Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka
IBLIS LENGAN TUNGGAL
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
tapi kita cuman merubah bentuknya aja , tidak memproduksi :p
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Iblis Lengan Tunggal
SATU
"Traaaz....! Glegaaaaaaar!" Suara petir memecah-
kan kelamnya langit dengan lidah-lidah sinar yang
amat menyilaukan. Bersamaan dengan itu derasnya air
hujan menyiram permukaan bumi. Membuat seluruh
jalan itu becek dan tergenang air.
Seorang mengenakan tudung lebar berlari mene-
robos derasnya hujan. Bajunya sudah nampak basah
kuyup, tubuhnya juga kelihatan menggigil. Langkah-
nya cepat menyeruak tanah becek.
Suasana malam itu demikian dingin dan menye-
ramkan. Apalagi di sisi jalan nampak jelas puluhan pa-
tok kuburan yang telah usang. Pemandangan seperti
itu sama sekali tidak membuat takut orang yang berla-
ri melintasi daerah itu.
Di luar dugaan, orang itu membelok ke arah ta-
nah pemakaman. Tidak jarang kakinya yang melang-
kah cepat menerjang tanpa sengaja patok usang sam-
pai patah.. Orang itu tetap lari tak perduli. Sampai ki-
ra-kira ia melangkah sepanjang tiga puluh tombak ia
berhenti. Pandangannya menerobos derasnya hujan.
Tertuju pada sebuah kuburan batu. Ia dapat melihat
lapat-lapat nyala api. Kuburan batu itu mirip sebuah
tempat peristirahatan, sayang sudah tak terurus.
Dengan penuh keyakinan, ia melangkah menuju
ke situ. Semakin dekat ia mendengar suara halus letu-
pan api unggun.
"Seta Wungu....! Seta Wungu…! Aku datang....!"
Suaranya lantang bercampur dengan gemuruh deras-
nya hujan. Orang yang telah basah kuyup berjalan
mendekati kuburan tua. Ia dapat melihat jelas seseo-
rang duduk tenang menghadapi api unggun. Tempat
itu cukup lumayan, dapat terlindung dari derasnya hu-
jan.
Air hujan menetes dari baju yang telah basah
kuyup, orang itu berdiri di belakang seseorang yang
tengah menghadapi api unggun.... Lalu membuka tu-
dung lebarnya. Wajahnya nampak pucat karena hawa
dingin.
"Maafkan.... Aku datang terlambat… Cuacanya
kurang memungkinkan, Seta Wungu...." katanya lagi.
Orang yang diajak bicara diam. Ia nampak tengah me-
nikmati hangatnya api unggun.... "Glegaaaar!" Sekali
lagi suara geledek memekakkan telinga. Tubuh kuyup
itu menoleh keluar. Dilihatnya hujan semakin deras....
Suasana nampak gelap menakutkan....
"Siapa yang kau inginkan, Somarengga? Katakan
sekarang...." Tiba-tiba saja orang itu mengeluarkan su-
ara. Pandangannya masih tertunduk menatap lidah-
lidah api, Tubuh kuyup itu tidak berani mendekat
maupun duduk di sebelahnya, ia hanya berdiri di be-
lakang. Lalu dengan gemetar ia berani bicara....ke situ. Semakin dekat ia mendengar suara halus letu-
pan api unggun.
"Seta Wungu....! Seta Wungu…! Aku datang....!"
Suaranya lantang bercampur dengan gemuruh deras-
nya hujan. Orang yang telah basah kuyup berjalan
mendekati kuburan tua. Ia dapat melihat jelas seseo-
rang duduk tenang menghadapi api unggun. Tempat
itu cukup lumayan, dapat terlindung dari derasnya hu-
jan.
Air hujan menetes dari baju yang telah basah
kuyup, orang itu berdiri di belakang seseorang yang
tengah menghadapi api unggun.... Lalu membuka tu-
dung lebarnya. Wajahnya nampak pucat karena hawa
dingin.
"Maafkan.... Aku datang terlambat… Cuacanya
kurang memungkinkan, Seta Wungu...." katanya lagi.
Orang yang diajak bicara diam. Ia nampak tengah me-
nikmati hangatnya api unggun.... "Glegaaaar!" Sekali
lagi suara geledek memekakkan telinga. Tubuh kuyup
itu menoleh keluar. Dilihatnya hujan semakin deras....
Suasana nampak gelap menakutkan....
"Siapa yang kau inginkan, Somarengga? Katakan
sekarang...." Tiba-tiba saja orang itu mengeluarkan su-
ara. Pandangannya masih tertunduk menatap lidah-
lidah api, Tubuh kuyup itu tidak berani mendekat
maupun duduk di sebelahnya, ia hanya berdiri di be-
lakang. Lalu dengan gemetar ia berani bicara....
"Sadewo.... Sadewo Mangli… Orang itu yang
kuinginkan!"
"Sadewo Mangli....? Kenapa semua orang-orang
yang kau inginkan rata-rata dari pembesar kera-
jaan....?" Orang yang disebut Seta Wungu menoleh ke
belakang. Lalu ia berdiri di tempat. Nampak wajahnya
yang angker. Begitu juga sebilah pedang tersampir di
punggungnya. Sebelah lengannya kutung. Terlihat je-
las lengan bajunya melambai-lambai tertiup angin.
Lengan kirinya kekar dilapisi dengan lengan baju sam-
pai sebatas pergelangan tangannya.
Tubuh kuyub itu tidak berani menatap. Dari ba-
lik bajunya yang basah ia mengeluarkan sebuah kan-
tong sebesar kepala bayi. Dari situ terdengar suara
gemerincingnya uang logam. Sudah pasti kantong itu
berisi penuh dengan uang.
"Sebelumnya terimalah tanda jasa ini Seta Wun-
gu...."
"Untuk Sadewo Mangli, aku minta bayaran dua
kali lipat...." kata Seta Wungu. Somarengga yang
kuyup kedinginan menatap dalam.
"Atau kita batalkan saja transaksi ini...!" Seta
Wungu bicara lagi. Somarengga makin diam kedua ke-
lopak matanya berkedip.
"Ba-ba-baiklah.... Setelah urusan ini beres, akan
ku tambahkan lagi...." janji Somarengga "Tapi ingat....
Harus berhasil, Seta Wungu….!" kata Somarengga lagi.
"Asal kau tepati janjimu.... Kau tak usah khawa-
tir...." jawab Seta Wungu mantap.
"Traaaaz!" Guratan kilat dengan lidah-lidahnya
yang runcing merobek langit. Tempat itu terang dalam
sekejap. Hujan masih deras. Percikan air hampir
membasahi pinggiran lantai kuburan, batu. Tubuh
tanpa lengan itu berdiri menatap derasnya hujan.
"Di mana bisa kutemui Sadewo Mangli....?" Suara
Seta Wungu terdengar datar.
"Besok malam bisa kau temui pada pesta malam
di Joglo Alun...." jawab Somarengga sambil mengena-
kan kembali tudung lebarnya. Seta Wungu kembali
duduk menghadapi api unggun, Sebelah lengannya
membetulkan letak kayu bakar yang hampir mati.
"Sekarang aku permisi.... Kutunggu hasilnya lu-
sa.... Selamat tinggal...," Setelah mengenakan tudung
lebarnya, Somarengga langsung beranjak dari tempat
itu. Keduanya sama-sama acuh tak perduli.
Dengan berlari kecil, Somarengga menerobos de-
rasnya air hujan melintasi tanah pekuburan. Beberapa
kayu nisan ambruk lagi tertendang tanpa sengaja oleh
langkah-langkah itu.
Seta Wungu masih menekuri api unggun. Dalam
pikirannya melintas seraut wajah lelaki setengah tua.
Ia mengingat-ingat raut wajah itu.... Selintas pula se-
nyumnya pahit. Lengan kanan bajunya melambai-
lambai tertiup angin.
* * *
Joglo Alun sebenarnya tidak lebih dari sebuah
lapangan luas. Tapi pada pesta malam seperti itu,
orang-orang kampung itu menyulapnya menjadi se-
buah tempat yang amat menyenangkan. Tenda-tenda
didirikan di sana-sini. Segala macam hiburan ada pada
tiap-tiap tenda. Para pedagangpun tidak sedikit yang
ikut menyemarakkan tempat itu. Tiap setahun sekali
tempat itu memang selalu ramai. Dan malam ini betul-
betul nampak lebih meriah dibanding tahun-tahun
yang lalu.
Orang-orang dari desa manapun pasti berdatan-
gan ke Joglo Alun. Pesta malam yang diadakan setiap
setahun sekali memang merupakan tradisi untuk
mencari kesenangan atau menghibur diri seusai panen
padi. Tidak heran kalau penduduk desa lain bermata
hijau melihat lenggak-lenggok para gadis Joglo Alun
yang berseliweran di situ....
Musik-musik gending Jawa maupun sejenisnya
bercampur aduk terdengar. Tapi bagi orang-orang yang
berada dalam tenda, musik yang mereka hadapi ter-
dengar jelas. Dan hampir tiap-tiap tenda penuh dengan
para pendatang yang keluar masuk. Dari kaum lelaki,
perempuan sampai anak-anak....
Hanya sebuah tenda di bagian paling sudut nam-
pak sepi. Tapi di dalamnya ada beberapa orang duduk
menghadapi hidangan. Mereka adalah orang-orang ke-
rajaan yang bertugas di situ sebagai penjaga keama-
nan. Badewo Mangli sebentar-sebentar ke luar dari
tenda itu. Sepertinya ada sesuatu yang ditunggunya.
Beberapa penjaga yang berdiri di luar tenda sampai
terheran-heran.
Seorang gadis memeluk kecapi (alat musik) berja-
lan menerobos dari kerumunan orang-orang yang ber-
lalu lalang. Jemarinya yang lentik sengaja menyentil-
nyentil tali senar. Maka terdengar alunan musik den-
tingan senar kecapi. Pandangannya memutar menga-
wasi keramaian itu. Hingga akhirnya tertuju pada se-
buah tenda di sudut lapangan. Senyumnya tersungg-
ing, iapun menuju ke situ.
Mendengar alunan denting kecapi, Sadewo Man-
gli langsung berjingkat bangun dari tempat duduknya.
Begitu ia ke luar tenda, matanya langsung tertuju pada
seorang gadis pemetik kecapi yang telah berdiri di ha-
dapannya.
"Arum Kemuning....! Ah, aku kira kau tidak da-
tang.... Mari masuk semua sudah menunggumu.... Ma-
ri....!" Sadewo Mangli menyambut ramah.
"Mana bisa begitu, Tuan... Pekerjaan saya me-
mang menjual suara... Kalau saya tidak datang, berarti
sama saja menolak rejeki....." Suara gadis itu lembut,
ia melangkah memasuki tenda. Di dalamnya telah me-
nunggu empat orang pembesar istana duduk berderet
membentuk setengah lingkaran.
"Nah, sobat-sobat.... Inilah Arum Kemuning yang
kumaksudkan.... Dia sengaja ku undang ke mari un-
tuk menghibur kita." kata Sadewo Mangli setelah me-
masuki tenda. Arum Kemuning senyum-senyum sam-
bil menundukkan wajah berkali-kali ke arah tamu-
tamu itu.
"Orang-orang menyebutnya Putri Kecapi.... Sua-
ranya pun sudah banyak didengar orang. Termasuk
aku pengagumnya... Kalian boleh dengar nanti..." kata
Sadewo Mangli sambil memberikan tempat duduk ke-
pada Arum Kemuning si Putri Kecapi. Tempat itu su-
dah disediakan sebelumnya Sebuah bantalan empuk
berlapis Sutra berwarna kuning emas. Terletak di ten-
gah-tengah ruangan tenda.
Para pembesar itu begitu kagum setelah melihat
penampilan Putri Kecapi yang anggun menawan. Me-
reka tidak henti-hentinya memandangi wajah cantik
itu. Arum Kemuning tertunduk malu.... Sadewo Mangli
tersenyum melihat sobat-sobatnya merasa puas
dengan kehadiran si jelita Arum Kemuning.
Tanpa diperintah lagi, Arum Kemuning mulai
memainkan kecapinya. Jari-jemari lentik terlihat halus
memetik senar. Suaranya yang merdu mengisi alunan
denting kecapi. Semua para pembesar yang berjumlah
lima orang termasuk Sadewo Mangli betul-betul kagum
dibuatnya. Mereka semua termangu mendengar si Pu
tri Kecapi beraksi.
Dua orang penjaga di hadapan pintu tenda ikut
pula mendengarkan suara dan musik kecapi. Mereka
seakan hanyut dalam alunan merdunya dentingan se-
nar. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan sen-
jata sebilah tombak. Keasyikannya benar-benar terusik
ketika ia melihat seseorang berpakaian serba hitam.
Dua penjaga tenda itu dapat melihat jelas sosok yang
mendekatinya itu orang cacat. Sebelah lengannya ku-
tung. Di balik punggungnya tersoren sebilah pedang.
Wajahnya yang angker menatap para penjaga itu.
Kedua penjaga pintu tenda langsung menyilang-
kan tombak-tombaknya ketika orang berlengan tunggal
itu mendekati. Salah satunya malah melarang....
"Maaf, Kisanak.... Tenda ini bukan untuk umum,
di sini khusus para pembesar...." jelasnya.
Sosok serba hitam itu tidak menyahut. Ia malah
maju selangkah, lengan kirinya cepat bergerak menca-
but gagang pedang. Kedua penjaga itu tidak dapat
mengikuti kecepatan sebelah tangan yang bergerak
menyilang. Seberkas sinar putih menyilaukan mem-
bersit.... Menghantam putus tombak-tombak mereka.
Lalu dengan gerakan merunduk ia membabat memutar
pedangnya....
"Sreeet!.... Sreeeet! Wuaaaa....!" Mereka menjerit
dengan masing-masing luka sayatan pedang di perut.
Satu berguling.... Satu lagi ambruk masuk ke dalam
tenda. Sudah tentu keduanya tewas.
Ketika tubuh bergelimang darah itu ambruk me-
masuki tenda, tubuh itu hampir jatuh menimpa Arum
Kemuning yang tengah memainkan kecapi. Seketika
alunan yang merdu terhenti, malah berganti dengan
suara teriakan kaget.... Kelima pembesar istana itupun
tersentak menyaksikan tubuh penjaga tenda tahu-tahu
ambruk dalam ruangan mereka. Sadewo Mangli berdiri
sambil tangannya siap mencabut pedang dari ping-
gang. Yang empat orang lagi ikut-ikutan bangkit, ma-
lah ada yang lebih dulu mencabut pedang.
Di hadapan mereka telah berdiri sosok hitam
dengan pedang terhunus. Pandangannya tajam men-
gawasi kelima orang yang berada dalam ruangan ten-
da.
"Bandit buntung....! Mau apa bikin onar di sini....
Cari mampus!" hardik Sadewo Mangli.... Kini keli-
manya sudah mencabut senjata. Arum Kemuning be-
ringsut ketakutan. Cepat ia berlari ke belakang Sadewo
Mangli. Manusia berlengan tunggal itu tidak perduli, ia
melangkah terus berdiri sampai di ruangan tengah....
Perlahan sekali ia mengangkat pedangnya. Bersamaan
dengan itu, para pembesar mulai menerjang menye-
rang.... Babatan-babatan pedang bagaikan lecutan-
lecutan sinar siap merencah. Sosok hitam melesat ke
atas sambil pedangnya berputar menyambut gen-
caran itu...
"Trang....! Traang!" Senjata-senjata mereka bera-
du. Ketika kakinya menyentuh tanah, sosok hitam
menggerakkan pedangnya sekuat-kuat ke samping ki-
ri.... "Bwet....! Arghhhhhh!" Salah seorang tewas den-
gan batang lehernya hampir putus. Darahnya me-
nyembur tenda.... Datang lagi dua orang dengan baba-
tan-babatan garang mengarah. Sosok hitam berbalik
menyambut, lalu bagaikan serigala kelaparan ia meng-
ganas. Ia mainkan pedangnya menerjang ke arah
Orang-orang itu. Melancarkan pembunuhan-
pembunuhan sadis.
Pedangnya bergerak menebas, darah segar seperti
air mancur! muncrat berhamburan. Dibarengi dengan
batok kepala yang menggelinding ke tanah. Seorang la-
gi tidak mampu menjerit. Dengan mata terbelalak pe-
dangnya terlepas dari genggaman. Perutnya telah me-
nembus sebilah pedang yang telah berlumuran darah.
Dan saat sosok hitam menarik pedangnya, tubuh yang
telah tertembus itu ambruk terjungkal. Pedang itu ti-
dak cukup berhenti! sampai di situ. Setelah menarik
pedangnya, sosok hitam menyambut serangan yang
datang dari arah belakang....
"Traaang!" Kalau saja ia tidak cepat menyilang-
kan pedangnya ke atas kepala, sudah pasti kepalanya
terbelah dua... Saat itu pula ia melancarkan tendangan
menghantam keras di perut lawannya....
"Des!" Tubuh itu terhuyung beberapa langkah ke
belakang... Dengan beringas sosok hitam lompat me-
nerjang. Babatan pedangnya keras menghantam....
"Breeet!" Tubuh yang terhuyung tadi ambruk dengan
luka menggores dari dada ke perut. Sadewo Mangli
mundur selangkah sembari melindungi Arum Kemun-
ing. Diam-diam ia cukup gentar menghadapi sosok hi-
tam itu. Meskipun ia berlengan tunggal, tapi permai-
nan pedangnya jauh di luar kemampuannya.
"Sebenarnya aku hanya membutuhkan nyawa-
mu, Sadewo Mangli.... Sayang mereka ikut menjadi
korban...." kata sosok hitam dengan nada dingin....
Kedua matanya tidak berkedip menatap Sadewo Man-
gli. Arum Kemuning yang berdiri di belakang Sadewo
Mangli gemetar ketakutan. Sosok hitam melangkah
maju mendekati mereka. Telapak tangannya meng-
genggam erat gagang pedang. Sadewo Mangli sudah
tahu akan mendapat serangan. Maka ketika sosok hi-
tam membabatkan pedangnya, cepat Sadewo Mangli
memutar pedang itu ke depan....
"Traaang!" Pedang mereka beradu.... Sekali lagi
sosok hitam membalikkan pedangnya.... Berkelebat
cepat ke arah muka.... "Sreeet!" Sebelum mata pedang
itu mengenai sasaran, Sadewo Mangli merunduk ber-
gulir ke samping. Tapi Arum Kemuning yang berdiri di
belakangnya menjerit hebat.... Gadis itu bergulingan di
tanah. Kedua telapak tangannya memegangi rongga
matanya yang tampak mengeluarkan darah....
"Waaaaaa-aaaaaaaa!" Wajah cantik itu telah berlumu-
ran darah. Tubuhnya berkelojotan menahan sakit.
Sebenarnya bukan maksud si sosok hitam melu-
kai gadis itu, ia telah kelepasan membabatkan pe-
dangnya ke arah Sadewo Mangli tadi, Kalau saja Sade-
wo Mangli tidak melarikan diri tentunya gadis itu tidak
akan terluka.
Melihat gadis itu berkelojotan sambil berteriak-
teriak, Sadewo Mangli marah bukan kepalang... Ia ti-
dak lagi memandangi akan kehebatan ilmu pedang la-
wannya. Dengan nekad ia melompat maju sambil
membabatkan pedangnya membabi buta.... Tapi gera-
kan sosok hitam lebih cepat lagi.... Ia menghantam ba-
batan-babatan pedang Sadewo Mangli dengan pedang-
nya....
"Traak!" Sadewo Mangli tersentak melihat pe-
dangnya patah dua.... Dalam ketersiapannya itu ia ti-
dak sempat menghindari babatan pedang yang meng-
hantam putus lehernya...
* * *
DUA
Beberapa saat kemudian, tenda yang berada di
sudut lapangan penuh dikerumuni orang. Semua per-
tunjukan hiburan berhenti. Alunan bermacam-macam
musik lenyap berganti dengan riuhnya suara para
pendatang pada pesta malam itu. Hampir semua orang
menyaksikan korban-korban pembunuhan sadis di da-
lam tenda. Beberapa pasukan dikerahkan untuk men-
jaga kegaduhan itu. Membuat pagar betis agar orang-
orang yang berada di situ tidak masuk semua ke dalam
tenda. Namun mereka masih saja menimbulkan suara-
suara gaduh.
Seorang pemuda dengan pakaian bulu binatang
menerobos kerumunan itu. Ia berusaha melawan de-
sakan-desakan dengan sekuat. tenaga. Orang-orang
yang berada di dekatnya seperti terdorong ketika pe-
muda itu melewatinya. Pemuda yang tidak lain adalah
Pengelana Sakti seakan tidak perduli. Padahal ia sen-
gaja mendorong dengan menggunakan tenaga dalam.
Kalau tidak dengan cara demikian, mana mungkin ia
bisa berada paling depan, pikir Wintara si Pengelana
Sakti. Ia pun ingin melihat para korban pembunuhan.
Setelah berada paling depan, Wintara dapat meli-
hat jelas para korban berserakan di dalam tenda yang
sudah terbuka lebar. Mayat-mayat itu dijejerkan ber
deret. Keadaan mereka semua cukup mengerikan. Per-
lahan Wintara mencoba melangkah lebih dekat, tapi
seorang penjaga mendorong kembali. Pandangannya
mengawasi seluruh ruangan dalam. Wintara dapat me-
lihat lima orang terbujur kaku rebah berderet. Ada se-
suatu yang menjadi perhatiannya... Sebuah benda ter-
geletak dengan noda-noda darah. Sebuah alat musik....
Sebuah kecapi! Wintara mengernyitkan alisnya.
"Minggir....! Minggir! Kereta pengangkut mayat
datang! Minggir.... Kasih lewat....!" Tiba-tiba terdengar
seruan. Deretan orang-orang yang mengerubungi tem-
pat itu menyeruak. Sebuah kereta gerobak menuju ke
situ. Orang-orang langsung menyingkir. Penumpang
kereta itu tiga orang. Sesampai di tenda yang tertimpa
bencana, ketiga orang turun dari kereta. Langsung
memasuki tenda dan melihat kelima orang yang berna-
sib malang.
"Siapa ketiga orang itu, Pak...." tanya Wintara
pada orang yang berdiri di sebelahnya. Bapak itu tidak
langsung menjawab, ia malah memandang heran ke
arah Wintara. Lalu...
"Aneh kau ini, Dik.... Masakah kau tidak menge-
nali mereka?" bapak di sebelah Wintara berbalik tanya.
"Sungguh, Pak.... Saya betul-betul tidak menge-
nali mereka...." jawab Wintara polos.
"Ah.... Berarti kau bukan orang Joglo Alun,
ya....?"
"Betul.... Saya hanya seorang pendatang…"
"Pantas... Mereka orang-orang kepercayaan Kepa-
tihan." Bapak itu menjelaskan. Wintara manggut-
manggut.
"Orang yang berpakaian ningrat itu bernama
Akuwu Mambang, pemimpin dari kelima orang yang
tewas itu.... Nah yang dua orang lagi.... Itu-tuh di bela-
kangnya...." kata bapak di sebelah Wintara sambil me-
nunjuk ketiga orang yang baru turun dari kereta.
"Mereka tidak begitu penting.... Karena sama de-
rajatnya dengan kelima temannya yang tewas...." sam-
bungnya lagi. Wintara memandangi orang yang berpa-
kaian ningrat. Orang itu nampak memungut kecapi
yang bernoda darah. Ia mengawasi benda itu. Setelah
itu ia menyerahkan benda tersebut kepada salah seo-
rang yang ikut bersamanya. Akuwu Mambang bukan-
nya tidak mengenali benda itu. Dengan melihat kecapi
itu saja ia sudah dapat membayangkan wajah Arum
Kemuning. Kini ia melihat pula alat musik itu bersim-
bah dengan darah…
Kalau Arum Kemuning terbunuh juga, sudah ten-
tu mayatnya ada di sini. Tapi kenapa kecapi ini ter-
tinggal begitu saja.... Apakah Arum Kemuning melari-
kan diri pada saat kejadian. Kalau benar demikian be-
nar… Tentulah Arum Kemuning dapat mengenal siapa
pembunuh sadis itu.... Itu menurut perkiraan Akuwu
Mambang.... Bagaimana kalau perkiraannya meleset....? Andaikata pembunuh itu membawa lari Arum
Kemuning untuk maksud-maksud tertentu....? Biadab!
Gerutu Akuwu Mambang.
*
* * *
Letak pondok Tabib Sakti Nayan Gunta jauh di
kaki gunung. Tepatnya di sekitar danau dekat sebuah
jeram. Pondok itu cukup besar dan berdiri kokoh di
atas batu karang. Di sekitar bawah batu karang meng-
hampar tumbuhan kecil dengan bunga-bunga yang
bermekaran berwarna-warni. Selain itu ada juga tum-
buhan yang merambat sampai ke atas batu karang.
Terlebih-lebih pada bagian tangga yang menghubung-
kan sampai ke pondok. Hampir seluruhnya dirambati
oleh tumbuhan.
Pondok itu sendiri tidak ada satupun tumbuhan
yang ada. Mungkin karena letak bangunan itu berdiri
di atas batu karang. Kecuali pada pot-pot yang tergan-
tung pada tiang-tiang kayu.... tumbuhan-tumbuhan
aneh selalu ada pada sekeliling pondok itu.
Bau aroma menyengat hidung. Asap putih men-
gepul ke luar melalui celah jendela pondok itu... Bebe-
rapa saat kemudian jendela itupun terbuka. Nampak
seraut wajah tua dengan kedua lengan membuka lebar
masih menyibakkan dua daun jendela. Pandangannya
tertuju ke luar menikmati keindahan di sekitar pon-
doknya.
Raut wajah tua yang ditumbuhi dengan rambut
serta jenggot memutih berpaling meninggalkan jendela
yang barusan dibukanya. Dalam ruangan itu duduk
seorang berpakaian serba hitam. Sosok tubuh itu ter-
tunduk. Lengan kirinya menutup wajahnya seperti ada
rasa penyesalan selama hidupnya. Dengan tubuh
membungkuk, sosok tua berambut serta jenggot yang
memutih mendekati orang itu.
"Jangan khawatir, Seta Wungu.... Gadis! itu tidak
akan mati! Cuma dia harus menerima keadaan.... Se-
bab ada kemungkinan kedua matanya...." Kakek
bungkuk yang berjuluk Tabib Sakti Nayan Gunta tidak
meneruskan kata-katanya.
"Maksudmu gadis itu akan buta....?" kata Seta
Wungu sambil bangkit.
"Kira-kira demikian...." jawab kakek bungkuk itu.
"Tidak....! Kau harus bisa memulihkan pengliha-
tannya, Nayan Gunta!" Seta Wungu menatap nanar
pada kakek bungkuk di hadapannya. Ia berdiri berin-
gas. Lengan kanannya yang kutung terlihat jelas.
"Perkataan mu sama beringasnya pada beberapa
tahun yang lalu, Seta Wungu.... Dulu kau pernah da-
tang ke mari membawa lengan kananmu yang ku-
tung.... Kau berharap aku dapat menyambung len-
ganmu… Aku hanya seorang tabib, Seta Wungu… Aku
tidak bisa melakukannya.... Demikian pula dengan ga-
dis ini.... Aku tidak dapat berbuat banyak.... Sekalipun
aku telah mengerahkan segala kemampuanku.... Gadis
ini akan tetap buta!"
"Tidaaak....!" Seta Wungu berteriak. Untuk ini
aku bisa membayar mu dengan harga tinggi, Nayan
Gunta.... Aku berani membayar mahal....!" kata Seta
Wungu berteriak-teriak.
"Aku tidak sanggup, Seta Wungu... Aku tidak
sanggup memulihkan penglihatan gadis itu... Karena
selaput penglihatannya telah robek...." Nayan Gunta
menjelaskan.
Arum Kemuning tergeletak membujur pada se-
buah balai. Dua kelopak matanya tertutup dedaunan
yang telah diramu oleh Tabib Sakti Nayan Gunta. Na-
fasnya begitu lemah. Seta Wungu duduk menatap dari
kejauhan. Ia benar-benar menyesali akan tindakannya
itu.
"Aku berjanji menjaganya, Nayan Gunta.... Seo-
rang gadis buta, sama saja dengan seorang yang tidak
mempunyai pegangan," kata Seta Wungu tertunduk.
Tabib Sakti Nayan Gunta menoleh tersenyum.
"Sssst.... Diam..." bisiknya pada Seta Wungu. Ta-
bib Sakti Nayan Gunta duduk di samping balai. Ia me-
lihat gadis yang terbaring lemas mulai bergerak. Bibir-
nya yang mungil menganga menahan sakit. Gadis itu
berusaha bangun, tapi Nayan Gunta segera menahan
nya. Seta Wungu bangkit dari kursinya tanpa bersua-
ra.
"Akhhh.... Mataku.... Mataku...." rintih Arum Ke-
muning.
"Tenang, Nak.... Tenang.... Aku tengah mengoba-
timu di sini.... Kau bersama seseorang tabib yang be-
rusaha mengobati kedua matamu...." kata Nayan Gun-
ta. Ia membantu Arum Kemuning duduk menyandar
pada dinding.
"Mengapa semuanya nampak gelap…? Dan mata-
ku terasa sakit sekali...."
"Semuanya sudah takdir.... Aku sudah berusaha
sebatas kemampuanku.... Ternyata tidak dapat men-
gembalikan penglihatanmu lagi.... Aku hanya sanggup
mengobati luka-lukanya saja." Tabib Sakti Nayan Gun-
ta menjelaskan.
"Oh.... Tidak!" Arum Kemuning menjerit. Ia be-
rontak. Cepat Nayan Gunta menahan.
"Sadarlah.... Jangan terlalu bergerak, lukamu itu
belum kering betul.... Nanti ke luar darah lagi.... Dan
kau tidak akan tertolong...." Nayan Gunta membujuk.
Dan ternyata bujukan itu mengena.... Sesaat kemu-
dian Arum Kemuning diam menarik nafas dalam-
dalam. Tubuhnya bersandar tenang pada dinding
kayu.
"Tahan, ya.... Aku akan mengganti daun ramuan
yang melekat pada kelopak matamu..." Kedua telapak
tangan Nayan Gunta menarik perlahan daun-daun
yang hampir mengering pada bagian mata gadis itu....
Arum Kemuning menggigit bibirnya menahan sakit.
"Seseorang telah membawamu ke tempat ini.... Ia
meminta agar aku mengobatimu.... Yaaaah, mungkin
karena aku seorang tabib jadi tak bisa menolak...." ka-
ta Nayan Gunta sembari mengganti ramuan daun ke
mata Arum Kemuning.
"Siapa orang itu....? Sadewo Mangli-kah....?"
tanya gadis itu cepat.
"Bukan.... Bukan dia.... Tapi seorang lelaki yang
bernama Seta Wungu.... Kabarnya Sadewo Mangli te-
was malam itu juga...." Nampak sekali kesedihan yang
melanda dalam gambaran wajah Arum Kemuning. Da-
lam hatinya ia menyebut nama Sadewo Mangli. Dari
rongga matanya yang luka itu masih bisa mengelua-
rkan air mata.... Bibir mungil Arum Kemuning berge-
tar.
"Pembunuh itu berlengan tunggal! Aku sendiri
melihat dengan mata kepala.... Ia seorang yang sa-
dis....! Kejam!" Datar sekali nada bicara Arum Kemun-
ing. Pembunuh berlengan tunggal! Nama yang cukup
mengerikan itu sama sekali tidak membuat Tabib Sakti
Nayan Gunta merasa gentar. Ia hanya menoleh ke arah
Seta Wungu yang sudah berdiri di sampingnya. Dan ia
pun tahu siapa sebenarnya Seta Wungu!
"Apakah kau ingin menyampaikan pesan pada
orang yang telah menolongmu....? Kebetulan Seta
Wungu ada di sini...." kata Nayan Gunta mengalihkan
pembicaraan.
"Oh.... Maaf.... Aku sampai melupakan orang
yang menyelamatkan diriku. Mana…" Arum Kemuning
menggapai-gapai tangan nya.
"Dari tadi Seta Wungu sudah ada di samping ki-
rimu. Dia yang menjaga selama kau tidak sadarkan di-
ri...."
"Ah, begitu merepotkan.... Terimakasih Entahlah
aku harus memanggil apa....? Tuan....? Kakang....?
Yang jelas aku mengucapkan beribu-ribu terima ka-
sih.... Bahkan rasanya aku tidak dapat membalas budi
baik ini...." kata Arum Kemuning sambil melemparkan
senyum ke samping kiri.
"A-A-Aku melakukan yang semestinya Nona....
Karena...." Seta Wungu gugup.
"Tentunya kalau tidak ada orang yang bernama
Seta Wungu, mungkin diriku sudah menjadi mayat se-
perti kakang Sadewo Mangli...." Arum Kemuning cepat
memotong. Seta Wungu diam, wajahnya tertunduk. La-
lu....
"Aku berharap selama lukamu belum sembuh,
tinggallah di sini bersama Tabib Sakti Nayan Gunta....
Aku rasa dia tidak keberatan...." Seta Wungu memberi
usul.
"Dengan senang hati.... Tinggallah di sini..." kata
Nayan Gunta menyambut.
"Nanti akan bertambah repot...." Arum Kemuning
basa-basi.
"Tidak.... Soal repot memang sudah biasa bagi-
ku.... Malah kalau kau berminat tinggal di sini aku me-
rasa senang, karena pondok terpencil ini tidak lagi se-
pi...." kata Tabib Sakti Nayan Gunta memberi seman-
gat. Arum Kemuning tersenyum.
"Nah, sekarang kau perlu istirahat, keadaanmu
belum sehat betul.... Berbaringlah...." Arum Kemuning
menurut, Tabib Sakti Nayan Gunta membantu memba-
ringkan tubuh itu.
Udara siang itu cukup segar. Seta Wungu yang
berdiri pada teras pondok terpencil itu dapat menghi-
rupnya. Lengan baju kirinya yang kosong bergerak-
gerak terhembus angin. Matanya mengarah pada se-
buah jeram yang mengalirkan air begitu deras laksana
air bah. Di bawah jeram itu menghimpun kumpulan
air membentuk sebuah danau yang cukup luas. Bu-
rung-burungpun banyak beterbangan berkeliling saling
mengejar. Bahkan ada pula yang hinggap pada batang-
batang pohon yang ada di sekitar danau.
Seta Wungu berpaling ketika ia mendengar lang-
kah seseorang mendekati. Ia sudah dapat menebak ka-
lau orang itu adalah Tabib Sakti Nayan Gunta. Ternya-
ta perkiraannya memang benar Nayan Gunta meng-
hampiri dengan membawa segelas air yang masih
mengepulkan asap kental.
"Obat ramuan penguat saraf mata tinggal terak-
hir ini... Nanti aku berikan resepnya dan kau belikan
di kota.... Jangan sampai terlambat, obat ini harus te-
rus-menerus diminum oleh gadis itu…" kata Nayan
Gunta sambil meniupi asap kental yang keluar dari
mulut gelas bambu. Seta Wungu mengangguk, lalu ia-
pun melangkah mengiringi Nayan Gunta.
"Ada sesuatu yang akan kusampaikan padamu,
Nayan Gunta...," Mereka berjalan beriringan. Mereka
menuju sebuah ruangan tempat pembuatan ramuan.
"Tolong rahasiakan...." kata Seta Wungu lagi.
"Seorang tabib harus memegang rahasia... Tapi
aku tidak bertanggung jawab, seandainya gadis itu ta-
hu siapa yang telah membutakan matanya dan mem-
bunuh Sadewo Mangli calon suaminya itu.... Pa-
ham....?" jawab Tabib Sakti Nayan Gunta yang sekali-
gus menjadi pertanyaan.
Seta Wungu sengaja tidak ikut masuk ke dalam
ruangan itu. Ia tetap berdiri di depan pintu. Namun ta-
tapannya masih mengikuti Nayan Gunta yang tengah
memberesi semua peralatannya.
"Apapun yang akan terjadi, akan kuhadapi den-
gan kenyataan...." kata Seta Wungu yang bersandar
tenang pada tiang pintu. Nayan Gunta dapat menden-
garnya meskipun ia berada dalam ruangan itu. Malah
ia menjawabnya.
"Mudah-mudahan saja tidak akan terjadi, Seta
Wungu.... Aku ikut berdoa!" kata Tabib Sakti Nayan
Gunta yang nampak ke luar. Ia menyerahkan secarik
kertas pada Seta Wungu.
"Ini resep yang harus kau beli nanti, secepatnya
kau kembali lagi...."
*
* * *
TIGA
Bulan yang bersinar penuh jadi kelam karena ter-
tutup oleh awan berarak. Tanah pekuburan yang tadi
nampak seram kini menjadi lebih seram lagi. Manakala
suara binatang malam membisingkan di sekitar tanah
pekuburan. Jauh di tengah-tengah sebuah kuburan
batu yang tak terurus nampak terang oleh onggokan
api unggun yang meletup-letup nyaring.
Seseorang yang berpakaian serba hitam tanpa
lengan kanan berdiri menatap hamparan batu-batu ni-
san. Pedangnya yang tersoren di punggung mengkilat
terkena cahaya api. Seta Wungu berdiri menikmati ke-
sunyian malam itu.
Ia hanya memalingkan wajahnya ketika menden-
gar langkah yang menginjak tanah berkerikil. Seseo-
rang datang mengejutkan ketenangannya.
"Aku datang untuk menepati janji ku, Seta Wungu...." kata orang yang baru datang sambil mengelua-
rkan sebuah kantong sebesar kepala bayi dari balik
bajunya.
"Terimalah ini.... Karena kaupun telah memenuhi
permintaanku..." kata orang itu lagi. Tanpa menjawab
Seta Wungu menerima kantong berisi uang. Ia mema-
sukkannya ke dalam baju hitamnya. Lalu orang yang
memberikan uang itu melangkah mendekat…
"Aku ada tugas lagi untukmu, Seta Wungu...."
"Membunuh lagi....?" tanya Seta Wungu. Orang
itu mengangguk.
"Tidak.... Setelah Sadewo Mangli aku tak akan
membunuh lagi, Somarengga.... petualangan ini harus
kuakhiri...." kata Seta Wungu.... Pandangannya mena-
tap tajam.
"Aneh....! Setan apa yang merubah pikiranmu
sampai sedemikian terbaliknya.... Apakah kau takut,
karena semua orang yang kau bunuh itu Orang-orang
kerajaan…? Baiklah kalau kau merasa takut dan akan
melepaskan jabatanmu sebagai pembunuh bayaran...
Tapi ku mohon kau mau memenuhi permintaanku un-
tuk yang terakhir kali, Seta Wungu. Setelah itu kita ti-
dak akan pernah berurusan lagi…"
"Pikiranku telah berubah, Somarengga. Tak
mungkin memenuhi permintaan mu....!!"
"Aku bersedia membayar berapapun juga.... Be-
rapa yang kau kehendaki?" Somarengga memaksa.
Dan Seta Wungu betul-betul terdesak. Apalagi ketika
mendengar Somarengga bersedia berani membayar be-
rapa yang ia minta. Teringat lagi akan gadis Arum Ke-
muning di pondok Tabib Sakti Nayan Gunta. La belum
bisa memberikan apa-apa sebagai tanda rasa penyesa-
lannya. Belum lagi seluruh biaya yang ia keluarkan
nanti untuk pengobatan luka di kedua matanya.... Su-
dah tentu tidak sedikit. Tabib Sakti Nayan Gunta me-
mang tidak memerlukan biaya. Tapi persediaan obat-
obatan telah habis. Seta Wungu mempertimbangkan-
nya masak-masak.... Dan ia mengambil keputusan.
"Ini untuk terakhir kali, Somarengga...! Katakan
siapa orang itu?" Suara Seta Wungu dalam. Somareng-
ga tersenyum melangkah ke sampingnya. Lalu ia
membisikkan sesuatu ke telinga Seta Wungu.
"Akuwu Mambang,...?" Seta Wungu mengulang
meyakinkan bisikan Somarengga
"Betul! Akuwu Mambang....! Orang itu yang seka-
rang ku inginkan." jawab Somarengga. Seta Wungu di-
am, ia memandang bulan yang sudah terbebas dari
kurungan awan berarak. Tanah pekuburan menjadi te-
rang meskipun malam hampir larut.
"Untuk Akuwu Mambang.... Aku butuh lima kan-
tong uang yang sama besar dengan kantong tadi...."
Seta Wungu menentukan harga.
"Baik.... Sekarang aku tidak membawa Uang se-
kepingpun.... Lusa setelah urusan ini beres, kita boleh
bertemu lagi di sini...." Somarengga setuju.
*
* *
Rumah bertingkat letaknya tidak jauh dari kera-
maian desa Joglo Alun. Pada halaman rumah berting-
kat itu kelihatan begitu rapih. Jalan yang menghu-
bungkan ke pintu pagar terbuat dari susunan batu ter-
tanam ke tanah. Kedua sisi jalan itu ditumbuhi dengan
tanaman bunga berwarna-warni bermekaran. Bebera-
pa penjaga nampak patuh berdiri di muka pintu ru-
mah. Mereka bersenjatakan tombak.
Pada ruangan tingkat atas, Akuwu Mambang ber-
jalan mondar-mandir. Sebentar-sebentar matanya ter-
tuju pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja
berukir. Benda yang menjadi perhatiannya sebuah alat
musik yang ternoda dengan bercak-bercak darah.... Di
mana Arum Kemuning berada? Tanya Akuwu Mam-
bang dalam hati. Ia betul-betul tak habis pikir dengan
kejadian yang melanda kelima anak buahnya berikut
Arum Kemuning si Putri Kecapi pada pesta malam itu.
Kenapa hampir semua anak buahnya mati di
tangan seorang pembunuh sadis. Kalau dulu, anak
buahnya mati satu demi satu. Tapi pada malam pesta
itu, ia harus kehilangan lima orang anak buahnya se-
kaligus.... Dengan motif pembunuhan yang sama. Di
tangan seorang yang ahli dalam ilmu pedang. Akuwu
Mambang berdiri menghadapi meja berukir yang di
atasnya tergeletak sebuah kecapi dengan pikiran kalut.
Sementara itu bayangan hitam melesat cepat dari
pohon ke pohon yang lain. Pohon-pohon besar itu ber-
deret mengelilingi pagar rumah bertingkat. Para praju-
rit tidak melihat sama sekali ketika sosok bayangan hi-
tam melesat ke arah genting atap ruang atas. Sinar
matahari jelas memantulkan bayangan sosok hitam itu
ke tanah. Tapi para penjaga itu bagai tersirap tak per-
duli.
Sedangkan dalam ruangan atas, Akuwu Mam-
bang tengah menyulut rokok cerutunya sambil duduk
pada kursi kayu berukir pula. la hembuskan asap ce-
rutu kuat-kuat.... Pandangannya masih tertuju pada
sebuah alat musik. Ia menoleh cepat ke arah jendela,
ketika dilihatnya sebuah bayangan hitam berkelebat.
Dengan perasaan was-was ia bangkit melangkah ke
arah pedang yang tergantung pada dinding ruangan
itu. Perlahan sekali ia mencabut pedang dari sarung-
nya. Hampir tidak bersuara.
Tiba-tiba saja kaca jendela pecah. Suaranya ber-
gemeretak nyaring. Bersamaan dengan itu sosok
bayangan hitam masuk bagai sebatang anak panah
menjurus ke arah Akuwu Mambang.
"Traaaaang!" Akuwu Mambang menyambut lesa-
tan yang menubruk demikian cepat dengan pedang
nya. Setelah mengalami benturan senjata mereka, so-
sok hitam berjumpalitan di udara beberapa kali.... Lalu
hinggap di atas lantai begitu tenang.
Akuwu Mambang dapat melihat orang itu. Sosok
hitam tanpa lengan kanan, namun lengan kirinya yang
menggenggam pedang siap mengirim maut. Karena be-
gitu dia hinggap, orang cacat itu membabat ke bagian
atas. Akuwu Mambang menyambar serangan itu den-
gan pedangnya....
"Traang!" Kembali pedang mereka beradu. Lalu
Akuwu Mambang membalas serangan itu.... Pedangnya
berkelebat menyambar....
"Wees!" Sosok hitam berlengan tunggal itu terde-
sak mundur.... Ia memutar pedangnya ke atas
"Traang!" Benturan itu lebih keras, Akuwu Mam-
bang sendiri sampai terhuyung dibuatnya.
Ilmu pedang Akuwu Mambang bisa diandalkan
untuk menghadapi serangan-serangan itu. Padahal so-
sok hitam berlengan tunggal sudah habis-habisan
menggempurnya Pantaslah kalau Akuwu Mambang
menjabat sebagai orang kepercayaan kepatihan. Siang
itupun sosok hitam harus kerja keras untuk menun-
taskan tugasnya. Kilatan-kilatan pedang berkelebat
menyambar.... Sosok hitam kewalahan menghinda-
rinya.... Sekali ia menyambut, Akuwu Mambang meng-
hantam kuat pedangnya....
"Tralaaak!" Pedang dalam genggaman sosok hitam berlengan tunggal terlepas. Baru kali ini ia men-
dapat lawan sedemikian tangguhnya.
"Baru ku tahu sekarang.... Kaulah orangnya yang
telah membunuh semua anak buahku pada pesta ma-
lam itu di Joglo Alun.... Sekarang tak ada ampun lagi
buatmu, Pembunuh terkutuk....!" kata Akuwu Mam-
bang menudingkan pedangnya.
Sosok hitam tidak menyahut. Ia malah bergerak-
gerak seperti mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Telapak tangan kirinya mengepal erat seolah-olah
menggenggam sesuatu.... Matanya tajam memandang
ke arah Akuwu Mambang.
"Dengan pedang ini, tubuhmu akan terbagi men-
jadi empat bagian...." Sambil berkata demikian Akuwu
Mambang melancarkan serangan bertubi-tubi. Sosok
hitam itu bergulingan menghindari babatan-babatan
pedang.... Telapak tangan kirinya yang mengepal dapat
menghantam keras lengan Akuwu Mambang....
"Des!" Terasa sekali denyutan itu. Akuwu Mam-
bang sendiri tidak menyangka akan mendapat seran-
gan balik seperti itu. Dan ia memekik kaget ketika so-
sok hitam menendang lengannya sampai pedang dalam
genggaman Akuwu Mambang terlempar jauh....
"Weeess!" Untuk tendangan yang kedua kalinya
Akuwu Mambang dapat menghindari. Ia melihat gera-
kan-gerakan aneh yang dilakukan oleh sosok hitam
lengan tunggal. Dan tahu-tahu saja lengan kirinya
yang tergenggam menjurus ke depan. Padahal gengga-
man itu belum sempat menyentuh tenggorokan
Akuwu Mambang.... Tapi akibatnya demikian hebat.
Tubuh Akuwu Mambang terlempar dengan semburan
darah dari mulutnya.... Tubuh itu terbanting memben-
tur dinding dengan keras Akuwu Mambang masih
mampu berdiri tegar.
"Ilmu Pedang Tanpa Wujud. Hhhhh...." desahnya
sambil menyeka darah yang mengalir di sela-sela mu-
lutnya. Sebaliknya, sosok hitam berlengan tunggal ter-
senyum.... Akuwu Mambang maju dengan serangan
yang mematikan. Kedua lengannya bergerak meng-
hantam.... Dengan lengan kirinya, sosok hitam lengan
tunggal menyambut hantaman-hantaman itu. Lalu ge-
rakan kaki yang begitu cepat menyambar tubuh Aku-
wu Mambang....
"Deees!" Sekali lagi tubuh Akuwu Mambang ter-
banting keras. Pada waktu yang bersamaan sosok hi-
tam melesat menerjang dengan tendangannya, maka....
"Der!" Dua kali Akuwu Mambang mendapat tendangan
geledek, tubuhnya yang terlempar keras membentur
jendela kaca. Bahkan tubuh ningrat itu menerobos da-
ri jendela itu ke luar ruangan.
Akuwu Mambang sudah tidak ingat apa-apa lagi
di saat tubuhnya terlempar dan jatuh dari ruangan
atas. Dan ketika kepalanya hampir menyentuh tanah,
sosok bayangan lain berkelebat menyambar tubuh
Akuwu Mambang.... Bayangan misterius itu langsung
melompati pagar halaman membawa pergi Akuwu
Mambang yang sudah tidak sadarkan diri.
Sosok hitam lengan tunggal bermaksud melom-
pati jendela setelah memungut pedangnya. Tapi ia di-
kejutkan oleh sebatang tombak yang menjurus deras
ke arahnya. Sambil membalikkan tubuh sosok hitam
memutar pedangnya.... "Traaak!" Tombak yang hampir
menembus di tubuhnya patah dua. Dia kedatangan ti-
ga orang penjaga bersenjata tombak. Rupanya para
penjaga itu langsung naik ke atas ketika mendengar
suara gaduh. Menemui seorang berpakaian serba hi-
tam, para penjaga itu langsung menyerang. Mereka
mengepung dari segala arah. Tombak-tombak mereka
merejam sosok hitam yang berjumpalitan menghindar.
Seleret sinar putih berkelebat menyambar...
"Trak…! Trak!" Tongkat-tongkat itu patah dua semua.
Sosok hitam itu melompat ke atas sambil lengannya
yang menggenggam pedang bergerak cepat menghan-
tam, dua orang ambruk sekaligus. Tinggal seorang lagi
yang masih ragu-ragu menyerang. Tapi ia jadi bergidik
setelah melihat kedua temannya mati dengan mengeri-
kan. Tubuh mereka tergeletak dengan masing-masing
tenggorokan yang hampir putus.
Seorang yang ketakutan itu mendadak semangat.
Sepuluh penjaga berdatangan dalam ruangan itu. Me-
reka bersenjatakan pedang dan tombak. Tempat itu ja
di penuh sesak. Sosok hitam lengan tunggal berdiri te-
nang, pedangnya siap berputar lagi. Dan ketika tiga
orang maju menyerang… "Sreeet!" Babatan pedang le-
bih dulu menyambar di tubuh mereka. Maka ketiganya
ambruk dengan nyawa melayang seketika. Perut mere-
ka robek, satu di antaranya sampai menghamburkan
usus.
Sekalipun mereka tahu akan kehebatan sosok hi-
tam itu, para penjaga tidak gentar sedikitpun. Dengan
serempak mereka menyerang. Senjata-senjata mereka
berkelebatan di sana-sini mencecar sosok hitam. Tapi
di saat sosok hitam menggerakkan pedangnya selalu
saja memakan korban.
Tidak semestinya sosok hitam membantai para
penjaga itu. Tujuannya hanya untuk membunuh Aku-
wu Mambang. Mungkin karena sudah kepalang tang-
gung mereka mengetahui tujuannya, sosok hitam itu
jadi tidak setengah-setengah bertindak.
Sekalipun ditambah lagi dengan sepuluh orang,
sosok hitam itu sama sekali tidak mengalami kesuli-
tan. Ia membabat ke sana kemari dengan terarah dan
tepat mengenai sasaran. Satu demi satu para penjaga
itu tumbang dengan berlumuran darah.
Gerakannya yang sangat cepat membuat pedang-
nya berkelebat bagaikan sinar putih yang siap men-
jemput maut. Dua orang terlempar ke luar dari jendela
kaca yang telah rusak. Jeritan mereka terhenti ketika
kepala mereka membentur permukaan tanah.
Ruangan tingkat itu menjadi sunyi. Belasan
mayat bergelimpangan memenuhi lantai rumah. Sosok
hitam berdiri mengawasi mayat-mayat itu. Lengannya
masih menggenggam pedang. Bilah pedang itu telah
berlumur darah. Ia khawatir kalau-kalau masih ada
yang tertinggal. Dan mengetahui perbuatannya. Hal itu
akan berbahaya sekali buat dirinya.
Sosok hitam melangkah mendekati jendela kaca.
Pandangannya menuju ke bawah... Wajahnya menda-
dak berkerut. Ia hanya melihat dua orang penjaga ter-
geletak dengan kepala remuk serta perut yang berlu-
muran darah. Selain itu tidak ada siapa-siapa lagi.
"Bangsat....! Ke mana Akuwu Mambang? Jelas
tadi terlempar di sini.... Mengapa tidak ada di ba-
wah....?" gerutunya dalam hati.
Tanpa membersihkan pedangnya ia langsung
menyarungkan ke punggung, lalu bermaksud mening-
galkan tempat itu. Sebelum ia pergi, sosok hitam sem-
pat melihat sebuah benda yang tergeletak di atas meja
berukir. Sebuah kecapi.... Ia teringat akan Arum Ke-
muning. Ingat pula ketika ia melihat Arum Kemuning
memainkan kecapi itu pada pesta malam. Mungkin
Arum Kemuning akan bertambah senang bila kecapi
miliknya kembali.
Setelah menyambar alat musik itu, sesosok hitam
melesat melalui jendela. Hinggap di atas pagar, kemu
dian melesat lagi ke cabang-cabang pohon berpindah-
pindah semakin jauh. Gerakannya begitu cepat se-
hingga sukar diikuti dengan pandangan mata.
Kepergian sosok hitam itu bukannya tak diketa-
hui, seseorang yang tadi membawa pergi tubuh Akuwu
Mambang ternyata masih bersembunyi di balik rerim-
bunan daun. Dan ia melihat ke mana sosok hitam itu
pergi. Setelah sosok hitam itu betul-betul sudah tidak
nampak, barulah ia turunkan Akuwu Mambang yang
belum juga sadar, ketika orang itu membawa masuk ke
dalam rumahnya. Setelah melihat adanya sebuah
bangku panjang dalam ruangan itu, orang itu meletak-
kan tubuh Akuwu Mambang.
Ia memperhatikan seluruh ruangan yang sangat
bagus. Seluruh perabotannya barang-barang mewah.
Banyak barang-barang seni menghiasi ruangan itu. Di
sebelah sudut terdapat sebuah tangga menuju ke atas.
Orang itu menuju tangga, dan ia menjajakinya perla-
han. Bukan main terkejutnya ketika sampai pada
ruangan atas. Ruangan yang sama bagusnya dengan
ruangan bawah telah bergelimpangan mayat-mayat
dengan bentuk yang mengerikan. Iapun sempat meng-
hitung jumlah para korban, termasuk dua orang yang
tergeletak di luar. Semuanya berjumlah tiga belas
orang. Mulutnya berdecak.... Ia betul-betul kagum
akan kehebatan ilmu pedang si pembunuh. Ia dapat
menebak kehebatan si pembunuh setelah menghitung
jumlah korban yang tidak sedikit, dapat dibereskan da-
lam waktu yang sangat singkat.
*
* * *
EMPAT
Mendengar erangan panjang dari mulut Akuwu
Mambang, orang itu langsung bergegas ke arah Akuwu
Mambang yang tengah berusaha bangkit. Perlahan
Akuwu Mambang membuka matanya, pandangannya
yang semula remang berangsur pulih. Di hadapannya
berdiri seorang pemuda tanggung memakai baju dari
kulit binatang.
Tentu saja Akuwu Mambang jadi terkejut melihat
orang asing berada dalam ruangan itu. Maka menda-
dak lengannya melancarkan serangan. Pemuda itu ce-
pat mundur. Ketika Akuwu Mambang bergerak melan-
carkan serangan, dadanya terasa sesak. Sesuatu se-
perti mendorong dari dalam perut. Sambil berpegangan
pada bangku panjang Akuwu Mambang memuntahkan
darah hitam. Tubuhnya mengejang, urat-uratnya me-
nonjol dari kulit seperti mau ke luar ketika ia memun-
tahkan gumpalan-gumpalan darah hitam. Ia meman-
dang nanar ke arah pemuda yang masih berdiri di dekatnya...
"Ketika aku lewati jalan itu, aku melihat tubuh-
mu terlempar dari jendela atas... Dan juga kulihat seo-
rang pendekar buntung mengamuk di sana...." kata
pemuda yang tak lain adalah Wintara si Pengelana
Sakti.
Akuwu Mambang menarik nafas. Dadanya turun
naik.... Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat.
Mendengar ucapan Wintara menyebut 'Pendekar Bun-
tung' Akuwu Mambang jadi teringat akan wajah si
pembunuh yang ternyata berlengan tunggal.
"Kau lihat para anak buahku…? Di mana mere-
ka..?" tanya Akuwu Mambang, dadanya masih terasa
sakit dan tidak mungkin dapat berdiri, Wintara men-
dekat membantu tubuh Akuwu Mambang duduk pada
bangku panjang itu.
"Mereka semua tewas di ruangan atas...." kata
Wintara sambil menunjuk ke arah langit ruangan.
Akuwu Mambang mengikuti arah telunjuk Wintara.
Kalau saja ia tidak begitu parah, Akuwu Mambang su-
dah naik ke atas untuk melihatnya.
"Dua orang tewas terkapar di luar dengan kepala
remuk...."
"Khepharaaaaaat....!" Akuwu Mambang mengge-
ram.
"Tidak adakah kerabat mu yang tinggal di si-
ni....?" tanya Wintara.
"Tidak ada! Mereka tidak tinggal sini.... Karena
rumah ini merupakan pos pertahanan desa Joglo
Alun.... Ada apa?"
"Aku khawatir tidak ada yang merawat luka-
lukamu...." jawab Wintara cepat.
"Percuma... Luka-luka ini sangat parah aku rasa
harus memerlukan tabib..." Ah! Wintara kecewa. Ia
membuka kancing baju Akuwu Mambang setelah min-
ta ijin terlebih dahulu. Pada dada serta bagian rusuk
kanan membekas luka memar yang masih memerah.
"Anak muda.... Sudikah kau menolongku...." Su-
ara Akuwu Mambang berat.
"Kenapa tidak....?" jawab Wintara sambil melon-
tarkan senyum.
"Aku mengenal seorang tabib yang terkenal sakti,
namanya Nayan Gunta.... Maukah kau mengantarkan
aku ke sana....? Mudah-mudahan ia bisa menyembuh-
kan luka-luka ini...." Wintara menganggukkan kepala.
Lalu....
"Kapan kita berangkat.... Tapi menurut hematku,
kita harus pergi sekarang juga." Wintara memberikan
keputusan sendiri.
"Yaaah! Mumpung belum terlambat.... ambillah
seekor kuda di kandang belakang, sementara itu aku
akan menulis surat mengabarkan peristiwa ini pada
kepatihan, agar mereka dapat mengurus semuanya...."
kata Akuwu Mambang sambil melangkah menuju meja
tulis. Langkahnya demikian lemah dan lambat. Untuk
mencapai meja Akuwu Mambang memerlukan waktu
yang cukup lama. Karena jarak meja tulis itu cukup
jauh juga. Ada kira-kira lima tombak.
Di kandang belakang Wintara melihat ada tiga
ekor kuda tertambat. Ia melepaskan salah seekor kuda
yang paling gemuk. Ia menuntunnya sampai ke depan
pintu rumah.
Akuwu Mambang belum selesai menulis surat,
tapi setelah ia melihat Wintara kembali ia memperce-
pat tulisannya. Tak lama ia melipat kertas itu dan
memasukkannya ke dalam saku yang ada di balik ba-
ju. Ia sengaja meninggalkan penanya tergeletak begitu
saja di atas meja. Melihat Akuwu Mambang selesai
menulis surat, Wintara membantunya melangkah ke
luar. Dalam setiap langkahnya, Akuwu Mambang sela-
lu meringis menahan sakit.
Seekor kuda telah menunggu di depan pintu.
Wintara langsung membantu Akuwu Mambang naik ke
atas pelana.
"Anak muda, siapakah namamu....? Dari tadi
sampai lupa aku menanyakannya…" tanya Akuwu
Mambang setelah dengan susah payah berusaha naik
ke atas pelana. Sekarang ia dapat duduk tenang.
"Namaku Wintara.... Asalku dari Karang Ham-
par.... Dan aku tidak punya tempat tinggal" jawab Win-
tara singkat sambil menyusul menunggang kuda itu di
belakang Akuwu Mambang.
"Kiranya seorang pengelana.... Tentunya bukan
pengelana sembarangan...." kata Akuwu Mambang
sembari memberikan tali kendali pada Wintara. Ia
menginginkan Wintara yang mengendalikan kudanya
selama dalam perjalanan.
"Ah! Kau terlalu berlebihan memuji..." Wintara
menghentakkan tali kekang, maka kuda itupun berlari
meninggalkan rumah bertingkat megah. Debu-debu
beterbangan di saat kuda itu melangkah cepat....
*
* * *
Rambut Arum Kemuning berderai-derai halus ter-
tiup angin. Begitu juga dengan rambut serta jenggot
yang memutih Tabib sakti Nayan Gunta. Senja itu an-
gin berhembus kencang. Tubuh bongkok Nayan Gunta
menuntun Arum Kemuning menuruni anak tangga ba-
tu karang yang dipenuhi dengan tumbuhan merambat.
Arum Kemuning merasakan kesejukan itu.
Nayan Gunta membawanya pada halaman sekitar
bukit karang. Di mana menghampar bunga-bunga
bermekaran. Di situ terdapat batu-batu menonjol
membentuk kursi-kursi. Nayan Gunta mendudukkan-
nya pada salah satu batu yang agak besar.
"Sayang kau tak dapat melihat, Arum Kemun-
ing.... Sayang sekali! Kau tak perlu menyesali hidup
mu.... Semuanya sudah kehendak Hyang Whidi....
Meskipun matamu buta, tapi kau masih memiliki hati
nurani yang begitu jernih...." kata Tabib Sakti Nayan
Gunta menghibur. Arum Kemuning yang kedua rongga
matanya masih tertutup dengan daun ramuan terse-
nyum.
"Aku mendengar suara air mengalir deras... Be-
tulkah perkiraan ku?" kata Arum Kemuning memper-
tajam pendengarannya.
"Betul....! Betul sekali....! Di hadapanmu sebuah
jeram menerjunkan airnya demikian deras.... Air terjun
itu menimpah batu-batu karang sehingga menimbul-
kan suara yang begitu hebat... Di bawahnya menyam-
but kumpulan air membentuk sebuah danau. Nayan
Gunta menggambarkan pemandangan di hadapan me-
reka dengan kata-kata.
"Tempat yang indah.... Aku dapat menghirup
udaranya yang segar...." kata Arum Kemuning, wajah-
nya berseri-seri.
"Semuanya lebih dari apa yang kau perkirakan,
Arum.... Coba kau terka apa yang menghampar di ba-
wah kedua kakimu…" Arum Kemuning tidak menja-
wab. Ia merunduk, kedua telapak tangannya meraba-
raba sekitar kedua kakinya. Mula-mula ia menyentuh
rumput-rumput kecil yang menghampar.
"Bergeser sedikit ke kiri, Arum.... Yak! Sedikit la-
gi...." Nayan Gunta memberi semangat. Arum Kemun
ing cepat menggeser telapak tangannya, maka ia me-
nyentuh suatu yang amat lembut.
"Bunga....! Aku dapat memastikan yang kupegang
ini adalah sekuntum bunga!" Arum Kemuning menca-
but sesuatu yang disentuhnya tadi. Nayan Gunta ter-
senyum melihat tingkah gadis itu yang nampak men-
cium bunga.
"Oh? Ini bunga mawar.... Yah! Pasti mawar. Tidak
salah lagi... Betulkah itu?"
"Yang kau genggam itu memang sekuntum ma-
war, Arum...." Nayan Gunta membenarkan.
"Begitu banyakkah mawar-mawar ini mengham-
par....?" tanya Arum Kemuning yang masih menciumi
mawar dalam genggamannya.
"Seandainya kau dapat melihat.... Kau tak akan
mampu menghitung jumlah mawar-mawar yang berte-
baran di sini...." kata Nayan Gunta.
"Kau pandai memilih tempat tinggal, Tabib Nayan
Gunta.... Kau laki-laki berdarah seni.... Dari ucapan-
mu saja aku sudah dapat menyukai tempat ini.... Be-
tulkah mawar-mawar itu sukar untuk di hitung....?"
Wajah Arum Kemuning makin berseri-seri. Sekalipun
Arum Kemuning tidak dapat melihat keindahan yang
sebenarnya. Dalam pada itu.... "Triiing....!" Arum Ke-
muning dapat mendengar suara itu. Tabib Sakti Nayan
Gunta langsung menoleh ke arah dentingan suara itu.
Ia melihat Seta Wungu berjalan mendekat dengan
membawa sesuatu dalam rengkuhan lengan kirinya.
"Kecapi...! Itu suara kecapiku...." Arum Kemuning
menggapai-gapai tangannya. Dentingan suara senar
makin mendekat. Nayan Gunta menyentuh pundak
Arum Kemuning agar tetap tenang.
Seta Wungu yang menghampiri kedua orang itu,
langsung menyerahkan alat musik pada Arum Kemun-
ing.... Sudah tentu Arum Kemuning tidak dapat mene-
rimanya. Pandangan Arum Kemuning sendiri begitu
gelap. Tapi yang jelas ia dapat mendengar langkah
orang lain mendekatinya. Seta Wungu yang membawa
alat musik itu menyentil tali-tali senar di hadapan
Arum Kemuning. Seta Wungu sendiri berharap agar
Arum Kemuning dapat mengetahui kehadirannya....
Maka ketika senar berdenting lagi Arum Kemuning
menggapaikan kedua tangannya ke samping kanan....
Seta Wungu sendiri mendekatkan kecapi itu ke lengan
Arum Kemuning. Seperti tidak percaya Arum Kemun-
ing menjamahnya. Terlebih-lebih ketika ia menelusuri
lekuk-lekuk alat musik itu. Wajahnya nampak bersi-
nar, penuh dengan perasaan girang yang tiada terki-
ra....
"Ini kecapi milikku....! Oh, siapa yang memba-
wanya ke mari....? Ohh...." Suara Arum Kemuning ha-
ru. Sebelah lengannya menggapi-gapai agar bisa me-
nyentuh seseorang yang membawakan kecapi miliknya
Tabib Sakti Nayan Gunta membantu lengan Arum Kemuning menyentuh baju Seta Wungu
"Oh… Diakah orangnya..? Siapa lagi..? Seta Wun-
gukah..?" Tanya gadis itu.
"Yah.... Dialah Seta Wungu... Si penyelamat diri-
mu...!" kata Nayan Gunta membenarkan.
"Terima kasih.... Terima kasih, kakang Seta Wun-
gu.... Kau baik sekali.... Darimana kau mendapatkan
benda yang ku sayangi ini, kakang....?" Arum Kemun-
ing memeluki kecapinya. Seta Wungu gelagapan men-
cari alasan, lalu...
"A-A-Aku mendapatkannya dari seorang teman
baik, Arum...," kata Seta Wungu gugup.
"Siapakah temanmu itu, kakang....? Bagaimana
ia bisa berada di tangannya....?"
"Entahlah.... Dia bilang menemukan kecapi ini di
Joglo Alun pada pesta malam...." Wajah Arum Kemun-
ing berseri. Seta Wungu dapat menatap raut wajah
yang amat cantik, Yah...! Arum Kemuning memang
cantik, meskipun sekarang ia kehilangan kedua pen-
glihatannya. Setiap kali Seta Wungu menatap wajah
buta itu, selalu ada rasa penyesalan.
"Untunglah kecapi ini tidak rusak, kakang Seta
Wungu.... Aku bisa memainkannya.... Oh, ya....! Sam-
paikan juga rasa terima kasihku pada temanmu, ka-
kang." Arum Kemuning menyentil-nyentil tali senar.
"Kakek Nayan Gunta dan kakang Seta Wungu,
apakah kalian ingin mendengarkan aku menyanyi....?
Anggap saja sebagai rasa terima kasih...."
"Mendengar suara bicaramu sudah begitu mer-
du.... Apalagi kalau sedang menyanyi diiringi kecapi...
Tentunya akan lebih merdu lagi! Cobalah, sekali-kali
aku mendengar alunan Putri Kecapi....!" kata kakek
Nayan Gunta si Tabib Sakti. Wajah Arum Kemuning
memerah. Tapi ia dapat menguasainya....
Dan tanpa menunggu waktu, jari jemarinya yang
lentik memainkan kecapi. Maka suara merdu Arum
Kemuning yang diiringi dentingan kecapi mengalun
mengisi suasana senja itu.... Angin tetap berhembus
dan burung-burung beterbangan di atas langit yang
memancarkan sinar kemerahan. Pohon-pohon besar
yang lebat tumbuh di pinggiran danau seakan berbaris
menyaksikan permainan Putri Kecapi. Demikian juga
dengan kakek bongkok Nayan Gunta serta Seta Wun-
gu, keduanya betul-betul hanyut oleh alunan suara
Putri Kecapi yang amat merdu bagai buluh perindu....
Meskipun pandangan Arum Kemuning gelap, se-
puluh jarinya bagaikan lima pasang mata yang tidak
pernah meleset dalam memetik senar-senar kecapi da-
lam pelukannya.
Kurang lebih Arum Kemuning memainkan tiga
buah lagu, Seta Wungu mengeluarkan sebuah bung-
kusan dari balik bajunya. Bungkusan itu diserahkan
pada Tabib Sakti Nayan Gunta. Kakek bongkok be-
rambut putih itu sudah tahu isi dalam bungkusan. Karena sewaktu Seta Wungu menyerahkan bungkusan
itu, selembar kertas resep yang pernah diberikannya
pada beberapa hari yang lalu ikut diberikannya pula.
Kemudian tabib Sakti Nayan Gunta melangkah men-
dekati Arum Kemuning yang masih mendendangkan
senandung yang keempat.
"Sudahlah, Arum... Kami berdua sudah menden-
gar... Kau memang pantas disebut 'Putri Kecapi'... Isti-
rahatlah, mungkin kau lelah..." kata Nayan Gunta se-
telah berada di sebelah gadis itu. Arum Kemuning
menghentikan permainannya, kemudian....
"Aku belum lelah, kakek Nayan Gunta... biarkan-
lah aku menghibur diri dengan kecapi ini... Aku masih
merindukannya...." kata Arum Kemuning menolak.
"Kalau begitu, tetaplah kau di sini.... Aku dan Se-
ta Wungu akan ke pondok membuat ramuan.... Nanti
menjelang gelap Seta Wungu akan menjemput mu...."
Nayan Gunta menyentuh punggung gadis itu, Arum
Kemuning seolah tengadah ke arah kakek bongkok be-
rambut putih disebelahnya. Ia kemudian mengangguk
sambil tersenyum. Setelah menepuk perlahan dua kali
punggung gadis itu, Tabib Sakti Nayan Gunta mening-
galkannya. Seta Wungu mengikuti langkahnya di bela-
kang. Arum Kemuning tidak perduli, ia melanjutkan
permainan kecapinya.
Matahari belum tenggelam. Sinarnya yang tertu-
tup awan membiaskan sinar keperakan. Air jeram yang
terjun demikian deras menimbulkan suara bergeru-
muh. Deru itu bercampur dengan kicauan burung-
burung yang beterbangan kembali ke sarangnya.
Tiga sosok bayangan mengendap-endap dari balik
batu-batu karang yang menonjol besar. Ketiga orang
itu berwajah menyeramkan. Gerak-geriknya sangat
mencurigakan pastilah ada suatu maksud yang tidak
baik Apalagi mereka mulai bergerak mendekati Arum
Kemuning. Langkah-langkah mereka begitu hati-hati
sekali.... Salah seorang dari mereka membawa seutas
tali yang tergulung di lengan kanannya.
Ketika hampir mendekat, Arum Kemuning men-
dengar tumbuhan di sebelahnya bergemeresek. Ia ber-
henti memetik kecapi, lalu....
"Kakang Seta Wungukah itu.... Apakah sekarang
sudah menjelang malam....?" tanya Arum Kemuning
sambil menoleh ke krah suara langkah-langkah itu.
Ketika orang itu melihat Arum Kemuning, mereka baru
tahu kalau gadis itu buta. Pantaslah kehadiran mereka
tidak diketahui sama sekali.
"Kakang Seta Wungu....?" tanya Arum Kemuning
lagi dengan penasaran.
"Ya.... Ya. Aku Kakang Seta Wungu...." Kata salah
seorang yang berusaha mendekati
"Kau bukan kakang Seta Wungu.... Suaramu
sangat menyeramkan....! Juga kau bukan si Tabib Sak-
ti Nayan Gunta..., Siapa kau....?" Arum Kemuning
bangkit dari duduknya. Sebuah lengan kekar menarik-
nya dengan kasar. Seorang lagi membekapnya. Arum
Kemuning meronta-ronta. Ia menjerit sekuatnya....
Orang yang membawa tali susah payah mengikat tu-
buh ramping Arum Kemuning.
*
* * *
LIMA
Seta Wungu maupun Tabib Sakti Nayan Gunta
tersentak kaget mendengar suara jeritan Arum Kemun-
ing. Maka dengan cepat Seta Wungu berlari ke luar.
Matanya yang selalu awas, melihat Arum Kemuning
meronta-ronta dengan tubuh terikat. Tiga orang ber-
tampang menyeramkan berusaha membawanya kabur.
Lengan kirinya yang cekatan menarik gagang pedang.
Lalu menghentakkan kedua kakinya, maka tubuhnya
itu melesat cepat menerjang ke arah tiga orang yang
membawa Arum Kemuning.
Ia tidak berani ceroboh membabatkan pedangnya
ke arah mereka. Karena Arum Kemuning dekat di an-
tara orang-orang itu. Ia takut kalau-kalau sambaran
pedangnya akan salah mengenai sasaran... Perasaan
yang selalu menghantui pikirannya.
Terjangannya yang disertai sebuah tendangan,
menghantam salah seorang penculik sampai bergulin-
gan.... "Des!" Mulutnya menyembur darah, tapi ia ma-
sih dapat bangkit.
"Lepaskan gadis itu, kalau tidak.... Aku tidak
pandang lagi siapapun adanya kalian! " kata Seta
Wungu tenang, ia berdiri dengan genggaman yang erat
memegang gagang pedang. Arum Kemuning yang men-
genali suara Seta Wungu berontak.
"Kakang Seta Wungu. Tolooooong....!"
"Tenang, Arum.... Tenang....!" Seta Wungu ber-
siap-siap dengan pedangnya setelah melihat dua orang
menyeramkan itu mencabut senjata mereka. Begitu ju-
ga dengan orang yang tadi bergulingan menyemburkan
darah. Ia sudah berdiri garang dengan senjata pedang
terhunus. Tubuh Arum Kemuning sengaja dibiarkan
terikat. Keadaan menjadi hening.
Dan ketika salah seorang menerjang menyerang
dengan pedangnya, Seta Wungu menyambut.
"Traaang....!" terdengar nyaring senjata mereka beradu.
Arum Kemuning dapat mendengarnya. Ia dapat me-
mastikan kalau Seta Wungu menggunakan pedang
menghadapi orang-orang itu. Arum Kemuning khawatir
sekali, karena ia tahu orang-orang yang bermaksud
membawa dirinya lebih dari satu orang....
Seta Wungu menghantam keras pedangnya, maka.... "Waaaark!" Seorang lawannya menjerit kesakitan,
pergelangan tangannya putus melayang tinggi di uda-
ra. Serangan Seta Wungu tidak berhenti sampai di si-
tu. Kakinya dengan keras menendang ke depan....
"Deeeer!" Menghantam dada orang yang masih
menjerit itu sampai terlempar beberapa tombak ke be-
lakang. Ia berpaling lagi pada dua orang yang siap-siap
menyerang.... Mereka maju serempak. Pedang mereka
berkelebat menyilang bergantian.... Seta Wungu me-
lompat mundur, tapi pedang terus berputar menyam-
but babatan-babatan itu.
Serangan kedua orang itu makin gencar. Teria-
kan-teriakan makin lantang menggempur. Sekali Seta
Wungu menghentakkan pedangnya.... Benturan keras
tak terelakkan lagi. "Traaang!" Lengan Seta Wungu
sendiri kesemutan. Tapi bagi lawannya yang tersentak
kaget, ia tidak percaya pedangnya terlempar begitu sa-
ja dari genggamannya. Seta Wungu melesat ke atas
mengikuti ke mana pedang lawannya terlempar, lalu
dengan kecepatan bagai kilat ia menyambar pedang itu
dengan pedangnya....
"Traaak!" Pedang itu kembali ke bawah menjurus
cepat, dalam sekejap pedang itu menancap tembus di
antara kedua mata pemiliknya....
"Aaaaaaarght!" Tubuh dengan kepala tertembus
pedang kelojotan hebat, kemudian tak berkutik lagi.
Seta Wungu membabat cepat ke samping kiri mengetahui lawannya yang tinggal seorang lagi datang
menyerang....
"Traaang!" Penyerang itu menyambutnya dengan
babatan pedang pula. Lalu pedangnya menyabet ber-
kali-kali.... "Bret..! ret....! Bret....! Waaaaarg!" Penye-
rang itu ambruk bersimbah darah yang mengerikan...
Kalau saja tadi Seta Wungu mengerahkan seluruh te-
naganya mungkin tubuh itu sudah terpotong menjadi
tiga bagian.
Langkah Seta Wungu cepat menghampiri Arum
Kemuning yang terikat erat. Ia sudah tidak mendengar
suara-suara benturan pedang maupun teriakan-
teriakan jerit kesakitan. Pertarungan sudah berakhir,
pikirnya... Bagaimana keadaan Seta Wungu..? Apakah
ia mampu menghadapi orang-orang itu....? Tanya
Arum Kemuning dalam hati.
"Kau tidak apa-apa, Arum....?" tanya Seta Wungu
langsung membuka ikatan-ikatan tubuhnya. Menden-
gar suara yang sudah dikenalnya itu, Arum Kemuning
merasa lega.
"Kakang Seta Wungu.... Ah! Syukurlah kau sela-
mat.... Bagaimana dengan orang-orang itu?" tanya
Arum Kemuning. Setelah semua ikatan itu terlepas ba-
rulah Seta Wungu menjawab....
"Mereka tewas... Yang seorang lagi, aku tidak ta-
hu bagaimana keadaannya...." jawab Seta Wungu jujur.
"Kau membunuhnya, Kakang....?"
"Terpaksa, Arum.... Kalau tidak, mungkin nyawa-
ku yang melayang...."
"Rupanya kakang pandai juga memainkan pe-
dang..." Seta Wungu terpojok. Dari mana Arum Ke-
muning tahu ia menghadapi lawan-lawannya menggu-
nakan pedang... Sedangkan kedua matanya buta! Ba-
gaimana ia dapat mengetahuinya....?
"Aku memang mempunyai sebilah pedang.... Yah,
untuk sekedar menjaga diri. Setiap laki-laki harus
memiliki pedang. Dan harus membawanya ke mana-
pun ia pergi...." Seta Wungu menjelaskan. Arum Ke-
muning mengangguk mengerti.
"Sebagai wanitapun, kau harus bisa menjaga di-
ri…" katanya lagi.
"Maksudmu mengerti ilmu bela diri… Sayang....
Sejak kecil aku tidak menyukai ilmu silat, aku malah
tertarik dengan seni." tutur Arum Kemuning. Menden-
gar Arum Kemuning mengucap 'seni', Seta Wungu ti-
dak melihat kecapi miliknya. Maka ia blingsatan men-
cari-cari, pandangannya mengawasi di mana tadi gadis
itu duduk memainkan alat musiknya.... Dan ternyata
kecapi itu masih ada tergeletak di tanah berumput.
"Kakang.... Kenapa diam saja?" tanya Arum Ke-
muning, Seta Wungu tersentak.
"Ah, tidak.... Aku tengah memikirkan kau harus
bagaimana...."
"Apanya yang bagaimana...." tanya gadis itu ke-
heranan.
"Paling tidak mengerti sedikit ilmu bela diri....
Nah coba kau pegang ini!" Seta Wungu meraih lengan
gadis itu yang halus. Ia meletakkan gagang pedang ke
dalam telapak tangan Arum Kemuning.
"Yang kau pegang ini adalah gagang pedang...
Genggamlah yang erat..." perintah Seta Wungu, Arum
Kemuning menurut... Maka dengan kedua telapak tan-
gannya gadis itu menghunuskan pedang... Pedang itu
masih berlumuran darah, kalau saja Arum Kemuning
dapat melihat, tentunya ia akan merasa jijik... Bahkan
mungkin tidak berani memegang pedang itu.
"Kedua kakimu jangan terlalu rapat...! Melebar
sedikit ke belakang... Ya, begitu baru benar...!" Arum
Kemuning tersenyum ia masih merasa kikuk. Seta
Wungu mundur beberapa langkah sebelum itu ia me-
mungut beberapa batu karang sebesar kepalan tangan.
"Aku akan melemparkan batu ini satu demi sa-
tu... Kau tahu apa yang harus kau lakukan...?" kata
Seta Wungu yang telah siap-siap melempar. Arum Ke-
muning menggeleng...
"Babatkan pedang itu ke arah suara jatuhnya ba-
tu... Mengerti....?"
"Hanya demikian? Baiklah akan ku coba...." Se-
nyum Arum Kemuning berseri.
"Nah.... Bersiaplah..."
Keadaan hening... Gadis buta itu memasang te-
linga tajam-tajam... Sedangkan batu menjurus perla-
han ke samping... Begitu batu karang itu jatuh ke ta-
nah, gadis itu melompat kaku sambil membabatkan
pedangnya ke arah di mana batu karang itu jatuh...
Seta Wungu hampir tertawa menahan geli... Bagaima-
na tidak, ketika Arum Kemuning melompat memba-
batkan pedangnya, ia terjatuh... Mungkin karena gadis
itu terlalu bersemangat!
"Sewaktu membabatkan pedang kau tak perlu
melompat, Arum.... Kedua kakimu tetap berpijak pada
tanah... Salurkan tenagamu pada kedua lenganmu
yang menggenggam gagang pedang... Nah! Ayo berdiri
lagi... Kita ulangi...." Sambil nyengir, gadis itu bangkit
bergerak pada posisi seperti semula...
Kembali sebongkah batu karang melesat perla-
han... Begitu batu itu jatuh ke tanah, Arum Kemuning
bergerak sesuai dengan ajaran Seta Wungu... "Bweeet!"
Pedang itu bergerak cepat membentuk kilatan sinar
putih ke arah suara jatuhnya batu karang. Hal itu di-
lakukannya berkali-kali, Seta Wungu sendiri merasa
gembira melihat gerakan-gerakan Arum Kemuning
yang demikian lincahnya... Beberapa kali ia memba-
batkan pedangnya pada arah jatuhnya batu karang
yang dilemparkan oleh Seta Wungu. Seta Wungu sen-
gaja melempar batu-batu itu makin lama makin ce-
pat...
Sampai pada batu karang terakhir, lemparan
batu itu sengaja dipercepat.... "Weeeees!" Anginnya
berdesir keras. Arum Kemuning langsung memba-
batkan pedangnya ke samping kanan....."Praaaaak!"
Batu karang itu hancur sebelum mencapai tanah. Seta
Wungu tidak menyangka sama sekali, ia mengira tin-
dakan itu hanyalah kebetulan belaka. Maka sekali lagi
Seta Wungu memungut sebongkah batu yang ukuran-
nya lebih kecil. Meskipun batu-batu karang itu telah
habis, Arum Kemuning masih mengira Seta Wungu
masih memiliki batu-batu itu. Maka ia masih terus
berjaga-jaga, malah gerakannya itu seperti seorang ahli
pedang layaknya... Dan ketika batu kecil melesat ke
arahnya... Kali ini Seta Wungu melempar tepat ke arah
Arum Kemuning… "Weeeeees!" Tanpa melangkah, gadis
itu menyambut ke arah desiran angin... "Prrrak" Batu
yang hampir mengenai tubuhnya hancur berkeping-
keping.
Seta Wungu ternganga melihat kehebatan gadis
itu yang menjelma begitu cepat. Terdengar pula derai
tawa Arum Kemuning. Seta Wungu pun jadi ikut ter-
tawa....
"Aku menganggapnya seperti memainkan kecapi,
Kakang Seta Wungu.... Tanpa melihat, tapi aku dapat
memainkan sebuah lagu dengan sentilan jari-jemari
tanganku... Begitu juga ketika kau melemparkan batu,
aku dapat menghitung kecepatan yang kau lempar
kan... Justru sewaktu kau melempar perlahan, aku ti-
dak dapat mendengar desiran anginnya...." Arum Ke-
muning menjelaskan. Seta Wungu terpana mendengar
apa yang diucapkan gadis itu.
"Ternyata kau gadis yang cerdik Arum...
Aku tidak menyangka sama sekali...! Selama ini
kau tidak boleh memegang pedang... Nanti aku bua-
tkan satu senjata untuk dirimu... Kalau kau ku per-
senjatai sebilah pedang, tentunya akan berbahaya...
Aku takut bila suatu saat aku datang kepadamu, lalu
kau membabatkan pedang ke arahku... Aku bisa mati
konyol!"
"Ha... ha... ha... ha... ha..." Arum Kemuning ter-
tawa lepas. Belum pernah Seta Wungu mendengar ge-
lak tawa yang begitu lepas.
"Aku dapat melihat keadaan, Kakang Seta Wun-
gu... Mana mungkin aku berani membabatkan pedang
di saat-saat yang bukan tepat pada waktunya..." kata
Arum Kemuning penuh semangat.
"Ternyata memainkan sebilah pedang lebih mu-
dah dibandingkan dengan memetik kecapi" katanya la-
gi. Arum Kemuning kasih menghunuskan pedang. Seta
Wungu tidak berani mendekat, Takut kalau langkah-
nya itu dikira lemparan sebuah batu karang. Sebelum
ia maju melangkah mendekati gadis itu....
"Sudahlah, Arum... Sekarang kau sudah mengerti
apa yang dimaksudkan ilmu bela diri. Aku berharap
kau dapat mengingatnya..." kata Seta Wungu sambil
melangkah mendekati Arum Kemuning. Gadis itu me-
nyerahkan bilah pedang pada Seta Wungu.
Pada waktu itu sosok yang telah menggeletak di
tanah berusaha bangkit... Ternyata orang yang kehi-
langan pergelangan tangannya berlari meninggalkan
tempat itu. Ingin rasanya Seta Wungu merebut cepat
pedang dalam genggaman Arum Kemuning tapi Seta
Wungu membatalkan niatnya... Ia tidak ingin kekasa-
rannya dapat diketahui oleh gadis itu.
Bagi Arum Kemuning, ia dapat mendengar suara
langkah yang demikian cepatnya...
"Suara apa itu..? Aku mendengar suara langkah
orang berlari...!" kata Arum Kemuning setelah men-
dengar langkah-langkah yang semakin halus men-
jauh....
"Bukan apa-apa, Arum... Itu cuma seekor rusa
yang lari menjauh ketika melihat kau memegang pe-
dang..." Seta Wungu membohongi.
"Oh... Aku khawatir lawan-lawanmu tadi masih
ada yang tersisa dan menyerangmu, kakang Seta
Wungu... Hanya itu kekhawatiran ku...."
"Baru saja kau mempelajari dasar ilmu pedang,
tapi kau sudah berpikiran buruk…"
*
* * *
Sambil memegangi pergelangan tangannya, orang
itu terus melarikan diri. Darah menetes pada setiap ia
melangkah. Tercecer di sepanjang jalan yang menem-
bus ke dalam hutan. Larinya pontang-panting, seben-
tar-sebentar ia menoleh ke belakang. Sepertinya ia ta-
kut kalau-kalau ada seseorang yang membuntutinya.
Tidak ada rasa takut sama sekali ketika kakinya
melangkah cepat memasuki hutan yang begitu lebat.
Hutan yang menyeramkan itu banyak ditumbuhi se-
mak-semak belukar, juga akar-akaran yang merambat
naik hampir ke setiap pohon-pohon besar yang ada di
situ. Orang itu pun terkadang harus merunduk molos
melewati akar-akaran yang malang melintang mengha-
lang.
Darah masih terus menetes mengikuti ke mana ia
pergi. Ketika ia melihat sebuah tenda, langkahnya
dipercepat. Belasan orang nampak duduk-duduk di
sekitar tenda, ada juga yang berbincang-bincang berdi-
ri bersandar pada sebatang pohon. Malah ada yang re-
bahan pada tanah berumput. Mereka langsung meno-
leh ketika melihat seseorang berlari mendekati....
Orang itu tidak perduli sambil memegangi perge-
langan tangannya yang kutung, ia langsung memasuki
tenda. Di dalam tenda seseorang telah menunggu, se-
seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun le-
bih. Duduk tenang menghadapi sepundi arak. Mu-
kanya sudah merah, mungkin terlalu banyak minum...
Dan ia langsung melotot ketika melihat kehadiran se-
seorang dengan pergelangan tangan berceceran da-
rah... Mengotori ruangan itu.
"Maaf, Tuan... Kami gagal membawa Arum Ke-
muning ke sini... Kalau saja Seta Wungu tidak muncul,
kami sudah berhasil membawanya... Hanya saya sen-
diri yang berhasil lolos... Dua teman saya tewas...!
Orang yang baru datang itu menjelaskan, wajahnya
pucat.
"Mengapa kau harus kembali...? Pengecut...!" Le-
laki berpakaian mewah itu berdiri menatap pergelan-
gan tangan yang menjijikkan. Lalu ia melangkah men-
dekat.
"Agar saya dapat mengabarkan bahwa Seta Wun-
gu berada disana..." Ia meringis menahan sakit pada
pergelangan tangannya. Lelaki setengah baya itu
menghentakkan kakinya ke depan... "Des!" Menghan-
tam orang yang berdiri di hadapannya, lalu sambil me-
lompat tendangannya berputar lagi... "Deeeer!" Kali ini
membuat orang itu terlempar ke luar tenda. Ambruk
ke tanah tanpa berkutik.
Orang-orang yang berada di luar terkejut. Mereka
semua berdiri menatap tubuh yang terkapar tanpa
nyawa... Sosok tubuh berpakaian mewah ke luar dari
tenda. Ia berdiri di samping mayat itu, lalu meluda-
hinya... Tak satupun dari belasan orang yang berada di
situ tak ada yang berani mengeluarkan suara.
"Kalian akan bernasib seperti ini bila membang-
kang perintahku, mengerti...!" katanya terdengar seper-
ti tidak main-main. Orang-orang itu menunduk.
"Ditempat ini kalian harus hati-hati... karena Se-
ta Wungu berada tidak jauh dari sini... Dan juga..."
Orang itu tidak meneruskan kata-katanya, ia menoleh
dengan pandangan yang menerobos jauh. Suara derap
kaki kuda terdengar sayup-sayup. Langkah-langkah
kuda itu makin lama jelas terdengar. Lalu laki-laki se-
tengah baya itu memberi aba-aba dengan kedua len-
gannya. Maka belasan orang yang berada di situ berla-
rian berpencar.
*
* * *
ENAM
Kuda putih menerobos rimbunnya semak-semak
dalam hutan itu. Berjalan mengikuti jalan yang selalu
ditumbuhi oleh semak-semak dan rumput liar. Dua
orang penunggangnya setengah mati mencari jalan
yang dapat dilalui. Wintara yang memegang tali kekang
hati-hati sekali mengendalikan kudanya. Akuwu Mam-
bang yang duduk di depannya selalu dan menarik na-
fas dalam-dalam ketika dirasakan luka terguncang.
Tanah berumput itu memang tidak selalu rata.
Dan juga mereka memang harus melaluinya. Tidak ada
jalan yang menghubungkan menuju pondok Tabib
Sakti Nayan Gunta. Kecuali menerobos hutan belukar.
"Bagaimana dengan luka-lukamu...? Terasa tam-
bah parahkah....?" tanya Wintara. Kedua lengannya
menjaga agar tubuh Akuwu Mambang tidak bergulir ke
samping.
"Entahlah... Sekarang aku merasakan sakit seka-
li..." jawab Akuwu Mambang tanpa menoleh. Wintara
dapat melihat raut muka yang menahan sakit meski-
pun ia duduk dibelakangnya. Ia menarik tali kekang
agar kuda berhenti...
"Mungkin kita perlu beristirahat...?" usul Winta-
ra.
"Tidak... Tidak usah, pondok Tabib Sakti Nayan
Gunta tidak jauh lagi dari sini...." kata Akuwu Mam-
bang menolak. "Tetap saja lurus sebentar lagi kita
akan melewati hutan ini," katanya lagi. Wintara menu-
rut, ia menghela keras, maka kuda itu berlari kencang
menerobos di antara batang-batang pohon besar. Tidak
luput juga, dengan alang-alang serta semak yang
menghalang.
Tiba-tiba saja kuda itu berhenti mendadak, dan
meringkik kencang. Dua orang penunggangnya beru-
saha tetap duduk mengendalikan keseimbangan. Kuda
itu malah menyepak-nyepak berontak. Dari atas pohon
belasan orang terjun ke bawah menukik bagai rajawali
berebut mangsa. Wintara maupun Akuwu Mambang
melihat mereka semua. Tentulah mereka bermaksud
menghadang.
Salah seorang dari mereka, ketika loncat dari
atas pohon langsung melancarkan serangan ke arah
dua penunggang kuda. Wintara menyambut tendangan
itu "Plaaak!" Sebelum penyerangnya menginjak tanah,
Wintara melayangkan tendangannya.... "Deees!" Penye-
rang itu terbanting keras mencium tanah dengan ber-
gulingan. Akuwu Mambang begitu melihat orang-orang
yang menghadang langsung melompat. Ia tidak perduli
dengan luka-lukanya Wintara jadi khawatir. Apalagi
para penyerang itu rata-rata bersenjata... Dan di saat
mereka menyerbu serempak, Wintara berlari ke arah
Akuwu Mambang...
Dengan gerakan lincah, ia menyambut enam
orang sekaligus. Keenamnya membabatkan senjata...
Wintara melesat ke atas... Sewaktu tubuhnya berada di
udara.... "Bug....! Bug! Bug!" Kakinya bergerak cepat
menyambar. Hanya tiga orang yang terkena tendangan
itu, Wintara hinggap di tanah berumput. Dari arah be-
lakang kilatan senjata berkelebat... Akuwu Mambang
melompat, tinjunya menghantam keras penyerang ge-
lap itu. Mendengar jeritan di belakangnya, Wintara
membalikkan tubuhnya... Seseorang telah ambruk ter-
kena hantaman Akuwu Mambang. Wintara tersenyum.
Serangan mereka makin gencar. Pedang maupun golok
berputar-putar bagai kilatan sinar putih merencah
Wintara dan Akuwu Mambang. Ketika sebuah babatan
pedang melayang ke samping kiri, Wintara cepat ber-
geser bahkan dua hantamannya menyilang bersarang
telak pada wajah serta lengan yang masih memegang
gagang pedang.
Begitu juga dengan Akuwu Mambang, dua orang
maju membabatkan senjata. Cepat Akuwu Mambang
berlompat ke atas. Setelah tubuhnya berputar di uda-
ra, tahu-tahu kedua penyerang itu jatuh bergulingan
sambil memekik. Ternyata Akuwu Mambang melan-
carkan tendangan terlebih dahulu. Dari arah samping
kanan, tujuh orang maju serempak. Akuwu Mambang
cepat menendang salah seorang yang tadi bergulingan.
Tubuh itu melesat menubruk ketujuh penyerangnya.
Lalu Akuwu Mambang meraih sebilah pedang yang ter-
geletak di tanah.
"Tunggu dulu...! Mau apa kalian sebenarnya...?
Mau merampok...? Aku tidak membawa harta...!" kata
Akuwu Mambang sambil melirik ke arah Wintara yang
masih bertempur, dan saat itu ia berhasil memukul
roboh satu orang lawannya.
"Chis...! Buat apa segala macam harta…! Dan
jangan anggap kami ini semua rampok... Kami tidak
butuh harta apa pun...! Yang kami butuhkan adalah
nyawa kalian... Hreaaaaa!"
Ketujuh orang yang sudah bangkit maju, kali ini
terjangannya begitu semangat. Akuwu Mambang yang
sudah mendapatkan senjata tenang-tenang saja meng-
hadapi mereka... Senjata mereka teracung mengkilat
mengerikan... Dan ketika mereka mendekat, pedang di
tangan Akuwu Mambang berkelebat menyerupai segu-
lungan sinar putih. Sedangkan tubuhnya cepat bergu-
lir ke samping, karena tidak mungkin Akuwu Mam-
bang dapat menghadapi mereka sekaligus. Iapun dapat
melihat akibat babatan pedangnya... Dua orang terka-
par tanpa nyawa dengan perut robek selebar jengkal.
Lima orang lagi masih terus menyerang, mereka men-
gejar ke manapun Akuwu Mambang bergeser.
Wintara mengangkat tangannya ke atas melan-
carkan pukulan.... "Dees!" Satu orang terlempar mem-
bentur batang pohon. Wintara sendiri mundur ke bela-
kang setelah melancarkan serangan tadi. Ia pun
menghadap sama banyaknya dengan orang-orang yang
menyerang Akuwu Mambang. Cuma bedanya Wintara
tidak menggunakan senjata… Meskipun dengan tan-
gan kosong, ia sanggup membuat lawannya lumpuh
hanya dengan sekali hantam.
Pemuda yang mengenakan baju kulit binatang ini
tidak berani mendekat, manakala semua penyerangnya
membabatkan pedangnya, malah sampai beberapa kali
ia harus terpaksa mundur. Salah seorang dari penye-
rangnya melemparkan pedang.... Pedang itu melesat
seperti anak panah.... Wintara bergeser setengah puta-
ran maka pedang itu hanya menyerempet baju bulu di
bagian dada. Berbarengan dengan itu lima orang pe-
nyerangnya, membabatkan pedang pada arah-arah
yang sama. Sebelum pedang-pedang itu merencahnya,
Wintara melesat ke atas. Lalu hinggap dengan cepat di
belakang mereka....
Belum sempat mereka berbalik, Wintara melan-
carkan dua pukulan pada dua orang di hadapannya,
maka dua orang itupun langsung tersungkur dengan
masing-masing tulang leher mereka patah. Untuk ber-
teriak saja mereka tidak bisa mengeluarkan suara....
Dan mereka tidak ingat apa-apa lagi setelah tubuh me-
reka ambruk. Ketiga orang ini terbelalak melihat dua
orang temannya ambruk dengan seketika. Malah me-
reka melihat Wintara telah bersiap-siap melancarkan
serangan lagi. Sebelum tendangan Wintara bergerak,
salah seorang dari mereka membabatkan pedangnya
ke arah kaki yang cepat ditarik mundur. Di luar du-
gaan, tinju Wintara menerobos menghantam muka....
"Des!" Dan di saat orang itu memekik, tendangan Win-
tara berputar menghantam lambung.... "Buuug!" Kon-
tan orang itu kelojotan di tanah.
Pedang dalam genggaman Akuwu Mambang ber-
kelebat menyilang membentuk segoresan sinar putih....
"Traaang!" Senjata mereka beradu nyaring. Dari arah
belakang angin berdesir kencang mengarah.... Akuwu
Mambang menyilangkan pedang di atas kepala, ma-
ka.... "Traaang!" Seseorang gagal melancarkan babatan
pedangnya.... Menyadari orang itu masih berada di be-
lakangnya Akuwu Mambang berjumpalitan salto, tela-
pak kakinya menghantam keras batok kepala si pem-
bokong sampai remuk.
Ada sesuatu yang mendesak ke luar dari dalam
perut Akuwu Mambang. Ia berusaha menahannya.
Dadanya mulai terasa sakit., Dengan bantuan sebilah
pedang Akuwu Mambang bertahan berdiri.... Tapi....
Tiba-tiba saja ia mengejang.... Dari mulutnya menyem-
bur darah, kemudian berganti dengan gumpalan-
gumpalan darah hitam...
Para penyerangnya yang bersenjata datang
menghambur dengan teriakan-teriakan lantang. Aku-
wu Mambang tidak sempat lagi melihat, karena pan-
dangannya sudah tertutup dengan keringat yang men-
gucur dari keningnya. Dan di saat para penyerang itu
hampir membenamkan senjata mereka di tubuh Aku-
wu Mambang. Sosok tubuh melesat cepat. Tahu-tahu
sudah berdiri di depan Akuwu Mambang. Sosok tubuh
yang mengenakan baju dari kulit binatang itu lang-
sung melancarkan tendangan yang menghantam ketiga
penyerang Akuwu Mambang.... Mendapat tendangan
yang sangat keras, ketiganya bergulingan sekaligus.
Ternyata Wintara telah selesai membereskan la-
wan-lawannya. Sekarang ia datang membantu kesulitan Akuwu Mambang. Kalau saja tadi Wintara terlam-
bat, mungkin tubuh Akuwu Mambang sudah menjadi
sate. Akuwu Mambang sendiri bukan tidak mengetahui
kehadiran Wintara. Sambil menahan sakit, tiga orang
itu bangkit lagi..... Tapi Wintara tidak memberi kesem-
patan barang sekejap pun.... Kedua telapak tangannya
menghantam satu demi satu sampai mereka berpenta-
lan menyembur darah.... Pedang-pedang mereka terle-
pas semua berdenting di tanah, Mereka tidak tewas,
tapi cukup membuat mereka tak dapat berdiri.
Tiba-tiba beberapa benda tajam sebesar ibu jari
berdesing.... Beberapa saat kemudian ketiga orang itu
memekik hebat. Pada kepala mereka rata-rata menan-
cap sebuah benda kecil, namun mematikan.... Wintara
cepat menoleh ke arah dari mana asal senjata rahasia
tersebut. Dalam pada itu ia melihat sosok gemerlapan
melompat berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon
lain. Menjauh semakin jauh. Wintara berlari, kemu-
dian melompat ke atas cabang pohon mengikutinya.
Namun....
"Tidak usah kau kejar, Wintara...! Tidak mungkin
kau dapat menyusulnya!" kata Akuwu Mambang se-
tengah berteriak. Wintara yang melesat cepat masih
dapat menangkap suara itu. Maka ia berhenti pada sa-
lah satu cabang pohon. Pandangannya menoleh pada
Akuwu Mambang. Keadaan tubuh Akuwu Mambang
lebih penting dibanding pengejaran terhadap sosok
gemerlapan itu. Sekalipun ia mengejarnya dengan se-
kuat tenaga belum tentu Wintara dapat menyusul! Be-
tul! Semua yang diucapkan Akuwu Mambang memang
betul. Andaikata Wintara masih nekad menyusul, ba-
gaimana dengan Akuwu Mambang yang tertinggal sen-
diri..? Tentunya akan lebih berbahaya. Apalagi Akuwu
Mambang dalam keadaan seperti ini parahnya.
"Orang itu bermaksud ingin membunuh kita...
Siapa dia kira-kira...?" kata Wintara setelah mendekati
Akuwu Mambang.
"Ia begitu jauh... Aku tidak dapat mengenalinya,
tapi dari bentuk tubuhnya... Aku seperti pernah ken-
al..." Jawab Akuwu Mambang. Ia sudah dapat berdiri,
tapi untuk bergerak sangat sukar sekali... Wintara
yang memapah tubuh Akuwu Mambang. langkahnya
berjalan menuju pada seekor kuda putih yang me-
nunggunya di kejauhan. Akhirnya kuda putih itu sen-
diri yang datang menghampiri mereka. Wintara me-
naikkan tubuh Akuwu Mambang lebih dahulu. Setelah
Akuwu Mambang menunggangi dengan betul, barulah
Wintara menyusul naik. Wintara sengaja mengendali-
kan kuda itu berjalan perlahan, agar tubuh Akuwu
Mambang tidak terguncang. Saat itu matahari telah
tenggelam, suasana hutan itu makin gelap. Binatang
malam mulai membisingkan telinga. Suara burung
hantu menimbulkan suara yang amat menyeramkan.
Mereka baru ke luar dari hutan saat bulan purnama
menerangi sekitar danau. Mereka dapat mendengar
pula suara derasnya air terjun.
*
* * *
Seluruh ruangan pondok Tabib Sakti Nayan Gun-
ta diterangi oleh beberapa pelita yang memancarkan
sinar terang. Arum Kemuning duduk tegak pada se-
buah kursi, sosok tua Nayan Gunta berdiri menghada-
pi gadis itu. Rupanya Tabib Sakti Nayan Gunta tengah
mengganti ramuan daun pada rongga mata Arum Ke-
muning.
"Dari tadi aku tidak mendengar suara Kakang Se-
ta Wungu... Di mana dia?" tanya Arum Kemuning me-
mecah kesunyian.
"Dia bilang akan pergi ke Joglo Alun untuk me-
nemui sahabatnya Somarengga. Apa dia tidak bilang
sebelumnya padamu...?" Nayan Gunta balik bertanya.
"Tidak. Dia tidak bilang apa-apa... Tapi yaaah...
Tidak jadi masalah... Oh, ya... apa tadi kau bilang,
kek...? Seta Wungu ingin menemui Somarengga, betul-
kah itu..?" Wajah Arum Kemuning berseri.
"Dia memang bilang begitu.... Kenapa nampaknya
kau senang kalau Seta Wungu bersahabat dengan So-
marengga...." kata Tabib Sakti Nayan Gunta selesai
mengganti ramuan daun.
"Kakek tidak tahu kalau Somarengga, siapa...?
Somarengga adalah orang kepercayaan kepatihan Jog-
lo Alun. Namun yang nasibnya kurang beruntung...
Teman-teman sederajatnya malah lebih maju diband-
ing dengan Somarengga..."
"Ohhh... Ternyata kau lebih tahu perihal Soma-
rengga..." kata Nayan Gunta menimpali. Nayan Gunta
menyerahkan gelas bambu pada telapak tangan gadis
itu. Arum Kemuning yang menerimanya langsung me-
reguk habis isi gelas bambu itu.
"Aku tidak lebih dari seorang pengamen, kek...!
Tapi yang jelas, orang-orang kepatihan banyak yang
menyukai suaraku... Sehingga tidak jarang aku meng-
hibur mereka..." tutur Arum Kemuning. Sebenarnya
Nayan Gunta ingin menyampaikan sesuatu, tetapi ga-
dis itu melanjutkan pembicaraan…
"Tapi aku cukup senang setelah berkenalan den-
gan Kakang Seta Wungu... Ternyata ia memiliki per-
gaulan yang demikian luasnya... Pantas kakang Seta
Wungu sampai mengenal akrab dengan Somarengga...
Kakang Seta Wungu itu pandai memainkan pedang...
Akupun sempat diajarkan dasar ilmu pedang oleh-
nya..."
"Seta Wungu mengajarkan ilmu pedang dalam
waktu yang sesingkat ini...?" Tabib Sakti Nayan Gunta
seakan tak percaya. Arum Kemuning menganggukkan
kepala.
"Kalau Seta Wungu telah memberi pelajaran da-
sar ilmu pedang, bagaimana kau bisa menjaga diri...?
Sebilah pedangpun kau tidak memiliki..." kata Tabib
Sakti Nayan Gunta. Arum Kemuning diam, terdengar
langkah Nayan Gunta menjauh. Sebentar terdengar la-
gi langkah yang datang mendekati...
"Peganglah ini... Memang bukan sebilah pedang!
Hanya sebatang rotan... Tapi kau bisa menggunakan-
nya sebagai sebilah pedang..." kata Nayan Gunta sam-
bil menyerahkan sebatang rotan pada kedua telapak
tangan Arum Kemuning. Secara langsung gadis itu da-
pat menggenggamnya. Nayan Gunta belum beranjak
dari sisi Arum Kemuning…
"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu,
Arum…"
"Apakah itu...?" tanya Arum Kemuning penasa-
ran.
"Sebelumnya kau harus berjanji akan merahasia-
kannya..." jawab Nayan Gunta.
"Begitu pentingkah...?" Arum Kemuning berde-
bar... Tabib Sakti Nayan Gunta berjalan mendekati
Arum Kemuning. Ia membisikkan sesuatu pada gadis
itu... Sesaat kemudian gadis itu bangkit kegirangan...
"Benarkah apa yang kau katakan kakek Nayan
Gunta... Benarkah...?" kata Arum Kemuning penuh
semangat... Jari telunjuk Nayan Gunta menutup bibir
mungil gadis itu, lalu…
"Sekalipun pada Seta Wungu, kau harus meraha-
siakan hal ini, Arum... Bisakah...?" Arum Kemuning
mengangguk. Sebelah lengannya memeluk pinggang
Tabib Sakti Nayan Gunta.
Derap kaki kuda terdengar jelas, Nayan Gunta
mempertajam penglihatannya. Dalam keremangan itu,
ia dapat melihat seekor kuda putih dengan dua orang
penunggangnya... Kuda itu memasuki halaman pondok
Tabib Sakti Nayan Gunta.
"Aku mendengar derap kaki kuda seperti menuju
ke sini... Apakah itu kakang Seta Wungu bersama sa-
habatnya...?" kata Arum Kemuning sambil menoleh ke
arah suara derap kaki kuda.
*
* * *
TUJUH
Di halaman pondok Tabib Sakti Nayan Gunta,
Wintara menghentikan kudanya. Ia memandangi pon-
dok yang diterangi dengan beberapa pelita. Dalam re-
mangnya sinar rembulan, Wintara melihat sosok
bungkuk keluar dari pondok dan menuruni tangga ba-
tu. Sosok bungkuk itu tak lain si Tabib Sakti Nayan
Gunta.
"Apa yang bisa aku bantu sobat....?" Nayan Gun ta datang menyambut. Ia melihat seseorang duduk di
depan seorang anak muda dengan kepayahan. Kuda
putih nampak diam berdiri tenang.... Wintara turun
dari kuda, tapi sebelah tangannya memegang tubuh
Akuwu Mambang.
"Orang ini membutuhkan pertolongan., Apakah
kau Tabib Sakti Nayan Gunta?" tanya Wintara sopan.
Kakek bungkuk tersenyum jenggotnya bergerak tertiup
angin.
"Dia memang Tabib Sakti Nayan Gunta," kata
Akuwu Mambang dari atas kuda. Ia memang mengena-
li sosok itu meskipun dalam keadaan remang.
"Oh, kebetulan sekali.. Maafkan aku yang muda
ini, kurang berpengalaman dalam mengenal orang-
orang terkemuka seperti kakek..." Wintara memberi
hormat. Setelah itu Wintara menuruni Akuwu Mam-
bang. Orang itu betul-betul sudah tidak dapat berja-
lan. Wintara membantunya berdiri... Tabib Sakti Nayan
Gunta tidak hanya diam, iapun ikut membantu mema-
pah tubuh Akuwu Mambang. Secara tidak langsung
kakek bungkuk itu menuntun masuk ke dalam pon-
dok.
"Demikian parahnya orang ini... Rebahkan dulu
orang ini di balai, biar kulihat luka-lukanya..." kata
Nayan Gunta setelah berada dalam ruangan. Wintara
menuruti perintah itu.
Sambil duduk di samping Akuwu Mambang yang
terbaring, Tabib Sakti Nayan Gunta membuka baju
ningrat yang dikenakan orang itu.... Ia meraba seluruh
tubuh yang penuh dengan luka-luka memar. Akuwu
Mambang meringis menahan sakit.
"Pantas ia tidak dapat berjalan.... Tulang ping-
gang serta dua tulang rusuknya patah.... Siapa yang
melakukan ini, Anak Muda?" tanya Nayan Gunta sam-
bil menoleh ke arah Wintara. Belum dapat Wintara
menjelaskan, Akuwu Mambang memotong...
"Seorang pembunuh berlengan tunggal...! Ilmu
pedangnya sangat luar biasa...!" Wajah kakek bungkuk
Nayan Gunta berubah. Ia tahu siapa yang dimaksud-
kan pembunuh berlengan tunggal. Kalau begitu orang
yang terbaring ini tentunya memiliki ilmu yang tidak
rendah... Karena ia bisa selamat dari seorang pembu-
nuh yang ahli dalam ilmu pedang.
"Tunggulah sebentar di sini, aku akan ke bela-
kang mengambil ramuan obat..." Nayan Gunta bangkit,
lalu ia beranjak meninggalkan mereka, Sebelumnya ia
berpesan...
"Biarkan saja bajunya terbuka.... Sebentar aku
akan kembali lagi ke sini...." Setelah itu Nayan Gunta
hilang menyelinap melalui pintu.
Dentingan kecapi mengalun merdu, iramanya be-
gitu tenang seakan menghanyutkan perasaan bagi
orang yang mendengarnya. Dentingan itu jelas terden-
gar dari balik ruangan di mana Akuwu Mambang terbaring. Ia berusaha bangkit, tapi luka-lukanya yang
masih terasa sakit membuat tubuhnya ambruk lagi
terlentang...
"Ada apa...?" tanya Wintara yang duduk di sebe-
lahnya. Dada Akuwu Mambang nampak naik turun.
Kepalanya menoleh ke samping dinding kayu. Dentin-
gan senar semakin merdu terdengar, Akuwu Mambang
mengetuk-ngetuk dinding pembatas ruangan itu.
Saat itu Tabib Sakti Nayan Gunta sudah kembali
ke ruangan itu dengan membawa gelas bambu dan
bungkusan yang berisi peralatan. Nayan Gunta mem-
berikan gelas bambu itu pada Wintara.
"Beri dia minum ini... Mudah-mudahan rasa sa-
kitnya berkurang...." kata kakek itu. Wintara memban-
gunkan setengah duduk tubuh Akuwu Mambang. Lalu
menyodorkan ramuan obat dalam gelas bambu ke mu-
lutnya. Akuwu Mambang menenggak habis ramuan
itu...
"Nayan Gunta... Aku mendengar seseorang me-
mainkan kecapi di sebelah ruangan ini..." kata Akuwu
Mambang yang masih setengah duduk bersandar pada
Wintara. Tabib Sakti Nayan Gunta sibuk menumbuk
ramuan obat-obat pada sebuah lumpang kecil dari ba-
tu. Ia sendiri duduk bersila di lantai.
"Permainannya begitu halus.... Mengingatkan aku
pada seseorang gadis pemetik kecapi, sampai sekarang
gadis itu menghilang entah ke mana..." Pandangan
Akuwu Mambang masih menghadap pada dinding
kayu di sebelahnya.
"Di sini memang ada seorang gadis yang sedang
memerlukan perawatan... Ia pun pandai memainkan
kecapi. Namanya Arum Kemuning..." kata Tabib Sakti
Nayan Gunta yang telah selesai menumbuk obat. Ia
berdiri melangkah setelah meletakkan bubur obat pada
dua lembar daun waru yang telah kering.
Akuwu Mambang seakan tidak percaya pada
ucapan kakek bungkuk yang melangkah mendeka-
tinya...
"Arum Kemuning ada di sini...? Gadis itulah yang
kumaksudkan...!" Akuwu Mambang nampak duduk te-
gak di atas balai. Wintara membiarkannya.
"Bisakah kau bawa gadis itu ke mari…? Agar aku
yakin bahwa gadis itu benar-benar ada di sini..." ka-
tanya lagi... Tabib Sakti Nayan Gunta tersenyum me-
natap, lalu…
"Arum Kemuning...!" Nayan Gunta memanggil
dengan nada suara keras. Dentingan kecapi di ruan-
gan sebelah berhenti.
"Ada apa, Kakek Nayan Gunta...." terdengar pula
jawaban dari sana.
"Kemarilah... Kau bisa berjalan ke mari bu-
kan...?"
"Bisa...! Tunggu saja..." Akuwu Mambang berde-
bar-debar menunggu kedatangan gadis itu. Sementara
Tabib Sakti Nayan Gunta tengah memborehi semua
luka-luka dengan bubur obat-obatan. Mula-mula me-
mang terasa sakit, apalagi ketika tabib itu membung-
kusnya dengan daun-daun waru. Dan ia sempat me-
mekik saat Nayan Gunta membalut tubuhnya dengan
sobekan kain panjang.
Wintara memberikan baju ningratnya, membantu
Akuwu Mambang mengenakan. Mata Akuwu Mambang
terbelalak lebar, ketika ia melihat seorang gadis berja-
lan merambat pada dinding. Gadis itu berjalan dengan
bantuan sebatang tongkat. Kedua rongga matanya ter-
tutup dua lembar daun ramuan. Ia nampak berjalan
memasuki ruangan.
"Arum....!" kata Akuwu Mambang tersentak.
Arum Kemuning sendiri terkejut mendengar suara
yang lain memanggilnya.
"Kakek Nayan Gunta, siapa orang yang menyebut
namaku tadi...? Rasanya...."
"Aku Akuwu Mambang, Arum.... Masakah kau
tak mengenaliku... Dan kenapa dengan matamu itu,
Arum...?" Akuwu Mambang beringsut bangun. Tapi...
Akh! Lukanya menimbulkan rasa nyeri. Gadis itu di-
tuntun oleh kakek bungkuk Nayan Gunta mendekati
Akuwu Mambang.
"Anda, Tuan Akuwu Mambang....? Nampaknya
tuan tengah terluka parah..." Arum Kemuning sambil
meraba-raba arah suara lelaki itu. Akhirnya ia dapat
menyentuh tubuh yang telah dibalut.
"Ya... Aku terluka, Arum... Lalu... bagaimana kau
bisa ada di sini?"
"Seseorang membawa ke sini untuk mengobati
kedua mataku... Pembunuh buntung itu telah melukai
kedua mataku… Juga dia telah membunuh Sadewo
Mangli..," tutur Arum Kemuning.
"Kita telah dilukai oleh orang yang sama, Arum....
Parahkah kedua mata itu...?"
"Entahlah... Ada kemungkinan aku akan buta..."
jawab Arum Kemuning.
"Kau beruntung ada orang yang menyela-
matkanmu pada malam petaka di Joglo Alun.... Siapa-
kah si penyelamat yang hebat itu....?" Wintara ikut ber-
tanya. Gadis itu menoleh ke arah Wintara yang berdiri
di samping balai dekat Akuwu Mambang duduk.
"Dia pun seorang ahli pedang... Namanya Seta
Wungu!" Gadis itu menjawab. Lalu ia meneruskan ka-
ta-katanya...
"Sekarang ia sedang pergi menemui sahabatnya
Somarengga..."
"Kapan ia akan dapat ke mari lagi....?" tanya
Akuwu Mambang.
"Tidak dapat dipastikan... Datang dan perginya
kakang Seta Wungu bagaikan angin.... Tapi yang jelas
ia akan datang ke sini selama aku masih dalam pera-
watan..."
Tabib Sakti Nayan Gunta membereskan semua
peralatannya ke dalam sebuah kantong kain. Lalu ia
mendekati mereka. Wajahnya yang keriput halus me-
mancarkan keramahan.
"Hari sudah larut malam, sebaiknya kalian beris-
tirahat saja dahulu... Untuk Akuwu Mambang jangan
terlalu banyak bergerak, mungkin besok bubur obat
itu mesti diganti..."
"Aku akan menjaganya, Kek...." kata Wintara
sambil merebahkan tubuh Akuwu Mambang.
"Ayo, Arum... Kau harus kembali ke kamarmu..."
Kakek bungkuk Nayan Gunta menuntun gadis itu ber-
jalan dengan bantuan sebatang tongkat dari rotan. Me-
reka menuju kamar sebelah. Lengan kanan Arum Ke-
muning yang menggenggam tongkat terjulur ke depan
mengetuk-ngetuk lantai. Sepeninggal mereka, Wintara
mengambil selimut yang sudah tersedia di sudut balai!
langsung menyelimuti tubuh Akuwu Mambang yang
belum memejamkan matanya.
*
* * *
Irama senar berdentingan membuat Wintara
terjaga dari tidurnya. Sinar panas menyorot ke arah
mata. Wintara memicingkan matanya. Sinar matahari
pagi masuk menerobos dari celah-celah dinding kayu.
Ternyata hawa dingin semalam membuat tidur mereka
begitu pulas dan nyenyak. Ia bangkit menggeliat.
Akuwu Mambang masih pulas tertidur. Nafasnya
nampak perlahan naik turun dengkurnya pun masih
terdengar. Wintara membetulkan selimut yang hampir
terlepas dari tubuh yang terbaring pulas. Setelah itu ia
melangkah ke arah jendela. Kedua telapak tangannya
mendorong membuka daun jendela. Maka terlihatlah
pemandangan yang begitu indah. Hamparan bunga
yang bertebaran di bawah batu karang... Air danau
yang beriak-riak oleh benturan air tepian yang masih
tertutup oleh kabut putih. Dentingan senar kecapi
mengalun mengisi suasana pagi.
Musik kecapi berhenti, Wintara melihat kakek
Nayan Gunta berdiri di hadapan Arum Kemuning. Ia
nampak seperti mengganti daun ramuan di mata gadis
itu. Wintara tersenyum sambil melangkah ke luar.
Dengan bergegas ia menuruni anak tangga batu. Men-
dengar langkah itu Tabib Sakti Nayan Gunta meno-
leh...
"Bagaimana dengan Akuwu Mambang apakah ia
sudah bangun...?" tanya Nayan Gunta.
"Belum, ia masih tertidur pulas..." Wintara men-
dekat.
"Ah... Aku mesti mengganti bubur obat di tubuh-
nya... Biarlah kita tunggu saja sampai ia bangun...!"
Nayan Gunta selesai mengganti daun ramuan pada
mata Arum Kemuning. Wintara melihat alat musik da-
lam pelukan gadis itu. Maka ia teringat pada beberapa
hari yang telah lalu, ketika sebuah peristiwa pembu-
nuhan sadis terjadi di Joglo Alun. Kecapi itu masih
bernoda darah yang telah menghitam... Dan ia ingat
pula ketika menolong tubuh Akuwu Mambang dari ja-
tuh… Sewaktu bersembunyi Wintara melihat jelas
pembunuh berlengan tunggal membawa benda terse-
but... Wintara tidak habis pikir.
"Kalian boleh menikmati pemandangan pagi ini,
aku hendak menyiapkan obat untuk Akuwu Mam-
bang..." Setelah berkata begitu, Tabib Sakti Nayan
Gunta berlalu, tapi kembali ia menoleh ke belakang...
"Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kalian...
Nanti kita sarapan bersama, ya..?!" Kemudian Nayan
Gunta berjalan tidak balik-balik lagi. Tubuhnya yang
bungkuk menaiki anak tangga batu. Dalam pada wak-
tu itu, ia sempat melihat sosok tubuh gemerlapan me-
lesat cepat ke arah ruangan di mana Akuwu Mambang
berada. Adanya kecurigaan itu, Tabib Nayan Gunta ti-
dak kalah cepat melesat menyusul... Tubuh bungkuk
itu menerobos cepat melalui jendela..! "Des"! Langsung
menggagalkan serangan tubuh gemerlapan itu yang
nyaris melancarkan hantaman ke arah Akuwu Mam-
bang yang tertidur pulas. Tubuh gemerlapan mundur,
pandangannya menatap garang. Nayan Gunta lompat
ke samping balai melindungi tubuh yang terbaring.
"Memalukan.... Perbuatan apa itu! Membunuh
orang yang tengah tertidur pulas..." kata Tabib Nayan
Gunta. Sudah tentu orang yang berpakaian gemerla-
pan itu menjadi gusar. Ia tidak menjawab, malah ia
menyerang dengan beringas... Hantamannya hampir
saja mengenai kepala Tabib Sakti Nayan Gunta. Ia da-
pat merunduk, sebelah lengannya menangkis hanta-
man itu....
"Plaaak!" Nayan Gunta tidak bergeser sedikit pun,
tiba-tiba lengannya yang lain menerobos ke depan
menghantam perut... "Deees!" Orang itu mundur bebe-
rapa langkah.
Mendengar suara berisik, Akuwu Mambang terja-
ga dari tidurnya. Ia melihat langsung perkelahian di
ruangan itu. Jantungnya terkesiap ketika melihat so-
sok tubuh gemerlapan...
"Somarengga…! Apa-apaan kau....!"
Akuwu Mambang menghardik. Ia bangkit dari ti-
dur... Rasa sakitnya sedikit berkurang. Bahkan ia da-
pat berdiri... Sebenarnya ia bergerak dalam keadaan
refleks. Saat luka-luka berdenyut ia teringat akan tu-
lang-tulangnya yang remuk.
Sosok gemerlapan yang ternyata adalah Soma-
rengga tidak perduli hardikan Akuwu Mambang. Ia
semakin gencar melakukan serangan balasan pada
kakek bungkuk Nayan Gunta. Sambil menepis seran-
gan-serangan itu, ia berteriak...
"Akuwu Mambang.... Menyingkirlah dari sini! Ke-
parat busuk ini bermaksud membunuhmu... Cepat
menyingkir..." Tubuh bungkuk Nayan Gunta bergerak-
gerak lincah. Sekali waktu pukulan Somarengga ber-
hasil menghantam punggung bungkuk Nayan Gunta.
Kakek itupun tersungkur ke lantai. Begitu tubuhnya
jatuh ia langsung bergulingan menghindari serangan-
serangan berikutnya.
"Biar aku yang menghabiskan nyawa anjingnya...
Heaaaa!" Akuwu Mambang maju menerjang. Tinjunya
melayang ke depan. Somarengga yang tengah melan-
carkan serangan terhadap kakek Nayan Gunta menda-
dak berbalik mundur. Serangan Akuwu Mambang
memang sukar untuk dielakkan. Karena meskipun ia
dalam keadaan terluka parah, Akuwu Mambang masih
mampu mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya. Hanya
saja tiap-tiap gerakannya sekarang nampak lambat.
Untuk membalas serangan balik pada Akuwu
Mambang, Somarengga tidak dapat melaksanakannya.
Karena serangan-serangan Akuwu Mambang nampak
demikian gencar... Somarengga hanya dapat menang-
kis atau menghindar. Namun bagaimana hebatnya
Akuwu Mambang yang tengah terluka itu, keadaan tu-
buhnya makin menurun. Melihat itu Tabib Sakti Nayan
Gunta melesat menerjang.... Tendangannya berhasil
menghantam dada... Bersamaan itu pula Somarengga
sempat melancarkan sebuah pukulan yang bersarang
telak di tenggorokan Akuwu Mambang. Somarengga
maupun Akuwu Mambang bergulingan.
Nayan Gunta cepat membantu Akuwu Mambang
berdiri. Namun Somarengga yang sudah kalap lalu da-
tang lagi menerjang... Tendangannya yang keras
menghantam mereka sekaligus. Akuwu Mambang ter-
pelanting... Kakek bungkuk Nayan Gunta sempoyon-
gan mundur. Pandangannya masih terus mengawasi
Somarengga, takut kalau-kalau ia melancarkan seran-
gan kepada Akuwu Mambang...
Kekhawatiran Nayan Gunta ternyata benar. So-
marengga menghentakkan kedua kakinya, maka tu-
buhnya melesat dengan pukulan yang siap menghan-
tam ke arah Akuwu Mambang.... Tentu saja Tabib Sak-
ti Nayan Gunta tidak tinggal diam. Ia pun berusaha
menyelamatkan Akuwu Mambang dari maut. Soma-
rengga yang mengetahui terjangan Tabib Sakti Nayan
Gunta, memutar sebelah lengannya... "Bwaaak!" Han-
taman itu membuat Nayan Gunta terpelanting. Tubuh
Somarengga yang masih melesat tetap menjurus den-
gan tendangan yang sangat keras.... "Deeeees!" Akuwu
Mambang tidak sempat menghindar, tubuhnya terlem-
par keras menerobos jendela kayu yang terbuka le-
bar...
* * *
DELAPAN
Wintara maupun Arum Kemuning tersentak, ma-
nakala terdengar suara derak dari arah ruangan pon-
dok. Sosok tubuh terlempar ke luar menerobos jendela.
Tubuh itu tak lain Akuwu Mambang. Saat ia terlempar
tubuhnya berputar, berjumpalitan. Lalu hinggap di
atas tanah tanpa bersuara.
Selain Akuwu Mambang, tubuh Tabib Sakti
Nayan Gunta bersama Somarengga ke luar pula mene-
robos jendela. Keduanya berlompatan saling susul.
Lama sekali tubuh mereka berjumpalitan di udara. Se-
lama itupun mereka saling hantam menyerang. Akuwu
Mambang melesat lagi ke atas, ke arah mereka.... Te-
riakannya menggelegar disertai dengan tendangan
mengarah deras ke tubuh Somarengga.... "Dues!" So-
marengga memekik, tubuhnya ambruk ke tanah.
Bersamaan dengan itu, Tabib Sakti Nayan Gunta
menukik ke bawah... "Deeeeer" Tinjunya menghantam
deras ke dada Somarengga yang masih bergulingan.
Akuwu Mambang maju lagi menyerang, tapi mendadak
langkahnya terhenti. Rasa sakit di luka-luka itu me-
nyerang tubuhnya. Sesaat ia kejang... Wintara sudah
berada di situ, Ia langsung memegangi tubuh Akuwu
Mambang. Lelaki itu memuntahkan cairan kental kehitaman.
"Wintara, jaga Akuwu Mambang....!" teriak kakek
bongkok Nayan Gunta. Lengannya berkelebat me-
nyambar... Kalau Somarengga tidak bergeser, hanta-
man itu pasti mengenai mukanya.
Di luar dugaan, Somarengga yang bergerak ke
samping tidak kalah cepat menyambar hantaman itu...
"Plaak!" Kedua lengan mereka berdenyut. Somarengga
melancarkan serangannya lagi. Kali ini dengan tendan-
gan setengah memutar.... "Bwwwet" Dengan merun-
duk, kakek bungkuk Nayan Gunta menghindar, tu-
buhnya hampir merebah ke tanah.... Tanpa sepengeta-
huan Somarengga, Nayan Gunta melancarkan sabetan
kaki... Membuat tubuh Somarengga terjungkal.
Diam-diam Wintara merasa kagum akan keheba-
tan Tabib Sakti Nayan Gunta. Ia tidak menyangka sa-
ma sekali kalau kakek bungkuk itu memiliki ilmu yang
hebat pula. Pelukannya erat memapah tubuh Akuwu
Mambang yang nampak pucat mengucurkan keringat.
Arum Kemuning berjalan dengan rotannya, Sebelah
tangannya menggapai-gapai seperti mencari sesuatu.
"Wintara.... Kakek Nayan Gunta...! Di mana ka-
lian...?" Suara gadis itu halus memanggil-manggil.
Langkahnya menuju ke arah perkelahian. Sambil me-
mapah Akuwu Mambang, Wintara berjalan mendekati
Arum Kemuning.
"Diam saja di situ, Arum.... Aku akan ke sana....!"
kata Wintara.
Sebelum Wintara mendekati gadis itu, ia melihat
sosok serba hitam berlengan tunggal melesat ke arah
Arum Kemuning. Pandangan gadis itu yang gelap men-
gira kedatangan sosok hitam itu Wintara...
"Wintara...." tegur Arum Kemuning, "tapi..."
"Bukan! Aku Seta Wungu..." Sosok hitam berlen-
gan tunggal mengaku.
"Ah... Kakang Seta Wungu.... Ada apa di sana,
aku mendengar suara ribut-ribut..."
"Tidak ada apa-apa, Arum.... Sebaiknya kita pergi
dari sini...!" kata Seta Wungu menarik perlahan-lahan
Arum Kemuning.
"Bagaimana dengan kakek Nayan Gunta...?
Masakah kita pergi begitu saja...?" Gadis itu belum
mau beranjak. Kehadirannya yang diketahui oleh Win-
tara dan Akuwu Mambang membuat Seta Wungu le-
paskan lengan gadis itu.
Wintara tidak mengeluarkan suara. Begitu juga
Akuwu Mambang. Dua orang itu menatap tajam Seta
Wungu. Permainan macam apa ini... Bagaimana sosok
berlengan tunggal bisa ada di sini... Apa hubungannya
dengan Arum Kemuning...? Apakah Arum Kemuning
tidak tahu kalau lelaki berlengan tunggal itu seorang
pembunuh sadis yang pernah meneror Joglo Alun
maupun di tempat kediaman Akuwu Mambang...? Win-
tara juga pernah melihat lelaki itu membawa sebuah
kecapi dari rumah bertingkat itu...
Seta Wungu perlahan menarik gagang pedang da-
ri punggungnya. Hampir tidak bersuara. Wintara tetap
diam tidak bergeming. Matanya mengawasi genggaman
pedang. Pedang itu sudah terhunus, begitu mengkilat-
nya.... Sambil melangkah maju Seta Wungu siap mem-
babatkan pedangnya... Begitu pedang itu berkelebat
menyambar, Wintara melesat ke atas bersama tubuh
lemas Akuwu Mambang.... Tahu-tahu mereka hinggap
di belakang Arum Kemuning. Seta Wungu membalik-
kan tubuh dan dia menatap geram...
"Bangsat...! Jangan dekati gadis itu...!" suara Se-
ta Wungu terdengar keras. Arum Kemuning merasakan
ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Perlahan
Wintara berbisik...
"Tenang, Arum... Aku Wintara bersama Akuwu
Mambang... Temanmu itu bermaksud ingin membu-
nuh kami... Aku khawatir dia pun akan berlaku sama
terhadap diriku..."
"Arum Kemuning menyingkirlah dari sini....!"
Sambil berteriak, Seta Wungu maju menerjang... Pe-
dangnya yang berkilat nampak menyilaukan terkena
sinar matahari. Suara terjangan itu dapat didengar
Arum Kemuning.... Seperti apa yang diajarkan Seta
Wungu dalam permainan pedang, gadis itu memba-
batkan tongkat rotan ke arah desiran terjangan Seta
Wungu.... Sebelum membabatkan pedangnya Seta
Wungu mundur menghindari sambaran tongkat rotan.
"Aku tidak percaya dengan tingkah lakumu itu,
Kakang Seta Wungu.... Wintara dan Akuwu Mambang
bukan orang jahat, mengapa sampai hati kau ingin
membunuh mereka...?" Arum Kemuning menuding-
kan tongkat itu.
"Kau tidak mengerti, Arum... Menyingkir saja dari
situ... Aku tidak ingin menyakiti dirimu lagi..." kata Se-
ta Wungu.
"Tidak ingin menyakiti diriku lagi...?!" Arum Ke-
muning tersentak. Seta Wungu berdiri tegak tidak
menjawab... Sebelah telapak tangan gadis itu mele-
paskan daun-daun yang menutupi kedua matanya....
Ia ingin membuktikan apa yang pernah dibisikkan Ta-
bib Sakti Nayan Gunta. Kelopak matanya terbuka le-
bar... Bola matanya nampak suram, begitu juga den-
gan penglihatannya! Meskipun semua nampak suram,
ia masih dapat melihat sosok hitam berdiri di hada-
pannya... Sebelah lengan kanan sosok hitam itu berge-
rak-gerak tertiup angin.
"Kaukah Seta Wungu...? Aku berharap kau men-
gatakannya 'tidak'..." Suara gadis itu dingin.
"Akulah Seta Wungu yang selama ini kau ken-
al..." jawab Seta Wungu jujur. Bagai disambar petir
Arum Kemuning mendengar jawaban itu. Ia maju me-
langkah dengan genggaman tongkat yang gemetar...
"Kalau begitu, kaulah pembunuh Sadewo Man-
gli... dan kau juga yang telah membuat cacat kedua
mataku... Kau harus menebusnya, laki-laki terku-
tuk....!" Arum Kemuning membabatkan tongkat rotan
ke arah kepala Seta Wungu... Seta Wungu sengaja ti-
dak mengelak. Ia membiarkan hantaman rotan itu
menghantamnya berkali-kali di kepala.
"Arum.... Apapun yang kau lakukan kepadaku,
aku pasrah... Tapi berikan dulu kesempatan padaku
untuk membunuh anjing-anjing itu..." kata Seta Wun-
gu tenang. darah membanjir di wajahnya.
"Tidak ada, Seta Wungu...! Tidak ada kesempatan
lagi untukmu...!" Suara Arum Kemuning parau. Ia
menghantamkan lagi tongkatnya ke tubuh Seta Wun-
gu. Tetap saja Seta Wungu tidak mengelak... Hanta-
man-hantaman tongkat itu mendera tubuh berlengan
tunggal. Entah pada hantaman keberapa kali, tubuh
Seta Wungu melesat ke atas... Wintara yang masih be-
rada di situ cepat menyingkir menghadapi lesatan tu-
buh Seta Wungu yang langsung menerjang dengan ba-
batan pedang. Sinar pedang bergulung-gulung mence-
car Wintara.
"Hadapi dia, Wintara... Lepaskan aku..." kata
Akuwu. Mambang dalam lindungan Wintara.... Benar
juga, kalau dia masih memapah Akuwu Mambang ke-
selamatan mereka berdua malah tidak terjamin. Ma-
nakala pedang itu masih terus berputar bagai kilatan-
kilatan yang menyilaukan!
Dengan sekali hentakan tubuh Wintara yang
memapah Akuwu Mambang melesat arah Arum Ke-
muning. la langsung merebahkan tubuh Akuwu Mam-
bang dibawah kaki gadis itu. "Arum.... Akuwu Mam-
bang ada di dekatmu.... Aku mohon lindungi dia! Aku
yakin ia akan aman bersamamu..." kata Wintara, wa-
jahnya menoleh ke belakang melihat Seta Wungu da-
tang bagai setan kelaparan... Begitu Seta Wungu mem-
babatkan pedangnya... Wintara melesat ke atas ka-
kinya dapat menendang lengan Seta Wungu....
"Deees!" Hampir saja pedang itu terlepas, Menda-
pat serangan yang begitu mendadak, Seta Wungu ter-
kesiap... Wintara sudah hinggap di tanah dan ia cepat
merunduk saat pedang menyambar melewati kepa-
lanya… "Weees!" Lengan kekar Wintara memutar
menghantam perut Seta Wungu....
Menghadapi seorang pemuda yang begitu tang-
guh, Seta Wungu makin geram. Babatan-babatan pe-
dangnya berputar lagi... Kali ini kecepatannya luar bi-
asa. Kalau saja pedang itu bukan benda tajam, Winta-
ra berani menangkis atau menyambut dengan puku-
lan-pukulannya. Tapi siapa yang berani menghadapi
babatan-babatan pedang itu dengan lengan telanjang.
Tidak ada cara lain untuk menghindarinya. Kecuali
Wintara harus mundur beberapa langkah sambil men-
cari titik kelemahannya.
Arum Kemuning menyaksikan pertarungan itu
meskipun dengan pandangan yang suram. Ia dapat
melihat betapa Wintara kewalahan menghadapi Seta
Wungu yang menyerang membabi buta...
"Wintara.... Tangkap ini...!" Arum Kemuning me-
lemparkan tongkat rotannya, tongkat itu melayang di
udara ke arah Wintara. Wintara yang melihat sebatang
tongkat melayang ke arahnya langsung melompat ber-
niat meraih benda itu. Tapi Seta Wungu pun melompat
ke atas... Pedang tajamnya berkelebat mematah dua-
kan batang rotan.... Bersamaan dengan itu, Wintara
yang masih melesat di udara menendang tubuh Seta
Wungu sampai jatuh bergulingan.
Dadanya terasa sesak, ia melihat Wintara hing-
gap di tanah tanpa bersuara dengan mantap. Baru kali
ini ia mendapatkan lawan yang demikian tangguh.
Apalagi orang yang ia hadapi seorang anak muda yang
jauh lebih muda dari usianya. Dengan geram Seta
Wungu melemparkan pedangnya ke samping... Dan
menancap ditanah yang menghampar bunga-bunga
bermekaran. Wintara tidak mengerti mengapa Seta
Wungu membuang senjata andalannya. Dengan mata
yang nyalang Seta Wungu memperlihatkan jurus-jurus
aneh. Telapak tangannya menggenggam sesuatu yang
kosong... Bergerak-gerak seolah-olah tengah memain-
kan pedang...
Meskipun kelihatannya tidak begitu mematikan,
Wintara tidak memandang remeh. Ia pun mulai bersi-
kap hati-hati.... Kedua lengannya bergerak menyilang,
kemudian sebelah lengan kanannya naik ke atas kepa-
la... Yang sebelah lagi tetap menyilang bawah dada.
Dengan disertai teriakan, Seta Wungu menerjang...
Lengannya yang tunggal bergerak lebih dulu menyam-
bar... Wintara tidak mundur, ia malah maju sambil
melancarkan serangan... Tapi mendadak tubuhnya ter-
jungkal ke belakang. Seperti ada sesuatu yang meng-
hantam pangkal lengannya... Padahal ia tahu betul Se-
ta Wungu tidak menyentuhnya... Ilmu apa ini? Tanpa
menyentuh, tapi tenaga dalam pukulan itu dapat men-
jatuhkan lawannya!
Bekas hantaman itu terasa nyeri sekali. Wintara
merasakan seperti sambaran mata pedang. Kalau begi-
tu, untuk menghadapi Seta Wungu, ia harus pula
menghimpun tenaga inti penuh.
*
* * *
Sementara itu, Tabib Sakti Nayan Gunta tampak
mengangkat kedua tangannya ke atas. Rupanya ia me-
nyambut tendangan Somarengga. Dalam pada itu
Nayan Gunta berhasil mencengkeram kaki yang masih
berkelebat diatasnya. Sambil memegangi kaki Soma-
rengga... Kakek bongkok Nayan Gunta balas menen-
dang... Menghantam keras dari perut ke tenggorokan.
Maka tubuh Somarengga mencelat tidak tanggung
tanggung.
Dasar Somarengga seorang yang memiliki ilmu, ia
masih dapat mengimbangi tubuhnya ketika mencelat.
Ia malah berjumpalitan salto di udara... Di luar du-
gaan, ia sempat melemparkan beberapa senjata raha-
sia dari balik bajunya yang gemerlapan... Senjata-
senjata rahasia itu meluncur deras ke arah Tabib Sakti
Nayan Gunta. Kalau saja matanya yang ditumbuhi alis
putih kurang awas, mungkin senjata-senjata rahasia
itu sudah bersarang di tubuhnya... Ketika senjata-
senjata itu berdesingan, Nayan Gunta berhasil me-
nyampok dengan kedua telapak tangannya... Bahkan
dua buah pisau kecil itu dapat ditangkap dengan jari
telunjuk dan jari tengah.
Sekali lagi Somarengga melemparkan beberapa
senjata rahasia. Senjata rahasia itupun berdesingan...
Tabib Sakti Nayan Gunta melesat ke atas sambil me-
lemparkan kembali kedua pisau kecil yang terselip di
kedua jarinya... "Aaaargh!" Somarengga memekik! Ia
tidak dapat menghindari senjata-senjata rahasianya
sendiri. Dua pisau kecil menancap pada bahu serta
lengannya... Dan sewaktu Nayan Gunta turun ke ta-
nah, tendangannya yang keras melemparkan tubuh
Somarengga... Tubuh itu mencelat tak terkendali... Ja-
tuh di arena pertarungan Wintara dengan Seta Wungu.
Semula Seta Wungu berniat melancarkan seran-
gan kepada Wintara, tapi setelah melihat Somarengga
yang jatuh di bawah kakinya, ia langsung menarik ke-
rah baju gemerlapan Somarengga.
"Keparat kau Somarengga...! Kau telah
mengkhianati diriku...! Semua ini terbongkar akibat
ulah dungumu yang rakus akan kedudukan...! Kau ti-
dak mungkin dapat menggantikan kedudukan Akuwu
Mambang, Anjing busuk...! Karena kau pun akan sama
mampusnya dengan mereka...!" kata Seta Wungu men-
cengkeram erat kerah baju gemerlapan Somarengga.
"Tidak mungkin kau bisa membunuhku Seta
Wungu... Aku banyak uang! Kau boleh ambil semua
harta kekayaanku, asal…"
Perkataan Somarengga terputus, karena sebuah
hantaman menghantam telak pada batang lehernya.
Darah menyembur. Somarengga sudah tidak dapat ge-
rak. Tulang lehernya terasa patah.
"Setelah kau mampus, apa susahnya menguasai
hartamu...!" Wajah Seta Wungu nampak menyeram-
kan, seluruh wajahnya memerah dengan darah dari
luka-luka di kepalanya.
Semua orang yang berada di situ menatap ngeri
ke arah Seta Wungu. Bukan ngeri lantaran takut. Tapi
ngeri melihat darah yang membanjir dibagian muka
sosok berlengan tunggal.
"Kalian dengar...! Khususnya untuk Akuwu
Mambang! Anjing busuk inilah yang selalu mendalangi
tiap-tiap pembunuhan orang-orang kepercayaan kepatihan...! Aku bicara yang sebenarnya...! Juga Untuk
Arum Kemuning..." Seta Wungu yang nampak menge-
rikan tidak melanjutkan kata-katanya... Karena ia
sendiri tengah memukul ambruk Somarengga ke ta-
nah. Tubuh itu kelojotan... Sesaat kemudian Soma-
rengga diam tak berkutik, nyawanya telah jauh terbang
melayang, lalu...
"Arum Kemuning boleh mengatakan aku seorang
pembunuh... Tapi sebenarnya luka yang ada di kedua
matanya bukan unsur kesengajaan... Itulah sebabnya
aku membawanya ke mari... Mengurus serta menja-
ganya..."
Wintara, Akuwu Mambang juga Arum Kemuning
dan Tabib Sakti Nayan Gunta tidak bereaksi. Mereka
malah bersyukur karena dengan kematian Somarengga
berarti telah mengurangi kekuatan lawan mereka. Me-
reka hanya mendengarkan ocehan Seta Wungu...
"Untuk Nayan Gunta.... Terpaksa dalam, hal ini
kau ku libatkan.... Kau pernah mengatakan Arum Ke-
muning akan buta! Tapi nyatanya.... Sekarang gadis
itu telah tahu siapa diriku yang sebenarnya... Sama
kau menipu, Nayan Gunta.... Sekali lagi kuperingatkan
padamu, Arum Kemuning Menyingkirlah dari tempat
ini...! Aku sudah bersumpah tidak ingin menyakitimu
lagi...! Setelah aku membunuh tiga orang keparat ini,
kau boleh membunuhku, Arum…" Sambil berkata be-
gitu Seta Wungu menggerak-gerakkan sebelah tangan
nya. Maka terlihat jurus-jurus aneh Seta Wungu. Tela-
pak tangannya tergenggam seperti memegang sebilah
pedang.
*
* * *
SEMBILAN
"Majulah kalian bertiga...." Seta Wungu menan-
tang.
"Hati-hati, ia menggunakan jurus 'Pedang Tanpa
Wujud'... Jurus itu lebih berbahaya dari pedang sung-
guhan..." bisik Tabib Sakti Nayan Gunta pelan. Arum
Kemuning maju menghadang Seta Wungu.
"Sebelum kau membunuh mereka, kau harus
membunuhku terlebih dahulu... Ayo kakang Seta
Wungu... Kenapa mesti ragu-ragu...!" Gadis itu meng-
halangi dengan kedua tangannya.
"Sudah kubilang, aku tak dapat menyakitimu,
Arum... Menyingkirlah..." Tiba-tiba saja tubuh bung-
kuk Nayan Gunta melesat ke atas, lalu berputar di
udara... Sesaat kemudian dia hinggap dalam jarak be-
berapa tombak di belakang Seta Wungu.
"Manusia sombong...! Buktikan ocehanmu itu...!
Kau pikir kami seekor lalat yang mudah ditepuk den-
gan telapak tangan. Mari Seta Wungu... Aku yang tua
ini belum pernah tahu kehebatan ilmu 'Pedang Tanpa
Wujud'..." Tabib Sakti Nayan Gunta telah bersiap
menghadapi sosok lengan tunggal Maka dengan gera-
kan yang sangat cepat, Seta Wungu berlari mendekati
Tabib Sakti Nayan Gunta. Arum Kemuning tidak dapat
menghalangi lagi…
"Kakang Seta Wungu... Jangan bunuh dia...!" Te-
riakan Arum Kemuning tidak diperdulikan. Seta Wun-
gu terlanjur melancarkan serangan terhadap kakek
bungkuk itu. Sebelah lengannya bergerak... Lengan ke-
riput Nayan Gunta menyambut. Benturan dahsyat tak
terelakkan...
Keduanya sama-sama melancarkan serangan.
Dari kejauhan perkelahian mereka nampak seperti dua
sosok ringan yang beterbangan saling bentur. Kurang
lebih mereka sudah mengeluarkan sepuluh jurus. Na-
mun masih belum dapat dipastikan di antara mereka
siapa yang bakal jatuh. Baik Seta Wungu maupun ka-
kek bungkuk Nayan Gunta masih sama-sama kuat.
Jurus-jurus ampuh mereka makin gencar. Kalau Seta
Wungu melancarkan serangan maut, Tabib Nayan
Gunta pun tidak kalah hebat menyambut serangan
itu... dan saat hantaman mereka beradu, terdengar
suara yang amat nyaring. Seperti benturan dua bong-
kah batu.
Wintara membantu Akuwu Mambang berdiri. Ra-
sa sakit di tubuhnya rada berkurang. Arum Kemuning
masih berdiri menyaksikan pertarungan itu. Ia merasa
lega, karena kakek bungkuk Nayan Gunta dapat men-
gimbangi serangan-serangan Seta Wungu. Ia berharap
tidak ada yang terluka di antara keduanya. Ia pun me-
rasa menyesal karena telah melukai kepala Seta Wun-
gu. Tidak seharusnya ia bertindak demikian.
"Arum, kemarilah... Akuwu Mambang perlu per-
tolongan. Kau bisa membawanya ke dalam pondok...?"
kata Wintara. Arum Kemuning menoleh ke arah Winta-
ra. Lalu tanpa menjawab ia melangkah mendekat. Da-
lam jarak yang sangat dekat, gadis itu dapat melihat
Wintara dan Akuwu Mambang dalam rangkulan. Win-
tara membiarkan Arum Kemuning menuntun Akuwu
Mambang berjalan lemah menuju pondok. Dalam pen-
glihatan gadis itu, pondok yang ada di hadapannya
nampak suram. Namun begitu ia masih bisa melihat
jalan yang menuju pondok dengan jelas.
Lengan Tunggal Seta Wungu berkelebat memutar.
Nampak lingkaran hitam bergulung-gulung bagai kiti-
ran angin. Menghantam keras ke segala arah titik ke-
lemahan kakek bungkuk Nayan Gunta yang kewalahan
menghindari serangan-serangan itu. Sekali ia meng-
hentakkan kakinya ke atas, dalam sekejap tubuh
bungkuk itu sudah berada di udara... Lengannya ber-
gerak cepat menghantam punggung Seta Wungu…
"Des!" Dalam pada itu pun Seta Wungu tidak kalah ce-
pat memutar lengan tunggalnya ke atas ke arah Nayan
Gunta yang nampak masih berjumpalitan di udara...
Jelas sekali hantaman itu tidak mengena, tapi...
"Deeees!" Entah karena apa Nayan Gunta memekik he-
bat, tubuhnyapun terbanting jatuh menggelinding ke
tanah.
Sekali lagi Seta Wungu menerjang deras. Lengan
tunggalnya siap melancarkan pukulan 'Pedang Tanpa
Wujud'... Manakala Tabib Sakti belum sempat bangkit
dan ma sih mengerang menahan sakit... Saat itu sosok
Wintara berkelebat sambil menghantam. Lengan Tung-
gal Seta Wungu yang tadi hampir menghantam kepa-
la... Tiba-tiba saja bergeser melenceng terkena pukulan
Wintara yang datang begitu keras. Diam-diam Wintara
merasakan tinjunya berdenyut.
"Bagus... Anak muda. Kalian boleh mengeroyok-
ku sekaligus! Mana Akuwu Mambang...? Kenapa ia ti-
dak menunjukkan diri..?" Lengan Tunggal Seta Wungu
menyilang di hadapan mukanya. Kemudian terjangan
yang bagaikan setan tahu-tahu hantamannya menju-
rus ke muka Wintara... Desiran anginnya begitu ken-
cang terasa menghantam samping muka. Secepatnya
kedua telapak tangan Wintara maju mendorong tubuh
berlengan tunggal itu. Dalam pada itupun Seta Wungu
sempat melancarkan tendangan ke perut. Maka kedua
tubuh itu mencelat... Tapi keduanya sama-sama memi-
liki keseimbangan tubuh yang hebat.
Saat mereka mencelat, mereka dapat mengendalikan diri... Keduanya berjumpalitan di udara... Kemu-
dian sebelum hinggap di tanah keduanya saling maju
menerjang Bagai dua ekor rajawali yang berebut mang-
sa...
"Blaaaaar!" Hantaman mereka saling beradu. Kali
ini betul-betul berakibat fatal. Tubuh Wintara ambruk
bergulingan di tanah, Seta Wungu mencelat terlempar
ke arah batu karang. Sebelum tubuhnya membentur
batu karang... Kedua kaki Seta Wungu menjejak batu
itu, sehingga tubuhnya memantul kembali... Menga-
rah deras menubruk Wintara yang baru berusaha
bangkit.
Melihat situasi seperti itu, Tabib Sakti Nayan
Gunta maju melancarkan serangan....
"Deees!"
Seta Wungu memekik sambil bergulingan. Ia ti-
dak menyangka mendapat serangan mendadak dari
kakek bungkuk Nayan Gunta.
Tabib Sakti Nayan Gunta sendiri nampak berdiri
terhuyung. Tendangannya memang keras menghantam
Seta Wungu, membuat seluruh tenaganya terkuras
habis. Namun tindakannya itu tidak percuma. Dalam
hati Wintara berterima kasih sekali terhadap Tabib
Sakti Nayan Gunta. Kalau saja kakek bungkuk itu ti-
dak melancarkan tendangan memotong serangan Seta
Wungu. Barangkali pukulan 'Pedang Tanpa Wujud'
melumpuhkan tubuh kekar Wintara.
Seta Wungu bangkit menggeram. Mukanya lebih
seram lagi... Karena darah yang mengalir dari kepa-
lanya mengucur deras membasahi raut wajah si Len-
gan Tung gal. Teriakannya begitu menggelegar saat ia
menerjang mengumbar maut. Melihat keadaan yang
demikian, Wintara melompat arah kakek bungkuk
Nayan Gunta. Ia khawatir, kalau-kalau Nayan Gunta
akan menjadi sasaran utamanya. Maka ketika Wintara
berada di hadapan kakek bungkuk, ia sudah beran-
cang-ancang menyambut serangan yang bakal datang.
Apa yang dikhawatirkan oleh Wintara, ternyata
benar...! Seta Wungu membabatkan lengan tunggalnya
kuat-kuat. Wintara menyambut dengan tendangan-
nya... "Plaaak!" Lalu tinju Wintara maju menerobos,
Seta Wungu menghindar lincah. Tubuhnya bergeser.
Cepat lengan tunggalnya menepis jotosan itu...
Perkelahian dua manusia sakti ini berlangsung
sengit. Dua sosok itu gencar melancarkan serangan-
serangan. Tabib Sakti Nayan Gunta dapat melihat ke-
hebatan anak muda yang mengenakan baju dari kulit
binatang. Belum pernah ia melihat jurus-jurus yang
begitu dahsyat, seperti yang dilancarkan Wintara. Tu-
buhnya yang nampak begitu ringan berpindah-pindah
mengelakkan serangan Seta Wungu.
Seta Wungu pun demikian, dengan gerakan yang
ringan ia mencecar anak muda itu. Keduanya nampak
bergerak-gerak tanpa menyentuh tanah. Itu bertanda
bahwa Keduanya memiliki ilmu peringan tubuh yang
sempurna. Walaupun mereka menginjak tanah, itupun
hanya sekejap! Sedetik kemudian mereka beterbangan
lagi bertempur di udara.
Dua belas jurus telah berlalu. Keduanya sama-
sama belum dapat melancarkan serangan. Mereka sa-
ma-sama tidak dapat menyentuh. Kecuali benturan-
benturan hantaman yang terdengar. Tabib Sakti mem-
belalakkan matanya, ketika melihat Wintara berhasil
menghantam dada Seta Wungu sampai terdorong ke
belakang. Seta Wungu mengikuti dorongan pukulan
itu... Mendadak ia berhenti berdiri di atas semak-
semak yang rimbun.
Hebat! Tabib Sakti Nayan Gunta merasa kagum.
Dirinya sendiri belum tentu bisa melakukan seperti
itu. Dia pernah mempelajari berdiri di atas semak, tapi
ia tidak dapat bertahan lama seperti yang dilakukan
Seta Wungu sekarang. Di atas semak itu Seta Wungu
nampak mengeluarkan jurus-jurusnya lagi. Gerakan-
nya seolah-olah menantang... Wintara menatap tajam,
sambil berdiri di tempat ia mengangkat kedua tangan-
nya.... Sekali ia menggerak-gerakkannya nampaklah
sepasang tangan Wintara menjadi demikian banyak.
Bayangan-bayangan lengan itu jelas sekali dapat dihi-
tung. Semuanya berjumlah lima pasang… Sukar untuk
menentukan sepasang lengan yang asli.
Dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan
mata, Wintara melesat dengan lima pasang lengan-
nya.... Dia tidak langsung menyerang Seta Wungu,
Wintara masuk menerobos dalam rimbunnya semak...
Seta Wungu yang berdiri di atasnya tersentak kaget.
Saat tubuh Wintara tahu-tahu menyembul ke atas se-
mak... Kemunculan Wintara yang mendadak disambut
dengan babatan lengan tunggal Seta Wungu... Wintara
telah menghantam lebih dulu dengan lima pasang len-
gannya... Maka keduanya sama-sama terbanting lebih
dulu bukan karena kena hantaman... Tapi akibat ben-
turan tenaga dalam mereka sendiri... Darah menetes
dari sela-sela bibir Wintara... Seta Wungu tidak terluka
sedikit pun. Apalagi mengeluarkan darah.... Ia hanya
merasakan nyeri pada sendi-sendi tulangnya... Wintara
belum bangkit, Seta Wungu berdiri dengan tubuh
sempoyongan... Wajahnya yang berlumur darah makin
menyeramkan.
"Kakang Seta Wungu, hentikan...!" Arum Kemun-
ing berlari ke arah mereka.
"Tuan Akuwu Mambang akan mengampuni bila
kau kembali ke jalan yang benar... Itu tawaran yang
menarik, kakang Seta Wungu...! Kau akan hidup be-
bas...!" kata gadis itu lagi... Langkahnya makin dekat.
Seta Wungu menyeringai.
"Aku yang tidak mengampuni mereka, Arum...
Bukan dia! Karena hukum tidak berlaku bagiku..." ja-
wab Seta Wungu lantang.
"Sadarlah, kakang... Tinggalkan kehidupan yang
bergelimang darah itu...!"
"Demi kau semua akan ku tinggalkan… Tapi nan-
ti setelah anjing-anjing ini mampus semua... Aku tidak
suka dengan tindakan yang setengah-setengah... Seka-
rang sudah kepalang basah... Menyingkirlah, Arum…
Aku tidak melibatkan dirimu..." Seta Wungu maju.
Wintara bersiap-siap melindungi Arum Kemuning.
"Seekor anjing masih punya perasaan... Diband-
ing dengan dirimu, kau tidak lebih dari bangkai hi-
dup...!" Tabib Sakti Nayan Gunta menimpali ucapan
Seta Wungu. Sesaat Seta Wungu menoleh ke arah ka-
kek bungkuk itu, lalu.... Dengan lesatan yang sangat
cepat Seta Wungu bergerak melancarkan serangan...
Bersamaan dengan itu tubuh Arum Kemuning ikut
berlari mengikuti arah Seta Wungu... Sebelumnya ia
meraih pedang Seta Wungu yang tertancap di tanah...
Bagaimana pun gadis itu tidak dapat menyamai kece-
patan Seta Wungu!
"Kau ingin mampus lebih dahulu, kakek kepa-
rat...!" Terjangannya sangat cepat. Lengan tunggalnya
bergerak sangat mengerikan, Tabib Sakti Nayan Gunta
sudah bersiap menyambut... Wintara tidak tinggal di-
am... Selama Seta Wungu melesat... Wintara pun ber-
lari dengan kecepatan penuh.
Hal ini bukan berarti Seta Wungu tidak tahu. Se-
belum Seta Wungu menghantam kakek itu, lengan
tunggalnya berputar ke samping menyambar tubuh
Wintara. Dengan gelagapan Wintara menangkis seran-
gan itu, tapi hantaman yang begitu keras membuatnya
terbanting. Tabib Sakti Nayan Gunta langsung melan-
carkan tinjunya. Seta Wungu yang sudah berniat ingin
menghabiskan nyawa renta itu, membabatkan lengan
tunggalnya tidak tanggung-tanggung ke arah jotosan
itu… "Praaaaak!" Kedua lengan mereka beradu keras!
Tabib Sakti Nayan Gunta memekik hebat... Sebelah tu-
lang lengannya remuk. Nayan Gunta bergulingan sam-
bil memegangi lengannya yang patah.
Arum Kemuning berlari ke arah kakek bungkuk
Nayan Gunta. Ia langsung menghalangi Seta Wungu
yang siap melancarkan serangannya lagi. Gadis itu
langsung mengacungkan pedangnya menghadang...
"Jangan, kakang... Sudahi pertumpahan darah
ini..." kata Arum Kemuning memohon.
"Tidak, Arum.... Kau menyingkirlah....!"
Sambil berkata begitu Seta Wungu melesat me-
mutar ke samping, hantamannya siap dilancarkan...
Tapi Arum Kemuning membabatkan pedangnya meng-
halangi... Tiba-tiba saja Seta Wungu berteriak panjang
seperti menahan sakit! Tubuhnya kelojotan di tanah.
Lengan tunggalnya memegangi kedua matanya yang
berlumuran darah. Rupanya ketika Arum Kemuning
membabatkan pedangnya, tanpa sengaja mata pedang
itu menyambar kedua kelopak mata Seta Wungu... Pekik kesakitan Seta Wungu menggelegar!
Padahal sambaran pedang itu tidak sengaja di
arahkan ke bagian mata. Mana mungkin Arum Ke-
muning dapat berbuat seperti itu... Penglihatannya sa-
ja suram, lagi pula gerakan Seta Wungu sewaktu me-
lancarkan serangan kepada Tabib Sakti Nayan Gunta
begitu cepat melesat. Nayan Gunta maupun Wintara
seakan tak percaya dengan apa yang dilakukan Arum
Kemuning.
"Kakang...! Aku tidak sengaja. Aku..." Arum Ke-
muning ketakutan. Seta Wungu tidak menjerit lagi.
Sambil menggeram ia bangkit. Dua rongga matanya
hancur! Lengan tunggalnya bergetar hebat seperti me-
nahan amarah yang sangat luar biasa. Dilihat dari lu-
ka di kedua rongga matanya yang begitu parah, pasti-
lah Seta Wungu buta total! Bagaimana tidak, kedua
bola matanya nampak hancur dan hampir copot.
"Arum... Sekali lagi kuperingatkan menyingkirlah
dari tempat ini... Aku tidak ingin kau celaka... Cepat
Arum menyingkirlah..." Suara Seta Wungu parau ber-
getar. Arum Kemuning berjalan perlahan. Tabib Sakti
Nayan Gunta berusaha diam tidak mengeluarkan sua-
ra... Wintara sudah berdiri tegang....
"Hreaaaaaaaaaaaaaaa!" Mendadak Seta Wungu
mengerahkan segenap suaranya. Teriakannya sangat
lantang membisingkan tempat itu... Yang ia dengar
hanya langkah Arum Kemuning. Tiba-tiba saja ia melesat ke arah Arum Kemuning.... Gerakannya seperti
hendak melancarkan serangan...
Sudah tentu Wintara tidak akan membiarkan Se-
ta Wungu menghantam gadis itu. Maka Wintara me-
lompat bermaksud melindungi Arum Kemuning... Di
luar dugaan Seta Wungu membalikkan serangan ke
arah Wintara.... "Bug!" Tendangan Seta Wungu masuk
menghantam perut. Ternyata ketika ia melesat ke arah
Arum Kemuning, itu hanyalah suatu tipu muslihat.
Dengan begitu sudah pasti salah seorang dari mereka
pasti datang untuk menggagalkan serangannya....
Sewaktu Wintara melompat, Seta Wungu dapat men-
dengar desiran angin.. Dari situlah Seta Wungu mem-
balikkan serangan... Hebat.
Seta Wungu sudah dapat memastikan mana Win-
tara berada... Sewaktu Wintara jatuh akibat tendangan
tadi, Seta Wungu dapat mendengar suara di mana mu-
suhnya terjatuh. Maka setelah ia mendengar suara ge-
debuk di tanah, Seta Wungu langsung mengarahkan
serangan-serangan ke arah suara itu... Sebenarnya
Wintara bisa mengelakkan serangan-serangan itu. Tapi
lantaran serangan gencar itu tidak pernah putus Win-
tara kewalahan juga menghadapinya.
Hebatnya Seta Wungu adalah dapat mendengar
setiap gerakan Wintara...! Sekalipun Wintara melan-
carkan serangan, Seta Wungu tetap menyambut den-
gan lengan tunggalnya. Mungkin karena dasar-dasar
ilmu pedang membuat Seta Wungu dapat membeda-
kan suara sehalus apapun... Tapi Wintara tetap memi-
liki keyakinan... Sesuatu melintas dalam benaknya.
*
* * *
SEPULUH
Sedetik kemudian Wintara mengarahkan tendan-
gannya ke samping. Tabib Sakti Nayan Gunta heran
melihat tingkah Wintara. Mengapa ia harus menen-
dang ke tempat yang kosong? Kenapa tidak langsung
saja diarahkan pada Seta Wungu...?
Tendangan Wintara yang begitu keras menimbul-
kan suara angin yang menjadi pusat pendengaran Seta
Wungu... Maka setelah mendengar desingan itu, Seta
Wungu mengira Wintara bergeser... Ia pun bermaksud
melangkah ke arah desiran angin, tahu-tahu....
"Deeees!" Wintara yang masih tetap di situ den-
gan mudah dapat melancarkan serangan. Seta Wungu
sendiri betul-betul merasa terkecoh... Sekarang tu-
buhnya mental jauh! Hantaman telapak tangan Winta-
ra yang berisi tenaga dalam itu membuat Seta Wungu
menyemburkan darahnya dari mulut.
Sosok hitam lengan tunggal bergulingan, mulut
nya menyemburkan darah berkali-kali. Baru kali ini ia
mendapat hantaman yang demikian hebatnya. Dan se-
karang harus mengakui akan kehebatan anak muda
itu. Wintara telah membayar tunai kelicikan Seta
Wungu.
Seta Wungu sempoyongan, sebentar-sebentar tu-
buhnya melayang ambruk. Meskipun pandangannya
gelap, kepalanya tetap terasa seperti berkunang-
kunang dan berputar. Wintara membiarkan tubuh Se-
ta Wungu jatuh bangun, ia sudah menghentikan se-
rangan-serangannya. Tabib Sakti Nayan Gunta diban-
tu berdiri oleh Arum Kemuning. Mereka semua mena-
tap Seta Wungu. Betapa sukarnya ia bangkit berdiri.
Ada rasa iba dalam hati mereka...
"Arum.... Arum Kemuning, Ahhhh....!" rintih Seta.
Wungu sambil merangkak di atas tanah. Ia masih be-
lum dapat berdiri..
"Kau sudah lihat, Arum... Aku hampir mati... Pu-
askah kau...? Puaskah...? Mana anak muda itu... Su-
ruh ke mari... Kenapa ia tidak membunuhku seka-
lian... Ahhhh! nama besar Pendekar Kelana Sakti me-
mang bukan sekedar nama kosong....!"
Pendekar Kelana Sakti..? Siapa yang dimaksud-
kan dengan si Pendekar Kelana Sakti? Arum Kemuning
maupun Tabib Sakti Nayan Gunta keheranan menden-
gar ucapan Seta Wungu. Belum habis rasa heran me-
reka, Wintara berjalan mendekat ke arah Seta Wungu.
Langkahnya perlahan penuh hati-hati....
"Seta Wungu... Sebenarnya kau seorang yang be-
rilmu tinggi.. Sayang kau berada pada jalan yang tidak
benar... Kalau sekarang kau mau merobah segala tata
cara kehidupanmu, aku rasa Akuwu Mambang akan
mengampunimu... Peristiwa ini tidak akan sampai ke
kepatihan... Beliau akan menganggapnya selesai..." ka-
ta Wintara.
"Baru kali ini Pendekar Kelana Sakti mengenal
kompromi.... Padahal aku sudah banyak mendengar
semua sepak terjang mu dalam dunia persilatan.... Ke-
napa sekarang kau menginginkan aku tetap hidup...?
Tidak seperti musuh-musuhmu yang lain... Lakukan-
lah.. seperti kau membantai musuh-musuhmu..."
"Aku membantai musuh-musuh dari golongan hi-
tam menurut caraku....! Dengan cara sadis ataupun
wajar, itupun menurut caraku... Seperti mereka yang
telah membantai kedua orang tuaku... Mereka pun
punya cara tersendiri...! Masing-masing mempunyai
cara...! Untukmu, Seta Wungu... Aku tidak perlu mem-
bunuhmu..."
"Kenapa..! Kau lebih senang melihat aku tersiksa
begini...?" Seta Wungu berusaha bangkit, tapi percuma
sesaat kemudian tubuhnya ambruk lagi.
"Kau tak akan tersiksa, Seta Wungu! Tabib Sakti
Nayan Gunta mau mengobatimu. Asalkan kau kembali
pada jalan yang benar...." kata Wintara tegas....
"Aneh seorang pembunuh macam aku masih mau
diselamatkan...."
"Kau memang seorang pembunuh....! Tapi kau
masih punya perasaan....!"
"Aku tidak pernah memiliki perasaan...!" bentak
Seta Wungu, kali ini ia dapat bangkit, tapi bukan ber-
diri. Melainkan duduk berlutut.
"Kalau kau tidak punya perasaan, kenapa kau ti-
dak membunuh Arum Kemuning di saat menghantam
memecahkan kepala sekaligus juga membutakan ke-
dua Matamu.... Hah!"
"Karena aku sudah berjanji tidak akan menyakiti
untuk kedua kalinya setelah melukai kedua matanya
ketika peristiwa di Joglo Alun....!" Seta Wungu mene-
rangkan.
"Aku rasa bukan lantaran sumpah janjimu, Seta
Wungu.... Aku dapat melihat gerak-gerik di saat kau
berhadapan dengan Arum Kemuning... Kau tak dapat
membohongi dirimu... Benarkah kau mencintai Arum
Kemuning..."
Seta Wungu tidak menjawab. Pertanyaan Wintara
bagaikan cambuk berduri yang menjerat lehernya. Su-
kar sekali Seta Wungu mencari jawaban yang tepat.
"Seperti yang telah kau katakan, bahwa selama
ini pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang
kepercayaan kepatihan didalangi oleh Somarengga...
Selain terhadap orang-orang itu kau tidak pernah melakukan pembunuhan apapun...!"
"Pendekar hebat, dari mana kau tahu hal itu....?"
Seta Wungu keheranan.
"Karena tidak mungkin Somarengga menyuruh
kau membunuh orang-orang yang tidak menurut ren-
cananya... Iya, kan....?" Seta Wungu diam lagi. Kar-
tunya benar-benar terbongkar!
Ia tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan
'Pendekar Kelana Sakti' yang seakan-akan menelan-
jangi dirinya. Entah kekuatan dari mana tahu-tahu sa-
ja Seta Wungu menghentakkan tubuhnya... Dalam se-
kejap Seta Wungu dapat berdiri tegak. Di luar du-
gaan....
"Semua yang kau ucapkan memang benar, Pen-
dekar... Aku memang mencintai Arum Kemuning... Te-
lah kukumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk
meminang gadis itu... Tapi sekarang pikiranku telah
berobah! Biarlah uang itu tetap akan kuberikan pada
Arum Kemuning. Sekarang yang ku pinta... Bunuhlah
aku!"
"Tidak, Seta Wungu... Sebelumnya kita memang
tidak pernah punya urusan..."
"Kalau begitu, akupun mempunyai cara tersendi-
ri..." Seta Wungu bergerak. Nampak ia mengeluarkan
jurus-jurus seperti tadi yang pernah diperlihatkan.
Wintara bersiap-siap menyambut. Tapi Wintara yakin,
serangan-serangan itu tidak mungkin mematikan...
Begitu tubuh Seta Wungu melesat Wintara cepat ber-
geser... Ternyata Seta Wungu tidak melancarkan se-
rangan..! Tubuhnya meluncur deras ke arah bukit batu
karang, membiarkan kepalanya membentur keras...
"Praaaak!" Seta Wungu ambruk tanpa berkelojotan la-
gi...
Tidak ada yang dapat menyelamatkannya. Winta-
ra yang mengira Seta Wungu yang melancarkan seran-
gan tidak sempat lagi meraih tubuh yang melesat ce-
pat. Mereka hanya bisa melihat kepala Seta Wungu
hancur berderak menghantam batu karang.
Arum Kemuning berlari ke arah tubuh Seta Wun-
gu yang terkapar di bawah bukit batu karang. Jeritan-
nya menyayat ketika keadaan sosok yang masih men-
geluarkan nafas tersendat-sendat...
"Kakang...! Pikiranmu buntu...! Kenapa harus
melakukan ini...?" Arum Kemuning menangis di samp-
ing tubuh berlengan tunggal yang terkapar bersimbah
darah.
"B-B-Benar apa... yang diucapkan olah.... Si Pen-
Pendekar Ke-Kelana Sakti i... itu.. Ma-M-Manusia me-
memang memiliki cara ter-tersendiri.... Ahhhhhh....! A-
A-Arummm Li-lihat sendi…ri caraku tadi..."
"Kakang Seta Wungu.... Kau tidak akan mati....!"
"U-uang itu....! Uang itu.... Ku-Ku-kusim.... pan
di ku-kubu.... ran.... tua d-d-di Jog... Jog.... Joglo....
al…" kata-kata Seta Wungu terputus. Ia telah menghembuskan nafasnya yang terakhir....
"Kakaaaaaaaaang!" Arum Kemuning memekik.
Tangisnya membuat suasana haru. Dunia ini memang
aneh. Atau semua ini karena karunia Tuhan.... Seo-
rang pembunuh yang tewas mendapat iringan tangis
seorang gadis cantik jelita. Sementara tangisan Arum
Kemuning belum berhenti....
"Seta Wungu telah menebus dosanya. Dia me-
mang seorang yang berjiwa kesatria." Suara Wintara
menghentikan tangis Arum Kemuning.
"Benar... Seta Wungu menghendaki sendiri cara
kematiannya, siapa akan menyangka kalau dia akan
bertindak begini...." Tabib Sakti Nayan Gunta berjalan
mendekati mereka.
Air terjun yang jatuh dari atas jeram meluncur
deras menghantam bebatuan yang menghampar di
bawahnya... Suara itu tidak pernah berhenti. Permu-
kaan danau itupun terus beriak. Dari kejauhan dianta-
ra derunya suara derasnya air terjun, terdengar suara
derap kaki kuda dari balik hutan yang berderet di se-
keliling danau.
Ketiganya tersentak dan menoleh ke arah suara
derap kuda. Mereka melihat kepulan debu beterbangan
di permukaan tanah. Nampak jelas belasan ekor kuda
keluar dari balik hutan... Teriakan para penunggang-
nya pun terdengar di saat menghela kuda yang mereka
tunggangi.
Belasan kuda-kuda itu makin lama makin dekat
menuju pondok yang berdiri tegak di atas bukit batu
karang. Tapi setelah mereka melihat ketiga orang yang
masih berdiri di samping mayat Seta Wungu, belasan
kuda-kuda itu menghampiri mereka.
"Arum Kemuning ketakutan, ia menyelinap ke be-
lakang Wintara.
Nayan Gunta tenang-tenang mengawasi langkah-
langkah belasan kuda-kuda yang kian mendekat. Ku-
da-kuda itu berhenti tepat dihadapan mereka. Para
penunggangnya menatap tajam.
"Akuwu Mambang menulis surat ke kepatihan,
bahwa ia terluka parah... Benarkah beliau berada di
sini...?" tanya salah seorang penunggang kuda paling
depan. Penunggang kuda yang lain maju ke depan,
mendekati orang yang berbicara tadi.
"Anak muda itulah yang membawa Akuwu Mam-
bang mengantarkan surat ke kepatihan. Aku melihat-
nya sendiri..." bisiknya. Lalu ia membawa kudanya
berjalan mendekati ketiga orang yang masih berdiri.
"Jangan takut...! Kami utusan kepatihan yang
akan menjemput Akuwu Mambang! Benarkah kea-
daannya telah pulih...?" Orang itu memandang kakek
bungkuk Nayan Gunta, lalu...
"Aku yakin kakek adalah Tabib Sakti Nayan Gun-
ta... Bagaimana keadaan beliau, kek?" tanya orang itu
sambil turun dari kudanya. Kakek bungkuk Nayan
Gunta menoleh ke arah pondok. Wintara berjalan
mendekat....
"Beliau memang ada di sini... Lukanya belum
sembuh betul! Beliau masih dalam perawatan Tabib
Sakti Nayan Gunta Wintara menjelaskan.
"Ah, syukurlah.... Kami merasa khawatir akan
keselamatannya! Hanya Akuwu Mambang yang masih
tersisa dalam kepercayaan Kepatihan! Biarlah kami
akan menjaganya di sini sampai beliau sembuh betul,
dan...." Orang itu tidak meneruskan kata-katanya.
Pandangannya tertuju pada sosok tubuh tanpa lengan
tergeletak di bawah batu karang.
"Siapa dia...? Sosok yang serupa dengan tulisan
yang tertera dalam surat Akuwu Mambang... Pembu-
nuh berlengan tunggal," katanya dengan nada kehera-
nan.
"Heh...! Di sini ada juga sosok si pengkhianat
Somarengga... Lihat itu...!" teriak salah seorang pe-
nunggang kuda, lalu orang itu pun turun dari ku-
danya. Menuju ke sosok kaku Somarengga yang ber-
lumur darah.
"Kalian akan segera tahu....!" Tiba-tiba terdengar
suara dari arah pondok. Serempak mereka semua
mengarahkan pandangannya ke sebuah pondok yang
berdiri kekar di atas bukit karang. Akuwu Mambang
berdiri menghadapi jendela. Tubuhnya yang telanjang
dada nampak penuh dengan balutan.
"Kalian jangan bersikap seperti itu terhadap me-
reka... Turunlah dari kuda, tunjukkan kesopanan ka-
lian di hadapan para pendekar sakti... Karena mereka-
lah yang menyelamatkan diriku..." katanya lagi dengan
setengah berteriak. Kontan belasan penunggang kuda
itu turun dari kudanya masing-masing. Tabib Sakti
Nayan Gunta melangkah mendekati salah seorang be-
rada tidak jauh darinya.
"Silahkan.... Silahkan kalian ke pondok, kalian
boleh menengok Akuwu Mambang." Kata kakek bung-
kuk Nayan Gunta menyambut ramah. Orang-orang
kepatihan tidak menjawab, tapi langkah mereka berja-
lan mengikuti langkah si Tabib Sakti Nayan Gunta
yang berjalan lebih dulu…. Akuwu Mambang terse-
nyum memandangi mereka dari jendela. Ia pun sempat
melihat Wintara bersama Arum Kemuning tetap berdiri
di tempat itu. Mereka berdua memang sengaja tidak
ikut memasuki pondok.
Arum Kemuning masih memandangi tubuh Seta
Wungu yang terkapar tanpa nyawa. Pandangan ma-
tanya yang suram mengalirkan air mata yang begitu
bening. Isak tangisnya hampir tidak kedengaran.
"Aku akan tetap di sini menjaga batu nisan ka-
kang Seta Wungu, kalau perlu sambil memainkan ke-
capi... Agar setiap dentingan senar dapat menentram-
kan kehidupannya di sana. Aku menyesal telah mem-
butakan matanya, sekalipun dia pernah melukai kedua
mataku."
"Lebih baik kau kembali ke Joglo Alun, Arum....
Di sana akan lebih baik." kata Wintara yang berdiri di
belakangnya.
"Tidak, Wintara... Biarlah aku menanam semua
kepahitan di sini...." jawabnya pelan.
"Kalau itu keputusanmu, aku rasa tidak jadi ma-
salah..."
"Bagaimana dengan kau...?" Arum Kemuning ba-
lik bertanya.
"Aku selalu pergi setelah tugasku selesai..." Arum
Kemuning tersenyum meskipun air matanya masih
meleleh.
"Benar apa yang dikatakan oleh kakang Seta
Wungu, kalau kau adalah 'Pendekar Kelana Sakti'...
Darimana kau mendapat ilmu yang setinggi langit itu?
Atau kalau perlu boleh ku tahu nama gurumu..."
"Aku tidak mengenali guruku sama sekali... Aku
menganggap guruku adalah dari pengalamanku sendi-
ri, yaitu dari musuh-musuhku.. Aku dapat mempelaja-
rinya dari mereka...!"
Ruangan itu penuh dengan belasan orang-orang
kepatihan yang duduk bersila mengelilingi dinding.
Akuwu Mambang duduk di atas balai dekat jendela. Ia
menceritakan semua yang terjadi atas dirinya. Orang-
orang itu begitu kagum begitu mendengar seorang to-
koh anak muda yang berjuluk 'Pendekar Kelana Sakti'
yang merupakan pokok cerita yang dibeberkan Akuwu
Mambang,
Tabib Sakti Nayan Gunta menyuguhkan mereka
beberapa kendi air, seorang membantunya menua-
ngkan air dalam tiap-tiap gelas. Tubuh bungkuk itu
kembali ke dapur untuk mengambil beberapa gelas
bambu lagi.
"Kita harus memberi hadiah besar kepada pende-
kar sakti itu, Tuan Akuwu Mambang...." kata salah
seorang yang duduk menghadap kepada Akuwu Mam-
bang.
"Aku sudah memikirkan... Tapi hadiah apa yang
pantas kita berikan padanya?"
"Beri saja dia kedudukan di kepatihan... Aku rasa
dia pasti setuju...!" kata yang lain menimpali. Lalu seo-
rang lagi angkat bicara…
"Dengan adanya pendekar sakti, Joglo Alun akan
tentram....!"
Arum Kemuning memasuki ruangan itu. Ia tidak
langsung masuk, karena jalannya terhalang oleh bebe-
rapa orang yang duduk bersila. Kehadiran gadis itu,
mereka yang duduk menghalangi, langsung memberi
jalan...
"Wintara sudah pergi... Ia titip salam untuk tuan
Akuwu Mambang dan Tabib Sakti Nayan Gunta...." ka-
ta Gadis itu sambil melangkah memasuki ruangan.
Mendengar ucapan itu, Akuwu Mambang langsung menoleh ke jendela yang terbuka lebar. Di luar
sudah tidak nampak lagi sosok tubuh Wintara. Akuwu
Mambang bangkit menghadap ke luar. Nampak sosok
tubuh mengenakan baju kulit binatang berjalan sema-
kin kecil menyusuri pinggiran hutan. Mereka semua
kecewa ketika sosok yang semakin menjauh itu hilang
menerobos ke dalam lebatnya pepohonan.
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar