..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE DEMI TAHTA DAN CINTA

Dewi Tahta Dan Cinta

 

DEMI TAHTA DAN CINTA

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-

lam episode:

Demi Tahta dan Cinta

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Tengah pesta perkawinan berjalan dengan 

khidmatnya, tiba-tiba dari atap melorot sesosok tubuh 

seorang pemuda yang telah berdiri memandang tajam 

dan kurang ajar pada I Ayu Mantini. Senyum sinisnya 

mengembang, kakinya perlahan menghampiri kedua 

mempelai tanpa dapat dicegah. Tangannya dengan ku-

rang ajar membelai janggut I Ayu Mantini, lalu dengan 

congkak ia berkata.

"Cah Ayu, tak pantas kau bersanding dengan 

pemuda yang berdiri di sampingmu, tapi kau pantas-

nya dengan aku." 

Tangannya yang tadi hanya membelai janggut, 

seketika hendak menarik lengan I Ayu Mantini. Namun 

maksud Kardika tak kesampaian ketika terdengar sua-

ra bentakan di belakangnya.

"Iblis busuk! Apa perlunya kau mengganggu 

kami!" Walau suara itu keluar dari mulut orang tua, 

api karena dilandasi dengan tenaga dalam maka suara 

itu bagai menggelegar terdengarnya. Kardika seketika 

menoleh dan memandang sinis pada lelaki tua di ha-

dapannya.

"Ki Putut Mantra. Kau tahu siapa aku?" ucap-

nya menyombong, lalu perlahan dihampirinya Ki Putut 

Mantra yang memandang padanya dengan sorot ke-

bencian.

"Mengapa kau tidak bilang padaku kalau kau 

punya anak gadis semolek ini, Ki?"

"Itu bukan urusanmu, Iblis!" menjawab Ki Pu-

tut Mantra dengan ketus. Ia tahu siapa Kardika. Ia su-

dah bertekad tak mau menyerahkan putrinya pada ib-

lis mata keranjang itu.


Mendengar ucapan Ki Putut Mantra, Kardika 

bukannya marah. Bahkan sebaliknya ia tertawa berge-

lak-gelak, kemudian ia berkata sinis:

"Ki Putut Mantra! Kau telah tahu aku, semes-

tinya kau tidak sembrono. Semestinya anakmu dengan 

ikhlas kau berikan padaku, dan nyawa tuamu yang 

bau tanah harus ku buang ke neraka. Ha... ha... ha...!" 

Bagaikan tak memandang sebelah matapun Kardika 

membalikkan tubuhnya. Lalu dengan sebat dicekalnya 

tangan I Ayu Mantini. Tapi belum sampai maksudnya, 

tiba-tiba berkelebat Ki Putut Mantra menghalangi yang 

membuat Kardika menggeram kesal. "Hem... kau men-

cari mampus tua bangka keparat...!"

"Kau yang mencari mampus, Iblis! Apa hakmu 

membuat kericuhan di sini...?" menjawab Ki Putut 

Mantra tak mau kalah ketusnya.

Kejengkelan telah melanda hati Kardika hingga 

tampak wajahnya merah membara, lalu dengan diser-

tai emosi, Kardika membentak. "Tua bangka tak tahu 

diuntung, rupanya kau ingin mampus berani menen-

tangku!" Maka tanpa menunggu ucapan Ki Putut Man-

tra, Kardika telah menyerang dengan cepat. Suasana 

yang tadinya tenang kini riuh. Anak-anak dan wanita 

berserabutan mencari perlindungan.

Kardika yang jengkel dengan ulah Ki Putut 

Mantra tanpa sungkan-sungkan segera menyerang 

dengan jurus-jurus yang membahayakan. Tak kalah Ki 

Putut Mantra, walaupun umurnya sudah tua tapi ke-

gesitan sebagai seorang pendekar masih tersisa. Hing-

ga serangan-serangan Kardika dengan mudah dapat 

dielakkan.

Melihat hal itu Kardika makin mendengus kes-

al. "Hem.... Rupanya kau masih lincah seperti dulu, 

Tua bangka! Tapi jangan harap kau mampu lepas dari


tanganku." Bersama itu Kardika kembali menyerang. 

Kali ini dikeluarkan jurus-jurus intinya, ia tak ingin 

membuang-buang waktu.

Ki Putut Mantra yang sudah waspada segera 

mengimbanginya, mengelak dan sesekali menyerang. 

Walaupun begitu, karena usianya sudah tua, lama ke-

lamaan Ki Putut Mantra dapat didesak oleh Kardika. 

Demi melihat mertuanya tidak unggulan, Wayan Saba 

segera bermaksud membantu.

Namun hal itu bukan menjadi meringankan 

beban Ki Putut Mantra. Bahkan sebaliknya, pikiran Ki 

Putut Mantra bercabang. Pertama pada Kardika, dan 

kedua pada keselamatan menantunya. Ia tahu Kardika 

bukan tandingannya, walau dikeroyok sekalipun.

"Wayan... jangan mendekat!" seru Ki Putut 

Mantra memperingati. Namun Wayan yang memang 

jengkel pada kelakuan Kardika sedari tadi tak ambil 

perduli, sehingga membuat Ki Putut Mantra gusar. 

"Wayan... pergi kau dan bawa istrimu!" Bersamaan 

dengan selesai ucapannya, sebuah pukulan "WESI 

GENI" yang dilancarkan Kardika menghantam telak di 

dadanya. Ki Putut Mantra terpental tiga tombak ke be-

lakang, dari mulut orang tua itu meleleh darah segar.

Melihat ayahnya terluka dalam, I Ayu Mantini 

segera memburu menghampiri.

"Ayah... ayah...!" I Ayu Mantini menangis, kala 

ia tahu ayahnya telah meninggal. Sementara di lain pi-

hak, Wayan tengah menjadi bulan-bulanan Kardika 

yang bukan tandingannya. Sebuah pukulan Kardika, 

membuat Wayan terpelanting lima tombak ke belakang 

jatuh di depan tetua Adat yang membantunya berdiri 

sembari berkata padanya:

"Pergilah! Kau tak menghadapi dia. Pergilah ke 

wilayah Kulon dan carilah seorang Guru sahabatku


yang bernama Ki Turangga Bayu. Cepat...! jangan hi-

raukan apa yang terjadi di sini, biar kami yang menan-

gani."

"Lalu istriku...?"

Dengan tertatih-tatih Wayan berdiri bermaksud 

mendekati istrinya. Namun sebuah tendangan Kardika 

membuat ia terjungkal dan terpelanting keluar rumah. 

Merasa tidak unggulan, akhirnya Wayan pun menurut 

saran sesepuh Adat.

Dengan terlebih dahulu menengok pada is-

trinya, Wayan segera mengambil kuda dan lari dari si-

tu. Kardika yang melihat Wayan melarikan diri, segera 

memburunya.

Di ufuk Timur sudah nampak mentari, pertan-

da hari sudah pagi. Wayan menghentikan kudanya me-

langkah perlahan mencari sumber air. Kerongkongan-

nya terasa kering, sebab semalam ia telah menguras 

habis tenaganya untuk bertarung sekaligus untuk ber-

lari.

Lamunannya terus tertuju pada istrinya I Ayu 

Mantini. Dendamnya pada Kardika membuat Wayan 

melangkah dengan hampa, hingga jurang yang ter-

pampang di hadapannya tak dilihatnya. Terdengar jeri-

tan Wayan yang membahana, manakala tubuhnya ter-

perosok, masuk ke dalam jurang.

* * *

Kardika yang telah sampai di situ segera men-

cari Wayan. Matanya yang tajam dan liar memandang 

ke segenap penjuru. Namun apa yang dicari tak dite-

mukannya.

"Aneh.... Aku tadi melihat dia di sini." Belum 

puas Kardika mencari Wayan, dicobanya kembali un


tuk memeriksa sekeliling lembah itu. Dan ketika ia me-

lihat ke bawah jurang, tampak olehnya bangkai kuda 

yang menjadi tunggangan Wayan.

"Hem.... Rupanya bocah ingusan itu telah 

mampus," ucap Kardika. Di bibirnya tersungging ke-

menangan, lalu dihelanya tali kuda tunggangannya 

kembali ke tempat I Ayu Mantini yang tadi ditinggal-

kan.

Dipacu kudanya dengan cepat. Secepat piki-

rannya membayangkan I Ayu Mantini yang benar-

benar ayu. Membayangkan hal itu, kembali Kardika 

tersenyum-senyum.

Kampung Tegal Rejo geger, semua warga ber-

duyun-duyun datang ke tempat kepala kampungnya 

untuk melayat. Di situ masih tampak tetua Adat di-

bantu oleh anak buah sesepuh desa, tengah mengurus 

mayat sesepuh desa itu. Kaum wanita mencoba meng-

hibur I Ayu Mantini yang masih menangis, sedang para 

pemudanya tampak berjaga-jaga di halaman rumah.

Belum juga mereka tenang, tiba-tiba secepat ki-

lat seekor kuda dengan penunggangnya menerobos di 

antara kerumunan orang-orang dan terus masuk me-

nuju ruangan di mana I Ayu Mantini berada.

Para pemuda segera memburu dan mencoba 

menghalangi niat orang itu, yang tak lain Kardika 

adanya. Namun pemuda-pemuda itu bukan tandingan 

Kardika, terbukti dalam segebrakan saja mereka di-

buat tak berdaya. Melihat hal itu, tetua Adat yang se-

dari tadi diam segera bertindak maju menghadap.

Melihat tetua Adat itu menghadangnya, Kardika 

sesaat melompat mundur. Dipandanginya sesaat, lalu 

ia berkata.

"Ki Abiyasa, mengapa kau ikut campur?" ucap 

Kardika sengit.


"Amitohud.... Hamba minta maaf. Namun ham-

ba sebagai sesepuh Adat seharusnya kewajiban hamba 

melerai keributan ini. Hamba tidak ingin terjadi korban 

yang tak berdosa hanya karena ambisi...."

"Ah... persetan, itu hakku."

"Benar, itu memang hak anda. Tapi anda telah 

menggunakan hak yang salah. Merampas istri orang 

dan membunuh orang tuanya, hal itu tak dapat dibe-

narkan...."

Geram hati Kardika mendengar omongan Ki Ab-

iyasa yang baginya suatu penghalang, maka dengan 

keras Kardika membentak. "Tutup bacotmu, Tua 

bangka! Rupanya kau sekarang berani menentangku. 

Ingat Abiyasa, barang siapa yang menentangku berarti 

memilih mati.,.." Habis berkata begitu, Kardika segera 

menyerang Ki Abiyasa yang segera memapakinya, per-

tarungan pun tak dapat dihindarkan. Melihat hal itu, 

anak-anak muda yang tadi ciut nyalinya kini bangkit 

dan mengurung kedua orang yang sedang bertarung.

Jurus demi jurus dilampaui, sudah hampir tiga 

puluh jurus berlalu, keduanya tampak sama-sama 

tangguh. Ketika sampai jurus ketiga puluh lima, Kar-

dika meloncat mundur.

"Ki Abiyasa, terimalah kematianmu! Aji Wesi 

Geni!"

Kedua tangan Kardika tampak menghitam le-

gam kemerahan laksana besi berani. Ki Abiyasa segera 

surut mundur. Matanya terbelalak kaget, melihat Kar-

dika mengeluarkan ajian yang tak asing baginya.

"Wesi Geni. Apakah Kakang Turangga telah 

menurunkan padanya? Bahaya, sungguh bahaya ka-

lau aji ini dipergunakan oleh orang yang sesat," mem-

batin Ki Abiyasa.

Melihat Ki Abiyasa terdiam, Kardika mengang


gap Ki Abiyasa takut, maka dia pun tertawa bergelak-

gelak mengejek.

"Ha... ha... ha Abiyasa, menyerahlah! Dan jan-

gan campuri urusanku kalau kau tak ingin mampus."

Ki Abiyasa masih tampak tenang dengan penuh 

kewaspadaan. "Kardika, kau jangan sombong. Seting-

gi-tingginya ilmu manusia, belum seberapa dibanding-

kan dengan Yang Wenang. Dan ingat Kardika, mati hi-

dupnya manusia ada di tangan-Nya."

"Bedebah! Akan aku buktikan bahwa aku pun 

dapat mengambil nyawa busukmu.... Hiaaat...!" Tan-

gan Kardika yang sudah disaluri aji Wesi Geni, berke-

lebat mencari sasaran. Ki Abiyasa yang maklum bahwa 

Kardika memang menghendaki nyawanya tak tinggal 

diam, tongkat "Sapu Angin" yang dipegangnya mema-

paki serangan itu. Namun betapa terkejut Ki Abiyasa 

ketika menerima kenyataan. Tongkat Sapu Angin tak 

mampu menahan aji Wesi Geni hingga.... 

"Braak...!" Tongkat Sapu Angin pun patah men-

jadi dua. Ki Abiyasa terhuyung mundur ke belakang 

dan dari mulutnya keluar darah segar. Pemuda-

pemuda yang sedari tadi mengurung segera memburu, 

mengeroyok Kardika. Dikeroyok demikian Kardika bu-

kannya takut, malah sebaliknya. Ia tertawa.

"Minggir!" Bentakan Kardika yang diikuti den-

gan tenaga dalam menjadikan anak-anak muda itu 

terdiam terperangah.

Ketika anak-anak muda itu masih terperangah, 

Kardika secepat kilat berkelebat dan tak lama kemu-

dian di pundaknya telah tergendong I Ayu Mantini 

yang meronta-ronta.

"Lepaskan! Lepaskan aku!!"

"Ha... ha... ha... kau tak bakal mampu, Manis. 

Kau harus ikut aku!"


Dengan ilmu lari cepatnya Kardika membawa 

lari I Ayu Mantini. Pemuda-pemuda itu hendak menge-

jarnya, tapi segera dicegah oleh Ki Abiyasa.

"Percuma kalian mengejar."

"Tapi, Ki...?" Seorang anak muda yang berba-

dan besar mencoba protes. Ki Abiyasa segera bangkit 

dan menghampiri pemuda itu.

"Percuma. Sia-sia, dia bukan tandingan kalian."

"Lalu apa yang harus kami perbuat...?" kembali 

pemuda itu bertanya meminta saran. Ki Abiyasa ter-

diam, dihempaskan nafasnya panjang-panjang, kemu-

dian ia berkata.

"Ini sudah suratan Yang Wenang. Aku tak da-

pat berbuat apa-apa. Sudahlah, mari kita urus mayat 

sesepuh desa." Dengan rasa kecewa pemuda-pemuda 

itu pun akhirnya menurut. Siang itu dengan dipimpin 

tetua Adat, mayat kepala desa disemayamkan.


DUA



Ombak laut Utara bergulung-gulung mene-

piskan pasir-pasir pantai. Siang itu tampak seorang 

pemuda tengah berjalan-jalan menikmati keindahan 

alam sambil bernyanyi-nyanyi.

Ketika dia sedang asyik-asyiknya bernyanyi, 

terdengar suara anak burung mencicit-cicit di atas sa-

rangnya. Hatinya yang penyayang tergugah mendengar 

cicitan anak burung itu.

"Hai... kenapa anak burung itu?" tanya pemu-

da. Sesaat ia mendongak ke atas, lalu dengan sekali 

loncat dia pun telah hinggap di atas cabang pohon, sa-

rang burung itu berada.


"Oh, kenapa kau, Burung kecil...?" tanya sang 

pemuda pada anak burung kecil itu, yang hanya men-

cicit.

"Oh... oh... ibumu pergi? Ke mana...?" 

"Cit... cit..." Burung kecil itu kembali mencicit.

"Mati...! Di bawah!" Seketika pemuda itu me-

nengok ke bawah pohon. Tak jauh dari dia berdiri tadi 

tampak olehnya seekor burung nuri menggeletak, di 

sampingnya menggeletak pula seekor ular.

"Kasihan, kau pipit kecil."

Kala pemuda itu sedang merenungi nasib anak 

burung Pipit dan dirinya yang mengembara mencari 

bapaknya. Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar 

derap langkah kaki kuda menuju ke arahnya.

Dari kejauhan tampak lima orang penunggang 

kuda. Dilihat dari pakaiannya kelima orang itu adalah 

pengawal-pengawal kerajaan.

"Ke mana Kakang Wisesa?" tanya seorang lelaki 

bertubuh besar tinggi, bercambang lebat, pada orang 

yang berjalan dengan kudanya di depan. Orang yang 

dipanggil dengan nama Wisesa memperlambat lari ku-

danya, lalu berhenti tepat di bawah pohon di mana 

pemuda berpakaian sisik ular berada.

"Aku tadi melihat mereka lari ke sini...!" Mata 

Arya Wisesa yang tajam menghujam pada semak-

semak di sekeliling tempat itu. "Hem.... Ke mana per-

ginya mereka? Seakan mereka hilang ditelan bumi." 

Gumam hati Arya Wisesa.

"Apa kakang tidak salah lihat?" tanya Naga Bi-

ru, Naga kedua dari empat Naga Gunung Kapur. Ya... 

keempat orang yang kini bersama Arya Wisesa, tak lain 

dari keempat tokoh silat yang sudah kesohor namanya 

di dunia persilatan pada masa itu. Di samping ilmunya 

yang tinggi, keempat Naga itu terkenal aneh dalam


pendiriannya.

"Tidak, Adik Naga Biru. Namun mengapa mere-

ka bisa raib begitu saja...?"

"Kakang mengenal mereka?" Naga Kuning ber-

tanya.

"Tidak, Adik Naga Kuning mereka memakai to-

peng. Tapi aku punya dugaan bahwa mereka adalah 

kaum pemberontak kerajaan."

"Kenapa kakang memastikan itu?" Kini Naga 

Putih yang angkat bicara. Matanya yang tajam me-

mandang sekeliling, hampir setiap pelosok hutan ba-

kau itu tak lepas dari pandangannya.

"Adik Naga Putih, bukankah adik telah men-

dengar terjadi pemberontakan di kerajaan...?" Naga Pu-

tih mengangguk mengiyakan, sebab dia tahu kenapa ia 

dan saudara-saudaranya dipanggil ke kerajaan. Tak 

lain karena adanya pemberontakan itu yang sampai 

sekarang belum diketahui siapa dalangnya.

"Semalam ketika aku sedang menghadap raja 

bersama kalian, dua orang yang kita kejar telah me-

masuki alun-alun istana dan membuat onar," Arya Wi-

sesa menuturkan apa yang dia dengar dari laporan 

ponggawa istana. "Nah bukankah itu sebagian kecil 

dari aksi pemberontakan...?" Keempat Naga itu men-

gangguk mengerti, kemudian kelimanya terdiam, se-

mentara mata mereka terus mengawasi sekitarnya.

Sementara pemuda yang berada di atas pohon 

yang tak lain Jaka atau Pendekar Siluman Darah 

mendengar pembicaraan mereka, tanpa disadari oleh 

kelima orang yang berada di bawahnya.

"Rupanya kerajaan tengah dilanda musibah 

yang tak enteng, hingga keempat Naga dari Gunung 

Kapur diundang juga. Aku akan berusaha menyelidi-

kinya."


Tak lama berselang setelah kelima orang istana 

berlalu, Jaka Ndableg meninggalkan tempat itu.

* * *

Di sebuah goa, di bawah jurang "Chandra Cip-

ta" tampak seorang lelaki tua sedang duduk. Sementa-

ra di hadapannya seorang pemuda tengah belajar ilmu 

silat. Gerakan-gerakannya yang begitu lincah dan gesit 

ditunjang dengan semangatnya yang tinggi, membuat 

pemuda itu tak kenal lelah,

"Gerakanmu masih kurang, Wayan...." berkata 

lelaki tua yang duduk di depannya pintu goa. "Ingat... 

kakimu dalam menapak masih kurang lincah dan be-

rat. Hal itu akan mengurangi kekuatan ilmumu, sebab 

ilmu Catur Langkah haruslah dilakukan dengan piki-

ran yang tenang dan konsentrasi yang penuh. Nah, la-

kukan lagi hingga benar-benar sempurna. Sebab 

hanya ilmu Catur Langkah yang dapat menandingi aji 

Wesi Geni murid durhaka itu."

"Baik guru. Ijinkanlah murid mengulang dari 

awal kembali."

"Lakukanlah, dan jangan berhenti sebelum aku 

perintahkan." Setelah berkata begitu orang tua itu 

kembali diam, matanya terpejam melakukan meditasi. 

Walaupun matanya terpejam, namun gerak-gerik 

Wayan Saba yang sedang berlatih silat dapat diiku-

tinya.

* * *

"Hidup bagaikan perjalanan 

Yang menuntun kita 'tuk melangkah

Bila kuat iman di dada


Kelak kita akan bahagia

Tapi bila setan yang ada

Neraka dunia yang kita ciptakan...."

Bait-bait itu begitu indah, dilantunkan dengan 

suara merdu, gaungnya berkumandang memantul di 

antara sela-sela bebatuan di gunung itu. Tampak seo-

rang wanita muda sedang duduk di bawah pohon be-

ringin yang rindang. Di tangannya tergenggam sebuah 

boneka kayu. Pandangannya yang kosong, serta pa-

kaiannya yang kumal menandakan bahwa ia tengah 

dilanda guncangan jiwa yang berat.

Seketika wajah yang sedari tadi riang berubah 

menjadi sendu, lalu tanpa sadar ia pun menangis se-

senggukan.

"Bajingan...! Selama orang-orang semacam kau 

masih hidup, dunia tak akan tenang. Kau bunuh 

ayahku, kau bunuh kekasihku, lalu kau rusak diriku, 

hu, hu.... Kau harus mati di tanganku... hi... hi...." Di-

belai-belainya boneka kayu yang sedari tadi ditimang-

nya, diajaknya bercanda. Gadis itu tak sadar kalau 

tingkah lakunya sedari tadi diperhatikan oleh orang 

lain.

"Kasihan. Gadis semuda dan secantik itu harus 

menanggung beban jiwa yang amat berat," membatin 

pemuda yang mengawasinya dengan rasa iba. "Betapa 

banyak orang-orang di dunia ini yang harus menang-

gung derita, hanya karena tingkah sesamanya...."

Ia bermaksud menghampiri gadis itu, namun 

niatnya segera diurungkan, saat telinganya yang tajam 

mendengar seseorang menuju ke situ. Secepatnya ia 

segera bersembunyi di balik semak-semak, sementara 

matanya terus mengawasi pada gadis itu.

"Hi... hi.... Adik manis, rupanya ada orang yang


menuju ke mari," kata gadis gila itu pada bonekanya 

yang masih ditimang-timang. Pemuda yang bersem-

bunyi dibalik semak-semak yang tak lain daripada 

Pendekar Siluman Darah terkejut, mendengar tutur 

kata gadis gila itu.

"Hem.... Rupanya gadis gila itu tahu juga. Sia-

pakah orang yang menuju ke mari? Sepertinya masih 

muda, mau apa dia...?" 

Dari arah Timur seorang pemuda menghampiri 

gadis gila itu, yang tampaknya acuh tak acuh me-

nyambutnya.

"I Ayu Mantini, rupanya kau ada di sini...." ber-

kata pemuda yang baru datang.

Gadis itu hanya memandang sesaat, kemudian 

kembali acuh sambil menimang-nimang bonekanya. 

"Mau apa kau datang ke sini, Mahesa...?" tanyanya 

dengan senyum sinis.

"I Ayu Mantini, Aku diutus oleh Kardika untuk 

membawamu kembali...." Mendengar jawaban pemuda 

yang disebut Mahesa, I Ayu Mantini tertawa bergelak-

gelak seakan ucapan Mahesa lucu. Mahesa menge-

rutkan kening, matanya seketika melotot marah. Ia 

merasa dipermainkan oleh I Ayu Mantini.

"Apa yang engkau tertawakan, I Ayu...?"

"Hi... hi... hi.... Kau lucu, Mahesa." I Ayu Man-

tini bukannya menjawab, malah tertawa cekikikan. 

Panas telinga Mahesa, sepanas hatinya yang sudah 

terbakar oleh celoteh I Ayu Mantini. Belum sempat 

Mahesa berkata, I Ayu Mantini telah meneruskan oce-

hannya.

"Hi... hi.... Mahesa. Ternyata otakmu seperti 

namamu, Kebo."

Mata Mahesa melotot merah. Ia kesal menden-

gar ocehan I Ayu Mantini yang baginya sudah keterla


luan. Namun Mahesa berusaha sabar, karena ia tahu I 

Ayu Mantini sudah gila. Di samping itu ia pun diperin-

tahkan Kardika agar tidak menurunkan tangan pada I 

Ayu Mantini.

"Sinting...! Ayo ikut aku.... Kalau kau bukan 

kekasih Kardika, sudah aku lumatkan mulutnya yang 

ceriwis itu...!" menggeretak Mahesa menahan amarah-

nya. Tapi bagi I Ayu Mantini ucapan Mahesa diang-

gapnya ocehan anak kecil, terbukti I Ayu Mantini kini 

menggandakan tawa.

"Hi... hi... hi.... Kekasih. Siapa yang sudi men-

jadi kekasih Iblis macam tuanmu itu, Kebo...!" Mahesa 

tak dapat menahan amarahnya, disebut Kebo oleh I 

Ayu Mantini. Tangannya yang kekar seketika berkele-

bat hendak menangkap I Ayu Mantini. Namun bagai 

orang bercanda I Ayu Mantini segera berkelit. Tangan 

kanannya yang tak memegang boneka menghantam 

tubuh Mahesa. Mahesa yang tak menyangka akan 

mendapat serangan balasan tak dapat menghindar, 

hingga.... 

"Bugg!" Tubuh Mahesa yang besar dan kokoh, 

terhenyak ke belakang beberapa tombak terkena han-

taman tangan I Ayu Mantini.

Merah muka Mahesa menerima kenyataan itu. 

Matanya menyorot marah, giginya bergeletuk menahan 

kejengkelan. Perlakuan I Ayu Mantini membuat ia tak 

ingat apa yang diperintahkan oleh Kardika.

"Bedebah...! Rupanya kau cari mampus, Orang 

gila...!" Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa segera 

bertindak. Kali ini dia tidak ingin kecolongan lagi, ma-

ka Mahesa pun mengeluarkan ilmu silatnya.

Mahesa tampak bersungguh-sungguh, terbukti 

dalam sepuluh jurus saja, I Ayu Mantini dapat dide-

saknya. Demi melihat gadis gila itu dalam bahaya, Ja


ka yang sedari tadi menonton segera keluar dari per-

sembunyiannya. Tepat ketika tangan jahat Mahesa 

hendak menghantam dada I Ayu Mantini, tiba-tiba...!

"Cuiiittt.... Dest...." Berbareng dengan suara 

suitan nyaring, saat itu pula sebuah pukulan meng-

hantam lengan Mahesa, yang segera menarik mundur 

tangannya. Di hadapannya kini telah berdiri sesosok 

tubuh pemuda, I Ayu Mantini tegak berdiri di belakang 

pemuda itu. Melihat cara kedatangan pemuda, dan ca-

ra menangkisnya Mahesa telah maklum, bahwa pemu-

da yang kini berdiri di hadapannya bukan orang sem-

barangan. Namun sebagai tangan kanan Kardika yang 

sudah kesohor kesaktiannya, pantang baginya untuk 

menyerah dan mengakui ketinggian ilmu lawan. Maka 

dengan lantang ia membentak. "Monyet...! Siapa kau! 

Berani turut campur urusanku...!"

"Monyet? Ha... ha... ha. Aku monyet? Ya, aku 

monyet. Tapi kau.... Kau lebih rendah dari monyet, ka-

rena kau tak tahu belas kasihan," menjawab pemuda 

itu.

"Bedebah..,! Rupanya kau orang gila juga yang 

ingin mampus...!"

Mendengar kata-kata Mahesa, Jaka makin 

menggandakan tawanya. Kali ini tawanya melengking 

disertai dengan tenaga dalam yang tinggi, membuat 

suaranya bergema ke pelosok-pelosok hutan menggi-

dikkan bulu kuduk bagi yang mendengarnya termasuk 

Mahesa. Melihat kenyataan itu Mahesa sadar, bahwa 

orang di hadapannya bukan tandingannya. Mahesa 

yang nyalinya sudah ciut, tanpa pikir panjang segera 

mengambil langkah seribu seraya meninggalkan kata-

kata.

"Anak muda, tunggulah aku di sini...!"

Sepeninggal Mahesa, Jaka yang memang tidak


ada maksud untuk mengejar hanya geleng-geleng ke-

pala melihat tingkah Mahesa. Dihampirinya I Ayu Man-

tini yang masih berdiri mematung.

"Nona, kalau aku boleh tahu, siapa nama No-

na? Dan kenapa orang tadi hendak memaksa Nona un-

tuk ikut dengannya...?"

I Ayu Mantini sesaat memandang pada Jaka, 

ditatapnya lekat-lekat dari ujung kaki sampai ujung 

rambut.

"Terima kasih atas pertolongan Tuan. Aku... 

aku I Ayu Mantini...." I Ayu Mantini kembali menangis. 

Kesadarannya tiba-tiba pulih, dan hal itu membuat 

sangat trenyuh. Maka dengan perlahan Jaka Ndableg 

pun kembali bertanya.

"Kenapa Nona menangis? Siapa orang tadi...?"

"Aku... aku sedih mengenang nasibku yang bu-

ruk ini. Ayahku dibunuh, lalu suamiku entah di mana, 

dan aku sendiri... semua karena ulah bajingan itu. Dia 

telah menghancurkan segalanya... hu... hu..." kembali 

I Ayu Mantini menangis. Jaka Ndableg jadi iba, inga-

tannya kembali pada keadaan dirinya. Ibunya mati 

demi melindungi dirinya, sementara ayahnya... ah en-

tah di mana rimbanya.

"Mengapa kehidupan diwarnai dengan derita...? 

Kenapa sesama manusia harus saling bunuh membu-

nuh, dan memperkosa hak orang lain....'" Seribu per-

tanyaan hadir kembali di hati Jaka Ndableg, hingga 

tanpa sadar Jaka Ndableg pun meneteskan air mata.

"Siapa yang membunuh ayahmu?" Bertanya 

Jaka Ndableg pada I Ayu Mantini setelah dia dapat 

menenangkan suasana hatinya.

Mendengar pertanyaan Jaka Ndableg, kenangan 

pahit yang dialaminya kini tergugah lagi. Sambil men-

gusap air matanya, I Ayu Mantini pun mengisahkan


kembali tentang apa yang telah menimpa dirinya, 

ayahnya, serta suaminya yang kini entah di mana be-

rada.

Mendengar penuturan I Ayu Mantini yang begi-

tu mengharukan, rasa kemanusiaan Jaka atau Pende-

kar Siluman Darah tergugah. Tak dirasakan olehnya, 

air matanya pun menetes di pipinya. "Ah, kenapa aku 

menangis?" Seketika Jaka Ndableg segera menyadari 

akan dirinya. Setelah dapat menguasai diri, Jaka 

Ndableg pun berkata pada I Ayu Mantini.

"I Ayu Mantini. Hidup bukan untuk terus berla-

rut dalam kesedihan, tapi hidup untuk dihayati dan 

diamalkan. Seperti sebait syair yang barusan kau 

ucapkan. Nah, untuk itu janganlah kau terpengaruh 

dengan jalannya kehidupan yang telah direncanakan 

oleh Yang Maha Esa. Kita tidak boleh menaruh den-

dam, sebaliknya kita harus dapat menyadarkan orang 

yang salah. Namun bila hal itu tidak dapatinya, baru-

lah kita bertindak, juga bukan lantaran dendam. Se-

bab dendam-mendendam tak akan pernah habis, se-

bab itu adalah dorongan nafsu setan semata agar kita 

terbawa olehnya...." Sesaat Jaka Ndableg memandang 

pada I Ayu Mantini yang tertunduk mendengar penu-

turannya, kemudian Jaka Ndableg meneruskan uca-

pannya.

"Aku rasa, aku hanya dapat memberikan saran. 

Sementara pelaksanaannya itu aku serahkan kembali 

padamu. Hanya itu yang dapat aku berikan, dan ijin-

kanlah aku pergi...."

"Tuan pendekar...." I Ayu Mantini yang sedari 

tadi mendengarkan penuturan Jaka Ndableg, kini 

mendongakkan mukanya memanggil Jaka Ndableg ka-

la hendak melangkah pergi. Jaka Ndableg segera 

menghentikan langkahnya, kemudian berpaling meng


hadap pada I Ayu Mantini.

"Ada apa..?" tanyanya.

I Ayu Mantini sesaat kembali terdiam, matanya 

yang sayu namun tidak menghilangkan keindahannya 

menatap lekat pada Jaka Ndableg. Sejenak ia berbuat 

begitu, lalu iapun berkata. "Bolehkah aku meminta to-

long sekali lagi...?"

Jaka Ndableg sejurus terdiam, membalas me-

mandang pada I Ayu Mantini yang seketika tertunduk 

malu.

"Apa yang dapat aku tolong? Katakanlah, bila 

aku dapat aku akan memberikannya. Namun bila aku 

tak mampu, aku minta maaf...."

Kini I Ayu Mantini kembali berani menatap wa-

jah Jaka Ndableg, senyumnya mengembang di bibirnya 

yang sedari tadi terkatup.

"Bawalah aku ke mana saja Tuan pendekar 

akan pergi...."

"Ah...?" Desahan itu tiba-tiba keluar dari mulut 

Jaka, sebab ia tak menyangka akan menerima permin-

taan semacam itu.

"Kenapa, Tuan Pendekar...? Apa Tuan Pendekar 

merasa keberatan...?"

"Ti... tidak. Tapi aku adalah seorang pengelana, 

tujuanku tak tentu arah. Ke mana kaki melangkah itu-

lah tujuanku. Aku takut kau menderita bersamaku."

"Tidak, Tuan Pendekar. Hidupku kini hanya se-

batang kara, tak punya sanak-saudara, entah itu mati 

atau di mana. Sudah tekadku untuk mengabdi pada 

orang yang telah menyelamatkan jiwaku."

Jaka sesaat terdiam. Di dalam hatinya berke-

camuk pertanyaan yang berbeda. Pertama ia harus ke 

kota raja untuk menyelidiki kerajaan yang sedang di-

landa kerusuhan oleh pemberontak. Tak mungkin me


libatkan I Ayu Mantini. Kedua masalah permintaan I 

Ayu Mantini. Hal ini menyangkut rasa kemanusiaan. 

Akankah ia tega meninggalkan I Ayu Mantini? Semen-

tara ia mengawatirkan gadis itu? Bagaimana kalau 

nanti anak buah Kardika datang...? Akhirnya... demi 

rasa kemanusiaan. Jaka Ndableg pun memilih menga-

jak I Ayu Mantini ke kota raja.

"Baiklah, I Ayu Mantini. Aku memperbolehkan 

kau ikut denganku, tapi bukan aku ingin dilayani 

olehmu. Anggap saja kita berdua adalah saudara!" 

Mendengar perkataan Jaka Ndableg yang mau mene-

rimanya, seketika I Ayu Mantini menjura hormat.

"Terima kasih, Tuan Pendekar,..."

"Jangan begitu, aku bukan raja tak pantas un-

tuk kau sembah. Sudahlah, mari kita segera pergi...." 

Jaka Ndableg dan I Ayu Mantini baru saja hendak me-

ninggalkan hutan itu, ketika terdengar suara bentakan 

dari arah belakang. 

"Tunggu...! Jangan pergi dulu...."

Jaka Ndableg segera mengurungkan langkah-

nya. Dibalikkan tubuhnya menghadap pada asal suara 

itu. Tampak lima orang lelaki menuju ke arahnya. Sa-

lah satu dari mereka sudah ia kenal, yaitu Mahesa 

adanya.

Sambil menunggu kedatangan kelima lelaki itu, 

Jaka Ndableg menyuruh I Ayu Mantini untuk bersem-

bunyi. "Pergilah bersembunyi.... Biar mereka aku tan-

gani. Cepatlah!" Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, I 

Ayu Mantini pun menuruti apa yang dikatakan oleh 

tuan pendekarnya, bersembunyi di balik semak-

semak.

"Ada apa, Ki sanak? Hingga Ki sanak menghen-

tikan langkahku...?" tanya Jaka atau Pendekar Silu-

man Darah, seakan-akan tak mengerti persoalannya.


"Jangan pura-pura bodoh, Anak muda. Di ma-

na kau sembunyikan gadis tadi...!"

Membentak Mahesa jengkel. Jaka Ndableg ter-

senyum tenang, dengan lagak konyol ia bertanya. "Ga-

dis yang mana, yang kisanak maksudkan..."

Mahesa Dungkul menyapukan pandangannya 

ke sekitar tempat itu, namun I Ayu Mantini tak dite-

mukannya. Maka rasa kekesalannya, dilampiaskannya 

pada Jaka Ndableg seraya membentak.

"Kau sembunyikan di mana gadis itu...?"

"Aku tidak menyembunyikannya. Dia telah per-

gi dari sini," berdusta Jaka Ndableg, membuat Mahesa 

yang memang sebenarnya ingin mencoba ilmu yang 

dimiliki Jaka Ndableg jadi marah. Dengan lantang Ma-

hesa berkata.

"Anak muda, siapa namamu? Jangan kau mati 

tanpa diketahui namanya...!"

Jaka Ndableg tersenyum tenang.

"Ha, ha... ha... ha.... Apa arti sebuah nama. 

Aku adalah aku, tentang mati hidupku aku rasa bukan 

urusan kalian, tapi urusan Yang Wenang...."

Mendidih darah kelima anak buah Kardika. Be-

lum pernah mereka diejek dan disepelekan seperti se-

karang ini. Melihat yang mengejek anak masih muda 

keempat orangnya Mahesa tak sabar hendak menye-

rang.

"Tunggu...!" Mahesa melarangnya.

"Kenapa...? Kau takut, Mahesa...?" tanya salah 

seorang dari mereka yang wajahnya seram. Golok yang 

di tangannya hendak diayunkan ke tubuh Jaka Ndab-

leg.

"Darga, sabar...! Jangan kau anggap enteng 

dia." Mahesa hendak mencegah, namun Darga tampak 

sudah tak dapat menahan emosinya. Di samping itu ia

tidak yakin kalau pemuda yang sedang dihadapinya 

memiliki ilmu yang tinggi. Maka Darga pun segera me-

nyerang Jaka Ndableg dengan tebasan goloknya.

Jaka Ndableg yang tidak menyangka akan 

mendapat serangan yang begitu tiba-tiba, tersentak ju-

ga. Hampir saja kepalanya tertebas golok besar di tan-

gan Darga, kalau saja Jaka Ndableg tidak menunduk-

kan kepala. Dalam keadaan seperti itu Jaka Ndableg 

masih berupaya menyadarkan penyerangnya.

"Tunggu...! Mengapa kalian memusuhi ku...? 

Bukankah di antara kita tak ada silang sengketa...?" 

Melihat Jaka Ndableg mundur dari serangan Darga, 

hati Mahesa menjadi besar. Dikiranya Jaka Ndableg 

takut menghadapi Darga. Dengan lantang Mahesa ber-

seru. "Anak muda.... Kau telah berani mencampuri 

urusanku dan telah berani menyembunyikan serta me-

lindungi I Ayu Mantini. Nah, itulah silang sengketa di 

antara kita...!"

"Picik...!" memaki Jaka Ndableg. "Baik...! Kalian 

rupanya manusia-manusia berhati iblis. Kalian sudah 

tak berperikemanusiaan. Kalau kalian menginginkan

nyawaku karena aku melindungi orang yang tak ber-

daya, lakukan...!"

Mendengar omongan Jaka Ndableg, kelima 

orang anak buah Kardika tanpa sungkan-sungkan lagi 

segera mengurung dengan senjata di tangan masing-

masing. Mahesa yang sudah tahu tingginya ilmu anak 

muda itu, memberi tahu pada anak buahnya untuk 

berhati-hati.

"Anak muda. Kalau kau ingin selamat katakan 

di mana kau sembunyikan gadis itu, cepat!" Mahesa 

masih bertanya. Sebenarnya ia sungkan untuk meng-

hadapi Jaka Ndableg yang sudah ia ketahui ketinggian 

ilmunya. Ia berusaha mencari jalan yang halus saja,


namun Jaka Ndableg atau Pendekar Siluman Darah 

hanya tertawa bergelak-gelak.

"Ha... ha... ha.... Sudah aku katakan pada ka-

lian. Bila kalian menginginkan gadis yang tak berdaya 

itu, aku tak akan memberikannya. Apakah kalian su-

dah tuli, hingga tak mendengar...?"

Mendengar ejekan Jaka Ndableg, kelima orang 

yang dipimpin oleh Mahesa menjadi panas. Apalagi si 

Darga yang merasa unggulan. Dengan tak memandang 

sebelah mata pun pada Jaka Ndableg, ia membentak.

"Bedebah...! Kau belum kenal aku. Tapi kalau 

sudah di neraka kau baru tahu dan menyesal." Jaka 

Ndableg kembali tertawa bergelak-gelak hingga pa-

kaian berkilat-kilat terpantul cahaya matahari mengi-

kuti irama tubuhnya.

Merasa tak ada gunanya lagi bicara dengan Ja-

ka Ndableg, secepat kilat kelima orang itu segera men-

gurung.

Dikeroyok oleh lima orang bersenjata tidak 

menjadikan Jaka Ndableg bingung, malah dengan ter-

tawa-tawa dia meladeni serangan kelimanya. Pertarun-

gan lima melawan satu pun berlanjut. Jurus demi ju-

rus terlampaui, namun Jaka Ndableg yang tak mau 

menurunkan tangan jahat masih berkelit menghindari 

serangan kelima pengeroyoknya. 

Melihat hal itu, I Ayu Mantini menjadi was-was 

juga. Ia telah tahu akan kehebatan ilmu golok yang 

dimiliki oleh Empat Setan Golok. Dugaan I Ayu Mantini 

tampak tidak meleset, terbukti kini Jaka Ndableg da-

pat dipepet. Perasaan was-was melanda I Ayu Mantini, 

hingga keringat dingin tak terasa mengucur deras di 

pelipisnya.

Jaka Ndableg yang sudah terpepet bukannya 

grogi, bahkan sebaliknya. Dengan terlebih dahulu


mengeluarkan gelak tawanya yang melengking, Jaka 

Ndableg segera mengubah jurusnya, Dewa Topan Me-

landa Karang. Tangan Jaka Ndableg seketika berubah. 

Tampak oleh kelima pengeroyoknya, tangan Jaka 

Ndableg menjadi beribu-ribu banyaknya.

Kelima pengeroyoknya tersentak kaget melihat 

hal itu. Namun belum sempat mereka dapat menye-

suaikan keadaan dari keterkejutannya, terdengar sua-

ra pekik tiga orang teman mereka yang menggelepar-

gelepar dengan badan membiru dan menggigil kedingi-

nan. Hal ini makin membuat ciut nyali Mahesa dan 

Darga. Itulah keampuhan aji Dewa Topan Melanda Ka-

rang. Jangankan manusia, batu karang yang kokoh 

pun akan runtuh.

Jaka Ndableg melompat mundur. Ia tersentak 

dan menyesal telah melepaskan tangan keras pada la-

wannya. Setelah dapat menguasai suasana, Jaka 

Ndableg berkata pada kedua orang yang masih hidup.

"Cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku be-

rubah pendirian!"

Mahesa dan Darga yang sudah ciut nyalinya 

tanpa malu-malu segera berlari meninggalkan Jaka 

Ndableg.

Jaka Ndableg segera duduk sujud menghadap 

ke Barat dan dari mulutnya terdengar suara penyesa-

lan.

"Ampun guru. Sebenarnya murid tak bermak-

sud menurunkan tangan jahat. Tapi orang-orang itu 

telah memaksanya." Setelah berkata begitu, Jaka 

Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah me-

nundukkan kepalanya.

Dari arah Timur I Ayu Mantini keluar dari se-

mak-semak menghampiri Jaka, yang masih terdiam 

membisu sambil sujud.


"Pendekar!"

Jaka Ndableg segera memalingkan wajahnya 

memandang pada asal suara itu.

"Tak usah tuan pendekar menyesali tindakan 

tuan. Dibandingkan apa yang tuan lakukan, belum se-

berapa dengan perbuatan mereka yang banyak mem-

buat kejahatan." I Ayu Mantini mencoba menyadarkan 

Jaka Ndableg dari penyesalannya. Perlahan Jaka 

Ndableg bangkit dan dihampirinya ketiga mayat itu. 

Setelah menguburkan mayat-mayat itu, keduanya pun 

berlalu meninggalkan hutan itu menuju ke kota raja. 

* * *

"Duer...!" Terdengar meja dihempas oleh tangan 

Kardika. Seketika meja itu hancur berantakan. Wajah 

Kardika tampak merona merah, pertanda marah. Di-

pandanginya satu persatu wajah Mahesa dan Darga 

yang tertunduk, tak berani memandanginya.

"Baru menghadapi kroco kalian kalah! Bagai-

mana kalian jadi prajurit nanti! Memalukan...! Di ma-

na iblis Tangan Bisa...?"

"Dia sedang pergi, Kakang." jawab Mahesa 

memberanikan diri.

"Sudah. Kalian pergi dan jangan ganggu aku 

dulu. Bodoh!" Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, 

Mahesa dan Darga berlalu meninggalkan Kardika.

Kardika merenung, dalam hatinya ia bertanya-

tanya, "Siapa pemuda itu...? Hingga Empat Setan Go-

lok yang sudah terkenal itu dapat dengan mudah dija-

tuhkan olehnya?"

Belum habis pikiran Kardika pada pemuda itu, 

dari luar seorang lelaki setengah baya bersama seorang 

gadis cantik menghadapnya.


"Selamat sore, Tuan." sapa lelaki setengah tua 

itu dengan hormat. Kardika tersentak, ditatapnya lela-

ki setengah baya bersama gadis di sampingnya.

"Sangkumi, inikah yang kau maksud...?" tanya 

Kardika sambil mendekat ke arah gadis yang berdiri di 

samping Sangkumi.

"Benar, Tuan. Namanya Delima," menjawab 

Sangkumi cengar-cengir.

"Ha... ha... ha.... Cah ayu, di sini kau akan se-

nang, ayo." Diajaknya Delima menuju ke dalam. Sang-

kumi melihatnya hanya meleletkan lidah. Ia tahu apa 

yang akan diperbuat oleh Kardika pada gadis itu.

Sebelum masuk ke dalam kamar, ia segera me-

nengok ke arah Sangkumi yang masih berdiri di pintu 

depan.

"Sangkumi... kau boleh istirahat dan berse-

nang-senang dengan gadis yang di gudang. Pilih oleh-

mu yang kau sukai!"

"Terima kasih, Tuan...."

"Sangkumi, suruh yang lainnya untuk ikut ber-

samamu."

"Baik, Tuan...." Sangkumi berlalu meninggalkan 

Kardika yang telah masuk ke kamar mengikuti Delima 

dan menutup pintu kamar itu. Delima tersenyum me-

lihat kelakuan Kardika yang sudah tak sabar lagi. Hal 

itu membuat Delima sengaja mempermainkannya. Di-

bukanya kancing bajunya perlahan, hingga mata Kar-

dika melotot tak berkedip. Darahnya seketika memun-

cak ke ubun-ubun. Maka tanpa sabar ditubruknya tu-

buh Delima bagai macan kelaparan. Delima menggelin-

jang kegelian, kala kumis Kardika yang lebat menyen-

tuh lehernya yang jenjang dan mulus.

Belum sampai kedua manusia yang dilanda 

nafsu syetan itu bertindak jauh, tiba-tiba terdengar da


ri luar seseorang berseru.

"Kardika...! Iblis keparat, keluar kau...!" Suara 

itu begitu lantang, hingga membuat Kardika tersentak 

dan mengurungkan niatnya. Dirapikan pakaiannya, la-

lu dengan segera ia meloncat keluar tanpa menghirau-

kan Delima lagi.

"Bangsat...! Siapa yang berani mencari mam-

pus...! Hem.... Kau Eka Paksi, mau apa kau datang ke 

mari? Apa ingin mengantar nyawamu yang busuk 

itu...?"

Eka Paksi tertawa bergelak-gelak. Lalu ia pun 

berkata dengan nada dingin. "Kardika, lama kita tak 

berjumpa. Rupanya kebahagiaan sedang melanda mu

hingga kau lupa pada sahabat lama."

Kardika tersenyum, ia tahu apa yang tersem-

bunyi dalam ucapan Eka Paksi. Namun Kardika yang 

merasa aji Wesi Geninya sudah tinggi, tak merasa gen-

tar sekalipun.

"Oh.... Maaf. Bukannya aku lupa. Tapi karena 

kau datang tanpa memberitahukan dulu, jadi aku tak 

dapat menyambutmu dengan meriah...." Mata Kardika 

tampak tak berkedip memandang pada Eka Paksi. Eka 

Paksi tertawa ganda mendengar ucapan Kardika, wa-

lau hatinya membatin; "Licik...!"

"Kardika, aku tak mau bertele-tele. Tentunya 

kau tahu akan apa yang menjadi maksudku datang ke 

mari...." Kardika tertawa bergelak-gelak, mendengar 

apa yang diucapkan Eka Paksi. Dari sorot matanya, 

terlihat sebuah kebencian pada Eka Paksi.

"Ha... ha... ha.... Jangan kuatir, Eka Paksi. Aku 

bukanlah tipe pembohong. Untuk itu marilah masuk 

dulu, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Mana anak bua-

hku...?" tanya Kardika seakan pada diri sendiri, ma-

tanya mengawasi sekelilingnya. "Sepi, ke mana mereka


semua?" Belum habis Kardika bertanya-tanya dalam 

hati, terdengar Eka Paksi kembali tertawa bergelak-

gelak.

"Kardika...! Maaf, aku telah membantu anak 

buahmu untuk sekedar tidur. Mungkin semalaman 

mereka berjaga...."

"Hem... Rupanya ada kemajuan yang pesat di-

dapat oleh Eka Paksi, hingga Sangkumi yang ilmunya 

setara denganku tak mampu menghadapinya.... Aku 

harus memakai cara halus," membatin Kardika, demi 

mendengar anak buahnya termasuk Sangkumi dapat 

diperdayai oleh Eka Paksi.

Melihat Kardika terdiam, Eka Paksi seketika 

berpikir. "Dia sedang mempersiapkan cara apa lagi un-

tuk menjebakku?" tanya hati Eka Paksi.

Karena dalam hati mereka saling bertanya-

tanya pada diri sendiri, untuk sekian lama keduanya 

terdiam. Mata-mata mereka yang tajam dan liar, tam-

pak saling beradu hendak mengukur sampai di mana 

tingkat ilmu lawan.

Kardika yang menyadari bahwa Eka Paksi terus 

memandangnya segera berseru:

"Eka Paksi...! Mari, jangan sungkan-sungkan. 

Tak enak bila kita membicarakan hal itu di luar. Apa 

kau tak takut ada pihak ketiga yang mengeta-

huinya...?"

Eka Paksi tertawa bergelak-gelak, kepalanya 

mengangguk-angguk mengiyakan. "Baik, Kardika. Me-

mang tak baik kalau kita membicarakan hal itu di 

luar." Dengan sekali loncat, tubuh Eka Paksi yang tadi 

berjarak sepuluh tombak kini telah berdiri di hadapan 

Kardika.

Belum juga Eka Paksi menginjakkan kakinya 

ke tanah, seketika Kardika yang licik tanpa sepengeta


huan Eka Paksi telah menghantamkan aji Wesi Ge-

ninya. Hal itu membuat Eka Paksi tak dapat berkelit. 

Dan! 

"Deupbb!" Tangan kanan Kardika yang sudah 

disalurkan aji Wesi Geni, mendarat telak di ulu hati 

Eka Paksi yang langsung terhuyung ke belakang dua 

tombak. Mulut Eka Paksi menyemburkan darah segar.

"Li... cik. Kau... kau...." Eka Paksi yang sudah 

parah masih mencoba bertahan dan hendak memba-

las. Namun akibat pukulan Wesi Geni yang ganas, Eka 

Paksi pun tak mampu untuk menjangkau dan ambruk 

ke tanah.

Melihat teman sekaligus musuh besarnya telah 

mati, Kardika tertawa lepas penuh kemenangan. Ka-

kinya dihentakkan di atas tubuh Eka Paksi.

"Ha... ha... ha... Ambillah pusaka mu di neraka 

sana, Paksi!"

Tiba-tiba tanda diketahui oleh Kardika sebe-

lumnya, gadis yang bernama Delima telah menyerang. 

Sebuah pukulan telak Delima, menghantam di pung-

gungnya. Kartika sempoyongan, dipandanginya Delima 

yang tadi menyerang dari belakang.

"Kau... kau.... Iblis betina....!" Belum habis Kar-

dika berbicara, Delima segera menyerang kembali. Me-

lihat hal itu, Kardika segera berkelit dan membalas 

menyerang.

"Hari ini tamatlah riwayatmu, Jahanam...!" 

membentak Delima sembari melancarkan serangan-

nya. Kardika yang sudah sadar bahwa dirinya telah di-

tipu mentah-mentah oleh gadis itu, emosinya segera 

meledak. Tanpa memperdulikan bahwa gadis itu tadi 

dicumbunya, Kardika segera membalik menyerang.

Tadinya Kardika tidak begitu sungguh-sungguh 

melayani gadis itu. Namun demi dilihatnya gadis itu


bukan wanita sembarangan, Kardika pun tanpa sung-

kan-sungkan langsung mengeluarkan ajiannya, Wesi 

Geni. Terperanjat gadis itu, demi melihat ajian yang 

baru saja membunuh Eka Paksi. Delima pun segera 

melompat mundur.

Wajah Delima nampak pucat pasi. Dari mulut-

nya keluar seruan kaget. "Ajian Wesi Geni!"

"Menyerahlah, Manis. Kau tak akan mampu 

melawanku, lebih baik kau menyerah dan mau me-

layaniku."

Tangan Kardika bergerak cepat, hendak men-

cengkeram pundak Delima. Manakala tangan itu ma-

kin mendekat, terdengar sebuah tiupan angin kencang 

menangkis.

"Dessssttt...!"

Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan ber-

kelebat dan menyambar tubuh Delima. Dibawanya tu-

buh Delima pergi, sehingga membuat Kardika gusar. 

Namun bayangan itu telah jauh berlalu, tinggallah 

Kardika yang mencaci maki penuh kemarahan dan ke-

gusaran.


TIGA



Lima tahun Wayan Saba terkurung di jurang 

Kendala Sukma, digembleng oleh seorang guru yang 

bernama Ki Turangga Bayu. Lima tahun bukanlah 

waktu yang pendek hingga tampak Wayan Saba seka-

rang, berbeda dengan yang dulu. Dulu di wajahnya tak 

ada goretan-goretan usia, juga tak ada kumis dan 

jenggot yang tubuh. Namun sekarang goretan usia 

tampak mengukir di keningnya juga jenggot dan ku-

misnya begitu lebat.


Pagi telah datang, menggantikan gelapnya ma-

lam yang telah setia menyelimuti bumi. Wayan Saba 

tampak tengah duduk di antara himpitan batu-batu 

cadas. Ia tengah menjalani ujian akhir. Tapa Brata Pati 

Geni, tidak makan dan tidak minum selama sebulan 

penuh.

Dari luar goa seorang lelaki tua renta meng-

hampiri, di bibirnya tergerai senyuman. Diangguk-

anggukkan kepala sepertinya puas.

"Wayan Saba, bangunlah! Sudah cukup olehmu 

melakukan tapa brata." Terdengar Ki Turangga Bayu 

berkata. Perlahan, mata Wayan Saba yang sedari tadi 

terpejam membuka dan sesaat menatap pada lelaki tua 

yang tengah berdiri di hadapannya. Lalu tanpa diperin-

tah, Wayan Saba pun segera bersujud.

"Ampun, guru. Ada gerangan apa hingga guru 

membangunkan tapaku?"

"Muridku...lima tahun sudah kau di sini. Dan 

lima tahun pula kau telah menimba ilmu padaku. Kini 

segala ilmu yang kumiliki telah berpindah pada dirimu. 

Apakah kau tak ingin menjenguk istrimu? Apakah kau 

tak ingin menikmati alam kebebasan?" tanya sang 

guru.

Wayan Saba sesaat terdiam, memandang wajah 

sang guru dengan segenap keharuannya.

"Ampun, Guru... bukannya hamba hendak me-

nentang ucapan guru. Betapa beratnya hati hamba bi-

la harus meninggalkan guru. Lagipula, tak ada gu-

nanya murid pergi ke dunia bebas yang penuh dengan 

segala macam persoalan."

Mendengar perkataan Wayan Saba, Ki Turang-

ga Bayu menggelengkan kepala, Dengan penuturan 

yang bijak, Ki Turangga Bayu berkata: "Wayan, aku 

tahu perasaan hatimu. Tapi sebagai seorang pendekar,


kau dituntut untuk menghadapi segala kenyataan di 

dunia persilatan. Apalah artinya seorang pendekar, bi-

la tak berani menghadapi liku-liku dunianya. Kita se-

bagai seorang persilatan harus mempunyai tujuan. 

Apalah artinya ilmu yang kita miliki, bila tidak kita gu-

nakan...."

Wayan Saba terdiam mendengar petuah sang 

guru, hatinya membenarkan. Namun perasaannya se-

bagai seorang manusia yang mengerti akan balas budi, 

merupakan beban berat bila harus berpisah dengan 

sang guru yang telah sekian tahun menggemblengnya.

Sang guru yang mengerti akan perasaan mu-

ridnya, segera meneruskan ucapannya.

"Wayan. Manusia hidup perlu saling tolong me-

nolong. Dan sebagai manusia yang berbudi pekerti ser-

ta berbudaya, tak ada pamrih untuk menolong sesa-

manya yang memang membutuhkan. Janganlah kau 

terlalu memikirkan diriku. Masih banyak orang yang 

menderita oleh kesewenang-wenangan orang lain, yang 

membutuhkan pertolongan orang-orang sepertimu. 

Gunakanlah ilmu yang telah kau dapati untuk kebena-

ran, kau mengerti bukan...?"

Wayan Saba mengangguk. Ucapan-ucapan gu-

runya pemberi semangat untuk kembali ke dunia be-

bas, yang telah sekian lama ia tinggalkan.

"Terima kasih atas segala budi baik guru, yang 

dengan ikhlas telah membimbing ku. Mungkin bila tak 

ada guru, telah menjadi apa diriku ini." Wayan Saba 

tak dapat lagi menahan air matanya. Ia menangis, dan 

sujud memeluk kaki Ki Turangga Bayu.

"Jangan cengeng, Wayan. Seorang pendekar 

pantang untuk menangis," berkata Ki Turangga Bayu 

membuat Wayan Seba segera sadar dan mengusap air 

matanya. Sang guru tersenyum.


"Wayan. Hari ini juga kau boleh pergi...."

"Tapi, Guru...?"

"Jangan membantah, Wayan."

"Ampun, Guru. Murid akan selalu menjunjung 

tinggi ucapan guru."

"Bagus...." berkata Ki Turangga Bayu, di bibir-

nya tampak tersungging senyum. "Pergilah sekarang. 

Carilah olehmu murid durhaka itu, mintalah buku ki-

tab aji Wesi Geni yang ia curi."

"Bagaimana jika ia melawan, Guru...?" tanya 

Wayan Saba.

"Hem... kau masih ingat apa yang pernah aku 

katakan padamu?" sang guru balik bertanya. Sesaat 

Wayan terdiam, mengingat satu persatu petuah yang 

telah diberikan gurunya.

"Masih, Guru."

"Apa itu...? Katakanlah?"

Ditariknya napas dalam-dalam oleh Wayan, se-

belum akhirnya berkata:

"Seorang pendekar, tidak akan melawan bila ti-

dak ada perlawanan. Seorang pendekar tidak akan 

menyakiti, bila tidak disakiti terlebih dahulu. Baginya 

kepentingan orang banyak lebih utama daripada ke-

pentingan diri sendiri."

Tersenyum senang Ki Turangga Bayu, demi 

mendengar ucapan muridnya.

"Nah, Wayan. Dengan ucapanmu tadi, aku rasa 

kau mengerti apa yang harus kau lakukan jika Kardika 

melawanmu. Sebentar lagi hari akan siang, pergilah. 

Cari dia. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau bertindak 

berlandaskan dendam pribadi. Bertindaklah karena 

membela orang yang lemah."

Setelah sujud pada gurunya dan meminta res-

tu, Wayan Saba pun meninggalkan jurang Kendala


Sukma.

Dengan cara melompat dari tebing yang satu ke 

tebing lainnya, akhirnya berhasil juga Wayan Saba 

sampai di atas.

"Ah... lima tahun sudah aku terkurung di ju-

rang ini. Lima tahun pula aku tak melihat kejadian-

kejadian di muka bumi ini," berkata hati Wayan. Se-

saat ditatapnya mentari yang merah, yang baru mun-

cul di atas permukaan bumi. Ditariknya napas dalam-

dalam, sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan tepi 

jurang itu.

* * *

Di sebuah kedai, siang itu tampak banyak pen-

gunjungnya. Kedai itu milik pak Romli yang mempu-

nyai seorang anak gadis cantik dan bahenol bernama 

Romilah. Umumnya para pengunjung kedai bukan un-

tuk makan semata, namun yang lain dari pada itu ada-

lah ingin dapat melihat sekaligus bercanda dengan 

Romilah.

Dari luar dua anak muda memasuki kedai itu. 

Tanpa memperdulikan orang-orang yang memperhati-

kannya, kedua pemuda itu segera mengambil tempat 

di sudut sebelah Barat kedai. Tak lama kemudian, seo-

rang pelayan datang menghampiri mereka. Pelayan itu 

yang tak lain Romilah adanya, dengan genit meng-

hampiri serta bertanya.

"Rupanya tuan-tuan datang dari jauh, dan baru 

kali ini datang ke mari?"

Kedua pemuda itu yang ternyata Jaka Ndableg 

dan I Ayu Mantini tersenyum mengangguk, sembari 

memperhatikan tingkah Romilah.

Melihat kedua pemuda itu memperhatikannya,


Romilah menganggap mereka tertarik pada penampi-

lannya. Maka dengan makin genit ia kembali bertanya.

"Pesan apa, Tuan-tuan...?" Dikerlingkan ma-

tanya pada Jaka yang tersenyum, membuat I Ayu 

Mantini dongkol hatinya. 

Di samping itu juga karena ada rasa cemburu 

di hatinya. Sejak mereka jalan bersama, tanpa tersada-

ri di hati I Ayu Mantini tumbuh perasaan lain pada Ja-

ka. Perasaan yang sulit diutarakan dengan kata-kata. 

Namun untuk menyampaikannya pada Jaka ia tak be-

rani.

"Kau pesan apa, Dewa?" bertanya Jaka pada I 

Ayu yang mengganti namanya dengan Dewa, I Ayu 

hendak tertawa, namun segera diurungkannya men-

gingat ia dalam penyamaran. Maka dengan suara lirih, 

I Ayu berkata: "Nasi dan air putih."

"Hanya nasi putih saja?" bertanya Romilah 

sambil menyibirkan bibirnya, membuat I Ayu yang su-

dah muak dan kesal melototkan mata. Jaka yang meli-

hat I Ayu melotot segera berkata menengahi.

"Maaf... temanku memesan nasi, bukan nasi 

putih saja, tapi sekaligus dengan lauknya. Bukan begi-

tu, Dewa?"

"Ooh...." desis Romilah mengerti.

Lalu dengan gayanya yang genit, Romilah kem-

bali bertanya yang ditujukan kepada Jaka: "Lalu 

tuan...?"

"Sama dengan temanku," jawab Jaka singkat. 

Ia pun merasa bosan melihat tingkah laku Romilah 

yang centil. Hanya ada satu jalan untuk mengusirnya, 

yaitu dengan cara meminta makanan secepatnya. Dan 

memang benar, Romilah pun segera bergegas pergi 

meninggalkan keduanya yang hanya geleng-geleng ke-

pala.


Tak lama antaranya, pesanan mereka pun da-

tang. Dengan tanpa bicara lagi keduanya segera me-

nyantap makanan itu. Sedang keduanya menikmati 

santapannya, dari arah pintu tiga orang lelaki berwa-

jah angker memasuki kedai yang dengan kasar memin-

ta makan.

"Hai...! Kasih kami tiga piring nasi rames, sam-

bel dan jengkol serta tuak. Cepat...!" berkata salah seo-

rang dari mereka dengan membentak, hingga pelayan 

yang menghampiri tampak ketakutan. Dengan terbata-

bata pelayan itu berkata; "I... ia, Tuan. Ha... hanya i... 

itu?" 

"Ia...! Cepat...!" Melotot mata orang kedua dari 

ketiganya, menjadikan pelayan itu makin ketakutan. 

Hingga tanpa diperintah lagi, pelayan itu segera pergi.

Tak lama kemudian pelayan itu kembali dengan 

membawa pesanan ketiga orang itu.

Ketika pelayan itu lewat di depannya, Jaka se-

gera menghentikan dan bertanya: "Siapa ketiga orang 

itu?"

Ditanya seperti itu oleh Jaka, pelayan itu ter-

diam. Di matanya tergambar ketakutan yang amat 

sangat.

"Kenapa terdiam, Pak?" tanya Jaka mengulang.

Belum juga pelayan itu menjawab, tiba-tiba 

terdengar suara salah seorang dari mereka berkata 

dengan congkaknya.

"Hai, Bocah. Apa perlunya kau berbisik-bisik 

dengan orang dungu seperti dia. Kalau kau ingin tahu 

siapa kami, dengarlah! Kami dijuluki oleh orang-orang 

di sekitar sini Tiga Harimau Iblis. Nah... untuk kali ini 

aku maafkan tingkahmu yang sok ingin tahu, karena 

kau rupanya orang baru di sini. Sekarang, enyahlah 

dari hadapan kami."


Jaka hanya tertawa mendengar omongan salah 

satu dari ketiga Macan Iblis. Lalu dengan lantang Jaka 

berkata: "Hai, Harimau ompong! Sepantasnya kalian 

masuk ke kebun binatang, bukan di sini tempatnya!"

Ketiga Harimau Iblis seakan membelalakkan 

mata demi mendengar ucapan Jaka. Baru kali ini ada 

orang yang berani bertingkah di hadapan Tiga Hari-

mau Iblis. Ketiganya segera menghentikan makan dan 

segera memandang pada Jaka yang masih tertawa-

tawa. Hingga ketiganya menjadi berang, karena merasa 

diremehkan. Salah seorang dari ketiga Harimau Iblis 

itu membentak dengan marahnya.

"Jadah...! Rupanya ada lalat yang berani meng-

ganggu makanku." Setelah berkata begitu, serta merta 

tangannya bergerak dengan cepat. Sebuah piring yang 

menjadi alas makannya melayang, di lemparkan oleh-

nya ke arah Jaka Ndableg.

Hampir saja kepala I Ayu tersambar piring itu, 

kalau saja Jaka tak segera mendorongnya. Sementara 

Jaka sendiri tampak berjumpalitan di udara menghin-

dari serangan piring terbang itu.

Melihat serangan piringnya dapat dengan mu-

dah dielakan oleh Jaka dengan berang orang yang tadi 

melemparkan piring segera meloncat menyerang. Meli-

hat hal itu, Jaka segera memapaki.

"Hiat...!"

"Bug! Bug! Bug!" Tiga kali pukulan berturut-

turut terdengar hantaman.

Jaka berdiri tegak, dengan senyum mengem-

bang di bibirnya. Sementara lawannya tampak sem-

poyongan, darah segar tampak mengalir dari sela-sela 

bibirnya. Melihat itu kedua macan lainnya segera 

memburu, membantu temannya berdiri. Dari mulut 

kedua macan itu terdengar seruan kaget. "Adik Lo


reng... kenapa kau?"

Keduanya hampir berbareng memapah adik se-

perguruannya yang tampak luka dalam oleh hantaman 

Jaka.

Kedua macam itu menatap tajam pada Jaka 

sambil mendengus marah. "Anak muda! Rupanya kau 

sengaja mencari penyakit. Bersiaplah untuk mati!"

Mendengar ucapan macan tertua, Jaka meng-

gandakan tawanya. "Hai, Macan ompong! Aku tak per-

nah mencari musuh. Aku semata-mata hanya membe-

la diri. Bukankah adikmu itu yang pertama kali me-

nyerangku?"

"Persetan dengan ucapanmu, Anjing laknat! 

Kau telah melukai adik seperguruan kami, maka seca-

ra tidak langsung kau telah menantang kami." Setelah 

berkata begitu, kedua macam iblis itu segera menye-

rang Jaka.

Melihat keduanya menyerang, Jaka segera ber-

lari keluar. Ia tak ingin kedai itu hancur oleh pertarun-

gan.

Demi melihat Jaka Ndableg lari keluar, serta 

merta keduanya segera memburu.

"Mau lari ke mana kau, Anjing buduk...!" mem-

bentak macan tertua.

"Aku tak lari ke mana-mana, Macan ompong! 

Aku hanya ingin kedai itu tak rusak oleh kita!"

Tak lama kemudian kedua macan itu pun telah 

sampai di halaman kedai pula. Ketiganya saling berha-

dapan dengan mata yang tajam mengawasi gerak-gerik 

lawan.

"Nah, macan-macam ompong. Sekarang apa 

mau kalian? Bukankah aku tak lari?" berkata Jaka 

sembari tertawa bergelak-gelak, membuat kedua ma-

can itu tambah geram. Maka dengan k-ras, Macan Tu


tul membentak:

"Setan laknat! Jangan harap kau bisa lolos dari 

kami. Bersiaplah untuk mampus."

"Apa aku tak salah dengar, bahwa kalian ingin 

mati? Ha... ha...." Dibaliknya ucapan Macan Tutul, 

yang menjadikan kedua macan itu mendengus kesal. 

Dengan serentak kedua macan itu pun menyerangnya.

Tampak kedua macan itu tak segan-segan lagi 

mengeluarkan jurus-jurus intinya, dengan harapan 

dapat segera menghabisi Jaka. Tapi dugaan keduanya 

salah, sebab Jaka tampak dengan tenang mengelakkan 

serangan keduanya, bahkan sekali-kali balik menye-

rang.

Melihat musuhnya dapat dengan mudah men-

gimbangi serangannya.

Macan Kumbang dengan geram berseru: "Teri-

malah jurus Macan Kembar Berebut Mangsa. 

Hiyaat...!"

Jurus Macan Kembar Berebut Mangsa adalah 

jurus yang dibanggakan oleh ketiga Macan Iblis itu. 

Kedua macan itu saling menyerang bergantian, mem-

buat Jaka tak dapat kesempatan untuk berbalik me-

nyerang. Hingga Jaka hanya mampu mengelak dan 

menangkis.

Jaka tersentak, saat salah satu dari Macan Iblis 

hampir saja menghunjamkan tangannya yang berkuku 

panjang dan runcing beracun ke mukanya.

"Cilaka...! Kalau begini terus menerus," memba-

tin Jaka, Dengan segera Jaka melompat mundur bebe-

rapa tombak. Ketika kedua Macan Iblis hendak kemba-

li merangseknya dengan cepat Jaka mengubah jurus-

nya dengan jurus Dewa Topan Menghantam Karang!

Dari gerakan kedua tangan Jaka yang seperti 

menari, keluar angin besar bak badai menghantam ke


dua macan itu. Melihat kenyataan bahwa anak muda 

yang sedang mereka hadapi bukan tandingannya, ke-

duanya membatin.

"Cilaka! Ilmu siluman!" Di wajah kedua macan 

itu tampak tegang. Dan...

"Werr...! Dest...!" Beruntung macan kedua sege-

ra menghindar. Bila tidak, maka nasibnya seperti ka-

kak seperguruannya. Tubuh macan tertua mencelat 

terbang terbawa oleh arus topan, lalu jatuh ke tanah 

dengan nyawa melayang. Tak luput pula kedai pak 

Romli, bilik dan atapnya beterbangan terbawa angin 

topan yang tercipta dari tangan Jaka.

Untuk sesaat Jaka termangu, memandangi ke-

dai pak Romli yang menjadi korban jurusnya. Jaka se-

gera melompat masuk ke kedai setelah ia ingat pada I 

Ayu Mantini yang ditinggalkannya. Namun betapa ter-

kejutnya Jaka, karena I Ayu Mantini tak ada di tem-

patnya lagi.

Di wajahnya tergurat kecemasan akan kesela-

matan I Ayu Mantini. "Pelayan. Kau tahu ke mana te-

manku?" bertanya Jaka tak sabar.

Tanpa disadarinya, ia telah mengguncang-

guncangkan tubuh pelayan itu.

"Ke mana...?"

"Di... dibawa oleh Macan Tutul," menjawab pe-

layan kedai dengan ketakutan.

"Kau tahu tempatnya?"

Pelayan kedai itu hanya menggeleng lemah, 

membuat Jaka seketika lemas dan melepaskan pegan-

gannya.

"Untuk apa ia membawa I Ayu Mantini? Ah.... 

Bagaimana kalau ia tahu I Ayu Mantini wanita? Aku 

harus segera mengejarnya," kata hati Jaka gundah.

Setelah terlebih dulu membayar uang makan


dan ganti rugi kedai yang rusak, dengan segera Jaka 

memburu kedua macan yang membawa I Ayu Mantini.

Secepat kilat Jaka melesat pergi, hingga mem-

buat orang-orang yang melihatnya melototkan mata 

tak percaya.

"Wah... itu manusia atau siluman?" bergumam 

salah seorang yang bernama Somad.

"Tak nyana, bocah se-enom koe wis duwur il-

mune." timpal yang lain. Tak luput juga halnya dengan 

Romilah yang memang naksir pada Jaka, hingga tak 

sadar ia bergumam.

"Seandainya aku jadi istrinya. Apapun kemau-

annya akan aku turuti. Sudah ganteng, klimis eh... 

wong sakti. Duh cah bagus, bilakah aku menjadi istri-

mu? Walau istri kelima sekalipun."

Mendengar omongan Romilah yang ngaco, seke-

tika semua yang ada di situ menggerutu kesal. 

"Huuh... Maunya!" Romilah hanya nyengir dan nge-

loyor pergi.


EMPAT



Alun-alun kerajaan tampak ramai oleh keru-

munan rakyat. Mereka datang berbondong-bondong 

untuk menghadiri upacara penobatan putra mahkota 

menjadi raja, menggantikan ayahandanya.

Pengumuman itu telah disebar seminggu yang 

lalu pada rakyat, juga pada kerajaan lain. Walau ra-

kyat telah datang sejak pagi, namun tampak bangsal 

yang akan dipergunakan sebagai tempat pengangkatan 

masih kosong.

Di Dalam keraton tepatnya di ruang pertemuan, 

Sang Baginda dengan dikelilingi oleh abdi keraton,


tengah mengadakan rapat.

Sang raja yang walaupun usianya telah lanjut, 

tampak kewibawaan masih melekat pada dirinya. Ter-

lihat semua yang hadir di situ hanya terdiam, kala 

sang baginda bersabda membuka rapat.

"Para pinisepuh kerajaan yang saya hormati. 

Paman patih Arya Wisesa yang saya hormati, serta 

perwira-perwira tinggi kerajaan. Hari ini sengaja aku 

undang kalian semua ke tempat ini, tempat yang 

mungkin telah kalian semua ketahui sebagai tempat

musyawarah. Begitu juga dengan hari ini, saya undang 

kalian semuanya ke mari juga untuk musyawarah. 

Yang mana telah kalian semua ketahui, bahwa kera-

jaan saat ini telah dilanda gelombang pemberontakan. 

Karena aku sudah tua, aku bermaksud menyerahkan 

tahta kerajaan ini pada anakku Arya Perwira. Bagai-

mana menurut pendapat para pinisepuh...?"

"Ampun, Tuanku yang mulia. Kalau tuanku 

berkenan, hamba ingin menyampaikan pendapat ham-

ba." Sang raja yang bijaksana, tampak tersenyum 

mendengar ucapan salah seorang sesepuh kerajaan. 

Lalu dengan suara bijak, Sang Rajapun bersabda:

"Katakanlah apa pendapatmu. Bila memang 

baik, maka aku pun akan melaksanakannya."

"Ampun.... Menurut hemat hamba sebagai 

orang tua, hamba merasa bahwa pemberontakan-

pemberontakan yang terjadi tidak luput kaitannya 

dengan orang-orang dalam sendiri. Dengan kata lain, 

ada orang dalam yang terlibat."

Mendengar penuturan sesepuh kerajaan, seke-

tika semua yang hadir di balai pertemuan saling pan-

dang dengan hati saling penuh tanda tanya.

Setelah melihat semuanya terdiam, sesepuh ke-

rajaan itu kembali meneruskan bicara: "Ampun, Ba


ginda sesembahan hamba. Itu hanyalah pendapat 

hamba semata. Maka bila hal itu dirasa salah, maka 

dengan memohon beribu-ribu ampun hamba meminta 

maaf."

Sang baginda tampak terdiam. Dipandanginya 

satu persatu orang yang hadir di situ. Semuanya tam-

pak menunduk, tak ada yang berani untuk mengadu 

pandang dengan tatapan mata sang raja.

"Aku rasa memang benar ucapanmu, Ki Wisesa 

Ludra. Terbukti dengan lolosnya kaum pemberontak 

dari sergapan prajurit-prajurit kerajaan, itu pertanda 

ada oknum dalam kerajaan. Bukan begitu, paman pa-

tih Arya Wisesa...?" berkata sang Raja pada patihnya 

Arya Wisesa. Sang patih Arya Wisesa hanya mengang-

guk membenarkan, seraya menyembah.

"Arya Wisesa. Coba kau ceritakan apa yang te-

lah kau alami dengan para pemberontak?"

"Ampun, Baginda yang mulya sesembahan 

hamba. Seperti apa yang dikatakan Ki Wisesa Ludra, 

hambapun berkesimpulan begitu. Bahwa pemberonta-

kan-pemberontakan yang terjadi akhir-akhir ini, da-

langnya tak lain adalah orang dalam sendiri yang ber-

maksud merongrong kerajaan. Sudah berulang kali 

hamba melakukan pengepungan-pengepungan pada 

markas mereka. Namun sebelum hamba dan anak 

buah hamba datang ke tempatnya, mereka telah pergi 

entah ke mana. Juga ketika hamba dengan Empat Na-

ga dari Gunung Kapur mengejar sekelompok pembe-

rontak, kami kehilangan jejak secara tiba-tiba."

"Lalu bagaimana dengan keamanan kerajaan 

sekarang?" tanya sang raja.

"Ampun, Baginda yang mulia, sesembahan 

hamba. Sejak keamanan dipercayakan pada Ke Empat 

Naga, sampai sekarang belum ada kejadian pemberon


takan lagi."

Sang raja tampak manggut-manggut menden-

gar laporan patihnya. "Rupanya Ke Empat Naga dari 

Gunung Kapur orang-orang yang berilmu tinggi." men-

desah sang raja.

"Telah tiba waktunya penobatan putraku. Mari, 

kita ke bangsal penobatan." ajaknya sembari berdiri 

dari kursi. Semua yang hadir menunduk hormat, dan 

menepi memberikan jalan untuk rajanya. Setelah sang 

raja berlalu, semua yang ada di situ segera mengiku-

tinya dari belakang.

Di atas bangsal tampak ponggawa istana ten-

gah membacakan acara-acara yang akan berlangsung. 

Rakyat dengan sabar menunggunya dan segera menge-

lu-elukan rajanya saat nama sang raja disebut.

"Hidup baginda Wangsa Dewa...! Hidup raja ki-

ta...!"

Tanpa memperdulikan suara rakyat yang ber-

gemuruh, mengelu-elukan nama rajanya, kembali sang 

ponggawa istana berkata:

"Saudara-saudara rakyat kerajaan Bayu Lor 

yang berbahagia. Waktu penobatan putra mahkota 

Pangeran Arya Prawira, sebentar lagi akan dilaksana-

kan...." Mendengar penobatan Pangeran Arya Perwira 

sebentar lagi akan dilakukan, seketika kembali terden-

gar suara rakyat berseru.

"Hidup Pangeran Arya Perwira...! Hidup Kera-

jaan Bayu Lor...!"

Sedang riuhnya rakyat mengelu-elukan nama 

Arya Perwira. Dari arah Barat seorang lelaki berjalan 

mendekati dan langsung masuk ke dalam kerumunan 

rakyat.

Lelaki muda yang baru datang itu, tampak 

mengawasi sekelilingnya. Dengan mata yang tajam, le


laki muda itu memandang ke segenap penjuru alun-

alun. Entah siapa yang sedang ia cari. Lelaki muda itu 

bertanya pada salah seorang penduduk yang berdiri 

dekat dengannya.

"Ki Sanak. Kalau boleh aku bertanya, sedang 

ada apa di sini...?"

"Ini orang bagaimana, sin? Apakah memang 

orang asing, hingga tak tahu sedang apa kerajaan ini." 

membatin orang itu.

"Ki Sanak, ini adalah kerajaan. Dan sekarang 

tengah mengadakan suatu acara pengangkatan putra 

mahkota menjadi raja, menggantikan ayahandanya 

yang telah tua." Orang yang ditanya menerangkan.

Setelah tahu apa yang sedang berlangsung, le-

laki muda itu keluar dari kerumunan rakyat. Dicari 

sebuah pohon, lalu segera pemuda itu melompat dan 

duduk di cabang dengan tenang.

Di atas bangsal, ponggawa kerajaan masih ber-

bicara dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, 

sang Raja dengan diiringi pengawal istana naik ke atas 

bangsal disambut dengan sorak-sorai serta elu-eluan 

rakyatnya. "Hidup raja kita...! Hidup kerajaan Bayu 

Lor...!"

Melihat sambutan rakyat yang penuh antusias, 

sang Raja terurai senyum bangga penuh keharuan. La-

lu setelah rakyatnya tenang, sang raja pun bersabda:

"Terima kasih... terima kasih. Ternyata kalian 

semua adalah rakyat yang baik, yang mencintai raja 

dan negaranya. Aku bangga memimpin rakyat seperti 

kalian, yang rela berkorban demi raja dan negaranya. 

Namun aku kini telah tua, tenaga dan pikiranku telah

berkurang. Maka mulai hari ini kalian semua akan 

mendapat raja yang baru, yaitu...." Belum habis uca-

pan sang raja, tiba-tiba dari kejauhan seseorang berte


riak. Semua mata mengalihkan pandangannya pada 

orang tersebut, yang datang bersama bala tentaranya. 

"Aku rajamu sekarang... ha... ha...." Orang itu 

melompat ke atas bangsal dan dengan cepat tanpa da-

pat dicegah, memporak-porandakan bangsal seenak-

nya. Melihat sepak terjang orang yang baru datang, 

Arya Wisesa segera menghadang.

"Siapa kau! Berani lancang membuat keona-

ran?!" membentak Arya Wisesa.

Ditanya begitu oleh Arya Wisesa, orang yang 

barusan datang bukannya segera menjawab malah ter-

tawa dengan keras, rakyat yang tak dapat menahan ge-

taran suara orang itu banyak yang luka dalam.

Dari hidung dan telinga rakyat tampak menga-

lir darah. Belum puas melihat korban yang berjatuhan, 

kembali orang yang baru datang itu melipatgandakan 

tawanya.

Mengerut kening Arya Wisesa, demi melihat apa 

yang telah terjadi.

"Hem.... Aji Gelak Pelebur Sukma." membatin 

Arya Wisesa. "Baik! Akan aku coba dengan ilmu Pen-

gunci Suara," bergumam hati Arya Wisesa. Setelah un-

tuk beberapa saat terdiam, Arya Wisesa pun memben-

tak. "Diam...!"

Bagai kena hipnotis, orang yang sedari tadi ter-

tawa seketika terdiam. Matanya melotot tak percaya. 

Dengan terlebih dahulu bergumam, orang itu berseru 

pada anak buahnya yang telah siaga.

"Serbu...!"

Bagai air bah, anak buahnya segera turun dari 

bukit yang mengelilingi alun-alun. Seketika suasana 

yang tadi tenang, berubah menjadi pekik dan jerit ke-

matian dan ketakutan. Pihak kerajaan pun tak tinggal 

diam, mereka dengan penuh semangat memapakinya.


Perang tak dapat dicegah, meletus dengan seketika.

Korban berjatuhan dari kedua belah pihak, 

namun tampaknya peperangan tak akan segera berak-

hir. Dari pihak pemberontak, nampaknya makin me-

rangsek pertahanan pihak kerajaan yang hanya men-

gandalkan ilmu perang belaka. Lain dengan dari pihak 

pemberontak yang rata-rata berilmu silat, juga berlan-

daskan kenekadan.

Arya Wisesa kini telah berhadap-hadapan den-

gan pimpinan pemberontak, segelar sepapan. Di tan-

gan Arya Wisewa tergenggam keris pusaka Kyai Plered 

Ijo. Matanya yang tajam bagai mata elang, memandang 

pada musuhnya.

"Siapa namamu, Ki sanak?!" bertanya Arya Wi-

sesa marah. Musuhnya tampak tersenyum sinis, se-

pertinya mengabaikan dan meremehkannya. Melihat 

hal itu, kejengkelan Arya Wisesa makin menjadi. Den-

gan didahului bentakan, Arya Wisesa pun segera me-

lompat menyerang.

Diserang secara tiba-tiba oleh Arya Wisesa, ti-

dak menjadikan pemimpin pemberontakan itu gugup. 

Bahkan dengan disertai tawa nyaring, ia pun berkelit 

mengelakkan serangan Arya Wisesa. Dengan segenap 

kemampuan, Arya Wisesa mencoba merangsek mu-

suhnya. Tapi dengan mudah sang musuh dapat men-

gelakkan serangan-serangannya bahkan sesekali 

membalas menyerang.

Jurus demi jurus telah dilewati, sudah tiga pu-

luh lima jurus keduanya bertanding. Keris pusaka di 

tangan Arya Wisesa tampak berkelebat-kelebat dengan 

cepatnya mencari sasaran.

Pemimpin pemberontak tampak tidak ada gen-

tar sedikitpun menghadapi keris pusaka di tangan 

Arya Wisesa. Hanya dengan mengibaskan tangan saja,


semua serangan Arya Wisesa dapat ditangkisnya. Bah-

kan kini Arya Wisesa yang tampak keteter, didesak 

oleh lawannya yang hanya mengandalkan tangan ko-

song.

Tiba-tiba...! Tanpa diduga Arya Wisesa sebe-

lumnya, pemimpin pemberontak itu melompat mundur 

beberapa tombak. Kedua telapak tangannya disatukan. 

Maka dari kedua telapak tangan itu tampak keluar si-

nar merah menyala. Arya Wisesa terperanjat, melom-

pat mundur. Dari mulut-nya mendesis kaget, menye-

but nama ajian yang dipakai musuhnya. "Aji Panca 

Api...! Hem... dari mana ia memperoleh ajian itu? Bu-

kankah hanya Siluman Neraka saja yang mempu-

nyainya? Apakah ia muridnya? Bukankah murid Silu-

man Neraka hanya seorang yaitu Tumenggung Warok 

Rekso Poleng. Atau...."

Arya Wisesa segera tersadar dan berkelit kala 

sebuah hantaman dari pemimpin pemberontak yang 

menggunakan aji Panca Api menyerangnya. Namun tak 

urung, pundaknya terserempet juga. Baju yang dike-

nakannya terbakar dengan pundak terasa perih.

Melihat musuhnya tampak lengah karena sakit 

di pundaknya, pemimpin pemberontak kembali meng-

hantamkan pukulan aji Panca Apinya. Tapi ketika ia 

mengkiblatkan tangan ke Arya Wisesa, tiba-tiba dari 

atas pohon kapuk berkelebat sesosok tubuh mengha-

dang pukulannya,

"Bum...!" Benturan dua tenaga dalam yang 

dahsyat, membuat tanah di bawahnya menyembur ke 

atas. Ketua pemberontak tampak terkejut, tubuhnya 

sempoyongan ke belakang dengan darah meleleh dari 

sela-sela bibirnya. Sementara orang yang telah mema-

paki pukulan Aji Panca Apinya, kini tampak berdiri 

dengan bibir menyungging senyum.



"Siapa dia? Belum pernah ada yang dapat me-

mecahkan aji Panca Api. Tapi kenapa orang ini mampu 

memecahkannya?" membatin pemimpin pemberontak. 

Ia sadar, bahwa orang yang sekarang berdiri di hada-

panya bukan orang sembarangan. Tapi sebagai orang 

yang telah makan asam garam dunia persilatan, pe-

mimpin pemberontak itu segera menghilangkan keje-

riannya dan dengan lantang bertanya:

"Siapa kau! Berani ikut campur urusanku?!"

Si lelaki muda yang tadi memapaki serangan-

nya hanya tersenyum.

"Ki sanak, nama tidak selalu menjadikan pato-

kan tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki oleh orang itu. 

Ada kalanya orang yang ternama di dunia persilatan, 

tindak-tanduknya bertentangan. Sebaliknya orang 

yang tidak terkenal, biasanya akan hati-hati dalam 

bertindak. Tapi baiklah, agar Ki sanak puas, maka aku 

yang rendah dan dungu ini memperkenalkan namaku 

yang tak ada artinya. Namaku Wayan Saba...."

"Wayan Saba...? Wayan Saba, untuk kali ini 

aku menyerah kalah. Tapi lain waktu aku akan men-

gadakan perhitungan denganmu," berkata pemimpin 

pemberontak sembari hendak pergi. Tapi belum juga 

pemimpin pemberontak melangkah jauh, segera Wayan 

Saba menghentikannya. "Tunggu...!"

Pemimpin pemberontak itu seketika berhenti, 

dengan wajah tegang. Mengira Wayan Saba hendak 

menangkapnya, dengan nekad pemimpin pemberontak 

itupun menyerang. "Serbu!" serunya memerintah pada 

sisa-sisa anak buahnya.

Wayan yang tak menyangka bakalan dikeroyok, 

seketika mendengus marah. Dari mulutnya terdengar 

caci maki gusar. "Hem... memang orang-orang macam 

kalian, licik dan keji. Bila kalian tak mau menyerah,


jangan salahkan aku bertindak. Terimalah ini!"

Sehabis berkata begitu, Wayan pun segera 

mengeluarkan ilmunya yaitu aji Inti Pusaran. Seketika 

semua anggota pemberontak itu tersedot mendekati 

Wayan. Setelah hampir sampai pada dirinya, dihen-

takkan anak buah pemberontak itu hingga terpelanting 

saling tindih menindih.

Pemimpin pemberontak yang memang sudah 

ciut nyalinya menghadapi Wayan, segera kabur menye-

lamatkan diri. Rakyat yang sedari tadi ketakutan, kini 

timbul nyalinya. Dengan penuh semangat disertai rasa 

kekesalan, diburunya pimpinan pemberontak itu be-

ramai-ramai.

Tak lama antaranya, tubuh pemimpin pembe-

rontak itu telah lumat oleh amukan rakyat tanpa dapat 

dicegah. Wayan Saba hanya dapat memandang tanpa 

dapat berbuat apa-apa.

Setelah keadaan tenang, sang Raja dan permai-

suri serta putra mahkota yang sejak tadi bersembunyi 

segera keluar kembali. Di wajah-wajah mereka kini 

tergurat senyum, ditujukan pada Wayan Saba yang 

masih berdiri mematung di sisi Arya Wisesa.

Melihat sang Raja berjalan menghampiri, 

Wayan segera menghormat.

"Hamba yang bodoh ini menyampaikan sem-

bah, sekaligus memohon ampun atas kelancangan 

hamba yang telah turut campur tanpa terlebih dahulu 

meminta restu dari paduka. Sekiranya hal ini dianggap 

kesalahan besar, hamba siap menerima hukumannya."

Melihat sikap Wayan yang sopan penuh tata 

krama, sang Raja tampak tersenyum senang dan ber-

kata: "Anak muda, janganlah terlalu merendahkan diri. 

Aku tahu di balik kerendahan hatimu tersimpan hati 

yang agung, yang jarang dimiliki oleh manusia pada


umumnya. Aku senang dapat bertemu dan sekaligus 

berkenalan dengan dirimu, Anak muda! Siapa nama-

mu...?"

"Hamba yang rendah ini, bernama Wayan Sa-

ba," menjawab Wayan.

"Wayan Saba, aku atas nama rakyat Bayu Lor 

mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Maka 

atas rasa terima kasih kami, mulai saat ini kau kua-

ngkat menjadi pembantu utama patih Arya Wisesa. 

Kuharap kau mau menerimanya, Anak muda. Bukan 

begitu, Paman patih Arya Wisesa?" bertanya sang raja

pada patihnya, yang mengangguk dan berkata me-

nambahkan.

"Benar, Saudara Wayan. Kami sangat memer-

lukan tenaga seperti saudara. Untuk itu, kami mohon 

saudara mau menerimanya."

Mendengar permintaan yang diucapkan oleh 

Raja dan patihnya secara tulus, Wayan Saba sesaat 

terdiam.

"Betapa beratnya tanggung jawab seorang patih 

sebagai abdi negara. Walaupun begitu, tugas patih 

adalah mulia. Namun apakah aku harus meneri-

manya? Sedang aku sendiri sampai kini masih berke-

lana mencari Kardika dan istriku. Apakah aku dapat 

bertemu? Negara memang dalam keadaan terdesak 

oleh pemberontakan-pemberontakan. Aku sebagai seo-

rang yang telah digembleng dengan ilmu kanuragan 

dan kesaktian, apakah harus tinggal diam? Baiklah! 

Demi negara dan rakyat, aku menerimanya." kata hati 

Wayan.

"Bagaimana saudara, Wayan?" terdengar sang 

Raja kembali bertanya, demi melihat Wayan hanya ter-

diam sekian lama. Wayan yang tengah berpikir, seketi-

ka tersentak demi mendengar pertanyaan sang Raja.


"Ampun, Baginda yang mulia. Kalau memang 

itu yang baginda kehendaki, hamba tak dapat meno-

lak."

Mendengar pernyataan Wayan yang me-

nyanggupi permintaannya, sang Raja mengurai se-

nyum. Perlahan didekatinya tubuh Wayan yang masih 

menghormat, dipegangnya pundak Wayan.

"Terima kasih, Anak muda. Aku harap dengan 

diangkatnya dirimu menjadi patih kedua di kerajaan 

ini, akan tentramlah kerajaan. Paman patih Arya Wise-

sa...."

"Daulat, Gusti...?" menjawab Arya Wisesa hor-

mat.

"Mulai hari ini, semua tugasmu akan dibantu 

oleh Wayan. Bekerjalah kalian berdua bahu membahu. 

Pikullah keamanan dan ketertiban kerajaan di atas 

pundak kalian. Mengenai pengangkatan putraku 

menggantikan diriku, aku rasa belum waktunya kare-

na aku perlu membenahi sedini mungkin. Ponggawa, 

beritahu pada rakyat kerajaan ini bahwa kini kerajaan 

telah mengangkat Wayan Saba sebagai patih kedua. 

Dan kau, Panglima tamtama Utama, coba kau dengan 

beberapa prajurit-prajurit mu berjaga-jaga di perbata-

san. Juga cari Keempat Naga yang sampai sekarang 

belum muncul," berkata sang Raja dengan, penuh wi-

bawa dan bijaksana.

"Daulat, Gusti. Hamba pamit undur," berkata 

kedua ponggawa istana. Setelah menyembah, kedua-

nya pun segera berlalu pergi menjalankan tugas.

Sepeninggal kedua ponggawa utama kerajaan, 

sang Raja segera mengajak Wayan menuju ke ruang 

pertemuan di mana para sesepuh kerajaan tengah ber-

kumpul. Wayan pun hanya dapat menurut. Beriring 

dengan Arya Wisesa yang tampak masih menahan sa


kit terbakar, keduanya berjalan mengikuti sang Raja 

menuju tempat pertemuan.

Para sesepuh kerajaan seketika memberi hor-

mat, kala baginda dan Wayan Saba serta Arya Wisesa 

masuk ke ruang pertemuan. Dengan hampir berbaren-

gan, para sesepuh kerajaan itu memberi salam: "Sela-

mat datang, Saudara pendekar!"

Melihat penghormatan yang dilakukan oleh pa-

ra sesepuh kerajaan padanya, Wayan pun segera balik 

menghormat. "Sejahtera hamba ucapkan untuk kalian 

semua. Semoga Yang Wenang selalu bersama kita."

Para sesepuh tampak tercengang, kagum den-

gan tindak-tanduk Wayan yang begitu santun.

Setelah semuanya duduk. Baginda raja segera 

membuka rapat.

"Para sesepuh kerjaan. Para perwira tinggi, dan 

paman patih Arya Wisesa. Mulai saat ini saudara 

Wayan Saba resmi menjadi patih. Hal ini saya nilai, 

karena kerajaan sangat membutuhkan orang-orang 

gagah seperti dirinya."

Semua mata yang hadir di persidangan tertuju 

pada Wayan yang tertunduk hormat. Baginda pun 

kembali meneruskan ucapannya: "Kalian tahu. Baru 

saja bencana hampir menghanyutkan kerajaan. Aku 

rasa, bencana-bencana pemberontakan lainya akan 

muncul lagi. Dengan adanya Saudara Wayan menjadi 

patih di sini, dapatlah kiranya kita lebih tentram. Bu-

kan begitu, Paman patih Arya Wisesa?"

Arya Wisesa yang masih meringis menahan sa-

kit akibat pukulan Panca Api, hanya mengangguk se-

raya memandang pada Wayan Saba dengan senyum.

"Aku mengangkat Wayan Saba langsung pada 

kedudukan yang tinggi bukanlah tanpa pertimbangan 

dan pemikiran. Maka jika ada yang tidak setuju den


gan pengangkatan Wayan Saba sebagai patih, kuan-

jurkan pergi."

Semua yang hadir tampak terdiam, tak berani 

berkata apalagi menentangnya.

"Karena semua yang hadir setuju. Maka dengan 

ini resmilah Saudara Wayan Saba menjadi patih pem-

bantu," berkata sang Raja, sembari melirik Wayan Sa-

ba yang mengangguk hormat.

"Terima kasih atas kepercayaan Baginda, juga 

sesepuh kerajaan pada diri hamba yang bodoh ini un-

tuk memegang tanggung jawab. Maka sebagai rasa te-

rima kasih, hamba berjanji dan bersumpah tak akan 

minum tuak dan makan buah Dewa (Apel) sebelum 

pemberontakan hilang dari bumi Bayu Lor ini."

Mendengar sumpah yang diucapkan oleh 

Wayan, seketika semua yang hadir terdiam bisu. Ber-

samaan dengan berakhirnya ucapan Wayan, seketika 

cuaca yang tadinya panas berubah menjadi mendung. 

"Blar...! Bletar...!" Suara petirpun menggema, seakan 

menjadi saksi dan turut merestui.

Bersamaan dengan hilangnya suara petir, ter-

dengar gelak tawa seseorang tanpa ujud berkata: 

"Wayan. Sumpah seorang kesatria, apalagi kesatria 

yang berbudi luhur seperti kamu akan terlaksana. Tu-

naikan tugasmu dengan baik, jangan kau abaikan. Ju-

ga ingat olehmu, jangan kau melakukan tindakan ka-

rena rasa dendammu. Bertindaklah karena kepentin-

gan orang banyak. Perangilah keangkaramurkaan. Aku 

berdo'a semoga kau berhasil...."

"Guru...! Di mana kau?" berseru Wayan me-

manggil Gurunya. Namun suara Wayan berlalu begitu 

saja, karena sang guru yang tak lain dari pada Ki Tu-

rangga Bayu telah berlalu. Semua yang hadir membe-

lalakkan mata, demi mendengar suara tanpa ujud itu


berkata pada Wayan.

Kini semua yang hadir di situ makin percaya 

dan menaruh rasa segan pada Wayan Saba, yang ma-

sih terdiam sepeninggal suara gurunya, tersentak, kala 

sang raja berkata padanya.

"Ki Patih Wayan Saba, kau kenal dengan suara 

itu? Siapa beliau?"

"Ampun, Baginda yang mulia. Beliau adalah 

guru hamba," menjawab Wayan Saba.

"Kalau boleh aku tahu. Siapakah gurumu, Ki 

Patih?"

Sesaat Wayan Saba terdiam, dihelanya napas 

panjang-panjang, sebelum akhirnya berkata: "Ampun, 

Yang mulia. Sebenarnya, guru hamba adalah orang bi-

asa seperti kita. Beliau bernama Ki Turangga Bayu."

Mendengar nama yang disebut Wayan sebagai 

gurunya. Seketika semua mata terbelalak, dalam hati 

mereka berkata. "Pantas kalau pemuda ini memiliki 

kesaktian dan ilmu kanuragan yang tinggi."

Sejak saat itu, Wayan Saba semakin disegani 

dan dihormati di kalangan keraton. Hal itu dikarena-

kan tindak-tanduk Wayan Saba yang tidak sombong, 

juga karena mereka tahu siapa sebenarnya Wayan Sa-

ba.

Sejak itu pula keamanan kerajaan pun terja-

min. Walau masih ada pemberontakan-pemberontakan 

kecil, namun semuanya dapat dengan mudah dipatah-

kan oleh Wayan Saba dengan pasukannya yang kini te-

lah dibekali dengan ilmu silat.

Wayan Saba di samping menjadi patih kedua, 

juga melatih ilmu silat untuk para prajurit kerajaan. 

Hal itu membuat salah seorang putri baginda sangat 

tertarik padanya.

Wayan Saba yang tak mengerti akan hal itu


menanggapinya dengan biasa-biasa. Seakan tak ada 

hal-hal yang aneh pada hubungannya dengan Kanjeng 

Dewi Ayu Laras. Hingga pada suatu hari; kala Wayan 

Saba tengah duduk melamun sendirian, Dewi Ayu La-

ras telah datang menemuinya.

"Kanjeng Dewi! Ada gerangan apa, hingga Kan-

jeng Dewi datang ke tempat. hamba?" tanya Wayan 

terkejut.

Mendengar Wayan berkata keras, Dewi Ayu La-

ras segera mengisyaratkan telunjuknya di kedua bibir-

nya. "Stttt...! Jangan keras-keras." ucapnya sembari 

mendekati Wayan yang masih terbengong-bengong tak 

mengerti.

Wayan semakin tak mengerti, kala Dewi Ayu 

Laras makin mendekatinya. "Kanjeng Dewi... ada perlu 

apakah Kanjeng Dewi datang ke mari? Apakah tidak 

nantinya menjadi gunjingan?"

"Aku memang sengaja datang ke tempatmu. Ke-

tahuilah Wayan, bahwa sesungguhnya aku... aku 

mencintaimu," berkata Dewi Ayu Laras dengan polos-

nya, membuat Wayan terbelalak dan terjengah mende-

sah.

"Ah... apakah Kanjeng Dewi tengah bercanda?"

"Tidak, Wayan. Aku tidak bercanda. Aku berka-

ta dengan sesungguhnya."

Wayan Saba yang tadinya penenang dan sabar, 

seketika menjadi bingung. Hatinya seketika berdebar, 

antara menerima cinta Dewi Ayu Laras dengan pera-

saan lain yang menuntutnya untuk selalu mengingat 

pada istrinya I Ayu Mantini. Karena bingung harus 

memilih yang mana, Wayan Saba terdiam.

"Kau melamun, Wayan?"

Tergagap Wayan ditanya begitu

"Ah... tidak!"


Jawaban Wayan, menjadikan Dewi Ayu Laras 

mengerutkan alisnya.

"Lalu apa yang tengah kau pikirkan, Wayan?"

Untuk yang kedua kalinya Wayan tersentak.

"Hamba berpikir, apakah pantas, diri hamba 

yang rendah ini menerima cinta Kanjeng Dewi yang tu-

lus? Dan apakah pantas, bila hamba yang bertugas 

melindungi sang Dewi ternyata malah sebaliknya? 

Apakah tidak seperti kata pepatah, pagar makan ta-

naman?"

Mendengar ucapan Wayan, Dewi Ayu Laras ter-

senyum.

"Wayan. Cinta tak pernah memandang derajat, 

keadaan atau pun bentuk. Maka apa yang kau perbuat 

untuk mencintai adalah hal yang wajar, seperti halnya 

dengan diriku yang mencintaimu. Apakah tak bo-

leh...?"

Walau sekuat apapun tapi Wayan manusia ju-

ga. Maka akhirnya Wayan pun jatuh, meski dalam ha-

tinya masih memikirkan I Ayu Mantini istrinya.

Wayan pun akhirnya menerima cinta Dewi Ayu 

Laras. Sejak saat itu, di hati kedua tumbuh benih-

benih cinta! Keduanya sating mengisi dan memberi, 

dalam rangkaian-rangkaian cinta yang mereka bina.


LIMA



Seorang pemuda tampak berjalan dengan san-

tainya di tengah hutan. Di wajahnya tampak kekhawa-

tiran, dan perasaan bersalah. "Inilah resikonya bila 

berjalan dengan seorang wanita. Ah... ke mana aku ha-

rus mencarinya? Sudah hampir seluruh pelosok aku


datangi. Namun batang hidung macan sialan itu tak 

kutemui," menggerutu pemuda itu dalam hati.

Sedang asyiknya sang pemuda melamun, tiba-

tiba terdengar olehnya derai tawa seorang wanita. "Hi... 

hi... hi...! Anak muda, kenapa melamun? Sedang mi-

kirkan pacarnya kesamber orang, ya?" Bersamaan 

dengan itu, dari atas pohon jati meloncat turun seo-

rang wanita muda menghadang langkahnya.

Sang pemuda segera melompat mundur, lalu 

dengan keras bertanya. "Siapa kau? Apa perlumu 

menghadang langkahku?"

Ditanya begitu, wanita itu makin melebarkan 

senyumnya yang genit dan berkata: "Anak muda, ke-

napa kau memikirkan yang telah tiada? Bagaimana ji-

ka seandainya aku menggantikannya?"

"Sinting!" maki pemuda itu dalam hati. Ia me-

nyadari, jika wanita yang kini menghadang langkahnya 

bukanlah wanita sembarangan. Hal itu dapat dimak-

lumi, mana mungkin seorang wanita muda dan cantik 

sendirian di hutan itu.

"Hei, siluman! Walau kau cantik kaya bidadari, 

tapi aku tak suka. Bahkan mungkin ayam jagoku pun 

tak mau bila disuruh mengawinimu," berkata pemuda 

itu sembari tertawa cekikikkan, membuat wanita di 

depannya seketika memerah wajahnya, marah.

"Tuyul...! Berani kau sembrono padaku." mem-

bentak wanita itu, namun sang pemuda tampak makin 

menggandakan tawanya demi melihat kemarahan wa-

nita itu. Bahkan dengan konyolnya, si pemuda kembali 

berkata mengejek. "Kalau aku tuyul, maka kau adalah 

ibunya tuyul dan tak lain dari Kalong Wewe, ha... ha... 

ha...."

"Diam! Semprul butut! Kau rupanya belum ta-

hu siapa aku adanya,"


"Aku tahu, kalau kau adalah perawan tak la-

ku."

"Siapa kau! Katakan siapa namamu, sebelum 

kukirim ke akherat!"

Kembali pemuda itu tertawa, lalu dengan ber-

siul pemuda itu menjawab pilon.

"Aku...? Aku ya aku. Mengenai kau ingin men-

girim aku ke akherat, wah... makin membuat aku geli 

saja. Apa kau ini pegawai post bagian akherat?"

Makin membara api amarah wanita itu, demi 

mendengar ucapan pemuda di hadapannya. Dengan 

terlebih dahulu bersuit, wanita itu pun menyerang.

Bersamaan dengan hilangnya suitan wanita itu, 

dari semak-semak muncul beberapa orang mengurung 

si pemuda yang celingukan bagai kebingungan.

"Wah... kenapa kau bawa tuyul-tuyul ini ke ma-

ri?" mengejek pemuda itu sambil mengelakkan seran-

gan yang datang kepadanya.

Si wanita yang memang sudah gedeg pada pe-

muda itu, tak banyak lagi bicara, terus menyerang. 

Sementara anak buahnya yang berjumlah dua puluh 

orang gundul, mengurung membentuk lingkaran.

Pertarungan pun makin tampak seru. Wanita 

itu tampak gesit dan lincah. Tangan dan kakinya sela-

lu mencari sasaran yang mematikan. Tapi pemuda 

yang sedang dihadapi ternyata bukan pemuda keba-

nyakan yang selalu menjadi korbannya.

Pemuda itu tak lain Jaka Ndableg atau Pende-

kar Siluman Darah dengan mudah mengelakkan se-

rangan-serangannya. Sedang seru-serunya pertarun-

gan antara keduanya, terdengar seruan dari anak 

buah wanita itu.

"Nyi Tunjung Raminten, biarkan kami yang 

membereskan pemuda kurang ajar ini."


Wanita yang bernama Nyi Tunjung Raminten, 

yang sudah merasa terpepet oleh serangan Jaka Ndab-

leg segera melompat mundur. Saat itu juga kedua pu-

luh anak buahnya segera maju mengeroyok Jaka 

Ndableg yang tampak masih tenang.

Melihat kedua puluh lelaki gundul itu menge-

royoknya, maka meledaklah tawa Jaka.

"Sini tong! Wah... kepalamu persis seperti tem-

purung kelapa. Coba aku ketuk, tua atau tidak? Siapa 

tahu dapat dipakai untuk main dadu. Ha... ha...." Ha-

bis berkata begitu, dengan cepat tanpa dapat dihindari 

oleh keduapuluh lelaki botak itu, Jaka telah melesat. 

Dan...! 

Tok... duk... kletak!

Terdengar jerit kesakitan dari mulut kedua pu-

luh anak buahnya dengan mudah dijatuhkan oleh Ja-

ka. Maka dengan mengerahkan tenaga dalam yang 

disalurkan di tangan kanannya, Nyi Tunjung Raminten 

kembali menyerang.

"Terimalah jurusku ini! Hiat...!" Dengan jurus 

Kuntul Mematuk Ikan, Nyai Tunjung Raminten men-

coba merangsek. Tapi Jaka yang telah waspada segera 

menghadangnya dengan jurus Lumba-lumba Menari.

Nyi Tunjung Raminten tersentak kaget, ketika 

menyaksikan jurus yang digunakan oleh lawannya. 

Jurus itu begitu kaku tampaknya, namun hal itu bu-

kanlah enteng untuk melakukannya.

Saking terkejutnya Nyi Tunjung Raminten, 

membuat ia terdiam. Hingga ketika Jaka menyerang, 

Nyi Raminten tak dapat lagi mengelak. Kaki Jaka yang 

menutup rapat membentuk ekor menghantam tubuh-

nya, yang terpental beberapa tombak ke belakang den-

gan mulut melelehkan darah. 

Melihat musuhnya tak berdaya. Jaka segera


menghentikan serangannya. Hal itu tak disia-siakan 

oleh Nyi Tunjung Raminten, yang seketika kembali 

menyerang dengan ajian Pramusti. Yaitu sejenis ajian 

yang dapat melumpuhkan persendian tubuh.

Jaka Ndableg tersentak, kaget manakala Nyi 

Raminten melancarkan ajiannya. Hampir saja ajian itu 

menghantamnya, kalau saja Jaka tak waspada.

Ketika Nyi Raminten hendak kembali melancar-

kan ajiannya, secepat kilat Jaka melentingkah tubuh-

nya ke angkasa. Itulah jurus Camar Laut Lor. Setelah 

beberapa detik di angkasa, Jaka Ndableg memutar tu-

buh, menghadap pada Nyi Raminten. Kedua tangan 

Jaka menggembang. Sejurus kemudian dari tangan 

Jaka memancar api yang beribu-ribu watt panasnya, 

menghantam ke arah Nyi Raminten. Beruntung Nyi 

Raminten masih sempat menghindar. Kalau tidak, ia 

akan menjadi abu.

Melihat kenyataan itu, Nyi Raminten segera sa-

dar. Dan tanpa malu-malu, Nyi Raminten segera men-

gambil langkah seribu, diikuti oleh semua anak buah-

nya. Kini tinggal Jaka yang hanya geleng-geleng kepa-

la. Setelah berdiam diri beberapa saat, Jaka pun sege-

ra meneruskan perjalanannya.

* * *

"Bodoh....! Hanya menghadapi seorang Wayan 

Saba saja, kalian tidak becus! Kalian tahu. Apa huku-

man yang bakalan kalian terima dari Ayahanda nanti, 

jika mendengar bahwa kalian telah gagal?" berkata 

Kardika dengan marah pada kesepuluh anak buahnya.

Kesepuluh anak buahnya terdiam, tak ada seo-

rangpun yang berani berbicara. Kardika sendiri tak 

habis pikir, bukankah Wayan Saba telah mati di ba


wah jurang? Kenapa sekarang tiba-tiba muncul lagi 

dengan ilmu yang tinggi?

"Hem.., mungkinkah si keparat Turangga Bayu 

masih hidup, setelah dengan luka dalam aku lempar-

kan ke dalam jurang itu?" tanya Kardika dalam hati. 

Kalau benar bekas gurunya itu yang telah menolong 

Wayan Saba, maka dapat dibayangkan bahwa Wayan 

Saba pun telah menerima gemblengan dari orang tua 

itu

"Ke mana si Harimau Tutul?" tanya Kardika, se-

telah untuk beberapa saat terdiam.

"Dia sedang ada di belakang bersama adik se-

perguruannya si Loreng," menjawab salah seorang dari 

mereka. Mendengar itu, Kardika tampak mengangguk-

anggukkan kepala senang, lalu ucapnya kemudian.

"Kalian semua, aku tugaskan untuk membuat 

kekacauan di wilayah Lor. Dan kau Sengkuni, kacau-

kan wilayah Wetan. Hadang setiap pendatang, menger-

ti?!"

"Mengerti...!" menjawab mereka serempak.

"Nah... kerjakan! Dan ingat! Jangan sekali-kali 

kalian gagal lagi."

Setelah berkata begitu, Kardika tanpa menoleh 

kembali pada anak buahnya segera berlalu masuk ke 

dalam kamar di mana seorang gadis tengah menan-

tinya.

Entah apa yang tengah Kardika perbuat dengan 

gadis itu, yang jelas semua anak buahnya hanya 

mampu menelan ludah. Sempat pula salah seorang di 

antaranya berbisik pada temannya. "Sungguh sangat 

beruntung, Kardika."

"Kenapa kau berkata begitu?" tanya temannya 

berbisik pula.

"Bayangkan saja, gadis itu masih putih.


Usianya saja baru menginjak enam belas tahun. Bu-

kankah sedang imut-imutnya?" Mendengar ucapan 

temannya, seketika orang yang bertanya tak dapat lagi 

menahan tawanya.

Di buritan rumah, yaitu di belakang rumah 

utama yang didiami Kardika. Di situ terpampang tanah 

lebar. Di ujungnya tampak berdiri sebuah bangunan 

yang terbuat dari kayu. Di tempat itulah, Kardika me-

nyekap para tahanan dan gadis-gadis yang membandel 

tak mau diajak kencan. Tempat itu dijaga oleh ketiga 

tukang pukul Kardika yang bertampang seram dan 

bengis, hingga tak ada seorangpun yang berani menen-

tang atau membangkang.

Bila pagi telah tiba, orang-orang yang ditahan 

itu dipaksa untuk bekerja diladang, sementara keseha-

tan dan makanan mereka tak terjamin sama sekali. 

Pagi itu semua tahanan digiring ke luar, berjalan ber-

deret dengan tangan diikat.

Sedang mereka bekerja, dari rumah utama. 

Kardika dengan wajah berseri datang ke tempat mere-

ka bekerja.

"Berhenti...!" seru Kardika dengan suara lan-

tang. Seketika, semua orang yang tengah bekerja pak-

sa berhenti. Namun salah seorang pemuda seakan tak 

mendengarnya tetap terus bekerja, menjadikan Kardi-

ka menggeram kesal dan marah.

"Rupanya ada tikus kecil yang berani mem-

bangkang perintahku. Pengawal, seret dia ke mari." 

Sang body guard pun dengan menurut melakukan pe-

rintahnya. Diseretnya anak lelaki muda itu yang be-

rontak menuju Kardika. Tapi... sekuat apapun tenaga 

anak muda itu, digeret oleh orang yang berbadan besar 

dengan paksa menjadikan ia tak mampu berontak.

Penyamaran I Ayu Mantini pun terbuka, mem


buat Kardika terperangah menggumam: "I Ayu Manti-

ni...? Kenapa kau berbuat begitu?"

Mendengar nada ucapan Kardika yang seperti 

menyesali tindakannya, I Ayu Mantini hanya mencibir-

kan bibirnya sembari berseru: "Kenapa kau tidak su-

ruh algojomu untuk sekalian membunuhku saja, Kar-

dika?"

"Tidak. I Ayu, aku sungguh-sungguh menyesal 

telah menyakitimu. Aku mencintaimu...."

"Percuma, Kardika, karena aku tak mencintai-

mu. Lagipula, aku benci padamu. Aku benci...! Kau 

bunuh ayahku, suamiku. Kau tak lebih dari pada ib-

lis... kau iblis! Kubunuh kau, kubunuh...!" Bagai orang 

kesetanan I Ayu Mantini menyerang Kardika yang se-

ketika itu mengelaknya. Hingga I Ayu Mantini tersung-

kur jatuh mencium tanah. Belum juga Kardika hilang 

dari keterkejutannya, I Ayu Mantini tampak telah ber-

diri dan kembali menyerang.

Melihat I Ayu Mantini menyerang Kardika, serta 

merta semua orang yang dari tadi takut dan menurut 

beramai-ramai mengeroyok. Ketiga algojo Kardika ke-

labakan. Karena diserang mendadak. Ketiganya hanya 

dijadikan ajang kekesalan orang-orang yang selama ini 

dikekangnya.

Melihat hal itu, Kardika jadi berang. Tanpa am-

pun lagi, dihempaskannya tubuh I Ayu Mantini yang 

seketika terjatuh dan pingsan. Setelah dirasa I Ayu 

Mantini tak akan merepotkan lagi, maka dengan aji 

Wesi Geni, Kardika segera menyerang membabi buta 

pada pengeroyok algojonya.

Jerit kematian susul menyusul, kala tangan 

Kardika menghantam tubuh pengeroyok itu. Tapi wa-

laupun begitu, para pengeroyok tampak tak merasa 

takut sedikitpun. Dengan nekad terus merangsek Kar


dika dan ketiga algojonya yang tampak luka-luka.

Pertarungan tiga lawan seratus orang pun terus 

berlangsung, walau korban makin banyak. Di pihak 

pengeroyok tak ada tanda-tanda mau mengalah sedi-

kitpun.

Kardika hampir kewalahan, kalau saja tidak se-

gera datang anak buahnya yang segera membantunya.

Sedang ramai-ramainya pertempuran yang tak 

seimbang itu, terdengar suitan nyaring secara tiba-

tiba. Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda 

yang tak lain Jaka adanya.

Tanpa banyak bicara lagi, Jaka atau Pendekar 

Siluman Darah segera turun membantu para penge-

royok.

Melihat ada tuan penolong datang, semangat 

para pengeroyok yang tadinya hampir tak ada seketika 

muncul kembali. Hal itu menjadikan para anak buah 

Kardika tersentak kaget terteter.

Kardika yang tahu ada orang lain ikut campur, 

dengan berang menyerbu ke pertempuran.

"Hai, Pemuda usilan. Berani kau lancang di 

tempatku. Rupanya kau memang sengaja minta mam-

pus!" berkata Kardika dengan sombongnya. Ia tak tahu 

siapa pemuda yang tengah dihadapinya. Kardika men-

ganggap pemuda di hadapannya tak lebih dari orang 

persilatan pada umumnya.

Sementara pemuda yang tak lain Jaka Ndableg 

adanya, tertawa ngakak mendengar ucapan Kardika 

yang terlalu sombong.

"Aku tak akan ikut campur urusanmu, bila kau 

tak dengan semena-mena membunuh orang-orang 

yang tidak berdaya."

Jaka yang belum tahu-bahwa orang di hada-

pannya Kardika, masih tampak sabar. Kardika meng


geram marah demi mendengar ucapan yang dilontar-

kan Jaka.

"Anak muda! Aku tak ada silang sengketa den-

ganmu. Aku minta kau segeralah minggat dari hada-

panku, atau terpaksa aku panggilkan anak buahku 

yang lain untuk mengganyang mu."

Tertawa Jaka mendengar ucapan Kardika, lalu 

dengan tenang Jaka berkata:

"Orang sombong! Ternyata ucapanmu tidak le-

bih dari kentut bau! Sedangkan nyalimu, tak lebih dari 

nyali seekor tikus tanah!"

Mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka pada 

dirinya, tak dapat lagi Kardika menahan amarah. Den-

gan geram, Kardika pun berkelebat menyerang Jaka 

yang dengan segera mengelak dengan mengegoskan 

badannya. Menerima kenyataan itu, makin menjadikan 

Kardika sewot.

Dengan gigi bergeretuk, ditambahkannya se-

rangan yang mencari titik lemah musuh. Namun se-

jauh itu, Kardika selalu mendapatkan angin belaka. 

Bahkan sebaliknya, sebuah tendangan telak yang di-

lancarkan Jaka menghantam dadanya.

Sedang Kardika menahan rasa sakit di da-

danya, seorang lelaki berlari-lari menuju ke arah itu. 

Lelaki yang ternyata Mahesa adanya, membelalakkan 

mata demi melihat Jaka atau Pendekar Siluman Da-

rah. Melihat Mahesa tercekam saat melihat Jaka Ndab-

leg Kardika bertanya:

"Kau kenal, Mahesa...?"

"Bukan kenal lagi, Kardika. Dialah orangnya 

yang telah membunuh ketiga dari keempat setan go-

lok." Walau Kardika telah mendengar kehebatan pe-

muda di hadapannya dari Mahesa, namun Kardika 

yang merasa ajian Wesi Geni adalah yang paling tinggi


hendak kembali menyerang.

Mahesa yang melihat gelagat tak menguntung-

kan pada saat itu, dengan segera mencoba menghalan-

ginya sembari berkata: "Kardika, bukannya aku mere-

mehkan ilmu yang kau miliki, tapi keadaan kita se-

dang gawat."

"Apa kau bilang, Mahesa...?" Kardika melotot 

marah.

"Benar Kardika. Pertahanan kita di Barat telah 

diketahui oleh pihak kerajaan yang dengan mudah 

menghancurkannya. Bahkan pihak kerajaan telah ta-

hu tempat kita. Cepatlah pergi Kardika."

Kardika yang tadinya bermaksud meneruskan 

pertarungan dengan Jaka, seketika mengurungkan 

niatnya. Maka dengan memanggul tubuh I Ayu Mantini 

yang masih pingsan, Kardika pun pergi meninggalkan 

tempat itu.

Jaka yang tak tahu bahwa yang digendong Kar-

dika adalah I Ayu Mantini, membiarkan Kardika pergi. 

Bagai macan tanpa taring, anak buah Kardika pun tak 

lagi dapat berbuat banyak. Maka dengan mudah, para 

pengeroyok pun segera mendesaknya. Melihat orang-

orang yang tadi dibantunya telah berada di atas angin, 

Jaka segera berkelebat pergi untuk meneruskan perja-

lanannya mencari I Ayu Mantini.

Setelah musuh-musuhnya mati, orang-orang 

yang memberontak pada Kardika mencari-cari pemuda 

yang telah membantu mereka. Tapi pemuda yang tak 

lain Jaka telah pergi tanpa sepengetahuan mereka. 

Merekapun menganggap Jaka adalah Dewa yang ditu-

runkan dari langit untuk membebaskan mereka dari 

belenggu Kardika.

* * *


Tak lama antaranya berselang, dari arah Barat 

tampak serombongan pasukan kerajaan menuju ke 

tempat itu.

Berjalan paling depan Wayan Saba dengan ga-

gahnya memimpin di atas kudanya. Setelah dekat den-

gan rakyat, Wayan Saba pun segera turun dari ku-

danya. Dihampirinya rakyat yang menghormat me-

nyambut kedatangannya.

"Selamat datang, Kanjeng patih Wayan?" me-

nyapa seorang pemuda menjadikan Wayan tersentak 

kaget. Betapa tidak. Ia baru memangku jabatan patih 

sebulan yang lalu, tapi orang di hadapannya yang te-

lah berbulan-bulan disandera Kardika telah mengenal-

nya.

"Siapakah dirimu, Anak muda? Rasanya aku 

belum kenal denganmu."

"Ampun, Kanjeng Patih. Hamba memang orang 

hina dina. Hamba tahu nama paduka dari seorang ga-

dis yang mengaku istri paduka," menjawab pemuda 

itu.

Mendengar kata istri disebut oleh pemuda itu, 

mata Wayan Saba seketika membelalak kaget. Pemuda 

dihadapannya gemetar ketakutan, kalau-kalau Wayan 

Saba akan marah padanya. Namun hal itu tak terjadi, 

karena Wayan ternyata bersikap sebaliknya. Dipe-

gangnya pundak pemuda itu, lalu dengan ramah 

Wayan bertanya.

"Siapa nama wanita yang mengaku istriku, 

Anak muda?"

"Ampun, Kanjeng patih. Wanita itu bernama I 

Ayu Mantini...."

"I Ayu Mantini...! Di mana dia sekarang?" ber-

tanya Wayan tak sabar. Ditengadahkannya muka pe


muda itu yang tampak pucat ketakutan, yang dengan 

terbata-bata kembali menjawab: "Ia... ia dibawa oleh 

Kardika, ketika kami sedang melakukan perlawanan."

"Kar-di-ka! Hem...." mendesis Wayan Saba demi 

mendengar nama musuh besarnya.

Mata Wayan Saba menerawang lurus ke depan 

dengan hampa. Di benaknya tergambar kejadian-

kejadian yang telah menimpanya lima tahun yang lalu. 

Ternyata orang yang telah menghancurkan rumah 

tangganya, adalah musuh kerajaan. Orang yang harus 

dibasminya, karena tugas. Tanpa sadar, Wayan Saba 

meremas tangannya keras-keras.

"Ke mana perginya iblis itu?" bertanya Wayan.

Semua orang yang ada di situ, hanya menun-

duk. Tak ada yang berani berkata, atau pun menjawab 

pertanyaan Wayan. Hingga untuk kedua kalinya, 

Wayan pun bertanya:

"Siapa di antara kalian yang tahu tempatnya?"

"Ampun, Gusti Patih. Sungguh kami semua tak 

ada yang tahu, untuk itu kami mohon pengampunan 

gusti...." menjawab orang yang paling tua di antara 

semuanya.

"Baiklah. Kalau kalian tak ada yang tahu, tak 

mengapa. Sekarang kalian bebas. Kembalilah pada ke-

luarga kalian masing-masing, dan hati-hatilah. Bila ke-

lak kalian ada yang tahu, maka kami sebagai pelin-

dung kerajaan mohon bantuan kalian untuk melapor-

kannya."

Habis berkata begitu, Wayan pun dengan sege-

ra mengajak anak buahnya kembali ke kerajaan. Di-

iringi oleh tatap mata rakyat yang merasa kagum, 

Wayan segera menghentakkan kudanya yang seketika 

melesat cepat.


* * *

"Kenapa aku bodoh benar? Bukankah aku tadi 

melihat seorang wanita berpakaian laki-laki dalam 

gendongannya. Oh... Tuhan! Kenapa aku tak berpikir 

ke situ?" menggerutu hati Jaka, setelah disadari beta-

pa dirinya kurang waspada.

Sedang Jaka melamun sambil melangkah, te-

linganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda 

menuju ke arahnya. Jaka bermaksud sembunyi, na-

mun segera diurungkan niatnya. Maka dengan acuh 

tak acuh, Jaka meneruskan langkah kakinya.

Dari kejauhan tampak serombongan prajurit 

kerajaan menuju ke arahnya. Di depan sekali tampak 

seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebesaran 

seorang pangeran. Sepertinya mereka sedang membu-

ru waktu, hingga mereka tak memperhatikan dan ber-

lalu begitu saja.

"Ada apakah gerangan, hingga pangeran itu 

tampak keburu-buru dan ketakutan?" bertanya Jaka 

Ndableg pada diri sendiri.

Belum juga Jaka dapat menemukan jawaban-

nya, dari arah tadi serombongan orang lain datang. Di 

wajah mereka menggabarkan orang tak baik-baik, se-

tidaknya ada maksud-maksud tertentu pada Putra 

Mahkota itu.

Mendapat pirasat tidak baik pada wajah orang-

orang yang baru saja lewat, Jaka dengan diam-diam 

segera menguntitnya.

Memang benar apa yang ditakuti oleh Jaka. 

Terbukti, belum juga Jaka tiba, terdengar suara bera-

dunya senjata pertanda tengah terjadi pertempuran. 

Dengan secara sembunyi-sembunyi, Jaka segera meli-

hatnya.


"Benar juga apa yang telah aku khawatirkan. 

Ternyata orang-orang itu menghendaki nyawa Pange-

ran. Aku harus menolongnya." berkata Jaka dalam ha-

ti. Dengan cepat bagaikan angin, Jaka Ndableg segera 

melompat dari persembunyiannya tepat ketika nyawa 

sang Pangeran terancam.

"Trang...!" Terdengar beradunya dua senjata. 

Orang yang tadi hendak menebaskan goloknya pada 

pangeran menjerit. Golok di tangannya telah patah 

menjadi dua. Orang itu pun terhuyung-huyung, wa-

jahnya pucat pasi saat mengetahui goloknya telah pu-

tus menjadi dua.

Sementara orang yang telah menangkisnya, kini 

tampak berdiri di hadapannya dengan tersenyum se-

raya berkata dingin. "Ternyata kau kembali. Bukankah 

kau yang bernama Darga?"

Orang itu, yang memang Darga adanya, tampak 

ketakutan setelah mengetahui siapa pemuda yang tadi 

menangkis tebasan goloknya. Orang itu kini berdiri 

dengan tangan memegang senjatanya yaitu Pendekar 

Siluman Darah.

"Pendekar Siluman Darah! Mundur...!" Darga 

segera mengomandokan pada anak buahnya untuk 

mundur, karena merasa tak bakal unggulan.

Setelah semua anggota Darga pergi, Pangeran 

dan seorang panglima perang kerajaan segera meng-

hampiri Jaka yang menghormat.

"Sepertinya mereka jerih menghadapimu, Anak 

muda? Apakah kau kenal dengan mereka?"

Merasa pertanyaan itu ditujukan pada dirinya, 

Jaka dengan tak mengurangi rasa hormat, menjawab: 

"Benar. Kami bertemu dua bulan yang lalu. Waktu itu 

kami bentrok, karena hamba bermaksud melindungi 

seorang wanita yang dikejar-kejar oleh pimpinan mere


ka."

Sang pangeran tampak mengangguk-angguk 

mendengar cerita Jaka.

"Lalu. Kenapa dia tampak jeri padamu? Apakah 

pernah kau kalahkan?"

"Ah... kanjeng Pangeran terlalu berlebihan me-

nilai diri hamba yang bodoh ini," menjawab Jaka Ndab-

leg merendah. 

"Kau terlalu merendahkan diri, Anak muda. 

Apakah kau kenal dengan Wayan Saba?" tanya Sang 

Pangeran mencoba memancing. Sesaat Jaka terdiam 

demi mendengar nama Wayan Saba. Kembali ia terin-

gat pada cerita I Ayu Mantini. "Tapi... bukankah Wayan 

Saba telah mati?" bertanya Jaka dalam hati.

"Benar. Hamba mengenalnya dari teman ham-

ba," jawab Jaka.

"Siapa nama teman wanita mu?"

"Namanya I Ayu Mantini, Pangeran."

Sang Pangeran mengangguk-anggukkan kepa-

lanya mengerti. Ia tahu, kalau pemuda di hadapannya 

memang berkata benar. Maka setelah berdiam diri se-

saat, sang pangeran pun kembali berkata: "Anak mu-

da, aku percaya akan kejujuranmu. Atas budimu yang 

telah menyelamatkan nyawa kami, kami mengucapkan 

banyak terima kasih. Dan apabila engkau tak menolak, 

kami ingin mengajak mu ke kerajaan untuk menemu-

kanmu dengan suami teman wanita mu."

Tersentak Jaka untuk kedua kalinya. Ia tak 

mengira, kalau orang yang diceritakan oleh I Ayu Man-

tini ternyata masih hidup.

"Terima kasih! Memang hamba ingin sekali da-

pat bertatap muka dan berkenalan langsung dengan 

Tuan Wayan Saba." menjawab Jaka.

"Baiklah. Oh, ya, kita belum saling kenal. Sia


pakah namamu, Anak muda? Aku adalah putra mah-

kota kerajaan Bayu Lor. Namaku Arya Perwira." berka-

ta Arya Perwira dengan penuh persahabatan.

"Nama hamba yang rendah ini, Jaka," menja-

wab Jaka hormat, menjadikan Arya Perwira makin ka-

gum akan tindak-tanduknya. Setelah saling kenal, ke-

duanya pun menuju ke kerajaan diiringi para pengaw-

al.

Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya putra 

mahkota mengajak ngobrol dengan Jaka. Sesekali ter-

dengar gelak tawa keduanya memecahkan kesunyian 

hutan yang mereka lewati.

Mentari telah condong ke arah Barat, ketika 

rombongan Putra mahkota dan Jaka sampai di pintu 

gerbang kerajaan. Mereka disambut dengan penghor-

matan kebesaran istana.


ENAM



Apa yang dikuatirkan oleh Jaka ternyata benar 

adanya. Kerajaan saat itu tengah diserang oleh kaum 

pemberontak, yang berjumlah besar.

Pemberontakan itu memang telah direncana-

kan. Ketika Wayan Saba menemui tantangan Kardika, 

saat itu pula para pemberontak yang kini langsung di-

pimpin oleh Warok Rekso Poleng menyerbu ke kera-

jaan.

Karena tidak menyangka akan terjadi pembe-

rontakan, bala tentara kerajaan tidak dapat memben-

dungnya. Apalagi dengan perginya seorang Patih yang 

mumpuni seperti Wayan Saba, menjadikan pertahanan 

kerajaan lemah. Sedang dari kaum pemberontak yang


dipimpin langsung oleh Tumenggung Warok Rekso Po-

leng, tampak penuh semangat.

Kini terbuka sudah, siapa sebenarnya dalang 

dari pemberontakan-pemberontakan yang selalu mem-

buat kekacauan itu. Tak lain dari orang istana sendiri, 

seperti Tumenggung Warok Rekso Poleng yang menja-

bat Tumenggung di ketemenggungan Tegal Alur. Dalam 

sekejap saja para pemberontak dapat menghancurkan 

pertahanan prajurit kerajaan yang dipimpin langsung 

oleh Patih Arya Wisesa.

Melihat keadaan yang sangat mengawatirkan, 

maka dengan beberapa ponggawa istananya Raja dan 

permaisuri serta putra-putrinya segera mengungsi.

Hanya dalam beberapa kejap saja. Para pembe-

rontak dapat segera mengambil alih kekuasaan. Ki 

Tumenggung Warok Rekso Poleng tertawa bergelak-

gelak melihat kemenangannya. Hari itu juga Ki Tu-

menggung Warok Rekso Poleng mengangkat dirinya 

menjadi Raja.

* * *

Malam harinya, pesta kemenangan pun segera 

dirayakan. Pesta yang dipenuhi dengan segala macam 

kemaksiatan.

Ki Tumenggung Warok Rekso Poleng yang telah 

mengangkat dirinya menjadi Raja, duduk di bangku 

singgasana. Di kanan kirinya dua wanita muda dengan 

setia memijetinya. Sekali-sekali terdengar gelak tawa Ki 

Tumenggung Warok Rekso Poleng, saat mencium ke-

dua gundiknya.

"Cah ayu, kini aku telah menjadi raja, katakan-

lah apa yang kau minta." berkata Ki Rekso Poleng me-

rayu wanita muda di sisi kanannya. Dengan kasar di


ciumnya pipi wanita itu yang tersenyum kegelian.

Malam pun makin larut, makin menambah pa-

nasnya acara itu. Ada yang mabok hingga ngeduprak. 

Ada yang langsung ngeloyor pergi ke kamar dengan 

wanita penghibur. Istana kini bukan tempat tahta ke-

rajaan, tapi menjadi tahta kemaksiatan.

Jaka yang tengah berjalan hendak menuju ke 

kerajaan kembali, segera menghentikan langkahnya, 

ketika dari arah Timur tampak olehnya rombongan ke-

rajaan.

"Sampurasun...?" menyapa Jaka setelah dekat.

"Rampes...? Engkaukah saudara Jaka?" ber-

tanya Baginda Raja demi melihat orang yang barusan 

datang menghadangnya.

"Benar, Baginda yang mulia. Hamba Jaka.... 

Kalau boleh hamba tahu, ada gerangan apa hingga ba-

ginda dan permaisuri serta putra-putri tampak seperti 

diburu?"

Ditanya begitu oleh Jaka, sang Raja terdiam se-

saat. Di matanya tergambar kepedihan. Lalu setelah 

menarik napas dalam-dalam, Baginda pun mencerita-

kan apa yang telah menimpa kerajaan.

"Begitulah, Saudara Jaka"

"Kalau hamba boleh tahu, siapa sebenarnya Ki 

Warok Rekso Poleng itu?"

"Dia adalah orang dari golongan hitam yang 

kuangkat menjadi Tumenggung. Dia juga yang telah 

menyuruh tokoh-tokoh golongan hitam untuk mem-

buat kekacauan di kerajaan karena dia berambisi men-

jadi raja. Banyak kaum persilatan dari golongan putih 

dengan sadis dibantai olehnya, demi mencapai cita-

citanya."

Mendengar penuturan raja, Jaka seketika ter-

gugah untuk bertindak. Bukan karena mencari muka


pada raja, tapi tindakan Ki Warok Rekso Poleng telah 

melebihi batas kemanusiaan.

"Ini tak dapat dibiarkan," bergumam Jaka tan-

pa sadar. Sang Raja membelalakkan matanya tak per-

caya mendengar omongan Jaka. Lalu dengan segala 

harapan Raja berkata: "Memang benar ucapanmu, 

Saudara Jaka. Karena bila tidak, maka muka bumi ini 

akan menjadi ajang iblis dan syetan. Tapi Ki Warok be-

rilmu sangat tinggi. Sudah berapa kali kaum persilatan 

dari golongan putih mencoba menyingkirkannya, na-

mun hasilnya sebaliknya. Kaum persilatan golongan 

putihlah yang dibantai habis-habisan oleh Warok Rek-

so Poleng."

Setelah menyembah Jaka segera melesat pergi 

meninggalkan mereka yang hanya terbengong tak 

mengerti, menuju ke kerajaan.

"Baginda yang mulia. Bila masanya tiba, hamba 

mengharap baginda berkenan duduk di singgasana se-

perti dulu...!" Terdengar suara Jaka berkata, yang di-

ucapkan dari kejauhan.

Maka dengan segera Baginda Raja pun menyu-

ruh beberapa perwiranya untuk mengikuti ke mana 

Jaka pergi, sedangkan dia dan sisa-sisa prajurit akan 

menunggunya di hutan Dadaka.

Dalam sebuah ruangan kamar, Ki Warok Rekso 

Poleng tengah duduk, dengan wanita-wanita muda 

yang berpakaian sangat minim.

Mereka adalah wanita-wanita culikan anak 

buah Ki Warok, yang sengaja dipersembahkan untuk 

Ki Warok Rekso Poleng.

Biasanya, wanita-wanita itu masih gadis. Sebab 

dengan melalap daun muda, maka ilmu Ki Warok akan 

makin tinggi. Yang lebih mengerikan, gadis-gadis yang 

telah direnggut mahkotanya akan dijadikan tumbal il


munya. Gadis itu akan dikorbankan untuk guru be-

sarnya yang bernama Ratu Iblis Karang Bolong.

Sedang asyiknya Ki Warok Rekso Poleng dengan 

ketujuh gadisnya, tiba-tiba terdengar suara lantang 

memanggil namanya.

"Ki Warok Rekso Poleng, keluarlah kau! Bukan 

tempatmu di istana, tapi tempatmu adalah hutan be-

lantara. Maka aku mohon padamu segeralah pergi dari 

sini?"

"Dobleng...! Dobleng...! Kecoa mana yang berani 

lancang padaku!" membentak Ki Rekso Poleng dengan 

geramnya. Lalu dengan segera, ditinggalkannya ketu-

juh gadis itu keluar.

Ki Warok Rekso Poleng menyengir geli, demi di-

lihatnya yang bicara lancang padanya hanyalah anak 

muda, maka Ki Warok Rekso Poleng tertawa bergelak-

gelak.

"Hai... Anak muda! Lancang benar mulutmu! 

Apa kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?"

Kini gantian Jaka yang tertawa bergelak-gelak. 

Lalu dengan konyolnya, Jaka berkata mengejek. "Aku 

tahu dengan siapa aku berhadapan. Aku sekarang ten-

gah berhadapan dengan seekor Kodok Bangkong."

Merah padam wajah Ki Rekso Poleng, menden-

gar ejekan yang dilontarkan oleh anak muda yang ber-

diri dengan tolak pinggang di hadapannya. Ki Warok 

Rekso Poleng seketika mendengus penuh marah.

"Setan laknat, Deg. Degan! Rupanya kau men-

cari mampus! Sebut namamu, sebelum aku kirim nya-

wa busukmu ke akherat!"

"Ki Warok! Kau bilang nyawaku busuk. Tapi le-

bih busuk lagi nyawamu, yang telah membantai kaum 

persilatan guna memenuhi ambisimu. Untuk itu maka 

hari ini juga aku akan menyingkirkan iblis sepertimu,"


berkata Jaka dengan nada mengejek, membuat Ki Wa-

rok Rekso Poleng menggeram. Maka tanpa banyak bi-

cara lagi, Ki Warok segera menyerang.

Tak ayal lagi, keduanya segera terlibat dalam 

pertempuran. Warok Rekso Poleng, walau telah tua 

namun tampak masih lincah. Tubuhnya yang gemuk 

berkelebat menyerang dan berkelit.

Jurus demi jurus telah berlalu, tampaknya ke-

dua orang itu tak akan segera menghentikan pertem-

purannya. Dari arah Barat, tampak serombongan 

orang menuju ke situ, mereka tak lain dari para pan-

glima perang raja, yang ditugasi untuk ikut menyaksi-

kan jalannya pertarungan Ki Warok dengan Jaka.

"Anak muda. Mari kita buktikan, siapa di anta-

ra kita yang lebih kuat," berkata Ki Warok, setelah ia 

merasa akan kehebatan musuhnya.

"Aku layani apa yang menjadi abamu, Ki Wa-

rok!"

Sehabis berkata begitu, keduanya kembali sal-

ing serang dengan ilmu tingkat tingginya.

Mendengar keramaian di luar, anak buah Ki 

Warok Rekso Poleng segera berlari keluar. Sesam-

painya di luar, semuanya hanya dapat menjadi penon-

ton belaka, karena perkelahian mereka berdua bukan-

lah perkelahian biasa yang mengandalkan jurus-jurus 

enteng. Tapi perkelahian antar Ki Warok dengan Jaka 

merupakan perkelahian tingkat tinggi. Yang memakai 

segala jurus tingkat tinggi pula.

Semua mata anak buah Ki Warok Rekso Poleng 

terbelalak kagum, demi melihat siapa orang yang bera-

ni menghadapi Ki Warok yang terkenal kesaktiannya.

Gusar hati Ki Warok, menyadari bahwa mu-

suhnya ternyata bukan orang sembarangan. Segera Ki 

Warokpun melompat mundur, sembari berseru.


"Terimalah ini! Hiat!"

Semua mata yang menyaksikan, seketika terbe-

lalak kaget demi melihat ajian Panca Api yang dilon-

tarkan oleh Ki Warok.

Jaka yang selalu siaga, melihat api bergulung-

gulung menyerangnya seketika memapakinya dengan 

ajian Getih Sakti. Seketika dari kedua belah tangannya 

meluncur cairan yang disertai angin topan besar me-

nyapu hembusan api itu yang segera padam. Kini an-

gin topan itu yang berbalik menyerang Ki Warok. Men-

jadikan pohon-pohon dan rumah-rumah ambruk.

Menyaksikan hal itu, mata Ki Warok tampak 

menyipit. Segera Ki Warok pun kembali mengeluarkan 

ajiannya yaitu "Bedeng Buana". Seketika angin topan 

itu hilang. berganti dengan suara ribuan tawon yang 

menyakitkan telinga. Hingga bila tak mampu, maka 

sudah barang tentu orang itu akan mati dan dengan 

kuping dan hidung keluar darah.

Jaka Ndableg tersentak melihat ajian yang dike-

luarkan oleh Ki Warok, yang membuat indra tubuhnya 

dirasa tak berfungsi. Setelah terkesiap sesaat, Jaka se-

gera menghantamkan kembali ajian Petir Sewu, maka 

luluh lantaklah semua desingan tawon, berganti den-

gan ledakan yang disertai panas membara.

Menerima kenyataan itu, Ki Warok yang merasa 

telah dipencundangi oleh yang masih hijau menggere-

tak penuh amarah. Dalam hatinya tak percaya akan 

apa yang telah terjadi. Bagaimana mungkin anak se-

muda itu telah mampu menghalau segala serangan-

nya?

Karena merasa dirinya yang paling sakti, Ki 

Warok Rekso Poleng tak mau menerima semua, itu. 

Kembali Ki Warok Rekso Poleng menyerang, kali ini 

dengan ajian Pelebur Sukma.


Jaka Ndableg tersentak dan berusaha meng-

hindar, namun terlambat. Tubuhnya seketika tersedot, 

mendekati ke Ki Warok Rekso Poleng. Jaka terus ber-

tahan agar tidak terus tersedot. Namun rupanya keku-

atan lawan jauh lebih besar, sehingga Jaka perlahan-

lahan terseret mendekat.

"Hem, kalau begini hanya ada satu cara untuk 

melawannya. Aku akan memanggil Pedang Siluman 

Darah. Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"

Tersentak Ki Warok Rekso Poleng, manakala 

melihat tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam sebi-

lah pedang. Dari ujung pedang meleleh darah memba-

sahi batangnya.

"Aaah...!" tersentak Ki Warok memekik.

"Ki Warok, bersiaplah!"

Belum juga Ki Warok tersadar dari kagetnya, 

Jaka telah dengan cepat membabatkan pedangnya. 

Memekik seketika Ki Warok ketika pedang di tangan 

Jaka membabat tubuhnya. Tubuh Ki Warok terbelah 

menjadi dua, dengan darah mengering.

Melihat Ki Warok telah mati, serta merta selu-

ruh rakyat bersorak dan menari-nari dengan riang. 

Hari itu adalah hari kemenangan bagi Kerajaan Bayu 

Lor. Wayan yang baru saja datang, segera menyalami 

Jaka. Begitu juga dengan Sri Baginda Raja dan lain-

nya, mereka mengucapkan rasa terima kasih.

Tengah pesta itu berlangsung dengan meriah, 

Jaka tanpa sepengetahuan lainnya berkelebat pergi. 

Semua tersadar manakala Jaka telah jauh berlalu.

***


TUJUH


Ketika Wayan Saba tengah duduk sambil ber-

cakap-cakap dengan Jaka, tiba-tiba sebatang anak pa-

nah berdesir di depan mereka. Dengan reflek yang 

kuat, keduanya mengelak dan memburu asal anak pa-

nah itu datang.

"Hem... aku kira yang melakukan tadi masih 

orang dalam istana ini?" berkata Jaka setelah mengeli-

lingi tempat itu.

"Mengapa saudara Jaka berpendapat begitu? 

Apakah ada bukti yang kuat?" tanya Wayan Saba tak 

yakin. Sepengetahuannya, orang-orang istana sangat 

baik terhadap dirinya. "Mana mungkin melakukan hal 

sesembrono tadi? Atau barang kali ada yang tidak se-

nang dengan kedatangan Jaka di tempatnya? Ah, tidak 

juga, Jaka orang baik-baik," bergumam hati Wayan.

"Ada... dan bukti itu kuat. Coba saudara Wayan 

perhatikan. Tempat ini sangat terlindung dan berdeka-

tan dengan kediaman baginda Raja yang dijaga ketat. 

Bila orang luar, pasti dengan segera dapat dicurigai?" 

berkata Jaka menjelaskan alasan-alasannya. Kini 

Wayan Saba sadar, bahwa orang yang berdiri di sam-

pingnya bukan orang sembarangan. Di samping ilmu 

kedikjayaannya yang tinggi, ilmu strateginya bahkan 

lebih menonjol.

"Ah... rupanya aku harus belajar lagi pada an-

da, Saudara Jaka?" berkata Wayan agak malu.

"Tidak begitu, Saudara Wayan. Bukan karena 

aku lebih pandai dibandingkan dengan diri saudara, 

namun hal ini hanya kejelian semata."

Wayan Saba mengangguk mengiyakan. Setelah 

dirasakan tak ada apa-apa lagi, keduanya kembali ma


suk. Wayan Saba segera mengambil anak panah yang 

menancap di atas meja, dengan sehelai kain yang 

menggulung di pangkalnya.

Perlahan dibukanya kain gulungan di pangkal 

anak panah itu, dan dibacanya.

Wayan Saba....

Kita bertemu lagi. Rupanya Yang Wenang masih 

menghendaki kau hidup.

Aku tahu, kalau kau ditolong oleh seseorang 

yang bernama Ki Turangga Bayu.

Kalau kau memang seorang pendekar kutunggu 

dirimu di desa Randu.

Ingat...! Jangan kau bawa prajurit-prajurit mu, 

bila nyawa istrimu selamat.

Tapi bila kau mengingkarinya, maka nyawa is-

trimulah balasannya.

Kutunggu dirimu di desa Randu, saat bulan Pur-

nama.

Kardika

Setelah selesai membaca, diserahkannya surat 

itu pada Jaka yang segera membacanya.

"Bagaimana menurutmu, Saudara Jaka?" ber-

tanya Wayan meminta pendapat.

"Menurutku, lebih baik kita tepati agar dia me-

rasa puas. Memang dia merupakan musuh kerajaan, 

tapi apalah bedanya musuh kerajaan dengan musuh 

kita? Bukankah kita dituntut untuk turut mengaman-

kan kerajaan? Kedua, dengan mendatanginya tanpa 

pasukan secara tidak langsung kita bertindak kesatria. 

Bukan begitu saudara, Wayan?" Jaka Ndableg balik 

bertanya.

"Benar! Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri,


Saudara Jaka?"

"Aku akan berusaha mengikutimu secara sem-

bunyi. Bukannya aku merendahkan ilmu yang kau mi-

liki. Tidak! Tapi, biasanya orang-orang semacam dia 

sering berbuat licik dan curang. Bagaimana, Saudara 

Wayan?"

"Terimakasih atas bantuanmu sebelumnya. Ma-

ri kita menghadap baginda untuk melaporkan kejadian 

ini, sekaligus kita selidiki siapa orang yang terlibat."

"Setuju! Mungkin dengan cara begitu, kita akan 

segera mengetahui siapa orang dalam istana yang ikut 

terlibat dalam pemberontakan."

Tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya 

segera menuju ke istana untuk menghadap baginda 

raja. Sementara tanpa sepengetahuan keduanya, se-

seorang mengawasi mereka dengan sembunyi. Lalu se-

telah kedua orang yang diawasinya masuk ke istana, 

orang itu segera berkelebat pergi.

Wayan segera menceritakan kejadian yang baru 

saja terjadi. Diceritakan pula tentang keinginannya un-

tuk membekuk Kardika seorang diri, seperti yang dipe-

rintahkan dalam surat.

Sang raja tampak terdiam untuk beberapa la-

ma. Ia berpikir keras, untuk dapat memutuskannya. 

Sesaat setelah terdiam, baginda pun berkata:

"Ki Patih Wayan Saba dan saudara Jaka, bu-

kannya aku meremehkan kesaktian yang ada pada diri 

kalian. Namun sebagai seorang raja, aku juga berpikir 

tentang apa yang harus aku perbuat agar jangan sam-

pai terjadi hal-hal yang akan mencelakakan kalian."

"Terima kasih atas perhatian paduka terhadap 

hamba. Namun perlu hamba sampaikan, sebenarnya 

di antara hamba dan Kardika ada silang sengketa. 

Adapun silang sengketa antara hamba dengannya, ter


jadi kira-kira lima tahun yang silam." Wayan Saba se-

gera menceritakan kembali apa yang pernah diala-

minya kala lima tahun silam, tentang kehancuran ru-

mah tangganya karena ulah Kardika.

Mendengar penuturan Wayan, Jaka dari sang 

Raja pun terdiam. Dari wajah mereka tergambar rasa 

haru. Setelah Wayan selesai menceritakan kejadian 

yang menimpa dirinya, Baginda berkata: "Kalau me-

mang begitu, aku mengijinkan kau untuk menghada-

pinya. Tangkaplah dia hidup-hidup bila dapat, bila ti-

dak, lebih baik dibunuh saja, agar tak ada lagi pembe-

rontak-pemberontak. Kalau kau mampu menyingkir-

kannya, secara tak langsung, kau telah melindungi se-

luruh rakyat kerajaan ini dari cengkeramannya. Aku 

hanya dapat berdo'a semoga kau berhasil, Ki Patih?"

"Terima kasih, Baginda sesembahan hamba. 

Semoga dengan do'a dari baginda dan rakyat kerajaan 

ini, hamba dapat melaksanakan tugas."

Setelah meminta pamit pada Rajanya, Wayan 

Saba dengan segera kembali ke rumahnya. Untuk me-

nukar pakaian patihnya dengan pakaian persilatan.

* * *

Dihentakkan tali kudanya, hingga kuda yang 

ditumpanginya segera lari dengan kencangnya. Wayan 

Saba terus melarikan kudanya dengan cepat, menuju 

desa Randu yang telah ditentukan oleh Kardika untuk 

saling bertemu.

Desa Randu adalah sebuah desa yang sangat 

makmur, di mana letaknya sangat strategis untuk lalu 

lintas perdagangan. Di situ pula lima tahun yang si-

lam, Kardika telah membuat keonaran saat malam 

pengantin Wayan Saba dengan I Ayu Mantini tengah


berlangsung, yang menjadikan Wayan harus terkurung 

di dasar jurang lima tahun lebih.

Dalam perjalanan menuju ke desa Randu, 

kembali Wayan teringat akan istrinya. Tapi wajah Dewi 

Ayu Laras pun muncul menggodanya, hingga kebim-

bangan di hati Wayan pun terjadi. Bimbang untuk me-

nentukan sifat, bimbang untuk menyerahkan cinta di 

hatinya. Apakah pada I Ayu Mantini yang ia sayangi 

lima tahun yang lalu? Atau pada Dewi Ayu Laras yang 

selalu menghibur dan merayunya di kala dia tengah 

bimbang untuk berbuat?

Ingat akan Dewi Ayu Laras, menjadikan Wayan 

kembali teringat akan kejadian-kejadian yang telah 

mereka berdua lakukan selama setengah tahun bela-

kangan. Malam itu, ketika udara terasa panas, Wayan 

tampak gundah gulana. Sudah beberapa kali ia men-

coba memejamkan mata, namun ia tak mampu. Maka 

dengan agak malas, Wayan pun segera keluar untuk 

mencari angin.

Ketika ia tengah menikmati udara malam, tiba-

tiba ia dikejutkan oleh seseorang yang datang meng-

hampirinya. Orang itu yang ternyata Dewi Ayu Laras, 

tersenyum padanya, senyum memikat hingga Wayan 

tak mampu berkata apa-apa, Wayan hanya dapat me-

mandang tubuh Dewi Ayu Laras yang malam itu men-

genakan gaun tipis, hingga lekuk-lekuk tubuhnya 

tampak jelas kelihatan.

"Kau masih di luar, Wayan? Kenapa...?" tanya 

Dewi Laras manja. 

"Benar, Kanjeng Dewi. Udara di dalam terasa 

panas, hingga aku memutuskan untuk mencari hawa 

di luar. Bagaimana dengan kanjeng Dewi sendiri?"

"Aku tak dapat tidur, Wayan?"

"Kenapa demikian, Kanjeng Dewi...?"


"Entahlah. Kenapa bayangan itu selalu datang 

saat aku hendak tidur?" tanya Dewi Laras seperti pada 

diri sendiri.

"Bayangan apakah gerangan? Apakah ada 

orang yang berani mengganggu ketenangan kanjeng 

Dewi?" bertanya Wayan tak mengerti, yang mengira 

bahwa Dewi Laras tengah berkata dengan sesungguh-

nya. Dewi Laras tampak tersenyum memikat, demi 

mendengar pertanyaan Wayan. Membuat Wayan men-

gernyitkan alis matanya, kembali bertanya:

"Kenapa kanjeng Dewi tersenyum? Apa ada 

yang lucu pada ucapan hamba?"

Untuk kedua kalinya Dewi Laras tersenyum.

"Wayan, Kau tahu orang yang mengganggu ti-

durku?"

"Tidak, Kanjeng Dewi. Kanjeng Dewi berkenan 

mengatakannya...?"

Lagi-lagi Dewi Laras tersenyum, makin mende-

kat pada Wayan yang hanya terdiam. Tanpa diduga 

sebelumnya oleh Wayan, Dewi Laras seketika memeluk 

tubuhnya membuat Wayan tersentak kaget.

"Kanjeng Dewi! Kenapa kau...?"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Dewi 

Laras. Bahkan makin dieratkannya pelukan ke tubuh 

Wayan yang tak mengerti. Dari mulut Dewi Laras, ter-

dengar desah: "Wayan... aku merindukan saat-saat se-

perti ini. Peluklah aku, Wayan... peluklah. Berbuatlah 

sesukamu."

Sekokoh-kokohnya hati Wayan, menerima kea-

daan seperti itu seketika runtuh. Dengan segala gejo-

lak dibopongnya tubuh Dewi Laras yang masih ber-

gayut dengan manja ke dalam rumah.

Tak berapa lama kemudian, kedua insan ma-

nusia itu telah lupa pada keadaannya. Keduanya kini


telah terjerat oleh angan-angan yang dibuat setan.

Angan-angan mereka melambung tinggi, hingga 

ke puncak yang diinginkan. Lalu keduanya sama-sama 

terjatuh dengan sejuta kenyataan yang ada. Kenyataan 

yang tak mungkin dihapus, atau dibuang begitu saja.

Wayan tersentak dari lamunannya, ketika ter-

dengar suara Jaka yang diucapkan dari jarak jauh. 

"Saudara Wayan, kau seperti melamun. Kenapa...? 

Kau tak boleh bimbang, sebab kebimbangan akan 

menjadikanmu teledor. Hal itu akan membuatmu me-

rasa kurang percaya diri untuk menghadapi Kardika. 

Buanglah segala macam pikiranmu, pusatkan pada 

apa yang telah menjadi tujuanmu semula...."

"Saudara Jaka, terima kasih atas peringatan-

mu. Di mana sekarang engkau berada?" tanya Wayan 

setelah dapat menenangkan pikirannya. Dalam hatinya 

terbersit rasa kagum pada sahabatnya. Betapa tidak! 

Dari jarak yang begitu jauhnya, masih dapat meman-

tau dirinya.

"Aku selalu berada di belakangmu. Aku di sini, 

Saudara Wayan!"

Tiba-tiba tanpa diketahui oleh Wayan sebelum-

nya, telah duduk di atas punggung kudanya membon-

ceng di belakangnya tanpa mengeluarkan suara sedi-

kitpun.

Maka untuk yang kedua kalinya, Wayan terke-

jut. Makin yakinlah di hati Wayan, bahwa orang yang 

menjadi sahabatnya adalah orang yang dikatakan oleh 

gurunya.

"Inikah orang yang dimaksud guru? Salah seo-

rang yang ilmunya sukar untuk ditandingi?" membatin 

Wayan bertanya pada diri sendiri. Melihat Wayan ter-

kejut, Jaka Ndableg tersenyum sembari bertanya.

"Kenapa terkejut? Aku sebenarnya dari tadi ada


di belakangmu. Namun karena kau tengah melamun, 

hingga kau tak merasakan ada orang yang naik di be-

lakangmu. Karena kau lalai, aku sengaja memperin-

gatkanmu."

Makin bertambah yakinlah hati Wayan, men-

dengar penuturan Jaka, yang nadanya merendah. 

Wayan tahu sejak keluar dari istana, Jaka tidak ba-

reng dengannya. Tapi tahu-tahu pemuda itu telah du-

duk di kudanya. Hal ini sangat mustahil dilakukan 

oleh orang biasa, karena Wayan yang berilmu cukup 

tinggi akan mengetahuinya terlebih dahulu. Tapi pe-

muda ini, membikin Wayan merasa dirinya masih jauh 

dan kecil bila dibandingkan dengannya.

"Terima kasih, Saudara Jaka. Kini aku sadar 

atas kelalaianku. Apa jadinya bila kau musuhku?" ber-

gumam Wayan seperti menyesali keteledorannya.

"Kau terlalu merendahkan diri. Nah, aku turun 

di sini. Aku akan selalu mengikutimu," berkata Jaka, 

membuat tenang hati Wayan yang segera menghentak-

kan tali kudanya. Kuda yang ditumpakinya segera lari 

dengan kencang.

Kala Wayan kembali menengok ke belakang, 

Jaka sudah tak ada di tempat semula.

"Sungguh luar biasa ilmunya!" mendecak ka-

gum hati Wayan.

Ketika malam tiba, Wayan Saba pun segera 

mencari penginapan untuk beristirahat. Karena perja-

lanan yang sangat melelahkan, hingga Wayan pun 

langsung tertidur dengan nyenyaknya.

Malam begitu dingin, hingga keadaan di sekelil-

ing penginapan itu sepi. Dua sosok bayangan berkele-

bat dari rerumputan pohon yang tumbuh di sekitar 

penginapan itu. Bayangan kedua orang itu, meloncat 

ke atas wuwungan penginapan.


Dibukanya genting penginapan itu dengan tan-

pa mengeluarkan suara, hingga Wayan yang tengah 

tertidur tidak mendengar suara sedikitpun.

Tanpa diketahui oleh kedua orang yang ber-

maksud jahat pada Wayan, seseorang dari tadi men-

gawasi gerak-gerik keduanya dari atas pohon kapuk.

"Hem... Wayan rupanya tak sadar akan bahaya 

yang akan menimpa. Mungkin ia tengah tertidur pulas 

karena kecapaian setelah menempuh perjalanan yang 

cukup jauh. Apakah aku harus turun tangan? Tidak! 

Biarlah Wayan sendiri yang mengatasinya. Tapi... ke-

napa dia tidak segera terbangun? Akan aku bangun-

kan dia dengan ilmu Penyusup Suara. Wayan... ban-

gunlah! Bahaya ada di mana-mana, termasuk di hada-

panmu sekarang. Bangunlah...!"

Mendengar suara orang yang cukup dikenal-

nya, seketika Wayan tersentak bangun. Bersamaan 

dengan itu, dua orang yang bermaksud jahat padanya 

turun dan langsung menyerang.

Wayan yang merasa jengkel dan menyesali 

akan kelalaiannya, menumpahkannya pada kedua 

orang yang menyerangnya. Maka ajian Tapak Sakti 

pun dikeluarkan. Kedua orang yang bermaksud buruk 

padanya menjerit panjang, hangus bagai dipanggang 

api terhantam pukulan Wayan. Dibukanya cadar yang 

menutupi muka kedua orang tersebut. Wayan Saba 

seketika terkejut bukan alang kepalang, karena orang-

orang itu adalah prajurit-prajurit istana.

"Apa arti semua ini? Mengapa orang-orang ista-

na hendak membunuhku? Kini aku tahu, memang da-

lang dari semuanya ini adalah orang istana yang 

menghendaki kerajaan hancur." membatin Wayan.

Dengan rasa gusar, dilemparkannya kedua tu-

buh orang itu yang telah menjadi bongkahan arang ke


luar. Malam itupun, Wayan Saba tak dapat memejam-

kan matanya sampai pagi tiba.

Ketika dilihatnya hari telah pagi, Wayan Saba 

pun segera meneruskan perjalanannya menuju ke desa 

Randu. Di dalam pikirannya terus bertanya-tanya ten-

tang kejadian semalam. Kini Wayan mengerti akan apa 

yang dikatakan oleh sahabatnya Jaka, bahwa Kardika 

pasti akan berbuat licik. Hal itu telah terbukti sema-

lam, untung Jaka telah mengirimkan peringatan lewat 

ilmu Penyusup Suara.

Firasatnya yang tajam, mengatakan bahwa ke-

rajaan kini tengah dilanda pemberontakan. Hal itu 

membuat Jaka, bimbang. Apakah akan terus mengiku-

ti Wayan, atau kembali ke kerajaan dan meninggalkan 

Wayan sendirian?

Setelah berpikir masak-masak. Jaka dengan 

ilmu menyusupkan suaranya berkata pada Wayan 

yang saat itu masih melanjutkan perjalanannya menu-

ju ke desa Randu.

"Saudara Wayan, kau dengar suaraku?" Men-

dengar suara Jaka memanggilnya, segera Wayan mem-

perlambat lari kudanya.

"Ya...! Di mana kau, Saudara Jaka?" tanya 

Wayan sembari mencari-cari Jaka yang belum juga 

nampak di hadapannya.

"Aku masih di desa Tunggeng. Aku mendapat 

pirasat, bahwa kerajaan kini tengah mendapat anca-

man. Maka dari itu, aku bermaksud kembali ke kera-

jaan. Apabila kau telah selesai menjalankan tugasmu, 

kuharap kau segera kembali. Ku doa'kan kau berha-

sil...." Setelah berkata begitu tanpa menunggu jawaban 

dari Wayan, segera berlalu meninggalkan desa Tung-

geng Jaka kembali ke kerajaan Bayu Lor.

Malam bulan purnama tiba, ketika di sebuah


lapangan yang cukup luas, sesosok tubuh berdiri tak 

bergeming. Orang itu, yang ternyata Wayan adanya, 

tengah menunggu kedatangan Kardika.

Angin malam yang dingin, makin menambah-

kan suasana mencekam. Dari arah Timur tampak 

bayangan lain melangkah menuju ke tengah lapangan. 

Wayan segera dapat mengenali orang itu, walau orang 

yang kini melangkah mendekatinya telah berubah pi-

sik dengan kumis dan jambang yang tubuh di mu-

kanya.

Wayan tampak masih tenang, ketika orang yang 

ia tunggu makin mendekat ke arahnya dengan senyum 

mengejek.

"Wayan Saba, tak nyana kita bakal bertemu 

kembali di sini. Dulu nyawamu masih dilindungi oleh 

Yang Wenang. Namun sekarang, aku akan mencabut-

nya."

Wayan tampak masih tenang, tak terpengaruh 

dengan ucapan Kardika sedikit pun. Hanya matanya 

saja yang terus mengawasi gerak-gerik Kardika.

"Kardika! Kau tak lebihnya iblis berbentuk ma-

nusia, yang tak mengerti akan rasa terima kasih. Sete-

lah kau dapatkan ilmu Wesi Geni, begitu teganya kau 

siksa guru. Dan yang lebih dari pada itu, kau lempar-

kan guru yang sudah tak berdaya ke dalam jurang itu, 

lalu kau curi kitab aji Wesi Geni. Sesuai amanat guru, 

aku hendak meminta kembali kitab itu, sekaligus 

menghukum mu!"

Mendengar ucapan Wayan, seketika meledaklah 

tawa Kardika yang menganggap ucapan Wayan tak 

ubahnya anak kecil. Karena merasa aji Wesi Geni pal-

ing tinggi, maka Kardika pun meremehkan orang lain. 

Ia tak menyangka kalau Ki Turangga Bayu telah men-

ciptakan ilmu tandingannya, yaitu "Ilmu Catur Lang


kah."

"Wayan Saba, kitab yang kau maksud telah 

menjadi milikku. Tak seorang pun yang akan dapat 

mengambilnya dariku, termasuk kau! Ha... ha... ha....".

"Jangan takabur, Kardika. Kuakui ilmumu 

memang tinggi, apalagi dengan aji Wesi Geni. Tapi se-

tinggi-tingginya ilmu orang, pasti akan ada yang lebih 

tinggi. Maka itu aku sarankan, kembalikan kitab itu 

padaku. Kau bukan haknya, sebab kau mendapatkan-

nya dengan cara mencuri."

"Sudah aku katakan, bahwa aku tak akan me-

nyerahkan kitab yang telah di tanganku. Sekarang hal 

lain, Wayan Saba. Ketahuilah, aku akan mengampuni 

selembar nyawamu bila kau mau membantuku meng-

gulingkan raja dungu itu. Dan lebih dari itu, kau akan 

dapat bersanding kembali dengan istrimu. Sekaligus 

akan kuberikan padamu kedudukan yang lebih tinggi."

Mendengar ucapan Wayan yang seakan meng-

hinanya, seketika Wayan menjadi geram. Dengan lan-

tang, Wayan pun berkata sengit:

"Kardika! Kukatakan sekali lagi, menyerahlah!"

"Kardika tak ada istilah menyerah. Lakukanlah 

apa yang kau mampu terhadap diriku, Wayan."

Wayan Saba yang sedari tadi mencoba sabar, 

kini berubah jadi berang. Wayan pun kembali berkata 

dengan penuh kekesalan. "Bila kau tak mau mengem-

balikan kitab yang kau curi, dan tak mau menyerah, 

jangan salahkan aku bertindak!"

"Sudah kubilang, Patih busuk! Aku tak sudi 

menyerah, dan tak akan menyerahkan kitab Aji Wesi 

Geni padamu. Mari kita buktikan, siapa yang sakti di 

antara kita!"

Kembali Wayan Saba mendengus marah. Maka 

dengan didahului bentakan, Wayan Saba pun segera


menyerang. "Jangan lengah, Kardika!"

Pertarungan antara kedua musuh bebuyutan, 

yang sekaligus bekas saudara seperguruan tak dapat 

dicegah. Masing-masing mempunyai andalan ilmu 

yang mereka miliki, yang sumbernya dari seorang yaitu 

Ki Turangga Bayu. Jurus-jurus mereka keluarkan den-

gan cepat. Sudah hampir enam puluh jurus mereka 

saling serang dan mengejar. Tapi nampaknya kedua-

nya seimbang. Dari adu ilmu tangan kosong, kini ke-

duanya menggunakan senjata masing-masing.

Wayan Saba dengan senjata Pedang Seriti Kun-

ing, sementara Kardika dengan senjatanya sepasang 

clurit emas. Karena keduanya menggunakan ilmu silat 

tingkat tinggi, hingga gerakan-gerakan mereka tampak 

cepat.

Pedang Seriti Kuning di tangan Wayan Saba 

bergulung-gulung dengan cepatnya, sepertinya memi-

liki mata terus mencari sasaran yang mematikan.

Kardika agak tersentak melihat permainan pe-

dang Wayan Saba yang begitu cepatnya, yang tak 

memberi peluang sekalipun baginya untuk berbalik 

menyerang. Dengan melompat mundur, Kardika segera 

merapalkan ajiannya Wesi Geni. Seketika tangan Kar-

dika berwarna merah kehitam-hitaman bagai besi yang 

membara.

Melihat hal itu, dengan segera Wayan pun me-

lompat mundur beberapa tombak. Lalu Wayan pun se-

gera mengeluarkan ilmu Catur Langkah, sejenis jurus 

silat yang aneh dengan mengandalkan langkah-

langkah yang merupai permainan catur.

Dengan didahului oleh pekikan, keduanya sege-

ra berkelebat saling menyerang. "Duer...!" Terdengar 

suara ledakan dahsyat, ketika dua tenaga dalam bera-

du.


Wayan terdorong dua tombak ke belakang, se-

mentara Kardika sendiri terpental hampir sepuluh 

tombak. Mulutnya keluar darah segar.

"Katakan, di mana istriku! Dan di mana kau 

sembunyikan kitab Aji Wesi Geni yang telah kau curi?" 

bertanya Wayan Saba, setelah untuk beberapa saat 

terdiam memandang pada Kardika yang terduduk tak 

berdaya.

"Bunuhlah aku! Bunuh...!" 

"Tidak, Kardika. Katakanlah di mana istriku, 

dan kitab Wesi Geni. Mengenai dirimu, aku tak berhak. 

Tapi kerajaan dan gurulah yang berhak menghukum

mu."

Kardika sesaat terdiam, di hatinya kelicikan 

pun menjalar. Setelah segala kelicikan terlukis di ha-

tinya, Kardika berkata: "Itu istrimu!"

Wayan Saba segera mengikuti arah yang ditun-

juk Kardika. Tampak seorang wanita yang tak lain dari 

pada I Ayu Mantini berlari-lari menuju ke arahnya.

"Kakang...!"

Melihat hal itu, Wayan Saba pun segera me-

nyongsongnya sembari berseru. "I Ayu...!"

Ketika keduanya hampir berpelukan, Kardika 

yang memang licik segera melemparkan cluritnya den-

gan sisa-sisa tenaga ke arah mereka. I Ayu Mantini 

yang melihat Kardika melemparkan cluritnya, berseru 

memperingatkan pada Wayan, yang segera mengelak. 

"Ah…!"

Selamat bagi Wayan, tapi hal itu harus ditebus 

dengan tubuh I Ayu Mantini. Clurit Kardika telah me-

nancap tepat di perut I Ayu Mantini, yang seketika ro-

boh terkulai di tanah dengan darah yang keluar dari 

lukanya.

Serta merta, Wayan pun segera memeluk tubuh


istrinya. Dan dengan bibir bergetar menahan marah, 

Wayan berkata: "Istriku... kenapa kita harus berpisah. 

Kenapa kau harus meninggalkan aku setelah kita ber-

temu?"

"Ka... kang. A... aku mencintaimu. A... aku 

tung... gu dirimu, di surga." I Ayu Mantini pun terkulai 

lemas.

"Istriku... I Ayu Mantini, jangan tinggalkan aku! 

Iblis... kubunuh kau! Kubunuh...!" Digeletakkannya 

tubuh I Ayu Mantini yang telah meninggal. Dengan se-

genap emosinya, Wayan pun segera menyerang Kardi-

ka dengan aji Lebur Raga.

Kardika yang tak sempat menghindar menjerit 

kalau ajian itu menghantamnya. Seketika tubuh Kar-

dika hancur berantakan, hangus terbakar. Api yang 

keluar dari tangan Wayan Saba, membakar seluruh 

tubuh Kardika yang telah hancur luluh.

Setelah menyaksikan musuhnya telah hancur, 

Wayan Saba pun segera kembali ke tubuh istrinya 

yang telah mati. Dengan penuh kasih, dibopongnya 

mayat I Ayu Mantini pergi meninggalkan desa Randu.

Bulan purnama pun seketika tampak redup. 

Seakan mengiringi kepergian Wayan yang membawa 

mayat istrinya, melangkah meninggalkan lapangan 

yang tampak terang oleh api yang terus menjilati tubuh Kardika.



                             Tamat




Share:

0 comments:

Posting Komentar