BOCAH KEMBARAN SETAN
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Bocah Kembaran Setan
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Goa itu nampak sunyi, bagaikan mati
tiada berpenghuni. Angin menderu-deru, berpu-
tar-putar mengelilingi atas goa, sepertinya ada
sebuah kekuatan yang menyetir angin tersebut
untuk terus berputar makin cepat dan cepat di
atas goa. Hembusannya menderu-deru, laksana
badai topan yang hendak membongkah goa terse-
but.
Sayup-sayup bersamaan dengan hembu-
san angin, terdengar suara seseorang wanita
menggema. Suara itu keras, keras bagaikan berte-
riak. Namun orang yang mengucapkannya tak
nampak batang hidungnya.
"Nok Jenah... Nok Jenah, bangunlah! Ba-
ngun dari semedimu. Bangun...! Anak yang eng-
kau kehendaki, yang kelak akan membantu diri-
mu telah lahir. Bangunlah! Cari anak tersebut!"
"Duar! Duar! Duar...!"
Bersamaan dengan habisnya suara gema
tersebut, terdengar ledakan bebatuan yang sangat
dahsyat. Lalu dari dalam ledakan bebatuan terse-
but, seorang wanita cantik muncul seraya tertawa
bergelak-gelak.
"Hua, ha, ha...! Sri Ratu memanggil ham-
ba?!"
"Ya!" kembali terdengar suara seorang
wanita berkata: "Aku memang memanggilmu, Je-
nah!"
"Ada gerangan apa. Sri Ratu?!"
"Nok Jenah, Bayi Kembaran Setan telah
lahir. Bayi tersebut telah lahir ke muka bumi ini.
Carilah olehmu... cari dia sampai ketemu."
"Hanya itu yang Sri Ratu maksudkan?"
Nok Jenah miringkan kepalanya, seakan telinga
kanannya yang mampu mendengar. Dan memang
telinga kanannya yang mendengar, sedang telinga
kirinya sudah tak berfungsi lagi. Telinga kiri ter-
sebut rusak oleh hantaman musuhnya. Itu pula
yang mengakibatkan Nok Jenah harus melakukan
tapa Brata terpendam dalam batu-batuan selama
hampir dua lima tahun. "Apakah aku boleh me-
nuntut balas pada Pramanayuda, Sri Ratu?"
"Tidak usahlah! Dengar, Jenah! Kalau
pun engkau tidak menuntut balas pada Pramana,
kelak pun Pramana akan menanggung akibatnya.
Dunia persilatan akan geger oleh Bayi Kembaran
Setan. Orang-orang persilatan telah mengetahui
bahwa Bayi Kembaran Setan adalah cucu Prama-
na. Bukankah dengan kau menggunakan bocah
tersebut kau telah secara tidak langsung memba-
las kekalahanmu padanya?" suara Sri Ratu kem-
bali menggemadi antara bebatuan: "Bila kau
membalas secara langsung, pastilah banyak
orang-orang persilatan yang akan mencerca diri-
mu. Namun bila engkau menggunakan Bocah
Kembaran Setan, tentunya orang-orang persilatan
yang tahu siapa adanya pemilik bocah tersebut
akan menuduh bahwa Pramana dan keluarganya-
lah yang telah berbuat. Bukankah begitu, Jenah?"
Nok Jenah nampak terdiam, sepertinya ia
tengah memikirkan tentang apa yang pernah ter
jadi dengan dirinya. 25 tahun bukanlah waktu
yang pendek. 25 tahun pula ia harus mendekam
dalam bebatuan untuk mendapatkan ajian yang
ia inginkan dan sebuah senjata sakti berupa
cambuk bergagang perak. Cambuk tersebut ber-
nama cambuk Rambut Perak Seribu, milik Nyai
Kencono Weni, gurunya yang telah tiada. Dengan
kekalahannya ketika bertarung dengan Pramana,
mengakibatkan dirinya kini harus menjadi murid
dan pengikut Ratu Siluman Ular.
"Bagaimana, Jenah?" suara Ratu Siluman
Ular kembali bergema, menyentakan Nok Jenah
dari lamunannya. "Nampaknya engkau tengah
melamunkan sesuatu. Apa yang engkau lamun-
kan?"
"Hamba sedang merenungkan diri ham-
ba," jawab Nok Jenah dengan kembali memiring-
kan kepala ke kiri, sehingga kuping kanannya be-
rada di atas.
"Tentang apa...?"
"Hamba sedang berpikir bagaimana ham-
ba dapatkan seorang lelaki?"
Bergelak Ratu Siluman Ular mendengar
ucapan Nok Jenah. Ia pun menyadari, bagaima-
napun juga Nok Jenah memang masih mengha-
rapkan kehadiran seorang lelaki. Sejak cintanya
ditolak oleh Pramana, Nok Jenah memang sering
berbuat yang tidak-tidak. Dia seakan putus asa,
atau boleh dikatakan frustasi berat seperti layak-
nya seorang anak remaja. Dan sejak cintanya di-
tolak tersebut, tingkah laku Nok Jenah sungguh
sangat berbahaya. Dia menjadi seorang wanita
nakal, pengganggu dan perusak rumah tangga
orang. Dan akhir dari segalanya, Pramana turun
tangan menghajarnya sampai telinga yang sebelah
kiri pecah gendangnya hingga Nok Jenah tak
mampu mendengar lagi. Hanya kuping se-belah
kanan saja yang masih dapat dipergunakan, itu
pun harus dengan cara memiringkannya ke atas.
Jadilah Nok Jenah yang cantik itu seorang wanita
yang cacat, yang harus menengkelehkan kepa-
lanya bila ingin mendengarkan ucapan orang lain.
Sri Ratu masih tertawa bergelak-gelak,
sehingga menjadikan Nok Jenah kerutkan kening
tidak mengerti akan apa yang menjadi bahan ke-
tawaan Sri Ratu. Dengan masih memiringkan ke-
palanya, Nok Jenah pun bertanya: "Sri Ratu,
mengapa Sri Ratu tertawa? Apakah ada hal yang
lucu dalam ucapanku?"
"Nok Jenah, memang kau masih berhak
untuk memikirkan seorang lelaki yang kelak
mendampingi dirimu. Kau masih cantik jelita
layaknya seorang gadis. Kau masih dapat mencari
seorang lelaki yang juga muda dan tampan. Itu
semua memang harus kau dapatkan. Tapi apakah
engkau akan mendahulukan kemauan hatimu
dan mengesampingkan tujuanmu yang sebenar-
nya? Kuburlah dulu keinginanmu untuk dapat
bersanding dengan seorang pria. Kelak pun, kau
tentunya akan mendapatkan pria tersebut setelah
kau dapat menjadi seorang tokoh yang disegani.
Bukankah itu tujuanmu? Menjadi seorang tokoh
yang disegani, Jenah?"
"Benar, Sri Ratu. Memang tujuan utama
hamba adalah menjadi seorang tokoh yang dis-
egani oleh orang-orang persilatan. Hamba ingin
menjadi seorang yang mampu mendirikan sebuah
perguruan yang akan ditakuti oleh perguruan-
perguruan lainnya."
"Hua, ha, ha...! Mudah Jenah! Itu sangat
mudah bila kau telah mampu menguasai bocah
tersebut. Untuk itulah, cari bocah tersebut dan
bawalah ke tempatku. Bocah itu akan aku didik
agar menurut padamu."
"Daulat, Sri Ratu," Nok Jenah menyahut,
lalu setelah menjura Nok Jenah pun berkelebat
terbang dengan pecut Rambut Perat Seribunya
mencelat pergi.
* * *
Jaka Ndableg yang tengah mengejar Bo-
cah Kembaran Setan, malam itu tidak tidur seke-
jap pun. Matanya bagaikan tak mau dipicingkan.
Bila terdengar suara lenguhan, Jaka Ndableg se-
gera mencelat memburu ke asal suara tersebut.
"Wah, ke mana aku harus mencari Bocah
Kembaran Setan?" gumam Jaka seperti terjengah
setelah mendapatkan bahwa yang melenguh bu-
kannya manusia tapi seekor sapi. "Sialan! Gara-
gara Bocah Iblis itu aku dibuat kalang kabut, sapi
yang melenguh, eh aku kira lenguhan bocah iblis.
Kalau aku tak mampu menemukan bocah terse-
but, sungguh akan menjadi petaka di dunia persi-
latan. Apa lagi jika bocah tersebut dapat dikuasai.
oleh tokoh sesat, wah... apa tidak akan dipergu
nakan untuk kejahatan yang makin merajalela?"
Jaka Ndableg hanya mampu gelengkan
kepala menerima kenyataan tersebut. Sungguh ia
benar-benar telah dibuat kalang kabut oleh seo-
rang bocah. Memang bocah tersebut sangat ber-
bahaya. Kalau dalam sehari saja tidak minum da-
rah, entah apa jadinya. Dua ratus orang habis da-
lam sehari saja, mati dihisap darahnya.
"Ke mana aku harus mencari Bocah Se-
tan tersebut?" Jaka melenguh, seakan ada rasa
berat yang mendera di dalam kalbunya. Kalbu
seorang pendekar yang berdiri kokoh dalam
membela kebenaran dan keadilan, yang pantang
untuk mengalah pada segala macam kejahatan
dan kemungkaran. "Aku tak boleh putus asa. Bila
aku putus asa, tentunya aku ini telah menjadi
seorang yang lemah. Ah, sungguh tantangan hi-
dup. Dan tantangan hidup ini semampuku harus
aku hadapi, walau apapun yang bakal menimpa
diriku."
"Anak muda! Sedang apakah engkau ma-
lam-malam begini terbengong melamun sambil
berjalan?" terdengar suara seorang tua terarah
pada Jaka. Seketika itu Jaka tersentak dari la-
munannya, tengokan kepala pada suara tersebut.
"Sungguh hanya manusia-manusia bodoh dan tak
tahu jalan saja yang mesti merenungi nasibnya.
Dan hanya manusia-manusia pintar serta tabah
saja yang tahu akan jalan yang sebenarnya ter-
bentang luas di hadapannya."
Tersentak Jaka seraya kerutkan kening
mendengar penuturan seorang lelaki tua berjang
gut merah. "Sungguh aneh orang ini. Jarang aku
temui orang berjanggut merah, atau barang kali
rambut janggutnya disemir?" Jaka menanya da-
lam hati. "Ah, dia begitu mengerti apa yang ada di
dalam hatiku."
"Kakek! Siapakah engkau adanya?" Jaka
bertanya: "Dan apa tujuanmu menerka-nerka ha-
tiku?"
"Aku hanyalah seorang gembel belaka.
Namaku tak terkenal seperti namamu," orang tua
berjanggut merah ngomong sendiri, seperti bertu-
tur kata bahwa dirinya tak terkenal seperti nama
pendekar Pedang Siluman yang tersohor. "Sung-
guh engkau adalah seorang pendekar yang sejati.
Kau banyak teman, tapi maut pun akan selalu
mengintaimu di mana-mana. Hidupmu tak per-
nah menetap, berkeliaran dari satu tempat ke
tempat lainnya, apa yang sebenarnya engkau cari,
Pendekar?"
Jaka makin jadi terkejut mendengar tutur
kata lelaki tua berjanggut merah. Betapa segala
apa yang ada di dalam dirinya lelaki berjanggut
merah mengetahuinya. "Apakah dia seorang ma-
laikat yang menjelma menjadi manusia?" gumam
Jaka dalam hati.
"Kakek, apakah engkau seorang malaikat
yang diutus Tuhan untuk menemui diriku?" tanya
Jaka dengan ketidakmengertiannya. "Kau benar
begitu, untuk tujuan apakah? Apakah engkau di-
utus untuk mencabut nyawaku? Biarlah, daripa-
da aku hidup harus selalu begini. Hidupku telah
aku korbankan untuk jalan Tuhan, namun aku
selalu mendapat tantangan dan tantangan yang
tiada henti-hentinya. Kalau sekiranya Tuhan ber-
kehendak mengambilku, aku rela."
"Hua, ha, ha...! Lucu... lucu!" Kakek ber-
janggut merah tertawa bergelak-gelak demi men-
dengar ucapan Jaka yang seperti anak kecil. Hal
itu menjadikan Pendekar Pedang Siluman Darah
makin tak mengerti saja. "Lucu sekali dirimu,
Pendekar! Ketahuilah, bahwa dirimu akan selalu
diberi kehidupan dan lindungan yang lama oleh
Tuhanmu. Dirimu akan menjadi seorang penegak
kebenaran dan keadilan. Tapi ingat, kelak pada
masa sepuluh tahun mendatang, yaitu masa ke-
lahiran Iblis Laknat dari dasar neraka, kau akan
mengalami kesulitan yang akan menjadikan diri-
mu harus berjuang antara hidup dan mati. Iblis
itu akan lahir sepuluh tahun kemudian, di mana
usiamu telah menginjak usia yang semakin tua.
Kini usiamu masih terlalu muda, baru dua puluh
dua tahun."
"Kakek, kau sungguh Paninggal benar.
Siapakah dirimu adanya, Kek?" Jaka terus ber-
tanya mendesak.
"Sudah aku katakan, aku hanyalah seo-
rang gembel bulukan yang tak terkenal seperti di-
rimu. Namun aku ingin sekali menolong dirimu.
Aku ingin meringankan bebanmu." Kakek ber-
janggut merah berkata: "Ketahuilah olehmu, Pen-
dekar. Aku sering kali merenungkan tentang di-
rimu. Bila aku tidur, dirimu seolah-olah ikut da-
lam mimpiku. Bila aku bertapa, dirimu seolah-
olah ada dalam khayalanku. Karena itulah, aku
merasa bahwa aku memang harus berbuat sesua-
tu untuk dirimu. Aku ingin berusaha meringan-
kan bebanmu. Namun aku sendiri tak akan selalu
hadir di sisimu, aku akan datang bila kau benar-
benar memerlukan diriku. Semua orang menye-
butku telah berbuat yang merugikan mereka. Aku
telah dituduh oleh mereka, bahwa akulah pem-
buat bencana di Gunung Slamet."
Jaka terdiam tanpa kata mendengarkan
penuturan yang diucapkan oleh kakek berjanggut
merah. Jaka sendiri belum tahu siapa adanya ka-
kek berjanggut merah yang ingin membantunya,
dan telah menceritakan siapa adanya dirinya yang
sebenarnya. Jaka makin tak mengerti setelah si
kakek mengatakan bahwa dirinya telah dikecam
oleh orang-orang persilatan. Siapa sebenarnya
kakek berjanggut merah? Mengapa dia tak mau
menampakkan dirinya terus menerus? Dan men-
gapa ia ingin membantu pendekar kita Jaka
Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?
Semuanya itu akan saya beberkan pada bab-bab
selanjutnya, yang ada sangkut pautnya dengan
Nok Jenah yang kini tengah mencari Bocah Kem-
baran Setan.
"Dapatkah kakek menceritakan siapa
adanya kakek? Lalu apa yang menjadikan kakek
ingin membantuku? Dan benarkah kakek bukan
seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk men-
cabut nyawaku?" tanya Jaka.
"Hua, ha, ha...! Lucu! Mana ada malaikat
mengeluh sepertiku? Hanya orang-orang lemah
saja yang mengeluh, termasuk diriku. Kau sebe
narnya tak pantas untuk mengeluh, sebab kau
orang kuat."
"Tidak juga, Kek!" Jaka membantah. "Aku
juga manusia seperti dirimu. Aku merasakan la-
par bila belum makan, juga merasakan sakit bila
luka. Setiap orang yang merasakan segalanya,
tentulah ia akan pernah mengeluh."
Kakek berjanggut merah angguk-
anggukan kepala, mengerti akan apa yang dikata-
kan oleh Jaka. Kini ia menyadari bahwa Pendekar
Pedang Siluman Darah bukan saja tinggi ilmunya,
namun tinggi pula budi pekertinya. Jarang sekali
seorang pendekar yang mau mengakui dirinya
masih rendah. Dan biasanya, seorang pendekar
tentulah mencari-cari kesalahan seseorang untuk
dapat menjatuhkan orang tersebut. Tetapi pende-
kar ini, jauh berbeda dengan kebanyakan. Pende-
kar ini sangat menghindari hal-hal yang sekiranya
dapat merenggangkan hubungan timbal balik se-
seorang. Kakek janggut merah masih terdiam,
memandang kagum ke arah Jaka Ndableg.
"Baiklah, Anak muda," katanya kemu-
dian. "Aku akan berusaha membantu dirimu, wa-
lau aku tahu kau mungkin tidak memerlukan-
nya."
"Ah, mengapa kakek berkata begitu?" la-
gi-lagi Jaka membantah, seakan ia tak suka ka-
lau dirinya harus disejajarkan dengan para nabi.
Ia bukanlah nabi, ia juga bukannya malaikat yang
tidak membutuhkan bantuan. Ia adalah manusia,
manusia yang memerlukan uluran tangan orang
lain. "Kakek, apapun bentuknya manusia, ten
tunya ia akan memerlukan bantuan seperti diri-
ku. Diriku pun memerlukan uluran tangan dari
manusia lainnya, termasuk darimu. Janganlah
engkau mensejajarkan aku dengan para malaikat
Tuhan, atau nabi-nabi Tuhan yang memang su-
dah dikodratkan olehNya untuk dapat berdiri
sendiri."
"Ooh... sungguh tinggi budi pekertimu,
Pendekar." puji kakek berjanggut merah. "Makin
aku kagum dan salut padamu. Aku makin ingin
secepatnya dapat membantu dirimu, ataupun
berkorban untuk dirimu."
"Terima kasih sebelumnya, Kek," Jaka
berkata: "Sungguh sebenarnya saya tak ingin me-
repotkan dirimu, namun karena itu semua eng-
kau yang minta, aku pun tak dapat menolaknya.
Nah, bukankah engkau belum menceritakan sia-
pa adanya dirimu, Kek? Kalau mengenai diriku,
tentunya engkau telah mengetahuinya, bukan?"
Kakek Janggut Merah tampak terdiam,
tercenung dalam hening menatap lekat ke arah
Jaka Ndableg. Ditariknya napas panjang-panjang,
lalu kemudian kembali berkata; "Baiklah, me-
mang kita perlu adanya saling mengenal. Aku
akan menceritakan siapa adanya diriku yang se-
benarnya."
Kembali kakek Janggut Merah hentikan
ucapan, menarik napas panjang. Sementara Jaka
masih terdiam, dengan sekali-kali matanya mem-
andang sekeliling, siapa tahu dalam kesempatan
itu ia dapat menemukan adanya Bayi Kembaran
Setan.
DUA
Setelah sesaat terdiam, saling jaga kalau-
kalau ada orang jahat yang bakal datang, atau
Bocah Kembaran Setan datang, kakek Jenggot
Merah akhirnya bercerita siapa adanya dirinya.
Tiga puluh tahun yang lalu, dia adalah
seorang pendekar bernama Gelang Kemulang. Dia
adalah seorang tokoh silat aliran lurus yang se-
pak terjangnya selalu membuat tokoh-tokoh ali-
ran sesat banyak yang berusaha mengalahkan-
nya.
Suatu hari...
"Gelang! Aku minta, kau janganlah ikut
campur urusanku!" Kumilir Seta yang mendatangi
Gelang Kemulang adalah seorang pendekar aliran
sesat. Dia bermaksud hendak mengadakan per-
temuan para tokoh sesat untuk mendirikan se-
buah perserikatan dengan nama "Perserikatan
Segala Iblis."
"Apa keperluanmu hingga mengancamku
begitu, Seta!" balas Gelang tak mau mengalah be-
gitu saja. "Sebagai seorang tokoh persilatan, kita
sama-sama mempunyai tugas masing-masing.
Kau dari aliran sesat, tentunya kau pun memiliki
tugas sendiri. Sebaliknya aku, aku pun sebagai
pembela kebenaran akan mempunyai tugas sen-
diri yaitu menumpas segala kejahatan yang hen-
dak bercokol di muka bumi ini."
"Jadi kau masih tetap membandel dan
bermaksud menghalangi niatku untuk mendiri
kan Perserikatan Segala Iblis!"
"Tergantung kenyataannya, Seta."
"Apa maksudmu!"
Gelang Kemulang tersenyum, seakan
memberikan sebuah gambaran nyata yang tergu-
rat dari goresan ulasan senyum di bibirnya. Se-
nyum itu, adalah senyum sebuah arti yang men-
gisyaratkan agar Seta harus hati-hati.
"Aku tak akan mengganggu perserika-
tanmu, asalkan engkau dan seluruh rekan-
rekanmu tidak membuat segalanya berubah. Bi-
arkan hidup ini berjalan semestinya."
"Jadi kau akan bertindak bila kami men-
gadakan sebuah perubahan total ataupun seba-
gian dari kehidupan?"
"Ya!" jawab Gelang pendek.
"Kau tak akan mampu," Kumilir Seta
sunggingkan senyum sinis penuh ejekan, lalu
mengulang katanya: "Kau tak akan mampu, se-
bab di dalam Perserikatan Segala Iblis banyak
terdapat tokoh sakti aliran sesat."
"Kita akan buktikan, Seta."
Mendengar ucapan Gelang, seketika Ku-
milir Seta tak bicara lagi. Ia diam, lalu dengan
memandang tajam seperti hendak menembus jan-
tung Gelang, Seta pun berkelebat pergi mening-
galkannya. Gelang hanya dapat geleng kepala,
seakan tak mengerti dengan apa yang sebenarnya
ada di dalam hati Seta. Tanpa banyak bicara Ge-
lang pun akhirnya kembali masuk ke dalam pa-
depokannya menemui kembali para muridnya.
"Siapakah gerangan yang datang, Guru?"
tanya salah seorang muridnya. Murid Gelang Ke-
mulang atau Pendekar Bedah Jagad ada tiga
orang. Yang pertama adalah anak Kadipaten, ber-
nama Purbaya Anjasmara. Yang kedua anak seo-
rang pembesar istana, bernama Kemang Bende
Dewa. Sementara yang terakhir, dia anak angkat-
nya sendiri. Bocah itu ditemukan olehnya mana-
kala terjadi perampokan di desa Sanggana.
"Sepertinya mereka mengancam guru.
Benarkah begitu, Guru?" yang bertanya ini Bende
Dewa.
"Begitulah, Muridku."
"Mengapa ia mengancam, Guru?" kembali
Bende Dewa bertanya.
"Apakah mungkin ia orang jahat, Guru?"
kini Purbaya yang ambil kata. "Atau mungkin ia
mendendam pada guru? Kalau memang ya, be-
gaimana jika kami yang menanganinya, Guru?"
Gelang atau Pendekar Bedah Jagad
hanya mampu gelengkan kepala mendengar uca-
pan murid-muridnya yang masih muda-muda.
Memang ia menyadari bahwa seusia murid-
muridnyalah, masa-masa orang menunjukkan ge-
jolak kemauannya. Dan ia sebagai guru, patutlah
memberikan wawasan yang luas agar murid-
muridnya itu tidak salah langkah. Sebab bila mu-
rid-muridnya salah langkah, sudah dapat dipasti-
kan gejolak mudanya yang bicara, bukan rasio
dan pikiran yang baik yang menentukannya.
"Tidak begitu, Murid-muridku. Kita me-
mang boleh merasa tidak senang bila diri kita di-
ancam atau disakiti oleh orang lain. Tetapi, kita
juga perlu melihat kenyataan sebagai apa kita ini?
Bila kita melihat diri kita sebagai manusia, ten-
tunya kita akan menuruti kehendak manusia
yang telah dikodratkan pada diri kita. Tetapi jika
kita melihat dari sudut masyarakat, tentunya kita
akan menjadikan segala tindakan diri kita sebagai
bagian masyarakat. Nah, karena aku berdiri pada
bagian masyarakat, aku pun harus memikirkan
masyarakat di sekitar kita. Coba kalian bertanya
pada diri kalian. Apa yang kalian akan lakukan
jika kalian sebagai masyarakat, melihat masyara-
kat lainnya tercengkeram oleh tindakan orang
atau golongan."
"Jelas kami akan menghalanginya, Guru,"
kedua orang muridnya menjawab, hanya seorang
muridnya yang tak menjawabnya, dialah Nok Je-
nah. Dan dikarenakan Nok Jenah tak menjawab,
maka sang guru pun bertanya padanya.
"Kenapa engkau terdiam, Jenah?"
"A-ampun, Guru. Hamba, belum menger-
ti,'' tergagap Nok Jenah manakala menjawab. Hal
itu jelas membuat gurunya Si Pendekar Bedah
Jagad kerutkan kening tak mengerti, meman-
dangkan matanya tajam ke arah Nok Jenah.
"Sepertinya kau tengah melamun, Je-
nah?"
"Ti-tidak, Guru," Nok Jenah mencoba
menutupi.
"Kau mulai berani mendusta padaku, Je-
nah?"
"Am-ampun, Guru," Jenah menangis se-
senggukan. Hatinya merasa berdosa telah men
dustai gurunya yang sekaligus orang tua angkat-
nya.
"Oh, mengapa aku telah berani menen-
tang orang yang telah menolongku serta mendi-
dikku sejak kecil? Kenapa...?" Nok Jenah menge-
luh dalam hati, sementara ia terus menangis tun-
dukan kepala tak berani menentang pandang pa-
da gurunya.
"Kenapa engkau menangis, Jenah?"
Nok Jenah tak dapat berkata-kata, ia
bingung harus mulai dari yang mana. Sebenarnya
dalam hati Nok Jenah terhampar ratusan perta-
nyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu
ia jawab dan selesaikan. Pertanyaan mengenai
kehidupan, juga mengenai mengapa cintanya di-
tolak oleh seorang pendekar?
"Mengapa cintaku yang tulus harus ber-
tepuk sebelah tangan? Mengapa Pramana tidak
mau menerima diriku sebagai kekasih, padahal
aku sangat menyintainya?" keluh hati Nok Jenah.
"Kau terus melamun, Jenah?"
Tersentak Nok Jenah seketika dari lamu-
nannya. Bayang-bayang Pramanayuda menghi-
lang, bersamaan dengan suara gurunya. Den-
damnya pada Pramanayuda yang telah menolak
cintanya, menjadikan Nok Jenah harus mencari
jalan untuk dapat menjatuhkannya.
"Hamba... hamba prustasi, Guru."
Tersentak guru dan kedua kakak seper-
guruannya demi mendengar ucapan Jenah. Keti-
ganya seketika memandang lekat ke arah Jenah,
seakan ketiganya ingin mengorek hati Nok Jenah
yang dalam. Hati seorang gadis, yang kini terlun-
ta-lunta akibat cintanya yang suci harus dilaku-
kan bertepuk sebelah tangan.
"Jenah! Apa artinya ucapanmu...?" Ge-
lang tergetar berkata, seakan ada sebuah kekua-
tan yang dahsyat mengguncang diri dan hatinya.
Kekuatan yang mampu menggoyahkan persen-
diannya. Gadis yang sedari kecil diangkat menjadi
anaknya, ternyata telah menjadikan segalanya be-
rubah. Gadis itu seakan meluluh-lantahkan ha-
rapannya untuk kelak menggantikan dirinya se-
bagai seorang pendekar aliran lurus, yang mampu
menegakkan kebenaran dan keadilan. Kalau gadis
ini sudah prustasi, jelas jiwa kewanitaannya akan
membawa dirinya ke jurang kebencian dan den-
dam pada orang yang dianggapnya telah mem-
buatnya putus asa.
Tapi selaku orang tua, apalagi sudah ter-
kenal namanya sebagai orang bijaksana, Gelang
tak mau begitu saja mendamprat atau memarahi
sang anak angkat. Ditariknya napas panjang,
seakan hendak membuang keberatan beban yang
ada di hati.
"Kau telah jatuh cinta, Jenah?"
"Benar, Guru," jawab Jenah masih ter-
tunduk.
"Siapakah orang yang engkau cintai?"
Jenah memandang pada kedua kakak se-
perguruannya, seakan minta bantuan untuk
mengatakannya. Namun rupanya kedua kakak
seperguruannya pun tak tahu menahu dirinya,
sehingga Jenah dengan kesendirian akhirnya ber
kata menjawab.
"Pemuda itu... pemuda itu adalah Prama-
nayuda, Guru."
Sang guru hanya mampu menarik napas
kembali. Ia tahu, siapa adanya Pramanayuda.
Seorang pendekar yang memang saat itu na-
manya telah melangit dengan sebutan Pendekar
Pedang Sukma Layung. Namun bukannya ia ta-
kut pada orang tersebut, tapi dirinya juga tak da-
pat harus memaksakan kehendak anak angkat-
nya untuk memaksa Pramanayuda agar dia mau
menerima cinta anak angkatnya.
"Apakah ia menerima cintamu?"
Nok Jenah menggeleng.
"Mengapa engkau harus prustasi? Bu-
kankah engkau cantik, Anakku?" Gelang ber-
tanya: "Bukankah engkau mampu mencari lelaki
lainnya? Mengapa engkau mesti menuruti ke-
mauan syetan?"
"Guru...!" Jenah membentak, sepertinya
ada kekuatan yang mendorongnya untuk bertin-
dak demikian. Hal itu menjadikan kedua kakak
seperguruannya tersentak dari duduknya, lalu
kedua pemuda itu dengan sewot karena gurunya
diperlakukan seenaknya oleh Nok Jenah mem-
bentak.
"Anak tak tahu diri! Berani lancang mu-
lutmu membentak guru sendiri! Kau harus diha-
jar, Jenah!"
"Sabar, Anak-anakku."
Kedua murid laki-laki Gelang menurut,
turunkan tangannya yang sudah siap hendak di
hantamkan ke arah Nok Jenah yang seperti pa-
srah. Bahkan kini Nok Jenah memandang tajam
pada keduanya dengan pandangan seperti menya-
la. Dari mulutnya sunggingkan senyum mengejek,
lalu dengan lantang tanpa mengenal rasa takut ia
berseru: "Lakukan bila kalian berani! Sejak saat
ini, aku bukan adik seperguruan kalian!"
"Anak setan!" bentak Purbaya sewot.
"Bedebah! Anak tak tahu diri! Minggat
kau dari sini!" Bentak Dewa tak kalah marahnya,
merasa gurunya telah diinjak seenak udel oleh
Jenah. "Kalau kau tak minta ampun pada guru,
jangan salahkan tanganku ini akan menghancur-
kan batok kepalamu!"
"Anak-anakku, sudahlah. Mungkin ia be-
lum dewasa."
"Tidak guru. Dia bukan karena dewasa
atau belum. Tapi dia memang sudah bukan ma-
nusia lagi! Dia adalah iblis! Itulah mengapa Pra-
mana yang tadinya mencintainya kini memaling-
kan muka!"
Terbelalak marah Nok Jenah, meman-
dang tajam penuh permusuhan pada Bende De-
wa. Begitu juga dengan Pendekar Bedah Jagad, ia
pun tak kalah kagetnya. Ia tidak menyangka ka-
lau anak angkatnya itu telah benar-benar mela-
kukan kesalahan yang besar, kesalahan sebagai
manusia yang tidak mau menerima kodratnya.
"Benar apa yang dikatakan oleh kakak-
mu, Jenah?"
"Ya!" Jenah menjawab dengan ketus, se-
pertinya tak ada rasa takut setitik pun pada da
rahnya untuk menghormati sang guru yang seka-
ligus ayah angkatnya. "Memang aku telah berse-
kutu dengan Siluman Ular Sanca!"
Bagaikan disengat halilintar di siang bo-
long, Gelang atau Pendekar Bedah Jagad tersen-
tak kaget, sampai-sampai ia bangkit dari duduk-
nya dengan mata melotot ke arah Nok Jenah.
"Kau...! Kau telah mencoreng arang di
mukaku. Minggat kau dari sini!" bentak Pendekar
Bedah Jagad dengan marahnya, karena merasa
dirinya telah diberi malu besar oleh anak yang da-
ri kecil telah diasuhnya. Ternyata dia telah salah
mengasuh. Dia telah mengasuh anak macan,
yang setiap saat pastilah akan menerkam dirinya
sendiri. "Minggat kau dari sini, cepat!"
Jenah tersenyum sinis, bagaikan tiada
dosa. Matanya tajam memandang pada sang
guru, sepertinya sang guru hanyalah orang yang
tiada arti. Dengan senyum sinis Jenah berkata:
"Baik! Memang hal inilah yang aku tunggu-
tunggu. Ingat, Gelang! Kelak kau dan dua orang
muridmu ini akan menerima hukumannya!"
"Bangsat!" Purbaya berkelebat, dia sudah
tak mampu menahan amarahnya. Tangannya
yang telah dialiri tenaga dalam menjurus ke arah
batok kepala Nok Jenah. Namun belum juga tan-
gan itu sampai, tiba-tiba tangan Jenah telah ber-
kelebat menangkis dan sekaligus menyerang ba-
lik. Tak ayal lagi, tubuh Purbaya seketika mental
ke belakang terhantam serangan yang begitu tiba-
tiba. Mata Bende Dewa dan gurunya terbelalak,
manakala melihat serangan yang dilakukan oleh
Nok Jenah. Serangan itu bukanlah jurus yang
mereka miliki, tapi sebuah jurus yang aneh. Ge-
rakannya begitu cepat, hampir tak dapat diikuti
oleh mata yang melihatnya. Bende Dewa hendak
menyusul menyerang Nok Jenah manakala den-
gan cepat sang guru menghalanginya seraya ber-
seru:
"Jangan! Jangan kau lakukan, Bende."
"Kenapa, Guru?" Bende Dewa protes,
seakan dirinya tak mau menerima ucapan gu-
runya yang membiarkan murid durhaka itu harus
berlalu dengan seenaknya. "Dia telah menyakiti
kakang Purbaya, Guru."
"Biarkan dia pergi, Bende. Kau tolonglah
kakakmu."
Sebagai seorang murid yang baik Bende
Dewa pun akhirnya menuruti kata-kata gurunya.
Dibiarkannya Nok Jenah berlalu meninggalkan
padepokan, sementara dirinya sendiri kini men-
gurusi tubuh kakaknya yang tergeletak pingsan
akibat hantaman Nok Jenah yang begitu keras-
nya. Sementara itu, Gelang sebagai seorang guru
hanya mampu mendesah panjang. Sulit baginya
untuk menentukan tindakan. Kekecewaan me-
renggut hatinya, menjadikan Gelang hanya be-
ngong tanpa reaksi.
TIGA
Sejak meninggalkan perguruan, makin
tampak nyatalah siapa sebenarnya Nok Jenah.
Dia makin telengas dan tak mengenai rasa bersa-
habat bagi siapa saja yang dianggapnya sebagai
musuh. Dia juga tak segan-segan membuat keo-
naran di muka bumi untuk memuaskan nafsu
angkara murkanya. Karena ganasnya segala tin-
dakan Nok Jenah, jadilah ia dijuluki Wanita Sri-
gala Liar.
Bukan hanya perbuatannya yang telengas
pada setiap orang yang dianggapnya musuh, teta-
pi Nok Jenah pun kini seperti seorang gila. Gila
dalam arti kata, bukan gila sebenarnya. Tin-
dakannya sangat memalukan, yaitu mengganggu
dan merusak rumah tangga orang.
"Aku harus dapat menjadikan semua le-
laki menjadi budakku! Aku harus dapat... hua,
ha, ha...!" Nok Jenah tertawa bergelak-gelak,
menjadikan anak buahnya yang berjumlah dua
puluh orang wanita itu terdiam tiada kata. "Kau,
Srigala Ungu. Cari lelaki muda yang banyak. biar
kita dapat berpesta pora."
"Daulat, Pimpinan."
"Jebak mereka dengan segala bujuk rayu.
Bila memang membandel, janganlah kalian segan-
segan lagi. Bunuh dia!"
"Daulat, Ketua!" Srigala Ungu, selaku ke-
tua pengganti hanya mengiyakannya. Ia takut pa-
da ketuanya Nok Jenah yang sudah diketahui be-
rilmu tinggi.
"Kalian sekarang berangkatlah! Cepat...!"
Nok Jenah memerintah dengan bengis, tetapi di
balik kebengisannya itu terdapat sebuah kepu-
tusasaan. Putus asa karena cintanya ditolak men
tah-mentah.
"Jenah! Keluar kau...!"
Terdengar suara seseorang berseru, men-
jadikan Nok Jenah dan dua puluh anak buahnya
seketika tersentak dan menghambur ke luar un-
tuk menemui orang yang berteriak tersebut. Mata
Nok Jenah seketika melotot, manakala melihat
siapa adanya yang datang.
"Kau...! Untuk apa engkau datang, hah!"
bentak Nok Jenah tanpa hormat, padahal yang
datang itu tak lain gurunya sekaligus ayah ang-
katnya yang telah mengasuh dan mendidiknya se-
jak kecil.
"Ya! Aku, Jenah!"
"Kenapa engkau datang, Tua Bangka!"
kembali Jenah membentak marah, seakan Pende-
kar Bedah Jagad tak lain seorang musuh yang
sangat ia benci. "Pergilah! Jangan sekali-kali eng-
kau datang bila nyawamu tidak ingin aku remuk-
kan!"
"Anak durhaka! Aku tak akan pergi sebe-
lum engkau mau menyadari segala tindakanmu
yang keliru. Karena ulahmu, maka kedua murid-
ku harus menjadi korban. Maka aku tak akan
mau menjadi korban karena keberangasanmu!"
"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasanku, Tua
bangka!" Nok Jenah bergelak tawa seperti tak me-
rasa bersalah. Memang sejak Jenah berbuat se-
wenang-wenang, maka Padepokan Sanggrah Bu-
ana milik Pendekar Bedah Jagad telah banyak di-
datangi oleh para tokoh persilatan baik dari go-
longan lurus maupun golongan sesat yang menu
duh dirinya telah tidak mampu mengurus salah
seorang muridnya. Kedua muridnya yaitu Pur-
baya dan Bende Dewa, tak mau gurunya dituduh
sembarangan. Maka kedua murid setia itu pun
akhirnya harus mati demi membela nama baik
sang guru. Sementara Pendekar Bedah Jagad
sendiri, harus mengalami luka-Iuka karena se-
rangan yang datangnya bersamaan. Hampir saja
nyawanya lenyap, kalau saja tidak datang seorang
pendekar yang menolongnya. Pendekar itu tak
lain Pramanayuda adanya, atau Pendekar Pedang
Layung Sukma.
"Bedebah! Anak setan! Kalau kau tak
mengakhiri segala tindakanmu dan tak mau me-
nyerah, maka aku tak akan segan-segan untuk
menghukummu!"
"Hua, ha, ha...! Lakukan bila engkau
mampu, Tua bangka!"
Murka Pendekar Bedah Jagad mendengar
ucapan Nok Jenah yang dirasa sudah bukan uca-
pan baik. Maka dengan mendengus marah, Pen-
dekar Bedah Jagad pun berteriak menyerang be-
kas murid dan anak angkatnya.
"Daripada seluruh tokoh persilatan
menghukummu maka akulah yang akan meng-
hukummu. Hiaat...!"
"Hua, ha, ha...! Jangan kira aku masih
seperti anak kecil saja, Tua bangka busuk!" Nok
Jenah masih tertawa-tawa, dan dengan penuh
ejekan ia terus mengelitkan serangan Pendekar
Bedah Jagad dengan sekali-kali membalik seran-
gan.
Pertarungan antar guru dan bekas mu-
ridnya terus berjalan dengan jurus-jurus yang
tinggi. Nampaknya memang Nok Jenah bukanlah
Nok Jenah yang dulu dalam asuhan Pendekar
Bedah Jagad. Terbukti serangan-serangannya
jauh lebih keras dan cepat. Serangan Nok Jenah
bukanlah menggunakan jurus-jurus yang diajar-
kan oleh gurunya, tetapi jurus-jurus yang aneh
yang belum pernah Pendekar Bedah Jagad keta-
hui.
Pendekar Bedah Jagad tersentak kaget,
lompatkan tubuhnya ke belakang manakala meli-
hat tangan Nok Jenah tiba-tiba menghitam laksa-
na arang. Tangan itu kini bukanlah tangan lagi,
tetapi berubah menjadi seekor ular yang besar
dari ganas. Ular Sanca hitam legam, berbisa ja-
hat.
"Ilmu iblis!" memekik Pendekar Bedah
Jagad kaget. Tak luput juga keduapuluh anak
buahnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. Mata
keduapuluh gadis cantik itu melotot geli dan ta-
kut, demi melihat tangan ketuanya tiba-tiba telah
menjadi seekor ular yang hitam legam dan ganas.
"Hua, ha, ha...! Bagaimana, Tua Bangka?
Apakah engkau masih hendak menghukumku?"
Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, seakan ia ingin
menunjukkan kesombongannya.
"Apapun resikonya, aku akan tetap
menghukummu, Anak Setan!"
"Lakukan bila engkau mampu, Tua bang-
ka!"
"Bangsat!"
Mata Pendekar Bedah Jagad membara
penuh amarah, lalu dengan segera disilangkan
kedua tangannya di depan dada. Dari silangan
tangan tersebut, keluar asap mengepul putih ber-
gulung-gulung menyelimuti tangannya. Dan den-
gan memekik, pendekar Bedah Jagad pun segera
kembali menyerang dengan ajiannya Bedah Ja-
gad.
Kini giliran Nok Jenah yang tersentak ka-
get, ternyata gulungan asap putih itu mampu
memunahkan ilmu silumannya. Tangannya. kem-
bali berubah menjadi tangan biasa, sementara ki-
ni musuhnya telah bergerak dengan cepat menuju
ke arahnya dengan serangan yang sudah ia den-
gar sendiri kehebatannya. Ilmu Bedah Jagad, bu-
kanlah ilmu sembarangan. Kalau ilmu tersebut
sudah dikeluarkan niscaya siapa pun akan dapat
diterka segala apa yang ada pada dirinya. Maka
itu, sebelum asap Bedah Jagad menyerangnya,
seketika Nok Jenah berkelebat melarikan diri. Ia
sadar, kalau ia meneruskan perkelahian dengan
bekas gurunya, niscaya ia tak akan mampu. Na-
mun yang ia herankan, mengapa gurunya harus
mengalah pada tokoh-tokoh persilatan?
Melihat ketuanya melarikan diri, segera
kedua puluh anak buahnya pun berkelebat pergi
mengikutinya. Pendekar Bedah Jagad terpaku di-
am. Ia sebenarnya juga masih memendam rasa
kasihan pada anak angkatnya, itulah kenapa ia
mau berkorban untuk mengalah pada para tokoh
persilatan. Ia sengaja mengeluarkan Ajian Bedah
Jagad, hanya karena ia tidak ingin Siluman Sanca
turut campur. Dengan muka lesu, Pendekar Be-
dah Jagad pun kembali berkelebat pergi mening-
galkan tempat tersebut.
* * *
Dua orang penunggang kuda nampak
memacu kuda mereka dengan cepatnya menuju
ke padepokan yang dihuni oleh Pendekar Bedah
Jagad. Kedua penunggang kuda tersebut, memili-
ki wajah yang hampir sama. Mereka tak lain Se-
pasang Iblis dari Gunung Dieng. Kedatangannya
ke padepokan milik Bedah Jagad, tak lain untuk
menyampaikan undangan dari ketuanya yaitu
Kumilir Seta yang bermaksud mendirikan Perse-
rikatan Iblis.
Pendekar Bedah Jagad terpaku berdiri di
teras padepokan yang kini sepi bagaikan tak ber-
penghuni. Sejak kematian dua orang muridnya,
lan sejak ia dituduh oleh para tokoh persilatan
bahwa dirinya melindungi Iblis Srigala Liar atau
Nok Jenah, padepokannya sepi. Padepokan itu
hanya dijadikan tempat mampirnya kalau ia ten-
gah enggan untuk melanglang buana layaknya
seorang pendekar.
"Mau apa mereka menuju ke mari," Pen-
dekar Bedah Jagad terdiam tanpa reaksi menung-
gu kedatangan dua orang utusan Kumilir Seta.
"Sepertinya mereka membawa surat. Mungkinkah
surat itu untukku?"
Dua orang penunggang kuda yang sudah
diketahui Sepasang Iblis dari Gunung Dieng, te
rus mempercepat lari kuda mereka menuju ke
padepokan di mana Pendekar Bedah Jagad berdiri
menunggu kedatangan mereka.
Wajah kedua Iblis tersebut tak seperti bi-
asanya, yang memendam perasaan permusuhan.
Tetapi wajah kedua Iblis tersebut kini menggam-
barkan persahabatan. Keduanya segera turun da-
ri kuda, lalu dengan segera menjura hormat. Hal
itu menjadikan Pendekar Bedah Jagat terheran-
heran kerutkan kening.
"Ada apa kalian datang ke mari?" tanya
Pendekar Bedah Jagad pada keduanya yang ma-
sih menjura hormat. "Apakah kalian memang di-
utus oleh pimpinan kalian Kumilir Seta?"
"Benar, Tuan Pendekar," jawab Iblis Se-
puh.
"Kami memang diutus untuk menyam-
paikan surat ini padamu, Tuan Pendekar," lanjut
Iblis Kanoman. "Kami juga disuruh menunggu
keputusan darimu."
Disodorkannya surat tersebut oleh iblis
Sepuh pada Pendekar Bedah Jagad yang dengan
segera menerimanya. Di hadapan kedua Iblis dari
Gunung Dieng itu, Pendekar Bedah Jagad pun
segera membacanya.
Bedah Jagad,
Aku mengharap engkau mau mengubah
pendirianmu.
Aku juga mengharapkan engkau mau ber-
gabung bersamaku.
Percuma kau masih menutupi dirimu sen-
diri. Muridmu juga telah ketahuan bersekutu den
gan Siluman Ular Sanca, apakah engkau akan te-
tap menolak tuduhan dari para pendekar yang
mengatakan bahwa engkaulah pelindungnya?
Bedah Jagad, lebih baik kau bergabun-
glah bersama kami.
Mari kita dirikan bersama-sama Perserika-
tan Iblis. Bukankah dengan adanya Perserikatan
Iblis engkau akan mendapat dukungan?
Camkanlah, Bedah Jagad.
Kumilir Seta.
Dilipatnya kembali surat tersebut, lalu
dengan mata tajam dipandangi kedua utusan
Kumilir Seta tersebut yang nampak tak berani
menentang pandang padanya. Kedua Iblis itu ta-
hu siapa adanya Pendekar Bedah Jagad. Seorang
pendekar yang akan mampu membaca ilmu yang
dimiliki oleh lawan-lawannya.
"Katakan pada ketuamu, aku Bedah Ja-
gad tak mau bergabung,"
"Tapi...!" Iblis Sepuh hendak berkata me-
nyangkal, manakala Bedah Jagad segera memo-
tong berkata.
"Tidak ada istilah tapi. Bagiku, aku lebih
baik mati daripada harus mengikuti kemauan ke-
tua kalian. Aku akan mengasingkan diriku, men-
cari ketenangan. Bilang juga pada ketua kalian,
bawa aku tak akan mengganggu kalian apabila
kalian tidak mengganggu diriku. Nah, kembalilah
kalian."
Dengan perasaan kecewa, kedua utusan
Kumilir Seta pun memacu kudanya meninggalkan
Pendekar Bedah Jagad yang masih berdiri mema-
tung di teras padepokannya dengan mata me-
mandang kosong ke arah larinya kuda-kuda me-
reka.
"Aku sudah terlalu tua, tak ada artinya
sama sekali bila aku harus terus terlibat dalam
dunia ramai," Bedah Jagad bergumam: "Biarlah
mereka berjalan menurut kodrat Yang Wenang.
Duh, Jagad Dewa Batara! sungguh sebuah perja-
lanan panjang telah aku lakukan. Kini tinggalah
aku untuk mencari ketenangan."
Habis berkata begitu segera Bedah Jagad
membakar padepokannya. Api menyala dengan
tepatnya, berkobar-kobar laksana hendak melalap
dunia. Setelah melihat padepokannya musnah
terbakar, dengan secepat kilat Pendekar Bedah
Jagad berkelebat masuk ke dalam api dengan
maksud membakar dirinya. Namun ternyata su-
ratan takdir berkata lain, tiba-tiba seorang lelaki
tua renta telah menerobos masuk ke dalam dan
menyeret tubuhnya ke luar dari kobaran api.
"Anak bodoh!" bentak lelaki tua renta
dengan pakaian compang camping sembari me-
nyeret tubuh Pendekar Bedah Jagad. "Untuk apa
engkau bunuh diri! Dasar anak tolol!"
Bedah Jagad yang sudah terkulai ping-
san, tak dapat berbuat banyak. Tubuhnya dibo-
pong oleh lelaki tua renta berpakaian compang
camping pergi entah ke mana, meninggalkan Pa-
depokannya yang sudah terlalap oleh api.
* * *
"Sejak saat itulah aku digembleng oleh
dia, yang akhirnya aku ketahui bernama Penge-
mis Sakti Muka Aneh."
"Jadi engkaukah yang bernama Pendekar
Bedah Jagad?" tanya Jaka setelah Bedah Jagad
mengakhiri ceritanya, yang diangguki oleh Pende-
kar Bedah Jagad. "Oh, kalau begitu, sungguh
akulah orang yang bodoh, yang tidak mau men-
gerti siapa adanya orang yang kini tengah berdiri
di hadapanku. Maafkan kelancanganku ini, Pen-
dekar."
Kakek Berjenggot Merah atau Pendekar
Bedah Jagad hanya gelengkan kepala mendengar
penuturan Jaka.
"Tidak harus begitu, Pendekar. Bagiku,
kaulah orang yang patut dikatakan seorang Pen-
dekar sejati. Kau tanpa keluh, tanpa putus asa
dalam melakukan segala tugasmu yang tanpa
pamrih. Musuhmu bertebaran di mana-mana,
namun nyatanya engkau bagaikan tak mengenal
rasa takut. Sedangkan aku..." Bedah Jagad
menggeleng kepala kembali, lalu ia pun berkata
meneruskan: "Aku seorang pendekar lemah. Aku
tak mampu mengalahkan batinku sendiri, sam-
pai-sampai aku hendak membakar diriku sendiri
hanya karena masalah yang sepele."
"Ah, sudahlah, Ki. Tak perlu engkau re-
nungkan masa silammu, masa yang akan menja-
dikan engkau sedih. Kini kau harus bersyukur te-
lah dapat mewarisi ilmu-ilmu yang dimiliki Kakek
Pengemis Sakti Muka Aneh. Dia adalah tokoh si-
lat yang segalanya serba aneh, bukan saja mu
kanya, tapi juga tingkah lakunya."
"Hai, rupanya engkau lebih dalam men-
gerti keadaan guruku, Pendekar?!" Bedah Jagad
tersentak kaget, demi mendengar penuturan Jaka
Ndableg perihal gurunya. Penuturan Jaka Ndab-
leg, ternyata benar adanya, menjadikan dia begitu
tersentak. Memang gurunya memiliki serba kea-
nehan pada diri gurunya. "Apakah engkau telah
mengenalnya, Pendekar?"
Jaka tersenyum, matanya kembali me-
mandang ke muka, sepertinya memandang pada
hamparan desa yang ada di sana. Desa yang su-
dah sunyi dan sepi, padahal malam begitu masih
belum larut.
"Aku mengenalnya dari guruku," Jaka
menjawab.
"Siapakah gurumu, Pendekar?"
"Guruku banyak. Guruku ada lima
orang," kembali Jaka menjawab dengan mata
yang terus memandang ke desa yang sudah begi-
tu sunyi. Jawaban Jaka seketika menjadikan ke-
rut kening Pendekar Bedah Jagad yang tersentak
kaget. Bagaimana mungkin ia mau mempercayai
ucapan Jaka, yang diucapkan dengan acuh tak
acuh. Tapi bila melihat ilmu si pemuda, itu semua
dapat dimaklumi. Bukan tidak mustahil, karena
gurunya banyak itulah sehingga Jaka menjadi
orang sakti dalam usia yang semuda itu.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah guru-
gurumu itu, Pendekar?"
"Guru-guruku tak lain adalah kakak-
kakak seperguruan misan gurumu. Keempat gu
ruku, terkenal dengan sebutan Empat Pendekar
Sakti, di antaranya Ki Bayong, Nyi Rukmini, Ki
Darsa, dan Ki Barwa."
"Apa...!" tersentak kaget Bedah Jagad
demi mendengar Jaka menyebutkan nama-nama
gurunya yang telah almarhum akibat kejahatan
Iblis Prahista. "Jadi kau adalah murid keempat
Pendekar itu?"
"Ya!" jawab Jaka. "Kenapa? Apakah ada
sesuatu dengan guru-guruku?"
"Tidak! Pantas engkau semuda ini sakti,
Pendekar. Oh, tak aku sangka, kalau akhirnya
aku menemukan adik seperguruanku sendiri,"
gumam Pendekar Bedah Jagad, seakan ingin
meyakinkan pada diri sendiri.
"Benarkah engkau kakak sepergurua-
nku?" Jaka bertanya, seakan belum percaya. "Ka-
lau benar, siapakah gurumu sebenarnya?"
"Guruku adalah kakak seperguruan
guru-gurumu." Pendekar. Bedah Jagad mene-
rangkan. "Guruku bernama Ki Sempani. Dialah
yang memiliki Ajian Bedah Jagad. Guru juga per-
nah menceritakan tentang keempat adik-adik se-
perguruannya yang tak pernah mau saling men-
gerti, dan terus memburu nama..."
"Heh, benar!" Jaka berseru girang. "Te-
ruskan ceritamu."
"Guruku juga semasa hidup pernah me-
nerka, bahwa seandainya keempat adik sepergu-
ruannya masih bersikeras untuk mengadu ilmu,
tentulah yang akan keluar sebagai pemenangnya
tak lain hanya Ki Bayong."
"Eh, apa alasanmu berkata begitu?" Jaka
yang sudah mengerti mencoba memancing ke-
benaran cerita Pendekar Bedah Jagad.
"Karena menurut guru, Ki Bayong memi-
liki ajian yang aneh bernama Ajian Buto Dewa
Wisnu."
Tak dapat lagi Jaka menahan luapan ke-
gembiraan demi mendengar penuturan Pendekar
Bedah Jagad. Maka bagaikan orang gila Jaka pun
berseru girang: "Kau benar! Kau benar! Seratus
untukmu!"
Dipeluknya Pendekar Bedah Jagad yang
hanya terbengong-bengong tak mengerti dengan
tingkah laku Jaka. Dan belum juga Pendekar Be-
dah Jagad mengerti apa maksud Jaka, tiba-tiba
Jaka telah berubah menjadi Buto Dewa Wisnu.
Ditangkapnya tubuh Pendekar Bedah Jagad, yang
seketika tersentak ketakutan melihat Jaka tiba-
tiba telah meraksasa.
"Jagad Dewa Batara, inikah ajian terse-
but?" Pendekar Bedah Jagad menggumam dalam
hati dengan segenap ketakutan yang amat sangat.
"Lepaskan aku! Lepaskan...!" Bedah Ja-
gad memberontak berteriak-teriak, tubuhnya ba-
gaikan remuk tergencet oleh jari-jari tangan sang
Buto yang sebesar tubuhnya. "Ampun! Lepaskan
aku!"
"Hua, ha, ha...! Kau ternyata kakak se-
perguruanku, maka aku ingin mengayun-ayun
tubuhmu."
Tubuh Bedah Jagad diayun, dilempar ke
sana ke mari. Sepertinya Buto Dewa Wisnu ingin
membuat Pendekar Bedah Jagad terkencing-
kencing ketakutan. Memang benar! Pendekar Be-
dah Jagad yang terkenal mampu menghadapi il-
mu macam apa pun, kini harus ketakutan sete-
ngah mati dilempar-lempar ke sana ke mari oleh
Buto Dewa Wisnu.
"Huah! Kenapa engkau ngompol, Ka-
kang?"
"Aduh, aku takut jatuh. Lepaskan aku,
taruhlah aku di tanah kembali," merengek-rengek
Pendekar Bedah Jagad, dan air matanya pun se-
ketika meleleh membasahi pipinya. Segera Buto
Dewa Wisnu menurunkannya.
"Nah, sekarang engkau menyingkirlah du-
lu," Buto Dewa Wisnu segera kembali ke bentuk
asalnya Jaka Ndableg yang benar-benar ndableg.
Sesaat kemudian, perlahan-lahan tubuh raksasa
itu mengecil dan mengecil hingga kembali ke ben-
tuk asalnya Jaka Ndableg.
"Wah, Kakang. Sekarang apa rencana-
mu?" tanya Jaka kemudian. "Aku kini tengah
menghadapi masalah dengan lahirnya Bocah
Kembaran Setan."
"Bocah Kembaran Setan?"
"Ya!" jawab Jaka. "Bocah itu telah lahir,
dan telah membawa korban dua ratus orang di
Telaga Warna."
"Aku akan membantumu, Jaka."
"Terima kasih, Kakang. Mari kita pergi!"
Tanpa hiraukan celananya yang bau
jengkol akibat air pancorannya mengalir deras ka-
rena takut manakala dalam genggaman tangan
Buto Dewa Wisnu, Pendekar Bedah Jagat pun se-
gera mengikuti ke mana Jaka berlalu. Keduanya
segera meninggalkan desa yang sedari tadi diawa-
sinya, yang dianggap Bocah Kembaran Setan
akan menuju ke situ.
Malam terus merambat, menelan kedua
tubuh kakak beradik perguruan yang bertemu
tanpa diduga-duga dengan perbedaan usia yang
jauh itu. Betapa pun usia mereka terpaut pulu-
han tahun, bahkan hampir setengah abad lebih,
namun karena memang keduanya dasarnya sau-
dara seperguruan hingga keduanya pun nampak
setujuan hidup.
EMPAT
Munculnya Bocah Kembaran Setan ter-
nyata mengundang para tokoh persilatan khu-
susnya aliran sesat berlomba untuk menda-
patkannya
Mereka bermaksud mendapatkan bocah
tersebut sebagai tameng bagi golongannya. Bocah
tersebut menurut kabar adalah bocah sakti yang
sukar ditandingi.
Seperti halnya di Perguruan Bedak Bega-
wa, di mana Karsa Warsana sebagai pimpinannya
perguruan itu pun telah mendengar adanya Bo-
cah Kembaran Setan. Sebagai perguruan aliran
sesat, jelas Karsa Warsana tak mau menyia-
nyiakan kesempatan ini. Apalagi saingannya begi-
tu banyak, di antaranya Perguruan Lutung Sakti
Bibit Iblis, Tengkorak Beracun serta perguruan-
perguruan aliran sesat lainnya.
"Sumrah, kita harus mampu menda-
patkan Bocah Kembaran Setan tersebut," Karsa
War-sawa berkata pada anak buahnya yang seka-
ligus tangan kanannya. Anak buahnya yang seka-
ligus tangan kanannya adalah seorang lelaki ber-
wajah panjang dengan mata biru dan hidung pe-
sek besar, sehingga tampangnya mirip seperti
tampang seekor kera raksasa. Tokoh ini yang
bernama Sumrah, adalah tokoh aliran sesat yang
ganas dan pantang untuk menyerah.
"Untuk apa, Pimpinan?" tanya Sumrah.
"Untuk apa! Apa kau belum tahu siapa
adanya bocah tersebut?"
"Belum, Pimpinan!"
"Pantas!" Karsa Warsana berkata keras,
seakan mentololi anak buahnya yang sekaligus
tangan kanannya. "Maka itu, kau harus banyak
mencari pengalaman! Kalau kau hanya ngendon
di tempat ini, manalah mungkin engkau mengerti
dunia luas!"
"Ampun, Pimpinan. Sungguh saya kurang
senang bila bepergian. Pertama dikarenakan saya
banyak musuh. Bukannya saya takut pada mu-
suh-musuh saya, namun rasanya sekarang ini
saya sedang enggan untuk bertarung."
"Sontoloyo! Bilang saja kau takut pada
Pendekar Pedang Siluman!" sindir Karsa menjadi-
kan Sumrah hanya mampu cengar cengir tak da-
pat berkata-kata lagi. "Iya kan?"
"He, he, he...! Pimpinan tahu saja," Su
mrah terkekeh.
"Sekarang juga, kau bawa anak buahmu
ke Lembah Bangkai."
"Untuk apa, Pimpinan?"
"Bodoh! Kau ternyata bodoh!" bentak
Karsa jengkel melihat kebodohan anak buahnya.
"Sudah aku katakan, hampir semua perguruan
aliran sesat kini menuju ke sana untuk mempe-
rebutkan bocah tersebut. Bocah itu bukan bocah
sembarangan. Barang siapa yang mendapatkan-
nya, maka kita akan menjadi orang yang ditakuti
dan disegani karena ada bocah tersebut. Bocah
itu mempunyai ilmu yang tinggi, hampir sejajar
dengan ilmu Pendekar Pedang Siluman Darah.
Nah, bukankah dengan kita memiliki bocah terse-
but kita akan yang ditakuti di antara golongan ki-
ta?"
Sumrah terdiam, sepertinya mengerti apa
yang dikatakan oleh ketuanya.
"Kau mengerti sekarang, Sumrah?" kem-
bali Karsa Warsana berkata, yang diangguki oleh
Sumrah. "Bagus, sekarang juga kau persiapkan
anak buahmu untuk menuju ke Lembah Bangkai.
Sebisanya kau harus mendapatkan anak terse-
but. Bila belum dapat, jangan coba-coba kalian
pulang. Mengerti, Sumrah?"
"Daulat, Pimpinan," Sumrah menjura, la-
lu dengan segera keluar dari bangsal menuju ke
tempat di mana para anak buahnya berkumpul
Setelah mengumpulkan hampir lima pu-
luh anggotanya, saat itu juga Sumrah dan anak
buahnya berangkat menuju ke Lembah Bangkai
di mana menurut kabar Bocah Kembaran Setan
berada.
* * *
Lembah Bangkai adalah sebuah lembah
yang sangat dikeramatkan bagi orang-orang dunia
persilatan aliran sesat. Lembah itu telah banyak
memakan korban manusia. Sejak banyaknya kor-
ban di tempat tersebut, maka para pendekar yang
dulu berantusias untuk mencari Kitab Banyu Ge-
ni mengurungkan niatnya. Sudah banyak keja-
dian-kejadian yang akhirnya membuka mata me-
reka.
Sebenarnya kematian para pendekar san-
gat misterius. Kematiannya sungguh secara tiba-
tiba. Entah karena apa, para pendekar yang ber-
maksud mencari kitab tersebut tiba-tiba menga-
lami sebuah guncangan berat dalam dirinya. Dan
manakala memasuki daerah Lingkaran Kematian,
tak seorang pun akan dapat keluar dengan kea-
daan selamat.
Konon menurut cerita, bahwa lembah
tersebut dulu dihuni oleh seorang tokoh silat yang
sakti mandraguna bernama Resi Kumara Geni.
Resi itu menaruh kitab Banyu Geni yang
terkenal mengandung segala macam ilmu di lem-
bah tersebut. Sebelum sang Resi meninggal, ter-
lebih dahulu ia membuat sebuah pagar gaib yang
tidak dapat ditembus oleh mahluk apa pun kecu-
ali oleh manusia berhati dan berbudi baik. Tapi
sampai sedemikian jauh, tak ada yang mampu
membuka tabir tersebut.
Kini Lembah Bangkai akan menjadi ajang
pertarungan para tokoh persilatan aliran sesat
untuk dapat menjadi pemilik Bocah Kembaran
Setan. Apakah benar-benar Lembah Bangkai su-
dah terbebas dari pengaruh pagar gaib yang dipa-
sang oleh sang Resi? Ternyata belum. Pagar gaib
tersebut masih ada dan tetap memagari tempat
yang dinamakan Lingkaran Kematian. Dan me-
mang Bocah Kembaran Setan hendak menuju ke
tempat itu karena dengan tujuan mencari kitab
tersebut. Bocah itu seakan ada yang menyuruh-
nya untuk datang ke tempat tersebut.
Dari empat penjuru nampak berdatangan
orang-orang yang hendak memperebutkan Bocah
Setan tersebut, semuanya hampir sebagian besar
merupakan perguruan-perguruan aliran sesat
yang memiliki ilmu tinggi. Memang, bila hanya
memiliki ilmu-ilmu setengah-setengah, tidak ba-
kalan mungkin akan dapat bersaing mempere-
butkan bocah tersebut.
Lembah Bangkai yang tadinya sepi, dan
hanya berserakan tulang belulang manusia kini
dipecahkan oleh keramaian orang-orang yang pa-
da berdatangan.
Tampak dari arah Timur, rombongan dari
Perguruan Cakra Gelap berjalan dengan langkah
mantap. Perguruan tersebut merupakan pergu-
ruan yang sangat kondang namanya. Cakra Gelap
dipimpin oleh seorang tokoh sesat yang sekaligus
menjabat ketua Perserikatan Segala Iblis. Di da-
lam Cakra Gelap, terdapat tokoh-tokoh aliran se
sat yang berilmu tinggi. Di antaranya Sepasang
Iblis dari Gunung Dieng, juga Iblis Laksa Bertuah,
dan ada juga Setan Tengkorak Haus Darah.
Tiga tokoh utama itu nampak berjalan di
belakang ketua mereka yaitu seorang lelaki ber-
wajah menyeramkan dengan rambut yang sudah
memutih seluruhnya. Orang tersebut, tak lain
Kumilir Seta adanya. Memang setelah hilangnya
Pendekar Bedah Jagad, pertumbuhan Perserika-
tan Segala Iblis begitu cepat, karena orang yang
biasa menghalanginya telah tiada.
"Lihat Ketua, nampaknya dari perguruan
lain pun berdatangan menuju ke mari," yang ber-
kata Sepasang Iblis yaitu Iblis Sepuh, yang men-
jadi tangan kanan Kumilir Seta. "Mereka me-
nyangka akan mampu mendapatkan bocah terse-
but. Hua, ha, ha...!"
"Memang mereka besar adat," Kumilir Se-
ta menimpali. "Mereka mengira bahwa kita ini
akan membiarkan mereka tumbuh dikira kita ta-
kut. Huh, apa yang ditakuti pada diri mereka.
Bukan begitu, Laksa?"
"Hua, ha, ha...! Memang benar! Mereka
mengira kita takut pada mereka. Tapi nanti, me-
reka akan tahu siapa adanya Iblis Laksa Bertuah,
seorang Iblis yang segala ucapannya akan men-
gandung tuah hebat."
Sepuluh golongan dari aliran sesat itu te-
rus merambat turun menuju ke Lembah Bangkai.
Wajah mereka diliputi dengan ketegan-
gan, sepertinya mereka hendak menghadapi ma-
sa-masa di mana para pendekar sakti yang mati
tanpa ampun di tempat tersebut.
"Aku heran, mengapa Bocah Kembaran
Setan menuju ke mari? Apakah bocah tersebut te-
lah tahu bahwa kita akan datang ke sini?" tanya
Setan Tengkorak Darah seperti pada diri sendiri.
"Bukan begitu, Setan. Bocah tersebut da-
tang ke mari semata-mata ingin mencari kitab
Banyu Geni. Entahlah, dari siapa bocah itu men-
getahuinya," Iblis Sepuh menuturkan. "Sepertinya
bocah tersebut ada yang menuntun untuk datang
ke mari."
"Apakah tidak mungkin Pramanayuda
yang menyuruhnya?" Tengkorak Darah kembali
bertanya.
"Aku rasa tidak. Aku, walaupun dari ali-
ran beda dengannya tahu persis siapa adanya di-
rinya. Dia adalah seorang tokoh yang tidak sera-
kah, tidak mau mengambil milik orang lain kalau
bukan miliknya sendiri." jawab Kumilir Seta.
"Mungkin juga ada mahluk lain yang
mempengaruhi bocah tersebut, Ketua?" Laksa
Bertuah ikut menanya. Ia pun tertarik juga den-
gan berita-berita yang mengatakan bahwa Bocah
Kembaran Setan memiliki naluri tinggi, juga ilmu
silat yang tinggi pula. "Kabarnya Bocah Kembaran
Setan juga memiliki ilmu silat yang bukan semba-
rangan. Dua ratus tokoh Silat wilayah Wetan ha-
bis dimangsanya hanya dalam sekejap, manakala
mereka hendak mengadakan penyerangan pada
ibunya si Penguasa Bukit Karang Bolong."
Tersenyum Kumilir Seta demi mendengar
ucapan Laksa Bertuah. Ia kini mempunyai akal
untuk dapat menaklukan Bocah Kembaran Setan,
tanpa harus berkorban banyak. Maka setelah
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kumilir Seta
pun berkata pada ketiga tangan kanannya. "Aku
memiliki sebuah gagasan."
"Apa itu. Ketua...?" tanya ketiga tangan
kanannya serempak.
"Begini!" Kumilir Seta pun menceritakan
gagasannya. "Dengan kita salah satunya menya-
mar sebagai Penguasa Bukit Karang Bolong, dan
yang lainnya menjadi Pramana, mungkin bocah
tersebut akan mau mengikuti kita."
"Bukankah Penguasa Bukit Karang Bo-
long masih muda?" Iblis Sepuh bertanya, nadanya
ragu. "Sedangkan kita, mana ada yang secantik
dia?"
"Itu gampang! Bukankah Laksa Tuah
mampu melakukannya?"
"Benar, Ketua. Aku akan sanggup men-
gubah kalian menjadi mereka. Hua, ha, ha...!
Memang ketua tajam otaknya."
Dalam sekejap saja, ketua-ketua Perseri-
katan Segala Iblis bergelak tawa. Tawa mereka
yang kencang, seketika membahana hingga me-
nyentakkan para perguruan lainnya. Melihat hal
itu, perguruan lainnya tak mau kalah, mereka
pun seketika bergelak tawa dengan mengencang-
kan tawa mereka yang dilandasi tenaga dalam
yang tinggi. Seketika itu pula, Lembah Berkala
Darah yang ada di hadapan mereka beberapa ra-
tus tombak lagi tergetar oleh gelak tawa mereka.
Dasar manusia-manusia iblis, sepertinya mereka
tak hiraukan dengan ketenangan alam, dan me-
reka pun mengusiknya.
* * *
Tersentak para tokoh aliran sesat lainnya,
manakala tiba-tiba dalam rombongan Perserika-
tan Segala Iblis telah muncul dua orang yang su-
dah cukup mereka kenal. Dua orang tersebut tak
lain Pramana atau Pendekar Pedang Layung, den-
gan anaknya Ningrum atau Penguasa Bukit Ka-
rang Bolong. Entah dari mana datangnya mereka,
yang jelas setelah mereka menghilang dari bukit
yang mengelilingi Lembah Bangkai, tiba-tiba da-
lam rombongan Perserikatan Segala Iblis muncul
dua tokoh tersebut.
"Iblis! Eh, bukankah kita juga Iblis?" seo-
rang pimpinan golongan lain memaki. "Dasar me-
reka licik, dikiranya kita tidak tahu bahwa mere-
ka adalah dua orang tangan kanan Kumilir Seta."
"Maksudmu, Kakang Begong?"
"Kau tahu, Adik Sungil. Di dalam rom-
bongan Perserikatan Segala Iblis, ada terdapat
Laksa Tuah yang setiap katanya akan menjadi
kenyataan. Tapi kita tak perlu takut, sebab ada
aku. Aku tahu kelemahan ilmunya," menyombong
Begong Damar.
"Apakah tidak mungkin Bocah Kembaran
Setan akan terkecoh demi melihat ada induknya
di sini?"
"Hua...! Mana mungkin!" Begong Damar
menggeresah. "Bocah Kembaran Setan mempu
nyai naluri yang tinggi, sukar untuk dibohongi
walau dia masih orok."
Mereka terus melangkah, menapaki satu
demi satu kaki mereka turun ke bawah di mana
Lembah Bangkai Berdarah berada. Sungguh tepat
bila jarang pendekar yang mampu membebaskan
diri mereka dari tempat tersebut, sebab lembah
itu sungguh dalam bila harus dituruni. Dan
hanya tokoh-tokoh silat yang memiliki ilmu tinggi
saja yang akan mampu. Terbukti kini banyak
anak buah perguruan dari golongan sesat yang
terpelanting jatuh dan tubuh mereka terus menu-
ju ke tempat Lingkaran Kematian. Dan sudah da-
pat diterka apa yang akan mereka alami? Mereka
seketika mengejang, lalu mati dengan lidah mele-
let dan mata melotot. Sungguh pemandangan
yang mengerikan. Tersirap darah para pimpinan
melihat hal tersebut, yang dengan segera menyu-
ruh mereka yang masih hidup untuk Tetap saja di
atas.
"Kalian janganlah turun! Kalian tetaplah
di atas!"
Dan memang itu yang mereka ingini. Me-
reka tampaknya juga ngeri bila harus mengalami
nasib yang sama dengan teman-temannya yang
lain. Kini hanya pimpinan-pimpinan mereka saja
beserta tangan kanannya yang turun mengelilingi
agak jauh Lingkaran Kematian. Mereka tidak be-
rani untuk mendekati, sebab mereka tahu akan
apa yang mereka alami jika mendekat, yaitu ke-
matian!
LIMA
Lembah Bangkai kini telah penuh dikeli-
lingi oleh pagar-pagar manusia. Di bawah, di ma-
na terdapat Lingkaran Kematian para pimpinan
dari kesepuluh perguruan dan perserikatan aliran
sesat berjaga-jaga bersama para tangan kanan-
nya. Sementara di atas, para anak buahnya yang
berjumlah tidak kurang dari lima puluh anggota
seperguruan juga tengah berjaga-jaga.
Matahari yang tadinya nampak, lamat-
lamat makin menurun hingga akhirnya menghi-
lang di ufuk sebelah Barat. Petang pun datang
bersamaan datangnya hari gelap yang akan me-
nyelimuti jagad raya. Manakala malam hendak
beranjak datang, tiba-tiba terdengar jeritan di
atas menggema.
"Aaah...!"
Satu persatu tubuh orang-orang yang
berjaga-jaga di atas tergeletak mati dengan darah
kering. Yang lainnya segera memburu, dan seke-
tika itu juga mata mereka melotot tak percaya
demi melihat seorang bayi tengah menghisap da-
rah korbannya.
"Bocah Kembaran Setan...!"pekik mereka
serentak kaget.
Bocah Kembaran Setan seketika lepaskan
mangsanya, memandang ke arah orang-orang
yang terpaku ngeri melihat. Mata bocah tersebut
menyala, laksana kilatan api yang hendak mem-
bakar segala apa saja yang ada di situ. Bocah itu
seketika menggeram, "Ooaaaaar...! Oaar....!
Geerrtt..! Ngiik!"
Bersamaan dengan bunyi suara bocah
tersebut, seketika Bocah Kembaran Setan berke-
lebat dengan cepatnya merangsek ke arah mere-
ka. Orang-orang yang tadinya terkesima, seketika
itu berusaha memapaki serangan sang bocah.
Tombak dan senjata lainnya berkelebat, namun
sungguh membuat penyerangnya kini surut dan
merasa takut sendiri. Tombak dan golok serta
senjata mereka bagaikan tak ada artinya. Setiap
kali tombak atau golok mereka beradu dengan
tubuh si bocah, saat itu terdengar bunyi patahan.
"Plak!"
Tombak dan golok mereka yang terbuat
dari besi pilihan patah menjadi bongkahan-
bongkahan kecil. Sedangkan tubuh Bocah Kem-
baran Setan tiada cacat sama sekali, bahkan tu-
buh si bocah makin lama makin bertambah be-
sar.
"Ketua... tolong...! Bocah Kembaran Setan
datang...!" mereka menjerit-jerit, menjadikan kon-
sentrasi para ketuanya seketika pecah. Serentak
para ketuanya pun berkelebat naik menuju ke
atas.
Dari golongan Perserikatan Segala Iblis
yang ada Ningrum dan Pramana segera mendeka-
ti, lalu Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bo-
long berseru pada si bocah yang masih asyik
menghisap darah korbannya. "Anakku...! Anakku,
kau dengar suara ibu, Nak?"
Bocah Kembaran Setan seketika tersen
tak, hentikan aksinya dan mengalihkan pandan-
gannya ke arah datangnya suara tersebut. Mata
bocah tersebut seketika memandang tajam, sea-
kan ingin melihat kebenaran suara yang ia kenal
benar.
"Oar...! Oaaar...!" bocah itu mengerang,
seakan mencari-cari di mana adanya suara sang
ibu, yang dengan segera Ningrum menjawabnya.
"Anakku, ini ibumu… Ini ibumu, Nak.
Apakah engkau mendengar suara ibu?"
Bocah Kembaran Setan menyeringai, me-
nunjukkan gigi-giginya yang panjang dan runcing.
Seringaiannya seakan menunjukkan betapa ke-
gembiraan si bocah. Bocah Kembaran Setan me-
layang, dan bermaksud mendekat ke arah Nin-
grum. Namun manakala bocah tersebut hampir
sampai, tiba-tiba wajah Ningrum atau Penguasa
Bukit Karang Bolong berubah menjadi wajah as-
linya yaitu Setan Tengkorak Darah.
Tersentak Bocah Kembaran Setan, ia
kembali menggeram marah merasa dirinya telah
dibohongi. "Oaar...!"
"Bangsat! Siapa yang telah lancang ber-
buat begini!" maki Laksa Tuah, merasa ilmunya
telah ada yang memecahkannya. "Awas! Bocah itu
menyerang!"
Tersentak Tengkorak Darah, manakala
Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerang ke
arahnya. Dengan segera Tengkorak Darah bua-
ngkan tubuh ke samping, dan hanya beberapa in-
ci saja tangan Bocah Kembaran Setan berkelebat
menyerangnya.
"Kunyuk Busuk! Ternyata kau telah
menggagalkan rencana kami!" bentak Kumilir Se-
ta marah, yang ditujukan pada siapa adanya yang
telah berbuat demikian. Kumilir Seta melihat se-
larik sinar ungu berkelebat ke arah Tengkorak
Darah dan Iblis Sepuh, manakala keduanya ham-
pir mendapatkan hasil. Kini bukannya hasil yang
mereka peroleh, malah nyawa kedua tangan ka-
nannya hampir saja lepas oleh serangan si bocah
yang cepat
"Hua, ha, ha...! Jangan kalian pingin
enaknya sendiri!" bergelak tawa Begong Damar,
merasa usahanya untuk menggagalkan mereka
berhasil.
"Begong Damar! Tunggulah kematianmu
bila masalah bocah ini telah beres!" menggeretak
Kumilir Seta. "Awas! Bocah itu!"
"Oaaar...!"
Bocah Kembaran Setan terus menggeram,
lalu kembali berkelebat menyerang mereka. Mera-
sa bahwa mereka tak akan mampu menghadapi
sang bocah, serta merta mereka pun lancarkan
pukulan jarak jauhnya ke arah si Bocah Kemba-
ran Setan.
"Aji Api Berkala. Hiat...!" Iblis Sepuh
menggeretak.
"Aji Pusaran Setan, hiat...!" Setan Tengko-
rak Darah tak mau kalah.
"Aji Sempal Raga, hiat..!" Kumilir Seta
pun turut, dan yang terakhir adalah Laksa Tuah
dengan ajiannya Tuah Sakti yang biasanya akan
menjadi kenyataan segala ucapannya.
"Nurut kau...!"
"Duar...!"
Ledakan itu menggelegar, tepat manakala
tubuh Bocah Kembaran Setan berada tiga tombak
mendekat ke arah mereka. Namun mata mereka
seketika terbelalak, manakala ledakan itu hilang.
Ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak han-
cur, bahkan kini bertambah besar. Bocah Kemba-
ran Setan yang tadinya bayi, kini menjelma men-
jadi seorang bocah berumur setahun yang telah
mampu berjalan. Kini bocah tersebut tidak lagi
menengkurap, namun berjalan dalam udara. Ka-
ki-kakinya yang kecil, bergerak cepat laksana lari
di atas angin. Kaki-kaki kecil itu tak menapak ta-
nah barang sekalipun.
"Menurutlah, Bocah! Menurutlah kau pa-
daku!" Laksa Tuah menggemakan suaranya.
Nampak Bocah Kembaran Setan tercenung diam,
seakan ucapan telah mampu menguasai dirinya.
"Kau harus menurut padaku. Nurut... kalau ti-
dak, maka aku akan menjadikan dirimu kodok."
Bocah Kembaran Setan benar-benar me-
nurut, namun kembali tiba-tiba selarik sinar ber-
kelebat ke arah tubuh si bocah yang menjadikan
si Bocah Kembaran Setan tersentak sadar. Betapa
marahnya si bocah manakala dirinya merasa te-
lah tersihir, serta merta ia menggerang kembali
marah: "Oaaar...!"
"Bedebah! Orang itu harus dibunuh du-
lu!" bentak marah Laksa Tuah pada teman-
temannya, memerintahkan agar mereka menyele-
saikan dulu Begong Damar yang telah selalu
menggagalkannya. "Kalau Begong kunyuk itu tak
mati, maka gagallah kita. Bahkan diri kita yang
akan menjadi korban."
"Setan Tengkorak dan kau, Iblis Sepuh,
bunuh dia!" perintah Kumilir Seta dengan nada
geram. Tanpa banyak kata lagi, kedua tangan ka-
nan Kumilir Seta berkelebat ke arah Begong Da-
mar.
"Begong Damar keparat! Kau harus
mampus!" bentak Setan Tengkorak Darah gusar,
lalu dengan tanpa menunggu jawaban dari Be-
gong Damar ia pun berkelebat menyerang.
"Kalianlah yang keparat! Kalian telah ber-
laku licik!" balas Begong Damar tak mau kalah.
"Bangsat! Kau telah banyak membuang-
buang waktu! Kaulah yang licik, hiat...!" Tengko-
rak Darah dengan sengitnya menyerang Begong
Damar. Sementara Iblis Sepuh kini menghadapi
adik seperguruan Begong Damar yaitu Sungil
Sumur. Maka pertarungan keempat tokoh aliran
sesat itu pun tak dapat dihindari, sementara yang
lainnya nampak hanya menonton tak ada yang
ikut campur. Mereka rupanya menunggu, siapa
yang akan menjadi pemenangnya yang akan me-
reka hadapi.
Melihat pimpinan-pimpinan mereka ber-
tarung, seketika para anak buahnya pun tak mau
ketinggalan. Serentak tanpa dikomando mereka
pun saling serang. Makin bertambah serulah per-
tarungan kedua Persekutuan Sesat tersebut. Jerit
kematian para anak buah mereka menggema,
seakan nyawa mereka sudah tiada arti sama se
kali. Hanya karena memperebutkan hal yang be-
lum tentu mereka dapati, mereka telah mem-
buang-buang nyawa.
* * *
Laksa Tuah dibantu dengan Kumilir Seta
terus berusaha menjinakkan Bocah Kembaran
Setan. Laksa Tuah merasa bahwa usahanya men-
dekati hasil kalau saja tidak diganggu oleh Be-
gong Damar tak mau putus asa. Kembali Laksa
Tuah dengan mengandalkan Tuah ucapannya be-
rusaha mendapatkan sang bocah.
"Bocah... kau dengar ucapanku? Menu-
rutlah! Menurutlah...!"
Mendengar suara Laksa Tuah yang
menggema, seketika Bocah Kembaran Setan ter-
sentak diam. Matanya yang tadinya menyala be-
rapi-api memendam sinar kematian, kini nampak
agak redup.
"Oaar...! Oaar...!" Bocah Kembaran Setan
mengoar, suaranya tidak segarang tadi, tapi sua-
ranya kini makin melembut seakan menuruti apa
kata Laksa Tuah.
"Bagus! Kau memang harus menurut pa-
daku. Mari... marilah ke sini! Aku adalah rajamu,
aku adalah sahabatmu! Kau harus menuruti se-
gala perintahku."
Betapa girangnya Kumilir Seta melihat
Bocah Kembaran Setan nampak menurut. Bocah
tersebut berjalan mengambang di udara, mende-
kat ke arah Laksa Tuah berada. Makin lama ma
kin mendekat, dan dekat...!
"Oar....!"
Bocah Kembaran Setan terus melangkah,
dan...!
"Wuss...!"
Tersentak Laksa Tuah, manakala tiba-
tiba Bocah Kembaran Setan garang menyerang ke
arahnya. Ternyata ajiannya yaitu Tuah Sakti tak
ada fungsi sama sekali bagi si bocah. Tak alang
kepalang kagetnya Laksa Tuah juga Kumilir Seta.
Laksa Tuah berusaha mengelak. Namun...!
"Oaaaar...!"
Gerakan Bocah Kembaran Setan begitu
cepat, sehingga sulit bagi Laksa Tuah untuk da-
pat menghindari serangannya. Tanpa ampun lagi,
tangan Bocah Kembaran Setan yang berkuku
panjang hitam dan runcing itu mencengkeram le-
hernya. Laksa Tuah berusaha melepaskannya
dengan hantamkan tangan ke arah tangan si bo-
cah, tapi malah cengkeraman tangan Bocah Kem-
baran Setan makin keras menghunjam lehernya.
Laksa Tuah tak mau mengalah begitu saja, ia
kembali hantamkan tangan ke kepala si bocah.
"Dug!"
Tangan Laksa Tuah mendarat telak di
kepala botak si bocah. Kalau kepala orang biasa,
tentunya akan pecah berantakan seperti batu
granit bila dihantam tangan Laksa Tuah. Tapi ke-
pala si Bocah Kembaran Setan tiada apa-apa,
bahkan kini tangan Laksa Tuahlah yang hancur
dengan tulang-tulang remuk.
"Oaaar...! Nyit...! Nyit....!"
Melihat tangan kanannya terancam ba-
haya, dengan segera Kumilir Seta berkelebat me-
nyerang tubuh si bocah. Namun sungguh terke-
jutnya Kumilir Seta, manakala melihat serangan-
nya tak ada arti sama sekali bagi si bocah. Bah-
kan kini tangannya yang melepuh bagaikan diba-
kar oleh api yang beribu-ribu panasnya.
"Oaar...!" kembali Bocah Kembaran Setan
mengoar.
"Aaaah...!" menjerit seketika Laksa Tuah,
manakala taring Bocah Kembaran Setan meng-
hunjam di lehernya. Jeritan Laksa Tuah hanya
sesaat, lalu hilang dengan terdengarnya suara de-
sisan darah yang terhisap.
"Bocah Iblis! Aku bunuh kau!" menggere-
tak marah Kumilir Seta. Segera ia rapalkan ajian-
nya Iblis Tangan Seribu. Dengan ajian tersebut,
yang menjadikan tangan Kumilir Seta berubah
menjadi banyak, Kumilir Seta dengan garang me-
nyerang. "Hiat...!"
Bocah Kembaran Setan menyeringai, le-
paskan mangsa yang sudah kering darahnya ter-
hisap. Segera Kumilir Seta bergerak, menyerang
dengan Tangan Seribunya. Tangan itu begitu ba-
nyak, menjadikan si bocah nampak kebingungan.
Namun ternyata Bocah Kembaran Setan kebin-
gungan untuk sementara, kemudian dengan ga-
nas bocah tersebut segera menyerang.
Pertarungan dua mahluk yang sama-
sama memiliki kesaktian lebih itu terus berjalan.
Dua mahluk yang berbentuk manusia, dengan
yang satu berbentuk bocah dan yang lainnya ber
bentuk orang tua. Serangan-serangan mereka be-
gitu cepat, laksana kilatan-kilatan cahaya yang
menerangi gelapnya malam.
Tertegun semuanya melihat pertarungan
keduanya, sebab belum pernah mereka menyak-
sikan pertarungan yang dilandasi dengan semua
ilmu-ilmu Iblis. Maka mereka yang dari tadi ber-
tarung, seketika hentikan pertarungan dan men-
galihkan pandangan mereka pada dua mahluk
tersebut yang kini tengah terlibat pertempuran
satu lawan satu.
Bocah Kembaran Setan terus merangsek
dengan cepat, namun begitu Kumilir Seta pun tak
mau mengalah. Kini kedua mahluk itu makin me-
ningkatkan serangannya, lalu keduanya bagaikan
terbang saling memapaki dengan ilmu-ilmu mere-
ka.
"Oaar...!"
"Hiat...!"
"Duar...!"
Dua tangan yang berbeda keadaannya itu
saling beradu, melontarkan segenap ilmu yang
mereka miliki hingga menjadikan sebuah ledakan
yang sangat dahsyat. Dan tubuh itu terpelanting
ke belakang. Tubuh Kumilir Seta sepuluh tombak
mental, sementara Bocah Kembaran Setan nam-
pak hanya berjumpalitan di udara hingga dengan
entengnya mengambangkan tubuhnya tanpa
menginjak tanah. Ya, kaki Bocah Kembaran Setan
tak pernah sekali pun menginjak tanah. Mungkin
itu kelemahannya. Bila ia menginjak tanah, pasti-
lah segala kekuatannya akan hilang. Namun ru
panya Kumilir Seta dan yang lainnya tidak me-
nyadari hal itu, sehingga mereka pun tak begitu
menghiraukan. Kalau mereka menghiraukan,
niscaya mereka akan menyadari bahwa kaki si
Bocah Kembaran Setan ada di atas tanah setinggi
satu meter.
"Oaar...! Nyit, nyit, nyit...!" Bocah Kemba-
ran Setan kembali keluarkan suara mengoarnya
yang diikuti dengan suara aneh. Sementara Ku-
milir Seta nampak terduduk bersilah, dan dari
tubuhnya keluar sebuah bayangan yang tak
mampu dilihat oleh mata biasa.
Melihat hal tersebut, nampak si Bocah
Kembaran Setan pun tak mau mengalah begitu
saja. Bocah kecil berumur kira-kira setahun itu
pun segera melakukan meditasi dengan tubuh
masih mengambang. Dari tubuh Bocah Kembaran
Setan, keluar sebuah bayangan pula. Bayangan
tersebut menyerupai seorang pemuda tampan,
menghambur menghadapi bayangan yang keluar
dari tubuh Kumilir Seta.
"Genjati, menyingkirlah engkau dari sini!"
bentak bayangan yang keluar dari tubuh Kumilir
Seta.
"Hua, ha, ha...! Wumo Geran, kaulah
yang harus menyingkir! Kedudukanmu jauh be-
rada di bawahku. Ilmumu pun jauh berada di ba-
wahku. Akulah yang akan mampu mengatasi ja-
gad raya ini."
"Tidak bisa! Kau terlalu telengas! Kau
akan menjadikan cita-cita Ratu berantakan!"
kembali Wumo Geran membentak.
"Apa perdulimu! Aku kini bukan pengikut
Ratumu! Aku kini pengikut Ratu Sanca!"
"Bedebah! Rupanya kau telah berkhianat!
Kau harus mati, Genjati! Kau akan menerima hu-
kuman dari Sang Ratu!" marah dan gusar ber-
aduk pada diri Wumo Geran, manakala menden-
gar penuturan Genjati yang mengakui bahwa di-
rinya kini telah bersekutu dengan Ratu Sanca
yang menjadi musuhnya. "Pengkhianat! Jangan
kira aku takut menghadapimu!"
"Hua, ha, ha...! Kau tak akan mampu,
Wumo Geran! Kau tak akan mampu mengalahkan
aku!"
"Kita buktikan! Hiat...!" Wumo Geran
yang sudah marah, dengan segera berkelebat me-
nyerang Genjati. Keduanya tak lain Iblis-iblis
Penghuni Kawah Draka, di mana berdiri kerajaan
iblis bernama Kercaka Maruta yang dipimpin oleh
Raja Gelerang Sengger.
Pertarungan dua iblis yang telah kembali
dalam bentuk ujud mereka, yaitu dengan cara
meninggalkan raga-raganya terus berjalan dengan
serunya. Namun tampaknya memang Genjati
jauh berada dua tingkat ilmunya bila dibanding-
kan dengan ilmu yang dimiliki oleh Wumo Geran.
Maka dalam beberapa jurus saja, Genjati dapat
segera mendesak Wumo Geran.
"Wumo Geran, terimalah kehancuranmu!
Ajian Kilat Senggana, hiat...!"
Larikan sinar biru berkelebat cepat meng-
arah ke Wumo Geran keluar dari telapak tangan
Genjati. Segera Wumo Geran pun membalasnya
dengan ajian yang ia miliki. Namun ternyata den-
gan ilmu yang ada pada Genjati lebih tinggi di-
bandingkan dengan ilmu yang ada pada diri Wu-
mo Geran. Maka tak ayal lagi, sirnalah Wumo Ge-
ran manakala larikan sinar biru yang bernama
Ajian Kilat Senggana menghantam tubuhnya.
Bersamaan dengan sirnanya sukma Wu-
mo Geran, tubuh Kumilir Seta pun seketika itu
meledak dahsyat.
"Duar! Dum...!"
Terbelalak semua mata melihat kejadian
tersebut, sehingga dengan seketika mereka pun
melompat menghindari ledakan tersebut. Dan
tanpa banyak membuang waktu, mereka yang ta-
dinya berkeinginan mendapatkan Bocah Kemba-
ran Setan segera lari serabutan tanpa hiraukan
bayi tersebut.
ENAM
Melihat musuh-musuhnya berlarian me-
ninggalkannya, Genjati yang saat itu belum kem-
bali masuk ke dalam tubuh si bocah tak dapat
berbuat apa-apa. Akhirnya ia pun tak menghi-
raukan mereka yang berlarian meninggalkannya.
Memang tujuan sebenarnya bukan untuk meng-
hisapi darah mereka, tetapi tujuan sebenarnya
adalah mencari Kitab Banyu Geni yang berada di
situ.
Genjati segera kembali ke tempatnya, yai-
tu tubuh bayi yang nampak masih mengambang
di udara. Setelah ia kembali pada tubuh bayi ter-
sebut, Genjati segera melesat ke bawah di mana
Lingkaran Kematian berada.
Mata Iblisnya seketika tersentak kaget,
manakala melihat ratusan mahluk-mahluk jin
Marakayangan nampak berjaga-jaga mengelilingi
sebuah batu yang berdiri kokoh di tengah-tengah
para Jin yang berjumlah banyak tersebut.
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar,
seakan membentak pada para jin Marakayangan
yang tampak tenang dan setia menjaga apa yang
telah diperintahkan oleh tuannya. Ya, keempat
puluh Jin tersebut adalah utusan Resi Kumara
Geni. Para Jin tersebut adalah prajurit-prajurit
sang Resi, dan para Jin tersebut memiliki ilmu
yang tiada taranya. Jin itu telah dipesan, agar
jangan sekali-kali meninggalkan tempat tersebut
sebelum orang yang dimaksud oleh sang resi da-
tang.
Para Jin itu juga tak tahu siapa adanya
orang yang akan mengambil kitab Banyu Geni
yang mereka jaga. Resi Kumara Geni hanya men-
gatakan, bahwa dirinya akan memberitahukan
pada mereka bila orang tersebut datang. Maka
para Jin penjaga yang setia itu tak mau memberi-
kan pada pendekar-pendekar yang bermaksud
mengambilnya dikarenakan belum ada kabar dari
Sang Resi. Dan bagi mereka yang berani mende-
kat lebih dari dua tombak, maka kematianlah
yang mereka peroleh.
Kini Bocah Kembaran Setan telah men-
dekat. Jaraknya dengan para Jin penjaga Lingka
ran Maut makin lama makin mendekat. Para Jin
tersebut masih tampak tenang, sedangkan Bocah
Kembaran Setan nampak mengerang marah se-
perti membentak agar para Jin itu mau menying-
kir dan membiarkan dirinya dapat mengambil ki-
tab tersebut. "Oar...!"
Bocah Kembaran Setan nampak menge-
rang, lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat me-
nuju di mana para Jin itu berada. Bocah Kemba-
ran Setan dengan nekad berusaha menerobos pu-
taran jin-jin tersebut, namun sungguh bukanlah
hal yang mudah untuk melakukannya.
Manakala tubuh Bocah Kembaran Setan
hendak menerobos, secepat kilat salah seorang
Jin yang dekat dengannya hantamkan pukulan.
"Bug!"
Tubuh Bocah Kembaran Setan mental, la-
lu jatuh melayang di udara. Namun Bocah Kem-
baran Setan tak mau mengalah begitu saja, dan
kembali ia pun bangkit. Dengan mengerang ma-
rah, Bocah Kembaran Setan berkelebat kembali
menyerang.
"Oar...!"
Mata Jin-jin penunggu itu melotot marah,
lalu salah satu Jin itu dengan gusar membentak:
"Genjati, minggat kau dari sini!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar,
yang dimengerti oleh Jin tersebut sebagai kata-
kata penolakan.
"Genjati! Kalau kau menolak, maka jan-
ganlah menyesal bila aku akan menghukummu.
Minggat dari sini, atau dengan terpaksa aku akan
menjadikan sukmamu sengsara seumur-umur!"
bentak Jin yang mungkin pimpinan para Jin ter-
sebut.
Genjati tampak terdiam dengan mata
memandang tak berkedip pada Raja Jin, seper-
tinya ia hendak memberikan isyarat bahwa di-
rinya tak akan mau mengakui kekalahan terse-
but. Namun ketika ia hendak mengadakan seran-
gan lagi, tiba-tiba terdengar desahan angin me-
nerpa tubuhnya. Angin tersebut datangnya dari
seorang kakek tua yang berpakaian serba putih
dengan janggut dan rambut putih pula.
"Bocah iblis! Apakah engkau akan terus
memaksa!" orang tua renta itu membentak, sua-
ranya begitu menggelegar laksana badai prahara
yang mampu meruntuhkan gunung batu. "Kalau
kau tak mau minggat, maka jangan salahkan ka-
lau kau akan menjadi sukma layangan!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
"Bocah dungu! Iblis dungu! Kau akan
mampus bila Pendekar tersebut datang ke mari!
Kau akan mampus, iblis sombong!" kembali lelaki
tua renta itu membentak.
Ternyata bentakan lelaki tua renta itu
berpengaruh juga, sebab Bocah Kembaran Setan
kembali mengoar. "Oar...!"
"Aku tidak mendustaimu! Pendekar Pe-
dang Siluman Darah akan datang ke mari untuk
mengusirmu dari dunia ini!"
Bersamaan dengan habisnya suara lelaki
tua renta itu, terdengar derap langkah kaki dua
orang manusia berlari bagaikan kilat menuju ke
tempat tersebut. Dua orang lelaki yang satu muda
belia dan satunya lagi tua renta, berlari dengan
cepatnya laksana kelebatan angin menuju ke
tempat di mana Bocah Kembaran Setan dan lelaki
tua renta berpakaian serba putih juga keempat
puluh Jin itu berada.
"Itu Bocah Kembaran Setan tersebut!"
pemuda yang tak lain Pendekar Pedang Siluman
Darah, menunjukkan telunjuknya ke arah Bocah
Kembaran Setan pada Pendekar Bedah Jagad
yang diketahui adalah kakak seperguruannya.
"Ayo kita cepat ke sana."
Kedua pendekar tersebut makin memper-
cepat larinya menuju ke Lembah Bangkai yang ja-
raknya tidak begitu jauh lagi. Hanya karena mata
Jaka yang tajam, sehingga ia mampu memandang
jarak yang masih agak jauhan.
"Apakah engkau akan tetap membandel,
Bocah Iblis!" kembali lelaki tua serba putih itu
membentak. "Kalau kau membandel inginkan Ki-
tab ini, maka kau akan berhadapan dengan Pen-
dekar Pedang Siluman Darah. Dialah pewaris Ki-
tab Banyu Geni milikku, yang sesungguhnya mi-
lik kakeknya Paksi Anom"
"Jadi Pendekar itukah yang kami dengar
anak angkat Ratu Siluman Darah, Tuan?" tanya
Raja Jin pada lelaki tua renta serba putih yang
tak lain Resi Kumala Geni.
"Benar! Dialah anak angkat Ratu Siluman
Darah."
Tersentak Bocah Kembaran Setan, mana-
kala mendengar penuturan Resi Kumala Geni
yang mengatakan bahwa pemuda yang kini me-
nuju ke arahnya adalah anak angkat Ratu Silu-
man Darah, Ratu kehidupan bagi para siluman
dan roh-roh halus macamnya. Mata Bocah Kem-
baran Setan seketika meredup, hatinya seketika
itu pula bergumam. "Bahaya! Sungguh bahaya
kalau memang ia anak angkat Ratu kehidupan
umat siluman. Tapi aku belum percaya! Aku tak
akan mau percaya sebelum aku membuktikan-
nya!"
"Kau belum minggat! Hem, rupanya kau
hendak menantangnya. Jangan kira kau akan
menang, Bocah Iblis!" Resi Kumala Geni memben-
tak. Sebagai Resi, ia sebenarnya tak ingin mahluk
apapun akan binasa di hadapannya. Tapi ru-
panya Bocah Kembaran Setan telah nekad dan
berani menghadang Pendekar Pedang Siluman
Darah yang sudah kesohor tersebut. "Kenapa kau
begitu nekad, Bocah Iblis!"
"Oaar...!" Bocah Kembaran Setan men-
goar, yang dimengerti oleh sang Resi arti koaran
tersebut. Koaran itu adalah bentakan agar sang
Resi diam.
Bukan alang kepalang marahnya para Jin
anak buah sang Resi mendengar bentakan yang
dilontarkan oleh Bocah Kembaran Setan yang me-
reka kenal dengan nama Genjati.
Hampir saja keempat puluh Jin itu
menghajar Bocah Kembaran Setan, kalau saja
sang Resi tidak segera mencegahnya dan berkata,
"Biarkan dia dengan kemauannya! Dia sendiri
yang akan menerima hasilnya!"
Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad
telah sampai di tempat Lembah Bangkai, manaka-
la secara tiba-tiba Bocah Kembaran Setan berke-
lebat menyerang mereka.
"Awas Kakang...! Bocah itu menyerang!"
Jaka berteriak mengingatkan Pendekar Bedah Ja-
gad. Dengan segera keduanya berkelebat meng-
hindari serangan Bocah Kembaran Setan. Kedua-
nya lemparkan tubuh ke samping, sehingga lolos
dari cakaran kuku-kuku sang bocah yang hitam
panjang dan tajam.
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
Matanya memandang penuh berapi-api, seperti-
nya ada kemarahan yang mendalam pada kedua
pendekar tersebut.
"Bocah iblis!" bentak Pendekar Bedah Ja-
gad. "Aku tahu siapa adanya engkau! Mengapa
engkau mesti menggunakan bocah yang tidak
berdosa?! Keluarlah kau dengan ujud aslimu."
"Oaar...!"
"Bocah iblis! Kalau kau tak mau menye-
rah, jangan salahkan aku Jaka Ndableg menghu-
kummu!" Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Silu-
man Darah pun membentak. "Sebenarnya aku tak
tega untuk menyakitimu, namun tindakanmu su-
dah tak dapat dibiarkan. Kau telah membuat
bencana di dunia ini. Tapi jika kau mau menye-
rah maka aku akan mengampunimu!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan kembali
mengoar, lalu dengan cepat kembali berkelebat
menyerang kedua pendekar kakak beradik seper-
guruan.
"Awas, Kakang! Bocah itu menyerang!"
Dengan cepat keduanya kiblatkan tangan mereka
ke arah datangnya Bocah Kembaran Setan, yang
saat itu tengah melayang menuju ke arah mereka.
"Ajian Petir Sewu, hiat...!" Jaka mengelu-
arkan Petir Sewu.
"Ajian Bedah Sukma, hiat...!" Pendekar
Bedah Jagad pun tak mau tinggal diam. Ia kelua-
rkan ajian andalannya yaitu Bedah Sukma me-
nyerang ke arah tubuh Bocah Kembaran Setan.
"Duar...!"
"Bletar! Bletar! Bletar...!"
Petir Sewu membahana, membentuk kila-
tan-kilatan yang seketika menerangi tempat ter-
sebut. Tubuh Bocah Kembaran Setan terhantam
dua ajian dahsyat hingga terpental ke belakang.
Namun tubuh itu bagaikan tak mengalami apa-
apa. Petir Sewu dan Bedah Sukma, tak ada ar-
tinya sama sekali bagi tubuh Bocah Kembaran
Setan. Bahkan bocah tersebut kini menyeringai
penuh ejekan, lalu dengan cepat berkelebat me-
nyerang keduanya yang tengah terbengong-
bengong tak yakin pada apa yang mereka lihat.
Jaka tersentak, lalu berseru memperingatkan pa-
da Pendekar Bedah Jagad.
"Awas, serangan...!"
Kembali keduanya berjumpalitan, meng-
hindari serangan Bocah Kembaran Setan yang
makin mengganas dengan penuh amarah. Bocah
itu sepertinya tak takut pada Jaka Ndableg, dan
menganggap bahwa ucapan Resi Kumala Geni
hanyalah omong kosong.
"Tuan, nampaknya Pendekar muda itu
kewalahan," Raja Jin yang merasa khawatir ber-
maksud membantu Jaka dan Pendekar Bedah Ja-
gad. Namun, dengan segera sang Resi mencegah-
nya.
"Kalian tidak perlu turut campur. Kalian
tak usah mengkhawatirkan diri mereka khusus-
nya pendekar muda itu. Mungkin ilmu dan kesak-
tian yang kalian miliki masih jauh bila dibanding-
kan dengan ilmu dan kesaktian yang pemuda itu
miliki," Resi Kumala Geni menuturkan. "Percaya-
lah, bahwa pendekar muda itu tak akan dapat di-
kalahkan oleh Genjati. Ilmu Genjati belum se-
berapa dengan ilmu yang dimiliki oleh keduanya."
Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad
masih terus berusaha mengelakan serangan yang
dilancarkan oleh Bocah Kembaran Setan. Namun
nampaknya Bocah Kembaran Setan yang merasa
ajian yang dilancarkan Jaka tak berarti apa-apa
bagi dirinya, terus merangsek keduanya. Jaka
yang tak ingin kakak seperguruannya akan men-
jadi korban segera berseru: "Kakang Bedah Jagad,
aku minta kakang minggirlah dulu, biar aku yang
menghadapinya."
"Baiklah Jaka."
Bedah Jagad segera mencelat meninggal-
kan Jaka yang terus melesat membawa tubuh
Bocah Kembaran Setan untuk mengikutinya me-
nuju ke tanah yang agak rata. Dan ternyata pan-
cingan Jaka mengena, sebab Bocah Kembaran Se-
tan yang merasa bahwa dirinya akan mampu
mengalahkan Jaka Ndableg terus mengejarnya.
Jaka segera berbalik, lalu dengan cepat
memapaki serangan Bocah Kembaran Setan itu
dengan ajian Tapak Praharanya. "Tapak Prahara,
hiat...!" Tangan Jaka seketika membara bagaikan
berapi, melesat tubuh Jaka menghadang seran-
gan Bocah Kembaran Setan.
Tersentak Bocah Kembaran Setan dan
berusaha mengelak, namun serangan Jaka ter-
nyata datangnya lebih cepat. Maka tak ayal lagi,
ajian Tapak Prahara yang dilancarkan Jaka pun
menderu dan telak menghantam tubuh Bocah
Kembaran Setan. Api berkorbar, melalap tubuh
Bocah Kembaran Setan. Api tersebut adalah api
intinya, yang mampu membuat tubuh yang ter-
kena hancur menjadi abu. Tapi...! Mata Jaka
kembali tersentak tak percaya, sebab ternyata tu-
buh Bocah Kembaran Setan tak mengalami apa-
apa. Jangankan lebur jadi abu, gosong pun tidak.
Bahkan Bocah Kembaran Setan kini nampak ma-
kin melebarkan seringaiannya, menunjukkan ta-
ringnya yang panjang dan runcing. "Oar...!"
"Gusti Allah, ternyata bukan sembaran-
gan iblis!" Jaka membatin. "Apakah aku harus
mengeluarkan ajian yang mampu mengundang
para siluman panik? Hem, kalau aku gunakan
Ajian Jamus Kalimusada, tentulah aku telah me-
rusak alam ini dengan ketidak tentraman. Tidak!
Lebih baik aku menggunakan Pedang Siluman
Darah. Ya! Aku akan memanggil Ratu Siluman
Darah."
Tubuh Bocah Kembaran Setan melaju
menuju ke arah Jaka dengan mata menyorot beri
ngas penuh api kematian. Jaka nampak masih
tenang, diam mengheningkan cipta. Dan manaka-
la tubuh Bocah Kembaran Setan hampir sampai...
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Melompat mundur Bocah Kembaran Se-
tan, demi mendengar ucapan Jaka menyebut na-
ma ibu angkatnya. Dan lebih-lebih kagetnya Bo-
cah Kembaran Setan, manakala secara tiba-tiba
di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah
pedang yang menyala terang kuning kemerah-
merahan. Dari ujung pedang itu, mengalir darah
membasahi batang pedang tersebut.
"Oar...!" memekik Bocah Kembaran Se-
tan, lalu dengan ketakutan melesat terbang me-
ninggalkan Jaka Ndableg yang segera mengejar.
Namun belum juga Jaka jauh, tiba-tiba seorang
lelaki tua renta berjanggut serta berpakaian serba
putih berseru memanggilnya. "Jaka Ndableg!"
Jaka yang bermaksud mengejar, segera
menghentikan langkah dan menengokkan kepa-
lanya ke arah suara tersebut. Pedang Siluman
Darah masih tergenggam di tangannya, lalu den-
gan ringan Jaka pun melangkah menuju ke orang
tua renta berpakaian putih yang mengawehnya
dengan tangan.
"Kau memanggilku, Ki? Siapakah engkau
adanya?" tanya Jaka setelah mendekat ke arah le-
laki tua renta tersebut, yang tersenyum ramah.
"Ya! Aku memang memanggilmu," jawab
Resi Kumala Geni.
"Heh, bukankah tadi aku tak melihatmu,
Ki?"
Jaka terheran-heran sendiri. "Kenapa
engkau tiba-tiba muncul? Dari manakah engkau
datang?"
Resi Kumala Geni lebarkan senyum, lalu
dengan nada suara yang masih ramah berkata:
"Namaku Resi Kumala Geni...."
"Apa...?!" tersentak Jaka dan Pendekar
Bedah Jagad demi mendengar lelaki tua renta itu
menyebutkan namanya.
"Ya, akulah Resi Kumala Geni. Akulah
teman kakekmu, Jaka. Dulu aku dititipi oleh ka-
kekmu sebuah kitab pusaka, yang kini menjadi
bahan rebutan para tokoh persilatan. Karena kau
telah dewasa, maka kitab ini aku serahkan kem-
bali padamu. Gunakanlah kitab Banyu Geni ini
baik-baik, sebab kitab ini akan mendatangkan
bahaya bila berada di tangan orang-orang jahat.
Maka itu, aku sengaja menjaganya dengan me-
nyuruh keempat puluh Jinku."
Makin terheran-heran Jaka dan Bedah
Jagad mendengar penuturan Resi Kumala Geni.
Keheranan Jaka dan Bedah Jagad ternyata dike-
tahui oleh sang Resi yang kembali berkata: "Kalau
kalian tak percaya, kalian mungkin sering men-
dengar banyak para pendekar yang mati manaka-
la hendak mencari kitab tersebut, bukan?"
"Benar," jawab Jaka.
"Nah, kalian akan tahu siapa yang telah
berkorban untuk menjaga kitab tersebut:" Resi
Kumala Geni segera sapukan tangan ke depan
mata Jaka dan Bedah Jagad, seketika itu kedua
pendekar kakak beradik seperguruan mampu me
lihat alam gaib. Keduanya kini melihat empat pu-
luh jin tengah mengelilingi sebuah batu yang ber-
diri menjulang di tengah-tengah. "Apakah kalian
yakin?"
Jaka dan Bedah Jagad tak berkata. Ke-
duanya hanya mampu menganggukkan kepala.
Resi Kumala Geni pun segera melangkah menuju
ke tempat di mana keempat puluh jin tersebut
masih berdiri, diikuti oleh Jaka dan Bedah Jagad.
Sang Resi segera mencabut batu itu dengan rin-
gan, padahal batu tersebut dalam menghujam ke
tanah. Dari batu itu, tampak sinar menyala. Ter-
nyata kitab Banyu Geni disimpan oleh sang Resi
di dalam batu tersebut.
"Ini kitabnya. Kembali aku minta, kau
harus mampu mempertahankan kitab ini dari
tangan orang-orang jahat. Karena aku telah me-
nemukan dirimu, maka aku dan keempat puluh
kadangku ini minta pamit padamu, Jaka." Dis-
odorkannya kitab Banyu Geni itu kepada Jaka
yang menerimanya dengan rasa haru.
"Terima kasih atas jasa Bapak Resi yang
sudi menjaga milik kakek dalam jangka waktu
yang begitu lama. Dengan apakah aku nanti
mampu membalas budi baik ini."
"Jaka, aku tidak meminta balas jasa. Aku
hanya minta padamu agar engkau mau selalu
menjaga kitab tersebut dan mempelajarinya, se-
bab kitab itu akan makin menambah ilmu yang
engkau miliki sebagai bekal dirimu untuk mene-
gakkan kebenaran dan keadilan. Di dalam kitab
ini, kau akan mendapatkan ajian dan jurus-jurus
yang belum ada tandingannya di jagad raya ini."
Resi Kumala Geni menerangkan. "Pelajarilah baik-
baik, sebab kelak ada manfaatnya untukmu. Ka-
lau engkau sudah mempelajari, maka aku mohon
simpanlah di tempat yang tidak mudah dijamah
oleh orang jahat atau kau bakar."
"Baiklah Bapak Resi, segala petuahmu
akan menjadi guru bagi diriku," jawab Jaka hor-
mat, tangannya mendekap erat kitab Banyu Geni.
"Nah Jaka, aku akan pergi. Kau cepatlah
menghentikan sepak terjang Bocah Kembaran Se-
tan tersebut, yang kini telah dalam kuasa seorang
wanita jahat bernama Nok Jenah."
Tersentak Bedah Jagad mendengar nama
murid durhakanya diucapkan oleh sang Resi. Ia
bermaksud bertanya, namun tubuh sang Resi te-
lah menghilang entah ke mana. "Ayo Jaka, kita
mencari Bocah durhaka itu yang kini telah men-
guasai Bocah Kembaran Setan. Kalau kita ter-
lambat, entah bencana apa lagi yang bakal terja-
di."
Dengan tanpa menolak lagi, Jaka segera
mengikuti kakak seperguruannya setelah me-
nyimpan kitab Banyu Geni dalam bajunya di an-
tara ikat pinggangnya. Hari telah berganti, dari
malam beranjak menuju pagi. Dari kejauhan ko-
kok ayam jantan menggema, bersamaan dengan
menyingsingnya sinar mentari. Dan Lembah
Bangkai pun kembali senyap, hanya bangkai-
bangkai manusia korban Bocah Kembaran Setan
saja yang masih bergelimpangan di atas tanah.
TUJUH
Nok Jenah dan Bocah Kembaran Setan
nampak berlari menerabas malam yang pekat.
Nok Jenah yang kini telah menguasai Bocah
Kembaran Setan, bermaksud memperalat bocah
tersebut untuk kepentingannya membalas den-
dam pada para tokoh aliran lurus yang telah
membuatnya menderita terutama Pramana. Tapi
Nok Jenah tak melakukan pada Pramana, dikare-
nakan ia mungkin akan menemui kesulitan.
Bukankah ibu Bocah Kembaran Setan itu
anak dari Pramana sendiri? Secara tidak lang-
sung, bila ia menyerang keluarga Pramana tentu-
lah ia akan mengalami kesulitan. Bocah Kemba-
ran Setan pasti akan membela keluarga tersebut,
di mana ibunya berada.
"Bocah, kita akan berpesta sesaat lagi,"
Nok Jenah berkata pada si Bocah Kembaran Se-
tan yang terbang di sampingnya dengan cepat,
mengimbangi langkah lari Nok Jenah yang mele-
sat bagaikan terbang. "Sudah siapkah engkau?"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
"Bagus! Kau akan pesta darah! Kita akan
menuju Perguruan Gunung Muria. Di sana kau
akan mendapatkan darah yang engkau inginkan,
Bocah."
"Ngik, ngik, ngik! Oar...!"
Keduanya kembali berlari merambah ma-
lam, memotong semak belukar di depannya.
Langkah keduanya begitu cepat, melesat laksana
terbang. Tengah keduanya berlari menuju ke arah
Wetan, tiba-tiba Nok Jenah hentikan langkah dan
miringkan kepala ke kiri.
"Rupanya ada cecunguk yang ingin
mengganggu ketenangan kita nantinya," Nok Je-
nah bergumam. "Hem, ini kesempatan bagimu.
Lakukan apa yang dapat engkau lakukan. Ada ki-
ra-kira dua puluh orang, kiranya cukup untukmu
minum, bukan?"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.
"Bagus! Kau laksanakan segera!" Bocah
Kembaran Setan melesat menuju ke arah datang-
nya gemerisik di balik semak-semak.
Matanya berkilat membara, lalu dengan
cepat melesat ke arah datangnya suara gemerisik.
Walau dalam gelapnya malam, tetapi mata Bocah
Kembaran Setan tampak tajam hingga mengeta-
hui di mana adanya orang tersebut.
"Aaaah...!" memekik salah seorang yang
bersembunyi di balik semak-semak, manakala
tangan kecil si Bocah Kembaran Setan menceng-
keramnya. Dan dengan ganas Bocah Kembaran
Setan tancapkan gigi taringnya, menghisap darah
orang tersebut.
"Oar...!"
Tersentak yang lainnya, demi melihat te-
mannya menjadi korban. Dengan segera orang-
orang yang tadinya bersembunyi, melompat ke
luar dari persembunyiannya dengan golok siap di
tangan masing-masing.
Bocah Kembaran Setan yang telah me-
nyelesaikan tugasnya menyedot darah salah seo
rang dari kedua puluh orang begal itu segera
kembali melesat ke arah orang-orang lainnya,
yang seketika membelalakan mata kaget demi apa
yang mereka lihat.
"Bocah Kembaran Setan!" pekik mereka.
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar,
lalu dengan gesit mengelakan hantaman golok
kedua puluh orang yang mengeroyoknya. Kemu-
dian dengan secepat kilat pula, bocah Kembaran
Setan pun menyerang ke arah mereka.
"Bug, bug, bug!"
Terdengar bunyi beradunya golok-golok
mereka dengan tubuh Bocah Kembaran Setan.
Bukannya tubuh sang Bocah yang patah tertebas
golok mereka, tetapi sebaliknya golok merekalah
yang poil dan patah. Mereka terkesima diam,
menjadikan kesempatan Bocah Kembaran Setan
untuk menyerang.
Tubuh Bocah Kembaran Setan melesat
cepat, lalu dengan beringas ditangkapnya leher
salah seorang dari mereka. Dan dengan segera di-
gigitnya leher orang tersebut, darahnya pun seke-
tika muncrat. Melihat darah muncrat, Bocah
Kembaran Setan nampak makin bernafsu. Dihi-
sapnya darah yang keluar dari leher orang terse-
but, kemudian setelah di leher habis Bocah Kem-
baran Setan menyedot darah di tubuh orang ter-
sebut.
"Hi, hi, hi...! Bocah, kau ternyata hebat!"
terdengar suara seorang wanita tertawa cekiki-
kan, menjadikan kedelapan belas para begal alih-
kan mata mereka memandang ke arah datangnya
suara wanita tersebut. "Lakukan dengan cepat,
biar kita cepat sampai pada tujuan kita, bocah!"
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar,
sepertinya mengiyakan apa kata Nok Jenah. Ke-
mudian dengan mata tajam menghujam, Bocah
Kembaran Setan secepat kilat kembali menerkam
salah seorang dari mereka.
"Bocah Iblis! Mampus kau, hiat...!" Pim-
pinan begal nampak begitu marah. Dengan cepat
ia hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah
tubuh Bocah Kembaran Setan.
"Bug! Bug! Bug!"
Tubuh Bocah Kembaran Setan hanya ter-
goncang sesaat, lalu Bocah Kembaran Setan me-
nyeringai, menunjukkan taringnya yang bergele-
potan darah. Terbelalak pimpinan begal, demi di-
lihatnya ajian yang ia miliki tak berarti sama se-
kali bagi Bocah tersebut.
Nok Jenah tampak mengulum senyum
melihat Bocah Kembaran Setan terus menyerang
mereka. Namun ketika mereka tinggal beberapa
orang saja, Nok Jenah nampak was-was dan
mengeluh sendiri. "Sayang... sayang bila kesem-
patan ini tidak aku pergunakan sebaik-baiknya.
Hem, bukankah pimpinan begal itu tampan juga,
walau mukanya tertutup oleh cambang bawuk
awut-awutan?"
Segera Nok Jenah yang sudah kehausan
akan kebutuhan biologisnya berkelebat cepat,
menotok pimpinan begal dengan gerakan yang
cepat hingga sukar untuk dielakan.
"Tok, tok, tok!"
"Bocah, kau selesaikan kelima orang itu,
biar aku menyelesaikan orang ini dulu." Habis
berkata begitu pada Bocah Kembaran Setan, se-
gera Nok Jenah melesat pergi dengan membawa
tubuh pimpinan begal yang dalam keadaan ping-
san.
Bocah Kembaran Setan masih terus me-
nyerang tanpa mengenai ampun bagi kelima
orang yang tersisa. Maka dalam sekejap mata sa-
ja, kelima orang begal-begal tersebut akhirnya sa-
tu persatu menemui ajal dengan darah kering
terhisap dari tubuhnya dan mata melotot.
Bareng dengan orang yang terakhir me-
mekik, terdengar pula lenguhan panjang dari ba-
lik semak-semak. Lenguhan kenikmatan yang ke-
luar dari mulut Nok Jenah yang saat itu entah
sedang berbuat apa.
Mendengar lenguhan panjang, seketika
Bocah Kembaran Setan melesat ke arah datang-
nya suara tersebut. Nampak oleh Bocah Kemba-
ran Setan pemandangan yang begitu mengesan-
kan dirinya. Pemandangan yang belum pernah ia
lihat sebelumnya, di mana tubuh mulus nan in-
dah milik seorang wanita selain ibunya terpam-
pang di depan matanya.
"Bocah! Mengapa engkau ke mari?!" tanya
Nok Jenah kaget sambil berusaha menutupi au-
ratnya dengan kedua tangannya.
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar,
lalu dengan cepat menuju ke arah Nok Jenah
berdiri mematung. Setelah jaraknya agak dekat,
Bocah Kembaran Setan tiba-tiba berubah menjadi
seorang pemuda tampan yang tak lain Genjati
adanya. Mata Genjati memandang nanar pada tu-
buh Nok Jenah yang telanjang, napasnya mem-
buru.
"Kau...! Kaukah bocah itu?" Nok Jenah
terpana, demi melihat seorang pemuda tampan
tiba-tiba muncul di hadapannya. Karena saking
kagetnya Nok Jenah pun lupa pada keadaan tu-
buhnya. Kedua tangan yang menutupi auratnya
terbuka, sehingga kini Genjati makin nampak me-
lototkan mata dengan meleletkan lidah.
"Nok Jenah, kau cantik sekali," puji Gen-
jati seraya mendekat ke arah Nok Jenah yang ma-
sih terpana dalam diam. Ia tak menyangka kalau
Bocah Kembaran Setan, ternyata seorang pemuda
tampan. Kini Nok Jenah tak dapat berkata-kata,
dirinya terpaku diam dengan sesekali melenguh.
Genjati yang kini menjadi ujud seorang
dewasa, tak dapat lagi menahan nafsunya. Begitu
pula dengan Nok Jenah, ia nampak dengan se-
nang menerima kemesraan yang dilancarkan oleh
Genjati. Tak lama kemudian, kedua tubuh itu te-
lah menjadi satu saling gumul dalam keheningan.
Dan akhir dari semuanya, adalah erangan dan
lenguhan nikmat Nok Jenah.
* * *
"Orang ini harus aku bunuh, Jenah,"
Genjati berkata setelah kembali ke asalnya Bocah
Kembaran Setan. Dan Nok Jenahpun kini telah
kembali mengenakan pakaiannya.
"Memang, Genjati. Kalau ia tidak dibu-
nuh, aku takut dia akan membocorkan rahasia
kita."
"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar,
lalu tubuhnya melesat mencengkeram tubuh
pimpinan begal diangkatnya tubuh pimpinan beg-
al yang masih dalam keadaan tertotok, dan den-
gan cepat digigitnya leher orang tersebut hingga
tembus.
"Crooot...!"
Darah segar muncrat dari leher pimpinan
begal, yang segera disambut dengan cepat oleh
Bocah Kembaran Setan. Dalam sekejap saja, tu-
buh pimpinan begal itu lemas dengan darah ker-
ing dari tubuhnya.
"Bagus!" Nok Jenah berseru girang.
"Nok Jenah, aku minta kau jangan mela-
kukan apa yang engkau inginkan dengan orang
lain," terdengar suara Genjati berkata, sepertinya
ia cemburu bila melihat Nok Jenah mengadakan
persetubuhan dengan lelaki Iain. "Aku mengin-
ginkan hanya padaku saja kau pasrahkan sega-
lanya, Jenah."
"Baik, aku akan memasrahkan segalanya
padamu. Asalkan engkau pun berjanji padaku
pula."
"Janji apakah itu, Jenah?"
"Kau harus mau membantuku."
"Oh, bukankah aku selalu membantu-
mu?"
"Ya! Tapi ini masalah yang menyangkut
kakek bocah yang engkau tumpangi," Nok Jenah
menerangkan. "Aku memendam sakit hati pada
kakeknya bocah yang engkau tumpangi. Kakek-
nya bayi itu bernama Pramanayuda, seorang pen-
dekar yang sakti dengan senjatanya berupa pe-
dang bernama Sukma Layung. Karena kehebatan
pedang tersebut, Pramana digelari Pendekar Pe-
dang Sukma Layung."
Bocah Kembaran Setan terdiam menden-
garkan penuturan Nok Jenah. Matanya berbinar-
binar, sepertinya ia merasakan adanya sesuatu
getaran hebat dalam hatinya. Getaran pertarun-
gan antara rasa harus berterima kasih pada ke-
luarga si bocah yang tubuhnya digunakan untuk
sukmanya, dengan getaran cinta yang dilandasi
nafsu menggebu pada seorang wanita cantik Nok
Jenah yang telah ia setubuhi.
"Haruskah aku memilih di antara kedua-
nya," gumam Bocah Kembaran Setan dalam hati.
Matanya masih memandang redup pada Nok Je-
nah. "Kalau aku tak mengikuti kehendaknya, pas-
tilah aku tak akan mendapatkan apa yang aku
inginkan. Tapi jika aku mengikuti kemauannya,
tentunya aku sebuah mahluk yang tak mengerti
balas budi."
"Sebenarnya pada siapa dendammu itu,
Jenah?" tanya Genjati setelah lama terdiam mere-
nung. "Apakah hanya pada Pramana saja?"
"Sebenarnya aku ingin semua keluarga
Pramana. Tetapi mungkin kau tidak tega dengan
ibu angkatmu yang bergelar Ratu Maksiat Telaga
Warna atau Penguasa Bukit Karang Bolong, bu-
kan?"
"Ya! Dia telah mengandung diriku selama
sembilan bulan."
"Baiklah! Aku hanya minta nyawa Pra-
manayuda saja."
"Hem, begitu?" tanya Genjati ingin kepas-
tian.
Nok Jenah menganggukinya.
"Kalau hanya itu, ayo kita segera ke sa-
na!" ajak Genjati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ke-
dua manusia beda bentuk itu melesat dengan ce-
patnya laksana terbang. Bocah Kembaran Setan
terbang, menjajari diri Nok Jenah yang berlari
dengan cepatnya. Cambuk Perak Seribu masih
tergenggam di tangannya. Dan cambuk itulah
yang bakal mengalahkan Pedang Sukma Layung.
Kedua tubuh itu melesat, menerobos malam yang
pekat. Angin malam pun berderak, menerpa anta-
ra pepohonan.
DELAPAN
Rumah Pramanayuda kini nampak berse-
ri dengan kembalinya dua anak-anaknya. Rumah
yang dulu sepi dan senyap, dan hanya ada suara-
suara murid-murid Pramanayuda yang berlatih
kini terpecah dengan gelak tawa keluarga Prama-
nayuda. Tegalaras dan Ningrum atau si Penguasa
Bukit Karang Bolong telah kembali berkumpul
dengan keluarganya.
Malam itu nampak di ruang tamu, seluruh keluarga Pramanayuda berkumpul. Duduk di
kursi besar Pramanayuda, di sampingnya duduk
pula sang istri. Sementara kedua anak-anaknya
yang tidak lain Tegalaras dan Ningrum duduk di
depan mereka.
"Ningrum, bagaimana dengan Bocah ter-
sebut? Apakah engkau akan membiarkan bocah
tersebut berbuat semaunya?" Pramana berlanjut
setelah untuk sekian lama hanya diam duduk
merenung.
"Benar adikku. Kalau bocah terus dibiar-
kan, niscaya korban akan terus berjatuhan," Te-
galaras turut menyambungi ucapan ayahnya.
"Namun aku belum berani bertindak, sebab se-
muanya telah ditangani oleh Jaka."
"Siapa Jaka itu, Kakang?" Ningrum yang
bertanya. Ia sepertinya pernah mendengar nama
tersebut. Ia lupa-lupa ingat, di mana ia pernah
bertemu dengan orang yang bernama Jaka? "Apa-
kah dia seorang pemuda, Kakang?"
Mata Tegalaras membeliak, begitu juga
mata ayah dan ibunya. Mereka tersentak kaget
demi mendengar Ningrum menebak siapa adanya
pendekar muda sakti. Sebenarnya Ningrum sendi-
ri tengah memikirkan di mana dirinya pernah
mendengar nama Jaka. (Baca Penguasa Bukit Ka-
rang Bolong) di mana Ningrum pernah bersua
dengan Jaka manakala ia dengan gurunya meng-
hajar paman gurunya, yang tak lain guru Tiga Ib-
lis Kelangit.
"Kau seperti telah mengetahuinya, adik-
ku?"
"Ya! Aku memang pernah berjumpa den-
gan pemuda tampan yang menyebut dirinya Ja-
ka... Jaka Ndableg, bukan?" Ningrum balik ber-
tanya
"Eh rupanya kau mengenal nama pan-
jangnya Adikku," terheran-heran Tegalaras men-
dengar ucapan Ningrum yang telah menerka na-
ma Jaka Ndableg. "Bagaimana kau mengenalnya,
Adikku? Sedangkan di Bukit Karang Bolong kau
dalam keadaan tak sadar manakala pendekar itu
menghancurkan suamimu si Setan Rambut Putih
yang tak lain iblis tersebut?"
"Aku mengenalnya bukan di Bukit Karang
Bolong, Dan waktu itu pun aku dalam keadaan
sadar sepenuhnya." Ningrum kembali merenung,
berpikir di mana dia pernah menjumpai Jaka
Ndableg yang kini ia ketahui adalah sahabat ka-
kaknya. Sesaat setelah tercenung Ningrum pun.
berkata kembali: "Ya, aku ingat sekarang. Aku
mengenalnya dan sekaligus merasakan jatuh cin-
ta manakala aku dengan guruku Ratu Kelabang
Ungu menggempur paman guruku yang ternyata
guru dari Serangkai Iblis Kelangit yang telah
memperkosaku. Oh, aku lupa tidak menghukum
Rengkana biadab itu."
"Dia sudah mendapatkan hukumannya,
Adikku," Tegalaras menghibur adiknya yang tiba-
tiba kembali sedih. "Kini mukanya telah hancur
terkena oleh pukulanku."
"Benarkah itu kakang?"
"Benar, adikku."
Kembali ruangan itu hening untuk se
saat, lalu kembali terdengar suara Pramanayuda
berkata: "Kini pendekar muda itu di mana, Teg-
al?"
"Entahlah, Ayah," jawab Tegalaras . "Dia
hanya berpesan padaku waktu kejadian gegernya
Ratu Maksiat Telaga Warna, agar aku mengurusi
Ningrum dan dia akan memburu Bocah Kemba-
ran Setan tersebut."
"Hem, sungguh dia seorang pendekar se-
jati, Anakku. Dia tanpa pamrih dalam menjalan-
kan tugasnya. Ilmunya sungguh tiada tanding un-
tuk sekarang ini, atau di masa-masa kemudian,"
Pramanayuda menggumam sendiri.
"Sungguh aku ingin sekali berkenalan
dengannya. Aku memang telah mendengar na-
manya, namun aku belum dapat melihat pemuda
itu dalam arti wajahnya."
"Dia berwajah tampan ayah," Ningrum
yang menjawab, menjadikan Pramanayuda dan
anak lelakinya Tegalaras serta ibunya meman-
dang terbengong ke arahnya. Ningrum tersipu-
sipu malu. "Maafkan Ningrum. Ningrum me-
mang...." Ningrum tak meneruskan ucapannya.
Seketika Ningrum tundukkan kepala, tak berani
memperlihatkan roman merah dan binar-binar
keceriaan di wajahnya.
Pramanayuda yang memahami hati
anaknya, nampak menarik napas panjang. Dita-
tapnya lekat sesaat Ningrum yang tertunduk, lalu
berpindah ke arah Tegalaras. Kemudian berganti
pada istrinya, dan berkata: "Kau mencintainya,
Anakku?"
Ningrum terjengah, tengadahkan wajah.
Dari kedua matanya seketika melelehkan air ben-
ing. Ningrum menangis, menjadikan kakak dan
kedua orang tuanya tersentak kaget. Tegalaras
yang tak tega bertanya menghiburnya.
"Adikku, kenapa engkau menangis?"
"Aku sedih, kenapa diriku hancur? Mana-
lah mungkin Jaka mau menerima diriku?" Nin-
grum makin mengeraskan isak tangisnya.
"Kau tidak boleh berkata begitu, Adikku.
Itu namanya putus asa. Dan bila orang telah pu-
tus asa, bukankah engkau pernah mengalaminya
sendiri? Iblis akan dengan mudah merasuki ji-
wamu. Janganlah kau bersedih, aku akan beru-
saha agar Jaka mau menerima dirimu."
"Benarkah itu, Kakang?" Ningrum sedikit
tenang mendengar ucapan kakaknya. "Benarkah
engkau akan meminta pada Jaka agar dia mau
menerima diriku?"
"Akan aku lakukan, Ningrum."
Tanpa sadar Ningrum yang diliputi rasa
gembira segera menghambur memeluk tubuh Te-
galaras. Keceriaan kembali tergambar di wajah-
nya. Keceriaan Ningrum, menjadikan keceriaan di
wajah seluruh keluarganya.
* * *
Tengah keluarga Pramana dalam luapan
kegembiraan, tiba-tiba di luar terdengar keribu-
tan. Pramana dan seluruh anaknya nampak ter-
sentak, apalagi ketika terdengar jeritan dari mu
rid-muridnya.
"Aaaah...!"
"Guru...! Bencana datang...!"
"Ada apakah di luar?!"
Pramana segera berkelebat ke luar diikuti
oleh kedua anak-anaknya. Betapa terkejutnya
Primanayuda, manakala melihat dua orang ma-
nusia yang telah ia kenal benar siapa adanya ten-
gah melakukan pengacauan. Salah seorang dari
manusia tersebut, tak lain Nok Jenah. Sedangkan
yang satunya adalah Bocah Kembaran Setan.
"Hentikan!" bentak Pramanayuda.
Seketika semua yang tengah bertarung
menghentikan pertarungannya. Mata mereka se-
ketika memandang ke arah di mana datangnya
suara bentakan tersebut. Nok Jenah yang tahu
Pramana nampak cibirkan bibir sinis, lalu dengan
congkaknya ia bergelak tawa dan berkata.
"Hua, ha, ha...! Pramanayuda, dua puluh
lima tahun aku mendekam dalam himpitan batu.
Dua puluh lima tahun pula aku mencari ilmu dan
senjata yang mampu menghadapi senjata milik-
mu. Kini aku datang untuk menuntut hutangmu
padaku, sekaligus bunganya."
"Perempuan Iblis! Rupanya engkau tiada
jemu melakukan keonaran. Apakah engkau masih
penasaran dengan penolakan cintaku?" Prama-
nayuda balik sinis berkata: "Aku sudah tua, un-
tuk apa lagi engkau mendendam. Bukankah den-
gan ilmu iblismu engkau mampu mendapatkan
pria yang engkau kehendaki?"
Merah seketika wajah Nok Jenah men
dengar sindiran Pramanayuda. Matanya tajam
memandang bengis ke arah Pramanayuda dan
dua orang anaknya yang sudah kesohor na-
manya. Tapi dengan Cambuk Perak Seribu di tan-
gannya, seakan kebesaran nama Pramanayuda
dan kedua orang anaknya bagaikan tiada arti.
Sepertinya Cambuk Perak Seribu akan mampu
menghadapi mereka semuanya.
Sementara itu Bocah Kembaran Setan
nampak terdiam mengambang di angkasa. Ia mu-
lai meragu, manakala melihat Ningrum yang me-
rupakan ibu angkatnya berdiri memandang ke
arahnya dengan pandangan sayu. Tak terasa Bo-
cah Kembaran Setan seketika menangis, layaknya
tangisan seorang bocah yang rindu pada ibunya.
"Cuih! Aku datang ke sini bukan untuk
mengemis cinta bulukan darimu! Aku datang ke
sini untuk mengambil nyawamu yang telah tua
dan rapuh itu, Pramana!" bentak Nok Jenah sen-
git.
"Hem, begitu?" Pramanayuda masih
nampak tenang. "Kalau itu yang engkau mau,
mengapa engkau membawa-bawa bocah itu ke
mari dan mesti membunuh anak muridku yang
tiada dosa!"
"Hi, hi, hi...! Kau rupanya takut pada cu-
cumu sendiri, Pramana. Baik! Aku tak akan me-
nyuruhnya menyerangmu. Mari kita lanjutkan ke-
jadian dua puluh lima tahun yang silam."
"Apa maumu aku turuti, iblis!"
Pramana segera melompat masuk ke ru-
mah, sementara kedua anaknya nampak masih
berjaga-jaga. Sebenarnya Tegalaras sudah tak sa-
bar hendak menghajar perempuan iblis tersebut,
begitu juga halnya dengan Ningrum si Penguasa
Bukit Karang Bolong. Tapi karena ia menyadari
bahwa si nenek yang cantik itu menghendaki
ayahnya, maka sebagai anak dan sebagai seorang
pendekar ia tidak mau gegabah turut campur
dengan urusan orang tua mereka.
Tak lama kemudian dari dalam rumah
Pramanayuda kembali melompat ke luar. Pedang
Sukma Layung telah tergenggam di tangannya.
Dengan pedang tersebut, kini Pramanayuda telah
siap menghadapi segala resiko apapun.
"Mari kita mulai!" Pramanayuda mence-
lat, pergi menjauh menuju ke lapangan yang bi-
asanya digunakan untuk berlatih murid-
muridnya diikuti oleh Nok Jenah yang tangannya
sudah siap dengan Cambuk Perak Seribunya.
Dua orang musuh bebuyutan karena cin-
ta itu kini berhadap-hadapan dengan senjata
masing-masing. Sejenak keduanya saling pan-
dang, seakan ingin menjajagi ilmu yang mereka
miliki masing-masing.
"Siapa yang akan mendahului, Jenah?"
"Kau! Sebab kaulah tuan rumahnya," ja-
wab Jenah menyombong.
"Baik! Bersiaplah! Jangan sampai kau ka-
lah untuk yang kedua kalinya, sebab sia-sia eng-
kau menimba ilmu pada Ratu Siluman Ular San-
ca."
Nok Jenah mendengus marah, manakala
Pramanayuda menyebut nama Ratu Siluman Ular
Sanca. Ternyata Pramanayuda telah mengetahui
siapa adanya orang yang kini mendampinginya.
Maka untuk menutupi kekagetannya Nok Jenah
membentak: "Diam! Jangan engkau sebut Ratu-
ku! Apakah engkau takut, Pramana?"
"Pantang bagiku untuk mengenal takut,
Jenah."
Setelah berkata begitu, segera Prama-
nayuda dengan pedang pusaka Sukma Layung
berkelebat, menyerang ke arah Nok Jenah. Seran-
gannya begitu cepat, tak ubahnya manakala ma-
sih remaja saja. Hal itu menjadikan Nok Jenah
terkesiap kaget, hampir pedang Layung Sukma
menghantam dirinya kalau saja Nok Jenah tidak
segera mencelat menghindar.
"Edan! Ternyata ilmu Pramana makin
bertambah," gumam Nok Jenah membatin. Segera
ia kibaskan Cambuk Perak Seribunya, yang tiba-
tiba berubah menjadi ular kecil-kecil beracun.
"Pramana, terimalah kematianmu,
hiat...!"
Nok Jenah berkelebat dengan Cambuk
Perak Seribunya yang telah berubah menjadi ular
berjumlah ribuan. Ular-ular itu mendesis-desis,
menyerang ke arah Pramana. Pramana yang su-
dah banyak makan garam, tak mau begitu saja
mengalah. Segera ia kibaskan Pedang Sukma
Layung. Asap keluar mengepul, bergulung-gulung
menutupi dirinya.
Ular-ular kecil berjumlah seribu itu teriak
kaget, mendesis panjang dan akhirnya lenyap.
Hal itu menjadikan Nok Jenah kaget bukan alang
kepalang, ternyata asap yang keluar dari Pedang
Sukma Layung mampu menghilangkan ilmu si-
hirnya. Namun Nok Jenah tak mau mengalah be-
gitu saja, kini tangannya yang sebelah kiri beru-
bah menjadi seekor ular besar dan panjang. Ular
tersebut mendesis-desis, mematuk-matuk ke arah
Pramanayuda.
Pramanayuda kembali kibaskan pedang
nya, kali ini makin cepat. Asap hitam legam kem-
bali mengepul, makin banyak hingga menyerupai
benteng yang sukar untuk ditembus. Hal itu men-
jadikan Ular yang terjadi dari tangan Nok Jenah
tak mampu menembus kabut tebal itu, bahkan
kini ulat tersebut merasakan adanya sesuatu ke-
anehan. Ular itu menggelepar-gelepar dan hilang
berubah kembali pada asalnya.
"Bedebah! Jangan kira kau akan menang,
Pramana!" bentak Nok Jenah marah. Segera ia
sabetkan Cambuk Perak Seribunya, menjadikan
kabut penghalang itu seketika hilang.
Nok Jenah tak hanya sampai di situ. Ia
segera kembali hantamkan Cambuk Perak Seribu
ke arah Pramana. Larikan jarum-jarum kecil
menderu, menyeruak ke arah Pramanayuda.
"Ah...!" Pramanayuda tersentak dan beru-
saha menghindar. Namun jarum-jarum beracun
itu melesat dengan cepatnya. Dan manakala ja-
rum-jarum itu hendak menghantam tubuh Pra-
mana, tiba-tiba sebuah petir menggelegar berkali-
kali. Petir itu seketika meluluh lantakan jarum-
jarum tersebut.
"Bangsat! Siapa yang telah berani kurang
ajar!" maki Nok Jenah marah. Nok Jenah lempar-
kan tubuh ke belakang, hindari serangan petir
yang menyala.
"Duar! Bletar, bletar! Bletar!"
"Keluar kau, kunyuk!" Nok Jenah mema-
ki-maki.
Akan tetapi orang yang dimaksudkannya
tak segera menampakkan dirinya. Betapa gusar
Nok Jenah seketika, yang dengan segera hantam-
kan ajiannya ke asal suara petir.
"Wuuut...!"
Angin pukulan yang dilontarkan Nok Je-
nah menderu, melesat dengan cepatnya ke arah
sebuah pohon yang rindang. Dan sesaat kemu-
dian, terdengar ledakan dahsyat yang menjadikan
pepohonan itu hancur berantakan.
"Duar...! Bum...!"
"Hua, ha, ha...! Ternyata kalian harus
mampus juga!" Nok Jenah bergelak tawa, me-
nyangka kalaulah orang tersebut telah binasa
bersama hancurnya pepohonan itu. "Bocah! Cari
kedua kunyuk-kunyuk pengecut itu!"
Bocah Kembaran Setan yang adalah Gen-
jati adanya segera melesat menuju di mana pepo-
honan itu hancur berantakan. Namun seketika
Bocah Kembaran Setan mental kembali sebelum
tubuhnya sampai ke tempat tersebut bagaikan
ada yang mendorongnya. Marahlah Bocah Kem-
baran Setan bukan alang kepalang. "Oar...!"
Bocah Kembaran Setan kembali melesat
menuju ke tempat yang telah mengeluarkan do-
rongan angin besar, yang telah mampu melontar
kan tubuhnya.
"Bocah iblis! Rupanya kau masih berani
menuju ke mari!" terdengar bentakan seorang pe-
muda. "Terimalah ini untukmu, Bayu Dewa.
Hiat...!"
Wut...! kembali angin menderu dengan
kencang dan besar, menerpa tubuh Bocah Kem-
baran Setan yang saat itu tengah melayang menu-
ju ke arah datangnya angin tersebut. Tak ayal la-
gi, tubuh Bocah Kembaran Setan kembali balik
mental ke belakang. Hampir saja tubuh bocah
tersebut jatuh ke tanah, kalau saja tidak segera
Nok Jenah menangkapnya.
"Kunyuk-kunyuk pengecut, keluar ka-
lian!" Nok Jenah tak hiraukan lagi Pramanayuda.
Ia dengan geram kembali hantamkan pukulannya
ke arah datangnya angin topan yang mampu me-
nerpa tubuh Bocah Kembaran Setan.
"Wut...! Duar..!"
Kembali pohon yang terkena hantaman
meledak, lalu tumbang dengan keadaan hancur
berkeping-keping. Tapi ternyata orang yang dituju
tak terkena, malah kini terdengar gelak tawa dari
seorang pemuda.
"Hua, ha, ha...! Perempuan tolol! Kenapa
kau rusak pepohonan yang tidak bersalah! Aku
ada di belakangmu!"
Tersentak semua yang ada di situ terma-
suk Nok Jenah, manakala dengan secara tiba-tiba
di belakang tubuhnya telah berdiri seorang pe-
muda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya. Jaka
Ndableg tersenyum, seakan ingin menunjukkan
kendablegannya.
"Siapa kau, anak muda!" bentak Nok Je-
nah setengah kaget.
"Aku... ha, ha, ha...! Aku adalah Jaka
Ndableg. Seorang pemuda klontang klantung,
yang suka usilan pada orang-orang usil seperti-
mu."
Mata Bocah Kembaran Setan yang berada
dalam gendongan Nok Jenah nampak ketakutan.
Dia telah tahu sendiri siapa adanya pemuda ter-
sebut. Seorang pemuda yang merupakan anak
angkat Ratu Kehidupan bangsa lelembut.
"Oaar....!"
"Jangan takut, bocah! Aku akan meng-
hancurkannya."
"Oaar..!" Bocah Kembaran Setan kembali
mengoar, sepertinya memberitahukan bahwa pe-
muda itu bukanlah musuh mereka. Tapi Nok Je-
nah yang sudah marah tak mau perduli.
"Ayo kita serang dia!" perintah Nok Je-
nah. Dengan agak takut-takut Bocah Kembaran
Setan pun segera melesat berbareng dengan Nok
Jenah menyerang Jaka Ndableg. Namun belum
juga tubuh mereka sampai, sebuah bayangan
berkelebat menghadangnya. Tak ayal lagi tubuh
keduanya mental ke belakang, tertimpa oleh an-
gin yang besar dari tangan orang yang baru da-
tang. Mata Nok Jenah seketika membelalak kaget,
manakala tahu siapa adanya yang datang.
"Guru...! Ayah...!"
"Aku bukan ayahmu, iblis!" menderak le-
laki tua tersebut.
"Ki Bedah Jagad!" Pramana tak kalah ka-
getnya. "Ah, rupanya kabar itu hanya isu belaka.
Ternyata engkau masih hidup, Ki? Sungguh aku
merasa bersyukur."
"Saudara Pramana, biarkanlah kami ber-
dua menangani mahluk-mahluk iblis ini," memin-
ta Bedah Jagad. "Ayo, Jaka...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Prama-
nayuda, segera keduanya berkelebat menyerang.
Jaka Ndableg menyerang Bocah Kembaran Setan,
sementara Bedah Jagad yang sudah merasa ma-
rah pada bekas anak angkatnya menyerang Nok
Jenah. Serangan kedua pendekar kakak beradik
seperguruan itu begitu cepat, menjadikan kedua
iblis berbentuk manusia tak mampu untuk mem-
balas menyerang.
"Ayah! Kalau engkau terus menyerang,
jangan salahkan aku bertindak!" ancam Nok Je-
nah marah.
"Lakukan bila kau mampu!" balas Bedah
Jagad.
"Kau lihat ini, bukan?!"
Tersentak Bedah Jagad, manakala meli-
hat senjata milik istrinya. Ia tahu, kalau dirinya
tak akan mampu menghadapi senjata tersebut.
"Cambuk Perak Sewu! Dari mana kau
mendapatkannya, iblis!"
"Hi, hi, hi...! Aku mendapatkannya dari
istrimu. Istrimu sebenarnya akulah yang meracu-
ni. Hi, hi, hi....! Tapi waktu itu dia tidak memberi-
tahukan di mana adanya cambuk ini," Nok Jenah
cekikikan, mengacungkan cambuk tersebut ke
arah Bedah Jagad yang segera mundur. "Kini
cambuk ini akan menghabiskan nyawamu!"
"Kakang, minggirlah! Biarkan aku meng-
hadapi kedua-duanya!"
Jaka Ndableg segera mencelat, mengha-
dang Nok Jenah yang telah siap dengan cambuk-
nya. Sementara Bedah Jagad yang mengerti kea-
daan tidak mau mengotot. Segera ia pun berkele-
bat mencelat ke belakang dan berdiri di samping
Pramanayuda menonton.
"Ayo kalian berdua majulah, biar aku
dengan segera membereskan tikus-tikus busuk
macam kalian!"
Gusar dan marah Nok Jenah dan Bocah
Kembaran Setan demi mendengar nama mereka
disebut oleh Jaka Ndableg tikus-tikus busuk.
Dengan menggeram, keduanya berkelebat menye-
rang Jaka berbarengan. Diserang begitu rupa, ti-
dak menjadikan Jaka kebingungan. Malah den-
gan gelak tawa Jaka menghindar dan balik me-
nyerang.
"Oar...!"
"Aku hancurkan tubuhmu pemuda som-
bong!" bentak Nok Jenah.
Dengan bareng kedua mahluk iblis ber-
bentuk manusia itu berkelebat menyerang Jaka.
Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa, me-
lenting bersalto. Kemudian setelah dirinya tinggi
di angkasa, Jaka segera hantamkan ajiannya.
"Tapak Prahara, hiat...!"
Kedua musuhnya hanya tersenyum men-
dengar Jaka lontarkan ajiannya yang dahsyat ter
sebut. Bahkan keduanya kini bergelak tawa.
"Hua, ha, ha...! Keluarkan ribuan ajian
macam itu, anak sombong!"
"Oar...!"
Bocah Kembaran Setan nekad mengha-
dang laju gumpalan api yang keluar dari tangan
Jaka Ndableg, hingga dalam sekejap saja tubuh
Bocah tersebut terkurung oleh api yang menyala-
nyala.
Mata semua yang ada di situ terperanjat
melihat Jaka telah mengeluarkan ajiannya. Lebih
terperanjat lagi manakala melihat api inti itu me-
nyelimuti tubuh Bocah Kembaran Setan yang
nampaknya tidak mengalami apa-apa.
Manakala kesemuanya dalam keterkeju-
tan, tiba-tiba Jaka berseru: "Dening Ratu Siluman
Darah, datanglah!" Sebuah Pedang bersinar ku-
ning kemerah-merahan tiba-tiba telah berada di
tangan Jaka Ndableg.
"Hiat...!" Jaka Ndableg berkelebat dengan
Pedang Siluman Darah siap menyerang. Tubuh
Jaka melompat bagaikan terbang, lalu dengan ce-
pat babatkan pedang Siluman Darah ke arah gu-
lungan api tersebut,
"Aaaah....!" terdengar lengkingan me-
nyayat bersamaan dengan musnahnya api. Tubuh
Bocah itu tidak mengalami apa-apa, namun kini
tubuh bocah tersebut merosok turun ke bawah.
Jaka dengan segera menyambar dan memba-
wanya ke arah keluarga Pramana masih tegak
berdiri.
"Bocah sombong! Kau telah membunuh
kekasihku!" Nok Jenah mencak-mencak marah,
lalu berkelebat dengan Cambuk Perak Sewunya
menyerang Jaka yang tengah menuju ke keluarga
Pramanayuda.
Jaka yang tidak ingin orang lain menjadi
sasaran, segera berkelebat menghindar. Jaka
urungkan menyerahkan bayi itu ke Ningrum, dan
kini ia masih membopong bayi dengan tangan ki-
rinya sementara tangan kanannya menggenggam
Pedang Siluman Darah. Jaka segera berkelebat
cepat memapaki serangan jarum-jarum yang akan
mengancam orang-orang yang berada di bela-
kangnya.
Wuuut...! Jaka babatkan pedang. Seketi-
ka luluh lantahlah jarum-jarum maut yang keluar
dan Cambuk Perak Sewu. Hal itu menjadikan Nok
Jenah membeliakkan mata kaget, tak percaya
bahwa senjata yang sangat diagung-agungkan
ternyata tak berarti apa-apa bila harus berhada-
pan dengan Pedang Siluman Darah di tangan Ja-
ka. "Nok Jenah, bersiaplah. Hiat...!"
Dengan tangan kiri membopong bayi dan
tangan kanan menggenggam pedang Jaka berke-
lebat kiblatkan Pedang Siluman Darah ke arah
Nok Jenah. Laju Pedang Siluman Darah yang be-
rada di tangan Jaka begitu cepat, sehingga Nok
Jenah yang bermaksud menghindar tak mampu
bergerak. Nok Jenah mati langkah, sehingga tan-
pa ampun lagi...
"Aaaaah...!" Nok Jenah menjerit, tubuh-
nya terpangkal jadi dua. Darahnya mengering
terhisap dari tubuhnya oleh Pedang Siluman Da
rah.
Tubuh itu seketika mengepulkan asap.
Setelah asap menghilang, tampaklah wajah keri-
put yang menakutkan. Itulah wajah asli Nok Je-
nah, yang tidak lain Iblis Ular Sanca.
Jaka melangkah lemah menuju ke Nin-
grum. Bayi dalam gendongannya tertidur pulas,
sepertinya sang bayi tengah mengalami mimpi
yang panjang.
"Ini anakmu," Jaka sodorkan bayi dalam
dukungannya ke ibunya yang memandang den-
gan mata penuh arti. Jaka tersentak kaget meli-
hat tatapan mata Ningrum yang kini menjadi seo-
rang gadis cantik jelita, bukan Ningrum Penguasa
Bukit Karang Bolong atau Ningrum Ratu Maksiat
Telaga Warna. "Kau...?" lidah Jaka kelu.
Ningrum hanya mampu menundukkan
kepala, tak berani memandang Jaka. Suasana ha-
ru dan sendu pun seketika menyelimuti mereka.
Semuanya diam, membisu bagaikan menghayati
diri mereka sendiri.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar