..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE SUMPAH SI DURJANA

Sumpah Si Durjana

 

SUMPAH SI DURJANA

Oleh Sandro S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah 

dalam episode:

Sumpah Si Durjana

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Angin malam bertiup kencang, menerpa 

pohon-pohon hingga seperti menari-nari. Bila di-

lihat secara seksama, maka bayangan pohon itu 

nampak seakan mampu berjalan. Bulan yang 

bergayut di atas cakrawala lamat-lamat bersinar, 

tertutup awan hitam yang makin lama makin 

menggumpal.

"Jleger! Jleger! Jleger!"

Bulan pun menghilang, berganti dengan 

gelap gulita yang terpecah oleh ledakan halilintar. 

Tak lama kemudian, deras air hujan pun men-

curah membasahi bumi.

Pekuburan nampak sunyi-senyap, suasa-

nanya mencekam kelam. Apalagi ditambah den-

gan gemuruhnya air hujan, makin menambah se-

ramnya suasana pekuburan itu. Angin makin la-

ma bertiup makin kencang, menggoyang-

goyangkan segala apa saja yang ada di pekuburan

itu.

"Kretek... Dum"

Pohon kamboja yang tumbang itu seperti 

membahana kedengarannya, ambruk menimpa 

kuburan yang berada di bawahnya. Bersamaan 

dengan ambruknya pohon kamboja, terdengar se-

ruan tangis bayi memecahkan malam.

"Oaaa... Oaaa... Oaaa!"

Bayi itu seperti baru terlahir, atau barang 

kali ia kedinginan hingga menangis. Sungguh su-

atu misteri kehidupan yang sukar dicerna oleh


akal pikiran yang sehat. Dari dalam kuburan 

yang berada di bawah pohon kamboja yang tum-

bang, bayi itu tiba-tiba muncul ke atas....

Dari kejauhan nampak seseorang berlari-

lari menuju ke arah situ. Napasnya tersengal-

sengal, sepertinya ia telah berlari jauh dan cukup 

jauh. Sementara di belakangnya, terdengar jerit-

jerit orang banyak. Ternyata lelaki yang di tan-

gannya menggenggam bungkusan adalah seorang 

maling. Dia telah berhasil mencuri di rumah ke-

diaman seorang saudagar yang pelit. Maling itu 

adalah maling Derma, maling yang hasil curian-

nya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk 

dibagi-bagi pada orang-orang yang membutuh-

kannya. Maling itu bernama Atma Kusuma, atau 

Radenmas Panji Keling. Dia adalah seorang anak

raja. Ayahnya Prabu Sukma Lelana adalah raja 

dari Kerajaan Purba Wasesa. Atma Kusuma yang 

melihat penderitaan rakyatnya merasa sedih. In-

gin ia menyalahkan ayahnya yang kurang perha-

tian, namun selaku seorang anak ia tak berani. 

Memang sejak patih kerajaan dipegang oleh Patih 

Brah Amungkarti, kehidupan rakyat Purba Wise-

sa makin lama makin memburuk. Kelaparan me-

landa di mana-mana, penyakit busung lapar pun 

mewabah. Betapa sedihnya hati sang Pangeran 

melihat hal itu, sampai-sampai sang Pangeran

Atma Jaya meneteskan air mata.

"Sungguh-sungguh Ramanda telah lalai 

dengan kewajiban. Betapa berdosanya diriku ini 

bila membiarkan kejadian ini terus-menerus. Aku 

harus berbuat sesuatu, ya harus!" mengguman


hati Atma Kusuma, manakala melihat kesengsa-

raan rakyatnya. "Tapi apa yang harus aku laku-

kan?"

Pikiran Atma Kusuma seketika bimbang. Ia 

tak mengerti harus berbuat bagaimana untuk 

menolong rakyatnya. Sambil melangkah pulang 

ke kerajaan, Atma Kusuma terus berpikir men-

coba mencari jalan bagaimana untuk dapat mem-

bantu rakyatnya yang menderita. Lama sang pan-

geran itu termenung, sehingga langkahnya pun 

begitu terseret seperti berjalan dengan angan 

yang kosong. Tiba-tiba, sang pangeran itu terse-

nyum dengan hati bergumam manakala menda-

patkan suatu ide.

"Ah, kenapa aku sedari tadi tidak berpikir 

sampai di situ? Sungguh bodoh aku ini. Kalau sa-

ja aku mempunyai pikiran seperti ini dari dulu, 

niscaya aku tak akan pusing. Ya, aku akan men-

curi... Walau itu suatu perbuatan dosa, namun 

demi rakyatku aku akan melakukannya."

Sejak saat itu, tekad di hati Atma Kusuma 

telah membulat. Mencuri merupakan jalan satu-

satunya untuk membantu rakyatnya yang mende-

rita. Dan sejak itu pula, Ati Kusuma melakukan 

aksi pencurian. Yang dicuri adalah orang-orang 

yang kaya tapi kikir. Hal itu mengundang perha-

tian sang Raja yang tidak menyangka kalau itu 

adalah anaknya sendiri.

***

Malam itu rembulan tak muncul untuk


menerangi bumi. Sang rembulan sepertinya eng-

gan untuk menampakkan diri, entah karena apa. 

Seharusnya tanggal-tanggal seperti ini, merupa-

kan tanggal dimana bulan akan dengan senyum-

nya menemani malamnya kehidupan. Tapi saat 

itu, tidak! Yang ada hanya awan hitam kelam, 

membentuk sebuah lukisan raksasa yang mem-

buat suasana malam makin nampak menyeram-

kan.

Seperti hari-hari biasanya, Atma Kusuma 

berkutat dengan pakaian seragam malamnya. Di-

tutupi segala tubuhnya dari ujung kaki sampai ke 

ujung rambut dengan kain hitam, hanya matanya 

saja yang tampak.

Pelan-pelan sekali Atma Kusuma membuka 

pintu jendela kamarnya, lalu ia pun melompat tu-

run dan menghilang pergi setelah kembali menu-

tup daun jendela. Langkahnya begitu hati-hati, 

sepertinya ia tak ingin seorang penjaga istana 

mengetahuinya. Atma Kusuma menyelusup dari 

satu pohon ke pohon yang lain, lalu ia pun me-

lompati pagar.

"Hoop, ya!"

Tubuhnya berkelebat bagaikan terbang, 

mencelat melompati pagar yang tingginya hampir 

lima tombak. Tubuh berkain hitam itu, menapak-

kan kakinya dengan enteng di atas tanah di sebe-

rang tembok yang mengelilingi istana dan lari 

menghilang dalam gelapnya malam.

Malam itu giliran seorang tuan tanah kikir 

yang menjadi perhatian Atma Kusuma. Tuan ta-

nah itu, merupakan lintah darat yang sangat

mencekik leher dan menghisap darah rakyat. Hu-

tang rakyat, dilipat gandakan dengan renten-

renten yang makin membelit.

"Hem, orang ini harus aku kuras habis har-

tanya, biar dia tahu rasa. Aku heran, mengapa se-

jak patih Brah Amungkarti yang menjabat patih 

banyak orang-orang tak berperikemanusiaan 

muncul? Apa mungkin ini sebuah taktik dari 

Brah Amungkarti? Sungguh Ramanda tak mem-

perhatikan hal ini. Kenapa Ramanda mengangkat 

patih orang sepertinya, yang belum diketahui asal 

mulanya? Kalau Brah Amungkarti hendak ber-

buat jahat, niscaya dengan mudah Ramanda ter-

gulingkan. Ah, itu bukan urusanku. Sekarang 

yang penting bagiku adalah menolong rakyatku 

yang menderita," gumam hati Atma Kusuma, yang 

tampak mengendap-endap di sisi rumah tuan ta-

nah itu. "Aku harus dapat berbuat banyak untuk 

rakyatku. Hoop... hampir saja aku ketahuan oleh 

mereka."

Atma Kusuma segera sisipkan tubuh me-

rapat di tembok, manakala tiga orang peronda 

nampak berjalan tak jauh darinya. Matanya me-

mandang tajam, dengan napas tertarik perlahan-

lahan. Ketika ketiga orang peronda itu telah jauh, 

Atma Kusuma kembali tampakkan tubuh, Ma-

tanya memandang ke atas genting, sepertinya ada 

sesuatu di sana.

"Hem, aku harus beraksi dari atas sana. 

Kalau aku beraksi dari bawah, bukan tidak 

mungkin peronda itu akan memergoki aku," ber-

gumam Atma Kusuma dalam hati. "Hoop, ya..."


Tubuh Atma Kusuma berkelebat bagaikan 

terbang, hinggap tepat di atas wuwungan rumah 

itu tanpa mengeluarkan suara. Matanya kembali 

mengawasi sekelilingnya sesaat, sebelum akhir-

nya ia jongkok. Perlahan-lahan, satu demi satu 

genting rumah itu dibukanya. Tiga genting, empat 

hingga akhirnya enam genting terbuka. Atma Ku-

suma sesaat memandang ke bawah, tepat ma-

tanya menatap pada dua sosok tubuh yang ten-

gah tertidur pulas.

Hem, aku rasa ini si lintah darat itu den-

gan istri mudanya. Heran, kenapa masih banyak 

wanita yang mau dengan lintah darat yang sudah 

ketahuan kebusukkannya?" guman hati Atma 

Kusuma sembari gelengkan kepala manakala 

mengingat keadaan rakyatnya benar-benar sudah 

berada di bawah garis kemiskinan. "Aku harus 

segera berbuat, Hoop...ya!"

Tubuh Atma Kusuma seketika melayang ke 

bawah, dan berdiri tepat di hadapan kedua sua-

mi istri yang telah pulas tidur. Sesaat Atma Ku-

suma meneliti kebenaran tidur tidaknya lintah 

darat itu. Setelah merasa yakin, segera Atma Ku-

suma yang sering dijuluki oleh para korbannya 

dengan julukan Maling Siluman beraksi. Dibu-

kanya pintu almari dengan pedang, sehingga pin-

tu almari itu seketika berantakan. Setelah pintu 

almari itu terbuka, segera Maling Siluman itu 

mengambil kantong yang telah ia persiapkan. Di-

kurasnya seluruh uang dan harta yang ada di da-

lam almari, yang dimasukkan ke dalam kantong. 

Setelah merasa cukup, Maling Siluman itu segera


berkelebat keluar dari rumah menggondol hasil 

curiannya.

Malam itu juga, dibagi-bagikan hasil cu-

riannya pada seluruh rakyat yang dirasa sangat 

memerlukan. Dan setelah merasa cukup usa-

hanya, tanpa banyak kata lagi Maling Siluman 

kembali pergi meninggalkan rumah-rumah pen-

duduk.

Esok pagi, seluruh rakyat gempar dengan 

apa yang dialami oleh mereka. Tiba-tiba saja, di 

depan pintu rumah telah tergeletak bungkusan 

uang dan barang-barang yang dapat dijual. Seke-

tika seluruh rakyat bertanya-tanya, siapakah 

yang telah menolong mereka? Dan mereka akhir-

nya menyadari, pastilah Maling Siluman itu yang 

telah berbuat semuanya.

Senang bagi rakyat yang telah dibantu oleh 

Maling Siluman, namun sangat tak senang bagi 

lintah darat yang telah menjadi korbannya. Lintah 

darat itu segera mengadukan pada sang Raja 

mengenai hal itu. Sang Raja yang selalu diojok-

ojoki oleh mentrinya, saat itu juga gusar dan ma-

rah. Saat itu pula, seluruh prajurit disebar untuk 

sedapatnya menangkap Maling Siluman.

"Edan! Patih itu, patih itu lagi. Hem, jangan 

harap aku dapat kalian tangkap. Kalau pun aku 

kalian tangkap dan dihukum mati sekali pun, aku 

senang karena telah membantu kehidupan ra-

kyatku." bergumam hati Atma Kusuma, yang te-

lah mendengar pembicaraan patih kerajaan den-

gan ayahhandanya. "Untuk sementara, aku akan 

beraksi di tempat-tempat maksiat. Tidak mung


kin, kalau tempat-tempat itu mendapat pengawa-

san dari kerajaan. Hem, akan aku buat pusing 

kau, Patih busuk!"

Tengah Atma Kusuma menyadap pembica-

raan ayahandanya dengan Sang patih kerajaan, 

tiba-tiba ayahandanya mengetahui dirinya. Den-

gan mata melotot marah, ayahandanya memang-

gilnya.

"Atma, ke mari kau!" 

"Daulat, Ayahanda...." menjawab Atma se-

raya melangkah menghampiri. Di wajahnya tak 

tampak rasa takut, sepertinya ia telah siap untuk 

menerima hukuman apa yang bakal ayahhan-

danya berikan.

Atma Kusuma segera mengahaturkan sem-

bah, lalu duduk bersila dengan muka menunduk 

di hadapan sang ayah. Sementara patihnya berdi-

ri di samping kanan ayahandanya. Sorot mata 

sang patih, sepertinya menaruh hawa permusu-

han dengannya.

"Anak tak tahu sopan santun! Apa perlumu 

menyadap pembicaraanku dengan paman patih, 

hah!" bentak Prabu Sukma Lelana marah, merasa 

anaknya telah berlaku tidak sopan. "Apakah kau 

sengaja menyadap pembicaraan untuk kau beri-

tahukan pada Maling Siluman itu? Apakah kau 

tak tahu kalau itu perbuatan tidak baik!"

"Ampun, Ramanda. Atma mengerti. Atma 

tadi tidak sengaja mendengarkan percakapan ra-

manda dengan paman patih, sebab Atma tengah 

berjalan hendak pergi ke luar," menjawab Atma 

Kusuma dengan kepala masih menunduk. Walaupun ia seorang yang sangat menentang pada 

tindakan ramandanya, namun sebagai seorang 

anak ia pun merasa harus berbakti pada orang 

tuanya.

"Benar kau tidak sengaja?!" 

"Benar, Ayahanda,"

"Awas kalau kau berbuat seperti tadi lagi. 

Tak akan aku segan-segan menghukummu, men-

gerti!"

"Daulat, Ayahanda," jawab Atma Kusuma.

"Sekarang pergilah!"

"Terimakasih, Ayahanda. Ananda mohon 

diri," berkata Atma Kusuma. Setelah menyembah, 

Atma Kusuma beringsut dari hadapan ayahan-

danya, pergi.

Dicobanya untuk dapat menenangkan piki-

ran dengan cara jalan-jalan melihat-lihat kam-

pung-kampung penduduk. Atma Kusuma me-

mang sengaja melihat-lihat kampung-kampung 

penduduk. Atma Kusuma memang sengaja tidak 

meminta pengawalan dari prajurit, bahkan ia 

memilih jalan kaki ketimbang naik kuda. Ke ma-

na kakinya melangkah, maka itu tujuannya. Kini 

hatinya lega karena telah mampu membantu ra-

kyatnya. Kehidupan rakyatuya kini tidak seperti 

dulu lagi. Tak ada jerit anak-anak kelaparan, tak 

ada lagi jerit kematian.

"Ah, sungguh hatiku bangga dapat berbuat 

demikian. Namun bukan hanya rakyat di sekitar 

kerajaan saja yang harus aku bantu. Aku pun ha-

rus membantu rakyat yang ada di pedalaman. 

Aku dengar mereka malah lebih buruk keadaan


nya. Sungguh-sungguh memprihatinkan. Hem, 

semuanya mulai nanti malam akan dijaga ketat 

oleh prajurit. Setan patih keparat itu! Awas, kalau 

sampai aku tahu dia berbuat jelek, tak akan aku 

ampuni nyawanya."

Dengan membawa hati gundah dan pikiran 

yang melayang memikirkan nasib rakyat di peda-

laman, Atma Kusuma terus melangkah pergi 

mengikuti ke mana langkah kakinya.

Tak terasa olehnya, ia telah melangkah cu-

kup jauh dan jauh meninggalkan istana. Mana 

kala ia telah jauh melangkah dengan membawa 

pikirannya, tiba-tiba ia disontakkan oleh tiga 

orang bertampang menyeramkan menghadang 

langkahnya. Ketiga orang itu datang secara tiba-

tiba, dan telah berdiri di hadapannya dengan ma-

ta mengandung kebencian. Hal itu menjadi-kan 

Atma Kusuma yang tak mengenal ketiganya 

hanya dapat kerutkan kening seraya bertanya.

"Siapakah Ki Sanak bertiga adanya? Dan 

maksud apa Ki Sanak bertiga menghadang lang-

kahku?"

Ketiga orang bertampang buruk dan me-

nyeramkan itu, tak menjawab. Bahkan sorot mata 

mereka makin menghunjam tajam laksana sebi-

lah belati. Orang-orang itu sepertinya bermaksud 

tak baik. Walaupun ketiganya sangat menyeram-

kan, dengan segala ciri tersendiri. Satu berwajah 

penuh bekas cacar, bernama si Bopeng. Seorang 

lagi bermuka lonjong dengan mulut sumbing, 

bernama Sumbing. Dan satu orang lagi matanya

jereng, bernama si Jereng. Ketiganya terkenal


dengan julukan Tiga Iblis Cacat dari Lawangan.

Mendapatkan ketiga orang itu tak menja-

wab, kembali Atma Kusuma lontarkan perta-

nyaan serupa. "Siapakah Ki Sanak bertiga? Dan 

maksud apa Ki Sanak bertiga menghadang lang-

kahku?"

"Kaukah yang bernama Atma Kusuma, mu-

rid dari Sunan Kalijaga?" tanya si Sumbing den-

gan sinis, menjadikan bibirnya yang sumbing 

makin tampak menyeramkan menunjukkan gigi-

giginya yang kuning dan bau busuk.

"Benar apa yang Ki Sanak ucapkan. Aku 

memang bernama Atma Kusuma, murid dari Kan-

jeng Sunan Kalijaga. Ada apakah...?"

"Kau harus mati," membersit si Bopeng 

berkata, menjadikan Atma Kusuma seketika itu 

melototkan mata kaget. Mulut Atma Kusuma se-

ketika itu memekik tertahan karena kagetnya. 

"Ah... Apakah aku telah bersalah pada ka-

lian, sehingga kalian menginginkan aku mati? Ra-

sanya aku tak pernah berbuat jahat pada kalian, 

dan juga tak pernah ada silang sengketa antara 

kita, bukan?"

"Kami tak perduli. Kami hanya menjalan-

kan tugas!" menggeretak si Jereng, yang makin 

menjadikan Atma Kusuma membelalakkan ma-

tanya karena kaget. Betapa tidak! Ketiga Iblis Ca-

cat itu tiba-tiba bermaksud membunuhnya atas 

perintah seseorang, yang belum ia kenal nama 

dan mukanya. Hal itu menjadikan tanda tanya di 

hati Atma Kusuma, yang mengira-ngira siapa 

adanya orang yang bermaksud menghendaki ke


matiannya dengan cara menyuruh pada Tiga Iblis 

Cacat yang terkenal kejam dan bengis.

"Hem, sungguh-sungguh perbuatan penge-

cut. Mengapa harus menyuruh Tiga Iblis Cacat 

untuk membunuhku? Aku rasa, ini semua adalah 

tindakan patih pengecut itu. Bangsat! Kapan 

akan aku dapati kesalahanmu, Patih bajingan!" 

menggeretak hati Atma Kusuma marah. Sementa-

ra matanya memandang tak berkedip pada ketiga 

Iblis Cacad.

"Sudah siapkah kau mati, Anak muda?" 

tanya si Bopeng dengan senyum menyeringai.

"Kalau aku boleh tahu, siapakah yang telah 

menyuruh kalian untuk membunuhku?" tanya 

Atma Kusuma.

"Apakah itu penting untuk seseorang yang 

hendak mati? Hua, ha, ha... Aku rasa, percuma 

kau mengetahuinya, sebab sebentar lagi kau akan 

kami kirim ke akherat." bergelak tawa si Sumbing 

dengan congkaknya, seperti meremehkan siapa 

adanya pemuda yang kini berdiri di hadapannya.

Atma Kusuma sebagai murid Sunan Kalija-

ga, merasa tak gentar sekuku hitam pun. Ia telah 

mendapat gemblengan baik ilmu kanuragan 

maupun ilmu agama dari sang Sunan. Hatinya 

tenang, sebab ia serahkan segalanya pada Yang 

Maha Kuasa. Dengan senyum mengembang di bi-

bir, Atma Kusuma pun berkata.

"Tak mengapa kalau kalian memang hen-

dak membunuhku. Tapi aku meminta syarat."

"Apa syaratmu, Anak muda?" tanya si Jul-

ing,


"Sederhana," menjawab Atma Kusuma. 

"Syaratku, beri aku tahu siapa orang yang telah 

menyuruh kalian untuk membunuhku."

"Hanya itu?" tanya si Sumbing dengan se-

nyum mengejek.

"Ya, hanya itu."

Ketiga Iblis Cacat itu sesaat saling pandang 

satu sama lain. Merasa mereka bakal mampu 

membunuh Atma Kusuma, mereka pun dengan 

tanpa berpikir lagi segera memberi tahu siapa 

adanya orang yang telah menyuruh mereka untuk 

menghabisi nyawa Atma Kusuma.

"Agar kau tidak mati penasaran, baiklah 

akan aku beri tahu siapa yang telah menyuruh 

kami untuk membunuh dirimu. Yang telah me-

nyuruh kami, tak lain adalah ayahmu," menjawab 

si Bopeng yang disertai gelak tawa oleh kedua re-

kannya.

Tersentak Atma Kusuma mendengarnya. 

Namun sebagai seorang yang telah dididik oleh 

Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak mau begitu sa-

ja mempercayai omongan ketiga Iblis Cacat itu. 

Maka dengan nada kesal setengah membentak, 

Atma Kusuma berkata:

"Dusta! Kalian telah mendusta. Hem, ja-

ngan harap aku rela kalian bunuh kalau kalian 

tak mau memberi tahu siapa sebenarnya orang 

yang telah menyuruh kalian untuk membunuh-

ku!"

"Bedebah! Sombong kau, Anak muda! Tak 

akan Tiga Iblis Cacat gagal dalam setiap men-

jalankan tugas! Bersiaplah kau untuk kami kirim


ke akherat!" balas membentak si Juling.

"Kalau kalian mampu, lakukanlah!"

"Monyet! Rupanya kau menantang kami! 

Bersiaplah, Anak muda! Jangan sampai kau ter-

lengah," mendengus marah si Sumbing, bersa-

maan dengan melompatnya kedua rekannya me-

nyerang Atma Kusuma.

Diserang langsung oleh tiga orang yang 

namanya telah menggentarkan siapa saja yang 

mendengarnya, tidak menjadikan Atma Kusuma 

keder. Sebagai murid dari Sunan Kalijaga, pan-

tang baginya harus mengalah pada manusia-

manusia hamba iblis. Pertarungan pun berjalan 

dengan serunya, menjadikan tempat itu seperti 

terserang oleh angin prahara kala mereka menge-

luarkan segala kekuatan yang mereka miliki.

Meskipun demikian, nampaknya Atma Ku-

suma bukanlah tandingan dari Tiga Iblis Cacat 

yang namanya sudah kelewat kesohor. Atma Ku-

suma yang murid Sunan Kalijaga, bagaikan bu-

rung Rajawali yang gagah menyerang dengan ce-

pat dan menghindar dengan gesit. Serangan-

serangan Tiga Iblis Cacat, dengan mudah di-

elakkannya. Bahkan kini Atma Kusuma yang ba-

lik menyerang dan mendesak ketiga Iblis Cacat 

itu.

Terbelalak mata ketiga Iblis Cacat manaka-

la melihat kenyataan yang ada. Ternyata orang 

yang dianggapnya sepele, jauh melebihi orang 

yang mereka anggap sangat bahaya. Kini mereka 

sadar akan siapa yang tengah mereka hadapi. 

Ternyata nama besar Sunan Kalijaga bukanlah


isapan jempol belaka. Jangankan Sunan Kalijaga 

sendiri yang turun tangan, muridnya saja telah 

mampu menghadapi mereka bahkan kalau Atma 

Kusuma mau ia mampu dengan mudah menja-

tuhkan ketiga musuh-musuhnya. Namun ru-

panya Atma Kusuma masih menahan sabar, se-

hingga Atma Kusuma masih memberikan kelong-

garan pada Tiga Iblis Cacat itu. Tubuh Atma Ku-

suma seketika berkelebat cepat, lalu tanpa dapat 

dicegah oleh ketiga Iblis Cacat, Atma Kusuma te-

lah menotok ketiganya dengan cepat dan tepat. 

Seketika ketiga iblis itu terkulai jatuh ke tanah 

dengan badan seperti tak bertulang.

"Aku minta kalian mau memberi tahu siapa 

yang telah menyuruh kalian," kata Atma Kusuma 

seraya berjalan menghampiri ketiga musuhnya 

yang terduduk ngejuprak di tanah dengan wajah

penuh ketakutan. Keringat dingin seketika mem-

banjiri kening ketiga Iblis Cacat. Atma Kusuma 

tersenyum, berusaha meyakinkan pada ketiga Ib-

lis Cacat untuk mau memberi tahu siapa adanya 

orang yang telah menyuruh mereka untuk mem-

bunuh dirinya. "Kenapa kalian sepertinya takut 

untuk mengatakan siapa orang itu? Kalian tak 

perlu takut, aku akan menyembunyikannya bila 

telah tahu siapa adanya orang tersebut. Bukan-

kah kalian bisa ngomong bahwa kalian tidak atau 

belum menemukan aku"

"Benar apa yang kau katakan. Baiklah, aku 

akan mengatakannya padamu tapi aku minta 

nanti kami dibebaskan!" si Bopeng akhirnya ber-

kata mewakili kedua rekannya.


"Hem, baik. Sekarang katakanlah!"

"Orang yang menyuruh kami, tak lain dari-

pada patih ayahmu!"

"Sudah aku duga sebelumnya," desah Atma 

Kusuma seperti berkata pada diri sendiri demi 

mendengar jawaban si Bopeng. "Nah, aku akan 

membebaskan kalian. Tapi ingat! Jangan sekali-

kali kalian mengakali aku, kalau kalian tidak in-

gin batok kepala kalian aku pecahkan!"

Habis berkata begitu, dengan cepat Atma 

Kusuma bergerak membuka totokannya yang te-

lah menjadikan ketiga Iblis Cacat itu lumpuh.

"Tok... tok... tok!"

Tiga kali totokan pembuka itu berturut-tu-

rut. Dan tiga kali itu pula tangan Atma Kusuma 

menekan urat nadi di tubuh ketiga Iblis Cacat.

Saat itu juga ketiga Iblis Cacat pulih seperti 

sedia kala. Tanpa berkata lagi, ketiganya segera 

ngacir pergi meninggalkan Atma Kusuma yang 

hanya geleng-geleng kepala melihat hal itu.


DUA



Sebagai orang yang mendapatkan didikan 

dari Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak sombong 

dan angkuh serta bertindak telengas. Segalanya 

dipikirkan dengan masak-masak. Seperti halnya 

masalah patih kerajaan, yang ia tahu adalah 

orang yang bermaksud jahat padanya dan telah 

menyuruh pada Tiga Iblis Cacat untuk menying-

kirkan dirinya. Namun bagaikan tak mengerti saja, Atma Kusuma bertindak tanduk seperti biasa. 

Ia menghormati sang patih, layaknya seperti tak 

menaruh sakwa sangka.

Sang patih yang tidak mengetahui kejadian 

sebenarnya, menyangka kalau Atma Kusuma be-

nar-benar tak tahu maksud buruknya. Sang patih 

selalu membalas dengan senyum bila Atma Ku-

suma menyapanya, walau senyum itu senyum 

bengis. Namun begitu, Atma Kusuma tak meng-

gubrisnya. Dibiarkan semua berlalu, bagaikan ia 

tak mengusik apa sebenarnya yang terkandung 

pada senyum sang patih.

Melihat anak dan patihnya nampak rukun, 

hati sang raja bungah. Ia menyangka kalau anak 

dan patihnya berpikiran searah dan setujuan. 

Hingga pada suatu hari, sang raja memanggil At-

ma Kusuma anaknya untuk berbincang-bincang. 

Telah sekian lama sejak kematian istri yaitu ibu 

Atma Kusuma, baginda jarang sekali ngobrol den-

gan anak satu-satunya. Segala perhatiannya di-

curahkan pada kerajaan dan ambisi, yang hal itu 

tanpa disadari olehnya ditentang secara diam-

diam oleh sang anak. 

"Anakku."

"Daulat, Ramanda," menjawab Atma Ku-

suma seraya menyembah.

"Ayah lihat, kau begitu akrab dengan pa-

man patih. Aku senang melihatnya, sebab kau 

tentunya akan dapat belajar banyak darinya. Ba-

gaimana menurut pendapatmu, Anakku?"

Walau dalam hatinya memaki-maki sengit, 

namun sebagai seorang anak, Atma Kusuma tak


mau mengutarakan kejengkelannya pada sang 

ayah. Ia bukanlah anak kecil lagi, yang selalu 

mengadu segalanya pada orang tua. Ia adalah 

anak dewasa, yang mau tak mau harus menang-

gung beban dirinya di atas pundaknya sendiri. 

Dengan mengangguk Atma Kusuma menjawab:

"Begitulah, Ramanda."

"Begitu bagaimana, Anakku?" tanya sang 

raja belum mengerti akan maksud ucapan anak-

nya. "Katakanlah dengan terus terang apa yang 

ada dalam hatimu."

"Dia memang baik, Ramanda," menjawab 

Atma Kusuma, menjadikan senyum ayahanda se-

ketika mengembang.

"Itulah, mengapa Rama mengangkat di-

rinya menjadi patih di sini. Dia orangnya baik, 

sopan dan penuh kewibawaan. Jarang seorang 

patih seperti dirinya, mau merakyat."

Mendengar ucapan ayahnya, seketika hati 

Atma Kusuma membatin.

"Hem, rupanya Ramanda telah terpengaruh 

dengan kedoknya. Ramanda tak mengetahui siapa 

adanya keparat itu. Sungguh kasihan ayahku... 

Kapan aku akan mampu membuka kedoknya itu."

"Kenapa kau terdiam, Anakku?" tanya sang 

raja pada anaknya, menjadikan Atma Kusuma 

yang terdiam seketika kaget. Dan dengan suara 

terbata Atma Kusuma berkata:

"Ti-tidak, Ramanda. Memang paman patih 

orangnya baik, supel dan mau merakyat. Memang 

kita beruntung mendapatkan dia, yang punya 

wawasan yang baik dan luas."


Makin melebar saja senyum sang raja 

mendengar penuturan anaknya. Ternyata sang 

anak sehaluan dengannya, menilai bahwa patih-

nya memang orang yang baik dan mempunyai 

wawasan yang tinggi. Kepala sang raja mengang-

guk-angguk, hatinya senang.

"Anak ku, ke mana saja kau selama ini? 

Ramanda lihat, kau selalu pergi ke luar istana. 

Apa yang engkau lakukan di luar?"

"Ampun, Ramanda. Ananda pergi ke luar 

hanya untuk membuang rasa sepi. Entahlah, se-

jak kepergian ibunda, ananda selalu merasakan 

kesepian. Kerajaan ini bagi ananda kurang cocok, 

sehingga untuk menghibur hati, ananda keluar 

melihat-lihat alam."

Sang raja kembali angguk-anggukkan ke-

pala mendengar penuturan anaknya. Bibirnya 

masih mengurai senyum, sementara matanya 

berbinar-binar. Ia bangga dengan anaknya, yang

walau pun anak tunggal namun tidaklah manja. 

Manakala ia menatap terus pada wajah sang 

anak, kembali bayangan istrinya menggurat pada 

wajah Atma Kusuma. Bila telah begitu, maka tan-

pa sadar sang raja menangis. Ia menangis atas si-

fatnya akhir-akhir ini pada sang anak. Kembali 

ingatannya melayang pada janjinya pada sang is-

tri sebelum istrinya meninggal.

"Kanda, kalau aku meninggalkan kanda, 

aku mohon kanda mau mengasuh anak kita Atma 

Kusuma dengan baik. Janganllah kanda me-

marahi atau melukai perasaannya, kasihan dia. 

Dia masih terlalu remaja yang kekanak-kanak


"Toooolllooooong! Toloooong..."

Tersentak Maling Siluman menghentikan 

langkahnya.

"Hem, ada suara orang meminta tolong, 

kedengarannya dari arah Selatan. Aku harus ke 

sana, hiat....!" Sekali kelebat, tubuh Maling Silu-

man telah menghilang dengan cepatnya. Maling 

Siluman atau Atma Kusuma, terus berlari menuju 

ke arah usalnya suara itu.

Suara jeritan itu makin lama makin dekat, 

menjadikan Atma Kusuma atau Maling Siluman 

makin mempercepat larinya. Maling Siluman se-

gera hentikan langkah, manakala tampak sege-

rombolan manusia yang terpaku memandang tak 

dapat berbuat apa-apa pada rumah di hadapan 

mereka. Sepertinya mereka terkena ilmu sirep, 

sehingga mereka walau berdiri namun tidur.

"Hem rupanya orang-orang itu terkena ilmu 

sirep. Akan aku bangunkan mereka. Aku rasa, 

tengah terjadi apa-apa di dalam rumah itu. 

Hiaat.... wuhh...."

Maling Siluman tiupkan napas dari jarak 

jauh ke arah orang-orang yang terpaku diam yang 

seketika itu tersadar dari tidurnya. Serta merta 

mereka segera memburu masuk ke dalam rumah 

di mana masih terdengar rintihan seorang wanita. 

Maling Siluman pun tak tinggal diam, ia segera 

meloncat menerobos masuk.

Tersentak semuanya termasuk Maling Si-

luman, melihat apa yang tengah terjadi. Seekor 

makhluk yang sangat menyeramkan menyerupai 

manusia namun berbulu lebat seperti monyet,


tengah mengangkangi wanita yang terkulai lemas 

dengan tubuh yang tak bertutup sehelai pun. 

Makluk menyeramkan itu menyeringai, matanya 

memerah laksana api memandang pada orang-

orang yang ada di situ.

"Gondoruwo....!" memekik semuanya sete-

lah tahu makhluk itu.

Mahluk gondoruwo itu seketika tersentak. 

Namun belum juga mereka hilang kagetnya, tan-

gan berkuku hitam panjang itu telah menghan-

tam ke arah mereka. Seketika itu, lima orang 

warga memekik dengan dada robek tercakar oleh 

kuku beracun gondoruwo. Tubuh orang-orang 

yang terkena seketika membiru, lalu kejang se-

saat dan mati.

Melihat hal itu, Maling Siluman yang telah 

berada di tempat itu segera kibaskan tangan ma-

na kala tangan sang gondoruwo hendak kembali

menyerang. Tersentak sang gondoruwo, tangan-

nya dirasa panas bagai disulut api. Mata gondo-

ruwo itu tajam memandang pada Maling Siluman, 

yang kini telah berdiri dengan mata memandang 

tajam pula ke arahnya.

"Siapa kau!"

Tersentak Maling Siluman, manakala 

mendengar bentakan makhluk yang sering dis-

ebut gondoruwo itu. Bukan hanya Maling Silu-

man saja yang tersentak kaget, seluruh orang 

yang ada di situ pun kaget mendengar gondoruwo 

itu membentak. Setahu mereka gondoruwo tak 

akan bisa berkata bila dalam keadaan wujud se-

perti itu.


Maling Siluman tersenyum kecut, manaka-

la mengenali suara itu. Suara yang seringkali ia 

dengar. Maling Siluman berusaha mengingat-

ingat pemilik suara itu, namun sepertinya menga-

lami kebuntuan. Pikirannya seketika mencari akal 

untuk menjebak mahluk gondoruwo itu. Maka 

dengan segera Maling Siluman pun menjawab:

"Aku akan mengatakan siapa aku, kalau 

kau pun mau menunjukkan wujudmu yang asli. 

Aku tahu dan kenal suaramu, namun aku tak in-

gin gegabah menuduh. Nah, tunjukkan ujudmu 

dalam bentuk manusia!"

"Hua, ha, ha... Kau rupanya pintar. Baik, 

aku akan tunjukkan ujudku dalam bentuk ma-

nusia. Aku tak akan takut menghadapimu, Mo-

nyet kecil!"

Bersamaan dengan habisnya suara gondo-

ruwo, seketika tubuh berbulu lebat itu perlahan-

lahan mengalami perubahan. Kini makin tersen-

tak saja Maling Siluman melihat hal itu, ternyata 

dugaannya benar bahwa mahluk yang bernama 

Gondoruwo yang suka mengganggu wanita adalah 

patih kerajaannya.

"Hem, kalau begitu, Iblis ini yang dulu 

mengganggu ibunda manakala ayahanda tak ada 

di istana. Bedebah, rupanya itu maksudnya men-

jadi patih. Dasar Iblis... Hari ini juga, aku harus 

melenyapkannya." bergumam hati Maling Silu-

man.

"Hem, rupanya kau cecunguknya yang te-

lah membuat keresahan dan menyiksa rakyat ke-

rajaan ini," menggeretak marah Maling Siluman,


menjadikan patih Brah Amungkarti tersentak. 

Ucapan Maling Siluman sungguh tajam dan pe-

das, menjadikan marah patih Brah Amungkarti 

yang dengan lantang membentak.

"Siapa kau, monyet kecil!"

"Akulah Maling Siluman yang akan me-

nyingkirkanmu dari dunia ini, Iblis!"

Terbelalak semua yang ada di situ, mana-

kala mengetahui bahwa orang bertutup serba hi-

tam adalah orang yang selalu membantu rakyat. 

Nama Maling Siluman memang telah terkenal 

dengan segala tindakannya yang suka membantu 

rakyat. Meski demikian, rakyat belum mengetahui 

tampang dari sang penolong. Kini mereka tahu 

siapa orang yang menamakan dirinya Maling Si-

luman, yang kini dengan berani menghadapi patih 

Brah Amungkarti yang ternyata mahluk Iblis Gor-

doruwo.

"Hem, rupanya kau cecunguknya yang te-

lah membuat resah. Hari ini juga, akan aku re-

mas tubuhmu."

"Jangan sombong, Iblis busuk! Kaulah 

yang harus aku singkirkan agar kerajaan ini te-

nang seperti sedia kala. Rupanya kau pula yang 

telah menumbuhkan lintah-lintah penghisap da-

rah rakyat."

"Kunyuk! Lancang mulutmu!" membentak 

marah Brah Amungkarti marah. "Kubunuh kau, 

monyet!"

Bersamaan dengan habisnya suara patih 

Brah Amungkarti, sang patih segera melompat 

menyerang Maling Siluman yang dengan cepat


berkelebat menghindari serangan. Dengan cepat, 

Maling Siluman berlari ke luar ruangan menuju 

halaman.

Melihat Maling Siluman lari ke luar, serta 

merta Brah Amungkarti pun segera memburu ke 

luar. 

"Jangan lari, Maling!"

"Aku tak lari, Iblis busuk! Aku menunggu-

mu di luar!"

"Bedebah! Kalau kau tak aku binasakan, 

maka kaulah duri dalam daging. Kau akan mem-

buat kesusahanku!"

"Hua, ha, ha... Rupanya kau takut bila se-

luruh rakyat akan mencincang tubuhmu." berge-

lak tawa Maling Siluman, menjadikan makin ber-

tambah marah patih Brah Amungkarti. Dengan 

didahului menggeram bersamaan dengan berubah 

ujudnya kembali ke bentuk semula, Brah 

Amungkarti atau gondoruwo menyerang secara 

cepat Maling Siluman.

Diserang begitu cepat oleh gondoruwo, Mal-

ing Siluman gandakan tawa. Dengan entengnya 

Maling Siluman elakkan setiap serangan gondo-

ruwo. Hal itu menjadikan sang gondoruwo makin 

mendengus penuh amarah. Ditingkatkan seran-

gannya dengan harapan dapat segera men-

jatuhkan Maling Siluman. Namun seperti semula, 

Maling Siluman dengan masih bergelak tawa en-

teng saja mengelakkannya. Malah kini Maling Si-

lumanlah yang mendesaknya.

Merasa dirinya telah terpepet, serta merta 

gondoruwo itu bersuit melengking. Napasnya


memburu, membunyikan suara asing kedenga-

rannya. Saat itu pula, dari bawah tanah bermun-

culan mahluk-mahluk menyeramkan. Mahluk-

mahluk berbentuk manusia tanpa daging me-

lekat di tubuhnya, seketika itu menyerang Maling 

Siluman.

Terbelalak mata semua yang melihatnya, 

manakala melihat apa yang muncul dari dalam 

tanah itu.

"Percuma kalian membantuku. Mereka bu-

kan musuh kalian, biar aku saja. Kalian mundur-

lah. Sia-sia tenaga kalian." berseru Maling Silu-

man pada warga, yang seketika menurut mundur 

menjauh. Namun mereka pun telah siap dengan 

senjata, kalau-kalau mahluk-mahluk menyeram-

kan itu menyerang mereka.

Maling Siluman tersentak kaget, manakala 

seranganya tak berarti apa-apa bagi mahluk-

mahluk menyeramkan itu. Setiap mahluk itu di-

hantam, mahluk itu menjadi dua. Dari dua men-

jadi empat, makin bertambah banyaklah mahluk-

mahluk menyeramkan itu mengeroyok Maling Si-

luman.

"Gusti Allah, apakah aku mampu mengha-

dapi mereka semua?" keluh Maling Siluman da-

lam hati.

Manakala Maling Siluman tengah dalam 

kebimbangan atas kemampuanya, tiba-tiba ter-

dengar suara berkata digendang telinganya. Suara 

itu jelas sekali, dan begitu ia kenal betul. Pemilik 

suara itu adalah gurunya Sunan Kalijaga.

"Anakku, kau tak kan mampu mengalah


kan mereka bila kau bertarung dengan hati bim-

bang dan ragu. Tenangkanlah hatimu. Dan pu-

satkan segalanya pada Yang Maha Kuasa Allah 

Subhanahu Wata alla. Tentunya kau masih ingat 

dengan apa yang aku katakan. Hadapi segala Iblis 

dan Syetan dengan segala ketenangan, lahir 

maupun batin. Hadapi mereka dengan Ayyatul 

qursi, niscaya mereka akan hilang dari alam ini. 

Lakukanlah anakku."

"Terima kasih, Guru, Hamba akan selalu 

mengingat semua itu!"

Terkejut Maling Siluman manakala sebuah 

tangan tanpa daging berkelebat menyerang ke 

arahnya. Hampir saja mukanya terkena sabetan 

tangan berbau bangkai, kalau saja Maling Silu-

man tidak segera lemparkan tubuh ke belakang 

beberapa tombak. Sesaat Maling Siluman pejam-

kan mata, mulutnya membaca do'a surat Qhursi.

"Allahhula ilaha ila huwal hayyul qoyyuum,

Laata khuzuhu sinnatun walaa nauum,

Lahuma fissamaa waati wamaa fil ardhi

Manza ladzi yas fau indhahuu Illa biizni 

Ya'lamuma baena aidhim wama khalfahum

Walaa yuhit tuna bisaiin min ilmihi illa bi-

masya

Wasyia qhursiyihus sama wati wama fil 

ardhi

Walla yauudhuhu hifzuhumma wahuwal ali-

yul adzhim."

Bersamaan dengan habisnya ayattul Qhur


si, seketika itu pula mahluk-mahluk menyeram-

kan itu memekik bagaikan terbakar oleh panas 

api neraka. Belum sempat sang gondoruwo sadar 

dari rasa panas yang menyengat tubuhnya, sece-

pat kilat Maling Siluman hantamkan pukulan ja-

rak jauhnya yang bernama Lampus Umur. Den-

gan Lampus Umur tingkat pemungkas, mele-

daklah tubuh gondoruwo itu hancur menjadi de-

bu.

Maling Siluman pejamkan mata, hatinya 

berbisik mengucapkan syukur kehadiran Yang 

Maha Kuasa. Setelah melihat semuanya telah ber-

lalu, segera Maling Siluman berkelebat pergi me-

ninggalkan tempat itu.


TIGA



Atma Kusuma atau Maling Siluman tersen-

tak kaget, manakala didengarnya tangis bayi me-

mecah keheningan malam yang tergusur oleh si-

raman air hujan. Dengan sedikit rasa takut, Mal-

ing Siluman segera berkelebat ke arah suara itu. 

Matanya seketika terbelalak kaget, manakala me-

lihat seberkas sinar menyilaukan memancar ke 

arahnya. Setelah didekati, makin bertambah ka-

get Maling Siluman setelah tahu apa yang me-

mancarkan sinar menyilaukan itu. Sinar itu ke-

luar dari tubuh sang bayi yang tergeletak di atas 

makam ibundanya.

"Gusti Allah... Allahu Akbar, Allah Maha 

Besar. Tiada kuasa selain Allah. Hem, apakah


memang kodrat dari-Mu ya Allah hingga bunda 

melahirkan di dalam kubur?" mendo'a Maling Si-

luman, manakala melihat suatu keganjilan. Beta-

pa tidak kaget. Bayi itu sungguh-sungguh keluar 

dari liang kubur ibundanya yang telah mati. Den-

gan segera bayi itu diambilnya, lalu dengan berla-

ri kencang bagaikan terbang Maling Siluman pergi 

membawa bayi itu menuju ke sebuah tempat.

Sejak matinya patih Brah Amungkarti yang 

ternyata gondoruwo, Maling Siluman tidak lagi 

mau menjadi warga istana. Ia ingin meneruskan 

tugasnya membantu para pakir miskin, sesuai 

dengan gelarnya Maling Siluman.

Nama Maling Siluman, seketika menjadi 

buah bibir di kalangan rakyat yang menyukainya 

dan menganggap Maling Siluman adalah Dewa 

Penolong. Sebaliknya bagi para lintah darat dan 

tuan tanah, nama Maling Siluman adalah musuh 

yang harus dibasmi.

Malam itu Maling Siluman tengah menja-

rah di rumah milik seorang tuan tanah yang kikir, 

manakala para penjaga memergoki dirinya. Mal-

ing Siluman yang enggan untuk menurunkan 

tangan, hanya berlari meninggalkan para penge-

jarnya dengan membawa hasil curiannya yang 

akan dibagikan pada rakyat yang membutuhkan-

nya. Maling Siluman berlari menerobos hujan, 

sampai akhirnya ia menemukan bayi aneh anak 

ibundanya yang telah mati.

Maling Siluman dengan membopong bayi 

itu, terus berlari menerobos malam. Dia segera 

menuju ke sebuah rumah penduduk yang tak be


gitu jauh dari tempatnya berlari. Hati-hati sekali 

Maling Siluman mengetuk pintu rumah, dengan 

harapan kedatangannya tidak diketahui oleh pen-

duduk yang lain.

"Sampurasun...."

"Rampes..." menjawab suara seorang lelaki, 

lalu terdengar suara langkah kaki mengenakan 

bakyak menuju ke muka. Sesaat kemudian pintu 

rumah itu pun terbuka.

Seketika wajah pemilik rumah pucat, ma-

nakala melihat orang berkerudung hitam telah 

berdiri di hadapannya. Hampir saja orang itu 

kembali menutup pintu, manakala Maling Silu-

man segera berkata.

"Pak, aku tak bermaksud jahat padamu. 

Akulah Maling Siluman."

"Maling Siluman? Jadi kaukah Maling Si-

luman itu ...?" mengerut kening Pak tua kaget.

Maling Siluman menganggukkan kepala 

mengiyakan.

"Aku mohon, janganlah bapak mencerita-

kannya pada orang lain. Cukup bapak saja yang 

mengetahui siapa adanya aku. Ini untuk bapak, 

semoga keluarga bapak dapat makan."

Maling Siluman segera menyodorkan se-

bungkus uang dan perhiasan pada pak tua itu, 

yang seketika melototkan mata tak percaya. Hing-

ga pak tua itu hanya mampu bengong, menjadi-

kan Maling Siluman tersenyum seraya berkata 

kembali.

"Jangan bapak ragu, aku menolong dengan 

ikhlas."


"Oh, terimakasih, Tuan." akhirnya pak tua 

itu dengan tangan gemetar dan mata berkaca-

kaca bahagia menerima uang dan perhiasan yang 

diberikan oleh Maling Siluman padanya. Tengah 

pak tua terbengong-bengong mendapatkan uang 

sebanyak itu, tiba-tiba Maling Siluman kembali 

berkata.

"Pak tua, aku ingin meminta tolong pada-

mu."

"Tentang apa, Tuan? Kami orang tak punya 

apa-apa."

"Aku tak meminta harta atau jasa yang 

berlebihan dari bapak, sebab pertolonganku ber-

sipat ikhlas. Aku hanya ingin menitipkan anak 

dalam gendongan ini pada bapak. Bukankah ba-

pak belum dikaruniai anak?"

"Oh, benar... Memang aku belum dikarunia 

anak seorang pun," menjawab pak tua itu dengan 

berbunga-bunga hatinya, manakala mendengar 

penolongnya hendak memberikan bayi padanya. 

Pak tua itu tersentak, manakala melihat bayi 

yang berada di gendongan Maling Siluman. Bayi 

itu memancarkan sinar menyala terang, menyi-

laukan mata yang melihatnya. Sampai-sampai 

pak tua itu bergumam saking kagetnya.

"Jagat Dewa Batara! Inikah bayi titisan 

Dewa?"

Maling Siluman hanya tersenyum menden-

gar gumamam pak tua.

"Jadi bapak mau merawat bayi ini?"

"Dengan senang hati. Tuan," menjawab pak 

tua dengan mata berbinar-binar bahagia. "Sung


guh beruntung aku bila dapat merawat anak De-

wa ini," bergumam hati pak tua.

"Baiklah, Pak tua. Aku titip anak ini. Kelak 

aku akan membantu biaya untuk ini semua."

"Ah, tak usahlah, Tuan."

Maling Siluman hanya tersenyum lalu den-

gan seketika berkelebat pergi menghilang dalam 

gelapnya malam. Pak tua membelalakkan mata, 

melotot kaget melihat orang yang telah memberi-

kan uang dan bayi anak Dewa itu padanya. Sege-

ra pak tua masuk ke dalam, menutup pintu me-

nuju ke kamarnya di mana sang istri tidur.

"Bune... Bune. Bangunlah, aku mempero-

leh anak,"

Istrinya tersentak bangun mendengar seru-

an suaminya. Serta merta, sang istri terbelalak 

seraya bertanya.

"Anak, Pakne?"

"Ya, lihatlah. Anak ini adalah anak Dewa."

"Anak Dewa...?" gumam istrinya bertanya.

"Iya... Lihat tubuh anak ini. Tubuhnya ber-

cahaya, Bune."

"Wah, benar, Pakne. Oh Dewata Yang 

Agung, sungguh dia anak Dewa, Pakne?"

Dengan suka cita, kedua suami istri tua 

yang belum dikaruniai anak menimang-nimang 

bayi itu sambil berdendang ria penuh kebaha-

giaan. Sungguh tiada terkira kebahagiaan kedua 

orang tua itu. Ternyata, mereka memperoleh anak 

juga.

***


Hari demi hari terlalui oleh kedua suami is-

tri tua itu dengan hati bahagia. Mereka mengasuh 

bayi itu, bagaikan mengasuh anak sendiri. Hari 

berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan 

berganti tahun, dan tahun pun berganti windu. 

Pertumbuhan bayi itu begitu cepat, sepertinya 

bayi itu memang benar-benar anak Dewa. Dalam 

usia lima belas tahun, bayi yang diberi nama Ken 

Wijaksono berkembang tumbuh menjadi seorang 

pemuda yang lincah dan pintar. Salah satu dari 

keanehannya, ia telah mahir dalam segala ilmu 

kanuragan tanpa dibimbing oleh seorang guru 

pun.

Kedua orang tua asuhnya pun kaget, ma-

nakala mereka tahu bahwa sang anak telah mahir 

dalam ilmu kanuragan. Maka ketika keduanya 

melihat sang anak berlatih ilmu silat, dengan ter-

heran-heran kedua orang tua itu bertanya pada 

sang anak.

"Ken, Anakku, dari mana kau memperoleh 

ilmu bela diri itu?"

"Ah, Ken tahu sendiri. Ayah. Bagi Ken, ilmu 

silat adalah suatu olah raga. Ya, sebagai pengge-

rak badan. Ayah."

Tersenyum seraya geleng kepala sang ayah 

mendengar ucapan anak angkatnya. Ia menyadari 

kalau anak angkatnya adalah anak Dewa, yang 

sudah pasti akan menyerupai Dewa. Bagaimana 

menurut dia Dewa itu, maka anaknya pun pasti 

begitu juga. Kalau Dewa segalanya bisa tanpa be-

lajar, anaknya pun mampu melakukan sesuatu


tanpa belajar pula. Lebih tersentak kaget kedua 

orang tua itu, manakala Ken Wijaksono hantam-

kan tangannya ke batu. Mulanya kedua orang itu 

menjerit, takut kalau-kalau tangan sang anak 

akan luka atau remuk. Namun ketakutan mereka 

seketika hilang, berganti dengan rasa kagum yang 

mendalam manakala melihat apa yang terjadi. 

Bukan tangan anaknya yang remuk, tapi batu 

itulah yang hancur menjadi serpihan-serpihan 

debu. Sungguh tak masuk di akal.

Begitulah yang dilakukan Ken Wijaksono 

setiap hari, belajar dan belajar memperdalam il-

mu silat dan ulah kanuragan. Tanpa bimbingan 

orang lain, tanpa guru seorang pun. Dan karena 

merasa dirinya melebihi Dewa, jadilah Ken Wijak-

sono tumbuh sebagai seorang pemuda yang som-

bong dan takabur.

Kegemaran Ken Wijaksono, adalah menya-

bung ayam. Berhari-hari dia mengasuh ayam-

ayamnya, memberi makan dan mendidik sang 

ayam untuk menjadi ayam tarung. Kalau sudah 

begitu, maka segalanya seperti terlupakan. Ken 

Wijaksono berkutat dengan ayam-ayamnya, ayam 

untuk disabung.

Bila sang ayam sudah benar-benar dapat 

dijadikan ayam sabungan, yaitu memenuhi syarat 

segalanya Ken Wijaksono pun membawa ayamnya 

ke arena persabungan. Memang ayamnya benar-

benar ayam hebat, tak mau kalah dengan ayam-

ayam orang lain. Begitulah, Ken Wijaksono meng-

hidupi dirinya dan kedua orang tuanya dengan 

cara menyabung ayam.


***

Hari itu seperti biasanya Ken Wijaksono 

melakukan penyambungan ayam. Entah karena 

apa, ayamnya ternyata harus mengalami keka-

lahan. Ken Wijaksono tersentak kaget, sebab ia 

tak menyangka ayamnya akan kalah sedang uang 

seperser pun ia tak memegangnya.

"Ayo Ken, kau harus membayar padaku," 

berkata Tunggoro meminta bayaran.

"Aku tak punya uang," menjawab Ken Wi-

jaksono tenang.

"Heh, kenapa begitu. Ken?"

"Diam! Sudah aku katakan, aku tak punya 

uang!" membentak Ken Wijaksono, menjadikan 

Tunggoro tersinggung. Mata Tunggoro memerah 

karena marah, lalu dengan mendengus Tunggoro 

membentak.

"Dasar anak setan!"

"Apa kau bilang, Kunyuk!"

"Anak Setan kau!" jawab Tunggoro marah.

"Bangsat! Kubunuh kau, Kunyuk!"

Tak ayal lagi, kedua orang anak muda itu 

pun berkelahi. Ken Wijaksono nampak beringas, 

serangannya mengarah pada hal-hal yang mema-

tikan. Tunggoro tak mau mengalah begitu saja, ia 

pun berusaha merangsek Ken Wijaksono. Namun 

rupanya Tunggoro bukanlah tandingan Ken Wi-

jaksono, yang mampu mempelajari segala ilmu si-

lat dengan sendirinya. Mata Ken Wijaksono seke-

tika berubah membiru, menyorot bagaikan sinar 

matahari. Dari badannya keluar sinar yang menyala merah membara. Menjadikan semua yang 

melihatnya tersentak kaget, serta merta semua 

berseru tertahan.

"Anak Dewa!"

"Hua, ha, ha... Memang akulah anak Dewa. 

Maka itu, kalian harus menurut padaku. Jangan 

sekali-kali kalian membantah, atau kalian minta 

seperti ini."

Secepat kilat Ken Wijaksono menghantam-

kan tangannya pada Tunggoro yang saat itu ten-

gah terbelalak kaget. Tak ayal lagi, Tunggoro pun 

seketika menjerit. Tubuhnya hangus, lalu ambruk 

dan mati.

Bergidig semua yang melihatnya, tanpa da-

pat berbuat apa-apa. Mereka juga ngeri untuk 

bertindak. Hal itu diketahui oleh Ken Wijaksono, 

yang dengan lantang berseru.

"Mulai hari ini, kalian harus mengakui aku 

sebagai ketua kalian. Kahan harus memberikan 

padaku uang dan barang-barang berharga la-

innya. Kalau tidak, maka kalian akan menjadi se-

perti si Tunggoro ini, mengerti!"

"Mengerti, Ken..." jawab semuanya dengan 

ketakutan.

"Bagus! Serahkan uang yang kalian pegang 

padaku, cepat!"

Tanpa berani membantah, orang-orang itu 

pun segera menyerahkan uang yang mereka mili-

ki pada Ken Wijaksono yang tertawa bergelak-

gelak menerimanya.

"Ingat! Mulai hari ini, akulah pimpinanmu. 

Hua, ha, ha...."


Tubuh Ken Wijaksono berkelebat pergi me-

ninggalkan orang-orang yang hanya tebengong-

bengong tanpa dapat berbuat apa-apa. Mereka 

baru tahu siapa adanya anak Dewa yang sering 

diceritakan dari mulut ke mulut oleh penduduk. 

Mereka tadinya menyangka kalau itu adalah 

hanya cerita kosong belaka. Namun kini mereka 

telah mengetahui kenyataannya, bahwa anak De-

wa itu benar-benar ada.

Jadi jelas, bahwa segala ramalan orang-

orang paranormal itu benar adanya. Anak Dewa 

itu kini telah menampakkan diri, sebagai Ken Wi-

jaksono. Namun apa bila mereka mengingat ra-

malan tersebut, makin takut saja mereka. Menu-

rut ramalan, anak Dewa akan membuat sebuah 

petaka besar di dunia persilatan. Adakah itu be-

nar? Ikuti saja kisah ini...


EMPAT



Sebuah bayangan berkelebat menembus 

malam yang gelap, berlari menuju ke sebuah 

kampung. Bayangan itu milik seseorang lelaki, 

dengan tubuh terbungkus pakaian serba hitam. 

Sejenak bayangan yang ternyata Maling Siluman 

berhenti, memandang ke belakang dan kemudian 

kembali berlari.

Meskipun kerajaan kini telah tenang dan 

aman dari gangguan Gondoruwo yang pernah 

membuat bencana, namun profesinya sebagai 

Maling Derma terus ia lakukan. Ia berusaha terus


membantu orang-orang yang melarat. Hanya den-

gan cara itulah ia mampu membantu rakyatnya 

yang sangat menderita oleh kelaparan dan ke-

miskinan.

Ketika ia tengah berlari, dilihat olehnya se-

buah sinar memancar dari rumah penduduk yang 

pernah ia singgahi. Seketika itu, Maling Siluman 

teringat akan bayi yang lima belas tahun silam 

diberikan pada kedua orang tua.

"Mungkinkah anak tersebut telah dewasa?" 

bergumam Maling Siluman dalam hati. "Aku ingin 

melihatnya, bagaimana rupa anak tersebut seka-

rang."

Segera Maling Siluman kelebat menuju ke 

arah sinar itu muncul. Bagaikan kilat, Maling Si-

luman berlari hingga dalam waktu yang singkat 

dirinya telah berdiri di ambang pintu.

"Sampurasun...." sapanya.

"Rampes... Siapakah di luar?" terdengar 

suara orang tua menyahuti.

"Aku pak tua. Aku Maling Siluman," men-

jawab Maling Siluman.

Tak berapa lama kemudian, pintu rumah 

itu pun terbuka dari dalam. Pak tua yang mem-

buka pintu tersenyum seraya menganggukkan 

kepala hormat manakala dilihat olehnya Maling 

Siluman.

"Slamat malam, Pak tua."

"Malam, tuan pendekar. Ada gerangan apa 

tuan datang?"

"Aku ingin melihat anak itu, Pak tua."

Tengah kedua orang itu bercakap-cakap,


terdengar suara anak muda berseru menanya pa-

da pak tua.

"Siapa yang datang, Ayah?"

"Suara siapakah itu pak tua?" tanya Maling 

Siluman.

"Itu anak Dewa, yang aku beri nama Ken 

Wijaksono," menjawab pak tua.

Dari dalam rumah, keluar seorang pemuda 

tampan yang tubuhnya memancarkan sinar me-

rah. Pemuda itu adalah adiknya, walau bukan 

seayah namun satu kandungan. Mata Maling Si-

luman terbelalak, mana kala melihat pemuda 

yang berdiri di hadapannya. Pemuda itu terse-

nyum menghormat.

"Siapakah paman ini, Ayah?" tanya pada 

pak tua.

"Dia teman ayah. Dia bernama Maling Si-

luman," jawab pak tua.

"Maling Siluman...? Bukankah Maling Si-

luman yang selalu membantu orang miskin itu, 

Ayah?" tanya Ken Wijaksono, seperti ia ingin me-

mastikan kebenaran orang di hadapannya. ia te-

lah mendengar nama Maling Siluman, baik dari 

ayahnya maupun dari teman-temannya yang te-

lah menjadi anggota.

"Benar, Nak. Dialah Maling Siluman yang 

ayah ceritakan padamu."

"Oh, kalau begitu aku menyampaikan hor-

mat."

Tersenyum Maling Siluman melihat anak 

tersebut. Anak itu ramah, namun di balik kera-

mahannya, tersembunyi sifat yang ingin selalu


berkuasa, manakala Maling Siluman menatap 

mata pemuda itu, seketika hatinya membatin.

"Sungguh-sungguh anak yang berbahaya, 

kalau tak mampu mendidiknya. Sorot mata anak 

ini, menunjukkan ambisi yang berlebihan. Hem, 

apakah ia mengikuti darah ayahnya yang Iblis 

itu? Kalau memang ya, tak dapat aku bayangkan 

apa yang bakal menimpa kerajaan ini dan dunia 

persilatan. Semoga bapak guru telah mengeta-

huinya, agar aku dapat meminta petunjuk dari 

beliau tentang anak ini."

"Kenapa paman ini tidak masuk saja? Aku 

ingin sekali melihat rupa dari paman ini. Kenapa 

paman tak mau membuka penutup mukanya?"

Tersentak kaget Maling Siluman menden-

gar permintaan Ken Wijaksono, yang sepertinya 

mengandung sesuatu maksud di balik ucapannya 

itu. Sebagai seorang pendekar yang telah malang 

melintang di dunia persilatan, dan juga murid da-

ri Sunan Kalijaga Maling Siluman tak mau me-

nunjukkan kekagetannya. Maka dengan suara 

halus layaknya orang menggumam, Maling Silu-

man berkata:

"Hem, apakah itu penting, Anak muda?"

"Penting, Paman. Aku rasa paman lebih 

baik membuka penutup muka dari pada harus 

menyembunyikan diri. Bukankah nama paman 

telah kondang? Apa perlunya paman takut?"

Makin tersentak saja Maling Siluman men-

dengar perkataan Ken Wijaksono. Belum pernah 

ia mendengar ucapan seorang anak muda yang 

lancang seperti anak ini. Apakah mungkin anak


muda ini mempunyai maksud pada Maling Silu-

man?

Maling Siluman yang tak menghendaki 

identitas dirinya diketahui hanya mendesah, se-

raya berkata kembali! "Ah, sudahlah. Bukankah 

kau telah mengenalku? Aku Maling Siluman, ya 

maling Siluman. Tak perlu aku membuka tutup 

mukaku, semestinya kau pun memahami hal itu. 

Ken Wijaksono?"

Mendengar ucapan Maling Siluman, seke-

tika Ken Wijaksono tertawa bergelak-gelak hingga 

tubuhnya berguncang-guncang terbawa oleh ge-

lak tawa. Hal itu menjadikan Maling Siluman dan 

pak tua terbelalak kaget.

"Hai, rupanya nama Maling Siluman hanya 

isapan jempol!"

"Ken, Kau jangan lancang, Anakku?" berse-

ru pak tua kaget. Ia tak menyangka kalau anak 

angkatnya akan lancang berbicara dengan orang 

yang telah menyelamatkan nyawanya. Memang 

Ken Wijaksono tak mengetahui siapa adanya 

orang di hadapannya, namun semestinya ia 

menghormatinya.

"Aku tak lancang. Aku hanya ingin melihat 

wajah Maling Siluman sebenarnya. Kalau me-

mang ia bermaksud baik, mana mungkin ia me-

nutup mukanya!"

"Jadi kau memaksaku untuk membuka 

penutup mukaku?"

"Benar! Aku memang ingin melihat wajah-

mu yang tertutup kain hitam itu. Burukkah wa-

jahmu, atau mungkin busuk!"


Tersentak Maling Siluman mendengar uca-

pan Ken Wijaksono, yang sangat pedas dan me-

nyakitkan. Namun kembali Maling Siluman hanya 

mendesah dalam hati. "Gusti Allah, rupanya anak 

ini benar-benar menuruni ayahnya. Hem, apakah 

ini bukan suatu tanda bencana yang bakal me-

nimpa kerajaan?"

"Maaf, aku tak dapat meluluskan permin-

taanmu," jawab Maling Siluman dengan tenang-

nya, menjadikan Ken Wijaksono melototkan mata 

marah. Sepertinya, Ken Wijaksono merasa dirinya 

adalah orang yang harus ditakuti. Dirinya adalah 

keturunan Dewa, yang segala ucapannya harus 

dijalankan oleh yang diperintah. Seperti teman-

temannya, mereka pun menuruti apa yang dikata 

oleh Ken Wijaksono. Ken Wijaksono menyamakan 

teman-temannya dengan Maling Siluman. Ba-

ginya, semua orang di muka bumi ini harus me-

nyembah dan tunduk pada dirinya. Maka mana-

kala mendengar ucapan Maling Siluman yang 

menentangnya, marahlah Ken Wijaksono.

"Bedebah! Kalau kau tak mau membuka 

cadarmu, maka akulah yang akan membukanya

sendiri. Maaf, hiat...!"

Tanpa dapat dicegah oleh ayahnya dan 

Maling Siluman, Ken Wijaksono yang menganggap 

dirinya yang harus ditakuti segera bergerak cepat. 

Tangannya berusaha menjambret kain penutup 

muka Maling Siluman, namun secepat kilat Mal-

ing Siluman segera egoskan tubuh menghindar 

seraya berseru:

"Anak tak tahu diri! Percuma kau dulu aku


tolong! Kalau mengerti tindakanmu seperti Iblis, 

dulu aku tak menolongmu."

Tersentak kaget Ken Wijaksono mendengar 

makian Maling Siluman. Segera ia hentikan se-

rangan, melompat mundur dan berdiri di sisi 

ayahnya seraya bertanya.

"Benarkah akan apa yang paman itu kata-

kan, Ayah?"

Dengan mata menangis, pak tua itu men-

ganggukinya.

"Jadi siapa sebenarnya aku?" gumam Ken 

Wijaksono bertanya. Ia kaget melihat ayahnya 

mengangguk. Mata Ken Wijaksono yang tadinya 

bersinar-sinar, seketika meredup. Ditatapnya ber-

gantian sang ayah dan Maling Siluman, seper-

tinya ingin bertanya tentang siapa sebenarnya di-

rinya itu.

"Memang benar apa yang dikatakan oleh 

pendekar Maling Siluman, Nak. Kau sebenarnya 

bukan anakku, tapi ditemukan oleh pendekar 

Maling Siluman di tengah kuburan. Sungguh kau 

telah berdosa besar bila berani padanya. Tanpa 

dia, mungkin kau tak akan selamat seperti seka-

rang. Entah kau akan dimakan apa malam itu. 

Maka itulah, Anakku. Kau janganlah terlalu sem-

brono pada pendekar Maling Siluman, yang seca-

ra tidak langsung merupakan orang yang telah 

menyelamatkan dirimu."

Tergetar hati Ken Wicaksono mendengar 

penuturan ayahnya. Serta merta ia jatuhkan diri 

bersujud di kaki Maling Siluman seraya menangis 

sesenggukan sesali dirinya yang tak tahu balas


budi itu.

"Hukumlah saya... Hukumlah! Saya telah 

berani lancang pada tuan pendekar yang telah 

berjasa. Oh, sungguh aku anak tak tahu balas 

budi."

"Tak perlu kau tangisi. Aku menyadari ka-

lau kau memang tak mengerti. Sudahlah, yang 

penting kau berbuat kebajikan saja aku sudah 

senang." menjawab Maling Siluman. "Pak tua, to-

long jaga anak ini baik-baik. Aku akan selalu 

membantumu bila diperlukan. Ini untuk sekedar 

ucapan terima kasihku padamu yang telah men-

gasuh anak ini."

Disodorkan sekantong uang pada pak tua, 

yang saat itu menolaknya seraya berkata. ''Kami 

tak dapat menerimanya, Tuan pendekar. Jasa 

tuan telah banyak kami terima. Kini kamilah yang 

seharusnya membantu, karena kami rasa tuan te-

lah cukup banyak membantu kami"

"Baiklah, Pak tua. Kalau itu memang mau-

mu, aku pun tak dapat memaksa. Aku mohon 

pamit," berkata Maling Siluman. Setelah terlebih 

dahulu mengusap rambut Ken Wijaksono, Maling 

Siluman pun berkelebat pergi meninggalkan ru-

mah pak tua yang memandang kepergiannya den-

gan gelengan kepala. Sementara Ken Wijaksono, 

hanya mampu memandang kepergian Maling Si-

luman dengan linangan air mata. Perasaannya 

sebagai seorang manusia tersengat juga, manaka-

la merasa dirinya telah berlaku kurang ajar pada 

tuan penolongnya.

Setelah meninggalkan rumah pak tua, Mal


ing Siluman pun seperti biasanya segera melaku-

kan tugasnya. Malam itu adalah giliran rumah 

Datuk Lutung Gerek, seorang datuk sesat yang 

juga membuka praktek dukun cabul. Datuk itu 

juga menjadi tuan tanah yang kelewat kejamnya. 

Bila tanah penduduk tak dapat dibelinya, maka 

dengan kekerasanlah yang ia gunakan.

"Datuk ini memang benar-benar keterla-

luan. Sifatnya tak ada beda dengan Iblis. Mungkin 

karena ia penganut Iblis, jadi ia pun mempunyai

sifat Iblis pula," berkata hati Maling Siluman se-

raya mengendap-endap mendekati rumah sang 

Datuk.

Setelah dirasa aman, segera Maling Silu-

man berkelebat melompati pagar rumah sang Da-

tuk dan hinggap di atas wuwungan genting ru-

mah itu. Sesaat matanya memandang sekeliling, 

lalu setelah dirasa aman Maling Siluman itu sege-

ra membuka satu persatu genting. Setelah dirasa 

cukup, segera Maling Siluman berkelebat masuk 

turun ke bawah. Namun sungguh tak dinyana, 

kalau ternyata Datuk Lutung Gerek ternyata be-

lum tidur. Datuk Lutung Gerek serta merta ter-

sentak, lalu membentak. "Siapa kau!"

"Aku Maling Siluman," jawab Maling Silu-

man yang sudah merasa tak ada gunanya lagi 

menyembunyikan diri. "Berikan uang serta per-

hiasan yang kau miliki padaku."

"Enak saja kau bilang! Langkahi dulu 

mayatku, Hiat...!"

Datuk Lutung Gerek yang memang sudah 

gedeg dengan berita-berita Maling Siluman, serta


merta cabut golok yang tergantung di dinding 

kamar. Dengan didahului pekikkan. Datuk Lu-

tung Gerek segera menyerang membabi buta. Go-

lok di tangannya berkelebat cepat, tak ubahnya 

seperti mempunyai mata. Golok itu menusuk-

nusuk ke arah jantung lawan.

Maling Siluman membersit, lemparkan tu-

buh ke atas lalu balik dengan tangan siap meng-

hantam. Bersamaan dengan itu, Datuk Lutung 

Gerek berteriak menjadikan seketika para penga-

walnya tersentak dan langsung menyerbu ke arah 

suara itu.

"Huh bahaya kalau begini. Aku harus sege-

ra bertindak!" membatin Maling Siluman, lalu 

dengan segera ia hantamkan pukulannya ke arah 

Datuk yang seketika itu tersentak dan berusaha 

menghindar. Namun sungguh malang, pukulan 

yang dilontarkan Maling Siluman ternyata lebih 

cepat bertindak. 

"Bug, bug, bug!"

Tiga kali pukulan berturut-turut menghan-

tam tubuh Datuk Lutung Gerek, yang seketika itu 

pula terhuyung-huyung ke belakang dengan da-

rah meleleh di kedua sela-sela bibirnya. Tubuh 

sang Datuk terjajar ke tembok, perlahan menyo-

sot turun ambruk ke bawah dan mati.

"Gusti Allah, sungguh aku telah membu-

nuhnya. Oh..." Maling Siluman merasa terpukul 

manakala mengetahui bahwa dirinya telah menu-

runkan tangan keras. Dia menyesal, namun bila 

tidak begitu maka dirinya yang menjadi korban. 

Setelah mengambil barang-barang yang sekiranya


perlu, Maling Siluman segera pergi meninggalkan 

rumah itu.

***

Sang Raja yang mendapat laporan tentang 

kematian Datuk Lutung Gerek, seketika merasa 

terkejut. Pikirannya kini berkecamuk macam-

macam pertanyaan, siapakah sebenarnya Maling 

Siluman itu? Maling Siluman telah menghancur-

kan dua orang yang paling dekat dengan dirinya. 

Pertama patihnya, lalu kini Datuk Lutung Gerek. 

Sungguh perbuatan yang tak dapat dimaafkan 

oleh sang Raja.

Walau tindakkan Maling Siluman bertu-

juan membantu rakyatnya, namun bagi sang raja 

tindakan itu tidak berdasarkan pada tempatnya. 

Tindakan Maling Siluman harus dihentikan, na-

mun untuk menghentikannya sangatlah tidak 

mudah. Sang raja belum tahu siapa sebenarnya 

Maling Siluman, dan apa tujuannya berbuat begi-

tu rupa.

Maka untuk mendapatkan dan untuk me-

nangkap Maling Siluman, sang raja segera mem-

buat sayembara yang isinya "Barang siapa yang 

mampu menangkap Maling Siluman Hidup atau 

mati, dia akan mendapatkan kedudukan di kera-

jaan."

Berita itu sempat sampai di telinga pak tua 

dan anak angkatnya. Ken Wijaksono. Mereka 

bimbang harus berbuat bagaimana. Mereka tahu 

siapa adanya Maling Siluman, namun mereka 

masih menghargai jasa Maling Siluman yang telah


membantu mereka.

"Bagaimana, Ayah? Apakah aku harus ikut 

dalam sayembara ini?"

Ditanya seperti itu oleh sang anak, seketika 

pak tua hanya terdiam tanpa dapat berkata apa. 

Hatinya yang merasa berhutang budi, sangatlah 

susah untuk memungkirinya. Pak tua hanya 

mampu terdiam bisu, dan bisu tanpa dapat bi-

cara sepatah pun. Hal itu menjadikan anaknya 

kembali bertanya.

"Ayah, bagaimana menurut ayah?" 

"Aku bingung, Anakku. Kalau kau mengi-

kuti sayembara itu dan kau mampu menangkap 

Maling Siluman, secara tidak langsung kau telah 

berbuat yang tidak mengerti balas budi. Tapi bila 

kita membiarkannya, jelas kita telah menentang 

kerajaan. Sebagai seorang rakyat kita memang 

diperlukan. Tapi sebagai seorang manusia priba-

di, kita akan selalu mengingat balas budi seseo-

rang."

Ken Wijaksono seketika terdiam. Ia juga 

memikirkan tentang sebab akibatnya, tentang ha-

ti nurani dan keberadaannya. Sungguh suatu pi-

lihan yang susah, yang mesti dipikirkan dengan 

penuh seksama. Mungkin karena tak mengerti 

harus berbuat apa. Ken Wijaksono hanya pergi ke 

luar meninggalkan sang ayah.

Angin malam bertiup dengan kencang, se-

perti menusuk dingin terasa di tulang. Ken Wijak-

sono masih berjalan dengan pikiran yang bim-

bang, menyusuri malam gulita tanpa sinar. Ma-

nakala ia terus berjalan, tiba-tiba terdengar oleh


nya seseorang berkata. Suara itu tanpa ujud, 

menjadikan Ken Wijaksono seketika itu tersentak 

kaget dan mencari siapa gerangan orang yang bi-

cara itu.

"Ken Wijaksono, kau mendengar suaraku?"

"Ya, aku mendengar. Siapa kau...?" tanya 

Ken Wijaksono.

"Ken Wijaksono, kau adalah keturunanku. 

Maka kau harus menuruti apa yang akan aku pe-

rintahkan padamu," berkata suara itu kembali, 

menjadikan Ken Wijaksono tersentak kembali.

"Keturunanmu? Hai, apakah kau tidak 

ngelantur? Aku adalah anak Dewa, mana mung-

kin kau mengaku-aku nenek moyangku? Kalau 

kau benar nenek moyangku, jelas kau harus se-

perti aku. Akulah orang yang sakti."

"Hua, ha, ha... Bukan hanya jadi orang 

sakti saja, Anakku. Kau harus melebihi diriku, 

dan memang kau melebihi diriku. Kau sakti man-

dra guna, tak akan ada yang dapat menandingi 

dirimu."

"Kau menyebut anak padaku, siapakah di-

rimu?" tanya Ken Wijaksono seraya kerutkan ken-

ing. "Kau jangan bercanda, atau barang kali kau 

hendak mempengaruhi aku?"

"Tidak, Anakku. Aku memang ayahmu. 

Aku sengaja mencetakmu di rahim permaisuri Ra-

ja Sukma Lelana. Aku berharap, kelak kau akan 

menjadi orang yang paling sakti, itulah sebabnya 

kau aku lindungi dari kematian bersama ibumu. 

Kau kumunculkan ke permukaan bumi, manaka-

la saatnya kau lahir. Ibumu telah mati, sedang


kan aku tak dapat keluar dari duniaku dunia Ib-

lis. Maka itulah, aku hendak meminta-mu untuk 

menggantikan diriku."

Termakan juga rupanya hati Ken Wijakso-

no mendengar penuturan Iblis yang memang 

ayahnya yaitu Genderuwo, yang mati di tangan 

Maling Siluman. Hati kecilnya gundah, tak tahu 

harus berbuat bagaimana. Ingin ia menolak uca-

pan Iblis, tapi rasanya ada sesuatu yang meng-

hendaki dirinya untuk mempercayai segala kata-

kata Iblis itu.

"Baiklah kalau memang benar itu adanya. 

Apa yang hendak engkau perintahkan padaku? 

Dan siapa dirimu adanya?" tanya Ken Wijaksono, 

setelah sekian lama terdiam dengan pikirannya.

"Hua, ha, ha... Itu bagus. Nah, dengarlah. 

Aku bernama Gandarta atau Gordoruwo. Kau 

adalah titisanku, maka kau harus maha sakti me-

lebihi diriku. Aku telah menitis di tubuhmu sejak 

saat ini. Bunuh Maling Siluman atau Atma Ku-

suma dan orang tua angkatmu. Karena mereka-

lah yang kelak akan menghalangi semua tujuan-

mu. Bila semua telah kau bereskan, singkirkan 

raja bodoh itu. Kau harus menjadi raja di raja. 

Kuasai seluruhnya, termasuk semua perguruan-

perguruan silat. Bila ada yang membangkang, 

bunuh saja!"

Ken Wijaksono untuk sesaat terdiam men-

dengar penuturan Iblis yang mengaku-aku seba-

gai ayahnya. Hatinya seketika bergolak, antara 

ucapan Iblis itu dengan perasaannya sebagai ma-

nusia. Bagaimana mungkin orang yang telah menolongnya harus dibunuh? Apakah itu suatu hu-

kum alam yang gila...? Tengah Ken Wijaksono 

bimbang, kembali terdengar olehnya suara Iblis 

itu berkata.

"Bagaimana, Anakku? Kenapa kau ter-

diam? Kalau kau ingin menjadi orang yang sakti 

mandraguna dan ditakuti, janganlah kau bertin-

dak dengan setengah-setengah. Lakukan segala 

apa yang sekiranya kau anggap itu harus dilaku-

kan. Tantang kehidupan dengan jiwa besar dan 

kemenangan. Keraskan pendirian, kuatkan ke-

mauan."

"Baiklah. Aku akan menuruti apa yang te-

lah kau katakan. Kalau kau memang benar ayah-

ku. Tapi kalau kau bukan, jangan harap kau da-

pat lolos dari tanganku walau kau Iblis marah-

kiyangan sekalipun. Ingat itu, Gonderuwo!"

"Hua, ha, ha... Jangan kuatir, Anakku. Ke-

lak kau akan mendapatkan siapa adanya dirimu. 

Kau akan mampu mengubah dirimu menjadi 

Gondoruwo yang besar bila hal itu kau butuhkan 

yaitu dalam keadaan terdesak."

Bersamaan dengan habisnya ucapan Gan-

darwo, seketika melesatlah sebuah sinar masuk 

ke tubuh Ken Wijaksono melalui ubun-ubunnya. 

Sesaat Ken Wijaksono melotot, tenggorokannya 

bagaikan dicekik. Keringat dingin mengucur deras 

dari keningnya. Ingin rasanya ia berteriak, namun 

hal itu tak dapat ia lakukan. Tubuhnya kembali 

menyala terang, dan makin terang berwarna 

membara. Tubuh Ken Wijaksono mengeluarkan 

asap, mengepul-ngepul bagaikan mendidih. Me


mang darahnya mendidih, bergelora laksana gu-

nung berapi yang hendak meletus. Napasnya 

memburu, badannya kaku, mulutnya mengunci 

dengan gigi-gigi saling beradu. Saking bergolak-

nya darah di tubuh Ken Wijaksono, menjadikan 

Ken Wijaksono tak mampu menahannya. Pemuda 

itu akhirnya tergeletak pingsan.


LIMA



Tiga orang berwajah cacat yang berjuluk 

Tiga Iblis Cacat Rupa nampak berlari-lari. Mereka 

sepertinya tengah menuju ke suatu tempat. Wa-

jah ketiganya rusak menyeramkan, makin tampak 

menakutkan dengan roman muka yang tampak 

tak ada kebahagiaan sedikit pun.

Tiga Iblis Cacat Rupa itu, berlari tanpa ba-

nyak kata-kata. Dan mereka berhenti manakala 

tampak oleh mereka sebuah rumah yang mirip 

dengan pondok. Kanan kiri rumah tertutup den-

gan tembok. Hanya depan rumah saja yang ter-

buka. Ketiganya sesaat memandang hening, den-

gan sorot mata yang seakan menaruh kebencian.

"Lompong Wulung, keluar kau!" berseru si 

Jereng. Matanya yang jereng memandang aneh. 

Pandangannya nanar, ke mana ia memandang ke 

mana pula arah matanya. Tak ada jawaban dari 

dalam rumah, menjadikan ketiga iblis itu saling 

pandang.

"Kunyuk! Apa kau takut pada kami, Lom-

pong Busuk!" kini giliran si Bopeng berseru. "Kalau kau benar seorang pendekar, keluarlah! Jan-

gan seperti tikus yang dikejar-kejar kucing. Kami 

datang untuk menagih janjimu."

Gembar gembor ketiga Iblis Cacat Rupa itu 

bagaikan berlalu begitu saja, tak ada jawaban da-

ri dalam rumah. Rumah itu masih nampak sepi, 

gelap tak ada lampu secuil pun. Menyaksikan itu 

semua, geramlah hati ketiga Iblis Cacat Rupa.

"Bedebah! Rupanya sekarang kau penge-

cut, Lompong busuk!" menggeretak marah si 

Sumbing. "Ayo kita serbu saja ke dalam!"

Berbareng ketiga iblis cacat serentak 

menghambur masuk ke dalam pagar rumah. 

Dengan langkah-langkah pasti, ketiganya mema-

ku di muka pintu saling pandang.

"Dobrak saja!" berkata Jereng. "Baiklah ka-

lau kau tak mau keluar, kamilah yang masuk!" 

seru si Sumbing. Sepontan kaki kanannya me-

nendang pintu dengan keras hingga pintu itu pun 

jebol.

"Awas serangan!" seru si Bopeng menya-

darkan dua rekannya.

Dari dalam melesat beberapa tombak me-

nyerang ke arah mereka. Serta merta ketiganya 

mencelat, menghindari serangan seraya mencaci 

maki.

"Kunyuk! Kau tak lebihnya seorang penge-

cut! Jangan harap kami mampu kau akali, Ku-

nyuk!" membentak Jereng. Tangannya segera 

berkelebat cepat, tangkap salah satu tombak. 

Dengan mata jereng ternyata si Jereng sangat ta-

jam penglihatannya. Dilemparkan tombak ke arah


asal, seketika itu terdengar makian dari seseorang 

yang belum tampakkan mukanya.

"Bedebah! Rupanya kalian mencari mam-

pus!"

"Anjing gudig! Kalau kau lelaki, keluarlah 

dari situ dan jangan hanya bisa ngomong!" mem-

bentak marah si Sumbing, demi mendengar se-

ruan orang yang belum tampakkan rupa.

Tak berapa lama kemudian seberkas sinar 

merah tiba-tiba muncul. Suara itu makin lama 

makin dekat dan menerangi mereka. Ketiga Iblis 

Cacat Rupa itu tersentak manakala tahu siapa 

yang telah mengeluarkan sinar itu. Sinar itu ke-

luar dari tubuh seorang pemuda, yang berjalan ke 

arah mereka, ketiga Iblis Cacat Rupa, maka ter-

sentak mundur seraya membentak bertanya.

"Siapa kau!"

"Kalian telah menggangguku. Kalian harus 

mati!" menggeretak anak muda itu. Matanya ta-

jam menghunjam, memandang pada ketiganya. 

Senyumnya sinis, mirip dengan senyum memba-

wa kematian. "Kalian tahu, akulah Anak Dewa! 

Akulah yang bakal memimpin kalian! Bila kalian 

menolak, maka jangan harap kalian akan hidup! 

Lihat itu!"

Pemuda itu menunjukkan telunjuknya, 

yang diikuti oleh ketiga Iblis Cacat Rupa meman-

dang. Mata ketiganya seketika membeliak kaget 

manakala tampak oleh mereka sesosok mayat 

mengering tergeletak di sudut ruangan yang me-

reka kenali siapa adanya.

"Rupanya kau yang telah membunuh orang


itu?" tanya ketiga Iblis kaget.

"Ya, kenapa?" jawab si pemuda. "Kalau ka-

lian rewel pun aku akan mengirim kalian ke ak-

herat sepertinya."

"Sombong kau, Anak muda!" menggeretak 

si Sumbing marah. Ia merasa diremehkan oleh 

pemuda itu. Namun pemuda itu bukannya takut, 

malah pemuda itu ganda tertawa.

"Hem, apa kalian ingin bukti?" tanyanya 

dengan sinis.

Ketiga Iblis Cacat Rupa itu tersentak kaget, 

manakala dilihat oleh mereka tangan pemuda itu 

memancarkan sinar merah. Dan ketika telunjuk 

Ken Wijaksono nama pemuda itu menunjuk, se-

ketika dari jari telunjuk memancarkan sinar me-

rah yang terasa panas tiada tara. Serta merta ke-

tiga iblis itu melompat menghindar dengan mata 

mereka melotot kaget.

"Heh... Dari mana kau peroleh ajian Lulur 

Raga itu?" tanya ketiga Iblis Cacat Rupa kaget, 

sebab setahu mereka hanya patih Brah Amung-

karti saja yang memiliki, tapi kenapa pemuda di 

hadapannya memiliki juga?

Pemuda itu ganda tertawa melihat ketaku-

tan Iblis Cacat Rupa. Tangannya masih mencerca 

mereka dengan ajian tersebut, menjadikan ketiga 

Iblis Cacat Rupa harus berjuang mati-matian un-

tuk mengelakkannya. Tubuh ketiga Iblis itu ber-

jumpalitan, dipermainkan oleh serangan-

serangan yang dilancarkan Ken Wijaksono. Ken 

Wijaksono bagai tak mau tahu, ia tetap mencerca 

dengan ajiannya yang bertubi-tubi dan mengarah


bergantian pada ketiga Iblis Cacat Rupa.

"Hentikan! Kami mengakui keunggulanmu, 

kami mau menjadi pengikutmu," berseru si Bo-

peng yang tampak telah kecapaian. Napasnya 

ngos-ngosan dengan keringat bercucuran.

Mendengar permintaan si Bopeng, segera 

Ken Wijaksono hentikan serangan. Matanya kem-

bali memandang pada ketiga iblis di hadapannya. 

Senyumnya tersungging penuh kemenangan, lalu 

dengan suara sinis berkata:

"Baik, aku ampuni kalian karena kalian te-

lah mengakui siapa aku adanya. Mulai hari ini ju-

ga, kalian harus dapat menaklukkan beberapa 

perguruan silat. Ajak mereka untuk bergabung, 

bila tidak mau kalian bunuh ketuanya atau han-

curkan saja perguruan itu."

"Daulat, Ketua. Hari ini juga, engkaulah 

ketua kami!" menjawab ketiga iblis itu seraya 

menjura hormat, menjadikan Ken Wijaksono 

sunggingkan senyum. Maka dengan meninggal-

kan gelak tawa berkepanjangan. Ken Wijaksono 

segera berkelebat pergi tinggalkan ketiga iblis 

yang hanya terbengong menyaksikan kepergian-

nya. Setelah sesaat terdiam Ketiga Iblis Cacat Ru-

pa itu pun segera tinggalkan rumah Lompong Wu-

lung, yang kembali sepi bagaikan tak berpenghu-

ni.

***

Jaka Ndableg yang tengah berjalan menik-

mati suasana pagi, seketika matanya tertarik pa-

da sebuah rumah yang pintunya terbuka. Pintu


rumah itu seperti dibuka dengan paksa, sehingga 

keadaan pintu rumah itu berantakan.

"Hem, sepertinya ada sesuatu di rumah 

itu," bergumam Jaka dalam hati. Segera Jaka 

Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah ber-

kelebat menuju ke rumah tersebut. Langkahnya 

perlahan-lahan, sepertinya ia tak mau gegabah 

untuk menghadapi hal yang dapat saja terjadi ka-

lau ternyata rumah itu jebakan untuk dirinya. 

Jaka sadar kalau musuhnya banyak menyebar di 

mana-mana, walau pun temannya juga ada di 

mana-mana.

Bagai seekor kucing tengah mengintai tikus 

Jaka Ndableg melangkah dengan tumit kakinya, 

menjadikan langkahnya tak terdengar sama seka-

li. Matanya yang tajam laksana burung Raja wall, 

memandang tak berkedip pada sekeliling rumah 

itu.

"Sepi... Ya, sepi rumah ini. Sepertinya tadi 

malam telah terjadi sesuatu di sini," kembali Jaka 

bergumam.

Setapak demi setapak langkahnya mende-

kati ke pintu rumah. Diambilnya sebuah batu ke-

cil, lalu dilemparkan batu kecil itu ke dalam ru-

mah.

"Bletok!"

Terdengar suara batu beradu dengan ben-

da yang keras menyerupai batok kepala. Tak ada 

reaksi yang keluar dari dalam rumah. Perlahan 

Jaka menongolkan kepalanya melihat ke dalam. 

Seketika matanya memandang pada sesosok tu-

buh yang hitam legam bagaikan terbakar duduk


di sudut ruangan itu.

"Sepertinya orang itu telah mati. Baik akan 

aku dekati," berkata Jaka. Segera dengan tangan 

siap menghantamkan pukulan tenaga dalamnya 

Jaka memasuki rumah itu. Memang benar, bah-

wa orang tersebut ternyata memang telah mati. 

Tubuh orang tersebut hangus bagaikan terbakar, 

menjadikan tubuhnya hitam legam laksana 

arang. Jaka hanya mampu gelengkan kepala, ma-

nakala tahu keadaan orang itu. Serta merta ha-

tinya bergumam lirih, penuh kekeluan mengingat 

betapa dunia ini sangat banyak kejadian-kejadian 

yang sukar untuk dicerna oleh akal.

"Gusti Allah, gerangan apa yang telah ter-

jadi? Sepertinya orang ini mati oleh pukulan yang 

sangat ganas. Hem, siapakah yang memiliki pu-

kulan ganas yang menyerupai pukulan Tapak 

Bahanaku?"

Pertanyaan di hati Jaka, sepertinya tak ada 

jawaban. Semua membisu, tak mau menceritakan 

apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah itu. 

Perlahan Jaka membopong tubuh hitam legam itu 

keluar, lalu menaruhnya di bawah sebuah pohon. 

Setelah menaruh tubuh orang itu, segera Jaka 

kembali masuk ke dalam untuk memeriksa apa 

yang dapat dijadikan bahan untuk dirinya men-

genali siapa adanya orang tersebut Jaka segera 

membongkar almari yang ada di dalam kamar. 

Dibukanya satu persatu pakaian yang ada di situ 

dengan harapan dapat memperoleh keterangan 

yang berguna untuk dirinya. Sekian lama Jaka 

membongkar-bongkar seluruh isi almari, namun


Jaka tak menemukan sesuatu apapun yang ber-

guna. Hampir saja Jaka putus asa, manakala ma-

tanya yang tajam memandang pada bumbung 

bambu yang terselip di pagar rumah.

"Mungkin di benda itu akan aku temui se-

gala rahasia ini."

Segera Jaka mengambil bumbung tersebut 

dari selipan bilik rumah, lalu dibukanya tutup 

bumbung dan dikeluarkan segala isinya. Lemba-

ran-lembaran daun lontar mengering keluar dari 

dalam bumbung tersebut. Lembaran-lembaran 

daun lontar itu terdapat tulisan yang ditulis den-

gan hurup jawa, berbunyi "Dunia persilatan akan 

mendapatkan bencana dengan da-tangnya manu-

sia yang mengaku Anak Dewa, yang sebenarnya 

keturunan Iblis Gondoruwo. Hanya ada dua orang 

yang mampu mencegah segala tindakannya. Per-

tama seorang pemuda yang memiliki senjata pe-

dang bernama Pedang Siluman Darah. Sedang 

yang seorang lagi, adalah murid Sunan Kalijaga 

yang bergelar Maling Siluman dengan ajiannya 

Lampus Umur yang belum ada tandingannya. 

Namun begitu, Maling Sakti tak akan mampu 

membinasakan Anak Dewa karena ia masih seda-

rah kandungan. Kini semuanya tinggal menye-

rahkan nasibnya pada pendekar muda yang ten-

gah menggemparkan dunia persilatan dengan Pe-

dangnya Siluman Darah."

"Hem, jadi kini di dunia persilatan akan 

muncul seorang pemuda sakti yang mengaku 

anak Dewa. Apa sih keistimewaannya, sehingga 

dia menyebut dirinya Anak Dewa? Aku jadi terta


rik untuk menyelidikinya," gumam Jaka pada diri 

sendiri. "Hai, kenapa aku sampai lupa untuk 

mengetahui siapa adanya penulis surat ini?"

Kembali Jaka membuka lipatan daun lon-

tar itu, lalu dibacanya kembali. Di situ tertulis

nama seorang penulisnya Lompong Wulung di-

tujukan surat itu untuk para tokoh persilatan go-

longan lurus.

"Kalau begitu aku akan menyampaikan su-

rat ini pada para tokoh golongan lurus dulu, baru 

aku ingin menemui Maling Siluman. Sebab menu-

rut surat ini, Maling Silumanlah yang diincar oleh 

Anak Dewa yang sebenarnya anak Iblis, Mengapa 

bisa begini, sih? Aku akan mencoba menanyakan 

pada Maling Siluman," berkata Jaka dalam hati.

Setelah mengubur mayat Lompong Wu-

lung, dan memeriksa kembali keadaan rumah ter-

sebut Jaka dengan segera berkelebat meninggal-

kan rumah itu dengan membawa surat dari daun 

Lontar.

***

Tengah Jaka berlari membawa surat yang 

ditulis di daun lontar, seketika langkahnya ter-

henti manakala telinganya yang tajam mendengar 

seorang wanita menjerit-jerit meminta tolong. Ja-

ka yang tak suka bila seorang lelaki menyakiti 

wanita apalagi hendak memperkosanya segera 

membalikkan tubuhnya, kembali ke asal suara 

itu. Tak sulit untuk Jaka menemukan di mana 

asal suara tersebut, karena telinganya yang tajam


peka menerimanya.

Melotot mata Jaka seketika, manakala me-

lihat seorang lelaki muda tengah menggeret-geret 

tangan seorang gadis yang menjerit-jerit minta di-

lepaskan.

"Lepaskan aku, Kakang. Lepaskan...!" 

"Tidak! Kau telah berbuat gila dengan 

orang lain," membentak si pemuda sewot. Ma-

tanya memandang tajam dan liar, sepertinya hen-

dak menghunjam pada mata si gadis. "Kau telah 

mengkhianati cintaku, Wulan. Kau telah berani 

menyeleweng dengan lelaki lain."

Melihat kenyataan bahwa kedua sepasang 

muda mudi itu hanyalah ribut masalah cemburu 

buta, seketika bergelak tawalah Jaka. Hal itu 

menjadikan kedua muda mudi itu tersentak ka-

get, dan langsung memandang pada Jaka. Si ga-

dis yang bernama Wulan, tersenyum genit pada 

Jaka. Sedangkan pemuda yang sedari tadi meng-

geret-geret tangannya nampak melotot marah se-

raya membentak.

"Siapa kau. Kenapa kau tertawa?"

"Maaf, aku jadi teringat pada masa aku pa-

caran dulu. Seperti kau, aku pun seorang pemu-

da yang cemburuan. Sedikit-sedikit selalu cembu-

ru bila melihat pacarku berbincang-bincang atau 

duduk-duduk dekat dengan orang lain, ya seperti 

kaulah persis," jawab Jaka seenaknya seraya ge-

leng-gelengkan kepala dan bibir tersenyum-

senyum, lalu dengan bibir mengurai senyum Jaka 

pun bermaksud pergi meninggalkan tempat itu 

manakala pemuda pacar sang gadis berseru me


nanggilnya. "Hoi, tunggu!"

"Ada apa lagi?" tanya Jaka seraya hentikan 

larinya dan balik kembali.

"Aku ada perlu denganmu," menjawab si 

pemuda.

"Perlu? Perlu apa? Aku takut nanti meng-

ganggu kalian." 

"Tidak...."

"Ah, gampang lain waktu saja. Maaf, aku 

terburu-buru. Nah selamat bercintrongg... Hua, 

ha, ha...."

Jaka tertawa bergelak-gelak sembari me-

langkah kembali berlalu meninggalkan kedua pe-

muda-pemudi itu, yang kini hanya tersenyum-

senyum sembari gelengkan kepala melihat kela-

kuan Jaka. Sang pemuda hanya tersenyum-

senyum, sementara si gadis yang bernama Wulan 

tampak terdiam. Entah karena apa, seketika hati 

Wulan terpaut manakala melihat wajah Jaka.

"Sungguh tampan wajah pemuda itu, polos 

dan mengandung humor. Siapakah namanya? Ah, 

aku tak dapat menghilangkan wajahnya yang 

tampan itu, sepertinya tak akan menghilang dari 

pelupuk mataku," bergumam hati Wulan, sehing-

ga Wulan pun terdiam dengan bibir tersenyum-

senyum sendiri.

Melihat gadisnya tersenyum-senyum sendi-

ri, pemuda yang tak lain Ken Wijaksono seketika 

memandang tak berkedip seraya kerutkan kening 

penuh rasa cemburu dan bertanya.

"Kau tertarik pemuda itu?"

"Kenapa kakang terus menerus cemburu


begini rupa?" balik bertanya Wulan, sepertinya 

tak ingin mendengar pertanyaan yang hanya itu-

itu saja dari mulut Ken Wijaksono. "Apa sih yang 

menjadikan kakang begitu cemburu buta?"

"Karena aku mencintai dan menyayangi-

mu," menjawab Ken Wijaksono, menjadikan Wu-

lan tersenyum sinis. "Kenapa kau tersenyum sinis 

begitu padaku, Wulan?"

"Ah, kakang terlalu berprasangka," mende-

sah Wulan mencoba menutupi apa yang ada di 

hatinya.

"Aku tak berprasangka. Itu benar, bukan?"

"Tidak! Bukankah sudah aku katakan 

bahwa cintaku hanya untuk kakang. Semestinya 

kakang jangan terlalu cemburu buta begitu. Apa-

lah artinya pengekangan, Kakang."

"Ah, sudahlah. Ayo kita pulang," mengajak 

Ken Wijaksono merasa kalah untuk berdebat den-

gan Wulan. Wulan hanya tersenyum, menurut 

melangkah pulang tanpa banyak bicara lagi. 


ENAM



Jaka Ndableg nampak berdiri kebingungan 

manakala melihat sungai membentang di depan-

nya. Langkahnya untuk meneruskan ke tempat 

para tokoh persilatan terhenti, ia tak dapat me-

lompati sungai yang lebar itu. Bila mengambil ja-

lan memutar, jelas memerlukan waktu.

"Kuya, mengapa sungai sialan ini tiba-tiba 

menghadangku?" bergumam Jaka seraya garuk



garuk kepala yang tak gatal. "Wow, aku ini seperti 

orang dungu saja. Kenapa aku tak menggunakan 

otakku yang sedari kecil aku pasang di jidat ini?"

Habis berkata begitu Jaka segera kembali 

menuju ke dalam hutan untuk mencari sebatang 

kayu yang bakal digunakannya untuk menyebe-

rang sungai. Tak lama Jaka mencari kayu, kemu-

dian ia pun kembali ke sungai untuk melakukan 

uji cobanya yaitu berjoget ria di atas sebatang ca-

bang pohon dalam usahanya mengarungi sungai 

yang luas.

Ketika Jaka hendak melemparkan kayu itu 

ke sungai, tiba-tiba dilihatnya tiga orang tengah 

menuju ke arahnya dengan menaiki rakit bambu. 

Jaka tak segera melempar kayu yang telah di-

genggamnya, ia menunggu mereka yang tengah 

menaiki rakit seraya berseru.

"Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku num-

pang di rakit yang kalian pakai itu? Biarlah aku 

akan membayar untuk itu."

Ketika orang penunggang rakit itu tak bica-

ra sepatah kata pun. Mereka terus mengayuh ra-

kit itu makin lama makin menepi.

"Jadi kalian membolehkan aku ikut bersa-

ma kalian untuk menyeberang?" tanya Jaka.

Ketiga orang itu tak menjawab, mereka 

hanya menganggukkan kepala saja. Tanpa meng-

hiraukan mereka, segera Jaka melompat turun 

dan menapakkan kakinya di atas rakit. Sesaat 

rakit oleng oleh tekanan kaki Jaka, menjadikan 

ketiga orang itu sedikit tersentak kaget. Dalam 

hati mereka menggumam, "Inikah Pendekar Pedang Siluman Darah yang telah menggemparkan 

dunia persilatan?"

"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian tak ber-

bicara sepatah katapun? Apakah kalian tak me-

nyukai aku ikut bersama kalian?" tanya Jaka se-

telah rakit itu berjalan sampai di tengah sungai 

yang sangat luas itu. Jawaban dari pertanyaan 

Jaka... 

"Aoor...."

Tersentak Jaka seketika, manakala melihat 

rupa ketiga orang itu. Rupa ketiga orang itu san-

gat menakutkan dan menyeramkan. Mata mereka 

tak ada semua, begitu juga dengan hidung mere-

ka. Sementara mulut mereka lebar ke samping, 

menganga memperlihatkan gigi-giginya yang 

runcing-runcing.

"Gusti Allah, siapakah mereka ini?" gumam 

Jaka dalam hati.

Belum juga Jaka tersadar dari kagetnya, 

serta merta ketiga mahluk menyeramkan itu se-

rentak menyerangnya. Ketika tubuh mereka ber-

kelebat, bau busuk seketika menyengat keluar 

dari tubuh ketiga orang itu, bau bangkai.

"Siapa kalian, Ki Sanak?" kembali Jaka 

bertanya.

"Aooh...." kembali jawaban itu yang terden-

gar.

Jaka tersentak manakala tangan ketiga 

mahluk yang bau bangkai itu menyerang ke 

arahnya. Serta merta Jaka berusaha menghindar, 

namun tangan salah satu mahluk menyeramkan 

itu tak dapat luput. Tangan itu menghantam telak


di dada sebelah kirinya. Seketika baju yang dike-

nakan Jaka terbakar gosong, dengan kulit dada 

seketika menghitam. Tersentak Jaka melompat 

mundur, mulutnya mendengus penuh kekesalan. 

Namun dasar ia ndableg, walau marah Jaka 

nampak masih tersenyum-senyum.

"Setan... Kalau kalian memang ingin me-

ngeroyokku, maka aku ingin kalian jawab dengan 

sejujur-jujurnya. Nah, dengar pertanyaanku. Bila 

kalian menjawab dengan jujur maka kalian akan 

memperoleh hadiah dari diriku berupa tiket gratis 

ke neraka. Siapa yang telah menyuruh kalian 

bergentayangan di dunia?"

"Gooar...oaar..."

"Eh, rupanya kalian menjawab dengan be-

nar. Baiklah, aku akan memberikan tiket gratis 

untuk kalian menuju ke neraka. Bersiaplah, 

hiat...!"

Tanpa banyak bicara lagi Jaka yang meli-

hat ketiga mahluk penyerangnya hendak kembali 

menyerang segera hantamkan ajian Getih Sak-

tinya. Seketika itu pula, menjeritlah ketiga mah-

luk itu. Tubuh mereka seketika meleleh, daging-

nya menghilang dan ambruk tinggal tulang belu-

lang. Namun belum juga Jaka dapat tersenyum 

panjang, tiba-tiba dari dalam air bermunculan 

mahluk yang lebih menyeramkan. Mahluk-

mahluk itu berbadan hitam kecoklat-coklatan, 

dengan mata nongol ke luar dan lidah merah 

memanjang menjulur ke luar dari mulut mereka. 

Melihat hal itu Jaka yang memang ndableg seke-

tika berseru.


"Ladahlah, kenapa kalian yang sudah te-

nang di dasar sungai ini muncul ke permukaan? 

Apakah kalian memang sengaja ingin sekedar me-

lancong piknik? Wah, bagaimana kalau kahan tak 

memiliki transport untuk pulang?"

"Aor... Oaaoor..."

Mahluk-mahluk itu sepertinya mengerti ka-

ta-kata Jaka, terbukti mereka dengan segera 

membuka serangan. Bagaikan anak-anak SMA 

dan STM Budi Utomo, mereka pun berkelahi den-

gan cara keroyokan. Rupanya mode anak-anak 

SLTA di Jakarta yang suka bertempur keroyokan, 

dijadikan mode kaum iblis yang mengeroyok Ja-

ka.

"Wadow... Kenapa iblis-iblis ini genit ban-

get? Nih, untuk kalian...!" seru Jaka manakala li-

ma iblis itu menyerangnya. Segera Jaka sodorkan 

tangannya yang telah dilampiri ajian Petir Sewu. 

Seketika muka kelima mahluk iblis itu meledak, 

terhantam petir yang keluar dari tangan Jaka. 

Namun belum juga Jaka dapat mengatur napas, 

mahluk-mahluk lain pun bermunculan menye-

rangnya.

'Tobat... Kenapa kalian suka bercanda den-

gan manusia seperti aku ini sih, Om Setan?" ucap 

Jaka dengan ndablegnya dan konyol. Sementara 

tubuhnya berkelebat-kelebat menghindari rang-

sekan mereka yang bertempur ala robot, atau ala 

orang-orang yang perutnya besar karena banyak 

memakan uang haram milik pemerintah.

"Apakah memang di dunia Iblis tak pernah 

ada istilah bercanda?" tanya Jaka masih ngeba


nyol. "Kalau memang Oom-Oom sekalian ingin 

bercanda denganku, baiklah. Nih, aku berikan 

sebuah pertanyaan pada kahan. Kenapa setan-

setan seperti kalian pada suka air kencing?"

"Aoor..." berseru mahluk-mahluk itu ma-

rah, yang tak mau diam atau menjawab perta-

nyaan Jaka. Mungkin mereka merasa kesindir 

oleh pertanyaan Jaka, mereka makin mengamuk 

laksana tank-tank perang yang kini digelar di 

Irak.

"Waauh, kalau begini terus menerus aku 

tak akan mempunyai waktu lagi," keluh Jaka da-

lam hati. "Aku harus memanggil Ratu Siluman 

Darah. Hem... Dening Ratu Siluman Darah. Da-

tanglah!"

Mahluk-mahluk menyeramkan itu seketika 

menyurut mundur manakala melihat Pedang Si-

luman Darah telah tergenggam di tangan Jaka. 

Namun belum juga mereka dapat berbuat banyak, 

Jaka dengan segera tebaskan pedang tersebut ke 

arah mereka. Seketika mereka menjerit.

"Aooooooo...."

Tubuh mereka seketika itu pula hancur 

terbabat Pedang Siluman Darah menjadi serpi-

han-serpihan debu yang beterbangan dan akhir-

nya terbawa oleh air sungai. Pedang Siluman Da-

rah masih tergenggam di tangan Jaka yang ber-

siap-siap, kalau-kalau mahluk-mahluk itu mun-

cul kembali. Rakit pun melaju membawa tubuh 

Jaka yang di tangannya masih menggenggam Pe-

dang Siluman Darah menepi...


***

Malam kembali menyelimuti bumi, ketika 

terdengar suara orang bertengkar di sebuah ru-

mah. Rumah itu milik pak tua, yang didiami pak 

tua dan anak angkatnya, Ken Wijaksono.

"Kau harus mati di tanganku karena kau-

lah yang kelak menghalangi kemauanku!" terden-

gar suara anak muda berkata. Anak muda itu tak 

lain Ken Wijaksono adanya. Di tangan Ken Wijak-

sono atau Anak Dewa tergenggam sebilah pedang. 

Mata Ken Wijaksono memandang penuh rasa 

pembunuhan pada pak tua yang juga tak mau ka-

lah memandang padanya.

"Ken... Apa kau sudah gila! Aku ini ayah-

mu. Ken?" berkata pak tua mencoba menyadar-

kan Ken Wijaksono anaknya. Namun ternyata 

ucapannya berlalu begitu saja, sebab Ken Wijak-

sono hanya tersenyum sinis seraya kembali ber-

kata:

"Kau bukan ayahku. Kaulah yang kelak 

menghalangi segala kemauanku. Setelah kau aku 

singkirkan dari muka bumi ini, maka tinggal aku 

menyingkirkan dua orang lagi yaitu Maling Silu-

man dan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bila 

semua telah aku lakukan, jadilah aku seorang 

maha diraja di dunia. Hua, ha, ha...."

"Itu semua tak akan pernah terjadi. Ru-

panya kau telah dirasuki oleh Iblis yang telah 

men-teror kerajaan ini. Keluar kau, Iblis! Jangan 

kau ganggu anakku!" membentak pak tua.

Ken Wijaksono tersenyum kecut.


"Wiraba, kenapa kau bersembunyi di desa 

ini?" terdengar suara lain yang keluar dari mulut 

Ken Wijaksono, menjadikan pak tua yang ternyata 

bernama Wiraba tersentak kaget. "Kau aku cari-

cari, rupanya kau bersembunyi. Kau telah ber-

buat menghancurkan kerajaanku, maka kau ha-

rus hancur pula."

"Gandarta Iblis! Rupanya kau masih pena-

saran. Walaupun kau telah kalah oleh Maling Si-

luman, mengapa kau tak kapok-kapok, Iblis…" 

membentak Wiraba sengit.

"Hua, ha, ha... Aku bersumpah, tak akan 

aku mati tenang bila belum menjiret leher para 

pendekar itu. Aku akan menteror terus manusia 

sampai mereka mengakui akulah raja diraja me-

reka. Akan aku musnahkan pendekar Maling Si-

luman dan pendekar Pedang Siluman Darah!"

Kembali Gandarta atau Gundoruwo tertawa 

bergelak-gelak, lalu menghilang dan berganti sua-

ra Ken Wijaksono kembali. Ken Wijaksono nam-

pak merandek, mendengus penuh amarah. Pe-

dang di tangannya seketika berkelebat, menye-

rang Ki Wiraba.

Ki Wiraba yang ternyata bekas seorang 

pendekar yang pernah memporak-porandakan ke-

rajaan Gundoruwo bukanlah orang sembarangan. 

Walau usianya telah lanjut, namun gerakannya 

ternyata masih gesit dan lincah. Pedang di tangan 

Ken Wijaksono seperti tak ada arti sama sekali 

bagi Wiraba. Setiap kali pedang itu hendak mene-

bas ke arahnya, secepat itu pula Wiraba kelitkan 

tubuh dan balik menyerang.


Pertarungan dua musuh bebuyutan yang 

kini menjadi bapak dan anak angkat kembali be-

rulang. Seperti dulu manakala Wiraba mampu 

memporak-porandakan kerajaan Gundoruwo, 

saat itu pula Wiraba nampak masih dapat menga-

tasi segala serangan yang dilancarkan musuhnya. 

Bahkan kini Wirabalah yang balik mendesak sang 

musuh, menjadikan musuhnya nampak keteter.

"Bedebah! Rupanya kau masih mampu, Wi-

raba!" membentak Ken Wijaksono marah. "Namun 

hari ini giliranmu mengalami kehancuran, Wira-

ba. Hua, ha, ha...."

"Jangan takabur, Iblis! Mari kita buktikan 

siapa yang berhak hidup di dunia!" balas Wiraba 

membentak marah. Tubuh tua itu masih berkele-

bat menyerang mendesak sang musuh yang nam-

paknya kian keteter

"Hem, kau memang masih kuat, Wiraba. 

Namun janganlah kau menyangka akan mampu 

mengalahkan aku lagi. Lihat ini..." Ken Wijaksono 

hentakkan kakinya ke tanah tiga kali. Tiba-tiba 

dari dalam tanah bermunculan mahluk-mahluk 

tengkorak yang menyebarkan bau busuk. Mahluk 

tengkorak sesaat memandang pada Ken Wijakso-

no, yang segera berseru memerintah. "Serang...!"

Tanpa banyak kata atau membandel, kese-

puluh mahluk tengkorak hidup itu segera berke-

lebat bareng menyerang Wiraba. Tersentak Wira-

ba kaget, melihat musuhnya dengan seketika 

mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ilmu Pe-

manggil Mayat, ternyata telah dimiliki oleh mu-

suhnya.


Tak ada jalan lain, Wiraba harus menggu-

nakan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Diserangnya 

mahluk-mahluk tengkorak hidup itu dengan aji-

an-ajian yang dimiliki. 

"Luwung Geni. Hiat...!" 

Telapak tangan Wiraba terbuka dengan ja-

ri-jari memegar. Dari tangan itu keluar segu-

lungan api yang menyala-nyala, menghantam ke-

sepuluh mahluk tengkorak hidup itu. Seketika 

kesepuluh mahluk itu terbakar. Namun belum ju-

ga Wiraba tenang, dari dalam tanah tiba-tiba 

muncul dua kali lipat mahluk-mahluk sejenis 

menyerangnya. Segera Wiraba kembali hantam-

kan ajiannya, meledaklah kedua puluh mahluk 

itu hancur. Namun seperti semula, satu hilang 

dua terbilang. Kedua puluh mahluk itu menghi-

lang, muncul empat puluh mahluk keluar dari da-

lam bumi menyerang ke arahnya. Hal itu menja-

dikan tenaga tua Wiraba akhirnya terkuras habis. 

Dan ketika melihat Wiraba lengah, segera Ken Wi-

jaksono tebaskan pedangnya. Tak ayal lagi, tubuh 

tua itu terhuyung-huyung dengan luka menganga 

di tubuh belakang.

Mata Wiraba melotot penuh amarah, me-

mandang tajam pada Ken Wijaksono yang terse-

nyum kecut. Dengan sisa-sisa tenaganya, Wiraba 

nekat menyerang dengan segenap ajiannya. Tan-

pa dapat dihindari oleh Ken Wijaksono, ajian yang 

dilontarkan Wiraba telak menghantam tubuhnya. 

Seketika tubuh Ken Wijaksono mental jauh. Ja-

tuh ke luar rumah dengan darah meleleh di sela-

sela bibirnya. Sementara Wiraba sendiri, ambruk


dan mati. Ternyata pedang yang digunakan oleh 

Ken Wijaksono mengandung racun yang sangat 

jahat. Kedua anak dan bapak angkat itu ambruk. 

Bedanya kalau Wiraba langsung terbang ke akhe-

rat, sedangkan Ken Wijaksono hanya pingsan ka-

rena luka dalam yang berat.


TUJUH



Pikiran Maling Siluman atau Atma Kusuma 

saat itu terasa tak enak. Bayangan pak tua itu se-

lalu membayang di benaknya. Dalam bayang-

annya, pak tua tampak meratap meminta tolong 

dengan luka-luka menganga di gegernya.

"Hem, ada gerangan apakah hingga aku se-

lalu dibayangi oleh pak tua itu?" bergumam hati 

Maling Siluman. "Ah, mungkin memang pira-

satku benar adanya. Baiklah aku akan datang ke 

sana."

Dengan terlebih menggunakan pakaian pe-

nutup tubuhnya yang serba hitam, Maling Silu-

man segera tinggalkan pondoknya untuk ber-

tandang ke rumah pak tua.

Larinya begitu cepat, sepertinya Maling Si-

luman tak ingin dirinya terlambat. Tubuh ber-

seragam hitam itu berkelebat menembus gelapnya 

malam, menerobos semak belukar. Saking cepat-

nya Maling Siluman berlari, tak terasa angin yang 

dikeluarkan oleh kecepatan larinya menjadikan 

pohon-pohon bertiup dengan kencangnya. Itulah 

ajian Bayu Langkah Sewu, sebuah ajian yang


sangat hebat dan belum ada tandingannya dalam 

hal lari.

Tersentak Maling Siluman, manakala meli-

hat apa yang telah terjadi di rumah pak tua. Di-

dapatinya tubuh pak tua telah terkulai menjadi 

mayat dengan luka menganga di punggungnya.

"Pak tua... pak tua...!"

Segera Maling Siluman angkat tubuh yang 

tergeletak itu. Dibawanya tubuh tua renta itu 

menuju ke pembaringan, lalu dengan penuh ha-

rapan ditempelkannya telinga di dada pak tua. 

Tak ada detak lagi.

"Siapakah yang telah berbuat begini? Di-

mana anak itu?" tanya Maling Siluman pada diri 

sendiri. "Hem, apa tidak mungkin anak itu yang 

telah membunuhnya. Aku kira, anak itu telah di-

pengaruhi oleh ayahnya si Gondoruwo,"

Tengah Maling Siluman berpikir mengira-

ngira siapa pembunuh pak tua, tiba-tiba ia dike-

jutkan oleh seruan-seruan yang menyayat hati. 

Bersamaan dengan habisnya seruan-seruan itu, 

seketika muncul mahluk-mahluk menyeramkan 

dari dalam tanah yang langsung menyerang pa-

danya. Tersentak Maling Siluman, serta merta ia 

pun lemparkan tubuh ke angkasa menghindar be-

totan tangan mahluk-mahluk menyeramkan yang 

bermaksud membetot kakinya.

"Setan! Rupanya mahluk-mahluk inilah 

yang telah menjadi abdi anak itu. Hem, sia-sia 

aku menolong anak durjana itu, kalau akhirnya 

menjadi petaka. Aku rasa, Gondoruwo telah 

mempengaruhinya. Dasar Iblis" menggerutu Mal


ing Siluman seraya elakkan serangan yang men-

garah padanya.

Mahluk-mahluk itu seperti kelaparan saja, 

terus merangsek menyerang Maling Siluman, Mal-

ing Siluman yang telah mengetahui bahwa mah-

luk itu tak dapat dibuat main-main, serta merta 

babatkan pedang pusaka ke arah mahluk-mahluk 

tersebut. Mahluk-mahluk menyeramkan itu seke-

tika menjerit, lalu menghilang dari pandangan 

mata. Namun belum juga hilang rasa kaget Mal-

ing Siluman, seketika muncul mahluk-mahluk se-

rupa yang jumlahnya makin bertambah banyak.

Tersentak Maling Siluman kaget seraya 

menggumam.

"Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk ini 

bukan mahluk-mahluk sembarangan. Apakah 

aku akan mampu menghadapinya?"

Tengah Maling Siluman terjengah diam, ti-

ba-tiba mahluk-mahluk menyeramkan itu telah 

kembali menyerangnya. Bau bangkai seketika 

menyengat hidung, manakala kedua puluh mah-

luk iblis itu berkelebat. Secepat kilat Maling Silu-

man elakkan serangan, babatkan pedangnya. 

Mahluk-mahluk iblis itu kembali menjerit dan 

raib dari pandangan. Tapi seperti semula, hilang-

nya dua puluh mahluk Iblis itu muncullah dua 

kali lipat mahluk serupa lainnya.

Kini benar-benar kaget Maling Siluman di-

buatnya. Betapapun ia menggunakan senjata, 

niscaya ia akan kehabisan tenaga juga. Maling Si-

luman mencoba mencari akal, bagaimana menga-

lahkan mahluk-mahluk siluman itu. Dengan se


gera Maling Siluman bacakan Ayatul Qhursi. Se-

ketika mahluk-mahluk menyeramkan itu tak 

mampu bergerak, diam pada tempatnya. Namun 

sungguh aneh dan benar-benar aneh. Mahluk-

mahluk itu tak lebur sama sekali. Hal itu menja-

dikan konsentrasi Maling Siluman terpecah kare-

na kaget, sehingga ia pun terlalai membaca ayatul 

Qhursi. Mahluk-mahluk itu segera tersadar dari 

diam dan kembali menyerangnya.

"Gusti Allah, apakah aku pun akan mati 

oleh mahluk-mahluk Iblis ini?" mengeluh Maling 

Siluman putus asa, manakala keempat puluh 

mahluk Iblis itu menyerangnya kembali, segera 

Maling Siluman hantamkan ajiannya Lampus 

Umur tingkat pamungkas. Lebur seketika keem-

pat puluh mahluk Iblis itu. Namun sungguh men-

jadikan Maling Siluman membuka lebar-lebar, 

takkala dari dalam tanah bermunculan mahluk-

mahluk sejenis yang jumlahnya makin bertambah 

banyak. Dari empat puluh, kini menjadi delapan 

puluh hingga rumah itu pun seketika dipenuhi 

oleh mahluk-mahluk Iblis yang menyeringai se-

perti mengejek pada Maling Siluman. Maling Si-

luman tak mau menyerah begitu saja. Sebagai 

murid Sunan Kalijaga, ia telah digembleng oleh 

sang Sunan segala ilmu kanuragan dan batin 

yang kuat. Kembali Maling Siluman hantamkan 

ajian Lampus Umur tingkat pamungkas. Dan 

kembali mahluk-mahluk Iblis itu lenyap, hancur. 

Tapi sungguh-sungguh tak dapat dipikir oleh ak-

al, mahluk-mahluk itu kembali muncul dengan 

jumlah yang bertambah banyak.


Menyaksikan hal itu, segera Maling Silu-

man lemparkan tubuh ke luar rumah seraya ber-

seru. "Mahluk-mahluk Iblis. Keluar kalian! Mari

kita bertarung di sini. Hiat...!"

Kedatangan mahluk-mahluk Iblis itu dipa-

paki dengan hantaman ajian Lampus Umur ting-

kat pamungkas. Hancur leburlah mahluk-mahluk 

iblis itu bersamaan dengan hancurnya rumah pak 

tua menjadi debu. Kembali mahluk-mahluk itu 

muncul, dan kini berjumlah hampir dua ratus 

mahluk.

Tenaga Maling Siluman benar-benar telah 

terkuras karena mengumbar ajian Lampus Umur 

secara beruntun. Kini Maling Siluman benar-

benar pasrah pada nasib. Daripada ia pulang atau 

lari meninggalkan tempat itu, lebih baik ia berta-

rung mati-matian. Manakala mahluk-mahluk itu 

hendak kembali menyerang Maling Siluman, tiba-

tiba berkelebat sebuah bayangan menghantam-

kan ajiannya ke arah mahluk-mahluk Iblis itu. 

Seketika hancur tubuh mahluk-mahluk Iblis ter-

hantam ajian yang dilancarkan bayangan terse-

but. Bayangan itu seketika telah berdiri di sisi 

Maling Siluman yang tersentak kaget seraya ber-

tanya.

"Siapakah engkau, Ki Sanak?"

"Janganlah menanyakan dulu siapa 

adanya aku, yang penting sekarang bagaimana 

menghancurkan mahluk-mahluk itu dan menja-

dikan mereka kapok," menjawab pemuda yang di-

tanya oleh Maling Siluman dengan senyum men-

gembang di bibirnya.


Maling Siluman tak berkata lagi, manakala 

dari dalam tanah kembali muncul ratusan mah-

luk Iblis. Maling Siluman tersentak kaget, saat 

mendengar pemuda di sisinya berseru bagaikan 

tak merasa takut sedikitpun.

"Ayoh, Oom-oom setan sekalian, apakah 

kalian ingin merasakan kue molen yang empuk? 

Mendekatlah ke mari, aku akan memberikan pada 

kalian dengan gratis cuma-cuma."

"Ki Sanak, apakah engkau tidak sedang 

bercanda?" tanya Maling Siluman terheran-heran 

menyaksikan tingkah pemuda di sampingnya.

"Tidak, Ki Sanak, lihatlah aku akan mem-

berikan pada mereka kue molen yang belum per-

nah mereka rasakan. Nah, lihatlah mereka ru-

panya menginginkan kue molen itu. Bersiaplah, 

Ki Sanak. Kita akan bermain tak jidor dengan 

Oom-Oom setan itu. Ya..." Pemuda yang tak lain 

si Jaka Ndableg berseru memperingatkan pada 

Maling Siluman, lalu tangannya dikiblatkan ke 

arah mahluk-mahluk Iblis yang segera mengarah 

ke arah mereka. "Ajian Jamus Kalimusada. Hiat!"

"Duar! Duar! Duar!"

Ledakan berturut-turut membahana, men-

jadikan seluruh alam raya seketika bagaikan ter-

cekam ketakutan demi Jaka Ndableg telah menge-

luarkan ajian yang sungguh-sungguh tak dapat 

dikeluarkan dengan seenaknya. Bumi seketika 

bergoyang bagaikan diolengkan, bersamaan den-

gan angin yang datang menderu-deru. Pohon-

pohon seketika tumbang, Jin marakayangan men-

jerit-jerit bagaikan terbakar panas api yang maha


dahsyat.

Saking hebatnya ajian Jamus Kalimusada 

yang dikeluarkan oleh Jaka Ndableg, sampai-

sampai seluruh ratu Siluman yang ada di alam-

nya muncul dan menemui Jaka. Mereka seketika 

berkata sambil melelehkan air mata.

"Ampun, Tuan Pendekar, janganlah tuan 

pendekar mengeluarkan ajian Jamus Kalimusada. 

Oh, kami tak dapat tenang. Apapun yang tuan 

kehendaki, sekali-kali janganlah tuan pakai ajian 

itu. Sungguh-sungguh kiamat bagi dunia bila 

ajian tersebut tuan pendekar gunakan. Sekali lagi 

atas nama rakyatku, tariklah kembali ajian terse-

but."

"Baiklah. Aku akan menarik ajian Jamus 

Kalimusada, asal kau mau tunjukan pada kami 

siapa adanya pelaku dari semua ini?" tanya Jaka 

Ndableg.

"Maksud Tuan Pendekar?"

"Siapakah orangnya yang telah melakukan 

ini semua? Kalau bangsamu, siapakah adanya?"

"Ampun, Tuan Pendekar, mahluk itu bu-

kan bangsa kami, tapi bangsa Jin Marakayangan 

atau bangsa Iblis yang bernama Gondoruwo. Kini 

ia telah bersemayam pada diri seorang pemuda 

yang mengaku Anak Dewa," menjawab Sri Ratu 

siluman.

Dengan segera Jaka tarik kembali ajian 

Jamus Kalimusada, sehingga alam pun seketika 

tenang kembali. Bersamaan dengan itu, para ratu 

dan raja siluman menghilang pulang kembali ke 

alamnya masing-masing.


"Sungguh-sungguh ilmu yang dahsyat. Se-

lama hidupku, baru kali ini aku melihat ilmu 

yang mampu membuat resah seluruh alam ini," 

bergumam Maling Siluman. "Siapakah sebenar-

nya tuan pendekar ini?"

Jaka tersenyum sembari menjura hormat.

"Hamba yang masih muda dan bodoh ini 

bernama Jaka Ndableg."

"Apa...? Jadi kaukah Pendekar Pedang Si-

luman Darah yang tengah menggegerkan dunia 

persilatan?" tanya Maling Siluman kaget, yang 

menjadikan Jaka Ndableg tersenyum seraya men-

gangguk mengiyakan. "Pantas, kalau begitu."

"Ki Sanak sendiri. Kalau boleh aku tahu, 

siapakah Ki Sanak adanya? Dan kenapa pula Ki 

Sanak dikeroyok oleh mahluk-mahluk Iblis itu?" 

tanya Jaka balik.

"Aku yang rendah ini bernama Atma Ku-

suma atau Maling Siluman."

"Ah, ternyata tuankah Maling Siluman itu?" 

desah Jaka yang diangguki oleh Maling Siluman 

atau Atma Kusuma. "Sungguh aku tak menyang-

ka kalau hari ini dapat bertemu dengan seorang 

pendekar penolong rakyat. Terimalah salam hor-

matku, sungguh aku telah berlaku tak sopan pa-

damu."

Tersenyum Atma Kusuma atau Maling Si-

luman mendengar ucapan Jaka Ndableg. Maling 

Siluman hanya mampu gelengkan kepala, lucu 

melihat tingkah laku Jaka yang konyol. Dalam 

hati Maling Siluman berkata, "Ah, ternyata dalam 

kekonyolannya tersimpan kedigjayaan yang tinggi.


Pantas kalau namanya sangat disegani oleh lawan 

maupun kawan."

"Apakah Tuan Pendekar Maling Budiman 

tidak mengerti siapa sebenarnya anak Dewa itu?" 

tanya Jaka kemudian, menjadikan Maling Silu-

man tersentak dari lamunannya. Lalu dengan 

perlahan sambil keduanya berjalan Maling Silu-

man menceritakan siapa adanya Anak Dewa ter-

sebut. Jaka yang mendengarkannya hanya mang-

gut-manggut mengerti, tanpa banyak komentar 

atau pun menyela. Langkah keduanya begitu ce-

pat, sepertinya mereka hendak memburu.

Jaka pun segera menceritakan tentang pe-

nemuannya di rumah Lompong Wulung, yang 

menjadikan dirinya mengerti tentang segala keja-

dian yang tengah menimpa kerajaan itu. Di-

tunjukkan surat yang terbuat dari daun lontar 

pada Maling Siluman, yang segera menerimanya 

dan membacanya. 


DELAPAN



Tergopoh-gopoh ketiga Iblis Cacat Rupa 

berlari. Sepertinya mereka tengah dikejar-kejar 

oleh seseorang musuh mereka. Napas ketiganya 

memburu, dengan keringat bercucuran di kedua 

keningnya. Wajah mereka yang biasanya sangar 

menakutkan, kini nampak pucat pasi. Sekali-kali 

mereka menengok ke belakang, lalu kembali me-

reka berlari dengan kencang sekencang-

kencangnya.


"Apakah Maling Siluman ada di antara me-

reka, Sumbing?" tanya Jereng dengan napas 

ngos-ngosan.

"Aku kira tak ada," jawab Sumbing.

"Ah, kenapa kita mesti lari-ketakutan?" ke-

luh Bopeng. "Ayo kita hadapi mereka. Apakah kita 

mesti takut pada kroco-kroco dunia persilatan?" 

tambahnya memberi semangat. Orang yang di-

maksud kroco-kroco oleh ketiga Iblis Cacat Rupa 

adalah para tokoh persilatan yang bergabung 

menjadi satu. Mereka memang bentrok dengan 

tokoh-tokoh persilatan yang telah tahu sepak ter-

jang mereka.

"Lagi pula, kenapa kita mesti takut pada 

Maling Edan itu?" menambah Sumbing memberi-

kan keberanian pada kedua rekannya. "Bukankah

ada pimpinan kita si Anak Dewa?"

"Ah, benar. Ayo kita layani mereka. Kalau 

kita terdesak, bukankah kita dapat segera me-

manggil si Anak Dewa hanya dengan cara menye-

but namanya?"

Sedang ketiganya bercakap-cakap, tiba-tiba 

mereka dikejutkan oleh suara-suara teriakan para 

tokoh persilatan yang telah mendekat ke arah me-

reka.

"Itu mereka, ganyang Iblis-Iblis itu!"

"Jangan biarkan hidup-hidup!"

Mendengar seruan-seruan para tokoh per-

silatan, seketika ketiga Iblis Cacat Rupa mengge-

retak marah. Dengan berani karena merasa tak 

ada orang yang ditakuti, serta merta ketiga Iblis 

Cacat Rupa berkelebat memapaki mereka. Tak


ayal lagi, pertarungan tawuran itu pun terjadi. 

Namun walau dikeroyok oleh sebanyak itu, ketiga 

Iblis Cacat Rupa tak merasa gentar. Ketiganya 

menyerang dengan membabi buta. Korban dari 

pihak persilatan aliran lurus pun berjatuhan. Hal 

itu menjadikan kemarahan tokoh-tokoh tua yang 

dengan segera menggempur ketiga Iblis Cacat Ru-

pa.

Kini pertarungan makin seru, antara to-

koh-tokoh tua dari aliran lurus dengan Tiga Iblis 

Cacat Rupa. Rupanya pengalaman memang lebih 

menentukan dalam hal ini, terbukti para tokoh 

tua dapat dengan mudah mendesak ketiga Iblis 

Cacat Rupa.

Hampir saja ketiga Iblis Cacat Rupa dapat 

mereka kalahkan, ketika secara tiba-tiba terden-

gar suara gelak tawa seorang yang dibarengi den-

gan berkelebatnya sesosok tubuh yang langsung 

menyerang ke arah tokoh-tokoh persilatan. Anak 

muda itu ternyata si Anak Dewa, menjadikan ke-

tiga Iblis Cacat Rupa makin bertambah seman-

gatnya merasa tuannya datang menolong. Keti-

ganya pun segera balik menyerang para tokoh 

persilatan. Tak ayal lagi, para tokoh persilatan 

pun kini yang terdesak mundur. Apalagi si Anak 

Dewa sangat tinggi ilmunya, sehingga sukar un-

tuk mengalahkannya. Walau para tokoh persila-

tan tahu bahwa si Anak Dewa bukanlah musuh 

mereka, namun demi membela keadilan mereka 

tak mau mengalah begitu saja. Dengan prinsip le-

bih baik mati untuk membela kebenaran, daripa-

da mengalah untuk mengabdi pada Iblis, mereka


tampak gagah berani.

Melihat kegigihan para tokoh persilatan, si 

Anak Dewa nampak tersentak kaget juga. Walau-

pun ia memiliki ilmu segudang, tapi kalau dike-

royok segitu banyaknya jelas tenaganya akan ter-

kuras habis. Apalagi para pengeroyoknya seperti 

tak mengenai takut, terus merangseknya.

"Kalau begini terus menerus, aku rasa aku" 

pun tak akan mampu bertahan. Hem, lebih baik 

akan aku panggil sekutu-sekutuku."

Segera si Anak Dewa yang mendapat julu-

kan dari kaum persilatan aliran lurus si Durjana, 

menghentakkan kakinya tiga kali berturut-turut 

ke tanah. Bersamaan dengan itu, dari dalam ta-

nah muncul ratusan mahluk menyeramkan me-

nyerang para tokoh persilatan.

Melihat para sekutunya datang, segera Ken 

Wijaksono atau Anak Dewa melesat pergi diikuti 

oleh ketiga Iblis Cacat Rupa meninggalkan tempat 

pertarungan tersebut. Kini para tokoh persilatan 

itu berhadapan dengan mahluk-mahluk menye-

ramkan yang tak mengenai kompromi. Tak ayal 

lagi, dalam sekejap saja lumatlah para tokoh per-

silatan dibantai dengan sadis oleh mahluk-

mahluk Iblis tersebut. Tubuh mereka dicabik-

cabik dan dimakan dengan menggidigkan.

***

Jaka Ndableg dan Maling Siluman yang 

siang itu tengah berjalan menyusuri hutan untuk 

memburu si Durjana, tersentak manakala melihat


banyak tulang-tulang manusia berserakan. Tu-

lang-tulang itu seperti baru saja dikuliti, sehingga 

masih banyak daging-daging yang melekat di situ. 

Mata kedua pendekar pembela kebenaran itu ter-

belalak, tak percaya pada apa yang mereka lihat 

hingga sampai-sampai keduanya berseru kaget.

"Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk itu 

makin mengganas!"

"Ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut."

"Benar apa katamu, Saudara Maling Silu-

man," jawab Jaka, yang masih jongkok sembari 

memunguti tulang-tulang tersebut. Keduanya se-

gera mengubur tulang-tulang itu, sebagaimana 

layaknya.

"Kita harus bertindak cepat, jangan sampai 

didahului oleh mereka," gumam Jaka Ndableg, 

yang diangguki oleh Maling Siluman.

Setelah keduanya mengubur tulang-tulang 

tersebut, keduanya sesaat duduk-duduk di bawah 

sebuah pohon. Angin bertiup dengan semilir, 

menjadikan keduanya merasakan kantuk yang te-

ramat sangat. Tersentak Jaka manakala merasa-

kan hawa aneh di sekelilingnya. Ia sadar, kalau di 

situ tengah terjadi sesuatu yang hendak mengan-

cam jiwanya dan Maling Siluman.

Hawa kantuk makin merajah, menjadikan 

Maling Siluman seketika tak mampu kuasai diri. 

Maling Siluman pun akhirnya tertidur pulas. Jaka 

tersentak, segera ia duduk bersila heningkan cip-

ta dan melakukan meditasi.

"Hem, ternyata ada mahluk yang sengaja 

menyirep. Baik. Maling Siluman dapat kalian aka


li, namun aku si Pendekar Pedang Siluman Darah 

tak akan mudah kalian tipu, Mahluk jelek!" 

menggeretak Jaka dalam hati. Segera Jaka hen-

takkan napasnya kencang, ke arah Maling Silu-

man, seketika itu Maling Siluman terjaga dari ti-

durnya.

"Ada gerangan apa, Saudara Jaka?" ta-

nyanya terheran-heran, sepertinya ia baru saja 

terjaga dari mimpi. Jaka hanya memberi isyarat 

agar ia hati-hati. 

Belum juga Maling Siluman mengerti apa 

maksud Jaka, tiba-tiba sekelompok wanita can-

tik yang entah dari mana datangnya muncul me-

nuju ke arah mereka. Senyum wanita-wanita can-

tik itu nampak manis dan menggoda. Mungkin 

kalau lelaki lain akan jatuhlah hati mereka.

"Siapa mereka, Saudara Jaka?" tanya Mal-

ing Siluman tak mengerti seraya kerutkan kening.

"Hati-hatilah, mereka itu sebenarnya mu-

suh kita. Mereka sengaja didatangkan oleh si 

Anak Dewa untuk mempengaruhi kita biar kita ja-

tuh," jawab Jaka menerangkan.

"Kalau begitu mereka juga sebangsa mah-

luk Iblis itu?"

"Benar apa katamu, Maling Siluman. Lihat-

lah dengan mata batin yang tenang, kau pasti 

akan melihat siapa adanya mereka."

Maling Siluman segera menurut apa yang 

dikatakan Jaka. Segera Maling Siluman memu-

satkan segalanya pada satu tujuan, lalu dengan 

segera dibukanya mata batin. Tampak olehnya, 

bahwa wanita-wanita cantik tadi berubah meng


jadi Kolong Wewe. Buah dada mereka panjang 

menjurai ke bawah, sementara mulut mereka le-

bar dengan taring-taring panjang menyeramkan. 

Mata mereka yang tampak lentik, kini merupakan 

mata yang lebar menakutkan berwarna merah 

membara.

"Bagaimana, Saudara Atma? Apakah kau 

telah tahu?"

"Benar.... Mereka tak ubahnya para Kalong 

Wewe," jawab Maling Sakti. "Kita harus menda-

hului mereka."

"Baik, ayo kita mulai." 

Tanpa diduga-duga oleh para Kalong Wewe 

itu, Jaka Ndableg dan Maling Siluman telah ber-

kelebat menyerang mereka. Kalong Wewe itu ter-

sentak dan berusaha mengelak, namun hanta-

man ajian Lampus Umur dan Tapak Bahana telah 

menghancur leburkan mereka yang seketika lebur 

menjadi serpihan-serpihan debu.

Jaka dan Maling Siluman nampak tak mau 

memberi hati pada para Kalong Wewe. Mereka te-

rus menghantamkan ajian yang mereka miliki 

tanpa memberi kesempatan pada para Kolong 

Wewe itu untuk balik menyerang.

Dihantam oleh dua ajian yang sangat dah-

syat itu, seketika para Kalong Wewe itu menjerit. 

Tubuh mereka hangus terbakar, lalu hancur le-

bur menjadi abu. Sisa-sisa mereka yang masih 

hidup, seketika lari pontang panting dan menghi-

lang di balik pohon gebang. Jaka dan Maling Si-

luman tak mau membiarkan mereka begitu saja, 

segera mereka pun menyerang pohon gebang itu


dengan ajian yang mereka miliki. Seketika terden-

gar pekikkan kematian, bersamaan dengan am-

bruknya pohon gebang itu lebur terhantam dua 

ajian sekaligus.

Setelah merasa bahwa para demit itu be-

nar-benar telah tak ada segera kedua pendekar 

itu berkelebat meninggalkan hutan untuk terus 

mencari si Anak Dewa atau Ken Wijaksono.

***

Kerajaan Purba Wisesa seketika diguncang 

oleh suatu pembunuhan sang Raja yang dilaku-

kan oleh Anak Dewa. Namun begitu, semua ra-

kyat tak ada yang berani menentangnya, sehingga 

Anak Dewa dengan segera dapat menjadikan ke-

rajaan takluk dalam kuasaannya. Perombakan 

terjadi hari itu juga. Sebagai raja baru, jelas Anak 

Dewa tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas. 

Diperintahkan pada para prajuritnya untuk me-

nangkap Maling Siluman dan Pendekar Pedang 

Siluman Darah.

"Prajurit, cari kedua pendekar itu. Tangkap 

mereka hidup-hidup atau pun mati, segera!"

"Daulat, Baginda Anak Dewa, segala titah 

paduka akan kami junjung tinggi," menjawab 

sang Prajurit.

Hari itu juga, beberapa puluh prajurit kera-

jaan segera menjalankan tugasnya. Mereka harus 

menemukan dua pendekar yang namanya sangat 

kondang dan disegani baik lawan mau pun kawan.



Setelah menjadi Raja, Anak Dewa segera 

mengangkat ketiga Iblis Cacat Rupa menjadi pa-

tihnya. Ditambah lagi dengan patih utama yang ia 

angkat dari bangsa Iblis, yaitu Wulung Gembong. 

Wulung Gembong adalah panglima prajurit di ke-

rajaan Gondoruwo, yang dapat meloloskan diri 

manakala Wiraba menghancurkan kerajaan ter-

sebut. Kini Wulung Gembong diangkat kembali 

dengan kedudukkan yang lebih tinggi.

Semenjak Anak Dewa menjabat jadi raja, 

maka si Durjana itu pun dengan sewenang-we-

nang berbuat. Kesukaannya memperkosa anak-

anak gadis makin menjadi-jadi, menjadikan Wu-

lan makin lama-makin tak suka padanya. Diam-

diam Wulan mendendam pada Iblis Durjana. Se-

bagai seorang wanita, jelas Wulan tak mau 

kaumnya dibuat semena-mena oleh Anak Dewa 

kekasihnya. Namun untuk berbuat, Wulan tak 

mampu menghadapi Anak Dewa atau si Durjana. 

Wulan hanya berharap akan datang pemuda yang 

ternyata Pendekar Pedang Siluman Darah.

"Kenapa akhir-akhir ini kakang berbuat 

terlalu biadab?" tanya Wulan pada suatu hari 

manakala keduanya tengah duduk-duduk mema-

du kasih yang sebenarnya hambar bagi Wulan.

Jawaban dari pertanyaan itu hanyalah se-

nyum

Hal itu makin menjadikan Wulan dongkol 

dan dendam yang tiada takaran pada Ken Wijak-

sono. Sebenarnya dendam itu sejak lama bersa-

rang di hati Wulan. Ayahnya dibunuh dengan sa-

dis oleh pemuda ini, sedang kekasihnya juga begitu. Jadi jelaslah, bahwa Wulan menuruti ke-

mauan Ken Wijaksono hanya untuk mencari ke-

sempatan membalas sakit hati dan dendamnya 

pada pemuda ini.

***

Jaka dan Maling Siluman yang tengah 

memburu si Durjana seketika hentikan langkah 

manakala terdengar seruan prajurit, yang menyu-

ruh mereka berhenti.

"Hai, ada apa kalian mencariku?" tanya 

Maling Siluman heran, manakala melihat prajurit 

kerajaan mencari-cari dirinya.

"Ampunkan kami, Pangeran Atma Kusu-

ma," menjawab ketua prajurit, dengan suara ter-

sendat sepertinya berat. "Kerajaan kini telah be-

rubah total."

"Berubah? Berubah bagaimana maksud-

mu, Tirta?" tanya Maling Siluman belum juga 

mengerti.

Dengan terlebih turun dari kudanya dan 

menyembah pada pangeran kerajaannya, Tirta 

Jumena selaku ketua prajurit segera mencerita-

kan apa yang telah terjadi di kerajaan seminggu 

yang lalu. Tersentak Maling Siluman dan Jaka 

Ndableg, demi mendengar cerita yang dibeberkan 

oleh Tirta.

"Benarkah ucapanmu, Tirta?" 

"Daulat, Kanjeng Pangeran," jawab Tirta 

kembali menyembah.

"Baiklah, aku dan saudara Jaka akan sege


ra datang ke sana," berkata Maling Siluman. "Ayo 

Jaka, kita ke kerajaan. Ternyata orang yang kita 

cari-cari telah membuat sebuah kekacauan di sa-

na. Kita tak usah repot-repot lagi mencari-

carinya."

"Ayo..." jawab Jaka.

Maka dengan segera kedua pendekar pem-

bela kebenaran itu pun segera berkelebat men-

dahului prajurit yang mengenakan kuda menuju 

ke kerajaan.

"Rupanya memang apa yang menjadi ba-

yanganku benar adanya," mendesah Maling Silu-

man seraya berlari, diikuti oleh Jaka yang berada 

di sampingnya.

"Maksudmu?"

"Dulu aku pernah membayangkan kalau 

Ramanda Prabu akan meninggal oleh keturunan 

patihnya yang ternyata Gondoruwo. Dan ternyata 

segalanya benar terjadi."

"Kalau begitu, dulu kerajaan dipimpin oleh 

patih Iblis?"

"Benar apa yang engkau katakan. Bahkan 

Brah Amungkarti jauh melebihi Iblis. Tindakan 

serta perbuatannya melebihi tindakan Iblis. Dia 

juga menggauli ibunda manakala Ramanda ten-

gah tak ada, yang akhirnya ibunda lahir si Durja-

na itu."

"Kenapa bisa begitu?" tanya Jaka masih 

belum mengerti.

"Ya, namanya saja Gondoruwo. Bukankah 

mahluk Iblis itu memang suka mengganggu wani-

ta?" tanya Maling Siluman seperti pada diri sendiri. "Mulanya juga aku kaget tatkala Ramanda 

yang katanya hendak pergi menemui raja sebe-

rang tiba-tiba datang kembali. Tak aku sangka 

kalau itu adalah tipu muslihat Iblis Gondoruwo."

"Lalu apakah Ibunda Ratu tak merasakan 

kelainan?"

"Entahlah, Jaka," mengeluh Maling Silu-

man, menjadikan Jaka turut trenyuh. Kedua 

orang pendekar itu terus berlari dan berlari den-

gan ajian yang mereka miliki, sehingga lari mere-

ka bagaikan tiupan angin saja.

Tak berapa lama kemudian, kedua pende-

kar itu sampailah di alun-alun kerajaan. Semua 

mata rakyat memandang gembira kedatangan 

Maling Siluman, yang bagi mereka adalah peno-

long sekaligus pembelanya.

Rupanya kedatangan kedua pendekar itu 

telah diketahui oleh Anak Dewa. Maka kedatan-

gan kedua pendekar itu disambut oleh serangan 

beruntun para prajurit. Berdesing-desing ratusan 

anak panah memburu tubuh kedua pendekar ter-

sebut.

"Bedebah! Ternyata Anak Dewa tak lebih-

nya seorang pengecut!" memaki marah Maling Si-

luman, sementara tangannya dengan segera ki-

baskan pedang membabat putus seluruh anak 

panah. "Kalau memang Anak Dewa menghendaki 

nyawa kami, kami minta keluarlah dan tangkap 

sendiri diri kami ini! Jangan seperti pengecut!"

Mendengar seruan Maling Siluman, marah-

lah Anak Dewa. Ia merasa dihina benar-benar di 

hadapan para prajuritnya. Maka dengan amarah


yang meluap-luap di dada, Anak Dewa segera 

berkelebat diikuti oleh keempat patihnya.

"Aku datang, Maling Busuk!" membentak 

Anak Dewa.

"Hem, rupanya kau memang telah dikuasai 

oleh ayahmu yang Iblis. Menyesal aku dulu men-

gambilmu dari kuburan!"

Membeliak marah Anak Dewa hingga dari 

tubuhnya seketika memancarkan sinar merah 

membara laksana api. Tubuhnya mengepul men-

geluarkan asap, matanya memandang tajam den-

gan sorot mata penuh hawa kematian. Lalu den-

gan suara parau laksana suara Gondoruwo, si 

Durjana membentak.

"Bedebah! Hari ini kalian akan aku lumat-

kan! Tentunya pemuda di sampingmu itu yang 

bernama Pendekar Pedang Siluman Darah, Maling 

busuk!"

"Hem, suaramu lantang penuh dengan ke-

sombongan. Apakah nanti ilmumu dan kebera-

nianmu juga besar dan lantang?" Jaka ikut nim-

brung berkata. Dasar Jaka Ndableg, walau meng-

hadapi musuh yang sudah diketahui kehe-

batannya masih saja ia cengar-cengir seperti tak 

memandang sebelah mata. "Tubuhmu memang 

memancarkan cahaya, yang dapat digunakan se-

bagai lampu penerang bila gelap gulita. Tapi ke-

napa otakmu kok gelap?"

"Bangsat! Lancang kau berkata padaku, 

Anak edan!" menggeretak marah Anak Dewa 

mendengar ucapan Jaka yang ceplas ceplos ba-

gaikan orang gendeng. "Jangan salahkan kalau


wajahmu yang tampan akan hilang hari ini juga!"

"Hemm benarkah itu? Mau dikemanakan 

wajahku yang tampan ini? Atau mungkin hendak 

untuk mengganti wajahmu yang buruk dan bau 

itu, Iblis dungu?" kembali Jaka ngelantur ngo-

mong, menjadikan makin marah saja si Durjana.

"Pendekar Edan! Aku tak tenang bila belum 

menyate tubuhmu!" menggeretak si Durjana. Na-

mun hal itu bukannya menjadikan Jaka takut 

atau gentar, malah ia bagaikan digelitik tertawa 

bergelak gelak seraya berkata.

"Wadow, sadis amat... Memangnya aku ini 

apa, Mas?"

"Kunyuk! Akan aku buktikan, hiat...!"

Serta merta si Durjana menyerang Jaka, 

dibarengi dengan keempat patihnya yang menye-

rang Maling Siluman. Pertarungan pun segera ter-

jadi. Dua pendekar itu harus menghadapi empat 

orang musuh. Namun begitu, nampaknya mereka 

seimbang, bahkan kedua pendekar itu malah 

mendesak musuh-musuhnya. Menerima kenya-

taan itu, serta merta si Durjana menggereng se-

raya hentakkan kaki ke tanah tiga kali. Maka dari 

dalam tanah muncullah puluhan mahluk menye-

ramkan mengeroyok dua pendekar. 

Melihat hal itu, segera Jaka dan Maling Si-

luman bareng hantamkan ajian mereka. Luluh 

lantaklah mahluk-mahluk itu hangus terbakar. 

Namun untuk kedua kalinya, mahluk-mahluk itu 

kembali muncul dari dalam tanah. Kali ini jumlah 

mereka makin bertambah banyak. Jaka dan Mal-

ing Siluman yang telah beberapa kali menghadapi


mahluk-mahluk itu tak mau main-main. Segera 

Jaka lemparkan tubuh ke belakang seraya berse-

ru pada Maling Siluman.

"Saudara Maling Siluman, minggirlah. Ha-

dapi mereka, biar aku yang menghadapi mahluk-

mahluk genit ini. Mereka semestinya diberi ha-

diah tiket ke neraka sebagai hadiah atas kegeni-

tan mereka yang bila mengikuti kontes pasti akan 

menjadi nomor urut super bawah."

Maling Siluman yang telah mengerti siapa 

adanya Jaka Ndableg, segera menurut mundur 

dan terus mencerca ketiga Iblis Cacat Rupa.

Sementara Jaka Ndableg, segera duduk 

bersila seperti tak gentar menghadapi mahluk-

mahluk itu yang makin lama-makin mendekat.

"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"

Mahluk-mahluk itu seketika menjerit dan 

menghilang lenyap manakala melihat Pedang Si-

luman Darah telah tergenggam di tangan Jaka 

Ndableg. Seketika Anak Dewa dan keempat patih-

nya terbelalak melihat pedang di tangan Jaka. 

Mata mereka tak berkedip, menyaksikan pedang 

yang dari ujungnya mengalir darah membasahi 

batang pedang. Tiba-tiba, Jaka yang tengah me-

musatkan segalanya pada pedang tersentak ma-

nakala si Durjana menyerangnya secara cepat 

tanpa diduga. Saking kagetnya Jaka, sehingga 

Jaka pun segera tebaskan Pedang Siluman Da-

rah.

"Wuut...!" 

"Ah...!" memekik si Durjana kaget, berba-

rengan dengan buntungnya tangan kiri terpeng


gal Pedang Siluman Darah di tangan Jaka.

Tak dapat dibendung lagi kemarahan si 

Durjana, menerima kenyataan itu. Karena saking 

marahnya, sehingga tiba-tiba tubuhnya berubah 

menjadi mahluk berbulu lebat menyerupai mo-

nyet namun tinggi dan besar. Jaka tersentak ka-

get, sehingga ia terpaku diam melihat hal itu. Ma-

nakala tangan mahluk semi kingkong itu bergerak 

menyabetnya, Jaka pun terpental tak dapat 

menghindar. Dadanya terasa sesak, kepalanya te-

rasa pening berkunang-kunang. Namun ketika 

untuk kedua kalinya Gondoruwo itu hendak 

menghantamnya lagi, dengan sisa-sisa tenaga Ja-

ka berkelebat memburu dengan pedang Siluman 

Darah di tangannya. 

"Hiat...."

"Wuut... Wuut... Wuuuut...!" Tiga kali Pe-

dang Siluman Darah berkelebat membabat tubuh 

Gondoruwo, yang seketika itu memekik lalu am-

bruk ke tanah dengan tubuh tercincang-cincang.

Tengah semuanya terpaku menyaksikan 

kematian si Durjana atau Anak Dewa, seorang 

gadis tiba-tiba berkelebat dan mengambil kepala 

si Durjana. Tanpa dapat dicegah, tangan gadis 

yang bernama Wulan menghantam batok kepala 

si Durjana hingga remuk.

Di pihak lain, keempat patih kerajaan si 

Durjana menjerit manakala ajian Lampus Umur 

tingkat pamungkas yang dilancarkan oleh Maling 

Siluman menghantam tubuh mereka. Lebur seke-

tika tubuh keempatnya menjadi debu, beterban-

gan ditiup angin yang seketika itu datang.


Jaka tersentak kaget, manakala pipinya ti-

ba-tiba ada yang mencium. Setelah Jaka melihat, 

ternyata gadis Wulan yang telah memberi ciuman 

padanya. Wajah Wulan merah tersipu-sipu di-

pandang Jaka, menjadikannya seketika tertun-

duk. 

"Kenapa kau menciumku?" tanya Jaka.

"Aku... aku... karena aku... aku mencintai-

mu."

Seketika semua yang ada di situ tersenyum 

mendengar pengakuan Wulan yang jujur, ting-

gallah Jaka yang geleng-geleng kepala.

Angin bertiup semilir, mengiringi kepergian 

Jaka meninggalkan kerajaan Purba Wisdea. Di 

belakangnya, nampak seorang gadis wanita muda 

yang tak lain Wulan melepas kepergiannya den-

gan tatapan mata yang penuh kagum. Air mata 

Wulan seketika meleleh, sepertinya tak rela kalau 

Jaka pergi meninggalkannya.



                               TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar