..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE BOCAH KEMBARAN SETAN

Bocah Kembaran Setan

 

BOCAH KEMBARAN SETAN

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Bocah Kembaran Setan

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Goa itu nampak sunyi, bagaikan mati 

tiada berpenghuni. Angin menderu-deru, berpu-

tar-putar mengelilingi atas goa, sepertinya ada 

sebuah kekuatan yang menyetir angin tersebut 

untuk terus berputar makin cepat dan cepat di 

atas goa. Hembusannya menderu-deru, laksana 

badai topan yang hendak membongkah goa terse-

but.

Sayup-sayup bersamaan dengan hembu-

san angin, terdengar suara seseorang wanita 

menggema. Suara itu keras, keras bagaikan berte-

riak. Namun orang yang mengucapkannya tak 

nampak batang hidungnya.

"Nok Jenah... Nok Jenah, bangunlah! Ba-

ngun dari semedimu. Bangun...! Anak yang eng-

kau kehendaki, yang kelak akan membantu diri-

mu telah lahir. Bangunlah! Cari anak tersebut!"

"Duar! Duar! Duar...!"

Bersamaan dengan habisnya suara gema 

tersebut, terdengar ledakan bebatuan yang sangat 

dahsyat. Lalu dari dalam ledakan bebatuan terse-

but, seorang wanita cantik muncul seraya tertawa 

bergelak-gelak.

"Hua, ha, ha...! Sri Ratu memanggil ham-

ba?!"

"Ya!" kembali terdengar suara seorang 

wanita berkata: "Aku memang memanggilmu, Je-

nah!"

"Ada gerangan apa. Sri Ratu?!"


"Nok Jenah, Bayi Kembaran Setan telah 

lahir. Bayi tersebut telah lahir ke muka bumi ini. 

Carilah olehmu... cari dia sampai ketemu."

"Hanya itu yang Sri Ratu maksudkan?" 

Nok Jenah miringkan kepalanya, seakan telinga 

kanannya yang mampu mendengar. Dan memang 

telinga kanannya yang mendengar, sedang telinga 

kirinya sudah tak berfungsi lagi. Telinga kiri ter-

sebut rusak oleh hantaman musuhnya. Itu pula 

yang mengakibatkan Nok Jenah harus melakukan 

tapa Brata terpendam dalam batu-batuan selama 

hampir dua lima tahun. "Apakah aku boleh me-

nuntut balas pada Pramanayuda, Sri Ratu?"

"Tidak usahlah! Dengar, Jenah! Kalau 

pun engkau tidak menuntut balas pada Pramana, 

kelak pun Pramana akan menanggung akibatnya. 

Dunia persilatan akan geger oleh Bayi Kembaran 

Setan. Orang-orang persilatan telah mengetahui 

bahwa Bayi Kembaran Setan adalah cucu Prama-

na. Bukankah dengan kau menggunakan bocah 

tersebut kau telah secara tidak langsung memba-

las kekalahanmu padanya?" suara Sri Ratu kem-

bali menggemadi antara bebatuan: "Bila kau 

membalas secara langsung, pastilah banyak 

orang-orang persilatan yang akan mencerca diri-

mu. Namun bila engkau menggunakan Bocah 

Kembaran Setan, tentunya orang-orang persilatan 

yang tahu siapa adanya pemilik bocah tersebut 

akan menuduh bahwa Pramana dan keluarganya-

lah yang telah berbuat. Bukankah begitu, Jenah?" 

Nok Jenah nampak terdiam, sepertinya ia 

tengah memikirkan tentang apa yang pernah ter



jadi dengan dirinya. 25 tahun bukanlah waktu 

yang pendek. 25 tahun pula ia harus mendekam 

dalam bebatuan untuk mendapatkan ajian yang 

ia inginkan dan sebuah senjata sakti berupa 

cambuk bergagang perak. Cambuk tersebut ber-

nama cambuk Rambut Perak Seribu, milik Nyai 

Kencono Weni, gurunya yang telah tiada. Dengan 

kekalahannya ketika bertarung dengan Pramana, 

mengakibatkan dirinya kini harus menjadi murid 

dan pengikut Ratu Siluman Ular.

"Bagaimana, Jenah?" suara Ratu Siluman 

Ular kembali bergema, menyentakan Nok Jenah 

dari lamunannya. "Nampaknya engkau tengah 

melamunkan sesuatu. Apa yang engkau lamun-

kan?"

"Hamba sedang merenungkan diri ham-

ba," jawab Nok Jenah dengan kembali memiring-

kan kepala ke kiri, sehingga kuping kanannya be-

rada di atas.

"Tentang apa...?"

"Hamba sedang berpikir bagaimana ham-

ba dapatkan seorang lelaki?"

Bergelak Ratu Siluman Ular mendengar 

ucapan Nok Jenah. Ia pun menyadari, bagaima-

napun juga Nok Jenah memang masih mengha-

rapkan kehadiran seorang lelaki. Sejak cintanya 

ditolak oleh Pramana, Nok Jenah memang sering 

berbuat yang tidak-tidak. Dia seakan putus asa, 

atau boleh dikatakan frustasi berat seperti layak-

nya seorang anak remaja. Dan sejak cintanya di-

tolak tersebut, tingkah laku Nok Jenah sungguh 

sangat berbahaya. Dia menjadi seorang wanita


nakal, pengganggu dan perusak rumah tangga 

orang. Dan akhir dari segalanya, Pramana turun 

tangan menghajarnya sampai telinga yang sebelah 

kiri pecah gendangnya hingga Nok Jenah tak 

mampu mendengar lagi. Hanya kuping se-belah 

kanan saja yang masih dapat dipergunakan, itu 

pun harus dengan cara memiringkannya ke atas. 

Jadilah Nok Jenah yang cantik itu seorang wanita 

yang cacat, yang harus menengkelehkan kepa-

lanya bila ingin mendengarkan ucapan orang lain.

Sri Ratu masih tertawa bergelak-gelak, 

sehingga menjadikan Nok Jenah kerutkan kening 

tidak mengerti akan apa yang menjadi bahan ke-

tawaan Sri Ratu. Dengan masih memiringkan ke-

palanya, Nok Jenah pun bertanya: "Sri Ratu, 

mengapa Sri Ratu tertawa? Apakah ada hal yang 

lucu dalam ucapanku?"

"Nok Jenah, memang kau masih berhak 

untuk memikirkan seorang lelaki yang kelak 

mendampingi dirimu. Kau masih cantik jelita 

layaknya seorang gadis. Kau masih dapat mencari 

seorang lelaki yang juga muda dan tampan. Itu 

semua memang harus kau dapatkan. Tapi apakah 

engkau akan mendahulukan kemauan hatimu 

dan mengesampingkan tujuanmu yang sebenar-

nya? Kuburlah dulu keinginanmu untuk dapat 

bersanding dengan seorang pria. Kelak pun, kau 

tentunya akan mendapatkan pria tersebut setelah 

kau dapat menjadi seorang tokoh yang disegani. 

Bukankah itu tujuanmu? Menjadi seorang tokoh 

yang disegani, Jenah?"

"Benar, Sri Ratu. Memang tujuan utama


hamba adalah menjadi seorang tokoh yang dis-

egani oleh orang-orang persilatan. Hamba ingin 

menjadi seorang yang mampu mendirikan sebuah 

perguruan yang akan ditakuti oleh perguruan-

perguruan lainnya."

"Hua, ha, ha...! Mudah Jenah! Itu sangat 

mudah bila kau telah mampu menguasai bocah 

tersebut. Untuk itulah, cari bocah tersebut dan 

bawalah ke tempatku. Bocah itu akan aku didik 

agar menurut padamu."

"Daulat, Sri Ratu," Nok Jenah menyahut, 

lalu setelah menjura Nok Jenah pun berkelebat 

terbang dengan pecut Rambut Perat Seribunya 

mencelat pergi.

* * *

Jaka Ndableg yang tengah mengejar Bo-

cah Kembaran Setan, malam itu tidak tidur seke-

jap pun. Matanya bagaikan tak mau dipicingkan. 

Bila terdengar suara lenguhan, Jaka Ndableg se-

gera mencelat memburu ke asal suara tersebut.

"Wah, ke mana aku harus mencari Bocah 

Kembaran Setan?" gumam Jaka seperti terjengah 

setelah mendapatkan bahwa yang melenguh bu-

kannya manusia tapi seekor sapi. "Sialan! Gara-

gara Bocah Iblis itu aku dibuat kalang kabut, sapi 

yang melenguh, eh aku kira lenguhan bocah iblis. 

Kalau aku tak mampu menemukan bocah terse-

but, sungguh akan menjadi petaka di dunia persi-

latan. Apa lagi jika bocah tersebut dapat dikuasai. 

oleh tokoh sesat, wah... apa tidak akan dipergu


nakan untuk kejahatan yang makin merajalela?"

Jaka Ndableg hanya mampu gelengkan 

kepala menerima kenyataan tersebut. Sungguh ia 

benar-benar telah dibuat kalang kabut oleh seo-

rang bocah. Memang bocah tersebut sangat ber-

bahaya. Kalau dalam sehari saja tidak minum da-

rah, entah apa jadinya. Dua ratus orang habis da-

lam sehari saja, mati dihisap darahnya.

"Ke mana aku harus mencari Bocah Se-

tan tersebut?" Jaka melenguh, seakan ada rasa 

berat yang mendera di dalam kalbunya. Kalbu 

seorang pendekar yang berdiri kokoh dalam 

membela kebenaran dan keadilan, yang pantang 

untuk mengalah pada segala macam kejahatan 

dan kemungkaran. "Aku tak boleh putus asa. Bila 

aku putus asa, tentunya aku ini telah menjadi 

seorang yang lemah. Ah, sungguh tantangan hi-

dup. Dan tantangan hidup ini semampuku harus 

aku hadapi, walau apapun yang bakal menimpa 

diriku."

"Anak muda! Sedang apakah engkau ma-

lam-malam begini terbengong melamun sambil 

berjalan?" terdengar suara seorang tua terarah 

pada Jaka. Seketika itu Jaka tersentak dari la-

munannya, tengokan kepala pada suara tersebut. 

"Sungguh hanya manusia-manusia bodoh dan tak 

tahu jalan saja yang mesti merenungi nasibnya. 

Dan hanya manusia-manusia pintar serta tabah 

saja yang tahu akan jalan yang sebenarnya ter-

bentang luas di hadapannya."

Tersentak Jaka seraya kerutkan kening 

mendengar penuturan seorang lelaki tua berjang


gut merah. "Sungguh aneh orang ini. Jarang aku 

temui orang berjanggut merah, atau barang kali 

rambut janggutnya disemir?" Jaka menanya da-

lam hati. "Ah, dia begitu mengerti apa yang ada di 

dalam hatiku."

"Kakek! Siapakah engkau adanya?" Jaka 

bertanya: "Dan apa tujuanmu menerka-nerka ha-

tiku?"

"Aku hanyalah seorang gembel belaka. 

Namaku tak terkenal seperti namamu," orang tua 

berjanggut merah ngomong sendiri, seperti bertu-

tur kata bahwa dirinya tak terkenal seperti nama 

pendekar Pedang Siluman yang tersohor. "Sung-

guh engkau adalah seorang pendekar yang sejati. 

Kau banyak teman, tapi maut pun akan selalu 

mengintaimu di mana-mana. Hidupmu tak per-

nah menetap, berkeliaran dari satu tempat ke 

tempat lainnya, apa yang sebenarnya engkau cari, 

Pendekar?"

Jaka makin jadi terkejut mendengar tutur 

kata lelaki tua berjanggut merah. Betapa segala 

apa yang ada di dalam dirinya lelaki berjanggut 

merah mengetahuinya. "Apakah dia seorang ma-

laikat yang menjelma menjadi manusia?" gumam 

Jaka dalam hati.

"Kakek, apakah engkau seorang malaikat 

yang diutus Tuhan untuk menemui diriku?" tanya 

Jaka dengan ketidakmengertiannya. "Kau benar 

begitu, untuk tujuan apakah? Apakah engkau di-

utus untuk mencabut nyawaku? Biarlah, daripa-

da aku hidup harus selalu begini. Hidupku telah 

aku korbankan untuk jalan Tuhan, namun aku


selalu mendapat tantangan dan tantangan yang 

tiada henti-hentinya. Kalau sekiranya Tuhan ber-

kehendak mengambilku, aku rela."

"Hua, ha, ha...! Lucu... lucu!" Kakek ber-

janggut merah tertawa bergelak-gelak demi men-

dengar ucapan Jaka yang seperti anak kecil. Hal 

itu menjadikan Pendekar Pedang Siluman Darah 

makin tak mengerti saja. "Lucu sekali dirimu, 

Pendekar! Ketahuilah, bahwa dirimu akan selalu 

diberi kehidupan dan lindungan yang lama oleh 

Tuhanmu. Dirimu akan menjadi seorang penegak

kebenaran dan keadilan. Tapi ingat, kelak pada 

masa sepuluh tahun mendatang, yaitu masa ke-

lahiran Iblis Laknat dari dasar neraka, kau akan 

mengalami kesulitan yang akan menjadikan diri-

mu harus berjuang antara hidup dan mati. Iblis 

itu akan lahir sepuluh tahun kemudian, di mana 

usiamu telah menginjak usia yang semakin tua. 

Kini usiamu masih terlalu muda, baru dua puluh 

dua tahun."

"Kakek, kau sungguh Paninggal benar. 

Siapakah dirimu adanya, Kek?" Jaka terus ber-

tanya mendesak.

"Sudah aku katakan, aku hanyalah seo-

rang gembel bulukan yang tak terkenal seperti di-

rimu. Namun aku ingin sekali menolong dirimu. 

Aku ingin meringankan bebanmu." Kakek ber-

janggut merah berkata: "Ketahuilah olehmu, Pen-

dekar. Aku sering kali merenungkan tentang di-

rimu. Bila aku tidur, dirimu seolah-olah ikut da-

lam mimpiku. Bila aku bertapa, dirimu seolah-

olah ada dalam khayalanku. Karena itulah, aku


merasa bahwa aku memang harus berbuat sesua-

tu untuk dirimu. Aku ingin berusaha meringan-

kan bebanmu. Namun aku sendiri tak akan selalu 

hadir di sisimu, aku akan datang bila kau benar-

benar memerlukan diriku. Semua orang menye-

butku telah berbuat yang merugikan mereka. Aku 

telah dituduh oleh mereka, bahwa akulah pem-

buat bencana di Gunung Slamet."

Jaka terdiam tanpa kata mendengarkan 

penuturan yang diucapkan oleh kakek berjanggut 

merah. Jaka sendiri belum tahu siapa adanya ka-

kek berjanggut merah yang ingin membantunya, 

dan telah menceritakan siapa adanya dirinya yang 

sebenarnya. Jaka makin tak mengerti setelah si 

kakek mengatakan bahwa dirinya telah dikecam 

oleh orang-orang persilatan. Siapa sebenarnya 

kakek berjanggut merah? Mengapa dia tak mau 

menampakkan dirinya terus menerus? Dan men-

gapa ia ingin membantu pendekar kita Jaka 

Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah? 

Semuanya itu akan saya beberkan pada bab-bab 

selanjutnya, yang ada sangkut pautnya dengan 

Nok Jenah yang kini tengah mencari Bocah Kem-

baran Setan.

"Dapatkah kakek menceritakan siapa 

adanya kakek? Lalu apa yang menjadikan kakek 

ingin membantuku? Dan benarkah kakek bukan 

seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk men-

cabut nyawaku?" tanya Jaka.

"Hua, ha, ha...! Lucu! Mana ada malaikat 

mengeluh sepertiku? Hanya orang-orang lemah 

saja yang mengeluh, termasuk diriku. Kau sebe


narnya tak pantas untuk mengeluh, sebab kau 

orang kuat."

"Tidak juga, Kek!" Jaka membantah. "Aku 

juga manusia seperti dirimu. Aku merasakan la-

par bila belum makan, juga merasakan sakit bila 

luka. Setiap orang yang merasakan segalanya, 

tentulah ia akan pernah mengeluh."

Kakek berjanggut merah angguk-

anggukan kepala, mengerti akan apa yang dikata-

kan oleh Jaka. Kini ia menyadari bahwa Pendekar 

Pedang Siluman Darah bukan saja tinggi ilmunya, 

namun tinggi pula budi pekertinya. Jarang sekali 

seorang pendekar yang mau mengakui dirinya 

masih rendah. Dan biasanya, seorang pendekar 

tentulah mencari-cari kesalahan seseorang untuk 

dapat menjatuhkan orang tersebut. Tetapi pende-

kar ini, jauh berbeda dengan kebanyakan. Pende-

kar ini sangat menghindari hal-hal yang sekiranya 

dapat merenggangkan hubungan timbal balik se-

seorang. Kakek janggut merah masih terdiam, 

memandang kagum ke arah Jaka Ndableg.

"Baiklah, Anak muda," katanya kemu-

dian. "Aku akan berusaha membantu dirimu, wa-

lau aku tahu kau mungkin tidak memerlukan-

nya."

"Ah, mengapa kakek berkata begitu?" la-

gi-lagi Jaka membantah, seakan ia tak suka ka-

lau dirinya harus disejajarkan dengan para nabi. 

Ia bukanlah nabi, ia juga bukannya malaikat yang 

tidak membutuhkan bantuan. Ia adalah manusia, 

manusia yang memerlukan uluran tangan orang 

lain. "Kakek, apapun bentuknya manusia, ten


tunya ia akan memerlukan bantuan seperti diri-

ku. Diriku pun memerlukan uluran tangan dari 

manusia lainnya, termasuk darimu. Janganlah 

engkau mensejajarkan aku dengan para malaikat 

Tuhan, atau nabi-nabi Tuhan yang memang su-

dah dikodratkan olehNya untuk dapat berdiri 

sendiri."

"Ooh... sungguh tinggi budi pekertimu, 

Pendekar." puji kakek berjanggut merah. "Makin 

aku kagum dan salut padamu. Aku makin ingin 

secepatnya dapat membantu dirimu, ataupun 

berkorban untuk dirimu."

"Terima kasih sebelumnya, Kek," Jaka 

berkata: "Sungguh sebenarnya saya tak ingin me-

repotkan dirimu, namun karena itu semua eng-

kau yang minta, aku pun tak dapat menolaknya. 

Nah, bukankah engkau belum menceritakan sia-

pa adanya dirimu, Kek? Kalau mengenai diriku, 

tentunya engkau telah mengetahuinya, bukan?"

Kakek Janggut Merah tampak terdiam, 

tercenung dalam hening menatap lekat ke arah 

Jaka Ndableg. Ditariknya napas panjang-panjang, 

lalu kemudian kembali berkata; "Baiklah, me-

mang kita perlu adanya saling mengenal. Aku 

akan menceritakan siapa adanya diriku yang se-

benarnya."

Kembali kakek Janggut Merah hentikan 

ucapan, menarik napas panjang. Sementara Jaka 

masih terdiam, dengan sekali-kali matanya mem-

andang sekeliling, siapa tahu dalam kesempatan 

itu ia dapat menemukan adanya Bayi Kembaran 

Setan.


DUA


Setelah sesaat terdiam, saling jaga kalau-

kalau ada orang jahat yang bakal datang, atau 

Bocah Kembaran Setan datang, kakek Jenggot 

Merah akhirnya bercerita siapa adanya dirinya. 

Tiga puluh tahun yang lalu, dia adalah 

seorang pendekar bernama Gelang Kemulang. Dia 

adalah seorang tokoh silat aliran lurus yang se-

pak terjangnya selalu membuat tokoh-tokoh ali-

ran sesat banyak yang berusaha mengalahkan-

nya.

Suatu hari...

"Gelang! Aku minta, kau janganlah ikut 

campur urusanku!" Kumilir Seta yang mendatangi 

Gelang Kemulang adalah seorang pendekar aliran 

sesat. Dia bermaksud hendak mengadakan per-

temuan para tokoh sesat untuk mendirikan se-

buah perserikatan dengan nama "Perserikatan 

Segala Iblis."

"Apa keperluanmu hingga mengancamku 

begitu, Seta!" balas Gelang tak mau mengalah be-

gitu saja. "Sebagai seorang tokoh persilatan, kita 

sama-sama mempunyai tugas masing-masing. 

Kau dari aliran sesat, tentunya kau pun memiliki 

tugas sendiri. Sebaliknya aku, aku pun sebagai 

pembela kebenaran akan mempunyai tugas sen-

diri yaitu menumpas segala kejahatan yang hen-

dak bercokol di muka bumi ini."

"Jadi kau masih tetap membandel dan 

bermaksud menghalangi niatku untuk mendiri


kan Perserikatan Segala Iblis!"

"Tergantung kenyataannya, Seta."

"Apa maksudmu!"

Gelang Kemulang tersenyum, seakan 

memberikan sebuah gambaran nyata yang tergu-

rat dari goresan ulasan senyum di bibirnya. Se-

nyum itu, adalah senyum sebuah arti yang men-

gisyaratkan agar Seta harus hati-hati.

"Aku tak akan mengganggu perserika-

tanmu, asalkan engkau dan seluruh rekan-

rekanmu tidak membuat segalanya berubah. Bi-

arkan hidup ini berjalan semestinya."

"Jadi kau akan bertindak bila kami men-

gadakan sebuah perubahan total ataupun seba-

gian dari kehidupan?"

"Ya!" jawab Gelang pendek.

"Kau tak akan mampu," Kumilir Seta 

sunggingkan senyum sinis penuh ejekan, lalu 

mengulang katanya: "Kau tak akan mampu, se-

bab di dalam Perserikatan Segala Iblis banyak 

terdapat tokoh sakti aliran sesat."

"Kita akan buktikan, Seta."

Mendengar ucapan Gelang, seketika Ku-

milir Seta tak bicara lagi. Ia diam, lalu dengan 

memandang tajam seperti hendak menembus jan-

tung Gelang, Seta pun berkelebat pergi mening-

galkannya. Gelang hanya dapat geleng kepala, 

seakan tak mengerti dengan apa yang sebenarnya 

ada di dalam hati Seta. Tanpa banyak bicara Ge-

lang pun akhirnya kembali masuk ke dalam pa-

depokannya menemui kembali para muridnya.

"Siapakah gerangan yang datang, Guru?"


tanya salah seorang muridnya. Murid Gelang Ke-

mulang atau Pendekar Bedah Jagad ada tiga 

orang. Yang pertama adalah anak Kadipaten, ber-

nama Purbaya Anjasmara. Yang kedua anak seo-

rang pembesar istana, bernama Kemang Bende 

Dewa. Sementara yang terakhir, dia anak angkat-

nya sendiri. Bocah itu ditemukan olehnya mana-

kala terjadi perampokan di desa Sanggana.

"Sepertinya mereka mengancam guru. 

Benarkah begitu, Guru?" yang bertanya ini Bende 

Dewa.

"Begitulah, Muridku."

"Mengapa ia mengancam, Guru?" kembali 

Bende Dewa bertanya. 

"Apakah mungkin ia orang jahat, Guru?" 

kini Purbaya yang ambil kata. "Atau mungkin ia 

mendendam pada guru? Kalau memang ya, be-

gaimana jika kami yang menanganinya, Guru?"

Gelang atau Pendekar Bedah Jagad 

hanya mampu gelengkan kepala mendengar uca-

pan murid-muridnya yang masih muda-muda. 

Memang ia menyadari bahwa seusia murid-

muridnyalah, masa-masa orang menunjukkan ge-

jolak kemauannya. Dan ia sebagai guru, patutlah 

memberikan wawasan yang luas agar murid-

muridnya itu tidak salah langkah. Sebab bila mu-

rid-muridnya salah langkah, sudah dapat dipasti-

kan gejolak mudanya yang bicara, bukan rasio 

dan pikiran yang baik yang menentukannya.

"Tidak begitu, Murid-muridku. Kita me-

mang boleh merasa tidak senang bila diri kita di-

ancam atau disakiti oleh orang lain. Tetapi, kita


juga perlu melihat kenyataan sebagai apa kita ini? 

Bila kita melihat diri kita sebagai manusia, ten-

tunya kita akan menuruti kehendak manusia

yang telah dikodratkan pada diri kita. Tetapi jika 

kita melihat dari sudut masyarakat, tentunya kita 

akan menjadikan segala tindakan diri kita sebagai 

bagian masyarakat. Nah, karena aku berdiri pada 

bagian masyarakat, aku pun harus memikirkan 

masyarakat di sekitar kita. Coba kalian bertanya 

pada diri kalian. Apa yang kalian akan lakukan 

jika kalian sebagai masyarakat, melihat masyara-

kat lainnya tercengkeram oleh tindakan orang 

atau golongan."

"Jelas kami akan menghalanginya, Guru," 

kedua orang muridnya menjawab, hanya seorang 

muridnya yang tak menjawabnya, dialah Nok Je-

nah. Dan dikarenakan Nok Jenah tak menjawab, 

maka sang guru pun bertanya padanya.

"Kenapa engkau terdiam, Jenah?"

"A-ampun, Guru. Hamba, belum menger-

ti,'' tergagap Nok Jenah manakala menjawab. Hal 

itu jelas membuat gurunya Si Pendekar Bedah 

Jagad kerutkan kening tak mengerti, meman-

dangkan matanya tajam ke arah Nok Jenah.

"Sepertinya kau tengah melamun, Je-

nah?"

"Ti-tidak, Guru," Nok Jenah mencoba 

menutupi.

"Kau mulai berani mendusta padaku, Je-

nah?"

"Am-ampun, Guru," Jenah menangis se-

senggukan. Hatinya merasa berdosa telah men


dustai gurunya yang sekaligus orang tua angkat-

nya.

"Oh, mengapa aku telah berani menen-

tang orang yang telah menolongku serta mendi-

dikku sejak kecil? Kenapa...?" Nok Jenah menge-

luh dalam hati, sementara ia terus menangis tun-

dukan kepala tak berani menentang pandang pa-

da gurunya.

"Kenapa engkau menangis, Jenah?"

Nok Jenah tak dapat berkata-kata, ia 

bingung harus mulai dari yang mana. Sebenarnya 

dalam hati Nok Jenah terhampar ratusan perta-

nyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang tak mampu 

ia jawab dan selesaikan. Pertanyaan mengenai 

kehidupan, juga mengenai mengapa cintanya di-

tolak oleh seorang pendekar?

"Mengapa cintaku yang tulus harus ber-

tepuk sebelah tangan? Mengapa Pramana tidak 

mau menerima diriku sebagai kekasih, padahal 

aku sangat menyintainya?" keluh hati Nok Jenah.

"Kau terus melamun, Jenah?"

Tersentak Nok Jenah seketika dari lamu-

nannya. Bayang-bayang Pramanayuda menghi-

lang, bersamaan dengan suara gurunya. Den-

damnya pada Pramanayuda yang telah menolak 

cintanya, menjadikan Nok Jenah harus mencari 

jalan untuk dapat menjatuhkannya.

"Hamba... hamba prustasi, Guru."

Tersentak guru dan kedua kakak seper-

guruannya demi mendengar ucapan Jenah. Keti-

ganya seketika memandang lekat ke arah Jenah, 

seakan ketiganya ingin mengorek hati Nok Jenah


yang dalam. Hati seorang gadis, yang kini terlun-

ta-lunta akibat cintanya yang suci harus dilaku-

kan bertepuk sebelah tangan.

"Jenah! Apa artinya ucapanmu...?" Ge-

lang tergetar berkata, seakan ada sebuah kekua-

tan yang dahsyat mengguncang diri dan hatinya. 

Kekuatan yang mampu menggoyahkan persen-

diannya. Gadis yang sedari kecil diangkat menjadi 

anaknya, ternyata telah menjadikan segalanya be-

rubah. Gadis itu seakan meluluh-lantahkan ha-

rapannya untuk kelak menggantikan dirinya se-

bagai seorang pendekar aliran lurus, yang mampu 

menegakkan kebenaran dan keadilan. Kalau gadis 

ini sudah prustasi, jelas jiwa kewanitaannya akan 

membawa dirinya ke jurang kebencian dan den-

dam pada orang yang dianggapnya telah mem-

buatnya putus asa.

Tapi selaku orang tua, apalagi sudah ter-

kenal namanya sebagai orang bijaksana, Gelang 

tak mau begitu saja mendamprat atau memarahi 

sang anak angkat. Ditariknya napas panjang, 

seakan hendak membuang keberatan beban yang 

ada di hati.

"Kau telah jatuh cinta, Jenah?"

"Benar, Guru," jawab Jenah masih ter-

tunduk.

"Siapakah orang yang engkau cintai?"

Jenah memandang pada kedua kakak se-

perguruannya, seakan minta bantuan untuk 

mengatakannya. Namun rupanya kedua kakak 

seperguruannya pun tak tahu menahu dirinya, 

sehingga Jenah dengan kesendirian akhirnya ber


kata menjawab.

"Pemuda itu... pemuda itu adalah Prama-

nayuda, Guru."

Sang guru hanya mampu menarik napas 

kembali. Ia tahu, siapa adanya Pramanayuda. 

Seorang pendekar yang memang saat itu na-

manya telah melangit dengan sebutan Pendekar 

Pedang Sukma Layung. Namun bukannya ia ta-

kut pada orang tersebut, tapi dirinya juga tak da-

pat harus memaksakan kehendak anak angkat-

nya untuk memaksa Pramanayuda agar dia mau 

menerima cinta anak angkatnya.

"Apakah ia menerima cintamu?"

Nok Jenah menggeleng.

"Mengapa engkau harus prustasi? Bu-

kankah engkau cantik, Anakku?" Gelang ber-

tanya: "Bukankah engkau mampu mencari lelaki 

lainnya? Mengapa engkau mesti menuruti ke-

mauan syetan?"

"Guru...!" Jenah membentak, sepertinya 

ada kekuatan yang mendorongnya untuk bertin-

dak demikian. Hal itu menjadikan kedua kakak 

seperguruannya tersentak dari duduknya, lalu 

kedua pemuda itu dengan sewot karena gurunya 

diperlakukan seenaknya oleh Nok Jenah mem-

bentak.

"Anak tak tahu diri! Berani lancang mu-

lutmu membentak guru sendiri! Kau harus diha-

jar, Jenah!"

"Sabar, Anak-anakku."

Kedua murid laki-laki Gelang menurut, 

turunkan tangannya yang sudah siap hendak di


hantamkan ke arah Nok Jenah yang seperti pa-

srah. Bahkan kini Nok Jenah memandang tajam 

pada keduanya dengan pandangan seperti menya-

la. Dari mulutnya sunggingkan senyum mengejek, 

lalu dengan lantang tanpa mengenal rasa takut ia 

berseru: "Lakukan bila kalian berani! Sejak saat 

ini, aku bukan adik seperguruan kalian!"

"Anak setan!" bentak Purbaya sewot. 

"Bedebah! Anak tak tahu diri! Minggat 

kau dari sini!" Bentak Dewa tak kalah marahnya, 

merasa gurunya telah diinjak seenak udel oleh 

Jenah. "Kalau kau tak minta ampun pada guru, 

jangan salahkan tanganku ini akan menghancur-

kan batok kepalamu!"

"Anak-anakku, sudahlah. Mungkin ia be-

lum dewasa."

"Tidak guru. Dia bukan karena dewasa 

atau belum. Tapi dia memang sudah bukan ma-

nusia lagi! Dia adalah iblis! Itulah mengapa Pra-

mana yang tadinya mencintainya kini memaling-

kan muka!"

Terbelalak marah Nok Jenah, meman-

dang tajam penuh permusuhan pada Bende De-

wa. Begitu juga dengan Pendekar Bedah Jagad, ia 

pun tak kalah kagetnya. Ia tidak menyangka ka-

lau anak angkatnya itu telah benar-benar mela-

kukan kesalahan yang besar, kesalahan sebagai 

manusia yang tidak mau menerima kodratnya.

"Benar apa yang dikatakan oleh kakak-

mu, Jenah?"

"Ya!" Jenah menjawab dengan ketus, se-

pertinya tak ada rasa takut setitik pun pada da


rahnya untuk menghormati sang guru yang seka-

ligus ayah angkatnya. "Memang aku telah berse-

kutu dengan Siluman Ular Sanca!"

Bagaikan disengat halilintar di siang bo-

long, Gelang atau Pendekar Bedah Jagad tersen-

tak kaget, sampai-sampai ia bangkit dari duduk-

nya dengan mata melotot ke arah Nok Jenah.

"Kau...! Kau telah mencoreng arang di 

mukaku. Minggat kau dari sini!" bentak Pendekar 

Bedah Jagad dengan marahnya, karena merasa 

dirinya telah diberi malu besar oleh anak yang da-

ri kecil telah diasuhnya. Ternyata dia telah salah 

mengasuh. Dia telah mengasuh anak macan, 

yang setiap saat pastilah akan menerkam dirinya 

sendiri. "Minggat kau dari sini, cepat!"

Jenah tersenyum sinis, bagaikan tiada 

dosa. Matanya tajam memandang pada sang 

guru, sepertinya sang guru hanyalah orang yang 

tiada arti. Dengan senyum sinis Jenah berkata: 

"Baik! Memang hal inilah yang aku tunggu-

tunggu. Ingat, Gelang! Kelak kau dan dua orang 

muridmu ini akan menerima hukumannya!"

"Bangsat!" Purbaya berkelebat, dia sudah 

tak mampu menahan amarahnya. Tangannya 

yang telah dialiri tenaga dalam menjurus ke arah 

batok kepala Nok Jenah. Namun belum juga tan-

gan itu sampai, tiba-tiba tangan Jenah telah ber-

kelebat menangkis dan sekaligus menyerang ba-

lik. Tak ayal lagi, tubuh Purbaya seketika mental 

ke belakang terhantam serangan yang begitu tiba-

tiba. Mata Bende Dewa dan gurunya terbelalak, 

manakala melihat serangan yang dilakukan oleh


Nok Jenah. Serangan itu bukanlah jurus yang 

mereka miliki, tapi sebuah jurus yang aneh. Ge-

rakannya begitu cepat, hampir tak dapat diikuti 

oleh mata yang melihatnya. Bende Dewa hendak 

menyusul menyerang Nok Jenah manakala den-

gan cepat sang guru menghalanginya seraya ber-

seru:

"Jangan! Jangan kau lakukan, Bende."

"Kenapa, Guru?" Bende Dewa protes, 

seakan dirinya tak mau menerima ucapan gu-

runya yang membiarkan murid durhaka itu harus 

berlalu dengan seenaknya. "Dia telah menyakiti 

kakang Purbaya, Guru."

"Biarkan dia pergi, Bende. Kau tolonglah 

kakakmu."

Sebagai seorang murid yang baik Bende 

Dewa pun akhirnya menuruti kata-kata gurunya. 

Dibiarkannya Nok Jenah berlalu meninggalkan 

padepokan, sementara dirinya sendiri kini men-

gurusi tubuh kakaknya yang tergeletak pingsan 

akibat hantaman Nok Jenah yang begitu keras-

nya. Sementara itu, Gelang sebagai seorang guru 

hanya mampu mendesah panjang. Sulit baginya 

untuk menentukan tindakan. Kekecewaan me-

renggut hatinya, menjadikan Gelang hanya be-

ngong tanpa reaksi.


TIGA



Sejak meninggalkan perguruan, makin 

tampak nyatalah siapa sebenarnya Nok Jenah.


Dia makin telengas dan tak mengenai rasa bersa-

habat bagi siapa saja yang dianggapnya sebagai 

musuh. Dia juga tak segan-segan membuat keo-

naran di muka bumi untuk memuaskan nafsu 

angkara murkanya. Karena ganasnya segala tin-

dakan Nok Jenah, jadilah ia dijuluki Wanita Sri-

gala Liar.

Bukan hanya perbuatannya yang telengas 

pada setiap orang yang dianggapnya musuh, teta-

pi Nok Jenah pun kini seperti seorang gila. Gila 

dalam arti kata, bukan gila sebenarnya. Tin-

dakannya sangat memalukan, yaitu mengganggu 

dan merusak rumah tangga orang.

"Aku harus dapat menjadikan semua le-

laki menjadi budakku! Aku harus dapat... hua, 

ha, ha...!" Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, 

menjadikan anak buahnya yang berjumlah dua 

puluh orang wanita itu terdiam tiada kata. "Kau, 

Srigala Ungu. Cari lelaki muda yang banyak. biar 

kita dapat berpesta pora."

"Daulat, Pimpinan."

"Jebak mereka dengan segala bujuk rayu. 

Bila memang membandel, janganlah kalian segan-

segan lagi. Bunuh dia!"

"Daulat, Ketua!" Srigala Ungu, selaku ke-

tua pengganti hanya mengiyakannya. Ia takut pa-

da ketuanya Nok Jenah yang sudah diketahui be-

rilmu tinggi.

"Kalian sekarang berangkatlah! Cepat...!" 

Nok Jenah memerintah dengan bengis, tetapi di

balik kebengisannya itu terdapat sebuah kepu-

tusasaan. Putus asa karena cintanya ditolak men


tah-mentah.

"Jenah! Keluar kau...!"

Terdengar suara seseorang berseru, men-

jadikan Nok Jenah dan dua puluh anak buahnya 

seketika tersentak dan menghambur ke luar un-

tuk menemui orang yang berteriak tersebut. Mata 

Nok Jenah seketika melotot, manakala melihat 

siapa adanya yang datang.

"Kau...! Untuk apa engkau datang, hah!" 

bentak Nok Jenah tanpa hormat, padahal yang 

datang itu tak lain gurunya sekaligus ayah ang-

katnya yang telah mengasuh dan mendidiknya se-

jak kecil.

"Ya! Aku, Jenah!"

"Kenapa engkau datang, Tua Bangka!" 

kembali Jenah membentak marah, seakan Pende-

kar Bedah Jagad tak lain seorang musuh yang 

sangat ia benci. "Pergilah! Jangan sekali-kali eng-

kau datang bila nyawamu tidak ingin aku remuk-

kan!"

"Anak durhaka! Aku tak akan pergi sebe-

lum engkau mau menyadari segala tindakanmu 

yang keliru. Karena ulahmu, maka kedua murid-

ku harus menjadi korban. Maka aku tak akan 

mau menjadi korban karena keberangasanmu!"

"Hua, ha, ha...! Itulah pembalasanku, Tua 

bangka!" Nok Jenah bergelak tawa seperti tak me-

rasa bersalah. Memang sejak Jenah berbuat se-

wenang-wenang, maka Padepokan Sanggrah Bu-

ana milik Pendekar Bedah Jagad telah banyak di-

datangi oleh para tokoh persilatan baik dari go-

longan lurus maupun golongan sesat yang menu


duh dirinya telah tidak mampu mengurus salah 

seorang muridnya. Kedua muridnya yaitu Pur-

baya dan Bende Dewa, tak mau gurunya dituduh 

sembarangan. Maka kedua murid setia itu pun 

akhirnya harus mati demi membela nama baik 

sang guru. Sementara Pendekar Bedah Jagad 

sendiri, harus mengalami luka-Iuka karena se-

rangan yang datangnya bersamaan. Hampir saja 

nyawanya lenyap, kalau saja tidak datang seorang 

pendekar yang menolongnya. Pendekar itu tak 

lain Pramanayuda adanya, atau Pendekar Pedang 

Layung Sukma.

"Bedebah! Anak setan! Kalau kau tak 

mengakhiri segala tindakanmu dan tak mau me-

nyerah, maka aku tak akan segan-segan untuk 

menghukummu!"

"Hua, ha, ha...! Lakukan bila engkau 

mampu, Tua bangka!"

Murka Pendekar Bedah Jagad mendengar 

ucapan Nok Jenah yang dirasa sudah bukan uca-

pan baik. Maka dengan mendengus marah, Pen-

dekar Bedah Jagad pun berteriak menyerang be-

kas murid dan anak angkatnya.

"Daripada seluruh tokoh persilatan 

menghukummu maka akulah yang akan meng-

hukummu. Hiaat...!"

"Hua, ha, ha...! Jangan kira aku masih 

seperti anak kecil saja, Tua bangka busuk!" Nok 

Jenah masih tertawa-tawa, dan dengan penuh 

ejekan ia terus mengelitkan serangan Pendekar 

Bedah Jagad dengan sekali-kali membalik seran-

gan.

Pertarungan antar guru dan bekas mu-

ridnya terus berjalan dengan jurus-jurus yang 

tinggi. Nampaknya memang Nok Jenah bukanlah 

Nok Jenah yang dulu dalam asuhan Pendekar 

Bedah Jagad. Terbukti serangan-serangannya 

jauh lebih keras dan cepat. Serangan Nok Jenah 

bukanlah menggunakan jurus-jurus yang diajar-

kan oleh gurunya, tetapi jurus-jurus yang aneh 

yang belum pernah Pendekar Bedah Jagad keta-

hui.

Pendekar Bedah Jagad tersentak kaget, 

lompatkan tubuhnya ke belakang manakala meli-

hat tangan Nok Jenah tiba-tiba menghitam laksa-

na arang. Tangan itu kini bukanlah tangan lagi, 

tetapi berubah menjadi seekor ular yang besar 

dari ganas. Ular Sanca hitam legam, berbisa ja-

hat.

"Ilmu iblis!" memekik Pendekar Bedah 

Jagad kaget. Tak luput juga keduapuluh anak 

buahnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. Mata 

keduapuluh gadis cantik itu melotot geli dan ta-

kut, demi melihat tangan ketuanya tiba-tiba telah 

menjadi seekor ular yang hitam legam dan ganas.

"Hua, ha, ha...! Bagaimana, Tua Bangka? 

Apakah engkau masih hendak menghukumku?" 

Nok Jenah tertawa bergelak-gelak, seakan ia ingin 

menunjukkan kesombongannya.

"Apapun resikonya, aku akan tetap 

menghukummu, Anak Setan!"

"Lakukan bila engkau mampu, Tua bang-

ka!"

"Bangsat!"


Mata Pendekar Bedah Jagad membara 

penuh amarah, lalu dengan segera disilangkan 

kedua tangannya di depan dada. Dari silangan 

tangan tersebut, keluar asap mengepul putih ber-

gulung-gulung menyelimuti tangannya. Dan den-

gan memekik, pendekar Bedah Jagad pun segera 

kembali menyerang dengan ajiannya Bedah Ja-

gad.

Kini giliran Nok Jenah yang tersentak ka-

get, ternyata gulungan asap putih itu mampu 

memunahkan ilmu silumannya. Tangannya. kem-

bali berubah menjadi tangan biasa, sementara ki-

ni musuhnya telah bergerak dengan cepat menuju 

ke arahnya dengan serangan yang sudah ia den-

gar sendiri kehebatannya. Ilmu Bedah Jagad, bu-

kanlah ilmu sembarangan. Kalau ilmu tersebut 

sudah dikeluarkan niscaya siapa pun akan dapat 

diterka segala apa yang ada pada dirinya. Maka 

itu, sebelum asap Bedah Jagad menyerangnya, 

seketika Nok Jenah berkelebat melarikan diri. Ia 

sadar, kalau ia meneruskan perkelahian dengan 

bekas gurunya, niscaya ia tak akan mampu. Na-

mun yang ia herankan, mengapa gurunya harus 

mengalah pada tokoh-tokoh persilatan?

Melihat ketuanya melarikan diri, segera 

kedua puluh anak buahnya pun berkelebat pergi

mengikutinya. Pendekar Bedah Jagad terpaku di-

am. Ia sebenarnya juga masih memendam rasa 

kasihan pada anak angkatnya, itulah kenapa ia 

mau berkorban untuk mengalah pada para tokoh 

persilatan. Ia sengaja mengeluarkan Ajian Bedah 

Jagad, hanya karena ia tidak ingin Siluman Sanca


turut campur. Dengan muka lesu, Pendekar Be-

dah Jagad pun kembali berkelebat pergi mening-

galkan tempat tersebut.

* * *

Dua orang penunggang kuda nampak 

memacu kuda mereka dengan cepatnya menuju 

ke padepokan yang dihuni oleh Pendekar Bedah 

Jagad. Kedua penunggang kuda tersebut, memili-

ki wajah yang hampir sama. Mereka tak lain Se-

pasang Iblis dari Gunung Dieng. Kedatangannya 

ke padepokan milik Bedah Jagad, tak lain untuk 

menyampaikan undangan dari ketuanya yaitu 

Kumilir Seta yang bermaksud mendirikan Perse-

rikatan Iblis.

Pendekar Bedah Jagad terpaku berdiri di 

teras padepokan yang kini sepi bagaikan tak ber-

penghuni. Sejak kematian dua orang muridnya, 

lan sejak ia dituduh oleh para tokoh persilatan 

bahwa dirinya melindungi Iblis Srigala Liar atau 

Nok Jenah, padepokannya sepi. Padepokan itu 

hanya dijadikan tempat mampirnya kalau ia ten-

gah enggan untuk melanglang buana layaknya 

seorang pendekar.

"Mau apa mereka menuju ke mari," Pen-

dekar Bedah Jagad terdiam tanpa reaksi menung-

gu kedatangan dua orang utusan Kumilir Seta. 

"Sepertinya mereka membawa surat. Mungkinkah 

surat itu untukku?"

Dua orang penunggang kuda yang sudah 

diketahui Sepasang Iblis dari Gunung Dieng, te


rus mempercepat lari kuda mereka menuju ke 

padepokan di mana Pendekar Bedah Jagad berdiri 

menunggu kedatangan mereka.

Wajah kedua Iblis tersebut tak seperti bi-

asanya, yang memendam perasaan permusuhan. 

Tetapi wajah kedua Iblis tersebut kini menggam-

barkan persahabatan. Keduanya segera turun da-

ri kuda, lalu dengan segera menjura hormat. Hal 

itu menjadikan Pendekar Bedah Jagat terheran-

heran kerutkan kening.

"Ada apa kalian datang ke mari?" tanya 

Pendekar Bedah Jagad pada keduanya yang ma-

sih menjura hormat. "Apakah kalian memang di-

utus oleh pimpinan kalian Kumilir Seta?"

"Benar, Tuan Pendekar," jawab Iblis Se-

puh. 

"Kami memang diutus untuk menyam-

paikan surat ini padamu, Tuan Pendekar," lanjut 

Iblis Kanoman. "Kami juga disuruh menunggu 

keputusan darimu."

Disodorkannya surat tersebut oleh iblis 

Sepuh pada Pendekar Bedah Jagad yang dengan 

segera menerimanya. Di hadapan kedua Iblis dari 

Gunung Dieng itu, Pendekar Bedah Jagad pun 

segera membacanya.

Bedah Jagad,

Aku mengharap engkau mau mengubah 

pendirianmu.

Aku juga mengharapkan engkau mau ber-

gabung bersamaku.

Percuma kau masih menutupi dirimu sen-

diri. Muridmu juga telah ketahuan bersekutu den


gan Siluman Ular Sanca, apakah engkau akan te-

tap menolak tuduhan dari para pendekar yang 

mengatakan bahwa engkaulah pelindungnya?

Bedah Jagad, lebih baik kau bergabun-

glah bersama kami.

Mari kita dirikan bersama-sama Perserika-

tan Iblis. Bukankah dengan adanya Perserikatan 

Iblis engkau akan mendapat dukungan?

Camkanlah, Bedah Jagad.

Kumilir Seta.

Dilipatnya kembali surat tersebut, lalu 

dengan mata tajam dipandangi kedua utusan 

Kumilir Seta tersebut yang nampak tak berani 

menentang pandang padanya. Kedua Iblis itu ta-

hu siapa adanya Pendekar Bedah Jagad. Seorang 

pendekar yang akan mampu membaca ilmu yang 

dimiliki oleh lawan-lawannya.

"Katakan pada ketuamu, aku Bedah Ja-

gad tak mau bergabung,"

"Tapi...!" Iblis Sepuh hendak berkata me-

nyangkal, manakala Bedah Jagad segera memo-

tong berkata.

"Tidak ada istilah tapi. Bagiku, aku lebih 

baik mati daripada harus mengikuti kemauan ke-

tua kalian. Aku akan mengasingkan diriku, men-

cari ketenangan. Bilang juga pada ketua kalian, 

bawa aku tak akan mengganggu kalian apabila 

kalian tidak mengganggu diriku. Nah, kembalilah 

kalian."

Dengan perasaan kecewa, kedua utusan 

Kumilir Seta pun memacu kudanya meninggalkan


Pendekar Bedah Jagad yang masih berdiri mema-

tung di teras padepokannya dengan mata me-

mandang kosong ke arah larinya kuda-kuda me-

reka. 

"Aku sudah terlalu tua, tak ada artinya 

sama sekali bila aku harus terus terlibat dalam 

dunia ramai," Bedah Jagad bergumam: "Biarlah 

mereka berjalan menurut kodrat Yang Wenang. 

Duh, Jagad Dewa Batara! sungguh sebuah perja-

lanan panjang telah aku lakukan. Kini tinggalah 

aku untuk mencari ketenangan."

Habis berkata begitu segera Bedah Jagad 

membakar padepokannya. Api menyala dengan 

tepatnya, berkobar-kobar laksana hendak melalap 

dunia. Setelah melihat padepokannya musnah 

terbakar, dengan secepat kilat Pendekar Bedah 

Jagad berkelebat masuk ke dalam api dengan 

maksud membakar dirinya. Namun ternyata su-

ratan takdir berkata lain, tiba-tiba seorang lelaki 

tua renta telah menerobos masuk ke dalam dan 

menyeret tubuhnya ke luar dari kobaran api. 

"Anak bodoh!" bentak lelaki tua renta 

dengan pakaian compang camping sembari me-

nyeret tubuh Pendekar Bedah Jagad. "Untuk apa 

engkau bunuh diri! Dasar anak tolol!"

Bedah Jagad yang sudah terkulai ping-

san, tak dapat berbuat banyak. Tubuhnya dibo-

pong oleh lelaki tua renta berpakaian compang 

camping pergi entah ke mana, meninggalkan Pa-

depokannya yang sudah terlalap oleh api.

* * *


"Sejak saat itulah aku digembleng oleh 

dia, yang akhirnya aku ketahui bernama Penge-

mis Sakti Muka Aneh."

"Jadi engkaukah yang bernama Pendekar 

Bedah Jagad?" tanya Jaka setelah Bedah Jagad 

mengakhiri ceritanya, yang diangguki oleh Pende-

kar Bedah Jagad. "Oh, kalau begitu, sungguh 

akulah orang yang bodoh, yang tidak mau men-

gerti siapa adanya orang yang kini tengah berdiri 

di hadapanku. Maafkan kelancanganku ini, Pen-

dekar."

Kakek Berjenggot Merah atau Pendekar 

Bedah Jagad hanya gelengkan kepala mendengar 

penuturan Jaka.

"Tidak harus begitu, Pendekar. Bagiku, 

kaulah orang yang patut dikatakan seorang Pen-

dekar sejati. Kau tanpa keluh, tanpa putus asa 

dalam melakukan segala tugasmu yang tanpa 

pamrih. Musuhmu bertebaran di mana-mana, 

namun nyatanya engkau bagaikan tak mengenal 

rasa takut. Sedangkan aku..." Bedah Jagad 

menggeleng kepala kembali, lalu ia pun berkata 

meneruskan: "Aku seorang pendekar lemah. Aku 

tak mampu mengalahkan batinku sendiri, sam-

pai-sampai aku hendak membakar diriku sendiri 

hanya karena masalah yang sepele."

"Ah, sudahlah, Ki. Tak perlu engkau re-

nungkan masa silammu, masa yang akan menja-

dikan engkau sedih. Kini kau harus bersyukur te-

lah dapat mewarisi ilmu-ilmu yang dimiliki Kakek 

Pengemis Sakti Muka Aneh. Dia adalah tokoh si-

lat yang segalanya serba aneh, bukan saja mu


kanya, tapi juga tingkah lakunya."

"Hai, rupanya engkau lebih dalam men-

gerti keadaan guruku, Pendekar?!" Bedah Jagad 

tersentak kaget, demi mendengar penuturan Jaka 

Ndableg perihal gurunya. Penuturan Jaka Ndab-

leg, ternyata benar adanya, menjadikan dia begitu 

tersentak. Memang gurunya memiliki serba kea-

nehan pada diri gurunya. "Apakah engkau telah 

mengenalnya, Pendekar?"

Jaka tersenyum, matanya kembali me-

mandang ke muka, sepertinya memandang pada 

hamparan desa yang ada di sana. Desa yang su-

dah sunyi dan sepi, padahal malam begitu masih 

belum larut.

"Aku mengenalnya dari guruku," Jaka 

menjawab.

"Siapakah gurumu, Pendekar?"

"Guruku banyak. Guruku ada lima 

orang," kembali Jaka menjawab dengan mata 

yang terus memandang ke desa yang sudah begi-

tu sunyi. Jawaban Jaka seketika menjadikan ke-

rut kening Pendekar Bedah Jagad yang tersentak 

kaget. Bagaimana mungkin ia mau mempercayai 

ucapan Jaka, yang diucapkan dengan acuh tak 

acuh. Tapi bila melihat ilmu si pemuda, itu semua 

dapat dimaklumi. Bukan tidak mustahil, karena 

gurunya banyak itulah sehingga Jaka menjadi 

orang sakti dalam usia yang semuda itu.

"Kalau boleh aku tahu, siapakah guru-

gurumu itu, Pendekar?"

"Guru-guruku tak lain adalah kakak-

kakak seperguruan misan gurumu. Keempat gu


ruku, terkenal dengan sebutan Empat Pendekar 

Sakti, di antaranya Ki Bayong, Nyi Rukmini, Ki 

Darsa, dan Ki Barwa."

"Apa...!" tersentak kaget Bedah Jagad 

demi mendengar Jaka menyebutkan nama-nama 

gurunya yang telah almarhum akibat kejahatan 

Iblis Prahista. "Jadi kau adalah murid keempat 

Pendekar itu?"

"Ya!" jawab Jaka. "Kenapa? Apakah ada 

sesuatu dengan guru-guruku?"

"Tidak! Pantas engkau semuda ini sakti, 

Pendekar. Oh, tak aku sangka, kalau akhirnya 

aku menemukan adik seperguruanku sendiri," 

gumam Pendekar Bedah Jagad, seakan ingin 

meyakinkan pada diri sendiri.

"Benarkah engkau kakak sepergurua-

nku?" Jaka bertanya, seakan belum percaya. "Ka-

lau benar, siapakah gurumu sebenarnya?" 

"Guruku adalah kakak seperguruan 

guru-gurumu." Pendekar. Bedah Jagad mene-

rangkan. "Guruku bernama Ki Sempani. Dialah 

yang memiliki Ajian Bedah Jagad. Guru juga per-

nah menceritakan tentang keempat adik-adik se-

perguruannya yang tak pernah mau saling men-

gerti, dan terus memburu nama..."

"Heh, benar!" Jaka berseru girang. "Te-

ruskan ceritamu."

"Guruku juga semasa hidup pernah me-

nerka, bahwa seandainya keempat adik sepergu-

ruannya masih bersikeras untuk mengadu ilmu, 

tentulah yang akan keluar sebagai pemenangnya 

tak lain hanya Ki Bayong."


"Eh, apa alasanmu berkata begitu?" Jaka 

yang sudah mengerti mencoba memancing ke-

benaran cerita Pendekar Bedah Jagad.

"Karena menurut guru, Ki Bayong memi-

liki ajian yang aneh bernama Ajian Buto Dewa 

Wisnu."

Tak dapat lagi Jaka menahan luapan ke-

gembiraan demi mendengar penuturan Pendekar 

Bedah Jagad. Maka bagaikan orang gila Jaka pun 

berseru girang: "Kau benar! Kau benar! Seratus 

untukmu!"

Dipeluknya Pendekar Bedah Jagad yang 

hanya terbengong-bengong tak mengerti dengan 

tingkah laku Jaka. Dan belum juga Pendekar Be-

dah Jagad mengerti apa maksud Jaka, tiba-tiba 

Jaka telah berubah menjadi Buto Dewa Wisnu. 

Ditangkapnya tubuh Pendekar Bedah Jagad, yang 

seketika tersentak ketakutan melihat Jaka tiba-

tiba telah meraksasa.

"Jagad Dewa Batara, inikah ajian terse-

but?" Pendekar Bedah Jagad menggumam dalam 

hati dengan segenap ketakutan yang amat sangat.

"Lepaskan aku! Lepaskan...!" Bedah Ja-

gad memberontak berteriak-teriak, tubuhnya ba-

gaikan remuk tergencet oleh jari-jari tangan sang 

Buto yang sebesar tubuhnya. "Ampun! Lepaskan 

aku!"

"Hua, ha, ha...! Kau ternyata kakak se-

perguruanku, maka aku ingin mengayun-ayun 

tubuhmu."

Tubuh Bedah Jagad diayun, dilempar ke 

sana ke mari. Sepertinya Buto Dewa Wisnu ingin


membuat Pendekar Bedah Jagad terkencing-

kencing ketakutan. Memang benar! Pendekar Be-

dah Jagad yang terkenal mampu menghadapi il-

mu macam apa pun, kini harus ketakutan sete-

ngah mati dilempar-lempar ke sana ke mari oleh 

Buto Dewa Wisnu.

"Huah! Kenapa engkau ngompol, Ka-

kang?"

"Aduh, aku takut jatuh. Lepaskan aku, 

taruhlah aku di tanah kembali," merengek-rengek 

Pendekar Bedah Jagad, dan air matanya pun se-

ketika meleleh membasahi pipinya. Segera Buto 

Dewa Wisnu menurunkannya.

"Nah, sekarang engkau menyingkirlah du-

lu," Buto Dewa Wisnu segera kembali ke bentuk 

asalnya Jaka Ndableg yang benar-benar ndableg. 

Sesaat kemudian, perlahan-lahan tubuh raksasa 

itu mengecil dan mengecil hingga kembali ke ben-

tuk asalnya Jaka Ndableg.

"Wah, Kakang. Sekarang apa rencana-

mu?" tanya Jaka kemudian. "Aku kini tengah 

menghadapi masalah dengan lahirnya Bocah 

Kembaran Setan."

"Bocah Kembaran Setan?"

"Ya!" jawab Jaka. "Bocah itu telah lahir, 

dan telah membawa korban dua ratus orang di 

Telaga Warna."

"Aku akan membantumu, Jaka."

"Terima kasih, Kakang. Mari kita pergi!"

Tanpa hiraukan celananya yang bau 

jengkol akibat air pancorannya mengalir deras ka-

rena takut manakala dalam genggaman tangan


Buto Dewa Wisnu, Pendekar Bedah Jagat pun se-

gera mengikuti ke mana Jaka berlalu. Keduanya 

segera meninggalkan desa yang sedari tadi diawa-

sinya, yang dianggap Bocah Kembaran Setan 

akan menuju ke situ.

Malam terus merambat, menelan kedua 

tubuh kakak beradik perguruan yang bertemu 

tanpa diduga-duga dengan perbedaan usia yang 

jauh itu. Betapa pun usia mereka terpaut pulu-

han tahun, bahkan hampir setengah abad lebih, 

namun karena memang keduanya dasarnya sau-

dara seperguruan hingga keduanya pun nampak 

setujuan hidup.


EMPAT



Munculnya Bocah Kembaran Setan ter-

nyata mengundang para tokoh persilatan khu-

susnya aliran sesat berlomba untuk menda-

patkannya

Mereka bermaksud mendapatkan bocah 

tersebut sebagai tameng bagi golongannya. Bocah 

tersebut menurut kabar adalah bocah sakti yang 

sukar ditandingi.

Seperti halnya di Perguruan Bedak Bega-

wa, di mana Karsa Warsana sebagai pimpinannya 

perguruan itu pun telah mendengar adanya Bo-

cah Kembaran Setan. Sebagai perguruan aliran 

sesat, jelas Karsa Warsana tak mau menyia-

nyiakan kesempatan ini. Apalagi saingannya begi-

tu banyak, di antaranya Perguruan Lutung Sakti


Bibit Iblis, Tengkorak Beracun serta perguruan-

perguruan aliran sesat lainnya.

"Sumrah, kita harus mampu menda-

patkan Bocah Kembaran Setan tersebut," Karsa 

War-sawa berkata pada anak buahnya yang seka-

ligus tangan kanannya. Anak buahnya yang seka-

ligus tangan kanannya adalah seorang lelaki ber-

wajah panjang dengan mata biru dan hidung pe-

sek besar, sehingga tampangnya mirip seperti 

tampang seekor kera raksasa. Tokoh ini yang 

bernama Sumrah, adalah tokoh aliran sesat yang 

ganas dan pantang untuk menyerah.

"Untuk apa, Pimpinan?" tanya Sumrah.

"Untuk apa! Apa kau belum tahu siapa 

adanya bocah tersebut?"

"Belum, Pimpinan!"

"Pantas!" Karsa Warsana berkata keras, 

seakan mentololi anak buahnya yang sekaligus 

tangan kanannya. "Maka itu, kau harus banyak 

mencari pengalaman! Kalau kau hanya ngendon 

di tempat ini, manalah mungkin engkau mengerti 

dunia luas!"

"Ampun, Pimpinan. Sungguh saya kurang 

senang bila bepergian. Pertama dikarenakan saya 

banyak musuh. Bukannya saya takut pada mu-

suh-musuh saya, namun rasanya sekarang ini 

saya sedang enggan untuk bertarung."

"Sontoloyo! Bilang saja kau takut pada 

Pendekar Pedang Siluman!" sindir Karsa menjadi-

kan Sumrah hanya mampu cengar cengir tak da-

pat berkata-kata lagi. "Iya kan?"

"He, he, he...! Pimpinan tahu saja," Su


mrah terkekeh.

"Sekarang juga, kau bawa anak buahmu 

ke Lembah Bangkai."

"Untuk apa, Pimpinan?"

"Bodoh! Kau ternyata bodoh!" bentak 

Karsa jengkel melihat kebodohan anak buahnya. 

"Sudah aku katakan, hampir semua perguruan 

aliran sesat kini menuju ke sana untuk mempe-

rebutkan bocah tersebut. Bocah itu bukan bocah 

sembarangan. Barang siapa yang mendapatkan-

nya, maka kita akan menjadi orang yang ditakuti 

dan disegani karena ada bocah tersebut. Bocah 

itu mempunyai ilmu yang tinggi, hampir sejajar 

dengan ilmu Pendekar Pedang Siluman Darah. 

Nah, bukankah dengan kita memiliki bocah terse-

but kita akan yang ditakuti di antara golongan ki-

ta?"

Sumrah terdiam, sepertinya mengerti apa 

yang dikatakan oleh ketuanya.

"Kau mengerti sekarang, Sumrah?" kem-

bali Karsa Warsana berkata, yang diangguki oleh 

Sumrah. "Bagus, sekarang juga kau persiapkan 

anak buahmu untuk menuju ke Lembah Bangkai. 

Sebisanya kau harus mendapatkan anak terse-

but. Bila belum dapat, jangan coba-coba kalian 

pulang. Mengerti, Sumrah?"

"Daulat, Pimpinan," Sumrah menjura, la-

lu dengan segera keluar dari bangsal menuju ke 

tempat di mana para anak buahnya berkumpul

Setelah mengumpulkan hampir lima pu-

luh anggotanya, saat itu juga Sumrah dan anak 

buahnya berangkat menuju ke Lembah Bangkai


di mana menurut kabar Bocah Kembaran Setan 

berada.

* * *

Lembah Bangkai adalah sebuah lembah 

yang sangat dikeramatkan bagi orang-orang dunia 

persilatan aliran sesat. Lembah itu telah banyak 

memakan korban manusia. Sejak banyaknya kor-

ban di tempat tersebut, maka para pendekar yang 

dulu berantusias untuk mencari Kitab Banyu Ge-

ni mengurungkan niatnya. Sudah banyak keja-

dian-kejadian yang akhirnya membuka mata me-

reka. 

Sebenarnya kematian para pendekar san-

gat misterius. Kematiannya sungguh secara tiba-

tiba. Entah karena apa, para pendekar yang ber-

maksud mencari kitab tersebut tiba-tiba menga-

lami sebuah guncangan berat dalam dirinya. Dan 

manakala memasuki daerah Lingkaran Kematian, 

tak seorang pun akan dapat keluar dengan kea-

daan selamat.

Konon menurut cerita, bahwa lembah 

tersebut dulu dihuni oleh seorang tokoh silat yang 

sakti mandraguna bernama Resi Kumara Geni. 

Resi itu menaruh kitab Banyu Geni yang 

terkenal mengandung segala macam ilmu di lem-

bah tersebut. Sebelum sang Resi meninggal, ter-

lebih dahulu ia membuat sebuah pagar gaib yang 

tidak dapat ditembus oleh mahluk apa pun kecu-

ali oleh manusia berhati dan berbudi baik. Tapi 

sampai sedemikian jauh, tak ada yang mampu


membuka tabir tersebut.

Kini Lembah Bangkai akan menjadi ajang 

pertarungan para tokoh persilatan aliran sesat 

untuk dapat menjadi pemilik Bocah Kembaran 

Setan. Apakah benar-benar Lembah Bangkai su-

dah terbebas dari pengaruh pagar gaib yang dipa-

sang oleh sang Resi? Ternyata belum. Pagar gaib 

tersebut masih ada dan tetap memagari tempat 

yang dinamakan Lingkaran Kematian. Dan me-

mang Bocah Kembaran Setan hendak menuju ke 

tempat itu karena dengan tujuan mencari kitab 

tersebut. Bocah itu seakan ada yang menyuruh-

nya untuk datang ke tempat tersebut.

Dari empat penjuru nampak berdatangan 

orang-orang yang hendak memperebutkan Bocah 

Setan tersebut, semuanya hampir sebagian besar 

merupakan perguruan-perguruan aliran sesat 

yang memiliki ilmu tinggi. Memang, bila hanya 

memiliki ilmu-ilmu setengah-setengah, tidak ba-

kalan mungkin akan dapat bersaing mempere-

butkan bocah tersebut. 

Lembah Bangkai yang tadinya sepi, dan 

hanya berserakan tulang belulang manusia kini 

dipecahkan oleh keramaian orang-orang yang pa-

da berdatangan.

Tampak dari arah Timur, rombongan dari 

Perguruan Cakra Gelap berjalan dengan langkah 

mantap. Perguruan tersebut merupakan pergu-

ruan yang sangat kondang namanya. Cakra Gelap 

dipimpin oleh seorang tokoh sesat yang sekaligus 

menjabat ketua Perserikatan Segala Iblis. Di da-

lam Cakra Gelap, terdapat tokoh-tokoh aliran se


sat yang berilmu tinggi. Di antaranya Sepasang 

Iblis dari Gunung Dieng, juga Iblis Laksa Bertuah, 

dan ada juga Setan Tengkorak Haus Darah.

Tiga tokoh utama itu nampak berjalan di 

belakang ketua mereka yaitu seorang lelaki ber-

wajah menyeramkan dengan rambut yang sudah 

memutih seluruhnya. Orang tersebut, tak lain 

Kumilir Seta adanya. Memang setelah hilangnya 

Pendekar Bedah Jagad, pertumbuhan Perserika-

tan Segala Iblis begitu cepat, karena orang yang 

biasa menghalanginya telah tiada.

"Lihat Ketua, nampaknya dari perguruan 

lain pun berdatangan menuju ke mari," yang ber-

kata Sepasang Iblis yaitu Iblis Sepuh, yang men-

jadi tangan kanan Kumilir Seta. "Mereka me-

nyangka akan mampu mendapatkan bocah terse-

but. Hua, ha, ha...!"

"Memang mereka besar adat," Kumilir Se-

ta menimpali. "Mereka mengira bahwa kita ini 

akan membiarkan mereka tumbuh dikira kita ta-

kut. Huh, apa yang ditakuti pada diri mereka. 

Bukan begitu, Laksa?"

"Hua, ha, ha...! Memang benar! Mereka 

mengira kita takut pada mereka. Tapi nanti, me-

reka akan tahu siapa adanya Iblis Laksa Bertuah, 

seorang Iblis yang segala ucapannya akan men-

gandung tuah hebat."

Sepuluh golongan dari aliran sesat itu te-

rus merambat turun menuju ke Lembah Bangkai.

Wajah mereka diliputi dengan ketegan-

gan, sepertinya mereka hendak menghadapi ma-

sa-masa di mana para pendekar sakti yang mati


tanpa ampun di tempat tersebut.

"Aku heran, mengapa Bocah Kembaran 

Setan menuju ke mari? Apakah bocah tersebut te-

lah tahu bahwa kita akan datang ke sini?" tanya 

Setan Tengkorak Darah seperti pada diri sendiri.

"Bukan begitu, Setan. Bocah tersebut da-

tang ke mari semata-mata ingin mencari kitab 

Banyu Geni. Entahlah, dari siapa bocah itu men-

getahuinya," Iblis Sepuh menuturkan. "Sepertinya 

bocah tersebut ada yang menuntun untuk datang 

ke mari."

"Apakah tidak mungkin Pramanayuda 

yang menyuruhnya?" Tengkorak Darah kembali 

bertanya.

"Aku rasa tidak. Aku, walaupun dari ali-

ran beda dengannya tahu persis siapa adanya di-

rinya. Dia adalah seorang tokoh yang tidak sera-

kah, tidak mau mengambil milik orang lain kalau 

bukan miliknya sendiri." jawab Kumilir Seta.

"Mungkin juga ada mahluk lain yang 

mempengaruhi bocah tersebut, Ketua?" Laksa 

Bertuah ikut menanya. Ia pun tertarik juga den-

gan berita-berita yang mengatakan bahwa Bocah 

Kembaran Setan memiliki naluri tinggi, juga ilmu 

silat yang tinggi pula. "Kabarnya Bocah Kembaran 

Setan juga memiliki ilmu silat yang bukan semba-

rangan. Dua ratus tokoh Silat wilayah Wetan ha-

bis dimangsanya hanya dalam sekejap, manakala 

mereka hendak mengadakan penyerangan pada 

ibunya si Penguasa Bukit Karang Bolong."

Tersenyum Kumilir Seta demi mendengar 

ucapan Laksa Bertuah. Ia kini mempunyai akal


untuk dapat menaklukan Bocah Kembaran Setan, 

tanpa harus berkorban banyak. Maka setelah 

mengangguk-anggukkan kepalanya, Kumilir Seta 

pun berkata pada ketiga tangan kanannya. "Aku 

memiliki sebuah gagasan."

"Apa itu. Ketua...?" tanya ketiga tangan 

kanannya serempak.

"Begini!" Kumilir Seta pun menceritakan 

gagasannya. "Dengan kita salah satunya menya-

mar sebagai Penguasa Bukit Karang Bolong, dan 

yang lainnya menjadi Pramana, mungkin bocah 

tersebut akan mau mengikuti kita."

"Bukankah Penguasa Bukit Karang Bo-

long masih muda?" Iblis Sepuh bertanya, nadanya 

ragu. "Sedangkan kita, mana ada yang secantik 

dia?"

"Itu gampang! Bukankah Laksa Tuah 

mampu melakukannya?"

"Benar, Ketua. Aku akan sanggup men-

gubah kalian menjadi mereka. Hua, ha, ha...! 

Memang ketua tajam otaknya."

Dalam sekejap saja, ketua-ketua Perseri-

katan Segala Iblis bergelak tawa. Tawa mereka 

yang kencang, seketika membahana hingga me-

nyentakkan para perguruan lainnya. Melihat hal 

itu, perguruan lainnya tak mau kalah, mereka 

pun seketika bergelak tawa dengan mengencang-

kan tawa mereka yang dilandasi tenaga dalam 

yang tinggi. Seketika itu pula, Lembah Berkala 

Darah yang ada di hadapan mereka beberapa ra-

tus tombak lagi tergetar oleh gelak tawa mereka. 

Dasar manusia-manusia iblis, sepertinya mereka


tak hiraukan dengan ketenangan alam, dan me-

reka pun mengusiknya.

* * *

Tersentak para tokoh aliran sesat lainnya, 

manakala tiba-tiba dalam rombongan Perserika-

tan Segala Iblis telah muncul dua orang yang su-

dah cukup mereka kenal. Dua orang tersebut tak

lain Pramana atau Pendekar Pedang Layung, den-

gan anaknya Ningrum atau Penguasa Bukit Ka-

rang Bolong. Entah dari mana datangnya mereka, 

yang jelas setelah mereka menghilang dari bukit 

yang mengelilingi Lembah Bangkai, tiba-tiba da-

lam rombongan Perserikatan Segala Iblis muncul 

dua tokoh tersebut.

"Iblis! Eh, bukankah kita juga Iblis?" seo-

rang pimpinan golongan lain memaki. "Dasar me-

reka licik, dikiranya kita tidak tahu bahwa mere-

ka adalah dua orang tangan kanan Kumilir Seta."

"Maksudmu, Kakang Begong?"

"Kau tahu, Adik Sungil. Di dalam rom-

bongan Perserikatan Segala Iblis, ada terdapat 

Laksa Tuah yang setiap katanya akan menjadi 

kenyataan. Tapi kita tak perlu takut, sebab ada 

aku. Aku tahu kelemahan ilmunya," menyombong 

Begong Damar.

"Apakah tidak mungkin Bocah Kembaran 

Setan akan terkecoh demi melihat ada induknya 

di sini?"

"Hua...! Mana mungkin!" Begong Damar

menggeresah. "Bocah Kembaran Setan mempu


nyai naluri yang tinggi, sukar untuk dibohongi 

walau dia masih orok." 

Mereka terus melangkah, menapaki satu 

demi satu kaki mereka turun ke bawah di mana 

Lembah Bangkai Berdarah berada. Sungguh tepat 

bila jarang pendekar yang mampu membebaskan 

diri mereka dari tempat tersebut, sebab lembah 

itu sungguh dalam bila harus dituruni. Dan 

hanya tokoh-tokoh silat yang memiliki ilmu tinggi 

saja yang akan mampu. Terbukti kini banyak 

anak buah perguruan dari golongan sesat yang 

terpelanting jatuh dan tubuh mereka terus menu-

ju ke tempat Lingkaran Kematian. Dan sudah da-

pat diterka apa yang akan mereka alami? Mereka 

seketika mengejang, lalu mati dengan lidah mele-

let dan mata melotot. Sungguh pemandangan 

yang mengerikan. Tersirap darah para pimpinan 

melihat hal tersebut, yang dengan segera menyu-

ruh mereka yang masih hidup untuk Tetap saja di 

atas.

"Kalian janganlah turun! Kalian tetaplah 

di atas!"

Dan memang itu yang mereka ingini. Me-

reka tampaknya juga ngeri bila harus mengalami 

nasib yang sama dengan teman-temannya yang 

lain. Kini hanya pimpinan-pimpinan mereka saja 

beserta tangan kanannya yang turun mengelilingi 

agak jauh Lingkaran Kematian. Mereka tidak be-

rani untuk mendekati, sebab mereka tahu akan 

apa yang mereka alami jika mendekat, yaitu ke-

matian!


LIMA


Lembah Bangkai kini telah penuh dikeli-

lingi oleh pagar-pagar manusia. Di bawah, di ma-

na terdapat Lingkaran Kematian para pimpinan 

dari kesepuluh perguruan dan perserikatan aliran 

sesat berjaga-jaga bersama para tangan kanan-

nya. Sementara di atas, para anak buahnya yang 

berjumlah tidak kurang dari lima puluh anggota 

seperguruan juga tengah berjaga-jaga.

Matahari yang tadinya nampak, lamat-

lamat makin menurun hingga akhirnya menghi-

lang di ufuk sebelah Barat. Petang pun datang 

bersamaan datangnya hari gelap yang akan me-

nyelimuti jagad raya. Manakala malam hendak 

beranjak datang, tiba-tiba terdengar jeritan di 

atas menggema.

"Aaah...!"

Satu persatu tubuh orang-orang yang 

berjaga-jaga di atas tergeletak mati dengan darah 

kering. Yang lainnya segera memburu, dan seke-

tika itu juga mata mereka melotot tak percaya 

demi melihat seorang bayi tengah menghisap da-

rah korbannya.

"Bocah Kembaran Setan...!"pekik mereka 

serentak kaget.

Bocah Kembaran Setan seketika lepaskan 

mangsanya, memandang ke arah orang-orang 

yang terpaku ngeri melihat. Mata bocah tersebut 

menyala, laksana kilatan api yang hendak mem-

bakar segala apa saja yang ada di situ. Bocah itu


seketika menggeram, "Ooaaaaar...! Oaar....! 

Geerrtt..! Ngiik!"

Bersamaan dengan bunyi suara bocah 

tersebut, seketika Bocah Kembaran Setan berke-

lebat dengan cepatnya merangsek ke arah mere-

ka. Orang-orang yang tadinya terkesima, seketika 

itu berusaha memapaki serangan sang bocah. 

Tombak dan senjata lainnya berkelebat, namun 

sungguh membuat penyerangnya kini surut dan 

merasa takut sendiri. Tombak dan golok serta 

senjata mereka bagaikan tak ada artinya. Setiap 

kali tombak atau golok mereka beradu dengan 

tubuh si bocah, saat itu terdengar bunyi patahan.

"Plak!"

Tombak dan golok mereka yang terbuat 

dari besi pilihan patah menjadi bongkahan-

bongkahan kecil. Sedangkan tubuh Bocah Kem-

baran Setan tiada cacat sama sekali, bahkan tu-

buh si bocah makin lama makin bertambah be-

sar.

"Ketua... tolong...! Bocah Kembaran Setan 

datang...!" mereka menjerit-jerit, menjadikan kon-

sentrasi para ketuanya seketika pecah. Serentak 

para ketuanya pun berkelebat naik menuju ke 

atas.

Dari golongan Perserikatan Segala Iblis

yang ada Ningrum dan Pramana segera mendeka-

ti, lalu Ningrum atau Penguasa Bukit Karang Bo-

long berseru pada si bocah yang masih asyik 

menghisap darah korbannya. "Anakku...! Anakku, 

kau dengar suara ibu, Nak?"

Bocah Kembaran Setan seketika tersen


tak, hentikan aksinya dan mengalihkan pandan-

gannya ke arah datangnya suara tersebut. Mata 

bocah tersebut seketika memandang tajam, sea-

kan ingin melihat kebenaran suara yang ia kenal 

benar.

"Oar...! Oaaar...!" bocah itu mengerang, 

seakan mencari-cari di mana adanya suara sang 

ibu, yang dengan segera Ningrum menjawabnya.

"Anakku, ini ibumu… Ini ibumu, Nak. 

Apakah engkau mendengar suara ibu?"

Bocah Kembaran Setan menyeringai, me-

nunjukkan gigi-giginya yang panjang dan runcing. 

Seringaiannya seakan menunjukkan betapa ke-

gembiraan si bocah. Bocah Kembaran Setan me-

layang, dan bermaksud mendekat ke arah Nin-

grum. Namun manakala bocah tersebut hampir 

sampai, tiba-tiba wajah Ningrum atau Penguasa 

Bukit Karang Bolong berubah menjadi wajah as-

linya yaitu Setan Tengkorak Darah.

Tersentak Bocah Kembaran Setan, ia 

kembali menggeram marah merasa dirinya telah 

dibohongi. "Oaar...!"

"Bangsat! Siapa yang telah lancang ber-

buat begini!" maki Laksa Tuah, merasa ilmunya 

telah ada yang memecahkannya. "Awas! Bocah itu 

menyerang!"

Tersentak Tengkorak Darah, manakala 

Bocah Kembaran Setan berkelebat menyerang ke 

arahnya. Dengan segera Tengkorak Darah bua-

ngkan tubuh ke samping, dan hanya beberapa in-

ci saja tangan Bocah Kembaran Setan berkelebat 

menyerangnya.


"Kunyuk Busuk! Ternyata kau telah 

menggagalkan rencana kami!" bentak Kumilir Se-

ta marah, yang ditujukan pada siapa adanya yang 

telah berbuat demikian. Kumilir Seta melihat se-

larik sinar ungu berkelebat ke arah Tengkorak 

Darah dan Iblis Sepuh, manakala keduanya ham-

pir mendapatkan hasil. Kini bukannya hasil yang 

mereka peroleh, malah nyawa kedua tangan ka-

nannya hampir saja lepas oleh serangan si bocah 

yang cepat

"Hua, ha, ha...! Jangan kalian pingin 

enaknya sendiri!" bergelak tawa Begong Damar, 

merasa usahanya untuk menggagalkan mereka 

berhasil.

"Begong Damar! Tunggulah kematianmu 

bila masalah bocah ini telah beres!" menggeretak 

Kumilir Seta. "Awas! Bocah itu!"

"Oaaar...!"

Bocah Kembaran Setan terus menggeram, 

lalu kembali berkelebat menyerang mereka. Mera-

sa bahwa mereka tak akan mampu menghadapi 

sang bocah, serta merta mereka pun lancarkan 

pukulan jarak jauhnya ke arah si Bocah Kemba-

ran Setan.

"Aji Api Berkala. Hiat...!" Iblis Sepuh 

menggeretak.

"Aji Pusaran Setan, hiat...!" Setan Tengko-

rak Darah tak mau kalah.

"Aji Sempal Raga, hiat..!" Kumilir Seta 

pun turut, dan yang terakhir adalah Laksa Tuah 

dengan ajiannya Tuah Sakti yang biasanya akan 

menjadi kenyataan segala ucapannya.


"Nurut kau...!" 

"Duar...!"

Ledakan itu menggelegar, tepat manakala 

tubuh Bocah Kembaran Setan berada tiga tombak 

mendekat ke arah mereka. Namun mata mereka 

seketika terbelalak, manakala ledakan itu hilang. 

Ternyata tubuh Bocah Kembaran Setan tak han-

cur, bahkan kini bertambah besar. Bocah Kemba-

ran Setan yang tadinya bayi, kini menjelma men-

jadi seorang bocah berumur setahun yang telah 

mampu berjalan. Kini bocah tersebut tidak lagi 

menengkurap, namun berjalan dalam udara. Ka-

ki-kakinya yang kecil, bergerak cepat laksana lari 

di atas angin. Kaki-kaki kecil itu tak menapak ta-

nah barang sekalipun.

"Menurutlah, Bocah! Menurutlah kau pa-

daku!" Laksa Tuah menggemakan suaranya. 

Nampak Bocah Kembaran Setan tercenung diam, 

seakan ucapan telah mampu menguasai dirinya. 

"Kau harus menurut padaku. Nurut... kalau ti-

dak, maka aku akan menjadikan dirimu kodok."

Bocah Kembaran Setan benar-benar me-

nurut, namun kembali tiba-tiba selarik sinar ber-

kelebat ke arah tubuh si bocah yang menjadikan 

si Bocah Kembaran Setan tersentak sadar. Betapa 

marahnya si bocah manakala dirinya merasa te-

lah tersihir, serta merta ia menggerang kembali 

marah: "Oaaar...!"

"Bedebah! Orang itu harus dibunuh du-

lu!" bentak marah Laksa Tuah pada teman-

temannya, memerintahkan agar mereka menyele-

saikan dulu Begong Damar yang telah selalu


menggagalkannya. "Kalau Begong kunyuk itu tak 

mati, maka gagallah kita. Bahkan diri kita yang 

akan menjadi korban."

"Setan Tengkorak dan kau, Iblis Sepuh, 

bunuh dia!" perintah Kumilir Seta dengan nada 

geram. Tanpa banyak kata lagi, kedua tangan ka-

nan Kumilir Seta berkelebat ke arah Begong Da-

mar.

"Begong Damar keparat! Kau harus 

mampus!" bentak Setan Tengkorak Darah gusar, 

lalu dengan tanpa menunggu jawaban dari Be-

gong Damar ia pun berkelebat menyerang.

"Kalianlah yang keparat! Kalian telah ber-

laku licik!" balas Begong Damar tak mau kalah.

"Bangsat! Kau telah banyak membuang-

buang waktu! Kaulah yang licik, hiat...!" Tengko-

rak Darah dengan sengitnya menyerang Begong 

Damar. Sementara Iblis Sepuh kini menghadapi 

adik seperguruan Begong Damar yaitu Sungil 

Sumur. Maka pertarungan keempat tokoh aliran 

sesat itu pun tak dapat dihindari, sementara yang 

lainnya nampak hanya menonton tak ada yang 

ikut campur. Mereka rupanya menunggu, siapa 

yang akan menjadi pemenangnya yang akan me-

reka hadapi.

Melihat pimpinan-pimpinan mereka ber-

tarung, seketika para anak buahnya pun tak mau 

ketinggalan. Serentak tanpa dikomando mereka 

pun saling serang. Makin bertambah serulah per-

tarungan kedua Persekutuan Sesat tersebut. Jerit 

kematian para anak buah mereka menggema, 

seakan nyawa mereka sudah tiada arti sama se


kali. Hanya karena memperebutkan hal yang be-

lum tentu mereka dapati, mereka telah mem-

buang-buang nyawa.

* * *

Laksa Tuah dibantu dengan Kumilir Seta 

terus berusaha menjinakkan Bocah Kembaran 

Setan. Laksa Tuah merasa bahwa usahanya men-

dekati hasil kalau saja tidak diganggu oleh Be-

gong Damar tak mau putus asa. Kembali Laksa 

Tuah dengan mengandalkan Tuah ucapannya be-

rusaha mendapatkan sang bocah.

"Bocah... kau dengar ucapanku? Menu-

rutlah! Menurutlah...!"

Mendengar suara Laksa Tuah yang 

menggema, seketika Bocah Kembaran Setan ter-

sentak diam. Matanya yang tadinya menyala be-

rapi-api memendam sinar kematian, kini nampak 

agak redup.

"Oaar...! Oaar...!" Bocah Kembaran Setan 

mengoar, suaranya tidak segarang tadi, tapi sua-

ranya kini makin melembut seakan menuruti apa 

kata Laksa Tuah.

"Bagus! Kau memang harus menurut pa-

daku. Mari... marilah ke sini! Aku adalah rajamu, 

aku adalah sahabatmu! Kau harus menuruti se-

gala perintahku."

Betapa girangnya Kumilir Seta melihat 

Bocah Kembaran Setan nampak menurut. Bocah 

tersebut berjalan mengambang di udara, mende-

kat ke arah Laksa Tuah berada. Makin lama ma


kin mendekat, dan dekat...!

"Oar....!"

Bocah Kembaran Setan terus melangkah, 

dan...!

"Wuss...!"

Tersentak Laksa Tuah, manakala tiba-

tiba Bocah Kembaran Setan garang menyerang ke 

arahnya. Ternyata ajiannya yaitu Tuah Sakti tak 

ada fungsi sama sekali bagi si bocah. Tak alang 

kepalang kagetnya Laksa Tuah juga Kumilir Seta. 

Laksa Tuah berusaha mengelak. Namun...! 

"Oaaaar...!"

Gerakan Bocah Kembaran Setan begitu 

cepat, sehingga sulit bagi Laksa Tuah untuk da-

pat menghindari serangannya. Tanpa ampun lagi, 

tangan Bocah Kembaran Setan yang berkuku 

panjang hitam dan runcing itu mencengkeram le-

hernya. Laksa Tuah berusaha melepaskannya 

dengan hantamkan tangan ke arah tangan si bo-

cah, tapi malah cengkeraman tangan Bocah Kem-

baran Setan makin keras menghunjam lehernya. 

Laksa Tuah tak mau mengalah begitu saja, ia 

kembali hantamkan tangan ke kepala si bocah.

"Dug!"

Tangan Laksa Tuah mendarat telak di 

kepala botak si bocah. Kalau kepala orang biasa, 

tentunya akan pecah berantakan seperti batu 

granit bila dihantam tangan Laksa Tuah. Tapi ke-

pala si Bocah Kembaran Setan tiada apa-apa, 

bahkan kini tangan Laksa Tuahlah yang hancur 

dengan tulang-tulang remuk.

"Oaaar...! Nyit...! Nyit....!"


Melihat tangan kanannya terancam ba-

haya, dengan segera Kumilir Seta berkelebat me-

nyerang tubuh si bocah. Namun sungguh terke-

jutnya Kumilir Seta, manakala melihat serangan-

nya tak ada arti sama sekali bagi si bocah. Bah-

kan kini tangannya yang melepuh bagaikan diba-

kar oleh api yang beribu-ribu panasnya.

"Oaar...!" kembali Bocah Kembaran Setan 

mengoar.

"Aaaah...!" menjerit seketika Laksa Tuah, 

manakala taring Bocah Kembaran Setan meng-

hunjam di lehernya. Jeritan Laksa Tuah hanya 

sesaat, lalu hilang dengan terdengarnya suara de-

sisan darah yang terhisap.

"Bocah Iblis! Aku bunuh kau!" menggere-

tak marah Kumilir Seta. Segera ia rapalkan ajian-

nya Iblis Tangan Seribu. Dengan ajian tersebut, 

yang menjadikan tangan Kumilir Seta berubah 

menjadi banyak, Kumilir Seta dengan garang me-

nyerang. "Hiat...!"

Bocah Kembaran Setan menyeringai, le-

paskan mangsa yang sudah kering darahnya ter-

hisap. Segera Kumilir Seta bergerak, menyerang 

dengan Tangan Seribunya. Tangan itu begitu ba-

nyak, menjadikan si bocah nampak kebingungan. 

Namun ternyata Bocah Kembaran Setan kebin-

gungan untuk sementara, kemudian dengan ga-

nas bocah tersebut segera menyerang.

Pertarungan dua mahluk yang sama-

sama memiliki kesaktian lebih itu terus berjalan. 

Dua mahluk yang berbentuk manusia, dengan 

yang satu berbentuk bocah dan yang lainnya ber


bentuk orang tua. Serangan-serangan mereka be-

gitu cepat, laksana kilatan-kilatan cahaya yang 

menerangi gelapnya malam.

Tertegun semuanya melihat pertarungan 

keduanya, sebab belum pernah mereka menyak-

sikan pertarungan yang dilandasi dengan semua 

ilmu-ilmu Iblis. Maka mereka yang dari tadi ber-

tarung, seketika hentikan pertarungan dan men-

galihkan pandangan mereka pada dua mahluk 

tersebut yang kini tengah terlibat pertempuran 

satu lawan satu.

Bocah Kembaran Setan terus merangsek 

dengan cepat, namun begitu Kumilir Seta pun tak 

mau mengalah. Kini kedua mahluk itu makin me-

ningkatkan serangannya, lalu keduanya bagaikan 

terbang saling memapaki dengan ilmu-ilmu mere-

ka.

"Oaar...!"

"Hiat...!"

"Duar...!"

Dua tangan yang berbeda keadaannya itu 

saling beradu, melontarkan segenap ilmu yang 

mereka miliki hingga menjadikan sebuah ledakan 

yang sangat dahsyat. Dan tubuh itu terpelanting 

ke belakang. Tubuh Kumilir Seta sepuluh tombak 

mental, sementara Bocah Kembaran Setan nam-

pak hanya berjumpalitan di udara hingga dengan 

entengnya mengambangkan tubuhnya tanpa 

menginjak tanah. Ya, kaki Bocah Kembaran Setan 

tak pernah sekali pun menginjak tanah. Mungkin 

itu kelemahannya. Bila ia menginjak tanah, pasti-

lah segala kekuatannya akan hilang. Namun ru


panya Kumilir Seta dan yang lainnya tidak me-

nyadari hal itu, sehingga mereka pun tak begitu 

menghiraukan. Kalau mereka menghiraukan, 

niscaya mereka akan menyadari bahwa kaki si 

Bocah Kembaran Setan ada di atas tanah setinggi 

satu meter.

"Oaar...! Nyit, nyit, nyit...!" Bocah Kemba-

ran Setan kembali keluarkan suara mengoarnya 

yang diikuti dengan suara aneh. Sementara Ku-

milir Seta nampak terduduk bersilah, dan dari 

tubuhnya keluar sebuah bayangan yang tak 

mampu dilihat oleh mata biasa.

Melihat hal tersebut, nampak si Bocah 

Kembaran Setan pun tak mau mengalah begitu 

saja. Bocah kecil berumur kira-kira setahun itu 

pun segera melakukan meditasi dengan tubuh 

masih mengambang. Dari tubuh Bocah Kembaran 

Setan, keluar sebuah bayangan pula. Bayangan 

tersebut menyerupai seorang pemuda tampan, 

menghambur menghadapi bayangan yang keluar 

dari tubuh Kumilir Seta.

"Genjati, menyingkirlah engkau dari sini!" 

bentak bayangan yang keluar dari tubuh Kumilir 

Seta.

"Hua, ha, ha...! Wumo Geran, kaulah 

yang harus menyingkir! Kedudukanmu jauh be-

rada di bawahku. Ilmumu pun jauh berada di ba-

wahku. Akulah yang akan mampu mengatasi ja-

gad raya ini."

"Tidak bisa! Kau terlalu telengas! Kau 

akan menjadikan cita-cita Ratu berantakan!" 

kembali Wumo Geran membentak.


"Apa perdulimu! Aku kini bukan pengikut 

Ratumu! Aku kini pengikut Ratu Sanca!"

"Bedebah! Rupanya kau telah berkhianat! 

Kau harus mati, Genjati! Kau akan menerima hu-

kuman dari Sang Ratu!" marah dan gusar ber-

aduk pada diri Wumo Geran, manakala menden-

gar penuturan Genjati yang mengakui bahwa di-

rinya kini telah bersekutu dengan Ratu Sanca 

yang menjadi musuhnya. "Pengkhianat! Jangan 

kira aku takut menghadapimu!"

"Hua, ha, ha...! Kau tak akan mampu, 

Wumo Geran! Kau tak akan mampu mengalahkan 

aku!"

"Kita buktikan! Hiat...!" Wumo Geran 

yang sudah marah, dengan segera berkelebat me-

nyerang Genjati. Keduanya tak lain Iblis-iblis 

Penghuni Kawah Draka, di mana berdiri kerajaan 

iblis bernama Kercaka Maruta yang dipimpin oleh 

Raja Gelerang Sengger.

Pertarungan dua iblis yang telah kembali 

dalam bentuk ujud mereka, yaitu dengan cara 

meninggalkan raga-raganya terus berjalan dengan 

serunya. Namun tampaknya memang Genjati 

jauh berada dua tingkat ilmunya bila dibanding-

kan dengan ilmu yang dimiliki oleh Wumo Geran. 

Maka dalam beberapa jurus saja, Genjati dapat 

segera mendesak Wumo Geran.

"Wumo Geran, terimalah kehancuranmu! 

Ajian Kilat Senggana, hiat...!"

Larikan sinar biru berkelebat cepat meng-

arah ke Wumo Geran keluar dari telapak tangan 

Genjati. Segera Wumo Geran pun membalasnya


dengan ajian yang ia miliki. Namun ternyata den-

gan ilmu yang ada pada Genjati lebih tinggi di-

bandingkan dengan ilmu yang ada pada diri Wu-

mo Geran. Maka tak ayal lagi, sirnalah Wumo Ge-

ran manakala larikan sinar biru yang bernama 

Ajian Kilat Senggana menghantam tubuhnya.

Bersamaan dengan sirnanya sukma Wu-

mo Geran, tubuh Kumilir Seta pun seketika itu 

meledak dahsyat.

"Duar! Dum...!"

Terbelalak semua mata melihat kejadian 

tersebut, sehingga dengan seketika mereka pun 

melompat menghindari ledakan tersebut. Dan 

tanpa banyak membuang waktu, mereka yang ta-

dinya berkeinginan mendapatkan Bocah Kemba-

ran Setan segera lari serabutan tanpa hiraukan

bayi tersebut.


ENAM



Melihat musuh-musuhnya berlarian me-

ninggalkannya, Genjati yang saat itu belum kem-

bali masuk ke dalam tubuh si bocah tak dapat 

berbuat apa-apa. Akhirnya ia pun tak menghi-

raukan mereka yang berlarian meninggalkannya. 

Memang tujuan sebenarnya bukan untuk meng-

hisapi darah mereka, tetapi tujuan sebenarnya 

adalah mencari Kitab Banyu Geni yang berada di 

situ.

Genjati segera kembali ke tempatnya, yai-

tu tubuh bayi yang nampak masih mengambang



di udara. Setelah ia kembali pada tubuh bayi ter-

sebut, Genjati segera melesat ke bawah di mana 

Lingkaran Kematian berada.

Mata Iblisnya seketika tersentak kaget, 

manakala melihat ratusan mahluk-mahluk jin 

Marakayangan nampak berjaga-jaga mengelilingi 

sebuah batu yang berdiri kokoh di tengah-tengah 

para Jin yang berjumlah banyak tersebut.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, 

seakan membentak pada para jin Marakayangan 

yang tampak tenang dan setia menjaga apa yang 

telah diperintahkan oleh tuannya. Ya, keempat 

puluh Jin tersebut adalah utusan Resi Kumara 

Geni. Para Jin tersebut adalah prajurit-prajurit 

sang Resi, dan para Jin tersebut memiliki ilmu 

yang tiada taranya. Jin itu telah dipesan, agar 

jangan sekali-kali meninggalkan tempat tersebut 

sebelum orang yang dimaksud oleh sang resi da-

tang.

Para Jin itu juga tak tahu siapa adanya 

orang yang akan mengambil kitab Banyu Geni 

yang mereka jaga. Resi Kumara Geni hanya men-

gatakan, bahwa dirinya akan memberitahukan 

pada mereka bila orang tersebut datang. Maka

para Jin penjaga yang setia itu tak mau memberi-

kan pada pendekar-pendekar yang bermaksud 

mengambilnya dikarenakan belum ada kabar dari 

Sang Resi. Dan bagi mereka yang berani mende-

kat lebih dari dua tombak, maka kematianlah 

yang mereka peroleh.

Kini Bocah Kembaran Setan telah men-

dekat. Jaraknya dengan para Jin penjaga Lingka


ran Maut makin lama makin mendekat. Para Jin 

tersebut masih tampak tenang, sedangkan Bocah 

Kembaran Setan nampak mengerang marah se-

perti membentak agar para Jin itu mau menying-

kir dan membiarkan dirinya dapat mengambil ki-

tab tersebut. "Oar...!"

Bocah Kembaran Setan nampak menge-

rang, lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat me-

nuju di mana para Jin itu berada. Bocah Kemba-

ran Setan dengan nekad berusaha menerobos pu-

taran jin-jin tersebut, namun sungguh bukanlah 

hal yang mudah untuk melakukannya.

Manakala tubuh Bocah Kembaran Setan 

hendak menerobos, secepat kilat salah seorang 

Jin yang dekat dengannya hantamkan pukulan.

"Bug!"

Tubuh Bocah Kembaran Setan mental, la-

lu jatuh melayang di udara. Namun Bocah Kem-

baran Setan tak mau mengalah begitu saja, dan 

kembali ia pun bangkit. Dengan mengerang ma-

rah, Bocah Kembaran Setan berkelebat kembali 

menyerang.

"Oar...!"

Mata Jin-jin penunggu itu melotot marah, 

lalu salah satu Jin itu dengan gusar membentak: 

"Genjati, minggat kau dari sini!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, 

yang dimengerti oleh Jin tersebut sebagai kata-

kata penolakan.

"Genjati! Kalau kau menolak, maka jan-

ganlah menyesal bila aku akan menghukummu. 

Minggat dari sini, atau dengan terpaksa aku akan


menjadikan sukmamu sengsara seumur-umur!" 

bentak Jin yang mungkin pimpinan para Jin ter-

sebut.

Genjati tampak terdiam dengan mata 

memandang tak berkedip pada Raja Jin, seper-

tinya ia hendak memberikan isyarat bahwa di-

rinya tak akan mau mengakui kekalahan terse-

but. Namun ketika ia hendak mengadakan seran-

gan lagi, tiba-tiba terdengar desahan angin me-

nerpa tubuhnya. Angin tersebut datangnya dari 

seorang kakek tua yang berpakaian serba putih 

dengan janggut dan rambut putih pula.

"Bocah iblis! Apakah engkau akan terus 

memaksa!" orang tua renta itu membentak, sua-

ranya begitu menggelegar laksana badai prahara 

yang mampu meruntuhkan gunung batu. "Kalau 

kau tak mau minggat, maka jangan salahkan ka-

lau kau akan menjadi sukma layangan!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bocah dungu! Iblis dungu! Kau akan 

mampus bila Pendekar tersebut datang ke mari! 

Kau akan mampus, iblis sombong!" kembali lelaki 

tua renta itu membentak.

Ternyata bentakan lelaki tua renta itu 

berpengaruh juga, sebab Bocah Kembaran Setan 

kembali mengoar. "Oar...!"

"Aku tidak mendustaimu! Pendekar Pe-

dang Siluman Darah akan datang ke mari untuk 

mengusirmu dari dunia ini!"

Bersamaan dengan habisnya suara lelaki 

tua renta itu, terdengar derap langkah kaki dua 

orang manusia berlari bagaikan kilat menuju ke


tempat tersebut. Dua orang lelaki yang satu muda 

belia dan satunya lagi tua renta, berlari dengan 

cepatnya laksana kelebatan angin menuju ke 

tempat di mana Bocah Kembaran Setan dan lelaki 

tua renta berpakaian serba putih juga keempat 

puluh Jin itu berada.

"Itu Bocah Kembaran Setan tersebut!" 

pemuda yang tak lain Pendekar Pedang Siluman 

Darah, menunjukkan telunjuknya ke arah Bocah 

Kembaran Setan pada Pendekar Bedah Jagad 

yang diketahui adalah kakak seperguruannya. 

"Ayo kita cepat ke sana."

Kedua pendekar tersebut makin memper-

cepat larinya menuju ke Lembah Bangkai yang ja-

raknya tidak begitu jauh lagi. Hanya karena mata 

Jaka yang tajam, sehingga ia mampu memandang 

jarak yang masih agak jauhan.

"Apakah engkau akan tetap membandel, 

Bocah Iblis!" kembali lelaki tua serba putih itu 

membentak. "Kalau kau membandel inginkan Ki-

tab ini, maka kau akan berhadapan dengan Pen-

dekar Pedang Siluman Darah. Dialah pewaris Ki-

tab Banyu Geni milikku, yang sesungguhnya mi-

lik kakeknya Paksi Anom"

"Jadi Pendekar itukah yang kami dengar 

anak angkat Ratu Siluman Darah, Tuan?" tanya 

Raja Jin pada lelaki tua renta serba putih yang 

tak lain Resi Kumala Geni.

"Benar! Dialah anak angkat Ratu Siluman 

Darah."

Tersentak Bocah Kembaran Setan, mana-

kala mendengar penuturan Resi Kumala Geni


yang mengatakan bahwa pemuda yang kini me-

nuju ke arahnya adalah anak angkat Ratu Silu-

man Darah, Ratu kehidupan bagi para siluman 

dan roh-roh halus macamnya. Mata Bocah Kem-

baran Setan seketika meredup, hatinya seketika 

itu pula bergumam. "Bahaya! Sungguh bahaya 

kalau memang ia anak angkat Ratu kehidupan 

umat siluman. Tapi aku belum percaya! Aku tak 

akan mau percaya sebelum aku membuktikan-

nya!"

"Kau belum minggat! Hem, rupanya kau 

hendak menantangnya. Jangan kira kau akan 

menang, Bocah Iblis!" Resi Kumala Geni memben-

tak. Sebagai Resi, ia sebenarnya tak ingin mahluk 

apapun akan binasa di hadapannya. Tapi ru-

panya Bocah Kembaran Setan telah nekad dan 

berani menghadang Pendekar Pedang Siluman 

Darah yang sudah kesohor tersebut. "Kenapa kau 

begitu nekad, Bocah Iblis!"

"Oaar...!" Bocah Kembaran Setan men-

goar, yang dimengerti oleh sang Resi arti koaran 

tersebut. Koaran itu adalah bentakan agar sang 

Resi diam.

Bukan alang kepalang marahnya para Jin 

anak buah sang Resi mendengar bentakan yang 

dilontarkan oleh Bocah Kembaran Setan yang me-

reka kenal dengan nama Genjati.

Hampir saja keempat puluh Jin itu 

menghajar Bocah Kembaran Setan, kalau saja 

sang Resi tidak segera mencegahnya dan berkata, 

"Biarkan dia dengan kemauannya! Dia sendiri 

yang akan menerima hasilnya!"


Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad 

telah sampai di tempat Lembah Bangkai, manaka-

la secara tiba-tiba Bocah Kembaran Setan berke-

lebat menyerang mereka.

"Awas Kakang...! Bocah itu menyerang!" 

Jaka berteriak mengingatkan Pendekar Bedah Ja-

gad. Dengan segera keduanya berkelebat meng-

hindari serangan Bocah Kembaran Setan. Kedua-

nya lemparkan tubuh ke samping, sehingga lolos 

dari cakaran kuku-kuku sang bocah yang hitam 

panjang dan tajam.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar. 

Matanya memandang penuh berapi-api, seperti-

nya ada kemarahan yang mendalam pada kedua 

pendekar tersebut.

"Bocah iblis!" bentak Pendekar Bedah Ja-

gad. "Aku tahu siapa adanya engkau! Mengapa 

engkau mesti menggunakan bocah yang tidak 

berdosa?! Keluarlah kau dengan ujud aslimu."

"Oaar...!"

"Bocah iblis! Kalau kau tak mau menye-

rah, jangan salahkan aku Jaka Ndableg menghu-

kummu!" Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Silu-

man Darah pun membentak. "Sebenarnya aku tak 

tega untuk menyakitimu, namun tindakanmu su-

dah tak dapat dibiarkan. Kau telah membuat 

bencana di dunia ini. Tapi jika kau mau menye-

rah maka aku akan mengampunimu!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan kembali 

mengoar, lalu dengan cepat kembali berkelebat 

menyerang kedua pendekar kakak beradik seper-

guruan.


"Awas, Kakang! Bocah itu menyerang!" 

Dengan cepat keduanya kiblatkan tangan mereka 

ke arah datangnya Bocah Kembaran Setan, yang 

saat itu tengah melayang menuju ke arah mereka.

"Ajian Petir Sewu, hiat...!" Jaka mengelu-

arkan Petir Sewu.

"Ajian Bedah Sukma, hiat...!" Pendekar 

Bedah Jagad pun tak mau tinggal diam. Ia kelua-

rkan ajian andalannya yaitu Bedah Sukma me-

nyerang ke arah tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Duar...!"

"Bletar! Bletar! Bletar...!"

Petir Sewu membahana, membentuk kila-

tan-kilatan yang seketika menerangi tempat ter-

sebut. Tubuh Bocah Kembaran Setan terhantam 

dua ajian dahsyat hingga terpental ke belakang. 

Namun tubuh itu bagaikan tak mengalami apa-

apa. Petir Sewu dan Bedah Sukma, tak ada ar-

tinya sama sekali bagi tubuh Bocah Kembaran 

Setan. Bahkan bocah tersebut kini menyeringai 

penuh ejekan, lalu dengan cepat berkelebat me-

nyerang keduanya yang tengah terbengong-

bengong tak yakin pada apa yang mereka lihat. 

Jaka tersentak, lalu berseru memperingatkan pa-

da Pendekar Bedah Jagad.

"Awas, serangan...!"

Kembali keduanya berjumpalitan, meng-

hindari serangan Bocah Kembaran Setan yang 

makin mengganas dengan penuh amarah. Bocah 

itu sepertinya tak takut pada Jaka Ndableg, dan 

menganggap bahwa ucapan Resi Kumala Geni 

hanyalah omong kosong.


"Tuan, nampaknya Pendekar muda itu 

kewalahan," Raja Jin yang merasa khawatir ber-

maksud membantu Jaka dan Pendekar Bedah Ja-

gad. Namun, dengan segera sang Resi mencegah-

nya.

"Kalian tidak perlu turut campur. Kalian 

tak usah mengkhawatirkan diri mereka khusus-

nya pendekar muda itu. Mungkin ilmu dan kesak-

tian yang kalian miliki masih jauh bila dibanding-

kan dengan ilmu dan kesaktian yang pemuda itu 

miliki," Resi Kumala Geni menuturkan. "Percaya-

lah, bahwa pendekar muda itu tak akan dapat di-

kalahkan oleh Genjati. Ilmu Genjati belum se-

berapa dengan ilmu yang dimiliki oleh keduanya."

Jaka Ndableg dan Pendekar Bedah Jagad 

masih terus berusaha mengelakan serangan yang 

dilancarkan oleh Bocah Kembaran Setan. Namun 

nampaknya Bocah Kembaran Setan yang merasa 

ajian yang dilancarkan Jaka tak berarti apa-apa 

bagi dirinya, terus merangsek keduanya. Jaka 

yang tak ingin kakak seperguruannya akan men-

jadi korban segera berseru: "Kakang Bedah Jagad, 

aku minta kakang minggirlah dulu, biar aku yang 

menghadapinya." 

"Baiklah Jaka."

Bedah Jagad segera mencelat meninggal-

kan Jaka yang terus melesat membawa tubuh 

Bocah Kembaran Setan untuk mengikutinya me-

nuju ke tanah yang agak rata. Dan ternyata pan-

cingan Jaka mengena, sebab Bocah Kembaran Se-

tan yang merasa bahwa dirinya akan mampu 

mengalahkan Jaka Ndableg terus mengejarnya.


Jaka segera berbalik, lalu dengan cepat 

memapaki serangan Bocah Kembaran Setan itu 

dengan ajian Tapak Praharanya. "Tapak Prahara, 

hiat...!" Tangan Jaka seketika membara bagaikan 

berapi, melesat tubuh Jaka menghadang seran-

gan Bocah Kembaran Setan.

Tersentak Bocah Kembaran Setan dan 

berusaha mengelak, namun serangan Jaka ter-

nyata datangnya lebih cepat. Maka tak ayal lagi, 

ajian Tapak Prahara yang dilancarkan Jaka pun 

menderu dan telak menghantam tubuh Bocah 

Kembaran Setan. Api berkorbar, melalap tubuh 

Bocah Kembaran Setan. Api tersebut adalah api 

intinya, yang mampu membuat tubuh yang ter-

kena hancur menjadi abu. Tapi...! Mata Jaka 

kembali tersentak tak percaya, sebab ternyata tu-

buh Bocah Kembaran Setan tak mengalami apa-

apa. Jangankan lebur jadi abu, gosong pun tidak. 

Bahkan Bocah Kembaran Setan kini nampak ma-

kin melebarkan seringaiannya, menunjukkan ta-

ringnya yang panjang dan runcing. "Oar...!"

"Gusti Allah, ternyata bukan sembaran-

gan iblis!" Jaka membatin. "Apakah aku harus 

mengeluarkan ajian yang mampu mengundang 

para siluman panik? Hem, kalau aku gunakan 

Ajian Jamus Kalimusada, tentulah aku telah me-

rusak alam ini dengan ketidak tentraman. Tidak! 

Lebih baik aku menggunakan Pedang Siluman 

Darah. Ya! Aku akan memanggil Ratu Siluman 

Darah."

Tubuh Bocah Kembaran Setan melaju 

menuju ke arah Jaka dengan mata menyorot beri


ngas penuh api kematian. Jaka nampak masih 

tenang, diam mengheningkan cipta. Dan manaka-

la tubuh Bocah Kembaran Setan hampir sampai...

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"

Melompat mundur Bocah Kembaran Se-

tan, demi mendengar ucapan Jaka menyebut na-

ma ibu angkatnya. Dan lebih-lebih kagetnya Bo-

cah Kembaran Setan, manakala secara tiba-tiba 

di tangan Jaka Ndableg telah tergenggam sebilah 

pedang yang menyala terang kuning kemerah-

merahan. Dari ujung pedang itu, mengalir darah 

membasahi batang pedang tersebut.

"Oar...!" memekik Bocah Kembaran Se-

tan, lalu dengan ketakutan melesat terbang me-

ninggalkan Jaka Ndableg yang segera mengejar. 

Namun belum juga Jaka jauh, tiba-tiba seorang 

lelaki tua renta berjanggut serta berpakaian serba 

putih berseru memanggilnya. "Jaka Ndableg!" 

Jaka yang bermaksud mengejar, segera 

menghentikan langkah dan menengokkan kepa-

lanya ke arah suara tersebut. Pedang Siluman 

Darah masih tergenggam di tangannya, lalu den-

gan ringan Jaka pun melangkah menuju ke orang 

tua renta berpakaian putih yang mengawehnya 

dengan tangan.

"Kau memanggilku, Ki? Siapakah engkau 

adanya?" tanya Jaka setelah mendekat ke arah le-

laki tua renta tersebut, yang tersenyum ramah.

"Ya! Aku memang memanggilmu," jawab 

Resi Kumala Geni.

"Heh, bukankah tadi aku tak melihatmu, 

Ki?"


Jaka terheran-heran sendiri. "Kenapa 

engkau tiba-tiba muncul? Dari manakah engkau 

datang?"

Resi Kumala Geni lebarkan senyum, lalu 

dengan nada suara yang masih ramah berkata: 

"Namaku Resi Kumala Geni...."

"Apa...?!" tersentak Jaka dan Pendekar 

Bedah Jagad demi mendengar lelaki tua renta itu 

menyebutkan namanya. 

"Ya, akulah Resi Kumala Geni. Akulah 

teman kakekmu, Jaka. Dulu aku dititipi oleh ka-

kekmu sebuah kitab pusaka, yang kini menjadi 

bahan rebutan para tokoh persilatan. Karena kau 

telah dewasa, maka kitab ini aku serahkan kem-

bali padamu. Gunakanlah kitab Banyu Geni ini 

baik-baik, sebab kitab ini akan mendatangkan 

bahaya bila berada di tangan orang-orang jahat. 

Maka itu, aku sengaja menjaganya dengan me-

nyuruh keempat puluh Jinku."

Makin terheran-heran Jaka dan Bedah 

Jagad mendengar penuturan Resi Kumala Geni. 

Keheranan Jaka dan Bedah Jagad ternyata dike-

tahui oleh sang Resi yang kembali berkata: "Kalau 

kalian tak percaya, kalian mungkin sering men-

dengar banyak para pendekar yang mati manaka-

la hendak mencari kitab tersebut, bukan?"

"Benar," jawab Jaka.

"Nah, kalian akan tahu siapa yang telah 

berkorban untuk menjaga kitab tersebut:" Resi 

Kumala Geni segera sapukan tangan ke depan 

mata Jaka dan Bedah Jagad, seketika itu kedua 

pendekar kakak beradik seperguruan mampu me


lihat alam gaib. Keduanya kini melihat empat pu-

luh jin tengah mengelilingi sebuah batu yang ber-

diri menjulang di tengah-tengah. "Apakah kalian 

yakin?"

Jaka dan Bedah Jagad tak berkata. Ke-

duanya hanya mampu menganggukkan kepala. 

Resi Kumala Geni pun segera melangkah menuju 

ke tempat di mana keempat puluh jin tersebut 

masih berdiri, diikuti oleh Jaka dan Bedah Jagad. 

Sang Resi segera mencabut batu itu dengan rin-

gan, padahal batu tersebut dalam menghujam ke 

tanah. Dari batu itu, tampak sinar menyala. Ter-

nyata kitab Banyu Geni disimpan oleh sang Resi 

di dalam batu tersebut.

"Ini kitabnya. Kembali aku minta, kau 

harus mampu mempertahankan kitab ini dari 

tangan orang-orang jahat. Karena aku telah me-

nemukan dirimu, maka aku dan keempat puluh 

kadangku ini minta pamit padamu, Jaka." Dis-

odorkannya kitab Banyu Geni itu kepada Jaka 

yang menerimanya dengan rasa haru.

"Terima kasih atas jasa Bapak Resi yang 

sudi menjaga milik kakek dalam jangka waktu 

yang begitu lama. Dengan apakah aku nanti 

mampu membalas budi baik ini."

"Jaka, aku tidak meminta balas jasa. Aku 

hanya minta padamu agar engkau mau selalu 

menjaga kitab tersebut dan mempelajarinya, se-

bab kitab itu akan makin menambah ilmu yang 

engkau miliki sebagai bekal dirimu untuk mene-

gakkan kebenaran dan keadilan. Di dalam kitab 

ini, kau akan mendapatkan ajian dan jurus-jurus


yang belum ada tandingannya di jagad raya ini." 

Resi Kumala Geni menerangkan. "Pelajarilah baik-

baik, sebab kelak ada manfaatnya untukmu. Ka-

lau engkau sudah mempelajari, maka aku mohon 

simpanlah di tempat yang tidak mudah dijamah 

oleh orang jahat atau kau bakar."

"Baiklah Bapak Resi, segala petuahmu 

akan menjadi guru bagi diriku," jawab Jaka hor-

mat, tangannya mendekap erat kitab Banyu Geni.

"Nah Jaka, aku akan pergi. Kau cepatlah 

menghentikan sepak terjang Bocah Kembaran Se-

tan tersebut, yang kini telah dalam kuasa seorang 

wanita jahat bernama Nok Jenah."

Tersentak Bedah Jagad mendengar nama 

murid durhakanya diucapkan oleh sang Resi. Ia 

bermaksud bertanya, namun tubuh sang Resi te-

lah menghilang entah ke mana. "Ayo Jaka, kita 

mencari Bocah durhaka itu yang kini telah men-

guasai Bocah Kembaran Setan. Kalau kita ter-

lambat, entah bencana apa lagi yang bakal terja-

di."

Dengan tanpa menolak lagi, Jaka segera 

mengikuti kakak seperguruannya setelah me-

nyimpan kitab Banyu Geni dalam bajunya di an-

tara ikat pinggangnya. Hari telah berganti, dari 

malam beranjak menuju pagi. Dari kejauhan ko-

kok ayam jantan menggema, bersamaan dengan 

menyingsingnya sinar mentari. Dan Lembah 

Bangkai pun kembali senyap, hanya bangkai-

bangkai manusia korban Bocah Kembaran Setan 

saja yang masih bergelimpangan di atas tanah.


TUJUH


Nok Jenah dan Bocah Kembaran Setan 

nampak berlari menerabas malam yang pekat. 

Nok Jenah yang kini telah menguasai Bocah 

Kembaran Setan, bermaksud memperalat bocah 

tersebut untuk kepentingannya membalas den-

dam pada para tokoh aliran lurus yang telah 

membuatnya menderita terutama Pramana. Tapi 

Nok Jenah tak melakukan pada Pramana, dikare-

nakan ia mungkin akan menemui kesulitan.

Bukankah ibu Bocah Kembaran Setan itu 

anak dari Pramana sendiri? Secara tidak lang-

sung, bila ia menyerang keluarga Pramana tentu-

lah ia akan mengalami kesulitan. Bocah Kemba-

ran Setan pasti akan membela keluarga tersebut, 

di mana ibunya berada. 

"Bocah, kita akan berpesta sesaat lagi," 

Nok Jenah berkata pada si Bocah Kembaran Se-

tan yang terbang di sampingnya dengan cepat, 

mengimbangi langkah lari Nok Jenah yang mele-

sat bagaikan terbang. "Sudah siapkah engkau?"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bagus! Kau akan pesta darah! Kita akan 

menuju Perguruan Gunung Muria. Di sana kau 

akan mendapatkan darah yang engkau inginkan, 

Bocah."

"Ngik, ngik, ngik! Oar...!"

Keduanya kembali berlari merambah ma-

lam, memotong semak belukar di depannya. 

Langkah keduanya begitu cepat, melesat laksana


terbang. Tengah keduanya berlari menuju ke arah 

Wetan, tiba-tiba Nok Jenah hentikan langkah dan 

miringkan kepala ke kiri.

"Rupanya ada cecunguk yang ingin 

mengganggu ketenangan kita nantinya," Nok Je-

nah bergumam. "Hem, ini kesempatan bagimu. 

Lakukan apa yang dapat engkau lakukan. Ada ki-

ra-kira dua puluh orang, kiranya cukup untukmu 

minum, bukan?"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar.

"Bagus! Kau laksanakan segera!" Bocah 

Kembaran Setan melesat menuju ke arah datang-

nya gemerisik di balik semak-semak.

Matanya berkilat membara, lalu dengan 

cepat melesat ke arah datangnya suara gemerisik. 

Walau dalam gelapnya malam, tetapi mata Bocah 

Kembaran Setan tampak tajam hingga mengeta-

hui di mana adanya orang tersebut.

"Aaaah...!" memekik salah seorang yang 

bersembunyi di balik semak-semak, manakala 

tangan kecil si Bocah Kembaran Setan menceng-

keramnya. Dan dengan ganas Bocah Kembaran 

Setan tancapkan gigi taringnya, menghisap darah 

orang tersebut.

"Oar...!"

Tersentak yang lainnya, demi melihat te-

mannya menjadi korban. Dengan segera orang-

orang yang tadinya bersembunyi, melompat ke 

luar dari persembunyiannya dengan golok siap di 

tangan masing-masing.

Bocah Kembaran Setan yang telah me-

nyelesaikan tugasnya menyedot darah salah seo


rang dari kedua puluh orang begal itu segera 

kembali melesat ke arah orang-orang lainnya, 

yang seketika membelalakan mata kaget demi apa 

yang mereka lihat.

"Bocah Kembaran Setan!" pekik mereka.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, 

lalu dengan gesit mengelakan hantaman golok 

kedua puluh orang yang mengeroyoknya. Kemu-

dian dengan secepat kilat pula, bocah Kembaran 

Setan pun menyerang ke arah mereka.

"Bug, bug, bug!" 

Terdengar bunyi beradunya golok-golok 

mereka dengan tubuh Bocah Kembaran Setan. 

Bukannya tubuh sang Bocah yang patah tertebas 

golok mereka, tetapi sebaliknya golok merekalah 

yang poil dan patah. Mereka terkesima diam, 

menjadikan kesempatan Bocah Kembaran Setan 

untuk menyerang.

Tubuh Bocah Kembaran Setan melesat 

cepat, lalu dengan beringas ditangkapnya leher 

salah seorang dari mereka. Dan dengan segera di-

gigitnya leher orang tersebut, darahnya pun seke-

tika muncrat. Melihat darah muncrat, Bocah 

Kembaran Setan nampak makin bernafsu. Dihi-

sapnya darah yang keluar dari leher orang terse-

but, kemudian setelah di leher habis Bocah Kem-

baran Setan menyedot darah di tubuh orang ter-

sebut.

"Hi, hi, hi...! Bocah, kau ternyata hebat!" 

terdengar suara seorang wanita tertawa cekiki-

kan, menjadikan kedelapan belas para begal alih-

kan mata mereka memandang ke arah datangnya


suara wanita tersebut. "Lakukan dengan cepat, 

biar kita cepat sampai pada tujuan kita, bocah!"

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, 

sepertinya mengiyakan apa kata Nok Jenah. Ke-

mudian dengan mata tajam menghujam, Bocah 

Kembaran Setan secepat kilat kembali menerkam 

salah seorang dari mereka.

"Bocah Iblis! Mampus kau, hiat...!" Pim-

pinan begal nampak begitu marah. Dengan cepat 

ia hantamkan pukulan tenaga dalamnya ke arah 

tubuh Bocah Kembaran Setan. 

"Bug! Bug! Bug!" 

Tubuh Bocah Kembaran Setan hanya ter-

goncang sesaat, lalu Bocah Kembaran Setan me-

nyeringai, menunjukkan taringnya yang bergele-

potan darah. Terbelalak pimpinan begal, demi di-

lihatnya ajian yang ia miliki tak berarti sama se-

kali bagi Bocah tersebut.

Nok Jenah tampak mengulum senyum 

melihat Bocah Kembaran Setan terus menyerang 

mereka. Namun ketika mereka tinggal beberapa 

orang saja, Nok Jenah nampak was-was dan 

mengeluh sendiri. "Sayang... sayang bila kesem-

patan ini tidak aku pergunakan sebaik-baiknya. 

Hem, bukankah pimpinan begal itu tampan juga, 

walau mukanya tertutup oleh cambang bawuk 

awut-awutan?"

Segera Nok Jenah yang sudah kehausan 

akan kebutuhan biologisnya berkelebat cepat, 

menotok pimpinan begal dengan gerakan yang 

cepat hingga sukar untuk dielakan.

"Tok, tok, tok!"


"Bocah, kau selesaikan kelima orang itu, 

biar aku menyelesaikan orang ini dulu." Habis 

berkata begitu pada Bocah Kembaran Setan, se-

gera Nok Jenah melesat pergi dengan membawa 

tubuh pimpinan begal yang dalam keadaan ping-

san.

Bocah Kembaran Setan masih terus me-

nyerang tanpa mengenai ampun bagi kelima 

orang yang tersisa. Maka dalam sekejap mata sa-

ja, kelima orang begal-begal tersebut akhirnya sa-

tu persatu menemui ajal dengan darah kering 

terhisap dari tubuhnya dan mata melotot.

Bareng dengan orang yang terakhir me-

mekik, terdengar pula lenguhan panjang dari ba-

lik semak-semak. Lenguhan kenikmatan yang ke-

luar dari mulut Nok Jenah yang saat itu entah 

sedang berbuat apa.

Mendengar lenguhan panjang, seketika 

Bocah Kembaran Setan melesat ke arah datang-

nya suara tersebut. Nampak oleh Bocah Kemba-

ran Setan pemandangan yang begitu mengesan-

kan dirinya. Pemandangan yang belum pernah ia 

lihat sebelumnya, di mana tubuh mulus nan in-

dah milik seorang wanita selain ibunya terpam-

pang di depan matanya.

"Bocah! Mengapa engkau ke mari?!" tanya 

Nok Jenah kaget sambil berusaha menutupi au-

ratnya dengan kedua tangannya.

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, 

lalu dengan cepat menuju ke arah Nok Jenah 

berdiri mematung. Setelah jaraknya agak dekat, 

Bocah Kembaran Setan tiba-tiba berubah menjadi


seorang pemuda tampan yang tak lain Genjati 

adanya. Mata Genjati memandang nanar pada tu-

buh Nok Jenah yang telanjang, napasnya mem-

buru.

"Kau...! Kaukah bocah itu?" Nok Jenah 

terpana, demi melihat seorang pemuda tampan 

tiba-tiba muncul di hadapannya. Karena saking 

kagetnya Nok Jenah pun lupa pada keadaan tu-

buhnya. Kedua tangan yang menutupi auratnya

terbuka, sehingga kini Genjati makin nampak me-

lototkan mata dengan meleletkan lidah.

"Nok Jenah, kau cantik sekali," puji Gen-

jati seraya mendekat ke arah Nok Jenah yang ma-

sih terpana dalam diam. Ia tak menyangka kalau 

Bocah Kembaran Setan, ternyata seorang pemuda 

tampan. Kini Nok Jenah tak dapat berkata-kata, 

dirinya terpaku diam dengan sesekali melenguh.

Genjati yang kini menjadi ujud seorang 

dewasa, tak dapat lagi menahan nafsunya. Begitu 

pula dengan Nok Jenah, ia nampak dengan se-

nang menerima kemesraan yang dilancarkan oleh 

Genjati. Tak lama kemudian, kedua tubuh itu te-

lah menjadi satu saling gumul dalam keheningan. 

Dan akhir dari semuanya, adalah erangan dan 

lenguhan nikmat Nok Jenah.

* * *

"Orang ini harus aku bunuh, Jenah," 

Genjati berkata setelah kembali ke asalnya Bocah 

Kembaran Setan. Dan Nok Jenahpun kini telah 

kembali mengenakan pakaiannya.


"Memang, Genjati. Kalau ia tidak dibu-

nuh, aku takut dia akan membocorkan rahasia 

kita."

"Oar...!" Bocah Kembaran Setan mengoar, 

lalu tubuhnya melesat mencengkeram tubuh 

pimpinan begal diangkatnya tubuh pimpinan beg-

al yang masih dalam keadaan tertotok, dan den-

gan cepat digigitnya leher orang tersebut hingga 

tembus.

"Crooot...!"

Darah segar muncrat dari leher pimpinan 

begal, yang segera disambut dengan cepat oleh 

Bocah Kembaran Setan. Dalam sekejap saja, tu-

buh pimpinan begal itu lemas dengan darah ker-

ing dari tubuhnya.

"Bagus!" Nok Jenah berseru girang. 

"Nok Jenah, aku minta kau jangan mela-

kukan apa yang engkau inginkan dengan orang 

lain," terdengar suara Genjati berkata, sepertinya 

ia cemburu bila melihat Nok Jenah mengadakan 

persetubuhan dengan lelaki Iain. "Aku mengin-

ginkan hanya padaku saja kau pasrahkan sega-

lanya, Jenah."

"Baik, aku akan memasrahkan segalanya 

padamu. Asalkan engkau pun berjanji padaku 

pula."

"Janji apakah itu, Jenah?" 

"Kau harus mau membantuku." 

"Oh, bukankah aku selalu membantu-

mu?" 

"Ya! Tapi ini masalah yang menyangkut 

kakek bocah yang engkau tumpangi," Nok Jenah


menerangkan. "Aku memendam sakit hati pada 

kakeknya bocah yang engkau tumpangi. Kakek-

nya bayi itu bernama Pramanayuda, seorang pen-

dekar yang sakti dengan senjatanya berupa pe-

dang bernama Sukma Layung. Karena kehebatan 

pedang tersebut, Pramana digelari Pendekar Pe-

dang Sukma Layung."

Bocah Kembaran Setan terdiam menden-

garkan penuturan Nok Jenah. Matanya berbinar-

binar, sepertinya ia merasakan adanya sesuatu 

getaran hebat dalam hatinya. Getaran pertarun-

gan antara rasa harus berterima kasih pada ke-

luarga si bocah yang tubuhnya digunakan untuk 

sukmanya, dengan getaran cinta yang dilandasi 

nafsu menggebu pada seorang wanita cantik Nok 

Jenah yang telah ia setubuhi.

"Haruskah aku memilih di antara kedua-

nya," gumam Bocah Kembaran Setan dalam hati. 

Matanya masih memandang redup pada Nok Je-

nah. "Kalau aku tak mengikuti kehendaknya, pas-

tilah aku tak akan mendapatkan apa yang aku 

inginkan. Tapi jika aku mengikuti kemauannya, 

tentunya aku sebuah mahluk yang tak mengerti 

balas budi."

"Sebenarnya pada siapa dendammu itu, 

Jenah?" tanya Genjati setelah lama terdiam mere-

nung. "Apakah hanya pada Pramana saja?"

"Sebenarnya aku ingin semua keluarga 

Pramana. Tetapi mungkin kau tidak tega dengan 

ibu angkatmu yang bergelar Ratu Maksiat Telaga 

Warna atau Penguasa Bukit Karang Bolong, bu-

kan?"


"Ya! Dia telah mengandung diriku selama 

sembilan bulan."

"Baiklah! Aku hanya minta nyawa Pra-

manayuda saja."

"Hem, begitu?" tanya Genjati ingin kepas-

tian.

Nok Jenah menganggukinya.

"Kalau hanya itu, ayo kita segera ke sa-

na!" ajak Genjati.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, ke-

dua manusia beda bentuk itu melesat dengan ce-

patnya laksana terbang. Bocah Kembaran Setan 

terbang, menjajari diri Nok Jenah yang berlari 

dengan cepatnya. Cambuk Perak Seribu masih 

tergenggam di tangannya. Dan cambuk itulah 

yang bakal mengalahkan Pedang Sukma Layung. 

Kedua tubuh itu melesat, menerobos malam yang 

pekat. Angin malam pun berderak, menerpa anta-

ra pepohonan.


DELAPAN



Rumah Pramanayuda kini nampak berse-

ri dengan kembalinya dua anak-anaknya. Rumah 

yang dulu sepi dan senyap, dan hanya ada suara-

suara murid-murid Pramanayuda yang berlatih 

kini terpecah dengan gelak tawa keluarga Prama-

nayuda. Tegalaras dan Ningrum atau si Penguasa 

Bukit Karang Bolong telah kembali berkumpul 

dengan keluarganya.

Malam itu nampak di ruang tamu, seluruh keluarga Pramanayuda berkumpul. Duduk di 

kursi besar Pramanayuda, di sampingnya duduk 

pula sang istri. Sementara kedua anak-anaknya 

yang tidak lain Tegalaras dan Ningrum duduk di 

depan mereka.

"Ningrum, bagaimana dengan Bocah ter-

sebut? Apakah engkau akan membiarkan bocah 

tersebut berbuat semaunya?" Pramana berlanjut 

setelah untuk sekian lama hanya diam duduk 

merenung.

"Benar adikku. Kalau bocah terus dibiar-

kan, niscaya korban akan terus berjatuhan," Te-

galaras turut menyambungi ucapan ayahnya. 

"Namun aku belum berani bertindak, sebab se-

muanya telah ditangani oleh Jaka."

"Siapa Jaka itu, Kakang?" Ningrum yang 

bertanya. Ia sepertinya pernah mendengar nama 

tersebut. Ia lupa-lupa ingat, di mana ia pernah 

bertemu dengan orang yang bernama Jaka? "Apa-

kah dia seorang pemuda, Kakang?"

Mata Tegalaras membeliak, begitu juga 

mata ayah dan ibunya. Mereka tersentak kaget 

demi mendengar Ningrum menebak siapa adanya 

pendekar muda sakti. Sebenarnya Ningrum sendi-

ri tengah memikirkan di mana dirinya pernah 

mendengar nama Jaka. (Baca Penguasa Bukit Ka-

rang Bolong) di mana Ningrum pernah bersua 

dengan Jaka manakala ia dengan gurunya meng-

hajar paman gurunya, yang tak lain guru Tiga Ib-

lis Kelangit.

"Kau seperti telah mengetahuinya, adik-

ku?"


"Ya! Aku memang pernah berjumpa den-

gan pemuda tampan yang menyebut dirinya Ja-

ka... Jaka Ndableg, bukan?" Ningrum balik ber-

tanya 

"Eh rupanya kau mengenal nama pan-

jangnya Adikku," terheran-heran Tegalaras men-

dengar ucapan Ningrum yang telah menerka na-

ma Jaka Ndableg. "Bagaimana kau mengenalnya, 

Adikku? Sedangkan di Bukit Karang Bolong kau 

dalam keadaan tak sadar manakala pendekar itu 

menghancurkan suamimu si Setan Rambut Putih 

yang tak lain iblis tersebut?"

"Aku mengenalnya bukan di Bukit Karang 

Bolong, Dan waktu itu pun aku dalam keadaan 

sadar sepenuhnya." Ningrum kembali merenung, 

berpikir di mana dia pernah menjumpai Jaka 

Ndableg yang kini ia ketahui adalah sahabat ka-

kaknya. Sesaat setelah tercenung Ningrum pun. 

berkata kembali: "Ya, aku ingat sekarang. Aku 

mengenalnya dan sekaligus merasakan jatuh cin-

ta manakala aku dengan guruku Ratu Kelabang 

Ungu menggempur paman guruku yang ternyata 

guru dari Serangkai Iblis Kelangit yang telah 

memperkosaku. Oh, aku lupa tidak menghukum 

Rengkana biadab itu."

"Dia sudah mendapatkan hukumannya, 

Adikku," Tegalaras menghibur adiknya yang tiba-

tiba kembali sedih. "Kini mukanya telah hancur 

terkena oleh pukulanku." 

"Benarkah itu kakang?"

"Benar, adikku."

Kembali ruangan itu hening untuk se


saat, lalu kembali terdengar suara Pramanayuda 

berkata: "Kini pendekar muda itu di mana, Teg-

al?" 

"Entahlah, Ayah," jawab Tegalaras . "Dia 

hanya berpesan padaku waktu kejadian gegernya 

Ratu Maksiat Telaga Warna, agar aku mengurusi 

Ningrum dan dia akan memburu Bocah Kemba-

ran Setan tersebut."

"Hem, sungguh dia seorang pendekar se-

jati, Anakku. Dia tanpa pamrih dalam menjalan-

kan tugasnya. Ilmunya sungguh tiada tanding un-

tuk sekarang ini, atau di masa-masa kemudian," 

Pramanayuda menggumam sendiri.

"Sungguh aku ingin sekali berkenalan 

dengannya. Aku memang telah mendengar na-

manya, namun aku belum dapat melihat pemuda 

itu dalam arti wajahnya."

"Dia berwajah tampan ayah," Ningrum 

yang menjawab, menjadikan Pramanayuda dan 

anak lelakinya Tegalaras serta ibunya meman-

dang terbengong ke arahnya. Ningrum tersipu-

sipu malu. "Maafkan Ningrum. Ningrum me-

mang...." Ningrum tak meneruskan ucapannya. 

Seketika Ningrum tundukkan kepala, tak berani 

memperlihatkan roman merah dan binar-binar 

keceriaan di wajahnya.

Pramanayuda yang memahami hati 

anaknya, nampak menarik napas panjang. Dita-

tapnya lekat sesaat Ningrum yang tertunduk, lalu 

berpindah ke arah Tegalaras. Kemudian berganti 

pada istrinya, dan berkata: "Kau mencintainya, 

Anakku?"


Ningrum terjengah, tengadahkan wajah. 

Dari kedua matanya seketika melelehkan air ben-

ing. Ningrum menangis, menjadikan kakak dan 

kedua orang tuanya tersentak kaget. Tegalaras 

yang tak tega bertanya menghiburnya.

"Adikku, kenapa engkau menangis?"

"Aku sedih, kenapa diriku hancur? Mana-

lah mungkin Jaka mau menerima diriku?" Nin-

grum makin mengeraskan isak tangisnya.

"Kau tidak boleh berkata begitu, Adikku. 

Itu namanya putus asa. Dan bila orang telah pu-

tus asa, bukankah engkau pernah mengalaminya 

sendiri? Iblis akan dengan mudah merasuki ji-

wamu. Janganlah kau bersedih, aku akan beru-

saha agar Jaka mau menerima dirimu."

"Benarkah itu, Kakang?" Ningrum sedikit 

tenang mendengar ucapan kakaknya. "Benarkah 

engkau akan meminta pada Jaka agar dia mau 

menerima diriku?"

"Akan aku lakukan, Ningrum."

Tanpa sadar Ningrum yang diliputi rasa 

gembira segera menghambur memeluk tubuh Te-

galaras. Keceriaan kembali tergambar di wajah-

nya. Keceriaan Ningrum, menjadikan keceriaan di 

wajah seluruh keluarganya.

* * *

Tengah keluarga Pramana dalam luapan 

kegembiraan, tiba-tiba di luar terdengar keribu-

tan. Pramana dan seluruh anaknya nampak ter-

sentak, apalagi ketika terdengar jeritan dari mu


rid-muridnya.

"Aaaah...!"

"Guru...! Bencana datang...!"

"Ada apakah di luar?!"

Pramana segera berkelebat ke luar diikuti 

oleh kedua anak-anaknya. Betapa terkejutnya 

Primanayuda, manakala melihat dua orang ma-

nusia yang telah ia kenal benar siapa adanya ten-

gah melakukan pengacauan. Salah seorang dari 

manusia tersebut, tak lain Nok Jenah. Sedangkan 

yang satunya adalah Bocah Kembaran Setan.

"Hentikan!" bentak Pramanayuda.

Seketika semua yang tengah bertarung 

menghentikan pertarungannya. Mata mereka se-

ketika memandang ke arah di mana datangnya 

suara bentakan tersebut. Nok Jenah yang tahu 

Pramana nampak cibirkan bibir sinis, lalu dengan 

congkaknya ia bergelak tawa dan berkata.

"Hua, ha, ha...! Pramanayuda, dua puluh 

lima tahun aku mendekam dalam himpitan batu. 

Dua puluh lima tahun pula aku mencari ilmu dan 

senjata yang mampu menghadapi senjata milik-

mu. Kini aku datang untuk menuntut hutangmu 

padaku, sekaligus bunganya."

"Perempuan Iblis! Rupanya engkau tiada 

jemu melakukan keonaran. Apakah engkau masih 

penasaran dengan penolakan cintaku?" Prama-

nayuda balik sinis berkata: "Aku sudah tua, un-

tuk apa lagi engkau mendendam. Bukankah den-

gan ilmu iblismu engkau mampu mendapatkan 

pria yang engkau kehendaki?"

Merah seketika wajah Nok Jenah men


dengar sindiran Pramanayuda. Matanya tajam 

memandang bengis ke arah Pramanayuda dan 

dua orang anaknya yang sudah kesohor na-

manya. Tapi dengan Cambuk Perak Seribu di tan-

gannya, seakan kebesaran nama Pramanayuda 

dan kedua orang anaknya bagaikan tiada arti. 

Sepertinya Cambuk Perak Seribu akan mampu 

menghadapi mereka semuanya.

Sementara itu Bocah Kembaran Setan 

nampak terdiam mengambang di angkasa. Ia mu-

lai meragu, manakala melihat Ningrum yang me-

rupakan ibu angkatnya berdiri memandang ke 

arahnya dengan pandangan sayu. Tak terasa Bo-

cah Kembaran Setan seketika menangis, layaknya 

tangisan seorang bocah yang rindu pada ibunya.

"Cuih! Aku datang ke sini bukan untuk 

mengemis cinta bulukan darimu! Aku datang ke 

sini untuk mengambil nyawamu yang telah tua 

dan rapuh itu, Pramana!" bentak Nok Jenah sen-

git.

"Hem, begitu?" Pramanayuda masih 

nampak tenang. "Kalau itu yang engkau mau, 

mengapa engkau membawa-bawa bocah itu ke 

mari dan mesti membunuh anak muridku yang 

tiada dosa!"

"Hi, hi, hi...! Kau rupanya takut pada cu-

cumu sendiri, Pramana. Baik! Aku tak akan me-

nyuruhnya menyerangmu. Mari kita lanjutkan ke-

jadian dua puluh lima tahun yang silam." 

"Apa maumu aku turuti, iblis!" 

Pramana segera melompat masuk ke ru-

mah, sementara kedua anaknya nampak masih


berjaga-jaga. Sebenarnya Tegalaras sudah tak sa-

bar hendak menghajar perempuan iblis tersebut, 

begitu juga halnya dengan Ningrum si Penguasa 

Bukit Karang Bolong. Tapi karena ia menyadari 

bahwa si nenek yang cantik itu menghendaki 

ayahnya, maka sebagai anak dan sebagai seorang 

pendekar ia tidak mau gegabah turut campur 

dengan urusan orang tua mereka.

Tak lama kemudian dari dalam rumah 

Pramanayuda kembali melompat ke luar. Pedang 

Sukma Layung telah tergenggam di tangannya. 

Dengan pedang tersebut, kini Pramanayuda telah 

siap menghadapi segala resiko apapun.

"Mari kita mulai!" Pramanayuda mence-

lat, pergi menjauh menuju ke lapangan yang bi-

asanya digunakan untuk berlatih murid-

muridnya diikuti oleh Nok Jenah yang tangannya 

sudah siap dengan Cambuk Perak Seribunya.

Dua orang musuh bebuyutan karena cin-

ta itu kini berhadap-hadapan dengan senjata 

masing-masing. Sejenak keduanya saling pan-

dang, seakan ingin menjajagi ilmu yang mereka 

miliki masing-masing.

"Siapa yang akan mendahului, Jenah?"

"Kau! Sebab kaulah tuan rumahnya," ja-

wab Jenah menyombong.

"Baik! Bersiaplah! Jangan sampai kau ka-

lah untuk yang kedua kalinya, sebab sia-sia eng-

kau menimba ilmu pada Ratu Siluman Ular San-

ca."

Nok Jenah mendengus marah, manakala 

Pramanayuda menyebut nama Ratu Siluman Ular


Sanca. Ternyata Pramanayuda telah mengetahui 

siapa adanya orang yang kini mendampinginya. 

Maka untuk menutupi kekagetannya Nok Jenah 

membentak: "Diam! Jangan engkau sebut Ratu-

ku! Apakah engkau takut, Pramana?"

"Pantang bagiku untuk mengenal takut, 

Jenah."

Setelah berkata begitu, segera Prama-

nayuda dengan pedang pusaka Sukma Layung 

berkelebat, menyerang ke arah Nok Jenah. Seran-

gannya begitu cepat, tak ubahnya manakala ma-

sih remaja saja. Hal itu menjadikan Nok Jenah 

terkesiap kaget, hampir pedang Layung Sukma 

menghantam dirinya kalau saja Nok Jenah tidak 

segera mencelat menghindar.

"Edan! Ternyata ilmu Pramana makin 

bertambah," gumam Nok Jenah membatin. Segera 

ia kibaskan Cambuk Perak Seribunya, yang tiba-

tiba berubah menjadi ular kecil-kecil beracun. 

"Pramana, terimalah kematianmu, 

hiat...!" 

Nok Jenah berkelebat dengan Cambuk 

Perak Seribunya yang telah berubah menjadi ular 

berjumlah ribuan. Ular-ular itu mendesis-desis, 

menyerang ke arah Pramana. Pramana yang su-

dah banyak makan garam, tak mau begitu saja 

mengalah. Segera ia kibaskan Pedang Sukma 

Layung. Asap keluar mengepul, bergulung-gulung 

menutupi dirinya.

Ular-ular kecil berjumlah seribu itu teriak 

kaget, mendesis panjang dan akhirnya lenyap. 

Hal itu menjadikan Nok Jenah kaget bukan alang


kepalang, ternyata asap yang keluar dari Pedang 

Sukma Layung mampu menghilangkan ilmu si-

hirnya. Namun Nok Jenah tak mau mengalah be-

gitu saja, kini tangannya yang sebelah kiri beru-

bah menjadi seekor ular besar dan panjang. Ular 

tersebut mendesis-desis, mematuk-matuk ke arah 

Pramanayuda.

Pramanayuda kembali kibaskan pedang 

nya, kali ini makin cepat. Asap hitam legam kem-

bali mengepul, makin banyak hingga menyerupai 

benteng yang sukar untuk ditembus. Hal itu men-

jadikan Ular yang terjadi dari tangan Nok Jenah 

tak mampu menembus kabut tebal itu, bahkan 

kini ulat tersebut merasakan adanya sesuatu ke-

anehan. Ular itu menggelepar-gelepar dan hilang 

berubah kembali pada asalnya.

"Bedebah! Jangan kira kau akan menang, 

Pramana!" bentak Nok Jenah marah. Segera ia 

sabetkan Cambuk Perak Seribunya, menjadikan 

kabut penghalang itu seketika hilang.

Nok Jenah tak hanya sampai di situ. Ia 

segera kembali hantamkan Cambuk Perak Seribu 

ke arah Pramana. Larikan jarum-jarum kecil 

menderu, menyeruak ke arah Pramanayuda.

"Ah...!" Pramanayuda tersentak dan beru-

saha menghindar. Namun jarum-jarum beracun 

itu melesat dengan cepatnya. Dan manakala ja-

rum-jarum itu hendak menghantam tubuh Pra-

mana, tiba-tiba sebuah petir menggelegar berkali-

kali. Petir itu seketika meluluh lantakan jarum-

jarum tersebut.

"Bangsat! Siapa yang telah berani kurang


ajar!" maki Nok Jenah marah. Nok Jenah lempar-

kan tubuh ke belakang, hindari serangan petir 

yang menyala.

"Duar! Bletar, bletar! Bletar!"

"Keluar kau, kunyuk!" Nok Jenah mema-

ki-maki.

Akan tetapi orang yang dimaksudkannya 

tak segera menampakkan dirinya. Betapa gusar 

Nok Jenah seketika, yang dengan segera hantam-

kan ajiannya ke asal suara petir.

"Wuuut...!"

Angin pukulan yang dilontarkan Nok Je-

nah menderu, melesat dengan cepatnya ke arah 

sebuah pohon yang rindang. Dan sesaat kemu-

dian, terdengar ledakan dahsyat yang menjadikan 

pepohonan itu hancur berantakan.

"Duar...! Bum...!"

"Hua, ha, ha...! Ternyata kalian harus 

mampus juga!" Nok Jenah bergelak tawa, me-

nyangka kalaulah orang tersebut telah binasa 

bersama hancurnya pepohonan itu. "Bocah! Cari 

kedua kunyuk-kunyuk pengecut itu!"

Bocah Kembaran Setan yang adalah Gen-

jati adanya segera melesat menuju di mana pepo-

honan itu hancur berantakan. Namun seketika 

Bocah Kembaran Setan mental kembali sebelum 

tubuhnya sampai ke tempat tersebut bagaikan 

ada yang mendorongnya. Marahlah Bocah Kem-

baran Setan bukan alang kepalang. "Oar...!"

Bocah Kembaran Setan kembali melesat 

menuju ke tempat yang telah mengeluarkan do-

rongan angin besar, yang telah mampu melontar


kan tubuhnya.

"Bocah iblis! Rupanya kau masih berani 

menuju ke mari!" terdengar bentakan seorang pe-

muda. "Terimalah ini untukmu, Bayu Dewa. 

Hiat...!"

Wut...! kembali angin menderu dengan 

kencang dan besar, menerpa tubuh Bocah Kem-

baran Setan yang saat itu tengah melayang menu-

ju ke arah datangnya angin tersebut. Tak ayal la-

gi, tubuh Bocah Kembaran Setan kembali balik 

mental ke belakang. Hampir saja tubuh bocah 

tersebut jatuh ke tanah, kalau saja tidak segera 

Nok Jenah menangkapnya.

"Kunyuk-kunyuk pengecut, keluar ka-

lian!" Nok Jenah tak hiraukan lagi Pramanayuda. 

Ia dengan geram kembali hantamkan pukulannya 

ke arah datangnya angin topan yang mampu me-

nerpa tubuh Bocah Kembaran Setan.

"Wut...! Duar..!"

Kembali pohon yang terkena hantaman 

meledak, lalu tumbang dengan keadaan hancur 

berkeping-keping. Tapi ternyata orang yang dituju 

tak terkena, malah kini terdengar gelak tawa dari 

seorang pemuda.

"Hua, ha, ha...! Perempuan tolol! Kenapa 

kau rusak pepohonan yang tidak bersalah! Aku 

ada di belakangmu!"

Tersentak semua yang ada di situ terma-

suk Nok Jenah, manakala dengan secara tiba-tiba 

di belakang tubuhnya telah berdiri seorang pe-

muda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya. Jaka 

Ndableg tersenyum, seakan ingin menunjukkan


kendablegannya.

"Siapa kau, anak muda!" bentak Nok Je-

nah setengah kaget.

"Aku... ha, ha, ha...! Aku adalah Jaka 

Ndableg. Seorang pemuda klontang klantung, 

yang suka usilan pada orang-orang usil seperti-

mu."

Mata Bocah Kembaran Setan yang berada 

dalam gendongan Nok Jenah nampak ketakutan. 

Dia telah tahu sendiri siapa adanya pemuda ter-

sebut. Seorang pemuda yang merupakan anak 

angkat Ratu Kehidupan bangsa lelembut. 

"Oaar....!"

"Jangan takut, bocah! Aku akan meng-

hancurkannya."

"Oaar..!" Bocah Kembaran Setan kembali 

mengoar, sepertinya memberitahukan bahwa pe-

muda itu bukanlah musuh mereka. Tapi Nok Je-

nah yang sudah marah tak mau perduli. 

"Ayo kita serang dia!" perintah Nok Je-

nah. Dengan agak takut-takut Bocah Kembaran 

Setan pun segera melesat berbareng dengan Nok 

Jenah menyerang Jaka Ndableg. Namun belum 

juga tubuh mereka sampai, sebuah bayangan 

berkelebat menghadangnya. Tak ayal lagi tubuh 

keduanya mental ke belakang, tertimpa oleh an-

gin yang besar dari tangan orang yang baru da-

tang. Mata Nok Jenah seketika membelalak kaget, 

manakala tahu siapa adanya yang datang.

"Guru...! Ayah...!"

"Aku bukan ayahmu, iblis!" menderak le-

laki tua tersebut.


"Ki Bedah Jagad!" Pramana tak kalah ka-

getnya. "Ah, rupanya kabar itu hanya isu belaka. 

Ternyata engkau masih hidup, Ki? Sungguh aku 

merasa bersyukur."

"Saudara Pramana, biarkanlah kami ber-

dua menangani mahluk-mahluk iblis ini," memin-

ta Bedah Jagad. "Ayo, Jaka...!"

Tanpa menunggu jawaban dari Prama-

nayuda, segera keduanya berkelebat menyerang. 

Jaka Ndableg menyerang Bocah Kembaran Setan, 

sementara Bedah Jagad yang sudah merasa ma-

rah pada bekas anak angkatnya menyerang Nok 

Jenah. Serangan kedua pendekar kakak beradik 

seperguruan itu begitu cepat, menjadikan kedua 

iblis berbentuk manusia tak mampu untuk mem-

balas menyerang.

"Ayah! Kalau engkau terus menyerang, 

jangan salahkan aku bertindak!" ancam Nok Je-

nah marah.

"Lakukan bila kau mampu!" balas Bedah 

Jagad.

"Kau lihat ini, bukan?!"

Tersentak Bedah Jagad, manakala meli-

hat senjata milik istrinya. Ia tahu, kalau dirinya 

tak akan mampu menghadapi senjata tersebut.

"Cambuk Perak Sewu! Dari mana kau 

mendapatkannya, iblis!"

"Hi, hi, hi...! Aku mendapatkannya dari 

istrimu. Istrimu sebenarnya akulah yang meracu-

ni. Hi, hi, hi....! Tapi waktu itu dia tidak memberi-

tahukan di mana adanya cambuk ini," Nok Jenah 

cekikikan, mengacungkan cambuk tersebut ke


arah Bedah Jagad yang segera mundur. "Kini 

cambuk ini akan menghabiskan nyawamu!"

"Kakang, minggirlah! Biarkan aku meng-

hadapi kedua-duanya!"

Jaka Ndableg segera mencelat, mengha-

dang Nok Jenah yang telah siap dengan cambuk-

nya. Sementara Bedah Jagad yang mengerti kea-

daan tidak mau mengotot. Segera ia pun berkele-

bat mencelat ke belakang dan berdiri di samping 

Pramanayuda menonton.

"Ayo kalian berdua majulah, biar aku 

dengan segera membereskan tikus-tikus busuk 

macam kalian!"

Gusar dan marah Nok Jenah dan Bocah 

Kembaran Setan demi mendengar nama mereka 

disebut oleh Jaka Ndableg tikus-tikus busuk. 

Dengan menggeram, keduanya berkelebat menye-

rang Jaka berbarengan. Diserang begitu rupa, ti-

dak menjadikan Jaka kebingungan. Malah den-

gan gelak tawa Jaka menghindar dan balik me-

nyerang.

"Oar...!"

"Aku hancurkan tubuhmu pemuda som-

bong!" bentak Nok Jenah.

Dengan bareng kedua mahluk iblis ber-

bentuk manusia itu berkelebat menyerang Jaka. 

Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa, me-

lenting bersalto. Kemudian setelah dirinya tinggi 

di angkasa, Jaka segera hantamkan ajiannya. 

"Tapak Prahara, hiat...!"

Kedua musuhnya hanya tersenyum men-

dengar Jaka lontarkan ajiannya yang dahsyat ter


sebut. Bahkan keduanya kini bergelak tawa.

"Hua, ha, ha...! Keluarkan ribuan ajian 

macam itu, anak sombong!"

"Oar...!"

Bocah Kembaran Setan nekad mengha-

dang laju gumpalan api yang keluar dari tangan 

Jaka Ndableg, hingga dalam sekejap saja tubuh 

Bocah tersebut terkurung oleh api yang menyala-

nyala.

Mata semua yang ada di situ terperanjat 

melihat Jaka telah mengeluarkan ajiannya. Lebih 

terperanjat lagi manakala melihat api inti itu me-

nyelimuti tubuh Bocah Kembaran Setan yang 

nampaknya tidak mengalami apa-apa.

Manakala kesemuanya dalam keterkeju-

tan, tiba-tiba Jaka berseru: "Dening Ratu Siluman 

Darah, datanglah!" Sebuah Pedang bersinar ku-

ning kemerah-merahan tiba-tiba telah berada di 

tangan Jaka Ndableg.

"Hiat...!" Jaka Ndableg berkelebat dengan 

Pedang Siluman Darah siap menyerang. Tubuh 

Jaka melompat bagaikan terbang, lalu dengan ce-

pat babatkan pedang Siluman Darah ke arah gu-

lungan api tersebut,

"Aaaah....!" terdengar lengkingan me-

nyayat bersamaan dengan musnahnya api. Tubuh 

Bocah itu tidak mengalami apa-apa, namun kini 

tubuh bocah tersebut merosok turun ke bawah. 

Jaka dengan segera menyambar dan memba-

wanya ke arah keluarga Pramana masih tegak 

berdiri.

"Bocah sombong! Kau telah membunuh


kekasihku!" Nok Jenah mencak-mencak marah, 

lalu berkelebat dengan Cambuk Perak Sewunya 

menyerang Jaka yang tengah menuju ke keluarga 

Pramanayuda.

Jaka yang tidak ingin orang lain menjadi 

sasaran, segera berkelebat menghindar. Jaka 

urungkan menyerahkan bayi itu ke Ningrum, dan 

kini ia masih membopong bayi dengan tangan ki-

rinya sementara tangan kanannya menggenggam 

Pedang Siluman Darah. Jaka segera berkelebat 

cepat memapaki serangan jarum-jarum yang akan 

mengancam orang-orang yang berada di bela-

kangnya.

Wuuut...! Jaka babatkan pedang. Seketi-

ka luluh lantahlah jarum-jarum maut yang keluar 

dan Cambuk Perak Sewu. Hal itu menjadikan Nok 

Jenah membeliakkan mata kaget, tak percaya 

bahwa senjata yang sangat diagung-agungkan 

ternyata tak berarti apa-apa bila harus berhada-

pan dengan Pedang Siluman Darah di tangan Ja-

ka. "Nok Jenah, bersiaplah. Hiat...!" 

Dengan tangan kiri membopong bayi dan 

tangan kanan menggenggam pedang Jaka berke-

lebat kiblatkan Pedang Siluman Darah ke arah 

Nok Jenah. Laju Pedang Siluman Darah yang be-

rada di tangan Jaka begitu cepat, sehingga Nok 

Jenah yang bermaksud menghindar tak mampu 

bergerak. Nok Jenah mati langkah, sehingga tan-

pa ampun lagi...

"Aaaaah...!" Nok Jenah menjerit, tubuh-

nya terpangkal jadi dua. Darahnya mengering 

terhisap dari tubuhnya oleh Pedang Siluman Da


rah.

Tubuh itu seketika mengepulkan asap. 

Setelah asap menghilang, tampaklah wajah keri-

put yang menakutkan. Itulah wajah asli Nok Je-

nah, yang tidak lain Iblis Ular Sanca.

Jaka melangkah lemah menuju ke Nin-

grum. Bayi dalam gendongannya tertidur pulas, 

sepertinya sang bayi tengah mengalami mimpi 

yang panjang.

"Ini anakmu," Jaka sodorkan bayi dalam 

dukungannya ke ibunya yang memandang den-

gan mata penuh arti. Jaka tersentak kaget meli-

hat tatapan mata Ningrum yang kini menjadi seo-

rang gadis cantik jelita, bukan Ningrum Penguasa 

Bukit Karang Bolong atau Ningrum Ratu Maksiat 

Telaga Warna. "Kau...?" lidah Jaka kelu.

Ningrum hanya mampu menundukkan 

kepala, tak berani memandang Jaka. Suasana ha-

ru dan sendu pun seketika menyelimuti mereka. 

Semuanya diam, membisu bagaikan menghayati 

diri mereka sendiri.


                               TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar