..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH EPISODE MEMBURU BAH JENAR

Memburu Bah Jenar

 

MEMBURU BAH JENAR

Oleh Sandro S.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Sandro S.

Serial Pendekar Pedang Siluman Darah da-

lam episode:

Memburu Bah Jenar

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Malam itu adalah malam Jumat Kliwon, 

yang menuruti kepercayaan orang merupakan 

malam di mana para roh merakhiyangan, serta 

para dedemit bergentayangan.

Hujan turun dengan derasnya seperti me-

ratapi kepekaan dan kemisterian yang selalu me-

nyelubungi kehidupan manusia dalam segala 

tingkah lakunya.

Lolongan anjing hutan, sepertinya sebuah 

lolongan histeris dari seorang manusia yang pe-

nuh dengan perbuatan durhaka dan ingkar pada 

Penciptanya.

Dari sebuah rumah yang letaknya tak jauh 

dengan hutan, terdengar isak tangis seorang wa-

nita. Bila kita melihatnya ke dalam, di sana kita 

akan menyaksikan seorang wanita muda tengah 

duduk dengan kedua tangan menutup muka. Ru-

panya wanita muda itu tengah menangis, entah 

apa yang ditangisi nya.

"Gusti Allah. Kenapa diriku sejelek ini? 

Hingga aku selalu disisihkan dalam pergaulan?"

Mana kala tangannya membuka dari muka, 

tampaklah seraut muka yang hancur berantakan 

bagai tak berbentuk lagi. Kedua pipinya tampak 

membusuk, sementara hidungnya membesar se-

besar buah terung.

Saat wanita itu memandang wajahnya pada 

cermin, seketika ia menjerit dan menghantam


cermin di hadapannya dengan batu hingga pecah 

berantakan.

"Tidak...! Tidak! Wajahku tidak seperti ini. 

Hu, hu, hu...."

Wanita itu terus menangis, seakan lak rela 

wajahnya yang dulu cantik berubah menjadi se-

raut wajah busuk dan bau. Jangankan pria-pria 

ganteng, pria jelek pun tak akan mau mengam-

bilnya menjadi istri.

Setelah menangis sesenggukan untuk be-

berapa lama, wanita itupun tampak tercenung. 

Angannya seketika kembali melayang pada masa 

silam, mana kala wajahnya masih cantik jelita.

Dua tahun yang lalu wajahnya cantik jelita, 

hingga banyak pria yang mengaguminya, berlom-

ba-lomba untuk mendapatkan dirinya. Namun se-

jauh itu tak pernah ada yang mampu memenuhi 

syarat yang telah ia tentukan dalam hati.

Adapun syarat yang ia tentukan untuk 

mendapatkan pasangan, tak lain seorang lelaki 

yang tampan, kaya, dan mempunyai kedigdayaan

tinggi.

Untuk memenuhi syarat tersebut, wanita 

itu yang bernama Nyi Sarpa Rakinten membuat 

suatu sayembara.

Berduyun-duyun sang juragan datang un-

tuk mengikuti sayembara tersebut, dengan hara-

pan dapat mempersunting Nyi Sarpa Rakinten 

yang cantik jelita.

Maka saat itu juga diadakanlah pemilihan 

calon yang cocok untuk menjadi pendamping Nyi


Sarpa Rakinten. Pertama dilakukan pemilihan 

siapa-siapa yang paling ganteng dan kaya.

Setelah diseleksi dengan seksama oleh Nyi 

Sarpa Rukinten sendiri, dipilihlah sepuluh orang 

laki-laki yang paling kaya di antara dua puluh li-

ma orang.

Syarat pertama telah selesai, dilanjutkan 

dengan syarat kedua yaitu mencari siapa yang 

paling tinggi ilmu kadigjayaannya.

Maka satu persatu dari kesepuluh orang 

yang telah memenuhi syarat pertama diadu. Jika 

telah ada yang menang dialah yang berhak men-

jadi pendampingnya.

Namun setelah hal itu berlanjut dan telah 

ada seorang di antara kesepuluh juragan itu yang 

menang, ternyata Nyi Sarpa Rakinten mengingka-

rinya.

"Mengapa kau tak mau menerimaku yang 

telah memenuhi segala syarat-syarat yang telah 

kau ajukan?" tanya Gantra agak kecewa dan ma-

rah, merasa dirinya telah dikhianati dan dibohon-

gi oleh Nyi Sarpa Rakinten.

"Maafkan aku, Gantra. Sebenarnya aku te-

lah mempunyai calon suami."

"Nyi Sarpa Rakinten! Kalau memang itu 

keputusanmu, jangan salahkan aku suatu saat 

mukamu yang cantik jelita akan menjadi busuk! 

Hingga tak ada seorangpun termasuk calon sua-

mimu yang sudi denganmu! Camkan itu!"

Habis berkata begitu, dengan penuh keke-

cewaan Gantra segera berlari meninggalkan Nyi


Sarpa Rakinten yang hanya terbelalak sesaat. La-

lu dengan meremehkan ucapan Gantra, Nyi Sarpa 

Rakinten mencibirkan bibirnya.

"Hem... keki rupanya. Mana aku mau den-

gannya yang telah mempunyai anak isteri? Iste-

rinya saja enggak pernah diurusi, apalagi nanti 

punya isteri dua?"

Habis berkata mengejek begitu. Nyi Sarpa 

Rakinten segera mengegoskan tubuhnya kembali 

masuk ke dalam rumahnya. Direbahkan tubuh-

nya di utas dipan

Rasa kecewa dan kesalnya pada Nyi Sarpa 

Rukinten yang telah mentah-mentah menolaknya 

menjadi suami, menjadikan Gantra tak dapat te-

nang. Ia belum puas bila belum mampu membuat 

wajah Nyi Sarpa Rukinten hancur, hingga tak 

seorang pemuda atau pria manapun yang mau 

menjadi kekasihnya.

Dendam memang susah untuk dilupakan 

begitu saja, karena dendam merupakan pengaruh 

syetan yang menghendaki manusia lupa pada se-

samanya. Bila dendam telah melekat dalam hati, 

maka manusia tak akan mengenal yang namanya 

kasih sayang.

Seperti halnya Gantra, yang malam itu tak 

mampu memicingkan matanya barang sekejap-

pun. Ingatannya kembali pada ucapan Nyi Sarpa 

Rukinten, "Mengurusi satu isteri saja kau tak be-

cus, apalagi mengurusi dua isteri? Lagi pula aku 

telah memiliki calon suami yang saat ini tengah 

berada di rantau."


"Sarpa Rukinten, brengsek! Kalau aku tak 

mampu membuatmu di benci oleh semua orang, 

jangan sebut aku Gantra lagi!" memaki Gantra 

sendirian. Isterinya yang saat itu mendengar ber-

tanya, terheran-heran.

"Kang, kau memaki-maki siapa?"

"Ah... tidak! Aku tidak apa-apa. Mungkin 

aku tadi melamun dan teringat pada waktu aku 

masih menjadi prajurit."

Mendengar ucapan suaminya, seketika 

sang isteri tampak mengangguk-angguk mengerti 

seraya mendesah. "Ooh...!" lalu segera menge-

goskan tubuhnya kembali masuk ke dalam ka-

mar. Tak lama kemudian, terdengar dengkurnya 

yang menggema membuat Gantra menggerutu 

kesal.

"Dasar jelek! Tidur saja mendengkur begitu 

rupa. Menyesal aku menuruti kemauan bapak, 

kalau akhirnya aku mendapatkan isteri macam 

begini. Hem, Nyi Sarpa Rukinten, dendamku pa-

damu tak akan hilang bila aku belum dapat 

membuatmu menderita."

Malam itu juga Gantra bertekad untuk 

mencari seorang dukun, yang bisa mengguna-

gunai Nyi Sarpa Rukinten. Namun bukan guna-

guna pelet tapi guna-guna agar muka Nyi Sarpa 

Rukinten yang sombong dan angkuh itu menjadi 

buruk. Hingga tak ada seorang pun yang nantinya 

mau menjadi suami.

"Ke mana aku harus mendapatkan seorang 

dukun?" bertanya Gantra pada diri sendiri. Kem


bali ia tercenung bingung. Di mana dukun yang 

mampu melakukan kehendaknya itu. Setelah se-

kian lama termenung, Gantra teringat pada seo-

rang temannya bernama Ki Panganoman yang 

bertempat tinggal di kaki gunung Galunggung.

"Ah! Aku harap ia mampu melakukan itu," 

gumam hati Gantra. Kepalanya yang tak berat di-

angguk-anggukan seperti memahami sesuatu.

Dengan perlahan-lahan menuruni tangga 

rumahnya, Gantra segera keluar untuk menuju 

ke tempat Ki Panganoman. Malam itu pula, Gan-

tra pergi menuju ke Ki Panganoman.

Ketika matahari telah terbit redup di ufuk 

Timur, Gantra telah sampai pada tujuan yaitu se-

buah gubug yang terletak di kaki bukit gunung 

Galunggung.

Dengan wajah berseri-seri, Gantra segera 

mempercepat langkahnya. Rasa capai, kantuk tak 

dihiraukannya. Bahkan mana kala telah tiba di 

depan rumah Ki Panganoman, Gantra nampak 

makin bersemangat

"Sampurasun...!"

"Rampes...!" terdengar jawaban seseorang 

dari gubug, disusul dengan keluarnya seorang le-

laki yang usianya sebaya dengan Gantra. "Eh,

kau, Gantra! Kapan datang? Angin apa yang telah 

membawamu ke mari?"

"Maaf, Kakang Panganoman! Aku tak per-

nah mengunjungimu setelah kita keluar dari ke-

prajuritan. Angin buruk yang telah mengingatkan 

aku padamu."


Mengerut alis mata Ki Panganoman men-

dengar apa yang telah dikatakan oleh temannya 

seraya bergumam "Angin buruk? Gerangan apa-

kah itu? Hingga kau mengatakan angin buruk, 

Gantra?"

Sesaat Gantra terdiam seperti malu untuk 

menceritakan hal apa yang sebenarnya terjadi. Ki 

Panganoman yang mendapatkan Gantra diam, 

akhirnya bertanya kembali.

"Gantra, kalau kau tak mau mengutara-

kannya padaku. Untuk apa kau datang jauh-jauh 

ke sini?"

Didesak begitu rupa oleh Ki Panganoman, 

Gantra pun akhirnya dengan malu-malu mengu-

tarakan juga. "Kakang Panganoman, sebenarnya 

hal ini masalah wanita."

"Masalah wanita? Istrimu...?" bertanya Ki 

Panganoman tak mengerti memandang tajam pa-

da Gantra, yang hanya mampu menundukan wa-

jah karena malu. Setelah mengatur napas, akhir-

nya Gantra dengan suara berat menceritakan

"Seminggu yang lalu aku mendengar se-

buah pengumuman yang disebar oleh seorang 

wanita bernama Nyi Sarpa Rukinten."

"Tentang apa itu?"

"Nyi Sarpa Rukinten menyebar pengumu-

man berisikan sebuah sayembara. Barang siapa 

yang kaya, tampan, dan memiliki ilmu silat tinggi 

akan berhak menjadi suaminya. Akupun segera 

ikut ambil bagian dan melamar. Namun setelah 

segala persyaratan aku penuhi, dia ternyata


hanya berdusta dan mempermainkan aku, bah-

kan mengejekku yang sangat menyakitkan."

Ki Panganoman terangguk-angguk kepa-

lanya mendengar cerita Gantra. Setelah Gantra 

mengakhiri ceritanya, Ki Panganomanpun segera 

kembali bertanya:

"Lalu maksudmu, bagaimana?"

"Kakang Panganoman, dendam dan keke-

cewaanku pada Nyi Sarpa Rakinten yang telah 

mempermainkan aku ingin aku balas! Jangan ka-

rena wajahnya cantik, lalu semena-mena mem-

permainkan lelaki!"

"Maksudmu, Gantra?"

"Apakah kakang tak mengerti?" bertanya 

Gantra seperti tak percaya, yang hanya dijawab 

dengan gelengan kepala Ki Panganoman.

"Aku ingin membalas sakit hatiku pada 

Sarpa Rukinten. Aku ingin agar wajahnya yang 

cantik itu, kakang bikin buruk. Bukankah dengan 

demikian ia tak akan sombong?"

Ki Panganoman menarik napas panjang-

panjang demi mendengar ucapan Gantra. Kembali 

kepalanya digeleng-gelengkan, lalu ucapnya ke-

mudian: "Apakah kau siap menanggung resiko 

nantinya, Gantra?"

Tercenung Gantra seketika itu. Sepertinya 

ia tengah berpikir meresapi ucapan Ki Pangano-

man yang dirasa memang ada benarnya juga. 

Namun karena dendam yang lebih menguasai ha-

tinya, Gantra akhirnya menjawab, membikin Ki 

Panganoman mendesah berat


"Aku siap menanggung akibatnya nanti, 

Kakang. Asalkan dendamku padanya dapat terba-

laskan."

"Aah...! Apakah kau telah berpikir masak-

masak, Gantra?" 

"Sudah! Aku telah memikirkannya. Dan 

aku telah siap menanggung akibatnya kelak."

Menggeleng lemah kepala Ki Panganoman 

mendengar ucapan Gantra.

Muka Ki Panganoman seketika berubah re-

dup seakan menyesali tindakan Gantra yang ter-

lalu gegabah. Hingga membuat Gantra untuk ke-

dua kalinya berkata: "Kenapa, Kakang?"

"Apakah kau benar-benar, Gantra?" 

"Ya!" menjawab Gantra seraya menganggu-

kan kepalanya, membuat Ki Panganoman kembali 

geleng-geleng kepala sebelum kembali berkata:

"Kalau itu yang menjadi keputusanmu, 

maka aku tak dapat lagi menolaknya. Namun per-

lu kau ingat! Bahwa segala resikonya nanti bera-

da di tanganmu, jangan kau bawa-bawa aku."

"Baik, Kakang. Aku telah siap." Terangguk-

angguk kepala Ki Panganoman mendengar uca-

pan Gantra yang teguh.

"Pulanglah kau. Tunggulah akibatnya nanti 

pada waktu kurang dari tujuh hari."

"Terimakasih, Kakang."

Setelah menyalami Ki Panganoman Gan-

trapun segera kembali pulang ke rumah untuk 

menunggu hasilnya.

Ki Panganoman hanya mampu mengge

lengkan kepalanya setelah kepergian Gantra, se-

belum ia kembali membalikkan tubuhnya masuk 

ke dalam pondokannya yang kecil dan terpencil 

jauh dari keramaian orang.

Dengan wajah berseri-seri, Gantra berjalan 

pulang bagaikan tak merasakan lelah setelah se-

malam tak tidur dan tanpa istirahat. Di hatinya 

hanya ada satu kala. Dendamku terlunasi sudah!

Waktu yang ditentukan oleh Ki Pangano-

man ternyata tak meleset. Terbukti kurang dari 

tujuh hari tersebar kabar bahwa Nyi Sarpa Rukin-

ten sakit aneh. Sakit yang membuat wajahnya se-

ketika mengeluarkan benjolan-benjolan bernanah 

dan bila digaruk seketika memecah menjadi ko-

reng.

Bagaikan tak mengerti saja, Gantra segera 

memacu kudanya menuju tempat Nyi Sarpa Ru-

kinten. Wajah Gantra tampak berseri-seri men-

gingat bakal apa yang akan dilihatnya. Ditam-

batkan tali kudanya pada sebatang pohon di ha-

laman rumah Nyi Sarpa Rukinten. Dan dengan 

bergegas. Gantra segera menyeruak menyisihkan 

orang-orang yang melihatnya untuk dapat masuk.

Terbelalak mata Gantra seketika itu, ma-

nakala melihat hasil yang telah diperolehnya. Wa-

laupun muka tampak meredup sedih, namun ha-

tinya seketika itu bersorak gembira. "Hem... rasa-

kanlah akibat kesombonganmu!"

Nyi Sarpa Rukinten yang tengah menangis, 

seketika memandang tajam pada Gantra dengan 

sorot mata penuh kebencian. Dan dari mulutnya


terdengar suara membentak marah.

"Kau! Kaulah yang telah melakukan ini 

semua! Kau bajingan! Kau bajingan...!"

Bersamaan dengan itu. Nyi Sarpa Rukinten 

segera menyerang Gantra. Semua orang yang ada 

di situ tercengang tanpa dapat mencegah.

Diserang dan dituduh begitu oleh Nyi Sar-

pa Rukinten, membuat Gantra tak dapat menge-

lakkannya. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya 

seketika sempoyongan terhantam pukulan Nyi 

Sarpa Rukinten. Meski tanpa bobot, namun begi-

tu keras karena tengah diselimuti kemarahan.

"Kau bukan lelaki! Kenapa aku tolak cin-

tamu kau membikin mukaku begini? Kenapa?!"

Demi mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukin-

ten yang disertai tangis, seketika semua yang ada 

di situ serentak mengeroyok Gantra. Mau tak 

mau Gantra pun harus berpikir dahulu sebelum 

ia bertindak gegabah. Makakala ada kesempatan 

lolos, Gantra pun dengan segera melentingkan 

tubuhnya ke atas dan hinggap di punggung ku-

danya. Dengan segera dibukanya tali kuda yang 

ditambat. Dan dengan tanpa menengok lagi, Gan-

tra segera menggebas kudanya yang seketika lari 

kencang meninggalkan semua orang yang menge-

jarnya. Mereka yang mengejarnya pun akhirnya 

tak dapat berbuat apa-apa, kecuali kembali pada 

Nyai Sarpa Rukinten yang telah minggat entah ke 

mana.


DUA


Nyi Sarpa Rukinten masih menangisi kea-

daan wajahnya yang sangat buruk. Hatinya pedih 

hatinya dendam. Hatinya penuh kebencian pada 

semua lelaki khususnya Gantra yang telah mem-

buat wajahnya rusak.

Tengah Nyi Sarpa Rukinten menangis me-

ratapi nasibnya yang buruk seburuk rupanya. 

Terdengar suara seorang lelaki tua berkata mem-

beri petunjuk di mana ia harus mengobati mu-

kanya yang busuk itu.

"Nyi Sarpa Rukinten, kalau kau ingin wa-

jahmu kembali seperti sedia kala, datanglah pada 

seorang dukun yang bertempat tinggal di kaki gu-

nung Sembung. Carilah olehmu sebuah goa. Di 

situ kau akan menemukan orang yang aku mak-

sud. Mintalah pertolongan padanya dan janganlah 

kau membantah apa yang dikatakannya. Nah, be-

rangkatlah sekarang juga!"

Terperanjat Nyi Sarpa Rukinten, demi 

mendengar suara lelaki yang tanpa menunjukan 

bentuk jasadnya. Dengan hati tak mengerti Nyi 

Sarpa Rukinten memandang ke atas atap rumah-

nya.

"Siapakah kau, Ki Sanak?"

"Jangan kau tanyakan siapa aku adanya. 

Yang pasti aku ingin menolongmu dengan me-

nunjukkan tempat di mana kau dapat mengemba-

likan wajahmu," menjawab suara lelaki itu. Dis


usul dengan suara hembusan angin bersama hi-

langnya suara orang itu.

"Apakah aku harus percaya?" bertanya hati 

Nyi Sarpa Rukinten. "Tapi akan aku coba dulu. 

Mungkin orang itu memang benar-benar ingin 

menolongku. Aku yakin kalau orang yang dimak-

sud mempunyai ilmu yang tinggi hingga aku nanti 

akan mampu belajar ilmu padanya untuk menun-

tut balas pada Gantra jahanam itu. Hem. karena 

dia, mukaku jadi begini rupa."

Tanpa membuang-buang waktu lagi, ma-

lam itu juga Nyi Sarpa Rukinten pergi menuju ke 

tempat yang ditunjukkan oleh suara lelaki itu.

Dengan bekal semangat dan keinginan un-

tuk dapat memulihkan wajahnya seperti semula. 

Nyi Sarpa Rukinten menerobos gelapnya malam. 

Pikirannya melayang penuh rasa dendam pada 

Gantra. Bagaikan kesetanan Nyi Sarpa Rukinten 

memacu kudanya.

Bah Jenar yang tengah melihat baskom be-

risi air dengan bunga tujuh warna tampak terse-

nyum senang. Seorang wanita tengah memacu 

kudanya menuju ke tempat di mana ia berada.

"Berhasil! Aku berhasil mempengaruhinya. 

Istriku akan dapat hidup lagi walau dengan 

menggunakan jasad gadis itu. Ha, ha, ha...!" ber-

gelak tawa Bah Jenar, hingga menggema di setiap 

sudut gubugnya.

"Ayo! Teruskan langkahmu ke mari. Jan-

gan kau ragu, Nduk!" berkata Bah Jenar pada 

gambar di permukaan air yang ada di baskom.


Tampak orang dalam air itu memandang ke arah-

nya sesaat seperti kebingungan.

"Ayo! Hela kudamu menuju ke Selatan. 

Jangan kau bingung, Nduk."

Gadis dalam penglihatan Bah Jenar di air 

baskom itu tampak memalingkan mukanya ke Se-

latan, dengan segera memacu kudanya menuju 

tempat yang ditunjukan oleh Bah Jenar.

Terkekeh-kekeh Bah Jenar. Melihat gadis 

itu telah menuju ke arah di mana ia tinggal Bah 

Jenar dengan gembira segera menyambutnya di 

ambang pintu.

Tak lama kemudian tampak seorang gadis 

dengan menunggang kuda menuju ke arahnya.

"Bagus, bagus! Tak sia-sia aku menunggu 

sampai sepuluh tahun lamanya. Akhirnya aku 

berhasil mendapatkan orang yang akan menjadi 

tempat roh istriku. Semoga tak akan mengalami 

kesulitan," berkata Bah Jenar pada diri sendiri.

Sementara itu orang penunggang kuda 

yang tak lain dari Nyi Sarpa Rukinten makin de-

kat ke arahnya. Gadis itu memacu kudanya den-

gan cepat menaiki bukit di mana Bah Jenar saat 

itu tengah berdiri memandang ke arahnya.

"Sampurasun...!" menyapa Nyi Sarpa Ru-

kinten.

"Rampes...! Siapakah gerangan dirimu, Ki 

Sanak? Dan ada keperluan apakah datang ke ma-

ri?" bertanya Bah Jenar pura-pura tak mengerti.

"Mbah... menurut wangsit yang saya teri-

ma, saya akan dapat mengembalikan muka saya


secantik dulu lagi oleh pertolongan mbah."

Mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten, 

seketika alis mata Bah Jenar mengerut sepertinya 

terkejut. Lalu dengan pura-pura tak mengerti. 

Bah Jenarpun bertanya:

"Apakah kau merasa yakin?"

"Saya yakin. Mbah. Sebab saya langsung 

menerima wangsit itu."

Tertawa Bah Jenar mendengar ucapan Nyi 

Sarpa Rukinten yang tampak terbengong-bengong 

tak mengerti.

"Kenapa, Mbah?"

Tidak apa-apa. Apakah kau telah memikir-

kannya masak-masak?"

"Tentang apa itu. Mbah?" tanya Nyi Sarpa 

Rukinten seraya mengerutkan keningnya tak 

mengerti.

"Apa yang kau terima dari wangsit itu?"

Terdiam Nyi Sarpa Rukinten memandang 

ke wajah Bah Jenar yang masih tersenyum, se-

pertinya hendak menanyakan isi hati dan pan-

dangan mata Bah Jenar yang tajam menghujam.

"Saya menerima ucapan dari seseorang 

yang menunjukkan di mana saya mesti datang 

untuk menyembuhkan mukaku."

"Lalu apakah ada syaratnya?"

"Ada, Mbah."

"Apa syaratnya?"

Untuk kedua kalinya Nyi Sarpa Rukinten 

terdiam sesaat memandang Bah Jenar, sebelum 

akhirnya kembali berkata:


"Orang yang telah memberi wangsit padaku 

mengatakan, bahwa aku harus menuruti apa kata 

Mbah."

"Bagus! Memang, untuk menyembuhkan 

mukamu itu, kau harus menurut segala kata-

kataku. Mari silahkan masuk! Kita ngobrol-

ngobrol dulu di dalam goa."

Terkejut Nyi Sarpa Rukinten mendengar 

kata-kata Bah Jenar, hingga seketika itu terden-

gar desisnya kaget. "Goa! Mana goa, Mbah?"

Terkekeh-kekeh Bah Jenar mendengar per-

tanyaan Nyi Sarpa Rukinten yang sepertinya ke-

bingungan. Dengan segera Bah Jenar menerang-

kan: "Ini adalah goa, bukan gubug seperti kau li-

hat. Eh, siapakah namamu?"

"Nama saya, Sarpa Rukinten!"

"Ayo, masuk Sarpa Rukinten!" mengajak 

Bah Jenar, yang segera diikuti oleh Nyi Sarpa Ru-

kinten.

Nyi Sarpa Rukinten kini percaya bahwa itu 

adalah sebuah goa bukan gubug yang diduganya. 

Dalam goa itu terdapat seperangkat dapur dan 

sebuah batu datar untuk tidur. Di samping batu 

datar itu terlihat sebuah peti mati, hingga men-

gundang Nyi Sarpa Rukinten bertanya seketika: 

"Peti mati siapa. Mbah?"

Seketika mata Bah Jenar terbelalak me-

mandang ke arahnya, seakan mengisyaratkan pa-

danya untuk tidak bertanya-tanya pada hal-hal 

tersebut. Muka Bah Jenar yang tadinya banyak 

senyum, kini nampak redup sedih. Hingga mem


buat Nyi Sarpa Rukinten terbersit rasa takut. Dan 

dengan terbata-bata berkata kembali:

"Maafkan saya. Mbah. Sungguh saya tidak 

sengaja kalau pertanyaan saya telah menyinggung 

perasaan Mbah."

Menggeleng lemah kepala Bah Jenar. Se-

mentara matanya terus memandang tajam pada 

Nyi Sarpa Rukinten yang hanya mampu menun-

duk tak berani untuk balik menatap.

Kebisuanpun menyelimuti kedua orang itu 

untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya terdengar 

suara Bah Jenar yang serak berkata: "Sudahlah... 

jangan kau pikirkan hal itu. Yang penting, kau 

harus menurut apa yang aku perintahkan pada-

mu nanti. Sekarang kita ngobrol dulu."

"Baik, Mbah. Aku akan selalu menuruti 

apa yang kau ucapkan, asalkan mukaku akan 

kembali seperti sedia kala. Apapun nantinya yang 

akan ditugaskan mbah padaku, akan aku laksa-

nakan. Aku telah mampu membuat perhitungan 

dengan orang yang telah membuat mukaku ru-

sak."

Terkekeh kembali Bah Jenar mendengar 

ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Dalam hati Bah Je-

narpun berkata senang. "Bagus, bagus! Memang 

hal itulah yang aku kehendaki. Bila praktekku 

berhasil, maka aku akan dapat membalas den-

dam pada tokoh-tokoh persilatan yang telah 

membuatku terasing di dunia ini."

Nyi Sarpa Rukinten hanya terdiam menun-

duk, tak dihiraukan tawa Bah Jenar yang seperti


tawa setan yang menggema di setiap ruangan goa 

itu.

"Sarpa Rukinten."

"Ya, Mbah?" menjawab Nyi Sarpa Rukinten 

seketika. Mukanya yang tadinya tertunduk, kini 

didongakkan memandang pada Bah Jenar yang 

menandangnya tanpa berkedip.

"Kalau kau nanti aku sembuhkan. Apakah 

kau mau membantuku?"

"Aku mau. Mbah!" menjawab Nyi Sarpa 

Rukinten yang membuat Bah Jenar kembali ter-

tawa, sembari mengangguk-anggukan kepalanya. 

Sesaat setelah terdiam memandang Nyi Sarpa 

Rukinten, Bah Jenar kembali bertanya:

"Bisakah kau menceritakan padaku, men-

gapa mukamu yang tadinya cantik berubah men-

jadi begitu?"

Nyi Sarpa Rukinten terdiam sesaat. Lalu 

dengan terlebih dahulu menarik napas panjang 

seperti menekan kekesalan di hatinya manakala 

mengenang kejadian itu. Nyi Sarpa Rukinten me-

nerangkan.

"Kejadian itu sekitar seminggu yang lalu, 

manakala aku ingin mencoba mengetahui apakah 

lelaki tertarik padaku? Dengan menyebar pengu-

muman yang berisikan sayembara. Banyak lelaki 

yang datang untuk mengikuti sayembara itu, di 

antaranya seorang juragan yang bernama Gantra. 

Setelah semuanya menyetujui syarat-syarat yang 

aku ajukan mereka pun bertanding untuk menja-

di yang paling sakti ilmunya. Akhirnya sayembara


itu dimenangkan oleh Gantra, seorang juragan 

yang telah mempunyai isteri dan anak. Jelas hal 

itu aku tolak"

Bah Jenar tampak mendengarkannya den-

gan sesekali mengangguk-anggukan kepala. Lalu 

Bah Jenarpun bertanya setelah Nyi Sarpa Rukin-

ten mengakhiri ceritanya.

"Lalu Gantra kecewa?"

"Ya, Mbah."

Bah Jenar menarik napas panjang sesaat 

sembari memandang pada wajah Nyi Sarpa Ru-

kinten. Tergetar hati Bah Jenar mana kala men-

dalamkan pandangannya. Di balik keburukan wa-

jah itu, tampak kecantikan yang dapat mengun-

dang rangsangan setiap lelaki. Begitu juga Bah 

Jenar yang melihat dengan seksama.

Darah Bah Jenar menggelegar penuh rang-

sangan, manakala terus menajamkan tatapan 

matanya ke wajah Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya 

yang memang penuh iblis berkata. "Kalau dia su-

dah kembali seperti sedia kala, maka aku harus 

mendapatkannya untuk menjadikan pengganti is-

teriku."

Dengan ilmu peletnya yang disalurkan le-

wat sorotan mata. Bah Jenarpun berkata:

"Pandanglah mataku, Sarpa Rukinten! 

Pandanglah...!"

Ucapan Bah Jenar menggaung di telinga 

Nyi Sarpa Rukinten.

Mendesak otaknya untuk mau menuruti 

ucapan itu. Hingga tanpa ragu-ragu, Nyi Sarpa


Rukinten pun segera menuruti ucapan itu. Di-

pandangnya sorot mata Bah Jenar yang penuh 

daya magis dengan kedua matanya. Seketika di 

hati Nyi Sarpa Rukinten tergetar sesuatu pera-

saan aneh. Napasnya saat itu juga memburu liar, 

menjadikan dadanya terasa menyesak. Di hada-

pannya kini bukanlah Bah Jenar lagi, namun seo-

rang dewa gagah yang menjadi idamannya.

Dengan tanpa malu-malu lagi, Nyi Sarpa 

Rukinten pun segera mendekat ke arah Bah Je-

nar yang tersenyum penuh kemenangan.

"Duduklah di atas batu datar itu! Bukalah 

seluruh pakaian yang kau kenakan, lalu rebah-

kan tubuhmu!"

Dengan pikiran diliputi khayalan-khalayan. 

Nyi Sarpa Rukinten pun segera membuka satu 

persatu pakaiannya hingga tak tersisa sehelai be-

nangpun. Lalu dengan penuh senyum, Nyi Sarpa 

Rukinten segera membaringkan tubuhnya terlen-

tang di atas sebuah batu datar yang telah ada.

Bah Jenar tersenyum puas, melangkahkan 

kakinya perlahan menuju ke tempat di mana Nyi 

Sarpa Rukinten terbaring.

Maka tak dapat dikata lagi. keduanyapun 

seketika terlibat dalam dekapan setan yang telah 

merasuk di jiwa mereka. Bagaikan seekor macan 

yang kelaparan. Bah Jenar menggeluti tubuh Nyi 

Sarpa Rukinten yang menjerit manakala kegadi-

sannya terenggut.

"Aah...!"

Bah Jenar tersenyum senang, sedang Nyi


Sarpa Rukinten kini hanya dapat merintih dan 

merintih setelah membercikkan darah perawan-

nya.

Bah Jenar tampak duduk bersila. Di hada-

pannya duduk pula Nyi Sarpa Rukinten. Kedua-

nya tampak terdiam sesaat, lalu terdengar Bah 

Jenar berkata: "Nyi Sarpa Rukinten, untuk men-

gembalikan wajahmu seperti sedia kala, kau perlu 

melakukan mandi tujuh kali dengan tujuh macam 

bunga. Setelah itu, kau harus meneteskan darah 

ke atas peti mati itu."

"Untuk apa. Mbah?"

"Janganlah membantah. Nyi. Lakukanlah 

apa yang aku katakan padamu bila kau ingin wa-

jahmu seperti sedia kala," berkata Bah Jenar.

Dengan tanpa berani menentang lagi, ak-

hirnya Nyi Sarpa Rukintenpun menurut. Malam 

itu juga dengan ditemani Bah Jenar, Nyi Sarpa 

Rukinten segera melaksanakan apa yang telah di-

perintahkan padanya.

Tujuh sumur yang ada di sekitar situ dida-

tanginya satu persatu. Setiap kali ia mandi di se-

tiap sumur, saat itu juga bunga-bunga ditabur-

kan oleh Bah Jenar ke atas rambutnya.

Satu sumur, dua, tiga, empat, tak terjadi 

reaksi apa-apa. Namun ketika sumur yang kee-

nam, terdengar jeritan Nyi Sarpa Rukinten me-

nyayat. Tampak kulit di wajahnya yang busuk itu, 

meleleh dan mengelupas. Berbareng dengan itu, 

wajah Nyi Sarpa Rukinten pun kini berganti se-

perti semula. Dan ketika sumur yang ketujuh. Nyi


Sarpa Rukinten benar-benar seperti bidadari.

Hal itu menjadikan Bah Jenar membelia-

kan matanya takjub. Memandang tak berkedip 

sepertinya tak percaya pada apa yang ada di ha-

dapannya.

Hingga tanpa sadar. Bah Jenar memekik 

memanggil sebuah nama. "Isteriku, Roro Asih. 

Kaukah itu?"

"Benar, Kakang. Kenapa kau membangun-

kan tidurku?" berkata Nyi Sarpa Rukinten, na-

mun suaranya lain sembari tersenyum meman-

dang pada Bah Jenar. "Kalau kau ingin penitisan 

ini berhasil dengan baik, maka kau harus menyu-

ruh gadis ini meneteskan darahnya pada peti mati 

itu bersamaan dengan darahmu."

"Baiklah, isteriku. Aku akan melaksana-

kannya kembali apa yang telah kita rencanakan 

dahulu. Ayo. kita ke dalam!" mengajak Bah Jenar 

seraya menggandeng tangan Nyi Sarpa Rukinten.

Dengan didahului membakar dupa di de-

pan peti mati. Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten 

segera duduk bersimpuh. Dari mulut kedua orang 

itu terdengar ucapan mantra yang tak jelas.

Setelah selesai mengucap mantra, kedua-

nya segera bangkit dari duduk. Berbarengan ke-

duanya segera menusuk jari tengah tangannya 

dengan sebuah duri. Seketika dari tusukan itu 

keluar cairan merah menetes ke atas peti mati. 

Asap hitam seketika mengepul bergulung-gulung 

ke angkasa, manakala darah keduanya jatuh ke 

permukaan peti mati itu. Asap itu perlahan-lahan


masuk ke dalam tubuh Nyi Sarpa Rukinten yang 

menjerit-jerit bagaikan dibeset kulit tubuhnya.

"Aaahhh...!!!"

Dibanting-bantingkan tubuhnya ke tembok 

goa, sepertinya tak tahan dengan sakit yang ten-

gah dideritanya. Lama hal itu dilakukan, hingga 

akhirnya tubuh Nyi Sarpa Rukintenpun jatuh 

pingsan.

Dengan penuh perasaan. Bah Jenar segera 

mengangkat tubuh Nyi Sarpa Rukinten ke atas 

baru datar. Dibaringkannya tubuh Nyi Sarpa Ru-

kinten di atas batu datar itu. Lalu dengan penuh 

nafsu Bah Jenar pun segera mendekap tubuh Nyi 

Sarpa Rukinten yang tengah pingsan. Untuk ke-

dua kalinya. Roh Jenar dapat menyalurkan naf-

sunya tanpa ada perlawanan. Menjerit sadar Nyi 

Sarpa Rukinten sesaat, kemudian tersenyum ma-

nakala memandang pada Bah Jenar. Sepertinya 

puas menerima perlakuan itu.

Bersamaan dengan keduanya mencapai 

kepuasan, meledaklah seketika peti mati di samp-

ing mereka. Bah Jenar tersentak hampir melom-

pat kalau saja Nyi Sarpa Rukinten yang kini di-

kuasai oleh roh isterinya tidak segera memeluk-

nya erat.

"Jleger...! Duar...!" Lempengan-lempengan 

papan dari peti mati itu berhamburan, bersamaan 

dengan melayangnya sesosok tubuh terbungkus 

kain kafan putih.

Tubuh terbungkus kain kafan putih itu 

melesat terbang ke luar goa, menjadikan longlon


gan anjing hutan seketika menggema.

Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten terlelap 

kecapaian dengan napas dan keringat mengalir 

deras dari tubuh mereka.

Ke manakah larinya mayat dalam bungku-

san kain kafan itu? Yang tiba-tiba saja terbang 

melesat meninggalkan goa yang menjadi tempat-

nya selama sepuluh tahun.

Longlongan anjing liar terus menggema, 

bagaikan sebuah lolongan kengerian. Bersamaan 

dengan itu di angkasa tampak seberkas warna 

putih terbang berputar-putar sesaat di atas goa. 

Lalu setelah merasa puas. Mayat itupun seketika 

melesat dengan cepatnya.


TIGA



Merinding seketika kuduk keempat petugas 

ronda mendengar lolongan anjing hutan yang me-

nyayat. 

"Aauunggg...! Aaauuunggg!"

"Kang! Apakah kau tak mendengar suara 

anjing melolong?" bertanya Oip pada ketiga teman 

rondanya yang seketika itu juga menghentikan 

membanting gaplenya dan memandang pada Oip 

seraya mendengarkan dengan seksama.

"Benar! Ini malam apa, Sa?" tanya Jumana 

pada Karsa yang seketika mengerutkan kening-

nya, dan menjawab:

"Malam jum'at, Kang!"


"Malam jum'at!" memekik ketiga orang 

lainnya berbarengan.

"Jum'at apa, Sa?" kembali Jumana ber-

tanya. 

"Jum'at Kliwon!"

Untuk kedua kalinya ketiga orang itu terbe-

lalak mendengar jawaban Karsa seraya kembali 

memekik 

"Jum'at Kliwon?"

"Ah! Biasanya juga tak ada apa-apa, kok"

"Jangan begitu. Sa. Kau dengar suara lo-

longan anjing itu?" bertanya Oip, yang bulu ku-

duknya telah meremang berdiri karena takut. 

Sementara matanya seketika liar memandang ke 

sana ke mari, sepertinya mencari-cari sesuatu.

"Ah! Sudahlah! Ayo kita teruskan main 

gaplenya," mengajak Taras pada ketiga temannya. 

Akhirnya dengan tanpa memperdulikan lagi atau 

memang ingin menghibur diri dari rasa takut, 

keempat orang itupun segera kembali main gaple.

Dari kejauhan tampak sebuah benda ber-

warna putih melayang-layang mendekat ke arah 

mereka.

Oip yang menghadap ke arah Timur dan 

memang telah merasa takut, seketika matanya 

terbelalak mana kala melihat benda itu.

Keringat dingin keluar deras dari tubuh 

Oip kala benda putih itu makin lama makin dekat 

ke tempat itu.

"Kang, aku ingin buang air sebentar."

Oip segera bergegas pergi meninggalkan ke


tiga temannya yang memandang kepergiannya 

dengan mengerutkan mata.

Dengan terburu-buru larinya, Oip segera 

meninggalkan ketiga temannya yang masih main. 

Namun seketika langkahnya terhenti, manakala 

di hadapannya tampak sebuah benda putih tegak 

berdiri menghadangnya.

"Po... pocong!" memekik Oip seketika, lalu 

ambruk tak sadarkan diri lagi. Sementara pocong 

yang menghadangnya segera menghilang entah ke 

mana meninggalkan Oip yang masih tergeletak 

pingsan.

* * *

"Ke mana si Oip. Lama benar ia buang air-

nya?" berkata Jumana, sembari membanting 

gaple. Ketika kepalanya mendongak ke muka. 

Tampak olehnya sebuah pocong berputar-putar di 

atas gardu, di mana dia tengah main gaple. Ma-

tanya seketika terbelalak memandang tak berke-

dip hingga mengundang tanya kedua temannya.

"Ada apa, Kang Jumana? Sepertinya kau 

ketakutan?" tanya Darsa seraya memandang ke 

arah yang tengah dipandang deh Jumana. Namun 

tak dilihatnya apa-apa di situ, membuat Darsa 

kembali memandang pada Jumana yang bering-

sut-ingsut hendak pergi.

"Heh... mau ke mana kau, Jumana?" ber-

tanya Taras.

"Aku mules, nih. Aku ingin beol," Jumana


segera berlari pergi, mengundang gelak tawa Ta-

ras. Belum juga Jumana lari pergi, Darsa pun 

dengan alasan mau beli lontong di Mpo Suri sege-

ra meninggalkan Taras yang masih tenang di gar-

du sendirian.

"Heran! Kenapa mereka lama perginya. 

Jangan-jangan mereka memang sengaja mening-

galkanku untuk ronda sendirian. Huh, dasar pe-

malas semua!"

"Siapa, Kang yang pemalas?" Tiba-tiba ter-

dengar suara seorang wanita bertanya membuat 

Taras terbelalak dan memalingkan muka ke bela-

kang. Tampak seorang wanita cantik tersenyum 

padanya membuat hati Taras seketika deg deg 

plas. Dengan tergagap Taras menjawabnya.

"Anu... teman-teman saya. Mereka katanya 

sebentar hendak buang air. eh tahunya amblas" 

"Jadi kakang kini sendirian?"

"Ya," menjawab Taras. Matanya meman-

dang tak berkedip. Sementara dalam hatinya ber-

kata: "Wah... denok bener, nih cewek. Untung ke-

tiganya pergi, kalau tidak. Wah, bisa-bisa berebu-

tan. Dasar rejeki nomplok, dingin-dingin begini 

ada cewek yang menyamperi."

Tengah Taras melamun, terdengar lagi sua-

ra gadis itu berkata padanya: "Boleh aku nema-

nin. Kang?"

Terbelalak mata Taras mendengar ucapan 

gadis di sampingnya, yang telah menawarkan jasa 

untuk menemaninya ronda. Maka dengan hati 

berbunga-bunga, Taraspun dengan segera men


jawab senang.

"Wah...! Kalau memang neng mau nemani, 

boleh. Bahkan aku sangat senang. Ayo masuk ke 

gardu. Neng!"

Gadis itu dengan masih tersenyum segera 

menurut masuk ke dalam gardu, menjadikan Ta-

ras makin deg deg plas. Apalagi kala melihat ke 

bawah tubuh gadis itu. Di paha, pakaiannya ter-

sibak. Hingga tampaklah pahanya yang mulus, 

membuat lidah Taras seketika melelet.

"Kok kakang memandangku begitu?" tanya 

gadis itu manja, menjadikan Taras kembali terga-

gap. Namun dengan segera tangannya yang jahil 

bereaksi ke mana-mana. Gadis itu bukannya ma-

rah diperlakukan begitu, bahkan sepertinya ia 

membiarkan tangan Taras.

"Neng...! Siapa sih nama Neng? Geulis nian 

neng ini. Apakah sudah punya pacar?"

Ditanya seperti itu oleh Taras, si gadis 

tampak makin melebarkan senyumnya. Dengan 

genit makin merapatkan tubuhnya menempel ke 

tubuh Taras. Membuat Taras kelabakan panas 

dingin.

"Akang tidak takut sendirian?" tanya si ga-

dis. 

"Kan ada neng?"

Semakin gadis itu melebarkan senyum, 

makin membuat Taras gemas. Dengan segera, Ta-

ras yang sudah tak mampu membendung gejolak 

nafsunya memeluk tubuh gadis di sampingnya 

yang hanya terdiam.


Mata Taras yang terpejam tak mengetahui 

siapa sebenarnya yang tengah didekapnya. Maka, 

mana kala hidungnya mencium bau wangi bunga 

kematian, Taras hanya berpikir. "Mungkin minyak 

wangi yang dipakai oleh si gadis."

"Kau memakai minyak wangi. Neng?"

"Aku tak pernah memakai minyak wangi, 

Kang. Mungkin di sini ada setan?"

Tersentak Taras mendengar ucapan si ga-

dis hingga segera matanya terbuka. Dan betapa 

terkejutnya Taras, kala mengetahuinya bahwa

yang dipeluknya adalah sebuah pocong. 

"Po... pocong...!"

Taras yang tersentak dengan segera ber-

maksud melarikan diri, namun kakinya bagaikan 

terpatri di situ. Hingga iapun tak mampu untuk 

memindahkan langkahnya. Sementara di bela-

kang, pocong itu meloncat-loncat ke arahnya den-

gan disertai rintihan yang makin membuat Taras 

ketakutan.

Saking takutnya Taras saat itu, hingga ia-

pun akhirnya tergeletak pingsan. Dari kejauhan 

terdengar suara orang-orang kampung berseru 

dengan obor di tangan mereka. Suara-suara orang 

kampung membuat pocong itu seperti terkesima. 

Dan dengan segera terbang meninggalkan tubuh 

Taras. "Itu...! Itu dia!"

Segera penduduk kampung berlari menco-

ba mengejarnya, namun pocong itu telah terbang 

ke angkasa dan melesat pergi meninggalkan me-

reka menuju ke arah gunung Galunggung.


* * *

Pagi harinya seluruh penduduk kampung 

ramai membicarakannya. Komentar dari sana-sini 

bergema, sepertinya tahu saja mereka itu.

"Wah, kalau begitu Taras pernah, dong pa-

caran sama hantu."

"Untung si Taras tidak sampai melakukan-

nya. Kalau sampai, wah dia akan terbawa oleh-

nya."

"Mengapa sekarang ada hantu lagi? Padah-

al dulu kan tak ada?"

"Mungkin hantu itu hantu jejadian yang 

dibuat oleh orang berilmu hitam untuk menda-

patkan kekayaan."

Di pasar, di sawah, di kebun, atau di mana 

saja. Semua membicarakan perihal kejadian se-

malam yang telah dialami oleh keempat orang pe-

ronda. Sementara itu di kantor balai desa, pak 

Lurah beserta sesepuh desa dan pamong-

pamongnya tengah membahas masalah hantu po-

cong tersebut.

Di situ tampak Darsa, Oip, Jumana, dan 

Taras yang menjadi saksi utamanya untuk dita-

nyai.

"Jadi jelaslah. Bahwa desa kita ini telah di-

jarah oleh seseorang yang berilmu hitam untuk 

menakut-nakuti kita, hingga kalau kita takut ma-

ka dengan mudah dia akan membuat keonaran 

dan pencurian. Untuk itu, mulai sekarang petu-

gas ronda yang mulanya satu gardu empat orang


harus ditambah menjadi sepuluh orang. Bagai-

mana?" Pak Lurah berbicara penuh semangat, 

menjadikan semua yang hadir terdiam tak ada 

yang berkomentar.

Namun kebisuan rapat itu seketika terpe-

cah, mana kala tampak seorang tua menyapa me-

reka memberi salam: "Sampurasun...!"

"Rampes...!" menjawab semuanya serem-

pak. Pak Lurah segera menghampiri.

Dengan terbatuk-batuk dahulu, lelaki tua 

itu berkata: "Aku ingin menawarkan jasa pada ka-

lian. Aku akan berusaha mengusir pocong yang 

tengah mengganggu kampung ini."

Terbelalak mata semuanya yang hadir.

Seketika semua mata tertuju pada orang 

tua itu yang tampaknya hanya tersenyum tenang. 

Sebelum warganya berkata, pak Lurah pun segera 

mendahului bertanya.

"Apakah bapak benar-benar ingin meno-

long kami?"

