GEGER KITAB INTI JAGAD
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1990
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh : Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-
lam episode:
Geger Kitab Inti Jagad
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Pagi masih begitu buta, hingga keadaan masih
tampak remang-remang. Ayam jantan telah berkukuk
ruyuk menandakan bahwa hari telah menjelang sub-
uh.
Dari kejauhan terdengar derap langkah kaki
kuda, yang dipacu dengan cepat. Sepertinya mereka
yang tengah menjalankan kereta tampak tergesa-gesa.
Penunggang kereta itu ada tiga orang, dua lela-
ki dan seorang wanita. Sesekali penunggang yang be-
rada di dalam kereta, menengok ke arah belakang di
mana tampak dari kejauhan dua orang dengan me-
nunggang kuda mengejar kereta mereka.
"Trenggono, tak dapat kau percepat sedikit la-
rinya?" bertanya si wanita yang duduk di dalam kereta,
saat jarak mereka dengan dua orang pengejarnya ma-
kin menyempit.
Tanpa banyak kata, Trenggono si kusir kereta
dengan segera menarik kais dan mencambuk kuda-
kuda penarik kereta yang terkejut dan lari cepat.
"Ibu, siapakah kedua orang yang dari tadi men-
gejar kita? Sepertinya Arya lihat, kedua orang itu ke-
marin sore telah mengikuti kita." Anak lelaki yang ber-
nama Arya seketika bertanya pada ibunya.
"Mereka orang jahat, Arya," menjawab sang ibu.
Tapi Arya yang belum tahu maksud ucapan
ibunya, kembali bertanya. "Mengapa mereka hendak
menjahati kita, Bu?"
Ditanya seperti itu oleh anaknya, seketika sang
ibu tampak berkaca-kaca matanya. Lalu dengan men-
coba membendung air mata agar tidak ke luar, si ibu
menjawab
"Arya, bapakmu dulu seorang pendekar yang
ditakuti dan disegani oleh kawan maupun lawan. Hal
itu membuat Bapakmu banyak teman, juga banyak
lawan. Teman kadang-kadang baik, ada juga yang ja-
hat. Seperti saat kau masih bayi, bapakmu telah dik-
hianati oleh temannya sendiri..."
"Dikhianati? Mengapa bapak dikhianati? Apa-
kah bapak punya salah, Bu?" bertanya Arya memotong
cerita ibunya, yang kembali mendesah panjang.
"Entahlah anakku. Ibu tak tahu, apa kesalahan
bapakmu hingga mereka tega membunuhnya." Dengan
berlinang air mata, si ibu dengan terlebih dahulu men-
dekap tubuh anaknya bercerita tentang mengapa dan
siapa yang telah membunuh suaminya.
"Sepuluh tahun yang silam. Ketika kau baru
lahir ke dunia, keluarga kita hidup rukun dan penuh
kebahagiaan. Ayahmu adalah seorang pendekar lurus
yang berilmu tinggi, hingga ia ditakuti dan disegani.
Pada suatu hari. Datang ke rumah tiga orang teman-
nya, yang memang sudah sering kali datang. Tapi hari
itu, mereka tampaknya lain dari biasanya. Mereka se-
pertinya marah pada ayahmu, yang waktu itu hanya
mengernyitkan alis matanya sembari bertanya. "Sodra,
Lombang, dan kau Wungkal Gunung, ada hal apakah
hingga kalian datang ke tempatku dengan membawa
perasaan lain dari biasanya? Apakah aku telah berbuat
salah pada kalian? Atau barang kali ada ganjelan di
hati kalian yang ingin kalian sampaikan padaku?"
Ditanya seperti itu, mereka bukannya langsung
menjawab. Tapi dengan sorot mata tajam, ketiganya
memandang tajam pada Kerto Pati yang makin tak
mengerti saja hal apa yang dikehendaki ketiga teman-
nya.
"Heh, apakah kalian telah gagu hingga tak men
jawab pertanyaan yang aku ucapkan? Atau barang kali
kalian telah dirasuki iblis yang menjadikan kalian
orang-orang tak tahu adat!" Sumo Kerto Pati memben-
tak marah, demi melihat ketiga temannya berubah da-
lam segalanya.
Mendengar Sumo Kerto Pati membentak, tiba-
tiba salah seorang dari ketiganya yang bernama Lom-
bang balik membentak Kerto Pati yang seketika tersen-
tak.
"Kerto Pati! Rupanya di balik kebaikanmu, yang
mengaku pendekar lurus tak lebihnya nafsu iblis. Kau
telah mengorbankan temanmu guna memenuhi ambisi
mu yang gila dan tak masuk akal. Kau bunuh teman-
mu, setelah kau mendapatkan kitab Inti Jagad. Tinda-
kanmu begitu keji, Kerto Pati. Tak pantas kau me-
nyandang gelar Pendekar berbudi luhur, kalau dalam
kenyataannya tindakanmu tak lebih dari iblis!"
"Tutup mulutmu! Siapa yang telah membuat
fitnah. Katakan! Siapa yang telah berkata begitu!" demi
mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh Lombang.
Dicengkeram dan diguncang-guncangkan tu-
buh Lombang, yang hanya terdiam memandang pada
Kerto Pati. Melihat ketiganya terdiam, makin membuat
Kerto Pati penasaran.
"Lombang, aku tahu kau seorang pendekar
yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Ka-
takanlah padaku, siapa yang telah membuat fitnah keji
itu?"
"Kerto Pati. Kalau kau ingin mengetahui siapa
yang telah mengatakannya pada kami, kami harap kau
mau turut bersama kami," menjawab Sodra.
Saat itu juga, mereka berempat pergi mening-
galkan rumah Kerto Pati menuju tempat yang dimak-
sud.
"Sejak saat itu, Ayahmu tak pernah muncul lagi
ke rumah. Hal itu membuat ibu cemas, lalu dengan
menitipkan dirimu pada tetangga ibu segera mencari
ayahmu. Ternyata ayahmu telah mati, dibantai oleh
ketiga temannya yang sebenarnya bermaksud merebut
kitab Inti Jagad," berkata si ibu, setelah menceritakan
kejadian yang dialami ayah Arya.
"Apakah mereka mendapatkannya, Bu?"
"Tidak anakku, sebab Kitab itu telah ayah ti-
tipkan pada pamanmu yang bernama Rupaksi setelah
ayahmu mendapat firasat tak baik."
"Lalu untuk apa orang-orang itu kini mengejar-
ngejar kita, Bu?"
"Mulanya mereka berusaha mencari sendiri ki-
tab yang oleh ayahmu dititipkan pada pamanmu. Na-
mun setelah bertahun-tahun tak menemukannya, me-
reka pun akhirnya bermaksud meminta keterangan
pada ibu tentang di mana Kitab itu disimpan. Namun
sebelum mereka dapat menemukan ibu, ibu telah pergi
meninggalkan rumah bersamamu. Tentu kau masih
ingat, bukan?"
Mendengar penuturan ibunya, seketika mata
Arya membeliak berkaca- kaca. Sepertinya ada sesuatu
yang tengah dipikirkan oleh bocah kecil itu, yang tiba-
tiba berkata kembali pada ibunya.
"Ibu, apapun yang terjadi janganlah sekali-kali
ibu memberi tahukan keberadaan kitab itu. Sebab bila
kitab itu jatuh ke tangan orang-orang seperti mereka,
sangat berbahaya."
Terharu ibunya, demi mendengar penuturan
yang diucapkan oleh anaknya yang baru sepuluh ta-
hun. Mata wanita itu berkaca-kaca, seperti menggam-
barkan perasaan bangga pada anaknya yang telah
mampu membandingkan mana yang baik dan buruk.
Dengan penuh kasih sayang, dibelainya rambut sang
anak yang kini merebahkan kepala pada pangkuan-
nya.
"Kalau begitu, ayah merupakan seorang pende-
kar yang agung yang lebih rela berkorban untuk ke-
pentingan orang banyak, di atas kepentingan priba-
dinya," berkata Arya sepertinya menggumam pada diri
sendiri, makin membuat sang ibu terharu.
***
Kereta yang mereka tumpangi masih melaju
dengan kencangnya, meninggalkan kedua orang yang
mengejarnya di belakang.
Hari telah benar-benar pagi, ketika mereka tiba
di desa yang mereka tuju yaitu desa Kemanggungan.
Di desa itu, tinggal adik seperguruan ayah Arya yang
bernama Kerta Rukita atau pendekar Kera. Maka den-
gan segera, disuruhnya sang kusir menuju tempat Ker-
ta Rukita,
Kerta Rukita sangat bahagia, melihat kedatan-
gan kakak ipar dan kemenakannya. Mereka disambut
dengan penuh suka cita.
"Mbakyu, lama kita tak bersua sejak kelahiran
Arya. Kini mbakyu datang secara tiba-tiba tanpa mem-
beri tahu pada kami sebelumnya, ada apakah geran-
gan?" bertanya Kerta Rukita setelah mempersilahkan
kakak iparnya duduk.
Ditanya oleh adik iparnya seperti itu, seketika
ibu Arya yang sudah tak dapat lagi menahan air mata
akhirnya menangis membuat Kerta Rukita dan iste-
rinya saling pandang dan mengerutkan alis mata demi
melihat kakak iparnya menangis,
"Maaf, Mbakyu. Bukannya aku. bermaksud
menggugah kepedihan hati mbakyu. Tapi, aku hanya
ingin tahu saja apa yang telah terjadi pada keluarga
kakak Kerto Pati?"
"Kakakmu mati dibunuh oleh teman-temannya
yang telah mengkhianati, karena mereka menghendaki
kitab Inti Jagad" berkata ibu Arya sembari berlinang
air mata, membuat Kerta Rukita terbelalak dengan ma-
ta melotot penuh kemarahan.
Mulut Kerta Rukita mendesis, gigi-giginya seke-
tika beradu bergemeretukan. Tak terasa air matanya
meleleh, ketika memandang pada kemenakannya Arya.
Maka bagaikan seorang anak kecil, Kerta Rukita me-
nangis sembari memeluk tubuh kemenakannya
"Aku tak akan tinggal diam! Mereka harus me-
nerima pembalasanku, hutang nyawa harus dibayar
dengan nyawa!" menggeram Kerta Rukita, hingga
membuat semua yang ada di situ terdiam tanpa berani
berkata.
"Besok pagi, aku akan pergi ke sana untuk me-
nuntut balas kematian kakang Kerto Pati." lanjut Kerta
Rukita berkata, membuat semuanya seketika membe-
lalakan mata.
Sedang mereka dicekam ketegangan, tiba-tiba
terdengar suara orang di luar berteriak mengucap sa-
lam.
"Sampurasun! Adakah orang di dalam ?!"
"Bedebah! Tamu macam apa kau, berteriak-
teriak seperti di tengah hutan saja!" membentak Kerta
Rukita yang tengah dilanda amarah. Dengan segera,
Kerta Rukita berlari keluar rumah menemui tamunya
diikuti oleh isteri dan kakak iparnya juga Arya yang di-
gandeng oleh kusir keretanya.
"Siapa kalian! Apakah kalian tidak mengerti ta-
ta krama bertamu, hingga kalian berteriak-teriak se
perti di tengah hutan saja!"
Sang tamu tersenyum sinis, demi mendengar
ucapan Kerta Rukita. Sementara Ibu Arya, melihat sia-
pa yang datang.
"Mengapa kalian mengejar-ngejarku terus? Bu-
kankah sudah aku katakan pada kalian, bahwa aku
tak tahu tentang kitab yang kalian maksudkan?" ber-
kata ibu Arya, membuat Kerta Rukita tersentak dan
memandang bengis pada kedua tamunya sembari ber-
kata sinis.
"Rupanya kalian orangnya, yang telah membu-
nuh kakakku. Kebetulan, aku tak usah mencari-cari
kalian."
Kembali kedua orang yang ternyata Sodra dan
Wungkal Gunung adanya, tersenyum kecut dan berka-
ta: "Hem, Rupanya kau adik seperguruan Kerta Pati,
yang bernama Kerta Rukita. Bagus, bagus. Kami kira,
kau tahu akan kitab Inti Jagad yang dimiliki kakakmu.
Serahkanlah buku itu pada kami, sebab kamilah yang
berhak, memilikinya," kata Wungkal Gunung.
"Kalaupun aku tahu. Maka aku tak akan mem-
beri tahu pada kalian, sebab kalian bukan orang-orang
yang tahu balas budi. Kalian dengan kedok sahabat,
tak lebihnya seekor srigala! Orang-orang macam ka-
lian, tak pantas untuk tetap hidup di dunia. Tempat
kalian adalah Neraka!"
"Kerta Rukita, lancang kau berkata! Tak tahu-
kah dengan siapa kau berhadapan, hingga berani kau
berkata yang menyinggung perasaan kami?!" memben-
tak Sodra, yang jengkel melihat tingkah Kerta Rukita.
Tangannya telah diangkat ke atas siap untuk menye-
rang Kerta Rukita.
"Jangan dulu, Sodra. Tak ada gunanya men-
gumbar amarah, kalau akhirnya tujuan kita sia-sia.
Kerta Rukita, kalau kau tak mau mengakuinya bahwa
kau mengerti di mana kitab Inti Jagad disembunyikan.
Maka aku minta biarkanlah aku menanyainya pada is-
teri Kerto Pati, yang mungkin tahu di mana kitab itu
disembunyikan."
"Tidak! Aku tak mengijinkan kalian berbuat
semena-mena terhadap iparku, apalagi kini berada di
rumahku. Nah, kiranya kalian mengerti. Hiat...!"
Tanpa diduga oleh Sodra dan Wungkal Gu-
nung, tiba-tiba Kerta Rukita menyerang dengan ga-
nasnya. Kedua orang itu tersentak. Hampir saja kedu-
anya kena terhantam pukulan Kerta Rukita, kalau saja
mereka tak segera mengelak.
"Setan alas! Diajak baik-baik, rupanya memilih
mati! Baik, jangan salahkan kami bila telengas menu-
runkan tangan jahat. Bersiaplah!" memaki Wungkal
Gunung sembari berkelit menghindari serangan Kerta,
kemudian berbalik menyerang.
"Slompret! Rupanya kau keras kepala, seperti
kakakmu. Baik! Mari kita main-main," Sodra pun tak
kalah marahnya, demi diserang begitu mendadak oleh
Kerta.
Tanpa dapat dicegah, mereka akhirnya terlibat
perkelahian. Kerta Rukita yang telah mendendam pada
mereka, nampak seperti ingin segera menghabisi ke-
dua musuhnya.
Jurus demi jurus mereka lewati, sepertinya me-
reka seimbang. Walau dikeroyok dua orang sekaligus,
namun murid Elang Buana tampak tak repot.
Bahkan dengan gesit, Kerta Rukita berkelebat-
kelebat bagaikan burung Elang menyambar-nyambar
kedua musuhnya.
Kaget juga Sodra dan Wungkal Gunung, yang
tak menyangka kalau adik seperguruan Kerto Pati jauh
lebih berbahaya dan lebih hebat dibandingkan kakak
seperguruannya.
Kedua pengeroyoknya tampak terdesak mun-
dur, hal ini membuat Kerta Rukita makin bernafsu.
Jurus-jurus yang didapat dari perguruan Elang Sakti,
keluar bagaikan arus air deras berganti-ganti.
Sodra dan Wungkal Gunung seketika melompat
mundur, lalu dengan segera keduanya mengubah ju-
rus-jurusnya. Makin seru pertarungan itu, karena ke-
tiganya kini makin meningkatkan serangannya.
Jurus demi jurus kembali mereka lalui, hingga
tak terasa telah melampaui jurus yang keempat puluh.
Waktu yang tadinya pagi, telah berubah menjadi siang.
Orang-orang yang lalu lalang di situ, seketika
berhenti dan menonton perkelahian.
Saking serunya pertarungan itu, membuat se-
mua pandangan orang seketika tertuju pada hal itu.
Hingga mereka tak memperhatikan, bahwa ada seo-
rang lelaki tua yang dari tadi terus mengawasi perta-
rungan itu. Mata orang tua itu, sesekali beralih pada
Arya yang masih di gandeng oleh tukang sais kere-
tanya
"Hem... Anak kecil itu, sepertinya mengandung
daya tersendiri. Kelak apabila tak ada halangan, anak
ini bakal menjadi seorang tokoh persilatan" dalam hati
lelaki tua itu.
Di pihak lain, tampak pertarungan itu berjalan
pincang. Nampaknya Kerta Rukita yang tengah dilanda
emosi, mengumbar tenaga hingga serangan-
serangannya tak setajam pertama.
"Bahaya, bahaya. Kalau terus-terusan seperti
itu, aku rasa dalam beberapa jurus lagi kedua lelaki
itu akan dapat menjatuhkannya. Aku harus waspada,
sebab seperti yang aku dengar mereka berdua telah
menguntit ibu dan anak itu. Aku harus dapat menye-
lamatkan bocah itu, bila memang kedua orang tersebut
bermaksud mencelakainya," berguman lelaki tua itu.
Benar juga apa yang dikawatirkan lelaki tua
itu. Dalam tempo beberapa jurus saja, kedua penge-
royok Kerta Rukita dengan mudah mendesaknya.
Kerta Rukita tersentak seketika, mendapat se-
rangan balik kedua musuhnya. Ia berusaha bertahan
dan sesekali balik menyerang, namun seketika kedua
pengeroyoknya telah dengan cepat menghantamkan
pukulan yang disertai tenaga dalam menghantam tu-
buhnya.
Kerta Rukita seketika memekik, tubuhnya ter-
dorong ke belakang sepuluh tombak. Dari mulutnya
meleleh darah segar.
Seketika isteri dan ibu Arya memekik dan men-
jerit berlari memburu tubuh Kerta Rukita yang terka-
par.
"Mbakyu Sukanti, dank au Istriku. Aku... aku
minta jaga di... diri Arya kemenakan ku. Aku... sudah
tak, kuat..."
Tubuh Kerta Rukita pun lemas, bersamaan
dengan jerit tangis isterinya dan Sukanti ibu Arya.
Sodra dan Wungkal Gunung tersenyum sinis,
lalu dengan kasar keduanya segera menarik dua wani-
ta itu yang berontak melawan.
Tarik menarik antara dua wanita, dan dua lela-
ki itu menjadikan si orang tua geleng-geleng kepala.
Walaupun begitu, si orang tua tak bereaksi sedikitpun
untuk berbuat sesuatu.
Melihat ibu dan bibinya disakiti oleh kedua le-
laki yang ia tahu jahat, dengan segera Arya kecil itu
berusaha membantunya. Digigitnya tangan Wungkal
Gunung yang menarik tangan ibunya. Seketika Wung
kal Gunung memekik kesakitan sembari melepaskan
tangannya.
Setelah Wungkal Gunung melepaskan ibunya,
dengan cepat Arya berlari hendak menolong bibinya.
Tapi, Sodra dengan segera menendangkan kaki ke arah
Arya, yang seketika itu terpental.
Kakek tua yang sedari tadi memperhatikannya,
terbelalak.
"Jahat!" pekiknya dalam hati. Namun kakek tua
itu masih tetap berdiri tanpa hendak menolong.
"Kenapa kau sakiti anakku! Iblis kejam!" me-
maki Sukanti, demi melihat Arya terpental jatuh. Den-
gan nekad, Sukanti segera menyerang Wungkal Gu-
nung.
Orang-orang yang sedari tadi hanya menjadi
penonton, segera bereaksi mengeroyok kedua lelaki itu.
Tanpa ampun lagi, Sodra dan Wungkal Gunung
pun seketika dikeroyok oleh massa. Sesaat Sodra dan
Wungkal Gunung tersentak. Namun demi melihat me-
reka benar-benar hendak mengeroyoknya, dengan
menggeram Sodra dan Wungkal Gunung pun segera
memapaki.
"Hem, rupanya kalian pun menghendaki kema-
tian hingga berani kalian mengeroyok kami. Jangan
salahkan kalau kami berbuat telengas menurunkan
tangan kasar!" membentak Sodra dengan penuh ama-
rah.
Tawuran masal pun terjadi, namun karena si
pengeroyok bukan orang-orang pandai bersilat maka
sia-sialah keberanian mereka. Sekali tangan Sodra
atau Wungkal Gunung berkelebat, jerit kematian pun
seketika melengking di antara massa yang menge-
royok.
Satu persatu, massa yang mengeroyok itu ber
jatuhan terhantam pukulan dan tendangan Sodra atau
Wungkal Gunung.
"Mbakyu, pergilah selamatkan diri kalian. Biar
kami yang menghadapi orang-orang jahat itu," berkata
salah seorang di antara massa, yang segera mendorong
Sukanti dan isteri Kerta Rukita pergi dari perkelahian
itu.
Melihat Sukanti dan Arya serta isteri Kerta Ru-
kita hendak berlari, segera tangan Sodra menghantam
dengan pukulan jarak jauh!
"Deb! Deb! Deb!"
Pukulan jarak jauh yang ditujukan pada ketiga
orang yang berlari, menghantam Sukanti dan isteri
Kerta Rukita yang seketika itu memekik dan ambruk
ke tanah. Menangislah Arya, demi melihat tubuh
ibunya tak bergerak lagi.
Bagaikan kesetanan, Arya berkelebat kembali
dan segera menyerang Sodra. Digigitnya paha Sodra,
yang seketika itu menjerit tak dapat mengelakkan gigi-
tan Arya karena tengah menghadapi pengeroyokan.
"Iblis kecil!" menggeram Sodra, setelah tahu
siapa yang telah menggigitnya. Dengan kasarnya, tan-
gan Sodra berkelebat menghantam tubuh Arya yang
masih mencengkeram pahanya.
Hampir saja tubuh anak kecil itu terhantam
pukulan maut yang hendak dilontarkan Sodra, saat
dengan seketika berkelebat seorang lelaki tua me-
nyambar tubuh Arya dan membawanya pergi.
"Jangan lari!" membentak Sodra, demi melihat
lelaki tua itu pergi dengan membawa tubuh Arya. Di-
hantamkannya pukulan jarak jauh pada tubuh lelaki
tua yang dengan tanpa melihat segera mengelakkan-
nya sembari berseru.
"Bukannya aku takut pada kalian, tapi bukan
urusannya kalian denganku. Nanti... Sepuluh tahun
lagi, kalian akan dapat membuka mata kalian atas
perbuatan kalian pada masa-masa sekarang!"
Terbelalak Sodra dan Wungkal Gunung demi
mendengar seruan orang tua itu, mereka pun segera
mengejar. Namun lelaki tua yang membawa tubuh
Arya, sangat cepat lari nya meninggalkan mereka yang
hanya berdiri mematung
Gagal sudah semuanya, sebab tak ada orang lain yang
tahu di mana Kitab Inti Jagad disembunyikan. Dengan
wajah penuh kekecewaan, keduanya pun segera pergi
meninggalkan desa itu kembali menuju tempatnya.
DUA
Setelah kegagalan mereka untuk mendapatkan
kitab Inti Jagad, kedua orang itu bermaksud menemui
temannya yang bernama Lombang.
Dipacunya kuda mereka dengan kecepatan
tinggi. Debu-debu seketika beterbangan terhempas ka-
ki-kaki kuda mereka.
Malam telah datang, kala keduanya sampai di
sebuah hutan. Mereka nampak masih memacu ku-
danya, berlari di tengah hutan dalam kegelapan ma-
lam. Tiba-tiba...!
Kuda-kuda mereka meringkik, sepertinya kuda-
kuda itu ketakutan. Sodra dan Wungkal tersentak,
memandang dengan mata tajam pada sekelilingnya
dan menghentikan lari kudanya.
"Hati-hati Sodra! Rupanya ada sesuatu, hingga
kuda kita ketakutan."
"Benar! Rupanya ada sesuatu, yang tengah
mengintai kita. Hem, kalau manusia, jangan harap aku
biarkan hidup-hidup." Habis berkata begitu, Sodra se-
gera turun dari punggung kudanya diikuti oleh Wung-
kal Gunung.
Tiba-tiba...! Dari samping kiri mereka berkele-
bat sebuah bayangan, berlari mendahului. Dengan se-
gera Sodra dan Wungkal memburu meninggalkan kuda
mereka.
"Jangan lari!" Sodra sembari melancarkan pu-
kulan jarak jauh, yang ditujukan ke tubuh orang yang
berkelebat di hadapannya. Namun orang itu sepertinya
tak mendengar dan terus berlari, membuat keduanya
makin penasaran.
Keduanya makin jauh meninggalkan kudanya,
terus mengejar bayangan yang berlari. Ketika bayan-
gan orang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya ke
arah keduanya, seketika Sodra dan Wungkal terbelalak
dan mundur demi melihat rupa orang yang mereka ke-
jar. Rupa orang itu, adalah rupa seekor kera.
"Kera Siluman!"
Kera siluman menyengir, menunjukkan gigi-
giginya yang kuning dan lancip tajam. Lalu tanpa
memperdulikan kedua orang yang mengejarnya, Kera
Siluman itu kembali berkelebat pergi meninggalkan
Sodra dan Wungkal Gunung yang masih memaku.
"Beruntung dia tidak bermaksud jahat pada ki-
ta kalau tidak...?" berkata Wungkal Gunung bergidik,
hingga pundaknya turut bergerak. Seperti Wungkal
Gunung, Sodra pun mengalami hal yang sama.
"Huh... Kalau dia berniat jahat, mungkin kita
tak akan dapat mencari kitab Inti Jagad lagi."
"Heh, kenapa kita mesti terbengong di sini? Bu-
kankah kita telah meninggalkan kuda-kuda kita?"
Dengan diikuti Sodra, Wungkal Gunung pun berlari
menuju tempat di mana mereka meninggalkan ku-
danya.
Tersentak kaget Sodra dan Wungkal Gunung,
demi dilihatnya kuda-kuda itu telah tak ada lagi di
tempatnya. Tanpa banyak bicara, keduanya segera
mencari kuda-kuda itu.
Kedua orang itu berlari dan terus berlari dalam
gelapnya malam, meninggalkan hutan itu untuk men-
cari kuda-kudanya. Tak terasa oleh keduanya, kedua-
nya telah berlari cukup jauh dan lama.
"Hai! Bukankah ini perbatasan desa Cikulir?"
berseru Sodra girang, ketika melihat tugu berdiri di
depan. Demi mendengar seruan Sodra, Wungkal Gu-
nung segera menghampiri. Di mata mereka seketika
tampak kegembiraan, setelah pasti bahwa tugu itu be-
nar-benar perbatasan desa Cikulir.
Keduanya, segera mempercepat larinya untuk
memburu waktu, yang sebentar lagi menjelang pagi.
Mereka tak menghiraukan lagi kuda-kudanya, terus
berlari, menuju tempat yang mereka jadikan perte-
muan.
"Bagaimana teman-teman? Apakah kalian ber-
hasil?" bertanya seseorang, yang berdiri di ambang
pintu masuk menyambut kedatangan keduanya.
"Gagal! Kami berdua gagal! Rupanya mereka le-
bih memilih mati daripada menunjukkan di mana ki-
tab itu disimpan Kerto Pati. Mungkin Kerto Pati telah
berpesan wanti-wanti pada mereka," berkata Wungkal
Gunung.
"Berarti kita tak akan menjadi orang sakti,"
menggumam orang yang menjemput kedatangan Sodra
dan Wungkal Gunung.
"Tidak, Lombang. Kita belum gagal total, seti-
dak-tidaknya kita masih mempunyai harapan."
"Harapan? Harapan apa? Bukankah seluruh
keluarga Kerto Pati telah kita bunuh, dari mana lagi ki-
ta akan tahu?"
"Tapi anaknya masih hidup. Apakah tak mung-
kin kita nanti dapat menanyai anaknya?" kata Wung-
kal Gunung seketika, membuat Lombang membeliak-
kan mata kaget.
"Masih hidup?" gumam Lombang.
"Kenapa tidak kalian bawa ke mari?" lanjutnya
bertanya.
"Anak itu dibawa kabur oleh seorang kakek tua,
ketika hendak kami lumpuh kan." Makin terbelalak
kaget mata Lombang demi mendengar penuturan
Wungkal Gunung, hingga tanpa sadar Lombang men-
desah.
"Ah... Bahaya, bahaya, sungguh bahaya besar!"
"Kenapa?" bertanya Wungkal Gunung tak men-
gerti.
Mendengar pertanyaan Wungkal Gunung, seke-
tika Lombang membentak marah.
"Bodoh! Apakah kau tak berpikir kalau nan-
tinya anak tersebut menuntut balas pada kita! Aku pi-
kir anak itu telah mendengar bahwa ayahnya mati di
tangan kita. Apakah itu bukan merupakan bahaya be-
sar buat kita?"
Terdiam Wungkal Gunung dan Sodra, kedua-
nya seketika menyadari akan kebenaran ucapan Lom-
bang.
"Sudahlah! Tak perlu kita memikirkan apa yang
telah berlalu, sekarang kita harus dapat kitab itu. Ka-
lau kita telah mendapatkannya, aku rasa kita tak perlu
takut akan ancaman balas dendam anak Kerto Pati"
"Lalu apa yang harus kita perbuat?" bertanya
Sodra dengan perasaan agak tenang demi mendengar
perkataan Lombang.
"Salah satunya jalan, kita harus menyebarkan
ke dunia luas."
Kembali Wungkal Gunung dan Sodra terdiam,
mendengar ucapan Lombang. "Bagaimana...?" bertanya
Lombang kembali saat melihat kedua temannya hanya
terdiam tanpa reaksi apa-apa.
"Apakah hal itu tidak membuat kedudukan kita
makin tercepit?" Sodra sepertinya tak menyetujui ren-
cana temannya. Sementara Wungkal Gunung, hanya
acuh-acuh saja tanpa reaksi.
"Tidak, Sodra. Kita harus dapat mempengaruhi
mereka untuk berusaha mencari kitab itu. Bila telah
mereka dapatkan maka kita harus merebutnya, ba-
gaimana?" Lombang kembali meminta pendapat kedua
temannya sembari tersenyum, membuat kedua teman-
nya seketika turut tersenyum pula.
"Pintar kau, Lombang! Baiklah, kami mengikuti
apa yang menjadi tujuanmu. Bukan begitu, Wungkal?"
kata Sodra, yang diangguki oleh temannya Wungkal
Gunung. Ketiganya akhirnya tertawa bersama, berge-
lak bagaikan menemui kemenangan.
***
Tokoh-tokoh dunia persilatan seketika gempar,
demi mendapatkan berita tentang, hilangnya kitab
yang merupakan salah satu kitab pusaka berisikan in-
ti-inti ilmu silat tingkat tinggi.
Seketika tokoh-tokoh persilatan pun berusaha
mendapatkannya, baik dari golongan lurus maupun
dan golongan sesat.
Siang, itu tampak sepasang pendekar berjalan
menyusuri jalan di desa Cikulir yang merupakan per
batasan wilayah kulon dan wilayah tengah.
"Kakang, bukankah ini tapal batas daerah ten-
gah dan wilayah kulon?" bertanya gadis yang berjalan
di samping pemuda.
"Benar, adinda. Desa ini memang desa perbata-
san, yang membatasi wilayah kulon dan wilayah ten-
gah. Menurut petunjuk guru, di desa inilah nanti kita
akan bertemu dengan seorang pemuda yang bernama
Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Kakang, untuk apa guru memerintahkan pada
kita untuk menemui Pendekar Pedang Siluman? Seper-
tinya guru sangat berkepentingan sekali dengannya?"
"Entahlah, aku sendiri tak tahu maksud guru.
Guru hanya berpesan padaku, agar jangan sekali-kali
berlaku tak sopan padanya. Dan yang lebih utama kita
harus dapat mengajaknya ke tempat guru," berkata
pemuda itu kembali sembari mengerutkan keningnya.
"Ada orang ke mari, mari kita bersembunyi."
Diajak adik seperguruannya bersembunyi di balik se-
mak-semak yang tak jauh dari situ.
Lewat seperminum teh keduanya bersembunyi,
tampak dua orang penunggang kuda lewat di situ. Wa-
jah kedua orang itu begitu beringas, sepertinya mereka
tengah memburu seseorang.
Setelah kedua orang penunggang kuda itu ber-
lalu, dengan segera kedua pendekar muda-mudi itu
berkelebat mengikutinya dari belakang.
"Kita ikuti mereka, Kakang?"
"Ya! Sepertinya mereka tengah mengejar seseo-
rang, barangkali musuhnya. Kita harus dapat mem-
bantu, dan bila perlu menolong orang yang mereka ke-
jar. Aku mempunyai pikiran, bahwa kedua orang tadi
bukan orang baik-baik.
Sepasang pendekar muda itu terus berlari,
mengikuti arah yang ditempuh oleh kedua lelaki pe-
nunggang kuda didepannya.
"Itu mereka, Kakang! Sepertinya mereka kehi-
langan jejak, mereka mencari-cari sesuatu." berkata
gadis di samping pemuda itu, yang mengangguk dan
segera menyeretnya bersembunyi.
"Hem... Aku rasa, orang itu bersembunyi di si-
ni. Apakah kau tak tahu orang itu, Songka?" tanya sa-
lah seorang dari kedua penunggang kuda, pada te-
mannya yang bernama Songka.
"Tidak! Aku hanya melihatnya ketika orang itu
masih di desa Cipulir. Apakah kau yakin orang itu lari
ke mari, Gondo?" balik bertanya Songka.
Gondo hanya menggeleng demi mendengar per-
tanyaan Songka, membuat Songka menggerutu kesal
dan kembali berkata: "Kau ini bagaimana, Gondo! Sia-
sia kita ke sini, kalau ternyata orang yang kita kejar ti-
dak ke mari! Ayo kita kembali!"
Kedua orang itupun membelokkan kudanya
kembali ke arah semula. Wajah keduanya tampak pe-
nuh kekecewaan. Dengan cepat mereka memacu kuda-
kudanya.
Bersama perginya kedua orang itu, dari dalam
semak-semak muncul seorang lelaki dengan bungku-
san di tangannya. Di wajah lelaki itu tampak ketegan-
gan, sementara matanya sesekali memandang arah ke
mana kedua lelaki itu pergi. Sesekali pula, matanya
beralih memandang pada bungkusan kain putih yang
tergenggam di tangannya.
"Huh! Gara-gara ketiga penghianat kakang Ker-
to itu, kini aku menjadi buruan semua pendekar yang
menghendaki kitab ini. Kalau mereka tahu sebenar-
nya, mereka tak akan memburu kitab yang tak ada ar-
tinya bagi mereka. Kitab Inti Jagad ini hanya dapat di
pecahkan oleh seorang yang mempunyai watak welas
asih dan jiwa yang tenang serta budi pekerti yang lu-
hur. Ke mana aku harus mencari keturunan Eka Bila-
wa?"
Tengah lelaki itu merenung, tiba-tiba di hada-
pannya telah berdiri sepasang anak muda. Lelaki itu
tersentak mundur hendak berlari, ketika sepasang
pendekar itu mencegahnya sembari berkata.
"Jangan pergi dulu, Ki! Tadi kami mendengar
kau menyebut nama Eka Bilawa. Apakah kau menge-
tahui di mana keturunan Eka Bilawa?" bertanya pe-
muda dari sepasang pendekar itu, membuat lelaki
yang ditanya tersentak membelalakan mata.
"Heh, kau bertanya tentang keturunan Ki Eka
Bilawa padaku, sedang aku pun tengah pusing menca-
rinya. Apalagi aku tengah pusing dengan masalah ku.
Aku tak tahu pasti siapa keturunan Ki Eka Bilawa.
Apakah kalian mengetahui di mana ia berada? Dan
bagaimanakah rupa keturunan Ki Eka Bilawa itu?"
Seketika kedua pemuda itu saling pandang tak
mengerti. Lalu dengan perlahan pemuda pendekar itu
berkata: "Ki Sanak. Rupa-rupanya kita sama-sama
mencari orang yang sama, yaitu anak Eka Bilawa.
Apakah engkau mempunyai kepentingan dengannya?"
"Ada," menjawab lelaki itu pendek.
"Apa kepentingannya? Kalau boleh kami tahu?"
tanya si dara, yang mengernyitkan alis matanya demi
mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
Lelaki itu sesaat memandang pada kedua pe-
muda-pemudi di hadapannya, sepertinya menyelidik
sebelum akhirnya berkata: "Apakah kalian tak tahu.
Atau pura-pura tak tahu?"
"Hai. Kenapa kau berkata begitu, Ki Sanak?"
bertanya si pemuda yang kaget demi
mendengar jawaban lelaki di hadapannya.
"Rupanya kalian orang baru di sini hingga ka-
lian tak mengetahui apa yang tengah terjadi di desa
ini. Aku percaya," berkata lelaki itu, setelah meman-
dang sesaat pada kedua muda-mudi di hadapannya.
"Kalau boleh aku tahu. Dari mana kalian? Dan ada ke-
pentingan apakah hingga kalian datang ke mari?"
"Namaku Sendana, dan adikku Rekasih. Kami
datang dari wilayah tengah yang tepatnya dari Purwo
Karto. Kami datang ke mari karena mendapat perintah
dari guru untuk menemui seorang pendekar muda
yang bernama Jaka. Dia adalah anak Eka Bilawa atau
Siluman Darah. Menurut wangsit yang diterima guru,
pemuda tersebut akan kami temui di desa Cipulir,"
berkata Sendana menjelaskan.
"Ah, kalau begitu kita setujuan. Aku sendiri
tengah mencari orang yang kalian cari, guna menye-
rahkan kitab pusaka yang menjadi bahan rebutan to-
koh-tokoh dunia persilatan saat ini. Oh ya, namaku
Rupaksi. Aku dari wilayah kulon yang bernama desa
Renggalek."
"Ki Rupaksi, kalau boleh kami tahu, kenapa
orang-orang persilatan memburumu? Dan apa yang
kau pegang itu?" tanya Rekasih.
Rupaksi sesaat terdiam memandang sejenak
pada kitab yang ada dalam genggamannya, sebelum
kembali berkata menceritakan apa yang telah terjadi
pada desa Cipulir dan kenapa kitab itu menjadi rebu-
tan tokoh-tokoh persilatan.
"Sepuluh tahun yang silam, aku dititipi kitab
ini oleh kakakku yang bernama Kerto Pati. Kakakku
berpesan agar kitab ini diberikan pada seorang pende-
kar yang bergelar pendekar Pedang Siluman Darah,
murid dari 4 pendekar Sakti. Kata kakakku hanya
pendekar Pedang Siluman saja yang mampu mengarti-
kan segala yang tertulis dan tergambar pada kitab ini.
Lima tahun kemudian setelah menyerahkan kitab ini
padaku. Kakakku mati dikhianati oleh teman-
temannya yang berambisi untuk menguasai buku ini.
Kalau mereka tahu, sebenarnya sia-sia saja mereka
memperebutkan dan memburu kitab ini. Di samping
mereka tak akan mampu menterjemahkan nya, juga
tak bakalan mereka dapat mempelajarinya. Namun ka-
rena mereka telah di kuasai ambisi dan nafsu setan,
maka disebarlah berita bahwa barang siapa yang dapat
memperoleh kitab Inti Jagad akan menjadi tokoh sakti.
Memang benar. Barang siapa yang mampu mempelaja-
ri isi kitab ini dia akan menjadi tokoh persilatan yang
sukar ditandingi."
Kedua pendekar muda-mudi, manggut-
manggut mengerti, kemudian Sandana bertanya, "Ki
Rupaksi kalau memang engkau bermaksud mencari
Pendekar Pedang Siluman Darah, maka lebih baik kau
jangan pergi dari desa ini."
"Kenapa?" bertanya Rupaksi, demi mendengar
saran yang diucapkan oleh Sendana. Seketika hati Ru-
paksi bimbang, ketakutan kalau-kalau orang persila-
tan akan mengetahui bahwa kitab Inti Jagad ada di
tangannya.
Melihat ketakutan di wajah Rupaksi, dengan
halus Rekasih berkata mewakili kakak seperguruan-
nya: "Ki Rupaksi. Kalau kau ingin tahu, sebenarnya
pendekar yang kau cari saat ini ada di desa ini. Men-
genai keselamatan kitab itu, kami akan berusaha me-
lindunginya darimu."
Mendengar ucapan Rekasih, seketika tersirat
kegembiraan di wajah Rupaksi. Lalu dengan terlebih
dahulu menjura, Rupaksi pun berkata: "Ah... Betapa
aku yang bodoh ini mengucapkan banyak terima kasih
atas kesediaan kalian membantuku. Tapi, apakah nan-
tinya tidak merepotkan?"
Tersenyum Sendana dan Rekasih, mendengar
ucapan Rupaksi yang nadanya merendah, dengan ma-
sih mengurai senyum, Sendana berkata: "Tidak, Ki.
Sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-sosial
dan kemanusiaan, wajib bagi kami untuk melindungi
kitab yang bukan hak mereka yang berada di tangan-
mu. Ayolah! Segera kita pergi dari sini, sebab bukan
tak mungkin orang tadi kembali ke mari."
Tanpa banyak kata lagi, ketiganya segera berla-
lu meninggalkan hutan itu. Memang benar apa yang
dikatakan Sendana, kedua orang yang tadi mengejar
Rupaksi datang kembali selang beberapa saat setelah
mereka pergi.
"Tadi aku dengar ada orang bercakap-cakap,
namun kenapa seketika menghilang?" bergumam Gon-
do, dengan mata mengawasi sekeliling hutan itu.
"Benar! Memang tadi ada orang ke sini. Lihatlah
bekas-bekas sepatu mereka, rupanya kita telah kedu-
luan orang lain. Gagal sudah usaha kita untuk menja-
di orang paling sakti di dunia persilatan! Mungkin bu-
kan jodoh kita, Gondo?" keluh Songka.
Dengan perasaan kecewa, kedua orang kakak
beradik itu kembali menghela kais kudanya mening-
galkan hutan menuju ke desa Cipulir lagi.
Dihelanya kais kuda dengan cepat, secepat pi-
kiran keduanya yang diliputi kekecewaan menuju ke
sebuah kedai di desa Cipulir.
"Kita makan dan mengaso dulu, Gondo!" berka-
ta Songka.
Dihela kais kudanya membelok ke arah Utara,
di mana kedai berada.
Setelah menambatkan tali kudanya, kedua
orang itu segera masuk ke dalam kedai. Keduanya
langsung mencari tempat duduk yang masih kosong,
karena siang itu kedai tampak penuh dengan pengun-
jung. Di ujung sebelah kiri kedai, akhirnya mereka
mendapatkan tempat duduk.
Tengah mereka duduk, tampak seorang pemu-
da masuk ke kedai, yang seketika mengundang perha-
tian seluruh pengunjung kedai termasuk Soka dan
Gondo.
Pemuda yang baru datang, yang tak lain si
pendekar Pedang Siluman acuh saja berjalan dan
mencari tempat duduk
"Jaka Ndableg! Hai, apakah pendekar muda ini
juga tengah memburu kitab itu? Kalau memang ya,
percuma saja kita turut memburu."
"Kenapa...?" bertanya Gondo, demi mendapat
ucapan Soka yang tampaknya jera melihat pemuda itu.
"Kau tahu, Gondo. Kalau pendekar muda itu te-
lah ikut campur, jangan harap kita dapat leluasa dan
mampu mendapatkan kitab itu. Jangankan kita, tokoh
kelas wahid pun akan berpikir tujuh kali untuk dapat
menandingi. Ilmunya sungguh tak ada tandingan pada
masa sekarang," kata Soka, memberi tahukan pada
Gondo yang seketika terbelalak matanya dan menggu-
mam.
"Hem, jadi inikah pendekar Pedang Siluman
Darah yang sering dibicarakan oleh Guru?"
"Ya! maka itu, percuma kita ini. Jangankan ki-
ta, guru kita pun tak akan mampu menghadapinya."
Yang mendengar percakapan mereka, tampak
acuh saja. Ia terus menyantap makanan yang telah di-
hidangkan oleh pelayan kedai di hadapannya.
"Hem, rupanya kedatanganku telah dikenal di
sini. Heh! Tadi kedua orang itu berbisik mengatakan
tentang kitab, kitab apakah gerangan? Ah, coba aku
tanyakan pada mereka," bergumam Jaka dalam hati,
lalu dengan perlahan penuh ketenangan Jakapun
menghampiri Gondo dan Soka yang tersentak kaget
demi melihat Jaka tahu-tahu telah berdiri di samping-
nya.
Belum juga hilang kekagetan mereka, terdengar
Jaka Ndableg berkata.
"Boleh aku duduk di sini, Ki Sanak?"
"Bo... Boleh, boleh." tergagap keduanya berkata
hampir bersamaan dan dengan segera mempersilahkan
Kelana, yang dengan tenang duduk di hadapan mere-
ka.
"Maaf, tadi aku mendengar pembicaraan kalian.
Aku mendengar kalian menceritakan tentang kitab. Ki-
tab apakah itu hingga mengundang kaum persilatan
berlomba untuk mendapatkan?" bertanya Jaka ingin
tahu, membuat kedua orang yang ditanya seketika
membelalakan mata.
"Jadi... Jadi tuan pendekar belum mengerti?"
bertanya Gondo, dengan ucapan terbata-bata. Seper-
tinya Gondo tak percaya, demi mendengar pertanyaan
Kelana yang seketika tersenyum dan berkata.
"Ki Sanak, janganlah kau meninggikan diriku
dengan sebutan tuan pendekar. Apakah aku ini pantas
menyandang sebutan itu, yang terlalu tinggi dan
agung? Aku orang biasa seperti kalian berdua, yang
kadang kalanya senang dan susah. Ah, sudahlah! Oh
ya, apakah aku boleh mengetahui kitab yang tengah
diperebutkan oleh kaum persilatan?"
Tanpa sungkan-sungkan, kedua orang itu ber-
cerita bergantian saling sambung. Sementara Jaka
mendengarkannya dengan seksama, tanpa berkehen
dak untuk bertanya ataupun memotong cerita kedua-
nya.
"Begitulah tuan pendekar," berkata Soka, sete-
lah selesai bercerita. Di wajah kedua orang itu tampak
was-was, kalau-kalau Kelana marah padanya. Namun
seketika keduanya tampak tenang, ketika mendengar
ucapan Jaka.
"Ki Sanak semua. Kalau benar apa yang telah
Ki Sanak ceritakan, aku rasa janganlah Ki Sanak ber-
dua meneruskannya. Sebab di samping kalian akan
mendapatkan tantangan berat bila telah mendapatkan
kitab tersebut, juga kitab tersebut bukanlah hak ka-
lian. Aku merasa, ada seseorang yang menghendaki ki-
tab tersebut di belakang kejadian ini. Menurut penda-
patku, lebih baik kalian kembali saja ke perguruan.
Bagaimana, Ki Sanak?"
Mendengar saran Jaka, kedua orang itu tampak
mengangguk. Sepertinya kedua orang tersebut menya-
dari, betapa selama ini keduanya telah berbuat bodoh.
Maka dengan terlebih dahulu mengucapkan terimaka-
sih, kedua orang itu akhirnya menuruti ucapan Jaka,
kembali ke perguruan.
"Hem... Menarik juga berita ini, akan aku seli-
diki. Aku yakin ada maksud tertentu dari seseorang,
yang sengaja membuat cerita dusta ini. Siapa kira-kira
orang tersebut? Akan aku coba untuk mengungkap
misteri ini," membatin Jaka setelah kepergian kedua
orang tersebut. Setelah membayar makanan yang di-
makan. Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan ke-
dai untuk menyelidiki apa yang sebenarnya tengah ter-
jadi di desa Cipulir.
Semua mata yang hadir di situ, mengikuti ke-
pergian Jaka yang diikuti oleh seseorang dari bela-
kangnya.
"Hem... Rupanya ada orang yang mengikutiku,
baik akan aku biarkan apa maunya." Merasa ada
orang yang mengikutinya, segera Jaka mempercepat
larinya dengan menggunakan ajian Delapan Angin.
Orang yang menguntitnya pun seketika kebingungan,
karena Jaka telah melesat pergi dengan cepatnya ba-
gaikan angin.
TIGA
Jaka terus berlari meninggalkan orang yang
menguntitnya, dan berhenti setelah dirasakannya
orang itu telah tak menguntitnya lagi.
"Mana yang harus aku kerjakan? Meneruskan
mencari Alas Waru, atau menyelidiki berita gegernya
Kitab Inti Jagad.? Huh, pusing. Kalau aku menyelidiki
desas-desus yang diceritakan oleh kedua orang di ke-
dai itu, maka aku tak dapat segera menemukan per-
sembunyian Iblis Alas Waru yang telah membikin keo-
naran di wilayah wetan. Kalau aku mengejar terus Iblis
Alas Waru, berarti aku tak dapat mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi di balik kejadian di desa Cipulir ten-
tang Kitab Inti Jagad. Ah, biarlah aku memburu Iblis
Alas Waru dulu, setelah itu baru aku menyelidiki de-
sas-desus ini."
Sedang Jaka bingung harus berbuat apa, tiba-
tiba telinganya yang tajam mendengar suara seruling
dibawa angin yang ditiup oleh seseorang dengan mer-
dunya.
Tanpa sadar, Jaka Ndableg turut berdendang
ria
"Kehidupan, adalah perjalanan yang harus kita
jalani.
Bila kita salah melangkahnya, kesesatan yang
kita dapatkan.
Tapi bila kita ingat pada yang kuasa,
Akan selamat dunia dan akherat..."
Sambil berdendang, kakinya terus melangkah
menuju ke asal suara seruling itu ditiup. Tampak di
atas cabang pohon asem, seorang wanita duduk den-
gan santai sembari meniup seruling.
"Ni Sanak yang ada di atas, aku kagum men-
dengar suara seruling mu. Kalau boleh aku tahu, sia-
pakah gerangan Ni Sanak?" bertanya Jaka pada gadis
yang duduk menyelonjorkan kaki memandang ke
arahnya sembari menghentikan tiupan serulingnya.
Sekonyong-konyong, gadis itu segera melompat
turun dan berdiri di hadapan Jaka sembari tersenyum
dan berkata:
"Ah, Sungguh beruntung hari ini diriku."
"Heh! Apa yang kau maksudkan beruntung, Ni
Sanak?" bertanya Jaka kaget, demi mendengar ucapan
gadis di hadapannya yang kini tersenyum simpatik.
"Yah, hari ini aku sangat beruntung karena te-
lah bersua dengan seorang tokoh persilatan. Terimalah
salam hormat dariku yang rendah dan bodoh ini, se-
mogalah tuan pendekar berkenan menerimanya." tan-
pa menghiraukan Jaka yang terbengong-bengong tak
mengerti, gadis itu telah menjura.
Belum hilang ketidak mengertian Jaka, tiba-
tiba gadis yang menjura itu menyerangnya. Makin tak
mengerti dan terkejut Jaka Ndableg diserang tiba-tiba.
Hampir saja serangan gadis itu mengenai tu-
buhnya, kalau saja ia tidak segera berkelit menghindar
sembari melompat mundur dan bertanya:
"Nona centil! Kenapa kau menyerangku?"
"Kau telah berbuat salah padaku!" menjawab si
gadis sembari terus melancarkan serangannya, mem-
buat Jaka Ndableg makin bingung dan berusaha men-
gelit serangan-serangan yang dilancarkan si gadis.
"Apa?! Bersua saja baru sekarang, kenapa mes-
ti berbuat salah. Kalau memang aku telah bersalah
padamu, katakan apa salahku?" tanya Jaka," Kau jan-
gan mengada-ada!"
"Dengar baik-baik. Pertama kau telah berbuat
salah, yaitu kau telah ikut berdendang, padahal aku
yang meniup seruling bukan kau. Dan yang terakhir,
aku ingin tahu sampai di mana ilmu seorang pendekar
kelas wahid macammu."
Mendengar alasan si gadis yang menyerangnya,
seketika Jaka tertawa bergelak-gelak hingga si gadis
segera menghentikan serangan dan memandang sem-
bari mengerutkan alls matanya yang lentik.
"Kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu,
hingga kau tertawa seenak udel?" bertanya si gadis,
makin membuat Kelana tertawa bergelak-gelak dan
berkata.
"Ni Sanak. Aku tak akan tertawa bila tak lucu,
takut dibilang gila. Bagaimana aku tak tertawa, jawa-
banmu lucu. Masa hanya karena alasan itu kau me-
nyerangku?"
"Lalu harus alasan apa aku menyerangmu?"
bertanya si gadis, yang masih berdiri mematung di
tempatnya sembari memandang Jaka yang masih cen-
gengesan.
"Aku rasa, ada sebab lain."
"Ah! Apa itu?"
Mendengar pertanyaan si gadis yang tampak-
nya menyimpan sesuatu di hatinya, maka Kelana den
gan terlebih dulu mengedipkan matanya yang mem-
buat si gadis ded-degan hatinya berkata konyol.
"Aku rasa, kau menyerangku karena kau ada..."
Jaka Ndableg tak segera meneruskan ucapannya,
membuat si gadis melototkan mata dan mendesak ber-
tanya ingin tahu.
"Ada apa?!"
"Ada hati! ya, kan?"
Gemes hati si Gadis demi mendengar ucapan
Jaka. Maka dengan pura-pura marah gadis itu kembali
menyerang Jaka yang tertawa bergelak-gelak sembari
mengelak.
"Benarkan?"
"Tidak!"
"Ah, yang benar?"
"Kurang, Asem!" kesel dan berbunga-bunga hati
s gadis mendengar ucapan yang konyol, yang masih
tertawa-tawa sembari mengelakkan serangannya.
Keduanya seketika berkelebat-kelebat dengan
cepatnya, bagaikan sepasang seriti yang tengah mena-
ri-nari. Si gadis terus menyerang Jaka, yang tampak-
nya tidak untuk meladeni hingga hanya mengelak dan
mengelak dari serangan si gadis.
Tiba-tiba Jaka melompat tinggi sembari berseru
pada si gadis, yang terbengong melihat tingkahnya. "Ni
Sanak! Cepatlah bersembunyi!"
"Kenapa?" bertanya si Gadis, yang belum men-
gerti maksud Jaka. Namun karena ia percaya dan te-
lah tahu siapa sebenarnya, si gadis pun segera melom-
pat ke atas dan menangkring di atas cabang pohon
asem di samping.
"Ada apa?" kembali si gadis bertanya.
"Apakah kau tak mendengar?"
Mendengar pertanyaan Jaka, segera si gadis
memusatkan pendengarannya. Terdengar dari kejau-
han langkah-langkah kaki, sepertinya menuju ke arah
di mana mereka berada.
"Benar! Sepertinya ada orang datang ke mari
dan sepertinya tidak sendirian. Hai, lihat!" berseri si
gadis, menunjuk ke arah muka di mana tampak tiga
orang tengah berjalan menuju ke arah mereka
Ketiga orang yang ditunjuk si gadis, tampak
berlari-lari dengan wajah yang diliputi ketegangan.
Sementara di belakangnya, tampak enam orang tengah
mengejar mereka.
"Sepertinya, ketiga orang itu tengah dikejar oleh
keenam orang di belakangnya. Kita harus menolong
ketiga orang itu. Hai! Bukankah orang yang me ngejar
ketiga orang itu, si Iblis Alas Waru?"
Jaka yang mendengar gumaman si gadis, seke-
tika mengernyitkan alis matanya memandang si gadis
yang kembali berkata:
"Tak disangka, akhirnya kutemukan juga iblis
itu."
"Hai! Rupanya Ni Sanak telah mengenalnya.
Apakah pernah bersangkutan?" bertanya Jaka, setelah
untuk kedua kalinya mendengar gumaman si gadis
yang tampaknya memendam kemarahan dan dendam.
Sesaat gadis itu memandang ke arah Jaka, se-
belum akhirnya berkata: "Ya! Karena Iblis itu, aku kini
sebatang kara. Ayah dan ibuku mati dibunuh olehnya."
Sekilas wajah si gadis berubah sedih, kala ingat
akan kejadian yang telah menimpa keluarganya lima
tahun yang silam. Ayah dan ibunya dibantai dengan
sadis di depan mukanya, yang kala itu masih kecil. Di-
rinya juga hampir dibantai, kalau saja tidak segera da-
tang seorang tua yang menolong dirinya.
Mengingat semua itu, napas si gadis tampak
memburu. Matanya memandang bengis. Giginya ter-
dengar bergemeretukan menahan emosinya yang me-
luap-luap.
Kala ketiga orang itu telah dekat ke arahnya,
dengan segera tanpa dapat dicegah oleh Jaka si gadis
melompat turun. Seketika ketiga orang itu tersentak,
dan berhenti dari larinya demi melihat seorang gadis
menghadangnya.
"Jangan kalian takut, Ki Sanak. Aku tak ber-
maksud buruk pada kalian, tapi aku ada urusan den-
gan orang yang memimpin kelima orang yang mengejar
kalian," berkata si gadis.
"Kalau Ni Sanak tak bermaksud buruk pada
kami, biarkanlah kami pergi untuk menghindari keja-
ran mereka," meminta salah seorang di antara ketiga
orang itu.
"Tak usah kalian berlari, bersembunyilah!"
Dengan perasaan was-was, ketiga orang itupun
menurut bersembunyi di balik semak-semak yang tak
jauh dari si gadis berdiri.
Tampak enam orang berlari mendekati si gadis
yang melotot bengis ke arah pemimpin orang-orang itu.
Merasa tak punya sangkut paut apa-apa dengan gadis
di depannya. Segera pemimpin kelima orang pengejar
ketiga orang yang bersembunyi segera bertanya.
"Ni Sanak... Apakah Ni Sanak melihat tiga
orang berlari ke mari?"
Ditanya seperti itu, si gadis bukannya menja-
wab. Bahkan dengan mata tajam memandang. si gadis
membentak.
"Iblis Alas Waru, apa kabar? Lima tahun sudah
kita tak bertemu, rupanya tak menjadikan kau beru-
bah?!"
Dibentak begitu rupa oleh si gadis, Iblis Alas
Waru mengernyitkan kening dan memandang penuh
tanda tanya pada gadis di hadapannya yang tak diken-
al.
"Iblis Alas Waru. Rupanya ketuaan mu telah
menjadikan kau pikun dan tidak mengenaliku lagi.
Atau kau pura-pura tak mengenal, agar kau bisa bebas
dariku?" bertanya si gadis dengan nada bengis.
Orang yang ditanya untuk kedua kalinya men-
gernyitkan kening dan balik bertanya.
"Ni Sanak...! Gerangan apa hingga kau berkata
kasar padaku? Melihatmu pun, baru sekarang. Bagai-
mana aku bisa mengenalmu?"
Geram si gadis mendengar ucapan Iblis Alas
Waru, maka dengan membentak si gadis kembali ber-
kata: "Dasar Iblis! Dengar! Masihkah kau ingat keja-
dian lima tahun yang silam di desa Karang Asem? Di
mana kau dengan sifat iblismu, membantai sebuah ke-
luarga?"
Mendapat pertanyaan dari si gadis, tampak Ib-
lis Alas Waru mengernyitkan keningnya. Kembali ia
terdiam, sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu
kejadian. Namun, ia sepertinya tak pernah membuat
keonaran di desa yang disebutkan si gadis. Maka den-
gan masih tenang, Iblis Alas Waru kembali berkata: "Ni
Sanak, sungguh aku tak mengenalmu, juga desa yang
kau sebut. Mungkin Ni Sanak telah salah lihat, atau
barang kali ada orang yang mengatas namakan nama-
ku untuk berbuat kekejaman. Jika Ni Sanak percaya,
walaupun julukanku Iblis namun aku tak pernah ber-
buat sekeji itu. Percayalah?"
Geram si gadis mendengar ucapan si Iblis, yang
dianggapnya hendak lari dari tanggung jawab. Maka
dengan penuh kemarahan, si gadispun segera menye-
rangnya.
Jaka yang berada di tas pohon, seketika men-
jadi ragu demi melihat orang yang diserang si gadis.
Setahunya. Yang bernama Iblis Alas Waru, bukanlah
orang yang kini tengah berkelahi dengan si gadis.
"Hem... setahuku, Iblis Alas Waru bukan orang
itu. Kalau begitu, bukan tidak mungkin ada orang lain
yang memakai nama Iblis Alas Waru. Dan menurut pi-
kiranku, orang yang mengaku Iblis Alas Waru tentunya
mempunyai wajah tiruan. Pusing, pusing! Kenapa bisa
begini? Aku harus mencegah mereka," membatin Jaka
penuh tidak pengertian, sebab setahunya Iblis Alas
Waru berbadan tinggi, besar walau wajahnya memang
seperti wajah orang yang masih diserang oleh si gadis.
Dengan segera, Jaka melompat turun dan ber-
diri di tengah-tengah kedua orang yang kini melompat
mundur karena terdorong oleh dorongan tangan Kela-
na.
"Tunggu!" berseru Jaka Ndableg.
"Kenapa kau memisahkan kami?" bertanya si
gadis penuh kekecewaan dan kekesalan, demi melihat
Joko memisahkan perkelahiannya.
"Sabar, Ni Sanak. Apakah kau tak salah menye-
rang orang? Coba kau ingat-ingat, benarkah ini orang
yang dulu membantai keluargamu? Memang wajahnya
sama, tapi tidakkah kau lihat kelainan orang ini den-
gan orang yang membantai keluargamu?" bertanya Ja-
ka pada si gadis, yang segera memandang tajam pada
orang yang tadi diserangnya.
Si Gadis menatap lekat-lekat seluruh tubuh Ib-
lis Alas Waru, dan memang ada kelainan pada tubuh
orang ini dengan orang yang dulu membantai keluar-
ganya.
"Benar! Orang ini berbeda dengan orang yang
dulu membantai keluargaku. Hem... Jadi siapakah se
benarnya orang yang dulu membantai keluargaku?"
bertanya gadis itu dalam hati, lalu ucapnya kemudian.
"Maafkan aku, Ki Sanak. Sebab aku telah salah menu-
duh tanpa memperhatikan lebih seksama."
"Tak mengapa. Aku juga menyadari apa yang Ni
Sanak perbuat. Bagaimanapun juga, memang ada
orang yang menggunakan nama dan wajahku untuk
membuat keributan dan keonaran. Aku sendiri tak ta-
hu, siapa sebenarnya yang telah memakai nama dan
wajahku untuk berbuat kejahatan... Oh ya. Kalau ka-
lian ingin tahu siapa orang yang telah membuat nama-
ku cemar, maka ketiga orang yang kami kejar itulah
yang mengetahuinya."
Tersentak kaget si gadis, demi mendengar pe-
nuturan Iblis Alas Waru. Dengan segera, si gadis pun
berkelebat menuju semak-semak yang tadi digunakan
untuk bersembunyi ketiga orang itu.
Betapa gusar dan marah si gadis, mendapatkan
semak-semak itu telah kosong. Maka sebagai pelam-
piasan kekesalannya, dicabutnya pedang yang tergan-
tung di pundaknya dan dibabatkan ke semak-semak
itu.
Orang-orang yang ada di situ, seketika datang
menghampiri karena mengira si gadis telah menemu-
kan dan membunuh ketiga orang itu dengan pedang-
nya.
"Bagaimana? Apakah kau telah menemukan-
nya?" bertanya Jaka setelah gadis menghentikan sabe-
tan pedangnya.
Dengan wajah penuh kekecewaan, si gadis
menggeleng lemah sembari mengangkat pundaknya.
Jaka dan Iblis Alas Waru, terharu melihat wajah si ga-
dis yang sayu.
"Sudahlah, Ni Sanak. Hari ini kau gagal, siapa
tahu esok atau lusa kau berhasil. Oya, kita belum sal-
ing kenal. Siapakah nama Ni Sanak, dan Ki Sanak?"
bertanya Iblis Alas Waru pada kedua orang muda di
hadapannya.
"Namaku Siti Gendari."
"Aku yang bodoh ini, bernama Jaka Ndableg!"
Tersentak kaget Iblis Alas Waru demi menden-
gar nama pemuda itu, yang ia kenal dari tokoh-tokoh
persilatan bergelar pendekar Pedang Siluman Darah.
Dengan terlebih dahulu menjura, Iblis Alas Waru ber-
kata:
"Ah... rupanya aku yang bodoh makin bodoh
saja, terbukti aku tak sadar tengah berhadapan den-
gan siapa. Dengan segala kerendahan hati, aku yang
bodoh ini mohon maaf atas kelancangan yang telah
aku lakukan. Anak-anak, menghormatlah!"
Mendengar perintah dari pimpinannya, seketika
itu kelima anak buah Iblis Alas Waru serempak menju-
ra hormat hingga membuat menggelengkan kepalanya
dan berkata:
"Ah! Kalian terlalu merendahkan diri, yang se-
harusnya tak perlu kalian lakukan. Bukankah aku ju-
ga seperti kalian? Yang masih merasa membutuhkan
pertolongan orang lain?"
"Oh... Tuan pendekar sungguh baik hati, ber-
kenan memaafkan segala kesalahan kami. Bagaimana
kalau kita bersama-sama mencari orang yang menga-
ku-aku diriku?" berkata Iblis Alas Waru menyarankan.
"Baiklah, aku ikut bersamamu. Bagaimana
dengan tuan pendekar? Apakah akan turun serta?"
bertanya Siti Gendari sembari melirik Jaka, yang ter-
senyum berdiri di sampingnya.
"Tidak. Aku menyusul kalian nanti setelah uru-
sanku telah selesai. Semoga kita dapat bertemu lagi
nanti. Selamat jalan, semoga kalian selalu dalam lin-
dungan Yang Maha Kuasa."
Dengan segera, Jaka Ndableg berkelebat me-
ninggalkan mereka yang memandang kepergiannya
dengan kagum.
"Sungguh sangat baik budi pekertinya, jarang
orang semuda dia dan berilmu tinggi yang berbudi pe-
kerti sepertinya. Walaupun namanya sudah kesohor di
kolong langit, namun tindakan dan tingkah lakunya
tak pernah menggambarkan keangkuhan dan kesom-
bongan. Ayo kita pergi," berkata Iblis Alas Waru, sete-
lah sesaat memandang kepergian Kelana
Siti Gendari tersentak dari lamunannya, yang
tengah mengembara membayangkan Jaka yang telah
dengan cepat mengisi relung-relung kalbunya
"Ah...! Apakah ini yang dinamakan cinta? Apa-
kah aku telah mencintainya?" mendesah Siti Gendari
dalam hati, seraya melangkah pergi mengikuti Iblis
Alas Waru dengan membawa rasa cinta kasih di ha-
tinya. Cinta yang datang seketika, pada seorang pemu-
da yang baru saja ia kenal.
Iblis Alas Waru yang mengetahui dan mengerti
apa yang tengah dirasakan oleh Siti Gendari saat itu,
hanya tersenyum membiarkannya tanpa berkehendak
untuk mengganggu.
* * *
"Berhenti! Serahkan kitab yang berada di tan-
ganmu pada kami, Rupaksi!" Tiba-tiba terdengar suara
bentakan, yang datang dari atas bukit. Rupaksi dan
Sepasang Pendekar muda tengah berjalan dalam usa-
hanya mencari Jaka. Seketika ketiganya berhenti, dan
memandang ke atas bukit di mana tampak berdiri tiga
orang berwajah sangar menyeramkan.
"Ki Sanak sekalian yang berada di atas bukit,
turunlah ke bawah kalau memang ada kepentingan
dengan kami!" berseru Sendana.
Mendengar seruan Sendana, seketika Tiga Se-
tan Api melompat turun dan berdiri satu persatu
menghadapi ketiga orang di hadapannya sembari ter-
tawa-tawa.
"Memang kami berkepentingan dengan kalian,
khusus dengan orang yang membawa bungkusan kain
di pundaknya," berkata Setan Api tertua sembari ter-
tawa, diikuti oleh kedua adiknya.
"Apa yang hendak kalian ingini dari bungkusan
yang kubawa ini?" tanya Rupaksi. Tiga Setan Api ter-
tawa bergelak-gelak hingga tubuh mereka yang kurus
ikut terguncang.
"Rupaksi. Jangan kau kira aku dapat dikibuli
olehmu. Kami bukan anak kecil lagi. Serahkan kitab
yang kau bawa itu pada kami, atau terpaksa kami me-
rebutnya dengan jalan kekerasan?" berkata setan Api
penengah, dengan melototkan matanya yang jereng
pada ketiga orang yang berdiri di hadapannya.
"Setan Api. Kalian jangan mengada-ada, sebab
kami tak membawa apa yang kalian maksudkan. Biar-
kan kami lewat!" membentak Rekasih. Ia muak melihat
tampang ketiga Setan Api yang memandang padanya
dengan pandangan kurang ajar.
"Wew, wew, wew. Ternyata wanita secantikmu
bisa galak juga, ya? Wew, wew, wew. Mungkin kau le-
bih galak bila di atas tempat tidur, bukan begitu ka-
kak?" berkata Setan Bungsu, seraya mengerling kan
matanya liar pada Rekasih.
"Setan Bangkotan! Lancang mulut kalian! Jan-
gan banyak mulut. Kalau berani hadapilah aku.
Hiat...!" Kemarahan dan kemuakan hati Rekasih pada
ketiga Setan Api tak dapat dibendung lagi. Dengan pe-
nuh amarah Rekasih segera menyerang ketiga Setan
Api yang segera melompat mundur.
"Biarkan aku saja yang menghadapi gadis liar
ini, kalian hadapilah kedua lelaki itu," berkata Setan
Api tertua, yang segera menghadapi Rekasih.
"Hai anak muda, dan kau Rupaksi. Jangan ka-
lian bengong menonton! Serahkan kitab itu pada kami,
dan mari kita main-main sebentar!"
Mendengar ucapan Setan Panengah yang ber-
nada merendahkan, mendengus marah Rupaksi. Maka
dengan segera, Rupaksi pun menerima tantangan itu
sembari berkata: "Setan Api. Kalau kalian menghenda-
ki kitab ini, maka langkahi dulu mayatku! Hiat!"
Tanpa dapat dicegah, Rupaksi dan Setan Pa-
nengah pun terlibat perkelahian. Tinggal Setan Bungsu
dengan Sendana, yang masih tampak berdiri saling
pandang.
Mungkin karena merasa tinggal dirinya saja
yang belum berkelahi, maka dengan tanpa banyak bi-
cara Setan Bungsu pun segera berkelebat menyerang
Sendana.
Diserang dengan tiba-tiba tidak menjadikan
Sendana bingung, bahkan sebaliknya. Dengan penuh
kewaspadaan, Sendana mengimbangi serangan yang
dilancarkan Setan Bungsu.
Perkelahian tiga lawan tiga itupun berlangsung
seru, karena ketiganya merupakan tokoh-tokoh persi-
latan yang diperhitungkan keberadaannya di dunia
persilatan.
Walaupun sepasang pendekar itu masih muda,
namun dalam hal ilmu kanuragan mereka tak dapat
dianggap enteng. Sementara Rupaksi, dia sebagai adik
seperguruan Kerto Pati dari perguruan Elang Sakti, se-
tidak-tidaknya ilmu yang dimilikinya juga tidak rendah
Jurus demi jurus mereka lalui. Pada jurus yang
kelima puluh, tiba-tiba Setan Penengah berteriak dan
berkelebat dengan cepatnya menyerang Rupaksi yang
dengan segera mengelakkannya. Namun serangan
yang dilancarkan Setan Penengah, ternyata hanya ti-
puan belaka. Sedang tujuan sebenarnya, tertuju pada
bungkusan yang ada di punggung Rupaksi.
Maka ketika Rupaksi menunduk menghindari
serangannya, dengan segera Setan Penengah menyabet
bungkusan di punggung Rupaksi.
Tersentak Rupaksi segera menyerang. Namun
Setan Penengah telah lebih dahulu mengelak dan ber-
lari menuju bukit diikuti oleh kedua saudaranya yang
segera bangun dari duduknya akibat jatuh terhantam
tendangan dan pukulan Sepasang Pendekar Muda itu.
"Jangan lari!" membentak Sendana sembari
mengejar, diikuti oleh adik seperguruannya dan Ru-
paksi. Ketiganya segera memburu ke atas bukit, di
mana ketiga Setan Api berlari.
Bukit Wirangrang kembali sepi, setelah keenam
orang itu pergi meninggalkannya saling kejar mengejar.
Angin seketika bertiup, menyapu debu-debu yang se-
ketika berterbangan ke angkasa menutupi tegalan di
bawah bukit Wirangrang.
EMPAT
Di sebuah tegalan dekat puncak gunung Cire-
mai, tampak seorang lelaki tua yang rambutnya telah
memutih tengah duduk bersila di atas sebuah batu.
Di hadapan orang tua itu, tampak seorang pe-
muda tengah menggelantung dengan kaki di atas ba-
tang pohon dan kepala di bawah. Kedua tangannya
bersidakap, sementara mata pemuda itu tampak terpe-
jam.
"Anakku, Arya. Bangunlah dari semedi mu.
Bangunlah, anakku!" terdengar lelaki tua itu berkata
yang ditujukan pada anak muda yang menggantung
dengan kepala di bawah.
Perlahan. Mata pemuda itu membuka, meman-
dang pada lelaki tua di hadapannya. Dari mulutnya
seketika keluar pertanyaan yang ditujukan pada lelaki
tua di hadapannya:
"Ada apakah guru membangunkan semediku?"
"Turunlah, Nak! Telah usai sudah ujian yang
kau tempuh yang kau lakukan dengan penuh ketaba-
han dan rasa percaya diri. Kini kau telah memperoleh
hasilnya," berkata kembali lelaki tua yang dibarengi
dengan berkelebatnya tubuh pemuda yang sedari tadi
menggantung turun ke bawah dan berdiri menghormat
pada lelaki tua di hadapannya.
"Anakku, sepuluh tahun sudah kau bersama-
ku. Hari ini adalah hari terakhir kau menuntut ilmu
yang telah kuturunkan semuanya padamu. Kini masa
mu untuk turun ke dunia bebas untuk mencari penga-
laman sekaligus mengamalkan ilmu-ilmu yang kau mi-
liki. Ingat, anakku. Ilmu yang telah kau miliki jangan-
lah kau pergunakan untuk kemungkaran. Perguna-
kanlah ilmumu untuk membela kebenaran dan keadi-
lan. Sekarang mandilah dulu, nanti kita bicara lagi."
Pemuda yang bernama Arya kembali menghor-
mat menjura sebelum akhirnya pergi meninggalkan
sang guru yang memandangnya dengan tersenyum
bangga seraya bergumam:
"Hem. Semoga kau akan menjadi seorang pen-
dekar sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan. Dengan ilmu yang kau miliki, maka kau pan-
tas disejajarkan dengan tokoh-tokoh persilatan kelas
wahid."
Sang guru segera berkelebat masuk ke dalam
rumah setelah kepergian muridnya. Tak lama kemu-
dian, sang guru telah keluar kembali dengan tangan
membawa lipatan pakaian berwarna putih yang telah
ia persiapkan sejak sebelas tahun yang silam sebelum
ia mendapatkan murid. Pakaian itu terbuat dari serat
pohon yang kuat hingga dapat bertahan lama dan awet
walau sebelas tahun disimpan.
Segera dihampiri muridnya yang masih mandi.
Lalu ketika Arya muncul di permukaan air sendang, le-
laki tua itu berkata: "Arya, ini pakaianmu aku taruh di
sini. Pakailah nanti setelah kau habis mandi."
"Terimakasih, Guru."
Setelah menaruh pakaian itu kembali lelaki tua
itu berkelebat pergi meninggalkan Arya yang masih
mandi menuju ke halaman rumahnya dan duduk di
atas batu.
Tak lama berselang. Tampak Arya telah selesai
mandi, datang menghampiri lelaki tua gurunya dengan
pakaian putih bersabuk merah menyala.
Setelah dekat di hadapan sang guru, seketika
Arya pun bersujud menyembah sembari berkata: "Te-
rimalah sembah hamba."
Mendengar ucapan muridnya, lelaki tua itu ter-
senyum penuh kebahagiaan dan berkata: "Anakku,
Arya. Sembah mu aku terima, duduklah."
Dengan tanpa membantah, Arya pun segera
duduk menuruti perintah gurunya yang kembali terse-
nyum dan melanjutkan kata-katanya:
"Anakku. Hari ini telah sepuluh tahun kau be-
rada di sini bersamaku. Segala ilmu yang aku miliki te-
lah aku turunkan padamu. Baik ilmu kanuragan mau-
pun ilmu batin yang menjadikan dirimu sakti mandra
guna. Kau sekarang dapat disejajarkan dengan tokoh
persilatan kelas wahid yang bakal disegani baik lawan
maupun kawan. Tapi, janganlah sekali-kali kau som-
bong karena kesombongan akan menjadikan seseorang
menjadi takabur dan lupa pada asal-usulnya. Pergu-
nakan ilmumu pada jalan kebenaran dan keadilan
yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Bua-
nglah segala dendam karena dendam akan menjadikan
kau dengan mudah dipengaruhi iblis..."
Arya tampak terdiam menundukkan kepala,
sepertinya tengah menghayati makna ucapan sang
guru.
Melihat muridnya hanya terdiam kembali sang
guru berkata meneruskan: "Karena kau kini kesak-
tiannya setingkat dengan pendekar kelas wahid maka
hari ini pula kau kuberi sebutan Malaikat Putih dari
Ciremai. Hal itu, karena disesuaikan dengan nama
yang kusandang, pendekar Malaikat Suci. Juga, kare-
na pakaianmu yang berwarna putih bersih. Sekarang
juga, pergilah ke dunia bebas. Cari olehmu ketiga
orang yang telah membunuh ayah, ibu, paman dan bi-
bimu. Tapi ingat anakku jangan sekali-kali kau men-
dendam. Ajaklah ketiganya kembali ke dunia lurus, bi-
la tak mau baru kau bertindak. Itupun jangan sampai
ketelengasan, cukup diberi pelajaran. Namun bila me-
reka memang sudah tak dapat dimaafkan dosanya,
terserah apa yang hendak kau lakukan."
"Terimakasih atas semua nasehat guru yang
akan menjadikan sebuah tongkat penuntun jalan
hamba, yang masih buta dengan kehidupan dan liku
likunya. Terimakasih pula atas pemberian nama Ma-
laikat Putih oleh guru pada hamba. Sesuai dengan
nama tersebut, maka hamba akan berusaha menja-
lankan tugas hamba sebagai orang persilatan untuk
selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan."
Malaikat Suci tersenyum dan mengangguk-
anggukkan kepala senang, demi mendengar tutur kata
muridnya. Lalu setelah terkekeh-kekeh, Malaikat Suci
pun kembali berkata:
"Muridku ada yang aku lupa yang belum aku
sampaikan padamu."
"Apakah gerangan, Guru?"
"Dua puluh tahun yang silam, aku telah ben-
trok dengan seorang pendekar dari aliran sesat yang
berilmu tinggi. Masalahnya sepele karena ingin diang-
gap paling tinggi ilmunya, pendekar itu bergelar Kera
Siluman. Dengan ilmu-ilmu silumannya dia bermak-
sud menjatuhkan diriku. Tapi, alhamdulillah, Tuhan
bersamaku. Hingga aku dapat mengimbangi ilmunya,
bahkan aku mampu mengalahkannya. Merasa terka-
lahkan, kera Siluman berjanji akan mengadakan pem-
balasan dua puluh tahun kemudian tepatnya pada
purnama kelima. Ini purnama pertama, jadi empat
purnama lagi dia akan menungguku di Bukit Kematian
yang letaknya di sebelah Selatan desa Cipulir. Karena
aku merasa sudah tua, aku bermaksud mengasingkan
diri dari dunia ramai. Untuk itu, aku meminta tolong
padamu untuk menghadapinya. Kau siap?"
"Hamba siap, Guru?!" menjawab Arya atau si
Malaikat Putih dengan penuh hormat, membuat Ma-
laikat Suci terkekeh-kekeh tertawa dan kembali berka-
ta:
"Nan, sekarang pergilah ke arah Timur, di sana-
lah kau dilahirkan dan dibesarkan. Di sana pula, te
patnya di desa Cipulir kau akan menemukan orang-
orang yang telah membunuh ayahmu. Tak ada yang
dapat kuberikan untuk bekalmu, hanya do'a dan bebe-
rapa keping uang saja yang ada padaku."
Dirogohnya saku baju yang dikenakannya,
mengambil uang dan diberikannya pada Arya yang ter-
belalak melihat uang emas di tangan gurunya banyak
sekali.
"Ah. Jangan terlalu banyak guru memberikan
uang padaku. Aku takut, kalau-kalau nanti menjadi
orang pemalas."
Mendengar ucapan muridnya, si Malaikat Suci
kembali terkekeh-kekeh dan berkata: "Ha,-ha, ha. Be-
nar kata-katamu. Baiklah, uang ini kita bagi dua saja."
Dibaginya uang yang berada di tangannya den-
gan adil, untuknya dan untuk muridnya. Akhirnya.
Kedua guru dan murid tertawa bergelak-gelak hingga
tubuh mereka turut terguncang-guncang. Setelah me-
nyalami dan mencium tangan gurunya, Malaikat Putih
pun dengan diantar gurunya pergi meninggalkan gu-
nung Ciremai yang telah mengasuhnya sepuluh tahun
lamanya. Meninggalkan gurunya yang ingin menga-
singkan diri dari dunia ramai. Dengan berlari-lari kecil,
Malaikat Putih menuruni lereng gunung Ciremai untuk
mengembara mencari kitab milik ayahnya yang ber-
nama kitab Inti Jagad yang setahunya berada di tan-
gan pamannya.
* * *
Jaka dan ketiga orang yang lainnya yang ten-
gah mencari Setan Api, tertarik melihat rumah yang
hancur berantakan. Segera keempatnya menuju ke
rumah itu yang tampaknya habis digunakan untuk
pertempuran.
Seketika keempat orang itu tersentak kaget,
demi melihat mayat-mayat yang membusuk di rumah
itu yang mereka kenali. Hingga karena kagetnya, seke-
tika dari mulut ketiga orang teman jaka memekik ber-
seru:
"Setan Api!"
"Hai! Merekakah yang berjuluk Setan Api?"
tanya Jaka.
"Benar! Mereka memang Tiga Setan Api. Tapi,
mengapa mereka telah binasa? Siapa yang telah mem-
binasakan mereka?" bertanya Rupaksi, sepertinya per-
tanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
"Benar, Saudara Rupaksi. Bukankah lima hari
yang lalu mereka bentrok dengan kita?" Menambahkan
Sendana. Ia juga kaget mendapatkan orang yang baru
lima hari berselang bertempur dengannya telah menja-
di mayat.
Lain halnya Jaka, yang tampaknya tenang tan-
pa ekspresi kekagetan di wajahnya. Dengan penuh
seksama Jaka memperhatikan mayat-mayat ketiga Se-
tan Api.
"Hem... rupanya mereka mati dalam kaitannya
dengan kitab itu. Bahaya! Sungguh bahaya! Bila di-
biarkan berlarut-larut korban akan terus berjatuhan
hanya karena ambisi yang tak mengarah pada hal-hal
yang sebenarnya. Coba geledah tempat ini, siapa tahu
kitab itu masih di sini," berkata Jaka setelah memerik-
sa ketiga tubuh Setan Api yang telah menjadi mayat
dengan tubuh beracun.
Ketiga orang temannya yaitu Rupaksi, Sendana,
dan Rekasih dengan segera berkelebat masuk ke dalam
rumah. Digeledahnya seisi rumah, namun kitab yang
dicari telah raib.
Dengan penuh kekecewaan, Rupaksi kembali
menemui Jaka yang masih mengamati ketiga mayat
Setan Api.
"Bagaimana? Apakah kau berhasil?" tanya Ja-
ka.
"Coba kau perhatikan dengan seksama, Sauda-
ra Rupaksi? Mayat-mayat ini sepertinya terkena racun
ganas. Aku menilai bahwa orang yang melakukannya
mempunyai ilmu racun. Apakah kau mengetahui siapa
orangnya?"
Rupaksi seketika tercenung memikirkan siapa
gerangan orang yang mempunyai ilmu beracun. Tak
lama kemudian, wajah Rupaksi berubah cerah. Dan
dengan berseru ia berkata:
"Aku ingat! Sepertinya ilmu itu milik tiga teman
kakang Kerto Pati. Ya, dia yang memilikinya."
Mendengar penuturan Rupaksi seketika Jaka
dan sepasang pendekar yang telah tiba di tempat itu
tersentak dan hampir berbarengan berseru:
"Siapakah orang itu!"
"Mereka bernama Sodra, Lombang, dan Wung-
kal Gunung. Mereka juga yang telah menghabisi nyawa
kakang Kerto Pati yang sebenarnya teman mereka sen-
diri. Ayo kita ke sana!" Mengajak Rupaksi yang segera
diikuti oleh Jaka dan sepasang pendekar.
* * *
Seorang pemuda berpakaian putih dengan ikat
pinggang merah, tampak berjalan menyelusuri pema-
tang sawah. Pemuda itu yang tak lain Arya atau Malai-
kat Putih tampak mengernyitkan keningnya, demi me-
lihat desa di ujung sawah yang tengah ia tapaki.
Sorot mata pemuda itu tajam memandang ke
depan di mana desa Cipulir telah tampak. Memandang
desa Cipulir, seketika matanya berkaca-kaca. Ingatan-
nya kembali melayang pada kejadian sepuluh tahun
yang silam. Kejadian yang telah merenggut nyawa ke-
dua orang tuanya juga paman dan bibinya.
"Ah. Desa itu mengingatkan aku pada ayah dan
ibu, pada paman dan bibi. Sungguh biadab orang-
orang itu yang telah membunuh ayah dan ibu serta
paman dan bibiku. Apakah aku harus tinggal diam?"
bertanya hatinya penuh keraguan. Betapa tidak! Rasa
kekecewaan dan dendam melanda hatinya, namun ke-
dudukannya sebagai seorang pendekar harus menjadi-
kannya bersifat adil dan bijaksana.
"Dendam! Kata guru hanyalah pertumpahan
darah yang tak habis-habisnya. Ah, bagaimana aku
harus bertindak?" kembali hatinya mengeluh, tak tahu
harus berbuat apa.
Dengan langkah-langkah yang tak pasti, Malai-
kat Putih berjalan menuju ke desa Cipulir yang tampak
di hadapan matanya. Desa yang telah menjadi tumpah
darahnya, desa yang mengingatkannya pada kepedi-
han dan sakit hati yang sebisanya harus dipendam da-
lam-dalam.
"Sampurasun...!" Menyapa Malaikat Putih keti-
ka sampai di hadapan sebuah rumah yang mengin-
gatkannya pada kenangan sepuluh tahun yang silam.
Ditunggu beberapa saat tak ada jawaban yang
terdengar dari dalam rumah. Hingga untuk kedua ka-
linya kembali Malaikat Putih berseru menyapa. "Sam-
purasun...!"
"Rampes...!" terdengar suara sahutan, seper-
tinya suara seorang lelaki tua. Tak lama antaranya,
tampak seorang lelaki tua keluar menemuinya.
Melihat pemuda yang belum dikenalnya berdiri
di depan rumahnya sembari tersenyum, lelaki tua itu-
pun bertanya:
"Siapakah gerangan anak ini? Dan apakah ke-
perluannya?"
Dengan terlebih dahulu menjura hormat, Ma-
laikat Putih berkata menjawab. "Saya Arya Purbaya,
anak Kerto Pati."
Tersentak kaget lelaki tua itu, demi mendengar
nama-nama yang disebutkan oleh anak muda yang
berdiri di hadapannya. Dengan penuh rasa haru ba-
gaikan anak kecil, lelaki tua itu seketika menangis dan
memeluk tubuh Arya yang terpaku diam penuh keha-
ruan.
"Oh, rupanya kau, nak Arya? Ke mana saja kau
selama sepuluh tahun? Kenapa tak pernah kembali?"
Malaikat Putih seketika berlinang-linang air
matanya, demi melihat orang tua di hadapannya me-
nangis sesenggukan.
"Sudahlah, Paman Trenggono. Tak perlu paman
menangisi apa yang telah terjadi yang telah menimpa
diri keluargaku. Yang penting sekarang, apakah pa-
man tahu tempat paman Rupaksi?"
Lelaki tua yang ternyata Trenggono Si kusir ke-
reta keluarga Kerto Pati adanya, seketika menghenti-
kan tangisnya demi mendengar ucapan Arya. Alisnya
seketika mengerut mendengar pertanyaan Arya. Seper-
tinya Trenggono tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Bagaimana, Paman?" kembali Arya bertanya.
"Sebentar, nak Arya, paman ingat-ingat dulu.
Kalau seingat paman, den Rupaksi tinggal di padu-
kuan Sawo Jajar. Ada keperluankah kau dengannya?"
"Benar! Hal ini menyangkut kitab yang ayah ti-
tipkan pada paman Rupaksi. Aku khawatir dengan ki-
tab itu di tangan paman Rupaksi."
"Hai, apa yang kau khawatirkan? Bukankah
den Rupaksi adik seperguruan ayahmu?"
"Benar! Bukannya aku tak percaya pada paman
Rupaksi. Namun dengan kitab itu di tangannya, aku
khawatir orang-orang yang bermaksud jahat akan
memburunya. Bukankah hal itu akan menjadikan pa-
man Rupaksi harus menghadapi masalah yang seha-
rusnya bukan menjadi tanggung jawabnya? Aku ber-
maksud mengambil kitab itu untuk menjaganya. Demi
kitab itu, aku siap menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi."
Terangguk-angguk kepala Trenggono, demi
mendengar ucapan Arya. Dalam hati Trenggono, seke-
tika timbul kekaguman pada anak majikannya. Tak
menyangka sebelumnya kalau Arya yang dulu kecilnya
nakal kini mengerti akan tanggung jawab.
"Kalau itu yang menurut nak Arya baik maka
lakukanlah dengan kebulatan tekad yang ada di hati
nak Arya. Kapan rencananya nak Arya hendak men-
gunjungi den Rupaksi?"
"Secepatnya, Paman. Aku takut dan merasa
khawatir dengan paman Rupaksi dan kitab itu. Aku
mohon pamit, Paman Trenggono."
"Eh! Kenapa mesti terburu-buru. Apakah kau
tak menyekar ke makam ayah dan ibumu dahulu?"
Mendengar penuturan Trenggono, seketika hati
Arya bergetar. Kesedihan kembali menyelimuti hatinya.
Kecewa dan marah pada orang-orang yang telah mem-
bunuh orang tuanya. Giginya seketika bergemeretuk
menahan amarah menjadikan suara yang menyeram-
kan. Matanya seketika kembali berkaca-kaca, meman-
dang liar namun hampa. Nafasnya memburu, hingga
terdengar bagaikan desahan angin prahara.
"Baiklah, Paman Trenggono. Aku hendak me
nyekar dulu ke makam ayah dan ibu. Tolong antarkan
aku ke sana," meminta Arya.
Tanpa membuang waktu lagi, keduanyapun se-
gera pergi menuju ke makam ayah dan ibunya yang
tak jauh dari rumah yang dihuni Trenggono.
Terduduk sujud Arya Purbaya di depan makam
kedua orang tuanya, air matanya seketika meleleh tak
dapat dibendung. Hati Arya bagaikan teriris-iris, pedih
mengingat kejadian sepuluh tahun yang silam.
Melihat Arya menangis, rasa kemanusiaan
Trenggono seketika tergugah. Dengan terisak-isak,
Trenggono pun turut menangis.
"Sudah lah, Nak Arya. Jangan kau menangisi
kepergian kedua orang tuamu, yang mungkin sudah
suratan nasib. Sekarang, yang penting kau harus
mampu membalas sakit hati mereka. Ayo kita pergi?"
kata Trenggono terbata-bata, tertahan oleh isak tan-
gisnya. Disentuhnya pundak Arya yang masih menun-
duk menangis di atas makam kedua orang tuanya.
"Ayah dan ibu. Kalau kalian tahu diriku seka-
rang, betapa kalian akan bahagia. Tapi... kenapa peta-
ka ini harus terjadi pada kalian? Kenapa mereka begitu
keji? Kenapa? Apakah ayah dulu pernah bersalah
hingga ayah harus menerimanya?"
Karena tak kuat menghadapi gejolak hatinya.
Dengan menjerit, Arya Purbaya berlari meninggalkan
Trenggono yang hanya terbengong tanpa dapat berbuat
apa-apa.
"Akan kucari orang-orang itu! Akan kucari me-
reka sampai kutemui!" berteriak Arya penuh emosi.
Arya Purbaya terus berlari meninggalkan
Trenggono yang semakin jauh di belakang. Karena da-
lam keadaan emosi dan dikarenakan ia adalah seorang
pendekar yang mendapat gemblengan ilmu kanuragan
tingkat tinggi, maka setiap sepak terjang kaki dan tan-
gannya menjadikan kerusakan dan kehancuran bagi
yang terkena.
Akhir dari rasa kekecewaan dan kekesalannya,
dihantamnya pohon asem di hadapannya hingga han-
cur berantakan.
Karena lelah, Arya pun terduduk lemas di ba-
wah pohon jamblang.
Sayup-sayup, terdengar suara gurunya si Ma-
laikat Suci berkata: "Anakku, Arya. Sudah aku kata-
kan, jangan turuti kata hati. Ketahuilah, Nak. Bahwa
semua yang terjadi di dunia ini tak luput dari suratan
takdir yang telah ditentukan olehNya."
Arya Purbaya tersentak kaget dan berusaha
mencari gurunya yang tengah bicara. "Guru, di mana-
kah engkau?"
"Aku masih di Ceremai, Anakku. Aku hanya
mendengar suaramu, tanpa dapat melihat keadaanmu
saat ini. Aku tersentak kaget dari semediku, kala ku-
dengar kau berteriak-teriak tak dapat mengalahkan
perasaanmu. Sekarang sadarlah. Langkahmu harus
mantap untuk menghadapi segala tantangan kehidu-
pan yang sering tidak kita kehendaki."
Seketika Arya Purbaya terdiam meresapi segala
makna ucapan gurunya. Lalu kembali terdengar suara
gurunya berkata:
"Anakku, Arya. Aku berpesan padamu, jangan
bertindak menuruti kata hati. Bertindaklah dengan
perhitungan, hingga tak ada yang dirugikan. Nah, te-
ruskanlah pengembaraanmu, tak lama lagi kau bakal
mendapatkan apa yang seharusnya kau lakukan. Ber-
siaplah untuk menghadapi tantangan hidup."
"Baik, Guru. Segala yang telah guru sarankan,
akan saya laksanakan dengan segenap jiwa saya."
"Bagus! Sekarang, teruskanlah langkahmu un-
tuk mencari kitab milik ayahmu. Selamat berjuang,
Anakku?"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Malaikat
Suci, angin pun bertiup dengan kencangnya menyapu
dedaunan di sekitar tempat Arya terduduk.
Arya Purbaya segera memusatkan segala panca
indranya untuk bersemedi, mengembalikan segalanya
pada yang berwenang. Setelah dirasa cukup, Arya Pur-
baya atau si Malaikat Putih segera berkelebat pergi
menuju ke Utara di mana pedukuan Sawo Jajar bera-
da.
LIMA
Pedukuan Sawo Jajar tampak ramai, meskipun
hanya merupakan pedukuan kecil. Penduduknya yang
berniaga mata pencahariannya, menjadikan padukuan
Sawo Jajar banyak dikunjungi orang. Di samping itu
pula, letak padukuan Sawo Jajar strategis untuk lalu
lintas perhubungan darat.
Siang itu, seorang pemuda tengah berjalan me-
nyusuri jalan, yang menjadi jalan utama di pedukuan
Sawo Jajar.
Pemuda yang tak lain Arya Purbaya, tampak
berjalan dengan lenggang. Matanya yang tajam setajam
mata rajawali, selalu memandang pada deretan rumah-
rumah di sepanjang jalan.
"Ah! Bodoh benar aku. Bagaimana mungkin
aku akan dapat menemukan rumah paman Rupaksi,
kalau aku tak menanyakannya pada orang? Aku akan
mencoba bertanya pada nelayan itu," berkata hati
Arya, yang seketika menghampiri nelayan yang berja-
lan ke arahnya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada nelayan
itu, yang seketika menengadahkan mukanya meman-
dang pada Arya sembari membalas salam.
"Rampes...! Ada apakah Ki Sanak menghadang
langkahku?"
"Maaf. Aku telah mengganggu langkahmu. Ka-
lau boleh aku bertanya, di manakah rumah paman
Rupaksi?"
Nelayan muda itu sesaat menatap kembali pada
Arya demi mendengar pertanyaan yang dilontarkan
Arya padanya. Setelah sesaat terdiam memandang
Arya, nelayan muda itu berkata balik bertanya:
"Yang Ki Sanak maksud. Apakah pendekar Ru-
paksi?"
"Benar, Ki Sanak." menjawab Arya, menjadikan
nelayan muda itu mengangguk-anggukan kepalanya
mengerti. Lalu dengan ramah, nelayan muda itupun
kembali berkata:
"Ayo, aku antarkan. Aku sendiri dekat dengan-
nya sebab rumahku bertetangga dengan pendekar Ru-
paksi."
Keduanya segera berjalan menuju ke tempat
yang dituju.
"Besarkah pendapatan Ki Sanak sebagai seo-
rang nelayan?" tanya Arya pada nelayan muda itu kala
keduanya berjalan.
Sesaat nelayan muda itu menatap Arya penuh
selidik, sebelum akhirnya menjawab: "Sebenarnya be-
sar, tapi karena adanya pungutan uang keamanan
yang tidak seimbang, maka habislah pendapatan kami
para nelayan."
"Apa! Uang keamanan?" Arya terkejut.
"Ya! Kalau kami tak memberi, maka siksaan
dan deraanlah yang kami terima dari mandor Damad."
"Apakah sudah ada perjanjian sebelumnya?"
"Perjanjian? Boro-boro perjanjian. ngasih tahu
saja tidak!" menjawab nelayan muda setelah kembali
memandang pada Arya yang seketika mengerutkan alis
matanya.
"Kau tahu rumah mandor Damad?"
"Mau ngapain?"
"Aku mau menemuinya," menjawab Arya, yang
membuat terbelalak mata nelayan muda itu dan me-
mandang tajam pada Arya seperti tak percaya.
"Kenapa?" bertanya Arya kembali.
"Percuma," jawab nelayan muda itu singkat, se-
pertinya was-was.
"Kenapa?"
Sesaat nelayan muda itu menghela napas men-
dengar pertanyaan Arya, sebelum akhirnya kembali
berkata:
"Sudah banyak orang yang hendak menyadar-
kannya, tapi semua menemui kebuntuan. Ada yang
mundur, ada pula yang mati disiksa oleh centeng-
centeng mandor Damad yang kejam."
"Hem, begitu?"
"Ya. Karena kekejaman mereka, kami para ne-
layan tak berani menghadapinya."
Arya tercenung seakan ia tengah berpikir. Ma-
tanya menyipit memandang pada nelayan muda di
sampingnya yang juga mengernyitkan alis matanya.
Kedua orang itu terdiam, melangkah terus me-
nyusuri pantai. Dalam hati Arya, bergejolak perasaan
ingin menolong nelayan-nelayan itu. Maka dipu-
tuskannya, setelah menemui pamannya akan menda-
tangi mandor Damad.
"Ini rumahku dan itu tiga rumah dari sini ada-
lah rumah Ki Rupaksi. Ayo mampir dulu?" berkata ne-
layan muda itu.
"Ah, terimakasih. Nanti setelah aku dari rumah
paman aku akan mampir bila ada waktu. Terimakasih
atas pertolonganmu,, Ki sanak. Mari...?" menjawab
Arya, yang segera pergi meninggalkan nelayan muda
itu yang memandang kepergiannya dengan penuh ke-
tidak mengertian.
"Sampurasun...!?" memberi salam Arya Pur-
baya, kala telah sampai di rumah pamannya.
"Rampes...!?" Terdengar jawaban dari dalam.
Sepertinya suara wanita. Tak lama kemudian,
seorang wanita setengah baya ke luar menemui Arya.
Melihat orang tua di hadapannya, tanpa dapat
dicegah Arya segera bersujud memeluk kaki wanita itu
sembari menangis membuat wanita itu terbengong-
bengong tak mengerti.
"Bibi, apakah bibi lupa pada saya?"
"Kamu siapa?" tanya wanita tua itu pada Arya,
karena belum mengetahui siapa adanya pemuda yang
saat itu menangis sembari memeluk kakinya.
"Bibi, saya Arya. Arya Purbaya, Bibi?"
"Arya Purbaya anak mbakyu Sukanti dan
kangmas Kerto Pati?" tanya wanita itu ingin memasti-
kan dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Arya.
Seketika wanita itu segera memeluk Arya dan menan-
gis tersedu-sedu setelah tahu siapa adanya anak muda
di hadapannya.
"Anakku, malang benar nasibmu, nak?!"
Kedua bibi dan kemenakan itu menangis sem-
bari berpelukan, melepas segala kepiluan dan rasa
rindu yang mendalam di hati keduanya.
"Bibi... ke manakah paman Rupaksi?" tanya
Arya, setelah sekian lama terhanyut dalam tangis
Dengan terlebih dahulu mengusap air mata,
sang bibi menceritakan tentang suaminya yang diburu
oleh orang-orang persilatan yang menghendaki kitab
Inti Jagad.
"Jadi sekarang paman tengah diburu?"
Bergelegar hati Arya, seakan ada sejuta halilin-
tar yang menghantam di hatinya. Perasaannya seketi-
ka menuntut agar dia segera menemui orang-orang
yang sepantasnya disingkirkan.
"Baiklah, Bibi. Aku akan mencari paman,
do'akan agar aku dapat dengan segera menemui pa-
man."
"Ya, bibi do'akan. Hati-hati, anakku!"
Setelah mencium tangan bibinya, Arya pun se-
gera pergi meninggalkan rumah bibinya untuk mencari
pamannya sekaligus musuh-musuh ayahnya yang ja-
hat.
Ketika Arya lewat di depan rumah nelayan mu-
da yang tadi menemaninya, dan menunjukkan rumah
pamannya. Seketika ia teringat pada rencananya men-
datangi juragan Damad, yang bertindak sewenang-
wenang pada warga. Maka segera dihentikan langkah
kakinya balik menuju ke rumah nelayan muda.
"Sampurasun...!" menyapa Arya.
"Rampes...!" terdengar suara orang lelaki, men-
jawab salam Arya. Dan tak lama kemudian tampak ne-
layan muda itu keluar dari dalam rumahnya.
"Eh, Ki Sanak. Ayo masuk?"
"Ah, terimakasih, Ki Sanak. Sebenarnya aku in-
gin meminta tolong pada Ki Sanak, yaitu masalah ju-
ragan Damad. Kalau Ki Sanak tak keberatan, saya
minta tolong untuk mengantar saya ke rumahnya."
"Untuk apa?" nelayan muda itu terbelalak, demi
mendengar maksud Arya.
"Sekarang aku belum bisa menjawab, nanti pun
aku rasa Ki Sanak akan mengerti."
Tercenung nelayan muda itu memandang pada
Arya seakan ada kebimbangan di hatinya. Melihat hal
itu, dengan tersenyum Arya kembali berkata menje-
laskan:
"Ki Sanak. Janganlah Ki Sanak bimbang dan
menaruh sakwa sangka padaku, yang bermaksud baik
pada kalian. Yang penting, tunjukanlah rumah juragan
Damad. Aku akan pergi ke sana sendiri kalau Ki Sanak
tak mau ikut."
Sejenak nelayan muda itu kembali terdiam,
berpikir sesuatu sebelum akhirnya berkata: "Baiklah,
aku akan ikut denganmu."
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya pun
segera menuju ke rumah juragan Damad. Rumah jura-
gan Damad ternyata tak jauh dari rumah nelayan mu-
da itu, hingga tak begitu lama keduanya berjalan telah
sampai pada yang dituju.
"Itu rumahnya!" berkata nelayan muda, seraya
menunjuk pada rumah besar di depan, tak jauh dari
mereka berdiri.
"Kau mau ikut ke dalam, Ki Sanak?" tanya Arya
pada nelayan muda itu, yang untuk kesekian kalinya
terjengah diam memandang pada Arya.
"Bagaimana? Apa mau ikut ke dalam?" Kembali
Arya bertanya, demi melihat nelayan muda itu masih
terdiam.
"Ayolah!" menjawab nelayan muda, membuat
Arya tersenyum. Dengan segera, keduanya pun berke-
lebat menuju ke rumah besar di hadapannya.
"Sampurasun...!" menyapa Arya pada centeng-
centeng juragan Damad yang saat itu tengah berjaga.
Ketiga centeng juragan Damad tersentak kaget begitu
mendengar ucapan salam yang diucapkan Arya yang
tak diketahui datangnya.
"Siapa kau!" membentak seorang centeng yang
badannya tinggi gede dan bermuka menyeramkan den-
gan kumis dan jenggot lebat seperti tak pernah dicu-
kur.
"Aku ingin bertemu juragan mu," menjawab
Arya. Sementara itu, nelayan muda tampak ketakutan
dan berdiri bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Kau belum kami kenal, ada kepentingan apa
kau dengan juragan kami?" kembali orang yang berba-
dan besar bertanya, sepertinya memandang enteng pa-
da pemuda di hadapannya.
Sesaat Arya tersenyum, lalu dengan menghor-
mat menjura Arya kembali berkata: "Apakah itu perlu
kau ketahui? Aku khawatir nanti juragan mu marah
bila aku mengatakannya padamu. Nah, sekarang kata-
kan pada juragan mu bahwa ada orang yang ingin me-
nemuinya ingin menanyakan masalah tempo hari."
Sejenak centeng itu kembali memandang Arya,
sebelum akhirnya berkata: "Baik! Tunggu sebentar aku
akan menghadap juragan ku dulu."
Setelah berkata begitu, sang centeng segera
berkelebat menuju ke dalam rumah untuk memberi
tahukan pada majikannya.
"Suruh orang itu menunggu sebentar!" terden-
gar suara orang yang sepertinya suara juragan Damad.
Tak lama antaranya, centeng itupun kembali menemui
Arya.
"Anda disuruh menunggu sebentar," berkata
centeng memberi tahukan pada Arya yang mengang-
guk. Habis ucapan si centeng, dari dalam rumah seo-
rang lelaki gendut keluar menemui mereka.
Lelaki gendut itu mengerutkan dahinya saat
melihat orang yang datang yang belum ia kenal sama
sekali.
"Wongso! Mana orang yang kau maksud?" ber-
seru juragan Damad marah merasa telah dipermain-
kan oleh anak muda yang kini tersenyum sinis walau
ramah.
Terbelalak bingung centeng yang bernama
Wongso, demi melihat kemarahan juragannya. Seketi-
ka matanya memandang tajam dan bengis pada Arya
yang tampaknya tenang sembari berkata:
"Apa kabar, juragan Pemeras? Badanmu ber-
tambah gendut saja sekarang. Apa karena makin ba-
nyak uang haram yang kau makan?"
Menggeram marah juragan Damad, demi men-
dengar ucapan yang dilontarkan Arya. Begitu juga
sang centeng, tampak gusar mendengar juragannya di-
ejek begitu rupa. Sedangkan nelayan muda yang bera-
da di belakang Arya, tampak menggigil ketakutan.
Demi melihat juragan dan centengnya marah,
Arya bagai orang gila tertawa bergelak-gelak. Lalu den-
gan suara yang dibuat sengau, Arya kembali berkata:
"Persis! Persis lintah yang bertemu seekor ular
tampang kalian yang kedoknya terbongkar. Juragan
Damad, kuminta padamu untuk segera mengembali-
kan yang bukan hakmu pada penduduk. Aku takut
bencana akan datang menimpamu kalau kau tak sege-
ra sadar."
"Slompret! Kurang ajar! Berani kau menggurui
ku, Anak muda! Wongso, tangkap pemuda gila itu dan
jebloskan ke dalam penjara bahwa tanah!"
Demi mendengar perintah juragannya segera
Wongso dan kedua anak buahnya menyerang Arya.
Diserang secara tiba-tiba, bukan menjadikan
Arya yang telah mendapat nama dari gurunya Malaikat
Putih keteter. Bahkan dengan tertawa-tawa bagaikan
tengah bercanda, dengan mudahnya Arya mengelak-
kan semua serangan centeng-centeng juragan Damad.
Merasa musuhnya licin bagaikan belut, alot ba-
gaikan inti kayu asem. Centeng-centeng juragan Da-
mad bukannya segera menyadari bahkan dengan ma-
kin ganas mereka berusaha mencerca tubuh Arya.
"Ha... ha... ha...! Inikah yang kau banggakan,
Juragan? Untuk apa kau pelihara tikus-tikus ini? Atau
memang untuk menakut-nakuti para nelayan agar me-
reka takut?"
Makin marah centeng-centeng juragan Damad,
yang dengan membentak berkata sembari terus me-
nyerang.
"Bedebah! Rupanya kau belum tahu siapa ka-
mi, yang dijuluki tiga Badak dari padukuan Sawo Jajar
hingga kau begitu lancang berbicara! Ayo teman-
teman, kita habisi anak sundel ini!"
Dengan serentak, ketiga centeng juragan Da-
mad kembali menyerang Arya yang masih tersenyum-
senyum mengejek
"Maaf! Karena aku tak ada waktu panjang un-
tuk bermain-main, maka akan kubantu kalian istira-
hat. Hiat...!" Bersamaan dengan habis ucapannya, se-
ketika tubuh Arya berkelebat melenting ke angkasa
membuat ketiga centeng juragan Damad terbelalak me-
lihatnya.
Tengah ketiga centeng itu tersentak, tiba-tiba
Arya telah menukik ke arah mereka. Dan dengan cepat
Arya mengibaskan tangannya diikuti dengan meme-
kiknya suara ketiga centeng juragan Damad yang am-
bruk terkulai di tanah dengan tubuh lemas.
Terbelalak kaget juragan Damad menyaksikan
keadaan ketiga centengnya yang tergeletak bagaikan
anak kecil. Ketiga centeng itu menangis meminta dibe-
baskan dari keadaannya.
"Tuan pendekar, ampunilah kami. Kami men-
gaku kalah," meratap ketiganya hampir bersamaan,
yang menjadikan juragan Damad marah. Dengan ter-
lebih dahulu menggeram, juragan Damad membentak
sembari menyerang Arya yang tertawa-tawa seraya
berkata:
"Bagus! Memang kau yang ku kehendaki, kau
harus bertanggung jawab atas semua penderitaan ra-
kyat padukuan Sawo Jajar ini."
"Slompret! Jangan kira aku takut denganmu,
Anak Sundel! Walaupun kau dapat melumpuhkan ke-
tiga centeng ku namun aku tak mau menyerah pada-
mu begitu saja. Ayo, kita buktikan, siapa diantara kita
yang harus pergi dari dunia ini!" membentak marah ju-
ragan Damad hingga matanya yang lebar melotot ham-
pir keluar.
Maka tanpa dapat dicegah lagi, kedua orang
itupun seketika terlibat perkelahian. Dengan dilandasi
amarah yang meluap-luap, juragan Damad menyerang
Arya dengan membabi buta.
"Wah, wah, wah! Jurus-jurusmu begitu kaku,
Juragan. Apakah karena kegendutan mu yang banyak
menghisap uang nelayan atau karena sudah terbiasa
ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaanmu yang
diperoleh dengan cara yang tak halal, hingga kau ma-
las untuk memperlancar jurus-jurusmu?"
Makin marah dan gusar juragan Damad, demi
mendengar kata-kata Arya yang bernada mengejeknya.
Maka dengan penuh amarah, Juragan Damad mengge-
ram sembari menyerang.
"Jangan banyak bacot, Sompret! Jangan salah
kan aku kalau aku nanti bertindak telengas!"
"Ha... ha... ha...! Apa yang dapat kau lakukan
dengan tubuhmu yang gendut itu? Paling-paling, pan-
tasnya kau menangkap bangkong. Ha.... ha.... ha...!"
Kembali Arya bergelak tawa, mendengar ucapan jura-
gan Damad.
"Slompret! Bersiaplah, anak muda? Jangan
sampai kau lengah yang akan mengakibatkan kema-
tianmu!" Habis berkata begitu, juragan Damad tampak
melompat mundur. Kakinya ditekuk berlutut, dengan
tangan menyilang di dadanya. Mulut juragan Damad
tampak berkomat-kamit membaca sesuatu mantra,
sementara matanya terpejam rapat. Tak berapa lama
kemudian dari tubuh juragan Damad tampak menge-
pul asap hitam bergulung-gulung mengangkasa. Perla-
han-lahan, tampak perubahan di badan juragan Da-
mad. Bersamaan dengan hilangnya tubuh juragan
Damad, seketika asap tebal itu berubah membentuk
sosok tubuh yang mengerikan.
"Ilmu Iblis! Hem, rupanya ia pengikut siluman
babi, hingga ia dapat mengubah ujudnya menjadi ma-
nusia berkepala babi. Baik! Akan ku lawan dengan ini!
Hiat...!" Bersamaan dengan melompatnya tubuh ma-
nusia berkepala babi hendak menyerangnya, seketika
Arya Purbaya segera memapakinya menyerang.
"Duar!" Terdengar ledakan dahsyat, kala kedua
orang itu bertemu di udara mengadu tenaga. Keduanya
terpental mundur ke belakang dengan keadaan yang
tak sama. Malaikat putih tampak hanya mengegoskan
tubuhnya mencari keseimbangan dan berdiri lagi den-
gan kuda-kuda lagi. Sementara di lain pihak, juragan
Damad tampak terpelanting roboh dengan cap tangan
di dadanya.
Nelayan muda yang sedari tadi ketakutan, tampak mengurai senyum demi melihat apa yang terjadi.
Juragan Damad yang ditakutinya telah mati menemui
ajal di tangan pemuda yang baru dikenalnya.
Sementara itu, ketiga centang juragan Domad
nampak makin ketakutan saja melihat juragannya te-
lah binasa. Dengan meratap bagaikan anak kecil, keti-
ga centeng yang lumpuh itu meminta maaf.
"Tuan pendekar, ampunilah nyawa kami. Kami
kapok, tak akan berani mengulangi melawan tuan."
"Ki Sanak. Lumpuh yang kau derita disebabkan
oleh diri kalian sendiri. Maka lumpuh kalian akan
sembuh bila kalian berbuat kebajikan. Dan meminta
ampun pada diri kalian sendiri yang merasa telah dik-
hianati. Namun bila kalian kembali bermaksud jahat
maka kalian akan menemukan kelumpuhan lagi."
Tersentak kaget ketiga centeng itu sebab baru
mendengar ilmu yang aneh. Ilmu yang dapat berjalan
sendiri walau tak dilancarkan oleh si pemilik.
"Nah! Kalau kalian telah berjanji pada hati kecil
kalian akan berbuat kebajikan maka aku rasa kalian
akan sembuh dengan sendirinya. Sebaliknya jika ka-
lian hendak mengingkari, ilmu itu akan bereaksi den-
gan sendirinya. Selamat tinggal!"
Tanpa dapat dicegah oleh nelayan muda yang
seketika ketakutan, Aryapun berkelebat pergi mening-
galkan ketiga centeng juragan Damad.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Arya
Purbaya tentang ilmu yang telah dilancarkan pada ke-
tiga centeng juragan Damad. Terbukti, ketika dalam
hati mereka berjanji akan selalu berbuat baik dan
meminta tobat pada yang Kuasa. Maka saat itu pula,
tubuh mereka yang tadinya lemas bagaikan tak bertu-
lang sembuh seketika seperti sedia kala. Nelayan muda
itu makin ketakutan dan hendak berlari ketika terden
gar ketiga centeng juragan Damad yang telah terbebas
itu berteriak memanggilnya.
"Ki Sanak, jangan kau takut. Kami tak akan
mengganggumu, karena kami sekarang sadar dan in-
syaf. Maukah Ki Sanak menolong kami untuk meminta
maaf pada teman-teman Ki Sanak?"
Nelayan muda yang tadinya hendak lari segera
menghentikan langkahnya dan memandang pada keti-
ga centeng juragan Domad yang kini berjalan meng-
hampirinya.
"Ki Sanak. Kami ingin mengundang semua ne-
layan di sini untuk membagi harta yang telah kami da-
pat dari kalian. Maka itu, kami meminta tolong pada-
mu untuk memanggil seluruh warga pedukuan Sawo
Jajar. Soma, kau temanilah Ki Sanak ini," berkata
Wongso, menyuruh pada Soma untuk menemani ne-
layan muda.
"Baiklah, Kakang Wongso. Ayo, Ki Sanak?!" ajak
Soma yang diangguki oleh nelayan muda itu. Kedua-
nya pun segera menuju kampung warga untuk mem-
beri tahukan hal itu.
Sore harinya, semua penduduk padukuan Sawo
Jajar berbondong-bondong datang ke tempat juragan
Damad untuk mendapatkan bagiannya masing-
masing.
Sebagai rasa kegembiraan penduduk Pedukuan
Sawo Jajar kepada ketiga centeng juragan Damad, ma-
ka penduduk pun mengangkat mereka menjadi ketua
pedukuan yang selama ini kosong.
***
6
ENAM
"Mana kitab itu, Somad?" bertanya seorang le-
laki yang wajahnya hampir mirip dengan Iblis Alas Wa-
ru kepada Somad yang nampaknya tunduk dan takut.
"Ada, Wanara Seta. Kitab itu ada pada kami
namun kami juga meminta janjimu. Mana Pedang Si-
luman Darah yang katanya telah kau dapatkan?"
Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Wanara
Seta tertawa bergelak-gelak. Lalu dengan masih terta-
wa, Wanara Seta berkata: "Sodra, kalau kau mengin-
ginkan pedang Siluman Darah dariku, aku minta ka-
lian datanglah nanti pada malam Jum’at di kala bulan
purnama kelima. Di sana, di tempatku, kalian akan
mendapatkannya sekaligus mendapat tontonan yang
menyenangkan. Nah, sekarang serahkan kitab itu pa-
daku dan datanglah tepat di malam bulan purnama
kelima."
Sodra mengeryitkan alis matanya, demi men-
dengar ucapan Wanara Seta yang kembali tertawa
sembari melanjutkan berkata demi melihat Sodra se-
pertinya tak mempercayainya.
"Sepertinya kau tak percaya padaku, Sodra?"
"Bukan begitu. Tapi layaknya seorang peda-
gang, maka aku perlu mendapat gantinya, bukan?"
Sesaat Wanara Seta mengangguk-anggukan
kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata: "Baik-
baik." Dirogohnya kantong bajunya dan diambilnya se-
buah benda yang membikin mata Sodra terbelalak se-
raya memekik:
"Hai. Bukankah itu Mutiara Sakti? Bukankah
mutiara itu telah lenyap?"
"Benar. Ini Mutiara Sakti yang telah menggem-
parkan dunia persilatan seperempat abad yang silam.
Mutiara ini, aku dapatkan atas pemberian pendekar
muda. Cukupkah ini untuk pengganti sementara Pe-
dang Siluman Darah?" bertanya Wanara Seta, yang di-
jawab dengan kegembiraan Sodra.
"Cukup-cukup. Baiklah, sebentar aku ambilkan
kitab itu. Sekalian aku memanggil kedua temanku."
Setelah berkata begitu, Sodra pun segera berlalu me-
ninggalkan Wanara Seta yang hanya tersenyum sem-
bari berkata di hatinya:
"Bodoh, bodoh. Mana mungkin kau menda-
patkan Mutiara Sakti? Jangankan aku, guruku pun
kalau masih hidup mungkin tak dapat merebutnya.
Bodoh! Dasar bodoh. Mutiara palsu, dianggapnya mu-
tiara Sakti."
Selang beberapa lama kemudian tampak Sodra
dan kedua temannya telah datang sambil membawa ki-
tab Inti Jagad di tangannya.
"Wanara Seta, ini Kitab yang kau maksud. Se-
karang berikan Mutiara Sakti itu pada kami," berkata
Lombang.
"Ini mutiaranya. Sekarang aku ingin melihat
dulu benar atau tidak kitab itu. Bukalah!"
Dengan segera, Sodra yang mendapat anggukan
dari kedua temannya segera membuka bungkusan
kain putih. Tampak sebuah kitab yang memancarkan
sinar kala bungkusan itu telah dibuka. "Bagaimana,
Wanara Seta? Apakah puas?"
"Ya! Ini Mutiara Sakti sebagai pengganti semen-
tara Pedang Siluman Darah yang boleh kalian ambil
saat bulan purnama kelima sambil menyaksikan per-
tunjukan yang menyenangkan."
Tanpa rasa curiga, ketiga orang itupun segera
memberikan kitab Inti Jagad pada Wanara Seta yang
memberikan jaminannya dengan batu Mutiara Sakti
palsu.
Setelah mendapatkan Kitab Inti Jagad, dengan
tertawa riang Wanara Seta berkelebat pergi meninggal-
kan ketiganya yang juga tersenyum puas mendapatkan
Mutiara Sakti.
* * *
Tampak dari kejauhan oleh Malaikat Putih, em-
pat orang tengah berjalan menuju ke arahnya. Empat
orang itu, tiga lelaki dan satu wanita muda cantik.
"Siapa mereka? Sepertinya searah dengan tuju-
anku?" bertanya Malaikat putih dalam hati, yang sege-
ra menghentikan langkah kakinya.
Saat keempat orang itu telah agak dekat den-
gannya, tersentak Malaikat putih demi mengetahui se-
seorang di antara mereka yang tak lain dari pada Ru-
paksi, pamannya.
"Sampurasun...!" menyapa Malaikat putih.
"Rampes...!" menjawab keempatnya hampir
bersamaan.
"Paman...? Paman Rupaksi?"
Tersentak Rupaksi dan ketiga temannya, Jaka,
dan sepasang pendekar demi mendengar pemuda itu
menyebut nama Rupaksi.
Karena tak tahu siapa sebenarnya pemuda
yang kini berdiri di hadapannya, maka bagaikan orang
linglung Rupaksi pun bertanya pada pemuda itu:
"Anak muda, kau mengenalku dan menyebutku
paman. Siapakah dirimu sebenarnya?"
"Ah, benar. Mungkin paman telah lupa padaku.
Namaku Arya Purbaya, aku...."
Belum habis ucapan Arya si Malaikat Putih.
Seketika Rupaksi telah memotong ucapannya. Dengan
menangis memeluk Arya si Malaikat Putih yang ternya
ta kemenakannya sendiri.
"Kaukah ini kemenakan ku?"
"Ya, Paman! Aku memang kemenakan mu yang
hilang sepuluh tahun yang silam kala terjadi keributan
di desa Cipulir."
Bagaikan tak melihat ada orang lain di tempat
itu. Kedua paman dan kemenakan itu saling tangis be-
rangkulan. Hingga membuat ketiga orang yang lain
ikut terharu melihatnya.
"Kau telah besar, Anakku. Tak kusangka, kalau
aku masih dapat dipertemukan denganmu."
"Sudahlah, Paman, tak perlu kita bertangis ra-
tap yang akan melemahkan semangat kita. Bukankah
kita sekarang tengah mencari orang yang telah mem-
bunuh dan mengejar-ngejar paman? Oh ya, Paman.
Apakah kitab Inti Jagad masih aman di tangan pa-
man?"
Mendengar pertanyaan kemenakannya, seketi-
ka Rupaksi kembali menangis. Membuat Malaikat Pu-
tih mengernyitkan keningnya tak mengerti apa yang
tengah terjadi.
"Ki Sanak Arya, kami saat ini pula tengah men-
cari kitab yang telah dicuri orang. Kitab itu tadinya di-
ambil oleh Tiga Setan Api yang telah mati oleh orang
lain yang kini tengah kami hendak datangi," berkata
Jaka mewakili Rupaksi yang masih menangis karena
menyesal atas ketidak mampuannya menjaga kebera-
daan kitab itu.
Mendengar ucapan Jaka Ndableg, seketika Ma-
laikat Putih Arya Purbaya tersentak dan memandang
ke arah Jaka sembari bertanya. "Siapakah kini yang
mengambil kitab itu, Ki Sanak?"
"Aku juga tak mengenalnya, maafkan aku. Ta-
nyakanlah pada paman Ki Sanak, yang mengenal siapa
mereka sebenarnya."
"Anakku Arya, orang-orang yang kini mengua-
sai kitab milik ayahmu tak lain daripada orang yang
telah memperdayai ibumu. Kau mengenalnya, bukan?"
Malaikat Putih Arya Purbaya tercenung sesaat,
sepertinya tengah mengingat-ingat sesuatu. Lalu iapun
berkata: "Mengenai namanya, aku tak tahu. Namun
wajah-wajah mereka, aku masih ingat betul."
"Itulah orang-orangnya, yang kini menguasai
kitab Inti Jagad. Kami sendiri, hendak menuju ke sana
untuk sedapatnya meminta kitab itu. Dan di sini, kita
bertemu. Oh ya anakku, perkenalkan ketiga orang ga-
gah ini adalah teman paman. Yang sepasang pemuda-
pemudi bernama Sendana dan Rekasih. Keduanya
adalah pendekar dari wetan, bergelar Sepasang Pende-
kar. Sementara yang seorang lagi bernama Jaka atau
Pendekar Pedang Siluman dari kawah Candra Bilawa. "
Tanpa diperintah, ketiga pendekar itu menjura
hormat. Malaikat putih tersentak sembari menggumam
demi mengetahui salah seorang dari mereka adalah
orang yang sering diceritakan gurunya.
Maka dengan balik menjura, Malaikat putih
yang tersentak kaget tak nyana bakal bersua dengan
orang nomor wahid di dunia persilatan dan berkata:
"Ah... sungguh saya yang rendah ini tak tahu
diri telah bertingkah tak hormat pada tuan Pendekar
Pedang Siluman. Maka dengan rendah hati, aku mo-
hon maaf."
"Ah, kenapa Ki Sanak Arya begitu meninggikan
ku? Padahal aku tak lebihnya dari diri Ki Sanak. Kalau
Ki Sanak menganggap aku ini pendekar, sungguh sua-
tu yang terlalu tinggi."
Mendengar penuturan Jaka Ndableg, seketika
Malaikat Putih bergumam di hati: "Sungguh-sungguh
seorang pendekar sejati, rendah hati dan baik tutur
katanya."
"Tuan Pendekar terlalu merendah. Karena me-
nurut cerita guru, tuan Pendekar merupakan salah sa-
tu pendekar wahid."
"Oh...sungguh mengada-ada. Mana mungkin
pendekar kelas wahid seperti tampangku? Oh ya, ka-
lau boleh aku tahu. Siapakah guru Ki Sanak?" tanya
Jaka Ndableg.
"Guru saya yang bodoh ini, bernama Malaikat
Suci."
Tersentak kaget keempat orang termasuk Ru-
paksi yang tak mengira kemenakannya adalah murid
tunggal Malaikat Suci yang kesohor dan belum mem-
punyai murid seorangpun.
"Jadi sesuai silsilah, berarti Ki Sanakpun men-
dapat gelar Malaikat. Bukankah begitu, Ki Sanak?"
tanya Jaka mengejutkan Malaikat putih.
"Ah... Tuan pendekar di samping berilmu tinggi,
juga memiliki wawasan yang panjang. Maka dengan
tanpa mampu mengelak, aku yang rendah ini membe-
narkan ucapan Tuan Pendekar. Memang guru memberi
gelar padaku Malaikat Putih."
"Beruntung kau, Anakku. Karena tokoh sakti
itu telah berkenan mengangkatmu sebagai murid. Pa-
dahal tak jarang ia menolak orang untuk menjadi mu-
ridnya." Rupaksi yang sedari tadi hanya mendengarkan
kemenakannya bertutur kata dengan Pendekar Pedang
Siluman kini nimbrung bicara.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh pa-
manmu, Ki Sanak. Kau beruntung diangkat murid
olehnya, yang tak mau menerima murid kalau tidak
berkenan di hatinya," menambahkan Sendana.
"Ah! Sudahlah, jangan karena membicarakan
seseorang lalu kita lalai dengan tujuan kita. Bagaima-
na? Apakah kita akan di sini saja bercakap-cakap?
Aku khawatir orang yang kita cari telah meninggalkan
tempatnya," kata Rekasih menjadikan keempat lelaki
itu tersadar.
"Benar, apa yang dikatakan saudari Rekasih.
Kalau kita terus-terusan di sini bisa-bisa orang-orang
itu telah pergi meninggalkan tempatnya. Ayo kita te-
ruskan sambil berjalan ngobrolkan bisa?"
Ketiga lelaki lainnya tersenyum-senyum demi
mendengar ucapan Jaka yang bernada lucu.
Tanpa banyak kata lagi, kelima orang itupun
kembali meneruskan perjalanan yang telah tertunda
menuju ke tempat yang dituju.
"Setan alas! Kita telah ditipu mentah-mentah
oleh si Wanara Seta keparat! Mutiara ini bukan yang
aslinya tapi palsu!"
Tersentak Sodra dan Wungkal gunung, demi
mendengar caci maki temannya. Seketika, keduanya
yang berada di depan rumah segera berlari ke bela-
kang.
"Ada apa, Lombang? Sepertinya kau marah-
marah," bertanya Sodra setelah mendapatkan Lom-
bang yang tengah membanting sesuatu.
"Hai! Kenapa kau banting Mutiara Sakti itu,
Lombang?"
Wungkal Gunung pun tak kalah kagetnya meli-
hat Lombang membanting Mutiara Sakti.
"Kita telah ditipu mentah-mentah oleh si Wana-
ra Seta! Lihat! Kalau memang mutiara itu, Mutiara Bi-
ru. Maka akan mengeluarkan hawa panas bila digosok
dengan senjata pusaka."
Mendengar ucapan Lombang, seketika kedua-
nya tersentak dan menggumam umpatan.
"Benar! Ternyata Wanara Seta memang telah
membohongi kita, dengan mutiara buatannya. Babi
buntung! Lalu apa yang harus kita lakukan? Sedang
untuk menghadapinya belum tentu kita akan mampu,"
Sondra sepertinya putus asa mengingat ilmu
Wanara Seta jauh lebih tinggi dibanding ilmu mereka
bertiga.
Ketika ketiga orang itu tengah dilanda kebin-
gungan untuk mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar
suara orang memberi salam.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab ketiganya hampir berba-
rengan, dan dengan segera menuju ke muka rumah.
Mata mereka seketika tersentak kaget, demi melihat
Rupaksi dan teman-temannya yang datang.
"Selamat berjumpa lagi sahabat-sahabat. Lama
kita tak berjumpa. Bagaimana keadaan kalian?" me-
nyapa Rupaksi pada ketiganya yang seketika terse-
nyum menyengir sepertinya menganggap enteng orang-
orang yang bersama Rupaksi. Maka dengan congkak-
nya Lombang berkata:
"Rupaksi, apakah kau datang ke mari untuk
menuntut balas kematian kakakmu, Kerto Pati? Kalau
memang hal itu, kau datang jauh-jauh ke mari percu-
ma! Sebab kau hanya akan mengantar nyawa saja. Apa
kau mengandalkan teman-temanmu yang masih bau
kencur?"
"Tidak itu saja, Lombang. Ada yang lebih pent-
ing dari itu, yaitu aku akan meminta kitab Inti Jagad
yang kau rampas dari Tiga Setan Api."
Mendengar ucapan Rupaksi, seketika ketiganya
tertawa bergelak-gelak. Sedang di pihak lain, keempat
orang muda yang berdiri di belakang Rupaksi hanya
terdiam tenang.
"Rupaksi, jangankan dirimu, kakakmu saja
mampu aku kalahkan. Ha... ha... ha...!" berkata
Wungkal Gunung.
"Benar! Percuma kau datang ke sini kalau
hanya untuk mengantar nyawa tuamu. Memang aku
telah bersepakat dengan kedua saudaraku untuk me-
lenyapkan segala keturunan dan orang-orang yang ada
sangkut pautnya dengan Kerto Pati. Namun beruntung
anak Kerto Pati dapat lolos, tertolong oleh seorang lela-
ki tua yang membawanya pergi. Kalau tidak...!"
"Kalau tidak. Hendak kau apakan?" tanya seo-
rang pemuda yang berpakaian putih-putih dengan sa-
buk merah menyala, yang tak lain Arya Purbaya si Ma-
laikat Putih.
Terbelalak Mata Sodra, demi mengetahui seo-
rang pemuda telah berani memutus omongannya. Ma-
ka dengan geram, Sodra kembali berkata: "Kalau tidak
ditolong oleh lelaki tua itu sudah ku bikin bergedel tu-
buhnya!"
Bergelak tawa pemuda berpakaian putih-putih
setelah mendengar ucapan Sodra yang kembali tersen-
tak melihat pemuda itu bergelak tawa.
"Mampukah kau membuat bergedel dari anak
Kerto Pati?" tanya Malaikat Putih yang membuat Sodra
bertambah marah dan dengan membentak kembali
berkata:
"Iblis! Siapa kau, anak muda, hingga berani
kau guyon denganku. Atau kau yang akan menjadi
pengganti bocah itu. Hah!"
Untuk kedua kalinya Arya Purbaya tertawa ber-
gelak-gelak demi mendengar omongan Sodra. Lalu
dengan tenangnya ia berkata: "Kalau kau ingin tahu...
Akulah anak Kerto Pati yang dulu ditolong lelaki tua
kala kau dan rekanmu yang berkepala botak membu
nuh paman, bibi dan ibuku. Nah, lakukanlah bila kau
pun mampu membuatku jadi bergedel."
Tersentak bukan alang kepalang ketiganya,
demi mengetahui siapa adanya pemuda yang kini ber-
diri di belakang Rupaksi.
Hati mereka seketika ciut. Tidak mungkin ti-
dak, kalau pemuda anak Kerto Pati itulah yang dian-
dalkan Rupaksi hingga berani mendatanginya. Mereka
menyangka bahwa pemuda itulah yang berilmu tinggi.
Mereka tidak tahu bahwa di antara kelima orang yang
di hadapannya terdapat seorang pendekar yang kalau
mereka tahu mungkin langsung ngibrit pergi.
"Rupaksi, ternyata kau mengandalkan kemena-
kan mu hingga kau berani menyantroni kami. Lalu un-
tuk apa kau bawa-bawa tikus-tikus itu? Apakah untuk
menakut-nakuti kami? Ha... ha... ha...! Jangan kira
kami takut dengan kemenakan mu."
"Jangan takabur, Lombang! Kau jangan meren-
dahkan mereka, yang mungkin menurutmu hanya ti-
kus-tikus comberan belaka. Kalau kau mengetahui
siapa mereka adanya, mungkin kau akan menyumbat
mulutmu sendiri yang telah lancang berbicara."
Lombang dan ketiga saudara seperguruannya
tertawa bergelak-gelak, demi mendengar ucapan Ru-
paksi yang dianggapnya hendak menakut-nakuti me-
reka. Maka dengan masih congkak dan sombong,
Lombang kembali berkata setelah mengerling pada ke-
dua adik seperguruannya yang juga tersenyum sinis.
"Rupanya kau hendak menakut-nakuti kami
dengan tikus-tikus comberan mu, Rupaksi. Baik! Aku
ingin tahu nama-nama tikus busukmu itu yang sangat
kau bangga-banggakan."
Mendengus Rupaksi, demi mendengar ucapan
Lombang yang menganggap enteng pada ketiga orang
muda di sampingnya. Maka dengan terlebih dahulu
meludah, Rupaksi yang telah marah berkata memberi
tahu siapa adanya orang-orang di sampingnya.
"Dengar oleh kalian semua dan aku minta ka-
lian jangan menyesal dengan ucapan kalian bila telah
tahu siapa adanya ketiga orang muda ini. Yang muda-
mudi ini adalah Sepasang Pendekar."
Tak terkejut ketiganya demi mendengar julukan
sepasang muda-mudi itu, bahkan ketiganya makin
menyibirkan mulut mengejek.
"Dan yang ini adalah Jaka Ndableg atau Pende-
kar Pedang Siluman Darah dari kawah Chandra Bila-
wa."
Bagaikan disengat halilintar di siang bolong,
mata ketiganya seketika terbelalak kaget mendengar
nama pemuda bertampang bloon yang ternyata seo-
rang pendekar yang tengah menjadi buah bibir orang-
orang persilatan. Maka dengan tak mempunyai rasa
malu, ketiga orang itu segera berkelebat hendak mela-
rikan diri.
Dengan segera Arya Purbaya si Malaikat Putih,
Sendana, dan Rekasih memburu mengejar mereka. Ke-
tiganya tanpa mengalami kesulitan dapat dengan sege-
ra memburu ketiga orang itu.
"Berhenti!" membentak Arya Purbaya yang telah
berhasil menghadang ketiganya. Tersentak ketiga
orang itu, demi melihat pemuda anak Kerto Pati telah
berdiri di hadapannya.
"Minggir! Atau kami akan melawanmu!"
Dibentak seperti itu oleh Lombang bukannya si
pemuda menepi. Bahkan dengan senyum sinis, si pe-
muda makin mendekati ketiga musuhnya.
Sementara itu. Sepasang pendekar yang tengah
mengejar pun telah sampai juga. Merasa tak ada ar
tinya lagi untuk berturut kata, dengan nekad keti-
ganya segera menerobos sembari menyerang.
"Rupanya kalian ingin mati! Terimalah ini!"
Bersamaan dengan habisnya suara ketiganya,
seketika ketiganya tampak menyatukan tangan mere-
ka. Seketika itu pula dari tangan mereka mengepul
asap dan larikan sinar biru mengarah kepada ketiga
pemuda-pemudi di hadapannya yang segera berjumpa-
litan menghindar.
"Ilmu Iblis!" memaki ketiga anak muda itu yang
langsung membalas menyerang dengan cepatnya. Per-
kelahian pun tak dapat dihindarkan, tiga melawan ti-
ga.
Jurus demi jurus terlalui. Ketika tampak kedua
pendekar muda itu terdesak, dengan segera Malaikat
Putih berseru yang segera dituruti oleh Sepasang Pen-
dekar.
"Ki Sanak dan Ni Sanak Sepasang Pendekar,
menyingkirlah agak jauh biar aku hadapi ketiganya.
Maaf, bukannya aku bermaksud merendahkan kalian.
Tapi ilmu yang mereka pakai bukanlah ilmu semba-
rangan, yang banyak dimiliki orang. Ilmu mereka san-
gat sukar bila harus dilawan dengan banyak orang
yang beda ilmunya. Maka itu ijinkanlah aku mengha-
dapinya."
Mendengar ucapan Malaikat Putih, keduanya
segera menyingkir ke belakang membiarkan Malaikat
Putih menghadapi sendirian.
"Karena kalian menggunakan ilmu Iblis, maka
aku pun ingin mengajak main-main dengan kalian.
Bersiaplah!"
"Jangan banyak omong, Anak Muda! Mari kita
buktikan, siapa di antara kita yang akan lebih dulu ke
akherat. Hiat...!"
Dengan terlebih dahulu membentak, ketiga
orang yang menyatu itu segera kembali melancarkan
serangannya.
Malaikat Putih yang sudah tahu ilmu mereka
begitu keji dan dahsyat, dengan segera melenting ke
angkasa menghindar dari serangan mereka. Ketika te-
lah mencapai titik kulminasi, Malaikat Putih segera
menukik mengarah ke kepala ketiga orang yang me-
nyerangnya.
"Hiat...!"
"Oh...!"
Terdengar keluhan dari ketiga orang itu, yang
seketika terkulai lemas bagaikan tak bertulang.
Terbelalak mata Sepasang Pendekar, demi me-
lihat hal yang terjadi pada ketiga orang itu. Ketiga
orang itu kini bagaikan anak kecil, merintih meminta
pertolongan.
Tak ubahnya dengan Sepasang Pendekar. Jaka
dan Rupaksi pun terperanjat melihat ilmu yang diper-
gunakan oleh si Malaikat Putih, yang tampak berjalan
menghampiri ketiga orang di hadapannya yang terkulai
tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Katakan padaku, di mana kau simpan kitab
Inti Jagad? Dan katakan pula, siapa yang telah men-
jamah kalian memperdayai ayahku?"
"Ampunilah kami. Kami akan mengatakannya
padamu, bila kau mau mengampuni dan mengembali-
kan tenaga kami."
"Katakan dulu padaku. Di mana kalian simpan
kitab itu, dan siapa yang telah menyuruh kalian men-
celakai seluruh keluargaku! Kalau kalian telah menga-
takannya, maka kalian akan aku beri tahu cara mem-
bebaskannya."
Mendengar ucapan Malaikat Putih, di samping
itu juga karena Pendekar Pedang Siluman telah berdiri
di situ maka dengan rasa takut ketiganya segera men-
ceritakan siapa sebenarnya yang menjadi dalangnya.
"Baiklah, aku percaya pada kalian. Nah, den-
garlah bahwa yang mampu menyembuhkan kelumpu-
han kalian adalah diri kalian sendiri. Bila kalian in-
syaf, maka kalian akan sembuh. Namun bila kalian
hendak mengulangi berbuat jahat, maka kalian akan
mengalami kelumpuhan lagi sebelum kalian mampu
berbuat kejahatan."
Tersentak semuanya mendengar ucapan Malai-
kat Putih yang sepertinya bercanda.
Belum juga hilang rasa kaget, mereka semua
mendengar ucapan Arya si Malaikat Putih, seketika
mereka dibuat makin terbelalak karena melihat sesua-
tu hal yang aneh
Ketiga orang yang mengalami kelumpuhan itu
berjanji, dan bersumpah tak akan melakukan hal yang
jahat. Tiba-tiba, tubuh mereka kembali pulih seperti
sedia kala.
Namun dasar mereka itu orang-orang yang tak
mau diuntung, sudah diberi pengertian begitu mereka
masih tak percaya. Akibatnya, ketika mereka hendak
menyerang, seketika mereka mengalami kelumpuhan
lagi.
Melihat hal itu, Malaikat Putih tampak gusar
dan mendengus marah. "Rupanya hati kalian telah
menjadi batu yang dihuni iblis hingga kalian tak mem-
percayai segala omongan orang. Maka dari pada kalian
menderita seumur hidup, lebih baik kalian mati saja.
Hiat...!"
Tanpa dapat dicegah, Malaikat Putih berkelebat
mengibaskan tangan bagai mengusir lalat. Seketika
terdengar jeritan melengking dari ketiga orang itu yang
langsung meregang nyawa.
"Kita harus segera menuju ke Hutan Rengganis,
di mana Wanara Seta berdiam. Hai! Bukankah nanti
malam bulan purnama kelima?" bertanya Malaikat Pu-
tih, sepertinya berbicara pada diri sendiri.
"Benar, Ki Sanak Malaikat Putih. Ada apakah
gerangan?" bertanya Jaka ingin tahu yang dengan se-
gera diceritakan oleh Malaikat Putih tentang pesan dari
gurunya.
"Guruku berpesan agar aku pada malam pur-
nama kelima harus memenuhi tantangan musuh guru
yang bernama Wanara Seta. Tak dinyana, kalau orang
itu juga adalah tokoh utama dari segala yang menimpa
keluargaku. Ayo, Paman dan Ki Sanak sekalian, hen-
dakkah kalian ikut denganku?"
Tanpa ada yang menolak, kelima orang itupun
segera berkelebat pergi menuju ke Hutan Rengganis di
sebelah selatan desa Cipulir.
* * *
Malam bulan purnama telah tiba, seketika
tampak sebuah bayangan berkelebat dari Hutan Reng-
ganis menuju ke bukit Kematian yang letaknya sepe-
rempat mil dari hutan.
Bayangan itu kemudian berhenti dan berdiri
sembari memandang ke sekitar bukit. Wajah orang itu
tampak kecut, sepertinya ia tengah menunggu kemun-
culan seseorang.
"He.., ini bulan purnama kelima. kenapa tua
bangka itu tak muncul-muncul?" bergumam hati orang
yang berdiri di atas bukit setelah memandang sekeli-
lingnya.
Tiba-tiba matanya melihat serombongan orang
yang terdiri dari enam orang dari arah Timur sementa-
ra dari arah Utara muncul pula serombongan orang
yang terdiri dari lima orang.
Rombongan orang itu yang tak lain dari rom-
bongan Iblis Alas Waru, dan rombongan dari Rupaksi.
Kedua rombongan itu bertemu di kaki bukit, saling
memberi salam.
"Ah. Rupanya kita masih jodoh, Pendekar Pe-
dang Siluman Darah hingga yang Maha Kuasa kembali
mempertemukan kita," berkata Iblis Alas Waru, setelah
kesemuanya saling berkenalan dan bertegur sapa.
"Syukur, Iblis Alas Waru, kita dapat bertemu
lagi. Oh ya, gerangan apakah hingga kalian tahu dan
datang ke sini?"
"Jaka, aku senang bertemu denganmu kemba-
li.. Lama kita berpisah, eh, tak tahunya kita bertemu di
sini. Ketika kami tengah mencari orang yang mengaku
bernama Iblis Alas Waru, kami mendapat keterangan
bahwa kami akan mendapatkannya di bukit Kematian
pada bulan purnama kelima. Maka itu, kami segera
menuju ke mari."
Tengah mereka bercakap-cakap, terdengar
orang yang berdiri di atas bukit berseru:
"Hei!. Kalian yang ada di situ, ada keperluan
apa kalian ke mari?!"
"Iblis, mengejutkan saja. Hai orang di atas bu-
kit! Siapakah engkau adanya?!" membalas Jaka Ndab-
leg berseru,
"Akulah Wanara Seta atau Siluman Kera. Ada-
kah di situ si Malaikat Suci! Kalau ada, cepatlah naik!
Jangan sembunyi seperti tikus!"
"Bedebah! Kalau begitu, inilah orangnya!"
menggerutu Siti Gendari, yang seketika itu berkelebat
lari menuju ke atas bukit tanpa dapat dicegah.
"Iblis! Jangan kau enak-enakan lari dari tang-
gung jawab yang telah kau lakukan!"
Tersentak Wanara Seta, demi mendengar seo-
rang gadis memaki-maki dirinya. Maka dengan masih
tak mengerti, Wanara Seta pun berkata:
"Nona! Gerangan apa hingga kau menuduhku
begitu? Apakah kita pernah berbuat sedang bertemu
pun baru sekarang ini."
"Cih! Najis! Masih ingatkah kau pada sebuah
keluarga yang kau bantai sepuluh tahun yang silam?"
"Hai, rupanya kau anak yang lolos dari maut.
Mau apakah kau ke mari? apakah kau mau menjadi
istriku?"
"Bedebah! Aku akan menuntut balas. Bersiap-
lah. Hiat...!"
Dengan segera, Siti Gendari yang di hatinya
membara dendam berkelebat menyerang Wanara Seta
yang tertawa-tawa sembari menghindari serangan yang
dilancarkannya.
Walau Siti Gendari didikan tokoh sakti, namun
menghadapi Wanara Seta sepertinya tak ada artinya.
Bahkan dengan seketika, ketika telah berkelahi bebe-
rapa jurus, Wanara Seta dengan mudah menemukan
titik luang pada tubuh Siti Gendari, hingga ketika Siti
Gendari kembali menyerangnya dengan cepat Wanara
Seta berkelit ke belakang tubuhnya dan menghantam
telak punggung Siti Gendari.
Pukulan Wanara Seta yang berisikan tenaga da-
lam, menjadikan Siti Gendari langsung mental ke bela-
kang. Beruntung! Dengan secepat kilat Jaka berkelebat
dan menangkap tubuh Siti Gendari, kalau tidak! Tak
ayal lagi, cadas-cadas tajam akan merencah tubuhnya.
Melihat hal itu, Maka serempak Iblis Alas Waru
dan anak buahnya berkelebat menyerang Wanara Seta
menggantikan Siti Gendari.
Dikeroyok oleh lima orang, bukannya keder.
Bahkan dengan bergelak tawa, Wanara Seta meladeni
serangan mereka. Setiap tangannya berkelebat, maka
satu nyawa melayang.
Sementara di atas bukit tengah terjadi pertem-
puran, satu melawan lima. Di bawah bukit, Jaka tam-
pak masih menunggui Siti Gendari yang masih mende-
rita luka parah.
"Jaka... aku... aku bahagia. Walaupun aku ha-
rus mati, namun aku bahagia dapat bertemu dengan-
mu. Aku cinta pada...mu." Bersamaan dengan habis-
nya ucapan, Siti Gendari seketika melemas dan tergo-
lek di pangkuan Jaka Ndableg.
Seketika semua orang yang hadir menundukan
muka, seperti turut berduka cita atas kematian Siti
Gendari. Sementara di atas sana, pekik kematian terus
menggema.
"Tak dapat dibiarkan!" menggeretak Rekasih
penuh amarah, demi menyaksikan korban telah ba-
nyak berjatuhan. Di atas bukit, kini tinggal Iblis Alas
Waru yang tengah menghadapi Wanara Seta. Tampak-
nya Iblis Alas Waru terdesak mundur, hingga tubuh-
nya terus mundur dan mundur sampai mendekati ju-
rang.
Melihat Iblis Alas Waru dalam bahaya, dengan
segera Sepasang Pendekar dan Rupaksi berkelebat
menyerang Wanara Seta bersama.
Tersentak Wanara Seta diserang seketika oleh
ketiga orang yang ilmunya dibilang tinggi.
Dengan segera Wanara Seta meninggalkan Iblis
Alas Waru, berbalik menghadapi ketiga orang menye-
rangnya.
Pertarungan pun berlangsung seru, karena me
reka memiliki ilmu yang sama-sama tinggi.
Jurus demi jurus telah berlalu begitu cepatnya,
hingga tanpa terasa telah enam puluh jurus mereka la-
lui.
Kala meningkat ke jurus tujuh puluh. Tiba-tiba
Sepasang Pendekar mempercepat serangannya dengan
pedang yang ada di tangan mereka, yang bergerak ce-
pat laksana baling-baling.
Silih berganti Sepasang Pendekar menyerang
dan menangkis, hingga membuat bingung Wanara Se-
ta. Seketika itu. Pedang di tangan Rekasih berkelebat
cepat, dan menghujam telak di tubuh Wanara Seta.
Tersentak kaget Rekasih sembari melompat mundur,
kala dilihatnya Wanara Seta mematahkan pedangnya
yang telah menancap di dadanya.
Dengan menggeram, dicabutnya ujung pedang
yang tersisa, hingga darah tampak keluar. Makin ter-
sentak kaget ketiga orang penyerangnya, saat dengan
ludahnya Wanara Seta mengobati luka di dada yang
langsung sembuh seperti sedia kala.
Belum hilang rasa kaget ketiganya, tiba-tiba
Wanara Seta mendengus dan seketika tubuhnya beru-
bah menjadi seekor gorila besar yang langsung menye-
rang.
Bukan hanya ketiga orang di atas yang tersen-
tak melihat perubahan diri Wanara Seta. Di bawah
pun, Jaka dan Malaikat Putih terperanjat dan meng-
gumam hampir bersamaan.
"Ilmu siluman! Tak mungkin mereka dapat
mengalahkannya. Aku akan berusaha menolong mere-
ka," berkata Malaikat Putih sembari berkelebat diikuti
Kelana di belakangnya.
"Paman Rupaksi, dan saudara Sepasang Pen-
dekar, mundurlah. Dia bukan musuh kalian, biar aku
yang menghadapinya."
Malaikat Putih segera berkelebat menggantikan
kedudukan tiga orang menghadapi Wanara Seta.
"Wanara Seta. Aku tak dapat datang sendiri,
untuk itulah aku mengutus muridku si Malaikat Putih
memenuhi tantanganmu. Bukannya aku tak berani
menghadapimu, namun aku telah mengasingkan diri
dari dunia persilatan. Aku rasa muridku pun sama
denganku, bukan begitu, Wanara Seta? Tuan Pendekar
Pedang Siluman Darah, aku memohon tolong padamu,
jaga muridku. Ia masih muda dan baru menginjakkan
kaki di dunia persilatan jadi perlu bimbingan. Untuk
itu, aku percayakan padamu, Tuan Pendekar." terden-
gar suara Malaikat Suci berkata.
Mungkin kalau Malaikat Suci tak menyebutkan
nama Pendekar Pedang Siluman, Wanara Seta tak
akan terkejut dan membelalakan mata. Namun demi
mendengar bahwa di situ ada seorang pendekar yang
namanya tengah menjadi buah bibir orang-orang persi-
latan, seketika Wanara Seta menjadi ciut hatinya.
Hingga ia tak begitu konsentrasi menghadapi Malaikat
Putih.
Melihat Wanara Seta lengah, dengan segera Ma-
laikat Putih berkelebat menghantamkan pukulannya.
Pukulan yang didasari dengan tenaga dalam itu,
menghantam telak pada tubuh Wanara Seta.
Namun seketika Malaikat Putih tersentak, demi
melihat kenyataan yang ada di hadapannya. Pukulan
Inti Sakti yang dilancarkannya, tak berarti apa-apa ba-
gi Wanara Seta yang seketika mendengus marah dan
menyerangnya.
Karena terkejut, menjadikan Malaikat Putih tak
dapat mengelakkan serangan Wanara Seta. Dicobanya
berkelit, namun tak urung pundaknya terkena sambaran tangan Wanara Seta.
Melihat Malaikat Putih terdesak. Dengan segera
yang sedari tadi hanya menonton berkelebat memban-
tunya.
Tersentak mundur Wanara Seta, melihat orang
yang ternyata Pendekar Pedang Siluman menyerang-
nya. Dalam hati Wanara Seta membatin. "Mungkinkah
aku harus mati saat ini, sesuai dengan ucapan Ki Ba-
drawi ketika hendak meninggal dunia?"
Seketika itu, terbayang oleh Wanara Seta uca-
pan yang dilontarkan Ki Badrawi sebelum ajal.
"Kau... kau, manusia berhati binatang. Kau tak
tahu balas budi. Kenapa kau hendak membunuhku?
Ingat! Aku akan membalas semua ini padamu, kelak
lewat seorang pendekar muda yang memiliki senjata
pedang yang bernama Pedang Siluman Darah. Tu-
buhmu, kelak akan mati oleh senjata itu."
"Tidak! Aku tak akan mati. Jangankan pende-
kar Pedang Siluman Darah, seribu orang persilatan
pun tak akan membunuhku!" memekik Wanara Seta,
mencoba menghilangkan bayangan Ki Badrawi yang
sepertinya ada di tubuh Jaka.
Jaka dan Malaikat Putih tersentak, demi men-
dengar jeritan Wanara Seta yang seperti ketakutan
menyebut namanya.
"Sepertinya, ia dibayangi oleh seseorang yang
pernah dibunuhnya," berbisik Jaka pada Malaikat Pu-
tih.
"Benar! Tadi ia menyebut nama tuan. Mari kita
serang."
Dengan cepat. Pendekar-pendekar muda itu
berkelebat, menyerang dengan kesaktian yang ada pa-
da diri masing-masing.
Terbelalak mata kedua pendekar muda itu, demi melihat kenyataan yang terjadi. Ajian Lebur Raga
yang dilancarkan oleh Jaka sepertinya tak ada artinya,
juga Ajian Petir Dewa yang dilancarkan Malaikat Putih
juga tak berarti. Bahkan dengan bergelak tawa, Wana-
ra Seta berkata mengejek
"Keluarkan semua ajian yang kalian miliki. Aku
Wanara Seta, tak akan mundur."
"Sombong!" memaki Malaikat Putih gusar.
"Jangan kita terpancing olehnya, Malaikat Pu-
tih. Ayo, kita serang berbarengan. Kalimu Sada!
Hiat...!"
"Serat Brahma!! Hiat...!"
"Jleger!" terdengar ledakan dahsyat, ketika dua
ajian pamungkas menggempur berbarengan tubuh
Wanara Seta. Namun untuk kesekian kali, kedua pen-
dekar muda itu tersentak demi melihat ajian pamung-
kasnya tak mempan. Bahkan! Keduanya hampir saja
terkena hantaman Wanara Seta yang melancarkan
Ajian Serbuk Kematian, bila saja keduanya tak segera
mengelak.
"Siluman! Mati kita di sini." berkata Malaikat
Putih lesu, sepertinya telah habis akalnya. Semua
ajian telah dikerahkan, namun sepertinya mahluk gori-
la itu tak mempan.
Seperti halnya Malaikat Putih, Jaka Ndableg
hampir putus asa. "Gusti Allah. Apakah aku di sini
matinya?... Ah! Aku tak boleh putus asa dulu. Aku tak
boleh menyerah pada nasib. Akan aku coba dengan
Pedang Siluman Darah. "DENING RATU SILUMAN
DARAH, DATANGLAH!"
Seketika di tangan Jaka Ndableg telah tergeng-
gam sebilah pedang yang mengeluarkan sinar kuning
kemerah-merahan. Dari ujung pedang, menetes darah
membasahi batangnya.
Terbelalak mata Wanara Seta demi melihat sen-
jata yang telah menggemparkan dunia persilatan bera-
da di tangan Jaka Ndableg. Tak kalah kagetnya yang
lain. Seketika semuanya memekik berseru:
"Pedang Siluman Darah...!"
Bayangan Ki Badrawi kembali muncul. Meng-
gantikan tubuh Jaka yang dengan senyum sinis berka-
ta:
"Jangan kau ketakutan, Wanara. Aku telah da-
tang..."
"Tidak.,.!" memekik Wanara Seta.
Bersamaan dengan itu, Jaka Ndableg telah
membabatkan Pedang Siluman Darah ke arahnya.
"Inilah bagianmu. Hiaatt...!"
Seketika Wanara Seta memekik, lalu ambruk
dengan tubuh terbelah menjadi dua. Darah seketika
mencurat, keluar dari tubuh Wanara Seta. Sementara
darah yang menempel di batang pedang, seketika le-
nyap terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Dengan matinya Wanara Seta, berakhir pula
kejahatan di desa Cipulir. Segera keempat orang yang
sedari tadi terkesima, bergegas menggeledah tubuh
Wanara Seta yang ambruk dengan tubuh terbelah
menjadi dua.
"Ini kitab itu!" berseru Rupaksi girang.
"Sungguh kitab yang maha sakti," bergumam
Jaka demi melihat kitab tersebut.
"Ini, terimalah."
"Untukku...? Hai, bukankah kitab ini milik
ayah Malaikat Putih?"
"Tidak, Ki Sanak Jaka. Kitab ini merupakan ki-
tab milik Ki Eka Bilawa, ayahmu, terimalah."
Akhirnya dengan masih bimbang, Jaka segera
menerima Kitab Inti Jagat yang telah menggegerkan
Dunia persilatan. Dipandangi kitab tersebut, yang
memancarkan sinar kuning menyala.
Pedang Siluman Darah di tangan Jaka, tiba-
tiba menghilang sendiri. Hal itu makin membeliakkan
mata keempat temannya yang kaget bercampur heran.
Tengah semuanya terheran-heran, tiba-tiba Ja-
ka telah berkelebat sembari memanggul tubuh Siti
Gendari pergi.
"Maaf, aku pergi dulu. Selamat berjuang para
pendekar!"
Tersentak kelimanya yang dengan segera me-
mandang pada asal suara itu. Tampak Jaka dengan
menggendong tubuh Siti Gendari, telah jauh mening-
galkan mereka yang hanya geleng kepala.
"Sungguh, sungguh aneh pendekar muda itu."
"Benar, apa yang Ki Sanak Malaikat Putih
ucapkan. Di samping dia mempunyai ilmu yang tinggi,
tabiatnya pun aneh. Dia suka Ndableg hingga tokoh-
tokoh persilatan memberi nama JAKA NDABLEG," me-
nyambung Iblis Alas Waru yang wajahnya tampak lesu.
"Ooh, hari telah pagi. Kami permisi dulu," ber-
kata Sendana.
"Kenapa mesti cepat-cepat, saudara Sepasang
Pendekar?" bertanya Malaikat Putih.
"Sebenarnya kami ingin lama. Tapi... Guru me-
nyuruh kami untuk segera kembali bila kami telah
menyampaikan maksud guru pada pendekar Pedang
Siluman Darah atau Jaka Ndableg. Nah, kami mohon
diri," meminta Rekasih.
Kedua Pendekar Muda itupun segera berkelebat
pergi.
Pagi telah tiba, manakala ketiga orang yang
masih di tempat itupun turut berlalu pergi. Sunyi
kembali Bukit Kematian, sepertinya turut terhanyut dengan kejadian yang semalam terjadi....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar