MUNCULNYA KERA SILUMAN
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Munculnya Kera Siluman
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Taka Moro yang telah dikalahkan oleh Jaka
Ndableg terus berlari meninggalkan tempat di
mana Jaka Ndableg dan Ki Aswatama menetap.
Taka Moro terus berlari, tujuannya hanya menca-
ri dan menemui Takasita yang masih berada di
tanah Jawa. Ingin mengutarakan kegagalannya
pada kakaknya Takasima, jelas ia tidak berani,
sebab dengan begitu kakaknya akan menyuruh-
nya Harakiri atau dihukum pancung.
Taka Moro tanpa berpaling-paling terus berla-
ri, dan berlari. Dia baru berhenti di sebuah tem-
pat, di mana hutan belukar masih perawan. Seje-
nak ia menengok ke sekeliling, lalu setelah dirasa
aman dengan sigap Taka Moro menghilang dalam
rerimbunan pepohonan.
"Berhenti...!" terdengar seorang memerintah.
Taka Moro segera hentikan langkah, lalu den-
gan kilat ia lemparkan senjata rahasianya yang
berupa bintang. Orang tersebut kebaskan pedang,
menangkis senjata rahasia yang dilemparkan Ta-
ka Moro.
"Traannggg...!"
"Setan! Berani engkau menyerang!" kembali
orang tersebut membentak, lalu dengan kilat
membabatkan pedangnya menyerang Taka Moro.
"Kurencah tubuhmu, Bangsat!"
Taka Moro tak berkata, segera egoskan tubuh
mengelakkan tebasan pedang di tangan orang
bercadar hitam tersebut. Merasa musuhnya
mampu mengelak, segera orang bercadar hitam
kembali pertajam serangan. Pedangnya membabat
dengan cepat dan beringas, seakan tak ingin
memberikan kesempatan sekali pun bagi Taka
Moro untuk membalas menyerang.
"Wuuuttt...!"
Pedang orang tersebut membabat ke arah leh-
er Taka Moro. Taka Moro segera lemparkan tubuh
ke arah tujuan pedang orang bercadar, miringkan
tubuhnya, lalu dengan cepat lempar-kan tendan-
gan ke arah musuh.
"Wuuuut...!"
"Wesssttt...!"
"Dug!"
Kaki Taka Moro telak menghantam iga orang
yang menyerangnya, yang seketika itu terpelant-
ing ke belakang. Namun orang tersebut kembali
bangkit, dan dengan beringas kembali menyerang
dengan membabi buta.
"Bajero! Kenapa engkau menyerangku, hah!"
Taka Moro menggeretak penuh marah. Segera dia
cabut samurainya, lalu dengan kebat dia balik
menyerang.
"Wuuutt...!"
Samurai di tangan Taka Moro bergerak cepat,
hampir saja mengenai sasaran kalau musuhnya
tidak segera lompat mundur mengelak. Melihat
musuhnya melompat, Taka Moro tampak tak mau
menghentikan serangannya. Kembali dengan sa-
murai siap menebas, Taka Moro melompat me-
nyerang.
"Wuuut! Wuuuttt...!"
Samurai di tangan Taka Moro makin berkele-
bat dengan cepatnya. Kini samurai tersebut ba-
gaikan hilang dari pandangannya, berubah men-
jadi bayang-bayang warna mengkilap. Musuhnya
terus berusaha mengelak, dengan sesekali me-
nangkiskan samurainya yang berada di tangan.
"Wuuuuuut!"
"Wuuuutttt!"
"Traaanggg!"
Dua pedang saling beradu, menempel dengan
tangan-tangan yang memegangnya bergetar. Mata
kedua orang dalam topeng ninja itu saling melo-
tot, memandang penuh waspada. Keduanya ter-
diam, saling paku pandangan, lalu dengan kem-
bali berteriak keduanya melompat ke belakang.
"Hiiiiiaaaaa...!"
"Hiiiiiaaaaa...!"
Dua tubuh tertutup kain hitam dan merah itu
saling melompat ke belakang, lalu kembali ber-
siap dengan samurai di tangan untuk kembali
menyerang. Samurai di tangan keduanya berge-
rak cepat, seperti menggambarkan gerakan-
gerakan yang sukar untuk diikuti.
"Hiiiiiaaaaa...!" Taka Moro memekik, tubuhnya
berkelebat cepat melesat dengan samurai meng-
kiblat ke arah musuh. Begitu juga dengan mu-
suhnya, kini nampak bergerak cepat dengan sa-
murai mengkiblat ke arah Taka Moro.
Tubuh keduanya melompat, bersalto di udara,
lalu dengan penuh kewaspadaan keduanya me-
luncur ke arah lawan. Samurai di tangan mereka
benar-benar sebuah nyawa bagi mereka. Samurai
tersebut kini bergerak cepat, mengibas ke arah
tubuh musuh yang melejit.
"Trang...!"
Kembali dua samurai itu saling bertemu, me-
nempel dengan mengeluarkan bunga api. Kedua-
nya segera menarik senjata masing-masing, lalu
dengan memekik lagi keduanya kembali menye-
rang menebaskan samurainya
Pertarungan dua ninja itu terus berjalan den-
gan sama-sama tak ada yang mau mengalah atau
menang. Samurai di tangan mereka tak ubahnya
sebagai penentu bagi hidup mereka. Di mana sa-
murai itu akan menjadikan bumerang bagi diri
mereka sendiri bila lengah, atau kurang mahir da-
lam menjalankannya.
Pertarungan itu terus berjalan, dan makin
nampak seru saja. Taka Moro yang memang telah
letih dengan perjalanan dan juga lelah oleh perta-
rungan dengan Jaka Ndableg, kini nampak terde-
sak. Samurai di tangan musuh nampak terus
mencerca dirinya, menjadikan Taka Moro terde-
sak dan hanya mampu mundur.
"Wuuut...!"
Samurai musuh membabat ke arahnya, ber-
maksud membelah.
Taka Moro terkesiap, lalu dengan segera dia
rundukkan tubuh ke bawah hingga samurai mu-
suh ada di atasnya. Tangannya segera pancang-
kan samurai ke atas, menangkis.
"Traang...!"
Dua samurai itu kembali beradu, menempel
dengan kerasnya. Asap mengepul, keluar dari dua
batang samurai yang menempel tersebut. Mata
kedua orang yang saling tatap itu, membeliak ma-
rah membara. Sepertinya dua orang ninja terse-
but tidaklah saling kenal satu dengan yang lain-
nya. Mulut mereka bisu, tanpa kata-kata ungka-
pan.
"Kenapa kau bermaksud membunuhku?"
tanya Taka Moro.
"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ninja
Hitam.
"Tugas...? Siapa yang menyuruhmu?"
"Itu rahasiaku!"
"Bedebah! Jangan harap kau mampu!"
"Akan aku buktikan! Hiaaaaaatttt...!"
Ninja Hitam tarik samurai, lalu dengan cepat
kibaskan samurai tersebut membabat tubuh Taka
Moro. Kalau Taka Moro tidak cepat mengelak,
maka tak ayal lagi tubuhnya akan putung menja-
di dua seperti pohon di belakangnya yang ambruk
terbabat oleh samurai musuh. Mata Taka Moro
membelalak, melihat apa yang terjadi pada pohon
yang terbabat putus tersebut. Pohon itu seketika
layu, lalu kering, dan akhirnya hangus terbakar
oleh racun yang berada di samurai.
"Racun Fuji Hitam!" Taka Moro memekik. "Be-
debah! Rupanya kau memang Ninja Hitam yang
berkelakuan hitam!"
"Jangan banyak omong, Taka Moro!"
"Kau telah mengenalku. Aku yakin, kau utu-
san seseorang untuk membunuhku!"
"Ya! Memang begitu adanya!"
"Katakan siapa yang mengutusmu, Bangsat!"
"Ini yang mengutusku!"
"Wuuut...!"
Tersentak Taka Moro diserang begitu tiba-tiba.
Namun sebagai seorang ninja, ia telah digembleng
dengan keberanian dan ilmu silat yang tidak ren-
dah. Juga rasa patriot sebagai seorang ninja un-
tuk lebih baik mati daripada mengalah pada la-
wan. Maka biarpun dicerca begitu rupa Taka Mo-
ro tidak mau menyerahkan nyawanya begitu saja,
ia terus berusaha membalas menyerang. Namun
rupanya keberuntungan dan tenaga yang dimiliki
oleh Taka Moro benar-benar susut, sehingga bu-
kannya Taka Moro mampu mengimbangi, bahkan
makin lama makin terdesak hebat. Hampir saja
samurai lawan mengakhiri segalanya, manakala
berkelebat sebuah bayangan menyentakkan sang
musuh.
"Wuuutttt...!"
Samurai musuh menderu, dan hampir mem-
babat tubuh Taka Moro ketika bayangan coklat
keabu-abuan dengan entengnya melesat, meng-
hantam samurai tersebut.
"Nguuuk!"
"Dessstttt...!"
"Aaah...!" Ninja Hitam memekik, tarik kembali
samurainya ke belakang. Tangannya gemetaran,
seakan hantaman bayangan yang ternyata seekor
kera menangkis samurainya. Ninja Hitam menyu-
rut mundur, matanya membelalak.
"Ngguuukkk...!" kera itu kembali mengelua-
rkan suara, berdiri di sisi Taka Moro. "Nguuuk!
Nggguuuk!"
"Terima kasih, Kera Baik," Taka Moro bergu-
mam, seraya memandang dengan hormat pada
sang kera yang bagaikan acuh terus memandang
ke arah Ninja Hitam.
"Bedebah! Rupanya binatang celaka ini ingin
mampus!"
"Nguuuk!" Si kera cibirkan monyongnya.
"Bangsat! Ngeledek!" Ninja Hitam memaki ma-
rah. "Aku jadikan dirimu perkedel, Monyet!"
"Wuuuuttt...!"
Samurai Ninja Hitam kembali berkelebat, kali
ini mengarah pada kera yang dianggapnya telah
ikut campur dalam masalahnya. Kera itu tampak
tenang menyambuti serangan Ninja Hitam. Dan
bagaikan menari-nari saja sang kera lompatkan
tubuh ke atas pepohonan.
"Nguuuk!" kera tersebut garuk-garuk tubuh,
lalu dengan gesit kembali melompat mengelak
manakala samurai lawan membabat ke arahnya.
"Ngaaiiik...!"
"Wuuuut...!"
Ninja Hitam tak perduli dengan suara kera
yang nampak telah marah. Ninja Hitam terus be-
rusaha merangsek sang kera dengan babatan-
babatan mautnya. Tapi bagaikan seorang manu-
sia saja, kera tersebut dengan enteng mengelak
berayun dari satu pohon ke pohon lainnya dengan
terus mengguguk menyeramkan.
Kera itu benar-benar mengejek segala seran-
gan yang dilancarkan oleh Ninja Hitam ke arah-
nya. Mulutnya terus menyeringai, dengan menun-
jukkan gigi-giginya yang tajam dan runcing ke
arah Ninja Hitam. Gusar dan marah Ninja Hitam
merasa dipermainkan oleh seekor kera. Dengan
kemarahan yang meluap Ninja Hitam membabi
buta menyerang.
"Bagero! Kera Iblis! Hiaaaaaatttt...!"
"Wuuuttt...!"
"Nguuukk...!"
Kera Siluman terkekeh, lompatkan tubuh ma-
kin ke atas pohon mengelakkan serangan Ninja
Hitam. Tubuh Kera Siluman terus makin naik ke
atas, menjadikan Ninja Hitam yang sudah terpe-
rangkap amarah dengan segera turut mengejar
naik. Dengan tangannya yang kokoh dan kuat
serta masih memegang samurai, Ninja Hitam
memanjat pohon tersebut mengejar.
"Ngguuuk! Ngguuukkk!" Kera Siluman makin
mengejek, menjadikan Ninja Hitam makin ber-
tambah marah saja. Dengan cepat Ninja Hitam
memanjat pohon jati tersebut. Namun sungguh ia
tidak menyadari akan bahaya yang sebenarnya
tengah mengancam dirinya. Dan manakala di-
rinya hampir sampai pada Kera Siluman, tiba-tiba
kera tersebut mengerang dan dengan cepat tanpa
dapat dielakkan menyerangnya.
"Ngggguuukkk! Ngaaaiiiikkkk...!"
"Wessssttt...!"
"Aaaahhhhhhhh...!" memekik seketika Ninja
Hitam yang tidak mampu lagi menyelamatkan di-
rinya dari serangan Kera Siluman. Samurainya
lepas, sementara Kera Siluman kini telah men-
cengkeram lehernya dengan jari-jari berkuku
runcing. Sesaat Kera Siluman menyeringai, lalu
dengan ganas dan tanpa mengenal kasihan gigi-
giginya yang tajam menghunjam di leher Ninja Hi-
tam yang masih berusaha mengelakkannya.
Pergumulan dua mahluk itu terus terjadi, sal-
ing berusaha memenangkan pertarungan hidup
dan mati. Tetapi rupanya kepanikan telah melan-
da Ninja Hitam, hingga dengan sendirinya tena-
ganya nampak makin bertambah kuat. Tapi wa-
laupun begitu, Kera Siluman sepertinya tak mau
mengampuni korban yang telah diincarnya. Kera
Siluman semakin keras dan kokoh mencengke-
ram leher Ninja Hitam, manakala Ninja Hitam ju-
ga makin keras memberontak untuk melepaskan-
nya.
"Taka Moro, tolonglah aku....'"
"Tidak! Aku tak akan menolongmu!" Taka Mo-
ro berkata mengejek, menjadikan Ninja Hitam
nampak makin ketakutan saja.
"Taka Moro, tolonglah aku...!"
Kata-kata tersebut adalah yang terakhir bagi
Ninja Hitam memekik, lalu akhirnya Ninja Hitam
menjerit menyayat manakala gigi-gigi Kera Silu-
man menghunjam ke lehernya. Sejenak Ninja Hi-
tam kelojotan, meregang nyawa, sebelum akhir-
nya terkulai lemas dengan nyawa melayang.
Taka Moro yang tadi berani memandang ke
arah dua mahluk itu saling gumul, kini nampak
palingkan muka membuang pandangannya. Ada
ketakutan menyelimuti dirinya melihat Kera Si-
luman tersebut dengan tanpa ampun membunuh
Ninja Hitam.
Darah mengalir dari leher yang berlubang,
terhisap dengan rakusnya oleh Kera Siluman.
"Nguuukkk...!" Kera Siluman hentikan ak-
sinya. Ditatapnya Taka Moro yang ketakutan, lalu
dengan tenangnya berjalan mendekati Taka Moro.
Dan belum juga Taka Moro hilang dari keterkeju-
tannya, Kera Siluman telah menarik tangannya
dan bagaikan terbang menggeret lengan Taka Mo-
ro pergi tinggalkan hutan tersebut. Taka Moro tak
mampu berbuat apa-apa, kecuali diam dan menu-
rut untuk selalu hidup.
DUA
Kereta kuda itu dipacu dengan kencangnya.
Kereta kuda tersebut bagaikan menggila larinya.
Orang yang berada di dalamnya tampak tergun-
cang-guncang terbawa oleh kereta kuda tersebut.
Entah karena apa, kereta kuda tersebut dijalan-
kan dengan cepat oleh sang kusir.
"Paman Jantrang, ke mana tujuan kita?" seo-
rang pemuda kecil dan tampan bertanya pada
orang yang berada duduk di sebelahnya, yang
bernama Jantrang. "Kenapa kita mesti lari dari
keraton, Paman?"
Jantrang sejenak singkapkan kain penutup
belakang kereta, lalu dengan suara keras berkata
pada sang kusir. "Kusir! Apakah kau tidak mam-
pu menjalankan kuda-kuda lebih cepat?!"
"Bukankah ini telah begitu cepat, Tuan?"
"Diam! Jangan banyak omong! Lakukan apa
yang aku katakan!" Jantrang membentak. "Kau
hanyalah seorang kusir, yang aku bayar untuk
itu."
"Tapi...."
"Tapi apa? Apakah kau minta digantung hah!"
"Ah, mengapa tuan begitu kasar pada saya?"
"Huh...!" Jantrang tak menjawab, malah kem-
bali dia singkapkan kain penutup kereta.
Siapa sebenarnya Jantrang tersebut? Dan sia-
pa sebenarnya bocah kecil tampan yang berada di
sebelah duduknya? Lalu mengapa Jantrang den-
gan bocah tersebut lari dari keraton?
Bocah kecil itu bernama Raden Anggangga
Gerta. Ia adalah putra raja Sutresna dari Kera-
jaan Bumi Jawa. Keberadaannya dengan Jan-
trang dikarenakan ia telah diculik oleh Jantrang.
Marilah kita tengok kejadian sebelum hal ini ter-
jadi.
* * *
Anggangga Gerta sebagai seorang anak raja
haruslah mempunyai ilmu kanuragan di samping
ilmu ketatanegaraan. Untuk memenuhi itu se-
mua, sang raja yaitu Prabu Sutresna mendatang-
kan seorang guru untuk mendidik sang anak.
Guru itu bernama Jaladri dan Jaladru, sepasang
pendekar kakak beradik kembar.
Dengan kedatangan Jaladri dan Jaladru, jelas
keberadaan Jantrang sebagai hulubalang di kera-
jaan Bumi Jawa kini terbongkar kedoknya. Jan-
trang yang telah sepuluh tahun lamanya men-
gabdi pada kerajaan, ternyata tak lain dari antek
anteknya Dewi Cendana Biru pemilik Kera Silu-
man yang sudah tak muncul-muncul lagi di dunia
persilatan.
Jaladri dan Jaladru yang hendak menjadi
guru bagi pangeran kecil Anggangga Gerta seketi-
ka tersentak manakala keduanya mengetahui
bahwa Jantrang menjadi hulubalang di situ.
"Kakang Jaladri, bukankah itu Jantrang?"
Jaladri ditanya oleh adiknya segera palingkan
muka memandang ke arah yang ditunjuk oleh
adiknya. Sejenak matanya mengawasi lekat-lekat
kebenaran pandangannya. Dan ketika bertambah
yakin Jaladri pun berkata: "Benar! Ternyata ku-
nyuk tersebut ada di sini!"
"Mari kita temui, Kakang."
Kedua kakak beradik kembar tersebut segera
berjalan menemui Jantrang. Dan tak alang kaget-
nya Jantrang manakala kedua pendekar kembar
tersebut mendekatinya. Mata Jantrang membe-
liak, lalu dengan berusaha tenang ia bertanya.
"Ada gerangan apa, Tuan-tuan pendekar?"
"Apakah kami tidak salah lihat?" Jaladru ber-
tanya.
"Tentang apa, Tuan?'' Jantrang masih berusa-
ha menutup diri dengan balik menanya. "Apakah
ada yang dapat saya bantu?"
"Bukankah kau Jantrang?"
"Ya! Bukankah kau Jantrang adanya?" tambah
Jaladri meneruskan pertanyaan adiknya, menja-
dikan Jantrang tersentak kaget. Namun Jantrang
tak mau membuka diri begitu saja, sebab ia tahu
siapa adanya dua pendekar kembar tersebut.
Jangankan dirinya sendiri mampu menghadapi,
dengan Dewi sekalipun mungkin mereka belum
dapat dikalahkan dengan mudah. "Mungkin tuan-
tuan salah lihat."
"Ah...!" kedua kakak beradik kembar memekik
tertahan mendengar ucapan Jantrang. "Manalah
mungkin kami ini akan lupa?" gumam Jaladri.
"Ooh, mungkinkah manusia tak akan pernah
lupa?" Jantrang balik bertanya, seakan ingin te-
rus mengelabui kedua pendekar kakak beradik
tersebut. "Ah, sudahlah! Maaf tuan-tuan, kita di
sini mempunyai tugas dan wewenang sendiri-
sendiri. Nah, bukankah tuan-tuan mempunyai
tugas untuk mendidik tuan pangeran?"
"Benar!" jawab keduanya serempak.
"Nah, saya permisi."
Kedua kakak beradik kembar tersebut tak da-
pat berkata apa-apa manakala Jantrang berlalu
meninggalkannya. Keduanya hanya sesaat saling
pandang, lalu dengan terlebih dahulu mengang-
kat bahu kedua pendekar kembar tersebut berlalu
pergi meninggalkan tempat tersebut untuk menja-
lankan tugas mereka menjadi guru bagi pangeran.
Terbelalak mata kedua pendekar kembar ma-
nakala mendapatkan diri murid mereka telah le-
nyap entah ke mana. Kedua kakak beradik kem-
bar tersebut segera berusaha mencari keberada-
an pangeran, muridnya.
Seluruh pelosok padepokan dicari, namun diri
murid mereka tidak juga ditemukan.
"Apakah tidak mungkin kalau Jantrang kepa-
rat itu yang telah berbuat rendah ini, Kakang?"
tanya Jaladru setelah merasa pasti tak akan
mampu menemukan Pangeran Anggangga Gerta.
"Ya! Aku rasa juga begitu," jawab Jaladri. "Ayo,
kita segera ke kerajaan untuk mengabarkan hal
ini."
Dengan hati dongkol dan penuh kemarahan
pada Jantrang kedua pendekar kembar tersebut
segera berkelebat pergi menuju ke kerajaan untuk
menyampaikan berita tersebut pada sang Raja.
* * *
"Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah
hilang," Jaladri menyampaikan berita, menjadi-
kan Sri Baginda Raja tersentak seraya kerutkan
kening.
"Hilang...? Hilang bagaimana?"
"Pangeran entah ke mana perginya. Mungkin
pangeran telah diculik oleh Jantrang," Jaladru
menambahkan.
"Jantrang?" Sri Baginda Raja memikir, meng-
ingat-ingat nama Jantrang. "Ah, benarkah?"
"Daulat, Sri Baginda. Sebenarnya hulubalang
Utama Kerajaan bukanlah bernama Jalakatunda.
Dia adalah Jantrang, sekutu Dewi Cendana Biru
pemilik Kera Siluman."
Tersentak Sri Baginda dan Rama Patih men-
dengar penuturan Jaladri. Betapa tidak, mereka
telah benar-benar merasa bodoh tak mau menger-
ti adanya musuh yang menyelinap di kerajaan.
"Apakah tuan-tuan pendekar tidak berdusta?"
Rama patih bertanya. "Apakah mungkin kami ku
rang selektif?"
Jaladri sunggingkan senyum, lalu katanya:
"Untuk apakah kami yang telah kalian kenal ha-
rus berdusta? Cobalah cari Jantrang di rumah-
nya. Kalau benar Jantrang ada, mungkin kamilah
yang kurang becus dalam hal ini."
Sri Baginda Raja dan Rama Patih saling pan-
dang. Keduanya membenarkan apa yang dikata-
kan oleh Jaladri, dan setelah sesaat berbuat begi-
tu Sri Baginda Raja pun berkata: "Rama Patih,
perintahkan tiga orang prajurit menemui Jan-
trang atau siapapun namanya!"
"Daulat, Baginda!" Rama Patih menyembah,
lalu dengan segera berlalu meninggalkan keraton
untuk menyuruh para prajuritnya menemui Jan-
trang.
Langkah Rama Patih nampak tergesa, terbukti
dalam sekejap saja dia telah menghilang dari
pandangan masuk ke tikungan jalan yang penuh
sesak oleh rumah-rumah kediaman para prajurit
keraton. Dan Rama Patih berhenti manakala telah
berjalan cukup jauh meninggalkan keraton. Di si-
tu berdiri beberapa rumah prajurit pilihan, yang
sewaktu-waktu siaga bila diperintah.
"Prajurit...! Kumpulll...!"
Dari beberapa rumah keluar para prajurit de-
mi mendengar seruan Rama Patih.
"Daulat, Patih...!"
"Daulat, Rama Patih...!"
"Kalian berkumpullah!"
Dengan tertib para prajurit tersebut berkum-
pul, membuat barisan berjejer di hadapan Rama
Patih. Dan setelah melihat para prajurit berbaris,
Rama Patih berjalan memeriksa barisannya.
"Kalian tahu apa yang telah terjadi?"
"Tidak, Rama Patih!" jawab semuanya bareng,
lalu saling pandang seakan bertanya-tanya antara
Satu dengan yang lainnya. "Pangeran Anggangga
hilang."
"Apa...!? Apakah Rama Patih tidak sedang
menguji kami?"
"Tidak! Dan saya memang sengaja memanggil
kalian untuk meminta pada tiga orang mencari
sang Pangeran," Rama Patih menerangkan. "Me-
nurut tuan Pendekar Jaladri dan Jaladru, pencu-
lik Kanjeng Pangeran Alit tak lain hulubalang kita
yang bernama Jalakatunda.".
"Sate bila memang benar!"
"Penggal kepalanya bila terbukti!"
"Kuliti saja, Rama Patih...!"
Rama Patih tak hiraukan pekikan para praju-
ritnya. Dia lebih memilih tenang, berjalan me-
nunduk dengan pikiran yang diliputi rasa keti-
dak-mengertiannya tentang apa sebenarnya yang
dicari Jalakantunda menculik Pangeran Anggang-
ga. "Mencari penyakit saja Jalakatunda," rungut
Rama Patih kesal.
"Aku perintahkan, tiga orang di antara kalian
siapa yang sanggup mencari dan menangkap Ja-
lakatunda?" Rama Patih bertanya pada para pra-
juritnya.
"Kami...!"
"Hem, bagus! Ternyata kalian adalah para pra-
jurit yang tinggi rasa nasionalismenya. Nah, aku
minta tiga orang saja untuk menjalankan tugas
ini." Rama Patih terdiam sejenak, mencari-cari
siapa kiranya yang pantas untuk menjalankan
semuanya. Matanya memandang satu persatu pa-
ra prajurit yang nampaknya telah siap untuk di-
tunjuk. Setelah lama meneliti para prajuritnya,
Rama Patih akhirnya berkata memerintahkan pa-
da tiga orang prajurit.
"Soka Lima, Dayatri, Enggarta, kalian aku be-
rikan wewenang untuk menjalankan tugas ini.
Cari Jalakatunda dan Pangeran Anggangga Gerta.
Kalian jangan kembali sebelum dapat menemu-
kan keduanya. Dan bila Jalakatunda melawan,
aku berikan pada kalian untuk menyingkirkan-
nya. Mengerti kalian?"
"Daulat, Rama Patih. Segala titah akan kami
junjung tinggi," jawab ketiga prajurit pilihan se-
rempak.
"Bagus! Yang lainnya, geledah kediaman Jala-
katunda!"
"Daulat, Rama Patih...!" jawab yang lainnya.
"Kerjakan!"
Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya
para prajurit Kerajaan Tanah Jawa itu bergegas
menyebar untuk menjalankan tugas masing-
masing. Ketiga prajurit pilihan bergerak dengan
menunggang kuda mencari keberadaan Huluba-
lang Jalakatunda atau Jantrang. Sementara pra-
jurit lainnya bergerak untuk menggeledah kedia-
man Jalakatunda.
* * *
Para prajurit yang menggeledah rumah kedia-
man Jalakatunda dengan segera sampai, dipim-
pin oleh seorang panglima prajurit yang bernama
Raka Berka. Raka Berka merupakan seorang
panglima perang yang disegani. Di samping otak-
nya yang pandai mengatur strategi perang, ia juga
terkenal dengan keberaniannya yang pantang
menyerah pada musuh dalam keadaan apa pun.
"Jalakatunda, keluar kau...!" Raka Berka ber-
seru, manakala dirinya dan sepuluh orang praju-
rit telah tiba di tempat Jalakatunda berada.
Tak ada jawaban.
Raka Berka kerutkan kening, lalu dengan
mengibaskan tangan Raka Berka memerintah pa-
da anak buahnya untuk menyerbu ke rumah Ja-
lakatunda. Dan dengan penuh keberanian para
prajurit Tanah Jawa itu bergerak dengan senjata
siap di tangan menyerbu ke dalam rumah.
"Menyerahlah, Jalakatunda! Kau telah kami
kepung!"
Kembali tak ada jawaban.
"Bedebah! Serang...!" dengan geram Raka Ber-
ka berseru memerintah pada kesepuluh anak
buahnya yang dengan segera berkelebat menye-
rang ke dalam. Semua prajurit itu dengan bareng
menghancurkan kediaman Jalakatunda. Namun
sungguh mereka terkesima tatkala melihat bahwa
rumah tersebut telah kosong, tanpa ada penghu-
ninya.
"Kosong, Panglima!"
"Kosong...?" Raka Berka menggumam sendiri.
"Ke mana larinya Jalakatunda keparat itu?'!"
Raka Berka yang tidak mau percaya begitu sa-
ja pada kesepuluh prajuritnya dengan segera ber-
kelebat masuk ke dalam rumah tersebut. Dan apa
yang dikatakan oleh kesepuluh prajuritnya ter-
nyata benar adanya. Rumah tersebut telah ko-
song, dibiarkan dalam keadaan begitu rupa oleh
pemiliknya. Raka Berka nampak makin sewot dan
marah menerima kenyataan bahwa Jalakatunda
benar-benar telah menculik Pangeran Anggangga
Gerta.
"Iblis! Ini benar-benar penghinaan pada Raja!"
"Benar, Panglima! Kita penggal saja bila kita
dapatkan!"
"Hem, mari kita kembali ke kerajaan untuk
melaporkan hal ini pada Rama Patih!"
Segera kesebelas prajurit istana yang ditu-
gaskan menyergap rumah Jalakatunda kembali
menuju ke istana guna menemui pimpinannya
yaitu Rama Patih. Kesebelas prajurit tersebut
tampak kemurungan yang teramat sangat di wa-
jahnya. Semua berjalan dengan diam, tak ada ka-
ta-kata menyelimuti mereka. Tengah mereka ber-
jalan dengan bisu, tiba-tiba terdengar suara orang
berkata mengejek.
"Orang-Orang istana bodoh!"
"Bangsat! Siapa kau!" Raka Berka balik mem-
bentak. "Kalau kau manusia, tunjukkan muka-
mu, Bangsat...!"
"Hua, ha, ha...! Percuma aku menunjukkan
mukaku. Aku merasa mukaku lebih berharga da-
ripada muka kalian yang tidak ada artinya sama
sekali!"
"Bedebah! Jangan kira kami akan membiarkan
monyet usil sepertimu! Seraaanggg...!"
Dengan sekali berseru, maka kesepuluh praju-
rit-prajurit itu berkelebat menyerang ke tempat di
mana suara tersebut datang. Namun kesepuluh
orang prajurit kerajaan itu hanya mendapatkan
bebatuan kosong belaka. Orang yang tadi mengi-
rimkan suara tak ada di sekitar batu tersebut.
Malah kini orang tersebut makin ganda tertawa
dengan penuh ejekan.
"Hua, ha, ha...! Kalian benar-benar orang bo-
doh!"
"Bangsat! Jangan bisanya memaki saja! Ke-
luarlah!" Raka Berka kembali membentak. "Kalau
kau tak mau keluar, jangan salahkan aku akan
membuat dirimu hancur, Bajingan!"
"Hua, ha, ha...! Raka Berka, Raka Berka,
omonganmu terlalu besar, tapi tak ada kenya-
taannya!" ejek suara itu.
"Bedebah!" Raka Berka menggeretak marah,
matanya memandang liar ke segenap penjuru,
sementara telinganya dipasang dengan tajam un-
tuk mampu mendeteksi di mana keberadaan mu-
suh. Tangannya telah siap menggenggam senjata
berupa keris pusaka Karta Ludra, yaitu sebuah
keris yang diberikan oleh gurunya manakala di-
rinya hendak mengabdi pada kerajaan. "Hai! Pe-
milik suara pengecut! Kalau kau manusia yang
memang berani, keluarlah dari persembunyian-
mu! Jangan sembunyi seperti itu! Hadapi Raka
Berka!"
"Raka Berka! Sudah aku katakan, percuma
aku menemui dirimu. Sebab tak ada artinya aku
menemuimu! Kau tidaklah ada gunanya sama se-
kali bagiku!"
"Bangsat!" Raka Berka nampak gusar, emo-
sinya sudah tidak dapat ditahan lagi. "Serang...!"
Mendengar seruan dari pemimpinnya, maka
dengan segera kesepuluh prajuritnya berkelebat
menyerang ke arah suara tersebut. Namun belum
juga mereka sampai pada tujuan, tiba-tiba mere-
ka memekik. Tubuh mereka berjatuhan laksana
dihempas oleh angin besar. Tubuh mereka bergul-
ing-guling ke bawah, menuruni bukit di mana su-
ara tersebut berasal.
"Hua, ha, ha...! Apa kataku, Raka! Kalian tak
akan mampu mengetahui di mana dan siapa aku
adanya! Kalian minggatlah ke akherat sana!"
"Bangsat!" Raka Berka menggeretakkan gi-
ginya marah. Tangannya yang memegang keris
pusaka tampak bergetar, seakan keris tersebut
menghentak-hentak hendak membawa dirinya
terbang menuju ke arah di mana suara tersebut
berada. Matanya tak henti memandang pada ke-
sepuluh anak buahnya yang masih mengerang
kesakitan, lalu kembali memandang pada larikan
bukit yang terpampang di hadapannya.
Orang yang memiliki suara seakan tidak
memperdulikan bentakan Raka Berka, malah kini
ia makin ganda tertawa. Sepertinya orang terse-
but benar-benar hendak mengejek habis-habisan
pada Raka Berka selaku Panglima Perang yang ti-
dak mampu menjalankan tugasnya. Hal ini tidak
saja menjadikan Raka Berka gusar, tapi kemara
hannya sudah tak terbendung lagi. Maka dengan
sekali lompat Raka Berka tebaskan keris pusaka
ke arah bukit-bukit tersebut.
"Hiaaaattt...!"
"Duaaar...!" Bukit di hadapannya yang terkena
tusukan keris pusaka tersebut seketika meledak
dan runtuh dengan batu-batuan berhamburan.
Sungguh dahsyat tuah keris di tangan Raka Ber-
ka, keris tersebut mampu menghancurkan bukit
bebatuan yang nampak kokoh. Bersamaan den-
gan runtuhnya bukit tersebut, sebuah bayangan
berkelebat mengelakkan serangan keris di tangan
Raka Berka.
"Hebat! Hebat...!" Orang yang melompat ke
luar dari persembunyian tersebut berkata, lalu
dengan gerak cepat berkelebat menyerang Raka
Berka.
"Bedebah! Rupanya kau, Rangaspati! Kau ha-
rus mampus!"
Raka Berka tak mau tinggal diam, dengan se-
gera dia tusukkan keris pusakanya ke arah mu-
suh. Larikan sinar merah yang keluar dari keris
membersit mengarah pada Rangaspati. Segera
Rangaspati lemparkan tubuh bersalto menghin-
dar, hingga sinar merah yang keluar dari keris
membersit beberapa senti di samping tubuhnya.
Mata Rangaspati nampak membeliak, ada rasa
ngeri memancar di sana. Keris pusaka di tangan
Raka Berka bukanlah senjata sembarangan. Ke-
mampuan tuah keris tersebut sungguh sudah
kondang.
Raka Berka tak mau membiarkan musuhnya
diam begitu saja, maka dengan penuh perhitun-
gan kembali Raka Berka tebaskan keris pusa-
kanya ke arah musuh. Rangaspati kini tidak mau
nyawanya menjadi korban, segera ia kembali lem-
parkan tubuh ke samping dengan tangan ki-
baskan ke arah Raka Berka. Dari kibasan tangan
Rangaspati keluar larikan sinar putih kebiru-
biruan mendesing ke arah Raka Berka.
"Wuuut...!" Raka Berka kembali tebaskan keris
pusaka menangkis ribuan jarum-jarum beracun
yang dilemparkan oleh Rangaspati.
Trang, trang...!"
Jarum-jarum itu runtuh, luluh lantak tersapu
oleh babatan keris pusaka di tangan Raka Berka.
Mata Rangaspati kembali membeliak, tak percaya
pada apa yang dilihatnya.
"Hem, sungguh bukan keris sembarangan,"
gumam hati Rangaspati. "Aku tidak boleh main-
main."
Rangaspati segera silangkan kedua tangannya
di depan dada, lalu dengan memekik Rangaspati
berkelebat menyerang ke arah Raka Berka. Dari
kedua telapak tangan Rangaspati nampak dua la-
rik sinar biru kehitam-hitaman, melesat ke arah
Raka Berka.
"Mampus kau, Raka! Hiiiaaattt...!"
"Wuuutttstt...!"
"Jangan kira semudah itu, Rangaspati,
Hiaaattt...!"
Raka Berka kembali berkelebat dengan keris
pusaka yang siap di tangan kanannya. Sementara
tangan kirinya dengan segera menyalurkan tena
ga dalam untuk siap memapaki serangan yang di-
lancarkan Rangaspati. Dua larik sinar yang men-
gandung tenaga dalam kini melesat ke udara, la-
lu...
"Duuuaaar...!" ledakan dahsyat menggema,
manakala dua kekuatan tersebut saling beradu.
Raka Berka lemparkan tubuh bersalto ke bela-
kang, tertolak oleh dorongan tenaga. Begitu juga
dengan Rangaspati. Tubuh Rangaspati pun tak
luput terlempar ke belakang.
Semua prajurit kerajaan anak buah Raka Ber-
ka hanya terlongong tak ada yang dapat berbuat
apa-apa. Kesepuluh orang prajurit tersebut nam-
pak terpaku, diam menyaksikan pertarungan
yang baru kali itu mereka saksikan.
Raka Berka kembali memasang kuda-
kudanya, lalu dengan keris pusaka masih ter-
genggam di tangannya Raka Berka memekik dan
kembali melompat menyerang.
"Hiiiiaaattt...!" Keris di tangan Raka Berka ba-
gaikan haus darah. Keris itu kini makin membara
merah, sepertinya keris tersebut mengandung
hawa membunuh, hawa ingin menghisap darah.
Melihat Raka Berka telah bangkit dan menye-
rang, dengan masih menahan rasa sakit di da-
danya Rangaspati segera bangkit dari duduknya.
Perlahan diaturnya napas agar tenang, lalu dis-
alurkan tenaga dalam ke kedua telapak tangan-
nya.
Kini jurus-jurus kematian telah keduanya ra-
palkan. Dan ajian pamungkas yang keduanya mi-
liki benar-benar telah siap merenggut nyawa sa
lah seorang di antara keduanya. "Hiiiiaaaatttt...!"
"Maattii kau, Rangas... Hiaaattt...!"
"Wuuuut...!"
"Wessssttt...!".
Raka Berka hantamkan ajiannya, begitu juga
dengan Rangaspati. Rangaspati segera miringkan
tubuh ke samping, lalu tangannya yang sudah di-
rasuki dengan ajian mengarah ke arah datangnya
larikan sinar yang keluar dari tangan Raka Berka.
"Duaaar...!"
Dua tubuh itu tergontai-gontai ke belakang.
Mata keduanya melotot, lalu dengan lemah kedu-
anya ambruk jatuh. Sesaat keduanya terdiam, da-
ri mulut mereka keluar lelehan darah menetes.
Raka Berka nampak membeliak, lalu dengan
mengibaskan tangannya memerintahkan pada ke-
sepuluh anak buahnya untuk menyerang. Dan
hal tersebut sungguh tidak diinginkan oleh Ran-
gaspati yang juga dalam keadaan luka parah aki-
bat bentrokan tenaga dengan Raka Berka.
Namun rupanya kesepuluh prajurit tersebut
tak mau mengerti. Kesepuluh orang prajurit ter-
sebut dengan beringas yang baru saja sembuh
dari sakitnya menyerang dengan senjata di tan-
gan mereka masing-masing. "Hiiiaaat...!"
Rangaspati yang tidak mau mati dengan begi-
tu saja dengan masih menahan sakit segera
bangkit. Dengan kemarahan yang meluap-luap,
Rangaspati papaki serangan kesepuluh orang pra-
jurit kerajaan tersebut.
"Jangan kira aku mau mengalah begitu saja.
Langkahi dulu mayatku. Hiaaattt...!"
Dengan tangan kosong Rangaspati segera han-
tamkan tangan memukul serta kaki menendang
musuh. Pertarungan kembali berjalan. Walau
dengan tangan kosong Rangaspati nampak dapat
mengimbangi pengeroyokan tersebut.
"Wuuut...!"
Golok di tangan kesepuluh prajurit-prajurit itu
berkelebat membabat. Segera Rangaspati miring-
kan tubuh, kaki diayun ke muka membentuk se-
buah tendangan kipas. Itulah jurus Jaran Nye-
pak, sebuah jurus yang mengandalkan kecepatan
gerak kaki dengan tapak kaki sebagai landasan-
nya. Dalam dunia karate dinamakan Mawasi Giri.
"Plak!"
Kaki Rangaspati mendarat telak di pipi mu-
suhnya, yang seketika itu memekik sambil meme-
gangi pipinya yang memerah karena terkena ten-
dangan. Namun begitu kesembilan prajurit lain-
nya tidak mau mengalah begitu saja. Kesembilan
orang prajurit yang masih penasaran tersebut
kembali membabatkan senjata di tangan mereka
ke arah Rangaspati. Segera Rangaspati lemparkan
tubuh ke atas mengelakkan serangan, lalu den-
gan menukik Rangaspati hantamkan pukulan ke
arah musuh.
"Bug, bug, bug...!"
"Aaaahhh...!"
Tiga kali, pukulan telak tangan Rangaspati
mendarat di muka musuh, dan tiga kali tiga orang
prajurit yang terkena memekik, lalu berguling-
guling menahan sakit dengan tangan memegangi
muka. Melihat hal tersebut gusarlah Raka Berka,
ia segera bangkit dan dengan membentak Raka
Berka kembali berkelebat menyerang Rangaspati.
Serangan Raka Berka kini benar-benar seran-
gan yang mengandung hawa kematian. Tangan
Raka Berka terus mencerca, sepertinya ia tidak
menghendaki Rangaspati mampu membalas se-
rangannya. Dan memang benar, Rangaspati yang
memang terluka nampak tidak mampu memba-
las. Rangaspati kini hanya mengelak dan menge-
lak setiap serangan yang dilancarkan oleh Raka
Berka tanpa mampu membalas. Gerakan Rangas-
pati kini makin melemah, terdesak dengan hebat-
nya. Sementara Raka Berka yang melihat musuh-
nya dapat terus didesak, nampak makin bertam-
bah nafsu. Tangannya bergerak makin cepat. Dan
pada sebuah kesempatan, tangan Raka Berka
dengan telaknya berhasil menyampok muka Ran-
gaspati. Seketika itu Rangaspati memekik, darah
keluar dari pipinya yang tampak tergores kuku
Raka Berka.
"Aaaaahhhh...!" Rangaspati terhuyung ke be-
lakang dengan mata melotot. Luka barutan di pi-
pinya terasa perih, sepertinya tangan Raka Berka
mengandung racun. Matanya kunang-kunang me-
lihat. Mulutnya tampak menggeram, dan dengan
nekat Rangaspati segera menghadang serangan
Raka Berka. "Hiiiaaaattt...!"
Tubuh keduanya nampak bagaikan terbang,
melompat ke udara. Dua tubuh itu kini saling
berhadapan, lalu dengan cepat keduanya saling
serang di udara. Tangan keduanya bergerak den-
gan cepat menghantam dan menangkis, begitu ju
ga dengan kaki mereka. Namun nampak Rangas-
pati kini benar-benar lemah karena racun yang
telah bersarang di darahnya. Dalam sekejap saja
Raka Berka mampu menjadikan Rangaspati seba-
gai bulan-bulanan, sehingga tak ayal lagi Rangas-
pati kini dalam sekejap saja telah menjadi tum-
puan tangan maut Raka Berka. Sampai akhirnya,
sebuah tendangan telak menghantam ulu ha-
tinya. Melengking Rangaspati seketika, tubuhnya
terlonjak jauh ke belakang. Tubuh itu sejenak
mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
Raka Berka sejenak tercenung diam, meman-
dang pada tubuh Rangaspati yang sudah tanpa
nyawa. Namun seketika ia merasa dirinya bodoh,
sebab bukankah Rangaspati yang tahu rahasia di
mana keberadaan Dewi Cendana Biru dan Kera
Silumannya?
"Ah, sungguh bodohnya aku ini. Mengapa ti-
dak aku tanyakan di mana pimpinannya?" lenguh
hati Raka Berka. "Tidak! Kalau dia hidup, tidak
mungkin aku dapat selamat... Prajurit..,! Kita te-
ruskan ke kerajaan!"
Dengan segera keenam orang prajurit yang
masih hidup segera mengusung empat orang re-
kannya yang telah binasa. Ketujuh orang tersebut
kembali melangkahkan kaki mereka untuk mene-
ruskan perjalanan menuju ke kerajaan.
TIGA
Paman, mengapa aku kau ajak ke mari?"
Pangeran Anggangga bertanya dengan nada ce-
mas. Perasaan sebagai seorang anak-anak yang
masih polos bagaikan menuntunnya untuk me-
nanyakan keberadaannya. "Apakah kita tidak sa-
lah jalan, Paman?"
"Tidak. Kita tidak salah jalan."
"Tapi, Paman...."
"Sudahlah, jangan banyak tanya."
Tersentak Pangeran kecil Anggangga menden-
gar bentakan hulubalangnya. Memang tidak se-
perti biasanya sang hulubalang berani padanya,
apalagi membentak seperti sekarang. "Aneh, ke-
napa Paman Hulubalang Jalakatunda kini mem-
bentakku? Apa salahku?" tanya Pangeran Ang-
gangga dalam hati. Matanya memandang tiada
kedip ke arah Jalakatunda, yang kini tertunduk
diam. Sementara kereta masih berjalan, terom-
bang-ambing oleh jalanan yang berbatu-batu.
"Paman, mengapa kita menuju ke hutan?"
kembali Pangeran Anggangga bertanya.
"Sudah aku katakan. Diamlah!" bentak Jala-
katunda.
"Paman...."
"Jangan banyak bicara!" potong Jalakatunda,
menjadikan Pangeran Anggangga terlolong diam.
"Ingat! Kini akulah yang berkuasa, bukan dirimu,
mengerti!"
"Me... mengerti, Paman," jawab Pangeran Ang
gangga dengan takut-takut. Matanya kini tak be-
rani menentang pandang, tertunduk tanpa kata
lagi.
Mendengar ucapan Jantrang atau Jalakatunda
yang begitu kasar pada Pangeran Anggangga,
sang kusir yang sedari tadi diam kini nampak pa-
lingkan muka ke arah dalam. Ada rasa kasihan
dalam sorot mata sang kusir melihat pangeran
kecil itu. "Sungguh kasihan Pangeran. Hanya ka-
rena ambisi Iblis ia menjadi korban kebiadaban
Jantrang yang tidak tahu balas budi," rungut
sang kusir dalam hati. "Apakah aku akan mengi-
kuti kemauan Iblis ini dan membiarkan pangeran
menderita?"
Sang kusir kini nampak memperlambat jalan
kudanya, dengan harapan agar ada prajurit yang
segera menyusul. Kuda-kuda itu kini bagaikan
enggan berjalan, apalagi memang keadaan jalan
di situ tidak enak. Jalanan berlubang dan banyak
sekali bebatuan yang menghambat. Tidak jarang
kedua orang penunggangnya harus terguncang-
guncang ke sana ke mari.
"Kusir, apa kau memang sengaja membuat pe-
rutku mules!" bentak Jantrang atau Jalakatunda
sewot.
"Ah...!" sang kusir mengeluh. "Sungguh saya
tidak sengaja. Apakah tuan tidak melihat keadaan
jalan ini?"
Jalakatunda terdiam mendengar ucapan sang
kusir yang dirasakannya memang benar. Tapi bila
ingat bahwa para prajurit kerajaan akan menge-
jarnya, maka rasa takut di hati Jantrang kembali
muncul. Dan kembali Jantrang atau Jalakatunda
kembali memerintah pada sang kusir untuk me-
macu kuda-kudanya.
"Kusir, percepat lari kuda!"
"Tidak bisa, Tuan."
"Bah! Jangan membantah, kusir!" Jantrang
merungut kesal dan marah. "Kerjakan apa yang
aku perintahkan!"
"Tapi...."
"Jangan ngomong!" bentak Jantrang memu-
tuskan.
Sang kusir terdiam, namun ia tidak segera
menjalankan apa yang dikatakan oleh Jantrang.
Hal ini menjadikan Jantrang makin-makin ma-
rahnya. Napasnya terdengar menderu, memburu
dengan segala kemarahan yang ada. Dan tanpa
sepengetahuan sang kusir Jantrang dengan sadis
tanpa belas kasihan menghantamkan pukulannya
ke arah sang kusir. Tanpa ampun lagi sang kusir
yang tidak sadar memekik, lalu dengan kerasnya
tubuh sang kusir terpelanting jatuh ke bawah.
"Aaaaahhhh...!"
"Bug!"
"Paman jahat!" Pangeran Anggangga memekik,
ia menutupi mukanya dengan kedua tangan sak-
ing ngerinya melihat tubuh sang kusir yang terpe-
lanting jatuh. Kuda-kuda penarik kereta itu kini
meringkik, sepertinya kuda-kuda tersebut tahu
bahaya. Dan kuda-kuda itu kini berserabutan lari
pontang-panting. Hal itu menjadikan Jantrang
panik. Dicobanya untuk mampu mengendalikan
lari kuda-kuda itu, namun nampaknya ia tak
akan berhasil. Kuda-kuda yang panik menyaksi-
kan tuannya jatuh nampak makin beringas dan
liar. Sekali-kali kuda-kuda tersebut meringkik, la-
lu mengangkatkan kakinya tinggi-tinggi.
"Kuda sialan!" Jantrang memaki, sementara
Pangeran Anggangga nampak makin ketakutan.
"Kuda minta mampus! Mengapa kalian menjadi
liar dan gila, hah!"
Kuda-kuda itu tak mau perduli, dan kuda-
kuda itu pun dengan pontang panting melarikan
kereta seenaknya. Tinggallah Jantrang dan Pan-
geran Anggangga yang ketakutan. Kuda-kuda ter-
sebut kini lari dengan tak tentu arah. Jantrang
terus berusaha mengendalikan lari kuda-kuda
tersebut. Namun rupanya kuda-kuda itu benar-
benar tak mau dikendalikan. Kuda-kuda itu be-
nar-benar panik demi melihat tuannya terjatuh.
"Bahaya!" Jantrang memekik dalam hati. "Aku
harus berusaha menghindar... Tapi, bagaimana
dengan pangeran itu? Ah, tak uruslah! Biar ia
mau bagaimana!"
Dengan tanpa hiraukan Pangeran Anggangga
yang menjerit-jerit ketakutan di dalam kereta, se-
gera Jantrang melompat dari kereta yang makin
menggila saja larinya. Tubuh Jantrang berguling-
guling sesaat, sebelum kembali bangkit dan den-
gan pandangan acuh memperhatikan kereta yang
masih lari dengan tak tentu itu membawa tubuh
Pangeran Anggangga.
* * *
Kuda-kuda itu terus berlari membawa kereta
yang ada Pangeran Anggangga di dalamnya. Pan-
geran Anggangga tampak menutup mukanya ka-
rena takut dengan kedua telapak tangan. Terka-
dang ia menjerit meminta tolong.
"Toooolooooongggg...!"
Kuda-kuda tersebut makin menggila saja la-
rinya, mungkin kuda-kuda tersebut makin keta-
kutan mendengar seruan Pangeran Anggangga.
Kereta tersebut kini menikung ke kelokan bukit,
lalu lurus menuju ke arah jurang. Makin takut
saja Pangeran Anggangga menyaksikan bahwa
kuda-kuda tersebut kini menuju ke arah jurang.
"Oh, Rama, mungkinkah aku akan mati?" ke-
luh hati Pangeran Anggangga. "Kalau memang
benar aku hendak mati di dasar jurang, maka
sungguh mengerikannya!"
Pangeran Anggangga kini berusaha pasrah,
pasrah menerima nasib yang bakal ia terima. Se-
mentara kuda-kuda tersebut makin menggila la-
rinya, sepertinya kuda-kuda itu tak hendak mau
menghentikan larinya. Jarak kereta dengan ju-
rang yang berada di depan makin lama makin de-
kat. Dan Pangeran Anggangga kini makin mera-
patkan telapak tangannya menutup kedua ma-
tanya.
"Matilah aku di sini!" keluhnya.
Tengah segalanya hendak terjadi, tiba-tiba ku-
da-kuda tersebut meringkik. Kuda-kuda tersebut
bagaikan ketakutan, putar haluan ke arah yang
berlawanan dengan arah yang dituju. Sementara
tanpa sepengetahuan pangeran kecil itu, seorang
pemuda nampak berkelebat mengejar lari sang
kuda. Kelebatan pemuda itu begitu cepatnya, se-
pertinya pemuda tersebut tidak lari, namun ter-
bang.
Pangeran yang merasa dirinya tidak jatuh, ke
dalam jurang segera buka tangannya. Matanya
kini membeliak tidak percaya pada apa yang ia
saksikan. Kuda-kuda penarik kereta kini tidak la-
gi menuju ke jurang, malah kini kembali ke arah
yang tadi. Namun kepanikan terus saja mengge-
rogoti hati Pangeran Anggangga yang memang su-
dah takut. Hingga dengan menjerit Pangeran Ang-
gangga berusaha meminta tolong juga berusaha
membuang rasa panik yang kian merambah ha-
tinya.
"Toooooollooooonggg…!"
Pemuda yang sedari tadi hanya menggiring lari
kuda-kuda tersebut tampak tersentak mendengar
seruan seorang bocah dalam kereta tersebut. Pe-
muda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya seje-
nak kerutkan kening, lalu dengan secepat kilat
setelah yakin bahwa segala pendengarannya be-
nar adanya, segera Jaka pun mempercepat la-
rinya memburu ke arah kereta tersebut.
"Heh, rupanya dalam kereta itu ada seorang
bocah."
Tanpa pikir panjang lagi Jaka percepat larinya
memburu ke kereta yang makin kencang larinya
di hadapannya. Perasaannya sebagai seorang
pendekar yang peka menyuruh hati Jaka untuk
berusaha menolong bocah yang berada di dalam
kereta. Dan dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka
terus mempercepat pengejarannya. Dari Ajian An
gin Puyuh tingkat pertama, kedua, sampai tingkat
ketujuh yang merupakan ajian tingkat akhir dike-
rahkannya.
"Aku harus dapat mengejar kereta tersebut,"
Jaka terus berupaya memburu laju kereta yang
liar dan jalang tersebut dengan harapan dapat
menolong bocah yang berada di dalam kereta.
"Sungguh kasihan bocah tersebut. Sepertinya
bocah yang ada di dalam kereta adalah anak seo-
rang bangsawan. Ya, dilihat dari kereta yang di-
tumpangi, jelas milik seorang bangsawan kera-
jaan."
"Toooolllloooonnngggg...!" Pangeran Anggangga
yang mendengar desahan angin orang berlari
kembali berteriak meminta tolong dengan hara-
pan orang yang mengejar keretanya mau meno-
long menghentikan kereta yang jalang dan liar
tersebut. Dan memang dugaannya benar, ternyata
pemuda Jaka Ndableg memang bermaksud meno-
longnya.
"Tenanglah, Dik. Kau jangan panik, aku akan
berusaha menolongmu!" seru Jaka memberikan
semangat pada Pangeran Anggangga yang tampak
makin panik saja. "Kau tak perlu cemas, sebab
kuda-kuda ini kini sudah tidak menuju ke ju-
rang!"
Kini Jaka benar-benar berlomba dengan kuda-
kuda yang makin menggila. Dan dengan Ajian
Angin Puyuh tingkat pamungkasnya, Jaka kini
mampu mensejajari lari kuda-kuda tersebut.
Dengan tanpa memperhitungkan lagi akan di-
rinya, segera Jaka melompat ke atas kereta. Di
ambilnya kais penarik kuda, lalu dengan segenap
tenaga Jaka berusaha menghentikan lari kuda-
kuda tersebut. Dan mungkin karena tenaga yang
dikeluarkan oleh Jaka Ndableg terlalu besar,
menjadikan kuda-kuda itu seketika meringkik se-
saat, lalu akhirnya menggelepar mati. Ya, kuda-
kuda itu kini mati dengan mulut terbeset. Dan
kereta itu pun seketika terhenti dengan kencang-
nya, menjadikan Pangeran Anggangga terlempar
dari dalam kereta. Beruntung Jaka dengan segera
menangkap tubuh pangeran tersebut dan mem-
bawanya pergi. Kalau tidak, tentunya tubuh Pan-
geran Anggangga akan hancur terbentur beba-
tuan yang berada di depannya ataupun akan pa-
tah tulangnya akibat menghantam depan kereta.
"Sungguh kasihan bocah ini," Jaka meman-
dangi tubuh dan wajah Pangeran Anggangga yang
pingsan karena takut. Perlahan diturunkannya
tubuh Pangeran Anggangga, lalu dengan segera
dicobanya membantu pernapasan sang pangeran.
Disalurkannya tenaga dalamnya ke tubuh Pange-
ran Anggangga, sehingga pangeran tersebut kini
nampak menggeliat siuman. "Hem, kuat benar te-
naga pangeran kecil ini."
Pangeran Anggangga membuka matanya, per-
lahan dipandangi sekelilingnya. Akhirnya mata
Pangeran Anggangga tertuju pada sepasang mata
Jaka Ndableg yang bibirnya terurai senyum.
Berbeda dengan hulubalangnya, pemuda yang
berjongkok di hadapannya kini nampak ramah
dan penuh persaudaraan. Pemuda itu tampang-
nya lucu, mungkin suka bercanda.
"Siapakah kakak adanya?" tanya Anggangga
setelah sekian lama terdiam memperhatikan Jaka
Ndableg. Jaka Ndableg makin lebarkan senyum.
"Aku...? Ah, aku hanyalah seorang pengelana
saja yang kebetulan melihat keretamu dalam kea-
daan liar," Jaka Ndableg menjawab. "Tak usahlah
adik kecil memikirkan siapa adanya aku ini. Yang
penting, adik kecil selamat."
Jaka Ndableg garuk-garuk kepalanya, lalu
dengan bibir masih tersenyum Jaka kembali ber-
kata: "Dilihat dari pakaian yang adik kecil kena-
kan, sepertinya adik kecil dari keturunan bang-
sawan."
"Oh, benar adanya apa yang dikatakan oleh-
mu, Kak," jawab Pangeran Anggangga kini dengan
bibir tersenyum, membalas uraian senyum yang
dilontarkan Jaka Ndableg. "Aku memang dari ke-
rajaan. Aku adalah Pangeran Anggangga dari Ke-
rajaan Bumi Jawa."
"Oh, sungguh aku tak tahu diri kalau begitu.
Maafkan segala kebodohan patik," Jaka Ndableg
menjura hormat, menjadikan Pangeran Anggang-
ga tersenyum. Ada rasa bangga di hati pangeran
kecil itu menerima penghormatan dari Jaka, yang
sepengetahuannya berilmu tinggi.
"Ah, tidak usahlah tuan pendekar berbuat be-
gitu. Bukankah tanpa pertolongan tuan pendekar
aku tak akan selamat?" Pangeran Anggangga ber-
basa basi, sepertinya ia pintar sekali dalam berbi-
cara. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg terbelalak
kaget hingga mulutnya menganga. Bagaimana
mungkin anak sekecil itu. mampu melakukan penerapan gaya bahasa yang tinggi? Apakah karena
kehidupannya yang selalu dalam lingkup istana
yang menjadikan bocah kecil itu mampu berbuat
begitu? Jaka Ndableg tak mampu menjawab sega-
la pertanyaan hatinya. Belum juga hilang kaget-
nya Jaka Ndableg, tiba-tiba Pangeran Anggangga
telah kembali berkata: "Siapakah pendekar
adanya?"
"Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka tenang.
Terbelalak mata Pangeran Anggangga mendengar
penuturan Jaka tentang siapa adanya dirinya.
Pangeran kecil itu sering mendengar desas desus
tentang siapa adanya pendekar muda yang kini
berada di hadapannya, tapi melihat langsung ba-
rulah kini ia lakukan dan hal itu kebetulan saja.
"Jadi...." Pangeran Anggangga tak mampu me-
neruskan ucapannya. Dipandangi tubuh Jaka da-
ri ujung kaki hingga ujung rambut, sepertinya in-
gin membuktikan kebenaran penglihatannya. Dan
setelah dapat menenangkan segalanya, pangeran
kecil itu meneruskan ucapannya. "Jadi kakakkah
pendekar yang sering diceritakan oleh guru-
guruku?"
"Siapakah guru-gurumu, Adik?"
"Guruku tak lain Sepasang Pendekar Kembar."
"Pendekar Kembar?" Jaka kerutkan kening.
"Kalau tidak salah, bukankah gurumu Jaladri
dan Jaladru?"
"Ah, sungguh aku tak dapat menyangkal ke-
benarannya."
"Hem...." Jaka Ndableg kini menggumam. "Ka-
lau begitu aku tak dapat main-main dengan bocah ini. Gurunya tak lain sepasang pendekar yang
sudah kondang namanya."
"Kenapa kakak melamun? Apakah kakak ken-
al dengan guru-guruku?" tanya Pangeran Ang-
gangga mengejutkan Jaka yang berusaha terse-
nyum.
"Tidak kenal lagi Gurumu adalah orang-orang
besar."
"Tapi kata guru, kakaklah yang seorang pen-
dekar besar."
Jaka gelengkan kepala mendengar ucapan
Pangeran Anggangga yang begitu mahir berdiplo-
masi.
"Kalau aku boleh meminta, sudilah kakak
singgah ke kerajaan," pinta Pangeran Anggangga.
"Baiklah, Adik. Aku akan singgah ke kera-
jaanmu. Tapi, kalau boleh kakak tahu, mengapa
adik sampai terbawa oleh kuda-kuda liar terse-
but? Apakah adik tengah main-main?" tanya Jaka
menjadikan Pangeran Anggangga tertunduk. "Bu-
kankah jarak Bukit Gelatik ini sangat jauh den-
gan kerajaan? Paling tidak setengah hari di-
perlukan waktu untuk menempuhnya?"
Dengan berderai air mata Pangeran Anggangga
menceritakan segala apa yang dialami olehnya.
Sementara Jaka nampak mendengarkan dengan
seksama tanpa bermaksud bertanya dulu. Dan
baru setelah Pangeran Anggangga usai, Jaka pun
bertanya.
"Ke mana Jantrang pergi?"
"Hai, sepertinya kakak sangat mengenalnya?"
Jaka tersenyum lagi, dan katanya. "Aku bukan
hanya mengenalnya, tapi aku juga mencari di-
rinya untuk mempertanggung-jawabkan atas se-
gala tindakannya padamu, Adik."
"Ooh, rupanya kakak sangat memperhatikan
diriku."
Jaka Ndableg kembali tersenyum mendengar-
kan ucapan Pangeran Angggangga, dan katanya
kemudian. "Bukan hanya diri adik yang harus
aku perhatikan, tapi semua orang yang memerlu-
kan pertolongan harus aku perhatikan."
Pangeran Anggangga akhirnya angguk-
anggukkan kepala mengerti. Dan manakala Jaka
mengajak dirinya untuk kembali ke kerajaan,
Pangeran Anggangga tidak membantah. Keduanya
pergi meninggalkan Bukit Gelatik.
* * *
"Nguuuk...! Nguuukkk...!" Kera itu kini ter-
duduk dengan malas. "Ngaik! Ngaik! Ngaik!"
"Mana Taka Moro?" wanita itu kini mengerti
apa yang sebenarnya dikehendaki sang kera. "Ta-
ka Moro, temani si Beruk latihan...!"
Dari dalam gua tampak seorang lelaki muda
yang tidak lain Taka Moro adanya keluar. Taka
Moro sejenak menjura setelah berada di depan
wanita berpakaian serba biru tersebut.
"Sri Ratu memanggil hamba?"
"Temani Beruk latihan, Taka!"
"Daulat, Sri Ratu," jawab Taka Moro. "Ayo Be-
ruk!"
"Nguuuk...! Nguuuuk...!" Si Beruk tampak ke
girangan, lalu melompat ke pundak Taka Moro.
Keduanya pun berjalan pergi meninggalkan wani-
ta yang disebut oleh Taka Moro Ratu yang kemba-
li melakukan meditasi setelah kepergian kedua
sahabatnya.
* * *
Wanita berpakaian serba biru yang tidak lain
Dewi Cendana Biru masih terus melakukan medi-
tasi. Entah sudah berapa lama ia melakukan itu
dan entah apa yang sedang dicarinya hingga ia
kuat untuk terus melakukan hal tersebut.
"Hem, sebentar lagi dia datang," Dewi Cendana
Biru menggumam sendiri, entah apa maksudnya
dengan kata-kata sebentar lagi dia datang.
Bersamaan dengan habisnya gumamnya sang
Dewi, terdengar desah angin menerpa ke arah
Dewi Cendana Biru. Perlahan sang Dewi buka
matanya, dan tiba-tiba ia telah melihat seorang
lelaki tua renta berambut serba putih dengan ma-
ta menyorot tajam merah berdiri di hadapannya.
Lelaki tersebut tampak tersenyum, batuk-batuk
kecil dan kemudian terdengar berkata.
"Apa yang engkau maui, Istriku?" tanya lelaki
tua bermata merah tajam membara. "Kenapa
engkau memanggilku?"
"Kakang, apakah engkau tidak ingin kau kem-
bali berkuasa seperti manakala kau masih di du-
nia?"
"Tidak mungkin, Istriku. Aku kini telah beda
dunia."
"Tapi Kerajaan Bumi Jawa adalah hakku."
Lelaki tua renta itu tersenyum, ada getaran
berat terukir lewat senyumnya. Matanya yang tadi
memerah, lamat-lamat menghilang dan berganti
dengan kesayuan. Sepertinya lelaki tua renta itu
tak ingin mengingat segala apa yang pernah terja-
di semasa hidupnya. Tampak nafasnya mendesah
berat, dengan tubuh terguncang manakala angin
berhembus.
"Aku sudah melupakan semuanya, Istriku," le-
laki itu berkata, nadanya mengeluh. "Biarkan-lah
aku hidup dengan tenang di alamku."
"Ah!" Dewi Cendana Biru mengeluh. "Jadi ka-
kang tidak mau membantuku?"
Ditariknya napas panjang mendengar ucapan
istrinya. Rasa berat mengganjal di hati, seakan
rasa berat tersebut sulit untuk dilenyapkan.
Bayangan lelaki tua itu kembali terlintas pada ke-
jadian di mana dirinya masih hidup. Kejadian-
kejadian yang menjadikan dirinya bagaikan terbe-
lenggu oleh dosa-dosa kehidupan yang pernah ia
alami.
"Sulit, Istriku!"
"Apanya yang sulit, Kakang?" tanya Dewi Cen-
dana Biru, seakan tak mau melihat suaminya
frustasi. "Bukankah kau mampu melakukannya,
Kakang?"
Kakek tua itu tersenyum.
"Aku kini bukan hidup di alam manusia, Istri-
ku!"
"Tapi engkau bisa, Kakang."
"Bagaimana mungkin?" tanya lelaki tua itu.
"Bukankah engkau mampu merasuk ke mah-
luk lain?"
Terdiam lelaki tua tersebut mendengar penu-
turan istrinya. Matanya memandang tanpa kedip
ke arah Dewi Cendana Biru yang tersenyum. Se-
nyum maut sang Dewi itulah yang telah mampu
menggoyahkan imannya. Dia rampas tahta pa-
mannya yaitu ayah raja yang sekarang berkuasa
atas kehendak istrinya, sehingga dirinya akhirnya
harus menanggung beban dosa. Dan kemudian
dirinya harus tersisih dari kerajaan sampai mati.
Sebenarnya ia sudah tidak ingin segalanya teru-
lang, namun bila istrinya telah tersenyum, dirinya
bagaikan tiada daya untuk menolaknya. "Pada
siapa aku harus menitis, Istriku?" Sejenak Dewi
Cendana Biru terdiam, lalu setelah mendapat ja-
wabannya sang Dewi pun berkata.""Kakang ma-
suklah ke tubuh si Beruk!"
"Apa...?!" tersentak kaget lelaki tua itu men-
dengar jawaban istrinya. "Kau hendak menghina-
ku, Istriku!"
"Tidak! Sungguh bukan maksud Dinda meng-
hina kakang. Tapi dinda ingin membuat sebuah
kejadian yang belum pernah ada. Lagi pula, bu-
kankah dengan kakang menitis di si Beruk semua
sepak terjang kakang tidak akan ketahuan?"
Terdiam lelaki tua itu memikirkan ucapan is-
trinya. Tampaknya ia tengah meresapi segala sa-
ran istrinya. Lama lelaki tua itu terdiam, hingga
akhirnya ia pun kembali berkata dengan nada pa-
srah. "Baiklah, demi engkau aku akan menuruti
segalanya, Istriku."
Berbunga-bunga Dewi Cendana Biru menden-
gar jawaban suaminya. Kini dengan suaminya
menyanggupi apa yang dikehendakinya, tentunya
segala apa yang dicita-citakan akan segera terlak-
sana.
"Terima kasih, Kakang. Terima kasih!" ucap-
nya berbahagia menyambut jawaban suaminya.
"Dengan Kakang berkenan membantu, pasti aku
akan kembali pada masa kejayaanku. Aku akan
benar-benar menjadi Ratu. Hua, ha, ha...!"
Kedua orang bekas suami istri yang sudah di-
rasuki iblis tersebut kini tertawa bergelak-gelak.
Lelaki tua itu tak sadar keberadaan dirinya. Di-
rinya yang sudah seharusnya tenang di dunia ke-
kekalan, harus bergentayangan kembali untuk
membantu ambisi istrinya, ambisi iblis yang sela-
lu merongrong manusia.
"Di mana si Beruk, Istriku?" tanya lelaki tua
itu kemudian.
"Ada Kakang. Dia tengah berlatih dengan te-
mannya, seorang manusia dari daratan Nippon."
"Apa...?" lelaki tua renta itu tersentak kaget
mendengar jawaban istrinya tentang seorang lela-
ki dari Nippon. "Jadi kau pun telah menyeleweng,
Istriku?"
"Kakang...! Kakang jangan menuduh dulu.
Sungguh aku selalu setia padamu!" Dewi Cenda-
na Biru berkata. "Walaupun engkau sudah di
alam lain, tetapi aku tetap menjaga kesucian cin-
taku padamu. Dia aku jadikan anak buahku se-
mata. Dia berilmu cukup tinggi, Kakang."
Lelaki tua itu angguk-anggukkan kepala men
dengar tutur kata istrinya. Matanya kini tak hen-
ti-hentinya memandang pada istrinya yang masih
cantik. Dan bila hal itu dilakukannya terus mene-
rus, seketika hatinya kembali bergetar. Ada rasa
yang seketika menggejolak di hatinya. Dan rasa
itu terus meminta padanya untuk melakukan se-
suatu. Perlahan lelaki tua yang sudah berada di
alam lain itu melangkah mendekati tubuh is-
trinya. Perlahan direngkuhnya tubuh sang istri,
yang dengan lembut menolaknya sembari berka-
ta. "Kakang, bukankah kau tak boleh melakukan
hal ini dalam keadaan dirimu? Sabarlah! Bukan-
kah dengan engkau berada di tubuh Si Beruk kita
dapat melakukan hubungan suami istri seperti
dulu lagi?"
Lelaki itu terjengah, sadar akan tindakannya.
Memang dalam keadaannya yang sekarang, jelas
hal itu tidak mungkin. Tapi apakah dengan di-
rinya menitis pada seekor kera ia akan dapat
menghayati segalanya?
"Baiklah, Dinda. Sekarang tunjukkan aku di
mana Si Beruk berada. Biar aku dengan segera
dapat melakukan penitisan itu, sehingga aku
akan segera dapat bersanding denganmu lagi."
Dewi Cendana Biru tersenyum, dan dengan
tanpa kata lagi segera bangkit dari duduknya.
Keduanya kemudian berjalan meninggalkan pan-
curan tersebut menuju ke tempat di mana Si Be-
ruk dan Taka Moro berlatih.
* * *
Di sebuah dataran luas nampak dua mahluk
Tuhan seekor kera dan seorang manusia yang tak
lain Taka Moro dan Si Beruk tengah berlatih silat.
Gerakan keduanya begitu gesit, lincah dan sulit
untuk diikuti dengan mata. Taka Moro nampak
seperti seekor kera yang liar dan ganas. Sesekali
melompat ke sebuah cabang pohon diikuti oleh Si
Beruk. Keduanya nampak serasi bergerak ke sana
ke mari.
"Awas, Beruk! Aku menyerang. Hiiiaaat...!"
"Nguuuk! Nguuuk...!"
Si Beruk sepertinya mengerti. Manakala kaki
dan tangan Taka Moro bergerak menyerangnya,
segera Si Beruk melompat hindari serangan ter-
sebut. Dan dengan cepat Si Beruk balik merang-
sek. Tangannya mencakar, kakinya menendang.
Si Beruk melompat, lalu menukik dengan ke-
dua tangan menyerang dengan cengkeraman.
"Nguuuukk...!" Si Beruk mendenguk, seakan
memberi isyarat agar Taka Moro berhati-hati.
"Baik! Seranglah aku!" Taka Moro yang tahu
akan gerakan-gerakan isyarat Si Beruk menja-
wab. Kini Si Beruk kembali melompat, lalu den-
gan disertai desisan Si Beruk merangsek menye-
rang dengan cakaran-cakarannya yang memati-
kan. Tangan Si Beruk kini menjulur ke arah leher
Taka Moro. Dengan cepat Taka Moro egoskan ke-
palanya mengelak, lalu kirimkan pukulan silang
dengan nama Raja Kera Menyampok Mangsa
"Wuuut...!"
"Ngguuukk...!"
Si Beruk tersentak, urungkan serangan meng
hindar. Kini tubuhnya berguling-guling ke tanah.
Taka Moro terus berusaha menyerang dengan ka-
ki bermaksud menginjak. Namun setiap kali kaki
Taka Moro menyerang, secepat itu pula Si Beruk
gulingkan tubuhnya menghindar. Pertarungan te-
rus berjalan, saling serang layaknya dua manusia
tengah bertarung.
"Nggggguuuukkk...!" Si Beruk bersuara, lem-
parkan tubuh ke udara dan hinggap di sebuah
cabang pohon. Matanya memandang penuh ke-
waspadaan. "Nguk! Nguk!"
Turunlah Beruk! Kenapa engkau nangkring?"
"Nguuuk!" Si Beruk gelengkan kepala.
"Hai, mengapa engkau malas, Beruk?" tanya
Taka Moro tak mengerti dengan isyarat Si Beruk.
"Cepatlah turun! Bukankah kita akan berlatih?"
Tengah Si Beruk terdiam nongkrong di atas
sebuah cabang pohon, nampak selarik sinar ber-
kelebat menuju ke arahnya. Sinar tersebut mele-
sat cepat, dan tanpa sepengetahuan Taka Moro
sinar tersebut langsung masuk ke tubuh Si Be-
ruk. Si Beruk tersentak, lalu bagaikan kesakitan
Si Beruk lemparkan tubuh ke atas hingga tak
mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Tu-
buhnya meluncur dengan derasnya, dan ambruk
jatuh ke tanah.
"Buug...!"
"Beruuukk...!" Taka Moro tersentak kaget me-
lihat keadaan Si Beruk. Segera Taka Moro berlari
menghampiri, namun belum juga sampai, seorang
wanita yang ia tahu disebut Ratu telah muncul
dan berdiri dekat dengan Si Beruk. "Sri Ratu...?"
Sri Ratu Cendana Biru sunggingkan senyum,
memikat. Senyumnya begitu manis, menutupi
usianya yang sebenarnya telah begitu tuanya. Ha-
ti Taka Moro seketika berdegup melihat senyum
Ratunya yang begitu manis. Darah kelelakiannya
bergetar hebat, seolah menggelegar. Sri Ratu sea-
kan tak hiraukan dengan keadaan Taka Moro.
Ia kini berjalan mendekati Taka Moro, dan
dengan bibir masih tersenyum, Sri Ratu rengkuh
pundak Taka Moro yang seketika itu bergetar ge-
metaran.
"Sri Ratu...?"
"Sssttt...!"
Taka Moro tak mampu meneruskan kata-
katanya, manakala Sri Ratu Cendana Biru isya-
ratkan agar diam. Dan Taka Moro memang benar-
benar diam membisu. Manakala bibir Sri Ratu
lumatkan bibirnya Taka Moro hanya pasrah diam.
* * *
Baru sekali itu Taka Moro merasakan betapa
nikmatnya berpadu dengan seorang wanita. Se-
lama hidupnya baru kali itu Taka Moro menikma-
tinya, merasakan apa yang seharusnya belum ia
rasakan. Rasanya ia tak ingin segera lepaskan tu-
buh Sri Ratu yang cantik kalau saja Sri Ratu pun
menghendakiknya. Tapi Sri Ratu menghendaki
segalanya berakhir. Sri Ratu melepaskan pelu-
kannya, dan dengan tergesa-gesa segera menge-
masi pakaiannya yang berantakan. Rerumputan
dan pohon-pohon serta bebatuan jadi saksi telah
adanya kejadian yang menimpa keduanya. Keja-
dian layaknya dua cucu Adam yang membutuh-
kan segalanya. "Cepatlah, Taka!"
"Kenapa, Sri Ratu?" tanya Taka Moro tak men-
gerti demi mendengar perintah Ratu Cendana Bi-
ru agar dia segera mengenakan pakaiannya.
"Sesaat lagi Si Beruk sadar!" jawab Sri Ratu
pendek, lalu dengan terburu-buru Sri Ratu ting-
galkan tempat tersebut. Tinggalkan Taka Moro
yang masih berusaha mengemasi pakaiannya.
Langkah Sri Ratu begitu ringan, beranjak menuju
ke tempat Si Beruk berada. Si Beruk nampak
menggeliat. Mata Si Beruk yang sudah dimasuki
sukma lelaki suami Dewi Cendana Biru nampak
merah menyala-nyala. Sejurus Si Beruk meman-
dang ke arah Sri Ratu, lalu dengan manja Si Be-
ruk yang sudah menjadi seekor Kera Siluman me-
lompat memeluk tubuh Sri Ratu. Sri Ratu dengan
penuh kemengertian segera menyambutnya.
"Nguuuk...!"
"Hem, kini kau telah menjadi Kera Siluman,
Beruk!" Sri Ratu berkata. "Kini otakmu sama den-
gan otak manusia, karena dalam ragamu berse-
mayam sukma manusia."
"Nguuuk! Nguuuk!"
"Bagus! Sekarang kau akan mampu memban-
tuku dan dapat mendengar serta meresapi apa
yang aku perintahkan, bukan?"
"Nguuuk...!" Si Beruk mengangguk-angguk-
kan kepalanya mengerti. "Nguuuk...!"
"Kau akan selalu ditemani oleh temanmu yang
biasanya. Kau kenal dengan dia, bukan?"
"Nguuuk...!"
"Ya! Dia Taka Moro, orang yang menjadi saha-
batmu!" jawab Sri Ratu.
Dari semak-semak belukar tampak Taka Moro
keluar. Berjalan menuju ke tempat di mana Dewi
Cendana Biru tengah bercakap-cakap dengan Si
Beruk.
"Itu dia, Beru!" Sri Ratu menunjuk ke Taka
Moro.
"Nguuuk...!" Si Beruk tajamkan mata meman-
dang, sepertinya ia tengah mengingat-ingat orang
tersebut. Memang dia dulu mengenal, namun se-
telah adanya penitisan sukma suami Dewi Cen-
dana Biru, Si Beruk seakan tidak mengenal lagi
Taka Moro. Mulutnya menyeringai, tunjukkan gi-
gi-giginya yang tajam. Matanya menyorot makin
menyala, seolah-olah memberi tanda bahwa dia
kini makin kuat dan sakti.
Taka Moro tersentak melihat hal tersebut. Ma-
tanya tiada henti memandang bergantian pada Sri
Ratu dan Beruk. "Aneh Si Beruk, sepertinya ia ti-
dak mengenaliku lagi. Apakah mungkin dalam se-
saat ia pingsan, ia lupa padaku?" hati Taka Moro
bertanya-tanya. Kakinya seketika terpaku diam di
tempatnya, tidak berani ia terus melangkah men-
dekat, seakan ada kekuatan yang mendorongnya
untuk tidak mengganggu apa yang telah terjadi.
Sri Ratu yang maklum segera memanggil Taka
Moro, "Taka, ke marilah!"
Taka Moro perlahan melangkah mendekat.
"Nguuuk...!" Si Beruk seperti menambahkan
berkata.
Taka Moro tersentak kaget manakala Si Beruk
dengan tiba-tiba melompat dari dekapan Sri Ratu
ke arahnya. Tak mampu Taka Moro mengelak-
kannya, sehingga Si Beruk dengan segera mampu
memeluk leher Taka Moro yang terperanjat. Taka
Moro kaget berbaur rasa sedikit takut, namun
manakala melihat bahwa Si Beruk tidak ganas,
Taka Moro pun dengan penuh persahabatan me-
nerimanya. Dan dua mahluk itu pun nampak
bercanda ria, layaknya seperti kala Si Beruk ma-
sih belum dititisi sukma lelaki tua suami Sri Ra-
tu.
"Taka, Beruk, ayo kita kembali!"
"Daulat, Sri Ratu."
"Nguuukkk...!"
Ketiga mahluk Tuhan itu beriringan mening-
galkan tempat tersebut kembali ke pancoran di
mana mereka biasanya tinggal.
Sepeninggalan ketiganya, nampak seorang le-
laki berjalan menuju ke arah situ. Lelaki tersebut
yang tidak lain Jantrang atau Jalakatunda berja-
lan dengan letih menuju ke Pancoran di mana
Dewi Cendana Biru berada.
* * *
"Sampurasun...!" Jantrang menyapa manakala
dirinya telah sampai.
"Rampes...!" terdengar dua orang menyahuti,
menjadikan Jantrang tersentak kaget. Biasanya
hanya seorang wanita saja yang menyahut, tapi
kini dua orang.
"Siapakah yang bersama Sri Ratu?" tanya hati
.
Jantrang.
"Jantrangkah yang datang?" kini Sri Ratu yang
bertanya.
"Benar, Sri Ratu," jawab Jantrang. "Masuk-
lah!"
Jantrang sesaat menengok ke sekelilingnya,
lalu setelah dirasa aman Jantrang segera berkele-
bat menembus semak belukar yang menutupi goa
di belakangnya.
Jantrang segera menjura hormat pada Sri Ra-
tu, sementara matanya memandang tak putus
><><><><>< 69-70
pa yang mesti saya lakukan, Sri Ratu?"
"Bunuh dua pendekar itu! Mengerti, Taka?"
"Daulat!"
"Nguuukkk! Nguuukkk...!"
"Nah, berangkatlah kalian! Buat kerajaan re-
sah! Kalian harus berhasil!" Sri ratu berkata den-
gan berapi-api, seakan kemarahannya tak dapat
terbendung. Dendamnya pada Raja Kerajaan Bu-
mi Jawa telah membakar hatinya yang mengata-
kan bahwa dirinyalah yang berhak atas tahta
yang sekarang dipegang oleh Raja Sutresna. Se-
bab dirinya adalah istri Raden Sukra yang kini te-
lah menitis di tubuh Si Beruk.
Dendam itu disimpannya manakala dirinya
sendiri ditinggal oleh Sukra. Dan dendam itu
muncul kembali ketika Jantrang datang dan me-
nyanggupi akan membantu dirinya dengan imba-
lan pelayanan batin. Segalanya telah ia korban-
kan, termasuk harga dirinya. Dengan rela ia telah
menyerahkan kehormatannya pada Jantrang.
"Aku harus berhasil! Aku harus dapat merebut
tahta kerajaan!" Gemuruh hati Dewi Cendana Bi-
ru bila mengingat hal tersebut.
Ketiga rekannya yaitu Taka Moro, Jantrang,
dan Si Beruk yang kini telah dititisi oleh sukma
suaminya nampak berkelebat meninggalkan pan-
coran tersebut, meninggalkan dirinya yang kini
nampak sepi sendirian tanpa teman. Dewi Cen-
dana Biru nampak kembali melakukan meditasi
pusatkan segala panca indra untuk membantu
gerakan ketiganya.
LIMA
Jaka Ndableg yang masih berjalan dengan
Pangeran Anggangga menuju ke kerajaan kini
tengah memasuki perbatasan kerajaan. Kedatan-
gan mereka seketika menjadi perhatian para war-
ga yang berjubel-jubel ingin melihat kedatangan
pangerannya yang hilang beberapa waktu yang la-
lu.
"Itukah penculiknya?" tanya seorang warga
pada rekannya. "Bukan!"
"Lalu, siapakah pemuda yang bersama pange-
ran kita?"
"Mungkin dia yang menolongnya," jawab yang
lain.
Semua rakyat Kerajaan Bumi Jawa makin ba-
nyak berdatangan dan berdiri berjejer memberi-
kan penghormatan pada pangerannya yang berja-
lan dengan Jaka Ndableg. Jaka Ndableg sebagai
seorang pendekar segera balas menjura manakala
melihat rakyat menjura. Hal itu menjadikan se-
mua rakyat Kerajaan Bumi Jawa nampak terben-
gong-bengong keheranan. Betapa tidak! Biasanya
para pendekar akan bangga dan hanya tersenyum
saja menerima penghormatan mereka, tapi pen-
dekar muda ini tak sombong. Pendekar muda ini
balas menjura.
"Kakak Pendekar, tak usahlah kakak balas
menghormati mereka, sebab mereka tak lebih ra-
kyat biasa!" Pangeran Anggangga berkata menyu-
ruh agar Jaka tidak membalas juraan mereka, ka-
rena menurut Pangeran Anggangga kedudukan-
nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan rakyat.
Jaka Ndableg gelengkan kepala, lalu berkata:
"Tidak begitu, Adik Pangeran. Kita semua sama di
mata Tuhan. Hanya kita ditakdirkan hidup dalam
keadaan beda."
Takjub seluruh rakyat mendengar ucapan Ja-
ka Ndableg yang tidak sombong itu. Kini rasa
hormat mereka makin bertambah pada Jaka. Seo-
rang pendekar yang tidak sombong dan angkuh,
yang mengerti akan tata krama.
"Kenapa mesti begitu, Kakak?"
"Ya! Tuhan menciptakan kita sama, dari ta-
nah!" Jaka menerangkan. "Tuhan akan lebih se-
nang bila kita saling menghormati sesama kita."
"Kalau begitu tiada arti kedudukan kita seka-
rang, Kakak?"
"Tidak juga begitu, Adik. Kita diciptakan untuk
menjadi pimpinan karena Tuhan telah mengatur
dan menghendaki kita untuk melindungi orang
yang lemah, bukannya kita malah menginjaknya."
"Sungguh kakak merupakan manusia yang
sempurna!"
Jaka gelengkan kepala. "Tidak, Adik Pangeran.
Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia ada
kelebihan dan kekurangannya. Seperti Adik Pan-
geran, adik mungkin memiliki apa yang kakak ti-
dak miliki."
"Contohnya?" tanya Pangeran Anggangga be-
lum mengerti.
Jaka Ndableg hela napas sesaat, lalu sambil
masih berjalan menuju ke kerajaan Jaka kembali
berkata, "Contohnya Adik Pangeran memiliki pa-
kaian yang bagus, kedudukan yang dihormati. Ti-
dak seperti kakak, yang tidak memiliki semuanya
dan tidak ada artinya di mata orang lain."
Pangeran Anggangga mengerti kini apa yang
dimaksud oleh Jaka Ndableg. Memang manusia
dikodratkan dengan kodratnya masing-masing.
Dirinya dihormati karena kedudukannya sebagai
seorang pangeran, tetapi dirinya tentu belum
mampu menghadapi segala apa yang mampu di-
hadapi oleh Jaka Ndableg.
Keduanya terus melangkah, makin lama lang-
kah mereka makin jauh meninggalkan kerumu-
nan rakyat. Tak begitu lama kemudian keduanya
sampai di alun-alun kerajaan. Dua orang prajurit
nampak segera menghampiri, lalu manakala me-
lihat siapa yang datang keduanya segera me-
nyembah.
"Duh Pangeran, sungguh ayahanda telah me-
nunggu," Prajurit itu berkata. "Pangeran dari manakah?"
"Janganlah kalian bertanya dulu. Sekarang
katakan pada Ayahanda bahwa aku datang ber-
sama Kakak Pendekar," dengan lagak seorang
pemimpin, Pangeran Kecil itu memerintah pada
kedua prajuritnya. Hal itu menjadikan Jaka
Ndableg tersentak kaget.
"Bagaimana mungkin sifat bocah ini tidak be-
rubah?" tanya Jaka dalam hati. "Ah, kenapa aku
mesti bodoh? Bukankah semua memang telah
menjadi didikannya?"
"Daulat, Pangeran!" Kedua prajurit itu kembali
menyembah, lalu segera keduanya bergegas pergi
untuk melaporkan kedatangan pangerannya pada
sang Raja.
* * *
"Ada gerangan apakah kalian menghadapku?"
"Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah
kembali."
"Apa...? Anakku kembali?" tanya Raja dengan
muka cerah, berbunga mendengar anaknya yang
diculik oleh hulubalangnya telah kembali. "Di
mana dia?"
Kedua prajurit itu hendak berkata, manakala
Pangeran Anggangga tiba-tiba muncul. "Daulat
Ayahanda, Ananda datang bersama Kakak Pende-
kar."
"Anakku...!" Bagaikan rindunya tiada terkira
sang Raja segera memburu ke arah anaknya. Di-
peluknya sang anak dengan segenap kerinduan.
"Oh, terima kasih pendekar. Mungkin tanpa per-
tolonganmu anakku tak akan selamat."
Jaka tersenyum, menyembah dan berkata,
"Ah, kebetulan saja saya menemukan Adik Pange-
ran dalam keadaan bahaya, terbawa oleh kereta
dan kudanya yang liar."
"Jadi... jadi anakku ditinggalkan oleh Jalaka-
tunda keparat itu?" sang Raja nampak menggere-
tak marah mendengar penuturan Jaka Ndableg.
"Iblis laknat! Prajurit...! Cari Iblis itu sampai ke-
temu, gantung dia di depan alun-alun!"
"Daulat, Baginda!" Dua orang prajurit tadi me-
nyembah, lalu segera keduanya keluar mening-
galkan Sitinggil di mana rajanya dan Jaka Ndab-
leg dan Rama Patih masih tampak duduk di situ.
"Siapakah engkau adanya, Tuan Pendekar?"
tanya sang Raja setelah kedua prajuritnya beran-
jak pergi. "Aku atas nama pribadi dan kerajaan
mengucapkan terima kasih.".
"Sudah menjadi tugas hamba, Baginda," jawab
Jaka sambil menyembah. "Nama hamba yang bo-
doh ini Jaka Ndableg."
Terbelalak mata Rama Patih dan Sri Baginda
demi mendengar nama pemuda yang berada di
hadapannya. Mulut mereka menganga, seperti
menunjukkan bahwa nama Jaka benar-benar te-
lah mereka kenal benar. Dan memang benar me-
reka telah mengenal nama pendekar muda terse-
but.
"Ah...! Rupanya mataku yang tua ini yang ti-
dak mau menyadari siapa adanya Tuan Pende-
kar," sang Raja berkata. "Maafkan segala kebodo
han kami."
"Tidak mengapa. Bahkan hambalah yang se-
harusnya meminta maaf, atas segala kejadian
yang tidak mampu hamba atasi."
"Oh, sungguh mulia budimu, Tuan Pendekar."
Sang Raja segera beranjak dari singgasananya, la-
lu bagaikan tidak merasa canggung sang Raja
pun duduk di bawah di atas permadani di mana
Jaka Ndableg duduk.
"Ah, mengapa Baginda mesti turun?" Tanya
Jaka jengah.
"Tidak mengapa. Bukankah Tuan Pendekar se-
lalu mengajarkan bahwa manusia itu sebenarnya
sama?" Sang Raja balik bertanya, nadanya men-
gingatkan pada Jaka akan segala petuahnya.
"Nah, bukankah kita sama mahluk Tuhan?"
Jaka tersenyum menganggukkan kepalanya,
begitu juga dengan Sri Baginda yang telah duduk
di hadapan Jaka sambil bersila.
"Memang begitu, Ayahanda. Kakak Pendekar
juga berkata begitu pada Angga," Anggangga ikut
nimbrung berkata, menjadikan Jaka Ndableg mau
tak mau harus mendesah. Kini dirinya benar-
benar serba salah. Mau merendah dan menolak,
jelas tidak mungkin, sebab Anggangga masih ke-
cil. Biasanya anak kecil tak akan mau berdusta.
"Kau bisa saja, Adik Pangeran," akhirnya Jaka
hanya dapat berkata begitu. "Oh ya, di manakah
kedua gurumu, Adik?"
"Siapa yang Tuan Pendekar maksudkan?"
tanya Rama Patih.
"Itu Paman, Guru Jaladri dan Jaladru," jawab
Pangeran Anggangga. "Di manakah kedua guru-
ku? Sungguh aku ingin bertemu dengan mereka.
Aku juga ingin memperkenalkan Kakak Pendekar
pada mereka."
"Ada, Pangeran. Keduanya tengah beristira-
hat."
"Di manakah, Paman?" desak Pangeran Ang-
gangga,
"Keduanya tengah berada di padepokannya."
"Dapatkah Paman memanggilnya?"
Jaka pandangkan matanya ke arah Pangeran
Anggangga, yang seketika tertunduk. Pangeran
Anggangga tahu bahwa ucapannya tadi kurang
berkenan pada Jaka Ndableg, maka dengan sege-
ra Pangeran Anggangga meminta maaf.
"Maafkan saya, Kakak Pendekar."
"Tak mengapa. Maafkan kelancangan hamba
yang berani mendidik putera Paduka. Hamba me-
lihat bahwa tindakan Adik Pangeran sangat tidak
bijaksana. Kalaulah Paduka menyalahkan hamba,
maka hamba siap menerima hukumannya," Jaka
Ndableg berkata pada sang Raja meminta maaf
atas tindakannya yang telah lancang. "Sungguh
itu semua hamba lakukan demi kebaikan Adik
Pangeran semata."
"Ah, tidak mengapa. Bahkan aku merasa ber-
terima kasih atas perhatian Tuan Pendekar pada
anakku," balas sang Raja. "Nah, Anggangga, seka-
rang kau akan dapat pendidikan etika dan sopan
santun yang sangat berguna dari Tuan Pendekar.
Kau seharusnya berterima kasih padanya."
"Daulat, Ayahanda."
"Aneh pendekar ini," gumam hati Rama Patih
dalam hati melihat tindakan Jaka. "Benar apa
yang seringkali aku dengar, pendekar ini benar-
benar aneh. Dia tak akan mau melakukan apa
yang sekiranya tidak ia kehendaki. Tapi kini, se-
cara tidak langsung ia telah memberikan didikan
pada Pangeran Anggangga."
Keempat orang itu terus bercakap dengan se-
kali-kali diikuti oleh gelak tawa mereka. Tengah
keempatnya saling bertukar pendapat, dua orang
dari luar tampak berjalan menuju ke arah situ.
"Sampurasun....'"sapa kedua orang yang tidak
lain Jaladri dan Jaladru.
"Rampes....'" keempatnya segera menjawab.
"Guru...!" Suka cita seketika Pangeran Ang-
gangga melihat gurunya datang. "Oh, kita akhir-
nya dapat bersua kembali, Guru. Oh ya, akan
murid kenalkan pada guru sekalian teman mu-
rid."
Dengan ketidak-mengertian, Jaladri dan Jala-
dru pun menurut manakala tangan mereka di-
gandeng oleh sang murid. Pangeran Anggangga
membawa kedua gurunya menuju ke tempat di
mana Jaka Ndableg dan ayahnya serta Patih Ra-
ma Patih berada. Kedua gurunya saling pandang
tak mengerti dengan kelakuan muridnya yang
menggandeng tangan mereka ke tempat ayahan-
danya yang saat itu tengah bercakap-cakap den-
gan seorang pemuda.
"Kakak Pendekar, ini guruku."
Jaka Ndableg segera palingkan muka melihat
ke arah datangnya Pangeran Anggangga. Seketika
Jaka menjura setelah bangkit dari duduknya. Tak
alang kepalang kagetnya Jaladri dan Jaladru ma-
nakala keduanya tahu siapa adanya pemuda yang
dikenalkan oleh muridnya tersebut. Mulut kedu-
anya menganga, mata keduanya melotot tak per-
caya.
"Jaka Ndableg...!" Jaladri dan Jaladru meme-
kik. "Oh, sungguh kami tidak menyangka akan
dapat bersua dengan Tuan Pendekar yang kon-
dang dengan sebutan Pendekar Pedang Siluman
Darah. Ampunilah kami. Sungguh kami tidak
memperhatikan senjata yang tergantung di pun-
dak tuan. Kalau kami boleh menerka, tentunya
senjata itulah Pedang Siluman Darah."
"Ah, ternyata mata kalian sungguh waspada.
Aku tak dapat menyangkalnya," jawab Jaka. Hal
itu seketika menjadikan sang Raja dan Rama Pa-
tih serta Pangeran Anggangga terbelalak. Betapa-
pun mereka tidak menyangka kalau pedang yang
tergantung di pundak Jaka Ndableg adalah Pe-
dang Siluman Darah yang telah menggegerkan
dunia persilatan.
"Jadi benar bahwa pedang yang berada di
pundakmu itu Pedang Siluman Darah?" tanya Ra-
ja Sutrisna ingin meyakinkan.
"Begitulah, Baginda."
Raja Prabu Sutrisna mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar penuturan Jaka. Tak lama
kemudian semua yang ada di situ pun terlibat
pembicaraan. Keakraban segera menyelimuti me-
reka, termasuk Jaladri dan Jaladru. Walau Sepa-
sang Pendekar Kembar itu dulu merupakan sepasang pendekar dari aliran sesat, namun kini
nampaknya keduanya sadar bahwa segala tinda-
kannya selama ini tiada guna.
"Bagaimana dengan Kitab Banyu Geni, Tuan
Pendekar?" Jaladri tiba-tiba mengalihkan pembi-
caraan pada Kitab Banyu Geni yang telah dibakar
oleh Jaka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar benar
telah mendapatkannya?"
Jaka Ndableg hendak menjawab, manakala
terdengar suara ribut-ribut di luar. Dua orang
prajurit kerajaan dengan tergopoh-gopoh masuk
dan menjura di hadapan mereka.
"Ada apa, Prajurit?' tanya Rama Patih. "Ampun
Tuanku, seorang lelaki dengan muka rusak ten-
gah mengamuk di alun-alun," jawab dua orang
prajurit tersebut dengan tubuh gemetaran. Hal itu
menjadikan Jaka Ndableg tersentak dan bertanya.
"Apakah lelaki itu bertindik?"
"Be... benar apa yang tuan katakan!"
Jaka tertegun, dugaannya benar bahwa orang
yang kini mengamuk tidak lain Sumping Tindik
adanya. "Ada apa orang itu mengamuk? Apakah
dia mencariku?" tanya Jaka dalam hati. Segera
Jaka bangkit dari duduknya dan menjura hormat,
lalu bergegas Jaka yang diiringi oleh Jaladri dan
Jaladru Gerta Rama Patih meninggalkan ruangan
tersebut. Tak lama kemudian Sri Baginda dan
anaknya pun menyusul keluar.
* * *
"Semua orang yang berada di dalam istana,
keluarlah!"
Sumping Tindik nampak mengamuk, tangan-
nya memukul setiap prajurit yang ditemuinya.
Kakinya juga tak urung menyepak dan menen-
dang ke arah para prajurit. Beberapa orang praju-
rit nampak telah tergeletak sekarat, sementara
yang lainnya masih berusaha menghalau amukan
Sumping Tindik.
Empat orang prajurit maju dengan tombak di
tangan mereka, menyerang. Tombak di tangan
keempat prajurit itu menusuk ke arah tubuh
Sumping Tindik. Sumping Tindik segera cabut ka-
lung yang melilit di lehernya, lalu dengan kalung
itu Sumping Tindik hadapi serangan.
"Wuuut! Wuuuuttt...!" Kalung yang terbuat da-
ri baja dengan nama Kalung Setan itu diputar
kencang, menjadikan angin putarannya besar
menderu-deru ke arah musuh. Namun sepertinya
keempat orang prajurit itu tidak mengenal takut.
Keempatnya kembali tusukkan tombak di tangan
mereka.
"Wuuuttt...!"
"Desssstttt...!"
"Praak! Prak! Prak! Praak...!"
Empat kali terdengar suara patahan tombak,
manakala Kalung Setan di tangan Sumping Tin-
dik beradu dengan tombak di tangan keempat
prajurit. Keempat prajurit itu nampak tersentak,
lompat mundur dengan mata tak percaya. Tom-
bak di tangannya telah patah menjadi dua. Bukan
itu saja, tangan mereka seketika melepuh bagai-
kan terbakar.
"Aahh...! Racun!" seorang prajurit yang tahu
bahwa kalung di tangan Sumping Tindik beracun
memekik. Wajahnya kini tampak pucat pasi. "Kita
kena racun!"
"Hi, hi, hi...! Kalian tak akan dapat hidup lebih
dari dua belas jam! Kalian akan mati dengan tu-
buh hangus oleh racun yang ada di Kalung Se-
tanku. Hi, hi, hi...!" Sumping Tindik tertawa ber-
gelak. "Sekarang kalian minggatlah, katakan pada
raja kalian agar secepatnya menyerah kalah!"
"Bangsat! Jangan kira semudah itu!" salah
seorang keempat prajurit itu membentak. "Lebih
baik kami mati daripada harus mengaku kalah
olehmu, Iblis!"
"Hi, hi, hi...! Rupanya kalian prajurit-prajurit
yang setia. Sayang, rajamu tidak akan dapat me-
nolong nyawa kalian!"
Mata keempat prajurit itu nampak merah me-
nyala, lalu dengan mendengus keempatnya kem-
bali berkelebat menyerang. Kini di tangan mereka
telah tergenggam keris yang sedari tadi terselip di
pinggang.
"Langkahi mayat kami! Hiaaaattt...!"
Keempat prajurit keraton itu tusukkan keris
berbareng ke arah Sumping Tindik. Keempatnya
nampak kompak, bergerak dari empat penjuru
angin. Jurus yang mereka keluarkan adalah jurus
Serigala Menyergap Mangsa, yaitu sebuah jurus
perang yang diajarkan oleh Jaladri dan Jaladru
selama kedua Pendekar Kembar itu mengabdi pa-
da kerajaan. Jurus yang mereka keluarkan sung-
guh jurus yang bukan sembarangan. Tapi kini
mereka bukan menghadapi musuh kelas kecoa
yang sekali gebrak saja mengkerut. Musuh yang
kini mereka hadapi adalah musuh dari golongan
kelas wahid pendekar, yang pernah malang melin-
tang dan menjagoi dunia persilatan pada ma-
sanya.
Sumping Tindik nampak enteng saja menge-
lakkan tusukkan dan sabetan keris di tangan
keempat prajurit itu. Tubuhnya hanya bergoyang
bagaikan menari, namun goyangannya yang ke-
bencongan tersebut bukanlah goyangan semba-
rangan dan kaku. Dan karena kekakuannya itu
menjadikan angin kibasannya mampu menahan
setiap laju gerakan musuh.
"Hi, hi, hi...! Percuma! Percuma!" Sumping
Tindik ngomel sendiri, tangannya bergerak-gerak
seakan menari. Tapi dari tangannya yang berge-
rak itu seketika keluar larikan sinar putih kebiru-
biruan. Sinar itu membersit berpuluh-puluh ba-
nyaknya menyerang keempat prajurit.
"Awas! Jarum beracun...!"
Tersentak keempat prajurit itu demi menden-
gar peringatan yang diteriakkan oleh seorang pe-
muda. Keempatnya hendak mengelak, namun
ternyata larikan jarum-jarum beracun itu jauh le-
bih cepat dibandingkan dengan gerakan mereka.
Tanpa ampun, keempatnya seketika memekik.
Tubuh keempat prajurit itu seketika membiru, ke-
jang sejenak dengan mata melotot, lalu akhirnya
mati dengan tubuh kaku.
"Iblis! Kejam!" pemuda itu yang tidak lain Jaka
Ndableg memaki-maki demi melihat kenyataan
tersebut "Sumping Tindik, rupanya kecacatan
mukamu tidak menjadikan engkau sadar!"
Sumping Tindik tengokkan mukanya meman-
dang ke arah suara itu. "Kau...?"
"Ya, aku!" jawab Jaka tenang, melangkahkan
kakinya menghampiri Sumping Tindik.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Itu urusanku, Sumping Tindik!" jawab Jaka
kembali. "Tidak aku sangka, dulu kau aku ampu-
ni dengan harapan kau mau bertobat. Tapi ru-
panya bukan tobat yang engkau lakukan, malah
makin menjadi-jadi tindakanmu!"
Sumping Tindik menyengir kuda, sepertinya
tak gubris segala ucapan Jaka Ndableg. Sementa-
ra dari dalam keraton bermunculan Jaladri dan
Jaladru serta Rama Patih. Tidak ketinggalan Pra-
bu Sutrisna dan Pangeran Anggangga. Sumping
Tindik nampak makin tersentak manakala meli-
hat siapa-siapa yang datang. Mungkin kalau
hanya Rama Pati dan Rajanya ia tidak begitu ka-
get, tapi kini yang datang adalah orang-orang
yang kini namanya tengah meninggi.
"Jaladri, Jaladru, kenapa pula engkau berada
di sini?" tanya Sumping Tindik dengan nada ka-
get. "Apakah kalian telah hilang nyalinya hingga
kalian rela mengabdi pada kerajaan yang tak mau
diuntung ini?"
Kalau saja Jaladri dan Jaladru tidak melihat
adanya Jaka Ndableg di situ, mungkin keduanya
akan melabrak mulut Sumping Tindik yang ku-
rang ajar tersebut. Namun dikarenakan ada Jaka
Ndableg, keduanya kini benar-benar menahan
amarahnya. Hal itu menjadikan Sumping Tindik
yang merasa cemoohannya berhasil makin men-
jadi-jadi.
"Huh! Kalian memang bangsa penjilat!"
"Tutup bacotmu, Bujang Lapuk!" Jaladru yang
panasan memaki dengan sebutan Bujang Lapuk.
Dan hal inilah yang menjadikan Sumping Tindik
tak mau menerima.
"Bangsat! Aku bunuh kau, Monyet! Hu, hu,
hu...!" Tanpa hiraukan Jaka, Sumping Tindik se-
ketika menyerang Jaladri dan Jaladru dengan Ka-
lung Setannya.
"Wuuut...!"
Kalung Setan itu membersit, menyerang ke
arah Jaladri dan Jaladru. Segera Sepasang Pen-
dekar Kembar itu lemparkan tubuh ke samping
mengelakkan serangan. Kalung Setan melesatkan
angin yang lolos beberapa senti saja di tengah-
tengah mereka.
"Wuuut...!" kembali Kalung Setan mencerca,
seakan tidak menghendaki musuh dapat menga-
tur posisi. Tapi kedua Pendekar Kembar itu bu-
kanlah pendekar-pendekar kelas kroco. Walau
mereka tahu siapa lawan yang tengah mereka ha-
dapi, namun keduanya tak akan gentar sedikit-
pun apalagi kini ada Jaka Ndableg yang tentunya
akan membantu mereka.
"Srang...!" Terdengar bunyi pedang dicabut da-
ri sarungnya manakala tangan kedua Pendekar
Kembar itu meraba gagang pedang.
"Hati-hati, Sumping Tindik! Kami tidak akan
main-main!" Jaladru menggeretak, lalu dengan
secepat kilat ia berkelebat dengan pedang siap
membabat. Jurus pedang kedua pendekar kakak
beradik kembar itu sudah terkenal, tak dapat dis-
angkalkan kehebatannya. Kini keduanya benar-
benar telah mengeluarkan jurus-jurus tersebut.
Pedang di tangan keduanya bergerak cepat laksa-
na gasing. Pedang itu bagaikan menghilang, be-
rubah menjadi warna-warna putih perak.
"Wuuuutttt...!"
"Wuuuutttt...!"
Keduanya berkelebat bareng, tusukkan pe-
dang ke arah tubuh Sumping Tindik. Sumping
Tindik yang sudah tahu kehebatan ilmu pedang
mereka segera putar kalungnya. Kini kalung di
tangan Sumping Tindik berputar cepat, sama ce-
patnya dengan putaran pedang kedua pendekar
kembar tersebut.
"Hiiiiaaaattt...!"
"Hiiiaaatttt...!"
Tiga sosok tubuh itu berkelebat cepat, saling
mencelat ke udara dengan keadaan siap tempur.
Senjata di tangan ketiganya nampak bergerak
dengan cepatnya. Dua pasang pedang di tangan
Jaladri dan Jaladru menusuk dengan jurus Dewa
Pedang Menghancurkan Karang.
Melihat hal tersebut, dengan segera Sumping
Tindik putar Kalung Setannya membentuk jurus
Lingkaran Setan Memagar Neraka. Sebuah jurus
yang sangat dibanggakan oleh para pendekar ali-
ran sesat, yang diciptakan sendiri oleh Sumping
Tindik. Gerakan Sumping Tindik nampak kaku,
namun mengandung kelicikan.
"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.
"Baik, Kakang! Kita serang. Hiaaattt...!"
Dua kakak beradik kembar itu mencelat den-
gan pedang masing-masing mengkiblat ke arah
musuh. Gerakan keduanya bagaikan menggunt-
ing. Pedang di tangan keduanya saling menyilang,
menjadikan mata pedang kini saling berhadapan.
"Hiiiaaattt...!"
"Puntung...!" Jaladru membentak. "Wuuut...!"
"Trang...!" Dua pedang di tangan kedua kakak
beradik itu kini saling bertemu. Kalau orang lain,
jelas akan puntung tubuhnya terkena sabetan
pedang mereka. Namun kini bukanlah Sumping
Tindik kalau tidak mampu mengelakkannya. Tu-
buh Sumping Tindik mencelat ke udara, manaka-
la pedang keduanya saling bertemu. Gerakan le-
laki bencong itu begitu gesit, hampir sulit diper-
caya. Malah kini Sumping Tindik tertawa berge-
lak-gelak dengan tubuh nangkring di atas wu-
wungan keraton.
"He, he, he...! Kalian kira kalian mampu men-
galahkan aku, heh!" Sumping Tindik mengejek.
"Turun kau, Bujang Lapuk!" maki Jaladru.
"Bangsat! Dua kali kau menghinaku! Hiaat...!"
Sumping Tindik bukan alang kepalang marahnya,
sehingga dengan geram tubuhnya menyelorot ke
bawah. Kalung Setan kini berputar dengan cepat.
Tubuh Sumping Tindik kini bagaikan terbang,
melaju ke arah dua kakak beradik kembar yang
sudah siap menyambutinya.
"Mati Kowe!" Sumping Tindik kibaskan tangan,
berbareng dengan hantamkan Kalung Setannya.
Angin seketika menderu, bersamaan dengan men-
celatnya larikan sinar putih kebiru-biruan dari
balik lengan baju Sumping Tindik.
Jaka Ndableg masih berusaha diam, menyak-
sikan pertarungan dua tokoh yang tadinya satu
golongan itu bertempur. Jaka tidak mau ikut
campur dulu, sebab ia merasa Jaladri dan Jala-
dru akan mampu mengatasinya. Namun dugaan-
nya sungguh meleset, ternyata Sumping Tindik
benar-benar licik. Jaladri dan Jaladru yang me-
nyangka kalau Sumping Tindik tidak akan men-
geluarkan jarum-jarum beracunnya, tampak
hanya memperhatikan Kalung Setannya dan be-
rusaha menangkis manakala kalung tersebut me-
nyerang. Tapi, dugaan mereka meleset. Manakala
keduanya sibuk, Sumping Tindik segera serang
keduanya dengan jarum-jarum beracun.
"Licik!" Jaka yang melihat hal tersebut segera
berkelebat, babatkan Pedang Siluman Darah.
"Traangg...!"
Jarum-jarum beracun itu seketika runtuh ter-
tebas Pedang Siluman Darah. Hal itu menjadikan
Sumping Tindik mencelat mundur tersentak. Ma-
tanya kini memandang tajam pada Pedang Silu-
man Darah di tangan Jaka. Pedang yang telah
menggegerkan dunia persilatan. Dari ujung pe-
dang nampak mengalir darah merah membasahi
batangnya.
"Pedang Siluman Darah!" Sumping Tindik dan
yang melihat di situ terkesiap menyaksikan pe-
dang tersebut.
"Sumping Tindik, aku sarankan kau menye
rahlah!" Jaka Ndableg masih berusaha menahan
kemarahan.
"Huh! Jangan harap, Jaka!" balas Sumping
Tindik. "Jangan mengira kau akan mampu men-
galahkan aku kembali, Jaka!"
Jaka Ndableg memalingkan muka pada Jaladri
dan Jaladru untuk meminta saran. Jaladri dan
Jaladru hanya mengangguk, dan hal itu telah cu-
kup bagi Jaka untuk bertindak. Namun Jaka bu-
kanlah orang sombong. Walaupun ia berilmu
tinggi, namun ia tidak mau begitu gegabahnya
untuk bertindak.
"Sumping Tindik, apakah kau tidak mau sa-
dar?"
"Huh! Sok suci!"
Sumping Tindik yang memang mendendam
pada Jaka tidak membuang-buang kesempatan.
Segera dengan Tasbih Setannya ia berkelebat me-
nyerang.
Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka
Ndableg gentar. Bahkan dengan entengnya Jaka
elakkan hantaman Kalung Setan Sumping Tindik
dengan hanya egoskan kepalanya. Tubuh Jaka
merunduk, lalu dengan segera tusukkan Pedang
Siluman Darah ke arah lambung Sumping Tindik.
"Ah...!" Sumping Tindik mengeluh tertahan,
urungkan serangannya, tolakan tubuh ke bela-
kang. Tubuh Sumping Tindik mencelat ke bela-
kang, lalu dengan masih terbang diputarkannya
Kalung Setan di tangannya.
"Wuuuttt...!"
Jaka tersentak, rundukkan badan menge
goskan hantaman Kalung Setan. Hampir saja ke-
pala Jaka terhantam, kalau tidak segera Jaka kib-
latkan Pedang Siluman Darah ke atas. Hal ini
menjadikan Sumping Tindik kembali urungkan
penyerangan. Tapi dengan cepat Sumping Tindik
kirimkan jarum-jarum beracun ke arah Jaka.
"Pengecut!" Jaka Ndableg memaki, kibaskan
Pedang menangkis.
"Trang...!"
Jarum-jarum itu runtuh berjatuhan dengan
patah menjadi dua terbabat Pedang Siluman Da-
rah. Jaka segera lompat mundur, begitu juga
dengan Sumping Tindik. Senjata di tangan kedu-
anya kini dimasukkan kembali ke sarungnya.
Keduanya saling memasang kuda-kuda. Mata
keduanya saling pandang. Ketegangan kini terja-
di, begitu juga dengan semua yang berada di situ.
Kini semua mata melihat pada dua sosok tubuh
yang saling diam tanpa reaksi. Rupanya kedua
orang berilmu tinggi tersebut tengah merapalkan
segala ajian yang keduanya miliki.
"Jaka Ndableg, sudah siapkah engkau mati?!"
Sumping Tindik berkata mengejek.
"Sumping Tindik, tidak salahkah engkau ber-
bicara?" Jaka balik bertanya. "Aku kira, kaulah
yang harus berpikir, Sumping!"
"Keluarkan ilmumu, Jaka!" Sumping Tindik
masih bersuara. "Nah, terimalah kematianmu! Te-
rimalah Ajian Begal Nyawa! Hiaaaattttt...!"
Tubuh Sumping Tindik mencelat hendak me-
nyerang ke arah Jaka. Sementara Jaka sendiri
nampak masih terpaku diam pada tempatnya.
Tangannya menyilang bersedakap, menjadikan
semua yang menyaksikan tampak was-was. Tu-
buh Sumping Tindik yang dengan tangan memba-
ra telah melesat dan hampir sampai pada tubuh
Jaka Ndableg.
"Aah, mengapa Jaka diam saja?" Jaladru dan
Jaladri nampak was-was. Keduanya takut kalau-
kalau tubuh Jaka akan hancur terhantam Ajian
Begal Nyawa.
"Hoaaarrrr...! Dewa Api...!"
Tubuh Jaka Ndableg seketika itu menyala dari
ujung rambut ke ujung kaki. Api membakar tu-
buhnya, menyala-nyala. Kini Jaka benar-benar te-
lah menjadi Dewa Api, yang siap membakar sega-
la apa saja yang ada.
Tersentak semuanya termasuk Sumping Tin-
dik. Sumping Tindik bermaksud mengurungkan
serangannya, akan tetapi tubuhnya telah melaju
dengan cepatnya dan sukar untuk dihentikan.
Maka tak ayal lagi tubuh Sumping Tindik melesat
ke arah tubuh Dewa Api yang nampak membara
dengan api menjilat-jilat.
Dan ketika tubuh Sumping Tindik menempel
di tubuh Jaka yang telah menjadi Dewa Api, seke-
tika Sumping Tindik menjerit kepanasan.
"Aaaaaa....!" Tubuh Sumping Tindik lengket
dengan tubuh Jaka yang masih membara. Lalu
setelah menjadi arang, tubuh Sumping Tindik
mencelat ke udara.
"Hoooaaaarrrr...!" Jaka Ndableg hantamkan
pukulan Inti Apinya ke arah tubuh Sumping Tin-
dik.
"Duaaar...!" Hancur lebur tubuh Sumping Tin-
dik menjadi debu. Semua yang menyaksikan me-
mejamkan matanya, manakala debu-debu itu
berhamburan pecah dari tubuh Sumping Tindik.
Benar-benar dahsyat dan mengerikan. Perlahan
Jaka berubah kembali pada bentuk asalnya, ma-
nakala tubuh Sumping Tindik benar-benar telah
sirna. Bersamaan dengan hilangnya api di tubuh
Jaka, seketika tubuh Jaka menghilang entah ke
mana.
ENAM
Sepeninggalan Jaka Ndableg, nampak di Kera-
jaan Bumi Jawa tiga mahluk dua manusia dan
seekor kera datang. Kedatangan mereka bagaikan
atas perintah seseorang. Tiga mahluk dengan dua
manusia itu tidak lain Kera Siluman dan dua
kambratnya yaitu Jantrang atau Jalakatunda dan
Taka Moro, orang yang berpakaian serba merah
dan muka tertutup lilitan kain merah pula. Dialah
Si Ninja Merah!
"Ada keperluan apa kalian datang?" tanya Ra-
ma Patih yang menyambut kedatangan ketiga
orang, dengan salah seorang di antara mereka ia
kenal bernama Jalakatunda. "Dan kau Jalaka-
tunda, kau harus mempertanggung jawabkan tin-
dakanmu!"
"Nguuuk...!" Kera Siluman menggeretak, seper-
tinya memendam hawa permusuhan pada sege-
nap yang ada di situ. Berdiri di belakang Rama
Patih, dua orang pendekar dengan wajah kembar
yang tidak lain Jaladri dan Jaladru.
"Kera inikah yang dinamakan Kera Siluman?"
tanya Jaladru pada kakaknya. "Benar, Adik."
"Hem, mau apa mereka ke mari? Dan apakah
Jantrang keparat itu hendak menyerahkan di-
rinya?" kembali Jaladru bertanya. "Jantrang, kau
datang tepat pada waktunya. Kau harus memper-
tanggung-jawabkan segala tindakanmu yang pen-
gecut itu!"
"Enak kau ngomong, kawan!" Jantrang menye-
ringai. "Nanti kalian akan segera tahu siapa
adanya aku!"
"Bangsat! Jadi kau menantang kami, Jan-
trang!" Jaladru menggeretak marah.
Jantrang nampak masih tersenyum, sementa-
ra Taka Moro yang berdiri di depan dengan Kera
Siluman nampak masih tenang. Matanya yang
nampak dari lubang tudungnya mengawasi para
prajurit yang berada di situ. "Aku rasa, tentunya
sebentar lagi akan terjadi pertarungan besar,"
gumam hati Taka Moro. "Hem, para prajurit kera-
jaan ini nampaknya telah siaga untuk menghada-
pi kami."
Dan apa yang dibayangkan oleh Taka Moro
benar adanya, karena dalam sekejap saja, mana-
kala Rama Patih menyerukan untuk menangkap
mereka seketika para prajurit yang sudah siap
siaga itu bergerak mengurung. Taka Moro cabut
samurainya dan dengan penuh kewaspadaan
menghadapi musuh-musuh yang kini mengelilingi
dirinya.
"Serbuuuu...!" Rama Patih berseru, yang den-
gan segera dilaksanakan oleh seluruh prajuritnya
menyerang. Senjata-senjata di tangan para praju-
rit itu berkelebat menyerang ketiganya. Dengan
segera ketiga orang utusan Dewi Cendana Biru itu
berkelebat mengelakkan serangan dan sesekali
membalas. Setiap balasan mereka menjadikan
pekikan kematian bagi yang terkena tendangan
ataupun pukulan kaki dan tangan ketiga orang
tersebut. Apalagi Taka Moro dengan samurainya,
nampak beringas dan haus darah samurai di tan-
gannya. Setiap kali samurai tersebut berkelebat,
setiap kali itu juga nyawa musuh melayang. Ada
yang puntung lehernya, terbabat muncrat perut-
nya, ataupun morat marit keadaan tubuh mu-
suhnya terbeset-beset samurainya.
Melihat para prajurit banyak yang jadi korban,
segera kedua Sepasang Pendekar Kembar berke-
lebat menghadang. Keduanya sudah terkenal
akan kehebatan ilmu pedangnya. Bahkan kedua-
nya pernah mempecundangi Takasima atau pim-
pinan Ninja Hitam dengan mata kiri hancur. Kini
keduanya telah terjun menghadang ketiga utusan
Dewi Cendana Biru. Namun keduanya juga Raka
Barka yang saat itu turut membantu harus me-
mikirkan siapa adanya Kera Siluman.
Mungkin mereka mampu mengalahkan Taka
Moro dan Jantrang atau yang lainnya, tapi den-
gan Kera Siluman yang di dalam raganya terdapat
sukma Raden Sukra, mereka harus berpikir.
"Ninja Merah, kau adalah musuhku, bukan
musuh prajurit-prajurit yang tidak tahu apa-apa!"
bentak Jaladru. Sedangkan Jaladri kini mengha-
dapi Jantrang. Raka Barka tak mau ketinggalan,
ia dengan para prajurit dan Rama Patih kini
menghadapi Kera Siluman.
Pertarungan orang-orang gagah yang sudah
sekian lama malang melintang di dunia persilatan
kini terjadi. Jaladru yang berilmu tinggi, tidak
memberikan pada Ninja Merah atau Taka Moro
sekali pun untuk dapat membalas menyerang.
Pedang di tangan Jaladru bagaikan mempunyai
mata. Pedang tersebut mencerca pada lambung
lawan. Hal itu menjadikan Taka Moro harus be-
rupaya mengimbanginya.
"Wuuuutttt...!" samurai di tangan Taka Moro
berkelebat mencoba membabat pedang di tangan
Jaladru yang kini siap membabat tubuhnya.
"Traanggg...!" Dua pedang itu bertemu, me-
nempel menjadi satu. Mata keduanya saling pan-
dang, seakan keduanya kini saling menilai sebe-
rapa tinggi ilmu yang dimiliki lawan. Keringat ber-
cucuran dari pelipis Jaladru dan Taka Moro.
Tangan keduanya bergetar.
"Hiiiaaatttt...!" Taka Moro lepaskan samurai,
lalu dengan cepat kibaskan samurai tersebut
membentuk lingkaran.
Jaladru segera lompat ke belakang, lalu den-
gan cepat pula pedang di tangannya silangkan ke
depan dada. Mata Jaladru tajam memandang pa-
da musuh. Pedang yang menyilang itu perlahan
membuka, itulah jurus Pedang Seriti Menjepit
Mangsa. Sebuah jurus pedang yang sudah tingkat
tinggi.
Mungkin kalau musuh yang tidak tahu, akan
menyangka bahwa gerakan tersebut adalah gera-
kan nekat. Namun bila yang mengerti akan ilmu
pedang, mereka akan berpikir tujuh kali untuk
melakukan penyerangan. Kelihatannya memang
pertahanan Jaladru terbuka, akan tetapi sesung-
guhnya perkembangan jurus tersebut sangatlah
berbahaya.
Dan benar! Manakala Taka Moro bergerak me-
nyerang dengan samurainya, secepat kilat Jala-
dru silangkan gerak pedang. Pedang di tangan Ja-
ladru sungguh aneh gerakannya. Gerakan pedang
itu mengidal, namun angin yang keluar mampu
menggetarkan samurai di tangan Taka Moro. Taka
Moro mencoba terus mencerca, disodokkannya
pedang samurai di tangannya ke arah tenggoro-
kan lawan. Namun sungguh tak terduga Jaladru
telah mendahului berkelebat dengan gerakan pe-
dang membabatkan lehernya.
"Ah!" Taka Moro tersentak memekik tertahan,
urungkan niatnya menyerang. Samurai di tan-
gannya ditarik kembali, lalu dengan bersalto ia
elakkan serangan.
Sementara di tempat lain, nampak Kera Silu-
man yang sudah dititisi oleh Raden Sukra nam-
pak menghadapi pengeroyokan para prajurit kera-
jaan dengan entengnya. Tubuh Kera Siluman me-
lompat ke sana ke mari, lalu dengan garuk-garuk
tubuh tangannya bergerak menyambit.
"Wuuuttt...!" Angin sampokan tangan Kera Si-
luman menderu, menjadikan pengeroyoknya mau
tidak mau harus menghindar. Namun belum juga
mereka hilang kagetnya, dengan cepat Kera Silu-
man telah melompat menyerang mereka kembali.
Gerakan tangan dan kaki Kera Siluman itu sung-
guh cepat, hingga sukar untuk dielakkan oleh
musuhnya. Tangan Kera Siluman itu kembali
menyampok ke arah seorang prajurit. Prajurit itu
bermaksud membalasnya dengan tusukan tom-
bak, namun sungguh di luar akalnya, tiba-tiba
Kera Siluman telah mendahuluinya. Kini tangan
berkuku hitam panjang dan tajam itu telah leng-
ket di leher prajurit tersebut.
"Ngguuuukkkk...!"
"Cepat serang dia!" Rama Patih memerintah-
kan pada anak buahnya. Dengan segera anak
buahnya berkelebat babatkan golok ke arah Kera
Siluman, namun sungguh sial. Kera Siluman
yang telah tahu dirinya terancam balik menyerang
pada orang yang hendak membacokkan goloknya.
Tak ampun lagi, orang tersebut seketika panik.
Golok di tangannya bergerak liar, sehingga tanpa
ia sadari, golok di tangannya telah membacok re-
kannya sendiri.
"Aaaaaaaa...!" tubuh prajurit yang terkena ba-
cokan temannya untuk sesaat memekik, kejang
dan akhirnya ambruk dengan darah deras men-
gucur lalu akhirnya mati. Sementara prajurit
yang satunya kini nampak panik ketakutan dis-
erang dengan cercaan yang bertubi-tubi. Prajurit
lainnya berusaha membantu, tapi akibatnya ma-
lah temannya sendiri yang terkena tusukan tom-
baknya. Kacau balau pertahanan para prajurit di
bawah pimpinan Patih Rama Patih. Amukan Kera
Siluman sungguh dahsyat, hampir setiap cakaran
dan sampokan tangan serta kakinya menjadikan
jerit para prajurit.
"Kepung Kera Edan ini!" Rama Patih memerin-
tahkan. Seketika para prajurit mengepung Kera
Siluman. Serentak itu pula para prajurit dibantu
oleh Raka Berka menyerang Kera Siluman. Tapi
diserang begitu rupa tidak menjadikan Kera Si-
luman keder. Bahkan dengan garuk-garuk badan
Kera Siluman melayani serangan mereka. Tangan
kanannya yang tidak menggaruk diarahkan, lalu
dengan menggeruk Kera Siluman yang tidak diki-
ra oleh para prajurit mampu mengeluarkan puku-
lan jarak jauhnya hantamkan tangannya.
"Wuuusssttt...!" Angin pukulan keluar dari te-
lapak tangan Kera Siluman. Dan seketika meme-
kiklah sepuluh prajurit yang terhantam angin pu-
kulan tersebut. Tubuh kesepuluh prajurit terse-
but mental ke belakang dengan dada bagaikan
tertimpa ribuan kati. Tulang iga mereka remuk,
dari mulut keluar darah segar. Sesaat kesepuluh
prajurit itu meregang, lalu terkulai dengan nyawa
melayang. Dada mereka menggurat gambar tela-
pak tangan menghitam legam.
"Tapak Wisa...!" Rama Patih memekik demi
melihat jenis pukulan yang dilontarkan Kera Si-
luman. "Dari mana Kera Iblis ini mendapatkan
pukulan Tapak Wisa?"
"Bukankah ia asuhannya Dewi Cendana Biru,
Paman?"
Rama Patih angguk-anggukkan kepala demi
mendengar penuturan Raka Berka. Kini ia baru
ingat bahwa kera itu adalah asuhan Dewi Cenda-
na Biru istri Raden Sukra.
"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!" Kera Siluman
nampak menari-nari melihat hasil dari pukulan-
nya.
"Kera Iblis! Jangan bangga dulu, Kunyuk! Kau
harus mampus di tanganku! Hiaaaatttt...!" Rama
Patih yang sudah marah dengan segera menye-
rang Kera Siluman. Jurus-jurus andalannya se-
perti Topan Menghalau Naga Menderu, terarah ke
arah Kera Siluman. Namun bagaikan tak menghi-
raukan Kera Siluman nampak melompat ke atas,
dan dengan entengnya berjumpalitan menghin-
dar. Bahkan kini Kera Siluman itu menderu ke
arah Rama Patih. Tangannya yang berkuku hitam
dan tajam itu nampak siap mencengkeram leher
Rama Patih. Rama Patih segera egoskan tubuh ke
samping, hingga hanya beberapa senti saja tan-
gan Kera Siluman melesat di sisi tubuhnya.
"Kunyuk! Serang Kera Iblis itu!" kembali Rama
Patih memerintah. Dan walaupun dalam keadaan
takut, para prajurit itu segera menjalankan tu-
gasnya. Para prajurit kerajaan itu kembali berke-
lebat menyerang Kera Siluman.
* * *
Jaladri yang ilmunya memang berada di atas
Jantrang beberapa tingkat, nampak tidak menga-
lami kesusahan untuk mendesak musuhnya. Ja-
ladri kini nampak berkelebat-kelebat dengan pe-
dang di tangannya.
"Menyerahlah kau, Jantrang!" Jaladari mem-
peringatkan.
"Jangan harap!"
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, Ib-
lis!"
Jaladri kini kembali berkelebat, pedangnya
menyambar-nyambar bagaikan sebilah pedang
bermata. Ya, pedang di tangan Jaladri bagaikan
memiliki mata sendiri. Pedang itu nampak buas
dan ganas. Jaladri kibaskan pedang ke arah tu-
buh Jantrang, menjadikan Jantrang harus men-
guras tenaganya untuk mengelak. Keringat dingin
mengucur deras di tubuh Jantrang. Ia tahu kalau
Jaladri bukanlah tandingannya, tapi bila ia harus
mengalah begitu saja, jelas ia akan mendapat
murka Sri Ratu Dewi Cendana Biru.
Jaladri bagaikan kesetanan, mencerca Jan-
trang dengan tusukan dan tebasan pedangnya.
Tinggallah Jantrang harus berusaha mengelakkan
atau menangkis pedang di tangan Jaladri. Tapi bi-
la keduanya saling adukan pedang, seketika tan-
gan Jantrang bagaikan perih terasa. Tenaga da-
lam yang ia miliki jauh berada di bawah Jaladri
yang memang merupakan tokoh silat yang sudah
mempunyai nama.
"Aku pcringatkan sekali lagi, menyerahlah!"
"Tidak!"
"Hem, rupanya kau benar-benar mencari ma-
ti!" Jaladri menderak, lalu dengan melentingkan
tubuhnya Jaladri bergerak terbang. Pedang di
tangannya kini mengkiblat ke arah muka Jan-
trang. Jantrang berusaha mengelakkannya na
mun secepat angin Jaladri yang menggunakan ju-
rus Sapuan Dewa Pedang bergerak dengan cepat
sukar diduga. Pedang di tangannya kini tampak
menghilang, dan tiba-tiba....
"Aaaaaa...!" Jantrang memekik, pedang di tan-
gan Jaladri ujungnya kini nancap di mata sebelah
kanan. Dengan segera Jaladri cabut pedangnya,
menjadikan Jantrang makin menyayat jeritannya.
"Uaaaaa...!"
Darah muncrat dari mata kanan Jantrang
yang hancur. Tubuh Jantrang menggelepar-
gelepar, tangan kanannya segera mendekap ma-
tanya yang hancur. Dengan berguling-guling Jan-
trang yang sekarat berusaha mempertahankan di-
ri. Namun bagaikan tak kenal rasa kasihan Jala-
dri kembali tancapkan pedangnya ke arah tubuh
Jantrang. Untuk kedua kalinya Jantrang menje-
rit, sebelum akhirnya kejang sesaat dan mati.
Bersamaan dengan matinya Jantrang, tiba-
tiba berhembus angin besar menerpa mereka.
Semua yang bertarung tersentak kaget. Namun
belum juga mereka dapat tahu apa yang menjadi
sebab, tiba-tiba sebuah bayangan berwarna biru
telah mendahulukan serangan yang ditujukan
pada Jaladri. Tanpa ampun lagi, Jaladri yang ti-
dak menyangka akan diserang begitu rupa tak
dapat mengelak. Jaladri terpental ke belakang.
Dadanya terasa sakit dan sesak. Namun begitu
Jaladri berusaha membalas menyerang.
"Kuntilanak! Hiaaaattt...!" Jaladri hantamkan
tangannya ke arah bayangan biru tersebut. Tapi
bagaikan tak merasa apa-apa, bayangan biru itu
kibaskan tangannya memapaki serangan Jaladri.
Dan untuk kedua kalinya Jaladri memekik, tu-
buhnya bagaikan hangus terbakar.
Jaladru yang mendengar pekikan kematian
kakaknya seketika alihkan perhatiannya ke arah
datangnya suara tersebut. Hal itu menjadikan
makanan empuk bagi Taka Moro. Tanpa menyia-
nyiakan kesempatan Taka Moro segera babatkan
samurainya ke arah tubuh Jaladru.
"Wuuuuuttttt...!"
"Craassss...!"
"Aaaaaa...!" Jaladru memekik, sesaat lalu am-
bruk dengan tubuh puntung menjadi dua. Di pi-
hak lain kini Kera Siluman nampak makin meng-
gila setelah tahu siapa yang datang. Kera Siluman
yang di tubuhnya bersemayam sukma Raden Su-
kra, nampak dengan penuh semangat lancarkan
segala pukulan yang dimiliki. Maka dalam sekejap
saja para prajurit dibikin bulan-bulanan. Yang le-
bih tragis adalah Raka Berka. Kepala Raka Berka
dicopotnya dari leher, lalu bagaikan bola kepala
itu ditendangnya.
Morat maritlah pertahanan kerajaan, apalagi
dengan matinya dua pendekar yang menjadi tum-
puan mereka. Kini dengan beringas para iblis di
bawah pimpinan Dewi Cendana Biru mengobrak-
abrik pertahanan kerajaan.
Sebelum ketiga orang yang menggila itu me-
nyerang ke dalam, dengan cepat Patih Rama Patih
berkelebat. Patih itu dengan cepat membawa tu-
buh Pangeran Anggangga pergi. Dan manakala
ketiga iblis tersebut menjarah masuk, ketiganya
hanya menemukan raja yang tampaknya pasrah,
sementara Pangeran Anggangga dan Rama Patih
telah menghilang entah ke mana.
Dendamnya pada Raja Sutrisna telah menja-
dikan mata gelap Dewi Cendana Biru. Dengan pe-
nuh dendam itu Dewi Cendana Biru perintah-kan
pada Taka Moro untuk memenggal kepala Prabu
Sutrisna yang pasrah.
"Taka, penggal kepalanya dan gantung di alun-
alun!"
Taka Moro sejenak memandang pada Dewi
Cendana Biru, nampaknya Taka Moro ragu, na-
mun Dewi Cendana Biru pelototkan matanya
hingga membuat Taka Moro akhirnya mengalah.
Perlahan Taka Moro berjalan mendekat, tapi be-
lum juga Taka Moro sampai, tiba-tiba dengan
pengecut Dewi Cendana Biru hantamkan pukulan
tenaga dalamnya. Taka Moro sesaat memekik,
ambruk dengan mulut keluar darah. Mata Taka
Moro nampak mendelik, lalu dari mulutnya yang
keluar darah terdengar caci maki yang ditujukan
pada Dewi Cendana Biru.
"Kau...! Kau tidak lebih seorang iblis!"
"Mampuslah kau orang Nippon!"
"Bangsat! Kau harus mampus denganku!" Ta-
ka Moro yang sudah luka berusaha bangkit. Dan
setelah mampu, segera Taka Moro babatkan sa-
murainya menyerang. Namun belum juga Taka
Moro dapat berbuat, tiba-tiba Prabu Sutrisna te-
lah menusukkan kerisnya dari belakang. Tak ayal
lagi Taka Moro pun akhirnya ambruk terkulai di
tanah mati.
"Bagus, Kakang! Kau telah menyelesaikan tu-
gasmu! Sayang bocah itu dapat selamatkan diri,"
Dewi Cendana Biru berkata pada Prabu Sutrisna,
lalu dengan penuh kerinduan Dewi Cendana Biru
segera memeluk tubuh Prabu Sutrisna.
"Nguuuk...!" Kera Siluman nampak belingsa-
tan melihat Dewi Cendana Biru tiba-tiba berpelu-
kan dengan Prabu Sutrisna yang ia ketahui ada-
lah musuhnya. "Nguuuk...!"
Dewi Cendana Biru lemparkan senyum ke
arah Kera Siluman, lalu dengan congkaknya sang
Dewi pun berkata: "Minggatlah kau ke akherat
sana, sebab aku kini telah mampu mengelabui
orang-orang yang menghormatimu! Ketahuilah,
aku dan kakang mas Sutrisna telah sekongkol
untuk meracunimu! Hua, ha, ha...!"
"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman menangis, lalu
bagaikan menyesal kera itu berkelebat pergi ting-
galkan keraton dengan membawa derita di ha-
tinya. Bersamaan dengan perginya Kera Siluman
terdengar suara seseorang berkata. "Dewi Iblis!
Aku akan membalas segalanya! Aku akan mem-
balas segala perbuatan kalian! Tunggulah keda-
tangan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bersa-
manya aku akan memakan jantungmu, Dewi Ib-
lis!"
Dewi Cendana Biru dan Prabu Sutrisna ganda
tertawa, sepertinya ucapan Kera Siluman atau
Raden Sukra tiada artinya sama sekali bagi mere-
ka. Malah dengan congkak keduanya berseru
membalas. "Kami tak akan kalah oleh siapapun!
Sebab kami memiliki Ajian Pelenyap Sukma!
Panggillah pendekar di seantero jagad, aku dan
kekasihku tak akan mengalah! Hua, ha, ha...!"
Dengan tenangnya kedua iblis berbentuk manusia
itu berlalu masuk ke dalam kamar, di mana ke-
nangan sepuluh tahun silam telah menggayut.
Kenangan di mana awal pertama kali keduanya
dengan sembunyi-sembunyi melakukan apa yang
seharusnya tidak mereka lakukan. Dan kini ke-
duanya pun melakukannya lagi, mungkin untuk
selamanya sebelum ada orang yang membuka ta-
bir siapa adanya kedua orang tersebut.
TUJUH
Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan me-
nikmati suasana pagi yang indah itu seketika
hentikan langkah manakala tampak olehnya dari
depan seorang lelaki dengan menggendong tubuh
bocah kecil berlari-lari. Nampaknya lelaki itu te-
lah lama berlari, sehingga di wajahnya nampak
keletihan. Jaka tersentak setelah tahu siapa
adanya lelaki tersebut, yang tidak lain Rama Patih
adanya. Segera Jaka Ndableg pun berkelebat me-
nyambut kedatangannya.
"Paman Rama Patih...!"
Rama Patih hentikan langkahnya manakala di-
lihatnya Jaka Ndableg telah berdiri menghadang
langkahnya.
"Jaka...?!"
"Ada gerangan apa Paman dan Pangeran berla-
ri-lari?" tanya Jaka ingin mengerti.
Rama Patih sejenak terdiam, kemudian setelah
menurunkan tubuh Pangeran Anggangga, Rama
Patih pun akhirnya bercerita tentang kedatangan
Dewi Cendana Biru dan anak buahnya setelah
kepergian Jaka.
"Sebenarnya Pangeran Anggangga bukanlah
anak Dewi Cendana Biru atau pun Prabu Sutris-
na."
"Jadi...?" Jaka nampak kebingungan. "Bagai-
mana hal sebenarnya, Paman? Mengapa bisa ru-
mit masalahnya?"
"Sepuluh tahun yang lalu, Raden Sukra me-
mimpin di Kerajaan Bumi Jawa. Raden Sukra
memiliki seorang istri yang cantik dan seorang se-
lir yang tidak lain Dewi Cendana Biru. Namun
tanpa sepengetahuan Raden Sukra, Dewi Cenda-
na Biru sebenarnya mempunyai niat yang jelek.
Suatu hari Dewi Cendana Biru dengan tanpa se-
pengetahuan Raden Sukra menjalin hubungan
dengan Pangeran Sutrisna. Mulanya Pangeran
Sutrisna menolak dikarenakan dia tahu bahwa
tak baik bila ia harus mengadakan hubungan ge-
lap dengan istri kakak sepupunya. Tapi karena
desakan Dewi Cendana Biru, akhirnya Pangeran
Sutrisna pun takluk. Sejak saat itu keduanya
menjalin hubungan."
"Lalu, siapa adanya Pangeran Anggangga ini?"
tanya Jaka sambil menunjuk pada Anggangga
yang masih tertidur pulas padahal hari telah be-
ranjak pagi. "Aku belum mengerti masalahnya,
Paman?"
Dengan panjang lebar akhirnya Rama Patih
pun menceritakan siapa adanya Pangeran Ang-
gangga. Jadi jelasnya Pangeran Anggangga adalah
putra Raden Sukra dengan istrinya yang pertama.
Berhubung untuk menutupi aib keduanya, maka
Pangeran Anggangga diangkat oleh Raja sebagai
anaknya. Sebenarnya Raja dan Dewi Cendana Bi-
ru telah berusaha melenyapkan pangeran ini den-
gan mengutus Jantrang untuk menculiknya. Be-
runtung Jaka Ndableg memergoki, kalau tidak
tentunya Pangeran Anggangga telah mati. Dan
kematiannya dianggap kecelakaan atau diculik
oleh Jantrang.
"Sungguh biadab!" Jaka menggeretuk marah.
"Ya! Kasihan Raden Sukra dan Anggangga, se-
bab hidupnya kini benar-benar terancam," Rama
Patih mengeluh.
"Aku harus mencegah perbuatan gila mereka!
Aku harus menegakkan hal yang sebenarnya!"
Jaka berkata. "Ayo Paman, kita kembali ke kera-
jaan!"
"Untuk apa?"
Jaka Ndableg kerutkan kening mendengar per-
tanyaan Rama Patih. Dalam pertanyaan itu, tersi-
rap kata-kata ketakutan yang teramat sangat. Hal
itu menjadikan Jaka Ndableg makin ingin tahu
apa sebenarnya yang dirahasiakan.
"Bukankah yang berhak atas kerajaan adalah
Pangeran Anggangga, Paman?"
"Ya!"
"Nah, aku ingin kebenaran berdiri di muka
bumi."
"Maksudmu, Tuan Pendekar?"
"Aku akan meminta mereka untuk minggat
dari kerajaan dan menyerahkannya pada Pange-
ran Anggangga!"
"Ah...!"
"Kenapa, Paman?" tanya Jaka makin bingung.
"Mereka bukan manusia biasa, Tuan Pende-
kar."
"Maksud Paman?" Jaka makin tidak mengerti.
Rama Patih menghela napas sejenak. Matanya
nampak berkaca-kaca. Sesaat sorot mata itu me-
mandang hampa ke muka, lalu dengan berat me-
mandang ke arah Jaka.
"Mereka tak akan dapat mati bila kita tak tahu
sandi hidup mereka."
Mata Jaka seketika melotot demi mendengar
ucapan Rama Patih. Baru kali ini ia mendengar
ada manusia yang memiliki sandi kematian.
"Aneh...." gumam Jaka. "Lalu harus bagaima-
na?"
"Entahlah, Tuan Pendekar! Mungkin dunia
akan segera kiamat, sehingga iblis kini menguasai
dunia."
"Akan aku coba, walaupun nyawaku sebagai
taruhannya!"
Setelah menjura hormat, Jaka Ndableg segera
berkelebat meninggalkan Rama Patih dan Pange-
ran Anggangga untuk menuju ke kerajaan. Se-
mentara Rama Patih yang menyaksikan hanya
mampu gelengkan kepala dengan mulut bergu-
mam lirih. "Sungguh-sungguh seorang pendekar
yang mumpuni, yang tahu kewajiban. Tapi aku
tak akan tinggal diam, aku harus membantunya."
Rama Patih segera menggendong tubuh Pangeran
Anggangga kembali, lalu dengan segera ia pun
berkelebat menyusul ke arah Jaka Ndableg.
* * *
"Tuan Pendekar... Tuan Pendekar, tunggu!"
Jaka yang tengah berlari dengan segera meng-
hentikan larinya demi mendengar seseorang ber-
seru. Segera Jaka berusaha mencari asal suara
itu. Namun ia tidak menemukan siapa-siapa di si-
tu, dan hanya pepohonan belaka yang bergoyang
tatkala dihembus angin.
"Aneh, siapa yang memanggilku?" Jaka terhe-
ran-heran sendiri. "Siapa yang memanggilku...?!"
"Aku, Tuan Pendekar!"
Terbelalak Jaka Ndableg demi melihat seekor
kera mampu berkata-kata layaknya manusia. Ja-
ka mencoba meyakinkan bahwa kera itulah yang
berbicara, maka Jaka pun kembali bertanya ma-
nakala kera tersebut makin dekat. "Engkaukah
yang berkata?"
"Benar! Akulah yang memanggilmu!" jawab Ke-
ra Siluman.
"Heh, aku kira kau bukanlah kera sembaran-
gan. Siapakah engkau adanya?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Kera
Siluman melelehkan air mata menangis. Hal itu
menjadikan Jaka iba. Perlahan dihampirinya kera
tersebut, lalu dengan lembut dibelainya dengan
tangan.
"Kenapa engkau menangis?"
"Nguuuk...! Aku sungguh menderita, Tuan
Pendekar."
"Menderita...?" tanya Jaka. "Maksudmu?"
Kera Siluman itu akhirnya menceritakan siapa
adanya dirinya. Cerita Kera Siluman itu sungguh
sama persis dengan apa yang dibeberkan oleh
Rama Patih. Hal ini menjadikan Jaka yakin bah-
wa segalanya memang benar.
"Ketahuilah, Prabu Sukra. Aku pun sebenar-
nya hendak menuju ke kerajaan. Aku tahu bahwa
yang berhak atas tahta kerajaan adalah anakmu
Pangeran Anggangga."
"Itu benar, Tuan Pendekar!"
"Tapi aku kini dalam ketidak mengertian, Pra-
bu."
"Maksud Tuan Pendekar?" tanya Kera Silu-
man.
"Aku diberi tahu oleh Rama Patih bahwa ke-
duanya tidak akan mampu mati bila aku tidak
mengetahui sandi kematiannya."
"Oooh..." Kera Siluman tampak tersenyum, la-
lu dengan manja Kera Siluman itu kembali berka-
ta. "Bukankah Tuan Pendekar memiliki Pedang
Siluman Darah?"
"Ya!" jawab Jaka pendek. "Lalu...?"
"Hanya dengan pedang itulah mereka dapat
mati!"
"Baiklah kalau begitu. Maukah Kanjeng Prabu
membantuku?"
"Dengan senang hati, Tuan Pendekar."
Setelah berkata-kata, kedua mahluk berbeda
jenis itu berkelebat meninggalkan hutan tersebut
untuk kembali menuju ke kerajaan guna meng-
hadapi dua pasang iblis berbentuk manusia yang
kini tengah mengangkangi kerajaan dan menye-
barkan kemaksiatan.
* * *
Dua manusia iblis itu tengah memadu cinta
yang tidak sah menurut aturan Tuhan, manakala
terdengar di luar seseorang berseru memanggil
mereka.
"Kurang ajar! Siapa yang siang-siang berani
lancang!" Dewi Cendana Biru memaki sewot. Se-
gera keduanya bergegas merapikan pakaiannya
yang berserakan, lalu dengan beriringan kedua-
nya segera menuju ke luar.
"Iblis-iblis berbentuk manusia, keluarlah ka-
lian!" kembali terdengar seruan seseorang.
"Bangsat! Siapa yang berani bersuara lantang,
hah!"
"Aku, Dewi Iblis!" jawab Jaka.
Dewi Cendana Biru pelototkan mata manakala
melihat seorang pemuda ganteng dengan pundak
memangku seekor kera yang tidak lain Kera Silu-
man, suaminya, tegar berdiri memandang ke
arahnya.
"Hi, hi, hi...! Rupanya pendekar ini yang kau
maksudkan, Sukra? Hi, hi, hi...! Kasihan, pende-
kar tampan dan gagah harus menjadi korban ka-
mi!" Dewi Cendana Biru mengejek. "Bagaimana
kalau kau menjadi pemuas nafsuku, anak gagah?"
Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, menja-
dikan Dewi Cendana Biru dan Sutrisna tersentak
kaget. Keduanya tidak menyangka kalau pemuda
di hadapannya mampu mengirimkan suara lewat
gelak tawa yang memekakkan telinga. "Hua, ha
hahaha...! Bagus juga saranmu, Dewi Iblis!
Sayang, aku telah muak dengan keriputan usia-
mu!" Jaka berkata dengan penuh ejekan. "Jan-
gankan diriku, anjing kurapan pun tentunya akan
menolaknya. Bukan begitu, Prabu?"
"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!"
"Kunyuk! Aku hancurkan kalian! Hiaaat...!"
Dewi Cendana Biru dan Sutrisna dengan penuh
amarah segera berkelebat menyerang Jaka dan
Kera Siluman. Segera Jaka berkelebat menghin-
dar, lalu dengan cepat kirimkan tendangan ke
arah keduanya. Tangannya didorongkan ke muka
membentuk sebuah jurus lurus. Dan dari kepalan
tangan Jaka keluar angin puting beliung mena-
han laju kedua musuhnya.
Dewi Cendana Biru kibaskan tangannya, lalu
dengan cepat lolotkan gelang-gelang yang berada
di tangannya. Seketika gelang-gelang itu melesat
menyerang ke arah Jaka. Jaka Ndableg runduk-
kan kepala menghindar, hingga gelang-gelang ter-
sebut melesat beberapa inci di atas kepalanya.
Namun rupanya gelang itu telah dialiri tenaga da-
lam yang sempurna. Manakala gelang-gelang ter-
sebut membentur pohon, seketika gelang-gelang
tersebut balik menyerang Jaka. Jaka Ndableg se-
gera lemparkan tubuh ke kanan.
"Swiiiingg...!"
Kembali gelang-gelang maut itu mendesing di
samping Jaka. Gelang itu berputar-putar, lalu
dengan cepat kembali melesat menyerang Jaka.
"Kurang ajar!" Jaka memaki. "Sraang...!"
Mata Dewi Cendana Biru dan Sutrisna seketi-
ka membelalak manakala melihat apa yang kini
tergenggam di tangan Jaka Ndableg.
"Pedang Siluman Darah...!" keduanya meme-
kik.
"Wuuuut...!" Jaka kibaskan pedang manakala
gelang-gelang maut itu kembali menyerangnya.
"Trang, trang, trang, trang, traaang...!" Lima
kali berturut-turut terdengar benturan benda lo-
gam, dan lima kali itu pula Pedang Siluman Da-
rah membabat patah gelang-gelang maut terse-
but.
"Bangsat! Kau telah menghancurkan senjata-
ku!" maki Dewi Cendana Biru. "Terimalah kema-
tianmu, Anak muda! Hiaaatttt...!" Dewi Cendana
Biru hantamkan pukulan Tapak Wisanya ke arah
Jaka. Dengan segera Jaka kembali kibaskan Pe-
dang Siluman Darah, hingga larikan pukulan itu
seketika menghilang dengan didahului suara le-
dakan dahsyat.
"Duuuaaarrr...!"
"Ayo, Tuan Pendekar, jangan biarkan mereka
berbuat seenaknya!" Kera Siluman yang masih
nemplok di pundak Jaka memberi perintah.
"Apa yang mesti aku lakukan, Prabu?"
"Serang keduanya dengan pedang di tangan-
mu!"
"Baik!"
Jaka Ndableg yang telah diberi tahu oleh Kera
Siluman dengan segera berkelebat menyerang ke-
dua iblis musuhnya. Keduanya nampak tersen-
tak, dan dengan nekat keduanya mengirimkan se-
rangan dengan Ajian Tapak Wisanya.
"Wuuuut...!" Jaka babatkan pedang, manakala
dua larik sinar menderu ke arahnya. Kemarahan
Jaka benar-benar telah membeledak, sehingga
tanpa sadar kini tubuhnya membara. Hal itu
menjadikan Kera Siluman kepanasan dan lompat
menjauh. Tubuh Jaka yang kini sudah merapal-
kan ajian Banyu Geni berupa Dewa Geni kini be-
nar-benar menjadi Dewa Geni. Matanya menyala,
begitu juga rambutnya kini menjadi api.
Kembali kedua iblis musuhnya tersentak ka-
get. Keduanya kini benar-benar menemukan la-
wan yang setanding. Keduanya nampak menyurut
mundur sedang dari mulut mereka seketika ter-
dengar pekikan menyebut nama ajian yang dike-
luarkan Jaka Ndableg.
"Dewa Geni...!"
"Kita serang, Dinda...!"
"Ayo, Kakang!"
"Hiaaaaatttt...!"
Kedua orang itu berkelebat dengan nekatnya
menyerang dengan Ajian Tapak Wisa. Keduanya
menyangka bahwa dirinya benar-benar tak akan
dapat terkalahkan. Dewa Geni nampak membe-
liakkan mata, lalu dengan cepat Dewa Geni berke-
lebat memapaki keduanya. Pedang Siluman Da-
rah kini bagaikan membara, api membakar pe-
dang Siluman Darah menjadikan pedang tersebut
kini menjadi pedang api.
"Hooaaaarrrr...!" Dewa Geni menggeretak, dan
melesat bagaikan terbang memapaki kedua mu-
suhnya.
"Hiiiiaaaatttt...!"
"Hiiiiaaaatttt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Wesssttt...!"
"Wuuuuttt...!" Pedang Siluman Darah yang
sudah menjadi api kini membersit ke arah mu-
suh. Angin yang keluar dari tebasan pedang
membara panas laksana neraka.
"Wua...! Tobaat...!"
* * *
Kedua orang itu memekik kepanasan, lalu
menggelepar-gelepar di tanah. Kera Siluman yang
sudah siap-siap hendak mengambil jantung Dewi
Cendana Biru segera melompat, tangannya yang
berkuku nampak liar mengorek-ngorek dada Dewi
Cendana Biru, yang seketika itu kembali menjerit.
"Aaaaaa...!"
"Proot!" Jantung itu terbesot ke luar, menjadi-
kan Dewi Cendana Biru saat itu juga terkulai ma-
ti. Dengan rakusnya Kera Siluman memakan jan-
tung mentah milik Dewi Cendana Biru.
"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman nampak kepu-
asan, akan tetapi ketika jantung itu telah habis,
tiba-tiba tubuh kera itu terkulai lemah mengecil
dan kecil hingga akhirnya menghilang lenyap tan-
pa bekas. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg yang
melihatnya, terbengong-bengong tak mengerti.
"Aneh! Sungguh aneh semuanya!" Jaka Ndab-
leg akhirnya dengan penuh ketidak-mengertian
berkelebat pergi tinggalkan dua sosok mayat yang
tiba-tiba telah berubah menjadi tua renta keriput.
Pergi untuk kembali mengembara, menegakkan
kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Hari itu juga, setelah kematian Dewi Cendana
Biru dan Prabu Sutrisna, Pangeran Anggangga
Gerta diangkat dan dinobatkan sebagai raja. Na-
mun dikarenakan dia masih belia, untuk semen-
tara tampuk kekuasaan dipegang oleh patihnya
Rama Patih. Walaupun begitu, Rama Patih ber-
sumpah yang isinya:
"Aku bersumpah, akan selalu siap sedia untuk
mempertahankan Kedaulatan Kerajaan. Dan aku
bersumpah, kelak apabila Pangeran Anggangga te-
lah dewasa, kerajaan akan aku serahkan kembali
padanya. Aku juga tak akan nikah untuk sela-
manya."
Pesta penobatan tersebut dilakukan dengan
meriah. Tujuh hari tujuh malam hiburan digelar-
kan, semuanya untuk memberikan penghorma-
tan. Di samping itu juga, hiburan dimaksudkan untuk menolak bala...
SEKIAN
0 comments:
Posting Komentar