..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 14 Desember 2024

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE IBLIS LENGAN TUNGGAL





PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE IBLIS LENGAN TUNGGAL


Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka

IBLIS  LENGAN  TUNGGAL


Oleh Buce L. Hadi

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

tapi kita cuman merubah bentuknya aja , tidak memproduksi :p

Hak Cipta ada pada Penerbit

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-

ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Buce L. Hadi

Serial Pendekar Kelana Sakti 

dalam episode: Iblis Lengan Tunggal



SATU



"Traaaz....! Glegaaaaaaar!" Suara petir memecah-

kan kelamnya langit dengan lidah-lidah sinar yang 

amat menyilaukan. Bersamaan dengan itu derasnya air 

hujan menyiram permukaan bumi. Membuat seluruh 

jalan itu becek dan tergenang air.

Seorang mengenakan tudung lebar berlari mene-

robos derasnya hujan. Bajunya sudah nampak basah 

kuyup, tubuhnya juga kelihatan menggigil. Langkah-

nya cepat menyeruak tanah becek.

Suasana malam itu demikian dingin dan menye-

ramkan. Apalagi di sisi jalan nampak jelas puluhan pa-

tok kuburan yang telah usang. Pemandangan seperti 

itu sama sekali tidak membuat takut orang yang berla-

ri melintasi daerah itu.

Di luar dugaan, orang itu membelok ke arah ta-

nah pemakaman. Tidak jarang kakinya yang melang-

kah cepat menerjang tanpa sengaja patok usang sam-

pai patah.. Orang itu tetap lari tak perduli. Sampai ki-

ra-kira ia melangkah sepanjang tiga puluh tombak ia 

berhenti. Pandangannya menerobos derasnya hujan.

Tertuju pada sebuah kuburan batu. Ia dapat melihat 

lapat-lapat nyala api. Kuburan batu itu mirip sebuah 

tempat peristirahatan, sayang sudah tak terurus.

Dengan penuh keyakinan, ia melangkah menuju


ke situ. Semakin dekat ia mendengar suara halus letu-

pan api unggun.

"Seta Wungu....! Seta Wungu…! Aku datang....!" 

Suaranya lantang bercampur dengan gemuruh deras-

nya hujan. Orang yang telah basah kuyup berjalan 

mendekati kuburan tua. Ia dapat melihat jelas seseo-

rang duduk tenang menghadapi api unggun. Tempat 

itu cukup lumayan, dapat terlindung dari derasnya hu-

jan.

Air hujan menetes dari baju yang telah basah 

kuyup, orang itu berdiri di belakang seseorang yang 

tengah menghadapi api unggun.... Lalu membuka tu-

dung lebarnya. Wajahnya nampak pucat karena hawa 

dingin.

"Maafkan.... Aku datang terlambat… Cuacanya 

kurang memungkinkan, Seta Wungu...." katanya lagi. 

Orang yang diajak bicara diam. Ia nampak tengah me-

nikmati hangatnya api unggun.... "Glegaaaar!" Sekali

lagi suara geledek memekakkan telinga. Tubuh kuyup 

itu menoleh keluar. Dilihatnya hujan semakin deras.... 

Suasana nampak gelap menakutkan.... 

"Siapa yang kau inginkan, Somarengga? Katakan 

sekarang...." Tiba-tiba saja orang itu mengeluarkan su-

ara. Pandangannya masih tertunduk menatap lidah-

lidah api, Tubuh kuyup itu tidak berani mendekat 

maupun duduk di sebelahnya, ia hanya berdiri di be-

lakang. Lalu dengan gemetar ia berani bicara....ke situ. Semakin dekat ia mendengar suara halus letu-

pan api unggun.

"Seta Wungu....! Seta Wungu…! Aku datang....!" 

Suaranya lantang bercampur dengan gemuruh deras-

nya hujan. Orang yang telah basah kuyup berjalan 

mendekati kuburan tua. Ia dapat melihat jelas seseo-

rang duduk tenang menghadapi api unggun. Tempat 

itu cukup lumayan, dapat terlindung dari derasnya hu-

jan.

Air hujan menetes dari baju yang telah basah 

kuyup, orang itu berdiri di belakang seseorang yang 

tengah menghadapi api unggun.... Lalu membuka tu-

dung lebarnya. Wajahnya nampak pucat karena hawa 

dingin.

"Maafkan.... Aku datang terlambat… Cuacanya 

kurang memungkinkan, Seta Wungu...." katanya lagi. 

Orang yang diajak bicara diam. Ia nampak tengah me-

nikmati hangatnya api unggun.... "Glegaaaar!" Sekali

lagi suara geledek memekakkan telinga. Tubuh kuyup 

itu menoleh keluar. Dilihatnya hujan semakin deras.... 

Suasana nampak gelap menakutkan.... 

"Siapa yang kau inginkan, Somarengga? Katakan 

sekarang...." Tiba-tiba saja orang itu mengeluarkan su-

ara. Pandangannya masih tertunduk menatap lidah-

lidah api, Tubuh kuyup itu tidak berani mendekat 

maupun duduk di sebelahnya, ia hanya berdiri di be-

lakang. Lalu dengan gemetar ia berani bicara....


"Sadewo.... Sadewo Mangli… Orang itu yang 

kuinginkan!"

"Sadewo Mangli....? Kenapa semua orang-orang 

yang kau inginkan rata-rata dari pembesar kera-

jaan....?" Orang yang disebut Seta Wungu menoleh ke 

belakang. Lalu ia berdiri di tempat. Nampak wajahnya 

yang angker. Begitu juga sebilah pedang tersampir di 

punggungnya. Sebelah lengannya kutung. Terlihat je-

las lengan bajunya melambai-lambai tertiup angin. 

Lengan kirinya kekar dilapisi dengan lengan baju sam-

pai sebatas pergelangan tangannya. 

Tubuh kuyub itu tidak berani menatap. Dari ba-

lik bajunya yang basah ia mengeluarkan sebuah kan-

tong sebesar kepala bayi. Dari situ terdengar suara 

gemerincingnya uang logam. Sudah pasti kantong itu 

berisi penuh dengan uang.

"Sebelumnya terimalah tanda jasa ini Seta Wun-

gu...."

"Untuk Sadewo Mangli, aku minta bayaran dua 

kali lipat...." kata Seta Wungu. Somarengga yang 

kuyup kedinginan menatap dalam.

"Atau kita batalkan saja transaksi ini...!" Seta 

Wungu bicara lagi. Somarengga makin diam kedua ke-

lopak matanya berkedip.

"Ba-ba-baiklah.... Setelah urusan ini beres, akan 

ku tambahkan lagi...." janji Somarengga "Tapi ingat.... 

Harus berhasil, Seta Wungu….!" kata Somarengga lagi.


"Asal kau tepati janjimu.... Kau tak usah khawa-

tir...." jawab Seta Wungu mantap.

"Traaaaz!" Guratan kilat dengan lidah-lidahnya 

yang runcing merobek langit. Tempat itu terang dalam 

sekejap. Hujan masih deras. Percikan air hampir 

membasahi pinggiran lantai kuburan, batu. Tubuh 

tanpa lengan itu berdiri menatap derasnya hujan. 

"Di mana bisa kutemui Sadewo Mangli....?" Suara 

Seta Wungu terdengar datar.

"Besok malam bisa kau temui pada pesta malam 

di Joglo Alun...." jawab Somarengga sambil mengena-

kan kembali tudung lebarnya. Seta Wungu kembali 

duduk menghadapi api unggun, Sebelah lengannya 

membetulkan letak kayu bakar yang hampir mati.

"Sekarang aku permisi.... Kutunggu hasilnya lu-

sa.... Selamat tinggal...," Setelah mengenakan tudung 

lebarnya, Somarengga langsung beranjak dari tempat 

itu. Keduanya sama-sama acuh tak perduli.

Dengan berlari kecil, Somarengga menerobos de-

rasnya air hujan melintasi tanah pekuburan. Beberapa 

kayu nisan ambruk lagi tertendang tanpa sengaja oleh 

langkah-langkah itu.

Seta Wungu masih menekuri api unggun. Dalam 

pikirannya melintas seraut wajah lelaki setengah tua. 

Ia mengingat-ingat raut wajah itu.... Selintas pula se-

nyumnya pahit. Lengan kanan bajunya melambai-

lambai tertiup angin.


* * *

Joglo Alun sebenarnya tidak lebih dari sebuah 

lapangan luas. Tapi pada pesta malam seperti itu, 

orang-orang kampung itu menyulapnya menjadi se-

buah tempat yang amat menyenangkan. Tenda-tenda 

didirikan di sana-sini. Segala macam hiburan ada pada 

tiap-tiap tenda. Para pedagangpun tidak sedikit yang 

ikut menyemarakkan tempat itu. Tiap setahun sekali 

tempat itu memang selalu ramai. Dan malam ini betul-

betul nampak lebih meriah dibanding tahun-tahun 

yang lalu.

Orang-orang dari desa manapun pasti berdatan-

gan ke Joglo Alun. Pesta malam yang diadakan setiap 

setahun sekali memang merupakan tradisi untuk 

mencari kesenangan atau menghibur diri seusai panen 

padi. Tidak heran kalau penduduk desa lain bermata 

hijau melihat lenggak-lenggok para gadis Joglo Alun 

yang berseliweran di situ....

Musik-musik gending Jawa maupun sejenisnya 

bercampur aduk terdengar. Tapi bagi orang-orang yang 

berada dalam tenda, musik yang mereka hadapi ter-

dengar jelas. Dan hampir tiap-tiap tenda penuh dengan 

para pendatang yang keluar masuk. Dari kaum lelaki, 

perempuan sampai anak-anak.... 

Hanya sebuah tenda di bagian paling sudut nam-

pak sepi. Tapi di dalamnya ada beberapa orang duduk


menghadapi hidangan. Mereka adalah orang-orang ke-

rajaan yang bertugas di situ sebagai penjaga keama-

nan. Badewo Mangli sebentar-sebentar ke luar dari 

tenda itu. Sepertinya ada sesuatu yang ditunggunya. 

Beberapa penjaga yang berdiri di luar tenda sampai 

terheran-heran.

Seorang gadis memeluk kecapi (alat musik) berja-

lan menerobos dari kerumunan orang-orang yang ber-

lalu lalang. Jemarinya yang lentik sengaja menyentil-

nyentil tali senar. Maka terdengar alunan musik den-

tingan senar kecapi. Pandangannya memutar menga-

wasi keramaian itu. Hingga akhirnya tertuju pada se-

buah tenda di sudut lapangan. Senyumnya tersungg-

ing, iapun menuju ke situ.

Mendengar alunan denting kecapi, Sadewo Man-

gli langsung berjingkat bangun dari tempat duduknya. 

Begitu ia ke luar tenda, matanya langsung tertuju pada 

seorang gadis pemetik kecapi yang telah berdiri di ha-

dapannya.

"Arum Kemuning....! Ah, aku kira kau tidak da-

tang.... Mari masuk semua sudah menunggumu.... Ma-

ri....!" Sadewo Mangli menyambut ramah.

"Mana bisa begitu, Tuan... Pekerjaan saya me-

mang menjual suara... Kalau saya tidak datang, berarti 

sama saja menolak rejeki....." Suara gadis itu lembut, 

ia melangkah memasuki tenda. Di dalamnya telah me-

nunggu empat orang pembesar istana duduk berderet


membentuk setengah lingkaran. 

"Nah, sobat-sobat.... Inilah Arum Kemuning yang 

kumaksudkan.... Dia sengaja ku undang ke mari un-

tuk menghibur kita." kata Sadewo Mangli setelah me-

masuki tenda. Arum Kemuning senyum-senyum sam-

bil menundukkan wajah berkali-kali ke arah tamu-

tamu itu.

"Orang-orang menyebutnya Putri Kecapi.... Sua-

ranya pun sudah banyak didengar orang. Termasuk 

aku pengagumnya... Kalian boleh dengar nanti..." kata 

Sadewo Mangli sambil memberikan tempat duduk ke-

pada Arum Kemuning si Putri Kecapi. Tempat itu su-

dah disediakan sebelumnya Sebuah bantalan empuk 

berlapis Sutra berwarna kuning emas. Terletak di ten-

gah-tengah ruangan tenda.

Para pembesar itu begitu kagum setelah melihat 

penampilan Putri Kecapi yang anggun menawan. Me-

reka tidak henti-hentinya memandangi wajah cantik 

itu. Arum Kemuning tertunduk malu.... Sadewo Mangli 

tersenyum melihat sobat-sobatnya merasa puas 

dengan kehadiran si jelita Arum Kemuning.

Tanpa diperintah lagi, Arum Kemuning mulai 

memainkan kecapinya. Jari-jemari lentik terlihat halus 

memetik senar. Suaranya yang merdu mengisi alunan 

denting kecapi. Semua para pembesar yang berjumlah 

lima orang termasuk Sadewo Mangli betul-betul kagum 

dibuatnya. Mereka semua termangu mendengar si Pu


tri Kecapi beraksi.

Dua orang penjaga di hadapan pintu tenda ikut 

pula mendengarkan suara dan musik kecapi. Mereka 

seakan hanyut dalam alunan merdunya dentingan se-

nar. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan sen-

jata sebilah tombak. Keasyikannya benar-benar terusik 

ketika ia melihat seseorang berpakaian serba hitam. 

Dua penjaga tenda itu dapat melihat jelas sosok yang 

mendekatinya itu orang cacat. Sebelah lengannya ku-

tung. Di balik punggungnya tersoren sebilah pedang. 

Wajahnya yang angker menatap para penjaga itu.

Kedua penjaga pintu tenda langsung menyilang-

kan tombak-tombaknya ketika orang berlengan tunggal 

itu mendekati. Salah satunya malah melarang....

"Maaf, Kisanak.... Tenda ini bukan untuk umum, 

di sini khusus para pembesar...." jelasnya.

Sosok serba hitam itu tidak menyahut. Ia malah 

maju selangkah, lengan kirinya cepat bergerak menca-

but gagang pedang. Kedua penjaga itu tidak dapat 

mengikuti kecepatan sebelah tangan yang bergerak 

menyilang. Seberkas sinar putih menyilaukan mem-

bersit.... Menghantam putus tombak-tombak mereka. 

Lalu dengan gerakan merunduk ia membabat memutar 

pedangnya.... 

"Sreeet!.... Sreeeet! Wuaaaa....!" Mereka menjerit 

dengan masing-masing luka sayatan pedang di perut. 

Satu berguling.... Satu lagi ambruk masuk ke dalam


tenda. Sudah tentu keduanya tewas.

Ketika tubuh bergelimang darah itu ambruk me-

masuki tenda, tubuh itu hampir jatuh menimpa Arum 

Kemuning yang tengah memainkan kecapi. Seketika 

alunan yang merdu terhenti, malah berganti dengan 

suara teriakan kaget.... Kelima pembesar istana itupun 

tersentak menyaksikan tubuh penjaga tenda tahu-tahu 

ambruk dalam ruangan mereka. Sadewo Mangli berdiri 

sambil tangannya siap mencabut pedang dari ping-

gang. Yang empat orang lagi ikut-ikutan bangkit, ma-

lah ada yang lebih dulu mencabut pedang.

Di hadapan mereka telah berdiri sosok hitam 

dengan pedang terhunus. Pandangannya tajam men-

gawasi kelima orang yang berada dalam ruangan ten-

da.

"Bandit buntung....! Mau apa bikin onar di sini.... 

Cari mampus!" hardik Sadewo Mangli.... Kini keli-

manya sudah mencabut senjata. Arum Kemuning be-

ringsut ketakutan. Cepat ia berlari ke belakang Sadewo 

Mangli. Manusia berlengan tunggal itu tidak perduli, ia 

melangkah terus berdiri sampai di ruangan tengah.... 

Perlahan sekali ia mengangkat pedangnya. Bersamaan 

dengan itu, para pembesar mulai menerjang menye-

rang.... Babatan-babatan pedang bagaikan lecutan-

lecutan sinar siap merencah. Sosok hitam melesat ke 

atas sambil pedangnya berputar menyambut gen-

caran itu...


"Trang....! Traang!" Senjata-senjata mereka bera-

du. Ketika kakinya menyentuh tanah, sosok hitam 

menggerakkan pedangnya sekuat-kuat ke samping ki-

ri.... "Bwet....! Arghhhhhh!" Salah seorang tewas den-

gan batang lehernya hampir putus. Darahnya me-

nyembur tenda.... Datang lagi dua orang dengan baba-

tan-babatan garang mengarah. Sosok hitam berbalik 

menyambut, lalu bagaikan serigala kelaparan ia meng-

ganas. Ia mainkan pedangnya menerjang ke arah 

Orang-orang itu. Melancarkan pembunuhan-

pembunuhan sadis. 

Pedangnya bergerak menebas, darah segar seperti 

air mancur! muncrat berhamburan. Dibarengi dengan 

batok kepala yang menggelinding ke tanah. Seorang la-

gi tidak mampu menjerit. Dengan mata terbelalak pe-

dangnya terlepas dari genggaman. Perutnya telah me-

nembus sebilah pedang yang telah berlumuran darah. 

Dan saat sosok hitam menarik pedangnya, tubuh yang 

telah tertembus itu ambruk terjungkal. Pedang itu ti-

dak cukup berhenti! sampai di situ. Setelah menarik 

pedangnya, sosok hitam menyambut serangan yang 

datang dari arah belakang.... 

"Traaang!" Kalau saja ia tidak cepat menyilang-

kan pedangnya ke atas kepala, sudah pasti kepalanya 

terbelah dua... Saat itu pula ia melancarkan tendangan 

menghantam keras di perut lawannya.... 

"Des!" Tubuh itu terhuyung beberapa langkah ke


belakang... Dengan beringas sosok hitam lompat me-

nerjang. Babatan pedangnya keras menghantam.... 

"Breeet!" Tubuh yang terhuyung tadi ambruk dengan 

luka menggores dari dada ke perut. Sadewo Mangli 

mundur selangkah sembari melindungi Arum Kemun-

ing. Diam-diam ia cukup gentar menghadapi sosok hi-

tam itu. Meskipun ia berlengan tunggal, tapi permai-

nan pedangnya jauh di luar kemampuannya.

"Sebenarnya aku hanya membutuhkan nyawa-

mu, Sadewo Mangli.... Sayang mereka ikut menjadi 

korban...." kata sosok hitam dengan nada dingin.... 

Kedua matanya tidak berkedip menatap Sadewo Man-

gli. Arum Kemuning yang berdiri di belakang Sadewo 

Mangli gemetar ketakutan. Sosok hitam melangkah 

maju mendekati mereka. Telapak tangannya meng-

genggam erat gagang pedang. Sadewo Mangli sudah 

tahu akan mendapat serangan. Maka ketika sosok hi-

tam membabatkan pedangnya, cepat Sadewo Mangli 

memutar pedang itu ke depan....

"Traaang!" Pedang mereka beradu.... Sekali lagi 

sosok hitam membalikkan pedangnya.... Berkelebat 

cepat ke arah muka.... "Sreeet!" Sebelum mata pedang

itu mengenai sasaran, Sadewo Mangli merunduk ber-

gulir ke samping. Tapi Arum Kemuning yang berdiri di

belakangnya menjerit hebat.... Gadis itu bergulingan di 

tanah. Kedua telapak tangannya memegangi rongga 

matanya yang tampak mengeluarkan darah....


"Waaaaaa-aaaaaaaa!" Wajah cantik itu telah berlumu-

ran darah. Tubuhnya berkelojotan menahan sakit.

Sebenarnya bukan maksud si sosok hitam melu-

kai gadis itu, ia telah kelepasan membabatkan pe-

dangnya ke arah Sadewo Mangli tadi, Kalau saja Sade-

wo Mangli tidak melarikan diri tentunya gadis itu tidak 

akan terluka.

Melihat gadis itu berkelojotan sambil berteriak-

teriak, Sadewo Mangli marah bukan kepalang... Ia ti-

dak lagi memandangi akan kehebatan ilmu pedang la-

wannya. Dengan nekad ia melompat maju sambil 

membabatkan pedangnya membabi buta.... Tapi gera-

kan sosok hitam lebih cepat lagi.... Ia menghantam ba-

batan-babatan pedang Sadewo Mangli dengan pedang-

nya.... 

"Traak!" Sadewo Mangli tersentak melihat pe-

dangnya patah dua.... Dalam ketersiapannya itu ia ti-

dak sempat menghindari babatan pedang yang meng-

hantam putus lehernya...

* * *


DUA



Beberapa saat kemudian, tenda yang berada di 

sudut lapangan penuh dikerumuni orang. Semua per-

tunjukan hiburan berhenti. Alunan bermacam-macam 

musik lenyap berganti dengan riuhnya suara para 

pendatang pada pesta malam itu. Hampir semua orang 

menyaksikan korban-korban pembunuhan sadis di da-

lam tenda. Beberapa pasukan dikerahkan untuk men-

jaga kegaduhan itu. Membuat pagar betis agar orang-

orang yang berada di situ tidak masuk semua ke dalam 

tenda. Namun mereka masih saja menimbulkan suara-

suara gaduh.

Seorang pemuda dengan pakaian bulu binatang 

menerobos kerumunan itu. Ia berusaha melawan de-

sakan-desakan dengan sekuat. tenaga. Orang-orang 

yang berada di dekatnya seperti terdorong ketika pe-

muda itu melewatinya. Pemuda yang tidak lain adalah 

Pengelana Sakti seakan tidak perduli. Padahal ia sen-

gaja mendorong dengan menggunakan tenaga dalam. 

Kalau tidak dengan cara demikian, mana mungkin ia 

bisa berada paling depan, pikir Wintara si Pengelana 

Sakti. Ia pun ingin melihat para korban pembunuhan.

Setelah berada paling depan, Wintara dapat meli-

hat jelas para korban berserakan di dalam tenda yang 

sudah terbuka lebar. Mayat-mayat itu dijejerkan ber


deret. Keadaan mereka semua cukup mengerikan. Per-

lahan Wintara mencoba melangkah lebih dekat, tapi 

seorang penjaga mendorong kembali. Pandangannya 

mengawasi seluruh ruangan dalam. Wintara dapat me-

lihat lima orang terbujur kaku rebah berderet. Ada se-

suatu yang menjadi perhatiannya... Sebuah benda ter-

geletak dengan noda-noda darah. Sebuah alat musik.... 

Sebuah kecapi! Wintara mengernyitkan alisnya.

"Minggir....! Minggir! Kereta pengangkut mayat 

datang! Minggir.... Kasih lewat....!" Tiba-tiba terdengar 

seruan. Deretan orang-orang yang mengerubungi tem-

pat itu menyeruak. Sebuah kereta gerobak menuju ke 

situ. Orang-orang langsung menyingkir. Penumpang 

kereta itu tiga orang. Sesampai di tenda yang tertimpa 

bencana, ketiga orang turun dari kereta. Langsung 

memasuki tenda dan melihat kelima orang yang berna-

sib malang.

"Siapa ketiga orang itu, Pak...." tanya Wintara 

pada orang yang berdiri di sebelahnya. Bapak itu tidak 

langsung menjawab, ia malah memandang heran ke 

arah Wintara. Lalu... 

"Aneh kau ini, Dik.... Masakah kau tidak menge-

nali mereka?" bapak di sebelah Wintara berbalik tanya.

"Sungguh, Pak.... Saya betul-betul tidak menge-

nali mereka...." jawab Wintara polos.

"Ah.... Berarti kau bukan orang Joglo Alun, 

ya....?"


"Betul.... Saya hanya seorang pendatang…"

"Pantas... Mereka orang-orang kepercayaan Kepa-

tihan." Bapak itu menjelaskan. Wintara manggut-

manggut.

"Orang yang berpakaian ningrat itu bernama 

Akuwu Mambang, pemimpin dari kelima orang yang 

tewas itu.... Nah yang dua orang lagi.... Itu-tuh di bela-

kangnya...." kata bapak di sebelah Wintara sambil me-

nunjuk ketiga orang yang baru turun dari kereta.

"Mereka tidak begitu penting.... Karena sama de-

rajatnya dengan kelima temannya yang tewas...." sam-

bungnya lagi. Wintara memandangi orang yang berpa-

kaian ningrat. Orang itu nampak memungut kecapi

yang bernoda darah. Ia mengawasi benda itu. Setelah 

itu ia menyerahkan benda tersebut kepada salah seo-

rang yang ikut bersamanya. Akuwu Mambang bukan-

nya tidak mengenali benda itu. Dengan melihat kecapi 

itu saja ia sudah dapat membayangkan wajah Arum 

Kemuning. Kini ia melihat pula alat musik itu bersim-

bah dengan darah…

Kalau Arum Kemuning terbunuh juga, sudah ten-

tu mayatnya ada di sini. Tapi kenapa kecapi ini ter-

tinggal begitu saja.... Apakah Arum Kemuning melari-

kan diri pada saat kejadian. Kalau benar demikian be-

nar… Tentulah Arum Kemuning dapat mengenal siapa 

pembunuh sadis itu.... Itu menurut perkiraan Akuwu 

Mambang.... Bagaimana kalau perkiraannya meleset....? Andaikata pembunuh itu membawa lari Arum 

Kemuning untuk maksud-maksud tertentu....? Biadab! 

Gerutu Akuwu Mambang.

*

* * *

Letak pondok Tabib Sakti Nayan Gunta jauh di 

kaki gunung. Tepatnya di sekitar danau dekat sebuah 

jeram. Pondok itu cukup besar dan berdiri kokoh di 

atas batu karang. Di sekitar bawah batu karang meng-

hampar tumbuhan kecil dengan bunga-bunga yang 

bermekaran berwarna-warni. Selain itu ada juga tum-

buhan yang merambat sampai ke atas batu karang. 

Terlebih-lebih pada bagian tangga yang menghubung-

kan sampai ke pondok. Hampir seluruhnya dirambati 

oleh tumbuhan.

Pondok itu sendiri tidak ada satupun tumbuhan 

yang ada. Mungkin karena letak bangunan itu berdiri 

di atas batu karang. Kecuali pada pot-pot yang tergan-

tung pada tiang-tiang kayu.... tumbuhan-tumbuhan 

aneh selalu ada pada sekeliling pondok itu.

Bau aroma menyengat hidung. Asap putih men-

gepul ke luar melalui celah jendela pondok itu... Bebe-

rapa saat kemudian jendela itupun terbuka. Nampak 

seraut wajah tua dengan kedua lengan membuka lebar 

masih menyibakkan dua daun jendela. Pandangannya


tertuju ke luar menikmati keindahan di sekitar pon-

doknya.

Raut wajah tua yang ditumbuhi dengan rambut 

serta jenggot memutih berpaling meninggalkan jendela 

yang barusan dibukanya. Dalam ruangan itu duduk 

seorang berpakaian serba hitam. Sosok tubuh itu ter-

tunduk. Lengan kirinya menutup wajahnya seperti ada 

rasa penyesalan selama hidupnya. Dengan tubuh 

membungkuk, sosok tua berambut serta jenggot yang 

memutih mendekati orang itu.

"Jangan khawatir, Seta Wungu.... Gadis! itu tidak 

akan mati! Cuma dia harus menerima keadaan.... Se-

bab ada kemungkinan kedua matanya...." Kakek 

bungkuk yang berjuluk Tabib Sakti Nayan Gunta tidak 

meneruskan kata-katanya.

"Maksudmu gadis itu akan buta....?" kata Seta 

Wungu sambil bangkit.

"Kira-kira demikian...." jawab kakek bungkuk itu.

"Tidak....! Kau harus bisa memulihkan pengliha-

tannya, Nayan Gunta!" Seta Wungu menatap nanar 

pada kakek bungkuk di hadapannya. Ia berdiri berin-

gas. Lengan kanannya yang kutung terlihat jelas.

"Perkataan mu sama beringasnya pada beberapa 

tahun yang lalu, Seta Wungu.... Dulu kau pernah da-

tang ke mari membawa lengan kananmu yang ku-

tung.... Kau berharap aku dapat menyambung len-

ganmu… Aku hanya seorang tabib, Seta Wungu… Aku


tidak bisa melakukannya.... Demikian pula dengan ga-

dis ini.... Aku tidak dapat berbuat banyak.... Sekalipun 

aku telah mengerahkan segala kemampuanku.... Gadis 

ini akan tetap buta!"

"Tidaaak....!" Seta Wungu berteriak. Untuk ini 

aku bisa membayar mu dengan harga tinggi, Nayan 

Gunta.... Aku berani membayar mahal....!" kata Seta 

Wungu berteriak-teriak.

"Aku tidak sanggup, Seta Wungu... Aku tidak 

sanggup memulihkan penglihatan gadis itu... Karena 

selaput penglihatannya telah robek...." Nayan Gunta 

menjelaskan.

Arum Kemuning tergeletak membujur pada se-

buah balai. Dua kelopak matanya tertutup dedaunan 

yang telah diramu oleh Tabib Sakti Nayan Gunta. Na-

fasnya begitu lemah. Seta Wungu duduk menatap dari 

kejauhan. Ia benar-benar menyesali akan tindakannya 

itu.

"Aku berjanji menjaganya, Nayan Gunta.... Seo-

rang gadis buta, sama saja dengan seorang yang tidak 

mempunyai pegangan," kata Seta Wungu tertunduk. 

Tabib Sakti Nayan Gunta menoleh tersenyum.

"Sssst.... Diam..." bisiknya pada Seta Wungu. Ta-

bib Sakti Nayan Gunta duduk di samping balai. Ia me-

lihat gadis yang terbaring lemas mulai bergerak. Bibir-

nya yang mungil menganga menahan sakit. Gadis itu

berusaha bangun, tapi Nayan Gunta segera menahan


nya. Seta Wungu bangkit dari kursinya tanpa bersua-

ra.

"Akhhh.... Mataku.... Mataku...." rintih Arum Ke-

muning.

"Tenang, Nak.... Tenang.... Aku tengah mengoba-

timu di sini.... Kau bersama seseorang tabib yang be-

rusaha mengobati kedua matamu...." kata Nayan Gun-

ta. Ia membantu Arum Kemuning duduk menyandar 

pada dinding.

"Mengapa semuanya nampak gelap…? Dan mata-

ku terasa sakit sekali...."

"Semuanya sudah takdir.... Aku sudah berusaha 

sebatas kemampuanku.... Ternyata tidak dapat men-

gembalikan penglihatanmu lagi.... Aku hanya sanggup 

mengobati luka-lukanya saja." Tabib Sakti Nayan Gun-

ta menjelaskan.

"Oh.... Tidak!" Arum Kemuning menjerit. Ia be-

rontak. Cepat Nayan Gunta menahan.

"Sadarlah.... Jangan terlalu bergerak, lukamu itu 

belum kering betul.... Nanti ke luar darah lagi.... Dan 

kau tidak akan tertolong...." Nayan Gunta membujuk. 

Dan ternyata bujukan itu mengena.... Sesaat kemu-

dian Arum Kemuning diam menarik nafas dalam-

dalam. Tubuhnya bersandar tenang pada dinding 

kayu.

"Tahan, ya.... Aku akan mengganti daun ramuan 

yang melekat pada kelopak matamu..." Kedua telapak


tangan Nayan Gunta menarik perlahan daun-daun 

yang hampir mengering pada bagian mata gadis itu.... 

Arum Kemuning menggigit bibirnya menahan sakit.

"Seseorang telah membawamu ke tempat ini.... Ia 

meminta agar aku mengobatimu.... Yaaaah, mungkin 

karena aku seorang tabib jadi tak bisa menolak...." ka-

ta Nayan Gunta sembari mengganti ramuan daun ke 

mata Arum Kemuning.

"Siapa orang itu....? Sadewo Mangli-kah....?" 

tanya gadis itu cepat.

"Bukan.... Bukan dia.... Tapi seorang lelaki yang

bernama Seta Wungu.... Kabarnya Sadewo Mangli te-

was malam itu juga...." Nampak sekali kesedihan yang 

melanda dalam gambaran wajah Arum Kemuning. Da-

lam hatinya ia menyebut nama Sadewo Mangli. Dari 

rongga matanya yang luka itu masih bisa mengelua-

rkan air mata.... Bibir mungil Arum Kemuning berge-

tar.

"Pembunuh itu berlengan tunggal! Aku sendiri 

melihat dengan mata kepala.... Ia seorang yang sa-

dis....! Kejam!" Datar sekali nada bicara Arum Kemun-

ing. Pembunuh berlengan tunggal! Nama yang cukup 

mengerikan itu sama sekali tidak membuat Tabib Sakti 

Nayan Gunta merasa gentar. Ia hanya menoleh ke arah 

Seta Wungu yang sudah berdiri di sampingnya. Dan ia 

pun tahu siapa sebenarnya Seta Wungu!

"Apakah kau ingin menyampaikan pesan pada


orang yang telah menolongmu....? Kebetulan Seta 

Wungu ada di sini...." kata Nayan Gunta mengalihkan 

pembicaraan.

"Oh.... Maaf.... Aku sampai melupakan orang 

yang menyelamatkan diriku. Mana…" Arum Kemuning 

menggapai-gapai tangan nya.

"Dari tadi Seta Wungu sudah ada di samping ki-

rimu. Dia yang menjaga selama kau tidak sadarkan di-

ri...." 

"Ah, begitu merepotkan.... Terimakasih Entahlah 

aku harus memanggil apa....? Tuan....? Kakang....? 

Yang jelas aku mengucapkan beribu-ribu terima ka-

sih.... Bahkan rasanya aku tidak dapat membalas budi

baik ini...." kata Arum Kemuning sambil melemparkan 

senyum ke samping kiri.

"A-A-Aku melakukan yang semestinya Nona.... 

Karena...." Seta Wungu gugup.

"Tentunya kalau tidak ada orang yang bernama 

Seta Wungu, mungkin diriku sudah menjadi mayat se-

perti kakang Sadewo Mangli...." Arum Kemuning cepat 

memotong. Seta Wungu diam, wajahnya tertunduk. La-

lu....

"Aku berharap selama lukamu belum sembuh,

tinggallah di sini bersama Tabib Sakti Nayan Gunta.... 

Aku rasa dia tidak keberatan...." Seta Wungu memberi 

usul. 

"Dengan senang hati.... Tinggallah di sini..." kata


Nayan Gunta menyambut.

"Nanti akan bertambah repot...." Arum Kemuning 

basa-basi.

"Tidak.... Soal repot memang sudah biasa bagi-

ku.... Malah kalau kau berminat tinggal di sini aku me-

rasa senang, karena pondok terpencil ini tidak lagi se-

pi...." kata Tabib Sakti Nayan Gunta memberi seman-

gat. Arum Kemuning tersenyum.

"Nah, sekarang kau perlu istirahat, keadaanmu 

belum sehat betul.... Berbaringlah...." Arum Kemuning 

menurut, Tabib Sakti Nayan Gunta membantu memba-

ringkan tubuh itu.

Udara siang itu cukup segar. Seta Wungu yang 

berdiri pada teras pondok terpencil itu dapat menghi-

rupnya. Lengan baju kirinya yang kosong bergerak-

gerak terhembus angin. Matanya mengarah pada se-

buah jeram yang mengalirkan air begitu deras laksana 

air bah. Di bawah jeram itu menghimpun kumpulan 

air membentuk sebuah danau yang cukup luas. Bu-

rung-burungpun banyak beterbangan berkeliling saling 

mengejar. Bahkan ada pula yang hinggap pada batang-

batang pohon yang ada di sekitar danau. 

Seta Wungu berpaling ketika ia mendengar lang-

kah seseorang mendekati. Ia sudah dapat menebak ka-

lau orang itu adalah Tabib Sakti Nayan Gunta. Ternya-

ta perkiraannya memang benar Nayan Gunta meng-

hampiri dengan membawa segelas air yang masih


mengepulkan asap kental.

"Obat ramuan penguat saraf mata tinggal terak-

hir ini... Nanti aku berikan resepnya dan kau belikan 

di kota.... Jangan sampai terlambat, obat ini harus te-

rus-menerus diminum oleh gadis itu…" kata Nayan 

Gunta sambil meniupi asap kental yang keluar dari 

mulut gelas bambu. Seta Wungu mengangguk, lalu ia-

pun melangkah mengiringi Nayan Gunta.

"Ada sesuatu yang akan kusampaikan padamu, 

Nayan Gunta...," Mereka berjalan beriringan. Mereka 

menuju sebuah ruangan tempat pembuatan ramuan.

"Tolong rahasiakan...." kata Seta Wungu lagi.

"Seorang tabib harus memegang rahasia... Tapi 

aku tidak bertanggung jawab, seandainya gadis itu ta-

hu siapa yang telah membutakan matanya dan mem-

bunuh Sadewo Mangli calon suaminya itu.... Pa-

ham....?" jawab Tabib Sakti Nayan Gunta yang sekali-

gus menjadi pertanyaan.

Seta Wungu sengaja tidak ikut masuk ke dalam 

ruangan itu. Ia tetap berdiri di depan pintu. Namun ta-

tapannya masih mengikuti Nayan Gunta yang tengah 

memberesi semua peralatannya.

"Apapun yang akan terjadi, akan kuhadapi den-

gan kenyataan...." kata Seta Wungu yang bersandar 

tenang pada tiang pintu. Nayan Gunta dapat menden-

garnya meskipun ia berada dalam ruangan itu. Malah 

ia menjawabnya.


"Mudah-mudahan saja tidak akan terjadi, Seta 

Wungu.... Aku ikut berdoa!" kata Tabib Sakti Nayan 

Gunta yang nampak ke luar. Ia menyerahkan secarik 

kertas pada Seta Wungu.

"Ini resep yang harus kau beli nanti, secepatnya 

kau kembali lagi...."

*

* * *

TIGA



Bulan yang bersinar penuh jadi kelam karena ter-

tutup oleh awan berarak. Tanah pekuburan yang tadi 

nampak seram kini menjadi lebih seram lagi. Manakala 

suara binatang malam membisingkan di sekitar tanah 

pekuburan. Jauh di tengah-tengah sebuah kuburan 

batu yang tak terurus nampak terang oleh onggokan 

api unggun yang meletup-letup nyaring.

Seseorang yang berpakaian serba hitam tanpa 

lengan kanan berdiri menatap hamparan batu-batu ni-

san. Pedangnya yang tersoren di punggung mengkilat 

terkena cahaya api. Seta Wungu berdiri menikmati ke-

sunyian malam itu.

Ia hanya memalingkan wajahnya ketika menden-

gar langkah yang menginjak tanah berkerikil. Seseo-

rang datang mengejutkan ketenangannya.

"Aku datang untuk menepati janji ku, Seta Wungu...." kata orang yang baru datang sambil mengelua-

rkan sebuah kantong sebesar kepala bayi dari balik 

bajunya.

"Terimalah ini.... Karena kaupun telah memenuhi 

permintaanku..." kata orang itu lagi. Tanpa menjawab 

Seta Wungu menerima kantong berisi uang. Ia mema-

sukkannya ke dalam baju hitamnya. Lalu orang yang 

memberikan uang itu melangkah mendekat…

"Aku ada tugas lagi untukmu, Seta Wungu...."

"Membunuh lagi....?" tanya Seta Wungu. Orang 

itu mengangguk.

"Tidak.... Setelah Sadewo Mangli aku tak akan 

membunuh lagi, Somarengga.... petualangan ini harus 

kuakhiri...." kata Seta Wungu.... Pandangannya mena-

tap tajam.

"Aneh....! Setan apa yang merubah pikiranmu

sampai sedemikian terbaliknya.... Apakah kau takut, 

karena semua orang yang kau bunuh itu Orang-orang 

kerajaan…? Baiklah kalau kau merasa takut dan akan 

melepaskan jabatanmu sebagai pembunuh bayaran... 

Tapi ku mohon kau mau memenuhi permintaanku un-

tuk yang terakhir kali, Seta Wungu. Setelah itu kita ti-

dak akan pernah berurusan lagi…"

"Pikiranku telah berubah, Somarengga. Tak 

mungkin memenuhi permintaan mu....!!"

"Aku bersedia membayar berapapun juga.... Be-

rapa yang kau kehendaki?" Somarengga memaksa.


Dan Seta Wungu betul-betul terdesak. Apalagi ketika 

mendengar Somarengga bersedia berani membayar be-

rapa yang ia minta. Teringat lagi akan gadis Arum Ke-

muning di pondok Tabib Sakti Nayan Gunta. La belum

bisa memberikan apa-apa sebagai tanda rasa penyesa-

lannya. Belum lagi seluruh biaya yang ia keluarkan

nanti untuk pengobatan luka di kedua matanya.... Su-

dah tentu tidak sedikit. Tabib Sakti Nayan Gunta me-

mang tidak memerlukan biaya. Tapi persediaan obat-

obatan telah habis. Seta Wungu mempertimbangkan-

nya masak-masak.... Dan ia mengambil keputusan.

"Ini untuk terakhir kali, Somarengga...! Katakan 

siapa orang itu?" Suara Seta Wungu dalam. Somareng-

ga tersenyum melangkah ke sampingnya. Lalu ia 

membisikkan sesuatu ke telinga Seta Wungu.

"Akuwu Mambang,...?" Seta Wungu mengulang 

meyakinkan bisikan Somarengga

"Betul! Akuwu Mambang....! Orang itu yang seka-

rang ku inginkan." jawab Somarengga. Seta Wungu di-

am, ia memandang bulan yang sudah terbebas dari 

kurungan awan berarak. Tanah pekuburan menjadi te-

rang meskipun malam hampir larut.

"Untuk Akuwu Mambang.... Aku butuh lima kan-

tong uang yang sama besar dengan kantong tadi...." 

Seta Wungu menentukan harga.

"Baik.... Sekarang aku tidak membawa Uang se-

kepingpun.... Lusa setelah urusan ini beres, kita boleh


bertemu lagi di sini...." Somarengga setuju.

*

* *

Rumah bertingkat letaknya tidak jauh dari kera-

maian desa Joglo Alun. Pada halaman rumah berting-

kat itu kelihatan begitu rapih. Jalan yang menghu-

bungkan ke pintu pagar terbuat dari susunan batu ter-

tanam ke tanah. Kedua sisi jalan itu ditumbuhi dengan 

tanaman bunga berwarna-warni bermekaran. Bebera-

pa penjaga nampak patuh berdiri di muka pintu ru-

mah. Mereka bersenjatakan tombak.

Pada ruangan tingkat atas, Akuwu Mambang ber-

jalan mondar-mandir. Sebentar-sebentar matanya ter-

tuju pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja 

berukir. Benda yang menjadi perhatiannya sebuah alat 

musik yang ternoda dengan bercak-bercak darah.... Di 

mana Arum Kemuning berada? Tanya Akuwu Mam-

bang dalam hati. Ia betul-betul tak habis pikir dengan 

kejadian yang melanda kelima anak buahnya berikut

Arum Kemuning si Putri Kecapi pada pesta malam itu.

Kenapa hampir semua anak buahnya mati di 

tangan seorang pembunuh sadis. Kalau dulu, anak 

buahnya mati satu demi satu. Tapi pada malam pesta 

itu, ia harus kehilangan lima orang anak buahnya se-

kaligus.... Dengan motif pembunuhan yang sama. Di


tangan seorang yang ahli dalam ilmu pedang. Akuwu 

Mambang berdiri menghadapi meja berukir yang di 

atasnya tergeletak sebuah kecapi dengan pikiran kalut. 

Sementara itu bayangan hitam melesat cepat dari 

pohon ke pohon yang lain. Pohon-pohon besar itu ber-

deret mengelilingi pagar rumah bertingkat. Para praju-

rit tidak melihat sama sekali ketika sosok bayangan hi-

tam melesat ke arah genting atap ruang atas. Sinar 

matahari jelas memantulkan bayangan sosok hitam itu 

ke tanah. Tapi para penjaga itu bagai tersirap tak per-

duli.

Sedangkan dalam ruangan atas, Akuwu Mam-

bang tengah menyulut rokok cerutunya sambil duduk 

pada kursi kayu berukir pula. la hembuskan asap ce-

rutu kuat-kuat.... Pandangannya masih tertuju pada 

sebuah alat musik. Ia menoleh cepat ke arah jendela, 

ketika dilihatnya sebuah bayangan hitam berkelebat. 

Dengan perasaan was-was ia bangkit melangkah ke 

arah pedang yang tergantung pada dinding ruangan 

itu. Perlahan sekali ia mencabut pedang dari sarung-

nya. Hampir tidak bersuara.

Tiba-tiba saja kaca jendela pecah. Suaranya ber-

gemeretak nyaring. Bersamaan dengan itu sosok 

bayangan hitam masuk bagai sebatang anak panah 

menjurus ke arah Akuwu Mambang. 

"Traaaaang!" Akuwu Mambang menyambut lesa-

tan yang menubruk demikian cepat dengan pedang


nya. Setelah mengalami benturan senjata mereka, so-

sok hitam berjumpalitan di udara beberapa kali.... Lalu 

hinggap di atas lantai begitu tenang.

Akuwu Mambang dapat melihat orang itu. Sosok 

hitam tanpa lengan kanan, namun lengan kirinya yang 

menggenggam pedang siap mengirim maut. Karena be-

gitu dia hinggap, orang cacat itu membabat ke bagian 

atas. Akuwu Mambang menyambar serangan itu den-

gan pedangnya....

"Traang!" Kembali pedang mereka beradu. Lalu 

Akuwu Mambang membalas serangan itu.... Pedangnya 

berkelebat menyambar.... 

"Wees!" Sosok hitam berlengan tunggal itu terde-

sak mundur.... Ia memutar pedangnya ke atas 

"Traang!" Benturan itu lebih keras, Akuwu Mam-

bang sendiri sampai terhuyung dibuatnya.

Ilmu pedang Akuwu Mambang bisa diandalkan 

untuk menghadapi serangan-serangan itu. Padahal so-

sok hitam berlengan tunggal sudah habis-habisan 

menggempurnya Pantaslah kalau Akuwu Mambang 

menjabat sebagai orang kepercayaan kepatihan. Siang

itupun sosok hitam harus kerja keras untuk menun-

taskan tugasnya. Kilatan-kilatan pedang berkelebat 

menyambar.... Sosok hitam kewalahan menghinda-

rinya.... Sekali ia menyambut, Akuwu Mambang meng-

hantam kuat pedangnya.... 

"Tralaaak!" Pedang dalam genggaman sosok hitam berlengan tunggal terlepas. Baru kali ini ia men-

dapat lawan sedemikian tangguhnya.

"Baru ku tahu sekarang.... Kaulah orangnya yang 

telah membunuh semua anak buahku pada pesta ma-

lam itu di Joglo Alun.... Sekarang tak ada ampun lagi 

buatmu, Pembunuh terkutuk....!" kata Akuwu Mam-

bang menudingkan pedangnya.

Sosok hitam tidak menyahut. Ia malah bergerak-

gerak seperti mengeluarkan jurus-jurus andalannya. 

Telapak tangan kirinya mengepal erat seolah-olah 

menggenggam sesuatu.... Matanya tajam memandang 

ke arah Akuwu Mambang.

"Dengan pedang ini, tubuhmu akan terbagi men-

jadi empat bagian...." Sambil berkata demikian Akuwu 

Mambang melancarkan serangan bertubi-tubi. Sosok 

hitam itu bergulingan menghindari babatan-babatan 

pedang.... Telapak tangan kirinya yang mengepal dapat 

menghantam keras lengan Akuwu Mambang.... 

"Des!" Terasa sekali denyutan itu. Akuwu Mam-

bang sendiri tidak menyangka akan mendapat seran-

gan balik seperti itu. Dan ia memekik kaget ketika so-

sok hitam menendang lengannya sampai pedang dalam 

genggaman Akuwu Mambang terlempar jauh.... 

"Weeess!" Untuk tendangan yang kedua kalinya 

Akuwu Mambang dapat menghindari. Ia melihat gera-

kan-gerakan aneh yang dilakukan oleh sosok hitam 

lengan tunggal. Dan tahu-tahu saja lengan kirinya


yang tergenggam menjurus ke depan. Padahal gengga-

man itu belum sempat menyentuh tenggorokan 

Akuwu Mambang.... Tapi akibatnya demikian hebat. 

Tubuh Akuwu Mambang terlempar dengan semburan 

darah dari mulutnya.... Tubuh itu terbanting memben-

tur dinding dengan keras Akuwu Mambang masih 

mampu berdiri tegar.

"Ilmu Pedang Tanpa Wujud. Hhhhh...." desahnya 

sambil menyeka darah yang mengalir di sela-sela mu-

lutnya. Sebaliknya, sosok hitam berlengan tunggal ter-

senyum.... Akuwu Mambang maju dengan serangan 

yang mematikan. Kedua lengannya bergerak meng-

hantam.... Dengan lengan kirinya, sosok hitam lengan 

tunggal menyambut hantaman-hantaman itu. Lalu ge-

rakan kaki yang begitu cepat menyambar tubuh Aku-

wu Mambang.... 

"Deees!" Sekali lagi tubuh Akuwu Mambang ter-

banting keras. Pada waktu yang bersamaan sosok hi-

tam melesat menerjang dengan tendangannya, maka.... 

"Der!" Dua kali Akuwu Mambang mendapat tendangan 

geledek, tubuhnya yang terlempar keras membentur 

jendela kaca. Bahkan tubuh ningrat itu menerobos da-

ri jendela itu ke luar ruangan.

Akuwu Mambang sudah tidak ingat apa-apa lagi 

di saat tubuhnya terlempar dan jatuh dari ruangan 

atas. Dan ketika kepalanya hampir menyentuh tanah, 

sosok bayangan lain berkelebat menyambar tubuh


Akuwu Mambang.... Bayangan misterius itu langsung 

melompati pagar halaman membawa pergi Akuwu 

Mambang yang sudah tidak sadarkan diri.

Sosok hitam lengan tunggal bermaksud melom-

pati jendela setelah memungut pedangnya. Tapi ia di-

kejutkan oleh sebatang tombak yang menjurus deras 

ke arahnya. Sambil membalikkan tubuh sosok hitam 

memutar pedangnya.... "Traaak!" Tombak yang hampir 

menembus di tubuhnya patah dua. Dia kedatangan ti-

ga orang penjaga bersenjata tombak. Rupanya para 

penjaga itu langsung naik ke atas ketika mendengar 

suara gaduh. Menemui seorang berpakaian serba hi-

tam, para penjaga itu langsung menyerang. Mereka 

mengepung dari segala arah. Tombak-tombak mereka 

merejam sosok hitam yang berjumpalitan menghindar.

Seleret sinar putih berkelebat menyambar... 

"Trak…! Trak!" Tongkat-tongkat itu patah dua semua. 

Sosok hitam itu melompat ke atas sambil lengannya 

yang menggenggam pedang bergerak cepat menghan-

tam, dua orang ambruk sekaligus. Tinggal seorang lagi 

yang masih ragu-ragu menyerang. Tapi ia jadi bergidik 

setelah melihat kedua temannya mati dengan mengeri-

kan. Tubuh mereka tergeletak dengan masing-masing

tenggorokan yang hampir putus.

Seorang yang ketakutan itu mendadak semangat. 

Sepuluh penjaga berdatangan dalam ruangan itu. Me-

reka bersenjatakan pedang dan tombak. Tempat itu ja


di penuh sesak. Sosok hitam lengan tunggal berdiri te-

nang, pedangnya siap berputar lagi. Dan ketika tiga

orang maju menyerang… "Sreeet!" Babatan pedang le-

bih dulu menyambar di tubuh mereka. Maka ketiganya

ambruk dengan nyawa melayang seketika. Perut mere-

ka robek, satu di antaranya sampai menghamburkan 

usus.

Sekalipun mereka tahu akan kehebatan sosok hi-

tam itu, para penjaga tidak gentar sedikitpun. Dengan 

serempak mereka menyerang. Senjata-senjata mereka 

berkelebatan di sana-sini mencecar sosok hitam. Tapi 

di saat sosok hitam menggerakkan pedangnya selalu 

saja memakan korban.

Tidak semestinya sosok hitam membantai para 

penjaga itu. Tujuannya hanya untuk membunuh Aku-

wu Mambang. Mungkin karena sudah kepalang tang-

gung mereka mengetahui tujuannya, sosok hitam itu 

jadi tidak setengah-setengah bertindak.

Sekalipun ditambah lagi dengan sepuluh orang, 

sosok hitam itu sama sekali tidak mengalami kesuli-

tan. Ia membabat ke sana kemari dengan terarah dan 

tepat mengenai sasaran. Satu demi satu para penjaga 

itu tumbang dengan berlumuran darah. 

Gerakannya yang sangat cepat membuat pedang-

nya berkelebat bagaikan sinar putih yang siap men-

jemput maut. Dua orang terlempar ke luar dari jendela 

kaca yang telah rusak. Jeritan mereka terhenti ketika


kepala mereka membentur permukaan tanah.

Ruangan tingkat itu menjadi sunyi. Belasan 

mayat bergelimpangan memenuhi lantai rumah. Sosok 

hitam berdiri mengawasi mayat-mayat itu. Lengannya 

masih menggenggam pedang. Bilah pedang itu telah 

berlumur darah. Ia khawatir kalau-kalau masih ada 

yang tertinggal. Dan mengetahui perbuatannya. Hal itu 

akan berbahaya sekali buat dirinya.

Sosok hitam melangkah mendekati jendela kaca. 

Pandangannya menuju ke bawah... Wajahnya menda-

dak berkerut. Ia hanya melihat dua orang penjaga ter-

geletak dengan kepala remuk serta perut yang berlu-

muran darah. Selain itu tidak ada siapa-siapa lagi.

"Bangsat....! Ke mana Akuwu Mambang? Jelas

tadi terlempar di sini.... Mengapa tidak ada di ba-

wah....?" gerutunya dalam hati.

Tanpa membersihkan pedangnya ia langsung 

menyarungkan ke punggung, lalu bermaksud mening-

galkan tempat itu. Sebelum ia pergi, sosok hitam sem-

pat melihat sebuah benda yang tergeletak di atas meja 

berukir. Sebuah kecapi.... Ia teringat akan Arum Ke-

muning. Ingat pula ketika ia melihat Arum Kemuning 

memainkan kecapi itu pada pesta malam. Mungkin 

Arum Kemuning akan bertambah senang bila kecapi 

miliknya kembali.

Setelah menyambar alat musik itu, sesosok hitam 

melesat melalui jendela. Hinggap di atas pagar, kemu


dian melesat lagi ke cabang-cabang pohon berpindah-

pindah semakin jauh. Gerakannya begitu cepat se-

hingga sukar diikuti dengan pandangan mata.

Kepergian sosok hitam itu bukannya tak diketa-

hui, seseorang yang tadi membawa pergi tubuh Akuwu 

Mambang ternyata masih bersembunyi di balik rerim-

bunan daun. Dan ia melihat ke mana sosok hitam itu 

pergi. Setelah sosok hitam itu betul-betul sudah tidak 

nampak, barulah ia turunkan Akuwu Mambang yang 

belum juga sadar, ketika orang itu membawa masuk ke 

dalam rumahnya. Setelah melihat adanya sebuah 

bangku panjang dalam ruangan itu, orang itu meletak-

kan tubuh Akuwu Mambang.

Ia memperhatikan seluruh ruangan yang sangat 

bagus. Seluruh perabotannya barang-barang mewah. 

Banyak barang-barang seni menghiasi ruangan itu. Di 

sebelah sudut terdapat sebuah tangga menuju ke atas. 

Orang itu menuju tangga, dan ia menjajakinya perla-

han. Bukan main terkejutnya ketika sampai pada 

ruangan atas. Ruangan yang sama bagusnya dengan 

ruangan bawah telah bergelimpangan mayat-mayat 

dengan bentuk yang mengerikan. Iapun sempat meng-

hitung jumlah para korban, termasuk dua orang yang 

tergeletak di luar. Semuanya berjumlah tiga belas 

orang. Mulutnya berdecak.... Ia betul-betul kagum 

akan kehebatan ilmu pedang si pembunuh. Ia dapat 

menebak kehebatan si pembunuh setelah menghitung


jumlah korban yang tidak sedikit, dapat dibereskan da-

lam waktu yang sangat singkat.

*

* * *

EMPAT



Mendengar erangan panjang dari mulut Akuwu 

Mambang, orang itu langsung bergegas ke arah Akuwu 

Mambang yang tengah berusaha bangkit. Perlahan 

Akuwu Mambang membuka matanya, pandangannya

yang semula remang berangsur pulih. Di hadapannya 

berdiri seorang pemuda tanggung memakai baju dari 

kulit binatang. 

Tentu saja Akuwu Mambang jadi terkejut melihat 

orang asing berada dalam ruangan itu. Maka menda-

dak lengannya melancarkan serangan. Pemuda itu ce-

pat mundur. Ketika Akuwu Mambang bergerak melan-

carkan serangan, dadanya terasa sesak. Sesuatu se-

perti mendorong dari dalam perut. Sambil berpegangan 

pada bangku panjang Akuwu Mambang memuntahkan 

darah hitam. Tubuhnya mengejang, urat-uratnya me-

nonjol dari kulit seperti mau ke luar ketika ia memun-

tahkan gumpalan-gumpalan darah hitam. Ia meman-

dang nanar ke arah pemuda yang masih berdiri di dekatnya...


"Ketika aku lewati jalan itu, aku melihat tubuh-

mu terlempar dari jendela atas... Dan juga kulihat seo-

rang pendekar buntung mengamuk di sana...." kata 

pemuda yang tak lain adalah Wintara si Pengelana 

Sakti. 

Akuwu Mambang menarik nafas. Dadanya turun 

naik.... Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat. 

Mendengar ucapan Wintara menyebut 'Pendekar Bun-

tung' Akuwu Mambang jadi teringat akan wajah si 

pembunuh yang ternyata berlengan tunggal.

"Kau lihat para anak buahku…? Di mana mere-

ka..?" tanya Akuwu Mambang, dadanya masih terasa 

sakit dan tidak mungkin dapat berdiri, Wintara men-

dekat membantu tubuh Akuwu Mambang duduk pada 

bangku panjang itu.

"Mereka semua tewas di ruangan atas...." kata

Wintara sambil menunjuk ke arah langit ruangan. 

Akuwu Mambang mengikuti arah telunjuk Wintara. 

Kalau saja ia tidak begitu parah, Akuwu Mambang su-

dah naik ke atas untuk melihatnya.

"Dua orang tewas terkapar di luar dengan kepala 

remuk...."

"Khepharaaaaaat....!" Akuwu Mambang mengge-

ram.

"Tidak adakah kerabat mu yang tinggal di si-

ni....?" tanya Wintara.

"Tidak ada! Mereka tidak tinggal sini.... Karena


rumah ini merupakan pos pertahanan desa Joglo 

Alun.... Ada apa?"

"Aku khawatir tidak ada yang merawat luka-

lukamu...." jawab Wintara cepat.

"Percuma... Luka-luka ini sangat parah aku rasa 

harus memerlukan tabib..." Ah! Wintara kecewa. Ia 

membuka kancing baju Akuwu Mambang setelah min-

ta ijin terlebih dahulu. Pada dada serta bagian rusuk 

kanan membekas luka memar yang masih memerah.

"Anak muda.... Sudikah kau menolongku...." Su-

ara Akuwu Mambang berat.

"Kenapa tidak....?" jawab Wintara sambil melon-

tarkan senyum.

"Aku mengenal seorang tabib yang terkenal sakti, 

namanya Nayan Gunta.... Maukah kau mengantarkan 

aku ke sana....? Mudah-mudahan ia bisa menyembuh-

kan luka-luka ini...." Wintara menganggukkan kepala. 

Lalu....

"Kapan kita berangkat.... Tapi menurut hematku, 

kita harus pergi sekarang juga." Wintara memberikan 

keputusan sendiri.

"Yaaah! Mumpung belum terlambat.... ambillah 

seekor kuda di kandang belakang, sementara itu aku 

akan menulis surat mengabarkan peristiwa ini pada 

kepatihan, agar mereka dapat mengurus semuanya...." 

kata Akuwu Mambang sambil melangkah menuju meja 

tulis. Langkahnya demikian lemah dan lambat. Untuk


mencapai meja Akuwu Mambang memerlukan waktu 

yang cukup lama. Karena jarak meja tulis itu cukup 

jauh juga. Ada kira-kira lima tombak.

Di kandang belakang Wintara melihat ada tiga 

ekor kuda tertambat. Ia melepaskan salah seekor kuda 

yang paling gemuk. Ia menuntunnya sampai ke depan 

pintu rumah.

Akuwu Mambang belum selesai menulis surat, 

tapi setelah ia melihat Wintara kembali ia memperce-

pat tulisannya. Tak lama ia melipat kertas itu dan 

memasukkannya ke dalam saku yang ada di balik ba-

ju. Ia sengaja meninggalkan penanya tergeletak begitu 

saja di atas meja. Melihat Akuwu Mambang selesai 

menulis surat, Wintara membantunya melangkah ke 

luar. Dalam setiap langkahnya, Akuwu Mambang sela-

lu meringis menahan sakit.

Seekor kuda telah menunggu di depan pintu. 

Wintara langsung membantu Akuwu Mambang naik ke 

atas pelana.

"Anak muda, siapakah namamu....? Dari tadi 

sampai lupa aku menanyakannya…" tanya Akuwu 

Mambang setelah dengan susah payah berusaha naik 

ke atas pelana. Sekarang ia dapat duduk tenang.

"Namaku Wintara.... Asalku dari Karang Ham-

par.... Dan aku tidak punya tempat tinggal" jawab Win-

tara singkat sambil menyusul menunggang kuda itu di 

belakang Akuwu Mambang.


"Kiranya seorang pengelana.... Tentunya bukan 

pengelana sembarangan...." kata Akuwu Mambang 

sembari memberikan tali kendali pada Wintara. Ia 

menginginkan Wintara yang mengendalikan kudanya 

selama dalam perjalanan.

"Ah! Kau terlalu berlebihan memuji..." Wintara 

menghentakkan tali kekang, maka kuda itupun berlari 

meninggalkan rumah bertingkat megah. Debu-debu

beterbangan di saat kuda itu melangkah cepat....

*

* * *

Rambut Arum Kemuning berderai-derai halus ter-

tiup angin. Begitu juga dengan rambut serta jenggot 

yang memutih Tabib sakti Nayan Gunta. Senja itu an-

gin berhembus kencang. Tubuh bongkok Nayan Gunta

menuntun Arum Kemuning menuruni anak tangga ba-

tu karang yang dipenuhi dengan tumbuhan merambat. 

Arum Kemuning merasakan kesejukan itu.

Nayan Gunta membawanya pada halaman sekitar 

bukit karang. Di mana menghampar bunga-bunga 

bermekaran. Di situ terdapat batu-batu menonjol 

membentuk kursi-kursi. Nayan Gunta mendudukkan-

nya pada salah satu batu yang agak besar.

"Sayang kau tak dapat melihat, Arum Kemun-

ing.... Sayang sekali! Kau tak perlu menyesali hidup


mu.... Semuanya sudah kehendak Hyang Whidi.... 

Meskipun matamu buta, tapi kau masih memiliki hati 

nurani yang begitu jernih...." kata Tabib Sakti Nayan 

Gunta menghibur. Arum Kemuning yang kedua rongga 

matanya masih tertutup dengan daun ramuan terse-

nyum.

"Aku mendengar suara air mengalir deras... Be-

tulkah perkiraan ku?" kata Arum Kemuning memper-

tajam pendengarannya.

"Betul....! Betul sekali....! Di hadapanmu sebuah 

jeram menerjunkan airnya demikian deras.... Air terjun 

itu menimpah batu-batu karang sehingga menimbul-

kan suara yang begitu hebat... Di bawahnya menyam-

but kumpulan air membentuk sebuah danau. Nayan 

Gunta menggambarkan pemandangan di hadapan me-

reka dengan kata-kata.

"Tempat yang indah.... Aku dapat menghirup 

udaranya yang segar...." kata Arum Kemuning, wajah-

nya berseri-seri.

"Semuanya lebih dari apa yang kau perkirakan, 

Arum.... Coba kau terka apa yang menghampar di ba-

wah kedua kakimu…" Arum Kemuning tidak menja-

wab. Ia merunduk, kedua telapak tangannya meraba-

raba sekitar kedua kakinya. Mula-mula ia menyentuh 

rumput-rumput kecil yang menghampar.

"Bergeser sedikit ke kiri, Arum.... Yak! Sedikit la-

gi...." Nayan Gunta memberi semangat. Arum Kemun


ing cepat menggeser telapak tangannya, maka ia me-

nyentuh suatu yang amat lembut.

"Bunga....! Aku dapat memastikan yang kupegang 

ini adalah sekuntum bunga!" Arum Kemuning menca-

but sesuatu yang disentuhnya tadi. Nayan Gunta ter-

senyum melihat tingkah gadis itu yang nampak men-

cium bunga.

"Oh? Ini bunga mawar.... Yah! Pasti mawar. Tidak 

salah lagi... Betulkah itu?"

"Yang kau genggam itu memang sekuntum ma-

war, Arum...." Nayan Gunta membenarkan.

"Begitu banyakkah mawar-mawar ini mengham-

par....?" tanya Arum Kemuning yang masih menciumi 

mawar dalam genggamannya. 

"Seandainya kau dapat melihat.... Kau tak akan 

mampu menghitung jumlah mawar-mawar yang berte-

baran di sini...." kata Nayan Gunta.

"Kau pandai memilih tempat tinggal, Tabib Nayan 

Gunta.... Kau laki-laki berdarah seni.... Dari ucapan-

mu saja aku sudah dapat menyukai tempat ini.... Be-

tulkah mawar-mawar itu sukar untuk di hitung....?" 

Wajah Arum Kemuning makin berseri-seri. Sekalipun 

Arum Kemuning tidak dapat melihat keindahan yang 

sebenarnya. Dalam pada itu.... "Triiing....!" Arum Ke-

muning dapat mendengar suara itu. Tabib Sakti Nayan 

Gunta langsung menoleh ke arah dentingan suara itu. 

Ia melihat Seta Wungu berjalan mendekat dengan


membawa sesuatu dalam rengkuhan lengan kirinya.

"Kecapi...! Itu suara kecapiku...." Arum Kemuning 

menggapai-gapai tangannya. Dentingan suara senar 

makin mendekat. Nayan Gunta menyentuh pundak 

Arum Kemuning agar tetap tenang.

Seta Wungu yang menghampiri kedua orang itu, 

langsung menyerahkan alat musik pada Arum Kemun-

ing.... Sudah tentu Arum Kemuning tidak dapat mene-

rimanya. Pandangan Arum Kemuning sendiri begitu

gelap. Tapi yang jelas ia dapat mendengar langkah 

orang lain mendekatinya. Seta Wungu yang membawa 

alat musik itu menyentil tali-tali senar di hadapan 

Arum Kemuning. Seta Wungu sendiri berharap agar

Arum Kemuning dapat mengetahui kehadirannya.... 

Maka ketika senar berdenting lagi Arum Kemuning 

menggapaikan kedua tangannya ke samping kanan.... 

Seta Wungu sendiri mendekatkan kecapi itu ke lengan

Arum Kemuning. Seperti tidak percaya Arum Kemun-

ing menjamahnya. Terlebih-lebih ketika ia menelusuri 

lekuk-lekuk alat musik itu. Wajahnya nampak bersi-

nar, penuh dengan perasaan girang yang tiada terki-

ra....

"Ini kecapi milikku....! Oh, siapa yang memba-

wanya ke mari....? Ohh...." Suara Arum Kemuning ha-

ru. Sebelah lengannya menggapi-gapai agar bisa me-

nyentuh seseorang yang membawakan kecapi miliknya

Tabib Sakti Nayan Gunta membantu lengan Arum Kemuning menyentuh baju Seta Wungu

"Oh… Diakah orangnya..? Siapa lagi..? Seta Wun-

gukah..?" Tanya gadis itu.

"Yah.... Dialah Seta Wungu... Si penyelamat diri-

mu...!" kata Nayan Gunta membenarkan.

"Terima kasih.... Terima kasih, kakang Seta Wun-

gu.... Kau baik sekali.... Darimana kau mendapatkan 

benda yang ku sayangi ini, kakang....?" Arum Kemun-

ing memeluki kecapinya. Seta Wungu gelagapan men-

cari alasan, lalu...

"A-A-Aku mendapatkannya dari seorang teman 

baik, Arum...," kata Seta Wungu gugup.

"Siapakah temanmu itu, kakang....? Bagaimana 

ia bisa berada di tangannya....?"

"Entahlah.... Dia bilang menemukan kecapi ini di 

Joglo Alun pada pesta malam...." Wajah Arum Kemun-

ing berseri. Seta Wungu dapat menatap raut wajah 

yang amat cantik, Yah...! Arum Kemuning memang 

cantik, meskipun sekarang ia kehilangan kedua pen-

glihatannya. Setiap kali Seta Wungu menatap wajah 

buta itu, selalu ada rasa penyesalan.

"Untunglah kecapi ini tidak rusak, kakang Seta 

Wungu.... Aku bisa memainkannya.... Oh, ya....! Sam-

paikan juga rasa terima kasihku pada temanmu, ka-

kang." Arum Kemuning menyentil-nyentil tali senar.

"Kakek Nayan Gunta dan kakang Seta Wungu, 

apakah kalian ingin mendengarkan aku menyanyi....?


Anggap saja sebagai rasa terima kasih...."

"Mendengar suara bicaramu sudah begitu mer-

du.... Apalagi kalau sedang menyanyi diiringi kecapi... 

Tentunya akan lebih merdu lagi! Cobalah, sekali-kali 

aku mendengar alunan Putri Kecapi....!" kata kakek

Nayan Gunta si Tabib Sakti. Wajah Arum Kemuning 

memerah. Tapi ia dapat menguasainya.... 

Dan tanpa menunggu waktu, jari jemarinya yang 

lentik memainkan kecapi. Maka suara merdu Arum 

Kemuning yang diiringi dentingan kecapi mengalun 

mengisi suasana senja itu.... Angin tetap berhembus

dan burung-burung beterbangan di atas langit yang 

memancarkan sinar kemerahan. Pohon-pohon besar 

yang lebat tumbuh di pinggiran danau seakan berbaris 

menyaksikan permainan Putri Kecapi. Demikian juga

dengan kakek bongkok Nayan Gunta serta Seta Wun-

gu, keduanya betul-betul hanyut oleh alunan suara 

Putri Kecapi yang amat merdu bagai buluh perindu.... 

Meskipun pandangan Arum Kemuning gelap, se-

puluh jarinya bagaikan lima pasang mata yang tidak 

pernah meleset dalam memetik senar-senar kecapi da-

lam pelukannya.

Kurang lebih Arum Kemuning memainkan tiga 

buah lagu, Seta Wungu mengeluarkan sebuah bung-

kusan dari balik bajunya. Bungkusan itu diserahkan 

pada Tabib Sakti Nayan Gunta. Kakek bongkok be-

rambut putih itu sudah tahu isi dalam bungkusan. Karena sewaktu Seta Wungu menyerahkan bungkusan 

itu, selembar kertas resep yang pernah diberikannya 

pada beberapa hari yang lalu ikut diberikannya pula. 

Kemudian tabib Sakti Nayan Gunta melangkah men-

dekati Arum Kemuning yang masih mendendangkan 

senandung yang keempat.

"Sudahlah, Arum... Kami berdua sudah menden-

gar... Kau memang pantas disebut 'Putri Kecapi'... Isti-

rahatlah, mungkin kau lelah..." kata Nayan Gunta se-

telah berada di sebelah gadis itu. Arum Kemuning 

menghentikan permainannya, kemudian....

"Aku belum lelah, kakek Nayan Gunta... biarkan-

lah aku menghibur diri dengan kecapi ini... Aku masih 

merindukannya...." kata Arum Kemuning menolak. 

"Kalau begitu, tetaplah kau di sini.... Aku dan Se-

ta Wungu akan ke pondok membuat ramuan.... Nanti 

menjelang gelap Seta Wungu akan menjemput mu...." 

Nayan Gunta menyentuh punggung gadis itu, Arum 

Kemuning seolah tengadah ke arah kakek bongkok be-

rambut putih disebelahnya. Ia kemudian mengangguk 

sambil tersenyum. Setelah menepuk perlahan dua kali 

punggung gadis itu, Tabib Sakti Nayan Gunta mening-

galkannya. Seta Wungu mengikuti langkahnya di bela-

kang. Arum Kemuning tidak perduli, ia melanjutkan 

permainan kecapinya.

Matahari belum tenggelam. Sinarnya yang tertu-

tup awan membiaskan sinar keperakan. Air jeram yang


terjun demikian deras menimbulkan suara bergeru-

muh. Deru itu bercampur dengan kicauan burung-

burung yang beterbangan kembali ke sarangnya.

Tiga sosok bayangan mengendap-endap dari balik 

batu-batu karang yang menonjol besar. Ketiga orang 

itu berwajah menyeramkan. Gerak-geriknya sangat 

mencurigakan pastilah ada suatu maksud yang tidak 

baik Apalagi mereka mulai bergerak mendekati Arum 

Kemuning. Langkah-langkah mereka begitu hati-hati 

sekali.... Salah seorang dari mereka membawa seutas 

tali yang tergulung di lengan kanannya.

Ketika hampir mendekat, Arum Kemuning men-

dengar tumbuhan di sebelahnya bergemeresek. Ia ber-

henti memetik kecapi, lalu....

"Kakang Seta Wungukah itu.... Apakah sekarang 

sudah menjelang malam....?" tanya Arum Kemuning 

sambil menoleh ke krah suara langkah-langkah itu. 

Ketika orang itu melihat Arum Kemuning, mereka baru 

tahu kalau gadis itu buta. Pantaslah kehadiran mereka 

tidak diketahui sama sekali.

"Kakang Seta Wungu....?" tanya Arum Kemuning 

lagi dengan penasaran.

"Ya.... Ya. Aku Kakang Seta Wungu...." Kata salah 

seorang yang berusaha mendekati

"Kau bukan kakang Seta Wungu.... Suaramu 

sangat menyeramkan....! Juga kau bukan si Tabib Sak-

ti Nayan Gunta..., Siapa kau....?" Arum Kemuning


bangkit dari duduknya. Sebuah lengan kekar menarik-

nya dengan kasar. Seorang lagi membekapnya. Arum 

Kemuning meronta-ronta. Ia menjerit sekuatnya.... 

Orang yang membawa tali susah payah mengikat tu-

buh ramping Arum Kemuning.

*

* * *

LIMA



Seta Wungu maupun Tabib Sakti Nayan Gunta 

tersentak kaget mendengar suara jeritan Arum Kemun-

ing. Maka dengan cepat Seta Wungu berlari ke luar. 

Matanya yang selalu awas, melihat Arum Kemuning 

meronta-ronta dengan tubuh terikat. Tiga orang ber-

tampang menyeramkan berusaha membawanya kabur. 

Lengan kirinya yang cekatan menarik gagang pedang. 

Lalu menghentakkan kedua kakinya, maka tubuhnya 

itu melesat cepat menerjang ke arah tiga orang yang 

membawa Arum Kemuning.

Ia tidak berani ceroboh membabatkan pedangnya 

ke arah mereka. Karena Arum Kemuning dekat di an-

tara orang-orang itu. Ia takut kalau-kalau sambaran 

pedangnya akan salah mengenai sasaran... Perasaan


yang selalu menghantui pikirannya.

Terjangannya yang disertai sebuah tendangan, 

menghantam salah seorang penculik sampai bergulin-

gan.... "Des!" Mulutnya menyembur darah, tapi ia ma-

sih dapat bangkit.

"Lepaskan gadis itu, kalau tidak.... Aku tidak 

pandang lagi siapapun adanya kalian! " kata Seta 

Wungu tenang, ia berdiri dengan genggaman yang erat 

memegang gagang pedang. Arum Kemuning yang men-

genali suara Seta Wungu berontak. 

"Kakang Seta Wungu. Tolooooong....!"

"Tenang, Arum.... Tenang....!" Seta Wungu ber-

siap-siap dengan pedangnya setelah melihat dua orang 

menyeramkan itu mencabut senjata mereka. Begitu ju-

ga dengan orang yang tadi bergulingan menyemburkan 

darah. Ia sudah berdiri garang dengan senjata pedang 

terhunus. Tubuh Arum Kemuning sengaja dibiarkan 

terikat. Keadaan menjadi hening.

Dan ketika salah seorang menerjang menyerang 

dengan pedangnya, Seta Wungu menyambut. 

"Traaang....!" terdengar nyaring senjata mereka beradu. 

Arum Kemuning dapat mendengarnya. Ia dapat me-

mastikan kalau Seta Wungu menggunakan pedang 

menghadapi orang-orang itu. Arum Kemuning khawatir 

sekali, karena ia tahu orang-orang yang bermaksud 

membawa dirinya lebih dari satu orang....

Seta Wungu menghantam keras pedangnya, maka.... "Waaaark!" Seorang lawannya menjerit kesakitan, 

pergelangan tangannya putus melayang tinggi di uda-

ra. Serangan Seta Wungu tidak berhenti sampai di si-

tu. Kakinya dengan keras menendang ke depan.... 

"Deeeer!" Menghantam dada orang yang masih 

menjerit itu sampai terlempar beberapa tombak ke be-

lakang. Ia berpaling lagi pada dua orang yang siap-siap 

menyerang.... Mereka maju serempak. Pedang mereka 

berkelebat menyilang bergantian.... Seta Wungu me-

lompat mundur, tapi pedang terus berputar menyam-

but babatan-babatan itu.

Serangan kedua orang itu makin gencar. Teria-

kan-teriakan makin lantang menggempur. Sekali Seta 

Wungu menghentakkan pedangnya.... Benturan keras 

tak terelakkan lagi. "Traaang!" Lengan Seta Wungu 

sendiri kesemutan. Tapi bagi lawannya yang tersentak 

kaget, ia tidak percaya pedangnya terlempar begitu sa-

ja dari genggamannya. Seta Wungu melesat ke atas 

mengikuti ke mana pedang lawannya terlempar, lalu 

dengan kecepatan bagai kilat ia menyambar pedang itu 

dengan pedangnya.... 

"Traaak!" Pedang itu kembali ke bawah menjurus 

cepat, dalam sekejap pedang itu menancap tembus di 

antara kedua mata pemiliknya.... 

"Aaaaaaarght!" Tubuh dengan kepala tertembus 

pedang kelojotan hebat, kemudian tak berkutik lagi. 

Seta Wungu membabat cepat ke samping kiri mengetahui lawannya yang tinggal seorang lagi datang 

menyerang....

"Traaang!" Penyerang itu menyambutnya dengan 

babatan pedang pula. Lalu pedangnya menyabet ber-

kali-kali.... "Bret..! ret....! Bret....! Waaaaarg!" Penye-

rang itu ambruk bersimbah darah yang mengerikan... 

Kalau saja tadi Seta Wungu mengerahkan seluruh te-

naganya mungkin tubuh itu sudah terpotong menjadi 

tiga bagian. 

Langkah Seta Wungu cepat menghampiri Arum 

Kemuning yang terikat erat. Ia sudah tidak mendengar 

suara-suara benturan pedang maupun teriakan-

teriakan jerit kesakitan. Pertarungan sudah berakhir, 

pikirnya... Bagaimana keadaan Seta Wungu..? Apakah 

ia mampu menghadapi orang-orang itu....? Tanya 

Arum Kemuning dalam hati.

"Kau tidak apa-apa, Arum....?" tanya Seta Wungu 

langsung membuka ikatan-ikatan tubuhnya. Menden-

gar suara yang sudah dikenalnya itu, Arum Kemuning 

merasa lega. 

"Kakang Seta Wungu.... Ah! Syukurlah kau sela-

mat.... Bagaimana dengan orang-orang itu?" tanya 

Arum Kemuning. Setelah semua ikatan itu terlepas ba-

rulah Seta Wungu menjawab....

"Mereka tewas... Yang seorang lagi, aku tidak ta-

hu bagaimana keadaannya...." jawab Seta Wungu jujur.

"Kau membunuhnya, Kakang....?" 

"Terpaksa, Arum.... Kalau tidak, mungkin nyawa-

ku yang melayang...." 

"Rupanya kakang pandai juga memainkan pe-

dang..." Seta Wungu terpojok. Dari mana Arum Ke-

muning tahu ia menghadapi lawan-lawannya menggu-

nakan pedang... Sedangkan kedua matanya buta! Ba-

gaimana ia dapat mengetahuinya....?

"Aku memang mempunyai sebilah pedang.... Yah, 

untuk sekedar menjaga diri. Setiap laki-laki harus 

memiliki pedang. Dan harus membawanya ke mana-

pun ia pergi...." Seta Wungu menjelaskan. Arum Ke-

muning mengangguk mengerti.

"Sebagai wanitapun, kau harus bisa menjaga di-

ri…" katanya lagi.

"Maksudmu mengerti ilmu bela diri… Sayang.... 

Sejak kecil aku tidak menyukai ilmu silat, aku malah 

tertarik dengan seni." tutur Arum Kemuning. Menden-

gar Arum Kemuning mengucap 'seni', Seta Wungu ti-

dak melihat kecapi miliknya. Maka ia blingsatan men-

cari-cari, pandangannya mengawasi di mana tadi gadis 

itu duduk memainkan alat musiknya.... Dan ternyata 

kecapi itu masih ada tergeletak di tanah berumput.

"Kakang.... Kenapa diam saja?" tanya Arum Ke-

muning, Seta Wungu tersentak. 

"Ah, tidak.... Aku tengah memikirkan kau harus 

bagaimana...."


"Apanya yang bagaimana...." tanya gadis itu ke-

heranan.

"Paling tidak mengerti sedikit ilmu bela diri.... 

Nah coba kau pegang ini!" Seta Wungu meraih lengan 

gadis itu yang halus. Ia meletakkan gagang pedang ke 

dalam telapak tangan Arum Kemuning.

"Yang kau pegang ini adalah gagang pedang... 

Genggamlah yang erat..." perintah Seta Wungu, Arum 

Kemuning menurut... Maka dengan kedua telapak tan-

gannya gadis itu menghunuskan pedang... Pedang itu 

masih berlumuran darah, kalau saja Arum Kemuning 

dapat melihat, tentunya ia akan merasa jijik... Bahkan 

mungkin tidak berani memegang pedang itu. 

"Kedua kakimu jangan terlalu rapat...! Melebar 

sedikit ke belakang... Ya, begitu baru benar...!" Arum 

Kemuning tersenyum ia masih merasa kikuk. Seta 

Wungu mundur beberapa langkah sebelum itu ia me-

mungut beberapa batu karang sebesar kepalan tangan.

"Aku akan melemparkan batu ini satu demi sa-

tu... Kau tahu apa yang harus kau lakukan...?" kata 

Seta Wungu yang telah siap-siap melempar. Arum Ke-

muning menggeleng...

"Babatkan pedang itu ke arah suara jatuhnya ba-

tu... Mengerti....?"

"Hanya demikian? Baiklah akan ku coba...." Se-

nyum Arum Kemuning berseri.

"Nah.... Bersiaplah..."


Keadaan hening... Gadis buta itu memasang te-

linga tajam-tajam... Sedangkan batu menjurus perla-

han ke samping... Begitu batu karang itu jatuh ke ta-

nah, gadis itu melompat kaku sambil membabatkan 

pedangnya ke arah di mana batu karang itu jatuh... 

Seta Wungu hampir tertawa menahan geli... Bagaima-

na tidak, ketika Arum Kemuning melompat memba-

batkan pedangnya, ia terjatuh... Mungkin karena gadis 

itu terlalu bersemangat!

"Sewaktu membabatkan pedang kau tak perlu 

melompat, Arum.... Kedua kakimu tetap berpijak pada 

tanah... Salurkan tenagamu pada kedua lenganmu 

yang menggenggam gagang pedang... Nah! Ayo berdiri 

lagi... Kita ulangi...." Sambil nyengir, gadis itu bangkit 

bergerak pada posisi seperti semula... 

Kembali sebongkah batu karang melesat perla-

han... Begitu batu itu jatuh ke tanah, Arum Kemuning 

bergerak sesuai dengan ajaran Seta Wungu... "Bweeet!" 

Pedang itu bergerak cepat membentuk kilatan sinar 

putih ke arah suara jatuhnya batu karang. Hal itu di-

lakukannya berkali-kali, Seta Wungu sendiri merasa 

gembira melihat gerakan-gerakan Arum Kemuning 

yang demikian lincahnya... Beberapa kali ia memba-

batkan pedangnya pada arah jatuhnya batu karang 

yang dilemparkan oleh Seta Wungu. Seta Wungu sen-

gaja melempar batu-batu itu makin lama makin ce-

pat...


Sampai pada batu karang terakhir, lemparan 

batu itu sengaja dipercepat.... "Weeeees!" Anginnya 

berdesir keras. Arum Kemuning langsung memba-

batkan pedangnya ke samping kanan....."Praaaaak!" 

Batu karang itu hancur sebelum mencapai tanah. Seta 

Wungu tidak menyangka sama sekali, ia mengira tin-

dakan itu hanyalah kebetulan belaka. Maka sekali lagi 

Seta Wungu memungut sebongkah batu yang ukuran-

nya lebih kecil. Meskipun batu-batu karang itu telah 

habis, Arum Kemuning masih mengira Seta Wungu 

masih memiliki batu-batu itu. Maka ia masih terus 

berjaga-jaga, malah gerakannya itu seperti seorang ahli 

pedang layaknya... Dan ketika batu kecil melesat ke 

arahnya... Kali ini Seta Wungu melempar tepat ke arah 

Arum Kemuning… "Weeeeees!" Tanpa melangkah, gadis 

itu menyambut ke arah desiran angin... "Prrrak" Batu 

yang hampir mengenai tubuhnya hancur berkeping-

keping. 

Seta Wungu ternganga melihat kehebatan gadis 

itu yang menjelma begitu cepat. Terdengar pula derai 

tawa Arum Kemuning. Seta Wungu pun jadi ikut ter-

tawa....

"Aku menganggapnya seperti memainkan kecapi, 

Kakang Seta Wungu.... Tanpa melihat, tapi aku dapat 

memainkan sebuah lagu dengan sentilan jari-jemari 

tanganku... Begitu juga ketika kau melemparkan batu, 

aku dapat menghitung kecepatan yang kau lempar


kan... Justru sewaktu kau melempar perlahan, aku ti-

dak dapat mendengar desiran anginnya...." Arum Ke-

muning menjelaskan. Seta Wungu terpana mendengar 

apa yang diucapkan gadis itu.

"Ternyata kau gadis yang cerdik Arum... 

Aku tidak menyangka sama sekali...! Selama ini 

kau tidak boleh memegang pedang... Nanti aku bua-

tkan satu senjata untuk dirimu... Kalau kau ku per-

senjatai sebilah pedang, tentunya akan berbahaya... 

Aku takut bila suatu saat aku datang kepadamu, lalu 

kau membabatkan pedang ke arahku... Aku bisa mati 

konyol!"

"Ha... ha... ha... ha... ha..." Arum Kemuning ter-

tawa lepas. Belum pernah Seta Wungu mendengar ge-

lak tawa yang begitu lepas.

"Aku dapat melihat keadaan, Kakang Seta Wun-

gu... Mana mungkin aku berani membabatkan pedang 

di saat-saat yang bukan tepat pada waktunya..." kata 

Arum Kemuning penuh semangat.

"Ternyata memainkan sebilah pedang lebih mu-

dah dibandingkan dengan memetik kecapi" katanya la-

gi. Arum Kemuning kasih menghunuskan pedang. Seta 

Wungu tidak berani mendekat, Takut kalau langkah-

nya itu dikira lemparan sebuah batu karang. Sebelum 

ia maju melangkah mendekati gadis itu....

"Sudahlah, Arum... Sekarang kau sudah mengerti

apa yang dimaksudkan ilmu bela diri. Aku berharap


kau dapat mengingatnya..." kata Seta Wungu sambil 

melangkah mendekati Arum Kemuning. Gadis itu me-

nyerahkan bilah pedang pada Seta Wungu.

Pada waktu itu sosok yang telah menggeletak di 

tanah berusaha bangkit... Ternyata orang yang kehi-

langan pergelangan tangannya berlari meninggalkan 

tempat itu. Ingin rasanya Seta Wungu merebut cepat

pedang dalam genggaman Arum Kemuning tapi Seta 

Wungu membatalkan niatnya... Ia tidak ingin kekasa-

rannya dapat diketahui oleh gadis itu.

Bagi Arum Kemuning, ia dapat mendengar suara 

langkah yang demikian cepatnya...

"Suara apa itu..? Aku mendengar suara langkah 

orang berlari...!" kata Arum Kemuning setelah men-

dengar langkah-langkah yang semakin halus men-

jauh....

"Bukan apa-apa, Arum... Itu cuma seekor rusa 

yang lari menjauh ketika melihat kau memegang pe-

dang..." Seta Wungu membohongi.

"Oh... Aku khawatir lawan-lawanmu tadi masih 

ada yang tersisa dan menyerangmu, kakang Seta 

Wungu... Hanya itu kekhawatiran ku...."

"Baru saja kau mempelajari dasar ilmu pedang, 

tapi kau sudah berpikiran buruk…"

*

* * *


Sambil memegangi pergelangan tangannya, orang 

itu terus melarikan diri. Darah menetes pada setiap ia 

melangkah. Tercecer di sepanjang jalan yang menem-

bus ke dalam hutan. Larinya pontang-panting, seben-

tar-sebentar ia menoleh ke belakang. Sepertinya ia ta-

kut kalau-kalau ada seseorang yang membuntutinya.

Tidak ada rasa takut sama sekali ketika kakinya 

melangkah cepat memasuki hutan yang begitu lebat. 

Hutan yang menyeramkan itu banyak ditumbuhi se-

mak-semak belukar, juga akar-akaran yang merambat 

naik hampir ke setiap pohon-pohon besar yang ada di 

situ. Orang itu pun terkadang harus merunduk molos 

melewati akar-akaran yang malang melintang mengha-

lang. 

Darah masih terus menetes mengikuti ke mana ia 

pergi. Ketika ia melihat sebuah tenda, langkahnya 

dipercepat. Belasan orang nampak duduk-duduk di 

sekitar tenda, ada juga yang berbincang-bincang berdi-

ri bersandar pada sebatang pohon. Malah ada yang re-

bahan pada tanah berumput. Mereka langsung meno-

leh ketika melihat seseorang berlari mendekati.... 

Orang itu tidak perduli sambil memegangi perge-

langan tangannya yang kutung, ia langsung memasuki 

tenda. Di dalam tenda seseorang telah menunggu, se-

seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun le-

bih. Duduk tenang menghadapi sepundi arak. Mu-

kanya sudah merah, mungkin terlalu banyak minum...


Dan ia langsung melotot ketika melihat kehadiran se-

seorang dengan pergelangan tangan berceceran da-

rah... Mengotori ruangan itu.

"Maaf, Tuan... Kami gagal membawa Arum Ke-

muning ke sini... Kalau saja Seta Wungu tidak muncul, 

kami sudah berhasil membawanya... Hanya saya sen-

diri yang berhasil lolos... Dua teman saya tewas...! 

Orang yang baru datang itu menjelaskan, wajahnya 

pucat.

"Mengapa kau harus kembali...? Pengecut...!" Le-

laki berpakaian mewah itu berdiri menatap pergelan-

gan tangan yang menjijikkan. Lalu ia melangkah men-

dekat.

"Agar saya dapat mengabarkan bahwa Seta Wun-

gu berada disana..." Ia meringis menahan sakit pada 

pergelangan tangannya. Lelaki setengah baya itu 

menghentakkan kakinya ke depan... "Des!" Menghan-

tam orang yang berdiri di hadapannya, lalu sambil me-

lompat tendangannya berputar lagi... "Deeeer!" Kali ini 

membuat orang itu terlempar ke luar tenda. Ambruk 

ke tanah tanpa berkutik.

Orang-orang yang berada di luar terkejut. Mereka 

semua berdiri menatap tubuh yang terkapar tanpa 

nyawa... Sosok tubuh berpakaian mewah ke luar dari 

tenda. Ia berdiri di samping mayat itu, lalu meluda-

hinya... Tak satupun dari belasan orang yang berada di 

situ tak ada yang berani mengeluarkan suara.


"Kalian akan bernasib seperti ini bila membang-

kang perintahku, mengerti...!" katanya terdengar seper-

ti tidak main-main. Orang-orang itu menunduk. 

"Ditempat ini kalian harus hati-hati... karena Se-

ta Wungu berada tidak jauh dari sini... Dan juga..." 

Orang itu tidak meneruskan kata-katanya, ia menoleh 

dengan pandangan yang menerobos jauh. Suara derap 

kaki kuda terdengar sayup-sayup. Langkah-langkah 

kuda itu makin lama jelas terdengar. Lalu laki-laki se-

tengah baya itu memberi aba-aba dengan kedua len-

gannya. Maka belasan orang yang berada di situ berla-

rian berpencar.

*

* * *

ENAM



Kuda putih menerobos rimbunnya semak-semak 

dalam hutan itu. Berjalan mengikuti jalan yang selalu 

ditumbuhi oleh semak-semak dan rumput liar. Dua 

orang penunggangnya setengah mati mencari jalan

yang dapat dilalui. Wintara yang memegang tali kekang 

hati-hati sekali mengendalikan kudanya. Akuwu Mam-

bang yang duduk di depannya selalu dan menarik na-

fas dalam-dalam ketika dirasakan luka terguncang.


Tanah berumput itu memang tidak selalu rata. 

Dan juga mereka memang harus melaluinya. Tidak ada 

jalan yang menghubungkan menuju pondok Tabib 

Sakti Nayan Gunta. Kecuali menerobos hutan belukar. 

"Bagaimana dengan luka-lukamu...? Terasa tam-

bah parahkah....?" tanya Wintara. Kedua lengannya 

menjaga agar tubuh Akuwu Mambang tidak bergulir ke 

samping.

"Entahlah... Sekarang aku merasakan sakit seka-

li..." jawab Akuwu Mambang tanpa menoleh. Wintara 

dapat melihat raut muka yang menahan sakit meski-

pun ia duduk dibelakangnya. Ia menarik tali kekang 

agar kuda berhenti...

"Mungkin kita perlu beristirahat...?" usul Winta-

ra.

"Tidak... Tidak usah, pondok Tabib Sakti Nayan 

Gunta tidak jauh lagi dari sini...." kata Akuwu Mam-

bang menolak. "Tetap saja lurus sebentar lagi kita 

akan melewati hutan ini," katanya lagi. Wintara menu-

rut, ia menghela keras, maka kuda itu berlari kencang 

menerobos di antara batang-batang pohon besar. Tidak 

luput juga, dengan alang-alang serta semak yang 

menghalang.

Tiba-tiba saja kuda itu berhenti mendadak, dan 

meringkik kencang. Dua orang penunggangnya beru-

saha tetap duduk mengendalikan keseimbangan. Kuda 

itu malah menyepak-nyepak berontak. Dari atas pohon


belasan orang terjun ke bawah menukik bagai rajawali 

berebut mangsa. Wintara maupun Akuwu Mambang 

melihat mereka semua. Tentulah mereka bermaksud 

menghadang. 

Salah seorang dari mereka, ketika loncat dari 

atas pohon langsung melancarkan serangan ke arah 

dua penunggang kuda. Wintara menyambut tendangan

itu "Plaaak!" Sebelum penyerangnya menginjak tanah, 

Wintara melayangkan tendangannya.... "Deees!" Penye-

rang itu terbanting keras mencium tanah dengan ber-

gulingan. Akuwu Mambang begitu melihat orang-orang 

yang menghadang langsung melompat. Ia tidak perduli 

dengan luka-lukanya Wintara jadi khawatir. Apalagi 

para penyerang itu rata-rata bersenjata... Dan di saat

mereka menyerbu serempak, Wintara berlari ke arah 

Akuwu Mambang... 

Dengan gerakan lincah, ia menyambut enam 

orang sekaligus. Keenamnya membabatkan senjata... 

Wintara melesat ke atas... Sewaktu tubuhnya berada di 

udara.... "Bug....! Bug! Bug!" Kakinya bergerak cepat 

menyambar. Hanya tiga orang yang terkena tendangan

itu, Wintara hinggap di tanah berumput. Dari arah be-

lakang kilatan senjata berkelebat... Akuwu Mambang 

melompat, tinjunya menghantam keras penyerang ge-

lap itu. Mendengar jeritan di belakangnya, Wintara

membalikkan tubuhnya... Seseorang telah ambruk ter-

kena hantaman Akuwu Mambang. Wintara tersenyum.


Serangan mereka makin gencar. Pedang maupun golok 

berputar-putar bagai kilatan sinar putih merencah

Wintara dan Akuwu Mambang. Ketika sebuah babatan 

pedang melayang ke samping kiri, Wintara cepat ber-

geser bahkan dua hantamannya menyilang bersarang 

telak pada wajah serta lengan yang masih memegang 

gagang pedang.

Begitu juga dengan Akuwu Mambang, dua orang 

maju membabatkan senjata. Cepat Akuwu Mambang 

berlompat ke atas. Setelah tubuhnya berputar di uda-

ra, tahu-tahu kedua penyerang itu jatuh bergulingan 

sambil memekik. Ternyata Akuwu Mambang melan-

carkan tendangan terlebih dahulu. Dari arah samping 

kanan, tujuh orang maju serempak. Akuwu Mambang 

cepat menendang salah seorang yang tadi bergulingan. 

Tubuh itu melesat menubruk ketujuh penyerangnya. 

Lalu Akuwu Mambang meraih sebilah pedang yang ter-

geletak di tanah.

"Tunggu dulu...! Mau apa kalian sebenarnya...? 

Mau merampok...? Aku tidak membawa harta...!" kata 

Akuwu Mambang sambil melirik ke arah Wintara yang 

masih bertempur, dan saat itu ia berhasil memukul 

roboh satu orang lawannya.

"Chis...! Buat apa segala macam harta…! Dan 

jangan anggap kami ini semua rampok... Kami tidak 

butuh harta apa pun...! Yang kami butuhkan adalah 

nyawa kalian... Hreaaaaa!"


Ketujuh orang yang sudah bangkit maju, kali ini 

terjangannya begitu semangat. Akuwu Mambang yang 

sudah mendapatkan senjata tenang-tenang saja meng-

hadapi mereka... Senjata mereka teracung mengkilat 

mengerikan... Dan ketika mereka mendekat, pedang di 

tangan Akuwu Mambang berkelebat menyerupai segu-

lungan sinar putih. Sedangkan tubuhnya cepat bergu-

lir ke samping, karena tidak mungkin Akuwu Mam-

bang dapat menghadapi mereka sekaligus. Iapun dapat 

melihat akibat babatan pedangnya... Dua orang terka-

par tanpa nyawa dengan perut robek selebar jengkal. 

Lima orang lagi masih terus menyerang, mereka men-

gejar ke manapun Akuwu Mambang bergeser.

Wintara mengangkat tangannya ke atas melan-

carkan pukulan.... "Dees!" Satu orang terlempar mem-

bentur batang pohon. Wintara sendiri mundur ke bela-

kang setelah melancarkan serangan tadi. Ia pun 

menghadap sama banyaknya dengan orang-orang yang

menyerang Akuwu Mambang. Cuma bedanya Wintara 

tidak menggunakan senjata… Meskipun dengan tan-

gan kosong, ia sanggup membuat lawannya lumpuh 

hanya dengan sekali hantam.

Pemuda yang mengenakan baju kulit binatang ini 

tidak berani mendekat, manakala semua penyerangnya 

membabatkan pedangnya, malah sampai beberapa kali 

ia harus terpaksa mundur. Salah seorang dari penye-

rangnya melemparkan pedang.... Pedang itu melesat


seperti anak panah.... Wintara bergeser setengah puta-

ran maka pedang itu hanya menyerempet baju bulu di 

bagian dada. Berbarengan dengan itu lima orang pe-

nyerangnya, membabatkan pedang pada arah-arah 

yang sama. Sebelum pedang-pedang itu merencahnya, 

Wintara melesat ke atas. Lalu hinggap dengan cepat di

belakang mereka.... 

Belum sempat mereka berbalik, Wintara melan-

carkan dua pukulan pada dua orang di hadapannya, 

maka dua orang itupun langsung tersungkur dengan 

masing-masing tulang leher mereka patah. Untuk ber-

teriak saja mereka tidak bisa mengeluarkan suara.... 

Dan mereka tidak ingat apa-apa lagi setelah tubuh me-

reka ambruk. Ketiga orang ini terbelalak melihat dua 

orang temannya ambruk dengan seketika. Malah me-

reka melihat Wintara telah bersiap-siap melancarkan 

serangan lagi. Sebelum tendangan Wintara bergerak, 

salah seorang dari mereka membabatkan pedangnya 

ke arah kaki yang cepat ditarik mundur. Di luar du-

gaan, tinju Wintara menerobos menghantam muka.... 

"Des!" Dan di saat orang itu memekik, tendangan Win-

tara berputar menghantam lambung.... "Buuug!" Kon-

tan orang itu kelojotan di tanah.

Pedang dalam genggaman Akuwu Mambang ber-

kelebat menyilang membentuk segoresan sinar putih.... 

"Traaang!" Senjata mereka beradu nyaring. Dari arah 

belakang angin berdesir kencang mengarah.... Akuwu


Mambang menyilangkan pedang di atas kepala, ma-

ka.... "Traaang!" Seseorang gagal melancarkan babatan 

pedangnya.... Menyadari orang itu masih berada di be-

lakangnya Akuwu Mambang berjumpalitan salto, tela-

pak kakinya menghantam keras batok kepala si pem-

bokong sampai remuk.

Ada sesuatu yang mendesak ke luar dari dalam 

perut Akuwu Mambang. Ia berusaha menahannya. 

Dadanya mulai terasa sakit., Dengan bantuan sebilah 

pedang Akuwu Mambang bertahan berdiri.... Tapi.... 

Tiba-tiba saja ia mengejang.... Dari mulutnya menyem-

bur darah, kemudian berganti dengan gumpalan-

gumpalan darah hitam...

Para penyerangnya yang bersenjata datang 

menghambur dengan teriakan-teriakan lantang. Aku-

wu Mambang tidak sempat lagi melihat, karena pan-

dangannya sudah tertutup dengan keringat yang men-

gucur dari keningnya. Dan di saat para penyerang itu 

hampir membenamkan senjata mereka di tubuh Aku-

wu Mambang. Sosok tubuh melesat cepat. Tahu-tahu 

sudah berdiri di depan Akuwu Mambang. Sosok tubuh 

yang mengenakan baju dari kulit binatang itu lang-

sung melancarkan tendangan yang menghantam ketiga 

penyerang Akuwu Mambang.... Mendapat tendangan 

yang sangat keras, ketiganya bergulingan sekaligus. 

Ternyata Wintara telah selesai membereskan la-

wan-lawannya. Sekarang ia datang membantu kesulitan Akuwu Mambang. Kalau saja tadi Wintara terlam-

bat, mungkin tubuh Akuwu Mambang sudah menjadi 

sate. Akuwu Mambang sendiri bukan tidak mengetahui 

kehadiran Wintara. Sambil menahan sakit, tiga orang 

itu bangkit lagi..... Tapi Wintara tidak memberi kesem-

patan barang sekejap pun.... Kedua telapak tangannya 

menghantam satu demi satu sampai mereka berpenta-

lan menyembur darah.... Pedang-pedang mereka terle-

pas semua berdenting di tanah, Mereka tidak tewas, 

tapi cukup membuat mereka tak dapat berdiri. 

Tiba-tiba beberapa benda tajam sebesar ibu jari

berdesing.... Beberapa saat kemudian ketiga orang itu 

memekik hebat. Pada kepala mereka rata-rata menan-

cap sebuah benda kecil, namun mematikan.... Wintara

cepat menoleh ke arah dari mana asal senjata rahasia 

tersebut. Dalam pada itu ia melihat sosok gemerlapan 

melompat berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon 

lain. Menjauh semakin jauh. Wintara berlari, kemu-

dian melompat ke atas cabang pohon mengikutinya. 

Namun....

"Tidak usah kau kejar, Wintara...! Tidak mungkin 

kau dapat menyusulnya!" kata Akuwu Mambang se-

tengah berteriak. Wintara yang melesat cepat masih 

dapat menangkap suara itu. Maka ia berhenti pada sa-

lah satu cabang pohon. Pandangannya menoleh pada 

Akuwu Mambang. Keadaan tubuh Akuwu Mambang 

lebih penting dibanding pengejaran terhadap sosok


gemerlapan itu. Sekalipun ia mengejarnya dengan se-

kuat tenaga belum tentu Wintara dapat menyusul! Be-

tul! Semua yang diucapkan Akuwu Mambang memang 

betul. Andaikata Wintara masih nekad menyusul, ba-

gaimana dengan Akuwu Mambang yang tertinggal sen-

diri..? Tentunya akan lebih berbahaya. Apalagi Akuwu 

Mambang dalam keadaan seperti ini parahnya.

"Orang itu bermaksud ingin membunuh kita... 

Siapa dia kira-kira...?" kata Wintara setelah mendekati 

Akuwu Mambang. 

"Ia begitu jauh... Aku tidak dapat mengenalinya, 

tapi dari bentuk tubuhnya... Aku seperti pernah ken-

al..." Jawab Akuwu Mambang. Ia sudah dapat berdiri, 

tapi untuk bergerak sangat sukar sekali... Wintara 

yang memapah tubuh Akuwu Mambang. langkahnya 

berjalan menuju pada seekor kuda putih yang me-

nunggunya di kejauhan. Akhirnya kuda putih itu sen-

diri yang datang menghampiri mereka. Wintara me-

naikkan tubuh Akuwu Mambang lebih dahulu. Setelah 

Akuwu Mambang menunggangi dengan betul, barulah 

Wintara menyusul naik. Wintara sengaja mengendali-

kan kuda itu berjalan perlahan, agar tubuh Akuwu 

Mambang tidak terguncang. Saat itu matahari telah 

tenggelam, suasana hutan itu makin gelap. Binatang 

malam mulai membisingkan telinga. Suara burung 

hantu menimbulkan suara yang amat menyeramkan. 

Mereka baru ke luar dari hutan saat bulan purnama


menerangi sekitar danau. Mereka dapat mendengar 

pula suara derasnya air terjun.

*

* * *

Seluruh ruangan pondok Tabib Sakti Nayan Gun-

ta diterangi oleh beberapa pelita yang memancarkan 

sinar terang. Arum Kemuning duduk tegak pada se-

buah kursi, sosok tua Nayan Gunta berdiri menghada-

pi gadis itu. Rupanya Tabib Sakti Nayan Gunta tengah 

mengganti ramuan daun pada rongga mata Arum Ke-

muning.

"Dari tadi aku tidak mendengar suara Kakang Se-

ta Wungu... Di mana dia?" tanya Arum Kemuning me-

mecah kesunyian.

"Dia bilang akan pergi ke Joglo Alun untuk me-

nemui sahabatnya Somarengga. Apa dia tidak bilang 

sebelumnya padamu...?" Nayan Gunta balik bertanya.

"Tidak. Dia tidak bilang apa-apa... Tapi yaaah... 

Tidak jadi masalah... Oh, ya... apa tadi kau bilang, 

kek...? Seta Wungu ingin menemui Somarengga, betul-

kah itu..?" Wajah Arum Kemuning berseri.

"Dia memang bilang begitu.... Kenapa nampaknya 

kau senang kalau Seta Wungu bersahabat dengan So-

marengga...." kata Tabib Sakti Nayan Gunta selesai 

mengganti ramuan daun.


"Kakek tidak tahu kalau Somarengga, siapa...? 

Somarengga adalah orang kepercayaan kepatihan Jog-

lo Alun. Namun yang nasibnya kurang beruntung... 

Teman-teman sederajatnya malah lebih maju diband-

ing dengan Somarengga..."

"Ohhh... Ternyata kau lebih tahu perihal Soma-

rengga..." kata Nayan Gunta menimpali. Nayan Gunta 

menyerahkan gelas bambu pada telapak tangan gadis 

itu. Arum Kemuning yang menerimanya langsung me-

reguk habis isi gelas bambu itu.

"Aku tidak lebih dari seorang pengamen, kek...! 

Tapi yang jelas, orang-orang kepatihan banyak yang 

menyukai suaraku... Sehingga tidak jarang aku meng-

hibur mereka..." tutur Arum Kemuning. Sebenarnya 

Nayan Gunta ingin menyampaikan sesuatu, tetapi ga-

dis itu melanjutkan pembicaraan…

"Tapi aku cukup senang setelah berkenalan den-

gan Kakang Seta Wungu... Ternyata ia memiliki per-

gaulan yang demikian luasnya... Pantas kakang Seta 

Wungu sampai mengenal akrab dengan Somarengga... 

Kakang Seta Wungu itu pandai memainkan pedang... 

Akupun sempat diajarkan dasar ilmu pedang oleh-

nya..."

"Seta Wungu mengajarkan ilmu pedang dalam 

waktu yang sesingkat ini...?" Tabib Sakti Nayan Gunta 

seakan tak percaya. Arum Kemuning menganggukkan 

kepala.


"Kalau Seta Wungu telah memberi pelajaran da-

sar ilmu pedang, bagaimana kau bisa menjaga diri...? 

Sebilah pedangpun kau tidak memiliki..." kata Tabib 

Sakti Nayan Gunta. Arum Kemuning diam, terdengar 

langkah Nayan Gunta menjauh. Sebentar terdengar la-

gi langkah yang datang mendekati...

"Peganglah ini... Memang bukan sebilah pedang! 

Hanya sebatang rotan... Tapi kau bisa menggunakan-

nya sebagai sebilah pedang..." kata Nayan Gunta sam-

bil menyerahkan sebatang rotan pada kedua telapak

tangan Arum Kemuning. Secara langsung gadis itu da-

pat menggenggamnya. Nayan Gunta belum beranjak 

dari sisi Arum Kemuning…

"Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, 

Arum…"

"Apakah itu...?" tanya Arum Kemuning penasa-

ran.

"Sebelumnya kau harus berjanji akan merahasia-

kannya..." jawab Nayan Gunta.

"Begitu pentingkah...?" Arum Kemuning berde-

bar... Tabib Sakti Nayan Gunta berjalan mendekati 

Arum Kemuning. Ia membisikkan sesuatu pada gadis 

itu... Sesaat kemudian gadis itu bangkit kegirangan...

"Benarkah apa yang kau katakan kakek Nayan 

Gunta... Benarkah...?" kata Arum Kemuning penuh 

semangat... Jari telunjuk Nayan Gunta menutup bibir 

mungil gadis itu, lalu…


"Sekalipun pada Seta Wungu, kau harus meraha-

siakan hal ini, Arum... Bisakah...?" Arum Kemuning 

mengangguk. Sebelah lengannya memeluk pinggang 

Tabib Sakti Nayan Gunta. 

Derap kaki kuda terdengar jelas, Nayan Gunta 

mempertajam penglihatannya. Dalam keremangan itu, 

ia dapat melihat seekor kuda putih dengan dua orang 

penunggangnya... Kuda itu memasuki halaman pondok 

Tabib Sakti Nayan Gunta. 

"Aku mendengar derap kaki kuda seperti menuju 

ke sini... Apakah itu kakang Seta Wungu bersama sa-

habatnya...?" kata Arum Kemuning sambil menoleh ke 

arah suara derap kaki kuda.

*

* * *

TUJUH



Di halaman pondok Tabib Sakti Nayan Gunta, 

Wintara menghentikan kudanya. Ia memandangi pon-

dok yang diterangi dengan beberapa pelita. Dalam re-

mangnya sinar rembulan, Wintara melihat sosok 

bungkuk keluar dari pondok dan menuruni tangga ba-

tu. Sosok bungkuk itu tak lain si Tabib Sakti Nayan 

Gunta.

"Apa yang bisa aku bantu sobat....?" Nayan Gun ta datang menyambut. Ia melihat seseorang duduk di 

depan seorang anak muda dengan kepayahan. Kuda 

putih nampak diam berdiri tenang.... Wintara turun 

dari kuda, tapi sebelah tangannya memegang tubuh 

Akuwu Mambang.

"Orang ini membutuhkan pertolongan., Apakah 

kau Tabib Sakti Nayan Gunta?" tanya Wintara sopan. 

Kakek bungkuk tersenyum jenggotnya bergerak tertiup 

angin. 

"Dia memang Tabib Sakti Nayan Gunta," kata 

Akuwu Mambang dari atas kuda. Ia memang mengena-

li sosok itu meskipun dalam keadaan remang.

"Oh, kebetulan sekali.. Maafkan aku yang muda 

ini, kurang berpengalaman dalam mengenal orang-

orang terkemuka seperti kakek..." Wintara memberi 

hormat. Setelah itu Wintara menuruni Akuwu Mam-

bang. Orang itu betul-betul sudah tidak dapat berja-

lan. Wintara membantunya berdiri... Tabib Sakti Nayan 

Gunta tidak hanya diam, iapun ikut membantu mema-

pah tubuh Akuwu Mambang. Secara tidak langsung

kakek bungkuk itu menuntun masuk ke dalam pon-

dok.

"Demikian parahnya orang ini... Rebahkan dulu 

orang ini di balai, biar kulihat luka-lukanya..." kata 

Nayan Gunta setelah berada dalam ruangan. Wintara 

menuruti perintah itu.

Sambil duduk di samping Akuwu Mambang yang


terbaring, Tabib Sakti Nayan Gunta membuka baju 

ningrat yang dikenakan orang itu.... Ia meraba seluruh 

tubuh yang penuh dengan luka-luka memar. Akuwu

Mambang meringis menahan sakit.

"Pantas ia tidak dapat berjalan.... Tulang ping-

gang serta dua tulang rusuknya patah.... Siapa yang 

melakukan ini, Anak Muda?" tanya Nayan Gunta sam-

bil menoleh ke arah Wintara. Belum dapat Wintara 

menjelaskan, Akuwu Mambang memotong...

"Seorang pembunuh berlengan tunggal...! Ilmu 

pedangnya sangat luar biasa...!" Wajah kakek bungkuk 

Nayan Gunta berubah. Ia tahu siapa yang dimaksud-

kan pembunuh berlengan tunggal. Kalau begitu orang 

yang terbaring ini tentunya memiliki ilmu yang tidak 

rendah... Karena ia bisa selamat dari seorang pembu-

nuh yang ahli dalam ilmu pedang.

"Tunggulah sebentar di sini, aku akan ke bela-

kang mengambil ramuan obat..." Nayan Gunta bangkit, 

lalu ia beranjak meninggalkan mereka, Sebelumnya ia 

berpesan...

"Biarkan saja bajunya terbuka.... Sebentar aku 

akan kembali lagi ke sini...." Setelah itu Nayan Gunta 

hilang menyelinap melalui pintu.

Dentingan kecapi mengalun merdu, iramanya be-

gitu tenang seakan menghanyutkan perasaan bagi 

orang yang mendengarnya. Dentingan itu jelas terden-

gar dari balik ruangan di mana Akuwu Mambang terbaring. Ia berusaha bangkit, tapi luka-lukanya yang 

masih terasa sakit membuat tubuhnya ambruk lagi 

terlentang...

"Ada apa...?" tanya Wintara yang duduk di sebe-

lahnya. Dada Akuwu Mambang nampak naik turun. 

Kepalanya menoleh ke samping dinding kayu. Dentin-

gan senar semakin merdu terdengar, Akuwu Mambang 

mengetuk-ngetuk dinding pembatas ruangan itu.

Saat itu Tabib Sakti Nayan Gunta sudah kembali 

ke ruangan itu dengan membawa gelas bambu dan 

bungkusan yang berisi peralatan. Nayan Gunta mem-

berikan gelas bambu itu pada Wintara.

"Beri dia minum ini... Mudah-mudahan rasa sa-

kitnya berkurang...." kata kakek itu. Wintara memban-

gunkan setengah duduk tubuh Akuwu Mambang. Lalu 

menyodorkan ramuan obat dalam gelas bambu ke mu-

lutnya. Akuwu Mambang menenggak habis ramuan 

itu...

"Nayan Gunta... Aku mendengar seseorang me-

mainkan kecapi di sebelah ruangan ini..." kata Akuwu 

Mambang yang masih setengah duduk bersandar pada 

Wintara. Tabib Sakti Nayan Gunta sibuk menumbuk 

ramuan obat-obat pada sebuah lumpang kecil dari ba-

tu. Ia sendiri duduk bersila di lantai.

"Permainannya begitu halus.... Mengingatkan aku 

pada seseorang gadis pemetik kecapi, sampai sekarang 

gadis itu menghilang entah ke mana..." Pandangan


Akuwu Mambang masih menghadap pada dinding

kayu di sebelahnya.

"Di sini memang ada seorang gadis yang sedang 

memerlukan perawatan... Ia pun pandai memainkan 

kecapi. Namanya Arum Kemuning..." kata Tabib Sakti 

Nayan Gunta yang telah selesai menumbuk obat. Ia

berdiri melangkah setelah meletakkan bubur obat pada 

dua lembar daun waru yang telah kering.

Akuwu Mambang seakan tidak percaya pada 

ucapan kakek bungkuk yang melangkah mendeka-

tinya...

"Arum Kemuning ada di sini...? Gadis itulah yang

kumaksudkan...!" Akuwu Mambang nampak duduk te-

gak di atas balai. Wintara membiarkannya.

"Bisakah kau bawa gadis itu ke mari…? Agar aku 

yakin bahwa gadis itu benar-benar ada di sini..." ka-

tanya lagi... Tabib Sakti Nayan Gunta tersenyum me-

natap, lalu…

"Arum Kemuning...!" Nayan Gunta memanggil 

dengan nada suara keras. Dentingan kecapi di ruan-

gan sebelah berhenti. 

"Ada apa, Kakek Nayan Gunta...." terdengar pula 

jawaban dari sana.

"Kemarilah... Kau bisa berjalan ke mari bu-

kan...?"

"Bisa...! Tunggu saja..." Akuwu Mambang berde-

bar-debar menunggu kedatangan gadis itu. Sementara


Tabib Sakti Nayan Gunta tengah memborehi semua 

luka-luka dengan bubur obat-obatan. Mula-mula me-

mang terasa sakit, apalagi ketika tabib itu membung-

kusnya dengan daun-daun waru. Dan ia sempat me-

mekik saat Nayan Gunta membalut tubuhnya dengan 

sobekan kain panjang.

Wintara memberikan baju ningratnya, membantu 

Akuwu Mambang mengenakan. Mata Akuwu Mambang 

terbelalak lebar, ketika ia melihat seorang gadis berja-

lan merambat pada dinding. Gadis itu berjalan dengan 

bantuan sebatang tongkat. Kedua rongga matanya ter-

tutup dua lembar daun ramuan. Ia nampak berjalan 

memasuki ruangan. 

"Arum....!" kata Akuwu Mambang tersentak. 

Arum Kemuning sendiri terkejut mendengar suara 

yang lain memanggilnya.

"Kakek Nayan Gunta, siapa orang yang menyebut 

namaku tadi...? Rasanya...." 

"Aku Akuwu Mambang, Arum.... Masakah kau 

tak mengenaliku... Dan kenapa dengan matamu itu, 

Arum...?" Akuwu Mambang beringsut bangun. Tapi... 

Akh! Lukanya menimbulkan rasa nyeri. Gadis itu di-

tuntun oleh kakek bungkuk Nayan Gunta mendekati 

Akuwu Mambang.

"Anda, Tuan Akuwu Mambang....? Nampaknya 

tuan tengah terluka parah..." Arum Kemuning sambil 

meraba-raba arah suara lelaki itu. Akhirnya ia dapat


menyentuh tubuh yang telah dibalut.

"Ya... Aku terluka, Arum... Lalu... bagaimana kau 

bisa ada di sini?"

"Seseorang membawa ke sini untuk mengobati 

kedua mataku... Pembunuh buntung itu telah melukai 

kedua mataku… Juga dia telah membunuh Sadewo 

Mangli..," tutur Arum Kemuning.

"Kita telah dilukai oleh orang yang sama, Arum.... 

Parahkah kedua mata itu...?"

"Entahlah... Ada kemungkinan aku akan buta..." 

jawab Arum Kemuning.

"Kau beruntung ada orang yang menyela-

matkanmu pada malam petaka di Joglo Alun.... Siapa-

kah si penyelamat yang hebat itu....?" Wintara ikut ber-

tanya. Gadis itu menoleh ke arah Wintara yang berdiri

di samping balai dekat Akuwu Mambang duduk.

"Dia pun seorang ahli pedang... Namanya Seta 

Wungu!" Gadis itu menjawab. Lalu ia meneruskan ka-

ta-katanya...

"Sekarang ia sedang pergi menemui sahabatnya

Somarengga..." 

"Kapan ia akan dapat ke mari lagi....?" tanya 

Akuwu Mambang.

"Tidak dapat dipastikan... Datang dan perginya 

kakang Seta Wungu bagaikan angin.... Tapi yang jelas 

ia akan datang ke sini selama aku masih dalam pera-

watan..."


Tabib Sakti Nayan Gunta membereskan semua 

peralatannya ke dalam sebuah kantong kain. Lalu ia 

mendekati mereka. Wajahnya yang keriput halus me-

mancarkan keramahan.

"Hari sudah larut malam, sebaiknya kalian beris-

tirahat saja dahulu... Untuk Akuwu Mambang jangan 

terlalu banyak bergerak, mungkin besok bubur obat 

itu mesti diganti..."

"Aku akan menjaganya, Kek...." kata Wintara 

sambil merebahkan tubuh Akuwu Mambang.

"Ayo, Arum... Kau harus kembali ke kamarmu..." 

Kakek bungkuk Nayan Gunta menuntun gadis itu ber-

jalan dengan bantuan sebatang tongkat dari rotan. Me-

reka menuju kamar sebelah. Lengan kanan Arum Ke-

muning yang menggenggam tongkat terjulur ke depan 

mengetuk-ngetuk lantai. Sepeninggal mereka, Wintara 

mengambil selimut yang sudah tersedia di sudut balai! 

langsung menyelimuti tubuh Akuwu Mambang yang 

belum memejamkan matanya.

*

* * *

Irama senar berdentingan membuat Wintara 

terjaga dari tidurnya. Sinar panas menyorot ke arah 

mata. Wintara memicingkan matanya. Sinar matahari 

pagi masuk menerobos dari celah-celah dinding kayu.


Ternyata hawa dingin semalam membuat tidur mereka 

begitu pulas dan nyenyak. Ia bangkit menggeliat.

Akuwu Mambang masih pulas tertidur. Nafasnya 

nampak perlahan naik turun dengkurnya pun masih 

terdengar. Wintara membetulkan selimut yang hampir 

terlepas dari tubuh yang terbaring pulas. Setelah itu ia 

melangkah ke arah jendela. Kedua telapak tangannya 

mendorong membuka daun jendela. Maka terlihatlah 

pemandangan yang begitu indah. Hamparan bunga 

yang bertebaran di bawah batu karang... Air danau 

yang beriak-riak oleh benturan air tepian yang masih 

tertutup oleh kabut putih. Dentingan senar kecapi 

mengalun mengisi suasana pagi.

Musik kecapi berhenti, Wintara melihat kakek 

Nayan Gunta berdiri di hadapan Arum Kemuning. Ia 

nampak seperti mengganti daun ramuan di mata gadis 

itu. Wintara tersenyum sambil melangkah ke luar. 

Dengan bergegas ia menuruni anak tangga batu. Men-

dengar langkah itu Tabib Sakti Nayan Gunta meno-

leh...

"Bagaimana dengan Akuwu Mambang apakah ia 

sudah bangun...?" tanya Nayan Gunta.

"Belum, ia masih tertidur pulas..." Wintara men-

dekat.

"Ah... Aku mesti mengganti bubur obat di tubuh-

nya... Biarlah kita tunggu saja sampai ia bangun...!" 

Nayan Gunta selesai mengganti daun ramuan pada


mata Arum Kemuning. Wintara melihat alat musik da-

lam pelukan gadis itu. Maka ia teringat pada beberapa 

hari yang telah lalu, ketika sebuah peristiwa pembu-

nuhan sadis terjadi di Joglo Alun. Kecapi itu masih 

bernoda darah yang telah menghitam... Dan ia ingat 

pula ketika menolong tubuh Akuwu Mambang dari ja-

tuh… Sewaktu bersembunyi Wintara melihat jelas 

pembunuh berlengan tunggal membawa benda terse-

but... Wintara tidak habis pikir.

"Kalian boleh menikmati pemandangan pagi ini, 

aku hendak menyiapkan obat untuk Akuwu Mam-

bang..." Setelah berkata begitu, Tabib Sakti Nayan 

Gunta berlalu, tapi kembali ia menoleh ke belakang...

"Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kalian... 

Nanti kita sarapan bersama, ya..?!" Kemudian Nayan 

Gunta berjalan tidak balik-balik lagi. Tubuhnya yang 

bungkuk menaiki anak tangga batu. Dalam pada wak-

tu itu, ia sempat melihat sosok tubuh gemerlapan me-

lesat cepat ke arah ruangan di mana Akuwu Mambang 

berada. Adanya kecurigaan itu, Tabib Nayan Gunta ti-

dak kalah cepat melesat menyusul... Tubuh bungkuk

itu menerobos cepat melalui jendela..! "Des"! Langsung 

menggagalkan serangan tubuh gemerlapan itu yang 

nyaris melancarkan hantaman ke arah Akuwu Mam-

bang yang tertidur pulas. Tubuh gemerlapan mundur, 

pandangannya menatap garang. Nayan Gunta lompat 

ke samping balai melindungi tubuh yang terbaring.


"Memalukan.... Perbuatan apa itu! Membunuh 

orang yang tengah tertidur pulas..." kata Tabib Nayan 

Gunta. Sudah tentu orang yang berpakaian gemerla-

pan itu menjadi gusar. Ia tidak menjawab, malah ia 

menyerang dengan beringas... Hantamannya hampir 

saja mengenai kepala Tabib Sakti Nayan Gunta. Ia da-

pat merunduk, sebelah lengannya menangkis hanta-

man itu.... 

"Plaaak!" Nayan Gunta tidak bergeser sedikit pun, 

tiba-tiba lengannya yang lain menerobos ke depan 

menghantam perut... "Deees!" Orang itu mundur bebe-

rapa langkah.

Mendengar suara berisik, Akuwu Mambang terja-

ga dari tidurnya. Ia melihat langsung perkelahian di 

ruangan itu. Jantungnya terkesiap ketika melihat so-

sok tubuh gemerlapan...

"Somarengga…! Apa-apaan kau....!"

Akuwu Mambang menghardik. Ia bangkit dari ti-

dur... Rasa sakitnya sedikit berkurang. Bahkan ia da-

pat berdiri... Sebenarnya ia bergerak dalam keadaan 

refleks. Saat luka-luka berdenyut ia teringat akan tu-

lang-tulangnya yang remuk.

Sosok gemerlapan yang ternyata adalah Soma-

rengga tidak perduli hardikan Akuwu Mambang. Ia 

semakin gencar melakukan serangan balasan pada 

kakek bungkuk Nayan Gunta. Sambil menepis seran-

gan-serangan itu, ia berteriak...


"Akuwu Mambang.... Menyingkirlah dari sini! Ke-

parat busuk ini bermaksud membunuhmu... Cepat 

menyingkir..." Tubuh bungkuk Nayan Gunta bergerak-

gerak lincah. Sekali waktu pukulan Somarengga ber-

hasil menghantam punggung bungkuk Nayan Gunta. 

Kakek itupun tersungkur ke lantai. Begitu tubuhnya 

jatuh ia langsung bergulingan menghindari serangan-

serangan berikutnya. 

"Biar aku yang menghabiskan nyawa anjingnya... 

Heaaaa!" Akuwu Mambang maju menerjang. Tinjunya 

melayang ke depan. Somarengga yang tengah melan-

carkan serangan terhadap kakek Nayan Gunta menda-

dak berbalik mundur. Serangan Akuwu Mambang 

memang sukar untuk dielakkan. Karena meskipun ia 

dalam keadaan terluka parah, Akuwu Mambang masih 

mampu mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya. Hanya

saja tiap-tiap gerakannya sekarang nampak lambat.

Untuk membalas serangan balik pada Akuwu 

Mambang, Somarengga tidak dapat melaksanakannya. 

Karena serangan-serangan Akuwu Mambang nampak 

demikian gencar... Somarengga hanya dapat menang-

kis atau menghindar. Namun bagaimana hebatnya 

Akuwu Mambang yang tengah terluka itu, keadaan tu-

buhnya makin menurun. Melihat itu Tabib Sakti Nayan 

Gunta melesat menerjang.... Tendangannya berhasil

menghantam dada... Bersamaan itu pula Somarengga 

sempat melancarkan sebuah pukulan yang bersarang


telak di tenggorokan Akuwu Mambang. Somarengga 

maupun Akuwu Mambang bergulingan. 

Nayan Gunta cepat membantu Akuwu Mambang 

berdiri. Namun Somarengga yang sudah kalap lalu da-

tang lagi menerjang... Tendangannya yang keras 

menghantam mereka sekaligus. Akuwu Mambang ter-

pelanting... Kakek bungkuk Nayan Gunta sempoyon-

gan mundur. Pandangannya masih terus mengawasi 

Somarengga, takut kalau-kalau ia melancarkan seran-

gan kepada Akuwu Mambang...

Kekhawatiran Nayan Gunta ternyata benar. So-

marengga menghentakkan kedua kakinya, maka tu-

buhnya melesat dengan pukulan yang siap menghan-

tam ke arah Akuwu Mambang.... Tentu saja Tabib Sak-

ti Nayan Gunta tidak tinggal diam. Ia pun berusaha 

menyelamatkan Akuwu Mambang dari maut. Soma-

rengga yang mengetahui terjangan Tabib Sakti Nayan 

Gunta, memutar sebelah lengannya... "Bwaaak!" Han-

taman itu membuat Nayan Gunta terpelanting. Tubuh 

Somarengga yang masih melesat tetap menjurus den-

gan tendangan yang sangat keras.... "Deeeees!" Akuwu 

Mambang tidak sempat menghindar, tubuhnya terlem-

par keras menerobos jendela kayu yang terbuka le-

bar...

* * *


DELAPAN



Wintara maupun Arum Kemuning tersentak, ma-

nakala terdengar suara derak dari arah ruangan pon-

dok. Sosok tubuh terlempar ke luar menerobos jendela. 

Tubuh itu tak lain Akuwu Mambang. Saat ia terlempar 

tubuhnya berputar, berjumpalitan. Lalu hinggap di 

atas tanah tanpa bersuara.

Selain Akuwu Mambang, tubuh Tabib Sakti 

Nayan Gunta bersama Somarengga ke luar pula mene-

robos jendela. Keduanya berlompatan saling susul. 

Lama sekali tubuh mereka berjumpalitan di udara. Se-

lama itupun mereka saling hantam menyerang. Akuwu 

Mambang melesat lagi ke atas, ke arah mereka.... Te-

riakannya menggelegar disertai dengan tendangan 

mengarah deras ke tubuh Somarengga.... "Dues!" So-

marengga memekik, tubuhnya ambruk ke tanah.

Bersamaan dengan itu, Tabib Sakti Nayan Gunta 

menukik ke bawah... "Deeeeer" Tinjunya menghantam 

deras ke dada Somarengga yang masih bergulingan. 

Akuwu Mambang maju lagi menyerang, tapi mendadak 

langkahnya terhenti. Rasa sakit di luka-luka itu me-

nyerang tubuhnya. Sesaat ia kejang... Wintara sudah 

berada di situ, Ia langsung memegangi tubuh Akuwu 

Mambang. Lelaki itu memuntahkan cairan kental kehitaman.


"Wintara, jaga Akuwu Mambang....!" teriak kakek 

bongkok Nayan Gunta. Lengannya berkelebat me-

nyambar... Kalau Somarengga tidak bergeser, hanta-

man itu pasti mengenai mukanya.

Di luar dugaan, Somarengga yang bergerak ke 

samping tidak kalah cepat menyambar hantaman itu... 

"Plaak!" Kedua lengan mereka berdenyut. Somarengga 

melancarkan serangannya lagi. Kali ini dengan tendan-

gan setengah memutar.... "Bwwwet" Dengan merun-

duk, kakek bungkuk Nayan Gunta menghindar, tu-

buhnya hampir merebah ke tanah.... Tanpa sepengeta-

huan Somarengga, Nayan Gunta melancarkan sabetan 

kaki... Membuat tubuh Somarengga terjungkal.

Diam-diam Wintara merasa kagum akan keheba-

tan Tabib Sakti Nayan Gunta. Ia tidak menyangka sa-

ma sekali kalau kakek bungkuk itu memiliki ilmu yang 

hebat pula. Pelukannya erat memapah tubuh Akuwu 

Mambang yang nampak pucat mengucurkan keringat. 

Arum Kemuning berjalan dengan rotannya, Sebelah 

tangannya menggapai-gapai seperti mencari sesuatu. 

"Wintara.... Kakek Nayan Gunta...! Di mana ka-

lian...?" Suara gadis itu halus memanggil-manggil. 

Langkahnya menuju ke arah perkelahian. Sambil me-

mapah Akuwu Mambang, Wintara berjalan mendekati 

Arum Kemuning.

"Diam saja di situ, Arum.... Aku akan ke sana....!" 

kata Wintara.


Sebelum Wintara mendekati gadis itu, ia melihat 

sosok serba hitam berlengan tunggal melesat ke arah 

Arum Kemuning. Pandangan gadis itu yang gelap men-

gira kedatangan sosok hitam itu Wintara...

"Wintara...." tegur Arum Kemuning, "tapi..."

"Bukan! Aku Seta Wungu..." Sosok hitam berlen-

gan tunggal mengaku.

"Ah... Kakang Seta Wungu.... Ada apa di sana, 

aku mendengar suara ribut-ribut..." 

"Tidak ada apa-apa, Arum.... Sebaiknya kita pergi 

dari sini...!" kata Seta Wungu menarik perlahan-lahan 

Arum Kemuning.

"Bagaimana dengan kakek Nayan Gunta...? 

Masakah kita pergi begitu saja...?" Gadis itu belum 

mau beranjak. Kehadirannya yang diketahui oleh Win-

tara dan Akuwu Mambang membuat Seta Wungu le-

paskan lengan gadis itu.

Wintara tidak mengeluarkan suara. Begitu juga 

Akuwu Mambang. Dua orang itu menatap tajam Seta 

Wungu. Permainan macam apa ini... Bagaimana sosok 

berlengan tunggal bisa ada di sini... Apa hubungannya

dengan Arum Kemuning...? Apakah Arum Kemuning 

tidak tahu kalau lelaki berlengan tunggal itu seorang 

pembunuh sadis yang pernah meneror Joglo Alun 

maupun di tempat kediaman Akuwu Mambang...? Win-

tara juga pernah melihat lelaki itu membawa sebuah 

kecapi dari rumah bertingkat itu...


Seta Wungu perlahan menarik gagang pedang da-

ri punggungnya. Hampir tidak bersuara. Wintara tetap 

diam tidak bergeming. Matanya mengawasi genggaman 

pedang. Pedang itu sudah terhunus, begitu mengkilat-

nya.... Sambil melangkah maju Seta Wungu siap mem-

babatkan pedangnya... Begitu pedang itu berkelebat 

menyambar, Wintara melesat ke atas bersama tubuh 

lemas Akuwu Mambang.... Tahu-tahu mereka hinggap 

di belakang Arum Kemuning. Seta Wungu membalik-

kan tubuh dan dia menatap geram...

"Bangsat...! Jangan dekati gadis itu...!" suara Se-

ta Wungu terdengar keras. Arum Kemuning merasakan 

ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Perlahan 

Wintara berbisik...

"Tenang, Arum... Aku Wintara bersama Akuwu 

Mambang... Temanmu itu bermaksud ingin membu-

nuh kami... Aku khawatir dia pun akan berlaku sama 

terhadap diriku..."

"Arum Kemuning menyingkirlah dari sini....!" 

Sambil berteriak, Seta Wungu maju menerjang... Pe-

dangnya yang berkilat nampak menyilaukan terkena 

sinar matahari. Suara terjangan itu dapat didengar 

Arum Kemuning.... Seperti apa yang diajarkan Seta

Wungu dalam permainan pedang, gadis itu memba-

batkan tongkat rotan ke arah desiran terjangan Seta 

Wungu.... Sebelum membabatkan pedangnya Seta 

Wungu mundur menghindari sambaran tongkat rotan.


"Aku tidak percaya dengan tingkah lakumu itu, 

Kakang Seta Wungu.... Wintara dan Akuwu Mambang 

bukan orang jahat, mengapa sampai hati kau ingin 

membunuh mereka...?" Arum Kemuning menuding-

kan tongkat itu. 

"Kau tidak mengerti, Arum... Menyingkir saja dari 

situ... Aku tidak ingin menyakiti dirimu lagi..." kata Se-

ta Wungu.

"Tidak ingin menyakiti diriku lagi...?!" Arum Ke-

muning tersentak. Seta Wungu berdiri tegak tidak 

menjawab... Sebelah telapak tangan gadis itu mele-

paskan daun-daun yang menutupi kedua matanya.... 

Ia ingin membuktikan apa yang pernah dibisikkan Ta-

bib Sakti Nayan Gunta. Kelopak matanya terbuka le-

bar... Bola matanya nampak suram, begitu juga den-

gan penglihatannya! Meskipun semua nampak suram, 

ia masih dapat melihat sosok hitam berdiri di hada-

pannya... Sebelah lengan kanan sosok hitam itu berge-

rak-gerak tertiup angin.

"Kaukah Seta Wungu...? Aku berharap kau men-

gatakannya 'tidak'..." Suara gadis itu dingin.

"Akulah Seta Wungu yang selama ini kau ken-

al..." jawab Seta Wungu jujur. Bagai disambar petir 

Arum Kemuning mendengar jawaban itu. Ia maju me-

langkah dengan genggaman tongkat yang gemetar...

"Kalau begitu, kaulah pembunuh Sadewo Man-

gli... dan kau juga yang telah membuat cacat kedua


mataku... Kau harus menebusnya, laki-laki terku-

tuk....!" Arum Kemuning membabatkan tongkat rotan 

ke arah kepala Seta Wungu... Seta Wungu sengaja ti-

dak mengelak. Ia membiarkan hantaman rotan itu 

menghantamnya berkali-kali di kepala.

"Arum.... Apapun yang kau lakukan kepadaku, 

aku pasrah... Tapi berikan dulu kesempatan padaku 

untuk membunuh anjing-anjing itu..." kata Seta Wun-

gu tenang. darah membanjir di wajahnya.

"Tidak ada, Seta Wungu...! Tidak ada kesempatan 

lagi untukmu...!" Suara Arum Kemuning parau. Ia 

menghantamkan lagi tongkatnya ke tubuh Seta Wun-

gu. Tetap saja Seta Wungu tidak mengelak... Hanta-

man-hantaman tongkat itu mendera tubuh berlengan 

tunggal. Entah pada hantaman keberapa kali, tubuh 

Seta Wungu melesat ke atas... Wintara yang masih be-

rada di situ cepat menyingkir menghadapi lesatan tu-

buh Seta Wungu yang langsung menerjang dengan ba-

batan pedang. Sinar pedang bergulung-gulung mence-

car Wintara.

"Hadapi dia, Wintara... Lepaskan aku..." kata 

Akuwu. Mambang dalam lindungan Wintara.... Benar 

juga, kalau dia masih memapah Akuwu Mambang ke-

selamatan mereka berdua malah tidak terjamin. Ma-

nakala pedang itu masih terus berputar bagai kilatan-

kilatan yang menyilaukan!

Dengan sekali hentakan tubuh Wintara yang


memapah Akuwu Mambang melesat arah Arum Ke-

muning. la langsung merebahkan tubuh Akuwu Mam-

bang dibawah kaki gadis itu. "Arum.... Akuwu Mam-

bang ada di dekatmu.... Aku mohon lindungi dia! Aku 

yakin ia akan aman bersamamu..." kata Wintara, wa-

jahnya menoleh ke belakang melihat Seta Wungu da-

tang bagai setan kelaparan... Begitu Seta Wungu mem-

babatkan pedangnya... Wintara melesat ke atas ka-

kinya dapat menendang lengan Seta Wungu.... 

"Deees!" Hampir saja pedang itu terlepas, Menda-

pat serangan yang begitu mendadak, Seta Wungu ter-

kesiap... Wintara sudah hinggap di tanah dan ia cepat 

merunduk saat pedang menyambar melewati kepa-

lanya… "Weees!" Lengan kekar Wintara memutar

menghantam perut Seta Wungu....

Menghadapi seorang pemuda yang begitu tang-

guh, Seta Wungu makin geram. Babatan-babatan pe-

dangnya berputar lagi... Kali ini kecepatannya luar bi-

asa. Kalau saja pedang itu bukan benda tajam, Winta-

ra berani menangkis atau menyambut dengan puku-

lan-pukulannya. Tapi siapa yang berani menghadapi 

babatan-babatan pedang itu dengan lengan telanjang. 

Tidak ada cara lain untuk menghindarinya. Kecuali 

Wintara harus mundur beberapa langkah sambil men-

cari titik kelemahannya.

Arum Kemuning menyaksikan pertarungan itu 

meskipun dengan pandangan yang suram. Ia dapat


melihat betapa Wintara kewalahan menghadapi Seta 

Wungu yang menyerang membabi buta... 

"Wintara.... Tangkap ini...!" Arum Kemuning me-

lemparkan tongkat rotannya, tongkat itu melayang di 

udara ke arah Wintara. Wintara yang melihat sebatang 

tongkat melayang ke arahnya langsung melompat ber-

niat meraih benda itu. Tapi Seta Wungu pun melompat 

ke atas... Pedang tajamnya berkelebat mematah dua-

kan batang rotan.... Bersamaan dengan itu, Wintara 

yang masih melesat di udara menendang tubuh Seta 

Wungu sampai jatuh bergulingan.

Dadanya terasa sesak, ia melihat Wintara hing-

gap di tanah tanpa bersuara dengan mantap. Baru kali 

ini ia mendapatkan lawan yang demikian tangguh. 

Apalagi orang yang ia hadapi seorang anak muda yang 

jauh lebih muda dari usianya. Dengan geram Seta 

Wungu melemparkan pedangnya ke samping... Dan 

menancap ditanah yang menghampar bunga-bunga 

bermekaran. Wintara tidak mengerti mengapa Seta

Wungu membuang senjata andalannya. Dengan mata 

yang nyalang Seta Wungu memperlihatkan jurus-jurus 

aneh. Telapak tangannya menggenggam sesuatu yang 

kosong... Bergerak-gerak seolah-olah tengah memain-

kan pedang...

Meskipun kelihatannya tidak begitu mematikan, 

Wintara tidak memandang remeh. Ia pun mulai bersi-

kap hati-hati.... Kedua lengannya bergerak menyilang,


kemudian sebelah lengan kanannya naik ke atas kepa-

la... Yang sebelah lagi tetap menyilang bawah dada. 

Dengan disertai teriakan, Seta Wungu menerjang... 

Lengannya yang tunggal bergerak lebih dulu menyam-

bar... Wintara tidak mundur, ia malah maju sambil

melancarkan serangan... Tapi mendadak tubuhnya ter-

jungkal ke belakang. Seperti ada sesuatu yang meng-

hantam pangkal lengannya... Padahal ia tahu betul Se-

ta Wungu tidak menyentuhnya... Ilmu apa ini? Tanpa 

menyentuh, tapi tenaga dalam pukulan itu dapat men-

jatuhkan lawannya!

Bekas hantaman itu terasa nyeri sekali. Wintara 

merasakan seperti sambaran mata pedang. Kalau begi-

tu, untuk menghadapi Seta Wungu, ia harus pula 

menghimpun tenaga inti penuh.

*

* * *

Sementara itu, Tabib Sakti Nayan Gunta tampak 

mengangkat kedua tangannya ke atas. Rupanya ia me-

nyambut tendangan Somarengga. Dalam pada itu 

Nayan Gunta berhasil mencengkeram kaki yang masih 

berkelebat diatasnya. Sambil memegangi kaki Soma-

rengga... Kakek bongkok Nayan Gunta balas menen-

dang... Menghantam keras dari perut ke tenggorokan. 

Maka tubuh Somarengga mencelat tidak tanggung


tanggung.

Dasar Somarengga seorang yang memiliki ilmu, ia 

masih dapat mengimbangi tubuhnya ketika mencelat. 

Ia malah berjumpalitan salto di udara... Di luar du-

gaan, ia sempat melemparkan beberapa senjata raha-

sia dari balik bajunya yang gemerlapan... Senjata-

senjata rahasia itu meluncur deras ke arah Tabib Sakti 

Nayan Gunta. Kalau saja matanya yang ditumbuhi alis 

putih kurang awas, mungkin senjata-senjata rahasia 

itu sudah bersarang di tubuhnya... Ketika senjata-

senjata itu berdesingan, Nayan Gunta berhasil me-

nyampok dengan kedua telapak tangannya... Bahkan 

dua buah pisau kecil itu dapat ditangkap dengan jari 

telunjuk dan jari tengah.

Sekali lagi Somarengga melemparkan beberapa 

senjata rahasia. Senjata rahasia itupun berdesingan... 

Tabib Sakti Nayan Gunta melesat ke atas sambil me-

lemparkan kembali kedua pisau kecil yang terselip di

kedua jarinya... "Aaaargh!" Somarengga memekik! Ia 

tidak dapat menghindari senjata-senjata rahasianya 

sendiri. Dua pisau kecil menancap pada bahu serta 

lengannya... Dan sewaktu Nayan Gunta turun ke ta-

nah, tendangannya yang keras melemparkan tubuh 

Somarengga... Tubuh itu mencelat tak terkendali... Ja-

tuh di arena pertarungan Wintara dengan Seta Wungu.

Semula Seta Wungu berniat melancarkan seran-

gan kepada Wintara, tapi setelah melihat Somarengga


yang jatuh di bawah kakinya, ia langsung menarik ke-

rah baju gemerlapan Somarengga.

"Keparat kau Somarengga...! Kau telah

mengkhianati diriku...! Semua ini terbongkar akibat 

ulah dungumu yang rakus akan kedudukan...! Kau ti-

dak mungkin dapat menggantikan kedudukan Akuwu 

Mambang, Anjing busuk...! Karena kau pun akan sama 

mampusnya dengan mereka...!" kata Seta Wungu men-

cengkeram erat kerah baju gemerlapan Somarengga.

"Tidak mungkin kau bisa membunuhku Seta 

Wungu... Aku banyak uang! Kau boleh ambil semua 

harta kekayaanku, asal…"

Perkataan Somarengga terputus, karena sebuah 

hantaman menghantam telak pada batang lehernya. 

Darah menyembur. Somarengga sudah tidak dapat ge-

rak. Tulang lehernya terasa patah.

"Setelah kau mampus, apa susahnya menguasai 

hartamu...!" Wajah Seta Wungu nampak menyeram-

kan, seluruh wajahnya memerah dengan darah dari 

luka-luka di kepalanya.

Semua orang yang berada di situ menatap ngeri 

ke arah Seta Wungu. Bukan ngeri lantaran takut. Tapi 

ngeri melihat darah yang membanjir dibagian muka 

sosok berlengan tunggal.

"Kalian dengar...! Khususnya untuk Akuwu 

Mambang! Anjing busuk inilah yang selalu mendalangi 

tiap-tiap pembunuhan orang-orang kepercayaan kepatihan...! Aku bicara yang sebenarnya...! Juga Untuk 

Arum Kemuning..." Seta Wungu yang nampak menge-

rikan tidak melanjutkan kata-katanya... Karena ia 

sendiri tengah memukul ambruk Somarengga ke ta-

nah. Tubuh itu kelojotan... Sesaat kemudian Soma-

rengga diam tak berkutik, nyawanya telah jauh terbang 

melayang, lalu...

"Arum Kemuning boleh mengatakan aku seorang 

pembunuh... Tapi sebenarnya luka yang ada di kedua 

matanya bukan unsur kesengajaan... Itulah sebabnya 

aku membawanya ke mari... Mengurus serta menja-

ganya..."

Wintara, Akuwu Mambang juga Arum Kemuning 

dan Tabib Sakti Nayan Gunta tidak bereaksi. Mereka 

malah bersyukur karena dengan kematian Somarengga 

berarti telah mengurangi kekuatan lawan mereka. Me-

reka hanya mendengarkan ocehan Seta Wungu...

"Untuk Nayan Gunta.... Terpaksa dalam, hal ini

kau ku libatkan.... Kau pernah mengatakan Arum Ke-

muning akan buta! Tapi nyatanya.... Sekarang gadis 

itu telah tahu siapa diriku yang sebenarnya... Sama 

kau menipu, Nayan Gunta.... Sekali lagi kuperingatkan 

padamu, Arum Kemuning Menyingkirlah dari tempat 

ini...! Aku sudah bersumpah tidak ingin menyakitimu 

lagi...! Setelah aku membunuh tiga orang keparat ini, 

kau boleh membunuhku, Arum…" Sambil berkata be-

gitu Seta Wungu menggerak-gerakkan sebelah tangan


nya. Maka terlihat jurus-jurus aneh Seta Wungu. Tela-

pak tangannya tergenggam seperti memegang sebilah 

pedang.

*

* * *

SEMBILAN



"Majulah kalian bertiga...." Seta Wungu menan-

tang.

"Hati-hati, ia menggunakan jurus 'Pedang Tanpa 

Wujud'... Jurus itu lebih berbahaya dari pedang sung-

guhan..." bisik Tabib Sakti Nayan Gunta pelan. Arum 

Kemuning maju menghadang Seta Wungu.

"Sebelum kau membunuh mereka, kau harus 

membunuhku terlebih dahulu... Ayo kakang Seta 

Wungu... Kenapa mesti ragu-ragu...!" Gadis itu meng-

halangi dengan kedua tangannya.

"Sudah kubilang, aku tak dapat menyakitimu, 

Arum... Menyingkirlah..." Tiba-tiba saja tubuh bung-

kuk Nayan Gunta melesat ke atas, lalu berputar di 

udara... Sesaat kemudian dia hinggap dalam jarak be-

berapa tombak di belakang Seta Wungu. 

"Manusia sombong...! Buktikan ocehanmu itu...! 

Kau pikir kami seekor lalat yang mudah ditepuk den-

gan telapak tangan. Mari Seta Wungu... Aku yang tua

ini belum pernah tahu kehebatan ilmu 'Pedang Tanpa

Wujud'..." Tabib Sakti Nayan Gunta telah bersiap 

menghadapi sosok lengan tunggal Maka dengan gera-

kan yang sangat cepat, Seta Wungu berlari mendekati 

Tabib Sakti Nayan Gunta. Arum Kemuning tidak dapat 

menghalangi lagi…

"Kakang Seta Wungu... Jangan bunuh dia...!" Te-

riakan Arum Kemuning tidak diperdulikan. Seta Wun-

gu terlanjur melancarkan serangan terhadap kakek 

bungkuk itu. Sebelah lengannya bergerak... Lengan ke-

riput Nayan Gunta menyambut. Benturan dahsyat tak 

terelakkan... 

Keduanya sama-sama melancarkan serangan. 

Dari kejauhan perkelahian mereka nampak seperti dua 

sosok ringan yang beterbangan saling bentur. Kurang 

lebih mereka sudah mengeluarkan sepuluh jurus. Na-

mun masih belum dapat dipastikan di antara mereka 

siapa yang bakal jatuh. Baik Seta Wungu maupun ka-

kek bungkuk Nayan Gunta masih sama-sama kuat. 

Jurus-jurus ampuh mereka makin gencar. Kalau Seta 

Wungu melancarkan serangan maut, Tabib Nayan 

Gunta pun tidak kalah hebat menyambut serangan 

itu... dan saat hantaman mereka beradu, terdengar 

suara yang amat nyaring. Seperti benturan dua bong-

kah batu.

Wintara membantu Akuwu Mambang berdiri. Ra-

sa sakit di tubuhnya rada berkurang. Arum Kemuning


masih berdiri menyaksikan pertarungan itu. Ia merasa 

lega, karena kakek bungkuk Nayan Gunta dapat men-

gimbangi serangan-serangan Seta Wungu. Ia berharap 

tidak ada yang terluka di antara keduanya. Ia pun me-

rasa menyesal karena telah melukai kepala Seta Wun-

gu. Tidak seharusnya ia bertindak demikian.

"Arum, kemarilah... Akuwu Mambang perlu per-

tolongan. Kau bisa membawanya ke dalam pondok...?" 

kata Wintara. Arum Kemuning menoleh ke arah Winta-

ra. Lalu tanpa menjawab ia melangkah mendekat. Da-

lam jarak yang sangat dekat, gadis itu dapat melihat 

Wintara dan Akuwu Mambang dalam rangkulan. Win-

tara membiarkan Arum Kemuning menuntun Akuwu 

Mambang berjalan lemah menuju pondok. Dalam pen-

glihatan gadis itu, pondok yang ada di hadapannya 

nampak suram. Namun begitu ia masih bisa melihat 

jalan yang menuju pondok dengan jelas.

Lengan Tunggal Seta Wungu berkelebat memutar. 

Nampak lingkaran hitam bergulung-gulung bagai kiti-

ran angin. Menghantam keras ke segala arah titik ke-

lemahan kakek bungkuk Nayan Gunta yang kewalahan 

menghindari serangan-serangan itu. Sekali ia meng-

hentakkan kakinya ke atas, dalam sekejap tubuh 

bungkuk itu sudah berada di udara... Lengannya ber-

gerak cepat menghantam punggung Seta Wungu… 

"Des!" Dalam pada itu pun Seta Wungu tidak kalah ce-

pat memutar lengan tunggalnya ke atas ke arah Nayan


Gunta yang nampak masih berjumpalitan di udara... 

Jelas sekali hantaman itu tidak mengena, tapi... 

"Deeees!" Entah karena apa Nayan Gunta memekik he-

bat, tubuhnyapun terbanting jatuh menggelinding ke 

tanah.

Sekali lagi Seta Wungu menerjang deras. Lengan 

tunggalnya siap melancarkan pukulan 'Pedang Tanpa 

Wujud'... Manakala Tabib Sakti belum sempat bangkit 

dan ma sih mengerang menahan sakit... Saat itu sosok 

Wintara berkelebat sambil menghantam. Lengan Tung-

gal Seta Wungu yang tadi hampir menghantam kepa-

la... Tiba-tiba saja bergeser melenceng terkena pukulan 

Wintara yang datang begitu keras. Diam-diam Wintara 

merasakan tinjunya berdenyut.

"Bagus... Anak muda. Kalian boleh mengeroyok-

ku sekaligus! Mana Akuwu Mambang...? Kenapa ia ti-

dak menunjukkan diri..?" Lengan Tunggal Seta Wungu 

menyilang di hadapan mukanya. Kemudian terjangan 

yang bagaikan setan tahu-tahu hantamannya menju-

rus ke muka Wintara... Desiran anginnya begitu ken-

cang terasa menghantam samping muka. Secepatnya 

kedua telapak tangan Wintara maju mendorong tubuh 

berlengan tunggal itu. Dalam pada itupun Seta Wungu 

sempat melancarkan tendangan ke perut. Maka kedua 

tubuh itu mencelat... Tapi keduanya sama-sama memi-

liki keseimbangan tubuh yang hebat.

Saat mereka mencelat, mereka dapat mengendalikan diri... Keduanya berjumpalitan di udara... Kemu-

dian sebelum hinggap di tanah keduanya saling maju 

menerjang Bagai dua ekor rajawali yang berebut mang-

sa... 

"Blaaaaar!" Hantaman mereka saling beradu. Kali 

ini betul-betul berakibat fatal. Tubuh Wintara ambruk 

bergulingan di tanah, Seta Wungu mencelat terlempar 

ke arah batu karang. Sebelum tubuhnya membentur 

batu karang... Kedua kaki Seta Wungu menjejak batu 

itu, sehingga tubuhnya memantul kembali... Menga-

rah deras menubruk Wintara yang baru berusaha 

bangkit. 

Melihat situasi seperti itu, Tabib Sakti Nayan 

Gunta maju melancarkan serangan.... 

"Deees!" 

Seta Wungu memekik sambil bergulingan. Ia ti-

dak menyangka mendapat serangan mendadak dari 

kakek bungkuk Nayan Gunta.

Tabib Sakti Nayan Gunta sendiri nampak berdiri 

terhuyung. Tendangannya memang keras menghantam 

Seta Wungu, membuat seluruh tenaganya terkuras 

habis. Namun tindakannya itu tidak percuma. Dalam 

hati Wintara berterima kasih sekali terhadap Tabib 

Sakti Nayan Gunta. Kalau saja kakek bungkuk itu ti-

dak melancarkan tendangan memotong serangan Seta 

Wungu. Barangkali pukulan 'Pedang Tanpa Wujud' 

melumpuhkan tubuh kekar Wintara.


Seta Wungu bangkit menggeram. Mukanya lebih 

seram lagi... Karena darah yang mengalir dari kepa-

lanya mengucur deras membasahi raut wajah si Len-

gan Tung gal. Teriakannya begitu menggelegar saat ia 

menerjang mengumbar maut. Melihat keadaan yang 

demikian, Wintara melompat arah kakek bungkuk 

Nayan Gunta. Ia khawatir, kalau-kalau Nayan Gunta 

akan menjadi sasaran utamanya. Maka ketika Wintara 

berada di hadapan kakek bungkuk, ia sudah beran-

cang-ancang menyambut serangan yang bakal datang.

Apa yang dikhawatirkan oleh Wintara, ternyata 

benar...! Seta Wungu membabatkan lengan tunggalnya 

kuat-kuat. Wintara menyambut dengan tendangan-

nya... "Plaaak!" Lalu tinju Wintara maju menerobos, 

Seta Wungu menghindar lincah. Tubuhnya bergeser. 

Cepat lengan tunggalnya menepis jotosan itu...

Perkelahian dua manusia sakti ini berlangsung 

sengit. Dua sosok itu gencar melancarkan serangan-

serangan. Tabib Sakti Nayan Gunta dapat melihat ke-

hebatan anak muda yang mengenakan baju dari kulit 

binatang. Belum pernah ia melihat jurus-jurus yang

begitu dahsyat, seperti yang dilancarkan Wintara. Tu-

buhnya yang nampak begitu ringan berpindah-pindah 

mengelakkan serangan Seta Wungu.

Seta Wungu pun demikian, dengan gerakan yang 

ringan ia mencecar anak muda itu. Keduanya nampak 

bergerak-gerak tanpa menyentuh tanah. Itu bertanda


bahwa Keduanya memiliki ilmu peringan tubuh yang 

sempurna. Walaupun mereka menginjak tanah, itupun 

hanya sekejap! Sedetik kemudian mereka beterbangan 

lagi bertempur di udara.

Dua belas jurus telah berlalu. Keduanya sama-

sama belum dapat melancarkan serangan. Mereka sa-

ma-sama tidak dapat menyentuh. Kecuali benturan-

benturan hantaman yang terdengar. Tabib Sakti mem-

belalakkan matanya, ketika melihat Wintara berhasil 

menghantam dada Seta Wungu sampai terdorong ke 

belakang. Seta Wungu mengikuti dorongan pukulan 

itu... Mendadak ia berhenti berdiri di atas semak-

semak yang rimbun.

Hebat! Tabib Sakti Nayan Gunta merasa kagum. 

Dirinya sendiri belum tentu bisa melakukan seperti 

itu. Dia pernah mempelajari berdiri di atas semak, tapi 

ia tidak dapat bertahan lama seperti yang dilakukan

Seta Wungu sekarang. Di atas semak itu Seta Wungu 

nampak mengeluarkan jurus-jurusnya lagi. Gerakan-

nya seolah-olah menantang... Wintara menatap tajam, 

sambil berdiri di tempat ia mengangkat kedua tangan-

nya.... Sekali ia menggerak-gerakkannya nampaklah 

sepasang tangan Wintara menjadi demikian banyak. 

Bayangan-bayangan lengan itu jelas sekali dapat dihi-

tung. Semuanya berjumlah lima pasang… Sukar untuk 

menentukan sepasang lengan yang asli.

Dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan


mata, Wintara melesat dengan lima pasang lengan-

nya.... Dia tidak langsung menyerang Seta Wungu, 

Wintara masuk menerobos dalam rimbunnya semak... 

Seta Wungu yang berdiri di atasnya tersentak kaget.

Saat tubuh Wintara tahu-tahu menyembul ke atas se-

mak... Kemunculan Wintara yang mendadak disambut 

dengan babatan lengan tunggal Seta Wungu... Wintara 

telah menghantam lebih dulu dengan lima pasang len-

gannya... Maka keduanya sama-sama terbanting lebih 

dulu bukan karena kena hantaman... Tapi akibat ben-

turan tenaga dalam mereka sendiri... Darah menetes 

dari sela-sela bibir Wintara... Seta Wungu tidak terluka 

sedikit pun. Apalagi mengeluarkan darah.... Ia hanya 

merasakan nyeri pada sendi-sendi tulangnya... Wintara 

belum bangkit, Seta Wungu berdiri dengan tubuh 

sempoyongan... Wajahnya yang berlumur darah makin 

menyeramkan.

"Kakang Seta Wungu, hentikan...!" Arum Kemun-

ing berlari ke arah mereka.

"Tuan Akuwu Mambang akan mengampuni bila 

kau kembali ke jalan yang benar... Itu tawaran yang 

menarik, kakang Seta Wungu...! Kau akan hidup be-

bas...!" kata gadis itu lagi... Langkahnya makin dekat. 

Seta Wungu menyeringai.

"Aku yang tidak mengampuni mereka, Arum... 

Bukan dia! Karena hukum tidak berlaku bagiku..." ja-

wab Seta Wungu lantang.


"Sadarlah, kakang... Tinggalkan kehidupan yang 

bergelimang darah itu...!" 

"Demi kau semua akan ku tinggalkan… Tapi nan-

ti setelah anjing-anjing ini mampus semua... Aku tidak 

suka dengan tindakan yang setengah-setengah... Seka-

rang sudah kepalang basah... Menyingkirlah, Arum…

Aku tidak melibatkan dirimu..." Seta Wungu maju. 

Wintara bersiap-siap melindungi Arum Kemuning.

"Seekor anjing masih punya perasaan... Diband-

ing dengan dirimu, kau tidak lebih dari bangkai hi-

dup...!" Tabib Sakti Nayan Gunta menimpali ucapan 

Seta Wungu. Sesaat Seta Wungu menoleh ke arah ka-

kek bungkuk itu, lalu.... Dengan lesatan yang sangat 

cepat Seta Wungu bergerak melancarkan serangan... 

Bersamaan dengan itu tubuh Arum Kemuning ikut 

berlari mengikuti arah Seta Wungu... Sebelumnya ia 

meraih pedang Seta Wungu yang tertancap di tanah... 

Bagaimana pun gadis itu tidak dapat menyamai kece-

patan Seta Wungu!

"Kau ingin mampus lebih dahulu, kakek kepa-

rat...!" Terjangannya sangat cepat. Lengan tunggalnya 

bergerak sangat mengerikan, Tabib Sakti Nayan Gunta 

sudah bersiap menyambut... Wintara tidak tinggal di-

am... Selama Seta Wungu melesat... Wintara pun ber-

lari dengan kecepatan penuh.

Hal ini bukan berarti Seta Wungu tidak tahu. Se-

belum Seta Wungu menghantam kakek itu, lengan


tunggalnya berputar ke samping menyambar tubuh 

Wintara. Dengan gelagapan Wintara menangkis seran-

gan itu, tapi hantaman yang begitu keras membuatnya 

terbanting. Tabib Sakti Nayan Gunta langsung melan-

carkan tinjunya. Seta Wungu yang sudah berniat ingin 

menghabiskan nyawa renta itu, membabatkan lengan 

tunggalnya tidak tanggung-tanggung ke arah jotosan 

itu… "Praaaaak!" Kedua lengan mereka beradu keras! 

Tabib Sakti Nayan Gunta memekik hebat... Sebelah tu-

lang lengannya remuk. Nayan Gunta bergulingan sam-

bil memegangi lengannya yang patah.

Arum Kemuning berlari ke arah kakek bungkuk 

Nayan Gunta. Ia langsung menghalangi Seta Wungu 

yang siap melancarkan serangannya lagi. Gadis itu 

langsung mengacungkan pedangnya menghadang...

"Jangan, kakang... Sudahi pertumpahan darah 

ini..." kata Arum Kemuning memohon.

"Tidak, Arum.... Kau menyingkirlah....!"

Sambil berkata begitu Seta Wungu melesat me-

mutar ke samping, hantamannya siap dilancarkan... 

Tapi Arum Kemuning membabatkan pedangnya meng-

halangi... Tiba-tiba saja Seta Wungu berteriak panjang 

seperti menahan sakit! Tubuhnya kelojotan di tanah. 

Lengan tunggalnya memegangi kedua matanya yang 

berlumuran darah. Rupanya ketika Arum Kemuning 

membabatkan pedangnya, tanpa sengaja mata pedang 

itu menyambar kedua kelopak mata Seta Wungu... Pekik kesakitan Seta Wungu menggelegar!

Padahal sambaran pedang itu tidak sengaja di 

arahkan ke bagian mata. Mana mungkin Arum Ke-

muning dapat berbuat seperti itu... Penglihatannya sa-

ja suram, lagi pula gerakan Seta Wungu sewaktu me-

lancarkan serangan kepada Tabib Sakti Nayan Gunta

begitu cepat melesat. Nayan Gunta maupun Wintara 

seakan tak percaya dengan apa yang dilakukan Arum 

Kemuning.

"Kakang...! Aku tidak sengaja. Aku..." Arum Ke-

muning ketakutan. Seta Wungu tidak menjerit lagi. 

Sambil menggeram ia bangkit. Dua rongga matanya 

hancur! Lengan tunggalnya bergetar hebat seperti me-

nahan amarah yang sangat luar biasa. Dilihat dari lu-

ka di kedua rongga matanya yang begitu parah, pasti-

lah Seta Wungu buta total! Bagaimana tidak, kedua 

bola matanya nampak hancur dan hampir copot. 

"Arum... Sekali lagi kuperingatkan menyingkirlah 

dari tempat ini... Aku tidak ingin kau celaka... Cepat 

Arum menyingkirlah..." Suara Seta Wungu parau ber-

getar. Arum Kemuning berjalan perlahan. Tabib Sakti 

Nayan Gunta berusaha diam tidak mengeluarkan sua-

ra... Wintara sudah berdiri tegang.... 

"Hreaaaaaaaaaaaaaaa!" Mendadak Seta Wungu 

mengerahkan segenap suaranya. Teriakannya sangat 

lantang membisingkan tempat itu... Yang ia dengar 

hanya langkah Arum Kemuning. Tiba-tiba saja ia melesat ke arah Arum Kemuning.... Gerakannya seperti 

hendak melancarkan serangan...

Sudah tentu Wintara tidak akan membiarkan Se-

ta Wungu menghantam gadis itu. Maka Wintara me-

lompat bermaksud melindungi Arum Kemuning... Di 

luar dugaan Seta Wungu membalikkan serangan ke 

arah Wintara.... "Bug!" Tendangan Seta Wungu masuk 

menghantam perut. Ternyata ketika ia melesat ke arah 

Arum Kemuning, itu hanyalah suatu tipu muslihat. 

Dengan begitu sudah pasti salah seorang dari mereka 

pasti datang untuk menggagalkan serangannya.... 

Sewaktu Wintara melompat, Seta Wungu dapat men-

dengar desiran angin.. Dari situlah Seta Wungu mem-

balikkan serangan... Hebat.

Seta Wungu sudah dapat memastikan mana Win-

tara berada... Sewaktu Wintara jatuh akibat tendangan 

tadi, Seta Wungu dapat mendengar suara di mana mu-

suhnya terjatuh. Maka setelah ia mendengar suara ge-

debuk di tanah, Seta Wungu langsung mengarahkan 

serangan-serangan ke arah suara itu... Sebenarnya 

Wintara bisa mengelakkan serangan-serangan itu. Tapi 

lantaran serangan gencar itu tidak pernah putus Win-

tara kewalahan juga menghadapinya.

Hebatnya Seta Wungu adalah dapat mendengar 

setiap gerakan Wintara...! Sekalipun Wintara melan-

carkan serangan, Seta Wungu tetap menyambut den-

gan lengan tunggalnya. Mungkin karena dasar-dasar


ilmu pedang membuat Seta Wungu dapat membeda-

kan suara sehalus apapun... Tapi Wintara tetap memi-

liki keyakinan... Sesuatu melintas dalam benaknya.

*

* * *

SEPULUH



Sedetik kemudian Wintara mengarahkan tendan-

gannya ke samping. Tabib Sakti Nayan Gunta heran 

melihat tingkah Wintara. Mengapa ia harus menen-

dang ke tempat yang kosong? Kenapa tidak langsung 

saja diarahkan pada Seta Wungu...? 

Tendangan Wintara yang begitu keras menimbul-

kan suara angin yang menjadi pusat pendengaran Seta 

Wungu... Maka setelah mendengar desingan itu, Seta 

Wungu mengira Wintara bergeser... Ia pun bermaksud

melangkah ke arah desiran angin, tahu-tahu.... 

"Deeees!" Wintara yang masih tetap di situ den-

gan mudah dapat melancarkan serangan. Seta Wungu 

sendiri betul-betul merasa terkecoh... Sekarang tu-

buhnya mental jauh! Hantaman telapak tangan Winta-

ra yang berisi tenaga dalam itu membuat Seta Wungu 

menyemburkan darahnya dari mulut.

Sosok hitam lengan tunggal bergulingan, mulut


nya menyemburkan darah berkali-kali. Baru kali ini ia 

mendapat hantaman yang demikian hebatnya. Dan se-

karang harus mengakui akan kehebatan anak muda

itu. Wintara telah membayar tunai kelicikan Seta 

Wungu.

Seta Wungu sempoyongan, sebentar-sebentar tu-

buhnya melayang ambruk. Meskipun pandangannya 

gelap, kepalanya tetap terasa seperti berkunang-

kunang dan berputar. Wintara membiarkan tubuh Se-

ta Wungu jatuh bangun, ia sudah menghentikan se-

rangan-serangannya. Tabib Sakti Nayan Gunta diban-

tu berdiri oleh Arum Kemuning. Mereka semua mena-

tap Seta Wungu. Betapa sukarnya ia bangkit berdiri. 

Ada rasa iba dalam hati mereka...

"Arum.... Arum Kemuning, Ahhhh....!" rintih Seta. 

Wungu sambil merangkak di atas tanah. Ia masih be-

lum dapat berdiri..

"Kau sudah lihat, Arum... Aku hampir mati... Pu-

askah kau...? Puaskah...? Mana anak muda itu... Su-

ruh ke mari... Kenapa ia tidak membunuhku seka-

lian... Ahhhh! nama besar Pendekar Kelana Sakti me-

mang bukan sekedar nama kosong....!" 

Pendekar Kelana Sakti..? Siapa yang dimaksud-

kan dengan si Pendekar Kelana Sakti? Arum Kemuning 

maupun Tabib Sakti Nayan Gunta keheranan menden-

gar ucapan Seta Wungu. Belum habis rasa heran me-

reka, Wintara berjalan mendekat ke arah Seta Wungu.


Langkahnya perlahan penuh hati-hati....

"Seta Wungu... Sebenarnya kau seorang yang be-

rilmu tinggi.. Sayang kau berada pada jalan yang tidak 

benar... Kalau sekarang kau mau merobah segala tata 

cara kehidupanmu, aku rasa Akuwu Mambang akan 

mengampunimu... Peristiwa ini tidak akan sampai ke 

kepatihan... Beliau akan menganggapnya selesai..." ka-

ta Wintara.

"Baru kali ini Pendekar Kelana Sakti mengenal 

kompromi.... Padahal aku sudah banyak mendengar 

semua sepak terjang mu dalam dunia persilatan.... Ke-

napa sekarang kau menginginkan aku tetap hidup...? 

Tidak seperti musuh-musuhmu yang lain... Lakukan-

lah.. seperti kau membantai musuh-musuhmu..."

"Aku membantai musuh-musuh dari golongan hi-

tam menurut caraku....! Dengan cara sadis ataupun 

wajar, itupun menurut caraku... Seperti mereka yang 

telah membantai kedua orang tuaku... Mereka pun

punya cara tersendiri...! Masing-masing mempunyai 

cara...! Untukmu, Seta Wungu... Aku tidak perlu mem-

bunuhmu..."

"Kenapa..! Kau lebih senang melihat aku tersiksa 

begini...?" Seta Wungu berusaha bangkit, tapi percuma 

sesaat kemudian tubuhnya ambruk lagi. 

"Kau tak akan tersiksa, Seta Wungu! Tabib Sakti 

Nayan Gunta mau mengobatimu. Asalkan kau kembali 

pada jalan yang benar...." kata Wintara tegas....


"Aneh seorang pembunuh macam aku masih mau 

diselamatkan...."

"Kau memang seorang pembunuh....! Tapi kau 

masih punya perasaan....!"

"Aku tidak pernah memiliki perasaan...!" bentak 

Seta Wungu, kali ini ia dapat bangkit, tapi bukan ber-

diri. Melainkan duduk berlutut.

"Kalau kau tidak punya perasaan, kenapa kau ti-

dak membunuh Arum Kemuning di saat menghantam 

memecahkan kepala sekaligus juga membutakan ke-

dua Matamu.... Hah!"

"Karena aku sudah berjanji tidak akan menyakiti 

untuk kedua kalinya setelah melukai kedua matanya 

ketika peristiwa di Joglo Alun....!" Seta Wungu mene-

rangkan.

"Aku rasa bukan lantaran sumpah janjimu, Seta 

Wungu.... Aku dapat melihat gerak-gerik di saat kau 

berhadapan dengan Arum Kemuning... Kau tak dapat 

membohongi dirimu... Benarkah kau mencintai Arum 

Kemuning..."

Seta Wungu tidak menjawab. Pertanyaan Wintara 

bagaikan cambuk berduri yang menjerat lehernya. Su-

kar sekali Seta Wungu mencari jawaban yang tepat.

"Seperti yang telah kau katakan, bahwa selama 

ini pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang 

kepercayaan kepatihan didalangi oleh Somarengga... 

Selain terhadap orang-orang itu kau tidak pernah melakukan pembunuhan apapun...!"

"Pendekar hebat, dari mana kau tahu hal itu....?" 

Seta Wungu keheranan.

"Karena tidak mungkin Somarengga menyuruh 

kau membunuh orang-orang yang tidak menurut ren-

cananya... Iya, kan....?" Seta Wungu diam lagi. Kar-

tunya benar-benar terbongkar! 

Ia tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan 

'Pendekar Kelana Sakti' yang seakan-akan menelan-

jangi dirinya. Entah kekuatan dari mana tahu-tahu sa-

ja Seta Wungu menghentakkan tubuhnya... Dalam se-

kejap Seta Wungu dapat berdiri tegak. Di luar du-

gaan....

"Semua yang kau ucapkan memang benar, Pen-

dekar... Aku memang mencintai Arum Kemuning... Te-

lah kukumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk 

meminang gadis itu... Tapi sekarang pikiranku telah

berobah! Biarlah uang itu tetap akan kuberikan pada 

Arum Kemuning. Sekarang yang ku pinta... Bunuhlah 

aku!"

"Tidak, Seta Wungu... Sebelumnya kita memang 

tidak pernah punya urusan..." 

"Kalau begitu, akupun mempunyai cara tersendi-

ri..." Seta Wungu bergerak. Nampak ia mengeluarkan 

jurus-jurus seperti tadi yang pernah diperlihatkan. 

Wintara bersiap-siap menyambut. Tapi Wintara yakin, 

serangan-serangan itu tidak mungkin mematikan...


Begitu tubuh Seta Wungu melesat Wintara cepat ber-

geser... Ternyata Seta Wungu tidak melancarkan se-

rangan..! Tubuhnya meluncur deras ke arah bukit batu 

karang, membiarkan kepalanya membentur keras... 

"Praaaak!" Seta Wungu ambruk tanpa berkelojotan la-

gi...

Tidak ada yang dapat menyelamatkannya. Winta-

ra yang mengira Seta Wungu yang melancarkan seran-

gan tidak sempat lagi meraih tubuh yang melesat ce-

pat. Mereka hanya bisa melihat kepala Seta Wungu 

hancur berderak menghantam batu karang.

Arum Kemuning berlari ke arah tubuh Seta Wun-

gu yang terkapar di bawah bukit batu karang. Jeritan-

nya menyayat ketika keadaan sosok yang masih men-

geluarkan nafas tersendat-sendat...

"Kakang...! Pikiranmu buntu...! Kenapa harus 

melakukan ini...?" Arum Kemuning menangis di samp-

ing tubuh berlengan tunggal yang terkapar bersimbah 

darah.

"B-B-Benar apa... yang diucapkan olah.... Si Pen-

Pendekar Ke-Kelana Sakti i... itu.. Ma-M-Manusia me-

memang memiliki cara ter-tersendiri.... Ahhhhhh....! A-

A-Arummm Li-lihat sendi…ri caraku tadi..."

"Kakang Seta Wungu.... Kau tidak akan mati....!"

"U-uang itu....! Uang itu.... Ku-Ku-kusim.... pan 

di ku-kubu.... ran.... tua d-d-di Jog... Jog.... Joglo.... 

al…" kata-kata Seta Wungu terputus. Ia telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.... 

"Kakaaaaaaaaang!" Arum Kemuning memekik. 

Tangisnya membuat suasana haru. Dunia ini memang 

aneh. Atau semua ini karena karunia Tuhan.... Seo-

rang pembunuh yang tewas mendapat iringan tangis 

seorang gadis cantik jelita. Sementara tangisan Arum 

Kemuning belum berhenti....

"Seta Wungu telah menebus dosanya. Dia me-

mang seorang yang berjiwa kesatria." Suara Wintara 

menghentikan tangis Arum Kemuning.

"Benar... Seta Wungu menghendaki sendiri cara 

kematiannya, siapa akan menyangka kalau dia akan 

bertindak begini...." Tabib Sakti Nayan Gunta berjalan 

mendekati mereka.

Air terjun yang jatuh dari atas jeram meluncur 

deras menghantam bebatuan yang menghampar di 

bawahnya... Suara itu tidak pernah berhenti. Permu-

kaan danau itupun terus beriak. Dari kejauhan dianta-

ra derunya suara derasnya air terjun, terdengar suara 

derap kaki kuda dari balik hutan yang berderet di se-

keliling danau.

Ketiganya tersentak dan menoleh ke arah suara 

derap kuda. Mereka melihat kepulan debu beterbangan 

di permukaan tanah. Nampak jelas belasan ekor kuda 

keluar dari balik hutan... Teriakan para penunggang-

nya pun terdengar di saat menghela kuda yang mereka 

tunggangi.


Belasan kuda-kuda itu makin lama makin dekat 

menuju pondok yang berdiri tegak di atas bukit batu 

karang. Tapi setelah mereka melihat ketiga orang yang 

masih berdiri di samping mayat Seta Wungu, belasan

kuda-kuda itu menghampiri mereka.

"Arum Kemuning ketakutan, ia menyelinap ke be-

lakang Wintara.

Nayan Gunta tenang-tenang mengawasi langkah-

langkah belasan kuda-kuda yang kian mendekat. Ku-

da-kuda itu berhenti tepat dihadapan mereka. Para 

penunggangnya menatap tajam.

"Akuwu Mambang menulis surat ke kepatihan, 

bahwa ia terluka parah... Benarkah beliau berada di 

sini...?" tanya salah seorang penunggang kuda paling 

depan. Penunggang kuda yang lain maju ke depan, 

mendekati orang yang berbicara tadi.

"Anak muda itulah yang membawa Akuwu Mam-

bang mengantarkan surat ke kepatihan. Aku melihat-

nya sendiri..." bisiknya. Lalu ia membawa kudanya 

berjalan mendekati ketiga orang yang masih berdiri.

"Jangan takut...! Kami utusan kepatihan yang 

akan menjemput Akuwu Mambang! Benarkah kea-

daannya telah pulih...?" Orang itu memandang kakek 

bungkuk Nayan Gunta, lalu...

"Aku yakin kakek adalah Tabib Sakti Nayan Gun-

ta... Bagaimana keadaan beliau, kek?" tanya orang itu 

sambil turun dari kudanya. Kakek bungkuk Nayan


Gunta menoleh ke arah pondok. Wintara berjalan

mendekat....

"Beliau memang ada di sini... Lukanya belum 

sembuh betul! Beliau masih dalam perawatan Tabib 

Sakti Nayan Gunta Wintara menjelaskan.

"Ah, syukurlah.... Kami merasa khawatir akan 

keselamatannya! Hanya Akuwu Mambang yang masih 

tersisa dalam kepercayaan Kepatihan! Biarlah kami 

akan menjaganya di sini sampai beliau sembuh betul, 

dan...." Orang itu tidak meneruskan kata-katanya. 

Pandangannya tertuju pada sosok tubuh tanpa lengan 

tergeletak di bawah batu karang.

"Siapa dia...? Sosok yang serupa dengan tulisan 

yang tertera dalam surat Akuwu Mambang... Pembu-

nuh berlengan tunggal," katanya dengan nada kehera-

nan.

"Heh...! Di sini ada juga sosok si pengkhianat 

Somarengga... Lihat itu...!" teriak salah seorang pe-

nunggang kuda, lalu orang itu pun turun dari ku-

danya. Menuju ke sosok kaku Somarengga yang ber-

lumur darah.

"Kalian akan segera tahu....!" Tiba-tiba terdengar 

suara dari arah pondok. Serempak mereka semua 

mengarahkan pandangannya ke sebuah pondok yang 

berdiri kekar di atas bukit karang. Akuwu Mambang 

berdiri menghadapi jendela. Tubuhnya yang telanjang 

dada nampak penuh dengan balutan.


"Kalian jangan bersikap seperti itu terhadap me-

reka... Turunlah dari kuda, tunjukkan kesopanan ka-

lian di hadapan para pendekar sakti... Karena mereka-

lah yang menyelamatkan diriku..." katanya lagi dengan 

setengah berteriak. Kontan belasan penunggang kuda 

itu turun dari kudanya masing-masing. Tabib Sakti 

Nayan Gunta melangkah mendekati salah seorang be-

rada tidak jauh darinya.

"Silahkan.... Silahkan kalian ke pondok, kalian 

boleh menengok Akuwu Mambang." Kata kakek bung-

kuk Nayan Gunta menyambut ramah. Orang-orang 

kepatihan tidak menjawab, tapi langkah mereka berja-

lan mengikuti langkah si Tabib Sakti Nayan Gunta 

yang berjalan lebih dulu…. Akuwu Mambang terse-

nyum memandangi mereka dari jendela. Ia pun sempat 

melihat Wintara bersama Arum Kemuning tetap berdiri 

di tempat itu. Mereka berdua memang sengaja tidak 

ikut memasuki pondok.

Arum Kemuning masih memandangi tubuh Seta 

Wungu yang terkapar tanpa nyawa. Pandangan ma-

tanya yang suram mengalirkan air mata yang begitu 

bening. Isak tangisnya hampir tidak kedengaran.

"Aku akan tetap di sini menjaga batu nisan ka-

kang Seta Wungu, kalau perlu sambil memainkan ke-

capi... Agar setiap dentingan senar dapat menentram-

kan kehidupannya di sana. Aku menyesal telah mem-

butakan matanya, sekalipun dia pernah melukai kedua


mataku." 

"Lebih baik kau kembali ke Joglo Alun, Arum.... 

Di sana akan lebih baik." kata Wintara yang berdiri di 

belakangnya.

"Tidak, Wintara... Biarlah aku menanam semua 

kepahitan di sini...." jawabnya pelan.

"Kalau itu keputusanmu, aku rasa tidak jadi ma-

salah..." 

"Bagaimana dengan kau...?" Arum Kemuning ba-

lik bertanya.

"Aku selalu pergi setelah tugasku selesai..." Arum 

Kemuning tersenyum meskipun air matanya masih 

meleleh.

"Benar apa yang dikatakan oleh kakang Seta 

Wungu, kalau kau adalah 'Pendekar Kelana Sakti'... 

Darimana kau mendapat ilmu yang setinggi langit itu? 

Atau kalau perlu boleh ku tahu nama gurumu..."

"Aku tidak mengenali guruku sama sekali... Aku 

menganggap guruku adalah dari pengalamanku sendi-

ri, yaitu dari musuh-musuhku.. Aku dapat mempelaja-

rinya dari mereka...!"

Ruangan itu penuh dengan belasan orang-orang 

kepatihan yang duduk bersila mengelilingi dinding. 

Akuwu Mambang duduk di atas balai dekat jendela. Ia 

menceritakan semua yang terjadi atas dirinya. Orang-

orang itu begitu kagum begitu mendengar seorang to-

koh anak muda yang berjuluk 'Pendekar Kelana Sakti'


yang merupakan pokok cerita yang dibeberkan Akuwu 

Mambang,

Tabib Sakti Nayan Gunta menyuguhkan mereka 

beberapa kendi air, seorang membantunya menua-

ngkan air dalam tiap-tiap gelas. Tubuh bungkuk itu 

kembali ke dapur untuk mengambil beberapa gelas 

bambu lagi.

"Kita harus memberi hadiah besar kepada pende-

kar sakti itu, Tuan Akuwu Mambang...." kata salah 

seorang yang duduk menghadap kepada Akuwu Mam-

bang.

"Aku sudah memikirkan... Tapi hadiah apa yang 

pantas kita berikan padanya?"

"Beri saja dia kedudukan di kepatihan... Aku rasa 

dia pasti setuju...!" kata yang lain menimpali. Lalu seo-

rang lagi angkat bicara…

"Dengan adanya pendekar sakti, Joglo Alun akan 

tentram....!"

Arum Kemuning memasuki ruangan itu. Ia tidak 

langsung masuk, karena jalannya terhalang oleh bebe-

rapa orang yang duduk bersila. Kehadiran gadis itu, 

mereka yang duduk menghalangi, langsung memberi 

jalan... 

"Wintara sudah pergi... Ia titip salam untuk tuan 

Akuwu Mambang dan Tabib Sakti Nayan Gunta...." ka-

ta Gadis itu sambil melangkah memasuki ruangan.

Mendengar ucapan itu, Akuwu Mambang langsung menoleh ke jendela yang terbuka lebar. Di luar 

sudah tidak nampak lagi sosok tubuh Wintara. Akuwu 

Mambang bangkit menghadap ke luar. Nampak sosok 

tubuh mengenakan baju kulit binatang berjalan sema-

kin kecil menyusuri pinggiran hutan. Mereka semua 

kecewa ketika sosok yang semakin menjauh itu hilang

menerobos ke dalam lebatnya pepohonan.





                   T A M A T










 

Share:

0 comments:

Posting Komentar