MISTERI BUNGA MAWAR KEMATIAN
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh id buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
128 hal.; 12 x 18 cm
SATU
Langit di atas alun-alun kerajaan Kurda
Rumajang merah membara, sepertinya terbakar
oleh api yang begitu menyala-nyala. Pertempu-
ran satu kerajaan melawan dua musuhnya terus
berjalan. Korban banyak sudah berguguran, na-
mun kesemuanya tak menjadi hambatan bagi para
prajurit-prajurit ketiga kerajaan itu untuk
terus mengadakan pertempuran.
"Serbu...!"
"Serang...!"
"Jangan biarkan pemberontak-pemberontak
itu hidup!"
Itu semua merupakan sebagian pekikan-
pekikan dari para prajurit kerajaan Pesisir
Putih dan kerajaan Wetan Segara. Dua kerajaan
itu dipimpin oleh kakak beradik. Kerajaan Pe-
sisir Putih, dipimpin oleh seorang raja ber-
nama Prabu Wulung Seta. Sementara kerajaan
Wetan Segara, dipimpin oleh adik Wulung Seta
yang bernama Amurwa Sakti. Keduanya merupakan
kakak beradik, satu ayah lain ibu.
Dari kejauhan seorang gadis berdiri me-
matung. Rupanya gadis itu tengah menyaksikan
pertempuran yang berlangsung. Gadis itu ber-
nama Angelir, puteri dari Kurda Rumajang anak
Prabu Amuk Mungkur.
Setelah sesaat terdiam memperhatikan
dari kejauhan pertempuran itu, Angelir berge-
gas pergi. Langkahnya begitu cepat, seper-
tinya terburu-buru menuju ke keraton.
"Ayah, kenapa dua kerajaan itu mesti
memusuhi kita?" tanya Angelir pada ayahnya
Ditanya begitu oleh putrinya, Amuk
Mungkur hanya terdiam. Ditatapnya lekat-lekat
wajah sang putri, ditariknya napas panjang.
"Kenapa ayah terdiam?" kembali Angelir
bertanya.
"Ayah tak dapat menjawabnya, Anak-ku,"
Amuk Mungkur akhirnya membuka suara. Lewat
suara itu, seakan ada desah berat yang meng-
ganjal di kerongkongannya.
"Mengapa, ayah...?" kembali Angelir
bertanya. Ia merasa jawaban ayahnya tak memu-
askan, seakan masih ada teka-teki yang menye-
limuti. "Apakah ayah pernah bersalah pada me-
reka?"
Amuk Mungkur tertunduk mukanya. Kembali
ditariknya napas panjang-panjang. Dari ma-
tanya tak terasa menetes air mata.
"Anakku... Sebenarnya ayah bermaksud
merentangkan sayap, agar kerajaan ini makin
melebar. Maka itulah, ayah bermaksud me-
naklukkan dua kerajaan sebelah. Kau adalah
anak tunggalku, yang kelak menggantikan kedu-
dukan ayah. Kau harus mampu meneruskan cita-
citaku," kata Amuk Mungkur setelah sesaat
terdiam.
Mendengar penuturan ayahnya, seketika
Angelir mendongakkan kepalanya. Dipandangi
wajah ayahnya dengan rasa bangga, lalu dengan
mata berlinang Angelir berkata: "Semua petuah
ayah akan Angelir lakukan. Hari ini juga, An-
gelir akan turut serta membantu dengan cara
Angelir sendiri. Angelir minta do'a restu,
Ayah."
"Kau mau apa, Anakku?"
"Angelir ingin mengadu domba kedua raja
itu, Ayah."
"Kau mampu...?" tanya Amuk Mungkur sea-
kan tak yakin.
Angelir hanya mengangguk, menjadikan
seulas senyum di bibir ayahnya, Amuk Mungkur.
Perlahan Amuk Mungkur berdiri dari singgasa-
nanya, mendekati Angelir yang terduduk ber-
simpuh di atas permadani.
Dengan penuh kasih sayang, dibelainya
kepala sang anak. Diajaknya Angelir bangun,
dituntunnya melangkah ke singgasana. Lalu
dengan penuh bangga, didudukkan Angelir di
atas singgasananya.
"Kelak kau yang akan duduk di atas
singgasana itu, anakku."
Mendengar ucapan ayahnya, kembali mata
Angelir berkaca-kaca. Perasaannya seketika
bangga, bergejolak bagaikan letupan-letupan
semangat. "Benar apa yang dikatakan ayah, aku
harus dapat menjadikan diriku seorang ratu.
Ya, seorang ratu...." gumam hati Angelir.
Dengan lekat ditatapnya wajah sang Ayah, dan
dengan penuh perhatian Angelir bertanya.
"Apakah aku akan mampu, Ayah?"
"Pasti, anakku. Pasti kau mampu," jawab
Amuk Mungkur dengan bibir terurai senyum, se-
mentara matanya terus memandang bangga pada
sang anak. "Kapan kau akan menyusup ke salah
satu kerajaan musuh, Anakku?"
"Hari ini juga, Ayah. Setelah malam ti-
ba," jawab Angelir, yang menjadikan ayahnya
kembali tersenyum.
Perang masih berlangsung, dengan korban
makin banyak. Dari pagi hari hingga datangnya
sore, ketiga kerajaan itu masih terus berpe-
rang.
Gelap telah datang, namun mereka seper
ti tak menghiraukannya. Pertempuran malah ma-
kin bertambah besar, laksana api disiram mi-
nyak. Baru setelah hari benar-benar telah la-
rut, ketiga kerajaan itu menghentikan perang
untuk meneruskannya esok hari.
Tak dihiraukannya korban di medan laga,
walau dari korban itu adalah teman mereka
sendiri. Itulah perang, demi ambisi, demi ke-
puasan batin pimpinan, prajurit kecil yang
menjadi korban.
* * *
Bulan bergayut di atas langit, menyi-
narkan warnanya yang keemasan. Prajurit-
prajurit jaga dari kerajaan Pesisir Putih
tampak mondar-mandir, menjaga tenda-tenda
yang digunakan untuk beristirahat teman-
temannya.
Tengah mereka berjaga-jaga, tiba-tiba
terdengar suara jeritan seorang wanita meme-
cah kebisuan malam. Seketika semua mata pen-
jaga beralih pandang ke asal suara itu.
"Kakang Darma, apa kau dengar suara je-
ritan itu?"
"Benar adik Lombak. Aku dengar suara
itu di Selatan," jawab Darma. "Ayo kita deka-
ti. Barangkali ada yang perlu kita bantu un-
tuk wanita itu."
Maka tanpa banyak bicara lagi, kedua
orang penjaga sebelah Selatan bergegas menuju
ke arah di mana suara itu berasal. Tak lama
kemudian, kedua penjaga itu telah menemukan
orang yang berteriak minta tolong.
"Ada apa, Nona? Kenapa malam-malam be-
gini Nona ada di perbatasan? Lalu kenapa nona
berteriak-teriak?" tanya Lombak.
"Anu... Anu, Tuan. Saya... saya hendak
diperkosa," jawab gadis itu terbata-bata,
menjadikan kening kedua peronda mengerut.
"Diperkosa? Mana orang yang hendak mem-
perkosa mu?" kembali Lombak bertanya.
"Anu... Anu, Tuan. Orang itu telah lari
menuju ke wilayah Kurda Rumajang."
"Hem, nona tidak berdusta?"
Mendengar pertanyaan Darma, gadis itu
tidak segera menjawab. Bahkan dengan senyum
manisnya, dicobanya mempengaruhi kedua penja-
ga. Melihat gadis itu tersenyum manis, mereka
seperti terbuai dalam khayal. Kedua penjaga
itu balas tersenyum, menjadikan si gadis men-
jadi-jadi. Tangan si gadis perlahan bergerak,
lalu dengan berani disingkapkan pakaiannya.
Terbelalak mata kedua penjaga itu, me-
lotot menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Lidah keduanya melelet, menahan nafsu yang
sudah tak terkendali. Melihat kedua penjaga
itu nampak telah dapat dipengaruhi, si gadis
makin berani.
Tangan si gadis bukan saja menyingkap
pakaian yang menutupi pahanya, namun kini
kancing bajunya pun dibuka. Mata kedua penja-
ga makin melotot, sepertinya hampir keluar.
Si gadis main melebarkan senyum, lalu
dengan manja berkata yang menjadikan kedua
penjaga terkesiap.
"Tuan-tuan, apakah tuan-tuan tidak men-
ginginkan ini?"
"A... Anu," terbata Darma berucap. Ma-
tanya melotot tak berkedip. Begitu halnya
dengan Lombak, darahnya mendidih bagaikan
disetrum ribuan Watt.
"Kenapa, Tuan? Bukankah tuan jauh dari
istri? Kenapa tuan mesti menolak?" tanya si
gadis kembali dengan manja. Dikedipkan ma-
tanya yang lentik, membuat kedua penjaga ba-
gaikan hilang sumsumnya gemetaran berdiri.
"Ayolah, Tuan?"
"Ah... apakah nona tak bercanda?" tanya
Darma. Dari pelipisnya mengalir keringat din-
gin, pertanda dia tengah menahan gejolak.
Si gadis menggeleng kepala, malah tan-
gannya kini makin berani membuka dua kancing
di bawahnya. Makin terbeliak kedua penjaga
itu. "Kenapa tuan hendak menyia-nyiakan ke-
sempatan ini?"
"Bagaimana, Lombak?"
"Benar juga, Kakang. Kenapa kita mesti
menyia-nyiakan kesempatan ini? Ayolah, Ka-
kang," jawab Lombak, makin menjadikan si ga-
dis melebarkan senyum. Dengan acuh, si gadis
pura-pura hendak berlalu.
Melihat si gadis hendak pergi, serta
merta kedua penjaga itu segera memburunya.
"Tunggu, Nona!"
"Ada apa lagi? Bukankah kalian tadi me-
nolak?"
"Ti... tidak! Kami tidak menolak," ja-
wab Darma terbata.
Napas Darma bagaikan telah lari mara-
ton, ngos-ngosan. Matanya tak henti-hentinya
memandang ke dada si gadis yang terbuka.
"Kalian ingin?" tanya si gadis dengan
genit.
Darma dan Lombak sesaat saling pandang,
kemudian dengan tersenyum senang keduanya
menganggukkan kepala. Melihat Darma dan Lom-
bak mengangguk, si gadis segera berkelebat
pergi.
Melihat si gadis lari, Darma dan Lombak
yang sudah terbakar nafsu segera memburunya.
"Hai, kenapa kau lari, Denok?" seru ke-
duanya,
"Hi, hi, hi... Ayo kejarlah aku! Bukan-
kah kalian ingin mendapatkan tubuhku?"
Mendengar ucapan si gadis, tanpa banyak
pikir lagi keduanya segera memburu. Kejar
mengejar terus berlangsung, hingga tak terasa
mereka telah jauh meninggalkan tenda.
Mereka telah memasuki hutan lebat.
"Hoi, Neng. Berhenti, dong!" seru Lom-
bak.
"Ya, kami telah capai, nih!"
"Hi, hi, hi... Ayo, kenapa kalian le-
toi? Kejarlah aku! Bukankah kalian ingin te-
nang tanpa ada yang mengganggu?"
"Benar juga, Kakang."
"Ayo, kita kejar!"
Kedua lelaki yang sudah streng oleh
nafsu, kembali mengejar. Hal itu rupanya te-
lah direncanakan oleh si gadis, yang terus
berlari sampai ke tengah hutan. Ketika benar-
benar di tengah hutan, si gadis menghentikan
langkahnya.
"Hi, hi, hi... Ayo majulah kalian. Bu-
kankah kalian ingin merasakan surga?" tanya
si gadis dengan sinis. Senyumnya tampak ben-
gis, mengandung hawa kematian. Tangan si ga-
dis perlahan bergerak, sepertinya hendak mem-
buka pakaian. Namun sungguh tak disangka oleh
Lombak dan Darma, kalau gadis itu bukannya
membuka pakaian. Gadis itu telah mengambil
dua kuntum bunga mawar dari balik bajunya.
Tersentak kedua penjaga melihat si ga
dis tersenyum sinis. Namun belum juga kedua
penjaga itu mengerti, si gadis telah terlebih
dahulu membungkam mulut mereka. Tangan si ga-
dis bergerak cepat, melontarkan kedua bunga
yang dipegangnya.
"Kau....!"
"Aaahhhh...!"
Melolong panjang kedua orang itu, den-
gan jidat bolong terhantam bunga mawar.
Si gadis tersenyum kecut dan menghampi-
ri kedua penjaga yang tengah sekarat.
"Itulah untuk kalian. Dan nanti, semua
prajurit kerajaan Wetan Segara dan Pesisir
Putih akan menerima bagiannya, Hi, hi... Hi,
hi, hi...!" berkata si gadis dengan bengis.
"Siapa, kau?" bentak Darma dalam seka-
rat.
"Aku.... Hi, hi, hi... Akulah Dewi An-
gelir Putri Kerajaan Kurda Rumajang. Nah, ka-
rena kalian telah tahu siapa kau, maka kalian
harus mati, hiaat...!"
Dengan tanpa belas kasihan, Angelir se-
gera menendang keduanya. Seketika kedua orang
yang tengah sekarat, melengking kesakitan dan
ambruk dengan nyawa melayang. Melihat kedua-
nya telah mati, Angelir segera berkelebat
pergi dengan meninggalkan gelak tawa.
***
DUA
Tengah Raja Wulung Seta melamuni kema-
tian dua orang penjaga malamnya, tiba-tiba
seorang gadis cantik nan anggun datang menghampiri. Senyumnya begitu memikat, menjadikan
sang Raja seketika tersentak.
"Siapa, kau?" tanya sang Raja.
Gadis itu hanya tersenyum, lalu dengan
genit dikedipkan matanya. Melihat hal itu,
hati Wulung Seta seketika terkesima. Matanya
tak berkedip memandang. Hatinya bergumam.
"Duh, betapa cantiknya gadis ini. Sungguh co-
cok bila kujadikan istri."
"Baginda melamun, kenapa?"
"Ah, ti... tidak. Siapa namamu, anak
manis?"
"Hamba yang rendah ini bernama Angelir,
Baginda."
"Ah, kenapa kau begitu merendah, Ange-
lir?"
Angelir tersenyum tersipu-sipu menun-
dukkan muka, membuat Wulung Seta makin gemes.
Perlahan Wulung Seta bangkit dari duduknya.
Dihampiri Angelir yang masih menunduk, lalu
perlahan dipegangnya dagu Angelir.
"Kenapa kau tertunduk, Angelir?"
"Hamba... hamba malu. Baginda," jawab
Angelir tersipu.
"Malu...? Kenapa mesti malu, anak ma-
nis?"
Mendengar penuturan Wulung Seta, Ange-
lir perlahan mendongakkan wajahnya. Ditatap-
nya lekat-lekat wajah Wulung Seta, membuat
Wulung Seta mengernyitkan ke-ning. "Hai, ke-
napa dengan aku, Angelir?"
"Ti... tidak, paduka. Hamba hanya kagum
melihat paduka yang setampan dan semuda ini
telah menjadi raja. Maafkan hamba, Paduka."
"Tak mengapa, Angelir. Aku senang den-
ganmu. Maukah kau kujadikan isteri?"
Terbelalak mata Angelir demi mendengar
ucapan Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta
tersenyum dan kembali bertanya. "Kenapa, An-
gelir? Kau tak mau...?"
"Bu... bukan begitu, Baginda. Apakah
pantas hamba yang rendah ini mendampingi pa-
duka?"
Mendengar jawaban Angelir, Wulung Seta
tersenyum. Tangannya yang kasar seketika me-
renggut janggut Angelir. Di tengadahkan muka
Angelir yang menunduk untuk memandangnya. Di-
tatapnya lekat-lekat mata Angelir. Sesaat ke-
duanya saling pandang, menyatukan benang-
benang kasih.
"Kenapa tidak pantas, Angelir?" tanya
Wulung Seta setelah sesaat terdiam.
"Bukankah masih banyak bunga-bunga lain
yang lebih cantik dan keturunan ningrat? Ke-
napa mesti Paduka meminta hamba yang hina?"
"Karena kau cantik dan anggun, Ange-
lir!" jawab Wulung Seta. Tangannya yang lem-
but membelai janggut Angelir. Di jawilnya
janggut Angelir yang berusaha mengelak. "Aku
cinta padamu, Angelir."
"Hanya itu, Paduka?"
"Ya, kenapa?" tanya Wulung Seta tak
mengerti.
Angelir tersenyum manja dan dengan se-
gera berjalan meninggalkan Wulung Seta. Wu-
lung Seta yang menyangka Angelir hendak me-
ninggalkannya, segera memburu mengikuti. Na-
mun rupanya Angelir tidak pergi jauh, ia
hanya duduk di bawah pohon Kamboja. Melihat
Angelir duduk, Wulung Seta segera ikut duduk
di sisi Angelir.
Kembali keduanya saling pandang, diam
dengan perasaan hati masing-masing. Tak tera-
sa oleh mereka, bibir mereka telah menyatu
dalam diam.
"Ah, kenapa Paduka bertindak begini?"
sentak Angelir seperti baru saja tersadar.
"Maafkan aku, Angelir. Sungguh aku tak
dapat menahan perasaan yang ada di hatiku se-
karang. Aku mencintaimu, Angelir."
"Hanya cinta?"
Tersentak Wulung Seta mendengar perta-
nyaan Angelir yang dirasakannya menyentuh ha-
ti. Dengan memandang tajam, Wulung Seta yang
tak mengerti maksud ucapan Angelir bertanya.
"Kenapa, Angelir? Apakah kau menolak
cintaku?"
"Bukan begitu, Baginda. Aku menerima
cinta mu, tapi...."
"Tapi apa, Angelir?" tanya Wulung Seta
sembari mengernyitkan keningnya demi menden-
gar ucapan Angelir yang terputus.
"Baginda... cinta biasanya hanya hiasan
mulut lelaki. Bila lelaki suka pada wanita
dan ada maunya, ia akan bicara cinta. Tapi
bila ia telah mendapatkan segalanya dan dira-
sakan telah bosan, maka cinta pun berlalu.
Aku tak ingin hal seperti itu terjadi padaku,
Paduka."
"Maksudmu, Angelir?" tanya Wulung Seta
masih belum mengerti tujuan kata-kata Ange-
lir.
Angelir tersenyum, matanya yang lentik
memandang sendu pada Wulung Seta. Perlahan
namun pasti, tangan Angelir bergerak meng-
genggam tangan Wulung Seta. Wulung Seta yang
hatinya telah terpanah oleh cinta Angelir,
tersenyum senang demi merasakan tangannya di
genggam oleh Angelir.
"Hem, telah ku jerat dia!" gumam hati
Angelir.
"Apakah baginda benar-benar ingin men-
jadi aku isteri?"
"Kenapa tidak. Aku mencintai mu," jawab
Wulung Seta menjadikan Angelir tersenyum. Di-
rebahkan kepalanya ke pundak Wulung Seta men-
jadikan Wulung Seta seketika bergetar-getar
hatinya.
Baru sekali ini Wulung Seta merasakan
debaran aneh di hatinya selama ia menjadi ra-
ja muda. Padahal banyak bunga-bunga yang men-
coba mengambil hatinya, namun Wulung bagaikan
tak ada hasrat untuk memetik.
Tapi kini Angelir gadis yang baru ia
kenal, telah mampu membuat hati Wulung Seta
berbunga. Sekaligus Angelirlah yang telah
mampu menembuskan panah ke hatinya.
"Kalau baginda memang berkenan menjadi-
kan hamba istri, maka hamba meminta Paduka
dengan setulus hari menyayangi hamba."
"Hanya itu pinta mu, Angelir?" tanya
Wulung Seta seakan tak percaya.
"Ya, hanya itu, Paduka," jawab Angelir
pendek.
"Kalau memang itu, apa pun akan aku la-
kukan untukmu. Demi cintaku padamu, segalanya
akan aku lakukan."
Tersenyum senang Angelir mendengar uca-
pan Wulung Seta. Ditatapnya lekat-lekat wajah
Wulung Seta, menjadikan Wulung Seta makin
gundah hatinya. Untuk kedua kalinya, keduanya
terlelap dalam belaian-belaian kasih.
Angin siang berhembus sepoi-sepoi, me-
nyeka panas mentari. Hingga mentari yang be
gitu terik tak terasa. Apalagi mereka yang
telah hanyut oleh lautan cinta.
* * *
Lain keadaannya dengan raja mereka yang
tengah menjalin cinta, prajurit-prajurit Pe-
sisir Putih kini tengah berperang demi mene-
gakkan kebenaran dan keadilan. Segalanya di-
korbankan, demi sang raja, demi kemerdekaan.
"Serbuuuuu...!"
"Seraaanggg...!"
"Jangan mundur!"
Pekik-pekik itu terus menggema, menye-
barkan semangat para prajurit. Tak ada rasa
kasihan, tak ada rasa kemanusiaan. Setiap
tombak, golok, pedang dan senjata lainnya
berkelebat, maka pekik kematian pun menggema.
Langit alun-alun Kurda Rumajang makin
memerah, seperti tersiram darah para praju-
rit. Walaupun begitu, perang terus berjalan,
perang terus membahana.
Randu Alasan sebagai patih Kerajaan Pe-
sisir Putih, bagaikan harimau kelaparan me-
nerjang gagah berani. Pedang pusaka yang ber-
nama Kyai Warakas, berkelebat dengan cepat.
Setiap kali pedang itu berkelebat, setiap
kali itu memekik prajurit Kurda Rumajang.
Melihat hal itu, secepat kilat Rekso
Giri selaku patih Kerajaan Kurda Rumajang se-
gera memapakinya.
"Randu Alasan, akulah musuhmu!" bentak
Rekso Giri marah.
"Rekso Giri penjilat. Memang aku tung-
gu-tunggu kemunculanmu. Mari kita buktikan
siapa di antara kita yang harus meninggalkan
dunia!"
"Setan Alas! Kau rupanya mempunyai tar-
ing. Bersiaplah untuk mampus, Randu!"
Habis berkata begitu, Rekso Giri segera
berkelebat menyerang. Randu Alasan yang telah
siaga, secepat kilat mengelak. Lalu dengan
garang, Randu Alasan balik menyerang.
Toya di tangan Rekso Giri berputar den-
gan cepat, begitu juga pedang Kyai Warakas di
tangan Randu. Dua patih itu, berkelebat den-
gan cepatnya. Segala ilmu yang mereka miliki
dikeluarkan.
Waktu terus berlalu, sepertinya tak mau
perduli dengan api peperangan yang tengah
berkobar. Ketika hari telah berubah, dari
siang menjadi malam, ketiga prajurit kerajaan
itu kembali ke tenda masing-masing. Diting-
galkannya segala yang telah terjadi, teman
ataupun kawan yang gugur. Itulah perang, me-
nang tiada arti, kalah tiada guna. Demi ambi-
si, demi kepuasan sang raja belaka, rakyat
yang menjadi korban.
***
3
Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan
di dalam hutan, seketika menghentikan lang-
kahnya, manakala didengar olehnya suara-suara
bergemerisik di sekelilingnya.
"Hem, ada kunyuk-kunyuk hendak main-
main denganku. Eh, makin mendekat. Nekad be-
nar monyet-monyet ini," gumam Jaka dalam ha-
ti. "1... 2... 3... 10. Ada sepuluh kunyuk!"
Tengah Jaka tersenyum-senyum mendengar
suara-suara gemerisik, seketika berkelebat
sepuluh orang lelaki menghadangnya.
"Berhenti!" bentak pimpinan kesepuluh
orang itu.
"Heh, bukankah aku telah berhenti? Ke-
napa kau menyuruhku lagi?" kata Jaka dengan
tenangnya.
"Serahkan uang yang kau bawa," kembali
pimpinan kesepuluh orang yang bermaksud me-
rampok itu berkata. Mendengar ucapan ketua
garong itu, Jaka tersenyum. Lalu dengan nada
acuh, Jaka menjawab.
"Uang...? Kebetulan, aku memang se-dang
butuh uang. Mana uang kalian?"
"Setan alas! Diminta malah meminta!"
"Ah, aku rasa aku bukan setan alas. Ke-
napa kau memanggilku setan alas?"
"Anak edan!" bentak pimpinan garong ma-
rah, demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya
ngelantur. Namun bagaikan tak perduli dengan
segala amarah pimpinan garong itu, Jaka kem-
bali berkata:
"Edan...? Aku tidak edan. Aku cuma
Ndableg!"
Tak dapat lagi pimpinan garong itu me-
nahan amarah. Ia merasa Jaka telah memper-
mainkannya, Maka dengan mengibaskan tangan,
sekaligus mengomandokan pada ke-sembilan anak
buahnya ia segera menyerang Jaka.
Diserang keroyokan begitu rupa tidak
menjadikan Jaka gentar, bahkan dengan lagak
pilonnya Jaka terus menghindar.
"Ampun, Oom! Jangan pukul saya...!" Ja-
ka berteriak, manakala seorang dari penge-
royoknya bermaksud menghantamnya. Bersamaan
dengan itu, Jaka seketika menghantamkan tan-
gannya ke dada penyerangnya.
Terhuyung-huyung orang itu, dengan da-
rah meleleh dari mulutnya. Sementara Jaka
dengan memegangi tangannya yang dielus-elus,
tersenyum-senyum. Hal itu menjadikan kesembi-
lan garong lainnya marah. Serta merta, kesem-
bilan garong itu mengeroyoknya.
"Wadauw, kenapa kalian sadis-sadis,
sih?" gumam Jaka.
"Diam! Jangan kayak orang sinting!"
"Aduh mak, Jaka dibentak. Eh... Kenapa
engkau hendak membokongku?"
Jaka kembali berkelebat cepat memutar
tubuhnya menghadap pada orang yang bermaksud
membokongnya. "Ini hadiah untukmu dariku se-
bagai kenang-kenangan atas jasamu yang hendak
membokongku."
Secepat kilat tangan Jaka berkelebat,
menghantam muka orang yang bermaksud membo-
kongnya. Spontan, orang itu meraung kesakitan
dengan tangan menutupi mukanya.
Marahlah pimpinan garong, demi melihat
dua anak buahnya telah dengan gampang dipe-
cundangi. Maka tak ayal lagi, ketua garong
itu segera menyerang Jaka.
"Wadauw, kenapa oom mau membacok ku?
Ampun, Ooom...!" teriak Jaka manakala golok
di tangan pimpinan Garong hendak membabat ke
tubuhnya. Dengan segera, Jaka mempercepat ge-
rakannya. Kakinya berkelebat menendang tubuh
ketua garong itu. Tak dapat dibayangkan, kaki
Jaka mendarat telak menghantam dada ketua ga-
rong.
"Enakkan Oom dapat kue Talam?"
"Setan! Jangan kira aku kalah, Monyet!"
bentak marah pimpinan garong. Tangannya meme-
gangi dada yang terasa sakit. Lalu dengan di-
dahului geraman, ketua garong itu mengomando-
kan pada anak buahnya untuk menyerang. "Se-
rang...!"
Bagaikan tak ada rasa takut sedikitpun,
ketujuh anak buahnya segera berkelebat bareng
menyerang Jaka.
Wah, kenapa dengan ketujuh monyet ini?
Apakah mereka terkena AIDS?" gumam Jaka se-
perti berbicara pada diri sendiri.
"Kunyuk! Sudah di ambang kematian masih
berlagak!"
"Eh, siapa yang kunyuk? Kalian kunyuk?
Pantas.... Pantas. Memang rupa kalian mirip
kunyuk kelaparan. Aduh...! Kenapa kalian mem-
babi huta?" seru Jaka, manakala salah seorang
pengeroyok membabatkan golok ke arahnya. Den-
gan cepat, di jitak kepala penyerangnya.
Seketika orang yang di jitak menjerit dengan
memegangi kepala. Berguling-guling, lalu am-
bruk mati. Dari atas kepalanya meleleh darah,
keluar dari tiga lobang berbentuk mata dadu.
"Hi, hi, hi.... Ternyata orang itu suka
main dadu. Lihat! Di kepalanya ada gambar da-
du!" seru Jaka pada ketujuh pengeroyoknya,
menjadikan ketujuh orang itu menggeram. Tanpa
banyak kata lagi, mereka serempak kembali me-
nyerang.
"Eh, eh. Rupanya kalian tidak kapok,
Tong. Baik, untuk kalian akan aku beri hadiah
gocap-gocap, ini!"
Habis berkata begitu, Jaka yang tak in-
gin mengulur-ulur waktu segera berteriak ba-
gai orang gila. Tubuhnya berputar bagaikan
baling-baling. Tangannya dengan cepat berge
rak, dan...!
"Tok, tok, tok, tok, Bletak!"
Tujuh kali terdengar suara beradunya
tangan Jaka dengan kepala pengeroyoknya. Se-
ketika ketujuh pengeroyoknya menjerit, ber-
guling-guling di tanah. Di atas kepala mereka
tergambar bulatan sebesar uang 50-an.
"Ha, ha, ha... Kalian memang lucu-lucu.
Kenapa uang Gocap ditempelin di atas kepala?
Oh, rupanya kalian orang kaya, ya?" kata Jaka
dengan tertawa-tawa.
Meskipun pimpinan garong itu geram, na-
mun ia tak berani berbuat apa-apa. Ia tahu,
kalau pemuda yang seperti tak waras itu ter-
nyata berilmu tinggi. Tanpa memperdulikan mu-
suh-musuhnya yang telah berjatuhan, Jaka se-
gera berkelebat pergi.
* * *
Malam itu gerimis turun membasahi bumi.
Peperangan telah lama usai untuk diteruskan
esok hari. Di sebuah ruangan Kerajaan Kurda
Rumajang, Prabu Amuk Mungkur telah duduk di
atas kursi. Di hadapannya duduk seorang gadis
yang tak lain daripada Angelir, anaknya.
"Bagaimana hasil mu, anakku?"
"Seperti yang telah direncanakan.
Ayah," jawab Angelir setelah terlebih dulu
menyembah. "Angelir telah dapat mengambil ha-
ti Prabu Wulung Seta."
Tersenyum Amuk Mungkur mendengar penu-
turan anaknya. Rasa bangga menyelimuti wajah
Amuk Mungkur, hingga hatinya seketika bergu-
mam. "Tak aku sangka, kalau anakku mampu men-
jadi mata-mata. Hem, sungguh pintar Angelir.
Lalu, apa yang menjadi pikiranmu, Anakku?"
tanya Prabu Amuk Mungkur, menjadikan Angelir
seketika menundukkan mukanya.
"Kenapa, Anakku? Sepertinya kau menemui
kesulitan?" kembali Amuk Mungkur bertanya,
demi melihat putrinya hanya terdiam tak men-
jawab.
"Benar, ayahanda. Angelir memang menga-
lami kesulitan," jawab Angelir setelah sekian
lama terdiam.
"Hem, coba kau katakan apa yang menjadi
kesulitanmu!"
"Ampun, Ayahanda. Angelir merasa jatuh
cinta pada Wulung Seta."
"Apa...?" tersentak Amuk Mungkur men-
dengar jawaban anaknya. Matanya melotot, me-
mandang pada Angelir yang kembali menunduk
tak berani menentang pandang. "Jangan, Anak-
ku! Kau harus ingat, bahwa Wulung Seta adalah
musuhku! Maka sebagai musuh ayah, dia juga
musuhmu pula!"
"Tapi, Ayah...." Angelir mencoba menye-
la.
"Tak usah kau memikirkannya, Anakku."
"Baiklah, Ayah. Angelir akan selalu me-
nurut apa yang dititahkan oleh ayah," jawab
Angelir.
Amuk Mungkur kembali tersenyum, dihe-
lanya napas dalam-dalam. Amuk Mungkur perla-
han bangkit dari kursinya. Dihampiri anaknya,
lalu dengan penuh kasih dibelai rambut sang
anak sembari berkata:
"Anakku, bila masanya kau menjadi Ratu,
kau akan merasakan betapa kekuasaan lebih
berguna dibandingkan dengan cinta. Cinta bi-
asanya hanya sekata, tapi kuasa akan menen
tramkan hati. Bagaimanapun, kau harus mampu
menjadikan dirimu orang yang disegani. Sebab
syarat utama menjadi Raja harus mempunyai ke-
wibawaan."
Sejenak keduanya hening, membisu dengan
segala perasaan. Angelir masih menunduk se-
pertinya tengah meresapi makna ucapan sang
ayah. Sementara Amuk Mungkur, dengan penuh
kasih terus membelai rambut anaknya. "Anak-
ku...."
"Daulat, Ayah," jawab Angelir,
"Dulu ibumu pun begitu. Ibumu menguta-
rakan cinta pada ayah. Namun setelah ayah
tua, ibumu pergi entah ke mana. Ayah sakit
hati, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa ibumu
kini telah menikah lagi dengan ayahanda Wu-
lung Seta."
"Jadi...." terbelalak Angelir mendengar
penuturan ayahnya.
"Ya, ibumu lari dari ayah dan menikah
dengan Prabu Salya ketika kau masih kecil.
Itulah mengapa ayah mendendam pada dua kera-
jaan itu. Tadinya ayah tak menghiraukan, na-
mun melihat engkau menderita ayah jadi kesal.
Kesal pada ibumu, juga kesal pada Prabu
Salya. Maka sebagai pelampiasan kekesalan
ayah, ayah memusuhi dua kerajaan turunan
Salya."
Makin tergugah hati Angelir setelah ta-
hu siapa musuh-musuh ayahnya. Kekecewaan pada
ibunya yang telah meninggalkannya sejak ke-
cil, menjadikan Angelir dendam. Tanpa sadar,
Angelir mendesah seakan bersumpah,
"Akan aku hancurkan keturunan Salya,
Ayah!"
"Kau mampu, Anakku?" tanya Amuk Mung
kur, yang dijawab oleh Angelir dengan tatapan
mata kepastian. Lalu dengan napas panjang
yang dihempaskan, Angelir kembali berkata:
"Akan aku coba, Ayah!"
Tak terurai rasa bahagia dan kagum men-
dengar ucapan anaknya, hingga Amuk Mungkur
berkaca-kaca matanya. Diajaknya Angelir ban-
gun dari duduk, dan dibimbingnya sang anak
berjalan.
"Apa yang hendak kau lakukan malam ini,
Anakku?" tanya Prabu Amuk Mungkur.
"Kini Wulung Seta telah terjerat oleh
ku. Maka aku akan terus mencoba mengacaukan
kedua kerajaan itu, Ayah," jawab Angelir se-
telah terlebih dahulu memandang wajah ayahnya
sesaat. Terlihat oleh Angelir goresan kekece-
waan di wajah ayahnya, menjadikan Angelir tak
mampu menahan air mata.
Angelir pun menangis haru melihat kese-
dihan ayahnya yang menjadikan ayahnya seorang
pendiam dan pemarah.
Saking terhanyutnya Angelir menyaksikan
raut wajah ayahnya, tanpa disadari hatinya
bergumam. "Sungguh ibu orang yang tak tahu
kasih. Hem, Salya. Keturunanmu kelak akan me-
nerima balasannya yang setimpal dengan perbu-
atanmu!"
"Ayah, Angelir mohon pamit!"
"Hendak ke mana, Anakku?" tanya Amuk
Mungkur kaget demi mendengar ucapan anaknya.
"Bukankah hari sudah malam?"
"Seperti rencana Angelir, Angelir hen-
dak menyusup ke dalam tenda musuh. Do'a kan,
Ayah. Semoga Angelir dapat melaksanakan apa
yang menjadi rencana kita."
"Aku terus mengiringi mu, Anakku. Be
rangkatlah!" kata Amuk Mungkur dengan pera-
saan haru. Matanya berkaca-kaca, ketika men-
cium kening anaknya. Dengan penuh kebisuan,
Amuk Mungkur melepas kepergian anaknya malam
itu.
Angelir terus berlari menembus malam,
seakan tiada rasa takut setetes pun di darah-
nya. Ia terus berlari menuju ke sebuah hutan
yang lebat, hutan yang sepertinya menyimpan
keangkeran. Demi cita-citanya, Angelir tak
memperdulikan gelapnya malam.
Setelah sekian lama berlari, Angelir
akhirnya berhenti pada sebuah tempat di ten-
gah hutan.
"Suiiit...!"
Bersamaan dengan habisnya suitan yang
dilontarkan Angelir, dari dalam semak-semak
hutan bermunculan orang-orang berwajah sadis
menuju ke arahnya.
"Ada gerangan apa Sri Ratu Angelir me-
manggil kami?" tanya Gober selaku ketua II
setelah Angelir dan Loro Ireng, pada pimpinan
Gerombolan Hutan Renges.
"Mana Loro Ireng?"
"Ampun Sri Ratu, Loro Ireng pergi!" ja-
wab Gober.
"Pergi ke mana, Gober?"
"Loro Ireng mengatakan hendak mencari
musuhnya!"
"Musuhnya...? Siapa musuhnya? Dan kena-
pa tidak mengajak kalian?" tanya Angelir tak
mengerti. Matanya membeliak lebar, menjadikan
sorotan cahaya di dalam gelap. Gober tak be-
rani menantang pandang, begitu juga dengan
keseratus anak buahnya. "Apa dia tak berpesan
apa-apa?"
"Dia berpesan agar bila Sri Ratu da-
tang, kami mengikuti Sri Ratu beroperasi."
Membeliak mata Angelir mendengar penu-
turan wakilnya. Nafasnya terdengar mendengus,
pertanda dia tengah marah. Hal itu menjadikan
Gober terpaku diam dengan wajah tertunduk.
Gelapnya malam itu hening tiada kata.
"Kalau kalian ikut denganku, apakah ka-
lian mampu melakukan tugas kalian?" tanya An-
gelir setelah terdiam untuk beberapa saat.
"Hamba siap, Sri Ratu...!" jawab kese-
ratus anak buahnya.
"Benar kalian siap?"
"Daulat Sri Ratu. Tugas apapun akan ka-
mi lakukan!" jawab Gober mewakili keseratus
anak buahnya. Mereka tak berani membantah pa-
da Angelir, yang menjadikan dirinya sebagai
Ratu Gerombolan Hutan Renges.
"Baiklah, aku tugaskan pada kalian, ka-
caukan barak-barak prajurit kerajaan Segara
Wetan! Sementara aku sendiri, akan mengacau-
kan Kerajaan Pesisir Putih. Ingat, jangan
sampai ada yang tertangkap. Seandainya ada,
jangan mengaku! Mengerti...?"
"Daulat, Sri Ratu...!" jawab mereka se-
rempak.
"Nah, lakukan tugas kalian dengan baik.
Kita kacau dua kerajaan itu, ha, ha, ha...."
Angelir tertawa bergelak-gelak, lalu dengan
tanpa memperdulikan keseratus anak buahnya,
Angelir berkelebat pergi.
Sepeninggalnya Angelir, Gober selaku
pimpinan segera menyusun rencana dengan kese-
ratus anak buahnya.
"Walet, dan kau Jangkrik."
"Saya ketua," jawab keduanya bareng.
"Kalian pimpin dua puluh lima orang me-
nyerbu dari Wetan dan Kulon. Sementara aku
dan Bangkong, akan memimpin lima puluh orang
dari Lor dan Kidul. Ayo kita bergerak!"
Malam itu juga, keseratus gerombolan
Hutan Renges bergerak seperti rencana. Tu-
juannya hanya satu, mengacaukan kerajaan We-
tan Segara.
***
EMPAT
Malam itu Wulung Seta tak dapat meme-
jamkan mata barang sekejap. Pikirannya me-
layang, terbayang wajah Angelir yang telah
menawan hatinya. Wulung Seta gundah gulana,
perasaannya tak dapat tenang. Ada rasa takut
menyelimuti hatinya, takut kalau-kalau Ange-
lir terkena apa-apa.
"Ke mana Angelir? Sudah malam begini
tidak datang-datang?" gumam hati Wulung Seta
was-was.
Saking tenggelam dalam pikirannya, Wu-
lung Seta tak memperhatikan bahwa sedari tadi
seorang wanita tengah memperhatikannya. Wani-
ta itu tersenyum sembari menggeleng-gelengkan
kepala, melihat Wulung seta melamun. Wanita
itu yang tak lain Dewi Roro Kunti ibunya,
berjalan menghampiri.
"Ehm...!"
"Ibunda...?" tersentak Wulung Seta dari
lamunannya, mendengar deheman sang ibu. "Ka-
get ananda, Bunda. Ada apa gerangan, Ibunda?"
"Kau melamun, Anakku? Kenapa? Apakah
kau tengah jatuh hati dengan seorang wanita?"
tanya Roro Kunti, yang menjadikan Wulung Seta
tersipu. "Kenapa kau malu, Anakku? Katakanlah
pada Ibu, mungkin Ibunda dapat membantu."
Wulung Seta tak menjawab, ia terdiam
menundukkan muka. Seakan ada ganjalan yang
menyelimuti hatinya untuk mengutarakan apa
yang selalu meresahkannya. Sejenak ditatapnya
wajah sang Ibu, sebelum akhirnya berkata:
"Ibunda tak akan marah?"
"Kenapa mesti marah? Bukankah kau anak-
ku, Wulung?"
Wulung Seta kembali terdiam. Dihelanya
napas panjang-panjang. Setelah merundukkan
muka sesaat, Wulung Seta akhirnya kembali
berkata.
"Memang benar apa yang Ibunda terka.
Wulung kini tengah merasakan apa yang dinama-
kan cinta, Bunda."
Tersenyum Roro Kunti mendengar ucapan
anaknya. Dihampiri Wulung Seta yang masih
terduduk. Melihat Ibundanya menghampiri, se-
gera Wulung Seta turun dari kursinya dan du-
duk di permadani. Wulung Seta segera menyem-
bah, bersimpuh di kaki sang Ibu.
Roro Kunti tersenyum bahagia, demi me-
lihat anaknya yang mengerti akan tata krama.
Walau Wulung Seta telah dinobatkan menjadi
raja, namun sifatnya yang santun tidak hi-
lang. Hal ini menjadikan Roro Kunti yang se-
benarnya ibu tiri merasa sayang, melebihi ka-
sih sayangnya pada Amurwa Sakti anak kandung-
nya.
"Wulung Seta, Anakku. Siapakah gadis
yang telah memikat hatimu, Anakku?"
"Ampun, Ibunda. Gadis itu bernama, Dewi
Angelir," jawab Wulung Seta, menjadikan Roro
Kunti seketika terkesiap kaget. Hal itu men-
jadikan Wulung Seta yang memperhatikannya
kembali bertanya. "Kenapa, Ibunda?"
"Tak mengapa, Anakku. Ibu senang men-
dengar kau telah memilih jodohmu. Mana anak
gadis itu, Anakku?" tanya Roro Kunti, yang
hatinya bergumam lirih. "Hem, ternyata anakku
sendiri yang telah mampu memikat hati Wulung
Seta. Oh, mungkin dia sudah besar. Aku sung-
guh berdosa telah menelantarkannya."
"Ibunda melamun?" tanya Wulung Seta,
demi melihat Roro Kunti terdiam dengan mata
berkaca-kaca.
Terjengah Roro Kunti mendengar ucapan
Wulung Seta. Dicobanya untuk tersenyum, walau
senyum yang dipaksakan untuk menutupi pera-
saan hatinya yang merasa bersalah. Lalu den-
gan terbata, Roro Kunti pun berkata; "Ah,
ti... tidak, Anakku. Ibu tengah memikirkan
betapa nanti kau akan bahagia bersanding den-
gan gadis pilihan mu!"
"Ibunda bisa saja," gumam Wulung Seta
tersenyum.
Tengah kedua anak dan ibu bercengkera-
ma, terdengar suara seseorang menyapa.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" jawab keduanya hampir ba-
reng. Roro Kunti begitu bahagia, manakala ta-
hu siapa yang datang. Ternyata orang yang da-
tang Amurwa Sakti anaknya. "Ada apa, Anakku.
Hingga malam-malam kau datang ke mari?"
"Aku ingin bertemu dengan kanda Wulung
Seta, Bunda," jawab Amurwa Sakti, menjadikan
Wulung Seta tersentak dan segera berkata.
"Ada gerangan apa adinda mencari kan
da?"
"Kanda,… barak-barak kerajaan ku ada
yang mengacau!"
"Mengacau...? Siapa yang telah berani
berbuat begitu?" tanya Wulung Seta dengan ma-
ta menyipit, mendengar ucapan adiknya.
Amurwa Sakti tidak segera menjawab, ma-
lah tampak matanya menatap tajam menghujam
pada wajah Wulung Seta. Melihat hal itu, den-
gan segera Roro Kunti bertanya:
"Amurwa! Kenapa tatapan mu begitu lan-
cang pada kakakmu?"
"Siapa yang tidak marah, Bunda. Orang-
orang yang telah merusak barak ku adalah
orang-orang kakang Wulung Seta."
"Apa...!" tersentak kaget Wulung Seta,
mendengar ucapan adiknya. "Apakah dinda tidak
salah lihat?"
"Benar, Anakku. Kau jangan terlalu ke-
susu menuduh kakakmu. Selidiki dulu kebena-
rannya. Bukankah kini kalian tengah menghada-
pi perang? Siapa tahu orang-orang Kurda Ruma-
jang yang telah melakukan semuanya," tambah
Roro Kunti menengahi.
Mendengar ucapan Ibundanya, Amurwa Sak-
ti terdiam. Ia sadar akan tindakannya yang
terlalu kesusu. Maka dengan menangis, Amurwa
Sakti berkata:
"Ampunilah anakmu, Bunda. Kanda, adinda
meminta maaf atas segala tingkah laku adinda
yang kurang ajar ini."
"Tak mengapa, Dinda. Kanda pun menyada-
ri, betapa hati adinda kini tengah kisruh."
"Terima kasih, Kanda. Bunda dan Kanda,
hamba mohon pamit!"
Setelah terlebih dahulu menyembah pada
Ibu dan kakaknya, Amurwa Sakti segera berlalu
pergi diiringi oleh tatapan mata ibunya yang
melelehkan air mata.
Setelah kepergian anaknya, Roro Kunti
segera berkata pada Wulung Seta, "Anakku Wu-
lung Seta. Ibunda meminta maaf atas segala
tingkah laku adikmu."
"Tak mengapa, Bunda. Ananda juga mak-
lum. Tidak hanya adinda Amurwa Sakti yang ma-
rah bila melihat perlakuan itu, ananda juga
mungkin akan mengalami hal serupa."
"Ah, betapa luhur budi pekerti mu,
Ananda."
Tak dirasa oleh Roro Kunti, ia menan-
gis. Dengan penuh rasa kasih layaknya seorang
ibu, dipeluknya Wulung Seta yang juga turut
menangis.
"Bunda pamit undur, Anakku," kata Roro
Kunti setelah untuk beberapa lama terhanyut
diam.
"Ananda mengiringi," jawab Wulung Seta.
Roro Kunti segera pergi meninggalkan
anaknya sendirian.
Setelah kepergian Roro Kunti, Wulung
Seta kembali terdiam melamun. Pikirannya kini
tidak hanya satu, tapi bercabang. Memikirkan
Angelir yang telah menambat hatinya, memikir-
kan kematian prajuritnya dengan bunga mawar
merah di keningnya, juga memikirkan laporan
adiknya.
"Kenapa semua terjadi? Kenapa sejak aku
mengenal Angelir segalanya terjadi? Apakah
ada orang-orang yang tak menyukai aku dengan
Angelir? Atau... Ah, tidak. Angelir tidak se-
gila itu!" Bergumam Wulung Seta taklim, tak
mengerti akan segala kejadian-kejadian yang
dialaminya.
Malam terus merambah dengan cepatnya,
namun Angelir yang ditunggunya tak muncul-
muncul. Karena penat oleh pikiran-pikiran
yang menyelimuti otaknya, Wulung Seta akhir-
nya tertidur di kursinya.
Wulung Seta tersentak bangun, manakala
seseorang mendekatinya. Dicabutnya keris pu-
saka yang selalu menyelip di pinggangnya, na-
mun segera dimasukkannya kembali manakala ta-
hu siapa yang datang.
"Kaukah, Angelir?" tanya Wulung Seta
tak yakin. Dikucak-kucak matanya, seperti in-
gin meyakinkan apa yang dilihat.
Angelir tersenyum manis, menjadikan ha-
ti Wulung Seta yang sedari tadi menahan ke-
rinduan bergema. Melihat Angelir berjalan
menghampiri Wulung Seta, yang juga bangkit
dari duduknya.
"Sungguh pulas tidur kanda Prabu, hing-
ga hamba yang sedari tadi datang tak berani
untuk mengusiknya."
"Ah, kau bisa saja, Angelir. Dari mana-
kah kau, Angelir? Lama aku menunggu kedatan-
ganmu. Betapa hati ini tak tenang memikirkan
mu," berkata Wulung Seta, menjadikan Angelir
tersipu-sipu.
"Ah, Paduka bisa saja," kata Angelir
manja.
"Aku berkata sebenarnya, Angelir."
"Benarkah...?" Angelir masih menggoda,
menjadikan Wulung Seta makin penasaran. Dico-
banya untuk memeluk Angelir, namun bagaikan
tak butuh, Angelir segera mengelak.
Hal itu menjadikan Wulung Seta makin
bernafsu. Dikejarnya Angelir yang terus ber
lari memutari ruangan.
"Awas kalau kena. Akan aku cium kau,
Angelir!"
"Hi, hi, hi.... Ayolah Paduka. Kalau
memang paduka ingin itu, kejarlah aku!"
"Baik! Jangan menjerit nanti!"
Keduanya pun segera saling kejar. Ange-
lir berputar-putar dari satu tiang, ke tiang
lainnya. Dengan tertawa-tawa, Angelir terus
menggoda. Merasa dipermainkan, Wulung Seta
makin bernafsu saja. Dikejarnya Angelir, kini
dengan menggunakan ilmunya. Tersentak Ange-
lir, melihat Wulung Seta berlari bagaikan an-
gin.
"Kena...!"
"Auh...!" Angelir menjerit manja, mana-
kala tangannya terpegang oleh Wulung Seta.
Namun demikian, Angelir tersenyum manja. Di-
rebahkan kepalanya pada pundak Wulung Seta,
yang menerimanya dengan hati berbunga. Dibim-
bingnya Angelir berjalan menuju kursi. Di-
pangkunya tubuh Angelir yang tersenyum-
senyum, menjadikan Wulung Seta makin gemes.
"Kanda...?" Angelir berkata manja, ma-
nakala Wulung Seta hendak menciumnya.
"Hem.... Ada apa, Angelir?"
"Apakah kita akan terus menerus be-
gini?"
"Maksudmu...?" balik bertanya Wulung
Seta. Mata keduanya saling paut, bibirnya
saling senyum.
"Apakah kanda tidak berpikir untuk men-
jadikan ku isteri?"
"Ooh, kapan kau mau, Angelir?"
"Benarkah, Kanda?"
"Ya...." jawab Wulung Seta pendek. Lalu
dengan tanpa menunggu reaksi Angelir, Wulung
Seta segera mencium bibir Angelir. Ciuman Wu-
lung Seta yang lembut, menjadikan Angelir
bergolak di hatinya. Antara perasaannya yang
memang menghendaki Wulung Seta, dengan apa
yang dicita-citakan oleh ayahnya.
Rupanya perasaannya yang dapat mengen-
dalikan hati Angelir, menjadikan Angelir mem-
balas ciuman yang dilontarkan Wulung Seta.
Keduanya terhanyut diam, seakan tak memikir-
kan segala apa yang tengah terjadi.
Wulung Seta tersentak, manakala salah
seorang patihnya datang,
"Ada apa, Randu Alasan?" tanya Wulung
Seta sembari melepaskan ciumannya.
"Am... ampun, Paduka. Sungguh hamba ti-
dak mengerti," terbata-bata Randu Alasan ber-
kata. Hampir saja Randu Alasan kembali balik,
tatkala Wulung Seta berseru.
"Tunggu, Randu! Ada apa gerangan?"
Randu Alasan segera menghentikan lang-
kahnya, kembali menghadap ke Rajanya. Setelah
kembali menyembah, Randu Alasan segera berka-
ta:
"Ampun Baginda yang Mulia, Ketiwasan!"
"Ketiwasan...? Ketiwasan apa maksudmu,
Randu?" tanya Wulung Seta tak mengerti apa
yang dimaksud oleh Randu Alasan. Matanya mem-
beliak karena kaget, memandang pada Randu
Alasan.
"Ampun Yang Mulia. Lima orang prajurit
kedapatan mati," kata Randu Alasan menjadikan
Wulung Seta makin membeliak matanya, seketika
Wulung Seta berdiri.
Angelir yang melihatnya nampak ketaku-
tan dan menundukkan kepalanya. Wulung Seta
tercenung, memandang ke langit-langit pendo-
po. Matanya berkaca-kaca, sepertinya menan-
gis. Ya, Wulung Seta memang menangis. Wulung
Seta menangisi kejadian-kejadian yang tak
pernah diduganya. Baru saja adiknya Amurwa
Sakti menyangka kalau-kalau prajuritnya yang
berbuat, tapi kini prajurit-prajuritnya sen-
diri yang terkena musibah.
"Kau tahu siapa orang yang melakukan-
nya, Randu?"
"Ampun, Baginda Yang Mulia. Kalau hamba
mengetahui siapa orangnya tak akan hamba bi-
arkan ia hidup-hidup," jawab Randu Alasan.
"Ayo kita ke sana!" ajak Wulung Seta.
Dengan diiringi oleh Randu Alasan dan
Angelir, Wulung Seta bergegas pergi menuju ke
perkemahan prajuritnya. Langkahnya begitu
memburu, sepertinya ingin segera bergegas
mengetahui apa gerangan yang terjadi.
Wulung Seta dan Angelir terbelalak ka-
get, manakala melihat korban yang mati. Lima
orang mati dengan kening bolong, ditutup oleh
setangkai bunga mawar merah darah.
Diambilnya kelima bunga mawar itu oleh
Wulung Seta. Ditatapnya sesaat kelima praju-
ritnya, hatinya bergumam perih: "Oh, apa ar-
tinya semua ini?"
"Sepertinya ada musuh dalam selimut,
Paduka!" kata Randu Alasan menjadikan Angelir
dan Wulung Seta terjengah kaget. Keduanya se-
ketika memandang Randu Alasan, yang tertunduk
tak berani menentang pandang.
"Mungkin juga, Randu. Untuk itu, perik-
sa seteliti mungkin orang-orang yang patut
dicurigai!"
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka,
akan hamba junjung tinggi!" jawab Randu Ala-
san.
Angelir yang berdiri di samping Wulung
Seta hanya diam membisu. Dalam hatinya bergu-
mam penuh kemenangan. Sudah banyak korban
yang jatuh, menjadikan makin berkurang beban
prajurit ayahnya.
"Bila masanya tiba, maka kaupun akan
menerima nasib yang sama, Randu Alasan!" mem-
batin Angelir.
Randu Alasan yang tengah memandang An-
gelir, seketika hatinya membersit sebuah tu-
duhan. Namun Randu Alasan tak berani menguta-
rakannya. Ia takut kalau-kalau Wulung Seta
bahkan balik menuduhnya. "Ah, sungguh petaka!
Tapi, apakah memang benar gadis ini yang ber-
buat? Memang sejak Wulung Seta bersamanya,
korban banyak berjatuhan. Semua sama, mati
dengan bunga mawar," batin Randu Alasan.
Melihat Randu Alasan menatapnya, Ange-
lir yang merasa telah mampu mengait hati Wu-
lung Seta menentang pandangan Randu. Hal itu
menjadikan Randu Alasan tak berani untuk te-
rus bertatap mata. Randu Alasan akhirnya me-
nunduk.
Malam pun berjalan dengan cepat, mengi-
ringi kebisuan yang terjadi. Waktu terus mem-
buru, sepertinya turut menyaksikan apa yang
telah terjadi. Bila esok datang, kembali me-
reka akan disiapkan untuk berperang.
Kejadian malam itu seperti gelap, gelap
tak ada yang dapat membuka tabir semuanya.
Dengan langkah lesu, Wulung Seta yang diirin-
gi Angelir berjalan kembali menuju istana.
Randu Alasan hanya mampu mendesah, me-
narik napas panjang. Lalu dengan dibantu be
berapa orang prajurit, Randu Alasan malam itu
juga mengubur kelima teman-temannya.
"Siapakah pelaku semua ini?" gumam hati
Randu Alasan.
Ia tak berani menuduh siapa yang telah
berbuat, walaupun hati tuanya mengumandangkan
sebuah terkaan pada siapa sebenarnya yang te-
lah melakukan segalanya. Tapi kedudukannya
selaku patih, menjadikan Tut Wuri Handayani.
Manut untuk terus menjadi patih, daripada me-
nentang tapi dipecat!
***
LIMA
Dengan adanya perang yang terus berke-
lanjutan, menimbulkan bencana dari sosial.
Pencurian, perampokan, pembunuhan, penculikan
dan sebagainya.
Kelaparan melanda di mana-mana, kejaha-
tan sosial pun terus melanda. Tak ada yang
dapat disalahkan, tak ada yang dapat memben-
dungnya. Semua tertuju pada perang, ya pe-
rang.
Malam itu desa Kurawan tampak sepi. An-
gin malam menimbulkan rasa dingin yang menu-
suk-nusuk. Hujan mengguyur dengan derasnya,
disertai suara halilintar yang menggema ber-
kali-kali.
Dari kejauhan, tampak seorang lelaki
berlari menerobos hujan. Lelaki itu yang ter-
nyata Jaka adanya, memaki-maki sendiri pada
hujan.
"Hujan sialan! Basah semua pakaianku!"
Jaka terus berlari menerobos gelap, me-
mecahkan rintikan-rintikan air hujan yang
mengguyur tubuhnya. Dicobanya untuk terus
berlari, mencari salah sebuah rumah penduduk
untuk menumpang teduh.
Tengah Jaka Ndableg berlari merambah
hujan, seketika telinganya yang tajam menden-
gar jeritan dari arah depannya. Jeritan itu
berasal dari sebuah desa. Jaka yang tadinya
hendak mencari teduh, segera mengurungkan
niatnya.
"Heh, seperti ada bencana. Apakah me-
mang ada bencana di desa sana?" gumam Jaka
yang terus mempercepat larinya, tak perduli
lagi dengan tubuhnya yang tersiram air hujan.
Walau dadanya yang telanjang terasa sesak
oleh tempaan air hujan, Jaka terus berlari.
* * *
"Tolong...! Rampok...! Aaachhh...!"
Orang yang berteriak itu seketika ter-
kulai, darah berhamburan muncrat dari leher-
nya yang dibabat golok. Orang malang itu am-
bruk, mati dengan leher hampir putus.
Pekik-pekik wanita yang ketakutan, me-
mecahkan kesunyian malam. Sementara gelak ta-
wa para rampok, sepertinya gelak tawa setan
yang mengerikan.
"Rambah semua rumah penduduk!" terden-
gar suara seorang wanita berseru, sekaligus
memerintah pada anak buahnya. Wanita itu yang
ternyata Loro Ireng tertawa bergelak-gelak.
"Bunuh mereka yang menentang!"
Tengah garong-garong itu beraksi, ter-
dengar suara bentakan yang seketika menge
jutkan Loro Ireng. Seketika mata Loro Ireng
mengalihkan pandangannya pada asal suara itu.
"Sundel Bolong! Rupanya kau orangnya
yang selalu membuat kerusuhan!"
"Hem, kaukah lurah di sini?" tanya Loro
Ireng sinis, menjadikan kepala desa di hada-
pannya mendelik. "Kebetulan! Lurah dungu, ka-
takan pada penduduk mu supaya memberikan apa
yang mereka miliki pada kami!"
"Setan Alas! Jangan kira aku mau diper-
budak olehmu!" menggeretak kepala desa marah.
"Serang...!"
Demi mendengar seruan kepala desa, se-
ketika pamong praja berkelebat menyerang Loro
Ireng berbarengan. Diserang begitu rupa Loro
Ireng bukannya takut, malah dengan ganda ter-
tawa Loro Ireng memapakinya.
"Rupanya kalian minta mampus! Baik, te-
rimalah ini!"
Loro Ireng yang berjuluk Dewi Alas
Renges berkelebat dengan cepat. Tangannya
yang kecil dan halus, tak ubahnya bagaikan
baja yang keras. Setiap hentakan tangannya,
menimbulkan hawa panas. Itulah ajian Tangan
Dewa. Walaupun seorang gadis, namun Loro
Ireng adalah murid Datuk Wurang Geni yang
terkenal kesaktiannya. Maka tak dapat disang-
sikan lagi kalau Loro Ireng pun memiliki
ajian-ajian yang dimiliki oleh Wurang Geni.
Di pihak lain, anak buahnya nampak ma-
kin mengganas. Korban sudah banyak berjatu-
han, terbabat golok anak buah Loro Ireng.
"Ayo, jangan sisakan apa yang ada. Am-
bil semua!" seru Gober selaku wakil Loro
Ireng. Tak dapat dibayangkan, anak buah Ge-
rombolan Hutan Renges seketika makin mengga
nas. Golok di tangan mereka, tak ubahnya ma-
laikat elmaut. Setiap kelebatan golok itu,
memekik pula kematian.
Tengah mereka beraksi, membunuh dan me-
nyiksa penduduk desa terdengar suara lantang
membentak:
"Tikus, tikus busuk! Rupanya kalianlah
tikus-tikus yang suka usil!"
"Bedebah! Siapa kau! Kalau kau manusia,
tunjukkan batang hidungmu!" bentak Gober ma-
rah, merasa dihina dengan panggilan tikus.
Matanya liar memandang ke asal suara, dengan
golok siap di tangannya.
"Aku di sini, tikus dungu!"
Bersamaan dengan habisnya suara Jaka,
seketika berkelebat tubuhnya yang tahu-tahu
telah berdiri di hadapan Gober. Gober tersen-
tak dan melompat mundur. Bibirnya menyungging
senyum sinis, manakala tahu siapa gerangan
yang telah berdiri di hadapannya.
"Rupanya hanya seekor monyet," dengus
Gober.
"Ah, apakah kau tak salah ngomong? Aku
rasa, kaulah monyetnya. Kalau kau manusia,
jelas kau memiliki rasa kemanusiaan. Tapi kau
memang monyet. Ha, ha, ha.... Pantas, pan-
tas!"
"Sinting! Siapa namamu, Anak muda? Jan-
gan kau mati tak meninggalkan nama!" bentak
Gober.
"Wow, gaya bahasa mu seperti filsuf.
Namun tindakanmu, heh, he... tak lebih tinda-
kan maling kelas teri. Eh, bukankah kau me-
mang maling?"
"Pemuda sinting! Rupanya kau ingin mam-
pus, berani lancang pada gerombolan Alas
Renges!"
"Aduh... Maaf saja yang mulia. Sungguh
aku tak tahu, kalau yang mulia ternyata pim-
pinan gerombolan tikus-tikus comberan. Ha,
ha, ha...."
Tak dapat dicegah lagi kemarahan Gober
mendengar ejekan yang dilontarkan Jaka. Maka
dengan mendengus marah, Gober segera berseru
pada anak buahnya.
"Serang...! Jangan biarkan pemuda gila
ini hidup!"
"Wadauw.... Kenapa oom-oom semua menye-
rangku? Apa salahku, oom?"
Jaka bagai orang kebingungan diserang
oleh begitu banyak orang. Tubuhnya yang beri-
si, berkelebat-kelebat dengan ilmu meringan-
kan tubuh hingga serangan mereka hanya menge-
nai tempat yang kosong.
Seharusnya mereka sadar siapa yang kini
tengah mereka hadapi. Namun sebagai orang-
orang yang kasar, mereka tak mau perduli sia-
pa adanya Jaka.
"Ampun, oom. Jangan tendang aku...!"
Jaka berseru manakala salah seorang anggota
Gerombolan Alas Renges hendak menendangnya.
Dengan bergerak cepat membalik, Jaka tendang-
kan kakinya menghantam orang itu.
"Aaah...!" seketika memekiklah orang
yang kena tendang. Matanya mendelik, tangan-
nya memegangi dadanya yang terasa sakit. Jaka
yang merasa main-main, tertawa bergelak-gelak
demi melihat musuhnya muter-muter sambil me-
nahan sakit.
"Hua, ha, ha.... Lucu teman kalian. Li-
hat, bukankah ia seperti tikus comberan men-
cium tai?"
"Edan! Jangan hiraukan ucapannya!" den-
gus marah Gober, melihat tingkah laku Jaka
yang konyol. "Serang...!"
"Eeh.... Rupanya kalian juga ingin me-
nikmati mimpi indah. Wah... memang malam te-
lah larut, ditambah lagi dengan gerimis. Enak
ya kalau tidur, apa lagi dengan isteri!"
"Setan! Jangan banyak bacot!" maki keki
Gober yang merasa Jaka telah mempermainkan-
nya. Tubuh Gober bergerak dengan cepat, mem-
babatkan pedangnya ke tubuh Jaka.
Pertarungan terus berlangsung dengan
serunya. Walau Jaka nampak seperti main-main,
namun segala tindakannya selalu membawa ha-
sil. Tangannya yang seperti menari, selalu
menjadikan musuhnya terhempas ke belakang.
"Wah... wah... Kenapa kalian tidak per-
nah makan pisang? Kenapa srodak sono srodak
sini? Jangan kesusu, kawan! Ini untukmu pi-
sang molen!"
Habis berkata begitu, Jaka segera me-
nyodokkan bogem mentahnya ke mulut penyerang-
nya. Seketika menjeritlah orang itu, dengan
mulut yang berlepotan darah. Giginya rontok,
berjatuhan muncrat dari mulut bersamaan den-
gan muncratnya darah.
Semua yang mengeroyoknya tercengang.
Namun belum juga mereka sadar, Jaka telah
mendahuluinya.
"Ini untuk kalian yang bengong!"
"Aduh...!" pekik seorang lagi.
"Ini juga! Biar mulutnya yang bau jeng-
kol tidak menganga terus. Bahaya kalau mulut-
mu menganga, bisa menimbulkan polusi!"
Seperti yang pertama, orang kedua, ke-
tiga, keempat, dan kelima pun seketika menje
rit-jerit sambil memegangi mulutnya yang ter-
timpa kue pisang molen Jaka!
Jeri juga yang lainnya melihat hal itu.
Namun kejerian mereka hilang, kala Gober kem-
bali berseru memerintahkan mereka agar menye-
rang.
"Serang lagi! Jangan biarkan anak gen-
deng ini bebas!"
Serta merta, kesembilan puluh anak
buahnya bareng mengepung Jaka yang tertawa-
tawa. Golok di tangan mereka, berkelebat tak
beraturan menjadikan Jaka pusing juga. Namun
bukanlah Pendekar Pedang Siluman Darah kalau
harus mengalah. Diserang serabutan begitu ru-
pa, tidak menjadikan Jaka gentar.
"Ampun, Emak! Mereka hendak mencincang
Jaka...!" seru Jaka bagaikan anak kecil. Hal
itu menjadikan nafsu penyerangnya yang sedari
tadi memang telah kesal dengan ulah Jaka,
Mereka terus mencerca Jaka, bagaikan
tak memberi kesempatan sedikit pun bagi Jaka
untuk mengatur napas. Golok di tangan mereka
silih berganti, menyerang. Hal itu menjadikan
Jaka menggerutu kesal, yang dengan konyolnya
menyemburkan ludah ke muka penyerangnya.
"Cuh...!"
Mata orang yang terkena semburan ludah
Jaka, seketika gelap. Maka serangan mereka
pun makin tak menentu. Bahkan teman sendiri
diserang begitu saja.
"Edan si Jumro! Kenapa kau menyerang
aku, hah!" maki orang yang diserang Jumro.
"Aduh... Aduh, mataku...!" Jumro menje-
rit-jerit.
"Hua, ha, ha...! Nah, siapa lagi yang
ingin susu indomilk?"
"Sinting! Kau harus mampus, anak muda!"
dengus Gober.
"Apa...? Kau minta mampus? Baiklah! Ka-
lau memang itu kehendak kalian, akan aku ban-
tu kau ke akherat, hiaat...!"
Jaka bergerak cepat, tak segan-segan
lagi menghantamkan tangannya yang berisi te-
naga dalam. Tangannya bagaikan burung pela-
tuk, mematuk jidat orang-orang itu. Seketika
menjeritlah orang-orang yang terkena. Dalam
sekali gebrakan saja, sepuluh orang telah
terhantam. Di jidat mereka tergambar angka
dadu, yang menjadikan Jaka makin ganda ta-
wanya seperti melihat hal lucu.
Di pihak lain, Loro Ireng yang tengah
dikeroyok oleh kepala desa dan para pamong
Praja nampak masih tenang. Sudah lima orang
yang meregang nyawa, terhantam tangan Loro
Ireng yang disaluri ajian Tangan Dewa.
"Terimalah Dewa Brahma!" bentak Loro
Ireng.
Bersamaan dengan itu, tangan Loro Ireng
seketika menyala bagaikan tertutup api. Itu-
lah kehebatan tangan Dewa. Setiap kali Loro
Ireng merapalkan segala Dewa, maka tangannya
akan seketika berubah menjadi tangan Dewa.
Dewa Brahma adalah Dewa Api, sehingga tangan
Loro Ireng pun menjadi api.
Tersentak mundur kepala lurah melihat
hal itu. Nyalinya seketika menciut. Namun se-
bagai kepala desa, ia dituntut untuk membasmi
kerusuhan di desanya. Mau tak mau, kepala de-
sa itu pun membuang segala kengerian di ha-
tinya. Maka dengan Ajian Tirta Buananya, Ke-
pala Desa segera berkelebat memapaki serangan
Loro Ireng.
"Tirta Buana.... Hiaatt...!"
"Hiaatt...!"
"Duar!"
Ledakan terdengar seketika, manakala
dua ajian bertemu menjadi satu saling serang.
Kepala desa terpental lima tombak dengan tu-
buh terjengkang, mulutnya mengeluarkan darah
segar.
Sementara Loro Ireng pun tak luput. Tu-
buhnya terjengkang tiga tombak, matanya melo-
tot tak percaya.
Dengan mendengus marah, Loro Ireng yang
sudah mampu menjaga keseimbangannya kembali
hendak menyerang Kepala Desa. Membeliak mata
Kepala Desa, manakala Loro Ireng berkelebat
dengan ajian Dewa Wisnu. Tangan Loro Ireng
seketika berubah banyak dengan api yang me-
nyala-nyala.
"Gusti Allah! Mungkin hanya di sini
umurku!" batin kepala desa, manakala Loro
Ireng semakin dekat ke arahnya. Namun ketika
Loro Ireng hendak menghabisi nyawa Kepala De-
sa, secepat kilat sebuah bayangan berkelebat
memapakinya.
"Aaah...!" Orang yang memapakinya seke-
tika melengking. Tubuh orang itu hangus, ter-
bakar oleh api yang menyala-nyala. Kepala De-
sa tersentak membuka matanya, memekik manaka-
la tahu siapa orang yang telah berusaha meno-
longnya.
"Rekso Panuluh! Rekso Panuluh!"
Rekso Panuluh yang telah mati, tak men-
dengar jeritan Kepala Desa yang mengguncang-
guncang tubuhnya. Rekso Panuluh adalah salah
seorang tangan kanan Kepala Desa yang sangat
setia pada pimpinannya. Pengorbanan Rekso Pa
nuluh begitu besar dengan cara mengorbankan
nyawanya untuk keselamatan Kepala Desanya.
"Sundel Bolong! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!" menggeretak Kepala Desa marah. La-
lu dengan menggeram terlebih dahulu, kepala
desa segera menyerang Loro Ireng yang terse-
nyum.
"Akan aku kirim kau ke neraka, Kepala
Desa dungu!" bentak Loro Ireng. "Terimalah
ajian ku. Dewa Petir...!"
Dikiblatkan tangannya yang telah dilan-
dasi dengan Ajian Dewa Petir. Seketika petir
membahana, mengejutkan semua orang yang ada
di situ termasuk Jaka. Jaka yang tengah mem-
permainkan anak buah Loro Ireng tersentak ma-
nakala didengarnya petir membahana.
"Hem, rupanya di sini ada yang memiliki
ajian Petir seperti milikku!" batin Jaka.
Dengan segera Jaka menengok sesaat ke asal
suara petir itu. Matanya seketika membeliak,
mana kala dilihatnya seorang gadis mengumbar
ajiannya yang mengeluarkan petir menyerang
orang tua yang tampak lemah. "Aku harus meno-
long orang tua itu!" pekik Jaka dalam hati.
Maka dengan sekali loncat, tubuhnya telah me-
lesat menghadang serangan Loro Ireng.
"Petir Sewu...!" seru Jaka.
Hampir saja Kepala Desa itu terhantam
ajian Dewa Petir yang dilontarkan oleh Loro
Ireng, kalau saja Jaka tidak segera memapaki
serangan Loro Ireng dengan Petir Sewunya.
"Duar...!"
"Aah...!" pekik Loro Ireng dengan tubuh
terjengkang ke belakang. Pakaian yang dikena-
kan seketika hancur terbakar oleh petir yang
dilontarkan Jaka.
"Anak muda! Kali ini aku mengalah.
Tunggulah nanti!"
Dengan perasaan malu karena tubuhnya
tak tertutup sehelai benang pun, Loro Ireng
segera pergi diikuti oleh sisa-sisa anak
buahnya.
* * *
Sepeninggalan Loro Ireng beserta kam-
brat-kambratnya, Jaka segera menghampiri Ke-
pala Desa yang masih pucat. Dibantunya Kepala
Desa itu bangun.
"Siapa mereka, bapak?" tanya Jaka.
"Mereka adalah gerombolan Alas Renges,
nak," jawab Ki Lurah dengan napas ngos-
ngosan. "Kau hebat, anak muda. Kau mampu men-
galahkan ajian Dewa Petir miliknya. Siapa na-
mamu?"
"Nama saya Jaka, pak."
"Jaka, tanpa kedatanganmu mungkin entah
jadi apa desa ini. Untuk itulah, aku selaku
pimpinan desa mengucapkan terima kasih."
"Itu sudah kewajibanku, bapak. Tak per-
lulah bapak memikirkannya," jawab Jaka dengan
senyum, menjadikan seluruh warga yang ada di
situ memdecak kagum. Gadis-gadis yang meli-
hatnya seketika melekatkan pandangan matanya
pada wajah Jaka yang tampan.
"Wah, sudah tampan berilmu tinggi pu-
la," gumam Kemuning pada temannya.
"Kau naksir, Kemuning?"
"Ah, mana dia mau yang tampan dan sakti
denganku yang jelek? Bisa-bisa diketawai!"
jawab Kemuning sambil tersenyum.
Sementara Jaka dengan Kepala Desa terus
melangkah menuju ke rumah Kepala Desa. Sambil
berjalan, mereka saling bercerita tentang
keadaan diri mereka masing-masing. Tak tera-
sa, dalam beberapa menit saja keduanya telah
sampai.
"Inilah rumahku, Jaka. Ayo mampir!"
"Ah, terima kasih. Gampang lain waktu
saja. Aku mohon pamit!"
"Kau mau ke mana, Jaka?"
"Aku akan melihat pertempuran itu!"
Habis berkata begitu, secepat kilat Ja-
ka telah berkelebat. Hal itu menjadikan Ki
Lurah melototkan mata tak percaya sembari
menggumam. "Apakah dia itu Dewa? Kalau orang,
mana mungkin dapat berlari seperti angin?"
Orang-orang yang mengantar Ki Lurah
hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala, demi
melihat kelebatan Jaka yang bagaikan angin.
* * *
Pagi yang telah datang, manakala menta-
ri menyibak daun-daun yang berada di hutan
dengan sinarnya. Burung-burung terdengar ber-
nyanyi dengan riangnya, seakan mensyukuri
nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.
"Ooh, hari telah pagi. Pantas kalau aku
silau, tak tahunya sinar matahari menerpa wa-
jahku," gumam Jaka yang baru saja terbangun
dari tidurnya. "Semalam aku bertempur dengan
gerombolan Alas Renges. Hem, aku akan mencari
mereka!"
Dengan sekali loncat, Jaka telah turun
dari batang cabang pohon yang dijadikannya
tempat tidur. Setelah melemaskan tubuh, Jaka
segera berkelebat untuk mencari air. Tak be
rapa lama kemudian, Jaka dapat menemukan se-
buah kolam air.
Setelah celingukan ke sana ke mari dan
dirasakan tak ada orang lain, dengan segera
Jaka langsung menceburkan diri ke sendang
itu.
"Ah, dingin benar air sendang ini!"
Walau air sendang itu memang dingin,
namun terasa sejuk kala Jaka terus menyibak-
kan badannya. Hingga saking asyiknya Jaka
mandi, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa
musuh akan selalu datang tak mengenal waktu.
Begitu juga saat itu, Jaka tak menyada-
ri kalau sepasang mata lentik tengah mengawa-
si dirinya. Mata itu milik seorang wanita,
yang merasa kagum atas ketampanan Jaka.
"Sungguh tampan pemuda itu," gumam wa-
nita itu dalam hati. "Aku... Oh, kenapa kau
begitu tertariknya untuk dapat mengenalnya?"
Perlahan-lahan gadis itu melangkah men-
dekati tempat di mana Jaka menaruh pakaian-
nya. Dengan perlahan-lahan hingga tak menim-
bulkan suara sedikitpun, gadis itu segera
mengambil baju Jaka.
Ketika Jaka telah selesai mandi dan
hendak mengambil pakaiannya, seketika mata
Jaka melotot kaget. Bajunya telah hilang,
yang ada hanya celananya saja. Dengan menya-
bet celana dan bergegas mencari tempat ber-
sembunyi, Jaka segera pergi untuk mengenakan
celananya.
"Ke mana bajuku? Apakah aku lupa mena-
ruh?" gumam Jaka dalam hati, bingung. "Ah,
tidak. Aku tidak lupa, aku belum linglung.
Atau barangkali terhanyut oleh air? Coba aku
cari lagi!"
Jaka dengan segera kembali berkelebat
menuju ke sendang, di mana ia tadi mandi. Ma-
tanya memandang pada air sendang yang tampak
bening.
"Hem, tak ada. Masa baru sekejap saja
bajuku tenggelam? Tak mungkin...!" gumam hati
Jaka penuh ketidakmengertian.
Tengah Jaka kebingungan menari bajunya,
terdengar seorang gadis mendehem dan bertanya
kepadanya. "Ehm.... sedang apakah dirimu, Ja-
ka?"
Jaka segera memalingkan mukanya, meman-
dang pada gadis itu dengan terkejut. Betapa
tidak, bertemu saja baru sekarang, mengapa
gadis itu mengenalnya?
"Apakah sedemikian tenarnya, sehingga
namaku begitu melekat di hati gadis-gadis?
Ah, kayak bintang film saja," gumam Jaka da-
lam hati.
"Heh, dari mana nona tahu namaku?"
tanya Jaka dengan kebingungannya. Namun gadis
itu bukannya menjawab, bahkan dengan terse-
nyum dia mengerlingkan matanya genit.
"Sompret...! Ditanya, eh malah main ma-
ta. Apa sih maunya?" kembali Jaka bergumam
dalam hati, demi dilihatnya gadis itu main
mata dengannya.
"Nona, apakah nona tahu bajuku?"
"Kalau aku tahu, mau kau beri aku apa?"
balik bertanya si gadis, yang menjadikan Jaka
jantungnya deg-degan melihat senyum yang sen-
gaja ditujukan ke arahnya.
"Jadi benar namamu, Jaka?"
"Ya, ada apa?"
"Ah, tak apa-apa. Terus terang saja,
kau tampan!"
"Aah...." Terbelalak mata Jaka menden-
gar pengakuan gadis itu yang polos. "Apa kau
tak bercanda, nona?"
"Tidak! Aku tidak bercanda. Bukankah
aku tadi mengatakan terus terang saja?" jawab
si gadis makin melebarkan senyumnya.
Hati Jaka seketika bagai bedug ditabuh,
bergemuruh dengan segala perasaan bangga. Tak
terasa, Jaka pun menatap mata si gadis lekat-
lekat. Hingga untuk beberapa lama Jaka hanya
diam mematung, sementara matanya tak luput
dari tatapan si gadis.
"Kenapa kau bengong, Jaka?"
"Ah, ti... tidak!" jawab Jaka terbata.
Lalu setelah dapat menenangkan pikirannya,
Jaka kembali meneruskan. "Nona, kau telah ta-
hu siapa namaku. Sekarang aku ingin bertanya,
tahukah kau siapa yang telah mengambil baju-
ku?"
Mendengar pertanyaan Jaka, gadis itu
tampak merengut. Hal itu membuat Jaka seketi-
ka mengernyitkan kening tak mengerti, lalu
dengan tergagap kembali bertanya.
"Ada apakah, nona? Apakah aku telah me-
nyinggung perasaanmu?"
"Kau terlalu, Jaka," jawab si gadis,
yang makin menjadikan Jaka mendalamkan lipa-
tan kerut di keningnya.
"Hai... Kau bilang aku terlalu. Maksud-
mu terlalu bagaimana, Nona?"
Gadis itu tak segera menjawab, bahkan
kini ia pergi meninggalkan Jaka yang hanya
mematung tak mengerti. Pikiran Jaka yang se-
dang kacau, makin bertambah linglung bingung.
"Edan! Beginilah kalau menjadi orang
ganteng," gumam Jaka menyanjung dirinya sen
diri. "Huh, kalau begini caranya, aku terma-
suk orang-orang penghancur hati wanita!"
Tengah Jaka terbengong-bengong tak men-
gerti, didengarnya isak tangis. Jaka tersen-
tak dan segera memasang telinganya, dan Jaka
lebih tersentak lagi manakala ia tahu siapa
yang tengah menangis itu.
"Heh, inikah yang dinamakan dunia cin-
ta?" tanya Jaka dalam hati. "Sungguh perilaku
edan kalau begitu. Kenapa gadis ini menangis
hanya karena aku tak tahu apa-apa? Huh...
pusing-pusing."
Perlahan Jaka menghampiri gadis itu
hingga tak terdengar langkahnya. Ketika tan-
gan Jaka hendak memegang pundak si gadis, Ja-
ka segera mengurungkannya. "Nona, kenapa nona
menangis?" Gadis itu segera menengokkan wa-
jahnya. Dipandangnya wajah Jaka lekat-lekat.
Perlahan gadis itu bangkit dari duduknya, la-
lu menghampiri Jaka yang berdiri bengong me-
matung.
"Apakah kau tak tahu perasaan, Jaka?"
tanya si gadis, menjadikan Jaka membelalakkan
mata dan bertanya tak mengerti:
"Heh, benarkah aku ini tak punya pera-
saan?" gumamnya seperti pada diri sendiri.
"Aku rasa, aku mempunyai perasaan kaya-kaya
seperti manusia."
"Kenapa kau tak mau memperhatikan aku?"
sendah si gadis menjadikan Jaka makin menja-
di-jadi kagetnya. Bagaimana mungkin, ia mung-
kin baru mengenalnya harus memperhatikan?
Apakah itu bukan suatu hal yang sangat musta-
hil?"
"Nona ini bagaimana? Bertemu saja kita
baru di sini, mana mungkin aku dapat memper
hatikan mu?" tanya Jaka.
Gadis itu terdiam, matanya tetap mele-
kat pada titik mata Jaka sepertinya hendak
menembus ruang-ruang hati Jaka. Jaka mendesah
berat, dirasakan olehnya bahwa gadis itu me-
mang sengaja menaruh benang cinta untuknya.
"Jaka, apakah kau tak tahu?"
"Maksudmu, Nona?" tanya Jaka tak men-
gerti.
Gadis itu tak meneruskan kata-katanya.
Untuk kedua kalinya gadis itu menatap lekat
pada Jaka, sehingga keduanya kembali diam.
Tak dikira sebelumnya oleh Jaka, tangan
gadis itu seketika bergayut di pundaknya. Mu-
lanya Jaka hendak menolak, namun ketika meli-
hat mata si gadis yang sendu, Jaka tak meng-
gubrisnya. Dibiarkan tangan si gadis terus
bergayut di pundaknya.
"Ah, bagaimana aku harus berbuat?" ke-
luh Jaka dalam hati.
Untuk kedua kalinya Jaka tersentak ka-
get, manakala untuk kedua kalinya pula gadis
itu dengan berani menciumnya. Bukan alang ke-
palang bingungnya Jaka saat itu.
"Nona, kenapa kau begitu berani? Bukan-
kah kita belum saling kenal?"
"Aku tak perduli, Jaka," jawab si gadis
dengan tenang, sepertinya tak pernah bersa-
lah. "Bukankah aku telah mengenal namamu?"
"Ah..;." keluh Jaka tertahan. "Bukankah
aku belum mengenalmu? Apakah kau tak takut
kalau aku orang jahat, nona?"
Ditanya seperti itu oleh Jaka, si gadis
malah tersenyum. Tangannya yang bergayut di
pundak Jaka, makin menutup yang akhirnya me-
meluk leher Jaka.
"Kalau kau ingin tahu namamu, aku ber-
nama Dewi Ayu Angelir," jawab si gadis. "Nah,
bukankah kita tak ada halangan sekarang?"
"Ada, nona!" jawab Jaka seketika, men-
jadikan si gadis yang bernama Angelir membe-
lalakkan mata. "Apa itu, Jaka?"
"Kita terbatas dengan susila, bukan?"
"Ah, Jaka...." keluh si gadis manja dan
kembali menggayutkan kedua tangannya di pun-
dak Jaka.
"Nona, apakah kau tahu bajuku?" kembali
Jaka bertanya.
"Kenapa kau tak mau memanggil namaku
saja, Jaka?"
"Baiklah, No... Eh, Angelir. Tahukah
kau siapa yang mengambil bajuku?"
"Tahu...." jawab si gadis dengan manja.
"Kalau aku tahu dan mau menunjukkan siapa
pencurinya, apa yang bakal kau hadiahkan pa-
daku?"
"Kau minta apa?"
"Aku... Hem, aku minta ini."
Terjengah Jaka tak mampu menolak ketika
bibir si gadis menjarah bibirnya. Jaka beru-
saha melepaskannya, namun si gadis tak mau
perduli. Hingga akhirnya, Jaka pun terhanyut
dalam suasana romantis itu.
Namun ketika gadis itu mengajaknya ma-
kin tak karuan, dengan segera Jaka menyadar-
kan dirinya sendiri. Jaka dengan segala pera-
saannya segera meninggalkan gadis itu sendi-
rian, tanpa menghiraukan bajunya yang hilang
entah ke mana.
"Huh.... Ada-ada saja kehidupan di du-
nia," gumam Jaka sembari terus berjalan dalam
usahanya mencari markas gerombolan Alas
Renges, yang telah membuat kerusuhan. Tak te-
rasa langkahnya telah begitu jauh, meninggal-
kan tempat di mana Angelir hampir saja menje-
rumuskannya.
Siang itu di wilayah pendukuan Goa Se-
lerong nampak ramai. Tampak orang-orang ber-
lalu-lalang dengan tujuan masing-masing. Ke-
banyakan mereka orang-orang yang melancong
untuk berdagang, atau sekedar mencari hibu-
ran.
Biasanya mereka datang untuk sekedar
mencari wanita-wanita penghibur, atau main
koprok yang telah mendarah daging di daerah
itu. Saking susahnya permainan Koprok dibu-
barkan, sampai-sampai pihak kerajaan tak mau
ambil perduli lagi.
Jaka terus berjalan, manakala tampak
olehnya segerombolan orang-orang tengah me-
nyaksikan sesuatu. Karena tertarik, Jaka pun
segera mendatangi tempat itu.
"Ada gerangan apakah, Ki Sanak?" tanya
Jaka pada salah seorang penonton.
"Ada orang berkelahi," jawab yang di-
tanya.
"Berkelahi...?" kembali Jaka bertanya,
sepertinya ingin meyakinkan jawaban orang
itu.
"Benar, Anak muda," jawab orang itu
kembali.
"Mengapa tak ada yang memisahkannya?
Dan siapa yang berkelahi?"
Orang yang ditanya hanya tersenyum men-
dengar pertanyaan Jaka. Lalu dengan acuh sam-
bil kembali menonton, orang itu berkata.
"Bagaimana untuk memisah? Wong mereka
itu diadu."
"Diadu...?"
"Ya, mereka diadu!" jawab lelaki itu
kembali. "Mereka merupakan orang-orang yang
kalah main Koprok. Mereka diadu oleh Ki Co-
per, dengan maksud siapa yang menang dia tak
usah mengembalikan hutang-hutangnya pada Ki
Coper."
"Hem, begitu?"
"Ya, kebanyakan mereka tak mengerti
akan tujuan Ki Coper. Mereka bermain tak per-
nah menang. Harta benda ditaruhkannya."
Jaka tercenung demi mendengar keluhan
orang tersebut, dalam hatinya bergumam penuh
tanda tanya. Matanya memandang tak berkedip
pada dua orang yang tengah berlaga. "Apa yang
sebenarnya terjadi di pedukuan ini?"
Perkelahian antara dua orang laki-laki
itu terus berjalan, saling baku hantam. Walau
muka keduanya telah babak belur, namun seper-
tinya kedua orang itu tak bakal ada yang ka-
lah. Keduanya tetap bertahan, dengan harapan
dapat impas hutang-hutangnya bila menang.
"Ki Sanak, kalau boleh aku tanya, di
mana biasanya orang-orang main dadu Koprok?"
tanya Jaka pada orang di sampingnya.
"Mau apa...?" orang itu balik bertanya.
"Aku ingin main!"
"Mau main?" tanya orang itu dengan ka-
get. "Jangan, Anak muda, percuma!"
"Kenapa...?" Jaka bertanya mendesak,
menjadikan orang itu terdiam menarik nafas-
nya. Sepertinya orang itu sangat iba menden-
gar penuturan Jaka.
"Mereka curang, kau pasti akan kalah,"
jawab lelaki itu, nadanya seperti khawatir.
"Kuharap janganlah sekali-kali kau terjerat
oleh Ki Coper."
"Terima kasih atas perhatianmu, Ki Sa-
nak," kata Jaka.
Sejenak Jaka kembali memandang pada me-
reka yang tengah berkelahi. Tampak darah te-
lah membasahi sekujur tubuh orang-orang itu.
Jaka yang merasa kasihan, serta merta berte-
riak:
"Hentikan...!"
Tersentak semua yang ada di situ mana-
kala mendengar seruan itu. Mereka seketika
memandang pada Jaka, seakan tak percaya bahwa
orang yang membentaknya adalah anak muda
usia.
Belum juga mereka tersadar dari kekage-
tannya, Jaka dengan segera berkelebat dan ta-
hu-tahu telah berdiri di antara kedua orang
yang berkelahi.
"Kalian bukan binatang, kenapa kalian
mau diadu?" tanya Jaka pada keduanya, yang
seketika menghentikan perkelahian seraya me-
mandang padanya. "Berapa hutang-hutang ka-
lian, sehingga kalian mau saja diperbudak?"
"Apa maksudmu, Anak muda?" tanya salah
seorang yang tadi berkelahi.
"Aku tak ingin kalian baku hantam hanya
karena masalah yang gila," jawab Jaka. "Kalau
kalian mau berkelahi, kenapa tidak mengeroyok
biangnya sekalian?"
"Maksudmu, Anak muda?" orang satu-nya
ikut bertanya.
"Kalau kalian ingin benar-benar bebas
dari buaya, mengapa kalian tidak membasmi
buayanya saja? Mengapa justru kalian yang ba-
ku hantam sendiri?"
"Kau maksud kami menentang Ki Coper?"
tanya orang pertama yang berbadan tinggi den-
gan rambut awut-awutan dan jenggot tumbuh le-
bat.
"Ya...." jawab Jaka pendek.
Tengah mereka terdiam mendengar penutu-
ran Jaka, tiba-tiba terdengar seruan yang na-
danya membentak ditujukan pada Jaka.
"Anak muda, lancang kau mengajari
orang-orang sini! Apa kau belum tahu siapa Ki
Coper, hah!"
Mendengar seruan orang itu serta merta
Jaka tertawa bergelak-gelak, menjadikan semua
yang ada di situ terperanjat dan berusaha me-
nahan getaran tawa Jaka.
"Hai orang yang bicara! Kalau kau benar
manusia, aku harap sudilah datang ke mari.
Hanya monyet sajalah yang beraninya berkoar.
Apa engkau tak ingin kue talam?"
"Setan alas! Lancang mulutmu!" bentak
orang tersebut, yang dibarengi dengan berke-
lebatnya sesosok tubuh langsing menuju ke
tengah-tengah arena di mana Jaka berdiri.
Seketika semua orang yang ada di situ
tersentak, manakala tahu siapa gerangan orang
yang datang. Saking kagetnya mereka demi me-
lihat orang tersebut, sehingga dari mulut se-
muanya terdengar pekikan menyebut nama orang
itu.
"Balong Sakti...!"
"Siapa kau, Anak muda?" bentak Balong
Sakti. "Belumkah kau tahu siapa Ki Coper
adanya, sehingga kau berani lancang hendak
mengadu domba?"
"Aku bukan hendak mengadu domba, aku
hanya memberikan saran pada mereka. Kalau me-
reka mau, ya syukur. Tapi kalau tidak, itu
hak mereka."
Mendengar ucapan Jaka, Balong Sakti
yang belum tahu siapa adanya Jaka tersenyum
mencibirkan mulut.
"Lagakmu seperti jagoan, Anak muda!"
"Itu hakmu untuk menilaiku apa," jawab
Jaka tenang. "Yang penting aku tak pernah me-
rasakan menjadi seorang jagoan. Lagi pula,
jagoan hanyalah ada pada orang-orang yang gi-
la sebutan."
"Jangan banyak khotbah! Sebutkan namamu
sebelum aku kirim kau ke neraka!" kata Balong
Sakti gusar.
"Hem, mampukah kau mengirim ku ke sa-
na?" tanya Jaka dengan seenaknya, membuat Ba-
long Sakti seketika melototkan mata marah.
Apalagi manakala Jaka kembali berkata, Balong
Sakti tak dapat membendung amarahnya. "Sebe-
narnya aku juga ingin piknik ke sana, tapi
Tuhan belum mengijinkan ku. Apakah kau juga,
Bangkong?"
"Setan...! Namaku bukan Bangkong, Mo-
nyet!" bentak Balong.
"Oh, jadi namamu bukan Bangkong melain-
kan Monyet?" tanya Jaka dengan tenangnya, ba-
gaikan orang pilon yang baru masuk ke kota.
"Pantas, kalau kau monyet. Lihat saja, mo-
nyongmu memang seperti monyet. Lancip dan ce-
riwis!"
"Setan!" geram Balong, yang disertai
dengan kelebatan tubuhnya menyerang Jaka. Ja-
ka yang diserang secara tiba-tiba tampak ter-
senyum, dan ganda tertawa manakala melihat
jurus-jurus Balong.
"Wua, kenapa kau tidak menjadi raja mo-
nyet saja, Balong?"
Balong yang sudah tak dapat menahan
amarah, tak mengeluarkan kata-kata lagi. Tu-
buhnya terus berkelebat dengan cepat menye-
rang Jaka. Tapi rupanya segala serangan Ba-
long tak berarti apa-apa untuk Jaka. Dengan
segera, Jaka menangkap kaki Balong manakala
kaki itu berkelebat menyerangnya.
Tanpa dapat dielakkan oleh Balong yang
meronta-ronta, Jaka yang timbul ide konyolnya
segera menarik celana panjang yang dikenakan
Balong. Ketika Balong meronta lagi, maka su-
dah pasti celananya yang menutupi auratnya
lepas terbesot tangan Jaka.
Demi melihat keadaan Balong yang telan-
jang, seketika orang-orang yang tadinya ter-
cekam tertawa bergelak-gelak. Tinggallah Ba-
long yang mengumpat-umpat sendiri penuh kema-
rahan.
"Awas kau anak muda! Tunggu kakakku
nanti!"
Dengan tanpa memperdulikan tubuhnya
yang tak tertutup celana, Balong segera ber-
lari ngacir. Hal itu menjadikan semua orang
yang berpapasan dengannya terpekik, khususnya
kaum wanita yang seketika menjerit sembari
menutupi matanya. Sementara orang-orang yang
tadi berkerumum dan mengkhawatirkan Jaka, ki-
ni segera mengangguk-anggukan kepala kagum.
Semua orang yang melihatnya seketika
mengikuti ke mana Jaka pergi, hingga ketika
Jaka ke kedai mereka pun ikut ke kedai.
"Apakah kalian tahu di mana kediaman Ki
Coper?"
"Kami tahu, Tuan Pendekar," jawab semu-
anya bareng.
"Terima kasih. Apakah ada yang mau men
gantarkan aku ke sana?" kembali Jaka ber-
tanya. Kali ini semuanya terdiam tak ada yang
berani menjawab. "Bagaimana? Adakah yang
mau?"
Selang beberapa lama setelah semuanya
diam, terdengar seruan seseorang dari luar
kedai.
"Anak muda yang tidak memakai baju, ke-
luar kau!"
"Siapa dia...?" tanya Jaka pada semua-
nya, manakala tampak orang-orang di sekitar-
nya terdiam tak ada yang berani berkata.
"Dialah Ki Coper, kakak Ki Balong yang
telah tuan kalahkan tadi," jawab seseorang
tiba-tiba, yang menjadikan Jaka tersentak se-
raya memandang ke orang tersebut.
"Siapakah Ki Sanak?" tanya Jaka.
"Aku adik Ki Balong," jawab pemuda itu
sembari melemparkan topi yang dikenakannya ke
arah Jaka.
Dengan segera Jaka berkelebat mengelak-
kannya. Tubuh Jaka seketika melompat ke atas
dan menjebol atap kedai itu, lalu berdiri
menghadapi ketiga kakak beradik itu.
"Hem, rupanya kalian kecoa-kecoa busuk-
nya!"
"Anak muda, karena kau telah berani
lancang di daerah ku, maka kau akan tahu sen-
diri akibatnya!"
Tersenyum Jaka mendengar ucapan Ki Co-
per.
"Hem, begitukah? Aku jadi ingin tahu,
apa yang bakal kalian lakukan padaku yang bo-
doh ini."
"Hati-hati, Anak muda!" bentak Ki Co-
per.
"Sedari tadi aku sudah hati-hati. Kena-
pa kau memikirkan aku? Bukankah lebih baik
kalian memikirkan diri kalian yang sebentar
lagi akan menjadi cacing tanah?" ejek Jaka,
menjadikan ketiga kakak beradik itu mendengus
marah.
Tanpa dapat dicegah, ketika kakak bera-
dik itu spontan mengeroyok Jaka. Jaka yang
sudah tahu siapa mereka, nampak tak mau main-
main. Namun walaupun begitu, Jaka yang memang
dasarnya Ndableg terus bertingkah konyol. Ke-
tika Lumajang menebaskan golok ke arahnya,
serta merta Jaka berteriak.
"Ampun, Mas.... Jangan galak-galak,
dong! Itu kan rempeyek, kenapa kau gunakan
untuk bertarung? Bukankah lebih baik dimakan
saja? Eh, kalau kau tak bisa makannya, sini
aku beritahu!"
Habis berkata begitu, tiba-tiba Jaka
telah berkelebat dengan cepat. Tanpa dapat
dilihat, Jaka telah merampas golok yang dipe-
gang Lumajang. Hampir saja Lumajang benar-
benar makan golok, kalau saja Balong tidak
segera membantu menyerang.
"Eh, rupanya ada kodok Bangkong yang
datang. Wah, kebetulan aku sudah lama tidak
makan daging Bangkon!" Jaka mengibaskan tan-
gannya yang memegang golok, menjadikan Balong
tersentak. Gerakan Jaka begitu cepat, sukar
untuk diikuti dengan mata.
Melihat adinya dalam keadaan bahaya,
secepat kilat Ki Cupir bergerak menangkis
tangan Jaka. Balong selamat, namun kini di-
rinya sendiri yang terancam oleh sabetan go-
lok Jaka.
Hampir saja golok di tangan Jaka mene
bas leher Ki Cuper, ketika dengan nekad Luma-
jang menghantamkan pukulannya. Hal itu menja-
dikan fatal bagi dirinya sendiri, sebab Jaka
yang memang tak menghendaki tubuh musuhnya
terkena golok di tangannya segera memapaki
pukulan Lumajang dengan pukulan Getih Sakti.
"Crootttt...!"
Tanpa dapat dihindari, Getih Sakti
menghantam telak pada tubuh Lumajang. Seketi-
ka itu tubuh Lumajang meleleh bagaikan ter-
panggang. Semua orang yang menonton menggi-
dikkan tengkuknya, demi melihat hal itu.
Melihat adiknya mati, bukannya kedua
orang kakak beradik itu menyadari. Bahkan
dengan nekad, keduanya segera menyerang Jaka.
Kali ini mereka menyerang tidak tanggung-
tanggung. Mereka menyerang dengan segala
ajian yang mereka miliki.
Jaka tersentak manakala sebuah ajian
yang dilancarkan oleh Ki Cuper menghantam ke
arahnya. Jaka berusaha menghindar, namun ma-
sih juga pahanya tersamber. Seketika daging
yang ada di pahanya panas membara bagaikan
terbakar, menjadikan rasa nyeri yang teramat
sangat.
"Hem, kau telah mulai. Aku pun akan me-
mulainya, bersiaplah! menggeretak Jaka marah.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Tersentak kedua musuhnya, kala tahu
siapa yang tengah mereka hadapi. Ternyata me-
reka tengah menghadapi seorang pendekar pilih
tanding, yang saat ini tengah menggemparkan
dunia persilatan.
Saking kagetnya kedua kakak beradik
itu, dari mulut mereka seketika terdengar se-
ruan, menjadikan semua yang ada di situ turut
tersentak kaget.
"Pendekar Pedang Siluman...!"
Tanpa disuruh, kedua orang kakak bera-
dik itu langsung jatuhkan diri minta ampun.
"Ampuni nyawa kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami telah lancang!"
"Kalian benar ingin menginsafi tindakan
kalian?"
"Benar, Tuan Pendekar!" jawab Ki Cuper
dengan gemetaran.
"Baiklah! Ingat oleh kalian, aku akan
datang bila kalian ternyata ingkar!" kata Ja-
ka seperti mengancam. "Dan aku minta, bubar-
kan apa yang selama ini kalian lakukan!"
"Baik, Tuan Pendekar," jawab Ki Cuper.
Jaka yang segera tempelkan Pedang Pusa-
ka Siluman Darah ke paha yang luka, seketika
luka itu hilang dengan sendirinya. Bersamaan
dengan hilangnya luka di paha Jaka, Pedang
Siluman Darah hilang dari tangan Jaka.
Dengan tanpa berkata lagi, Jaka segera
berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanan-
nya mencari gerombolan Alas Renges. Semua ma-
ta yang ada di situ, memandang kagum atas ke-
pergiannya.
* * *
Ketika Jaka tengah berlari, seketika
seorang lelaki berbadan besar menghadang
langkahnya. Jaka tersentak dan melompat mun-
dur.
"Ada apa Ki Sanak menghadangku?" tanya
Jaka.
"Hua, ha, ha... Kaukah yang bernama Ja-
ka atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
"Benar adanya. Siapakah Ki Sanak
adanya?"
"Hua, ha, ha... Aku Woro Gendo!" jawab
Woro Gendo disertai dengan tawanya yang be-
sar. "Tak aku sangka kalau kita akan bertemu
di sini. Lama aku mencarimu, Pendekar!"
"Hem, ada keperluan apa Ki Sanak menca-
riku?" tanya Jaka seraya mengernyitkan alis
matanya tak mengerti.
"Pendekar... sengaja aku mencarimu, ka-
rena aku ingin menjajal sampai di mana ilmu
yang kau miliki!"
"Ooh, sungguh salah alamat bila begi-
tu," jawab Jaka.
"Jangan kau mungkir, Pendekar. Ayo, ki-
ta mulai, cabut senjata yang kau miliki itu!"
"Hem, maaf aku tak ada waktu!"
Dengan segera Jaka bermaksud meninggal-
kan Woro Gendo, namun dengan cepat Woro Gendo
segera menghadangnya.
"Sombong kau, Anak muda!" bentaknya ma-
rah.
"Aku tidak sombong, Woro Gendo. Tapi
aku tak merasa kalau aku seorang pendekar,
jadi kalau kau menantangku itu suatu kesala-
han. Nah, aku hendak pergi...."
Belum juga Jaka Ndableg berlalu, tiba-
tiba Woro Gendo telah berkelebat menyerang
dengan gadanya. Pekikannya begitu mendengung-
kan gendang telinga.
Tersentak Jaka dan melompat mundur, ma-
nakala dirasakan sabetan Gada di tangan Woro
Gendo. Angin yang keluar dari gada, bagaikan
angin puting beliung.
"Ayo, keluarkan Pedang Pusaka mu itu!"
"Baiklah, Woro Gendo. Kalau itu yang
engkau inginkan, aku pun tak akan mengecewa-
kan mu. Nah, aku hanya dengan tangan kosong!"
Makin marahlah Woro Gendo yang merasa
diremehkan oleh anak muda di depannya. Dengan
menggeram marah, Woro Gendo segera kembali
berkelebat menyerang.
"Jangan lengah, Anak muda!"
Dengan membabi buta, Woro Gendo terus
mencerca Jaka. Namun begitu Jaka bagaikan
main-main menghindar sembari tertawa-tawa.
"Wah, kaku benar jurus-jurusmu, Woro.
Apakah kau tak pernah berlatih?"
"Sombong! Ini makan!" bentak Woro Gendo
sembari menyodokkan gadanya ke muka Jaka. Se-
cepat kilat Jaka berkelit, dan...!
"Rupanya kaulah yang suka makan roti,
Woro. Ini untukmu!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Jaka,
Jaka telah merebut gada di tangan Woro Gendo
dan menyodorkannya ke mulut Woro. Seketika
melengkinglah Woro Gendo kesakitan, giginya
rontok dan dari mulutnya meleleh darah.
"Aku mengaku kalah, Anak muda. Namun
kelak aku akan mencarimu!" Habis berkata be-
gitu, tanpa memperdulikan Jaka yang hanya ge-
leng-geleng kepala Woro Gendo cabut pergi.
* * *
"Loro Ireng, keluar kau!"
Loro Ireng yang tengah duduk-duduk di
hadapan anak buahnya tersentak manakala men-
dengar seseorang dengan lantang berseru.
"Siapa yang tengah hari bolong begini
berteriak-teriak?" tanya Loro Ireng, seper-
tinya pada diri sendiri. "Gober, coba kau li
hat siapa dia!"
"Daulat, Ketua."
Dengan menggeram marah, Gober segera
berkelebat pergi menuju ke luar. Tersentak
Gober, manakala tahu siapa adanya orang yang
telah berseru itu. "Kau...!"
"Ya, aku. Mana pimpinanmu?" bentak pe-
muda yang tak lain Jaka adanya.
Demi mendengar namanya disebut, seketi-
ka Loro Ireng berkelebat ke luar menemui.
"Siapakah, Gober?" tanya Loro Ireng.
"Aku, Loro Ireng...."
Tersentak Loro Ireng, ketika melihat
siapa adanya orang yang telah berani menya-
troni markasnya. Orang itulah yang telah mem-
buat hatinya tak tenteram, didera oleh rasa
yang aneh.
"Kau...!" tergagap Loro Ireng berkata.
"Ya aku, Loro Ireng. Aku datang untuk
membubarkan kalian."
Loro Ireng tidak menyahut, tapi dari
kedua matanya seketika menetes air mata. Me-
lihat hal itu, Jaka yang melihatnya seketika
trenyuh. Maka dengan nada lemah Jaka berkata:
"Kenapa kau menangis, Loro Ireng?"
"Ampunilah aku, Tuan Pendekar. Aku ber-
janji tak akan melakukan semua lagi," kata
Loro Ireng, matanya tak berkedip menatap Ja-
ka.
"Benar apa yang kau katakan, Loro?"
"Be... benar, Tuan Pendekar," jawab Lo-
ro Ireng.
"Baiklah, kalau itu benar. Tapi kalau
nanti aku melihat kau melakukannya, maka kau
pun tak akan segan-segan menurunkan tangan!"
kata Jaka. "Kaukah pimpinannya, Loro?"
"Bukan...."
"Lalu siapa?"
"Orang itu kini telah menyusup di salah
satu kerajaan!"
"Maksudmu kerajaan mana, Loro?"
"Entahlah. Yang pasti dua kerajaan mu-
suh kerajaan ayahnya."
Mendengar jawaban Loro Ireng, seketika
Jaka berkelebat meninggalkan mereka dengan
meninggalkan ucapan yang berupa ancaman.
"Loro Ireng, ingat olehmu. Kalau engkau
melakukan lagi, aku akan menurunkan tangan
pada kalian!"
Loro Ireng tersentak, lalu dengan lesu
ia pun segera kembali masuk ke markasnya. Me-
lihat pimpinannya terdiam, semua anak buahnya
pun tak ada yang berkata-kata.
Mereka segera mengikuti langkah Ireng,
masuk ke dalam gubuk.
***
ENAM
Malam kembali menjelajah, sepertinya
menyelimuti kebisuan. Bulan bergayut di atas
cakrawala dengan tenangnya, ketika terdengar
pekikan lima kali berturut-turut.
Randu Alasan yang malam itu tak mampu
memejamkan mata, seketika berlari menuju ke
arah suara itu. Seketika mata Randu Alasan
melotot, manakala dilihatnya lima orang pasu-
kannya telah mati dengan kening berlubang
tertutup bunga Mawar Merah.
"Bunga Mawar!" pekik Randu Alasan.
"Hem, untuk yang kesekian kalinya Bunga Mawar
ini mencari korban. Aku tak habis pikir, sia-
pa gerangan tokoh di bank kejadian semua
ini?"
"Ada apa, Randu?" tanya Wulung Seta
yang berlari-lari menuju ke arah Randu bersa-
ma Angelir. Demi melihat Angelir bersama Ra-
janya, seketika Randu makin tak mengerti. Tu-
duhannya yang selama ini menuju Angelir,
buyar seketika. Dengan menyembah, Randu men-
ceritakan apa yang terjadi.
"Korban lagi, Paduka." Wulung Seta ter-
diam masgul. Didekatinya kelima prajurit yang
telah mati. Kembali diambilnya bunga Mawar
yang menutupi luka di kening kelima prajurit
itu.
"Hem, setiap korbannya selalu ditinggal
Bunga Mawar," gumam Wulung Seta. "Siapakah
kira-kira tokohnya, Randu?"
"Ini jelas tindakan orang-orang Amurwa
Sakti, Tuan ku!"
"Kau yakin, Angelir?" tanya Wulung Se-
ta, demi mendengar penuturan Angelir yang
mengejutkannya. "Mana mungkin Amurwa Sakti
berbuat begini?"
"Itu bisa saja, Kanda. Bukankah kanda
pernah bercerita tentang Amurwa Sakti yang
marah-marah karena baraknya dirusak oleh
orang-orangnya paduka? Mungkin hal itu semata
untuk menutup segala maksud buruknya!"
"Ah...!" tersentak Wulung Seta menden-
gar analisa yang diucapkan oleh Angelir.
"Mungkin juga!"
Kembali Wulung Seta mengamati kelima
prajuritnya yang telah mati. Tak terasa, ma
tanya berkaca-kaca. Hatinya gundah, demi men-
gingat semuanya. "Apakah benar adikku bertin-
dak semuanya?"
"Randu Alasan, juga seluruh perbatasan.
Tangkap siapa pun orangnya yang hendak ma-
suk!" perintahnya pada Randu Alasan.
"Daulat, Paduka. Segala titah paduka
akan hamba laksanakan, walau nyawa sebagai
taruhannya!"
Setelah menyembah terlebih dahulu, Ran-
du Alasan segera berkelebat pergi meninggal-
kan rajanya dengan hati gundah. Se-ribu satu
pertanyaan, menggema di hatinya.
"Apakah mungkin tuan ku Amurwa Sakti
berbuat sekeji itu? Tapi aku pun tak dapat
memastikan kalau Angelir yang melakukannya.
Kenapa tiba-tiba Angelir bersama Wulung Seta?
Ah, aku tak habis pikir. Kalau benar Angelir
yang melakukannya, jelas ia akan aku ketahui.
Huh, apakah ada orang lain? Kalau orang lain
yang bertindak, sudah pasti pasukanku telah
mengetahuinya."
Saking bingungnya Randu Alasan, menja-
dikannya berjalan bagai tak ada tujuan. Lang-
kah kakinya begitu ringan, tak ada gairah un-
tuk menyeret.
Tengah Randu Alasan berjalan, seketika
prajurit-prajuritnya berlarian ke arahnya.
"Ada apa, Prajurit?"
"Ampun, Tuan ku. Ada seorang pemuda ma-
suk ke perbatasan," jawab para prajurit.
"Kenapa tidak kalian tangkap?"
"Pemuda itu ingin menemui paduka."
"Hem, baiklah. Aku akan menuju ke sa-
na."
Setelah berkata begitu, dengan diikuti
oleh kelima prajuritnya Randu Alasan segera
berkelebat menuju arah yang ditunjuk oleh pa-
ra prajuritnya.
Tampak oleh Randu Alasan seorang pemuda
tampan dengan bertelanjang dada tersenyum pa-
danya. Pemuda itu seketika menjura hormat,
menjadikan Randu Alasan mengernyitkan kening.
Pemuda itu sungguh mengerti tata krama, walau
seperti pemuda gelandangan.
"Ada gerangan apakah engkau mencari
aku, Anak muda?" tanya Randu Alasan setelah
mengangguk, menerima sembah pemuda itu.
"Hamba ingin mencari seorang wanita
yang menjadi pimpinan Gerombongan Alas
Renges," jawab pemuda itu dengan masih menju-
ra hormat.
"Siapa namamu, Anak muda?" tanya Randu
Alasan kembali. "Lalu apakah kau yakin bahwa
orang yang kau maksud ada di sini?"
"Nama hamba yang rendah ini, Jaka.
Orang biasa memanggil hamba Jaka Ndableg!"
Tersentak Randu Alasan demi mendengar
nama pemuda itu. Saking kagetnya, sampai-
sampai Randu Alasan memelototkan matanya sem-
bari memekik tertahan.
"Aha...! Rupanya kaulah pendekar yang
tengah menjadi buah bibir orang-orang persi-
latan. Selamat datang saya ucapkan. Sungguh
saya yang tua renta ini, tak juga tahu tata
krama. Maafkan saya, Tuan Pendekar!"
"Ah, tuan terlalu meninggikan diri
saya, yang nyatanya tidak ada artinya sama
sekali. Terima kasih atas penghormatan tuan.
Apakah tuan yang bernama Randu Alasan?" tanya
Jaka.
"Benar adanya apa yang kau katakan,
Anak muda," jawab Randu Alasan. "Memang hamba
yang bodoh inilah Randu Alasan."
"Tuan Patih Randu Alasan, boleh hamba
memeriksa di sini?"
"Oh, dengan senang hati. Mari...." ajak
Randu Alasan.
Keduanya segera berjalan beriringan me-
masuki perkampungan tenda-tenda yang diguna-
kan untuk kamp prajurit. Mata Jaka yang tajam
setajam mata burung elang, memandang liar se-
tiap pelosok. Namun sejauh mereka berjalan
hingga dua kali sudah perkampungan prajurit
itu mereka kelilingi, Jaka belum juga menda-
patkan orang yang dicarinya.
"Bagaimana saudara Pendekar?" tanya
Randu Alasan.
"Tak ada. Hem, apakah orang-orang itu
berdusta?" gumam Jaka, menjadikan Randu Ala-
san seketika mengernyitkan alis matanya sem-
bari tertawa.
"Yang saudara pendekar maksudkan, mere-
ka siapa?"
"Mereka anak buah Mawar Merah!"
"Apa...!" terbelalak mata Randu Alasan,
demi mendengar penuturan Jaka. "Jadi... Jadi
pemimpinan gerombolan Alas Renges orang yang
selalu membunuh korbannya dengan bunga Ma-
war?"
"Ya, dialah yang menjadi otak gerombo-
lan Alas Renges."
"Hem, jadi di sini telah menyusup musuh
dalam selimut," gumam Randu Alasan, menjadi-
kan Jaka seketika menyipitkan matanya.
"Maksudmu, Paman Patih?"
"Sudah beberapa kali jatuh korban di
sini. Prajurit-prajurit itu pun mati dengan
bunga Mawar Merah."
"Jadi benar orang itu menyusup ke mari,
Paman Randu Alasan?" tanya Jaka, yang diang-
guki oleh Randu Alasan. "Kalau begitu, aku
akan kembali pada markas mereka untuk mena-
nyakan ciri-ciri pimpinan mereka."
Tanpa menunggu jawaban dari Randu Ala-
san, Jaka segera berkelebat pergi. Randu Ala-
san yang melihatnya tersentak kaget. Betapa
tidak, Jaka berkelebat bagaikan angin, tahu-
tahu telah menghilang ditelan malam.
* * *
"Rupanya kau berdusta, Loro Ireng!"
bentak Jaka dengan penuh marah, merasa Loro
Ireng telah membohonginya. "Aku telah ke sa-
na, namun aku tak menemukan pimpinanmu!"
"Sungguh aku tidak berdusta, pimpinan
kami memang ada di sana," jawab Loro Ireng
dengan rasa takut. Loro Ireng yang telah tahu
kehebatan ilmu Jaka, telah mengakui kekala-
hannya. Ia bahkan berjanji akan kembali ke
gurunya, sekaligus meninggalkan dunianya. Du-
nia gelap yang telah menjadikannya seorang
gadis berwatak beringas.
"Hem, kau bisa menunjukkan padaku ciri-
cirinya?"
Loro Ireng pun segera menggambarkan ci-
ri-ciri pimpinannya, yang tak lain daripada
Angelir. Jaka sesaat mengangguk-angguk, lalu
tanyanya kemudian.
"Di mana lagi biasanya dia menyusup?"
"Kalau tidak di kerajaan Pesisir Putih,
mungkin di Kerajaan Segara Wetan."
"Pesisir Putih telah aku cari, namun
tak ada. Baiklah aku akan ke Segara Wetan.
Aku sarankan kalian segeralah bubar!"
"Baik, Tuan Pendekar," serempak mereka
menjawab.
Setelah melihat semua anggota gerombo-
lan Alas Renges bubar dan pergi ke masing-
masing, Jaka dengan segera berkelebat pergi
menuju ke Segara Wetan.
"Petaka kalau terus didiamkan," batin
Jaka. "Kenapa mesti seorang wanita berbuat
begitu?"
Dengan mempercepat larinya, Jaka terus
menerobos malam menuju Kerajaan Segara Wetan
untuk mencari orang yang telah menjadi biang
dari kejadian semuanya.
"Kalau di Wetan Segara aku tak menemu-
kannya, ke mana lagi aku mencarinya? Aku rasa
wanita itu berilmu cukup tinggi. Kalau wanita
biasa, mana mungkin Loro Ireng yang aku keta-
hui memiliki ilmu tinggi mau menjadi anak
buahnya?"
Prabu Amurwa Sakti menghantamkan tin-
junya ke meja. Kekesalannya pada Wulung Seta
telah memuncak. Tuduhan Wulung Seta yang men-
ganggap dirinya melindungi orang yang membu-
nuh prajurit-prajurit Pesisir Putih telah
membuatnya marah.
"Sabar, Tuan ku. Bukankah Prabu Wulung
Seta adalah kakak tuan sendiri?" Patih Nara
Soma mencoba menasehati.
"Memang dia kakakku, Paman Patih. Namun
tindakannya terlalu membuat aku marah. Mana
mungkin aku melindungi musuh? Coba paman Pa-
tih pikir," kata Amurwa Sakti.
"Apakah tidak sebaiknya tuan ku menemui
Prabu Wulung Seta dan Ibunda Ratu untuk mem
bicarakannya? Hamba rasa, ada orang yang sen-
gaja mengadu domba."
"Memang itu yang aku pikirkan, Paman
Patih. Tapi kakanda sepertinya tak percaya.
Aku jadi tak mengerti dengan tindakan kanda
Wulung Seta."
Tengah keduanya bercakap-cakap, terden-
gar seseorang berseru memberi salam. Seketika
raja dan patih itu menghentikan ucapannya dan
memandang ke arah asal suara itu.
"Sampurasun...!"
"Rampes...! Siapakah gerangan?" tanya
Amurwa Sakti. "Paman Patih, coba kau lihat
siapa yang di luar."
"Daulat, Tuan ku."
Patih Nara Soma segera bergegas pergi
setelah terlebih dahulu menyembah. Nara Soma
begitu terkejutnya, manakala dilihatnya seo-
rang pemuda yang datang.
"Siapakah Ki Sanak ini? Dan ada keper-
luan apakah?"
"Hamba bernama Jaka. Atau Jaka Ndab-
leg," jawab Jaka, yang menjadikan Nara Soma
seketika memekik kaget demi mendengar nama
pemuda yang ada di hadapannya.
"Jadi, tuan ku Pendekar Muda yang ten-
gah harum namanya?"
"Ah, tuan patih terlalu meninggikan apa
yang sebenarnya tak ada. Hamba hanyalah orang
biasa," jawab Jaka merendah, menjadikan Nara
Soma masgul.
"Ada keperluan apakah tuan pendekar da-
tang ke mari?"
"Hamba ingin bertemu dengan Paduka
Amurwa Sakti," jawab Jaka.
"Suruh dia masuk, Paman Patih!" Amurwa
Sakti telah mendahului berseru.
"Tuan pendekar diperkenankan masuk,"
kata Nara Soma.
Setelah keduanya masuk kembali, Amurwa
Sakti segera mempersilahkan Jaka duduk. Den-
gan terlebih dahulu menyembah, Jaka segera
duduk di hadapan Amurwa Sakti.
"Ada gerangan apakah tuan pendekar da-
tang ke mari?" tanya Amurwa Sakti.
"Ampun, Tuan ku. Hamba sengaja berkun-
jung ke mari, karena hamba tengah mencari
orang yang telah membuat kerusuhan dengan ca-
ra memanfaatkan situasi perang ini."
"Maksud, Tuan Pendekar?" tanya Amurwa
Sakti belum memahami ucapan Jaka.
Sesaat Jaka menarik napas panjang.
"Ampun, Tuan ku. Kalau orang itu tidak
segera diketahui, niscaya akan merepotkan
tuan ku Amurwa Sakti dan tuan ku Wulung Seta.
Orang itu adalah anak dari raja Kurda Ruma-
jang, yang sengaja menyusup ke salah satu ke-
rajaan. Tujuannya adalah mengadu domba tuan
ku berdua."
Terbelalak mata Amurwa Sakti mendengar
penuturan Jaka yang begitu mendalam. Mata
Amurwa Sakti seketika memandang Jaka, lalu
dengan suara berat bertanya:
"Apakah tuan pendekar tahu ciri-
cirinya?"
"Menurut gambaran anak buahnya, dia
seorang wanita."
"Wanita...!"
"Benar, Tuan ku."
"Siapakah kira-kira? Di sini tak ada
seorang wanita yang baru. Heh, bukankah sejak
kakanda Prabu bertemu dengan Angelir hal itu
terjadi?" gumam Amurwa Sakti. "Apakah hal itu
ada hubungannya dengan kekacauan di barak
prajurit?"
"Maksud, Tuan ku?"
"Paman patih Nara Soma, masih ingatkah
kau dengan kekacauan sebulan yang lalu?"
tanya Amurwa Sakti pada patihnya.
"Benar, Tuan ku. Kala itu segerombolan
lelaki yang kami kira orang-orang Pesisir Pu-
tih menyerbu barak-barak prajurit."
"Hem, tepat!" seru Jaka tiba-tiba, men-
jadikan kedua raja dan patih tersentak. "Me-
mang mereka bercerita, bahwa mereka telah me-
lakukan pengrusakan barak."
"Maksud tuan pendekar?" kembali Amurwa
Sakti bertanya.
"Jadi yang merusak barak dan membuat
kekacauan bukan orang-orang Pesisir Putih?"
Nara Soma melanjurkan bertanya.
"Benar apa yang tuan berdua katakan.
Baiklah Tuan ku Amurwa Sakti dan Paman Patih
Nara Soma, hamba mohon bantuannya untuk terus
mengawasi wilayah tuan dengan seksama. Hamba
pamit undur."
Setelah terlebih dahulu menyembah, den-
gan segera Jaka pergi meninggalkan kedua raja
dan patih yang hanya terdiam saling pandang.
Malam itu bulan tak nampak, mendung
bergayut menghitam. Jaka yang tengah berjalan
nampak memandang sesaat ke atas. Ia bergumam
manakala dilihatnya mendung menebal.
"Huh, kenapa aku bodoh benar? Kenapa
orang yang aku cari-cari tak juga aku temu-
kan?"
Jaka terus melangkah dengan pikiran tak
menentu. "Apakah aku harus menyerbu ke Kurda
Rumajang?" tanya Jaka dalam hati. "Baiklah,
aku akan menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang."
Dengan segera, Jaka mempercepat larinya
menuju ke Kerajaan Kurda Rumajang. Dengan
menggunakan Ajian Angin Puyuh, Jaka melesat
laksana angin.
Tengah Jaka berlari menuju ke Kerajaan
Kurda Rumajang, seketika ia dikejutkan oleh
suara pekikan orang yang berkelahi. Tanpa
berpikir panjang, Jaka segera memburu ke arah
suara itu.
Terbelalak mata Jaka, manakala tahu
siapa yang tengah bertempur. Salah seorang
dari keduanya tak lain Hulubalang Kerajaan
Pesisir Putih yang bernama Surya Lembayung,
sementara seorang lagi adalah seorang wanita
cantik.
"Hem, apakah gadis ini yang dimaksud
Loro Ireng?" tanya Jaka dalam hati. "Kalau
dilihat dari wajahnya, orang inilah orang
yang dimaksud Loro Ireng."
Jaka dengan segera melompat ke atas se-
buah pohon, dan memperhatikan dengan seksama
jalannya pertarungan itu.
"Ini sebuah kesempatan untuk memberita-
hukan pada kedua raja itu siapa sebenarnya
dalang dari semuanya," kembali Jaka bergumam.
"Akan aku panggil mereka dengan ilmu penyusup
suaraku!"
Jaka kemudian duduk bersila dengan mata
terpejam rapat. Disalurkan nafasnya lewat
tenggorokan. "Prabu Wulung Seta...! Prabu
Amurwa Sakti...! Aku memanggil kalian. Datan-
glah ke perbatasan Kerajaan Kurda Rumajang,
kalian pasti akan tahu siapa sebenarnya tokoh
dari segala teror, yang bermaksud mengadu
domba kalian. Cepat, datanglah!"
Di tempat lain, kedua raja muda itu
tersentak demi mendengar suara orang memang-
gilnya. Maka dengan mengajak patih-patih me-
reka, kedua raja itu segera menuruti panggi-
lan orang itu.
Tak lama kemudian, kedua raja dan pa-
tih-patihnya telah sampai ke tempat itu. Wu-
lung Seta terperanjat, ketika tahu siapa yang
tengah bertarung dengan hulubalangnya.
"Kau, Angelir!"
Angelir yang mendengar suara Wulung Se-
ta seketika tersentak mundur. Maka ketika di-
lihatnya banyak orang yang datang, tanpa ba-
nyak pikir lagi Angelir segera berkelebat
pergi.
Mereka yang ada di situ seketika hendak
mengejarnya, manakala Jaka mencegah. "Tak
usah dikejar!"
Seketika semua terbelalak, manakala me-
lihat sesosok tubuh pemuda telah berdiri di
hadapan mereka. Demi melihat pemuda yang me-
reka kenal, seketika mereka memekik:
"Jaka Ndableg!"
"Ah, rupanya tuan pendekar yang telah
memanggil kami," bergumam Amurwa Sakti. "Te-
rima kasih atas pertolongan tuan. Apalah ja-
dinya kami ini, kalau tuan tidak segera mem-
beritahukan hal ini pada kami."
"Ah, Paduka terlalu berlebihan menilai
hamba. Sudah kewajiban hamba untuk memberan-
tas kemungkaran dan kejahilan. Selamat ting-
gal tuan-tuan sekalian!"
Bersama dengan habisnya suara Jaka, se-
ketika semua terbelalak. Mereka kaget demi
mendapatkan Jaka tak ada lagi di antara mere
ka.
"Sungguh pendekar aneh. Walau ilmunya
tinggi, ia tak sombong. Maafkan aku, Dinda,"
kata Wulung Seta. "Kalau tak ada Pendekar Pe-
dang Siluman, apalah jadinya kita."
"Sama-sama, Kanda," balas Amurwa Sakti.
Kedua raja kakak beradik itu saling peluk.
Dengan beriringan, mereka melangkah kembali
ke tempat masing-masing untuk merencanakan
penyerangan esok hari.
Perang kembali meletus, kali ini makin
seru. Dengan perginya Angelir atau si Mawar
Merah, semangat prajurit-prajurit dua kera-
jaan makin tinggi. Hal itu dapat dilihat dari
cara perang mereka.
Tengah mereka berperang, terdengar se-
ruan seseorang yang seketika menghentikan pe-
perangan.
"Lihat ini, Raja kalian telah mati!"
Orang itu yang ternyata Wulung Seta,
menenteng kepala Raja Amuk Mungkur. Di sam-
pingnya berjalan Amurwa Sakti, yang juga me-
nenteng kepala patih Amuk Mungkur yaitu Rekso
Giri.
Dari atas bukit yang agak jauh, seorang
gadis memandang kematian Amuk Mungkur dengan
berlinang air mata. Dialah Angelir, anak Pra-
bu Amuk Mungkur. Hati Angelir seketika memba-
hana, dengan dendam meletus-letus.
"Wulung Seta dan kau Amurwa Sakti.
Tunggulah pembalasanku!"
Dengan masih berderai air mata, Angelir
atau Dewi Mawar Merah berlari meninggalkan
bukit. Nah, bagaimanakah nasib Angelir? Ba-
gaimana pula dendamnya dapat terlaksana? Lalu
apa yang akan dilakukan Jaka selanjutnya? Si
lahkan ikuti kisah selanjutnya dengan judul:
"Pembalasan Dewi Mawar Merah."
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar