..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE MISTERI BUNGA MAWAR KEMATIAN

Misteri Bunga Mawar Kematian

 

MISTERI BUNGA MAWAR KEMATIAN

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh id buku ini tanpa izin 

tertulis dari penerbit

128 hal.; 12 x 18 cm


SATU


Langit di atas alun-alun kerajaan Kurda 

Rumajang merah membara, sepertinya terbakar 

oleh api yang begitu menyala-nyala. Pertempu-

ran satu kerajaan melawan dua musuhnya terus 

berjalan. Korban banyak sudah berguguran, na-

mun kesemuanya tak menjadi hambatan bagi para 

prajurit-prajurit ketiga kerajaan itu untuk 

terus mengadakan pertempuran.

"Serbu...!"

"Serang...!"

"Jangan biarkan pemberontak-pemberontak 

itu hidup!"

Itu semua merupakan sebagian pekikan-

pekikan dari para prajurit kerajaan Pesisir 

Putih dan kerajaan Wetan Segara. Dua kerajaan 

itu dipimpin oleh kakak beradik. Kerajaan Pe-

sisir Putih, dipimpin oleh seorang raja ber-

nama Prabu Wulung Seta. Sementara kerajaan 

Wetan Segara, dipimpin oleh adik Wulung Seta 

yang bernama Amurwa Sakti. Keduanya merupakan 

kakak beradik, satu ayah lain ibu.

Dari kejauhan seorang gadis berdiri me-

matung. Rupanya gadis itu tengah menyaksikan 

pertempuran yang berlangsung. Gadis itu ber-

nama Angelir, puteri dari Kurda Rumajang anak 

Prabu Amuk Mungkur.

Setelah sesaat terdiam memperhatikan 

dari kejauhan pertempuran itu, Angelir berge-

gas pergi. Langkahnya begitu cepat, seper-

tinya terburu-buru menuju ke keraton.

"Ayah, kenapa dua kerajaan itu mesti 

memusuhi kita?" tanya Angelir pada ayahnya


Ditanya begitu oleh putrinya, Amuk 

Mungkur hanya terdiam. Ditatapnya lekat-lekat 

wajah sang putri, ditariknya napas panjang.

"Kenapa ayah terdiam?" kembali Angelir 

bertanya.

"Ayah tak dapat menjawabnya, Anak-ku," 

Amuk Mungkur akhirnya membuka suara. Lewat 

suara itu, seakan ada desah berat yang meng-

ganjal di kerongkongannya.

"Mengapa, ayah...?" kembali Angelir 

bertanya. Ia merasa jawaban ayahnya tak memu-

askan, seakan masih ada teka-teki yang menye-

limuti. "Apakah ayah pernah bersalah pada me-

reka?"

Amuk Mungkur tertunduk mukanya. Kembali 

ditariknya napas panjang-panjang. Dari ma-

tanya tak terasa menetes air mata.

"Anakku... Sebenarnya ayah bermaksud 

merentangkan sayap, agar kerajaan ini makin 

melebar. Maka itulah, ayah bermaksud me-

naklukkan dua kerajaan sebelah. Kau adalah

anak tunggalku, yang kelak menggantikan kedu-

dukan ayah. Kau harus mampu meneruskan cita-

citaku," kata Amuk Mungkur setelah sesaat 

terdiam.

Mendengar penuturan ayahnya, seketika 

Angelir mendongakkan kepalanya. Dipandangi 

wajah ayahnya dengan rasa bangga, lalu dengan 

mata berlinang Angelir berkata: "Semua petuah 

ayah akan Angelir lakukan. Hari ini juga, An-

gelir akan turut serta membantu dengan cara 

Angelir sendiri. Angelir minta do'a restu, 

Ayah."

"Kau mau apa, Anakku?"

"Angelir ingin mengadu domba kedua raja 

itu, Ayah."


"Kau mampu...?" tanya Amuk Mungkur sea-

kan tak yakin.

Angelir hanya mengangguk, menjadikan 

seulas senyum di bibir ayahnya, Amuk Mungkur. 

Perlahan Amuk Mungkur berdiri dari singgasa-

nanya, mendekati Angelir yang terduduk ber-

simpuh di atas permadani.

Dengan penuh kasih sayang, dibelainya 

kepala sang anak. Diajaknya Angelir bangun, 

dituntunnya melangkah ke singgasana. Lalu 

dengan penuh bangga, didudukkan Angelir di 

atas singgasananya.

"Kelak kau yang akan duduk di atas 

singgasana itu, anakku."

Mendengar ucapan ayahnya, kembali mata 

Angelir berkaca-kaca. Perasaannya seketika 

bangga, bergejolak bagaikan letupan-letupan 

semangat. "Benar apa yang dikatakan ayah, aku 

harus dapat menjadikan diriku seorang ratu. 

Ya, seorang ratu...." gumam hati Angelir. 

Dengan lekat ditatapnya wajah sang Ayah, dan 

dengan penuh perhatian Angelir bertanya.

"Apakah aku akan mampu, Ayah?"

"Pasti, anakku. Pasti kau mampu," jawab 

Amuk Mungkur dengan bibir terurai senyum, se-

mentara matanya terus memandang bangga pada 

sang anak. "Kapan kau akan menyusup ke salah 

satu kerajaan musuh, Anakku?"

"Hari ini juga, Ayah. Setelah malam ti-

ba," jawab Angelir, yang menjadikan ayahnya 

kembali tersenyum.

Perang masih berlangsung, dengan korban 

makin banyak. Dari pagi hari hingga datangnya 

sore, ketiga kerajaan itu masih terus berpe-

rang.

Gelap telah datang, namun mereka seper


ti tak menghiraukannya. Pertempuran malah ma-

kin bertambah besar, laksana api disiram mi-

nyak. Baru setelah hari benar-benar telah la-

rut, ketiga kerajaan itu menghentikan perang 

untuk meneruskannya esok hari.

Tak dihiraukannya korban di medan laga, 

walau dari korban itu adalah teman mereka 

sendiri. Itulah perang, demi ambisi, demi ke-

puasan batin pimpinan, prajurit kecil yang 

menjadi korban.

* * *

Bulan bergayut di atas langit, menyi-

narkan warnanya yang keemasan. Prajurit-

prajurit jaga dari kerajaan Pesisir Putih 

tampak mondar-mandir, menjaga tenda-tenda 

yang digunakan untuk beristirahat teman-

temannya.

Tengah mereka berjaga-jaga, tiba-tiba 

terdengar suara jeritan seorang wanita meme-

cah kebisuan malam. Seketika semua mata pen-

jaga beralih pandang ke asal suara itu.

"Kakang Darma, apa kau dengar suara je-

ritan itu?"

"Benar adik Lombak. Aku dengar suara 

itu di Selatan," jawab Darma. "Ayo kita deka-

ti. Barangkali ada yang perlu kita bantu un-

tuk wanita itu."

Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua 

orang penjaga sebelah Selatan bergegas menuju 

ke arah di mana suara itu berasal. Tak lama 

kemudian, kedua penjaga itu telah menemukan 

orang yang berteriak minta tolong.

"Ada apa, Nona? Kenapa malam-malam be-

gini Nona ada di perbatasan? Lalu kenapa nona


berteriak-teriak?" tanya Lombak.

"Anu... Anu, Tuan. Saya... saya hendak 

diperkosa," jawab gadis itu terbata-bata, 

menjadikan kening kedua peronda mengerut.

"Diperkosa? Mana orang yang hendak mem-

perkosa mu?" kembali Lombak bertanya.

"Anu... Anu, Tuan. Orang itu telah lari 

menuju ke wilayah Kurda Rumajang."

"Hem, nona tidak berdusta?"

Mendengar pertanyaan Darma, gadis itu 

tidak segera menjawab. Bahkan dengan senyum 

manisnya, dicobanya mempengaruhi kedua penja-

ga. Melihat gadis itu tersenyum manis, mereka 

seperti terbuai dalam khayal. Kedua penjaga 

itu balas tersenyum, menjadikan si gadis men-

jadi-jadi. Tangan si gadis perlahan bergerak, 

lalu dengan berani disingkapkan pakaiannya.

Terbelalak mata kedua penjaga itu, me-

lotot menyaksikan pemandangan di hadapannya. 

Lidah keduanya melelet, menahan nafsu yang 

sudah tak terkendali. Melihat kedua penjaga 

itu nampak telah dapat dipengaruhi, si gadis 

makin berani.

Tangan si gadis bukan saja menyingkap 

pakaian yang menutupi pahanya, namun kini 

kancing bajunya pun dibuka. Mata kedua penja-

ga makin melotot, sepertinya hampir keluar.

Si gadis main melebarkan senyum, lalu 

dengan manja berkata yang menjadikan kedua 

penjaga terkesiap.

"Tuan-tuan, apakah tuan-tuan tidak men-

ginginkan ini?"

"A... Anu," terbata Darma berucap. Ma-

tanya melotot tak berkedip. Begitu halnya 

dengan Lombak, darahnya mendidih bagaikan 

disetrum ribuan Watt.


"Kenapa, Tuan? Bukankah tuan jauh dari 

istri? Kenapa tuan mesti menolak?" tanya si 

gadis kembali dengan manja. Dikedipkan ma-

tanya yang lentik, membuat kedua penjaga ba-

gaikan hilang sumsumnya gemetaran berdiri. 

"Ayolah, Tuan?"

"Ah... apakah nona tak bercanda?" tanya 

Darma. Dari pelipisnya mengalir keringat din-

gin, pertanda dia tengah menahan gejolak.

Si gadis menggeleng kepala, malah tan-

gannya kini makin berani membuka dua kancing 

di bawahnya. Makin terbeliak kedua penjaga 

itu. "Kenapa tuan hendak menyia-nyiakan ke-

sempatan ini?" 

"Bagaimana, Lombak?" 

"Benar juga, Kakang. Kenapa kita mesti 

menyia-nyiakan kesempatan ini? Ayolah, Ka-

kang," jawab Lombak, makin menjadikan si ga-

dis melebarkan senyum. Dengan acuh, si gadis 

pura-pura hendak berlalu.

Melihat si gadis hendak pergi, serta 

merta kedua penjaga itu segera memburunya. 

"Tunggu, Nona!"

"Ada apa lagi? Bukankah kalian tadi me-

nolak?"

"Ti... tidak! Kami tidak menolak," ja-

wab Darma terbata.

Napas Darma bagaikan telah lari mara-

ton, ngos-ngosan. Matanya tak henti-hentinya 

memandang ke dada si gadis yang terbuka.

"Kalian ingin?" tanya si gadis dengan 

genit.

Darma dan Lombak sesaat saling pandang, 

kemudian dengan tersenyum senang keduanya 

menganggukkan kepala. Melihat Darma dan Lom-

bak mengangguk, si gadis segera berkelebat


pergi.

Melihat si gadis lari, Darma dan Lombak 

yang sudah terbakar nafsu segera memburunya.

"Hai, kenapa kau lari, Denok?" seru ke-

duanya,

"Hi, hi, hi... Ayo kejarlah aku! Bukan-

kah kalian ingin mendapatkan tubuhku?"

Mendengar ucapan si gadis, tanpa banyak 

pikir lagi keduanya segera memburu. Kejar 

mengejar terus berlangsung, hingga tak terasa 

mereka telah jauh meninggalkan tenda.

Mereka telah memasuki hutan lebat.

"Hoi, Neng. Berhenti, dong!" seru Lom-

bak.

"Ya, kami telah capai, nih!"

"Hi, hi, hi... Ayo, kenapa kalian le-

toi? Kejarlah aku! Bukankah kalian ingin te-

nang tanpa ada yang mengganggu?"

"Benar juga, Kakang."

"Ayo, kita kejar!"

Kedua lelaki yang sudah streng oleh 

nafsu, kembali mengejar. Hal itu rupanya te-

lah direncanakan oleh si gadis, yang terus 

berlari sampai ke tengah hutan. Ketika benar-

benar di tengah hutan, si gadis menghentikan 

langkahnya.

"Hi, hi, hi... Ayo majulah kalian. Bu-

kankah kalian ingin merasakan surga?" tanya 

si gadis dengan sinis. Senyumnya tampak ben-

gis, mengandung hawa kematian. Tangan si ga-

dis perlahan bergerak, sepertinya hendak mem-

buka pakaian. Namun sungguh tak disangka oleh 

Lombak dan Darma, kalau gadis itu bukannya 

membuka pakaian. Gadis itu telah mengambil 

dua kuntum bunga mawar dari balik bajunya.

Tersentak kedua penjaga melihat si ga


dis tersenyum sinis. Namun belum juga kedua 

penjaga itu mengerti, si gadis telah terlebih 

dahulu membungkam mulut mereka. Tangan si ga-

dis bergerak cepat, melontarkan kedua bunga 

yang dipegangnya.

"Kau....!"

"Aaahhhh...!"

Melolong panjang kedua orang itu, den-

gan jidat bolong terhantam bunga mawar.

Si gadis tersenyum kecut dan menghampi-

ri kedua penjaga yang tengah sekarat.

"Itulah untuk kalian. Dan nanti, semua 

prajurit kerajaan Wetan Segara dan Pesisir 

Putih akan menerima bagiannya, Hi, hi... Hi, 

hi, hi...!" berkata si gadis dengan bengis.

"Siapa, kau?" bentak Darma dalam seka-

rat.

"Aku.... Hi, hi, hi... Akulah Dewi An-

gelir Putri Kerajaan Kurda Rumajang. Nah, ka-

rena kalian telah tahu siapa kau, maka kalian 

harus mati, hiaat...!"

Dengan tanpa belas kasihan, Angelir se-

gera menendang keduanya. Seketika kedua orang 

yang tengah sekarat, melengking kesakitan dan

ambruk dengan nyawa melayang. Melihat kedua-

nya telah mati, Angelir segera berkelebat 

pergi dengan meninggalkan gelak tawa.

***

DUA



Tengah Raja Wulung Seta melamuni kema-

tian dua orang penjaga malamnya, tiba-tiba 

seorang gadis cantik nan anggun datang menghampiri. Senyumnya begitu memikat, menjadikan 

sang Raja seketika tersentak.

"Siapa, kau?" tanya sang Raja.

Gadis itu hanya tersenyum, lalu dengan 

genit dikedipkan matanya. Melihat hal itu, 

hati Wulung Seta seketika terkesima. Matanya 

tak berkedip memandang. Hatinya bergumam. 

"Duh, betapa cantiknya gadis ini. Sungguh co-

cok bila kujadikan istri."

"Baginda melamun, kenapa?"

"Ah, ti... tidak. Siapa namamu, anak 

manis?"

"Hamba yang rendah ini bernama Angelir, 

Baginda."

"Ah, kenapa kau begitu merendah, Ange-

lir?"

Angelir tersenyum tersipu-sipu menun-

dukkan muka, membuat Wulung Seta makin gemes. 

Perlahan Wulung Seta bangkit dari duduknya. 

Dihampiri Angelir yang masih menunduk, lalu 

perlahan dipegangnya dagu Angelir.

"Kenapa kau tertunduk, Angelir?"

"Hamba... hamba malu. Baginda," jawab 

Angelir tersipu.

"Malu...? Kenapa mesti malu, anak ma-

nis?"

Mendengar penuturan Wulung Seta, Ange-

lir perlahan mendongakkan wajahnya. Ditatap-

nya lekat-lekat wajah Wulung Seta, membuat 

Wulung Seta mengernyitkan ke-ning. "Hai, ke-

napa dengan aku, Angelir?"

"Ti... tidak, paduka. Hamba hanya kagum 

melihat paduka yang setampan dan semuda ini 

telah menjadi raja. Maafkan hamba, Paduka."

"Tak mengapa, Angelir. Aku senang den-

ganmu. Maukah kau kujadikan isteri?"


Terbelalak mata Angelir demi mendengar 

ucapan Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta 

tersenyum dan kembali bertanya. "Kenapa, An-

gelir? Kau tak mau...?"

"Bu... bukan begitu, Baginda. Apakah 

pantas hamba yang rendah ini mendampingi pa-

duka?"

Mendengar jawaban Angelir, Wulung Seta 

tersenyum. Tangannya yang kasar seketika me-

renggut janggut Angelir. Di tengadahkan muka 

Angelir yang menunduk untuk memandangnya. Di-

tatapnya lekat-lekat mata Angelir. Sesaat ke-

duanya saling pandang, menyatukan benang-

benang kasih.

"Kenapa tidak pantas, Angelir?" tanya 

Wulung Seta setelah sesaat terdiam.

"Bukankah masih banyak bunga-bunga lain 

yang lebih cantik dan keturunan ningrat? Ke-

napa mesti Paduka meminta hamba yang hina?"

"Karena kau cantik dan anggun, Ange-

lir!" jawab Wulung Seta. Tangannya yang lem-

but membelai janggut Angelir. Di jawilnya 

janggut Angelir yang berusaha mengelak. "Aku 

cinta padamu, Angelir."

"Hanya itu, Paduka?"

"Ya, kenapa?" tanya Wulung Seta tak 

mengerti.

Angelir tersenyum manja dan dengan se-

gera berjalan meninggalkan Wulung Seta. Wu-

lung Seta yang menyangka Angelir hendak me-

ninggalkannya, segera memburu mengikuti. Na-

mun rupanya Angelir tidak pergi jauh, ia 

hanya duduk di bawah pohon Kamboja. Melihat 

Angelir duduk, Wulung Seta segera ikut duduk 

di sisi Angelir.

Kembali keduanya saling pandang, diam


dengan perasaan hati masing-masing. Tak tera-

sa oleh mereka, bibir mereka telah menyatu 

dalam diam.

"Ah, kenapa Paduka bertindak begini?" 

sentak Angelir seperti baru saja tersadar.

"Maafkan aku, Angelir. Sungguh aku tak 

dapat menahan perasaan yang ada di hatiku se-

karang. Aku mencintaimu, Angelir."

"Hanya cinta?"

Tersentak Wulung Seta mendengar perta-

nyaan Angelir yang dirasakannya menyentuh ha-

ti. Dengan memandang tajam, Wulung Seta yang 

tak mengerti maksud ucapan Angelir bertanya.

"Kenapa, Angelir? Apakah kau menolak 

cintaku?"

"Bukan begitu, Baginda. Aku menerima 

cinta mu, tapi...."

"Tapi apa, Angelir?" tanya Wulung Seta 

sembari mengernyitkan keningnya demi menden-

gar ucapan Angelir yang terputus.

"Baginda... cinta biasanya hanya hiasan 

mulut lelaki. Bila lelaki suka pada wanita 

dan ada maunya, ia akan bicara cinta. Tapi 

bila ia telah mendapatkan segalanya dan dira-

sakan telah bosan, maka cinta pun berlalu. 

Aku tak ingin hal seperti itu terjadi padaku, 

Paduka."

"Maksudmu, Angelir?" tanya Wulung Seta 

masih belum mengerti tujuan kata-kata Ange-

lir.

Angelir tersenyum, matanya yang lentik 

memandang sendu pada Wulung Seta. Perlahan 

namun pasti, tangan Angelir bergerak meng-

genggam tangan Wulung Seta. Wulung Seta yang 

hatinya telah terpanah oleh cinta Angelir, 

tersenyum senang demi merasakan tangannya di


genggam oleh Angelir.

"Hem, telah ku jerat dia!" gumam hati 

Angelir.

"Apakah baginda benar-benar ingin men-

jadi aku isteri?"

"Kenapa tidak. Aku mencintai mu," jawab 

Wulung Seta menjadikan Angelir tersenyum. Di-

rebahkan kepalanya ke pundak Wulung Seta men-

jadikan Wulung Seta seketika bergetar-getar 

hatinya.

Baru sekali ini Wulung Seta merasakan 

debaran aneh di hatinya selama ia menjadi ra-

ja muda. Padahal banyak bunga-bunga yang men-

coba mengambil hatinya, namun Wulung bagaikan 

tak ada hasrat untuk memetik.

Tapi kini Angelir gadis yang baru ia 

kenal, telah mampu membuat hati Wulung Seta 

berbunga. Sekaligus Angelirlah yang telah 

mampu menembuskan panah ke hatinya.

"Kalau baginda memang berkenan menjadi-

kan hamba istri, maka hamba meminta Paduka 

dengan setulus hari menyayangi hamba."

"Hanya itu pinta mu, Angelir?" tanya 

Wulung Seta seakan tak percaya.

"Ya, hanya itu, Paduka," jawab Angelir 

pendek.

"Kalau memang itu, apa pun akan aku la-

kukan untukmu. Demi cintaku padamu, segalanya 

akan aku lakukan."

Tersenyum senang Angelir mendengar uca-

pan Wulung Seta. Ditatapnya lekat-lekat wajah 

Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta makin 

gundah hatinya. Untuk kedua kalinya, keduanya 

terlelap dalam belaian-belaian kasih.

Angin siang berhembus sepoi-sepoi, me-

nyeka panas mentari. Hingga mentari yang be


gitu terik tak terasa. Apalagi mereka yang 

telah hanyut oleh lautan cinta.

* * *

Lain keadaannya dengan raja mereka yang 

tengah menjalin cinta, prajurit-prajurit Pe-

sisir Putih kini tengah berperang demi mene-

gakkan kebenaran dan keadilan. Segalanya di-

korbankan, demi sang raja, demi kemerdekaan.

"Serbuuuuu...!"

"Seraaanggg...!"

"Jangan mundur!"

Pekik-pekik itu terus menggema, menye-

barkan semangat para prajurit. Tak ada rasa 

kasihan, tak ada rasa kemanusiaan. Setiap 

tombak, golok, pedang dan senjata lainnya 

berkelebat, maka pekik kematian pun menggema.

Langit alun-alun Kurda Rumajang makin 

memerah, seperti tersiram darah para praju-

rit. Walaupun begitu, perang terus berjalan, 

perang terus membahana.

Randu Alasan sebagai patih Kerajaan Pe-

sisir Putih, bagaikan harimau kelaparan me-

nerjang gagah berani. Pedang pusaka yang ber-

nama Kyai Warakas, berkelebat dengan cepat. 

Setiap kali pedang itu berkelebat, setiap 

kali itu memekik prajurit Kurda Rumajang.

Melihat hal itu, secepat kilat Rekso 

Giri selaku patih Kerajaan Kurda Rumajang se-

gera memapakinya.

"Randu Alasan, akulah musuhmu!" bentak 

Rekso Giri marah.

"Rekso Giri penjilat. Memang aku tung-

gu-tunggu kemunculanmu. Mari kita buktikan 

siapa di antara kita yang harus meninggalkan


dunia!"

"Setan Alas! Kau rupanya mempunyai tar-

ing. Bersiaplah untuk mampus, Randu!"

Habis berkata begitu, Rekso Giri segera 

berkelebat menyerang. Randu Alasan yang telah 

siaga, secepat kilat mengelak. Lalu dengan 

garang, Randu Alasan balik menyerang.

Toya di tangan Rekso Giri berputar den-

gan cepat, begitu juga pedang Kyai Warakas di 

tangan Randu. Dua patih itu, berkelebat den-

gan cepatnya. Segala ilmu yang mereka miliki 

dikeluarkan.

Waktu terus berlalu, sepertinya tak mau 

perduli dengan api peperangan yang tengah 

berkobar. Ketika hari telah berubah, dari 

siang menjadi malam, ketiga prajurit kerajaan 

itu kembali ke tenda masing-masing. Diting-

galkannya segala yang telah terjadi, teman 

ataupun kawan yang gugur. Itulah perang, me-

nang tiada arti, kalah tiada guna. Demi ambi-

si, demi kepuasan sang raja belaka, rakyat 

yang menjadi korban.

***

3

Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan 

di dalam hutan, seketika menghentikan lang-

kahnya, manakala didengar olehnya suara-suara 

bergemerisik di sekelilingnya.

"Hem, ada kunyuk-kunyuk hendak main-

main denganku. Eh, makin mendekat. Nekad be-

nar monyet-monyet ini," gumam Jaka dalam ha-

ti. "1... 2... 3... 10. Ada sepuluh kunyuk!"


Tengah Jaka tersenyum-senyum mendengar 

suara-suara gemerisik, seketika berkelebat 

sepuluh orang lelaki menghadangnya.

"Berhenti!" bentak pimpinan kesepuluh 

orang itu.

"Heh, bukankah aku telah berhenti? Ke-

napa kau menyuruhku lagi?" kata Jaka dengan 

tenangnya.

"Serahkan uang yang kau bawa," kembali 

pimpinan kesepuluh orang yang bermaksud me-

rampok itu berkata. Mendengar ucapan ketua 

garong itu, Jaka tersenyum. Lalu dengan nada 

acuh, Jaka menjawab.

"Uang...? Kebetulan, aku memang se-dang 

butuh uang. Mana uang kalian?"

"Setan alas! Diminta malah meminta!"

"Ah, aku rasa aku bukan setan alas. Ke-

napa kau memanggilku setan alas?"

"Anak edan!" bentak pimpinan garong ma-

rah, demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya 

ngelantur. Namun bagaikan tak perduli dengan 

segala amarah pimpinan garong itu, Jaka kem-

bali berkata:

"Edan...? Aku tidak edan. Aku cuma 

Ndableg!"

Tak dapat lagi pimpinan garong itu me-

nahan amarah. Ia merasa Jaka telah memper-

mainkannya, Maka dengan mengibaskan tangan, 

sekaligus mengomandokan pada ke-sembilan anak 

buahnya ia segera menyerang Jaka.

Diserang keroyokan begitu rupa tidak 

menjadikan Jaka gentar, bahkan dengan lagak 

pilonnya Jaka terus menghindar.

"Ampun, Oom! Jangan pukul saya...!" Ja-

ka berteriak, manakala seorang dari penge-

royoknya bermaksud menghantamnya. Bersamaan


dengan itu, Jaka seketika menghantamkan tan-

gannya ke dada penyerangnya.

Terhuyung-huyung orang itu, dengan da-

rah meleleh dari mulutnya. Sementara Jaka 

dengan memegangi tangannya yang dielus-elus, 

tersenyum-senyum. Hal itu menjadikan kesembi-

lan garong lainnya marah. Serta merta, kesem-

bilan garong itu mengeroyoknya.

"Wadauw, kenapa kalian sadis-sadis, 

sih?" gumam Jaka.

"Diam! Jangan kayak orang sinting!"

"Aduh mak, Jaka dibentak. Eh... Kenapa 

engkau hendak membokongku?"

Jaka kembali berkelebat cepat memutar 

tubuhnya menghadap pada orang yang bermaksud 

membokongnya. "Ini hadiah untukmu dariku se-

bagai kenang-kenangan atas jasamu yang hendak 

membokongku."

Secepat kilat tangan Jaka berkelebat, 

menghantam muka orang yang bermaksud membo-

kongnya. Spontan, orang itu meraung kesakitan 

dengan tangan menutupi mukanya.

Marahlah pimpinan garong, demi melihat 

dua anak buahnya telah dengan gampang dipe-

cundangi. Maka tak ayal lagi, ketua garong 

itu segera menyerang Jaka.

"Wadauw, kenapa oom mau membacok ku? 

Ampun, Ooom...!" teriak Jaka manakala golok 

di tangan pimpinan Garong hendak membabat ke

tubuhnya. Dengan segera, Jaka mempercepat ge-

rakannya. Kakinya berkelebat menendang tubuh 

ketua garong itu. Tak dapat dibayangkan, kaki 

Jaka mendarat telak menghantam dada ketua ga-

rong.

"Enakkan Oom dapat kue Talam?" 

"Setan! Jangan kira aku kalah, Monyet!"


bentak marah pimpinan garong. Tangannya meme-

gangi dada yang terasa sakit. Lalu dengan di-

dahului geraman, ketua garong itu mengomando-

kan pada anak buahnya untuk menyerang. "Se-

rang...!"

Bagaikan tak ada rasa takut sedikitpun, 

ketujuh anak buahnya segera berkelebat bareng 

menyerang Jaka.

Wah, kenapa dengan ketujuh monyet ini? 

Apakah mereka terkena AIDS?" gumam Jaka se-

perti berbicara pada diri sendiri.

"Kunyuk! Sudah di ambang kematian masih 

berlagak!"

"Eh, siapa yang kunyuk? Kalian kunyuk? 

Pantas.... Pantas. Memang rupa kalian mirip 

kunyuk kelaparan. Aduh...! Kenapa kalian mem-

babi huta?" seru Jaka, manakala salah seorang 

pengeroyok membabatkan golok ke arahnya. Den-

gan cepat, di jitak kepala penyerangnya. 

Seketika orang yang di jitak menjerit dengan 

memegangi kepala. Berguling-guling, lalu am-

bruk mati. Dari atas kepalanya meleleh darah, 

keluar dari tiga lobang berbentuk mata dadu.

"Hi, hi, hi.... Ternyata orang itu suka 

main dadu. Lihat! Di kepalanya ada gambar da-

du!" seru Jaka pada ketujuh pengeroyoknya, 

menjadikan ketujuh orang itu menggeram. Tanpa 

banyak kata lagi, mereka serempak kembali me-

nyerang.

"Eh, eh. Rupanya kalian tidak kapok, 

Tong. Baik, untuk kalian akan aku beri hadiah 

gocap-gocap, ini!"

Habis berkata begitu, Jaka yang tak in-

gin mengulur-ulur waktu segera berteriak ba-

gai orang gila. Tubuhnya berputar bagaikan 

baling-baling. Tangannya dengan cepat berge


rak, dan...!

"Tok, tok, tok, tok, Bletak!"

Tujuh kali terdengar suara beradunya 

tangan Jaka dengan kepala pengeroyoknya. Se-

ketika ketujuh pengeroyoknya menjerit, ber-

guling-guling di tanah. Di atas kepala mereka 

tergambar bulatan sebesar uang 50-an.

"Ha, ha, ha... Kalian memang lucu-lucu. 

Kenapa uang Gocap ditempelin di atas kepala? 

Oh, rupanya kalian orang kaya, ya?" kata Jaka 

dengan tertawa-tawa.

Meskipun pimpinan garong itu geram, na-

mun ia tak berani berbuat apa-apa. Ia tahu, 

kalau pemuda yang seperti tak waras itu ter-

nyata berilmu tinggi. Tanpa memperdulikan mu-

suh-musuhnya yang telah berjatuhan, Jaka se-

gera berkelebat pergi.

* * *

Malam itu gerimis turun membasahi bumi. 

Peperangan telah lama usai untuk diteruskan 

esok hari. Di sebuah ruangan Kerajaan Kurda 

Rumajang, Prabu Amuk Mungkur telah duduk di 

atas kursi. Di hadapannya duduk seorang gadis 

yang tak lain daripada Angelir, anaknya.

"Bagaimana hasil mu, anakku?" 

"Seperti yang telah direncanakan. 

Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dulu 

menyembah. "Angelir telah dapat mengambil ha-

ti Prabu Wulung Seta."

Tersenyum Amuk Mungkur mendengar penu-

turan anaknya. Rasa bangga menyelimuti wajah 

Amuk Mungkur, hingga hatinya seketika bergu-

mam. "Tak aku sangka, kalau anakku mampu men-

jadi mata-mata. Hem, sungguh pintar Angelir.


Lalu, apa yang menjadi pikiranmu, Anakku?" 

tanya Prabu Amuk Mungkur, menjadikan Angelir 

seketika menundukkan mukanya.

"Kenapa, Anakku? Sepertinya kau menemui 

kesulitan?" kembali Amuk Mungkur bertanya, 

demi melihat putrinya hanya terdiam tak men-

jawab.

"Benar, ayahanda. Angelir memang menga-

lami kesulitan," jawab Angelir setelah sekian 

lama terdiam.

"Hem, coba kau katakan apa yang menjadi 

kesulitanmu!"

"Ampun, Ayahanda. Angelir merasa jatuh 

cinta pada Wulung Seta."

"Apa...?" tersentak Amuk Mungkur men-

dengar jawaban anaknya. Matanya melotot, me-

mandang pada Angelir yang kembali menunduk 

tak berani menentang pandang. "Jangan, Anak-

ku! Kau harus ingat, bahwa Wulung Seta adalah 

musuhku! Maka sebagai musuh ayah, dia juga 

musuhmu pula!"

"Tapi, Ayah...." Angelir mencoba menye-

la.

"Tak usah kau memikirkannya, Anakku."

"Baiklah, Ayah. Angelir akan selalu me-

nurut apa yang dititahkan oleh ayah," jawab 

Angelir.

Amuk Mungkur kembali tersenyum, dihe-

lanya napas dalam-dalam. Amuk Mungkur perla-

han bangkit dari kursinya. Dihampiri anaknya, 

lalu dengan penuh kasih dibelai rambut sang 

anak sembari berkata:

"Anakku, bila masanya kau menjadi Ratu, 

kau akan merasakan betapa kekuasaan lebih 

berguna dibandingkan dengan cinta. Cinta bi-

asanya hanya sekata, tapi kuasa akan menen


tramkan hati. Bagaimanapun, kau harus mampu 

menjadikan dirimu orang yang disegani. Sebab 

syarat utama menjadi Raja harus mempunyai ke-

wibawaan."

Sejenak keduanya hening, membisu dengan 

segala perasaan. Angelir masih menunduk se-

pertinya tengah meresapi makna ucapan sang 

ayah. Sementara Amuk Mungkur, dengan penuh 

kasih terus membelai rambut anaknya. "Anak-

ku...."

"Daulat, Ayah," jawab Angelir,

"Dulu ibumu pun begitu. Ibumu menguta-

rakan cinta pada ayah. Namun setelah ayah 

tua, ibumu pergi entah ke mana. Ayah sakit 

hati, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa ibumu 

kini telah menikah lagi dengan ayahanda Wu-

lung Seta."

"Jadi...." terbelalak Angelir mendengar 

penuturan ayahnya.

"Ya, ibumu lari dari ayah dan menikah 

dengan Prabu Salya ketika kau masih kecil. 

Itulah mengapa ayah mendendam pada dua kera-

jaan itu. Tadinya ayah tak menghiraukan, na-

mun melihat engkau menderita ayah jadi kesal. 

Kesal pada ibumu, juga kesal pada Prabu 

Salya. Maka sebagai pelampiasan kekesalan 

ayah, ayah memusuhi dua kerajaan turunan 

Salya."

Makin tergugah hati Angelir setelah ta-

hu siapa musuh-musuh ayahnya. Kekecewaan pada 

ibunya yang telah meninggalkannya sejak ke-

cil, menjadikan Angelir dendam. Tanpa sadar, 

Angelir mendesah seakan bersumpah,

"Akan aku hancurkan keturunan Salya, 

Ayah!"

"Kau mampu, Anakku?" tanya Amuk Mung


kur, yang dijawab oleh Angelir dengan tatapan 

mata kepastian. Lalu dengan napas panjang 

yang dihempaskan, Angelir kembali berkata:

"Akan aku coba, Ayah!"

Tak terurai rasa bahagia dan kagum men-

dengar ucapan anaknya, hingga Amuk Mungkur 

berkaca-kaca matanya. Diajaknya Angelir ban-

gun dari duduk, dan dibimbingnya sang anak 

berjalan.

"Apa yang hendak kau lakukan malam ini, 

Anakku?" tanya Prabu Amuk Mungkur.

"Kini Wulung Seta telah terjerat oleh

ku. Maka aku akan terus mencoba mengacaukan 

kedua kerajaan itu, Ayah," jawab Angelir se-

telah terlebih dahulu memandang wajah ayahnya 

sesaat. Terlihat oleh Angelir goresan kekece-

waan di wajah ayahnya, menjadikan Angelir tak 

mampu menahan air mata.

Angelir pun menangis haru melihat kese-

dihan ayahnya yang menjadikan ayahnya seorang 

pendiam dan pemarah.

Saking terhanyutnya Angelir menyaksikan 

raut wajah ayahnya, tanpa disadari hatinya 

bergumam. "Sungguh ibu orang yang tak tahu 

kasih. Hem, Salya. Keturunanmu kelak akan me-

nerima balasannya yang setimpal dengan perbu-

atanmu!"

"Ayah, Angelir mohon pamit!"

"Hendak ke mana, Anakku?" tanya Amuk 

Mungkur kaget demi mendengar ucapan anaknya. 

"Bukankah hari sudah malam?"

"Seperti rencana Angelir, Angelir hen-

dak menyusup ke dalam tenda musuh. Do'a kan, 

Ayah. Semoga Angelir dapat melaksanakan apa 

yang menjadi rencana kita."

"Aku terus mengiringi mu, Anakku. Be


rangkatlah!" kata Amuk Mungkur dengan pera-

saan haru. Matanya berkaca-kaca, ketika men-

cium kening anaknya. Dengan penuh kebisuan, 

Amuk Mungkur melepas kepergian anaknya malam 

itu.

Angelir terus berlari menembus malam, 

seakan tiada rasa takut setetes pun di darah-

nya. Ia terus berlari menuju ke sebuah hutan 

yang lebat, hutan yang sepertinya menyimpan 

keangkeran. Demi cita-citanya, Angelir tak 

memperdulikan gelapnya malam.

Setelah sekian lama berlari, Angelir 

akhirnya berhenti pada sebuah tempat di ten-

gah hutan.

"Suiiit...!"

Bersamaan dengan habisnya suitan yang 

dilontarkan Angelir, dari dalam semak-semak 

hutan bermunculan orang-orang berwajah sadis 

menuju ke arahnya.

"Ada gerangan apa Sri Ratu Angelir me-

manggil kami?" tanya Gober selaku ketua II 

setelah Angelir dan Loro Ireng, pada pimpinan 

Gerombolan Hutan Renges.

"Mana Loro Ireng?"

"Ampun Sri Ratu, Loro Ireng pergi!" ja-

wab Gober.

"Pergi ke mana, Gober?"

"Loro Ireng mengatakan hendak mencari 

musuhnya!"

"Musuhnya...? Siapa musuhnya? Dan kena-

pa tidak mengajak kalian?" tanya Angelir tak 

mengerti. Matanya membeliak lebar, menjadikan 

sorotan cahaya di dalam gelap. Gober tak be-

rani menantang pandang, begitu juga dengan 

keseratus anak buahnya. "Apa dia tak berpesan 

apa-apa?"


"Dia berpesan agar bila Sri Ratu da-

tang, kami mengikuti Sri Ratu beroperasi."

Membeliak mata Angelir mendengar penu-

turan wakilnya. Nafasnya terdengar mendengus, 

pertanda dia tengah marah. Hal itu menjadikan 

Gober terpaku diam dengan wajah tertunduk. 

Gelapnya malam itu hening tiada kata. 

"Kalau kalian ikut denganku, apakah ka-

lian mampu melakukan tugas kalian?" tanya An-

gelir setelah terdiam untuk beberapa saat.

"Hamba siap, Sri Ratu...!" jawab kese-

ratus anak buahnya.

"Benar kalian siap?"

"Daulat Sri Ratu. Tugas apapun akan ka-

mi lakukan!" jawab Gober mewakili keseratus 

anak buahnya. Mereka tak berani membantah pa-

da Angelir, yang menjadikan dirinya sebagai 

Ratu Gerombolan Hutan Renges.

"Baiklah, aku tugaskan pada kalian, ka-

caukan barak-barak prajurit kerajaan Segara 

Wetan! Sementara aku sendiri, akan mengacau-

kan Kerajaan Pesisir Putih. Ingat, jangan 

sampai ada yang tertangkap. Seandainya ada, 

jangan mengaku! Mengerti...?"

"Daulat, Sri Ratu...!" jawab mereka se-

rempak.

"Nah, lakukan tugas kalian dengan baik. 

Kita kacau dua kerajaan itu, ha, ha, ha...." 

Angelir tertawa bergelak-gelak, lalu dengan 

tanpa memperdulikan keseratus anak buahnya, 

Angelir berkelebat pergi.

Sepeninggalnya Angelir, Gober selaku 

pimpinan segera menyusun rencana dengan kese-

ratus anak buahnya.

"Walet, dan kau Jangkrik."

"Saya ketua," jawab keduanya bareng.


"Kalian pimpin dua puluh lima orang me-

nyerbu dari Wetan dan Kulon. Sementara aku 

dan Bangkong, akan memimpin lima puluh orang 

dari Lor dan Kidul. Ayo kita bergerak!"

Malam itu juga, keseratus gerombolan 

Hutan Renges bergerak seperti rencana. Tu-

juannya hanya satu, mengacaukan kerajaan We-

tan Segara.

***

EMPAT



Malam itu Wulung Seta tak dapat meme-

jamkan mata barang sekejap. Pikirannya me-

layang, terbayang wajah Angelir yang telah 

menawan hatinya. Wulung Seta gundah gulana, 

perasaannya tak dapat tenang. Ada rasa takut 

menyelimuti hatinya, takut kalau-kalau Ange-

lir terkena apa-apa.

"Ke mana Angelir? Sudah malam begini 

tidak datang-datang?" gumam hati Wulung Seta 

was-was.

Saking tenggelam dalam pikirannya, Wu-

lung Seta tak memperhatikan bahwa sedari tadi 

seorang wanita tengah memperhatikannya. Wani-

ta itu tersenyum sembari menggeleng-gelengkan 

kepala, melihat Wulung seta melamun. Wanita 

itu yang tak lain Dewi Roro Kunti ibunya, 

berjalan menghampiri.

"Ehm...!"

"Ibunda...?" tersentak Wulung Seta dari 

lamunannya, mendengar deheman sang ibu. "Ka-

get ananda, Bunda. Ada apa gerangan, Ibunda?"

"Kau melamun, Anakku? Kenapa? Apakah


kau tengah jatuh hati dengan seorang wanita?" 

tanya Roro Kunti, yang menjadikan Wulung Seta 

tersipu. "Kenapa kau malu, Anakku? Katakanlah 

pada Ibu, mungkin Ibunda dapat membantu."

Wulung Seta tak menjawab, ia terdiam 

menundukkan muka. Seakan ada ganjalan yang 

menyelimuti hatinya untuk mengutarakan apa 

yang selalu meresahkannya. Sejenak ditatapnya 

wajah sang Ibu, sebelum akhirnya berkata:

"Ibunda tak akan marah?"

"Kenapa mesti marah? Bukankah kau anak-

ku, Wulung?"

Wulung Seta kembali terdiam. Dihelanya 

napas panjang-panjang. Setelah merundukkan 

muka sesaat, Wulung Seta akhirnya kembali 

berkata.

"Memang benar apa yang Ibunda terka. 

Wulung kini tengah merasakan apa yang dinama-

kan cinta, Bunda."

Tersenyum Roro Kunti mendengar ucapan 

anaknya. Dihampiri Wulung Seta yang masih 

terduduk. Melihat Ibundanya menghampiri, se-

gera Wulung Seta turun dari kursinya dan du-

duk di permadani. Wulung Seta segera menyem-

bah, bersimpuh di kaki sang Ibu.

Roro Kunti tersenyum bahagia, demi me-

lihat anaknya yang mengerti akan tata krama. 

Walau Wulung Seta telah dinobatkan menjadi 

raja, namun sifatnya yang santun tidak hi-

lang. Hal ini menjadikan Roro Kunti yang se-

benarnya ibu tiri merasa sayang, melebihi ka-

sih sayangnya pada Amurwa Sakti anak kandung-

nya.

"Wulung Seta, Anakku. Siapakah gadis 

yang telah memikat hatimu, Anakku?"

"Ampun, Ibunda. Gadis itu bernama, Dewi


Angelir," jawab Wulung Seta, menjadikan Roro 

Kunti seketika terkesiap kaget. Hal itu men-

jadikan Wulung Seta yang memperhatikannya 

kembali bertanya. "Kenapa, Ibunda?"

"Tak mengapa, Anakku. Ibu senang men-

dengar kau telah memilih jodohmu. Mana anak 

gadis itu, Anakku?" tanya Roro Kunti, yang 

hatinya bergumam lirih. "Hem, ternyata anakku 

sendiri yang telah mampu memikat hati Wulung 

Seta. Oh, mungkin dia sudah besar. Aku sung-

guh berdosa telah menelantarkannya."

"Ibunda melamun?" tanya Wulung Seta, 

demi melihat Roro Kunti terdiam dengan mata 

berkaca-kaca.

Terjengah Roro Kunti mendengar ucapan 

Wulung Seta. Dicobanya untuk tersenyum, walau 

senyum yang dipaksakan untuk menutupi pera-

saan hatinya yang merasa bersalah. Lalu den-

gan terbata, Roro Kunti pun berkata; "Ah, 

ti... tidak, Anakku. Ibu tengah memikirkan 

betapa nanti kau akan bahagia bersanding den-

gan gadis pilihan mu!"

"Ibunda bisa saja," gumam Wulung Seta 

tersenyum.

Tengah kedua anak dan ibu bercengkera-

ma, terdengar suara seseorang menyapa. 

"Sampurasun...!"

"Rampes...!" jawab keduanya hampir ba-

reng. Roro Kunti begitu bahagia, manakala ta-

hu siapa yang datang. Ternyata orang yang da-

tang Amurwa Sakti anaknya. "Ada apa, Anakku. 

Hingga malam-malam kau datang ke mari?"

"Aku ingin bertemu dengan kanda Wulung 

Seta, Bunda," jawab Amurwa Sakti, menjadikan 

Wulung Seta tersentak dan segera berkata.

"Ada gerangan apa adinda mencari kan


da?"

"Kanda,… barak-barak kerajaan ku ada 

yang mengacau!"

"Mengacau...? Siapa yang telah berani 

berbuat begitu?" tanya Wulung Seta dengan ma-

ta menyipit, mendengar ucapan adiknya.

Amurwa Sakti tidak segera menjawab, ma-

lah tampak matanya menatap tajam menghujam

pada wajah Wulung Seta. Melihat hal itu, den-

gan segera Roro Kunti bertanya:

"Amurwa! Kenapa tatapan mu begitu lan-

cang pada kakakmu?"

"Siapa yang tidak marah, Bunda. Orang-

orang yang telah merusak barak ku adalah 

orang-orang kakang Wulung Seta."

"Apa...!" tersentak kaget Wulung Seta, 

mendengar ucapan adiknya. "Apakah dinda tidak 

salah lihat?"

"Benar, Anakku. Kau jangan terlalu ke-

susu menuduh kakakmu. Selidiki dulu kebena-

rannya. Bukankah kini kalian tengah menghada-

pi perang? Siapa tahu orang-orang Kurda Ruma-

jang yang telah melakukan semuanya," tambah 

Roro Kunti menengahi.

Mendengar ucapan Ibundanya, Amurwa Sak-

ti terdiam. Ia sadar akan tindakannya yang 

terlalu kesusu. Maka dengan menangis, Amurwa 

Sakti berkata:

"Ampunilah anakmu, Bunda. Kanda, adinda 

meminta maaf atas segala tingkah laku adinda 

yang kurang ajar ini."

"Tak mengapa, Dinda. Kanda pun menyada-

ri, betapa hati adinda kini tengah kisruh."

"Terima kasih, Kanda. Bunda dan Kanda, 

hamba mohon pamit!"

Setelah terlebih dahulu menyembah pada


Ibu dan kakaknya, Amurwa Sakti segera berlalu 

pergi diiringi oleh tatapan mata ibunya yang 

melelehkan air mata.

Setelah kepergian anaknya, Roro Kunti 

segera berkata pada Wulung Seta, "Anakku Wu-

lung Seta. Ibunda meminta maaf atas segala 

tingkah laku adikmu."

"Tak mengapa, Bunda. Ananda juga mak-

lum. Tidak hanya adinda Amurwa Sakti yang ma-

rah bila melihat perlakuan itu, ananda juga 

mungkin akan mengalami hal serupa."

"Ah, betapa luhur budi pekerti mu, 

Ananda."

Tak dirasa oleh Roro Kunti, ia menan-

gis. Dengan penuh rasa kasih layaknya seorang 

ibu, dipeluknya Wulung Seta yang juga turut 

menangis.

"Bunda pamit undur, Anakku," kata Roro 

Kunti setelah untuk beberapa lama terhanyut 

diam.

"Ananda mengiringi," jawab Wulung Seta.

Roro Kunti segera pergi meninggalkan 

anaknya sendirian.

Setelah kepergian Roro Kunti, Wulung 

Seta kembali terdiam melamun. Pikirannya kini 

tidak hanya satu, tapi bercabang. Memikirkan 

Angelir yang telah menambat hatinya, memikir-

kan kematian prajuritnya dengan bunga mawar 

merah di keningnya, juga memikirkan laporan 

adiknya.

"Kenapa semua terjadi? Kenapa sejak aku 

mengenal Angelir segalanya terjadi? Apakah 

ada orang-orang yang tak menyukai aku dengan 

Angelir? Atau... Ah, tidak. Angelir tidak se-

gila itu!" Bergumam Wulung Seta taklim, tak 

mengerti akan segala kejadian-kejadian yang


dialaminya.

Malam terus merambah dengan cepatnya, 

namun Angelir yang ditunggunya tak muncul-

muncul. Karena penat oleh pikiran-pikiran 

yang menyelimuti otaknya, Wulung Seta akhir-

nya tertidur di kursinya.

Wulung Seta tersentak bangun, manakala 

seseorang mendekatinya. Dicabutnya keris pu-

saka yang selalu menyelip di pinggangnya, na-

mun segera dimasukkannya kembali manakala ta-

hu siapa yang datang.

"Kaukah, Angelir?" tanya Wulung Seta 

tak yakin. Dikucak-kucak matanya, seperti in-

gin meyakinkan apa yang dilihat.

Angelir tersenyum manis, menjadikan ha-

ti Wulung Seta yang sedari tadi menahan ke-

rinduan bergema. Melihat Angelir berjalan 

menghampiri Wulung Seta, yang juga bangkit 

dari duduknya.

"Sungguh pulas tidur kanda Prabu, hing-

ga hamba yang sedari tadi datang tak berani 

untuk mengusiknya."

"Ah, kau bisa saja, Angelir. Dari mana-

kah kau, Angelir? Lama aku menunggu kedatan-

ganmu. Betapa hati ini tak tenang memikirkan

mu," berkata Wulung Seta, menjadikan Angelir 

tersipu-sipu.

"Ah, Paduka bisa saja," kata Angelir 

manja.

"Aku berkata sebenarnya, Angelir."

"Benarkah...?" Angelir masih menggoda, 

menjadikan Wulung Seta makin penasaran. Dico-

banya untuk memeluk Angelir, namun bagaikan 

tak butuh, Angelir segera mengelak.

Hal itu menjadikan Wulung Seta makin 

bernafsu. Dikejarnya Angelir yang terus ber


lari memutari ruangan.

"Awas kalau kena. Akan aku cium kau, 

Angelir!"

"Hi, hi, hi.... Ayolah Paduka. Kalau 

memang paduka ingin itu, kejarlah aku!"

"Baik! Jangan menjerit nanti!"

Keduanya pun segera saling kejar. Ange-

lir berputar-putar dari satu tiang, ke tiang 

lainnya. Dengan tertawa-tawa, Angelir terus 

menggoda. Merasa dipermainkan, Wulung Seta 

makin bernafsu saja. Dikejarnya Angelir, kini 

dengan menggunakan ilmunya. Tersentak Ange-

lir, melihat Wulung Seta berlari bagaikan an-

gin.

"Kena...!"

"Auh...!" Angelir menjerit manja, mana-

kala tangannya terpegang oleh Wulung Seta. 

Namun demikian, Angelir tersenyum manja. Di-

rebahkan kepalanya pada pundak Wulung Seta, 

yang menerimanya dengan hati berbunga. Dibim-

bingnya Angelir berjalan menuju kursi. Di-

pangkunya tubuh Angelir yang tersenyum-

senyum, menjadikan Wulung Seta makin gemes.

"Kanda...?" Angelir berkata manja, ma-

nakala Wulung Seta hendak menciumnya.

"Hem.... Ada apa, Angelir?"

"Apakah kita akan terus menerus be-

gini?"

"Maksudmu...?" balik bertanya Wulung 

Seta. Mata keduanya saling paut, bibirnya 

saling senyum.

"Apakah kanda tidak berpikir untuk men-

jadikan ku isteri?"

"Ooh, kapan kau mau, Angelir?"

"Benarkah, Kanda?" 

"Ya...." jawab Wulung Seta pendek. Lalu


dengan tanpa menunggu reaksi Angelir, Wulung 

Seta segera mencium bibir Angelir. Ciuman Wu-

lung Seta yang lembut, menjadikan Angelir 

bergolak di hatinya. Antara perasaannya yang 

memang menghendaki Wulung Seta, dengan apa 

yang dicita-citakan oleh ayahnya.

Rupanya perasaannya yang dapat mengen-

dalikan hati Angelir, menjadikan Angelir mem-

balas ciuman yang dilontarkan Wulung Seta. 

Keduanya terhanyut diam, seakan tak memikir-

kan segala apa yang tengah terjadi.

Wulung Seta tersentak, manakala salah 

seorang patihnya datang,

"Ada apa, Randu Alasan?" tanya Wulung 

Seta sembari melepaskan ciumannya.

"Am... ampun, Paduka. Sungguh hamba ti-

dak mengerti," terbata-bata Randu Alasan ber-

kata. Hampir saja Randu Alasan kembali balik, 

tatkala Wulung Seta berseru.

"Tunggu, Randu! Ada apa gerangan?"

Randu Alasan segera menghentikan lang-

kahnya, kembali menghadap ke Rajanya. Setelah 

kembali menyembah, Randu Alasan segera berka-

ta:

"Ampun Baginda yang Mulia, Ketiwasan!"

"Ketiwasan...? Ketiwasan apa maksudmu, 

Randu?" tanya Wulung Seta tak mengerti apa 

yang dimaksud oleh Randu Alasan. Matanya mem-

beliak karena kaget, memandang pada Randu 

Alasan.

"Ampun Yang Mulia. Lima orang prajurit 

kedapatan mati," kata Randu Alasan menjadikan 

Wulung Seta makin membeliak matanya, seketika 

Wulung Seta berdiri.

Angelir yang melihatnya nampak ketaku-

tan dan menundukkan kepalanya. Wulung Seta


tercenung, memandang ke langit-langit pendo-

po. Matanya berkaca-kaca, sepertinya menan-

gis. Ya, Wulung Seta memang menangis. Wulung 

Seta menangisi kejadian-kejadian yang tak 

pernah diduganya. Baru saja adiknya Amurwa 

Sakti menyangka kalau-kalau prajuritnya yang 

berbuat, tapi kini prajurit-prajuritnya sen-

diri yang terkena musibah.

"Kau tahu siapa orang yang melakukan-

nya, Randu?"

"Ampun, Baginda Yang Mulia. Kalau hamba 

mengetahui siapa orangnya tak akan hamba bi-

arkan ia hidup-hidup," jawab Randu Alasan.

"Ayo kita ke sana!" ajak Wulung Seta.

Dengan diiringi oleh Randu Alasan dan 

Angelir, Wulung Seta bergegas pergi menuju ke 

perkemahan prajuritnya. Langkahnya begitu 

memburu, sepertinya ingin segera bergegas 

mengetahui apa gerangan yang terjadi.

Wulung Seta dan Angelir terbelalak ka-

get, manakala melihat korban yang mati. Lima 

orang mati dengan kening bolong, ditutup oleh 

setangkai bunga mawar merah darah.

Diambilnya kelima bunga mawar itu oleh 

Wulung Seta. Ditatapnya sesaat kelima praju-

ritnya, hatinya bergumam perih: "Oh, apa ar-

tinya semua ini?"

"Sepertinya ada musuh dalam selimut, 

Paduka!" kata Randu Alasan menjadikan Angelir 

dan Wulung Seta terjengah kaget. Keduanya se-

ketika memandang Randu Alasan, yang tertunduk 

tak berani menentang pandang.

"Mungkin juga, Randu. Untuk itu, perik-

sa seteliti mungkin orang-orang yang patut 

dicurigai!"

"Daulat, Paduka. Segala titah paduka,


akan hamba junjung tinggi!" jawab Randu Ala-

san.

Angelir yang berdiri di samping Wulung 

Seta hanya diam membisu. Dalam hatinya bergu-

mam penuh kemenangan. Sudah banyak korban 

yang jatuh, menjadikan makin berkurang beban 

prajurit ayahnya.

"Bila masanya tiba, maka kaupun akan 

menerima nasib yang sama, Randu Alasan!" mem-

batin Angelir.

Randu Alasan yang tengah memandang An-

gelir, seketika hatinya membersit sebuah tu-

duhan. Namun Randu Alasan tak berani menguta-

rakannya. Ia takut kalau-kalau Wulung Seta 

bahkan balik menuduhnya. "Ah, sungguh petaka! 

Tapi, apakah memang benar gadis ini yang ber-

buat? Memang sejak Wulung Seta bersamanya, 

korban banyak berjatuhan. Semua sama, mati 

dengan bunga mawar," batin Randu Alasan.

Melihat Randu Alasan menatapnya, Ange-

lir yang merasa telah mampu mengait hati Wu-

lung Seta menentang pandangan Randu. Hal itu 

menjadikan Randu Alasan tak berani untuk te-

rus bertatap mata. Randu Alasan akhirnya me-

nunduk.

Malam pun berjalan dengan cepat, mengi-

ringi kebisuan yang terjadi. Waktu terus mem-

buru, sepertinya turut menyaksikan apa yang 

telah terjadi. Bila esok datang, kembali me-

reka akan disiapkan untuk berperang.

Kejadian malam itu seperti gelap, gelap 

tak ada yang dapat membuka tabir semuanya. 

Dengan langkah lesu, Wulung Seta yang diirin-

gi Angelir berjalan kembali menuju istana.

Randu Alasan hanya mampu mendesah, me-

narik napas panjang. Lalu dengan dibantu be


berapa orang prajurit, Randu Alasan malam itu 

juga mengubur kelima teman-temannya.

"Siapakah pelaku semua ini?" gumam hati 

Randu Alasan.

Ia tak berani menuduh siapa yang telah 

berbuat, walaupun hati tuanya mengumandangkan 

sebuah terkaan pada siapa sebenarnya yang te-

lah melakukan segalanya. Tapi kedudukannya 

selaku patih, menjadikan Tut Wuri Handayani. 

Manut untuk terus menjadi patih, daripada me-

nentang tapi dipecat!

***

LIMA



Dengan adanya perang yang terus berke-

lanjutan, menimbulkan bencana dari sosial. 

Pencurian, perampokan, pembunuhan, penculikan 

dan sebagainya.

Kelaparan melanda di mana-mana, kejaha-

tan sosial pun terus melanda. Tak ada yang 

dapat disalahkan, tak ada yang dapat memben-

dungnya. Semua tertuju pada perang, ya pe-

rang.

Malam itu desa Kurawan tampak sepi. An-

gin malam menimbulkan rasa dingin yang menu-

suk-nusuk. Hujan mengguyur dengan derasnya, 

disertai suara halilintar yang menggema ber-

kali-kali.

Dari kejauhan, tampak seorang lelaki 

berlari menerobos hujan. Lelaki itu yang ter-

nyata Jaka adanya, memaki-maki sendiri pada 

hujan.

"Hujan sialan! Basah semua pakaianku!"


Jaka terus berlari menerobos gelap, me-

mecahkan rintikan-rintikan air hujan yang 

mengguyur tubuhnya. Dicobanya untuk terus 

berlari, mencari salah sebuah rumah penduduk 

untuk menumpang teduh.

Tengah Jaka Ndableg berlari merambah 

hujan, seketika telinganya yang tajam menden-

gar jeritan dari arah depannya. Jeritan itu 

berasal dari sebuah desa. Jaka yang tadinya 

hendak mencari teduh, segera mengurungkan 

niatnya.

"Heh, seperti ada bencana. Apakah me-

mang ada bencana di desa sana?" gumam Jaka 

yang terus mempercepat larinya, tak perduli 

lagi dengan tubuhnya yang tersiram air hujan. 

Walau dadanya yang telanjang terasa sesak 

oleh tempaan air hujan, Jaka terus berlari.

* * *

"Tolong...! Rampok...! Aaachhh...!"

Orang yang berteriak itu seketika ter-

kulai, darah berhamburan muncrat dari leher-

nya yang dibabat golok. Orang malang itu am-

bruk, mati dengan leher hampir putus.

Pekik-pekik wanita yang ketakutan, me-

mecahkan kesunyian malam. Sementara gelak ta-

wa para rampok, sepertinya gelak tawa setan 

yang mengerikan.

"Rambah semua rumah penduduk!" terden-

gar suara seorang wanita berseru, sekaligus 

memerintah pada anak buahnya. Wanita itu yang 

ternyata Loro Ireng tertawa bergelak-gelak. 

"Bunuh mereka yang menentang!"

Tengah garong-garong itu beraksi, ter-

dengar suara bentakan yang seketika menge


jutkan Loro Ireng. Seketika mata Loro Ireng 

mengalihkan pandangannya pada asal suara itu.

"Sundel Bolong! Rupanya kau orangnya 

yang selalu membuat kerusuhan!"

"Hem, kaukah lurah di sini?" tanya Loro 

Ireng sinis, menjadikan kepala desa di hada-

pannya mendelik. "Kebetulan! Lurah dungu, ka-

takan pada penduduk mu supaya memberikan apa 

yang mereka miliki pada kami!"

"Setan Alas! Jangan kira aku mau diper-

budak olehmu!" menggeretak kepala desa marah. 

"Serang...!"

Demi mendengar seruan kepala desa, se-

ketika pamong praja berkelebat menyerang Loro 

Ireng berbarengan. Diserang begitu rupa Loro 

Ireng bukannya takut, malah dengan ganda ter-

tawa Loro Ireng memapakinya.

"Rupanya kalian minta mampus! Baik, te-

rimalah ini!"

Loro Ireng yang berjuluk Dewi Alas 

Renges berkelebat dengan cepat. Tangannya 

yang kecil dan halus, tak ubahnya bagaikan 

baja yang keras. Setiap hentakan tangannya, 

menimbulkan hawa panas. Itulah ajian Tangan 

Dewa. Walaupun seorang gadis, namun Loro 

Ireng adalah murid Datuk Wurang Geni yang 

terkenal kesaktiannya. Maka tak dapat disang-

sikan lagi kalau Loro Ireng pun memiliki 

ajian-ajian yang dimiliki oleh Wurang Geni.

Di pihak lain, anak buahnya nampak ma-

kin mengganas. Korban sudah banyak berjatu-

han, terbabat golok anak buah Loro Ireng.

"Ayo, jangan sisakan apa yang ada. Am-

bil semua!" seru Gober selaku wakil Loro 

Ireng. Tak dapat dibayangkan, anak buah Ge-

rombolan Hutan Renges seketika makin mengga


nas. Golok di tangan mereka, tak ubahnya ma-

laikat elmaut. Setiap kelebatan golok itu, 

memekik pula kematian.

Tengah mereka beraksi, membunuh dan me-

nyiksa penduduk desa terdengar suara lantang 

membentak:

"Tikus, tikus busuk! Rupanya kalianlah 

tikus-tikus yang suka usil!"

"Bedebah! Siapa kau! Kalau kau manusia, 

tunjukkan batang hidungmu!" bentak Gober ma-

rah, merasa dihina dengan panggilan tikus. 

Matanya liar memandang ke asal suara, dengan 

golok siap di tangannya.

"Aku di sini, tikus dungu!"

Bersamaan dengan habisnya suara Jaka, 

seketika berkelebat tubuhnya yang tahu-tahu 

telah berdiri di hadapan Gober. Gober tersen-

tak dan melompat mundur. Bibirnya menyungging 

senyum sinis, manakala tahu siapa gerangan 

yang telah berdiri di hadapannya.

"Rupanya hanya seekor monyet," dengus 

Gober.

"Ah, apakah kau tak salah ngomong? Aku 

rasa, kaulah monyetnya. Kalau kau manusia, 

jelas kau memiliki rasa kemanusiaan. Tapi kau 

memang monyet. Ha, ha, ha.... Pantas, pan-

tas!"

"Sinting! Siapa namamu, Anak muda? Jan-

gan kau mati tak meninggalkan nama!" bentak 

Gober.

"Wow, gaya bahasa mu seperti filsuf. 

Namun tindakanmu, heh, he... tak lebih tinda-

kan maling kelas teri. Eh, bukankah kau me-

mang maling?"

"Pemuda sinting! Rupanya kau ingin mam-

pus, berani lancang pada gerombolan Alas


Renges!"

"Aduh... Maaf saja yang mulia. Sungguh 

aku tak tahu, kalau yang mulia ternyata pim-

pinan gerombolan tikus-tikus comberan. Ha, 

ha, ha...."

Tak dapat dicegah lagi kemarahan Gober 

mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka. Maka 

dengan mendengus marah, Gober segera berseru 

pada anak buahnya.

"Serang...! Jangan biarkan pemuda gila 

ini hidup!"

"Wadauw.... Kenapa oom-oom semua menye-

rangku? Apa salahku, oom?"

Jaka bagai orang kebingungan diserang 

oleh begitu banyak orang. Tubuhnya yang beri-

si, berkelebat-kelebat dengan ilmu meringan-

kan tubuh hingga serangan mereka hanya menge-

nai tempat yang kosong.

Seharusnya mereka sadar siapa yang kini 

tengah mereka hadapi. Namun sebagai orang-

orang yang kasar, mereka tak mau perduli sia-

pa adanya Jaka.

"Ampun, oom. Jangan tendang aku...!" 

Jaka berseru manakala salah seorang anggota 

Gerombolan Alas Renges hendak menendangnya. 

Dengan bergerak cepat membalik, Jaka tendang-

kan kakinya menghantam orang itu.

"Aaah...!" seketika memekiklah orang 

yang kena tendang. Matanya mendelik, tangan-

nya memegangi dadanya yang terasa sakit. Jaka 

yang merasa main-main, tertawa bergelak-gelak 

demi melihat musuhnya muter-muter sambil me-

nahan sakit.

"Hua, ha, ha.... Lucu teman kalian. Li-

hat, bukankah ia seperti tikus comberan men-

cium tai?"


"Edan! Jangan hiraukan ucapannya!" den-

gus marah Gober, melihat tingkah laku Jaka 

yang konyol. "Serang...!"

"Eeh.... Rupanya kalian juga ingin me-

nikmati mimpi indah. Wah... memang malam te-

lah larut, ditambah lagi dengan gerimis. Enak 

ya kalau tidur, apa lagi dengan isteri!"

"Setan! Jangan banyak bacot!" maki keki 

Gober yang merasa Jaka telah mempermainkan-

nya. Tubuh Gober bergerak dengan cepat, mem-

babatkan pedangnya ke tubuh Jaka. 

Pertarungan terus berlangsung dengan 

serunya. Walau Jaka nampak seperti main-main, 

namun segala tindakannya selalu membawa ha-

sil. Tangannya yang seperti menari, selalu 

menjadikan musuhnya terhempas ke belakang.

"Wah... wah... Kenapa kalian tidak per-

nah makan pisang? Kenapa srodak sono srodak 

sini? Jangan kesusu, kawan! Ini untukmu pi-

sang molen!"

Habis berkata begitu, Jaka segera me-

nyodokkan bogem mentahnya ke mulut penyerang-

nya. Seketika menjeritlah orang itu, dengan 

mulut yang berlepotan darah. Giginya rontok, 

berjatuhan muncrat dari mulut bersamaan den-

gan muncratnya darah.

Semua yang mengeroyoknya tercengang. 

Namun belum juga mereka sadar, Jaka telah 

mendahuluinya.

"Ini untuk kalian yang bengong!"

"Aduh...!" pekik seorang lagi. 

"Ini juga! Biar mulutnya yang bau jeng-

kol tidak menganga terus. Bahaya kalau mulut-

mu menganga, bisa menimbulkan polusi!"

Seperti yang pertama, orang kedua, ke-

tiga, keempat, dan kelima pun seketika menje


rit-jerit sambil memegangi mulutnya yang ter-

timpa kue pisang molen Jaka!

Jeri juga yang lainnya melihat hal itu. 

Namun kejerian mereka hilang, kala Gober kem-

bali berseru memerintahkan mereka agar menye-

rang.

"Serang lagi! Jangan biarkan anak gen-

deng ini bebas!"

Serta merta, kesembilan puluh anak 

buahnya bareng mengepung Jaka yang tertawa-

tawa. Golok di tangan mereka, berkelebat tak 

beraturan menjadikan Jaka pusing juga. Namun 

bukanlah Pendekar Pedang Siluman Darah kalau 

harus mengalah. Diserang serabutan begitu ru-

pa, tidak menjadikan Jaka gentar.

"Ampun, Emak! Mereka hendak mencincang 

Jaka...!" seru Jaka bagaikan anak kecil. Hal 

itu menjadikan nafsu penyerangnya yang sedari 

tadi memang telah kesal dengan ulah Jaka,

Mereka terus mencerca Jaka, bagaikan 

tak memberi kesempatan sedikit pun bagi Jaka 

untuk mengatur napas. Golok di tangan mereka 

silih berganti, menyerang. Hal itu menjadikan 

Jaka menggerutu kesal, yang dengan konyolnya 

menyemburkan ludah ke muka penyerangnya.

"Cuh...!"

Mata orang yang terkena semburan ludah 

Jaka, seketika gelap. Maka serangan mereka 

pun makin tak menentu. Bahkan teman sendiri 

diserang begitu saja.

"Edan si Jumro! Kenapa kau menyerang 

aku, hah!" maki orang yang diserang Jumro.

"Aduh... Aduh, mataku...!" Jumro menje-

rit-jerit.

"Hua, ha, ha...! Nah, siapa lagi yang 

ingin susu indomilk?"


"Sinting! Kau harus mampus, anak muda!" 

dengus Gober.

"Apa...? Kau minta mampus? Baiklah! Ka-

lau memang itu kehendak kalian, akan aku ban-

tu kau ke akherat, hiaat...!"

Jaka bergerak cepat, tak segan-segan 

lagi menghantamkan tangannya yang berisi te-

naga dalam. Tangannya bagaikan burung pela-

tuk, mematuk jidat orang-orang itu. Seketika 

menjeritlah orang-orang yang terkena. Dalam 

sekali gebrakan saja, sepuluh orang telah 

terhantam. Di jidat mereka tergambar angka 

dadu, yang menjadikan Jaka makin ganda ta-

wanya seperti melihat hal lucu.

Di pihak lain, Loro Ireng yang tengah 

dikeroyok oleh kepala desa dan para pamong 

Praja nampak masih tenang. Sudah lima orang 

yang meregang nyawa, terhantam tangan Loro 

Ireng yang disaluri ajian Tangan Dewa.

"Terimalah Dewa Brahma!" bentak Loro 

Ireng.

Bersamaan dengan itu, tangan Loro Ireng 

seketika menyala bagaikan tertutup api. Itu-

lah kehebatan tangan Dewa. Setiap kali Loro 

Ireng merapalkan segala Dewa, maka tangannya 

akan seketika berubah menjadi tangan Dewa. 

Dewa Brahma adalah Dewa Api, sehingga tangan 

Loro Ireng pun menjadi api.

Tersentak mundur kepala lurah melihat 

hal itu. Nyalinya seketika menciut. Namun se-

bagai kepala desa, ia dituntut untuk membasmi 

kerusuhan di desanya. Mau tak mau, kepala de-

sa itu pun membuang segala kengerian di ha-

tinya. Maka dengan Ajian Tirta Buananya, Ke-

pala Desa segera berkelebat memapaki serangan 

Loro Ireng.


"Tirta Buana.... Hiaatt...!"

"Hiaatt...!"

"Duar!"

Ledakan terdengar seketika, manakala 

dua ajian bertemu menjadi satu saling serang. 

Kepala desa terpental lima tombak dengan tu-

buh terjengkang, mulutnya mengeluarkan darah 

segar.

Sementara Loro Ireng pun tak luput. Tu-

buhnya terjengkang tiga tombak, matanya melo-

tot tak percaya.

Dengan mendengus marah, Loro Ireng yang 

sudah mampu menjaga keseimbangannya kembali 

hendak menyerang Kepala Desa. Membeliak mata 

Kepala Desa, manakala Loro Ireng berkelebat 

dengan ajian Dewa Wisnu. Tangan Loro Ireng 

seketika berubah banyak dengan api yang me-

nyala-nyala.

"Gusti Allah! Mungkin hanya di sini 

umurku!" batin kepala desa, manakala Loro 

Ireng semakin dekat ke arahnya. Namun ketika 

Loro Ireng hendak menghabisi nyawa Kepala De-

sa, secepat kilat sebuah bayangan berkelebat 

memapakinya.

"Aaah...!" Orang yang memapakinya seke-

tika melengking. Tubuh orang itu hangus, ter-

bakar oleh api yang menyala-nyala. Kepala De-

sa tersentak membuka matanya, memekik manaka-

la tahu siapa orang yang telah berusaha meno-

longnya.

"Rekso Panuluh! Rekso Panuluh!"

Rekso Panuluh yang telah mati, tak men-

dengar jeritan Kepala Desa yang mengguncang-

guncang tubuhnya. Rekso Panuluh adalah salah 

seorang tangan kanan Kepala Desa yang sangat 

setia pada pimpinannya. Pengorbanan Rekso Pa


nuluh begitu besar dengan cara mengorbankan 

nyawanya untuk keselamatan Kepala Desanya.

"Sundel Bolong! Aku akan mengadu jiwa 

denganmu!" menggeretak Kepala Desa marah. La-

lu dengan menggeram terlebih dahulu, kepala 

desa segera menyerang Loro Ireng yang terse-

nyum.

"Akan aku kirim kau ke neraka, Kepala 

Desa dungu!" bentak Loro Ireng. "Terimalah 

ajian ku. Dewa Petir...!"

Dikiblatkan tangannya yang telah dilan-

dasi dengan Ajian Dewa Petir. Seketika petir 

membahana, mengejutkan semua orang yang ada 

di situ termasuk Jaka. Jaka yang tengah mem-

permainkan anak buah Loro Ireng tersentak ma-

nakala didengarnya petir membahana.

"Hem, rupanya di sini ada yang memiliki 

ajian Petir seperti milikku!" batin Jaka. 

Dengan segera Jaka menengok sesaat ke asal 

suara petir itu. Matanya seketika membeliak, 

mana kala dilihatnya seorang gadis mengumbar 

ajiannya yang mengeluarkan petir menyerang 

orang tua yang tampak lemah. "Aku harus meno-

long orang tua itu!" pekik Jaka dalam hati. 

Maka dengan sekali loncat, tubuhnya telah me-

lesat menghadang serangan Loro Ireng.

"Petir Sewu...!" seru Jaka.

Hampir saja Kepala Desa itu terhantam 

ajian Dewa Petir yang dilontarkan oleh Loro 

Ireng, kalau saja Jaka tidak segera memapaki 

serangan Loro Ireng dengan Petir Sewunya.

"Duar...!"

"Aah...!" pekik Loro Ireng dengan tubuh 

terjengkang ke belakang. Pakaian yang dikena-

kan seketika hancur terbakar oleh petir yang 

dilontarkan Jaka.


"Anak muda! Kali ini aku mengalah. 

Tunggulah nanti!" 

Dengan perasaan malu karena tubuhnya 

tak tertutup sehelai benang pun, Loro Ireng 

segera pergi diikuti oleh sisa-sisa anak 

buahnya.

* * *

Sepeninggalan Loro Ireng beserta kam-

brat-kambratnya, Jaka segera menghampiri Ke-

pala Desa yang masih pucat. Dibantunya Kepala 

Desa itu bangun.

"Siapa mereka, bapak?" tanya Jaka.

"Mereka adalah gerombolan Alas Renges, 

nak," jawab Ki Lurah dengan napas ngos-

ngosan. "Kau hebat, anak muda. Kau mampu men-

galahkan ajian Dewa Petir miliknya. Siapa na-

mamu?"

"Nama saya Jaka, pak."

"Jaka, tanpa kedatanganmu mungkin entah 

jadi apa desa ini. Untuk itulah, aku selaku 

pimpinan desa mengucapkan terima kasih."

"Itu sudah kewajibanku, bapak. Tak per-

lulah bapak memikirkannya," jawab Jaka dengan 

senyum, menjadikan seluruh warga yang ada di 

situ memdecak kagum. Gadis-gadis yang meli-

hatnya seketika melekatkan pandangan matanya 

pada wajah Jaka yang tampan.

"Wah, sudah tampan berilmu tinggi pu-

la," gumam Kemuning pada temannya.

"Kau naksir, Kemuning?"

"Ah, mana dia mau yang tampan dan sakti 

denganku yang jelek? Bisa-bisa diketawai!" 

jawab Kemuning sambil tersenyum.

Sementara Jaka dengan Kepala Desa terus


melangkah menuju ke rumah Kepala Desa. Sambil 

berjalan, mereka saling bercerita tentang 

keadaan diri mereka masing-masing. Tak tera-

sa, dalam beberapa menit saja keduanya telah 

sampai.

"Inilah rumahku, Jaka. Ayo mampir!"

"Ah, terima kasih. Gampang lain waktu 

saja. Aku mohon pamit!"

"Kau mau ke mana, Jaka?"

"Aku akan melihat pertempuran itu!"

Habis berkata begitu, secepat kilat Ja-

ka telah berkelebat. Hal itu menjadikan Ki 

Lurah melototkan mata tak percaya sembari 

menggumam. "Apakah dia itu Dewa? Kalau orang, 

mana mungkin dapat berlari seperti angin?"

Orang-orang yang mengantar Ki Lurah 

hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala, demi 

melihat kelebatan Jaka yang bagaikan angin.

* * *

Pagi yang telah datang, manakala menta-

ri menyibak daun-daun yang berada di hutan 

dengan sinarnya. Burung-burung terdengar ber-

nyanyi dengan riangnya, seakan mensyukuri 

nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.

"Ooh, hari telah pagi. Pantas kalau aku 

silau, tak tahunya sinar matahari menerpa wa-

jahku," gumam Jaka yang baru saja terbangun 

dari tidurnya. "Semalam aku bertempur dengan 

gerombolan Alas Renges. Hem, aku akan mencari 

mereka!"

Dengan sekali loncat, Jaka telah turun 

dari batang cabang pohon yang dijadikannya 

tempat tidur. Setelah melemaskan tubuh, Jaka 

segera berkelebat untuk mencari air. Tak be


rapa lama kemudian, Jaka dapat menemukan se-

buah kolam air.

Setelah celingukan ke sana ke mari dan 

dirasakan tak ada orang lain, dengan segera 

Jaka langsung menceburkan diri ke sendang 

itu.

"Ah, dingin benar air sendang ini!"

Walau air sendang itu memang dingin, 

namun terasa sejuk kala Jaka terus menyibak-

kan badannya. Hingga saking asyiknya Jaka 

mandi, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa 

musuh akan selalu datang tak mengenal waktu.

Begitu juga saat itu, Jaka tak menyada-

ri kalau sepasang mata lentik tengah mengawa-

si dirinya. Mata itu milik seorang wanita, 

yang merasa kagum atas ketampanan Jaka.

"Sungguh tampan pemuda itu," gumam wa-

nita itu dalam hati. "Aku... Oh, kenapa kau 

begitu tertariknya untuk dapat mengenalnya?" 

Perlahan-lahan gadis itu melangkah men-

dekati tempat di mana Jaka menaruh pakaian-

nya. Dengan perlahan-lahan hingga tak menim-

bulkan suara sedikitpun, gadis itu segera 

mengambil baju Jaka.

Ketika Jaka telah selesai mandi dan 

hendak mengambil pakaiannya, seketika mata 

Jaka melotot kaget. Bajunya telah hilang, 

yang ada hanya celananya saja. Dengan menya-

bet celana dan bergegas mencari tempat ber-

sembunyi, Jaka segera pergi untuk mengenakan 

celananya.

"Ke mana bajuku? Apakah aku lupa mena-

ruh?" gumam Jaka dalam hati, bingung. "Ah, 

tidak. Aku tidak lupa, aku belum linglung. 

Atau barangkali terhanyut oleh air? Coba aku 

cari lagi!"


Jaka dengan segera kembali berkelebat 

menuju ke sendang, di mana ia tadi mandi. Ma-

tanya memandang pada air sendang yang tampak 

bening.

"Hem, tak ada. Masa baru sekejap saja 

bajuku tenggelam? Tak mungkin...!" gumam hati 

Jaka penuh ketidakmengertian.

Tengah Jaka kebingungan menari bajunya, 

terdengar seorang gadis mendehem dan bertanya 

kepadanya. "Ehm.... sedang apakah dirimu, Ja-

ka?"

Jaka segera memalingkan mukanya, meman-

dang pada gadis itu dengan terkejut. Betapa 

tidak, bertemu saja baru sekarang, mengapa 

gadis itu mengenalnya?

"Apakah sedemikian tenarnya, sehingga 

namaku begitu melekat di hati gadis-gadis? 

Ah, kayak bintang film saja," gumam Jaka da-

lam hati.

"Heh, dari mana nona tahu namaku?" 

tanya Jaka dengan kebingungannya. Namun gadis 

itu bukannya menjawab, bahkan dengan terse-

nyum dia mengerlingkan matanya genit. 

"Sompret...! Ditanya, eh malah main ma-

ta. Apa sih maunya?" kembali Jaka bergumam 

dalam hati, demi dilihatnya gadis itu main 

mata dengannya.

"Nona, apakah nona tahu bajuku?"

"Kalau aku tahu, mau kau beri aku apa?" 

balik bertanya si gadis, yang menjadikan Jaka 

jantungnya deg-degan melihat senyum yang sen-

gaja ditujukan ke arahnya.

"Jadi benar namamu, Jaka?" 

"Ya, ada apa?"

"Ah, tak apa-apa. Terus terang saja, 

kau tampan!"


"Aah...." Terbelalak mata Jaka menden-

gar pengakuan gadis itu yang polos. "Apa kau 

tak bercanda, nona?"

"Tidak! Aku tidak bercanda. Bukankah 

aku tadi mengatakan terus terang saja?" jawab 

si gadis makin melebarkan senyumnya.

Hati Jaka seketika bagai bedug ditabuh, 

bergemuruh dengan segala perasaan bangga. Tak 

terasa, Jaka pun menatap mata si gadis lekat-

lekat. Hingga untuk beberapa lama Jaka hanya 

diam mematung, sementara matanya tak luput 

dari tatapan si gadis.

"Kenapa kau bengong, Jaka?"

"Ah, ti... tidak!" jawab Jaka terbata. 

Lalu setelah dapat menenangkan pikirannya, 

Jaka kembali meneruskan. "Nona, kau telah ta-

hu siapa namaku. Sekarang aku ingin bertanya, 

tahukah kau siapa yang telah mengambil baju-

ku?"

Mendengar pertanyaan Jaka, gadis itu 

tampak merengut. Hal itu membuat Jaka seketi-

ka mengernyitkan kening tak mengerti, lalu 

dengan tergagap kembali bertanya.

"Ada apakah, nona? Apakah aku telah me-

nyinggung perasaanmu?"

"Kau terlalu, Jaka," jawab si gadis, 

yang makin menjadikan Jaka mendalamkan lipa-

tan kerut di keningnya.

"Hai... Kau bilang aku terlalu. Maksud-

mu terlalu bagaimana, Nona?"

Gadis itu tak segera menjawab, bahkan 

kini ia pergi meninggalkan Jaka yang hanya 

mematung tak mengerti. Pikiran Jaka yang se-

dang kacau, makin bertambah linglung bingung.

"Edan! Beginilah kalau menjadi orang 

ganteng," gumam Jaka menyanjung dirinya sen


diri. "Huh, kalau begini caranya, aku terma-

suk orang-orang penghancur hati wanita!"

Tengah Jaka terbengong-bengong tak men-

gerti, didengarnya isak tangis. Jaka tersen-

tak dan segera memasang telinganya, dan Jaka 

lebih tersentak lagi manakala ia tahu siapa 

yang tengah menangis itu.

"Heh, inikah yang dinamakan dunia cin-

ta?" tanya Jaka dalam hati. "Sungguh perilaku 

edan kalau begitu. Kenapa gadis ini menangis 

hanya karena aku tak tahu apa-apa? Huh... 

pusing-pusing."

Perlahan Jaka menghampiri gadis itu 

hingga tak terdengar langkahnya. Ketika tan-

gan Jaka hendak memegang pundak si gadis, Ja-

ka segera mengurungkannya. "Nona, kenapa nona 

menangis?" Gadis itu segera menengokkan wa-

jahnya. Dipandangnya wajah Jaka lekat-lekat. 

Perlahan gadis itu bangkit dari duduknya, la-

lu menghampiri Jaka yang berdiri bengong me-

matung.

"Apakah kau tak tahu perasaan, Jaka?" 

tanya si gadis, menjadikan Jaka membelalakkan 

mata dan bertanya tak mengerti:

"Heh, benarkah aku ini tak punya pera-

saan?" gumamnya seperti pada diri sendiri. 

"Aku rasa, aku mempunyai perasaan kaya-kaya 

seperti manusia."

"Kenapa kau tak mau memperhatikan aku?" 

sendah si gadis menjadikan Jaka makin menja-

di-jadi kagetnya. Bagaimana mungkin, ia mung-

kin baru mengenalnya harus memperhatikan? 

Apakah itu bukan suatu hal yang sangat musta-

hil?"

"Nona ini bagaimana? Bertemu saja kita 

baru di sini, mana mungkin aku dapat memper


hatikan mu?" tanya Jaka.

Gadis itu terdiam, matanya tetap mele-

kat pada titik mata Jaka sepertinya hendak 

menembus ruang-ruang hati Jaka. Jaka mendesah 

berat, dirasakan olehnya bahwa gadis itu me-

mang sengaja menaruh benang cinta untuknya.

"Jaka, apakah kau tak tahu?" 

"Maksudmu, Nona?" tanya Jaka tak men-

gerti.

Gadis itu tak meneruskan kata-katanya. 

Untuk kedua kalinya gadis itu menatap lekat 

pada Jaka, sehingga keduanya kembali diam.

Tak dikira sebelumnya oleh Jaka, tangan 

gadis itu seketika bergayut di pundaknya. Mu-

lanya Jaka hendak menolak, namun ketika meli-

hat mata si gadis yang sendu, Jaka tak meng-

gubrisnya. Dibiarkan tangan si gadis terus 

bergayut di pundaknya.

"Ah, bagaimana aku harus berbuat?" ke-

luh Jaka dalam hati.

Untuk kedua kalinya Jaka tersentak ka-

get, manakala untuk kedua kalinya pula gadis 

itu dengan berani menciumnya. Bukan alang ke-

palang bingungnya Jaka saat itu.

"Nona, kenapa kau begitu berani? Bukan-

kah kita belum saling kenal?"

"Aku tak perduli, Jaka," jawab si gadis 

dengan tenang, sepertinya tak pernah bersa-

lah. "Bukankah aku telah mengenal namamu?"

"Ah..;." keluh Jaka tertahan. "Bukankah 

aku belum mengenalmu? Apakah kau tak takut 

kalau aku orang jahat, nona?"

Ditanya seperti itu oleh Jaka, si gadis 

malah tersenyum. Tangannya yang bergayut di 

pundak Jaka, makin menutup yang akhirnya me-

meluk leher Jaka.


"Kalau kau ingin tahu namamu, aku ber-

nama Dewi Ayu Angelir," jawab si gadis. "Nah, 

bukankah kita tak ada halangan sekarang?"

"Ada, nona!" jawab Jaka seketika, men-

jadikan si gadis yang bernama Angelir membe-

lalakkan mata. "Apa itu, Jaka?"

"Kita terbatas dengan susila, bukan?"

"Ah, Jaka...." keluh si gadis manja dan 

kembali menggayutkan kedua tangannya di pun-

dak Jaka.

"Nona, apakah kau tahu bajuku?" kembali 

Jaka bertanya.

"Kenapa kau tak mau memanggil namaku 

saja, Jaka?"

"Baiklah, No... Eh, Angelir. Tahukah 

kau siapa yang mengambil bajuku?"

"Tahu...." jawab si gadis dengan manja. 

"Kalau aku tahu dan mau menunjukkan siapa 

pencurinya, apa yang bakal kau hadiahkan pa-

daku?"

"Kau minta apa?"

"Aku... Hem, aku minta ini."

Terjengah Jaka tak mampu menolak ketika 

bibir si gadis menjarah bibirnya. Jaka beru-

saha melepaskannya, namun si gadis tak mau 

perduli. Hingga akhirnya, Jaka pun terhanyut 

dalam suasana romantis itu.

Namun ketika gadis itu mengajaknya ma-

kin tak karuan, dengan segera Jaka menyadar-

kan dirinya sendiri. Jaka dengan segala pera-

saannya segera meninggalkan gadis itu sendi-

rian, tanpa menghiraukan bajunya yang hilang 

entah ke mana.

"Huh.... Ada-ada saja kehidupan di du-

nia," gumam Jaka sembari terus berjalan dalam 

usahanya mencari markas gerombolan Alas


Renges, yang telah membuat kerusuhan. Tak te-

rasa langkahnya telah begitu jauh, meninggal-

kan tempat di mana Angelir hampir saja menje-

rumuskannya.

Siang itu di wilayah pendukuan Goa Se-

lerong nampak ramai. Tampak orang-orang ber-

lalu-lalang dengan tujuan masing-masing. Ke-

banyakan mereka orang-orang yang melancong 

untuk berdagang, atau sekedar mencari hibu-

ran.

Biasanya mereka datang untuk sekedar 

mencari wanita-wanita penghibur, atau main 

koprok yang telah mendarah daging di daerah 

itu. Saking susahnya permainan Koprok dibu-

barkan, sampai-sampai pihak kerajaan tak mau 

ambil perduli lagi.

Jaka terus berjalan, manakala tampak 

olehnya segerombolan orang-orang tengah me-

nyaksikan sesuatu. Karena tertarik, Jaka pun 

segera mendatangi tempat itu.

"Ada gerangan apakah, Ki Sanak?" tanya 

Jaka pada salah seorang penonton.

"Ada orang berkelahi," jawab yang di-

tanya.

"Berkelahi...?" kembali Jaka bertanya, 

sepertinya ingin meyakinkan jawaban orang 

itu.

"Benar, Anak muda," jawab orang itu 

kembali.

"Mengapa tak ada yang memisahkannya? 

Dan siapa yang berkelahi?"

Orang yang ditanya hanya tersenyum men-

dengar pertanyaan Jaka. Lalu dengan acuh sam-

bil kembali menonton, orang itu berkata.

"Bagaimana untuk memisah? Wong mereka 

itu diadu."


"Diadu...?"

"Ya, mereka diadu!" jawab lelaki itu 

kembali. "Mereka merupakan orang-orang yang 

kalah main Koprok. Mereka diadu oleh Ki Co-

per, dengan maksud siapa yang menang dia tak 

usah mengembalikan hutang-hutangnya pada Ki 

Coper." 

"Hem, begitu?"

"Ya, kebanyakan mereka tak mengerti 

akan tujuan Ki Coper. Mereka bermain tak per-

nah menang. Harta benda ditaruhkannya."

Jaka tercenung demi mendengar keluhan 

orang tersebut, dalam hatinya bergumam penuh 

tanda tanya. Matanya memandang tak berkedip 

pada dua orang yang tengah berlaga. "Apa yang 

sebenarnya terjadi di pedukuan ini?"

Perkelahian antara dua orang laki-laki 

itu terus berjalan, saling baku hantam. Walau 

muka keduanya telah babak belur, namun seper-

tinya kedua orang itu tak bakal ada yang ka-

lah. Keduanya tetap bertahan, dengan harapan 

dapat impas hutang-hutangnya bila menang.

"Ki Sanak, kalau boleh aku tanya, di 

mana biasanya orang-orang main dadu Koprok?" 

tanya Jaka pada orang di sampingnya.

"Mau apa...?" orang itu balik bertanya.

"Aku ingin main!"

"Mau main?" tanya orang itu dengan ka-

get. "Jangan, Anak muda, percuma!"

"Kenapa...?" Jaka bertanya mendesak, 

menjadikan orang itu terdiam menarik nafas-

nya. Sepertinya orang itu sangat iba menden-

gar penuturan Jaka.

"Mereka curang, kau pasti akan kalah," 

jawab lelaki itu, nadanya seperti khawatir. 

"Kuharap janganlah sekali-kali kau terjerat


oleh Ki Coper."

"Terima kasih atas perhatianmu, Ki Sa-

nak," kata Jaka.

Sejenak Jaka kembali memandang pada me-

reka yang tengah berkelahi. Tampak darah te-

lah membasahi sekujur tubuh orang-orang itu. 

Jaka yang merasa kasihan, serta merta berte-

riak:

"Hentikan...!"

Tersentak semua yang ada di situ mana-

kala mendengar seruan itu. Mereka seketika 

memandang pada Jaka, seakan tak percaya bahwa 

orang yang membentaknya adalah anak muda 

usia.

Belum juga mereka tersadar dari kekage-

tannya, Jaka dengan segera berkelebat dan ta-

hu-tahu telah berdiri di antara kedua orang 

yang berkelahi.

"Kalian bukan binatang, kenapa kalian 

mau diadu?" tanya Jaka pada keduanya, yang 

seketika menghentikan perkelahian seraya me-

mandang padanya. "Berapa hutang-hutang ka-

lian, sehingga kalian mau saja diperbudak?"

"Apa maksudmu, Anak muda?" tanya salah 

seorang yang tadi berkelahi.

"Aku tak ingin kalian baku hantam hanya 

karena masalah yang gila," jawab Jaka. "Kalau 

kalian mau berkelahi, kenapa tidak mengeroyok 

biangnya sekalian?"

"Maksudmu, Anak muda?" orang satu-nya 

ikut bertanya.

"Kalau kalian ingin benar-benar bebas 

dari buaya, mengapa kalian tidak membasmi 

buayanya saja? Mengapa justru kalian yang ba-

ku hantam sendiri?"

"Kau maksud kami menentang Ki Coper?"


tanya orang pertama yang berbadan tinggi den-

gan rambut awut-awutan dan jenggot tumbuh le-

bat.

"Ya...." jawab Jaka pendek.

Tengah mereka terdiam mendengar penutu-

ran Jaka, tiba-tiba terdengar seruan yang na-

danya membentak ditujukan pada Jaka.

"Anak muda, lancang kau mengajari 

orang-orang sini! Apa kau belum tahu siapa Ki 

Coper, hah!"

Mendengar seruan orang itu serta merta 

Jaka tertawa bergelak-gelak, menjadikan semua 

yang ada di situ terperanjat dan berusaha me-

nahan getaran tawa Jaka.

"Hai orang yang bicara! Kalau kau benar 

manusia, aku harap sudilah datang ke mari. 

Hanya monyet sajalah yang beraninya berkoar. 

Apa engkau tak ingin kue talam?"

"Setan alas! Lancang mulutmu!" bentak 

orang tersebut, yang dibarengi dengan berke-

lebatnya sesosok tubuh langsing menuju ke 

tengah-tengah arena di mana Jaka berdiri.

Seketika semua orang yang ada di situ 

tersentak, manakala tahu siapa gerangan orang 

yang datang. Saking kagetnya mereka demi me-

lihat orang tersebut, sehingga dari mulut se-

muanya terdengar pekikan menyebut nama orang 

itu.

"Balong Sakti...!"

"Siapa kau, Anak muda?" bentak Balong 

Sakti. "Belumkah kau tahu siapa Ki Coper 

adanya, sehingga kau berani lancang hendak 

mengadu domba?"

"Aku bukan hendak mengadu domba, aku 

hanya memberikan saran pada mereka. Kalau me-

reka mau, ya syukur. Tapi kalau tidak, itu


hak mereka."

Mendengar ucapan Jaka, Balong Sakti 

yang belum tahu siapa adanya Jaka tersenyum 

mencibirkan mulut.

"Lagakmu seperti jagoan, Anak muda!"

"Itu hakmu untuk menilaiku apa," jawab 

Jaka tenang. "Yang penting aku tak pernah me-

rasakan menjadi seorang jagoan. Lagi pula, 

jagoan hanyalah ada pada orang-orang yang gi-

la sebutan."

"Jangan banyak khotbah! Sebutkan namamu 

sebelum aku kirim kau ke neraka!" kata Balong 

Sakti gusar.

"Hem, mampukah kau mengirim ku ke sa-

na?" tanya Jaka dengan seenaknya, membuat Ba-

long Sakti seketika melototkan mata marah. 

Apalagi manakala Jaka kembali berkata, Balong 

Sakti tak dapat membendung amarahnya. "Sebe-

narnya aku juga ingin piknik ke sana, tapi 

Tuhan belum mengijinkan ku. Apakah kau juga, 

Bangkong?"

"Setan...! Namaku bukan Bangkong, Mo-

nyet!" bentak Balong.

"Oh, jadi namamu bukan Bangkong melain-

kan Monyet?" tanya Jaka dengan tenangnya, ba-

gaikan orang pilon yang baru masuk ke kota. 

"Pantas, kalau kau monyet. Lihat saja, mo-

nyongmu memang seperti monyet. Lancip dan ce-

riwis!"

"Setan!" geram Balong, yang disertai 

dengan kelebatan tubuhnya menyerang Jaka. Ja-

ka yang diserang secara tiba-tiba tampak ter-

senyum, dan ganda tertawa manakala melihat 

jurus-jurus Balong.

"Wua, kenapa kau tidak menjadi raja mo-

nyet saja, Balong?"

Balong yang sudah tak dapat menahan 

amarah, tak mengeluarkan kata-kata lagi. Tu-

buhnya terus berkelebat dengan cepat menye-

rang Jaka. Tapi rupanya segala serangan Ba-

long tak berarti apa-apa untuk Jaka. Dengan 

segera, Jaka menangkap kaki Balong manakala 

kaki itu berkelebat menyerangnya.

Tanpa dapat dielakkan oleh Balong yang 

meronta-ronta, Jaka yang timbul ide konyolnya 

segera menarik celana panjang yang dikenakan 

Balong. Ketika Balong meronta lagi, maka su-

dah pasti celananya yang menutupi auratnya 

lepas terbesot tangan Jaka.

Demi melihat keadaan Balong yang telan-

jang, seketika orang-orang yang tadinya ter-

cekam tertawa bergelak-gelak. Tinggallah Ba-

long yang mengumpat-umpat sendiri penuh kema-

rahan.

"Awas kau anak muda! Tunggu kakakku 

nanti!"

Dengan tanpa memperdulikan tubuhnya 

yang tak tertutup celana, Balong segera ber-

lari ngacir. Hal itu menjadikan semua orang 

yang berpapasan dengannya terpekik, khususnya 

kaum wanita yang seketika menjerit sembari 

menutupi matanya. Sementara orang-orang yang 

tadi berkerumum dan mengkhawatirkan Jaka, ki-

ni segera mengangguk-anggukan kepala kagum.

Semua orang yang melihatnya seketika 

mengikuti ke mana Jaka pergi, hingga ketika 

Jaka ke kedai mereka pun ikut ke kedai.

"Apakah kalian tahu di mana kediaman Ki 

Coper?"

"Kami tahu, Tuan Pendekar," jawab semu-

anya bareng.

"Terima kasih. Apakah ada yang mau men


gantarkan aku ke sana?" kembali Jaka ber-

tanya. Kali ini semuanya terdiam tak ada yang 

berani menjawab. "Bagaimana? Adakah yang 

mau?"

Selang beberapa lama setelah semuanya 

diam, terdengar seruan seseorang dari luar 

kedai.

"Anak muda yang tidak memakai baju, ke-

luar kau!"

"Siapa dia...?" tanya Jaka pada semua-

nya, manakala tampak orang-orang di sekitar-

nya terdiam tak ada yang berani berkata.

"Dialah Ki Coper, kakak Ki Balong yang 

telah tuan kalahkan tadi," jawab seseorang 

tiba-tiba, yang menjadikan Jaka tersentak se-

raya memandang ke orang tersebut.

"Siapakah Ki Sanak?" tanya Jaka.

"Aku adik Ki Balong," jawab pemuda itu 

sembari melemparkan topi yang dikenakannya ke 

arah Jaka.

Dengan segera Jaka berkelebat mengelak-

kannya. Tubuh Jaka seketika melompat ke atas 

dan menjebol atap kedai itu, lalu berdiri 

menghadapi ketiga kakak beradik itu.

"Hem, rupanya kalian kecoa-kecoa busuk-

nya!"

"Anak muda, karena kau telah berani 

lancang di daerah ku, maka kau akan tahu sen-

diri akibatnya!"

Tersenyum Jaka mendengar ucapan Ki Co-

per.

"Hem, begitukah? Aku jadi ingin tahu, 

apa yang bakal kalian lakukan padaku yang bo-

doh ini."

"Hati-hati, Anak muda!" bentak Ki Co-

per.


"Sedari tadi aku sudah hati-hati. Kena-

pa kau memikirkan aku? Bukankah lebih baik 

kalian memikirkan diri kalian yang sebentar 

lagi akan menjadi cacing tanah?" ejek Jaka, 

menjadikan ketiga kakak beradik itu mendengus 

marah. 

Tanpa dapat dicegah, ketika kakak bera-

dik itu spontan mengeroyok Jaka. Jaka yang 

sudah tahu siapa mereka, nampak tak mau main-

main. Namun walaupun begitu, Jaka yang memang 

dasarnya Ndableg terus bertingkah konyol. Ke-

tika Lumajang menebaskan golok ke arahnya, 

serta merta Jaka berteriak.

"Ampun, Mas.... Jangan galak-galak, 

dong! Itu kan rempeyek, kenapa kau gunakan 

untuk bertarung? Bukankah lebih baik dimakan 

saja? Eh, kalau kau tak bisa makannya, sini 

aku beritahu!"

Habis berkata begitu, tiba-tiba Jaka 

telah berkelebat dengan cepat. Tanpa dapat 

dilihat, Jaka telah merampas golok yang dipe-

gang Lumajang. Hampir saja Lumajang benar-

benar makan golok, kalau saja Balong tidak 

segera membantu menyerang.

"Eh, rupanya ada kodok Bangkong yang 

datang. Wah, kebetulan aku sudah lama tidak 

makan daging Bangkon!" Jaka mengibaskan tan-

gannya yang memegang golok, menjadikan Balong 

tersentak. Gerakan Jaka begitu cepat, sukar 

untuk diikuti dengan mata.

Melihat adinya dalam keadaan bahaya, 

secepat kilat Ki Cupir bergerak menangkis 

tangan Jaka. Balong selamat, namun kini di-

rinya sendiri yang terancam oleh sabetan go-

lok Jaka.

Hampir saja golok di tangan Jaka mene


bas leher Ki Cuper, ketika dengan nekad Luma-

jang menghantamkan pukulannya. Hal itu menja-

dikan fatal bagi dirinya sendiri, sebab Jaka 

yang memang tak menghendaki tubuh musuhnya 

terkena golok di tangannya segera memapaki 

pukulan Lumajang dengan pukulan Getih Sakti.

"Crootttt...!"

Tanpa dapat dihindari, Getih Sakti 

menghantam telak pada tubuh Lumajang. Seketi-

ka itu tubuh Lumajang meleleh bagaikan ter-

panggang. Semua orang yang menonton menggi-

dikkan tengkuknya, demi melihat hal itu.

Melihat adiknya mati, bukannya kedua 

orang kakak beradik itu menyadari. Bahkan 

dengan nekad, keduanya segera menyerang Jaka. 

Kali ini mereka menyerang tidak tanggung-

tanggung. Mereka menyerang dengan segala 

ajian yang mereka miliki.

Jaka tersentak manakala sebuah ajian 

yang dilancarkan oleh Ki Cuper menghantam ke 

arahnya. Jaka berusaha menghindar, namun ma-

sih juga pahanya tersamber. Seketika daging 

yang ada di pahanya panas membara bagaikan 

terbakar, menjadikan rasa nyeri yang teramat 

sangat.

"Hem, kau telah mulai. Aku pun akan me-

mulainya, bersiaplah! menggeretak Jaka marah. 

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"

Tersentak kedua musuhnya, kala tahu 

siapa yang tengah mereka hadapi. Ternyata me-

reka tengah menghadapi seorang pendekar pilih 

tanding, yang saat ini tengah menggemparkan

dunia persilatan.

Saking kagetnya kedua kakak beradik 

itu, dari mulut mereka seketika terdengar se-

ruan, menjadikan semua yang ada di situ turut


tersentak kaget.

"Pendekar Pedang Siluman...!"

Tanpa disuruh, kedua orang kakak bera-

dik itu langsung jatuhkan diri minta ampun.

"Ampuni nyawa kami, Tuan Pendekar. 

Sungguh kami telah lancang!"

"Kalian benar ingin menginsafi tindakan 

kalian?"

"Benar, Tuan Pendekar!" jawab Ki Cuper

dengan gemetaran.

"Baiklah! Ingat oleh kalian, aku akan 

datang bila kalian ternyata ingkar!" kata Ja-

ka seperti mengancam. "Dan aku minta, bubar-

kan apa yang selama ini kalian lakukan!"

"Baik, Tuan Pendekar," jawab Ki Cuper.

Jaka yang segera tempelkan Pedang Pusa-

ka Siluman Darah ke paha yang luka, seketika 

luka itu hilang dengan sendirinya. Bersamaan 

dengan hilangnya luka di paha Jaka, Pedang 

Siluman Darah hilang dari tangan Jaka.

Dengan tanpa berkata lagi, Jaka segera 

berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanan-

nya mencari gerombolan Alas Renges. Semua ma-

ta yang ada di situ, memandang kagum atas ke-

pergiannya.

* * *

Ketika Jaka tengah berlari, seketika 

seorang lelaki berbadan besar menghadang 

langkahnya. Jaka tersentak dan melompat mun-

dur.

"Ada apa Ki Sanak menghadangku?" tanya 

Jaka.

"Hua, ha, ha... Kaukah yang bernama Ja-

ka atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"


"Benar adanya. Siapakah Ki Sanak 

adanya?"

"Hua, ha, ha... Aku Woro Gendo!" jawab 

Woro Gendo disertai dengan tawanya yang be-

sar. "Tak aku sangka kalau kita akan bertemu 

di sini. Lama aku mencarimu, Pendekar!"

"Hem, ada keperluan apa Ki Sanak menca-

riku?" tanya Jaka seraya mengernyitkan alis 

matanya tak mengerti.

"Pendekar... sengaja aku mencarimu, ka-

rena aku ingin menjajal sampai di mana ilmu 

yang kau miliki!"

"Ooh, sungguh salah alamat bila begi-

tu," jawab Jaka.

"Jangan kau mungkir, Pendekar. Ayo, ki-

ta mulai, cabut senjata yang kau miliki itu!"

"Hem, maaf aku tak ada waktu!"

Dengan segera Jaka bermaksud meninggal-

kan Woro Gendo, namun dengan cepat Woro Gendo 

segera menghadangnya.

"Sombong kau, Anak muda!" bentaknya ma-

rah.

"Aku tidak sombong, Woro Gendo. Tapi 

aku tak merasa kalau aku seorang pendekar, 

jadi kalau kau menantangku itu suatu kesala-

han. Nah, aku hendak pergi...."

Belum juga Jaka Ndableg berlalu, tiba-

tiba Woro Gendo telah berkelebat menyerang 

dengan gadanya. Pekikannya begitu mendengung-

kan gendang telinga.

Tersentak Jaka dan melompat mundur, ma-

nakala dirasakan sabetan Gada di tangan Woro 

Gendo. Angin yang keluar dari gada, bagaikan 

angin puting beliung.

"Ayo, keluarkan Pedang Pusaka mu itu!"

"Baiklah, Woro Gendo. Kalau itu yang


engkau inginkan, aku pun tak akan mengecewa-

kan mu. Nah, aku hanya dengan tangan kosong!"

Makin marahlah Woro Gendo yang merasa 

diremehkan oleh anak muda di depannya. Dengan 

menggeram marah, Woro Gendo segera kembali 

berkelebat menyerang.

"Jangan lengah, Anak muda!"

Dengan membabi buta, Woro Gendo terus 

mencerca Jaka. Namun begitu Jaka bagaikan 

main-main menghindar sembari tertawa-tawa.

"Wah, kaku benar jurus-jurusmu, Woro. 

Apakah kau tak pernah berlatih?"

"Sombong! Ini makan!" bentak Woro Gendo 

sembari menyodokkan gadanya ke muka Jaka. Se-

cepat kilat Jaka berkelit, dan...!

"Rupanya kaulah yang suka makan roti, 

Woro. Ini untukmu!"

Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka, 

Jaka telah merebut gada di tangan Woro Gendo 

dan menyodorkannya ke mulut Woro. Seketika 

melengkinglah Woro Gendo kesakitan, giginya 

rontok dan dari mulutnya meleleh darah.

"Aku mengaku kalah, Anak muda. Namun 

kelak aku akan mencarimu!" Habis berkata be-

gitu, tanpa memperdulikan Jaka yang hanya ge-

leng-geleng kepala Woro Gendo cabut pergi.

* * *

"Loro Ireng, keluar kau!"

Loro Ireng yang tengah duduk-duduk di 

hadapan anak buahnya tersentak manakala men-

dengar seseorang dengan lantang berseru.

"Siapa yang tengah hari bolong begini 

berteriak-teriak?" tanya Loro Ireng, seper-

tinya pada diri sendiri. "Gober, coba kau li



hat siapa dia!"

"Daulat, Ketua."

Dengan menggeram marah, Gober segera 

berkelebat pergi menuju ke luar. Tersentak 

Gober, manakala tahu siapa adanya orang yang 

telah berseru itu. "Kau...!"

"Ya, aku. Mana pimpinanmu?" bentak pe-

muda yang tak lain Jaka adanya.

Demi mendengar namanya disebut, seketi-

ka Loro Ireng berkelebat ke luar menemui.

"Siapakah, Gober?" tanya Loro Ireng.

"Aku, Loro Ireng...."

Tersentak Loro Ireng, ketika melihat 

siapa adanya orang yang telah berani menya-

troni markasnya. Orang itulah yang telah mem-

buat hatinya tak tenteram, didera oleh rasa 

yang aneh.

"Kau...!" tergagap Loro Ireng berkata.

"Ya aku, Loro Ireng. Aku datang untuk 

membubarkan kalian."

Loro Ireng tidak menyahut, tapi dari 

kedua matanya seketika menetes air mata. Me-

lihat hal itu, Jaka yang melihatnya seketika 

trenyuh. Maka dengan nada lemah Jaka berkata:

"Kenapa kau menangis, Loro Ireng?"

"Ampunilah aku, Tuan Pendekar. Aku ber-

janji tak akan melakukan semua lagi," kata 

Loro Ireng, matanya tak berkedip menatap Ja-

ka.

"Benar apa yang kau katakan, Loro?"

"Be... benar, Tuan Pendekar," jawab Lo-

ro Ireng.

"Baiklah, kalau itu benar. Tapi kalau 

nanti aku melihat kau melakukannya, maka kau 

pun tak akan segan-segan menurunkan tangan!" 

kata Jaka. "Kaukah pimpinannya, Loro?"


"Bukan...."

"Lalu siapa?"

"Orang itu kini telah menyusup di salah 

satu kerajaan!"

"Maksudmu kerajaan mana, Loro?"

"Entahlah. Yang pasti dua kerajaan mu-

suh kerajaan ayahnya."

Mendengar jawaban Loro Ireng, seketika 

Jaka berkelebat meninggalkan mereka dengan 

meninggalkan ucapan yang berupa ancaman.

"Loro Ireng, ingat olehmu. Kalau engkau 

melakukan lagi, aku akan menurunkan tangan 

pada kalian!"

Loro Ireng tersentak, lalu dengan lesu 

ia pun segera kembali masuk ke markasnya. Me-

lihat pimpinannya terdiam, semua anak buahnya 

pun tak ada yang berkata-kata.

Mereka segera mengikuti langkah Ireng, 

masuk ke dalam gubuk.

***

ENAM




Malam kembali menjelajah, sepertinya 

menyelimuti kebisuan. Bulan bergayut di atas 

cakrawala dengan tenangnya, ketika terdengar 

pekikan lima kali berturut-turut.

Randu Alasan yang malam itu tak mampu 

memejamkan mata, seketika berlari menuju ke 

arah suara itu. Seketika mata Randu Alasan 

melotot, manakala dilihatnya lima orang pasu-

kannya telah mati dengan kening berlubang 

tertutup bunga Mawar Merah.


"Bunga Mawar!" pekik Randu Alasan. 

"Hem, untuk yang kesekian kalinya Bunga Mawar 

ini mencari korban. Aku tak habis pikir, sia-

pa gerangan tokoh di bank kejadian semua 

ini?"

"Ada apa, Randu?" tanya Wulung Seta 

yang berlari-lari menuju ke arah Randu bersa-

ma Angelir. Demi melihat Angelir bersama Ra-

janya, seketika Randu makin tak mengerti. Tu-

duhannya yang selama ini menuju Angelir, 

buyar seketika. Dengan menyembah, Randu men-

ceritakan apa yang terjadi.

"Korban lagi, Paduka." Wulung Seta ter-

diam masgul. Didekatinya kelima prajurit yang 

telah mati. Kembali diambilnya bunga Mawar 

yang menutupi luka di kening kelima prajurit 

itu.

"Hem, setiap korbannya selalu ditinggal 

Bunga Mawar," gumam Wulung Seta. "Siapakah 

kira-kira tokohnya, Randu?"

"Ini jelas tindakan orang-orang Amurwa 

Sakti, Tuan ku!"

"Kau yakin, Angelir?" tanya Wulung Se-

ta, demi mendengar penuturan Angelir yang 

mengejutkannya. "Mana mungkin Amurwa Sakti 

berbuat begini?"

"Itu bisa saja, Kanda. Bukankah kanda 

pernah bercerita tentang Amurwa Sakti yang 

marah-marah karena baraknya dirusak oleh 

orang-orangnya paduka? Mungkin hal itu semata 

untuk menutup segala maksud buruknya!"

"Ah...!" tersentak Wulung Seta menden-

gar analisa yang diucapkan oleh Angelir. 

"Mungkin juga!"

Kembali Wulung Seta mengamati kelima 

prajuritnya yang telah mati. Tak terasa, ma


tanya berkaca-kaca. Hatinya gundah, demi men-

gingat semuanya. "Apakah benar adikku bertin-

dak semuanya?"

"Randu Alasan, juga seluruh perbatasan. 

Tangkap siapa pun orangnya yang hendak ma-

suk!" perintahnya pada Randu Alasan.

"Daulat, Paduka. Segala titah paduka 

akan hamba laksanakan, walau nyawa sebagai 

taruhannya!"

Setelah menyembah terlebih dahulu, Ran-

du Alasan segera berkelebat pergi meninggal-

kan rajanya dengan hati gundah. Se-ribu satu 

pertanyaan, menggema di hatinya.

"Apakah mungkin tuan ku Amurwa Sakti 

berbuat sekeji itu? Tapi aku pun tak dapat 

memastikan kalau Angelir yang melakukannya. 

Kenapa tiba-tiba Angelir bersama Wulung Seta? 

Ah, aku tak habis pikir. Kalau benar Angelir 

yang melakukannya, jelas ia akan aku ketahui. 

Huh, apakah ada orang lain? Kalau orang lain 

yang bertindak, sudah pasti pasukanku telah 

mengetahuinya."

Saking bingungnya Randu Alasan, menja-

dikannya berjalan bagai tak ada tujuan. Lang-

kah kakinya begitu ringan, tak ada gairah un-

tuk menyeret.

Tengah Randu Alasan berjalan, seketika 

prajurit-prajuritnya berlarian ke arahnya.

"Ada apa, Prajurit?"

"Ampun, Tuan ku. Ada seorang pemuda ma-

suk ke perbatasan," jawab para prajurit.

"Kenapa tidak kalian tangkap?"

"Pemuda itu ingin menemui paduka."

"Hem, baiklah. Aku akan menuju ke sa-

na."

Setelah berkata begitu, dengan diikuti


oleh kelima prajuritnya Randu Alasan segera 

berkelebat menuju arah yang ditunjuk oleh pa-

ra prajuritnya.

Tampak oleh Randu Alasan seorang pemuda 

tampan dengan bertelanjang dada tersenyum pa-

danya. Pemuda itu seketika menjura hormat, 

menjadikan Randu Alasan mengernyitkan kening. 

Pemuda itu sungguh mengerti tata krama, walau 

seperti pemuda gelandangan.

"Ada gerangan apakah engkau mencari 

aku, Anak muda?" tanya Randu Alasan setelah 

mengangguk, menerima sembah pemuda itu.

"Hamba ingin mencari seorang wanita 

yang menjadi pimpinan Gerombongan Alas 

Renges," jawab pemuda itu dengan masih menju-

ra hormat.

"Siapa namamu, Anak muda?" tanya Randu 

Alasan kembali. "Lalu apakah kau yakin bahwa 

orang yang kau maksud ada di sini?"

"Nama hamba yang rendah ini, Jaka. 

Orang biasa memanggil hamba Jaka Ndableg!"

Tersentak Randu Alasan demi mendengar 

nama pemuda itu. Saking kagetnya, sampai-

sampai Randu Alasan memelototkan matanya sem-

bari memekik tertahan.

"Aha...! Rupanya kaulah pendekar yang 

tengah menjadi buah bibir orang-orang persi-

latan. Selamat datang saya ucapkan. Sungguh 

saya yang tua renta ini, tak juga tahu tata 

krama. Maafkan saya, Tuan Pendekar!"

"Ah, tuan terlalu meninggikan diri 

saya, yang nyatanya tidak ada artinya sama 

sekali. Terima kasih atas penghormatan tuan. 

Apakah tuan yang bernama Randu Alasan?" tanya 

Jaka.

"Benar adanya apa yang kau katakan,


Anak muda," jawab Randu Alasan. "Memang hamba 

yang bodoh inilah Randu Alasan."

"Tuan Patih Randu Alasan, boleh hamba 

memeriksa di sini?"

"Oh, dengan senang hati. Mari...." ajak 

Randu Alasan.

Keduanya segera berjalan beriringan me-

masuki perkampungan tenda-tenda yang diguna-

kan untuk kamp prajurit. Mata Jaka yang tajam 

setajam mata burung elang, memandang liar se-

tiap pelosok. Namun sejauh mereka berjalan 

hingga dua kali sudah perkampungan prajurit 

itu mereka kelilingi, Jaka belum juga menda-

patkan orang yang dicarinya.

"Bagaimana saudara Pendekar?" tanya

Randu Alasan.

"Tak ada. Hem, apakah orang-orang itu 

berdusta?" gumam Jaka, menjadikan Randu Ala-

san seketika mengernyitkan alis matanya sem-

bari tertawa.

"Yang saudara pendekar maksudkan, mere-

ka siapa?"

"Mereka anak buah Mawar Merah!"

"Apa...!" terbelalak mata Randu Alasan, 

demi mendengar penuturan Jaka. "Jadi... Jadi 

pemimpinan gerombolan Alas Renges orang yang 

selalu membunuh korbannya dengan bunga Ma-

war?"

"Ya, dialah yang menjadi otak gerombo-

lan Alas Renges."

"Hem, jadi di sini telah menyusup musuh 

dalam selimut," gumam Randu Alasan, menjadi-

kan Jaka seketika menyipitkan matanya.

"Maksudmu, Paman Patih?"

"Sudah beberapa kali jatuh korban di 

sini. Prajurit-prajurit itu pun mati dengan


bunga Mawar Merah."

"Jadi benar orang itu menyusup ke mari, 

Paman Randu Alasan?" tanya Jaka, yang diang-

guki oleh Randu Alasan. "Kalau begitu, aku 

akan kembali pada markas mereka untuk mena-

nyakan ciri-ciri pimpinan mereka."

Tanpa menunggu jawaban dari Randu Ala-

san, Jaka segera berkelebat pergi. Randu Ala-

san yang melihatnya tersentak kaget. Betapa 

tidak, Jaka berkelebat bagaikan angin, tahu-

tahu telah menghilang ditelan malam.

* * *

"Rupanya kau berdusta, Loro Ireng!" 

bentak Jaka dengan penuh marah, merasa Loro 

Ireng telah membohonginya. "Aku telah ke sa-

na, namun aku tak menemukan pimpinanmu!"

"Sungguh aku tidak berdusta, pimpinan 

kami memang ada di sana," jawab Loro Ireng 

dengan rasa takut. Loro Ireng yang telah tahu 

kehebatan ilmu Jaka, telah mengakui kekala-

hannya. Ia bahkan berjanji akan kembali ke 

gurunya, sekaligus meninggalkan dunianya. Du-

nia gelap yang telah menjadikannya seorang 

gadis berwatak beringas.

"Hem, kau bisa menunjukkan padaku ciri-

cirinya?"

Loro Ireng pun segera menggambarkan ci-

ri-ciri pimpinannya, yang tak lain daripada 

Angelir. Jaka sesaat mengangguk-angguk, lalu 

tanyanya kemudian.

"Di mana lagi biasanya dia menyusup?" 

"Kalau tidak di kerajaan Pesisir Putih, 

mungkin di Kerajaan Segara Wetan."

"Pesisir Putih telah aku cari, namun


tak ada. Baiklah aku akan ke Segara Wetan. 

Aku sarankan kalian segeralah bubar!"

"Baik, Tuan Pendekar," serempak mereka 

menjawab.

Setelah melihat semua anggota gerombo-

lan Alas Renges bubar dan pergi ke masing-

masing, Jaka dengan segera berkelebat pergi 

menuju ke Segara Wetan.

"Petaka kalau terus didiamkan," batin 

Jaka. "Kenapa mesti seorang wanita berbuat 

begitu?"

Dengan mempercepat larinya, Jaka terus 

menerobos malam menuju Kerajaan Segara Wetan 

untuk mencari orang yang telah menjadi biang 

dari kejadian semuanya.

"Kalau di Wetan Segara aku tak menemu-

kannya, ke mana lagi aku mencarinya? Aku rasa 

wanita itu berilmu cukup tinggi. Kalau wanita 

biasa, mana mungkin Loro Ireng yang aku keta-

hui memiliki ilmu tinggi mau menjadi anak 

buahnya?"

Prabu Amurwa Sakti menghantamkan tin-

junya ke meja. Kekesalannya pada Wulung Seta 

telah memuncak. Tuduhan Wulung Seta yang men-

ganggap dirinya melindungi orang yang membu-

nuh prajurit-prajurit Pesisir Putih telah 

membuatnya marah.

"Sabar, Tuan ku. Bukankah Prabu Wulung 

Seta adalah kakak tuan sendiri?" Patih Nara 

Soma mencoba menasehati.

"Memang dia kakakku, Paman Patih. Namun 

tindakannya terlalu membuat aku marah. Mana 

mungkin aku melindungi musuh? Coba paman Pa-

tih pikir," kata Amurwa Sakti.

"Apakah tidak sebaiknya tuan ku menemui 

Prabu Wulung Seta dan Ibunda Ratu untuk mem


bicarakannya? Hamba rasa, ada orang yang sen-

gaja mengadu domba."

"Memang itu yang aku pikirkan, Paman 

Patih. Tapi kakanda sepertinya tak percaya. 

Aku jadi tak mengerti dengan tindakan kanda 

Wulung Seta."

Tengah keduanya bercakap-cakap, terden-

gar seseorang berseru memberi salam. Seketika 

raja dan patih itu menghentikan ucapannya dan 

memandang ke arah asal suara itu.

"Sampurasun...!"

"Rampes...! Siapakah gerangan?" tanya 

Amurwa Sakti. "Paman Patih, coba kau lihat 

siapa yang di luar."

"Daulat, Tuan ku."

Patih Nara Soma segera bergegas pergi 

setelah terlebih dahulu menyembah. Nara Soma 

begitu terkejutnya, manakala dilihatnya seo-

rang pemuda yang datang.

"Siapakah Ki Sanak ini? Dan ada keper-

luan apakah?"

"Hamba bernama Jaka. Atau Jaka Ndab-

leg," jawab Jaka, yang menjadikan Nara Soma 

seketika memekik kaget demi mendengar nama 

pemuda yang ada di hadapannya.

"Jadi, tuan ku Pendekar Muda yang ten-

gah harum namanya?"

"Ah, tuan patih terlalu meninggikan apa 

yang sebenarnya tak ada. Hamba hanyalah orang 

biasa," jawab Jaka merendah, menjadikan Nara 

Soma masgul.

"Ada keperluan apakah tuan pendekar da-

tang ke mari?"

"Hamba ingin bertemu dengan Paduka 

Amurwa Sakti," jawab Jaka.

"Suruh dia masuk, Paman Patih!" Amurwa


Sakti telah mendahului berseru.

"Tuan pendekar diperkenankan masuk," 

kata Nara Soma.

Setelah keduanya masuk kembali, Amurwa 

Sakti segera mempersilahkan Jaka duduk. Den-

gan terlebih dahulu menyembah, Jaka segera 

duduk di hadapan Amurwa Sakti.

"Ada gerangan apakah tuan pendekar da-

tang ke mari?" tanya Amurwa Sakti.

"Ampun, Tuan ku. Hamba sengaja berkun-

jung ke mari, karena hamba tengah mencari 

orang yang telah membuat kerusuhan dengan ca-

ra memanfaatkan situasi perang ini."

"Maksud, Tuan Pendekar?" tanya Amurwa 

Sakti belum memahami ucapan Jaka.

Sesaat Jaka menarik napas panjang.

"Ampun, Tuan ku. Kalau orang itu tidak 

segera diketahui, niscaya akan merepotkan 

tuan ku Amurwa Sakti dan tuan ku Wulung Seta. 

Orang itu adalah anak dari raja Kurda Ruma-

jang, yang sengaja menyusup ke salah satu ke-

rajaan. Tujuannya adalah mengadu domba tuan 

ku berdua."

Terbelalak mata Amurwa Sakti mendengar 

penuturan Jaka yang begitu mendalam. Mata 

Amurwa Sakti seketika memandang Jaka, lalu 

dengan suara berat bertanya:

"Apakah tuan pendekar tahu ciri-

cirinya?"

"Menurut gambaran anak buahnya, dia 

seorang wanita." 

"Wanita...!" 

"Benar, Tuan ku."

"Siapakah kira-kira? Di sini tak ada 

seorang wanita yang baru. Heh, bukankah sejak 

kakanda Prabu bertemu dengan Angelir hal itu


terjadi?" gumam Amurwa Sakti. "Apakah hal itu 

ada hubungannya dengan kekacauan di barak 

prajurit?"

"Maksud, Tuan ku?"

"Paman patih Nara Soma, masih ingatkah

kau dengan kekacauan sebulan yang lalu?" 

tanya Amurwa Sakti pada patihnya.

"Benar, Tuan ku. Kala itu segerombolan 

lelaki yang kami kira orang-orang Pesisir Pu-

tih menyerbu barak-barak prajurit."

"Hem, tepat!" seru Jaka tiba-tiba, men-

jadikan kedua raja dan patih tersentak. "Me-

mang mereka bercerita, bahwa mereka telah me-

lakukan pengrusakan barak."

"Maksud tuan pendekar?" kembali Amurwa 

Sakti bertanya.

"Jadi yang merusak barak dan membuat 

kekacauan bukan orang-orang Pesisir Putih?" 

Nara Soma melanjurkan bertanya.

"Benar apa yang tuan berdua katakan. 

Baiklah Tuan ku Amurwa Sakti dan Paman Patih 

Nara Soma, hamba mohon bantuannya untuk terus 

mengawasi wilayah tuan dengan seksama. Hamba 

pamit undur."

Setelah terlebih dahulu menyembah, den-

gan segera Jaka pergi meninggalkan kedua raja 

dan patih yang hanya terdiam saling pandang.

Malam itu bulan tak nampak, mendung 

bergayut menghitam. Jaka yang tengah berjalan 

nampak memandang sesaat ke atas. Ia bergumam 

manakala dilihatnya mendung menebal.

"Huh, kenapa aku bodoh benar? Kenapa 

orang yang aku cari-cari tak juga aku temu-

kan?"

Jaka terus melangkah dengan pikiran tak 

menentu. "Apakah aku harus menyerbu ke Kurda


Rumajang?" tanya Jaka dalam hati. "Baiklah, 

aku akan menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang."

Dengan segera, Jaka mempercepat larinya 

menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang. Dengan 

menggunakan Ajian Angin Puyuh, Jaka melesat 

laksana angin.

Tengah Jaka berlari menuju ke Kerajaan 

Kurda Rumajang, seketika ia dikejutkan oleh 

suara pekikan orang yang berkelahi. Tanpa 

berpikir panjang, Jaka segera memburu ke arah 

suara itu.

Terbelalak mata Jaka, manakala tahu 

siapa yang tengah bertempur. Salah seorang 

dari keduanya tak lain Hulubalang Kerajaan 

Pesisir Putih yang bernama Surya Lembayung, 

sementara seorang lagi adalah seorang wanita 

cantik.

"Hem, apakah gadis ini yang dimaksud 

Loro Ireng?" tanya Jaka dalam hati. "Kalau 

dilihat dari wajahnya, orang inilah orang 

yang dimaksud Loro Ireng."

Jaka dengan segera melompat ke atas se-

buah pohon, dan memperhatikan dengan seksama 

jalannya pertarungan itu.

"Ini sebuah kesempatan untuk memberita-

hukan pada kedua raja itu siapa sebenarnya 

dalang dari semuanya," kembali Jaka bergumam. 

"Akan aku panggil mereka dengan ilmu penyusup 

suaraku!"

Jaka kemudian duduk bersila dengan mata 

terpejam rapat. Disalurkan nafasnya lewat 

tenggorokan. "Prabu Wulung Seta...! Prabu 

Amurwa Sakti...! Aku memanggil kalian. Datan-

glah ke perbatasan Kerajaan Kurda Rumajang, 

kalian pasti akan tahu siapa sebenarnya tokoh 

dari segala teror, yang bermaksud mengadu


domba kalian. Cepat, datanglah!"

Di tempat lain, kedua raja muda itu 

tersentak demi mendengar suara orang memang-

gilnya. Maka dengan mengajak patih-patih me-

reka, kedua raja itu segera menuruti panggi-

lan orang itu.

Tak lama kemudian, kedua raja dan pa-

tih-patihnya telah sampai ke tempat itu. Wu-

lung Seta terperanjat, ketika tahu siapa yang 

tengah bertarung dengan hulubalangnya.

"Kau, Angelir!"

Angelir yang mendengar suara Wulung Se-

ta seketika tersentak mundur. Maka ketika di-

lihatnya banyak orang yang datang, tanpa ba-

nyak pikir lagi Angelir segera berkelebat 

pergi.

Mereka yang ada di situ seketika hendak 

mengejarnya, manakala Jaka mencegah. "Tak 

usah dikejar!"

Seketika semua terbelalak, manakala me-

lihat sesosok tubuh pemuda telah berdiri di 

hadapan mereka. Demi melihat pemuda yang me-

reka kenal, seketika mereka memekik:

"Jaka Ndableg!"

"Ah, rupanya tuan pendekar yang telah 

memanggil kami," bergumam Amurwa Sakti. "Te-

rima kasih atas pertolongan tuan. Apalah ja-

dinya kami ini, kalau tuan tidak segera mem-

beritahukan hal ini pada kami."

"Ah, Paduka terlalu berlebihan menilai 

hamba. Sudah kewajiban hamba untuk memberan-

tas kemungkaran dan kejahilan. Selamat ting-

gal tuan-tuan sekalian!"

Bersama dengan habisnya suara Jaka, se-

ketika semua terbelalak. Mereka kaget demi 

mendapatkan Jaka tak ada lagi di antara mere


ka.

"Sungguh pendekar aneh. Walau ilmunya 

tinggi, ia tak sombong. Maafkan aku, Dinda," 

kata Wulung Seta. "Kalau tak ada Pendekar Pe-

dang Siluman, apalah jadinya kita."

"Sama-sama, Kanda," balas Amurwa Sakti. 

Kedua raja kakak beradik itu saling peluk. 

Dengan beriringan, mereka melangkah kembali 

ke tempat masing-masing untuk merencanakan 

penyerangan esok hari.

Perang kembali meletus, kali ini makin 

seru. Dengan perginya Angelir atau si Mawar 

Merah, semangat prajurit-prajurit dua kera-

jaan makin tinggi. Hal itu dapat dilihat dari 

cara perang mereka.

Tengah mereka berperang, terdengar se-

ruan seseorang yang seketika menghentikan pe-

perangan. 

"Lihat ini, Raja kalian telah mati!"

Orang itu yang ternyata Wulung Seta, 

menenteng kepala Raja Amuk Mungkur. Di sam-

pingnya berjalan Amurwa Sakti, yang juga me-

nenteng kepala patih Amuk Mungkur yaitu Rekso 

Giri.

Dari atas bukit yang agak jauh, seorang 

gadis memandang kematian Amuk Mungkur dengan 

berlinang air mata. Dialah Angelir, anak Pra-

bu Amuk Mungkur. Hati Angelir seketika memba-

hana, dengan dendam meletus-letus.

"Wulung Seta dan kau Amurwa Sakti. 

Tunggulah pembalasanku!"

Dengan masih berderai air mata, Angelir 

atau Dewi Mawar Merah berlari meninggalkan 

bukit. Nah, bagaimanakah nasib Angelir? Ba-

gaimana pula dendamnya dapat terlaksana? Lalu 

apa yang akan dilakukan Jaka selanjutnya? Si


lahkan ikuti kisah selanjutnya dengan judul: 

"Pembalasan Dewi Mawar Merah."



                                TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar