..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE PEMBALASAN SURTI KANTI

PEMBALASAN SURTI KANTI

 

PEMBALASAN 

SURTI KANTI

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama,1990

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh: Jesco Setting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah dalam episode:

Pembalasan Surti Kanti

128 hal; 12 x 18 cm



BAB 1


Langit mendung yang tadinya bergayut di atas 

dua perguruan bersaudara itu, perlahan-lahan meng-

hilang bagaikan tersapu oleh ketenangan. Kematian 

utusan Iblis, sepertinya berpengaruh pada keadaan. 

Apakah dengan matinya Utusan Iblis kerajaan Segara 

Anakkan akan tenang? Ternyata semua hanya dapat 

terjawab oleh Yang Wenang, yang mempunyai segala 

rahasia alam.

Siang itu alun-alun kerajaan nampak ramai, 

penuh sesak oleh rakyat yang berbondong-bondong da-

tang untuk menyaksikan orang-orang yang telah se-

kian lama membuat keonaran. Mereka datang ketika 

pagi masih buta, dengan harapan dapat menyaksikan 

dengan jelas wajah kedua orang yang menurut cerita 

berwajah Kelelawar.

Di alun-alun itu riuh rendah rakyat memaki 

dan mencemooh: 

"Cincang mereka!" 

"Hukum picis!" 

"Bakar!"

"Ah, percuma kalian berteriak-teriak" 

"Kenapa?"

"Bukankah kedua Utusan Iblis itu telah mati 

oleh seorang Pendekar yang bergelar Pendekar Pedang 

Siluman Darah?"

"Ooh...!" Seketika semua rakyat melenguh pan-

jang ketika mendengar penuturan orang yang menger-

ti.

"Percuma dong kita ke sini!"

"Loh percuma bagaimana? Jelas ada manfaat-

nya. Kita jadi dapat tahu wajah orang-orang yang hen-

dak merongrong kerajaan."


"Ya....Ya....!" jawab yang lain.

Tengah mereka bercakap-cakap terdengar seo-

rang Ponggawa istana membacakan acara.

"Wahai seluruh rakyat Kerajaan Segara Anak-

kan, hari ini juga kalian akan dapat melihat muka-

muka orang yang telah membuat keonaran dan mem-

bunuh tuanku Suwarna Angresta!" 

"Rakyat seketika terdiam, mereka turut terharu 

dan sedih demi mendengar nama Suwarna Angresta 

yang telah mereka kenal sebagai orang yang baik dan 

merakyat.

Saking trenyuh dan sedih, tak terasa air mata 

rakyat Segara Anakkan meleleh. Mereka berkabung, 

mereka benar-benar telah kehilangan seorang Pembe-

sar yang mau merakyat.

Sepontanitas seluruh rakyat berseru dengan 

marah.

"Cincang saja jadi sate!"

"Picis jadi seratus!"

"Kuliti saja!"

"Bakar!"

"Jangan! Penggal kepalanya dan gantung di de-

pan alun-alun biar menjadi perhatian yang lain!"

"Tenang saudara-saudara, tenang! Seperti Sau-

dara-saudara, kami pun telah kehilangan seorang yang 

sungguh-sungguh patut dijadikan suri tauladan. Maka 

sebagai rasa hormat kita pada beliau, marilah kita se-

saat mengheningkan cipta,"

Berkata sang Ponggawa. "Hening cipta...,"

Tanpa banyak membantah lagi, seluruh rakyat 

kerajaan Segara Anakkan seketika itu terdiam hening. 

Mata mereka seketika berkaca-kaca, lalu menangis. 

Mereka telah benar-benar kehilangan seorang pembe-

sar yang merakyat, dialah Suwarna Angresta. Seorang 

anggota keluarga istana yang seharusnya berhak men



duduki kursi kerajaan, sepertinya tak mau dengan se-

gala jabatan itu. Ia lebih suka merakyat, menyisihkan 

segala tata cara kerajaan dan menggeluti tata kehidu-

pan rakyat yang penuh dengan liku-liku. Akhir dari 

pengorbanannya, adalah mati tragis dibantai bersama 

murid-muridnya oleh orang yang mengakui utusan Ib-

lis.

"Selesai...," berkata Ponggawa kembali setelah 

sekian lama terdiam dalam hening, memberikan peng-

hormatan terakhir bagi seorang pahlawan rakyat yaitu 

Suwarna Angresta. "Nah para rakyat kerajaan Segara 

Anakkan, apa yang hendak kalian lakukan bagi orang-

orang yang telah membuat keonaran dan membunuh 

bahkan bisa dikatakan membantai Kanjeng Suwarna 

Angresta?"

"Bawa orang-orang itu kemari kalau masih hi-

dup! Kalau memang telah mati, penggal kepalanya dan 

gantung di depan alun-alun sebagai peringatan bagi 

yang lainnya!" berseru rakyat, menjadikan alun-alun 

seketika riuh.

Apa yang dikehendaki rakyat kerajaan Segara 

Anakkan ternyata dilaksanakan juga. Hari itu juga, 

kepala dua orang utusan iblis yang ternyata Rundanu 

dan istrinya dipenggal dan di-gantung di depan alun-

alun. Dibawah dua kepala itu, dipentang lebar-lebar 

tulisan yang isinya, "INILAH HUKUMAN BAGI ORANG-

ORANG YANG BERBUAT KEONARAN."

***

Surti Kanti yang turut menyaksikan kepala ke-

dua orang tuanya yang dipenggal, seketika itu menan-

gis meraung-raung histeris. Ia berlari sambil menangis, 

menjadikan semua mata yang ada di situ beralih me-

mandang ke arahnya. Semua rakyat tercengang, den


gan hati di-selimuti beberapa macam pertanyaan.

"Hai, kenapa gadis itu menangis sembari berla-

ri?"

"Apakah tidak mungkin kalau gadis itu adalah 

anak kedua orang yang digantung?" menjawab orang 

yang ditanya.

"Mungkin juga,"

Gadis muda yang tak lain Surti Kanti, terus 

berlari bagaikan tak kenal lelah. Ia berlari sembari me-

nangis dan menyebut nama ayah dan ibunya, juga 

nama orang yang telah membuat ayah dan ibunya 

mendapat hukuman pancung.

Mendengar gadis itu menyebut-nyebut nama 

Jaka Ndableg, seketika para prajurit istana tersentak. 

Mereka seketika itu mengejar Surti Kanti, namun Surti 

Kanti telah lari dan lari dengan kencangnya.

"Apakah dia anak kedua orang yang digantung 

kepalanya itu?"

"Mungkin juga," menjawab prajurit yang di-

tanya, "Tapi siapakah Jaka Ndableg itu...?"

"Hem, apakah kau tak mendengar tentang seo-

rang pendekar muda yang telah mampu membinasa-

kan kedua Utusan Iblis?" tanya prajurit Sona.

Ditanya begitu oleh Sona, seketika Gading 

Wangku mengerinyitkan alis matanya. Lalu dengan 

mendesah bagaikan tak mengerti, Gading Wangku 

berkata. "Hem, benar. Aku mendengar Patih Singa Ba-

rong menyebut-nyebut nama pemuda itu. Ayo kita ke 

patih Singa Barong untuk melaporkan hal ini."

Dengan segera, kedua prajurit itu berlari menu-

ju ke istana.

Patih Singa Barong yang melihat dua prajurit-

nya berlari-lari mendekatinya, seketika mengernyitkan 

mata. Kemudian patih Singa Barong segera bertanya, 

mana kala kedua prajurit itu telah dekat benar.


"Ada apa kalian berlari-lari?"

"Ampun tuan patih, kami hendak melapor," 

menjawab kedua prajurit itu serentak, menjadikan pa-

tih Singa Barong kembali kernyitkan alis matanya. Di-

pandangi kedua prajurit itu, yang tertunduk tanpa be-

rani menentang pan-dang. 

"Apa yang hendak kalian laporkan?"

"Kami melihat seorang gadis berlari-lari menan-

gis setelah menyaksikan dua kepala yang digantung 

didepan alun-alun," menjawab Sona.

"Hem, mungkin ia trenyuh melihat itu karena ia 

wanita," berkata sang patih.

"Ampun tuan patih. Gadis itu bukannya me-

nangis biasa, namun ia menyebut-nyebut nama Jaka 

Ndableg. Begini ia menyebut nama Jaka Ndableg orang 

yang pernah tuan patih bicarakan."

"Aku mengerti, bagaimana ia menyebut Pende-

kar Pedang Siluman Darah itu, Gading?"

"Dia menyebut, Awas kau Jaka! Aku tak akan 

tenang jika belum menghisap darahmu yang telah 

menjadikan kedua orang tuaku mendapat hukuman."

"Benarkah...?" tanya sang patih tak yakin.

"Benar, Tuan Patih," menjawab keduanya se-

rentak.

"Baiklah! Siapkan oleh kalian berdua sepasu-

kan prajurit dan cari gadis itu." 

"Daulat Tuan Patih!"

Setelah menyembah, kedua prajurit utama itu 

segera berkelebat pergi untuk mempersiapkan prajurit. 

Sesaat patih Singa Barong tercenung, lalu dengan se-

gera ia pun berkelebat masuk ke dalam istana untuk 

menghadap raja guna menerangkan apa yang telah di 

laporkan oleh kedua prajurit utamanya.

"Ada apa paman patih? Sepertinya ada berita 

yang sangat penting?" tanya sang Raja.


Sang patih tak menjawab, ia menyembah terle-

bih dahulu. Setelah duduk bersila di hadapan sang Ra-

ja dan menarik napas untuk sesaat, sang patih pun 

berkata:

"Ampun Sri Baginda yang Mulia, hamba mene-

rima laporan dari dua prajurit utama tentang seorang 

gadis muda yang menangis dan berlari-lari setelah me-

lihat dua kepala yang dipampang di depan alun-alun. 

Gadis itu juga menyebut-nyebut nama Jaka Ndableg 

atau Pendekar Pedang Siluman Darah."

"Hem, lalu apa hubungannya, paman patih?"!

"Gadis itu memaki-maki Pendekar Pedang Si-

luman Darah. Hamba merasa yakin kalau gadis itu 

adalah anak dari dua orang yang d pancung!"

Terbelalak mata sang raja dan permaisuri men-

dengar penuturan patihnya. Keduanya seketika saling 

pandang, lalu memandang. Pada sang patih sembari 

berkata.

"Kalau benar begitu, cari gadis itu. Gadis itu 

kelak sungguh berbahaya!"

"Daulat Sri Baginda, kami akan berusaha men-

carinya."

Setelah kembali menyembah, sang patih segera 

pamit mundur untuk menjalankan tugasnya. Hari itu 

juga, patih Singa Barong dan lima prajuritnya dengan 

menggunakan kuda mencari Surti Kanti.

Dihelanya kais kuda dengan kencang, menjadi-

kan sang kuda berlari bagaikan angin membawa tu-

buh-tubuh mereka yang terguncang-guncang. Di wajah 

keenam orang itu, jelas tergambar rasa khawatir ka-

lau-kalau Surti Kanti kelak akan membuat keonaran 

karena dendam demi melihat kedua orang tuanya di-

pancung. Apakah keenam orang utusan kerajaan itu 

akan mampu menemukan Surti Kanti? Nah, ikuti terus 

kisah ini...


BAB II


Surti Kanti terus berlari dan berlari dengan 

kencang sembari menjerit-jerit histeris. Ia begitu ter-

pukul dengan kejadian itu, yang dirasakan olehnya te-

lah membuat segala yang ada pada dirinya kini tiada 

arti. Dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman Da-

rah yang dianggapnya biang dari kejadian ini, bagaikan 

bunga api yang meletup-letup.

"Jaka Ndableg, aku akan membalas segalanya. 

aku akan membalas segala perbuatanmu!" memekik 

Surti Kanti terus berlari. "Aku tak akan tenang bila be-

lum menghisap darahmu, Jaka...!"

Sesampai di rumah, Surti Kanti kembali me-

raung-raung histeris. Ditutupnya segala pintu rumah, 

lalu ia pun masuk mengurung diri di dalam kamar, 

menangis dan menangis.

Tengah Surti Kanti menangis, seketika dengan 

tiba-tiba seorang pemuda yang ia tahu teman kedua 

orang tuanya telah berdiri di hadapannya. Pemuda itu 

tak lain Anggada atau Penguasa Puri Kegelapan terse-

nyum, menjadikan Surti Kanti tersentak marah.

"Kenapa kau tersenyum, kenapa?!" membentak 

Surti Kanti, matanya memandang kesal dan marah. 

"Karena kaulah kami menderita!"

"Menderita...? Hem, apakah kau tidak merasa-

kan kekayaan yang diperoleh oleh kedua orang tuamu 

karena bantuanku?" bertanya pemuda itu dengan se-

nyum sinis masih mengambang di bibirnya. "Seharus-

nya kau mengucapkan terima kasih padaku, karena 

kalian telah aku rubah kehidupannya. Kalian dulu 

miskin bahkan papa, tapi sekarang kalian kaya raya. 

Semua adalah usahaku, semua adalah bantuan dari-

ku."

Mendengar ucapan Anggada, seketika itu Surti 

Kanti yang sudah tak memikirkan kehidupan lagi ter-

diam. Di dalam benaknya hanya ada satu pikiran, ba-

gaimana untuk membalas semuanya pada Jaka Ndab-

leg.

"Kau ingin membalas sakit hati kedua orang 

tuamu?"

"Hai, kenapa kau tahu isi hatiku?" balik ber-

tanya Surti Kanti terheran-heran. Betapa tidak segala 

keinginannya hanya ada dalam hatinya, namun ter-

nyata pemuda yang berdiri di hadapannya sembari 

kembangkan senyum ini mengerti. 

"Kau jangan heran atau kaget kalau aku men-

gerti apa yang menjadi pikiranmu, karena aku bukan 

manusia macammu. Akulah Penguasa Puri Kegela-

pan," berkata Anggada, menjadi Surti Kanti tersentak 

kaget setelah tahu siapa sebenarnya pemuda itu. Sak-

ing kagetnya, sampai-sampai Surti Kanti mendesah. 

"Ah....! Jadi... Jadi kau, kau..."

Melihat Surti Kanti tergagap sambil ketakutan, 

pemuda yang bernama Anggada tersenyum saja. Kini 

ia makin mendekat ke arah Surti Kanti yang makin ke-

takutan. Senyumnya masih mengambang, sorot ma-

tanya tajam menghujam pada mata Surti Kanti. Dari 

bibirnya yang terurai senyum terbersit suara mendesis.

"Kau harus menurut padaku. Kau harus men-

jadi abdiku bila kau ingin membalas dendam pada 

pendekar muda itu. Akan aku turunkan segala ilmu 

yang aku miliki padamu, kau mau Surti?"

Surti Kanti yang tadinya ketakutan, kini men-

gangguk mengiyakan. Dan ketika si pemuda mendekat 

seraya memeluk tubuhnya, Surti Kanti bagaikan pa-

tung diam membiarkan tangan pemuda itu bereaksi. 

Tangan pemuda itu sedikit demi sedikit berubah. Dari 

tangan mulus, kini berubah berbulu lebat.


Surti Kanti yang telah terpengaruh oleh ilmu Ib-

lis Anggada hanya diam dan diam, sampai akhirnya 

perubahan pada diri Anggada benar-benar telah me-

nyeluruh. Mukanya kini bukan muka manusia lagi, 

namun muka kelelawar yang menyeramkan. Namun di 

mata Surti Kanti, pemuda itu masih berujud seperti 

semula tampan dan ganteng.

Ketika Anggada mengajaknya untuk mengalun-

kan irama cinta, Surti Kanti langsung menyambutnya. 

Surti Kanti hanya menjerit sesaat, mana kala lehernya 

terasa perih. Leher Surti Kanti ternyata berlubang digi-

git oleh Anggada. Walau pun begitu, Surti Kanti mera-

sakannya sebuah kenikmatan. Gigi Anggada yang 

runcing dan tajam, menghujam di leher Surti Kanti. 

Dari gigi-giginya yang tajam, mengalir tetesan darah 

hitam legam masuk ke dalam tubuh Surti Kanti. Seke-

tika tubuh Surti Kanti bagaikan melayang, terbawa 

pada sebuah alam yang terasa asing baginya.

Setelah darah itu benar-benar masuk ke dalam 

tubuhnya dan membaur dengan darah seketika peru-

bahan terjadi pada diri Surti Kanti. Tubuh Surti Kanti 

seketika berbulu lebat, hitam legam. Mukanya berubah 

menjadi muka kelelawar. Matanya tajam memerah, se-

pertinya memendam bara api. Mulutnya seketika men-

cicit, melengking menggidigkan bulu kuduk.

"Dinda, maukah kau menjadi istriku? Menjadi 

pendampingku?" berbisik Anggada.

"Hem..." mendesah Surti Kanti, memandang ta-

jam pada Anggada.

"Jadi kau mau, Dinda?"

"Dengan senang hati, Kanda. Asalkan... " Surti 

Kanti tidak meneruskan ucapannya. Dengan terse-

nyum manja, dipeluknya erat tubuh Anggada. Hal itu 

menjadikan Anggada makin beringas, mendekap erat 

tubuh Surti Kanti.



"Asal apa, Dinda?"

"Asalkan kanda mau menurunkan segala ilmu 

padaku untuk aku gunakan sebagai pembalas den-

damku pada Kerajaan Segara Anakkan dan terutama 

pada Pendekar Pedang Siluman Darah."

"Jangan khawatir, Dinda. Kanda akan menu-

runkan seluruh ilmu yang Kanda miliki pada Dinda. 

Dan perlu Dinda ingat, Kanda tak akan membiarkan 

Dinda melawan pendekar muda itu." 

"Benarkah, Kanda?"

Anggada hanya mengangguk, menjadikan Surti 

Kanti makin mengencangkan pelukannya. Sesaat ke-

dua makhluk Iblis itu saling gelut dan saling rengkuh. 

Dari mulut keduanya mencicit, persis kelelawar. Sete-

lah beberapa saat keduanya berbuat begitu, tampak 

mulut Anggada berkomat-kamit. Tak berapa lama ke-

mudian, keduanya menghilang berganti dengan sepa-

sang kelelawar. Kelelawar itu terbang, meninggalkan 

rumah Surti Kanti yang kembali sepi.

***

Dari kejauhan tampak enam orang penunggang 

kuda menuju ke arah di mana rumah Rundanu bera-

da. Keenam orang itu yang tak lain patih Singa Barong 

dan kelima prajurit utamanya, terus memacu kuda-

kuda mereka.

Tak berapa lama kemudian, keenam orang itu 

sampai di depan rumah Rundanu yang tampak sepi. 

Serta merta, kelima prajurit utama itu segera turun 

dari kuda dan melangkah mendatangi rumah tersebut.

"Hem, sepi. Kemana gadis itu...?"

"Panggil dia...!" seru patih Singa Barong tak sa-

bar. "Bila tak ada jawaban, dobrak pintunya!"

"Surti Kanti, keluar kau...!" berseru prajurit


utama I. Tak ada jawaban dari dalam rumah.

"Surti Kanti, apa kau tuli, ha.....!" prajurit uta-

ma II turut berseru. Kembali tak ada jawaban dari da-

lam rumah, menjadikan kelima prajurit itu menggeram 

marah. "Setan! Rupanya ia ingin mempermainkan kita. 

Ayo, kita dobrak!"

Tanpa banyak kata lagi, kelima orang; prajurit 

itu segera mendobrak pintu. "Braaak...!"

Pintu rumah itu terbuka, hancur terhantam 

oleh pukulan dan tendangan kaki dan tangan kelima 

prajurit utama. Dengan berang kelima prajurit utama 

segera berkelebat masuk. Namun belum sempat mere-

ka memasuki lebih jauh, dua ekor kelelawar besar ti-

ba-tiba menyambar ke arah mereka.

"Awas kelelawar setan!" berseru prajurit I

Dengan segera kelima prajurit itu elakan seran-

gan kelelawar setan dengan merundukkan kepala. 

Namun begitu, kelelawar setan itu kembali meman-

dang ke arah mereka. Mata kelelawar itu memerah ba-

gaikan memendam permusuhan, lalu setelah mencicit 

melengking yang mampu membuat bulu kuduk mere-

ka berdiri kelelawar setan itu kembali menyerang. 

Sayapnya yang lebar membuka, mengepak 

menghantam kelima prajurit yang dengan segera cabut 

golok dan tebaskan pada kelelawar itu.

Tapi bagaikan mengerti saja, kelelawar itu sege-

ra elakan serangan golok mereka. Kelelawar hantu itu 

terbang berputar-putar dengan mulut membuka lebar, 

menunjukan gigi-giginya yang ranting dan tajam.

"Benar-benar kelelawar Iblis!"

"Jangan kita terpengaruh oleh matanya, se-

rang...!"

"Cuit... Cuit...!" 

Kelelawar Iblis itu kembali mencuit, mengelua-

rkan suara yang mendirikan bulu kuduk. Matanya


yang merah memandang tajam pada kelima prajurit, 

sepertinya mendendam.

Kelelawar satunya datang, mendampingi kele-

lawar yang tengah bertarung. 

"Cuiiit..... Cuiiit....!" kelelawar yang baru datang 

mencuit, lalu sesaat memandang pada kelima prajurit 

sepertinya hendak mencari wajah kelima prajurit itu. 

Lalu tanpa bersuara lagi kedua kelelawar iblis itu ter-

bang, meninggalkan kelima prajurit yang terbengong.

"Aku rasa gadis itu mempunyai ilmu siluman," 

berkata prajurit utama I.

"Mungkin juga...," gumam prajurit utama-III 

"Hoi... Apakah kalian menemukannya?" berseru 

sang patih yang masih duduk di atas pelana kudanya. 

"Kenapa kalian hanya terbengong kaya sapi ompong?"

"Tak ada siapa-siapa, tuan Patih," menjawab 

Prajurit I

"Bakar saja rumah iblis itu!" kembali sang patih

berseru.

Tanpa banyak kata lagi, kelima prajurit itu se-

gera menggeledah seluruh ruangan dalam rumah itu, 

namun mereka tak menemukan orang yang mereka ca-

ri. Seluruh ruangan itu kosong dan nampak berdebu 

sejak ditinggal mati Ki Rundanu dan istrinya.

"Mengapa kalian lama-lama di dalam! Apa yang 

kalian cari prajurit-prajurit tolol!” membentak marah 

sang patih, yang telah jemu berlama-lama dari tempat 

itu. Entah perasaan apa, tiba-tiba bulu kuduk patih 

Singa Barong yang pemberani itu seketika merinding. 

“Ayo kalian keluar dan bakar rumah itu…!”

Demi mendengar seruan patihnya, kelima pra-

jurit Utama itu segera berkelebat keluar. Dengan sege-

ra, kelima prajurit itu meloncat jatuhkan diri mereka 

tatkala sebuah benda tiba-tiba melayang menyerang 

kelimanya.


“Setan! Benar-benar rumah ini telah dihuni Ib-

lis!” memaki patih Singa Barong gusar. Ia segera turun 

dari keduanya, hantamkan pukulan tenaga dalamnya 

ke dalam rumah itu. Seketika terdengar ledakan dah-

syat mana kala pukulan sang patih seperti membentur 

pukulan lain.

“Bedebah! Ternyata ada Iblis yang berani men-

gusikku. Keluar kau, Iblis!” bentak sang patih penuh 

amarah. Namun tak ada jawaban atau ujud orang ke-

luar, hanya desah angin berlalu menerpa sang patih 

yang seketika itu berkelit sembari hantamkan ajian-

nya. “Ajian Wungkir Alur, Hiat…!”

“Duar…!”

“Aaaahhhh….!” terdengar jeritan, mana kala 

Ajian Wungkir Alur yang dilontarkan sang patih berke-

lebat menghantam. Terbelalak mata kelima prajurit 

utama, demi mendengar pekikan kesakitan tanpa ujud 

itu. Setelah habis pekikan tanpa ujud, sebuah bayan-

gan kelelawar berkelebat terbang dengan darah berce-

ceran. Kelelawar itu tak jauh terbang, ambruk ke ta-

nah. Serta merta kelima prajurit itu memburu, dan 

mereka seketika memekik mana kala mendekat

“Kelelawar setan…!”

“Apa….!?” berseru kaget sang patih seraya 

mendekat ke arah kelima prajuritnya yang masih ter-

paku melihat kelelawar setan yang tergeletak.

Mereka lebih tersentak sampai melompat mun-

dur, mana kala terlihat perubahan pada tubuh kelela-

war itu. Tubuh kelelawar itu makin membesar dan be-

sar sebesar tubuh manusia. Setelah ujud kelelawar itu 

sebesar ujud manusia, tubuhnya seketika berubah 

menjadi manusia yang menjadikan kelima prajurit dan 

sang patih tersentak. 

“Rundanu…!”

“Hai, jadi… jadi siapa yang telah digantung ke


palanya?” menggumam sang patih tak yakin pada pen-

glihatannya.

Belum juga keenam orang istana itu tersadar 

dari rasa kagetnya, tiba-tiba seekor kelelawar lain ber-

kelebat menyerang mereka. Serta merta sang patih 

berseru memperingatkan pada kelima prajuritnya.

“Awas serangan…!”

“Wuut… Wuuttt…!”

“Aaahhh…!!!!” memekik prajurit utama-IV se-

raya menutupi mukanya. Dari muka yang tertutup 

tangan, melelah darah deras mengucur. Sesaat tubuh 

prajurit utama-IV kejang-kejang, lalu ambruk dengan 

nyawa melayang.

“Pringgo…!” memekik kelimanya, mana kala 

melihat Pringgo tergeletak mati dengan muka tercabik-

cabik.

“Kelelawar Setan! Jangan harap kau bisa lepas 

dari tanganku!” membentak sang patih marah. “Teri-

malah ini, Hiat….!”

Patih Singa Barong hantamkan ajiannya yaitu 

ajian Wungkir Alur, yang telah mampu membunuh sa-

tu diantara dua kelelawar setan itu. Kelelawar setan 

itu memandang ke arahnya dengan mata memerah ba-

gaikan terbakar api. Kelelawar itu mencicit, kepakan 

sayap lalu menyerang.

“Cuiiittt.. Cuuiiit…!”

“Wuuuuttt… Dest….!”

“Aaaahhhh…!”

Kelelawar itu memekik. Ya, memekik seperti 

manusia, lalu jatuh ke tanah mati. Seperti kelelawar 

pertama yang ternyata jelmaan Rundanu, kelelawar ini 

pun berubah membesar dan makin besar. Setelah tu-

buhnya sama dengan manusia, kelelawar itu berubah 

ujud menjadi seorang wanita yang mereka kenal ada-

lah istri Rundanu.


“Nyi Rumini…!”

“Ah, apa pula ini…?” mengeluh sang patih, tak 

mengerti dengan segala kejadian yang baru saja mere-

ka alami. “Apakah kita ini tidak tengah bermimpi? Co-

ba kalian cubit lengan kalian!”

Dengan menurut, keempat prajurit utama itu 

segera mencubit lengan masing-masing dengan keras. 

Seketika keempatnya menjerit kesakitan, menjadikan 

sang patih terheran-heran. Dia pun akhirnya mencubit 

lengannya, dan sang patih pun menjerit.

“Auh…! Jadi kita bukan bermimpi,” gumam 

sang patih. “Lalu bagaimana ini terjadi?”

“Entahlah tuan patih, kami juga tak mengerti,”

menjawab kelimanya berbareng.

“Sungguh-sungguh pengalaman yang aneh,”

kembali sang patih menggumam. “Bagaimana mungkin 

orang yang telah mati terpenggal bisa menjadi kelela-

war dan mati lagi? Ah, suatu keanehan…”

Kelima orang itu seketika terdiam, tak mengerti 

dengan apa yang mereka alami. Pengalaman yang be-

nar-benar sukar untuk dipikir secara akal.

“Jangan bengong, bakar rumah itu!”

“Daulat tuan patih!”

Dengan segera keempat prajurit itu membakar 

rumah iblis. Api seketika berkobar, melalap rumah Ib-

lis. Setelah melihat rumah itu benar-benar habis ter-

bakar, kelimanya segera pergi kembali ke kerajaan 

dengan membawa tubuh temannya yang telah mati…

***


BAB III


Patih Singa Barong segera menghadap sang Ra-

ja untuk menceritakan apa yang telah ia alami bersa-

ma kelima prajurit utamanya. Dengan wajah tegang, 

sang patih segera menyembah diikuti oleh keempat 

prajuritnya. Hal itu menjadikan sang Raja menge-

rutkan kening, heran melihat mimik muka patihnya 

yang kelabu.

"Ada apa paman Singa Barong?* Sepertinya 

engkau membawa berita buruk hingga wajahmu begitu 

murung?" tanya sang Raja.

"Ampun baginda yang mulia sesembahan ham-

ba. Memang hamba membawa berita yang sungguh tak 

dapat hamba percayai dan tak dapat dicerna dengan 

akal sehat," menjawab patih Singa Barong, menjadikan 

sang Raja tersentak kerutkan kening. Mata sang Raja 

membeliak, memandang pada patihnya sembari ber-

gumam.

"Hem... Gerangan apa itu, Paman Patih?"

"Mulanya hamba kira hanya mimpi, tapi ternya-

ta benar-benar kenyataan hidup," menjawab sang pa-

tih. "Ketika kami mendatangi rumah Rundanu, keane-

han itu kami dapatkan....! "

"Keanehan...? Keanehan apa, Paman Patih?"

Sejenak sang patih menarik napas panjang, la-

lu katanya kemudian.

"Kami diserang oleh empat ekor kelelawar Se-

tan."

"Kelelawar Setan...!" memekik sang Raja dan 

permaisuri kaget.

"Maksudmu, Paman patih?"

"Daulat tuanku, memang benar apa yang terja-

di. Kelelawar itu menyerang kami, bagaikan seorang


manusia saja layaknya."

"Aneh...," guman sang Raja, "Terus...?"

"Dua kelelawar pertama tidak meneruskan me-

nyerang, dan pergi entah kemana. Setelah dua kelela-

war itu pergi, kami bermaksud membakar rumah ter-

sebut. Namun sungguh-sungguh mengejutkan, karena 

tiba-tiba sebuah benda melayang dengan sendirinya 

menyerang kami."

Demi mendengar cerita sang patih, sang Raja 

tampak tercenung sepertinya turut terhanyut dengan 

cerita itu. Matanya memandang mata patih Singa Ba-

rong, nafasnya mendesah berat.

"Lalu, paman patih?"

Singa Barong tercenung sesaat, bergidik bulu 

kuduknya demi mengingat semua kejadian tersebut. 

Sesaat ditariknya napas perlahan, sebelum kembali 

bercerita.

"Hal itu menjadikan kami seketika mengelak-

kannya. Hamba segera menyerang dengan ajian yang 

hamba miliki. Seketika itu, dari dalam rumah berkele-

bat seekor kelelawar, yang langsung menyerang kami. 

Rupanya hantaman ajian yang hamba lontarkan, tepat 

mengenai tubuhnya. Kelelawar setan itu ambruk sebe-

lum sempat menyerang, jatuh ke tanah dan mati. Yang 

menjadi kekagetan kami, kelelawar itu berubah menja-

di Ki Rundanu yang telah dihukum pancung..."

"Apa...?!" tersentak sang Raja kaget, tak per-

caya pada apa yang diceritakan oleh patihnya. "Apa 

kau tak cuma mengarang cerita saja, paman patih?"

"Ampun, Baginda yang mulia sesembahan 

hamba. Kalaulah baginda kurang percaya, paduka 

hamba perkenankan menanyai keempat prajurit kami."

Sang Raja terdiam, ia juga merasa ada kejang-

galan pada para prajuritnya. Bukankah Singa Barong 

membawa lima prajurit, mengapa kini tinggal empat?"


"Mana prajuritmu yang seorang, paman patih?"

"Mati diserang oleh kelelawar setan." menjawab 

Singa Lodra, yang menjadikan sang Raja kembali ter-

beliak kaget. 

"Untuk itu, hamba menyampaikannya kehada-

pan paduka. Kalaulah paduka kurang yakin, hamba 

perkenankan paduka menilik orang-orang yang tergan-

tung."

"Hem, baik. Ayo kita kesana!"

Segera sang Raja yang diiringi oleh patih Singa 

Barong dan empat prajurit utama menuju ke pintu 

gerbang alun-alun. Mereka ketika tersentak, mana ka-

la melihat apa yang terjadi. Ternyata di situ yang ter-

gantung bukan kepala manusia, tetapi buah-buah ke-

lapa.

"Hem, sungguh-sungguh suatu misteri, Paman 

Patih."

"Itulah, Paduka. Hamba dan keempat prajurit 

pun sungguh tak mengerti akan semua yang terjadi," 

menjawab patih Singa Barong.

"Prajurit, ambil buah kelapa itu!" perintah sang 

Raja dengan penuh kekesalan, yang dengan segera di-

jalankan oleh empat prajurit utamanya. "Hem, apakah 

mereka telah menganut ilmu Iblis...?"

"Kami rasa juga begitu, tuanku," menjawab 

sang patih. "Tapi menurut hamba, kelelawar satunya 

yang bersama kelelawar penyerang pertama adalah bi-

ang ilmu Iblis mereka."

"Kenapa kau bisa berkata begitu, Paman pa-

tih?"

"Ampun, baginda yang mulia. Sebab kelelawar 

itu lebih besar dan lebih menyeramkan dibandingkan 

dengan ketiga kelelawar lainnya."

"Mungkin juga," menggumam sang Raja dan 

bergegas pergi meninggalkan alun-alun menuju ke is


tananya, diikuti oleh keempat prajurit dan patih Singa 

Barong di belakangnya. Pikiran sang Raja melayang, 

bingung dan tak mengerti dengan segala keganjilan 

yang terjadi pada kejadian-kejadian yang baru berlalu 

menimpa kerajaannya...

***

GEROMBOLAN GAGAK BIRU...

Gerombolan Gagak Biru, merupakan sebuah 

gerombolan perampok dan penyamun. Gerombolan 

Gagak Biru dipimpin oleh seorang dara, bernama Dewi 

Era Wati anak Tumenggung Sumara Bumi. Dewi Era 

Wati adalah anak dari hubungan gelap Tumenggung 

Sumara Bumi dengan Laras Sari, atau Rampok Bukit 

Perawan.

Sebagai anak seorang perampok, didikan Era 

Wati pun selalu menjurus pada hal-hal yang keras. Ka-

rena dididik terus menerus begitu, jadilah Dewi Era 

Wati seorang gadis liar dan telengas.

Jarang mangsanya dibiarkan hidup-hidu walau 

mangsanya telah benar-benar takluk dan menyerah-

kan hartanya.

Karena tindakannya yang terlalu kejam dan te-

lengas, menjadikan nama Gagak Biru menjadi momok 

yang sangat ditakuti oleh rakyat...

Siang begitu panas, terasa menyengat sang 

mentari dengan sinarnya. Angin bertiup lamat-lamat, 

menerpa apa yang dapat diterpa.

Dari arah barat seseorang gadis berpakaian bi-

ru-biru dengan pedang dipundaknya. Memacu kuda 

berwarna coklat. Gadis itu memacu kudanya dengan 

kencang, menyusuri jalan berumput lebat. Rumput 

alang-alang itu begitu tinggi, hampir menutupi tubuh 

gadis berpakaian biru hingga bila dilihat dari kejauhan


yang tampak hanya kepalanya saja.

"Hia, hia, hia... Ayo Lokal, kenapa kau lemah? 

Bukankah kau telah kenyang makan? Ayolah, kita tak 

banyak waktu untuk berleha-leha. Teman-temanku te-

lah lama menunggu. Hia...!"

Bagaikan mengerti ucapan si gadis berpakaian 

biru yang tak lain Dewi Erawati atau Dewi Gagak Biru, 

kuda itu segera kencangkan larinya.

"Suit...!"

"Swing... Swing... Swing!

Tersentak Dewi Gagak Biru, mana kala tiba-

tiba berdesing puluhan anak panah menderu ke arah-

nya. Marahlah seketika Dewi Gagak biru loncat dari 

kudanya dengan pedang siap di tangannya,

"Bedebah! Rupanya ada kroco-kroco yang hen-

dak unjuk gigi, Hiat...!"

Ditebaskan pedang di tangannya, menyampok 

puluhan anak panah yang seketika itu berguguran pa-

tah menjadi dua.

"Hoi... Kalian para kroco bongkrek, keluarlah! 

Jangan pengecut seperti banci. Hadapi aku Dewi Ga-

gak Biru!"

"Suit...!"

Terdengar suitan.

Mata Dewi Gagak Biru memandang liar sekeli-

lingnya, yang di tumbuhi alang-alang setinggi dada. 

Pedang Lumajang Biru yang telah menghisap darah 

puluhan bahkan ratusan korban siap di tangannya. 

Dewi Gagak Biru menggeretak marah demi tak ada 

seorang pun yang menampakkan muka.

"Hem, baik kalau begitu! Kalau kalian memang 

tak mau unjukan congor kalian! Hiat...!" 

Pedang Lumajang Ungu seketika berkelebat ce-

pat di tangan Dewi Gagak Biru, menebas rumput-

rumput alang-alang yang tinggi.


"Suit...!"

Kembali terdengar suitan, yang makin mendi-

dihkan amarah Dewi Gagak Biru. Matanya yang tajam, 

seketika menangkap kelebatan sesosok tubuh di balik 

alang-alang.

"Hem, jangan harap bisa lolos!"

Habis mendengus demikian, Dewi Gagak Biru 

yang sudah terkenal sadis bagaikan seekor burung ga-

gak berkelebat. Pedang di tangannya di arahkan pada 

orang yang nampak.

"Hiat...!"

"Dest!"

"Aaahhh...!"

Memekik orang itu seketika, mana kala Pedang 

Lumanjang Biru di tangan Dewi Gagak Biru menebas 

lengannya. Lengan itu puntung, menjadikan jeritan 

yang menyayat. Sesaat lelaki bermuka ular menggele-

par-gelepar, lalu diam tak bernyawa. Dewi Gagak Biru 

tersenyum sinis, matanya melotot. Dengan beringas 

pedang di tangannya kembali dihujamkan ke tubuh 

orang yang telah mati itu bertubi-tubi, menjadikan tu-

buh orang itu hancur bagai tercabik-cabik.

"Lihat oleh kalian! Bila kalian tak mau menye-

rah, maka kalianpun akan seperti ini keadaannya!"

Diangkatnya tubuh orang yang telah hancur itu

tinggi-tinggi, lalu dengan keras dihempaskan, dilem-

parkan pada orang-orang yang menurut perkiraannya 

berada.

Ternyata dugaan Dewi Gagak Biru benar 

adanya. Orang-orang yang ada di situ terbelalak kaget, 

melihat tubuh temannya telah mati dengan tubuh 

hancur.

"Suit...! Serang...!"

Bersamaan dengan suara seruan itu, seketika 

dari balik alang-alang berkelebat puluhan orang yang


langsung menyerang Dewi Gagak Biru.

"Hem, rupanya memang benar dugaanku, bah-

wa kalian kroco-kroco yang ingin unjuk gigi. Mana ke-

tua kalian, suruh dia keluar!" membentak marah Dewi 

Gagak Biru.

"Jangan bermimpi, Dewi. Serang...!" berseru ke-

tua musuh.

"Slompret! Jangan salahkan aku bila telengas 

turunkan tangan, Hiat...!"

Tubuh Dewi Gagak Biru berkelebat bagaikan 

terbang, melayang dengan pedang Lumanjang Biru di 

tangannya. Pedang Lumajang Biru di tangannya bagai-

kan bermata menebas dengan liar. Setiap tebasan pe-

dangnya, menjadikan jerit-jerit kematian musuh. Na-

mun ternyata musuh bukannya susut, malah bertam-

bah banyak.

"Bedebah!" menggeretak sang Dewi marah.

Menyadari kalau begitu terus menerus tak bak-

al ungkulan, sang Dewi segera keluarkan ajiannya yai-

tu Ajian Sukma Lelana. Ajian yang berapa syair itu, 

merapalkan ajian aneh. Bila siapa saja yang menden-

garkannya dengan seksama, niscaya orang itu akan 

terhanyut dalam alunan syair tersebut, sesuai dengan 

bait-baitnya.

"Kala Kehidupan telah Pupus, Datanglah hari 

kematian, Orang-orang akan memekik berontak, tak 

ingin hari itu datang. Namun mereka tak mampu. 

Orang-orang itu menangis dan menangis, lalu terkulai 

lemas..."

Mendengar syair tersebut, seketika orang-orang 

yang mengeroyoknya menangis. Ya mereka menangis 

terhanyut oleh isi syair tersebut. Mereka benar-benar 

meratap, entah apa yang tengah mereka ratapi. Lalu 

mereka lemas, ngejuprak jatuh di tanah.

Melihat hal itu Dewi Gagak Biru tersenyum.


Namun seketika senyum itu berubah jadi rasa kaget, 

mana kala terdengar bentakan dari seseorang. Benta-

kan itu sekaligus menyadarkan para pengeroyoknya 

dari pengarah ajian Sukma Lelana.

"Bodoh! Kenapa kalian sebodoh itu, serang dia!"

Bagaikan baru tersadar dari tidur, mereka se-

ketika tersentak kaget. Secepat kilat, golok yang ta-

dinya terlepas mereka ambil kembali. Mereka pun 

kembali menyerang Dewi Gagak Biru, yang dengan se-

gera berkelebat menghindar.

"Woro Kendil, kau telah mendahului. Jangan 

salahkan bila aku bertindak!" Membentak marah Dewi 

Gagak Biru sembari tangkiskan pedang ke arah seran-

gan yang datang serentak.

"Trang...! Trang, trang, trang...!"

"Hua, ha, ha... Dewi, kau tak akan bebas se-

maumu sebab aku akan selalu menjadi penghalang 

bagimu. Kau dan anak buahmu akan bebas berkelia-

ran, bila kau mau mengakui bahwa akulah penguasa 

tunggal gerombolan begal di sini. Dan kau harus men-

jadi pengikutku."

"Kampret busuk! Jangan bermimpi, Woro!" 

membentak Dewi Gagak Biru gusar. "Auoooooooooo! 

Aauuoooooo...!"

Tiba-tiba Dewi Gagak Biru berseru, bersamaan 

dengan itu berkelebat ratusan orang yang langsung 

menyerbu ke arena pertarungan. Mereka adalah anak 

buah Dewi Gagak Biru, yang sedari tadi memang telah 

berada di sekitar tempat itu.

"Nah, Woro.. Apakah kau masih mau ngeban-

del?" bertanya Dewi Gagak Biru dengan sinis. "Seben-

tar lagi anak buahmu akan lumat bersama dengan hi-

langnya Gerombolan Pajang, hua, ha, ha...!"

"Jangan harap aku akan menyerah padamu, 

Kuntilanak!"


"Baik, kalau begitu. Bersiaplah untuk aku kirim 

kau ke akherat, supaya kau dapat tenang tanpa ba-

nyak bacot, Hiat...!"

Sang Dewi Gagak Biru seketika berkelebat me-

nyerang, menjadikan Woro Kuntil tersentak melompat 

mundur. Pertarungan kini berjalan imbang dengan ke-

datangan anak buah Gagak Biru. Dewi Gagak Biru kini 

langsung berhadap-hadapan dengan Woro Kuntil, tan-

pa harus repot melayani anak buah Woro Kuntil.

Pedang di tangan Dewi Gagak Biru bagaikan 

Dewi Kematian, bergerak cepat menyerang Woro Kun-

til. Diserang begitu rupa, Woro Kuntil tak mau tinggal 

diam. Dengan senjatanya yang bernama Toya Iblis, 

Woro Kuntil papaki serangan pedang Lumajang Biru 

tangan Dewi Gagak Biru.

Tampaklah kini bahwa nama Gagak Biru me-

mang tak bisa dipandang enteng. Dalam sekejap saja, 

anak buah Woro Kuntil dapat segera didesak. Korban 

berjatuhan, dengan jerit-jerit melolong-lolong menahan 

sakit yang teramat sangat. Tubuh korbannya tak di-

biarkan hanya mati saja, namun tubuh korban itu di-

lumatkan hingga benar-benar hancur! Itulah tradisi 

Gagak Biru, mereka benar-benar ingin menunjukkan 

siapa adanya Gagak Biru, yang perlu diperhitung-

kan...! 

"Menyerahlah Woro Kuntil!" 

"Huh... Lebih baik aku mati dari pada menye-

rah pada Kuntilanak macammu," jawab Woro Kuntil 

sewot. Ia tahu kalau anak buahnya telah lumat diban-

tai Gagak Biru, namun sebagai seorang begal sejati ia 

tak mau menyerah. Baginya lebih baik mati dari pada 

takluk menjadi pengikut begal lain.

"Hem, itu yang kau mau. Baik, bersiaplah. 

Hiat...!"

Kembali dua pimpinan begal itu berkelebat sal


ing serang. Senjata-senjata di tangan mereka, tak 

ubahnya nyawa mereka sendiri. Siapa yang senjatanya 

lebih hebat, dialah yang akan menang.

"Mampus kau Woro Kuntil!"

Bersamaan dengan ucapan itu, Dewi Gag Biru 

segera tebaskan pedang dengan liar dan ganas. Woro 

Kuntil tersentak berusaha tangkiskan Toya Iblis, na-

mun sungguh-sungguh keliru perhitungan Woro Kun-

til. Ternyata serangan itu hanya tipuan belaka, sedang 

serangan sebenarnya, menyusul kemudian. Tak ayal 

lagi, pedang Lumajang Biru di tangan Dewi Gagak Bi-

ru, menerobos masuk ke sela-sela pertahanan Woro 

Kuntil yang lowong.

"Ah...!" mengeluh Woro Kuntil, dadanya tertem-

bus pedang. Matanya melotot, memandang tajam pada 

Dewi Gagak Biru sembari mendekap dadanya yang 

berlubang mengeluarkan darah. "Kau hebat, Dewi. 

Aku... Aku, ah..." tubuh Woro Kuntil ambruk, nya-

wanya melayang.

"Hua, ha, ha... Akulah penguasa tunggal para 

rampok. Akan aku dirikan sebuah kerajaan Rampok. 

Hua, ha, ha..." Dewi Gagak Biru tertawa tergelak-gelak, 

sepertinya ia merasa gembira. Kesombongan dan ke-

congkakannya makin menjadi, merasa saingannya te-

lah tak ada. Ya, saingannya si Woro Kuntil, telah dapat 

ia lumatkan.


BAB IV


Dengan kemenangannya atas gerombolan yang 

dipimpin oleh Woro Kuntil, menjadikan nama Gagak 

Biru makin memomok di mata masyarakat. Sepak ter-

jangnya makin mengganas, merampok dan membegal 

orang-orang dengan sadis.



Era Wati selaku ketuanya, tak segan-segan un-

tuk turun tangan sendiri, memimpin anak buahnya 

yang jumlahnya makin bertambah banyak. Nama Dewi 

Gagak Biru makin kondang, menyaingi nama Pendekar 

kita yaitu Pendekar Pedang Siluman Darah. Berbeda 

dengan kekondangan nama pendekar kita, nama Dewi 

Gagak Biru merupakan nama yang menakutkan bagi 

orang-orang yang benar. Namun sangat menyenang-

kan bagi orang-orang yang memang mencari celah-

celah untuk menjalankan itikad buruknya...

Pihak Tumenggung yang dipimpin oleh seorang 

Tumenggung Galuh Anom, telah berusaha menumpas-

nya. Namun sejauh itu, keadaannya yang terbalik. Bu-

kannya Gagak Biru yang tertumpas, namun pihak Ga-

luh Anomlah yang tertumpas. 

"Kalau begini terus menerus, bisa-bisa kita 

yang bakal diserang Kanjeng Tumenggung," berkata 

penasehat Tumenggung Galuh Anom menjadikan sang 

Tumenggung seketika terdiam. Tangannya menopang 

dagu, sepertinya tengah bingung bagaimana mencari 

jalan keluarnya. Apakah ia mesti mengalah pada ge-

rombolan Gagak Biru dan menyerahkan jabatannya 

pada Dewi Era Wati atau Dewi Gagak Biru? Sungguh 

sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab.

Teror Gagak Biru yang menteror Ketemenggun-

gan, berjalan sejak Tumenggung Galuh Anom menolak 

untuk dijadikan gabungan dengan Tumenggung yang 

dipimpin oleh Sumara Bumi. Entah apa sangkut paut-

nya, tiba-tiba Gerombolan Gagak menteror.

"Bagaimana menurutmu, Paman Wiraba?" 

tanya sang Tumenggung setelah sekian lama terdiam, 

pada Wiraba penasehatnya. "Apakah kita kembali 

mengirim pasukan untuk memberantasnya?"

"Apakah kita tidak lebih baik meminta bantuan 

pada Tumenggung Sendang Lalean, Gusti?" balik ber


tanya Wiraba.

"Maksudmu, Paman?"

"Kita meminta tolong pada Kanjeng Tumeng-

gung Sendang Lalean untuk mengirimkan prajurit-

prajuritnya kemari. Sebagai balasannya kita beri dia 

hadiah bila dapat menumpas Gagak Biru."

"Hem, apa itu tidak menjadikan namaku jelek 

di mata rakyatku, Paman?"

"Hamba rasa tidak, Kanjeng. Rakyat akan se-

nang bila gerombolan Gagak Biru lenyap dari daerah 

sini," menjawab Wiraba, sepertinya ia yakin dengan 

usulnya.

Tumenggung Galuh Anom terdiam, menganali-

sa kembali apa yang telah disarankan oleh penasehat-

nya. Hatinya bertanya-tanya, apakah mungkin?

Bingung Tumenggung Galuh Anom memi-

kirkan semuanya. Gerombolan gagak biru terlalu ga-

nas, menteror penduduk ketemenggungan. Gerombo-

lan itu juga sukar untuk ditumpas. Jangankan me-

numpas, mengusirnya dari wilayah Ketemenggungan 

pun sukar. Bukannya gerombolan itu yang terusir, se-

baliknya para prajuritlah yang kocar-kacir. Kebanya-

kan para prajurit telah enggan untuk mengurusi ge-

rombolan Gagak Biru. Mereka telah tahu siapa sebe-

narnya Gerombolan Gagak Biru, yang telah menjadi-

kan ketidak tenangan rakyat.

"Kalau itu yang terbaik menurut paman, aku 

pun setuju."

"Daulat, Kanjeng Tumenggung." 

"Nah, siapkan prajurit untuk menyampaikan 

suratku pada Kanjeng Tumenggung Sendang Lalean," 

berkata Tumenggung Galuh Anom memerintah.

"Daulat, Kanjeng Tumenggung."

Dengan segera, Wiraba pergi untuk menemui 

prajurit-prajurit yang hendak diutusnya untuk me


nyampaikan surat pada Tumenggung Sendang Lalean. 

Tak berapa lama kemudian, Wiraba telah menghadap 

kembali di ikuti oleh dua orang prajurit. 

"Hamba menyampaikan sembah, Kanjeng Tu-

menggung," berkata dua prajurit itu sembari menyem-

bah. 

"Sembah kalian aku terima," menjawab Tu-

menggung Galuh Anom. 

"Daulat Kanjeng Tumenggung, gerangan apa 

kami dipanggil menghadap?" tanya Sumantri, seorang 

prajurit dari keduanya.

"Benar, Kanjeng Tumenggung. Hamba juga tak 

mengerti, gerangan apa kesalahan hamba hingga ham-

ba dipanggil?" lanjut Suryana.

"Tak ada kesalahan pada diri kalian," menjawab 

Tumenggung Galuh Anom, menjadikan kedua prajurit 

itu seketika tenang hatinya hingga keduanya menarik 

napas panjang. "Sumantri, dan kau Suryana. Aku 

akan mengutus kalian untuk menyerahkan surat pada 

Kanjeng Tumenggung Sendang Lalean. Kalian harus 

menunggu surat itu, sampai Kanjeng Tumenggung La-

lean menjawabnya."

"Daulat, Kanjeng Tumenggung!" menjawab ke-

duanya bareng.

"Tunggulah sesaat, aku akan menulis surat 

itu."

Tumenggung Galuh Anom segera bergegas ma-

suk, meninggalkan dua prajuritnya yang duduk me-

nunggu. Ditulisnya surat di atas selembar daun lontar, 

yang isinya sebagai berikut.

Sembah pangabekti kaulo....

Dening Raka Tumenggung Sendang Lalean.

Raka Tumenggung,

Kalih dugi nipun serat meniko, kawulo nyuwun


dumateng Raka Tumenggung panulungan ingkang wu-

judipun Bala bantuan. Sebab nipun, teng Temenggun-

gan ingkang kawulo pimpin enten kekacauan ingkang 

tekan saniki dereng saged kawulo tumpas.

Cekap saniki mawon serat saking kawulo, 

Sembah pangabekti kawulo,

Rayi panjenengan 

Ttd

Galuh Anom

Sesaat Galuh Anom kembali tercenung, dipan-

dangi surat yang ia tulis. Pikirannya berkecamuk ane-

ka macam perasaan, bimbang gulana menggurat di ha-

ti. "Apakah aku tidak ada artinya lagi? Mana harga di-

riku sebagai seorang pimpinan?" mengeluh hati Galuh 

Anom. "Namun memang aku tak mampu me-

nanggulangi pengaco-pengaco itu. Ah, apalagi artinya 

harga diri, kalau memang harus berjalan begitu."

Digulungnya daun lontar bertuliskan suratnya, 

lalu bergegas Galuh Anom kembali keluar menemui 

prajuritnya. Ditatapnya sesaat kedua prajurit itu, sebe-

lum kembali berkata.

"Prajurit, ini surat untuk Tumenggung Sendang 

Lalean. Berikan pada Tumenggung dan tunggulah ja-

wabannya. Nah, berangkatlah kalian. Aku do'akan se-

moga kalian berhasil dan selamat sampai tujuan."

"Daulat kanjeng Tumenggung, hamba pamit 

undur."

"Ya, berangkatlah."

Setelah menyembah terlebih dahulu, kedua 

prajurit itu pun segera berlalu pergi membawa surat 

itu untuk Tumenggung Sendang Lalean.

Dipacunya kuda dengan kecepatan tinggi, den-

gan harapan segera dapat tiba di tempat tujuan. Na-

mun ketika kedua prajurit itu tengah memacu kuda


mereka, tiba-tiba sepuluh orang telah berdiri mengha-

dang. Tersentak kedua prajurit kaget, sehingga kedua-

nya segera menghentikan lari kuda dengan paksa men-

jadikan sang kuda meringkik.

Wajah kesepuluh orang penghadang itu seram, 

dengan cambang berewok menutupi dagu mereka. Ma-

ta mereka merah bagaikan mabok tuak, memandang 

tajam pada kedua prajurit yang tersurut mundur.

"Ada apa Ki Sanak kalian menghadang kami?" 

tanya Sumantri.

Kesepuluh orang itu hanya mendengus dengan 

mata tajam menghujam tetap memandang ke arah dua 

prajurit. Bagaikan sebuah patung, kesepuluh orang itu 

tak gerak. Memberi jalan tidak, mendekati pun tidak.

"Bunuh, mereka!"

Tiba-tiba seorang yang berdiri paling muka 

memekik, mengomandokan pada kesembilan orang 

lainnya untuk menyerang. Tersentak ke dua prajurit 

kaget, dan mereka berusaha membalikkan kuda-

kudanya. Namun belum sempat semua itu dilakukan, 

serta merta kesembilan orang bertampang menyeram-

kan itu telah mendahului menyerang. Tak ayal lagi, 

kedua prajurit Ketemenggungan pun keteter. Kedua-

nya tak siap apa-apa, menjadikan keduanya bagai 

mainan bagi kesembilan manusia bermuka menye-

ramkan.

Tak begitu lama perkelahian itu berjalan dua 

orang prajurit Ketemenggungan seketika memekik dan 

ambruk ke tanah. Kuda-kuda mereka berlarian keta-

kutan, kencang tak terkendali. Belum puas sepertinya 

kesembilan orang penyerang itu melihat kedua prajurit 

Ketemenggungan tergeletak sekarat. Mereka kembali 

menghantamkan pukulan dan bacokan golok hingga 

kedua prajurit itu akhirnya mati. Tubuhnya beset-

beset bagaikan dicincang.


Setelah merasa musuhnya mati, kesepuluh 

orang berwajah menyeramkan itu segera berlalu me-

ninggalkannya. Entah kemana kesepuluh orang itu 

pergi, yang dalam sekejap saja telah menghilang. 

* * *

"Kita harus segera mengadakan penyerbuan ke 

Temenggungan sebelum kita didahului, Dewi," berkata 

Sanur, selaku wakil dari Dewi Gagak Biru. "Ternyata 

mereka hendak meminta bantuan pada Tumenggung 

Sendang Lalean."

"Hem, memang benar, Memang kita harus 

mendahului," menjawab Dewi Gagak Biru. "Kalau ti-

dak, maka cepat atau lambat kita yang akan diserang-

nya seperti dua bulan yang lalu. Baiklah, kita tunju-

kan pada Tumenggung Galuh Anom bahwa kita patut 

menggantikannya yang bodoh dan pengecut itu. Hari 

ini juga, susun strategi penyerangan,"

Hari itu juga, gerombolan Gagak Biru dibawah 

pimpinan langsung sang ketuanya yaitu Dewi Gagak 

Biru mengadakan persiapan perang. Tekad mereka un-

tuk memberontak dan menyingkirkan Tumenggung 

Galuh Anom telah membulat.

Era Wati atau Dewi Gagak Biru tampak berja-

lan mondar-mandir memeriksa setiap peleton barisan, 

yang jumlahnya ada dua puluh peleton. Wajah-wajah 

prajuritnya nampak berseri-seri, sepertinya mereka 

senang menerima tugas itu. Ya, mereka telah dididik 

untuk tak takut menghadapi apapun, atau siapa pun.

"Kalian siap untuk melakukan penyerangan!?"

"Siap, Tuan Putri Gagak Biru!" menjawab se-

mua serentak.

"Bagus! Kalian tahu tempat untuk berkumpul?"

"Tahu, Tuan Putri Dewi Gagak Biru!"


"Nah, di situlah kalian harus berkumpul. Ingat! 

Jangan sekali-kali kalian keluar dari alang-alang maut 

itu, sebelum ada komando dariku, mengerti"

"Mengerti!"

"Sawung dan kau Suwing, kau berikan surat 

tantangan ini."

Disodorkan gulungan daun lontar yang telah 

diisi oleh tulisan, pada Sawung Suwing yang segera 

menerimanya.

"Ingat! Pancing mereka untuk menuju ke Alang-

alang maut!" 

"Daulat, Ketua." 

"Berangkatlah, kalian!" Dengan segera kedua 

Sawung-Suwing segera gebah kudanya berangkat me-

nuju ke Ketemenggungan untuk menyerahkan surat 

tantangan itu. Digebahnya kuda memburu, bagai-

kan kilat kuda itu berlari membawa tubuh Sawung-

Suwing.

Sementara yang lainnya, kini tampak ber-

gerak menuju ke alang-alang maut. Tempat itu bi-

asanya untuk menyergap mangsa, tempat itu pula bi-

asanya mereka melakukan persembunyian dari keja-

ran pihak kerajaan.

Dibawah pimpinan langsung Dewi Gagak Biru, 

seratus prajurit gerombolan. Gagak Biru itu berjalan 

dengan gagah berani. Mereka seperti yakin akan ke-

menangan yang bakal mereka raih. Ya, mereka yakin 

itu, sebab pimpinannya yang terkenal tangkas dan 

sakti turut serta selalu bersama mereka.

***

"Bunuh semuanya, jangan sampai disisa hi-

dup."

"Daulat, Ketua!" menjawab mereka serempak.


Mereka terus bergerak menuju ke alang-alang 

maut, dimana mereka akan mengadakan penyergapan. 

Sesampai mereka di alang-alang maut, mereka segera 

menyembunyikan diri dibalik alang-alang yang tinggi 

hingga mereka tak nampak barang rambutpun.

Dari kejauhan dua orang penunggang kuda 

nampak memacu kuda-kuda mereka dengan kencang. 

Keduanya adalah Sawung-Suwing, yang telah menu-

naikan tugas mereka, 

"Sawung... Suwing, bersembunyilah!"

Mendengar seruan pimpinannya, dengan segera 

Sawung-Suwing berkelebat dari kuda-kudanya. Tubuh 

keduanya seketika hilang ditelan oleh alang-alang 

maut yang tinggi. 

Semuanya terdiam tiada yang berkata-kata.

Tak berapa lama antaranya, tampak dari ke-

jauhan segerombolan pasukan menuju ke arah mere-

ka. Pasukan itu seketika menghentikan kuda-kuda 

mereka di pinggir alang-alang maut. Mata mereka me-

mandang hamparan rumput yang tinggi, yang terpapar 

di depan mata mereka.

"Dewi Gagak Biru, dimana kau!" berseru pimpi-

nan prajurit dengan gusarnya, merasa ia telah diper-

mainkan oleh Dewi Gagak Biru 

"Kalau kau takut, menyerahlah!"

"Suittt...!"

Terdengar suitan dari balik alang-alang.

Mata ketua prajurit melotot marah, kesal den-

gan permainan yang baginya terlalu bertele-tele. Mu-

lutnya mendengus, memaki kesal. Ia tidak menyadari 

bahwa kalau prajuritnya masuk ke alang-alang, mere-

ka akan terjebak.

"Setan! Rupanya nama Dewi Gagak Biru hanya 

nama isapan jempol, yang nyatanya pengecut!" 

"Suit...!"


Kembali terdengar suitan melengking. "Bede-

bah! Serang, jangan takut!" Mendengar komando pim-

pinannya, seketika para prajurit yang jumlahnya tujuh 

puluh lima orang itu menyusup ke alang-alang maut. 

Tak ayal lagi, seketika mereka menjerit mana kala ke-

datangannya disambut dengan tebasan golok dan tu-

sukan tombak.

Gusar dan marah, pimpinan prajurit menyaksi-

kan korban bergelimpangan dari pihaknya. Dengan 

gusar, pimpinan prajurit itu tanpa memikirkan akibat-

nya langsung terjun menyelusup ke alang-alang maut. 

Tersentak ketua prajurit, mana kala sebuah hantaman 

mengarah ke arahnya. Hantaman itu datang begitu ce-

pat, yang dilancarkan dari seorang gadis yang tak lain 

Dewi Gagak Biru adanya.

"Pengecut! Keluar kau Dewi Iblis!" memaki ma-

rah pimpinan prajurit setelah mampu menghindari se-

rangan mendadak tersebut. Bersamaan dengan habis-

nya suara pimpinan prajurit, sesosok tubuh gadis 

ramping berkelebat bagaikan terbang dan berjalan di 

atas alang-alang menuju ke arahnya berdiri. Bibir ga-

dis itu tersenyum sinis, lalu dengan angkuh gadis itu 

berkata.

"Kalian telah masuk perangkap ku, maka tak 

akan kalian mampu keluar dari tempat ini dengan 

nyawa masih menggantung di badan. Nah bersiaplah, 

Hiat...!"

"Kalianlah yang harus minggat dari daerah ini, 

Hiat....!"

Tubuh keduanya berkelebat bagaikan terbang 

dengan tangan menggenggam senjata masing-masing 

berupa pedang. Keduanya seketika itu bertarung di 

udara, saling tebas dan saling tangkis.

Trang...!"

Kedua pedang itu saling beradu. Mata pimpi


nan prajurit itu seketika terbelalak kaget. Tangannya 

yang memegang pedang terasa kesemutan. Yang lebih 

kaget dari itu semua, pedang di tangan pimpinan pra-

jurit itu tiba-tiba patah menjadi dua. Melihat hal itu, 

tertawa bergelaklah Dewi Gagak Biru. Lalu dengan 

tanpa memperdulikan rasa kaget pimpinan prajurit, 

Dewi Gagak Biru kembali berkelebat setelah melompat 

mundur akibat benturan tadi. 

"Berdo'alah sebelum kau ajal, Hiat...!"

"Hem, lebih baik aku mati di tanganmu, dari 

pada aku mengakui kekalahanmu Iblis Betina, Hiat...!"

Dengan pedang yang tinggal sepotong, pemim-

pin prajurit Ketemenggungan seketika nekad memapa-

ki serangan Dewi Gagak Biru.

Disisi lain, hampir seluruh pasukan Ketemeng-

gungan tak berkutik menghadapi amukan anak buah 

Gagak Biru yang ganas. Jerit-jerit kematian terus 

menggema, bersama ambruknya sosok-sosok tubuh 

prajurit. Seperti apa yang menjadi kebiasaan anggota 

Gagak Biru, mereka pun tak menghentikannya sampai 

di situ. Dengan sadis, direjamnya tubuh para prajurit.

Dewi Gagak Biru mendengus sesaat, meman-

dang tajam dengan pedang dikiblatkan pada musuh. 

Matanya makin lama makin menyipit, dengan senyum 

sinis mengembang di bibir.

"Nah, bersiaplah untuk menyambut Malaikat 

Maut, Hiat...!" 

"Wuut, Wut....!"

Pedang Lumajang Biru berkelebat cepat, bergu-

lung-gulung laksa badai puting beliung. Pedang itu se-

ketika bagai menghilang, bersamaan dengan hilangnya 

tubuh Dewi Gagak Biru yang terbungkus gumpalan 

kabut.

Melihat hal itu, tersentaklah pemimpin prajurit 

kaget melompat mundur. Matanya mendelik, mulutnya


menganga bengong. Namun belum juga ia hilang dari 

kekagetannya, seketika terdengar teriakan nyaring 

bersamaan dengan kelebatan pedang.

"Hiat...! Mati kau anjing Galuh!"

"Crooss...!"

"Aaahhhh...."

Melengking seketika pimpinan prajurit, kepa-

lanya puntung terpenggal pedang Lumajang Biru. Ke-

pala itu menggelinding, diikuti oleh ambruknya tubuh 

pimpinan prajurit.

"Ambil kepala pimpinan prajurit itu! Kita serang 

Ketemenggungan!" berseru Dewi Gagak Biru pada anak 

buahnya, yang seketika itu pula melakukannya. Diam-

bilnya kepala pimpinan prajurit, lalu dibungkus den-

gan baju yang ia kenakan.

"Ayo kita berangkat.!"

Dengan penuh semangat seluruh pasukan ge-

rombolan Gagak Biru berderet-deret menuju ke Kete-

menggungan. Langkah mereka begitu pasti, sepertinya 

kemenangan yang bakal mereka raih. Ya, memang 

hanya ada satu di hati mereka, mati atau menang ber-

kuasa.

***

Tumenggung Galuh Anom tersontak kaget, ke-

tika dilihatnya serombongan pasukan gerombolan Ga-

gak Biru berbondong-bondong datang. Mereka lengkap 

dengan senjata, siap untuk berperang.

"Bagaimana paman? Apa yang harus kita laku-

kan?" tanya Tumenggung Galuh Anom, mukanya pu-

cat pasi. "Apa yang harus kita lakukan, Paman?"

"Lebih baik kanjeng Tumenggung menyerah sa-

ja."

"Apa...? Apakah kau ini sudah gila!"


"Hua, ha, ha... Memang aku sudah gila," men-

jawab Wiraba tenang, sepertinya tak gentar sedikit pun 

dengan kedatangan Gagak Biru yang hendak menye-

rang Ketemenggungan. "Akulah sebenarnya orang yang 

paling menghendaki kau tergulingkan, Galuh."

"Bedebah! Rupanya kau tak lebih seekor anjing 

penjilat!"

"Hua, ha, ha... Terserah apa yang kau katakan, 

Galuh. Yang penting, kau akan segera terbang ke ak-

herat sana."

"Iblis! Jangan harap kau mampu melakukan-

nya, Wiraba!" membentak Galuh Anom gusar, setelah 

tahu siapa sebenarnya Wiraba yang sebenarnya tangan 

kanan Dewi Gagak Biru. Wiraba hanya tersenyum ke-

cut, lalu dengan angkuhnya ia berkata.

"Kenapa tidak, Galuh. Bukankah mereka te-

man-temanku sebentar lagi akan mengganyang da-

gingmu? Hua, ha, ha....!"

"Licik! Kubunuh kau Wiraba, Hiat...!" 

"Percuma kau buang-buang tenaga, Galuh!" 

"Hem, lebih baik aku mati bersamamu, Wira-

ba."

Bagaikan orang nekad, Galuh Anom terus me-

rangsek Wiraba yang masih berusaha menghindar. Se-

rangan-serangannya yang sangat ganas, mengarah pa-

da hal-hal yang dapat mematikan. Hal itu menjadikan 

Wiraba benar-benar terdesak hebat, tak mampu untuk 

sekali pun membalas. Ketika Wiraba hampir saja ter-

hantam pukulan Galuh Anom, tiba-tiba terdengar ben-

takan seorang wanita yang langsung menangkisnya.

"Wiraba, mundur kau!"

"Daulat, Pimpinan," menjawab Wiraba yang se-

gera berkelebat ke luar bergabung dengan para prajurit 

gerombolan Gagak Biru, yang langsung menyerbu ke 

dalam.



Galuh Anom makin bertambah marah, setelah 

tahu siapa adanya orang yang telah menolong Wiraba 

dari tangan mautnya. Gadis cantik itu tersenyum 

sunggingkan bibir, sinis. Dan dengan tenangnya, Dewi 

Gagak Biru memapaki setiap serangan Galuh Anom. 

Mendapat serangannya tak pernah mengena, Galuh 

Anom makin nekad. Dia tak menyadari siapa sebenar-

nya Dewi Gagak Biru yang telah menjadi momok yang 

ditakutkan.

Dewi Gagak Hitam yang tak mau membuang-

buang waktu segera cabut pedangnya. Sinar pedang 

Lumajang Biru memancar dan menerpa muka Galuh 

Anom yang seketika itu melompat mundur. Dengan ki-

basan cepat, Galuh Anom cabut Tri Sula Setan yang 

tergantung di dinding.

"Percuma, Galuh. Menyerahlah!" seru Dewi Ga-

gak Biru sinis.

"Setan! Jangan kira aku takut menghadapimu. 

Ayo kita buktikan!"

Habis berkata begitu, Galuh Anom secepat kilat 

menyerang Dewi Gagak Biru dengan Tri Sula Setan-

nya. Matanya merah marah, giginya beradu menim-

bulkan gemerutuk menahan marah.

Sementara di pihak lain, dengan cepat anak 

buah Gagak Biru telah mampu menghancurkan bari-

san prajurit Ketemenggungan. Mereka seperti haus da-

rah, mencincang dan merejam tubuh para prajurit 

dengan beringas.

Dewi Gagak Biru telah kondang namanya, ma-

na mungkin mau mengalah dengan orang-orang ma-

cam Galuh Anom. Melihat Galuh Anom nekad, menja-

dikannya malah bertambah semangat. Hal itu tidak 

disadari oleh Galuh Anom, yang terus berusaha men-

cerca Dewi Gagak Biru.

"Hiat...!"


Dewi Gagak Biru berkelebat, tebaskan pedang-

nya menyilang menjadikan pedang ini bagaikan se-

buah gunting. Tersentak Galuh Anom melihat hal itu, 

segera ia tusukkan Tri Sula Setan. Namun terlambat, 

sebab pedang Lumajang Biru di tangan Dewi Gagak Bi-

ru telah mendahului dengan cepat.

"Crooosss...!"

"Aaaahhhh...!"

Melengking seketika jeritan Galuh Anom ber-

samaan dengan puntung kepalanya. Darah seketika 

membanjir, mencurat dari urat-urat leher. Tubuhnya 

perlahan doyong, lalu ambruk menggedebug di tanah. 

Mata Galuh Anom yang telah mati, melotot mengeri-

kan.

Dengan kemenangan itu, makin bertambah 

momoklah nama Gagak Biru. Dewi Gagak Biru saat itu 

juga mengangkat dirinya menjadi Tumenggung berge-

lar, Tumenggung Gagah Biru. Walau telah menjadi 

Tumenggung, Dewi Gagak Biru terus mencoba mem-

perluas wilayah kekuasaannya....

Dengan pasukan gerombolan begalnya, Gagak 

Biru terus menteror rakyat. Tujuannya hanya satu, 

kemenangan dan kemenangan juga nama yang disega-

ni seperti Pendekar Pedang Siluman Darah....


BAB V


ALAM SILUMAN...

Penguasa puri kegelapan nampak duduk di se-

buah kursi berukir, yang terbuat dari tulang belulang 

manusia.

Di hadapannya, duduk bersilah Rake Suyung 

Belung seorang guru besar kerajaan Puri Kegelapan


yang dipimpin oleh Wala Kowara. Dialah yang di serahi 

oleh Wala Kowara atau Anggada untuk mendidik Surti 

Kanti. Wala Kowara mempunyai tujuan dengan para 

manusia, yaitu menaklukan bangsa manusia.

"Ampun paduka Raja Agung Wala Kowara, ge-

rangan apa paduka mengundang hamba?" bertanya 

Suyung Belung, nadanya jelas penuh takut. Suyung 

Belung tahu siapa pimpinannya, seorang siluman yang 

sakti dan kejam.

"Aku ingin menanyakan tentang perkembangan 

Surti Kanti, bagaimana dia?"

"Ampun tuanku, sungguh hamba tiada kira ka-

lau bangsa manusia benar-benar pintar."

"Maksudkan, Paman?" tanya Wala Kowara tak 

mengerti dengan maksud ucapan Rake Suyung Belong.

Rake Suyung Belung terdiam menghela nafas 

panjang, lalu katanya kemudian.

"Sungguh segala ilmu yang hamba miliki telah 

dengan lahap diserap oleh Tuan Putri Surti Kanti."

"Bagus!" berseru Wala Kowara girang. "Itu be-

rarti cita-citaku untuk menguasai bangsa manusia 

akan dapat terlaksana."

"Itu yang hamba harapkan, agar hamba pun 

dapat menikmati alam manusia dengan leluasa tanpa 

adanya gangguan dari bangsa manusia."

"Ya, ya. Hua, ha, ha.....! Akulah kelak penguasa 

tunggal!" bergelak tawa Wala Kowara, sepertinya bang-

ga.

Sementara di lain tempat, nampak Surti Kanti 

yang tengah belajar ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh 

Suyung Belung dengan giat. Segala ilmu silat, baik 

yang biasa dipakai oleh bangsa manusia, maupun 

bangsa siluman dilalapnya dengan cepat.

"Hiat...! Serat Layu Urip, Hiat!"

"Jlegar! Jlegar! Jlegar!"


Terdengar ledakan dahsyat, mana kala selarik 

sinar perak yang keluar dari tangan Surti Kanti meng-

hantam batu-batu cadas.

Tubuh Surti Kanti berkelebat laksana seekor 

burung walet, lalu menukik ke bawah setelah menca-

pai titik kulminasi atas. Tangannya menyatu dengan 

jari-jari mengepal. Dan...!

"Duar! Duar!"

Kembali terdengar ledakan dahsyat, saat kedua 

tangan Surti Kanti menghunjam di antara Gunung Ba-

tu Cadas itu. Batu-batu cadas berterbangan, seper-

tinya terhempas oleh tenaga yang mana dahsyat.

"Hebat! Hebat!"

Terdengar seruan gembira, mengomentari apa 

yang dilakukan Surti Kanti yang telah kembali melom-

pat, berdiri dua orang yang sudah ia kenal. Orang per-

tama adalah Rake Suyung Belung gurunya, sementara 

berdiri di samping Suyung Belung adalah Wala Kowara 

atau Penguasa Puri Kegelapan yang tersenyum bangga 

padanya.

Melihat Wala Kowara, serta merta Surti Kanti 

berseru seraya memburu ke arah Wala Kowara.

"Kakang Wala!"

Surti Kanti yang telah dua tahun lebih berpisah 

dengan Wala Kowara seketika tanpa memperdulikan 

gurunya memeluk erat tubuh Wala Kowara. Sang guru 

yang memahami hanya tersenyum, membiarkan ke 

dua junjungannya melepaskan kerinduan.

"Surti, kau harus dapat mempelajari semua 

yang di ajarkan oleh Rake Suyung Belung! Ingat! Kau 

harus mampu dalam waktu singkat kau harus memba-

las semua dendam. Ingat! Yang perlu kau hitungkan 

adalah Pendekar Muda Pedang Siluman Darah!"

"Aku mengerti, kakang. Maka itulah aku den-

gan tak mengenal lelah belajar terus," jawab Surti Kan


ti manja. Kepalanya direbahkan pada dada Wala Kowa-

ra yang menerima dengan membalas membelai rambut 

Surti Kanti.

"Bagus Surti! Bila kelak kau telah mampu men-

galahkan Jaka Ndableg, maka kita akan merajai dunia. 

Bukan begitu, Sayang?"

Surti Kanti hanya tersenyum menganggukkan 

kepalanya. Dengan dibimbing Wala Kowara, Surti Kan-

ti berjalan menuju ke pondok gurunya.

"Kapankah semua akan selesai, Guru?" tanya 

Surti Kanti pada gurunya, mana kala mereka berjalan 

menuju ke pondok. Sang guru tersenyum, menarik na-

pas dan dihempaskan.

"Tak akan lama lagi, Tuan Putri." menjawab 

Rake Suyung Belung, menjadikan Surti Karti terse-

nyum hatinya berbunga. "Seperti Tuan putri, hamba 

pun ingin sekali melihat dan merasakan hidup di alam 

manusia."

Surti Kanti tercenung diam, mendengar penu-

turan gurunya. Matanya berkaca-kaca memandang 

hampa. Pikirannya seketika melayang pada alamnya, 

yaitu alam manusia. Ia telah rindu sekali pada kam-

pung halamannya, namun untuk kembali dan me-

nampakkan diri, perlu kesaktian. Sebab dirinya kini 

menjadi buronan kerajaan Segara Anakkan.

Wala Kowara yang melihat perubahan pada 

raut muka kekasihnya seketika bertanya. "Apa yang 

engkau pikirkan, Sayang?"

"Ah, tidak kakang. Aku hanya melamun bagai-

mana agar aku dapat segera kembali alam manusia, 

tanpa adanya ketakutan."

Mendengar ucapan kekasihnya, seketika Wala 

Kowara tersenyum gelengkan kepala. Ditatapnya lekat-

lekat Surti Kanti, yang tampaknya juga tengah me-

mandang ke arahnya.


"Tak akan lama lagi, Kasihku. Kalau kau cepat 

dan telaten belajar, aku kira tak akan menunggu wak-

tu lama. Bukan begitu, Rake?"

"Daulat, Tuanku. Memang benar apa ya kau 

ucapkan Baginda Wala Kowara, bahwa tuan Putri tak 

akan lama lagi bisa menikmati alam manusia kembali. 

Untuk itu, kiranya perlu waktu 40 hari lagi."

Berbinar-binar mata Surti Kanti mendengar pe-

nuturan gurunya. Kerinduannya akan kampung hala-

man, seketika kembali menguak. Senyumnya men-

gembang, seirama dengan derap langkah kakinya yang 

dibimbing dalam dekapan Wala Kowara si Penguasa 

Puri Kegelapan.

***

Pendekar kita Jaka Ndableg tengah duduk-

duduk di atas batang pohon asem yang tumbang. 

Tampaknya ia tengah merenungkan sesuatu. Sekali-

kali ia tersenyum, lalu geleng-gelengkan kepala.

"Hidup. Ah, sungguh-sungguh aneh hidup ini. 

Kadang aku tak habis pikir, untuk apa hidup ini? Apa-

kah untuk saling baku hantam seperti yang aku laku-

kan selama ini? Huh... Pusing, pusing. Memang kalau 

didiamkan, maka hanya kekacauan yang terjadi. Se-

dangkan aku dituntut untuk menjadi seorang yang 

memerangi kejahatan dan keangkara murkaan. Aku 

banyak musuh, juga banyak sahabat;"

Tengah Jaka merenung sendiri, tiba-tiba ia di-

kejutkan oleh deru kaki-kaki kuda yang dipacu dengan 

memburu. Jaka tersentak kaget tengokkan kepala 

memandang pada asal suara itu.

"Hai, kenapa dua orang itu diseret?" Tanya Ja-

ka pada diri sendiri. "Apa salahnya? Hem, ini lagi kehi-

dupan. Tampaknya kedua orang yang diseret itu orang


yang sudah tua renta, kasihan. Baik, aku akan men-

coba menanyakannya. Hiat....!"

Dengan segera Jaka bangkit dari duduknya 

berjalan menuju ke arah dimana dua penunggang ku-

da yang berwajah menyeramkan itu tengah menyeret 

lelaki tua renta itu.

"Sampurasun...!" menyapa Jaka setelah sampai 

pada dua orang penunggang kuda yang seketika 

menghentikan jalan kudanya. Kedua orang itu me-

mandang tajam pada Jaka, sepertinya hendak menilai 

siapa adanya Jaka. Melihat kedua orang penunggang 

kuda itu terdiam, Jaka dengan segera kembali mengu-

lang.

"Sampurasun...! Apakah kalian telah tuli?"

Mendengar omongan Jaka yang asal nyerocos, 

seketika marahlah kedua orang penunggang kuda. Sa-

lah seorang dari mereka serta merta membentak.

"Monyet! Apa kau bilang!" 

"Oh, maaf, aku kira anda berdua tuli," menja-

wab Jaka dengan cengar-cengir bagaikan tak bersalah. 

"Tadi bukankah aku telah menyapa? Tapi kalian ter-

nyata tak menjawab, sehingga aku berkesimpulan 

bahwa kalian memang benar-benar tuli."

"Edan! Kau berani lancang dengan prajurit Se-

gara Anakkan!" membentak marah orang yang bertu-

buh tinggi besar dengan kepala botak. Matanya melotot 

bagai hendak keluar, menjadikan Jaka tersenyum geli. 

Jaka yang Ndableg, seketika ingin mencandai kedua 

prajurit Sagara Anakkan yang rupanya belum menge-

nali siapa adanya dirinya.

"Ooh, kiranya tuan para prajurit Segara Anak-

kan. Maaf, sungguh aku yang bodoh ini tidak menge-

tahui siapa adanya tuan-tuan berdua. Sekali lagi saya 

minta maaf."

"enak saja kau ngomong. Anak muda! Kau telah


menghina kami, maka sepantasnyalah kau harus di-

hukum!" kembali orang bertubuh tinggi besar mem-

bentak. Namun begitu, Jaka yang dasarnya Ndableg 

cengengesan mendengarnya. Hal itu menjadikan kedua 

orang prajurit Segara Anakan makin bertambah marah

"Duh tuan berdua, apakah tuan tidak merasa 

kasihan padaku yang memang bodoh? Kalaulah 

tuan hendak menghukum saya, saya minta berilah pa-

da saya hukum itu. Pasti yang namanya hukum itu 

enak. Bukan begitu, Tuan-tuan?"

Terbelalak mata kedua prajurit Segara Anakan 

mendengar omongan Jaka yang dirasa aneh. Mata me-

reka menyipit, memandang tak berkedip pada Jaka, la-

lu kedua prajurit itu tertawa bergelak-gelak yang diiku-

ti oleh Jaka. Makin tersentak kaget kedua prajurit ke-

rajaan Segara Anakan, demi melihat tingkah Jaka yang 

kaya orang sinting. Betapa tidak, orang lain pasti akan 

diam melihat prajurit Segara Anakan, tapi Jaka malah 

ikut tertawa ketika kedua prajurit itu tertawa.

"Anak edan! Kau berani ikut-ikutan tertawa," 

membentak marah kedua prajurit itu.

"Rupanya anak muda ini benar-benar gila, Ka-

kang Bengkol," berkata prajurit satunya, yang bermu-

ka seperti burung betet.

"Mungkin juga, Adik Betet," menjawab. "Ayo ki-

ta tinggalkan pemuda gila ini."

Ketika kedua prajurit kerajaan Segara Anakan 

itu hendak kembali berjalan tiba-tiba Jaka berseru 

yang menjadikan keduanya segera mengurungkan 

kembali langkah kudanya.

"Tunggu tuan-tuan!"

"Edan! Kau sepertinya sengaja menghambat 

langkah kami. Ada apa, Anak Edan!" membentak ma-

rah Bengkok. "Apakah kau ingin ini?!"

Bareng dengan habisnya ucapan Bengkok, se


ketika berdesing sebuah pisau belati mengarah pada 

Jaka. Jaka seketika tersentak, lemparan tubuh ke 

angkasa sembari kibaskan tangan menangkis dengan 

ajian Getih Sakti. Seketika pisau itu mental, sedang 

Getih Sakti terus menyerbu ke arah kuda yang ditum-

pangi Bengkok. Seketika kuda itu meringkik, lalu am-

bruk mati dengan tubuh meleleh mengeluarkan bau.

"Setan! Rupanya kau hendak membikin masa-

lah. Jangan salahkan jika aku menurunkan tangan 

kasar!"

"Hem, bukankah kau pun tadi bermaksud 

mencelakai aku?" tanya Jaka acuh dengan senyum 

masih melekat di bibirnya. "Ucapanmu sungguh uca-

pan yang tak dapat di anuti sebagai seorang prajurit. 

Semestinya kalian menjadi kroco-kroco penyamun, 

yang biasa bergaul dengan monyet-monyet"

Menggeram seketika kedua orang prajurit itu, 

mana kala mendengar ucapan Jaka yang terasa pedas. 

Mata keduanya memerah, seperti terbakar amarah. Se-

telah mendengus, Betet seketika membentak.

"Bedebah! Rupanya kau seorang pemuda yang 

pura-pura gila. Siapa namamu, sebelum kami kirim 

kau ke neraka!"

"Ooh, sungguhkah kau mampu mengirimku ke 

neraka?" tanya Jaka ngebanyol. "Sungguh aku pun in-

gin melihat yang namanya Neraka itu. Menurut cerita, 

bukankah Neraka itu berapi? Kalau kau bicara hendak 

mengirimku ke Neraka, mungkinkah kau penghu-

ninya?"

"Bedebah! Lancang mulutmu. Ayo adik Betet, 

kita kasih pemuda edan ini pelajaran, biar ia mau 

mengerti siapa kita."

"Ayo, kakang. Jangan lengah, Anak muda! 

Hiat...!"

Serentak kedua orang yang mengaku prajurit


kerajaan Segara Anakan berkelebat menyerang Jaka. 

Diserang dengan secara serentak, tidak menjadikan 

Jaka keteter. Namun sebaliknya Jaka dengan tingkah-

nya yang khas melayani serangan kedua musuhnya 

dengan santai.

"Waduh, kenapa kalian begitu bernafsu hendak 

memelukku? Nah, begitulah akhirnya ngelosor ke ta-

nah."

Dengan berkata begitu Jaka, segera mengelak-

kan serangan kedua musuhnya yang hendak menu-

bruk. Tak ayal lagi, tubuh keduanya seketika nyosor 

mencium tanah. Jaka tertawa gelak-gelak melihat mu-

ka kedua musuhnya berantakan dengan goresan-

goresan di kedua pipi, menjadikan luka barut yang 

mengeluarkan darah.

"Apa aku bilang. Kalian sih, main sosor saja."

"Setan! Jangan ketawa dulu, Anak Sundel!" 

membentak Bengkok marah, merasa Jaka telah mem-

permainkan. "Kau harus membayarnya, Hiat!"

"Eeh... Rupanya kau memang nefsong, ya. Awas 

jatuh lagi!"

Jaka kembali elakan serangan musuhnya den-

gan kaki menyilang. Dan untuk kedua kalinya, kedua 

orang itu nyosor mencium tanah. Mau tak mau, kedua 

orang yang terikat turut tertawa melihat kelucuan itu.

Merasa dirinya dipermainkan, kedua orang itu 

makin-makin saja marahnya. Mereka menyerang den-

gan membabi-buta, mengamuk bagaikan mata gelap. 

Jaka yang diserang malah tersenyum-senyum dengan 

sekali-kali ngoceh.

"Ladalah, kalian kok persis topeng monyet? 

Nah, begini kalau mau menjadi topeng monyet." Jaka 

seketika berkelebat, melentingkan tubuhnya ke angka-

sa. "Begini cara monyet menendang. Hiat...!" Kaki Jaka 

bergerak cepat, menendang telak dada kedua orang


musuhnya. Seketika kedua musuhnya terpental, me-

layang ke belakang dan jatuh dengan pantat bagaikan 

diremas.

Kedua orang ini meringis kesakitan. Kini kedu-

anya sadar siapa sebenarnya pemuda yang tengah me-

reka hadapi. Dengan terbata-bata kedua orang itu 

meminta ampun.

"Am... ampunilah kami. Sungguh kami kapok. 

Kalau kami boleh tahu, siapakah kau adanya anak 

muda?"

"Apakah itu penting? Bukankah tadi kalian 

menyebutkan dengan anak edan? Nah itulah namaku," 

menjawab Jaka tenang.

"Baiklah. Agar kalian tenang, aku akan menga-

takan pada kalian siapa sebenarnya aku ini. Dengar 

baik-baik oleh kalian, aku yang kalian katakan anak 

edan bernama Jaka Ndableg."

Terbelalak mata kedua orang itu, mendengar 

nama pemuda yang telah mampu mengalahkannya. 

"Pantas, kalau ilmu silatnya begitu tinggi dan aneh," 

bergumam keduanya dalam hati.

"Siapa sebenarnya kalian? Kalau kalian orang-

orang Kerajaan Segara Anakkan, mengapa kalian ber-

tindak kejam?"

"Kejam? Kami tidak kejam, Tuan Pendekar" 

menjawab keduanya dengan nada takut. "Sungguh 

kami tadi tak mengetahui siapa adanya tuan pendekar 

adanya, sehingga kami terlalu lancang bertindak. En-

tah apa yang bakal kami terima hukuman dari sang 

Raja apabila beliau mengetahui kami telah berani lan-

cang pada tuan," meneruskan Bengkok

"Ah, itu tak usah kalian pikirkan. Sekarang, 

aku ingin tahu kenapa kalian mengkerangkeng kedua 

orang tua itu?" tanya Jaka seranya menunjuk pada 

kedua orang tuan yang terikat kedua tangannya.


Segera kedua prajurit Segara Anakan meman-

dang ke arah yang ditunjuk Jaka, lalu dengan singkat 

kedua prajurit itu segera menceritakan mengapa kedua 

orang tua itu diikat. 

Kening Jaka seketika mengerut, mana kala 

mendengar penuturan dari kedua prajurit yang mence-

ritakan bahwa kerajaan kini tengah diteror oleh ge-

rombolan Gagak Biru dibawah pimpinan seorang Gadis 

Dewi Gagak Biru.

"Jadi kerajaan kini tengah dalam keadaan ka-

cau?" tanya Jaka.

"Begitulah, Tuan Pendekar," menjawab Betet. 

"Maka itulah, kami selalu menangkap orang-orang 

yang sekiranya kami curigai."

"Tapi aku kira, kedua orang tua itu tak bersa-

lah."

"Alasan tuan Pendekar?" tanya Bengkok tak 

mengerti.

"Mana mungkin orang setua mereka ikut terli-

bat dalam gerombolan Gagak Biru? Aku Rasa, gerom-

bolan Gagak Biru mempunyai orang-orang yang berji-

wa pemberani dan sadis. Bukan begitu?" tanya Jaka 

berbalik pada kedua orang prajurit, yang seketika 

mengangguk-angguk mengerti.

"Sedangkan kedua orang tua itu, menggambar-

kan ketakutan di wajahnya. Bukankah ini jelas untuk 

alasan bahwa mereka tak mungkin terlibat?" mene-

ruskan Jaka. "Lepaskan mereka. Aku berjanji akan se-

gera membantu kerajaan menyelidiki sekaligus meng-

hentikan sepak terjang Gagak Biru yang telah telengas 

itu bila aku mampu"

"Ah, sungguh kami sangat gembira mendengar-

nya. Kapankah tuan Pendekar berkunjung ke Kera-

jaan?" tanya Betet dengan wajah berseri-seri, seper-

tinya ia tak merasakan lagi luka-luka di kedua pipinya.


"Kalian pulanglah ke kerajaan, aku akan me-

nyusul," menjawab Jaka, yang menjadikan kedua pra-

jurit itu tersenyum bahagia. Setelah menjura hormat, 

kedua prajurit itupun segera berkelebat pergi mening-

galkan Jaka yang masih terpaku memandangi keper-

gian keduanya.

Setelah membebaskan kedua orang tua yang 

berucap terimakasih sampai beratus-ratus kali, se-

hingga mereka tak menyadari kalau Jaka telah berlalu 

Jaka menyusul kedua prajurit itu. Tinggallah kedua 

orang tua itu, terbengong-bengong mana kala menya-

dari bahwa orang yang dijurai telah tak ada.

"Kemana pemuda sakti itu?" gumam mereka 

bagaikan orang linglung.

Setelah geleng-geleng kepala, keduanya segera 

berlalu pergi meninggalkan pantai itu yang kembali se-

pi. Hanya tiupan angin dan gulungan ombak meme-

cah, menepiskan pasir-pasir pantai....

***


BAB VI


Melihat kedatangan Jaka Ndableg atau Pende-

kar Siluman Darah, seketika sang Raja dan patihnya 

Singa Barong segera menyambut kedatangan Jaka. Ra-

tusan prajurit pilihan disiagakan membentuk pagar 

berjejer, menjadikan Jaka hanya geleng-geleng kepala. 

Jaka segera menjura hormat, mana kala dilihatnya 

sang Raja tengah menunggu kedatangan dirinya.

"Hamba menyampaikan sembah, Baginda."

"Ooh, janganlah tuan Pendekar berbuat ini. 

Semestinya kamilah yang harus menyembah tuan 

Pendekar," menjawab Sang Raja, seraya mempersilah


kan Jaka untuk masuk ke dalam istana, "Sungguh 

kami sangat mengharapkan kedatangan tuan Pende-

kar."

Jaka tersenyum, gelengkan kepala.

"Mungkin tuan Pendekar telah mengerti apa 

yang telah terjadi di kerajaan Segara Anakkan," kem-

bali sang Raja berkata, yang dijawab dengan angguk-

kan kepala oleh Jaka, "Ah, syukurlah kalau begitu. 

Jadi begitulah keadaan kerajaan saat ini. Pemberonta-

kan yang bermaksud merongrong kewibawaanku kini 

merajalela. Salah satu kerusuhan yang sampai seka-

rang susah untuk ditumpas, adalah dari gerombolan 

Gagak Biru yang terkenal dengan kesadisannya."

"Apakah belum pernah ada yang mencoba 

membasminya?" tanya Jaka.

Sang Raja menghela napas panjang, lalu den-

gan nada berat ia pun kembali berkata. "Sudah. Bah-

kan Tumenggung Galuh Anom telah berkali-kali mela-

kukannya, namun semua mengalami kegagalan. Bah-

kan Tumenggung Galuh Anom sendiri yang menjadi 

korban, mati dibantai oleh gerombolan Gagak Biru 

yang kini menguasai Ketemenggungan Galuh Wangi."

"Ah, sungguh terlalu biadab," mendesah Jaka 

kaget.

"Benar apa yang tuan Pendekar ucapkan. Sejak 

kepergian Tuan Pendekar dari sini, setelah menumpas 

Utusan Iblis kerajaan kini menghadapi teror dari Ga-

gak Biru."

Jaka terdiam membisu, ia duduk setelah sang 

Raja pun duduk. Mereka duduk-duduk di atas tiker, 

tidak seperti lajimnya seorang raja. Memang sang Raja 

ingin menghormati benar-benar Pendekar yang telah 

mampu menghentikan kejahatan di kerajaannya, se-

hingga sang Raja menganggap Jaka Ndableg adalah 

temannya bukan tamunya. Setelah keduanya terdiam


sembari menyantap jamuan yang dihidangkan oleh 

danyang-danyang, sang Raja kembali berkata.

"Tadinya kami telah putus asa,"

"Putus asa? Untuk apa?" tanya Jaka seraya 

mengernyitkan keningnya kaget demi mendengar pe-

nuturan sang Raja. "Apalah artinya hidup bila kita te-

lah dihinggapi rasa keputus asaan."

"Memang benar apa yang telah engkau kata-

kan, Tuan Pendekar."

"Ah, janganlah Baginda menyebut hamba Tuan 

Pendekar. Sebut saja nama hamba yang jelek, Jaka 

Ndableg."

"Baiklah, Jaka Ndableg. Memang benar apa 

yang engkau katakan, bahwa putus asa tak ada ar-

tinya bagi manusia hidup yang telah diberi oleh Yang 

Wenang segalanya. Namun sungguh kami merasakan 

itu, disebabkan kami telah tak mampu menghentikan 

sepak terjang teror Gagak Biru. Kami telah mencoba 

mengadakan penyerangan, namun malah prajurit kami 

yang hancur terbantai oleh gerombolan Gagak Biru." 

menerangkan sang Raja. "Kini dengan kedatangan di-

rimu, harapan kami kembali tumbuh. Kami dengan 

rendah hati memohon bantuanmu."

Jaka terdiam bisu, merenungkan ucapan sang 

Raja. Sesekali nafasnya mendengus, lalu dihempaskan 

panjang-panjang. Didongakkan kepalanya memandang 

pada langit-langit balai istana, dan kemudian Jaka 

pun berkata.

"Demi ketentraman serta kebenaran, aku akan 

mencoba membantu,"

"Ah, sungguh tak terkira ucapan terima kasih 

kami," berkata sang Raja dengan wajah berseri-seri 

mendengar ucapan Jaka Ndableg. Harapannya yang 

selama ini pupus, kini tumbuh kembali. "Apakah kau 

memerlukan banyak prajurit?"


"Ah, janganlah mengorbankan orang yang tak 

berdosa, biarlah aku yang buruk ini yang menjadi 

tumbal mereka bila itu telah menjadi suratan Yang 

Maha Esa."

"Ooh, sungguh agung hatimu."

Jaka gelengkan kepala mendengar ucapan sang 

Raja. Bibirnya terurai senyum, menjadikan hati sang 

Raja seketika terbersit rasa kagum. Kagum akan ting-

kah laku Jaka yang santun, kagum akan jiwa pende-

karnya yang tak mau mengorbankan orang lain demi 

sesuatu hal yang dikiranya bakal melakukan pekerjaan 

yang berbahaya.

"Nah, sekarang juga aku akan ke tempat mar-

kas Gagak Biru. Dimana aku harus melangkah? Sebab 

aku belum tahu letak Ketemenggungan Galuh Wangi," 

berkata Jaka.

"Ooh, sampai-sampai kami lupa. Sebentar, 

akan aku suruh juru gambar istana menggambar de-

nah wilayah Tumenggung Galuh Wangi." Segera sang 

Raja meninggalkan Jaka, yang kemudian kembali da-

tang dengan membawa sebuah gambar peta wilayah 

kerajaan dan letak Ketemenggungan Galuh Wangi.

"Jadi aku harus berjalan menuju ke Selatan?" 

tanya Jaka setelah melihat sesaat gambar peta itu.

"Benar. Tapi janganlah kau hanya berjalan, 

ambillah seekor kuda yang bagus untuk menempuh 

perjalananmu."

"Ah, terima kasih. Tak usahlah Baginda repot-

repot."

"Tidak Jaka, aku tidak repot. Malah akulah 

yang telah merepotkan dirimu," menjawab sang Raja. 

"Paman patih Singa Barong, tunjukan pada saudara 

Jaka kandang kuda, biar dia memilih sendiri kuda 

yang akan ia pakai."

"Daulat, Baginda." menjawab Singa Barong


yang dengan ramahnya mengajak Jaka menuju ke 

kandang kuda, setelah keduanya menyembah pada 

sang Raja.

Jaka seketika memilih salah seekor kuda dari 

berpuluh-puluh kuda yang ada di kandang tersebut. 

Pilihan Jaka yang sangat aneh, menjadikan patih Sin-

ga Barong terheran-heran seraya bertanya.

"Kenapa Tuan Pendekar memilih kuda yang ku-

rus? Lagi pula kuda tersebut masih muda, saya kira 

tak akan kuat."

"Biarlah, Paman Patih," menjawab Jaka. "Sam-

paikan pada Rajamu, bahwa aku akan memberi kabar 

bila aku berhasil. Dan jangan sekali-kali kalian memi-

kirkan tentang keselamatan diriku. Hia, hia, hia."

Digebahnya kuda sakit-sakitan itu, menjadikan 

sang patih yang melihatnya geleng-geleng kepala se-

ranya bergumam. "Sungguh seorang pendekar aneh. 

Kuda sakit-sakitan digebah begitu rupa..."

Belum juga habis gumamannya, seketika ia di-

kejutkan oleh apa yang dilihatnya. Ternyata kuda yang 

sakit-sakitan, seketika mampu melejit dengan cepat-

nya membawa tubuh Jaka! Hingga dalam sekejap saja, 

Jaka telah menghilang dari pandangannya. Mata sang 

Patih melotot, tak percaya pada apa yang telah dilihat-

nya. Dengan segera sang Patih berlari menuju ke ista-

na, melaporkan apa yang baru saja ia lihat.

"Sungguh-sungguh tak dapat dicerna dengan 

akal, Baginda."

"Hem, memang dia bukan pendekar sembaran-

gan," mengguman sang Raja, menggeleng-gelengkan 

kepalanya. "Ah, sungguh besar jasanya bagi kemanu-

siaan khususnya kerajaan ini."

***


Sang patih Singa Barong tidak menyadari, 

bahwa sebenarnya Jaka tidak mengendalikan ku-

danya. Bahkan Jaka telah menggeret sang kuda den-

gan ilmu larinya, yaitu ajian Angin Puyuh. Karena 

menggunakan ajian itulah, Jaka berlari secepat angin 

bahkan melebihi dengan angin.

Setelah memberikan kudanya pada seorang 

penduduk yang miskin, segera Jaka meneruskan per-

jalanannya. Ketika Jaka tengah berlari seketika ia di-

kejutkan dengan bentakan seseorang. 

"Berhenti!"

"Hem, ada saja yang usilan," berguman Jaka 

dalam hati. Jaka segera menghentikan langkahnya, 

membalikkan tubuh menghadap pada orang yang 

membentaknya, yang telah berdiri di hadapannya.

"Kisanak menyuruhku berhenti?" tanya Jaka 

pura-pura bloon.

Mendelik mata kelima orang itu, mana kala 

mendengar pertanyaan Jaka yang seperti bodoh. Mata 

mereka yang mendelik, bukan menjadi Jaka takut se-

bab ia bukanlah anak kecil. Malah dengan tersenyum-

senyum, Jaka kembali bertanya.

"Eh, kenapa Ki Sanak sekalian melotot? Apakah

mata Ki Sanak buta hingga tak dapat melihat?"

Mendengar ucapan Jaka, seketika kelimanya 

mendengus gusar. Salah seorang yang berdiri paling 

muka melangkah ke arahnya, lalu dengan bengis 

membentak.

"Setan kecil! Siapa yang menyuruhmu keliaran 

di daerah kami!"

"Ooh, jadi ini daerahmu, toh...?" guman Jaka 

bagai orang linglung. "Maaf ya Oom, sungguh aku tak 

mengerti."

"Maaf, maaf. Enak saja kau ngomong. Ayo ikut 

aku!"


"Kemana, Oom?"

"Diam! Jangan banyak tanya." Membentak

orang tersebut gusar, demi mendengar ucapan Jaka 

yang ngelantur. Dengan kasar orang itu segera menye-

ret tangan Jaka untuk mengikuti kemana mereka per-

gi. Jaka hanya menurut, mengikuti langkah kelima 

orang tersebut.

"Edan! Kenapa mereka mengajakku ke sini?" 

bergumam Jaka dalam hati. "Ah, kiranya aku mungkin 

hendak diajukan pada ketuanya. Heh, mungkinkah 

mereka ini anak buah Gagak Biru? Ya, mungkin. Baik-

lah, aku akan menuruti apa yang menjadi kemauan 

mereka, semoga apa yang aku duga benar adanya."

Jaka pun dengan menurut mengikuti kemana 

kelima orang tersebut menuju. Ternyata kelima orang 

itu menuju ke sebuah rumah, yang cocoknya dikata-

kan Bangsal. Ya, mereka memang menuju ke bangsal 

Ketemenggungan.

"Hem, benar juga dugaanku, ternyata ini Kete-

menggungan Galuh Wangi," berkata Jaka dalam hati, 

yang menurut ketika diperintahkan duduk menggele-

sot di atas lantai. "Setan, dikiranya aku ini apa?"

"Kau jangan banyak tingkah bila dihadapan 

pimpinan kami, mengerti?" hardik lelaki yang sedari 

tadi mengomel. "Awas kalau kau bertingkah macam-

macam, aku lumatkan kau!" 

"Ya, Oom?"

"Setan! Masih ngebandel."

"Plak...!"

"Aduh, Ooom. Sakit....." seru Jaka pura-pura 

memegangi pipi yang tadi kena tampar. Sebenarnya 

hati Jaka mangkel juga diperlakukan seperti itu, na-

mun demi membuktikan kebenaran bahwa memang 

tempat itu markas Gagak Biru dan sekaligus ingin ta-

hu kaya apa wajah pimpinan Gagak Biru menjadikan


Jaka menahan amarahnya.

"Pimpinan akan datang, semua harap berdiri!" 

terdengar seruan dari seseorang, yang menjadikan se-

muanya sepontan berdiri mematung. Tak luput Jaka 

yang dipaksa untuk berdiri juga.

"Hem, kaya apa sih...?" guman Jaka dalam hati.

Tak lama antaranya, seorang dara cantik jelita 

keluar dari dalam ruangan dalam. Dara itu berpakaian 

serba biru, hanya ikat kepalanya saja yang merah. Ma-

tanya memandang tajam pada Jaka, seperti hendak 

menembus mata Jaka yang memandangnya pula.

"Inilah Dewi Gagak Biru?"

Tersentak semua orang yang ada di situ, mana 

kala mendengar gumaman Jaka yang dianggap mereka 

telah berani kurang ajar. Melototlah semuanya, dengan 

mata memerah marah.

"Siapa kau, Anak muda?" tanya Dewi Gagak Bi-

ru, nadanya membentak.

"Ah, aku yang rendah ini adalah orang gelan-

dangan belaka yang kebetulan ditangkap oleh anak 

buahmu. Sungguh cantik wajahmu, Nona."

Makin tersentak kaget semua yang ada di situ, 

mendengar ucapan Jaka yang dirasa makin kurang 

ajar pada pimpinannya. Mereka seketika mendengus 

dan bermaksud menyerang. Namun segera, Dewi Ga-

gak Biru telah mencegahnya.

"Jangan!"

"Kenapa, Pimpinan? Anak ini telah kurang 

ajar!" memprotes Wiraba, sepertinya tak mau meneri-

ma keputusan pimpinannya. "Pemuda ini akan makin 

kurang ajar bila didiamkan."

"Wiraba! Apakah kau mau menentang ku?" 

tanya Dewi Gagak Biru dengan mata melotot marah, 

menjadikan Wiraba seketika terdiam menundukkan 

muka. "Anak Muda, katakan siapa adanya dirimu."


Jaka tersenyum, menjadikan Dewi Gagak Biru 

membelalakkan mata.

"Aku...? Akulah Jaka Ndableg."

Terbelalak semuanya mendengar siapa adanya 

pemuda yang sedari tadi diremehkan, lebih-lebih keli-

ma orang yang telah menangkapnya.

"Hem, mau apa kau kemari, Jaka?"

"Hua, ha, ha... Tentu aku ingin menangkapmu, 

Dewi," menjawab Jaka tenang, menjadikan Dewi Gagak 

Biru seketika melotot marah. Ia tahu kalau pendekar 

muda yang berdiri dihadapannya bukan tokoh persila-

tan sembarangan. Namanya telah menjulang, dengan 

julukannya yang mampu mendirikan bulu kuduk mu-

suh-musuhnya yaitu Pendekar Pedang Siluman Darah. 

Namun selaku ketua Gagak Biru yang ditakuti, tak 

pantaslah jika harus menyerah. Sementara anak 

buahnya kini telah mengurung sang pendekar, siaga 

dengan senjata di tangan masing-masing tinggal me-

nunggu perintahnya.

"Pendekar Pedang Siluman Darah, apakah kau 

tidak melihat bahwa kau telah dalam kandang ma-

can?" tanya Dewi Gagak Biru sinis.

Jaka tertawa mendengar ucapan sang Dewi, la-

lu dengan tenang Jaka menjawab. "Ooh, kiranya aku 

kini tengah berada di antara macan-macan ompong. 

Hem, tak mungkin kalau macan ompong dapat meng-

gigit, bukan?"

"Bedebah! Kau terlalu meremehkan kami, Pen-

dekar. Jangan kira kami takut dengan nama besarmu, 

Serang....!"

Mendengar seruan Dewi Gagak Biru, seketika 

seratus orang anak buahnya yang telah mengurung 

Jaka berkelebat menyerang. Diserang begitu rupa, tak 

menjadikan Jaka gentar. Bahkan dengan bersuit, Jaka 

segera lemparkan tubuh keluar.


Melihat Jaka keluar, seratus anak buah Gagak 

Biru serta merta memburunya. Hal ini memang yang 

diharapkan Jaka, yang dengan segera hantamkan 

ajian Getih Saktinya pada mereka. Sungguh sebuah 

hantaman yang tak terduga-duga, sehingga penge-

royoknya tak dapat lagi menghindari hantaman ter-

sebut. Menjeritlah lima orang yang terkena, tubuh ke-

lima orang itu meleleh bagaikan disiram timah panas 

dan ambruk dengan nyawa terbang.

Terkesiap yang lainnya melihat hal itu, namun 

dengan segera mereka kembali menyerang mana kala 

didengarnya seruan Dewi Gagak Biru membentak. 

"Dungu! Serang lagi...!"

"Dewi Gagak Biru, kenapa kau hanya mem-

buang-buang nyawa anak buahmu!" berseru Jaka, 

mana kala melihat anak buah Gagak Biru yang telah 

tersurut nyalinya kembali menyerang. "Bukankah lebih 

baik kau saja yang menghadapiku?"

"Bedebah! Jangan sombong kau! Baik, mari kita 

buktikan siapa yang pantas disebut pendekar nomor 

wahid!" membentak Dewi Gagak Biru. Seketika tubuh-

nya melayang, menyerang Jaka. Melihat hal itu Jaka 

segera egoskan tubuh mengelak, sehingga serangan 

Dewi Gagak Biru pun melesat di samping kanannya 

beberapa centi saja.

"Nah, bukankah dengan adanya kau yang tu-

run kau akan lebih cepat membereskannya?"

"Jangan banyak omong! Hiat....!"

Dewi Gagak Biru yang telah mengenal siapa 

Pendekar Pedang Siluman Darah, tanpa sungkan-

sungkan lagi keluarkan segala ilmu yang ia miliki. Ju-

rus-jurus Gagaknya keluar, mengumbar amarahnya. 

Sementara Jaka yang juga tak ingin membuang-buang 

waktu segera keluarkan jurus-jurus yang diajarkan 

oleh keempat gurunya. Jurus Empat Pendekar Sakti,


bukanlah jurus kelas kroco. Jurus-jurus itu telah teru-

ji oleh guru-gurunya, yang telah malang-melintang pu-

luhan tahun di dunia persilatan.

"Terimalah jurus Gagak mematuk cacing, 

Haaat...!"

"Hua, ha, ha... Lucu nama jurusmu, Nona. Hem 

baik, terimalah jurus balasan ku. Jurus Kera memetik 

bulan, Hiat....!"

Keduanya seketika berkelebat melayang di uda-

ra dengan ilmu meringankan tubuh, menjadikan tu-

buh mereka melayang ringan. Terbelalak mata semua 

yang melihatnya, sampai-sampai mulut mereka ten-

ganga.

"Wuut, wuut, wuut..."

Terdengar kibasan tangan keduanya, menjadi-

kan angin besar menerpa orang-orang yang ada di situ. 

Angin itu, mampu membuat semua yang ada di situ ja-

tuh terpelanting. Dewi Gagak Biru lemparkan tubuh ke 

belakang bersalto. Kembali Dewi Gagak Biru berdiri,

memandang pada Jaka yang tampak tersenyum.

"Serang!"

Dewi Gagak Biru mencabut pedang pusaka 

Lumajang Biru.

"Keluarkan senjatamu, Pendekar!"

"Aku tak memiliki senjata. Biarlah aku akan 

menangkapmu dengan tangan kosong saja," menjawab 

Jaka, menjadikan Dewi Gagak Biru makin gusar. Dige-

rak-gerakannya pedang Lumajang, membentuk lingka-

ran sinar yang menggulung-gulung menutupi tubuh-

nya. Jaka terbelalak juga menyaksikan permainan 

pedang Dewi Gagak Biru, sampai-sampai Jaka menge-

rutkan jidatnya.

"Hebat. Sungguh hebat permainan pedangnya. 

Pantas kalau ia sangat ditakuti oleh pihak kerajaan. 

Aku yakin, kalau prajurit-prajurit kerajaan pun tak


akan mampu mengalahkan permainan pedangnya. 

Hem, apakah kau akan menggunakan pedang Siluman 

Darah?" tanya hati Jaka ragu, merasa permainan pe-

dang Dewi Gagak Biru sungguh tiada tandingannya.

"Kenapa kau terdiam, Pendekar?" tanya Dewi 

Gagak Biru dengan senyum sinis, menganggap Jaka 

takut dengan pedang pusakanya. "Kau takut dengan 

pedangku?"

Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan Dewi 

Gagak Biru.

"Dewi Gagak Biru, apakah tidak berbahaya kau 

bermain-main dengan pedang?" tanya Jaka, nadanya 

meremehkan. Hal itu menjadikan makin bertambah 

marahnya Dewi Gagak Biru, yang serta merta segera 

menyerang Jaka dengan pedangnya. Pedang di tan-

gannya berkelebat cepat, membabat dan menusuk tu-

buh Jaka.

Jaka tersentak, lemparkan tubuh ke belakang 

mengelak. Namun Dewi Gagak Biru tak segera meng-

hentikan, bahkan dengan liar dan ganas terus mencer-

canya. Pedang Lumajang Biru di tangannya, bagaikan 

bermata saja merangsek Jaka harus bersalto meng-

hindari serangan tersebut.

"Edan! Kalau aku biarkan, bisa-bisa akulah 

yang menjadi korban, Dewi Gagak Biru, terimalah ini. 

Ajian Getih Sakti, Hiat...!"

Dewi Gagak Biru yang tengah mencercanya ter-

sentak, mana kala selarik cairan merah mengarah ke 

arahnya. Seketika Dewi Gagak Biru elakan serangan 

itu dengan lemparkan tubuh ke samping. Dewi Gagak 

Biru telah tahu, kehebatan ajian itu tadi, mana kala 

Jaka menyerang anak buahnya.

"Setan! Ini balasan untukmu. Ajian Sungakal

Nyawa, Hiat...!"

"Bahaya!" memekik Jaka, mana kala melihat


apa yang dikeluarkan oleh Dewi Gagak Biru. "Aku 

akan coba dengan ajian Petir Sewu, Hiat!"

"Duar!"

Ledakan dahsyat seketika menggema, mana ka-

la dua ajian itu bertemu di udara. Tubuh keduanya 

terpental ke belakang. Jaka tersentak, mana kala dira-

sakan dadanya sesak sukar bernapas. Sementara Dewi 

Gagak Biru tersenyum dan kemudian tertawa menge-

jek.

"Hari ini hari kematianmu, Pendekar! Sebentar 

lagi Ajian Sangkal Nyawa akan merenggut nyawamu. 

Hia, hi, hi...! Kau akan mati!"

Mendengar ucapan Dewi Gagak Biru, seketika 

Jaka terdiam. Dadanya makin lama makin sakit. Na-

fasnya terasa berat, tulang-tulangnya terasa sakit dan 

ngilu. Kepalanya seperti berat, berputar-putar.

"Gusti Allah, apakah aku akan mati?" keluh-

nya.

"Hua, ha, ha... Sebentar lagi kau akan tahu apa 

yang namanya akherat, Pendekar!" berseru Dewi Ga-

gak Biru mengejek, demi dilihatnya Jaka ngeduprak 

dengan menahan sakit.

Ketika Jaka telah benar-benar sekarat, tiba-tiba 

ditelinganya terdengar seruan seseorang wanita berka-

ta padanya. "Jaka, kau dengar aku?"

"Ya, aku dengar. Siapa kau?" tanya Jaka den-

gan suara lemah.

"Akulah Ratu Siluman Darah. Kau tak boleh 

mati, sebab bahaya kini tengah mengancam dunia per-

silatan. Sebentar lagi, akan datang Surti Kanti dan Wa-

la Kowara si Penguasa Puri Kegelapan hendak menga-

co dunia manusia. Kau harus hidup. Memang ajian 

Sangkal Nyawa sangat ganas. Bila dalam waktu seten-

gah hari kau tak mampu mengobatinya, maka kau 

akan mati. Kau harus hidup, maka kau harus sembuh


dari pengaruh Ajian Sangkal nyawa,"

"Tapi... Tapi aku tak tahu dengan apa harus 

menyembuhkannya?"

"Panggil pedangmu. Hanya dia yang dapat 

menghilangkan ajian tersebut. Tusukan pedang itu di 

ulu hatimu, niscaya kau akan sembuh. Ingat Jaka, 

kau harus hidup. Lakukan, aku selalu memantaumu."

"Terimakasih, Sri Ratu." berkata Jaka dengan 

lemah. Sesaat ditariknya napas yang terasa menyesak, 

lalu kemudian dengan duduk bersila Jaka segera me-

manggil Pedangnya. "Dening Ratu Siluman Darah, Da-

tanglah!" Terbelalak mata Dewi Gagak Biru dan lain-

nya, demi melihat sebuah pedang yang tiba-tiba telah 

muncul dalam genggaman Jaka. Saking kagetnya, 

sampai-sampai mereka seketika memekik, menyebut 

nama pedang yang dari ujungnya mengalir darah me-

rah. "Pedang Siluman Darah!" Jaka segera tusukan 

ujung pedang ke ulu hatinya. Sesaat Jaka menjerit, 

mana kala ujung pedang menembus kulit ulu hatinya. 

Darah merah kebiru-biruan, keluar terhisap oleh pe-

dang Siluman Darah. Seketika itu pula, Jaka sembuh 

dari luka dalam yang hampir saja merenggut nya-

wanya.

"Aku tak ada waktu lagi. Kata Kanjeng Ratu Si-

luman Darah, tak lama lagi Surti Kanti dan Wala Ko-

wara si Penguasa Puri Kegelapan akan muncul. Hem, 

siapa mereka adanya?" bergumam Jaka. Dalam hati 

tak mengerti. "Hem, aku harus segera membereskan 

Dewi Gagak Biru segera."

"Dewi Gagak Biru, hari ini juga akhir dari sega-

la sepak terjangmu. Dan hari ini pula Gagak Biru akan 

hilang, Hiat...!"

Segera Jaka berkelebat dengan Pedang Siluman 

Darah yang tergengam di tangannya. Pedang itu masih 

melelehkan darah merah, menjadikan seram bagi yang


melihatnya.

Dewi Gagak Biru tersentak melihat Jaka telah 

sembuh dari serangan ajian Sangkal Nyawanya. Segera 

Dewi Gagak Biru sambut serangan Jaka dengan pe-

dang Lumajang Birunya.

"Hiat...!"

"Trang...."

"Aaahhhh...."

Memekik Dewi Gagak Biru, mana kala Pedang 

Siluman Darah membabat putus pedangnya sekaligus 

membelah tubuh menjadi dua. Semua mata tersentak, 

menyaksikan keajaiban di depannya tengah terjadi. 

Tubuh Dewi Gagak Biru yang terbelah, tak mengelua-

rkan darah setetes pun, terhisap darahnya oleh Pedang 

Siluman Darah.

"Sekarang juga, aku perintahkan pada kalian! 

Bubarkan perserikatan gerombolan Gagak Biru. Kalau 

kalian membandel, maka pedang Siluman Darah ini 

akan menghabiskan kalian semua!"

Mendengar ucapan Jaka, seketika semua anak 

buah Gagak Biru jatuhkan diri sujud mengakui keka-

lahannya. Mereka tak berani berkata, diam sujud.

"Jawab!"

"Baik Tuan Pendekar, kami akan membubarkan 

diri."

"Bagus! Ingat! bila kelak kalian mengingkari, 

maka Pedang Siluman Darah ini yang akan berbicara 

pada kalian."

Setelah melihat bekas anak buah Gagak Biru 

pergi meninggalkan Ketemenggungan untuk kembali 

pada masyarakat, Jaka pun dengan segera berkelebat 

pergi untuk memberikan laporan pada Raja Kerajaan 

Segara Anakan. Gerombolan Gagak Biru yang telah 

menjadi momok telah hilang, namun Jaka harus 

menghadapi apa yang telah dikatakan oleh Ratu Silu


man Darah, tentang Surti Kanti dan Wala Kowara yang 

hendak muncul. Benarkah kedua Iblis itu akan da-

tang? Mengapa mereka mengincar Jaka? Ikuti kisah ini 

pada bab selanjutnya...

***


BAB VI


DI KERAJAAN SILUMAN PURI KE GELAPAN...

Surti Kanti tampak tengah melakukan meditasi, 

dalam usahanya penyempurnaan ilmu yang telah ia 

pelajari dari sang guru yaitu Rake Suyung Belung. Ma-

tanya terpejam rapat kakinya menyilang bersila, tan-

gannya rapat mendekap di dada.

Sudah empat puluh hari lamanya Surti Kanti, 

melakukan tapa brata tersebut, tidak makan atau pun 

tidak minum. Semua dijalankan oleh Surti Kanti den-

gan tabah, karena didorong oleh rasa dendamnya pada 

Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah 

yang telah membinasakan kedua orang tuannya. Juga 

dendamnya pada kerajaan Segara Anakkan, yang telah 

menghukum kedua orang tuanya serta memburu di-

rinya.

"Tuan Putri, bangunlah. Tapa brata yang tuan 

putri lakukan telah cukup. Bangunlah...." berkata 

Rake Suyung Belung.

Perlahan-lahan mata Surti Kanti membuka, 

memandang pada orang yang telah berbicara padanya. 

Lama ia terdiam membisu dengan mata tak berkedip, 

lalu dengan suara serak Surti Kanti berkata.

"Kenapa guru membangunkan, aku?"

"Telah cukup apa yang kau lakukan, Tuan Pu-

tri. Kini saatnya Tuan Putri kembali ke dunia manusia.


Baginda Maha Raja Wala Kowara telah menunggu 

Tuan Putri, beliau ada di padepokan."

Perlahan Surti Kanti bangun dari duduk bersi-

lah, berdiri sesaat lalu berjalan dengan ringannya me-

langkah ke Padepokan. Rake Suyung Belung berjalan 

di belakangnya, mengiringi langkah sang murid ke Pa-

depokan.

Sungguh Surti Kanti telah benar-benar menjadi 

orang sakti, sehingga langkahnya pun bagaikan tertiup 

angin. Maka dalam sekejap saja, tubuhnya yang tam-

pak berjalan biasa, telah jauh berkelebat. Hal itu men-

jadikan Rake Suyung Belung geleng-geleng kepala, se-

mentara di bibirnya tergerai senyuman bangga.

Kedatangan Surti Kanti segera disambut hangat 

oleh Wala Kowara, yang bangga dengan hasil yang te-

lah diperoleh oleh kekasihnya Dalam benak Wala Ko-

wara kini terbayang kemenangan-kemenangan, me-

naklukan bangsa manusia yang memang telah menjadi 

rencananya.

"Hebat, hebat! Ternyata kau mampu menjalan-

kannya, Sayang."

"Kanda, apakah hari ini juga kita akan kembali 

ke alam manusia?"

"Ya, setelah aku menyerahkan tampuk keku-

asaanku pada perdana menteriku," jawab Wala Kowa-

ra. "Ayo kita ke istana."

Dengan menunggang kereta kencana, ketiga 

orang itu segera menuju ke istana Puri Kegelapan. Ke-

reta kencana itu melaju bagaikan terbang, walau tanpa 

kuda yang menjalankannya. Itulah kereta kencana mi-

lik Penguasa Puri Kegelapan, yang dijalankan oleh para 

Jin mara kayangan berhaluan hitam. Saking cepatnya 

kereta itu berkelebat, hingga tak lama kemudian keti-

ganya pun telah sampai.

Dengan penuh kasih, Wala Kowara si Penguasa


Puri Kegelapan segera mengangkat tubuh Surti Kanti. 

Dibopongnya tubuh Surti Kanti, masuk ke dalam ista-

nanya, diikuti oleh Rake Suyung Belung. Namun 

Suyung Belung segera berhenti langkahnya, mana kala 

dilihatnya kedua raja dan kekasihnya masuk ke dalam 

kamar.

* * *

Selang tak beberapa lama kemudian, kedua 

pemuda-pemudi itu kembali keluar. Pakaian Surti 

Kanti kini telah berubah, begitu juga dengan pakaian 

Wala Kowara. Surti Kanti mengenakan pakaian merah-

merah, sedang Wala Kowara mengenakan hitam-hitam 

dengan ikat kepala hitam bergambar kelelawar merah.

"Rake, apakah kau pun akan turut bersama 

kami?" tanya Wala Kowara pada Rake Suyung Belung, 

yang seketika itu menyembah. "Kalau kau mau ikut,

ikutlah. Sekaligus untuk membantu kami jika kami 

ternyata mempunyai tantangan berat dari Pendekar 

Pedang Siluman Darah."

"Daulat Maha Raja Wala Kowara," menjawab 

Rake Suyung Belung.

"Benar Guru, lebih baik guru ikut. Sungguh 

saya akan merasa senang bila guru ikut bersama kami 

menghadapi Pendekar Pedang Siluman Darah yang 

terkenal kesaktiannya." menambahkan Surti Kanti. 

"Walau pun aku merasa mampu menghadapi pendekar 

muda itu, Guru. Namun saya ingin menunjukkan pada 

guru, hasil yang selama ini saya, peroleh dari didikan 

dan gemblengan guru."

"Daulat, Tuan Putri. Dengan senang hati hamba 

akan mengiringi Tuan Putri dan Baginda Maha Raja 

Wala Kowara. Semoga tenaga hamba nantinya ada gu-

na," menjawab Rake Suyung Belung kembali menyem


bah.

"Ooh, betapa aku bahagia dapat berkelana den-

gan guru."

"Baiklah, Rake. Hari ini juga, kita akan berang-

kat ke alam manusia. Namun aku harus melimpahkan 

tampuk pimpinan Puri Kegelapan ini pada perdana 

mentriku dahulu," berkata Wala Kowara. "Ponggawa 

panggil patih Jaya Sena!"

"Daulat Maha Raja Wala Kowara," menyahuti 

ponggawa, yang segera berlalu pergi setelah terlebih 

dahulu menyembah.

Tak berapa lama kemudian, Patih Jaya Sena te-

lah datang menghadap. Jaya Sena segera sujud me-

nyembah, lalu dengan suara pelan bernada takut ber-

kata. "Duh Maha Raja Wala Kowara, gerangan apa 

hingga hamba dipanggil?" 

"Jaya Sena, aku dan istriku hendak kembali ke 

alam manusia. Mungkin kami akan lama di sana, se-

perti kala itu kala aku menyusup ke tubuh salah seo-

rang murid Resi Wilmaka. Karena waktuku tak dapat 

aku tentukan, maka aku serahkan kekuasaan Puri Ke-

gelapan ini padamu."

"Daulat Baginda Maha Raja Wala Kowara, Den-

gan segenap jiwa raga, hamba akan menjalankan titah 

baginda."

Setelah segalanya selesai, Wala Kowara, Surti 

Kanti dan Rake Suyung Belung segera pergi menghi-

lang dari hadapan patihnya. Mereka pergi ke dunia 

manusia dengan satu tujuan, mengacau dan mempen-

garuhi manusia untuk mengikutinya. Tujuan lain yang 

utama, menyingkirkan Pendekar Pedang Siluman Da-

rah yang dapat menjadikan penghalang bagi cita-cita 

mereka.

* * *


Malam telah begitu larut, hujanpun datang 

dengan titikan-titikan gerimis. Halilintar membahana, 

menyilaukan bagi yang menatap. Angin bertiup men-

deru-deru, sepertinya akan datang prahara di dunia 

manusia. 

Dua orang lelaki yang kemalaman dari perjala-

nan, tampak berlari-lari menerobos hutan. Keduanya 

telah basah kuyup, tersiram air hujan yang sepertinya 

tak kenal belas kasihan. Keduanya seketika jatuhkan 

diri, mana kala sebuah kilatan yang mereka anggap 

petir berkelebat didepan mereka berjarak sepuluh 

tombak.

Kedua lelaki itu seketika tersentak, mana kala 

dilihat oleh mereka apa yang telah terjadi. Dari ledakan 

dan kilatan sinar menyilaukan mata itu, muncul tiga 

orang dari dalamnya. Tersentak keduanya setelah tahu 

siapa adanya gadis diantara dua lelaki yang mengapit-

nya sehingga keduanya seketika memekik menyebut 

nama gadis itu yang telah digegerkan meninggal. 

"Surti Kanti!"

"Bukankah dia Surti Kanti yang telah mati 

Kang Rebo?"

"Benar adik Legi. Apakah kita tidak tengah 

bermimpi?"

"Tidak, kakang," menjawab Legi.

"Mereka kemari, Legi. Kita lari saja,"

Dengan segera kedua lelaki itu hendak lari, ke-

tika dirasakan oleh mereka selarik sinar berkelebat 

menyambar mereka yang seketika itu menjerit. 

"Ampun....! Jangan bunuh kami!"

Saking takutnya, kedua lelaki itu seketika ter-

kencing-kencing.

Melihat kedua orang itu ketakutan, dengan se-

gera Surti Kanti berkelebat. Dihadangnya dua lelaki


yang telah ketakutan itu, lalu dengan ilmu Iblisnya 

Surti menyulap muka menjadi muka kelelawar yang 

menakutkan. Seketika itu, kedua lelaki itu memekik 

dengan mata melotot yang akhirnya ambruk pingsan.

* * *

Malam itu para prajurit utama yang pernah 

membakar rumah Rundanu tak dapat memicingkan 

mata barang sekejap, mereka telah mencoba untuk ti-

dur, namun bagai ada yang memaksa mata mereka tak 

dapat terpejam. Karena tak dapat tidur-tidur, keempat 

Prajurit Utama itu pun sepakat untuk main gaple.

"Aku tak dapat tidur malam ini. Perasaanku se-

ketika gelisah," berkata prajurit utama-II.

"Lho, kok sama," menimpali prajurit-III.

"Aku juga."

"Aku juga!"

"Hem, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres," 

menggumam prajurit I. "Aku seperti kembali terbayang 

pada kelelawar Setan itu."

"Aku pun begitu," nambah prajurit-III.

"Ada apa, ya?" kembali prajurit-1 bergumam. 

Tengah mereka tercenung hingga lupa membuang kar-

tu gaple, seketika terdengar cuit nyaring yang menja-

dikan keempatnya seketika itu memandang ke arah 

suara itu. Mereka seketika tersentak, manakala mere-

ka melihat tiga kelelawar besar berkelebat menuju ke 

arah mereka. Mata kelelawar itu merah, sepertinya ma-

ta itu berlumur dengan darah.

"Cuit...Cuit....Cuit..."

"Kelelawar Setan itu. Awas....!" berseru prajurit-

I memperingatkan pada ketiga temannya manakala ti-

ga ekor kelelawar itu berkelebat hendak menyerang 

mereka. Seketika keempatnya jatuhkan diri, sehingga



mereka pun luput dari serangan ketiga kelelawar setan 

itu. Namun belum juga mereka tenang, ketiga kelela-

war setan itu telah kembali menyerang.

Prajurit-II segera hunus pedangnya, babatkan 

ke arah ketiga kelelawar itu. Namun bagaikan manusia 

saja, kelelawar setan itu segera kelitkan tubuh. Den-

gan sayap mengembang, dihantamnya tangan prajurit 

yang memegang pedang.

"Cras..."

"Aaahh...." memekik seketika prajurit-II, tan-

gannya puntung tersambar sayap kelelawar Setan. Se-

saat tubuhnya menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya 

terkulai mati.

Melihat seorang temannya mati, marahlah keti-

ga prajurit yang lainnya. Dicabutnya pedang, dan den-

gan menggeram ketiganya segera hadang ketiga kele-

lawar itu. Namun belum juga pedang di tangan praju-

rit-prajurit itu beraksi, kelelawar itu telah berubah 

menjadi tiga sosok tubuh manusia. Satu diantaranya 

sangat mereka kenal, yaitu Surti Kanti yang telah dige-

gerkan mati.

"Kau..!" memekik ketiga prajurit terkejut.

Surti Kanti tersenyum sinis, dan dengan suara

sengau berkata.

"Kalian telah membakar rumahku, maka kalian 

pun akan aku bakar. Terimalah ini, Hiat....!"

Tersentak ketiga prajurit itu, demi dilihatnya 

dari tangan Surti Kanti keluar api yang menyala-nyala. 

Belum sempat mereka hilang dari kagetnya, Surti Kan-

ti telah hantamkan api tersebut ke arah mereka. Seke-

tika tubuh ketiga prajurit itu terbakar, berguling-

guling sesaat sebelum akhirnya terkulai mati. Demi 

melihat ketiga prajurit itu telah mati dan hari telah 

menginjak pagi, ketiganya segera berkelebat pergi.


BAB VII


Kerajaan Segara Anakan yang baru saja tenang 

dengan tertumpasnya gerombolan Gagak Biru, kembali 

digegerkan dengan kematian empat prajurit utamanya.

Kematian itu sungguh penuh misteri, sebab 

semuanya bagaikan tak ada yang mendengar perta-

rungan atau jeritan keempat prajurit mana kala mere-

ka tengah bertarung. Sepertinya seluruh penduduk ke-

rajaan dan para prajurit lainnya tertidur, pulas.

"Bagaimana menurut pendapatmu, Paman pa-

tih Singa Barong?"

"Ampun, Tuanku. Apakah ini bukan tindakan 

dari bekas orang-orang gerombolan Gagak Biru?" balik 

bertanya Singa Barong.

"Ah, mana mungkin mereka yang telah diancam 

oleh Pendekar Pedang Siluman Darah berani berbuat 

begitu?" tanya sang Raja tak yakin.

Keduanya kembali terdiam dengan pikiran mas-

ing-masing. Segala pertanyaan bergema di hati mereka, 

tentang kematian keempat prajuritnya yang sungguh-

sungguh tak dapat di cerna oleh akal. Ketika sang Raja 

tengah termenung, patih Singa Barong tiba-tiba kem-

bali berkata nadanya seperti tersentak.

"Aku ingat, Paduka."

"Ingat apa. Paman Patih?" tanya sang Raja ka-

get.

"Masihkah paduka ingat tentang cerita ku keti-

ka membakar rumah Rundanu?"

"Ya, kenapa...?"

"Hamba rasa, ini ada hubungannya dengan ke-

jadian itu."

"Hem....," sang Raja bergumam. Kepalanya di-

angguk-anggukan sepertinya memahami.


"Jadi yang paman patih kira, orang-orang itu 

yang berbuat?"

"Tepat, Paduka. Kalau bukan orang-orang itu, 

mana mungkin hanya keempat prajurit utama yang 

dibunuhnya?"

"Sungguh-sungguh petaka!" bergumam keluh

sang raja. "Baru saja kerajaan terbebas oleh Gagak Bi-

ru, kini telah datang kembali kekacauan yang lebih 

membahayakan. Jadi kalau begitu, kita sekarang ten-

gah menghadapi iblis, Paman Patih?"

Patih Singo Barong hanya mampu mengang-

gukkan kepala. Bibirnya dirasakan kelu untuk berka-

ta-kata. Mata sang patih redup, seakan ada rasa takut 

menyelimuti hatinya. Takut kalau-kalau dirinya pun 

akan menjadi korban pembalasan kelelawar Setan.

"Perketat penjagaan!" berkata sang Raja, pa-

danya memerintah. "Daulat, Yang mulia." menjawab 

sang Patih. Setelah terlebih dahulu menyembah, Patih 

Singa Lodra segera meninggalkan balai pertemuan. Ki-

ni tinggal sang Raja, yang terdiam merenung keadaan 

kerajaannya yang tak pernah tenang. Hilang petaka sa-

tu datang petaka yang lainnya. Dengan langkah tergo-

poh-gopoh Patih Singa Barong berjalan menuju barak-

barak prajurit. Mukanya nampak pucat pasti, seper-

tinya ia tengah menghadapi masalah yang menyangkut 

nyawanya. Ya, memang masalah ini menyangkut nya-

wanya. "Prajurit!"

"Daulat, Paman patih," menjawab semua praju-

rit yang segera berkelebat keluar dari barak-barak me-

reka menemui patihnya.

"Malam nanti, seluruhnya harus diperketat 

penjagaan."

"Daulat, Paman patih!" menjawab para prajurit 

Habis menyampaikan pesan sang Raja, patih 

Singa Barong yang biasanya tenang seketika terburu


buru pergi meninggalkan para prajurit yang hanya ter-

bengong-bengong melihat tingkah patihnya yang tidak 

seperti biasa-biasanya. Para prajurit itu hanya mampu 

gelengkan kepala, tak mengerti apa yang tengah dipi-

kirkan oleh patihnya.

* * *

Malam kembali tiba, menggantikan siang yang 

terang berganti dengan gelap yang penuh misteri. An-

gin malam berhembus, seperti menggigilkan. Hawa 

dingin yang teramat sangat, terasa menusuk masuk 

sungsum. Lolongan anjing liar, makin mendirikan bulu 

kuduk bagi yang mendengarnya.

Malam itu patih Singa Barong tampak gelisah. 

Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya. 

Bayangan-bayangan ketakutan, menjadikan matanya 

tak dapat dipejamkan barang sesaat pun.

Berbatang-batang rokok kawung telah dihisap. 

Bergelas-gelas kopi telah ia reguk untuk dapat menja-

dikan dirinya tenang. Namun segala yang diinginkan-

nya tak jua datang. Malah ketakutan makin menjadi, 

menerpa dirinya. Walau ia tahu bahwa lima orang pra-

jurit pilihan telah mengawal rumahnya, tapi ketakutan 

masih terus saja menghantui sang patih.

Melihat suaminya tampak gelisah, sang istri da-

tang menghampiri dan bertanya. "Ada gerangan apa 

hingga kakang Mas tampak tak tenang? Apakah ba-

ginda Raja murka pada Kakang Mas?" 

Bagaikan tak mendengar pertanyaan sang istri, 

patih Singa Barong masih terdiam kelu. Matanya sese-

kali memandang ke pintu rumah yang sedari sore telah 

ditutup rapat-rapat. Hal itu menjadikan sang istri ma-

kin tak mengerti, dan kembali mengulang tanya.

"Apakah ada kerusuhan yang melanda kera


jaan?"

"Benar, Istriku. Dan mungkin akan melanda di-

riku." menjawab patih Singa Barong dengan hambar, 

menjadikan kerut di kening sang istri yang kembali 

menanya.

"Melanda kita...? Apa maksud Kakang mas?"

"Kelelawar Setan itu telah membunuh keempat 

prajurit Utama yang dulu bersamaku membakar ru-

mah Rundanu."

Terbelalak mata sang istri kaget.

"Jadi... jadi kakang menakutkan itu?"

"Ya...," menjawab Singa Barong lesu.

Tengah keduanya bercakap-cakap, tiba-tiba ke-

duanya dikagetkan oleh seruan prajurit-prajurit yang 

menjadikan keringat dingin Singa Barong makin ba-

nyak mengalir.

"Aku harus keluar, apapun yang akan menim-

paku!" memekik Singa Barong dalam panik, menjadi-

kan istrinya seketika membelalakkan mata kaget. 

"Jangan, Kakang!" 

"Tidak istriku, aku harus menghadapi sendiri. 

Para prajurit itu tak tahu apa-apa." Tanpa menunggu 

jawaban sang istri, Singa Barong segera berkelebat ke 

luar. Dilihatnya tiga orang tengah bertarung mengha-

dapi kelima prajuritnya yang tampak tak ada artinya 

bagi ketiga orang itu.

"Minggir! Mereka bukan lawan kalian. Dan me-

reka tentunya mencari diriku!" berseru Singa Barong, 

seakan telah mengerti siapa adanya ketiga orang yang 

berdiri memandang padanya tajam, lebih-lebih gadis 

yang berdiri di tengah. Mata gadis itu seperti memen-

dam bara api, ya bara api permusuhan dan dendam. 

Walau bibir gadis itu tersenyum, namun jelas 

terlihat bahwa senyum itu adalah senyum kematian. 

Singa Barong yang biasanya pemberani, kini seperti


terkupas keberaniannya mana kala melihat mata keti-

ga orang itu.

"Siapa kalian? Kenapa kalian menteror kera-

jaan ini?"

Gadis itu mendengus sesaat, sebelum berkata.

"Singa Barong, kaulah yang telah menyuruh 

keempat prajurit mu membakar rumahku. Dan kau 

pula yang telah membunuh kedua orang tuaku. Maka 

itu, aku datang untuk membalas apa yang telah eng-

kau lakukan pada kedua orang tuaku."

Makin meleleh saja keringat dingin dari pelipis 

Singa Barong demi mendengar penuturan sang gadis. 

Ia telah menyadari siapa sebenarnya gadis dan kedua 

lelaki itu, yang tak lain dari pada Iblis-iblis yang mam-

pu mengubah diri mereka menjadi kelelawar.

"Jadi kaliankah Iblis kelelawar itu...?"

"Benar apa yang engkau duga, Singa. Nah, ber-

siaplah untuk menemui kematian. Bila kau telah mati, 

maka seluruh rakyat kerajaan Segara Anakan ini akan 

aku bunuh satu persatu. Hua, ha, ha... Mana pende-

kar kalian yang kalian agung-agungkan itu, Hah!?"

Mendengar nama Jaka Ndableg diremehkan 

oleh mereka, seketika Singa Barong yang takut beru-

bah menjadi beringas. Ia tahu bahwa dirinya tak berar-

ti apa-apa, namun setidak-tidaknya dapat menahan 

sesaat sepak terjang manusia Iblis itu. Maka dengan 

mendengus marah Singa Barong segera cabut keris 

pusakanya, berkelebat menyerang ketiga Iblis itu.

Ketiga manusia Iblis itu menyeringai, lalu sete-

lah menggeram ketiganya seketika berubah ujud men-

jadi kelelawar raksasa. Kelelawar itu matanya merah... 

merah bagaikan mengandung darah. Setelah mencicit 

panjang, ketiga kelelawar itu bareng menyerang patih 

Singa Barong.

Diserang oleh tiga mahluk Setan, menjadikan


Singa Barong seketika itu bagaikan tak ada arti apa-

apa. Dihantamkannya ajian yang ia miliki, namun tak 

ada artinya. Ajian itu hanya menjadikan ketiga kelela-

war Setan itu makin mengganas.

Salah satu kelelawar mencicit, mengembangkan 

sayapnya dan kemudian menukik. Sayapnya yang le-

bar itu mengepak, bagaikan sebilah golok menebas ke 

leher Patih Singa Barong. Singa Barong segera elakkan 

diri, namun dengan cepatnya kelelawar yang menye-

rangnya telah menukik. Mulutnya yang lancip, tak 

mampu dielakkan oleh Singa Barong. Mulut itu seketi-

ka bagaikan bor menghunjam di leher Singa Barong, 

yang menjerit seketika. Tubuh Singa Barong kejang, la-

lu ambruk dengan tubuh pucat darahnya terhisap oleh 

kelelawar Setan itu.

Kelelawar Setan itu segera pergi tinggalkan para 

prajurit yang hanya terbengong, mana kala melihat tu-

buh Singa Barong telah tak bergerak lagi. Kelima pra-

jurit yang tercekam, seketika memburu menuju ketu-

buh Singa Barong yang tergeletak. Kelimanya tersen-

tak, mana kala melihat patihnya telah mati dengan 

leher lobang besar....

* * *

Kembali kerajaan dijadikan gempar dengan ke-

matian Singa Barong. Seluruhnya seketika berkabung 

hari itu, mengiringi pemakaman patih Singa Barong.

Baginda Raja nampak berdiri dengan mata ber-

linang. Ia tahu kini siapa pelaku dari semuanya. Berdi-

ri di samping sang Raja, pendekar kita Jaka Ndableg 

yang juga tertunduk lesu. Ternyata ucapan Ratu Silu-

man Darah benar adanya, dan ternyata ia telah ter-

lambat datang. Korban telah banyak berdatangan, se-

pertinya iblis-iblis itu sengaja menantangnya.


"Apa maksud dari Surti Kanti?" bergumam Jaka 

Ndableg dalam diamnya di depan makam patih Singa 

Barong. "Aku jadi tak habis pikir, mengapa Iblis-iblis 

itu mencariku? Apakah ini suatu tanda ancaman bagi 

dunia?"

Dengan diiringi sang Raja, Jaka berjalan mem-

bisu dengan segala pikirannya. Keduanya berjalan me-

ninggalkan makam patih Singa Barong, mana kala 

senja telah datang. "Apa yang dapat saya bantu, Ba-

ginda Raja?" 

"Kau tahu siapa pelaku semua ini, Jaka?" Jaka 

terdiam sesaat menunduk muka, lalu mengangguk le-

mah.

"Dia adalah anak dari Rundanu yang telah kau 

bunuh. Dia datang mencari orang-orang yang telah ter-

libat dalam pembunuhan ayah dan ibunya."

"Kalau begitu, bukankah memang mereka se-

benarnya mencariku?" 

"Mungkin, Jaka."

"Apa yang mereka maui dari diriku?" tanya Ja-

ka seperti pada diri sendiri, menjadikan sang Raja 

hanya terdiam dan diam. "Kenapa mereka mesti mem-

bantai orang-orang yang tak tahu masalahnya?"

Sang raja masih terdiam.

Mata sang raja memandang sedih pada Jaka, 

sepertinya ia takut kalau-kalau Jaka pun akan menja-

di korbannya. Kalau Pendekar Pedang Siluman Darah 

juga menjadi korbannya, tidak mungkin tidak mereka 

akan dengan leluasa mengepakkan sayap mereka un-

tuk merajai dunia. Sebab dengan tidak adanya Pende-

kar Pedang Siluman Darah, tak akan ada lagi pendekar 

yang berani menghadapi mereka yang memiliki ilmu-

ilmu iblis dan siluman.

"Mungkin mereka sengaja membunuh korban 

demi korban untuk dapat mengundang perhatianmu,


Jaka," berkata sang Raja setelah sekian lama terdiam. 

Jaka hanya tercenung, matanya memandang kosong 

bagaikan tengah memantau sebuah kejadian. Ya keja-

dian yang telah terjadi...

"Ini malam mungkin mereka datang lagi, sebab 

tidak mungkin tidak mereka telah mengetahui keda-

tanganmu."

Jaka hanya menarik napas panjang! Matanya 

masih kosong memandang kelangit-langit. Tangannya 

seketika menyapu muka, sepertinya Jaka habis me-

manjatkan do'a.

"Gusti Allah, akankah aku mampu menghadapi 

semuanya?" keluh Jaka dalam hati. Melihat Jaka 

hanya diam, sang Raja pun akhirnya terhanyut dalam 

kebisuan. Hanya desah-desah angin yang mereka 

hembuskan dari napas-napas mereka yang terdengar.

* * *

Senja telah berganti dengan malam, menjadi-

kan keadaan kerajaan yang tengah terundung malang 

itu kembali sepi mencekam. Para prajurit telah siaga, 

menjaga kalau-kalau iblis-iblis itu akan datang lagi.

Memang benar iblis-iblis itu datang lagi, ter-

bukti ketika mereka tengah tercenung diam tiba-tiba 

terdengar ciutan-ciutan nyaring melengking.

Semua mata seketika membelalak, memandang 

ke asal suara cuitan itu. Jaka yang tengah duduk-

duduk bersama sang Raja dan permaisuri serta sese-

puh istana, turut tersentak.

"Kalian di dalam saja, biar aku yang keluar."

Tanpa memperdulikan semua yang seketika 

mengikuti langkahnya Jaka segera berkelebat keluar 

menemui para prajurit yang tengah dicekam oleh rasa 

takut.


"Cuit...! Cuiit... Cuiiiit..."

"Hem, inikah yang dikatakan Sri Ratu Siluman 

Darah?" tanya Jaka, dalam hati, seraya memandang 

pada tiga ekor kelelawar yang terbang menuju ke 

arahnya berdiri. Kelelawar-kelelawar itu seketika ber-

henti, manakala telah dekat padanya. Mata ketiga kele-

lawar itu memandang tajam ke arah Jaka yang juga 

memandang tajam ke arah kelelawar-kelelawar itu. Ja-

ka Ndableg tersentak mana kala didengarnya ketiga ke-

lelawar itu berbicara. Bukan Jaka saja, tapi semua 

yang ada disitu pun turut kaget mendengar ucapan ke-

lelawar Setan itu.

"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pen-

dekar Pedang Siluman Darah?"

"Hai, kalau memang sebangsa siluman atau 

macam apa pun yang mampu mengubah ujud kalian, 

aku minta kalian jangan kaya Iblis-iblis busuk yang 

menyembunyikan muka kalian."

Mendengar ucapan Jaka, seketika ketiga kele-

lawar itu berubah menjadi manusia. Salah seorang da-

ri manusia itu, adalah seorang gadis cantik yang sung-

guh-sungguh mereka telah mengenalnya. Maka demi 

melihat gadis cantik itu, seketika berseru kagetlah se-

mua prajurit-prajurit menyerukan nama gadis terse-

but. "Surti Kanti....!"

"Bukankah dia telah mati?" tanya sang Raja 

yang tiba-tiba telah berdiri di samping Jaka.

"Hem, rupanya gadis ini telah terpengaruh oleh 

kedua Iblis Penguasa Puri Kegelapan, Baginda," men-

jawab Jaka, menjadikan sang Raja seketika tersentak 

kaget.

Tengah semuanya terdiam, dicekam rasa kaget, 

terdengar suara gadis itu kembali berkata dengan nada 

sinis ditunjukkan pada Jaka Ndableg si Pendekar Pe-

dang Siluman Darah yang dianggapnya pembunuh ke


dua orang tuanya.

"Jaka Ndableg, aku belum tenang bila belum 

menghisap darahmu."

Tersentak semuanya mendengar ucapan Surti 

Kanti, yang sepertinya sangat mendendam pada Pen-

dekar Pedang Siluman Darah. Namun Jaka yang telah 

tahu siapa adanya pendamping Surti Kanti tampak te-

nang.

"Hem, rupanya kau pun telah terbawa oleh Ib-

lis, Surti!" menjawab Jaka. "Kedua orang tuamu kor-

ban Iblis yang berdiri di sampingmu. Kini kau pun te-

lah terkena pengaruhnya."

"Lawan dia, Surti. Aku berada di sampingmu," 

berbisik Penguasa Puri Kegelapan, menjadikan Surti

Kanti yang telah terpengaruh olehnya seketika men-

dengus. Tanpa di duga sebelumnya, tiba-tiba Surti 

Kanti berkelebat menyerang Jaka Ndableg.

Diserang begitu tiba-tiba, menjadikan Jaka ter-

sentak juga. Di lemparkan tubuhnya ke belakang, ma-

na kala sebuah tendangan kaki Surti Kanti mengarah 

ke perutnya.

"Akan aku hisap darahmu, Jaka Ndableg!"

"Hem, mungkin sebaliknya Surti Kanti. Kau-lah 

yang akan menjadi tumbal oleh ulahmu sendiri," ber-

kata Jaka meledek, menjadikan Surti Kanti makin ber-

tambah marah. Sementara Wala Kowara dan Rake 

Suyung Belung nampak masih tenang menonton per-

tarungan Jaka dengan Surti Kanti. Surti Kanti yang 

tak mengetahui bahwa dirinya telah diperalat oleh Ib-

lis, makin mencerca Jaka dengan serangan-serangan 

maut yang didapatkannya dari Rake Suyung Belung.

Jaka tersentak melihat jurus-jurus aneh yang 

diperagakan oleh Surti Kanti, sehingga sukar bagi Jaka 

untuk dapat menembus blokade serangan Surti Kanti 

yang rapat. Jaka seketika mengeluh tertahan dengan


tubuh sempoyongan ke belakang, mana kala tangan 

Surti Kanti menghantam dadanya. "Ach...!"

"Kau tak akan mampu menghadapinya Jaka, 

bila kau tak menggunakan pedangmu. Nanti kalau kau 

telah menggunakan pedangmu, aku minta tumpas dua 

Iblis yang berdiri itu. Mereka sangat bahaya bila masih 

hidup. Hanya dengan Pedang Siluman Darah, kau 

akan mampu membunuh mereka semua. Percuma kau 

mengeluarkan segala ajian yang telah keempat gurumu 

wariskan, karena mereka bahkan memiliki yang lebih 

dibanding dengan ajian-ajian mu. Nah, lakukan itu," 

berkata suara Ratu Siluman Darah.

"Baiklah Sri Ratu, aku akan menggunakan pe-

dang itu," menjawab Jaka. "Dening Ratu Siluman Da-

rah, Datanglah!"

Benar juga apa yang dikatakan oleh Ratu Silu-

man Darah, mereka seketika tersentak menyaksikan 

sebuah pedang yang tiba-tiba telah berada di tangan 

Jaka. Pedang itu dari ujungnya menetes darah, mele-

leh membasahi batang pedang. Tengah mereka terben-

gong, secepat kilat Jaka berkelebat tebaskan pedang 

Siluman Darah ke arah Surti Kanti.

"Aaah...!" Surti Kanti memekik, lalu tubuhnya 

hilang.

Tersentak kedua Iblis lainnya melihat hal itu. 

Wala Kowara dan Suyung Belung seketika hendak ber-

lalu pergi, mana kala dengan secepat kiat Jaka telah 

berkelebat menghadang mereka, Jaka segera babatkan 

Pedang Siluman Darah ke arah keduanya, yang seketi-

ka itu memekik dan ambruk ke tanah. Tubuh mereka 

seketika hancur menjadi serpihan-serpihan pasir.

Semua seketika tersenyum, dan mereka berge-

gas memburu ke arah Jaka. Namun seketika semua-

nya tersentak, mana kala Jaka tiba-tiba telah tak ada 

di tempatnya...


Dengan matinya Surti Kanti dan Dua Iblis 

Penghuni Alam Kegelapan, maka tenanglah kerajaan 

Segara Anakan. Sebagai rasa suka cita, esok harinya 

diadakan syukuran.

Ditaburkannya debu leburan tubuh ketiga Iblis 

itu ke laut...


                            Sekian


Jakarta, 12 Desember 1990 



Share:

0 comments:

Posting Komentar