..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS

Samurai Iblis



 

RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Runtuhnya Samurai Iblis

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Jaka Ndableg dengan ketiga temannya 

yang tengah menuju ke tempat di mana para Nin-

ja berkumpul, nampak terus mengajukan kereta 

mereka. Hamparan salju seakan tiada mereka hi-

raukan. Hari makin larut malam, sehingga gelap 

pun kini menyelimuti tempat tersebut. Untung sa-

ja hamparan salju mampu memantulkan cahaya.

"Kita istirahat di sini," perintah Panglima 

Perang pertama pada rekan-rekannya. "Kusir, 

hentikan kereta."

Sang kusir tiada membantah, hentikan ke-

retanya.

"Apakah kita akan di sini sampai menung-

gu pagi?" tanya yang lainnya agak jengah, lebih-

lebih Meimora.

"Tidak usahlah kalian pikirkan," jawab 

Panglima pertama, memberikan keyakinan

"Bukankah ada Tuan Pendekar Pedang Si-

luman Darah di sini?" 

"Benar!" sambung Panglima kedua. "Tapi 

apakah kita akan dalam gelap?"

"Memang kita perlu api," ulas Jaka. "Bu-

kankah di sini suasana begitu dingin?"

Semuanya mengangguki, lalu Jaka pun 

meneruskan. "Di samping itu pula, kita tentunya 

tidak ingin adanya binatang buas mengusik diri 

kita."

"Tepat! Mari kita cari ranting kering."

"Di mana kita mencarinya, Kakak Mozeta?"


tanya Perwira kedua. "Bukankah kini saatnya 

musim salju?" 

"Benar, benar." 

Semua yang ada di situ tampak agak ke-

cut, karena merasa bahwa usahanya untuk men-

dapatkan kayu-kayu kering akan mengalami ke-

gagalan. Sementara Jaka Ndableg agaknya hanya 

diam, membiarkan mereka berpikir. Meimora se-

pertinya enggan untuk beranjak jauh dari Jaka, 

yang seakan merupakan perlindungan bagi di-

rinya. Entah karena apa, kini Meimora benar-

benar merasakan adanya suatu getaran aneh di 

hatinya. Hati kecilnya sebagai seorang wanita me-

rasakan hentakan untuk mengutarakan kata-

kata. Namun begitu, keadaannyalah yang selalu 

menyembunyikan hal tersebut.

"Kalian carilah kayu-kayu itu, walau ba-

sah."

Tercengang dua Panglima dan Kusir men-

dengar perintah Jaka yang dirasa aneh. Ketiganya 

kerutkan kening, lalu Panglima pertama pun ber-

tanya. "Untuk apa, Tuan Pendekar?"

"Yang jelas, tentunya untuk api unggun, 

bukan?" Jaka balik menanya, menjadikan keti-

ganya terbengong makin melongo tiada mengerti. 

Dengan penuh ketidakmengertian akhirnya keti-

ganya pun pergi juga mencari kayu untuk api un-

ggun. Sementara itu Jaka kini tinggal berdua 

dengan Meimora. Meimora nampak memandang-

nya dalam dan penuh arti. Mata Meimora berka-

ca-kaca, sepertinya hendak mengutarakan akan 

apa yang ada di hatinya. Bibirnya, bergerak


gerak, namun tiada kata yang terucapkan.

Jaka yang tahu keadaan Meimora nampak 

kasihan. Di sisi lain, dirinya benar-benar ingin 

menjadi seorang lelaki yang setia pada seorang 

wanita yang pernah dan sampai kini masih ia cin-

tai. Lelaki mana pun, tentunya akan begitu saja 

lupa pada kekasihnya bila digoda wanita. Apalagi 

wanita itu begitu cantik, pasrah padanya walau 

tiada terucap lewat kata. Jaka tahu itu, tapi ia 

benar-benar ingin setia pada kekasihnya. 

"Oooooh....! Miranti, sedang apakah engkau di 

Tanah Jawa malam ini?" tanya Jaka dalam hati.

Lama keduanya diam, sampai akhirnya ke-

tiga orang yang mencari kayu datang kembali ke 

tempat mereka. Ketiganya telah membawa sebo-

pongan kayu basah.

"Braaak...!" Kayu-kayu itu dilempar begitu 

saja menjadi satu timbunan. Kini kelimanya ter-

diam, sebab kelimanya tiada yang membawa ko-

rek api.

"Bagaimana membakarnya? Sedangkan ki-

ta tidak seorang pun yang memiliki korek api?" 

tanya ketiganya bingung.

Jaka tersenyum, lalu katanya tenang. "Ka-

lian menyingkirlah agak jauh, biarkan aku di sini 

sendiri."

"Mau apa?" tanya ketiganya kembali, tak 

mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Ja-

ka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar membawa 

korek api?"

Jaka Ndableg terdiam. Sebenarnya ia tidak 

ingin mengatakan bahwa dirinya akan menggu


nakan ajian Banyu Geni untuk menyalakan kayu-

kayu basah tersebut, namun dikarenakan me-

mang agak sukar juga, maka Jaka akhirnya ber-

terus terang. "Kalian tahu apa yang telah terjadi 

denganku tadi sore tatkala menghalau musuh?"

Kesemuanya yang ada di situ saling pan-

dang.

"Ooooh, benar! Rupanya Tuan Pendekar 

hendak menggunakan ilmu yang Tuan miliki?" 

tanya Panglima kedua. "Wah, mengapa kita tidak 

berpikir sampai di situ?"

"Benar!" tambah Panglima pertama.

"Nah, kalian menyingkirlah agak jauh se-

bab aku tidak menghendaki kalian tersiksa oleh 

panasnya api yang aku keluarkan."

Tanpa banyak kata lagi keempatnya pun 

mundur beberapa tombak untuk menjaga jarak 

dari sengatan api Banyu Geni. Sementara Jaka 

Ndableg kini nampak terpekur duduk bersila. 

Tangannya menyilang di depan dada, sedangkan 

mulutnya nampak komat kamit membaca mante-

ra-mantera yang dipelajarinya dari kitab Banyu 

Geni. Perlahan dari tubuh Jaka keluar asap men-

gepul. Tubuh Jaka Ndableg membara. Mulanya 

bara api yang keluar dari tubuh Jaka tidak terlalu 

panas, namun makin lama makin terasa panas-

nya, bahkan membara bagaikan tiada terkira.

"Hooooaaaarrrr...!" Dewa Api mengoar, dari 

mulutnya dan mata semburkan api ke arah tum-

pukan kayu-kayu basah tersebut. Dan dikarena-

kan kayu-kayu itu basah, maka Dewa Aji benar-

benar harus menguras tenaga benar-benar. Bara


api terus menyembur dari mata dan mulutnya. 

Mengeringkan kayu-kayu yang berada di tempat 

tersebut. Hawa panas kini benar-benar terasa 

menyengat oleh keempat rekannya yang berdiri 

sepuluh tombak darinya. Semuanya terkesiap, 

mereka baru melihat kejadian yang seperti dalam 

dongeng saja. Mereka memang mengenal Dewa 

Api, namun baru kini mereka benar-benar berha-

dapan dengan Dewa Api sesungguhnya.

"Tidak aku sangka, ternyata aku dapat me-

lihat Dewa Api," Meimora berkata dalam hati. Ia 

begitu kagum pada Jaka Ndableg, yang sebenar-

nya adalah Dewa Api menurutnya. Kini Meimora 

benar-benar bagaikan terhanyut oleh khayalan 

yang tercipat lewat kekagumannya pada Jaka ser-

ta cinta yang memang tumbuh. "Tapi, apakah aku 

akan diterimanya? Sedangkan menurut cerita, ti-

tisan Dewa Api tidaklah menghendaki gadis yang 

sudah tidak perawan...? Oooo...." Meimora hanya 

mampu mengeluh dalam hati.

Rupanya kekaguman pada Jaka Ndableg 

yang merupakan titisan Dewa Api bukan pada 

Meimora saja, akan tetapi semua yang kini me-

nyaksikannya juga terkagum-kagum. Dalam hati 

ketiga lelaki tersebut berkata, "Seandainya aku 

dapat mengabdi padanya, sungguh aku akan me-

nunjukkan darma baktiku. Rupanya Dewa Api 

benar-benar datang dan menitis lewat seorang 

Pendekar muda yang tampan dan tidak sombong, 

yang berasal dari Tanah Jawa Dwipa."

Api kini membakar sedikit demi sedikit 

tumpukan kayu yang menjadi tumpahan serangan Jaka Ndableg si Dewa Api. Makin lama makin 

membara api tersebut, sehingga hawa dingin yang 

tadinya menggigil kini lambat laun menghilang 

berganti dengan rasa hangat yang mampu mem-

buat orang-orang yang berada di situ seakan hi-

lang keletihannya.

Sementara itu keempat orang yang berada 

sekitar sepuluh tombak tiada berani mendekat. 

Sedangkan Jaka Ndableg sendiri kini nampak 

masih terpaku bersemedi. Lambat laun api yang 

tadi menyelimuti tubuhnya hilang. Jaka Ndableg 

pun kembali ke bentuk asalnya, sebagai seorang 

pemuda tampan. Keberingasan sebagai Dewa Api 

kini menghilang, berganti dengan wajah penuh 

kasih Jaka Ndableg.

"Kalian ke marilah!" Jaka berseru, manaka-

la melihat keempatnya masih nampak terpaku di-

am di tempatnya. "Kalian datanglah mendekat, 

kini tak akan kalian celaka."

Keempat orang Jepang itu segera mende-

kat, dan dengan tanpa diduga oleh Jaka, keem-

patnya segera menjura. Serempak keempatnya 

berkata. "Terimalah sembah hormat kami, Dewa 

Api?"

"Ah.,.!" Jaka terpekik. "Mengapa kalian 

berbuat begitu?"

Namun ucapan Jaka bagaikan tiada ter-

dengar oleh keempatnya, yang masih menjura. 

Bahkan kini mereka makin mendalamkan hor-

matnya. Hal tersebut makin menjadi rasa jengah 

bagi Jaka. Baru sekali ini ia mendapat penghor-

matan yang begitu tinggi dari orang-orang Jepang



yang biasanya tidak mengenal rasa rendah diri. 

"Hem, mereka mengira aku benar-benar titisan 

Dewa Api. Seorang Dewa yang menurut mereka 

sangat berarti," gumam Jaka dalam hati. 

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" 

tanya Jaka.

"Kami tidak menghendaki apa-apa dari Pu-

kulun. Kami hanya menghendaki sudilah Puku-

lun menerima kami sebagai hamba setia, Puku-

lun. Hingga dengan begitu, kiranya kami akan 

benar-benar telah mengabdi dengan tulus pada 

Pukulun Dewa Api. Dewa Agung bagi kehidupan," 

yang berkata Panglima pertama, sepertinya me-

wakili apa yang ada di dalam hati ketiga rekan-

nya.

"Aku bukan Dewa," jawab Jaka.

"Ah, mengapa Pukulun mesti menyembu-

nyikan diri?" keluh keempatnya bareng, makin 

menjadikan Jaka bertambah tidak mengerti saja. 

Namun Jaka tidak mengingini mereka merasa 

disepelekan, maka dengan tersenyum-senyum 

menahan geli Jaka akhirnya berkata.

"Baiklah, kalau kalian memang mengang-

gap aku Dewa. Tapi, aku tidak ingin kalian mele-

bihkan diriku. Saat ini, aku adalah teman kalian, 

maka kalian sepantasnyalah bersikap sebagai 

seorang teman biasa."

"Daulat, Pukulun...." jawab mereka semua.

"Nah, karena kalian sudah mengakui, ma-

ka kalian aku perintahkan untuk memanggilku 

dengan sebutan namaku saja." 

Ke empatnya mengangguk.


"Sekarang kalian istirahatlah." 

Mendengar ucapan Jaka Ndableg, dengan 

tidak membangkang karena merasa yang bicara 

adalah Dewanya. Dengan bersender pada po-

hon-pohon pinus yang berada di situ, keempatnya 

melepas lelah. Namun begitu, keempatnya seperti 

tiada mau pejamkan mata, bahkan Meimora yang 

hatinya telah benar-benar terpaut oleh Jaka per-

lahan-lahan mendekati Jaka Ndableg yang tengah 

duduk.

Jaka yang sedang duduk tersentak kaget 

tatkala tanpa sepengetahuannya Meimora telah 

berdiri di sampingnya. "Nona Mei...?"

Meimora tersenyum manis penuh arti, 

menjadikan Jaka hanya mampu membalas se-

nyumannya. "Boleh aku duduk...?" tanyanya 

merdu.

"Boleh, mengapa tidak?" jawab Jaka. "Tapi, 

apakah Nona tidak lelah?" tanya Jaka kemudian.

Meimora gelengkan kepala, lalu duduk di 

samping Jaka.

Mata Meimora kini tajam memandang Ja-

ka, sedangkan Jaka sendiri bagaikan tiada men-

gerti. Jaka Ndableg kini tengah asik dengan la-

munannya, di mana kini bayangannya terlintas 

wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Na-

mun dari sekian gadis yang pernah dikenalnya, 

hanya tiga gadis yang kini benar-benar melekat 

erat di hatinya. Gadis pertama adalah Ayu Sakiti, 

kedua Miranti, dan yang ketiga adalah gadis yang 

kini berada duduk di sampingnya. Dengan Mei-

mora Jaka hanyalah kasihan. Ya! Jaka merasa


terpanggil untuk menyayanginya, dikarenakan 

kini hidup Meimora bagaikan hidup dalam liputan 

badai. Kalau hatinya tiada tentram, maka sudah 

dipastikan dirinya akan nekad. Meimora benar-

benar merasakan hidupnya tiada arti lagi setelah 

diperkosa oleh kesepuluh orang Ninja anak buah 

Taka Nata.

"Kau melamun, Jaka...?" Tersentak Jaka 

ditanya begitu. "Siapa yang engkau lamuni? Apa-

kah gadis-gadismu yang ada di Tanah Jawa sa-

na?" kembali Meimora bertanya, nadanya terselip 

rasa cemburu. Dan kembali Jaka tersenyum, rasa 

ingin menghibur hati Meimora menjadikan Jaka 

harus mampu membawa ketabahan hati gadis 

itu.

"Aku...?" Jaka bertanya, diangguki oleh 

Meimora dengan matanya memandang tiada lepas 

ke arah Jaka. "Aku kini memikirkan dirimu, Mei."

Tersipu-sipu Meimora mendengar jawaban 

Jaka, sebab ia tiada mengira Jaka akan berkata 

begitu. "Mengapa mesti aku, Jaka? Tidakkah ma-

sih banyak gadis yang belum rusak sepertiku 

yang mencintai dirimu?"

Jaka tarik nafas panjang demi mendengar

ucapan Meimora yang seakan tiada gairah untuk 

menikmati kehidupan. Rasa keputusasaan karena 

menganggap dirinya tiada harga menjadikan 

Meimora benar-benar menjadi seorang gadis yang 

sensitif dan cepat perasa. Hal tersebut dilu-

kiskannya dengan tetesan air mata di kedua be-

lah pipinya yang putih. Hal tersebut makin tre-

nyuh menyengat di hati Jaka yang benar-benar


merasa kasihan pada nasib Meimora.

"Mengapa engkau mesti menangis?" Di-

sapunya air mata Meimora hingga menjadikan 

Meimora tatap kembali wajahnya. Pelan jari jema-

rinya Meimora yang halus itu menempel di tangan 

Jaka, dan pelan-pelan juga tangan Meimora hen-

tikan ulasan tangan Jaka. Ditekankannya tangan 

Jaka di pipinya, lalu tanpa memperhatikan Jaka 

dikecupnya tangan Jaka mesra.

Ketiga lelaki lainnya sebenarnya tidak ti-

dur. Mereka pura-pura tidur dikarenakan mereka 

tidak ingin mengganggu kedua muda mudi yang 

diketahui mereka tengah terjerat api cinta. Maka 

sebagai seorang sepuh yang mengerti, ketiga lela-

ki itu pun pura-pura tidur dengan palingkan mu-

ka ke arah lain.

"Benarkah kau mau menerima diriku yang 

sudah tiada arti?"

Jaka tersenyum, gelengkan kepala dan 

berkata. "Kau masih memiliki arti, Mei. Mungkin 

di mata manusia, kesucian seorang gadis sangat 

berarti. Tapi di mata Tuhan, segalanya sama. Dan 

bukankah semua itu bukan engkau yang meng-

hendaki?"

"Oooooh.... Jaka...." Meimora mendesis, re-

bahkan kepala di pundak Jaka Ndableg. "Baru 

kali ini aku melihat seorang lelaki gagah yang ber-

jiwa gagah pula."

Meimora terus genggam tangan Jaka. Per-

lahan, muka Meimora mendekat dan makin lama 

makin dekat. Jaka tiada mampu untuk menolak, 

sebab dia sendiri tiada ingin membuat Meimora


kecewa. Maka manakala Meimora tempelkan bi-

birnya ke bibir Jaka, Jaka pun hanya membalas 

dengan lembut. Tiada terasa, kini keduanya be-

nar-benar terhanyut dalam alunan syair. Malam 

pun makin mengerti, desahkan lagu lewat angin 

yang sejuk. Sedangkan api kini membara, seakan 

memberi semangat cinta pada keduanya.

* * *

Jaka tersentak, lepaskan pelukan Meimora 

yang juga tersentak kaget. Namun kekagetan ke-

duanya berbeda. Jaka kaget dikarenakan men-

dengar gemereseknya suara langkah kaki yang 

mendekat ke arahnya, sedangkan Meimora kaget 

karena Jaka melepaskan pelukannya.

"Ada apa, Jaka?" tanya Meimora, matanya 

memandang tajam ke arah pandangan Jaka. Na-

mun matanya tiada melihat apa-apa. dan hanya 

gelap saja yang terpampang di sana. Sedangkan 

Jaka, dengan mata batinnya yang tajam mampu 

melihat bayangan yang berdiri agak jauh dari me-

reka. Bayangan tersebut, merupakan wujud dari 

seorang lelaki tua. Bukan hanya Meimora dan Ja-

ka yang tersentak, akan tetapi ketiga lelaki yang 

tadinya pura-pura tidur pun kini terbangun demi 

mendengar gesekan langkah berat. Namun seperti 

Meirmora, ketiga lelaki itu pun tiada melihat wu-

jud dari orang yang melangkah.

"Ada apakah, Tuan Pendekar?" tanya Pan-

glima pertama.

"Ya! Sepertinya Tuan Pendekar tengah


memperhatikan sesuatu," lanjut Panglima kedua, 

dan keduanya pancarkan mata mereka ke arah 

yang dipandang Jaka Ndableg. Namun sampai 

mata mereka dibuat mendelik, keduanya tiada 

mampu melihat apa yang sebenarnya kini dilihat 

oleh Jaka.

Keempatnya makin belalakkan mata, ma-

nakala Jaka perlahan bangkit dari duduknya dan 

berjalan ke arah yang dipandanginya sejak tadi. 

Keempatnya hanya terpaku dengan ketakutan 

yang teramat sangat, namun bila mengingat bah-

wa di situ ada Pendekar Pedang Siluman Darah 

yang mereka anggap Dewa, ketakutan mereka 

pun hilang dengan sendirinya.

Jaka makin mendekat ke tempat yang ditu-

ju, lalu setelah jarak tinggal dua tombak Jaka 

pun berkata. "Siapakah engkau adanya, Ki?"

"Aku Penguasa hutan ini, Tuan Pendekar," 

jawab bayangan tua yang berpakaian serba merah 

menyala. "Aku sengaja datang menemuimu, Tuan 

Pendekar. Aku diutus oleh Siluman Darah dari 

Tanah Jawa untuk mengawasi dan membantu-

mu."

"Terimakasih sebelumnya," jawab Jaka 

hormat. "Lalu siapakah sebenarnya dirimu, Ki?"

Lelaki tua renta berpakaian merah menyala 

dehem sesaat, kemudian menjawab. "Aku Ki Dae-

tokoyono, atau si Siluman Api."

"Hem, tentunya engkau telah mengenalku. 

Nah, apa yang menjadikan engkau tampakkan 

ujud, Siluman Api?" tanya Jaka masih menghor-

mat. "Kalau kau ingin menolongku, tentunya kau


mau mengatakannya padaku apa yang akan kau 

lakukan, bukan?"

"Demi engkau si Dewa Api, atau Pendekar 

Pedang Siluman Darah, aku sebagai abdimu, 

bermaksud memberikan sebuah kabar pada eng-

kau Dewa Api. Kabar itu, tidak lain bahwa sesaat 

lagi, musuh akan datang menjarah tempat ini."

"Oooooh, benarkah?"

"Sungguh aku tiada berani mendusta pa-

damu."

"Lalu apa yang perlu aku lakukan?" tanya 

Jaka kembali.

"Musuh akan datang bersama seorang sak-

ti yang bergelar Iblis Kebal Pukulan. Hadapilah 

dia dengan senjatamu, niscaya dia akan dapat 

engkau kalahkan. Nah, hati-hatilah. Aku hanya 

membantu memberikan informasi, sedangkan 

penjalanannya terserah padamu, Pendekar Pe-

dang Siluman Darah." Habis berkata begitu, tiba-

tiba tubuh Siluman Api pun hilang dari pandan-

gan, sementara Jaka kini kembali melangkah me-

nuju ke tempat di mana rekan-rekannya berada.

"Ada apakah? Seperti Tuan bercakap-

cakap?" tanya ketiga lelaki Jepang tersebut.

"Tidak ada apa-apa. Sekarang kalian di sini 

dulu, aku akan pergi menangkap hewan hutan 

yang akan dapat menjadi pengganjal perut kita 

yang telah kosong ini."

Belum juga keempatnya menjawab, tiba-

tiba Jaka telah berkelebat pergi meninggalkan 

mereka. Keempat orang Nippon tersebut hanya 

mampu bengong. Namun kebengongan mereka


hanya sesaat, manakala tiada begitu lama Jaka 

telah kembali dengan empat ekor burung hutan. 

"Nah, kiranya burung-burung ini akan mampu 

menangkal lapar kalian," ucap Jaka seraya duduk 

kembali di tempatnya. Diambilnya cabang pohon 

yang berada di situ, lalu diputuskannya ranting-

ranting cabang pinus tersebut. Dengan dibantu 

oleh keempatnya Jaka mengkulit bulu-bulu bu-

rung tersebut. Sebenarnya bukan karena perut 

lapar hingga Jaka mencari burung-burung hutan 

yang besarnya sebesar ayam, akan tetapi Jaka 

sengaja hendak mengundang musuh yang dikata-

kan oleh Siluman Api datang. Dengan mencium 

bau bakaran daging, tentunya para musuh akan 

mudah mengetahui keberadaan dirinya.

"Tuan Pendekar, kami merasa heran den-

gan Tuan," celoteh Kusir kereta.

"Mengapa?" tanya Jaka tak mengerti. "Ba-

gaimana mungkin dalam waktu cepat Tuan mam-

pu mendapatkan lima ekor burung ayam-ayaman 

ini?"

Jaka tersenyum, sepertinya menertawakan 

dirinya sendiri. Memang benar akan apa yang di-

katakan Kusir kereta tersebut. Bagaimana mung-

kin dalam secepat itu Jaka mampu mendapatkan 

lima ekor burung ayam-ayaman? Dan bukankah 

di hutan pinus ini tiada suara burung seekor 

pun? Sebenarnya Jaka tidak mencari burung 

ayam-ayaman. Dan sebenarnya yang kini tengah 

mereka bakar adalah ayam kampung. Waktu Ja-

ka pamit mencari burung, dengan menggunakan 

ilmu larinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka men


datangi rumah-rumah penduduk yang jaraknya 

hampir dua puluh mil. Namun dikarenakan Jaka 

lari bagaikan terbang dengan ajian Angin Puyuh 

tingkat pamungkas, maka hanya dalam waktu li-

ma menit saja Jaka telah sampai di perkampun-

gan dan mencuri lima ekor ayam tersebut. Di 

samping itu pula, maksud Jaka sebenarnya 

hanya ingin berjaga, dan ingin mengawasi keda-

tangan musuh.

Manakala Jaka melihat bahwa musuhnya 

masih belum nampak, Jaka kembali lagi dengan 

membawa ayam-ayam tersebut. Jaka berangga-

pan bahwa musuhnya mungkin tiada tahu tempat 

mereka, sehingga dengan cara membakar daging 

baunya akan menyebar ke seantero tempat terse-

but, juga akan terbawa angin. Namun untuk me-

nutupi bahwa dirinya telah berpatroli, Jaka pun 

menjawab kalem. "Yah, kebetulan burung-burung 

tersebut tengah tidur, sehingga aku tidak sulit 

menangkapnya."

Jawaban Jaka memang masuk akal, se-

hingga keempatnya tiada lagi bertanya-tanya. Kini 

mereka pun disibukkan oleh ayam-ayam yang ki-

ni mereka panggang. Bau ayam panggang benar-

benar menjadikan kelimanya kini leletkan lidah. 

Rasa lapar pun seketika mengucak perut mereka.

Sedangkan asap dari pembakaran tersebut 

benar-benar tersebar ke segenap penjuru hutan. 

Bahkan asap bakaran tersebut tersebar sampai di 

luar hutan, di mana alam gelap menghampar me-

nyelimuti muka bumi. Asap bakaran daging me-

mang mampu menjadikan hidung yang mencium


nya akan dapat segera mengetahui di mana kebe-

radaan tempat tersebut. Seperti halnya orang-

orang yang nampak berlari-lari dengan ringannya, 

seakan mereka tengah terburu-buru oleh waktu. 

Orang-orang tersebut berpakaian hitam dengan 

tutup muka yang juga berwarna hitam. Di pun-

dak mereka nampak samurai melekat, sedangkan 

di tangan mereka tergenggam senjata lain yang 

beraneka ragamnya. Jumlah mereka hampir 

mencapai lima puluh orang. Mereka tiada lain da-

ri pasukan Ninja yang diperintahkan oleh Taka 

Nata untuk menyerang orang-orang kerajaan.

Sebenarnya para Ninja tersebut belum 

mengerti apa yang telah terjadi dengan rekan-

rekannya yang mati di tangan Jaka Ndableg sore 

itu. Mereka hanya diutus untuk membantu para 

Ninja yang menghadang kepergian setiap prajurit 

kerajaan, atau pun para pendekar yang hendak 

mendatangi pertemuan di sebelah Timur Gunung 

Fujiyama.

"Kawan-kawan, apakah kalian mencium 

bau bakaran daging?" tanya pimpinan Ninja se-

raya hentikan larinya, hingga semua anak buah-

nya pun seketika turut menghentikan lari mere-

ka. Hidung mereka kembang kempis, merasakan 

aroma yang sangat merangsang selera mereka. 

"Hem, rupa-rupanya bau ini dari dalam hutan."

"Benar!" jawab Ninja yang berdiri di sam-

pingnya. "Mari kita ke sana."

Dengan segera kelima puluh Ninja tersebut 

kembali berlari ke arah datangnya aroma bakaran 

daging. Kelima puluh Ninja tersebut kini me


nyembunyikan diri mereka ke dalam tanah, dan 

ada pula yang berlompatan naik ke atas pohon.

Jaka Ndableg yang sudah mendapat petun-

juk dari Siluman Api kini nampak waspada, wa-

laupun ia kini nampak menyantap makannya 

dengan tanpa berpaling ke mana pun. Di sisi ka-

nan kirinya keempat orang Nippon juga kini me-

nyantap makan. Namun seketika kedua Panglima 

kerajaan tersebut tersentak. 

"Kreseeek...!"

"Tuan Pendekar, apakah Tuan mendengar 

suara gemeresek?"

Jaka Ndableg dengan pura-pura tak men-

dengar segera pasang telinganya untuk mampu 

menangkap suara tersebut, namun sebenarnya 

Jaka telah mendengar terlebih dahulu. Jaka 

sunggingkan senyum, sepertinya mengiyakan 

akan apa kata Panglima pertama.

"Rupanya mereka benar-benar datang," 

gumam Jaka dalam hati.

"Bagaimana, Jaka?" Meimora nampak agak 

ketakutan. Namun menakala melihat Jaka terse-

nyum, nampak agak sedikit memiliki ketenangan. 

Meimora percaya bahwa Jaka tidak akan mem-

biarkan dirinya dan ketiga orang istana itu begitu 

saja. Tentunya Pendekar Tanah Jawa yang titisan 

Dewa tersebut akan berusaha mereka.

"Hai orang-orang yang ada di atas pohon, 

mengapa kalian tidak cepat turun?!" tiba-tiba Ja-

ka dengan keras berseru, menjadikan kedua Pan-

glima dan Kusir serta Meimora tersentak kaget. 

"Kalau kalian benar-benar orang baik-baik, ten


tunya kalian akan berbuat baik pula. Janganlah 

kalian bertingkah laku begitu!"

"Suiiiitttt…!" terdengar suitan

"Hem, kalian rupanya ingin mempermain-

kan kami!" bentak Jaka.

"Suuuuuiiiiiittttt...!" kali ini kembali ter-

dengar suitan panjang, dan bersamaan dengan 

akhir suitan tersebut, beberapa sosok tubuh hi-

tam berkelebat menghadang di hadapan kelima 

orang tersebut.

Keempat orang Jepang yang berdiri di 

samping Jaka nampak agak gemetaran. Namun 

Jaka berusaha memberikan ketenangan bagi 

keempatnya dengan berkata, "Kalian tidaklah per-

lu takut, sebab mereka aku rasa hanyalah cecu-

rut-cecurut yang lapar."

"Bejero!" bentak pimpinan Ninja marah, 

demi mendengar ucapan Jaka yang menyebut di-

rinya cecurut atau tikus. "Siapa kau, Bajero! Bu-

kankah engkau orang asing, hah!!"

Jaka Ndableg kembali tersenyum, lalu den-

gan masih tenang kembali berkata, "Kalau kalian 

tidak mau dianggap cecurut, mengapa kalian ber-

tindak mirip cecurut!"

"Bajero! Orang asing tidak tahu adat! Se-

raaaaanggg...!"

Mendengar seruan pimpinannya, seketika 

beberapa Ninja yang tadinya belum nampak, ikut 

nongol ke permukaan. Semua Ninja yang berjum-

lah lima puluh orang tersebut dengan cepat men-

gurung kelima orang utusan kerajaan.

"Kalian tentunya orang-orang istana, maka


kalian akan kami jadikan jalan pertama bagi tu-

juan kami!" kata ketua Ninja, nampaknya meren-

dahkan kelima orang di situ. Sementara kelima 

puluh anak buahnya kini dengan tangan siap 

menggenggam samurai masih mengurung.

"Jangan asal ngomong!" balik membentak 

Jaka.

"Heh, rupanya kau ingin jadi pahlawan, 

Orang asing!"

"Kalianlah Iblis-iblis yang harus dibasmi!" 

Jaka nampak benar-benar tidak ingin main-main. 

Kini Jaka berdiri dengan berusaha melindungi 

keempatnya. Sedangkan Meimora nampak dengan 

tubuh ketakutan dan disertai kebencian yang 

amat sangat. Mata Meimora liar memandang ke 

arah Ninja-Ninja, sedangkan di antara kelima pu-

luh Ninja tersebut nampak ada sekitar enam 

orang yang mengawasi dirinya. Rupanya Ninja-

ninja tersebut orang yang pernah memperko-

sanya.

"Jaka, keenam orang tersebut...." Meimora 

tak meneruskan kata-kata. Namun begitu Jaka 

mampu menangkap apa yang sebenarnya berada 

di dalam hati Meimora. Sebenarnya Meimora ingin 

memberitahukan padanya tentang siapa adanya 

keenam orang yang nampak memandang terus ke 

arahnya. Rasa kemanusiaan Jaka seketika bagai-

kan terbakar, sehingga kini Jaka Ndableg ta-

tapkan mata ke arah keenam orang tersebut.

"Hua, ha, ha....! Rupanya di antara kalian 

ada Iblis-iblis yang terlalu rakus melebihi kalian 

semua," Jaka berkata bagaikan tiada hiraukan


ucapan pimpinan Ninja. "Aku akan mendahului 

memenggal kepala mereka daripada kalian se-

mua!"

"Bajero? Jangan biarkan pemuda gila 

itu...!" orang yang merasa tertuduh membentak 

marah, lalu tanpa diperintah terlebih dahulu oleh 

ketuanya, keenam orang tersebut seketika berke-

lebat menyerang.

"Wuuuuuttt...!" Samurai mereka berkele-

bat.

"Awas...!" Jaka Ndableg segera dorongkan 

keempatnya, lalu dirinya sendiri melompat hinda-

ri serangan. Kakinya dijulurkan menendang ke 

arah musuh.

"Wuuuuttt...!"

Samurai keenam Ninja itu membabat kaki 

Jaka yang menyerang, sehingga mau tidak mau 

Jaka pun tarik kembali serangan. Manakala kaki 

ditarik, dengan cepat tangannya mengaju ke mu-

ka. Keenam musuhnya terjengah, dan dengan ce-

pat kembali babatkan samurai.

"Wuuuuttt...!"

"Kalian minggirlah dulu, dan jaga Nona 

Meimora!" Jaka perintahkan pada keempat re-

kannya untuk menepi. Keempat rekannya tanpa 

banyak kata segera menurut, namun dengan ce-

pat Ninja-ninja yang lainnya segera menghadang. 

Walaupun begitu, kedua Panglima utama kera-

jaan bukanlah orang-orang sembarangan. Kedua-

nya merupakan tokoh-tokoh samurai yang sudah 

mumpuni. Melihat dirinya dihadang, dengan ce-

pat kedua Panglima itu tarik samurainya.


"Wuuuuuttt...!" Samurai kedua Panglima 

bergerak cepat, menjadikan orang-orang yang 

menghadangnya tersentak, melompat mundur ke 

belakang mengelak.

"Bajero! Kalian menantang!" maki Ninja 

yang menjadi pimpinan. Dengan sebat pimpinan 

Ninja itu segera kirim tendangan ke arah Pangli-

ma pertama. Panglima yang merupakan orang-

orang seleksian kerajaan nampak dengan enteng-

nya mengimbangi. Kakinya digerakkan ke samp-

ing. Tubuhnya sesuai dengan arah kaki, menge-

gos ke samping menghindar. Dan manakala sa-

murai lawan berkelebat di sebelah kirinya, dengan 

cepat kaki kanan berkelebat menendang.

Melihat musuhnya hendak menendang, se-

gera pimpinan Ninja itu tarik samurai dan ki-

baskan ke arah kaki. Tujuannya hanya satu, 

membabat kaki Panglima. Tapi dugaannya mele-

set, sebab ternyata Panglima menendang hanya 

tipuan belaka, sedang serangan yang sebenarnya 

tidak lain dari kekuatan tangan kanannya. Den-

gan Jodang Ukai, atau pukulan lurus ke arah 

muka, tangan kanan Panglima melesat ke muka.

"Wuuuuttt...!"

"Bug! Bug! Bug...!"

"Ah...!" Pimpinan Ninja itu memekik, ma-

nakala jotosan Jodang Ukai yang dilancarkan 

Panglima pertama mendarat telak di mukanya. 

Hal tersebut menjadikan pimpinan Ninja ter-

huyung-huyung, dengan pipinya terasa sakit. Se-

dangkan dari mulut dan hidungnya keluar darah 

meleleh.


"Bajero! Kubunuh, kau!" Pimpinan Ninja 

segera bangkit, lalu dengan gerakan cepat kemba-

li berkelebat babatkan samurainya ke arah mu-

suh. Namun kiranya segala gerakan lawan telah 

diketahui kuncinya oleh Panglima pertama, maka 

pada saat samurai lawan menyerang, dengan ce-

pat Panglima pertama babatkan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

"Trang....!"

"Wuuuutttt....!"

"Craaaasss...!" 

"Aaaaaaa....!" Pimpinan Ninja itu memekik, 

manakala samurai Panglima pertama membabat 

lengan tangan kanannya. Tanpa ampun lagi, tan-

gan kanan pimpinan Ninja seketika puntung ja-

tuh ke tanah. Pimpinan Ninja menggerug-gerung 

kesakitan, darah keluar deras dari puntungan 

tangannya. Dan karena banyak darah keluar, 

menjadikan pimpinan Ninja itu seketika pingsan.

* * *

Terbelalak semua anak buahnya menyak-

sikan pimpinannya dapat dengan mudah ditun-

dukkan. Namun sebagai seorang yang telah dis-

umpah, para Ninja tersebut tiada mau mengalah. 

Dengan bareng anak buahnya segera menyerang 

ke arah Panglima pertama.

Di pihak lain, Jaka Ndableg yang dikeroyok 

oleh enam orang Ninja nampaknya tidak menga-

lami kesulitan. Keenamnya bagaikan tiada arti 

bagi Jaka. Setiap tebasan-tebasan samurai mere


ka, dengan mudah dielakkan oleh Jaka Ndableg. 

Tapi rupanya keenamnya tidak menyadari siapa 

adanya orang yang dikeroyok, mereka terus beru-

saha mencerca Jaka.

"Wuuuuutttt...!"

Enam samurai itu bareng menyerang, men-

jadikan desingan yang mampu kejutkan orang 

yang diserang. Jaka segera lompat ke udara, ten-

dangkan kaki ke arah mereka dengan jurus Sa-

puan Angin. Kaki Jaka Ndableg begitu cepat, su-

kar untuk diikuti oleh pandangan keenam mu-

suhnya.

"Wuuuuttt...!"

"Hiiiaaaattt...!" Jaka memekik balik menye-

rang, kakinya bergerak menyambar. "Bug! Bug! 

Bug...!"

Kaki Jaka menyepak keenam musuhnya. 

Seketika musuhnya tersentak, lalu mereka pun 

berusaha memapakinya dengan tebasan samurai. 

Namun rupanya gerakan mereka kalah cepat, se-

hingga tanpa ayal lagi kaki Jaka pun mendarat 

telak ke muka mereka. Bagaikan dihantam go-

dam, muka mereka seketika melenguh manakala 

kaki Jaka berhasil menghantam.

Keenam Ninja itu sempoyongan. Melihat 

hal tersebut, Meimora yang memang mendendam 

dengan tanpa diduga berhasil merampas salah 

satu samurai di tangan mereka, lalu bagaikan ke-

setanan Meimora pun babatkan samurainya ke 

tubuh Ninja-ninja tersebut.

"Kalian harus mati...!"

"Wuuuuttt.,.! Wuuuutt..! Wuuuuuuttt...!"

"Bret! Bret! Bret...!" Enam kali terdengar 

suara sabetan samurai di tangan Meimora ke tu-

buh mereka.

"Wuuuuuaaa...!" Keenam orang itu pun se-

ketika memekik. Darah muncrat dari punggung 

mereka, sepertinya punggung mereka kini tak 

mampu untuk pertahankan keseimbangan. Dan 

karena banyaknya darah yang keluar, sehingga 

keenamnya seketika terluka. Dan hal tersebut ru-

panya tidak disia-siakan oleh Meimora. Dengan 

sadis kembali Meimora kibaskan samurainya.

"Wuuuuttt...!" 

"Cras! Cras! Cras...!"

Enam kali Meimora sebatkan samurai ke 

leher mereka, dan enam kali pula leher Ninja-

ninja tersebut puntung. Darah makin membanjir 

saja. Keenamnya hanya memekik sesaat, sebelum 

akhirnya mati dengan kepala memisah dari ba-

dannya.

Jaka tak mampu mencegah, dan rupanya 

Jaka tidak bermaksud mencegah, Jaka tahu ka-

lau tindakan Meimora dilandasi oleh rasa dendam 

dan emosi. Dan manakala semuanya berhasil di-

bunuh, seketika Meimora menangis sesenggukan. 

Kenangan pahit atas tindakan biadab mereka su-

kar untuk dihapuskan walau keenam Ninja terse-

but telah mati.

Melihat keenam temannya mati, para Ninja 

yang masih hidup segera bermaksud menyerang. 

Namun Jaka Ndableg segera papaki serangan me-

reka. Kalau saja Jaka tidak mampu, maka sudah

pasti nyawa Meimorlah yang sebagai gantinya.


Dan manakala lima orang hendak menjarah tu-

buh Meimora dengan Samurai, secepat itu pula 

Jaka papaki mereka dengan sabetan Pedang Si-

luman Darah. 

"Wuuuuutttt...!"

"Awas, Nona Mei...!" Jaka peringatkan 

Meimora, sementara tangan kirinya segera dorong 

tubuh Meimora. Sedangkan tangan kanannya 

dengan cepat tebaskan Pedang Siluman. 

"Wuuuuuutttt....!"

"Trang, trang, trang...!"

"Prak, prak, prak...!"

Empat kali terdengar suara beradunya sen-

jata, dan empat kali terdengar suara senjata pa-

tah.

Empat Ninja itu belalakkan matanya kaget, 

manakala melihat samurainya dengan enteng di-

babat putus oleh pedang di tangan Jaka Ndableg. 

Belum juga keempatnya sadar, dengan cepat sa-

murai di tangan Meimora kembali berkelebat. 

Tanpa ampun lagi...

"Wuuuuutttt...!"

"Bret! Bret! Bret....!"

"Aaaaaaaa....!" empat orang itu memekik 

sesaat, lalu tubuh mereka pun ambruk. Perut me-

reka sobek terkoyak oleh samurai di tangan Mei-

mora. Meimora benar-benar bagaikan Dewi Kema-

tian saja. Samurai di tangannya sungguh sangat 

sadis, tanpa kenal ampun untuk Ninja-ninja ter-

sebut.

Kini para Ninja itu benar-benar kalang ka-

but dibikin repot dan terdesak oleh keempat


orang utusan istana tersebut. Satu persatu para 

Ninja itu berguguran, terbabat oleh senjata yang 

berada di tangan mereka. Dan manakala hari 

menginjak pagi, tinggallah hanya tiga dari lima 

puluh Ninja tersebut yang masih hidup! Ketiganya 

dibiarkan hidup untuk mengadukan segalanya 

pada ketua mereka Taka Nata si Iblis Nippon. 

***


DUA



Betapa gusar dan marahnya Taka Nata 

mendengar penuturan ketiga anak buahnya ten-

tang kegagalan mereka. Taka Nata kini betapa 

mendendam sekali pada pemuda pendekar yang 

orang asing tersebut. Taka Nata juga sangat gusar 

pada kerajaan yang mengundang pendekar terse-

but.

"Mumpung para pendekar termasuk pen-

dekar muda itu berada di tempat Eyang guru, 

maka hari ini juga kita mesti mengadakan pemba-

lasan pada pihak kerajaan!" Taka Nata berkata 

dengan suara berapi-api penuh dendam. Ya, den-

damnya sangat mendalam pada orang-orang yang 

dianggapnya telah merintangi cita-citanya. "Pen-

dekar itu harus aku singkirkan!"

Semua anak buahnya tiada berani yang bi-

cara, semuanya diam.

"Kau Maitzo. Pimpin pasukan, serang kera


jaan. Dan sebagian lagi, ikut aku untuk membuat 

keributan di mana-mana agar seluruh pendekar 

terpecah pikirannya!"

"Daulat, Ketua," jawab Maitzo.

"Sekarang laksanakan! Ingat! Jangan sam-

pai gagal untuk yang ketiga kalinya!"

"Daulat, Pimpinan!"

Maitzo sebagai tangan kanan Taka Nata 

dengan tanpa banyak komentar lagi segera pergi 

ke luar untuk mengumpulkan setiap prajurit. Kini 

tekad yang ada di hati para Ninja hanya satu, 

menggulingkan kekaisaran.

"Prajuriiiiiittt... kumpuuuuuulll...!"

Mendengar seruan wakil pimpinannya, pa-

ra Ninja yang mempunyai disiplin tinggi tersebut 

dengan segera berkumpul. Semuanya bagaikan 

tiada mengeluh, tanpa tanya bakalan apa yang di-

tugaskan pada mereka.

"Kalian tahu apa yang akan kami tu-

gaskan?" tanya Maitzo.

"Belum...!" jawab prajurit Ninja.

Maitzo berjalan perlahan memeriksa pasu-

kannya yang mencapai ratusan prajurit Ninja 

yang sudah dididik dan dilatih.

"Kalian hari ini juga akan ditugaskan un-

tuk melakukan apa yang selama ini kita rencana-

kan," Maitzo memberitahukan. "Tentunya kalian 

telah mengerti, bukan?"

"Mengertiiii...!" kembali mereka serempak 

menjawab.

''Nah, kali ini kami uji kesetiaan kalian pa-

da pimpinan. Tunjukkan apa yang kalian mampu!


Tunjukkan pula bahwa kalian bukanlah prajurit 

sembarangan!"

Ucapan Maitzo bagaikan penyebar seman-

gat. Hal tersebut terlihat jelas dari keceriaan para 

Ninja, yang seakan hendak mendapatkan bonus 

saja. Itulah kepatriotan Ninja, serta rasa kedisip-

linan yang tinggi.

"Nah, ucapkan janji kalian!"

"Janji Ninja! Kami akan selalu menjunjung 

tinggi setiap amanat pimpinan! Kami rela mati 

untuk keberhasilan cita-cita semuanya! Kami tak 

akan mau menyerah pada musuh, kecuali hanya 

kematian!"

Maitzo tersenyum, dan katanya. "Bagus! 

Nah, aku mohon, ketiga prajurit Ninja yang kema-

rin gagal segera maju ke muka,"

Dengan tegar bagaikan tak mengenal rasa 

takut, ketiganya segera melangkah ke muka. Wa-

jah mereka tidak mencerminkan adanya rasa ta-

kut, bahkan di wajah mereka kini nampak kete-

nangan. Mereka tahu dan sadar, bahwa diri me-

reka kini tiada lagi artinya bagi kehidupan seo-

rang Ninja.

Tiga orang temannya yang dengan tangan 

siap menghunus samurai berjalan di bela-

kangnya. Wajah ketiga Ninja lainnya seakan tiada 

ekspresi. Bagi mereka, hukuman semacam itu 

bukanlah sebuah pemandangan yang baru, akan 

tetapi sering mereka saksikan. Dan kadangkala 

mereka sendiri yang menjadi algojonya.

"Kalian telah siaaaappp...!?" tanya Maitzo.

"Siaaaappp...!" jawab ketiga algojo.


"Nah! Hari ini kalian semua akan melihat 

bagaimana ketiga orang anggota kita yang penge-

cut akan menerima hukuman! Kalian jadikanlah 

ini semua sebagai pelajaran!"

Semuanya terdiam, tanpa ada seorang pun 

yang menjawab. Maitzo kembali meneruskan uca-

pannya, "Sebagai seorang Ninja, tak patut jika ka-

lian mengalah pada musuh, takut mati! Maka, ji-

ka kalian menemui musuh yang berat dan seki-

ranya tidak mampu kalian hadapi, lebih baik ka-

lian lakukan harakiri, mengerti...!"

"Mengerti....!" jawab semuanya.

Tiga orang Ninja tersebut kini jongkok, 

tundukkan kepala seperti siap menerima huku-

man. Sementara ketiga algojo yang akan melaku-

kan hukumannya, nampak masih berdiri di sisi-

sisi mereka. Samurainya kini nampak mengang-

kat ke atas, pertanda bahwa mereka benar-benar 

telah siap untuk menerima perintah. 

"Lakukan...!"

Bersamaan dengan akhir dari kata-kata 

Maitzo, maka tangan ketiga Ninja yang memegang 

senjata samurai itu berkelebat ke bawah tanpa 

dapat dicegah. 

"Wuuuuutttt...!" 

"Crraaaaaasssssss...!" 

"Aaaaaaaaaaaa...!" ketiga orang terhukum 

itu memekik panjang, sebelum akhirnya kepala 

mereka puntung dan menggelinding dari pangkal 

lehernya. Sungguh tragis kematian mereka, dan 

rupanya itulah hukum yang mesti berlaku bagi 

para Ninja. Walaupun begitu, nampak Ninja yang


lainnya tundukkan kepala. Mereka benar-benar 

menghormati rekan-rekannya. Khidmat mereka 

tundukkan kepala, seperti sedih untuk berpisah 

selama-lamanya.

"Itulah hukum kita." Maitzo kembali berka-

ta. "Nah, kalian harus tahu itu. Kini kita akan 

mengadakan sebuah gerakan gerilya untuk dapat 

merongrong kerajaan. Seperti biasanya, kita akan 

melakukan perampokan dan pemerasan. Dan mu-

lai hari ini, operasi kita akan langsung dipimpin 

oleh ketua kita, Taka Nata!"

"Hidup Taka Nata...!"

"Hidup Samurai Iblis...!"

Sorak pekikan menggema manakala Taka 

Nata keluar dari tempat kediamannya untuk me-

meriksa pasukannya yang berjumlah ratusan Nin-

ja tersebut. Taka Nata dengan pakaian kebesa-

rannya yang berwarna putih perak itu melangkah 

dengan diapit dua tangan kanannya memeriksa 

para prajuritnya.

"Kalian tahu mengapa kalian dikumpul-

kan?"

"Tahu, Ketua...!" jawab Ninja-ninja terse-

but.

"Hem, bagus! Hari ini, adalah puncak dari 

Revolusi kita!" Taka Nata menerangkan. "Revolusi 

Ninja, yang kelak akan mengukir sejarah. Dan bi-

la kita berhasil, maka kalian akan menjadi orang-

orang yang disegani dan dihormati. Jadi, kalian 

hendaknya berjuang dengan sungguh-sungguh. 

Kalian harus percaya, bahwa akulah orang yang 

paling sakti di tanah Nippon ini!"


"Hidup Ketua Taka Nata...!"

"Hidup Samurai Iblis...!" 

"Nah, kalian akan dibagi menjadi dua 

bagian. Bagian pertama, ikut dengan Maitzo me-

nyerang kerajaan. Sedangkan bagian kedua, ikut 

dengan aku membuat kerusuhan."

Hari itu juga dua prajurit yang tergabung 

dalam Persekutuan Samurai Iblis dipecah menjadi 

dua bagian. Bagian pertama dengan dipimpin oleh 

Maitzo akan menyerang kerajaan, dan bagian ke-

dua yang dipimpin oleh Taka Nata, akan mem-

buat kerusuhan di dunia persilatan. Tujuan me-

reka hanya satu, menjadi pimpinan di setiap sek-

tor yang memegang peranan penting di tanah 

Nippon.

"Nah, sekarang juga, bagian yang ikut 

Maitzo berangkat! Serang kerajaan.... Bila perlu, 

bunuh Kaisar...!" suara Taka Nata berapi-api, 

memberikan semangat pada para prajuritnya. 

"Jangan kalian gagal, sebab kalian adalah orang-

orang berilmu tinggi. Gunakan segala cara untuk 

dapat menguasai kerajaan!" 

"Siiiiiiaaappp...!" jawab semuanya. 

"Maitzo berangkatlah!"

"Daulat, Pimpinan." Maitzo menjura, lalu 

pada prajuritnya ia pun berkata. "Prajurit...! 

Siiiiiaaaap! Kita jalan...!"

"Siiiiiaaaapp...!" jawab mereka.

Setelah memberikan penghormatan pada 

Taka Nata, maka hari itu juga anak buah Taka 

Nata yang dipimpin oleh Maitzo berangkat menuju 

arah Barat di mana kerajaan berada. Jarak kera


jaan dengan markas mereka memang cukup jauh. 

Seminggu bila ditempuh dengan jalan kaki, tapi 

bagi mereka tiada masalah. Di hati mereka yang 

ada hanyalah rasa ingin menang.

Taka Nata nampak sunggingkan senyum 

demi melihat sebagian pasukannya telah berjalan 

untuk menunaikan tugas. Sedangkan dia sendiri 

kini akan langsung mengepalai sebagian pasukan 

lainnya guna mengaco para pendekar.

Tak berapa lama kemudian, "Pasukan, kita 

berangkat! Kita jadikan wilayah sekitar kerajaan 

untuk ajang kita. Kita bikin semua penduduk re-

sah!"

"Akuuuuuuurrr...!" jawab semua Ninja.

Taka Nata kembali tersenyum, lalu dengan 

tanpa kata lagi ia pun melangkah pergi diikuti 

oleh anak buahnya. Tempat markas Samurai Iblis 

pun kini sepi, hanya tinggal tiga orang Ninja yang 

ditugasi untuk menjaganya.

* * *

"Masih jauhkah tempat pertemuan para 

Pendekar?" tanya Jaka pada kedua Panglima ke-

rajaan yang mengikutinya untuk menemui para 

Pendekar yang saat itu tengah berkumpul dalam 

usahanya mencari jalan keluar mengatasi Taka 

Nata.

"Kita tinggal memerlukan waktu dua hari 

perjalanan lagi, Tuan Pendekar," jawab Panglima 

pertama.

Terbelalak mata Jaka Ndableg demi men


dengar jawaban dari Panglima perang kerajaan 

tersebut. Hingga karena saking kagetnya, sampai-

sampai Jaka bergumam, "Dua hari per-

jalanan...?"

"Ya," jawab Panglima pertama lagi. 

"Apa tidak dapat dipercepat?"

"Tidak, Tuan."

Sebenarnya Jaka dapat saja mengambil ja-

lan cepat untuk mencapai tempat tersebut, bu-

kankah ia memiliki ilmu lari Angin Puyuh yang 

tiada tandingannya? Namun jika ia ingat bahwa 

dirinya sangat diperlukan oleh keempat orang 

Nippon tersebut, Jaka urungkan niatnya dan te-

tap menurut ikut bersama mereka.

"Kalau aku tahu tempatnya, tidak perlu 

aku harus meminta mereka menemaniku," Jaka 

membatin. "Tapi jika aku meninggalkan mereka, 

aku khawatir mereka akan mendapat tantangan 

dari para Ninja anak buah Tak Nata."

Kereta melaju dengan kencang, sehingga 

bila kereta tersebut berguncang, maka kelima 

orang yang berada di dalamnya pun ikut ter-

guncang-guncang pula.

"Tuan Pendekar, benarkah Jawa Dwipa 

terkenal dengan keramah-tamahan penduduk-

nya?" tanya Meimora memecahkan kebisuan.

"Benar," jawab Jaka.

"Tapi kami mendengar bahwa para Ninja 

hitam banyak yang mati oleh pendekar-pendekar 

Tanah Jawa," Panglima pertama menyambung se-

pertinya ingin mengetahui hal kebenaran cerita 

dari mulut ke mulut yang ia dengar. "Sebab me


nurut yang saya dengar. Para Ninja tersebut me-

nemui kematian di Tanah Jawa oleh para Pende-

kar Tanah Jawa."

Jaka tarik nafas panjang, sepertinya ingin 

menggambarkan pada mereka bahwa segalanya 

memang benar. Dan sebagai jawabnya Jaka kini 

tersenyum. Hal tersebut menambah keyakinan 

para sahabatnya yang berada di dalam kereta.

"Apakah Ninja-ninja tersebut atas perintah 

Kaisar?" tanya Jaka, seakan ingin mengorek beri-

ta yang mampu menjadi bukti.

"Bukan! Kaisar tadinya melarang, namun 

dikarenakan mereka memaksa, maka Kaisar pun 

meluluskannya," Panglima kedua menjawab, me-

wakili rekannya. "Sungguh, kami sebenarnya 

menganggap orang-orang Tanah Jawa sebagai 

saudara kami sendiri."

Jaka Ndableg angguk-anggukkan kepa-

lanya.

Kembali kebisuan menyelimuti, sepertinya 

perjalanan mereka tiada tersirat kegembiraan. 

Masih terbayang di benak mereka Ninja-ninja 

yang sewaktu-waktu akan menghadang perjala-

nan mereka. Namun bila keempat orang tersebut 

ingat bahwa di situ ada Jaka, maka keempatnya 

tampak aman.

Kereta terus melaju, menyusuri jalanan 

salju yang kian menebal hingga terasa kereta ja-

lan lamban. Roda-roda kereta nampak mencakar-

cakar, menjadikan lukisan garis tebal yang terte-

kan kuat. Rasa dingin terus menyelimuti, dan 

makin naik ke Gunung Fuji, hawa dingin makin


menjadi-jadi. Hal tersebut menjadikan keempat-

nya nampak menggigil, tinggal Jaka saja yang 

nampaknya tiada terpengaruh sama sekali, bah-

kan pendekar kita itu tanpa sehelai benang pun 

yang menutup tubuhnya.

"Dingin...?" tanyanya.

Keempat orang Jepang itu mengangguk, 

malah Meimora makin merapat tanpa malu-malu 

ke tubuh Jaka Ndableg. Jaka yang melihatnya se-

cara diam-diam salurkan hawa panas, menjadi-

kan ruangan kereta tersebut tiba-tiba menjadi 

hangat kembali. Hal tersebut menjadikan keem-

patnya terjerengah, mata mereka membeliak tak 

yakin pada keadaan seketika itu. Namun mana-

kala mereka memandang pada Jaka Ndableg yang 

masih terdiam, mereka pun kini sadar bahwa ka-

rena pendekar tersebut mereka merasakan ke-

hangatan. "Tentunya Pendekar muda ini yang 

memberikan kehangatan." gumam Panglima per-

tama dalam hati. Begitu juga dengan ketiga orang 

lainnya, mereka yakin bahwa Jakalah yang telah 

membuat hawa hangat di dalam kereta.

Tengah kereta melaju, tiba-tiba kuda-kuda 

penarik kereta meringkik. Kuda-kuda tersebut 

bagaikan ketakutan saja, angkat kaki-kaki mere-

ka dengan ringkikkan keras.

"Hanyeeee...! Hanyeeee...!" 

"Hai! Ada apakah, Kusir?" tanya Panglima 

kedua. "Sepertinya kuda-kuda itu ketakutan?"

Sang Kusir masih berusaha mengendalikan 

kuda-kudanya dengan menarik kaisnya kuat-

kuat. Namun nampaknya kuda-kuda itu benar


benar ketakutan hingga sang Kusir terpelanting 

jatuh. Melihat hal itu, secepat kilat Jaka Ndableg 

yang waktu itu tengah berkonsentrasi penuh sa-

lurkan hawa panas tersentak. Tanpa banyak kata 

segera Jaka pun berkelebat ke depan. Ditariknya 

kais, lalu berusaha mengendalikan kuda-kuda 

tersebut. Kedua mahluk itu pun saling tarik un-

tuk menentukan kemenangan emosi mereka. Na-

mun tampaknya tenaga Jaka jauh lebih besar, 

sehingga kuda-kuda tersebut pun dapat dihenti-

kannya

"Hia, hia...!"

"Hanyeeee....!" Kuda-kuda itu meringkik, 

lalu ambruk dengan nafas yang memburu, Jaka 

dengan cepat turun, periksa keadaan kuda yang 

kini tergeletak. Mata Jaka seketika terpancang 

pada tubuh kuda-kuda tersebut. Di tubuh kuda-

kuda itu kini tertancap dua senjata rahasia yang 

menjadikan lambang khusus para Ninja.

"Ninja...! Hem, ternyata mereka telah da-

tang ke mari." gumam Jaka dalam hati, diambil-

nya dua buah senjata berbentuk bintang tersebut, 

menjadikan kuda-kuda itu merintih kesakitan. 

Darah keluar dari tubuh kuda-kuda itu. Seketika 

kuda-kuda itu mengejang, lalu akhirnya mati ter-

golek. Dengan ambruknya kuda-kuda tersebut, 

maka ambruk pula kereta yang mereka tumpangi. 

Seketika keempat orang yang berada di dalam 

pun melompat ke luar.

"Ada apa, Tuan Pendekar?" tanya mereka.

Jaka tunjukkan senjata rahasia di tangan-

nya. "Ninja-ninja itu kini berada di sekitar tempat


ini, maka hati-hatilah."

"Seraaaang!" kedua Panglima itu cabut sa-

murainya. "Kita harus menumpasnya!" Panglima 

pertama berkata, langkahkan kaki hendak men-

cari. Namun sebelum jauh, dengan cepat Jaka 

pun melarangnya.

"Tuan Panglima, jangan!"

"Kenapa, Tuan Pendekar?" tanya keduanya, 

sedangkan Meimora yang nampak ketakutan kini 

makin menempel dekat dengan Jaka, Meimora 

kini benar-benar merasakan bahwa dia sangat 

membutuhkan diri pendekar muda tersebut. "Bu-

kankah mereka harus dibasmi?" lanjut Panglima 

kedua.

"Benar! Tapi bukan cara nekad seperti ka-

lian! Kalian tentu tidak mau menjadi korban se-

perti kuda-kuda ini, bukan?" Jaka kembali berka-

ta, menyadarkan kedua Panglima Perang tersebut 

yang seketika itu juga menurut dan balik ke tem-

patnya.

"Suuuuuuiiiiiiittttt.....!"

Suitan terdengar panjang, yang menjadi-

kan kelima orang tersebut belalakkan mata.

"Hati-hati, mereka datang!" ucap Jaka. 

"Benar, Tuan. Aku rasa, mereka sebentar 

lagi tunjukkan diri mereka!" Panglima kedua 

nampak menggertak marah. Kekesalannya atas 

tindakan-tindakan Ninja yang telah berusaha me-

rongrong kerajaan membuatnya tak mampu me-

nahan kekesalannya. Sebagai pembela kerajaan, 

jelas ia sangat membenci tindakan-tindakan para 

Ninja tersebut. "Hem, jangan harapkan kami akan


membiarkan mereka hidup!" tambahnya.

Ketiga pendekar itu nampak memasang 

mata tajam ke arah datangnya suara suitan ter-

sebut. Kedua Panglima kerajaan tersebut telah 

siap dengan samurainya, sementara Jaka Ndableg 

nampak masih berusaha tenang. Pedang Siluman 

Darah masih tergantung di dalam sarungnya di 

pundak, hanya mata dan telinga Jaka saja yang 

tajam memperhatikan sekelilingnya.

"Suuuuuuuiiiiiitttt...!" kembali terdengar 

suitan panjang, dan bersamaan itu berkelebat so-

sok-sosok bercadar ala Ninja mengurung mereka. 

Namun orang-orang ini jelas menunjukkan per-

bedaan para Ninja yang menjadi anak buah Tak 

Nata. Kalau biasanya anak buah Taka Nata 

menggunakan pakaian serba hitam, akan tetapi 

orang-orang ini terdiri dari beraneka ragam pa-

kaiannya. Hal tersebut menjadikan kedua Pan-

glima kerajaan makin kebingungan, menjadikan 

Jaka yang melihatnya sempat terheran-heran dan 

bertanya.

"Apa yang menjadikan Tuan Panglima ter-

kejut?"

"Mereka bukan anak buah Taka Nata," ja-

wab Panglima pertama.

"Ah, mengapa bisa begitu?" Jaka belum 

mengerti.

"Kau bisa lihat, Tuan. Bukankah pakaian 

mereka menunjukkan corak lain?"

Jaka Ndableg pandang tajam orang-orang 

Ninja yang jumlahnya mencapai lima puluh orang 

tersebut. Memang pakaian mereka beraneka ra


gam. Hal itu memang berlainan dengan pakaian 

yang biasa dikenakan oleh Ninja anak buah Sa-

murai Iblis yang selalu menggunakan warna hi-

tam legam.

"Mungkin ini sebuah taktik," Jaka berkata 

pada diri sendiri dalam hati. "Dari cara-cara me-

reka keluar, jelas cara mereka sama persis. Hem, 

jangan kira aku mudah kalian kibuli."

"Bajero! Seraaaanggg....!" terdengar teria-

kan pimpinan Ninja.

"Hiiiiiiiiaaaaatttttt...!" 

Seketika kelima puluh Ninja tersebut ber-

kelebat menyerang ke arah mereka. Samurai-

samurai di tangan mereka bagaikan haus darah 

membabat ke arah lawan. "Wuuuuttt...!"

Jaka Ndableg tersentak, elakkan serangan 

dan segera melompat ke arah Meimora yang nam-

paknya ketakutan tanpa dapat berbuat apa-apa. 

"Tenang, Nona. Kau jangan khawatir dan takut, 

aku akan berusaha menjagamu. Nah, aku akan 

mengambil pedang mereka."

Jaka kembali berkelebat menyerang.

"Wuuuuuutttt...!"

"Wuuuuuuuttttt...!" 

Dua orang Ninja menyerang ke arahnya, 

segera Jaka Ndableg elakkan. Tubuhnya dorong 

ke samping hingga samurai Ninja tersebut men-

desing di samping tubuhnya. Habis mengelak, se-

gera Jaka ayunkan kakinya menendang.

"Hiiiiiaaattt....!"

"Wet! Dest...!"

Tendangan kaki Jaka telak menghantam


ulu hati Ninja tersebut, menjadikan salah seorang 

yang terkena seketika terpental dengan dada re-

muk. Hal itu menjadikan rekannya tersentak ka-

get, yang segera babatkan samurainya untuk me-

lindungi diri dari serangan tendangan kaki Jaka 

Ndableg.

"Wuuuuutttt...!"

Samurai melesat, membabat ke arah kaki 

Jaka yang mengayun. Namun rupanya serangan 

Jaka bersifat pancingan belaka. Manakala samu-

rai lawan membabat, segera Jaka pun tarik kem-

bali kaki kanannya diganti dengan jotosan tangan 

kiri serta sikut. "Wes...!" 

"Dug! Bug...!"

"Ayaaaa...!" Ninja itu menjerit, tulang pi-

pinya terasa remuk tersikut dan terpukul tangan 

Jaka. Belum Ninja itu roboh, segera Jaka rebut 

samurainya.

"Ini Nona, kau perlu jaga diri." Jaka lem-

parkan samurai ke arah Meimora yang dengan 

cepat menangkapnya. Dengan samurai di tangan-

nya Meimora bagaikan orang kalap, dengan liar 

dan penuh kemarahan Meimora pun berkelebat 

menyerang para Ninja tersebut. Babatan samu-

rainya begitu liar, dengan jeritan-jeritan pelam-

pias kemarahan yang terus keluar dari mulutnya. 

Diincarnya salah seorang dari empat orang yang 

ia kenal adalah mereka yang memperkosanya. 

Dari suara orang itu, Meimora tahu bahwa orang-

orang itulah yang dulu memperkosanya. Juga da-

ri tatapan mata mereka, yang tiada terputus-nya 

memandang ke arahnya.


ulu hati Ninja tersebut, menjadikan salah seorang 

yang terkena seketika terpental dengan dada re-

muk. Hal itu menjadikan rekannya tersentak ka-

get, yang segera babatkan samurainya untuk me-

lindungi diri dari serangan tendangan kaki Jaka 

Ndableg.

"Wuuuuutttt...!"

Samurai melesat, membabat ke arah kaki 

Jaka yang mengayun. Namun rupanya serangan 

Jaka bersifat pancingan belaka. Manakala samu-

rai lawan membabat, segera Jaka pun tarik kem-

bali kaki kanannya diganti dengan jotosan tangan 

kiri serta sikut. "Wes...!" 

"Dug! Bug...!"

"Ayaaaa...!" Ninja itu menjerit, tulang pi-

pinya terasa remuk tersikut dan terpukul tangan 

Jaka. Belum Ninja itu roboh, segera Jaka rebut 

samurainya.

"Ini Nona, kau perlu jaga diri." Jaka lem-

parkan samurai ke arah Meimora yang dengan 

cepat menangkapnya. Dengan samurai di tangan-

nya Meimora bagaikan orang kalap, dengan liar 

dan penuh kemarahan Meimora pun berkelebat 

menyerang para Ninja tersebut. Babatan samu-

rainya begitu liar, dengan jeritan-jeritan pelam-

pias kemarahan yang terus keluar dari mulutnya. 

Diincarnya salah seorang dari empat orang yang 

ia kenal adalah mereka yang memperkosanya. 

Dari suara orang itu, Meimora tahu bahwa orang-

orang itulah yang dulu memperkosanya. Juga da-

ri tatapan mata mereka, yang tiada terputus-nya 

memandang ke arahnya.


Jaka sebenarnya sangat meragukan tinda-

kan Meimora yang nampaknya begitu nekad. Na-

mun untuk menghalangi atau mencegah, jelas 

Jaka tidak berani. Ia yang menghargai setiap 

emosional orang lain yang terdorong oleh faktor 

kebencian dan dendam sukar untuk bertindak. Ia 

juga tidak ingin dikatakan sebagai seorang yang 

terlalu meninggi diri. Namun bila dibiarkan berla-

rut-larut, jelas hal ini akan menjadikan bahaya 

bagi diri Meimora.

Jaka Ndableg terus mencoba menuju ke 

arah di mana Meimora dan Kusir kereta yang 

bernama Takasima Jucaba yang kini tengah 

membabi buta menyerang musuh.

"Wuuuuuutttt...!"

Jaka Ndableg tersentak manakala sebuah 

samurai lawan berkelebat menyerang. Hampir sa-

ja tubuhnya menjadi sasaran, kalau saja Jaka ti-

dak segera lompat ke belakang. Demi dua orang 

tersebut, kini Jaka Ndableg harus melompat-

lompat bagaikan katak melepaskan terkaman ular 

beracun. Samurai lawan-lawannya terus mencer-

ca menjadikan Jaka harus menepiskan perha-

tiannya pada kedua orang tersebut.

"Wuuuuutttt...!" kembali samurai lawan 

menderu.

Jaka miringkan tubuh, tangkis serangan 

dengan kebatan tangannya yang mampu menim-

bulkan angin besar. Kelima Ninja penyerangnya 

tersentak, tarik serangan mundur. Hal tersebut 

tidak disia-siakan Jaka, yang dengan segera kem-

bali mencercanya dengan serangan kilat pukulan



Dewa Badai.

"Hiiiiiiaaaatttt...!"

"Wuuuuuttt...!"

Tangan Jaka bergerak memutar, lalu den-

gan cepat bergerak lurus ke arah lima orang mu-

suhnya.

"Wuuuuussss...!" Angin menderu, manaka-

la tangan Jaka mengkiblat ke arah musuh. Angin 

itu untuk kedua kalinya menggoyahkan kelima 

musuhnya. Kelima Ninja itu seketika tersurut 

mundur, mata mereka melotot kaget. Namun be-

lum juga mereka mampu berbuat, dengan cepat 

Jaka sodokkan kaki kanannya menendang den-

gan gaya Elang Mencakar.

"Wuuuuuttt..!"

"Dest....!"

"Bret...!"

"Aaaaaaaaaaaaaaa...!" satu dari kelimanya 

memekik, manakala sepatu Jaka menghantam 

perutnya. Perut Ninja itu seketika koyak dan da-

rah pun menyembur ke luar. Keempat rekannya 

tersentak, namun dengan cepat keempatnya 

kembali menyerang Jaka. Dibabatkannya samurai 

mereka ke arah Jaka.

"Wuuuuuttt!" 

Empat samurai itu kembali mencerca, na-

mun Jaka bagaikan tidak ada mengalami kesuli-

tan dengan cepat mengelak. Sementara keempat 

rekannya yang juga masih bertarung nampak 

mengalami kesulitan. Keempat orang tersebut wa-

laupun membabi buta, namun mereka tidak me-

nyadari kalau serangan mereka yang membabi


buta itu malah menjadikan tenaga mereka berku-

rang. Hal itu diketahui musuh, yang dengan cepat 

merangseknya. 

Dua Panglima perang kerajaan seperti ti-

dak mau mengalah begitu saja. Samurai di tan-

gan keduanya yang memang jago-jago dalam 

penggunaan samurai terus menderu-deru menye-

rang balik. Namun dikarenakan tenaga mereka te-

lah terkuras, menjadikan mereka kini bagaikan 

singa yang ompong. Serangan mereka makin lama 

makin melemah, bahkan kini tiada arti sama se-

kali.

"Wuuuuuutttt...!"

"Trang!"

Samurai di tangan Panglima pertama men-

tal, tertangkis oleh pimpinan Ninja yang dengan 

keenam anak buahnya menyerang.

"Ah...!" Panglima pertama memekik, me-

lompat mundur hindari serangan.

Namun rupanya pimpinan Ninja itu tidak 

mau memberikan kesempatan sedikit pun pada 

Panglima tersebut. Dengan samurainya ketujuh 

Ninja itu terus mencerca Panglima pertama yang 

hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuh-

nya.

"Bahaya...!" Jaka berseru dalam hati, sege-

ra dengan cepat ia kibaskan tangannya menye-

rang dengan maksud merampas salah sebuah 

samurai musuh. 

"Wuuuuuttt...!" 

"Yap!"

"Tap...!"

Jaka dengan gerak cepat rampas samurai 

lawan, sehingga orang tersebut beliakkan mata 

kaget. Betapa pun, gerakan Jaka yang begitu ce-

patnya sukar diikuti atau dielakkan oleh musuh. 

Dan bukan hanya orang tersebut saja yang kaget, 

akan tetapi kelima orang temannya juga membe-

liakkan mata juga. Belum juga kelimanya sempat 

hilang kagetnya, segera Jaka pun hantamkan 

tangannya dengan Jurus Tangan Dewa Menghan-

tam Karang. Gerakan tangan Jaka begitu cepat, 

menjadikan tangannya bagaikan berubah banyak.

"Wuuuutt! Wuuuuuttt...!"

"Bug! Bug! Bug....!"

Lima kali suara hantaman menggema, dan 

lima kali itu pula tangan Jaka mendarat ke muka 

musuhnya. Seketika kelima musuhnya menjerit, 

berguling-guling di atas tanah bersalju yang din-

gin. Melihat musuhnya dapat dikalahkan, Jaka 

bermaksud membantu keempat rekannya, namun 

belum juga Jaka mampu bertindak, tiba-tiba ter-

dengar pekikkan menyayat.

"Wuaaaaaa...!"

"Wuuuuttt...!" 

"Breett...!"

Panglima pertama menjerit, samurai lawan 

telah mampu membeset tubuhnya. Seketika tu-

buh Panglima pertama goyah, sempoyongan den-

gan perut menganga oleh besetan samurai

Jaka yang melihatnya begitu gusar, se-

hingga dengan penuh amarah dicabutnya Pe-

dang Siluman Darah. 

"Sraaaangg...!"


"Bedebah! Kalian memang harus mampus, 

hiiiiaaaattt....!"

Jaka melompat ke arah Panglima pertama 

yang telah terhuyung-huyung dengan wajah pu-

cat. Namun begitu para Ninja tersebut tiada hen-

tikan serangannya. Kembali Samurai-samurai 

mereka membabat tubuh Panglima pertama.

"Wuuuuutttt,..!" 

"Cras! Cras! Cras....!" 

"Wuuuuaaa...!" Tiga kali samurai ketiga 

Ninja itu menggores tubuh Panglima pertama, 

menjadikan Panglima pertama benar-benar tak 

mampu pertahankan nyawanya. Panglima perta-

ma yang telah banyak mengeluarkan darah am-

bruk seketika.

"Bajero kerajaan! Mampus! 

Hiiiiiaaaatttt....!" Samurai para Ninja yang 

mengeroyok Panglima hendak mengakhiri hidup-

nya, manakala dengan cepat Jaka berkelebat. 

"Bangsat! Hiaaaaattttt....!"

"Wuuuuuusssss....!" 

"Trang! Trang! Trang....!" Enam kali ter-

dengar beradunya suara benda-benda logam.

Keenam Ninja yang tadinya bermaksud 

mencincang tubuh Panglima seketika melompat 

mundur. Mata mereka membeliak, tatkala melihat 

samurai-samurai di tangannya. Samurai-samurai 

di tangan mereka puntung menjadi dua.

"Kalian harus mampus! Hiaaat.....! "

"Ah...! Mundur...,!" 

Jaka yang sudah marah oleh rasa tang-

gung jawabnya untuk melindungi Panglima tak


hiraukan keenam Ninja yang tersentak kaget. Dan 

manakala keenamnya hendak mundur, dengan 

ganas dan cepat Jaka babatkan Pedang Siluman 

Darahnya. Gerakan Pedang Siluman Darah yang 

mempunyai kekuatan magis itu begitu cepat, se-

hingga sukar bagi keenamnya untuk menge-

lakkannya.

"Wuuuuutttt...!"

Pedang Siluman darah menderu, lalu...!

"Wuuuuuuaaaa...!" keenam orang itu me-

mekik, tubuh mereka seketika ambruk. Tubuh 

mereka sesaat kejang, sebelum akhirnya tidak 

berkutik dan mati. Kepala mereka tanggal, den-

gan darah yang telah mengering terhisap oleh Pe-

dang Siluman Darah.

Jaka bermaksud menolong Panglima per-

tama, namun belum juga berhasil, terdengar pe-

kikkan dari arah lain. Dan manakala Jaka me-

nengok, tampak tukang Kusir saat itu menjadi 

bulan-bulanan para Ninja. Tubuh Tukang Kusir 

itu terbeset-beset oleh sabetan-sabetan samurai 

di tangan Ninja-ninja tersebut. Darah Jaka Ndab-

leg benar-benar mendidih. Bersamaan dengan 

ambruknya tubuh Kusir kereta, seketika itu pula 

Jaka yang memegang Pedang Siluman Darah me-

lompat menyerang. 

"Bedebah! Hiiiiaaaattt...!"

Ketujuh Ninja yang mengeroyok Tukang 

Kusir itu tersentak, palingkan muka memandang 

pada teriakan seseorang yang berada di bela-

kangnya. Namun ketika mereka menengok, den-

gan cepat Jaka yang sudah benar-benar marah


babatkan Pedang Siluman Darahnya. Dua orang 

dari mereka dapat meloloskan diri, namun lima 

orang lainnya tanpa mampu menghindar. Hing-

ga...! 

"Wuuuuuttt...!" 

"Dest...!"

"Cras! Cras! Cras!" 

"Wuuuuaaaaaaaa...!"

Lima orang Ninja puntung kepalanya, ter-

golek lepas dari leher. Mata kelima orang Ninja itu 

membeliak, sepertinya mereka tiada kuat mena-

han siksa manakala Pedang Siluman Darah 

membabat leher mereka. Dua orang lainnya sege-

ra nekad menyerang, sebatkan samurai ke arah 

Jaka. 

"Bajero! Hiiiaaata....!"

"Wuuuuttt...!"

Jaka melompat mundur, lalu dibalasnya 

serangan mereka dengan Pedang Siluman Darah. 

"Wuuuuttt...!"

"Trang...!" 

"Prak! Prak!" Dua pedang samurai di 

tangan musuhnya patah, manakala keduanya 

bertemu dengan Pedang Siluman Darah di tangan 

Jaka. Belum juga keduanya hilang kaget, dengan 

cepat Jaka kembali babatkan pedangnya ke arah 

mereka.

"Wuuuuut...!" Gerakan Pedang Siluman 

Darah yang cepat sukar untuk dihindari mereka. 

Hingga tanpa ampun lagi...

"Cras! Cras....!" 

"Wuuuuuaaaa...!" kedua orang Ninja itu


memekik untuk yang terakhir, sebelum kemudian 

tubuh mereka terkulai dengan tubuh puntung 

menjadi dua. Dua puluh lima lebih, dan bahkan 

kini tiga puluh dua lebih Ninja-ninja tersebut me-

nemui ajalnya di tangan Jaka Ndableg. Sedang-

kan Panglima kedua telah menewaskan tujuh 

orang Ninja, sementara kini Meimora tampak 

menghadapi musuh-musuh yang bukan semba-

rangan. Keempat orang Ninja tersebut yang telah 

memperkosanya serta membunuh keluarganya. 

Tekad di hati Meimora untuk membunuh keem-

patnya, seakan tiada bakal tercapai. Dan kini ma-

lah dirinya sendiri yang terdesak hebat. 

"Wuuuuutt...!"

Samurai di tangan keempat Ninja tersebut 

menyabet ke arah tubuh Meimora.

"Ah...!" Meimora tersentak. 

"Bret...!"

Beruntung Meimora masih mampu melom-

pat mundur, kalau tidak, tentunya daging perut-

nya akan terbeset. Namun tak urung, kini pa-

kaiannya yang tersobek lebar, menjadikan keem-

pat Ninja tersebut kini memandang ke arah tubuh 

yang sensitif itu dengan liar. Keempatnya kini te-

ringat kembali akan apa yang pernah mereka la-

kukan.

"Hua, ha, ha...! Nona, janganlah engkau ga-

lak-galak. Lebih baik menurutlah dengan kami!" 

salah seorang dari keempatnya berkata, kakinya 

melangkah mendekat. Tangannya perlahan hen-

dak membeset makin lebar sobekan kain Meimo-

ra. Namun belum juga tangan itu berhasil, tiba


tiba sebuah bayangan berkelebat. 

"Wuuuuuusssttt...!" 

"Wuuuuutttt...!"

"Cras! Cras! Cras...!" Sebuah sinar kuning 

kemerah-merahan berkelebat membabat tangan 

orang tersebut. Tanpa dapat dihindari, sehingga 

tangan orang tersebut pun seketika puntung. 

Orang itu pun menjerit menahan sakit, darah 

muncrat dari tangan yang puntung. Dan mungkin 

karena terlalu banyak darah keluar, menjadikan 

orang tersebut seketika itu pula pingsan.

Melihat semuanya jatuh, tiga Ninja lainnya 

dengan segera mendekap tubuh Meimora.

"Mundur engkau, atau Nona ini yang akan 

kami gorok, hah!"

Mendengar ancaman orang yang menyan-

dera Meimora, Jaka nampak hentikan langkah-

nya. Sementara ketiga Ninja itu perlahan menyu-

rut mundur dengan masih menyandera tubuh 

Meimora. Kini Jaka benar-benar serba salah ha-

rus berbuat apa. "Hem, jangan kira aku akan 

membiarkan kalian bertindak semaunya," gerutu 

Jaka dalam hati. Dipalingkan mukanya meman-

dang pada Panglima kedua yang kini masih dike-

royok oleh sepuluh Ninja.

"Aku akan membantu Panglima dulu, baru 

nanti mengejar mereka!"

Bagaikan tidak memperdulikan Meimora 

yang meronta-ronta minta tolong, Jaka Ndableg 

berkelebat menuju ke tempat pertarungan Pan-

glima. 

"Jakaaaaaaaa.... Toloooooonggg...!" Meimo



ra terus berteriak-teriak sambil memberontak. 

Namun ketiga Ninja itu bagaikan tiada perduli, 

dan terus saja mereka menyeret tubuh Meimora 

pergi.

Konsentrasi Jaka kini bercabang, antara 

membebaskan Meimora dengan membantu Pan-

glima. Hingga pada saat sebuah samurai lawan 

yang tiba-tiba menyerangnya berkelebat memba-

bat, tanpa ampun lagi Jaka Ndableg tak dapat 

hindari.

"Wuuuuuuttttt...!"

"Sreeeettt...!"

"Aaaah...!" Jaka memekik, dilihatnya pun-

dak tangan kanannya terbeset, darah mengucur 

ke luar. Kemarahan Jaka Ndableg seketika mem-

bludak. Hingga karena marahnya, sampai-sampai 

Jaka keluarkan Ajian Banyu Geni tingkat pa-

mungkas. "Goooooaaaaarrrr...!" suara Jaka mem-

bahana, bersamaan dengan itu, tubuhnya beru-

bah menjadi Dewa Api.

Terbelalak semua yang mencoba menge-

royok Panglima kedua, manakala melihat Jaka te-

lah berubah menjadi Dewa Api. Api seketika me-

nyambar-nyambar tubuh ketujuh Ninja tersebut. 

Tujuh Ninja itu segera melompat mengelak, na-

mun tidak urung, satu di antara mereka kena ju-

ga.

"Wuuuuusssss...!"

"Bias...!"

"Wuuuuuuaaaaaa..,.!" orang yang terkena 

memekik, tubuhnya seketika terbakar. Melihat 

kepanikan keenam Ninja lainnya, dengan cepat


Panglima kedua serang mereka. Tanpa ampun la-

gi, keenam Ninja yang kini tengah kalut oleh Jaka 

Ndableg tanpa dapat menangkis serangan Pan-

glima yang cepat. Samurai di tangan Panglima 

kedua berkelebat, dan... "Wuuuuuuaaaaa....!"

Dua Ninja menjerit, terbabat samurai di 

tangan Panglima.

"Wuuuuuuuaaaaa...!"

Bareng dengan dua rekannya yang menjerit 

terbabat samurai di tangan Panglima Perang ke-

dua, dua rekannya juga menjerit dengan tubuh 

terbakar api Dewa Api. Kini tinggal dua orang 

Ninja yang tertinggal. Dua Ninja itu kini benar-

benar ngeri dan gentar menghadapi Dewa Api. 

Keduanya hendak lari, namun api dari mulut De-

wa Api tiba-tiba menghantam tubuh mereka. 

"Wuuuussss....!"

"Besssttt...!"

"Wuuuuuaaaaaaa.....!" Keduanya menjerit. 

Tubuh mereka terbakar oleh Inti Api. Mereka 

mencoba memadamkannya dengan berguling-

guling di atas salju, namun ternyata api yang ter-

cipta oleh intinya. Karena mereka terus berguling, 

hingga mereka tidak menyadari bahwa tubuh me-

reka semakin mendekati jurang. Dan manakala 

mereka terus berguling, tubuh mereka pun seke-

tika terjatuh ke bawah jurang.

"Aaaaaaaaaa...!"

Dan akhirnya habis tertelan dalamnya ju-

rang Fuji.

Sementara itu Jaka telah kembali dalam 

bentuk asalnya.



"Kau tidak apa-apa, Tuan Panglima?"

"Tidak, Tuan Pendekar."

"Kita harus menolong Nona Meimora," ucap 

Jaka.

"Benar! Ayo kita memburu mereka!"

Dengan segera keduanya pun berkelebat 

menuju ke arah di mana ketiga Ninja tersebut 

menuju. Namun ternyata jejak Ninja-ninja itu kini 

telah hilang entah ke mana, menjadikan Jaka be-

nar-benar mengalami kekesalan. Jaka tahu apa 

yang akan dilakukan ketiga Ninja tersebut pada 

Nona Meimora.

"Kita cari berpencar," Jaka menyarankan.

"Baiklah!" jawab Panglima kedua.

"Hati-hati, Panglima!" 

Jaka kemudian berkelebat pergi dengan 

mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang 

ditempuh Panglima kedua. Senja pun telah da-

tang, terbukti hari tampak remang-remang. Salju 

turun dengan derasnya, membasahi alam itu 

dengan damai nan bisu. 

***

TIGA



Di kerajaan, nampak Kaisar dengan didam-

pingi oleh para sesepuh istana tengah mengada-

kan rapat yang membahas tentang usaha-usaha 

untuk mengakhiri sepak terjang Taka Nata si Iblis 

Nippon. Sang Kaisar nampak duduk dengan

agungnya di singgasana, sementara para sesepuh 

istana berdiri di samping kiri dan kanannya. Se-

dangkan para Panglima Perang dan Perdana Men-

trinya duduk di bawah, di atas permadani.

"Taka Nata dan perkumpulannya samurai 

Iblis harus segera di hentikan," Kaisar membuka 

kata, sementara yang lainnya nampak hanya ter-

diam tiada berkata. "Bagaimana menurut penda-

patmu, Kakek Meizora?"

Meizora terdiam, dia adalah sesepuh utama 

Kaisar yang telah mengabdi pada Kaisar hampir 

dua puluh lima tahun. Dan selama itu pula Mei-

zora tiada pernah membuat kesalahan dalam me-

nentukan tindakan yang dianggap benar.

"Hamba rasa, kita perlu secepatnya me-

nangkapi mereka," jawab Meizora setelah terdiam 

beberapa lama. "Kalau kita tidak segera bertin-

dak, hamba takut mereka akan mendahului."

Sang Kaisar termangu-mangu mendengar 

ucapan Meizora.

"Lalu rencana apa yang hendak kita laku-

kan, Kek?" tanya Kaisar kembali.

"Besok sebelum mentari musim panas 

muncul, kita harus segera melakukan penyerga-

pan!"

Terbelalak mata semua yang hadir, mereka 

tidak menyangka kalau harus segera menerima 

perintah yang mendadak tersebut.

"Apakah tidak terburu-buru, Kek?" kembali 

Kaisar bertanya.

"Aku rasa tidak, Kaisar." 

"Hem, bagaimana dengan Perdana Mentri?"


Kaisar bertanya pada Perdana Mentrinya. "Apa-

kah siap untuk menjalankannya?"

"Kami selalu siap membela Kaisar," jawab 

Perdana Mentri. 

"Baiklah kalau begitu," Sang Kaisar tampak 

terdiam berpikir menganalisa kembali apa yang 

menjadi saran Meizora. Memang Meizora selama 

ini mempunyai wawasan yang jitu. Tetapi, untuk 

mengadakan peperangan tidak begitu mudah. Bi-

aya peperangan bukanlah sedikit. Hal itu yang 

kini menjadi pemikiran sang Kaisar. Kaisar me-

mang terkenal kikirnya, sehingga banyak orang-

orang istana yang membenci dirinya termasuk Ke-

tiga Naga dan Taka Nata.

Tengah semuanya sepi karena tiada seo-

rang pun yang berani, dari luar terdengar suara 

riuh. Beberapa orang prajurit nampak berserabu-

tan dengan senjata di tangan masing-masing.

"Musuh menyerang...!"

Terkejut semua yang hadir demi menden-

gar seruan tersebut, lebih-lebih sang Kaisar. Ter-

nyata dugaan yang dijadikan argumentasi Eyang 

Meizora benar adanya, bahkan lebih cepat dari 

dugaannya. 

"Siapkan pasukan, kita balas serangan me-

reka!" Kaisar pelit yang membuat banyak orang 

yang memusuhinya, akhirnya memberikan perin-

tah. Kini rasa takut lebih banyak menyadarkan 

dirinya bahwa segalanya memang harus dilaku-

kan. "Cepat! Laksanakan...!" 

"Daulat, Kaisar!" Perdana Mentri segera 

laksanakan tugasnya, ia segera berkelebat ke

luar. Di luar telah menanti para prajurit Pendekar 

Samurai, menanti dirinya dan sekaligus menanti 

perintahnya. 

"Paman Mentri, bagaimana ini?" tanya para 

prajuritnya dengan rasa was-was. Musuh seben-

tar lagi akan tiba, sehingga tanpa dapat mereka 

mempersiapkan segalanya. "Musuh sebentar lagi 

datang!"

"Siapkan seluruhnya, kita sambut mereka. 

Kaisar mengijinkan kita perang...!" 

"Benarkah, Paman Mentri?" Tanya mereka 

tidak yakin.

"Aku bicara atas Kaisar...!" 

"Horeeeeee...! Ganyang musuh...!" Bagaikan 

minyak mendapatkan api, seketika semua prajurit 

itu bersorak gembira. Dengan samurai di tangan, 

mereka pun tanpa dipimpin bergerak maju untuk 

menghadang prajurit Ninja. Tekad di hati mereka 

hanya satu, menunjukkan darma bakti pada Kai-

sar yang mereka anggap turunan Dewa.

Dua pasukan itu seketika bertemu, lalu 

ambruk menjadi satu dalam kancah peperangan. 

Ya, peperangan tidak dapat dihindari lagi oleh 

mereka. Nyawa kini tiada arti, bertumpah rumpah 

untuk membela idiologi masing-masing.

Alun-alun kerajaan Nippon kini benar-

benar membara, diikuti oleh pekik jeritan orang-

orang yang meregang nyawa. Senjata kini yang bi-

cara, bukan lagi mulut-mulut mereka. Itulah pe-

rang, yang melupakan segalanya. Di antara itu, 

semuanya tiada memandang siapa mereka. Entah 

itu keturunan Brahmana, Satria, maupun Sudra.


Yang ada di tempat perang hanyalah kemenangan 

atau kematian yang akan menjadikan diri mereka 

berubah segalanya. "Hiiiiiiaaaattt...!" 

"Ganyang musuh...!" 

"Wuuuuutttt...!" 

"Wuuuuttt...!" 

"Trang! Trangg...!" Senjata-senjata tradi-

sional mereka yang lebih banyak menggunakan 

samurai saling beradu, memercikkan amarah 

dan dendam serta nafsu saling membunuh, dan 

memang itulah ketentuan perang. "Aaaah...!"

Tubuh-tubuh yang menjadi korban, seakan 

tiada arti. Tubuh-tubuh itu terinjak, bahkan ter-

tendang-tendang oleh teman maupun lawan yang 

masih hidup. Dua kekuatan yang jumlahnya ti-

dak seimbang itu terus saling serang dan berusa-

ha mendesak. Namun walaupun jumlah Ninja pe-

nyerang itu kecil, tapi semangat di hati merekalah 

yang menjadikan Ninja-ninja tersebut bagaikan 

kesetanan. Samurai-samurai di tangan mereka 

bagaikan memiliki mata, membabat ke sana ke 

mari.

"Wuuuuttt...!"

"Bajero!"

"Anjing Kaisar! Aku bunuh kau, hiaaaat...!"

Dua orang Panglima Perang dari kedua pa-

sukan itu kini saling berhadap-hadapan. Kedua-

nya kini telah siap untuk mempertaruhkan nyawa 

mereka demi segala cita-cita. Bagi para Ninja, je-

las keinginan mereka untuk dapat menggulingkan 

Kaisar, sedangkan bagi para Pendekar Samurai, 

tugas lebih utama. Mereka ingin membuktikan


pada Kaisar mereka akan kesetiaan mereka

"Ninja sinting! Aku lumatkan kalian!"

"Wuuuuuuuutttt....!" Samurai-samurai 

mereka saling berserabutan, menyerang dengan 

membabi buta. Dalam pertempuran ini, tidak 

akan ada artinya lagi kehebatan individu, semua 

tercurah pada kekuatan persatuan yang kokoh. 

Dengan persatuan mereka akan menang, sedang-

kan dengan bercerai berai tentunya sukar untuk 

menang, walau jumlahnya lebih besar.

* * *

Kita tinggalkan pertempuran yang terjadi di 

kerajaan, dan kita lihat di tempat para pendekar 

tengah mengadakan pertemuan. Tidak ubahnya 

ke kerajaan, di tempat itu juga tampak tengah 

terjadi pertarungan dua kekuatan. Antara para 

pendekar yang sedang mengadakan rapat yang 

sudah berjalan hampir tiga hari, dengan para 

anak buah Taka Nata yang tergabung dalam sa-

murai Iblis.

Guru besar Ninja yang pro dengan Kaisar 

nampak kini bertarung menghadapi Taka Nata. 

Sementara itu, Takasima yang tadinya memihak 

gurunya, kini juga memusuhi. Bagaimana pun 

juga, Takasima juga mempunyai tujuan yang sa-

ma dengan Taka Nata. Di samping itu pula, kedua 

pendekar Ninja tersebut merupakan saudara se-

darah. Jadi jelaslah kalau Takasima memihak pa-

da Taka Nata yang masih saudara sepupu.

"Takasima penghianat!" bentak Murid Uta


ma Ninja, yang marah demi melihat Takasima 

memihak Taka Nata. "Sudah aku duga, kalau ak-

hirnya engkau memang memihak saudaramu!"

Dua orang kakak beradik seperguruan itu 

kini saling gempur untuk mempertahankan keya-

kinan masing-masing. Takasima tidak mau begitu 

saja mengalah, apalagi hal ini menyangkut cita-

citanya untuk dapat pergi ke Tanah Jawa.

"Kau yang anjing Kaisar! Kau tidak meng-

hormati leluhur! Juga guru kita!" balas Takasima 

tak kalah marahnya. "Kalian semua Ninja peng-

hianat! Ninja yang mau tunduk pada Kaisar demi 

uang!"

"Bangsat! Aku rencah kepalamu, Takasi-

ma!"

"Aku sudah siap Penghianat! Hiaaatt...!"

Takasima terus berkelebat, babatkan sa-

murainya. Takasima merupakan murid terkasih 

Maha Guru Fujita, sehingga dapat dipastikan ka-

lau ilmu Takasima bukanlah ilmu sembarangan. 

Maka kakak seperguruannya yang kini menjadi 

musuh sangat berhati-hati menghadapi Takasi-

ma.

Pertempuran terus berjalan, apalagi den-

gan kehadiran Taka Nata. Kehadiran Taka Nata 

mampu memberikan semangat tinggi bagi para 

Ninja.

"Seraaaaaaannnnggg...!"

Suara Taka Nata membahana, dan dengan 

seketika dilaksanakan oleh anak buahnya yang 

berjumlah ratusan. Para pendekar kini dikerubuti 

oleh Ninja-ninja yang dididik oleh Taka Nata. Para


Ninja tersebut bagaikan tiada mengenal takut. 

Taka Nata sendiri kini berhadapan dengan bekas 

gurunya, yaitu Suhu Besar Fujita. Pertarungan 

guru dan murid berjalan dengan seru, masing-

masing memiliki ilmu yang dapat diandalkan.

"Murid durhaka! Berani engkau melawan 

Guru!"

"Kini kau bukan guruku! Kau telah menya-

lahi apa yang menjadi petuah Kakek Guru!" balas 

Taka Nata membentak. "Kaulah Ninja gadungan

yang mau membela Kaisar!"

"Bajero! Hiiiiiiatttt....!"

"Wuuuuuuuttt...!"

Walau usianya telah begitu tua, namun se-

rangan sang Maha Guru tidak lemah, bahkan 

masih keras dan cepat. Taka Nata tersentak tak 

kira kalau gurunya masih memiliki tenaga yang 

begitu besar. Dan ketika samurai gurunya berke-

lebat membabat, dengan cepat Taka Nata lompat 

ke belakang.

"Bangsat! Kau berani melawanku!" hardik 

Taka Nata yang sombong. Taka Nata yakin kalau 

Samurai Iblisnya akan mampu mengalahkan gu-

runya.

"Sraaaang...!" Taka Nata cabut samurainya.

"Samurai Iblis!" sang Guru membeliak ka-

get, manakala melihat samurai di tangan Taka 

Nata. Samurai di tangan Tak Nata mampu me-

nyedot tenaganya, "Bahaya!"

"Wuuuuuttt....!" Taka Nata kibaskan samu-

rainya, dan dari kibasan tersebut keluar asap le-

bat hitam bergulung-gulung menyerang sang


Guru. Asap itu terus membesar, makin lama ma-

kin menyelimuti tempat tersebut. Takasima yang 

sudah tahu kehebatan samurai di tangan saudara 

sepupunya dengan cepat melompat, begitu juga 

anak buah Taka Nata dan anak buah Takasima, 

mereka melompat ke belakang Taka Nata. Kini 

asap makin menyelubungi tempat tersebut, men-

jadikan para pendekar benar-benar mengalami 

sesak nafas. "Duuuuuaaar...!"

Terdengar ledakan dahsyat, dan berbaren-

gan dengan itu Taka Nata dan anak buahnya tiba-

tiba telah lenyap dari hadapan mereka. Para pen-

dekar banyak yang jatuh pingsan, tak kuat 

menghadapi serangan asap yang keluar dari Sa-

murai Iblis. Asap itu ternyata mengandung racun 

ganas, yang mampu melumpuhkan urat syaraf.

Tengah mereka semua tersentak dari gu-

lungan Asap Iblis, tiba-tiba mereka tersentak ka-

get.

"Swiiiiiiinnggg...!"

"Awas senjata...!" Maha Guru berseru 

memperingatkan.

"Swiiiiinggg...!" kembali senjata rahasia 

mendesing ke arah mereka, yang dengan cepat 

segera mengelakkannya. Senjata-senjata rahasia 

itu menderu-deru, lalu menghunjam di bebatuan.

"Duuuaaar...!"

Batu itu meledak manakala senjata rahasia 

Bulu Landak Maut menghantamnya.

"Taka Nata pengecut! Keluarlah kau dari 

persembunyianmu!"

Tak ada jawaban dari seruan Maha Guru.


"Swing! Swing, swing...!" itulah jawaban da-

ri seruan Maha Guru, yang berupa sepuluh ba-

tang Bulu Landak Maut.

"Awaaaaaasssss...!"

Dengan cepat para pendekar bergerak 

menghindar sembari tebaskan samurai mereka ke 

arah datangnya Bulu Landak Maut tersebut.

"Traaaaanng...!"

"Aaaahhh...!" salah seorang pendekar ne-

kad memapaki serangan Bulu Landak Maut. Na-

mun hasilnya dirinya sendiri yang menjadi kor-

ban. Manakala Bulu Landak Maut itu beradu 

dengan samurai di tangannya, secepat itu pula 

racun Fuji Hitam beraksi. Dan lewat samurai itu 

pula racun Fuji Hitam merambat menyerang di-

rinya. Tanpa ampun lagi, seketika itu orang terse-

but memekik. Dari pergelangan tangan hingga 

pangkal lengan seketika membiru, busuk bagai-

kan benar-benar terserang racun ganas.

"Racun Fuji Hitam!" Maha Guru memekik 

"Biadab! Sungguh biadab tingkahmu, Taka Nata!"

"Hua, ha, ha...! Itulah hukuman bagi 

orang-orang yang menentangku!" terdengar jawa-

ban dari Taka Nata, namun orangnya sendiri ti-

dak tampakkan ujudnya. "Kalian memang patut 

dihukum, sebab kalian adalah orang-orang Ninja 

Murtad!" 

"Swiiiiiitttt...!"

Berbarengan dengan habisnya ucapan Ta-

ka Nata, saat itu juga puluhan bahkan ratusan 

Bulu Landak Maut berdesing-desing menyerang 

ke arah mereka. Mereka tiada lagi berani mema


pakinya, setelah tahu akan racun ganas yang ter-

kandung oleh Bulu Landak Maut tersebut. Kini 

mereka hanya menghindar, dan menghindar saja. 

Namun sungguh pekerjaan yang menguras tenaga 

bila hal itu mereka lakukan terus menerus. Seba-

gai pelampiasan marahnya, sang Maha Guru han-

tamkan pukulan tenaga dalamnya memapaki se-

rangan tersebut.

"Wuuuuusss...!"

"Suuuuuiiiiittt...!"

"Des, des, des...!"

Pukulan sang Maha Guru ternyata mampu 

menyapu serangan Bulu Landak Maut. Namun 

manakala sang Maha Guru tengah bertarung me-

nyapu Bulu Landak Maut, tiba-tiba sebuah 

bayangan putih perak berkelebat menyerang den-

gan Samurai Iblisnya. Taka Nata kembali keluar 

setelah melihat gurunya tengah kerepotan.

"Hiiiiiaaaaaaaatttttt...!"

"Wuuuuutttt...!"

"Kurang ajar! Hiiiiiaaaattt...!"

Sang Guru dengan marah segera papaki 

serangan. 

"Wuuuuuuttt...!" 

"Trangg!" 

"Prak...!"

Mata sang Guru melotot lebar, tak percaya 

pada apa yang dilihatnya. Samurai di tangannya 

tiada arti sama sekali untuk menghadapi samurai 

di tangan Taka Nata. Samurai di tangannya kini 

telah puntung menjadi dua, terbabat oleh Samu-

rai Iblis.


"Huaaaa... ha, ha, ha,..,! Kalau engkau ti-

dak segera meminta ampun, maka jangan salah-

kan aku mengakhiri hidupmu! Kakek bau tanah!" 

ucap Taka Nata sombong.

"Taka Nata! Aku harap engkau tidak ber-

mimpi!" balas gurunya yang segera mencegah 

manakala murid-muridnya hendak menghajar 

Taka Nata. "Biarkan aku menghadapinya! Kalian 

bersiaplah, sebab mereka akan kembali muncul!"

"Hem, aku tak pernah bermimpi, Kakek ke-

riput bau tanah!" Kembali Taka Nata mengejek. 

"Akan aku buktikan bahwa aku akan mengirim 

nyawa busukmu ke akherat! Hiiiiaaat...!"

"Wuuuuuttt...!" Taka Nata babatkan samu-

rainya.

Sang Guru segera melompat menghindar, 

sebab ia tidak ingin nyawanya begitu saja dis-

erahkan. Sang Guru terus menghindar, dengan 

sekali-sekali balas menyerang dengan hantaman 

tangannya.

"Wuuuuttt...!"

"Mampuslah engkau, Tua Bangka!" 

Taka Nata terus mencerca dengan Samurai 

Iblisnya. Asap yang keluar dari Samurai Iblis ber-

gulung-gulung, menyelimuti tempat tersebut.

Sang Guru kini benar-benar tersentak ka-

get. Jalan nafasnya kini bagaikan tersumbat, dan 

terasa berat. Sang Guru berusaha menyumbat 

pernafasannya. Mulanya memang mampu. Sang 

Guru bertarung benar-benar bagaikan orang ma-

ti, tanpa bernafas. Namun lama kelamaan tak 

kuat juga ia melakukan semua itu. Hal tersebut


sungguh sangat membahayakannya. Asap Iblis 

yang keluar dari Samurai Iblis di tangan Taka Na-

ta kini menyerang ke arahnya. Nafas tua Maha 

Guru itu kini benar tersendat berat.

"Mati aku!" pekiknya tertahan dalam hati.

Melihat Gurunya dalam keadaan bahaya, 

dengan nekad salah seorang muridnya berkelebat 

menyerang. Disapukannya samurai ke arah gu-

lungan asap tersebut, namun sungguh sangat 

bahaya, sebab bukannya asap maut itu hilang, 

akan tetapi dirinya sendiri yang kini menjadi tu-

juan serangan Taka Nata. 

"Wuuuuttt...!"

"Wuuuuuttt..!" Orang itu papaki serangan.

"Trang...!"

"Prak!" terdengar suara patahan, dan ter-

nyata samurai di tangan orang itulah yang patah. 

Saudara seperguruan Taka Nata yang mencoba 

bela gurunya terbelalak matanya demi menda-

patkan samurainya telah patah menjadi dua.

"Wuuuuuttt...!"

"Awwwwaaasss....!" Sang Guru berseru ka-

get memperingatkan pada muridnya yang masih 

tersentak manakala Samurai Iblis berkelebat me-

nyerang kembali.

"Ah...!"

Walau orang tersebut telah menghindar, 

namun Samurai Iblis kini terus mencerca dengan 

cepatnya. Tebasan-tebasannya sungguh memba-

hayakan. Tebasan-tebasannya mencari titik ke-

matian lawan.

"Wuuuuttt...!"

"Hiiiiiaaaattt....!" Saudara seperguruannya 

berkelebat papaki serangan Taka Nata. 

"Wuuuuttt...!" 

"Trang...!" 

"Prak!" Orang yang menyerang menyurut 

mundur, matanya melotot kaget. Samurai di tan-

gannya seperti kakak seperguruannya juga patah 

menjadi dua. Tengah semuanya tercekam dalam 

kepanikan, tiba-tiba apa yang ditakutkan oleh 

Sang Guru terbukti. Dari balik semak-semak 

kembali para Ninja keluar, menyerang. Maka da-

pat dipastikan, para pendekar yang panik itu pun 

makin panik dan nekad. Akan tetapi, kenekadan 

mereka benar-benar tidak berguna, sebab jumlah 

mereka tiadalah sebanding.

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuuuttt...!" Samurai para Ninja terus 

mencari mangsa.

"Wuuuuuttt..!" Taka Nata dan Takasima 

benar-benar bagaikan singa lapar, setiap keleba-

tan samurainya mampu membuat salah seorang 

Pendekar menjerit dan ambruk dengan tubuh be-

rantakan. Tangan puntung, kepala, maupun tu-

buh tercabik-cabik.

Kini para Pendekar benar-benar keteter, 

maka dengan penuh perhitungan sisa-sisa mere-

ka yang hidup segera hendak mengambil langkah 

seribu. Tapi para Ninja anak buah Taka Nata dan 

Takasima tidak membiarkan mereka begitu saja. 

Sebelum mereka jauh, dengan sadis tanpa men-

genal belas kasihan mereka pun menyerangnya.

"Wuuuuuttt....!"


Samurai Ninja beterbangan, melesat me-

nyerang orang-orang yang bermaksud melarikan 

diri. Maka...!

"Wuuuuaaaa...!"

Tiga orang yang bermaksud melarikan diri 

itu, tanpa ampun lagi menjerit. Samurai Ninja 

anak buah Takasima berhasil menyate tubuh me-

reka. Ketiganya ambruk, kejang sesaat sebelum 

kemudian terdiam tanpa nyawa lagi.

***

EMPAT



Kekalahan yang dialami oleh para pende-

kar, juga dialami oleh para prajurit kerajaan. Para 

prajurit kerajaan nampak banyak yang mati, ber-

gelimpangan tanpa nyawa. Sementara para Ninja 

kini nampak bergembira ria merayakan kemenan-

gannya.

"Bunuh Kaisar...!" 

"Pancung kepalanya...!"

Serta merta semua prajurit Ninja berkele-

bat masuk dengan tujuan mencari Kaisar. Tapi 

rupanya Kaisar dan orang-orang pembesar istana 

kini telah meninggalkan istana.

"Tidak adaaaa...!"

"Ke mana...?!" tanya pimpinan Ninja. 

"Mungkin melarikan diri!" jawab yang ditanya.

"Kita beritahu pada pimpinan Taka Nata, 

bahwa kita telah menang!"


Sebagian dari para Ninja itu segera menuju 

kembali ke tempat di mana pimpinan mereka be-

rada. Kini mereka tidak memerlukan jalan kaki 

lagi, akan tetapi mereka kini menempuh perjala-

nan dengan menunggang kuda.

* * *

Kita tinggalkan para Ninja anak buah Taka 

Nata si Iblis Nippon yang hendak merayakan ke-

menangannya atas Kekaisaran. Kita tengok ba-

gaimana dengan pendekar kita Jaka Ndableg yang 

tengah berusaha mencari Meimora yang diculik 

ketiga Ninja Samurai Iblis.

Jaka Ndableg dengan segenap kemam-

puannya, dipasang panca indranya untuk menca-

ri jejak Meimora dan ketiga Ninja penculiknya. 

Jaka kini nampak masih berlari dengan menggu-

nakan ajian Kupuh Puyu atau Angin Puyuh. Ma-

ka sudah dapat diduga, pendekar kita ini lari ba-

gaikan kesetanan, dan hampir dapat dikatakan 

terbang karena kakinya tiada menginjak rumput 

barang sekali pun.

"Ke mana aku harus mencari mereka?" 

tanya Jaka dalam hati, sepertinya ada keraguan 

akan kemampuan dirinya.. "Aku di sini orang ba-

ru, asing! Manalah mungkin aku akan mampu 

menemukan mereka?"

Jaka terus berlari dan berlari, tanpa hirau-

kan kekalutan hatinya yang semakin tak tentu. 

Kini ia telah jauh meninggalkan tempat semula.

"Haruskah aku tersesat di daerah orang?"


Jaka bertanya-tanya pada diri sendiri. "Oh, men-

gapa aku begitu tolol nekad berkeliaran sendiri?"

Mungkin karena capai Jaka pun dengan 

segera mencari tempat yang sekiranya dapat di-

gunakan untuk mengaso. Dicarinya sebuah kedai.

"Di mana akan aku temui kedai?" Kembali 

Jaka memperoleh kebingungan. Ia tidak tahu 

arah mana yang sekiranya kini ia tuju, dan tidak 

tahu desa apa yang kini tengah ia jejaki kakinya. 

Dan orang-orang yang ditemuinya, rata-rata tidak 

ia kenal.

Jaka Ndableg terus melangkah, memasuki 

kampung yang ramai oleh kedatangan para pen-

gunjung tersebut. Jaka jadi bertanya-tanya dalam 

hati melihat keramaian kampung tersebut. Orang-

orang yang datang dan pergi nampak berwajah 

muram, seakan mereka tengah mengalami kese-

dihan.

"Hai, ada gerangan apakah?" tanya Jaka 

dalam hati. "Coba aku akan menanya."

Dihampirinya seorang pemuda sebayanya. 

Dengan menggunakan bahasa isyarat, Jaka ber-

tanya dengan pemuda tersebut tentang mengapa 

banyak orang yang datang dan pergi dengan wa-

jah muram?

Pemuda itu yang tahu kalau Jaka bukan 

orang asli Nippon, menjawab dengan bahasa isya-

rat pula. Hal tersebut mampu dengan mudah di-

tangkap oleh Jaka yang seketika terperanjat ka-

get. "Ada gadis mati, setelah diperkosa!" Jaka te-

rus mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan 

oleh pemuda tersebut. "Hem, gadis itu cantik."

Pemuda Jepang itu terus menceritakan se-

gala apa yang ia ketahui dengan gerakan-gerakan 

tangannya. Sementara Jaka terus mengikutinya 

dengan menerjemahkan dalam tata bahasa. "Ti-

dak salah, Meimora adanya? Dia bercerita kalau 

gadis itu mengenakan gaun warna hitam pertan-

da duka!" Jaka kini makin tegang.

Setelah menjura pada pemuda tersebut, 

dengan segera Jaka berkelebat pergi menuju ke 

arah yang ditunjuk oleh pemuda tersebut.

* * *

Orang-orang tampak berkumpul di tepi 

pantai. Mereka sepertinya tengah melihat sesua-

tu. Ya! Orang-orang tersebut memang tengah me-

lihat sesosok tubuh tanpa nyawa. Tubuh itu milik 

seorang gadis cantik. Wajah gadis itu benar-benar 

mirip dengan Meimora hingga Jaka Ndableg me-

nafsirkan ucapan gerakan pemuda itu sebagai 

Meimora adanya.

Jaka Ndableg tampak berlari-lari menuju 

ke tempat tersebut.

Dengan berusaha meminta jalan, segera 

Jaka menyeruak tempat tersebut. Jaka mulanya 

kaget, manakala melihat muka gadis itu. Gadis 

itu memang persis sama dengan Meimora, akan 

tetapi tatkala dilihat seksama, jelas ada banyak 

perbedaannya.

"Oh, Meimora! Di manakah kini dia?" keluh 

Jaka, lalu beranjak pergi tinggalkan tempat terse-

but. Dengan melamun memikirkan Meimora, Jaka


melangkah tanpa tujuan arah yang pasti. Piki-

rannya kini merawang pada Meimora.

"Ke mana aku mencarinya? Aku tidak tahu 

markas mereka." keluh Jaka sendiri. Tanpa terasa 

Jaka terus berlalu meninggalkan desa tersebut. 

Kini dirinya telah memasuki hutan belantara yang 

sepertinya belum terjamah oleh tengah manusia.

Jaka terus berjalan, tiada hiraukan alam 

yang asing baginya yang kini dijejaki kakinya. 

Manakala Jaka terus melangkah, terdengar suara 

rintihan seseorang. Telinga Jaka yang tajam, se-

ketika mampu mendengar suara rintihan terse-

but.

"Hu, hu, hu, hu...!"

"Hai, sepertinya suara seseorang menan-

gis." Jaka mereka-reka dan terus mendekat ke 

arah suara tersebut. "Ya! Benar! Suara seorang 

wanita. Tapi, bukankah ini hutan perawan. Jan-

gan-jangan siluman yang mau menggangguku! 

Ah, mengapa mesti aku pikirkan? Bukankah Ayah 

dan Ibuku Siluman?"

Dengan melangkah perlahan Jaka terus 

mendekat. Kini matanya yang tajam melihat se-

buah gubug berdiri tidak jauh dari dirinya berada. 

"Hem, benar manusia. Aku harus melihatnya. 

Hoooop...!" Jaka melompat ke atas pohon, pu-

satkan pandangannya ke tempat di mana rumah 

tersebut berdiri. "Hem, tak aku duga, kalau ak-

hirnya aku akan menemukan bajingan-bajingan 

ini di sini!"

Jaka Ndableg terus mengawasi tempat ter-

sebut.


"Plak!"

"Katakan siapa temanmu itu, hah!" terden-

gar suara bentakan. 

"Tidaaaakkk...!" 

"Bangsat!"

"Plak....!" tamparan kembali terdengar. 

"Aaaaaaadddddduuuhhh,..!" terdengar jeritan seo-

rang wanita.

Suara itu sangat Jaka kenal, suara itu tak 

lain milik Meimora.

"Meimora!" ucap hati Jaka. "Aku harus 

menolongnya!" 

Bagaikan seekor monyet, Jaka Ndableg 

bergayut dari satu pohon ke pohon lainnya den-

gan bantuan akar-akar yang bergantungan dan 

tumbuh.

"Aku temannya, hiaaaaaaatttt...!"

Tersentak kedua orang yang menjaga di 

muka gubug itu. Dengan segera keduanya cabut 

samurai.

"Siapa kau, hah!" bentak salah seorang da-

ri mereka.

"Aku Malaikat yang akan mencabut nyawa 

kalian! Hiiiaaaattt!"

Belum juga keduanya mampu berbuat, Ja-

ka telah mendahuluinya dengan menendangkan 

kaki ke arah mereka. Keduanya bermaksud 

menghindar, akan tetapi tendangan Jaka lebih 

cepat.

"Weeesssttt...!"

"Dug! Dug...!"

Kedua orang tersebut terpelanting ke bela


kang, tertendang oleh kaki Jaka Ndableg. Jaka 

tersenyum, biarkan keduanya bangkit dari du-

duknya. Nampaknya kedua orang Ninja tersebut 

beringas, manakala tahu siapa yang datang.

"Suuuuuiiiiiitttt...!" Salah seorang dari me-

reka bersuit, menjadikan Jaka kini harus benar-

benar waspada.

Dari pepohonan dan semak belukar, 

nampak bermunculan beberapa orang yang me-

makai pakaian Ninja. Orang-orang tersebut yang 

jumlahnya mencapai tiga puluhan itu dengan ce-

pat mengurung Jaka. Namun begitu Jaka nam-

pak masih tenang, bahkan kini tersenyum-

senyum sendiri.

"Hem rupanya di hutan ini banyak kecoa 

busuknya!" ucap Jaka.

"Seraaaanngg...!" terdengar suara perintah.

Tanpa menunggu dua kali perintah, den-

gan cepat ketiga puluh orang tersebut berkelebat 

menyerang Jaka. Namun bagaikan tidak merasa-

kan hal apa-apa, Jaka yang tujuan pokoknya 

membebaskan Meimora segera berkelebat dengan 

ilmu meringankan tubuhnya. Tubuh Jaka kini 

melenting ke udara, lalu dengan cepat manakala 

mereka terperangah Jaka segera turun dengan 

kaki dan tangan siap menyerang.

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuutttt...!" Samurai-samurai di tangan 

mereka menderu, papaki tubuh Jaka yang me-

layang. Namun kiranya dugaan mereka salah, se-

bab Jaka rupanya tidak bermaksud menyerang. 

Tubuh Jaka meluncur deras, menembus masuk


ke dalam rumah.

"Brooosss...!" bilik penutup rumah tersebut 

jebol, manakala tubuh Jaka menjebolnya. Terke-

siap orang yang saat itu tengah menanyai Meimo-

ra. Sedangkan Meimora yang tengah terikat kaki 

dan tangannya di wajahnya nampak ceria. Hara-

pan untuk hidup kembali tumbuh, saat dilihatnya 

Jaka datang. "Jaka...!"

Orang tersebut hendak menyerang, namun 

dengan cepat Jaka mendahuluinya dengan ten-

dangan kaki serta hantaman tangannya.

"Wuuuuttt...!"

"Bug! Bug...!"

"Wuuuuuaaa...!" orang itu menjerit, mun-

tahkan darah yang muncrat dari mulutnya. Mata 

orang tersebut membeliak sesaat, sebelum akhir-

nya tubuhnya terjerembab mati.

"Ayo..." Jaka segera menggendong tubuh 

Meimora yang lemas, dibawanya ke luar dari ru-

mah tersebut. Namun belum juga keluar dari pin-

tu, tiba-tiba ketiga puluh Ninja yang tadi membu-

runya menghadang langkahnya dengan samberan 

samurai mereka.

"Wuuuuuttt...!"

"Aih!" Jaka melompat mundur, mengambil 

ancang-ancang sekaligus elakkan serangan.

"Srang...!" Pedang Siluman Darah dicabut-

nya, karena merasa bahwa hanya dengan Pedang 

Siluman Darah sajalah yang mampu menghadapi 

serangan ketiga puluh Ninja tersebut. 

"Kalian rupanya mencari mati!" maki Jaka 

marah, di pundaknya masih tergendong tubuh


Meimora. "Baiklah! Mari kita buktikan siapa di 

antara kita yang harus menyingkir ke akherat!"

Para Ninja itu bagaikan tak mau tahu, 

kembali mereka babatkan samurainya ke arah 

Jaka, 

"Wuuuuttt...!"

"Wuuuuttt...!"

"Trang...!"

Membeliak mata Ninja yang di depan dan 

mendahului menyerang Jaka. Manakala dua pe-

dang mereka bertemu, seketika samurai di tan-

gannya bagaikan terbakar. Hawa panas keluar 

dari Pedang Siluman Darah.

"Aaahhh...!" Orang itu lepaskan pedangnya, 

namun tak urung tangannya kini melepuh. Dari 

pergelangan tangannya sampai ke pangkal lengan 

kini hangus terbakar. Mata orang tersebut men-

delik, tak percaya pada apa yang dialaminya.

"Wuuuuuttt...!" Jaka kembali sabetkan Pe-

dang Siluman Darah ke orang tersebut. Orang 

tersebut berusaha mengelak, namun gerakkan 

Pedang Siluman Darah di tangan Jaka begitu ce-

pat. Beruntung temannya segera memapakinya.

"Wuuuuttt...!" 

"Trang!"

"Wuuuuuaaa..." Kembali orang yang me-

mapaki serangan Pedang Siluman Darah meme-

kik. Orang itu seperti yang pertama segera le-

paskan samurainya yang panas bagaikan men-

gandung bara manakala beradu dengan Pedang 

Siluman Darah.

"Jaka, jangan biarkan dia hidup!"


"Jangan khawatir, Nona Mei." jawab Jaka, 

lalu kembali babatkan Pedang Siluman Darah ke 

arah dua orang tersebut. Kini keduanya tak dapat 

berbuat apa-apa. Tangan mereka melepuh, terba-

kar oleh hawa panas yang dipancarkan Pedang 

Siluman Darah.

"Wuuuuuttt...! Wuuuuuutttt...!"

"Dest...!"

"Cras! Crasss...!"

"Wuuuuuuaaa...!" Kedua orang tersebut 

memekik, tak mampu lagi hindari sabetan Pedang 

Siluman Darah di tangan Jaka yang bergerak 

dengan cepatnya. Seketika itu tubuh keduanya di 

perut terbeset. Usus dari dalam menjurai ke luar, 

menjadikan pemandangan yang mengerikan.

Melihat kedua rekannya telah mati, serta 

merta semua Ninja itu nampak ketakutan. Nyali 

mereka kini benar-benar ciut. Namun untuk me-

nyerah, mereka jelas tidak mau, sebab mereka te-

lah mendapat sumpah tidak akan mau menyerah 

pada lawan. Dengan nekad kedua puluh delapan 

Ninja itu berbarengan menyerang Jaka.

"Hiiiiiaaaattt...!"

"Wuuuuuutt..!"

Samurai-samurai di tangan mereka berke-

lebat-kelebat membabat ke arah Jaka. Jaka yang 

sudah marah, nampak tidak canggung-canggung 

meladeni mereka. Manakala Samurai mereka 

mengarah hendak membabat tubuhnya, dengan 

cepat Jaka sambut serangan mereka dengan ba-

batan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"



"Traaaang...!"

"Wuuuuaaa...!" Empat orang Ninja menje-

rit, tubuhnya kini benar-benar terbakar kese-

luruhannya. Ternyata tanpa setahu mereka Jaka 

telah menyalurkan Inti Geni ke segenap Pedang 

Siluman Darah. Tubuh keempatnya mengejang, 

lalu ambruk tanpa nyawa.

"Aku harus menyelamatkan Meimora! 

Sungguh bahaya bila aku harus selalu menggen-

dong Meimora," Jaka membatin, kemudian den-

gan cepat kembali babatkan Pedang Siluman Da-

rah ke arah para Ninja yang kini benar-benar ciut 

nyalinya. Para Ninja yang telah ciut nyalinya kini 

tanpa menunggu Jaka minggat telah mendahului 

kabur. Rasa takut itulah yang menjadikan mereka 

melarikan diri. Jaka hanya dapat geleng kepala, 

bibirnya terurai senyum.

Niat Jaka untuk pergi dari tempat itu di-

urungkannya, sebab menurutnya di tempat terse-

but dirinya akan aman. Setelah membersihkan 

rumah gubug tersebut dari mayat-mayat Ninja, 

Jaka pun dengan segera kembali ke gubug terse-

but di mana Meimora berada ditinggalkannya.

***


LIMA



Dengan kemenangannya atas Kaisar, maka 

Taka Nata kini mengangkat dirinya sebagai Kaisar 

di Kerajaan. Tercapailah segala cita-citanya untuk


menjadikan dirinya Kaisar pertama yang dari Nin-

ja. Dan setelah berhasil mengangkat dirinya men-

jadi Kaisar, maka program pertama adalah mem-

buru orang-orang yang dulu menjadi tangan ka-

nan Kaisar. Nama Kerajaan pun kini dirubah, dari 

Dai Nippon menjadi Kerajaan Samurai Iblis, se-

suai dengan samurainya. Juga para anak buah-

nya, mereka diangkat menjadi prajurit-prajurit 

kerajaan.

Program utama Kaisar Taka Nata, yaitu 

memberantas bekas-bekas tangan kanan Kaisar 

yang entah ke mana kini. Dan hal yang lebih po-

kok, yaitu mencari Pendekar Tanah Jawa yang di-

tugaskan untuk datang ke Jepang.

"Pasang pengumuman! Barang siapa yang 

mampu menangkap Pendekar Tanah Jawa, maka 

dirinya akan mendapatkan kedudukan yang 

enak!" begitulah kata-kata yang diperintahkan 

oleh Taka Nata pada maha Patihnya Takasima, 

yang merupakan adik sepupunya.

"Jadi Pendekar Tanah Jawa itu telah ke si-

ni?"

"Benar, Sima."

"Hem, untuk maksud apakah?"

"Jelas untuk menentang para Ninja yang 

telah mengirimkan pasukannya ke Tanah Jawa." 

jawab Taka Nata. "Maka itu, sebelum Pendekar 

Muda tersebut dapat disingkirkan, kedudukan ki-

ta akan benar-benar mendapatkan hambatan!"

"Baiklah! Aku akan mencarinya!"

Taka Nata tersentak demi mendengar uca-

pan Takasima. Ia tahu Takasima bukanlah orang


sembarangan dari para Pendekar Ninja, namun ia 

juga tahu bahwa Pendekar muda itu juga bukan-

lah Pendekar kelas entengan. Percuma Raja Kera-

jaan Tanah Jawa Dwipa mengirimnya ke tanah 

Nippon kalau ia bukanlah pendekar pilih tanding.

"Sima, jangan gegabah!"

"Kenapa? Bukankah hanya Pendekar Muda 

itu saja yang engkau takuti?" tanya Takasima 

menyombong. "Aku Taksima, akan membuat se-

mua mata orang Tanah Jawa Dwipa terbuka."

"Kau tidak bercanda, Sima?"

"Tidak!" jawab Takasima, menjadikan Taka 

Nata hanya tersenyum kecut. Taka Nata geleng-

kan kepala, menjadikan Takasima memandang-

nya dengan pertanyaan. "Mengapa...?"

Taka Nata hela napasnya panjang, seakan 

ada ganjelan berat yang mengisi hatinya. Ia masih 

teringat akan segala berita yang ia terima dari Ta-

nah Jawa Dwipa. Ninja Hitam, yang terkenal ga-

gah pemberani tak ada artinya sama sekali di ha-

dapan Pendekar Muda tersebut. Kebanyakan para 

Ninja di Tanah Jawa mati di tangan pendekar 

Muda tersebut. Juga menurut kabar anak buah-

nya, Pendekar muda tersebut merupakan titisan 

Dewa Api. Walaupun Taka Nata belum yakin, na-

mun setidaknya ia mempunyai gambaran siapa 

adanya Pendekar Pedang Siluman Darah.

"Jangan engkau dulu, Sima. Sebar saja du-

lu pengumuman!"

Takasima yang belum tahu siapa adanya 

Jaka Ndableg, sepertinya tidak setuju. Ia benar-

benar ingin membuktikan kebenaran segala cerita


yang pernah ia dengar. Dendamnya pada Pende-

kar Muda tersebut telah menjalar. Sebagai seo-

rang pimpinan Ninja Merah, jelas ia mendendam 

pada Jaka Ndableg dan para Pendekar Tanah Ja-

wa yang telah menumpas anak buahnya. Bahkan 

menurut kabar, adiknya Taka Moro pun telah bi-

nasa. "Tidak! Aku harus mampu memenggal ke-

pala Pendekar itu!" gerutu hati Takasima marah. 

Bayangan tentang kegagalan misi Ninjanya, ma-

kin membebani dendam di hatinya. 

"Beri aku kesempatan, Nata," Takasima 

memohon.

"Aku tidak ingin saudaraku hilang," Taka 

Nata bergumam sendiri, setelah terlebih dahulu 

tarik napas panjang. Dalam napas berat Taka Na-

ta, sepertinya ada rasa berat untuk mengijinkan 

diri Takasima menghadapi Jaka Ndableg.

"Bagaimana...? Kau menyetujuinya?"

Desakan Takasima menjadikan Taka Nata 

benar-benar serba salah. Ia sebenarnya bukan 

takut, namun ia sangat menyayangkan jika sau-

daranya yang tinggal satu-satunya harus pisah 

dari dirinya hanya mengikuti dendam.

"Bawalah seratus prajurit untuk memban-

tumu."

Akhirnya Taka Nata mengijinkan.

"Terimakasih. Aku akan menunjukkan pa-

damu, bahwa aku mampu membuka mata para 

Pendekar Tanah Jawa. Aku akan membawa kepa-

la Pendekar Muda itu ke mari."

Takasima menjura, lalu dengan senyum 

bagaikan merasa pasti Takasima keluar tinggal


kan tempat tersebut. Di alun-alun dikumpulkan-

nya anak buahnya yang terdiri dari Ninja Merah. 

Kini Takasima benar-benar ingin menunjukkan 

pada para Pendekar Tanah Jawa bahwa orang 

yang selama ini disegani telah mampu ia binasa-

kan.

"Para prajurit... Kummpuuuuuull...!"

Berserabutan para prajurit Ninja Merah 

yang jumlahnya mencapai ribuan itu berkumpul. 

Dalam kekaisaran Taka Nata, Ninja Merah menja-

dikannya sebagai prajurit utama, atau prajurit 

elit, sebab keberanian dan kehebatan Ninja Merah 

telah diuji dengan baik. Dan memang Ninja Merah 

menjadikan Takasima bukanlah para prajurit 

Ninja biasa. Mereka pada umumnya memiliki ke-

lebihan yang banyak dibandingkan dengan Ninja 

lainnya.

"Sebagai prajurit elite, kalian akan dicoba 

untuk menghadapi musuh yang berat. Kalian ten-

tunya ingat akan berita-berita yang kalian terima 

dari Tanah Jawa, bukan?"

Semua Ninja Merah mengangguk.

Takasima melanjutkan, "Pendekar tersebut 

kini berada di Tanah Nippon ini, tapi entah di 

mana. Untuk itu, maka aku akan mengajak sera-

tus orang dari kalian untuk menemaniku menca-

rinya. Nah, aku minta, kalian mau membantu Ke-

rajaan."

Takasima segera memilih anak buahnya. 

Tanpa mengalami kesulitan, Takasima pun dapat 

menyaring keseratus anak buahnya untuk men-

gikutinya. Setelah memeriksa segala peralatan


yang bakal digunakan dengan teliti, maka kesera-

tus Ninja itu pun yang langsung dipimpin oleh 

Takasima berangkat untuk memburu Pendekar 

Pedang Siluman Darah Jaka Ndableg yang masih 

berada di Tanah Nippon.

* * *

Jaka yang masih bersama Meimora ber-

sembunyi di hutan, saat itu tengah mencari bu-

ruan untuk makan siangnya. Jaka nampak men-

gendap-endap, tatkala dilihatnya seekor kijang 

besar tengah makan dengan santainya.

"Harus kena!" Diambilnya sebatang rant-

ing, lalu dengan menggunakan tenaga dalam Jaka 

pun lemparkan ranting tersebut ke arah kijang 

yang tengah makan.

"Swiiiiiingg...!"

"Jlep...!"

"Eeee...!" kijang itu melenguh panjang, lalu 

ambruk ke tanah tertembus batang ranting yang 

dilemparkan Jaka. Dengan suka cita Jaka pun 

melompat hendak mengambil kijang tersebut, 

manakala seseorang juga melompat ke tempat 

tersebut.

"Hai! Itu milikku...!" bentak orang tersebut.

"Enak saja!" balas Jaka memaki. "Aku yang 

telah melempar ranting ini.... Kau...?" Jaka ter-

belalak, manakala dilihatnya orang tersebut. 

Orang tersebut itu pun tak kalah kagetnya, ma-

nakala tahu siapa adanya pemuda yang hendak 

merebut kijang buruannya. Mulut orang itu yang


tiada lain Perdana Menteri kerajaan ternganga.

"Tuan Pendekar, rupanya Tuan berada di 

sini."

"Ya! Kau...?"

"Aku bersama Kaisar dan rombongan juga 

berada di hutan ini" Dan Perdana Menteri segera 

ajak Jaka untuk menemui Kaisar dan rombongan. 

"Ayo ikut aku!"

Dengan tanpa membantah, Jaka pun sege-

ra menurut mengikuti Perdana Mentri pergi me-

ninggalkan kijang yang telah menjadi rebutan. 

Keduanya dengan bergegas menuju ke arah Timur 

hutan. Tak begitu lama kemudian, keduanya 

sampai juga di tempat yang mereka tuju. Di tem-

pat tersebut berdiri beberapa tenda yang didirikan 

secara darurat. "Kaisar! Kaisar...! Keluarlah!" Dari 

dalam tenda seorang lelaki setengah baya keluar. 

Wajah lelaki itu kini nampak lebih tua, hal terse-

but menunjukkan bahwa penderitaan telah 

menggores hidupnya. Jaka hampir tak percaya, 

bahwa orang yang kini tersenyum padanya tidak 

lain Kaisar.

"Tuan Pendekar...!" seru Kaisar. 

"Tuan Kaisar...!" 

Keduanya saling berpelukan, lalu dengan 

penuh haru keduanya segera masuk ke dalam 

tenda Kaisar. "Mengapa Tuan ada di sini?" tanya 

Jaka, setelah keduanya duduk-duduk sambil me-

nikmati makan siang.

Wajah Kaisar nampak berubah sedih di-

tanya begitu oleh Jaka. Hal itu menjadikan Jaka 

Ndableg kerutkan keningnya, tak mengerti apa


sebenarnya yang telah terjadi. Sang Kaisar hela 

napas panjang, sebelum akhirnya bercerita.

"Aku telah tergulingkan." 

"Tergulingkan...?" tanya Jaka heran. "Ba-

gaimana mungkin?"

Dengan berurai air mata, Kaisar pun perla-

han menceritakan segalanya yang telah menimpa 

dirinya. Ia juga mengakui bahwa semuanya ada-

lah kesalahannya. Ya! Kesalahannya yang tidak 

mau mementingkan pertahanan, sehingga para 

prajuritnya tidak dapat melakukan segala cara 

dalam perang. Diakuinya, bahwa sebenarnya ia 

sendiri kurang suka untuk perang. Ia lebih men-

cintai damai, aman dan tentram. Tapi sejarah 

menyatakan lain, bahwa dengan perang seseorang 

akan mampu menunjukkan dirinyalah yang 

mampu menjadi tokoh pemimpin.

"Begitulah Tuan Pendekar." 

"Janganlah Tuan Kaisar terlalu memikir-

kannya."

"Maksudmu?" tanya Kaisar tak mengerti.

Jaka tarik napas panjang, lalu katanya 

kemudian. "Baiklah, aku akan mengundang Nona 

Meimora terlebih dahulu, agar kita dapat bertemu 

dan berkumpul." 

"Baiklah, memang sepantasnyalah Nona 

Meimora harus dilindungi." 

Jaka segera menjura, lalu bergegas pergi 

tinggalkan tenda Kaisar untuk kembali ke tempat 

di mana Meimora berada. Dengan hati agak tak 

tenang, perasaannya seperti bergejolak demi 

mendengar penuturan Kaisar. Namun ada sesua


tu yang mendesaknya untuk segera pulang ke 

tempatnya. Sepertinya ada sebuah pesan misteri 

yang disampaikan oleh desahan-desahan angin.

Terbelalak mata Jaka, manakala melihat 

apa yang tengah terjadi. Seorang Ninja Merah kini 

tengah menguasai tubuh Meimora dengan samu-

rai siap menggorok leher gadis itu. Ninja Merah 

lainnya nampak berjaga-jaga dan siap dengan 

samurainya.

"Ninja-Ninja anjing! Beraninya dengan seo-

rang wanita!" bentak Jaka marah. "Kalau kalian 

memang laki-laki, lepaskan Nona itu dan hadapi 

aku!"

"Jakaaaa...!" Meimora memekik ketakutan. 

"Tolonglah aku!"

"Kalian tidak di mana-mana, selalu mem-

buat keonaran! Rupanya kalian tidak jenuh den-

gan kejadian di Tanah Jawa!" Jaka terus mem-

bentak, memancing mereka agar marah. Juga tu-

juan Jaka berteriak-teriak, semata-mata agar 

rombongan Kaisar mendengarnya. Dan ternyata 

usaha Jaka memang berhasil. Di tempat lain, 

Kaisar dan para Panglima Perangnya mendengar 

suara Jaka memaki-maki.

"Sepertinya Pendekar itu tengah berperang 

mulut," gumam Kaisar pada Perdana Mentrinya 

yang juga mendengar.

"Benar, Kaisar."

"Siapkan pasukan! Aku dengar Pendekar 

dari Tanah Jawa itu menyebut-nyebut Ninja. Ayo 

siapkan pasukan segera!"

Perdana Mentri tanpa banyak bantah lagi


segera mempersiapkan pasukannya. Pasukan 

yang terdiri dari orang-orang pendekar samurai 

itu dalam waktu singkat telah berkumpul. Kese-

muanya berjumlah lebih dari dua ratus lima pu-

luh orang.

Setelah mendengar seruan tersebut, den-

gan cepat para prajurit Samurai bergegas mem-

buru ke tempat suara Jaka. Para Prajurit samurai 

yang telah terlatih tanpa mengalami kesulitan 

menemukan tempat di mana Jaka dan Ninja Me-

rah tengah bersitegang mulut.

"Jaka Ndableg! Kau telah banyak membu-

nuh anak buahku!" Takasima membentak. "Kau 

harus mati oleh tanganku!" 

Jaka Ndableg sunggingkan senyum, lalu 

katanya kalem. "Kaukah pimpinan Ninja Merah?"

"Ya!" jawab Takasima 

"Sebegitu pengecutkah seorang Ninja, se-

hingga beraninya menyandera seorang wanita!" 

Jaka terus berusaha membikin amarah Ninja Me-

rah. Dan memang berhasil, Takasima nampak 

mendengus marah merasa dirinya dihina sebagai 

seorang pengecut.

"Bajero! Aku tidak sebodoh itu, Anak Mu-

da!" 

"Kalau begitu, lepaskan Nona itu. Dan mari 

kita tentukan sebagai seorang persilatan!" Mata 

Jaka melirik, dan tahu kalau para Prajurit Kaisar 

telah berdatangan secara diam-diam. Hanya Jaka 

saja yang tahu isyarat mereka. "Lepaskanlah, dan 

mari kita buktikan siapa di antara kita yang hen-

dak menyusul rekan-rekan kalian yang ada di Ta


nah Jawa sana!" 

"Bajero! Lepaskan Nona itu...!" perintah 

Takasima yang merasa ditantang oleh Jaka. Hal 

tersebut dengan segera dijalankan oleh anak 

buahnya. Manakala Meimora telah lepas, Jaka 

pun segera menyambutinya. Sebelum para Ninja 

tersebut menyerang, Jaka dengan cepat lenting-

kan tubuh seraya membopong tubuh Meimora.

"Swiiiiit...!" Jaka bersuit, yang menjadikan 

para pasukan Kaisar yang telah mengepung tem-

pat tersebut seketika bermunculan ke luar.

Tersentak Takasima demi melihat hal yang 

tiada terduga sebelumnya. Maksud mereka men-

gejar Jaka kini terhadang oleh pasukan Kaisar 

yang merupakan pasukan pilihan. Walau Takasi-

ma tiada takut menghadapi mereka, namun jum-

lah mereka dua kali lebih banyak dibanding den-

gan jumlah anak buahnya. Takasima benar-benar 

merasa terjebak, kini ia tampak memikir mencari 

jalan keluarnya.

Tengah Takasima memikirkan jalan baik-

nya, para Pendekar Samurai tiba-tiba berkelebat 

menyerang. Tanpa dapat dicegah, pertarungan 

dua lawan satu pun akhirnya ambruk. Tiada jalan 

lain, kedua pasukan andalan itu harus bertempur 

untuk saling menentukan nasib mereka selanjut-

nya. 

"Jaka, pergilah untuk selamatkan Nona 

Meimora!" perintah Perdana Mentri. "Cepatlah! 

Nanti bantulah kami memberesi mereka!"

Jaka pun tiada membantah, segera Jaka 

berkelebat meninggalkan tempat tersebut ke arah


Timur di mana tenda-tenda Kaisar serta anak 

buahnya berada. Kedatangan Jaka yang memba-

wa tubuh Meimora disambut dengan rasa per-

saudaraan yang tinggi.

"Kau di sinilah dulu, Nona Mei."

"Baiklah, Jaka."

"Kaisar, aku titip Nona Meimora," Jaka 

berkata pada Kaisar yang menganggukinya. "Aku 

akan segera membantu pasukan untuk menum-

pas Ninja Merah."

"Ninja Merah berada di sini?" tanya Kaisar 

terbengong.

"Ya! Aku pergi dulu." Jaka dengan cepat 

kembali berkelebat kembali menuju di mana per-

tempuran terus terjadi. Pertarungan dua kekua-

tan yang bermusuhan itu terus berlangsung. Per-

tarungan tersebut sepertinya tidak seimbang, 

namun kenyataannya pasukan Ninja Merah yang 

dipimpin oleh pimpinannya Takasima mampu 

membuat para Pendekar Samurai kewalahan.

"Takasima, kaulah lawanku!" Jaka Ndableg 

yang datang berseru memecahkan pertempuran. 

"Bukankah engkau yang harus bertanggung ja-

wab atas segala perbuatan Ninja-ninja Merah di 

Tanah Jawa?"

"Benar! Akulah musuhmu! Aku akan men-

cincangmu!" Takasima segera lompat ke arah Ja-

ka, tinggalkan Perdana Mentri yang membiarkan-

nya begitu saja. "Aku akan mencincangmu, seper-

ti engkau membunuhi Ninja Merah dan anak bu-

ahku! Hiiiiiaaaaatttt...!" 

"Wuuuuutttt...!"


Takasima babatkan samurainya dengan 

cepat ke arah Jaka, sehingga mau tidak mau Ja-

ka Ndableg harus mengelakkannya dengan men-

gandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Takasi-

ma yang merasa bahwa dirinya akan mampu 

mengalahkan Jaka Ndableg, terus mencercanya 

dengan sabetan-sabetan samurainya.

"Wuuuuttt...!"

Jaka tolakkan tubuhnya ke belakang, ma-

nakala samurai di tangan Takasima menusuk ke 

perutnya. Namun belum juga tubuh Jaka hinggap 

ke atas tanah, dengan cepat Takasima telah kem-

bali menyerangnya dengan sabetan samurainya.

"Wuuuuuttt...!"

Jaka yang hendak menepakkan kakinya, 

segera urungkan, lalu dengan lentingan lebih ke-

ras tubuhnya melenting ke udara tinggi. Manaka-

la tubuhnya kembali turun, dengan cepat Jaka 

Ndableg serang Takasima dengan pukulan tan-

gannya Dewa Menghantam Karang, sebuah puku-

lan yang dahsyat.

"Wuuuuuttt...!" 

"Hiiiiaaattt...!"

"Wuuuusss...!"

Angin pukulan Dewa Menghantam Karang 

menderu, menyentakkan Takasima yang segera 

melompat elakkan. Pukulan yang dilontarkan Ja-

ka pun melesat beberapa senti di samping tubuh 

Takasima. Takasima kembali merangsek tanpa 

memberi kesempatan pada Jaka Ndableg. 

"Wuuuuttt...!"

Sementara di tempat lain, nampaknya den


gan ditinggal Takasima para pasukan Ninja Merah 

makin menurun saja keberaniannya. Kini mereka 

benar-benar dicerca serangan-serangan gencar 

yang dilakukan oleh prajurit samurai yang me-

mang sudah mahir dalam penggunaan samurai. 

Kini para prajurit samurai di bawah pimpinan 

langsung Perdana Mentrinya, makin tumbuh se-

mangat untuk menumpas para Ninja Merah.

"Wuuuuttt...!"

"Trang!"

"Wuuuuuttt...!"

"Aaaaaa....!"

Korban di pihak Ninja Merah kini makin 

banyak berjatuhan. Ternyata Takasima mempu-

nyai pengaruh besar bagi mereka. Sedangkan Ta-

kasima sendiri kini tengah menghadapi serangan 

yang dilancarkan oleh Jaka Ndableg. Walaupun 

Jaka masih tangan kosong, namun tendangan 

dan pukulannya mampu mengejutkan Takasima 

bahkan mampu membuat Takasima harus men-

guras tenaganya untuk mampu menghindari se-

rangan tangan kosong Jaka. Jaka Ndableg kini 

kembali hantamkan tangannya, berupaya menda-

ratkan pukulan ke muka Takasima. Namun sege-

ra Takasima balik babatkan samurainya, meng-

hadang serangan tangan kosong yang dilakukan 

Jaka.

"Wuuuuttt...!"

Jaka tarik kembali tangannya, lalu dengan 

cepat sodorkan kakinya menendang. Untuk kedua 

kalinya Takasima kembali babatkan samurainya, 

dan kali ini ke arah di mana kaki Jaka hendak


menyodok ke perut.

""Wuuuuttt...!"

Jaka kembali urungkan tendangannya.

Jaka Ndableg benar-benar hendak mengu-

ras tenaga Takasima habis-habisan. Takasima ki-

ni membuka mata, siapa yang kini tengah diha-

dapinya. Ternyata ucapan Taka Nata benar 

adanya. Namun sebagai seorang Ninja sejati, 

sungguh malu besar bila harus mengalami kega-

galan. Takasima tak hiraukan bahwa napasnya 

benar-benar sudah terkuras, ia terus berusaha 

menyerang Jaka. Namun setiap serangannya, se-

lalu dengan mudah digagalkan oleh Jaka dengan 

kibasan pukulan tangannya yang mengandung 

angin besar.

"Wuuuuuttt...!" Samurai di tangan Takasi-

ma membeset, Jaka tidak berusaha menghindar, 

malah kini ia tampak berdiri mematung diam, se-

pertinya Jaka siap untuk menjadi tumpuan sa-

murai di tangan Takasima. Takasima yang meli-

hat hal ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, se-

gera Takasima babatkan samurainya cepat.

"Wuuuuttt...!" 

"Bug!"

Takasima melotot matanya, manakala sa-

murai di tangannya tak berarti sama sekali di tu-

buh Jaka. Tubuh itu masih utuh, tiada terlecet 

sedikit pun oleh babatan samurainya.

Jaka Ndableg tersenyum, "Bagaimana? 

Apakah kau puas?" tanya Jaka mengejek. "Kalau 

kau memang puas, maka kini giliran aku yang 

akan menyerangmu. Terimalah pukulanku.


Hiaiiiiaaattt...!"

"Wuuuuutttt...!"

Takasima tersentak manakala tangan Jaka 

menghantam ke arahnya. Sebisanya ia berusaha 

menghindar, namun tangan Jaka bergerak den-

gan cepat, dan...!

"Bug! Bug! Bug...!"

"Wuuuuuuaaaa...!" Takasima memekik, tu-

buhnya gontai terhantam pukulan tangan Jaka. 

Pukulan Rajawali Menyapu Mega, menjadikan 

muka Takasima yang terhantam bagaikan di-

hantam ribuan kati. Mukanya bagaikan hancur 

tulang belulangnya, darah muncrat dari hidung 

dan mulutnya. Takasima masih terhuyung, ma-

nakala Jaka kini kembali melompat menyerang 

dengan tendangan geledeknya. 

"Hiiiiiiiiiaaaaaaaaattttt...!" Mata Takasima membe-

liak kaget, manakala kaki Jaka bagaikan sebuah 

larikan sinar yang menderu ke arahnya. Kaki Ja-

ka kini sukar untuk diterka. Namun begitu, Taka-

sima tak mau tinggal diam begitu saja. Takasima 

kembali berusaha menangkis dengan babatan 

samurainya, namun gerakan Jaka ternyata lebih 

cepat. "Bug!"

"Wuuuuuuaaaaa...!" Takasima menjerit, 

dadanya yang terkena tendangan terasa sesak. 

Darah muncrat dari mulutnya, menjadikan Taka-

sima benar-benar sekarat. Tubuh Takasima 

menggelepar bagaikan ayam dipotong. Dadanya 

terasa sangat sesak, sementara matanya melotot 

memandang ke arah Jaka Ndableg.

"Pulanglah! Katakan pada Rajamu, Taka


Nata. Aku akan datang dan menuntut dia turun 

dari tahta yang bukan haknya!"

Takasima tak banyak bicara, dengan terta-

tih-tatih sambil pegangi dadanya yang sakit Taka-

sima menurut pergi tinggalkan hutan tersebut. 

Namun belum juga kakinya jauh melangkah, tiba-

tiba sebuah pedang berkelebat membabat leher-

nya.

"Craaaaassss...!"

"Aaaaaaaaaaaaaaa..,.!" Takasima memekik, 

sedangkan Jaka tersentak kaget. Kedatangan 

bayang tersebut sungguh begitu cepat, dan sukar 

untuk diikuti. Kepala Takasima menggelinding, 

tubuhnya sejenak kaku dan akhirnya ambruk 

tanpa nyawa. Sementara orang yang membabat-

kan samurainya kini telah berdiri di hadapan Ja-

ka. Orang tersebut menjura hormat. Seorang lela-

ki setengah baya, berpakaian merah dengan deko-

ratif naga. Itulah Naga Merah, orang yang telah 

menghilang sejak kekalahannya melawan Taka 

Nata. Naga Merah kembali berkelebat, cepat tanpa 

mampu dicegah. Kini Naga Merah berkelebat ke 

arah para Ninja Merah bertempur. Pedangnya 

bergerak cepat, menyerang Ninja Merah yang ma-

kin terdesak saja. "Wuuuuuuaaa...!"

Setiap samurai Naga Merah berkelebat, 

saat itu pula nyawa Ninja Merah lepas dari ra-

ganya. Tak begitu lama, satu persatu Ninja Merah 

berguguran. Dalam waktu singkat semua Ninja 

Merah habis terbantai. Jaka bermaksud menanya 

siapa adanya Ninja Merah, namun orang tersebut 

telah mendahului pergi. Jaka hanya mampu ter


jengah, diam, memandang ke arah tujuan Naga 

Merah. Tujuan Naga Merah adalah kerajaan. Naga 

Merah rupanya telah tahu kalau Taka Nata kini 

menjadi Kaisar setelah menggulingkan Kaisar per-

tama.

***


ENAM



Jaka Ndableg merasa bahwa orang yang 

baru saja membantu menumpas Ninja Merah, 

tentunya mempunyai hubungan dengan para Nin-

ja tersebut. Entah hubungan permusuhan, atau 

hubungan sebagai seorang yang bertugas mem-

bunuh setiap Ninja yang kalah. Jaka merasa per-

lu untuk menguntit orang tersebut, maka dengan 

segera setelah orang berpakaian merah dengan 

gambar naga itu pergi, Jaka pun berkelebat men-

gikutinya.

"Aku harus menjaga jarak." ucap Jaka da-

lam hati. Jaka berlari dengan agak lamban, ia 

sengaja ingin menjaga jarak antara dirinya den-

gan orang tersebut.

Sementara itu, para prajurit yang melihat 

kepergian Jaka menuju ke Kerajaan segera mela-

porkannya kepada Kaisar tentang dugaannya. 

"Kami rasa, Pendekar itu hendak menga-

dakan pemberontakan pada Taka Nata."

"Mengapa kau berkata begitu, Perdana 

Mentri?" tanya Kaisar.

"Barusan tadi, ia menyuruh pada Takasima 

untuk memberitahukan pada Taka Nata bahwa 

dirinya akan mengambil kembali tahta yang bu-

kan hak Taka Nata. Namun Takasima keburu di-

bunuh."

"Dibunuh...?"

"Benar, Kaisar. Takasima mati dibunuh 

oleh Naga Merah." tutur Perdana Mentri. "Dan ru-

panya Naga Merah pun hendak bertujuan sama. 

Naga Merah pun hendak mengadakan pembala-

san pada Taka Nata, Kaisar." 

"Kalau begitu, kita segera ke sana!" Perda-

na Mentri segera siapkan pasukannya, lalu den-

gan penuh kesiap siagaan mereka pun berangkat 

menuju ke kerajaan. Dalam hati mereka hanya 

ada satu pilihan, kembali merebut tahta, atau 

mati bersama-sama Pendekar Pedang Siluman 

Darah. Dan mereka merasa besar hati manakala 

mengingat bahwa Pendekar Pedang Siluman Da-

rah berada di pihaknya. Mereka sangat mengha-

rapkan Pendekar tersebut mau mengambil kem-

bali tahta kerajaan. 

* * *

Naga Merah yang tengah berlari, segera 

hentikan langkahnya manakala dirinya merasa 

ada yang mengikuti. Naga Merah segera sapu 

pandangannya, mencari orang yang tengah men-

guntitnya. Namun orang tersebut tiada nampak 

olehnya, padahal kini dirinya tengah berada di 

padang yang tiada berpohon. Hanya hamparan


salju saja yang tampak memutih.

"Hem, siapa yang mengikutiku?" tanya Na-

ga Merah dalam hati, lalu dengan acuh kembali 

Naga Merah pun meneruskan perjalanannya. Ja-

ka yang bersembunyi nampak tertegun, ia tahu 

kalau orang yang diikutinya sangat tajam pen-

dengarannya. Jaka tidak ingin dirinya diketahui, 

maka Jaka pun membiarkan Naga Merah menda-

hului menuju ke kerajaan.

"Hem, biarlah orang tersebut pergi, toh 

nanti aku akan dapat menemuinya di kerajaan."

Setelah dirasa orang tersebut telah jauh, 

segera Jaka pun melanjutkan perjalanan menuju 

ke kerajaan. Langkahnya begitu cepat, dengan 

harapan akan segera dapat menyusul orang itu. 

Bila orang itu benar-benar utusan Taka Nata, 

maka ia akan bertindak mendahului. Jaka tahu, 

kalau orang tersebut adalah mata-mata Taka Na-

ta, pastilah keberadaan Kaisar akan segera dapat 

diketahui.

Sementara itu Naga Merah yang merasakan 

bahwa orang yang menguntitnya telah tiada lagi 

terus berlari menuju ke kerajaan. Hatinya dipe-

nuhi oleh tanda tanya akan siapa sebenarnya 

orang yang mengikutinya tersebut. Kalaulah 

orang itu bermaksud jahat, tentunya orang itu 

akan dengan mudah membinasakannya, mengin-

gat ilmu yang dimiliki orang tersebut jauh lebih 

tinggi. Kalau saja orang itu ilmunya macam mi-

liknya, tentu Naga Merah akan mampu melihat 

keberadaan orang yang menguntitnya.

"Hem. siapakah orang tersebut?" tanya Na


ga Merah dalam hati masih terus berlari. Sedang-

kan jaraknya dengan jaka kini makin jauh saja,

Tiada berapa lama kemudian, Naga Merah 

pun sampailah di alun-alun kerajaan. Dirinya 

yang sudah lama meninggalkan dunia persilatan, 

kini tiada dapat dikenali lagi oleh para pasukan 

Ninja yang berlalu lalang hingga dengan mudah-

nya Naga Merah pun sampai pada tempat yang di-

tuju yaitu Kerajaan Samurai Iblis.

Mata Naga Merah memancang pada larikan 

tulisan Kanji yang mengukir di depan alun-alun 

kerajaan. Tulisan besar, dengan pahatan indah 

bertuliskan "KERAJAAN SAMURAI IBLIS"

"Taka Nata, ternyata engkau benar-benar 

berhasil. Tapi, tak akan lama kau memegang 

tampuk pimpinan kerajaan ini! Aku akan men-

gakhirinya." gumam Naga Merah dalam hati. Ka-

kinya kini makin melangkah masuk, menapaki ja-

lanan indah menuju ke istana, menjadikan perha-

tian para Prajurit Ninja Merah yang melihatnya. 

Dan para prajurit penjaga istana pun mendatan-

ginya seraya bertanya. "Adakah Tuan mempunyai 

tujuan hingga Tuan datang ke mari?"

Naga Merah tiada menjawab, hanya ma-

tanya saja yang terus tajam mengawasi ketujuh 

Ninja yang menanya. Dan tanpa diterka oleh para 

Ninja itu, dengan cepat Naga Merah cabut samu-

rainya.

"Wuuuuutttt...!"

"Aaaah....!" ketujuh Ninja Merah memekik 

tertahan melompat mundur hindari serangan Na-

ga Merah.



"Bajero! Serang...!" salah seorang mengo-

mando.

"Hiiiiiaaaaatttt...!"

Ketujuh Ninja Merah itu pun dengan cepat 

menyerang dan mencoba merangsek Naga Merah 

dengan sabetan-sabetan samurainya. Namun Na-

ga Merah bukanlah orang sembarangan. Sejak 

kekalahannya dengan Taka Nata, ia berusaha 

mendalami ilmu yang dimiliki oleh Tiga Naga Dari 

Gunung Fuji. Kitab yang berada di tangan Naga 

Biru kini telah lengkap ia kuasai. Naga Kuning 

adiknya, tak tertolong dan mati keracunan. Te-

kadnya hanya satu, membalas kematian adik-

adik seperguruannya. Dan Naga Merah telah ta-

hu, hanya bekal ilmu yang tinggi saja ia akan 

mampu mengalahkan Taka Nata si Iblis Nippon.

"Wuuuuuutttt....!"

Naga Merah lompat ke samping, elakkan 

serangan samurai ketujuh Ninja Merah. Setelah 

berhasil mengalahkan serangan, dengan cepat 

Naga Merah pun babatkan samurainya ke arah 

lawan.

"Wuuuuuutttt...!"

"Trang....!"

"Aaah...! Ninja Merah lompat mundur, le-

paskan samurainya manakala samurai di tangan-

nya bagaikan tersedok oleh Samurai Naga Merah. 

Namun belum juga para Ninja Merah itu hilang 

kejutnya, Naga Merah telah berhasil kembali ba-

batkan samurainya. 

"Wuuuuuuttt...!"

"Aaaaaa...!" Dua orang dari ketujuh Ninja


Merah tak mampu elakkan serangan. Samurai di 

tangan Naga Merah deras membabat tubuh kedu-

anya. Dan tanpa ampun lagi, keduanya mengge-

liat lalu mati dengan perut terbeset samurai.

"Bajero! Pemberontak.,.!" salah seorang 

Ninja berteriak, hal itu menjadikan semua praju-

rit Ninja yang ada di sekitar tempat itu berdatan-

gan. Mereka segera membantu Ninja-ninja Merah 

lainnya yang nampak terdesak. Jadilah Naga Me-

rah kini dikeroyok oleh para prajurit Ninja.

"Wuuuuutttt...!" Naga Merah sabetkan sa-

murainya, dan berusaha menghindari serangan 

musuh yang datangnya bersamaan. "Kalian ming-

girlah! Aku tiada urusan dengan kalian, tapi aku 

berurusan dengan pimpinan kalian! Taka Nata, 

keluar kau bangsat...!"

"Bajero! Kau berani memaki raja kami!" ba-

lik Ninja Merah membentak, dan tanpa perduli-

kan Naga Merah, Ninja Merah pun kembali men-

geroyok. Sabetan-sabetan samurai di tangan me-

reka makin ganas dan cepat. Namun begitu Naga 

Merah bukanlah pendekar kelas kroco yang gen-

tar menghadapi mereka, setiap babatan samu-

rainya mampu mengundang jeritan kematian bagi 

yang terkena. Korban pun berjatuhan di pihak 

para ninja Merah. Tapi para Ninja Merah bagai-

kan tiada mengenal rasa takut, walau teman-

temannya banyak yang mati jadi korban kemara-

han Naga Merah. Mereka pada umumnya telah 

disumpah, sehingga dalam benak mereka tiada 

kata takut barang secuil pun. 

Naga Merah terus mencerca, berusaha


membuat kematian musuhnya sebanyak mung-

kin. Tujuannya agar supaya Taka Nata mau me-

nampakkan diri menghadapinya. Kini Naga Merah 

tiada memberi ampun bagi para Ninja tersebut, 

dia terus mengamuk membabi buta. Namun jum-

lah Ninja Merah bukannya berkurang, malah kini 

makin bertambah banyak saja. 

Jaka Ndableg yang juga sudah sampai di 

situ, segera berkelebat membantu manakala dili-

hatnya Naga Merah tengah dikeroyok oleh Ninja-

Ninja Merah. Pedang Siluman Darah yang sudah 

siap di tangannya menjadikan kematian bagi yang 

terbabat.

"Wuuuuuttt...!"

"Wuuuuaaaaaa...!"

"Aku bantu, Sobat! Kau telah membantu-

ku, maka aku pun ingin membantumu sebagai 

balasannya!" seru Jaka pada Naga Merah dan te-

rus berusaha menghalau para Ninja. Kini Ninja-

ninja Merah benar-benar terdesak dengan kehadi-

ran Jaka Ndableg. Pedang Siluman Darah di tan-

gan Jaka sangat membahayakan, bila dibanding-

kan dengan samurai di tangan Naga Merah.

"Wuuuuutttt....!"

Tiga Ninja Merah menyerang, namun den-

gan cepat Jaka mengelak, sikutnya menyodok 

Ninja yang di belakang, menjadikan Ninja yang 

terkena menjerit kesakitan. Bukan hanya sikut 

tangan, tapi tumit kakinya juga bagaikan seekor 

kuda menyepak orang yang di belakangnya.

"Dug!" 

"Wadaaaaaauuuuu....!" Ninja Merah yang


berada di belakangnya menjerit, tangan Ninja ter-

sebut pegangi telur burung untanya yang bagai-

kan hendak meledak. Perutnya melilit-lilit mulas, 

dan orang itu pun berguling-guling menahan sa-

kit.

Jaka terus berusaha mengelak, dite-

baskannya Pedang Siluman Darah ke arah samu-

rai lawan yang mengancam dirinya. 

"Wuuuuuttt...!"

"Traaaannngg...!"

"Prak! Prak! Prak...!" tiga kali terdengar 

benturan senjata dan tiga kali itu pula terdengar 

senjata patah. Mata ketiga Ninja yang menye-

rangnya membeliak kaget, manakala melihat sa-

murai di tangannya telah puntung menjadi dua. 

Belum juga ketiganya dapat sadarkan diri karena 

kaget, Jaka telah kembali babatkan Pedang Silu-

man Darahnya ke arah mereka.

"Wuuuuutttt...!" 

"Cras, cras, cras....!"

"Wuuuuuuuaaaa....!" ketiganya memekik, 

pegangi leher mereka yang hampir puntung. Keti-

ganya mengejang berdiri, lalu ambruk tanpa nya-

wa lagi. Darah tiada keluar dari luka-luka mere-

ka, kering terhisap oleh Pedang Siluman Darah.

Melihat rekannya mati, sepuluh Ninja me-

nyerang ke arah Jaka.

"Wuuuuuuttttt....!" sepuluh samurai ba-

reng menyerang, menjadikan Jaka mau tidak mau 

harus melompat mundur. Tapi belum juga tu-

buhnya ke belakang, lima orang Ninja yang bera-

da di belakangnya sodokkan samurainya. Jaka


lentingkan tubuh ke udara, hal tersebut menjadi 

fatal bagi penyerangnya. Kesepuluh Ninja dan li-

ma rekannya saling serang.

"Wuuuuusss...!" 

"Cras! Cras....!"

"Bles! Bles...!"

"Wuuuuuuaaaaaa....!" Lima orang Ninja 

saling tusuk, mata mereka mendelik saling pan-

dang. Hal itu berjalan sesaat, sebelum kemudian 

kesepuluh Ninja yang saling tusuk itu ambruk 

tanpa memiliki nyawa lagi.

Pertarungan dua dikeroyok oleh ratusan 

Ninja Merah terus berjalan. Bersamaan makin 

ramainya pertempuran tersebut, nampak datang 

pasukan samurai pembela Kaisar dipimpin lang-

sung oleh Perdana Mentrinya. Pasukan samurai 

itu langsung amprok bertempur dalam arena pe-

perangan. Makin serulah pertarungan tersebut, 

kini jumlah mereka seimbang.

* * *

Taka Nata yang mendengar keributan di 

luar nampak menggeram marah. Dengan me-

nyiapkan segala yang dimiliki, Taka Nata segera 

berkelebat ke luar menemui para pasukannya 

yang kini tengah bertempur dengan pasukan mu-

suh.

"Bajero! Pendekar Tanah Jawa, aku mene-

muimu!" Taka Nata berseru menantang, manaka-

la dilihatnya Jaka Ndableg ada di antara prajurit 

Ninjanya. Jaka Ndableg nampak tengah menga


muk, sehingga hampir setiap sabetan Pedang Si-

luman Darahnya membuat Ninja-ninja Merah me-

regang nyawa dan mati dengan darah mengering. 

Hal tersebut mampu membeliakkan mata Taka 

Nata. Ia selama menjadi Pendekar baru kali ini 

menemukan senjata aneh, sebuah senjata yang 

memancarkan sinar kuning kemerahan. Dan yang 

lebih aneh, dari ujung pedang itu mengeluarkan 

darah membasahi batangnya.

"Pedang aneh! Sungguh benar apa yang di-

kabarkan rekan-rekanku di Tanah Jawa, bahwa 

Pendekar ini mempunyai pedang aneh yang 

mampu mengeluarkan darah. Tapi aku tidak ta-

kut, sebab aku memiliki samurai Iblis yang mam-

pu membunuh dengan asap. Hiiiiiiiiaaaattt...!"

Jaka Ndableg tersentak, manakala dirasa-

kannya sebuah sabetan pedang di atas kepalanya. 

Segera Jaka rundukan tubuhnya mengelak.

"Wuuuuuutttt...!"

Jaka Ndableg sabetkan Pedang Siluman 

Darah ke atas, tangkis serangan yang menye-

rangnya. Taka Nata rupanya tidak ingin menga-

dakan bentrokan pedang dengan Jaka, sehingga 

dengan cepat Taka Nata tarik kembali serangan-

nya.

"Kau rupanya muncul juga, Taka Nata?"

"Hu, ha, ha...! Tak akan ada orang yang 

mampu mengalahkan aku! Akulah pendekar no-

mor wahid di dunia ini.,.!" 

"Sombong!" Jaka menggertak. 

"Kau Pendekar Jawa, apa hakmu ikut 

campur dalam urusan ini!"


"Aku berhak!" jawab Jaka. "Kau dan re-

kanmu telah membuat Tanah Jawa membara! 

Kau tiada lebihnya Iblis!"

"Bajero! Aku bunuh kau, hiiiiiiiaaaatt...!"

"Wuuuuuutttt....!" Taka Nata sebatkan Sa-

murai Iblisnya, dan dari sabetan tersebut keluar 

asap bergulung-gulung menyerang ke arah Jaka. 

Jaka Ndableg telah siap menghadapinya, segera 

Jaka pun kebaskan Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuutttt...!"

"Duuaaar....!" 

Dua kekuatan yang terpancar dari dua pe-

dang bertemu, menjadikan ledakan hebat yang 

mampu mengguncang tanah di situ. Tanah bagai-

kan diguncang gempa hebat. Taka Nata kembali 

dengan cepat kebatkan Samurai Iblisnya.

"Wuuuuutttt...!" 

"Wuuuuuutttt.....!" 

Jaka Ndableg pun tak mau kalah, Pedang 

Siluman Darah berkelebat memapakinya. Dan se-

perti pertama, kembali terdengar suara ledakan 

manakala dua kekuatan itu kembali bertemu. Ke-

dua pendekar beda haluan itu terus saling se-

rang, sukma Ratu Siluman Darah dan Sukma Ib-

lis Pranutu masuk ke dalam pedang mereka. Dan 

manakala pedang tersebut saling bertemu, tiba-

tiba kedua pedang itu terbang dan lepas dari tan-

gan keduanya. Keduanya tiada hiraukan, kedua-

nya kini terlibat perkelahian tangan kosong tanpa 

senjata di tangan masing-masing.

Taka Nata ajukan jotosan ke muka, dengan 

jurus Musang Mencuri Ayam. Gerakan pukulan


Taka Nata begitu cepat, licik dan ganas. Jaka ter-

sentak, coba tepiskan serangan tersebut dengan 

jurus Kucing Menangkap Tikus.

"Hooop!"

"Hiiiiiaaa...!"

"Plek! Tap...!" Jaka berhasil menangkap 

tangan Taka Nata, namun Taka Nata dengan ce-

pat kibaskan tangannya yang tertangkap dengan 

jurus Musang Menjerat. Tangan Taka Nata berge-

rak cepat, sepertinya membuat jerat yang sukar 

dimengerti. Tangannya bergerak lurus, lalu tiba-

tiba menyeruak ke muka Jaka. Hal itu tidak ter-

duga sama sekali oleh Jaka, sehingga Jaka pun 

tersentak lompat mundur lepaskan tangan yang 

tergenggam.

Merasa serangannya berhasil, Taka Nata 

melipat gandakan serangan selanjutnya. Kini bu-

kan jurus ringan lagi, akan tetapi jurus yang me-

matikan dikeluarkannya dalam usahanya segera 

menghentikan pertarungan dengan Jaka Ndableg. 

Jaka tersentak berusaha mengelak, namun....!

"Hiiiiiaaaattt...!"

"Wuuuuuttt...!"

Tangan Taka Nata yang membentuk ca-

karan harimau merangsek ke muka Jaka. Dan 

hal tersebut sukar sekali untuk dihindari Jaka, 

sehingga tanpa ayal lagi mukanya jadi sasaran. 

Beruntung Jaka masih bisa mengegoskan mu-

ka, sehingga hanya dadanya yang terkena caka-

ran tersebut. Mata Jaka membeliak marah, dan 

benar-benar Jaka kini marah demi melihat darah 

merembes dari luka di dadanya.


"Bangsat! Hiiiiiaaaattt....!" Jaka mengge-

rang, dan dengan marahnya berkelebat menye-

rang. Jurus Elang Mengepak Sayap, Menyambar 

Mangsa, juga Mencakar Ayam terus dilancarkan 

berganti-ganti. Hal itu menjadikan Taka Nata kini 

yang kedodoran.

"Wuuuuttt...!"

"Plak...!"

Taka Nata dengan Harimau Menerkam 

Mangsanya berhasil menepiskan tangan Jaka 

yang mencercanya. Jaka kini benar-benar marah 

karena merasa serangannya tiada berhasil, dan 

kemarahannya dilampiaskan dengan ajian Banyu 

Geninya.

"Wooooooaaaarrrrr...!" suara Jaka mengge-

legar, menjadikan orang yang berada dekat den-

gannya mau tidak mau harus menutup telin-

ganya. "Dewa Geni... Dewa Geni...!" Dalam seke-

jap saja tubuh Jaka telah berubah ujud. Tubuh 

Jaka yang tadinya mulus dan tampan, kini tertu-

tup oleh kobaran api yang menyala-nyala.

Taka Nata tersentak, melompat mundur ke 

belakang. Sementara di udara nampak dua sinar 

tengah mengadakan pertarungan. Dua sinar yang 

satu putih perak dan yang lainnya kuning keme-

rah-merahan. Dua senjata tersebut kini dalam 

keadaan siap serang.

Seperti pemiliknya, Ratu Siluman Darah te-

lah terhempas oleh serangan yang dilancarkan 

oleh Iblis Pranutu yang menghuni Samurai Iblis. 

Ratu Siluman Darah begitu marahnya, sehingga 

kini Pedang Siluman Darah benar-benar makin


memerah saja nyalanya.

Dua senjata sakti itu saling serang, seperti 

apa yang kini dilakukan oleh pemiliknya. Dua 

senjata sakti kini melayang, keluarkan sinar dari 

ujungnya. Ratu Siluman Darah kini benar-benar 

murka hingga ajian intinya menggelegar menye-

rang ke arah Samurai Iblis. Tanpa ampun lagi. 

Samurai Iblis yang dihuni Iblis Pranutu pun seke-

tika meledak.

"Duuuuuuuuaaaaaarrrr...!"

Seketika semua yang tengah bertarung 

hentikan pertarungan dan tengadahkan mata ke 

atas. Suara ledakan itu begitu kerasnya, sehingga 

mampu mengejutkan semuanya. Tampak larikan 

sinar putih melesat tinggalkan Samurai Iblis. Itu-

lah yang sebagai tanda bahwa Iblis Pranutu telah 

menghilang. Namun Pedang Siluman Darah sea-

kan tiada menghendaki musuhnya kabur begitu 

saja. Pedang Siluman Darah terus melesat mem-

buru Samurai Iblis.

"Sroooooottt...!" Dari ujung Pedang Siluman 

Darah keluar sinar menyerang ke arah Samurai 

Iblis.

"Duuuuuuuaaaarrr...!" kembali ledakan 

terdengar menggelegar.

"Wuuuuuaaaaa....!"

Bareng dengan hancurnya Samurai Iblis, 

saat itu juga Jaka Ndableg yang telah menjadi 

Dewa Api berhasil hantamkan Inti Apinya ke arah 

tubuh Iblis Taka Nata yang telah berubah ujud 

menjadi Makhluk Setengah Manusia. Api memba-

kar muka Taka Nata yang berbentuk mengerikan


itu, menjadikan Taka Nata tak mampu mengelak-

kannya. Namun walaupun begitu, Taka Nata 

nampak masih bertahan.

"Swiiiiiitttt....!"

Pedang Siluman Darah yang telah berhasil 

membinasakan Iblis Pranutu melayang ke bawah 

menuju ke arah Jaka. Dengan segera Jaka, pun 

menerimanya.

"Tap!"

"Terimalah akhir dari gentayanganmu, Ib-

lis!"

Jaka Ndableg tanpa hiraukan Taka Nata 

yang masih mengerang-erang kesakitan segera 

kembali berkelebat. Tangannya telah siap dengan 

Pedang Siluman Darah.

"Wuuuuuutttt....!"

Taka Nata yang masih mengerang kesaki-

tan dengan api Inti melalap mukanya tak mampu 

mengelakkannya, hingga....!

"Craaas...!"

"Wuuuuuuaaaaa...!" Taka Nata memekik, 

kepalanya puntung dan menggelinding ke salju 

yang membawanya mengalir terus dan jatuh ke 

dalam jurang tak jauh dari mereka bertempur.

Jaka Ndableg angkat tubuh Taka Nata dan 

membawanya menuju ke kerajaan di mana para 

prajurit Ninja masih melakukan perlawanan. Pe-

rang masih berlangsung seru, korban terus berja-

tuhan dari kedua belah pihak. Dengan cepatnya 

kematian menggema, manakala Samurai-samurai 

itu saling bertemu.

Jaka Ndableg dengan menggunakan ilmu


larinya terus melaju menuju ke kerajaan, Dan

manakala sampai di kerajaan, dengan segera Ja-

ka naik ke atas mimbar.

"Lihaaaaattt...! Lihaat..... oleh kalian! Ketua 

kalian telah mati! Apakah kalian semua masih te-

rus ngotot...?!" Diangkatnya tubuh Taka Nata 

tinggi-tinggi, dan seketika itu juga semua mata 

tertuju ke podium. Perang berhenti, para Ninja 

Merah kini benar-benar tercekam rasa takut. 

"Apakah kalian ingin seperti ketua kalian ini?" 

Jaka lemparkan tubuh tanpa kepala Taka Nata ke 

tengah-tengah arena pertempuran. Kini mereka 

semua benar-benar menyadari bahwa mereka bu-

kan tandingan Pendekar Muda itu.

Tanpa diperintah, keseluruh Ninja Merah 

akhirnya menekuk lutut menyerah. Dan hari itu 

juga Kaisar kembali diangkat untuk menduduki 

tahta yang telah ternoda oleh Taka Nata.

"Hidup Pendekar Tanah Jawa....!"

"Hidup Jaka Ndableg...!"

Rakyat bukannya mengelu-elukan Kaisar-

nya, malah sebaliknya mereka mengelu-elukan 

Pendekar yang kini menjadi pahlawan. Rakyat ta-

hu kalau tidak ada Pendekar Muda Jaka Ndableg, 

tentunya Kekaisaran masih berada di tangan Ta-

ka Nata si Iblis Nippon yang kejam.

* * *

Esok paginya, Jaka Ndableg si Pendekar 

Pedang Siluman Darah minta pamit untuk kem-

bali mengelana. Dengan diantar oleh sang Kaisarp

sendiri serta para pejabat pemerintah, Jaka di-

arak menuju ke pantai untuk meneruskan kem-

bali perjalanannya dalam mengembara menegak-

kan keadilan dan kebenaran.

"Kalau kau memang ingin datang, berkun-

junglah ke kerajaan, Tuan Pendekar." pinta sang 

Kaisar. "Kami sungguh akan terus mengenang ja-

samu. Kami akan selalu menganggapmu sebagai 

saudara yang baik. Jangan lupa, sampaikan ke-

pada Raja Tanah Jawa, aku sampaikan terimaka-

sih yang tiada terhingga atas bantuannya." 

"Ah, sudah menjadi tugasku, Kaisar." 

Meimora nampak masih dalam pelukan 

Jaka, sementara mata Meimora masih menitik-

kan air mata. Meimora menangis, sedih karena ia 

harus berpisah dengan orang yang dicintai

"Jakaaaa....?" Pandangan mata Meimora, 

menjadikan Jaka dan semua orang menjadi haru. 

Mereka benar-benar trenyuh melihat Meimora. 

Perlahan Jaka sapukan jemari ke mata lentik ga-

dis malang itu, lalu dengan suara serak menahan 

tangis Jaka berkata:

"Meimora, bukankah kita masih akan da-

pat bertemu?"

Meimora mengangguk.

"Kalau kau ingin berkunjung ke Tanah Ja-

wa, mintalah pada Tuan Kaisar untuk mengan-

tarkanmu," Jaka menambahkan, seraya meman-

dang pada Kaisar yang tersenyum mengangguk.

"Benar, Nona. Dan mulai saat ini, engkau 

aku angkat menjadi anakku, karena kau banyak 

jasanya padaku."


Suka ria hati Meimora, namun ia lebih su-

ka bila Jaka harus menetap di Tanah Nippon un-

tuk selalu menemaninya. Kenangan di hutan sela-

lu menempel lekat di kelopak matanya. Masih te-

ringat manakala Jaka membelai rambutnya me-

sra.

"Jaaaaakkkkkaaaaa...!" Meimora tak dapat 

membendung tangisnya, dipeluknya Jaka dengan 

erat, menjadikan Jaka terdiam trenyuh tak mam-

pu berkata. "Kau milik orang banyak! Kau bukan 

milikku seorang, Jaka. Tapi kau dengarlah, aku 

mencintaimu."

"Terimakasih, Mei."

"Pulanglah ke Tanah Jawa, sebab di sana 

masih banyak tugas yang harus engkau selesai-

kan. Terimalah ini, ini sekedar kenang-kenangan 

dariku. Bila kau ingat aku, maka bukalah dan 

bacalah syair tersebut." Disodorkannya selipatan 

kertas bertuliskan bahasa Jawa. Entah dari siapa 

Meimora memahami tulisan Jawa, yang pasti di 

kertas itu tertulis tulisan Jawa, bukan tulisan hu-

ruf Kanji.

Dengan perlahan-lahan Jaka membu-

kanya, dan dibacanya larikan puisi yang tertera:

"Cinta itu datang, begitu indah. 

Aku sadar, kalau aku memang mencintai-

mu, 

Namun aku juga sadar, bahwa kau milik 

orang banyak. 

Bunga-bunga cinta akan aku sirami, meski 

sang kumbang jauh. ''


Jaka, Temaram hijau hutan belantara, ada-

lah saksi kebisuan yang akan mengenangkanmu 

padaku, juga diriku padamu. 

Aku hanya berucap, Selamat Berjuang!" 

Meimora.

Jaka kembali melipatnya, ada segores rasa 

syahdu menghanyut di pelupuk matanya. Tanpa 

sadar didekapnya erat tubuh Meimora, yang me-

nerimanya dengan pasrah. Dipandanginya wajah 

Meimora, dan tanpa malu-malu dikecupnya bibir 

sang gadis yang seketika itu merona merah pi-

pinya. Dibisikannya untai kata mesra di telinga 

sang gadis. "Aku akan selalu mengingatmu, Mei?"

Mesra suara Jaka terdengar di telinga 

Meimora.

"Jaga dirimu baik-baik," hanya itu yang 

mampu dikeluarkan oleh Meimora. Jaka hanya 

menganggukinya.

"Tuan Kaisar, aku titip dia."

"Aku aku perhatikan, Tuan Pendekar," ja-

wab Kaisar. 

Setelah menyalami semua yang ada di situ, 

Jaka Ndableg pun segera naik ke atas perahu 

yang telah disiapkan oleh penduduk untuk di-

rinya. Dilambaikannya tangan, yang dibalas den-

gan lambaian kagum bercampur sendu oleh ra-

kyat Nippon. Perahu pun melaju, manakala tan-

gan Jaka yang kokoh mendayung.

"Jaaaaaaaakkkkaaaaaaa.....!" Meimora ber-

seru.


Jaka palingkan muka ke arah suara Mei-

mora, lalu dengan perlahan dilambaikannya tan-

gan setelah tangannya sendiri dikecupnya untuk 

menyatakan rasa cinta.... Perahu terus melaju, 

jauh dan makin jauh meninggalkan kerajaan



                             TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar