PEMBALASAN DEWI BUNGA KEMATIAN
oleh Sandro S.
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
128 hal.; 12 x 18 cm
SATU
Dengan berlinang air mata, Angelir yang meli-
hat kematian ayahnya terus berlari menuju ke arah
Selatan di mana terpampang larikan Bukit Setan.
Bukit Setan merupakan bukit yang sangat ang-
ker. Jarang orang berani datang ke tempat itu. Bukit
Setan dihuni oleh seorang tokoh silat golongan hitam
yang berilmu tinggi, bernama Rangga Bargawa dengan
julukan Banas Pati.
Dua puluh tahun yang silam, Banas Pati telah
malang melintang di dunia persilatan. Banyak sudah
korban yang menemui kematian di tangannya. Keba-
nyakan korban itu adalah tokoh persilatan golongan
lurus.
Karena sepak terjangnya yang sungguh dapat
mendirikan bulu kuduk Rangga Bargawa mendapat ju-
lukan Banas Pati. Korbannya selalu mati dengan hi-
lang matanya, dimakan oleh Rangga Bargawa.
Dua puluh tahun Rangga Bargawa malang me-
lintang di dunia persilatan. Dua puluh tahun juga to-
koh-tokoh persilatan dibuat bertekuk lutut. Merasa di-
rinya orang yang paling sakti, Rangga Bargawa men-
gangkat dirinya menjadi raja di raja dunia persilatan.
Namun seperti ungkapan, jodoh, nasib, hidup
dan mati adalah Yang Maha Kuasa yang berwenang.
Baru setahun Rangga Bargawa memegang tampuk ke-
kuasaan sebagai Raja Diraja, datang ke tempatnya seo-
rang pendekar muda bernama Bayong atau Pendekar
Suci.
Tanpa dapat dicegah, kedua pendekar berha-
luan beda itupun bertempuh di Lembah Karang Teng-
korak. Karena keduanya merupakan dua pendekar ke
las wahid, sehingga pertempuran keduanya berjalan
begitu alot. Berhari-hari keduanya bertempur, namun
sepertinya kedua tokoh itu tak akan ada yang menang
maupun yang kalah.
Namun pada hari kelima, Bayong yang sudah
jenuh dengan pertempuran segera mengeluarkan ajian
andalannya. Ajian yang hanya diwariskan oleh gu-
runya pada Bayong, yaitu ajian Buto Dewa Wisnu. Tu-
buh Bayong seketika berubah menjadi raksasa. Sua-
ranya menggelegar dahsyat menjadikan alam seketika
seperti runtuh.
Dengan ajian tersebut, Bayong dapat menga-
lahkan Rangga Bargawa. Dilemparkannya tubuh
Rangga Bargawa, sehingga Rangga Bargawa lumpuh.
"Ingat, Rangga Bargawa. Bila kau kelak akan
mengulangi perbuatanmu, aku pun akan datang kem-
bali walau lewat orang lain."
Sejak saat itu, Rangga Bargawa seperti hilang
dari dunia persilatan. Hati kecilnya yang mendendam
pada Bayong, tak dapat dilunasinya.
Dengan kekalahan tersebut, Rangga Bargawa
mengasingkan diri. Ia menempa segala ilmu kanura-
gan, serta berusaha menciptakan ajian tandingan Buto
Dewa Wisnu. Kini sudah tiga puluh lima tahun Rangga
Bargawa mengasingkan diri. Bermacam ilmu ia cipta-
kan dan ia pelajari, berbagai ajian ia ciptakan pula.
Tujuannya hanya satu, membalas dendam pada
Bayong atau muridnya,
Rangga Bargawa tengah merenungi dirinya
yang telah sekian puluh tahun terkurung di Jurang
Lembah Tengkorak. Walau pun Rangga Bargawa lum-
puh kakinya, namun dengan ilmu yang ia miliki,
Rangga Bargawa masih mampu bergerak.
Banyak sudah tokoh-tokoh persilatan yang ma
ti di tangannya. Mereka biasanya orang-orang yang
hendak mencari Kitab Pedang Biru, sebuah kitab yang
sangat berguna bagi orang-orang persilatan. Di samp-
ing kitab tersebut, mereka juga bermaksud menda-
patkan Pedang Biru.
Sebenarnya Bargawa pun tengah mencari kitab
dan pedang tersebut. Namun sampai ia begitu tua, ki-
tab dan pedang tersebut tak juga ia temukan.
"Tiga puluh lima tahun sudah aku mengurung
diri di dasar jurang ini. Tujuannya hanya satu, menca-
ri kitab dan pedang yang menjadi rebutan kaum persi-
latan. Kenapa sejauh ini aku tak menemukannya?"
bergumam Bergawa dalam hati.
Tengah Rangga Bargawa merenungi diri, ter-
dengar olehnya seorang wanita berseru dan atas ju-
rang.
"Paman... paman Bargawa, kau dengar seruan
ku?"
"Hem, siapa yang telah memanggilku dengan
sebutan paman?" bertanya hati Bargawa. "Siapa kau
yang berseru!" seru Bargawa kemudian.
"Aku kemenakan mu! Aku Angelir, paman!"
"Angelir. Hem, bukankah anak itu anak kakak-
ku Amuk Mungkur? Untuk apa bocah itu datang me-
nemuiku?" tanya Bargawa pada diri sendiri. "Angelir!
Apakah kau datang dengan bapak moyangmu?!"
"Tidak, Paman. Angelir datang sendirian," men-
jawab Angelir dari atas. Matanya memandang ke ba-
wah jurang yang gelap, sehingga ia tak mampu melihat
apa yang ada di dalam jurang itu. "Paman, bolehkan
Angelir menemuimu?"
"Kau berani turun, Anak bandel?!"
"Berani, Paman!" jawab Angelir. "Jadi paman
mengijinkan?"
"Kalau kau memang berani turun, turunlah!"
seru Bargawa.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya, Angelir segera melompat turun ke bawah ju-
rang yang cukup dalam. Tubuhnya melayang bagaikan
sehelai daun kering, lalu hinggap dengan enaknya di
dasar jurang.
"Hoop, ya!"
"He, he, he... rupanya kau seperti ayahmu,
bandel. Nah, apa perlumu datang ke mari, Anak ban-
del!"
Angelir tidak langsung menjawab pertanyaan
sang paman, malah dari kedua matanya meleleh air
mata. Angelir menangis, menjadikan Rangga Bargawa
seketika menyipitkan mata tak mengerti dengan ting-
kah Angelir.
"Kenapa kau menangis, Anak bandel!"
"Paman, kini aku sebatang kara."
Tersentak Rangga Bargawa mendengar penutu-
ran kemenakannya. Matanya membeliak, sepertinya
tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan
mengerutkan kening, Rangga Bargawa bertanya.
"Apa maksudmu dengan ucapan sebatang kara,
Angelir?"
Kembali Angelir tak segera menjawab, malah
kini tangisnya makin kencang. Melihat hal itu, Rangga
Bargawa yang biasanya garang seketika ikut iba.
"Ayo, Anak manis. Kenapa kau menangis?"
"Paman, kini ayah telah tiada"
"Apa...!" tersentak Rangga Bargawa bagaikan
disengat Kala, demi mendengar ucapan kemenakan-
nya. "Kau tidak bercanda, Anakku?"
Angelir menggeleng lemah, tak mampu untuk
berkata-kata.
"Kapan ayahmu meninggal?"
"Ayah dibunuh...!"
"Dibunuh...!" kembali Rangga Bargawa terpe-
ranjat, sehingga matanya yang lebar makin melebar
kala melotot. "Siapa yang berani membunuh kakang
Amuk?"
Dengan masih menangis, Angelir segera mence-
ritakan apa yang telah ia alami. Bargawa yang men-
dengarkannya, seketika darahnya bagaikan mendidih.
Giginya saling beradu, mengeluarkan bunyi gemeretuk.
Saking marah dan kesalnya pada siapa-siapa
yang telah mengakibatkan kakaknya mati, menjadikan
Rangga Bargawa bagaikan orang kesetanan. Dihan-
tamnya tembok jurang, yang seketika itu hancur lebur
menjadikan gempa.
Tersentak Rangga Bargawa melihat jurang itu
runtuh. Dengan segera dibopongnya tubuh Angelir, la-
lu dengan tubuh bagaikan terbang Rangga Bargawa
melompat naik.
Tak lama setelah Rangga Bargawa sampai di
atas, terdengar longsornya jurang itu. Mata Bargawa
membeliak, manakala melihat longsoran tanah yang
seketika itu menutupi jurang.
"Sungguh tak dapat dibayangkan bila kita ma-
sih di dalam jurang itu." bergumam Rangga Bargawa.
"Ayo kita pergi, Angelir."
"Ke mana, Paman?" bertanya Angelir tak men-
gerti.
"Ikut aku. Kau akan aku beri segala ilmu yang
telah aku ciptakan selama tiga puluh lima tahun bera-
da di dasar jurang. Ayo."
Tanpa banyak kata lagi, kedua paman dan ke-
menakan itu segera berkelebat pergi meninggalkan Ju-
rang Karang Tengkorak.
* * *
"Di sinilah kau akan aku tempa menjadi seo-
rang tokoh persilatan yang sukar untuk ditandingi."
berkata Rangga Bargawa setelah keduanya sampai pa-
da sebuah bukit, yang letaknya di tengah hutan. "Kau
ingin membalas semua sakit hatimu, Angelir?"
"Benar, Paman." menjawab Angelir.
"Untuk itulah, paman akan menggembleng mu
menjadi seorang pendekar yang tak akan terkalahkan.
Kalau kau telah menjadi seorang tokoh sakti mandra
guna, kau harus mampu menjadi seorang pimpinan.
Kau harus menggantikan ayahmu," berkata Rangga
Bargawa penuh semangat, yang diangguki oleh Angelir.
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera menga-
jarkan segala macam jurus-jurus temuannya. Angelir
yang memang berambisi menjadi penguasa, juga men-
jadi tokoh paling sakti dengan giat mengikuti segala
petunjuk pamannya.
"Ini yang aku beri nama jurus Seroja Biru. Li-
hatlah!"
Rangga Bargawa segera memperagakan jurus
Seroja Biru. Walau kakinya lumpuh, namun gerakan-
nya tak terpengaruh sedikitpun. Gerakan Rangga Bar-
gawa begitu lincah, malah lebih lincah bila dibanding-
kan dengan orang normal.
"Nah, sekarang kaulah yang melakukannya,"
perintah Rangga Bargawa, yang dengan senang hati di-
laksanakan oleh Angelir. Hari-hari pun dilalui oleh ke-
duanya dengan berlatih dan berlatih. Cita-citanya yang
ingin merajai dunia persilatan, seperti membimbingnya
dalam berlatih.
Tak terasa waktu berlalu, membawa mereka
pada titik kulminasi latihan. Segala ilmu kanuragan
dan ilmu-ilmu silat telah Angelir kuasai.
Hari itu Angelir tengah duduk berhadap-
hadapan dengan pamannya. Seperti nya Rangga Bar-
gawa hendak mengutarakan maksud yang selama ini
terpendam di hatinya, yaitu dendamnya pada Bayong
yang telah menjadikannya lumpuh.
"Angelir, anakku. Hari ini adalah hari untuk
yang terakhir kau bersamaku. Segala ilmu yang aku
miliki, telah seluruhnya aku limpahkan padamu. Sega-
la ajian telah aku berikan padamu, tinggal satu ajian
dahsyat yang hingga kini belum aku berikan."
"Apa itu, Paman?" tanya Angelir ingin tahu.
"Nanti kalau kau telah tahu duduk persoalan-
nya kenapa aku mengurung diri di jurang Karang
Tengkorak, akan aku beri tahu padamu sekaligus akan
aku turunkan padamu. Dengarlah cerita ku."
Setelah terlebih dahulu menarik napas dalam-
dalam, Rangga Bargawa segera menceritakan apa yang
pernah terjadi pada dirinya tiga puluh lima tahun yang
si lam.
"Aku dan ayahmu adalah kakak beradik seper-
guruan. Namun begitu, kami seperti kakak beradik
sendiri. Aku menghormati ayahmu, seperti menghor-
mati kakakku sendiri. Setelah kami sama-sama me-
nimba ilmu pada Ki Lanang Edan, kami pun berpisah.
Ayahmu menggantikan kakekmu menjadi raja. Semen-
tara aku sendiri, terus berkelana menimba ilmu. Ber-
puluh-puluh perguruan aku singgahi, berpuluh-puluh
guru aku pinta ilmunya. Namun hatiku tak puas, ya,
aku merasa tak puas. Maka dengan ilmu yang aku mi-
liki, aku segera bertualang mencari kepuasan batin.
Ratusan pertarungan aku jalani, semua dapat aku
menangi. Namun kembali aku tak puas.
Ku umbar segala nafsu yang ada di hatiku. Ku
bunuh orang-orang yang menamakan dirinya pende-
kar, lalu kuambil matanya dan ku makan. Mulanya
aku ngeri merasakan tindakanku sendiri. Tapi lama
kelamaan, semuanya seperti biasa. Bahkan aku makin
ketagihan untuk memakan mata orang. Hingga karena
kesadisan ku, aku dijuluki oleh orang-orang persilatan
Banas Pati.
Julukan itu makin menambah keseraman ku.
Semua tokoh-tokoh persilatan tunduk padaku dan
mengangkat ku sebagai Raja Diraja dunia persilatan.
Namun begitu, tindakanku yang telengas suka makan
mata orang terus berlangsung. Hal itu menjadikan se-
mua ngeri, lalu berbalik memusuhi aku. Tapi mereka
tak ada seorangpun yang dapat mengalahkan ilmu
yang aku miliki.
Suatu hari datang ke tempatku seorang pende-
kar muda. Ia merupakan salah seorang dari Empat
Pendekar Sakti, bernama Bayong. Ki Bayong diperintah
oleh tokoh-tokoh persilatan untuk mencegah tinda-
kanku. Karena aku merasa dia adalah duri yang
menghalangi, kami pun akhirnya bertempur.
Pertempuran itu berjalan begitu alot dan lama,
karena kami merupakan tokoh-tokoh silat kelas wahid.
Namun rupanya Ki Bayong memiliki ilmu lebih diban-
dingkan denganku yaitu Ajian Buto Dewa Wisnu. Den-
gan ajian tersebut, ia mampu mengubah dirinya men-
jadi Raksasa.
Aku ditangkapnya dan dilemparkan jauh sam-
pai membentur batu karang jurang Karang Tengkorak.
Kakiku lumpuh dengan tulang remuk. Sejak saat itu,
aku mengurung diri di dasar jurang Karang Tengkorak,
mendalami segala ilmu dan berusaha menciptakan
ajian tandingan Buto Dewa Wisnu. Tujuanku hanya
satu, membalas kekalahan ku. Aku tekun mempelajari
ajian itu. Tapa Brata empat puluh hari empat puluh
malam aku lakukan. Tentunya kau mengerti apa yang
aku maksud, Angelir?"
"Saya mengerti. Paman," jawab Angelir.
"Nah, dengarlah. Ajian yang aku ciptakan ber-
nama Ajian Betari Kala. Sebenarnya ajian ini khusus
untuk wanita. Ya, kebetulan kau datang, Anakku."
Hari itu juga, Rangga Bargawa segera mewa-
riskan ajian Betari Kala pada Angelir. Lengkaplah su-
dah ilmu yang dimiliki Angelir.
Maka dengan segala ajian yang ia miliki, Angelir
setelah meminta restu pada pamannya segera pergi
untuk membalas sakit hatinya. Juga untuk menunai-
kan tugas dari pamannya, membalas dendam pada Ki
Bayong atau muridnya.
DUA
Sejak membubarkan diri dari gerombolan Alas
Rengas, Loro Ireng kembali pada jalan kebenaran.
Dengan memakai nama samaran Dewi Rembulan
Emas, Loro Ireng berkelana kembali. Hatinya yang te-
lah terpaut pada Jaka Ndableg, menjadikannya ingin
selalu dapat bersanding dengan pemuda itu.
Siang itu Loro Ireng tengah berjalan di tepi pan-
tai. Seperti hari-hari biasanya, Loro Ireng bertualang
demi mencari Jaka Ndableg yang telah mengambil ha-
tinya.
"Ke mana aku harus mencari? Sedang aku tak
tahu di mana rimba belantaranya?" mengeluh hati Loro
Ireng.
Dengan mengikuti ke mana langkah kakinya,
Loro Ireng terus melangkah. Beratus bahkan beribu
mil telah ia jalani, namun batang hidung orang yang
dicarinya tak jua ditemukan.
Tengah Loro Ireng berjalan dengan melamun,
terdengar olehnya seorang berseru memanggil na-
manya. "Loro Ireng, tunggu!" Loro Ireng segera mema-
lingkan mukanya, memandang pada asal suara itu.
Terkesiap darah Loro Ireng, manakala dilihatnya orang
yang telah memanggilnya.
"Kau... kaukah Angelir?" bergumam Loro Ireng,
sepertinya tak percaya pada apa yang ia lihat. "Ke ma-
na saja kau, Angelir?"
"Aku pergi mengasingkan diri, Loro. Apakah
kau tak ingin kembali membentuk sebuah gerombo-
lan?"
"Ah, apakah nantinya kita tak mengalami kesu-
litan seperti yang telah kita alami. Apalagi dengan da-
tangnya anak muda yang sakti itu." berkata Loro Ireng,
menjadikan Angelir yang mendengarnya hanya terse-
nyum.
"Kau tak yakin dengan apa yang aku miliki, Lo-
ro?"
"Bukan begitu. Apakah kita kelak mampu
menghadapi pemuda sakti itu?"
Ditanya seperti itu oleh Loro Ireng, seketika An-
gelir yang merasa telah berilmu paling tinggi tertawa
bergelak-gelak. Hal itu menjadikan Loro Ireng menger-
nyitkan kening, dan bertanya tak mengerti akan apa
yang dijadikan bahan ketawaan Angelir.
"Kenapa kau tertawa, Angelir?"
"Kau ingin bukti bahwa aku akan mampu men-
galahkan pemuda yang kau maksud? Lihat...!"
Habis berkata begitu, segera Angelir merapal-
kan ajian Batari Durga. Seketika tubuhnya yang kecil
dan cantik jelita, berubah menjadi seorang raksasa
yang menyeramkan. Rambutnya yang panjang dan ha-
lus, berubah menjadi kasar dan awut-awutan. Ma-
tanya yang lentik, kini berubah menjadi besar, sebesar
piring makan. Tawanya yang dulu melengking, kini
membahana bagaikan suara halilintar.
Loro Ireng seketika gemetaran, manakala tan-
gan Batari Durga mencengkeramnya. Loro Ireng me-
nyangka kalau Batari Durga akan memangsanya.
"Ampunilah aku, Angelir." pinta Loro Ireng me-
rengek.
"Jadi, kau mau menjadi pengikut ku lagi, Lo-
ro?"
"Benar, Angelir. Kini aku yakin, bahwa kau
memang sakti," berkata Loro Ireng masih ketakutan.
"Sekarang lepaskanlah aku."
Angelir segera menaruh tubuh Loro Ireng kem-
bali, yang segera berlari menjauh. Perlahan-lahan, tu-
buh Angelir kembali ke bentuk semula.
"Bagaimana, Loro Ireng? Apakah kau yakin?"
"Aku yakin, Angelir," menjawab Loro Ireng. Di
wajahnya masih tergambar rasa takut yang amat san-
gat, menjadikan Angelir tersenyum melihatnya.
"Ayo kita taklukan gerombolan-gerombolan
yang ada di sini. Kita ajak mereka bergabung. Kalau
mereka tidak mau. Hem, akan tau rasa."
Dengan segera, kedua orang gadis itu bergegas
pergi, meninggalkan pantai yang kembali sepi. Kedua-
nya terus berlari masuk ke pedalaman, mencari ge-
rombolan-gerombolan yang akan mereka jadikan pen-
gikut.
* * *
Tengah kedua gadis itu berjalan menyusuri hu-
tan yang tampaknya angker, tiba-tiba keduanya dike-
jutkan oleh bentakan seseorang yang menyuruhnya
berhenti.
"Berhenti! Serahkan apa yang ada pada kalian
dan ikutlah aku!"
"Hem... ini pasti, Loro!" berbisik Angelir.
"Ya, ini yang pertama!"
"Heh... apakah kalian gadis tuli?" kembali orang
itu membentak.
Dibentak begitu kasar tidak menjadikan dua
gadis itu takut. Bahkan dengan tersenyum Loro Ireng
berkata mewakili Angelir.
"Ki Sanak... bukanlah lebih baik kau dan anak
buahmu ikut kami?"
"Edan! Diperintah malah menyuruh! Apakah
kalian belum tahu siapa aku adanya, sehingga kalian
berani lancang padaku!" membentak lelaki menyeram-
kan itu, menjadikan Loro Ireng tertawa bergelak-gelak.
Sementara Angelir sendiri, nampak tenang melihat ke-
duanya perang mulut.
"Apa sih yang perlu ditakuti pada dirimu. Bu-
kankah kau tak lebihnya kaum kroco?"
"Setan alas! Rupanya kau mencari mampus."
"Hi, hi, hi... kau jangan sesumbar seenak udel
mu. Dengar! Aku perintahkan padamu dan anak
buahmu yang tengah bersembunyi di semak-semak,
ikutlah aku. Kalian akan menjadi satu gerombolan be-
sar, bukan macam kecoa! Dengar oleh kalian! Akulah
Loro Ireng, pimpinan Gerombolan Alas Renges."
Terbelalak mata pimpinan gerombolan begal itu
manakala tahu siapa yang tengah ia hadapi. Maka
tanpa sungkan-sungkan, pimpinan begal itu segera ja-
tuhkan diri berlutut yang diikuti oleh keempat puluh
anggotanya.
"Ampuni segala kesalahanku, Tuan Putri."
"Bagus. Mulai sekarang, kau harus menjadi
pengikut ku."
"Daulat, Tuan Putri!" menjawab mereka serem-
pak, menjadikan Loro Ireng dan Angelir tertawa berge-
lak-gelak.
"Hua, ha, ha... akulah penguasa tunggal ge-
rombolan terbesar di jagad raya ini. Akan aku jadikan
dunia ini ajang kebrutalan. Akan aku bikin mereka
bertekuk lutut padaku." berseru Angelir dengan ta-
wanya yang membahana. Bersamaan dengan habisnya
gelak tawa Angelir, seketika tubuh Angelir berubah
menjadi Betari Durga.
Melihat kenyataan gadis di hadapannya bukan
gadis sembarangan, keempat puluh gerombolan begal
itu seketika menyembah dengan tubuh bermandikan
keringat dingin.
"Ampunilah kami, Tuan Putri!" berkata pimpi-
nan gerombolan begal itu dengan tubuh gemetaran.
"Siapa namamu!" membentak Betari Durga. .
"Saya... saya bernama, Cobil," menjawab pim-
pinan gerombolan begal itu masih dengan rasa takut.
"Ampuni atas tindakan saya tadi, Tuan Putri."
"Cobil, mulai saat ini kau harus menurut pada
perintah Loro Ireng. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Tuan Putri."
"Kalian harus datang pada malam purnama di
Bukit Karang Tengkorak!" berkata Betari Durga. "Ayo,
Loro."
Kedua gadis itu kembali berkelebat pergi, me-
ninggalkan gerombolan yang telah mereka taklukkan.
Keduanya terus berlari untuk mencari gerombolan-
gerombolan lain yang nantinya dapat dijadikan anggo
ta mereka.
* * *
Malam bulan purnama tiba, di mana malam itu
para gerombolan yang telah ditaklukan oleh Loro Ireng
dan Angelir akan berkumpul.
Angelir dan Loro Ireng telah berdiri di atas bu-
kit, menunggu kedatangan mereka. Mata kedua gadis
cantik itu memandang lurus ke muka, di mana jalan
setapak terbentang. Hanya jalan itu yang dapat dilewa-
ti untuk menuju ke Bukit Karang Tengkorak.
"Kenapa mereka belum datang?" bertanya Loro
Ireng agak cemas.
"Kalau mereka tak datang. Hem, jangan harap
mereka akan hidup!" menjawab Angelir.
Tengah keduanya cemas, tampak oleh mereka
serombongan orang berdatangan menuju tempatnya.
"Itu mereka datang! Rupanya mereka benar-
benar ingin menjadi anggota kita." berkata Loro Ireng.
"Ya... siapa yang tak ingin menjadi anggota ku.
Hua, ha, ha ha... bukankah aku orang yang paling
sakti, Loro Ireng?"
"Benar ucapanmu, Angelir."
Dari kejauhan, rombongan orang yang terdiri
dari para gerombolan yang mereka taklukan terus ber-
jalan menuju ke bukit di mana mereka berdiri.
Bulan purnama makin bergayut terang, berges-
er perlahan menuju ke titik kulminasi. Orang-orang
yang menjadi taklukan mereka telah berkumpul, men-
gelilingi bukit kecil di mana kedua gadis cantik itu
berdiri.
"Kalian rupanya anggota yang baik, yang men-
gerti disiplin dan tanggung jawab. Dengarlah oleh ka-
lian. Hari ini juga, kita dirikan sebuah kerajaan Ge
rombolan Begal bernama Persekutuan Dewi Bunga
Kematian. Siapa yang menentang, nasibnya seperti
ini...!" Habis berkata begitu, Angelir kiblatkan tangan
ke arah bukit sebelahnya. Seketika terdengar ledakan
dahsyat, bersamaan dengan runtuhnya bukit itu.
Semua mata yang melihatnya terbelalak. Belum
pernah mereka melihat ajian pukulan jarak jauh yang
begitu dahsyat.
Belum juga mereka hilang dari tercengangnya,
Angelir telah kembali berkata; "Atau kalian akan
menghadapi diriku dalam bentuk begini."
Angelir segera tiwi krama, duduk bersila, den-
gan mulut merapalkan mantra. Seketika tubuhnya
yang kecil, berubah menjadi besar!
Makin takluk saja mereka melihat hal itu. Se-
rentak tanpa dikomando, mereka langsung menyem-
bah. Dengan tubuh bergetar-getaran, semuanya berka-
ta serempak.
"Ampun, Sri Ratu. Tak akan sekali-kali kami
menentang Sri Ratu. Apapun titah Sri Ratu, kami akan
melaksanakannya."
"Bagus! Hari ini juga, kalian akan aku bagi tu-
gas. Cobil, kau dengan anak buahmu bekerja di hutan,
Syarkom, kau dengan anak buahmu bekerja di sungai.
Dan kau Lompeng, kau beserta anak buahmu bekerja
di laut. Ingat! Bila kalian menemukan kesulitan, kalian
salah seorang harus menghubungi kami di sini."
"Lalu apa tugas hamba, Sri Ratu?" tanya Gares,
yang merasa dirinya dan anak buahnya belum juga
mendapatkan tugas.
"Gares, kau dan anak buahmu jaga di istana.
Esok pagi, kalian buat istana untukku. Dan kalian
buat sebuah bangsal pertemuan sekaligus untuk bela-
jar ilmu silat. Nah, sekarang kerjakan tugas kalian
masing-masing. Loro Ireng, mari kita pergi."
Tanpa memperdulikan mereka semua, Angelir
bersama Loro Ireng segera berkelebat pergi. Begitu
kencangnya kedua gadis itu berlari, sampai-sampai da-
lam sekejap keduanya telah hilang ditelan gelapnya
malam.
TIGA
Sejak munculnya sebuah Persekutuan Dua
Dewi, dunia persilatan makin gempar. Perampokan
makin merajalela. Namun sejauh itu, korbannya hanya
orang-orang dari dua kerajaan yaitu Kerajaan Pesisir
Putih dan Segara Wetan.
Maka makin mencekam saja tindakan Perseku-
tuan Dewi bagi orang-orang dua kerajaan itu. Hal itu
menjadikan rasa prihatin pada raja mereka.
Di pendopo Kerajaan Pesisir Putih, tampak para
sesepuh istana berkumpul. Hadir pula di situ dua raja
kakak beradik, yaitu Wulung Seta dan Amurwa Sakti.
Mereka nampaknya tengah membicarakan apa yang te-
lah terjadi, yang menimpa warga kerajaannya.
"Bagaimana menurutmu, Kakang Wulung?"
bertanya Amurwa Sakti membuka pertemuan.
"Entahlah, Adinda. Aku juga tak habis pikir.
Baru tiga tahun kita tenang, kini telah datang teror."
Mendengar keluhan Wulung Seta, seketika se-
mua terdiam tak ada yang berkata. Mereka sepertinya
terhanyut oleh perasaan yang bergurat di hati.
"Aku rasa, orang yang melakukannya masih
mereka juga."
"Maksudmu, Paman Randu?" tanya Amurwa
Sakti, demi mendengar Randu Alasan memberikan
pendapatnya.
"Menurut dugaan hamba, pelaku dari semua ini
tak lain dari orang-orang Kurda Rumajang."
"Hem, bisa juga. Kalau memang begitu, awasi
terus tindak-tanduk orang-orang Kurda Rumajang.
Jangan sampai mereka dapat leluasa bergerak," perin-
tah Wulung Seta.
"Apakah tidak sebaiknya kita adakan penyer-
buan pada lokasi mereka, Kakang?" kembali Amurwa
Sakti berkata.
"Percuma, Dinda. Kita tak tahu pasti tempat
mereka."
Kembali semuanya terdiam, tak ada seorang
pun yang berkata-kata.
Tengah mereka tercekam diam tiba-tiba dari
luar seseorang melemparkan sebuah bungkusan yang
berselemotan darah. Tersentak semuanya berdiri, demi
melihat bungkusan itu. Randu Alasan dengan segera
membuka bungkusan itu. Seketika, mata mereka di-
buat melotot tak berkedip.
Ternyata bungkusan itu berisi sebuah kepala
seorang lelaki, yang mereka kenali adalah prajurit Se-
gara Wetan. Menggeramlah Amurwa Sakti, yang mera-
sa dihina.
"Bedebah! Ini sudah keterlaluan!"
Dengan tanpa dapat dicegah, Amurwa Sakti se-
gera berlari ke luar memburu orang yang telah melem-
parkan bungkusan itu. Namun ia tak menemukannya,
maka sebagai pelampiasan rasa kemarahannya dihan-
tamnya pagar pendopo yang seketika hancur beranta-
kan.
"Sabar, Adinda. Bukan adinda saja yang mera-
sa dihina. Kakanda pun merasakannya. Marilah kita
cari jalan keluarnya," Wulung Seta segera menghampi
ri adiknya. Dengan penuh sabar sebagai seorang ka-
kak, Wulung Seta menggandeng tangan Amurwa Sakti
kembali masuk ke dalam pendopo.
* * *
Di pihak lain, Angelir yang mendapat laporan
dari anak buahnya tertawa bergelak-gelak.
"Telah aku mulai pembalasanku pada mereka.
Hem, jangan harap mereka akan dapat tenang!" berse-
ru Angelir yang menamakan dirinya Dewi Bunga Ke-
matian "Loro Ireng, apakah kau mempunyai penda-
pat?"
Loro Ireng terdiam sesaat, lalu setelah menarik
napas Loro Ireng pun berkata.
"Ada... bagaimana kalau kita menampakkan di-
ri kita?"
"Hem, apakah itu perlu?"
"Perlu, Angelir. Kita perlu menunjukkan pada
dunia persilatan siapa kita adanya." menjawab Loro
Ireng, yang seketika diangguki oleh Angelir dengan ta-
wanya.
"Benar juga pendapatmu, Loro. Percuma aku
memiliki ilmu segudang, kalau aku harus menyembu-
nyikan diriku."
Tengah keduanya berbincang-bincang, tiba-tiba
seorang anggotanya dengan terburu-buru datang. Lalu
dengan napas ngos-ngosan, anak buahnya berkata:
"Sri Ratu, orang-orang Pesisir Putih dan Segara
Wetan hendak menyerbu."
Angelir tersenyum diliriknya Loro Ireng yang ju-
ga tersenyum.
"Bagaimana, Loro? Rupanya mereka tak sabar
menunggu kita."
"Menurutmu, Angelir?" balik Loro Ireng ber-
tanya.
Angelir kembali tersenyum. Lalu dengan tanpa
memperdulikan orang yang melapor, keduanya segera
berkelebat pergi ke luar.
Dengan memacu kuda begitu cepat, Angelir dan
Loro Ireng segera menuju ke arah di mana pasukan
dua kerajaan itu berada. Dihentakkan kais kuda, men-
jadikan sang kuda seketika itu kencang larinya.
"Hia, hia, hia.,.!"
"Ayo, Loro. Kita berpacu. Hia, hia, hia...!"
Bagaikan dua dewi dari kayangan, kedua gadis
yang memiliki ilmu tinggi itu memacu kuda-kuda me-
reka dengan cepatnya. Di belakang mereka, seratus
pasukan begal mengikuti.
Karena mereka memacu kuda dengan kecepa-
tan tinggi, hingga mereka pun dengan segera sampai
pada tujuannya.
"Rupanya kalian sengaja mengantar nyawa!"
mendesis Angelir, manakala dilihatnya pasukan dua
kerajaan itu telah berdiri siaga menunggu kedatan-
gannya.
Terbelalak mata semua prajurit kedua kera-
jaan, demi melihat orang yang bicara. Mereka me-
nyangka pimpinan dari Persekutuan Dewi adalah lela-
ki. Namun dugaan mereka meleset, karena ternyata
pimpinan gerombolan itu hanyalah dua orang wanita
yang sudah mereka kenal.
"Kau... bukankah kau iblis yang telah membuat
adu domba?"
"Ya, aku. Akulah pimpinan begal. Nah, karena
kalian telah tahu siapa aku, maka kalian akan aku ki-
rim ke akherat sekarang juga. Hiatt...!"
Tanpa sungkan-sungkan, Angelir segera meng
hantamkan ajiannya ke para prajurit dua kerajaan.
Dihantam oleh ajian Gugur Gunung yang begitu tiba-
tiba, menjadikan para prajurit tak dapat mengelak-
kannya. Tubuh mereka bagaikan disapu bersih, luluh-
lantak. Dalam sekejap saja, keseratus prajurit dua ke-
rajaan yang dipimpin oleh seorang hulu balang mati
tiada sisa.
"Hua, ha, ha... tenanglah kalian di akherat sa-
na!" seru Angelir. "Begeng! Kau tahu apa tugasmu?"
"Hamba mengerti, Kanjeng Ratu." menjawab
Begeng.
"Lakukan olehmu. Penggal kepala hulubalang
itu!"
Dengan perasaan agak merinding, Begeng yang
memang tak berani menentang perintah ratunya sege-
ra memenggal kepala hulu balang itu.
"Cross...!"
Darah seketika muncrat dari leher hulu balang
yang terpancung golok di tangan Begeng. Dengan mata
tertutup, Begeng segera membungkus kepala itu den-
gan kain yang telah disiapkan.
"Hua, ha, ha... bagus, Begeng! Kaulah abdi ku
yang paling baik. Nah, nanti malam, kau gantung ke-
pala hulu balang itu di depan alun-alun. Ingat! Jangan
sampai kau tertangkap!"
"Daulat, Sri Ratu!" Jawab Begeng sembari me-
nyembah.
"Apakah kita akan selalu begini, Angelir?" Loro
Ireng yang sedari tadi terdiam, seketika bertanya. "Aku
rasa, tindakan kita merupakan tindakan pengecut, An-
gelir!"
"Diam, Loro! Aku ingin mereka membuka mata,
siapa adanya aku." jawab Angelir dengan sengit. Piki-
rannya kembali membayang pada kejadian tiga tahun
yang silam, di mana kepala ayahnya dengan patih ke-
rajaan dipenggal oleh Wulung Seta dai adiknya Amur-
wa Sakti. "Dulu mereka memenggal kepala ayahku dan
patihnya. Kini giliran mereka yang akan aku penggal.
Namun untuk itu, aku harus membuat mereka seperti
diteror, Loro."
"Kalau itu yang engkau mau, aku tak dapat
menentangnya."
"Hi, hi, hi... kau memang teman setia ku Loro."
Keduanya kembali menghela kais kuda, mema-
cu kuda mereka kembali ke istananya. Dengan terta-
wa-tawa penuh kemenangan, Angelir menghempaskan
segala pikirannya yang terasa mendera di dalam da-
danya.
* * *
Esok paginya, seluruh rakyat kerajaan Segara
Wetan dan Pesisir Putih geger. Mereka menemukan
kepala hulu balang kedua dari kerajaan Segara Wetan,
tergantung di sebatang cabang pohon yang berada di
alun-alun. Berita ditemukannya kepala hulubalang
kedua, sampai pula di telinga dua raja muda itu. Tak
dapat lagi kedua raja itu menahan amarahnya.
"Ini sudah benar-benar keterlaluan. Kakang!"
berkata Amurwa Sakti. Matanya tampak berkaca-kaca,
merah membara bagai terbakar api kemarahan.
Memang sudah keterlaluan tindakannya. Hem,
rupanya mereka belum tahu siapa kita," bergumam
Wulung Seta yang juga sudah tak dapat menahan
amarahnya. "Hari ini juga, kita serbu ke tempat mere-
ka!"
"Setuju, Kakang! Aku sudah tak sabar melihat
hasilnya!"
"Mari kita bahas bagaimana cara yang terbaik."
Kedua raja kakak beradik itu segera berlalu
meninggalkan alun-alun. Di wajah keduanya tak ada
sedikitpun keceriaan, yang ada hanya kemuraman se-
mata.
Hari itu juga, kembali diadakan pertemuan un-
tuk membahas masalah yang harus mereka temukan
guna menyelesaikan masalah yang kini melanda kera-
jaan. Akhirnya disepakati, untuk mengadakan penyer-
buan besar-besaran.
"Paman patih, Randu Alasan. Paman pimpin
dua ratus pasukan untuk penyerbuan ini," kata Wu-
lung Seta.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka, akan
hamba laksanakan."
"Nah, paman pilih prajurit-prajurit pilihan,
yang di samping pandai berperang juga pandai strategi
dan ilmu bela diri." kembali Wulung Seta berkata.
"Kerjakan secepatnya!"
"Daulat, Tuan ku yang mulia."
Dengan didahului menyembah, Randu Alasan
segera mundur dari pertemuan. Wajah Randu Alasan
begitu kuyu, sepertinya tak yakin dengan kemampuan
yang ia miliki. Namun demi tugas, Randu Alasan ak-
hirnya dengan berat melaksanakannya juga.
"Wahai para kadang prajurit, berkumpul!" ber-
seru Randu Alasan, yang seketika itu dilaksanakan
oleh para prajurit. Dengan keadaan siaga penuh, se-
mua prajurit dua kerajaan berkumpul di alun-alun ke-
rajaan Pesisir Putih.
"Baginda Maha Raja Prabu Wulung Seta, meni-
tahkan kita untuk berperang. Apakah kalian telah
siap?"
"Kami siap, Paman patih!" menjawab para pra
jurit serentak.
"Bagus! Tapi aku akan memilih siapa di antara
kalian yang memang memiliki persyaratan perang yang
telah ditentukan oleh Baginda Raja."
Habis berkata begitu, Randu Alasan segera ber-
jalan menuju para prajuritnya. Dipilihnya dua ratus
prajurit yang memang memenuhi syarat. Setelah dida-
patkan dua ratus, Randu Alasan segera berkata meme-
rintah pada prajurit yang lainnya untuk kembali ke
tempat masing-masing.
"Apakah kalian semua siap?"
"Demi nama kerajaan dan raja, kami siap!"
menjawab dua ratus prajurit itu serempak, menjadikan
senyum di bibir Randu Alasan. Dengan berjalan meme-
riksa barisan prajurit, Randu Alasan kembali berkata:
"Bagus! Memang sebagai seorang abdi negara,
kalian harus mempunyai prinsip. Mati untuk membela
kerajaan, lebih baik dari pada hidup terinjak."
Mendengar penuturan Randu Alasan yang begi-
tu memberi semangat, seketika semua prajurit berseru
penuh rasa nasional.
EMPAT
Di sebuah goa di kaki gunung Slamet, tampak
seorang lelaki tua duduk di atas sebuah batu. Di ha-
dapannya duduk pula dua orang pemuda, yang berwa-
jah tampan. Sepertinya kedua pemuda itu adalah mu-
rid dari orang tua itu.
Orang tua itu bernama Rake Pinuluh, yang me-
rupakan salah seorang tokoh silat dari golongan tua.
Rake Pinuluh adalah seorang tokoh silat dari golongan
lurus. Mata tuanya yang rabun, mungkin kurang jelas
untuk melihat. Namun mata batinnya yang telah di-
gembleng sejak muda, sangat tajam melebihi sinar
mentari.
Hari itu Rake Pinuluh sengaja memanggil dua
orang muridnya, yaitu Jaga Bayu dan Satria Wulung.
Kedua murid itu sejak kecil dididik olehnya, hingga
menjadikan keduanya tokoh-tokoh persilatan yang,
mumpuni kelak.
"Jaga Bayu dan kau Satria Wulung. Kalian te-
lah dewasa, segala ilmu baik kanuragan maupun keji-
waan telah aku berikan pada kalian. Hari ini, aku ingin
mengutus kalian berdua menegakkan kebenaran dan
kedamaian di muka bumi. Percuma ilmu yang kalian
miliki, kalau ilmu itu tak kalian pergunakan."
"Daulat, Guru," jawab keduanya hampir bersa-
maan.
"Perlu kalian berdua ketahui. Kini dunia persi-
latan makin terasa panas oleh ulah-ulah orang yang
sombong. Beruntung masih ada yang mau mengulur-
kan tangannya membasmi kemungkaran itu. Menurut
pandangan mata batinku yang telah lapuk, orang yang
kini selalu menumpas kejahatan adalah seorang pe-
muda seusia kalian. Dia bernama Jaka Ndableg atau
Pendekar Pedang Siluman Darah dari Kawah Chandra
Bilawa. Nah, bantulah pendekar tersebut. Bukannya
pendekar Pedang Siluman tak mampu menghalau se-
gala kemungkaran, namun kalian membantu merin-
gankan tugasnya. Kalian mengerti akan apa yang aku
katakan?" bertanya Rake Pinuluh.
"Daulat, Guru," kembali kedua murid itu men-
jawab dengan hormat. "Apa yang mesti murid lakukan,
Guru?"
"Murid-muridku. Kalian hari ini juga aku perin
tahkan turun gunung. Carilah oleh kalian pengalaman,
sebab pengalaman adalah guru yang paling baik. Tapi
ingat, kalian harus dapat mengendalikan perasaan ka-
lian, mengerti?"
"Daulat guru, kami mengerti."
"Bagus! Aku tak dapat memberi kalian bekal,
hanya ilmu dan do’a yang dapat aku berikan. Berang-
katlah."
Hari itu juga, kedua murid Rake Pinuluh segera
turun gunung untuk mencari pengalaman. Keduanya
nampak berjalan beriringan, menuruni bukit dan sun-
gai dengan hanya membawa bekal yang pas-pasan.
Manakala keduanya sudah jauh melangkah, di
hadapan mereka tiba-tiba tergeletak seorang lelaki tua
renta. Demi melihat hal itu, Satria Wulung segera ber-
gegas menghampiri. Sementara Jaga Bayu, tampak
acuh tak acuh terus saja berjalan meninggalkan Satria
yang masih mengurusi lelaki tua renta itu.
"Kenapa, Kek?"
"Aku lapar, Anak muda," berkata si kakek den-
gan suara terputus-putus. "Apakah kau membawa
makanan, Anak muda?"
"Ada, Kek. Aku membawa bekal yang diberikan
oleh guru."
Dengan segera tanpa memikirkan diri sendiri
makan atau tidak, Satria Wulung segera membuka
bungkusan bekalnya. Diambilnya dua potong singkong
bakar dan diberikannya pada si kakek.
"Kau, Anak muda?" tanya si kakek, sepertinya
merasa iba melihat Satria Wulung yang hanya mem-
bawa dua potong singkong bakar. "Apakah nanti kau
tak kelaparan, Anak muda?"
"Ah, Kakek. Tak usahlah kakek memikirkan
saya. Saya masih muda, sedang kakek telah tua. Aku
rasa, aku akan mampu mencari makan nantinya." ja-
wab Satria Wulung dengan ikhlas, menjadikan kakek
itu tersenyum.
Tengah Satria Wulung tak mengerti akan se-
nyum kakek yang ditolongnya, tiba-tiba tubuh kakek
tua itu lenyap dari pandangan matanya. Lalu terden-
garlah suara kakek tua yang ternyata suara gurunya
berkata:
"Satria, kaulah calon pendekar sejati. Hati-
hatilah dengan kakak seperguruanmu. Ingat, dia akan
menjadi musuhmu, musuh yang sangat berbahaya.
Berjalanlah ke arah Utara, carilah olehmu seorang pe-
muda berambut gondrong dengan dada terbuka tanpa
memakai baju. Bila kau menemukan seorang tokoh
persilatan muda yang bertelanjang dada, dialah pen-
dekar Pedang Siluman Darah. Mintalah petunjuk pa-
danya."
"Guru...! Di manakah engkau, Guru?"
"Aku baru saja ada di hadapanmu, Satria."
"Jadi... jadi tadi gurukah?" bertanya Satria ter-
gagap.
"Benar, Muridku. Aku sengaja menguji kau dan
kakakmu. Namun ternyata kaulah yang memenuhi
syarat untuk kelak menggantikan ku. Nah, terimalah
olehmu Keris Pusaka ini. Pergunakan keris itu untuk
membela kebenaran dan keadilan. Selamat berjuang,
Muridku."
"Terima kasih, Guru," jawab Satria Wulung. La-
lu setelah menyembah, Satria Wulung segera kembali
meneruskan perjalanannya. Arahnya segera mengikuti
arah yang telah ditunjukkan oleh gurunya, yaitu ke
arah Utara.
* * *
Jaka tengah berjalan-jalan menikmati pagi yang
cerah, manakala dari belakang sebuah anak panah
berdesing hendak menyerangnya. Beruntung indra pe-
rasa Jaka bekerja dengan cepat, sehingga Jaka pun
dengan segera mengelakkan serangan gelap itu.
"Edan! Manusia macam apa pula yang meng-
hendaki nyawaku?" bergumam Jaka. "Woi... kalau kau
manusia, tunjukkan cocormu yang bau kentut busuk!"
"Aku di sini, Anak muda!"
Bareng dengan suara itu, sesosok tubuh berke-
lebat menghadang langkah Jaka. Jaka tersenyum cen-
gengesan, lalu dengan segera menjura hormat. Namun
betapa gusarnya orang yang berdiri menghadangnya
demi mendapat penghormatan Jaka. Betapa tidak! Ja-
ka menjura hormat dengan keadaan berbalik, sehingga
pantatnya yang nungging. Mulanya kemarahan lelaki
setengah tua itu setengah, namun maka kala Jaka
mengeluarkan gas beracunnya menjadi kemarahan le-
laki itu penuh.
"Kurang asem! Anak muda tak tahu diri!" me-
maki marah lelaki itu.
"Eeh, kenapa situ marah-marah? Bukankah
aku tadi menghormatimu?"
"Setan! Rupanya kau sengaja mempermainkan
aku!"
"Hah, apa iya, sih? Aku rasa tadi aku berting-
kah wajar."
Mendengar ucapan Jaka yang bagaikan orang
tak waras, menjadikan lelaki setengah tua itu makin
keki berat. Betapa tidak seumur-umur dia baru meli-
hat anak muda yang ndablegnya tidak ketulungan.
Dengan mata melotot marah, lelaki setengah tua itu
membentak.
"Siapa kau, Anak edan!"
"Wah, kenapa marah-marah? Kau siapa, Kek?"
Jaka balik menanya. Merah membawa bagaikan lautan
api wajah lelaki setengah tua itu dipanggil kakek, men-
jadikan giginya bergemeretuk menahan marah. "Wah,
rupanya engkau sejenis herbipora ya, Kek."
"Kunyuk! Rupanya kau belum kenal aku hah!"
kembali lelaki setengah tua itu membentak. Namun
Jaka yang dasarnya ndableg malah tertawa-tawa ceka-
kakan, menjadikan lelaki setengah tua itu makin
membludak marahnya. Maka tanpa banyak kata lagi,
segera ia berteriak menyerang Jaka.
Diserang secara tiba-tiba, bukannya Jaka bin-
gung. Malah dengan bercanda memperagakan monyet,
Jaka bergerak menghindar. Lelaki setengah tua itu
makin mendengus marah, demi melihat tingkah laku
Jaka yang seakan mengejeknya. Dengan gusar, dicer-
canya Jaka dengan pukulan-pukulannya.
"Wah... kurang keras, Kek! Apakah karena kau
sudah tua, sehingga tenagamu seperti bekicot...?"
"Slompret! Mampus kau...!"
Dihantamnya Jaka dengan pukulan tenaga da-
lamnya, namun bagaikan seekor monyet yang lincah
Jaka berkelit. Mulutnya sengaja dimonyongkan, men-
jadikan makin gedeg saja lelaki setengah tua itu.
"Aku lumatkan kau, Anak edan!"
"Tidak kena, Kek. Uh, kenapa mulutmu ban
jengkol, Kek?" seru Jaka menggoda. "Bagaimana, kalau
aku yang menggosok gigi-gigimu?"
Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat
hingga tak dapat dicegah lelaki setengah tua itu Jaka
menyodokkan tangannya ke mulut. Seketika meraun-
glah lelaki setengah tua itu, giginya hancur beranta-
kan.
"Aduuh... aduh...!"
Lelaki setengah tua itu terus berguling-guling di
atas tanah, menahan sakit yang tiada terkira di mu-
lutnya. Melihat hal itu Jaka seketika tertawa terping-
kal-pingkal.
"Nah, dengan begitu kau tak akan bau jengkol
lagi. Selamat tinggal, Kek. Semoga kau menemukan
harimau." Dengan tanpa menghiraukan lelaki setengah
tua itu, Jaka segera berkelebat pergi.
Setelah beberapa saat Jaka berlalu, terdengar
oleh lelaki setengah tua itu auman harimau.
"Auuummmm ...!"
Bagaikan tak merasa sakit, lelaki setengah tua
itu langsung lari terbirit-birit dengan meninggalkan
seember cairan yang berbau jengkol.
Jaka yang memang sengaja mempermainkan le-
laki setengah tua itu, segera ke luar dari persembu-
nyiannya. Digelengkan kepalanya manakala melihat air
kencing lelaki setengah tua yang berbau minta ampun,
berserakan.
Setelah celingukkan sesaat, Jaka segera pergi
meninggalkan harta warisan lelaki setengah tua itu
yang berupa zat cair mengandung belerang berkadar
tinggi.
Sepeninggalnya Jaka, tampak seorang pemuda
berjalan melewati tempat itu. Pemuda yang tak lain Sa-
tria Wulung, seketika menutup hidungnya, manakala
tercium olehnya bau yang menyesakan pernapasan.
"Bujur busyet! Bau apa ini?" bergumam Satria
Wulung.
Maka tanpa memperdulikan bau yang menye-
sakan pernapasan, Satria Wulung segera melesat pergi
menyusul pada orang yang menurut gurunya bernama
Jaka.
"Sepertinya pemuda itu yang digambarkan oleh
guru," bergumam hati Satria. "Ciri-cirinya tepat. Hem,
akan aku kejar dia."
Satria Wulung terus berlari memburu Jaka, se-
hingga ia harus mengeluarkan segala ilmu larinya un-
tuk mengejar Jaka yang menggunakan ajian Angin
Puyuh.
LIMA
Tindakan Persekutuan Dewi makin berani.
Yang tadinya bersembunyi-sembunyi, kini mereka ma-
kin berani menampakkan diri.
Hal itu makin menjadikan kemarahan dua ke-
rajaan yang selalu menjadi korban. Dua kerajaan yang
tak lain Pesisir Putih dan Segara Wetan, mengirim pa-
sukannya yang dipimpin oleh patih Ulung Randu Ala-
san.
Kedua pasukan dari dua kekuatan telah berha-
dap-hadapan. Namun sejauh itu, pimpinan utama ge-
rombolan Persekutuan Dewi belum juga menampak-
kan batang hidungnya. Peperangan pun meletus, tan-
pa menunggu kehadiran sang pemimpin.
"Serang...!" berseru Randu Alasan.
Seketika kedua ratus prajuritnya berserabutan,
menyerang pasukan gerombolan Persekutuan Dewi.
Diserang oleh para prajurit pilihan, menjadikan mere-
ka dalam sekejap saja keteter. Apa lagi kedua orang
pimpinannya tak juga menampakkan batang hidung-
nya.
"Serang terus...! Jangan biarkan hidup...!"
Bagaikan minyak disulut api, pasukan dua ke-
rajaan itu terbakar semangatnya. Dengan gagah berani, kedua ratus pasukan pilihan itu terus merangsek
musuh. Sebaliknya di pihak gerombolan Persekutuan
Dewi, nampak tak ada semangat.
Tengah mereka hampir keteter oleh serangan
prajurit-prajurit kerajaan, seketika terdengar suara
pimpinannya memberi komando.
"Jangan mundur. Serang...!"
Para prajurit gerombolan Persekutuan Dewi
yang tadinya patah semangat kembali tumbuh seman-
gatnya. Dengan membabi buta bagaikan tak kenal rasa
takut, para prajurit gerombolan itu kini balik mende-
sak.
Tersentak Randu Alasan, manakala tahu siapa
yang menjadi pimpinan gerombolan Persekutuan Dewi.
"Kau...!"
"Ya. Aku, Randu Alasan. Dulu kau seperti
membuka kedokku. Namun kini aku telah membuka
kedok. Karena kau telah tahu siapa aku, maka kau ha-
rus mati saat ini juga. Terimalah kematianmu,
Hiaat...!"
Tersentak Randu Alasan diserang begitu tiba-
tiba. Beruntung Randu Alasan waspada. Dengan sege-
ra Randu Alasan berkelit dan balik menyerang.
Kedua pimpinan itu segera terlibat dalam pepe-
rangan. Keduanya masing-masing memiliki andalan
sendiri-sendiri. Walaupun begitu, tampak Randu Ala-
san jauh di bawah ilmunya bila dibandingkan dengan
ilmu yang dimiliki Angelir sekarang.
Randu Alasan tersentak mendapatkan kenya-
taan bahwa musuhnya ternyata berada di atas jauh
ilmunya. Namun sebagai seorang patih yang disegani,
Randu Alasan tak mau begitu saja mengalah. Dico-
banya untuk terus bertahan, demi memberi motifasi
bagi prajuritnya.
Namun perhitungannya ternyata meleset jauh.
Sebab Angelir ternyata bukan orang berhati welas asih.
Maka dengan menggunakan ajian Gugur Gunungnya
yang terkenal dahsyat, Angelir secepat kilat menyerang
Randu Alasan.
"Randu Alasan, Hari ini akhir hidupmu. Hiat...!"
Hampir saja tubuh Randu Alasan terhantam
ajian Gugur Gunung yang dilontarkan oleh Angelir, ka-
lau saja tidak segera datang seseorang yang langsung
menyabet tubuhnya dan membawa pergi.
"Bedebah! Siapa kau!" membentak Angelir ma-
rah, merasa korbannya terlepas gara-gara orang yang
berkelebat itu. Namun orang itu tak menanggapinya,
malah dia nampak mempercepat larinya dan menghi-
lang dari pandangan mata. Dengan kemarahan yang
meluap-luap, Angelir terus memburu orang yang
membawa tubuh Randu Alasan pergi.
"Berhenti! Atau kau akan mati di tanganku!"
membentak Angelir.
Namun seperti tadi, orang itu tak menjawab.
Bahkan makin dipercepat larinya. Ketika Angelir hen-
dak terus mengejar, orang itu mengibaskan tangannya.
Seketika ratusan jarum-jarum beracun berdesing ke
arah Angelir.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus.
Hiat...!"
Segera Angelir menghantamkan ajian Bledek
Rajah ke arah orang itu, namun dengan segera orang
yang membopong tubuh Randu Alasan menghantam-
kan pukulannya membalas ajian Bledek Rajah.
"Duar...!"
Seketika terdengar ledakan, manakala dua pu-
kulan itu beradu menjadi satu. Tubuh Angelir terjeng-
kang tiga tombak, dengan darah meleleh dari sela-sela
bibirnya. Sementara orang yang membopong tubuh
Randu Alasan, sepertinya tak mengalami apa-apa.
Orang itu terus berlari membawa tubuh Randu pergi,
tanpa menghiraukan Angelir yang hanya dapat me-
mandang kepergiannya.
Lelaki tua itu terus berlari dengan menggen-
dong tubuh Randu Alasan pergi. Lelaki tua itu bagai-
kan tak membawa beban secuilpun, dia lari seperti ki-
jang.
"Kek, apakah tidak cape? Aku bisa berlari sen-
diri, Kek," berkata Randu Alasan meminta diturunkan.
Namun kakek tua itu seperti tak mendengar permin-
taan Randu, dia terus berlari dengan menggendong tu-
buhnya.
"Kek, apakah kakek tak cape!" berseru Randu
Alasan yang menyangka lelaki tua penolongnya tuli.
Namun betapa tersentaknya Randu Alasan, manakala
lelaki tua itu membentaknya.
"Diam! Aku tidak tuli! Kalau aku turunkan kau,
aku takut iblis itu mampu mengejarmu."
"Tapi dia sepertinya sudah tak mengejar, Kek?"
"Apa iya?" bertanya si kakek seperti linglung
dan segera menghentikan langkahnya, berpaling ke be-
lakang. "Oh ya, ternyata iblis itu tak memburu kita."
Dengan seenaknya, lelaki tua itu melemparkan
tubuh Randu Alasan ke rerumputan. Hal itu menjadi-
kan Randu Alasan tak mengerti dengan tingkah la-
kunya yang aneh itu.
"Siapa kakek sebenarnya?"
"Huh, dunia makin tambah gila," gumam kakek
itu, sepertinya ia tak mendengar pertanyaan Randu.
"Heh, siapa kau namanya?"
"Nama saya Randu Alasan, Kek."
"Ya, ya, ya.... Randu Plingasan...."
"Bukan, Kek. Bukan Randu Pelingasan, tapi
Randu Alasan."
"Ya, aku tahu." membentak si kakek, menjadi-
kan Randu Alasan mengerutkan keningnya.
"Aneh, kakek ini," gumam hati Randu.
"Randu Alasan...." tiba-tiba kakek itu berseru
memanggil nama Randu Alasan.
"Ya, Kek."
"Ayo bangun, jangan seperti anak kecil." ben-
taknya, demi melihat Randu Alasan nyengir menahan
sakit. "Apa sekalian aku tendang?"
"Jangan, Kek," meminta Randu Alasan dengan
ketakutan. Ia yakin, kalau kakek aneh ini selalu akan
menjalankan apa yang menjadi omongannya. Maka
dengan menahan sakit di pinggangnya. Randu Alasan
segera bangkit dari duduknya. "Ada apa, Kek."
"Dengar baik-baik olehmu. Bila kau mau men-
gadakan penyerbuan, carilah olehmu pendekar muda
yang bernama Jaka Ndableg dengan seorang pendekar
yang baru turun gunung."
"Kalau Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Si-
luman Darah saya kenal, Kek." jawab Randu Alasan,
menjadikan si kakek tersenyum. "Tapi...?"
"Kenapa, Randu?"
"Tapi pendekar satunya saya belum kenal,
Kek," jawab Randu yang menjadikan si kakek terke-
keh-kekeh.
"Nanti juga kau akan mengenalnya." berkata si
kakek. "Dia adalah muridku, bernama Satria Wulung.
Dia sengaja aku turunkan ke dunia persilatan untuk
menimba pengalaman pada Pendekar Pedang Siluman
Darah. Nah, sekarang pergilah. Aku juga akan pergi
kembali."
Dengan tanpa memperdulikan Randu Alasan
yang hanya terbengong tak mengerti, si kakek yang tak
lain Rake Pinuluh segera berkelebat pergi.
"Sungguh macam-macam saja penghuni dunia
ini," gumam Randu Alasan demi melihat tingkah laku
kakek tua itu. Dengan menggelengkan kepala, Randu
Alasan pun berlalu menuju ke kerajaan kembali.
* * *
"Apa...!" tersentak kaget kedua raja muda itu,
demi mendengar laporan Randu Alasan. "Apa paman
patih tak salah lihat?"
"Tidak, Tuan ku. Hamba tahu pasti siapa yang
sebenarnya pimpinan Persekutuan Dewi. Gadis itu tak
lain dari pada Angelir atau Dewi Bunga Mawar Kema-
tian."
Terdiam kedua raja muda itu, dengan pikiran-
nya masing-masing. Lalu setelah terdiam beberapa
saat, Wulung Seta segera berkata kembali.
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah ki-
ta adakan penyerangan besar-besaran saja, Paman Pa-
tih?"
"Percuma, Tuan ku."
"Kenapa, Paman Patih?" bertanya Amurwa Sak-
ti.
"Dia bukanlah Angelir yang dulu. Ilmunya
sungguh tak tertandingi." menjawab Randu Alasan.
"Menurut orang tua yang telah menolong hamba,
hanya Jaka Ndableg saja yang mampu mengalahkan-
nya."
Kedua raja muda itu kembali manggut-
manggut, mendengar penuturan patihnya. Sesaat ke-
duanya saling pandang, sebelum akhirnya Wulung Se-
ta berkata kembali.
"Ke mana kita harus mencari pendekar muda
itu?"
"Demi ketentraman kerajaan, hamba akan
mencarinya," jawab Randu Alasan. "Untuk itu, hamba
sekarang juga mohon pamit untuk mencari pendekar
Pedang Siluman."
"Ya, aku iringi dengan do'a," menjawab Wulung
Seta.
Setelah terlebih dahulu menyembah, Randu
Alasan segera meninggalkan dua raja muda kakak be-
radik itu. Kedua raja muda itu masih terlibat pembica-
raan, ketika ibunda mereka datang menghampiri.
Melihat ibundanya datang, serta merta kedua-
nya segera menyembah.
"Ada apakah, Anakku? Sepertinya kalian men-
galami kesulitan?"
"Ampun, Bunda. Memang hamba dan dinda
Amurwa Sakti tengah dilanda kesusahan," jawab Wu-
lung Seta.
"Benar, Bunda. Kami memang tengah mengha-
dapi bencana," menambah Amurwa Sakti.
"Bencana apa itu, Anakku?" Sesaat kedua raja
kakak beradik itu diam, saling pandang seperti hendak
menyuruh satu sama lainnya berkata. Melihat kedua
anaknya terdiam, Roro Kunti kembali bertanya. "Kena-
pa kalian diam, Anak-anakku?"
Mendapat desakan begitu, akhirnya Wulung Se-
ta segera menceritakan apa yang telah dirinya hadapi.
Roro Kunti yang mendengarkan seketika meneteskan
air matanya, menjadikan kedua raja muda itu saling
pandang dan bertanya.
"Kenapa, Bunda?"
"Ketahuilah oleh kalian. Bahwa Angelir adalah
masih kakak kalian sendiri. Angelir adalah anakku da
ri Amuk Mungkur!"
"Jadi, Bunda?" tergagap Wulung Seta bertanya.
"Entahlah, Anakku. Mengapa Angelir harus
menuruni tabiat ayahnya? Tidak seperti kalian yang
baik, Angelir serakah. Bahkan menurut wangsit yang
ibunda terima, salah seorang dari kalian akan menjadi
korbannya."
Roro Kunti tak dapat menahan kepedihan ha-
tinya, hingga Roro Kunti pun seketika terkulai lemas.
Roro Kunti pingsan, menjadikan kedua anaknya ter-
sentak. Dengan penuh kasih sayang, kedua anaknya
segera membopong ibundanya menuju ke pembarin-
gan.
Kedua raja muda itu tak dapat berkata-kata,
setelah mendengar bahwa salah seorang di antara me-
reka akan menjadi korban kakak mereka sendiri dari
keturunan Amuk Mungkur.
Hati keduanya seketika diliputi beribu-ribu ma-
cam pertanyaan. Gundah-gulana, rasa was-was bera-
duk menjadi satu. Rasa takut pun seketika menjalar di
hati keduanya. Menjadikan suasana di ruangan kamar
ibundanya tercekam penuh kebisuan.
"Anak-anakku...." berseru Roro Kunti yang te-
lah siuman.
"Ya, Bunda," menjawab keduanya, yang dengan
segera berlari menghampiri ibundanya.
"Ketahuilah, Anakku. Semua wangsit itu akan
tak ada guna, bila seorang pendekar muda yang ber-
nama Jaka Ndableg telah datang. Sebab hanya dialah
yang mampu mengalahkannya."
"Kami sedang berusaha mencarinya, Bunda,"
menjawab Wulung Seta. "Kami telah mengutus paman
patih Randu Alasan."
"Oh, Dewata Yang Agung, semoga Ki Patih akan
segera menemukan Pendekar Jaka Ndableg itu," ber-
gumam Roro Kunti, menjadikan kedua anaknya seke-
tika membisu. Ada air bening menetes di pipi Wulung
Seta dan Amurwa Sakti.
ENAM
Angin dari gunung Slamet bertiup sepoi-sepoi,
menjadikan hawa segar nan asri. Nelayan di pantai
tampak tengah berjemur diri di atas perahu yang
membawanya berlabuh untuk mencari nafkah hidup.
Bocah-bocah kecil tampak berebutan mencari ikan
lemparan, yang sengaja dilemparkan oleh para Nelayan
yang baru pulang dari mayang.
Kesejukan angin yang berhembus dari gunung
Slamet, serta ketenangan bocah-bocah itu bermain,
seketika terpecahkan oleh datangnya dua orang pe-
nunggang kuda.
Wajah dua orang penunggang kuda itu begitu
menyeramkan, membuat anak-anak kecil itu ketaku-
tan. Rumah-rumah penduduk seketika ditutup rapat-
rapat.
"Hem, sepertinya mereka telah mengenali kita
betul-betul, Kakang?" bertanya seorang dari keduanya
yang menunggang kuda hitam.
"Benar, Adik Compal." jawab orang penunggang
kuda putih yang badannya tampak lebih besar. Di pi-
pinya segores luka yang telah mengering menjadikan
tampangnya makin menakutkan.
"Apakah kita tidak mengisi perut dulu, Ka-
kang?" tanya Compal kembali, mengajak pada teman-
nya sembari menunjuk ke arah kedai yang tampak dari
kejauhan. "Itu ada kedai."
"Ayolah." mengajak Condet.
Dengan segera, keduanya memacu kuda menu-
ju ke kedai yang tampak tak jauh dari mereka. Selang
tak begitu lama, keduanya pun sampai di kedai itu.
Setelah menambatkan tali kudanya, segera ke-
dua orang itu bergegas masuk. Semua pengunjung ke-
dai seketika terdiam, manakala melihat Condet dan
Compal memasuki kedai. Mereka sepertinya telah
mengenal betul siapa adanya kedua orang itu.
"Bahaya...." berbisik seseorang pada temannya.
"Bahaya kenapa?" tanya temannya tak menger-
ti, juga berbisik.
"Apa kau tak tahu siapa mereka?"
"Siapa mereka?" kembali temannya yang belum
mengerti bertanya.
"Mereka adalah gerombolan Persekutuan Dewi."
Demi mendengar jawaban temannya, seketika
pemuda satunya membelalakkan mata. Dan karena
saking kagetnya, sampai-sampai pemuda itu menjerit.
"Apa...! Jadi mereka gerombolan Persekutuan
Dewi?"
"Sttt.... jangan keras-keras." berkata temannya
memberitahukan.
Ketika keduanya baru saja hendak diam, tiba-
tiba tubuh mereka seperti ada yang mengangkat dari
kursi.
"Apa yang tadi kalian bicarakan, hah!" mem-
bentak Condet sembari mengangkat tubuh kedua
orang itu yang tampak gemetaran. "Rupanya kalian
hendak menentang kami, hah!"
Tanpa banyak kata lagi. Condet segera lempar-
kan tubuh keduanya ke luar. Tubuh kedua pemuda itu
seketika terpelanting ke luar dengan kencangnya dan
jatuh ke tanah menimbulkan bunyi gedebug.
Melihat perlakuan dua orang itu, seketika se-
mua yang ada di kedai terbangun dari duduknya. Tan-
pa komando, serta merta semuanya menyerang Condet
dan Compal.
Condet dan Compal tersentak melihat mereka
berani melawan. Maka dengan terlebih dahulu meng-
geram, kedua anak buah Persekutuan Dewi itu segera
memapaki pengeroyokan orang-orang tersebut.
Tawuran pun terjadi dalam kedai itu. Walau di-
keroyok oleh segitu banyaknya, tidak menjadikan ke-
dua anak buah Persekutuan Dewi gentar. Mereka telah
dididik keras oleh ketuanya yaitu Dewi Bunga Kema-
tian, sehingga keduanya telah benar-benar menjadi
orang yang pemberani juga nekad.
Keduanya bergerak dengan cepat, golok di tan-
gan mereka bagaikan bermata. Golok itu berkelebat-
kelebat, bagaikan malaikat saja layaknya. Setiap teba-
san golok mereka, selalu ada jerit kematian menggema
diikuti oleh ambruknya orang yang terkena. Darah
berhamburan bagaikan air mancur, membasahi lantai
kedai.
Sia-sia mereka mengeroyok, sebab mereka bu-
kanlah tandingan kedua anggota Persekutuan Dewi.
Tubuh mereka bagaikan tak ada artinya sama sekali.
Namun begitu, para pengeroyok yang kebanya-
kan penduduk desa yang telah marah dengan tingkah
laku keduanya seakan tak mau mengalah ataupun ta-
kut. Malah dengan sendirinya, penduduk yang melihat
segera nimbrung mengeroyok.
"Rampok-rampok sialan! Kalian harus mati!"
membentak salah seorang penduduk dengan nada
kesal dan marah.
"Bukankah kalian ngomong terbalik? Kalianlah
yang harus musnah!" balik membentak dengan sengit-
nya Compal. Kakinya bergerak cepat, menendang dan
mendupak.
Salah seorang yang berhasil ditendang Compal,
seketika tubuhnya melayang dan nyangkut di siku-
siku tiang kedai. Orang itu menjerit-jerit minta tolong,
namun semuanya seperti tak mendengar. Mereka dis-
ibukkan dengan pengeroyokan, mereka berambisi un-
tuk segera menjatuhkan kedua anggota gerombolan
Persekutuan Dewi.
Pertempuran ini makin tambah seru, manakala
tiga anggota gerombolan Persekutuan Dewi datang dan
membantu dua temannya.
"Teman-teman, kalian aku bantu!"
"Ya, Rumajang cepat bantu kami!" beri seru
Condet sementara kaki dan tangannya masih bergerak
dengan cepatnya menghantam dan menendang.
Melihat korban banyak berjatuhan di dalam
kedainya, menjadikan pemilik kedai gemetaran. Den-
gan histeris, pemilik kedai itu menjerit-jerit sendirian.
"Hoi... berhenti. Atuh? Bagaimana ini? Siapa
yang akan menggantikan semuanya?" menangis si pe-
milik kedai. "Aoh...!" Pemilik kedai itu tersentak dan
terkencing-kencing, manakala di atas mejanya terlem-
par sesosok tubuh dengan mata melotot mati.
Mata orang yang mati itu, menjadikan pemilik
kedai turut melototkan mata kaget. Keringat dingin
mengguyur tubuhnya, demi melihat keadaan orang
yang berada di atas mejanya. Di samping matanya me-
lotot, perutnya terbuka lebar dengan usus terbuai ke
luar.
Pemilik kedai yang memang sudah panik, ma-
kin bertambah panik. Dengan menjerit-jerit histeris,
pemilik kedai yang kebingungan hendak ke mana ak
hirnya kembali menangis.
"Wadauw...!"
Kembali pemilik kedai itu menjerit, manakala
sebuah tangan yang terpotong mencelat menimpa mu-
kanya. Seketika muka pemilik kedai tertutup oleh ber-
lumuran darah yang muncrat dari potongan tangan
itu. Tampaklah kini muka pemilik kedai seperti hantu.
Pemilik kedai itu kembali menangis meraung-
raung, menyesali keadaan kedainya juga keadaan di-
rinya.
"Hu, hu, hu... mimpi apa aku tadi malam?"
tanya pemilik kedai pada diri sendiri dengan mengusap
darah yang membasahi mukanya. Tengah tangannya
menutupi kedua mata, tiba-tiba ia kembali disentak-
kan oleh sesuatu. Ketika tangannya membuka dari
mata, pemilik kedai seketika pingsan manakala seso-
sok tubuh yang keadaannya morat-marit telah meme-
luk tubuhnya. Saking takutnya, pemilik kedai hanya
mengeluh.
"Ooh...."
Pingsanlah si pemilik kedai, tubuhnya mengge-
losor ke lantai tertindih orang yang mati
"Hentikan...!"
Terdengar seruan seseorang membahana, men-
jadikan semua yang telah terlibat pertempuran segera
menghentikannya. Bersamaan dengan itu, sesosok tu-
buh berkelebat masuk ke dalam kedai.
Pemuda itu tersenyum, namun matanya me-
mandang sengit pada kelima orang yang berdiri dengan
memegang golok di tangannya. Pemuda itu yang tak
lain Jaka Ndableg, telah menilai siapa adanya kelima
orang bertampang menyeramkan itu.
"Kenapa kalian membuat kerusuhan di sini?"
"Huh, jangan ikut campur, Anak muda!" mem
bentak Condet.
"Aku tak akan ikut campur kalau kalian ber-
tempur di luar sana. Dan aku tak akan ikut campur
kalau kalian orang baik-baik. Namun karena kalian
orang-orang jahat, maka aku perlu ikut campur," men-
jawab Jaka dengan tenangnya.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja mencari per-
soalan, Anak muda!" kembali Condet membentak.
"Hem, sudah aku duga, kalau kalian memang
orang-orang tak baik," gumam Jaka. "Aku minta, pergi-
lah kalian dari sini. Ini bukan tempat berkelahi."
"Bedebah! Rupanya kau ingin menjadi jagoan,
Anak muda!"
"Terserah kalian. Yang pasti, aku tak suka den-
gan cara kalian yang telengas."
Menggeram kelima anak buah Persekutuan
Dewi marah. Maka tanpa banyak kata lagi, kelimanya
segera berbareng menyerang Jaka.
Diserang begitu rupa dengan segera berkelebat
ke luar kedai sembari berseru. "Kalau kalian ingin ber-
tarung, di luar sinilah yang pantas! Nah, keluarlah!"
"Sompret! Jangan kira kami takut!" Condet dan
keempat temannya yang menyangka Jaka adalah pe-
muda biasa, segera mengikuti Jaka ke luar. Maka keti-
ka sampai di luar, Jaka telah memapaki mereka den-
gan hantaman. Tersentak kelimanya mendapat seran-
gan yang begitu tiba-tiba. Kelimanya segera mengelak,
dan dengan cepat membabatkan golok yang ada di
tangan mereka.
"Kurang cepat, kawan. Apakah tak dapat kau
bergerak cepat? Wow, rupanya perlu aku bantu, baik."
habis berkata begitu, segera Jaka merentangkan ka-
kinya. Dari rentangan kaki itu, Jaka segera kibaskan
kaki kanan menendang kaki kiri dan kuda-kuda mu
suhnya. Seketika musuhnya terpelanting jatuh ke ta-
nah.
"Nah, apa kataku. Bukankah kuda-kudamu
lemah?"
"Bedebah! Rupanya kau hendak pamer kebole-
han, Anak muda!"
Marahlah Condet, demi dilihat temannya dapat
dengan mudah dipecundangi Jaka. Dibabatkan golok-
nya dengan cepat, namun Jaka yang sudah dapat
mengukur ilmu silat musuhnya tampak tenang.
"Wow, rupanya kau suka membuat getuk, se-
hingga kau dalam membabatkan golokmu persis orang
mengiris getuk," mengejek Jaka, yang mengakibatkan
kemarahan Condet makin meluap-luap laksana kali
Ciliwung dihujani membludak karena banyak sampah.
Pertarungan lima lawan satu terus berlang-
sung, membawa mereka untuk terus mengeluarkan
tenaga. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat, namun
segitu jauhnya Jaka terus dapat mendikte gerakan-
gerakan lawan.
Orang-orang yang tadinya mengawatirkan kese-
lamatan Jaka, seketika di bibir mereka terurai senyum.
Mereka berteriak-teriak laksana suporter Indonesia
yang sangat antusias, bahkan kadang-kadang suporter
Indonesia melebihi batas maksimum, membakari tem-
pat duduk stadion dan sering membuat kerusuhan
lainnya.
"Adauw... kenapa kalian begitu ganasnya?
Hampir saja kepalaku terbabat ole golok kalian."
"Jangan banyak bacot, Anak muda!" memben-
tak Condet.
"Wah, galak nian kau, Mang?"
"Setan! Apa mulutmu itu perlu aku sunat!"
"Ladalah, Mang. Apa memang belum sunat?"
ejek Jaka. "Kalau memang belum sunat, baiklah aku
akan membantunya."
Setelah berkata begitu, Jaka dengan segera
berkelebat cepat. Tahu-tahu, tangannya yang jahil te-
lah mencengkeram milik Condel tanpa dapat dicegah.
Seketika Condet menjerit, kala tangan Jaka meremas
telur burung untanya. Terguling-guling Condet seketi-
ka menahan mules.
Melihat Condet sekarat, serta merta keempat-
nya segera menyerang Jaka. Kali ini keempatnya tam-
pak beringas, sepertinya benar-benar ingin mengadu
nyawa.
"Hem, rupanya kalian pun ingin merasakannya.
Baik, aku akan memberi pada kalian semua. Nah, te-
rimalah...."
Kembali Jaka berkelebat cepat, tubuhnya me-
lenting tinggi. Mana kala tubuhnya kembali ke bawah,
kakinya tiba-tiba menginjak pundak salah seorang
musuhnya. Karena tenaga dalam dikeluarkan oleh Ja-
ka, ambleslah tubuh musuhnya masuk ke tanah.
Terbelalak ketiga orang sisa musuhnya, bim-
bang untuk menyerang. Melihat hal itu, Jaka yang
memang konyol dan ndableg segera berkata mengejek:
"Heh, inikah tampang-tampang orang yang ser-
ing membuat keonaran? Tak tahunya hanya tampang-
nya saja yang batu, sedang jiwanya tak lebih dari com-
bro."
Dikata dengan sebutan Conbro, marahlah
Compal seketika. Hal itu menjadikan Jaka tersenyum-
senyum senang karena pancingannya ternyata berha-
sil. Manakala Compal membabatkan goloknya, dengan
segera Jaka melompat ke atas. Tak ayal lagi, leher te-
mannya sendiri yang terkena babatan.
Compal terbelalak kaget, namun belum juga ia
hilang dari rasa kagetnya Jaka telah lebih dahulu
mengamblaskan tubuhnya ke dalam tanah.
Kini tinggal dua orang lagi yang masih hidup.
Keduanya yang telah ciut nyali, segera jatuhkan diri
bersimpuh meminta maaf.
"Aku tak berani mengampuni kalian. Yang ber-
hak atas diri kalian adalah orang-orang kampung itu"
jawab Jaka atas permintaan ampun keduanya. Lalu
dengan tanpa menghiraukan semua yang masih terbe-
lit dengan masalahnya, Jaka segera berkelebat pergi.
TUJUH
Seorang lelaki bercaping lebar tengah menyu-
suri pesisir pantai Laut Kidul. Pakaiannya yang tam-
pak lusuh menandakan bahwa dia telah begitu lama
tak pernah ganti.
Lelaki bercaping lebar itu sesaat berhenti dan
duduk di atas sebuah batu. Matanya yang tajam, me-
mandang lepas ke tengah lautan. Tampak olehnya pe-
rahu nelayan kecil-kecil, terhempas ombak yang besar.
"Itulah kehidupan. Siapa yang berani menang-
gung resiko, dia juga yang akan mendapatkan hasil-
nya." bergumam hati kecil lelaki bercaping itu.
"Pak, sedang apakah bapak duduk me-lamun
sendiri?"
Tersentak laki-laki bercaping lebar itu, manaka-
la terdengar seseorang menyapa.
"Eh, ada apakah?" tanyanya bingung.
"Kenapa bapak melamun?"
"Aku, aku tengah memikirkan anakku yang te-
lah tiga bulan ini berlayar, namun tak juga ada kabar
beritanya." jawab lelaki bercaping lebar itu. "Aku kini
sebatang kara, Nak."
Pemuda yang diajak ngomong seketika merasa
iba demi mendengar penuturan lelaki bercaping itu.
Mana kala cupingnya dibuka, tampaklah seraut wajah
tua yang tak lain Randu Alasan yaitu patih dari kera-
jaan Pesisir Putih.
"Kalau memang demikian adanya, bagaimana
jika bapak ikut dengan ku saja?"
"Apakah tidak merepotkan nantinya, Nak?"
"Ah, mengapa merepotkan? Tidak, Bapak."
menjawab pemuda nelayan itu. "Bah-kan aku senang
bila bapak mau menemani-ku."
"Terima kasih. Kau sungguh baik budi, Nak."
berkata Randu Alasan. "Jarang anak muda yang ber-
hati sepertimu. Siapakah namamu, Nak?"
"Namaku Wiryo." jawab anak muda nelayan.
"Siapakah nama bapak?"
"Namaku Bangkit, Nak."
Setelah keduanya saling kenal, lalu keduanya
segera berlalu meninggalkan pesisir menuju ke rumah
Wiryo. Di sepanjang jalan keduanya bercerita tentang
diri masing-masing. Randu Alasan yang tengah me-
nyamar sebagai rakyat jelata, mengarang segala cerita
yang dapat menutupi dirinya agar tidak dikenal oleh
anak muda itu.
Angin malam berhembus dingin menyekat urat.
Hujan turun rintik-rintik, diselingi oleh deru angin
yang lebat dan pesat. Hingga menjadikan tarian jalang
pohon-pohon yang terkena, berdesir-desir.
Randu Alasan yang tengah menyamar menjadi
seorang rakyat jelata, malam itu tengah duduk sendi-
rian. Sementara anak muda yang telah menganggap
dirinya ayah, telah tertidur pulas karena capai ne
layan.
Mata Randu Alasan menyipit, memandang tak
berkedip ke depan dengan tatapan kosong. Ingatannya
pada kerajaannya, yang membawa Randu Alasan ha-
rus mengembara mencari Pendekar Pedang Siluman
Darah. Bayang-bayang kekhawatiran kalau-kalau ge-
rombolan Persekutuan Dewi menyerang tiba-tiba, men-
jadikannya tercekam.
"Ke mana aku harus mencari Pendekar Pedang
Siluman?" keluh hati Randu. "Sungguh bagaikan men-
cari sebuah jarum di pasir, sama susahnya."
"Duar...!"
Dewa petir membahana, menyentakkan Randu
dari lamunan.
Tengah Randu merenung sendiri, terdengar
olehnya seruan orang-orang warga kampung histeris.
Randu tersigap kaget, seperti juga yang dialami Wiryo.
Wiryo yang waktu itu tertidur, tersentak bangun dan
menghampiri Randu.
"Bapak, rupanya ada kejadian."
"Kejadian? Kejadian apa...?" tanya Randu tak
mengerti.
"Bapak di rumah saja, biarlah aku yang ke luar.
Tampaknya gerombolan maling itu datang lagi," jawab
Wiryo, yang seketika mengagetkan Randu.
"Gerombolan maling?" gumam Randu.
"Ya, gerombolan maling itu selalu membuat ke-
kacauan," jawab Wiryo dengan keluh. "Kemarin saja
membawa korban, tiga orang mati."
"Ah...." lenguh Randu Alasan. "Kenapa mesti ke
luar, Nak?"
"Sudah kewajiban, Bapak?"
Randu Alasan sangat kagum atas ucapan anak
angkatnya itu. Betapa anak muda itu mengerti kewaji
ban, dirinya lebih mementingkan kewajiban daripada
menuntut haknya. Saking kagumnya Randu pada
anak muda itu, sampai-sampai Randu mendesah da-
lam hati.
"Sungguh patut dibanggakan anak muda ini.
Kelak akan aku ambil menjadi prajurit kerajaan. Aku
yakin, keberaniannya sangat besar, patut dijadikan su-
ri tauladan prajurit lain."
Wiryo yang hatinya tak tenang demi mendengar
jeritan-jeritan penduduk, seketika melompat ke luar,
meninggalkan Randu Alasan yang hanya terbengong
menyaksikan keberanian anak angkatnya.
"Aku harus mengawasi bocah itu," gumam
Randu. Sepertinya ia tak ingin kalau Wiryo menjadi
korban. Maka dengan segera, Randu Alasan berkelebat
meninggalkan rumah memburu ke asal suara jeritan
itu.
"Serahkan semua apa yang kalian miliki pada
kami!" membentak pimpinan gerombolan garong itu,
menjadikan semua penduduk menggigil ketakutan.
Wajah garong-garong itu sungguh menakutkan, den-
gan cambang bawuk yang lebat menutupi muka-muka
mereka.
"Benar, serahkan apa yang kalian miliki pada
kami. Dan ingat! Jangan sekali-kali kalian berteriak,
kalau kalian tidak ingin seperti kedua orang itu. Men-
gerti!" hardik yang lainnya.
"Jangan mau! Jangan takut dengan ucapan
sundelnya!"
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, yang
menjadikan garong-garong itu tersentak memutar tu-
buh mereka menghadap pada orang yang berseru itu.
Namun belum juga mereka sadar, seketika orang yang
berseru telah menyerang mereka dengan tendangan
nya.
"Orang-orang macam kalian, harus minggat da-
ri sini!" membentak pemuda yang tak lain Wiryo den-
gan sengitnya. Tangan dan kakinya bergerak meng-
hantam dan menendang garong-garong itu.
"Kupret! Rupanya hanya seekor tikus yang mau
unjuk gigi!" membentak marah kedua garong dengan
sengitnya. "Serang...!"
Tak ayal lagi, kesepuluh garong itu segera ber-
kelebat menyerang Wiryo. Melihat Wiryo dikeroyok, se-
luruh penduduk yang tadinya hanya diam ketakutan
serta merta turut membantu. Tak ayal lagi tawuran
masal itu pun segera berjalan dengan seru, seperti
layaknya anak-anak SLTA di Jakarta.
Melihat Wiryo dikeroyok, hati Randu Alasan
makin bertambah kagum melihatnya. Kepalanya dige-
leng-gelengkan pertanda rasa kagumnya. Matanya tak
berkedip memandang pada tawuran itu.
"Jangan kita mau diperbudak oleh mereka!"
Wiryo kembali berseru, membuat semangat keberanian
penduduk kian menjadi,
"Bedebah! Rupanya kau cecunguk yang ingin
menjadi pimpinan. Jangan menyesal menerima akibat-
nya nanti!"
Setelah berkata begitu, dengan garang ketua
rampok membabatkan golok-goloknya. Setiap tebasan
goloknya, mengundang pekik kematian bagi yang ter-
kena. Walaupun begitu, rakyat yang memang tak mau
diperas terus menerus tak mau menyerah begitu saja.
Mereka bahkan makin mengganas, dan dengan
senjata apa adanya berusaha membalas kesepuluh ga-
rong itu.
Wiryo yang tengah mengamuk bagaikan ban-
teng ketaton tak menghiraukan apa yang tengah terja
di. Dia terus merangsek salah seorang anggota garong
itu. Dengan segala kemampuannya, akhirnya Wiryo
dapat menghantamkan pukulan telak di ulu hati mu-
suh.
"Bug, bug, bug!"
"Heck...!"
Tubuh garong itu seketika terhuyung ke bela-
kang, lalu ambruk dengan mulut melelehkan darah se-
gar. Wiryo tersenyum sinis dan diludahinya tubuh
anggota garong yang telah mati.
Tengah Wiryo terhanyut dengan apa yang telah
ia lakukan, seketika sebuah sabetan golok berkelebat
ke arahnya. Wiryo tersentak dan berusaha menghin-
dar, namun tebasan golok itu lebih cepat dan meng-
hantam lengannya. Mata Wiryo membeliak, melihat
lengannya terluka mengeluarkan darah.
Melihat Wiryo terluka dengan tubuh terhuyung,
menjadikan musuhnya tampak makin beringas. Ketika
untuk kedua kalinya si garong hendak menebaskan
golok nya ke tubuh Wiryo, seketika sebuah bayangan
berkelebat dengan cepat menangkis serangan itu. Pu-
cat pasi wajah sang garong, merasakan betapa puku-
lan orang yang menangkisnya sungguh menjadikan
tangannya bagai lumpuh hingga golok yang dipegang-
nya seketika jatuh ke tanah.
"Bapak...!" Wiryo yang tahu bahwa orang yang
menolong bapak angkatnya berseru, seakan tak per-
caya bahwa orang yang kelihatan lemah mampu mem-
buat si garong pucat pasi.
"Patih Randu Alasan...!" tersengat si garong,
yang telah mengenal betul siapa adanya lelaki tua itu.
Hal itu menjadikan Wiryo terbelalak kaget, tak me-
nyangka kalau orang yang menjadi bapak angkatnya
ternyata seorang patih yang sudah kondang namanya.
"Ah, mengapa aku bodoh, tak mau memahami
yang mulia?" keluh Wiryo seakan menyesali kebodo-
hannya. Randu Alasan hanya tersenyum menggeleng-
kan kepala, sembari berkata datar:
"Sudahlah, Wiryo. Kini yang penting kita meng-
halau para cecunguk ini."
Rakyat yang mendengar bahwa lelaki tua peno-
long Wiryo adalah patih kerajaan, seketika kebera-
niannya makin bertambah. Tanpa ada rasa takut, ra-
kyat kembali menyerang serentak. Hal itu menjadikan
para garong keteter, tersentak kaget.
Pertarungan terus berjalan, kini keadaan ber-
balik. Garong-garong itu sungguh merasa takut mana-
kala di situ ada orang kerajaan yang sangat ditakuti.
Nama patih Randu Alasan ternyata jauh lebih
terkenal dan ditakuti oleh para garong daripada nama
raja mereka. Kehebatan patih Randu Alasan dalam
menumpas segala tindak kejahatan, sungguh sangat
membuat namanya kondang bagi musuh-musuhnya.
Karena pikiran kesepuluh garong itu berca-
bang, serta dibayangi dengan perasaan takut membuat
kesembilan garong itu tak tentu dalam bertindak. Hal
itu sangat menguntungkan rakyat yang telah terbakar
amarah, maka tak ayal lagi mereka seketika menjadi
ajang kemarahan rakyat. Tubuh mereka berantakan
dibacok-bacok dan direncah oleh rakyat. Matilah ke-
sembilan garong itu dengan keadaan mengerikan.
DELAPAN
Jaka yang tengah berjalan sambil bernyanyi-
nyanyi segera menghentikan langkahnya, manakala te-
rasa olehnya ada orang mengikutinya.
"Hem, aku tak habis pikir, mengapa banyak
benar musuh-musuhku?" keluh Jaka dalam hati.
Segera Jaka mempercepat larinya, menjadikan
orang yang menguntit tersentak dan berusaha menge-
jar. Namun Jaka tampaknya telah berlari dengan ken-
cang hingga orang itu kehilangan jejaknya.
"Sungguh kencang benar larinya. Apakah aku
tak salah lihat?"
Tengah orang itu bergumam, tiba-tiba terdengar
suara gelak tawa dari atas pohon yang ada di sebelah-
nya. Bersamaan itu sesosok tubuh berkelebat turun
dan berdiri di hadapannya.
"Kenapa kau kebingungan, Ki Sanak?"
Orang itu tersentak melompat mundur, ma-
tanya memandang tak percaya pada Jaka yang tahu-
tahu telah berdiri di hadapannya. Napas orang itu tu-
run naik, sepertinya telah dilanda emosi yang meme-
nuhi rongga-rongga dadanya.
"Ki Sanak mengejarku, ada apa?" tanya Jaka.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pen-
dekar Pedang Siluman Darah?" tanya orang itu dengan
sorot mata tak berkedip, memandang pada Jaka yang
seketika mengerutkan alis matanya.
"Aneh, kenapa namaku begitu terkenal dan di-
cari-cari?" bergumam hati Jaka masgul.
"Benar adanya, ada gerangan apa Ki Sanak
mencariku?"
"Kebetulan."
Tersentak Jaka mendengar jawaban orang itu,
yang dirasa sangat aneh. Mengapa orang yang baru sa-
ja bertemu mengatakan kebetulan? "Ah, sungguh du-
nia ini penuh dengan keanehan." mengeluh hati Jaka.
Lalu dengan ketidakmengertian, Jaka bertanya.
"Apa yang Ki Sanak maksud kebetulan? Adakah
kita pernah saling memendam sengketa?"
"Benar! Memang aku mencarimu untuk menye-
lesaikan sengketa antara kita."
Untuk kesekian kalinya Jaka tersentak kaget.
Matanya memandang tak berkedip, hatinya penuh
tanda tanya. Belum juga Jaka mengerti, lelaki yang
berdiri di hadapannya kembali berkata:
"Aku adalah kakak seperguruan Balong Sakti.
Karena aku mendengar kau telah mampu menunduk-
kan adik-adikku, aku menjadi tertarik untuk menjajal
seberapa ilmu yang kau miliki sehingga kau mampu
menundukkan ketiga adik-adikku."
"Aku rasa aku tak pernah menundukkan siapa-
siapa, karena itu aku tak ingin mengurusinya lagi.
Nah, aku minta pamit."
Ketika Jaka hendak kembali berkelebat, tiba-
tiba lelaki yang mengaku kakak seperguruan Ki Cupir,
Balong dan Lumajang berkelebat menghadangnya ser-
ta menyilangkan tongkatnya yang panjang terbuat dari
kayu alami.
"Kenapa kau begitu sombongnya, Anak muda?"
berkata lelaki itu dengan sengit.
"Apakah kau tak mau memberikan pelajaran
barang sedikit padaku?"
"Maaf, aku bukannya guru. Untuk itu, sekali
lagi menyingkirlah."
"Setan! Kau meremehkan aku, Anak muda!"
menggeretak marah lelaki di hadapan Jaka. "Jangan
kira aku takut pada nama besarmu yang telah kon-
dang itu. Ayo, kita buktikan!"
Tengah Jaka tersentak kaget mendengar tan-
tangan dari lelaki yang menyebut dirinya kakak seper-
guruan ketiga orang yang telah dikalahkan, tiba-tiba
terdengar suara seruan seseorang memanggil na
manya.
"Jaka...! Biarkan orang dungu itu aku yang
menghadapinya!"
Berbareng dengan hilangnya suara itu, berkele-
bat sesosok tubuh yang tahu-tahu telah berdiri di ha-
dapan Jaka. Lelaki yang baru datang memandang ta-
jam pada orang yang mengaku kakak seperguruan Ki
Cupir.
"Paman patih, tak usahlah paman patih repot-
repot," berkata Jaka yang telah tahu siapa adanya le-
laki di hadapannya. "Adakah paman patih mempunyai
keperluan?"
"Itu nanti kita bicarakan, yang penting kita be-
reskan orang sinting ini."
Mendengar ucapan Randu Alasan, marahlah
seketika orang yang mengaku-aku sebagai kakak se-
perguruan Ki Cupir. Maka dengan amarah yang me-
luap-luap, lelaki itu membentak.
"Siapa kau, Orang tua!"
"Aku...? Bukankah kau telah mendengar dari
anak muda temanku ini?" balik bertanya Randu Ala-
san. "Siapa pula namamu, Ki Sanak?"
"Aku Ludra Lanang!" menjawab lelaki itu ketus,
matanya tajam menghunjam pada Randu Alasan sea-
kan sorotnya membersit rasa ketidaksenangan atas
campur tangan Randu Alasan. "Kalau memang kau
hendak ikut campur, baiklah mari kita mulai!"
Mendengar tantangan itu, Randu Alasan terse-
nyum. Sesaat ditatapnya Jaka yang juga tersenyum,
lalu dengan tenang Randu Alasan berkata:
"Ludra Lanang, kalau itu yang kau mau, ayo-
lah."
Setelah berkata, Randu Alasan segera berkele-
bat mencari tempat yang cukup lebar diikuti oleh Lu
dra Lumajang di belakangnya.
Jaka yang menyaksikan hal itu hanya geleng
kepala, lalu Jaka pun segera berkelebat menuju ke
tempat di mana mereka hendak mengadakan perta-
rungan.
"Di sini, Ludra. Bukankah di sini luas?"
"Apa maumu aku layani. Ayo kita mulai, mana
senjatamu?"
"Aku tak membawa senjata. Ayolah aku tangan
kosong."
"Sombong! Jangan lengah, Ki Patih!" Dengan
didahului pekikkan, Ludra Lanang segera berkelebat
menyerang. Tongkat di tangannya diputar-putar mem-
bentuk baling-baling, berdesing-desing bagaikan ri-
buan lebah.
Randu Alasan yang telah berpikir akan keheba-
tan tongkat di tangan Ludra Lumajang tercekam juga.
Segera Randu Alasan membersit, lalu dikeluarkannya
jurus Seribu Naga Menghalau Badai. Tubuh Randu
Alasan berkelebat cepat, tangannya bagaikan berubah
menjadi banyak. Tangan itu menyambar-nyambar
dengan keras, menjadikan angin pukulannya bagaikan
deru badai. Kedua tubuh mereka seperti hilang, ber-
ganti dengan warna-warna pakaian mereka. Jaka
hanya mampu menggumam, tak dapat memikirkan
apa yang terjadi.
"Sungguh mereka orang-orang berilmu tinggi.
Sayang, Ludra Lanang mengikuti hawa emosinya."
"Jangan lengah, Ki Patih!" membentak Ludra
Lanang. Tangan yang memegang tongkat bergerak ce-
pat, menyodok ke perut Randu Alasan. Randu Alasan
tersentak manakala ujung tongkat itu hendak menyo-
dok perutnya, segera Randu Alasan melompat mundur.
Melihat musuhnya melompat mundur, Ludra
Lanang yang merasa telah mampu membuat musuh-
nya melompat ketakutan oleh sodokan tongkatnya
makin bernafsu. Kembali tongkat di tangannya berge-
rak cepat, menyodok ulu hati Randu Alasan. Randu
Alasan yang baru saja berkelit, untuk kedua kalinya
harus mengerahkan segenap tenaganya mengelak. Tu-
buh Randu Lanang bergerak cepat, menangkis seran-
gan tongkat maut.
"Duk...!"
"Aah...!" Randu Alasan memekik, manakala
tangannya beradu dengan tongkat di
tangan Ludra Lanang. Wajah Randu Alasan seketika
pucat, merasakan tangannya seperti remuk tulangnya.
Randu Alasan yang tak ingin mendapat malu di
hadapan pendekar Pedang Siluman Darah, membentak
marah. Lalu dengan disertai bentakkan, Randu Alasan
kembali menyerang. Tangannya menggenggam keris
pusaka Rawe Jingga, membersit dengan dengus yang
memburu.
Ludra Lanang tersentak membelalakkan mata,
manakala melihat sinar yang memancar pada keris
yang di pegang Randu Alasan. Dan ketika keris itu
hendak menusuk ke lambungnya, serta merta Ludra
Lanang menangkisnya dengan tongkat.
"Brak...!"
Tongkat di tangan Ludra Lanang seketika patah
menjadi dua, terbabat oleh keris pusaka Rawe Jingga.
Pucat pasi wajah Ludra melihat kenyataan itu, dan
dengan segera Ludra Lanang melompat mundur maka
kala untuk kedua kalinya Randu Alasan menusukkan
kerisnya.
"Suiiitt...!"
Tersentak Jaka dan Randu Alasan, demi men-
dengar suitan yang dikeluarkan oleh Ludra Lumajang.
Bareng dengan habisnya suitan itu, seketika berpuluh-
puluh orang keluar dari semak-semak.
"Curang!" memberetak Jaka marah.
"Pengecut...!" tak kalah marahnya Randu Ala-
san.
Jaka segera melompat turun dari atas pohon
dan menghantam dengan ajiannya pada orang-orang
yang hendak mengeroyok Randu Alasan. Maka tak ayal
lagi, orang-orang yang terkena hantamannya melengk-
ing dan mati dengan tubuh meleleh.
"Serang...!" Ludra Lanang kembali berseru.
Bagaikan tak mengenal takut, empat puluh
anak buahnya seketika berkelebat menyerang dua
orang musuhnya. Pertarungan tampak ramai, dengan
pekikan-pekikan yang memecah hutan itu.
Kembali Jaka yang mempunyai ide konyol ber-
seru, manakala tombak di tangan musuhnya menyo-
dok ke arahnya.
"Ampun...! Mengapa kau hendak menyate ku?
Aku bukan kambing, Mas!"
Habis berseru begitu, secepat kilat Jaka men-
gulurkan tangannya. "Maaf, aku pinjam tombak mu.
Nah, begini caranya kalau hendak membuat sate." Ta-
hu-tahu tanpa dapat diikuti gerakannya Jaka telah
merebut tombak dari tangan musuhnya yang tadi hen-
dak menusukkan tombak.
Belum juga sang musuh tersadar dari rasa ka-
getnya, tiba-tiba tombak yang berada di tangan Jaka
bergerak cepat dan menusuk dari kepala tembus sam-
pai ke pantat. Tak ayal lagi, memekik lah orang itu tu-
buhnya tersate.
Melihat temannya tersate oleh tombaknya sen-
diri, seketika marahlah yang lain. Serentak semuanya
segera menyerang Jaka, yang tersentak dan memben
tak marah.
"Kalian orang-orang tak mau diuntung! Hem,
jangan menyesal kalau aku bertindak telengas. Nah,
terimalah ini."
Habis berkata begitu, serta merta Jaka menge-
luarkan ajiannya Bayu Sakti. Seketika semua musuh-
nya terpelanting, dibawa oleh angin topan puting be-
liung. Tubuh-tubuh mereka beterbangan dan ambruk
dengan tulang-belulangnya bagaikan remuk. Mereka
hanya dapat menggerung-gerung menangis kesakitan.
Melihat anak buahnya berantakan tersapu
ajian Bayu Sakti, ciutlah hati Ludar Lanang. Tanpa pi-
kir panjang, Ludra Lanang segera ambil langkah seribu
tinggalkan kedua orang musuhnya yang hanya terse-
nyum.
"Jaka, kerajaan sangat menunggu kedatan-
ganmu," berkata Randu Alasan setelah semua musuh-
nya lari berhamburan, membuat Jaka tersentak kaget
dan bertanya:
"Ada gerangan apa, Ki Patih?"
"Kerajaan kini tengah dilanda oleh teror yang
dilakukan Persekutuan Dewi. Apakah kau belum men-
dengarnya, Jaka?"
"Aku telah mendengarnya, Paman Patih. Na-
mun aku belum sempat menyelidiki siapa adanya to-
koh di balik semua ini." menjawab Jaka. "Kalau me-
mang itu yang Paman Patih maksudkan, percayalah
aku akan datang ke kerajaan pada waktunya."
"Ah, terima kasih aku ucapkan terlebih dahu-
lu," berkata Randu Alasan. "Sekarang hendak ke ma-
nakah kau, Pendekar?"
Jaka mendesah sesaat, matanya memandang
kosong ke muka. Keduanya segera berjalan pergi me-
ninggalkan tempat itu. Setelah lama terdiam, Jaka
kembali berkata:
"Aku hendak mencari tokoh di balik semua ke-
jadian yang kini melanda dunia, khususnya biang dari
bangkitnya kerusuhan yang dulu telah menghilang.
Aku rasa, ada orang yang telah membantu Angelir si
Dewi Bunga Kematian."
"Aku pun berpikir begitu, Jaka. Tapi aku tak
mengerti siapa tokoh itu?" bergumam Randu Alasan.
Digeleng-gelengkan kepalanya seperti ada sesuatu
yang berat menggayut di pikirannya.
"Baiklah, Paman Patih. Sekarang kau pulanglah
dulu. Aku rasa, tenagamu sangat diperlukan di kera-
jaan."
"Baiklah, aku akan kembali. Aku tunggu keda-
tanganmu, Pendekar," menjawab Randu Alasan. "Nah,
selamat tinggal dan selamat berjuang."
Setelah terlebih dahulu menjura hormat, Randu
Alasan segera berlalu meninggalkan Jaka yang hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh aneh, kenapa Dewi Bunga kematian
yang telah digegerkan menghilang tiga tahun yang lalu
kini muncul lagi? Bahkan makin merajalela dengan il-
munya yang makin tinggi?" bergumam Jaka sendirian.
Maka dengan segera, Jaka pun berkelebat pergi me-
ninggalkan hutan itu yang kembali sepi dan sunyi. An-
gin siang mendesau berat, sepertinya merasakan kebe-
ratan derita yang telah ditanggung oleh dunia.
SEMBILAN
Tubuh kakek tua itu berkelebat dengan cepat,
berlari menuju hutan Barong di mana berdiam Rangga
Bargawa. Lelaki tua yang tak lain Ki Rake Pinuluh,
berhenti di depan goa yang dihuni Rangga Bargawa
atau Banas Pati.
"Rangga Bargawa, keluar kau!" serunya. Sesaat
kemudian, dari dalam goa ke luar seorang lelaki sama
tuanya menemui Rake Pinuluh. Lelaki tua itu bukan-
nya berjalan, namun terbang. Dialah Rangga Bargawa
atau Banas Pati.
"Ada apa, Pinuluh?"
"Dasar orang tua tak tahu diri kau, Banas pati.
Kenapa kau tak segera mau sadar?" berkata Rake Pi-
nuluh. "Usiamu sudah bau tanah, mengapa kau masih
saja gila?"
Mengerut kening Rangga Bargawa demi men-
dengar ucapan Rake Pinuluh. Lalu dengan tak menger-
ti maksud Rake Pinuluh, Rangga Bargawa bertanya.
"Apa maksudmu, Pinuluh?"
"Bojreng-bojreng! Rupanya kau memang pikun!
Untuk apa kau menyuruh Angelir berbuat edan?"
Tertawalah Rangga Bargawa setelah mendengar
ucapan Rake Pinuluh, sehingga saking kerasnya ia ter-
tawa tubuhnya sampai terguncang-guncang.
"Itu hakku, Pinuluh," jawab Bargawa seenak-
nya.
"Edan! Hal gila kau kerjakan. Apakah kau kira
kau mampu menghadapi semuanya?" kembali Pinuluh
berkata. "Ketahuilah olehmu, bahwa musuhmu kini te-
lah tiada. Kenapa kau masih saja mengumbar den-
dam? Apakah kau tak memikirkan usiamu yang telah
bau tanah itu, Bargawa?"
"Pinuluh.... Itu adalah hakku, sekali lagi itu
semua hakku. Akulah yang akan menanggung semua-
nya. Jangan kau ikut campur."
"Hem, kau kira kau akan mampu," menyibir Pi
nuluh, menjadikan Bargawa marah.
"Bedebah! Kau rupanya telah bertaring seka-
rang, Pinuluh!"
"Huh.,. Apa yang perlu aku takuti dalam usiaku
yang telah renta ini, Bargawa?" berkata Pinuluh ketus.
"Kalaupun aku mati maka memang sepantasnyalah
aku mati."
"Jadi kau memang ingin mati, Pinuluh?" meng-
geretak Bargawa marah, demi mendengar ucapan Pi-
nuluh yang seperti mengejeknya. Dengan mendengus,
Bargawa segera berkelebat menyerang.
Pinuluh yang sudah maklum siapa adanya Bar-
gawa, maka ia pun telah waspada. Hingga ketika Bar-
gawa menyerang, dengan segera Pinuluh berkelit.
Tak ayal lagi, dua tokoh tua persilatan itu pun
terlibat perkelahian. Walau usia mereka telah sama-
sama tua, namun gerakan keduanya nampak begitu
lincahnya.
Jurus demi jurus terlalui dengan cepat-nya, se-
pertinya tak dihiraukan oleh keduanya. Hampir enam
puluh jurus berlalu, namun tampaknya kedua orang
tua itu tak ada yang mau mengalah. Ajian-ajian yang
mereka miliki telah diumbar, dengan harapan dapat
segera menjatuhkan musuh. Walaupun begitu, ternya-
ta ajian-ajian mereka tak ada artinya.
"Pinuluh, jangan harap kau akan mampu men-
galahkanku."
"Aku tak bermaksud mengalahkanmu Barga-
wa," menjawab Pinuluh. "Aku hanya menghendaki kau
sadar."
"Cih... Jangan berlagak seorang resi, Pinuluh!"
membentak Bargawa dengan penuh kemarahan. Dili-
patgandakan tenaga dalamnya, menyerang Pinuluh.
Pinuluh tak mau tinggal diam, dia pun segera
melipatgandakan serangannya. Perkelahian makin se-
ru, sepertinya kedua orang itu tak akan segera meng-
hentikan pertarungan.
* * *
Sementara di tempat lain, yaitu di kerajaan ge-
rombolan Persekutuan Dewi, Angelir tengah memanggil
seluruh prajuritnya untuk mengadakan pertemuan.
Angelir atas saran Loro Ireng, bermaksud mengadakan
penyerangan ke Kerajaan Pesisir Putih.
"Para prajuritku. Malam nanti, kita akan men-
gadakan penyerbuan yang besar. Siapkan diri kalian,
sebab yang akan kita serbu adalah sebuah kerajaan,"
berkata Angelir.
"Daulat, Sri Ratu. Kami telah siap,"! menjawab
semua prajurit.
"Bagus! Nanti malam, akulah yang akan me-
mimpin kalian menyerbu ke Kerajaan Pesisir Putih."
Sesaat Angelir terdiam, hatinya seketika menje-
rit. Rasa sedih dan cinta, beraduk menjadi satu. Sedih
dan dendam karena ayahandanya dibunuh oleh orang
yang dicintainya. Tanpa terasa, Angelir seketika me-
nangis. Hal itu menjadikan semua terdiam tak ada
yang berani berkata-kata, apalagi bertanya.
"Ada apa gerangan, Angelir?" Loro Ireng yang
baru saja datang, seketika mengajukan pertanyaan
demi melihat Angelir menangis. "Angelir, tak baik kau
selalu mengenang masa silam. Bukankah kita ingin
menjadikan diri kita kokoh?"
Tersenyum Angelir mendengar penuturan kera-
batnya. Dengan segera Angelir menyeka air mata. Dita-
tapnya Loro Ireng, lalu dengan tersenyum Angelir men-
gangguk. Loro Ireng tersenyum melihat Angelir telah
dapat menguasai diri. Memang Loro Irenglah yang sela-
lu mendorongnya untuk tetap tegar, tidak rapuh.
"Apa kita jadi mengadakan penyerangan nanti
malam?"
"Jadi, Loro," jawab Angelir pendek.
"Bagus, Angelir. Semoga dengan penyerbuan
ini, semua orang-orang persilatan akan membuka ma-
ta."
"Benar ucapanmu, Loro. Semua mata orang-
orang persilatan, akan membuka mata dan melihat
siapa kita, hi, hi, hi...!"
Kedua gadis itu tertawa bergelak-gelak, menja-
dikan ruangan itu seketika bagaikan terpecah. Semua
anak buahnya hanya mampu terbengong, tak ada yang
berani berkata apapun. Namun ketika pimpinan mere-
ka berkelebat pergi, mereka pun tertawa bergelak.
* * *
Tengah Angelir duduk merenung seorang diri,
tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat di ha-
dapannya. Tersentak Angelir seketika itu, lalu dengan
segera Angelir berlari mengejar.
"Berhenti...!"
Tapi bagaikan tak mendengar seruan Angelir,
lelaki itu terus berlari. Hal itu menjadikan Angelir yang
penasaran terus mengejar. Dengan menggunakan ilmu
larinya, Angelir melesat dengan cepat dan tahu-tahu
telah berdiri menghadang.
"Berhenti!"
"Siapa kau? Kenapa kau menghadang langkah-
ku?" tanya pemuda yang merasa di-hadang oleh Ange-
lir.
"Apakah kau tak merasa telah memasuki dae
rah ku, Pemuda tampan?" bertanya Angelir dengan ge-
nit. Hatinya begitu terpana oleh wajah pemuda itu.
"Siapakah namamu. Pemuda tampan?"
"Apa perlumu menanyakan namaku."
"Apakah aku tak boleh mengenal namamu?"
Angelir yang cantik segera merayu, menjadikan hati
pemuda itu bergema bagaikan gong dipukul dengan
kencangnya. Hatinya seketika bergetar, melantunkan
tembang kasmaran. Pemuda itu terdiam membisu,
hanya matanya saja yang memandang tak berkedip.
Melihat pemuda tampan itu terdiam, Angelir yang me-
rasa jeratnya telah mengena segera menghampiri.
Disenderkan kepalanya pada pundak pemuda
itu, yang seketika gemetaran dengan badan terasa pa-
nas dingin. Pemuda itu baru saja turun gunung, hing-
ga ia tak mengerti liku-liku sesungguhnya dunia ra-
mai.
"Kau mau denganku?" tanya Angelir manja,
menjadikan pemuda itu makin gemetaran. Tak disada-
rinya, keringat dingin mengalir deras. "Kau suka pada-
ku?"
"Kau tak bercanda, Nona?" pemuda itu balik
bertanya.
"Kenapa aku mesti bercanda? Kau tampan, aku
suka." Angelir terus merayu, menjadikan pemuda itu
akhirnya jatuh. Di hati pemuda itu, tumbuh bayangan-
bayangan keindahan. Khayalnya yang ngeres seketika
menyelimuti pikirannya. Dengan gemetaran, tangan
pemuda itu membelai rambut Angelir. Angelir hanya
tersenyum, sepertinya senang.
"Benarkah kau suka padaku, Nona?" tanya pe-
muda itu seakan hendak memastikan ucapan Angelir.
"Benar! Aku menyukaimu, Pemuda tampan!"
kata Angelir, diikuti dengan kerling mata genit. "Siapa
namamu?"
"Namaku Jaga Bayu."
"Nama yang indah, setampan pemiliknya." ber-
gumam Angelir sepertinya mengagumi Jaga Bayu.
"Namaku, Dewi Angelir. Jaga Bayu, maukah kau men-
jadi pendamping ku?"
Tersentak Jaga Bayu demi mendengar permin-
taan Angelir. Matanya seketika memandang Angelir tak
percaya. Melihat hal itu, Angelir tersenyum seraya
mengangguk-kan kepalanya.
"Kau tak bercanda, Angelir?"
"Tidak, aku tak bercanda." menjawab Angelir,
lalu dengan tak disangka oleh Jaga Bayu, Angelir telah
menciumnya. Jaga Bayu tersentak, namun seketika
tersenyum. Dengan agak gemetaran, Jaga Bayu mem-
balas mencium bibir Angelir.
* * *
Pertarungan antara Rangga Bargawa dengan
Rake Pinuluh, masih terus berlangsung. Sudah ratu-
san jurus mereka keluarkan, namun sepertinya mere-
ka tak akan bakalan ada yang menang ataupun kalah.
Rake Pinuluh kini mengambil senjata pusa-
kanya, yang berupa sebuah tasbih bernama Tasbih
Kematian. Sementara Rangga Bargawa, kini telah men-
geluarkan senjata andalannya yang bernama Siwur
Maut.
"Waspada Pinuluh, jangan sampai lengah!"
"Sedari mula aku telah waspada, Bargawa!"
menjawab Pinuluh. "Ayolah, apa-apa mu aku ladeni."
"Terima seranganku ini. Hiat...!"
Dengan cepat, Rangga Bargawa segera berkele-
bat menyerang. Siwur Mautnya bergerak membabat,
mematuk tubuh Pinuluh. Namun Pinuluh bukanlah
tokoh persilatan kelas kroco yang dengan mudah dapat
dijatuhkan. Pinuluh dengan senjatanya Tasbih Kema-
tian, berkelebat sesekali membalas menyerang.
Melihat hal itu, Bargawa yang memang licik pe-
nuh siasat tak mau melihat Pinuluh menang atas di-
rinya. Maka dengan segala kelicikannya, Bargawa be-
rusaha menjatuhkannya. Ketika Pinuluh lengah, Bar-
gawa secepat kilat menghantamkan Siwur Mautnya.
Pinuluh tersentak dan berusaha menghindar, tapi ge-
rakannya begitu lambat. Siwur Maut di tangan Barga-
wa, seketika menghantamnya.
Pinuluh terhuyung-huyung ke belakang dengan
darah meleleh di sela-sela bibirnya. Matanya meman-
dang tajam pada Bargawa, mulutnya mendesis marah,
"Licik kau, Bargawa!"
"Tak ada istilah licik atau tidak pada perkela-
hian, Pinuluh? Bagiku, licik atau tidak yang pasti aku
harus dapat mengalahkanmu."
"Jangan bangga dulu, Bargawa. Aku belum ka-
lah," mendengus marah Pinuluh. Lalu dengan segera,
Pinuluh kembali berkelebat menyerang.
Bargawa tertawa bergelak, menghindari seran-
gan Pinuluh. Kembali Siwur Mautnya berkelebat cepat,
dan untuk kedua kalinya menghantam tubuh Pinuluh.
Kembali Pinuluh terhuyung mundur, Makin
banyak darah yang ke luar dari sela-sela bibirnya. Ma-
tanya yang tadinya garang, kini redup.
"Apakah aku akan mati sekarang?" bergumam
hati Pinuluh.
Tangannya terus memegangi dada yang terasa
sakit, menjadikan Pinuluh tak dapat lagi mengendali-
kan keseimbangan tubuhnya.
Melihat musuhnya dalam keadaan luka dalam,
Bargawa tak mau membiarkan begitu saja. Dengan di-
dahului gelak tawa, Bargawa hendak menghantamkan
Siwur Mautnya ketika terdengar suitan yang dibarengi
dengan berkelebatnya sesosok bayangan menghantam
Siwur Maut.
Tersentak Bargawa melompat mundur, ketika
dirasakan Siwur Mautnya ada yang menghantam. Be-
tapa gusarnya hati Bargawa, ketika dilihat Siwur
Mautnya hancur berantakan. Mata Bargawa seketika
memandang pada siapa yang telah membuat Siwur
Mautnya hancur.
"Siapa kau, Anak muda?!" membentak Bargawa
marah.
Belum juga pemuda itu menjawab pertanyaan
Bargawa, Pinuluh yang masih memegang dadanya
yang terasa sakit telah mendahului menjawab.
"Dialah murid Ki Bayong, Bargawa."
"Hua, ha, ha.... Kebetulan! Gurunya telah tak
ada, maka muridnyalah yang harus menerima pemba-
lasanku. Gurumu telah membuat aku begini, maka
kau pun akan menerima ganjarannya atas perbuatan
guru-mu."
"Ha, ha, ha.... Lucu, sungguh lucu. Apakah kau
ini orang waras, atau orang gila?" berkata Jaka, men-
jadikan Bargawa melotot kaget. "Orang bangkotan! Se-
harusnya kau bersyukur kalau guru tidak sampai me-
remas tulang-tulangmu yang seperti besi karatan itu.
Eh, kenapa kau masih juga nekad?"
"Kunyuk! Lancang mulutmu, Anak muda!"
"Wah, aku rasa aku tidak lancang. Aku mengira
kau orang dungu yang melebihi kerbau. Otakmu tak
kau pakai." menjawab Jaka, menjadikan Bargawa ma-
kin bertambah sewot.
"Edan! Rupanya kau mencari mampus, Anak
muda!"
Mendengar ucapan Bargawa, seketika meledak-
lah tawa Jaka bergelak-gelak. Tawanya yang disertai
ajian Pekik Buana, menjadikan telinga Bargawa bagai-
kan dipukul oleh ribuan kati. Mau tak mau, Bargawa
harus menggerakkan tenaga dalam untuk menutup
gendang telinganya. Begitu juga Rake Pinuluh, ia pun
harus mengeluarkan tenaga mencegah suara tawa Ja-
ka.
"Bargawa! Aku kira namamu yang berjuluk Ba-
nas Pati itu menyeramkan. Eh, tak tahunya seperti
seekor caring, ha, ha, ha...."
"Bedebah! Jangan kau kira aku tak dapat me-
lumatkan dirimu, Anak muda!" menggeretak marah
Bargawa, demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya
mengejek.
"Wau.... Rupanya kau pembuat kue Talam, se-
hingga ucapanmu selalu seperti tepung terigu," Jaka
makin konyol berkata, membuat Rangga Bargawa ge-
deg.
"Monyet! Terimalah kematianmu."
Habis berkata begitu, Bargawa segera merapal-
kan ajian Betari Durga. Seketika tubuhnya berubah
menjadi raksasa. Namun Jaka yang melihat bentuk
raksasa itu, malah tertawa bergelak-gelak menjadikan
Pinuluh mengerutkan keningnya.
"Kenapa kau tertawa, Anak muda? Bukankah
itu sungguh bahaya?"
"Tenanglah, Ki. Jangan gentar menghadapi ini.
Percayalah padaku."
Setelah memberi saran pada Ki Pinuluh, Jaka
dengan segera merapalkan ajian warisan Ki Bayong.
Sesaat Jaka duduk bersila, dan dari mulutnya ke luar
ucapan mantra.
"Buto Dewa Wisnu...!"
Perlahan tubuh Jaka berubah menjadi buto
yang menyeramkan, bernama Buto Dewa Wisnu
"Kau lucu Bargawa. Kenapa kau menjadi Betari
Durga, hua... ha... ha!" Buto Dewa Wisnu tertawa ber-
gelak-gelak, menjadikan gema yang berturut-turut
memecahkan bukit-bukit.
Tanpa banyak kata, Betari Durga segera berke-
lebat menyerang Dewa Wisnu. Pertempuran dua rak-
sasa Dewa itu tak dapat dihindarkan.
Setiap sabetan atau tendangan kedua raksasa
itu, menjadikan bumi seakan diguncang. Senjata ke-
duanya bukan senjata biasa, tapi bukit-bukit batu
yang dicabut dari tempatnya.
Ki Pinuluh yang tidak menyangka bahwa kedu-
anya mempunyai ajian yang sama, tercekam ketaku-
tan. Hatinya yang dicekam rasa takut bergumam:
"Sungguh dahsyat ajian mereka. Kalau saja
Bargawa tadi menghendaki kematianku, niscaya aku
dengan mudah dilumatnya. Beruntung Pendekar Pe-
dang Siluman Darah datang. Kalau tidak, aku tak da-
pat membayangkan."
Kedua raksasa itu masih seru bertempur den-
gan segala ajian yang mereka miliki.
Ketika kedua raksasa itu tengah seru-serunya
bertempur, seseorang lelaki berlari menuju ke arahnya.
Pemuda itu yang tak lain Satria Wulung segera berge-
gas menghampiri gurunya.
"Guru, kau seperti terluka."
"Ah, hanya luka kecil, Muridku," menjawab Pi-
nuluh. "Sekarang lihatlah olehmu dua raksasa yang
tengah bertempur itu."
Satria Wulung seketika menengok, memandang
pada kedua raksasa yang tengah bertarung itu.
"Kenapa dua raksasa itu bertempur, Guru?"
"Kau tahu siapa di antara mereka?" tanya Pinu-
luh pada muridnya yang hanya menggeleng. "Ketahui-
lah olehmu, salah satu raksasa itu adalah penjelmaan
pendekar Pedang Siluman Darah."
Terbelalak mata Satria Wulung, demi menden-
gar perkataan gurunya. Matanya seketika menatap ta-
jam pada pertarungan dua raksasa yang masih ber-
langsung, tiba-tiba Satria Wulung berseru. "Lihat,
Guru. Raksasa lelaki itu tiba-tiba memegang pedang.
Pedang itu.... Heh, pedang itu mengeluarkan darah,
Guru? Dari mana pedang itu datang?"
"Itulah Pedang Siluman Darah, Muridku." men-
jawab Pinuluh, menerangkan. "Pedang itu akan datang
sendiri, bila pendekar muda itu membutuhkannya."
Tengah kedua guru dan murid tercengang tak
mengerti, terdengar salah seorang raksasa itu meme-
kik. Pekikkannya begitu membahana. Habis pekikkan
itu, terdengar bergedebugnya tubuh raksasa Batari
Durga terbelah menjadi dua oleh Pedang Siluman Da-
rah.
Setelah dirasa musuhnya telah mati, Jaka
kembali ke bentuk semula. Sedang Pedang Siluman
Darah, secara tiba-tiba lenyap dari genggaman tangan
Jaka.
Kedua guru dan murid segera memburu ke
arah Jaka, yang tersenyum menyambut kedatangan
mereka.
"Tuan pendekar, terimalah hormat. hamba,"
berkata Satria Wulung, menjadikan Jaka seketika
mengernyitkan keningnya.
"Siapakah kau, Anak muda?" tanya Jaka.
"Dia muridku, Tuan. Dia ingin meminta petun-
juk darimu," menjawab Pinuluh, menjadikan Jaka
manggut-manggut mengerti. "Terimalah dia sebagai
abdimu, Tuan pendekar."
"Ah, Ki. Aku bukanlah tuan tanah. Aku tak
mau menganggap semua mahluk di muka bumi ini ab-
di. Aku rasa, semua manusia itu sama derajatnya."
menjawab Jaka, menjadikan Pinuluh manggut-
manggut. "Kalau memang muridmu ingin ikut dengan-
ku, aku tak keberatan. Asalkan dia mampu mengikuti-
ku ke mana aku pergi. Bukan begitu, Ki?"
"Benar Tuan pendekar," menjawab Ki Pinuluh.
"Nah, Muridku. Kini kau akan dapat pelajaran tamba-
han yang sangat berguna dari tuan pendekar Pedang
Siluman Darah."
"Terima kasih, Tuan pendekar," berkata Satria
Wulung seraya menjura hormat.
"Ah, tindak-tandukmu sungguh santun. Siapa
namamu?"
"Nama hamba, Satria Wulung," menjawab Sa-
tria.
"Satria, aku akan mengujimu sampai seberapa
ilmu dan keteguhan hatimu."
Terbelalak mata Pinuluh dan muridnya, demi
mendengar ucapan Jaka.
Mereka mengira kalau Jaka akan menguji Sa-
tria dengan ilmu yang dimiliki. Memang bukan tak
mungkin kalau Jaka bertindak begitu. Jaka terkenal
ndableg, suka bertindak yang di luar pikiran orang
lain. Namun kedua guru dan murid seketika terse-
nyum, manakala mendengar penuturan Jaka.
"Kalian jangan salah duga. Memang tingkah la-
ku ku sering tak terpikir oleh orang lain. Tapi muridmu
bukan hendak aku uji dengan ilmu yang aku miliki.
Aku hendak membawanya untuk menghadapi kakak
seperguruannya yang telah bertindak telengas," berka
ta Jaka menerangkan. "Apakah Ki Pinuluh tak men-
dengar bahwa salah seorang muridmu telah mengabdi
pada Dewi Bunga Kematian?"
"Apa...?" terbelalak mata Ki Pinuluh dan Satria,
mendengar ucapan Jaka. "Apakah tuan pendekar tidak
tengah bercanda?"
"Tidak, Ki. Maka itu, aku meminta ijin mu un-
tuk mengadu kedua muridmu." Jaka menerangkan.
"Kalau memang harus ada salah seorang muridmu
yang mati, aku rasa
itu karena kesalahannya sendiri. Bagaimana, Ki?"
"Aku serahkan semuanya padamu, Tuan pen-
dekar."
"Terima kasih, Ki?" menjawab Jaka. "Ayo, Sa-
tria...!"
Setelah Satria Wulung menjura sesaat pada gu-
runya, segera Jaka membawanya berlari pergi. Satria
begitu tersentak, manakala Jaka lari bagaikan angin
saja.
SEPULUH
Kerajaan Pesisir Putih malam itu tengah dilan-
da pemberontakan yang dipimpin oleh Dewi Bunga
Kematian. Peperangan antar prajurit gerombolan Per-
sekutuan Dewi dengan prajurit-prajurit dua kerajaan
terus berlangsung.
Melihat anak buahnya terdesak oleh pasukan
kerajaan, Dewi Bunga Kematian nampak begitu marah.
Seketika ia berkelebat, menyerang musuh-musuhnya.
Ajian Gugur Gunung diumbar dengan membabi buta,
menjadikan pekik-pekik kematian bagi yang terkena.
"Wulung Seta, keluar kau!" berseru Angelir.
Wulung Seta yang ada di dalam, seketika me-
lompat ke luar. Hal itu menjadikan gelak tawa Dewi
Bunga Kematian. Lalu dengan senyum sinis, si Dewi
tersenyum dan berkata:
"Wulung Seta, apa kabarmu? Rupanya kita di-
pertemukan lagi. Sayang, pertemuan ini bukan perte-
muan seperti tiga tahun yang lalu. Kini akulah mu-
suhmu, ha, ha, ha...!"
"Sudah aku duga, kalau kau akhirnya datang
juga. Kau harus membayar mahal atas segala perbua-
tanmu, Angelir!" membentak Wulung Seta geram. Di-
cabutnya keris pusaka Ronggeng Kelana, yang me-
mancarkan sinar aneh kekuningan. Dengan disertai
pekikkan, Wulung Seta yang sudah dilanda amarah
segera melompat menyerang.
"Kau tak akan mampu mengalahkan aku, Wu-
lung," berkata Angelir atau Dewi Bunga Kematian
mengejek, menjadi Wulung Seta mendengus marah.
Tanpa memperdulikan omongan Dewi Bunga Kema-
tian, Wulung Seta terus mencerca dengan keris pusa-
kanya.
Pertarungan dua orang bekas kekasih itu begi-
tu seru. Masing-masing memiliki kepandaian tersendi-
ri. Namun dilihat dari pertarungan itu, jelas Wulung
Seta jauh berada di bawah Dewi Bunga Kematian.
Walaupun Wulung Seta memegang senjata pu-
saka, namun menghadapi Dewi Bunga Kematian yang
kini mewarisi ilmu-ilmu Rangga Bargawa atau Banas
Pati tak ada artinya. Bahkan seringkali Wulung Seta
dibuat mati langkah.
Dewi Bunga Kematian yang dendamnya meng-
gebu, sepertinya tak mau membiarkan musuhnya lama
hidup. Maka dengan segera, dirapalkan ajian Gugur
Gunungnya. Dikiblatkan ajian tersebut ke arah Wu
lung Seta. Wulung Seta tersentak dan melompat mun-
dur, namun Dewi Bunga Kematian telah terlebih dahu-
lu menghantamkan ajian tersebut.
Ketika ajian Gugur Gunung hendak menghan-
tam tubuh Wulung Seta, seketika berkelebat seseorang
menghadangnya. Orang itu seketika menjerit, ambruk
jatuh ke tanah.
"Bunda...!" memekik Wulung Seta, manakala
tahu siapa orang yang terkena hantaman ajian Gugur
Gunung. Wulung Seta segera memburu ke arah tubuh
wanita tua itu, yang meringis menahan sakit.
Bukan hanya Wulung Seta yang tersentak tapi
Angelir yang tahu siapa wanita tua itu pun memekik
tertahan.
"Ibu...!"
Tapi bagaikan patung, Angelir hanya mampu
berdiri memandang ke arah dua anak dan ibu yang se-
dang bertangisan.
"Anakku, Angelir. Kenapa kau terdiam, Nak?"
terbata-bata Roro Kunti berkata, menjadikan Angelir
seketika meneteskan air mata. Angelir hanya mampu
menangis, tak dapat berkata apa-apa.
Setelah menangis, bagaikan orang kesurupan
Angelir mengamuk membabi buta. Dari mulutnya ter-
dengar erangan dan desisan, bareng dengan pukulan-
pukulannya yang sangat membahayakan.
Kekesalan dan kecewa beraduk menjadi satu,
menjadikan Angelir tak dapat lagi mengontrol dirinya.
Ketika kemarahannya telah memuncak, tiba-tiba tu-
buhnya berubah menjadi besar. Ajian Betari Durga te-
lah ia rapalkan. Bagaikan tak mengenal rasa kasihan,
Betari Durga mengamuk.
Setiap sergapan tangannya, sepuluh orang da-
pat ditangkap. Lalu dengan kasar tanpa belas kasih,
diremasnya tubuh kesepuluh orang tersebut.
"Jagat Dewa Batara, mengapa ia sampai memi-
liki ilmu ganas itu?" mengeluh Wulung Seta tertahan.
Dari matanya masih meleleh tangis.
"Hati-hati, Anakku. Jangan kau lengah, sebab
dia memang bermaksud membunuhmu yang telah
mengecewakannya."
"Baik, Bunda." menjawab Wulung Seta. "Praju-
rit, antar Bunda ke kamarnya!"
Setelah kepergian ibundanya, dengan gagah be-
rani Wulung Seta segera berkelebat membantu para
prajuritnya yang terkoyak oleh serangan Betari Durga.
"Angelir! Kau adalah anak tak tahu diri. Kau te-
lah melukai ibumu sendiri. Apakah kau tak sadar!"
berseru Wulung Seta seraya berkelebat menyerang.
"Wulung Seta. Kaulah yang membuat sega-
lanya. Kau harus mati di tanganku!"
Tengah Betari Durga mengamuk, yang menja-
dikan banyak korban berjatuhan. Tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat menghadangnya.
Bayangan itu datang tepat pada waktunya, ma-
nakala tangan Buto Betari Durga hendak mencengke-
ram Wulung Seta. Betari Durga seketika melompat
mundur, demi dirasakannya ada seseorang yang telah
menyerang. Tangannya terasa sakit manakala beradu
dengan tangan orang itu.
Mata Betari Durga melotot, manakala melihat
orang muda telah berdiri menghadang di depannya.
Pemuda itu yang tak lain Jaka Ndableg, tersenyum si-
nis ke arahnya.
Sementara itu, Jaka tampak tengah tertawa
bergelak-gelak manakala melihat Betari Durga meng-
geram marah. Dengan meninggalkan gelak tawa, Jaka
berkata:
"Dewi Mawar Kematian. Dulu nyawamu aku
ampuni, tapi kini aku tak akan mengampunimu lagi."
"Siapa kau, Anak muda?! Berani kau berkata
lancang padaku!"
"Akulah orang yang kau cari. Akulah murid Ki
Bayong, musuh paman gurumu. Aku Jaka Ndableg,
atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Loro Ireng yang mendengar ucapan Jaka, nam-
pak tersentak. Tak dinyana, kalau ia akan menemukan
pendekar yang telah menawan hatinya di tempat ini.
"Jaka...." mendesis Loro Ireng, menjadikan Jaka
seketika memalingkan muka. Hal itu tidak disia-siakan
oleh Betari Durga, yang dengan cepat menghantamkan
tangannya. Melihat hal itu, Loro Ireng segera berkele-
bat memapakinya. Seketika itu, Loro Ireng memekik
ambruk. Tubuhnya bagaikan terhantam gada jutaan
kati.
"Loro Ireng, kau,..!" membentak marah Angelir.
"Kenapa kau menghalangi pemuda itu."
"Aku mencintainya, Angelir."
"Bedebah! Kau berani menentang ku, Loro!"
menggeram Angelir marah.
"Maafkan aku, Angelir. Apapun akan aku laku-
kan demi dia."
Jaka yang mendengar ucapan Loro Ireng seke-
tika trenyuh juga hatinya. Betapa tidak, demi dirinya
Loro Ireng rela berkorban.
"Loro Ireng, menyingkirlah. Biar aku yang akan
menghadapinya," berkata Jaka, menjadikan Loro Ireng
mengerutkan kening. Hatinya was-was, kalau-kalau
Jaka akan menjadi korban Dewi Angelir.
"Hati-hati, Jaka." berkata Loro Ireng penuh rasa
was-was.
Jaka hanya mengangguk mengiyakan.
"Dewi Bunga Kematian. Kini aku telah siap
menghadapimu. Nah, terimalah ini. Ajian Getih Sakti.
Hiat...!"
Secepat kilat Jaka berkelebat menyerang Ange-
lir dengan ajian Getih Sakti. Melihat itu, Angelir segera
memapakinya dengan ajian Gugur Gunungnya.
"Duar...!"
Terdengar ledakan dahsyat manakala dua ajian
itu bertemu.
"Keluarkan semua ilmumu, Anak ganteng, biar
aku cepat meremaskan tubuhmu," berkata Angelir
sombong. Jaka hanya tersenyum sinis, sepertinya sen-
gaja memanas-manasi.
"Dewi Bunga Kematian. Terimalah ini.... Ajian
Petir Sewu, hiat...!"
Kembali Jaka berkelebat menyerang dengan
ajian Petir Sewu. Namun sebelum Jaka sampai, tangan
Dewi Bunga Kematian telah mendahului bergerak. Di-
cengkeramnya tubuh Jaka hingga menjadikan semua
yang melihat terpekik.
Yang lebih was-was di antara mereka, tak lain
Loro Ireng dan Satria Wulung. Keduanya sangat men-
cemaskan keadaan Jaka yang kini dalam genggaman
Betari Durga.
Namun ketakutan mereka seketika lenyap, ber-
ganti dengan rasa tak percaya. Sampai-sampai Wulung
Seta dan Amurwa Sakti berseru saking kagetnya.
"Jagad Dewa Batara. Ternyata pendekar muda
itu memiliki ilmu yang maha dahsyat."
Apa yang mereka lihat? Ternyata mereka meli-
hat Jaka telah berubah ujud menjadi Raksasa Dewa
Wisnu. Hal itu bukan saja mereka yang melihat, tapi
Angelir yang telah menjadi Betari Durga pun tak kalah
kagetnya.
"Hua, ha, ha.... Betari Durga. Akulah musuh-
mu," berkata Buto Dewa Wisnu. Suaranya menggema
bagaikan halilintar. Habis berkata begitu, Buto Dewa
Wisnu segera berkelebat menyerang.
Pertarungan dua raksasa itu begitu seru, saling
hantam dan terjang. Setiap kali tubuh mereka jatuh,
terdengar debuman dahsyat. Tanah bagaikan digun-
cang gempa.
"Percuma kalau aku membuang-buang tenaga,"
bergumam hati Buto Dewa Wisnu. "Hem, akan aku
panggil Pedang Siluman Darah. Dening Ratu Siluman
Darah. Datanglah!"
Tiba-tiba, di tangan Jaka telah tergenggam se-
bilah pedang yang dari ujungnya mengeluarkan darah,
menetes membasahi batang pedang.
Dewi Bunga Kematian tersentak mundur, demi
melihat apa yang telah terjadi. Belum juga Dewi Bunga
Kematian hilang rasa kagetnya. Buto Dewa Wisnu te-
lah berkelebat membabatkan pedang Siluman Darah
yang berada di tangannya.
"Aaahhhh...!" memekik Betari Durga, lalu am-
bruk dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darahnya
telah mengering, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Seketika semua anak buah Dewi Bunga Kema-
tian sujud menyembah mengaku kalah. Perlahan, Jaka
kembali ke bentuk asalnya. Sementara pedang Silu-
man Darah telah lenyap dengan sendirinya.
Tengah para prajurit merayakan kemenangan,
terdengar pekikkan kematian dari Jaga Bayu. Ternyata
Satria Wulung pun telah dapat membinasakan kakak
seperguruannya.
Makin riuhlah pesta kemenangan itu. Namun
kegembiraan mereka hanya sesaat, ketika tiba-tiba
terdengar berita duka. Ternyata Ibunda Ratu telah wa
fat bersama dengan matinya Dewi Bunga Kematian.
Dua raja muda itu seketika menangis....
"Janganlah tuan ku berdua berlarut dalam ke-
sedihan!"
Tengah keduanya menangis, terdengar suara
Jaka bergema menjadikan kedua raja itu seketika ter-
sentak dan mencari-cari Pendekar Muda itu.
"Di manakah kau Pendekar?" tanya Amurwa
Sakti.
"Oh, aku minta maaf. Aku lupa meminta ijin
pada tuan ku berdua. Aku kini telah jauh untuk kem-
bali mengembara. Selamat atas ketentraman kerajaan
tuan berdua...."
Kedua raja muda itu hanya saling pandang dan
bergumam penuh rasa kagum.
Hari itu juga, seluruh rakyat kedua kerajaan
berkabung atas kematian Ibunda Ratu. Seorang yang
mampu memberikan rasa percaya diri pada rakyat,
yang memang mengharapkan segala petuahnya.
Langit telah memerah, pertanda senja telah da-
tang. Satu per satu mereka yang turut serta memberi
penghormatan terakhir pada Ibunda Ratu, pergi me-
ninggalkan makam yang kembali sepi bagaikan turut berduka....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar