RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Runtuhnya Samurai Iblis
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Jaka Ndableg dengan ketiga temannya
yang tengah menuju ke tempat di mana para Nin-
ja berkumpul, nampak terus mengajukan kereta
mereka. Hamparan salju seakan tiada mereka hi-
raukan. Hari makin larut malam, sehingga gelap
pun kini menyelimuti tempat tersebut. Untung sa-
ja hamparan salju mampu memantulkan cahaya.
"Kita istirahat di sini," perintah Panglima
Perang pertama pada rekan-rekannya. "Kusir,
hentikan kereta."
Sang kusir tiada membantah, hentikan ke-
retanya.
"Apakah kita akan di sini sampai menung-
gu pagi?" tanya yang lainnya agak jengah, lebih-
lebih Meimora.
"Tidak usahlah kalian pikirkan," jawab
Panglima pertama, memberikan keyakinan
"Bukankah ada Tuan Pendekar Pedang Si-
luman Darah di sini?"
"Benar!" sambung Panglima kedua. "Tapi
apakah kita akan dalam gelap?"
"Memang kita perlu api," ulas Jaka. "Bu-
kankah di sini suasana begitu dingin?"
Semuanya mengangguki, lalu Jaka pun
meneruskan. "Di samping itu pula, kita tentunya
tidak ingin adanya binatang buas mengusik diri
kita."
"Tepat! Mari kita cari ranting kering."
"Di mana kita mencarinya, Kakak Mozeta?"
tanya Perwira kedua. "Bukankah kini saatnya
musim salju?"
"Benar, benar."
Semua yang ada di situ tampak agak ke-
cut, karena merasa bahwa usahanya untuk men-
dapatkan kayu-kayu kering akan mengalami ke-
gagalan. Sementara Jaka Ndableg agaknya hanya
diam, membiarkan mereka berpikir. Meimora se-
pertinya enggan untuk beranjak jauh dari Jaka,
yang seakan merupakan perlindungan bagi di-
rinya. Entah karena apa, kini Meimora benar-
benar merasakan adanya suatu getaran aneh di
hatinya. Hati kecilnya sebagai seorang wanita me-
rasakan hentakan untuk mengutarakan kata-
kata. Namun begitu, keadaannyalah yang selalu
menyembunyikan hal tersebut.
"Kalian carilah kayu-kayu itu, walau ba-
sah."
Tercengang dua Panglima dan Kusir men-
dengar perintah Jaka yang dirasa aneh. Ketiganya
kerutkan kening, lalu Panglima pertama pun ber-
tanya. "Untuk apa, Tuan Pendekar?"
"Yang jelas, tentunya untuk api unggun,
bukan?" Jaka balik menanya, menjadikan keti-
ganya terbengong makin melongo tiada mengerti.
Dengan penuh ketidakmengertian akhirnya keti-
ganya pun pergi juga mencari kayu untuk api un-
ggun. Sementara itu Jaka kini tinggal berdua
dengan Meimora. Meimora nampak memandang-
nya dalam dan penuh arti. Mata Meimora berka-
ca-kaca, sepertinya hendak mengutarakan akan
apa yang ada di hatinya. Bibirnya, bergerak
gerak, namun tiada kata yang terucapkan.
Jaka yang tahu keadaan Meimora nampak
kasihan. Di sisi lain, dirinya benar-benar ingin
menjadi seorang lelaki yang setia pada seorang
wanita yang pernah dan sampai kini masih ia cin-
tai. Lelaki mana pun, tentunya akan begitu saja
lupa pada kekasihnya bila digoda wanita. Apalagi
wanita itu begitu cantik, pasrah padanya walau
tiada terucap lewat kata. Jaka tahu itu, tapi ia
benar-benar ingin setia pada kekasihnya.
"Oooooh....! Miranti, sedang apakah engkau di
Tanah Jawa malam ini?" tanya Jaka dalam hati.
Lama keduanya diam, sampai akhirnya ke-
tiga orang yang mencari kayu datang kembali ke
tempat mereka. Ketiganya telah membawa sebo-
pongan kayu basah.
"Braaak...!" Kayu-kayu itu dilempar begitu
saja menjadi satu timbunan. Kini kelimanya ter-
diam, sebab kelimanya tiada yang membawa ko-
rek api.
"Bagaimana membakarnya? Sedangkan ki-
ta tidak seorang pun yang memiliki korek api?"
tanya ketiganya bingung.
Jaka tersenyum, lalu katanya tenang. "Ka-
lian menyingkirlah agak jauh, biarkan aku di sini
sendiri."
"Mau apa?" tanya ketiganya kembali, tak
mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Ja-
ka Ndableg. "Apakah Tuan Pendekar membawa
korek api?"
Jaka Ndableg terdiam. Sebenarnya ia tidak
ingin mengatakan bahwa dirinya akan menggu
nakan ajian Banyu Geni untuk menyalakan kayu-
kayu basah tersebut, namun dikarenakan me-
mang agak sukar juga, maka Jaka akhirnya ber-
terus terang. "Kalian tahu apa yang telah terjadi
denganku tadi sore tatkala menghalau musuh?"
Kesemuanya yang ada di situ saling pan-
dang.
"Ooooh, benar! Rupanya Tuan Pendekar
hendak menggunakan ilmu yang Tuan miliki?"
tanya Panglima kedua. "Wah, mengapa kita tidak
berpikir sampai di situ?"
"Benar!" tambah Panglima pertama.
"Nah, kalian menyingkirlah agak jauh se-
bab aku tidak menghendaki kalian tersiksa oleh
panasnya api yang aku keluarkan."
Tanpa banyak kata lagi keempatnya pun
mundur beberapa tombak untuk menjaga jarak
dari sengatan api Banyu Geni. Sementara Jaka
Ndableg kini nampak terpekur duduk bersila.
Tangannya menyilang di depan dada, sedangkan
mulutnya nampak komat kamit membaca mante-
ra-mantera yang dipelajarinya dari kitab Banyu
Geni. Perlahan dari tubuh Jaka keluar asap men-
gepul. Tubuh Jaka Ndableg membara. Mulanya
bara api yang keluar dari tubuh Jaka tidak terlalu
panas, namun makin lama makin terasa panas-
nya, bahkan membara bagaikan tiada terkira.
"Hooooaaaarrrr...!" Dewa Api mengoar, dari
mulutnya dan mata semburkan api ke arah tum-
pukan kayu-kayu basah tersebut. Dan dikarena-
kan kayu-kayu itu basah, maka Dewa Aji benar-
benar harus menguras tenaga benar-benar. Bara
api terus menyembur dari mata dan mulutnya.
Mengeringkan kayu-kayu yang berada di tempat
tersebut. Hawa panas kini benar-benar terasa
menyengat oleh keempat rekannya yang berdiri
sepuluh tombak darinya. Semuanya terkesiap,
mereka baru melihat kejadian yang seperti dalam
dongeng saja. Mereka memang mengenal Dewa
Api, namun baru kini mereka benar-benar berha-
dapan dengan Dewa Api sesungguhnya.
"Tidak aku sangka, ternyata aku dapat me-
lihat Dewa Api," Meimora berkata dalam hati. Ia
begitu kagum pada Jaka Ndableg, yang sebenar-
nya adalah Dewa Api menurutnya. Kini Meimora
benar-benar bagaikan terhanyut oleh khayalan
yang tercipat lewat kekagumannya pada Jaka ser-
ta cinta yang memang tumbuh. "Tapi, apakah aku
akan diterimanya? Sedangkan menurut cerita, ti-
tisan Dewa Api tidaklah menghendaki gadis yang
sudah tidak perawan...? Oooo...." Meimora hanya
mampu mengeluh dalam hati.
Rupanya kekaguman pada Jaka Ndableg
yang merupakan titisan Dewa Api bukan pada
Meimora saja, akan tetapi semua yang kini me-
nyaksikannya juga terkagum-kagum. Dalam hati
ketiga lelaki tersebut berkata, "Seandainya aku
dapat mengabdi padanya, sungguh aku akan me-
nunjukkan darma baktiku. Rupanya Dewa Api
benar-benar datang dan menitis lewat seorang
Pendekar muda yang tampan dan tidak sombong,
yang berasal dari Tanah Jawa Dwipa."
Api kini membakar sedikit demi sedikit
tumpukan kayu yang menjadi tumpahan serangan Jaka Ndableg si Dewa Api. Makin lama makin
membara api tersebut, sehingga hawa dingin yang
tadinya menggigil kini lambat laun menghilang
berganti dengan rasa hangat yang mampu mem-
buat orang-orang yang berada di situ seakan hi-
lang keletihannya.
Sementara itu keempat orang yang berada
sekitar sepuluh tombak tiada berani mendekat.
Sedangkan Jaka Ndableg sendiri kini nampak
masih terpaku bersemedi. Lambat laun api yang
tadi menyelimuti tubuhnya hilang. Jaka Ndableg
pun kembali ke bentuk asalnya, sebagai seorang
pemuda tampan. Keberingasan sebagai Dewa Api
kini menghilang, berganti dengan wajah penuh
kasih Jaka Ndableg.
"Kalian ke marilah!" Jaka berseru, manaka-
la melihat keempatnya masih nampak terpaku di-
am di tempatnya. "Kalian datanglah mendekat,
kini tak akan kalian celaka."
Keempat orang Jepang itu segera mende-
kat, dan dengan tanpa diduga oleh Jaka, keem-
patnya segera menjura. Serempak keempatnya
berkata. "Terimalah sembah hormat kami, Dewa
Api?"
"Ah.,.!" Jaka terpekik. "Mengapa kalian
berbuat begitu?"
Namun ucapan Jaka bagaikan tiada ter-
dengar oleh keempatnya, yang masih menjura.
Bahkan kini mereka makin mendalamkan hor-
matnya. Hal tersebut makin menjadi rasa jengah
bagi Jaka. Baru sekali ini ia mendapat penghor-
matan yang begitu tinggi dari orang-orang Jepang
yang biasanya tidak mengenal rasa rendah diri.
"Hem, mereka mengira aku benar-benar titisan
Dewa Api. Seorang Dewa yang menurut mereka
sangat berarti," gumam Jaka dalam hati.
"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"
tanya Jaka.
"Kami tidak menghendaki apa-apa dari Pu-
kulun. Kami hanya menghendaki sudilah Puku-
lun menerima kami sebagai hamba setia, Puku-
lun. Hingga dengan begitu, kiranya kami akan
benar-benar telah mengabdi dengan tulus pada
Pukulun Dewa Api. Dewa Agung bagi kehidupan,"
yang berkata Panglima pertama, sepertinya me-
wakili apa yang ada di dalam hati ketiga rekan-
nya.
"Aku bukan Dewa," jawab Jaka.
"Ah, mengapa Pukulun mesti menyembu-
nyikan diri?" keluh keempatnya bareng, makin
menjadikan Jaka bertambah tidak mengerti saja.
Namun Jaka tidak mengingini mereka merasa
disepelekan, maka dengan tersenyum-senyum
menahan geli Jaka akhirnya berkata.
"Baiklah, kalau kalian memang mengang-
gap aku Dewa. Tapi, aku tidak ingin kalian mele-
bihkan diriku. Saat ini, aku adalah teman kalian,
maka kalian sepantasnyalah bersikap sebagai
seorang teman biasa."
"Daulat, Pukulun...." jawab mereka semua.
"Nah, karena kalian sudah mengakui, ma-
ka kalian aku perintahkan untuk memanggilku
dengan sebutan namaku saja."
Ke empatnya mengangguk.
"Sekarang kalian istirahatlah."
Mendengar ucapan Jaka Ndableg, dengan
tidak membangkang karena merasa yang bicara
adalah Dewanya. Dengan bersender pada po-
hon-pohon pinus yang berada di situ, keempatnya
melepas lelah. Namun begitu, keempatnya seperti
tiada mau pejamkan mata, bahkan Meimora yang
hatinya telah benar-benar terpaut oleh Jaka per-
lahan-lahan mendekati Jaka Ndableg yang tengah
duduk.
Jaka yang sedang duduk tersentak kaget
tatkala tanpa sepengetahuannya Meimora telah
berdiri di sampingnya. "Nona Mei...?"
Meimora tersenyum manis penuh arti,
menjadikan Jaka hanya mampu membalas se-
nyumannya. "Boleh aku duduk...?" tanyanya
merdu.
"Boleh, mengapa tidak?" jawab Jaka. "Tapi,
apakah Nona tidak lelah?" tanya Jaka kemudian.
Meimora gelengkan kepala, lalu duduk di
samping Jaka.
Mata Meimora kini tajam memandang Ja-
ka, sedangkan Jaka sendiri bagaikan tiada men-
gerti. Jaka Ndableg kini tengah asik dengan la-
munannya, di mana kini bayangannya terlintas
wajah-wajah gadis yang pernah dikenalnya. Na-
mun dari sekian gadis yang pernah dikenalnya,
hanya tiga gadis yang kini benar-benar melekat
erat di hatinya. Gadis pertama adalah Ayu Sakiti,
kedua Miranti, dan yang ketiga adalah gadis yang
kini berada duduk di sampingnya. Dengan Mei-
mora Jaka hanyalah kasihan. Ya! Jaka merasa
terpanggil untuk menyayanginya, dikarenakan
kini hidup Meimora bagaikan hidup dalam liputan
badai. Kalau hatinya tiada tentram, maka sudah
dipastikan dirinya akan nekad. Meimora benar-
benar merasakan hidupnya tiada arti lagi setelah
diperkosa oleh kesepuluh orang Ninja anak buah
Taka Nata.
"Kau melamun, Jaka...?" Tersentak Jaka
ditanya begitu. "Siapa yang engkau lamuni? Apa-
kah gadis-gadismu yang ada di Tanah Jawa sa-
na?" kembali Meimora bertanya, nadanya terselip
rasa cemburu. Dan kembali Jaka tersenyum, rasa
ingin menghibur hati Meimora menjadikan Jaka
harus mampu membawa ketabahan hati gadis
itu.
"Aku...?" Jaka bertanya, diangguki oleh
Meimora dengan matanya memandang tiada lepas
ke arah Jaka. "Aku kini memikirkan dirimu, Mei."
Tersipu-sipu Meimora mendengar jawaban
Jaka, sebab ia tiada mengira Jaka akan berkata
begitu. "Mengapa mesti aku, Jaka? Tidakkah ma-
sih banyak gadis yang belum rusak sepertiku
yang mencintai dirimu?"
Jaka tarik nafas panjang demi mendengar
ucapan Meimora yang seakan tiada gairah untuk
menikmati kehidupan. Rasa keputusasaan karena
menganggap dirinya tiada harga menjadikan
Meimora benar-benar menjadi seorang gadis yang
sensitif dan cepat perasa. Hal tersebut dilu-
kiskannya dengan tetesan air mata di kedua be-
lah pipinya yang putih. Hal tersebut makin tre-
nyuh menyengat di hati Jaka yang benar-benar
merasa kasihan pada nasib Meimora.
"Mengapa engkau mesti menangis?" Di-
sapunya air mata Meimora hingga menjadikan
Meimora tatap kembali wajahnya. Pelan jari jema-
rinya Meimora yang halus itu menempel di tangan
Jaka, dan pelan-pelan juga tangan Meimora hen-
tikan ulasan tangan Jaka. Ditekankannya tangan
Jaka di pipinya, lalu tanpa memperhatikan Jaka
dikecupnya tangan Jaka mesra.
Ketiga lelaki lainnya sebenarnya tidak ti-
dur. Mereka pura-pura tidur dikarenakan mereka
tidak ingin mengganggu kedua muda mudi yang
diketahui mereka tengah terjerat api cinta. Maka
sebagai seorang sepuh yang mengerti, ketiga lela-
ki itu pun pura-pura tidur dengan palingkan mu-
ka ke arah lain.
"Benarkah kau mau menerima diriku yang
sudah tiada arti?"
Jaka tersenyum, gelengkan kepala dan
berkata. "Kau masih memiliki arti, Mei. Mungkin
di mata manusia, kesucian seorang gadis sangat
berarti. Tapi di mata Tuhan, segalanya sama. Dan
bukankah semua itu bukan engkau yang meng-
hendaki?"
"Oooooh.... Jaka...." Meimora mendesis, re-
bahkan kepala di pundak Jaka Ndableg. "Baru
kali ini aku melihat seorang lelaki gagah yang ber-
jiwa gagah pula."
Meimora terus genggam tangan Jaka. Per-
lahan, muka Meimora mendekat dan makin lama
makin dekat. Jaka tiada mampu untuk menolak,
sebab dia sendiri tiada ingin membuat Meimora
kecewa. Maka manakala Meimora tempelkan bi-
birnya ke bibir Jaka, Jaka pun hanya membalas
dengan lembut. Tiada terasa, kini keduanya be-
nar-benar terhanyut dalam alunan syair. Malam
pun makin mengerti, desahkan lagu lewat angin
yang sejuk. Sedangkan api kini membara, seakan
memberi semangat cinta pada keduanya.
* * *
Jaka tersentak, lepaskan pelukan Meimora
yang juga tersentak kaget. Namun kekagetan ke-
duanya berbeda. Jaka kaget dikarenakan men-
dengar gemereseknya suara langkah kaki yang
mendekat ke arahnya, sedangkan Meimora kaget
karena Jaka melepaskan pelukannya.
"Ada apa, Jaka?" tanya Meimora, matanya
memandang tajam ke arah pandangan Jaka. Na-
mun matanya tiada melihat apa-apa. dan hanya
gelap saja yang terpampang di sana. Sedangkan
Jaka, dengan mata batinnya yang tajam mampu
melihat bayangan yang berdiri agak jauh dari me-
reka. Bayangan tersebut, merupakan wujud dari
seorang lelaki tua. Bukan hanya Meimora dan Ja-
ka yang tersentak, akan tetapi ketiga lelaki yang
tadinya pura-pura tidur pun kini terbangun demi
mendengar gesekan langkah berat. Namun seperti
Meirmora, ketiga lelaki itu pun tiada melihat wu-
jud dari orang yang melangkah.
"Ada apakah, Tuan Pendekar?" tanya Pan-
glima pertama.
"Ya! Sepertinya Tuan Pendekar tengah
memperhatikan sesuatu," lanjut Panglima kedua,
dan keduanya pancarkan mata mereka ke arah
yang dipandang Jaka Ndableg. Namun sampai
mata mereka dibuat mendelik, keduanya tiada
mampu melihat apa yang sebenarnya kini dilihat
oleh Jaka.
Keempatnya makin belalakkan mata, ma-
nakala Jaka perlahan bangkit dari duduknya dan
berjalan ke arah yang dipandanginya sejak tadi.
Keempatnya hanya terpaku dengan ketakutan
yang teramat sangat, namun bila mengingat bah-
wa di situ ada Pendekar Pedang Siluman Darah
yang mereka anggap Dewa, ketakutan mereka
pun hilang dengan sendirinya.
Jaka makin mendekat ke tempat yang ditu-
ju, lalu setelah jarak tinggal dua tombak Jaka
pun berkata. "Siapakah engkau adanya, Ki?"
"Aku Penguasa hutan ini, Tuan Pendekar,"
jawab bayangan tua yang berpakaian serba merah
menyala. "Aku sengaja datang menemuimu, Tuan
Pendekar. Aku diutus oleh Siluman Darah dari
Tanah Jawa untuk mengawasi dan membantu-
mu."
"Terimakasih sebelumnya," jawab Jaka
hormat. "Lalu siapakah sebenarnya dirimu, Ki?"
Lelaki tua renta berpakaian merah menyala
dehem sesaat, kemudian menjawab. "Aku Ki Dae-
tokoyono, atau si Siluman Api."
"Hem, tentunya engkau telah mengenalku.
Nah, apa yang menjadikan engkau tampakkan
ujud, Siluman Api?" tanya Jaka masih menghor-
mat. "Kalau kau ingin menolongku, tentunya kau
mau mengatakannya padaku apa yang akan kau
lakukan, bukan?"
"Demi engkau si Dewa Api, atau Pendekar
Pedang Siluman Darah, aku sebagai abdimu,
bermaksud memberikan sebuah kabar pada eng-
kau Dewa Api. Kabar itu, tidak lain bahwa sesaat
lagi, musuh akan datang menjarah tempat ini."
"Oooooh, benarkah?"
"Sungguh aku tiada berani mendusta pa-
damu."
"Lalu apa yang perlu aku lakukan?" tanya
Jaka kembali.
"Musuh akan datang bersama seorang sak-
ti yang bergelar Iblis Kebal Pukulan. Hadapilah
dia dengan senjatamu, niscaya dia akan dapat
engkau kalahkan. Nah, hati-hatilah. Aku hanya
membantu memberikan informasi, sedangkan
penjalanannya terserah padamu, Pendekar Pe-
dang Siluman Darah." Habis berkata begitu, tiba-
tiba tubuh Siluman Api pun hilang dari pandan-
gan, sementara Jaka kini kembali melangkah me-
nuju ke tempat di mana rekan-rekannya berada.
"Ada apakah? Seperti Tuan bercakap-
cakap?" tanya ketiga lelaki Jepang tersebut.
"Tidak ada apa-apa. Sekarang kalian di sini
dulu, aku akan pergi menangkap hewan hutan
yang akan dapat menjadi pengganjal perut kita
yang telah kosong ini."
Belum juga keempatnya menjawab, tiba-
tiba Jaka telah berkelebat pergi meninggalkan
mereka. Keempat orang Nippon tersebut hanya
mampu bengong. Namun kebengongan mereka
hanya sesaat, manakala tiada begitu lama Jaka
telah kembali dengan empat ekor burung hutan.
"Nah, kiranya burung-burung ini akan mampu
menangkal lapar kalian," ucap Jaka seraya duduk
kembali di tempatnya. Diambilnya cabang pohon
yang berada di situ, lalu diputuskannya ranting-
ranting cabang pinus tersebut. Dengan dibantu
oleh keempatnya Jaka mengkulit bulu-bulu bu-
rung tersebut. Sebenarnya bukan karena perut
lapar hingga Jaka mencari burung-burung hutan
yang besarnya sebesar ayam, akan tetapi Jaka
sengaja hendak mengundang musuh yang dikata-
kan oleh Siluman Api datang. Dengan mencium
bau bakaran daging, tentunya para musuh akan
mudah mengetahui keberadaan dirinya.
"Tuan Pendekar, kami merasa heran den-
gan Tuan," celoteh Kusir kereta.
"Mengapa?" tanya Jaka tak mengerti. "Ba-
gaimana mungkin dalam waktu cepat Tuan mam-
pu mendapatkan lima ekor burung ayam-ayaman
ini?"
Jaka tersenyum, sepertinya menertawakan
dirinya sendiri. Memang benar akan apa yang di-
katakan Kusir kereta tersebut. Bagaimana mung-
kin dalam secepat itu Jaka mampu mendapatkan
lima ekor burung ayam-ayaman? Dan bukankah
di hutan pinus ini tiada suara burung seekor
pun? Sebenarnya Jaka tidak mencari burung
ayam-ayaman. Dan sebenarnya yang kini tengah
mereka bakar adalah ayam kampung. Waktu Ja-
ka pamit mencari burung, dengan menggunakan
ilmu larinya yaitu ajian Angin Puyuh, Jaka men
datangi rumah-rumah penduduk yang jaraknya
hampir dua puluh mil. Namun dikarenakan Jaka
lari bagaikan terbang dengan ajian Angin Puyuh
tingkat pamungkas, maka hanya dalam waktu li-
ma menit saja Jaka telah sampai di perkampun-
gan dan mencuri lima ekor ayam tersebut. Di
samping itu pula, maksud Jaka sebenarnya
hanya ingin berjaga, dan ingin mengawasi keda-
tangan musuh.
Manakala Jaka melihat bahwa musuhnya
masih belum nampak, Jaka kembali lagi dengan
membawa ayam-ayam tersebut. Jaka berangga-
pan bahwa musuhnya mungkin tiada tahu tempat
mereka, sehingga dengan cara membakar daging
baunya akan menyebar ke seantero tempat terse-
but, juga akan terbawa angin. Namun untuk me-
nutupi bahwa dirinya telah berpatroli, Jaka pun
menjawab kalem. "Yah, kebetulan burung-burung
tersebut tengah tidur, sehingga aku tidak sulit
menangkapnya."
Jawaban Jaka memang masuk akal, se-
hingga keempatnya tiada lagi bertanya-tanya. Kini
mereka pun disibukkan oleh ayam-ayam yang ki-
ni mereka panggang. Bau ayam panggang benar-
benar menjadikan kelimanya kini leletkan lidah.
Rasa lapar pun seketika mengucak perut mereka.
Sedangkan asap dari pembakaran tersebut
benar-benar tersebar ke segenap penjuru hutan.
Bahkan asap bakaran tersebut tersebar sampai di
luar hutan, di mana alam gelap menghampar me-
nyelimuti muka bumi. Asap bakaran daging me-
mang mampu menjadikan hidung yang mencium
nya akan dapat segera mengetahui di mana kebe-
radaan tempat tersebut. Seperti halnya orang-
orang yang nampak berlari-lari dengan ringannya,
seakan mereka tengah terburu-buru oleh waktu.
Orang-orang tersebut berpakaian hitam dengan
tutup muka yang juga berwarna hitam. Di pun-
dak mereka nampak samurai melekat, sedangkan
di tangan mereka tergenggam senjata lain yang
beraneka ragamnya. Jumlah mereka hampir
mencapai lima puluh orang. Mereka tiada lain da-
ri pasukan Ninja yang diperintahkan oleh Taka
Nata untuk menyerang orang-orang kerajaan.
Sebenarnya para Ninja tersebut belum
mengerti apa yang telah terjadi dengan rekan-
rekannya yang mati di tangan Jaka Ndableg sore
itu. Mereka hanya diutus untuk membantu para
Ninja yang menghadang kepergian setiap prajurit
kerajaan, atau pun para pendekar yang hendak
mendatangi pertemuan di sebelah Timur Gunung
Fujiyama.
"Kawan-kawan, apakah kalian mencium
bau bakaran daging?" tanya pimpinan Ninja se-
raya hentikan larinya, hingga semua anak buah-
nya pun seketika turut menghentikan lari mere-
ka. Hidung mereka kembang kempis, merasakan
aroma yang sangat merangsang selera mereka.
"Hem, rupa-rupanya bau ini dari dalam hutan."
"Benar!" jawab Ninja yang berdiri di sam-
pingnya. "Mari kita ke sana."
Dengan segera kelima puluh Ninja tersebut
kembali berlari ke arah datangnya aroma bakaran
daging. Kelima puluh Ninja tersebut kini me
nyembunyikan diri mereka ke dalam tanah, dan
ada pula yang berlompatan naik ke atas pohon.
Jaka Ndableg yang sudah mendapat petun-
juk dari Siluman Api kini nampak waspada, wa-
laupun ia kini nampak menyantap makannya
dengan tanpa berpaling ke mana pun. Di sisi ka-
nan kirinya keempat orang Nippon juga kini me-
nyantap makan. Namun seketika kedua Panglima
kerajaan tersebut tersentak.
"Kreseeek...!"
"Tuan Pendekar, apakah Tuan mendengar
suara gemeresek?"
Jaka Ndableg dengan pura-pura tak men-
dengar segera pasang telinganya untuk mampu
menangkap suara tersebut, namun sebenarnya
Jaka telah mendengar terlebih dahulu. Jaka
sunggingkan senyum, sepertinya mengiyakan
akan apa kata Panglima pertama.
"Rupanya mereka benar-benar datang,"
gumam Jaka dalam hati.
"Bagaimana, Jaka?" Meimora nampak agak
ketakutan. Namun menakala melihat Jaka terse-
nyum, nampak agak sedikit memiliki ketenangan.
Meimora percaya bahwa Jaka tidak akan mem-
biarkan dirinya dan ketiga orang istana itu begitu
saja. Tentunya Pendekar Tanah Jawa yang titisan
Dewa tersebut akan berusaha mereka.
"Hai orang-orang yang ada di atas pohon,
mengapa kalian tidak cepat turun?!" tiba-tiba Ja-
ka dengan keras berseru, menjadikan kedua Pan-
glima dan Kusir serta Meimora tersentak kaget.
"Kalau kalian benar-benar orang baik-baik, ten
tunya kalian akan berbuat baik pula. Janganlah
kalian bertingkah laku begitu!"
"Suiiiitttt…!" terdengar suitan
"Hem, kalian rupanya ingin mempermain-
kan kami!" bentak Jaka.
"Suuuuuiiiiiittttt...!" kali ini kembali ter-
dengar suitan panjang, dan bersamaan dengan
akhir suitan tersebut, beberapa sosok tubuh hi-
tam berkelebat menghadang di hadapan kelima
orang tersebut.
Keempat orang Jepang yang berdiri di
samping Jaka nampak agak gemetaran. Namun
Jaka berusaha memberikan ketenangan bagi
keempatnya dengan berkata, "Kalian tidaklah per-
lu takut, sebab mereka aku rasa hanyalah cecu-
rut-cecurut yang lapar."
"Bejero!" bentak pimpinan Ninja marah,
demi mendengar ucapan Jaka yang menyebut di-
rinya cecurut atau tikus. "Siapa kau, Bajero! Bu-
kankah engkau orang asing, hah!!"
Jaka Ndableg kembali tersenyum, lalu den-
gan masih tenang kembali berkata, "Kalau kalian
tidak mau dianggap cecurut, mengapa kalian ber-
tindak mirip cecurut!"
"Bajero! Orang asing tidak tahu adat! Se-
raaaaanggg...!"
Mendengar seruan pimpinannya, seketika
beberapa Ninja yang tadinya belum nampak, ikut
nongol ke permukaan. Semua Ninja yang berjum-
lah lima puluh orang tersebut dengan cepat men-
gurung kelima orang utusan kerajaan.
"Kalian tentunya orang-orang istana, maka
kalian akan kami jadikan jalan pertama bagi tu-
juan kami!" kata ketua Ninja, nampaknya meren-
dahkan kelima orang di situ. Sementara kelima
puluh anak buahnya kini dengan tangan siap
menggenggam samurai masih mengurung.
"Jangan asal ngomong!" balik membentak
Jaka.
"Heh, rupanya kau ingin jadi pahlawan,
Orang asing!"
"Kalianlah Iblis-iblis yang harus dibasmi!"
Jaka nampak benar-benar tidak ingin main-main.
Kini Jaka berdiri dengan berusaha melindungi
keempatnya. Sedangkan Meimora nampak dengan
tubuh ketakutan dan disertai kebencian yang
amat sangat. Mata Meimora liar memandang ke
arah Ninja-Ninja, sedangkan di antara kelima pu-
luh Ninja tersebut nampak ada sekitar enam
orang yang mengawasi dirinya. Rupanya Ninja-
ninja tersebut orang yang pernah memperko-
sanya.
"Jaka, keenam orang tersebut...." Meimora
tak meneruskan kata-kata. Namun begitu Jaka
mampu menangkap apa yang sebenarnya berada
di dalam hati Meimora. Sebenarnya Meimora ingin
memberitahukan padanya tentang siapa adanya
keenam orang yang nampak memandang terus ke
arahnya. Rasa kemanusiaan Jaka seketika bagai-
kan terbakar, sehingga kini Jaka Ndableg ta-
tapkan mata ke arah keenam orang tersebut.
"Hua, ha, ha....! Rupanya di antara kalian
ada Iblis-iblis yang terlalu rakus melebihi kalian
semua," Jaka berkata bagaikan tiada hiraukan
ucapan pimpinan Ninja. "Aku akan mendahului
memenggal kepala mereka daripada kalian se-
mua!"
"Bajero? Jangan biarkan pemuda gila
itu...!" orang yang merasa tertuduh membentak
marah, lalu tanpa diperintah terlebih dahulu oleh
ketuanya, keenam orang tersebut seketika berke-
lebat menyerang.
"Wuuuuuttt...!" Samurai mereka berkele-
bat.
"Awas...!" Jaka Ndableg segera dorongkan
keempatnya, lalu dirinya sendiri melompat hinda-
ri serangan. Kakinya dijulurkan menendang ke
arah musuh.
"Wuuuuttt...!"
Samurai keenam Ninja itu membabat kaki
Jaka yang menyerang, sehingga mau tidak mau
Jaka pun tarik kembali serangan. Manakala kaki
ditarik, dengan cepat tangannya mengaju ke mu-
ka. Keenam musuhnya terjengah, dan dengan ce-
pat kembali babatkan samurai.
"Wuuuuttt...!"
"Kalian minggirlah dulu, dan jaga Nona
Meimora!" Jaka perintahkan pada keempat re-
kannya untuk menepi. Keempat rekannya tanpa
banyak kata segera menurut, namun dengan ce-
pat Ninja-ninja yang lainnya segera menghadang.
Walaupun begitu, kedua Panglima utama kera-
jaan bukanlah orang-orang sembarangan. Kedua-
nya merupakan tokoh-tokoh samurai yang sudah
mumpuni. Melihat dirinya dihadang, dengan ce-
pat kedua Panglima itu tarik samurainya.
"Wuuuuuttt...!" Samurai kedua Panglima
bergerak cepat, menjadikan orang-orang yang
menghadangnya tersentak, melompat mundur ke
belakang mengelak.
"Bajero! Kalian menantang!" maki Ninja
yang menjadi pimpinan. Dengan sebat pimpinan
Ninja itu segera kirim tendangan ke arah Pangli-
ma pertama. Panglima yang merupakan orang-
orang seleksian kerajaan nampak dengan enteng-
nya mengimbangi. Kakinya digerakkan ke samp-
ing. Tubuhnya sesuai dengan arah kaki, menge-
gos ke samping menghindar. Dan manakala sa-
murai lawan berkelebat di sebelah kirinya, dengan
cepat kaki kanan berkelebat menendang.
Melihat musuhnya hendak menendang, se-
gera pimpinan Ninja itu tarik samurai dan ki-
baskan ke arah kaki. Tujuannya hanya satu,
membabat kaki Panglima. Tapi dugaannya mele-
set, sebab ternyata Panglima menendang hanya
tipuan belaka, sedang serangan yang sebenarnya
tidak lain dari kekuatan tangan kanannya. Den-
gan Jodang Ukai, atau pukulan lurus ke arah
muka, tangan kanan Panglima melesat ke muka.
"Wuuuuttt...!"
"Bug! Bug! Bug...!"
"Ah...!" Pimpinan Ninja itu memekik, ma-
nakala jotosan Jodang Ukai yang dilancarkan
Panglima pertama mendarat telak di mukanya.
Hal tersebut menjadikan pimpinan Ninja ter-
huyung-huyung, dengan pipinya terasa sakit. Se-
dangkan dari mulut dan hidungnya keluar darah
meleleh.
"Bajero! Kubunuh, kau!" Pimpinan Ninja
segera bangkit, lalu dengan gerakan cepat kemba-
li berkelebat babatkan samurainya ke arah mu-
suh. Namun kiranya segala gerakan lawan telah
diketahui kuncinya oleh Panglima pertama, maka
pada saat samurai lawan menyerang, dengan ce-
pat Panglima pertama babatkan samurainya.
"Wuuuuttt...!"
"Trang....!"
"Wuuuutttt....!"
"Craaaasss...!"
"Aaaaaaa....!" Pimpinan Ninja itu memekik,
manakala samurai Panglima pertama membabat
lengan tangan kanannya. Tanpa ampun lagi, tan-
gan kanan pimpinan Ninja seketika puntung ja-
tuh ke tanah. Pimpinan Ninja menggerug-gerung
kesakitan, darah keluar deras dari puntungan
tangannya. Dan karena banyak darah keluar,
menjadikan pimpinan Ninja itu seketika pingsan.
* * *
Terbelalak semua anak buahnya menyak-
sikan pimpinannya dapat dengan mudah ditun-
dukkan. Namun sebagai seorang yang telah dis-
umpah, para Ninja tersebut tiada mau mengalah.
Dengan bareng anak buahnya segera menyerang
ke arah Panglima pertama.
Di pihak lain, Jaka Ndableg yang dikeroyok
oleh enam orang Ninja nampaknya tidak menga-
lami kesulitan. Keenamnya bagaikan tiada arti
bagi Jaka. Setiap tebasan-tebasan samurai mere
ka, dengan mudah dielakkan oleh Jaka Ndableg.
Tapi rupanya keenamnya tidak menyadari siapa
adanya orang yang dikeroyok, mereka terus beru-
saha mencerca Jaka.
"Wuuuuutttt...!"
Enam samurai itu bareng menyerang, men-
jadikan desingan yang mampu kejutkan orang
yang diserang. Jaka segera lompat ke udara, ten-
dangkan kaki ke arah mereka dengan jurus Sa-
puan Angin. Kaki Jaka Ndableg begitu cepat, su-
kar untuk diikuti oleh pandangan keenam mu-
suhnya.
"Wuuuuttt...!"
"Hiiiaaaattt...!" Jaka memekik balik menye-
rang, kakinya bergerak menyambar. "Bug! Bug!
Bug...!"
Kaki Jaka menyepak keenam musuhnya.
Seketika musuhnya tersentak, lalu mereka pun
berusaha memapakinya dengan tebasan samurai.
Namun rupanya gerakan mereka kalah cepat, se-
hingga tanpa ayal lagi kaki Jaka pun mendarat
telak ke muka mereka. Bagaikan dihantam go-
dam, muka mereka seketika melenguh manakala
kaki Jaka berhasil menghantam.
Keenam Ninja itu sempoyongan. Melihat
hal tersebut, Meimora yang memang mendendam
dengan tanpa diduga berhasil merampas salah
satu samurai di tangan mereka, lalu bagaikan ke-
setanan Meimora pun babatkan samurainya ke
tubuh Ninja-ninja tersebut.
"Kalian harus mati...!"
"Wuuuuttt.,.! Wuuuutt..! Wuuuuuuttt...!"
"Bret! Bret! Bret...!" Enam kali terdengar
suara sabetan samurai di tangan Meimora ke tu-
buh mereka.
"Wuuuuuaaa...!" Keenam orang itu pun se-
ketika memekik. Darah muncrat dari punggung
mereka, sepertinya punggung mereka kini tak
mampu untuk pertahankan keseimbangan. Dan
karena banyaknya darah yang keluar, sehingga
keenamnya seketika terluka. Dan hal tersebut ru-
panya tidak disia-siakan oleh Meimora. Dengan
sadis kembali Meimora kibaskan samurainya.
"Wuuuuttt...!"
"Cras! Cras! Cras...!"
Enam kali Meimora sebatkan samurai ke
leher mereka, dan enam kali pula leher Ninja-
ninja tersebut puntung. Darah makin membanjir
saja. Keenamnya hanya memekik sesaat, sebelum
akhirnya mati dengan kepala memisah dari ba-
dannya.
Jaka tak mampu mencegah, dan rupanya
Jaka tidak bermaksud mencegah, Jaka tahu ka-
lau tindakan Meimora dilandasi oleh rasa dendam
dan emosi. Dan manakala semuanya berhasil di-
bunuh, seketika Meimora menangis sesenggukan.
Kenangan pahit atas tindakan biadab mereka su-
kar untuk dihapuskan walau keenam Ninja terse-
but telah mati.
Melihat keenam temannya mati, para Ninja
yang masih hidup segera bermaksud menyerang.
Namun Jaka Ndableg segera papaki serangan me-
reka. Kalau saja Jaka tidak mampu, maka sudah
pasti nyawa Meimorlah yang sebagai gantinya.
Dan manakala lima orang hendak menjarah tu-
buh Meimora dengan Samurai, secepat itu pula
Jaka papaki mereka dengan sabetan Pedang Si-
luman Darah.
"Wuuuuutttt...!"
"Awas, Nona Mei...!" Jaka peringatkan
Meimora, sementara tangan kirinya segera dorong
tubuh Meimora. Sedangkan tangan kanannya
dengan cepat tebaskan Pedang Siluman.
"Wuuuuuutttt....!"
"Trang, trang, trang...!"
"Prak, prak, prak...!"
Empat kali terdengar suara beradunya sen-
jata, dan empat kali terdengar suara senjata pa-
tah.
Empat Ninja itu belalakkan matanya kaget,
manakala melihat samurainya dengan enteng di-
babat putus oleh pedang di tangan Jaka Ndableg.
Belum juga keempatnya sadar, dengan cepat sa-
murai di tangan Meimora kembali berkelebat.
Tanpa ampun lagi...
"Wuuuuutttt...!"
"Bret! Bret! Bret....!"
"Aaaaaaaa....!" empat orang itu memekik
sesaat, lalu tubuh mereka pun ambruk. Perut me-
reka sobek terkoyak oleh samurai di tangan Mei-
mora. Meimora benar-benar bagaikan Dewi Kema-
tian saja. Samurai di tangannya sungguh sangat
sadis, tanpa kenal ampun untuk Ninja-ninja ter-
sebut.
Kini para Ninja itu benar-benar kalang ka-
but dibikin repot dan terdesak oleh keempat
orang utusan istana tersebut. Satu persatu para
Ninja itu berguguran, terbabat oleh senjata yang
berada di tangan mereka. Dan manakala hari
menginjak pagi, tinggallah hanya tiga dari lima
puluh Ninja tersebut yang masih hidup! Ketiganya
dibiarkan hidup untuk mengadukan segalanya
pada ketua mereka Taka Nata si Iblis Nippon.
***
DUA
Betapa gusar dan marahnya Taka Nata
mendengar penuturan ketiga anak buahnya ten-
tang kegagalan mereka. Taka Nata kini betapa
mendendam sekali pada pemuda pendekar yang
orang asing tersebut. Taka Nata juga sangat gusar
pada kerajaan yang mengundang pendekar terse-
but.
"Mumpung para pendekar termasuk pen-
dekar muda itu berada di tempat Eyang guru,
maka hari ini juga kita mesti mengadakan pemba-
lasan pada pihak kerajaan!" Taka Nata berkata
dengan suara berapi-api penuh dendam. Ya, den-
damnya sangat mendalam pada orang-orang yang
dianggapnya telah merintangi cita-citanya. "Pen-
dekar itu harus aku singkirkan!"
Semua anak buahnya tiada berani yang bi-
cara, semuanya diam.
"Kau Maitzo. Pimpin pasukan, serang kera
jaan. Dan sebagian lagi, ikut aku untuk membuat
keributan di mana-mana agar seluruh pendekar
terpecah pikirannya!"
"Daulat, Ketua," jawab Maitzo.
"Sekarang laksanakan! Ingat! Jangan sam-
pai gagal untuk yang ketiga kalinya!"
"Daulat, Pimpinan!"
Maitzo sebagai tangan kanan Taka Nata
dengan tanpa banyak komentar lagi segera pergi
ke luar untuk mengumpulkan setiap prajurit. Kini
tekad yang ada di hati para Ninja hanya satu,
menggulingkan kekaisaran.
"Prajuriiiiiittt... kumpuuuuuulll...!"
Mendengar seruan wakil pimpinannya, pa-
ra Ninja yang mempunyai disiplin tinggi tersebut
dengan segera berkumpul. Semuanya bagaikan
tiada mengeluh, tanpa tanya bakalan apa yang di-
tugaskan pada mereka.
"Kalian tahu apa yang akan kami tu-
gaskan?" tanya Maitzo.
"Belum...!" jawab prajurit Ninja.
Maitzo berjalan perlahan memeriksa pasu-
kannya yang mencapai ratusan prajurit Ninja
yang sudah dididik dan dilatih.
"Kalian hari ini juga akan ditugaskan un-
tuk melakukan apa yang selama ini kita rencana-
kan," Maitzo memberitahukan. "Tentunya kalian
telah mengerti, bukan?"
"Mengertiiii...!" kembali mereka serempak
menjawab.
''Nah, kali ini kami uji kesetiaan kalian pa-
da pimpinan. Tunjukkan apa yang kalian mampu!
Tunjukkan pula bahwa kalian bukanlah prajurit
sembarangan!"
Ucapan Maitzo bagaikan penyebar seman-
gat. Hal tersebut terlihat jelas dari keceriaan para
Ninja, yang seakan hendak mendapatkan bonus
saja. Itulah kepatriotan Ninja, serta rasa kedisip-
linan yang tinggi.
"Nah, ucapkan janji kalian!"
"Janji Ninja! Kami akan selalu menjunjung
tinggi setiap amanat pimpinan! Kami rela mati
untuk keberhasilan cita-cita semuanya! Kami tak
akan mau menyerah pada musuh, kecuali hanya
kematian!"
Maitzo tersenyum, dan katanya. "Bagus!
Nah, aku mohon, ketiga prajurit Ninja yang kema-
rin gagal segera maju ke muka,"
Dengan tegar bagaikan tak mengenal rasa
takut, ketiganya segera melangkah ke muka. Wa-
jah mereka tidak mencerminkan adanya rasa ta-
kut, bahkan di wajah mereka kini nampak kete-
nangan. Mereka tahu dan sadar, bahwa diri me-
reka kini tiada lagi artinya bagi kehidupan seo-
rang Ninja.
Tiga orang temannya yang dengan tangan
siap menghunus samurai berjalan di bela-
kangnya. Wajah ketiga Ninja lainnya seakan tiada
ekspresi. Bagi mereka, hukuman semacam itu
bukanlah sebuah pemandangan yang baru, akan
tetapi sering mereka saksikan. Dan kadangkala
mereka sendiri yang menjadi algojonya.
"Kalian telah siaaaappp...!?" tanya Maitzo.
"Siaaaappp...!" jawab ketiga algojo.
"Nah! Hari ini kalian semua akan melihat
bagaimana ketiga orang anggota kita yang penge-
cut akan menerima hukuman! Kalian jadikanlah
ini semua sebagai pelajaran!"
Semuanya terdiam, tanpa ada seorang pun
yang menjawab. Maitzo kembali meneruskan uca-
pannya, "Sebagai seorang Ninja, tak patut jika ka-
lian mengalah pada musuh, takut mati! Maka, ji-
ka kalian menemui musuh yang berat dan seki-
ranya tidak mampu kalian hadapi, lebih baik ka-
lian lakukan harakiri, mengerti...!"
"Mengerti....!" jawab semuanya.
Tiga orang Ninja tersebut kini jongkok,
tundukkan kepala seperti siap menerima huku-
man. Sementara ketiga algojo yang akan melaku-
kan hukumannya, nampak masih berdiri di sisi-
sisi mereka. Samurainya kini nampak mengang-
kat ke atas, pertanda bahwa mereka benar-benar
telah siap untuk menerima perintah.
"Lakukan...!"
Bersamaan dengan akhir dari kata-kata
Maitzo, maka tangan ketiga Ninja yang memegang
senjata samurai itu berkelebat ke bawah tanpa
dapat dicegah.
"Wuuuuutttt...!"
"Crraaaaaasssssss...!"
"Aaaaaaaaaaaa...!" ketiga orang terhukum
itu memekik panjang, sebelum akhirnya kepala
mereka puntung dan menggelinding dari pangkal
lehernya. Sungguh tragis kematian mereka, dan
rupanya itulah hukum yang mesti berlaku bagi
para Ninja. Walaupun begitu, nampak Ninja yang
lainnya tundukkan kepala. Mereka benar-benar
menghormati rekan-rekannya. Khidmat mereka
tundukkan kepala, seperti sedih untuk berpisah
selama-lamanya.
"Itulah hukum kita." Maitzo kembali berka-
ta. "Nah, kalian harus tahu itu. Kini kita akan
mengadakan sebuah gerakan gerilya untuk dapat
merongrong kerajaan. Seperti biasanya, kita akan
melakukan perampokan dan pemerasan. Dan mu-
lai hari ini, operasi kita akan langsung dipimpin
oleh ketua kita, Taka Nata!"
"Hidup Taka Nata...!"
"Hidup Samurai Iblis...!"
Sorak pekikan menggema manakala Taka
Nata keluar dari tempat kediamannya untuk me-
meriksa pasukannya yang berjumlah ratusan Nin-
ja tersebut. Taka Nata dengan pakaian kebesa-
rannya yang berwarna putih perak itu melangkah
dengan diapit dua tangan kanannya memeriksa
para prajuritnya.
"Kalian tahu mengapa kalian dikumpul-
kan?"
"Tahu, Ketua...!" jawab Ninja-ninja terse-
but.
"Hem, bagus! Hari ini, adalah puncak dari
Revolusi kita!" Taka Nata menerangkan. "Revolusi
Ninja, yang kelak akan mengukir sejarah. Dan bi-
la kita berhasil, maka kalian akan menjadi orang-
orang yang disegani dan dihormati. Jadi, kalian
hendaknya berjuang dengan sungguh-sungguh.
Kalian harus percaya, bahwa akulah orang yang
paling sakti di tanah Nippon ini!"
"Hidup Ketua Taka Nata...!"
"Hidup Samurai Iblis...!"
"Nah, kalian akan dibagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, ikut dengan Maitzo me-
nyerang kerajaan. Sedangkan bagian kedua, ikut
dengan aku membuat kerusuhan."
Hari itu juga dua prajurit yang tergabung
dalam Persekutuan Samurai Iblis dipecah menjadi
dua bagian. Bagian pertama dengan dipimpin oleh
Maitzo akan menyerang kerajaan, dan bagian ke-
dua yang dipimpin oleh Taka Nata, akan mem-
buat kerusuhan di dunia persilatan. Tujuan me-
reka hanya satu, menjadi pimpinan di setiap sek-
tor yang memegang peranan penting di tanah
Nippon.
"Nah, sekarang juga, bagian yang ikut
Maitzo berangkat! Serang kerajaan.... Bila perlu,
bunuh Kaisar...!" suara Taka Nata berapi-api,
memberikan semangat pada para prajuritnya.
"Jangan kalian gagal, sebab kalian adalah orang-
orang berilmu tinggi. Gunakan segala cara untuk
dapat menguasai kerajaan!"
"Siiiiiiaaappp...!" jawab semuanya.
"Maitzo berangkatlah!"
"Daulat, Pimpinan." Maitzo menjura, lalu
pada prajuritnya ia pun berkata. "Prajurit...!
Siiiiiaaaap! Kita jalan...!"
"Siiiiiaaaapp...!" jawab mereka.
Setelah memberikan penghormatan pada
Taka Nata, maka hari itu juga anak buah Taka
Nata yang dipimpin oleh Maitzo berangkat menuju
arah Barat di mana kerajaan berada. Jarak kera
jaan dengan markas mereka memang cukup jauh.
Seminggu bila ditempuh dengan jalan kaki, tapi
bagi mereka tiada masalah. Di hati mereka yang
ada hanyalah rasa ingin menang.
Taka Nata nampak sunggingkan senyum
demi melihat sebagian pasukannya telah berjalan
untuk menunaikan tugas. Sedangkan dia sendiri
kini akan langsung mengepalai sebagian pasukan
lainnya guna mengaco para pendekar.
Tak berapa lama kemudian, "Pasukan, kita
berangkat! Kita jadikan wilayah sekitar kerajaan
untuk ajang kita. Kita bikin semua penduduk re-
sah!"
"Akuuuuuuurrr...!" jawab semua Ninja.
Taka Nata kembali tersenyum, lalu dengan
tanpa kata lagi ia pun melangkah pergi diikuti
oleh anak buahnya. Tempat markas Samurai Iblis
pun kini sepi, hanya tinggal tiga orang Ninja yang
ditugasi untuk menjaganya.
* * *
"Masih jauhkah tempat pertemuan para
Pendekar?" tanya Jaka pada kedua Panglima ke-
rajaan yang mengikutinya untuk menemui para
Pendekar yang saat itu tengah berkumpul dalam
usahanya mencari jalan keluar mengatasi Taka
Nata.
"Kita tinggal memerlukan waktu dua hari
perjalanan lagi, Tuan Pendekar," jawab Panglima
pertama.
Terbelalak mata Jaka Ndableg demi men
dengar jawaban dari Panglima perang kerajaan
tersebut. Hingga karena saking kagetnya, sampai-
sampai Jaka bergumam, "Dua hari per-
jalanan...?"
"Ya," jawab Panglima pertama lagi.
"Apa tidak dapat dipercepat?"
"Tidak, Tuan."
Sebenarnya Jaka dapat saja mengambil ja-
lan cepat untuk mencapai tempat tersebut, bu-
kankah ia memiliki ilmu lari Angin Puyuh yang
tiada tandingannya? Namun jika ia ingat bahwa
dirinya sangat diperlukan oleh keempat orang
Nippon tersebut, Jaka urungkan niatnya dan te-
tap menurut ikut bersama mereka.
"Kalau aku tahu tempatnya, tidak perlu
aku harus meminta mereka menemaniku," Jaka
membatin. "Tapi jika aku meninggalkan mereka,
aku khawatir mereka akan mendapat tantangan
dari para Ninja anak buah Tak Nata."
Kereta melaju dengan kencang, sehingga
bila kereta tersebut berguncang, maka kelima
orang yang berada di dalamnya pun ikut ter-
guncang-guncang pula.
"Tuan Pendekar, benarkah Jawa Dwipa
terkenal dengan keramah-tamahan penduduk-
nya?" tanya Meimora memecahkan kebisuan.
"Benar," jawab Jaka.
"Tapi kami mendengar bahwa para Ninja
hitam banyak yang mati oleh pendekar-pendekar
Tanah Jawa," Panglima pertama menyambung se-
pertinya ingin mengetahui hal kebenaran cerita
dari mulut ke mulut yang ia dengar. "Sebab me
nurut yang saya dengar. Para Ninja tersebut me-
nemui kematian di Tanah Jawa oleh para Pende-
kar Tanah Jawa."
Jaka tarik nafas panjang, sepertinya ingin
menggambarkan pada mereka bahwa segalanya
memang benar. Dan sebagai jawabnya Jaka kini
tersenyum. Hal tersebut menambah keyakinan
para sahabatnya yang berada di dalam kereta.
"Apakah Ninja-ninja tersebut atas perintah
Kaisar?" tanya Jaka, seakan ingin mengorek beri-
ta yang mampu menjadi bukti.
"Bukan! Kaisar tadinya melarang, namun
dikarenakan mereka memaksa, maka Kaisar pun
meluluskannya," Panglima kedua menjawab, me-
wakili rekannya. "Sungguh, kami sebenarnya
menganggap orang-orang Tanah Jawa sebagai
saudara kami sendiri."
Jaka Ndableg angguk-anggukkan kepa-
lanya.
Kembali kebisuan menyelimuti, sepertinya
perjalanan mereka tiada tersirat kegembiraan.
Masih terbayang di benak mereka Ninja-ninja
yang sewaktu-waktu akan menghadang perjala-
nan mereka. Namun bila keempat orang tersebut
ingat bahwa di situ ada Jaka, maka keempatnya
tampak aman.
Kereta terus melaju, menyusuri jalanan
salju yang kian menebal hingga terasa kereta ja-
lan lamban. Roda-roda kereta nampak mencakar-
cakar, menjadikan lukisan garis tebal yang terte-
kan kuat. Rasa dingin terus menyelimuti, dan
makin naik ke Gunung Fuji, hawa dingin makin
menjadi-jadi. Hal tersebut menjadikan keempat-
nya nampak menggigil, tinggal Jaka saja yang
nampaknya tiada terpengaruh sama sekali, bah-
kan pendekar kita itu tanpa sehelai benang pun
yang menutup tubuhnya.
"Dingin...?" tanyanya.
Keempat orang Jepang itu mengangguk,
malah Meimora makin merapat tanpa malu-malu
ke tubuh Jaka Ndableg. Jaka yang melihatnya se-
cara diam-diam salurkan hawa panas, menjadi-
kan ruangan kereta tersebut tiba-tiba menjadi
hangat kembali. Hal tersebut menjadikan keem-
patnya terjerengah, mata mereka membeliak tak
yakin pada keadaan seketika itu. Namun mana-
kala mereka memandang pada Jaka Ndableg yang
masih terdiam, mereka pun kini sadar bahwa ka-
rena pendekar tersebut mereka merasakan ke-
hangatan. "Tentunya Pendekar muda ini yang
memberikan kehangatan." gumam Panglima per-
tama dalam hati. Begitu juga dengan ketiga orang
lainnya, mereka yakin bahwa Jakalah yang telah
membuat hawa hangat di dalam kereta.
Tengah kereta melaju, tiba-tiba kuda-kuda
penarik kereta meringkik. Kuda-kuda tersebut
bagaikan ketakutan saja, angkat kaki-kaki mere-
ka dengan ringkikkan keras.
"Hanyeeee...! Hanyeeee...!"
"Hai! Ada apakah, Kusir?" tanya Panglima
kedua. "Sepertinya kuda-kuda itu ketakutan?"
Sang Kusir masih berusaha mengendalikan
kuda-kudanya dengan menarik kaisnya kuat-
kuat. Namun nampaknya kuda-kuda itu benar
benar ketakutan hingga sang Kusir terpelanting
jatuh. Melihat hal itu, secepat kilat Jaka Ndableg
yang waktu itu tengah berkonsentrasi penuh sa-
lurkan hawa panas tersentak. Tanpa banyak kata
segera Jaka pun berkelebat ke depan. Ditariknya
kais, lalu berusaha mengendalikan kuda-kuda
tersebut. Kedua mahluk itu pun saling tarik un-
tuk menentukan kemenangan emosi mereka. Na-
mun tampaknya tenaga Jaka jauh lebih besar,
sehingga kuda-kuda tersebut pun dapat dihenti-
kannya
"Hia, hia...!"
"Hanyeeee....!" Kuda-kuda itu meringkik,
lalu ambruk dengan nafas yang memburu, Jaka
dengan cepat turun, periksa keadaan kuda yang
kini tergeletak. Mata Jaka seketika terpancang
pada tubuh kuda-kuda tersebut. Di tubuh kuda-
kuda itu kini tertancap dua senjata rahasia yang
menjadikan lambang khusus para Ninja.
"Ninja...! Hem, ternyata mereka telah da-
tang ke mari." gumam Jaka dalam hati, diambil-
nya dua buah senjata berbentuk bintang tersebut,
menjadikan kuda-kuda itu merintih kesakitan.
Darah keluar dari tubuh kuda-kuda itu. Seketika
kuda-kuda itu mengejang, lalu akhirnya mati ter-
golek. Dengan ambruknya kuda-kuda tersebut,
maka ambruk pula kereta yang mereka tumpangi.
Seketika keempat orang yang berada di dalam
pun melompat ke luar.
"Ada apa, Tuan Pendekar?" tanya mereka.
Jaka tunjukkan senjata rahasia di tangan-
nya. "Ninja-ninja itu kini berada di sekitar tempat
ini, maka hati-hatilah."
"Seraaaang!" kedua Panglima itu cabut sa-
murainya. "Kita harus menumpasnya!" Panglima
pertama berkata, langkahkan kaki hendak men-
cari. Namun sebelum jauh, dengan cepat Jaka
pun melarangnya.
"Tuan Panglima, jangan!"
"Kenapa, Tuan Pendekar?" tanya keduanya,
sedangkan Meimora yang nampak ketakutan kini
makin menempel dekat dengan Jaka, Meimora
kini benar-benar merasakan bahwa dia sangat
membutuhkan diri pendekar muda tersebut. "Bu-
kankah mereka harus dibasmi?" lanjut Panglima
kedua.
"Benar! Tapi bukan cara nekad seperti ka-
lian! Kalian tentu tidak mau menjadi korban se-
perti kuda-kuda ini, bukan?" Jaka kembali berka-
ta, menyadarkan kedua Panglima Perang tersebut
yang seketika itu juga menurut dan balik ke tem-
patnya.
"Suuuuuuiiiiiiittttt.....!"
Suitan terdengar panjang, yang menjadi-
kan kelima orang tersebut belalakkan mata.
"Hati-hati, mereka datang!" ucap Jaka.
"Benar, Tuan. Aku rasa, mereka sebentar
lagi tunjukkan diri mereka!" Panglima kedua
nampak menggertak marah. Kekesalannya atas
tindakan-tindakan Ninja yang telah berusaha me-
rongrong kerajaan membuatnya tak mampu me-
nahan kekesalannya. Sebagai pembela kerajaan,
jelas ia sangat membenci tindakan-tindakan para
Ninja tersebut. "Hem, jangan harapkan kami akan
membiarkan mereka hidup!" tambahnya.
Ketiga pendekar itu nampak memasang
mata tajam ke arah datangnya suara suitan ter-
sebut. Kedua Panglima kerajaan tersebut telah
siap dengan samurainya, sementara Jaka Ndableg
nampak masih berusaha tenang. Pedang Siluman
Darah masih tergantung di dalam sarungnya di
pundak, hanya mata dan telinga Jaka saja yang
tajam memperhatikan sekelilingnya.
"Suuuuuuuiiiiiitttt...!" kembali terdengar
suitan panjang, dan bersamaan itu berkelebat so-
sok-sosok bercadar ala Ninja mengurung mereka.
Namun orang-orang ini jelas menunjukkan per-
bedaan para Ninja yang menjadi anak buah Tak
Nata. Kalau biasanya anak buah Taka Nata
menggunakan pakaian serba hitam, akan tetapi
orang-orang ini terdiri dari beraneka ragam pa-
kaiannya. Hal tersebut menjadikan kedua Pan-
glima kerajaan makin kebingungan, menjadikan
Jaka yang melihatnya sempat terheran-heran dan
bertanya.
"Apa yang menjadikan Tuan Panglima ter-
kejut?"
"Mereka bukan anak buah Taka Nata," ja-
wab Panglima pertama.
"Ah, mengapa bisa begitu?" Jaka belum
mengerti.
"Kau bisa lihat, Tuan. Bukankah pakaian
mereka menunjukkan corak lain?"
Jaka Ndableg pandang tajam orang-orang
Ninja yang jumlahnya mencapai lima puluh orang
tersebut. Memang pakaian mereka beraneka ra
gam. Hal itu memang berlainan dengan pakaian
yang biasa dikenakan oleh Ninja anak buah Sa-
murai Iblis yang selalu menggunakan warna hi-
tam legam.
"Mungkin ini sebuah taktik," Jaka berkata
pada diri sendiri dalam hati. "Dari cara-cara me-
reka keluar, jelas cara mereka sama persis. Hem,
jangan kira aku mudah kalian kibuli."
"Bajero! Seraaaanggg....!" terdengar teria-
kan pimpinan Ninja.
"Hiiiiiiiiaaaaatttttt...!"
Seketika kelima puluh Ninja tersebut ber-
kelebat menyerang ke arah mereka. Samurai-
samurai di tangan mereka bagaikan haus darah
membabat ke arah lawan. "Wuuuuttt...!"
Jaka Ndableg tersentak, elakkan serangan
dan segera melompat ke arah Meimora yang nam-
paknya ketakutan tanpa dapat berbuat apa-apa.
"Tenang, Nona. Kau jangan khawatir dan takut,
aku akan berusaha menjagamu. Nah, aku akan
mengambil pedang mereka."
Jaka kembali berkelebat menyerang.
"Wuuuuuutttt...!"
"Wuuuuuuuttttt...!"
Dua orang Ninja menyerang ke arahnya,
segera Jaka Ndableg elakkan. Tubuhnya dorong
ke samping hingga samurai Ninja tersebut men-
desing di samping tubuhnya. Habis mengelak, se-
gera Jaka ayunkan kakinya menendang.
"Hiiiiiaaattt....!"
"Wet! Dest...!"
Tendangan kaki Jaka telak menghantam
ulu hati Ninja tersebut, menjadikan salah seorang
yang terkena seketika terpental dengan dada re-
muk. Hal itu menjadikan rekannya tersentak ka-
get, yang segera babatkan samurainya untuk me-
lindungi diri dari serangan tendangan kaki Jaka
Ndableg.
"Wuuuuutttt...!"
Samurai melesat, membabat ke arah kaki
Jaka yang mengayun. Namun rupanya serangan
Jaka bersifat pancingan belaka. Manakala samu-
rai lawan membabat, segera Jaka pun tarik kem-
bali kaki kanannya diganti dengan jotosan tangan
kiri serta sikut. "Wes...!"
"Dug! Bug...!"
"Ayaaaa...!" Ninja itu menjerit, tulang pi-
pinya terasa remuk tersikut dan terpukul tangan
Jaka. Belum Ninja itu roboh, segera Jaka rebut
samurainya.
"Ini Nona, kau perlu jaga diri." Jaka lem-
parkan samurai ke arah Meimora yang dengan
cepat menangkapnya. Dengan samurai di tangan-
nya Meimora bagaikan orang kalap, dengan liar
dan penuh kemarahan Meimora pun berkelebat
menyerang para Ninja tersebut. Babatan samu-
rainya begitu liar, dengan jeritan-jeritan pelam-
pias kemarahan yang terus keluar dari mulutnya.
Diincarnya salah seorang dari empat orang yang
ia kenal adalah mereka yang memperkosanya.
Dari suara orang itu, Meimora tahu bahwa orang-
orang itulah yang dulu memperkosanya. Juga da-
ri tatapan mata mereka, yang tiada terputus-nya
memandang ke arahnya.
ulu hati Ninja tersebut, menjadikan salah seorang
yang terkena seketika terpental dengan dada re-
muk. Hal itu menjadikan rekannya tersentak ka-
get, yang segera babatkan samurainya untuk me-
lindungi diri dari serangan tendangan kaki Jaka
Ndableg.
"Wuuuuutttt...!"
Samurai melesat, membabat ke arah kaki
Jaka yang mengayun. Namun rupanya serangan
Jaka bersifat pancingan belaka. Manakala samu-
rai lawan membabat, segera Jaka pun tarik kem-
bali kaki kanannya diganti dengan jotosan tangan
kiri serta sikut. "Wes...!"
"Dug! Bug...!"
"Ayaaaa...!" Ninja itu menjerit, tulang pi-
pinya terasa remuk tersikut dan terpukul tangan
Jaka. Belum Ninja itu roboh, segera Jaka rebut
samurainya.
"Ini Nona, kau perlu jaga diri." Jaka lem-
parkan samurai ke arah Meimora yang dengan
cepat menangkapnya. Dengan samurai di tangan-
nya Meimora bagaikan orang kalap, dengan liar
dan penuh kemarahan Meimora pun berkelebat
menyerang para Ninja tersebut. Babatan samu-
rainya begitu liar, dengan jeritan-jeritan pelam-
pias kemarahan yang terus keluar dari mulutnya.
Diincarnya salah seorang dari empat orang yang
ia kenal adalah mereka yang memperkosanya.
Dari suara orang itu, Meimora tahu bahwa orang-
orang itulah yang dulu memperkosanya. Juga da-
ri tatapan mata mereka, yang tiada terputus-nya
memandang ke arahnya.
Jaka sebenarnya sangat meragukan tinda-
kan Meimora yang nampaknya begitu nekad. Na-
mun untuk menghalangi atau mencegah, jelas
Jaka tidak berani. Ia yang menghargai setiap
emosional orang lain yang terdorong oleh faktor
kebencian dan dendam sukar untuk bertindak. Ia
juga tidak ingin dikatakan sebagai seorang yang
terlalu meninggi diri. Namun bila dibiarkan berla-
rut-larut, jelas hal ini akan menjadikan bahaya
bagi diri Meimora.
Jaka Ndableg terus mencoba menuju ke
arah di mana Meimora dan Kusir kereta yang
bernama Takasima Jucaba yang kini tengah
membabi buta menyerang musuh.
"Wuuuuuutttt...!"
Jaka Ndableg tersentak manakala sebuah
samurai lawan berkelebat menyerang. Hampir sa-
ja tubuhnya menjadi sasaran, kalau saja Jaka ti-
dak segera lompat ke belakang. Demi dua orang
tersebut, kini Jaka Ndableg harus melompat-
lompat bagaikan katak melepaskan terkaman ular
beracun. Samurai lawan-lawannya terus mencer-
ca menjadikan Jaka harus menepiskan perha-
tiannya pada kedua orang tersebut.
"Wuuuuutttt...!" kembali samurai lawan
menderu.
Jaka miringkan tubuh, tangkis serangan
dengan kebatan tangannya yang mampu menim-
bulkan angin besar. Kelima Ninja penyerangnya
tersentak, tarik serangan mundur. Hal tersebut
tidak disia-siakan Jaka, yang dengan segera kem-
bali mencercanya dengan serangan kilat pukulan
Dewa Badai.
"Hiiiiiiaaaatttt...!"
"Wuuuuuttt...!"
Tangan Jaka bergerak memutar, lalu den-
gan cepat bergerak lurus ke arah lima orang mu-
suhnya.
"Wuuuuussss...!" Angin menderu, manaka-
la tangan Jaka mengkiblat ke arah musuh. Angin
itu untuk kedua kalinya menggoyahkan kelima
musuhnya. Kelima Ninja itu seketika tersurut
mundur, mata mereka melotot kaget. Namun be-
lum juga mereka mampu berbuat, dengan cepat
Jaka sodokkan kaki kanannya menendang den-
gan gaya Elang Mencakar.
"Wuuuuuttt..!"
"Dest....!"
"Bret...!"
"Aaaaaaaaaaaaaaa...!" satu dari kelimanya
memekik, manakala sepatu Jaka menghantam
perutnya. Perut Ninja itu seketika koyak dan da-
rah pun menyembur ke luar. Keempat rekannya
tersentak, namun dengan cepat keempatnya
kembali menyerang Jaka. Dibabatkannya samurai
mereka ke arah Jaka.
"Wuuuuuttt!"
Empat samurai itu kembali mencerca, na-
mun Jaka bagaikan tidak ada mengalami kesuli-
tan dengan cepat mengelak. Sementara keempat
rekannya yang juga masih bertarung nampak
mengalami kesulitan. Keempat orang tersebut wa-
laupun membabi buta, namun mereka tidak me-
nyadari kalau serangan mereka yang membabi
buta itu malah menjadikan tenaga mereka berku-
rang. Hal itu diketahui musuh, yang dengan cepat
merangseknya.
Dua Panglima perang kerajaan seperti ti-
dak mau mengalah begitu saja. Samurai di tan-
gan keduanya yang memang jago-jago dalam
penggunaan samurai terus menderu-deru menye-
rang balik. Namun dikarenakan tenaga mereka te-
lah terkuras, menjadikan mereka kini bagaikan
singa yang ompong. Serangan mereka makin lama
makin melemah, bahkan kini tiada arti sama se-
kali.
"Wuuuuuutttt...!"
"Trang!"
Samurai di tangan Panglima pertama men-
tal, tertangkis oleh pimpinan Ninja yang dengan
keenam anak buahnya menyerang.
"Ah...!" Panglima pertama memekik, me-
lompat mundur hindari serangan.
Namun rupanya pimpinan Ninja itu tidak
mau memberikan kesempatan sedikit pun pada
Panglima tersebut. Dengan samurainya ketujuh
Ninja itu terus mencerca Panglima pertama yang
hanya mengandalkan ilmu meringankan tubuh-
nya.
"Bahaya...!" Jaka berseru dalam hati, sege-
ra dengan cepat ia kibaskan tangannya menye-
rang dengan maksud merampas salah sebuah
samurai musuh.
"Wuuuuuttt...!"
"Yap!"
"Tap...!"
Jaka dengan gerak cepat rampas samurai
lawan, sehingga orang tersebut beliakkan mata
kaget. Betapa pun, gerakan Jaka yang begitu ce-
patnya sukar diikuti atau dielakkan oleh musuh.
Dan bukan hanya orang tersebut saja yang kaget,
akan tetapi kelima orang temannya juga membe-
liakkan mata juga. Belum juga kelimanya sempat
hilang kagetnya, segera Jaka pun hantamkan
tangannya dengan Jurus Tangan Dewa Menghan-
tam Karang. Gerakan tangan Jaka begitu cepat,
menjadikan tangannya bagaikan berubah banyak.
"Wuuuutt! Wuuuuuttt...!"
"Bug! Bug! Bug....!"
Lima kali suara hantaman menggema, dan
lima kali itu pula tangan Jaka mendarat ke muka
musuhnya. Seketika kelima musuhnya menjerit,
berguling-guling di atas tanah bersalju yang din-
gin. Melihat musuhnya dapat dikalahkan, Jaka
bermaksud membantu keempat rekannya, namun
belum juga Jaka mampu bertindak, tiba-tiba ter-
dengar pekikkan menyayat.
"Wuaaaaaa...!"
"Wuuuuttt...!"
"Breett...!"
Panglima pertama menjerit, samurai lawan
telah mampu membeset tubuhnya. Seketika tu-
buh Panglima pertama goyah, sempoyongan den-
gan perut menganga oleh besetan samurai
Jaka yang melihatnya begitu gusar, se-
hingga dengan penuh amarah dicabutnya Pe-
dang Siluman Darah.
"Sraaaangg...!"
"Bedebah! Kalian memang harus mampus,
hiiiiaaaattt....!"
Jaka melompat ke arah Panglima pertama
yang telah terhuyung-huyung dengan wajah pu-
cat. Namun begitu para Ninja tersebut tiada hen-
tikan serangannya. Kembali Samurai-samurai
mereka membabat tubuh Panglima pertama.
"Wuuuuutttt,..!"
"Cras! Cras! Cras....!"
"Wuuuuaaa...!" Tiga kali samurai ketiga
Ninja itu menggores tubuh Panglima pertama,
menjadikan Panglima pertama benar-benar tak
mampu pertahankan nyawanya. Panglima perta-
ma yang telah banyak mengeluarkan darah am-
bruk seketika.
"Bajero kerajaan! Mampus!
Hiiiiiaaaatttt....!" Samurai para Ninja yang
mengeroyok Panglima hendak mengakhiri hidup-
nya, manakala dengan cepat Jaka berkelebat.
"Bangsat! Hiaaaaattttt....!"
"Wuuuuuusssss....!"
"Trang! Trang! Trang....!" Enam kali ter-
dengar beradunya suara benda-benda logam.
Keenam Ninja yang tadinya bermaksud
mencincang tubuh Panglima seketika melompat
mundur. Mata mereka membeliak, tatkala melihat
samurai-samurai di tangannya. Samurai-samurai
di tangan mereka puntung menjadi dua.
"Kalian harus mampus! Hiaaat.....! "
"Ah...! Mundur...,!"
Jaka yang sudah marah oleh rasa tang-
gung jawabnya untuk melindungi Panglima tak
hiraukan keenam Ninja yang tersentak kaget. Dan
manakala keenamnya hendak mundur, dengan
ganas dan cepat Jaka babatkan Pedang Siluman
Darahnya. Gerakan Pedang Siluman Darah yang
mempunyai kekuatan magis itu begitu cepat, se-
hingga sukar bagi keenamnya untuk menge-
lakkannya.
"Wuuuuutttt...!"
Pedang Siluman darah menderu, lalu...!
"Wuuuuuuaaaa...!" keenam orang itu me-
mekik, tubuh mereka seketika ambruk. Tubuh
mereka sesaat kejang, sebelum akhirnya tidak
berkutik dan mati. Kepala mereka tanggal, den-
gan darah yang telah mengering terhisap oleh Pe-
dang Siluman Darah.
Jaka bermaksud menolong Panglima per-
tama, namun belum juga berhasil, terdengar pe-
kikkan dari arah lain. Dan manakala Jaka me-
nengok, tampak tukang Kusir saat itu menjadi
bulan-bulanan para Ninja. Tubuh Tukang Kusir
itu terbeset-beset oleh sabetan-sabetan samurai
di tangan Ninja-ninja tersebut. Darah Jaka Ndab-
leg benar-benar mendidih. Bersamaan dengan
ambruknya tubuh Kusir kereta, seketika itu pula
Jaka yang memegang Pedang Siluman Darah me-
lompat menyerang.
"Bedebah! Hiiiiaaaattt...!"
Ketujuh Ninja yang mengeroyok Tukang
Kusir itu tersentak, palingkan muka memandang
pada teriakan seseorang yang berada di bela-
kangnya. Namun ketika mereka menengok, den-
gan cepat Jaka yang sudah benar-benar marah
babatkan Pedang Siluman Darahnya. Dua orang
dari mereka dapat meloloskan diri, namun lima
orang lainnya tanpa mampu menghindar. Hing-
ga...!
"Wuuuuuttt...!"
"Dest...!"
"Cras! Cras! Cras!"
"Wuuuuaaaaaaaa...!"
Lima orang Ninja puntung kepalanya, ter-
golek lepas dari leher. Mata kelima orang Ninja itu
membeliak, sepertinya mereka tiada kuat mena-
han siksa manakala Pedang Siluman Darah
membabat leher mereka. Dua orang lainnya sege-
ra nekad menyerang, sebatkan samurai ke arah
Jaka.
"Bajero! Hiiiaaata....!"
"Wuuuuttt...!"
Jaka melompat mundur, lalu dibalasnya
serangan mereka dengan Pedang Siluman Darah.
"Wuuuuttt...!"
"Trang...!"
"Prak! Prak!" Dua pedang samurai di
tangan musuhnya patah, manakala keduanya
bertemu dengan Pedang Siluman Darah di tangan
Jaka. Belum juga keduanya hilang kaget, dengan
cepat Jaka kembali babatkan pedangnya ke arah
mereka.
"Wuuuuut...!" Gerakan Pedang Siluman
Darah yang cepat sukar untuk dihindari mereka.
Hingga tanpa ampun lagi...
"Cras! Cras....!"
"Wuuuuuaaaa...!" kedua orang Ninja itu
memekik untuk yang terakhir, sebelum kemudian
tubuh mereka terkulai dengan tubuh puntung
menjadi dua. Dua puluh lima lebih, dan bahkan
kini tiga puluh dua lebih Ninja-ninja tersebut me-
nemui ajalnya di tangan Jaka Ndableg. Sedang-
kan Panglima kedua telah menewaskan tujuh
orang Ninja, sementara kini Meimora tampak
menghadapi musuh-musuh yang bukan semba-
rangan. Keempat orang Ninja tersebut yang telah
memperkosanya serta membunuh keluarganya.
Tekad di hati Meimora untuk membunuh keem-
patnya, seakan tiada bakal tercapai. Dan kini ma-
lah dirinya sendiri yang terdesak hebat.
"Wuuuuutt...!"
Samurai di tangan keempat Ninja tersebut
menyabet ke arah tubuh Meimora.
"Ah...!" Meimora tersentak.
"Bret...!"
Beruntung Meimora masih mampu melom-
pat mundur, kalau tidak, tentunya daging perut-
nya akan terbeset. Namun tak urung, kini pa-
kaiannya yang tersobek lebar, menjadikan keem-
pat Ninja tersebut kini memandang ke arah tubuh
yang sensitif itu dengan liar. Keempatnya kini te-
ringat kembali akan apa yang pernah mereka la-
kukan.
"Hua, ha, ha...! Nona, janganlah engkau ga-
lak-galak. Lebih baik menurutlah dengan kami!"
salah seorang dari keempatnya berkata, kakinya
melangkah mendekat. Tangannya perlahan hen-
dak membeset makin lebar sobekan kain Meimo-
ra. Namun belum juga tangan itu berhasil, tiba
tiba sebuah bayangan berkelebat.
"Wuuuuuusssttt...!"
"Wuuuuutttt...!"
"Cras! Cras! Cras...!" Sebuah sinar kuning
kemerah-merahan berkelebat membabat tangan
orang tersebut. Tanpa dapat dihindari, sehingga
tangan orang tersebut pun seketika puntung.
Orang itu pun menjerit menahan sakit, darah
muncrat dari tangan yang puntung. Dan mungkin
karena terlalu banyak darah keluar, menjadikan
orang tersebut seketika itu pula pingsan.
Melihat semuanya jatuh, tiga Ninja lainnya
dengan segera mendekap tubuh Meimora.
"Mundur engkau, atau Nona ini yang akan
kami gorok, hah!"
Mendengar ancaman orang yang menyan-
dera Meimora, Jaka nampak hentikan langkah-
nya. Sementara ketiga Ninja itu perlahan menyu-
rut mundur dengan masih menyandera tubuh
Meimora. Kini Jaka benar-benar serba salah ha-
rus berbuat apa. "Hem, jangan kira aku akan
membiarkan kalian bertindak semaunya," gerutu
Jaka dalam hati. Dipalingkan mukanya meman-
dang pada Panglima kedua yang kini masih dike-
royok oleh sepuluh Ninja.
"Aku akan membantu Panglima dulu, baru
nanti mengejar mereka!"
Bagaikan tidak memperdulikan Meimora
yang meronta-ronta minta tolong, Jaka Ndableg
berkelebat menuju ke tempat pertarungan Pan-
glima.
"Jakaaaaaaaa.... Toloooooonggg...!" Meimo
ra terus berteriak-teriak sambil memberontak.
Namun ketiga Ninja itu bagaikan tiada perduli,
dan terus saja mereka menyeret tubuh Meimora
pergi.
Konsentrasi Jaka kini bercabang, antara
membebaskan Meimora dengan membantu Pan-
glima. Hingga pada saat sebuah samurai lawan
yang tiba-tiba menyerangnya berkelebat memba-
bat, tanpa ampun lagi Jaka Ndableg tak dapat
hindari.
"Wuuuuuuttttt...!"
"Sreeeettt...!"
"Aaaah...!" Jaka memekik, dilihatnya pun-
dak tangan kanannya terbeset, darah mengucur
ke luar. Kemarahan Jaka Ndableg seketika mem-
bludak. Hingga karena marahnya, sampai-sampai
Jaka keluarkan Ajian Banyu Geni tingkat pa-
mungkas. "Goooooaaaaarrrr...!" suara Jaka mem-
bahana, bersamaan dengan itu, tubuhnya beru-
bah menjadi Dewa Api.
Terbelalak semua yang mencoba menge-
royok Panglima kedua, manakala melihat Jaka te-
lah berubah menjadi Dewa Api. Api seketika me-
nyambar-nyambar tubuh ketujuh Ninja tersebut.
Tujuh Ninja itu segera melompat mengelak, na-
mun tidak urung, satu di antara mereka kena ju-
ga.
"Wuuuuusssss...!"
"Bias...!"
"Wuuuuuuaaaaaa..,.!" orang yang terkena
memekik, tubuhnya seketika terbakar. Melihat
kepanikan keenam Ninja lainnya, dengan cepat
Panglima kedua serang mereka. Tanpa ampun la-
gi, keenam Ninja yang kini tengah kalut oleh Jaka
Ndableg tanpa dapat menangkis serangan Pan-
glima yang cepat. Samurai di tangan Panglima
kedua berkelebat, dan... "Wuuuuuuaaaaa....!"
Dua Ninja menjerit, terbabat samurai di
tangan Panglima.
"Wuuuuuuuaaaaa...!"
Bareng dengan dua rekannya yang menjerit
terbabat samurai di tangan Panglima Perang ke-
dua, dua rekannya juga menjerit dengan tubuh
terbakar api Dewa Api. Kini tinggal dua orang
Ninja yang tertinggal. Dua Ninja itu kini benar-
benar ngeri dan gentar menghadapi Dewa Api.
Keduanya hendak lari, namun api dari mulut De-
wa Api tiba-tiba menghantam tubuh mereka.
"Wuuuussss....!"
"Besssttt...!"
"Wuuuuuaaaaaaa.....!" Keduanya menjerit.
Tubuh mereka terbakar oleh Inti Api. Mereka
mencoba memadamkannya dengan berguling-
guling di atas salju, namun ternyata api yang ter-
cipta oleh intinya. Karena mereka terus berguling,
hingga mereka tidak menyadari bahwa tubuh me-
reka semakin mendekati jurang. Dan manakala
mereka terus berguling, tubuh mereka pun seke-
tika terjatuh ke bawah jurang.
"Aaaaaaaaaa...!"
Dan akhirnya habis tertelan dalamnya ju-
rang Fuji.
Sementara itu Jaka telah kembali dalam
bentuk asalnya.
"Kau tidak apa-apa, Tuan Panglima?"
"Tidak, Tuan Pendekar."
"Kita harus menolong Nona Meimora," ucap
Jaka.
"Benar! Ayo kita memburu mereka!"
Dengan segera keduanya pun berkelebat
menuju ke arah di mana ketiga Ninja tersebut
menuju. Namun ternyata jejak Ninja-ninja itu kini
telah hilang entah ke mana, menjadikan Jaka be-
nar-benar mengalami kekesalan. Jaka tahu apa
yang akan dilakukan ketiga Ninja tersebut pada
Nona Meimora.
"Kita cari berpencar," Jaka menyarankan.
"Baiklah!" jawab Panglima kedua.
"Hati-hati, Panglima!"
Jaka kemudian berkelebat pergi dengan
mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang
ditempuh Panglima kedua. Senja pun telah da-
tang, terbukti hari tampak remang-remang. Salju
turun dengan derasnya, membasahi alam itu
dengan damai nan bisu.
***
TIGA
Di kerajaan, nampak Kaisar dengan didam-
pingi oleh para sesepuh istana tengah mengada-
kan rapat yang membahas tentang usaha-usaha
untuk mengakhiri sepak terjang Taka Nata si Iblis
Nippon. Sang Kaisar nampak duduk dengan
agungnya di singgasana, sementara para sesepuh
istana berdiri di samping kiri dan kanannya. Se-
dangkan para Panglima Perang dan Perdana Men-
trinya duduk di bawah, di atas permadani.
"Taka Nata dan perkumpulannya samurai
Iblis harus segera di hentikan," Kaisar membuka
kata, sementara yang lainnya nampak hanya ter-
diam tiada berkata. "Bagaimana menurut penda-
patmu, Kakek Meizora?"
Meizora terdiam, dia adalah sesepuh utama
Kaisar yang telah mengabdi pada Kaisar hampir
dua puluh lima tahun. Dan selama itu pula Mei-
zora tiada pernah membuat kesalahan dalam me-
nentukan tindakan yang dianggap benar.
"Hamba rasa, kita perlu secepatnya me-
nangkapi mereka," jawab Meizora setelah terdiam
beberapa lama. "Kalau kita tidak segera bertin-
dak, hamba takut mereka akan mendahului."
Sang Kaisar termangu-mangu mendengar
ucapan Meizora.
"Lalu rencana apa yang hendak kita laku-
kan, Kek?" tanya Kaisar kembali.
"Besok sebelum mentari musim panas
muncul, kita harus segera melakukan penyerga-
pan!"
Terbelalak mata semua yang hadir, mereka
tidak menyangka kalau harus segera menerima
perintah yang mendadak tersebut.
"Apakah tidak terburu-buru, Kek?" kembali
Kaisar bertanya.
"Aku rasa tidak, Kaisar."
"Hem, bagaimana dengan Perdana Mentri?"
Kaisar bertanya pada Perdana Mentrinya. "Apa-
kah siap untuk menjalankannya?"
"Kami selalu siap membela Kaisar," jawab
Perdana Mentri.
"Baiklah kalau begitu," Sang Kaisar tampak
terdiam berpikir menganalisa kembali apa yang
menjadi saran Meizora. Memang Meizora selama
ini mempunyai wawasan yang jitu. Tetapi, untuk
mengadakan peperangan tidak begitu mudah. Bi-
aya peperangan bukanlah sedikit. Hal itu yang
kini menjadi pemikiran sang Kaisar. Kaisar me-
mang terkenal kikirnya, sehingga banyak orang-
orang istana yang membenci dirinya termasuk Ke-
tiga Naga dan Taka Nata.
Tengah semuanya sepi karena tiada seo-
rang pun yang berani, dari luar terdengar suara
riuh. Beberapa orang prajurit nampak berserabu-
tan dengan senjata di tangan masing-masing.
"Musuh menyerang...!"
Terkejut semua yang hadir demi menden-
gar seruan tersebut, lebih-lebih sang Kaisar. Ter-
nyata dugaan yang dijadikan argumentasi Eyang
Meizora benar adanya, bahkan lebih cepat dari
dugaannya.
"Siapkan pasukan, kita balas serangan me-
reka!" Kaisar pelit yang membuat banyak orang
yang memusuhinya, akhirnya memberikan perin-
tah. Kini rasa takut lebih banyak menyadarkan
dirinya bahwa segalanya memang harus dilaku-
kan. "Cepat! Laksanakan...!"
"Daulat, Kaisar!" Perdana Mentri segera
laksanakan tugasnya, ia segera berkelebat ke
luar. Di luar telah menanti para prajurit Pendekar
Samurai, menanti dirinya dan sekaligus menanti
perintahnya.
"Paman Mentri, bagaimana ini?" tanya para
prajuritnya dengan rasa was-was. Musuh seben-
tar lagi akan tiba, sehingga tanpa dapat mereka
mempersiapkan segalanya. "Musuh sebentar lagi
datang!"
"Siapkan seluruhnya, kita sambut mereka.
Kaisar mengijinkan kita perang...!"
"Benarkah, Paman Mentri?" Tanya mereka
tidak yakin.
"Aku bicara atas Kaisar...!"
"Horeeeeee...! Ganyang musuh...!" Bagaikan
minyak mendapatkan api, seketika semua prajurit
itu bersorak gembira. Dengan samurai di tangan,
mereka pun tanpa dipimpin bergerak maju untuk
menghadang prajurit Ninja. Tekad di hati mereka
hanya satu, menunjukkan darma bakti pada Kai-
sar yang mereka anggap turunan Dewa.
Dua pasukan itu seketika bertemu, lalu
ambruk menjadi satu dalam kancah peperangan.
Ya, peperangan tidak dapat dihindari lagi oleh
mereka. Nyawa kini tiada arti, bertumpah rumpah
untuk membela idiologi masing-masing.
Alun-alun kerajaan Nippon kini benar-
benar membara, diikuti oleh pekik jeritan orang-
orang yang meregang nyawa. Senjata kini yang bi-
cara, bukan lagi mulut-mulut mereka. Itulah pe-
rang, yang melupakan segalanya. Di antara itu,
semuanya tiada memandang siapa mereka. Entah
itu keturunan Brahmana, Satria, maupun Sudra.
Yang ada di tempat perang hanyalah kemenangan
atau kematian yang akan menjadikan diri mereka
berubah segalanya. "Hiiiiiiaaaattt...!"
"Ganyang musuh...!"
"Wuuuuutttt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Trang! Trangg...!" Senjata-senjata tradi-
sional mereka yang lebih banyak menggunakan
samurai saling beradu, memercikkan amarah
dan dendam serta nafsu saling membunuh, dan
memang itulah ketentuan perang. "Aaaah...!"
Tubuh-tubuh yang menjadi korban, seakan
tiada arti. Tubuh-tubuh itu terinjak, bahkan ter-
tendang-tendang oleh teman maupun lawan yang
masih hidup. Dua kekuatan yang jumlahnya ti-
dak seimbang itu terus saling serang dan berusa-
ha mendesak. Namun walaupun jumlah Ninja pe-
nyerang itu kecil, tapi semangat di hati merekalah
yang menjadikan Ninja-ninja tersebut bagaikan
kesetanan. Samurai-samurai di tangan mereka
bagaikan memiliki mata, membabat ke sana ke
mari.
"Wuuuuttt...!"
"Bajero!"
"Anjing Kaisar! Aku bunuh kau, hiaaaat...!"
Dua orang Panglima Perang dari kedua pa-
sukan itu kini saling berhadap-hadapan. Kedua-
nya kini telah siap untuk mempertaruhkan nyawa
mereka demi segala cita-cita. Bagi para Ninja, je-
las keinginan mereka untuk dapat menggulingkan
Kaisar, sedangkan bagi para Pendekar Samurai,
tugas lebih utama. Mereka ingin membuktikan
pada Kaisar mereka akan kesetiaan mereka
"Ninja sinting! Aku lumatkan kalian!"
"Wuuuuuuuutttt....!" Samurai-samurai
mereka saling berserabutan, menyerang dengan
membabi buta. Dalam pertempuran ini, tidak
akan ada artinya lagi kehebatan individu, semua
tercurah pada kekuatan persatuan yang kokoh.
Dengan persatuan mereka akan menang, sedang-
kan dengan bercerai berai tentunya sukar untuk
menang, walau jumlahnya lebih besar.
* * *
Kita tinggalkan pertempuran yang terjadi di
kerajaan, dan kita lihat di tempat para pendekar
tengah mengadakan pertemuan. Tidak ubahnya
ke kerajaan, di tempat itu juga tampak tengah
terjadi pertarungan dua kekuatan. Antara para
pendekar yang sedang mengadakan rapat yang
sudah berjalan hampir tiga hari, dengan para
anak buah Taka Nata yang tergabung dalam sa-
murai Iblis.
Guru besar Ninja yang pro dengan Kaisar
nampak kini bertarung menghadapi Taka Nata.
Sementara itu, Takasima yang tadinya memihak
gurunya, kini juga memusuhi. Bagaimana pun
juga, Takasima juga mempunyai tujuan yang sa-
ma dengan Taka Nata. Di samping itu pula, kedua
pendekar Ninja tersebut merupakan saudara se-
darah. Jadi jelaslah kalau Takasima memihak pa-
da Taka Nata yang masih saudara sepupu.
"Takasima penghianat!" bentak Murid Uta
ma Ninja, yang marah demi melihat Takasima
memihak Taka Nata. "Sudah aku duga, kalau ak-
hirnya engkau memang memihak saudaramu!"
Dua orang kakak beradik seperguruan itu
kini saling gempur untuk mempertahankan keya-
kinan masing-masing. Takasima tidak mau begitu
saja mengalah, apalagi hal ini menyangkut cita-
citanya untuk dapat pergi ke Tanah Jawa.
"Kau yang anjing Kaisar! Kau tidak meng-
hormati leluhur! Juga guru kita!" balas Takasima
tak kalah marahnya. "Kalian semua Ninja peng-
hianat! Ninja yang mau tunduk pada Kaisar demi
uang!"
"Bangsat! Aku rencah kepalamu, Takasi-
ma!"
"Aku sudah siap Penghianat! Hiaaatt...!"
Takasima terus berkelebat, babatkan sa-
murainya. Takasima merupakan murid terkasih
Maha Guru Fujita, sehingga dapat dipastikan ka-
lau ilmu Takasima bukanlah ilmu sembarangan.
Maka kakak seperguruannya yang kini menjadi
musuh sangat berhati-hati menghadapi Takasi-
ma.
Pertempuran terus berjalan, apalagi den-
gan kehadiran Taka Nata. Kehadiran Taka Nata
mampu memberikan semangat tinggi bagi para
Ninja.
"Seraaaaaaannnnggg...!"
Suara Taka Nata membahana, dan dengan
seketika dilaksanakan oleh anak buahnya yang
berjumlah ratusan. Para pendekar kini dikerubuti
oleh Ninja-ninja yang dididik oleh Taka Nata. Para
Ninja tersebut bagaikan tiada mengenal takut.
Taka Nata sendiri kini berhadapan dengan bekas
gurunya, yaitu Suhu Besar Fujita. Pertarungan
guru dan murid berjalan dengan seru, masing-
masing memiliki ilmu yang dapat diandalkan.
"Murid durhaka! Berani engkau melawan
Guru!"
"Kini kau bukan guruku! Kau telah menya-
lahi apa yang menjadi petuah Kakek Guru!" balas
Taka Nata membentak. "Kaulah Ninja gadungan
yang mau membela Kaisar!"
"Bajero! Hiiiiiiatttt....!"
"Wuuuuuuuttt...!"
Walau usianya telah begitu tua, namun se-
rangan sang Maha Guru tidak lemah, bahkan
masih keras dan cepat. Taka Nata tersentak tak
kira kalau gurunya masih memiliki tenaga yang
begitu besar. Dan ketika samurai gurunya berke-
lebat membabat, dengan cepat Taka Nata lompat
ke belakang.
"Bangsat! Kau berani melawanku!" hardik
Taka Nata yang sombong. Taka Nata yakin kalau
Samurai Iblisnya akan mampu mengalahkan gu-
runya.
"Sraaaang...!" Taka Nata cabut samurainya.
"Samurai Iblis!" sang Guru membeliak ka-
get, manakala melihat samurai di tangan Taka
Nata. Samurai di tangan Tak Nata mampu me-
nyedot tenaganya, "Bahaya!"
"Wuuuuuttt....!" Taka Nata kibaskan samu-
rainya, dan dari kibasan tersebut keluar asap le-
bat hitam bergulung-gulung menyerang sang
Guru. Asap itu terus membesar, makin lama ma-
kin menyelimuti tempat tersebut. Takasima yang
sudah tahu kehebatan samurai di tangan saudara
sepupunya dengan cepat melompat, begitu juga
anak buah Taka Nata dan anak buah Takasima,
mereka melompat ke belakang Taka Nata. Kini
asap makin menyelubungi tempat tersebut, men-
jadikan para pendekar benar-benar mengalami
sesak nafas. "Duuuuuaaar...!"
Terdengar ledakan dahsyat, dan berbaren-
gan dengan itu Taka Nata dan anak buahnya tiba-
tiba telah lenyap dari hadapan mereka. Para pen-
dekar banyak yang jatuh pingsan, tak kuat
menghadapi serangan asap yang keluar dari Sa-
murai Iblis. Asap itu ternyata mengandung racun
ganas, yang mampu melumpuhkan urat syaraf.
Tengah mereka semua tersentak dari gu-
lungan Asap Iblis, tiba-tiba mereka tersentak ka-
get.
"Swiiiiiiinnggg...!"
"Awas senjata...!" Maha Guru berseru
memperingatkan.
"Swiiiiinggg...!" kembali senjata rahasia
mendesing ke arah mereka, yang dengan cepat
segera mengelakkannya. Senjata-senjata rahasia
itu menderu-deru, lalu menghunjam di bebatuan.
"Duuuaaar...!"
Batu itu meledak manakala senjata rahasia
Bulu Landak Maut menghantamnya.
"Taka Nata pengecut! Keluarlah kau dari
persembunyianmu!"
Tak ada jawaban dari seruan Maha Guru.
"Swing! Swing, swing...!" itulah jawaban da-
ri seruan Maha Guru, yang berupa sepuluh ba-
tang Bulu Landak Maut.
"Awaaaaaasssss...!"
Dengan cepat para pendekar bergerak
menghindar sembari tebaskan samurai mereka ke
arah datangnya Bulu Landak Maut tersebut.
"Traaaaanng...!"
"Aaaahhh...!" salah seorang pendekar ne-
kad memapaki serangan Bulu Landak Maut. Na-
mun hasilnya dirinya sendiri yang menjadi kor-
ban. Manakala Bulu Landak Maut itu beradu
dengan samurai di tangannya, secepat itu pula
racun Fuji Hitam beraksi. Dan lewat samurai itu
pula racun Fuji Hitam merambat menyerang di-
rinya. Tanpa ampun lagi, seketika itu orang terse-
but memekik. Dari pergelangan tangan hingga
pangkal lengan seketika membiru, busuk bagai-
kan benar-benar terserang racun ganas.
"Racun Fuji Hitam!" Maha Guru memekik
"Biadab! Sungguh biadab tingkahmu, Taka Nata!"
"Hua, ha, ha...! Itulah hukuman bagi
orang-orang yang menentangku!" terdengar jawa-
ban dari Taka Nata, namun orangnya sendiri ti-
dak tampakkan ujudnya. "Kalian memang patut
dihukum, sebab kalian adalah orang-orang Ninja
Murtad!"
"Swiiiiiitttt...!"
Berbarengan dengan habisnya ucapan Ta-
ka Nata, saat itu juga puluhan bahkan ratusan
Bulu Landak Maut berdesing-desing menyerang
ke arah mereka. Mereka tiada lagi berani mema
pakinya, setelah tahu akan racun ganas yang ter-
kandung oleh Bulu Landak Maut tersebut. Kini
mereka hanya menghindar, dan menghindar saja.
Namun sungguh pekerjaan yang menguras tenaga
bila hal itu mereka lakukan terus menerus. Seba-
gai pelampiasan marahnya, sang Maha Guru han-
tamkan pukulan tenaga dalamnya memapaki se-
rangan tersebut.
"Wuuuuusss...!"
"Suuuuuiiiiittt...!"
"Des, des, des...!"
Pukulan sang Maha Guru ternyata mampu
menyapu serangan Bulu Landak Maut. Namun
manakala sang Maha Guru tengah bertarung me-
nyapu Bulu Landak Maut, tiba-tiba sebuah
bayangan putih perak berkelebat menyerang den-
gan Samurai Iblisnya. Taka Nata kembali keluar
setelah melihat gurunya tengah kerepotan.
"Hiiiiiaaaaaaaatttttt...!"
"Wuuuuutttt...!"
"Kurang ajar! Hiiiiiaaaattt...!"
Sang Guru dengan marah segera papaki
serangan.
"Wuuuuuuttt...!"
"Trangg!"
"Prak...!"
Mata sang Guru melotot lebar, tak percaya
pada apa yang dilihatnya. Samurai di tangannya
tiada arti sama sekali untuk menghadapi samurai
di tangan Taka Nata. Samurai di tangannya kini
telah puntung menjadi dua, terbabat oleh Samu-
rai Iblis.
"Huaaaa... ha, ha, ha,..,! Kalau engkau ti-
dak segera meminta ampun, maka jangan salah-
kan aku mengakhiri hidupmu! Kakek bau tanah!"
ucap Taka Nata sombong.
"Taka Nata! Aku harap engkau tidak ber-
mimpi!" balas gurunya yang segera mencegah
manakala murid-muridnya hendak menghajar
Taka Nata. "Biarkan aku menghadapinya! Kalian
bersiaplah, sebab mereka akan kembali muncul!"
"Hem, aku tak pernah bermimpi, Kakek ke-
riput bau tanah!" Kembali Taka Nata mengejek.
"Akan aku buktikan bahwa aku akan mengirim
nyawa busukmu ke akherat! Hiiiiaaat...!"
"Wuuuuuttt...!" Taka Nata babatkan samu-
rainya.
Sang Guru segera melompat menghindar,
sebab ia tidak ingin nyawanya begitu saja dis-
erahkan. Sang Guru terus menghindar, dengan
sekali-sekali balas menyerang dengan hantaman
tangannya.
"Wuuuuttt...!"
"Mampuslah engkau, Tua Bangka!"
Taka Nata terus mencerca dengan Samurai
Iblisnya. Asap yang keluar dari Samurai Iblis ber-
gulung-gulung, menyelimuti tempat tersebut.
Sang Guru kini benar-benar tersentak ka-
get. Jalan nafasnya kini bagaikan tersumbat, dan
terasa berat. Sang Guru berusaha menyumbat
pernafasannya. Mulanya memang mampu. Sang
Guru bertarung benar-benar bagaikan orang ma-
ti, tanpa bernafas. Namun lama kelamaan tak
kuat juga ia melakukan semua itu. Hal tersebut
sungguh sangat membahayakannya. Asap Iblis
yang keluar dari Samurai Iblis di tangan Taka Na-
ta kini menyerang ke arahnya. Nafas tua Maha
Guru itu kini benar tersendat berat.
"Mati aku!" pekiknya tertahan dalam hati.
Melihat Gurunya dalam keadaan bahaya,
dengan nekad salah seorang muridnya berkelebat
menyerang. Disapukannya samurai ke arah gu-
lungan asap tersebut, namun sungguh sangat
bahaya, sebab bukannya asap maut itu hilang,
akan tetapi dirinya sendiri yang kini menjadi tu-
juan serangan Taka Nata.
"Wuuuuttt...!"
"Wuuuuuttt..!" Orang itu papaki serangan.
"Trang...!"
"Prak!" terdengar suara patahan, dan ter-
nyata samurai di tangan orang itulah yang patah.
Saudara seperguruan Taka Nata yang mencoba
bela gurunya terbelalak matanya demi menda-
patkan samurainya telah patah menjadi dua.
"Wuuuuuttt...!"
"Awwwwaaasss....!" Sang Guru berseru ka-
get memperingatkan pada muridnya yang masih
tersentak manakala Samurai Iblis berkelebat me-
nyerang kembali.
"Ah...!"
Walau orang tersebut telah menghindar,
namun Samurai Iblis kini terus mencerca dengan
cepatnya. Tebasan-tebasannya sungguh memba-
hayakan. Tebasan-tebasannya mencari titik ke-
matian lawan.
"Wuuuuttt...!"
"Hiiiiiaaaattt....!" Saudara seperguruannya
berkelebat papaki serangan Taka Nata.
"Wuuuuttt...!"
"Trang...!"
"Prak!" Orang yang menyerang menyurut
mundur, matanya melotot kaget. Samurai di tan-
gannya seperti kakak seperguruannya juga patah
menjadi dua. Tengah semuanya tercekam dalam
kepanikan, tiba-tiba apa yang ditakutkan oleh
Sang Guru terbukti. Dari balik semak-semak
kembali para Ninja keluar, menyerang. Maka da-
pat dipastikan, para pendekar yang panik itu pun
makin panik dan nekad. Akan tetapi, kenekadan
mereka benar-benar tidak berguna, sebab jumlah
mereka tiadalah sebanding.
"Hiiiiaaattt...!"
"Wuuuuttt...!" Samurai para Ninja terus
mencari mangsa.
"Wuuuuuttt..!" Taka Nata dan Takasima
benar-benar bagaikan singa lapar, setiap keleba-
tan samurainya mampu membuat salah seorang
Pendekar menjerit dan ambruk dengan tubuh be-
rantakan. Tangan puntung, kepala, maupun tu-
buh tercabik-cabik.
Kini para Pendekar benar-benar keteter,
maka dengan penuh perhitungan sisa-sisa mere-
ka yang hidup segera hendak mengambil langkah
seribu. Tapi para Ninja anak buah Taka Nata dan
Takasima tidak membiarkan mereka begitu saja.
Sebelum mereka jauh, dengan sadis tanpa men-
genal belas kasihan mereka pun menyerangnya.
"Wuuuuuttt....!"
Samurai Ninja beterbangan, melesat me-
nyerang orang-orang yang bermaksud melarikan
diri. Maka...!
"Wuuuuaaaa...!"
Tiga orang yang bermaksud melarikan diri
itu, tanpa ampun lagi menjerit. Samurai Ninja
anak buah Takasima berhasil menyate tubuh me-
reka. Ketiganya ambruk, kejang sesaat sebelum
kemudian terdiam tanpa nyawa lagi.
***
EMPAT
Kekalahan yang dialami oleh para pende-
kar, juga dialami oleh para prajurit kerajaan. Para
prajurit kerajaan nampak banyak yang mati, ber-
gelimpangan tanpa nyawa. Sementara para Ninja
kini nampak bergembira ria merayakan kemenan-
gannya.
"Bunuh Kaisar...!"
"Pancung kepalanya...!"
Serta merta semua prajurit Ninja berkele-
bat masuk dengan tujuan mencari Kaisar. Tapi
rupanya Kaisar dan orang-orang pembesar istana
kini telah meninggalkan istana.
"Tidak adaaaa...!"
"Ke mana...?!" tanya pimpinan Ninja.
"Mungkin melarikan diri!" jawab yang ditanya.
"Kita beritahu pada pimpinan Taka Nata,
bahwa kita telah menang!"
Sebagian dari para Ninja itu segera menuju
kembali ke tempat di mana pimpinan mereka be-
rada. Kini mereka tidak memerlukan jalan kaki
lagi, akan tetapi mereka kini menempuh perjala-
nan dengan menunggang kuda.
* * *
Kita tinggalkan para Ninja anak buah Taka
Nata si Iblis Nippon yang hendak merayakan ke-
menangannya atas Kekaisaran. Kita tengok ba-
gaimana dengan pendekar kita Jaka Ndableg yang
tengah berusaha mencari Meimora yang diculik
ketiga Ninja Samurai Iblis.
Jaka Ndableg dengan segenap kemam-
puannya, dipasang panca indranya untuk menca-
ri jejak Meimora dan ketiga Ninja penculiknya.
Jaka kini nampak masih berlari dengan menggu-
nakan ajian Kupuh Puyu atau Angin Puyuh. Ma-
ka sudah dapat diduga, pendekar kita ini lari ba-
gaikan kesetanan, dan hampir dapat dikatakan
terbang karena kakinya tiada menginjak rumput
barang sekali pun.
"Ke mana aku harus mencari mereka?"
tanya Jaka dalam hati, sepertinya ada keraguan
akan kemampuan dirinya.. "Aku di sini orang ba-
ru, asing! Manalah mungkin aku akan mampu
menemukan mereka?"
Jaka terus berlari dan berlari, tanpa hirau-
kan kekalutan hatinya yang semakin tak tentu.
Kini ia telah jauh meninggalkan tempat semula.
"Haruskah aku tersesat di daerah orang?"
Jaka bertanya-tanya pada diri sendiri. "Oh, men-
gapa aku begitu tolol nekad berkeliaran sendiri?"
Mungkin karena capai Jaka pun dengan
segera mencari tempat yang sekiranya dapat di-
gunakan untuk mengaso. Dicarinya sebuah kedai.
"Di mana akan aku temui kedai?" Kembali
Jaka memperoleh kebingungan. Ia tidak tahu
arah mana yang sekiranya kini ia tuju, dan tidak
tahu desa apa yang kini tengah ia jejaki kakinya.
Dan orang-orang yang ditemuinya, rata-rata tidak
ia kenal.
Jaka Ndableg terus melangkah, memasuki
kampung yang ramai oleh kedatangan para pen-
gunjung tersebut. Jaka jadi bertanya-tanya dalam
hati melihat keramaian kampung tersebut. Orang-
orang yang datang dan pergi nampak berwajah
muram, seakan mereka tengah mengalami kese-
dihan.
"Hai, ada gerangan apakah?" tanya Jaka
dalam hati. "Coba aku akan menanya."
Dihampirinya seorang pemuda sebayanya.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, Jaka ber-
tanya dengan pemuda tersebut tentang mengapa
banyak orang yang datang dan pergi dengan wa-
jah muram?
Pemuda itu yang tahu kalau Jaka bukan
orang asli Nippon, menjawab dengan bahasa isya-
rat pula. Hal tersebut mampu dengan mudah di-
tangkap oleh Jaka yang seketika terperanjat ka-
get. "Ada gadis mati, setelah diperkosa!" Jaka te-
rus mengikuti gerakan-gerakan yang dilakukan
oleh pemuda tersebut. "Hem, gadis itu cantik."
Pemuda Jepang itu terus menceritakan se-
gala apa yang ia ketahui dengan gerakan-gerakan
tangannya. Sementara Jaka terus mengikutinya
dengan menerjemahkan dalam tata bahasa. "Ti-
dak salah, Meimora adanya? Dia bercerita kalau
gadis itu mengenakan gaun warna hitam pertan-
da duka!" Jaka kini makin tegang.
Setelah menjura pada pemuda tersebut,
dengan segera Jaka berkelebat pergi menuju ke
arah yang ditunjuk oleh pemuda tersebut.
* * *
Orang-orang tampak berkumpul di tepi
pantai. Mereka sepertinya tengah melihat sesua-
tu. Ya! Orang-orang tersebut memang tengah me-
lihat sesosok tubuh tanpa nyawa. Tubuh itu milik
seorang gadis cantik. Wajah gadis itu benar-benar
mirip dengan Meimora hingga Jaka Ndableg me-
nafsirkan ucapan gerakan pemuda itu sebagai
Meimora adanya.
Jaka Ndableg tampak berlari-lari menuju
ke tempat tersebut.
Dengan berusaha meminta jalan, segera
Jaka menyeruak tempat tersebut. Jaka mulanya
kaget, manakala melihat muka gadis itu. Gadis
itu memang persis sama dengan Meimora, akan
tetapi tatkala dilihat seksama, jelas ada banyak
perbedaannya.
"Oh, Meimora! Di manakah kini dia?" keluh
Jaka, lalu beranjak pergi tinggalkan tempat terse-
but. Dengan melamun memikirkan Meimora, Jaka
melangkah tanpa tujuan arah yang pasti. Piki-
rannya kini merawang pada Meimora.
"Ke mana aku mencarinya? Aku tidak tahu
markas mereka." keluh Jaka sendiri. Tanpa terasa
Jaka terus berlalu meninggalkan desa tersebut.
Kini dirinya telah memasuki hutan belantara yang
sepertinya belum terjamah oleh tengah manusia.
Jaka terus berjalan, tiada hiraukan alam
yang asing baginya yang kini dijejaki kakinya.
Manakala Jaka terus melangkah, terdengar suara
rintihan seseorang. Telinga Jaka yang tajam, se-
ketika mampu mendengar suara rintihan terse-
but.
"Hu, hu, hu, hu...!"
"Hai, sepertinya suara seseorang menan-
gis." Jaka mereka-reka dan terus mendekat ke
arah suara tersebut. "Ya! Benar! Suara seorang
wanita. Tapi, bukankah ini hutan perawan. Jan-
gan-jangan siluman yang mau menggangguku!
Ah, mengapa mesti aku pikirkan? Bukankah Ayah
dan Ibuku Siluman?"
Dengan melangkah perlahan Jaka terus
mendekat. Kini matanya yang tajam melihat se-
buah gubug berdiri tidak jauh dari dirinya berada.
"Hem, benar manusia. Aku harus melihatnya.
Hoooop...!" Jaka melompat ke atas pohon, pu-
satkan pandangannya ke tempat di mana rumah
tersebut berdiri. "Hem, tak aku duga, kalau ak-
hirnya aku akan menemukan bajingan-bajingan
ini di sini!"
Jaka Ndableg terus mengawasi tempat ter-
sebut.
"Plak!"
"Katakan siapa temanmu itu, hah!" terden-
gar suara bentakan.
"Tidaaaakkk...!"
"Bangsat!"
"Plak....!" tamparan kembali terdengar.
"Aaaaaaadddddduuuhhh,..!" terdengar jeritan seo-
rang wanita.
Suara itu sangat Jaka kenal, suara itu tak
lain milik Meimora.
"Meimora!" ucap hati Jaka. "Aku harus
menolongnya!"
Bagaikan seekor monyet, Jaka Ndableg
bergayut dari satu pohon ke pohon lainnya den-
gan bantuan akar-akar yang bergantungan dan
tumbuh.
"Aku temannya, hiaaaaaaatttt...!"
Tersentak kedua orang yang menjaga di
muka gubug itu. Dengan segera keduanya cabut
samurai.
"Siapa kau, hah!" bentak salah seorang da-
ri mereka.
"Aku Malaikat yang akan mencabut nyawa
kalian! Hiiiaaaattt!"
Belum juga keduanya mampu berbuat, Ja-
ka telah mendahuluinya dengan menendangkan
kaki ke arah mereka. Keduanya bermaksud
menghindar, akan tetapi tendangan Jaka lebih
cepat.
"Weeesssttt...!"
"Dug! Dug...!"
Kedua orang tersebut terpelanting ke bela
kang, tertendang oleh kaki Jaka Ndableg. Jaka
tersenyum, biarkan keduanya bangkit dari du-
duknya. Nampaknya kedua orang Ninja tersebut
beringas, manakala tahu siapa yang datang.
"Suuuuuiiiiiitttt...!" Salah seorang dari me-
reka bersuit, menjadikan Jaka kini harus benar-
benar waspada.
Dari pepohonan dan semak belukar,
nampak bermunculan beberapa orang yang me-
makai pakaian Ninja. Orang-orang tersebut yang
jumlahnya mencapai tiga puluhan itu dengan ce-
pat mengurung Jaka. Namun begitu Jaka nam-
pak masih tenang, bahkan kini tersenyum-
senyum sendiri.
"Hem rupanya di hutan ini banyak kecoa
busuknya!" ucap Jaka.
"Seraaaanngg...!" terdengar suara perintah.
Tanpa menunggu dua kali perintah, den-
gan cepat ketiga puluh orang tersebut berkelebat
menyerang Jaka. Namun bagaikan tidak merasa-
kan hal apa-apa, Jaka yang tujuan pokoknya
membebaskan Meimora segera berkelebat dengan
ilmu meringankan tubuhnya. Tubuh Jaka kini
melenting ke udara, lalu dengan cepat manakala
mereka terperangah Jaka segera turun dengan
kaki dan tangan siap menyerang.
"Hiiiiaaattt...!"
"Wuuutttt...!" Samurai-samurai di tangan
mereka menderu, papaki tubuh Jaka yang me-
layang. Namun kiranya dugaan mereka salah, se-
bab Jaka rupanya tidak bermaksud menyerang.
Tubuh Jaka meluncur deras, menembus masuk
ke dalam rumah.
"Brooosss...!" bilik penutup rumah tersebut
jebol, manakala tubuh Jaka menjebolnya. Terke-
siap orang yang saat itu tengah menanyai Meimo-
ra. Sedangkan Meimora yang tengah terikat kaki
dan tangannya di wajahnya nampak ceria. Hara-
pan untuk hidup kembali tumbuh, saat dilihatnya
Jaka datang. "Jaka...!"
Orang tersebut hendak menyerang, namun
dengan cepat Jaka mendahuluinya dengan ten-
dangan kaki serta hantaman tangannya.
"Wuuuuttt...!"
"Bug! Bug...!"
"Wuuuuuaaa...!" orang itu menjerit, mun-
tahkan darah yang muncrat dari mulutnya. Mata
orang tersebut membeliak sesaat, sebelum akhir-
nya tubuhnya terjerembab mati.
"Ayo..." Jaka segera menggendong tubuh
Meimora yang lemas, dibawanya ke luar dari ru-
mah tersebut. Namun belum juga keluar dari pin-
tu, tiba-tiba ketiga puluh Ninja yang tadi membu-
runya menghadang langkahnya dengan samberan
samurai mereka.
"Wuuuuuttt...!"
"Aih!" Jaka melompat mundur, mengambil
ancang-ancang sekaligus elakkan serangan.
"Srang...!" Pedang Siluman Darah dicabut-
nya, karena merasa bahwa hanya dengan Pedang
Siluman Darah sajalah yang mampu menghadapi
serangan ketiga puluh Ninja tersebut.
"Kalian rupanya mencari mati!" maki Jaka
marah, di pundaknya masih tergendong tubuh
Meimora. "Baiklah! Mari kita buktikan siapa di
antara kita yang harus menyingkir ke akherat!"
Para Ninja itu bagaikan tak mau tahu,
kembali mereka babatkan samurainya ke arah
Jaka,
"Wuuuuttt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Trang...!"
Membeliak mata Ninja yang di depan dan
mendahului menyerang Jaka. Manakala dua pe-
dang mereka bertemu, seketika samurai di tan-
gannya bagaikan terbakar. Hawa panas keluar
dari Pedang Siluman Darah.
"Aaahhh...!" Orang itu lepaskan pedangnya,
namun tak urung tangannya kini melepuh. Dari
pergelangan tangannya sampai ke pangkal lengan
kini hangus terbakar. Mata orang tersebut men-
delik, tak percaya pada apa yang dialaminya.
"Wuuuuuttt...!" Jaka kembali sabetkan Pe-
dang Siluman Darah ke orang tersebut. Orang
tersebut berusaha mengelak, namun gerakkan
Pedang Siluman Darah di tangan Jaka begitu ce-
pat. Beruntung temannya segera memapakinya.
"Wuuuuttt...!"
"Trang!"
"Wuuuuuaaa..." Kembali orang yang me-
mapaki serangan Pedang Siluman Darah meme-
kik. Orang itu seperti yang pertama segera le-
paskan samurainya yang panas bagaikan men-
gandung bara manakala beradu dengan Pedang
Siluman Darah.
"Jaka, jangan biarkan dia hidup!"
"Jangan khawatir, Nona Mei." jawab Jaka,
lalu kembali babatkan Pedang Siluman Darah ke
arah dua orang tersebut. Kini keduanya tak dapat
berbuat apa-apa. Tangan mereka melepuh, terba-
kar oleh hawa panas yang dipancarkan Pedang
Siluman Darah.
"Wuuuuuttt...! Wuuuuuutttt...!"
"Dest...!"
"Cras! Crasss...!"
"Wuuuuuuaaa...!" Kedua orang tersebut
memekik, tak mampu lagi hindari sabetan Pedang
Siluman Darah di tangan Jaka yang bergerak
dengan cepatnya. Seketika itu tubuh keduanya di
perut terbeset. Usus dari dalam menjurai ke luar,
menjadikan pemandangan yang mengerikan.
Melihat kedua rekannya telah mati, serta
merta semua Ninja itu nampak ketakutan. Nyali
mereka kini benar-benar ciut. Namun untuk me-
nyerah, mereka jelas tidak mau, sebab mereka te-
lah mendapat sumpah tidak akan mau menyerah
pada lawan. Dengan nekad kedua puluh delapan
Ninja itu berbarengan menyerang Jaka.
"Hiiiiiaaaattt...!"
"Wuuuuuutt..!"
Samurai-samurai di tangan mereka berke-
lebat-kelebat membabat ke arah Jaka. Jaka yang
sudah marah, nampak tidak canggung-canggung
meladeni mereka. Manakala Samurai mereka
mengarah hendak membabat tubuhnya, dengan
cepat Jaka sambut serangan mereka dengan ba-
batan Pedang Siluman Darah.
"Wuuuuutttt...!"
"Traaaang...!"
"Wuuuuaaa...!" Empat orang Ninja menje-
rit, tubuhnya kini benar-benar terbakar kese-
luruhannya. Ternyata tanpa setahu mereka Jaka
telah menyalurkan Inti Geni ke segenap Pedang
Siluman Darah. Tubuh keempatnya mengejang,
lalu ambruk tanpa nyawa.
"Aku harus menyelamatkan Meimora!
Sungguh bahaya bila aku harus selalu menggen-
dong Meimora," Jaka membatin, kemudian den-
gan cepat kembali babatkan Pedang Siluman Da-
rah ke arah para Ninja yang kini benar-benar ciut
nyalinya. Para Ninja yang telah ciut nyalinya kini
tanpa menunggu Jaka minggat telah mendahului
kabur. Rasa takut itulah yang menjadikan mereka
melarikan diri. Jaka hanya dapat geleng kepala,
bibirnya terurai senyum.
Niat Jaka untuk pergi dari tempat itu di-
urungkannya, sebab menurutnya di tempat terse-
but dirinya akan aman. Setelah membersihkan
rumah gubug tersebut dari mayat-mayat Ninja,
Jaka pun dengan segera kembali ke gubug terse-
but di mana Meimora berada ditinggalkannya.
***
LIMA
Dengan kemenangannya atas Kaisar, maka
Taka Nata kini mengangkat dirinya sebagai Kaisar
di Kerajaan. Tercapailah segala cita-citanya untuk
menjadikan dirinya Kaisar pertama yang dari Nin-
ja. Dan setelah berhasil mengangkat dirinya men-
jadi Kaisar, maka program pertama adalah mem-
buru orang-orang yang dulu menjadi tangan ka-
nan Kaisar. Nama Kerajaan pun kini dirubah, dari
Dai Nippon menjadi Kerajaan Samurai Iblis, se-
suai dengan samurainya. Juga para anak buah-
nya, mereka diangkat menjadi prajurit-prajurit
kerajaan.
Program utama Kaisar Taka Nata, yaitu
memberantas bekas-bekas tangan kanan Kaisar
yang entah ke mana kini. Dan hal yang lebih po-
kok, yaitu mencari Pendekar Tanah Jawa yang di-
tugaskan untuk datang ke Jepang.
"Pasang pengumuman! Barang siapa yang
mampu menangkap Pendekar Tanah Jawa, maka
dirinya akan mendapatkan kedudukan yang
enak!" begitulah kata-kata yang diperintahkan
oleh Taka Nata pada maha Patihnya Takasima,
yang merupakan adik sepupunya.
"Jadi Pendekar Tanah Jawa itu telah ke si-
ni?"
"Benar, Sima."
"Hem, untuk maksud apakah?"
"Jelas untuk menentang para Ninja yang
telah mengirimkan pasukannya ke Tanah Jawa."
jawab Taka Nata. "Maka itu, sebelum Pendekar
Muda tersebut dapat disingkirkan, kedudukan ki-
ta akan benar-benar mendapatkan hambatan!"
"Baiklah! Aku akan mencarinya!"
Taka Nata tersentak demi mendengar uca-
pan Takasima. Ia tahu Takasima bukanlah orang
sembarangan dari para Pendekar Ninja, namun ia
juga tahu bahwa Pendekar muda itu juga bukan-
lah Pendekar kelas entengan. Percuma Raja Kera-
jaan Tanah Jawa Dwipa mengirimnya ke tanah
Nippon kalau ia bukanlah pendekar pilih tanding.
"Sima, jangan gegabah!"
"Kenapa? Bukankah hanya Pendekar Muda
itu saja yang engkau takuti?" tanya Takasima
menyombong. "Aku Taksima, akan membuat se-
mua mata orang Tanah Jawa Dwipa terbuka."
"Kau tidak bercanda, Sima?"
"Tidak!" jawab Takasima, menjadikan Taka
Nata hanya tersenyum kecut. Taka Nata geleng-
kan kepala, menjadikan Takasima memandang-
nya dengan pertanyaan. "Mengapa...?"
Taka Nata hela napasnya panjang, seakan
ada ganjelan berat yang mengisi hatinya. Ia masih
teringat akan segala berita yang ia terima dari Ta-
nah Jawa Dwipa. Ninja Hitam, yang terkenal ga-
gah pemberani tak ada artinya sama sekali di ha-
dapan Pendekar Muda tersebut. Kebanyakan para
Ninja di Tanah Jawa mati di tangan pendekar
Muda tersebut. Juga menurut kabar anak buah-
nya, Pendekar muda tersebut merupakan titisan
Dewa Api. Walaupun Taka Nata belum yakin, na-
mun setidaknya ia mempunyai gambaran siapa
adanya Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Jangan engkau dulu, Sima. Sebar saja du-
lu pengumuman!"
Takasima yang belum tahu siapa adanya
Jaka Ndableg, sepertinya tidak setuju. Ia benar-
benar ingin membuktikan kebenaran segala cerita
yang pernah ia dengar. Dendamnya pada Pende-
kar Muda tersebut telah menjalar. Sebagai seo-
rang pimpinan Ninja Merah, jelas ia mendendam
pada Jaka Ndableg dan para Pendekar Tanah Ja-
wa yang telah menumpas anak buahnya. Bahkan
menurut kabar, adiknya Taka Moro pun telah bi-
nasa. "Tidak! Aku harus mampu memenggal ke-
pala Pendekar itu!" gerutu hati Takasima marah.
Bayangan tentang kegagalan misi Ninjanya, ma-
kin membebani dendam di hatinya.
"Beri aku kesempatan, Nata," Takasima
memohon.
"Aku tidak ingin saudaraku hilang," Taka
Nata bergumam sendiri, setelah terlebih dahulu
tarik napas panjang. Dalam napas berat Taka Na-
ta, sepertinya ada rasa berat untuk mengijinkan
diri Takasima menghadapi Jaka Ndableg.
"Bagaimana...? Kau menyetujuinya?"
Desakan Takasima menjadikan Taka Nata
benar-benar serba salah. Ia sebenarnya bukan
takut, namun ia sangat menyayangkan jika sau-
daranya yang tinggal satu-satunya harus pisah
dari dirinya hanya mengikuti dendam.
"Bawalah seratus prajurit untuk memban-
tumu."
Akhirnya Taka Nata mengijinkan.
"Terimakasih. Aku akan menunjukkan pa-
damu, bahwa aku mampu membuka mata para
Pendekar Tanah Jawa. Aku akan membawa kepa-
la Pendekar Muda itu ke mari."
Takasima menjura, lalu dengan senyum
bagaikan merasa pasti Takasima keluar tinggal
kan tempat tersebut. Di alun-alun dikumpulkan-
nya anak buahnya yang terdiri dari Ninja Merah.
Kini Takasima benar-benar ingin menunjukkan
pada para Pendekar Tanah Jawa bahwa orang
yang selama ini disegani telah mampu ia binasa-
kan.
"Para prajurit... Kummpuuuuuull...!"
Berserabutan para prajurit Ninja Merah
yang jumlahnya mencapai ribuan itu berkumpul.
Dalam kekaisaran Taka Nata, Ninja Merah menja-
dikannya sebagai prajurit utama, atau prajurit
elit, sebab keberanian dan kehebatan Ninja Merah
telah diuji dengan baik. Dan memang Ninja Merah
menjadikan Takasima bukanlah para prajurit
Ninja biasa. Mereka pada umumnya memiliki ke-
lebihan yang banyak dibandingkan dengan Ninja
lainnya.
"Sebagai prajurit elite, kalian akan dicoba
untuk menghadapi musuh yang berat. Kalian ten-
tunya ingat akan berita-berita yang kalian terima
dari Tanah Jawa, bukan?"
Semua Ninja Merah mengangguk.
Takasima melanjutkan, "Pendekar tersebut
kini berada di Tanah Nippon ini, tapi entah di
mana. Untuk itu, maka aku akan mengajak sera-
tus orang dari kalian untuk menemaniku menca-
rinya. Nah, aku minta, kalian mau membantu Ke-
rajaan."
Takasima segera memilih anak buahnya.
Tanpa mengalami kesulitan, Takasima pun dapat
menyaring keseratus anak buahnya untuk men-
gikutinya. Setelah memeriksa segala peralatan
yang bakal digunakan dengan teliti, maka kesera-
tus Ninja itu pun yang langsung dipimpin oleh
Takasima berangkat untuk memburu Pendekar
Pedang Siluman Darah Jaka Ndableg yang masih
berada di Tanah Nippon.
* * *
Jaka yang masih bersama Meimora ber-
sembunyi di hutan, saat itu tengah mencari bu-
ruan untuk makan siangnya. Jaka nampak men-
gendap-endap, tatkala dilihatnya seekor kijang
besar tengah makan dengan santainya.
"Harus kena!" Diambilnya sebatang rant-
ing, lalu dengan menggunakan tenaga dalam Jaka
pun lemparkan ranting tersebut ke arah kijang
yang tengah makan.
"Swiiiiiingg...!"
"Jlep...!"
"Eeee...!" kijang itu melenguh panjang, lalu
ambruk ke tanah tertembus batang ranting yang
dilemparkan Jaka. Dengan suka cita Jaka pun
melompat hendak mengambil kijang tersebut,
manakala seseorang juga melompat ke tempat
tersebut.
"Hai! Itu milikku...!" bentak orang tersebut.
"Enak saja!" balas Jaka memaki. "Aku yang
telah melempar ranting ini.... Kau...?" Jaka ter-
belalak, manakala dilihatnya orang tersebut.
Orang tersebut itu pun tak kalah kagetnya, ma-
nakala tahu siapa adanya pemuda yang hendak
merebut kijang buruannya. Mulut orang itu yang
tiada lain Perdana Menteri kerajaan ternganga.
"Tuan Pendekar, rupanya Tuan berada di
sini."
"Ya! Kau...?"
"Aku bersama Kaisar dan rombongan juga
berada di hutan ini" Dan Perdana Menteri segera
ajak Jaka untuk menemui Kaisar dan rombongan.
"Ayo ikut aku!"
Dengan tanpa membantah, Jaka pun sege-
ra menurut mengikuti Perdana Mentri pergi me-
ninggalkan kijang yang telah menjadi rebutan.
Keduanya dengan bergegas menuju ke arah Timur
hutan. Tak begitu lama kemudian, keduanya
sampai juga di tempat yang mereka tuju. Di tem-
pat tersebut berdiri beberapa tenda yang didirikan
secara darurat. "Kaisar! Kaisar...! Keluarlah!" Dari
dalam tenda seorang lelaki setengah baya keluar.
Wajah lelaki itu kini nampak lebih tua, hal terse-
but menunjukkan bahwa penderitaan telah
menggores hidupnya. Jaka hampir tak percaya,
bahwa orang yang kini tersenyum padanya tidak
lain Kaisar.
"Tuan Pendekar...!" seru Kaisar.
"Tuan Kaisar...!"
Keduanya saling berpelukan, lalu dengan
penuh haru keduanya segera masuk ke dalam
tenda Kaisar. "Mengapa Tuan ada di sini?" tanya
Jaka, setelah keduanya duduk-duduk sambil me-
nikmati makan siang.
Wajah Kaisar nampak berubah sedih di-
tanya begitu oleh Jaka. Hal itu menjadikan Jaka
Ndableg kerutkan keningnya, tak mengerti apa
sebenarnya yang telah terjadi. Sang Kaisar hela
napas panjang, sebelum akhirnya bercerita.
"Aku telah tergulingkan."
"Tergulingkan...?" tanya Jaka heran. "Ba-
gaimana mungkin?"
Dengan berurai air mata, Kaisar pun perla-
han menceritakan segalanya yang telah menimpa
dirinya. Ia juga mengakui bahwa semuanya ada-
lah kesalahannya. Ya! Kesalahannya yang tidak
mau mementingkan pertahanan, sehingga para
prajuritnya tidak dapat melakukan segala cara
dalam perang. Diakuinya, bahwa sebenarnya ia
sendiri kurang suka untuk perang. Ia lebih men-
cintai damai, aman dan tentram. Tapi sejarah
menyatakan lain, bahwa dengan perang seseorang
akan mampu menunjukkan dirinyalah yang
mampu menjadi tokoh pemimpin.
"Begitulah Tuan Pendekar."
"Janganlah Tuan Kaisar terlalu memikir-
kannya."
"Maksudmu?" tanya Kaisar tak mengerti.
Jaka tarik napas panjang, lalu katanya
kemudian. "Baiklah, aku akan mengundang Nona
Meimora terlebih dahulu, agar kita dapat bertemu
dan berkumpul."
"Baiklah, memang sepantasnyalah Nona
Meimora harus dilindungi."
Jaka segera menjura, lalu bergegas pergi
tinggalkan tenda Kaisar untuk kembali ke tempat
di mana Meimora berada. Dengan hati agak tak
tenang, perasaannya seperti bergejolak demi
mendengar penuturan Kaisar. Namun ada sesua
tu yang mendesaknya untuk segera pulang ke
tempatnya. Sepertinya ada sebuah pesan misteri
yang disampaikan oleh desahan-desahan angin.
Terbelalak mata Jaka, manakala melihat
apa yang tengah terjadi. Seorang Ninja Merah kini
tengah menguasai tubuh Meimora dengan samu-
rai siap menggorok leher gadis itu. Ninja Merah
lainnya nampak berjaga-jaga dan siap dengan
samurainya.
"Ninja-Ninja anjing! Beraninya dengan seo-
rang wanita!" bentak Jaka marah. "Kalau kalian
memang laki-laki, lepaskan Nona itu dan hadapi
aku!"
"Jakaaaa...!" Meimora memekik ketakutan.
"Tolonglah aku!"
"Kalian tidak di mana-mana, selalu mem-
buat keonaran! Rupanya kalian tidak jenuh den-
gan kejadian di Tanah Jawa!" Jaka terus mem-
bentak, memancing mereka agar marah. Juga tu-
juan Jaka berteriak-teriak, semata-mata agar
rombongan Kaisar mendengarnya. Dan ternyata
usaha Jaka memang berhasil. Di tempat lain,
Kaisar dan para Panglima Perangnya mendengar
suara Jaka memaki-maki.
"Sepertinya Pendekar itu tengah berperang
mulut," gumam Kaisar pada Perdana Mentrinya
yang juga mendengar.
"Benar, Kaisar."
"Siapkan pasukan! Aku dengar Pendekar
dari Tanah Jawa itu menyebut-nyebut Ninja. Ayo
siapkan pasukan segera!"
Perdana Mentri tanpa banyak bantah lagi
segera mempersiapkan pasukannya. Pasukan
yang terdiri dari orang-orang pendekar samurai
itu dalam waktu singkat telah berkumpul. Kese-
muanya berjumlah lebih dari dua ratus lima pu-
luh orang.
Setelah mendengar seruan tersebut, den-
gan cepat para prajurit Samurai bergegas mem-
buru ke tempat suara Jaka. Para Prajurit samurai
yang telah terlatih tanpa mengalami kesulitan
menemukan tempat di mana Jaka dan Ninja Me-
rah tengah bersitegang mulut.
"Jaka Ndableg! Kau telah banyak membu-
nuh anak buahku!" Takasima membentak. "Kau
harus mati oleh tanganku!"
Jaka Ndableg sunggingkan senyum, lalu
katanya kalem. "Kaukah pimpinan Ninja Merah?"
"Ya!" jawab Takasima
"Sebegitu pengecutkah seorang Ninja, se-
hingga beraninya menyandera seorang wanita!"
Jaka terus berusaha membikin amarah Ninja Me-
rah. Dan memang berhasil, Takasima nampak
mendengus marah merasa dirinya dihina sebagai
seorang pengecut.
"Bajero! Aku tidak sebodoh itu, Anak Mu-
da!"
"Kalau begitu, lepaskan Nona itu. Dan mari
kita tentukan sebagai seorang persilatan!" Mata
Jaka melirik, dan tahu kalau para Prajurit Kaisar
telah berdatangan secara diam-diam. Hanya Jaka
saja yang tahu isyarat mereka. "Lepaskanlah, dan
mari kita buktikan siapa di antara kita yang hen-
dak menyusul rekan-rekan kalian yang ada di Ta
nah Jawa sana!"
"Bajero! Lepaskan Nona itu...!" perintah
Takasima yang merasa ditantang oleh Jaka. Hal
tersebut dengan segera dijalankan oleh anak
buahnya. Manakala Meimora telah lepas, Jaka
pun segera menyambutinya. Sebelum para Ninja
tersebut menyerang, Jaka dengan cepat lenting-
kan tubuh seraya membopong tubuh Meimora.
"Swiiiiit...!" Jaka bersuit, yang menjadikan
para pasukan Kaisar yang telah mengepung tem-
pat tersebut seketika bermunculan ke luar.
Tersentak Takasima demi melihat hal yang
tiada terduga sebelumnya. Maksud mereka men-
gejar Jaka kini terhadang oleh pasukan Kaisar
yang merupakan pasukan pilihan. Walau Takasi-
ma tiada takut menghadapi mereka, namun jum-
lah mereka dua kali lebih banyak dibanding den-
gan jumlah anak buahnya. Takasima benar-benar
merasa terjebak, kini ia tampak memikir mencari
jalan keluarnya.
Tengah Takasima memikirkan jalan baik-
nya, para Pendekar Samurai tiba-tiba berkelebat
menyerang. Tanpa dapat dicegah, pertarungan
dua lawan satu pun akhirnya ambruk. Tiada jalan
lain, kedua pasukan andalan itu harus bertempur
untuk saling menentukan nasib mereka selanjut-
nya.
"Jaka, pergilah untuk selamatkan Nona
Meimora!" perintah Perdana Mentri. "Cepatlah!
Nanti bantulah kami memberesi mereka!"
Jaka pun tiada membantah, segera Jaka
berkelebat meninggalkan tempat tersebut ke arah
Timur di mana tenda-tenda Kaisar serta anak
buahnya berada. Kedatangan Jaka yang memba-
wa tubuh Meimora disambut dengan rasa per-
saudaraan yang tinggi.
"Kau di sinilah dulu, Nona Mei."
"Baiklah, Jaka."
"Kaisar, aku titip Nona Meimora," Jaka
berkata pada Kaisar yang menganggukinya. "Aku
akan segera membantu pasukan untuk menum-
pas Ninja Merah."
"Ninja Merah berada di sini?" tanya Kaisar
terbengong.
"Ya! Aku pergi dulu." Jaka dengan cepat
kembali berkelebat kembali menuju di mana per-
tempuran terus terjadi. Pertarungan dua kekua-
tan yang bermusuhan itu terus berlangsung. Per-
tarungan tersebut sepertinya tidak seimbang,
namun kenyataannya pasukan Ninja Merah yang
dipimpin oleh pimpinannya Takasima mampu
membuat para Pendekar Samurai kewalahan.
"Takasima, kaulah lawanku!" Jaka Ndableg
yang datang berseru memecahkan pertempuran.
"Bukankah engkau yang harus bertanggung ja-
wab atas segala perbuatan Ninja-ninja Merah di
Tanah Jawa?"
"Benar! Akulah musuhmu! Aku akan men-
cincangmu!" Takasima segera lompat ke arah Ja-
ka, tinggalkan Perdana Mentri yang membiarkan-
nya begitu saja. "Aku akan mencincangmu, seper-
ti engkau membunuhi Ninja Merah dan anak bu-
ahku! Hiiiiiaaaaatttt...!"
"Wuuuuutttt...!"
Takasima babatkan samurainya dengan
cepat ke arah Jaka, sehingga mau tidak mau Ja-
ka Ndableg harus mengelakkannya dengan men-
gandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Takasi-
ma yang merasa bahwa dirinya akan mampu
mengalahkan Jaka Ndableg, terus mencercanya
dengan sabetan-sabetan samurainya.
"Wuuuuttt...!"
Jaka tolakkan tubuhnya ke belakang, ma-
nakala samurai di tangan Takasima menusuk ke
perutnya. Namun belum juga tubuh Jaka hinggap
ke atas tanah, dengan cepat Takasima telah kem-
bali menyerangnya dengan sabetan samurainya.
"Wuuuuuttt...!"
Jaka yang hendak menepakkan kakinya,
segera urungkan, lalu dengan lentingan lebih ke-
ras tubuhnya melenting ke udara tinggi. Manaka-
la tubuhnya kembali turun, dengan cepat Jaka
Ndableg serang Takasima dengan pukulan tan-
gannya Dewa Menghantam Karang, sebuah puku-
lan yang dahsyat.
"Wuuuuuttt...!"
"Hiiiiaaattt...!"
"Wuuuusss...!"
Angin pukulan Dewa Menghantam Karang
menderu, menyentakkan Takasima yang segera
melompat elakkan. Pukulan yang dilontarkan Ja-
ka pun melesat beberapa senti di samping tubuh
Takasima. Takasima kembali merangsek tanpa
memberi kesempatan pada Jaka Ndableg.
"Wuuuuttt...!"
Sementara di tempat lain, nampaknya den
gan ditinggal Takasima para pasukan Ninja Merah
makin menurun saja keberaniannya. Kini mereka
benar-benar dicerca serangan-serangan gencar
yang dilakukan oleh prajurit samurai yang me-
mang sudah mahir dalam penggunaan samurai.
Kini para prajurit samurai di bawah pimpinan
langsung Perdana Mentrinya, makin tumbuh se-
mangat untuk menumpas para Ninja Merah.
"Wuuuuttt...!"
"Trang!"
"Wuuuuuttt...!"
"Aaaaaa....!"
Korban di pihak Ninja Merah kini makin
banyak berjatuhan. Ternyata Takasima mempu-
nyai pengaruh besar bagi mereka. Sedangkan Ta-
kasima sendiri kini tengah menghadapi serangan
yang dilancarkan oleh Jaka Ndableg. Walaupun
Jaka masih tangan kosong, namun tendangan
dan pukulannya mampu mengejutkan Takasima
bahkan mampu membuat Takasima harus men-
guras tenaganya untuk mampu menghindari se-
rangan tangan kosong Jaka. Jaka Ndableg kini
kembali hantamkan tangannya, berupaya menda-
ratkan pukulan ke muka Takasima. Namun sege-
ra Takasima balik babatkan samurainya, meng-
hadang serangan tangan kosong yang dilakukan
Jaka.
"Wuuuuttt...!"
Jaka tarik kembali tangannya, lalu dengan
cepat sodorkan kakinya menendang. Untuk kedua
kalinya Takasima kembali babatkan samurainya,
dan kali ini ke arah di mana kaki Jaka hendak
menyodok ke perut.
""Wuuuuttt...!"
Jaka kembali urungkan tendangannya.
Jaka Ndableg benar-benar hendak mengu-
ras tenaga Takasima habis-habisan. Takasima ki-
ni membuka mata, siapa yang kini tengah diha-
dapinya. Ternyata ucapan Taka Nata benar
adanya. Namun sebagai seorang Ninja sejati,
sungguh malu besar bila harus mengalami kega-
galan. Takasima tak hiraukan bahwa napasnya
benar-benar sudah terkuras, ia terus berusaha
menyerang Jaka. Namun setiap serangannya, se-
lalu dengan mudah digagalkan oleh Jaka dengan
kibasan pukulan tangannya yang mengandung
angin besar.
"Wuuuuuttt...!" Samurai di tangan Takasi-
ma membeset, Jaka tidak berusaha menghindar,
malah kini ia tampak berdiri mematung diam, se-
pertinya Jaka siap untuk menjadi tumpuan sa-
murai di tangan Takasima. Takasima yang meli-
hat hal ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, se-
gera Takasima babatkan samurainya cepat.
"Wuuuuttt...!"
"Bug!"
Takasima melotot matanya, manakala sa-
murai di tangannya tak berarti sama sekali di tu-
buh Jaka. Tubuh itu masih utuh, tiada terlecet
sedikit pun oleh babatan samurainya.
Jaka Ndableg tersenyum, "Bagaimana?
Apakah kau puas?" tanya Jaka mengejek. "Kalau
kau memang puas, maka kini giliran aku yang
akan menyerangmu. Terimalah pukulanku.
Hiaiiiiaaattt...!"
"Wuuuuutttt...!"
Takasima tersentak manakala tangan Jaka
menghantam ke arahnya. Sebisanya ia berusaha
menghindar, namun tangan Jaka bergerak den-
gan cepat, dan...!
"Bug! Bug! Bug...!"
"Wuuuuuuaaaa...!" Takasima memekik, tu-
buhnya gontai terhantam pukulan tangan Jaka.
Pukulan Rajawali Menyapu Mega, menjadikan
muka Takasima yang terhantam bagaikan di-
hantam ribuan kati. Mukanya bagaikan hancur
tulang belulangnya, darah muncrat dari hidung
dan mulutnya. Takasima masih terhuyung, ma-
nakala Jaka kini kembali melompat menyerang
dengan tendangan geledeknya.
"Hiiiiiiiiiaaaaaaaaattttt...!" Mata Takasima membe-
liak kaget, manakala kaki Jaka bagaikan sebuah
larikan sinar yang menderu ke arahnya. Kaki Ja-
ka kini sukar untuk diterka. Namun begitu, Taka-
sima tak mau tinggal diam begitu saja. Takasima
kembali berusaha menangkis dengan babatan
samurainya, namun gerakan Jaka ternyata lebih
cepat. "Bug!"
"Wuuuuuuaaaaa...!" Takasima menjerit,
dadanya yang terkena tendangan terasa sesak.
Darah muncrat dari mulutnya, menjadikan Taka-
sima benar-benar sekarat. Tubuh Takasima
menggelepar bagaikan ayam dipotong. Dadanya
terasa sangat sesak, sementara matanya melotot
memandang ke arah Jaka Ndableg.
"Pulanglah! Katakan pada Rajamu, Taka
Nata. Aku akan datang dan menuntut dia turun
dari tahta yang bukan haknya!"
Takasima tak banyak bicara, dengan terta-
tih-tatih sambil pegangi dadanya yang sakit Taka-
sima menurut pergi tinggalkan hutan tersebut.
Namun belum juga kakinya jauh melangkah, tiba-
tiba sebuah pedang berkelebat membabat leher-
nya.
"Craaaaassss...!"
"Aaaaaaaaaaaaaaa..,.!" Takasima memekik,
sedangkan Jaka tersentak kaget. Kedatangan
bayang tersebut sungguh begitu cepat, dan sukar
untuk diikuti. Kepala Takasima menggelinding,
tubuhnya sejenak kaku dan akhirnya ambruk
tanpa nyawa. Sementara orang yang membabat-
kan samurainya kini telah berdiri di hadapan Ja-
ka. Orang tersebut menjura hormat. Seorang lela-
ki setengah baya, berpakaian merah dengan deko-
ratif naga. Itulah Naga Merah, orang yang telah
menghilang sejak kekalahannya melawan Taka
Nata. Naga Merah kembali berkelebat, cepat tanpa
mampu dicegah. Kini Naga Merah berkelebat ke
arah para Ninja Merah bertempur. Pedangnya
bergerak cepat, menyerang Ninja Merah yang ma-
kin terdesak saja. "Wuuuuuuaaa...!"
Setiap samurai Naga Merah berkelebat,
saat itu pula nyawa Ninja Merah lepas dari ra-
ganya. Tak begitu lama, satu persatu Ninja Merah
berguguran. Dalam waktu singkat semua Ninja
Merah habis terbantai. Jaka bermaksud menanya
siapa adanya Ninja Merah, namun orang tersebut
telah mendahului pergi. Jaka hanya mampu ter
jengah, diam, memandang ke arah tujuan Naga
Merah. Tujuan Naga Merah adalah kerajaan. Naga
Merah rupanya telah tahu kalau Taka Nata kini
menjadi Kaisar setelah menggulingkan Kaisar per-
tama.
***
ENAM
Jaka Ndableg merasa bahwa orang yang
baru saja membantu menumpas Ninja Merah,
tentunya mempunyai hubungan dengan para Nin-
ja tersebut. Entah hubungan permusuhan, atau
hubungan sebagai seorang yang bertugas mem-
bunuh setiap Ninja yang kalah. Jaka merasa per-
lu untuk menguntit orang tersebut, maka dengan
segera setelah orang berpakaian merah dengan
gambar naga itu pergi, Jaka pun berkelebat men-
gikutinya.
"Aku harus menjaga jarak." ucap Jaka da-
lam hati. Jaka berlari dengan agak lamban, ia
sengaja ingin menjaga jarak antara dirinya den-
gan orang tersebut.
Sementara itu, para prajurit yang melihat
kepergian Jaka menuju ke Kerajaan segera mela-
porkannya kepada Kaisar tentang dugaannya.
"Kami rasa, Pendekar itu hendak menga-
dakan pemberontakan pada Taka Nata."
"Mengapa kau berkata begitu, Perdana
Mentri?" tanya Kaisar.
"Barusan tadi, ia menyuruh pada Takasima
untuk memberitahukan pada Taka Nata bahwa
dirinya akan mengambil kembali tahta yang bu-
kan hak Taka Nata. Namun Takasima keburu di-
bunuh."
"Dibunuh...?"
"Benar, Kaisar. Takasima mati dibunuh
oleh Naga Merah." tutur Perdana Mentri. "Dan ru-
panya Naga Merah pun hendak bertujuan sama.
Naga Merah pun hendak mengadakan pembala-
san pada Taka Nata, Kaisar."
"Kalau begitu, kita segera ke sana!" Perda-
na Mentri segera siapkan pasukannya, lalu den-
gan penuh kesiap siagaan mereka pun berangkat
menuju ke kerajaan. Dalam hati mereka hanya
ada satu pilihan, kembali merebut tahta, atau
mati bersama-sama Pendekar Pedang Siluman
Darah. Dan mereka merasa besar hati manakala
mengingat bahwa Pendekar Pedang Siluman Da-
rah berada di pihaknya. Mereka sangat mengha-
rapkan Pendekar tersebut mau mengambil kem-
bali tahta kerajaan.
* * *
Naga Merah yang tengah berlari, segera
hentikan langkahnya manakala dirinya merasa
ada yang mengikuti. Naga Merah segera sapu
pandangannya, mencari orang yang tengah men-
guntitnya. Namun orang tersebut tiada nampak
olehnya, padahal kini dirinya tengah berada di
padang yang tiada berpohon. Hanya hamparan
salju saja yang tampak memutih.
"Hem, siapa yang mengikutiku?" tanya Na-
ga Merah dalam hati, lalu dengan acuh kembali
Naga Merah pun meneruskan perjalanannya. Ja-
ka yang bersembunyi nampak tertegun, ia tahu
kalau orang yang diikutinya sangat tajam pen-
dengarannya. Jaka tidak ingin dirinya diketahui,
maka Jaka pun membiarkan Naga Merah menda-
hului menuju ke kerajaan.
"Hem, biarlah orang tersebut pergi, toh
nanti aku akan dapat menemuinya di kerajaan."
Setelah dirasa orang tersebut telah jauh,
segera Jaka pun melanjutkan perjalanan menuju
ke kerajaan. Langkahnya begitu cepat, dengan
harapan akan segera dapat menyusul orang itu.
Bila orang itu benar-benar utusan Taka Nata,
maka ia akan bertindak mendahului. Jaka tahu,
kalau orang tersebut adalah mata-mata Taka Na-
ta, pastilah keberadaan Kaisar akan segera dapat
diketahui.
Sementara itu Naga Merah yang merasakan
bahwa orang yang menguntitnya telah tiada lagi
terus berlari menuju ke kerajaan. Hatinya dipe-
nuhi oleh tanda tanya akan siapa sebenarnya
orang yang mengikutinya tersebut. Kalaulah
orang itu bermaksud jahat, tentunya orang itu
akan dengan mudah membinasakannya, mengin-
gat ilmu yang dimiliki orang tersebut jauh lebih
tinggi. Kalau saja orang itu ilmunya macam mi-
liknya, tentu Naga Merah akan mampu melihat
keberadaan orang yang menguntitnya.
"Hem. siapakah orang tersebut?" tanya Na
ga Merah dalam hati masih terus berlari. Sedang-
kan jaraknya dengan jaka kini makin jauh saja,
Tiada berapa lama kemudian, Naga Merah
pun sampailah di alun-alun kerajaan. Dirinya
yang sudah lama meninggalkan dunia persilatan,
kini tiada dapat dikenali lagi oleh para pasukan
Ninja yang berlalu lalang hingga dengan mudah-
nya Naga Merah pun sampai pada tempat yang di-
tuju yaitu Kerajaan Samurai Iblis.
Mata Naga Merah memancang pada larikan
tulisan Kanji yang mengukir di depan alun-alun
kerajaan. Tulisan besar, dengan pahatan indah
bertuliskan "KERAJAAN SAMURAI IBLIS"
"Taka Nata, ternyata engkau benar-benar
berhasil. Tapi, tak akan lama kau memegang
tampuk pimpinan kerajaan ini! Aku akan men-
gakhirinya." gumam Naga Merah dalam hati. Ka-
kinya kini makin melangkah masuk, menapaki ja-
lanan indah menuju ke istana, menjadikan perha-
tian para Prajurit Ninja Merah yang melihatnya.
Dan para prajurit penjaga istana pun mendatan-
ginya seraya bertanya. "Adakah Tuan mempunyai
tujuan hingga Tuan datang ke mari?"
Naga Merah tiada menjawab, hanya ma-
tanya saja yang terus tajam mengawasi ketujuh
Ninja yang menanya. Dan tanpa diterka oleh para
Ninja itu, dengan cepat Naga Merah cabut samu-
rainya.
"Wuuuuutttt...!"
"Aaaah....!" ketujuh Ninja Merah memekik
tertahan melompat mundur hindari serangan Na-
ga Merah.
"Bajero! Serang...!" salah seorang mengo-
mando.
"Hiiiiiaaaaatttt...!"
Ketujuh Ninja Merah itu pun dengan cepat
menyerang dan mencoba merangsek Naga Merah
dengan sabetan-sabetan samurainya. Namun Na-
ga Merah bukanlah orang sembarangan. Sejak
kekalahannya dengan Taka Nata, ia berusaha
mendalami ilmu yang dimiliki oleh Tiga Naga Dari
Gunung Fuji. Kitab yang berada di tangan Naga
Biru kini telah lengkap ia kuasai. Naga Kuning
adiknya, tak tertolong dan mati keracunan. Te-
kadnya hanya satu, membalas kematian adik-
adik seperguruannya. Dan Naga Merah telah ta-
hu, hanya bekal ilmu yang tinggi saja ia akan
mampu mengalahkan Taka Nata si Iblis Nippon.
"Wuuuuuutttt....!"
Naga Merah lompat ke samping, elakkan
serangan samurai ketujuh Ninja Merah. Setelah
berhasil mengalahkan serangan, dengan cepat
Naga Merah pun babatkan samurainya ke arah
lawan.
"Wuuuuuutttt...!"
"Trang....!"
"Aaah...! Ninja Merah lompat mundur, le-
paskan samurainya manakala samurai di tangan-
nya bagaikan tersedok oleh Samurai Naga Merah.
Namun belum juga para Ninja Merah itu hilang
kejutnya, Naga Merah telah berhasil kembali ba-
batkan samurainya.
"Wuuuuuuttt...!"
"Aaaaaa...!" Dua orang dari ketujuh Ninja
Merah tak mampu elakkan serangan. Samurai di
tangan Naga Merah deras membabat tubuh kedu-
anya. Dan tanpa ampun lagi, keduanya mengge-
liat lalu mati dengan perut terbeset samurai.
"Bajero! Pemberontak.,.!" salah seorang
Ninja berteriak, hal itu menjadikan semua praju-
rit Ninja yang ada di sekitar tempat itu berdatan-
gan. Mereka segera membantu Ninja-ninja Merah
lainnya yang nampak terdesak. Jadilah Naga Me-
rah kini dikeroyok oleh para prajurit Ninja.
"Wuuuuutttt...!" Naga Merah sabetkan sa-
murainya, dan berusaha menghindari serangan
musuh yang datangnya bersamaan. "Kalian ming-
girlah! Aku tiada urusan dengan kalian, tapi aku
berurusan dengan pimpinan kalian! Taka Nata,
keluar kau bangsat...!"
"Bajero! Kau berani memaki raja kami!" ba-
lik Ninja Merah membentak, dan tanpa perduli-
kan Naga Merah, Ninja Merah pun kembali men-
geroyok. Sabetan-sabetan samurai di tangan me-
reka makin ganas dan cepat. Namun begitu Naga
Merah bukanlah pendekar kelas kroco yang gen-
tar menghadapi mereka, setiap babatan samu-
rainya mampu mengundang jeritan kematian bagi
yang terkena. Korban pun berjatuhan di pihak
para ninja Merah. Tapi para Ninja Merah bagai-
kan tiada mengenal rasa takut, walau teman-
temannya banyak yang mati jadi korban kemara-
han Naga Merah. Mereka pada umumnya telah
disumpah, sehingga dalam benak mereka tiada
kata takut barang secuil pun.
Naga Merah terus mencerca, berusaha
membuat kematian musuhnya sebanyak mung-
kin. Tujuannya agar supaya Taka Nata mau me-
nampakkan diri menghadapinya. Kini Naga Merah
tiada memberi ampun bagi para Ninja tersebut,
dia terus mengamuk membabi buta. Namun jum-
lah Ninja Merah bukannya berkurang, malah kini
makin bertambah banyak saja.
Jaka Ndableg yang juga sudah sampai di
situ, segera berkelebat membantu manakala dili-
hatnya Naga Merah tengah dikeroyok oleh Ninja-
Ninja Merah. Pedang Siluman Darah yang sudah
siap di tangannya menjadikan kematian bagi yang
terbabat.
"Wuuuuuttt...!"
"Wuuuuaaaaaa...!"
"Aku bantu, Sobat! Kau telah membantu-
ku, maka aku pun ingin membantumu sebagai
balasannya!" seru Jaka pada Naga Merah dan te-
rus berusaha menghalau para Ninja. Kini Ninja-
ninja Merah benar-benar terdesak dengan kehadi-
ran Jaka Ndableg. Pedang Siluman Darah di tan-
gan Jaka sangat membahayakan, bila dibanding-
kan dengan samurai di tangan Naga Merah.
"Wuuuuutttt....!"
Tiga Ninja Merah menyerang, namun den-
gan cepat Jaka mengelak, sikutnya menyodok
Ninja yang di belakang, menjadikan Ninja yang
terkena menjerit kesakitan. Bukan hanya sikut
tangan, tapi tumit kakinya juga bagaikan seekor
kuda menyepak orang yang di belakangnya.
"Dug!"
"Wadaaaaaauuuuu....!" Ninja Merah yang
berada di belakangnya menjerit, tangan Ninja ter-
sebut pegangi telur burung untanya yang bagai-
kan hendak meledak. Perutnya melilit-lilit mulas,
dan orang itu pun berguling-guling menahan sa-
kit.
Jaka terus berusaha mengelak, dite-
baskannya Pedang Siluman Darah ke arah samu-
rai lawan yang mengancam dirinya.
"Wuuuuuttt...!"
"Traaaannngg...!"
"Prak! Prak! Prak...!" tiga kali terdengar
benturan senjata dan tiga kali itu pula terdengar
senjata patah. Mata ketiga Ninja yang menye-
rangnya membeliak kaget, manakala melihat sa-
murai di tangannya telah puntung menjadi dua.
Belum juga ketiganya dapat sadarkan diri karena
kaget, Jaka telah kembali babatkan Pedang Silu-
man Darahnya ke arah mereka.
"Wuuuuutttt...!"
"Cras, cras, cras....!"
"Wuuuuuuuaaaa....!" ketiganya memekik,
pegangi leher mereka yang hampir puntung. Keti-
ganya mengejang berdiri, lalu ambruk tanpa nya-
wa lagi. Darah tiada keluar dari luka-luka mere-
ka, kering terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Melihat rekannya mati, sepuluh Ninja me-
nyerang ke arah Jaka.
"Wuuuuuuttttt....!" sepuluh samurai ba-
reng menyerang, menjadikan Jaka mau tidak mau
harus melompat mundur. Tapi belum juga tu-
buhnya ke belakang, lima orang Ninja yang bera-
da di belakangnya sodokkan samurainya. Jaka
lentingkan tubuh ke udara, hal tersebut menjadi
fatal bagi penyerangnya. Kesepuluh Ninja dan li-
ma rekannya saling serang.
"Wuuuuusss...!"
"Cras! Cras....!"
"Bles! Bles...!"
"Wuuuuuuaaaaaa....!" Lima orang Ninja
saling tusuk, mata mereka mendelik saling pan-
dang. Hal itu berjalan sesaat, sebelum kemudian
kesepuluh Ninja yang saling tusuk itu ambruk
tanpa memiliki nyawa lagi.
Pertarungan dua dikeroyok oleh ratusan
Ninja Merah terus berjalan. Bersamaan makin
ramainya pertempuran tersebut, nampak datang
pasukan samurai pembela Kaisar dipimpin lang-
sung oleh Perdana Mentrinya. Pasukan samurai
itu langsung amprok bertempur dalam arena pe-
perangan. Makin serulah pertarungan tersebut,
kini jumlah mereka seimbang.
* * *
Taka Nata yang mendengar keributan di
luar nampak menggeram marah. Dengan me-
nyiapkan segala yang dimiliki, Taka Nata segera
berkelebat ke luar menemui para pasukannya
yang kini tengah bertempur dengan pasukan mu-
suh.
"Bajero! Pendekar Tanah Jawa, aku mene-
muimu!" Taka Nata berseru menantang, manaka-
la dilihatnya Jaka Ndableg ada di antara prajurit
Ninjanya. Jaka Ndableg nampak tengah menga
muk, sehingga hampir setiap sabetan Pedang Si-
luman Darahnya membuat Ninja-ninja Merah me-
regang nyawa dan mati dengan darah mengering.
Hal tersebut mampu membeliakkan mata Taka
Nata. Ia selama menjadi Pendekar baru kali ini
menemukan senjata aneh, sebuah senjata yang
memancarkan sinar kuning kemerahan. Dan yang
lebih aneh, dari ujung pedang itu mengeluarkan
darah membasahi batangnya.
"Pedang aneh! Sungguh benar apa yang di-
kabarkan rekan-rekanku di Tanah Jawa, bahwa
Pendekar ini mempunyai pedang aneh yang
mampu mengeluarkan darah. Tapi aku tidak ta-
kut, sebab aku memiliki samurai Iblis yang mam-
pu membunuh dengan asap. Hiiiiiiiiaaaattt...!"
Jaka Ndableg tersentak, manakala dirasa-
kannya sebuah sabetan pedang di atas kepalanya.
Segera Jaka rundukan tubuhnya mengelak.
"Wuuuuuutttt...!"
Jaka Ndableg sabetkan Pedang Siluman
Darah ke atas, tangkis serangan yang menye-
rangnya. Taka Nata rupanya tidak ingin menga-
dakan bentrokan pedang dengan Jaka, sehingga
dengan cepat Taka Nata tarik kembali serangan-
nya.
"Kau rupanya muncul juga, Taka Nata?"
"Hu, ha, ha...! Tak akan ada orang yang
mampu mengalahkan aku! Akulah pendekar no-
mor wahid di dunia ini.,.!"
"Sombong!" Jaka menggertak.
"Kau Pendekar Jawa, apa hakmu ikut
campur dalam urusan ini!"
"Aku berhak!" jawab Jaka. "Kau dan re-
kanmu telah membuat Tanah Jawa membara!
Kau tiada lebihnya Iblis!"
"Bajero! Aku bunuh kau, hiiiiiiiaaaatt...!"
"Wuuuuuutttt....!" Taka Nata sebatkan Sa-
murai Iblisnya, dan dari sabetan tersebut keluar
asap bergulung-gulung menyerang ke arah Jaka.
Jaka Ndableg telah siap menghadapinya, segera
Jaka pun kebaskan Pedang Siluman Darah.
"Wuuuuutttt...!"
"Duuaaar....!"
Dua kekuatan yang terpancar dari dua pe-
dang bertemu, menjadikan ledakan hebat yang
mampu mengguncang tanah di situ. Tanah bagai-
kan diguncang gempa hebat. Taka Nata kembali
dengan cepat kebatkan Samurai Iblisnya.
"Wuuuuutttt...!"
"Wuuuuuutttt.....!"
Jaka Ndableg pun tak mau kalah, Pedang
Siluman Darah berkelebat memapakinya. Dan se-
perti pertama, kembali terdengar suara ledakan
manakala dua kekuatan itu kembali bertemu. Ke-
dua pendekar beda haluan itu terus saling se-
rang, sukma Ratu Siluman Darah dan Sukma Ib-
lis Pranutu masuk ke dalam pedang mereka. Dan
manakala pedang tersebut saling bertemu, tiba-
tiba kedua pedang itu terbang dan lepas dari tan-
gan keduanya. Keduanya tiada hiraukan, kedua-
nya kini terlibat perkelahian tangan kosong tanpa
senjata di tangan masing-masing.
Taka Nata ajukan jotosan ke muka, dengan
jurus Musang Mencuri Ayam. Gerakan pukulan
Taka Nata begitu cepat, licik dan ganas. Jaka ter-
sentak, coba tepiskan serangan tersebut dengan
jurus Kucing Menangkap Tikus.
"Hooop!"
"Hiiiiiaaa...!"
"Plek! Tap...!" Jaka berhasil menangkap
tangan Taka Nata, namun Taka Nata dengan ce-
pat kibaskan tangannya yang tertangkap dengan
jurus Musang Menjerat. Tangan Taka Nata berge-
rak cepat, sepertinya membuat jerat yang sukar
dimengerti. Tangannya bergerak lurus, lalu tiba-
tiba menyeruak ke muka Jaka. Hal itu tidak ter-
duga sama sekali oleh Jaka, sehingga Jaka pun
tersentak lompat mundur lepaskan tangan yang
tergenggam.
Merasa serangannya berhasil, Taka Nata
melipat gandakan serangan selanjutnya. Kini bu-
kan jurus ringan lagi, akan tetapi jurus yang me-
matikan dikeluarkannya dalam usahanya segera
menghentikan pertarungan dengan Jaka Ndableg.
Jaka tersentak berusaha mengelak, namun....!
"Hiiiiiaaaattt...!"
"Wuuuuuttt...!"
Tangan Taka Nata yang membentuk ca-
karan harimau merangsek ke muka Jaka. Dan
hal tersebut sukar sekali untuk dihindari Jaka,
sehingga tanpa ayal lagi mukanya jadi sasaran.
Beruntung Jaka masih bisa mengegoskan mu-
ka, sehingga hanya dadanya yang terkena caka-
ran tersebut. Mata Jaka membeliak marah, dan
benar-benar Jaka kini marah demi melihat darah
merembes dari luka di dadanya.
"Bangsat! Hiiiiiaaaattt....!" Jaka mengge-
rang, dan dengan marahnya berkelebat menye-
rang. Jurus Elang Mengepak Sayap, Menyambar
Mangsa, juga Mencakar Ayam terus dilancarkan
berganti-ganti. Hal itu menjadikan Taka Nata kini
yang kedodoran.
"Wuuuuttt...!"
"Plak...!"
Taka Nata dengan Harimau Menerkam
Mangsanya berhasil menepiskan tangan Jaka
yang mencercanya. Jaka kini benar-benar marah
karena merasa serangannya tiada berhasil, dan
kemarahannya dilampiaskan dengan ajian Banyu
Geninya.
"Wooooooaaaarrrrr...!" suara Jaka mengge-
legar, menjadikan orang yang berada dekat den-
gannya mau tidak mau harus menutup telin-
ganya. "Dewa Geni... Dewa Geni...!" Dalam seke-
jap saja tubuh Jaka telah berubah ujud. Tubuh
Jaka yang tadinya mulus dan tampan, kini tertu-
tup oleh kobaran api yang menyala-nyala.
Taka Nata tersentak, melompat mundur ke
belakang. Sementara di udara nampak dua sinar
tengah mengadakan pertarungan. Dua sinar yang
satu putih perak dan yang lainnya kuning keme-
rah-merahan. Dua senjata tersebut kini dalam
keadaan siap serang.
Seperti pemiliknya, Ratu Siluman Darah te-
lah terhempas oleh serangan yang dilancarkan
oleh Iblis Pranutu yang menghuni Samurai Iblis.
Ratu Siluman Darah begitu marahnya, sehingga
kini Pedang Siluman Darah benar-benar makin
memerah saja nyalanya.
Dua senjata sakti itu saling serang, seperti
apa yang kini dilakukan oleh pemiliknya. Dua
senjata sakti kini melayang, keluarkan sinar dari
ujungnya. Ratu Siluman Darah kini benar-benar
murka hingga ajian intinya menggelegar menye-
rang ke arah Samurai Iblis. Tanpa ampun lagi.
Samurai Iblis yang dihuni Iblis Pranutu pun seke-
tika meledak.
"Duuuuuuuuaaaaaarrrr...!"
Seketika semua yang tengah bertarung
hentikan pertarungan dan tengadahkan mata ke
atas. Suara ledakan itu begitu kerasnya, sehingga
mampu mengejutkan semuanya. Tampak larikan
sinar putih melesat tinggalkan Samurai Iblis. Itu-
lah yang sebagai tanda bahwa Iblis Pranutu telah
menghilang. Namun Pedang Siluman Darah sea-
kan tiada menghendaki musuhnya kabur begitu
saja. Pedang Siluman Darah terus melesat mem-
buru Samurai Iblis.
"Sroooooottt...!" Dari ujung Pedang Siluman
Darah keluar sinar menyerang ke arah Samurai
Iblis.
"Duuuuuuuaaaarrr...!" kembali ledakan
terdengar menggelegar.
"Wuuuuuaaaaa....!"
Bareng dengan hancurnya Samurai Iblis,
saat itu juga Jaka Ndableg yang telah menjadi
Dewa Api berhasil hantamkan Inti Apinya ke arah
tubuh Iblis Taka Nata yang telah berubah ujud
menjadi Makhluk Setengah Manusia. Api memba-
kar muka Taka Nata yang berbentuk mengerikan
itu, menjadikan Taka Nata tak mampu mengelak-
kannya. Namun walaupun begitu, Taka Nata
nampak masih bertahan.
"Swiiiiiitttt....!"
Pedang Siluman Darah yang telah berhasil
membinasakan Iblis Pranutu melayang ke bawah
menuju ke arah Jaka. Dengan segera Jaka, pun
menerimanya.
"Tap!"
"Terimalah akhir dari gentayanganmu, Ib-
lis!"
Jaka Ndableg tanpa hiraukan Taka Nata
yang masih mengerang-erang kesakitan segera
kembali berkelebat. Tangannya telah siap dengan
Pedang Siluman Darah.
"Wuuuuuutttt....!"
Taka Nata yang masih mengerang kesaki-
tan dengan api Inti melalap mukanya tak mampu
mengelakkannya, hingga....!
"Craaas...!"
"Wuuuuuuaaaaa...!" Taka Nata memekik,
kepalanya puntung dan menggelinding ke salju
yang membawanya mengalir terus dan jatuh ke
dalam jurang tak jauh dari mereka bertempur.
Jaka Ndableg angkat tubuh Taka Nata dan
membawanya menuju ke kerajaan di mana para
prajurit Ninja masih melakukan perlawanan. Pe-
rang masih berlangsung seru, korban terus berja-
tuhan dari kedua belah pihak. Dengan cepatnya
kematian menggema, manakala Samurai-samurai
itu saling bertemu.
Jaka Ndableg dengan menggunakan ilmu
larinya terus melaju menuju ke kerajaan, Dan
manakala sampai di kerajaan, dengan segera Ja-
ka naik ke atas mimbar.
"Lihaaaaattt...! Lihaat..... oleh kalian! Ketua
kalian telah mati! Apakah kalian semua masih te-
rus ngotot...?!" Diangkatnya tubuh Taka Nata
tinggi-tinggi, dan seketika itu juga semua mata
tertuju ke podium. Perang berhenti, para Ninja
Merah kini benar-benar tercekam rasa takut.
"Apakah kalian ingin seperti ketua kalian ini?"
Jaka lemparkan tubuh tanpa kepala Taka Nata ke
tengah-tengah arena pertempuran. Kini mereka
semua benar-benar menyadari bahwa mereka bu-
kan tandingan Pendekar Muda itu.
Tanpa diperintah, keseluruh Ninja Merah
akhirnya menekuk lutut menyerah. Dan hari itu
juga Kaisar kembali diangkat untuk menduduki
tahta yang telah ternoda oleh Taka Nata.
"Hidup Pendekar Tanah Jawa....!"
"Hidup Jaka Ndableg...!"
Rakyat bukannya mengelu-elukan Kaisar-
nya, malah sebaliknya mereka mengelu-elukan
Pendekar yang kini menjadi pahlawan. Rakyat ta-
hu kalau tidak ada Pendekar Muda Jaka Ndableg,
tentunya Kekaisaran masih berada di tangan Ta-
ka Nata si Iblis Nippon yang kejam.
* * *
Esok paginya, Jaka Ndableg si Pendekar
Pedang Siluman Darah minta pamit untuk kem-
bali mengelana. Dengan diantar oleh sang Kaisarp
sendiri serta para pejabat pemerintah, Jaka di-
arak menuju ke pantai untuk meneruskan kem-
bali perjalanannya dalam mengembara menegak-
kan keadilan dan kebenaran.
"Kalau kau memang ingin datang, berkun-
junglah ke kerajaan, Tuan Pendekar." pinta sang
Kaisar. "Kami sungguh akan terus mengenang ja-
samu. Kami akan selalu menganggapmu sebagai
saudara yang baik. Jangan lupa, sampaikan ke-
pada Raja Tanah Jawa, aku sampaikan terimaka-
sih yang tiada terhingga atas bantuannya."
"Ah, sudah menjadi tugasku, Kaisar."
Meimora nampak masih dalam pelukan
Jaka, sementara mata Meimora masih menitik-
kan air mata. Meimora menangis, sedih karena ia
harus berpisah dengan orang yang dicintai
"Jakaaaa....?" Pandangan mata Meimora,
menjadikan Jaka dan semua orang menjadi haru.
Mereka benar-benar trenyuh melihat Meimora.
Perlahan Jaka sapukan jemari ke mata lentik ga-
dis malang itu, lalu dengan suara serak menahan
tangis Jaka berkata:
"Meimora, bukankah kita masih akan da-
pat bertemu?"
Meimora mengangguk.
"Kalau kau ingin berkunjung ke Tanah Ja-
wa, mintalah pada Tuan Kaisar untuk mengan-
tarkanmu," Jaka menambahkan, seraya meman-
dang pada Kaisar yang tersenyum mengangguk.
"Benar, Nona. Dan mulai saat ini, engkau
aku angkat menjadi anakku, karena kau banyak
jasanya padaku."
Suka ria hati Meimora, namun ia lebih su-
ka bila Jaka harus menetap di Tanah Nippon un-
tuk selalu menemaninya. Kenangan di hutan sela-
lu menempel lekat di kelopak matanya. Masih te-
ringat manakala Jaka membelai rambutnya me-
sra.
"Jaaaaakkkkkaaaaa...!" Meimora tak dapat
membendung tangisnya, dipeluknya Jaka dengan
erat, menjadikan Jaka terdiam trenyuh tak mam-
pu berkata. "Kau milik orang banyak! Kau bukan
milikku seorang, Jaka. Tapi kau dengarlah, aku
mencintaimu."
"Terimakasih, Mei."
"Pulanglah ke Tanah Jawa, sebab di sana
masih banyak tugas yang harus engkau selesai-
kan. Terimalah ini, ini sekedar kenang-kenangan
dariku. Bila kau ingat aku, maka bukalah dan
bacalah syair tersebut." Disodorkannya selipatan
kertas bertuliskan bahasa Jawa. Entah dari siapa
Meimora memahami tulisan Jawa, yang pasti di
kertas itu tertulis tulisan Jawa, bukan tulisan hu-
ruf Kanji.
Dengan perlahan-lahan Jaka membu-
kanya, dan dibacanya larikan puisi yang tertera:
"Cinta itu datang, begitu indah.
Aku sadar, kalau aku memang mencintai-
mu,
Namun aku juga sadar, bahwa kau milik
orang banyak.
Bunga-bunga cinta akan aku sirami, meski
sang kumbang jauh. ''
Jaka, Temaram hijau hutan belantara, ada-
lah saksi kebisuan yang akan mengenangkanmu
padaku, juga diriku padamu.
Aku hanya berucap, Selamat Berjuang!"
Meimora.
Jaka kembali melipatnya, ada segores rasa
syahdu menghanyut di pelupuk matanya. Tanpa
sadar didekapnya erat tubuh Meimora, yang me-
nerimanya dengan pasrah. Dipandanginya wajah
Meimora, dan tanpa malu-malu dikecupnya bibir
sang gadis yang seketika itu merona merah pi-
pinya. Dibisikannya untai kata mesra di telinga
sang gadis. "Aku akan selalu mengingatmu, Mei?"
Mesra suara Jaka terdengar di telinga
Meimora.
"Jaga dirimu baik-baik," hanya itu yang
mampu dikeluarkan oleh Meimora. Jaka hanya
menganggukinya.
"Tuan Kaisar, aku titip dia."
"Aku aku perhatikan, Tuan Pendekar," ja-
wab Kaisar.
Setelah menyalami semua yang ada di situ,
Jaka Ndableg pun segera naik ke atas perahu
yang telah disiapkan oleh penduduk untuk di-
rinya. Dilambaikannya tangan, yang dibalas den-
gan lambaian kagum bercampur sendu oleh ra-
kyat Nippon. Perahu pun melaju, manakala tan-
gan Jaka yang kokoh mendayung.
"Jaaaaaaaakkkkaaaaaaa.....!" Meimora ber-
seru.
Jaka palingkan muka ke arah suara Mei-
mora, lalu dengan perlahan dilambaikannya tan-
gan setelah tangannya sendiri dikecupnya untuk
menyatakan rasa cinta.... Perahu terus melaju,
jauh dan makin jauh meninggalkan kerajaan
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar