mata Pangeran Anggangga 

menceritakan segala apa yang dialami olehnya. 

Sementara Jaka nampak mendengarkan dengan 

seksama tanpa bermaksud bertanya dulu. Dan 

baru setelah Pangeran Anggangga usai, Jaka pun 

bertanya.

"Ke mana Jantrang pergi?"

"Hai, sepertinya kakak sangat mengenalnya?"

Jaka tersenyum lagi, dan katanya. "Aku bukan


hanya mengenalnya, tapi aku juga mencari di-

rinya untuk mempertanggung-jawabkan atas se-

gala tindakannya padamu, Adik."

"Ooh, rupanya kakak sangat memperhatikan 

diriku."

Jaka Ndableg kembali tersenyum mendengar-

kan ucapan Pangeran Angggangga, dan katanya 

kemudian. "Bukan hanya diri adik yang harus 

aku perhatikan, tapi semua orang yang memerlu-

kan pertolongan harus aku perhatikan."

Pangeran Anggangga akhirnya angguk-

anggukkan kepala mengerti. Dan manakala Jaka 

mengajak dirinya untuk kembali ke kerajaan, 

Pangeran Anggangga tidak membantah. Keduanya 

pergi meninggalkan Bukit Gelatik.

* * *

"Nguuuk...! Nguuukkk...!" Kera itu kini ter-

duduk dengan malas. "Ngaik! Ngaik! Ngaik!"

"Mana Taka Moro?" wanita itu kini mengerti 

apa yang sebenarnya dikehendaki sang kera. "Ta-

ka Moro, temani si Beruk latihan...!"

Dari dalam gua tampak seorang lelaki muda 

yang tidak lain Taka Moro adanya keluar. Taka 

Moro sejenak menjura setelah berada di depan 

wanita berpakaian serba biru tersebut.

"Sri Ratu memanggil hamba?"

"Temani Beruk latihan, Taka!"

"Daulat, Sri Ratu," jawab Taka Moro. "Ayo Be-

ruk!"

"Nguuuk...! Nguuuuk...!" Si Beruk tampak ke


girangan, lalu melompat ke pundak Taka Moro. 

Keduanya pun berjalan pergi meninggalkan wani-

ta yang disebut oleh Taka Moro Ratu yang kemba-

li melakukan meditasi setelah kepergian kedua 

sahabatnya.

* * *

Wanita berpakaian serba biru yang tidak lain 

Dewi Cendana Biru masih terus melakukan medi-

tasi. Entah sudah berapa lama ia melakukan itu 

dan entah apa yang sedang dicarinya hingga ia 

kuat untuk terus melakukan hal tersebut.

"Hem, sebentar lagi dia datang," Dewi Cendana 

Biru menggumam sendiri, entah apa maksudnya 

dengan kata-kata sebentar lagi dia datang.

Bersamaan dengan habisnya gumamnya sang 

Dewi, terdengar desah angin menerpa ke arah 

Dewi Cendana Biru. Perlahan sang Dewi buka 

matanya, dan tiba-tiba ia telah melihat seorang 

lelaki tua renta berambut serba putih dengan ma-

ta menyorot tajam merah berdiri di hadapannya. 

Lelaki tersebut tampak tersenyum, batuk-batuk 

kecil dan kemudian terdengar berkata.

"Apa yang engkau maui, Istriku?" tanya lelaki 

tua bermata merah tajam membara. "Kenapa 

engkau memanggilku?"

"Kakang, apakah engkau tidak ingin kau kem-

bali berkuasa seperti manakala kau masih di du-

nia?"

"Tidak mungkin, Istriku. Aku kini telah beda 

dunia."


"Tapi Kerajaan Bumi Jawa adalah hakku."

Lelaki tua renta itu tersenyum, ada getaran 

berat terukir lewat senyumnya. Matanya yang tadi 

memerah, lamat-lamat menghilang dan berganti 

dengan kesayuan. Sepertinya lelaki tua renta itu 

tak ingin mengingat segala apa yang pernah terja-

di semasa hidupnya. Tampak nafasnya mendesah 

berat, dengan tubuh terguncang manakala angin 

berhembus.

"Aku sudah melupakan semuanya, Istriku," le-

laki itu berkata, nadanya mengeluh. "Biarkan-lah 

aku hidup dengan tenang di alamku."

"Ah!" Dewi Cendana Biru mengeluh. "Jadi ka-

kang tidak mau membantuku?"

Ditariknya napas panjang mendengar ucapan 

istrinya. Rasa berat mengganjal di hati, seakan 

rasa berat tersebut sulit untuk dilenyapkan. 

Bayangan lelaki tua itu kembali terlintas pada ke-

jadian di mana dirinya masih hidup. Kejadian-

kejadian yang menjadikan dirinya bagaikan terbe-

lenggu oleh dosa-dosa kehidupan yang pernah ia 

alami. 

"Sulit, Istriku!"

"Apanya yang sulit, Kakang?" tanya Dewi Cen-

dana Biru, seakan tak mau melihat suaminya 

frustasi. "Bukankah kau mampu melakukannya, 

Kakang?"

Kakek tua itu tersenyum.

"Aku kini bukan hidup di alam manusia, Istri-

ku!"

"Tapi engkau bisa, Kakang."

"Bagaimana mungkin?" tanya lelaki tua itu.


"Bukankah engkau mampu merasuk ke mah-

luk lain?"

Terdiam lelaki tua tersebut mendengar penu-

turan istrinya. Matanya memandang tanpa kedip 

ke arah Dewi Cendana Biru yang tersenyum. Se-

nyum maut sang Dewi itulah yang telah mampu 

menggoyahkan imannya. Dia rampas tahta pa-

mannya yaitu ayah raja yang sekarang berkuasa 

atas kehendak istrinya, sehingga dirinya akhirnya 

harus menanggung beban dosa. Dan kemudian 

dirinya harus tersisih dari kerajaan sampai mati. 

Sebenarnya ia sudah tidak ingin segalanya teru-

lang, namun bila istrinya telah tersenyum, dirinya 

bagaikan tiada daya untuk menolaknya. "Pada 

siapa aku harus menitis, Istriku?" Sejenak Dewi 

Cendana Biru terdiam, lalu setelah mendapat ja-

wabannya sang Dewi pun berkata.""Kakang ma-

suklah ke tubuh si Beruk!"

"Apa...?!" tersentak kaget lelaki tua itu men-

dengar jawaban istrinya. "Kau hendak menghina-

ku, Istriku!"

"Tidak! Sungguh bukan maksud Dinda meng-

hina kakang. Tapi dinda ingin membuat sebuah 

kejadian yang belum pernah ada. Lagi pula, bu-

kankah dengan kakang menitis di si Beruk semua 

sepak terjang kakang tidak akan ketahuan?"

Terdiam lelaki tua itu memikirkan ucapan is-

trinya. Tampaknya ia tengah meresapi segala sa-

ran istrinya. Lama lelaki tua itu terdiam, hingga 

akhirnya ia pun kembali berkata dengan nada pa-

srah. "Baiklah, demi engkau aku akan menuruti 

segalanya, Istriku."


Berbunga-bunga Dewi Cendana Biru menden-

gar jawaban suaminya. Kini dengan suaminya 

menyanggupi apa yang dikehendakinya, tentunya 

segala apa yang dicita-citakan akan segera terlak-

sana.

"Terima kasih, Kakang. Terima kasih!" ucap-

nya berbahagia menyambut jawaban suaminya. 

"Dengan Kakang berkenan membantu, pasti aku 

akan kembali pada masa kejayaanku. Aku akan 

benar-benar menjadi Ratu. Hua, ha, ha...!"

Kedua orang bekas suami istri yang sudah di-

rasuki iblis tersebut kini tertawa bergelak-gelak. 

Lelaki tua itu tak sadar keberadaan dirinya. Di-

rinya yang sudah seharusnya tenang di dunia ke-

kekalan, harus bergentayangan kembali untuk 

membantu ambisi istrinya, ambisi iblis yang sela-

lu merongrong manusia.

"Di mana si Beruk, Istriku?" tanya lelaki tua 

itu kemudian.

"Ada Kakang. Dia tengah berlatih dengan te-

mannya, seorang manusia dari daratan Nippon."

"Apa...?" lelaki tua renta itu tersentak kaget 

mendengar jawaban istrinya tentang seorang lela-

ki dari Nippon. "Jadi kau pun telah menyeleweng, 

Istriku?"

"Kakang...! Kakang jangan menuduh dulu. 

Sungguh aku selalu setia padamu!" Dewi Cenda-

na Biru berkata. "Walaupun engkau sudah di 

alam lain, tetapi aku tetap menjaga kesucian cin-

taku padamu. Dia aku jadikan anak buahku se-

mata. Dia berilmu cukup tinggi, Kakang."

Lelaki tua itu angguk-anggukkan kepala men


dengar tutur kata istrinya. Matanya kini tak hen-

ti-hentinya memandang pada istrinya yang masih 

cantik. Dan bila hal itu dilakukannya terus mene-

rus, seketika hatinya kembali bergetar. Ada rasa 

yang seketika menggejolak di hatinya. Dan rasa 

itu terus meminta padanya untuk melakukan se-

suatu. Perlahan lelaki tua yang sudah berada di 

alam lain itu melangkah mendekati tubuh is-

trinya. Perlahan direngkuhnya tubuh sang istri, 

yang dengan lembut menolaknya sembari berka-

ta. "Kakang, bukankah kau tak boleh melakukan

hal ini dalam keadaan dirimu? Sabarlah! Bukan-

kah dengan engkau berada di tubuh Si Beruk kita 

dapat melakukan hubungan suami istri seperti 

dulu lagi?"

Lelaki itu terjengah, sadar akan tindakannya. 

Memang dalam keadaannya yang sekarang, jelas 

hal itu tidak mungkin. Tapi apakah dengan di-

rinya menitis pada seekor kera ia akan dapat 

menghayati segalanya?

"Baiklah, Dinda. Sekarang tunjukkan aku di 

mana Si Beruk berada. Biar aku dengan segera 

dapat melakukan penitisan itu, sehingga aku 

akan segera dapat bersanding denganmu lagi."

Dewi Cendana Biru tersenyum, dan dengan 

tanpa kata lagi segera bangkit dari duduknya. 

Keduanya kemudian berjalan meninggalkan pan-

curan tersebut menuju ke tempat di mana Si Be-

ruk dan Taka Moro berlatih.

* * *


Di sebuah dataran luas nampak dua mahluk 

Tuhan seekor kera dan seorang manusia yang tak 

lain Taka Moro dan Si Beruk tengah berlatih silat. 

Gerakan keduanya begitu gesit, lincah dan sulit 

untuk diikuti dengan mata. Taka Moro nampak 

seperti seekor kera yang liar dan ganas. Sesekali 

melompat ke sebuah cabang pohon diikuti oleh Si 

Beruk. Keduanya nampak serasi bergerak ke sana 

ke mari.

"Awas, Beruk! Aku menyerang. Hiiiaaat...!"

"Nguuuk! Nguuuk...!"

Si Beruk sepertinya mengerti. Manakala kaki 

dan tangan Taka Moro bergerak menyerangnya, 

segera Si Beruk melompat hindari serangan ter-

sebut. Dan dengan cepat Si Beruk balik merang-

sek. Tangannya mencakar, kakinya menendang.

Si Beruk melompat, lalu menukik dengan ke-

dua tangan menyerang dengan cengkeraman.

"Nguuuukk...!" Si Beruk mendenguk, seakan 

memberi isyarat agar Taka Moro berhati-hati.

"Baik! Seranglah aku!" Taka Moro yang tahu 

akan gerakan-gerakan isyarat Si Beruk menja-

wab. Kini Si Beruk kembali melompat, lalu den-

gan disertai desisan Si Beruk merangsek menye-

rang dengan cakaran-cakarannya yang memati-

kan. Tangan Si Beruk kini menjulur ke arah leher 

Taka Moro. Dengan cepat Taka Moro egoskan ke-

palanya mengelak, lalu kirimkan pukulan silang 

dengan nama Raja Kera Menyampok Mangsa

"Wuuut...!" 

"Ngguuukk...!"

Si Beruk tersentak, urungkan serangan meng


hindar. Kini tubuhnya berguling-guling ke tanah. 

Taka Moro terus berusaha menyerang dengan ka-

ki bermaksud menginjak. Namun setiap kali kaki 

Taka Moro menyerang, secepat itu pula Si Beruk 

gulingkan tubuhnya menghindar. Pertarungan te-

rus berjalan, saling serang layaknya dua manusia 

tengah bertarung.

"Nggggguuuukkk...!" Si Beruk bersuara, lem-

parkan tubuh ke udara dan hinggap di sebuah 

cabang pohon. Matanya memandang penuh ke-

waspadaan. "Nguk! Nguk!"

Turunlah Beruk! Kenapa engkau nangkring?"

"Nguuuk!" Si Beruk gelengkan kepala. 

"Hai, mengapa engkau malas, Beruk?" tanya 

Taka Moro tak mengerti dengan isyarat Si Beruk. 

"Cepatlah turun! Bukankah kita akan berlatih?"

Tengah Si Beruk terdiam nongkrong di atas 

sebuah cabang pohon, nampak selarik sinar ber-

kelebat menuju ke arahnya. Sinar tersebut mele-

sat cepat, dan tanpa sepengetahuan Taka Moro 

sinar tersebut langsung masuk ke tubuh Si Be-

ruk. Si Beruk tersentak, lalu bagaikan kesakitan 

Si Beruk lemparkan tubuh ke atas hingga tak 

mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Tu-

buhnya meluncur dengan derasnya, dan ambruk 

jatuh ke tanah.

"Buug...!"

"Beruuukk...!" Taka Moro tersentak kaget me-

lihat keadaan Si Beruk. Segera Taka Moro berlari 

menghampiri, namun belum juga sampai, seorang 

wanita yang ia tahu disebut Ratu telah muncul 

dan berdiri dekat dengan Si Beruk. "Sri Ratu...?"


Sri Ratu Cendana Biru sunggingkan senyum, 

memikat. Senyumnya begitu manis, menutupi 

usianya yang sebenarnya telah begitu tuanya. Ha-

ti Taka Moro seketika berdegup melihat senyum 

Ratunya yang begitu manis. Darah kelelakiannya 

bergetar hebat, seolah menggelegar. Sri Ratu sea-

kan tak hiraukan dengan keadaan Taka Moro.

Ia kini berjalan mendekati Taka Moro, dan 

dengan bibir masih tersenyum, Sri Ratu rengkuh 

pundak Taka Moro yang seketika itu bergetar ge-

metaran. 

"Sri Ratu...?"

"Sssttt...!"

Taka Moro tak mampu meneruskan kata-

katanya, manakala Sri Ratu Cendana Biru isya-

ratkan agar diam. Dan Taka Moro memang benar-

benar diam membisu. Manakala bibir Sri Ratu 

lumatkan bibirnya Taka Moro hanya pasrah diam.

* * *

Baru sekali itu Taka Moro merasakan betapa 

nikmatnya berpadu dengan seorang wanita. Se-

lama hidupnya baru kali itu Taka Moro menikma-

tinya, merasakan apa yang seharusnya belum ia 

rasakan. Rasanya ia tak ingin segera lepaskan tu-

buh Sri Ratu yang cantik kalau saja Sri Ratu pun 

menghendakiknya. Tapi Sri Ratu menghendaki 

segalanya berakhir. Sri Ratu melepaskan pelu-

kannya, dan dengan tergesa-gesa segera menge-

masi pakaiannya yang berantakan. Rerumputan 

dan pohon-pohon serta bebatuan jadi saksi telah


adanya kejadian yang menimpa keduanya. Keja-

dian layaknya dua cucu Adam yang membutuh-

kan segalanya. "Cepatlah, Taka!"

"Kenapa, Sri Ratu?" tanya Taka Moro tak men-

gerti demi mendengar perintah Ratu Cendana Bi-

ru agar dia segera mengenakan pakaiannya.

"Sesaat lagi Si Beruk sadar!" jawab Sri Ratu 

pendek, lalu dengan terburu-buru Sri Ratu ting-

galkan tempat tersebut. Tinggalkan Taka Moro 

yang masih berusaha mengemasi pakaiannya. 

Langkah Sri Ratu begitu ringan, beranjak menuju 

ke tempat Si Beruk berada. Si Beruk nampak 

menggeliat. Mata Si Beruk yang sudah dimasuki 

sukma lelaki suami Dewi Cendana Biru nampak 

merah menyala-nyala. Sejurus Si Beruk meman-

dang ke arah Sri Ratu, lalu dengan manja Si Be-

ruk yang sudah menjadi seekor Kera Siluman me-

lompat memeluk tubuh Sri Ratu. Sri Ratu dengan 

penuh kemengertian segera menyambutnya.

"Nguuuk...!"

"Hem, kini kau telah menjadi Kera Siluman, 

Beruk!" Sri Ratu berkata. "Kini otakmu sama den-

gan otak manusia, karena dalam ragamu berse-

mayam sukma manusia."

"Nguuuk! Nguuuk!"

"Bagus! Sekarang kau akan mampu memban-

tuku dan dapat mendengar serta meresapi apa 

yang aku perintahkan, bukan?"

"Nguuuk...!" Si Beruk mengangguk-angguk-

kan kepalanya mengerti. "Nguuuk...!" 

"Kau akan selalu ditemani oleh temanmu yang 

biasanya. Kau kenal dengan dia, bukan?"


"Nguuuk...!"

"Ya! Dia Taka Moro, orang yang menjadi saha-

batmu!" jawab Sri Ratu.

Dari semak-semak belukar tampak Taka Moro 

keluar. Berjalan menuju ke tempat di mana Dewi 

Cendana Biru tengah bercakap-cakap dengan Si 

Beruk.

"Itu dia, Beru!" Sri Ratu menunjuk ke Taka 

Moro.

"Nguuuk...!" Si Beruk tajamkan mata meman-

dang, sepertinya ia tengah mengingat-ingat orang 

tersebut. Memang dia dulu mengenal, namun se-

telah adanya penitisan sukma suami Dewi Cen-

dana Biru, Si Beruk seakan tidak mengenal lagi 

Taka Moro. Mulutnya menyeringai, tunjukkan gi-

gi-giginya yang tajam. Matanya menyorot makin 

menyala, seolah-olah memberi tanda bahwa dia 

kini makin kuat dan sakti.

Taka Moro tersentak melihat hal tersebut. Ma-

tanya tiada henti memandang bergantian pada Sri 

Ratu dan Beruk. "Aneh Si Beruk, sepertinya ia ti-

dak mengenaliku lagi. Apakah mungkin dalam se-

saat ia pingsan, ia lupa padaku?" hati Taka Moro 

bertanya-tanya. Kakinya seketika terpaku diam di 

tempatnya, tidak berani ia terus melangkah men-

dekat, seakan ada kekuatan yang mendorongnya 

untuk tidak mengganggu apa yang telah terjadi.

Sri Ratu yang maklum segera memanggil Taka 

Moro, "Taka, ke marilah!"

Taka Moro perlahan melangkah mendekat.

"Nguuuk...!" Si Beruk seperti menambahkan 

berkata.


Taka Moro tersentak kaget manakala Si Beruk 

dengan tiba-tiba melompat dari dekapan Sri Ratu 

ke arahnya. Tak mampu Taka Moro mengelak-

kannya, sehingga Si Beruk dengan segera mampu 

memeluk leher Taka Moro yang terperanjat. Taka 

Moro kaget berbaur rasa sedikit takut, namun 

manakala melihat bahwa Si Beruk tidak ganas,

Taka Moro pun dengan penuh persahabatan me-

nerimanya. Dan dua mahluk itu pun nampak 

bercanda ria, layaknya seperti kala Si Beruk ma-

sih belum dititisi sukma lelaki tua suami Sri Ra-

tu.

"Taka, Beruk, ayo kita kembali!"

"Daulat, Sri Ratu."

"Nguuukkk...!"

Ketiga mahluk Tuhan itu beriringan mening-

galkan tempat tersebut kembali ke pancoran di 

mana mereka biasanya tinggal.

Sepeninggalan ketiganya, nampak seorang le-

laki berjalan menuju ke arah situ. Lelaki tersebut 

yang tidak lain Jantrang atau Jalakatunda berja-

lan dengan letih menuju ke Pancoran di mana 

Dewi Cendana Biru berada.

* * *

"Sampurasun...!" Jantrang menyapa manakala 

dirinya telah sampai.

"Rampes...!" terdengar dua orang menyahuti, 

menjadikan Jantrang tersentak kaget. Biasanya 

hanya seorang wanita saja yang menyahut, tapi 

kini dua orang.

"Siapakah yang bersama Sri Ratu?" tanya hati

.

Jantrang.

"Jantrangkah yang datang?" kini Sri Ratu yang 

bertanya.

"Benar, Sri Ratu," jawab Jantrang. "Masuk-

lah!"

Jantrang sesaat menengok ke sekelilingnya, 

lalu setelah dirasa aman Jantrang segera berkele-

bat menembus semak belukar yang menutupi goa 

di belakangnya.

Jantrang segera menjura hormat pada Sri Ra-

tu, sementara matanya memandang tak putus

><><><><>< 69-70

pa yang mesti saya lakukan, Sri Ratu?" 

"Bunuh dua pendekar itu! Mengerti, Taka?"

"Daulat!"

"Nguuukkk! Nguuukkk...!"

"Nah, berangkatlah kalian! Buat kerajaan re-

sah! Kalian harus berhasil!" Sri ratu berkata den-

gan berapi-api, seakan kemarahannya tak dapat 

terbendung. Dendamnya pada Raja Kerajaan Bu-

mi Jawa telah membakar hatinya yang mengata-

kan bahwa dirinyalah yang berhak atas tahta 

yang sekarang dipegang oleh Raja Sutresna. Se-

bab dirinya adalah istri Raden Sukra yang kini te-

lah menitis di tubuh Si Beruk.

Dendam itu disimpannya manakala dirinya 

sendiri ditinggal oleh Sukra. Dan dendam itu 

muncul kembali ketika Jantrang datang dan me-

nyanggupi akan membantu dirinya dengan imba-

lan pelayanan batin. Segalanya telah ia korban-

kan, termasuk harga dirinya. Dengan rela ia telah 

menyerahkan kehormatannya pada Jantrang.


"Aku harus berhasil! Aku harus dapat merebut 

tahta kerajaan!" Gemuruh hati Dewi Cendana Bi-

ru bila mengingat hal tersebut.

Ketiga rekannya yaitu Taka Moro, Jantrang, 

dan Si Beruk yang kini telah dititisi oleh sukma 

suaminya nampak berkelebat meninggalkan pan-

coran tersebut, meninggalkan dirinya yang kini 

nampak sepi sendirian tanpa teman. Dewi Cen-

dana Biru nampak kembali melakukan meditasi 

pusatkan segala panca indra untuk membantu 

gerakan ketiganya.


LIMA



Jaka Ndableg yang masih berjalan dengan 

Pangeran Anggangga menuju ke kerajaan kini 

tengah memasuki perbatasan kerajaan. Kedatan-

gan mereka seketika menjadi perhatian para war-

ga yang berjubel-jubel ingin melihat kedatangan 

pangerannya yang hilang beberapa waktu yang la-

lu.

"Itukah penculiknya?" tanya seorang warga 

pada rekannya. "Bukan!"

"Lalu, siapakah pemuda yang bersama pange-

ran kita?"

"Mungkin dia yang menolongnya," jawab yang 

lain.

Semua rakyat Kerajaan Bumi Jawa makin ba-

nyak berdatangan dan berdiri berjejer memberi-

kan penghormatan pada pangerannya yang berja-

lan dengan Jaka Ndableg. Jaka Ndableg sebagai


seorang pendekar segera balas menjura manakala 

melihat rakyat menjura. Hal itu menjadikan se-

mua rakyat Kerajaan Bumi Jawa nampak terben-

gong-bengong keheranan. Betapa tidak! Biasanya 

para pendekar akan bangga dan hanya tersenyum 

saja menerima penghormatan mereka, tapi pen-

dekar muda ini tak sombong. Pendekar muda ini 

balas menjura.

"Kakak Pendekar, tak usahlah kakak balas 

menghormati mereka, sebab mereka tak lebih ra-

kyat biasa!" Pangeran Anggangga berkata menyu-

ruh agar Jaka tidak membalas juraan mereka, ka-

rena menurut Pangeran Anggangga kedudukan-

nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan rakyat.

Jaka Ndableg gelengkan kepala, lalu berkata: 

"Tidak begitu, Adik Pangeran. Kita semua sama di 

mata Tuhan. Hanya kita ditakdirkan hidup dalam 

keadaan beda."

Takjub seluruh rakyat mendengar ucapan Ja-

ka Ndableg yang tidak sombong itu. Kini rasa 

hormat mereka makin bertambah pada Jaka. Seo-

rang pendekar yang tidak sombong dan angkuh, 

yang mengerti akan tata krama.

"Kenapa mesti begitu, Kakak?"

"Ya! Tuhan menciptakan kita sama, dari ta-

nah!" Jaka menerangkan. "Tuhan akan lebih se-

nang bila kita saling menghormati sesama kita."

"Kalau begitu tiada arti kedudukan kita seka-

rang, Kakak?"

"Tidak juga begitu, Adik. Kita diciptakan untuk 

menjadi pimpinan karena Tuhan telah mengatur 

dan menghendaki kita untuk melindungi orang

yang lemah, bukannya kita malah menginjaknya."

"Sungguh kakak merupakan manusia yang 

sempurna!"

Jaka gelengkan kepala. "Tidak, Adik Pangeran. 

Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia ada 

kelebihan dan kekurangannya. Seperti Adik Pan-

geran, adik mungkin memiliki apa yang kakak ti-

dak miliki."

"Contohnya?" tanya Pangeran Anggangga be-

lum mengerti.

Jaka Ndableg hela napas sesaat, lalu sambil 

masih berjalan menuju ke kerajaan Jaka kembali 

berkata, "Contohnya Adik Pangeran memiliki pa-

kaian yang bagus, kedudukan yang dihormati. Ti-

dak seperti kakak, yang tidak memiliki semuanya 

dan tidak ada artinya di mata orang lain."

Pangeran Anggangga mengerti kini apa yang 

dimaksud oleh Jaka Ndableg. Memang manusia 

dikodratkan dengan kodratnya masing-masing. 

Dirinya dihormati karena kedudukannya sebagai 

seorang pangeran, tetapi dirinya tentu belum 

mampu menghadapi segala apa yang mampu di-

hadapi oleh Jaka Ndableg.

Keduanya terus melangkah, makin lama lang-

kah mereka makin jauh meninggalkan kerumu-

nan rakyat. Tak begitu lama kemudian keduanya 

sampai di alun-alun kerajaan. Dua orang prajurit 

nampak segera menghampiri, lalu manakala me-

lihat siapa yang datang keduanya segera me-

nyembah.

"Duh Pangeran, sungguh ayahanda telah me-

nunggu," Prajurit itu berkata. "Pangeran dari manakah?"

"Janganlah kalian bertanya dulu. Sekarang 

katakan pada Ayahanda bahwa aku datang ber-

sama Kakak Pendekar," dengan lagak seorang 

pemimpin, Pangeran Kecil itu memerintah pada 

kedua prajuritnya. Hal itu menjadikan Jaka 

Ndableg tersentak kaget.

"Bagaimana mungkin sifat bocah ini tidak be-

rubah?" tanya Jaka dalam hati. "Ah, kenapa aku 

mesti bodoh? Bukankah semua memang telah 

menjadi didikannya?"

"Daulat, Pangeran!" Kedua prajurit itu kembali 

menyembah, lalu segera keduanya bergegas pergi 

untuk melaporkan kedatangan pangerannya pada 

sang Raja.

* * *

"Ada gerangan apakah kalian menghadapku?"

"Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah 

kembali."

"Apa...? Anakku kembali?" tanya Raja dengan 

muka cerah, berbunga mendengar anaknya yang 

diculik oleh hulubalangnya telah kembali. "Di 

mana dia?"

Kedua prajurit itu hendak berkata, manakala 

Pangeran Anggangga tiba-tiba muncul. "Daulat 

Ayahanda, Ananda datang bersama Kakak Pende-

kar."

"Anakku...!" Bagaikan rindunya tiada terkira 

sang Raja segera memburu ke arah anaknya. Di-

peluknya sang anak dengan segenap kerinduan.


"Oh, terima kasih pendekar. Mungkin tanpa per-

tolonganmu anakku tak akan selamat."

Jaka tersenyum, menyembah dan berkata, 

"Ah, kebetulan saja saya menemukan Adik Pange-

ran dalam keadaan bahaya, terbawa oleh kereta 

dan kudanya yang liar."

"Jadi... jadi anakku ditinggalkan oleh Jalaka-

tunda keparat itu?" sang Raja nampak menggere-

tak marah mendengar penuturan Jaka Ndableg. 

"Iblis laknat! Prajurit...! Cari Iblis itu sampai ke-

temu, gantung dia di depan alun-alun!"

"Daulat, Baginda!" Dua orang prajurit tadi me-

nyembah, lalu segera keduanya keluar mening-

galkan Sitinggil di mana rajanya dan Jaka Ndab-

leg dan Rama Patih masih tampak duduk di situ.

"Siapakah engkau adanya, Tuan Pendekar?" 

tanya sang Raja setelah kedua prajuritnya beran-

jak pergi. "Aku atas nama pribadi dan kerajaan 

mengucapkan terima kasih.".

"Sudah menjadi tugas hamba, Baginda," jawab 

Jaka sambil menyembah. "Nama hamba yang bo-

doh ini Jaka Ndableg."

Terbelalak mata Rama Patih dan Sri Baginda 

demi mendengar nama pemuda yang berada di 

hadapannya. Mulut mereka menganga, seperti 

menunjukkan bahwa nama Jaka benar-benar te-

lah mereka kenal benar. Dan memang benar me-

reka telah mengenal nama pendekar muda terse-

but.

"Ah...! Rupanya mataku yang tua ini yang ti-

dak mau menyadari siapa adanya Tuan Pende-

kar," sang Raja berkata. "Maafkan segala kebodo


han kami."

"Tidak mengapa. Bahkan hambalah yang se-

harusnya meminta maaf, atas segala kejadian 

yang tidak mampu hamba atasi."

"Oh, sungguh mulia budimu, Tuan Pendekar." 

Sang Raja segera beranjak dari singgasananya, la-

lu bagaikan tidak merasa canggung sang Raja 

pun duduk di bawah di atas permadani di mana 

Jaka Ndableg duduk.

"Ah, mengapa Baginda mesti turun?" Tanya 

Jaka jengah.

"Tidak mengapa. Bukankah Tuan Pendekar se-

lalu mengajarkan bahwa manusia itu sebenarnya 

sama?" Sang Raja balik bertanya, nadanya men-

gingatkan pada Jaka akan segala petuahnya. 

"Nah, bukankah kita sama mahluk Tuhan?"

Jaka tersenyum menganggukkan kepalanya, 

begitu juga dengan Sri Baginda yang telah duduk 

di hadapan Jaka sambil bersila.

"Memang begitu, Ayahanda. Kakak Pendekar 

juga berkata begitu pada Angga," Anggangga ikut 

nimbrung berkata, menjadikan Jaka Ndableg mau 

tak mau harus mendesah. Kini dirinya benar-

benar serba salah. Mau merendah dan menolak, 

jelas tidak mungkin, sebab Anggangga masih ke-

cil. Biasanya anak kecil tak akan mau berdusta.

"Kau bisa saja, Adik Pangeran," akhirnya Jaka 

hanya dapat berkata begitu. "Oh ya, di manakah 

kedua gurumu, Adik?"

"Siapa yang Tuan Pendekar maksudkan?" 

tanya Rama Patih.

"Itu Paman, Guru Jaladri dan Jaladru," jawab


Pangeran Anggangga. "Di manakah kedua guru-

ku? Sungguh aku ingin bertemu dengan mereka. 

Aku juga ingin memperkenalkan Kakak Pendekar 

pada mereka."

"Ada, Pangeran. Keduanya tengah beristira-

hat."

"Di manakah, Paman?" desak Pangeran Ang-

gangga,

"Keduanya tengah berada di padepokannya."

"Dapatkah Paman memanggilnya?"

Jaka pandangkan matanya ke arah Pangeran 

Anggangga, yang seketika tertunduk. Pangeran 

Anggangga tahu bahwa ucapannya tadi kurang 

berkenan pada Jaka Ndableg, maka dengan sege-

ra Pangeran Anggangga meminta maaf.

"Maafkan saya, Kakak Pendekar."

"Tak mengapa. Maafkan kelancangan hamba 

yang berani mendidik putera Paduka. Hamba me-

lihat bahwa tindakan Adik Pangeran sangat tidak 

bijaksana. Kalaulah Paduka menyalahkan hamba, 

maka hamba siap menerima hukumannya," Jaka 

Ndableg berkata pada sang Raja meminta maaf 

atas tindakannya yang telah lancang. "Sungguh 

itu semua hamba lakukan demi kebaikan Adik 

Pangeran semata."

"Ah, tidak mengapa. Bahkan aku merasa ber-

terima kasih atas perhatian Tuan Pendekar pada 

anakku," balas sang Raja. "Nah, Anggangga, seka-

rang kau akan dapat pendidikan etika dan sopan 

santun yang sangat berguna dari Tuan Pendekar. 

Kau seharusnya berterima kasih padanya."

"Daulat, Ayahanda."



"Aneh pendekar ini," gumam hati Rama Patih 

dalam hati melihat tindakan Jaka. "Benar apa 

yang seringkali aku dengar, pendekar ini benar-

benar aneh. Dia tak akan mau melakukan apa 

yang sekiranya tidak ia kehendaki. Tapi kini, se-

cara tidak langsung ia telah memberikan didikan 

pada Pangeran Anggangga."

Keempat orang itu terus bercakap dengan se-

kali-kali diikuti oleh gelak tawa mereka. Tengah 

keempatnya saling bertukar pendapat, dua orang 

dari luar tampak berjalan menuju ke arah situ.

"Sampurasun....'"sapa kedua orang yang tidak 

lain Jaladri dan Jaladru.

"Rampes....'" keempatnya segera menjawab.

"Guru...!" Suka cita seketika Pangeran Ang-

gangga melihat gurunya datang. "Oh, kita akhir-

nya dapat bersua kembali, Guru. Oh ya, akan 

murid kenalkan pada guru sekalian teman mu-

rid."

Dengan ketidak-mengertian, Jaladri dan Jala-

dru pun menurut manakala tangan mereka di-

gandeng oleh sang murid. Pangeran Anggangga 

membawa kedua gurunya menuju ke tempat di 

mana Jaka Ndableg dan ayahnya serta Patih Ra-

ma Patih berada. Kedua gurunya saling pandang 

tak mengerti dengan kelakuan muridnya yang 

menggandeng tangan mereka ke tempat ayahan-

danya yang saat itu tengah bercakap-cakap den-

gan seorang pemuda.

"Kakak Pendekar, ini guruku."

Jaka Ndableg segera palingkan muka melihat 

ke arah datangnya Pangeran Anggangga. Seketika


Jaka menjura setelah bangkit dari duduknya. Tak 

alang kepalang kagetnya Jaladri dan Jaladru ma-

nakala keduanya tahu siapa adanya pemuda yang 

dikenalkan oleh muridnya tersebut. Mulut kedu-

anya menganga, mata keduanya melotot tak per-

caya.

"Jaka Ndableg...!" Jaladri dan Jaladru meme-

kik. "Oh, sungguh kami tidak menyangka akan 

dapat bersua dengan Tuan Pendekar yang kon-

dang dengan sebutan Pendekar Pedang Siluman 

Darah. Ampunilah kami. Sungguh kami tidak 

memperhatikan senjata yang tergantung di pun-

dak tuan. Kalau kami boleh menerka, tentunya 

senjata itulah Pedang Siluman Darah."

"Ah, ternyata mata kalian sungguh waspada. 

Aku tak dapat menyangkalnya," jawab Jaka. Hal 

itu seketika menjadikan sang Raja dan Rama Pa-

tih serta Pangeran Anggangga terbelalak. Betapa-

pun mereka tidak menyangka kalau pedang yang 

tergantung di pundak Jaka Ndableg adalah Pe-

dang Siluman Darah yang telah menggegerkan 

dunia persilatan.

"Jadi benar bahwa pedang yang berada di 

pundakmu itu Pedang Siluman Darah?" tanya Ra-

ja Sutrisna ingin meyakinkan.

"Begitulah, Baginda."

Raja Prabu Sutrisna mengangguk-anggukkan 

kepalanya mendengar penuturan Jaka. Tak lama 

kemudian semua yang ada di situ pun terlibat 

pembicaraan. Keakraban segera menyelimuti me-

reka, termasuk Jaladri dan Jaladru. Walau Sepa-

sang Pendekar Kembar itu dulu merupakan sepasang pendekar dari aliran sesat, namun kini 

nampaknya keduanya sadar bahwa segala tinda-

kannya selama ini tiada guna.

"Bagaimana dengan Kitab Banyu Geni, Tuan 

Pendekar?" Jaladri tiba-tiba mengalihkan pembi-

caraan pada Kitab Banyu Geni yang telah dibakar 

oleh Jaka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar benar 

telah mendapatkannya?"

Jaka Ndableg hendak menjawab, manakala 

terdengar suara ribut-ribut di luar. Dua orang 

prajurit kerajaan dengan tergopoh-gopoh masuk 

dan menjura di hadapan mereka.

"Ada apa, Prajurit?' tanya Rama Patih. "Ampun 

Tuanku, seorang lelaki dengan muka rusak ten-

gah mengamuk di alun-alun," jawab dua orang 

prajurit tersebut dengan tubuh gemetaran. Hal itu 

menjadikan Jaka Ndableg tersentak dan bertanya.

"Apakah lelaki itu bertindik?" 

"Be... benar apa yang tuan katakan!" 

Jaka tertegun, dugaannya benar bahwa orang 

yang kini mengamuk tidak lain Sumping Tindik 

adanya. "Ada apa orang itu mengamuk? Apakah 

dia mencariku?" tanya Jaka dalam hati. Segera 

Jaka bangkit dari duduknya dan menjura hormat, 

lalu bergegas Jaka yang diiringi oleh Jaladri dan 

Jaladru Gerta Rama Patih meninggalkan ruangan 

tersebut. Tak lama kemudian Sri Baginda dan 

anaknya pun menyusul keluar.

* * *

"Semua orang yang berada di dalam istana,

keluarlah!"

Sumping Tindik nampak mengamuk, tangan-

nya memukul setiap prajurit yang ditemuinya. 

Kakinya juga tak urung menyepak dan menen-

dang ke arah para prajurit. Beberapa orang praju-

rit nampak telah tergeletak sekarat, sementara 

yang lainnya masih berusaha menghalau amukan 

Sumping Tindik.

Empat orang prajurit maju dengan tombak di 

tangan mereka, menyerang. Tombak di tangan 

keempat prajurit itu menusuk ke arah tubuh 

Sumping Tindik. Sumping Tindik segera cabut ka-

lung yang melilit di lehernya, lalu dengan kalung 

itu Sumping Tindik hadapi serangan.

"Wuuut! Wuuuuttt...!" Kalung yang terbuat da-

ri baja dengan nama Kalung Setan itu diputar 

kencang, menjadikan angin putarannya besar 

menderu-deru ke arah musuh. Namun sepertinya 

keempat orang prajurit itu tidak mengenal takut. 

Keempatnya kembali tusukkan tombak di tangan 

mereka. 

"Wuuuttt...!"

"Desssstttt...!"

"Praak! Prak! Prak! Praak...!"

Empat kali terdengar suara patahan tombak, 

manakala Kalung Setan di tangan Sumping Tin-

dik beradu dengan tombak di tangan keempat 

prajurit. Keempat prajurit itu nampak tersentak, 

lompat mundur dengan mata tak percaya. Tom-

bak di tangannya telah patah menjadi dua. Bukan 

itu saja, tangan mereka seketika melepuh bagai-

kan terbakar.

"Aahh...! Racun!" seorang prajurit yang tahu 

bahwa kalung di tangan Sumping Tindik beracun 

memekik. Wajahnya kini tampak pucat pasi. "Kita 

kena racun!"

"Hi, hi, hi...! Kalian tak akan dapat hidup lebih 

dari dua belas jam! Kalian akan mati dengan tu-

buh hangus oleh racun yang ada di Kalung Se-

tanku. Hi, hi, hi...!" Sumping Tindik tertawa ber-

gelak. "Sekarang kalian minggatlah, katakan pada 

raja kalian agar secepatnya menyerah kalah!"

"Bangsat! Jangan kira semudah itu!" salah 

seorang keempat prajurit itu membentak. "Lebih 

baik kami mati daripada harus mengaku kalah 

olehmu, Iblis!" 

"Hi, hi, hi...! Rupanya kalian prajurit-prajurit 

yang setia. Sayang, rajamu tidak akan dapat me-

nolong nyawa kalian!"

Mata keempat prajurit itu nampak merah me-

nyala, lalu dengan mendengus keempatnya kem-

bali berkelebat menyerang. Kini di tangan mereka 

telah tergenggam keris yang sedari tadi terselip di 

pinggang.

"Langkahi mayat kami! Hiaaaattt...!"

Keempat prajurit keraton itu tusukkan keris 

berbareng ke arah Sumping Tindik. Keempatnya 

nampak kompak, bergerak dari empat penjuru 

angin. Jurus yang mereka keluarkan adalah jurus 

Serigala Menyergap Mangsa, yaitu sebuah jurus 

perang yang diajarkan oleh Jaladri dan Jaladru 

selama kedua Pendekar Kembar itu mengabdi pa-

da kerajaan. Jurus yang mereka keluarkan sung-

guh jurus yang bukan sembarangan. Tapi kini


mereka bukan menghadapi musuh kelas kecoa 

yang sekali gebrak saja mengkerut. Musuh yang 

kini mereka hadapi adalah musuh dari golongan 

kelas wahid pendekar, yang pernah malang melin-

tang dan menjagoi dunia persilatan pada ma-

sanya.

Sumping Tindik nampak enteng saja menge-

lakkan tusukkan dan sabetan keris di tangan 

keempat prajurit itu. Tubuhnya hanya bergoyang 

bagaikan menari, namun goyangannya yang ke-

bencongan tersebut bukanlah goyangan semba-

rangan dan kaku. Dan karena kekakuannya itu 

menjadikan angin kibasannya mampu menahan 

setiap laju gerakan musuh.

"Hi, hi, hi...! Percuma! Percuma!" Sumping 

Tindik ngomel sendiri, tangannya bergerak-gerak 

seakan menari. Tapi dari tangannya yang berge-

rak itu seketika keluar larikan sinar putih kebiru-

biruan. Sinar itu membersit berpuluh-puluh ba-

nyaknya menyerang keempat prajurit.

"Awas! Jarum beracun...!"

Tersentak keempat prajurit itu demi menden-

gar peringatan yang diteriakkan oleh seorang pe-

muda. Keempatnya hendak mengelak, namun 

ternyata larikan jarum-jarum beracun itu jauh le-

bih cepat dibandingkan dengan gerakan mereka. 

Tanpa ampun, keempatnya seketika memekik. 

Tubuh keempat prajurit itu seketika membiru, ke-

jang sejenak dengan mata melotot, lalu akhirnya 

mati dengan tubuh kaku.

"Iblis! Kejam!" pemuda itu yang tidak lain Jaka 

Ndableg memaki-maki demi melihat kenyataan


tersebut "Sumping Tindik, rupanya kecacatan 

mukamu tidak menjadikan engkau sadar!"

Sumping Tindik tengokkan mukanya meman-

dang ke arah suara itu. "Kau...?"

"Ya, aku!" jawab Jaka tenang, melangkahkan 

kakinya menghampiri Sumping Tindik.

"Kenapa kau ada di sini?"

"Itu urusanku, Sumping Tindik!" jawab Jaka 

kembali. "Tidak aku sangka, dulu kau aku ampu-

ni dengan harapan kau mau bertobat. Tapi ru-

panya bukan tobat yang engkau lakukan, malah 

makin menjadi-jadi tindakanmu!" 

Sumping Tindik menyengir kuda, sepertinya 

tak gubris segala ucapan Jaka Ndableg. Sementa-

ra dari dalam keraton bermunculan Jaladri dan 

Jaladru serta Rama Patih. Tidak ketinggalan Pra-

bu Sutrisna dan Pangeran Anggangga. Sumping 

Tindik nampak makin tersentak manakala meli-

hat siapa-siapa yang datang. Mungkin kalau 

hanya Rama Pati dan Rajanya ia tidak begitu ka-

get, tapi kini yang datang adalah orang-orang 

yang kini namanya tengah meninggi.

"Jaladri, Jaladru, kenapa pula engkau berada 

di sini?" tanya Sumping Tindik dengan nada ka-

get. "Apakah kalian telah hilang nyalinya hingga 

kalian rela mengabdi pada kerajaan yang tak mau 

diuntung ini?"

Kalau saja Jaladri dan Jaladru tidak melihat 

adanya Jaka Ndableg di situ, mungkin keduanya 

akan melabrak mulut Sumping Tindik yang ku-

rang ajar tersebut. Namun dikarenakan ada Jaka 

Ndableg, keduanya kini benar-benar menahan


amarahnya. Hal itu menjadikan Sumping Tindik 

yang merasa cemoohannya berhasil makin men-

jadi-jadi.

"Huh! Kalian memang bangsa penjilat!" 

"Tutup bacotmu, Bujang Lapuk!" Jaladru yang 

panasan memaki dengan sebutan Bujang Lapuk. 

Dan hal inilah yang menjadikan Sumping Tindik 

tak mau menerima. 

"Bangsat! Aku bunuh kau, Monyet! Hu, hu, 

hu...!" Tanpa hiraukan Jaka, Sumping Tindik se-

ketika menyerang Jaladri dan Jaladru dengan Ka-

lung Setannya.

"Wuuut...!"

Kalung Setan itu membersit, menyerang ke 

arah Jaladri dan Jaladru. Segera Sepasang Pen-

dekar Kembar itu lemparkan tubuh ke samping 

mengelakkan serangan. Kalung Setan melesatkan 

angin yang lolos beberapa senti saja di tengah-

tengah mereka.

"Wuuut...!" kembali Kalung Setan mencerca, 

seakan tidak menghendaki musuh dapat menga-

tur posisi. Tapi kedua Pendekar Kembar itu bu-

kanlah pendekar-pendekar kelas kroco. Walau 

mereka tahu siapa lawan yang tengah mereka ha-

dapi, namun keduanya tak akan gentar sedikit-

pun apalagi kini ada Jaka Ndableg yang tentunya 

akan membantu mereka.

"Srang...!" Terdengar bunyi pedang dicabut da-

ri sarungnya manakala tangan kedua Pendekar 

Kembar itu meraba gagang pedang.

"Hati-hati, Sumping Tindik! Kami tidak akan 

main-main!" Jaladru menggeretak, lalu dengan


secepat kilat ia berkelebat dengan pedang siap 

membabat. Jurus pedang kedua pendekar kakak 

beradik kembar itu sudah terkenal, tak dapat dis-

angkalkan kehebatannya. Kini keduanya benar-

benar telah mengeluarkan jurus-jurus tersebut. 

Pedang di tangan keduanya bergerak cepat laksa-

na gasing. Pedang itu bagaikan menghilang, be-

rubah menjadi warna-warna putih perak.

"Wuuuutttt...!"

"Wuuuutttt...!"

Keduanya berkelebat bareng, tusukkan pe-

dang ke arah tubuh Sumping Tindik. Sumping 

Tindik yang sudah tahu kehebatan ilmu pedang 

mereka segera putar kalungnya. Kini kalung di 

tangan Sumping Tindik berputar cepat, sama ce-

patnya dengan putaran pedang kedua pendekar 

kembar tersebut.

"Hiiiiaaaattt...!"

"Hiiiaaatttt...!"

Tiga sosok tubuh itu berkelebat cepat, saling 

mencelat ke udara dengan keadaan siap tempur. 

Senjata di tangan ketiganya nampak bergerak 

dengan cepatnya. Dua pasang pedang di tangan 

Jaladri dan Jaladru menusuk dengan jurus Dewa 

Pedang Menghancurkan Karang.

Melihat hal tersebut, dengan segera Sumping 

Tindik putar Kalung Setannya membentuk jurus 

Lingkaran Setan Memagar Neraka. Sebuah jurus 

yang sangat dibanggakan oleh para pendekar ali-

ran sesat, yang diciptakan sendiri oleh Sumping 

Tindik. Gerakan Sumping Tindik nampak kaku, 

namun mengandung kelicikan.


"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.

"Baik, Kakang! Kita serang. Hiaaattt...!"

Dua kakak beradik kembar itu mencelat den-

gan pedang masing-masing mengkiblat ke arah 

musuh. Gerakan keduanya bagaikan menggunt-

ing. Pedang di tangan keduanya saling menyilang, 

menjadikan mata pedang kini saling berhadapan.

"Hiiiaaattt...!"

"Puntung...!" Jaladru membentak. "Wuuut...!"

"Trang...!" Dua pedang di tangan kedua kakak 

beradik itu kini saling bertemu. Kalau orang lain, 

jelas akan puntung tubuhnya terkena sabetan 

pedang mereka. Namun kini bukanlah Sumping 

Tindik kalau tidak mampu mengelakkannya. Tu-

buh Sumping Tindik mencelat ke udara, manaka-

la pedang keduanya saling bertemu. Gerakan le-

laki bencong itu begitu gesit, hampir sulit diper-

caya. Malah kini Sumping Tindik tertawa berge-

lak-gelak dengan tubuh nangkring di atas wu-

wungan keraton.

"He, he, he...! Kalian kira kalian mampu men-

galahkan aku, heh!" Sumping Tindik mengejek.

"Turun kau, Bujang Lapuk!" maki Jaladru.

"Bangsat! Dua kali kau menghinaku! Hiaat...!" 

Sumping Tindik bukan alang kepalang marahnya, 

sehingga dengan geram tubuhnya menyelorot ke 

bawah. Kalung Setan kini berputar dengan cepat. 

Tubuh Sumping Tindik kini bagaikan terbang, 

melaju ke arah dua kakak beradik kembar yang 

sudah siap menyambutinya.

"Mati Kowe!" Sumping Tindik kibaskan tangan, 

berbareng dengan hantamkan Kalung Setannya.


Angin seketika menderu, bersamaan dengan men-

celatnya larikan sinar putih kebiru-biruan dari 

balik lengan baju Sumping Tindik.

Jaka Ndableg masih berusaha diam, menyak-

sikan pertarungan dua tokoh yang tadinya satu 

golongan itu bertempur. Jaka tidak mau ikut 

campur dulu, sebab ia merasa Jaladri dan Jala-

dru akan mampu mengatasinya. Namun dugaan-

nya sungguh meleset, ternyata Sumping Tindik 

benar-benar licik. Jaladri dan Jaladru yang me-

nyangka kalau Sumping Tindik tidak akan men-

geluarkan jarum-jarum beracunnya, tampak 

hanya memperhatikan Kalung Setannya dan be-

rusaha menangkis manakala kalung tersebut me-

nyerang. Tapi, dugaan mereka meleset. Manakala 

keduanya sibuk, Sumping Tindik segera serang 

keduanya dengan jarum-jarum beracun.

"Licik!" Jaka yang melihat hal tersebut segera 

berkelebat, babatkan Pedang Siluman Darah.

"Traangg...!"

Jarum-jarum beracun itu seketika runtuh ter-

tebas Pedang Siluman Darah. Hal itu menjadikan 

Sumping Tindik mencelat mundur tersentak. Ma-

tanya kini memandang tajam pada Pedang Silu-

man Darah di tangan Jaka. Pedang yang telah 

menggegerkan dunia persilatan. Dari ujung pe-

dang nampak mengalir darah merah membasahi 

batangnya.

"Pedang Siluman Darah!" Sumping Tindik dan 

yang melihat di situ terkesiap menyaksikan pe-

dang tersebut.

"Sumping Tindik, aku sarankan kau menye


rahlah!" Jaka Ndableg masih berusaha menahan 

kemarahan.

"Huh! Jangan harap, Jaka!" balas Sumping 

Tindik. "Jangan mengira kau akan mampu men-

galahkan aku kembali, Jaka!"

Jaka Ndableg memalingkan muka pada Jaladri 

dan Jaladru untuk meminta saran. Jaladri dan 

Jaladru hanya mengangguk, dan hal itu telah cu-

kup bagi Jaka untuk bertindak. Namun Jaka bu-

kanlah orang sombong. Walaupun ia berilmu 

tinggi, namun ia tidak mau begitu gegabahnya 

untuk bertindak.

"Sumping Tindik, apakah kau tidak mau sa-

dar?"

"Huh! Sok suci!"

Sumping Tindik yang memang mendendam 

pada Jaka tidak membuang-buang kesempatan. 

Segera dengan Tasbih Setannya ia berkelebat me-

nyerang.

Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka 

Ndableg gentar. Bahkan dengan entengnya Jaka 

elakkan hantaman Kalung Setan Sumping Tindik 

dengan hanya egoskan kepalanya. Tubuh Jaka 

merunduk, lalu dengan segera tusukkan Pedang 

Siluman Darah ke arah lambung Sumping Tindik.

"Ah...!" Sumping Tindik mengeluh tertahan, 

urungkan serangannya, tolakan tubuh ke bela-

kang. Tubuh Sumping Tindik mencelat ke bela-

kang, lalu dengan masih terbang diputarkannya 

Kalung Setan di tangannya.

"Wuuuttt...!"

Jaka tersentak, rundukkan badan menge


goskan hantaman Kalung Setan. Hampir saja ke-

pala Jaka terhantam, kalau tidak segera Jaka kib-

latkan Pedang Siluman Darah ke atas. Hal ini 

menjadikan Sumping Tindik kembali urungkan 

penyerangan. Tapi dengan cepat Sumping Tindik 

kirimkan jarum-jarum beracun ke arah Jaka.

"Pengecut!" Jaka Ndableg memaki, kibaskan 

Pedang menangkis.

"Trang...!"

Jarum-jarum itu runtuh berjatuhan dengan 

patah menjadi dua terbabat Pedang Siluman Da-

rah. Jaka segera lompat mundur, begitu juga 

dengan Sumping Tindik. Senjata di tangan kedu-

anya kini dimasukkan kembali ke sarungnya.

Keduanya saling memasang kuda-kuda. Mata 

keduanya saling pandang. Ketegangan kini terja-

di, begitu juga dengan semua yang berada di situ. 

Kini semua mata melihat pada dua sosok tubuh 

yang saling diam tanpa reaksi. Rupanya kedua 

orang berilmu tinggi tersebut tengah merapalkan 

segala ajian yang keduanya miliki.

"Jaka Ndableg, sudah siapkah engkau mati?!" 

Sumping Tindik berkata mengejek.

"Sumping Tindik, tidak salahkah engkau ber-

bicara?" Jaka balik bertanya. "Aku kira, kaulah 

yang harus berpikir, Sumping!"

"Keluarkan ilmumu, Jaka!" Sumping Tindik 

masih bersuara. "Nah, terimalah kematianmu! Te-

rimalah Ajian Begal Nyawa! Hiaaaattttt...!"

Tubuh Sumping Tindik mencelat hendak me-

nyerang ke arah Jaka. Sementara Jaka sendiri 

nampak masih terpaku diam pada tempatnya.


Tangannya menyilang bersedakap, menjadikan 

semua yang menyaksikan tampak was-was. Tu-

buh Sumping Tindik yang dengan tangan memba-

ra telah melesat dan hampir sampai pada tubuh 

Jaka Ndableg.

"Aah, mengapa Jaka diam saja?" Jaladru dan 

Jaladri nampak was-was. Keduanya takut kalau-

kalau tubuh Jaka akan hancur terhantam Ajian 

Begal Nyawa.

"Hoaaarrrr...! Dewa Api...!"

Tubuh Jaka Ndableg seketika itu menyala dari 

ujung rambut ke ujung kaki. Api membakar tu-

buhnya, menyala-nyala. Kini Jaka benar-benar te-

lah menjadi Dewa Api, yang siap membakar sega-

la apa saja yang ada.

Tersentak semuanya termasuk Sumping Tin-

dik. Sumping Tindik bermaksud mengurungkan 

serangannya, akan tetapi tubuhnya telah melaju 

dengan cepatnya dan sukar untuk dihentikan. 

Maka tak ayal lagi tubuh Sumping Tindik melesat 

ke arah tubuh Dewa Api yang nampak membara 

dengan api menjilat-jilat.

Dan ketika tubuh Sumping Tindik menempel 

di tubuh Jaka yang telah menjadi Dewa Api, seke-

tika Sumping Tindik menjerit kepanasan.

"Aaaaaa....!" Tubuh Sumping Tindik lengket 

dengan tubuh Jaka yang masih membara. Lalu 

setelah menjadi arang, tubuh Sumping Tindik 

mencelat ke udara.

"Hoooaaaarrrr...!" Jaka Ndableg hantamkan 

pukulan Inti Apinya ke arah tubuh Sumping Tin-

dik.


"Duaaar...!" Hancur lebur tubuh Sumping Tin-

dik menjadi debu. Semua yang menyaksikan me-

mejamkan matanya, manakala debu-debu itu 

berhamburan pecah dari tubuh Sumping Tindik. 

Benar-benar dahsyat dan mengerikan. Perlahan 

Jaka berubah kembali pada bentuk asalnya, ma-

nakala tubuh Sumping Tindik benar-benar telah 

sirna. Bersamaan dengan hilangnya api di tubuh 

Jaka, seketika tubuh Jaka menghilang entah ke 

mana.


ENAM



Sepeninggalan Jaka Ndableg, nampak di Kera-

jaan Bumi Jawa tiga mahluk dua manusia dan 

seekor kera datang. Kedatangan mereka bagaikan 

atas perintah seseorang. Tiga mahluk dengan dua 

manusia itu tidak lain Kera Siluman dan dua 

kambratnya yaitu Jantrang atau Jalakatunda dan 

Taka Moro, orang yang berpakaian serba merah 

dan muka tertutup lilitan kain merah pula. Dialah 

Si Ninja Merah! 

"Ada keperluan apa kalian datang?" tanya Ra-

ma Patih yang menyambut kedatangan ketiga 

orang, dengan salah seorang di antara mereka ia 

kenal bernama Jalakatunda. "Dan kau Jalaka-

tunda, kau harus mempertanggung jawabkan tin-

dakanmu!"

"Nguuuk...!" Kera Siluman menggeretak, seper-

tinya memendam hawa permusuhan pada sege-

nap yang ada di situ. Berdiri di belakang Rama


Patih, dua orang pendekar dengan wajah kembar 

yang tidak lain Jaladri dan Jaladru.

"Kera inikah yang dinamakan Kera Siluman?" 

tanya Jaladru pada kakaknya. "Benar, Adik."

"Hem, mau apa mereka ke mari? Dan apakah 

Jantrang keparat itu hendak menyerahkan di-

rinya?" kembali Jaladru bertanya. "Jantrang, kau 

datang tepat pada waktunya. Kau harus memper-

tanggung-jawabkan segala tindakanmu yang pen-

gecut itu!"

"Enak kau ngomong, kawan!" Jantrang menye-

ringai. "Nanti kalian akan segera tahu siapa 

adanya aku!"

"Bangsat! Jadi kau menantang kami, Jan-

trang!" Jaladru menggeretak marah.

Jantrang nampak masih tersenyum, sementa-

ra Taka Moro yang berdiri di depan dengan Kera 

Siluman nampak masih tenang. Matanya yang 

nampak dari lubang tudungnya mengawasi para 

prajurit yang berada di situ. "Aku rasa, tentunya 

sebentar lagi akan terjadi pertarungan besar," 

gumam hati Taka Moro. "Hem, para prajurit kera-

jaan ini nampaknya telah siaga untuk menghada-

pi kami."

Dan apa yang dibayangkan oleh Taka Moro 

benar adanya, karena dalam sekejap saja, mana-

kala Rama Patih menyerukan untuk menangkap 

mereka seketika para prajurit yang sudah siap 

siaga itu bergerak mengurung. Taka Moro cabut 

samurainya dan dengan penuh kewaspadaan 

menghadapi musuh-musuh yang kini mengelilingi 

dirinya.


"Serbuuuu...!" Rama Patih berseru, yang den-

gan segera dilaksanakan oleh seluruh prajuritnya 

menyerang. Senjata-senjata di tangan para praju-

rit itu berkelebat menyerang ketiganya. Dengan 

segera ketiga orang utusan Dewi Cendana Biru itu 

berkelebat mengelakkan serangan dan sesekali 

membalas. Setiap balasan mereka menjadikan 

pekikan kematian bagi yang terkena tendangan 

ataupun pukulan kaki dan tangan ketiga orang 

tersebut. Apalagi Taka Moro dengan samurainya, 

nampak beringas dan haus darah samurai di tan-

gannya. Setiap kali samurai tersebut berkelebat, 

setiap kali itu juga nyawa musuh melayang. Ada 

yang puntung lehernya, terbabat muncrat perut-

nya, ataupun morat marit keadaan tubuh mu-

suhnya terbeset-beset samurainya.

Melihat para prajurit banyak yang jadi korban, 

segera kedua Sepasang Pendekar Kembar berke-

lebat menghadang. Keduanya sudah terkenal 

akan kehebatan ilmu pedangnya. Bahkan kedua-

nya pernah mempecundangi Takasima atau pim-

pinan Ninja Hitam dengan mata kiri hancur. Kini 

keduanya telah terjun menghadang ketiga utusan 

Dewi Cendana Biru. Namun keduanya juga Raka 

Barka yang saat itu turut membantu harus me-

mikirkan siapa adanya Kera Siluman.

Mungkin mereka mampu mengalahkan Taka 

Moro dan Jantrang atau yang lainnya, tapi den-

gan Kera Siluman yang di dalam raganya terdapat 

sukma Raden Sukra, mereka harus berpikir.

"Ninja Merah, kau adalah musuhku, bukan 

musuh prajurit-prajurit yang tidak tahu apa-apa!"


bentak Jaladru. Sedangkan Jaladri kini mengha-

dapi Jantrang. Raka Barka tak mau ketinggalan, 

ia dengan para prajurit dan Rama Patih kini 

menghadapi Kera Siluman.

Pertarungan orang-orang gagah yang sudah 

sekian lama malang melintang di dunia persilatan 

kini terjadi. Jaladru yang berilmu tinggi, tidak 

memberikan pada Ninja Merah atau Taka Moro 

sekali pun untuk dapat membalas menyerang. 

Pedang di tangan Jaladru bagaikan mempunyai 

mata. Pedang tersebut mencerca pada lambung 

lawan. Hal itu menjadikan Taka Moro harus be-

rupaya mengimbanginya.

"Wuuuutttt...!" samurai di tangan Taka Moro 

berkelebat mencoba membabat pedang di tangan 

Jaladru yang kini siap membabat tubuhnya.

"Traanggg...!" Dua pedang itu bertemu, me-

nempel menjadi satu. Mata keduanya saling pan-

dang, seakan keduanya kini saling menilai sebe-

rapa tinggi ilmu yang dimiliki lawan. Keringat ber-

cucuran dari pelipis Jaladru dan Taka Moro.

Tangan keduanya bergetar.

"Hiiiaaatttt...!" Taka Moro lepaskan samurai, 

lalu dengan cepat kibaskan samurai tersebut 

membentuk lingkaran.

Jaladru segera lompat ke belakang, lalu den-

gan cepat pula pedang di tangannya silangkan ke 

depan dada. Mata Jaladru tajam memandang pa-

da musuh. Pedang yang menyilang itu perlahan 

membuka, itulah jurus Pedang Seriti Menjepit 

Mangsa. Sebuah jurus pedang yang sudah tingkat 

tinggi.


Mungkin kalau musuh yang tidak tahu, akan 

menyangka bahwa gerakan tersebut adalah gera-

kan nekat. Namun bila yang mengerti akan ilmu 

pedang, mereka akan berpikir tujuh kali untuk 

melakukan penyerangan. Kelihatannya memang 

pertahanan Jaladru terbuka, akan tetapi sesung-

guhnya perkembangan jurus tersebut sangatlah 

berbahaya.

Dan benar! Manakala Taka Moro bergerak me-

nyerang dengan samurainya, secepat kilat Jala-

dru silangkan gerak pedang. Pedang di tangan Ja-

ladru sungguh aneh gerakannya. Gerakan pedang 

itu mengidal, namun angin yang keluar mampu 

menggetarkan samurai di tangan Taka Moro. Taka 

Moro mencoba terus mencerca, disodokkannya 

pedang samurai di tangannya ke arah tenggoro-

kan lawan. Namun sungguh tak terduga Jaladru 

telah mendahului berkelebat dengan gerakan pe-

dang membabatkan lehernya.

"Ah!" Taka Moro tersentak memekik tertahan, 

urungkan niatnya menyerang. Samurai di tan-

gannya ditarik kembali, lalu dengan bersalto ia 

elakkan serangan.

Sementara di tempat lain, nampak Kera Silu-

man yang sudah dititisi oleh Raden Sukra nam-

pak menghadapi pengeroyokan para prajurit kera-

jaan dengan entengnya. Tubuh Kera Siluman me-

lompat ke sana ke mari, lalu dengan garuk-garuk 

tubuh tangannya bergerak menyambit.

"Wuuuttt...!" Angin sampokan tangan Kera Si-

luman menderu, menjadikan pengeroyoknya mau 

tidak mau harus menghindar. Namun belum juga


mereka hilang kagetnya, dengan cepat Kera Silu-

man telah melompat menyerang mereka kembali. 

Gerakan tangan dan kaki Kera Siluman itu sung-

guh cepat, hingga sukar untuk dielakkan oleh 

musuhnya. Tangan Kera Siluman itu kembali 

menyampok ke arah seorang prajurit. Prajurit itu 

bermaksud membalasnya dengan tusukan tom-

bak, namun sungguh di luar akalnya, tiba-tiba 

Kera Siluman telah mendahuluinya. Kini tangan 

berkuku hitam panjang dan tajam itu telah leng-

ket di leher prajurit tersebut. 

"Ngguuuukkkk...!"

"Cepat serang dia!" Rama Patih memerintah-

kan pada anak buahnya. Dengan segera anak 

buahnya berkelebat babatkan golok ke arah Kera 

Siluman, namun sungguh sial. Kera Siluman 

yang telah tahu dirinya terancam balik menyerang 

pada orang yang hendak membacokkan goloknya. 

Tak ampun lagi, orang tersebut seketika panik. 

Golok di tangannya bergerak liar, sehingga tanpa 

ia sadari, golok di tangannya telah membacok re-

kannya sendiri.

"Aaaaaaaa...!" tubuh prajurit yang terkena ba-

cokan temannya untuk sesaat memekik, kejang 

dan akhirnya ambruk dengan darah deras men-

gucur lalu akhirnya mati. Sementara prajurit 

yang satunya kini nampak panik ketakutan dis-

erang dengan cercaan yang bertubi-tubi. Prajurit 

lainnya berusaha membantu, tapi akibatnya ma-

lah temannya sendiri yang terkena tusukan tom-

baknya. Kacau balau pertahanan para prajurit di 

bawah pimpinan Patih Rama Patih. Amukan Kera


Siluman sungguh dahsyat, hampir setiap cakaran 

dan sampokan tangan serta kakinya menjadikan 

jerit para prajurit.

"Kepung Kera Edan ini!" Rama Patih memerin-

tahkan. Seketika para prajurit mengepung Kera 

Siluman. Serentak itu pula para prajurit dibantu 

oleh Raka Berka menyerang Kera Siluman. Tapi 

diserang begitu rupa tidak menjadikan Kera Si-

luman keder. Bahkan dengan garuk-garuk badan 

Kera Siluman melayani serangan mereka. Tangan 

kanannya yang tidak menggaruk diarahkan, lalu 

dengan menggeruk Kera Siluman yang tidak diki-

ra oleh para prajurit mampu mengeluarkan puku-

lan jarak jauhnya hantamkan tangannya.

"Wuuusssttt...!" Angin pukulan keluar dari te-

lapak tangan Kera Siluman. Dan seketika meme-

kiklah sepuluh prajurit yang terhantam angin pu-

kulan tersebut. Tubuh kesepuluh prajurit terse-

but mental ke belakang dengan dada bagaikan 

tertimpa ribuan kati. Tulang iga mereka remuk, 

dari mulut keluar darah segar. Sesaat kesepuluh 

prajurit itu meregang, lalu terkulai dengan nyawa 

melayang. Dada mereka menggurat gambar tela-

pak tangan menghitam legam.

"Tapak Wisa...!" Rama Patih memekik demi 

melihat jenis pukulan yang dilontarkan Kera Si-

luman. "Dari mana Kera Iblis ini mendapatkan 

pukulan Tapak Wisa?"

"Bukankah ia asuhannya Dewi Cendana Biru, 

Paman?"

Rama Patih angguk-anggukkan kepala demi 

mendengar penuturan Raka Berka. Kini ia baru


ingat bahwa kera itu adalah asuhan Dewi Cenda-

na Biru istri Raden Sukra.

"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!" Kera Siluman 

nampak menari-nari melihat hasil dari pukulan-

nya.

"Kera Iblis! Jangan bangga dulu, Kunyuk! Kau 

harus mampus di tanganku! Hiaaaatttt...!" Rama 

Patih yang sudah marah dengan segera menye-

rang Kera Siluman. Jurus-jurus andalannya se-

perti Topan Menghalau Naga Menderu, terarah ke 

arah Kera Siluman. Namun bagaikan tak menghi-

raukan Kera Siluman nampak melompat ke atas, 

dan dengan entengnya berjumpalitan menghin-

dar. Bahkan kini Kera Siluman itu menderu ke 

arah Rama Patih. Tangannya yang berkuku hitam 

dan tajam itu nampak siap mencengkeram leher 

Rama Patih. Rama Patih segera egoskan tubuh ke 

samping, hingga hanya beberapa senti saja tan-

gan Kera Siluman melesat di sisi tubuhnya.

"Kunyuk! Serang Kera Iblis itu!" kembali Rama 

Patih memerintah. Dan walaupun dalam keadaan 

takut, para prajurit itu segera menjalankan tu-

gasnya. Para prajurit kerajaan itu kembali berke-

lebat menyerang Kera Siluman.

* * *

Jaladri yang ilmunya memang berada di atas 

Jantrang beberapa tingkat, nampak tidak menga-

lami kesusahan untuk mendesak musuhnya. Ja-

ladri kini nampak berkelebat-kelebat dengan pe-

dang di tangannya.


"Menyerahlah kau, Jantrang!" Jaladari mem-

peringatkan. 

"Jangan harap!"

"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, Ib-

lis!"

Jaladri kini kembali berkelebat, pedangnya 

menyambar-nyambar bagaikan sebilah pedang 

bermata. Ya, pedang di tangan Jaladri bagaikan 

memiliki mata sendiri. Pedang itu nampak buas 

dan ganas. Jaladri kibaskan pedang ke arah tu-

buh Jantrang, menjadikan Jantrang harus men-

guras tenaganya untuk mengelak. Keringat dingin 

mengucur deras di tubuh Jantrang. Ia tahu kalau 

Jaladri bukanlah tandingannya, tapi bila ia harus 

mengalah begitu saja, jelas ia akan mendapat 

murka Sri Ratu Dewi Cendana Biru.

Jaladri bagaikan kesetanan, mencerca Jan-

trang dengan tusukan dan tebasan pedangnya. 

Tinggallah Jantrang harus berusaha mengelakkan 

atau menangkis pedang di tangan Jaladri. Tapi bi-

la keduanya saling adukan pedang, seketika tan-

gan Jantrang bagaikan perih terasa. Tenaga da-

lam yang ia miliki jauh berada di bawah Jaladri 

yang memang merupakan tokoh silat yang sudah 

mempunyai nama.

"Aku pcringatkan sekali lagi, menyerahlah!"

"Tidak!"

"Hem, rupanya kau benar-benar mencari ma-

ti!" Jaladri menderak, lalu dengan melentingkan 

tubuhnya Jaladri bergerak terbang. Pedang di 

tangannya kini mengkiblat ke arah muka Jan-

trang. Jantrang berusaha mengelakkannya na


mun secepat angin Jaladri yang menggunakan ju-

rus Sapuan Dewa Pedang bergerak dengan cepat 

sukar diduga. Pedang di tangannya kini tampak 

menghilang, dan tiba-tiba....

"Aaaaaa...!" Jantrang memekik, pedang di tan-

gan Jaladri ujungnya kini nancap di mata sebelah 

kanan. Dengan segera Jaladri cabut pedangnya, 

menjadikan Jantrang makin menyayat jeritannya. 

"Uaaaaa...!"

Darah muncrat dari mata kanan Jantrang 

yang hancur. Tubuh Jantrang menggelepar-

gelepar, tangan kanannya segera mendekap ma-

tanya yang hancur. Dengan berguling-guling Jan-

trang yang sekarat berusaha mempertahankan di-

ri. Namun bagaikan tak kenal rasa kasihan Jala-

dri kembali tancapkan pedangnya ke arah tubuh 

Jantrang. Untuk kedua kalinya Jantrang menje-

rit, sebelum akhirnya kejang sesaat dan mati.

Bersamaan dengan matinya Jantrang, tiba-

tiba berhembus angin besar menerpa mereka. 

Semua yang bertarung tersentak kaget. Namun 

belum juga mereka dapat tahu apa yang menjadi 

sebab, tiba-tiba sebuah bayangan berwarna biru 

telah mendahulukan serangan yang ditujukan 

pada Jaladri. Tanpa ampun lagi, Jaladri yang ti-

dak menyangka akan diserang begitu rupa tak 

dapat mengelak. Jaladri terpental ke belakang. 

Dadanya terasa sakit dan sesak. Namun begitu 

Jaladri berusaha membalas menyerang.

"Kuntilanak! Hiaaaattt...!" Jaladri hantamkan 

tangannya ke arah bayangan biru tersebut. Tapi 

bagaikan tak merasa apa-apa, bayangan biru itu


kibaskan tangannya memapaki serangan Jaladri. 

Dan untuk kedua kalinya Jaladri memekik, tu-

buhnya bagaikan hangus terbakar.

Jaladru yang mendengar pekikan kematian 

kakaknya seketika alihkan perhatiannya ke arah 

datangnya suara tersebut. Hal itu menjadikan 

makanan empuk bagi Taka Moro. Tanpa menyia-

nyiakan kesempatan Taka Moro segera babatkan 

samurainya ke arah tubuh Jaladru.

"Wuuuuuttttt...!"

"Craassss...!"

"Aaaaaa...!" Jaladru memekik, sesaat lalu am-

bruk dengan tubuh puntung menjadi dua. Di pi-

hak lain kini Kera Siluman nampak makin meng-

gila setelah tahu siapa yang datang. Kera Siluman 

yang di tubuhnya bersemayam sukma Raden Su-

kra, nampak dengan penuh semangat lancarkan 

segala pukulan yang dimiliki. Maka dalam sekejap 

saja para prajurit dibikin bulan-bulanan. Yang le-

bih tragis adalah Raka Berka. Kepala Raka Berka 

dicopotnya dari leher, lalu bagaikan bola kepala 

itu ditendangnya.

Morat maritlah pertahanan kerajaan, apalagi 

dengan matinya dua pendekar yang menjadi tum-

puan mereka. Kini dengan beringas para iblis di 

bawah pimpinan Dewi Cendana Biru mengobrak-

abrik pertahanan kerajaan.

Sebelum ketiga orang yang menggila itu me-

nyerang ke dalam, dengan cepat Patih Rama Patih 

berkelebat. Patih itu dengan cepat membawa tu-

buh Pangeran Anggangga pergi. Dan manakala 

ketiga iblis tersebut menjarah masuk, ketiganya


hanya menemukan raja yang tampaknya pasrah, 

sementara Pangeran Anggangga dan Rama Patih 

telah menghilang entah ke mana.

Dendamnya pada Raja Sutrisna telah menja-

dikan mata gelap Dewi Cendana Biru. Dengan pe-

nuh dendam itu Dewi Cendana Biru perintah-kan 

pada Taka Moro untuk memenggal kepala Prabu 

Sutrisna yang pasrah.

"Taka, penggal kepalanya dan gantung di alun-

alun!"

Taka Moro sejenak memandang pada Dewi 

Cendana Biru, nampaknya Taka Moro ragu, na-

mun Dewi Cendana Biru pelototkan matanya 

hingga membuat Taka Moro akhirnya mengalah. 

Perlahan Taka Moro berjalan mendekat, tapi be-

lum juga Taka Moro sampai, tiba-tiba dengan 

pengecut Dewi Cendana Biru hantamkan pukulan 

tenaga dalamnya. Taka Moro sesaat memekik, 

ambruk dengan mulut keluar darah. Mata Taka 

Moro nampak mendelik, lalu dari mulutnya yang 

keluar darah terdengar caci maki yang ditujukan 

pada Dewi Cendana Biru.

"Kau...! Kau tidak lebih seorang iblis!" 

"Mampuslah kau orang Nippon!" 

"Bangsat! Kau harus mampus denganku!" Ta-

ka Moro yang sudah luka berusaha bangkit. Dan 

setelah mampu, segera Taka Moro babatkan sa-

murainya menyerang. Namun belum juga Taka 

Moro dapat berbuat, tiba-tiba Prabu Sutrisna te-

lah menusukkan kerisnya dari belakang. Tak ayal 

lagi Taka Moro pun akhirnya ambruk terkulai di 

tanah mati.


"Bagus, Kakang! Kau telah menyelesaikan tu-

gasmu! Sayang bocah itu dapat selamatkan diri," 

Dewi Cendana Biru berkata pada Prabu Sutrisna, 

lalu dengan penuh kerinduan Dewi Cendana Biru 

segera memeluk tubuh Prabu Sutrisna.

"Nguuuk...!" Kera Siluman nampak belingsa-

tan melihat Dewi Cendana Biru tiba-tiba berpelu-

kan dengan Prabu Sutrisna yang ia ketahui ada-

lah musuhnya. "Nguuuk...!"

Dewi Cendana Biru lemparkan senyum ke 

arah Kera Siluman, lalu dengan congkaknya sang 

Dewi pun berkata: "Minggatlah kau ke akherat 

sana, sebab aku kini telah mampu mengelabui 

orang-orang yang menghormatimu! Ketahuilah, 

aku dan kakang mas Sutrisna telah sekongkol 

untuk meracunimu! Hua, ha, ha...!"

"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman menangis, lalu 

bagaikan menyesal kera itu berkelebat pergi ting-

galkan keraton dengan membawa derita di ha-

tinya. Bersamaan dengan perginya Kera Siluman 

terdengar suara seseorang berkata. "Dewi Iblis! 

Aku akan membalas segalanya! Aku akan mem-

balas segala perbuatan kalian! Tunggulah keda-

tangan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bersa-

manya aku akan memakan jantungmu, Dewi Ib-

lis!"

Dewi Cendana Biru dan Prabu Sutrisna ganda 

tertawa, sepertinya ucapan Kera Siluman atau 

Raden Sukra tiada artinya sama sekali bagi mere-

ka. Malah dengan congkak keduanya berseru 

membalas. "Kami tak akan kalah oleh siapapun! 

Sebab kami memiliki Ajian Pelenyap Sukma!


Panggillah pendekar di seantero jagad, aku dan 

kekasihku tak akan mengalah! Hua, ha, ha...!" 

Dengan tenangnya kedua iblis berbentuk manusia 

itu berlalu masuk ke dalam kamar, di mana ke-

nangan sepuluh tahun silam telah menggayut. 

Kenangan di mana awal pertama kali keduanya 

dengan sembunyi-sembunyi melakukan apa yang 

seharusnya tidak mereka lakukan. Dan kini ke-

duanya pun melakukannya lagi, mungkin untuk 

selamanya sebelum ada orang yang membuka ta-

bir siapa adanya kedua orang tersebut.


TUJUH



Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan me-

nikmati suasana pagi yang indah itu seketika 

hentikan langkah manakala tampak olehnya dari 

depan seorang lelaki dengan menggendong tubuh 

bocah kecil berlari-lari. Nampaknya lelaki itu te-

lah lama berlari, sehingga di wajahnya nampak 

keletihan. Jaka tersentak setelah tahu siapa 

adanya lelaki tersebut, yang tidak lain Rama Patih 

adanya. Segera Jaka Ndableg pun berkelebat me-

nyambut kedatangannya. 

"Paman Rama Patih...!"

Rama Patih hentikan langkahnya manakala di-

lihatnya Jaka Ndableg telah berdiri menghadang 

langkahnya.

"Jaka...?!"

"Ada gerangan apa Paman dan Pangeran berla-

ri-lari?" tanya Jaka ingin mengerti.

Rama Patih sejenak terdiam, kemudian setelah 

menurunkan tubuh Pangeran Anggangga, Rama 

Patih pun akhirnya bercerita tentang kedatangan 

Dewi Cendana Biru dan anak buahnya setelah 

kepergian Jaka.

"Sebenarnya Pangeran Anggangga bukanlah 

anak Dewi Cendana Biru atau pun Prabu Sutris-

na."

"Jadi...?" Jaka nampak kebingungan. "Bagai-

mana hal sebenarnya, Paman? Mengapa bisa ru-

mit masalahnya?"

"Sepuluh tahun yang lalu, Raden Sukra me-

mimpin di Kerajaan Bumi Jawa. Raden Sukra 

memiliki seorang istri yang cantik dan seorang se-

lir yang tidak lain Dewi Cendana Biru. Namun 

tanpa sepengetahuan Raden Sukra, Dewi Cenda-

na Biru sebenarnya mempunyai niat yang jelek. 

Suatu hari Dewi Cendana Biru dengan tanpa se-

pengetahuan Raden Sukra menjalin hubungan 

dengan Pangeran Sutrisna. Mulanya Pangeran 

Sutrisna menolak dikarenakan dia tahu bahwa 

tak baik bila ia harus mengadakan hubungan ge-

lap dengan istri kakak sepupunya. Tapi karena 

desakan Dewi Cendana Biru, akhirnya Pangeran 

Sutrisna pun takluk. Sejak saat itu keduanya 

menjalin hubungan."

"Lalu, siapa adanya Pangeran Anggangga ini?" 

tanya Jaka sambil menunjuk pada Anggangga 

yang masih tertidur pulas padahal hari telah be-

ranjak pagi. "Aku belum mengerti masalahnya, 

Paman?"

Dengan panjang lebar akhirnya Rama Patih


pun menceritakan siapa adanya Pangeran Ang-

gangga. Jadi jelasnya Pangeran Anggangga adalah 

putra Raden Sukra dengan istrinya yang pertama. 

Berhubung untuk menutupi aib keduanya, maka 

Pangeran Anggangga diangkat oleh Raja sebagai 

anaknya. Sebenarnya Raja dan Dewi Cendana Bi-

ru telah berusaha melenyapkan pangeran ini den-

gan mengutus Jantrang untuk menculiknya. Be-

runtung Jaka Ndableg memergoki, kalau tidak 

tentunya Pangeran Anggangga telah mati. Dan 

kematiannya dianggap kecelakaan atau diculik 

oleh Jantrang.

"Sungguh biadab!" Jaka menggeretuk marah.

"Ya! Kasihan Raden Sukra dan Anggangga, se-

bab hidupnya kini benar-benar terancam," Rama 

Patih mengeluh.

"Aku harus mencegah perbuatan gila mereka! 

Aku harus menegakkan hal yang sebenarnya!" 

Jaka berkata. "Ayo Paman, kita kembali ke kera-

jaan!"

"Untuk apa?"

Jaka Ndableg kerutkan kening mendengar per-

tanyaan Rama Patih. Dalam pertanyaan itu, tersi-

rap kata-kata ketakutan yang teramat sangat. Hal 

itu menjadikan Jaka Ndableg makin ingin tahu 

apa sebenarnya yang dirahasiakan.

"Bukankah yang berhak atas kerajaan adalah 

Pangeran Anggangga, Paman?"

"Ya!"

"Nah, aku ingin kebenaran berdiri di muka 

bumi."

"Maksudmu, Tuan Pendekar?"


"Aku akan meminta mereka untuk minggat 

dari kerajaan dan menyerahkannya pada Pange-

ran Anggangga!"

"Ah...!"

"Kenapa, Paman?" tanya Jaka makin bingung.

"Mereka bukan manusia biasa, Tuan Pende-

kar."

"Maksud Paman?" Jaka makin tidak mengerti.

Rama Patih menghela napas sejenak. Matanya 

nampak berkaca-kaca. Sesaat sorot mata itu me-

mandang hampa ke muka, lalu dengan berat me-

mandang ke arah Jaka.

"Mereka tak akan dapat mati bila kita tak tahu 

sandi hidup mereka."

Mata Jaka seketika melotot demi mendengar 

ucapan Rama Patih. Baru kali ini ia mendengar 

ada manusia yang memiliki sandi kematian.

"Aneh...." gumam Jaka. "Lalu harus bagaima-

na?"

"Entahlah, Tuan Pendekar! Mungkin dunia 

akan segera kiamat, sehingga iblis kini menguasai 

dunia."

"Akan aku coba, walaupun nyawaku sebagai 

taruhannya!"

Setelah menjura hormat, Jaka Ndableg segera 

berkelebat meninggalkan Rama Patih dan Pange-

ran Anggangga untuk menuju ke kerajaan. Se-

mentara Rama Patih yang menyaksikan hanya 

mampu gelengkan kepala dengan mulut bergu-

mam lirih. "Sungguh-sungguh seorang pendekar 

yang mumpuni, yang tahu kewajiban. Tapi aku 

tak akan tinggal diam, aku harus membantunya."

Rama Patih segera menggendong tubuh Pangeran 

Anggangga kembali, lalu dengan segera ia pun 

berkelebat menyusul ke arah Jaka Ndableg.

* * *

"Tuan Pendekar... Tuan Pendekar, tunggu!"

Jaka yang tengah berlari dengan segera meng-

hentikan larinya demi mendengar seseorang ber-

seru. Segera Jaka berusaha mencari asal suara 

itu. Namun ia tidak menemukan siapa-siapa di si-

tu, dan hanya pepohonan belaka yang bergoyang 

tatkala dihembus angin.

"Aneh, siapa yang memanggilku?" Jaka terhe-

ran-heran sendiri. "Siapa yang memanggilku...?!"

"Aku, Tuan Pendekar!"

Terbelalak Jaka Ndableg demi melihat seekor 

kera mampu berkata-kata layaknya manusia. Ja-

ka mencoba meyakinkan bahwa kera itulah yang 

berbicara, maka Jaka pun kembali bertanya ma-

nakala kera tersebut makin dekat. "Engkaukah 

yang berkata?"

"Benar! Akulah yang memanggilmu!" jawab Ke-

ra Siluman.

"Heh, aku kira kau bukanlah kera sembaran-

gan. Siapakah engkau adanya?"

Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Kera 

Siluman melelehkan air mata menangis. Hal itu 

menjadikan Jaka iba. Perlahan dihampirinya kera 

tersebut, lalu dengan lembut dibelainya dengan 

tangan.

"Kenapa engkau menangis?"


"Nguuuk...! Aku sungguh menderita, Tuan 

Pendekar." 

"Menderita...?" tanya Jaka. "Maksudmu?"

Kera Siluman itu akhirnya menceritakan siapa 

adanya dirinya. Cerita Kera Siluman itu sungguh 

sama persis dengan apa yang dibeberkan oleh 

Rama Patih. Hal ini menjadikan Jaka yakin bah-

wa segalanya memang benar.

"Ketahuilah, Prabu Sukra. Aku pun sebenar-

nya hendak menuju ke kerajaan. Aku tahu bahwa 

yang berhak atas tahta kerajaan adalah anakmu 

Pangeran Anggangga."

"Itu benar, Tuan Pendekar!"

"Tapi aku kini dalam ketidak mengertian, Pra-

bu."

"Maksud Tuan Pendekar?" tanya Kera Silu-

man.

"Aku diberi tahu oleh Rama Patih bahwa ke-

duanya tidak akan mampu mati bila aku tidak 

mengetahui sandi kematiannya."

"Oooh..." Kera Siluman tampak tersenyum, la-

lu dengan manja Kera Siluman itu kembali berka-

ta. "Bukankah Tuan Pendekar memiliki Pedang 

Siluman Darah?"

"Ya!" jawab Jaka pendek. "Lalu...?"

"Hanya dengan pedang itulah mereka dapat 

mati!"

"Baiklah kalau begitu. Maukah Kanjeng Prabu 

membantuku?"

"Dengan senang hati, Tuan Pendekar."

Setelah berkata-kata, kedua mahluk berbeda 

jenis itu berkelebat meninggalkan hutan tersebut


untuk kembali menuju ke kerajaan guna meng-

hadapi dua pasang iblis berbentuk manusia yang 

kini tengah mengangkangi kerajaan dan menye-

barkan kemaksiatan.

* * *

Dua manusia iblis itu tengah memadu cinta 

yang tidak sah menurut aturan Tuhan, manakala 

terdengar di luar seseorang berseru memanggil 

mereka.

"Kurang ajar! Siapa yang siang-siang berani 

lancang!" Dewi Cendana Biru memaki sewot. Se-

gera keduanya bergegas merapikan pakaiannya 

yang berserakan, lalu dengan beriringan kedua-

nya segera menuju ke luar.

"Iblis-iblis berbentuk manusia, keluarlah ka-

lian!" kembali terdengar seruan seseorang.

"Bangsat! Siapa yang berani bersuara lantang, 

hah!"

"Aku, Dewi Iblis!" jawab Jaka.

Dewi Cendana Biru pelototkan mata manakala 

melihat seorang pemuda ganteng dengan pundak 

memangku seekor kera yang tidak lain Kera Silu-

man, suaminya, tegar berdiri memandang ke 

arahnya.

"Hi, hi, hi...! Rupanya pendekar ini yang kau 

maksudkan, Sukra? Hi, hi, hi...! Kasihan, pende-

kar tampan dan gagah harus menjadi korban ka-

mi!" Dewi Cendana Biru mengejek. "Bagaimana 

kalau kau menjadi pemuas nafsuku, anak gagah?"


Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, menja-

dikan Dewi Cendana Biru dan Sutrisna tersentak 

kaget. Keduanya tidak menyangka kalau pemuda 

di hadapannya mampu mengirimkan suara lewat 

gelak tawa yang memekakkan telinga. "Hua, ha 

hahaha...! Bagus juga saranmu, Dewi Iblis! 

Sayang, aku telah muak dengan keriputan usia-

mu!" Jaka berkata dengan penuh ejekan. "Jan-

gankan diriku, anjing kurapan pun tentunya akan 

menolaknya. Bukan begitu, Prabu?"

"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!"

"Kunyuk! Aku hancurkan kalian! Hiaaat...!" 

Dewi Cendana Biru dan Sutrisna dengan penuh 

amarah segera berkelebat menyerang Jaka dan 

Kera Siluman. Segera Jaka berkelebat menghin-

dar, lalu dengan cepat kirimkan tendangan ke 

arah keduanya. Tangannya didorongkan ke muka 

membentuk sebuah jurus lurus. Dan dari kepalan 

tangan Jaka keluar angin puting beliung mena-

han laju kedua musuhnya.

Dewi Cendana Biru kibaskan tangannya, lalu 

dengan cepat lolotkan gelang-gelang yang berada 

di tangannya. Seketika gelang-gelang itu melesat 

menyerang ke arah Jaka. Jaka Ndableg runduk-

kan kepala menghindar, hingga gelang-gelang ter-

sebut melesat beberapa inci di atas kepalanya. 

Namun rupanya gelang itu telah dialiri tenaga da-

lam yang sempurna. Manakala gelang-gelang ter-

sebut membentur pohon, seketika gelang-gelang 

tersebut balik menyerang Jaka. Jaka Ndableg se-

gera lemparkan tubuh ke kanan.

"Swiiiingg...!"


Kembali gelang-gelang maut itu mendesing di 

samping Jaka. Gelang itu berputar-putar, lalu 

dengan cepat kembali melesat menyerang Jaka. 

"Kurang ajar!" Jaka memaki. "Sraang...!"

Mata Dewi Cendana Biru dan Sutrisna seketi-

ka membelalak manakala melihat apa yang kini 

tergenggam di tangan Jaka Ndableg.

"Pedang Siluman Darah...!" keduanya meme-

kik.

"Wuuuut...!" Jaka kibaskan pedang manakala 

gelang-gelang maut itu kembali menyerangnya.

"Trang, trang, trang, trang, traaang...!" Lima 

kali berturut-turut terdengar benturan benda lo-

gam, dan lima kali itu pula Pedang Siluman Da-

rah membabat patah gelang-gelang maut terse-

but.

"Bangsat! Kau telah menghancurkan senjata-

ku!" maki Dewi Cendana Biru. "Terimalah kema-

tianmu, Anak muda! Hiaaatttt...!" Dewi Cendana 

Biru hantamkan pukulan Tapak Wisanya ke arah 

Jaka. Dengan segera Jaka kembali kibaskan Pe-

dang Siluman Darah, hingga larikan pukulan itu 

seketika menghilang dengan didahului suara le-

dakan dahsyat.

"Duuuaaarrr...!"

"Ayo, Tuan Pendekar, jangan biarkan mereka 

berbuat seenaknya!" Kera Siluman yang masih 

nemplok di pundak Jaka memberi perintah.

"Apa yang mesti aku lakukan, Prabu?"

"Serang keduanya dengan pedang di tangan-

mu!"

"Baik!"


Jaka Ndableg yang telah diberi tahu oleh Kera 

Siluman dengan segera berkelebat menyerang ke-

dua iblis musuhnya. Keduanya nampak tersen-

tak, dan dengan nekat keduanya mengirimkan se-

rangan dengan Ajian Tapak Wisanya.

"Wuuuut...!" Jaka babatkan pedang, manakala 

dua larik sinar menderu ke arahnya. Kemarahan 

Jaka benar-benar telah membeledak, sehingga 

tanpa sadar kini tubuhnya membara. Hal itu 

menjadikan Kera Siluman kepanasan dan lompat 

menjauh. Tubuh Jaka yang kini sudah merapal-

kan ajian Banyu Geni berupa Dewa Geni kini be-

nar-benar menjadi Dewa Geni. Matanya menyala, 

begitu juga rambutnya kini menjadi api.

Kembali kedua iblis musuhnya tersentak ka-

get. Keduanya kini benar-benar menemukan la-

wan yang setanding. Keduanya nampak menyurut 

mundur sedang dari mulut mereka seketika ter-

dengar pekikan menyebut nama ajian yang dike-

luarkan Jaka Ndableg.

"Dewa Geni...!"

"Kita serang, Dinda...!"

"Ayo, Kakang!"

"Hiaaaaatttt...!"

Kedua orang itu berkelebat dengan nekatnya 

menyerang dengan Ajian Tapak Wisa. Keduanya 

menyangka bahwa dirinya benar-benar tak akan 

dapat terkalahkan. Dewa Geni nampak membe-

liakkan mata, lalu dengan cepat Dewa Geni berke-

lebat memapaki keduanya. Pedang Siluman Da-

rah kini bagaikan membara, api membakar pe-

dang Siluman Darah menjadikan pedang tersebut


kini menjadi pedang api.

"Hooaaaarrrr...!" Dewa Geni menggeretak, dan 

melesat bagaikan terbang memapaki kedua mu-

suhnya.

"Hiiiiaaaatttt...!"

"Hiiiiaaaatttt...!"

"Wuuuuttt...!"

"Wesssttt...!"

"Wuuuuttt...!" Pedang Siluman Darah yang 

sudah menjadi api kini membersit ke arah mu-

suh. Angin yang keluar dari tebasan pedang 

membara panas laksana neraka.

"Wua...! Tobaat...!"

* * *

Kedua orang itu memekik kepanasan, lalu 

menggelepar-gelepar di tanah. Kera Siluman yang 

sudah siap-siap hendak mengambil jantung Dewi 

Cendana Biru segera melompat, tangannya yang 

berkuku nampak liar mengorek-ngorek dada Dewi 

Cendana Biru, yang seketika itu kembali menjerit.

"Aaaaaa...!"

"Proot!" Jantung itu terbesot ke luar, menjadi-

kan Dewi Cendana Biru saat itu juga terkulai ma-

ti. Dengan rakusnya Kera Siluman memakan jan-

tung mentah milik Dewi Cendana Biru.

"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman nampak kepu-

asan, akan tetapi ketika jantung itu telah habis, 

tiba-tiba tubuh kera itu terkulai lemah mengecil 

dan kecil hingga akhirnya menghilang lenyap tan-

pa bekas. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg yang


melihatnya, terbengong-bengong tak mengerti.

"Aneh! Sungguh aneh semuanya!" Jaka Ndab-

leg akhirnya dengan penuh ketidak-mengertian 

berkelebat pergi tinggalkan dua sosok mayat yang 

tiba-tiba telah berubah menjadi tua renta keriput. 

Pergi untuk kembali mengembara, menegakkan 

kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.

Hari itu juga, setelah kematian Dewi Cendana 

Biru dan Prabu Sutrisna, Pangeran Anggangga 

Gerta diangkat dan dinobatkan sebagai raja. Na-

mun dikarenakan dia masih belia, untuk semen-

tara tampuk kekuasaan dipegang oleh patihnya 

Rama Patih. Walaupun begitu, Rama Patih ber-

sumpah yang isinya:

"Aku bersumpah, akan selalu siap sedia untuk 

mempertahankan Kedaulatan Kerajaan. Dan aku 

bersumpah, kelak apabila Pangeran Anggangga te-

lah dewasa, kerajaan akan aku serahkan kembali 

padanya. Aku juga tak akan nikah untuk sela-

manya."

Pesta penobatan tersebut dilakukan dengan 

meriah. Tujuh hari tujuh malam hiburan digelar-

kan, semuanya untuk memberikan penghorma-

tan. Di samping itu juga, hiburan dimaksudkan untuk menolak bala...



                              SEKIAN










 

Share:

0 comments:

Posting Komentar