..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE GEGER KITAB INTI JAGAT

GEGER KITAB INTI JAGAT

 

GEGER KITAB INTI JAGAD

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1990

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Setting oleh : Trias Typesetting

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-

lam episode:

Geger Kitab Inti Jagad

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Pagi masih begitu buta, hingga keadaan masih 

tampak remang-remang. Ayam jantan telah berkukuk 

ruyuk menandakan bahwa hari telah menjelang sub-

uh. 

Dari kejauhan terdengar derap langkah kaki 

kuda, yang dipacu dengan cepat. Sepertinya mereka 

yang tengah menjalankan kereta tampak tergesa-gesa.

Penunggang kereta itu ada tiga orang, dua lela-

ki dan seorang wanita. Sesekali penunggang yang be-

rada di dalam kereta, menengok ke arah belakang di 

mana tampak dari kejauhan dua orang dengan me-

nunggang kuda mengejar kereta mereka. 

"Trenggono, tak dapat kau percepat sedikit la-

rinya?" bertanya si wanita yang duduk di dalam kereta, 

saat jarak mereka dengan dua orang pengejarnya ma-

kin menyempit. 

Tanpa banyak kata, Trenggono si kusir kereta 

dengan segera menarik kais dan mencambuk kuda-

kuda penarik kereta yang terkejut dan lari cepat.

"Ibu, siapakah kedua orang yang dari tadi men-

gejar kita? Sepertinya Arya lihat, kedua orang itu ke-

marin sore telah mengikuti kita." Anak lelaki yang ber-

nama Arya seketika bertanya pada ibunya.

"Mereka orang jahat, Arya," menjawab sang ibu.

Tapi Arya yang belum tahu maksud ucapan 

ibunya, kembali bertanya. "Mengapa mereka hendak 

menjahati kita, Bu?"

Ditanya seperti itu oleh anaknya, seketika sang 

ibu tampak berkaca-kaca matanya. Lalu dengan men-

coba membendung air mata agar tidak ke luar, si ibu 

menjawab


"Arya, bapakmu dulu seorang pendekar yang 

ditakuti dan disegani oleh kawan maupun lawan. Hal 

itu membuat Bapakmu banyak teman, juga banyak 

lawan. Teman kadang-kadang baik, ada juga yang ja-

hat. Seperti saat kau masih bayi, bapakmu telah dik-

hianati oleh temannya sendiri..."

"Dikhianati? Mengapa bapak dikhianati? Apa-

kah bapak punya salah, Bu?" bertanya Arya memotong 

cerita ibunya, yang kembali mendesah panjang.

"Entahlah anakku. Ibu tak tahu, apa kesalahan 

bapakmu hingga mereka tega membunuhnya." Dengan 

berlinang air mata, si ibu dengan terlebih dahulu men-

dekap tubuh anaknya bercerita tentang mengapa dan 

siapa yang telah membunuh suaminya.

"Sepuluh tahun yang silam. Ketika kau baru 

lahir ke dunia, keluarga kita hidup rukun dan penuh 

kebahagiaan. Ayahmu adalah seorang pendekar lurus 

yang berilmu tinggi, hingga ia ditakuti dan disegani. 

Pada suatu hari. Datang ke rumah tiga orang teman-

nya, yang memang sudah sering kali datang. Tapi hari 

itu, mereka tampaknya lain dari biasanya. Mereka se-

pertinya marah pada ayahmu, yang waktu itu hanya 

mengernyitkan alis matanya sembari bertanya. "Sodra, 

Lombang, dan kau Wungkal Gunung, ada hal apakah 

hingga kalian datang ke tempatku dengan membawa 

perasaan lain dari biasanya? Apakah aku telah berbuat 

salah pada kalian? Atau barang kali ada ganjelan di 

hati kalian yang ingin kalian sampaikan padaku?"

Ditanya seperti itu, mereka bukannya langsung 

menjawab. Tapi dengan sorot mata tajam, ketiganya 

memandang tajam pada Kerto Pati yang makin tak 

mengerti saja hal apa yang dikehendaki ketiga teman-

nya.

"Heh, apakah kalian telah gagu hingga tak men



jawab pertanyaan yang aku ucapkan? Atau barang kali 

kalian telah dirasuki iblis yang menjadikan kalian 

orang-orang tak tahu adat!" Sumo Kerto Pati memben-

tak marah, demi melihat ketiga temannya berubah da-

lam segalanya.

Mendengar Sumo Kerto Pati membentak, tiba-

tiba salah seorang dari ketiganya yang bernama Lom-

bang balik membentak Kerto Pati yang seketika tersen-

tak.

"Kerto Pati! Rupanya di balik kebaikanmu, yang 

mengaku pendekar lurus tak lebihnya nafsu iblis. Kau 

telah mengorbankan temanmu guna memenuhi ambisi 

mu yang gila dan tak masuk akal. Kau bunuh teman-

mu, setelah kau mendapatkan kitab Inti Jagad. Tinda-

kanmu begitu keji, Kerto Pati. Tak pantas kau me-

nyandang gelar Pendekar berbudi luhur, kalau dalam 

kenyataannya tindakanmu tak lebih dari iblis!"

"Tutup mulutmu! Siapa yang telah membuat 

fitnah. Katakan! Siapa yang telah berkata begitu!" demi 

mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh Lombang.

Dicengkeram dan diguncang-guncangkan tu-

buh Lombang, yang hanya terdiam memandang pada 

Kerto Pati. Melihat ketiganya terdiam, makin membuat 

Kerto Pati penasaran.

"Lombang, aku tahu kau seorang pendekar 

yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Ka-

takanlah padaku, siapa yang telah membuat fitnah keji 

itu?"

"Kerto Pati. Kalau kau ingin mengetahui siapa 

yang telah mengatakannya pada kami, kami harap kau 

mau turut bersama kami," menjawab Sodra. 

Saat itu juga, mereka berempat pergi mening-

galkan rumah Kerto Pati menuju tempat yang dimak-

sud.


"Sejak saat itu, Ayahmu tak pernah muncul lagi 

ke rumah. Hal itu membuat ibu cemas, lalu dengan 

menitipkan dirimu pada tetangga ibu segera mencari 

ayahmu. Ternyata ayahmu telah mati, dibantai oleh 

ketiga temannya yang sebenarnya bermaksud merebut 

kitab Inti Jagad," berkata si ibu, setelah menceritakan 

kejadian yang dialami ayah Arya.

"Apakah mereka mendapatkannya, Bu?"

"Tidak anakku, sebab Kitab itu telah ayah ti-

tipkan pada pamanmu yang bernama Rupaksi setelah 

ayahmu mendapat firasat tak baik."

"Lalu untuk apa orang-orang itu kini mengejar-

ngejar kita, Bu?"

"Mulanya mereka berusaha mencari sendiri ki-

tab yang oleh ayahmu dititipkan pada pamanmu. Na-

mun setelah bertahun-tahun tak menemukannya, me-

reka pun akhirnya bermaksud meminta keterangan 

pada ibu tentang di mana Kitab itu disimpan. Namun 

sebelum mereka dapat menemukan ibu, ibu telah pergi 

meninggalkan rumah bersamamu. Tentu kau masih 

ingat, bukan?"

Mendengar penuturan ibunya, seketika mata 

Arya membeliak berkaca- kaca. Sepertinya ada sesuatu 

yang tengah dipikirkan oleh bocah kecil itu, yang tiba-

tiba berkata kembali pada ibunya.

"Ibu, apapun yang terjadi janganlah sekali-kali 

ibu memberi tahukan keberadaan kitab itu. Sebab bila 

kitab itu jatuh ke tangan orang-orang seperti mereka, 

sangat berbahaya."

Terharu ibunya, demi mendengar penuturan 

yang diucapkan oleh anaknya yang baru sepuluh ta-

hun. Mata wanita itu berkaca-kaca, seperti menggam-

barkan perasaan bangga pada anaknya yang telah 

mampu membandingkan mana yang baik dan buruk.


Dengan penuh kasih sayang, dibelainya rambut sang 

anak yang kini merebahkan kepala pada pangkuan-

nya.

"Kalau begitu, ayah merupakan seorang pende-

kar yang agung yang lebih rela berkorban untuk ke-

pentingan orang banyak, di atas kepentingan priba-

dinya," berkata Arya sepertinya menggumam pada diri 

sendiri, makin membuat sang ibu terharu.

***

Kereta yang mereka tumpangi masih melaju 

dengan kencangnya, meninggalkan kedua orang yang 

mengejarnya di belakang.

Hari telah benar-benar pagi, ketika mereka tiba 

di desa yang mereka tuju yaitu desa Kemanggungan. 

Di desa itu, tinggal adik seperguruan ayah Arya yang 

bernama Kerta Rukita atau pendekar Kera. Maka den-

gan segera, disuruhnya sang kusir menuju tempat Ker-

ta Rukita,

Kerta Rukita sangat bahagia, melihat kedatan-

gan kakak ipar dan kemenakannya. Mereka disambut 

dengan penuh suka cita.

"Mbakyu, lama kita tak bersua sejak kelahiran 

Arya. Kini mbakyu datang secara tiba-tiba tanpa mem-

beri tahu pada kami sebelumnya, ada apakah geran-

gan?" bertanya Kerta Rukita setelah mempersilahkan 

kakak iparnya duduk.

Ditanya oleh adik iparnya seperti itu, seketika 

ibu Arya yang sudah tak dapat lagi menahan air mata 

akhirnya menangis membuat Kerta Rukita dan iste-

rinya saling pandang dan mengerutkan alis mata demi 

melihat kakak iparnya menangis,

"Maaf, Mbakyu. Bukannya aku. bermaksud


menggugah kepedihan hati mbakyu. Tapi, aku hanya 

ingin tahu saja apa yang telah terjadi pada keluarga 

kakak Kerto Pati?"

"Kakakmu mati dibunuh oleh teman-temannya 

yang telah mengkhianati, karena mereka menghendaki 

kitab Inti Jagad" berkata ibu Arya sembari berlinang 

air mata, membuat Kerta Rukita terbelalak dengan ma-

ta melotot penuh kemarahan.

Mulut Kerta Rukita mendesis, gigi-giginya seke-

tika beradu bergemeretukan. Tak terasa air matanya 

meleleh, ketika memandang pada kemenakannya Arya. 

Maka bagaikan seorang anak kecil, Kerta Rukita me-

nangis sembari memeluk tubuh kemenakannya

"Aku tak akan tinggal diam! Mereka harus me-

nerima pembalasanku, hutang nyawa harus dibayar 

dengan nyawa!" menggeram Kerta Rukita, hingga 

membuat semua yang ada di situ terdiam tanpa berani 

berkata.

"Besok pagi, aku akan pergi ke sana untuk me-

nuntut balas kematian kakang Kerto Pati." lanjut Kerta 

Rukita berkata, membuat semuanya seketika membe-

lalakan mata.

Sedang mereka dicekam ketegangan, tiba-tiba 

terdengar suara orang di luar berteriak mengucap sa-

lam.

"Sampurasun! Adakah orang di dalam ?!" 

"Bedebah! Tamu macam apa kau, berteriak-

teriak seperti di tengah hutan saja!" membentak Kerta 

Rukita yang tengah dilanda amarah. Dengan segera, 

Kerta Rukita berlari keluar rumah menemui tamunya 

diikuti oleh isteri dan kakak iparnya juga Arya yang di-

gandeng oleh kusir keretanya.

"Siapa kalian! Apakah kalian tidak mengerti ta-

ta krama bertamu, hingga kalian berteriak-teriak se


perti di tengah hutan saja!"

Sang tamu tersenyum sinis, demi mendengar 

ucapan Kerta Rukita. Sementara Ibu Arya, melihat sia-

pa yang datang.

"Mengapa kalian mengejar-ngejarku terus? Bu-

kankah sudah aku katakan pada kalian, bahwa aku 

tak tahu tentang kitab yang kalian maksudkan?" ber-

kata ibu Arya, membuat Kerta Rukita tersentak dan 

memandang bengis pada kedua tamunya sembari ber-

kata sinis.

"Rupanya kalian orangnya, yang telah membu-

nuh kakakku. Kebetulan, aku tak usah mencari-cari 

kalian."

Kembali kedua orang yang ternyata Sodra dan 

Wungkal Gunung adanya, tersenyum kecut dan berka-

ta: "Hem, Rupanya kau adik seperguruan Kerta Pati, 

yang bernama Kerta Rukita. Bagus, bagus. Kami kira, 

kau tahu akan kitab Inti Jagad yang dimiliki kakakmu. 

Serahkanlah buku itu pada kami, sebab kamilah yang 

berhak, memilikinya," kata Wungkal Gunung.

"Kalaupun aku tahu. Maka aku tak akan mem-

beri tahu pada kalian, sebab kalian bukan orang-orang 

yang tahu balas budi. Kalian dengan kedok sahabat, 

tak lebihnya seekor srigala! Orang-orang macam ka-

lian, tak pantas untuk tetap hidup di dunia. Tempat 

kalian adalah Neraka!"

"Kerta Rukita, lancang kau berkata! Tak tahu-

kah dengan siapa kau berhadapan, hingga berani kau 

berkata yang menyinggung perasaan kami?!" memben-

tak Sodra, yang jengkel melihat tingkah Kerta Rukita. 

Tangannya telah diangkat ke atas siap untuk menye-

rang Kerta Rukita.

"Jangan dulu, Sodra. Tak ada gunanya men-

gumbar amarah, kalau akhirnya tujuan kita sia-sia.


Kerta Rukita, kalau kau tak mau mengakuinya bahwa 

kau mengerti di mana kitab Inti Jagad disembunyikan. 

Maka aku minta biarkanlah aku menanyainya pada is-

teri Kerto Pati, yang mungkin tahu di mana kitab itu 

disembunyikan."

"Tidak! Aku tak mengijinkan kalian berbuat 

semena-mena terhadap iparku, apalagi kini berada di 

rumahku. Nah, kiranya kalian mengerti. Hiat...!"

Tanpa diduga oleh Sodra dan Wungkal Gu-

nung, tiba-tiba Kerta Rukita menyerang dengan ga-

nasnya. Kedua orang itu tersentak. Hampir saja kedu-

anya kena terhantam pukulan Kerta Rukita, kalau saja 

mereka tak segera mengelak.

"Setan alas! Diajak baik-baik, rupanya memilih 

mati! Baik, jangan salahkan kami bila telengas menu-

runkan tangan jahat. Bersiaplah!" memaki Wungkal 

Gunung sembari berkelit menghindari serangan Kerta, 

kemudian berbalik menyerang.

"Slompret! Rupanya kau keras kepala, seperti 

kakakmu. Baik! Mari kita main-main," Sodra pun tak 

kalah marahnya, demi diserang begitu mendadak oleh 

Kerta.

Tanpa dapat dicegah, mereka akhirnya terlibat 

perkelahian. Kerta Rukita yang telah mendendam pada 

mereka, nampak seperti ingin segera menghabisi ke-

dua musuhnya.

Jurus demi jurus mereka lewati, sepertinya me-

reka seimbang. Walau dikeroyok dua orang sekaligus, 

namun murid Elang Buana tampak tak repot. 

Bahkan dengan gesit, Kerta Rukita berkelebat-

kelebat bagaikan burung Elang menyambar-nyambar 

kedua musuhnya.

Kaget juga Sodra dan Wungkal Gunung, yang 

tak menyangka kalau adik seperguruan Kerto Pati jauh


lebih berbahaya dan lebih hebat dibandingkan kakak 

seperguruannya.

Kedua pengeroyoknya tampak terdesak mun-

dur, hal ini membuat Kerta Rukita makin bernafsu. 

Jurus-jurus yang didapat dari perguruan Elang Sakti, 

keluar bagaikan arus air deras berganti-ganti.

Sodra dan Wungkal Gunung seketika melompat 

mundur, lalu dengan segera keduanya mengubah ju-

rus-jurusnya. Makin seru pertarungan itu, karena ke-

tiganya kini makin meningkatkan serangannya.

Jurus demi jurus kembali mereka lalui, hingga 

tak terasa telah melampaui jurus yang keempat puluh. 

Waktu yang tadinya pagi, telah berubah menjadi siang.

Orang-orang yang lalu lalang di situ, seketika 

berhenti dan menonton perkelahian.

Saking serunya pertarungan itu, membuat se-

mua pandangan orang seketika tertuju pada hal itu. 

Hingga mereka tak memperhatikan, bahwa ada seo-

rang lelaki tua yang dari tadi terus mengawasi perta-

rungan itu. Mata orang tua itu, sesekali beralih pada 

Arya yang masih di gandeng oleh tukang sais kere-

tanya

"Hem... Anak kecil itu, sepertinya mengandung 

daya tersendiri. Kelak apabila tak ada halangan, anak 

ini bakal menjadi seorang tokoh persilatan" dalam hati 

lelaki tua itu.

Di pihak lain, tampak pertarungan itu berjalan 

pincang. Nampaknya Kerta Rukita yang tengah dilanda 

emosi, mengumbar tenaga hingga serangan-

serangannya tak setajam pertama. 

"Bahaya, bahaya. Kalau terus-terusan seperti 

itu, aku rasa dalam beberapa jurus lagi kedua lelaki 

itu akan dapat menjatuhkannya. Aku harus waspada, 

sebab seperti yang aku dengar mereka berdua telah


menguntit ibu dan anak itu. Aku harus dapat menye-

lamatkan bocah itu, bila memang kedua orang tersebut 

bermaksud mencelakainya," berguman lelaki tua itu.

Benar juga apa yang dikawatirkan lelaki tua 

itu. Dalam tempo beberapa jurus saja, kedua penge-

royok Kerta Rukita dengan mudah mendesaknya.

Kerta Rukita tersentak seketika, mendapat se-

rangan balik kedua musuhnya. Ia berusaha bertahan 

dan sesekali balik menyerang, namun seketika kedua 

pengeroyoknya telah dengan cepat menghantamkan 

pukulan yang disertai tenaga dalam menghantam tu-

buhnya. 

Kerta Rukita seketika memekik, tubuhnya ter-

dorong ke belakang sepuluh tombak. Dari mulutnya 

meleleh darah segar.

Seketika isteri dan ibu Arya memekik dan men-

jerit berlari memburu tubuh Kerta Rukita yang terka-

par.

"Mbakyu Sukanti, dank au Istriku. Aku... aku 

minta jaga di... diri Arya kemenakan ku. Aku... sudah 

tak, kuat..."

Tubuh Kerta Rukita pun lemas, bersamaan 

dengan jerit tangis isterinya dan Sukanti ibu Arya.

Sodra dan Wungkal Gunung tersenyum sinis, 

lalu dengan kasar keduanya segera menarik dua wani-

ta itu yang berontak melawan.

Tarik menarik antara dua wanita, dan dua lela-

ki itu menjadikan si orang tua geleng-geleng kepala. 

Walaupun begitu, si orang tua tak bereaksi sedikitpun 

untuk berbuat sesuatu.

Melihat ibu dan bibinya disakiti oleh kedua le-

laki yang ia tahu jahat, dengan segera Arya kecil itu 

berusaha membantunya. Digigitnya tangan Wungkal 

Gunung yang menarik tangan ibunya. Seketika Wung


kal Gunung memekik kesakitan sembari melepaskan 

tangannya.

Setelah Wungkal Gunung melepaskan ibunya, 

dengan cepat Arya berlari hendak menolong bibinya. 

Tapi, Sodra dengan segera menendangkan kaki ke arah 

Arya, yang seketika itu terpental.

Kakek tua yang sedari tadi memperhatikannya, 

terbelalak. 

"Jahat!" pekiknya dalam hati. Namun kakek tua 

itu masih tetap berdiri tanpa hendak menolong.

"Kenapa kau sakiti anakku! Iblis kejam!" me-

maki Sukanti, demi melihat Arya terpental jatuh. Den-

gan nekad, Sukanti segera menyerang Wungkal Gu-

nung.

Orang-orang yang sedari tadi hanya menjadi 

penonton, segera bereaksi mengeroyok kedua lelaki itu.

Tanpa ampun lagi, Sodra dan Wungkal Gunung 

pun seketika dikeroyok oleh massa. Sesaat Sodra dan 

Wungkal Gunung tersentak. Namun demi melihat me-

reka benar-benar hendak mengeroyoknya, dengan 

menggeram Sodra dan Wungkal Gunung pun segera 

memapaki.

"Hem, rupanya kalian pun menghendaki kema-

tian hingga berani kalian mengeroyok kami. Jangan 

salahkan kalau kami berbuat telengas menurunkan 

tangan kasar!" membentak Sodra dengan penuh ama-

rah.

Tawuran masal pun terjadi, namun karena si 

pengeroyok bukan orang-orang pandai bersilat maka 

sia-sialah keberanian mereka. Sekali tangan Sodra 

atau Wungkal Gunung berkelebat, jerit kematian pun 

seketika melengking di antara massa yang menge-

royok.

Satu persatu, massa yang mengeroyok itu ber

jatuhan terhantam pukulan dan tendangan Sodra atau 

Wungkal Gunung.

"Mbakyu, pergilah selamatkan diri kalian. Biar 

kami yang menghadapi orang-orang jahat itu," berkata 

salah seorang di antara massa, yang segera mendorong 

Sukanti dan isteri Kerta Rukita pergi dari perkelahian 

itu.

Melihat Sukanti dan Arya serta isteri Kerta Ru-

kita hendak berlari, segera tangan Sodra menghantam 

dengan pukulan jarak jauh! 

"Deb! Deb! Deb!"

Pukulan jarak jauh yang ditujukan pada ketiga 

orang yang berlari, menghantam Sukanti dan isteri 

Kerta Rukita yang seketika itu memekik dan ambruk 

ke tanah. Menangislah Arya, demi melihat tubuh 

ibunya tak bergerak lagi.

Bagaikan kesetanan, Arya berkelebat kembali 

dan segera menyerang Sodra. Digigitnya paha Sodra, 

yang seketika itu menjerit tak dapat mengelakkan gigi-

tan Arya karena tengah menghadapi pengeroyokan.

"Iblis kecil!" menggeram Sodra, setelah tahu 

siapa yang telah menggigitnya. Dengan kasarnya, tan-

gan Sodra berkelebat menghantam tubuh Arya yang 

masih mencengkeram pahanya.

Hampir saja tubuh anak kecil itu terhantam 

pukulan maut yang hendak dilontarkan Sodra, saat 

dengan seketika berkelebat seorang lelaki tua me-

nyambar tubuh Arya dan membawanya pergi.

"Jangan lari!" membentak Sodra, demi melihat 

lelaki tua itu pergi dengan membawa tubuh Arya. Di-

hantamkannya pukulan jarak jauh pada tubuh lelaki 

tua yang dengan tanpa melihat segera mengelakkan-

nya sembari berseru.

"Bukannya aku takut pada kalian, tapi bukan


urusannya kalian denganku. Nanti... Sepuluh tahun 

lagi, kalian akan dapat membuka mata kalian atas 

perbuatan kalian pada masa-masa sekarang!"

Terbelalak Sodra dan Wungkal Gunung demi 

mendengar seruan orang tua itu, mereka pun segera 

mengejar. Namun lelaki tua yang membawa tubuh 

Arya, sangat cepat lari nya meninggalkan mereka yang 

hanya berdiri mematung

Gagal sudah semuanya, sebab tak ada orang lain yang 

tahu di mana Kitab Inti Jagad disembunyikan. Dengan 

wajah penuh kekecewaan, keduanya pun segera pergi 

meninggalkan desa itu kembali menuju tempatnya. 


DUA



Setelah kegagalan mereka untuk mendapatkan 

kitab Inti Jagad, kedua orang itu bermaksud menemui 

temannya yang bernama Lombang.

Dipacunya kuda mereka dengan kecepatan 

tinggi. Debu-debu seketika beterbangan terhempas ka-

ki-kaki kuda mereka.

Malam telah datang, kala keduanya sampai di 

sebuah hutan. Mereka nampak masih memacu ku-

danya, berlari di tengah hutan dalam kegelapan ma-

lam. Tiba-tiba...!

Kuda-kuda mereka meringkik, sepertinya kuda-

kuda itu ketakutan. Sodra dan Wungkal tersentak, 

memandang dengan mata tajam pada sekelilingnya 

dan menghentikan lari kudanya.

"Hati-hati Sodra! Rupanya ada sesuatu, hingga 

kuda kita ketakutan."

"Benar! Rupanya ada sesuatu, yang tengah


mengintai kita. Hem, kalau manusia, jangan harap aku 

biarkan hidup-hidup." Habis berkata begitu, Sodra se-

gera turun dari punggung kudanya diikuti oleh Wung-

kal Gunung.

Tiba-tiba...! Dari samping kiri mereka berkele-

bat sebuah bayangan, berlari mendahului. Dengan se-

gera Sodra dan Wungkal memburu meninggalkan kuda 

mereka.

"Jangan lari!" Sodra sembari melancarkan pu-

kulan jarak jauh, yang ditujukan ke tubuh orang yang 

berkelebat di hadapannya. Namun orang itu sepertinya 

tak mendengar dan terus berlari, membuat keduanya 

makin penasaran.

Keduanya makin jauh meninggalkan kudanya, 

terus mengejar bayangan yang berlari. Ketika bayan-

gan orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya ke 

arah keduanya, seketika Sodra dan Wungkal terbelalak 

dan mundur demi melihat rupa orang yang mereka ke-

jar. Rupa orang itu, adalah rupa seekor kera.

"Kera Siluman!"

Kera siluman menyengir, menunjukkan gigi-

giginya yang kuning dan lancip tajam. Lalu tanpa 

memperdulikan kedua orang yang mengejarnya, Kera 

Siluman itu kembali berkelebat pergi meninggalkan 

Sodra dan Wungkal Gunung yang masih memaku.

"Beruntung dia tidak bermaksud jahat pada ki-

ta kalau tidak...?" berkata Wungkal Gunung bergidik, 

hingga pundaknya turut bergerak. Seperti Wungkal 

Gunung, Sodra pun mengalami hal yang sama.

"Huh... Kalau dia berniat jahat, mungkin kita 

tak akan dapat mencari kitab Inti Jagad lagi."

"Heh, kenapa kita mesti terbengong di sini? Bu-

kankah kita telah meninggalkan kuda-kuda kita?" 

Dengan diikuti Sodra, Wungkal Gunung pun berlari


menuju tempat di mana mereka meninggalkan ku-

danya. 

Tersentak kaget Sodra dan Wungkal Gunung, 

demi dilihatnya kuda-kuda itu telah tak ada lagi di 

tempatnya. Tanpa banyak bicara, keduanya segera 

mencari kuda-kuda itu.

Kedua orang itu berlari dan terus berlari dalam 

gelapnya malam, meninggalkan hutan itu untuk men-

cari kuda-kudanya. Tak terasa oleh keduanya, kedua-

nya telah berlari cukup jauh dan lama.

"Hai! Bukankah ini perbatasan desa Cikulir?" 

berseru Sodra girang, ketika melihat tugu berdiri di 

depan. Demi mendengar seruan Sodra, Wungkal Gu-

nung segera menghampiri. Di mata mereka seketika 

tampak kegembiraan, setelah pasti bahwa tugu itu be-

nar-benar perbatasan desa Cikulir.

Keduanya, segera mempercepat larinya untuk 

memburu waktu, yang sebentar lagi menjelang pagi. 

Mereka tak menghiraukan lagi kuda-kudanya, terus 

berlari, menuju tempat yang mereka jadikan perte-

muan.

"Bagaimana teman-teman? Apakah kalian ber-

hasil?" bertanya seseorang, yang berdiri di ambang 

pintu masuk menyambut kedatangan keduanya.

"Gagal! Kami berdua gagal! Rupanya mereka le-

bih memilih mati daripada menunjukkan di mana ki-

tab itu disimpan Kerto Pati. Mungkin Kerto Pati telah 

berpesan wanti-wanti pada mereka," berkata Wungkal 

Gunung.

"Berarti kita tak akan menjadi orang sakti," 

menggumam orang yang menjemput kedatangan Sodra 

dan Wungkal Gunung. 

"Tidak, Lombang. Kita belum gagal total, seti-

dak-tidaknya kita masih mempunyai harapan."



"Harapan? Harapan apa? Bukankah seluruh 

keluarga Kerto Pati telah kita bunuh, dari mana lagi ki-

ta akan tahu?"

"Tapi anaknya masih hidup. Apakah tak mung-

kin kita nanti dapat menanyai anaknya?" kata Wung-

kal Gunung seketika, membuat Lombang membeliak-

kan mata kaget.

"Masih hidup?" gumam Lombang. 

"Kenapa tidak kalian bawa ke mari?" lanjutnya 

bertanya.

"Anak itu dibawa kabur oleh seorang kakek tua, 

ketika hendak kami lumpuh kan." Makin terbelalak 

kaget mata Lombang demi mendengar penuturan 

Wungkal Gunung, hingga tanpa sadar Lombang men-

desah.

"Ah... Bahaya, bahaya, sungguh bahaya besar!" 

"Kenapa?" bertanya Wungkal Gunung tak men-

gerti.

Mendengar pertanyaan Wungkal Gunung, seke-

tika Lombang membentak marah.

"Bodoh! Apakah kau tak berpikir kalau nan-

tinya anak tersebut menuntut balas pada kita! Aku pi-

kir anak itu telah mendengar bahwa ayahnya mati di 

tangan kita. Apakah itu bukan merupakan bahaya be-

sar buat kita?"

Terdiam Wungkal Gunung dan Sodra, kedua-

nya seketika menyadari akan kebenaran ucapan Lom-

bang.

"Sudahlah! Tak perlu kita memikirkan apa yang 

telah berlalu, sekarang kita harus dapat kitab itu. Ka-

lau kita telah mendapatkannya, aku rasa kita tak perlu 

takut akan ancaman balas dendam anak Kerto Pati"

"Lalu apa yang harus kita perbuat?" bertanya 

Sodra dengan perasaan agak tenang demi mendengar


perkataan Lombang.

"Salah satunya jalan, kita harus menyebarkan 

ke dunia luas."

Kembali Wungkal Gunung dan Sodra terdiam, 

mendengar ucapan Lombang. "Bagaimana...?" bertanya 

Lombang kembali saat melihat kedua temannya hanya 

terdiam tanpa reaksi apa-apa.

"Apakah hal itu tidak membuat kedudukan kita 

makin tercepit?" Sodra sepertinya tak menyetujui ren-

cana temannya. Sementara Wungkal Gunung, hanya 

acuh-acuh saja tanpa reaksi.

"Tidak, Sodra. Kita harus dapat mempengaruhi 

mereka untuk berusaha mencari kitab itu. Bila telah 

mereka dapatkan maka kita harus merebutnya, ba-

gaimana?" Lombang kembali meminta pendapat kedua 

temannya sembari tersenyum, membuat kedua teman-

nya seketika turut tersenyum pula.

"Pintar kau, Lombang! Baiklah, kami mengikuti 

apa yang menjadi tujuanmu. Bukan begitu, Wungkal?" 

kata Sodra, yang diangguki oleh temannya Wungkal 

Gunung. Ketiganya akhirnya tertawa bersama, berge-

lak bagaikan menemui kemenangan.

***

Tokoh-tokoh dunia persilatan seketika gempar, 

demi mendapatkan berita tentang, hilangnya kitab 

yang merupakan salah satu kitab pusaka berisikan in-

ti-inti ilmu silat tingkat tinggi.

Seketika tokoh-tokoh persilatan pun berusaha 

mendapatkannya, baik dari golongan lurus maupun 

dan golongan sesat.

Siang, itu tampak sepasang pendekar berjalan 

menyusuri jalan di desa Cikulir yang merupakan per


batasan wilayah kulon dan wilayah tengah.

"Kakang, bukankah ini tapal batas daerah ten-

gah dan wilayah kulon?" bertanya gadis yang berjalan 

di samping pemuda.

"Benar, adinda. Desa ini memang desa perbata-

san, yang membatasi wilayah kulon dan wilayah ten-

gah. Menurut petunjuk guru, di desa inilah nanti kita 

akan bertemu dengan seorang pemuda yang bernama 

Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah."

"Kakang, untuk apa guru memerintahkan pada 

kita untuk menemui Pendekar Pedang Siluman? Seper-

tinya guru sangat berkepentingan sekali dengannya?"

"Entahlah, aku sendiri tak tahu maksud guru. 

Guru hanya berpesan padaku, agar jangan sekali-kali 

berlaku tak sopan padanya. Dan yang lebih utama kita 

harus dapat mengajaknya ke tempat guru," berkata 

pemuda itu kembali sembari mengerutkan keningnya.

"Ada orang ke mari, mari kita bersembunyi." 

Diajak adik seperguruannya bersembunyi di balik se-

mak-semak yang tak jauh dari situ.

Lewat seperminum teh keduanya bersembunyi, 

tampak dua orang penunggang kuda lewat di situ. Wa-

jah kedua orang itu begitu beringas, sepertinya mereka 

tengah memburu seseorang.

Setelah kedua orang penunggang kuda itu ber-

lalu, dengan segera kedua pendekar muda-mudi itu 

berkelebat mengikutinya dari belakang.

"Kita ikuti mereka, Kakang?"

"Ya! Sepertinya mereka tengah mengejar seseo-

rang, barangkali musuhnya. Kita harus dapat mem-

bantu, dan bila perlu menolong orang yang mereka ke-

jar. Aku mempunyai pikiran, bahwa kedua orang tadi 

bukan orang baik-baik.

Sepasang pendekar muda itu terus berlari,


mengikuti arah yang ditempuh oleh kedua lelaki pe-

nunggang kuda didepannya.

"Itu mereka, Kakang! Sepertinya mereka kehi-

langan jejak, mereka mencari-cari sesuatu." berkata 

gadis di samping pemuda itu, yang mengangguk dan 

segera menyeretnya bersembunyi.

"Hem... Aku rasa, orang itu bersembunyi di si-

ni. Apakah kau tak tahu orang itu, Songka?" tanya sa-

lah seorang dari kedua penunggang kuda, pada te-

mannya yang bernama Songka.

"Tidak! Aku hanya melihatnya ketika orang itu 

masih di desa Cipulir. Apakah kau yakin orang itu lari 

ke mari, Gondo?" balik bertanya Songka.

Gondo hanya menggeleng demi mendengar per-

tanyaan Songka, membuat Songka menggerutu kesal 

dan kembali berkata: "Kau ini bagaimana, Gondo! Sia-

sia kita ke sini, kalau ternyata orang yang kita kejar ti-

dak ke mari! Ayo kita kembali!"

Kedua orang itupun membelokkan kudanya 

kembali ke arah semula. Wajah keduanya tampak pe-

nuh kekecewaan. Dengan cepat mereka memacu kuda-

kudanya.

Bersama perginya kedua orang itu, dari dalam 

semak-semak muncul seorang lelaki dengan bungku-

san di tangannya. Di wajah lelaki itu tampak ketegan-

gan, sementara matanya sesekali memandang arah ke 

mana kedua lelaki itu pergi. Sesekali pula, matanya 

beralih memandang pada bungkusan kain putih yang 

tergenggam di tangannya.

"Huh! Gara-gara ketiga penghianat kakang Ker-

to itu, kini aku menjadi buruan semua pendekar yang 

menghendaki kitab ini. Kalau mereka tahu sebenar-

nya, mereka tak akan memburu kitab yang tak ada ar-

tinya bagi mereka. Kitab Inti Jagad ini hanya dapat di


pecahkan oleh seorang yang mempunyai watak welas 

asih dan jiwa yang tenang serta budi pekerti yang lu-

hur. Ke mana aku harus mencari keturunan Eka Bila-

wa?"

Tengah lelaki itu merenung, tiba-tiba di hada-

pannya telah berdiri sepasang anak muda. Lelaki itu 

tersentak mundur hendak berlari, ketika sepasang 

pendekar itu mencegahnya sembari berkata.

"Jangan pergi dulu, Ki! Tadi kami mendengar 

kau menyebut nama Eka Bilawa. Apakah kau menge-

tahui di mana keturunan Eka Bilawa?" bertanya pe-

muda dari sepasang pendekar itu, membuat lelaki 

yang ditanya tersentak membelalakan mata.

"Heh, kau bertanya tentang keturunan Ki Eka 

Bilawa padaku, sedang aku pun tengah pusing menca-

rinya. Apalagi aku tengah pusing dengan masalah ku. 

Aku tak tahu pasti siapa keturunan Ki Eka Bilawa. 

Apakah kalian mengetahui di mana ia berada? Dan 

bagaimanakah rupa keturunan Ki Eka Bilawa itu?"

Seketika kedua pemuda itu saling pandang tak 

mengerti. Lalu dengan perlahan pemuda pendekar itu 

berkata: "Ki Sanak. Rupa-rupanya kita sama-sama 

mencari orang yang sama, yaitu anak Eka Bilawa. 

Apakah engkau mempunyai kepentingan dengannya?" 

"Ada," menjawab lelaki itu pendek.

"Apa kepentingannya? Kalau boleh kami tahu?" 

tanya si dara, yang mengernyitkan alis matanya demi 

mendengar jawaban lelaki di hadapannya.

Lelaki itu sesaat memandang pada kedua pe-

muda-pemudi di hadapannya, sepertinya menyelidik 

sebelum akhirnya berkata: "Apakah kalian tak tahu. 

Atau pura-pura tak tahu?"

"Hai. Kenapa kau berkata begitu, Ki Sanak?" 

bertanya si pemuda yang kaget demi


mendengar jawaban lelaki di hadapannya.

"Rupanya kalian orang baru di sini hingga ka-

lian tak mengetahui apa yang tengah terjadi di desa 

ini. Aku percaya," berkata lelaki itu, setelah meman-

dang sesaat pada kedua muda-mudi di hadapannya. 

"Kalau boleh aku tahu. Dari mana kalian? Dan ada ke-

pentingan apakah hingga kalian datang ke mari?"

"Namaku Sendana, dan adikku Rekasih. Kami 

datang dari wilayah tengah yang tepatnya dari Purwo 

Karto. Kami datang ke mari karena mendapat perintah 

dari guru untuk menemui seorang pendekar muda 

yang bernama Jaka. Dia adalah anak Eka Bilawa atau 

Siluman Darah. Menurut wangsit yang diterima guru, 

pemuda tersebut akan kami temui di desa Cipulir," 

berkata Sendana menjelaskan.

"Ah, kalau begitu kita setujuan. Aku sendiri 

tengah mencari orang yang kalian cari, guna menye-

rahkan kitab pusaka yang menjadi bahan rebutan to-

koh-tokoh dunia persilatan saat ini. Oh ya, namaku 

Rupaksi. Aku dari wilayah kulon yang bernama desa 

Renggalek."

"Ki Rupaksi, kalau boleh kami tahu, kenapa 

orang-orang persilatan memburumu? Dan apa yang 

kau pegang itu?" tanya Rekasih.

Rupaksi sesaat terdiam memandang sejenak 

pada kitab yang ada dalam genggamannya, sebelum 

kembali berkata menceritakan apa yang telah terjadi 

pada desa Cipulir dan kenapa kitab itu menjadi rebu-

tan tokoh-tokoh persilatan.

"Sepuluh tahun yang silam, aku dititipi kitab 

ini oleh kakakku yang bernama Kerto Pati. Kakakku 

berpesan agar kitab ini diberikan pada seorang pende-

kar yang bergelar pendekar Pedang Siluman Darah, 

murid dari 4 pendekar Sakti. Kata kakakku hanya


pendekar Pedang Siluman saja yang mampu mengarti-

kan segala yang tertulis dan tergambar pada kitab ini. 

Lima tahun kemudian setelah menyerahkan kitab ini 

padaku. Kakakku mati dikhianati oleh teman-

temannya yang berambisi untuk menguasai buku ini. 

Kalau mereka tahu, sebenarnya sia-sia saja mereka 

memperebutkan dan memburu kitab ini. Di samping 

mereka tak akan mampu menterjemahkan nya, juga 

tak bakalan mereka dapat mempelajarinya. Namun ka-

rena mereka telah di kuasai ambisi dan nafsu setan, 

maka disebarlah berita bahwa barang siapa yang dapat 

memperoleh kitab Inti Jagad akan menjadi tokoh sakti. 

Memang benar. Barang siapa yang mampu mempelaja-

ri isi kitab ini dia akan menjadi tokoh persilatan yang 

sukar ditandingi."

Kedua pendekar muda-mudi, manggut-

manggut mengerti, kemudian Sandana bertanya, "Ki 

Rupaksi kalau memang engkau bermaksud mencari 

Pendekar Pedang Siluman Darah, maka lebih baik kau 

jangan pergi dari desa ini."

"Kenapa?" bertanya Rupaksi, demi mendengar 

saran yang diucapkan oleh Sendana. Seketika hati Ru-

paksi bimbang, ketakutan kalau-kalau orang persila-

tan akan mengetahui bahwa kitab Inti Jagad ada di 

tangannya.

Melihat ketakutan di wajah Rupaksi, dengan 

halus Rekasih berkata mewakili kakak seperguruan-

nya: "Ki Rupaksi. Kalau kau ingin tahu, sebenarnya 

pendekar yang kau cari saat ini ada di desa ini. Men-

genai keselamatan kitab itu, kami akan berusaha me-

lindunginya darimu."

Mendengar ucapan Rekasih, seketika tersirat 

kegembiraan di wajah Rupaksi. Lalu dengan terlebih 

dahulu menjura, Rupaksi pun berkata: "Ah... Betapa


aku yang bodoh ini mengucapkan banyak terima kasih 

atas kesediaan kalian membantuku. Tapi, apakah nan-

tinya tidak merepotkan?"

Tersenyum Sendana dan Rekasih, mendengar 

ucapan Rupaksi yang nadanya merendah, dengan ma-

sih mengurai senyum, Sendana berkata: "Tidak, Ki. 

Sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-sosial 

dan kemanusiaan, wajib bagi kami untuk melindungi 

kitab yang bukan hak mereka yang berada di tangan-

mu. Ayolah! Segera kita pergi dari sini, sebab bukan 

tak mungkin orang tadi kembali ke mari."

Tanpa banyak kata lagi, ketiganya segera berla-

lu meninggalkan hutan itu. Memang benar apa yang 

dikatakan Sendana, kedua orang yang tadi mengejar 

Rupaksi datang kembali selang beberapa saat setelah 

mereka pergi.

"Tadi aku dengar ada orang bercakap-cakap, 

namun kenapa seketika menghilang?" bergumam Gon-

do, dengan mata mengawasi sekeliling hutan itu.

"Benar! Memang tadi ada orang ke sini. Lihatlah 

bekas-bekas sepatu mereka, rupanya kita telah kedu-

luan orang lain. Gagal sudah usaha kita untuk menja-

di orang paling sakti di dunia persilatan! Mungkin bu-

kan jodoh kita, Gondo?" keluh Songka. 

Dengan perasaan kecewa, kedua orang kakak 

beradik itu kembali menghela kais kudanya mening-

galkan hutan menuju ke desa Cipulir lagi.

Dihelanya kais kuda dengan cepat, secepat pi-

kiran keduanya yang diliputi kekecewaan menuju ke 

sebuah kedai di desa Cipulir.

"Kita makan dan mengaso dulu, Gondo!" berka-

ta Songka.

Dihela kais kudanya membelok ke arah Utara, 

di mana kedai berada.


Setelah menambatkan tali kudanya, kedua 

orang itu segera masuk ke dalam kedai. Keduanya 

langsung mencari tempat duduk yang masih kosong, 

karena siang itu kedai tampak penuh dengan pengun-

jung. Di ujung sebelah kiri kedai, akhirnya mereka 

mendapatkan tempat duduk.

Tengah mereka duduk, tampak seorang pemu-

da masuk ke kedai, yang seketika mengundang perha-

tian seluruh pengunjung kedai termasuk Soka dan 

Gondo.

Pemuda yang baru datang, yang tak lain si 

pendekar Pedang Siluman acuh saja berjalan dan 

mencari tempat duduk 

"Jaka Ndableg! Hai, apakah pendekar muda ini 

juga tengah memburu kitab itu? Kalau memang ya, 

percuma saja kita turut memburu."

"Kenapa...?" bertanya Gondo, demi mendapat 

ucapan Soka yang tampaknya jera melihat pemuda itu.

"Kau tahu, Gondo. Kalau pendekar muda itu te-

lah ikut campur, jangan harap kita dapat leluasa dan 

mampu mendapatkan kitab itu. Jangankan kita, tokoh 

kelas wahid pun akan berpikir tujuh kali untuk dapat 

menandingi. Ilmunya sungguh tak ada tandingan pada 

masa sekarang," kata Soka, memberi tahukan pada 

Gondo yang seketika terbelalak matanya dan menggu-

mam.

"Hem, jadi inikah pendekar Pedang Siluman 

Darah yang sering dibicarakan oleh Guru?"

"Ya! maka itu, percuma kita ini. Jangankan ki-

ta, guru kita pun tak akan mampu menghadapinya."

Yang mendengar percakapan mereka, tampak 

acuh saja. Ia terus menyantap makanan yang telah di-

hidangkan oleh pelayan kedai di hadapannya.

"Hem, rupanya kedatanganku telah dikenal di



sini. Heh! Tadi kedua orang itu berbisik mengatakan 

tentang kitab, kitab apakah gerangan? Ah, coba aku 

tanyakan pada mereka," bergumam Jaka dalam hati, 

lalu dengan perlahan penuh ketenangan Jakapun 

menghampiri Gondo dan Soka yang tersentak kaget

demi melihat Jaka tahu-tahu telah berdiri di samping-

nya.

Belum juga hilang kekagetan mereka, terdengar 

Jaka Ndableg berkata.

"Boleh aku duduk di sini, Ki Sanak?"

"Bo... Boleh, boleh." tergagap keduanya berkata 

hampir bersamaan dan dengan segera mempersilahkan 

Kelana, yang dengan tenang duduk di hadapan mere-

ka.

"Maaf, tadi aku mendengar pembicaraan kalian. 

Aku mendengar kalian menceritakan tentang kitab. Ki-

tab apakah itu hingga mengundang kaum persilatan 

berlomba untuk mendapatkan?" bertanya Jaka ingin 

tahu, membuat kedua orang yang ditanya seketika 

membelalakan mata.

"Jadi... Jadi tuan pendekar belum mengerti?" 

bertanya Gondo, dengan ucapan terbata-bata. Seper-

tinya Gondo tak percaya, demi mendengar pertanyaan 

Kelana yang seketika tersenyum dan berkata.

"Ki Sanak, janganlah kau meninggikan diriku 

dengan sebutan tuan pendekar. Apakah aku ini pantas 

menyandang sebutan itu, yang terlalu tinggi dan 

agung? Aku orang biasa seperti kalian berdua, yang 

kadang kalanya senang dan susah. Ah, sudahlah! Oh 

ya, apakah aku boleh mengetahui kitab yang tengah 

diperebutkan oleh kaum persilatan?"

Tanpa sungkan-sungkan, kedua orang itu ber-

cerita bergantian saling sambung. Sementara Jaka 

mendengarkannya dengan seksama, tanpa berkehen


dak untuk bertanya ataupun memotong cerita kedua-

nya.

"Begitulah tuan pendekar," berkata Soka, sete-

lah selesai bercerita. Di wajah kedua orang itu tampak 

was-was, kalau-kalau Kelana marah padanya. Namun 

seketika keduanya tampak tenang, ketika mendengar 

ucapan Jaka.

"Ki Sanak semua. Kalau benar apa yang telah 

Ki Sanak ceritakan, aku rasa janganlah Ki Sanak ber-

dua meneruskannya. Sebab di samping kalian akan 

mendapatkan tantangan berat bila telah mendapatkan 

kitab tersebut, juga kitab tersebut bukanlah hak ka-

lian. Aku merasa, ada seseorang yang menghendaki ki-

tab tersebut di belakang kejadian ini. Menurut penda-

patku, lebih baik kalian kembali saja ke perguruan. 

Bagaimana, Ki Sanak?"

Mendengar saran Jaka, kedua orang itu tampak 

mengangguk. Sepertinya kedua orang tersebut menya-

dari, betapa selama ini keduanya telah berbuat bodoh. 

Maka dengan terlebih dahulu mengucapkan terimaka-

sih, kedua orang itu akhirnya menuruti ucapan Jaka, 

kembali ke perguruan.

"Hem... Menarik juga berita ini, akan aku seli-

diki. Aku yakin ada maksud tertentu dari seseorang, 

yang sengaja membuat cerita dusta ini. Siapa kira-kira 

orang tersebut? Akan aku coba untuk mengungkap 

misteri ini," membatin Jaka setelah kepergian kedua 

orang tersebut. Setelah membayar makanan yang di-

makan. Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan ke-

dai untuk menyelidiki apa yang sebenarnya tengah ter-

jadi di desa Cipulir.

Semua mata yang hadir di situ, mengikuti ke-

pergian Jaka yang diikuti oleh seseorang dari bela-

kangnya.


"Hem... Rupanya ada orang yang mengikutiku, 

baik akan aku biarkan apa maunya." Merasa ada 

orang yang mengikutinya, segera Jaka mempercepat 

larinya dengan menggunakan ajian Delapan Angin. 

Orang yang menguntitnya pun seketika kebingungan, 

karena Jaka telah melesat pergi dengan cepatnya ba-

gaikan angin.


TIGA



Jaka terus berlari meninggalkan orang yang 

menguntitnya, dan berhenti setelah dirasakannya 

orang itu telah tak menguntitnya lagi.

"Mana yang harus aku kerjakan? Meneruskan 

mencari Alas Waru, atau menyelidiki berita gegernya 

Kitab Inti Jagad.? Huh, pusing. Kalau aku menyelidiki 

desas-desus yang diceritakan oleh kedua orang di ke-

dai itu, maka aku tak dapat segera menemukan per-

sembunyian Iblis Alas Waru yang telah membikin keo-

naran di wilayah wetan. Kalau aku mengejar terus Iblis 

Alas Waru, berarti aku tak dapat mengetahui apa yang 

sebenarnya terjadi di balik kejadian di desa Cipulir ten-

tang Kitab Inti Jagad. Ah, biarlah aku memburu Iblis 

Alas Waru dulu, setelah itu baru aku menyelidiki de-

sas-desus ini."

Sedang Jaka bingung harus berbuat apa, tiba-

tiba telinganya yang tajam mendengar suara seruling 

dibawa angin yang ditiup oleh seseorang dengan mer-

dunya.

Tanpa sadar, Jaka Ndableg turut berdendang 

ria

"Kehidupan, adalah perjalanan yang harus kita


jalani.

Bila kita salah melangkahnya, kesesatan yang 

kita dapatkan.

Tapi bila kita ingat pada yang kuasa,

Akan selamat dunia dan akherat..."

Sambil berdendang, kakinya terus melangkah 

menuju ke asal suara seruling itu ditiup. Tampak di 

atas cabang pohon asem, seorang wanita duduk den-

gan santai sembari meniup seruling.

"Ni Sanak yang ada di atas, aku kagum men-

dengar suara seruling mu. Kalau boleh aku tahu, sia-

pakah gerangan Ni Sanak?" bertanya Jaka pada gadis 

yang duduk menyelonjorkan kaki memandang ke 

arahnya sembari menghentikan tiupan serulingnya.

Sekonyong-konyong, gadis itu segera melompat 

turun dan berdiri di hadapan Jaka sembari tersenyum 

dan berkata:

"Ah, Sungguh beruntung hari ini diriku."

"Heh! Apa yang kau maksudkan beruntung, Ni 

Sanak?" bertanya Jaka kaget, demi mendengar ucapan 

gadis di hadapannya yang kini tersenyum simpatik.

"Yah, hari ini aku sangat beruntung karena te-

lah bersua dengan seorang tokoh persilatan. Terimalah 

salam hormat dariku yang rendah dan bodoh ini, se-

mogalah tuan pendekar berkenan menerimanya." tan-

pa menghiraukan Jaka yang terbengong-bengong tak 

mengerti, gadis itu telah menjura.

Belum hilang ketidak mengertian Jaka, tiba-

tiba gadis yang menjura itu menyerangnya. Makin tak 

mengerti dan terkejut Jaka Ndableg diserang tiba-tiba.

Hampir saja serangan gadis itu mengenai tu-

buhnya, kalau saja ia tidak segera berkelit menghindar 

sembari melompat mundur dan bertanya:


"Nona centil! Kenapa kau menyerangku?"

"Kau telah berbuat salah padaku!" menjawab si 

gadis sembari terus melancarkan serangannya, mem-

buat Jaka Ndableg makin bingung dan berusaha men-

gelit serangan-serangan yang dilancarkan si gadis.

"Apa?! Bersua saja baru sekarang, kenapa mes-

ti berbuat salah. Kalau memang aku telah bersalah 

padamu, katakan apa salahku?" tanya Jaka," Kau jan-

gan mengada-ada!"

"Dengar baik-baik. Pertama kau telah berbuat 

salah, yaitu kau telah ikut berdendang, padahal aku 

yang meniup seruling bukan kau. Dan yang terakhir, 

aku ingin tahu sampai di mana ilmu seorang pendekar 

kelas wahid macammu."

Mendengar alasan si gadis yang menyerangnya, 

seketika Jaka tertawa bergelak-gelak hingga si gadis 

segera menghentikan serangan dan memandang sem-

bari mengerutkan alls matanya yang lentik.

"Kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu, 

hingga kau tertawa seenak udel?" bertanya si gadis, 

makin membuat Kelana tertawa bergelak-gelak dan 

berkata.

"Ni Sanak. Aku tak akan tertawa bila tak lucu, 

takut dibilang gila. Bagaimana aku tak tertawa, jawa-

banmu lucu. Masa hanya karena alasan itu kau me-

nyerangku?"

"Lalu harus alasan apa aku menyerangmu?" 

bertanya si gadis, yang masih berdiri mematung di 

tempatnya sembari memandang Jaka yang masih cen-

gengesan.

"Aku rasa, ada sebab lain."

"Ah! Apa itu?"

Mendengar pertanyaan si gadis yang tampak-

nya menyimpan sesuatu di hatinya, maka Kelana den


gan terlebih dulu mengedipkan matanya yang mem-

buat si gadis ded-degan hatinya berkata konyol.

"Aku rasa, kau menyerangku karena kau ada..." 

Jaka Ndableg tak segera meneruskan ucapannya, 

membuat si gadis melototkan mata dan mendesak ber-

tanya ingin tahu. 

"Ada apa?!" 

"Ada hati! ya, kan?"

Gemes hati si Gadis demi mendengar ucapan 

Jaka. Maka dengan pura-pura marah gadis itu kembali 

menyerang Jaka yang tertawa bergelak-gelak sembari 

mengelak.

"Benarkan?"

"Tidak!"

"Ah, yang benar?"

"Kurang, Asem!" kesel dan berbunga-bunga hati 

s gadis mendengar ucapan yang konyol, yang masih 

tertawa-tawa sembari mengelakkan serangannya.

Keduanya seketika berkelebat-kelebat dengan 

cepatnya, bagaikan sepasang seriti yang tengah mena-

ri-nari. Si gadis terus menyerang Jaka, yang tampak-

nya tidak untuk meladeni hingga hanya mengelak dan 

mengelak dari serangan si gadis.

Tiba-tiba Jaka melompat tinggi sembari berseru 

pada si gadis, yang terbengong melihat tingkahnya. "Ni 

Sanak! Cepatlah bersembunyi!"

"Kenapa?" bertanya si Gadis, yang belum men-

gerti maksud Jaka. Namun karena ia percaya dan te-

lah tahu siapa sebenarnya, si gadis pun segera melom-

pat ke atas dan menangkring di atas cabang pohon 

asem di samping. 

"Ada apa?" kembali si gadis bertanya.

"Apakah kau tak mendengar?"

Mendengar pertanyaan Jaka, segera si gadis


memusatkan pendengarannya. Terdengar dari kejau-

han langkah-langkah kaki, sepertinya menuju ke arah 

di mana mereka berada.

"Benar! Sepertinya ada orang datang ke mari 

dan sepertinya tidak sendirian. Hai, lihat!" berseri si 

gadis, menunjuk ke arah muka di mana tampak tiga 

orang tengah berjalan menuju ke arah mereka

Ketiga orang yang ditunjuk si gadis, tampak 

berlari-lari dengan wajah yang diliputi ketegangan. 

Sementara di belakangnya, tampak enam orang tengah 

mengejar mereka.

"Sepertinya, ketiga orang itu tengah dikejar oleh 

keenam orang di belakangnya. Kita harus menolong 

ketiga orang itu. Hai! Bukankah orang yang me ngejar 

ketiga orang itu, si Iblis Alas Waru?"

Jaka yang mendengar gumaman si gadis, seke-

tika mengernyitkan alis matanya memandang si gadis 

yang kembali berkata:

"Tak disangka, akhirnya kutemukan juga iblis 

itu."

"Hai! Rupanya Ni Sanak telah mengenalnya. 

Apakah pernah bersangkutan?" bertanya Jaka, setelah 

untuk kedua kalinya mendengar gumaman si gadis 

yang tampaknya memendam kemarahan dan dendam.

Sesaat gadis itu memandang ke arah Jaka, se-

belum akhirnya berkata: "Ya! Karena Iblis itu, aku kini

sebatang kara. Ayah dan ibuku mati dibunuh olehnya."

Sekilas wajah si gadis berubah sedih, kala ingat 

akan kejadian yang telah menimpa keluarganya lima 

tahun yang silam. Ayah dan ibunya dibantai dengan 

sadis di depan mukanya, yang kala itu masih kecil. Di-

rinya juga hampir dibantai, kalau saja tidak segera da-

tang seorang tua yang menolong dirinya.

Mengingat semua itu, napas si gadis tampak


memburu. Matanya memandang bengis. Giginya ter-

dengar bergemeretukan menahan emosinya yang me-

luap-luap.

Kala ketiga orang itu telah dekat ke arahnya, 

dengan segera tanpa dapat dicegah oleh Jaka si gadis 

melompat turun. Seketika ketiga orang itu tersentak, 

dan berhenti dari larinya demi melihat seorang gadis 

menghadangnya.

"Jangan kalian takut, Ki Sanak. Aku tak ber-

maksud buruk pada kalian, tapi aku ada urusan den-

gan orang yang memimpin kelima orang yang mengejar 

kalian," berkata si gadis.

"Kalau Ni Sanak tak bermaksud buruk pada 

kami, biarkanlah kami pergi untuk menghindari keja-

ran mereka," meminta salah seorang di antara ketiga 

orang itu.

"Tak usah kalian berlari, bersembunyilah!"

Dengan perasaan was-was, ketiga orang itupun 

menurut bersembunyi di balik semak-semak yang tak 

jauh dari si gadis berdiri.

Tampak enam orang berlari mendekati si gadis 

yang melotot bengis ke arah pemimpin orang-orang itu. 

Merasa tak punya sangkut paut apa-apa dengan gadis 

di depannya. Segera pemimpin kelima orang pengejar 

ketiga orang yang bersembunyi segera bertanya.

"Ni Sanak... Apakah Ni Sanak melihat tiga 

orang berlari ke mari?"

Ditanya seperti itu, si gadis bukannya menja-

wab. Bahkan dengan mata tajam memandang. si gadis 

membentak.

"Iblis Alas Waru, apa kabar? Lima tahun sudah 

kita tak bertemu, rupanya tak menjadikan kau beru-

bah?!"

Dibentak begitu rupa oleh si gadis, Iblis Alas


Waru mengernyitkan kening dan memandang penuh 

tanda tanya pada gadis di hadapannya yang tak diken-

al.

"Iblis Alas Waru. Rupanya ketuaan mu telah 

menjadikan kau pikun dan tidak mengenaliku lagi. 

Atau kau pura-pura tak mengenal, agar kau bisa bebas 

dariku?" bertanya si gadis dengan nada bengis.

Orang yang ditanya untuk kedua kalinya men-

gernyitkan kening dan balik bertanya.

"Ni Sanak...! Gerangan apa hingga kau berkata 

kasar padaku? Melihatmu pun, baru sekarang. Bagai-

mana aku bisa mengenalmu?"

Geram si gadis mendengar ucapan Iblis Alas 

Waru, maka dengan membentak si gadis kembali ber-

kata: "Dasar Iblis! Dengar! Masihkah kau ingat keja-

dian lima tahun yang silam di desa Karang Asem? Di 

mana kau dengan sifat iblismu, membantai sebuah ke-

luarga?"

Mendapat pertanyaan dari si gadis, tampak Ib-

lis Alas Waru mengernyitkan keningnya. Kembali ia 

terdiam, sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu 

kejadian. Namun, ia sepertinya tak pernah membuat 

keonaran di desa yang disebutkan si gadis. Maka den-

gan masih tenang, Iblis Alas Waru kembali berkata: "Ni 

Sanak, sungguh aku tak mengenalmu, juga desa yang 

kau sebut. Mungkin Ni Sanak telah salah lihat, atau 

barang kali ada orang yang mengatas namakan nama-

ku untuk berbuat kekejaman. Jika Ni Sanak percaya, 

walaupun julukanku Iblis namun aku tak pernah ber-

buat sekeji itu. Percayalah?"

Geram si gadis mendengar ucapan si Iblis, yang 

dianggapnya hendak lari dari tanggung jawab. Maka 

dengan penuh kemarahan, si gadispun segera menye-

rangnya.


Jaka yang berada di tas pohon, seketika men-

jadi ragu demi melihat orang yang diserang si gadis. 

Setahunya. Yang bernama Iblis Alas Waru, bukanlah 

orang yang kini tengah berkelahi dengan si gadis.

"Hem... setahuku, Iblis Alas Waru bukan orang 

itu. Kalau begitu, bukan tidak mungkin ada orang lain 

yang memakai nama Iblis Alas Waru. Dan menurut pi-

kiranku, orang yang mengaku Iblis Alas Waru tentunya 

mempunyai wajah tiruan. Pusing, pusing! Kenapa bisa 

begini? Aku harus mencegah mereka," membatin Jaka 

penuh tidak pengertian, sebab setahunya Iblis Alas 

Waru berbadan tinggi, besar walau wajahnya memang 

seperti wajah orang yang masih diserang oleh si gadis.

Dengan segera, Jaka melompat turun dan ber-

diri di tengah-tengah kedua orang yang kini melompat 

mundur karena terdorong oleh dorongan tangan Kela-

na.

"Tunggu!" berseru Jaka Ndableg.

"Kenapa kau memisahkan kami?" bertanya si 

gadis penuh kekecewaan dan kekesalan, demi melihat 

Joko memisahkan perkelahiannya.

"Sabar, Ni Sanak. Apakah kau tak salah menye-

rang orang? Coba kau ingat-ingat, benarkah ini orang 

yang dulu membantai keluargamu? Memang wajahnya 

sama, tapi tidakkah kau lihat kelainan orang ini den-

gan orang yang membantai keluargamu?" bertanya Ja-

ka pada si gadis, yang segera memandang tajam pada 

orang yang tadi diserangnya.

Si Gadis menatap lekat-lekat seluruh tubuh Ib-

lis Alas Waru, dan memang ada kelainan pada tubuh 

orang ini dengan orang yang dulu membantai keluar-

ganya.

"Benar! Orang ini berbeda dengan orang yang 

dulu membantai keluargaku. Hem... Jadi siapakah se


benarnya orang yang dulu membantai keluargaku?" 

bertanya gadis itu dalam hati, lalu ucapnya kemudian. 

"Maafkan aku, Ki Sanak. Sebab aku telah salah menu-

duh tanpa memperhatikan lebih seksama."

"Tak mengapa. Aku juga menyadari apa yang Ni 

Sanak perbuat. Bagaimanapun juga, memang ada 

orang yang menggunakan nama dan wajahku untuk 

membuat keributan dan keonaran. Aku sendiri tak ta-

hu, siapa sebenarnya yang telah memakai nama dan 

wajahku untuk berbuat kejahatan... Oh ya. Kalau ka-

lian ingin tahu siapa orang yang telah membuat nama-

ku cemar, maka ketiga orang yang kami kejar itulah 

yang mengetahuinya."

Tersentak kaget si gadis, demi mendengar pe-

nuturan Iblis Alas Waru. Dengan segera, si gadis pun 

berkelebat menuju semak-semak yang tadi digunakan 

untuk bersembunyi ketiga orang itu.

Betapa gusar dan marah si gadis, mendapatkan 

semak-semak itu telah kosong. Maka sebagai pelam-

piasan kekesalannya, dicabutnya pedang yang tergan-

tung di pundaknya dan dibabatkan ke semak-semak 

itu.

Orang-orang yang ada di situ, seketika datang 

menghampiri karena mengira si gadis telah menemu-

kan dan membunuh ketiga orang itu dengan pedang-

nya.

"Bagaimana? Apakah kau telah menemukan-

nya?" bertanya Jaka setelah gadis menghentikan sabe-

tan pedangnya.

Dengan wajah penuh kekecewaan, si gadis 

menggeleng lemah sembari mengangkat pundaknya. 

Jaka dan Iblis Alas Waru, terharu melihat wajah si ga-

dis yang sayu.

"Sudahlah, Ni Sanak. Hari ini kau gagal, siapa


tahu esok atau lusa kau berhasil. Oya, kita belum sal-

ing kenal. Siapakah nama Ni Sanak, dan Ki Sanak?" 

bertanya Iblis Alas Waru pada kedua orang muda di 

hadapannya. 

"Namaku Siti Gendari."

"Aku yang bodoh ini, bernama Jaka Ndableg!"

Tersentak kaget Iblis Alas Waru demi menden-

gar nama pemuda itu, yang ia kenal dari tokoh-tokoh 

persilatan bergelar pendekar Pedang Siluman Darah. 

Dengan terlebih dahulu menjura, Iblis Alas Waru ber-

kata:

"Ah... rupanya aku yang bodoh makin bodoh 

saja, terbukti aku tak sadar tengah berhadapan den-

gan siapa. Dengan segala kerendahan hati, aku yang 

bodoh ini mohon maaf atas kelancangan yang telah 

aku lakukan. Anak-anak, menghormatlah!"

Mendengar perintah dari pimpinannya, seketika 

itu kelima anak buah Iblis Alas Waru serempak menju-

ra hormat hingga membuat menggelengkan kepalanya 

dan berkata:

"Ah! Kalian terlalu merendahkan diri, yang se-

harusnya tak perlu kalian lakukan. Bukankah aku ju-

ga seperti kalian? Yang masih merasa membutuhkan 

pertolongan orang lain?"

"Oh... Tuan pendekar sungguh baik hati, ber-

kenan memaafkan segala kesalahan kami. Bagaimana 

kalau kita bersama-sama mencari orang yang menga-

ku-aku diriku?" berkata Iblis Alas Waru menyarankan.

"Baiklah, aku ikut bersamamu. Bagaimana 

dengan tuan pendekar? Apakah akan turun serta?" 

bertanya Siti Gendari sembari melirik Jaka, yang ter-

senyum berdiri di sampingnya.

"Tidak. Aku menyusul kalian nanti setelah uru-

sanku telah selesai. Semoga kita dapat bertemu lagi


nanti. Selamat jalan, semoga kalian selalu dalam lin-

dungan Yang Maha Kuasa." 

Dengan segera, Jaka Ndableg berkelebat me-

ninggalkan mereka yang memandang kepergiannya 

dengan kagum.

"Sungguh sangat baik budi pekertinya, jarang 

orang semuda dia dan berilmu tinggi yang berbudi pe-

kerti sepertinya. Walaupun namanya sudah kesohor di 

kolong langit, namun tindakan dan tingkah lakunya 

tak pernah menggambarkan keangkuhan dan kesom-

bongan. Ayo kita pergi," berkata Iblis Alas Waru, sete-

lah sesaat memandang kepergian Kelana

Siti Gendari tersentak dari lamunannya, yang 

tengah mengembara membayangkan Jaka yang telah 

dengan cepat mengisi relung-relung kalbunya

"Ah...! Apakah ini yang dinamakan cinta? Apa-

kah aku telah mencintainya?" mendesah Siti Gendari 

dalam hati, seraya melangkah pergi mengikuti Iblis 

Alas Waru dengan membawa rasa cinta kasih di ha-

tinya. Cinta yang datang seketika, pada seorang pemu-

da yang baru saja ia kenal.

Iblis Alas Waru yang mengetahui dan mengerti 

apa yang tengah dirasakan oleh Siti Gendari saat itu, 

hanya tersenyum membiarkannya tanpa berkehendak 

untuk mengganggu.

* * *

"Berhenti! Serahkan kitab yang berada di tan-

ganmu pada kami, Rupaksi!" Tiba-tiba terdengar suara 

bentakan, yang datang dari atas bukit. Rupaksi dan 

Sepasang Pendekar muda tengah berjalan dalam usa-

hanya mencari Jaka. Seketika ketiganya berhenti, dan 

memandang ke atas bukit di mana tampak berdiri tiga


orang berwajah sangar menyeramkan.

"Ki Sanak sekalian yang berada di atas bukit, 

turunlah ke bawah kalau memang ada kepentingan 

dengan kami!" berseru Sendana.

Mendengar seruan Sendana, seketika Tiga Se-

tan Api melompat turun dan berdiri satu persatu 

menghadapi ketiga orang di hadapannya sembari ter-

tawa-tawa.

"Memang kami berkepentingan dengan kalian, 

khusus dengan orang yang membawa bungkusan kain 

di pundaknya," berkata Setan Api tertua sembari ter-

tawa, diikuti oleh kedua adiknya.

"Apa yang hendak kalian ingini dari bungkusan 

yang kubawa ini?" tanya Rupaksi. Tiga Setan Api ter-

tawa bergelak-gelak hingga tubuh mereka yang kurus 

ikut terguncang.

"Rupaksi. Jangan kau kira aku dapat dikibuli 

olehmu. Kami bukan anak kecil lagi. Serahkan kitab 

yang kau bawa itu pada kami, atau terpaksa kami me-

rebutnya dengan jalan kekerasan?" berkata setan Api 

penengah, dengan melototkan matanya yang jereng 

pada ketiga orang yang berdiri di hadapannya.

"Setan Api. Kalian jangan mengada-ada, sebab 

kami tak membawa apa yang kalian maksudkan. Biar-

kan kami lewat!" membentak Rekasih. Ia muak melihat 

tampang ketiga Setan Api yang memandang padanya 

dengan pandangan kurang ajar.

"Wew, wew, wew. Ternyata wanita secantikmu 

bisa galak juga, ya? Wew, wew, wew. Mungkin kau le-

bih galak bila di atas tempat tidur, bukan begitu ka-

kak?" berkata Setan Bungsu, seraya mengerling kan 

matanya liar pada Rekasih.

"Setan Bangkotan! Lancang mulut kalian! Jan-

gan banyak mulut. Kalau berani hadapilah aku.


Hiat...!" Kemarahan dan kemuakan hati Rekasih pada 

ketiga Setan Api tak dapat dibendung lagi. Dengan pe-

nuh amarah Rekasih segera menyerang ketiga Setan 

Api yang segera melompat mundur.

"Biarkan aku saja yang menghadapi gadis liar 

ini, kalian hadapilah kedua lelaki itu," berkata Setan 

Api tertua, yang segera menghadapi Rekasih.

"Hai anak muda, dan kau Rupaksi. Jangan ka-

lian bengong menonton! Serahkan kitab itu pada kami, 

dan mari kita main-main sebentar!"

Mendengar ucapan Setan Panengah yang ber-

nada merendahkan, mendengus marah Rupaksi. Maka 

dengan segera, Rupaksi pun menerima tantangan itu 

sembari berkata: "Setan Api. Kalau kalian menghenda-

ki kitab ini, maka langkahi dulu mayatku! Hiat!"

Tanpa dapat dicegah, Rupaksi dan Setan Pa-

nengah pun terlibat perkelahian. Tinggal Setan Bungsu 

dengan Sendana, yang masih tampak berdiri saling 

pandang.

Mungkin karena merasa tinggal dirinya saja 

yang belum berkelahi, maka dengan tanpa banyak bi-

cara Setan Bungsu pun segera berkelebat menyerang 

Sendana.

Diserang dengan tiba-tiba tidak menjadikan 

Sendana bingung, bahkan sebaliknya. Dengan penuh 

kewaspadaan, Sendana mengimbangi serangan yang 

dilancarkan Setan Bungsu.

Perkelahian tiga lawan tiga itupun berlangsung 

seru, karena ketiganya merupakan tokoh-tokoh persi-

latan yang diperhitungkan keberadaannya di dunia 

persilatan.

Walaupun sepasang pendekar itu masih muda, 

namun dalam hal ilmu kanuragan mereka tak dapat 

dianggap enteng. Sementara Rupaksi, dia sebagai adik


seperguruan Kerto Pati dari perguruan Elang Sakti, se-

tidak-tidaknya ilmu yang dimilikinya juga tidak rendah

Jurus demi jurus mereka lalui. Pada jurus yang 

kelima puluh, tiba-tiba Setan Penengah berteriak dan 

berkelebat dengan cepatnya menyerang Rupaksi yang 

dengan segera mengelakkannya. Namun serangan 

yang dilancarkan Setan Penengah, ternyata hanya ti-

puan belaka. Sedang tujuan sebenarnya, tertuju pada 

bungkusan yang ada di punggung Rupaksi.

Maka ketika Rupaksi menunduk menghindari 

serangannya, dengan segera Setan Penengah menyabet 

bungkusan di punggung Rupaksi.

Tersentak Rupaksi segera menyerang. Namun 

Setan Penengah telah lebih dahulu mengelak dan ber-

lari menuju bukit diikuti oleh kedua saudaranya yang 

segera bangun dari duduknya akibat jatuh terhantam 

tendangan dan pukulan Sepasang Pendekar Muda itu.

"Jangan lari!" membentak Sendana sembari 

mengejar, diikuti oleh adik seperguruannya dan Ru-

paksi. Ketiganya segera memburu ke atas bukit, di 

mana ketiga Setan Api berlari.

Bukit Wirangrang kembali sepi, setelah keenam 

orang itu pergi meninggalkannya saling kejar mengejar. 

Angin seketika bertiup, menyapu debu-debu yang se-

ketika berterbangan ke angkasa menutupi tegalan di 

bawah bukit Wirangrang.


EMPAT



Di sebuah tegalan dekat puncak gunung Cire-

mai, tampak seorang lelaki tua yang rambutnya telah 

memutih tengah duduk bersila di atas sebuah batu.


Di hadapan orang tua itu, tampak seorang pe-

muda tengah menggelantung dengan kaki di atas ba-

tang pohon dan kepala di bawah. Kedua tangannya 

bersidakap, sementara mata pemuda itu tampak terpe-

jam.

"Anakku, Arya. Bangunlah dari semedi mu. 

Bangunlah, anakku!" terdengar lelaki tua itu berkata 

yang ditujukan pada anak muda yang menggantung 

dengan kepala di bawah.

Perlahan. Mata pemuda itu membuka, meman-

dang pada lelaki tua di hadapannya. Dari mulutnya 

seketika keluar pertanyaan yang ditujukan pada lelaki 

tua di hadapannya:

"Ada apakah guru membangunkan semediku?"

"Turunlah, Nak! Telah usai sudah ujian yang 

kau tempuh yang kau lakukan dengan penuh ketaba-

han dan rasa percaya diri. Kini kau telah memperoleh

hasilnya," berkata kembali lelaki tua yang dibarengi 

dengan berkelebatnya tubuh pemuda yang sedari tadi 

menggantung turun ke bawah dan berdiri menghormat 

pada lelaki tua di hadapannya.

"Anakku, sepuluh tahun sudah kau bersama-

ku. Hari ini adalah hari terakhir kau menuntut ilmu 

yang telah kuturunkan semuanya padamu. Kini masa 

mu untuk turun ke dunia bebas untuk mencari penga-

laman sekaligus mengamalkan ilmu-ilmu yang kau mi-

liki. Ingat, anakku. Ilmu yang telah kau miliki jangan-

lah kau pergunakan untuk kemungkaran. Perguna-

kanlah ilmumu untuk membela kebenaran dan keadi-

lan. Sekarang mandilah dulu, nanti kita bicara lagi."

Pemuda yang bernama Arya kembali menghor-

mat menjura sebelum akhirnya pergi meninggalkan 

sang guru yang memandangnya dengan tersenyum 

bangga seraya bergumam:


"Hem. Semoga kau akan menjadi seorang pen-

dekar sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan 

keadilan. Dengan ilmu yang kau miliki, maka kau pan-

tas disejajarkan dengan tokoh-tokoh persilatan kelas 

wahid." 

Sang guru segera berkelebat masuk ke dalam 

rumah setelah kepergian muridnya. Tak lama kemu-

dian, sang guru telah keluar kembali dengan tangan 

membawa lipatan pakaian berwarna putih yang telah 

ia persiapkan sejak sebelas tahun yang silam sebelum 

ia mendapatkan murid. Pakaian itu terbuat dari serat 

pohon yang kuat hingga dapat bertahan lama dan awet 

walau sebelas tahun disimpan.

Segera dihampiri muridnya yang masih mandi. 

Lalu ketika Arya muncul di permukaan air sendang, le-

laki tua itu berkata: "Arya, ini pakaianmu aku taruh di 

sini. Pakailah nanti setelah kau habis mandi."

"Terimakasih, Guru."

Setelah menaruh pakaian itu kembali lelaki tua 

itu berkelebat pergi meninggalkan Arya yang masih 

mandi menuju ke halaman rumahnya dan duduk di 

atas batu.

Tak lama berselang. Tampak Arya telah selesai 

mandi, datang menghampiri lelaki tua gurunya dengan 

pakaian putih bersabuk merah menyala.

Setelah dekat di hadapan sang guru, seketika 

Arya pun bersujud menyembah sembari berkata: "Te-

rimalah sembah hamba."

Mendengar ucapan muridnya, lelaki tua itu ter-

senyum penuh kebahagiaan dan berkata: "Anakku, 

Arya. Sembah mu aku terima, duduklah."

Dengan tanpa membantah, Arya pun segera 

duduk menuruti perintah gurunya yang kembali terse-

nyum dan melanjutkan kata-katanya:


"Anakku. Hari ini telah sepuluh tahun kau be-

rada di sini bersamaku. Segala ilmu yang aku miliki te-

lah aku turunkan padamu. Baik ilmu kanuragan mau-

pun ilmu batin yang menjadikan dirimu sakti mandra 

guna. Kau sekarang dapat disejajarkan dengan tokoh 

persilatan kelas wahid yang bakal disegani baik lawan 

maupun kawan. Tapi, janganlah sekali-kali kau som-

bong karena kesombongan akan menjadikan seseorang 

menjadi takabur dan lupa pada asal-usulnya. Pergu-

nakan ilmumu pada jalan kebenaran dan keadilan 

yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Bua-

nglah segala dendam karena dendam akan menjadikan 

kau dengan mudah dipengaruhi iblis..."

Arya tampak terdiam menundukkan kepala, 

sepertinya tengah menghayati makna ucapan sang 

guru.

Melihat muridnya hanya terdiam kembali sang 

guru berkata meneruskan: "Karena kau kini kesak-

tiannya setingkat dengan pendekar kelas wahid maka 

hari ini pula kau kuberi sebutan Malaikat Putih dari 

Ciremai. Hal itu, karena disesuaikan dengan nama 

yang kusandang, pendekar Malaikat Suci. Juga, kare-

na pakaianmu yang berwarna putih bersih. Sekarang 

juga, pergilah ke dunia bebas. Cari olehmu ketiga 

orang yang telah membunuh ayah, ibu, paman dan bi-

bimu. Tapi ingat anakku jangan sekali-kali kau men-

dendam. Ajaklah ketiganya kembali ke dunia lurus, bi-

la tak mau baru kau bertindak. Itupun jangan sampai 

ketelengasan, cukup diberi pelajaran. Namun bila me-

reka memang sudah tak dapat dimaafkan dosanya, 

terserah apa yang hendak kau lakukan."

"Terimakasih atas semua nasehat guru yang 

akan menjadikan sebuah tongkat penuntun jalan 

hamba, yang masih buta dengan kehidupan dan liku


likunya. Terimakasih pula atas pemberian nama Ma-

laikat Putih oleh guru pada hamba. Sesuai dengan 

nama tersebut, maka hamba akan berusaha menja-

lankan tugas hamba sebagai orang persilatan untuk 

selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan."

Malaikat Suci tersenyum dan mengangguk-

anggukkan kepala senang, demi mendengar tutur kata 

muridnya. Lalu setelah terkekeh-kekeh, Malaikat Suci 

pun kembali berkata:

"Muridku ada yang aku lupa yang belum aku 

sampaikan padamu."

"Apakah gerangan, Guru?"

"Dua puluh tahun yang silam, aku telah ben-

trok dengan seorang pendekar dari aliran sesat yang 

berilmu tinggi. Masalahnya sepele karena ingin diang-

gap paling tinggi ilmunya, pendekar itu bergelar Kera 

Siluman. Dengan ilmu-ilmu silumannya dia bermak-

sud menjatuhkan diriku. Tapi, alhamdulillah, Tuhan 

bersamaku. Hingga aku dapat mengimbangi ilmunya, 

bahkan aku mampu mengalahkannya. Merasa terka-

lahkan, kera Siluman berjanji akan mengadakan pem-

balasan dua puluh tahun kemudian tepatnya pada 

purnama kelima. Ini purnama pertama, jadi empat 

purnama lagi dia akan menungguku di Bukit Kematian 

yang letaknya di sebelah Selatan desa Cipulir. Karena 

aku merasa sudah tua, aku bermaksud mengasingkan 

diri dari dunia ramai. Untuk itu, aku meminta tolong 

padamu untuk menghadapinya. Kau siap?"

"Hamba siap, Guru?!" menjawab Arya atau si 

Malaikat Putih dengan penuh hormat, membuat Ma-

laikat Suci terkekeh-kekeh tertawa dan kembali berka-

ta:

"Nan, sekarang pergilah ke arah Timur, di sana-

lah kau dilahirkan dan dibesarkan. Di sana pula, te


patnya di desa Cipulir kau akan menemukan orang-

orang yang telah membunuh ayahmu. Tak ada yang 

dapat kuberikan untuk bekalmu, hanya do'a dan bebe-

rapa keping uang saja yang ada padaku."

Dirogohnya saku baju yang dikenakannya, 

mengambil uang dan diberikannya pada Arya yang ter-

belalak melihat uang emas di tangan gurunya banyak 

sekali.

"Ah. Jangan terlalu banyak guru memberikan 

uang padaku. Aku takut, kalau-kalau nanti menjadi 

orang pemalas."

Mendengar ucapan muridnya, si Malaikat Suci 

kembali terkekeh-kekeh dan berkata: "Ha,-ha, ha. Be-

nar kata-katamu. Baiklah, uang ini kita bagi dua saja."

Dibaginya uang yang berada di tangannya den-

gan adil, untuknya dan untuk muridnya. Akhirnya. 

Kedua guru dan murid tertawa bergelak-gelak hingga 

tubuh mereka turut terguncang-guncang. Setelah me-

nyalami dan mencium tangan gurunya, Malaikat Putih 

pun dengan diantar gurunya pergi meninggalkan gu-

nung Ciremai yang telah mengasuhnya sepuluh tahun 

lamanya. Meninggalkan gurunya yang ingin menga-

singkan diri dari dunia ramai. Dengan berlari-lari kecil, 

Malaikat Putih menuruni lereng gunung Ciremai untuk 

mengembara mencari kitab milik ayahnya yang ber-

nama kitab Inti Jagad yang setahunya berada di tan-

gan pamannya.

* * *

Jaka dan ketiga orang yang lainnya yang ten-

gah mencari Setan Api, tertarik melihat rumah yang 

hancur berantakan. Segera keempatnya menuju ke 

rumah itu yang tampaknya habis digunakan untuk


pertempuran.

Seketika keempat orang itu tersentak kaget, 

demi melihat mayat-mayat yang membusuk di rumah 

itu yang mereka kenali. Hingga karena kagetnya, seke-

tika dari mulut ketiga orang teman jaka memekik ber-

seru: 

"Setan Api!"

"Hai! Merekakah yang berjuluk Setan Api?" 

tanya Jaka.

"Benar! Mereka memang Tiga Setan Api. Tapi, 

mengapa mereka telah binasa? Siapa yang telah mem-

binasakan mereka?" bertanya Rupaksi, sepertinya per-

tanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.

"Benar, Saudara Rupaksi. Bukankah lima hari 

yang lalu mereka bentrok dengan kita?" Menambahkan 

Sendana. Ia juga kaget mendapatkan orang yang baru 

lima hari berselang bertempur dengannya telah menja-

di mayat.

Lain halnya Jaka, yang tampaknya tenang tan-

pa ekspresi kekagetan di wajahnya. Dengan penuh 

seksama Jaka memperhatikan mayat-mayat ketiga Se-

tan Api.

"Hem... rupanya mereka mati dalam kaitannya 

dengan kitab itu. Bahaya! Sungguh bahaya! Bila di-

biarkan berlarut-larut korban akan terus berjatuhan 

hanya karena ambisi yang tak mengarah pada hal-hal 

yang sebenarnya. Coba geledah tempat ini, siapa tahu 

kitab itu masih di sini," berkata Jaka setelah memerik-

sa ketiga tubuh Setan Api yang telah menjadi mayat 

dengan tubuh beracun.

Ketiga orang temannya yaitu Rupaksi, Sendana, 

dan Rekasih dengan segera berkelebat masuk ke dalam 

rumah. Digeledahnya seisi rumah, namun kitab yang 

dicari telah raib.


Dengan penuh kekecewaan, Rupaksi kembali 

menemui Jaka yang masih mengamati ketiga mayat 

Setan Api.

"Bagaimana? Apakah kau berhasil?" tanya Ja-

ka.

"Coba kau perhatikan dengan seksama, Sauda-

ra Rupaksi? Mayat-mayat ini sepertinya terkena racun 

ganas. Aku menilai bahwa orang yang melakukannya 

mempunyai ilmu racun. Apakah kau mengetahui siapa 

orangnya?"

Rupaksi seketika tercenung memikirkan siapa 

gerangan orang yang mempunyai ilmu beracun. Tak 

lama kemudian, wajah Rupaksi berubah cerah. Dan 

dengan berseru ia berkata:

"Aku ingat! Sepertinya ilmu itu milik tiga teman 

kakang Kerto Pati. Ya, dia yang memilikinya."

Mendengar penuturan Rupaksi seketika Jaka 

dan sepasang pendekar yang telah tiba di tempat itu 

tersentak dan hampir berbarengan berseru:

"Siapakah orang itu!"

"Mereka bernama Sodra, Lombang, dan Wung-

kal Gunung. Mereka juga yang telah menghabisi nyawa 

kakang Kerto Pati yang sebenarnya teman mereka sen-

diri. Ayo kita ke sana!" Mengajak Rupaksi yang segera 

diikuti oleh Jaka dan sepasang pendekar.

* * *

Seorang pemuda berpakaian putih dengan ikat 

pinggang merah, tampak berjalan menyelusuri pema-

tang sawah. Pemuda itu yang tak lain Arya atau Malai-

kat Putih tampak mengernyitkan keningnya, demi me-

lihat desa di ujung sawah yang tengah ia tapaki.

Sorot mata pemuda itu tajam memandang ke


depan di mana desa Cipulir telah tampak. Memandang 

desa Cipulir, seketika matanya berkaca-kaca. Ingatan-

nya kembali melayang pada kejadian sepuluh tahun 

yang silam. Kejadian yang telah merenggut nyawa ke-

dua orang tuanya juga paman dan bibinya.

"Ah. Desa itu mengingatkan aku pada ayah dan 

ibu, pada paman dan bibi. Sungguh biadab orang-

orang itu yang telah membunuh ayah dan ibu serta 

paman dan bibiku. Apakah aku harus tinggal diam?" 

bertanya hatinya penuh keraguan. Betapa tidak! Rasa 

kekecewaan dan dendam melanda hatinya, namun ke-

dudukannya sebagai seorang pendekar harus menjadi-

kannya bersifat adil dan bijaksana.

"Dendam! Kata guru hanyalah pertumpahan 

darah yang tak habis-habisnya. Ah, bagaimana aku 

harus bertindak?" kembali hatinya mengeluh, tak tahu 

harus berbuat apa.

Dengan langkah-langkah yang tak pasti, Malai-

kat Putih berjalan menuju ke desa Cipulir yang tampak 

di hadapan matanya. Desa yang telah menjadi tumpah 

darahnya, desa yang mengingatkannya pada kepedi-

han dan sakit hati yang sebisanya harus dipendam da-

lam-dalam.

"Sampurasun...!" Menyapa Malaikat Putih keti-

ka sampai di hadapan sebuah rumah yang mengin-

gatkannya pada kenangan sepuluh tahun yang silam.

Ditunggu beberapa saat tak ada jawaban yang 

terdengar dari dalam rumah. Hingga untuk kedua ka-

linya kembali Malaikat Putih berseru menyapa. "Sam-

purasun...!"

"Rampes...!" terdengar suara sahutan, seper-

tinya suara seorang lelaki tua. Tak lama antaranya, 

tampak seorang lelaki tua keluar menemuinya.

Melihat pemuda yang belum dikenalnya berdiri


di depan rumahnya sembari tersenyum, lelaki tua itu-

pun bertanya:

"Siapakah gerangan anak ini? Dan apakah ke-

perluannya?"

Dengan terlebih dahulu menjura hormat, Ma-

laikat Putih berkata menjawab. "Saya Arya Purbaya, 

anak Kerto Pati."

Tersentak kaget lelaki tua itu, demi mendengar 

nama-nama yang disebutkan oleh anak muda yang 

berdiri di hadapannya. Dengan penuh rasa haru ba-

gaikan anak kecil, lelaki tua itu seketika menangis dan 

memeluk tubuh Arya yang terpaku diam penuh keha-

ruan.

"Oh, rupanya kau, nak Arya? Ke mana saja kau 

selama sepuluh tahun? Kenapa tak pernah kembali?"

Malaikat Putih seketika berlinang-linang air 

matanya, demi melihat orang tua di hadapannya me-

nangis sesenggukan.

"Sudahlah, Paman Trenggono. Tak perlu paman 

menangisi apa yang telah terjadi yang telah menimpa 

diri keluargaku. Yang penting sekarang, apakah pa-

man tahu tempat paman Rupaksi?"

Lelaki tua yang ternyata Trenggono Si kusir ke-

reta keluarga Kerto Pati adanya, seketika menghenti-

kan tangisnya demi mendengar ucapan Arya. Alisnya 

seketika mengerut mendengar pertanyaan Arya. Seper-

tinya Trenggono tengah mengingat-ingat sesuatu.

"Bagaimana, Paman?" kembali Arya bertanya.

"Sebentar, nak Arya, paman ingat-ingat dulu. 

Kalau seingat paman, den Rupaksi tinggal di padu-

kuan Sawo Jajar. Ada keperluankah kau dengannya?"

"Benar! Hal ini menyangkut kitab yang ayah ti-

tipkan pada paman Rupaksi. Aku khawatir dengan ki-

tab itu di tangan paman Rupaksi."


"Hai, apa yang kau khawatirkan? Bukankah 

den Rupaksi adik seperguruan ayahmu?"

"Benar! Bukannya aku tak percaya pada paman 

Rupaksi. Namun dengan kitab itu di tangannya, aku 

khawatir orang-orang yang bermaksud jahat akan 

memburunya. Bukankah hal itu akan menjadikan pa-

man Rupaksi harus menghadapi masalah yang seha-

rusnya bukan menjadi tanggung jawabnya? Aku ber-

maksud mengambil kitab itu untuk menjaganya. Demi 

kitab itu, aku siap menghadapi segala kemungkinan 

yang bakal terjadi."

Terangguk-angguk kepala Trenggono, demi 

mendengar ucapan Arya. Dalam hati Trenggono, seke-

tika timbul kekaguman pada anak majikannya. Tak 

menyangka sebelumnya kalau Arya yang dulu kecilnya 

nakal kini mengerti akan tanggung jawab.

"Kalau itu yang menurut nak Arya baik maka 

lakukanlah dengan kebulatan tekad yang ada di hati 

nak Arya. Kapan rencananya nak Arya hendak men-

gunjungi den Rupaksi?"

"Secepatnya, Paman. Aku takut dan merasa 

khawatir dengan paman Rupaksi dan kitab itu. Aku 

mohon pamit, Paman Trenggono."

"Eh! Kenapa mesti terburu-buru. Apakah kau 

tak menyekar ke makam ayah dan ibumu dahulu?"

Mendengar penuturan Trenggono, seketika hati 

Arya bergetar. Kesedihan kembali menyelimuti hatinya. 

Kecewa dan marah pada orang-orang yang telah mem-

bunuh orang tuanya. Giginya seketika bergemeretuk 

menahan amarah menjadikan suara yang menyeram-

kan. Matanya seketika kembali berkaca-kaca, meman-

dang liar namun hampa. Nafasnya memburu, hingga 

terdengar bagaikan desahan angin prahara.

"Baiklah, Paman Trenggono. Aku hendak me


nyekar dulu ke makam ayah dan ibu. Tolong antarkan 

aku ke sana," meminta Arya.

Tanpa membuang waktu lagi, keduanyapun se-

gera pergi menuju ke makam ayah dan ibunya yang 

tak jauh dari rumah yang dihuni Trenggono.

Terduduk sujud Arya Purbaya di depan makam 

kedua orang tuanya, air matanya seketika meleleh tak 

dapat dibendung. Hati Arya bagaikan teriris-iris, pedih 

mengingat kejadian sepuluh tahun yang silam.

Melihat Arya menangis, rasa kemanusiaan 

Trenggono seketika tergugah. Dengan terisak-isak, 

Trenggono pun turut menangis.

"Sudah lah, Nak Arya. Jangan kau menangisi 

kepergian kedua orang tuamu, yang mungkin sudah 

suratan nasib. Sekarang, yang penting kau harus 

mampu membalas sakit hati mereka. Ayo kita pergi?"

kata Trenggono terbata-bata, tertahan oleh isak tan-

gisnya. Disentuhnya pundak Arya yang masih menun-

duk menangis di atas makam kedua orang tuanya.

"Ayah dan ibu. Kalau kalian tahu diriku seka-

rang, betapa kalian akan bahagia. Tapi... kenapa peta-

ka ini harus terjadi pada kalian? Kenapa mereka begitu 

keji? Kenapa? Apakah ayah dulu pernah bersalah 

hingga ayah harus menerimanya?"

Karena tak kuat menghadapi gejolak hatinya. 

Dengan menjerit, Arya Purbaya berlari meninggalkan 

Trenggono yang hanya terbengong tanpa dapat berbuat 

apa-apa.

"Akan kucari orang-orang itu! Akan kucari me-

reka sampai kutemui!" berteriak Arya penuh emosi.

Arya Purbaya terus berlari meninggalkan 

Trenggono yang semakin jauh di belakang. Karena da-

lam keadaan emosi dan dikarenakan ia adalah seorang 

pendekar yang mendapat gemblengan ilmu kanuragan


tingkat tinggi, maka setiap sepak terjang kaki dan tan-

gannya menjadikan kerusakan dan kehancuran bagi 

yang terkena.

Akhir dari rasa kekecewaan dan kekesalannya, 

dihantamnya pohon asem di hadapannya hingga han-

cur berantakan.

Karena lelah, Arya pun terduduk lemas di ba-

wah pohon jamblang.

Sayup-sayup, terdengar suara gurunya si Ma-

laikat Suci berkata: "Anakku, Arya. Sudah aku kata-

kan, jangan turuti kata hati. Ketahuilah, Nak. Bahwa 

semua yang terjadi di dunia ini tak luput dari suratan 

takdir yang telah ditentukan olehNya."

Arya Purbaya tersentak kaget dan berusaha 

mencari gurunya yang tengah bicara. "Guru, di mana-

kah engkau?"

"Aku masih di Ceremai, Anakku. Aku hanya 

mendengar suaramu, tanpa dapat melihat keadaanmu 

saat ini. Aku tersentak kaget dari semediku, kala ku-

dengar kau berteriak-teriak tak dapat mengalahkan 

perasaanmu. Sekarang sadarlah. Langkahmu harus 

mantap untuk menghadapi segala tantangan kehidu-

pan yang sering tidak kita kehendaki."

Seketika Arya Purbaya terdiam meresapi segala 

makna ucapan gurunya. Lalu kembali terdengar suara 

gurunya berkata:

"Anakku, Arya. Aku berpesan padamu, jangan 

bertindak menuruti kata hati. Bertindaklah dengan 

perhitungan, hingga tak ada yang dirugikan. Nah, te-

ruskanlah pengembaraanmu, tak lama lagi kau bakal 

mendapatkan apa yang seharusnya kau lakukan. Ber-

siaplah untuk menghadapi tantangan hidup."

"Baik, Guru. Segala yang telah guru sarankan, 

akan saya laksanakan dengan segenap jiwa saya."


"Bagus! Sekarang, teruskanlah langkahmu un-

tuk mencari kitab milik ayahmu. Selamat berjuang, 

Anakku?"

Bersamaan dengan habisnya ucapan Malaikat 

Suci, angin pun bertiup dengan kencangnya menyapu 

dedaunan di sekitar tempat Arya terduduk.

Arya Purbaya segera memusatkan segala panca 

indranya untuk bersemedi, mengembalikan segalanya 

pada yang berwenang. Setelah dirasa cukup, Arya Pur-

baya atau si Malaikat Putih segera berkelebat pergi 

menuju ke Utara di mana pedukuan Sawo Jajar bera-

da.


LIMA



Pedukuan Sawo Jajar tampak ramai, meskipun 

hanya merupakan pedukuan kecil. Penduduknya yang 

berniaga mata pencahariannya, menjadikan padukuan 

Sawo Jajar banyak dikunjungi orang. Di samping itu 

pula, letak padukuan Sawo Jajar strategis untuk lalu 

lintas perhubungan darat.

Siang itu, seorang pemuda tengah berjalan me-

nyusuri jalan, yang menjadi jalan utama di pedukuan 

Sawo Jajar.

Pemuda yang tak lain Arya Purbaya, tampak 

berjalan dengan lenggang. Matanya yang tajam setajam 

mata rajawali, selalu memandang pada deretan rumah-

rumah di sepanjang jalan.

"Ah! Bodoh benar aku. Bagaimana mungkin 

aku akan dapat menemukan rumah paman Rupaksi, 

kalau aku tak menanyakannya pada orang? Aku akan 

mencoba bertanya pada nelayan itu," berkata hati


Arya, yang seketika menghampiri nelayan yang berja-

lan ke arahnya.

"Sampurasun...!" menyapa Arya pada nelayan 

itu, yang seketika menengadahkan mukanya meman-

dang pada Arya sembari membalas salam.

"Rampes...! Ada apakah Ki Sanak menghadang 

langkahku?"

"Maaf. Aku telah mengganggu langkahmu. Ka-

lau boleh aku bertanya, di manakah rumah paman 

Rupaksi?"

Nelayan muda itu sesaat menatap kembali pada 

Arya demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan 

Arya padanya. Setelah sesaat terdiam memandang 

Arya, nelayan muda itu berkata balik bertanya:

"Yang Ki Sanak maksud. Apakah pendekar Ru-

paksi?"

"Benar, Ki Sanak." menjawab Arya, menjadikan 

nelayan muda itu mengangguk-anggukan kepalanya 

mengerti. Lalu dengan ramah, nelayan muda itupun 

kembali berkata: 

"Ayo, aku antarkan. Aku sendiri dekat dengan-

nya sebab rumahku bertetangga dengan pendekar Ru-

paksi."

Keduanya segera berjalan menuju ke tempat 

yang dituju.

"Besarkah pendapatan Ki Sanak sebagai seo-

rang nelayan?" tanya Arya pada nelayan muda itu kala 

keduanya berjalan.

Sesaat nelayan muda itu menatap Arya penuh 

selidik, sebelum akhirnya menjawab: "Sebenarnya be-

sar, tapi karena adanya pungutan uang keamanan 

yang tidak seimbang, maka habislah pendapatan kami 

para nelayan."

"Apa! Uang keamanan?" Arya terkejut.


"Ya! Kalau kami tak memberi, maka siksaan 

dan deraanlah yang kami terima dari mandor Damad."

"Apakah sudah ada perjanjian sebelumnya?"

"Perjanjian? Boro-boro perjanjian. ngasih tahu 

saja tidak!" menjawab nelayan muda setelah kembali 

memandang pada Arya yang seketika mengerutkan alis 

matanya.

"Kau tahu rumah mandor Damad?"

"Mau ngapain?"

"Aku mau menemuinya," menjawab Arya, yang 

membuat terbelalak mata nelayan muda itu dan me-

mandang tajam pada Arya seperti tak percaya.

"Kenapa?" bertanya Arya kembali.

"Percuma," jawab nelayan muda itu singkat, se-

pertinya was-was.

"Kenapa?"

Sesaat nelayan muda itu menghela napas men-

dengar pertanyaan Arya, sebelum akhirnya kembali 

berkata:

"Sudah banyak orang yang hendak menyadar-

kannya, tapi semua menemui kebuntuan. Ada yang 

mundur, ada pula yang mati disiksa oleh centeng-

centeng mandor Damad yang kejam." 

"Hem, begitu?"

"Ya. Karena kekejaman mereka, kami para ne-

layan tak berani menghadapinya."

Arya tercenung seakan ia tengah berpikir. Ma-

tanya menyipit memandang pada nelayan muda di 

sampingnya yang juga mengernyitkan alis matanya.

Kedua orang itu terdiam, melangkah terus me-

nyusuri pantai. Dalam hati Arya, bergejolak perasaan 

ingin menolong nelayan-nelayan itu. Maka dipu-

tuskannya, setelah menemui pamannya akan menda-

tangi mandor Damad.



"Ini rumahku dan itu tiga rumah dari sini ada-

lah rumah Ki Rupaksi. Ayo mampir dulu?" berkata ne-

layan muda itu.

"Ah, terimakasih. Nanti setelah aku dari rumah 

paman aku akan mampir bila ada waktu. Terimakasih 

atas pertolonganmu,, Ki sanak. Mari...?" menjawab 

Arya, yang segera pergi meninggalkan nelayan muda 

itu yang memandang kepergiannya dengan penuh ke-

tidak mengertian.

"Sampurasun...!?" memberi salam Arya Pur-

baya, kala telah sampai di rumah pamannya. 

"Rampes...!?" Terdengar jawaban dari dalam.

Sepertinya suara wanita. Tak lama kemudian, 

seorang wanita setengah baya ke luar menemui Arya.

Melihat orang tua di hadapannya, tanpa dapat 

dicegah Arya segera bersujud memeluk kaki wanita itu 

sembari menangis membuat wanita itu terbengong-

bengong tak mengerti.

"Bibi, apakah bibi lupa pada saya?"

"Kamu siapa?" tanya wanita tua itu pada Arya, 

karena belum mengetahui siapa adanya pemuda yang 

saat itu menangis sembari memeluk kakinya.

"Bibi, saya Arya. Arya Purbaya, Bibi?"

"Arya Purbaya anak mbakyu Sukanti dan 

kangmas Kerto Pati?" tanya wanita itu ingin memasti-

kan dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Arya. 

Seketika wanita itu segera memeluk Arya dan menan-

gis tersedu-sedu setelah tahu siapa adanya anak muda 

di hadapannya.

"Anakku, malang benar nasibmu, nak?!"

Kedua bibi dan kemenakan itu menangis sem-

bari berpelukan, melepas segala kepiluan dan rasa 

rindu yang mendalam di hati keduanya.

"Bibi... ke manakah paman Rupaksi?" tanya


Arya, setelah sekian lama terhanyut dalam tangis

Dengan terlebih dahulu mengusap air mata, 

sang bibi menceritakan tentang suaminya yang diburu 

oleh orang-orang persilatan yang menghendaki kitab 

Inti Jagad.

"Jadi sekarang paman tengah diburu?"

Bergelegar hati Arya, seakan ada sejuta halilin-

tar yang menghantam di hatinya. Perasaannya seketi-

ka menuntut agar dia segera menemui orang-orang 

yang sepantasnya disingkirkan.

"Baiklah, Bibi. Aku akan mencari paman, 

do'akan agar aku dapat dengan segera menemui pa-

man."

"Ya, bibi do'akan. Hati-hati, anakku!"

Setelah mencium tangan bibinya, Arya pun se-

gera pergi meninggalkan rumah bibinya untuk mencari 

pamannya sekaligus musuh-musuh ayahnya yang ja-

hat.

Ketika Arya lewat di depan rumah nelayan mu-

da yang tadi menemaninya, dan menunjukkan rumah 

pamannya. Seketika ia teringat pada rencananya men-

datangi juragan Damad, yang bertindak sewenang-

wenang pada warga. Maka segera dihentikan langkah 

kakinya balik menuju ke rumah nelayan muda.

"Sampurasun...!" menyapa Arya.

"Rampes...!" terdengar suara orang lelaki, men-

jawab salam Arya. Dan tak lama kemudian tampak ne-

layan muda itu keluar dari dalam rumahnya.

"Eh, Ki Sanak. Ayo masuk?"

"Ah, terimakasih, Ki Sanak. Sebenarnya aku in-

gin meminta tolong pada Ki Sanak, yaitu masalah ju-

ragan Damad. Kalau Ki Sanak tak keberatan, saya 

minta tolong untuk mengantar saya ke rumahnya."

"Untuk apa?" nelayan muda itu terbelalak, demi


mendengar maksud Arya.

"Sekarang aku belum bisa menjawab, nanti pun 

aku rasa Ki Sanak akan mengerti."

Tercenung nelayan muda itu memandang pada 

Arya seakan ada kebimbangan di hatinya. Melihat hal 

itu, dengan tersenyum Arya kembali berkata menje-

laskan:

"Ki Sanak. Janganlah Ki Sanak bimbang dan 

menaruh sakwa sangka padaku, yang bermaksud baik 

pada kalian. Yang penting, tunjukanlah rumah juragan 

Damad. Aku akan pergi ke sana sendiri kalau Ki Sanak 

tak mau ikut."

Sejenak nelayan muda itu kembali terdiam, 

berpikir sesuatu sebelum akhirnya berkata: "Baiklah, 

aku akan ikut denganmu."

Tanpa membuang waktu lagi, keduanya pun 

segera menuju ke rumah juragan Damad. Rumah jura-

gan Damad ternyata tak jauh dari rumah nelayan mu-

da itu, hingga tak begitu lama keduanya berjalan telah 

sampai pada yang dituju.

"Itu rumahnya!" berkata nelayan muda, seraya 

menunjuk pada rumah besar di depan, tak jauh dari 

mereka berdiri.

"Kau mau ikut ke dalam, Ki Sanak?" tanya Arya 

pada nelayan muda itu, yang untuk kesekian kalinya 

terjengah diam memandang pada Arya.

"Bagaimana? Apa mau ikut ke dalam?" Kembali 

Arya bertanya, demi melihat nelayan muda itu masih 

terdiam.

"Ayolah!" menjawab nelayan muda, membuat 

Arya tersenyum. Dengan segera, keduanya pun berke-

lebat menuju ke rumah besar di hadapannya.

"Sampurasun...!" menyapa Arya pada centeng-

centeng juragan Damad yang saat itu tengah berjaga.


Ketiga centeng juragan Damad tersentak kaget begitu 

mendengar ucapan salam yang diucapkan Arya yang 

tak diketahui datangnya.

"Siapa kau!" membentak seorang centeng yang 

badannya tinggi gede dan bermuka menyeramkan den-

gan kumis dan jenggot lebat seperti tak pernah dicu-

kur.

"Aku ingin bertemu juragan mu," menjawab 

Arya. Sementara itu, nelayan muda tampak ketakutan 

dan berdiri bersembunyi di belakang tubuhnya.

"Kau belum kami kenal, ada kepentingan apa 

kau dengan juragan kami?" kembali orang yang berba-

dan besar bertanya, sepertinya memandang enteng pa-

da pemuda di hadapannya.

Sesaat Arya tersenyum, lalu dengan menghor-

mat menjura Arya kembali berkata: "Apakah itu perlu 

kau ketahui? Aku khawatir nanti juragan mu marah 

bila aku mengatakannya padamu. Nah, sekarang kata-

kan pada juragan mu bahwa ada orang yang ingin me-

nemuinya ingin menanyakan masalah tempo hari."

Sejenak centeng itu kembali memandang Arya, 

sebelum akhirnya berkata: "Baik! Tunggu sebentar aku 

akan menghadap juragan ku dulu."

Setelah berkata begitu, sang centeng segera 

berkelebat menuju ke dalam rumah untuk memberi 

tahukan pada majikannya.

"Suruh orang itu menunggu sebentar!" terden-

gar suara orang yang sepertinya suara juragan Damad. 

Tak lama antaranya, centeng itupun kembali menemui 

Arya.

"Anda disuruh menunggu sebentar," berkata 

centeng memberi tahukan pada Arya yang mengang-

guk. Habis ucapan si centeng, dari dalam rumah seo-

rang lelaki gendut keluar menemui mereka.


Lelaki gendut itu mengerutkan dahinya saat 

melihat orang yang datang yang belum ia kenal sama 

sekali.

"Wongso! Mana orang yang kau maksud?" ber-

seru juragan Damad marah merasa telah dipermain-

kan oleh anak muda yang kini tersenyum sinis walau 

ramah.

Terbelalak bingung centeng yang bernama 

Wongso, demi melihat kemarahan juragannya. Seketi-

ka matanya memandang tajam dan bengis pada Arya 

yang tampaknya tenang sembari berkata:

"Apa kabar, juragan Pemeras? Badanmu ber-

tambah gendut saja sekarang. Apa karena makin ba-

nyak uang haram yang kau makan?"

Menggeram marah juragan Damad, demi men-

dengar ucapan yang dilontarkan Arya. Begitu juga 

sang centeng, tampak gusar mendengar juragannya di-

ejek begitu rupa. Sedangkan nelayan muda yang bera-

da di belakang Arya, tampak menggigil ketakutan.

Demi melihat juragan dan centengnya marah, 

Arya bagai orang gila tertawa bergelak-gelak. Lalu den-

gan suara yang dibuat sengau, Arya kembali berkata:

"Persis! Persis lintah yang bertemu seekor ular 

tampang kalian yang kedoknya terbongkar. Juragan 

Damad, kuminta padamu untuk segera mengembali-

kan yang bukan hakmu pada penduduk. Aku takut 

bencana akan datang menimpamu kalau kau tak sege-

ra sadar."

"Slompret! Kurang ajar! Berani kau menggurui

ku, Anak muda! Wongso, tangkap pemuda gila itu dan 

jebloskan ke dalam penjara bahwa tanah!"

Demi mendengar perintah juragannya segera 

Wongso dan kedua anak buahnya menyerang Arya.

Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadikan


Arya yang telah mendapat nama dari gurunya Malaikat 

Putih keteter. Bahkan dengan tertawa-tawa bagaikan 

tengah bercanda, dengan mudahnya Arya mengelak-

kan semua serangan centeng-centeng juragan Damad.

Merasa musuhnya licin bagaikan belut, alot ba-

gaikan inti kayu asem. Centeng-centeng juragan Da-

mad bukannya segera menyadari bahkan dengan ma-

kin ganas mereka berusaha mencerca tubuh Arya.

"Ha... ha... ha...! Inikah yang kau banggakan, 

Juragan? Untuk apa kau pelihara tikus-tikus ini? Atau 

memang untuk menakut-nakuti para nelayan agar me-

reka takut?"

Makin marah centeng-centeng juragan Damad, 

yang dengan membentak berkata sembari terus me-

nyerang.

"Bedebah! Rupanya kau belum tahu siapa ka-

mi, yang dijuluki tiga Badak dari padukuan Sawo Jajar 

hingga kau begitu lancang berbicara! Ayo teman-

teman, kita habisi anak sundel ini!"

Dengan serentak, ketiga centeng juragan Da-

mad kembali menyerang Arya yang masih tersenyum-

senyum mengejek

"Maaf! Karena aku tak ada waktu panjang un-

tuk bermain-main, maka akan kubantu kalian istira-

hat. Hiat...!" Bersamaan dengan habis ucapannya, se-

ketika tubuh Arya berkelebat melenting ke angkasa 

membuat ketiga centeng juragan Damad terbelalak me-

lihatnya.

Tengah ketiga centeng itu tersentak, tiba-tiba 

Arya telah menukik ke arah mereka. Dan dengan cepat 

Arya mengibaskan tangannya diikuti dengan meme-

kiknya suara ketiga centeng juragan Damad yang am-

bruk terkulai di tanah dengan tubuh lemas.

Terbelalak kaget juragan Damad menyaksikan


keadaan ketiga centengnya yang tergeletak bagaikan 

anak kecil. Ketiga centeng itu menangis meminta dibe-

baskan dari keadaannya.

"Tuan pendekar, ampunilah kami. Kami men-

gaku kalah," meratap ketiganya hampir bersamaan, 

yang menjadikan juragan Damad marah. Dengan ter-

lebih dahulu menggeram, juragan Damad membentak 

sembari menyerang Arya yang tertawa-tawa seraya 

berkata: 

"Bagus! Memang kau yang ku kehendaki, kau 

harus bertanggung jawab atas semua penderitaan ra-

kyat padukuan Sawo Jajar ini."

"Slompret! Jangan kira aku takut denganmu, 

Anak Sundel! Walaupun kau dapat melumpuhkan ke-

tiga centeng ku namun aku tak mau menyerah pada-

mu begitu saja. Ayo, kita buktikan, siapa diantara kita 

yang harus pergi dari dunia ini!" membentak marah ju-

ragan Damad hingga matanya yang lebar melotot ham-

pir keluar.

Maka tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang 

itupun seketika terlibat perkelahian. Dengan dilandasi 

amarah yang meluap-luap, juragan Damad menyerang 

Arya dengan membabi buta.

"Wah, wah, wah! Jurus-jurusmu begitu kaku, 

Juragan. Apakah karena kegendutan mu yang banyak 

menghisap uang nelayan atau karena sudah terbiasa 

ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaanmu yang 

diperoleh dengan cara yang tak halal, hingga kau ma-

las untuk memperlancar jurus-jurusmu?"

Makin marah dan gusar juragan Damad, demi 

mendengar kata-kata Arya yang bernada mengejeknya. 

Maka dengan penuh amarah, Juragan Damad mengge-

ram sembari menyerang.

"Jangan banyak bacot, Sompret! Jangan salah


kan aku kalau aku nanti bertindak telengas!"

"Ha... ha... ha...! Apa yang dapat kau lakukan 

dengan tubuhmu yang gendut itu? Paling-paling, pan-

tasnya kau menangkap bangkong. Ha.... ha.... ha...!" 

Kembali Arya bergelak tawa, mendengar ucapan jura-

gan Damad.

"Slompret! Bersiaplah, anak muda? Jangan 

sampai kau lengah yang akan mengakibatkan kema-

tianmu!" Habis berkata begitu, juragan Damad tampak 

melompat mundur. Kakinya ditekuk berlutut, dengan 

tangan menyilang di dadanya. Mulut juragan Damad 

tampak berkomat-kamit membaca sesuatu mantra, 

sementara matanya terpejam rapat. Tak berapa lama 

kemudian dari tubuh juragan Damad tampak menge-

pul asap hitam bergulung-gulung mengangkasa. Perla-

han-lahan, tampak perubahan di badan juragan Da-

mad. Bersamaan dengan hilangnya tubuh juragan 

Damad, seketika asap tebal itu berubah membentuk 

sosok tubuh yang mengerikan.

"Ilmu Iblis! Hem, rupanya ia pengikut siluman 

babi, hingga ia dapat mengubah ujudnya menjadi ma-

nusia berkepala babi. Baik! Akan ku lawan dengan ini! 

Hiat...!" Bersamaan dengan melompatnya tubuh ma-

nusia berkepala babi hendak menyerangnya, seketika 

Arya Purbaya segera memapakinya menyerang.

"Duar!" Terdengar ledakan dahsyat, kala kedua 

orang itu bertemu di udara mengadu tenaga. Keduanya 

terpental mundur ke belakang dengan keadaan yang 

tak sama. Malaikat putih tampak hanya mengegoskan 

tubuhnya mencari keseimbangan dan berdiri lagi den-

gan kuda-kuda lagi. Sementara di lain pihak, juragan 

Damad tampak terpelanting roboh dengan cap tangan 

di dadanya.

Nelayan muda yang sedari tadi ketakutan, tampak mengurai senyum demi melihat apa yang terjadi. 

Juragan Damad yang ditakutinya telah mati menemui 

ajal di tangan pemuda yang baru dikenalnya.

Sementara itu, ketiga centang juragan Domad 

nampak makin ketakutan saja melihat juragannya te-

lah binasa. Dengan meratap bagaikan anak kecil, keti-

ga centeng yang lumpuh itu meminta maaf.

"Tuan pendekar, ampunilah nyawa kami. Kami 

kapok, tak akan berani mengulangi melawan tuan."

"Ki Sanak. Lumpuh yang kau derita disebabkan 

oleh diri kalian sendiri. Maka lumpuh kalian akan 

sembuh bila kalian berbuat kebajikan. Dan meminta 

ampun pada diri kalian sendiri yang merasa telah dik-

hianati. Namun bila kalian kembali bermaksud jahat 

maka kalian akan menemukan kelumpuhan lagi."

Tersentak kaget ketiga centeng itu sebab baru 

mendengar ilmu yang aneh. Ilmu yang dapat berjalan 

sendiri walau tak dilancarkan oleh si pemilik.

"Nah! Kalau kalian telah berjanji pada hati kecil 

kalian akan berbuat kebajikan maka aku rasa kalian 

akan sembuh dengan sendirinya. Sebaliknya jika ka-

lian hendak mengingkari, ilmu itu akan bereaksi den-

gan sendirinya. Selamat tinggal!"

Tanpa dapat dicegah oleh nelayan muda yang 

seketika ketakutan, Aryapun berkelebat pergi mening-

galkan ketiga centeng juragan Damad.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Arya 

Purbaya tentang ilmu yang telah dilancarkan pada ke-

tiga centeng juragan Damad. Terbukti, ketika dalam 

hati mereka berjanji akan selalu berbuat baik dan 

meminta tobat pada yang Kuasa. Maka saat itu pula, 

tubuh mereka yang tadinya lemas bagaikan tak bertu-

lang sembuh seketika seperti sedia kala. Nelayan muda 

itu makin ketakutan dan hendak berlari ketika terden


gar ketiga centeng juragan Damad yang telah terbebas 

itu berteriak memanggilnya.

"Ki Sanak, jangan kau takut. Kami tak akan 

mengganggumu, karena kami sekarang sadar dan in-

syaf. Maukah Ki Sanak menolong kami untuk meminta 

maaf pada teman-teman Ki Sanak?"

Nelayan muda yang tadinya hendak lari segera 

menghentikan langkahnya dan memandang pada keti-

ga centeng juragan Domad yang kini berjalan meng-

hampirinya.

"Ki Sanak. Kami ingin mengundang semua ne-

layan di sini untuk membagi harta yang telah kami da-

pat dari kalian. Maka itu, kami meminta tolong pada-

mu untuk memanggil seluruh warga pedukuan Sawo 

Jajar. Soma, kau temanilah Ki Sanak ini," berkata 

Wongso, menyuruh pada Soma untuk menemani ne-

layan muda.

"Baiklah, Kakang Wongso. Ayo, Ki Sanak?!" ajak 

Soma yang diangguki oleh nelayan muda itu. Kedua-

nya pun segera menuju kampung warga untuk mem-

beri tahukan hal itu.

Sore harinya, semua penduduk padukuan Sawo 

Jajar berbondong-bondong datang ke tempat juragan 

Damad untuk mendapatkan bagiannya masing-

masing.

Sebagai rasa kegembiraan penduduk Pedukuan 

Sawo Jajar kepada ketiga centeng juragan Damad, ma-

ka penduduk pun mengangkat mereka menjadi ketua 

pedukuan yang selama ini kosong.

***

6

ENAM


"Mana kitab itu, Somad?" bertanya seorang le-

laki yang wajahnya hampir mirip dengan Iblis Alas Wa-

ru kepada Somad yang nampaknya tunduk dan takut.

"Ada, Wanara Seta. Kitab itu ada pada kami 

namun kami juga meminta janjimu. Mana Pedang Si-

luman Darah yang katanya telah kau dapatkan?"

Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Wanara 

Seta tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan masih terta-

wa, Wanara Seta berkata: "Sodra, kalau kau mengin-

ginkan pedang Siluman Darah dariku, aku minta ka-

lian datanglah nanti pada malam Jum’at di kala bulan 

purnama kelima. Di sana, di tempatku, kalian akan 

mendapatkannya sekaligus mendapat tontonan yang 

menyenangkan. Nah, sekarang serahkan kitab itu pa-

daku dan datanglah tepat di malam bulan purnama 

kelima."

Sodra mengeryitkan alis matanya, demi men-

dengar ucapan Wanara Seta yang kembali tertawa 

sembari melanjutkan berkata demi melihat Sodra se-

pertinya tak mempercayainya.

"Sepertinya kau tak percaya padaku, Sodra?"

"Bukan begitu. Tapi layaknya seorang peda-

gang, maka aku perlu mendapat gantinya, bukan?"

Sesaat Wanara Seta mengangguk-anggukan 

kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata: "Baik-

baik." Dirogohnya kantong bajunya dan diambilnya se-

buah benda yang membikin mata Sodra terbelalak se-

raya memekik:

"Hai. Bukankah itu Mutiara Sakti? Bukankah 

mutiara itu telah lenyap?"

"Benar. Ini Mutiara Sakti yang telah menggem-

parkan dunia persilatan seperempat abad yang silam. 

Mutiara ini, aku dapatkan atas pemberian pendekar


muda. Cukupkah ini untuk pengganti sementara Pe-

dang Siluman Darah?" bertanya Wanara Seta, yang di-

jawab dengan kegembiraan Sodra.

"Cukup-cukup. Baiklah, sebentar aku ambilkan 

kitab itu. Sekalian aku memanggil kedua temanku." 

Setelah berkata begitu, Sodra pun segera berlalu me-

ninggalkan Wanara Seta yang hanya tersenyum sem-

bari berkata di hatinya:

"Bodoh, bodoh. Mana mungkin kau menda-

patkan Mutiara Sakti? Jangankan aku, guruku pun 

kalau masih hidup mungkin tak dapat merebutnya. 

Bodoh! Dasar bodoh. Mutiara palsu, dianggapnya mu-

tiara Sakti."

Selang beberapa lama kemudian tampak Sodra 

dan kedua temannya telah datang sambil membawa ki-

tab Inti Jagad di tangannya.

"Wanara Seta, ini Kitab yang kau maksud. Se-

karang berikan Mutiara Sakti itu pada kami," berkata 

Lombang.

"Ini mutiaranya. Sekarang aku ingin melihat 

dulu benar atau tidak kitab itu. Bukalah!"

Dengan segera, Sodra yang mendapat anggukan 

dari kedua temannya segera membuka bungkusan 

kain putih. Tampak sebuah kitab yang memancarkan 

sinar kala bungkusan itu telah dibuka. "Bagaimana, 

Wanara Seta? Apakah puas?" 

"Ya! Ini Mutiara Sakti sebagai pengganti semen-

tara Pedang Siluman Darah yang boleh kalian ambil 

saat bulan purnama kelima sambil menyaksikan per-

tunjukan yang menyenangkan."

Tanpa rasa curiga, ketiga orang itupun segera 

memberikan kitab Inti Jagad pada Wanara Seta yang 

memberikan jaminannya dengan batu Mutiara Sakti 

palsu.


Setelah mendapatkan Kitab Inti Jagad, dengan 

tertawa riang Wanara Seta berkelebat pergi meninggal-

kan ketiganya yang juga tersenyum puas mendapatkan 

Mutiara Sakti.

* * *

Tampak dari kejauhan oleh Malaikat Putih, em-

pat orang tengah berjalan menuju ke arahnya. Empat 

orang itu, tiga lelaki dan satu wanita muda cantik.

"Siapa mereka? Sepertinya searah dengan tuju-

anku?" bertanya Malaikat putih dalam hati, yang sege-

ra menghentikan langkah kakinya.

Saat keempat orang itu telah agak dekat den-

gannya, tersentak Malaikat putih demi mengetahui se-

seorang di antara mereka yang tak lain dari pada Ru-

paksi, pamannya.

"Sampurasun...!" menyapa Malaikat putih. 

"Rampes...!" menjawab keempatnya hampir 

bersamaan.

"Paman...? Paman Rupaksi?" 

Tersentak Rupaksi dan ketiga temannya, Jaka, 

dan sepasang pendekar demi mendengar pemuda itu 

menyebut nama Rupaksi.

Karena tak tahu siapa sebenarnya pemuda 

yang kini berdiri di hadapannya, maka bagaikan orang 

linglung Rupaksi pun bertanya pada pemuda itu:

"Anak muda, kau mengenalku dan menyebutku 

paman. Siapakah dirimu sebenarnya?"

"Ah, benar. Mungkin paman telah lupa padaku. 

Namaku Arya Purbaya, aku...."

Belum habis ucapan Arya si Malaikat Putih. 

Seketika Rupaksi telah memotong ucapannya. Dengan 

menangis memeluk Arya si Malaikat Putih yang ternya


ta kemenakannya sendiri.

"Kaukah ini kemenakan ku?"

"Ya, Paman! Aku memang kemenakan mu yang 

hilang sepuluh tahun yang silam kala terjadi keributan 

di desa Cipulir."

Bagaikan tak melihat ada orang lain di tempat 

itu. Kedua paman dan kemenakan itu saling tangis be-

rangkulan. Hingga membuat ketiga orang yang lain 

ikut terharu melihatnya.

"Kau telah besar, Anakku. Tak kusangka, kalau 

aku masih dapat dipertemukan denganmu."

"Sudahlah, Paman, tak perlu kita bertangis ra-

tap yang akan melemahkan semangat kita. Bukankah 

kita sekarang tengah mencari orang yang telah mem-

bunuh dan mengejar-ngejar paman? Oh ya, Paman. 

Apakah kitab Inti Jagad masih aman di tangan pa-

man?"

Mendengar pertanyaan kemenakannya, seketi-

ka Rupaksi kembali menangis. Membuat Malaikat Pu-

tih mengernyitkan keningnya tak mengerti apa yang 

tengah terjadi.

"Ki Sanak Arya, kami saat ini pula tengah men-

cari kitab yang telah dicuri orang. Kitab itu tadinya di-

ambil oleh Tiga Setan Api yang telah mati oleh orang 

lain yang kini tengah kami hendak datangi," berkata 

Jaka mewakili Rupaksi yang masih menangis karena 

menyesal atas ketidak mampuannya menjaga kebera-

daan kitab itu.

Mendengar ucapan Jaka Ndableg, seketika Ma-

laikat Putih Arya Purbaya tersentak dan memandang 

ke arah Jaka sembari bertanya. "Siapakah kini yang 

mengambil kitab itu, Ki Sanak?"

"Aku juga tak mengenalnya, maafkan aku. Ta-

nyakanlah pada paman Ki Sanak, yang mengenal siapa



mereka sebenarnya."

"Anakku Arya, orang-orang yang kini mengua-

sai kitab milik ayahmu tak lain daripada orang yang 

telah memperdayai ibumu. Kau mengenalnya, bukan?"

Malaikat Putih Arya Purbaya tercenung sesaat, 

sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu. Lalu iapun 

berkata: "Mengenai namanya, aku tak tahu. Namun 

wajah-wajah mereka, aku masih ingat betul."

"Itulah orang-orangnya, yang kini menguasai 

kitab Inti Jagad. Kami sendiri, hendak menuju ke sana 

untuk sedapatnya meminta kitab itu. Dan di sini, kita 

bertemu. Oh ya anakku, perkenalkan ketiga orang ga-

gah ini adalah teman paman. Yang sepasang pemuda-

pemudi bernama Sendana dan Rekasih. Keduanya 

adalah pendekar dari wetan, bergelar Sepasang Pende-

kar. Sementara yang seorang lagi bernama Jaka atau 

Pendekar Pedang Siluman dari kawah Candra Bilawa. "

Tanpa diperintah, ketiga pendekar itu menjura 

hormat. Malaikat putih tersentak sembari menggumam 

demi mengetahui salah seorang dari mereka adalah 

orang yang sering diceritakan gurunya.

Maka dengan balik menjura, Malaikat putih 

yang tersentak kaget tak nyana bakal bersua dengan 

orang nomor wahid di dunia persilatan dan berkata:

"Ah... sungguh saya yang rendah ini tak tahu 

diri telah bertingkah tak hormat pada tuan Pendekar 

Pedang Siluman. Maka dengan rendah hati, aku mo-

hon maaf."

"Ah, kenapa Ki Sanak Arya begitu meninggikan 

ku? Padahal aku tak lebihnya dari diri Ki Sanak. Kalau 

Ki Sanak menganggap aku ini pendekar, sungguh sua-

tu yang terlalu tinggi."

Mendengar penuturan Jaka Ndableg, seketika 

Malaikat Putih bergumam di hati: "Sungguh-sungguh


seorang pendekar sejati, rendah hati dan baik tutur 

katanya."

"Tuan Pendekar terlalu merendah. Karena me-

nurut cerita guru, tuan Pendekar merupakan salah sa-

tu pendekar wahid."

"Oh...sungguh mengada-ada. Mana mungkin 

pendekar kelas wahid seperti tampangku? Oh ya, ka-

lau boleh aku tahu. Siapakah guru Ki Sanak?" tanya 

Jaka Ndableg.

"Guru saya yang bodoh ini, bernama Malaikat 

Suci."

Tersentak kaget keempat orang termasuk Ru-

paksi yang tak mengira kemenakannya adalah murid 

tunggal Malaikat Suci yang kesohor dan belum mem-

punyai murid seorangpun.

"Jadi sesuai silsilah, berarti Ki Sanakpun men-

dapat gelar Malaikat. Bukankah begitu, Ki Sanak?" 

tanya Jaka mengejutkan Malaikat putih.

"Ah... Tuan pendekar di samping berilmu tinggi, 

juga memiliki wawasan yang panjang. Maka dengan 

tanpa mampu mengelak, aku yang rendah ini membe-

narkan ucapan Tuan Pendekar. Memang guru memberi 

gelar padaku Malaikat Putih."

"Beruntung kau, Anakku. Karena tokoh sakti 

itu telah berkenan mengangkatmu sebagai murid. Pa-

dahal tak jarang ia menolak orang untuk menjadi mu-

ridnya." Rupaksi yang sedari tadi hanya mendengarkan 

kemenakannya bertutur kata dengan Pendekar Pedang 

Siluman kini nimbrung bicara.

"Memang benar apa yang dikatakan oleh pa-

manmu, Ki Sanak. Kau beruntung diangkat murid 

olehnya, yang tak mau menerima murid kalau tidak 

berkenan di hatinya," menambahkan Sendana. 

"Ah! Sudahlah, jangan karena membicarakan


seseorang lalu kita lalai dengan tujuan kita. Bagaima-

na? Apakah kita akan di sini saja bercakap-cakap? 

Aku khawatir orang yang kita cari telah meninggalkan 

tempatnya," kata Rekasih menjadikan keempat lelaki 

itu tersadar.

"Benar, apa yang dikatakan saudari Rekasih. 

Kalau kita terus-terusan di sini bisa-bisa orang-orang 

itu telah pergi meninggalkan tempatnya. Ayo kita te-

ruskan sambil berjalan ngobrolkan bisa?"

Ketiga lelaki lainnya tersenyum-senyum demi 

mendengar ucapan Jaka yang bernada lucu.

Tanpa banyak kata lagi, kelima orang itupun 

kembali meneruskan perjalanan yang telah tertunda 

menuju ke tempat yang dituju.

"Setan alas! Kita telah ditipu mentah-mentah 

oleh si Wanara Seta keparat! Mutiara ini bukan yang 

aslinya tapi palsu!"

Tersentak Sodra dan Wungkal gunung, demi 

mendengar caci maki temannya. Seketika, keduanya 

yang berada di depan rumah segera berlari ke bela-

kang.

"Ada apa, Lombang? Sepertinya kau marah-

marah," bertanya Sodra setelah mendapatkan Lom-

bang yang tengah membanting sesuatu.

"Hai! Kenapa kau banting Mutiara Sakti itu, 

Lombang?"

Wungkal Gunung pun tak kalah kagetnya meli-

hat Lombang membanting Mutiara Sakti.

"Kita telah ditipu mentah-mentah oleh si Wana-

ra Seta! Lihat! Kalau memang mutiara itu, Mutiara Bi-

ru. Maka akan mengeluarkan hawa panas bila digosok 

dengan senjata pusaka."

Mendengar ucapan Lombang, seketika kedua-

nya tersentak dan menggumam umpatan.


"Benar! Ternyata Wanara Seta memang telah 

membohongi kita, dengan mutiara buatannya. Babi 

buntung! Lalu apa yang harus kita lakukan? Sedang 

untuk menghadapinya belum tentu kita akan mampu," 

Sondra sepertinya putus asa mengingat ilmu 

Wanara Seta jauh lebih tinggi dibanding ilmu mereka 

bertiga.

Ketika ketiga orang itu tengah dilanda kebin-

gungan untuk mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar 

suara orang memberi salam.

"Sampurasun...!"

"Rampes...!" menjawab ketiganya hampir berba-

rengan, dan dengan segera menuju ke muka rumah. 

Mata mereka seketika tersentak kaget, demi melihat 

Rupaksi dan teman-temannya yang datang.

"Selamat berjumpa lagi sahabat-sahabat. Lama 

kita tak berjumpa. Bagaimana keadaan kalian?" me-

nyapa Rupaksi pada ketiganya yang seketika terse-

nyum menyengir sepertinya menganggap enteng orang-

orang yang bersama Rupaksi. Maka dengan congkak-

nya Lombang berkata:

"Rupaksi, apakah kau datang ke mari untuk 

menuntut balas kematian kakakmu, Kerto Pati? Kalau 

memang hal itu, kau datang jauh-jauh ke mari percu-

ma! Sebab kau hanya akan mengantar nyawa saja. Apa 

kau mengandalkan teman-temanmu yang masih bau 

kencur?"

"Tidak itu saja, Lombang. Ada yang lebih pent-

ing dari itu, yaitu aku akan meminta kitab Inti Jagad 

yang kau rampas dari Tiga Setan Api."

Mendengar ucapan Rupaksi, seketika ketiganya 

tertawa bergelak-gelak. Sedang di pihak lain, keempat 

orang muda yang berdiri di belakang Rupaksi hanya 

terdiam tenang.


"Rupaksi, jangankan dirimu, kakakmu saja 

mampu aku kalahkan. Ha... ha... ha...!" berkata 

Wungkal Gunung.

"Benar! Percuma kau datang ke sini kalau 

hanya untuk mengantar nyawa tuamu. Memang aku 

telah bersepakat dengan kedua saudaraku untuk me-

lenyapkan segala keturunan dan orang-orang yang ada 

sangkut pautnya dengan Kerto Pati. Namun beruntung 

anak Kerto Pati dapat lolos, tertolong oleh seorang lela-

ki tua yang membawanya pergi. Kalau tidak...!"

"Kalau tidak. Hendak kau apakan?" tanya seo-

rang pemuda yang berpakaian putih-putih dengan sa-

buk merah menyala, yang tak lain Arya Purbaya si Ma-

laikat Putih.

Terbelalak Mata Sodra, demi mengetahui seo-

rang pemuda telah berani memutus omongannya. Ma-

ka dengan geram, Sodra kembali berkata: "Kalau tidak 

ditolong oleh lelaki tua itu sudah ku bikin bergedel tu-

buhnya!"

Bergelak tawa pemuda berpakaian putih-putih 

setelah mendengar ucapan Sodra yang kembali tersen-

tak melihat pemuda itu bergelak tawa.

"Mampukah kau membuat bergedel dari anak 

Kerto Pati?" tanya Malaikat Putih yang membuat Sodra 

bertambah marah dan dengan membentak kembali 

berkata:

"Iblis! Siapa kau, anak muda, hingga berani 

kau guyon denganku. Atau kau yang akan menjadi 

pengganti bocah itu. Hah!"

Untuk kedua kalinya Arya Purbaya tertawa ber-

gelak-gelak demi mendengar omongan Sodra. Lalu 

dengan tenangnya ia berkata: "Kalau kau ingin tahu... 

Akulah anak Kerto Pati yang dulu ditolong lelaki tua 

kala kau dan rekanmu yang berkepala botak membu


nuh paman, bibi dan ibuku. Nah, lakukanlah bila kau 

pun mampu membuatku jadi bergedel."

Tersentak bukan alang kepalang ketiganya, 

demi mengetahui siapa adanya pemuda yang kini ber-

diri di belakang Rupaksi.

Hati mereka seketika ciut. Tidak mungkin ti-

dak, kalau pemuda anak Kerto Pati itulah yang dian-

dalkan Rupaksi hingga berani mendatanginya. Mereka 

menyangka bahwa pemuda itulah yang berilmu tinggi. 

Mereka tidak tahu bahwa di antara kelima orang yang 

di hadapannya terdapat seorang pendekar yang kalau 

mereka tahu mungkin langsung ngibrit pergi.

"Rupaksi, ternyata kau mengandalkan kemena-

kan mu hingga kau berani menyantroni kami. Lalu un-

tuk apa kau bawa-bawa tikus-tikus itu? Apakah untuk 

menakut-nakuti kami? Ha... ha... ha...! Jangan kira 

kami takut dengan kemenakan mu."

"Jangan takabur, Lombang! Kau jangan meren-

dahkan mereka, yang mungkin menurutmu hanya ti-

kus-tikus comberan belaka. Kalau kau mengetahui 

siapa mereka adanya, mungkin kau akan menyumbat 

mulutmu sendiri yang telah lancang berbicara."

Lombang dan ketiga saudara seperguruannya 

tertawa bergelak-gelak, demi mendengar ucapan Ru-

paksi yang dianggapnya hendak menakut-nakuti me-

reka. Maka dengan masih congkak dan sombong, 

Lombang kembali berkata setelah mengerling pada ke-

dua adik seperguruannya yang juga tersenyum sinis.

"Rupanya kau hendak menakut-nakuti kami 

dengan tikus-tikus comberan mu, Rupaksi. Baik! Aku 

ingin tahu nama-nama tikus busukmu itu yang sangat 

kau bangga-banggakan."

Mendengus Rupaksi, demi mendengar ucapan 

Lombang yang menganggap enteng pada ketiga orang


muda di sampingnya. Maka dengan terlebih dahulu 

meludah, Rupaksi yang telah marah berkata memberi 

tahu siapa adanya orang-orang di sampingnya.

"Dengar oleh kalian semua dan aku minta ka-

lian jangan menyesal dengan ucapan kalian bila telah 

tahu siapa adanya ketiga orang muda ini. Yang muda-

mudi ini adalah Sepasang Pendekar."

Tak terkejut ketiganya demi mendengar julukan 

sepasang muda-mudi itu, bahkan ketiganya makin 

menyibirkan mulut mengejek.

"Dan yang ini adalah Jaka Ndableg atau Pende-

kar Pedang Siluman Darah dari kawah Chandra Bila-

wa."

Bagaikan disengat halilintar di siang bolong, 

mata ketiganya seketika terbelalak kaget mendengar 

nama pemuda bertampang bloon yang ternyata seo-

rang pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-

orang persilatan. Maka dengan tak mempunyai rasa 

malu, ketiga orang itu segera berkelebat hendak mela-

rikan diri.

Dengan segera Arya Purbaya si Malaikat Putih, 

Sendana, dan Rekasih memburu mengejar mereka. Ke-

tiganya tanpa mengalami kesulitan dapat dengan sege-

ra memburu ketiga orang itu.

"Berhenti!" membentak Arya Purbaya yang telah 

berhasil menghadang ketiganya. Tersentak ketiga 

orang itu, demi melihat pemuda anak Kerto Pati telah 

berdiri di hadapannya.

"Minggir! Atau kami akan melawanmu!"

Dibentak seperti itu oleh Lombang bukannya si 

pemuda menepi. Bahkan dengan senyum sinis, si pe-

muda makin mendekati ketiga musuhnya.

Sementara itu. Sepasang pendekar yang tengah 

mengejar pun telah sampai juga. Merasa tak ada ar


tinya lagi untuk berturut kata, dengan nekad keti-

ganya segera menerobos sembari menyerang.

"Rupanya kalian ingin mati! Terimalah ini!"

Bersamaan dengan habisnya suara ketiganya, 

seketika ketiganya tampak menyatukan tangan mere-

ka. Seketika itu pula dari tangan mereka mengepul 

asap dan larikan sinar biru mengarah kepada ketiga 

pemuda-pemudi di hadapannya yang segera berjumpa-

litan menghindar.

"Ilmu Iblis!" memaki ketiga anak muda itu yang 

langsung membalas menyerang dengan cepatnya. Per-

kelahian pun tak dapat dihindarkan, tiga melawan ti-

ga.

Jurus demi jurus terlalui. Ketika tampak kedua 

pendekar muda itu terdesak, dengan segera Malaikat 

Putih berseru yang segera dituruti oleh Sepasang Pen-

dekar.

"Ki Sanak dan Ni Sanak Sepasang Pendekar, 

menyingkirlah agak jauh biar aku hadapi ketiganya. 

Maaf, bukannya aku bermaksud merendahkan kalian. 

Tapi ilmu yang mereka pakai bukanlah ilmu semba-

rangan, yang banyak dimiliki orang. Ilmu mereka san-

gat sukar bila harus dilawan dengan banyak orang 

yang beda ilmunya. Maka itu ijinkanlah aku mengha-

dapinya."

Mendengar ucapan Malaikat Putih, keduanya 

segera menyingkir ke belakang membiarkan Malaikat 

Putih menghadapi sendirian.

"Karena kalian menggunakan ilmu Iblis, maka 

aku pun ingin mengajak main-main dengan kalian. 

Bersiaplah!"

"Jangan banyak omong, Anak Muda! Mari kita 

buktikan, siapa di antara kita yang akan lebih dulu ke 

akherat. Hiat...!"


Dengan terlebih dahulu membentak, ketiga 

orang yang menyatu itu segera kembali melancarkan 

serangannya.

Malaikat Putih yang sudah tahu ilmu mereka 

begitu keji dan dahsyat, dengan segera melenting ke 

angkasa menghindar dari serangan mereka. Ketika te-

lah mencapai titik kulminasi, Malaikat Putih segera 

menukik mengarah ke kepala ketiga orang yang me-

nyerangnya.

"Hiat...!"

"Oh...!" 

Terdengar keluhan dari ketiga orang itu, yang 

seketika terkulai lemas bagaikan tak bertulang.

Terbelalak mata Sepasang Pendekar, demi me-

lihat hal yang terjadi pada ketiga orang itu. Ketiga 

orang itu kini bagaikan anak kecil, merintih meminta 

pertolongan.

Tak ubahnya dengan Sepasang Pendekar. Jaka 

dan Rupaksi pun terperanjat melihat ilmu yang diper-

gunakan oleh si Malaikat Putih, yang tampak berjalan 

menghampiri ketiga orang di hadapannya yang terkulai 

tanpa dapat berbuat apa-apa.

"Katakan padaku, di mana kau simpan kitab 

Inti Jagad? Dan katakan pula, siapa yang telah men-

jamah kalian memperdayai ayahku?"

"Ampunilah kami. Kami akan mengatakannya 

padamu, bila kau mau mengampuni dan mengembali-

kan tenaga kami."

"Katakan dulu padaku. Di mana kalian simpan 

kitab itu, dan siapa yang telah menyuruh kalian men-

celakai seluruh keluargaku! Kalau kalian telah menga-

takannya, maka kalian akan aku beri tahu cara mem-

bebaskannya."

Mendengar ucapan Malaikat Putih, di samping


itu juga karena Pendekar Pedang Siluman telah berdiri 

di situ maka dengan rasa takut ketiganya segera men-

ceritakan siapa sebenarnya yang menjadi dalangnya.

"Baiklah, aku percaya pada kalian. Nah, den-

garlah bahwa yang mampu menyembuhkan kelumpu-

han kalian adalah diri kalian sendiri. Bila kalian in-

syaf, maka kalian akan sembuh. Namun bila kalian 

hendak mengulangi berbuat jahat, maka kalian akan 

mengalami kelumpuhan lagi sebelum kalian mampu 

berbuat kejahatan."

Tersentak semuanya mendengar ucapan Malai-

kat Putih yang sepertinya bercanda.

Belum juga hilang rasa kaget, mereka semua 

mendengar ucapan Arya si Malaikat Putih, seketika 

mereka dibuat makin terbelalak karena melihat sesua-

tu hal yang aneh

Ketiga orang yang mengalami kelumpuhan itu 

berjanji, dan bersumpah tak akan melakukan hal yang 

jahat. Tiba-tiba, tubuh mereka kembali pulih seperti 

sedia kala.

Namun dasar mereka itu orang-orang yang tak 

mau diuntung, sudah diberi pengertian begitu mereka 

masih tak percaya. Akibatnya, ketika mereka hendak 

menyerang, seketika mereka mengalami kelumpuhan 

lagi.

Melihat hal itu, Malaikat Putih tampak gusar 

dan mendengus marah. "Rupanya hati kalian telah 

menjadi batu yang dihuni iblis hingga kalian tak mem-

percayai segala omongan orang. Maka dari pada kalian 

menderita seumur hidup, lebih baik kalian mati saja. 

Hiat...!"

Tanpa dapat dicegah, Malaikat Putih berkelebat 

mengibaskan tangan bagai mengusir lalat. Seketika 

terdengar jeritan melengking dari ketiga orang itu yang


langsung meregang nyawa.

"Kita harus segera menuju ke Hutan Rengganis, 

di mana Wanara Seta berdiam. Hai! Bukankah nanti 

malam bulan purnama kelima?" bertanya Malaikat Pu-

tih, sepertinya berbicara pada diri sendiri.

"Benar, Ki Sanak Malaikat Putih. Ada apakah 

gerangan?" bertanya Jaka ingin tahu yang dengan se-

gera diceritakan oleh Malaikat Putih tentang pesan dari 

gurunya.

"Guruku berpesan agar aku pada malam pur-

nama kelima harus memenuhi tantangan musuh guru 

yang bernama Wanara Seta. Tak dinyana, kalau orang 

itu juga adalah tokoh utama dari segala yang menimpa 

keluargaku. Ayo, Paman dan Ki Sanak sekalian, hen-

dakkah kalian ikut denganku?"

Tanpa ada yang menolak, kelima orang itupun 

segera berkelebat pergi menuju ke Hutan Rengganis di 

sebelah selatan desa Cipulir.

* * *

Malam bulan purnama telah tiba, seketika 

tampak sebuah bayangan berkelebat dari Hutan Reng-

ganis menuju ke bukit Kematian yang letaknya sepe-

rempat mil dari hutan.

Bayangan itu kemudian berhenti dan berdiri 

sembari memandang ke sekitar bukit. Wajah orang itu 

tampak kecut, sepertinya ia tengah menunggu kemun-

culan seseorang.

"He.., ini bulan purnama kelima. kenapa tua 

bangka itu tak muncul-muncul?" bergumam hati orang 

yang berdiri di atas bukit setelah memandang sekeli-

lingnya.

Tiba-tiba matanya melihat serombongan orang


yang terdiri dari enam orang dari arah Timur sementa-

ra dari arah Utara muncul pula serombongan orang 

yang terdiri dari lima orang.

Rombongan orang itu yang tak lain dari rom-

bongan Iblis Alas Waru, dan rombongan dari Rupaksi. 

Kedua rombongan itu bertemu di kaki bukit, saling 

memberi salam.

"Ah. Rupanya kita masih jodoh, Pendekar Pe-

dang Siluman Darah hingga yang Maha Kuasa kembali 

mempertemukan kita," berkata Iblis Alas Waru, setelah 

kesemuanya saling berkenalan dan bertegur sapa.

"Syukur, Iblis Alas Waru, kita dapat bertemu 

lagi. Oh ya, gerangan apakah hingga kalian tahu dan 

datang ke sini?"

"Jaka, aku senang bertemu denganmu kemba-

li.. Lama kita berpisah, eh, tak tahunya kita bertemu di 

sini. Ketika kami tengah mencari orang yang mengaku 

bernama Iblis Alas Waru, kami mendapat keterangan 

bahwa kami akan mendapatkannya di bukit Kematian 

pada bulan purnama kelima. Maka itu, kami segera 

menuju ke mari."

Tengah mereka bercakap-cakap, terdengar 

orang yang berdiri di atas bukit berseru:

"Hei!. Kalian yang ada di situ, ada keperluan 

apa kalian ke mari?!"

"Iblis, mengejutkan saja. Hai orang di atas bu-

kit! Siapakah engkau adanya?!" membalas Jaka Ndab-

leg berseru,

"Akulah Wanara Seta atau Siluman Kera. Ada-

kah di situ si Malaikat Suci! Kalau ada, cepatlah naik! 

Jangan sembunyi seperti tikus!"

"Bedebah! Kalau begitu, inilah orangnya!" 

menggerutu Siti Gendari, yang seketika itu berkelebat 

lari menuju ke atas bukit tanpa dapat dicegah.


"Iblis! Jangan kau enak-enakan lari dari tang-

gung jawab yang telah kau lakukan!"

Tersentak Wanara Seta, demi mendengar seo-

rang gadis memaki-maki dirinya. Maka dengan masih 

tak mengerti, Wanara Seta pun berkata: 

"Nona! Gerangan apa hingga kau menuduhku 

begitu? Apakah kita pernah berbuat sedang bertemu 

pun baru sekarang ini."

"Cih! Najis! Masih ingatkah kau pada sebuah 

keluarga yang kau bantai sepuluh tahun yang silam?"

"Hai, rupanya kau anak yang lolos dari maut. 

Mau apakah kau ke mari? apakah kau mau menjadi 

istriku?"

"Bedebah! Aku akan menuntut balas. Bersiap-

lah. Hiat...!"

Dengan segera, Siti Gendari yang di hatinya 

membara dendam berkelebat menyerang Wanara Seta 

yang tertawa-tawa sembari menghindari serangan yang 

dilancarkannya.

Walau Siti Gendari didikan tokoh sakti, namun 

menghadapi Wanara Seta sepertinya tak ada artinya. 

Bahkan dengan seketika, ketika telah berkelahi bebe-

rapa jurus, Wanara Seta dengan mudah menemukan 

titik luang pada tubuh Siti Gendari, hingga ketika Siti 

Gendari kembali menyerangnya dengan cepat Wanara 

Seta berkelit ke belakang tubuhnya dan menghantam 

telak punggung Siti Gendari.

Pukulan Wanara Seta yang berisikan tenaga da-

lam, menjadikan Siti Gendari langsung mental ke bela-

kang. Beruntung! Dengan secepat kilat Jaka berkelebat 

dan menangkap tubuh Siti Gendari, kalau tidak! Tak 

ayal lagi, cadas-cadas tajam akan merencah tubuhnya.

Melihat hal itu, Maka serempak Iblis Alas Waru 

dan anak buahnya berkelebat menyerang Wanara Seta


menggantikan Siti Gendari.

Dikeroyok oleh lima orang, bukannya keder. 

Bahkan dengan bergelak tawa, Wanara Seta meladeni 

serangan mereka. Setiap tangannya berkelebat, maka 

satu nyawa melayang.

Sementara di atas bukit tengah terjadi pertem-

puran, satu melawan lima. Di bawah bukit, Jaka tam-

pak masih menunggui Siti Gendari yang masih mende-

rita luka parah.

"Jaka... aku... aku bahagia. Walaupun aku ha-

rus mati, namun aku bahagia dapat bertemu dengan-

mu. Aku cinta pada...mu." Bersamaan dengan habis-

nya ucapan, Siti Gendari seketika melemas dan tergo-

lek di pangkuan Jaka Ndableg.

Seketika semua orang yang hadir menundukan 

muka, seperti turut berduka cita atas kematian Siti 

Gendari. Sementara di atas sana, pekik kematian terus 

menggema.

"Tak dapat dibiarkan!" menggeretak Rekasih 

penuh amarah, demi menyaksikan korban telah ba-

nyak berjatuhan. Di atas bukit, kini tinggal Iblis Alas 

Waru yang tengah menghadapi Wanara Seta. Tampak-

nya Iblis Alas Waru terdesak mundur, hingga tubuh-

nya terus mundur dan mundur sampai mendekati ju-

rang.

Melihat Iblis Alas Waru dalam bahaya, dengan 

segera Sepasang Pendekar dan Rupaksi berkelebat 

menyerang Wanara Seta bersama.

Tersentak Wanara Seta diserang seketika oleh 

ketiga orang yang ilmunya dibilang tinggi.

Dengan segera Wanara Seta meninggalkan Iblis 

Alas Waru, berbalik menghadapi ketiga orang menye-

rangnya.

Pertarungan pun berlangsung seru, karena me


reka memiliki ilmu yang sama-sama tinggi.

Jurus demi jurus telah berlalu begitu cepatnya, 

hingga tanpa terasa telah enam puluh jurus mereka la-

lui.

Kala meningkat ke jurus tujuh puluh. Tiba-tiba 

Sepasang Pendekar mempercepat serangannya dengan 

pedang yang ada di tangan mereka, yang bergerak ce-

pat laksana baling-baling.

Silih berganti Sepasang Pendekar menyerang 

dan menangkis, hingga membuat bingung Wanara Se-

ta. Seketika itu. Pedang di tangan Rekasih berkelebat 

cepat, dan menghujam telak di tubuh Wanara Seta. 

Tersentak kaget Rekasih sembari melompat mundur, 

kala dilihatnya Wanara Seta mematahkan pedangnya 

yang telah menancap di dadanya.

Dengan menggeram, dicabutnya ujung pedang 

yang tersisa, hingga darah tampak keluar. Makin ter-

sentak kaget ketiga orang penyerangnya, saat dengan 

ludahnya Wanara Seta mengobati luka di dada yang 

langsung sembuh seperti sedia kala.

Belum hilang rasa kaget ketiganya, tiba-tiba 

Wanara Seta mendengus dan seketika tubuhnya beru-

bah menjadi seekor gorila besar yang langsung menye-

rang.

Bukan hanya ketiga orang di atas yang tersen-

tak melihat perubahan diri Wanara Seta. Di bawah 

pun, Jaka dan Malaikat Putih terperanjat dan meng-

gumam hampir bersamaan.

"Ilmu siluman! Tak mungkin mereka dapat 

mengalahkannya. Aku akan berusaha menolong mere-

ka," berkata Malaikat Putih sembari berkelebat diikuti 

Kelana di belakangnya.

"Paman Rupaksi, dan saudara Sepasang Pen-

dekar, mundurlah. Dia bukan musuh kalian, biar aku


yang menghadapinya."

Malaikat Putih segera berkelebat menggantikan 

kedudukan tiga orang menghadapi Wanara Seta.

"Wanara Seta. Aku tak dapat datang sendiri, 

untuk itulah aku mengutus muridku si Malaikat Putih 

memenuhi tantanganmu. Bukannya aku tak berani 

menghadapimu, namun aku telah mengasingkan diri 

dari dunia persilatan. Aku rasa muridku pun sama 

denganku, bukan begitu, Wanara Seta? Tuan Pendekar 

Pedang Siluman Darah, aku memohon tolong padamu, 

jaga muridku. Ia masih muda dan baru menginjakkan 

kaki di dunia persilatan jadi perlu bimbingan. Untuk 

itu, aku percayakan padamu, Tuan Pendekar." terden-

gar suara Malaikat Suci berkata.

Mungkin kalau Malaikat Suci tak menyebutkan 

nama Pendekar Pedang Siluman, Wanara Seta tak 

akan terkejut dan membelalakan mata. Namun demi 

mendengar bahwa di situ ada seorang pendekar yang 

namanya tengah menjadi buah bibir orang-orang persi-

latan, seketika Wanara Seta menjadi ciut hatinya. 

Hingga ia tak begitu konsentrasi menghadapi Malaikat 

Putih.

Melihat Wanara Seta lengah, dengan segera Ma-

laikat Putih berkelebat menghantamkan pukulannya. 

Pukulan yang didasari dengan tenaga dalam itu, 

menghantam telak pada tubuh Wanara Seta.

Namun seketika Malaikat Putih tersentak, demi 

melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Pukulan 

Inti Sakti yang dilancarkannya, tak berarti apa-apa ba-

gi Wanara Seta yang seketika mendengus marah dan 

menyerangnya.

Karena terkejut, menjadikan Malaikat Putih tak 

dapat mengelakkan serangan Wanara Seta. Dicobanya 

berkelit, namun tak urung pundaknya terkena sambaran tangan Wanara Seta.

Melihat Malaikat Putih terdesak. Dengan segera 

yang sedari tadi hanya menonton berkelebat memban-

tunya.

Tersentak mundur Wanara Seta, melihat orang 

yang ternyata Pendekar Pedang Siluman menyerang-

nya. Dalam hati Wanara Seta membatin. "Mungkinkah 

aku harus mati saat ini, sesuai dengan ucapan Ki Ba-

drawi ketika hendak meninggal dunia?"

Seketika itu, terbayang oleh Wanara Seta uca-

pan yang dilontarkan Ki Badrawi sebelum ajal.

"Kau... kau, manusia berhati binatang. Kau tak 

tahu balas budi. Kenapa kau hendak membunuhku? 

Ingat! Aku akan membalas semua ini padamu, kelak 

lewat seorang pendekar muda yang memiliki senjata 

pedang yang bernama Pedang Siluman Darah. Tu-

buhmu, kelak akan mati oleh senjata itu."

"Tidak! Aku tak akan mati. Jangankan pende-

kar Pedang Siluman Darah, seribu orang persilatan 

pun tak akan membunuhku!" memekik Wanara Seta, 

mencoba menghilangkan bayangan Ki Badrawi yang 

sepertinya ada di tubuh Jaka.

Jaka dan Malaikat Putih tersentak, demi men-

dengar jeritan Wanara Seta yang seperti ketakutan 

menyebut namanya.

"Sepertinya, ia dibayangi oleh seseorang yang 

pernah dibunuhnya," berbisik Jaka pada Malaikat Pu-

tih.

"Benar! Tadi ia menyebut nama tuan. Mari kita 

serang."

Dengan cepat. Pendekar-pendekar muda itu 

berkelebat, menyerang dengan kesaktian yang ada pa-

da diri masing-masing.

Terbelalak mata kedua pendekar muda itu, demi melihat kenyataan yang terjadi. Ajian Lebur Raga 

yang dilancarkan oleh Jaka sepertinya tak ada artinya, 

juga Ajian Petir Dewa yang dilancarkan Malaikat Putih 

juga tak berarti. Bahkan dengan bergelak tawa, Wana-

ra Seta berkata mengejek 

"Keluarkan semua ajian yang kalian miliki. Aku 

Wanara Seta, tak akan mundur."

"Sombong!" memaki Malaikat Putih gusar. 

"Jangan kita terpancing olehnya, Malaikat Pu-

tih. Ayo, kita serang berbarengan. Kalimu Sada! 

Hiat...!"

"Serat Brahma!! Hiat...!" 

"Jleger!" terdengar ledakan dahsyat, ketika dua 

ajian pamungkas menggempur berbarengan tubuh 

Wanara Seta. Namun untuk kesekian kali, kedua pen-

dekar muda itu tersentak demi melihat ajian pamung-

kasnya tak mempan. Bahkan! Keduanya hampir saja 

terkena hantaman Wanara Seta yang melancarkan 

Ajian Serbuk Kematian, bila saja keduanya tak segera 

mengelak.

"Siluman! Mati kita di sini." berkata Malaikat 

Putih lesu, sepertinya telah habis akalnya. Semua 

ajian telah dikerahkan, namun sepertinya mahluk gori-

la itu tak mempan.

Seperti halnya Malaikat Putih, Jaka Ndableg 

hampir putus asa. "Gusti Allah. Apakah aku di sini 

matinya?... Ah! Aku tak boleh putus asa dulu. Aku tak 

boleh menyerah pada nasib. Akan aku coba dengan 

Pedang Siluman Darah. "DENING RATU SILUMAN 

DARAH, DATANGLAH!"

Seketika di tangan Jaka Ndableg telah tergeng-

gam sebilah pedang yang mengeluarkan sinar kuning 

kemerah-merahan. Dari ujung pedang, menetes darah 

membasahi batangnya.


Terbelalak mata Wanara Seta demi melihat sen-

jata yang telah menggemparkan dunia persilatan bera-

da di tangan Jaka Ndableg. Tak kalah kagetnya yang 

lain. Seketika semuanya memekik berseru:

"Pedang Siluman Darah...!"

Bayangan Ki Badrawi kembali muncul. Meng-

gantikan tubuh Jaka yang dengan senyum sinis berka-

ta:

"Jangan kau ketakutan, Wanara. Aku telah da-

tang..."

"Tidak.,.!" memekik Wanara Seta.

Bersamaan dengan itu, Jaka Ndableg telah 

membabatkan Pedang Siluman Darah ke arahnya.

"Inilah bagianmu. Hiaatt...!"

Seketika Wanara Seta memekik, lalu ambruk 

dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darah seketika 

mencurat, keluar dari tubuh Wanara Seta. Sementara 

darah yang menempel di batang pedang, seketika le-

nyap terhisap oleh Pedang Siluman Darah.

Dengan matinya Wanara Seta, berakhir pula 

kejahatan di desa Cipulir. Segera keempat orang yang 

sedari tadi terkesima, bergegas menggeledah tubuh 

Wanara Seta yang ambruk dengan tubuh terbelah 

menjadi dua.

"Ini kitab itu!" berseru Rupaksi girang. 

"Sungguh kitab yang maha sakti," bergumam 

Jaka demi melihat kitab tersebut. 

"Ini, terimalah."

"Untukku...? Hai, bukankah kitab ini milik 

ayah Malaikat Putih?"

"Tidak, Ki Sanak Jaka. Kitab ini merupakan ki-

tab milik Ki Eka Bilawa, ayahmu, terimalah."

Akhirnya dengan masih bimbang, Jaka segera 

menerima Kitab Inti Jagat yang telah menggegerkan


Dunia persilatan. Dipandangi kitab tersebut, yang 

memancarkan sinar kuning menyala.

Pedang Siluman Darah di tangan Jaka, tiba-

tiba menghilang sendiri. Hal itu makin membeliakkan 

mata keempat temannya yang kaget bercampur heran.

Tengah semuanya terheran-heran, tiba-tiba Ja-

ka telah berkelebat sembari memanggul tubuh Siti 

Gendari pergi.

"Maaf, aku pergi dulu. Selamat berjuang para 

pendekar!"

Tersentak kelimanya yang dengan segera me-

mandang pada asal suara itu. Tampak Jaka dengan 

menggendong tubuh Siti Gendari, telah jauh mening-

galkan mereka yang hanya geleng kepala.

"Sungguh, sungguh aneh pendekar muda itu."

"Benar, apa yang Ki Sanak Malaikat Putih 

ucapkan. Di samping dia mempunyai ilmu yang tinggi, 

tabiatnya pun aneh. Dia suka Ndableg hingga tokoh-

tokoh persilatan memberi nama JAKA NDABLEG," me-

nyambung Iblis Alas Waru yang wajahnya tampak lesu.

"Ooh, hari telah pagi. Kami permisi dulu," ber-

kata Sendana. 

"Kenapa mesti cepat-cepat, saudara Sepasang 

Pendekar?" bertanya Malaikat Putih.

"Sebenarnya kami ingin lama. Tapi... Guru me-

nyuruh kami untuk segera kembali bila kami telah 

menyampaikan maksud guru pada pendekar Pedang 

Siluman Darah atau Jaka Ndableg. Nah, kami mohon 

diri," meminta Rekasih.

Kedua Pendekar Muda itupun segera berkelebat 

pergi.

Pagi telah tiba, manakala ketiga orang yang 

masih di tempat itupun turut berlalu pergi. Sunyi 

kembali Bukit Kematian, sepertinya turut terhanyut dengan kejadian yang semalam terjadi....



                                TAMAT











Share:

0 comments:

Posting Komentar