"Ya! Aku ingin menolong kalian dari teror 

itu. Aku mampu untuk mengusir hantu pocong 

itu, tapi dengan satu syarat."

"Syarat! Syarat apakah itu?" bertanya pak 

Lurah terperanjat, demi mendengar ucapan orang 

itu. Seperti pak Lurah, seluruh orang hadir di situ 

pun terperanjat dengan mulut mengumam. "Sya-

rat...!" 

"Ya! Semuanya memang harus ada syarat-

nya." 

Pak Lurah sesaat terdiam memandang pa


da warganya yang turut terdiam tanpa reaksi. Se-

telah beberapa lama terdiam, pak Lurah akhirnya 

berkata: "Baiklah! Sekarang katakan apa yang 

menjadi syaratnya."

Kembali dengan diawali batuk-batuk, lelaki 

tua renta itu berkata: "Syarat itu tidak sulit. Ka-

lian sediakan saja kembang desa yang masih pe-

rawan. Taruhlah di sebelah Timur desa nanti ma-

lam!"

"Apa....! Syarat gila! Jangan mengail di air 

yang keruh. Pak Tua! Kami tengah memikirkan 

bagaimana yang baik, eh malah pak tua meminta 

syarat macam-macam" Pak Lurah tampak agak 

sewot.

Bagaikan tak bersalah apa-apa, lelaki tua 

itu hanya tersenyum sepertinya sinis. Dan dengan 

hendak pergi, lelaki tua itupun berkata: "Kalau 

memang tidak mau memenuhi syarat, ya aku pun 

tak memaksanya. Urusilah oleh olehmu sendiri." 

"Tunggu, Pak Tua!" 

"Ada apa lagi. Pak Lurah?" Walaupun agak 

mangkel juga kepala desa melihat tingkah laku 

orang tua itu. Namun karena didorong oleh rasa 

tanggung jawab sebagai ketua kampung, akhirnya 

pak Lurah pun berkata dengan perasaan sabar.

"Pak tua. Apakah tak dapat syarat itu di-

ganti? Misalnya dengan uang atau perhiasan?"

"Tidak bisa. Pak Lurah. Kalau itu syarat-

nya, maka tak akan dapat diganti dengan yang 

lainnya. Bila kau tak sanggup, aku pun dengan 

menyesal tak dapat mengusir hantu pocong itu."


Bagai orang tenar saja yang suka sombong, 

lelaki tua itu kembali hendak pergi, tetapi pak Lu-

rah segera memanggilnya kembali. "Pak tua, 

tunggu!"

Dengan senyum sinis, lelaki tua itu kemba-

li menghentikan langkah kakinya. Memandang 

kembali ke arah pak Lurah sembari bertanya: 

"Ada apa lagi? Apakah kau menyetujuinya?"

"Sebentar pak tua, aku dan wargaku ingin 

berbicara denganmu. Sebab untuk memenuhi 

syarat tersebut, kami harus mengadakan musya-

warah terlebih dahulu." Terkekeh pak tua men-

dengar ucapan pak Lurah. 

"Baiklah, baiklah! Sekarang bermusyawa-

rahlah." Pak Lurah segera menemui kembali war-

ga dan sesepuh desa yang saat itu tengah ber-

kumpul. Dengan segera, pak Lurahpun memim-

pin rapat untuk memutuskan bagaimana baiknya 

dengan syarat yang diajukan oleh orang tua itu.

Akhirnya diputuskan untuk menyetujui sa-

ja syarat yang diminta oleh lelaki tua itu. Setelah 

menimbang dan memikirnya secara untung ru-

ginya. Terkekeh lelaki tua dan berkata sebelum 

pergi.

"Baiklah, kalau begitu. Nanti malam tepat 

jam dua belas, kalian harus telah mempersiapkan 

gadis itu dan meninggalkannya sendirian."

* * *

Malam telah tiba dengan sejuta misteri.

Lambat laun gelap makin menyekat menyelimuti 

muka bumi dengan segala kehidupan yang ada.

Ketika malam makin larut, tampak bebera-

pa orang berjalan menuju ke arah Timur desa. 

Bersama mereka berjalan seorang gadis dengan 

tangan diikat.

Rombongan itu yang ternyata pak Lurah 

beserta beberapa orang pamongnya terus melang-

kah menuju ke perbatasan kampung. Langkah-

langkah mereka seperti diseret, karena rasa takut 

yang telah menjarah hati mereka.

"Kau berani di sini sendirian, Sri?" ber-

tanya pak Lurah dengan nada iba pada Sri Ayulis-

tio, anaknya yang bersedia untuk dijadikan tum-

bal.

"Berani, Ayah. Relakanlah kepergian Sri, 

demi untuk ketentraman desa ini."

Makin trenyuh hati pak Lurah mendengar 

jawaban anaknya yang paling ia sayangi. Mata 

pak Lurah seketika meneteskan air mata lak kua-

sa untuk menahannya. Dengan seketika dipeluk-

nya tubuh Sri yang tampak tersenyum bagaikan 

tak ada rasa takut sedikitpun di hatinya.

"Tak usah ayah menangis. Kalau memang 

Tuhan menghendaki umur Sri panjang, insya Al-

lah, Sri akan selamat. Sekarang pergilah ayah dan 

paman semua, biarkanlah Sri sendirian menung-

gu kedatangan pak tua itu di sini."

Tanpa banyak kata lagi, kelima orang lelaki 

itupun segera pergi meninggalkan tubuh Si Ayu-

listio yang tampak tegar tanpa rasa takut setetes


pun di darahnya.

Angin malam meniup begitu dinginnya, 

menerpa tubuh Sri yang tampak menggigil kedin-

ginan. Matanya memandang tak berkedip ke mu-

ka, di mana terpampang gunung Galunggung 

menjulang tinggi.

Ketika waktu telah begitu larut, sesosok 

tubuh berkelebat dengan cepatnya menuju ke 

arah itu.

"Bagus, bagus! Ternyata mereka memang 

orang-orang bodoh yang mau dibohongi!" bergu-

mam lelaki itu dalam hati seraya mendekat ke 

arah Sri Ayulistio.

"Siapa kau!" membentak Sri manakala me-

lihat lelaki itu mendekatinya. Lelaki itu tersenyum 

padanya.

"Akulah yang menyuruh pada pak Lurah 

untuk mengorbankanmu sebagai tumbal. Apakah 

kau telah siap?"

"Aku telah siap!" menjawab Sri Ayulistio 

mantap.

Lelaki itu tampak mengangguk-anggukan 

kepala dan dengan seketika tangannya membeset 

pakaian yang tengah dikenakan oleh Sri. Terbela-

lak mata Sri Ayulistio manakala lelaki itu dengan 

liar memeluk dan menggelutinya.

Sri Ayulistio yang sadar bahwa lelaki itu 

bermaksud buruk, seketika meronta. Menendang 

selangkangan lelaki itu, yang seketika memekik 

kesakitan seraya memegangi miliknya.

Sri Ayulistio segera berusaha melepaskan


ikatan tali di tangannya. Lelaki itu telah dapat 

menguasai diri dan kembali berusaha memeluk-

nya. Karena tangan terikat hingga Sri Ayupun tak 

dapat mengelakannya. Tubuhnya seketika, dite-

lentangkan oleh lelaki itu, yang dengan buas 

mencabik-cabik seluruh pakaiannya.

Tengah lelaki itu hendak melampiaskan 

nafsu binatangnya, seketika terdengar suara tawa 

yang mendirikan bulu kuduk. Berbarengan den-

gan itu, tubuh lelaki itu tiba-tiba terangkat ke 

udara sembari meronta-ronta dicengkeram oleh 

seorang wanita yang berpakaian serba putih.

Wanita berpakaian serba putih itu terus 

membawa tubuh lelaki itu jauh dan jauh. Hingga 

akhirnya tak tampak lagi oleh pandangan Ayulis-

tio, yang segera pergi meninggalkan tempat itu 

untuk kembali ke kampungnya.

Diceritakannya pada ayah dan warga kam-

pungnya, bahwa sebenarnya pocong itu tidak 

bermaksud jahat. Bahkan telah menolongnya dari 

pemerkosaan lelaki yang mengaku dukun itu.

"Syukurlah, Anakkku. Rupanya Tuhan se-

lalu bersamamu," berkata pak Lurah dengan ter-

haru mendapatkan anak gadisnya tak jadi terke-

na musibah.

Maka sejak itu pula, tersebarlah berita 

bahwa sebenarnya pocong itu tak jahat. Bahkan 

pocong itu telah menolong anak Lurahnya dari 

maksud jahat lelaki yang mengaku dukun.


Malam itu Gantra tampak gelisah dan 

waswas hatinya. Telah beberapa kali ini mencoba 

menenangkan pikirannya. Namun sejauh ia men-

coba, semakin hatinya tak tentram dan gelisah 

saja.

Isterinya yang melihat, seketika menge-

rutkan kening dan bertanya: "Ada apa, Kakang. 

Sepertinya kau tengah gelisah?"

"Entahlah. Nyi. Sejak sore hari hatiku tak 

tenang," menjawab Gantra. Isterinya bukan ikut 

prihatin malah langsung menyemprot marah.

"Oh! Jadi hatimu tak tenang karena memi-

kirkan cewek lain!"

"Heh! Apa-apaan kau ini, Nyi. Bukannya 

turut memikirkan bagaimana diri suaminya, eh 

malah memarahi. Isteri macam apa kau, Nyi?"

"Enak saja mikirin kamu! Mikirin anak-

anakmu yang nakal-nakal saja aku pusing, apa-

lagi mesti mikirin dirimu yang play boy! Makanya 

jadi lelaki jangan loncer!"

"Diam! Menyesal aku memperistrimu. Ka-

lau aku dulu tahu, kau ternyata tak lebihnya 

hanya seorang perempuan jalang!"

Pertengkaranpun tak dapat dihindarkan di 

antara kedua suami isteri itu. Sang suami yang 

memang hatinya sedang tak tenang, memaki-

maki pada sang isteri. Sebaliknya sang isteri yang 

mengetahui suaminya berengsek, tak mau kalah


menyemprotkan dengan kata-kata kasar dan jo-

rok.

Tengah keduanya bertengkar, tiba-tiba ke-

duanya dikejutkan oleh salam yang diucapkan 

oleh seorang wanita. Langsung saja, kedua suami 

istri itu diam.

"Sampurasun...!"

"Rampes...!" menjawab keduanya hampir 

berbarengan seraya memandang pada seorang 

wanita yang telah berdiri dengan bibir terurai se-

nyum.

"Apa benar ini rumah tuan Gantra?" ber-

tanya wanita muda, membuat rasa cemburu di 

hati isteri Gantra yang seketika cemberut. Semen-

tara Gantra dengan segera menyambut wanita itu 

dengan bibir terurai senyum pula.

"Siapakah nona ini?"

"Apakah tuan telah lupa pada saya? Baru 

setengah tahun yang lalu tuan mengenal saya."

Seketika Gantra mengerutkan kening men-

dengar ucapan wanita muda di hadapannya. Ha-

tinya berpikir-pikir, menerka-nerka siapa sebe-

narnya wanita cantik itu karena memang Gantra 

tengah memanas-manasi isterinya, sepontan saja 

Gantra segera pura-pura mengenalnya.

"Oh, ya. Ada keperluan apakah hingga no-

na malam-malam berkunjung ke mari?"

Pertanyaan yang maksudnya hanya main-

main belaka itu seketika mendapat sambutan 

yang tak terduga oleh Gantra. Wanita cantik itu 

tersenyum seraya menjawab dengan nada manja.


Menjadikan Gantra seketika gemes dan geregetan 

dibuatnya.

"Tuan Gantra, rasanya tak enak kalau kita 

ngobrol-ngobrol di sini. Aku khawatir isterimu 

akan cemburu."

"Lalu di manakah menurut nona tempat 

yang enak?" bertanya Gantra terkejut, mana kala 

mengetahui bahwa wanita itu benar-benar ingin 

mengajaknya berbincang-bincang.

Dengan didahului kedipan matanya, gadis 

itu menunjuk ke arah di mana hutan terpampang 

luas menghampar. Hingga makin membuat Gan-

tra melototkan matanya dengan hati gembira.

"He... percuma tak dapat menundukan wa-

nita, hingga sampai tergila-gila seperti gadis ini." 

Hati Gantra yang tak mengetahui siapa adanya 

gadis itu bergumam senang. Dan tanpa berpikir 

lagi Gantra-pun segera menuruti langkah gadis 

itu pergi menuju hutan Jati.

Kebahagiaan Gantra seketika lenyap, ma-

nakala gadis itu tiba-tiba tertawa bergelak-gelak 

setelah sampai di dalam hutan jauh dari rumah-

nya.

Mendengar suara tawa gadis itu, seketika 

bulu kuduk Gantra meremang berdiri. Namun 

demikian dicobanya untuk tenang.

"Gantra, lupakah kau padaku?"

"Siapa kau!" membentak Gantra di antara 

rasa takutnya.

"Gantra! Setengah tahun yang lalu kau te-

lah merusak wajahku. Sekarang katakan padaku,


siapa yang telah menolongmu untuk menenung-

ku? Ayo jawab, Gantra!"

Mata gadis itu liar, seperti hendak men-

cengkeram dan mencekik Gantra. Mulut gadis 

cantik itu menyeringai, tampaklah gigi-giginya 

yang runcing dan tajam. Tergagap Gantra berucap 

menyebut nama gadis di hadapannya yang menu-

rut perkiraannya telah mati.

"Kau... kau Nyi Sarpa Rukinten?"

"Benar, Gantra. Aku Nyi Sarpa Rukinten 

yang lelah kau buat mukaku menjadi buruk. Na-

mun ternyata aku tidak mati akibat tenungmu. 

Dan oleh karena itu aku akan menuntut balas 

atas tindakanmu. Katakan siapa yang telah kau 

perintahkan untuk membuat mukaku rusak, 

Gantra!" membentak Nyi Sarpa Rukinten.

Gantra tertawa bergelak-gelak setelah tahu 

siapa adanya gadis di hadapannya. Lalu dengan 

meremehkan. Gantrapun berkata:

"Nyi Sarpa Rukinten. Jangan harap kau 

akan dapat membalas semuanya. Dan jangan ha-

rap kau akan mengetahui siapa yang telah aku 

suruh merusak wajahmu. Kalau kau ingin mem-

balas dendam padaku, lakukanlah bila kau mam-

pu!"

"Rupanya kau terlalu gegabah meman-

dangku. Gantra. Jangan salahkan kalau akhirnya 

aku akan membuatmu menderita seumur-umur. 

Hat....!"

Dengan didahului pekikan nyaring. Nyi 

Sarpa Rukinten yang telah marah segera menye


rang Gantra dengan cepatnya. Hingga membuat 

Gantra terkesima seketika itu. Bagaimana mung-

kin, dalam setengah tahun Nyi Sarpa Rukinten te-

lah dapat menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi se-

perti yang tengah dipergunakan untuk menye-

rangnya?

Demi melihat hal itu, secepatnya Gantra 

segera berkelit mengegoskan tubuhnya menghin-

dari serangan itu. Dan dengan cepat Gantra balik 

menyerang yang mau tidak mau harus dielakan 

oleh Nyi Sarpa Rukinten.

Pertarunganpun kini berjalan dengan seru. 

Dengan masing-masing berusaha menjatuhkan 

musuhnya. Jurus-jurus keduanya di keluarkan 

dengan cepat hingga sukar untuk dipandang oleh 

mata biasa. Kini keduanya tak tampak lagi hanya 

bayang-bayang pakaian yang digunakan saja yang 

kelihatan.

Walaupun Gantra telah menguras habis 

ilmu-ilmu silatnya. Namun bagaikan menghadapi 

seorang pesilat kelas wahid saja, Gantra dibuat 

kalang kabut oleh serangan-serangan yang dilan-

carkan Nyi Sarpa Rukinten.

"Hem... Aku rasa ini tentu bukan Nyi Ru-

kinten yang sesungguhnya. Aku merasa ada ke-

lainan dalam setiap gerak-geriknya. Apakah ia te-

lah bersekutu dengan siluman? Baik, akan aku 

coba dengan ilmu pada ilmu kedigdayaan. Semo-

ga aku dapat menundukannya," mengeluh Gantra 

seketika mana kala melihat musuhnya tak mera-

sa capai atau susut serangannya. Bahkan seketi


ka Gantra dibuat terkejut, kala dengan tiba-tiba 

tangan Nyi Sarpa Rukinten telah mencakar mu-

kanya hingga baru mengeluarkan darah.

"Iblis! Jangan kira aku akan membiarkan 

kau seenaknya mempermainkan aku. Terimalah 

ajian pelebur Gaib. Hiat...!" Dengan segera Gantra 

mengarahkan ajiannya. Seketika itu, Nyi Sarpa 

Rukinten memekik manakala ajian itu menghan-

tam tubuhnya.

Tampaklah kini di hadapan Gantra bukan 

Nyi Sarpa Rukinten, tapi seorang wanita yang tu-

buhnya telah menjadi tulang belulang. Gantra 

menyipitkan matanya, seakan pernah mengetahui 

siapa wanita di hadapannya.

"Hem...! Rupanya kau hidup lagi. Tentu 

suamimu yang telah berbuat ulah ini. Jangan ha-

rap aku takut menghadapimu. Dewi Tengkorak 

Hidup!"

Dengan didahului dengusan panjang. Dewi 

Tengkorak Hidup segera berkelebat menyerang 

Gantra. Pekikannya seketika menyayat hati, se-

perti pekikan seorang yang histeris. Pekikan itu 

sangat kuatnya karena mengandung tenaga da-

lam.

Mau tak mau Gantra pun dengan segera 

mengatur jalan pernapasannya, menutup pada 

gendang telinganya yang terasa nyeri. Dengan se-

gera Gantra pun balas menyerang Dewi Tengko-

rak Hidup.

Hutan yang tadinya sepi, malam itu seketi-

ka terpecahkan oleh suara hentakan dan pekikan


dua orang yang tengah terlibat pertarungan.

Segala macam ilmu kedigdayaan telah ter-

kuras oleh Gantra. Namun ternyata musuhnya 

bukanlah tokoh silat yang dapat diremehkan. 

Musuhnya yang kini dihadapi adalah tokoh persi-

latan kelas wahid yang pernah menjajahi dunia 

persilatan beberapa tahun yang lalu. Hingga den-

gan seketika, terkuras habislah tenaga Gantra.

"Gantra! Hari ini juga aku akan mengambil 

nyawamu."

"Dewi Muka Tengkorak Hidup! Kenapa ti-

ba-tiba kau hendak membunuhku? Apakah aku 

pernah berbuat salah padamu?"

"Hi, hi.... hi...! Gantra, kenapa kau sepena-

kut itu? Aku dengar kau salah seorang bekas pra-

jurit kerajaan Sangkur Aji yang terkenal gagah 

berani. Mana buktinya, Gantra! Kalau aku hen-

dak membunuhmu, itu karena aku merasa ber-

hutang budi pada si pemilik tubuh ini yang telah 

dengan ikhlas meminjamkannya padaku. Hi... 

hi... hi...!"

Merinding bulu kuduk Gantra seketika. Ke-

ringat dingin pun mengalir dengan derasnya. Ha-

tinya seketika gundah dan bimbang untuk bertin-

dak.

Menyerang dan melawan, akan sia-sia ka-

rena Dewi Tengkorak Hidup bukanlah tokoh sem-

barangan. Tapi bila tak melawan, berarti ia telah 

rela untuk diambil nyawanya. Dan mati dengan 

cara pengecut. "Tidak! Aku tak mau mengalah be-

gitu saja!" berkata hati Gantra. Dengan nekad


Gantrapun segera berkelebat menyerang Dewi 

Tengkorak hidup yang seketika mengelakan se-

rangannya.

Dengan ajian Siliwangi Gantra seketika be-

rubah menjadi harimau yang dengan ganasnya 

menyerang Dewi Tengkorak Hidup.

Seketika itu juga kekuatan dua siluman 

pun bertarung. 

"Hiat...!" 

"Auumm...!"

Keduanya segera melompat dan bertemu di 

udara dengan mengadu dua kesaktian.

Gantra terlempar jauh ke belakang dengan 

tubuh hangus dan nyawa melayang. Sementara 

Dewi Tengkorak Hidup, terjajar lima tombak ke 

belakang. Di wajah Dewi Tengkorak Hidup terber-

sit senyum sinis. Lalu dengan tanpa menghirau-

kan mayat Gantra, Dewi Tengkorak Hidup segera 

berkelebat pergi meninggalkannya.

* * *

Dari kejauhan Jaka melihat orang-orang 

berkerumun mengundang perhatiannya untuk 

segera mendekatinya. Dengan meminta jalan pada 

orang-orang yang berkerumun Jaka akhirnya da-

pat melihat gerangan apa yang telah menjadi ton-

tonan orang-orang tersebut.

Sebuah mayat telah tergeletak dengan tu-

buh hangus, seperti habis terbakar. Jaka yang 

melihatnya hanya mampu menggelengkan kepala


dan bergumam dalam hati.

"Sungguh perbuatan biadab."

Dengan hati-hati sekali, Jaka segera me-

meriksa tubuh orang yang telah mati tersebut. 

Seketika Jaka tersentak mana kala mengenali je-

nis pukulan itu. Pukulan itu ternyata sebuah 

ajian Kecubung Biru yang hanya dimiliki oleh seo-

rang tokoh sesat, yang hidup sekitar tiga puluh 

tahun yang silam. "Kecubung Biru!"

Mendengar ucapan Jaka yang nadanya ka-

get seketika semua orang yang ada di situ me-

mandangnya. Namun Jaka dengan tanpa mem-

perdulikan pandangan orang-orang di situ segera 

berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanan-

nya.

"Hem... Apakah aku akan meneruskan per-

jalananku memenuhi panggilan Tengku Loreng? 

Atau aku harus menangani masalah yang baru 

saja terlihat? Aku mempunyai pirasat bahwa 

orang yang membunuh lelaki itu adalah orang 

yang menurut guru pernah bentrok dengan guru. 

Kalau begitu ada orang yang memanfaatkannya 

lagi," berkata Jaka dalam hati.

Dengan mempercepat langkah kakinya, 

Jaka segera mencari sebuah kedai untuk mengisi 

perut yang sedari tadi berkeroncong ria.

Tanpa mendapat kesulitan, Jaka segera 

dapat menemukan sebuah kedai yang cukup be-

sar. Maka dengan segera Jaka pun masuk ke da-

lam kedai yang siang itu telah penuh oleh pen-

gunjung.


Manakala Jaka tengah mencari-cari tempat 

duduk, tiba-tiba telinganya mendengar orang ber-

cakap-cakap. "Mungkin kematian Ki Gantra ada 

hubungannya dengan mayat yang menakut-

nakuti kampung Cimone."

"Mungkin juga. Sebab semenjak adanya 

pocong itu, banyak pula kematian dan bayi-bayi 

yang hilang. Apakah mungkin ada seseorang yang 

memanfaatkannya?"

Tertarik juga Jaka mendengar percakapan 

kedua orang itu. Maka dengan terlebih dahulu 

menjura hormat, Jaka meminta ijin untuk duduk 

dengan mereka.

"Maaf, Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku tu-

rut bercakap-cakap?"

Sesaat kedua lelaki itu terdiam meman-

dang pada Jaka yang masih tersenyum ramah. 

Kedua orang itupun akhirnya mengangguk mem-

bolehkan.

"Terimakasih. Oh, ya. Tadi aku mendengar 

Ki Sanak bercakap-cakap masalah kematian seo-

rang juragan di hutan itu. Apakah Ki Sanak men-

genal juragan itu?" tanya Jaka, menjadikan kedua 

orang itu seketika memandang Jaka dengan pan-

dangan penuh selidik.

"Janganlah Ki Sanak berdua berlalu 

mengkhawatirkan siapa adanya diriku ini, tak le-

bihnya seperti Ki Sanak berdua. Aku hanya ingin 

mengetahui saja, siapa sebenarnya lelaki yang di-

temukan mati di dalam hutan sebelah barat sana?"


Walaupun Jaka telah memberitahukan 

siapa sebenarnya dirinya, namun kedua lelaki itu 

tampak tak segera mau percaya. Sepertinya ma-

sih ada rasa tak yakin, mana kala memandang 

pakaian yang dikenakan oleh Jaka.

"Ki Sanak orang persilatan?" bertanya sa-

lah seorang dari keduanya, membuat Jaka seketi-

ka memandang pada pakaiannya. Mau tak mau, 

Jaka akhirnya mengangguk.

"Memang benar aku orang persilatan. Tapi 

percayalah bahwa aku bukanlah antek-antek si 

pembunuh juragan itu "

Akhirnya kedua orang itu mempercayai 

ucapan Jaka. Dan dengan tanpa sungkan-

sungkan segera menceritakan siapa sebenarnya 

juragan yang mati itu serta sebab-sebab kema-

tiannya.

"Begitulah. Mungkin karena dendam, hing-

ga gadis yang bernama Nyi Sarpa Rukinten akhir-

nya membunuh Ki Gantra yang telah membuat 

wajahnya rusak."

"Lalu, dimanakah aku dapat menemui iste-

ri Gantra?" tanya Jaka setelah mengangguk-

anggukan kepala mengerti.

Kedua orang itu kembali saling pandang, 

lalu salah seorang dari mereka yang Jaka tahu 

bernama Baduduh kembali berkata:

"Pergilah ke arah Utara. Tak jauh dari situ 

ada sebuah rumah yang cukup besar. Rumah su-

sun yang di bawahnya digunakan untuk kandang 

ayam dan bebek, itulah rumah juragan Gantra.


Saat ini mungkin keadaan rumah itu tengah ra-

mai. Saudaranya yang bernama Ki Panganoman 

akan datang juga. Sebenarnya keduanya bukan-

lah saudara. Namun karena keduanya bekas pra-

jurit-prajurit kerajaan Sangkur Aji hingga kedua-

nya pun mengikat tali persaudaraan. Mungkin 

kau dapat mengetahuinya situ lebih jelas lagi dari 

Ki Panganoman sendiri."

"Baiklah! Aku ucapkan terimakasih pada 

kalian yang telah mau menceritakannya padaku. 

Nah, aku hendak permisi dulu untuk menuju ke 

rumah Ki Gantra." hendak berkelebat pergi, ma-

nakala terdengar seorang berseru memanggil na-

manya.

"Jaka, tunggu!"

Jaka yang hendak buru-buru dengan ter-

paksa menghentikan langkahnya dan berpaling ke 

arah orang yang memanggil namanya. Terkejut 

dan senang Jaka manakala melihat yang me-

manggil namanya.

"Hai. Kaukah Ki Barwi Setra?" 

"Ya! Mau ke manakah kau, Jaka?" bertanya 

Ki Barwi.

Demi mendengar nama pemuda itu disebut 

oleh kakek-kakek yang sudah terkenal di wilayah 

kulon, seketika semua yang ada di kedai itu ter-

perangah dengan mata melotot.

Merekapun berbisik-bisik, bertanya-tanya 

pada diri sendiri, "Inikah tokoh silat muda yang 

telah menggetarkan dunia persilatan?"

Belum juga mereka dapat menjawab perta


nyaan hati mereka, secepat kilat kedua orang 

yang merupakan tokoh-tokoh persilatan itu telah 

berkelebat pergi meninggalkan kedai. Hingga pen-

gunjung kedai pun hanya mampu terbengong-

bengong.


LIMA



Di rumah Gantra tampak banyak orang 

yang melayat. Di situ juga tampak saudara ang-

kat Gantra yang bernama Ki Panganoman tengah 

memandangi mayat Gantra yang hangus.

Jaka dan Ki Barwi tampak berlari-lari me-

nuju ke tempat Gantra setelah keduanya bertemu 

di kedai dan mendengar penjelasan dari dua 

orang yang ada di kedai itu.

"Bagaimana menurut pendapatmu, Ki?" 

tanya Jaka

"Maksudmu?"

"Tentang kematian Ki Gantra. Apakah Ki 

Barwi ada pikiran lain?"

"Tidak ada. Lebih baik nanti kita tanyakan 

saja pada kakak angkatnya yang bernama Ki Pan-

ganoman," menjawab Ki Barwi setelah memahami 

maksud ucapan Jaka.

Lalu dengan segera keduanya pun berlari 

kembali.

Tak lama kemudian keduanya pun telah ti-

ba di tempat itu. 

"Sampurasun...!" menyapa keduanya hampir bersamaan yang seketika mendapat sahutan 

dari Ki Panganoman, yang telah tahu lebih dahu-

lu kedatangan kedua tokoh itu.

"Rampes...! Adakah sesuatu hal yang pent-

ing hingga Ki Barwi berkunjung ke mari?"

"Sebenarnya bukan aku yang berkepentin-

gan. Tapi temanku ini yang ingin mengetahui ge-

rangan apa yang telah terjadi. Mungkin saja kau 

dapat menceritakannya, Ki Panganoman?"

Seketika Ki Panganoman memandang pada 

Jaka dan Jaka yang segera menjura hormat. Ki 

Panganoman merasa rikuh dihormat begitu rupa. 

Apalagi di hadapan Ki Barwi yang merupakan to-

koh persilatan di wilayah Kulon.

"Siapakah teman anda, Ki Barwi?" bertanya 

Ki Panganoman setelah sesaat memandang pada 

Jaka yang tersenyum.

"Temanku ini bernama Jaka Ndableg atau 

Pendekar Pedang Siluman."

"Apa?! Oh.... Sungguh aku ini telah buta 

rupanya, hingga tak tahu siapa orang yang seha-

rusnya aku hormati. Maafkan aku. Tuan pende-

kar Jaka." Tersentak Ki Panganoman manakala 

mengetahui siapa sebenarnya pemuda di samping 

Ki Barwi, yang tak lain seorang pendekar yang te-

lah kondang namanya dengan julukan Pendekar 

Pedang Siluman. Hal itu menjadikan Jaka rikuh. 

"Ki Panganoman. Janganlah Ki Pangano-

man terlalu meninggikan keadaanku yang sebe-

narnya tak ada artinya. Sebab nama besar meru-

pakan milik orang-orang kerajaan belaka, bukan


milik orang semacamku. Ah, sudahlah. Aku da-

tang ke sini sebenarnya hanya kebetulan. Namun 

mana kala aku melihat sesuatu kejanggalan pada 

kematian Ki Gantra, seketika aku jadi tertarik un-

tuk membuka tabir itu. Apakah Ki Panganoman 

tidak melihat adanya sesuatu kelainan pada ke-

matian Ki Gantra?"

Seketika kedua orang tua itu terbelalak 

manakala mendengar ucapan Jaka. Karena sak-

ing kagetnya sampai-sampai kedua orang tua itu 

bergumam terperangah. 

"Kelainan!"

"Kelainan apa maksudmu. Tuan pende-

kar?" menyambung Ki Panganoman bertanya.

"Cobalah Ki Barwi teliti kematian Ki Gantra 

mengingatkanku pada seorang tokoh wanita yang 

hidup sekitar tiga puluh tahun silam yang ber-

nama Dewi Tengkorak Hidup."

"Ah. Benar katamu, Jaka. Aku kini ingat 

hal itu. Memang kematian Gantra sangat berala-

san ke situ. Tapi apakah mungkin orang yang te-

lah mati hidup kembali?" tanya Ki Barwi

"Itulah yang kini sedang aku pikirkan, Ki. 

Aku mempunyai suatu kesimpulan, bahwa Dewi 

Tengkorak Hidup telah diperalat kembali oleh su-

aminya yaitu Bah Jenar. Maka dari itulah, aku 

datang ke mari untuk menanyakan pada Ki Pan-

ganoman."

"Tentang apa. Tuan Pendekar?" bertanya Ki 

Panganoman.

"Apakah sebelumnya telah terjadi sesuatu


keributan antara Ki Gantra dengan orang lain?" 

"Kalau yang ia ceritakan padaku sebenar-

nya memang ada. Begini ceritanya."

Lalu dengan tanpa menambah ataupun 

mengurangi, Ki Panganoman pun segera menceri-

takan apa yang sebenarnya telah terjadi sebelum 

kematian Ki Gantra. Sementara itu Jaka dan Ki 

Barwi tampak dengan seksama mendengarkan.

"Hem.... Kalau begitu memang tepat du-

gaanku, bahwa Bah Jenar memang masih hidup. 

Berusaha mengembangkan sayapnya lagi untuk 

mengacau dunia persilatan. Baiklah, Ki Panga-

noman. Aku tak bisa berlama-lama di sini untuk 

turut serta memberikan penghormatan terakhir 

pada adik Ki Panganoman. Saat ini juga aku mo-

hon pamit."

Belum juga kedua orang tua itu sempat bi-

cara, seketika tubuh Jaka telah menghilang den-

gan cepatnya. Kedua orang tua itu hanya mampu 

terbengong, seraya menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Sungguh bukan omong kosong. Ternyata 

memang ilmunya bukan isapan jempol belaka. 

Pantas kalau dia sangat disegani oleh kawan 

maupun lawan. Di samping ilmunya tinggi juga 

baik budi dan tidak sombong." Ki Panganoman 

terkagum-kagum seketika itu. Sementara Ki Bar-

wi yang memang telah mengetahui siapa sebenar-

nya Jaka tampak tersenyum-senyum.

Lalu dengan berbarengan keduanya segera 

naik ke tangga menuju tempat di mana tubuh Ki


Gantra telah terbaring meninggal, untuk secepat-

nya disemayamkan.

* * *

"Sungguh-sungguh suatu petaka, jika be-

nar-benar Dewi Tengkorak hidup. Hidup kembali. 

Aku jadi tak mengerti, mengapa Dewi Tengkorak 

yang bisa hidup lagi dengan tubuh seorang gadis 

dan dengan darah bayi dapat hidup lagi? Apakah 

Nyi Sarpa Rukinten yang dikatakan oleh Ki Pan-

ganoman memang telah mengiklaskan tubuhnya 

untuk ditempati roh Dewi Tengkorak Hidup? 

Mungkin juga," bergumam Jaka dalam hati sem-

bari berjalan menyusuri pematang sawah yang 

tampak mengering akibat kemarau panjang.

Tengah ia menyusuri pematang sawah, ti-

ba-tiba telinganya mendengar sebuah jeritan seo-

rang wanita.

Tanpa pikir panjang lagi, Jaka segera ber-

gegas lari menuju ke arah datangnya suara itu. 

Ternyata suara jeritan seorang gadis yang tengah 

tenggelam di sungai. Tanpa menunggu waktu lagi, 

Jaka pun dengan segera terjun ke sungai dan be-

rusaha menolongnya.

Diangkatnya tubuh gadis itu ke darat, lalu 

dengan segera direbahkannya di rerumputan. 

Mungkin karena panik, hingga Jaka tak begitu 

memperhatikan keadaan gadis itu. Baru setelah 

gadis itu di darat, Jaka baru menyadari keadaan 

gadis yang ditolongnya.


Gadis itu ternyata tak memakai sehelai be-

nangpun, hingga Jaka seketika tersentak mana-

kala melihat tubuh si gadis yang masih tergeletak 

seperti dalam pingsan. Mana kala Jaka hendak 

membalikan tubuhnya, seketika si gadis itu sege-

ra mengalungkan tangannya ke leher Jaka. Hing-

ga membuat seketika Jaka membelalakan ma-

tanya.

"Heh! Jangan kau berbuat gila seperti ini. 

Ketahuilah, bahwa aku tak senang bila kau ber-

buat begini rupa. Sekarang carilah bajumu dulu 

baru nanti kita ngobrol," berkata Jaka sembari 

melepaskan pelukan si gadis yang tampaknya me-

rengut marah, namun hal itu tak dihiraukan oleh 

Jaka yang segera meninggalkan tubuh si gadis.

Dengan sungkan-sungkan, gadis itupun 

segera beranjak menuju ke sebuah batu di mana 

pakaiannya tersimpan. Setelah memakai pakaian, 

dengan segera gadis itu menemui Jaka yang telah 

menunggunya di balik pohon.

"Kenapa kau sepertinya tak menghiraukan 

aku. Tuan Pendekar? Apakah memang aku ku-

rang cantik?" bertanya gadis itu tanpa malu-malu 

sehingga Jaka membelalakkan mata demi men-

dengar ucapannya.

"Bukan begitu. Nona. Aku tidak bermaksud 

merendahkan kecantikanmu. Kau memang can-

tik, bahkan hampir seperti bidadari. Namun aku 

tak menyukai tindakanmu yang terlalu agresip. 

Apakah nona tak menyadari bahwa tindakan no-

na akan merugikan nona sendiri?"


Diberi tahu begitu rupa bukannya menja-

dikan gadis itu sadar, malah dengan gusar itu 

berkata: "Ah... jangan sok suci! Aku tahu bahwa 

kau pun tak lebihnya dari laki-laki lain. Pura-

pura tak mau."

"Wow! Lancang benar ucapanmu! Kalau 

memang kau menganggap aku begitu, baiklah...?"

Maka dengan tanpa menghiraukan gadis 

itu lagi, Jaka segera berkelebat meninggalkannya. 

Si gadis hanya terdiam tanpa dapat mencegah-

nya.

Setelah kepergian Jaka, gadis itu segera 

berkelebat pergi dengan cepatnya. Hingga dalam 

sekejap mata saja, tubuhnya telah menghilang 

dari pandangan.

Malam telah tiba seketika Jaka dengan se-

gera mencari tempat penginapan untuk beristira-

hat tidur. Namun ketika ia sadar bahwa ia harus 

segera membekuk orang yang telah membuat 

keonaran di desa itu, diurungkan niatnya untuk 

memesan kamar.

Hal itu membuat pemilik penginapan ter-

bengong-bengong melihat tingkah lakunya. Jaka 

Ndableg segera pergi meninggalkan penginapan 

itu menuju ke hutan di mana ditemukan mayat Ki 

Gantra kemarin.

Dengan memilih pohon yang agak besar, 

Jaka pun segera melompat ke atas. Dengan du-

duk bertengger Jaka mengawasi desa di sebelah 

hutan.

Manakala malam telah makin larut Jaka


tersentak dari duduknya. Dilihatnya sebuah 

bayangan putih terbang dengan cepatnya dari gu-

nung Galunggung menuju ke arah desa.

"Hai! Benda itu seperti pocong. Hem, aku 

rasa ini suatu kebetulan. Akan aku coba mengi-

kuti ke mana perginya. Siapa tahu aku dapat 

membuka tabir dari kematian Ki Gantra, sekali-

gus aku ingin membuktikan bahwa yang membu-

nuh Ki Gantra adalah Dewi Tengkorak Hidup," 

berkata Jaka dalam hati.

Dengan segera Jaka berkelebat dari atas 

pohon, berlari mengejar pocong itu dengan meng-

gunakan ajian Sapta Bayu.

Jarak antaranya dengan pocong yang dike-

jarnyapun tak begitu jauh.

Sengaja Jaka tidak menghadang pocong 

itu. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang akan dila-

kukan pocong di desa itu.

"Sepertinya rumah Ki Gantra yang menjadi 

tujuannya. Hem... Ke manapun larinya mainan 

Bah Jenar ini, akan aku kejar walau ke ujung 

duniapun. Hia...!" Dengan menambah larinya

Memang benar apa yang dikirakan Jaka. 

Pocong itu memang datang ke rumah Ki Gantra 

yang saat itu tengah ramai oleh orang kendurian. 

Semua orang yang tengah kendurian tersentak 

kaget, melihat pocong datang ke tempat itu.

"Po... pocong...!" berteriak seorang wanita 

yang pertama kali melihatnya, mengundang per-

hatian yang lainnya. Seketika itu gegerlah orang-

orang di tempat itu.


Ki Panganoman yang masih berada di situ 

dengan segera menghadang.

"Siapa, kau! Jangan membuat orang-orang 

takut dengan tingkah lakumu. Aku tahu, kalau 

kau sebenarnya bukan pocong benaran. Kau tak 

lain dari bonekanya Bah Jenar."

Ki Panganoman segera mencabut keris 

Berhulu Naga dari sarungnya.

Melihat Ki Panganoman telah mencabut ke-

risnya, si pocong bukannya takut. Bahkan den-

gan tawanya yang mendirikan bulu kuduk, po-

cong itu berputar-putar laksana gasing.

Ki Panganoman dengan segera menusuk-

kan keris pusaka Berhulu Naga ke tubuh pocong 

itu. Seketika kain putih yang menutupi pocong 

terkoyak, manakala ujung keris Berhulu Naga 

menyentuhnya.

Terbelalak orang yang berada dalam gulun-

gan kain kafan. Matanya melotot tak percaya pa-

da keris yang berada di tangan Ki Panganoman. 

Dengan geram wanita cantik itu membentaknya.

"Ki Panganoman! Kaulah yang telah mem-

buat mukaku rusak dengan santetmu. Untuk itu-

lah, aku hendak menagih hutang yang telah kau 

berikan setengah tahun yang lalu."

"Siapa, kau!"

Tertawa cekikikan gadis cantik di depan Ki 

Panganoman, mendengar pertanyaan Ki Panga-

noman yang nadanya membentak. Lalu dengan 

berkata memperkenalkan namanya, gadis itu se-

gera berkelebat menyerang Ki Panganoman.


"Akulah Nyi Sarpa Rukinten, yang telah 

kau santet hingga mukaku rusak. Kini dengan 

sembuhnya mukaku, aku akan menuntut balas 

padamu. Bersiaplah! Hi hi hi...!"

"Tidak mungkin. Kau bukan Nyi Sarpa Ru-

kinten. Tapi kau adalah Dewi Tengkorak Hidup 

yang telah dipengaruhi jiwa Nyi Sarpa Rukinten."

"Terserah apa yang kau katakan, Ki Panga-

noman! Yang penting bagiku kau harus lenyap 

dari dunia ini menyusul adik angkatmu!"

Mendengar ucapan Dewi Tengkorak Hidup, 

maka dengan tanpa sungkan-sungkan Ki Panga-

noman segera menggunakan keris Berhulu Naga 

memapak serangan Nyi Sarpa Rukinten yang se-

benarnya Dewi Tengkorak Hidup.

Tanpa dapat dicegah, keduanya pun segera 

terlibat perkelahian sengit. Sementara orang-

orang yang tengah kendurian, dengan segera ikut 

serta membantu Ki Panganoman mengepung Nyi 

Sarpa Rukinten.

Tubuh Nyi Sarpa Rukinten berputar cepat 

seperti gasing membuat pengeroyoknya seketika 

pusing. Setiap tendangan atau pukulannya, men-

gundang pekikan bagi yang terkena. Satu persatu 

pihak pengeroyok jatuh terjejak atau terhantam 

tangan kecil Nyi Sarpa Rukinten.

Membelalak mata Ki Panganoman seketika, 

melihat orang-orang yang membantunya tak ada 

seorangpun yang mampu menjamah atau me-

nyentuh kulit Nyi Sarpa Rukinten. Maka dengan 

keris Berhulu Naga di tangannya, Ki Panganoman


pun menyerang Nyi Sarpa Rukinten.

Kini keduanya telah saling serang dan elak 

tanpa diricuhi oleh orang-orang lain. Tampak je-

las, ilmu Ki Panganoman berada di bawah Nyi 

Sarpa Rukinten. Hingga dengan beberapa jurus 

saja, tampak Ki Panganoman terdesak dengan 

hebatnya. Hal itu menjadikan terbelalak mata Ja-

ka yang tengah menontonnya dari balik daun po-

hon. Hingga dengan nada kuatir, Jaka pun meng-

gumam lirih. "Bahaya! Kalau aku tidak segera 

membantunya."

Namun manakala dia hendak melompat tu-

run. Tiba-tiba dari dalam rumah Ki Gantra, ber-

kelebat sesosok tubuh tua menerjang pada Nyi 

Sarpa Rukinten yang segera mengelakannya, 

memandang tajam pada lelaki tua itu. Lalu den-

gan mendengus. Nyi Sarpa Rukiten membentak.

"Hem... apa urusanmu, tua bangka! Apa-

kah kau juga ingin mati di tanganku!"

"Nyi Sarpa Rukinten palsu! Jangan kau ki-

ra mata tuaku telah rabun. Hingga tak dapat me-

lihat siapa adanya dirimu. Dewi Tengkorak Hidup! 

Duniamu bukan di sini, tapi di neraka sana!" ber-

kata lelaki tua yang telah menolong Ki Pangano-

man yang ternyata Ki Barwi adanya.

Dikatakan begitu oleh Ki Barwi. menjadi-

kan Dewi Tengkorak makin melorotkan mata. 

Dengan didahului bentakan. Dewi Tengkorak se-

gera menyerang Ki Barwi. "Rupanya kau telah bo-

san hidup di dunia ini, Barwi! Bersiaplah untuk 

kukirim ke akherat!"


Kedua tokoh persilatan yang berlainan ali-

ran itu kini bertemu lagi, setelah hampir tiga pu-

luh tahun salah seorang dari ketiganya hilang. 

Ketiga tokoh persilatan dari wilayah Barat mas-

ing-masing Ki Barwi, Bah Jenar, dan Dewi Teng-

korak Hidup.

Bah Jenar dan Dewi Tengkorak, merupa-

kan sepasang pendekar sesat. Sementara Ki Bar-

wi, merupakan musuh bebuyutan dari keduanya 

sejak mereka masih muda.

Maka sudah dapat dipastikan, bahwa Ki 

Barwi akan mampu mengimbangi serangan-

serangan Dewi Tengkorak yang berusaha untuk 

segera menghentikan Ki Barwi. Namun demikian 

jauhnya, Ki Barwi masih mampu menangkal se-

rangan-serangan Dewi Tengkorak Hidup yang 

makin gencar menyerangnya. 

"Hiaaaat! Mati kau, Barwi!" 

Ki Barwi tersentak, manakala dari tangan 

Dewi Tengkorak Hidup menyemprot selarik cairan 

hitam yang berbau bangkai menuju ke arahnya. 

Dengan setengah kaget, Ki Barwi berguling ke ta-

nah dan menghindarinya. Ki Barwi berhasil 

menghindari serangan Racun Mayat yang dilon-

tarkan oleh Dewi Tengkorak Hidup. Namun sung-

guhpun demikian, dadanya terasa sesak manaka-

la mencium bau bangkai yang keluar dari cairan 

itu.

Jaka yang sedari tadi mengawasinya, terbe-

lalak matanya melihat tubuh orang-orang yang 

terkena cairan racun itu. Tubuh mereka seketika


habis terkikis, hingga tinggal tulang belulang be-

laka. Dan dari membusuknya daging mereka, ke-

luar jentik-jentik yang menggidikkan.

"Sungguh-sungguh menggidigkan! Kalau 

bukan Ki Barwi, mungkin tubuhnya akan seperti 

orang-orang itu," bergumam Jaka yang masih be-

rusaha tenang tak segera membantu. Ia tak mau 

kalau Ki Barwi akan merasa direndahkan. Maka 

itulah Jaka memandang perlu untuk jadi penon-

ton. Namun begitu, hatinya tak tenang. "Bagai-

mana aku harus berbuat? Aku tak enak kalau 

nanti Ki Barwi merasa terhina. Tapi kalau gela-

gatnya seperti ini, maka mau tak mau aku harus 

menolongnya. Tapi apakah aku akan mampu me-

redam ilmu yang dimiliki oleh Dewi Tengkorak?" 

bertanya-tanya hati Jaka ragu.

Sementara itu. Dewi Tengkorak lelah kem-

bali menyerang Ki Barwi dengan ajian Racun 

Mayatnya membuat Ki Barwi jumpalitan kayak 

monyet.

"Duh! Kenapa iblis ini mampu memiliki 

ajian seganas ini? Ah! Apakah aku mampu untuk 

menghadapinya? Akan aku coba dengan ajian 

Langsat Biru," membatin Ki Barwi.

Manakala Dewi Tengkorak Hidup kembali 

menyerang Ki Barwi pun segera menyambut den-

gan ajian Langsat Birunya.

"Hissstttt!" 

"Crooottttsss!"

Dua ajian yang berupa cairan itu, seketika 

bertemu di tengah-tengah mereka. Tapi dengan


seketika Ki Barwi segera menarik ajiannya kem-

bali dengan muka memucat. Tubuhnya bergetar 

hebat dengan mata melotot tak percaya. Tampak 

tangannya seketika membusuk di telapaknya.

Seperti halnya Ki Barwi, Jaka pun terke-

siap melihat apa yang dialami oleh tokoh tua itu. 

Maka, ketika Dewi Tengkorak hendak kembali 

menyerang Ki Barwi dengan seketika Jaka berke-

lebat menghantamkan Pedang Silumannya me-

nangkis cairan racun itu. 

"Hiaaattt!" "

Busssttt...!"

Cairan hitam legam bagaikan tear itu le-

nyap terhisap ke dalam Pedang Siluman menjadi-

kan Dewi Tengkorak membelalakan matanya ka-

get. Dan dari mulut Dewi Tengkorak membersit 

suara kaget manakala melihat siapa adanya orang 

yang berdiri di hadapannya. "Kau...!"

Tak hanya Dewi Tengkorak, Jaka pun juga 

tersentak mundur mana kala mengetahui siapa 

adanya gadis di hadapannya. Gadis itu telah di-

kenalnya ketika gadis itu hampir saja tenggelam 

dalam sungai.

"Hem... Rupanya kau gadis binal? Tak ku-

sangka kalau kau adalah penjelmaan Dewi Silu-

man Tengkorak Hidup. Pantas kalau kelakuanmu 

sangat jalang," berkata Jaka mengejek, menjadi-

kan Nyi Sarpa Rukinten marah.

Matanya yang sedari tadi redup, kini me-

merah marah penuh napsu membunuh. "Siapa 

kau, Anak muda! Jangan kau mati tak bernama!"


Jaka tampak tenang dengan senyum men-

gembang di bibirnya, "Dewi Tengkorak Hidup, aku 

minta tinggalkan tubuh gadis itu. Sungguh suatu 

perbuatan biadab bila kau memanfaatkan tubuh 

gadis yang tak berdosa itu."

"Tak berdosa. Hi hi hi! Anak muda, jangan-

lah kau berkata bagaikan seorang pendeta. Diri-

mu sendiri sungguh sangat memalukan membuat 

najis yang terlalu besar. Bukankah kau telah 

memperkosaku ketika kita bertemu di kali?"

Terbelalak mata Ki Barwi dan lainnya, 

mendengar pendekar muda itu dituduh telah 

memperkosa iblis Tengkorak. Namun mereka tak 

berani berbuat apa-apa, hanya membiarkan Jaka 

menghadapi Dewi Tengkorak.

"Sundel! Cuih! Jangankan diriku. Anjing 

kurap pun mungkin akan menolakmu. Tengkorak 

Cabul!"

Mendengar cacian Jaka, marahlah Dewi 

Tengkorak. Merasa ajian Racun Mayatnya tak 

mampu dibendung oleh Ki Barwi, ia menyangka 

Jaka pun tak akan mampu menghadapinya. Maka 

dengan tanpa ragu-ragu lagi. Dewi Tengkorak se-

gera menyerang Jaka dengan ajian tersebut.

"Hiat...!"

Diserang begitu cepat dengan ajian Racun 

Mayat tidak menjadikan Jaka keder. Dikibaskan 

Pedang Siluman Darah membentuk sebuah ling-

karan yang segera melindungi dirinya.

Ajian Racun Mayat dengan derasnya me-

nyemprot dari tangan Dewi Tengkorak, menyerang pada Jaka. Namun seketika mata Dewi 

Tengkorak terbelalak, manakala ia melihat seran-

gannya dengan mudah ditangkis oleh pemuda itu. 

Bahkan yang makin membuatnya terkejut, seran-

gannya berbalik menyerang dirinya.

"Bedebah!" makinya sambil berusaha men-

gelakan serangan balik ajiannya dengan menja-

tuhkan diri ke tanah.

"Drootttt!"

Hampir saja kepalanya terhantam cairan 

Racun Mayat miliknya sendiri kalau ia tak segera 

memiringkan kepala ke kanan. Racun Mayat pun 

melesat beberapa senti di samping kepalanya.

Kini tahulah Dewi Tengkorak siapa sebe-

narnya pemuda yang tengah dihadapinya. Ma-

tanya membeliak tajam memandang pada Jaka 

yang tampak tersenyum. Dengan segera Dewi 

Tengkorak bangkit dan tanpa diduga oleh Jaka, 

Dewi Tengkorak berkelebat pergi melarikan diri.

Jaka bermaksud mengejarnya. Mana kala 

ia teringat pada Ki Barwi iapun segera mengu-

rungkan niatnya. Segera dihampirinya Ki Barwi 

yang tengah terduduk sambil memegangi tangan-

nya yang membusuk di telapaknya.

"Hem... Ini harus dipotong, Ki," berkata Ja-

ka menyarankan.

"Potonglah, Jaka. Kalau memang hanya itu 

yang bisa dilakukan," menjawab Ki Barwi pasrah.

Sesaat Jaka terdiam ragu sepertinya tak 

tega untuk melakukannya. Manakala Jaka masih 

terdiam, terdengar suara Ki Panganoman berkata:


"Kenapa kau ragu, Jaka? Kalau memang itu yang 

dapat menolong nyawa Ki Barwi, maka lakukan-

lah dengan hati yang penuh."

"Benar, Jaka. Aku tak akan merasa kecewa 

bila tanganku yang membusuk ini kau potong. 

Lakukanlah," lanjut Ki Barwi menambahkan uca-

pan Ki Panganoman membuat Jaka makin tak te-

ga.

"Lakukanlah, Jaka?"

Karena didorong terus oleh Ki Barwi dan Ki 

Panganoman, maka Jaka pun akhirnya menyang-

gupi. Ditariknya Pedang Siluman yang telah dis-

elipkan di balik pakaiannya. Sinar Pedang Silu-

man tampak menyala terang.

Dengan memejamkan matanya, Jaka sege-

ra menebaskan tangan Ki Barwi.

"Aaahhh...!" menjerit KI Barwi sesaat, ma-

nakala Pedang Siluman membabat putus tangan-

nya. Namun seketika matanya membelalak kala 

melihat tangannya tak meneteskan darah sedikit-

pun dan telah sembuh dengan cepatnya.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" bergumam Ki 

Barwi. Ki Panganoman juga tak mengerti dengan 

apa yang terjadi.

Belum juga kedua orang tua itu mendapat 

jawabannya, Jaka telah berkelebat pergi mening-

galkan mereka yang hanya terbengong-bengong. 

"Ki Barwi dan Ki Panganoman, aku akan ke gu-

nung Galunggung untuk mengejar Dewi Tengko-

rak".

Kedua orang tua itu hanya dapat mengge


lengkan kepala, tanpa mampu mencegahnya! Lalu 

dengan dibantu orang-orang lainnya, Ki Barwi se-

gera bangkit dan berjalan menuju ke rumah Gan-

tra untuk membicarakan bagaimana sebaiknya 

yang hendak mereka lakukan.


ENAM



Dengan napas terengah-engah Nyi Sarpa 

Rukinten terus berlari menuju ke goa di mana 

Bah Jenar berada. Segera Nyi Sarpa Rukinten 

menemui Bah Jenar yang waktu itu tengah duduk 

bersila. Bah Jenar terkejut melihat kedatangan 

Nyi Sarpa Rukinten yang tampaknya tengah habis 

berlari

"Kenapa, Nyi? Sepertinya kau tengah 

menghadapi sesuatu?"

"Benar, Bah. Aku tengah menghadapi ke-

sulitan."

"Kesulitan!" terjengah Bah Jenar kaget. Ma-

tanya membeliak, memandang pada wajah Nyi 

Sarpa Rukinten yang nampak pucat pasai. "Kesu-

litan apa, Nyi?"

"Aku telah menghadapi seorang pendekar 

muda yang berilmu tinggi. Kenalkah kau dengan-

nya, Mbah?"

"Anak muda? Hem... Siapakah gerangan 

anak muda yang kau maksud?"

"Mana aku tahu. Yang pasti pemuda itu 

ada di pihak orang-orang golongan lurus. Ia telah


membantu Ki Barwi mana kala aku hendak 

menghabisi nyawa orang tua itu," menjawab Nyi 

Sarpa Rukinten yang menjadikan Bah Jenar 

mengernyitkan keningnya.

"Hem... apakah ia memakai senjata?"

"Ya! Anak muda itu memakai senjata yang 

berbentuk pedang."

"Tidak salah lagi!" berseru Bah Jenar se-

pertinya kaget.

"Kenapa, Ki? Sepertinya kau mengenal pe-

muda itu."

"Benar! Aku akhir-akhir ini mendengar se-

lentingan tentang seorang pemuda yang sakti 

dengan senjatanya yang berbentuk pedang." Ber-

gumam Bah Jenar, membuat Nyi Sarpa Rukinten 

membeliakkan mata.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ki?"

"Kau hadapilah dia. Kau jajal ilmunya," 

menjawab Bah Jenar kalem. Terkejut Nyi Sarpa 

Rukinten yang tak menyangka bahwa Bah Jenar 

akan menyuruhnya untuk menghadapi pendekar 

muda yang tinggi ilmunya. Maka dengan setengah 

menolak Nyi Sarpa Rukinten berkata:

"Bah! Aku sudah menghadapinya dan nya-

tanya aku jauh ilmunya dibandingkan dengan 

pemuda itu."

"Jangan kau pengecut, Nyi?"

"Aku tidak pengecut! Kalah yang pengecut, 

Bah! Kenapa kau tidak menghadapinya sendiri?" 

berkata Nyi Sarpa Rukinten agak kesal merasa di-

rinya akan dijadikan tameng oleh Bah Jenar.


"Diam! Kau harus nurut padaku karena 

akulah yang berkuasa di sini. Apakah kau mau 

menjadi mayat lagi?" mengancam Bah Jenar 

membuat Nyi Sarpa Rukinten yang telah dipakai 

jasadnya untuk bersemayam Dewi Tengkorak Hi-

dup, tampak bergetar gemetar dengan wajah pu-

cat.

Ia tahu kata-kata Bah Jenar bukanlah ger-

tak sambal belaka, seperti kata-kata anak kecil. 

Bila Bah Jenar melakukan hal itu, maka ia pun 

tak akan dapat bergentayangan seperti sekarang. 

Namun bila ia menurut kata-kata Bah Jenar ia 

pun akan hancur. Ibarat makan buah simalaka-

ma saja layaknya Nyi Sarpa Rukinten, di makan 

tubuh binasa tidak dimakan pun tubuh tak dapat 

seperti sekarang. Karena bingung. Nyi Sarpa Ru-

kinten pun akhirnya hanya dapat menangis. 

"Bagaimana, Nyi? Apa kau mau?" bertanya 

Bah Jenar 

Dengan perasaan takut Nyi Sarpa Rukinten 

pun akhirnya mengangguk membuat Bah Jenar 

seketika tertawa bergelak-gelak menggema di su-

dut-sudut goa.

"Nah, Nyi. Aku akan pergi. Bila nanti kau 

memang tak mampu menghadapinya, maka kau 

bisa menyusulku atau lebih baik mati saja dari-

pada merepotkanku."

"Ke mana, Bah?" bertanya Nyi Sarpa Ru-

kinten. Hatinya mangkel mendengar ucapan Bah 

Jenar yang sepertinya tak membutuhkan dirinya 

lagi.


"Aku akan menemui temanku Tengku Lo-

reng di Pulo Andalas."

Walaupun hati Nyi Sarpa Rukinten marah 

pada Bah Jenar, namun untuk melakukan perla-

wanan ia tak mampu sebab Bah Jenarlah yang 

tahu persis siapa dirinya.

Di samping itu, Bah Jenar tahu kelema-

hannya. Maka apa bila ia melawan berarti kema-

tianlah baginya. Karena Bah Jenar sudah pasti 

akan menutup jalan kehidupannya.

Mau tak mau, ia pun harus mau menuruti 

kata-kata Bah Jenar yang bermaksud mempera-

latnya. Hati Nyi Sarpa Rukinten menangis pedih, 

manakala mengingat betapa dirinya sekarang da-

lam kekuasaan orang lain.

"Mbah Jenar keparat! Mentang-mentang 

sekarang aku tak cantik seperti dulu lagi hingga 

dengan seenaknya dia berbuat dan menyuruhku. 

Tidak! Aku tak mau binasa oleh pemuda pende-

kar itu. Aku lebih baik memberi tahukan saja pa-

da pendekar muda itu, bahwa Bah Jenar seka-

rang tengah ke pulau Andalas untuk meminta to-

long pada temannya. Tengku Loreng."

Dengan lesu Nyi Sarpa Rukinten terduduk 

melamun, menanti kedatangan Jaka untuk mem-

beri tahukan siapa adanya yang telah menyuruh-

nya menteror orang-orang persilatan.

***

Tengah Nyi Sarpa Rukinten duduk mela

mun, terdengar suara Jaka berseru memanggil 

namanya. Hingga dengan seketika Nyi Sarpa Ru-

kinten yang tak lain dari Dewi Tengkorak tersen-

tak dari lamunannya. Dengan langkah lesu. Nyi 

Sarpa Rukinten pun segera bergegas menemui 

Jaka di luar goa.

"Rupanya di sini persembunyianmu. Iblis! 

Di mana Bah Jenar kambratmu berada?" tanya 

Jaka dengan sikap siap siaga memandang tajam 

pada Dewi Tengkorak yang hanya menunduk le-

su.

"Tuan pendekar. Kalau kau mau mengam-

puni selembar nyawaku, maka aku berjanji tak 

akan berbuat kejahatan lagi. Dan akupun akan 

melepaskan tubuh gadis ini. Juga akan aku beri 

tahukan di mana adanya Bah Jenar sekarang. 

Sungguh, bukan maksudku untuk menteror 

orang-orang kalau tidak disuruh oleh Bah Jenar," 

Dewi Tengkorak mengiba, sepertinya ia ingin 

membuka siapa sebenarnya pelaku dari semua 

tindakannya.

"Kau tidak berdusta?"

"Tidak! Bahkan aku akan senang bila Bah 

Jenar dapat segera menyusulku. Karena dengan 

begitu ia tak akan dapat membuat aku menderi-

ta."

"Menderita? Maksudmu, Dewi?" bertanya 

Jaka tak mengerti, seraya memandang pada Dewi 

Tengkorak yang berdiri di hadapannya.

Sesaat Dewi Tengkorak terdiam. "Benar, 

Tuan pendekar. Dulu ketika kami masih muda



kami sempat berikrar. Barang siapa yang mati le-

bih dahulu maka akan menjadi abdi bagi yang 

masih hidup. Ketika itu aku menyanggupi, sebab 

aku waktu itu tengah berurusan dengan Ki Barwi 

yang telah menolak cintaku. Mulanya kami berti-

ga, aku, Bah Jenar dan Ki Barwi adalah merupa-

kan tiga serangkai yang ke mana-mana selalu 

bersama-sama. Pada suatu hari aku merasakan 

ada getaran cinta di hatiku pada Ki Barwi yang

pendiam dan tenang. Rupanya Ki Barwi yang tahu 

bahwa Bah Jenar mencintaiku tak mau menerima 

cintaku membuat hatiku seketika mendendam 

padanya. Akhirnya pecahlah kami. Bah Jenar 

yang memang mencintaiku setengah mati, mem-

bantuku memusuhi Ki Barwi. Namun sejauh itu, 

kami berdua tak pernah mampu mengalahkan-

nya. Pada suatu ketika aku dan Bah Jenar mem-

peroleh sebuah petunjuk berupa kitab pusaka. 

Maka dengan mempelajari kitab itu, aku mampu 

mengalahkan Ki Barwi. Namun ketika aku hen-

dak menurunkan tangan jahat pada Ki Barwi, 

seorang pendekar muda tiba-tiba datang meno-

longnya. Karena merasa tinggi ilmu yang kumiliki, 

hingga akupun menjadi orang yang sombong dan 

memandang rendah pada semua orang. Tapi ter-

nyata pendekar muda yang bernama Boyong 

mampu mengalahkanku hingga tubuhku hancur. 

Mungkin karena kutukan ilmu itu, aku tak dapat 

mati sebelum sekutupun mati. Kalau aku boleh 

tahu, siapakah sebenarnya engkau tuan pende-

kar?"


"Aku adalah murid tunggal Empat Pende-

kar Sakti dari Chandra Bilawa yang di antaranya 

Ki Bayong" menjawab Jaka Ndableg atau Pende-

kar Pedang Siluman Darah yang seketika itu 

mengejutkan Dewi Tengkorak Hidup. Hingga sak-

ing terkejutnya. Dewi Tengkorak Hidup bergu-

mam tak sadar. 

"Pantas, pantas!" 

"Apa yang kau bilang pantas?"

"Ya... pantas saja kalau kau masih semuda 

ini memiliki ilmu yang tinggi melebihi ilmu pen-

dekar-pendekar kawakan, karena kau digembleng 

oleh empat orang Pendekar Sakti sekaligus."

"Baiklah, Dewi. Nyawamu aku ampuni. Se-

karang tunjukkan padaku di mana Bah Jenar be-

rada? Kedua, kalau kau tak menginsafi segala 

tindakanmu, maka aku tak akan segan-segan 

menghukummu. Nah, katakan di mana Bah Je-

nar sekarang?"

"Bah Jenar telah pergi."

"Pergi? Pergi ke mana? Kau jangan mem-

bohongi aku. Dewi!" berkata Jaka tak percaya 

dengan nada marah, menyangka kalau Dewi 

Tengkorak telah mendustainya.

"Benar, Tuan Pendekar. Bah Jenar pergi ke 

pulau Andalas untuk meminta bantuan pada sa-

habatnya yang bernama Tengku Loreng."

"Apa?! Bah Jenar mau meminta bantuan 

pada Tengku Loreng?"

Tersentak Jaka seketika itu, demi menden-

gar keterangan dari Dewi Tengkorak Maka dengan


tanpa bicara lagi, Jaka segera berkelebat mening-

galkan Nyi Sarpa Rukinten yang terbengong-

bengong menyaksikan kepergiannya.

Setelah beberapa saat kepergian Jaka, Nyi 

Sarpa Rukinten pun segera menyusulnya. Entah 

ada perasaan apa di hati Nyi Sarpa Rukinten, 

yang seketika telah tergetar. Wajah Jaka selalu 

membayang dalam benaknya. Maka sebelum per-

gi, hatinya sempat berbisik

"Sungguh aku tak rela bila pemuda itu ha-

rus menjadi korban Bah Jenar. Apapun yang ter-

jadi, aku harus mampu menghalangi niat Bah Je-

nar. Bila perlu aku rela berkorban untuknya."

Dengan segera Nyi Sarpa Rukinten berke-

lebat menuju ke arah mana Jaka pergi. Pagi telah 

kembali datang, membiaskan sinar kemerah-

merahan di ufuk Timur manakala ayam jantan 

berkokok. Mampukah Jaka mengejar Bah Je-

nar...???

* * *

Bah Jenar tampak terus berlari walaupun 

hari telah menjelang pagi. Malah tampak Bah Je-

nar makin mempercepat larinya, terus menuju ke 

arah Barat di mana hamparan hutan lebat mem-

bentang luas.

"Sungguh bahaya kalau sampai anak muda 

itu dapat mengejarku. Sedang untuk menuju ke 

Sunda Kelapa aku harus menempuh perjalanan 

sekitar tiga hari. Hem... aku akan mencari kuda


dulu sebelum melanjutkan perjalananku."

Ketika Bah Jenar tengah terus berlari, tiba-

tiba dia tersentak manakala seorang wanita berdi-

ri menghadangnya dengan senyum yang cukup 

membuat dada lelaki bergemuruh risuh.

Mata Bah Jenar seketika melotot, melihat 

tubuh wanita cantik itu tanpa sehelai benangpun 

polos berdiri dengan kaki melipat satu sama lain. 

Melelet lidah Bah Jenar, bagaikan tak kuasa lagi 

menahan gejolak birahi.

Wanita itu sepertinya memasang jerat den-

gan senyumnya, hingga membuat Bah Jenar me-

lototkan mata manakala wanita itu makin men-

dekat ke arahnya. Dengan terbata-bata Bah Jenar 

bertanya.

"Si... siapakah Ni Sanak?"

"Hi, hi, hi. Kaukah yang bernama Bah Je-

nar?"

"Be... benar. Siapakah Ni Sanak sebenar-

nya? Dan dari mana Ni Sanak mengenal nama-

ku?"

"Hi, hi, hi." Kembali wanita itu tertawa ce-

kikikan, tangannya melambai mengundang Bah 

Jenar.

"Maukah kau menjadi pendampingku, 

Bah?"

Kaget bercampur senang beraduk menjadi 

satu di hati Bah Jenar yang segera menurut men-

dekat dengan senyum play boy tuanya.

"Siapakah, Ni Sanak sebenarnya?" kembali 

Bah Jenar mengulang pertanyaan itu. Matanya


terus mengawasi tubuh wanita itu yang tak tertu-

tup sehelai benangpun.

"Kau mau tahu namaku?" 

Bah Jenar mengangguk sembari menyam-

but tangan wanita itu yang putih mulus. Kedua-

nya segera melangkah sembari bergandeng tan-

gan.

"Nanti juga kau akan tahu siapa aku sebe-

narnya. Yang penting sekarang kau mau menjadi 

pendampingku," berkata wanita itu yang dengan 

segera menarik tangan Bah Jenar pergi menghi-

lang entah ke mana dalam seketika.

Bah Jenar tersentak, manakala dirinya te-

lah berada pada sebuah ruangan yang mirip den-

gan ruangan itu, kala melihat banyak pasukan 

bersenjata lengkap berdiri dengan siaga.

"Di manakah aku?" bertanya Bah Jenar.

Wanita yang tadi bersamanya kini tengah 

duduk di sebuah singgasana megah. Terbuat dari 

gading gajah hingga nampak indah.

Di bibir wanita itu tergurat senyuman, se-

mentara matanya menyorot suatu kewibawaan. 

Dari mulutnya yang tersungging senyuman, ter-

bersit suaranya yang halus dan merdu berkata:

"Bah Jenar. Inilah kerajaanku. Kini kau 

tengah berada di kerajaan Siluman Buaya Sungai 

Condong. Aku memang sengaja mencarimu. Me-

nurut wangsit yang aku terima, bahwa kaulah 

yang akan mampu memberikan keturunan pada 

kami. Bersediakah kau menjadi suamiku. Bah?"

Tersentak Bah Jenar seketika, manakala


dia mendengar ucapan Ratu Siluman Buaya Kali 

Condong. Dirinya yang saat itu tengah terben-

gong-bengong tak mengerti, seketika membelia-

kan matanya kaget.

"Bagaimana, Bah Jenar?" kembali Ratu Si-

luman Buaya Biru bertanya, demi dilihatnya Bah 

Jenar masih terdiam tak menjawab.

"Ba... baiklah! Aku menerimanya, tapi den-

gan syarat."

"Apa syaratmu. Bah?"

Sesaat Bah Jenar terdiam membisu, me-

mandang pada Ratu Siluman Buaya Kali Con-

dong. Lalu dengan menyembah terlebih dahulu. 

Bah Jenar mengucapkan apa yang menjadi sya-

ratnya.

"Aku hanya meminta satu syarat, Sri Ratu."

"Apa? Katakanlah." mendesak Ratu Silu-

man Buaya Biru bertanya, tak sabar menunggu 

ucapan yang bakalan dilontarkan oleh Bah Jenar.

Kembali Bah Jenar terdiam menunduk, tak 

segera menjawabnya. Dihelanya napas panjang-

panjang, lalu dengan suara berat Bah Jenar pun 

kembali berkata.

"Ampun, Sri Ratu. Saat ini hamba lengah 

dikejar-kejar oleh seorang pemuda."

"Heh! Bukankah kau memiliki ilmu segu-

dang, Bah? Mengapa kau mesti takut dengan seo-

rang pemuda?" bertanya Sri Ratu seraya menge-

rutkan kening manakala mendengar ucapan Bah 

Jenar. Dalam hatinya bertanya-tanya. "Bagaima-

na mungkin, Bah Jenar yang terkenal dengan il


mu-ilmu silumannya takut menghadapi seorang 

pemuda? Siapa sebenarnya pemuda itu? Apakah 

ia juga siluman sepertiku?"

"Tidak demikian halnya, Sri Ratu. Pemuda 

itu jauh lebih tinggi ilmunya bila dibandingkan 

dengan ilmuku."

"Ah! Apakah kau tak sedang mengada-ada. 

Bah?"

"Pemuda itu bukan pemuda sembarangan. 

Ia berilmu tinggi dan memiliki sebuah senjata 

yang bernama Pedang Siluman. Senjata itu meru-

pakan sebuah senjata pusaka yang aneh."

"Aneh? Apa keanehannya?" bertanya Ratu 

Siluman Buaya Biru yang tampaknya masih tak 

percaya.

Matanya memandang tak berkedip pada 

Bah Jenar yang menunduk tak berani membalas 

memandang. Dengan terlebih dahulu menelan lu-

dah manakala paha Ratu Siluman Buaya Biru te-

rangkat dan ia melihatnya. Bah Jenarpun kembali 

berkata:

"Benar, Sri Ratu. Senjata itu akan muncul 

bila berhadapan dengan seorang musuh."

"Cek, ck, ck! Luar biasa. Apakah kau telah 

mencobanya. Bah?"

"Belum, Sri Ratu."

"Kenapa kau merasa yakin kalau kau tak 

mampu menghadapinya?" bertanya Sri Ratu men-

jadikan Bah Jenar seperti tersindir. Dengan ter-

senyum malu Bah Jenar makin menundukan ke-

palanya.


"Aku sudah tahu syarat apa yang hendak 

kau pinta. Kau menghendaki aku melindungimu, 

bukan?" kembali Sri Ratu bertanya. Dijawab den-

gan anggukan kepala oleh Bah Jenar.

"Baiklah, Bah. Aku akan melindungimu, 

asal kau memang bersedia menjadi pendamping-

ku."

"Dengan senang hati, Sri Ratu." menjawab 

Bah Jenar dengan perasaan bahagia, sebab ia 

akan mendapatkan dua-duanya. Pertama ia akan 

mendapatkan perlindungan dari Ratu Siluman 

Buaya Biru. Kedua ia akan mendapatkan tubuh 

Ratu Siluman Buaya Biru yang denok montok 

serta cantik wajahnya.

Demi mendengar jawaban Bah Jenar, den-

gan seketika Ratu Siluman Buaya Biru kembali 

tersenyum. Lalu dengan tubuh yang tak tertutup 

sehelai benangpun. Ratu Siluman Buaya Biru 

berjalan mendekati Bah Jenar.

Diulurkannya tangan pada Bah Jenar yang 

menyambutnya dengan suka cita sembari terse-

nyum. Lalu keduanya pun seketika melangkah 

menuju ke sebuah kamar yang telah disediakan.

Manakala tirai kelambu telah ditutup ke-

duanya pun segera bercumbu rayu layaknya se-

perti pengantin baru. Satu persatu pakaian yang 

dikenakan Bah Jenar terlepas dari badan. Napas 

Bah Jenar terdengar memburu, layaknya seperti 

seekor kuda tengah berpacu kala matanya melirik 

ke arah selangkangan Ratu Siluman Buaya Biru.

Matanya melotot tajam memandang tak


berkedip, sementara tangannya tak henti-

hentinya bergerak liar meraba-raba ke sekujur 

tubuh Ratu Siluman Buaya yang mendesis-desis.

Tak berapa lama antaranya, keduanyapun 

segera bergumul-gumul. Napas keduanya mem-

buru liar, seirama dengan alunan birahi yang te-

lah menggeluti perasaan mereka. Bah Jenar tak 

menyadari apa yang tengah ia geluti waktu itu, 

yang sebenarnya seekor buaya biru. Buaya itu 

meregang kejang, manakala Bah Jenar tampak 

menggelosor loyo tertidur di sisinya.


TUJUH



Jaka yang tengah mengejar Bah Jenar 

tampak kebingungan, mana kala ia kehilangan je-

jak dalam hutan Singkakak yang merupakan per-

batasan wilayah Kulon dengan Sunda Kelapa.

Bingung Jaka saat itu, untuk menentukan 

ke mana langkah kakinya berpijak. Saking tak 

mengerti harus ke mana, Jaka pun akhirnya 

hanya mampu berjalan lesu menyusuri Kali Con-

dong.

"Aneh! Ke mana lenyapnya Bah Jenar? Pa-

dahal aku telah mengerahkan Ajian Angin Puyuh 

tingkat akhir yang berarti aku telah berlari den-

gan kencangnya melebihi lari seekor kuda yang 

kuat sekalipun atau melebihi terbangnya burung 

camar. Hem, aku tak yakin kalau Bah Jenar 

mampu menghilang. Jangan-jangan...."


Belum habis pikirannya mengira-ngira, 

terdengar suara bunyi-bunyian gamelan mengge-

ma di gendang telinganya. Semakin ia mendengar, 

semakin dekat saja rasanya bunyi-bunyian itu.

"Hem... tentu ada yang sengaja hendak 

menggangguku. Aku rasa bangsa siluman pe-

nunggu hutan ini. Baik, akan aku lihat macam 

apa bangsa siluman yang siang-siang begini 

membisingkan telingaku."

Sejenak Jaka terdiam membisu dengan 

mata terpejam rapat. Lalu dengan perlahan, ke-

dua tangannya direntangkan lebar-lebar memben-

tuk sebuah garis lurus. Dan dengan sekuat tena-

ga, Jaka kembali menyatukan kedua tangannya.

"Ajian Penyibak Alam Gaib. Hiattt..!"

"Wuss...!"

Angin seketika berhembus dengan kencang 

menerpa segala apa yang berada di dekatnya. Se-

kilas ada semacam lendiran lebar sepanjang em-

pat tombak, membentang di hadapannya. Ketika 

jari telunjuk Jaka bergerak menotok lendir itu, 

seketika terbentanglah di hadapannya sebuah ko-

ta.

"Hem... rupanya di kota Siluman ini. Aku 

ingin tahu ada apa gerangan di kota siluman ini." 

Dengan menggunakan sukmanya Jaka berkelebat 

menuju ke dalam kota Siluman yang tampak ra-

mai.

Janur mayang dan umbul-umbul terpajang 

di sana-sini, menghias di setiap pelosok kota. 

Seorang pemuda siluman tengah berjalan mana


kala menghampiri.

"Ki Sanak. Gerangan apakah yang tengah 

berlangsung di kota ini? Hingga begitu banyak 

yang datang mengunjunginya?"

Sesaat pemuda itu memandang padanya.

Mau tak mau Jaka pun akhirnya meman-

dang pada dirinya sendiri dengan terbengong-

bengong.

"Adakah keanehan pada diriku, Ki Sanak?"

"Kau bukan penduduk sini, Ki Sanak? Se-

pertinya kau warga manusia. Kebetulan sekali ka-

lau begitu," berkata pemuda itu yang menjadikan 

Jaka terbelalak tak mengerti.

"Kebetulan sekali. Apa maksud ucapan-

nya?" Belum juga hilang rasa kaget di hatinya, 

seketika pemuda di hadapannya telah kembali 

berkata: "Kebetulan sekali. Ketahuilah olehmu, Ki 

Sanak. Bahwa negariku tengah dilanda musibah 

yang sangat menyedihkan."

"Musibah?" desis Jaka.

"Kenapa? Sepertinya kau terkejut, Ki Sa-

nak?"

"Bagaimana tidak. Kau bilang kerajaan 

tengah dilanda musibah. Tapi mengapa aku men-

dengar suara gamelan?"

"Ah, sudahlah. Sekarang juga kau akan 

aku ajak menghadap ratu kami yang mulia Ratu 

Siluman Bumi. Ayo!" mengajak pemuda itu yang 

oleh Jaka walaupun dengan hati bertanya-tanya.

Di bangsal istana, tampak tengah berkum-

pul para patih dan pembesar lainnya. Mereka se


pertinya tengah menanti-nanti gerangan apa yang 

bakal dititahkan oleh Sri Ratu.

Dari dalam istana, tampak seorang wanita 

cantik berjalan diiringi oleh dayang-dayang menu-

ju ke sebuah bangku yang berada di bangsal itu.

Matanya yang jeli memandang tajam. Se-

mua yang hadir di situ, seketika menyembah tan-

pa ada seorangpun yang berani menatapnya.

Sri Ratu duduk dengan anggun di tahta be-

rukir ular kobra di atasnya. Mahkota yang dike-

nakan oleh Sri Ratu pun berukir ular kobra den-

gan kepala menjuruk ke muka seperti garang.

"Paman Patih Sanca Siti Abang. Apakah te-

lah kau dapatkan keterangan di mana pusaka 

itu?" berkata Sri Ratu dengan suaranya yang 

merdu. Walaupun begitu, tak seorang pun di an-

tara punggawanya merdu. Walaupun begitu, tak 

seorangpun di antara ponggawanya yang berani 

menentangnya. Mata Sri Ratu memandang tajam 

pada patihnya yang segera menyembah.

"Ampun, Sri Ratu. hamba telah menda-

patkan keterangan, siapa yang telah berani men-

curi pusaka kerajaan. Pencurinya tak lain adalah 

seorang manusia yang kini bersekongkol dengan 

kerajaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut 

ahli tenung bernama Bah Jenar."

"Hem... pantas kalau ia bisa mengambil 

pusaka itu. Sebab pusaka Keris Naga Runting 

hanya dapat dijamah oleh kaum kita dan bangsa 

manusia saja. Sedang bangsa lain tak akan mam-

pu memegangnya," berkata Sri Ratu seraya men


gangguk-anggukan kepalanya. "Kalau begitu, ma-

ka hanya manusia saja yang dapat mengambilnya 

kembali. Kalau pusaka itu tidak segera direbut, 

sungguh petaka bagi kita dan bagi bangsa manu-

sia."

Tengah mereka berpikir bagaimana ca-

ranya merebut pusaka itu dari tangan Siluman 

Buaya Biru Kali Condong. Seorang pemuda da-

tang menghadap. Dengan menyembah terlebih 

dahulu, pemuda itu segera menyampaikan mak-

sud kedatangannya.

"Ampun, Sri Ratu. Hamba ingin menyam-

paikan sesuatu."

"Tentang apa itu?" bertanya Sri Ratu.

"Hamba datang bersama seorang manusia 

yang mungkin dialah orang yang dimaksud oleh 

Sri Ratu." Seketika seluruh yang ada di situ 

membelalakkan matanya manakala seorang pe-

muda tampan santai masuk ke dalam badan 

menjura hormat dengan cengengesan.

"Ini orang yang hamba maksudkan, Sri Ra-

tu," kembali pemuda itu berkata, demi melihat 

orang yang bersamanya telah masuk ke dalam.

Sri Ratu terdiam memandang dengan mata 

tak berkedip pada pemuda yang baru datang. 

"Hem... apakah pemuda setampan ini akan mam-

pu menghadapi Bah Jenar? Sungguh aku tak tega 

kalau akhirnya pemuda itu menjadi korban. Tam-

pan nian! Sungguh dia akan menjadi rebutan pa-

ra gadis manusia."

Saking takjubnya Sri Ratu memandang wa


jah Jaka, hingga tak disadari kalau ia tengah me-

lamun. Pandangannya melekat pada wajah Jaka 

yang berani menentang pandangan Sri Ratu.

Tercekat pemuda temannya manakala me-

lihat Jaka dengan berani memandang pada Sri 

Ratu. Hati pemuda di sampingnya gundah. Takut 

kalau-kalau Sri Ratu akan murka, ketika ia meli-

rik ke arah Sri Ratu, sungguh ia terkesima. Beta-

pa tidak! Sri Ratu ternyata juga mengurai senyum 

memandang dengan mata sayu pada pemuda di 

sampingnya.

Lama Sri Ratu terdiam saling pandang 

dengan Jaka, sepertinya mereka berdua tengah 

mendalami isi hati masing-masing. Lalu setelah 

beberapa saat terdiam, Sri Ratu akhirnya berkata 

dengan suara lembut:

"Anak muda tampan, siapakah namamu?"

"Hamba bernama Jaka, Sri Ratu," menja-

wab Jaka dengan masih menaruh hormat, menja-

dikan Sri Ratu makin melebarkan senyum. Seper-

tinya di balik senyum itu tersembunyi suatu ha-

rapan yang kini melekat di balik kedua matanya 

yang indah dan sayu.

"Jaka, maukah kau membantu kami?"

"Membantu? Membantu apa? Aku sendiri 

tak mampu apa-apa."

Kembali Sri Ratu tersenyum lebar demi me-

lihat kekonyolan yang ada pada diri Jaka. Dengan 

menahan geli melihat tingkah Jaka, Sri Ratu 

kembali berkata:

"Pusaka kerajaan ini telah dicuri oleh


orang, yaitu kaum bangsamu atas perintah kera-

jaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut ahli 

nujumku bernama Bah Jenar."

"Untuk apa kerajaan Siluman Buaya Biru 

mencuri pusaka kerajaan yang Sri Ratu pimpin 

ini?"

Kembali Sri Ratu memandang tajam pada 

Jaka sepertinya tengah menyelidik siapa sebenar-

nya pemuda di hadapannya.

Setelah memandang untuk beberapa saat, 

terdengar Sri Ratu kembali berkata: "Sepuluh ta-

hun yang lalu kerajaan ini dengan kerajaan Silu-

man Buaya Biru bentrok gara-gara mempere-

butkan seorang manusia tampan yang memiliki 

sebuah pusaka bernama Naga Runting. Namun 

ternyata orang itu tidak menanggapi rasa cinta 

kami. Bahkan dengan terus terang, orang itu 

mengatakan bahwa maksudnya tak lain untuk 

menyerahkan pusaka Naga Runting itu pada ke-

rajaan kami. Merasa cintanya ditolak, penguasa 

Siluman Buaya Biru menuduh kamilah yang 

membuat gara-gara dan menghasut orang terse-

but. Jelas saja kami tak mau tinggal diam. Maka 

untuk kedua kalinya kami berperang, namun 

dengan adanya pusaka Naga Runting berada di 

tangan kami, maka kami dapat mengalahkan ke-

rajaan Buaya Biru. Rupanya dendam mereka te-

rus membara di hati dan mereka pun terus beru-

saha untuk mengambil pusaka Naga Runting. Be-

berapa kali mereka mencoba, namun selalu gagal 

karena pusaka itu tak dapat dijamah oleh kaum


nya. Dengan datangnya manusia di kerjaan Silu-

man Buaya Birulah, pusaka kerajaan ini dapat 

diambil. Mungkin mereka tengah mempersiapkan 

penyerangan kembali."

Jaka terangguk-angguk mendengarkan apa 

yang diutarakan oleh Sri Ratu.

"Sri Ratu, tadi Sri Ratu mengatakan bahwa 

pencurinya bernama Bah Jenar."

"Benar, Jaka. Ada apa?"

"Kebetulan. Aku sendiri tengah menca-

rinya."

"Kebetulan apa, Jaka?" Sri Ratu kembali 

bertanya.

"Aku datang ke sini ternyata tak sia-sia, 

karena aku datang ke sini tengah mencari orang 

tersebut yang telah membuat keonaran di dunia 

manusia. Baiklah Sri Ratu, hamba siap untuk 

membantu."

Tersenyum senang semua yang hadir di si-

tu, manakala mendengar ucapan Jaka yang se-

pertinya gong untuk bertindak. Maka dengan pe-

nuh harap, Sri Ratu pun berkata:

"Jaka, maukah kau untuk sementara ting-

gal di sini?"

Sesaat Jaka terdiam.

"Hamba mau, asalkan hamba diperkenan-

kan dapat membawa jasad wadag hamba terlebih 

dahulu yang tengah hamba tinggalkan. Karena 

dengan jasad hamba, hamba akan dapat leluasa 

bertindak"

"Baiklah, Jaka. Kau boleh mengambil terle


bih dahulu jasad wadagmu yang kau tinggal di 

alam dunia. Nah, bawalah ini. Dengan batu ini, 

kau dapat keluar masuk ke mari tanpa terlebih 

dahulu meninggalkan jasadmu," berkata Sri Ratu 

seraya menyerahkan sebutir batu sebesar pala 

dengan ukiran ular cobra pada Jaka yang segera 

menerimanya. "Ambilah jasadmu. Dengan batu 

itu, kau akan bebas leluasa membuka tabir dunia 

siluman. Hingga sewaktu-waktu kau dapat ber-

kunjung ke mari."

Maka dengan diantar beberapa prajurit si-

luman, Jaka pun segera pergi untuk mengambil 

jasadnya yang ia tinggalkan di alam kehidupan 

manusia.

* * *

Tersentak Jaka seketika setelah rohnya 

kembali ke jasadnya, tatkala melihat ada orang 

lain yang duduk di sebelahnya. Saking kagetnya 

Jaka mendapatkan orang itu, matanya seketika 

terbelalak dan mulutnya berdesah.

"Ah... kaukah Nyi Sarpa Rukinten? Sudah 

lamakah kau datang?"

Nyi Sarpa Rukinten dengan menyenderkan 

kepalanya di bahu Jaka ia pun berkata: "Aku 

sengaja menyusulmu, Jaka. Sungguh aku mera-

sakan bahwa aku sebenarnya telah jatuh hati pa-

damu. Rasa takutku kehilangan kamu menjadi-

kan aku ingin selalu berada di sisimu."

"Ah! Sungguh aku bahagia mendengarnya.


Nyi. Tapi..." Jaka tak segera meneruskan ucapan-

nya, menjadikan Nyi Sarpa Rukinten seketika 

memandangnya dengan penuh tanya.

"Tapi apa, Jaka? Apakah aku di matamu 

kurang cantik?"

"Bukan itu maksudku. Nyi. Kau sangat 

cantik. Bahkan bidadaripun akan kalah dengan 

kecantikanmu. Kalau saja aku belum bertunan-

gan, aku rasa aku sangat senang mendengar uca-

panmu itu," berkata Jaka menerangkan.

"Tak apa, Jaka. Walaupun kau jadikan aku 

isteri yang kesepuluh sekalipun," Nyi Sarpa Ru-

kinten tampak makin merebahkan kepalanya dari 

pundak beralih pada pangkuan Jaka yang hanya 

dapat diam. Namun ketika tangan Nyi Sarpa Ru-

kinten hendak merangkul lehernya, dengan sege-

ra Jaka mencegahnya.

"Jangan. Nyi!"

"Kenapa, Jaka? Apakah kau tak mencintai-

ku?"

"Bukan itu maksudku. Ketahuilah olehmu, 

bahwa Bah Jenar sekarang berada di sekitar sini."

Tersentak Nyi Sarpa Rukinten seketika itu, 

demi mendengar ucapan Jaka. Matanya membe-

liak ketakutan, sepertinya mendengar ribuan sua-

ra hantu saja. Dengan rasa tak begitu percaya, 

Nyi Sarpa Rukinten bertanya: "Kau tak membo-

hongiku, Jaka?"

"Tidak! Malah aku sebenarnya tengah men-

jalankan tugas untuk menghalangi maksud Bah 

Jenar. Untuk itulah Nyi, aku harap kau segeralah


pergi dari sini dahulu agar jangan sampai Bah 

Jenar mengetahuimu. Sungguh aku tak dapat 

membayangkan kalau Bah Jenar akan mengeta-

hui dirimu bersekongkol denganku. Bukankah itu 

suatu petaka besar bagimu?"

"Benar, Jaka. Jadi haruskah aku selalu 

menahan rindu padamu?" Kata-kata Nyi Sarpa 

Rukinten yang polos menjadikan Jaka terheran-

heran bertanya-tanya dalam hati. "Apakah ini Nyi 

Sarpa Rukinten yang asli? Bukan dalam penga-

ruh Dewi Tengkorak? Apakah Dewi Tengkorak te-

lah pergi? Bukankah Dewi Tengkorak akan pergi 

bila Bah Jenar telah mati?"

Jaka tersenyum-senyum seraya mengge-

leng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Nyi 

Sarpa Rukinten. Lalu dengan senyum di bibirnya, 

Jaka pun berkata:

"Nyi... ku harap kau mampu menahan diri, 

sebab di sini banyak bangsa siluman. Bah Jenar 

pun sekarang tengah berada di alam siluman. 

Eh... apakah kau tak mampu melihatnya. Nyi? 

Bukankah kau dalam kuasa Dewi Tengkorak Hi-

dup?"

"Tidak. Aku tak dapat melihat alam silu-

man karena aku sekarang telah terbebas dari 

pengaruh Dewi Tengkorak."

Terbelalak mata Jaka seketika mendengar 

ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya tak begitu 

percaya. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, se-

dangkan Bah Jenar masih hidup.

Jaka yang telah menyangka hal itu, tak


banyak bertanya lagi. Lalu dengan berbisik, Jaka 

menyarankan agar Nyi Sarpa Rukinten segera 

pergi dahulu kembali ke desanya.

"Tapi aku tak berani, Jaka. Aku saat ini 

tengah diburu oleh pendekar-pendekar golongan 

lurus persilatan." berkata Nyi Sarpa Rukinten 

mengiba menjadikan Jaka kasihan melihatnya. 

Maka dengan terlebih dahulu garuk-garuk kepala, 

Jaka pun akhirnya berkata:

"Baiklah, Nyi. Aku akan menemanimu pu-

lang dan memberi tahukan pada tokoh-tokoh per-

silatan bahwa kau tak bersalah. Sebentar! Aku 

akan memberitahukan terlebih dahulu pada Sri 

Ratu Siluman Penguasa Tanah."

Terbelalak mata Nyi Sarpa Rukinten mana-

kala tiba-tiba Jaka telah menghilang dari sisinya. 

Bagaikan orang yang linglung. Nyi Sarpa Rukin-

ten terbengong mencari-cari.

Tak berapa lama antaranya Jaka tiba-tiba 

telah muncul kembali. Hal itu menjadikan Nyi 

Sarpa Rukinten merambek, menyangka diper-

mainkan.

"Kau nakal, Jaka. Biar aku di sini saja," 

berkata Nyi Sarpa Rukinten ngambek menjadikan 

Jaka blingsatan tak mengerti. Mau tak mau Jaka 

pun harus merayu-rayu terlebih dahulu. Dan ke-

tika Nyi Sarpa Rukinten memeluknya, Jaka tam-

pak hanya diam membiarkan bibirnya dicium 

dengan mesra. Dengan tertawa-tawa keduanya 

segera berkelebat pergi meninggalkan hutan itu.



DELAPAN


Di goa tempat Bah Jenar dulu berse-

mayam, tampak segerombolan orang-orang yang 

berjumlah hampir mencapai seratus orang. Di si-

tu tampak juga beberapa tokoh-tokoh persilatan 

dari golongan lurus yang memang mendendam 

pada Bah Jenar, yang dianggapnya biang kerusu-

han di desa dekat kaki Gunung Galunggung. To-

koh persilatan itu seperti, Ki Barwa, Ki Pangano-

man, dan beberapa tokoh persilatan wilayah ku-

lon lainnya.

"Hancurkan goa iblis ini! Buang segala apa 

yang ada di dalamnya atau bakar!" berseru Ki 

Barwa, orang-orang yang telah berada di situ 

dengan segera mengobrak-abrik isi goad an mem-

bakarnya.

"Lihat! Apakah ada setannya? Tidak bu-

kan? Tak ada pocong atau dedemit lainnya. Se-

mua merupakan permainan Bah Jenar belaka! 

Maka bila Bah Jenar telah pergi atau mati, setan 

dedemitnya pun akan mati!." Seluruh warga den-

gan menumpahkan segala kejengkelan dan kema-

rahannya membakar serta memporak porandakan 

goa itu.

Asap dan api mengepul membumbung 

tinggi manakala api melahap segala isi goa itu. so-

rak sorai kemenangan warga desa berkumandang, 

menggema mengisi lerung-lerung hutan dan bu-

kit-bukit.


Walaupun mereka telah mengetahui bahwa 

Bah Jenar telah pergi meninggalkan goa itu, na-

mun tokoh-tokoh persilatan tampak terus berja-

ga-jaga kalau-kalau ada hal-hal yang dapat mem-

bahayakan warga.

Akhirnya goa iblis itu habis termakan api, 

hingga tinggal puing-puing bebatuan dan debu-

debu yang beterbangan ditiup angin.

Setelah melihat hasilnya dengan wajah 

berseri-seri seluruh warga desa segera kembali 

menuju ke kampung di balik hutan yang bebera-

pa waktu lalu telah menjadi teror Bah Jenar.

* * *

Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten yang telah 

datang di desa itu tampak terbengong-bengong 

manakala melihat penduduk desa tak ada yang di 

rumah. Yang ada hanyalah ibu-ibu dan anak-

anak kecil, yang segera bersembunyi manakala 

melihat kedatangan Nyi Sarpa Rukinten.

"Lihatlah, Jaka bukankah mereka masih 

menganggapku seperti pada waktu aku dalam 

kuasaan Dewi Tengkorak?"

"Sabarlah mungkin mereka masih ter-

bayang manakala kau dalam kuasa Dewi Tengko-

rak Sebenarnya Dewi Tengkorak pun tak salah."

"Kok, begitu?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten 

tak mengerti.

"Ya! Ketika dia tengah masih menguasai di-

rimu, ia sempat berkata padaku bahwa dirinya


sebenarnya enggan melakukan kekejaman kalau 

saja tidak dipengaruhi oleh Bah Jerat yang akan 

membinasakannya bila ia menolak."

"Apa kau percaya dengan ucapan iblis, Ja-

ka?"

"Maksudmu?"

"Apakah kau yakin bahwa Dewi Tengkorak 

akan menghentikan terornya? Ketahuilah, Jaka. 

Bahwa Dewi Tengkorak tak akan menghentikan 

terornya sebelum sempat mendapatkan kitab 

yang akan memulihkan dirinya dari sekarang."

"Aku belum mengerti maksudmu."

Jaka tampak makin bingung, mendengar-

kan segala ucapan Nyi Sarpa Rukinten yang 

membeberkan perihal Dewi Tengkorak.

Nyi Sarpa Rukinten tersenyum manja. Ma-

tanya memandang lekat-lekat pada Jaka yang se-

gera membalas tersenyum.

"Sebelum ia membebaskan diriku, ia sem-

pat berkata padaku bahwa ia sengaja mengalah 

padamu agar usahanya untuk mendapatkan kitab 

Loh Gawening Urip tidak engkau campuri. Kedua 

ia sengaja mengalihkan perhatianmu untuk terus 

memburu Bah Jenar yang nantinya akan meng-

halangi maksudnya. Karena bila Bah Jenar masih 

hidup, maka ia akan menjadi penghalang selain 

dirimu. Untuk itulah, ia pura-pura menyerah dan 

mengalihkan perhatianmu pada Bah Jenar."

"Oh begitu?" bergumam Jaka sembari 

mengangguk-anggukan kepalanya "Lalu, apakah 

ia tak menceritakan ke mana ia sekarang pergi?"


Sesaat Nyi Sarpa Rukinten terdiam menje-

likan matanya yang indah pada Jaka. "Dia hanya 

berkata akan ke gunung Tengger untuk mencari 

kitab Loh Gawening Urip. Katanya kitab itu dapat 

menjadikan orang yang mempelajarinya akan 

menghidupkan orang yang telah mati."

"Jadi Bah Jenar waktu itu belum mempu-

nyai kitab itu?"

"Belum. Bah Jenar hanya bermaksud me-

nakut-nakuti saja agar tokoh-tokoh persilatan 

akan merasa takut padanya."

"Kenapa begitu?" tanya Jaka makin tak 

mengerti.

"Ya. Sebab dengan kitab Loh Gawening 

Urip di tangannya, maka Bah Jenar akan mampu 

menjadikan orang yang telah mati hidup kembali. 

Bahkan dirinya tak akan dapat mati," menje-

laskan Nyi Sarpa Rukinten. Sementara Jaka 

hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seperti 

mengerti.

Keduanya terus melangkah seiring menuju 

ke tempat di mana dulu menjadi kediaman Nyi 

Sarpa Rukinten. Tengah keduanya berjalan, ke-

duanya tersentak manakala terdengar suara 

orang-orang yang berlari-lari menuju ke arah me-

reka.

"Itu dia iblisnya!"

"Cincang...!"

"Gantung...!"

"Tapi, dia kan cantik? Apa tidak lebih baik 

kita jadikan bini?"


"Ngaco! Apa kau mau menjadi santapan ib-

lis?" berkata yang lain, menimpali ucapan lelaki 

yang merasa iba juga.

Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten seketika ter-

belalak melihat orang-orang itu sepertinya penuh 

amarah pada Nyi Sarpa Rukinten. Nyi Sarpa Ru-

kinten hendak berlari pergi, tatkala dengan cepat 

Jaka mencegahnya.

"Jangan pergi!"

"Kenapa? Apakah kau akan membiarkan 

tubuhku dibeset-beset oleh mereka yang tak 

mengerti sebenarnya?" bertanya Nyi Sarpa Rukin-

ten dengan nada cemas dan was-was. Hingga tan-

gannya seperti berontak dalam genggaman Jaka.

"Aku harap kau tak perlu khawatir. Biar 

nanti aku yang akan memberi tahukan pada me-

reka."

Akhirnya Nyi Sarpa Rukinten pun hanya 

menurut diam, membiarkan apa yang bakal terja-

di dengan dirinya. Sementara orang-orang itu se-

makin dekat memandang dengan penuh keben-

cian dan keberingasan.

"Iblis! Kenapa kau tak segera menyerah sa-

ja!" berkata seorang yang terlebih dahulu sampai.

"Ki Sanak, aku harap kau jangan terlalu 

dipengaruhi oleh emosi. Apakah kau yakin bahwa 

gadis yang bersamaku ini yang telah membuat te-

ror?" tanya Jaka mencoba menengahi.

"Cuih! Rupanya kau juga pendekar mata 

keranjang. Sudah tahu kalau dia telah membuat 

keributan dan teror, mengapa pula kau lindungi?"


membentak orang tadi.

Jaka masih berusaha menahan sabar, wa-

lau dirinya telah dicaci maki. Dengan penuh ke-

sabaran yang ada, Jaka pun kembali berkata: "Ki 

Sanak, aku harap kau jangan menuduh semba-

rangan. Aku bukannya hendak melindungi hal 

yang salah, tapi hendaknya kau dapat menahan 

diri."

Bagaikan tak mau mendengar ucapan Ja-

ka, orang itu terus memandang tajam pada Nyi 

Sarpa Rukinten. Matanya yang beringas seper-

tinya hendak menelan bulat-bulat Nyi Sarpa Ru-

kinten.

"Kau, jangan banyak alasan! Aku tahu, ka-

lau kau sebenarnya mencintai gadis itu hingga 

kau yang kesohor sebagai seorang pendekar, se-

benarnya kini rak ubahnya bagaikan kebo yang 

tercongok hidungnya," orang itu berkata bagaikan 

sangat benci pada Jaka. Hingga segalanya seketi-

ka itu ditumpukan pada Jaka.

Geram hati Jaka mendengar ucapan lelaki 

itu. Namun demikian, ia tetap berusaha menahan 

kemarahannya, ia tak menginginkan adanya per-

tumpahan darah akibat kesalahpahaman. Napas-

nya tampak memburu, kesal dan marah beraduk 

menjadi satu.

Manakala Jaka tengah memandang tajam 

pada lelaki di hadapannya. Tiba-tiba dari arah 

depannya muncul beberapa orang tokoh persila-

tan wilayah kulon yang diikuti oleh warga desa.

Tampak perubahan di wajah kelima orang


manakala melihat orang-orang warga desa yang 

dipimpin oleh beberapa tokoh persilatan dari Ku-

lon tiba menuju ke tempatnya.

"Hai! Ke mana saja kau. Jaka?" berseru Ki 

Barwa, demi melihat Jaka tengah berdiri di hada-

pan lima orang asing yang belum ia kenal. "Sia-

pakah kelima orang ini, Jaka? Apakah mereka 

teman-temanmu?"

Terbelalak mata Jaka mendengar perta-

nyaan Ki Barwa. Begitu juga kelima orang yang 

tengah berdiri di hadapannya. 

Tampak wajah kelima orang itu begitu te-

gang. Sesaat memandang pada Jaka, sesaat beri-

kutnya memandang pada Ki Barwa dan tokoh-

tokoh persilatan lainnya.

Dengan penuh curiga dan marah, Jaka se-

gera membentak kelima orang itu. "Siapa kalian!"

Bukannya jawaban yang diperoleh oleh Ja-

ka dari kelima orang itu. Malah sebaliknya kelima 

orang itu dengan segera menyerang secara tiba-

tiba. Beruntung Jaka waspada segera ia berkelit 

menghindari serangan kelima orang musuhnya.

"Siapa kalian? Apakah kalian sengaja 

membuat halangan untuk menghalangiku? Kena-

pa kalian tiba-tiba memusuhiku?" kembali Jaka 

bertanya dengan tak mengerti, ia terus berusaha 

menghindari serangan-serangan yang dilakukan 

kelima musuhnya.

Ki Barwa dan Ki Panganoman yang juga 

tersentak manakala mengetahui kelima orang itu 

menyerang Jaka bermaksud membantu, seketika


dengan segera Jaka mencegahnya.

"Tak usah Ki Sanak berdua repot-repot. 

Aku yakin mereka memang menghendaki nyawa-

ku."

"Tapi orang-orang ini sungguh-sungguh tak 

punya rasa kemanusiaan, Jaka?" berkata Ki Bar-

wa tak puas.

"Memang mereka bukanlah bangsa manu-

sia, Ki Barwa. Lihatlah! Sebentar lagi kalian se-

mua akan mengetahui siapa sebenarnya mereka."

Habis berkata begitu dengan segera Jaka 

melentingkan tubuhnya ke angkasa. Dengan tu-

buh yang masih melenting tinggi Jaka segera ber-

semedi sembari berdiri. Sesaat semuanya terbela-

lak melihat tingkah Jaka yang bagi mereka sung-

guh suatu kemustahilan. Bagaimana mungkin 

orang yang tengah bersalto dapat melakukan me-

ditasi dengan baik seperti yang dilakukan Jaka?

Belum juga hilang rasa heran mereka, tiba-

tiba Jaka telah membuat semua mata terbelalak 

bercampur rasa ngeri. Tatkala tangan Jaka mem-

bentuk sebuah sibakan, seketika kelima orang 

musuhnya menjerit, melengking dengan keras-

nya. Bukan itu saja, tiba-tiba raut wajah kelima 

orang itu berubah menjadi muka-muka buaya.

"Ah...!" memekik Ki Barwa bersama semua 

yang ada di situ.

"Lihatlah! Kalau saja kalian tak teliti, maka 

kalian akan mendapat duri dalam daging. Mereka 

adalah siluman-siluman Buaya Biru Kali Condong 

yang tengah diperintah oleh kambratnya Bah Je


nar untuk menghalangi aku agar aku tak segera 

membantu seterusnya Siluman Penguasa Bumi."

Mendengar ucapan Jaka, maka dengan se-

gera orang-orang yang ada di situ berkelebat 

mengeroyok kelima siluman. Pertempuran masal 

pun segera terjadi dengan serunya. Tampak kegi-

gihan terus berada di pihak warga desa walau te-

lah banyak jatuh korban tetap terus bersemangat. 

Di hati mereka hanya ada satu tujuan, menang 

untuk mencapai kedamaian atau mati tak tahu 

lagi apa yang bakal terjadi meneror desanya

Dengan dikomando oleh Ki Barwa dan Ki 

Panganoman, warga desa terus merangsek den-

gan penuh semangat. Repot juga kelima siluman 

utusan Buaya Biru menghadapi ratusan masa 

yang tampaknya tak pernah mau mengalah.

"Bahaya, Kakang Longgar, kalau kita terus 

menerus menghadapi mereka. Apalagi kita berada 

jauh dari wilayah kita," berkata salah seorang si-

luman pada temannya.

"Benar, adi Ginjling. Kalau kita terus mene-

rus begini, maka tak ayal kitalah yang bakalan 

kalah," menyahuti Longgar.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Terpaksa kita harus menarik diri," menja-

wab Longgar.

"Kabur maksud kakang?" bertanya Gin-

jling, diangguki oleh Longgar.

Warga desa yang tak mengerti bahasa si-

luman itu, tak menyadari bahwa musuh mereka 

bermaksud melarikan diri. Maka manakala kelima


siluman buaya itu berteriak, mereka menyangka 

kelima siluman itu hendak menyerang, dengan 

segera warga desa mundur sesaat untuk bersiap-

siap. Namun rupanya hal itulah yang tengah di-

tunggu-tunggu oleh kelima siluman itu, yang 

dengan segera berkelebat lari meninggalkan tokoh 

persilatan dan warga desa.

"Jangan lari!" membentak warga dan ber-

maksud mengejar mana kala Jaka dengan segera 

mencegahnya.

"Jangan dikejar!" 

"Kenapa, Jaka?"

"Ingat Ki Barwa. Kalau kalian mengejar me-

reka, maka mereka akan menjebak kalian ke wi-

layah mereka. Apakah kalian akan sanggup 

menghadapi ilmu-ilmu siluman mereka?"

Terdiam semuanya mendengar ucapan Ja-

ka, yang dirasa memang benar adanya. Setelah 

sesaat terdiam, terdengar kembali Ki Barwa ber-

tanya. "Lalu, apakah kita akan membiarkan me-

reka kembali menteror desa ini?"

"Tidak, Ki. Aku akan menyusul mereka. Ke-

tahuilah, bahwa kini di dunia siluman tengah ter-

jadi sebuah permusuhan. Permusuhan itu bermu-

la dari perebutan keris Naga Runting. Salah satu 

pihak yang bermusuhan adalah kerajaan siluman 

kelima siluman itu yang ditumpangi oleh Bah Je-

nar. Karena memang kebetulan, aku pun akhir-

nya terlibat pula di situ. Pertama aku hendak 

memburu Bah Jenar yang telah membuat teror di 

desa ini. Kedua aku merasa perlu membantu ke


rajaan Siluman Penguasa Bumi yang memang be-

rada di pihak yang benar. Dialah yang berhak 

atas keris pusaka Naga Runting yang telah dicuri 

oleh Bah Jenar atas perintah Ratu Siluman 

Buaya Biru. Aku datang ke mari untuk memberi 

tahukan pada kalian bahwa Nyi Sarpa Rukinten 

tak bersalah. Dan perlu kalian ketahui, bahwa Nyi 

Sarpa Rukinten kini telah bebas dari pengaruh 

Dewi Tengkorak. Aku titip Nyi Sarpa Rukinten 

pada kalian. Jadikanlah ia sebagai warga kalian 

yang baik."

Bersamaan dengan habis ucapannya. Seke-

tika itu pula Jaka telah lenyap dari hadapan me-

reka yang terbengong-bengong bingung. Seperti 

halnya Nyi Sarpa Rukinten yang terperangah 

hampir jatuh manakala tangannya tiba-tiba lepas 

dari genggaman Jaka.


SEMBILAN



Di tempat kerajaan Siluman Buaya Kali 

Condong, saat itu tampak tengah terjadi persia-

pan pasukan besar-besaran. Mereka tengah 

mempersiapkan perang.

Berdiri paling depan, Bah Jenar memimpin 

pasukan siluman tersebut. Wajahnya yang di-

tumbuhi cambang brewok, makin tampak menye-

ramkan. Ditambah dengan sorot matanya yang 

merah menyala menjadikan Bah Jenar bagaikan 

seorang liar.


"Wahai para ponggawa, apakah kalian telah 

siap dengan pasukannya masing-masing!"

"Kami siap. Maha Raja Bah Jenar!"

"Bagus!"

Dengan diiringi oleh dua orang prajurit pi-

lihan. Bah Jenar berjalan tegap memeriksa selu-

ruh pasukannya.

Di atas pendopo, Sri Ratu memperhatikan-

nya dengan bibir terurai senyum. Di pangkuan-

nya seorang bayi tertidur. Itulah anak keturunan 

Bah Jenar.

"Cipluk, lihat ayahmu. Bukankah ayahmu 

gagah?" berkata Sri Ratu pada bayinya, demi me-

lihat Bah Jenar yang dengan gagahnya bagai seo-

rang komandan pasukan tengah meneliti pasu-

kannya. Memang Bah Jenar saat itu tengah men-

jadi komandan pasukan Siluman Buaya Biru 

yang hendak mengadakan penyerbuan ke Kera-

jaan Siluman Penguasa Bumi.

"Pasukan... siap berjalan!"

Mendengar komando, seketika semua pa-

sukan Siluman Buaya Biru berjalan menuju ke 

Kerajaan Siluman Penguasa Bumi. Langkah me-

reka begitu rapi. Di wajah mereka tergambar ke-

bahagiaan walau mereka hendak menuju ke me-

dan laga.

Bah Jenar segera menghampiri isterinya 

yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, setelah pasu-

kannya berjalan. Digendongnya sang anak lalu 

dicium. Matanya memandang pada Sri Ratu yang 

tersenyum. Lalu dengan penuh nafsu dibimbing


nya Sri Ratu menuju ke dalam.

Sementara itu pasukannya terus berjalan 

dengan langkah pasti. Tangan mereka menggeng-

gam senjata beraneka ragam. Golok, pedang, pa-

nah, dan senjata lainnya.

"Sungguh bodoh Sri Ratu," berbisik seo-

rang prajurit pada temannya yang seketika mem-

belalakkan mata kaget dan bertanya.

"Kenapa...?"

"Bayangkan. Padahal masih banyak kaum 

kita yang gagah, kenapa mesti memilih bangsa 

manusia? Sudah tua renta pula."

"Heh, kenapa kau terlalu memikirkannya?"

"Betapa tidak! Bukankah Bah Jenar seben-

tar lagi loyo? Kasihan Sri Ratu yang tampaknya 

manis hot itu."

Seketika tertawalah temannya demi men-

dengar ucapan itu. Hingga karena saking ken-

cangnya mereka tertawa menjadikan pimpinan 

mereka mendengar dan berseru:

"Hai! Apa yang kalian tertawakan!"

Terdiam keduanya seketika. Ada perasaan 

takut di wajah keduanya.

"Ampun, Tuan Patih, hamba hanya meng-

hibur diri."

"Benar, Tuan Patih," lanjut yang diajak 

ngobrol.

"Sudah!" berkata sang Patih pendek, na-

danya begitu sengit.

Kedua siluman itu diam tanpa berani ber-

kata-kata kembali. Melangkahkan kakinya men


gikuti pasukan yang lain.

* * *

Tersentak seluruh rakyat Siluman Pengua-

sa Bumi, manakala melihat dari kejauhan beribu-

ribu pasukan Siluman Buaya Biru menuju ke ke-

rajaannya. Dengan segera, warga siluman itu ber-

serabutan sembari berteriak-teriak penuh ketaku-

tan.

"Musuh datang...!"

"Siluman-siluman Buaya Biru datang!" 

"Laporkan pada Sri ratu!" memerintah sa-

lah satu siluman.

Dengan segera orang yang diperintah berla-

ri menuju kerajaan. Napasnya ngos-ngosan ketika 

sampai menjadikan Sri Ratu mengerutkan kening 

melihatnya.

"Ada gerangan apa, rakyatku? Nampaknya 

kau ketakutan."

"Ampun, Sri Ratu. Hamba melihat...."

"Melihat apa?"

"Hamba melihat Siluman-siluman Buaya 

Biru...."

"Heh, kenapa dengan Buaya Biru?" menge-

rut alis mata Ratu Siluman Penguasa Bumi men-

dengar ucapan warganya. Matanya seketika me-

nyorot tajam, memandang pada warganya yang 

hanya menunduk. "Katakan, ada apa...?"

"Buaya Biru hendak menyerang."

"Apa...!" tersentak kaget Sri Ratu bersama


patihnya, demi mendengar laporan warganya. Ka-

rena saking kagetnya, semua seketika berdiri dari 

duduknya.

"Apakah kau tak berdusta?"

"Tidak, Sri Ratu. Mana berani hamba ber-

dusta," menjawab warganya dengan masih me-

nunduk, tak berani untuk menentang pandang 

pada Sri Ratunya. Sri Ratu tampak terkesiap. Ma-

tanya sekali-kali memandang pada para patih, la-

lu berganti memandang ke atas di mana terben-

tang langit-langit yang terbuat dari batu pualam 

murni.

"Paman Patih, siapkan semua prajurit!" pe-

rintahnya.

"Daulat, Sri Ratu."

Dengan terlebih dahulu menyembah, sang 

patih segera berlalu meninggalkan bangsal. Ber-

gegas sang patih menuju ke barak prajurit.

"Semua prajurit, kumpul..!"

Bagai semua terganggu tidurnya, semua 

prajurit kerajaan Siluman Penguasa Bumi ber-

bondong-bondong keluar dari barak-barak mere-

ka. Lalu dengan keadaan siap, semuanya ber-

kumpul di alun-alun kerajaan.

"Ada gerangan apa. Paman Patih?" ber-

tanya hulubalang

"Kita hendak diserang."

"Diserang...!" berseru semua prajurit kaget.

"Ya, kita akan diserang musuh."

"Dari mana musuh itu. Paman Patih?" 

tanya hulubalang


"Dari kerajaan Buaya Kali Condong."

Terbelalak semua prajurit mendengar pe-

nuturan patihnya. Mata mereka yang tadinya re-

dup, seketika berubah membara bagai terbakar 

api. Dari mulut mereka terdengar teriakan se-

mangat.

"Ganyang musuh! Ganyang Buaya Biru...!"

"Hancurkan...! Tumpas sampai ke Ratu-

ratunya!"

"Ayo, perintahkan kami segera!"

Tersenyum sang patih gembira, melihat 

prajurit-prajuritnya sangat besar rasa patriotnya 

pada kerajaan. Diangguk-anggukkan kepalanya, 

lalu ucapnya:

"Kalian semua telah siap perang?" 

"Kami siap...!"

"Kami siaga! Ganyang musuh! Ganyang 

pencuri...!"

"Baiklah! Siapkan segala senjata, kita ha-

dang mereka!"

Mendengar ucapan patihnya, serta merta 

seluruh prajurit bersorak gembira. Lalu dengan 

segera, mereka berkelebatan kembali ke barak 

untuk mengambil senjata. Tak berapa lama ke-

mudian, mereka telah kembali berkumpul dengan 

senjata yang ada di tangan masing-masing.

"Pasukan... Maju...!" berseru sang patih 

memberi perintah.

Tanpa harus diperintah untuk kedua ka-

linya, semua prajurit segera berjalan keluar dari 

alun-alun. Langkah mereka seperti mantap, den


gan hati penuh rasa percaya diri. Bagi mereka pe-

rang merupakan jalan terbaik, daripada harus 

mengalah pada Kerajaan Siluman Buaya Biru.

* * *

Kedua pasukan dari dua kerajaan siluman 

terus berjalan menuju ke perbatasan. Bila dilihat 

dari kejauhan, maka tampaklah bagaikan seekor 

ular raksasa yang berjalan. Hal itu disebabkan 

karena saking banyak prajurit yang berjalan me-

manjang.

Di tempat lain. Bah Jenar tampak tengah 

duduk-duduk dengan Sri Ratu Siluman Buaya Bi-

ru. Mereka tampaknya tengah ngobrol membica-

rakan rencana mereka menyerbu Kerajaan Pen-

guasa Bumi.

"Apakah Kakang Jenar telah yakin kalau 

kita akan menang?"

"Aku yakin, sebab keris Naga Runting kini 

ada padaku. Bukankah mereka tanpa keris terse-

but tak berarti apa-apa?"

"Memang benar apa yang Kangmas kata-

kan. Tapi..." Sri Ratu tak meneruskan kata-

katanya. Hal itu menjadikan Bah Jenar menge-

rutkan alis matanya, dan bertanya dengan nada 

kaget.

"Tapi apa. Istriku?"

"Aku merasa kuatir, Kangmas."

"Kuatir? Kuwatir apa?"

"Firasatku mengatakan bahwa Kerajaan 

Penguasa Bumi akan dapat mengalahkan kita."


Terbelalak mata Bah Jenar mendengar pe-

nuturan Sri Ratu. Matanya seketika memandang 

tajam, seperti hendak menggali apa yang sebe-

narnya berada di dalam hati Sri Ratu. Lalu den-

gan terlebih dahulu mendesah. Bah Jenar berkata 

lemah:

"Ah, sudahlah. Jangan terlalu kau pikir-

kan. Yang pasti, aku harus mampu menunduk-

kan Kerajaan Penguasa Bumi. Bukan begitu, Iste-

riku?"

Tersenyum Sri Ratu mendengar ucapan 

Bah Jenar. Hatinya terhibur oleh kata-kata Bah 

Jenar yang dirasakannya bagai angin sejuk, yang 

menyeka segala gundah di hati. Dengan bibir di-

cobanya tersenyum, Sri Ratu kembali berkata:

"Itu yang kuharapkan, Kakang?"

"Harapanmu akan menjadi nyata, Istriku!" 

berkata Bah Jenar pasti, menjadikan Sri Ratu 

makin melebarkan senyum. Lalu dengan manja 

dipeluknya Bah Jenar Kembali keduanya hendak 

memadu kasih manakala terdengar anaknya me-

nangis.

"Uuuu... Uuuu...!"

Tangisan bayi itu, bukanlah tangisan bayi 

manusia. Tangisan Bayi itu merupakan tangisan 

bayi buaya. Bah Jenar segera mengurungkan 

niatnya. Dihampiri anaknya, lalu digendong. Se-

mentara isterinya tampak tersenyum, seraya ber-

gayut di pundaknya

Diserahkannya si kecil pada sang isteri se-

telah terdiam. Bah Jenar segera berlalu ke tempat


senjata. Diambilnya sebilah tombak yang berna-

ma Kyai Wulung dan sebilah keris yang meman-

carkan sinar merah membara. Itulah keris Naga 

Runting.

Dipandangi keris Naga Runting dengan ter-

senyum. Diselipkan keris itu pada belakang tu-

buhnya. Lalu dengan langkah mantap. Bah Jenar 

bergegas menemui isterinya.

"Aku berangkat, Isteriku. Do'amu akan 

menyertaiku"

"Berangkatlah, Kakang."

Dengan diiringi tatapan mata sang isteri 

yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, Bah Jenar 

segera memacu kudanya pergi menuju ke medan 

laga. Tak dirasa oleh Sri Ratu, air matanya me-

netes di kedua pipinya.

"Ah! Kau akan kehilangan ayah. Anakku." 

berkata Sri Ratu pada anaknya yang berada da-

lam gendongan., Ia sadar, bahwa wangsit yang 

semalam ia terima akan benar terjadi pada sua-

minya.

"Oh...! Rupanya Yang Widi tak berkenan 

dan menurunkan seorang penolong untuk kera-

jaan Penguasa Bumi. Pemuda itu... pemuda itu 

bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Si-

uman Darah," bergumam Sri Ratu, kembali men-

gingat wangsit yang telah ia terima semalam.

Kembali dipandangnya Bah Jenar yang te-

rus memacu kudanya, hingga hilang dari pandan-

gan.

Sri Ratu tersadar dari lamunannya mana


kala anaknya menangis karena tertetes air ma-

tanya. Dengan penuh kasih, diajaknya bayi itu 

masuk menuju ke ruangan khusus.

Bayi kecil itu diteletangkan di atas baskom. 

Dari mulut Sri Ratu terdengar desisan-desisan 

panjang. Sepertinya Sri Ratu tengah merapalkan 

sebuah mantra.

Bersamaan dengan itu, asap dupa tampak 

mengepul. Asap dupa makin besar dan besar ma-

nakala Sri Ratu makin mengeraskan desisannya. 

Tampak sebuah bayangan. Bayangan itu perla-

han-lahan makin nyata. Tampaklah kini seorang 

nenek-nenek tua yang tersenyum ke arah Sri Ra-

tu.

"Ada apa. Cucuku. Hingga kau memanggil 

diriku?"

"Nek! Aku minta tolong padamu."

"Hem... Tentang apa?"

"Bisakah nenek mencegah pendekar muda 

yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pe-

dang Siluman agar ia tak dapat datang?"

Mengerut kening si nenek tua demi men-

dengar permintaan Sri Ratu. Matanya sesaat me-

nyipit, hingga kerutan-kerutan di wajahnya makin 

jelas menambah keseraman wajah tuanya.

"Hanya itu yang kau minta?" 

"Ia. Nek."

"Baiklah, akan aku coba"

"Terimakasih, Nek."

Setelah menyanggupi apa yang menjadi 

permintaan Sri Ratu Siluman Buaya Biru. si ne


nek seketika lenyap dari pandangan. Bersamaan 

dengan hilangnya si nenek, terdengar suaranya 

bergema.

"Akan aku coba menghadangnya. Hi, hi, 

hi..." Habis memanggil si nenek, Sri Ratu segera 

menghampiri anaknya kembali. Diambilnya sang 

anak lalu dengan perlahan diangkat bayi itu di

atas pedupaan.

"Cipluk Sendang. Kalau kelak kau besar, 

carilah olehmu seorang pendekar yang bernama 

Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Da-

rah."

Suara Sri Ratu menggema mengisi ruangan 

itu. Bersama habisnya ucapan Sri Ratu, asap du-

pa makin membesar. Sementara Cipluk yang ter-

panggang bukannya menangis, malah anak orok 

itu tertawa-tawa sepertinya mengerti apa yang di-

katakan ibunya.

Bila pembaca ingin mengetahui apa yang 

akan dilakukan Cipluk Sendang Setelah besar. 

Saya persilahkan. Silahkan ikuti terus kisah Pen-

dekar Pedang Siluman Darah dalam judul "Balas 

Dendam Anak Bah Jenar."

* * *

Jaka Ndableg yang tengah berlari menuju 

ke hutan di mana tempat bermarkasnya Siluman 

Penguasa Bumi, seketika menghentikan langkah-

nya manakala tampak sebuah pusaran angin 

menghadang.

"Hai, apa lagi yang mereka maui?" bertanya


Jaka dalam hati demi melihat pusaran angin yang 

menghadang langkahnya. Jaka telah tahu siapa 

pelaku itu, maka dengan lantang ia berseru:

"Kampret busuk! Nenek centil, untuk apa 

kau main gasing begitu? Apa kau tak malu den-

gan anak-anak kecil?"

Terbelalak nenek siluman Buaya Biru demi 

mendengar Jaka telah mengetahui siapa dirinya. 

Maka mau tak mau, si nenek segera menghenti-

kan ajiannya. Melihat si nenek telah menghenti-

kan ajiannya kembali Jaka Ndableg yang memang 

Ndableg berseru:

"Duh si nenek! Apa kau tidak takut jatuh? 

Sepantasnya dalam usiamu yang telah tua renta 

melata-lata itu, kau tinggal menunggu sang ma-

laikat saja. Eeh... malah main gasing. Apa kau tak 

sadar keadaan dirimu, Nek?"

"Anak sundel! Lancang kau berbicara, sia-

pa kau sebenarnya?"

"Eh, Nek. Bukankah kau tadi mengatakan 

aku anak sundel. Kenapa kau tanyakan lagi siapa 

diriku? Wah, dasar nenek sudah pikun...."

Menggeretak marah si nenek mendengar 

ucapan Jaka yang konyol. Maka ketika Jaka 

Ndableg dengan acuh hendak berlalu, si nenek 

segera berkelebat menghadangnya.

Melihat si nenek tiba-tiba telah mengha-

dang langkahnya, dengan pura-pura kaget Jaka 

berseru:

"Wah! Rupanya si nenek jago juga main 

lompat tali. Genit amat kau, Nek?"


"Edan! Dasar anak edan, Nek?"

"Heh, siapa yang edan, Nek? Kau edan, 

Nek? Wah! Kau harus dipasung kalau begitu. 

Memang pantas kalau kau dipasung. Pertama, 

kau jadi tak genit lagi seperti anak balita atau Ba-

tas Liang Tanah alias harus dimusiumkan."

"Diam!" membentak si nenek marah.

Namun Jaka yang dasarnya Ndableg tidak 

mau memperdulikan bentakan si nenek yang dis-

ertai pelotan mata. Bahkan dengan cengar-cengir 

bagaikan anak hilang, Jaka kembali berseru:

"La dalah. Galak amat, Nek. Apa itu mulut 

enggak rombeng nantinya bila dipakai untuk 

membentak-bentak terus?"

Tak dapat lagi si nenek menahan marah, 

demi mendengar olok-olok Jaka yang telah kele-

watan. Dengan didahului pekikkan, si nenek se-

gera menyerang Jaka.

Diserang begitu rupa, bukannya Jaka gen-

tar. Bahkan dengan lagak seperti tak tahu saja, 

Jaka berkelit. Dari mulutnya yang memang suka 

usilan kembali berseru!

"Tobat, Nek...! Jangan jitak saya...!"

Habis berteriak seperti itu, Jaka segera me-

lentingkan tubuhnya ke udara. Lalu pada cepat, 

Jaka balikkan tubuh bersalto dan tahu-tahu telah 

bergerak di belakang si nenek. Sebelum si nenek 

tersadar, Jaka dengan jahil menjambak rambut-

nya. Diangkatnya tubuh si nenek ke atas, lalu 

dengan cepat diikatkan rambut si nenek dengan 

cabang pohon kelor hingga si nenek seketika me


mekik kesakitan. Tubuhnya bergerak-gerak beru-

saha melepaskan ikatan itu, namun ikatan Jaka 

ternyata sangat kencang.

Setelah mengikatkan rambut si nenek pada 

cabang pohon kelor, Jaka segera melompat turun. 

Diambil selembar daun talas yang banyak ulet-

nya, lalu dengan segera dibawanya ke atas. Melo-

tot mata si nenek siluman Buaya Biru, melihat 

apa yang dipegang Jaka. Takut dan geli beraduk 

menjadi satu, hingga si nenek nampak gemeta-

ran.

Jaka yang suka usilan terus makin mende-

katkan ulat-ulat kecil itu ke wajah si nenek yang 

makin ketakutan, sampai-sampai si nenek silu-

man itu terkencing-kencing.

"Wah... kenapa ngompol, Nek?" berkata Ja-

ka. "Nah, karena ompolmu baunya bukan main 

aku jadi enggan untuk menemanimu main-main. 

Aku mau pergi, ah... selamat tinggal. Nenek. Ken-

cinglah di situ sesuka hatimu. Ha, ha, ha...!"

"Lepaskan aku. Anak muda," meminta si 

nenek ketika Jaka hendak berlalu pergi.

"Ah, ogah. Bau ompol!" menjawab Jaka 

seenaknya dan kembali berlalu meninggalkan si 

nenek yang masih terkatung-katung dengan ram-

but terikat di cabang pohon Kelor. Dengan men-

gambil pala

yang diberikan deh Sri Ratu Penguasa Bumi, Jaka 

segera menyibak alam siluman.

* * *


Bergegas Jaka menuju ke Kerajaan Silu-

man Penguasa Bumi untuk menemui Sri Ratu. 

Maka dengan menggunakan ajian Angin Puyuh, 

Jaka berlari dengan cepatnya. Tak begitu lama ia 

berlari, akhirnya Jaka sampai di Kerajaan Silu-

man Penguasa Bumi.

Mengerut alis mata Jaka manakala melihat 

Kerajaan tampak sepi. Dicobanya mencari barang 

seujud Siluman, namun tak ditemukannya. Tan-

pa membuang-buang Waktu, Jaka dengan segera 

masuk ke dalam istana.

"Sampurasun...!"

Sepi, tak ada jawaban.

"Sampurasun...! Adakah Sri Ratu di da-

lam?" kembali Jaka berseru.

"Rampes...! Kaukah, Jaka?" terdengar sua-

ra Sri Ratu menjawab.

"Ya, aku Jaka."

Tak berapa lama kemudian. Sri Ratu Silu-

man Penguasa Bumi keluar. Wajahnya yang pu-

cat, seketika berseri-seri demi melihat Jaka. Bi-

birnya yang mungil, seketika terurai senyum.

"Kenapa sepi. Sri Ratu? Ke mana semua-

nya?"

Ditanya begitu rupa oleh Jaka, Sri Ratu tak 

segera menjawab. Mukanya yang tadi berseri, kini 

tampak sayu. Dengan terlebih dahulu mendesah, 

Sri Ratu akhirnya berkata:

"Kerajaan Siluman Buaya Biru telah me-

nyerang. Kini semua prajurit tengah menghadang


di perbatasan."

"Ah, kalau begitu aku terlambat datang!"

"Belum, Jaka. Kau belum terlambat, sebab 

para prajurit kini masih bertempur..." berkata Sri 

Ratu demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya 

seperti menyesal. Ditatapnya lekat-lekat mata Ja-

ka, yang saat itu juga memandang ke arahnya.

"Kalau begitu aku harus segera ke sana."

Jaka hendak segera berlalu, ketika Sri Ra-

tu memanggilnya.

"Jaka..."

Jaka segera menghentikan langkahnya 

kembali memandang pada Sri Ratu yang terse-

nyum menghampirinya. Tanpa diduga oleh Jaka 

sebelumnya, Sri Ratu tiba-tiba memeluknya. Ter-

gagap Jaka seketika, namun ia tak dapat berbuat 

apa-apa kecuali diam. Dan ketika Sri Ratu men-

dekatkan bibirnya, Jaka hanya mampu meneri-

manya. Keduanya segera terdiam bisu, dengan 

bibir mereka saling beradu. Ketika Sri Ratu hen-

dak mengajaknya makin jauh, Jaka segera berka-

ta:

"Sri Ratu, bukannya aku menolak. Tapi 

bukan saatnya kita bermesra-mesraan, sedang 

para prajurit tengah menghadapi perang. Aku 

hendak ke sana untuk membantu."

"Aku ikut, Jaka." 

"Ikut...?" bertanya Jaka seperti pada diri 

sendiri, kaget mendengar permintaan Sri Ratu. 

Ditatapnya kembali wajah Sri Ratu, yang terse-

nyum sembari menganggukkan kepala. Seper


tinya memberi keyakinan. Akhirnya Jaka hanya 

dapat mendesah sembari berkata:

"Baiklah..."

Dengan segera Jaka mengambil seekor ku-

da. Keduanya segera memacu kuda dengan cepat, 

menuju ke daerah perbatasan di mana kedua pa-

sukan perang dua kerajaan siluman tengah saling 

bertempur.

Pertempuran telah terjadi. Korban di anta-

ra kedua belah pihak telah banyak berjatuhan. 

Pekik kematian menggema, bersamaan dengan 

robohnya para prajurit yang meregang nyawa.

Seperti para prajuritnya yang tengah ber-

tempur, kedua pimpinannya pun tak mau tinggal 

diam. Bah Jenar selaku pimpinan Kerajaan Buaya 

Biru, tengah berhadapan dengan Patih Sanca Siti 

Abang.

"Pencuri busuk! Kau harus mempertang-

gungjawabkan perbuatanmu. Kau harus mati. 

Manusia durjana!" membentak Patih Sanca.

"Hua, ha. ha... Putih dungu! Jangan harap 

kau mampu mengalahkan aku. Walau kau silu-

man, namun dengan keris Naga Runting di tan-

ganku kau tak akan mampu menghadapiku. Me-

nyerahlah!"

"Manusia laknat. Jangan harap aku mau 

menyerah padamu. Ayo, kita buktikan siapa di 

antara kita yang paling unggul!"

Secepat kilat, Patih Sanca berkelebat me-

nyerang Bah Jenar. Diserang begitu cepatnya, 

Bah Jenar tidak mau tinggal diam. Bah Jenar segera mengelak dan balik menyerang. Pertarungan 

kedua pimpinan itu kembali berlangsung. Masing-

masing dengan ilmu yang mereka miliki berusaha 

menggempur lawan.

Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. 

Dari jurus-jurus silat biasa, kini mereka mengin-

jak ke jurus-jurus siluman. Segala ajian yang me-

reka miliki telah mereka keluarkan. Banyak su-

dah korban berjatuhan terkena ajian mereka.

Jaka dan Sri Ratu Siluman Penguasa Bumi 

terus memacu kudanya dengan cepat, sepertinya 

mereka ingin segera sampai di tempat yang ditu-

ju, berkali-kali keduanya menggebrak kais, mem-

buat kuda-kuda yang ditumpangi seketika me-

ringkik dan mempercepat larinya.

"Sebentar lagi kita sampai, Jaka."

"Hem... Itu bagus. Ayo, kita percepat. Hia, 

hia, hia...!"

Kembali keduanya menghentakkan kais 

kuda yang membuat kuda meringkik dan kembali 

lari makin kencang. Hingga tak begitu lama ke-

mudian, keduanya pun sampai ke tempat tujuan.

Perang masih begitu ramai. Pekik-pekik 

kematian terus bersahut-sahutan silih berganti. 

Darah telah banjir membasahi lapangan tempat 

pertempuran. Namun sejauh itu, kedua pasukan 

kerajaan siluman seperti tak ada yang bakal ka-

lah.

Bah Jenar yang kini berada di atas angin, 

terus mendesak Patih Sanca dengan keris Naga 

Runting. Tusukkan-tusukkannya, selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan. Karena 

terpepet terus, makin lama keseimbangan Patih 

Sanca makin berkurang. Hingga seketika keris 

Naga Runting hampir saja mengakhiri hidupnya. 

Keris Naga Runting berkelebat dengan cepat, me-

nusuk ke arah lambung Patih Sanca.

Hampir saja keris di tangan Bah Jenar 

mengoyakkan perut Sanca manakala sebuah 

bayangan berkelebat dengan cepat menghantam-

kan ilmu pukulannya ke arah keris tersebut.

Bergetar Bah Jenar menarik serangannya. 

Dirasakan olehnya hawa pukulan yang dilontar-

kan seseorang telah mampu membuat tangannya 

kesemutan. Belum hilang rasa kaget Bah Jenar, 

terdengar suara seorang anak muda berkata me-

nyapa.

"Selamat berjumpa. Bah Jenar? Kenapa 

kau lari dari tanggung jawabmu?"

"Kau...!" Terbelalak mata Bah Jenar, mena-

tap tajam pada pemuda yang berdiri di hadapan-

nya. "Siapa, kau...!"

"Aku Jaka Ndableg, yang biasa disebut to-

koh persilatan dengan sebutan Pendekar Pedang 

Siluman Darah." 

"Jadi, kau...."

Pucat pasai wajah Bah Jenar setelah tahu 

siapa adanya pemuda di hadapannya yang masih 

tersenyum. Namun setelah ingat bahwa keris Na-

ga Runting di tangan, Bah Jenar tumbuh kebera-

niannya. Maka dengan didahului dengan hentak-

kan. Bah Jenar segera menyerang Jaka Ndableg.


"Wao! Rupanya kau tua-tua keladi, makin 

tua makin jadi. Sayang kurang gesit. Bah! Apa 

karena kau terlalu diperas tenaganya untuk me-

ladeni Ratumu. Bah?"

Marahlah Bah Jenar bukan alang kepelang 

diledek begitu rupa oleh Jaka Ndableg.

"Setan kecil! Rupanya kau mencari mam-

pus!" 

"Hai! Apakah kau tak salah ngomong. 

Bah...? Bukankah kau sendiri yang suka main se-

tan-setanan dengan Ratu Siluman Buaya Biru? 

Kapan kau menjadi iblis. Bah...?"

"Anak gila! Terimalah kematianmu. 

Haatt...!" Bah Jenar yang sudah begitu marah, 

tak dapat mengontrol serangannya. Namun den-

gan keris Naga Runting di tangannya. Bah Jenar 

bagaikan tak pernah capai. Dicercanya Jaka yang 

terus menghindar.

"Bahaya! Ternyata keris di tangannya yang 

sangat berbahaya. Hem, keris itu mampu menye-

dot tenagaku." menggumam Jaka dalam hati.

"Rupanya kau takut juga, Anak muda. 

Nah, bersiaplah untuk mati."

"Jangan bangga dulu seperti anak kecil da-

pat permen, Bah... lihat ini...!"

Jaka dengan segera melancarkan ajiannya. 

"Aji Getih Sakti. Hiaat...!"

Tubuh Bah Jenar yang tak sempat menge-

lak, seketika terhantam ajian tersebut. Namun 

betapa terbelalaknya mata Jaka manakala dili-

hatnya Bah Jenar tak mempan dihantam ajian


Getih Sakti. Bahkan dengan congkaknya. Bah Je-

nar yang merasa di atas angin berseru:

"Keluarkan semua yang kau miliki. Anak 

muda. Aku dengan keris Naga Runting, tak akan 

dapat kau kalahkan."

"Jangan sombong. Bah. Lihat ini....!"

Kembali Jaka Ndableg melancarkan Ajian-

nya Bledeg Sewu. Namun seperti yang pertama, 

Bledeg Sewu tak berarti apa-apa. Dihantamnya 

lagi Bah Jenar dengan Ajian Tapak Prahara. 

Kembali tak apa-apa.

"Hem, rupanya keris itulah penyebabnya. 

Baik, akan aku coba dengan menggunakan senja-

ta juga," bergumam Jaka dalam hati. Lalu dengan 

segera, Jaka merapalkan ucapan memanggil Ratu 

Siluman Darah.

"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah."

Tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam 

sebatang pedang yang mengeluarkan warna kun-

ing kemerah-merahan. Dari ujung pedang, me-

netes darah merah membasahi batangnya.

Terbelalak Bah Jenar melihat hal itu. Ma-

tanya melotot tajam memandang pada pedang 

yang tergenggam di tangan Jaka Ndableg. Tak sa-

dar, mulutnya mendesis.

"Pendekar Pedang Siluman Darah!"

"Bersiaplah, Bah Jenar...!"

"Hem, jangan kau anggap akan mampu 

mengalahkanku. Walaupun kau menggunakan 

Pedang Siluman Darah. Hiat...!" Bah Jenar segera 

berkelebat menyerang dengan keris Naga Runting


yang mengiblat ke arah Jaka.

Melihat Bah Jenar telah berkelebat menye-

rang. Segera Jaka pun memapakinya. Pedang Si-

luman Darah segera diluruskan mengiblat ke 

muka.

"Hiaaaaaatttttt!"

Trang!

"Aaaaaaaahhhhhhh...!" memekik Bah Jenar 

manakala Pedang Siluman Darah membabat tan-

gannya hingga puntung. Keris Naga Runting men-

celat dengan tangan yang putus. Belum juga Bah 

Jenar terdiam dari pekikkan, tiba-tiba Pedang Si-

luman Darah di tangan Jaka kembali berkelebat 

dan membelah tubuh Bah Jenar menjadi dua.

"Aaaaaaaa... aaaaaaaa!" kembali Bah Jenar 

memekik, kali ini untuk terakhir. Tubuhnya telah 

terbelah menjadi dua. Namun sungguh aneh, tu-

buh yang terbelah itu tak ada setetes darahpun 

yang mengalir.

Bersorak-sorai para prajurit Siluman Pen-

guasa Bumi menyambut kemenangan itu. Sri Ra-

tu tersenyum melebar, lalu dengan segera meng-

hampiri Jaka. Tanpa malu-malu, diciumnya Jaka 

di hadapan para prajuritnya.

Di tempat lain. Ratu Siluman Buaya Biru 

seketika meneteskan air mata. la telah tahu, 

bahwa suaminya telah binasa di tangan Pendekar 

Pedang Siluman Darah.

Karena dendamnya pada Pendekar Pedang 

Siluman Darah begitu menggelegar di dadanya. 

Sampai-sampai, Sri Ratu bersumpah.


"Aku bersumpah. Anakku kelak akan me-

nuntut balas!"

Bersamaan dengan habisnya ucapan Sri 

Ratu Siluman Buaya Biru, petir seketika mengge-

legar-gelegar sepertinya merestui dan menyaksi-

kan sumpah tersebut. Nah, untuk dapat menge-

tahui bagaimana akibat sumpah Ratu Siluman

Buaya Biru, silahkan ikuti lanjutan Pendekar Siluman Darah selanjutnya.



                              TAMAT






Share:

0 comments:

Posting Komentar