..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE PENGUASA BUKIT KARANG BOLONG

Penguasa Bukit Karang Bolong

 

PENGUASA BUKIT KARANG BOLONG

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Penguasa Bukit Karang Bolong

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Tiga lelaki berpakaian kelabu yang bergelar 

Tiga Serangkai Hantu dari Kelangit nampak ber-

kelebat dengan cepat, mengurung seorang wanita 

berpakaian hijau pupus yang mukanya tertutup 

benang kain transparan hitam.

Entah apa sebabnya mereka bentrok, yang 

pasti tiba-tiba saja ketiga lelaki yang lebih terken-

al dengan sebutan Tiga Serangkai Hantu dari Ke-

langit itu diserang oleh orang bercadar hitam. Je-

las hal itu tidak menjadikan ketiganya mau begitu 

saja mengakui keunggulan orang tersebut. Mere-

ka juga merasa tidak salah dan tidak ada sangkut 

paut apa-apa dengan orang bercadar hitam terse-

but.

"Kenapa engkau tak ada angin tak ada hu-

jan tiba-tiba menyerang kami!?" bentak Hantu Ke-

langit kumis putih. Wajahnya beringas, sepertinya 

merasa kesal pada orang yang menyerang mere-

ka.

"Hi, hi, hi...!" orang itu cekikikan. Suaranya 

jelas suara wanita. Hal itu menjadikan ketiga 

Hantu Kelangit kerutkan kening. Mata ketiganya 

memandang tajam, sepertinya ingin menembus 

cadar hitam tersebut tembus ke wajah wanita 

yang menyerang mereka. "Hi, hi, hi....! Bukankah 

kalian musuh-musuh Setan Berambut Putih?" 

tanyanya seperti ingin membuat Ketiga Hantu Da-

ri Kelangit tersebut harus bertanya-tanya.

"Hai! Apa hubunganmu dengan Setan Be


rambut Putih?" tanya mereka hampir bareng, 

yang dijawab dengan cekikikan wanita bercadar 

tersebut. "Apakah mungkin kau kekasihnya?"

"Cuih! Lelaki macam dia mudah aku da-

patkan. Mungkin kalau aku mau, aku dapat 

membawakannya untuk kalian segudang."

"Sombong," Hantu Kumis Hitam menggere-

tak mendengar ucapan wanita itu. "Kau terlalu 

sombong. Apakah wajahmu cakep?"

"Kalau cakep kalian mau apa?" 

"Mau menidurimu," jawab Hantu berkumis 

hitam kalem.

Melotot wanita bercadar hitam itu, yang je-

las nampak dari urat-uratnya yang menegang. 

Tangannya mengepal, sepertinya ada sesuatu 

yang membuat dia berbuat begitu. Napasnya 

mengencang, hampir menyerupai dengusan. Ya, 

wanita itu mendengus, merasa ketiga Hantu dari 

Kelangit menyepelekan dirinya. Maka dengan 

menggeretak penuh marah, wanita itu memben-

tak.

"Pantas! Kalian memang manusia-manusia 

yang aku cari. Hem, tak aku sangka kalau akhir-

nya aku menemukan kalian semua. Sudah tiga 

tahun lamanya aku mencari kalian untuk sebuah 

keperluan, ternyata kalian aku jumpai di sini!"

Tersentak ketiganya kaget, demi menden-

gar ucapan yang nadanya mengancam mereka. 

Ketiga Hantu dari Kelangit terlolong bengong, tak 

mengerti maksud ucapan wanita bercadar hitam. 

Namun belum juga ketiganya dapat menguasai di-

ri, tiba-tiba wanita tersebut telah berkelebat kem


bali menyerang mereka. Mereka yang kaget segera 

lompat mundur, lalu dengan segera balik menye-

rang.

"Siapa kau adanya, wanita?" tanya Hantu 

tak berkumis, yang merupakan Hantu paling bon-

tot di antara ketiga Hantu Dari Kelangit.

"Siapa adanya aku, tak penting bagi kalian 

yang berjiwa binatang. Yang utama, kalian harus 

mati di tanganku untuk menebus dosa-dosa yang 

pernah kalian lakukan pada muridku!" wanita 

bercadar itu nampak sunggingkan senyum yang 

tertutup oleh kain hitam. Ucapannya begitu men-

gandung ancaman, menjadikan Ketiga Hantu dari 

Kelangit kembali membeliakkan matanya.

"Kalian sudah siap untuk aku kirim ke ak-

herat sebagai penebus dosa-dosa kalian?"

"Omonganmu enak benar, wanita?" renguk 

Hantu berkumis putih jengkel. Ia merasa sudah 

keterlaluan omongan wanita di hadapannya ter-

sebut. Hantu berkumis putih, menyangka kalau-

lah wanita itu hanya ingin mencari gara-gara saja 

tak lebih dari itu.

"Hi, hi, hi...! Kalianlah yang ingin enaknya 

sendiri. Kalian telah memperkosa seorang gadis, 

lalu dengan seenaknya tinggalkan gadis itu yang 

meratapi kemalangan nasibnya. Hampir saja ga-

dis itu bunuh diri, kalau saja tidak segera aku to-

long. Kini aku ingin menolong sekaligus menun-

taskan hutang piutang di antara gadis tersebut 

yang kini aku angkat menjadi murid dengan diri 

kalian dan juga laki-laki hidung belang lainnya," 

wanita itu masih cekikikkan, tertawa bagaikan


melihat kelucuan pada wajah Ketiga hantu Dari 

Kelangit yang mukanya seketika itu merah pa-

dam. Mereka memang merasa bahwa merekalah 

yang telah memperkosa gadis Ningrum anak Pra-

manayuda. Namun yang tidak enak bagi mereka, 

adalah wanita yang kini mengaku-aku sebagai 

guru si gadis. Bukankah di dunia persilatan tak 

ada istilah guru harus ikut campur dengan sang 

murid? Begitulah dugaan Ketiga Hantu Dari Ke-

langit.

"Kenapa kau tidak bunuh sekalian gadis 

itu. Bukankah kita sealiran?" Hantu kumis hitam 

mencoba merayu. Ia bermaksud agar wanita yang 

mengaku-aku guru Ningrum mau melemah ha-

tinya. Sebab mereka telah tahu sendiri betapa il-

mu yang dimiliki oleh wanita bercadar hitam ter-

sebut sungguh tinggi. Manakala pertama kali me-

reka diserang, mereka merasakan betapa ilmu se-

rangannya sungguh dahsyat. Hampir saja ketiga 

hantu tersebut dibuat kalang kabut, kalau saja si 

wanita tak segera hentikan serangan.

"Ya. Kenapa kau tidak bunuh saja sekalian 

gadis tak tahu diuntung itu," tambah Hantu tak 

berkumis menimpali kakak seperguruannya. "Ka-

lau kau langsung membunuhnya, niscaya kami 

akan memberikan hadiah padamu."

"Bedebah! Kalian kira semudah itu mem-

bunuh anak manusia, heh?"

Ketiga Hantu Dari Kelangit ganda tawa de-

mi mendengar pertanyaan dari wanita tersebut, 

menjadikan wanita bercadar itu menggeretak ke-

rakan rahangnya. Tangannya makin mengepal ke


ras, seakan ingin menghancurkan sesuatu yang 

ada dalam kepalannya. Mata yang tertutup oleh 

kain cadar hitam, memandang penuh kebencian 

yang dalam pada ketiganya yang masih tertawa 

bergelak-gelak.

"Dasar kalian buaya. Mengapa kalian mau 

begitu saja diutus oleh Rengkana? Kenapa? Apa 

kalian dibayar untuk itu?" suara wanita itu begitu 

dalam, sedalam dendamnya pada orang yang kini 

berada di hadapannya. Ya, orang-orang yang telah 

memperkosa dirinya. Siapakah sebenarnya wanita 

dalam cadar hitam tersebut? Wanita itu tidak lain 

Ningrum adanya. "Kalian harus mati untuk segala 

perbuatan yang telah kalian lakukan. Setelah ka-

lian, maka Rengkana akan menyusul kalian ke 

alam akherat sana. Bersiaplah!"

Wanita bercadar hitam itu tak hiraukan la-

gi ucapan ketiganya, serta merta ia berkelebat 

dan tiba-tiba telah menyerang Serangkai Hantu 

Dari Kelangit yang terus berusaha mengerti apa 

tujuan sebenarnya wanita itu. Maka dengan ber-

kelit mengelakkan serangan wanita tersebut, Han-

tu Kumis Hitam berkata: "Wanita, mengapa tiba-

tiba kau menyerangku?!"

"Kau yang melakukan terlebih dahulu, ma-

ka sepantasnyalah kalau kau yang terdahulu aku 

serang," jawab Ningrum sengit. Tangannya yang 

halus dan kecil itu bergerak cepat bagaikan see-

kor ular hidup, mematuk ke sana ke mari tiada 

henti, menjadikan Hantu Kumis Hitam keteter di-

buatnya. Melihat hal tersebut, secepat kilat kedua 

Hantu lainnya segera berusaha membantu. Na


mun sungguh tak disangka-sangka oleh kedua-

nya, Ningrum serentak berbalik tinggalkan Hantu 

Kumis Hitam dan langsung mencerca keduanya 

dengan jurus-jurus yang mematikan.

Kedua orang dari Hantu Dari Kelangit ter-

sentak kaget melihat serangan Ningrum yang be-

gitu ganas dan cepat. Keduanya untuk menghin-

dar harus berjumpalitan ke sana ke mari. Kini gi-

liran Hantu Kumis Hitam yang melihat kedua 

saudaranya diserang membantu, dan berusaha 

mendahului menyerang Ningrum. Tapi sungguh 

Ningrum sekarang berbeda dengan Ningrum keti-

ka dengan gampangnya mereka memperkosa. 

Ningrum sekarang adalah Ningrum yang telah di-

didik oleh seorang tokoh sakti dari Gunung Mu-

ria, yang bernama Nenek Sakti Ratu Kelabang. 

Seorang tokoh sakti beraliran sesat yang sangat 

bengis dan kejam. Ia tak pernah mau tahu kawan 

atau lawan. Bila di hatinya ada sedikit ganjelan, 

baik itu dilakukan oleh kawan atau pun lawan, 

maka kematianlah yang akan mereka alami. Ilmu 

Kelabang Racun Hitam sungguh belum ada tan-

dingannya. Ilmu itu begitu sadis, dan ganas. Tak 

mungkin orang yang terkena dapat bertahan se-

hari, bila si Nenek tak segera memberikan obat 

pemunahnya.

Ketiga Hantu Dari Kelangit yang belum ta-

hu siapa adanya orang yang menyerang nampak 

masih berusaha menghindar dengan sekali-kali 

berusaha menyerang. Sungguh pun demikian, ke-

tiganya nampak belum dapat menerka siapa 

adanya wanita yang menyerangnya tersebut.

Pertarungan tiga orang Hantu dengan seo-

rang wanita itu masih terus berlanjut. Ketiganya 

seakan tak mau ada yang kalah maupun yang 

menang. Tapi bila dilihat dengan seksama, jelas 

nampak ilmu ketiga Hantu Dari Kelangit berada 

di bawah setingkat ilmunya dibandingkan dengan 

ilmu yang dimiliki oleh si penyerang. Namun begi-

tu, karena dikeroyok tiga menjadikan si penye-

rang agak susah juga mengakhiri pertarungan.

"Hem, kalau saja guru berpesan aku boleh 

menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam untuk 

menghukum mereka, sudah pasti mereka akan 

dengan mudah aku jatuhkan," dengus Ningrum

dalam hati. Ia masih ingat akan petuah gurunya, 

agar jangan sekali-kali menggunakan ajian Racun 

Kelabang Hitam pada Tiga Serangkai Hantu Dari 

Kelangit. Ucapan sang guru masih mengiang di 

telinganya, manakala Ningrum hendak melaku-

kan balas dendam pada orang-orang yang telah 

memperkosanya. Orang-orang yang telah meng-

koyak-koyak kehidupannya, mengkoyak-koyak 

segala kebahagiaannya.

"Ingat, Ningrum. Kau tidak boleh menggu-

nakan ajian tersebut untuk menghukum mereka, 

sebab mereka merupakan satu ikatan saudara 

dengan diriku. Guru mereka, tak lain adalah adik 

seperguruanku. Bukannya aku takut menghadapi 

guru mereka, namun apalah nantinya aku dike-

cam?" suara dengungan ucapan gurunya meng-

gema di sela-sela relung-relung sanubarinya. Na-

mun suara lainpun tiba-tiba ikut muncul dan 

memberikan dorongan padanya.


"Ningrum, suamimu dibunuh oleh mereka, 

juga kehormatanmu di renggut dengan paksa oleh 

mereka. Apakah kau akan tinggal diam dan me-

nuruti kata-kata gurumu? Biarkanlah gurumu 

dengan mereka masih ada ikatan saudara, namun

kau? Kau tak punya ikatan saudara dengan me-

reka, melainkan ikatan hutang piutang dendam... 

dendam, Ningrum. Dendam yang bisa atau tak bi-

sa harus kau lunasi. Apakah batinmu tak tersiksa 

bila melihat mereka masih keliyaran hidup?"

Manakala Ningrum terdiam, berpikir mana 

yang harus ia kerjakan, ketiga Hantu Dari Kelan-

git pun nampak terdiam sembari memandang ke 

arahnya. Mata ketiganya nampak mengerut, tak 

mengerti apa sebenarnya yang kini berkecamuk di 

pikiran Ningrum. Namun demikian, mereka terus 

siap siaga, takut-takut kalau Ningrum kembali 

menyerang.

Ningrum yang saat itu hatinya tengah ber-

kecamuk perang, saling dorong mendorong antara 

perasaan yang satu dengan yang lainnya nampak 

menggigit bibirnya. Ia tak mengerti, mengapa gu-

runya Nenek Sakti Ratu Kelabang harus meno-

long dirinya kalau dirinya tak boleh membalas se-

gala dendam kesumat yang tumbuh? Betapapun, 

Ningrum merasa tuntutan jiwanya menghendaki 

ketiga Hantu Kelangit tersebut harus mati di tan-

gannya. Namun gurunya menghendaki lain. Gu-

runya menghendaki agar dirinya tak sampai me-

nurunkan tangan jahatnya. Dalam kebimbangan 

itu Ningrum mengerang, menggeretak penuh 

emosi. Dan akhir dari kontra batin tersebut Nin


grum akhirnya tertawa bagaikan orang gila, men-

jadikan ketiga Hantu Kelangit makin dalamkan 

kerutan keningnya.

"Hua, ha, ha...! Aku!... aku Penguasa Bukit 

Karang Bolong, mengapa harus menurut pada 

ucapan orang lain? Aku akan mampu menguasai 

seluruh dunia persilatan. Aku tak perduli dengan 

ucapan nenek peot itu. Aku harus dapat membu-

nuh ketiga orang yang sekarang berada di hada-

panku. Hiat...!"

Tersentak ketiga Hantu Dari Kelangit, ma-

nakala dengan tiba-tiba Ningrum menghantam-

kan pukulan jarak jauhnya. Beruntung ketiganya 

waspada dari semula, kalau tidak. Niscaya tubuh 

mereka akan serupa dengan keadaan gunung ke-

cil yang terletak tak jauh dari mereka. Gunung 

kecil itu mengepulkan asap, hancur berguguran 

menjadi batu-batu kecil, beterbangan laksana he-

laian daun terhempas angin topan. Mata ketiga 

Hantu Dari Kelangit membeliak, serta merta keti-

ganya kembali berteriak kaget melihat ilmu apa 

yang telah dilakukan oleh Ningrum.

"Demi Iblis! Mengapa kau mampu menggu-

nakan Ajian Bagar Gede? Dari mana kau men-

curi ajian tersebut, wanita?" tanya Hantu Kumis 

Putih kaget. Ia tak percaya pada apa yang dilihat-

nya. Hatinya seketika teringat pada seorang yang 

memiliki ilmu serupa dengan gurunya, Darga Bu-

ana. "Hem, apakah wanita ini benar-benar bibi 

guru?" batinnya tak percaya. "Kalau memang bibi 

guru, mengapa suaranya dan gerakannya lemah 

gemulai laksana gadis? Hem, tadi ia menyebut di


rinya Penguasa Bukit Karang Bolong. Siapakah 

dia? Aku baru kali ini mendengar nama Penguasa 

Bukit Karang Bolong. Bukankah Penguasa Bukit 

Karang Bolong adalah Dewi Lanjut Ayu, seorang 

Dewi dari aliran sepertiku yang hidup sekitar lima 

puluh tahun yang silam? Hem, apa mungkin ga-

dis ini telah dititisi olehnya? Sungguh bahaya du-

nia persilatan bila Dewi Lanjut Ayu muncul kem-

bali. Khususnya para lelaki. Hem...."

"Kenapa kalian kaget. Kalian tahu ilmu 

yang aku gunakan, mengapa kalian tidak segera 

bersujud dan menyembah padaku. Apakah kalian 

benar-benar ingin mendapatkan azab, manusia-

manusia dungu seperti binatang!?" Ningrum 

kembali membentak. Suaranya kini lain, bukan 

suara yang pertama kali keluar dari mulut Nin-

grum. Suara itu begitu parau, menyerupai suara 

seorang nenek-nenek yang telah benar-benar lan-

jut usia.

"Siapa kau sebenarnya, wanita?" Hantu 

Kumis Putih kembali menanya. "Kenapa kau 

memperoleh ajian yang dimiliki oleh bibi guru 

kami?"

"Hua, ha, ha...! Kalian bodoh! Jelas aku 

memiliki ilmu tersebut. Sebelum bibi gurumu dan 

gurumu memiliki ajian Bagar Gege, aku telah 

menguasainya. Aku Dewi Lanjut Ayu Penguasa 

Bukit Karang Bolong. Akulah yang akan mengua-

sai dunia persilatan. Kalian harus mengikuti apa 

yang aku katakan bila kalian ingin hidup. Tapi bi-

la tidak. Maka kalian akan aku kirim ke akherat. 

Hua, ha, ha...!"


"Sombong! Aku tak percaya kalau kau me-

mang Dewi Lanjut Ayu. Dewi Lanjut Ayu telah 

tiada, mana mungkin hidup kembali," Hantu Ku-

mis Hitam turut menyangkal, menjadikan Dewi 

Lanjut Ayu bergelak tawa makin melebar. 

"Kalau kalian tak percaya, lihatlah!" Habis 

berucap demikian, Dewi Lanjut Ayu segera kepal-

kan tangannya ke angkasa. Tiba-tiba petir mem-

bahana bersahut-sahutan, padahal hari itu san-

gat cerah. Ketiga Hantu Dari Kelangit makin ter-

sentak. Mereka tahu jenis ilmu apa yang tengah 

dilakukan oleh Dewi Lanjut Ayu, yang oleh guru 

mereka disebut ajian Penarik Dewa Petir. Jadi da-

lam keadaan apapun, bila ajian tersebut dilaku-

kan maka Dewa Petir akan menyahuti. Belum ju-

ga ketiganya hilang dari rasa kejutnya, tiba-tiba 

Dewi Lanjut Ayu berseru. "Dewa Petir, tunjukkan 

kehebatanmu!" 

"Jleger! Jleger! Jleger!" 

Tiga kali berturut-turut petir membahana, 

dan tiga kali itu pula tanah di hadapan tiga Hantu 

Dari Kelangit menganga lebar, cukup untuk men-

gubur tubuh mereka. Mata ketiga Hantu Dari Ke-

langit terbeliak kaget, melompat mundur dengan 

mata memandang pada Dewi Lanjut Ayu.

"Mau pamer ilmu rupanya kau, orang som-

bong!" Hantu tak berkumis membentak marah, 

merasa diremehkan begitu rupa oleh gadis yang 

mengaku-aku sebagai Dewi Lanjut Ayu. Namun 

sang Dewi sepertinya tak perduli, malah kini ia 

nampak tersenyum di balik cadarnya.

"Terserah apa yang kalian katakan. Yang


jelas Dewa Petir menghendaki nyawa kalian."

"Huh, jangan kira kau mudah melakukan-

nya!" geretak marah Hantu berkumis Putih.

"Oh... begitu? Baik, akan aku buktikan 

bahwa aku tak susah untuk melakukannya. Iba-

rat aku hanya membalikkan telapak tanganku, 

maka dengan mudah nyawamu dan nyawa dua 

saudaramu itu akan aku ambil. Bersiaplah, 

hiat...!"

Kembali Ningrum berkelebat menyerang, 

kali ini sepertinya tak mau lama-lama lagi, ter-

bukti serangannya begitu ganas dan cepat. Tak 

henti-hentinya ia menggeretak, lalu menjerit ba-

gaikan orang histeris. Tangannya yang lentik, me-

liuk-liuk bagaikan ular yang hidup, menjadikan

ketiga orang musuhnya harus hati-hati mengha-

dapinya.

Ketiga Hantu Dari Kelangit berusaha men-

gimbangi, namun bagaimanapun juga gerakan 

mereka tak ada artinya untuk mengimbangi se-

rangan Ningrum yang bagaikan kesetanan. Maka 

dalam waktu yang relatif singkat, Ningrum yang 

sudah kerasukan Dewi Lanjut Ayu makin menang 

angin saja. Dengan jurus-jurus anehnya Ningrum 

terus mendesak ketiga musuh-musuhnya, yang 

makin terdesak saja tanpa dapat membalas sekali 

pun. Namun ketiga Hantu Dari Kelangit bukanlah 

orang-orang sembarangan yang hanya begitu saja 

sudah kalah. Mereka adalah didikan datuk silat 

yang sudah malang melintang di dunia persilatan, 

sehingga ilmu yang mereka miliki pun bukanlah 

ilmu kelas kroco. Ditambah lagi dengan kebera


nian mereka, jelas tampak bahwa mereka benar-

benar sudah menuruni segala apa yang telah 

guru mereka ajari.

Meski dalam keadaan terdesak bagaimana 

pun, ketiga Hantu Dari Kelangit tak mau putus 

asa. Dan manakala ada kesempatan, tiba-tiba 

Hantu Kumis Putih berkelebat sembari keluarkan 

pekikkan menyayat yang mampu memecahkan 

konsentrasi Ningrum. Belum juga Ningrum dapat 

kuasai diri, tiba-tiba sebuah tangan yang berge-

rak cepat berkelebat menyabet cadar yang dike-

nakannya. Tersentak Ningrum seketika, namun 

lebih kaget lagi ketiga musuhnya. Mata mereka 

melotot, manakala tahu siapa yang tengah diha-

dapi.

"Ningrum! Kau...!" Ketiganya serentak ber-

seru menyebut orang yang kini tersenyum sinis 

pada mereka, yang ternyata Ningrum adanya.

"Ya, aku. Akulah Ningrum yang dulu kalian 

perkosa atas suruhan Rengkana. Kalian harus 

mati, harus!"

Melihat siapa adanya gadis tersebut, seren-

tak ketiga Hantu Dari Kelangit tertawa bergelak-

gelak mendengar omongan Ningrum. Dan dengan 

angkuhnya ketiga Hantu Kelangit tersebut berka-

ta mengejek: "Hua, ha, ha...! Rupanya kau ingin 

mengulangi apa yang pernah kau rasakan dari 

kami, manis?"

"Cuh! Memang aku ingin merasakan mem-

bunuh diri kalian satu persatu dengan cara yang 

patut untuk orang-orang macam kalian yang tak 

lebihnya buaya-buaya busuk!"


Tak banyak kata lagi, segera Ningrum yang 

kini benar-benar dalam kuasaan Dewi Lanjut Ayu 

atau Penguasa Karang Bolong segera kembali bu-

ka serangan. Kali ini dia tidak mau kecolongan 

untuk yang kedua kalinya. Serangannya kini begi-

tu cepat, cepat laksana gerakan siluman belaka. 

Tangannya, kini mencerca pada titik-titik kema-

tian lawan. Siapakah Ningrum yang mengaku-aku 

Penguasa Bukit Karang Bolong? Lalu siapakah 

sebenarnya Ketiga Hantu Dari Kelangit? Untuk 

mengetahuinya, marilah kita tinjau kembali keja-

diannya pada bab selanjutnya.


DUA



Lima belas tahun yang lalu di desa Ketang-

gungan...

Desa Ketanggungan waktu itu nampak be-

gitu tentram dan damai. Penduduknya ramah ta-

mah, suka gotong royong, saling tolong menolong. 

Di desa Ketanggungan itulah Ningrum dilahirkan, 

dibesarkan oleh seorang tokoh masyarakat yang 

sudah terkenal yaitu Pramanayuda. Pramanayuda 

merupakan seorang tokoh persilatan dari aliran 

lurus dengan perguruannya bernama Perguruan 

Manik Astajingga. Di bawah pimpinan Prama-

nayuda, perguruan Manik Astajingga sangat pesat 

perkembangannya. Kemajuan Perguruan Manik 

Astajingga rupanya mengundang pro dan kontra. 

Kaum persilatan aliran lurus khususnya bersa-

habat. Sebaliknya dari kaum persilatan aliran sesat, membenci dan berusaha untuk menjatuhkan 

Pramanayuda. Pramanayuda mempunyai dua 

orang putra. Yang pertama bernama Tegalaras, 

seorang laki-laki. Sementara yang kedua bernama 

Ningrum Biyanti, adalah seorang wanita. Tegala-

ras sejak kecil diambil oleh adiknya yang bergelar 

Panggawa Iblis. Sebenarnya Pramanayuda kurang 

begitu sreg hatinya bila sang anak dididik oleh 

adik seperguruannya yang ugal-ugalan. Namun 

dikarenakan rasa persaudaraan yang telah dibi-

nanya sejak mereka masih satu perguruan, den-

gan berat hati akhirnya Pramanayuda pun mem-

berikan anaknya yang lelaki tersebut. Sementara 

anak putrinya, dididik oleh Pramanayuda sendiri.

Sejak saat itu Pramanayuda dan keluar-

ganya tak lagi mengetahui di mana anaknya Tega-

laras berada. Hubungan sebagai anak dan bapak 

pun terputus.

Selang tak begitu lama kemudian, Prama-

nayuda mendengar bahwa adik seperguruannya 

dibunuh oleh seorang tokoh sesat yang merupa-

kan musuh bebuyutan adik seperguruannya. 

Pramanayuda berusaha mencari keberadaan 

anaknya, namun ia tak menemukan jejak secuil 

pun untuk dapat menemukan sang anak.

"Bagaimana kakang, apakah kakang dapat 

sebuah petunjuk di mana adanya anak kita?" 

tanya istrinya Arum Daru, manakala kedua suami 

istri tersebut tengah berbincang-bincang setelah 

perjalanan Pramanayuda mencari anaknya.

Pramanayuda sejenak tarik napas, me-

mandang wajah istrinya yang nampak lusuh oleh


duka akibat dipisahkan dengan sang anak. Sete-

lah lama berbuat begitu Pramanayuda seketika 

tundukkan wajah, lalu dengan berat berkata 

menceritakan hal sebenarnya yang ia alami.

"Aku gagal, Dinda"

"Gagal...?"

"Ya... aku tak menemukan jejaknya," jawab 

Pramanayuda lemah, sepertinya tak bersemangat 

barang setitik pun. "Entah siapa musuh adikku, 

dan yang mana? Sebab adikku banyak sekali mu-

suhnya."

Sang istri seketika keraskan isak tangis-

nya, sedih bila harus berpisah untuk selama-

lamanya dengan sang anak. Melihat hal tersebut, 

hati Pramanayuda seperti diiris-iris, pedih sekali. 

Bagaimana pun, memang ia juga merasakan be-

tapa sedihnya bila harus berpisah dengan sang 

anak yang kelak akan menggantikannya. Namun 

untuk menghibur hatinya, Pramanayuda segera 

berkata.

"Dinda, tak usahlah dinda terus-menerus 

bersedih hati. Bukankah kita masih diberi seo-

rang anak?"

"Tapi Ningrum wanita, Kanda?".

"Apa bedanya? Wanita ataupun pria sama 

saja, asalkan kita mampu mendidiknya, kelak 

pun ia akan mampu membalas jasa pada orang 

tuanya."

Untuk sementara waktu istrinya dapat ter-

hibur oleh kata-katanya. Meski hati mereka ma-

sih tak tenang dengan segala hasil yang mereka 

capai, namun setidak-tidaknya masih ada tersisa


harapan bahwa keturunan mereka tetap ada. 

Namun begitu Pramanayuda tidak hanya menga-

lah pada nasib, ia terus berusaha untuk dapat 

menemukan siapa adanya orang yang telah mem-

bunuh adik seperguruannya sekaligus membawa 

anaknya.

Seperti esok harinya kemudian, Prama-

nayuda kembali dengan menunggang kudanya 

memacu menyusuri bukit dan menuruni lembah 

dalam usahanya mencari jejak sang anak dan 

musuh adik seperguruannya.

Pagi masih begitu dingin, alam pun masih 

terselubung oleh kabut tebal yang menyelimuti 

wilayah yang dilintasi Pramana. Dengan mata se-

kali-kali memandang ke sekelilingnya Prama-

nayuda terus memacu kudanya. Tak hiraukan 

dingin menggigit tulang sumsum, tak hiraukan 

ilalang menyeret bulu-bulu kakinya hingga terasa 

gatal. Tujuannya hanya satu, mencari dan mene-

mukan sang anak untuk dibawa pulang ke ru-

mah.

Tengah Pramanayuda memacu kudanya, 

tiba-tiba berkelebat puluhan anak panah menye-

rangnya dari arah samping dan belakang. Serta 

merta Pramanayuda lemparkan tubuh, mencelat 

ke angkasa sembari babatkan pedangnya me-

nangkis serta memutuskan anak-anak panah 

yang jumlahnya puluhan itu.

"Bangsat-bangsat rendah, keluar kalian! 

Jangan kalian hanya beraninya sembunyi-

sembunyi. Kalau kalian memang jantan, hadapi-

lah aku Pramanayuda!" teriaknya lantang, yang


menggema manakala menerpa bebatuan gunung. 

"Keluar kalian! Tunjukkan padaku hidung kalian!"

"Kami di sini, Pramana!" terdengar suara 

jawaban yang disertai dengan kelebatan anak pa-

nah-anak panah yang jumlahnya melebihi semu-

la, mengarah ke arah Pramanayuda. Segera Pra-

manayuda kembali berkelit, ditangkapnya anak 

panah-anak panah yang mengarah telak ke arah-

nya, lalu dengan tenaga penuh dilemparkan anak 

panah tersebut ke arah datangnya. Terdengar de-

singan anak panah yang dilemparkan Prama-

nayuda diikuti oleh pekikkan tiga orang dari balik 

semak-semak rimbun.

"Kalian keluarlah, jangan seperti tikus ta-

nah!" bentak Pramanayuda, dengan berdiri lom-

pat dari kudanya. Tampak dari balik semak-

semak bermunculan wajah-wajah beringas, berja-

lan menuju ke arahnya. Mata mereka memandang 

tajam ke arah Pramana, sepertinya ingin menom-

bak mata Pramanayuda. "Hem, rupanya orang-

orang macam kalian. Mana ketua kalian, begal-

begal kere?"

"Sombong kau. Pramana!" geretak Wedal, 

seorang pimpinan gerombolan Walang Kerek sete-

lah ketuanya Beruk Kula-Kula.

"Aku tidak sombong! Aku hanya ingin 

mengetahui di mana ketua kalian berada, juga 

mengapa kalian tiba-tiba menyerangku?" Prama-

na berusaha sabar menghadapi orang-orang se-

macam itu. Ia tahu, bahwa orang-orang semcam 

Gerombolan Walang Kerek sangat banyak bergu-

na bagi pencarian anaknya. "Apakah kalian se


muanya diperintahkan oleh ketua kalian untuk 

menghadangku?"

"Ya! Memang ketua kami menyuruh begi-

tu!"

"Hem, apa maksudnya?" tanya Pramana 

seraya kerutkan kening.

"Itu urusan ketua. Yang jelas ketua meng-

hendaki kau harus lenyap dari muka bumi ini?"

"Oh... begitu? Mengapa tidak ketua kalian 

saja yang melakukannya? Mengapa ketua kalian 

malah bersembunyi? Kalau memang ia bermak-

sud untuk melenyapkan diriku, aku minta ketua 

kalian sajalah yang menemui diriku. Percuma ka-

lau hanya kalian saja," Pramanayuda berkata 

dengan tenang, sepertinya menghiraukan kata-

kata pimpinan Gerombolan Walang Kerek.

Mendengar ucapan Pramana, seketika 

pimpinan gerombolan Walang Kerek melototkan 

mata. Ia merasa ucapan Pramanayuda adalah 

ejekan yang sangat keterlaluan. Betapapun, me-

reka tak ingin diremehkan oleh orang lain, sebab 

mereka merasa adalah sebuah gerombolan yang 

sudah kondang namanya di dunia persilatan. Ka-

lau orang lain yang berkata begitu, niscaya sudah 

menjadi apa orang yang berkata. Tapi kini yang 

berkata adalah Pramanayuda, seorang pendekar 

yang sudah memiliki segala pengalaman segu-

dang di dunia persilatan. Orang yang sangat dis-

egani dan ditakuti, apalagi bila harus bersatu 

dengan dua orang saudara seperguruannya, jelas 

ketiganya sukar untuk ditaklukkan. Namun kini 

salah seorang dari ketiganya telah tiada, mati di


bunuh oleh seorang tokoh silat lainnya yang telah 

mendendam dengannya. Tapi untuk menghadapi 

seorang dari Tiga Pendekar Kumala, jelas harus 

memerlukan kehebatan ilmu yang paling tidak 

sebanding. Kalau tidak, maka sia-sialah segala 

apa yang akan mereka lakukan. Jangankan un-

tuk mengalahkannya, untuk menghindari kema-

tian saja susah.

"Pramana, janganlah kau sombong. Tak 

perlu ketua kami yang maju menghadapi dirimu, 

tapi kami pun akan mampu untuk menyingkirkan 

dirimu dari muka bumi ini!" geretak pimpinan ge-

rombolan Walang Kerek.

"Hem, apakah kalian sudah pasti?" Prama-

na berkata tenang. 

"Akan kami buktikan, Pramana!" 

"Oh, sungguh kalian memang pemberani. 

Baiklah, aku layani apa yang menjadi tuntutan 

kalian. Nah, lakukan oleh kalian bila mampu un-

tuk menyingkirkan diriku," sorot mata Pramana 

kini seperti liar, bahkan sorot mata itu seperti so-

rot mata penuh misteri. Terkadang redup, lalu 

menyala berapi-api. Nampaknya pendekar aneh 

itu sudah begitu marahnya, hingga ia begitu 

memperlihatkan keadaan dirinya yang sebenar-

nya. Bagaimana tidak marah? Ia tengah mencari 

putranya sekaligus musuh adiknya, kini harus 

berurusan dengan orang-orang yang dirasa telah 

menghadang dirinya. Pramanayuda mendesis, ba-

gaikan ular sanca yang ingin melalap seekor ka-

tak.

Melihat keadaan Pramana, seketika kese


mua orang yang berada di situ menarik napas be-

rat, sepertinya mereka merasa ada sorot aneh ke-

luar dari mata Pramana. Mereka segera bersiap 

cabut golok yang sedari tadi menggelantung di 

pinggang, siap untuk menyerang Pramana.

Pramana nampak tersenyum sinis, lalu 

dengan suara lantang setengah marah berkata; 

"Kenapa kalian terdiam, lakukanlah apa yang 

menjadi tugas kalian!"

"Sombong! Jangan menyesal, Pramana!"

"Selama hidupku, aku tak pernah menyes-

al!"

"Hem, begitu? Baik, bersiaplah, Pramana!" 

geretak pimpinan gerombolan marah. Sebenarnya 

dalam hati Wedal terbersit rasa takut juga meng-

hadapi Pramana. Namun bila ia harus mengalah, 

sungguh petaka bagi dirinya. Ketua mereka yang 

bergelar Datuk Si Raja Karang bukanlah orang 

yang memiliki welas asih. Maka bila mereka gagal, 

mereka yang akan menjadi korban keganasan 

sang Datuk. Beruk Kula-Kula atau Datuk Raja 

Karang, merupakan tokoh sesat yang memang 

menaruh permusuhan dengan Tiga Pendekar Gu-

nung Langsat yang terdiri dari Pramana, Lugana, 

dan adik seperguruannya yang kini telah mati di-

bunuh entah oleh siapa. Mereka pernah menja-

tuhkan Datuk Kula-Kula atau Raja Karang, ma-

nakala mereka diperintah oleh guru mereka. Hal 

itu rupanya menjadi dendam yang berkepanjan-

gan bagi sang Datuk Kula-Kula, sehingga ia sem-

pat menyumpah serapah pada ketiganya bahwa 

nanti dirinya akan membuat perhitungan dengan


ketiga saudara seperguruan. Datuk Raja Karang 

juga sempat mengancam, bahwa dia akan me-

numpas keluarga ketiganya dengan keturunan 

mereka sendiri. Apakah tidak mungkin yang 

membunuh dan menculik adik serta anaknya tak 

lain si Datuk?

Bila ingat akan semuanya, seketika Pra-

mana merasakan pasti bahwa sang Datuklah 

yang lelah melakukan semuanya. Maka kemara-

hannya makin meledak-ledak laksana larva gu-

nung Agung. Tanpa banyak kata lagi, segera Pra-

mana memekik menyerang kedua puluh orang 

anak buah Datuk Raja Karang.

"Kalian harus mati! Kalian harus menebus 

kejahatan ketua kalian!" pekik Pramana penuh 

amarah. Bagaikan banteng kelaton Pramana terus 

mencerca dengan Pedang Sukma Layungnya. Ha-

wa pedang yang seperti mengandung racun, seke-

tika menyebar ke segenap penjuru. Tanpa ampun 

lagi, mereka yang masih berilmu rendah langsung 

jatuh terkulai lemah pingsan. Sebaliknya yang be-

rilmu tinggi, nampaknya harus berusaha sekuat

tenaga menolak hawa pedang tersebut.

"Ilmu Iblis!" memekik Wedal kaget. Ia sege-

ra, lemparkan tubuh ke belakang, diikuti oleh 

anak buahnya yang masih sadar dan kuat me-

nangkis hawa aneh tersebut. Muka mereka melo-

tot tak percaya, memandang tajam pada pedang 

yang tergenggam di tangan Pramanayuda.

"Kenapa kalian pucat seperti seekor babi 

yang hendak digorok! Mana keberanian kalian se-

bagai Gerombolan Walang Kerek!?" desis Pramana


dengan senyum sinis melekat di bibirnya. "Sudah 

aku katakan, bahwa kalian tak akan mampu 

menghadapi diriku. Sekarang kalian minggatlah 

dan beritahukan pada ketua kalian si Datuk Raja 

Karang bahwa aku ingin menemuinya! Lakukan-

lah segera, atau dengan terpaksa aku akan me-

nyate tubuh-tubuh kalian!"

"Sombong kau, Pramana! Jangan harap 

aku akan mengakui kehebatanmu! Mari kita lan-

jutkan!" Wedal membentak marah. Ia kini harus 

benar-benar nekad. Mati sudah pasti harus diha-

dapi, walau ia harus berusaha menghindari ke-

matian itu. Namun bila ia mengalah pada Prama-

na, jelas kematian didapat olehnya dari tangan 

ketuanya si Datuk Raja Karang. Kematian sema-

cam itu sungguh tidak terhormat, lebih baik mati 

di tangan musuh yang sudah kondang namanya. 

Maka dengan perhitungan demikian, Wedal den-

gan nekad segera menyerang Pramana, dibantu 

oleh sisa-sisa anak buahnya.

Diserang begitu rupa tidak menjadikan 

Pramana gugup, malah dengan mulut menyerin-

gai seperti hendak menunjukkan kekuatan Pra-

mana berkelebat mengelakkan serangan-serangan 

musuhnya. Pedang pusaka di tangannya bergerak 

cepat, sepertinya mempunyai mata sendiri. Hawa 

pedang yang mampu membuat orang pingsan te-

rus mengalir, menyelimuti lingkungan pertarun-

gan tersebut.

"Kalian tak akan mampu bertahan lebih 

dari sepuluh jurus!"

"Hem, kau masih sombong, Pramana!"


"Hua, ha, ha...! Kau tak percaya. Baiklah, 

aku akan membuktikan pada kalian bahwa hawa 

pedang ini mampu membuat kalian sesak napas-

nya, yang akhirnya kalian akan pingsan!"

Setelah berkata begitu Pramana makin 

mempercepat kelebatan pedangnya. Asap bergu-

lung-gulung, menyelimuti daerah itu makin lama 

makin tebal menghitam pekat. Semua penyerang-

nya seketika tersentak, melototkan matanya. Da-

da mereka seperti sesak, terbatuk-batuk oleh ter-

paan asap tersebut. Namun mereka sepertinya 

yang tak mau mengalah, mereka terus berusaha 

bertahan dan semampu mereka membuang hawa 

asap tersebut. Namun rupanya mereka harus 

mengakui bahwa hawa yang keluar dari pedang 

lebih kuat daripada ilmu yang mereka keluarkan. 

Satu persatu, akhirnya mereka berjatuhan ping-

san. Tinggallah kini Wedal yang masih mampu 

bertahan, namun begitu Wedal nampak pucat pa-

si. Ia sadar bahwa dirinya tak mampu lagi untuk 

menghadapi serangan Pramana. Namun Wedal 

masih berusaha tersenyum, senyum puas karena 

akan mati di tangan seorang pendekar. Jurus-

jurus Pramana makin keras, akhirnya yang tam-

pak hanya gulungan asap tebal. 

"Hiaat... Bersiaplah, Wedal!" 

"Aku sudah siap, Pramana!" balas Wedal 

tak mau kalah.

Kedua orang itu seketika mencelat, terbang 

berbarengan di udara. Namun nampaknya Pra-

mana tak menginginkan kematian untuk Wedal. 

Maka dengan secara cepat pedang pusaka Sukma


Layung disarungkan ke tempatnya, sementara 

tangannya yang telah diisi dengan tenaga dalam 

bergerak lurus memapaki serangan golok Wedal. 

"Hiaaaat...!" 

"Hiat...!"

West...! 

Angin tebasan golok Wedal berdesah, me-

nyerang dengan ganas. Namun Pramana seper-

tinya tahu kelebatan golok tersebut, dan dengan 

segera elakkan tubuh disusul oleh hantaman tan-

gannya ke iga sebelah kiri lawan. 

"Bug... bug... bug...!" 

"Kretak!"

Terdengar suara tulang iga patah, diikuti 

oleh jeritan yang melolong dari mulut Wedal me-

nyayat: "Aaaah...!"

Wedal terkulai jatuh di atas tanah, dengan 

iga yang remuk menjadikan dirinya menyeringai 

menahan sakit. Matanya tajam memandang pada 

Pramana yang tersenyum, berdiri menghadapinya 

dengan pedang Sukma Layung yang sudah berada 

di sarungnya. Mata Wedal membeliak, seakan tak 

yakin bahwa suara retakan tulangnya bukan ka-

rena tebasan pedang pusaka tersebut.

"Kau....!"

"Kenapa, Wedal?" tanya Pramana tenang. 

"Aku sengaja tak menggunakan pedangku agar 

kau dapat hidup lebih lama. Sekarang katakan 

pada ketuamu, aku Pramana ingin bertemu. Aku 

tunggu ketuamu di lereng Gunung Kencana!"

"Tunggu! Jangan kau pergi dulu!" Pramana 

yang hendak berkelebat pergi segera hentikan


langkah, lalu ditengoknya kembali Wedal yang 

memanggilnya. 

"Ada apa, Wedal?" 

"Pramana, lebih baik kau bunuh saja diri-

ku. Aku meminta tolong padamu, bunuh saja 

aku!" 

"Itu tak mungkin aku lakukan!" 

"Kau tega melihat aku dibunuh oleh ketua-

ku?" Pramana tersenyum, sepertinya ucapan 

Wedal bagaikan anak kecil saja. Mana mungkin ia 

harus mau mengurusi orang lain? Mau dibunuh 

oleh gurunya, kek. Yang pasti, guru Wedal yang 

juga ketuanya harus menemuinya di lereng Gu-

nung Kencana. Setelah tersenyum begitu, segera 

Pramana kembali tinggalkan Wedal yang hanya 

mampu terlolong bengong.

Hati Wedal begitu marah, kecewa dan den-

dam pada Pramana yang tidak mau melakukan 

apa yang ia inginkan. Bagaimana pun ia sangat 

mengharapkan Pramana yang membunuh, bukan 

gurunya. Tapi rupanya nasib harus berbuat begi-

tu.

Selang beberapa lama setelah Pramana 

berlalu, sebuah bayangan berkelebat menuju ke 

arah Wedal tergeletak. Wedal yang mengetahui 

siapa adanya yang datang seketika membelalak-

kan mata kaget, dan dari mulutnya keluar desi-

san kaget mengucap nama orang tersebut.

"Guru...!"

"Kau telah gagal, Wedal!" suara gurunya 

nampak penuh kebencian. Ya itulah sifat Datuk 

Raja Karang. Sifat yang angkuh dan tidak men


genal siapa kawan ataupun lawan. Bila memang 

seorang yang menjadi kawannya tak berguna lagi, 

maka seharusnya orang tersebut disingkirkan da-

ri muka bumi.

Wedal hanya terpaku diam, tak dapat mu-

lutnya untuk mengutarakan apa yang harus dika-

takan.

"Kau gagal. Wedal!" kini suara gurunya 

makin keras, merasa ucapannya tak digubris oleh 

Wedal. "Jawab, Wedal!"

"Ampun, ketua. Memang aku... aku gagal. 

Tapi...."

"Tak apa tapi-tapian, Wedal! Kau ingat apa 

yang telah aku katakan padamu? Barang siapa 

yang tidak ada guna lagi bagi diriku, maka aku 

akan menyingkirkannya."

Menggigil tubuh Wedal seketika mendengar 

ucapan gurunya yang dirasakan sebuah keputu-

san akhir. Ya, keputusan yang tidak dapat diban-

tah oleh siapa pun juga. Namun Wedal tak ingat, 

bahwa di atas sana masih ada yang lebih kuasa 

dibandingkan dengan gurunya yaitu Allah S.W.T. 

yang telah menciptakannya.

"Sekarang katakanlah, di mana Pramana 

menunggu diriku?!"

"Ampun guru, Pramana menunggu keda-

tangan guru di lereng Gunung Kencana," jawab 

Wedal dengan masih diselimuti rasa takut yang 

teramat sangat.

Sang guru angguk-anggukkan kepalanya, 

lalu tiba-tiba dengan suara menyeramkan sang 

guru berkelebat dengan golok di tangannya siap


tebaskan ke leher Wedal. Hampir saja golok terse-

but membabat putus leher Wedal, manakala tiba-

tiba sebuah bayangan berkelebat menyela-

matkannya.

"Bedebah! Siapa yang telah lancang di ha-

dapanku!" maki Datuk Raja Karang marah. Sege-

ra ia kejar orang yang membopong tubuh murid-

nya, namun usahanya sia-sia karena orang terse-

but jauh tinggi ilmunya hingga dengan cepat 

orang tersebut lenyap dari pandangannya.

"Monyet busuk! Siapa gerangan orang itu?"

Datuk Raja Karang memaki-maki sendiri, 

lalu setelah puas menyumpah serapahi orang itu 

segera ia pun berkelebat pergi untuk menemui 

Pramana yang telah menantinya di lereng Gunung 

Kencana.

Angin gunung bertiup sunyi, menerpa lem-

but daun-daun kering yang beterbangan dan 

hinggap pada tempat-tempat yang telah di atur 

oleh Yang Maha Kuasa. Lembah itu kembali sepi, 

tiada suara ataupun jeritan manusia. Namun tak 

lama kemudian, serombongan burung-burung 

pemakan bangkai beterbangan, berputar-putar di 

situ dan kemudian menukik. Rupanya rombongan 

burung Nazar tersebut menemukan makanan 

yang sungguh menyenangkan.


TIGA



Angin sore telah mengalunkan hawa yang 

aneh, yaitu hawa sebuah penentuan. Di lereng Gunung Kencana, nampak dua sosok tubuh sal-

ing berhadapan dengan hening seperti menjajagi 

apa yang ada di hati mereka masing-masing. Ma-

tahari telah menggelincir, empat puluh derajat ke 

arah Barat. Sinarnya kini tak segarang manakala 

siang, namun redup. Bayang-bayang kedua orang 

tersebut panjang, melebihi keadaan sebenarnya. 

Mata mereka saling pandang, layaknya dua mata 

burung elang yang tajam saling menghujam. Na-

pas mereka mendesah berat, seirama dengan deru 

angin yang menggayut berat.

"Kau menungguku, Pramana?" tanya Da-

tuk Raja Karang.

"Ya, aku memang mencarimu," jawab 

Pramana tenang.

"Apakah kau ingin mengulang seperti lima 

tahun yang lalu?"

"Bukan! Bukan itu yang aku inginkan, te-

tapi lebih dari itu semua. Kini aku tak perduli lagi 

dengan segala tindakanmu, asal kau jangan 

mengganggu sanak kadangku."

Mata Datuk Raja Karang seketika menyipit, 

sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya 

tujuan Pramana. Setahunya ia tak pernah mem-

buat kerusuhan lagi pada keluarga Pramana, 

ataupun sanak kadangnya. Kini Pramana mencari 

dirinya untuk mencari gara-gara. Sebenarnya 

memang hal itu yang dicari, sebab ia pun ingin 

sekali-kali kembali menjajagi ilmu yang dimiliki 

Pramana setelah lima tahun berlalu. Tapi untuk 

menyatakan terus terang, sungguh ia belum be-

rani. Sebab di samping akan diketahui oleh kha


layak persilatan yang sudah tentu akan mencer-

canya, juga saudara seperguruan Pramana lain-

nya akan berusaha membantu. Bukankah hal itu 

masih menyangkut masalah perguruan? Maka 

demi mendengar pertanyaan Pramana, timbullah 

hatinya untuk mengakui segala tindakan orang 

lain. Dimaksudkan agar supaya Pramanayuda 

mampu marah. 

"Apa yang sebenarnya engkau mau, Pra-

mana?"

"Aku ingin kau kembalikan anakku yang 

kau culik dari adik seperguruanku."

"Huah, itu tidak mungkin, sebab anakmu 

sudah aku korbankan untuk para Roh-roh pen-

guasa Bukit Setan! Kalau kau tak mau, maka kau 

akan menghadapi aku!"

"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala 

seperti dulu, Datuk!"

"He,, he, he...! Aku memang seperti dulu, 

seperti ketika kalian kalahkan. Karena kekalahan 

itulah hingga aku sampai kini menaruh dendam. 

Dendam untuk mampu membalas segalanya pa-

damu dan pada adik seperguruanmu lainnya."

Kalau saja Pramana mau meneliti dari 

omongannya, jelas bahwa Datuk Raja Karang bu-

kanlah orangnya yang telah menculik dan mem-

bunuh anak dan adik seperguruannya. Tapi Pra-

mana yang sudah dilanda oleh kobaran amarah 

tak menganalisa dan memperdulikannya. Tudu-

hannya pada Datuk Raja Karang begitu yakin, se-

pertinya Datuk Raja Karanglah yang benar-benar 

telah membunuh adik seperguruannya sekaligus

menculik anaknya Tegalaras.

"Sudah aku duga, bahwa kaulah biangnya! 

Maka itu, kini aku tidak akan segan-segan lagi 

menurunkan tangan jahatku padamu, Datuk! 

Bersiaplah!"

Melihat kemarahan Pramanayuda. Datuk 

Raja Karang masih berusaha tenang. Ia tahu sia-

pa adanya Pramanayuda, seorang tokoh persila-

tan berilmu tinggi yang disegani oleh musuh-

musuhnya. Di samping itu ia harus memikirkan 

Pedang Sukma Layung yang berada di tangan 

Pramana. Pedang tersebut bukanlah pedang sem-

barangan, namun sebuah pedang yang mampu 

merontokkan sendi-sendi tubuh sekaligus mampu 

membunuh orang tanpa mengalami kematian lu-

ka-luka. Sebab dengan asapnya saja, orang akan 

dibuat pingsan dan akhirnya mati.

"Sudah siapkah kau, Datuk?" kembali 

Pramana bertanya.

"Aku memang sudah siap, Pramana. Tapi 

perlu kau ingat? Bahwa aku siap menghadapi di-

rimu bukan karena aku telah melakukan segala 

yang engkau lontarkan. Aku menghadapimu ka-

rena aku merasa ingin mengulang kejadian lima 

tahun silam. Lima tahun silam kau dan kedua 

adik seperguruanmu telah menjatuhkan aku di 

hadapan orang banyak. Kini akulah yang akan 

menjatuhkan nama besarmu, walau aku menja-

tuhkanmu bukan di kalayak ramai tapi bagiku 

sudah cukup puas!" 

"Jadi kau masih mungkir?!" 

"Aku tidak mungkir. Aku memang tak


mengetahui siapa adanya anakmu, juga siapa 

yang menculiknya," jawab Datuk Raja Karang, 

menjadikan Pramana tersentak kaget. Pikiran 

Pramana seketika melayang, tak mengerti apa se-

benarnya yang terjadi.

"Kalau memang Datuk Raja Karang bukan 

orangnya, lalu siapa lagi yang telah berbuat begi-

tu?" keluh hati Pramana bimbang. "Apakah masih 

ada orang lain yang menaruh dendam padaku? 

Atau barangkali musuh adikku yang memang ug-

al-ugalan?"

"Kenapa terdiam, Pramana?"

Pertanyaan Datuk Raja Karang begitu 

menghentakkan Pramana yang tengah tercenung. 

Matanya seketika membelalak, memandang lekat 

ke arah Datuk Raja Karang yang masih terse-

nyum.

"Jadi kau bukan penculiknya?" tanya Pra-

mana kemudian setelah tersadar dari lamunan-

nya. "Kalau begitu aku rasa aku tak ada gunanya 

menemui dirimu!"

"Ada, Pramana!" Datuk Raja Karang men-

cerca, mengingatkan kembali pada Pramana. 

"Bukankah kita memang ada kepentingan sendi-

ri? Kepentingan yang berhubungan dengan apa 

yang pernah kita lakukan, di mana kau dan sau-

dara-saudara seperguruanmu menjatuhkan aku."

"Kau rupanya tak jemu-jemu, Datuk!"

"Memang aku tak pernah jemu bila belum 

mengalahkan kalian!"

"Sekarang apa yang kau mau?" tanya Pra-

mana kembali sewot.


"Bertarung untuk menentukan siapa yang 

paling sakti di antara kita!" Datuk Raja Karang 

sunggingkan senyum sinis, mengarah pada Pra-

mana yang masih menghela napas berusaha sa-

bar. Pramana tahu siapa sebenarnya Datuk Raja 

Karang, seorang tokoh sesat yang tak bisa diajak 

kompromi. Selalu ingin menang, ingin diaku oleh 

kalayak bahwa dirinyalah yang paling berkuasa.

"Bertarung...?" ulang Pramana, sepertinya 

ingin meyakinkan pada diri sendiri kebenaran 

ucapan sang Datuk.

"Ya, bertarung! Kau takut, Pramana?" ejek 

sang Datuk.

"Tak akan pernah ada rasa takut untuk-

ku."

"Bagus! Itu yang aku harapkan! Aku minta 

kau mau sejenak melupakan masalah anakmu, 

atau mungkin kau akan tenang tanpa berpikir ka-

lut memikirkan anakmu karena kau akan aku ki-

rim ke alam sana! He, he, he...!"

"Sombong! Kau manusia sombong!"

"Apa pun yang kau katakan, bagiku tak 

menjadi masalah! Yang penting, aku mampu 

mengirim nyawamu ke akherat, hiaaat....!"

Tanpa diduga-duga sebelumnya oleh Pra-

mana, Datuk Raja Karang berkelebat menyerang. 

Hal itu menjadikan Pramana tersentak kaget dan 

dengan segera berkelebat miringkan tubuh men-

gelak. Namun karena didera hati yang tak tenang 

menjadikan Pramana lamban dalam mengelak, 

akibatnya...!

"Bug...!"


Sebuah hantaman telak mendarat di bahu 

kirinya, menjadikan Pramana seketika terhuyung 

ke belakang dengan mulut menyeringai menahan 

sakit. Kini ia sadar, bahwa ucapan sang Datuk 

bukanlah main-main. Segera Pramana tarik na-

pasnya panjang, lalu mendesis kencang laksana 

seekor ular sanca marah. Habis berbuat begitu, 

serta merta Pramana melompat dan menyerang 

sang Datuk yang masih senyum-senyum penuh 

kemenangan.

Sang Datuk melompat mundur, kaget me-

lihat gerakan Pramana yang begitu cepat dan ga-

nas. Ia tidak mengira kalau Pramana pun telah 

meningkatkan ilmu silatnya. Terbukti sang Datuk 

tak mampu lagi menghindar dari sergapan Pra-

mana, dan....!

"Hiat....!"

"Bug, bug, bug!"

Tiga kali berturut-turut, tendangan kaki 

dan pukulan tangan Pramana telah mendarat di 

wajah sang Datuk yang seketika itu melayang ba-

gaikan terbang terdorong oleh hantaman tersebut. 

Mata sang Datuk membeliak tak percaya, me-

nyaksikan kemajuan Pramana yang begitu pesat. 

Betapa mungkin, dalam lima tahun Pramana 

yang dulu ilmunya berada setingkat dengannya 

kini melebihi ilmunya. Namun sebagai orang yang 

berwatak keras. Sang Datuk tak mau begitu saja 

mau menyadari.

"Hebat! Kau ternyata lebih hebat, Pramana. 

Tapi aku tak mau begitu kalah olehmu. Aku ingin 

kau lebih banyak memberikan pelajaran padaku,"


sambung sang Datuk dengan sinis.

Pramana berusaha tenang, meski ucapan 

sang Datuk dirasakannya sangat menyinggung 

perasaan. Mata Pramana yang tajam, tak henti-

hentinya menantang pandangan tatapan mata 

sang Datuk. Napasnya sangat tenang, berbeda 

dengan napas Datuk Raja Karang yang menden-

gus penuh kemarahan.

"Aku rasa, aku tak lebih darimu, Datuk. 

Maka itu aku minta tak usahlah kita teruskan se-

galanya. Kita bukan anak-anak lagi, Datuk." 

"Tidak bisa!"

Tercengang Pramana mendengar ucapan 

Datuk Raja Karang, walau Pramana sudah men-

duga sebelumnya. Ia tahu bahwa sang Datuk pas-

ti tak akan mau mengalah begitu saja, apalagi 

padanya yang telah pernah menjatuhkan. Kini ha-

ti Pramana dihadapkan pada dua pilihan, mengi-

kuti apa yang dimaui si Datuk atau mencari 

anaknya.

"Bagaimana, apakah kau mau menyerah-

kan nyawamu untukku?"

Ejekan Datuk Raja Karang sudah keterla-

luan, sudah menjurus pada hal merendahkan 

martabat Pramana sebagai seorang pendekar. 

Pramana seketika mendengus marah, sepertinya 

jiwa seorang pendekarnya kembali menggen-

tak-gentak hatinya untuk mau menerima tantan-

gan sang Datuk.

"Baik, aku layani apa maumu!"

Habis berkata begitu, Pramana seketika 

kembali berkelebat. Kali ini bukan tangan kosong,


tapi pedang pusaka Sukma Layung ikut menen-

tukan. Terkesima Datuk Raja Karang melihat pe-

dang tersebut, sehingga matanya yang sudah tua 

memandang membeliak.

"Pedang Sukma Layung!" pekiknya terta-

han.

Kini hanya ada dua keputusan, mati dite-

bas pedang Sukma Layung atau mati oleh asap 

pedang. Menilai begitu, Datuk Raja Karang bagai-

kan orang kesurupan. Ia nekad memapaki seran-

gan yang dilancarkan Pramana dengan pe-

dangnya.

Pertarungan dua musuh bebuyutan itu 

kembali berjalan, seperti hendak mengenangkan 

kembali mereka pada kejadian lima tahun silam. 

Bedanya kalau lima tahun yang silam Pramana 

bersama saudara-saudara seperguruannya, tapi 

kini Pramana menghadapi sendiri. Namun sung-

guh berbeda Pramana sekarang dengan yang du-

lu. Pramana sekarang sungguh tinggi ilmunya, 

apalagi dengan pedang Sukma Layung di tangan-

nya yang begitu dahsyat. Orang menghadapi 

Pramana harus berpikir seribu kali, kecuali orang 

nekad seperti Datuk Raja Karang.

Karena hatinya didera rasa was-was pada 

pedang Sukma Layung, menjadikan gerakan Da-

tuk Karang begitu lamban. Ya, hatinya tak te-

nang, penuh rasa takut kalau-kalau jalan napas-

nya tak tahan menghadapi asap tebal yang bergu-

lung-gulung keluar dari pedang tersebut. Asap itu 

memang makin lama makin tebal, menyelimuti 

keadaan mereka seketika hilang. Bau asap terse


but mampu menyumbat pernapasan, menjadikan 

sang Datuk harus mampu menahan napasnya.

Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya 

sang Datuk lebih banyak terdesak daripada men-

desaknya. Pedang Sukma Layung terus mencerca 

mencari titik mati bagi lawannya. Sebenarnya 

Pramana mudah untuk mengakhiri pertarungan 

tersebut, namun ia sengaja mengulur serangan. 

Kalau saja pedang tersebut digerakkan makin ce-

pat, niscaya dalam sekejap saja sang Datuk su-

dah tak akan mampu lagi menahan napas. Tapi 

Pramana yang tak ingin membunuh berusaha 

menjatuhkan lawannya dengan tanpa korban.

"Menyerahlah, Datuk!" 

"Tidak! Aku belum kalah olehmu! Aku akan 

mengadu jiwa dengan dirimu, Pramana!"

Pramana hanya mampu menghela napas 

panjang, terasa berat dirasakannya. Ia sebenar-

nya tak ingin pedangnya terlumur darah, tapi 

keadaan menghendaki lain. Kalau ia harus men-

galah pada Datuk Raja Karang apalah nantinya 

yang akan terjadi pada keluarganya dan dunia 

persilatan. Dengan mendengus sewot Pramana 

kembali membentak: 

"Datuk tak tahu diri! Kalau memang itu 

yang engkau mau, baiklah! Jangan salahkan aku 

mengasah pedang pusaka ini pada darahmu!"

"He, he, he.-.! Ucapanmu sombong, Prama-

na!"

"Dasar manusia tak mau diuntung! Apakah 

kau kira aku tak mampu melakukannya!"

"Lakukanlah, Pramana! Lakukan kalau


engkau mampu!" ejek sang Datuk dengan gelak 

tawa terkekeh, menjadikan Pramana yang tadinya 

masih memendam rasa kasihan kini berubah 

menjadi rasa benci. Pedang Sukma Layung di 

tangannya tiba-tiba mengeluarkan sinar merah, 

seakan sinar itu hendak menghancurkan serta 

meremukkan apa saja. Pantulannya begitu menyi-

laukan, menjadikan mata sang Datuk seketika 

menyipit. Pandangan sang Datuk terganggu, tak 

mampu untuk melihat jelas apa yang ada di ha-

dapannya. Namun, Pramana rupanya masih 

menghendaki penyelesaian secara damai, sehing-

ga dengan nada melemah ia kembali berkata:

"Masihkah kau berkeras hati, Datuk?" 

"Sudah aku katakan, aku tak akan menye-

rah dan tak akan membiarkan kau hidup!" gerutu 

sang Datuk marah. Hatinya panas, sepanas den-

damnya yang membara. "Kalau kau tak membu-

nuhku, maka akulah yang akan membunuhmu, 

Pramana!"

Pramana masih terdiam, memandang pada 

sang Datuk yang nampak menutup kedua ma-

tanya dengan tangan. Hatinya seketika menggele-

gar marah, kesal, dan segala macam perasaan tak 

enak berkecamuk menjadi satu. Napasnya yang 

tadinya tenang, berganti dengan napas liar mem-

buru. Tangannya bergetar hebat, hawa pedang 

Sukma Layung menyebabkan dirinya bagaikan 

diguncang. Pedang itu rupanya meminta darah, 

entah darah siapa. Apakah darah sang Datuk, 

atau mungkin darahnya sendiri bila ia tak mam-

pu memberikannya.


"Hiat...!" tiba-tiba Pramana memekik, te-

baskan pedangnya ke tubuh sang Datuk. Sang 

Datuk yang tersentak berusaha menghindar, na-

mun gerakan pedang Sukma Layung ternyata le-

bih cepat dari dugaannya. Tak ayal lagi...!

"Aaah...!"

Muncrat seketika darah Datuk Raja ka-

rang, kepalanya terbelah jadi dua. Memang apa 

yang dikatakan Pramana benar, bahwa pedang 

pusakanya akan diasah oleh darah. Terbukti su-

dah! Tubuh sang Datuk terlantah, menyosot ke 

tanah tanpa nyawa.

Dua mata dari balik semak menyaksikan 

hal itu, yang tanpa diketahui oleh Pramana. Pra-

mana yang telah melihat musuhnya mati, dengan 

segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh mati 

tersebut. Bersamaan dengan hilangnya tubuh 

Pramana, pemilik mata itu seketika berkelebat 

menghampiri. Sesaat dipandangnya tubuh sang 

Datuk, hatinya menggumam. "Pramana! Tunggu-

lah pembalasanku, pembalasan kami!" Lalu tu-

buh pemuda itu berkelebat, menghilang tinggal-

kan mayat, Datuk Raja Karang yang masih terge-

letak menjadi dua. 


EMPAT



Sejak kematian Datuk Raja Karang, maka 

Bukit Karang Bolong makin sepi bagaikan tak 

bertuan. Keangkeran Bukit Karang Bolong di-

kaitkan dengan berita-berita adanya hantu yang


menghuni Bukit tersebut. Mungkinkah hantu itu 

roh Datuk Raja Karang? Entahlah! Yang pasti di 

Bukit Karang Bolong ada seorang wanita muda 

dan cantik yang muncul tiba-tiba. Sebenarnya 

wanita muda dan cantik itu adalah istri Datuk 

Raja Karang.

Dibanding dengan usianya, jauh sekali 

keadaan wajah serta fisik wanita tersebut. Wa-

jahnya masih cantik jelita, juga fisiknya masih 

begitu kuat, tak ada kulit keriput atau guratan-

guratan usia di mukanya. Dia bernama Nyi Mas 

Ayu Salidri, anak seorang pembesar istana yang 

dipersunting oleh sang Datuk. Sebenarnya dulu 

penyuntingan Nyi Mas Ayu Salidri tidak direstui 

oleh ayahandanya, mengingat Datuk Raja Karang 

bukanlah orang-orang lingkungan istana dan ha-

nyalah tokoh persilatan. Namun karena keduanya 

sudah saling menyinta, maka dengan penuh ke-

beranian keduanya melarikan diri dari lingkungan 

istana dan menetap di Bukit Karang. Disebabkan 

penghuninya yaitu Nyi Mas Ayu Salidri telah tidak 

perawan, maka Bukit Karang itu dikenal dengan 

nama Bukit Karang Bolong.

Karena rasa cintanya yang begitu dalam 

terhadap Datuk Raja Karang, menjadikan Nyi Mas 

Ayu Salidri mendendam pada Pramana dan ke-

luarganya. Namun untuk menghadapi sendiri, je-

las ia tak mempunyai keberanian. Sebab di samp-

ing Pramana orang sakti mandraguna, juga memi-

liki pedang Pusaka Sukma Layung.

"Bagaimana aku harus menghadapi Pra-

mana? Dia begitu sakti, ditambah dengan Pedang


Sukma Layungnya yang sangat berbahaya. Ja-

rang sekali orang mampu menghadapi pedang 

tersebut. Suamiku juga tak mampu, apalagi den-

gan diriku," renung Nyi Mas Ayu Salidri sendiri.

Tengah ia merenung, mencari bagaimana 

jalan untuk dapat membalas dendam, tiba-tiba te-

linganya mendengar suara suaminya yang sudah 

tiada seperti berkata: "Nyi Mas, kalau kau ingin 

membalas dendam padanya aku rasa itu tak per-

lu. Ambilah nanti anak darinya yang gadis. Meni-

tislah kau padanya, niscaya kau akan menda-

patkan ketenangan diri. Berbuatlah sesuka hati-

mu, sebab dengan penitisanmu dengannya akan 

menjadikan sebuah kekuatan yang Maha Dah-

syat! Kesaktianmu dan kesaktiannya akan berga-

bung menjadi satu. Gantikan kedudukanku seba-

gai seorang penguasa Bukit Karang Bolong. Ingat 

Nyi, kau harus mampu menunjukkan pada dunia 

bahwa Penguasa Bukit Karang Bolong masih ada 

dan masih harus diperhitungkan."

"Kenapa aku tidak boleh mendendam pada 

keluarga Pramana, Kakang?"

"Nyi Mas, aku sekarang dalam ketenangan. 

Bila kau mendendam, maka berarti kau tidak 

sayang padaku. Sudahlah, kau turuti saja apa 

yang menjadi saranku. Kacaukan dunia persila-

tan. Bukankah dengan kau menitis di tubuh anak 

gadis Pramana secara tak langsung kau sudah 

membalas dendam?" tanya suara Datuk Raja Ka-

rang, yang diangguki oleh sang istri. "Dengan 

anaknya berbuat sadis, maka Pramana akan 

mencoba menghentikannya. Bukankah dengan


begitu kau mampu menghadapi Pramana?"

"Benar juga ucapanmu, Kakang." jawab Nyi 

Mas Ayu Salidri.

"Nah, kau lakukan segalanya nanti apabila 

telah terjadi sebuah petaka bagi anak gadis Pra-

mana itu."

"Petaka apa yang datang menimpanya, Ka-

kang?" tanya Nyi Mas Ayu ingin tahu.

Maka dengan suara berat Datuk Raja Ka-

rang pun menceritakan apa yang bakal terjadi di 

dunia persilatan, sampai-sampai mengenai akan 

datangnya seorang pendekar yang nantinya akan 

membantu istrinya menyusul ke alamnya sana. 

Sementara Datuk Raja Karang bercerita, Nyi Mas 

Ayu Salidri mendengarkannya dengan seksama 

tanpa berkeinginan menanya atau memutus ceri-

ta tersebut.

"Kalau begitu percuma usaha kita, Ka-

kang?"

"Tidak, Nyi Mas. Memang untuk kita kem-

bali bersatu harus menjalani hal-hal yang pernah 

aku lakukan."

Tercenung diam Nyi Mas Ayu Salidri men-

dengar jawaban suaminya. Hatinya seketika gun-

dah, sebab ia tidak ingin mati terlebih dahulu se-

belum dirinya mampu menguasai jagad. Kalau 

harus menuruti segala nasib, percuma ia harus 

menitis pada anak gadis Pramana.

"Tidak! Aku tidak ingin mati lebih dini! Aku 

harus mampu menjadikan diriku seorang Ratu 

yang disegani. Hi, hi, hi...! Maafkan aku, Kakang. 

Aku terpaksa menyeleweng dari apa yang kau


rencanakan, karena aku ingin menjadi seorang 

Ratu. Ya, Ratu...." membatin Nyi Mas Ayu Salidri.

Suasana kembali hening, sunyi senyap ba-

gaikan di pekuburan. Bukit Karang Bolong nam-

pak diselimuti dengan misteri. Bukit itu seakan 

tegak, menantang kehidupan manusia untuk 

mengadakan sebuah bencana yang harus ditang-

gulangi. Apakah yang bakal terjadi di Bukit Ka-

rang Bolong nantinya?

* * *

Pramanayuda yang sudah hampir putus 

asa mencari keberadaan anaknya nampak terce-

nung dalam duduknya. Ia masih memikirkan ke-

matian Datuk Raja Karang. Sebenarnya hal itu ti-

dak ia inginkan, namun sungguh di luar dugaan.

"Mengapa hal itu terjadi? Mengapa aku ha-

rus membunuh?" keluh Pramanayuda, seakan 

menyesali apa yang telah ia perbuat dengan sega-

la tindakannya. "Sebenarnya aku tak ingin mem-

bunuh, tapi rupanya sang Datuk memaksa-ku. 

Oh, aku telah berdosa. Tanganku kini telah ter-

lumur oleh darah."

Melihat suaminya tercenung, sang istri 

yang baru saja keluar dari dapur dengan memba-

wa secangkir kopi dan singkong rebus sepiring 

terhenyak. Dia berdiri mematung, memandang

pada suaminya yang seperti orang tak punya gai-

rah. Perlahan ia menghampiri, dan sampai ia me-

naruh piring pun sang suami masih tampak tak 

acuh adanya.


"Kakang, kenapa dengan dirimu?"

Pramanayuda tersentak seketika demi 

mendengar pertanyaan istrinya. Ia mencoba ter-

senyum, walau senyum itu dipaksakan agar gun-

dah gulana dalam hatinya tidak diketahui oleh 

sang istri.

"Apakah kakang memikirkan sesuatu?" 

kembali istrinya bertanya.

"Ah, ti-tidak," jawab Pramana terbata.

"Mengapa Kakang melamun bengong?"

Pramana terdiam tanpa dapat menjawab 

pertanyaan sang istrinya. Matanya memandang 

lekat-lekat pada wajah istrinya, yang tersenyum 

sembari ulurkan tangan menggapai tangan sua-

minya. Terbayang semua kenangan lama, di mana 

kenangan indah bergayut saat-saat keduanya 

masih remaja. Walau keduanya anak orang-orang 

tak berada, namun karena rasa cinta yang tulus 

menjadikan keduanya hidup rukun dan tentram. 

Mereka bina satu keluarga bahagia, senang lahir 

maupun batin. Tapi kebahagiaan mereka yang 

sudah berjalan hampir dua puluh tahun, kini te-

renggut dengan hilangnya putra pertamanya yang 

bernama Tegalaras. Bocah tanggung itu kini raib 

bagaikan ditelan bumi, tak tentu di mana rim-

banya.

"Aku telah melumuri tanganku dengan da-

rah. Ya, aku telah membunuh sesebrang musuh-

ku. Padahal aku sudah berjanji tidak akan mem-

bunuh lagi apabila aku telah mempunyai seorang 

anak wanita. Oh, petaka apa yang akan kita ala-

mi, Dinda?"


"Ah, mengapa kakang terlalu hanyut dalam 

kecemasan?" istrinya mencoba menghibur. "Tak 

perlulah kakang memikirkan hal itu. Kalau pun 

akan datang petaka bagi kita, maka sepantasnya-

lah kita serahkan semuanya pada yang Kuasa. 

Bukankah begitu, Kakang?"

"Ya, memang seharusnya begitu. Tapi aku 

sangat mengkhawatirkan akibatnya pada putri ki-

ta, Ningrum."

Terhenyak dalam diam istri Pramana men-

dengar ucapan sang suami. Sepertinya ucapan 

sang suami sebuah desau ketakutan yang tera-

mat sangat. Namun untuk menghiburnya sung-

guh sukar, karena sepertinya sang suami me-

mendam sebuah rahasia yang menyangkut kea-

daan dirinya dan keluarga khususnya anak ga-

disnya Ningrum. Memang sepengetahuan istri 

Pramana, sejak Pramana mempunyai anak wanita 

ia tidak lagi mengadakan pertarungan seperti 

layaknya kala ia masih muda atau manakala 

memiliki anak Tegalaras. Sejak lahirnya Ningrum 

kegiatan Pramana untuk berkelana pun terkunci, 

dan ia lebih banyak mengurung diri di dalam ru-

mah atau memomong anak-anaknya. Bahkan tu-

gasnya sebagai seorang pimpinan di perguruan ia 

limpahkan pada murid utamanya Kala Jangka. 

Hanya akhir-akhir ini saja, yang menjadikan

Pramana sibuk, yaitu mencari keberadaan anak-

nya Tegalaras.

"Kakang, sepertinya kakang memendam 

sebuah rahasia?" tanya istrinya kembali, setelah 

terhanyut dalam pikirannya manakala mendengar


penuturan sang suami.

"Ah, aku rasa aku tidak memendam apa-

apa, Dinda."

"Ya, sudahlah. Kalau memang kakang tidak 

memiliki sebuah rahasia, aku minta kakang tak 

perlu mencemaskan segalanya. Serahkanlah apa 

yang bakal terjadi pada Yang Kuasa, sebab hanya 

Dialah yang tahu rahasia alam ini. Kalau ia me-

mang menghendaki demikian, aku rasa ada mak-

na tersendiri."

Ucapan istrinya begitu dingin, menyirami 

hati Pramana yang saat itu tengah dalam keadaan 

gersang dan panas. Gersang oleh ketakutan yang 

bakal menimpa keluarganya, juga panas oleh api 

kemarahan pada diri sendiri yang tak mampu 

mencari jejak keberadaan anaknya, padahal ia te-

lah terkenal sebagai seorang pendekar yang 

mumpuni.

"Ah! Tak ada artinya gelar pendekar, kalau 

aku tak mampu menemukan anakku," sering ka-

ta-kata itu melintas dalam benak Pramana, na-

mun kadang juga ia sadar. Sehebat-hebatnya 

manusia, ia akan mengalah pada nasibnya. Nasib 

yang telah digariskan oleh Yang Wenang. Maka 

bila ia sadar, ia akan menggumam kembali.

"Mungkin semua kehendak Yang Mencipta 

alam. Aku hanyalah sebagai manusia yang mam-

pu merencanakan tapi tak mampu menentukan-

nya."

Hari telah makin larut, meninggalkan be-

kas-bekas waktu yang sedikit demi sedikit akan 

segera berubah. Begitu halnya dengan manusia,


ia yang biasanya terjaga harus mengalah pada 

waktu. Kantuk pun datang, menghanyutkan sega-

la pikiran dan halusinasi serta angan-angan.

* * *

Waktu terus berputar bagaikan baling-

baling kehidupan yang cepat. Lima tahun sudah 

masa kebimbangan terlewati oleh Pramana dari 

keluarganya. Ningrum kini telah menginjak dewa-

sa, menjadi seorang gadis cantik. Kecantikannya 

tiada tara, menjadikan banyak sekali pemuda 

yang berlomba-lomba untuk mendapatkan apa 

yang ada pada diri Ningrum

Pada suatu hari, datanglah serombongan 

lelaki dan wanita yang ingin melamar Ningrum. 

Orang-orang tersebut, sepertinya dari kalangan 

orang berada. Ditilik dari pakaian yang mereka 

kenakan, jelas tergambai kemewahan dan kebesa-

ran sebagaimana layaknya orang-orang yang me-

miliki banyak harta. 

Rombongan itu memang dari kalangan 

orang berada, tepatnya dari seorang tuan tanah 

kaya! Di wajah-wajah orang tersebut, sepertinya 

membersit rasa ketidakpuasan. Wajah mereka ke-

lam tenggelam oleh bayang-bayang sebuah kehi-

dupan. Mungkin mereka menerima tugas untuk 

meminang Ningrum anak seorang pendekar yang 

mumpuni dengan secara paksa, atau mungkin 

mereka tidak menyukai juragannya melamar Nin-

grum? Entahlah. Yang pasti, mereka melangkah 

dengan langkah berat, berwajah gelap penuh rasa


tak percaya diri. Rombongan itu terus melangkah

dengan bisu, tiada kata atau canda ria yang 

menggaung di hati mereka. Apalagi manakala me-

reka makin dekat ke rumah Pramana, sepertinya 

ketakutan dan rasa tak percaya diri makin meng-

gayuti berat. 

"Apakah kita akan membawa hasil?" seo-

rang lelaki tua yang berjalan paling muka berna-

ma Ki Rawe-rawe bertanya pada semuanya yang 

tak seorang pun mampu menjawabnya. "Bagai-

mana kalau pinangan kita ditolak?" 

"Entahlah, Ki. Kalau memang ditolak, su-

dah sepantasnya, bukan?"

"Yang engkau maksudkan, Gakel?" Ki 

Rawe-rawe kerutkan kening demi mendengar 

ucapan temannya yang bernama Gakel, seorang 

lelaki tua sebayanya yang memiliki badan pendek

"Kita semestinya malu pada Tuan Prama-

na. Bagaimana pun, juragan kita sudah begitu 

lanjut, tak sepantasnya harus menyanding putri 

Ningrum. Ah, memang juragan kita keterlaluan." 

"Huss... kau jangan ngomong begitu." 

"Memangnya kenapa, Ki?" 

"Apa kau tidak tahu kalau di sini banyak 

penjilat?" Ki Rawe-rawe memperingatkan pada 

temannya. Namun dia sendiri tidak menyadari ka-

lau ucapannya juga mengandung bahaya bila di-

dengar oleh orang-orang yang dikatakannya penji-

lat.

Kedua orang tua itu kembali diam, me-

langkah dengan ketidakyakinan di hati mereka. 

Mata mereka redup, sepertinya memiliki sakwa


sangka yang tak enak. Dan manakala jarak mere-

ka telah hampir dekat dengan rumah Pramana, 

langkah mereka merandek bagaikan tiada tenaga 

lagi untuk meneruskan.

"Siapa yang akan mendahului?" tanya Ki 

Rawe-rawe pada semuanya yang seketika saling 

pandang. Dari sorot mereka jelas sudah tampak 

bahwa mereka sangat jeri pada Pramana, seorang 

yang disegani oleh kawan maupun lawan. Seo-

rang pendekar yang tidak sombong.

Melihat semuanya saling terdiam saling 

pandang, Ki Rawe-rawe kerutkan kening kembali 

seraya bertanya: "Heh, mengapa kalian terdiam? 

Apakah kalian telah lupa pada apa yang kalian 

katakan pada Juragan kalian?"

"Kami tak berani, Ki?"

"Ah, kalian ternyata orang-orang yang di 

depan dan di belakang lain. Di hadapan juragan, 

kalian mengatakan ya. Tapi di belakangnya, ter-

nyata kalian tak lebih seekor tikus!" Ki Rawe-rawe 

begitu sewot. Memang sebenarnya ia sendiri eng-

gan untuk melakukan pinangan tersebut. Ia me-

mikir apa mungkin seorang gadis cantik dan mu-

da harus bersanding dengan seorang tua. Tak 

masuk di akal ulah juragannya, sungguh tidak 

masuk di akal!

Melihat kemarahan Ki Rawe-rawe, seketika 

semuanya tak ada yang berani membuka mulut.

Mereka menyadari bahwa diri mereka memang 

kurang berani untuk melakukan semua perintah 

juragannya yang sangat keterlaluan.

"Bagaimana, apakah tak ada seorang pun


yang berani?" Ki Rawe-rawe kembali berseru. 

"Ayo, mengapa kalian pada diam kayak cacing-

cacing kepanasan?" 

"Ki, apa tidak sebaiknya kita pulang lagi?" 

seseorang mengusulkan. "Kita bilang saja bahwa 

usaha kita gagal karena pihak si gadis menolak."

"Sontoloyo! Kau tak lebihnya seorang ban-

ci! Minggat dari sini!" bentak Ki Rawe-rawe penuh 

amarah. Bagaimana mungkin ia akan menuruti 

kemauan orang tersebut, yang dirasakannya 

sungguh suatu tindakan kafir yang hendak men-

gadu domba. Orang tersebut seketika diam, tak 

berani mengulang kata lagi.

"Kalau kalian tidak berani, mengapa kalian 

harus mengatakannya, ya, ya, ya...! Dasar manu-

sia-manusia tak tahu diri!"

Mereka terus terdiam tak hiraukan caci 

maki Ki Rawe-rawe. Mereka memang menyadari, 

bahwa merekalah yang serba salah. Di hadapan 

juragannya, mereka mengatakan ya berani untuk 

meminang. Tetapi kini, tak tahunya mereka me-

lempem.

Keributan tersebut rupanya didengar oleh 

Pramana yang segera datang menghampiri. Wajah 

Pramana mengerut, melihat serombongan orang 

dengan membawa lengkap apa yang dibutuhkan 

dalam tunangan mandek pada berdiri di halaman 

rumahnya.

"Ki Sanak sekalian, ada gerangan apa 

hingga ki sanak ribut-ribut?" tanya Pramana sete-

lah mengetahui hal yang pasti. "Kalaulah Ki sa-

nak sekalian ingin bertandang ke gubugku, men


gapa Ki sanak tak langsung saja?"

Semuanya seketika menundukkan wajah, 

seakan tak berani untuk menentang pandang 

dengan seorang yang mereka kenal sebagai pen-

dekar yang disegani. Melihat hal tersebut Prama-

na sunggingkan senyum, lalu dengan suara ra-

mah kembali berkata: "Kenapa? Apakah kalian 

merasa takut padaku? Ah, sungguh aku tak men-

gerti kalau kalian memang takut padaku. Keta-

huilah oleh kalian, aku tak akan pernah menyaki-

ti seorang ataupun seekor pun binatang bila tidak 

mendahului. Begitu juga halnya dengan kalian, 

aku tak akan mengusik kalian bila kalian tidak 

terlebih dahulu mengusik diriku dan keluargaku."

Ucapan Pramana bagaikan sebuah air se-

juk yang menyirami kerongkongan mereka saat 

dahaga. Mata mereka yang redup, seketika kem-

bali bersinar. Ada setitik api menyinari hati mere-

ka, menjadikan mereka makin tahu siapa adanya 

Pramana. Lama kelamaan, rasa tahu itu menjadi-

kan rasa hormat dan segan di hati mereka.

"Maafkan segala kelakuan kami, Tuan 

Pramana," menjura hormat Ki Rawe-rawe mewaki-

li segenap rekan-rekannya. "Kami diutus oleh ju-

ragan kami untuk..."

Belum juga Ki Rawe-rawe habis katanya, 

Pramana telah mendahului berkata: "Ah, apakah 

pantas kita bicara di pekarangan?" 

Ki Rawe-rawe tersentak kaget, tak me-

nyangka kalau ia akan mendapatkan sindiran 

yang halus. Maka dengan suara tergagap karena 

merasa tersindir, Ki Rawe-rawe kembali berujar:


"Ah, maafkan atas kebodohan ku."

"Tidak apa-apa, Ki. Mari silakan masuk ke 

rumahku. Rumahku terbuka lebar untuk siapa 

saja yang memang bermaksud baik. Tapi bila 

mempunyai tujuan buruk, maka Aki dapat meli-

hat sendiri di sana." Dengan berkata Pramana 

tunjukkan jari telunjuknya ke tempat sebuah ha-

laman di mana terdapat ratusan muridnya tengah 

berlatih ilmu silat. Seketika orang-orang yang me-

lihatnya terbelalak, ada rasa ngeri dan takut me-

lihat hal tersebut.

Memang, mereka yang akan berbuat jahat 

niscaya harus berhadapan dengan murid-murid 

Pramana yang banyak. Mereka mungkin telah di-

latih segala kemampuan berkelahi dan ilmu-ilmu 

oleh Pramana selaku guru dan sekaligus pimpi-

nannya di Perguruan Manik Astajingga.

Melihat tamu-tamunya merandek, Pramana 

kembali ulaskan senyum dan berkata: "Tak perlu-

lah kalian takut, sebab aku yakin kalian bermak-

sud baik-baik. Bukan begitu, Ki?"

"E... be-benar," jawab Ki Rawe-rawe gagap, 

ia terkejut oleh pertanyaan Pramana yang da-

tangnya secara tiba-tiba. "Memang kami bermak-

sud baik-baik."

Para tetamu itu kembali melangkah, me-

masuki halaman rumah Pramana dan terus ke 

balai-balai. Mereka disambut oleh istri Pramana 

serta anaknya Ningrum yang ramah tersenyum 

menyambut kedatangan mereka.

Setelah duduk-duduk dalam ramah tamah 

sesaat, maka dengan terlebih dahulu mengulum


ludah untuk membasahi tenggorokannya yang 

kering Ki Rawe-rawe berkata menerangkan mak-

sud kedatangannya dengan para temannya. Mu-

lanya Pramana dan keluarganya hanya menden-

gar, namun setelah mengetahui siapa adanya 

orang yang menyuruh mereka maka dengan halus 

Pramana berkata: "Maaf, Ki. Bukannya kami ke-

beratan. Tapi, segala keputusan yang paling ber-

hak adalah anak kami Ningrum."

"Hamba mengerti, Tuan," jawab Ki Rawe 

pasrah.

"Nah, bagaimana, Ningrum? Apakah kau 

menerimanya?"

"Ampun, Ayahanda, Ningrum sangat me-

nyesal tak dapat menerima pinangan Ki Rengka-

na. Ningrum telah memiliki calon, Ayahanda."

"Nah Ki, itulah keputusan anakku," Pra-

mana kembali berkata, yang segera diangguki 

oleh Ki Rawe-rawe dan segenap para kadangnya.

"Kalau begitu kami mohon pamit undur."

"Ah, mengapa mesti bergegas, Ki? Sabarlah 

dulu, bukankah kami belum mengobati kedatan-

gan kalian?" Pramana mencoba mencegah, na-

mun Ki Rawe dengan halus menolaknya. Maka 

akhirnya dengan pasrah Pramana dan keluar-

ganya pun mengijinkan mereka kembali.

Dengan diiringi tatapan mata keluarga 

Pramana, mereka melangkah dengan berat me-

ninggalkan rumah Pramana. Kini mereka dalam 

bimbang, ragu untuk kembali pulang. Betapa 

mungkin mereka akan menghadapi kemarahan 

tuannya.


Senja telah datang, menepiskan siang yang 

telah menjalani masa tugasnya. Mereka terus me-

langkah menuju ke tempat asal, di mana mereka 

tadi datang. Sang mentari seperti tak memperdu-

likan mereka, lenyap di balik bumi sebelah Barat.


EMPAT



Kegagalan para suruhannya untuk memi-

nang Ningrum memang sudah ada dalam piki-

rannya. Sebenarnya bukan itu maksud Rengkana 

sebenarnya. Maksud yang sebenarnya adalah 

mencari jalan untuk membalas kematian kakak-

nya si Datuk Raja Karang. Namun untuk terus te-

rang melakukan balasan ia tak berani karena ke-

beradaannya sebagai adik Datuk Raja Karang 

akan jelas kentara dan diketahui oleh kalayak 

ramai

Dengan kegagalan para utusannya untuk 

meminang Ningrum, maka jalan untuk mengada-

kan pembalasan terbuka sudah. Kini tinggal men-

cari siapa-siapa orangnya yang mampu melaku-

kan segala apa yang telah direncanakan. Bagi 

Rengkana, tak berani pada ayah si gadis tak men-

jadi soal, yang penting ia akan membuat petaka 

bagi keluarga Pramana.

"Aku akan membuat Pramana malu!" den-

gusnya berapi

Hari itu juga, dicarinya kenalannya yang 

dianggap mampu melakukan segala apa yang te-

lah terencana. Rengkana dengan menunggang

kuda bergegas menuju ke arah Wetan, di mana 

para sahabatnya yang bergelar Tiga Serangkai 

Hantu berada. Tempat yang dituju oleh Renggana 

tak lain desa Kelangitan di mana Tiga Serangkai 

Hantu tersebut berada.

Desa Kelangitan letaknya tak begitu jauh 

dari keberadaannya sekarang. Bila ditempuh den-

gan menunggang kuda, maka akan memerlukan 

waktu tiga jam. Sedang bila ditempuh dengan ja-

lan kaki, memerlukan waktu setengah hari perja-

lanan.

Kuda yang ditunggangi Rengkana terus 

melaju, menaiki gunung dan kadang harus me-

nyeberangi sungai. Menerobos hutan serta se-

mak-semak, lalu menjarah persawahan yang ma-

sih kering kerontang akibat kemarau yang pan-

jang. Digebasnya kuda tersebut dengan kencang, 

sepertinya Rengkana tak sabar untuk menemui 

ketiga teman-temannya.

Ketika ia hampir mendekati tempat di ma-

na Tiga Serangkai Hantu berada, segera Rengka-

na lambatkan lari kudanya. Matanya memandang 

lurus-lurus, sepertinya ia ingin menyaksikan apa 

yang berada di hadapannya. Di depannya kini 

terhampar hutan bakau, yang sarat dan sempit 

karena saking penuhnya. Perlahan kuda tung-

gangannya melangkah, ada perasaan aneh yang 

seketika bergayut di hatinya. Perasaan aneh itu, 

makin lama makin besar bersamaan dengan ma-

kin mendekatnya kuda yang ditumpangi Rengka-

na ke hutan bakau.

"Hem, apa yang menjadikan hatiku was


was. Aku harus berhati-hati, sebab tidak mung-

kin kalau keadaan tenang hatiku harus berdebar 

seperti ini." Rengkana makin memperlambatkan 

kudanya melangkah. Dipasangkan pendengaran-

nya dengan tajam, sehingga suara gemeresek se-

dikit pun akan jelas ia dengar.

Pertama kaki kudanya memasuki hutan 

bakau, tak ada apa-apa. Makin ke dalam, lalu te-

rus melangkah ke dalam. Ketika kuda yang di-

tumpangi Rengkana sampai di tengah-tengah hu-

tan bakau, tiba-tiba sebuah tombak hampir saja 

menyate tubuhnya bila Rengkana tidak segera 

lompat. Tapi tak urung tombaknyalah yang mele-

sat menghantam kudanya. Sesaat kuda itu me-

ringkik, lalu akhirnya menggeletak mati.

Mata Rengkana melotot, marah dan takut 

beraduk menjadi satu. Dengan agak takut Reng-

kana segera bangkit, lalu dengan penuh kemara-

han ia membentak: "Siapa adanya engkau, ke-

luarlah!"

"Kau manusia iblis! Kau harus mati di tan-

ganku!"

Rengkana tersentak kaget demi mendengar 

balasan bentakan suara seseorang yang telah 

menuduhnya. Dia berusaha mencari orang yang 

memiliki suara tersebut, namun sepertinya suara 

itu tiada yang memiliki. Orang yang berkata tak 

dilihat oleh Rengkana, menjadikan Rengkana se-

ketika bergidig bulu kuduknya. Tengah Rengka-

na, bingung tak tahu siapa yang telah berkata-

kata, kembali terdengar suara bentakan.

"Kau manusia iblis! Kau telah dengan licik


membunuh pamanku! Kau pura-pura ingin ber-

guru pada paman, lalu setelah kau curi Kitab Se-

rat Kumajang kau bunuh paman! Dasar manusia 

berhati iblis!"

"Siapa kau! Kalau kau manusia, aku minta 

keluar dan tunjukkan batang hidungnya agar 

dengan mudah aku congkel matamu!" bentak 

Rengkana sewot. Dihunusnya keris pusaka, lalu 

diacungkan ke arah suara itu. Namun belum juga 

ia tahu siapa adanya suara tersebut, tiba-tiba se-

buah bayangan berkelebat dan...! 

"Ini aku...!"

Bersamaan dengan munculnya bayangan 

tersebut, tiba-tiba Renggana mengerang memapa-

ki orang tersebut. Namun gerakan orang tersebut 

ternyata lebih cepat dari apa yang ia duga hingga 

tak ayal hantaman tangan berisi yang dilancarkan 

oleh orang itu telak menghantam muka Rengka-

na. 

"Bug, bug, bug!"

Tiga kali suara hantaman itu terdengar, 

dan tiga kali Rengkana harus mengerang kesaki-

tan. Tubuh Rengkana berguling-guling, menahan 

sakit yang teramat sangat mendera di wajahnya. 

Tulang pipinya terasa remuk, terkena tendangan 

yang keras. Rengkana terus meraung-raung kesa-

kitan, sementara orang yang menyerangnya yang 

ternyata seorang pemuda berdiri tegak dengan 

senyum mengawasi tubuh Rengkana. 

"Itulah balasanmu, seorang yang tidak 

memiliki rasa terima kasih! Kau telah ditolong 

oleh paman, namun balasanmu sungguh menye

dihkan bahkan membuat paman akan mengu-

tukmu!"

"Siapa kau, Anak muda?" terdengar suara 

seseorang lain menanyakan pada pemuda yang 

berdiri memandangi tubuh Rengkana. Pemuda itu 

segera palingkan muka, memandang pada suara 

yang bertanya. Senyumnya masih mengembang, 

dan lebih tepat dikatakan sinis. Pemuda itu berja-

lan santai meninggalkan tubuh Rengkana yang 

masih mengerang dan menghampiri ketiga orang 

yang berdiri mengawasinya.

"Namaku Tegalaras. Kalian dengar! Nah, 

karena aku tak ada urusan dengan kalian, maka 

kalian tak usah banyak kata! Sekarang ganti aku 

yang bertanya, siapa adanya kalian semua?"

"Kami dijuluki dengan sebutan Serangkai 

Hantu Dari Kelangitan," menjawab Hantu Kelangi-

tan Kumis Putih, menjadikan pemuda yang berdi-

ri di hadapannya seketika bergelak tawa.

"Apa yang engkau tertawakan, Tegalaras! 

Aku kira tak ada yang lucu dengan ucapanku!"

Pemuda itu masih gelak tawa. Lalu tanpa 

hiraukan mereka seketika kembali berkelebat 

pergi menjadikan mereka Hantu Dari Kelangitan 

terbingung-bingung dengan tingkah Tegalaras.

"Anak muda sinting. Kasihan, masih muda 

harus gila!" gumam Hantu Kumis Hitam. Namun 

tiba-tiba kembali terdengar bentakan si pemuda, 

menjadikan Serangkai Hantu Kelangitan tersen-

tak kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu men-

dengar suara gumaman Hantu Kumis Hitam? Pa-

dahal jarak mereka sudah begitu jauh, hampir


ada seribu tombak. Tapi pemuda itu dapat men-

dengarnya, bahkan membentaknya pun dari jarak 

jauh. Sungguh bukan pemuda sembarangan.

"Apa kalian bilang!"

"Heh, dia mendengar gumamanku," Hantu 

Kumis Hitam mendesah kaget, lalu dengan suara 

rendah berkata meminta maaf. "Maafkan kami bi-

la kami telah berkata salah."

"Beruntung aku tengah tak ada waktu 

mengurusi kalian! Kalau saja aku sempat, maka 

kepala-kepala kalianlah yang akan aku puntungi!"

Bergidig juga ketiga Serangkai Hantu Ke-

langitan mendengar ancaman Tegalaras. Mereka 

tahu bahwa Tegalaras bukanlah orang sembaran-

gan, terbukti suara gumaman mereka pun sempat 

didengarnya. Sungguh seorang pemuda berilmu 

tinggi, sayang keadaannya sungguh mempriha-

tinkan.

Setelah melihat Tegalaras menghilang, se-

gera ketiga Hantu Kelangitan hampiri tubuh 

prang yang tergeletak. Mata mereka seketika me-

lotot, manakala mengetahui siapa adanya orang 

tersebut. Orang tersebut tak lain Rengkana, te-

man mereka sekaligus juragan yang selalu mem-

bayar mereka mahal untuk segala kepentingan-

nya.

"Rengkana! Hai, mengapa ia...?" tanya Han-

tu Kumis Hitam seperti bertanya pada diri sendiri. 

"Rupanya pemuda itu yang menyerangnya. Sung-

guh hebat serangan itu sehingga Rengkana yang 

terkenal dengan pendekar Balang Nipa, mampu 

dirobohkannya dalam segebrakan saja. Untung


pemuda itu tidak kelepasan tangan."

Kedua saudaranya hanya diam, mengang-

kat tubuh Rengkana dan segera membawanya ke 

tempat di mana mereka jadikan kediaman. Wajah 

Rengkana memar, hancur tulang-tulang pipinya. 

Dari hidung Rengkana meleleh darah, juga dari 

mulutnya. Mungkin Rengkana mengalami keru-

sakan pada wajahnya.

Direbahkan tubuh Rengkana di atas se-

buah dipan yang sudah bulukan dan reot. Den-

gan cepat ketiganya berusaha mencari serta me-

racik obat-obatan yang sekiranya berguna bagi 

Rengkana. Namun muka Rengkana harus begitu, 

rusak untuk selama-lamanya. Tulang pipinya ke-

luar, membentuk gambaran wajah yang menye-

ramkan. Hidungnya hancur, hingga menjadikan 

koreng dan akhirnya memecah. Hidung itu be-

long, persis hidung tengkorak!

"Apakah kita tak dapat mengembalikan wa-

jahnya, Kakang?" 

"Lucu! Mana mungkin kita dapat?" jawab 

Hantu Kumis Hitam

"Sungguh kasihan keadaannya," gumam 

Hantu Kumis Putih. 

"Mungkin harus begini akibatnya."

Ketiga Serangkai Hantu Dari Kelangitan 

hanya terpaku, menatap wajah Rengkana yang 

burak rantak. Mereka trenyuh melihatnya. Mere-

ka juga bertanya-tanya, ilmu apa yang digunakan 

oleh Tegalaras hingga mampu membuat wajah 

Rengkana berantakan?


* * *

Rengkana terbaring pingsan selama tiga 

hari, ditunggui oleh Ketiga Hantu Kelangitan. Ke-

tika hari telah kembali beranjak pagi Rengkana 

nampak menggeliat, sadar dari pingsannya. Ma-

tanya memandang sekeliling, dilihatnya ketiga 

Hantu Kelangitan berada di sisinya.

"Di mana aku?" tanyanya dengan suara 

lemah.

"Kau berada di pondok kami," jawab Hantu 

Kumis Putih. "Beristirahatlah dulu, agar kau jan-

gan lemah hingga tenagamu pulih kembali." 

"Siapakah yang telah menyerangku?" 

"Dia adalah anak muda, bernama Tegala-

ras." 

"Tegalaras...?!" Nampak di wajah Rengkana 

ada rasa kekagetan demi mendengar siapa adanya 

penyerangnya. "Bukankah Tegalaras telah ma-

ti...?"

"Belum, Rengkana. Dia belum mati, bah-

kan ilmunya kini tinggi sekali," jawab Hantu Ku-

mis Hitam. "Aku yang bergumam lirih saja mam-

pu ia dengar dari jarak yang sangat jauh."

"Ah, dia bukan Tegalaras. Tegalaras telah 

jatuh kulemparkan ke bawah jurang."

Membeliak mata ketiga Hantu Kelangitan 

demi mendengar jawaban Rengkana yang mence-

ritakan adanya keberadaan Tegalaras. Mereka se-

ketika bergumam, kaget bercampur rasa tak per-

caya. "Apa mungkin ia hantunya?!"

"Mungkin," jawab Rengkana lemah.


"Tapi Rengkana?" Hantu Kumis Putih me-

mutus. "Kalau ia hantu, mana mungkin ia mem-

biarkan kau hidup-hidup. Sepertinya ia tak begitu 

menaruh dendam padamu."

"Mungkin juga," gumam Rengkana. Sesaat 

Rengkana hela napasnya, tiba-tiba ia merasakan 

laju napasnya terasa aneh. Napasnya kini besar, 

tidak seperti sebelumnya. Dalam kekagetannya 

itu Rengkana seketika memekik bertanya. "Kena-

pa aku?"

Ketiga Hantu Dari Kelangit tak ada yang 

dapat menjawab. Ketiganya hanya diam, tak men-

gerti harus berkata bagaimana. Hal itu menjadi-

kan Rengkana kembali bertanya seraya bangkit 

dari tidurnya.

"Kenapa dengan aku?! Kenapa?! Kenapa 

kalian hanya diam saja?"

Diguncang-guncangkan tubuh ketiga Han-

tu Dari Kelangit satu persatu. Namun ketiganya 

hanya diam, bahkan roman muka mereka seperti 

sedih. Hal itu menjadikan Rengkana ingin tahu, 

maka dirabanya muka dengan tangannya. Seketi-

ka Rengkana memekik, memekik karena harus 

menerima keadaan yang sangat menyedihkan. 

Hidungnya telah growong bagaikan hidung orang 

mati. Juga pipinya, pipinya menonjol keluar 

membentuk sebuah gunung yang mengalingi wa-

jahnya. Rengkana seketika menangis, merasakan 

betapa perih dan sakitnya hal yang ia alami. Kini 

wajahnya mirip hantu, hantu yang menyeramkan. 

Tanpa hiraukan ketiga Hantu Kelangit, Rengkana 

segera berkelebat pergi untuk mencari air. Dan


manakala ia memandang pada permukaan air, 

kembali Rengkana menjerit.

"Tidak...! Mukaku tidak seburuk ini, hu, 

hu, hu...!"

"Sudahlah, Rengkana. Memang itu yang 

harus kau terima. Akibat pukulan Tegalaras mu-

kamu kini harus begitu," Hantu Kumis Putih 

mencoba menghibur.

"Tidak! Aku tak ingin mukaku begini!" Se-

benarnya ketiga Hantu Kelangitan hendak tertawa 

mendengar ucapan Rengkana yang lucu. Betapa 

tidak. Mana mungkin muka yang sudah rusak di-

betulkan kembali? Apakah harus dipermak? Na-

mun untuk tertawa, mereka sungguh tidak tega. 

Mereka tahu bagaimana menderitanya diri Reng-

kana. Kalau mereka yang mengalami, sungguh 

mereka pun akan mengalami guncangan jiwa se-

perti Rengkana. Beruntung Tegalaras tak menu-

runkan tangan jahat pada mereka. Kala menu-

runkan tangannya, sungguh petaka bagi mereka 

yang akan mengalami hal serupa dengan apa 

yang dialami Rengkana.

"Sudahlah, Rengkana. Tak perlu kau sesali 

apa yang telah terjadi. Sekarang katakan apa 

maksudmu menemui kami, semoga kami dapat 

membantumu."

Rengkana yang menangis segera terdiam. 

Ia kini teringat pada tujuannya semula, meminta

tolong pada ketiga Hantu Dari Kelangit untuk me-

lakukan apa yang telah ia kerjakan.

Dengan masih terisak oleh tangis, Rengka-

na akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya


yang menjadi tujuannya datang. Wajah ketiga 

Hantu dari Kelangitan seketika terbelalak merah, 

tak menyangka kalau dirinya akan diberi tugas 

yang membikin degup jantung mereka berdetak. 

Tanpa pikir panjang lagi ketiga Hantu Dari Kelan-

git segera menyanggupinya.

* * *

Seperti hari biasanya, pagi itu pun Nin-

grum pergi ke sendang untuk mandi. Dengan ber-

jalan sendiri Ningrum terus melangkah menuju 

sendang di mana biasanya teman-temannya telah 

menunggu dirinya. Namun pagi itu sendang nam-

pak sepi, tak ada seorang pun yang datang untuk 

mandi. Tapi Ningrum tak mau perduli, dilangkah-

kannya kaki menuju ke sendang.

"Ke mana teman-temanku?" tanya Ningrum 

dalam hati. Namun ia terus melangkahkan ka-

kinya, tak perduli dengan keadaan sendang yang 

sunyi senyap.

Tengah ia melangkah kakinya, tiba-tiba da-

ri balik sendang bermunculan tiga orang lelaki 

menghampiri. Wajah lelaki itu cengengesan, se-

perti melihat makanan empuk. Lelaki itu melang-

kah terus menghampiri Ningrum yang terpaku di-

am.

"Siapakah Ki Sanak sekalian?" tanya Nin-

grum dengan suara tenang, sepertinya tak ada ra-

sa takut yang menyelinap dalam hatinya. Semen-

tara ketiga lelaki itu terus menghampiri dengan 

senyum mengembang tanpa ucapan yang keluar


dari mulut mereka. Hal itu menjadikan Ningrum 

seketika bersiap-siap. Ia sadar bahwa lelaki-lelaki 

tersebut pastilah akan bermaksud yang tidak 

baik. 

"Rupanya kau seperti ayahmu, Nona?" sa-

lah seorang dari ketiganya yang berkumis putih 

bertanya. "Kau memang pantas untuk berbuat 

begitu pada orang lain, tapi pada kami Serangkai 

Hantu Dari Kelangit tak akan mampu."

"Oh, jadi kalian Hantu Kelangitan. Mau apa 

kalian menghadang langkahku?"

"Hua, ha, ha...! Kau begitu garangnya. Hem 

baik! Kami menghadangmu karena kami ingin 

mencicipi kehangatan tubuhmu."

Betapa gusar dan marahnya Ningrum demi 

mendengar ucapan yang kurang ajar. Maka den-

gan bengisnya Ningrum pun membentak: "Bajin-

gan! Jangan kira kalian akan mampu melakukan 

segala tingkah kalian terhadapku!"

"Hem, begitu?" Hantu Kumis Hitam sung-

gingkan senyum. "Apakah kau minta bukti, No-

na?"

"Bangsat rendah! Pergi kalian!"

"Kami tak akan pergi sebelum dapat mera-

sakan itu mu. He, he, he!"

"Kurang ajar! Hiat....!"

Tanpa membuang waktu, Ningrum yang 

sudah jengkel segera berkelebat menyerang keti-

ganya. Namun mereka yang diserang malah gan-

da tertawa, bahkan tangan mereka di samping 

menangkis sekali-kali mencolek nakal barang mi-

lik Ningrum yang rawan. Tak ayal lagi Ningrum


seketika mencak-mencak. Tangan mereka me-

mang kurang ajar, asal colek saja, menjadikan 

dua buah gunung milik Ningrum meregang bang-

kit bagaikan gunung hendak meletus.

Gerakan-gerakan tangan mereka meremas 

buah dada Ningrum sungguh mampu membuat 

Ningrum kalang kabut tak dapat menyadarkan di-

ri. Entah apa yang ada di tangan ketiganya, yang 

jelas Ningrum merasakan getaran-getaran aneh di 

hatinya manakala tangan mereka menjamah dan 

mencolek buah dadanya. Dan manakala tangan 

mereka kembali mencolek Ningrum hanya mampu 

mendesah panjang.

"Ooooh..." 

"Bagaimana, Nona? Enak bukan?"

Suara Hantu tak berkumis tak didengar-

nya, kini Ningrum telah terbawa oleh perasaan 

dan khayalan yang indah setiap kali tangan me-

reka mencolek buah dadanya. Akhirnya Ningrum 

pun terkulai lemas, tak mampu pertahankan di-

rinya yang sudah terserang panas dingin akibat 

colak-colek tak bertanggung jawab dari ketiga 

Hantu Kelangit. Tubuh Ningrum akhirnya terku-

lai, jatuh dengan segenap nafsu yang menggebu-

gebu di hatinya.

Tak dapat lagi Ningrum ingatkan dirinya, 

yang ada dalam benaknya hanya kepuasan untuk 

memenuhi segala dahaga yang kini melanda di-

rinya. Dan manakala satu persatu dari ketiga 

Hantu Kelangit mengkoyak-koyak kehormatan-

nya, Ningrum hanya sekali menjerit yang akhir-

nya mengeluh panjang pingsan.


* * *

Ningrum tersadar dari pingsannya, lalu se-

ketika itu ia menjerit manakala mendapatkan 

keadaan dirinya. Pakaiannya mosak masik tak 

karuan, berhamburan ke sana ke mari.

Menyadari keadaan dirinya, dan manakala 

melihat percikan darah dari miliknya seketika 

Ningrum menjerit, lalu berlari entah ke mana se-

telah kembali mengenakan pakaiannya. Hatinya 

hancur berantakan, seperti puing-puing kehorma-

tannya yang terkoyak-koyak

"Setan! Mereka harus menerima hukuman-

ku! Hu, hu, hu....!"

Ningrum terus berlari dan menangis, mera-

tapi segala apa yang telah terjadi pada dirinya. 

Karena hatinya gundah, Ningrum tak hiraukan ke

mana ia melangkah. Ia begitu malu pada dirinya 

sendiri. Ia juga dendam pada orang-orang yang te-

lah membuat dirinya harus menanggung beban 

mental. Namun untuk melakukan balas dendam, 

sungguh ia tak akan mampu. Dan bagaimana 

nanti kalau ayah serta ibunya mendengar, atau 

mengetahui keadaan dirinya? Niscaya kedua 

orang tuanyalah yang akan mendapat malu.

Pikiran Ningrum kini putek, tak tahu harus 

bagaimana. Bayangan yang ada dalam hatinya 

hanya satu, lebih baik mati daripada harus me-

nanggung malu dan aib. Maka manakala dilihat-

nya jurang menganga, tanpa pikir panjang lagi 

Ningrum segera lemparkan tubuhnya ke bawah. 

Namun segala Kodrat bukan berada di tangan


manusia, tapi Tuhanlah yang berwenang. Dikare-

nakan Tuhan belum menghendaki Ningrum mati, 

tiba-tiba sesosok bayangan tua berkelebat me-

nangkap tubuh Ningrum yang melayang dan 

membawanya entah ke mana. Begitulah keadaan 

Ningrum, yang kini menjadi seorang pendekar 

wanita, yang mengaku-aku sebagai Penguasa Bu-

kit Karang Bolong.


ENAM



Pertarungan Ningrum melawan ketiga 

orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya 

terus berlanjut. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang 

sudah tahu siapa adanya Ningrum, kini tak dapat

meremehkannya. Ningrum sekarang bukanlah 

Ningrum yang tiga tahun lalu mereka perdayai 

dan mereka buat pemuas nafsu, tapi Ningrum se-

karang adalah Ningrum yang memiliki ilmu tinggi 

juga dititisi oleh Nyi Lanjut Ayu atau Penguasa 

Bukit Karang Bolong.

"Karena kalian telah tahu siapa adanya di-

riku, maka kalian harus mati secepatnya. Hiat...!" 

Ningrum kini makin tampak garang, menyerang 

dengan serangan-serangan yang sukar untuk di-

ikuti oleh mata ketiga Hantu Dari Kelangit. 

"Awas pukulan maut!" Hantu Kelangit Ku-

mis Putih berseru memperingati pada kedua 

adiknya manakala sebuah hantaman menyerang 

ke arah mereka. Secepat kilat kedua adiknya ber-

kelebat, lemparkan tubuh mereka menghindari


serangan.

"Bangsat! Kalian rupanya ingin main-main, 

hiat...!" Ningrum nampak sewot merasa seran-

gannya luput. Kembali ia menyerang, kali ini se-

rangannya begitu cepat. Dan untuk kedua kalinya 

ketiga Hantu Dari Kelangit lemparkan tubuh me-

reka menghindar. Mereka tak mampu untuk 

membalik menyerang, hanya dapat mengelak itu 

pun beruntung. Sebab serangan yang dilancarkan 

Ningrum bukanlah serangan kelas kecoa yang 

mudah dipapaki atau dihindarkan. Kalau mereka 

salah menghindar, tak ayal tubuh mereka akan 

remuk saling bentur.

"Kenapa kau begitu bernafsu hendak 

membunuh kami yang telah memberikan kepua-

san padamu?" Hantu Kumis Hitam mencoba 

mengalihkan amarah Ningrum dengan berusaha 

mengingatkan Ningrum pada kejadian tiga tahun 

lalu. Namun ternyata Ningrum bahkan makin 

menggeretak penuh amarah.

"Bangsat! Kalian tak akan hidup lebih lama 

lagi. Terimalah ini. Racun Kelabang Ungu, hiat...!"

Tersentak kaget ketiganya demi mendengar 

seruan Ningrum menyebutkan nama ajian yang 

sudah tidak asing lagi bagi mereka. 

Namun untuk berpikir lebih jauh mereka 

tak memiliki waktu, sebab ajian tersebut telah 

melaju dengan cepatnya mengancam jiwa mereka. 

Serta merta ketiganya melompat menghindar, 

namun tak urung salah seorang dari ketiganya 

yang bernama Hantu Kumis Hitam terhantam 

pukulan tersebut. Tanpa ampun lagi, sesaat tu


buh Hantu Kumis Hitam menggelepar-gelepar 

dengan tubuh biru dan akhirnya diam mati. Dari 

tubuhnya seketika keluar nanah biru, yang diser-

tai oleh tumbuhnya jelentik-jelentik yang merayap 

ke luar dari tubuh Hantu Kumis Hitam. Sungguh 

sangat menjijikkan. Jelentik-jelentik itu begitu 

ganas, menggigiti daging Hantu Kumis Hitam 

sampai akhirnya membusuk berantakan.

"Iblis laknat! Kau telah membunuh sauda-

raku, maka kau pun harus mati di tangan kami!" 

menggeretak penuh kemarahan Hantu Tak ber-

kumis. Tanpa pikir panjang Hantu Tak berkumis 

segera nekad menyerang Ningrum. Diserang begi-

tu rupa menjadikan Ningrum tergelak lawa. Maka 

dengan kembali hantamkan ajian Racun Kelabang 

Ungu, Ningrum papaki serangan Hantu Tak ber-

kumis. Tak ayal lagi...!

"Hiaat...! Terimalah kematianmu!"

"Crooot....!" 

"Aaaaahh...!"

Sebuah cairan ungu menyerang tubuh 

Hantu Tanpa Kumis. Seketika tubuh Hantu Tan-

pa Kumis menggelepar-gelepar, seperti apa yang 

dialami oleh kakak seperguruannya. Dan seperti 

Hantu Kumis Hitam, Hantu Tak Berkumis pun 

akhirnya mati dengan keadaan serupa. Melihat 

hal itu serta merta Hantu Kumis Putih lari, ting-

galkan Ningrum yang masih bergelak tawa. Tapi 

baru saja ia beranjak, sebuah cairan ungu telah 

lebih dahulu hentikan langkahnya.

"Aaaaahhh...!"

Sesaat Hantu Kumis Putih menjerit, lalu


akhirnya seperti keadaan adik-adik seperguruan-

nya ia pun menjadi busuk dengan jentik-jentik 

keluar dari tubuhnya. Tak berapa lama kemudian 

tubuhnya hancur dengan daging kerompong ha-

bis termakan jentik-jentik tersebut.

"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasan dariku 

bagi orang-orang mata keranjang! Kini aku belum 

puas, bila aku belum dapat menjadikan diriku 

sebagai Ratu dunia persilatan. Akan aku bikin 

dunia ini sebagai ajang cita-citaku. Kakang Datuk 

Raja Karang, cita-citamu untuk menguasai dunia 

persilatan akan segera terlaksana. Kini aku den-

gan menyatu pada tubuh gadis ini akan mampu 

membuat dunia ini takluk padaku."

Tengah Ningrum tertawa bergelak-gelak, ti-

ba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba 

telah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut sung-

guh aneh keadaannya. Walau ia masih muda, 

namun rambutnya telah ubanan. Dialah Setan 

Berambut putih!

"Siapa kau!" bentak lelaki muda berpa-

kaian serba merah dan rambut yang sudah putih 

seluruhnya padahal masih muda pada Ningrum 

yang segera hentikan tawanya dan menatap pada 

orang yang bertanya.

"Siapa pula kau adanya, orang aneh?" balik 

bertanya Ningrum, demi melihat pemuda di hada-

pannya yang berkeadaan fisik aneh. "Kau masih 

muda, namun rambutmu sudah memutih se-

mua."

"Ditanya malah balik bertanya," rengut Se-

tan Rambut Putih kerutkan kening. "Aku yang je


lek ini bernama Setan Rambut Putih."

"Hi, hi, hi...! Kau mengakui sendiri bahwa 

kau jelek. Namaku Dewi Lanjut Ayu atau Pengua-

sa Bukit Karang Bolong."

Mengerutkan kening Setan Rambut Putih 

demi mendengar orang di hadapannya menye-

butkan dirinya. Hati Setan Rambut Putih tak per-

caya. Bagaimana mungkin Dewi Lanjut Ayu yang 

dikabarkan telah mati kini muncul kembali di 

dunia persilatan? Rasanya tak masuk di akal. 

Dan menurut apa yang ia dengar, Dewi Lanjut 

Ayu memang ayu, tapi tidak seperti gadis di ha-

dapannya. Gadis di hadapannya mempunyai se-

buah ciri, yaitu di janggutnya tumbuh tahi lalat 

yang makin menambah kecantikannya.

"Aku tak percaya kalau kau Dewi Lanjut 

Ayu. Kalau kau benar Dewi Lanjut Ayu, mana 

mungkin engkau membunuh orang-orang yang 

masih segolongan dengan dirimu?"

"Yang engkau maksud Tiga Hantu Dari Ke-

langit?" balik bertanya Ningrum, yang diangguki 

oleh Setan Rambut Putih. Ningrum seketika ceki-

kikkan. "Memang ia adalah segolongan dengan 

suamiku, tapi mereka memang harus dibunuh!"

"Mengapa kau membunuh mereka?"

"Kenapa kau tanyakan hal itu?"

"Karena mereka adalah musuh-musuhku," 

jawab Setan Berambut Putih penuh selidik.

"Hi, hi, hi... kau marah kalau musuhmu 

aku bunuh?"

"Bukan begitu. Mereka telah membuat aku 

harus mengalami keadaan begini. Rambutku


memutih, itu karena ulah mereka. Maka itu aku 

sebenarnya ingin membalas pada ketiganya, tapi 

ternyata kau telah mendahuluiku," Setan Rambut 

Putih menceritakan apa yang menjadi sebab di-

rinya harus berurusan dengan Serangkai Hantu 

Dari Kelangitan. Sementara Ningrum hanya ter-

senyum-senyum saja mendengar, dengan sekali-

kali cekikikkan bagai melihat kelucuan.

"Setan Rambut Putih, maukah engkau ber-

gabung denganku?"

"Bergabung denganmu? Untuk apa?" Setan 

Rambut Putih bertanya, nadanya tak yakin bila 

Ningrum memiliki ilmu yang cukup diandalkan.

Memang Ningrum mampu mengalahkan 

Serangkai Hantu Dari Kelangit, tapi belum tentu 

Ningrum akan mampu menghadapi dirinya, begi-

tulah apa yang tersirat di hati Setan Rambut Pu-

tih. 

"Kalau kau memang berilmu tinggi, aku ba-

ru mau bergabung denganmu."

"Hem, rupanya kau belum yakin! Percuma

aku dijuluki Penguasa Bukit Karang Bolong bila 

tak memiliki ilmu yang dapat diandalkan! Kau 

mau mencobanya...?"

"Tentu! Aku tak mau kalau sekutuku 

hanya orang yang berilmu picisan macam ilmu 

kecoak!" Setan Rambut Putih senyumkan bibir, 

sepertinya di balik senyum itu tergambar kesom-

bongan. Ya, ia merasa bahwa ilmunya saat ini be-

lum ada yang menandingi. Setan Rambut Putih 

belum tahu bahwa sebenarnya saat itu ada seo-

rang pendekar seusianya yang ilmunya jauh lebih


tinggi satu atau dua tingkat dibandingkan dengan 

yang ia miliki Pendekar muda tersebut tak lain 

Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Da-

rah. Seorang pendekar yang namanya akhir-akhir 

ini menjadi bahan pembicaraan para pendekar di 

tanah Jawa sebelah Barat.

"Berapa jurus yang engkau mau, Setan 

Ubanan?"

"Sepuluh jurus! Kalau dalam sepuluh jurus 

kau tak mampu menjatuhkan diriku, maka aku 

tak akan mau menjadi sekutumu," jawab Setan 

Rambut Putih dengan sombongnya. Ia merasa 

bahwa Ningrum tak akan mampu menghadapi-

nya, apalagi dalam waktu sepuluh jurus. Setan 

Rambut Putih tidak ingat bahwa di atas segalanya 

masih ada yang lebih berkuasa yaitu nasib yang 

telah ditentukan oleh Yang Maha Wenang. Ia juga 

tak tahu kalau dengan penyatuan Ningrum den-

gan Dewi Lanjut Ayu akan menghasilkan sebuah 

kekuatan yang dahsyat.

"Tak terlalu lama itu, Setan Ubanan?" 

Terbelalak mata Setan Rambut Putih demi 

mendengar pertanyaan Ningrum yang dirasa 

sombong. Seketika hatinya membatin, "Sombong! 

Ia mengira aku seperti tiga orang yang telah men-

jadi bangkai itu. Hem, akan aku coba jajaki il-

munya."

"Baik, dalam lima jurus!"

"Hi, hi, hi.....! Bagus! Kau sudah siap, Se-

tan Ubanan?"

"Pertanyaan itu seharusnya aku yang ber-

tanya. Tapi tak apalah. Siapapun yang bertanya


tak menjadi soal, yang jelas mari kita buktikan 

siapa yang kuat. Bila ternyata dalam lima jurus. 

aku kalah, maka aku akan menjadi sekutumu. 

Tapi bila kau yang kalah, maka kau harus mau 

menjadi istriku."

"Hi, hi, hi...!" Ningrum cekikikan. "Sama sa-

ja! Menang ataupun kalah, kita akan menjadi sa-

tu juga. Aku pun mencintaimu."

Senyum Setan Rambut Putih seketika 

mengembang demi mendengar penuturan Nin-

grum. Hatinya berbunga-bunga, berdetak ken-

cang laksana didera oleh letupan-letupan kecil 

yang mengajak matanya untuk melekatkan pan-

dangannya ke wajah Ningrum. Sama halnya den-

gan, Setan Rambut Putih. Ningrum pun yang 

mengetahui bahwa hatinya juga telah terkait oleh 

si Setan memanahkan matanya memandang tan-

pa kedip ke arah Setan Rambut Putih.

"Hai, apakah kita akan seterusnya saling 

pandang?" tiba-tiba Setan Rambut Putih ber-

tanya, menjadikan Ningrum tersipu-sipu. "Ayolah. 

Walaupun kita sehati, namun perjanjian kita ha-

rus kita laksanakan."

"Hi, hi, hi...! Baiklah! Memang hal itu san-

gat perlu bagi kita untuk menentukan kebera-

daan ilmu kita, mari kita main-main!"

Kedua muda mudi yang sudah terpaut ha-

tinya lewat pandangan mata itu pun akhirnya 

berkelebat saling serang. Mereka tak ingin men-

dapatkan kekasihnya berilmu di bawahnya, den-

gan kata lain mereka ingin menunjukkan kebera-

daan mereka di dunia persilatan. Walau mereka


mengatakannya hanya main-main, namun jurus-

jurus yang mereka keluarkan sungguh jurus-

jurus benar-benar. Apalagi mereka kini nampak 

mengeluarkan jurus-jurus simpanan mereka. Tu-

buh mereka seketika raib bersamaan dengan ge-

rakan mereka yang begitu cepat.

"Awas, Setan Rambut Putih! Terimalah se-

rangan!" pekik Ningrum berusaha memperin-

gatkan kepada orang yang telah mampu menggu-

rat hatinya.

"Kau pun hati-hatilah, Dewi!"

Keduanya seketika melayang bagaikan ter-

bang, dan...!

"Sett... Duar...!"

Dua tangan yang menyalurkan tenaga da-

lam bertemu, mengadu kekuatan yang dimili-

kinya. Ledakan dahsyat seketika menggema, lalu 

diikuti oleh melayangnya dua tubuh tertolak ke 

belakang. Tapi bagaikan enteng saja tubuh mere-

ka kembali tegak berdiri. Keduanya saling lem-

parkan senyum dan kemudian gelak tawa pun 

mendera dari mulut keduanya. "Kau hebat, Dewi!"

"Kau juga, Setan Ubanan!" Keduanya saling 

sanjung tentang ilmu yang mereka miliki, lalu 

dengan penuh kemesraan keduanya saling meme-

luk. Keduanya kemudian berjalan bareng, ting-

galkan tempat itu entah ke mana.


TUJUH


Dengan menyatunya Setan Berambut Putih 

dengan Ningrum yang telah dititisi Dewi Lanjut 

Ayu, maka makin kokohlah keadaan Bukit Ka-

rang Bolong! Bukit angker tersebut makin ber-

tambah angker saja untuk dijejakan kaki manu-

sia. Banyak korban berjatuhan, mereka pada 

umumnya adalah orang-orang yang hendak mela-

kukan pencarian sebuah kitab dan senjata yang 

sempat menggegerkan dunia persilatan setengah 

abad yang lalu. Kitab dan senjata pedang tersebut 

adalah kitab Pedang Pencabut Nyawa dan Pedang 

Mata Malaikat.

Kebesaran nama Dewi Lanjut Ayu dan Se-

tan Berambut Putih seketika membumbung tinggi 

bagi para tokoh golongan sesat. Sepak terjang me-

reka sungguh membuat para tokoh golongan se-

sat merasa lapang dada karena merasa ada yang 

memihak. Namun sebaliknya dengan para tokoh 

golongan lurus dan rakyat, mereka seketika ba-

gaikan dicekam oleh bayang-bayang maut yang 

setiap saat siap mencekik mereka.

Sepak terjang kedua muda mudi yang me-

namakan dirinya Sejoli Raja dan Ratu Penguasa 

Bukit Karang Bolong, tak luput dari pendengaran 

Pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pe-

dang Siluman Darah. Jaka merasa prihatin den-

gan keadaan dunia persilatan di wilayah Timur 

yang sudah menghadapi ambang kehancuran ba-

gi para pendekar aliran lurus, sebab nampaknya


dengan munculnya dua muda mudi yang telah 

mengikat diri menjadi satu.

"Sungguh tak dapat dibiarkan hal ini berla-

rut-larut," Jaka menggumam sendiri sambil berja-

lan menyusuri jalanan setapak di kaki gunung 

Kencana. "Kalau tidak dihentikan, wah apa yang 

akan terjadi di dunia persilatan khususnya di wi-

layah Wetan."

Jaka terus melangkahkan kakinya, dengan 

sekali-kali bersiul untuk menghibur diri. Manaka-

la dia tengah berjalan dengan santai, tiba-tiba te-

linganya mendengar derap langkah kaki kuda 

yang berjumlah banyak. Sesaat Jaka kerutkan 

kening, lalu dengan sekali lebat ia pun menghi-

lang di balik semak-semak.

"Tampaknya ada beberapa orang penung-

gang kuda menuju ke arah sini," gumam Jaka 

yang telah bersembunyi di balik rerumputan yang 

tinggi. Matanya mengintip dari balik cela-cela 

rumput, memandang tak berkedip ke arah da-

tangnya suara tersebut. Tiba-tiba Jaka seketika 

dikagetkan oleh desisan dan koakan suara ular 

dan burung yang tengah bertarung di dekatnya. 

"Setan! Mana bisa aku tenang bila harus meng-

hadapi kalian yang ribut!" gerutu Jaka sewot pada 

kedua binatang yang tengah bertarung itu.

Tapi binatang-binatang tersebut mana mau 

tahu kemarahan Jaka yang merasa terusik sem-

bunyi. Keduanya terus bertarung, makin lama 

makin seru, menjadikan Jaka akhirnya tertarik 

juga. Maka tanpa hiraukan lagi pada derap kaki 

kuda yang makin seru kedengarannya Jaka asyik


menonton pertarungan dua hewan tersebut. Bu-

rung Elang itu sesaat menukik, lalu menyambar 

dan mematuk kepala ular Sanca. Ular Sanca itu 

pun tak mau mengalah begitu saja ia egoskan ke-

palanya menghindar lalu lemparkan ekor meng-

hantam ke arah burung Elang. Melihat hal itu Ja-

ka seketika bergumam sendiri, dan bagaikan 

orang gila mengikuti gerakan-gerakan yang diper-

lihatkan oleh dua hewan yang tengah bertarung.

"Hebat! Ayo Elang, serang lagi!" serunya 

bagaikan anak kecil mendapatkan permainan. 

"Hei Sanca, kenapa kau tidak membalas!"

Bila burung Elang itu mengepakkan 

sayapnya, segera Jaka pun membuka tangannya 

meniru. Lalu setelah burung Elang itu menukik 

dan menggerakkan kakinya seperti hendak men-

cakar Jaka pun segera mengangkat kakinya se-

buah dan ditendangkan kakinya. Sungguh dah-

syat hasil yang diperoleh, ternyata tendangan ka-

kinya jauh melebihi apa yang dibayangkan. Ketika 

kaki kanan Jaka menirukan gerakan kaki burung 

Elang, terdengar ledakan dahsyat manakala angin 

tendangan kakinya menghantam pepohonan. Tak 

ayal lagi, pohon yang terkena ambruk dengan ba-

tang berantakan. Jaka segera melompat manaka-

la pohon tersebut tumbang hendak menjatuhi di-

rinya.

"Pohon sialan! Hampir saja menjatuhi aku!" 

Jaka segera melompat maju lagi melihat perkela-

hian dua binatang yang nampaknya acuh pada 

kedatangannya. Kini Sanca itu yang menyerang, 

dan Jaka pun kini mengikuti gerakan-gerakan


ular Sanca dalam menghindar dan menyerang.

"Oh, hebat! Ayo kawan, serang si Elang!" 

sambil berteriak-teriak Jaka terus mengikuti ge-

rakan-gerakan sang Ular. Tangannya membentuk

kepala, mulutnya mendesis bersamaan dengan 

gerakan tangannya mematuk-matuk. "Oh, inikah 

gerakan Sanca Mematuk Elang. Dan tadi adalah 

jurus Elang menyambar Sanca. Hem, sungguh ju-

rus-jurus dahsyat!" gumam Jaka lirih.

Kembali Jaka mengulang dan mengulang 

apa yang telah ia lihat dan pelajari dari kedua 

hewan tersebut. Makin lama gerakan-gerakan Ja-

ka makin kencang, sehingga sukar untuk diikuti 

oleh mata. Jaka tak mengetahui bahwa gerakan-

gerakannya yang meniru gerakan kedua binatang

tersebut kini dalam pengawasan sepuluh pasang 

mata yang bertengger di atas kuda mereka mas-

ing-masing. Jaka tersentak kaget manakala ter-

dengar seruan seseorang dari kesepuluh orang di 

atas kuda.

"Ki Sanak! Tengah apakah engkau di situ?" 

Jaka segera hentikan gerakannya, lalu diputar 

tubuhnya menghadap ke arah datangnya suara 

tersebut. Dilihatnya wajah kesepuluh orang ben-

gis, sepertinya mereka bukan orang baik-baik. 

Jaka yang tingkahnya dilihat oleh mereka seketi-

ka garuk-garuk kepala, yang merupakan ciri 

khasnya bila merasa malu. Melihat Jaka masih 

cengar cengir tak menjawab, kembali orang yang 

berada di depan di antara kesepuluh orang terse-

but berkata.

"Ki Sanak, apakah engkau tuli?"


"Aku tuli...?" Jaka mengulang bertanya. 

"Ah, aku rasa aku tak tuli. Mungkin kalianlah 

yang congean!"

"Bangsat! Ditanya baik-baik malah menja-

wab yang bukan-bukan! Dasar anak muda edan!"

"Apa...? Kalian edan!?" seru Jaka konyol. 

"Pantas! Pantas kalau wajah-wajah kalian kaya 

orang edan, eh tak tahunya memang edan bene-

ran!"

"Kunyuk! Ke sini kau, Anak Edan!"

Tanpa banyak pikir lagi Jaka segera me-

lompati semak-semak dan berdiri menghampiri 

mereka. Mereka seketika tersentak, manakala se-

cara cepat Jaka melompat dan tahu-tahu telah 

berdiri tak jauh dan mereka, padahal jarak yang 

tadi ditempuh oleh Jaka cukup jauh ada kira-kira 

dua puluh tombak. 

Jaka cengengesan bagaikan orang tolol, la-

lu dengan masih senyum-senyum Jaka pun ber-

kata: "Kau bilang aku edan! Wah, kau salah be-

sar! Aku tidak edan, cuma Ndableg. Ha, ha,

ha....!"

Tawa Jaka seketika melengking, menjadi-

kan kesepuluh orang penunggang kuda itu ter-

sentak. Kuda-kuda mereka seketika meringkik ke-

takutan bagaikan mendengar suara setan. Kuda-

kuda itu akhirnya serabutan lari, meninggalkan 

tuannya yang jatuh terjengkang dengan pantat te-

rasa sakit membentur tanah.

Kembali Jaka gandakan tawa melihat ke-

sepuluh orang itu meringis menahan sakit yang 

mendera pantatnya akibat jatuh dari kuda-kuda


yang mereka tunggangi, yang entah ke mana la-

rinya karena ketakutan mendengar suara tawa 

Jaka.

"Diam! Tidak lucu!" bentak seorang dari 

mereka yang tadi telah menanya Jaka. Dengan 

agak pura-pura merengut Jaka pun menurut di-

am.

"Kenapa kalian marah-marah? Apakah aku 

berdosa bila tertawa? Bukankah tertawa itu be-

bas?" tanya Jaka konyol. "Kalau kalian melarang 

aku tertawa, pantas kalian nampak tua."

Betapa gusarnya kesepuluh orang tersebut 

demi mendengar celotehan Jaka yang bagaikan 

orang tolol. Mata mereka melotot marah, gigi-gigi 

mereka saling beradu menggeretuk menahan ke-

kesalan.

"Anak edan! Siapa kau sebenarnya? Jan-

gan kau mati tak bernama akibat ulahmu berani 

menghina anak buah Penguasa Bukit Karang Bo-

long!"

Mendengar nama Penguasa Bukit Karang 

Bolong disebut-sebut, Jaka seketika gandakan 

tawa bukannya takut seperti orang-orang lainnya. 

Hal itu menjadikan kesepuluh orang anggota Pen-

guasa Bukit Karang Bolong terbelalak kaget se-

raya kerutkan kening heran.

"Pantas, pantas! Ternyata wajah-wajah ka-

lian semuanya persis dengan monyet! Ternyata 

kalian anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong! 

Apa kabar dengan pimpinan kalian?" ucapan Ja-

ka sepertinya mengandung persahabatan, menja-

dikan kesepuluh anggota Penguasa Bukit Karang



Bolong makin tidak mengerti. Kesepuluh orang 

tersebut menatap lekat-lekat pada Jaka dengan 

segala tanda tanya di hati mereka seraya bangkit 

berdiri.

"Nadamu sungguh bersahabat. Siapakah 

engkau adanya?" tanya ketua rombongan itu kini 

dengan suara melembut

"Aku..? Aku sahabat pimpinan kalian! 

Sampaikan salamku untuk kedua pimpinan ka-

lian bila kalian kelak bertemu. Katakan pada ke-

duanya bahwa aku Si Penjelajah Jagad mengu-

capkan selamat dan menyampaikan salam. Kata-

kan pula, bahwa mereka diharap sabar menung-

gu kedatanganku," Jaka berkata berbohong, na-

mun kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit 

Karang Bolong seperti percaya saja. "Nah, seka-

rang juga kalian minggat dari sini dan kembali 

temui kedua pimpinan kalian!"

"Tidak bisa begitu, Ki Sanak. Kami saat ini 

tengah mengemban tugas dari pimpinan kami."

"Tugas...? Tugas apa?" tanya Jaka ingin ta-

hu. Sesaat kesepuluh orang tersebut saling pan-

dang, sepertinya mereka hendak mencari kesepa-

katan bagaimana sebaiknya. Setelah kesepuluh-

orang tersebut berbuat begitu, salah seorang yang 

orang-orang tadi juga berkata: "Kami diutus un-

tuk mencari orang yang bernama Jaka Ndableg 

atau Pendekar Pedang Siluman Darah."

Tersentak Jaka demi mendengar namanya 

disebut-sebut. Namun segera ia berusaha me-

nyembunyikan kekagetannya, lalu dengan pura-

pura tak tahu siapa adanya dirinya Jaka pun


kembali bertanya pada mereka: "Ada keperluan 

apa kalian mencari Pendekar yang sudah kesohor 

itu? Bukankah kalian akan mengalami kebina-

saan apabila menghadapi pendekar yang suka 

usilan dan ingin menegakkan kebenaran serta 

keadilan di dunia ini?"

"Kami diutus untuk menyampaikan surat 

undangan," jawab orang tadi. "Apakah Ki Sanak 

tahu di mana pendekar tersebut berada?" 

Jaka kembali terdiam mikir, "Bagaimana 

akalku. Hem, bagaimana kalau aku minta saja 

surat tersebut dan pura-pura hendak menyam-

paikannya pada orang yang mereka maksud? Be-

runtung mereka tidak mengenali siapa adanya di-

riku."

"Baiklah, Ki Sanak. Aku akan membantu 

kalian untuk menyampaikan surat tersebut pada 

Pendekar Pedang siluman Darah. Nah, serahkan-

lah surat itu padaku dan segeralah kembali ke 

Bukit Karang Bolong. Jangan lupa, sampaikan sa-

lam dariku, Si Penjelajah Jagad."

Mendengar ucapan Jaka, nampak kera-

guan menyelimuti wajah kesepuluh orang anak 

buah Penguasa Bukit Karang Bolong yang kemba-

li menatap lekat-lekat ke wajah Jaka. Mata mere-

ka yang garang, sepertinya ingin mengorek siapa 

sebenarnya orang yang mengaku Si Penjelajah 

Jagad. Seorang pendekar aneh, walau pun masih 

muda tapi berilmu tinggi dengan segala tingkah 

polahnya yang bagaikan orang tolol. Mereka me-

mang tidak mengerti siapa adanya orang yang 

tengah berdiri di hadapannya, orang yang sebe


narnya tengah mereka cari,

"Bagaimana? Apakah kalian masih kurang 

percaya?" tanya Jaka manakala melihat kesepu-

luh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bo-

long masih diam memikir. "Kalau kalian tak per-

caya, ya sudah. Aku tak memaksa, dan silahkan 

kalian cari sendiri adanya pendekar muda terse-

but. Jangankan kalian dapat memberikan surat 

tersebut, untuk hidup pun kalian tak mampu 

apabila pendekar tersebut telah mengetahui siapa 

adanya kalian. Tapi jika aku... pasti pendekar ter-

sebut tak akan berani. Ha, ha, ha...! Kalian tahu 

sendiri kehebatan suara tawaku bukan? Inilah 

suara tawa Iblis Marakayangan pesta!"

Mendengar keterangan Jaka yang ngibul, 

mereka seketika agak takut juga. Kalau memang 

benar pendekar muda tersebut berbuat demikian, 

sungguh mereka tak akan ada artinya. Rasa takut 

akan apa yang dikatakan Jaka, menjadikan kese-

puluh orang tersebut akhirnya mau menyerahkan 

surat tersebut. 

"Baiklah, baiklah! Aku pun merasakan de-

mikian. Kabarnya memang pendekar muda itu 

tak kenal kompromi dengan orang-orang aliran 

sesat. Kami jadi ngeri sendiri. Untuk itu, kami 

dengan amat sangat agar Ki Sanak Penjelajah Ja-

gat sudi menyampaikan surat ini pada Jaka 

Ndableg." Disodorkan surat yang ditulis di atas 

kain pada Jaka yang menerimanya dengan se-

nyum-senyum "Kena juga mereka aku akali. Hem, 

dengan begini aku tak akan mudah dikenali oleh 

orang-orang yang memang mencari-cari diriku.


Dasar orang-orang songong, mereka tak mengena-

li siapa adanya diriku. He, he, he...!" gumam hati 

Jaka penuh ketenangan, sebab merasa dirinya 

belum dikenali oleh orang-orang persilatan wi-

layah Wetan.

"Kami minta tolong pada Ki Sanak," kemba-

li pimpinan kesepuluh orang utusan Penguasa 

Bukit Karang Bolong berkata, yang hanya diang-

guki oleh Jaka. Setelah kesemuanya menjura, se-

gera kesepuluh orang tersebut berkelebat me-

ninggalkan Jaka yang hanya tersenyum-senyum 

sembari geleng-gelengkan kepala seraya tak henti-

hentinya bergumam: "Hem, dasar orang-orang 

bodoh. Mana mau sih orang belum kenal diperin-

tah? Oh, coba aku lihat apa isi surat yang untuk-

ku."

Perlahan-lahan Jaka membuka gulungan 

kain yang diserahkan orang-orang Bukit Karang 

Bolong padanya, lalu dengan perlahan pula diba-

canya isi surat tersebut.

"Hem, mereka mengira aku tak tahu siapa-

siapa adanya mereka sehingga mereka hendak, 

mengelabui diriku. Tapi apa sih maunya? Ah, bi-

arlah aku turuti saja apa kemauan mereka men-

gundang para tokoh persilatan serta menawarkan 

padaku sebagai sahabat. Huh, enak, saja menga-

jak aku sebagai sahabat.... Sahabat memang un-

tuk dicari, tapi bila keadaan mereka begitu... 

sungguh bukan bersahabat lagi."

Jaka seketika kembali tercenung, memikir-

kan jalan apa yang harus ia tempuh untuk me-

nyelesaikan keberadaan mereka sebagai Raja dan


Ratu.

"Aku harus bertindak! Kalau tidak, maka 

kehancuran akan dialami oleh para pendekar!"

Setelah berkata begitu dan membuang gu-

lungan kain yang sudah dibacanya, segera Jaka 

pun berkelebat pergi tinggalkan tempat tersebut 

lari menuju arah yang tadi ditempuh oleh orang-

orang Karang Bolong.


DELAPAN



"Kakang Rakini, apakah engkau tak dapat 

mengajar muridmu untuk mengerti bahwa yang ia 

bunuh adalah murid-muridku?" Darga Buana 

nampak sedikit marah. Betapapun ia telah tertan-

tang oleh Penguasa Bukit Karang Bolong yang ti-

dak lain murid kakak seperguruannya, yang telah 

berani membunuh ketiga muridnya. Namun Ne-

nek Ratu Kelabang tak mau mengalah begitu saja, 

demi dirinya dijadikan beban kesalahan juga mu-

ridnya Ningrum. Ia tahu mengapa Ningrum men-

dendam pada murid kemenakannya, tak lain ka-

rena ketiga murid kemenakannya telah berbuat 

yang membuat muridnya menderita lahir dan ba-

tin, terkoyak-koyak keperawanannya yang direng-

gut oleh ketiga murid kemenakannya.

"Kau tak berhak salahkan muridku! Murid-

muridmulah yang salah dalam hal ini, Darga!" 

rungut si nenek membela muridnya.

"Kesalahan apa yang telah murid-muridku 

lakukan?"


"Huh, makanya jangan asal tuduh saja. 

Murid-muridmu telah membuat muridku mende-

rita lahir dan batin. Murid-muridmu telah mem-

perkosa muridku!"

"Dusta!" sentak Darga tak mau percaya. Si 

nenek cibirkan bibirnya yang telah keriput, men-

gejek adik seperguruannya yang masih keras ke-

pala.

"Kapan aku berdusta, Darga?!"

"Tak mungkin murid-muridku melakukan 

hal itu!" Darga masih saja tak mau percaya, 

membuat si Nenek Kelabang sunggingkan se-

nyumnya yang telah layu oleh usia

"Di depanmu mungkin mereka alim, tapi di 

luaran... siapa yang tahu kelakuan mereka? Apa-

kah kau selalu mengawasi mereka, Darga?" tanya 

si nenek yang kemudian dijawab olehnya sendiri. 

"Kau tidak tahu perbuatan murid-muridmu di lu-

aran bukan? Kalau saja Pramana mendengar ten-

tang perbuatan murid-muridmu, sudah pasti kau 

akan terkena hukuman darinya. Jangan-jangan 

Pedang Sukma Layung akan membelah tubuhmu 

jadi dua. Beruntung muridku tidak menceritakan 

aib yang ia alami pada ayahnya."

"Aku tak takut pada Pramana!"

"Hem, kau terlalu sombong! Kau tidak me-

mikir siapa adanya Pramana. Mungkin dengan 

Pramana kau tak takut, tapi tidakkah engkau 

dengar seorang tokoh persilatan pembela kebena-

ran yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-

rah?! Kalau pendekar tersebut mencium siapa 

adanya dirimu, niscaya engkau pun tak akan lu

put darinya."

Nenek Ratu Kelabang terus berusaha me-

nyadarkan adik seperguruannya agar mau men-

gerti, tapi rupanya angkara murka telah melalap 

hati Darga hingga Darga pun tak hiraukan segala 

ucapan kakak gurunya.

"Kakang Rakini, mulai sekarang kita bu-

kanlah saudara lagi, tapi kita adalah musuh. Ka-

rena kita musuh, maka aku akan menuntut balas 

kematian murid-muridku padamu!" 

"Padaku...?" Nenek Ratu Kelabang mengu-

lang tanya sepertinya tak percaya pada apa yang 

didengarnya. "Kenapa mesti padaku? Apakah aku 

yang telah membunuh murid-muridmu?" 

"Memang bukan engkau, tapi muridmu."

"Kalau memang bukan aku, mengapa eng-

kau limpahkan padaku? Kalau kau berani dan 

bukan seorang pengecut, hadapilah muridku di 

Karang Bolong sana. Bukankah sebentar lagi kau 

akan ke Karang Bolong?"

Mendengar ucapan Ratu Kelabang, maka 

mendenguslah Darga marah. Ia memang masih 

berpikir akan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh 

Penguasa Bukit Karang Bolong, apalagi kini Nin-

grum bukan seorang, tapi berpasangan dengan 

Setan Berambut Putih. Menghadapi Ningrum saja 

ia belum tentu menang, apalagi harus menghada-

pi Setan Berambut Putih segala. Maka sebagai pe-

lampiasan ketidaktenangan hatinya, Darga cu-

rahkan kemarahannya pada Ratu Kelabang yang 

dituduhnya tak bisa menjadi guru yang baik.

"Tapi engkaukan gurunya, bukan?"

"Memang aku gurunya," jawab Nenek Ratu 

Kelabang tenang. "Kalau aku gurunya, kau akan 

mencurahkan segalanya padaku, begitu?" 

"Ya!"

"Picik! Kau telah picik, Darga!"

"Terserah apa katamu!" rentak Darga ma-

rah.

"Baik! Kalau itu yang engkau mau, apa 

yang hendak engkau lakukan padaku, Darga!"

Sesaat Darga memandang lekat ke arah 

kakak seperguruannya yang masih nampak te-

nang. Hatinya gundah, tak percaya akan apa yang 

dihadapi. Ia tahu siapa adanya Nyi Rakini atau 

Ratu Kelabang, murid yang paling dimanja oleh 

guru mereka dan mendapat seluruh ilmu yang 

dimiliki gurunya. Dari dulu memang Darga selalu 

membuat gara-gara, namun Rakini berusaha 

mengalah karena ia merasa lebih tua. Tapi kini 

mungkin tak akan dapat dicegah bahwa perang 

saudara seperguruan akan benar-benar terjadi. 

Darga mendengus keras, matanya tajam meng-

hunjam bagaikan sebilah pedang yang hendak 

menusuk hati Rakini dan mencabut nyawanya.

"Maaf, aku terlebih dahulu meminta maaf 

padamu, Kakang."

"Tak usah, Darga. Nah, lakukan apa yang 

menjadi kehendakmu!"

Setelah terlebih dahulu menjura hormat, 

Darga segera berkelebat menyerang Nenek Ratu 

Kelabang. Darga berbuat begitu karena Nenek Ra-

tu Kelabang adalah kakak seperguruannya yang 

masih harus ia hormati. Pekikkannya begitu


membahana, hampir menyerupai lengkingan yang 

menyayat. Melihat Darga telah berkelebat menye-

rang, segera Nenek Ratu Kelabang pun tak tinggal 

diam, ia pun segera berkelebat memapakinya. 

Dua saudara seperguruan itu akhirnya bertempur 

hanya demi membela murid-muridnya. Namun 

meski begitu, nampak Nenek Ratu Kelabang tidak 

bertarung sungguh-sungguh menghadapi Darga. 

Si Nenek rupanya masih mempunyai rasa kasih 

pada adik seperguruannya hingga ia tak tega un-

tuk menurunkan tangan jahatnya.

Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya, 

sepertinya kedua saudara seperguruan yang telah 

tua renta itu tak ada yang mau mengalah dan 

mengakui kesalahannya. Keduanya terus men-

gumbar jurus-jurus yang hampir sama, sebab ke-

duanya merupakan satu guru, sehingga ilmu 

yang mereka miliki berasal dari satu sumber. 

Tengah mereka bertarung, tiba-tiba terdengar su-

ara membentak bersamaan dengan berkelebatnya 

sesosok tubuh ramping. 

"Hentikan!"

"Siapa kau!?" balas Darga membentak.

Tubuh ramping yang rupanya milik seo-

rang wanita tidak segera menjawab pertanyaan 

Darga, tapi malah dengan tenangnya menghampi-

ri Nenek Ratu Kelabang sembari sujud.

"Guru, siapa adanya dia?" tanya gadis ber-

cadar hitam tersebut pada Nenek Ratu Kelabang 

setelah menyembah. "Mengapa guru harus berta-

rung dengannya?"

"Dia adik seperguruanku, Ningrum," jawab


Nenek Ratu Kelabang tenang. Suaranya datar, 

dingin bagaikan tak mempunyai gairah. "Dia hen-

dak membalas dendam atas kematian murid-

muridnya yang telah engkau bunuh."

Mendengar uraian gurunya, seketika Nin-

grum palingkan wajah memandang pada Darga 

yang kini tampak berdiri mematung di tempatnya 

dengan muka menunduk. Darga telah tahu siapa 

adanya Penguasa Bukit Karang Bolong. Berbeda 

dengan gurunya, Penguasa Bukit Karang Bolong 

entah dari mana tahu-tahu telah memiliki ilmu 

yang sangat tinggi.

"Paman Darga, terimalah salam hormatku," 

Ningrum menjura hormat, menjadikan Darga ter-

bengong-bengong tak mengerti. Ia yang menyang-

ka kalau Ningrum akan balas menyerang ternyata 

dugaannya meleset. Darga tidak mengerti apa 

yang dilakukan oleh murid kemenakannya mana-

kala ia berbuat begitu. Tiba-tiba...!

Darga tersentak dari ketidakmengertian-

nya, manakala selarik sinar ungu membersit dari 

tangan Ningrum. Maka keluarlah caci maki dari 

mulut Darga yang sudah jengkel dan marah pada 

Penguasa Bukit Karang Bolong.

"Anak sundel! Memang sifatmu sudah tak 

dapat dimaafkan. Aku Darga akan membunuh-

mu!" rungut Darga marah. "Lebih baik aku mati 

daripada harus mengakui kekalahan padamu, 

Anak terkutuk!"

Darga yang telah benar-benar marah sege-

ra berkelebat menyerang Ningrum dan gurunya. 

Namun serangan Darga sepertinya tiada arti bagi


Ningrum yang telah bersekutu dengan Dewi Lan-

jut Ayu, Penguasa Bukit Karang Bolong. Seran-

gan-serangan Darga hanya mengenai tempat ko-

song belaka, bahkan tubuh Dargalah yang men-

jadi bulan-bulanan permainan Ningrum. Manaka-

la kaki Ningrum menendang, maka memekiklah 

Darga dengan tulang iga patah. Dan manakala 

tangan Ningrum menghantam, tak ayal lagi muka 

Darga seketika menjadi bubur buruk. Darah ke-

luar dari hidung, telinga, mulut dan mata, menja-

dikan Darga tak mampu lagi untuk bangkit. Dar-

ga hanya dapat mengerang serta menyumpah se-

rapah segala apa yang telah dilakukan Ningrum. 

"Sumpah serapahmu tiada arti, Darga!" 

gertak Ningrum sengit.

"Bangsat rendah! Bunuhlah aku, bunuh!"

"Memang aku hendak membunuhmu, tapi 

aku ingin melihat dulu sampai di mana ketaba-

hanmu menghadapi maut dengan siksaan seperti 

itu," Ningrum sekarang bukanlah Ningrum didi-

kan Pramana ayahnya, tapi Ningrum didikan dan 

pengaruh Iblis hingga ia tak mengenal adanya ra-

sa kasihan pada orang yang dianggapnya musuh 

walau ia tahu bahwa Darga adalah paman gu-

runya.

"Orang-orang sadis! Ternyata para wanita 

sekarang sudah berubah menjadi para jagal yang 

sadis!" membersit sebuah suara, manakala Nin-

grum yang tengah menyiksa Darga hendak men-

gakhiri kehidupan Darga. Bersamaan dengan ha-

bisnya suara itu, sesosok tubuh padat berisi ber-

kelebat dan meraup tubuh Darga yang terkulai.


Sesaat pemuda itu sunggingkan senyum pada 

Ningrum, lalu dengan suara membersit pemuda 

itu kembali berkata: "Apakah kalian tak pernah 

mengenai belas kasihan pada orang yang telah 

sudah tak berdaya? Walaupun orang ini adalah 

musuh kalian, tak pantas kalian menyiksanya be-

gini rupa!"

"Anak muda, siapa kau adanya? Mengapa 

kau ikut campur dalam urusanku?" Ningrum ber-

tanya seraya masih sunggingkan senyum yang di-

arahkan pada pemuda tersebut. "Kau tampan, 

maka aku tak menyakitimu. Nah, siapa adanya 

dirimu, Anak muda?"

Jaka Ndableg garukkan tangan kiri ke ke-

pala, sunggingkan senyum aneh dan kemudian ia 

pun berkata setelah memandang orang dalam bo-

pongannya.

"Aku...? Aku siapa?"

Hampir saja Ningrum dan gurunya menge-

keh tertawa melihat kelucuan Jaka, namun hal 

itu tak dilakukannya karena mereka masih meli-

hat gelagat yang tidak enak pada diri Jaka. Wa-

laupun Jaka seperti orang tolol, namun gerak-

geriknya seperti orang yang berilmu tinggi.

"Ya, engkau?" Ningrum meyakinkannya.

"Aku... ya akulah."

"Lucu tingkahmu, Anak tampan. Masakan 

kau tak mengetahui siapa adanya dirimu?" kem-

bali Ningrum berkata, kali ini matanya mengedip 

genit pada Jaka. Dan Jaka yang dasarnya ndableg 

tak mau begitu saja menyia-nyiakan kedipan ma-

ta Ningrum, dia pun balas kedipkan mata. Tingga


lah Nenek Ratu Kelabang bingung melihat murid-

nya dan pemuda bertampang tolol tersebut saling 

main mata. "Kau tampan, Anak muda?"

"Ah, sungguhkah?" Jaka merajuk pura-

pura. 

"Ya, aku jadi suka padamu," Ucapan polos 

itu mungkin bagi pemuda lain akan menjadikan 

debaran-debaran aneh, tapi bagi Jaka yang tak 

hiraukan semuanya hanya permainan belaka 

yang akan ia buang manakala telah berlalu. "Sia-

pa sih namamu?"

"Namaku... apa perlu?"

"Jelas perlu, Anak muda."

"Ningrum, percuma kau tanyai pemuda to-

lol macam dia," Si nenek yang sudah jemu dengan 

tingkah laku Jaka berusaha mengalihkan perha-

tian muridnya. Namun Ningrum yang telah terpa-

na oleh ketampanan Jaka bagaikan tak menden-

garnya. Dia masih terus menatap Jaka dengan 

pandangan penuh arti, menjadikan Jaka salah 

tingkah.

"Ah, sudahlah. Bukankah nenekmu sudah 

menyuruh kau berlalu?"

"Tapi aku ingin mengenalmu, Anak tam-

pan. Aku mencintaimu."

Jaka menarik napas panjang mendengar

ucapan Ningrum, tapi sebaliknya Nenek Ratu Ke-

labang nampak terbelalak kaget. Hatinya tak se-

tuju bila muridnya harus menjadi kekasih pemu-

da tolol itu. Maka dengan suara tak suka si nenek 

kembali berkata: "Ah, apakah kau sudah gila aki-

bat ketularan pemuda itu, Ningrum?"


"Aku belum gila, Nek. Aku cuma ndableg. 

Eh, ya namaku Jaka Ndableg. Begitulah orang 

menyebutku."

Terbelalak mata kedua guru dan murid se-

telah mengetahui siapa adanya pemuda bertam-

pang konyol tersebut. Sesaat si nenek sikutkan 

tangan ke tubuh muridnya, dan dengan segera 

keduanya tanpa disadari oleh Jaka berkelebat 

tinggalkan Jaka sendirian yang terbengong-

bengong sesaat kemudian berseru. 

"Hoi...! Katanya kau cinta padaku, menga-

pa kau lari!"

"Jangan hiraukan dia, Ningrum!" Si nenek 

memperingatkan muridnya agar terus saja lari. 

"Dia akan menyusahkan dirimu kalau tahu siapa 

adanya dirimu." 

"Tapi aku mencintainya, Guru," bantah Ni-

hil rum hendak merandek, yang segera diseret 

oleh Nenek Kelabang.

"Anak bodoh! Apakah kau hendak mati?"

Ningrum kini menurut, setelah berpikir 

akan kebenaran ucapan gurunya. Memang benar, 

bila ia akhirnya diketahui oleh Jaka siapa adanya 

dirinya niscaya Jaka akan membuat repot. Bu-

kannya ia takut menghadapi Jaka, namun hal itu 

belum waktunya. Tapi hati Ningrum tak dapat di-

bohongi, hati kecil mengatakan bahwa ia benar-; 

benar mencintai Jaka. Dengan terus berlari ken-

cang Ningrum menggumam dalam hati, gumaman 

sebagai seorang yang tengah dilanda gelora cinta. 

Ningrum lupa bahwa dirinya telah mempunyai 

suami si Setan Rambut Putih.


SEMBILAN


"Anak muda, mengapa kau biarkan kedua-

nya meninggalkanmu?"

"Hai, kau telah sadar. Siapakah engkau 

adanya, Ki Sanak?" tanya Jaka mendengar orang 

dalam bopongannya telah sadar dari pingsannya. 

"Dan siapa yang kau maksudkan dengan kedua-

nya? Apakah kedua wanita genit dan liar yang te-

lah menyiksamu sampai engkau berantakan mu-

kanya?"

Lelaki itu terdiam sesaat, meraba mukanya 

yang terasa nyeri. Darah kering membasahi hi-

dung, mulut, telinga dan matanya. Seketika ia 

memekik, "Tidak! Aku tak mau buta!"

Iba juga Jaka mendengar dan melihatnya, 

maka dengan suara haru Jaka pun berkata men-

coba menghibur: "Ki Sanak, mungkin sudah ko-

drat bagimu begitu, terimalah apa yang telah di-

berikan oleh Yang Maha Kuasa. Aku rasa, semua 

ini ada hikmahnya"

Tercengang Darga mendengar kata-kata 

Jaka. Ia tak menyangka kalau seorang pendekar 

yang namanya kondang mempunyai watak yang 

terpuji, sabar dan penuh rasa kasih beda dengan 

apa yang didengung-dengungkan oleh rekan-

rekannya sealiran yang mengatakan bahwa Pen-

dekar Pedang Siluman Darah berwatak ganas bila 

menghadapi tokoh aliran sesat macam dirinya. 

Melihat kenyataan tersebut, tanpa sadar Darga 

mendesah. "Oh, tak aku sangka."


"Apa yang engkau maksud, Ki Sanak?" Ja-

ka menanya ingin mengerti apa yang dimaksud 

oleh Darga. Karena menyangka Darga meratapi 

segala apa yang diterimanya, segera Jaka kembali 

berkata: "Janganlah Ki Sanak meratapi segalanya 

yang telah terjadi, sebab hal itu akan menjadikan 

beban pikiran Ki Sanak sendiri."

"Bukan itu yang aku maksud, Tuan Pende-

kar. Aku merasa telah salah sangka padamu. Ta-

dinya aku hanya mendengar dari sahabat-

sahabatku yang mengatakan bahwa engkau ber-

tingkah telengas, tak mengenai kata ampun bagi 

golongan sepertiku."

Jaka tersenyum gelengkan kepala menden-

gar penuturan Darga.

"Tapi kenyataannya sekarang, sungguh 

membuat hatiku merasa berdosa. Kau telah 

mampu menyadarkan siapa adanya aku sebenar-

nya, yang selama ini telah menyimpang dari sega-

la ketentuan alam dengan kata lain telah sesat. 

Oh, sungguh kau telah menjadikan aku sadar. 

Kalau boleh aku tahu, masihkah aku diampuni 

segala dosa-dosaku?" Darga berkata dengan sege-

nap perasaannya, sehingga tanpa sadar air ma-

tanya meleleh deras membasahi kedua pipinya. 

"Dapatkah aku menerima pintu tobat?"

Jaka terdiam hanyut oleh rasa iba yang di-

alunkan lewat kata-kata Darga yang begitu tulus. 

Tak disadari air matanya pun turut meleleh. Ya, 

Jaka menangis. Dia menangis bahagia, karena 

ternyata dirinya telah mampu membuat orang 

yang selama hidupnya sesat menjadi sadar. Den


gan suara tersengal oleh lelehan air mata Jaka 

pun menjawab: "Kapan saja engkau mau, Tuhan 

masih terus membukakan pintu tobat bagi umat-

Nya."

"Oh, betapa agungnya hati Tuhan, Tuan 

Pendekar?"

"Ya. Memang itulah Tuhan. Ia Maha Agung, 

Maha Pengasih serta Penyayang. Dibanding den-

gan Tuhan, aku belumlah ada artinya sama seka-

li," Jaka mencoba menghibur Darga. Lamat-lamat 

dari bibir Darga mengurai senyum, dan lamat-

lamat pula terdengar desah Darga.

"Oh, Tuhanku, sungguh aku selama ini te-

lah menyimpang dari jalan yang Engkau gariskan. 

Semoga Engkau berkenan mengampuni diriku. 

Tuan Pendekar, mengapa engkau tak segera

menghentikan sepak terjang mereka?"

"Siapa yang engkau maksudkan, Ki Sa-

nak?" tanya Jaka belum mengerti apa yang di-

maksud oleh Darga.

"Mereka berdua yang telah menyiksaku. 

Mereka salah satunya adanya Penguasa Bukit Ka-

rang Bolong."

Terbelalak Jaka mendengar keterangan 

yang dilontarkan oleh Darga, yang menyebutkan 

bahwa salah seorang dari dua orang wanita terse-

but adalah orang yang ia cari. Tapi yang mana...?

"Ki Sanak, yang manakah yang menyebut 

dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong?" 

"Dia yang muda."

"Yang cantik itu?" tanya Jaka mencoba 

meyakinkan.


"Kau jangan terpengaruh oleh kecantikan-

nya, Tuan Pendekar. Dia memang cantik, tapi di 

balik kecantikannya tersembunyi Iblis. Ketahui-

lah olehmu bahwa gadis yang bernama Ningrum 

itu, kini dalam kuasa Iblis Dewi Lanjut Ayu si 

Penguasa Bukit Karang Bolong," Darga bercerita 

panjang lebar, menjadikan Jaka mengerti siapa 

sebenarnya Penguasa Bukit Karang Bolong yang 

tindakannya sungguh sangat telengas dan tak 

kenal kompromi itu. "Dia sebenarnya anak seo-

rang Pendekar sakti beraliran lurus yang na-

manya mungkin sudah Tuan Pendekar dengar. 

Pendekar tersebut bernama Pramanayuda..."

"Pramanayuda...!? Hei, bukankah dia pemi-

lik Pedang Sukma Layung yang sudah kesohor 

dengan keampuhannya?" Jaka bergumam seper-

tinya gumamannya tersebut ditujukan pada diri 

sendiri. "Ya, ya aku mendengar kebesaran na-

manya. Hem, ternyata di balik semua bencana 

yang menimpa wilayah ini adalah seorang Iblis 

yang ingin melampiaskan keangkaramurkaan.. 

Baiklah, Ki Sanak. Kini aku telah mengetahui be-

nar apa yang terjadi dan siapa yang menjadi to-

kohnya. Nah, ke mana aku harus membawa tu-

buhmu untuk sekedar istirahat memulihkan ke-

lemahan tubuhmu?"

"Bawalah aku ke Bukit Kemasan, di sana 

adalah tempat temanku tinggal. Dia juga seorang 

tabib dari India."

"Baiklah aku akan membawamu ke tempat 

tersebut."

Dengan segera Jaka berkelebat sambil


membopong tubuh Darga pergi meninggalkan alas 

yang kembali sunyi. Lari Jaka begitu cepat karena 

dilandasi dengan ilmu lari Angin Puyuh. Jaka 

berbuat begitu karena ia ingin memburu waktu 

untuk selekasnya menuju ke Bukit Karang Bo-

long. Merasakan dirinya dibawa bagaikan terbang 

saja Darga yang telah buta seketika tersentak dan 

makin yakin bahwa Pendekar muda ini memang 

bukan pendekar sembarangan. Tiupan angin yang 

keluar dari tubuh Jaka, bagaikan prahara topan 

yang mampu merobohkan pohon-pohon di sekitar 

yang dilaluinya. Tak luput binatang-binatang hu-

tan, berserabutan seperti takut mendengarnya.

* * *

Kita tinggalkan Jaka yang membawa tubuh 

Darga Buana yang luka-luka menuju ke tempat 

Tabib sahabatnya. Marilah kita tengok di tempat 

Bukit Karang Bolong di mana Ningrum dan Setan 

Rambut Putih mengangkat dirinya menjadi ketu-

anya dengan menyebut diri mereka Penguasa Bu-

kit Karang Bolong.

Bukit Karang Bolong nampak sepi, seper-

tinya mengandung keangkeran yang begitu da-

lam. Muka dua orang penjaga pintu masuk nam-

pak tak berekspresi, dingin dan kaku. Mereka 

memang sudah dilatih dengan keadaan demikian, 

harus memiliki keberanian dan keangkeran. Me-

reka juga dilatih untuk tidak mengenal belas ka-

sihan atau kompromi dengan orang-orang yang 

mereka anggap musuh.


Tengah penjaga pintu masuk tenang dalam 

tugasnya, seorang pemuda berkelebat mengham-

piri mereka. Pemuda itu serta merta menerobos 

hendak masuk ke dalam wilayah Bukit Karang 

Bolong, menjadikan kedua penjaga tersebut sege-

ra menghalanginya dengan silangkan tombak, 

dan membentak.

"Pemuda tolol, siapa kau!? Dan apa keper-

luanmu datang ke mari? Apakah kau tak tahu di 

mana kau kini berada?!"

Pemuda itu hanya tersenyum, lalu dengan 

sekali hentak dua tombak di tangan kedua penja-

ga yang menghalanginya patah berantakan. Hal 

itu menjadikan kedua penjaga pintu masuk terbe-

lalak matanya kaget. Keduanya tak percaya kalau 

pemuda semuda itu mampu memiliki tenaga yang 

besar, sehingga dengan mudah tombak yang ter-

buat dari kayu alami yang kuat dan kokoh hanya 

sekali gebrak patah berantakan.

"Katakan pada pimpinan kalian, aku Tega-

laras datang! Cepat!"

Kedua orang penjaga itu tersentak membe-

lalakan mata kaget demi mendengar bentakan Te-

galaras yang bagaikan suara petir menggelegar.

Namun belum juga kedua penjaga tersebut 

berkata, tiba-tiba terdengar seruan dari dalam: 

"Biarkan dia masuk, Penjaga!"

Tanpa hiraukan kedua penjaga yang dalam 

keadaan bengong yang disebabkan oleh bentakan 

Tegalaras, Tegalaras segera berkelebat langkahi 

dua orang tersebut masuk ke dalam. Langkahnya 

begitu ringan, boleh dikata terbang. Tahu-tahu


tubuhnya telah melesat, dan berhenti manakala 

dilihatnya dua orang muda telah menunggunya. 

"Selamat datang Tegalaras," sapa keduanya 

serempak

Tegalaras tak hiraukan sambutan mereka. 

Bibirnya terurai senyum sinis, lalu dengan suara 

enteng Tegalaras berkata: "Aku minta kalian ting-

galkan tubuh adikku." 

Mendengar ucapan Tegalaras, seketika ke-

dua muda mudi yang salah satunya adalah adik-

nya sendiri tertawa bergelak-gelak. Hal ini menja-

dikan Tegalaras melototkan mata marah dan 

jengkel pada yang ia ketahui adalah iblis-iblis 

pengganggu adiknya. 

"Dewi Lanjut Ayu, tak pantas kau men-

gangkangi tubuh adikku. Segeralah minggat dari 

tubuh adikku, atau aku dengan terpaksa mengu-

sirmu!"

"Hi, hi, hi...! Tegalaras, lakukan bila kau 

mampu!" 

"Iblis! Jangan kira aku tak mampu, Dewi 

iblis. Nah, bersiaplah, hiat...!" Tegalaras segera 

berkelebat, menyerang dengan cepat dan disertai 

dengan serangan-serangan kilat yang hanya da-

pat dilakukan oleh para Siluman belaka. Namun 

Dewi Lanjut Ayu bukanlah tokoh sembarangan. 

Sebagai istri dari Datuk Raja Karang ia telah be-

nar-benar digembleng segala ilmu kanuragan baik 

oleh gurunya, ayahnya maupun suaminya. Gera-

kan sang Dewi Ayu Lanjut pun tak kalah cepat 

dibanding Tegalaras.

Namun rupanya Tegalaras yang memang


telah dididik oleh Bangsa Siluman bukanlah mu-

suh yang enteng bagi Dewi Ayu Lanjut, sehingga 

dalam sebentar saja Dewi Ayu lanjut pun dapat 

dengan segera didesaknya. Dan manakala ada ke-

sempatan, segera Tegalaras hantamkan ajian Pe-

nyekap Iblis ke tubuh Ningrum yang tengah diku-

asai oleh Dewi Ayu Laras. "Ajian Pelebur Iblis, 

hiat...!" 

"Wuuuut... duar!"

"Aaaaah...!" Tubuh Ningrum gontai, akhir-

nya ambruk pingsan. Dari tubuhnya keluar asap 

mengepul, bergulung-gulung keluar dan memben-

tuk tubuh Dewi Ayu Laras. Melihat hal itu, serta 

merta Setan Rambut Putih tak tinggal diam, sege-

ra ia menyerang dengan cepat pada Tegalaras 

yang dianggapnya telah membuat kerusuhan pa-

da Bukit Karang Bolong wilayah kekuasaannya.

Serangan Setan Rambut Putih ternyata 

sangat dahsyat, jauh melebihi ilmu yang dimiliki 

oleh Ningrum yang bersekutu dengan Dewi Ayu 

Lanjut. Setan Berambut Putih ternyata lebih ting-

gi dua atau tiga tingkat dibandingkan ilmu yang 

dimiliki oleh kekasihnya Ningrum atau Dewi Ayu 

Lanjut.

Nampaklah kini keberadaan Tegalaras, 

bahwa ilmunya tak ada guna sama sekali untuk 

menghadapi Setan Berambut Putih. Ternyata Se-

tan Berambut Putih bukanlah nama kosong me-

lompong belaka. Terbukti kini dalam beberapa 

gebrakan saja Tegalaras yang sudah digembleng 

oleh bangsa Siluman mampu didesaknya.

"Bangsat! Aku akan mengadu nyawa den


ganmu, Iblis Laknat! Kau harus minggat dari du-

nia ini!" bentak Tegalaras yang telah tahu siapa 

sebenarnya Setan Berambut Putih. Nah, untuk 

mengetahui siapa adanya Setan Berambut Putih, 

silahkan anda baca kisah Titisan Penghuni Bukit 

Gempol...!

"Kau tak akan mampu, Tegalaras! Menye-

rahlah dan ikutlah dengan kami!"

"Jangan hiraukan omongannya, Saudara!" 

tiba-tiba sebuah suara yang dilontarkan dari ja-

rak yang agak jauh menggema, menjadikan Setan 

Rambut Putih tersentak. Belum juga Setan Ram-

but Putih hilang kagetnya sesosok tubuh berkele-

bat dan tiba-tiba telah berdiri menjejeri Tegalaras. 

Pemuda itu tersenyum, lalu dengan menjura 

hormat pada Tegalaras pemuda yang tak lain 

Pendekar kita Jaka Ndableg berkata: "Saudara 

Pendekar, mungkin iblis ini bukan tandingan 

saudara sendirian. Mari kita hadapi bersama!" 

"Siapakah engkau adanya, Ki sanak?" 

tanya Tegalaras ingin kenal adanya pemuda di 

sampingnya. 

"Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka den-

gan tenang, sementara matanya memandang ta-

jam ke arah Setan Rambut Putih. Mendengar sia-

pa adanya pemuda di sampingnya, dengan suara 

kaget Tegalaras berseru: 

"Kaukah Pendekar Pedang Siluman Da-

rah?!" 

"Ya... begitulah! Awas! Dia menyerang...!" 

Tersentak Jaka dan Tegalaras yang segera 

buang tubuh masing-masing ke samping meng


hindari serangan yang dilancarkan oleh Setan 

Rambut Putih. 

"Kalian harus mati, sebab kalianlah yang 

bakal merintangi niatku untuk menguasai jagad 

raya ini!" bentak Setan Rambut Putih sambil terus 

gencarkan serangan dengan pukulan-pukulan ja-

rak jauhnya yang sungguh dahsyat, menjadikan 

kedua pendekar itu harus menguras tenaga un-

tuk menghindarinya. Kalau saja mereka terlambat 

mengelak, maka tak ayal lagi tubuh mereka akan 

hancur berantakan seperti tembok-tembok yang 

terhantam. 

Merasa serangannya luput, Setan Rambut 

Putih makin menggeram marah. Kembali ia me-

lancarkan ajiannya yang sungguh dahsyat, ajian 

yang hanya dimiliki oleh siluman dan iblis.

Jaka dan Tegalaras tersentak kaget, karena 

belum pernah melihat ajian tersebut. Ya, walau-

pun mereka murid-murid bangsa Siluman, na-

mun ajian-ajian yang keluar dari tangan Setan 

Rambut Putih sungguh belum mereka kenal.

"Gusti Allah, ajian apakah itu?!" gumam 

Jaka.

"Ilmu iblis!" mengumpat Tegalaras. 

"Awas! Dia hantamkan ajiannya ke mari!" 

Jaka memekik memperingatkan pada Tegalaras, 

namun Tegalaras yang tengah kaget begitu lam-

ban menghindar, sehingga pundaknya seketika 

terhantam ajian tersebut. Dan....! Mata Jaka se-

ketika melotot kaget, tak percaya pada apa yang 

dilihatnya. Binatang-binatang sebesar tikus tanah 

tiba-tiba muncul menggeruguti pundak Tegalaras


yang meraung-raung kesakitan.

"Demi Allah, ilmu iblis macam apa ini. 

Hem, aku harus menggunakan Pedang Siluman 

Darah untuk membasmi binatang-binatang nera-

ka terkutuk itu! Dening Ratu Siluman Darah Da-

tanglah!"

Pedang Siluman Darah seketika telah be-

rada di tangan Jaka yang dengan cepat tebaskan 

pada pundak Tegalaras. Seketika binatang-

binatang menjijikkan tersebut lenyap tanpa bekas 

dan luka di pundak Tegalaras pun bagaikan tak 

pernah ada. 

"Terima kasih, Jaka."

"Sudahlah, kita kini tengah menghadapi 

maut yang siap mengancam diri kita. Menyingkir-

lah, biar aku hadapi dengan Pedang Siluman Da-

rah."

Tegalaras menurut, melompat menepi se-

puluh tombak dari tempat mereka bertarung. Kini 

ia jadi penonton, menyaksikan Jaka dan Setan 

Rambut Putih tengah berhadap-hadapan siap un-

tuk saling serang.

"Iblis Bukit Gempol, minggatlah dari sini!" 

bentak Jaka yang telah diberi tahu oleh Ratunya 

yang berada di pedang tentang siapa adanya Se-

tan Rambut Putih.

"Hoar...! Jangan mimpi, Pendekar! Walau 

namamu telah mengangkangi langit, tapi aku tak 

akan mau mengalah, terimalah ini. Hiat....!"

Setan Rambut Putih kembali hantamkan 

ajian iblisnya. Selarik sinar merah, biru, hitam 

bercampur jadi satu menerpa ke arah Jaka. Sege


ra Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, dan si-

nar itu pun seketika lenyap tanpa bekas.

Melihat serangannya dengan mudah dapat 

dihilangkan oleh Jaka makin marahlah Setan 

Rambut Putih. Dengan didahului menggerang ia 

berkelebat melompat menyerang. Hal itu tidak 

disia-siakan oleh Jaka yang sudah siap dengan 

pedangnya. Maka manakala Setan Rambut Putih 

melayangkan tubuhnya, segera Jaka pun mema-

pakinya dengan menebaskan Pedang Siluman Da-

rah, dan...!

"Croooos...!"

"Aaaaah....!" terdengar pekikan, bersamaan 

dengan suara babatan Pedang Siluman Darah. 

Tak lama kemudian, terdengar suara ambruknya 

tubuh Setan Rambut Putih. Maka dengan kema-

tian tersebut, Bukit Karang Bolong pun kembali 

sepi.

Tegalaras segera hampiri Jaka, namun ba-

gaikan sebuah bayangan saja Jaka telah raib. Be-

gitu juga halnya dengan Ningrum, ia telah raib 

dari situ entah ke mana. Tinggallah Tegalaras 

sendiri, melangkah diiringi bekas-bekas anggota 

Bukit Karang Bolong. Ke manakah Ningrum? Un-

tuk mengetahuinya silahkan anda ikuti kisah be-

rikutnya dalam serial Jaka Ndableg Pendekar Pe-

dang Siluman Darah di episode Ratu Maksiat Te-

laga Warna.



                              TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar