PENGUASA BUKIT KARANG BOLONG
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Penguasa Bukit Karang Bolong
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Tiga lelaki berpakaian kelabu yang bergelar
Tiga Serangkai Hantu dari Kelangit nampak ber-
kelebat dengan cepat, mengurung seorang wanita
berpakaian hijau pupus yang mukanya tertutup
benang kain transparan hitam.
Entah apa sebabnya mereka bentrok, yang
pasti tiba-tiba saja ketiga lelaki yang lebih terken-
al dengan sebutan Tiga Serangkai Hantu dari Ke-
langit itu diserang oleh orang bercadar hitam. Je-
las hal itu tidak menjadikan ketiganya mau begitu
saja mengakui keunggulan orang tersebut. Mere-
ka juga merasa tidak salah dan tidak ada sangkut
paut apa-apa dengan orang bercadar hitam terse-
but.
"Kenapa engkau tak ada angin tak ada hu-
jan tiba-tiba menyerang kami!?" bentak Hantu Ke-
langit kumis putih. Wajahnya beringas, sepertinya
merasa kesal pada orang yang menyerang mere-
ka.
"Hi, hi, hi...!" orang itu cekikikan. Suaranya
jelas suara wanita. Hal itu menjadikan ketiga
Hantu Kelangit kerutkan kening. Mata ketiganya
memandang tajam, sepertinya ingin menembus
cadar hitam tersebut tembus ke wajah wanita
yang menyerang mereka. "Hi, hi, hi....! Bukankah
kalian musuh-musuh Setan Berambut Putih?"
tanyanya seperti ingin membuat Ketiga Hantu Da-
ri Kelangit tersebut harus bertanya-tanya.
"Hai! Apa hubunganmu dengan Setan Be
rambut Putih?" tanya mereka hampir bareng,
yang dijawab dengan cekikikan wanita bercadar
tersebut. "Apakah mungkin kau kekasihnya?"
"Cuih! Lelaki macam dia mudah aku da-
patkan. Mungkin kalau aku mau, aku dapat
membawakannya untuk kalian segudang."
"Sombong," Hantu Kumis Hitam menggere-
tak mendengar ucapan wanita itu. "Kau terlalu
sombong. Apakah wajahmu cakep?"
"Kalau cakep kalian mau apa?"
"Mau menidurimu," jawab Hantu berkumis
hitam kalem.
Melotot wanita bercadar hitam itu, yang je-
las nampak dari urat-uratnya yang menegang.
Tangannya mengepal, sepertinya ada sesuatu
yang membuat dia berbuat begitu. Napasnya
mengencang, hampir menyerupai dengusan. Ya,
wanita itu mendengus, merasa ketiga Hantu dari
Kelangit menyepelekan dirinya. Maka dengan
menggeretak penuh marah, wanita itu memben-
tak.
"Pantas! Kalian memang manusia-manusia
yang aku cari. Hem, tak aku sangka kalau akhir-
nya aku menemukan kalian semua. Sudah tiga
tahun lamanya aku mencari kalian untuk sebuah
keperluan, ternyata kalian aku jumpai di sini!"
Tersentak ketiganya kaget, demi menden-
gar ucapan yang nadanya mengancam mereka.
Ketiga Hantu dari Kelangit terlolong bengong, tak
mengerti maksud ucapan wanita bercadar hitam.
Namun belum juga ketiganya dapat menguasai di-
ri, tiba-tiba wanita tersebut telah berkelebat kem
bali menyerang mereka. Mereka yang kaget segera
lompat mundur, lalu dengan segera balik menye-
rang.
"Siapa kau adanya, wanita?" tanya Hantu
tak berkumis, yang merupakan Hantu paling bon-
tot di antara ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Siapa adanya aku, tak penting bagi kalian
yang berjiwa binatang. Yang utama, kalian harus
mati di tanganku untuk menebus dosa-dosa yang
pernah kalian lakukan pada muridku!" wanita
bercadar itu nampak sunggingkan senyum yang
tertutup oleh kain hitam. Ucapannya begitu men-
gandung ancaman, menjadikan Ketiga Hantu dari
Kelangit kembali membeliakkan matanya.
"Kalian sudah siap untuk aku kirim ke ak-
herat sebagai penebus dosa-dosa kalian?"
"Omonganmu enak benar, wanita?" renguk
Hantu berkumis putih jengkel. Ia merasa sudah
keterlaluan omongan wanita di hadapannya ter-
sebut. Hantu berkumis putih, menyangka kalau-
lah wanita itu hanya ingin mencari gara-gara saja
tak lebih dari itu.
"Hi, hi, hi...! Kalianlah yang ingin enaknya
sendiri. Kalian telah memperkosa seorang gadis,
lalu dengan seenaknya tinggalkan gadis itu yang
meratapi kemalangan nasibnya. Hampir saja ga-
dis itu bunuh diri, kalau saja tidak segera aku to-
long. Kini aku ingin menolong sekaligus menun-
taskan hutang piutang di antara gadis tersebut
yang kini aku angkat menjadi murid dengan diri
kalian dan juga laki-laki hidung belang lainnya,"
wanita itu masih cekikikkan, tertawa bagaikan
melihat kelucuan pada wajah Ketiga hantu Dari
Kelangit yang mukanya seketika itu merah pa-
dam. Mereka memang merasa bahwa merekalah
yang telah memperkosa gadis Ningrum anak Pra-
manayuda. Namun yang tidak enak bagi mereka,
adalah wanita yang kini mengaku-aku sebagai
guru si gadis. Bukankah di dunia persilatan tak
ada istilah guru harus ikut campur dengan sang
murid? Begitulah dugaan Ketiga Hantu Dari Ke-
langit.
"Kenapa kau tidak bunuh sekalian gadis
itu. Bukankah kita sealiran?" Hantu kumis hitam
mencoba merayu. Ia bermaksud agar wanita yang
mengaku-aku guru Ningrum mau melemah ha-
tinya. Sebab mereka telah tahu sendiri betapa il-
mu yang dimiliki oleh wanita bercadar hitam ter-
sebut sungguh tinggi. Manakala pertama kali me-
reka diserang, mereka merasakan betapa ilmu se-
rangannya sungguh dahsyat. Hampir saja ketiga
hantu tersebut dibuat kalang kabut, kalau saja si
wanita tak segera hentikan serangan.
"Ya. Kenapa kau tidak bunuh saja sekalian
gadis tak tahu diuntung itu," tambah Hantu tak
berkumis menimpali kakak seperguruannya. "Ka-
lau kau langsung membunuhnya, niscaya kami
akan memberikan hadiah padamu."
"Bedebah! Kalian kira semudah itu mem-
bunuh anak manusia, heh?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit ganda tawa de-
mi mendengar pertanyaan dari wanita tersebut,
menjadikan wanita bercadar itu menggeretak ke-
rakan rahangnya. Tangannya makin mengepal ke
ras, seakan ingin menghancurkan sesuatu yang
ada dalam kepalannya. Mata yang tertutup oleh
kain cadar hitam, memandang penuh kebencian
yang dalam pada ketiganya yang masih tertawa
bergelak-gelak.
"Dasar kalian buaya. Mengapa kalian mau
begitu saja diutus oleh Rengkana? Kenapa? Apa
kalian dibayar untuk itu?" suara wanita itu begitu
dalam, sedalam dendamnya pada orang yang kini
berada di hadapannya. Ya, orang-orang yang telah
memperkosa dirinya. Siapakah sebenarnya wanita
dalam cadar hitam tersebut? Wanita itu tidak lain
Ningrum adanya. "Kalian harus mati untuk segala
perbuatan yang telah kalian lakukan. Setelah ka-
lian, maka Rengkana akan menyusul kalian ke
alam akherat sana. Bersiaplah!"
Wanita bercadar hitam itu tak hiraukan la-
gi ucapan ketiganya, serta merta ia berkelebat
dan tiba-tiba telah menyerang Serangkai Hantu
Dari Kelangit yang terus berusaha mengerti apa
tujuan sebenarnya wanita itu. Maka dengan ber-
kelit mengelakkan serangan wanita tersebut, Han-
tu Kumis Hitam berkata: "Wanita, mengapa tiba-
tiba kau menyerangku?!"
"Kau yang melakukan terlebih dahulu, ma-
ka sepantasnyalah kalau kau yang terdahulu aku
serang," jawab Ningrum sengit. Tangannya yang
halus dan kecil itu bergerak cepat bagaikan see-
kor ular hidup, mematuk ke sana ke mari tiada
henti, menjadikan Hantu Kumis Hitam keteter di-
buatnya. Melihat hal tersebut, secepat kilat kedua
Hantu lainnya segera berusaha membantu. Na
mun sungguh tak disangka-sangka oleh kedua-
nya, Ningrum serentak berbalik tinggalkan Hantu
Kumis Hitam dan langsung mencerca keduanya
dengan jurus-jurus yang mematikan.
Kedua orang dari Hantu Dari Kelangit ter-
sentak kaget melihat serangan Ningrum yang be-
gitu ganas dan cepat. Keduanya untuk menghin-
dar harus berjumpalitan ke sana ke mari. Kini gi-
liran Hantu Kumis Hitam yang melihat kedua
saudaranya diserang membantu, dan berusaha
mendahului menyerang Ningrum. Tapi sungguh
Ningrum sekarang berbeda dengan Ningrum keti-
ka dengan gampangnya mereka memperkosa.
Ningrum sekarang adalah Ningrum yang telah di-
didik oleh seorang tokoh sakti dari Gunung Mu-
ria, yang bernama Nenek Sakti Ratu Kelabang.
Seorang tokoh sakti beraliran sesat yang sangat
bengis dan kejam. Ia tak pernah mau tahu kawan
atau lawan. Bila di hatinya ada sedikit ganjelan,
baik itu dilakukan oleh kawan atau pun lawan,
maka kematianlah yang akan mereka alami. Ilmu
Kelabang Racun Hitam sungguh belum ada tan-
dingannya. Ilmu itu begitu sadis, dan ganas. Tak
mungkin orang yang terkena dapat bertahan se-
hari, bila si Nenek tak segera memberikan obat
pemunahnya.
Ketiga Hantu Dari Kelangit yang belum ta-
hu siapa adanya orang yang menyerang nampak
masih berusaha menghindar dengan sekali-kali
berusaha menyerang. Sungguh pun demikian, ke-
tiganya nampak belum dapat menerka siapa
adanya wanita yang menyerangnya tersebut.
Pertarungan tiga orang Hantu dengan seo-
rang wanita itu masih terus berlanjut. Ketiganya
seakan tak mau ada yang kalah maupun yang
menang. Tapi bila dilihat dengan seksama, jelas
nampak ilmu ketiga Hantu Dari Kelangit berada
di bawah setingkat ilmunya dibandingkan dengan
ilmu yang dimiliki oleh si penyerang. Namun begi-
tu, karena dikeroyok tiga menjadikan si penye-
rang agak susah juga mengakhiri pertarungan.
"Hem, kalau saja guru berpesan aku boleh
menggunakan ajian Racun Kelabang Hitam untuk
menghukum mereka, sudah pasti mereka akan
dengan mudah aku jatuhkan," dengus Ningrum
dalam hati. Ia masih ingat akan petuah gurunya,
agar jangan sekali-kali menggunakan ajian Racun
Kelabang Hitam pada Tiga Serangkai Hantu Dari
Kelangit. Ucapan sang guru masih mengiang di
telinganya, manakala Ningrum hendak melaku-
kan balas dendam pada orang-orang yang telah
memperkosanya. Orang-orang yang telah meng-
koyak-koyak kehidupannya, mengkoyak-koyak
segala kebahagiaannya.
"Ingat, Ningrum. Kau tidak boleh menggu-
nakan ajian tersebut untuk menghukum mereka,
sebab mereka merupakan satu ikatan saudara
dengan diriku. Guru mereka, tak lain adalah adik
seperguruanku. Bukannya aku takut menghadapi
guru mereka, namun apalah nantinya aku dike-
cam?" suara dengungan ucapan gurunya meng-
gema di sela-sela relung-relung sanubarinya. Na-
mun suara lainpun tiba-tiba ikut muncul dan
memberikan dorongan padanya.
"Ningrum, suamimu dibunuh oleh mereka,
juga kehormatanmu di renggut dengan paksa oleh
mereka. Apakah kau akan tinggal diam dan me-
nuruti kata-kata gurumu? Biarkanlah gurumu
dengan mereka masih ada ikatan saudara, namun
kau? Kau tak punya ikatan saudara dengan me-
reka, melainkan ikatan hutang piutang dendam...
dendam, Ningrum. Dendam yang bisa atau tak bi-
sa harus kau lunasi. Apakah batinmu tak tersiksa
bila melihat mereka masih keliyaran hidup?"
Manakala Ningrum terdiam, berpikir mana
yang harus ia kerjakan, ketiga Hantu Dari Kelan-
git pun nampak terdiam sembari memandang ke
arahnya. Mata ketiganya nampak mengerut, tak
mengerti apa sebenarnya yang kini berkecamuk di
pikiran Ningrum. Namun demikian, mereka terus
siap siaga, takut-takut kalau Ningrum kembali
menyerang.
Ningrum yang saat itu hatinya tengah ber-
kecamuk perang, saling dorong mendorong antara
perasaan yang satu dengan yang lainnya nampak
menggigit bibirnya. Ia tak mengerti, mengapa gu-
runya Nenek Sakti Ratu Kelabang harus meno-
long dirinya kalau dirinya tak boleh membalas se-
gala dendam kesumat yang tumbuh? Betapapun,
Ningrum merasa tuntutan jiwanya menghendaki
ketiga Hantu Kelangit tersebut harus mati di tan-
gannya. Namun gurunya menghendaki lain. Gu-
runya menghendaki agar dirinya tak sampai me-
nurunkan tangan jahatnya. Dalam kebimbangan
itu Ningrum mengerang, menggeretak penuh
emosi. Dan akhir dari kontra batin tersebut Nin
grum akhirnya tertawa bagaikan orang gila, men-
jadikan ketiga Hantu Kelangit makin dalamkan
kerutan keningnya.
"Hua, ha, ha...! Aku!... aku Penguasa Bukit
Karang Bolong, mengapa harus menurut pada
ucapan orang lain? Aku akan mampu menguasai
seluruh dunia persilatan. Aku tak perduli dengan
ucapan nenek peot itu. Aku harus dapat membu-
nuh ketiga orang yang sekarang berada di hada-
panku. Hiat...!"
Tersentak ketiga Hantu Dari Kelangit, ma-
nakala dengan tiba-tiba Ningrum menghantam-
kan pukulan jarak jauhnya. Beruntung ketiganya
waspada dari semula, kalau tidak. Niscaya tubuh
mereka akan serupa dengan keadaan gunung ke-
cil yang terletak tak jauh dari mereka. Gunung
kecil itu mengepulkan asap, hancur berguguran
menjadi batu-batu kecil, beterbangan laksana he-
laian daun terhempas angin topan. Mata ketiga
Hantu Dari Kelangit membeliak, serta merta keti-
ganya kembali berteriak kaget melihat ilmu apa
yang telah dilakukan oleh Ningrum.
"Demi Iblis! Mengapa kau mampu menggu-
nakan Ajian Bagar Gede? Dari mana kau men-
curi ajian tersebut, wanita?" tanya Hantu Kumis
Putih kaget. Ia tak percaya pada apa yang dilihat-
nya. Hatinya seketika teringat pada seorang yang
memiliki ilmu serupa dengan gurunya, Darga Bu-
ana. "Hem, apakah wanita ini benar-benar bibi
guru?" batinnya tak percaya. "Kalau memang bibi
guru, mengapa suaranya dan gerakannya lemah
gemulai laksana gadis? Hem, tadi ia menyebut di
rinya Penguasa Bukit Karang Bolong. Siapakah
dia? Aku baru kali ini mendengar nama Penguasa
Bukit Karang Bolong. Bukankah Penguasa Bukit
Karang Bolong adalah Dewi Lanjut Ayu, seorang
Dewi dari aliran sepertiku yang hidup sekitar lima
puluh tahun yang silam? Hem, apa mungkin ga-
dis ini telah dititisi olehnya? Sungguh bahaya du-
nia persilatan bila Dewi Lanjut Ayu muncul kem-
bali. Khususnya para lelaki. Hem...."
"Kenapa kalian kaget. Kalian tahu ilmu
yang aku gunakan, mengapa kalian tidak segera
bersujud dan menyembah padaku. Apakah kalian
benar-benar ingin mendapatkan azab, manusia-
manusia dungu seperti binatang!?" Ningrum
kembali membentak. Suaranya kini lain, bukan
suara yang pertama kali keluar dari mulut Nin-
grum. Suara itu begitu parau, menyerupai suara
seorang nenek-nenek yang telah benar-benar lan-
jut usia.
"Siapa kau sebenarnya, wanita?" Hantu
Kumis Putih kembali menanya. "Kenapa kau
memperoleh ajian yang dimiliki oleh bibi guru
kami?"
"Hua, ha, ha...! Kalian bodoh! Jelas aku
memiliki ilmu tersebut. Sebelum bibi gurumu dan
gurumu memiliki ajian Bagar Gege, aku telah
menguasainya. Aku Dewi Lanjut Ayu Penguasa
Bukit Karang Bolong. Akulah yang akan mengua-
sai dunia persilatan. Kalian harus mengikuti apa
yang aku katakan bila kalian ingin hidup. Tapi bi-
la tidak. Maka kalian akan aku kirim ke akherat.
Hua, ha, ha...!"
"Sombong! Aku tak percaya kalau kau me-
mang Dewi Lanjut Ayu. Dewi Lanjut Ayu telah
tiada, mana mungkin hidup kembali," Hantu Ku-
mis Hitam turut menyangkal, menjadikan Dewi
Lanjut Ayu bergelak tawa makin melebar.
"Kalau kalian tak percaya, lihatlah!" Habis
berucap demikian, Dewi Lanjut Ayu segera kepal-
kan tangannya ke angkasa. Tiba-tiba petir mem-
bahana bersahut-sahutan, padahal hari itu san-
gat cerah. Ketiga Hantu Dari Kelangit makin ter-
sentak. Mereka tahu jenis ilmu apa yang tengah
dilakukan oleh Dewi Lanjut Ayu, yang oleh guru
mereka disebut ajian Penarik Dewa Petir. Jadi da-
lam keadaan apapun, bila ajian tersebut dilaku-
kan maka Dewa Petir akan menyahuti. Belum ju-
ga ketiganya hilang dari rasa kejutnya, tiba-tiba
Dewi Lanjut Ayu berseru. "Dewa Petir, tunjukkan
kehebatanmu!"
"Jleger! Jleger! Jleger!"
Tiga kali berturut-turut petir membahana,
dan tiga kali itu pula tanah di hadapan tiga Hantu
Dari Kelangit menganga lebar, cukup untuk men-
gubur tubuh mereka. Mata ketiga Hantu Dari Ke-
langit terbeliak kaget, melompat mundur dengan
mata memandang pada Dewi Lanjut Ayu.
"Mau pamer ilmu rupanya kau, orang som-
bong!" Hantu tak berkumis membentak marah,
merasa diremehkan begitu rupa oleh gadis yang
mengaku-aku sebagai Dewi Lanjut Ayu. Namun
sang Dewi sepertinya tak perduli, malah kini ia
nampak tersenyum di balik cadarnya.
"Terserah apa yang kalian katakan. Yang
jelas Dewa Petir menghendaki nyawa kalian."
"Huh, jangan kira kau mudah melakukan-
nya!" geretak marah Hantu berkumis Putih.
"Oh... begitu? Baik, akan aku buktikan
bahwa aku tak susah untuk melakukannya. Iba-
rat aku hanya membalikkan telapak tanganku,
maka dengan mudah nyawamu dan nyawa dua
saudaramu itu akan aku ambil. Bersiaplah,
hiat...!"
Kembali Ningrum berkelebat menyerang,
kali ini sepertinya tak mau lama-lama lagi, ter-
bukti serangannya begitu ganas dan cepat. Tak
henti-hentinya ia menggeretak, lalu menjerit ba-
gaikan orang histeris. Tangannya yang lentik, me-
liuk-liuk bagaikan ular yang hidup, menjadikan
ketiga orang musuhnya harus hati-hati mengha-
dapinya.
Ketiga Hantu Dari Kelangit berusaha men-
gimbangi, namun bagaimanapun juga gerakan
mereka tak ada artinya untuk mengimbangi se-
rangan Ningrum yang bagaikan kesetanan. Maka
dalam waktu yang relatif singkat, Ningrum yang
sudah kerasukan Dewi Lanjut Ayu makin menang
angin saja. Dengan jurus-jurus anehnya Ningrum
terus mendesak ketiga musuh-musuhnya, yang
makin terdesak saja tanpa dapat membalas sekali
pun. Namun ketiga Hantu Dari Kelangit bukanlah
orang-orang sembarangan yang hanya begitu saja
sudah kalah. Mereka adalah didikan datuk silat
yang sudah malang melintang di dunia persilatan,
sehingga ilmu yang mereka miliki pun bukanlah
ilmu kelas kroco. Ditambah lagi dengan kebera
nian mereka, jelas tampak bahwa mereka benar-
benar sudah menuruni segala apa yang telah
guru mereka ajari.
Meski dalam keadaan terdesak bagaimana
pun, ketiga Hantu Dari Kelangit tak mau putus
asa. Dan manakala ada kesempatan, tiba-tiba
Hantu Kumis Putih berkelebat sembari keluarkan
pekikkan menyayat yang mampu memecahkan
konsentrasi Ningrum. Belum juga Ningrum dapat
kuasai diri, tiba-tiba sebuah tangan yang berge-
rak cepat berkelebat menyabet cadar yang dike-
nakannya. Tersentak Ningrum seketika, namun
lebih kaget lagi ketiga musuhnya. Mata mereka
melotot, manakala tahu siapa yang tengah diha-
dapi.
"Ningrum! Kau...!" Ketiganya serentak ber-
seru menyebut orang yang kini tersenyum sinis
pada mereka, yang ternyata Ningrum adanya.
"Ya, aku. Akulah Ningrum yang dulu kalian
perkosa atas suruhan Rengkana. Kalian harus
mati, harus!"
Melihat siapa adanya gadis tersebut, seren-
tak ketiga Hantu Dari Kelangit tertawa bergelak-
gelak mendengar omongan Ningrum. Dan dengan
angkuhnya ketiga Hantu Kelangit tersebut berka-
ta mengejek: "Hua, ha, ha...! Rupanya kau ingin
mengulangi apa yang pernah kau rasakan dari
kami, manis?"
"Cuh! Memang aku ingin merasakan mem-
bunuh diri kalian satu persatu dengan cara yang
patut untuk orang-orang macam kalian yang tak
lebihnya buaya-buaya busuk!"
Tak banyak kata lagi, segera Ningrum yang
kini benar-benar dalam kuasaan Dewi Lanjut Ayu
atau Penguasa Karang Bolong segera kembali bu-
ka serangan. Kali ini dia tidak mau kecolongan
untuk yang kedua kalinya. Serangannya kini begi-
tu cepat, cepat laksana gerakan siluman belaka.
Tangannya, kini mencerca pada titik-titik kema-
tian lawan. Siapakah Ningrum yang mengaku-aku
Penguasa Bukit Karang Bolong? Lalu siapakah
sebenarnya Ketiga Hantu Dari Kelangit? Untuk
mengetahuinya, marilah kita tinjau kembali keja-
diannya pada bab selanjutnya.
DUA
Lima belas tahun yang lalu di desa Ketang-
gungan...
Desa Ketanggungan waktu itu nampak be-
gitu tentram dan damai. Penduduknya ramah ta-
mah, suka gotong royong, saling tolong menolong.
Di desa Ketanggungan itulah Ningrum dilahirkan,
dibesarkan oleh seorang tokoh masyarakat yang
sudah terkenal yaitu Pramanayuda. Pramanayuda
merupakan seorang tokoh persilatan dari aliran
lurus dengan perguruannya bernama Perguruan
Manik Astajingga. Di bawah pimpinan Prama-
nayuda, perguruan Manik Astajingga sangat pesat
perkembangannya. Kemajuan Perguruan Manik
Astajingga rupanya mengundang pro dan kontra.
Kaum persilatan aliran lurus khususnya bersa-
habat. Sebaliknya dari kaum persilatan aliran sesat, membenci dan berusaha untuk menjatuhkan
Pramanayuda. Pramanayuda mempunyai dua
orang putra. Yang pertama bernama Tegalaras,
seorang laki-laki. Sementara yang kedua bernama
Ningrum Biyanti, adalah seorang wanita. Tegala-
ras sejak kecil diambil oleh adiknya yang bergelar
Panggawa Iblis. Sebenarnya Pramanayuda kurang
begitu sreg hatinya bila sang anak dididik oleh
adik seperguruannya yang ugal-ugalan. Namun
dikarenakan rasa persaudaraan yang telah dibi-
nanya sejak mereka masih satu perguruan, den-
gan berat hati akhirnya Pramanayuda pun mem-
berikan anaknya yang lelaki tersebut. Sementara
anak putrinya, dididik oleh Pramanayuda sendiri.
Sejak saat itu Pramanayuda dan keluar-
ganya tak lagi mengetahui di mana anaknya Tega-
laras berada. Hubungan sebagai anak dan bapak
pun terputus.
Selang tak begitu lama kemudian, Prama-
nayuda mendengar bahwa adik seperguruannya
dibunuh oleh seorang tokoh sesat yang merupa-
kan musuh bebuyutan adik seperguruannya.
Pramanayuda berusaha mencari keberadaan
anaknya, namun ia tak menemukan jejak secuil
pun untuk dapat menemukan sang anak.
"Bagaimana kakang, apakah kakang dapat
sebuah petunjuk di mana adanya anak kita?"
tanya istrinya Arum Daru, manakala kedua suami
istri tersebut tengah berbincang-bincang setelah
perjalanan Pramanayuda mencari anaknya.
Pramanayuda sejenak tarik napas, me-
mandang wajah istrinya yang nampak lusuh oleh
duka akibat dipisahkan dengan sang anak. Sete-
lah lama berbuat begitu Pramanayuda seketika
tundukkan wajah, lalu dengan berat berkata
menceritakan hal sebenarnya yang ia alami.
"Aku gagal, Dinda"
"Gagal...?"
"Ya... aku tak menemukan jejaknya," jawab
Pramanayuda lemah, sepertinya tak bersemangat
barang setitik pun. "Entah siapa musuh adikku,
dan yang mana? Sebab adikku banyak sekali mu-
suhnya."
Sang istri seketika keraskan isak tangis-
nya, sedih bila harus berpisah untuk selama-
lamanya dengan sang anak. Melihat hal tersebut,
hati Pramanayuda seperti diiris-iris, pedih sekali.
Bagaimana pun, memang ia juga merasakan be-
tapa sedihnya bila harus berpisah dengan sang
anak yang kelak akan menggantikannya. Namun
untuk menghibur hatinya, Pramanayuda segera
berkata.
"Dinda, tak usahlah dinda terus-menerus
bersedih hati. Bukankah kita masih diberi seo-
rang anak?"
"Tapi Ningrum wanita, Kanda?".
"Apa bedanya? Wanita ataupun pria sama
saja, asalkan kita mampu mendidiknya, kelak
pun ia akan mampu membalas jasa pada orang
tuanya."
Untuk sementara waktu istrinya dapat ter-
hibur oleh kata-katanya. Meski hati mereka ma-
sih tak tenang dengan segala hasil yang mereka
capai, namun setidak-tidaknya masih ada tersisa
harapan bahwa keturunan mereka tetap ada.
Namun begitu Pramanayuda tidak hanya menga-
lah pada nasib, ia terus berusaha untuk dapat
menemukan siapa adanya orang yang telah mem-
bunuh adik seperguruannya sekaligus membawa
anaknya.
Seperti esok harinya kemudian, Prama-
nayuda kembali dengan menunggang kudanya
memacu menyusuri bukit dan menuruni lembah
dalam usahanya mencari jejak sang anak dan
musuh adik seperguruannya.
Pagi masih begitu dingin, alam pun masih
terselubung oleh kabut tebal yang menyelimuti
wilayah yang dilintasi Pramana. Dengan mata se-
kali-kali memandang ke sekelilingnya Prama-
nayuda terus memacu kudanya. Tak hiraukan
dingin menggigit tulang sumsum, tak hiraukan
ilalang menyeret bulu-bulu kakinya hingga terasa
gatal. Tujuannya hanya satu, mencari dan mene-
mukan sang anak untuk dibawa pulang ke ru-
mah.
Tengah Pramanayuda memacu kudanya,
tiba-tiba berkelebat puluhan anak panah menye-
rangnya dari arah samping dan belakang. Serta
merta Pramanayuda lemparkan tubuh, mencelat
ke angkasa sembari babatkan pedangnya me-
nangkis serta memutuskan anak-anak panah
yang jumlahnya puluhan itu.
"Bangsat-bangsat rendah, keluar kalian!
Jangan kalian hanya beraninya sembunyi-
sembunyi. Kalau kalian memang jantan, hadapi-
lah aku Pramanayuda!" teriaknya lantang, yang
menggema manakala menerpa bebatuan gunung.
"Keluar kalian! Tunjukkan padaku hidung kalian!"
"Kami di sini, Pramana!" terdengar suara
jawaban yang disertai dengan kelebatan anak pa-
nah-anak panah yang jumlahnya melebihi semu-
la, mengarah ke arah Pramanayuda. Segera Pra-
manayuda kembali berkelit, ditangkapnya anak
panah-anak panah yang mengarah telak ke arah-
nya, lalu dengan tenaga penuh dilemparkan anak
panah tersebut ke arah datangnya. Terdengar de-
singan anak panah yang dilemparkan Prama-
nayuda diikuti oleh pekikkan tiga orang dari balik
semak-semak rimbun.
"Kalian keluarlah, jangan seperti tikus ta-
nah!" bentak Pramanayuda, dengan berdiri lom-
pat dari kudanya. Tampak dari balik semak-
semak bermunculan wajah-wajah beringas, berja-
lan menuju ke arahnya. Mata mereka memandang
tajam ke arah Pramana, sepertinya ingin menom-
bak mata Pramanayuda. "Hem, rupanya orang-
orang macam kalian. Mana ketua kalian, begal-
begal kere?"
"Sombong kau. Pramana!" geretak Wedal,
seorang pimpinan gerombolan Walang Kerek sete-
lah ketuanya Beruk Kula-Kula.
"Aku tidak sombong! Aku hanya ingin
mengetahui di mana ketua kalian berada, juga
mengapa kalian tiba-tiba menyerangku?" Prama-
na berusaha sabar menghadapi orang-orang se-
macam itu. Ia tahu, bahwa orang-orang semcam
Gerombolan Walang Kerek sangat banyak bergu-
na bagi pencarian anaknya. "Apakah kalian se
muanya diperintahkan oleh ketua kalian untuk
menghadangku?"
"Ya! Memang ketua kami menyuruh begi-
tu!"
"Hem, apa maksudnya?" tanya Pramana
seraya kerutkan kening.
"Itu urusan ketua. Yang jelas ketua meng-
hendaki kau harus lenyap dari muka bumi ini?"
"Oh... begitu? Mengapa tidak ketua kalian
saja yang melakukannya? Mengapa ketua kalian
malah bersembunyi? Kalau memang ia bermak-
sud untuk melenyapkan diriku, aku minta ketua
kalian sajalah yang menemui diriku. Percuma ka-
lau hanya kalian saja," Pramanayuda berkata
dengan tenang, sepertinya menghiraukan kata-
kata pimpinan Gerombolan Walang Kerek.
Mendengar ucapan Pramana, seketika
pimpinan gerombolan Walang Kerek melototkan
mata. Ia merasa ucapan Pramanayuda adalah
ejekan yang sangat keterlaluan. Betapapun, me-
reka tak ingin diremehkan oleh orang lain, sebab
mereka merasa adalah sebuah gerombolan yang
sudah kondang namanya di dunia persilatan. Ka-
lau orang lain yang berkata begitu, niscaya sudah
menjadi apa orang yang berkata. Tapi kini yang
berkata adalah Pramanayuda, seorang pendekar
yang sudah memiliki segala pengalaman segu-
dang di dunia persilatan. Orang yang sangat dis-
egani dan ditakuti, apalagi bila harus bersatu
dengan dua orang saudara seperguruannya, jelas
ketiganya sukar untuk ditaklukkan. Namun kini
salah seorang dari ketiganya telah tiada, mati di
bunuh oleh seorang tokoh silat lainnya yang telah
mendendam dengannya. Tapi untuk menghadapi
seorang dari Tiga Pendekar Kumala, jelas harus
memerlukan kehebatan ilmu yang paling tidak
sebanding. Kalau tidak, maka sia-sialah segala
apa yang akan mereka lakukan. Jangankan un-
tuk mengalahkannya, untuk menghindari kema-
tian saja susah.
"Pramana, janganlah kau sombong. Tak
perlu ketua kami yang maju menghadapi dirimu,
tapi kami pun akan mampu untuk menyingkirkan
dirimu dari muka bumi ini!" geretak pimpinan ge-
rombolan Walang Kerek.
"Hem, apakah kalian sudah pasti?" Prama-
na berkata tenang.
"Akan kami buktikan, Pramana!"
"Oh, sungguh kalian memang pemberani.
Baiklah, aku layani apa yang menjadi tuntutan
kalian. Nah, lakukan oleh kalian bila mampu un-
tuk menyingkirkan diriku," sorot mata Pramana
kini seperti liar, bahkan sorot mata itu seperti so-
rot mata penuh misteri. Terkadang redup, lalu
menyala berapi-api. Nampaknya pendekar aneh
itu sudah begitu marahnya, hingga ia begitu
memperlihatkan keadaan dirinya yang sebenar-
nya. Bagaimana tidak marah? Ia tengah mencari
putranya sekaligus musuh adiknya, kini harus
berurusan dengan orang-orang yang dirasa telah
menghadang dirinya. Pramanayuda mendesis, ba-
gaikan ular sanca yang ingin melalap seekor ka-
tak.
Melihat keadaan Pramana, seketika kese
mua orang yang berada di situ menarik napas be-
rat, sepertinya mereka merasa ada sorot aneh ke-
luar dari mata Pramana. Mereka segera bersiap
cabut golok yang sedari tadi menggelantung di
pinggang, siap untuk menyerang Pramana.
Pramana nampak tersenyum sinis, lalu
dengan suara lantang setengah marah berkata;
"Kenapa kalian terdiam, lakukanlah apa yang
menjadi tugas kalian!"
"Sombong! Jangan menyesal, Pramana!"
"Selama hidupku, aku tak pernah menyes-
al!"
"Hem, begitu? Baik, bersiaplah, Pramana!"
geretak pimpinan gerombolan marah. Sebenarnya
dalam hati Wedal terbersit rasa takut juga meng-
hadapi Pramana. Namun bila ia harus mengalah,
sungguh petaka bagi dirinya. Ketua mereka yang
bergelar Datuk Si Raja Karang bukanlah orang
yang memiliki welas asih. Maka bila mereka gagal,
mereka yang akan menjadi korban keganasan
sang Datuk. Beruk Kula-Kula atau Datuk Raja
Karang, merupakan tokoh sesat yang memang
menaruh permusuhan dengan Tiga Pendekar Gu-
nung Langsat yang terdiri dari Pramana, Lugana,
dan adik seperguruannya yang kini telah mati di-
bunuh entah oleh siapa. Mereka pernah menja-
tuhkan Datuk Kula-Kula atau Raja Karang, ma-
nakala mereka diperintah oleh guru mereka. Hal
itu rupanya menjadi dendam yang berkepanjan-
gan bagi sang Datuk Kula-Kula, sehingga ia sem-
pat menyumpah serapah pada ketiganya bahwa
nanti dirinya akan membuat perhitungan dengan
ketiga saudara seperguruan. Datuk Raja Karang
juga sempat mengancam, bahwa dia akan me-
numpas keluarga ketiganya dengan keturunan
mereka sendiri. Apakah tidak mungkin yang
membunuh dan menculik adik serta anaknya tak
lain si Datuk?
Bila ingat akan semuanya, seketika Pra-
mana merasakan pasti bahwa sang Datuklah
yang lelah melakukan semuanya. Maka kemara-
hannya makin meledak-ledak laksana larva gu-
nung Agung. Tanpa banyak kata lagi, segera Pra-
mana memekik menyerang kedua puluh orang
anak buah Datuk Raja Karang.
"Kalian harus mati! Kalian harus menebus
kejahatan ketua kalian!" pekik Pramana penuh
amarah. Bagaikan banteng kelaton Pramana terus
mencerca dengan Pedang Sukma Layungnya. Ha-
wa pedang yang seperti mengandung racun, seke-
tika menyebar ke segenap penjuru. Tanpa ampun
lagi, mereka yang masih berilmu rendah langsung
jatuh terkulai lemah pingsan. Sebaliknya yang be-
rilmu tinggi, nampaknya harus berusaha sekuat
tenaga menolak hawa pedang tersebut.
"Ilmu Iblis!" memekik Wedal kaget. Ia sege-
ra, lemparkan tubuh ke belakang, diikuti oleh
anak buahnya yang masih sadar dan kuat me-
nangkis hawa aneh tersebut. Muka mereka melo-
tot tak percaya, memandang tajam pada pedang
yang tergenggam di tangan Pramanayuda.
"Kenapa kalian pucat seperti seekor babi
yang hendak digorok! Mana keberanian kalian se-
bagai Gerombolan Walang Kerek!?" desis Pramana
dengan senyum sinis melekat di bibirnya. "Sudah
aku katakan, bahwa kalian tak akan mampu
menghadapi diriku. Sekarang kalian minggatlah
dan beritahukan pada ketua kalian si Datuk Raja
Karang bahwa aku ingin menemuinya! Lakukan-
lah segera, atau dengan terpaksa aku akan me-
nyate tubuh-tubuh kalian!"
"Sombong kau, Pramana! Jangan harap
aku akan mengakui kehebatanmu! Mari kita lan-
jutkan!" Wedal membentak marah. Ia kini harus
benar-benar nekad. Mati sudah pasti harus diha-
dapi, walau ia harus berusaha menghindari ke-
matian itu. Namun bila ia mengalah pada Prama-
na, jelas kematian didapat olehnya dari tangan
ketuanya si Datuk Raja Karang. Kematian sema-
cam itu sungguh tidak terhormat, lebih baik mati
di tangan musuh yang sudah kondang namanya.
Maka dengan perhitungan demikian, Wedal den-
gan nekad segera menyerang Pramana, dibantu
oleh sisa-sisa anak buahnya.
Diserang begitu rupa tidak menjadikan
Pramana gugup, malah dengan mulut menyerin-
gai seperti hendak menunjukkan kekuatan Pra-
mana berkelebat mengelakkan serangan-serangan
musuhnya. Pedang pusaka di tangannya bergerak
cepat, sepertinya mempunyai mata sendiri. Hawa
pedang yang mampu membuat orang pingsan te-
rus mengalir, menyelimuti lingkungan pertarun-
gan tersebut.
"Kalian tak akan mampu bertahan lebih
dari sepuluh jurus!"
"Hem, kau masih sombong, Pramana!"
"Hua, ha, ha...! Kau tak percaya. Baiklah,
aku akan membuktikan pada kalian bahwa hawa
pedang ini mampu membuat kalian sesak napas-
nya, yang akhirnya kalian akan pingsan!"
Setelah berkata begitu Pramana makin
mempercepat kelebatan pedangnya. Asap bergu-
lung-gulung, menyelimuti daerah itu makin lama
makin tebal menghitam pekat. Semua penyerang-
nya seketika tersentak, melototkan matanya. Da-
da mereka seperti sesak, terbatuk-batuk oleh ter-
paan asap tersebut. Namun mereka sepertinya
yang tak mau mengalah, mereka terus berusaha
bertahan dan semampu mereka membuang hawa
asap tersebut. Namun rupanya mereka harus
mengakui bahwa hawa yang keluar dari pedang
lebih kuat daripada ilmu yang mereka keluarkan.
Satu persatu, akhirnya mereka berjatuhan ping-
san. Tinggallah kini Wedal yang masih mampu
bertahan, namun begitu Wedal nampak pucat pa-
si. Ia sadar bahwa dirinya tak mampu lagi untuk
menghadapi serangan Pramana. Namun Wedal
masih berusaha tersenyum, senyum puas karena
akan mati di tangan seorang pendekar. Jurus-
jurus Pramana makin keras, akhirnya yang tam-
pak hanya gulungan asap tebal.
"Hiaat... Bersiaplah, Wedal!"
"Aku sudah siap, Pramana!" balas Wedal
tak mau kalah.
Kedua orang itu seketika mencelat, terbang
berbarengan di udara. Namun nampaknya Pra-
mana tak menginginkan kematian untuk Wedal.
Maka dengan secara cepat pedang pusaka Sukma
Layung disarungkan ke tempatnya, sementara
tangannya yang telah diisi dengan tenaga dalam
bergerak lurus memapaki serangan golok Wedal.
"Hiaaaat...!"
"Hiat...!"
West...!
Angin tebasan golok Wedal berdesah, me-
nyerang dengan ganas. Namun Pramana seper-
tinya tahu kelebatan golok tersebut, dan dengan
segera elakkan tubuh disusul oleh hantaman tan-
gannya ke iga sebelah kiri lawan.
"Bug... bug... bug...!"
"Kretak!"
Terdengar suara tulang iga patah, diikuti
oleh jeritan yang melolong dari mulut Wedal me-
nyayat: "Aaaah...!"
Wedal terkulai jatuh di atas tanah, dengan
iga yang remuk menjadikan dirinya menyeringai
menahan sakit. Matanya tajam memandang pada
Pramana yang tersenyum, berdiri menghadapinya
dengan pedang Sukma Layung yang sudah berada
di sarungnya. Mata Wedal membeliak, seakan tak
yakin bahwa suara retakan tulangnya bukan ka-
rena tebasan pedang pusaka tersebut.
"Kau....!"
"Kenapa, Wedal?" tanya Pramana tenang.
"Aku sengaja tak menggunakan pedangku agar
kau dapat hidup lebih lama. Sekarang katakan
pada ketuamu, aku Pramana ingin bertemu. Aku
tunggu ketuamu di lereng Gunung Kencana!"
"Tunggu! Jangan kau pergi dulu!" Pramana
yang hendak berkelebat pergi segera hentikan
langkah, lalu ditengoknya kembali Wedal yang
memanggilnya.
"Ada apa, Wedal?"
"Pramana, lebih baik kau bunuh saja diri-
ku. Aku meminta tolong padamu, bunuh saja
aku!"
"Itu tak mungkin aku lakukan!"
"Kau tega melihat aku dibunuh oleh ketua-
ku?" Pramana tersenyum, sepertinya ucapan
Wedal bagaikan anak kecil saja. Mana mungkin ia
harus mau mengurusi orang lain? Mau dibunuh
oleh gurunya, kek. Yang pasti, guru Wedal yang
juga ketuanya harus menemuinya di lereng Gu-
nung Kencana. Setelah tersenyum begitu, segera
Pramana kembali tinggalkan Wedal yang hanya
mampu terlolong bengong.
Hati Wedal begitu marah, kecewa dan den-
dam pada Pramana yang tidak mau melakukan
apa yang ia inginkan. Bagaimana pun ia sangat
mengharapkan Pramana yang membunuh, bukan
gurunya. Tapi rupanya nasib harus berbuat begi-
tu.
Selang beberapa lama setelah Pramana
berlalu, sebuah bayangan berkelebat menuju ke
arah Wedal tergeletak. Wedal yang mengetahui
siapa adanya yang datang seketika membelalak-
kan mata kaget, dan dari mulutnya keluar desi-
san kaget mengucap nama orang tersebut.
"Guru...!"
"Kau telah gagal, Wedal!" suara gurunya
nampak penuh kebencian. Ya itulah sifat Datuk
Raja Karang. Sifat yang angkuh dan tidak men
genal siapa kawan ataupun lawan. Bila memang
seorang yang menjadi kawannya tak berguna lagi,
maka seharusnya orang tersebut disingkirkan da-
ri muka bumi.
Wedal hanya terpaku diam, tak dapat mu-
lutnya untuk mengutarakan apa yang harus dika-
takan.
"Kau gagal. Wedal!" kini suara gurunya
makin keras, merasa ucapannya tak digubris oleh
Wedal. "Jawab, Wedal!"
"Ampun, ketua. Memang aku... aku gagal.
Tapi...."
"Tak apa tapi-tapian, Wedal! Kau ingat apa
yang telah aku katakan padamu? Barang siapa
yang tidak ada guna lagi bagi diriku, maka aku
akan menyingkirkannya."
Menggigil tubuh Wedal seketika mendengar
ucapan gurunya yang dirasakan sebuah keputu-
san akhir. Ya, keputusan yang tidak dapat diban-
tah oleh siapa pun juga. Namun Wedal tak ingat,
bahwa di atas sana masih ada yang lebih kuasa
dibandingkan dengan gurunya yaitu Allah S.W.T.
yang telah menciptakannya.
"Sekarang katakanlah, di mana Pramana
menunggu diriku?!"
"Ampun guru, Pramana menunggu keda-
tangan guru di lereng Gunung Kencana," jawab
Wedal dengan masih diselimuti rasa takut yang
teramat sangat.
Sang guru angguk-anggukkan kepalanya,
lalu tiba-tiba dengan suara menyeramkan sang
guru berkelebat dengan golok di tangannya siap
tebaskan ke leher Wedal. Hampir saja golok terse-
but membabat putus leher Wedal, manakala tiba-
tiba sebuah bayangan berkelebat menyela-
matkannya.
"Bedebah! Siapa yang telah lancang di ha-
dapanku!" maki Datuk Raja Karang marah. Sege-
ra ia kejar orang yang membopong tubuh murid-
nya, namun usahanya sia-sia karena orang terse-
but jauh tinggi ilmunya hingga dengan cepat
orang tersebut lenyap dari pandangannya.
"Monyet busuk! Siapa gerangan orang itu?"
Datuk Raja Karang memaki-maki sendiri,
lalu setelah puas menyumpah serapahi orang itu
segera ia pun berkelebat pergi untuk menemui
Pramana yang telah menantinya di lereng Gunung
Kencana.
Angin gunung bertiup sunyi, menerpa lem-
but daun-daun kering yang beterbangan dan
hinggap pada tempat-tempat yang telah di atur
oleh Yang Maha Kuasa. Lembah itu kembali sepi,
tiada suara ataupun jeritan manusia. Namun tak
lama kemudian, serombongan burung-burung
pemakan bangkai beterbangan, berputar-putar di
situ dan kemudian menukik. Rupanya rombongan
burung Nazar tersebut menemukan makanan
yang sungguh menyenangkan.
TIGA
Angin sore telah mengalunkan hawa yang
aneh, yaitu hawa sebuah penentuan. Di lereng Gunung Kencana, nampak dua sosok tubuh sal-
ing berhadapan dengan hening seperti menjajagi
apa yang ada di hati mereka masing-masing. Ma-
tahari telah menggelincir, empat puluh derajat ke
arah Barat. Sinarnya kini tak segarang manakala
siang, namun redup. Bayang-bayang kedua orang
tersebut panjang, melebihi keadaan sebenarnya.
Mata mereka saling pandang, layaknya dua mata
burung elang yang tajam saling menghujam. Na-
pas mereka mendesah berat, seirama dengan deru
angin yang menggayut berat.
"Kau menungguku, Pramana?" tanya Da-
tuk Raja Karang.
"Ya, aku memang mencarimu," jawab
Pramana tenang.
"Apakah kau ingin mengulang seperti lima
tahun yang lalu?"
"Bukan! Bukan itu yang aku inginkan, te-
tapi lebih dari itu semua. Kini aku tak perduli lagi
dengan segala tindakanmu, asal kau jangan
mengganggu sanak kadangku."
Mata Datuk Raja Karang seketika menyipit,
sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya
tujuan Pramana. Setahunya ia tak pernah mem-
buat kerusuhan lagi pada keluarga Pramana,
ataupun sanak kadangnya. Kini Pramana mencari
dirinya untuk mencari gara-gara. Sebenarnya
memang hal itu yang dicari, sebab ia pun ingin
sekali-kali kembali menjajagi ilmu yang dimiliki
Pramana setelah lima tahun berlalu. Tapi untuk
menyatakan terus terang, sungguh ia belum be-
rani. Sebab di samping akan diketahui oleh kha
layak persilatan yang sudah tentu akan mencer-
canya, juga saudara seperguruan Pramana lain-
nya akan berusaha membantu. Bukankah hal itu
masih menyangkut masalah perguruan? Maka
demi mendengar pertanyaan Pramana, timbullah
hatinya untuk mengakui segala tindakan orang
lain. Dimaksudkan agar supaya Pramanayuda
mampu marah.
"Apa yang sebenarnya engkau mau, Pra-
mana?"
"Aku ingin kau kembalikan anakku yang
kau culik dari adik seperguruanku."
"Huah, itu tidak mungkin, sebab anakmu
sudah aku korbankan untuk para Roh-roh pen-
guasa Bukit Setan! Kalau kau tak mau, maka kau
akan menghadapi aku!"
"Bangsat! Rupanya kau masih keras kepala
seperti dulu, Datuk!"
"He,, he, he...! Aku memang seperti dulu,
seperti ketika kalian kalahkan. Karena kekalahan
itulah hingga aku sampai kini menaruh dendam.
Dendam untuk mampu membalas segalanya pa-
damu dan pada adik seperguruanmu lainnya."
Kalau saja Pramana mau meneliti dari
omongannya, jelas bahwa Datuk Raja Karang bu-
kanlah orangnya yang telah menculik dan mem-
bunuh anak dan adik seperguruannya. Tapi Pra-
mana yang sudah dilanda oleh kobaran amarah
tak menganalisa dan memperdulikannya. Tudu-
hannya pada Datuk Raja Karang begitu yakin, se-
pertinya Datuk Raja Karanglah yang benar-benar
telah membunuh adik seperguruannya sekaligus
menculik anaknya Tegalaras.
"Sudah aku duga, bahwa kaulah biangnya!
Maka itu, kini aku tidak akan segan-segan lagi
menurunkan tangan jahatku padamu, Datuk!
Bersiaplah!"
Melihat kemarahan Pramanayuda. Datuk
Raja Karang masih berusaha tenang. Ia tahu sia-
pa adanya Pramanayuda, seorang tokoh persila-
tan berilmu tinggi yang disegani oleh musuh-
musuhnya. Di samping itu ia harus memikirkan
Pedang Sukma Layung yang berada di tangan
Pramana. Pedang tersebut bukanlah pedang sem-
barangan, namun sebuah pedang yang mampu
merontokkan sendi-sendi tubuh sekaligus mampu
membunuh orang tanpa mengalami kematian lu-
ka-luka. Sebab dengan asapnya saja, orang akan
dibuat pingsan dan akhirnya mati.
"Sudah siapkah kau, Datuk?" kembali
Pramana bertanya.
"Aku memang sudah siap, Pramana. Tapi
perlu kau ingat? Bahwa aku siap menghadapi di-
rimu bukan karena aku telah melakukan segala
yang engkau lontarkan. Aku menghadapimu ka-
rena aku merasa ingin mengulang kejadian lima
tahun silam. Lima tahun silam kau dan kedua
adik seperguruanmu telah menjatuhkan aku di
hadapan orang banyak. Kini akulah yang akan
menjatuhkan nama besarmu, walau aku menja-
tuhkanmu bukan di kalayak ramai tapi bagiku
sudah cukup puas!"
"Jadi kau masih mungkir?!"
"Aku tidak mungkir. Aku memang tak
mengetahui siapa adanya anakmu, juga siapa
yang menculiknya," jawab Datuk Raja Karang,
menjadikan Pramana tersentak kaget. Pikiran
Pramana seketika melayang, tak mengerti apa se-
benarnya yang terjadi.
"Kalau memang Datuk Raja Karang bukan
orangnya, lalu siapa lagi yang telah berbuat begi-
tu?" keluh hati Pramana bimbang. "Apakah masih
ada orang lain yang menaruh dendam padaku?
Atau barangkali musuh adikku yang memang ug-
al-ugalan?"
"Kenapa terdiam, Pramana?"
Pertanyaan Datuk Raja Karang begitu
menghentakkan Pramana yang tengah tercenung.
Matanya seketika membelalak, memandang lekat
ke arah Datuk Raja Karang yang masih terse-
nyum.
"Jadi kau bukan penculiknya?" tanya Pra-
mana kemudian setelah tersadar dari lamunan-
nya. "Kalau begitu aku rasa aku tak ada gunanya
menemui dirimu!"
"Ada, Pramana!" Datuk Raja Karang men-
cerca, mengingatkan kembali pada Pramana.
"Bukankah kita memang ada kepentingan sendi-
ri? Kepentingan yang berhubungan dengan apa
yang pernah kita lakukan, di mana kau dan sau-
dara-saudara seperguruanmu menjatuhkan aku."
"Kau rupanya tak jemu-jemu, Datuk!"
"Memang aku tak pernah jemu bila belum
mengalahkan kalian!"
"Sekarang apa yang kau mau?" tanya Pra-
mana kembali sewot.
"Bertarung untuk menentukan siapa yang
paling sakti di antara kita!" Datuk Raja Karang
sunggingkan senyum sinis, mengarah pada Pra-
mana yang masih menghela napas berusaha sa-
bar. Pramana tahu siapa sebenarnya Datuk Raja
Karang, seorang tokoh sesat yang tak bisa diajak
kompromi. Selalu ingin menang, ingin diaku oleh
kalayak bahwa dirinyalah yang paling berkuasa.
"Bertarung...?" ulang Pramana, sepertinya
ingin meyakinkan pada diri sendiri kebenaran
ucapan sang Datuk.
"Ya, bertarung! Kau takut, Pramana?" ejek
sang Datuk.
"Tak akan pernah ada rasa takut untuk-
ku."
"Bagus! Itu yang aku harapkan! Aku minta
kau mau sejenak melupakan masalah anakmu,
atau mungkin kau akan tenang tanpa berpikir ka-
lut memikirkan anakmu karena kau akan aku ki-
rim ke alam sana! He, he, he...!"
"Sombong! Kau manusia sombong!"
"Apa pun yang kau katakan, bagiku tak
menjadi masalah! Yang penting, aku mampu
mengirim nyawamu ke akherat, hiaaat....!"
Tanpa diduga-duga sebelumnya oleh Pra-
mana, Datuk Raja Karang berkelebat menyerang.
Hal itu menjadikan Pramana tersentak kaget dan
dengan segera berkelebat miringkan tubuh men-
gelak. Namun karena didera hati yang tak tenang
menjadikan Pramana lamban dalam mengelak,
akibatnya...!
"Bug...!"
Sebuah hantaman telak mendarat di bahu
kirinya, menjadikan Pramana seketika terhuyung
ke belakang dengan mulut menyeringai menahan
sakit. Kini ia sadar, bahwa ucapan sang Datuk
bukanlah main-main. Segera Pramana tarik na-
pasnya panjang, lalu mendesis kencang laksana
seekor ular sanca marah. Habis berbuat begitu,
serta merta Pramana melompat dan menyerang
sang Datuk yang masih senyum-senyum penuh
kemenangan.
Sang Datuk melompat mundur, kaget me-
lihat gerakan Pramana yang begitu cepat dan ga-
nas. Ia tidak mengira kalau Pramana pun telah
meningkatkan ilmu silatnya. Terbukti sang Datuk
tak mampu lagi menghindar dari sergapan Pra-
mana, dan....!
"Hiat....!"
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali berturut-turut, tendangan kaki
dan pukulan tangan Pramana telah mendarat di
wajah sang Datuk yang seketika itu melayang ba-
gaikan terbang terdorong oleh hantaman tersebut.
Mata sang Datuk membeliak tak percaya, me-
nyaksikan kemajuan Pramana yang begitu pesat.
Betapa mungkin, dalam lima tahun Pramana
yang dulu ilmunya berada setingkat dengannya
kini melebihi ilmunya. Namun sebagai orang yang
berwatak keras. Sang Datuk tak mau begitu saja
mau menyadari.
"Hebat! Kau ternyata lebih hebat, Pramana.
Tapi aku tak mau begitu kalah olehmu. Aku ingin
kau lebih banyak memberikan pelajaran padaku,"
sambung sang Datuk dengan sinis.
Pramana berusaha tenang, meski ucapan
sang Datuk dirasakannya sangat menyinggung
perasaan. Mata Pramana yang tajam, tak henti-
hentinya menantang pandangan tatapan mata
sang Datuk. Napasnya sangat tenang, berbeda
dengan napas Datuk Raja Karang yang menden-
gus penuh kemarahan.
"Aku rasa, aku tak lebih darimu, Datuk.
Maka itu aku minta tak usahlah kita teruskan se-
galanya. Kita bukan anak-anak lagi, Datuk."
"Tidak bisa!"
Tercengang Pramana mendengar ucapan
Datuk Raja Karang, walau Pramana sudah men-
duga sebelumnya. Ia tahu bahwa sang Datuk pas-
ti tak akan mau mengalah begitu saja, apalagi
padanya yang telah pernah menjatuhkan. Kini ha-
ti Pramana dihadapkan pada dua pilihan, mengi-
kuti apa yang dimaui si Datuk atau mencari
anaknya.
"Bagaimana, apakah kau mau menyerah-
kan nyawamu untukku?"
Ejekan Datuk Raja Karang sudah keterla-
luan, sudah menjurus pada hal merendahkan
martabat Pramana sebagai seorang pendekar.
Pramana seketika mendengus marah, sepertinya
jiwa seorang pendekarnya kembali menggen-
tak-gentak hatinya untuk mau menerima tantan-
gan sang Datuk.
"Baik, aku layani apa maumu!"
Habis berkata begitu, Pramana seketika
kembali berkelebat. Kali ini bukan tangan kosong,
tapi pedang pusaka Sukma Layung ikut menen-
tukan. Terkesima Datuk Raja Karang melihat pe-
dang tersebut, sehingga matanya yang sudah tua
memandang membeliak.
"Pedang Sukma Layung!" pekiknya terta-
han.
Kini hanya ada dua keputusan, mati dite-
bas pedang Sukma Layung atau mati oleh asap
pedang. Menilai begitu, Datuk Raja Karang bagai-
kan orang kesurupan. Ia nekad memapaki seran-
gan yang dilancarkan Pramana dengan pe-
dangnya.
Pertarungan dua musuh bebuyutan itu
kembali berjalan, seperti hendak mengenangkan
kembali mereka pada kejadian lima tahun silam.
Bedanya kalau lima tahun yang silam Pramana
bersama saudara-saudara seperguruannya, tapi
kini Pramana menghadapi sendiri. Namun sung-
guh berbeda Pramana sekarang dengan yang du-
lu. Pramana sekarang sungguh tinggi ilmunya,
apalagi dengan pedang Sukma Layung di tangan-
nya yang begitu dahsyat. Orang menghadapi
Pramana harus berpikir seribu kali, kecuali orang
nekad seperti Datuk Raja Karang.
Karena hatinya didera rasa was-was pada
pedang Sukma Layung, menjadikan gerakan Da-
tuk Karang begitu lamban. Ya, hatinya tak te-
nang, penuh rasa takut kalau-kalau jalan napas-
nya tak tahan menghadapi asap tebal yang bergu-
lung-gulung keluar dari pedang tersebut. Asap itu
memang makin lama makin tebal, menyelimuti
keadaan mereka seketika hilang. Bau asap terse
but mampu menyumbat pernapasan, menjadikan
sang Datuk harus mampu menahan napasnya.
Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya
sang Datuk lebih banyak terdesak daripada men-
desaknya. Pedang Sukma Layung terus mencerca
mencari titik mati bagi lawannya. Sebenarnya
Pramana mudah untuk mengakhiri pertarungan
tersebut, namun ia sengaja mengulur serangan.
Kalau saja pedang tersebut digerakkan makin ce-
pat, niscaya dalam sekejap saja sang Datuk su-
dah tak akan mampu lagi menahan napas. Tapi
Pramana yang tak ingin membunuh berusaha
menjatuhkan lawannya dengan tanpa korban.
"Menyerahlah, Datuk!"
"Tidak! Aku belum kalah olehmu! Aku akan
mengadu jiwa dengan dirimu, Pramana!"
Pramana hanya mampu menghela napas
panjang, terasa berat dirasakannya. Ia sebenar-
nya tak ingin pedangnya terlumur darah, tapi
keadaan menghendaki lain. Kalau ia harus men-
galah pada Datuk Raja Karang apalah nantinya
yang akan terjadi pada keluarganya dan dunia
persilatan. Dengan mendengus sewot Pramana
kembali membentak:
"Datuk tak tahu diri! Kalau memang itu
yang engkau mau, baiklah! Jangan salahkan aku
mengasah pedang pusaka ini pada darahmu!"
"He, he, he.-.! Ucapanmu sombong, Prama-
na!"
"Dasar manusia tak mau diuntung! Apakah
kau kira aku tak mampu melakukannya!"
"Lakukanlah, Pramana! Lakukan kalau
engkau mampu!" ejek sang Datuk dengan gelak
tawa terkekeh, menjadikan Pramana yang tadinya
masih memendam rasa kasihan kini berubah
menjadi rasa benci. Pedang Sukma Layung di
tangannya tiba-tiba mengeluarkan sinar merah,
seakan sinar itu hendak menghancurkan serta
meremukkan apa saja. Pantulannya begitu menyi-
laukan, menjadikan mata sang Datuk seketika
menyipit. Pandangan sang Datuk terganggu, tak
mampu untuk melihat jelas apa yang ada di ha-
dapannya. Namun, Pramana rupanya masih
menghendaki penyelesaian secara damai, sehing-
ga dengan nada melemah ia kembali berkata:
"Masihkah kau berkeras hati, Datuk?"
"Sudah aku katakan, aku tak akan menye-
rah dan tak akan membiarkan kau hidup!" gerutu
sang Datuk marah. Hatinya panas, sepanas den-
damnya yang membara. "Kalau kau tak membu-
nuhku, maka akulah yang akan membunuhmu,
Pramana!"
Pramana masih terdiam, memandang pada
sang Datuk yang nampak menutup kedua ma-
tanya dengan tangan. Hatinya seketika menggele-
gar marah, kesal, dan segala macam perasaan tak
enak berkecamuk menjadi satu. Napasnya yang
tadinya tenang, berganti dengan napas liar mem-
buru. Tangannya bergetar hebat, hawa pedang
Sukma Layung menyebabkan dirinya bagaikan
diguncang. Pedang itu rupanya meminta darah,
entah darah siapa. Apakah darah sang Datuk,
atau mungkin darahnya sendiri bila ia tak mam-
pu memberikannya.
"Hiat...!" tiba-tiba Pramana memekik, te-
baskan pedangnya ke tubuh sang Datuk. Sang
Datuk yang tersentak berusaha menghindar, na-
mun gerakan pedang Sukma Layung ternyata le-
bih cepat dari dugaannya. Tak ayal lagi...!
"Aaah...!"
Muncrat seketika darah Datuk Raja ka-
rang, kepalanya terbelah jadi dua. Memang apa
yang dikatakan Pramana benar, bahwa pedang
pusakanya akan diasah oleh darah. Terbukti su-
dah! Tubuh sang Datuk terlantah, menyosot ke
tanah tanpa nyawa.
Dua mata dari balik semak menyaksikan
hal itu, yang tanpa diketahui oleh Pramana. Pra-
mana yang telah melihat musuhnya mati, dengan
segera berkelebat pergi meninggalkan tubuh mati
tersebut. Bersamaan dengan hilangnya tubuh
Pramana, pemilik mata itu seketika berkelebat
menghampiri. Sesaat dipandangnya tubuh sang
Datuk, hatinya menggumam. "Pramana! Tunggu-
lah pembalasanku, pembalasan kami!" Lalu tu-
buh pemuda itu berkelebat, menghilang tinggal-
kan mayat, Datuk Raja Karang yang masih terge-
letak menjadi dua.
EMPAT
Sejak kematian Datuk Raja Karang, maka
Bukit Karang Bolong makin sepi bagaikan tak
bertuan. Keangkeran Bukit Karang Bolong di-
kaitkan dengan berita-berita adanya hantu yang
menghuni Bukit tersebut. Mungkinkah hantu itu
roh Datuk Raja Karang? Entahlah! Yang pasti di
Bukit Karang Bolong ada seorang wanita muda
dan cantik yang muncul tiba-tiba. Sebenarnya
wanita muda dan cantik itu adalah istri Datuk
Raja Karang.
Dibanding dengan usianya, jauh sekali
keadaan wajah serta fisik wanita tersebut. Wa-
jahnya masih cantik jelita, juga fisiknya masih
begitu kuat, tak ada kulit keriput atau guratan-
guratan usia di mukanya. Dia bernama Nyi Mas
Ayu Salidri, anak seorang pembesar istana yang
dipersunting oleh sang Datuk. Sebenarnya dulu
penyuntingan Nyi Mas Ayu Salidri tidak direstui
oleh ayahandanya, mengingat Datuk Raja Karang
bukanlah orang-orang lingkungan istana dan ha-
nyalah tokoh persilatan. Namun karena keduanya
sudah saling menyinta, maka dengan penuh ke-
beranian keduanya melarikan diri dari lingkungan
istana dan menetap di Bukit Karang. Disebabkan
penghuninya yaitu Nyi Mas Ayu Salidri telah tidak
perawan, maka Bukit Karang itu dikenal dengan
nama Bukit Karang Bolong.
Karena rasa cintanya yang begitu dalam
terhadap Datuk Raja Karang, menjadikan Nyi Mas
Ayu Salidri mendendam pada Pramana dan ke-
luarganya. Namun untuk menghadapi sendiri, je-
las ia tak mempunyai keberanian. Sebab di samp-
ing Pramana orang sakti mandraguna, juga memi-
liki pedang Pusaka Sukma Layung.
"Bagaimana aku harus menghadapi Pra-
mana? Dia begitu sakti, ditambah dengan Pedang
Sukma Layungnya yang sangat berbahaya. Ja-
rang sekali orang mampu menghadapi pedang
tersebut. Suamiku juga tak mampu, apalagi den-
gan diriku," renung Nyi Mas Ayu Salidri sendiri.
Tengah ia merenung, mencari bagaimana
jalan untuk dapat membalas dendam, tiba-tiba te-
linganya mendengar suara suaminya yang sudah
tiada seperti berkata: "Nyi Mas, kalau kau ingin
membalas dendam padanya aku rasa itu tak per-
lu. Ambilah nanti anak darinya yang gadis. Meni-
tislah kau padanya, niscaya kau akan menda-
patkan ketenangan diri. Berbuatlah sesuka hati-
mu, sebab dengan penitisanmu dengannya akan
menjadikan sebuah kekuatan yang Maha Dah-
syat! Kesaktianmu dan kesaktiannya akan berga-
bung menjadi satu. Gantikan kedudukanku seba-
gai seorang penguasa Bukit Karang Bolong. Ingat
Nyi, kau harus mampu menunjukkan pada dunia
bahwa Penguasa Bukit Karang Bolong masih ada
dan masih harus diperhitungkan."
"Kenapa aku tidak boleh mendendam pada
keluarga Pramana, Kakang?"
"Nyi Mas, aku sekarang dalam ketenangan.
Bila kau mendendam, maka berarti kau tidak
sayang padaku. Sudahlah, kau turuti saja apa
yang menjadi saranku. Kacaukan dunia persila-
tan. Bukankah dengan kau menitis di tubuh anak
gadis Pramana secara tak langsung kau sudah
membalas dendam?" tanya suara Datuk Raja Ka-
rang, yang diangguki oleh sang istri. "Dengan
anaknya berbuat sadis, maka Pramana akan
mencoba menghentikannya. Bukankah dengan
begitu kau mampu menghadapi Pramana?"
"Benar juga ucapanmu, Kakang." jawab Nyi
Mas Ayu Salidri.
"Nah, kau lakukan segalanya nanti apabila
telah terjadi sebuah petaka bagi anak gadis Pra-
mana itu."
"Petaka apa yang datang menimpanya, Ka-
kang?" tanya Nyi Mas Ayu ingin tahu.
Maka dengan suara berat Datuk Raja Ka-
rang pun menceritakan apa yang bakal terjadi di
dunia persilatan, sampai-sampai mengenai akan
datangnya seorang pendekar yang nantinya akan
membantu istrinya menyusul ke alamnya sana.
Sementara Datuk Raja Karang bercerita, Nyi Mas
Ayu Salidri mendengarkannya dengan seksama
tanpa berkeinginan menanya atau memutus ceri-
ta tersebut.
"Kalau begitu percuma usaha kita, Ka-
kang?"
"Tidak, Nyi Mas. Memang untuk kita kem-
bali bersatu harus menjalani hal-hal yang pernah
aku lakukan."
Tercenung diam Nyi Mas Ayu Salidri men-
dengar jawaban suaminya. Hatinya seketika gun-
dah, sebab ia tidak ingin mati terlebih dahulu se-
belum dirinya mampu menguasai jagad. Kalau
harus menuruti segala nasib, percuma ia harus
menitis pada anak gadis Pramana.
"Tidak! Aku tidak ingin mati lebih dini! Aku
harus mampu menjadikan diriku seorang Ratu
yang disegani. Hi, hi, hi...! Maafkan aku, Kakang.
Aku terpaksa menyeleweng dari apa yang kau
rencanakan, karena aku ingin menjadi seorang
Ratu. Ya, Ratu...." membatin Nyi Mas Ayu Salidri.
Suasana kembali hening, sunyi senyap ba-
gaikan di pekuburan. Bukit Karang Bolong nam-
pak diselimuti dengan misteri. Bukit itu seakan
tegak, menantang kehidupan manusia untuk
mengadakan sebuah bencana yang harus ditang-
gulangi. Apakah yang bakal terjadi di Bukit Ka-
rang Bolong nantinya?
* * *
Pramanayuda yang sudah hampir putus
asa mencari keberadaan anaknya nampak terce-
nung dalam duduknya. Ia masih memikirkan ke-
matian Datuk Raja Karang. Sebenarnya hal itu ti-
dak ia inginkan, namun sungguh di luar dugaan.
"Mengapa hal itu terjadi? Mengapa aku ha-
rus membunuh?" keluh Pramanayuda, seakan
menyesali apa yang telah ia perbuat dengan sega-
la tindakannya. "Sebenarnya aku tak ingin mem-
bunuh, tapi rupanya sang Datuk memaksa-ku.
Oh, aku telah berdosa. Tanganku kini telah ter-
lumur oleh darah."
Melihat suaminya tercenung, sang istri
yang baru saja keluar dari dapur dengan memba-
wa secangkir kopi dan singkong rebus sepiring
terhenyak. Dia berdiri mematung, memandang
pada suaminya yang seperti orang tak punya gai-
rah. Perlahan ia menghampiri, dan sampai ia me-
naruh piring pun sang suami masih tampak tak
acuh adanya.
"Kakang, kenapa dengan dirimu?"
Pramanayuda tersentak seketika demi
mendengar pertanyaan istrinya. Ia mencoba ter-
senyum, walau senyum itu dipaksakan agar gun-
dah gulana dalam hatinya tidak diketahui oleh
sang istri.
"Apakah kakang memikirkan sesuatu?"
kembali istrinya bertanya.
"Ah, ti-tidak," jawab Pramana terbata.
"Mengapa Kakang melamun bengong?"
Pramana terdiam tanpa dapat menjawab
pertanyaan sang istrinya. Matanya memandang
lekat-lekat pada wajah istrinya, yang tersenyum
sembari ulurkan tangan menggapai tangan sua-
minya. Terbayang semua kenangan lama, di mana
kenangan indah bergayut saat-saat keduanya
masih remaja. Walau keduanya anak orang-orang
tak berada, namun karena rasa cinta yang tulus
menjadikan keduanya hidup rukun dan tentram.
Mereka bina satu keluarga bahagia, senang lahir
maupun batin. Tapi kebahagiaan mereka yang
sudah berjalan hampir dua puluh tahun, kini te-
renggut dengan hilangnya putra pertamanya yang
bernama Tegalaras. Bocah tanggung itu kini raib
bagaikan ditelan bumi, tak tentu di mana rim-
banya.
"Aku telah melumuri tanganku dengan da-
rah. Ya, aku telah membunuh sesebrang musuh-
ku. Padahal aku sudah berjanji tidak akan mem-
bunuh lagi apabila aku telah mempunyai seorang
anak wanita. Oh, petaka apa yang akan kita ala-
mi, Dinda?"
"Ah, mengapa kakang terlalu hanyut dalam
kecemasan?" istrinya mencoba menghibur. "Tak
perlulah kakang memikirkan hal itu. Kalau pun
akan datang petaka bagi kita, maka sepantasnya-
lah kita serahkan semuanya pada yang Kuasa.
Bukankah begitu, Kakang?"
"Ya, memang seharusnya begitu. Tapi aku
sangat mengkhawatirkan akibatnya pada putri ki-
ta, Ningrum."
Terhenyak dalam diam istri Pramana men-
dengar ucapan sang suami. Sepertinya ucapan
sang suami sebuah desau ketakutan yang tera-
mat sangat. Namun untuk menghiburnya sung-
guh sukar, karena sepertinya sang suami me-
mendam sebuah rahasia yang menyangkut kea-
daan dirinya dan keluarga khususnya anak ga-
disnya Ningrum. Memang sepengetahuan istri
Pramana, sejak Pramana mempunyai anak wanita
ia tidak lagi mengadakan pertarungan seperti
layaknya kala ia masih muda atau manakala
memiliki anak Tegalaras. Sejak lahirnya Ningrum
kegiatan Pramana untuk berkelana pun terkunci,
dan ia lebih banyak mengurung diri di dalam ru-
mah atau memomong anak-anaknya. Bahkan tu-
gasnya sebagai seorang pimpinan di perguruan ia
limpahkan pada murid utamanya Kala Jangka.
Hanya akhir-akhir ini saja, yang menjadikan
Pramana sibuk, yaitu mencari keberadaan anak-
nya Tegalaras.
"Kakang, sepertinya kakang memendam
sebuah rahasia?" tanya istrinya kembali, setelah
terhanyut dalam pikirannya manakala mendengar
penuturan sang suami.
"Ah, aku rasa aku tidak memendam apa-
apa, Dinda."
"Ya, sudahlah. Kalau memang kakang tidak
memiliki sebuah rahasia, aku minta kakang tak
perlu mencemaskan segalanya. Serahkanlah apa
yang bakal terjadi pada Yang Kuasa, sebab hanya
Dialah yang tahu rahasia alam ini. Kalau ia me-
mang menghendaki demikian, aku rasa ada mak-
na tersendiri."
Ucapan istrinya begitu dingin, menyirami
hati Pramana yang saat itu tengah dalam keadaan
gersang dan panas. Gersang oleh ketakutan yang
bakal menimpa keluarganya, juga panas oleh api
kemarahan pada diri sendiri yang tak mampu
mencari jejak keberadaan anaknya, padahal ia te-
lah terkenal sebagai seorang pendekar yang
mumpuni.
"Ah! Tak ada artinya gelar pendekar, kalau
aku tak mampu menemukan anakku," sering ka-
ta-kata itu melintas dalam benak Pramana, na-
mun kadang juga ia sadar. Sehebat-hebatnya
manusia, ia akan mengalah pada nasibnya. Nasib
yang telah digariskan oleh Yang Wenang. Maka
bila ia sadar, ia akan menggumam kembali.
"Mungkin semua kehendak Yang Mencipta
alam. Aku hanyalah sebagai manusia yang mam-
pu merencanakan tapi tak mampu menentukan-
nya."
Hari telah makin larut, meninggalkan be-
kas-bekas waktu yang sedikit demi sedikit akan
segera berubah. Begitu halnya dengan manusia,
ia yang biasanya terjaga harus mengalah pada
waktu. Kantuk pun datang, menghanyutkan sega-
la pikiran dan halusinasi serta angan-angan.
* * *
Waktu terus berputar bagaikan baling-
baling kehidupan yang cepat. Lima tahun sudah
masa kebimbangan terlewati oleh Pramana dari
keluarganya. Ningrum kini telah menginjak dewa-
sa, menjadi seorang gadis cantik. Kecantikannya
tiada tara, menjadikan banyak sekali pemuda
yang berlomba-lomba untuk mendapatkan apa
yang ada pada diri Ningrum
Pada suatu hari, datanglah serombongan
lelaki dan wanita yang ingin melamar Ningrum.
Orang-orang tersebut, sepertinya dari kalangan
orang berada. Ditilik dari pakaian yang mereka
kenakan, jelas tergambai kemewahan dan kebesa-
ran sebagaimana layaknya orang-orang yang me-
miliki banyak harta.
Rombongan itu memang dari kalangan
orang berada, tepatnya dari seorang tuan tanah
kaya! Di wajah-wajah orang tersebut, sepertinya
membersit rasa ketidakpuasan. Wajah mereka ke-
lam tenggelam oleh bayang-bayang sebuah kehi-
dupan. Mungkin mereka menerima tugas untuk
meminang Ningrum anak seorang pendekar yang
mumpuni dengan secara paksa, atau mungkin
mereka tidak menyukai juragannya melamar Nin-
grum? Entahlah. Yang pasti, mereka melangkah
dengan langkah berat, berwajah gelap penuh rasa
tak percaya diri. Rombongan itu terus melangkah
dengan bisu, tiada kata atau canda ria yang
menggaung di hati mereka. Apalagi manakala me-
reka makin dekat ke rumah Pramana, sepertinya
ketakutan dan rasa tak percaya diri makin meng-
gayuti berat.
"Apakah kita akan membawa hasil?" seo-
rang lelaki tua yang berjalan paling muka berna-
ma Ki Rawe-rawe bertanya pada semuanya yang
tak seorang pun mampu menjawabnya. "Bagai-
mana kalau pinangan kita ditolak?"
"Entahlah, Ki. Kalau memang ditolak, su-
dah sepantasnya, bukan?"
"Yang engkau maksudkan, Gakel?" Ki
Rawe-rawe kerutkan kening demi mendengar
ucapan temannya yang bernama Gakel, seorang
lelaki tua sebayanya yang memiliki badan pendek
"Kita semestinya malu pada Tuan Prama-
na. Bagaimana pun, juragan kita sudah begitu
lanjut, tak sepantasnya harus menyanding putri
Ningrum. Ah, memang juragan kita keterlaluan."
"Huss... kau jangan ngomong begitu."
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Apa kau tidak tahu kalau di sini banyak
penjilat?" Ki Rawe-rawe memperingatkan pada
temannya. Namun dia sendiri tidak menyadari ka-
lau ucapannya juga mengandung bahaya bila di-
dengar oleh orang-orang yang dikatakannya penji-
lat.
Kedua orang tua itu kembali diam, me-
langkah dengan ketidakyakinan di hati mereka.
Mata mereka redup, sepertinya memiliki sakwa
sangka yang tak enak. Dan manakala jarak mere-
ka telah hampir dekat dengan rumah Pramana,
langkah mereka merandek bagaikan tiada tenaga
lagi untuk meneruskan.
"Siapa yang akan mendahului?" tanya Ki
Rawe-rawe pada semuanya yang seketika saling
pandang. Dari sorot mereka jelas sudah tampak
bahwa mereka sangat jeri pada Pramana, seorang
yang disegani oleh kawan maupun lawan. Seo-
rang pendekar yang tidak sombong.
Melihat semuanya saling terdiam saling
pandang, Ki Rawe-rawe kerutkan kening kembali
seraya bertanya: "Heh, mengapa kalian terdiam?
Apakah kalian telah lupa pada apa yang kalian
katakan pada Juragan kalian?"
"Kami tak berani, Ki?"
"Ah, kalian ternyata orang-orang yang di
depan dan di belakang lain. Di hadapan juragan,
kalian mengatakan ya. Tapi di belakangnya, ter-
nyata kalian tak lebih seekor tikus!" Ki Rawe-rawe
begitu sewot. Memang sebenarnya ia sendiri eng-
gan untuk melakukan pinangan tersebut. Ia me-
mikir apa mungkin seorang gadis cantik dan mu-
da harus bersanding dengan seorang tua. Tak
masuk di akal ulah juragannya, sungguh tidak
masuk di akal!
Melihat kemarahan Ki Rawe-rawe, seketika
semuanya tak ada yang berani membuka mulut.
Mereka menyadari bahwa diri mereka memang
kurang berani untuk melakukan semua perintah
juragannya yang sangat keterlaluan.
"Bagaimana, apakah tak ada seorang pun
yang berani?" Ki Rawe-rawe kembali berseru.
"Ayo, mengapa kalian pada diam kayak cacing-
cacing kepanasan?"
"Ki, apa tidak sebaiknya kita pulang lagi?"
seseorang mengusulkan. "Kita bilang saja bahwa
usaha kita gagal karena pihak si gadis menolak."
"Sontoloyo! Kau tak lebihnya seorang ban-
ci! Minggat dari sini!" bentak Ki Rawe-rawe penuh
amarah. Bagaimana mungkin ia akan menuruti
kemauan orang tersebut, yang dirasakannya
sungguh suatu tindakan kafir yang hendak men-
gadu domba. Orang tersebut seketika diam, tak
berani mengulang kata lagi.
"Kalau kalian tidak berani, mengapa kalian
harus mengatakannya, ya, ya, ya...! Dasar manu-
sia-manusia tak tahu diri!"
Mereka terus terdiam tak hiraukan caci
maki Ki Rawe-rawe. Mereka memang menyadari,
bahwa merekalah yang serba salah. Di hadapan
juragannya, mereka mengatakan ya berani untuk
meminang. Tetapi kini, tak tahunya mereka me-
lempem.
Keributan tersebut rupanya didengar oleh
Pramana yang segera datang menghampiri. Wajah
Pramana mengerut, melihat serombongan orang
dengan membawa lengkap apa yang dibutuhkan
dalam tunangan mandek pada berdiri di halaman
rumahnya.
"Ki Sanak sekalian, ada gerangan apa
hingga ki sanak ribut-ribut?" tanya Pramana sete-
lah mengetahui hal yang pasti. "Kalaulah Ki sa-
nak sekalian ingin bertandang ke gubugku, men
gapa Ki sanak tak langsung saja?"
Semuanya seketika menundukkan wajah,
seakan tak berani untuk menentang pandang
dengan seorang yang mereka kenal sebagai pen-
dekar yang disegani. Melihat hal tersebut Prama-
na sunggingkan senyum, lalu dengan suara ra-
mah kembali berkata: "Kenapa? Apakah kalian
merasa takut padaku? Ah, sungguh aku tak men-
gerti kalau kalian memang takut padaku. Keta-
huilah oleh kalian, aku tak akan pernah menyaki-
ti seorang ataupun seekor pun binatang bila tidak
mendahului. Begitu juga halnya dengan kalian,
aku tak akan mengusik kalian bila kalian tidak
terlebih dahulu mengusik diriku dan keluargaku."
Ucapan Pramana bagaikan sebuah air se-
juk yang menyirami kerongkongan mereka saat
dahaga. Mata mereka yang redup, seketika kem-
bali bersinar. Ada setitik api menyinari hati mere-
ka, menjadikan mereka makin tahu siapa adanya
Pramana. Lama kelamaan, rasa tahu itu menjadi-
kan rasa hormat dan segan di hati mereka.
"Maafkan segala kelakuan kami, Tuan
Pramana," menjura hormat Ki Rawe-rawe mewaki-
li segenap rekan-rekannya. "Kami diutus oleh ju-
ragan kami untuk..."
Belum juga Ki Rawe-rawe habis katanya,
Pramana telah mendahului berkata: "Ah, apakah
pantas kita bicara di pekarangan?"
Ki Rawe-rawe tersentak kaget, tak me-
nyangka kalau ia akan mendapatkan sindiran
yang halus. Maka dengan suara tergagap karena
merasa tersindir, Ki Rawe-rawe kembali berujar:
"Ah, maafkan atas kebodohan ku."
"Tidak apa-apa, Ki. Mari silakan masuk ke
rumahku. Rumahku terbuka lebar untuk siapa
saja yang memang bermaksud baik. Tapi bila
mempunyai tujuan buruk, maka Aki dapat meli-
hat sendiri di sana." Dengan berkata Pramana
tunjukkan jari telunjuknya ke tempat sebuah ha-
laman di mana terdapat ratusan muridnya tengah
berlatih ilmu silat. Seketika orang-orang yang me-
lihatnya terbelalak, ada rasa ngeri dan takut me-
lihat hal tersebut.
Memang, mereka yang akan berbuat jahat
niscaya harus berhadapan dengan murid-murid
Pramana yang banyak. Mereka mungkin telah di-
latih segala kemampuan berkelahi dan ilmu-ilmu
oleh Pramana selaku guru dan sekaligus pimpi-
nannya di Perguruan Manik Astajingga.
Melihat tamu-tamunya merandek, Pramana
kembali ulaskan senyum dan berkata: "Tak perlu-
lah kalian takut, sebab aku yakin kalian bermak-
sud baik-baik. Bukan begitu, Ki?"
"E... be-benar," jawab Ki Rawe-rawe gagap,
ia terkejut oleh pertanyaan Pramana yang da-
tangnya secara tiba-tiba. "Memang kami bermak-
sud baik-baik."
Para tetamu itu kembali melangkah, me-
masuki halaman rumah Pramana dan terus ke
balai-balai. Mereka disambut oleh istri Pramana
serta anaknya Ningrum yang ramah tersenyum
menyambut kedatangan mereka.
Setelah duduk-duduk dalam ramah tamah
sesaat, maka dengan terlebih dahulu mengulum
ludah untuk membasahi tenggorokannya yang
kering Ki Rawe-rawe berkata menerangkan mak-
sud kedatangannya dengan para temannya. Mu-
lanya Pramana dan keluarganya hanya menden-
gar, namun setelah mengetahui siapa adanya
orang yang menyuruh mereka maka dengan halus
Pramana berkata: "Maaf, Ki. Bukannya kami ke-
beratan. Tapi, segala keputusan yang paling ber-
hak adalah anak kami Ningrum."
"Hamba mengerti, Tuan," jawab Ki Rawe
pasrah.
"Nah, bagaimana, Ningrum? Apakah kau
menerimanya?"
"Ampun, Ayahanda, Ningrum sangat me-
nyesal tak dapat menerima pinangan Ki Rengka-
na. Ningrum telah memiliki calon, Ayahanda."
"Nah Ki, itulah keputusan anakku," Pra-
mana kembali berkata, yang segera diangguki
oleh Ki Rawe-rawe dan segenap para kadangnya.
"Kalau begitu kami mohon pamit undur."
"Ah, mengapa mesti bergegas, Ki? Sabarlah
dulu, bukankah kami belum mengobati kedatan-
gan kalian?" Pramana mencoba mencegah, na-
mun Ki Rawe dengan halus menolaknya. Maka
akhirnya dengan pasrah Pramana dan keluar-
ganya pun mengijinkan mereka kembali.
Dengan diiringi tatapan mata keluarga
Pramana, mereka melangkah dengan berat me-
ninggalkan rumah Pramana. Kini mereka dalam
bimbang, ragu untuk kembali pulang. Betapa
mungkin mereka akan menghadapi kemarahan
tuannya.
Senja telah datang, menepiskan siang yang
telah menjalani masa tugasnya. Mereka terus me-
langkah menuju ke tempat asal, di mana mereka
tadi datang. Sang mentari seperti tak memperdu-
likan mereka, lenyap di balik bumi sebelah Barat.
EMPAT
Kegagalan para suruhannya untuk memi-
nang Ningrum memang sudah ada dalam piki-
rannya. Sebenarnya bukan itu maksud Rengkana
sebenarnya. Maksud yang sebenarnya adalah
mencari jalan untuk membalas kematian kakak-
nya si Datuk Raja Karang. Namun untuk terus te-
rang melakukan balasan ia tak berani karena ke-
beradaannya sebagai adik Datuk Raja Karang
akan jelas kentara dan diketahui oleh kalayak
ramai
Dengan kegagalan para utusannya untuk
meminang Ningrum, maka jalan untuk mengada-
kan pembalasan terbuka sudah. Kini tinggal men-
cari siapa-siapa orangnya yang mampu melaku-
kan segala apa yang telah direncanakan. Bagi
Rengkana, tak berani pada ayah si gadis tak men-
jadi soal, yang penting ia akan membuat petaka
bagi keluarga Pramana.
"Aku akan membuat Pramana malu!" den-
gusnya berapi
Hari itu juga, dicarinya kenalannya yang
dianggap mampu melakukan segala apa yang te-
lah terencana. Rengkana dengan menunggang
kuda bergegas menuju ke arah Wetan, di mana
para sahabatnya yang bergelar Tiga Serangkai
Hantu berada. Tempat yang dituju oleh Renggana
tak lain desa Kelangitan di mana Tiga Serangkai
Hantu tersebut berada.
Desa Kelangitan letaknya tak begitu jauh
dari keberadaannya sekarang. Bila ditempuh den-
gan menunggang kuda, maka akan memerlukan
waktu tiga jam. Sedang bila ditempuh dengan ja-
lan kaki, memerlukan waktu setengah hari perja-
lanan.
Kuda yang ditunggangi Rengkana terus
melaju, menaiki gunung dan kadang harus me-
nyeberangi sungai. Menerobos hutan serta se-
mak-semak, lalu menjarah persawahan yang ma-
sih kering kerontang akibat kemarau yang pan-
jang. Digebasnya kuda tersebut dengan kencang,
sepertinya Rengkana tak sabar untuk menemui
ketiga teman-temannya.
Ketika ia hampir mendekati tempat di ma-
na Tiga Serangkai Hantu berada, segera Rengka-
na lambatkan lari kudanya. Matanya memandang
lurus-lurus, sepertinya ia ingin menyaksikan apa
yang berada di hadapannya. Di depannya kini
terhampar hutan bakau, yang sarat dan sempit
karena saking penuhnya. Perlahan kuda tung-
gangannya melangkah, ada perasaan aneh yang
seketika bergayut di hatinya. Perasaan aneh itu,
makin lama makin besar bersamaan dengan ma-
kin mendekatnya kuda yang ditumpangi Rengka-
na ke hutan bakau.
"Hem, apa yang menjadikan hatiku was
was. Aku harus berhati-hati, sebab tidak mung-
kin kalau keadaan tenang hatiku harus berdebar
seperti ini." Rengkana makin memperlambatkan
kudanya melangkah. Dipasangkan pendengaran-
nya dengan tajam, sehingga suara gemeresek se-
dikit pun akan jelas ia dengar.
Pertama kaki kudanya memasuki hutan
bakau, tak ada apa-apa. Makin ke dalam, lalu te-
rus melangkah ke dalam. Ketika kuda yang di-
tumpangi Rengkana sampai di tengah-tengah hu-
tan bakau, tiba-tiba sebuah tombak hampir saja
menyate tubuhnya bila Rengkana tidak segera
lompat. Tapi tak urung tombaknyalah yang mele-
sat menghantam kudanya. Sesaat kuda itu me-
ringkik, lalu akhirnya menggeletak mati.
Mata Rengkana melotot, marah dan takut
beraduk menjadi satu. Dengan agak takut Reng-
kana segera bangkit, lalu dengan penuh kemara-
han ia membentak: "Siapa adanya engkau, ke-
luarlah!"
"Kau manusia iblis! Kau harus mati di tan-
ganku!"
Rengkana tersentak kaget demi mendengar
balasan bentakan suara seseorang yang telah
menuduhnya. Dia berusaha mencari orang yang
memiliki suara tersebut, namun sepertinya suara
itu tiada yang memiliki. Orang yang berkata tak
dilihat oleh Rengkana, menjadikan Rengkana se-
ketika bergidig bulu kuduknya. Tengah Rengka-
na, bingung tak tahu siapa yang telah berkata-
kata, kembali terdengar suara bentakan.
"Kau manusia iblis! Kau telah dengan licik
membunuh pamanku! Kau pura-pura ingin ber-
guru pada paman, lalu setelah kau curi Kitab Se-
rat Kumajang kau bunuh paman! Dasar manusia
berhati iblis!"
"Siapa kau! Kalau kau manusia, aku minta
keluar dan tunjukkan batang hidungnya agar
dengan mudah aku congkel matamu!" bentak
Rengkana sewot. Dihunusnya keris pusaka, lalu
diacungkan ke arah suara itu. Namun belum juga
ia tahu siapa adanya suara tersebut, tiba-tiba se-
buah bayangan berkelebat dan...!
"Ini aku...!"
Bersamaan dengan munculnya bayangan
tersebut, tiba-tiba Renggana mengerang memapa-
ki orang tersebut. Namun gerakan orang tersebut
ternyata lebih cepat dari apa yang ia duga hingga
tak ayal hantaman tangan berisi yang dilancarkan
oleh orang itu telak menghantam muka Rengka-
na.
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali suara hantaman itu terdengar,
dan tiga kali Rengkana harus mengerang kesaki-
tan. Tubuh Rengkana berguling-guling, menahan
sakit yang teramat sangat mendera di wajahnya.
Tulang pipinya terasa remuk, terkena tendangan
yang keras. Rengkana terus meraung-raung kesa-
kitan, sementara orang yang menyerangnya yang
ternyata seorang pemuda berdiri tegak dengan
senyum mengawasi tubuh Rengkana.
"Itulah balasanmu, seorang yang tidak
memiliki rasa terima kasih! Kau telah ditolong
oleh paman, namun balasanmu sungguh menye
dihkan bahkan membuat paman akan mengu-
tukmu!"
"Siapa kau, Anak muda?" terdengar suara
seseorang lain menanyakan pada pemuda yang
berdiri memandangi tubuh Rengkana. Pemuda itu
segera palingkan muka, memandang pada suara
yang bertanya. Senyumnya masih mengembang,
dan lebih tepat dikatakan sinis. Pemuda itu berja-
lan santai meninggalkan tubuh Rengkana yang
masih mengerang dan menghampiri ketiga orang
yang berdiri mengawasinya.
"Namaku Tegalaras. Kalian dengar! Nah,
karena aku tak ada urusan dengan kalian, maka
kalian tak usah banyak kata! Sekarang ganti aku
yang bertanya, siapa adanya kalian semua?"
"Kami dijuluki dengan sebutan Serangkai
Hantu Dari Kelangitan," menjawab Hantu Kelangi-
tan Kumis Putih, menjadikan pemuda yang berdi-
ri di hadapannya seketika bergelak tawa.
"Apa yang engkau tertawakan, Tegalaras!
Aku kira tak ada yang lucu dengan ucapanku!"
Pemuda itu masih gelak tawa. Lalu tanpa
hiraukan mereka seketika kembali berkelebat
pergi menjadikan mereka Hantu Dari Kelangitan
terbingung-bingung dengan tingkah Tegalaras.
"Anak muda sinting. Kasihan, masih muda
harus gila!" gumam Hantu Kumis Hitam. Namun
tiba-tiba kembali terdengar bentakan si pemuda,
menjadikan Serangkai Hantu Kelangitan tersen-
tak kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu men-
dengar suara gumaman Hantu Kumis Hitam? Pa-
dahal jarak mereka sudah begitu jauh, hampir
ada seribu tombak. Tapi pemuda itu dapat men-
dengarnya, bahkan membentaknya pun dari jarak
jauh. Sungguh bukan pemuda sembarangan.
"Apa kalian bilang!"
"Heh, dia mendengar gumamanku," Hantu
Kumis Hitam mendesah kaget, lalu dengan suara
rendah berkata meminta maaf. "Maafkan kami bi-
la kami telah berkata salah."
"Beruntung aku tengah tak ada waktu
mengurusi kalian! Kalau saja aku sempat, maka
kepala-kepala kalianlah yang akan aku puntungi!"
Bergidig juga ketiga Serangkai Hantu Ke-
langitan mendengar ancaman Tegalaras. Mereka
tahu bahwa Tegalaras bukanlah orang sembaran-
gan, terbukti suara gumaman mereka pun sempat
didengarnya. Sungguh seorang pemuda berilmu
tinggi, sayang keadaannya sungguh mempriha-
tinkan.
Setelah melihat Tegalaras menghilang, se-
gera ketiga Hantu Kelangitan hampiri tubuh
prang yang tergeletak. Mata mereka seketika me-
lotot, manakala mengetahui siapa adanya orang
tersebut. Orang tersebut tak lain Rengkana, te-
man mereka sekaligus juragan yang selalu mem-
bayar mereka mahal untuk segala kepentingan-
nya.
"Rengkana! Hai, mengapa ia...?" tanya Han-
tu Kumis Hitam seperti bertanya pada diri sendiri.
"Rupanya pemuda itu yang menyerangnya. Sung-
guh hebat serangan itu sehingga Rengkana yang
terkenal dengan pendekar Balang Nipa, mampu
dirobohkannya dalam segebrakan saja. Untung
pemuda itu tidak kelepasan tangan."
Kedua saudaranya hanya diam, mengang-
kat tubuh Rengkana dan segera membawanya ke
tempat di mana mereka jadikan kediaman. Wajah
Rengkana memar, hancur tulang-tulang pipinya.
Dari hidung Rengkana meleleh darah, juga dari
mulutnya. Mungkin Rengkana mengalami keru-
sakan pada wajahnya.
Direbahkan tubuh Rengkana di atas se-
buah dipan yang sudah bulukan dan reot. Den-
gan cepat ketiganya berusaha mencari serta me-
racik obat-obatan yang sekiranya berguna bagi
Rengkana. Namun muka Rengkana harus begitu,
rusak untuk selama-lamanya. Tulang pipinya ke-
luar, membentuk gambaran wajah yang menye-
ramkan. Hidungnya hancur, hingga menjadikan
koreng dan akhirnya memecah. Hidung itu be-
long, persis hidung tengkorak!
"Apakah kita tak dapat mengembalikan wa-
jahnya, Kakang?"
"Lucu! Mana mungkin kita dapat?" jawab
Hantu Kumis Hitam
"Sungguh kasihan keadaannya," gumam
Hantu Kumis Putih.
"Mungkin harus begini akibatnya."
Ketiga Serangkai Hantu Dari Kelangitan
hanya terpaku, menatap wajah Rengkana yang
burak rantak. Mereka trenyuh melihatnya. Mere-
ka juga bertanya-tanya, ilmu apa yang digunakan
oleh Tegalaras hingga mampu membuat wajah
Rengkana berantakan?
* * *
Rengkana terbaring pingsan selama tiga
hari, ditunggui oleh Ketiga Hantu Kelangitan. Ke-
tika hari telah kembali beranjak pagi Rengkana
nampak menggeliat, sadar dari pingsannya. Ma-
tanya memandang sekeliling, dilihatnya ketiga
Hantu Kelangitan berada di sisinya.
"Di mana aku?" tanyanya dengan suara
lemah.
"Kau berada di pondok kami," jawab Hantu
Kumis Putih. "Beristirahatlah dulu, agar kau jan-
gan lemah hingga tenagamu pulih kembali."
"Siapakah yang telah menyerangku?"
"Dia adalah anak muda, bernama Tegala-
ras."
"Tegalaras...?!" Nampak di wajah Rengkana
ada rasa kekagetan demi mendengar siapa adanya
penyerangnya. "Bukankah Tegalaras telah ma-
ti...?"
"Belum, Rengkana. Dia belum mati, bah-
kan ilmunya kini tinggi sekali," jawab Hantu Ku-
mis Hitam. "Aku yang bergumam lirih saja mam-
pu ia dengar dari jarak yang sangat jauh."
"Ah, dia bukan Tegalaras. Tegalaras telah
jatuh kulemparkan ke bawah jurang."
Membeliak mata ketiga Hantu Kelangitan
demi mendengar jawaban Rengkana yang mence-
ritakan adanya keberadaan Tegalaras. Mereka se-
ketika bergumam, kaget bercampur rasa tak per-
caya. "Apa mungkin ia hantunya?!"
"Mungkin," jawab Rengkana lemah.
"Tapi Rengkana?" Hantu Kumis Putih me-
mutus. "Kalau ia hantu, mana mungkin ia mem-
biarkan kau hidup-hidup. Sepertinya ia tak begitu
menaruh dendam padamu."
"Mungkin juga," gumam Rengkana. Sesaat
Rengkana hela napasnya, tiba-tiba ia merasakan
laju napasnya terasa aneh. Napasnya kini besar,
tidak seperti sebelumnya. Dalam kekagetannya
itu Rengkana seketika memekik bertanya. "Kena-
pa aku?"
Ketiga Hantu Dari Kelangit tak ada yang
dapat menjawab. Ketiganya hanya diam, tak men-
gerti harus berkata bagaimana. Hal itu menjadi-
kan Rengkana kembali bertanya seraya bangkit
dari tidurnya.
"Kenapa dengan aku?! Kenapa?! Kenapa
kalian hanya diam saja?"
Diguncang-guncangkan tubuh ketiga Han-
tu Dari Kelangit satu persatu. Namun ketiganya
hanya diam, bahkan roman muka mereka seperti
sedih. Hal itu menjadikan Rengkana ingin tahu,
maka dirabanya muka dengan tangannya. Seketi-
ka Rengkana memekik, memekik karena harus
menerima keadaan yang sangat menyedihkan.
Hidungnya telah growong bagaikan hidung orang
mati. Juga pipinya, pipinya menonjol keluar
membentuk sebuah gunung yang mengalingi wa-
jahnya. Rengkana seketika menangis, merasakan
betapa perih dan sakitnya hal yang ia alami. Kini
wajahnya mirip hantu, hantu yang menyeramkan.
Tanpa hiraukan ketiga Hantu Kelangit, Rengkana
segera berkelebat pergi untuk mencari air. Dan
manakala ia memandang pada permukaan air,
kembali Rengkana menjerit.
"Tidak...! Mukaku tidak seburuk ini, hu,
hu, hu...!"
"Sudahlah, Rengkana. Memang itu yang
harus kau terima. Akibat pukulan Tegalaras mu-
kamu kini harus begitu," Hantu Kumis Putih
mencoba menghibur.
"Tidak! Aku tak ingin mukaku begini!" Se-
benarnya ketiga Hantu Kelangitan hendak tertawa
mendengar ucapan Rengkana yang lucu. Betapa
tidak. Mana mungkin muka yang sudah rusak di-
betulkan kembali? Apakah harus dipermak? Na-
mun untuk tertawa, mereka sungguh tidak tega.
Mereka tahu bagaimana menderitanya diri Reng-
kana. Kalau mereka yang mengalami, sungguh
mereka pun akan mengalami guncangan jiwa se-
perti Rengkana. Beruntung Tegalaras tak menu-
runkan tangan jahat pada mereka. Kala menu-
runkan tangannya, sungguh petaka bagi mereka
yang akan mengalami hal serupa dengan apa
yang dialami Rengkana.
"Sudahlah, Rengkana. Tak perlu kau sesali
apa yang telah terjadi. Sekarang katakan apa
maksudmu menemui kami, semoga kami dapat
membantumu."
Rengkana yang menangis segera terdiam.
Ia kini teringat pada tujuannya semula, meminta
tolong pada ketiga Hantu Dari Kelangit untuk me-
lakukan apa yang telah ia kerjakan.
Dengan masih terisak oleh tangis, Rengka-
na akhirnya menceritakan apa yang sebenarnya
yang menjadi tujuannya datang. Wajah ketiga
Hantu dari Kelangitan seketika terbelalak merah,
tak menyangka kalau dirinya akan diberi tugas
yang membikin degup jantung mereka berdetak.
Tanpa pikir panjang lagi ketiga Hantu Dari Kelan-
git segera menyanggupinya.
* * *
Seperti hari biasanya, pagi itu pun Nin-
grum pergi ke sendang untuk mandi. Dengan ber-
jalan sendiri Ningrum terus melangkah menuju
sendang di mana biasanya teman-temannya telah
menunggu dirinya. Namun pagi itu sendang nam-
pak sepi, tak ada seorang pun yang datang untuk
mandi. Tapi Ningrum tak mau perduli, dilangkah-
kannya kaki menuju ke sendang.
"Ke mana teman-temanku?" tanya Ningrum
dalam hati. Namun ia terus melangkahkan ka-
kinya, tak perduli dengan keadaan sendang yang
sunyi senyap.
Tengah ia melangkah kakinya, tiba-tiba da-
ri balik sendang bermunculan tiga orang lelaki
menghampiri. Wajah lelaki itu cengengesan, se-
perti melihat makanan empuk. Lelaki itu melang-
kah terus menghampiri Ningrum yang terpaku di-
am.
"Siapakah Ki Sanak sekalian?" tanya Nin-
grum dengan suara tenang, sepertinya tak ada ra-
sa takut yang menyelinap dalam hatinya. Semen-
tara ketiga lelaki itu terus menghampiri dengan
senyum mengembang tanpa ucapan yang keluar
dari mulut mereka. Hal itu menjadikan Ningrum
seketika bersiap-siap. Ia sadar bahwa lelaki-lelaki
tersebut pastilah akan bermaksud yang tidak
baik.
"Rupanya kau seperti ayahmu, Nona?" sa-
lah seorang dari ketiganya yang berkumis putih
bertanya. "Kau memang pantas untuk berbuat
begitu pada orang lain, tapi pada kami Serangkai
Hantu Dari Kelangit tak akan mampu."
"Oh, jadi kalian Hantu Kelangitan. Mau apa
kalian menghadang langkahku?"
"Hua, ha, ha...! Kau begitu garangnya. Hem
baik! Kami menghadangmu karena kami ingin
mencicipi kehangatan tubuhmu."
Betapa gusar dan marahnya Ningrum demi
mendengar ucapan yang kurang ajar. Maka den-
gan bengisnya Ningrum pun membentak: "Bajin-
gan! Jangan kira kalian akan mampu melakukan
segala tingkah kalian terhadapku!"
"Hem, begitu?" Hantu Kumis Hitam sung-
gingkan senyum. "Apakah kau minta bukti, No-
na?"
"Bangsat rendah! Pergi kalian!"
"Kami tak akan pergi sebelum dapat mera-
sakan itu mu. He, he, he!"
"Kurang ajar! Hiat....!"
Tanpa membuang waktu, Ningrum yang
sudah jengkel segera berkelebat menyerang keti-
ganya. Namun mereka yang diserang malah gan-
da tertawa, bahkan tangan mereka di samping
menangkis sekali-kali mencolek nakal barang mi-
lik Ningrum yang rawan. Tak ayal lagi Ningrum
seketika mencak-mencak. Tangan mereka me-
mang kurang ajar, asal colek saja, menjadikan
dua buah gunung milik Ningrum meregang bang-
kit bagaikan gunung hendak meletus.
Gerakan-gerakan tangan mereka meremas
buah dada Ningrum sungguh mampu membuat
Ningrum kalang kabut tak dapat menyadarkan di-
ri. Entah apa yang ada di tangan ketiganya, yang
jelas Ningrum merasakan getaran-getaran aneh di
hatinya manakala tangan mereka menjamah dan
mencolek buah dadanya. Dan manakala tangan
mereka kembali mencolek Ningrum hanya mampu
mendesah panjang.
"Ooooh..."
"Bagaimana, Nona? Enak bukan?"
Suara Hantu tak berkumis tak didengar-
nya, kini Ningrum telah terbawa oleh perasaan
dan khayalan yang indah setiap kali tangan me-
reka mencolek buah dadanya. Akhirnya Ningrum
pun terkulai lemas, tak mampu pertahankan di-
rinya yang sudah terserang panas dingin akibat
colak-colek tak bertanggung jawab dari ketiga
Hantu Kelangit. Tubuh Ningrum akhirnya terku-
lai, jatuh dengan segenap nafsu yang menggebu-
gebu di hatinya.
Tak dapat lagi Ningrum ingatkan dirinya,
yang ada dalam benaknya hanya kepuasan untuk
memenuhi segala dahaga yang kini melanda di-
rinya. Dan manakala satu persatu dari ketiga
Hantu Kelangit mengkoyak-koyak kehormatan-
nya, Ningrum hanya sekali menjerit yang akhir-
nya mengeluh panjang pingsan.
* * *
Ningrum tersadar dari pingsannya, lalu se-
ketika itu ia menjerit manakala mendapatkan
keadaan dirinya. Pakaiannya mosak masik tak
karuan, berhamburan ke sana ke mari.
Menyadari keadaan dirinya, dan manakala
melihat percikan darah dari miliknya seketika
Ningrum menjerit, lalu berlari entah ke mana se-
telah kembali mengenakan pakaiannya. Hatinya
hancur berantakan, seperti puing-puing kehorma-
tannya yang terkoyak-koyak
"Setan! Mereka harus menerima hukuman-
ku! Hu, hu, hu....!"
Ningrum terus berlari dan menangis, mera-
tapi segala apa yang telah terjadi pada dirinya.
Karena hatinya gundah, Ningrum tak hiraukan ke
mana ia melangkah. Ia begitu malu pada dirinya
sendiri. Ia juga dendam pada orang-orang yang te-
lah membuat dirinya harus menanggung beban
mental. Namun untuk melakukan balas dendam,
sungguh ia tak akan mampu. Dan bagaimana
nanti kalau ayah serta ibunya mendengar, atau
mengetahui keadaan dirinya? Niscaya kedua
orang tuanyalah yang akan mendapat malu.
Pikiran Ningrum kini putek, tak tahu harus
bagaimana. Bayangan yang ada dalam hatinya
hanya satu, lebih baik mati daripada harus me-
nanggung malu dan aib. Maka manakala dilihat-
nya jurang menganga, tanpa pikir panjang lagi
Ningrum segera lemparkan tubuhnya ke bawah.
Namun segala Kodrat bukan berada di tangan
manusia, tapi Tuhanlah yang berwenang. Dikare-
nakan Tuhan belum menghendaki Ningrum mati,
tiba-tiba sesosok bayangan tua berkelebat me-
nangkap tubuh Ningrum yang melayang dan
membawanya entah ke mana. Begitulah keadaan
Ningrum, yang kini menjadi seorang pendekar
wanita, yang mengaku-aku sebagai Penguasa Bu-
kit Karang Bolong.
ENAM
Pertarungan Ningrum melawan ketiga
orang yang telah mengkoyak-koyak kehidupannya
terus berlanjut. Ketiga Hantu Dari Kelangit yang
sudah tahu siapa adanya Ningrum, kini tak dapat
meremehkannya. Ningrum sekarang bukanlah
Ningrum yang tiga tahun lalu mereka perdayai
dan mereka buat pemuas nafsu, tapi Ningrum se-
karang adalah Ningrum yang memiliki ilmu tinggi
juga dititisi oleh Nyi Lanjut Ayu atau Penguasa
Bukit Karang Bolong.
"Karena kalian telah tahu siapa adanya di-
riku, maka kalian harus mati secepatnya. Hiat...!"
Ningrum kini makin tampak garang, menyerang
dengan serangan-serangan yang sukar untuk di-
ikuti oleh mata ketiga Hantu Dari Kelangit.
"Awas pukulan maut!" Hantu Kelangit Ku-
mis Putih berseru memperingati pada kedua
adiknya manakala sebuah hantaman menyerang
ke arah mereka. Secepat kilat kedua adiknya ber-
kelebat, lemparkan tubuh mereka menghindari
serangan.
"Bangsat! Kalian rupanya ingin main-main,
hiat...!" Ningrum nampak sewot merasa seran-
gannya luput. Kembali ia menyerang, kali ini se-
rangannya begitu cepat. Dan untuk kedua kalinya
ketiga Hantu Dari Kelangit lemparkan tubuh me-
reka menghindar. Mereka tak mampu untuk
membalik menyerang, hanya dapat mengelak itu
pun beruntung. Sebab serangan yang dilancarkan
Ningrum bukanlah serangan kelas kecoa yang
mudah dipapaki atau dihindarkan. Kalau mereka
salah menghindar, tak ayal tubuh mereka akan
remuk saling bentur.
"Kenapa kau begitu bernafsu hendak
membunuh kami yang telah memberikan kepua-
san padamu?" Hantu Kumis Hitam mencoba
mengalihkan amarah Ningrum dengan berusaha
mengingatkan Ningrum pada kejadian tiga tahun
lalu. Namun ternyata Ningrum bahkan makin
menggeretak penuh amarah.
"Bangsat! Kalian tak akan hidup lebih lama
lagi. Terimalah ini. Racun Kelabang Ungu, hiat...!"
Tersentak kaget ketiganya demi mendengar
seruan Ningrum menyebutkan nama ajian yang
sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Namun untuk berpikir lebih jauh mereka
tak memiliki waktu, sebab ajian tersebut telah
melaju dengan cepatnya mengancam jiwa mereka.
Serta merta ketiganya melompat menghindar,
namun tak urung salah seorang dari ketiganya
yang bernama Hantu Kumis Hitam terhantam
pukulan tersebut. Tanpa ampun lagi, sesaat tu
buh Hantu Kumis Hitam menggelepar-gelepar
dengan tubuh biru dan akhirnya diam mati. Dari
tubuhnya seketika keluar nanah biru, yang diser-
tai oleh tumbuhnya jelentik-jelentik yang merayap
ke luar dari tubuh Hantu Kumis Hitam. Sungguh
sangat menjijikkan. Jelentik-jelentik itu begitu
ganas, menggigiti daging Hantu Kumis Hitam
sampai akhirnya membusuk berantakan.
"Iblis laknat! Kau telah membunuh sauda-
raku, maka kau pun harus mati di tangan kami!"
menggeretak penuh kemarahan Hantu Tak ber-
kumis. Tanpa pikir panjang Hantu Tak berkumis
segera nekad menyerang Ningrum. Diserang begi-
tu rupa menjadikan Ningrum tergelak lawa. Maka
dengan kembali hantamkan ajian Racun Kelabang
Ungu, Ningrum papaki serangan Hantu Tak ber-
kumis. Tak ayal lagi...!
"Hiaat...! Terimalah kematianmu!"
"Crooot....!"
"Aaaaahh...!"
Sebuah cairan ungu menyerang tubuh
Hantu Tanpa Kumis. Seketika tubuh Hantu Tan-
pa Kumis menggelepar-gelepar, seperti apa yang
dialami oleh kakak seperguruannya. Dan seperti
Hantu Kumis Hitam, Hantu Tak Berkumis pun
akhirnya mati dengan keadaan serupa. Melihat
hal itu serta merta Hantu Kumis Putih lari, ting-
galkan Ningrum yang masih bergelak tawa. Tapi
baru saja ia beranjak, sebuah cairan ungu telah
lebih dahulu hentikan langkahnya.
"Aaaaahhh...!"
Sesaat Hantu Kumis Putih menjerit, lalu
akhirnya seperti keadaan adik-adik seperguruan-
nya ia pun menjadi busuk dengan jentik-jentik
keluar dari tubuhnya. Tak berapa lama kemudian
tubuhnya hancur dengan daging kerompong ha-
bis termakan jentik-jentik tersebut.
"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasan dariku
bagi orang-orang mata keranjang! Kini aku belum
puas, bila aku belum dapat menjadikan diriku
sebagai Ratu dunia persilatan. Akan aku bikin
dunia ini sebagai ajang cita-citaku. Kakang Datuk
Raja Karang, cita-citamu untuk menguasai dunia
persilatan akan segera terlaksana. Kini aku den-
gan menyatu pada tubuh gadis ini akan mampu
membuat dunia ini takluk padaku."
Tengah Ningrum tertawa bergelak-gelak, ti-
ba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba
telah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut sung-
guh aneh keadaannya. Walau ia masih muda,
namun rambutnya telah ubanan. Dialah Setan
Berambut putih!
"Siapa kau!" bentak lelaki muda berpa-
kaian serba merah dan rambut yang sudah putih
seluruhnya padahal masih muda pada Ningrum
yang segera hentikan tawanya dan menatap pada
orang yang bertanya.
"Siapa pula kau adanya, orang aneh?" balik
bertanya Ningrum, demi melihat pemuda di hada-
pannya yang berkeadaan fisik aneh. "Kau masih
muda, namun rambutmu sudah memutih se-
mua."
"Ditanya malah balik bertanya," rengut Se-
tan Rambut Putih kerutkan kening. "Aku yang je
lek ini bernama Setan Rambut Putih."
"Hi, hi, hi...! Kau mengakui sendiri bahwa
kau jelek. Namaku Dewi Lanjut Ayu atau Pengua-
sa Bukit Karang Bolong."
Mengerutkan kening Setan Rambut Putih
demi mendengar orang di hadapannya menye-
butkan dirinya. Hati Setan Rambut Putih tak per-
caya. Bagaimana mungkin Dewi Lanjut Ayu yang
dikabarkan telah mati kini muncul kembali di
dunia persilatan? Rasanya tak masuk di akal.
Dan menurut apa yang ia dengar, Dewi Lanjut
Ayu memang ayu, tapi tidak seperti gadis di ha-
dapannya. Gadis di hadapannya mempunyai se-
buah ciri, yaitu di janggutnya tumbuh tahi lalat
yang makin menambah kecantikannya.
"Aku tak percaya kalau kau Dewi Lanjut
Ayu. Kalau kau benar Dewi Lanjut Ayu, mana
mungkin engkau membunuh orang-orang yang
masih segolongan dengan dirimu?"
"Yang engkau maksud Tiga Hantu Dari Ke-
langit?" balik bertanya Ningrum, yang diangguki
oleh Setan Rambut Putih. Ningrum seketika ceki-
kikkan. "Memang ia adalah segolongan dengan
suamiku, tapi mereka memang harus dibunuh!"
"Mengapa kau membunuh mereka?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu?"
"Karena mereka adalah musuh-musuhku,"
jawab Setan Berambut Putih penuh selidik.
"Hi, hi, hi... kau marah kalau musuhmu
aku bunuh?"
"Bukan begitu. Mereka telah membuat aku
harus mengalami keadaan begini. Rambutku
memutih, itu karena ulah mereka. Maka itu aku
sebenarnya ingin membalas pada ketiganya, tapi
ternyata kau telah mendahuluiku," Setan Rambut
Putih menceritakan apa yang menjadi sebab di-
rinya harus berurusan dengan Serangkai Hantu
Dari Kelangitan. Sementara Ningrum hanya ter-
senyum-senyum saja mendengar, dengan sekali-
kali cekikikkan bagai melihat kelucuan.
"Setan Rambut Putih, maukah engkau ber-
gabung denganku?"
"Bergabung denganmu? Untuk apa?" Setan
Rambut Putih bertanya, nadanya tak yakin bila
Ningrum memiliki ilmu yang cukup diandalkan.
Memang Ningrum mampu mengalahkan
Serangkai Hantu Dari Kelangit, tapi belum tentu
Ningrum akan mampu menghadapi dirinya, begi-
tulah apa yang tersirat di hati Setan Rambut Pu-
tih.
"Kalau kau memang berilmu tinggi, aku ba-
ru mau bergabung denganmu."
"Hem, rupanya kau belum yakin! Percuma
aku dijuluki Penguasa Bukit Karang Bolong bila
tak memiliki ilmu yang dapat diandalkan! Kau
mau mencobanya...?"
"Tentu! Aku tak mau kalau sekutuku
hanya orang yang berilmu picisan macam ilmu
kecoak!" Setan Rambut Putih senyumkan bibir,
sepertinya di balik senyum itu tergambar kesom-
bongan. Ya, ia merasa bahwa ilmunya saat ini be-
lum ada yang menandingi. Setan Rambut Putih
belum tahu bahwa sebenarnya saat itu ada seo-
rang pendekar seusianya yang ilmunya jauh lebih
tinggi satu atau dua tingkat dibandingkan dengan
yang ia miliki Pendekar muda tersebut tak lain
Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Da-
rah. Seorang pendekar yang namanya akhir-akhir
ini menjadi bahan pembicaraan para pendekar di
tanah Jawa sebelah Barat.
"Berapa jurus yang engkau mau, Setan
Ubanan?"
"Sepuluh jurus! Kalau dalam sepuluh jurus
kau tak mampu menjatuhkan diriku, maka aku
tak akan mau menjadi sekutumu," jawab Setan
Rambut Putih dengan sombongnya. Ia merasa
bahwa Ningrum tak akan mampu menghadapi-
nya, apalagi dalam waktu sepuluh jurus. Setan
Rambut Putih tidak ingat bahwa di atas segalanya
masih ada yang lebih berkuasa yaitu nasib yang
telah ditentukan oleh Yang Maha Wenang. Ia juga
tak tahu kalau dengan penyatuan Ningrum den-
gan Dewi Lanjut Ayu akan menghasilkan sebuah
kekuatan yang dahsyat.
"Tak terlalu lama itu, Setan Ubanan?"
Terbelalak mata Setan Rambut Putih demi
mendengar pertanyaan Ningrum yang dirasa
sombong. Seketika hatinya membatin, "Sombong!
Ia mengira aku seperti tiga orang yang telah men-
jadi bangkai itu. Hem, akan aku coba jajaki il-
munya."
"Baik, dalam lima jurus!"
"Hi, hi, hi.....! Bagus! Kau sudah siap, Se-
tan Ubanan?"
"Pertanyaan itu seharusnya aku yang ber-
tanya. Tapi tak apalah. Siapapun yang bertanya
tak menjadi soal, yang jelas mari kita buktikan
siapa yang kuat. Bila ternyata dalam lima jurus.
aku kalah, maka aku akan menjadi sekutumu.
Tapi bila kau yang kalah, maka kau harus mau
menjadi istriku."
"Hi, hi, hi...!" Ningrum cekikikan. "Sama sa-
ja! Menang ataupun kalah, kita akan menjadi sa-
tu juga. Aku pun mencintaimu."
Senyum Setan Rambut Putih seketika
mengembang demi mendengar penuturan Nin-
grum. Hatinya berbunga-bunga, berdetak ken-
cang laksana didera oleh letupan-letupan kecil
yang mengajak matanya untuk melekatkan pan-
dangannya ke wajah Ningrum. Sama halnya den-
gan, Setan Rambut Putih. Ningrum pun yang
mengetahui bahwa hatinya juga telah terkait oleh
si Setan memanahkan matanya memandang tan-
pa kedip ke arah Setan Rambut Putih.
"Hai, apakah kita akan seterusnya saling
pandang?" tiba-tiba Setan Rambut Putih ber-
tanya, menjadikan Ningrum tersipu-sipu. "Ayolah.
Walaupun kita sehati, namun perjanjian kita ha-
rus kita laksanakan."
"Hi, hi, hi...! Baiklah! Memang hal itu san-
gat perlu bagi kita untuk menentukan kebera-
daan ilmu kita, mari kita main-main!"
Kedua muda mudi yang sudah terpaut ha-
tinya lewat pandangan mata itu pun akhirnya
berkelebat saling serang. Mereka tak ingin men-
dapatkan kekasihnya berilmu di bawahnya, den-
gan kata lain mereka ingin menunjukkan kebera-
daan mereka di dunia persilatan. Walau mereka
mengatakannya hanya main-main, namun jurus-
jurus yang mereka keluarkan sungguh jurus-
jurus benar-benar. Apalagi mereka kini nampak
mengeluarkan jurus-jurus simpanan mereka. Tu-
buh mereka seketika raib bersamaan dengan ge-
rakan mereka yang begitu cepat.
"Awas, Setan Rambut Putih! Terimalah se-
rangan!" pekik Ningrum berusaha memperin-
gatkan kepada orang yang telah mampu menggu-
rat hatinya.
"Kau pun hati-hatilah, Dewi!"
Keduanya seketika melayang bagaikan ter-
bang, dan...!
"Sett... Duar...!"
Dua tangan yang menyalurkan tenaga da-
lam bertemu, mengadu kekuatan yang dimili-
kinya. Ledakan dahsyat seketika menggema, lalu
diikuti oleh melayangnya dua tubuh tertolak ke
belakang. Tapi bagaikan enteng saja tubuh mere-
ka kembali tegak berdiri. Keduanya saling lem-
parkan senyum dan kemudian gelak tawa pun
mendera dari mulut keduanya. "Kau hebat, Dewi!"
"Kau juga, Setan Ubanan!" Keduanya saling
sanjung tentang ilmu yang mereka miliki, lalu
dengan penuh kemesraan keduanya saling meme-
luk. Keduanya kemudian berjalan bareng, ting-
galkan tempat itu entah ke mana.
TUJUH
Dengan menyatunya Setan Berambut Putih
dengan Ningrum yang telah dititisi Dewi Lanjut
Ayu, maka makin kokohlah keadaan Bukit Ka-
rang Bolong! Bukit angker tersebut makin ber-
tambah angker saja untuk dijejakan kaki manu-
sia. Banyak korban berjatuhan, mereka pada
umumnya adalah orang-orang yang hendak mela-
kukan pencarian sebuah kitab dan senjata yang
sempat menggegerkan dunia persilatan setengah
abad yang lalu. Kitab dan senjata pedang tersebut
adalah kitab Pedang Pencabut Nyawa dan Pedang
Mata Malaikat.
Kebesaran nama Dewi Lanjut Ayu dan Se-
tan Berambut Putih seketika membumbung tinggi
bagi para tokoh golongan sesat. Sepak terjang me-
reka sungguh membuat para tokoh golongan se-
sat merasa lapang dada karena merasa ada yang
memihak. Namun sebaliknya dengan para tokoh
golongan lurus dan rakyat, mereka seketika ba-
gaikan dicekam oleh bayang-bayang maut yang
setiap saat siap mencekik mereka.
Sepak terjang kedua muda mudi yang me-
namakan dirinya Sejoli Raja dan Ratu Penguasa
Bukit Karang Bolong, tak luput dari pendengaran
Pendekar kita Jaka Ndableg atau Pendekar Pe-
dang Siluman Darah. Jaka merasa prihatin den-
gan keadaan dunia persilatan di wilayah Timur
yang sudah menghadapi ambang kehancuran ba-
gi para pendekar aliran lurus, sebab nampaknya
dengan munculnya dua muda mudi yang telah
mengikat diri menjadi satu.
"Sungguh tak dapat dibiarkan hal ini berla-
rut-larut," Jaka menggumam sendiri sambil berja-
lan menyusuri jalanan setapak di kaki gunung
Kencana. "Kalau tidak dihentikan, wah apa yang
akan terjadi di dunia persilatan khususnya di wi-
layah Wetan."
Jaka terus melangkahkan kakinya, dengan
sekali-kali bersiul untuk menghibur diri. Manaka-
la dia tengah berjalan dengan santai, tiba-tiba te-
linganya mendengar derap langkah kaki kuda
yang berjumlah banyak. Sesaat Jaka kerutkan
kening, lalu dengan sekali lebat ia pun menghi-
lang di balik semak-semak.
"Tampaknya ada beberapa orang penung-
gang kuda menuju ke arah sini," gumam Jaka
yang telah bersembunyi di balik rerumputan yang
tinggi. Matanya mengintip dari balik cela-cela
rumput, memandang tak berkedip ke arah da-
tangnya suara tersebut. Tiba-tiba Jaka seketika
dikagetkan oleh desisan dan koakan suara ular
dan burung yang tengah bertarung di dekatnya.
"Setan! Mana bisa aku tenang bila harus meng-
hadapi kalian yang ribut!" gerutu Jaka sewot pada
kedua binatang yang tengah bertarung itu.
Tapi binatang-binatang tersebut mana mau
tahu kemarahan Jaka yang merasa terusik sem-
bunyi. Keduanya terus bertarung, makin lama
makin seru, menjadikan Jaka akhirnya tertarik
juga. Maka tanpa hiraukan lagi pada derap kaki
kuda yang makin seru kedengarannya Jaka asyik
menonton pertarungan dua hewan tersebut. Bu-
rung Elang itu sesaat menukik, lalu menyambar
dan mematuk kepala ular Sanca. Ular Sanca itu
pun tak mau mengalah begitu saja ia egoskan ke-
palanya menghindar lalu lemparkan ekor meng-
hantam ke arah burung Elang. Melihat hal itu Ja-
ka seketika bergumam sendiri, dan bagaikan
orang gila mengikuti gerakan-gerakan yang diper-
lihatkan oleh dua hewan yang tengah bertarung.
"Hebat! Ayo Elang, serang lagi!" serunya
bagaikan anak kecil mendapatkan permainan.
"Hei Sanca, kenapa kau tidak membalas!"
Bila burung Elang itu mengepakkan
sayapnya, segera Jaka pun membuka tangannya
meniru. Lalu setelah burung Elang itu menukik
dan menggerakkan kakinya seperti hendak men-
cakar Jaka pun segera mengangkat kakinya se-
buah dan ditendangkan kakinya. Sungguh dah-
syat hasil yang diperoleh, ternyata tendangan ka-
kinya jauh melebihi apa yang dibayangkan. Ketika
kaki kanan Jaka menirukan gerakan kaki burung
Elang, terdengar ledakan dahsyat manakala angin
tendangan kakinya menghantam pepohonan. Tak
ayal lagi, pohon yang terkena ambruk dengan ba-
tang berantakan. Jaka segera melompat manaka-
la pohon tersebut tumbang hendak menjatuhi di-
rinya.
"Pohon sialan! Hampir saja menjatuhi aku!"
Jaka segera melompat maju lagi melihat perkela-
hian dua binatang yang nampaknya acuh pada
kedatangannya. Kini Sanca itu yang menyerang,
dan Jaka pun kini mengikuti gerakan-gerakan
ular Sanca dalam menghindar dan menyerang.
"Oh, hebat! Ayo kawan, serang si Elang!"
sambil berteriak-teriak Jaka terus mengikuti ge-
rakan-gerakan sang Ular. Tangannya membentuk
kepala, mulutnya mendesis bersamaan dengan
gerakan tangannya mematuk-matuk. "Oh, inikah
gerakan Sanca Mematuk Elang. Dan tadi adalah
jurus Elang menyambar Sanca. Hem, sungguh ju-
rus-jurus dahsyat!" gumam Jaka lirih.
Kembali Jaka mengulang dan mengulang
apa yang telah ia lihat dan pelajari dari kedua
hewan tersebut. Makin lama gerakan-gerakan Ja-
ka makin kencang, sehingga sukar untuk diikuti
oleh mata. Jaka tak mengetahui bahwa gerakan-
gerakannya yang meniru gerakan kedua binatang
tersebut kini dalam pengawasan sepuluh pasang
mata yang bertengger di atas kuda mereka mas-
ing-masing. Jaka tersentak kaget manakala ter-
dengar seruan seseorang dari kesepuluh orang di
atas kuda.
"Ki Sanak! Tengah apakah engkau di situ?"
Jaka segera hentikan gerakannya, lalu diputar
tubuhnya menghadap ke arah datangnya suara
tersebut. Dilihatnya wajah kesepuluh orang ben-
gis, sepertinya mereka bukan orang baik-baik.
Jaka yang tingkahnya dilihat oleh mereka seketi-
ka garuk-garuk kepala, yang merupakan ciri
khasnya bila merasa malu. Melihat Jaka masih
cengar cengir tak menjawab, kembali orang yang
berada di depan di antara kesepuluh orang terse-
but berkata.
"Ki Sanak, apakah engkau tuli?"
"Aku tuli...?" Jaka mengulang bertanya.
"Ah, aku rasa aku tak tuli. Mungkin kalianlah
yang congean!"
"Bangsat! Ditanya baik-baik malah menja-
wab yang bukan-bukan! Dasar anak muda edan!"
"Apa...? Kalian edan!?" seru Jaka konyol.
"Pantas! Pantas kalau wajah-wajah kalian kaya
orang edan, eh tak tahunya memang edan bene-
ran!"
"Kunyuk! Ke sini kau, Anak Edan!"
Tanpa banyak pikir lagi Jaka segera me-
lompati semak-semak dan berdiri menghampiri
mereka. Mereka seketika tersentak, manakala se-
cara cepat Jaka melompat dan tahu-tahu telah
berdiri tak jauh dan mereka, padahal jarak yang
tadi ditempuh oleh Jaka cukup jauh ada kira-kira
dua puluh tombak.
Jaka cengengesan bagaikan orang tolol, la-
lu dengan masih senyum-senyum Jaka pun ber-
kata: "Kau bilang aku edan! Wah, kau salah be-
sar! Aku tidak edan, cuma Ndableg. Ha, ha,
ha....!"
Tawa Jaka seketika melengking, menjadi-
kan kesepuluh orang penunggang kuda itu ter-
sentak. Kuda-kuda mereka seketika meringkik ke-
takutan bagaikan mendengar suara setan. Kuda-
kuda itu akhirnya serabutan lari, meninggalkan
tuannya yang jatuh terjengkang dengan pantat te-
rasa sakit membentur tanah.
Kembali Jaka gandakan tawa melihat ke-
sepuluh orang itu meringis menahan sakit yang
mendera pantatnya akibat jatuh dari kuda-kuda
yang mereka tunggangi, yang entah ke mana la-
rinya karena ketakutan mendengar suara tawa
Jaka.
"Diam! Tidak lucu!" bentak seorang dari
mereka yang tadi telah menanya Jaka. Dengan
agak pura-pura merengut Jaka pun menurut di-
am.
"Kenapa kalian marah-marah? Apakah aku
berdosa bila tertawa? Bukankah tertawa itu be-
bas?" tanya Jaka konyol. "Kalau kalian melarang
aku tertawa, pantas kalian nampak tua."
Betapa gusarnya kesepuluh orang tersebut
demi mendengar celotehan Jaka yang bagaikan
orang tolol. Mata mereka melotot marah, gigi-gigi
mereka saling beradu menggeretuk menahan ke-
kesalan.
"Anak edan! Siapa kau sebenarnya? Jan-
gan kau mati tak bernama akibat ulahmu berani
menghina anak buah Penguasa Bukit Karang Bo-
long!"
Mendengar nama Penguasa Bukit Karang
Bolong disebut-sebut, Jaka seketika gandakan
tawa bukannya takut seperti orang-orang lainnya.
Hal itu menjadikan kesepuluh orang anggota Pen-
guasa Bukit Karang Bolong terbelalak kaget se-
raya kerutkan kening heran.
"Pantas, pantas! Ternyata wajah-wajah ka-
lian semuanya persis dengan monyet! Ternyata
kalian anak buah Penguasa Bukit Karang Bolong!
Apa kabar dengan pimpinan kalian?" ucapan Ja-
ka sepertinya mengandung persahabatan, menja-
dikan kesepuluh anggota Penguasa Bukit Karang
Bolong makin tidak mengerti. Kesepuluh orang
tersebut menatap lekat-lekat pada Jaka dengan
segala tanda tanya di hati mereka seraya bangkit
berdiri.
"Nadamu sungguh bersahabat. Siapakah
engkau adanya?" tanya ketua rombongan itu kini
dengan suara melembut
"Aku..? Aku sahabat pimpinan kalian!
Sampaikan salamku untuk kedua pimpinan ka-
lian bila kalian kelak bertemu. Katakan pada ke-
duanya bahwa aku Si Penjelajah Jagad mengu-
capkan selamat dan menyampaikan salam. Kata-
kan pula, bahwa mereka diharap sabar menung-
gu kedatanganku," Jaka berkata berbohong, na-
mun kesepuluh orang anak buah Penguasa Bukit
Karang Bolong seperti percaya saja. "Nah, seka-
rang juga kalian minggat dari sini dan kembali
temui kedua pimpinan kalian!"
"Tidak bisa begitu, Ki Sanak. Kami saat ini
tengah mengemban tugas dari pimpinan kami."
"Tugas...? Tugas apa?" tanya Jaka ingin ta-
hu. Sesaat kesepuluh orang tersebut saling pan-
dang, sepertinya mereka hendak mencari kesepa-
katan bagaimana sebaiknya. Setelah kesepuluh-
orang tersebut berbuat begitu, salah seorang yang
orang-orang tadi juga berkata: "Kami diutus un-
tuk mencari orang yang bernama Jaka Ndableg
atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Tersentak Jaka demi mendengar namanya
disebut-sebut. Namun segera ia berusaha me-
nyembunyikan kekagetannya, lalu dengan pura-
pura tak tahu siapa adanya dirinya Jaka pun
kembali bertanya pada mereka: "Ada keperluan
apa kalian mencari Pendekar yang sudah kesohor
itu? Bukankah kalian akan mengalami kebina-
saan apabila menghadapi pendekar yang suka
usilan dan ingin menegakkan kebenaran serta
keadilan di dunia ini?"
"Kami diutus untuk menyampaikan surat
undangan," jawab orang tadi. "Apakah Ki Sanak
tahu di mana pendekar tersebut berada?"
Jaka kembali terdiam mikir, "Bagaimana
akalku. Hem, bagaimana kalau aku minta saja
surat tersebut dan pura-pura hendak menyam-
paikannya pada orang yang mereka maksud? Be-
runtung mereka tidak mengenali siapa adanya di-
riku."
"Baiklah, Ki Sanak. Aku akan membantu
kalian untuk menyampaikan surat tersebut pada
Pendekar Pedang siluman Darah. Nah, serahkan-
lah surat itu padaku dan segeralah kembali ke
Bukit Karang Bolong. Jangan lupa, sampaikan sa-
lam dariku, Si Penjelajah Jagad."
Mendengar ucapan Jaka, nampak kera-
guan menyelimuti wajah kesepuluh orang anak
buah Penguasa Bukit Karang Bolong yang kemba-
li menatap lekat-lekat ke wajah Jaka. Mata mere-
ka yang garang, sepertinya ingin mengorek siapa
sebenarnya orang yang mengaku Si Penjelajah
Jagad. Seorang pendekar aneh, walau pun masih
muda tapi berilmu tinggi dengan segala tingkah
polahnya yang bagaikan orang tolol. Mereka me-
mang tidak mengerti siapa adanya orang yang
tengah berdiri di hadapannya, orang yang sebe
narnya tengah mereka cari,
"Bagaimana? Apakah kalian masih kurang
percaya?" tanya Jaka manakala melihat kesepu-
luh orang anak buah Penguasa Bukit Karang Bo-
long masih diam memikir. "Kalau kalian tak per-
caya, ya sudah. Aku tak memaksa, dan silahkan
kalian cari sendiri adanya pendekar muda terse-
but. Jangankan kalian dapat memberikan surat
tersebut, untuk hidup pun kalian tak mampu
apabila pendekar tersebut telah mengetahui siapa
adanya kalian. Tapi jika aku... pasti pendekar ter-
sebut tak akan berani. Ha, ha, ha...! Kalian tahu
sendiri kehebatan suara tawaku bukan? Inilah
suara tawa Iblis Marakayangan pesta!"
Mendengar keterangan Jaka yang ngibul,
mereka seketika agak takut juga. Kalau memang
benar pendekar muda tersebut berbuat demikian,
sungguh mereka tak akan ada artinya. Rasa takut
akan apa yang dikatakan Jaka, menjadikan kese-
puluh orang tersebut akhirnya mau menyerahkan
surat tersebut.
"Baiklah, baiklah! Aku pun merasakan de-
mikian. Kabarnya memang pendekar muda itu
tak kenal kompromi dengan orang-orang aliran
sesat. Kami jadi ngeri sendiri. Untuk itu, kami
dengan amat sangat agar Ki Sanak Penjelajah Ja-
gat sudi menyampaikan surat ini pada Jaka
Ndableg." Disodorkan surat yang ditulis di atas
kain pada Jaka yang menerimanya dengan se-
nyum-senyum "Kena juga mereka aku akali. Hem,
dengan begini aku tak akan mudah dikenali oleh
orang-orang yang memang mencari-cari diriku.
Dasar orang-orang songong, mereka tak mengena-
li siapa adanya diriku. He, he, he...!" gumam hati
Jaka penuh ketenangan, sebab merasa dirinya
belum dikenali oleh orang-orang persilatan wi-
layah Wetan.
"Kami minta tolong pada Ki Sanak," kemba-
li pimpinan kesepuluh orang utusan Penguasa
Bukit Karang Bolong berkata, yang hanya diang-
guki oleh Jaka. Setelah kesemuanya menjura, se-
gera kesepuluh orang tersebut berkelebat me-
ninggalkan Jaka yang hanya tersenyum-senyum
sembari geleng-gelengkan kepala seraya tak henti-
hentinya bergumam: "Hem, dasar orang-orang
bodoh. Mana mau sih orang belum kenal diperin-
tah? Oh, coba aku lihat apa isi surat yang untuk-
ku."
Perlahan-lahan Jaka membuka gulungan
kain yang diserahkan orang-orang Bukit Karang
Bolong padanya, lalu dengan perlahan pula diba-
canya isi surat tersebut.
"Hem, mereka mengira aku tak tahu siapa-
siapa adanya mereka sehingga mereka hendak,
mengelabui diriku. Tapi apa sih maunya? Ah, bi-
arlah aku turuti saja apa kemauan mereka men-
gundang para tokoh persilatan serta menawarkan
padaku sebagai sahabat. Huh, enak, saja menga-
jak aku sebagai sahabat.... Sahabat memang un-
tuk dicari, tapi bila keadaan mereka begitu...
sungguh bukan bersahabat lagi."
Jaka seketika kembali tercenung, memikir-
kan jalan apa yang harus ia tempuh untuk me-
nyelesaikan keberadaan mereka sebagai Raja dan
Ratu.
"Aku harus bertindak! Kalau tidak, maka
kehancuran akan dialami oleh para pendekar!"
Setelah berkata begitu dan membuang gu-
lungan kain yang sudah dibacanya, segera Jaka
pun berkelebat pergi tinggalkan tempat tersebut
lari menuju arah yang tadi ditempuh oleh orang-
orang Karang Bolong.
DELAPAN
"Kakang Rakini, apakah engkau tak dapat
mengajar muridmu untuk mengerti bahwa yang ia
bunuh adalah murid-muridku?" Darga Buana
nampak sedikit marah. Betapapun ia telah tertan-
tang oleh Penguasa Bukit Karang Bolong yang ti-
dak lain murid kakak seperguruannya, yang telah
berani membunuh ketiga muridnya. Namun Ne-
nek Ratu Kelabang tak mau mengalah begitu saja,
demi dirinya dijadikan beban kesalahan juga mu-
ridnya Ningrum. Ia tahu mengapa Ningrum men-
dendam pada murid kemenakannya, tak lain ka-
rena ketiga murid kemenakannya telah berbuat
yang membuat muridnya menderita lahir dan ba-
tin, terkoyak-koyak keperawanannya yang direng-
gut oleh ketiga murid kemenakannya.
"Kau tak berhak salahkan muridku! Murid-
muridmulah yang salah dalam hal ini, Darga!"
rungut si nenek membela muridnya.
"Kesalahan apa yang telah murid-muridku
lakukan?"
"Huh, makanya jangan asal tuduh saja.
Murid-muridmu telah membuat muridku mende-
rita lahir dan batin. Murid-muridmu telah mem-
perkosa muridku!"
"Dusta!" sentak Darga tak mau percaya. Si
nenek cibirkan bibirnya yang telah keriput, men-
gejek adik seperguruannya yang masih keras ke-
pala.
"Kapan aku berdusta, Darga?!"
"Tak mungkin murid-muridku melakukan
hal itu!" Darga masih saja tak mau percaya,
membuat si Nenek Kelabang sunggingkan se-
nyumnya yang telah layu oleh usia
"Di depanmu mungkin mereka alim, tapi di
luaran... siapa yang tahu kelakuan mereka? Apa-
kah kau selalu mengawasi mereka, Darga?" tanya
si nenek yang kemudian dijawab olehnya sendiri.
"Kau tidak tahu perbuatan murid-muridmu di lu-
aran bukan? Kalau saja Pramana mendengar ten-
tang perbuatan murid-muridmu, sudah pasti kau
akan terkena hukuman darinya. Jangan-jangan
Pedang Sukma Layung akan membelah tubuhmu
jadi dua. Beruntung muridku tidak menceritakan
aib yang ia alami pada ayahnya."
"Aku tak takut pada Pramana!"
"Hem, kau terlalu sombong! Kau tidak me-
mikir siapa adanya Pramana. Mungkin dengan
Pramana kau tak takut, tapi tidakkah engkau
dengar seorang tokoh persilatan pembela kebena-
ran yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Da-
rah?! Kalau pendekar tersebut mencium siapa
adanya dirimu, niscaya engkau pun tak akan lu
put darinya."
Nenek Ratu Kelabang terus berusaha me-
nyadarkan adik seperguruannya agar mau men-
gerti, tapi rupanya angkara murka telah melalap
hati Darga hingga Darga pun tak hiraukan segala
ucapan kakak gurunya.
"Kakang Rakini, mulai sekarang kita bu-
kanlah saudara lagi, tapi kita adalah musuh. Ka-
rena kita musuh, maka aku akan menuntut balas
kematian murid-muridku padamu!"
"Padaku...?" Nenek Ratu Kelabang mengu-
lang tanya sepertinya tak percaya pada apa yang
didengarnya. "Kenapa mesti padaku? Apakah aku
yang telah membunuh murid-muridmu?"
"Memang bukan engkau, tapi muridmu."
"Kalau memang bukan aku, mengapa eng-
kau limpahkan padaku? Kalau kau berani dan
bukan seorang pengecut, hadapilah muridku di
Karang Bolong sana. Bukankah sebentar lagi kau
akan ke Karang Bolong?"
Mendengar ucapan Ratu Kelabang, maka
mendenguslah Darga marah. Ia memang masih
berpikir akan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh
Penguasa Bukit Karang Bolong, apalagi kini Nin-
grum bukan seorang, tapi berpasangan dengan
Setan Berambut Putih. Menghadapi Ningrum saja
ia belum tentu menang, apalagi harus menghada-
pi Setan Berambut Putih segala. Maka sebagai pe-
lampiasan ketidaktenangan hatinya, Darga cu-
rahkan kemarahannya pada Ratu Kelabang yang
dituduhnya tak bisa menjadi guru yang baik.
"Tapi engkaukan gurunya, bukan?"
"Memang aku gurunya," jawab Nenek Ratu
Kelabang tenang. "Kalau aku gurunya, kau akan
mencurahkan segalanya padaku, begitu?"
"Ya!"
"Picik! Kau telah picik, Darga!"
"Terserah apa katamu!" rentak Darga ma-
rah.
"Baik! Kalau itu yang engkau mau, apa
yang hendak engkau lakukan padaku, Darga!"
Sesaat Darga memandang lekat ke arah
kakak seperguruannya yang masih nampak te-
nang. Hatinya gundah, tak percaya akan apa yang
dihadapi. Ia tahu siapa adanya Nyi Rakini atau
Ratu Kelabang, murid yang paling dimanja oleh
guru mereka dan mendapat seluruh ilmu yang
dimiliki gurunya. Dari dulu memang Darga selalu
membuat gara-gara, namun Rakini berusaha
mengalah karena ia merasa lebih tua. Tapi kini
mungkin tak akan dapat dicegah bahwa perang
saudara seperguruan akan benar-benar terjadi.
Darga mendengus keras, matanya tajam meng-
hunjam bagaikan sebilah pedang yang hendak
menusuk hati Rakini dan mencabut nyawanya.
"Maaf, aku terlebih dahulu meminta maaf
padamu, Kakang."
"Tak usah, Darga. Nah, lakukan apa yang
menjadi kehendakmu!"
Setelah terlebih dahulu menjura hormat,
Darga segera berkelebat menyerang Nenek Ratu
Kelabang. Darga berbuat begitu karena Nenek Ra-
tu Kelabang adalah kakak seperguruannya yang
masih harus ia hormati. Pekikkannya begitu
membahana, hampir menyerupai lengkingan yang
menyayat. Melihat Darga telah berkelebat menye-
rang, segera Nenek Ratu Kelabang pun tak tinggal
diam, ia pun segera berkelebat memapakinya.
Dua saudara seperguruan itu akhirnya bertempur
hanya demi membela murid-muridnya. Namun
meski begitu, nampak Nenek Ratu Kelabang tidak
bertarung sungguh-sungguh menghadapi Darga.
Si Nenek rupanya masih mempunyai rasa kasih
pada adik seperguruannya hingga ia tak tega un-
tuk menurunkan tangan jahatnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepatnya,
sepertinya kedua saudara seperguruan yang telah
tua renta itu tak ada yang mau mengalah dan
mengakui kesalahannya. Keduanya terus men-
gumbar jurus-jurus yang hampir sama, sebab ke-
duanya merupakan satu guru, sehingga ilmu
yang mereka miliki berasal dari satu sumber.
Tengah mereka bertarung, tiba-tiba terdengar su-
ara membentak bersamaan dengan berkelebatnya
sesosok tubuh ramping.
"Hentikan!"
"Siapa kau!?" balas Darga membentak.
Tubuh ramping yang rupanya milik seo-
rang wanita tidak segera menjawab pertanyaan
Darga, tapi malah dengan tenangnya menghampi-
ri Nenek Ratu Kelabang sembari sujud.
"Guru, siapa adanya dia?" tanya gadis ber-
cadar hitam tersebut pada Nenek Ratu Kelabang
setelah menyembah. "Mengapa guru harus berta-
rung dengannya?"
"Dia adik seperguruanku, Ningrum," jawab
Nenek Ratu Kelabang tenang. Suaranya datar,
dingin bagaikan tak mempunyai gairah. "Dia hen-
dak membalas dendam atas kematian murid-
muridnya yang telah engkau bunuh."
Mendengar uraian gurunya, seketika Nin-
grum palingkan wajah memandang pada Darga
yang kini tampak berdiri mematung di tempatnya
dengan muka menunduk. Darga telah tahu siapa
adanya Penguasa Bukit Karang Bolong. Berbeda
dengan gurunya, Penguasa Bukit Karang Bolong
entah dari mana tahu-tahu telah memiliki ilmu
yang sangat tinggi.
"Paman Darga, terimalah salam hormatku,"
Ningrum menjura hormat, menjadikan Darga ter-
bengong-bengong tak mengerti. Ia yang menyang-
ka kalau Ningrum akan balas menyerang ternyata
dugaannya meleset. Darga tidak mengerti apa
yang dilakukan oleh murid kemenakannya mana-
kala ia berbuat begitu. Tiba-tiba...!
Darga tersentak dari ketidakmengertian-
nya, manakala selarik sinar ungu membersit dari
tangan Ningrum. Maka keluarlah caci maki dari
mulut Darga yang sudah jengkel dan marah pada
Penguasa Bukit Karang Bolong.
"Anak sundel! Memang sifatmu sudah tak
dapat dimaafkan. Aku Darga akan membunuh-
mu!" rungut Darga marah. "Lebih baik aku mati
daripada harus mengakui kekalahan padamu,
Anak terkutuk!"
Darga yang telah benar-benar marah sege-
ra berkelebat menyerang Ningrum dan gurunya.
Namun serangan Darga sepertinya tiada arti bagi
Ningrum yang telah bersekutu dengan Dewi Lan-
jut Ayu, Penguasa Bukit Karang Bolong. Seran-
gan-serangan Darga hanya mengenai tempat ko-
song belaka, bahkan tubuh Dargalah yang men-
jadi bulan-bulanan permainan Ningrum. Manaka-
la kaki Ningrum menendang, maka memekiklah
Darga dengan tulang iga patah. Dan manakala
tangan Ningrum menghantam, tak ayal lagi muka
Darga seketika menjadi bubur buruk. Darah ke-
luar dari hidung, telinga, mulut dan mata, menja-
dikan Darga tak mampu lagi untuk bangkit. Dar-
ga hanya dapat mengerang serta menyumpah se-
rapah segala apa yang telah dilakukan Ningrum.
"Sumpah serapahmu tiada arti, Darga!"
gertak Ningrum sengit.
"Bangsat rendah! Bunuhlah aku, bunuh!"
"Memang aku hendak membunuhmu, tapi
aku ingin melihat dulu sampai di mana ketaba-
hanmu menghadapi maut dengan siksaan seperti
itu," Ningrum sekarang bukanlah Ningrum didi-
kan Pramana ayahnya, tapi Ningrum didikan dan
pengaruh Iblis hingga ia tak mengenal adanya ra-
sa kasihan pada orang yang dianggapnya musuh
walau ia tahu bahwa Darga adalah paman gu-
runya.
"Orang-orang sadis! Ternyata para wanita
sekarang sudah berubah menjadi para jagal yang
sadis!" membersit sebuah suara, manakala Nin-
grum yang tengah menyiksa Darga hendak men-
gakhiri kehidupan Darga. Bersamaan dengan ha-
bisnya suara itu, sesosok tubuh padat berisi ber-
kelebat dan meraup tubuh Darga yang terkulai.
Sesaat pemuda itu sunggingkan senyum pada
Ningrum, lalu dengan suara membersit pemuda
itu kembali berkata: "Apakah kalian tak pernah
mengenai belas kasihan pada orang yang telah
sudah tak berdaya? Walaupun orang ini adalah
musuh kalian, tak pantas kalian menyiksanya be-
gini rupa!"
"Anak muda, siapa kau adanya? Mengapa
kau ikut campur dalam urusanku?" Ningrum ber-
tanya seraya masih sunggingkan senyum yang di-
arahkan pada pemuda tersebut. "Kau tampan,
maka aku tak menyakitimu. Nah, siapa adanya
dirimu, Anak muda?"
Jaka Ndableg garukkan tangan kiri ke ke-
pala, sunggingkan senyum aneh dan kemudian ia
pun berkata setelah memandang orang dalam bo-
pongannya.
"Aku...? Aku siapa?"
Hampir saja Ningrum dan gurunya menge-
keh tertawa melihat kelucuan Jaka, namun hal
itu tak dilakukannya karena mereka masih meli-
hat gelagat yang tidak enak pada diri Jaka. Wa-
laupun Jaka seperti orang tolol, namun gerak-
geriknya seperti orang yang berilmu tinggi.
"Ya, engkau?" Ningrum meyakinkannya.
"Aku... ya akulah."
"Lucu tingkahmu, Anak tampan. Masakan
kau tak mengetahui siapa adanya dirimu?" kem-
bali Ningrum berkata, kali ini matanya mengedip
genit pada Jaka. Dan Jaka yang dasarnya ndableg
tak mau begitu saja menyia-nyiakan kedipan ma-
ta Ningrum, dia pun balas kedipkan mata. Tingga
lah Nenek Ratu Kelabang bingung melihat murid-
nya dan pemuda bertampang tolol tersebut saling
main mata. "Kau tampan, Anak muda?"
"Ah, sungguhkah?" Jaka merajuk pura-
pura.
"Ya, aku jadi suka padamu," Ucapan polos
itu mungkin bagi pemuda lain akan menjadikan
debaran-debaran aneh, tapi bagi Jaka yang tak
hiraukan semuanya hanya permainan belaka
yang akan ia buang manakala telah berlalu. "Sia-
pa sih namamu?"
"Namaku... apa perlu?"
"Jelas perlu, Anak muda."
"Ningrum, percuma kau tanyai pemuda to-
lol macam dia," Si nenek yang sudah jemu dengan
tingkah laku Jaka berusaha mengalihkan perha-
tian muridnya. Namun Ningrum yang telah terpa-
na oleh ketampanan Jaka bagaikan tak menden-
garnya. Dia masih terus menatap Jaka dengan
pandangan penuh arti, menjadikan Jaka salah
tingkah.
"Ah, sudahlah. Bukankah nenekmu sudah
menyuruh kau berlalu?"
"Tapi aku ingin mengenalmu, Anak tam-
pan. Aku mencintaimu."
Jaka menarik napas panjang mendengar
ucapan Ningrum, tapi sebaliknya Nenek Ratu Ke-
labang nampak terbelalak kaget. Hatinya tak se-
tuju bila muridnya harus menjadi kekasih pemu-
da tolol itu. Maka dengan suara tak suka si nenek
kembali berkata: "Ah, apakah kau sudah gila aki-
bat ketularan pemuda itu, Ningrum?"
"Aku belum gila, Nek. Aku cuma ndableg.
Eh, ya namaku Jaka Ndableg. Begitulah orang
menyebutku."
Terbelalak mata kedua guru dan murid se-
telah mengetahui siapa adanya pemuda bertam-
pang konyol tersebut. Sesaat si nenek sikutkan
tangan ke tubuh muridnya, dan dengan segera
keduanya tanpa disadari oleh Jaka berkelebat
tinggalkan Jaka sendirian yang terbengong-
bengong sesaat kemudian berseru.
"Hoi...! Katanya kau cinta padaku, menga-
pa kau lari!"
"Jangan hiraukan dia, Ningrum!" Si nenek
memperingatkan muridnya agar terus saja lari.
"Dia akan menyusahkan dirimu kalau tahu siapa
adanya dirimu."
"Tapi aku mencintainya, Guru," bantah Ni-
hil rum hendak merandek, yang segera diseret
oleh Nenek Kelabang.
"Anak bodoh! Apakah kau hendak mati?"
Ningrum kini menurut, setelah berpikir
akan kebenaran ucapan gurunya. Memang benar,
bila ia akhirnya diketahui oleh Jaka siapa adanya
dirinya niscaya Jaka akan membuat repot. Bu-
kannya ia takut menghadapi Jaka, namun hal itu
belum waktunya. Tapi hati Ningrum tak dapat di-
bohongi, hati kecil mengatakan bahwa ia benar-;
benar mencintai Jaka. Dengan terus berlari ken-
cang Ningrum menggumam dalam hati, gumaman
sebagai seorang yang tengah dilanda gelora cinta.
Ningrum lupa bahwa dirinya telah mempunyai
suami si Setan Rambut Putih.
SEMBILAN
"Anak muda, mengapa kau biarkan kedua-
nya meninggalkanmu?"
"Hai, kau telah sadar. Siapakah engkau
adanya, Ki Sanak?" tanya Jaka mendengar orang
dalam bopongannya telah sadar dari pingsannya.
"Dan siapa yang kau maksudkan dengan kedua-
nya? Apakah kedua wanita genit dan liar yang te-
lah menyiksamu sampai engkau berantakan mu-
kanya?"
Lelaki itu terdiam sesaat, meraba mukanya
yang terasa nyeri. Darah kering membasahi hi-
dung, mulut, telinga dan matanya. Seketika ia
memekik, "Tidak! Aku tak mau buta!"
Iba juga Jaka mendengar dan melihatnya,
maka dengan suara haru Jaka pun berkata men-
coba menghibur: "Ki Sanak, mungkin sudah ko-
drat bagimu begitu, terimalah apa yang telah di-
berikan oleh Yang Maha Kuasa. Aku rasa, semua
ini ada hikmahnya"
Tercengang Darga mendengar kata-kata
Jaka. Ia tak menyangka kalau seorang pendekar
yang namanya kondang mempunyai watak yang
terpuji, sabar dan penuh rasa kasih beda dengan
apa yang didengung-dengungkan oleh rekan-
rekannya sealiran yang mengatakan bahwa Pen-
dekar Pedang Siluman Darah berwatak ganas bila
menghadapi tokoh aliran sesat macam dirinya.
Melihat kenyataan tersebut, tanpa sadar Darga
mendesah. "Oh, tak aku sangka."
"Apa yang engkau maksud, Ki Sanak?" Ja-
ka menanya ingin mengerti apa yang dimaksud
oleh Darga. Karena menyangka Darga meratapi
segala apa yang diterimanya, segera Jaka kembali
berkata: "Janganlah Ki Sanak meratapi segalanya
yang telah terjadi, sebab hal itu akan menjadikan
beban pikiran Ki Sanak sendiri."
"Bukan itu yang aku maksud, Tuan Pende-
kar. Aku merasa telah salah sangka padamu. Ta-
dinya aku hanya mendengar dari sahabat-
sahabatku yang mengatakan bahwa engkau ber-
tingkah telengas, tak mengenai kata ampun bagi
golongan sepertiku."
Jaka tersenyum gelengkan kepala menden-
gar penuturan Darga.
"Tapi kenyataannya sekarang, sungguh
membuat hatiku merasa berdosa. Kau telah
mampu menyadarkan siapa adanya aku sebenar-
nya, yang selama ini telah menyimpang dari sega-
la ketentuan alam dengan kata lain telah sesat.
Oh, sungguh kau telah menjadikan aku sadar.
Kalau boleh aku tahu, masihkah aku diampuni
segala dosa-dosaku?" Darga berkata dengan sege-
nap perasaannya, sehingga tanpa sadar air ma-
tanya meleleh deras membasahi kedua pipinya.
"Dapatkah aku menerima pintu tobat?"
Jaka terdiam hanyut oleh rasa iba yang di-
alunkan lewat kata-kata Darga yang begitu tulus.
Tak disadari air matanya pun turut meleleh. Ya,
Jaka menangis. Dia menangis bahagia, karena
ternyata dirinya telah mampu membuat orang
yang selama hidupnya sesat menjadi sadar. Den
gan suara tersengal oleh lelehan air mata Jaka
pun menjawab: "Kapan saja engkau mau, Tuhan
masih terus membukakan pintu tobat bagi umat-
Nya."
"Oh, betapa agungnya hati Tuhan, Tuan
Pendekar?"
"Ya. Memang itulah Tuhan. Ia Maha Agung,
Maha Pengasih serta Penyayang. Dibanding den-
gan Tuhan, aku belumlah ada artinya sama seka-
li," Jaka mencoba menghibur Darga. Lamat-lamat
dari bibir Darga mengurai senyum, dan lamat-
lamat pula terdengar desah Darga.
"Oh, Tuhanku, sungguh aku selama ini te-
lah menyimpang dari jalan yang Engkau gariskan.
Semoga Engkau berkenan mengampuni diriku.
Tuan Pendekar, mengapa engkau tak segera
menghentikan sepak terjang mereka?"
"Siapa yang engkau maksudkan, Ki Sa-
nak?" tanya Jaka belum mengerti apa yang di-
maksud oleh Darga.
"Mereka berdua yang telah menyiksaku.
Mereka salah satunya adanya Penguasa Bukit Ka-
rang Bolong."
Terbelalak Jaka mendengar keterangan
yang dilontarkan oleh Darga, yang menyebutkan
bahwa salah seorang dari dua orang wanita terse-
but adalah orang yang ia cari. Tapi yang mana...?
"Ki Sanak, yang manakah yang menyebut
dirinya Penguasa Bukit Karang Bolong?"
"Dia yang muda."
"Yang cantik itu?" tanya Jaka mencoba
meyakinkan.
"Kau jangan terpengaruh oleh kecantikan-
nya, Tuan Pendekar. Dia memang cantik, tapi di
balik kecantikannya tersembunyi Iblis. Ketahui-
lah olehmu bahwa gadis yang bernama Ningrum
itu, kini dalam kuasa Iblis Dewi Lanjut Ayu si
Penguasa Bukit Karang Bolong," Darga bercerita
panjang lebar, menjadikan Jaka mengerti siapa
sebenarnya Penguasa Bukit Karang Bolong yang
tindakannya sungguh sangat telengas dan tak
kenal kompromi itu. "Dia sebenarnya anak seo-
rang Pendekar sakti beraliran lurus yang na-
manya mungkin sudah Tuan Pendekar dengar.
Pendekar tersebut bernama Pramanayuda..."
"Pramanayuda...!? Hei, bukankah dia pemi-
lik Pedang Sukma Layung yang sudah kesohor
dengan keampuhannya?" Jaka bergumam seper-
tinya gumamannya tersebut ditujukan pada diri
sendiri. "Ya, ya aku mendengar kebesaran na-
manya. Hem, ternyata di balik semua bencana
yang menimpa wilayah ini adalah seorang Iblis
yang ingin melampiaskan keangkaramurkaan..
Baiklah, Ki Sanak. Kini aku telah mengetahui be-
nar apa yang terjadi dan siapa yang menjadi to-
kohnya. Nah, ke mana aku harus membawa tu-
buhmu untuk sekedar istirahat memulihkan ke-
lemahan tubuhmu?"
"Bawalah aku ke Bukit Kemasan, di sana
adalah tempat temanku tinggal. Dia juga seorang
tabib dari India."
"Baiklah aku akan membawamu ke tempat
tersebut."
Dengan segera Jaka berkelebat sambil
membopong tubuh Darga pergi meninggalkan alas
yang kembali sunyi. Lari Jaka begitu cepat karena
dilandasi dengan ilmu lari Angin Puyuh. Jaka
berbuat begitu karena ia ingin memburu waktu
untuk selekasnya menuju ke Bukit Karang Bo-
long. Merasakan dirinya dibawa bagaikan terbang
saja Darga yang telah buta seketika tersentak dan
makin yakin bahwa Pendekar muda ini memang
bukan pendekar sembarangan. Tiupan angin yang
keluar dari tubuh Jaka, bagaikan prahara topan
yang mampu merobohkan pohon-pohon di sekitar
yang dilaluinya. Tak luput binatang-binatang hu-
tan, berserabutan seperti takut mendengarnya.
* * *
Kita tinggalkan Jaka yang membawa tubuh
Darga Buana yang luka-luka menuju ke tempat
Tabib sahabatnya. Marilah kita tengok di tempat
Bukit Karang Bolong di mana Ningrum dan Setan
Rambut Putih mengangkat dirinya menjadi ketu-
anya dengan menyebut diri mereka Penguasa Bu-
kit Karang Bolong.
Bukit Karang Bolong nampak sepi, seper-
tinya mengandung keangkeran yang begitu da-
lam. Muka dua orang penjaga pintu masuk nam-
pak tak berekspresi, dingin dan kaku. Mereka
memang sudah dilatih dengan keadaan demikian,
harus memiliki keberanian dan keangkeran. Me-
reka juga dilatih untuk tidak mengenal belas ka-
sihan atau kompromi dengan orang-orang yang
mereka anggap musuh.
Tengah penjaga pintu masuk tenang dalam
tugasnya, seorang pemuda berkelebat mengham-
piri mereka. Pemuda itu serta merta menerobos
hendak masuk ke dalam wilayah Bukit Karang
Bolong, menjadikan kedua penjaga tersebut sege-
ra menghalanginya dengan silangkan tombak,
dan membentak.
"Pemuda tolol, siapa kau!? Dan apa keper-
luanmu datang ke mari? Apakah kau tak tahu di
mana kau kini berada?!"
Pemuda itu hanya tersenyum, lalu dengan
sekali hentak dua tombak di tangan kedua penja-
ga yang menghalanginya patah berantakan. Hal
itu menjadikan kedua penjaga pintu masuk terbe-
lalak matanya kaget. Keduanya tak percaya kalau
pemuda semuda itu mampu memiliki tenaga yang
besar, sehingga dengan mudah tombak yang ter-
buat dari kayu alami yang kuat dan kokoh hanya
sekali gebrak patah berantakan.
"Katakan pada pimpinan kalian, aku Tega-
laras datang! Cepat!"
Kedua orang penjaga itu tersentak membe-
lalakan mata kaget demi mendengar bentakan Te-
galaras yang bagaikan suara petir menggelegar.
Namun belum juga kedua penjaga tersebut
berkata, tiba-tiba terdengar seruan dari dalam:
"Biarkan dia masuk, Penjaga!"
Tanpa hiraukan kedua penjaga yang dalam
keadaan bengong yang disebabkan oleh bentakan
Tegalaras, Tegalaras segera berkelebat langkahi
dua orang tersebut masuk ke dalam. Langkahnya
begitu ringan, boleh dikata terbang. Tahu-tahu
tubuhnya telah melesat, dan berhenti manakala
dilihatnya dua orang muda telah menunggunya.
"Selamat datang Tegalaras," sapa keduanya
serempak
Tegalaras tak hiraukan sambutan mereka.
Bibirnya terurai senyum sinis, lalu dengan suara
enteng Tegalaras berkata: "Aku minta kalian ting-
galkan tubuh adikku."
Mendengar ucapan Tegalaras, seketika ke-
dua muda mudi yang salah satunya adalah adik-
nya sendiri tertawa bergelak-gelak. Hal ini menja-
dikan Tegalaras melototkan mata marah dan
jengkel pada yang ia ketahui adalah iblis-iblis
pengganggu adiknya.
"Dewi Lanjut Ayu, tak pantas kau men-
gangkangi tubuh adikku. Segeralah minggat dari
tubuh adikku, atau aku dengan terpaksa mengu-
sirmu!"
"Hi, hi, hi...! Tegalaras, lakukan bila kau
mampu!"
"Iblis! Jangan kira aku tak mampu, Dewi
iblis. Nah, bersiaplah, hiat...!" Tegalaras segera
berkelebat, menyerang dengan cepat dan disertai
dengan serangan-serangan kilat yang hanya da-
pat dilakukan oleh para Siluman belaka. Namun
Dewi Lanjut Ayu bukanlah tokoh sembarangan.
Sebagai istri dari Datuk Raja Karang ia telah be-
nar-benar digembleng segala ilmu kanuragan baik
oleh gurunya, ayahnya maupun suaminya. Gera-
kan sang Dewi Ayu Lanjut pun tak kalah cepat
dibanding Tegalaras.
Namun rupanya Tegalaras yang memang
telah dididik oleh Bangsa Siluman bukanlah mu-
suh yang enteng bagi Dewi Ayu Lanjut, sehingga
dalam sebentar saja Dewi Ayu lanjut pun dapat
dengan segera didesaknya. Dan manakala ada ke-
sempatan, segera Tegalaras hantamkan ajian Pe-
nyekap Iblis ke tubuh Ningrum yang tengah diku-
asai oleh Dewi Ayu Laras. "Ajian Pelebur Iblis,
hiat...!"
"Wuuuut... duar!"
"Aaaaah...!" Tubuh Ningrum gontai, akhir-
nya ambruk pingsan. Dari tubuhnya keluar asap
mengepul, bergulung-gulung keluar dan memben-
tuk tubuh Dewi Ayu Laras. Melihat hal itu, serta
merta Setan Rambut Putih tak tinggal diam, sege-
ra ia menyerang dengan cepat pada Tegalaras
yang dianggapnya telah membuat kerusuhan pa-
da Bukit Karang Bolong wilayah kekuasaannya.
Serangan Setan Rambut Putih ternyata
sangat dahsyat, jauh melebihi ilmu yang dimiliki
oleh Ningrum yang bersekutu dengan Dewi Ayu
Lanjut. Setan Berambut Putih ternyata lebih ting-
gi dua atau tiga tingkat dibandingkan ilmu yang
dimiliki oleh kekasihnya Ningrum atau Dewi Ayu
Lanjut.
Nampaklah kini keberadaan Tegalaras,
bahwa ilmunya tak ada guna sama sekali untuk
menghadapi Setan Berambut Putih. Ternyata Se-
tan Berambut Putih bukanlah nama kosong me-
lompong belaka. Terbukti kini dalam beberapa
gebrakan saja Tegalaras yang sudah digembleng
oleh bangsa Siluman mampu didesaknya.
"Bangsat! Aku akan mengadu nyawa den
ganmu, Iblis Laknat! Kau harus minggat dari du-
nia ini!" bentak Tegalaras yang telah tahu siapa
sebenarnya Setan Berambut Putih. Nah, untuk
mengetahui siapa adanya Setan Berambut Putih,
silahkan anda baca kisah Titisan Penghuni Bukit
Gempol...!
"Kau tak akan mampu, Tegalaras! Menye-
rahlah dan ikutlah dengan kami!"
"Jangan hiraukan omongannya, Saudara!"
tiba-tiba sebuah suara yang dilontarkan dari ja-
rak yang agak jauh menggema, menjadikan Setan
Rambut Putih tersentak. Belum juga Setan Ram-
but Putih hilang kagetnya sesosok tubuh berkele-
bat dan tiba-tiba telah berdiri menjejeri Tegalaras.
Pemuda itu tersenyum, lalu dengan menjura
hormat pada Tegalaras pemuda yang tak lain
Pendekar kita Jaka Ndableg berkata: "Saudara
Pendekar, mungkin iblis ini bukan tandingan
saudara sendirian. Mari kita hadapi bersama!"
"Siapakah engkau adanya, Ki sanak?"
tanya Tegalaras ingin kenal adanya pemuda di
sampingnya.
"Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka den-
gan tenang, sementara matanya memandang ta-
jam ke arah Setan Rambut Putih. Mendengar sia-
pa adanya pemuda di sampingnya, dengan suara
kaget Tegalaras berseru:
"Kaukah Pendekar Pedang Siluman Da-
rah?!"
"Ya... begitulah! Awas! Dia menyerang...!"
Tersentak Jaka dan Tegalaras yang segera
buang tubuh masing-masing ke samping meng
hindari serangan yang dilancarkan oleh Setan
Rambut Putih.
"Kalian harus mati, sebab kalianlah yang
bakal merintangi niatku untuk menguasai jagad
raya ini!" bentak Setan Rambut Putih sambil terus
gencarkan serangan dengan pukulan-pukulan ja-
rak jauhnya yang sungguh dahsyat, menjadikan
kedua pendekar itu harus menguras tenaga un-
tuk menghindarinya. Kalau saja mereka terlambat
mengelak, maka tak ayal lagi tubuh mereka akan
hancur berantakan seperti tembok-tembok yang
terhantam.
Merasa serangannya luput, Setan Rambut
Putih makin menggeram marah. Kembali ia me-
lancarkan ajiannya yang sungguh dahsyat, ajian
yang hanya dimiliki oleh siluman dan iblis.
Jaka dan Tegalaras tersentak kaget, karena
belum pernah melihat ajian tersebut. Ya, walau-
pun mereka murid-murid bangsa Siluman, na-
mun ajian-ajian yang keluar dari tangan Setan
Rambut Putih sungguh belum mereka kenal.
"Gusti Allah, ajian apakah itu?!" gumam
Jaka.
"Ilmu iblis!" mengumpat Tegalaras.
"Awas! Dia hantamkan ajiannya ke mari!"
Jaka memekik memperingatkan pada Tegalaras,
namun Tegalaras yang tengah kaget begitu lam-
ban menghindar, sehingga pundaknya seketika
terhantam ajian tersebut. Dan....! Mata Jaka se-
ketika melotot kaget, tak percaya pada apa yang
dilihatnya. Binatang-binatang sebesar tikus tanah
tiba-tiba muncul menggeruguti pundak Tegalaras
yang meraung-raung kesakitan.
"Demi Allah, ilmu iblis macam apa ini.
Hem, aku harus menggunakan Pedang Siluman
Darah untuk membasmi binatang-binatang nera-
ka terkutuk itu! Dening Ratu Siluman Darah Da-
tanglah!"
Pedang Siluman Darah seketika telah be-
rada di tangan Jaka yang dengan cepat tebaskan
pada pundak Tegalaras. Seketika binatang-
binatang menjijikkan tersebut lenyap tanpa bekas
dan luka di pundak Tegalaras pun bagaikan tak
pernah ada.
"Terima kasih, Jaka."
"Sudahlah, kita kini tengah menghadapi
maut yang siap mengancam diri kita. Menyingkir-
lah, biar aku hadapi dengan Pedang Siluman Da-
rah."
Tegalaras menurut, melompat menepi se-
puluh tombak dari tempat mereka bertarung. Kini
ia jadi penonton, menyaksikan Jaka dan Setan
Rambut Putih tengah berhadap-hadapan siap un-
tuk saling serang.
"Iblis Bukit Gempol, minggatlah dari sini!"
bentak Jaka yang telah diberi tahu oleh Ratunya
yang berada di pedang tentang siapa adanya Se-
tan Rambut Putih.
"Hoar...! Jangan mimpi, Pendekar! Walau
namamu telah mengangkangi langit, tapi aku tak
akan mau mengalah, terimalah ini. Hiat....!"
Setan Rambut Putih kembali hantamkan
ajian iblisnya. Selarik sinar merah, biru, hitam
bercampur jadi satu menerpa ke arah Jaka. Sege
ra Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, dan si-
nar itu pun seketika lenyap tanpa bekas.
Melihat serangannya dengan mudah dapat
dihilangkan oleh Jaka makin marahlah Setan
Rambut Putih. Dengan didahului menggerang ia
berkelebat melompat menyerang. Hal itu tidak
disia-siakan oleh Jaka yang sudah siap dengan
pedangnya. Maka manakala Setan Rambut Putih
melayangkan tubuhnya, segera Jaka pun mema-
pakinya dengan menebaskan Pedang Siluman Da-
rah, dan...!
"Croooos...!"
"Aaaaah....!" terdengar pekikan, bersamaan
dengan suara babatan Pedang Siluman Darah.
Tak lama kemudian, terdengar suara ambruknya
tubuh Setan Rambut Putih. Maka dengan kema-
tian tersebut, Bukit Karang Bolong pun kembali
sepi.
Tegalaras segera hampiri Jaka, namun ba-
gaikan sebuah bayangan saja Jaka telah raib. Be-
gitu juga halnya dengan Ningrum, ia telah raib
dari situ entah ke mana. Tinggallah Tegalaras
sendiri, melangkah diiringi bekas-bekas anggota
Bukit Karang Bolong. Ke manakah Ningrum? Un-
tuk mengetahuinya silahkan anda ikuti kisah be-
rikutnya dalam serial Jaka Ndableg Pendekar Pe-
dang Siluman Darah di episode Ratu Maksiat Te-
laga Warna.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar