SUMPAH SI DURJANA
Oleh Sandro S.
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta ada pada penerbit Gultom, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sandro S.
Serial Pendekar Pedang Siluman Darah
dalam episode:
Sumpah Si Durjana
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Angin malam bertiup kencang, menerpa
pohon-pohon hingga seperti menari-nari. Bila di-
lihat secara seksama, maka bayangan pohon itu
nampak seakan mampu berjalan. Bulan yang
bergayut di atas cakrawala lamat-lamat bersinar,
tertutup awan hitam yang makin lama makin
menggumpal.
"Jleger! Jleger! Jleger!"
Bulan pun menghilang, berganti dengan
gelap gulita yang terpecah oleh ledakan halilintar.
Tak lama kemudian, deras air hujan pun men-
curah membasahi bumi.
Pekuburan nampak sunyi-senyap, suasa-
nanya mencekam kelam. Apalagi ditambah den-
gan gemuruhnya air hujan, makin menambah se-
ramnya suasana pekuburan itu. Angin makin la-
ma bertiup makin kencang, menggoyang-
goyangkan segala apa saja yang ada di pekuburan
itu.
"Kretek... Dum"
Pohon kamboja yang tumbang itu seperti
membahana kedengarannya, ambruk menimpa
kuburan yang berada di bawahnya. Bersamaan
dengan ambruknya pohon kamboja, terdengar se-
ruan tangis bayi memecahkan malam.
"Oaaa... Oaaa... Oaaa!"
Bayi itu seperti baru terlahir, atau barang
kali ia kedinginan hingga menangis. Sungguh su-
atu misteri kehidupan yang sukar dicerna oleh
akal pikiran yang sehat. Dari dalam kuburan
yang berada di bawah pohon kamboja yang tum-
bang, bayi itu tiba-tiba muncul ke atas....
Dari kejauhan nampak seseorang berlari-
lari menuju ke arah situ. Napasnya tersengal-
sengal, sepertinya ia telah berlari jauh dan cukup
jauh. Sementara di belakangnya, terdengar jerit-
jerit orang banyak. Ternyata lelaki yang di tan-
gannya menggenggam bungkusan adalah seorang
maling. Dia telah berhasil mencuri di rumah ke-
diaman seorang saudagar yang pelit. Maling itu
adalah maling Derma, maling yang hasil curian-
nya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk
dibagi-bagi pada orang-orang yang membutuh-
kannya. Maling itu bernama Atma Kusuma, atau
Radenmas Panji Keling. Dia adalah seorang anak
raja. Ayahnya Prabu Sukma Lelana adalah raja
dari Kerajaan Purba Wasesa. Atma Kusuma yang
melihat penderitaan rakyatnya merasa sedih. In-
gin ia menyalahkan ayahnya yang kurang perha-
tian, namun selaku seorang anak ia tak berani.
Memang sejak patih kerajaan dipegang oleh Patih
Brah Amungkarti, kehidupan rakyat Purba Wise-
sa makin lama makin memburuk. Kelaparan me-
landa di mana-mana, penyakit busung lapar pun
mewabah. Betapa sedihnya hati sang Pangeran
melihat hal itu, sampai-sampai sang Pangeran
Atma Jaya meneteskan air mata.
"Sungguh-sungguh Ramanda telah lalai
dengan kewajiban. Betapa berdosanya diriku ini
bila membiarkan kejadian ini terus-menerus. Aku
harus berbuat sesuatu, ya harus!" mengguman
hati Atma Kusuma, manakala melihat kesengsa-
raan rakyatnya. "Tapi apa yang harus aku laku-
kan?"
Pikiran Atma Kusuma seketika bimbang. Ia
tak mengerti harus berbuat bagaimana untuk
menolong rakyatnya. Sambil melangkah pulang
ke kerajaan, Atma Kusuma terus berpikir men-
coba mencari jalan bagaimana untuk dapat mem-
bantu rakyatnya yang menderita. Lama sang pan-
geran itu termenung, sehingga langkahnya pun
begitu terseret seperti berjalan dengan angan
yang kosong. Tiba-tiba, sang pangeran itu terse-
nyum dengan hati bergumam manakala menda-
patkan suatu ide.
"Ah, kenapa aku sedari tadi tidak berpikir
sampai di situ? Sungguh bodoh aku ini. Kalau sa-
ja aku mempunyai pikiran seperti ini dari dulu,
niscaya aku tak akan pusing. Ya, aku akan men-
curi... Walau itu suatu perbuatan dosa, namun
demi rakyatku aku akan melakukannya."
Sejak saat itu, tekad di hati Atma Kusuma
telah membulat. Mencuri merupakan jalan satu-
satunya untuk membantu rakyatnya yang mende-
rita. Dan sejak itu pula, Ati Kusuma melakukan
aksi pencurian. Yang dicuri adalah orang-orang
yang kaya tapi kikir. Hal itu mengundang perha-
tian sang Raja yang tidak menyangka kalau itu
adalah anaknya sendiri.
***
Malam itu rembulan tak muncul untuk
menerangi bumi. Sang rembulan sepertinya eng-
gan untuk menampakkan diri, entah karena apa.
Seharusnya tanggal-tanggal seperti ini, merupa-
kan tanggal dimana bulan akan dengan senyum-
nya menemani malamnya kehidupan. Tapi saat
itu, tidak! Yang ada hanya awan hitam kelam,
membentuk sebuah lukisan raksasa yang mem-
buat suasana malam makin nampak menyeram-
kan.
Seperti hari-hari biasanya, Atma Kusuma
berkutat dengan pakaian seragam malamnya. Di-
tutupi segala tubuhnya dari ujung kaki sampai ke
ujung rambut dengan kain hitam, hanya matanya
saja yang tampak.
Pelan-pelan sekali Atma Kusuma membuka
pintu jendela kamarnya, lalu ia pun melompat tu-
run dan menghilang pergi setelah kembali menu-
tup daun jendela. Langkahnya begitu hati-hati,
sepertinya ia tak ingin seorang penjaga istana
mengetahuinya. Atma Kusuma menyelusup dari
satu pohon ke pohon yang lain, lalu ia pun me-
lompati pagar.
"Hoop, ya!"
Tubuhnya berkelebat bagaikan terbang,
mencelat melompati pagar yang tingginya hampir
lima tombak. Tubuh berkain hitam itu, menapak-
kan kakinya dengan enteng di atas tanah di sebe-
rang tembok yang mengelilingi istana dan lari
menghilang dalam gelapnya malam.
Malam itu giliran seorang tuan tanah kikir
yang menjadi perhatian Atma Kusuma. Tuan ta-
nah itu, merupakan lintah darat yang sangat
mencekik leher dan menghisap darah rakyat. Hu-
tang rakyat, dilipat gandakan dengan renten-
renten yang makin membelit.
"Hem, orang ini harus aku kuras habis har-
tanya, biar dia tahu rasa. Aku heran, mengapa se-
jak patih Brah Amungkarti yang menjabat patih
banyak orang-orang tak berperikemanusiaan
muncul? Apa mungkin ini sebuah taktik dari
Brah Amungkarti? Sungguh Ramanda tak mem-
perhatikan hal ini. Kenapa Ramanda mengangkat
patih orang sepertinya, yang belum diketahui asal
mulanya? Kalau Brah Amungkarti hendak ber-
buat jahat, niscaya dengan mudah Ramanda ter-
gulingkan. Ah, itu bukan urusanku. Sekarang
yang penting bagiku adalah menolong rakyatku
yang menderita," gumam hati Atma Kusuma, yang
tampak mengendap-endap di sisi rumah tuan ta-
nah itu. "Aku harus dapat berbuat banyak untuk
rakyatku. Hoop... hampir saja aku ketahuan oleh
mereka."
Atma Kusuma segera sisipkan tubuh me-
rapat di tembok, manakala tiga orang peronda
nampak berjalan tak jauh darinya. Matanya me-
mandang tajam, dengan napas tertarik perlahan-
lahan. Ketika ketiga orang peronda itu telah jauh,
Atma Kusuma kembali tampakkan tubuh, Ma-
tanya memandang ke atas genting, sepertinya ada
sesuatu di sana.
"Hem, aku harus beraksi dari atas sana.
Kalau aku beraksi dari bawah, bukan tidak
mungkin peronda itu akan memergoki aku," ber-
gumam Atma Kusuma dalam hati. "Hoop, ya..."
Tubuh Atma Kusuma berkelebat bagaikan
terbang, hinggap tepat di atas wuwungan rumah
itu tanpa mengeluarkan suara. Matanya kembali
mengawasi sekelilingnya sesaat, sebelum akhir-
nya ia jongkok. Perlahan-lahan, satu demi satu
genting rumah itu dibukanya. Tiga genting, empat
hingga akhirnya enam genting terbuka. Atma Ku-
suma sesaat memandang ke bawah, tepat ma-
tanya menatap pada dua sosok tubuh yang ten-
gah tertidur pulas.
Hem, aku rasa ini si lintah darat itu den-
gan istri mudanya. Heran, kenapa masih banyak
wanita yang mau dengan lintah darat yang sudah
ketahuan kebusukkannya?" guman hati Atma
Kusuma sembari gelengkan kepala manakala
mengingat keadaan rakyatnya benar-benar sudah
berada di bawah garis kemiskinan. "Aku harus
segera berbuat, Hoop...ya!"
Tubuh Atma Kusuma seketika melayang ke
bawah, dan berdiri tepat di hadapan kedua sua-
mi istri yang telah pulas tidur. Sesaat Atma Ku-
suma meneliti kebenaran tidur tidaknya lintah
darat itu. Setelah merasa yakin, segera Atma Ku-
suma yang sering dijuluki oleh para korbannya
dengan julukan Maling Siluman beraksi. Dibu-
kanya pintu almari dengan pedang, sehingga pin-
tu almari itu seketika berantakan. Setelah pintu
almari itu terbuka, segera Maling Siluman itu
mengambil kantong yang telah ia persiapkan. Di-
kurasnya seluruh uang dan harta yang ada di da-
lam almari, yang dimasukkan ke dalam kantong.
Setelah merasa cukup, Maling Siluman itu segera
berkelebat keluar dari rumah menggondol hasil
curiannya.
Malam itu juga, dibagi-bagikan hasil cu-
riannya pada seluruh rakyat yang dirasa sangat
memerlukan. Dan setelah merasa cukup usa-
hanya, tanpa banyak kata lagi Maling Siluman
kembali pergi meninggalkan rumah-rumah pen-
duduk.
Esok pagi, seluruh rakyat gempar dengan
apa yang dialami oleh mereka. Tiba-tiba saja, di
depan pintu rumah telah tergeletak bungkusan
uang dan barang-barang yang dapat dijual. Seke-
tika seluruh rakyat bertanya-tanya, siapakah
yang telah menolong mereka? Dan mereka akhir-
nya menyadari, pastilah Maling Siluman itu yang
telah berbuat semuanya.
Senang bagi rakyat yang telah dibantu oleh
Maling Siluman, namun sangat tak senang bagi
lintah darat yang telah menjadi korbannya. Lintah
darat itu segera mengadukan pada sang Raja
mengenai hal itu. Sang Raja yang selalu diojok-
ojoki oleh mentrinya, saat itu juga gusar dan ma-
rah. Saat itu pula, seluruh prajurit disebar untuk
sedapatnya menangkap Maling Siluman.
"Edan! Patih itu, patih itu lagi. Hem, jangan
harap aku dapat kalian tangkap. Kalau pun aku
kalian tangkap dan dihukum mati sekali pun, aku
senang karena telah membantu kehidupan ra-
kyatku." bergumam hati Atma Kusuma, yang te-
lah mendengar pembicaraan patih kerajaan den-
gan ayahhandanya. "Untuk sementara, aku akan
beraksi di tempat-tempat maksiat. Tidak mung
kin, kalau tempat-tempat itu mendapat pengawa-
san dari kerajaan. Hem, akan aku buat pusing
kau, Patih busuk!"
Tengah Atma Kusuma menyadap pembica-
raan ayahandanya dengan Sang patih kerajaan,
tiba-tiba ayahandanya mengetahui dirinya. Den-
gan mata melotot marah, ayahandanya memang-
gilnya.
"Atma, ke mari kau!"
"Daulat, Ayahanda...." menjawab Atma se-
raya melangkah menghampiri. Di wajahnya tak
tampak rasa takut, sepertinya ia telah siap untuk
menerima hukuman apa yang bakal ayahhan-
danya berikan.
Atma Kusuma segera mengahaturkan sem-
bah, lalu duduk bersila dengan muka menunduk
di hadapan sang ayah. Sementara patihnya berdi-
ri di samping kanan ayahandanya. Sorot mata
sang patih, sepertinya menaruh hawa permusu-
han dengannya.
"Anak tak tahu sopan santun! Apa perlumu
menyadap pembicaraanku dengan paman patih,
hah!" bentak Prabu Sukma Lelana marah, merasa
anaknya telah berlaku tidak sopan. "Apakah kau
sengaja menyadap pembicaraan untuk kau beri-
tahukan pada Maling Siluman itu? Apakah kau
tak tahu kalau itu perbuatan tidak baik!"
"Ampun, Ramanda. Atma mengerti. Atma
tadi tidak sengaja mendengarkan percakapan ra-
manda dengan paman patih, sebab Atma tengah
berjalan hendak pergi ke luar," menjawab Atma
Kusuma dengan kepala masih menunduk. Walaupun ia seorang yang sangat menentang pada
tindakan ramandanya, namun sebagai seorang
anak ia pun merasa harus berbakti pada orang
tuanya.
"Benar kau tidak sengaja?!"
"Benar, Ayahanda,"
"Awas kalau kau berbuat seperti tadi lagi.
Tak akan aku segan-segan menghukummu, men-
gerti!"
"Daulat, Ayahanda," jawab Atma Kusuma.
"Sekarang pergilah!"
"Terimakasih, Ayahanda. Ananda mohon
diri," berkata Atma Kusuma. Setelah menyembah,
Atma Kusuma beringsut dari hadapan ayahan-
danya, pergi.
Dicobanya untuk dapat menenangkan piki-
ran dengan cara jalan-jalan melihat-lihat kam-
pung-kampung penduduk. Atma Kusuma me-
mang sengaja melihat-lihat kampung-kampung
penduduk. Atma Kusuma memang sengaja tidak
meminta pengawalan dari prajurit, bahkan ia
memilih jalan kaki ketimbang naik kuda. Ke ma-
na kakinya melangkah, maka itu tujuannya. Kini
hatinya lega karena telah mampu membantu ra-
kyatnya. Kehidupan rakyatuya kini tidak seperti
dulu lagi. Tak ada jerit anak-anak kelaparan, tak
ada lagi jerit kematian.
"Ah, sungguh hatiku bangga dapat berbuat
demikian. Namun bukan hanya rakyat di sekitar
kerajaan saja yang harus aku bantu. Aku pun ha-
rus membantu rakyat yang ada di pedalaman.
Aku dengar mereka malah lebih buruk keadaan
nya. Sungguh-sungguh memprihatinkan. Hem,
semuanya mulai nanti malam akan dijaga ketat
oleh prajurit. Setan patih keparat itu! Awas, kalau
sampai aku tahu dia berbuat jelek, tak akan aku
ampuni nyawanya."
Dengan membawa hati gundah dan pikiran
yang melayang memikirkan nasib rakyat di peda-
laman, Atma Kusuma terus melangkah pergi
mengikuti ke mana langkah kakinya.
Tak terasa olehnya, ia telah melangkah cu-
kup jauh dan jauh meninggalkan istana. Mana
kala ia telah jauh melangkah dengan membawa
pikirannya, tiba-tiba ia disontakkan oleh tiga
orang bertampang menyeramkan menghadang
langkahnya. Ketiga orang itu datang secara tiba-
tiba, dan telah berdiri di hadapannya dengan ma-
ta mengandung kebencian. Hal itu menjadi-kan
Atma Kusuma yang tak mengenal ketiganya
hanya dapat kerutkan kening seraya bertanya.
"Siapakah Ki Sanak bertiga adanya? Dan
maksud apa Ki Sanak bertiga menghadang lang-
kahku?"
Ketiga orang bertampang buruk dan me-
nyeramkan itu, tak menjawab. Bahkan sorot mata
mereka makin menghunjam tajam laksana sebi-
lah belati. Orang-orang itu sepertinya bermaksud
tak baik. Walaupun ketiganya sangat menyeram-
kan, dengan segala ciri tersendiri. Satu berwajah
penuh bekas cacar, bernama si Bopeng. Seorang
lagi bermuka lonjong dengan mulut sumbing,
bernama Sumbing. Dan satu orang lagi matanya
jereng, bernama si Jereng. Ketiganya terkenal
dengan julukan Tiga Iblis Cacat dari Lawangan.
Mendapatkan ketiga orang itu tak menja-
wab, kembali Atma Kusuma lontarkan perta-
nyaan serupa. "Siapakah Ki Sanak bertiga? Dan
maksud apa Ki Sanak bertiga menghadang lang-
kahku?"
"Kaukah yang bernama Atma Kusuma, mu-
rid dari Sunan Kalijaga?" tanya si Sumbing den-
gan sinis, menjadikan bibirnya yang sumbing
makin tampak menyeramkan menunjukkan gigi-
giginya yang kuning dan bau busuk.
"Benar apa yang Ki Sanak ucapkan. Aku
memang bernama Atma Kusuma, murid dari Kan-
jeng Sunan Kalijaga. Ada apakah...?"
"Kau harus mati," membersit si Bopeng
berkata, menjadikan Atma Kusuma seketika itu
melototkan mata kaget. Mulut Atma Kusuma se-
ketika itu memekik tertahan karena kagetnya.
"Ah... Apakah aku telah bersalah pada ka-
lian, sehingga kalian menginginkan aku mati? Ra-
sanya aku tak pernah berbuat jahat pada kalian,
dan juga tak pernah ada silang sengketa antara
kita, bukan?"
"Kami tak perduli. Kami hanya menjalan-
kan tugas!" menggeretak si Jereng, yang makin
menjadikan Atma Kusuma membelalakkan ma-
tanya karena kaget. Betapa tidak! Ketiga Iblis Ca-
cat itu tiba-tiba bermaksud membunuhnya atas
perintah seseorang, yang belum ia kenal nama
dan mukanya. Hal itu menjadikan tanda tanya di
hati Atma Kusuma, yang mengira-ngira siapa
adanya orang yang bermaksud menghendaki ke
matiannya dengan cara menyuruh pada Tiga Iblis
Cacat yang terkenal kejam dan bengis.
"Hem, sungguh-sungguh perbuatan penge-
cut. Mengapa harus menyuruh Tiga Iblis Cacat
untuk membunuhku? Aku rasa, ini semua adalah
tindakan patih pengecut itu. Bangsat! Kapan
akan aku dapati kesalahanmu, Patih bajingan!"
menggeretak hati Atma Kusuma marah. Sementa-
ra matanya memandang tak berkedip pada ketiga
Iblis Cacad.
"Sudah siapkah kau mati, Anak muda?"
tanya si Bopeng dengan senyum menyeringai.
"Kalau aku boleh tahu, siapakah yang telah
menyuruh kalian untuk membunuhku?" tanya
Atma Kusuma.
"Apakah itu penting untuk seseorang yang
hendak mati? Hua, ha, ha... Aku rasa, percuma
kau mengetahuinya, sebab sebentar lagi kau akan
kami kirim ke akherat." bergelak tawa si Sumbing
dengan congkaknya, seperti meremehkan siapa
adanya pemuda yang kini berdiri di hadapannya.
Atma Kusuma sebagai murid Sunan Kalija-
ga, merasa tak gentar sekuku hitam pun. Ia telah
mendapat gemblengan baik ilmu kanuragan
maupun ilmu agama dari sang Sunan. Hatinya
tenang, sebab ia serahkan segalanya pada Yang
Maha Kuasa. Dengan senyum mengembang di bi-
bir, Atma Kusuma pun berkata.
"Tak mengapa kalau kalian memang hen-
dak membunuhku. Tapi aku meminta syarat."
"Apa syaratmu, Anak muda?" tanya si Jul-
ing,
"Sederhana," menjawab Atma Kusuma.
"Syaratku, beri aku tahu siapa orang yang telah
menyuruh kalian untuk membunuhku."
"Hanya itu?" tanya si Sumbing dengan se-
nyum mengejek.
"Ya, hanya itu."
Ketiga Iblis Cacat itu sesaat saling pandang
satu sama lain. Merasa mereka bakal mampu
membunuh Atma Kusuma, mereka pun dengan
tanpa berpikir lagi segera memberi tahu siapa
adanya orang yang telah menyuruh mereka untuk
menghabisi nyawa Atma Kusuma.
"Agar kau tidak mati penasaran, baiklah
akan aku beri tahu siapa yang telah menyuruh
kami untuk membunuh dirimu. Yang telah me-
nyuruh kami, tak lain adalah ayahmu," menjawab
si Bopeng yang disertai gelak tawa oleh kedua re-
kannya.
Tersentak Atma Kusuma mendengarnya.
Namun sebagai seorang yang telah dididik oleh
Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak mau begitu sa-
ja mempercayai omongan ketiga Iblis Cacat itu.
Maka dengan nada kesal setengah membentak,
Atma Kusuma berkata:
"Dusta! Kalian telah mendusta. Hem, ja-
ngan harap aku rela kalian bunuh kalau kalian
tak mau memberi tahu siapa sebenarnya orang
yang telah menyuruh kalian untuk membunuh-
ku!"
"Bedebah! Sombong kau, Anak muda! Tak
akan Tiga Iblis Cacat gagal dalam setiap men-
jalankan tugas! Bersiaplah kau untuk kami kirim
ke akherat!" balas membentak si Juling.
"Kalau kalian mampu, lakukanlah!"
"Monyet! Rupanya kau menantang kami!
Bersiaplah, Anak muda! Jangan sampai kau ter-
lengah," mendengus marah si Sumbing, bersa-
maan dengan melompatnya kedua rekannya me-
nyerang Atma Kusuma.
Diserang langsung oleh tiga orang yang
namanya telah menggentarkan siapa saja yang
mendengarnya, tidak menjadikan Atma Kusuma
keder. Sebagai murid dari Sunan Kalijaga, pan-
tang baginya harus mengalah pada manusia-
manusia hamba iblis. Pertarungan pun berjalan
dengan serunya, menjadikan tempat itu seperti
terserang oleh angin prahara kala mereka menge-
luarkan segala kekuatan yang mereka miliki.
Meskipun demikian, nampaknya Atma Ku-
suma bukanlah tandingan dari Tiga Iblis Cacat
yang namanya sudah kelewat kesohor. Atma Ku-
suma yang murid Sunan Kalijaga, bagaikan bu-
rung Rajawali yang gagah menyerang dengan ce-
pat dan menghindar dengan gesit. Serangan-
serangan Tiga Iblis Cacat, dengan mudah di-
elakkannya. Bahkan kini Atma Kusuma yang ba-
lik menyerang dan mendesak ketiga Iblis Cacat
itu.
Terbelalak mata ketiga Iblis Cacat manaka-
la melihat kenyataan yang ada. Ternyata orang
yang dianggapnya sepele, jauh melebihi orang
yang mereka anggap sangat bahaya. Kini mereka
sadar akan siapa yang tengah mereka hadapi.
Ternyata nama besar Sunan Kalijaga bukanlah
isapan jempol belaka. Jangankan Sunan Kalijaga
sendiri yang turun tangan, muridnya saja telah
mampu menghadapi mereka bahkan kalau Atma
Kusuma mau ia mampu dengan mudah menja-
tuhkan ketiga musuh-musuhnya. Namun ru-
panya Atma Kusuma masih menahan sabar, se-
hingga Atma Kusuma masih memberikan kelong-
garan pada Tiga Iblis Cacat itu. Tubuh Atma Ku-
suma seketika berkelebat cepat, lalu tanpa dapat
dicegah oleh ketiga Iblis Cacat, Atma Kusuma te-
lah menotok ketiganya dengan cepat dan tepat.
Seketika ketiga iblis itu terkulai jatuh ke tanah
dengan badan seperti tak bertulang.
"Aku minta kalian mau memberi tahu siapa
yang telah menyuruh kalian," kata Atma Kusuma
seraya berjalan menghampiri ketiga musuhnya
yang terduduk ngejuprak di tanah dengan wajah
penuh ketakutan. Keringat dingin seketika mem-
banjiri kening ketiga Iblis Cacat. Atma Kusuma
tersenyum, berusaha meyakinkan pada ketiga Ib-
lis Cacat untuk mau memberi tahu siapa adanya
orang yang telah menyuruh mereka untuk mem-
bunuh dirinya. "Kenapa kalian sepertinya takut
untuk mengatakan siapa orang itu? Kalian tak
perlu takut, aku akan menyembunyikannya bila
telah tahu siapa adanya orang tersebut. Bukan-
kah kalian bisa ngomong bahwa kalian tidak atau
belum menemukan aku"
"Benar apa yang kau katakan. Baiklah, aku
akan mengatakannya padamu tapi aku minta
nanti kami dibebaskan!" si Bopeng akhirnya ber-
kata mewakili kedua rekannya.
"Hem, baik. Sekarang katakanlah!"
"Orang yang menyuruh kami, tak lain dari-
pada patih ayahmu!"
"Sudah aku duga sebelumnya," desah Atma
Kusuma seperti berkata pada diri sendiri demi
mendengar jawaban si Bopeng. "Nah, aku akan
membebaskan kalian. Tapi ingat! Jangan sekali-
kali kalian mengakali aku, kalau kalian tidak in-
gin batok kepala kalian aku pecahkan!"
Habis berkata begitu, dengan cepat Atma
Kusuma bergerak membuka totokannya yang te-
lah menjadikan ketiga Iblis Cacat itu lumpuh.
"Tok... tok... tok!"
Tiga kali totokan pembuka itu berturut-tu-
rut. Dan tiga kali itu pula tangan Atma Kusuma
menekan urat nadi di tubuh ketiga Iblis Cacat.
Saat itu juga ketiga Iblis Cacat pulih seperti
sedia kala. Tanpa berkata lagi, ketiganya segera
ngacir pergi meninggalkan Atma Kusuma yang
hanya geleng-geleng kepala melihat hal itu.
DUA
Sebagai orang yang mendapatkan didikan
dari Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak sombong
dan angkuh serta bertindak telengas. Segalanya
dipikirkan dengan masak-masak. Seperti halnya
masalah patih kerajaan, yang ia tahu adalah
orang yang bermaksud jahat padanya dan telah
menyuruh pada Tiga Iblis Cacat untuk menying-
kirkan dirinya. Namun bagaikan tak mengerti saja, Atma Kusuma bertindak tanduk seperti biasa.
Ia menghormati sang patih, layaknya seperti tak
menaruh sakwa sangka.
Sang patih yang tidak mengetahui kejadian
sebenarnya, menyangka kalau Atma Kusuma be-
nar-benar tak tahu maksud buruknya. Sang patih
selalu membalas dengan senyum bila Atma Ku-
suma menyapanya, walau senyum itu senyum
bengis. Namun begitu, Atma Kusuma tak meng-
gubrisnya. Dibiarkan semua berlalu, bagaikan ia
tak mengusik apa sebenarnya yang terkandung
pada senyum sang patih.
Melihat anak dan patihnya nampak rukun,
hati sang raja bungah. Ia menyangka kalau anak
dan patihnya berpikiran searah dan setujuan.
Hingga pada suatu hari, sang raja memanggil At-
ma Kusuma anaknya untuk berbincang-bincang.
Telah sekian lama sejak kematian istri yaitu ibu
Atma Kusuma, baginda jarang sekali ngobrol den-
gan anak satu-satunya. Segala perhatiannya di-
curahkan pada kerajaan dan ambisi, yang hal itu
tanpa disadari olehnya ditentang secara diam-
diam oleh sang anak.
"Anakku."
"Daulat, Ramanda," menjawab Atma Ku-
suma seraya menyembah.
"Ayah lihat, kau begitu akrab dengan pa-
man patih. Aku senang melihatnya, sebab kau
tentunya akan dapat belajar banyak darinya. Ba-
gaimana menurut pendapatmu, Anakku?"
Walau dalam hatinya memaki-maki sengit,
namun sebagai seorang anak, Atma Kusuma tak
mau mengutarakan kejengkelannya pada sang
ayah. Ia bukanlah anak kecil lagi, yang selalu
mengadu segalanya pada orang tua. Ia adalah
anak dewasa, yang mau tak mau harus menang-
gung beban dirinya di atas pundaknya sendiri.
Dengan mengangguk Atma Kusuma menjawab:
"Begitulah, Ramanda."
"Begitu bagaimana, Anakku?" tanya sang
raja belum mengerti akan maksud ucapan anak-
nya. "Katakanlah dengan terus terang apa yang
ada dalam hatimu."
"Dia memang baik, Ramanda," menjawab
Atma Kusuma, menjadikan senyum ayahanda se-
ketika mengembang.
"Itulah, mengapa Rama mengangkat di-
rinya menjadi patih di sini. Dia orangnya baik,
sopan dan penuh kewibawaan. Jarang seorang
patih seperti dirinya, mau merakyat."
Mendengar ucapan ayahnya, seketika hati
Atma Kusuma membatin.
"Hem, rupanya Ramanda telah terpengaruh
dengan kedoknya. Ramanda tak mengetahui siapa
adanya keparat itu. Sungguh kasihan ayahku...
Kapan aku akan mampu membuka kedoknya itu."
"Kenapa kau terdiam, Anakku?" tanya sang
raja pada anaknya, menjadikan Atma Kusuma
yang terdiam seketika kaget. Dan dengan suara
terbata Atma Kusuma berkata:
"Ti-tidak, Ramanda. Memang paman patih
orangnya baik, supel dan mau merakyat. Memang
kita beruntung mendapatkan dia, yang punya
wawasan yang baik dan luas."
Makin melebar saja senyum sang raja
mendengar penuturan anaknya. Ternyata sang
anak sehaluan dengannya, menilai bahwa patih-
nya memang orang yang baik dan mempunyai
wawasan yang tinggi. Kepala sang raja mengang-
guk-angguk, hatinya senang.
"Anak ku, ke mana saja kau selama ini?
Ramanda lihat, kau selalu pergi ke luar istana.
Apa yang engkau lakukan di luar?"
"Ampun, Ramanda. Ananda pergi ke luar
hanya untuk membuang rasa sepi. Entahlah, se-
jak kepergian ibunda, ananda selalu merasakan
kesepian. Kerajaan ini bagi ananda kurang cocok,
sehingga untuk menghibur hati, ananda keluar
melihat-lihat alam."
Sang raja kembali angguk-anggukkan ke-
pala mendengar penuturan anaknya. Bibirnya
masih mengurai senyum, sementara matanya
berbinar-binar. Ia bangga dengan anaknya, yang
walau pun anak tunggal namun tidaklah manja.
Manakala ia menatap terus pada wajah sang
anak, kembali bayangan istrinya menggurat pada
wajah Atma Kusuma. Bila telah begitu, maka tan-
pa sadar sang raja menangis. Ia menangis atas si-
fatnya akhir-akhir ini pada sang anak. Kembali
ingatannya melayang pada janjinya pada sang is-
tri sebelum istrinya meninggal.
"Kanda, kalau aku meninggalkan kanda,
aku mohon kanda mau mengasuh anak kita Atma
Kusuma dengan baik. Janganllah kanda me-
marahi atau melukai perasaannya, kasihan dia.
Dia masih terlalu remaja yang kekanak-kanak
"Toooolllooooong! Toloooong..."
Tersentak Maling Siluman menghentikan
langkahnya.
"Hem, ada suara orang meminta tolong,
kedengarannya dari arah Selatan. Aku harus ke
sana, hiat....!" Sekali kelebat, tubuh Maling Silu-
man telah menghilang dengan cepatnya. Maling
Siluman atau Atma Kusuma, terus berlari menuju
ke arah usalnya suara itu.
Suara jeritan itu makin lama makin dekat,
menjadikan Atma Kusuma atau Maling Siluman
makin mempercepat larinya. Maling Siluman se-
gera hentikan langkah, manakala tampak sege-
rombolan manusia yang terpaku memandang tak
dapat berbuat apa-apa pada rumah di hadapan
mereka. Sepertinya mereka terkena ilmu sirep,
sehingga mereka walau berdiri namun tidur.
"Hem rupanya orang-orang itu terkena ilmu
sirep. Akan aku bangunkan mereka. Aku rasa,
tengah terjadi apa-apa di dalam rumah itu.
Hiaat.... wuhh...."
Maling Siluman tiupkan napas dari jarak
jauh ke arah orang-orang yang terpaku diam yang
seketika itu tersadar dari tidurnya. Serta merta
mereka segera memburu masuk ke dalam rumah
di mana masih terdengar rintihan seorang wanita.
Maling Siluman pun tak tinggal diam, ia segera
meloncat menerobos masuk.
Tersentak semuanya termasuk Maling Si-
luman, melihat apa yang tengah terjadi. Seekor
makhluk yang sangat menyeramkan menyerupai
manusia namun berbulu lebat seperti monyet,
tengah mengangkangi wanita yang terkulai lemas
dengan tubuh yang tak bertutup sehelai pun.
Makluk menyeramkan itu menyeringai, matanya
memerah laksana api memandang pada orang-
orang yang ada di situ.
"Gondoruwo....!" memekik semuanya sete-
lah tahu makhluk itu.
Mahluk gondoruwo itu seketika tersentak.
Namun belum juga mereka hilang kagetnya, tan-
gan berkuku hitam panjang itu telah menghan-
tam ke arah mereka. Seketika itu, lima orang
warga memekik dengan dada robek tercakar oleh
kuku beracun gondoruwo. Tubuh orang-orang
yang terkena seketika membiru, lalu kejang se-
saat dan mati.
Melihat hal itu, Maling Siluman yang telah
berada di tempat itu segera kibaskan tangan ma-
na kala tangan sang gondoruwo hendak kembali
menyerang. Tersentak sang gondoruwo, tangan-
nya dirasa panas bagai disulut api. Mata gondo-
ruwo itu tajam memandang pada Maling Siluman,
yang kini telah berdiri dengan mata memandang
tajam pula ke arahnya.
"Siapa kau!"
Tersentak Maling Siluman, manakala
mendengar bentakan makhluk yang sering dis-
ebut gondoruwo itu. Bukan hanya Maling Silu-
man saja yang tersentak kaget, seluruh orang
yang ada di situ pun kaget mendengar gondoruwo
itu membentak. Setahu mereka gondoruwo tak
akan bisa berkata bila dalam keadaan wujud se-
perti itu.
Maling Siluman tersenyum kecut, manaka-
la mengenali suara itu. Suara yang seringkali ia
dengar. Maling Siluman berusaha mengingat-
ingat pemilik suara itu, namun sepertinya menga-
lami kebuntuan. Pikirannya seketika mencari akal
untuk menjebak mahluk gondoruwo itu. Maka
dengan segera Maling Siluman pun menjawab:
"Aku akan mengatakan siapa aku, kalau
kau pun mau menunjukkan wujudmu yang asli.
Aku tahu dan kenal suaramu, namun aku tak in-
gin gegabah menuduh. Nah, tunjukkan ujudmu
dalam bentuk manusia!"
"Hua, ha, ha... Kau rupanya pintar. Baik,
aku akan tunjukkan ujudku dalam bentuk ma-
nusia. Aku tak akan takut menghadapimu, Mo-
nyet kecil!"
Bersamaan dengan habisnya suara gondo-
ruwo, seketika tubuh berbulu lebat itu perlahan-
lahan mengalami perubahan. Kini makin tersen-
tak saja Maling Siluman melihat hal itu, ternyata
dugaannya benar bahwa mahluk yang bernama
Gondoruwo yang suka mengganggu wanita adalah
patih kerajaannya.
"Hem, kalau begitu, Iblis ini yang dulu
mengganggu ibunda manakala ayahanda tak ada
di istana. Bedebah, rupanya itu maksudnya men-
jadi patih. Dasar Iblis... Hari ini juga, aku harus
melenyapkannya." bergumam hati Maling Silu-
man.
"Hem, rupanya kau cecunguknya yang te-
lah membuat keresahan dan menyiksa rakyat ke-
rajaan ini," menggeretak marah Maling Siluman,
menjadikan patih Brah Amungkarti tersentak.
Ucapan Maling Siluman sungguh tajam dan pe-
das, menjadikan marah patih Brah Amungkarti
yang dengan lantang membentak.
"Siapa kau, monyet kecil!"
"Akulah Maling Siluman yang akan me-
nyingkirkanmu dari dunia ini, Iblis!"
Terbelalak semua yang ada di situ, mana-
kala mengetahui bahwa orang bertutup serba hi-
tam adalah orang yang selalu membantu rakyat.
Nama Maling Siluman memang telah terkenal
dengan segala tindakannya yang suka membantu
rakyat. Meski demikian, rakyat belum mengetahui
tampang dari sang penolong. Kini mereka tahu
siapa orang yang menamakan dirinya Maling Si-
luman, yang kini dengan berani menghadapi patih
Brah Amungkarti yang ternyata mahluk Iblis Gor-
doruwo.
"Hem, rupanya kau cecunguknya yang te-
lah membuat resah. Hari ini juga, akan aku re-
mas tubuhmu."
"Jangan sombong, Iblis busuk! Kaulah
yang harus aku singkirkan agar kerajaan ini te-
nang seperti sedia kala. Rupanya kau pula yang
telah menumbuhkan lintah-lintah penghisap da-
rah rakyat."
"Kunyuk! Lancang mulutmu!" membentak
marah Brah Amungkarti marah. "Kubunuh kau,
monyet!"
Bersamaan dengan habisnya suara patih
Brah Amungkarti, sang patih segera melompat
menyerang Maling Siluman yang dengan cepat
berkelebat menghindari serangan. Dengan cepat,
Maling Siluman berlari ke luar ruangan menuju
halaman.
Melihat Maling Siluman lari ke luar, serta
merta Brah Amungkarti pun segera memburu ke
luar.
"Jangan lari, Maling!"
"Aku tak lari, Iblis busuk! Aku menunggu-
mu di luar!"
"Bedebah! Kalau kau tak aku binasakan,
maka kaulah duri dalam daging. Kau akan mem-
buat kesusahanku!"
"Hua, ha, ha... Rupanya kau takut bila se-
luruh rakyat akan mencincang tubuhmu." berge-
lak tawa Maling Siluman, menjadikan makin ber-
tambah marah patih Brah Amungkarti. Dengan
didahului menggeram bersamaan dengan berubah
ujudnya kembali ke bentuk semula, Brah
Amungkarti atau gondoruwo menyerang secara
cepat Maling Siluman.
Diserang begitu cepat oleh gondoruwo, Mal-
ing Siluman gandakan tawa. Dengan entengnya
Maling Siluman elakkan setiap serangan gondo-
ruwo. Hal itu menjadikan sang gondoruwo makin
mendengus penuh amarah. Ditingkatkan seran-
gannya dengan harapan dapat segera men-
jatuhkan Maling Siluman. Namun seperti semula,
Maling Siluman dengan masih bergelak tawa en-
teng saja mengelakkannya. Malah kini Maling Si-
lumanlah yang mendesaknya.
Merasa dirinya telah terpepet, serta merta
gondoruwo itu bersuit melengking. Napasnya
memburu, membunyikan suara asing kedenga-
rannya. Saat itu pula, dari bawah tanah bermun-
culan mahluk-mahluk menyeramkan. Mahluk-
mahluk berbentuk manusia tanpa daging me-
lekat di tubuhnya, seketika itu menyerang Maling
Siluman.
Terbelalak mata semua yang melihatnya,
manakala melihat apa yang muncul dari dalam
tanah itu.
"Percuma kalian membantuku. Mereka bu-
kan musuh kalian, biar aku saja. Kalian mundur-
lah. Sia-sia tenaga kalian." berseru Maling Silu-
man pada warga, yang seketika menurut mundur
menjauh. Namun mereka pun telah siap dengan
senjata, kalau-kalau mahluk-mahluk menyeram-
kan itu menyerang mereka.
Maling Siluman tersentak kaget, manakala
seranganya tak berarti apa-apa bagi mahluk-
mahluk menyeramkan itu. Setiap mahluk itu di-
hantam, mahluk itu menjadi dua. Dari dua men-
jadi empat, makin bertambah banyaklah mahluk-
mahluk menyeramkan itu mengeroyok Maling Si-
luman.
"Gusti Allah, apakah aku mampu mengha-
dapi mereka semua?" keluh Maling Siluman da-
lam hati.
Manakala Maling Siluman tengah dalam
kebimbangan atas kemampuanya, tiba-tiba ter-
dengar suara berkata digendang telinganya. Suara
itu jelas sekali, dan begitu ia kenal betul. Pemilik
suara itu adalah gurunya Sunan Kalijaga.
"Anakku, kau tak kan mampu mengalah
kan mereka bila kau bertarung dengan hati bim-
bang dan ragu. Tenangkanlah hatimu. Dan pu-
satkan segalanya pada Yang Maha Kuasa Allah
Subhanahu Wata alla. Tentunya kau masih ingat
dengan apa yang aku katakan. Hadapi segala Iblis
dan Syetan dengan segala ketenangan, lahir
maupun batin. Hadapi mereka dengan Ayyatul
qursi, niscaya mereka akan hilang dari alam ini.
Lakukanlah anakku."
"Terima kasih, Guru, Hamba akan selalu
mengingat semua itu!"
Terkejut Maling Siluman manakala sebuah
tangan tanpa daging berkelebat menyerang ke
arahnya. Hampir saja mukanya terkena sabetan
tangan berbau bangkai, kalau saja Maling Silu-
man tidak segera lemparkan tubuh ke belakang
beberapa tombak. Sesaat Maling Siluman pejam-
kan mata, mulutnya membaca do'a surat Qhursi.
"Allahhula ilaha ila huwal hayyul qoyyuum,
Laata khuzuhu sinnatun walaa nauum,
Lahuma fissamaa waati wamaa fil ardhi
Manza ladzi yas fau indhahuu Illa biizni
Ya'lamuma baena aidhim wama khalfahum
Walaa yuhit tuna bisaiin min ilmihi illa bi-
masya
Wasyia qhursiyihus sama wati wama fil
ardhi
Walla yauudhuhu hifzuhumma wahuwal ali-
yul adzhim."
Bersamaan dengan habisnya ayattul Qhur
si, seketika itu pula mahluk-mahluk menyeram-
kan itu memekik bagaikan terbakar oleh panas
api neraka. Belum sempat sang gondoruwo sadar
dari rasa panas yang menyengat tubuhnya, sece-
pat kilat Maling Siluman hantamkan pukulan ja-
rak jauhnya yang bernama Lampus Umur. Den-
gan Lampus Umur tingkat pemungkas, mele-
daklah tubuh gondoruwo itu hancur menjadi de-
bu.
Maling Siluman pejamkan mata, hatinya
berbisik mengucapkan syukur kehadiran Yang
Maha Kuasa. Setelah melihat semuanya telah ber-
lalu, segera Maling Siluman berkelebat pergi me-
ninggalkan tempat itu.
TIGA
Atma Kusuma atau Maling Siluman tersen-
tak kaget, manakala didengarnya tangis bayi me-
mecah keheningan malam yang tergusur oleh si-
raman air hujan. Dengan sedikit rasa takut, Mal-
ing Siluman segera berkelebat ke arah suara itu.
Matanya seketika terbelalak kaget, manakala me-
lihat seberkas sinar menyilaukan memancar ke
arahnya. Setelah didekati, makin bertambah ka-
get Maling Siluman setelah tahu apa yang me-
mancarkan sinar menyilaukan itu. Sinar itu ke-
luar dari tubuh sang bayi yang tergeletak di atas
makam ibundanya.
"Gusti Allah... Allahu Akbar, Allah Maha
Besar. Tiada kuasa selain Allah. Hem, apakah
memang kodrat dari-Mu ya Allah hingga bunda
melahirkan di dalam kubur?" mendo'a Maling Si-
luman, manakala melihat suatu keganjilan. Beta-
pa tidak kaget. Bayi itu sungguh-sungguh keluar
dari liang kubur ibundanya yang telah mati. Den-
gan segera bayi itu diambilnya, lalu dengan berla-
ri kencang bagaikan terbang Maling Siluman pergi
membawa bayi itu menuju ke sebuah tempat.
Sejak matinya patih Brah Amungkarti yang
ternyata gondoruwo, Maling Siluman tidak lagi
mau menjadi warga istana. Ia ingin meneruskan
tugasnya membantu para pakir miskin, sesuai
dengan gelarnya Maling Siluman.
Nama Maling Siluman, seketika menjadi
buah bibir di kalangan rakyat yang menyukainya
dan menganggap Maling Siluman adalah Dewa
Penolong. Sebaliknya bagi para lintah darat dan
tuan tanah, nama Maling Siluman adalah musuh
yang harus dibasmi.
Malam itu Maling Siluman tengah menja-
rah di rumah milik seorang tuan tanah yang kikir,
manakala para penjaga memergoki dirinya. Mal-
ing Siluman yang enggan untuk menurunkan
tangan, hanya berlari meninggalkan para penge-
jarnya dengan membawa hasil curiannya yang
akan dibagikan pada rakyat yang membutuhkan-
nya. Maling Siluman berlari menerobos hujan,
sampai akhirnya ia menemukan bayi aneh anak
ibundanya yang telah mati.
Maling Siluman dengan membopong bayi
itu, terus berlari menerobos malam. Dia segera
menuju ke sebuah rumah penduduk yang tak be
gitu jauh dari tempatnya berlari. Hati-hati sekali
Maling Siluman mengetuk pintu rumah, dengan
harapan kedatangannya tidak diketahui oleh pen-
duduk yang lain.
"Sampurasun...."
"Rampes..." menjawab suara seorang lelaki,
lalu terdengar suara langkah kaki mengenakan
bakyak menuju ke muka. Sesaat kemudian pintu
rumah itu pun terbuka.
Seketika wajah pemilik rumah pucat, ma-
nakala melihat orang berkerudung hitam telah
berdiri di hadapannya. Hampir saja orang itu
kembali menutup pintu, manakala Maling Silu-
man segera berkata.
"Pak, aku tak bermaksud jahat padamu.
Akulah Maling Siluman."
"Maling Siluman? Jadi kaukah Maling Si-
luman itu ...?" mengerut kening Pak tua kaget.
Maling Siluman menganggukkan kepala
mengiyakan.
"Aku mohon, janganlah bapak mencerita-
kannya pada orang lain. Cukup bapak saja yang
mengetahui siapa adanya aku. Ini untuk bapak,
semoga keluarga bapak dapat makan."
Maling Siluman segera menyodorkan se-
bungkus uang dan perhiasan pada pak tua itu,
yang seketika melototkan mata tak percaya. Hing-
ga pak tua itu hanya mampu bengong, menjadi-
kan Maling Siluman tersenyum seraya berkata
kembali.
"Jangan bapak ragu, aku menolong dengan
ikhlas."
"Oh, terimakasih, Tuan." akhirnya pak tua
itu dengan tangan gemetar dan mata berkaca-
kaca bahagia menerima uang dan perhiasan yang
diberikan oleh Maling Siluman padanya. Tengah
pak tua terbengong-bengong mendapatkan uang
sebanyak itu, tiba-tiba Maling Siluman kembali
berkata.
"Pak tua, aku ingin meminta tolong pada-
mu."
"Tentang apa, Tuan? Kami orang tak punya
apa-apa."
"Aku tak meminta harta atau jasa yang
berlebihan dari bapak, sebab pertolonganku ber-
sipat ikhlas. Aku hanya ingin menitipkan anak
dalam gendongan ini pada bapak. Bukankah ba-
pak belum dikaruniai anak?"
"Oh, benar... Memang aku belum dikarunia
anak seorang pun," menjawab pak tua itu dengan
berbunga-bunga hatinya, manakala mendengar
penolongnya hendak memberikan bayi padanya.
Pak tua itu tersentak, manakala melihat bayi
yang berada di gendongan Maling Siluman. Bayi
itu memancarkan sinar menyala terang, menyi-
laukan mata yang melihatnya. Sampai-sampai
pak tua itu bergumam saking kagetnya.
"Jagat Dewa Batara! Inikah bayi titisan
Dewa?"
Maling Siluman hanya tersenyum menden-
gar gumamam pak tua.
"Jadi bapak mau merawat bayi ini?"
"Dengan senang hati. Tuan," menjawab pak
tua dengan mata berbinar-binar bahagia. "Sung
guh beruntung aku bila dapat merawat anak De-
wa ini," bergumam hati pak tua.
"Baiklah, Pak tua. Aku titip anak ini. Kelak
aku akan membantu biaya untuk ini semua."
"Ah, tak usahlah, Tuan."
Maling Siluman hanya tersenyum lalu den-
gan seketika berkelebat pergi menghilang dalam
gelapnya malam. Pak tua membelalakkan mata,
melotot kaget melihat orang yang telah memberi-
kan uang dan bayi anak Dewa itu padanya. Sege-
ra pak tua masuk ke dalam, menutup pintu me-
nuju ke kamarnya di mana sang istri tidur.
"Bune... Bune. Bangunlah, aku mempero-
leh anak,"
Istrinya tersentak bangun mendengar seru-
an suaminya. Serta merta, sang istri terbelalak
seraya bertanya.
"Anak, Pakne?"
"Ya, lihatlah. Anak ini adalah anak Dewa."
"Anak Dewa...?" gumam istrinya bertanya.
"Iya... Lihat tubuh anak ini. Tubuhnya ber-
cahaya, Bune."
"Wah, benar, Pakne. Oh Dewata Yang
Agung, sungguh dia anak Dewa, Pakne?"
Dengan suka cita, kedua suami istri tua
yang belum dikaruniai anak menimang-nimang
bayi itu sambil berdendang ria penuh kebaha-
giaan. Sungguh tiada terkira kebahagiaan kedua
orang tua itu. Ternyata, mereka memperoleh anak
juga.
***
Hari demi hari terlalui oleh kedua suami is-
tri tua itu dengan hati bahagia. Mereka mengasuh
bayi itu, bagaikan mengasuh anak sendiri. Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan
berganti tahun, dan tahun pun berganti windu.
Pertumbuhan bayi itu begitu cepat, sepertinya
bayi itu memang benar-benar anak Dewa. Dalam
usia lima belas tahun, bayi yang diberi nama Ken
Wijaksono berkembang tumbuh menjadi seorang
pemuda yang lincah dan pintar. Salah satu dari
keanehannya, ia telah mahir dalam segala ilmu
kanuragan tanpa dibimbing oleh seorang guru
pun.
Kedua orang tua asuhnya pun kaget, ma-
nakala mereka tahu bahwa sang anak telah mahir
dalam ilmu kanuragan. Maka ketika keduanya
melihat sang anak berlatih ilmu silat, dengan ter-
heran-heran kedua orang tua itu bertanya pada
sang anak.
"Ken, Anakku, dari mana kau memperoleh
ilmu bela diri itu?"
"Ah, Ken tahu sendiri. Ayah. Bagi Ken, ilmu
silat adalah suatu olah raga. Ya, sebagai pengge-
rak badan. Ayah."
Tersenyum seraya geleng kepala sang ayah
mendengar ucapan anak angkatnya. Ia menyadari
kalau anak angkatnya adalah anak Dewa, yang
sudah pasti akan menyerupai Dewa. Bagaimana
menurut dia Dewa itu, maka anaknya pun pasti
begitu juga. Kalau Dewa segalanya bisa tanpa be-
lajar, anaknya pun mampu melakukan sesuatu
tanpa belajar pula. Lebih tersentak kaget kedua
orang tua itu, manakala Ken Wijaksono hantam-
kan tangannya ke batu. Mulanya kedua orang itu
menjerit, takut kalau-kalau tangan sang anak
akan luka atau remuk. Namun ketakutan mereka
seketika hilang, berganti dengan rasa kagum yang
mendalam manakala melihat apa yang terjadi.
Bukan tangan anaknya yang remuk, tapi batu
itulah yang hancur menjadi serpihan-serpihan
debu. Sungguh tak masuk di akal.
Begitulah yang dilakukan Ken Wijaksono
setiap hari, belajar dan belajar memperdalam il-
mu silat dan ulah kanuragan. Tanpa bimbingan
orang lain, tanpa guru seorang pun. Dan karena
merasa dirinya melebihi Dewa, jadilah Ken Wijak-
sono tumbuh sebagai seorang pemuda yang som-
bong dan takabur.
Kegemaran Ken Wijaksono, adalah menya-
bung ayam. Berhari-hari dia mengasuh ayam-
ayamnya, memberi makan dan mendidik sang
ayam untuk menjadi ayam tarung. Kalau sudah
begitu, maka segalanya seperti terlupakan. Ken
Wijaksono berkutat dengan ayam-ayamnya, ayam
untuk disabung.
Bila sang ayam sudah benar-benar dapat
dijadikan ayam sabungan, yaitu memenuhi syarat
segalanya Ken Wijaksono pun membawa ayamnya
ke arena persabungan. Memang ayamnya benar-
benar ayam hebat, tak mau kalah dengan ayam-
ayam orang lain. Begitulah, Ken Wijaksono meng-
hidupi dirinya dan kedua orang tuanya dengan
cara menyabung ayam.
***
Hari itu seperti biasanya Ken Wijaksono
melakukan penyambungan ayam. Entah karena
apa, ayamnya ternyata harus mengalami keka-
lahan. Ken Wijaksono tersentak kaget, sebab ia
tak menyangka ayamnya akan kalah sedang uang
seperser pun ia tak memegangnya.
"Ayo Ken, kau harus membayar padaku,"
berkata Tunggoro meminta bayaran.
"Aku tak punya uang," menjawab Ken Wi-
jaksono tenang.
"Heh, kenapa begitu. Ken?"
"Diam! Sudah aku katakan, aku tak punya
uang!" membentak Ken Wijaksono, menjadikan
Tunggoro tersinggung. Mata Tunggoro memerah
karena marah, lalu dengan mendengus Tunggoro
membentak.
"Dasar anak setan!"
"Apa kau bilang, Kunyuk!"
"Anak Setan kau!" jawab Tunggoro marah.
"Bangsat! Kubunuh kau, Kunyuk!"
Tak ayal lagi, kedua orang anak muda itu
pun berkelahi. Ken Wijaksono nampak beringas,
serangannya mengarah pada hal-hal yang mema-
tikan. Tunggoro tak mau mengalah begitu saja, ia
pun berusaha merangsek Ken Wijaksono. Namun
rupanya Tunggoro bukanlah tandingan Ken Wi-
jaksono, yang mampu mempelajari segala ilmu si-
lat dengan sendirinya. Mata Ken Wijaksono seke-
tika berubah membiru, menyorot bagaikan sinar
matahari. Dari badannya keluar sinar yang menyala merah membara. Menjadikan semua yang
melihatnya tersentak kaget, serta merta semua
berseru tertahan.
"Anak Dewa!"
"Hua, ha, ha... Memang akulah anak Dewa.
Maka itu, kalian harus menurut padaku. Jangan
sekali-kali kalian membantah, atau kalian minta
seperti ini."
Secepat kilat Ken Wijaksono menghantam-
kan tangannya pada Tunggoro yang saat itu ten-
gah terbelalak kaget. Tak ayal lagi, Tunggoro pun
seketika menjerit. Tubuhnya hangus, lalu ambruk
dan mati.
Bergidig semua yang melihatnya, tanpa da-
pat berbuat apa-apa. Mereka juga ngeri untuk
bertindak. Hal itu diketahui oleh Ken Wijaksono,
yang dengan lantang berseru.
"Mulai hari ini, kalian harus mengakui aku
sebagai ketua kalian. Kahan harus memberikan
padaku uang dan barang-barang berharga la-
innya. Kalau tidak, maka kalian akan menjadi se-
perti si Tunggoro ini, mengerti!"
"Mengerti, Ken..." jawab semuanya dengan
ketakutan.
"Bagus! Serahkan uang yang kalian pegang
padaku, cepat!"
Tanpa berani membantah, orang-orang itu
pun segera menyerahkan uang yang mereka mili-
ki pada Ken Wijaksono yang tertawa bergelak-
gelak menerimanya.
"Ingat! Mulai hari ini, akulah pimpinanmu.
Hua, ha, ha...."
Tubuh Ken Wijaksono berkelebat pergi me-
ninggalkan orang-orang yang hanya tebengong-
bengong tanpa dapat berbuat apa-apa. Mereka
baru tahu siapa adanya anak Dewa yang sering
diceritakan dari mulut ke mulut oleh penduduk.
Mereka tadinya menyangka kalau itu adalah
hanya cerita kosong belaka. Namun kini mereka
telah mengetahui kenyataannya, bahwa anak De-
wa itu benar-benar ada.
Jadi jelas, bahwa segala ramalan orang-
orang paranormal itu benar adanya. Anak Dewa
itu kini telah menampakkan diri, sebagai Ken Wi-
jaksono. Namun apa bila mereka mengingat ra-
malan tersebut, makin takut saja mereka. Menu-
rut ramalan, anak Dewa akan membuat sebuah
petaka besar di dunia persilatan. Adakah itu be-
nar? Ikuti saja kisah ini...
EMPAT
Sebuah bayangan berkelebat menembus
malam yang gelap, berlari menuju ke sebuah
kampung. Bayangan itu milik seseorang lelaki,
dengan tubuh terbungkus pakaian serba hitam.
Sejenak bayangan yang ternyata Maling Siluman
berhenti, memandang ke belakang dan kemudian
kembali berlari.
Meskipun kerajaan kini telah tenang dan
aman dari gangguan Gondoruwo yang pernah
membuat bencana, namun profesinya sebagai
Maling Derma terus ia lakukan. Ia berusaha terus
membantu orang-orang yang melarat. Hanya den-
gan cara itulah ia mampu membantu rakyatnya
yang sangat menderita oleh kelaparan dan ke-
miskinan.
Ketika ia tengah berlari, dilihat olehnya se-
buah sinar memancar dari rumah penduduk yang
pernah ia singgahi. Seketika itu, Maling Siluman
teringat akan bayi yang lima belas tahun silam
diberikan pada kedua orang tua.
"Mungkinkah anak tersebut telah dewasa?"
bergumam Maling Siluman dalam hati. "Aku ingin
melihatnya, bagaimana rupa anak tersebut seka-
rang."
Segera Maling Siluman kelebat menuju ke
arah sinar itu muncul. Bagaikan kilat, Maling Si-
luman berlari hingga dalam waktu yang singkat
dirinya telah berdiri di ambang pintu.
"Sampurasun...." sapanya.
"Rampes... Siapakah di luar?" terdengar
suara orang tua menyahuti.
"Aku pak tua. Aku Maling Siluman," men-
jawab Maling Siluman.
Tak berapa lama kemudian, pintu rumah
itu pun terbuka dari dalam. Pak tua yang mem-
buka pintu tersenyum seraya menganggukkan
kepala hormat manakala dilihat olehnya Maling
Siluman.
"Slamat malam, Pak tua."
"Malam, tuan pendekar. Ada gerangan apa
tuan datang?"
"Aku ingin melihat anak itu, Pak tua."
Tengah kedua orang itu bercakap-cakap,
terdengar suara anak muda berseru menanya pa-
da pak tua.
"Siapa yang datang, Ayah?"
"Suara siapakah itu pak tua?" tanya Maling
Siluman.
"Itu anak Dewa, yang aku beri nama Ken
Wijaksono," menjawab pak tua.
Dari dalam rumah, keluar seorang pemuda
tampan yang tubuhnya memancarkan sinar me-
rah. Pemuda itu adalah adiknya, walau bukan
seayah namun satu kandungan. Mata Maling Si-
luman terbelalak, mana kala melihat pemuda
yang berdiri di hadapannya. Pemuda itu terse-
nyum menghormat.
"Siapakah paman ini, Ayah?" tanya pada
pak tua.
"Dia teman ayah. Dia bernama Maling Si-
luman," jawab pak tua.
"Maling Siluman...? Bukankah Maling Si-
luman yang selalu membantu orang miskin itu,
Ayah?" tanya Ken Wijaksono, seperti ia ingin me-
mastikan kebenaran orang di hadapannya. ia te-
lah mendengar nama Maling Siluman, baik dari
ayahnya maupun dari teman-temannya yang te-
lah menjadi anggota.
"Benar, Nak. Dialah Maling Siluman yang
ayah ceritakan padamu."
"Oh, kalau begitu aku menyampaikan hor-
mat."
Tersenyum Maling Siluman melihat anak
tersebut. Anak itu ramah, namun di balik kera-
mahannya, tersembunyi sifat yang ingin selalu
berkuasa, manakala Maling Siluman menatap
mata pemuda itu, seketika hatinya membatin.
"Sungguh-sungguh anak yang berbahaya,
kalau tak mampu mendidiknya. Sorot mata anak
ini, menunjukkan ambisi yang berlebihan. Hem,
apakah ia mengikuti darah ayahnya yang Iblis
itu? Kalau memang ya, tak dapat aku bayangkan
apa yang bakal menimpa kerajaan ini dan dunia
persilatan. Semoga bapak guru telah mengeta-
huinya, agar aku dapat meminta petunjuk dari
beliau tentang anak ini."
"Kenapa paman ini tidak masuk saja? Aku
ingin sekali melihat rupa dari paman ini. Kenapa
paman tak mau membuka penutup mukanya?"
Tersentak kaget Maling Siluman menden-
gar permintaan Ken Wijaksono, yang sepertinya
mengandung sesuatu maksud di balik ucapannya
itu. Sebagai seorang pendekar yang telah malang
melintang di dunia persilatan, dan juga murid da-
ri Sunan Kalijaga Maling Siluman tak mau me-
nunjukkan kekagetannya. Maka dengan suara
halus layaknya orang menggumam, Maling Silu-
man berkata:
"Hem, apakah itu penting, Anak muda?"
"Penting, Paman. Aku rasa paman lebih
baik membuka penutup muka dari pada harus
menyembunyikan diri. Bukankah nama paman
telah kondang? Apa perlunya paman takut?"
Makin tersentak saja Maling Siluman men-
dengar perkataan Ken Wijaksono. Belum pernah
ia mendengar ucapan seorang anak muda yang
lancang seperti anak ini. Apakah mungkin anak
muda ini mempunyai maksud pada Maling Silu-
man?
Maling Siluman yang tak menghendaki
identitas dirinya diketahui hanya mendesah, se-
raya berkata kembali! "Ah, sudahlah. Bukankah
kau telah mengenalku? Aku Maling Siluman, ya
maling Siluman. Tak perlu aku membuka tutup
mukaku, semestinya kau pun memahami hal itu.
Ken Wijaksono?"
Mendengar ucapan Maling Siluman, seke-
tika Ken Wijaksono tertawa bergelak-gelak hingga
tubuhnya berguncang-guncang terbawa oleh ge-
lak tawa. Hal itu menjadikan Maling Siluman dan
pak tua terbelalak kaget.
"Hai, rupanya nama Maling Siluman hanya
isapan jempol!"
"Ken, Kau jangan lancang, Anakku?" berse-
ru pak tua kaget. Ia tak menyangka kalau anak
angkatnya akan lancang berbicara dengan orang
yang telah menyelamatkan nyawanya. Memang
Ken Wijaksono tak mengetahui siapa adanya
orang di hadapannya, namun semestinya ia
menghormatinya.
"Aku tak lancang. Aku hanya ingin melihat
wajah Maling Siluman sebenarnya. Kalau me-
mang ia bermaksud baik, mana mungkin ia me-
nutup mukanya!"
"Jadi kau memaksaku untuk membuka
penutup mukaku?"
"Benar! Aku memang ingin melihat wajah-
mu yang tertutup kain hitam itu. Burukkah wa-
jahmu, atau mungkin busuk!"
Tersentak Maling Siluman mendengar uca-
pan Ken Wijaksono, yang sangat pedas dan me-
nyakitkan. Namun kembali Maling Siluman hanya
mendesah dalam hati. "Gusti Allah, rupanya anak
ini benar-benar menuruni ayahnya. Hem, apakah
ini bukan suatu tanda bencana yang bakal me-
nimpa kerajaan?"
"Maaf, aku tak dapat meluluskan permin-
taanmu," jawab Maling Siluman dengan tenang-
nya, menjadikan Ken Wijaksono melototkan mata
marah. Sepertinya, Ken Wijaksono merasa dirinya
adalah orang yang harus ditakuti. Dirinya adalah
keturunan Dewa, yang segala ucapannya harus
dijalankan oleh yang diperintah. Seperti teman-
temannya, mereka pun menuruti apa yang dikata
oleh Ken Wijaksono. Ken Wijaksono menyamakan
teman-temannya dengan Maling Siluman. Ba-
ginya, semua orang di muka bumi ini harus me-
nyembah dan tunduk pada dirinya. Maka mana-
kala mendengar ucapan Maling Siluman yang
menentangnya, marahlah Ken Wijaksono.
"Bedebah! Kalau kau tak mau membuka
cadarmu, maka akulah yang akan membukanya
sendiri. Maaf, hiat...!"
Tanpa dapat dicegah oleh ayahnya dan
Maling Siluman, Ken Wijaksono yang menganggap
dirinya yang harus ditakuti segera bergerak cepat.
Tangannya berusaha menjambret kain penutup
muka Maling Siluman, namun secepat kilat Mal-
ing Siluman segera egoskan tubuh menghindar
seraya berseru:
"Anak tak tahu diri! Percuma kau dulu aku
tolong! Kalau mengerti tindakanmu seperti Iblis,
dulu aku tak menolongmu."
Tersentak kaget Ken Wijaksono mendengar
makian Maling Siluman. Segera ia hentikan se-
rangan, melompat mundur dan berdiri di sisi
ayahnya seraya bertanya.
"Benarkah akan apa yang paman itu kata-
kan, Ayah?"
Dengan mata menangis, pak tua itu men-
ganggukinya.
"Jadi siapa sebenarnya aku?" gumam Ken
Wijaksono bertanya. Ia kaget melihat ayahnya
mengangguk. Mata Ken Wijaksono yang tadinya
bersinar-sinar, seketika meredup. Ditatapnya ber-
gantian sang ayah dan Maling Siluman, seper-
tinya ingin bertanya tentang siapa sebenarnya di-
rinya itu.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh
pendekar Maling Siluman, Nak. Kau sebenarnya
bukan anakku, tapi ditemukan oleh pendekar
Maling Siluman di tengah kuburan. Sungguh kau
telah berdosa besar bila berani padanya. Tanpa
dia, mungkin kau tak akan selamat seperti seka-
rang. Entah kau akan dimakan apa malam itu.
Maka itulah, Anakku. Kau janganlah terlalu sem-
brono pada pendekar Maling Siluman, yang seca-
ra tidak langsung merupakan orang yang telah
menyelamatkan dirimu."
Tergetar hati Ken Wicaksono mendengar
penuturan ayahnya. Serta merta ia jatuhkan diri
bersujud di kaki Maling Siluman seraya menangis
sesenggukan sesali dirinya yang tak tahu balas
budi itu.
"Hukumlah saya... Hukumlah! Saya telah
berani lancang pada tuan pendekar yang telah
berjasa. Oh, sungguh aku anak tak tahu balas
budi."
"Tak perlu kau tangisi. Aku menyadari ka-
lau kau memang tak mengerti. Sudahlah, yang
penting kau berbuat kebajikan saja aku sudah
senang." menjawab Maling Siluman. "Pak tua, to-
long jaga anak ini baik-baik. Aku akan selalu
membantumu bila diperlukan. Ini untuk sekedar
ucapan terima kasihku padamu yang telah men-
gasuh anak ini."
Disodorkan sekantong uang pada pak tua,
yang saat itu menolaknya seraya berkata. ''Kami
tak dapat menerimanya, Tuan pendekar. Jasa
tuan telah banyak kami terima. Kini kamilah yang
seharusnya membantu, karena kami rasa tuan te-
lah cukup banyak membantu kami"
"Baiklah, Pak tua. Kalau itu memang mau-
mu, aku pun tak dapat memaksa. Aku mohon
pamit," berkata Maling Siluman. Setelah terlebih
dahulu mengusap rambut Ken Wijaksono, Maling
Siluman pun berkelebat pergi meninggalkan ru-
mah pak tua yang memandang kepergiannya den-
gan gelengan kepala. Sementara Ken Wijaksono,
hanya mampu memandang kepergian Maling Si-
luman dengan linangan air mata. Perasaannya
sebagai seorang manusia tersengat juga, manaka-
la merasa dirinya telah berlaku kurang ajar pada
tuan penolongnya.
Setelah meninggalkan rumah pak tua, Mal
ing Siluman pun seperti biasanya segera melaku-
kan tugasnya. Malam itu adalah giliran rumah
Datuk Lutung Gerek, seorang datuk sesat yang
juga membuka praktek dukun cabul. Datuk itu
juga menjadi tuan tanah yang kelewat kejamnya.
Bila tanah penduduk tak dapat dibelinya, maka
dengan kekerasanlah yang ia gunakan.
"Datuk ini memang benar-benar keterla-
luan. Sifatnya tak ada beda dengan Iblis. Mungkin
karena ia penganut Iblis, jadi ia pun mempunyai
sifat Iblis pula," berkata hati Maling Siluman se-
raya mengendap-endap mendekati rumah sang
Datuk.
Setelah dirasa aman, segera Maling Silu-
man berkelebat melompati pagar rumah sang Da-
tuk dan hinggap di atas wuwungan genting ru-
mah itu. Sesaat matanya memandang sekeliling,
lalu setelah dirasa aman Maling Siluman itu sege-
ra membuka satu persatu genting. Setelah dirasa
cukup, segera Maling Siluman berkelebat masuk
turun ke bawah. Namun sungguh tak dinyana,
kalau ternyata Datuk Lutung Gerek ternyata be-
lum tidur. Datuk Lutung Gerek serta merta ter-
sentak, lalu membentak. "Siapa kau!"
"Aku Maling Siluman," jawab Maling Silu-
man yang sudah merasa tak ada gunanya lagi
menyembunyikan diri. "Berikan uang serta per-
hiasan yang kau miliki padaku."
"Enak saja kau bilang! Langkahi dulu
mayatku, Hiat...!"
Datuk Lutung Gerek yang memang sudah
gedeg dengan berita-berita Maling Siluman, serta
merta cabut golok yang tergantung di dinding
kamar. Dengan didahului pekikkan. Datuk Lu-
tung Gerek segera menyerang membabi buta. Go-
lok di tangannya berkelebat cepat, tak ubahnya
seperti mempunyai mata. Golok itu menusuk-
nusuk ke arah jantung lawan.
Maling Siluman membersit, lemparkan tu-
buh ke atas lalu balik dengan tangan siap meng-
hantam. Bersamaan dengan itu, Datuk Lutung
Gerek berteriak menjadikan seketika para penga-
walnya tersentak dan langsung menyerbu ke arah
suara itu.
"Huh bahaya kalau begini. Aku harus sege-
ra bertindak!" membatin Maling Siluman, lalu
dengan segera ia hantamkan pukulannya ke arah
Datuk yang seketika itu tersentak dan berusaha
menghindar. Namun sungguh malang, pukulan
yang dilontarkan Maling Siluman ternyata lebih
cepat bertindak.
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali pukulan berturut-turut menghan-
tam tubuh Datuk Lutung Gerek, yang seketika itu
pula terhuyung-huyung ke belakang dengan da-
rah meleleh di kedua sela-sela bibirnya. Tubuh
sang Datuk terjajar ke tembok, perlahan menyo-
sot turun ambruk ke bawah dan mati.
"Gusti Allah, sungguh aku telah membu-
nuhnya. Oh..." Maling Siluman merasa terpukul
manakala mengetahui bahwa dirinya telah menu-
runkan tangan keras. Dia menyesal, namun bila
tidak begitu maka dirinya yang menjadi korban.
Setelah mengambil barang-barang yang sekiranya
perlu, Maling Siluman segera pergi meninggalkan
rumah itu.
***
Sang Raja yang mendapat laporan tentang
kematian Datuk Lutung Gerek, seketika merasa
terkejut. Pikirannya kini berkecamuk macam-
macam pertanyaan, siapakah sebenarnya Maling
Siluman itu? Maling Siluman telah menghancur-
kan dua orang yang paling dekat dengan dirinya.
Pertama patihnya, lalu kini Datuk Lutung Gerek.
Sungguh perbuatan yang tak dapat dimaafkan
oleh sang Raja.
Walau tindakkan Maling Siluman bertu-
juan membantu rakyatnya, namun bagi sang raja
tindakan itu tidak berdasarkan pada tempatnya.
Tindakan Maling Siluman harus dihentikan, na-
mun untuk menghentikannya sangatlah tidak
mudah. Sang raja belum tahu siapa sebenarnya
Maling Siluman, dan apa tujuannya berbuat begi-
tu rupa.
Maka untuk mendapatkan dan untuk me-
nangkap Maling Siluman, sang raja segera mem-
buat sayembara yang isinya "Barang siapa yang
mampu menangkap Maling Siluman Hidup atau
mati, dia akan mendapatkan kedudukan di kera-
jaan."
Berita itu sempat sampai di telinga pak tua
dan anak angkatnya. Ken Wijaksono. Mereka
bimbang harus berbuat bagaimana. Mereka tahu
siapa adanya Maling Siluman, namun mereka
masih menghargai jasa Maling Siluman yang telah
membantu mereka.
"Bagaimana, Ayah? Apakah aku harus ikut
dalam sayembara ini?"
Ditanya seperti itu oleh sang anak, seketika
pak tua hanya terdiam tanpa dapat berkata apa.
Hatinya yang merasa berhutang budi, sangatlah
susah untuk memungkirinya. Pak tua hanya
mampu terdiam bisu, dan bisu tanpa dapat bi-
cara sepatah pun. Hal itu menjadikan anaknya
kembali bertanya.
"Ayah, bagaimana menurut ayah?"
"Aku bingung, Anakku. Kalau kau mengi-
kuti sayembara itu dan kau mampu menangkap
Maling Siluman, secara tidak langsung kau telah
berbuat yang tidak mengerti balas budi. Tapi bila
kita membiarkannya, jelas kita telah menentang
kerajaan. Sebagai seorang rakyat kita memang
diperlukan. Tapi sebagai seorang manusia priba-
di, kita akan selalu mengingat balas budi seseo-
rang."
Ken Wijaksono seketika terdiam. Ia juga
memikirkan tentang sebab akibatnya, tentang ha-
ti nurani dan keberadaannya. Sungguh suatu pi-
lihan yang susah, yang mesti dipikirkan dengan
penuh seksama. Mungkin karena tak mengerti
harus berbuat apa. Ken Wijaksono hanya pergi ke
luar meninggalkan sang ayah.
Angin malam bertiup dengan kencang, se-
perti menusuk dingin terasa di tulang. Ken Wijak-
sono masih berjalan dengan pikiran yang bim-
bang, menyusuri malam gulita tanpa sinar. Ma-
nakala ia terus berjalan, tiba-tiba terdengar oleh
nya seseorang berkata. Suara itu tanpa ujud,
menjadikan Ken Wijaksono seketika itu tersentak
kaget dan mencari siapa gerangan orang yang bi-
cara itu.
"Ken Wijaksono, kau mendengar suaraku?"
"Ya, aku mendengar. Siapa kau...?" tanya
Ken Wijaksono.
"Ken Wijaksono, kau adalah keturunanku.
Maka kau harus menuruti apa yang akan aku pe-
rintahkan padamu," berkata suara itu kembali,
menjadikan Ken Wijaksono tersentak kembali.
"Keturunanmu? Hai, apakah kau tidak
ngelantur? Aku adalah anak Dewa, mana mung-
kin kau mengaku-aku nenek moyangku? Kalau
kau benar nenek moyangku, jelas kau harus se-
perti aku. Akulah orang yang sakti."
"Hua, ha, ha... Bukan hanya jadi orang
sakti saja, Anakku. Kau harus melebihi diriku,
dan memang kau melebihi diriku. Kau sakti man-
dra guna, tak akan ada yang dapat menandingi
dirimu."
"Kau menyebut anak padaku, siapakah di-
rimu?" tanya Ken Wijaksono seraya kerutkan ken-
ing. "Kau jangan bercanda, atau barang kali kau
hendak mempengaruhi aku?"
"Tidak, Anakku. Aku memang ayahmu.
Aku sengaja mencetakmu di rahim permaisuri Ra-
ja Sukma Lelana. Aku berharap, kelak kau akan
menjadi orang yang paling sakti, itulah sebabnya
kau aku lindungi dari kematian bersama ibumu.
Kau kumunculkan ke permukaan bumi, manaka-
la saatnya kau lahir. Ibumu telah mati, sedang
kan aku tak dapat keluar dari duniaku dunia Ib-
lis. Maka itulah, aku hendak meminta-mu untuk
menggantikan diriku."
Termakan juga rupanya hati Ken Wijakso-
no mendengar penuturan Iblis yang memang
ayahnya yaitu Genderuwo, yang mati di tangan
Maling Siluman. Hati kecilnya gundah, tak tahu
harus berbuat bagaimana. Ingin ia menolak uca-
pan Iblis, tapi rasanya ada sesuatu yang meng-
hendaki dirinya untuk mempercayai segala kata-
kata Iblis itu.
"Baiklah kalau memang benar itu adanya.
Apa yang hendak engkau perintahkan padaku?
Dan siapa dirimu adanya?" tanya Ken Wijaksono,
setelah sekian lama terdiam dengan pikirannya.
"Hua, ha, ha... Itu bagus. Nah, dengarlah.
Aku bernama Gandarta atau Gordoruwo. Kau
adalah titisanku, maka kau harus maha sakti me-
lebihi diriku. Aku telah menitis di tubuhmu sejak
saat ini. Bunuh Maling Siluman atau Atma Ku-
suma dan orang tua angkatmu. Karena mereka-
lah yang kelak akan menghalangi semua tujuan-
mu. Bila semua telah kau bereskan, singkirkan
raja bodoh itu. Kau harus menjadi raja di raja.
Kuasai seluruhnya, termasuk semua perguruan-
perguruan silat. Bila ada yang membangkang,
bunuh saja!"
Ken Wijaksono untuk sesaat terdiam men-
dengar penuturan Iblis yang mengaku-aku seba-
gai ayahnya. Hatinya seketika bergolak, antara
ucapan Iblis itu dengan perasaannya sebagai ma-
nusia. Bagaimana mungkin orang yang telah menolongnya harus dibunuh? Apakah itu suatu hu-
kum alam yang gila...? Tengah Ken Wijaksono
bimbang, kembali terdengar olehnya suara Iblis
itu berkata.
"Bagaimana, Anakku? Kenapa kau ter-
diam? Kalau kau ingin menjadi orang yang sakti
mandraguna dan ditakuti, janganlah kau bertin-
dak dengan setengah-setengah. Lakukan segala
apa yang sekiranya kau anggap itu harus dilaku-
kan. Tantang kehidupan dengan jiwa besar dan
kemenangan. Keraskan pendirian, kuatkan ke-
mauan."
"Baiklah. Aku akan menuruti apa yang te-
lah kau katakan. Kalau kau memang benar ayah-
ku. Tapi kalau kau bukan, jangan harap kau da-
pat lolos dari tanganku walau kau Iblis marah-
kiyangan sekalipun. Ingat itu, Gonderuwo!"
"Hua, ha, ha... Jangan kuatir, Anakku. Ke-
lak kau akan mendapatkan siapa adanya dirimu.
Kau akan mampu mengubah dirimu menjadi
Gondoruwo yang besar bila hal itu kau butuhkan
yaitu dalam keadaan terdesak."
Bersamaan dengan habisnya ucapan Gan-
darwo, seketika melesatlah sebuah sinar masuk
ke tubuh Ken Wijaksono melalui ubun-ubunnya.
Sesaat Ken Wijaksono melotot, tenggorokannya
bagaikan dicekik. Keringat dingin mengucur deras
dari keningnya. Ingin rasanya ia berteriak, namun
hal itu tak dapat ia lakukan. Tubuhnya kembali
menyala terang, dan makin terang berwarna
membara. Tubuh Ken Wijaksono mengeluarkan
asap, mengepul-ngepul bagaikan mendidih. Me
mang darahnya mendidih, bergelora laksana gu-
nung berapi yang hendak meletus. Napasnya
memburu, badannya kaku, mulutnya mengunci
dengan gigi-gigi saling beradu. Saking bergolak-
nya darah di tubuh Ken Wijaksono, menjadikan
Ken Wijaksono tak mampu menahannya. Pemuda
itu akhirnya tergeletak pingsan.
LIMA
Tiga orang berwajah cacat yang berjuluk
Tiga Iblis Cacat Rupa nampak berlari-lari. Mereka
sepertinya tengah menuju ke suatu tempat. Wa-
jah ketiganya rusak menyeramkan, makin tampak
menakutkan dengan roman muka yang tampak
tak ada kebahagiaan sedikit pun.
Tiga Iblis Cacat Rupa itu, berlari tanpa ba-
nyak kata-kata. Dan mereka berhenti manakala
tampak oleh mereka sebuah rumah yang mirip
dengan pondok. Kanan kiri rumah tertutup den-
gan tembok. Hanya depan rumah saja yang ter-
buka. Ketiganya sesaat memandang hening, den-
gan sorot mata yang seakan menaruh kebencian.
"Lompong Wulung, keluar kau!" berseru si
Jereng. Matanya yang jereng memandang aneh.
Pandangannya nanar, ke mana ia memandang ke
mana pula arah matanya. Tak ada jawaban dari
dalam rumah, menjadikan ketiga iblis itu saling
pandang.
"Kunyuk! Apa kau takut pada kami, Lom-
pong Busuk!" kini giliran si Bopeng berseru. "Kalau kau benar seorang pendekar, keluarlah! Jan-
gan seperti tikus yang dikejar-kejar kucing. Kami
datang untuk menagih janjimu."
Gembar gembor ketiga Iblis Cacat Rupa itu
bagaikan berlalu begitu saja, tak ada jawaban da-
ri dalam rumah. Rumah itu masih nampak sepi,
gelap tak ada lampu secuil pun. Menyaksikan itu
semua, geramlah hati ketiga Iblis Cacat Rupa.
"Bedebah! Rupanya sekarang kau penge-
cut, Lompong busuk!" menggeretak marah si
Sumbing. "Ayo kita serbu saja ke dalam!"
Berbareng ketiga iblis cacat serentak
menghambur masuk ke dalam pagar rumah.
Dengan langkah-langkah pasti, ketiganya mema-
ku di muka pintu saling pandang.
"Dobrak saja!" berkata Jereng. "Baiklah ka-
lau kau tak mau keluar, kamilah yang masuk!"
seru si Sumbing. Sepontan kaki kanannya me-
nendang pintu dengan keras hingga pintu itu pun
jebol.
"Awas serangan!" seru si Bopeng menya-
darkan dua rekannya.
Dari dalam melesat beberapa tombak me-
nyerang ke arah mereka. Serta merta ketiganya
mencelat, menghindari serangan seraya mencaci
maki.
"Kunyuk! Kau tak lebihnya seorang penge-
cut! Jangan harap kami mampu kau akali, Ku-
nyuk!" membentak Jereng. Tangannya segera
berkelebat cepat, tangkap salah satu tombak.
Dengan mata jereng ternyata si Jereng sangat ta-
jam penglihatannya. Dilemparkan tombak ke arah
asal, seketika itu terdengar makian dari seseorang
yang belum tampakkan mukanya.
"Bedebah! Rupanya kalian mencari mam-
pus!"
"Anjing gudig! Kalau kau lelaki, keluarlah
dari situ dan jangan hanya bisa ngomong!" mem-
bentak marah si Sumbing, demi mendengar se-
ruan orang yang belum tampakkan rupa.
Tak berapa lama kemudian seberkas sinar
merah tiba-tiba muncul. Suara itu makin lama
makin dekat dan menerangi mereka. Ketiga Iblis
Cacat Rupa itu tersentak manakala tahu siapa
yang telah mengeluarkan sinar itu. Sinar itu ke-
luar dari tubuh seorang pemuda, yang berjalan ke
arah mereka, ketiga Iblis Cacat Rupa, maka ter-
sentak mundur seraya membentak bertanya.
"Siapa kau!"
"Kalian telah menggangguku. Kalian harus
mati!" menggeretak anak muda itu. Matanya ta-
jam menghunjam, memandang pada ketiganya.
Senyumnya sinis, mirip dengan senyum memba-
wa kematian. "Kalian tahu, akulah Anak Dewa!
Akulah yang bakal memimpin kalian! Bila kalian
menolak, maka jangan harap kalian akan hidup!
Lihat itu!"
Pemuda itu menunjukkan telunjuknya,
yang diikuti oleh ketiga Iblis Cacat Rupa meman-
dang. Mata ketiganya seketika membeliak kaget
manakala tampak oleh mereka sesosok mayat
mengering tergeletak di sudut ruangan yang me-
reka kenali siapa adanya.
"Rupanya kau yang telah membunuh orang
itu?" tanya ketiga Iblis kaget.
"Ya, kenapa?" jawab si pemuda. "Kalau ka-
lian rewel pun aku akan mengirim kalian ke ak-
herat sepertinya."
"Sombong kau, Anak muda!" menggeretak
si Sumbing marah. Ia merasa diremehkan oleh
pemuda itu. Namun pemuda itu bukannya takut,
malah pemuda itu ganda tertawa.
"Hem, apa kalian ingin bukti?" tanyanya
dengan sinis.
Ketiga Iblis Cacat Rupa itu tersentak kaget,
manakala dilihat oleh mereka tangan pemuda itu
memancarkan sinar merah. Dan ketika telunjuk
Ken Wijaksono nama pemuda itu menunjuk, se-
ketika dari jari telunjuk memancarkan sinar me-
rah yang terasa panas tiada tara. Serta merta ke-
tiga iblis itu melompat menghindar dengan mata
mereka melotot kaget.
"Heh... Dari mana kau peroleh ajian Lulur
Raga itu?" tanya ketiga Iblis Cacat Rupa kaget,
sebab setahu mereka hanya patih Brah Amung-
karti saja yang memiliki, tapi kenapa pemuda di
hadapannya memiliki juga?
Pemuda itu ganda tertawa melihat ketaku-
tan Iblis Cacat Rupa. Tangannya masih mencerca
mereka dengan ajian tersebut, menjadikan ketiga
Iblis Cacat Rupa harus berjuang mati-matian un-
tuk mengelakkannya. Tubuh ketiga Iblis itu ber-
jumpalitan, dipermainkan oleh serangan-
serangan yang dilancarkan Ken Wijaksono. Ken
Wijaksono bagai tak mau tahu, ia tetap mencerca
dengan ajiannya yang bertubi-tubi dan mengarah
bergantian pada ketiga Iblis Cacat Rupa.
"Hentikan! Kami mengakui keunggulanmu,
kami mau menjadi pengikutmu," berseru si Bo-
peng yang tampak telah kecapaian. Napasnya
ngos-ngosan dengan keringat bercucuran.
Mendengar permintaan si Bopeng, segera
Ken Wijaksono hentikan serangan. Matanya kem-
bali memandang pada ketiga iblis di hadapannya.
Senyumnya tersungging penuh kemenangan, lalu
dengan suara sinis berkata:
"Baik, aku ampuni kalian karena kalian te-
lah mengakui siapa aku adanya. Mulai hari ini ju-
ga, kalian harus dapat menaklukkan beberapa
perguruan silat. Ajak mereka untuk bergabung,
bila tidak mau kalian bunuh ketuanya atau han-
curkan saja perguruan itu."
"Daulat, Ketua. Hari ini juga, engkaulah
ketua kami!" menjawab ketiga iblis itu seraya
menjura hormat, menjadikan Ken Wijaksono
sunggingkan senyum. Maka dengan meninggal-
kan gelak tawa berkepanjangan. Ken Wijaksono
segera berkelebat pergi tinggalkan ketiga iblis
yang hanya terbengong menyaksikan kepergian-
nya. Setelah sesaat terdiam Ketiga Iblis Cacat Ru-
pa itu pun segera tinggalkan rumah Lompong Wu-
lung, yang kembali sepi bagaikan tak berpenghu-
ni.
***
Jaka Ndableg yang tengah berjalan menik-
mati suasana pagi, seketika matanya tertarik pa-
da sebuah rumah yang pintunya terbuka. Pintu
rumah itu seperti dibuka dengan paksa, sehingga
keadaan pintu rumah itu berantakan.
"Hem, sepertinya ada sesuatu di rumah
itu," bergumam Jaka dalam hati. Segera Jaka
Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah ber-
kelebat menuju ke rumah tersebut. Langkahnya
perlahan-lahan, sepertinya ia tak mau gegabah
untuk menghadapi hal yang dapat saja terjadi ka-
lau ternyata rumah itu jebakan untuk dirinya.
Jaka sadar kalau musuhnya banyak menyebar di
mana-mana, walau pun temannya juga ada di
mana-mana.
Bagai seekor kucing tengah mengintai tikus
Jaka Ndableg melangkah dengan tumit kakinya,
menjadikan langkahnya tak terdengar sama seka-
li. Matanya yang tajam laksana burung Raja wall,
memandang tak berkedip pada sekeliling rumah
itu.
"Sepi... Ya, sepi rumah ini. Sepertinya tadi
malam telah terjadi sesuatu di sini," kembali Jaka
bergumam.
Setapak demi setapak langkahnya mende-
kati ke pintu rumah. Diambilnya sebuah batu ke-
cil, lalu dilemparkan batu kecil itu ke dalam ru-
mah.
"Bletok!"
Terdengar suara batu beradu dengan ben-
da yang keras menyerupai batok kepala. Tak ada
reaksi yang keluar dari dalam rumah. Perlahan
Jaka menongolkan kepalanya melihat ke dalam.
Seketika matanya memandang pada sesosok tu-
buh yang hitam legam bagaikan terbakar duduk
di sudut ruangan itu.
"Sepertinya orang itu telah mati. Baik akan
aku dekati," berkata Jaka. Segera dengan tangan
siap menghantamkan pukulan tenaga dalamnya
Jaka memasuki rumah itu. Memang benar, bah-
wa orang tersebut ternyata memang telah mati.
Tubuh orang tersebut hangus bagaikan terbakar,
menjadikan tubuhnya hitam legam laksana
arang. Jaka hanya mampu gelengkan kepala, ma-
nakala tahu keadaan orang itu. Serta merta ha-
tinya bergumam lirih, penuh kekeluan mengingat
betapa dunia ini sangat banyak kejadian-kejadian
yang sukar untuk dicerna oleh akal.
"Gusti Allah, gerangan apa yang telah ter-
jadi? Sepertinya orang ini mati oleh pukulan yang
sangat ganas. Hem, siapakah yang memiliki pu-
kulan ganas yang menyerupai pukulan Tapak
Bahanaku?"
Pertanyaan di hati Jaka, sepertinya tak ada
jawaban. Semua membisu, tak mau menceritakan
apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah itu.
Perlahan Jaka membopong tubuh hitam legam itu
keluar, lalu menaruhnya di bawah sebuah pohon.
Setelah menaruh tubuh orang itu, segera Jaka
kembali masuk ke dalam untuk memeriksa apa
yang dapat dijadikan bahan untuk dirinya men-
genali siapa adanya orang tersebut Jaka segera
membongkar almari yang ada di dalam kamar.
Dibukanya satu persatu pakaian yang ada di situ
dengan harapan dapat memperoleh keterangan
yang berguna untuk dirinya. Sekian lama Jaka
membongkar-bongkar seluruh isi almari, namun
Jaka tak menemukan sesuatu apapun yang ber-
guna. Hampir saja Jaka putus asa, manakala ma-
tanya yang tajam memandang pada bumbung
bambu yang terselip di pagar rumah.
"Mungkin di benda itu akan aku temui se-
gala rahasia ini."
Segera Jaka mengambil bumbung tersebut
dari selipan bilik rumah, lalu dibukanya tutup
bumbung dan dikeluarkan segala isinya. Lemba-
ran-lembaran daun lontar mengering keluar dari
dalam bumbung tersebut. Lembaran-lembaran
daun lontar itu terdapat tulisan yang ditulis den-
gan hurup jawa, berbunyi "Dunia persilatan akan
mendapatkan bencana dengan da-tangnya manu-
sia yang mengaku Anak Dewa, yang sebenarnya
keturunan Iblis Gondoruwo. Hanya ada dua orang
yang mampu mencegah segala tindakannya. Per-
tama seorang pemuda yang memiliki senjata pe-
dang bernama Pedang Siluman Darah. Sedang
yang seorang lagi, adalah murid Sunan Kalijaga
yang bergelar Maling Siluman dengan ajiannya
Lampus Umur yang belum ada tandingannya.
Namun begitu, Maling Sakti tak akan mampu
membinasakan Anak Dewa karena ia masih seda-
rah kandungan. Kini semuanya tinggal menye-
rahkan nasibnya pada pendekar muda yang ten-
gah menggemparkan dunia persilatan dengan Pe-
dangnya Siluman Darah."
"Hem, jadi kini di dunia persilatan akan
muncul seorang pemuda sakti yang mengaku
anak Dewa. Apa sih keistimewaannya, sehingga
dia menyebut dirinya Anak Dewa? Aku jadi terta
rik untuk menyelidikinya," gumam Jaka pada diri
sendiri. "Hai, kenapa aku sampai lupa untuk
mengetahui siapa adanya penulis surat ini?"
Kembali Jaka membuka lipatan daun lon-
tar itu, lalu dibacanya kembali. Di situ tertulis
nama seorang penulisnya Lompong Wulung di-
tujukan surat itu untuk para tokoh persilatan go-
longan lurus.
"Kalau begitu aku akan menyampaikan su-
rat ini pada para tokoh golongan lurus dulu, baru
aku ingin menemui Maling Siluman. Sebab menu-
rut surat ini, Maling Silumanlah yang diincar oleh
Anak Dewa yang sebenarnya anak Iblis, Mengapa
bisa begini, sih? Aku akan mencoba menanyakan
pada Maling Siluman," berkata Jaka dalam hati.
Setelah mengubur mayat Lompong Wu-
lung, dan memeriksa kembali keadaan rumah ter-
sebut Jaka dengan segera berkelebat meninggal-
kan rumah itu dengan membawa surat dari daun
Lontar.
***
Tengah Jaka berlari membawa surat yang
ditulis di daun lontar, seketika langkahnya ter-
henti manakala telinganya yang tajam mendengar
seorang wanita menjerit-jerit meminta tolong. Ja-
ka yang tak suka bila seorang lelaki menyakiti
wanita apalagi hendak memperkosanya segera
membalikkan tubuhnya, kembali ke asal suara
itu. Tak sulit untuk Jaka menemukan di mana
asal suara tersebut, karena telinganya yang tajam
peka menerimanya.
Melotot mata Jaka seketika, manakala me-
lihat seorang lelaki muda tengah menggeret-geret
tangan seorang gadis yang menjerit-jerit minta di-
lepaskan.
"Lepaskan aku, Kakang. Lepaskan...!"
"Tidak! Kau telah berbuat gila dengan
orang lain," membentak si pemuda sewot. Ma-
tanya memandang tajam dan liar, sepertinya hen-
dak menghunjam pada mata si gadis. "Kau telah
mengkhianati cintaku, Wulan. Kau telah berani
menyeleweng dengan lelaki lain."
Melihat kenyataan bahwa kedua sepasang
muda mudi itu hanyalah ribut masalah cemburu
buta, seketika bergelak tawalah Jaka. Hal itu
menjadikan kedua muda mudi itu tersentak ka-
get, dan langsung memandang pada Jaka. Si ga-
dis yang bernama Wulan, tersenyum genit pada
Jaka. Sedangkan pemuda yang sedari tadi meng-
geret-geret tangannya nampak melotot marah se-
raya membentak.
"Siapa kau. Kenapa kau tertawa?"
"Maaf, aku jadi teringat pada masa aku pa-
caran dulu. Seperti kau, aku pun seorang pemu-
da yang cemburuan. Sedikit-sedikit selalu cembu-
ru bila melihat pacarku berbincang-bincang atau
duduk-duduk dekat dengan orang lain, ya seperti
kaulah persis," jawab Jaka seenaknya seraya ge-
leng-gelengkan kepala dan bibir tersenyum-
senyum, lalu dengan bibir mengurai senyum Jaka
pun bermaksud pergi meninggalkan tempat itu
manakala pemuda pacar sang gadis berseru me
nanggilnya. "Hoi, tunggu!"
"Ada apa lagi?" tanya Jaka seraya hentikan
larinya dan balik kembali.
"Aku ada perlu denganmu," menjawab si
pemuda.
"Perlu? Perlu apa? Aku takut nanti meng-
ganggu kalian."
"Tidak...."
"Ah, gampang lain waktu saja. Maaf, aku
terburu-buru. Nah selamat bercintrongg... Hua,
ha, ha...."
Jaka tertawa bergelak-gelak sembari me-
langkah kembali berlalu meninggalkan kedua pe-
muda-pemudi itu, yang kini hanya tersenyum-
senyum sembari gelengkan kepala melihat kela-
kuan Jaka. Sang pemuda hanya tersenyum-
senyum, sementara si gadis yang bernama Wulan
tampak terdiam. Entah karena apa, seketika hati
Wulan terpaut manakala melihat wajah Jaka.
"Sungguh tampan wajah pemuda itu, polos
dan mengandung humor. Siapakah namanya? Ah,
aku tak dapat menghilangkan wajahnya yang
tampan itu, sepertinya tak akan menghilang dari
pelupuk mataku," bergumam hati Wulan, sehing-
ga Wulan pun terdiam dengan bibir tersenyum-
senyum sendiri.
Melihat gadisnya tersenyum-senyum sendi-
ri, pemuda yang tak lain Ken Wijaksono seketika
memandang tak berkedip seraya kerutkan kening
penuh rasa cemburu dan bertanya.
"Kau tertarik pemuda itu?"
"Kenapa kakang terus menerus cemburu
begini rupa?" balik bertanya Wulan, sepertinya
tak ingin mendengar pertanyaan yang hanya itu-
itu saja dari mulut Ken Wijaksono. "Apa sih yang
menjadikan kakang begitu cemburu buta?"
"Karena aku mencintai dan menyayangi-
mu," menjawab Ken Wijaksono, menjadikan Wu-
lan tersenyum sinis. "Kenapa kau tersenyum sinis
begitu padaku, Wulan?"
"Ah, kakang terlalu berprasangka," mende-
sah Wulan mencoba menutupi apa yang ada di
hatinya.
"Aku tak berprasangka. Itu benar, bukan?"
"Tidak! Bukankah sudah aku katakan
bahwa cintaku hanya untuk kakang. Semestinya
kakang jangan terlalu cemburu buta begitu. Apa-
lah artinya pengekangan, Kakang."
"Ah, sudahlah. Ayo kita pulang," mengajak
Ken Wijaksono merasa kalah untuk berdebat den-
gan Wulan. Wulan hanya tersenyum, menurut
melangkah pulang tanpa banyak bicara lagi.
ENAM
Jaka Ndableg nampak berdiri kebingungan
manakala melihat sungai membentang di depan-
nya. Langkahnya untuk meneruskan ke tempat
para tokoh persilatan terhenti, ia tak dapat me-
lompati sungai yang lebar itu. Bila mengambil ja-
lan memutar, jelas memerlukan waktu.
"Kuya, mengapa sungai sialan ini tiba-tiba
menghadangku?" bergumam Jaka seraya garuk
garuk kepala yang tak gatal. "Wow, aku ini seperti
orang dungu saja. Kenapa aku tak menggunakan
otakku yang sedari kecil aku pasang di jidat ini?"
Habis berkata begitu Jaka segera kembali
menuju ke dalam hutan untuk mencari sebatang
kayu yang bakal digunakannya untuk menyebe-
rang sungai. Tak lama Jaka mencari kayu, kemu-
dian ia pun kembali ke sungai untuk melakukan
uji cobanya yaitu berjoget ria di atas sebatang ca-
bang pohon dalam usahanya mengarungi sungai
yang luas.
Ketika Jaka hendak melemparkan kayu itu
ke sungai, tiba-tiba dilihatnya tiga orang tengah
menuju ke arahnya dengan menaiki rakit bambu.
Jaka tak segera melempar kayu yang telah di-
genggamnya, ia menunggu mereka yang tengah
menaiki rakit seraya berseru.
"Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku num-
pang di rakit yang kalian pakai itu? Biarlah aku
akan membayar untuk itu."
Ketika orang penunggang rakit itu tak bica-
ra sepatah kata pun. Mereka terus mengayuh ra-
kit itu makin lama makin menepi.
"Jadi kalian membolehkan aku ikut bersa-
ma kalian untuk menyeberang?" tanya Jaka.
Ketiga orang itu tak menjawab, mereka
hanya menganggukkan kepala saja. Tanpa meng-
hiraukan mereka, segera Jaka melompat turun
dan menapakkan kakinya di atas rakit. Sesaat
rakit oleng oleh tekanan kaki Jaka, menjadikan
ketiga orang itu sedikit tersentak kaget. Dalam
hati mereka menggumam, "Inikah Pendekar Pedang Siluman Darah yang telah menggemparkan
dunia persilatan?"
"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian tak ber-
bicara sepatah katapun? Apakah kalian tak me-
nyukai aku ikut bersama kalian?" tanya Jaka se-
telah rakit itu berjalan sampai di tengah sungai
yang sangat luas itu. Jawaban dari pertanyaan
Jaka...
"Aoor...."
Tersentak Jaka seketika, manakala melihat
rupa ketiga orang itu. Rupa ketiga orang itu san-
gat menakutkan dan menyeramkan. Mata mereka
tak ada semua, begitu juga dengan hidung mere-
ka. Sementara mulut mereka lebar ke samping,
menganga memperlihatkan gigi-giginya yang
runcing-runcing.
"Gusti Allah, siapakah mereka ini?" gumam
Jaka dalam hati.
Belum juga Jaka tersadar dari kagetnya,
serta merta ketiga mahluk menyeramkan itu se-
rentak menyerangnya. Ketika tubuh mereka ber-
kelebat, bau busuk seketika menyengat keluar
dari tubuh ketiga orang itu, bau bangkai.
"Siapa kalian, Ki Sanak?" kembali Jaka
bertanya.
"Aooh...." kembali jawaban itu yang terden-
gar.
Jaka tersentak manakala tangan ketiga
mahluk yang bau bangkai itu menyerang ke
arahnya. Serta merta Jaka berusaha menghindar,
namun tangan salah satu mahluk menyeramkan
itu tak dapat luput. Tangan itu menghantam telak
di dada sebelah kirinya. Seketika baju yang dike-
nakan Jaka terbakar gosong, dengan kulit dada
seketika menghitam. Tersentak Jaka melompat
mundur, mulutnya mendengus penuh kekesalan.
Namun dasar ia ndableg, walau marah Jaka
nampak masih tersenyum-senyum.
"Setan... Kalau kalian memang ingin me-
ngeroyokku, maka aku ingin kalian jawab dengan
sejujur-jujurnya. Nah, dengar pertanyaanku. Bila
kalian menjawab dengan jujur maka kalian akan
memperoleh hadiah dari diriku berupa tiket gratis
ke neraka. Siapa yang telah menyuruh kalian
bergentayangan di dunia?"
"Gooar...oaar..."
"Eh, rupanya kalian menjawab dengan be-
nar. Baiklah, aku akan memberikan tiket gratis
untuk kalian menuju ke neraka. Bersiaplah,
hiat...!"
Tanpa banyak bicara lagi Jaka yang meli-
hat ketiga mahluk penyerangnya hendak kembali
menyerang segera hantamkan ajian Getih Sak-
tinya. Seketika itu pula, menjeritlah ketiga mah-
luk itu. Tubuh mereka seketika meleleh, daging-
nya menghilang dan ambruk tinggal tulang belu-
lang. Namun belum juga Jaka dapat tersenyum
panjang, tiba-tiba dari dalam air bermunculan
mahluk yang lebih menyeramkan. Mahluk-
mahluk itu berbadan hitam kecoklat-coklatan,
dengan mata nongol ke luar dan lidah merah
memanjang menjulur ke luar dari mulut mereka.
Melihat hal itu Jaka yang memang ndableg seke-
tika berseru.
"Ladahlah, kenapa kalian yang sudah te-
nang di dasar sungai ini muncul ke permukaan?
Apakah kalian memang sengaja ingin sekedar me-
lancong piknik? Wah, bagaimana kalau kahan tak
memiliki transport untuk pulang?"
"Aor... Oaaoor..."
Mahluk-mahluk itu sepertinya mengerti ka-
ta-kata Jaka, terbukti mereka dengan segera
membuka serangan. Bagaikan anak-anak SMA
dan STM Budi Utomo, mereka pun berkelahi den-
gan cara keroyokan. Rupanya mode anak-anak
SLTA di Jakarta yang suka bertempur keroyokan,
dijadikan mode kaum iblis yang mengeroyok Ja-
ka.
"Wadow... Kenapa iblis-iblis ini genit ban-
get? Nih, untuk kalian...!" seru Jaka manakala li-
ma iblis itu menyerangnya. Segera Jaka sodorkan
tangannya yang telah dilampiri ajian Petir Sewu.
Seketika muka kelima mahluk iblis itu meledak,
terhantam petir yang keluar dari tangan Jaka.
Namun belum juga Jaka dapat mengatur napas,
mahluk-mahluk lain pun bermunculan menye-
rangnya.
'Tobat... Kenapa kalian suka bercanda den-
gan manusia seperti aku ini sih, Om Setan?" ucap
Jaka dengan ndablegnya dan konyol. Sementara
tubuhnya berkelebat-kelebat menghindari rang-
sekan mereka yang bertempur ala robot, atau ala
orang-orang yang perutnya besar karena banyak
memakan uang haram milik pemerintah.
"Apakah memang di dunia Iblis tak pernah
ada istilah bercanda?" tanya Jaka masih ngeba
nyol. "Kalau memang Oom-Oom sekalian ingin
bercanda denganku, baiklah. Nih, aku berikan
sebuah pertanyaan pada kahan. Kenapa setan-
setan seperti kalian pada suka air kencing?"
"Aoor..." berseru mahluk-mahluk itu ma-
rah, yang tak mau diam atau menjawab perta-
nyaan Jaka. Mungkin mereka merasa kesindir
oleh pertanyaan Jaka, mereka makin mengamuk
laksana tank-tank perang yang kini digelar di
Irak.
"Waauh, kalau begini terus menerus aku
tak akan mempunyai waktu lagi," keluh Jaka da-
lam hati. "Aku harus memanggil Ratu Siluman
Darah. Hem... Dening Ratu Siluman Darah. Da-
tanglah!"
Mahluk-mahluk menyeramkan itu seketika
menyurut mundur manakala melihat Pedang Si-
luman Darah telah tergenggam di tangan Jaka.
Namun belum juga mereka dapat berbuat banyak,
Jaka dengan segera tebaskan pedang tersebut ke
arah mereka. Seketika mereka menjerit.
"Aooooooo...."
Tubuh mereka seketika itu pula hancur
terbabat Pedang Siluman Darah menjadi serpi-
han-serpihan debu yang beterbangan dan akhir-
nya terbawa oleh air sungai. Pedang Siluman Da-
rah masih tergenggam di tangan Jaka yang ber-
siap-siap, kalau-kalau mahluk-mahluk itu mun-
cul kembali. Rakit pun melaju membawa tubuh
Jaka yang di tangannya masih menggenggam Pe-
dang Siluman Darah menepi...
***
Malam kembali menyelimuti bumi, ketika
terdengar suara orang bertengkar di sebuah ru-
mah. Rumah itu milik pak tua, yang didiami pak
tua dan anak angkatnya, Ken Wijaksono.
"Kau harus mati di tanganku karena kau-
lah yang kelak menghalangi kemauanku!" terden-
gar suara anak muda berkata. Anak muda itu tak
lain Ken Wijaksono adanya. Di tangan Ken Wijak-
sono atau Anak Dewa tergenggam sebilah pedang.
Mata Ken Wijaksono memandang penuh rasa
pembunuhan pada pak tua yang juga tak mau ka-
lah memandang padanya.
"Ken... Apa kau sudah gila! Aku ini ayah-
mu. Ken?" berkata pak tua mencoba menyadar-
kan Ken Wijaksono anaknya. Namun ternyata
ucapannya berlalu begitu saja, sebab Ken Wijak-
sono hanya tersenyum sinis seraya kembali ber-
kata:
"Kau bukan ayahku. Kaulah yang kelak
menghalangi segala kemauanku. Setelah kau aku
singkirkan dari muka bumi ini, maka tinggal aku
menyingkirkan dua orang lagi yaitu Maling Silu-
man dan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bila
semua telah aku lakukan, jadilah aku seorang
maha diraja di dunia. Hua, ha, ha...."
"Itu semua tak akan pernah terjadi. Ru-
panya kau telah dirasuki oleh Iblis yang telah
men-teror kerajaan ini. Keluar kau, Iblis! Jangan
kau ganggu anakku!" membentak pak tua.
Ken Wijaksono tersenyum kecut.
"Wiraba, kenapa kau bersembunyi di desa
ini?" terdengar suara lain yang keluar dari mulut
Ken Wijaksono, menjadikan pak tua yang ternyata
bernama Wiraba tersentak kaget. "Kau aku cari-
cari, rupanya kau bersembunyi. Kau telah ber-
buat menghancurkan kerajaanku, maka kau ha-
rus hancur pula."
"Gandarta Iblis! Rupanya kau masih pena-
saran. Walaupun kau telah kalah oleh Maling Si-
luman, mengapa kau tak kapok-kapok, Iblis…"
membentak Wiraba sengit.
"Hua, ha, ha... Aku bersumpah, tak akan
aku mati tenang bila belum menjiret leher para
pendekar itu. Aku akan menteror terus manusia
sampai mereka mengakui akulah raja diraja me-
reka. Akan aku musnahkan pendekar Maling Si-
luman dan pendekar Pedang Siluman Darah!"
Kembali Gandarta atau Gundoruwo tertawa
bergelak-gelak, lalu menghilang dan berganti sua-
ra Ken Wijaksono kembali. Ken Wijaksono nam-
pak merandek, mendengus penuh amarah. Pe-
dang di tangannya seketika berkelebat, menye-
rang Ki Wiraba.
Ki Wiraba yang ternyata bekas seorang
pendekar yang pernah memporak-porandakan ke-
rajaan Gundoruwo bukanlah orang sembarangan.
Walau usianya telah lanjut, namun gerakannya
ternyata masih gesit dan lincah. Pedang di tangan
Ken Wijaksono seperti tak ada arti sama sekali
bagi Wiraba. Setiap kali pedang itu hendak mene-
bas ke arahnya, secepat itu pula Wiraba kelitkan
tubuh dan balik menyerang.
Pertarungan dua musuh bebuyutan yang
kini menjadi bapak dan anak angkat kembali be-
rulang. Seperti dulu manakala Wiraba mampu
memporak-porandakan kerajaan Gundoruwo,
saat itu pula Wiraba nampak masih dapat menga-
tasi segala serangan yang dilancarkan musuhnya.
Bahkan kini Wirabalah yang balik mendesak sang
musuh, menjadikan musuhnya nampak keteter.
"Bedebah! Rupanya kau masih mampu, Wi-
raba!" membentak Ken Wijaksono marah. "Namun
hari ini giliranmu mengalami kehancuran, Wira-
ba. Hua, ha, ha...."
"Jangan takabur, Iblis! Mari kita buktikan
siapa yang berhak hidup di dunia!" balas Wiraba
membentak marah. Tubuh tua itu masih berkele-
bat menyerang mendesak sang musuh yang nam-
paknya kian keteter
"Hem, kau memang masih kuat, Wiraba.
Namun janganlah kau menyangka akan mampu
mengalahkan aku lagi. Lihat ini..." Ken Wijaksono
hentakkan kakinya ke tanah tiga kali. Tiba-tiba
dari dalam tanah bermunculan mahluk-mahluk
tengkorak yang menyebarkan bau busuk. Mahluk
tengkorak sesaat memandang pada Ken Wijakso-
no, yang segera berseru memerintah. "Serang...!"
Tanpa banyak kata atau membandel, kese-
puluh mahluk tengkorak hidup itu segera berke-
lebat bareng menyerang Wiraba. Tersentak Wira-
ba kaget, melihat musuhnya dengan seketika
mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ilmu Pe-
manggil Mayat, ternyata telah dimiliki oleh mu-
suhnya.
Tak ada jalan lain, Wiraba harus menggu-
nakan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Diserangnya
mahluk-mahluk tengkorak hidup itu dengan aji-
an-ajian yang dimiliki.
"Luwung Geni. Hiat...!"
Telapak tangan Wiraba terbuka dengan ja-
ri-jari memegar. Dari tangan itu keluar segu-
lungan api yang menyala-nyala, menghantam ke-
sepuluh mahluk tengkorak hidup itu. Seketika
kesepuluh mahluk itu terbakar. Namun belum ju-
ga Wiraba tenang, dari dalam tanah tiba-tiba
muncul dua kali lipat mahluk-mahluk sejenis
menyerangnya. Segera Wiraba kembali hantam-
kan ajiannya, meledaklah kedua puluh mahluk
itu hancur. Namun seperti semula, satu hilang
dua terbilang. Kedua puluh mahluk itu menghi-
lang, muncul empat puluh mahluk keluar dari da-
lam bumi menyerang ke arahnya. Hal itu menja-
dikan tenaga tua Wiraba akhirnya terkuras habis.
Dan ketika melihat Wiraba lengah, segera Ken Wi-
jaksono tebaskan pedangnya. Tak ayal lagi, tubuh
tua itu terhuyung-huyung dengan luka menganga
di tubuh belakang.
Mata Wiraba melotot penuh amarah, me-
mandang tajam pada Ken Wijaksono yang terse-
nyum kecut. Dengan sisa-sisa tenaganya, Wiraba
nekat menyerang dengan segenap ajiannya. Tan-
pa dapat dihindari oleh Ken Wijaksono, ajian yang
dilontarkan Wiraba telak menghantam tubuhnya.
Seketika tubuh Ken Wijaksono mental jauh. Ja-
tuh ke luar rumah dengan darah meleleh di sela-
sela bibirnya. Sementara Wiraba sendiri, ambruk
dan mati. Ternyata pedang yang digunakan oleh
Ken Wijaksono mengandung racun yang sangat
jahat. Kedua anak dan bapak angkat itu ambruk.
Bedanya kalau Wiraba langsung terbang ke akhe-
rat, sedangkan Ken Wijaksono hanya pingsan ka-
rena luka dalam yang berat.
TUJUH
Pikiran Maling Siluman atau Atma Kusuma
saat itu terasa tak enak. Bayangan pak tua itu se-
lalu membayang di benaknya. Dalam bayang-
annya, pak tua tampak meratap meminta tolong
dengan luka-luka menganga di gegernya.
"Hem, ada gerangan apakah hingga aku se-
lalu dibayangi oleh pak tua itu?" bergumam hati
Maling Siluman. "Ah, mungkin memang pira-
satku benar adanya. Baiklah aku akan datang ke
sana."
Dengan terlebih menggunakan pakaian pe-
nutup tubuhnya yang serba hitam, Maling Silu-
man segera tinggalkan pondoknya untuk ber-
tandang ke rumah pak tua.
Larinya begitu cepat, sepertinya Maling Si-
luman tak ingin dirinya terlambat. Tubuh ber-
seragam hitam itu berkelebat menembus gelapnya
malam, menerobos semak belukar. Saking cepat-
nya Maling Siluman berlari, tak terasa angin yang
dikeluarkan oleh kecepatan larinya menjadikan
pohon-pohon bertiup dengan kencangnya. Itulah
ajian Bayu Langkah Sewu, sebuah ajian yang
sangat hebat dan belum ada tandingannya dalam
hal lari.
Tersentak Maling Siluman, manakala meli-
hat apa yang telah terjadi di rumah pak tua. Di-
dapatinya tubuh pak tua telah terkulai menjadi
mayat dengan luka menganga di punggungnya.
"Pak tua... pak tua...!"
Segera Maling Siluman angkat tubuh yang
tergeletak itu. Dibawanya tubuh tua renta itu
menuju ke pembaringan, lalu dengan penuh ha-
rapan ditempelkannya telinga di dada pak tua.
Tak ada detak lagi.
"Siapakah yang telah berbuat begini? Di-
mana anak itu?" tanya Maling Siluman pada diri
sendiri. "Hem, apa tidak mungkin anak itu yang
telah membunuhnya. Aku kira, anak itu telah di-
pengaruhi oleh ayahnya si Gondoruwo,"
Tengah Maling Siluman berpikir mengira-
ngira siapa pembunuh pak tua, tiba-tiba ia dike-
jutkan oleh seruan-seruan yang menyayat hati.
Bersamaan dengan habisnya seruan-seruan itu,
seketika muncul mahluk-mahluk menyeramkan
dari dalam tanah yang langsung menyerang pa-
danya. Tersentak Maling Siluman, serta merta ia
pun lemparkan tubuh ke angkasa menghindar be-
totan tangan mahluk-mahluk menyeramkan yang
bermaksud membetot kakinya.
"Setan! Rupanya mahluk-mahluk inilah
yang telah menjadi abdi anak itu. Hem, sia-sia
aku menolong anak durjana itu, kalau akhirnya
menjadi petaka. Aku rasa, Gondoruwo telah
mempengaruhinya. Dasar Iblis" menggerutu Mal
ing Siluman seraya elakkan serangan yang men-
garah padanya.
Mahluk-mahluk itu seperti kelaparan saja,
terus merangsek menyerang Maling Siluman, Mal-
ing Siluman yang telah mengetahui bahwa mah-
luk itu tak dapat dibuat main-main, serta merta
babatkan pedang pusaka ke arah mahluk-mahluk
tersebut. Mahluk-mahluk menyeramkan itu seke-
tika menjerit, lalu menghilang dari pandangan
mata. Namun belum juga hilang rasa kaget Mal-
ing Siluman, seketika muncul mahluk-mahluk se-
rupa yang jumlahnya makin bertambah banyak.
Tersentak Maling Siluman kaget seraya
menggumam.
"Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk ini
bukan mahluk-mahluk sembarangan. Apakah
aku akan mampu menghadapinya?"
Tengah Maling Siluman terjengah diam, ti-
ba-tiba mahluk-mahluk menyeramkan itu telah
kembali menyerangnya. Bau bangkai seketika
menyengat hidung, manakala kedua puluh mah-
luk iblis itu berkelebat. Secepat kilat Maling Silu-
man elakkan serangan, babatkan pedangnya.
Mahluk-mahluk iblis itu kembali menjerit dan
raib dari pandangan. Tapi seperti semula, hilang-
nya dua puluh mahluk Iblis itu muncullah dua
kali lipat mahluk serupa lainnya.
Kini benar-benar kaget Maling Siluman di-
buatnya. Betapapun ia menggunakan senjata,
niscaya ia akan kehabisan tenaga juga. Maling Si-
luman mencoba mencari akal, bagaimana menga-
lahkan mahluk-mahluk siluman itu. Dengan se
gera Maling Siluman bacakan Ayatul Qhursi. Se-
ketika mahluk-mahluk menyeramkan itu tak
mampu bergerak, diam pada tempatnya. Namun
sungguh aneh dan benar-benar aneh. Mahluk-
mahluk itu tak lebur sama sekali. Hal itu menja-
dikan konsentrasi Maling Siluman terpecah kare-
na kaget, sehingga ia pun terlalai membaca ayatul
Qhursi. Mahluk-mahluk itu segera tersadar dari
diam dan kembali menyerangnya.
"Gusti Allah, apakah aku pun akan mati
oleh mahluk-mahluk Iblis ini?" mengeluh Maling
Siluman putus asa, manakala keempat puluh
mahluk Iblis itu menyerangnya kembali, segera
Maling Siluman hantamkan ajiannya Lampus
Umur tingkat pamungkas. Lebur seketika keem-
pat puluh mahluk Iblis itu. Namun sungguh men-
jadikan Maling Siluman membuka lebar-lebar,
takkala dari dalam tanah bermunculan mahluk-
mahluk sejenis yang jumlahnya makin bertambah
banyak. Dari empat puluh, kini menjadi delapan
puluh hingga rumah itu pun seketika dipenuhi
oleh mahluk-mahluk Iblis yang menyeringai se-
perti mengejek pada Maling Siluman. Maling Si-
luman tak mau menyerah begitu saja. Sebagai
murid Sunan Kalijaga, ia telah digembleng oleh
sang Sunan segala ilmu kanuragan dan batin
yang kuat. Kembali Maling Siluman hantamkan
ajian Lampus Umur tingkat pamungkas. Dan
kembali mahluk-mahluk Iblis itu lenyap, hancur.
Tapi sungguh-sungguh tak dapat dipikir oleh ak-
al, mahluk-mahluk itu kembali muncul dengan
jumlah yang bertambah banyak.
Menyaksikan hal itu, segera Maling Silu-
man lemparkan tubuh ke luar rumah seraya ber-
seru. "Mahluk-mahluk Iblis. Keluar kalian! Mari
kita bertarung di sini. Hiat...!"
Kedatangan mahluk-mahluk Iblis itu dipa-
paki dengan hantaman ajian Lampus Umur ting-
kat pamungkas. Hancur leburlah mahluk-mahluk
iblis itu bersamaan dengan hancurnya rumah pak
tua menjadi debu. Kembali mahluk-mahluk itu
muncul, dan kini berjumlah hampir dua ratus
mahluk.
Tenaga Maling Siluman benar-benar telah
terkuras karena mengumbar ajian Lampus Umur
secara beruntun. Kini Maling Siluman benar-
benar pasrah pada nasib. Daripada ia pulang atau
lari meninggalkan tempat itu, lebih baik ia berta-
rung mati-matian. Manakala mahluk-mahluk itu
hendak kembali menyerang Maling Siluman, tiba-
tiba berkelebat sebuah bayangan menghantam-
kan ajiannya ke arah mahluk-mahluk Iblis itu.
Seketika hancur tubuh mahluk-mahluk Iblis ter-
hantam ajian yang dilancarkan bayangan terse-
but. Bayangan itu seketika telah berdiri di sisi
Maling Siluman yang tersentak kaget seraya ber-
tanya.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?"
"Janganlah menanyakan dulu siapa
adanya aku, yang penting sekarang bagaimana
menghancurkan mahluk-mahluk itu dan menja-
dikan mereka kapok," menjawab pemuda yang di-
tanya oleh Maling Siluman dengan senyum men-
gembang di bibirnya.
Maling Siluman tak berkata lagi, manakala
dari dalam tanah kembali muncul ratusan mah-
luk Iblis. Maling Siluman tersentak kaget, saat
mendengar pemuda di sisinya berseru bagaikan
tak merasa takut sedikitpun.
"Ayoh, Oom-oom setan sekalian, apakah
kalian ingin merasakan kue molen yang empuk?
Mendekatlah ke mari, aku akan memberikan pada
kalian dengan gratis cuma-cuma."
"Ki Sanak, apakah engkau tidak sedang
bercanda?" tanya Maling Siluman terheran-heran
menyaksikan tingkah pemuda di sampingnya.
"Tidak, Ki Sanak, lihatlah aku akan mem-
berikan pada mereka kue molen yang belum per-
nah mereka rasakan. Nah, lihatlah mereka ru-
panya menginginkan kue molen itu. Bersiaplah,
Ki Sanak. Kita akan bermain tak jidor dengan
Oom-Oom setan itu. Ya..." Pemuda yang tak lain
si Jaka Ndableg berseru memperingatkan pada
Maling Siluman, lalu tangannya dikiblatkan ke
arah mahluk-mahluk Iblis yang segera mengarah
ke arah mereka. "Ajian Jamus Kalimusada. Hiat!"
"Duar! Duar! Duar!"
Ledakan berturut-turut membahana, men-
jadikan seluruh alam raya seketika bagaikan ter-
cekam ketakutan demi Jaka Ndableg telah menge-
luarkan ajian yang sungguh-sungguh tak dapat
dikeluarkan dengan seenaknya. Bumi seketika
bergoyang bagaikan diolengkan, bersamaan den-
gan angin yang datang menderu-deru. Pohon-
pohon seketika tumbang, Jin marakayangan men-
jerit-jerit bagaikan terbakar panas api yang maha
dahsyat.
Saking hebatnya ajian Jamus Kalimusada
yang dikeluarkan oleh Jaka Ndableg, sampai-
sampai seluruh ratu Siluman yang ada di alam-
nya muncul dan menemui Jaka. Mereka seketika
berkata sambil melelehkan air mata.
"Ampun, Tuan Pendekar, janganlah tuan
pendekar mengeluarkan ajian Jamus Kalimusada.
Oh, kami tak dapat tenang. Apapun yang tuan
kehendaki, sekali-kali janganlah tuan pakai ajian
itu. Sungguh-sungguh kiamat bagi dunia bila
ajian tersebut tuan pendekar gunakan. Sekali lagi
atas nama rakyatku, tariklah kembali ajian terse-
but."
"Baiklah. Aku akan menarik ajian Jamus
Kalimusada, asal kau mau tunjukan pada kami
siapa adanya pelaku dari semua ini?" tanya Jaka
Ndableg.
"Maksud Tuan Pendekar?"
"Siapakah orangnya yang telah melakukan
ini semua? Kalau bangsamu, siapakah adanya?"
"Ampun, Tuan Pendekar, mahluk itu bu-
kan bangsa kami, tapi bangsa Jin Marakayangan
atau bangsa Iblis yang bernama Gondoruwo. Kini
ia telah bersemayam pada diri seorang pemuda
yang mengaku Anak Dewa," menjawab Sri Ratu
siluman.
Dengan segera Jaka tarik kembali ajian
Jamus Kalimusada, sehingga alam pun seketika
tenang kembali. Bersamaan dengan itu, para ratu
dan raja siluman menghilang pulang kembali ke
alamnya masing-masing.
"Sungguh-sungguh ilmu yang dahsyat. Se-
lama hidupku, baru kali ini aku melihat ilmu
yang mampu membuat resah seluruh alam ini,"
bergumam Maling Siluman. "Siapakah sebenar-
nya tuan pendekar ini?"
Jaka tersenyum sembari menjura hormat.
"Hamba yang masih muda dan bodoh ini
bernama Jaka Ndableg."
"Apa...? Jadi kaukah Pendekar Pedang Si-
luman Darah yang tengah menggegerkan dunia
persilatan?" tanya Maling Siluman kaget, yang
menjadikan Jaka Ndableg tersenyum seraya men-
gangguk mengiyakan. "Pantas, kalau begitu."
"Ki Sanak sendiri. Kalau boleh aku tahu,
siapakah Ki Sanak adanya? Dan kenapa pula Ki
Sanak dikeroyok oleh mahluk-mahluk Iblis itu?"
tanya Jaka balik.
"Aku yang rendah ini bernama Atma Ku-
suma atau Maling Siluman."
"Ah, ternyata tuankah Maling Siluman itu?"
desah Jaka yang diangguki oleh Maling Siluman
atau Atma Kusuma. "Sungguh aku tak menyang-
ka kalau hari ini dapat bertemu dengan seorang
pendekar penolong rakyat. Terimalah salam hor-
matku, sungguh aku telah berlaku tak sopan pa-
damu."
Tersenyum Atma Kusuma atau Maling Si-
luman mendengar ucapan Jaka Ndableg. Maling
Siluman hanya mampu gelengkan kepala, lucu
melihat tingkah laku Jaka yang konyol. Dalam
hati Maling Siluman berkata, "Ah, ternyata dalam
kekonyolannya tersimpan kedigjayaan yang tinggi.
Pantas kalau namanya sangat disegani oleh lawan
maupun kawan."
"Apakah Tuan Pendekar Maling Budiman
tidak mengerti siapa sebenarnya anak Dewa itu?"
tanya Jaka kemudian, menjadikan Maling Silu-
man tersentak dari lamunannya. Lalu dengan
perlahan sambil keduanya berjalan Maling Silu-
man menceritakan siapa adanya Anak Dewa ter-
sebut. Jaka yang mendengarkannya hanya mang-
gut-manggut mengerti, tanpa banyak komentar
atau pun menyela. Langkah keduanya begitu ce-
pat, sepertinya mereka hendak memburu.
Jaka pun segera menceritakan tentang pe-
nemuannya di rumah Lompong Wulung, yang
menjadikan dirinya mengerti tentang segala keja-
dian yang tengah menimpa kerajaan itu. Di-
tunjukkan surat yang terbuat dari daun lontar
pada Maling Siluman, yang segera menerimanya
dan membacanya.
DELAPAN
Tergopoh-gopoh ketiga Iblis Cacat Rupa
berlari. Sepertinya mereka tengah dikejar-kejar
oleh seseorang musuh mereka. Napas ketiganya
memburu, dengan keringat bercucuran di kedua
keningnya. Wajah mereka yang biasanya sangar
menakutkan, kini nampak pucat pasi. Sekali-kali
mereka menengok ke belakang, lalu kembali me-
reka berlari dengan kencang sekencang-
kencangnya.
"Apakah Maling Siluman ada di antara me-
reka, Sumbing?" tanya Jereng dengan napas
ngos-ngosan.
"Aku kira tak ada," jawab Sumbing.
"Ah, kenapa kita mesti lari-ketakutan?" ke-
luh Bopeng. "Ayo kita hadapi mereka. Apakah kita
mesti takut pada kroco-kroco dunia persilatan?"
tambahnya memberi semangat. Orang yang di-
maksud kroco-kroco oleh ketiga Iblis Cacat Rupa
adalah para tokoh persilatan yang bergabung
menjadi satu. Mereka memang bentrok dengan
tokoh-tokoh persilatan yang telah tahu sepak ter-
jang mereka.
"Lagi pula, kenapa kita mesti takut pada
Maling Edan itu?" menambah Sumbing memberi-
kan keberanian pada kedua rekannya. "Bukankah
ada pimpinan kita si Anak Dewa?"
"Ah, benar. Ayo kita layani mereka. Kalau
kita terdesak, bukankah kita dapat segera me-
manggil si Anak Dewa hanya dengan cara menye-
but namanya?"
Sedang ketiganya bercakap-cakap, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara-suara teriakan para
tokoh persilatan yang telah mendekat ke arah me-
reka.
"Itu mereka, ganyang Iblis-Iblis itu!"
"Jangan biarkan hidup-hidup!"
Mendengar seruan-seruan para tokoh per-
silatan, seketika ketiga Iblis Cacat Rupa mengge-
retak marah. Dengan berani karena merasa tak
ada orang yang ditakuti, serta merta ketiga Iblis
Cacat Rupa berkelebat memapaki mereka. Tak
ayal lagi, pertarungan tawuran itu pun terjadi.
Namun walau dikeroyok oleh sebanyak itu, ketiga
Iblis Cacat Rupa tak merasa gentar. Ketiganya
menyerang dengan membabi buta. Korban dari
pihak persilatan aliran lurus pun berjatuhan. Hal
itu menjadikan kemarahan tokoh-tokoh tua yang
dengan segera menggempur ketiga Iblis Cacat Ru-
pa.
Kini pertarungan makin seru, antara to-
koh-tokoh tua dari aliran lurus dengan Tiga Iblis
Cacat Rupa. Rupanya pengalaman memang lebih
menentukan dalam hal ini, terbukti para tokoh
tua dapat dengan mudah mendesak ketiga Iblis
Cacat Rupa.
Hampir saja ketiga Iblis Cacat Rupa dapat
mereka kalahkan, ketika secara tiba-tiba terden-
gar suara gelak tawa seorang yang dibarengi den-
gan berkelebatnya sesosok tubuh yang langsung
menyerang ke arah tokoh-tokoh persilatan. Anak
muda itu ternyata si Anak Dewa, menjadikan ke-
tiga Iblis Cacat Rupa makin bertambah seman-
gatnya merasa tuannya datang menolong. Keti-
ganya pun segera balik menyerang para tokoh
persilatan. Tak ayal lagi, para tokoh persilatan
pun kini yang terdesak mundur. Apalagi si Anak
Dewa sangat tinggi ilmunya, sehingga sukar un-
tuk mengalahkannya. Walau para tokoh persila-
tan tahu bahwa si Anak Dewa bukanlah musuh
mereka, namun demi membela keadilan mereka
tak mau mengalah begitu saja. Dengan prinsip le-
bih baik mati untuk membela kebenaran, daripa-
da mengalah untuk mengabdi pada Iblis, mereka
tampak gagah berani.
Melihat kegigihan para tokoh persilatan, si
Anak Dewa nampak tersentak kaget juga. Walau-
pun ia memiliki ilmu segudang, tapi kalau dike-
royok segitu banyaknya jelas tenaganya akan ter-
kuras habis. Apalagi para pengeroyoknya seperti
tak mengenai takut, terus merangseknya.
"Kalau begini terus menerus, aku rasa aku"
pun tak akan mampu bertahan. Hem, lebih baik
akan aku panggil sekutu-sekutuku."
Segera si Anak Dewa yang mendapat julu-
kan dari kaum persilatan aliran lurus si Durjana,
menghentakkan kakinya tiga kali berturut-turut
ke tanah. Bersamaan dengan itu, dari dalam ta-
nah muncul ratusan mahluk menyeramkan me-
nyerang para tokoh persilatan.
Melihat para sekutunya datang, segera Ken
Wijaksono atau Anak Dewa melesat pergi diikuti
oleh ketiga Iblis Cacat Rupa meninggalkan tempat
pertarungan tersebut. Kini para tokoh persilatan
itu berhadapan dengan mahluk-mahluk menye-
ramkan yang tak mengenai kompromi. Tak ayal
lagi, dalam sekejap saja lumatlah para tokoh per-
silatan dibantai dengan sadis oleh mahluk-
mahluk Iblis tersebut. Tubuh mereka dicabik-
cabik dan dimakan dengan menggidigkan.
***
Jaka Ndableg dan Maling Siluman yang
siang itu tengah berjalan menyusuri hutan untuk
memburu si Durjana, tersentak manakala melihat
banyak tulang-tulang manusia berserakan. Tu-
lang-tulang itu seperti baru saja dikuliti, sehingga
masih banyak daging-daging yang melekat di situ.
Mata kedua pendekar pembela kebenaran itu ter-
belalak, tak percaya pada apa yang mereka lihat
hingga sampai-sampai keduanya berseru kaget.
"Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk itu
makin mengganas!"
"Ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut."
"Benar apa katamu, Saudara Maling Silu-
man," jawab Jaka, yang masih jongkok sembari
memunguti tulang-tulang tersebut. Keduanya se-
gera mengubur tulang-tulang itu, sebagaimana
layaknya.
"Kita harus bertindak cepat, jangan sampai
didahului oleh mereka," gumam Jaka Ndableg,
yang diangguki oleh Maling Siluman.
Setelah keduanya mengubur tulang-tulang
tersebut, keduanya sesaat duduk-duduk di bawah
sebuah pohon. Angin bertiup dengan semilir,
menjadikan keduanya merasakan kantuk yang te-
ramat sangat. Tersentak Jaka manakala merasa-
kan hawa aneh di sekelilingnya. Ia sadar, kalau di
situ tengah terjadi sesuatu yang hendak mengan-
cam jiwanya dan Maling Siluman.
Hawa kantuk makin merajah, menjadikan
Maling Siluman seketika tak mampu kuasai diri.
Maling Siluman pun akhirnya tertidur pulas. Jaka
tersentak, segera ia duduk bersila heningkan cip-
ta dan melakukan meditasi.
"Hem, ternyata ada mahluk yang sengaja
menyirep. Baik. Maling Siluman dapat kalian aka
li, namun aku si Pendekar Pedang Siluman Darah
tak akan mudah kalian tipu, Mahluk jelek!"
menggeretak Jaka dalam hati. Segera Jaka hen-
takkan napasnya kencang, ke arah Maling Silu-
man, seketika itu Maling Siluman terjaga dari ti-
durnya.
"Ada gerangan apa, Saudara Jaka?" ta-
nyanya terheran-heran, sepertinya ia baru saja
terjaga dari mimpi. Jaka hanya memberi isyarat
agar ia hati-hati.
Belum juga Maling Siluman mengerti apa
maksud Jaka, tiba-tiba sekelompok wanita can-
tik yang entah dari mana datangnya muncul me-
nuju ke arah mereka. Senyum wanita-wanita can-
tik itu nampak manis dan menggoda. Mungkin
kalau lelaki lain akan jatuhlah hati mereka.
"Siapa mereka, Saudara Jaka?" tanya Mal-
ing Siluman tak mengerti seraya kerutkan kening.
"Hati-hatilah, mereka itu sebenarnya mu-
suh kita. Mereka sengaja didatangkan oleh si
Anak Dewa untuk mempengaruhi kita biar kita ja-
tuh," jawab Jaka menerangkan.
"Kalau begitu mereka juga sebangsa mah-
luk Iblis itu?"
"Benar apa katamu, Maling Siluman. Lihat-
lah dengan mata batin yang tenang, kau pasti
akan melihat siapa adanya mereka."
Maling Siluman segera menurut apa yang
dikatakan Jaka. Segera Maling Siluman memu-
satkan segalanya pada satu tujuan, lalu dengan
segera dibukanya mata batin. Tampak olehnya,
bahwa wanita-wanita cantik tadi berubah meng
jadi Kolong Wewe. Buah dada mereka panjang
menjurai ke bawah, sementara mulut mereka le-
bar dengan taring-taring panjang menyeramkan.
Mata mereka yang tampak lentik, kini merupakan
mata yang lebar menakutkan berwarna merah
membara.
"Bagaimana, Saudara Atma? Apakah kau
telah tahu?"
"Benar.... Mereka tak ubahnya para Kalong
Wewe," jawab Maling Sakti. "Kita harus menda-
hului mereka."
"Baik, ayo kita mulai."
Tanpa diduga-duga oleh para Kalong Wewe
itu, Jaka Ndableg dan Maling Siluman telah ber-
kelebat menyerang mereka. Kalong Wewe itu ter-
sentak dan berusaha mengelak, namun hanta-
man ajian Lampus Umur dan Tapak Bahana telah
menghancur leburkan mereka yang seketika lebur
menjadi serpihan-serpihan debu.
Jaka dan Maling Siluman nampak tak mau
memberi hati pada para Kalong Wewe. Mereka te-
rus menghantamkan ajian yang mereka miliki
tanpa memberi kesempatan pada para Kolong
Wewe itu untuk balik menyerang.
Dihantam oleh dua ajian yang sangat dah-
syat itu, seketika para Kalong Wewe itu menjerit.
Tubuh mereka hangus terbakar, lalu hancur le-
bur menjadi abu. Sisa-sisa mereka yang masih
hidup, seketika lari pontang panting dan menghi-
lang di balik pohon gebang. Jaka dan Maling Si-
luman tak mau membiarkan mereka begitu saja,
segera mereka pun menyerang pohon gebang itu
dengan ajian yang mereka miliki. Seketika terden-
gar pekikkan kematian, bersamaan dengan am-
bruknya pohon gebang itu lebur terhantam dua
ajian sekaligus.
Setelah merasa bahwa para demit itu be-
nar-benar telah tak ada segera kedua pendekar
itu berkelebat meninggalkan hutan untuk terus
mencari si Anak Dewa atau Ken Wijaksono.
***
Kerajaan Purba Wisesa seketika diguncang
oleh suatu pembunuhan sang Raja yang dilaku-
kan oleh Anak Dewa. Namun begitu, semua ra-
kyat tak ada yang berani menentangnya, sehingga
Anak Dewa dengan segera dapat menjadikan ke-
rajaan takluk dalam kuasaannya. Perombakan
terjadi hari itu juga. Sebagai raja baru, jelas Anak
Dewa tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas.
Diperintahkan pada para prajuritnya untuk me-
nangkap Maling Siluman dan Pendekar Pedang
Siluman Darah.
"Prajurit, cari kedua pendekar itu. Tangkap
mereka hidup-hidup atau pun mati, segera!"
"Daulat, Baginda Anak Dewa, segala titah
paduka akan kami junjung tinggi," menjawab
sang Prajurit.
Hari itu juga, beberapa puluh prajurit kera-
jaan segera menjalankan tugasnya. Mereka harus
menemukan dua pendekar yang namanya sangat
kondang dan disegani baik lawan mau pun kawan.
Setelah menjadi Raja, Anak Dewa segera
mengangkat ketiga Iblis Cacat Rupa menjadi pa-
tihnya. Ditambah lagi dengan patih utama yang ia
angkat dari bangsa Iblis, yaitu Wulung Gembong.
Wulung Gembong adalah panglima prajurit di ke-
rajaan Gondoruwo, yang dapat meloloskan diri
manakala Wiraba menghancurkan kerajaan ter-
sebut. Kini Wulung Gembong diangkat kembali
dengan kedudukkan yang lebih tinggi.
Semenjak Anak Dewa menjabat jadi raja,
maka si Durjana itu pun dengan sewenang-we-
nang berbuat. Kesukaannya memperkosa anak-
anak gadis makin menjadi-jadi, menjadikan Wu-
lan makin lama-makin tak suka padanya. Diam-
diam Wulan mendendam pada Iblis Durjana. Se-
bagai seorang wanita, jelas Wulan tak mau
kaumnya dibuat semena-mena oleh Anak Dewa
kekasihnya. Namun untuk berbuat, Wulan tak
mampu menghadapi Anak Dewa atau si Durjana.
Wulan hanya berharap akan datang pemuda yang
ternyata Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Kenapa akhir-akhir ini kakang berbuat
terlalu biadab?" tanya Wulan pada suatu hari
manakala keduanya tengah duduk-duduk mema-
du kasih yang sebenarnya hambar bagi Wulan.
Jawaban dari pertanyaan itu hanyalah se-
nyum
Hal itu makin menjadikan Wulan dongkol
dan dendam yang tiada takaran pada Ken Wijak-
sono. Sebenarnya dendam itu sejak lama bersa-
rang di hati Wulan. Ayahnya dibunuh dengan sa-
dis oleh pemuda ini, sedang kekasihnya juga begitu. Jadi jelaslah, bahwa Wulan menuruti ke-
mauan Ken Wijaksono hanya untuk mencari ke-
sempatan membalas sakit hati dan dendamnya
pada pemuda ini.
***
Jaka dan Maling Siluman yang tengah
memburu si Durjana seketika hentikan langkah
manakala terdengar seruan prajurit, yang menyu-
ruh mereka berhenti.
"Hai, ada apa kalian mencariku?" tanya
Maling Siluman heran, manakala melihat prajurit
kerajaan mencari-cari dirinya.
"Ampunkan kami, Pangeran Atma Kusu-
ma," menjawab ketua prajurit, dengan suara ter-
sendat sepertinya berat. "Kerajaan kini telah be-
rubah total."
"Berubah? Berubah bagaimana maksud-
mu, Tirta?" tanya Maling Siluman belum juga
mengerti.
Dengan terlebih turun dari kudanya dan
menyembah pada pangeran kerajaannya, Tirta
Jumena selaku ketua prajurit segera mencerita-
kan apa yang telah terjadi di kerajaan seminggu
yang lalu. Tersentak Maling Siluman dan Jaka
Ndableg, demi mendengar cerita yang dibeberkan
oleh Tirta.
"Benarkah ucapanmu, Tirta?"
"Daulat, Kanjeng Pangeran," jawab Tirta
kembali menyembah.
"Baiklah, aku dan saudara Jaka akan sege
ra datang ke sana," berkata Maling Siluman. "Ayo
Jaka, kita ke kerajaan. Ternyata orang yang kita
cari-cari telah membuat sebuah kekacauan di sa-
na. Kita tak usah repot-repot lagi mencari-
carinya."
"Ayo..." jawab Jaka.
Maka dengan segera kedua pendekar pem-
bela kebenaran itu pun segera berkelebat men-
dahului prajurit yang mengenakan kuda menuju
ke kerajaan.
"Rupanya memang apa yang menjadi ba-
yanganku benar adanya," mendesah Maling Silu-
man seraya berlari, diikuti oleh Jaka yang berada
di sampingnya.
"Maksudmu?"
"Dulu aku pernah membayangkan kalau
Ramanda Prabu akan meninggal oleh keturunan
patihnya yang ternyata Gondoruwo. Dan ternyata
segalanya benar terjadi."
"Kalau begitu, dulu kerajaan dipimpin oleh
patih Iblis?"
"Benar apa yang engkau katakan. Bahkan
Brah Amungkarti jauh melebihi Iblis. Tindakan
serta perbuatannya melebihi tindakan Iblis. Dia
juga menggauli ibunda manakala Ramanda ten-
gah tak ada, yang akhirnya ibunda lahir si Durja-
na itu."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Jaka masih
belum mengerti.
"Ya, namanya saja Gondoruwo. Bukankah
mahluk Iblis itu memang suka mengganggu wani-
ta?" tanya Maling Siluman seperti pada diri sendiri. "Mulanya juga aku kaget tatkala Ramanda
yang katanya hendak pergi menemui raja sebe-
rang tiba-tiba datang kembali. Tak aku sangka
kalau itu adalah tipu muslihat Iblis Gondoruwo."
"Lalu apakah Ibunda Ratu tak merasakan
kelainan?"
"Entahlah, Jaka," mengeluh Maling Silu-
man, menjadikan Jaka turut trenyuh. Kedua
orang pendekar itu terus berlari dan berlari den-
gan ajian yang mereka miliki, sehingga lari mere-
ka bagaikan tiupan angin saja.
Tak berapa lama kemudian, kedua pende-
kar itu sampailah di alun-alun kerajaan. Semua
mata rakyat memandang gembira kedatangan
Maling Siluman, yang bagi mereka adalah peno-
long sekaligus pembelanya.
Rupanya kedatangan kedua pendekar itu
telah diketahui oleh Anak Dewa. Maka kedatan-
gan kedua pendekar itu disambut oleh serangan
beruntun para prajurit. Berdesing-desing ratusan
anak panah memburu tubuh kedua pendekar ter-
sebut.
"Bedebah! Ternyata Anak Dewa tak lebih-
nya seorang pengecut!" memaki marah Maling Si-
luman, sementara tangannya dengan segera ki-
baskan pedang membabat putus seluruh anak
panah. "Kalau memang Anak Dewa menghendaki
nyawa kami, kami minta keluarlah dan tangkap
sendiri diri kami ini! Jangan seperti pengecut!"
Mendengar seruan Maling Siluman, marah-
lah Anak Dewa. Ia merasa dihina benar-benar di
hadapan para prajuritnya. Maka dengan amarah
yang meluap-luap di dada, Anak Dewa segera
berkelebat diikuti oleh keempat patihnya.
"Aku datang, Maling Busuk!" membentak
Anak Dewa.
"Hem, rupanya kau memang telah dikuasai
oleh ayahmu yang Iblis. Menyesal aku dulu men-
gambilmu dari kuburan!"
Membeliak marah Anak Dewa hingga dari
tubuhnya seketika memancarkan sinar merah
membara laksana api. Tubuhnya mengepul men-
geluarkan asap, matanya memandang tajam den-
gan sorot mata penuh hawa kematian. Lalu den-
gan suara parau laksana suara Gondoruwo, si
Durjana membentak.
"Bedebah! Hari ini kalian akan aku lumat-
kan! Tentunya pemuda di sampingmu itu yang
bernama Pendekar Pedang Siluman Darah, Maling
busuk!"
"Hem, suaramu lantang penuh dengan ke-
sombongan. Apakah nanti ilmumu dan kebera-
nianmu juga besar dan lantang?" Jaka ikut nim-
brung berkata. Dasar Jaka Ndableg, walau meng-
hadapi musuh yang sudah diketahui kehe-
batannya masih saja ia cengar-cengir seperti tak
memandang sebelah mata. "Tubuhmu memang
memancarkan cahaya, yang dapat digunakan se-
bagai lampu penerang bila gelap gulita. Tapi ke-
napa otakmu kok gelap?"
"Bangsat! Lancang kau berkata padaku,
Anak edan!" menggeretak marah Anak Dewa
mendengar ucapan Jaka yang ceplas ceplos ba-
gaikan orang gendeng. "Jangan salahkan kalau
wajahmu yang tampan akan hilang hari ini juga!"
"Hemm benarkah itu? Mau dikemanakan
wajahku yang tampan ini? Atau mungkin hendak
untuk mengganti wajahmu yang buruk dan bau
itu, Iblis dungu?" kembali Jaka ngelantur ngo-
mong, menjadikan makin marah saja si Durjana.
"Pendekar Edan! Aku tak tenang bila belum
menyate tubuhmu!" menggeretak si Durjana. Na-
mun hal itu bukannya menjadikan Jaka takut
atau gentar, malah ia bagaikan digelitik tertawa
bergelak gelak seraya berkata.
"Wadow, sadis amat... Memangnya aku ini
apa, Mas?"
"Kunyuk! Akan aku buktikan, hiat...!"
Serta merta si Durjana menyerang Jaka,
dibarengi dengan keempat patihnya yang menye-
rang Maling Siluman. Pertarungan pun segera ter-
jadi. Dua pendekar itu harus menghadapi empat
orang musuh. Namun begitu, nampaknya mereka
seimbang, bahkan kedua pendekar itu malah
mendesak musuh-musuhnya. Menerima kenya-
taan itu, serta merta si Durjana menggereng se-
raya hentakkan kaki ke tanah tiga kali. Maka dari
dalam tanah muncullah puluhan mahluk menye-
ramkan mengeroyok dua pendekar.
Melihat hal itu, segera Jaka dan Maling Si-
luman bareng hantamkan ajian mereka. Luluh
lantaklah mahluk-mahluk itu hangus terbakar.
Namun untuk kedua kalinya, mahluk-mahluk itu
kembali muncul dari dalam tanah. Kali ini jumlah
mereka makin bertambah banyak. Jaka dan Mal-
ing Siluman yang telah beberapa kali menghadapi
mahluk-mahluk itu tak mau main-main. Segera
Jaka lemparkan tubuh ke belakang seraya berse-
ru pada Maling Siluman.
"Saudara Maling Siluman, minggirlah. Ha-
dapi mereka, biar aku yang menghadapi mahluk-
mahluk genit ini. Mereka semestinya diberi ha-
diah tiket ke neraka sebagai hadiah atas kegeni-
tan mereka yang bila mengikuti kontes pasti akan
menjadi nomor urut super bawah."
Maling Siluman yang telah mengerti siapa
adanya Jaka Ndableg, segera menurut mundur
dan terus mencerca ketiga Iblis Cacat Rupa.
Sementara Jaka Ndableg, segera duduk
bersila seperti tak gentar menghadapi mahluk-
mahluk itu yang makin lama-makin mendekat.
"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Mahluk-mahluk itu seketika menjerit dan
menghilang lenyap manakala melihat Pedang Si-
luman Darah telah tergenggam di tangan Jaka
Ndableg. Seketika Anak Dewa dan keempat patih-
nya terbelalak melihat pedang di tangan Jaka.
Mata mereka tak berkedip, menyaksikan pedang
yang dari ujungnya mengalir darah membasahi
batang pedang. Tiba-tiba, Jaka yang tengah me-
musatkan segalanya pada pedang tersentak ma-
nakala si Durjana menyerangnya secara cepat
tanpa diduga. Saking kagetnya Jaka, sehingga
Jaka pun segera tebaskan Pedang Siluman Da-
rah.
"Wuut...!"
"Ah...!" memekik si Durjana kaget, berba-
rengan dengan buntungnya tangan kiri terpeng
gal Pedang Siluman Darah di tangan Jaka.
Tak dapat dibendung lagi kemarahan si
Durjana, menerima kenyataan itu. Karena saking
marahnya, sehingga tiba-tiba tubuhnya berubah
menjadi mahluk berbulu lebat menyerupai mo-
nyet namun tinggi dan besar. Jaka tersentak ka-
get, sehingga ia terpaku diam melihat hal itu. Ma-
nakala tangan mahluk semi kingkong itu bergerak
menyabetnya, Jaka pun terpental tak dapat
menghindar. Dadanya terasa sesak, kepalanya te-
rasa pening berkunang-kunang. Namun ketika
untuk kedua kalinya Gondoruwo itu hendak
menghantamnya lagi, dengan sisa-sisa tenaga Ja-
ka berkelebat memburu dengan pedang Siluman
Darah di tangannya.
"Hiat...."
"Wuut... Wuut... Wuuuut...!" Tiga kali Pe-
dang Siluman Darah berkelebat membabat tubuh
Gondoruwo, yang seketika itu memekik lalu am-
bruk ke tanah dengan tubuh tercincang-cincang.
Tengah semuanya terpaku menyaksikan
kematian si Durjana atau Anak Dewa, seorang
gadis tiba-tiba berkelebat dan mengambil kepala
si Durjana. Tanpa dapat dicegah, tangan gadis
yang bernama Wulan menghantam batok kepala
si Durjana hingga remuk.
Di pihak lain, keempat patih kerajaan si
Durjana menjerit manakala ajian Lampus Umur
tingkat pamungkas yang dilancarkan oleh Maling
Siluman menghantam tubuh mereka. Lebur seke-
tika tubuh keempatnya menjadi debu, beterban-
gan ditiup angin yang seketika itu datang.
Jaka tersentak kaget, manakala pipinya ti-
ba-tiba ada yang mencium. Setelah Jaka melihat,
ternyata gadis Wulan yang telah memberi ciuman
padanya. Wajah Wulan merah tersipu-sipu di-
pandang Jaka, menjadikannya seketika tertun-
duk.
"Kenapa kau menciumku?" tanya Jaka.
"Aku... aku... karena aku... aku mencintai-
mu."
Seketika semua yang ada di situ tersenyum
mendengar pengakuan Wulan yang jujur, ting-
gallah Jaka yang geleng-geleng kepala.
Angin bertiup semilir, mengiringi kepergian
Jaka meninggalkan kerajaan Purba Wisdea. Di
belakangnya, nampak seorang gadis wanita muda
yang tak lain Wulan melepas kepergiannya den-
gan tatapan mata yang penuh kagum. Air mata
Wulan seketika meleleh, sepertinya tak rela kalau
Jaka pergi meninggalkannya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar