Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
PERTARUNGAN DI LEMBAH SELAKSA MAYAT
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Pertarungan Di Lembah
Selaksa Mayat
SATU
Pagi yang cerah, suasana di lereng perbukitan
itu masih kelihatan terbelenggu kabut dan rasa dingin
yang menggigit. Burung-burung belibis hutan pun ba-
ru kelihatan mulai mengepakkan sayapnya. Enggan.
Sesekali terdengar pula lenguh suara sapi hutan di se-
kitar tempat itu. Sebuah suasana kehidupan alam
yang sangat damai, seolah-olah tiada pernah terusik
oleh tangan-tangan yang merusak. Sementara masih di
sekitar tempat itu juga, nampak seseorang yang sudah
sangat lanjut usianya sedang berlari cepat bagai di ke-
jar-kejar setan. Hampir semalaman perempuan usia
lanjut yang bernama Nyai Tambak Sari ini terus men-
gerahkan ilmu lari cepatnya, Seribu Jarak Terlampaui.
Dalam pada itu tiada keinginannya untuk me-
noleh-noleh ke belakang. Bukan karena apa, dia hanya
merasa dengan kejadian yang telah di alaminya sema-
lam. Kilatan senjata pusaka dan suara lecutan cambuk
yang membuat segala-galanya jadi berubah. Setengah
pudar harapannya untuk memiliki Kitab Jurus Koreng
Seribu. Di lain pihak, ternyata nama besar Pendekar
Hina Kelana bukanlah nama kosong. Syukur dia masih
bisa meloloskan diri dari sepak terjang pemuda ber-
kuncir murid tunggal almarhum si Bangkotan Koreng
Seribu. Andai tidak sudah tentu dia benar-benar ke-
hilangan harapan untuk memiliki Kitab Jurus Koreng
Seribu, hasil ciptaan terakhir dari kakek sakti si Bang-
kotan Koreng Seribu. {Dalam Episode Badai Selat Ma-
laka)
Sungguh pun dia merasa jerih setelah berhada-
pan dengan Pendekar Hina Kelana. Namun itu bukan
berarti telah mematahkan semangatnya untuk meme
nuhi ambisinya dalam merebut kitab yang sangat
langka itu. Saat itu setelah hampir tewas di tangan
Buang Sengketa dia sudah bertekad untuk pergi ke
Bukit Sambuang yang merupakan tempat pertapaan
kakang seperguruannya yang bernama Badak San-
grang. Kepada tokoh sakti yang telah lama meninggal-
kan dunia persilatan itulah dia menaruh harap dan in-
gin minta bantuan. Sebab menurut Nyai Tambak Sari,
di dalam rimba persilatan mungkin hanya Badak San-
grang sajalah yang mampu menghadapi kehebatan
Cambuk Gelap Sayuto yang dimiliki oleh Pendekar Hi-
na Kelana. Bahkan dulu pun dia pernah menyaksikan
Badak Sangrang yang saat itu berumur sembilan pu-
luh tahun bertarung dengan si Bangkotan Koreng Se-
ribu. Badak Sangrang dengan Cambuk Inti Sukmanya
masih mampu menandingi Cambuk Gelap Sayoto milik
Bangkotan Koreng Seribu yang kini diwariskan kepada
Buang Sengketa. Walaupun saat itu Badak Sangrang
memang harus mengakui keunggulan si Bangkotan
Koreng Seribu, namun pantas untuk di acungi jempol.
Dari sekian banyak lawan-lawan yang pernah binasa di
tangan Bangkotan Koreng Seribu, hanya Badak San-
grang seoranglah yang mampu bertahan hidup hingga
sampai saat kini.
Dalam keadaan berlari itu dia masih berpikir
tentang sebuah kemenangan yang akan diperolehnya.
Satu hal yang telah sama-sama kita ketahui bahwa ke-
tua Perguruan Beruang Merah ini dalam keadaan buta
kedua matanya. Mengagumkan dalam keadaan seperti
itu dia masih dapat mengerahkan ilmu lari cepat, Seri-
bu Jarak Terlampaui, tanpa takut menabrak pepoho-
nan yang berada di depannya. Keringat telah memba-
sahi sekujur tubuh Nyai Tambak Sari, begitu pun dia
masih terus mengerahkan ilmu lari cepatnya. Hingga
beberapa jam kemudian sampailah dia di sebuah dae
rah perbukitan yang memiliki udara sangat dingin se-
kali. Itulah salah saru ciri-ciri yang sangat khas se-
buah daerah yang didiami oleh Badak Sangrang. Nyai
Tambak Sari hentikan langkah, sekejap dia menarik
nafas panjang-panjang. Lalu alis matanya yang tebal
dan telah memutih nampak berkedut-kedut. Hemm.
Tiada suara apa pun yang terdengar, agaknya kakang
Badak Sangrang tidak ada di tempat. Atau mungkin
aku belum berada tepat di depan gua tempat perta-
paannya. Ah... aku tak perlu berteriak-teriak seperti
orang kesurupan, kalau kupanggil dia dengan ilmu
menyusupkan suara. Kalau benar-benar kakang Ba-
dak Sangrang ada di tempat, tentu dia akan menden-
garnya. Batin Nyai Tambak Sari dalam hati.
"Kakang Badak Sangrang! Adakah kau di tem-
pat...?" Panggil perempuan itu dengan memperguna-
kan ilmu menyusupkan suara-nya. Sejenak tiada sa-
hutan seperti apa yang di harapkannya. Ketua partai
Beruang Merah itu menjadi ragu-ragu.
"Kakang... Ini adikmu datang... apakah kau be-
rada di dalam gua...?" Ulangnya sambil garuk-garuk
rambutnya yang cuma beberapa helai itu. Sekejap ke-
mudian gua yang berada tidak begitu jauh di depan
Nyai Tambak Sari nampak bergetar, lalu dari dalamnya
yang serba gelap menyeramkan itu pun berhembus
asap putih yang menebarkan bau yang sangat amis
sekali. Asap yang membentuk kabut itu pun semakin
lama semakin menebal sehingga menyesakkan perna-
pasan Nyai Tambak Sari.
Dan kiranya perempuan buta itu menyadari ka-
lau dirinya sedang di uji kemampuannya oleh orang
yang berada di dalam gua itu.
Maka tanpa bicara sepatah kata pun Nyai Tam-
bak Sari lambaikan tangan kanannya. Sungguh pun
gerakan melambai itu kelihatannya hanya seperti
main-main saja tetapi sesungguhnya perempuan renta
itu telah mempergunakan sebagian tenaga dalamnya.
Akibatnya serangkum gelombang angin pukulan men-
deru pada empat penjuru mata angin. Satu letupan ke-
ras terdengar meningkahi suara tawa yang berkepan-
jangan.
"Ohok... ohok... ohok...! Adi Tambak... semakin
tua rupanya engkau semakin rapuh saja, kiranya ke-
tua partai Beruang Merah nggak ada apa-apanya. Na-
ma besar namun memiliki kekuatan yang rapuh. Nafsu
untuk mengangkangi kitab Jurus Koreng Seribu begitu
besar, tapi tenaga kurang...!" Ucapnya dengan masih
mengekeh menyeramkan. Lalu usai dengan suara ta-
wanya itu, nampak melayang sosok tubuh lebih tua
dari perempuan buta itu. Laki-laki ini memiliki wajah
lebih menyeramkan lagi. Badannya kurus kering tiada
berdaging, rambutnya yang berwarna cokelat nampak
acak-acakan bagai tak terurus. Kedua mata menjorok
ke depan, dengan kumis dan janggutnya yang lebat
dan juga sudah berubah warna. Sepintas lalu sangat
tidak pantas bila dibandingkan dengan keadaan tu-
buhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang. Na-
mun siapa sangka kalau tokoh sesat yang sudah pulu-
han tahun ini banyak menghabiskan waktunya di bu-
kit Sambuang, dulunya merupakan tokoh sakti yang
memiliki kepandaian hanya tiga tingkat saja di bawah
almarhum si Bangkotan Koreng Seribu! Saat itu, laki-
laki ceking yang murah tertawa tersebut telah pula
berhadapan dengan Nyai Tambak Sari adik sepergu-
ruannya. Sejenak laki-laki berpenampilan mirip orang
yang kurang waras dan seumur hidup tak pernah me-
makai baju ini menyapu pandang pada adik sepergu-
ruannya. Lagi-lagi dia tertawa mengekeh.
"Kau datang jauh-jauh ke sini! Sesungguhnya
ada keperluan apakah, Adi...?" Tanya Badak Sangrang,
walau sudah tahu tapi masih berusaha mendengar
pengakuan adik seperguruannya.
"Berkata terus terang bahwa maksud kedatan-
ganku ke mari adalah ingin minta bantuanmu...!" Ujar
Nyai Tambak Sari tanpa malu-malu lagi.
"Ho... ho... ho...! Bantuan? Selamanya kuketa-
hui kau merupakan orang yang tak pernah minta ban-
tuan siapapun. Maaf, dulu ketika kedua matamu dibu-
takan oleh si Bangkotan Koreng Seribu, engkau pun
tak pernah minta bantuan padaku. Aneh kini kau ma-
lahan datang padaku seperti bocah kecil...?"
"Kakang! Dulu rasa sakit itu tidak seberapa bila
dibandingkan dengan rasa sakit hati yang kini sedang
ku tanggungkan... ini merupakan satu penghinaan be-
sar kakang. Bukan pada diriku saja, namun juga buat
dirimu...!" Ucap Nyai Tambak Sari berusaha manas-
manasi hati kakang seperguruannya yang mudah naik
darah tersebut. Badak Sangrang pelototkan matanya
yang menjorok ke dalam itu, sementara mulutnya
mengeluarkan bunyi berdecap tiada berketentuan.
"Apakah maksudmu, Adi...?"
"Aku menaruh dendam pada muridnya Bangko-
tan Koreng Seribu yang telah mampus itu. Murid-
muridku terbantai habis semua-nya...!" Menyela Nyai
Tambak Sari dengan geramnya. Nampaknya Badak
Sangrang agak terkejut juga begitu mendengar apa
yang dikatakan oleh adik seperguruannya. Selama be-
berapa purnama ini dia hanya bermimpi tentang lawan
besarnya yang telah berhasil menciptakan kitab Jurus-
jurus Koreng Seribu. Namun tak sedikit pun dia me-
nyangka kalau si Bangkotan Koreng Seribu bekas la-
wan besarnya itu telah meninggal dunia. Hemm. Aku
menjajal jurus-jurus ciptaanku yang paling ampuh pa-
da orang yang pernah membuat aku malu di depan be-
ratus-ratus orang persilatan tempo hari. Namun ter
nyata orang itu kini telah kojor. Enak betul manusia
gudis itu? Maki Badak Sangrang setengah menyesal-
kan kematian musuh nomer satunya. Tapi kalau dia
kembali teringat pada apa yang baru saja di katakana
oleh adik seperguruannya. Nampaknya dia masih
mempunyai harapan untuk membalaskan rasa malu
yang pernah dialaminya dulu pada murid tokoh super
sakti itu. Akhirnya dengan semangat yang menggebu,
dia pun kembali bertanya pada Nyai Tambak Sari; "Adi
Tambak! Benarkah si Bangkotan Koreng Seribu sebe-
lum mampus telah menciptakan kitab Jurus Koreng
Seribu?" Tanyanya dengan sangat penasaran sekali.
"Itulah persoalannya, kakang...! Aku merasa
tertarik dengan berita tentang jurus-jurus langka yang
telah diciptakan oleh si keparat itu. Muridku kuutus
untuk mengetahui tentang kebenaran cerita itu di Tan-
jung Api. Kenyataannya cerita memang benar adanya.
Seperti dugaanku, di tempat itu rupanya sudah ba-
nyak kalangan persilatan dari berbagai golongan telah
hadir di sana. Apa yang mereka inginkan tak lain ada-
lah ingin memiliki kitab yang sangat dahsyat itu. Tidak
munafik kalau kukatakan bahwa aku sesungguhnya,
juga ingin memiliki kitab itu. Tapi ternyata niat adik-
mu ini telah terhalangi dengan hadirnya Bara Seta
yang merupakan anak angkat si Bangkotan Koreng Se-
ribu, dan lebih celaka lagi setelah murid manusia pe-
murung yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu ikut
turun tangan...!"
Badak Sangrang menarik nafas dalam-dalam.
Baginya masih belum jelas benar siapa adanya Bara
Seta. Tapi yang lebih menarik lagi adalah tentang ma-
nusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu.
"Apakah dia mempergunakan Cambuk Gelap
Sayoto...?" Tukasnya tak sabar. Sepasang mata be-
rongga milik Nyai Tambak Sari nampak memandang
pada Badak Sangrang.
"Aku merasa begitu, namun dia bukan memiliki
cambuk yang sangat mengerikan itu saja, tapi juga dia
memiliki senjata ampuh, yang pada akhirnya mene-
waskan semua murid-muridku...!" Gigi-gigi Badak
Sangrang yang hanya tinggal beberapa gelintir itu ber-
keretukan menahan geram.
"Cambuk Gelap Sayuto, aku masih mampu
menandinginya dengan cambuk ku, Inti Sukma, tapi
senjata yang baru kau sebutkan belakangan, macam
apakah bentuknya?" Tanya Badak Sangrang.
"Kuketahui begitu senjata itu tercabut dari sa-
rungnya aku merasakan senjata itu mendengung.
Mendadak udara di sekitarnya menjadi dingin luar bi-
asa, orang-orang di sekeliling ku berteriak, Pusaka Go-
lok Buntung...!" jawab Nyai Tambak Sari, dan wajah-
nya masih membayangkan rasa jerih. Sebaliknya Ba-
dak Sangrang merasa kurang kenal dengan pusaka
yang baru saja disebutkan oleh adik seperguruannya.
Selama ini dia tak pernah melihat Bangkotan Koreng
Seribu mempergunakan senjata seperti apa yang dika-
takan oleh adiknya. Lalu dari manakah pemuda itu
memperoleh senjata itu. Mengingat sampai ke situ ce-
pat-cepat dia bertanya pada Nyai Tambak Sari.
"Adi Tambak! Manakah yang lebih hebat antara
Pusaka Golok Buntung dengan Cambuk Gelap Sayo-
to...?" Ketua Partai Beruang Merah itu geleng-
gelengkan kepalanya.
"Menurutku, dua-duanya sama dahsyat luar
biasa. Tapi mungkin dalam fungsinya Pusaka Golok
Buntunglah yang paling berperan banyak dalam mem-
basmi lawan-lawan-nya...!"
Panas bukan alang kepalang hati Badak San-
grang dibuatnya, semakin bertambah penasaran pula
hatinya.
"Sungguh pun senjata dari akhirat sekalipun
yang dia pergunakan untuk berhadapan denganku. Ti-
dak nantinya bocah goblok itu mampu menahan puku-
lan Tapak Setan hasil ciptaanku yang terbaru...!"
Bukan main gembiranya hati Nyai Tambak Sari
begitu mendengar keputusan kakang seperguruannya.
Dalam luapan kegembiraan itu, tiba-tiba dia berkata:
"Kakang benar-benar mau menghadapi murid-
nya Bangkotan Koreng Seribu?"
"Ya... bahkan aku pun akan merebut dan ingin
mengetahui apa sih hebatnya kitab Jurus Koreng Seri-
bu itu...!" Ucapnya mencemooh.
"Jadi kapan kita berangkat, kakang...?"
"Hmm. Kurang lebih sepuluh hari mendatang...!
Kau istirahatlah di gua sebelah. Aku akan menyiapkan
segala sesuatunya." Kata Badak Sangrang. Dan seke-
jap kemudian kedua orang itu pun telah berkelebat
memasuki Gua pertapaan.
DUA
Matahari panas terik membakar dan apa yang
terlihat di depan mereka hanyalah sebuah kegersangan
yang sangat membosankan. Di kanan kiri jalan itu
nampak sebuah jurang yang menganga dalam. Semen-
tara jalan. yang mereka lalui pun merupakan sebuah
jalan setapak yang dipenuhi oleh batu-batu yang san-
gat runcing lagi tajam. Namun semua itu tidak meng-
halangi gerakan langkah Buang Sengketa, Bara Seta
dan seorang muridnya yang sedang melakukan perja-
lanan jauh. Seperti di ketahui, setelah meninggalkan
Tanjung Api yang merupakan tempat tinggal gurunya,
Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Dan kemudian berta-
rung pula dengan ketua partai Beruang Merah, mereka
ini tetap melanjutkan niatnya untuk mencari tempat
baru yang benar-benar mereka anggap aman untuk
mempelajari Kitab Jurus Koreng Seribu (Dalam Epi-
sode Badai Selat Malaka).
Hari ini mereka telah sampai di sebuah lembah
yang bernama Lembah Selaksa Mayat. Seperti apa
yang pernah di katakan oleh Bara Seta, bahwa Lembah
Selaksa Mayat adalah merupakan tempat tinggal istri
dan anaknya satu-satunya. Lembah itu merupakan
sebuah daerah yang terpencil dan terletak di pedala-
man hutan yang tak pernah di jamah oleh orang lain
selain keluarganya. Dulunya anak dan istrinya sama-
sama tinggal di Lubuk Sikaping yang sekaligus meru-
pakan sebuah perguruan yang dipimpin oleh Bara Se-
ta. Namun karena sejak kecil istri Bara Seta yang ber-
nama Dewi Wulan tinggal di lembah tersebut. Maka
tak heran kalau kemudian dia memilih untuk membe-
sarkan anaknya di tempat yang sangat jauh dari ke-
ramaian dunia. Dan di sanalah putri tunggalnya yang
bernama Ayunda di besarkan dan di didik dengan ber-
bagai ilmu kanuragan selama hampir tujuh belas ta-
hun. Walaupun selama itu antara Bara Seta dan Dewi
Wulan sering memiliki beda pendapat dalam mendidik
anaknya. Namun ketua Perguruan Canduk Ginaka itu
juga sering berkunjung ke Lembah Selaksa Mayat.
Karena menurut Bara Seta hanya Lem-bah Se-
laksa Mayat sajalah yang merupakan tempat paling
aman untuk mempelajari kitab Jurus Koreng Seribu.
Maka dalam perjalanan meninggalkan Tanjung Api be-
berapa hari yang lalu, mereka telah mencapai kata se-
pakat untuk datang ke tempat itu. Dalam pada itu se-
telah melalui jurang-jurang yang sangat sulit dan lagi
licin. Maka lewat sepemakan sirih, sampailah mereka
bertiga di dasar lembah itu. Dari kejauhan Buang da-
pat melihat sebuah rumah panggung yang terbuat dari
anyaman bambu dan beratap daun kirai. Rumah itu
tingginya kurang lebih tujuh meter. Sesaat saja Buang
Sengketa memperhatikan situasi di sekitarnya. Tapi
ketika kemudian Bara Seta menarikkan tangannya,
kemudian mengajaknya terus berjalan menuju rumah
itu pemuda dari Negeri Bunian ini hanya mampu me-
nurut saja.
"Dewi Wulan...! Aku yang datang...!" Kata Bara
Seta setengah berteriak. Beberapa saat setelah uca-
pannya itu, maka pintu depan rumah itu pun nampak
terbuka. Seorang gadis berwajah sangat cantik muncul
dari dalamnya, lalu mereka saling pandang. Begitu ga-
dis yang berada di depan pintu rumah bertonggak
tinggi itu mengenali siapa adanya orang-orang yang
datang. Maka gadis cantik yang bernama Ayunda itu
pun menghambur menuruni anak tangga.
"Ayah...!" Serunya. Lalu begitu hampir di depan
Bara Seta, gadis itu langsung memeluk tubuh gemuk
ayahnya.
"Bagaimana keadaan ibumu...?" Tanya Bara Se-
ta di tengah-tengah luapan kerinduannya. Sejenak
Ayunda melepaskan pelukannya, di pandanginya wa-
jah ayahnya, lalu beralih pada Buang Sengketa. Dalam
hati dia merasa geli sendiri begitu melihat pemuda
tampan yang datang bersama ayahnya tersebut. Ba-
gaimana tidak! Ketampanan pemuda itu benar dia
akui, namun pakaiannya yang kumuh, dengan sebuah
periuk berjelaga menggelantung di pinggangnya. Se-
hingga mengesankan seorang sinting yang baru saja
pulang dari mengembara.
"Ayunda! Kenalilah, pemuda ini masih merupa-
kan kerabat kita juga. Namanya Buang Sengketa...!"
Ujar Bara Seta setelah melihat anaknya terus mem-
perhatikan Pendekar Hina Kelana.
"Buang Sengketa...? Heh, sebuah nama yang
sangat aneh...!" Desah Ayunda begitu polos. Dan tentu
saja hal ini membuat wajah Buang Sengketa berubah
menjadi merah jengah.
"Ayunda, tak boleh bersikap seperti itu, berlaku
sopanlah sedikit pada orang lain...!"
"Eeh, maaf ayah! Sebenarnya Ayu tak bermak-
sud begitu...!" Kata Ayunda lalu menjura hormat pada
ayahnya. Keadaan seperti itu sudah barang tentu tidak
mengenakkan Pendekar Hina Kelana. Maka kemudian
dia berkata pelan.
"Sudahlah paman! Tak perlu memakai perada-
tan segala. Pula kita ini berada dikalangan keluarga
sendiri...!"
Belum lagi Bara Seta maupun Ayunda sempat
mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara teguran
dari dalam rumah yang bertonggak tinggi tersebut
"Yunda, mengapa tamu-tamu kita di biarkan
saja berdiri di luar. Suruhlah mereka masuk...!"
Mereka yang berada tidak begitu jauh dari ru-
mah bertonggak ini pun saling berpandangan. Selan-
jutnya Ayunda menggandeng tangan ayahnya menaiki
tangga rumah itu. Setelah sampai di dalam rumah ke-
cil itu, mereka duduk di atas sebuah tikar yang terbuat
dari anyaman kulit rotan. Sebagaimana lazimnya, pa-
sangan suami istri ini pun saling bersalaman. Hal ini
kiranya tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kela-
na. Sekilas dia memperhatikan Dewi Wulan yang me-
nurutnya berusia sekitar empat puluh tahun. Namun
walau usianya sudah terbilang sudah lanjut, masih ke-
lihatan sisa-sisa kecantikan membias di wajahnya. Ke-
tika selanjutnya Dewi Wulan menanyakan segala sesu-
atunya tentang pemuda yang bersama suaminya itu.
Maka secara panjang lebar Bara Seta menceritakan se-
gala sesuatunya tentang pemuda itu. Mengertilah Dewi
Wulan tentang siapa sebenarnya pemuda yang duduk
di samping Bara Seta suaminya. Perempuan setengah
baya itu angguk-anggukkan kepalanya. Selanjutnya
dia berkata lunak: "Oh... tak kusangka kalau tokoh
nomer satu sekaligus merupakan angkatan tua golon-
gan kaum yang lurus itu telah tiada. Tapi aku mendu-
kung usulmu itu, kakang. Aku yakin kalau jejak kalian
ke mari ini tidak tercium oleh golongan persilatan ma-
na pun. Lembah Selaksa Mayat ini merupakan sebuah
daerah yang sangat aman untuk membuka kemungki-
nan tentang rahasia Kitab Jurus Koreng Seribu. Kare-
na hanya Buang sendiri yang mengerti akan makna
kata maupun tulisan-tulisan rahasia yang terkandung
dalam kitab itu. Maka tak banyak yang dapat kita la-
kukan terkecuali melindungi keselamatan Buang dari
ancaman pihak manapun yang bermaksud merampas
Kitab Rahasia Jurus Koreng Seribu...!"
"Itu memang betul, apalagi bila mengingat pe-
san bapak yang pernah di sampaikan padaku setahun
sebelum dia meninggal dunia...!" Berkata Bara Seta
pada istri dan anaknya.
"Sesungguhnya kedatanganku ke sini hanya
membuat repot paman dan bibi saja!" Sahut pemuda
itu, dan dalam kesempatan yang hanya sesaat itu tan-
pa sepengetahuan yang lain-lainnya Buang sempat
melirik pandang pada Ayunda yang sejak tadi terus
memperhatikan dirinya. Wajah gadis itu berubah ke-
merah-merahan begitu mata mereka saling beradu
pandang. Sementara itu Buang Sengketa yang sesung-
guhnya mempunyai watak pemalu itu hanya menun-
dukkan kepala. Lalu dia membatin: Gadis cantik
anaknya paman Bara Seta ini wajahnya sangat mirip
dengan Wanti Sarati, entah mengapa fikiranku tiba-
tiba saja teringat akan dia, aneh... hatiku berdebar ke-
tika tadi aku memandangnya. Wanti Sarati, betapa ak-
hir-akhir ini aku selalu mengingatnya. Tidak seperti
dulu saat mana pertama kali dia telah begitu berani
mengatakan cinta padaku. Saat itu aku tak pernah
menaruh perasaan apa-apa padanya. Dia cantik, na-
mun juga cerdas, bahkan mungkin lebih cantik dari
Ayunda yang sekarang duduk tak jauh dari ibunya.
Wanti... semoga aku tak pernah terlambat untuk
membalas cintamu. Dan semoga pula dia dapat belajar
dengan guru setengah siluman itu dengan baik. Wanti
Sarati. Maafkanlah pamanmu ini! Desahnya setengah
menyesali. (Untuk jelasnya siapa Wanti Sarati, dalam
episode Satria Penggali Kubur).
"Buang! Apa yang kau pikirkan?" Tanya Bara
Seta tiba-tiba. Pertanyaan yang tiada di sangka-sangka
itu sudah barang tentu membuat Pendekar Hina Kela-
na jadi kelabakan. Lalu dengan suara terbata-bata dia
menjawab;
"Ee... tid... tidak paman. Aku hanya merasa le-
tih saja, mungkin karena selama ini aku selalu mela-
kukan perjalanan yang jauh."
"Kalau begitu, baiknya kau istirahat dulu!" Ber-
kata Dewi Wulan, sebentar dia menoleh pada putri sa-
tu-satunya. Kemudian perintahnya; "Yunda... coba kau
tunjukkan kamar buat kakangmu...!"
Tanpa menjawab Ayunda segera melak-
sanakan apa yang di perintahkan ibunya. Buang
Sengketa hanya mengikuti dari belakangnya.
"Kakang bisa istirahat di sini, oh ya... maafkan
atas segala perlakuanku yang kurang pada tempat-
nya...!"
"Tak apa... kau juga tidak bersalah...!" Tukas si
pemuda apa adanya. Sesaat kemudian Ayunda telah
meninggalkan Pendekar Hina Kelana di kamar itu seo-
rang diri. Pada dasarnya karena pemuda ini memang
sudah keadaan sangat letih, maka begitu dia mere-
bahkan tubuhnya di atas balai bambu, maka sekejap
kemudian dia telah lelap tertidur.
Sementara itu di ruangan depan, pembicaraan
antara Dewi Wulan, Ayunda dan Bara Seta masih terus
berlanjut. Nampaknya istri Bara Seta maupun putrinya
benar-benar merasa tertarik dengan kehidupan dan
sepak terjang pemuda keturunan raja dari negeri alam
gaib tersebut. Tak dapat di sangkal kalau sekejap ke-
mudian pertanyaan Dewi Wulan pun kembali terden-
gar;
"Kakang sudah begitu lama kenal dengan al-
marhum bapak! Tapi pernahkan bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu bercerita tentang muridnya...?" Tanya Dewi
Wulan dengan penuh perhatian. Yang di tanya nampak
terdiam beberapa saat lamanya. Seingatnya sebelum
meninggal, dulu si Bangkotan Koreng Seribu memang
sering bercerita tentang murid tunggalnya. Asal usul,
maupun ketika saat kakek itu menemukan bayi merah
yang terapung di tengah-tengah lautan. Sedapatnya
dia berusaha mengingat-ingat tentang apa yang pernah
di katakan oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Se-
lanjutnya begitu dia dapat mengingat kembali tentang
segala apa yang pernah di katakan oleh tokoh sakti
yang merupakan tokoh sangat di takuti oleh semua go-
longan itu, maka tanpa ragu lagi dia pun mulai berkata
pada istri dan anaknya;
"Hanya beberapa purnama sebelum bapak me-
ninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya. Pa-
daku dia pernah mengatakan segala sesuatunya ten-
tang murid tunggal yang sangat di sayanginya itu. Si
Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sakti yang se-
lama malang melintang di rimba persilatan hampir le-
bih dari delapan puluh tahun menjadi momok dalam
kalangan persilatan golongan hitam. Dalam usianya
yang mencapai seratus delapan puluh tahun itu, bah-
kan hingga akhir hayatnya. Dia tetap merupakan to
koh nomor satu yang tak pernah terkalahkan. Sung-
guh pun dia merupakan tokoh sakti yang pada jaman-
nya membuat geger delapan penjuru persilatan karena
Cambuk Gelap Sayutonya. Tapi dia juga merupakan
tokoh yang paling malang di atas dunia fana ini...!"
"Apa maksudmu, kakang...?" Tanya Dewi Wu-
lan keheranan. Bara Seta menarik napas pendek. Se-
lanjutnya dia menyambung;
"Dulu sebelum dia berguru oleh almarhum gu-
runya yang pada jaman ratusan tahun yang lalu me-
rupakan orang yang Maha Sakti tapi buruk peran-
gainya. Bapak Bangkotan Koreng Seribu bukanlah
manusia yang memiliki penyakit buruk yang di seluruh
permukaan kulitnya di tumbuhi oleh ribuan koreng.
Tapi bapak pada jaman mudanya adalah merupakan
seorang bocah yang suka mengembara dan berguru
berbagai ilmu kesaktian. Bertemulah dia dengan tokoh
Buruk Perangai yang memiliki berbagai ilmu kesak-
tian. Padanya dia berusaha menuntut berbagai ilmu
kanuragan. Mulanya tokoh Maha Sakti dari Selatan itu
tidak bersedia memberi pelajaran ilmu apapun. Tapi
karena bapak merupakan orang yang keras kemauan.
Maka si Buruk Perangai bersedia menjadi gurunya,
dengan satu syarat. Bahwa segala dosa maupun kutuk
yang telah di jatuhkan Dewata pada si Buruk Perangai,
bapak bersedia memikulnya. Tak dinyana bapak yang
haus akan ilmu sakti itu menerima. Sebagai imbalan-
nya, si Buruk Perangai memberikan segala kesaktian
yang pernah di milikinya...!"
"Karena kutuk itukah maka sampai akhir
hayatnya, bapak harus menanggungkan penyakit ko-
reng yang tiada kunjung sembuh...?" Tanya sang istri
semakin tertarik saja. Bara Seta menganggukkan ke-
palanya pelan.
"Benar sekali...!" Ucapnya tanpa ragu.
"Tapi ayah, apakah tokoh maha sakti si Buruk
Perangai masih hidup sampai sekarang ini...!" Sela
Ayunda tiba-tiba.
"Mungkin juga. Sebab menurut bapak, gu-
runya, si Buruk Perangai memiliki ilmu yang dapat
memanjangkan umur seseorang tanpa menyalahi ko-
drat. Coba bayangkan saja kalau bapak saat meninggal
berumur seratus delapan puluh tahun, lalu bagaimana
dengan gurunya?" Tanya Bara Seta seperti pada di-
rinya sendiri.
TIGA
"Hemm, Sebuah ilmu langka yang tak di miliki
oleh kalangan persilatan mana pun saat ini. Dalam
umur bapak yang panjang itu mungkin bapak telah
mempergunakan ilmu gurunya...!" Kata Dewi Wulan
menduga-duga. Saat itu Bara Seta cepat-cepat geleng-
kan kepala.
"Tidak sama sekali. Bapak Bangkotan Koreng
Seribu, telah mewariskan ilmu awet muda yang ber-
nama Tetep Rupo pada murid tunggalnya Buang Seng-
keta...!"
"Itu berarti Buang Sengketa tak pernah tua se-
lama-lamanya." Seru Dewi Wulan setengah terperan-
gah.
"Ya, itu sudah barang tentu. Terkecuali Buang
telah melakukan pelanggaran terhadap satu pantan-
gan yang dapat membuatnya tua menuruti kodrat...!"
Baik Ayunda maupun ibunya nampak terheran-heran
dalam rasa ketidak mengertian.
"Apakah yang ayah maksudkan dengan pelang-
garan yang pernah di katakan oleh Kakek Bangkotan
Koreng Seribu...?" sela gadis cantik itu tanpa malu-
malu.
"Pelanggaran itu adalah apabila Buang sampai
berzina dengan perempuan yang bukan istrinya...!"
"Apakah pantangan itu di ketahui oleh Buang
Sengketa, kakang...?" Tanya sang istri pula.
"Tidak. Semua itu sengaja di rahasiakan oleh
bapak demi untuk mengetahui sebatas mana murid
tunggalnya dapat mengekang diri dalam mengendali-
kan hawa nafsu!"
"Itu sama saja artinya merupakan satu ujian
yang berat bagi anak itu kakang...?" Ujar Dewi Wulan
setengah memprotes.
"Bapak hanya menginginkan agar murid tung-
galnya benar-benar merupakan seorang pendekar seja-
ti yang berhati lurus...!" Dewi Wulan dan anaknya
mengangguk-angguk tanda mengerti. Namun selanjut-
nya Ayunda yang semula merasa kurang begitu senang
dengan kehadiran pendekar ini, tapi kemudian setelah
mengetahui sedikit banyaknya tentang pemuda itu.
Dengan rasa keingintahuan yang besar segera pula
menyala
"Ayah! Menurut kata ayah, kakek sepanjang hi-
dupnya tak pernah merasa tertarik untuk mendidik
seorang murid. Tapi mengapa kemudian dia bersedia
mengambil Buang Sengketa menjadi muridnya? Siapa-
kah dan anak siapa pula Buang Sengketa itu...?" Ta-
nyanya penuh semangat. Lagi-lagi Bara Seta tunduk-
kan wajahnya, mungkin ada sesuatu yang berusaha di
ingat-ingatnya kembali tentang pemuda itu. Namun
saat mana dia teringat kembali tentang apa yang per-
nah di katakan oleh almarhum Bangkotan Koreng Se-
ribu, maka tanpa menunggu lebih lama lagi dia pun
menjawab.
"Hampir kurang lebih dua puluh satu tahun
yang lalu, Tanjung Api yang memiliki bukit-bukit ka-
rang tajam, merupakan daerah yang sangat sunyi dan
hanya di huni oleh seorang tokoh sakti yang bernama
si Bangkotan Koreng Seribu. Satu ketika, hampir satu
minggu. Laut di Selat Malaka di landa badai yang san-
gat dahsyat. Hujan deras tercurah bagai tiada henti-
hentinya. Si Bangkotan Koreng Seribu yang telah lama
mendiami Tanjung Api sedikit banyaknya tentu merasa
sangat heran dengan keadaan yang tidak sebagaimana
mestinya ini. Tetapi firasatnya mengatakan bakal ada
sesuatu yang sangat besar terjadi di tempat itu. Siang
dan malam orang tua sakti ini hanya mengurung diri
di dalam gubuknya, dia pun melakukan semedi untuk
memohon petunjuk dari sang Dewata. Dalam keadaan
hujan yang tiada mengenal henti, sementara di laut di
landa badai besar-besaran, hari ketujuh dalam seme-
dinya itu, si Bangkotan Koreng Seribu di datangi oleh
sosok raja siluman yang berujud seekor Ular Piton
yang sangat luar biasa besarnya. Raja para siluman itu
tinggal di alam kedua di sebuah pesisir pantai bagian
Barat pulau Andalas. Pada si Bangkotan Koreng Seribu
raja para siluman yang menamakan dirinya sebagai
Raja Piton Utara itu berpesan bahwa akan datang pa-
danya seorang bayi laki-laki yang nantinya akan men-
jadi seorang satria pendekar pembela kebenaran. Di
katakan pula oleh raja para siluman itu bahwa bayi
merah yang telah di hanyutkan oleh ibunya ke laut
tersebut masih merupakan titisannya dari hasil per-
kawinannya dengan manusia biasa. Ibu sang bayi te-
lah binasa di tangan para peramal sinting manakala
berusaha menyelamatkan putranya, yang menurut
ramalan akan menjadi penyebab malapetaka di kalan-
gan persilatan. Sedangkan menurut pengakuan raja
para siluman itu. Para peramal yang telah membunuh
ibu si bayi yang sekaligus merupakan istri raja Piton
Utara telah pula tewas di tangannya sendiri. Pada si
Bangkotan Koreng Seribu, raja para siluman itu mem-
berikan kepercayaan penuh untuk merawat anaknya.
Sedangkan dia sendiri demi menebus kesalahan yang
telah di perbuatnya akibat perkawinannya dengan ma-
nusia biasa telah memutuskan untuk melakukan tapa
di laut Malaka. Selesai dengan kedatangan raja para
siluman itu, mendadak hujan terhenti seketika. Laut
kembali berubah tenang, keesokan harinya Pantai Tan-
jung Api yang terkenal dengan keganasan ombaknya
nampak dalam keadaan lengang bagai tak pernah ter-
jadi sesuatu.
Sementara itu sesuai dengan yang dia terima,
sepanjang hari si Bangkotan Koreng Seribu berada di
pinggiran laut sambil memperhatikan keadaan di seke-
lilingnya. Dan ternyata wangsit yang di terimanya me-
mang benar adanya. Begitu laut bergerak pasang naik.
Dia melihat sebuah kotak terapung-apung di atas air
menuju ketepian pantai. Kotak berukuran setengah
meter itu ternyata memang benar berisi sosok bayi la-
ki-laki yang sangat sehat dan montok. Sesuai dengan
pesan yang di terimanya dalam wangsit, Bapak Bang-
kotan Koreng Seribu kemudian merawat dan mendi-
diknya dengan berbagai ilmu silat dan pukulan-
pukulan sakti hasil ciptaannya. Anak itu di beri nama
Buang Sengketa. Buang artinya anak yang sengaja di
buang atau di campakkan ke laut demi keselamatan-
nya. Sedangkan Sengketa, karena sejak masih dalam
kandungan ibunya, tanda-tanda kehadiran anak itu di
alam dunia di penuhi dengan kejadian yang aneh-aneh
lagi menggemparkan. Itu makanya orang-orang persila-
tan memburu ibunya. Kelahirannya memang banyak
di persoalkan oleh orang ramai...!" Kata Bara Seta, se-
jenak dia menarik nafas pendek. Namun ketika dia
bermaksud melanjutkan ucapannya. Dewi Wulan tiba
tiba menyela;
"Kakang! Kalau begitu dia masih merupakan ti-
tisan para siluman...?" Kata istri Bara Seta setengah
takut-takut. Ketua Perguruan Candak Ginaka ini
hanya tersenyum saja demi melihat wajah istrinya
yang mendadak berubah pucat. Lalu dengan suara
hampir-hampir tak terdengar dia melanjutkan;
"Sungguh pun ayahnya masih merupakan raja
para siluman di Negeri Bunian, namun pada kenya-
taannya dia masih merupakan seorang manusia, yang
memiliki hati dan perasaan sebagaimana manusia ke-
banyakan."
"Jadi sejak kecil kakek Bangkotan Koreng Seri-
bu telah melatih Buang dalam berbagai ilmu sakti yang
di miliki oleh kakek itu...?" Tanya Ayunda secara diam-
diam dia mulai mengagumi keberadaan Pendekar Hina
Kelana di rumahnya.
"Ya... bahkan ketika pemuda itu masih beru-
mur satu tahun si Bangkotan Koreng Seribu telah
mendidiknya dengan berbagai ilmu kanuragan. Salah
satu diantaranya yang pertama kali dilakukan adalah
dengan merebus tubuh bocah itu di dalam sebuah te-
laga alam yang memiliki panas bersumber dari dalam
perut bumi. Hal ini menurut kakek Bangkotan Koreng
Seribu di rasa sangat perlu untuk menghilangkan un-
sur siluman yang ikut mengalir bersama darah di da-
lam tubuhnya. Dan ketika usianya menjelang tiga ta-
hun, si Bangkotan Koreng Seribu menurunkan satu
kesaktian yang pada akhirnya membuat dirinya kebal
terhadap serangan beracun mana pun.
Kemudian ilmu maupun jurus-jurus silat sakti
pun mulai dia turunkan pada Buang saat mana
usianya sudah mencapai lima tahun. Hampir setiap
hari si Bangkotan Koreng Seribu melatih bocah yang
berasal dari keturunan raja para siluman itu tiada
henti bahkan tiada pula mengenal lelah. Tahun demi
tahun pemuda bocah itu mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Sebaliknya kakek pemurung itu semakin
memperketat waktu latihan muridnya dengan cara
menggemblengnya di pantai berbatu karang di pesisir
Tanjung Api. Di sela-sela hempasan gelombang laut
itulah si Bangkotan Koreng Seribu mendidik Buang
Sengketa. Jurus-jurus silat tangan kosong, mulai dari
jurus silat Membendung Gelombang Menimba Samu-
dra, kemudian jurus silat si Gila Mengamuk, lalu jurus
si Jadah Terbuang. Hampir setiap tiga purnama sekali
dia turunkan. Lalu setelah usianya mencapai belasan
tahun Bangkotan Koreng Seribu menurunkan ilmu
pukulan yang sangat dahsyat yang di beri nama puku-
lan Empat Anasir Kehidupan, selanjutnya
setahun berikutnya menurunkan ilmu pukulan yang
lebih dahsyat lagi yang diberi nama si Hina Kelana Me-
rana...!"
"Hemm. Begitu besar perhatian kakek Bangko-
tan Koreng Seribu terhadap Buang Sengketa. Sehingga
beliau menurunkan segala apa yang di milikinya pada
Buang! Tapi benarkah apa yang di katakan oleh ba-
nyak orang bahwa orang yang memiliki gelar Pendekar
Hina Kelana itu Buang Sengketa adanya...?" Tukas
Ayunda, lalu memandang tajam pada Bara Seta.
"Ya... dialah Pendekar Hina Kelana yang mewa-
risi pusaka Golok Buntung pemberian ayahandanya
yang sangat menggemparkan itu." Jawab Bara Seta be-
gitu mantap.
"Tapi kakang... mengapa bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu masih mewariskan satu kitab pada Buang,
padahal dia seorang pendekar yang tiada memiliki
tanding?" Tukas Dewi Wulan setengah penasaran.
"Mungkin ada beberapa hal yang tak pernah di-
ketahui oleh siapapun, namun telah terpikirkan oleh
orang sakti itu. Kitab Jurus Koreng Seribu yang masih
belum terungkap maknanya tersebut. Di dalamnya aku
merasa yakin, di samping memuat rangkaian jurus
yang maha dahsyat tentu juga mewariskan sifat-sifat
kemanusiaan sebagai mana lazimnya. Sebab walau ba-
gaimana pun unsur siluman itu masih bersisa di da-
lam-diri Pendekar Hina Kelana. Untuk menghindari
agar dirinya tak terjerumus sebagai seorang pendekar
super sadis. Maka harus di tanamkan unsur kesaba-
ran dan rasa welas asih di dalam dirinya. Dan menurut
dugaanku kesanalah almarhum Bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu ingin menjadikan muridnya sebagai pen-
dekar tiada tanding pembela kebenaran namun memi-
liki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi...!" Ujar Bara
Seta berusaha menarik satu kesimpulan tentang kitab
Jurus Koreng Seribu peninggalan almarhum si Bang-
kotan Koreng Seribu.
"Hemm. Sungguh besar harapan kakek Bang-
kotan Koreng Seribu, terhadap murid tunggalnya
itu...!" Bara Seta menganggukkan kepalanya.
"Ya... hal itu pun pernah di katakan oleh bapak
secara langsung pada ayahmu ini, beberapa purnama
sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terak-
hir...!"
"Kita hanya mampu berdoa pada sang Hyang
Widi, semoga apa yang menjadi harapannya dapat ter-
laksana sebagaimana yang di harapkan...!" Dewi Wu-
lan menambahi.
Saat itu hari sudah larut malam, maka Bara
Seta mengakhiri pembicaraannya. Tak sampai seten-
gah jam kemudian Lembah Selaksa Mayat kelihatan
menjadi sunyi sepi bagai tiada berpenghuni.
EMPAT
Sejak tersiar berita kematian tentang tokoh
sakti si Bangkotan Koreng Seribu dan tentang sebuah
kitab ciptaannya yang sangat dahsyat itu. Dunia persi-
latan menjadi gempar karenanya. Masing-masing go-
longan persilatan yang memiliki jiwa serakah dan be-
rambisi untuk mendapatkannya. Segera bergerak dari
partai, perguruan maupun secara perorangan untuk
mencari tahu kemanakah perginya murid tunggal si
Bangkotan Koreng Seribu yang telah membawa serta
kitab Jurus Koreng Seribu yang di dalamnya sudah
barang tentu memuat jurus-jurus yang sangat dah-
syat. Tak ubahnya bagai memperebutkan harta karun
milik nenek moyangnya saja, masing-masing mereka
saling curiga-mencurigai. Bahkan tak segan-segan me-
reka dari aliran yang berbeda saling bunuh.
Keadaan dunia persilatan saat itu memang be-
nar-benar sangat runyam. Siang dan malam baik to-
koh maupun tokoh beraliran putih yang telah kepincut
dengan kabar yang mereka terima kelihatan berkelia-
ran di mana-mana. Siang itu nampak serombongan pe-
jalan kaki sedang memasuki sebuah kota kecil yang
bernama Muara Beliti. Mereka ini terdiri dari lima
orang laki-laki bertampang kejam, mengenakan pa-
kaian warna kelabu berbadan tegap dengan dada ter-
buka dan berbulu lebat. Di bagian pinggang mereka
menggelantung lima batang golok besar yang nampak
mengkilat-kilat karena ketajamannya. Dalam kalangan
persilatan, mereka di kenal sebagai si Lima Golok Maut
dari Gunung Bisu.
Sementara itu di dalam sebuah kedai penjual
makanan, nampak tiga orang berpakaian putih sedang
menikmati makanan yang di pesan oleh mereka. Ketiga
orang laki-laki itu dikenal merupakan tokoh tingkat
tinggi yang berasal dari perguruan Catur Tunggal. Se-
sungguhnya mereka ini juga masih merupakan tokoh
golongan hitam, berilmu sangat tinggi dan terkenal ka-
rena jurus-jurus tangan kosongnya yang di beri nama
Jurus Jari Sakti. Ke manapun mereka tiada pernah
membawa-bawa senjata dalam bentuk apa pun. Dalam
bertarung mereka cukup mengandalkan jari-jari tan-
gannya yang dapat berubah menjadi sekeras baja. Me-
reka yang selama ini bermukim di lereng Gunung Bu-
tak, sebenarnya tak pernah turun gunung, walau da-
lam dunia persilatan sedang terjadi bencana maupun
berita yang sangat menggemparkan sekali pun. Tapi
untuk urusan yang satu ini lain lagi, delapan penjuru
mata angin dunia persilatan cukup tahu siapa sesung-
guhnya si Bangkotan Koreng Seribu yang telah me-
ninggal dunia itu. Seorang angkatan tua yang tiada
duanya. Yang dalam tindakannya tak pernah bersikap
tanggung-tanggung.
Si Bangkotan Koreng Seribu telah tiada, hal itu
bukanlah menjadi perhitungan bagi mereka, bahkan
dalam hati mereka pun bersyukur sebab orang yang
paling sangat mereka takuti telah tiada, tapi yang me-
narik perhatian mereka adalah tentang kabar kitab
ciptaan terakhir orang tua sakti itu. Yang jelas meru-
pakan sebuah kitab yang tiada memiliki tanding bagi
siapa saja yang dapat memilikinya. Sayangnya mereka
tak tahu kepada siapa mereka harus bertanya tentang
kemanakah perginya murid si Bangkotan Koreng Seri-
bu tersebut. Sepanjang jalan dalam mencari jejak ten-
tang menghilangnya murid tunggal tokoh tua itu, me-
reka telah banyak bertanya-tanya di sana sini. Bahkan
sampai pada juragan sapi pun telah mereka tanyai
namun sejauh itu mereka masih belum mendapatkan
keterangan yang cukup berarti. Begitu pun ketika me
reka berada di kedai penjual makanan, mereka mena-
nyakan tentang orang yang mereka maksudkan pada
pemilik kedai itu. Tapi kalau pun keterangan itu dia
dapatkan, jawabannya sangat meragukan. Demikian-
lah sambil menikmati makanan dan meminum arak
yang sangat wangi, ketiga laki-laki dari Catur Tunggal
itu kelihatan tenggelam dalam fikirannya masing-
masing. Hingga tak berapa lama kemudian masuklah
rombongan pejalan kaki yang di kenal sebagai si Lima
Golok Maut dari Gunung Bisu, ke dalam kedai yang
sama.
Begitu telah berada di dalam kedai itu, kelima
laki-laki berbadan tegak dan angker itu pun nampak
celingak celinguk bagai lima ekor monyet yang di ting-
gal induknya. Namun begitu mata mereka beradu pan-
dang dengan ketiga laki-laki yang berpakaian putih itu
maka rasa benci pun membayang dari cara mereka
memandang.
Tapi mereka tiada membatalkan niatnya untuk
memesan makanan pada pemilik kedai. Tak lama ke-
mudian seorang wanita setengah tua nampak meng-
hampiri mereka, lalu dengan sangat sopan sekali pe-
rempuan itu segera bertanya;
"Tuan-tuan mau pesan apa...!" Ucapnya dengan
perasaan takut. Salah seorang dari mereka yang jadi
pimpinan langsung saja menyahut dengan pandangan
masih saja tertuju pada ketiga laki-laki dari Catur
Tunggal.
"Sediakan kami makanan yang paling enak di
warung ini, dan juga jangan lupa beberapa guci arak
wangi, cepat...!" Perintahnya setengah membentak.
"Baiklah tuan, tunggu sebentar... pesanan tuan
akan segera kami sediakan...!" Kata perempuan pemi-
lik kedai itu dengan suara gemetaran menahan rasa
takut. Selanjutnya dia pun segera bergegas meninggal
kan kelima orang itu lalu menghilang dibagian bela-
kang.
Sementara itu suasana di dalam warung itu
nampak semakin tegang. Masing-masing mereka terus
saling pandang. Tapi masih belum terlihat tanda-tanda
terjadinya kekerasan di tempat itu. Saat itu, si Lima
Golok Maut kelihatan saling berbisik sesamanya;
"Sialan betul kita ini. Warung cuma atu-atunya.
Pelayannya nenek-nenek peot lagi...!" Kata salah seo-
rang diantaranya hingga mengundang rasa geli di hati
kawan-kawannya yang lain.
"Kau ini yang ngeres-ngeres saja yang ada di
dalam pikiranmu. Apa yang kita inginkan adalah ma-
kan sekenyang-kenyangnya. Mau nenek-nenek peot
kek atau apa yang penting kita harus dapatkan kete-
rangan seperti yang kita inginkan...!"
Belum lagi, laki-laki yang pertama tadi menya-
hut, pemilik kedai itu telah kembali membawakan ma-
kanan dan arak yang mereka pesan. Cepat-cepat pe-
rempuan itu menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian
setelah meletakkan makanan dan minuman yang di
pesan oleh orang-orang itu, dia sudah membalikkan
langkah dan bermaksud kembali ke belakang. Namun
baru saja beberapa tindak dia melangkah, salah seo-
rang dari mereka yang bernama Kuraya dan sekaligus
menjadi ketua dalam rombongan itu memanggilnya.
"Heiit, jangan pergi dulu. Coba ke sini...!" Perin-
tahnya kasar sekali. Dengan tergopoh-gopoh perem-
puan itu datang menghampiri.
"Ada apakah tuan-tuan...?"
"Perempuan tua...!" Bentaknya dengan suara
keras. Lalu sambungnya, "Pernahkah kau melihat seo-
rang pemuda berkuncir dengan sebuah periuk besar di
bagian pinggang, dan berpakaian kumuh mirip seorang
gembel lewat atau singgah di warungmu ini?" Ta
nyanya sambil melirik pada laki-laki berpakaian putih
yang duduk tidak begitu jauh dari mereka.
"Eee... sa... saya tidak melihatnya tuan...!" Ja-
wab perempuan itu dengan suara terbata-bata.
"Wah, tolol betul kau ini. Masak kau tak pernah
melihat orang yang ciri-cirinya seperti kusebutkan ta-
di...!" Dengus Kuraya, lalu cepat-cepat hempaskan
punggungnya di atas kursi. Demi meluapkan rasa ke-
marahannya, diteguknya beberapa guci arak selanjut-
nya menyantap makanan itu hingga tuntas.
"Cepat kau sediakan makanan untuk kawan-
kawanku, perempuan tua...!" Bentaknya tanpa berpal-
ing sedikit pun. Saat itu pemilik kedai yang sudah da-
lam keadaan ketakutan cepat-cepat bergegas ke bela-
kang untuk mengambilkan apa yang di katakan oleh
Kuraya.
Kiranya hal itu tak luput dari perhatian ketiga
laki-laki dari Catur Tunggal. Mereka merasa heran
bercampur geli melihat ulah laki-laki berbulu monyet
yang sedang melahap makanan tak jauh di depannya.
Heran, karena tak ubahnya bagai seekor babi kelapa-
ran saja orang ini menyantap makanan kawan-
kawannya yang lain. Bahkan sampai tuntas tiada ber-
sisa sedikitpun. Geli karena cara pelampiasan emo-
sinya di tumpahkan pada makanan yang ada, bukan
pada barang-barang yang ada. Pantasan saja kelima
orang itu berbadan gemuk luar biasa. Kiranya mereka
tak lebih dari beberapa ekor anjing yang sangat rakus.
Batin salah seorang dari mereka, dan tanpa tertahan-
kan lagi dia pun berkata;
"Sobat-sobat! Lihatlah tikus-tikus gembrot itu
sangat rakus sekali, seperti sudah sebulan saja mereka
tak pernah ketemu nasi. Bagian kawannya pun di sikat
habis...!" Ejeknya dengan tawa mengekeh.
"Ya, maklum saja, namanya juga tikus kelapa
ran, mana perduli bagian kawan atau lawan yang pent-
ing perut sendiri kenyang...!" sahut yang lainnya me-
nimpali. Sudah barang tentu ejekan itu membuat Ku-
raya dan empat orang lainnya menjadi sangat tersing-
gung. Lalu tanpa banyak basa basi, Kuraya memben-
tak:
"Monyet-monyet putih. Apa pedulimu dengan
segala urusan kami? Mau kami habiskan seisi kedai ini
kau mau apa...?"
"Mengapa harus banyak kata! Kita gebuk saja
monyet-monyet tak tahu adat itu habis perkara...!" Sa-
hut yang lainnya menimpali. Yang di bentak keluarkan
tawa tergelak-gelak!
"Hiehe... he... he...! Kalian bisa berbuat apa pa-
da orang-orang dari Catur Tunggal...!" Bentak salah
seorang yang berpakaian putih dan bernama Wahana
itu dengan sesungging senyum sinis.
"Kampret sialan. Kau kira dengan mengandal-
kan nama besar Catur Tunggal, lantas kami akan ka-
bur tunggang langgang meninggalkan kalian...! Puih
tak sekalipun kami, si Lima Golok Maut akan bertin-
dak sepengecut itu...!" Kata Kuraya, serentak mereka
segera meraba bagian gagang goloknya. Ketiga orang
dari Catur Tunggal itu pun saling pandang sesamanya.
Bagi mereka nama si Lima Golok Maut sering mereka
dengar, namun baru sekali ini mereka bertemu muka
secara kebetulan. Begitu pun mereka masih mengang-
gap kelima orang itu merupakan kaum persilatan sego-
longan yang memiliki kepandaian yang masih rendah
dan setidak-tidaknya masih berada di bawah mereka.
Selanjutnya masih dengan tergelak-gelak. Wahana
berkata ketus;
"Baru saja memiliki golok karatan, beberapa
ekor tikus coba-coba unjuk gigi di depan Catur Tung-
gal. Bueeh... majulah kalian semua kalau ingin pada
kojor...!" Sela Wahana gusar.
"Sesungguhnya kami tak punya persoalan den-
gan Catur Tunggal. Berhubung kami masih banyak
urusan, maka persoalan ini kami anggap selesai sam-
pai di sini saja. Tapi ingat, di lain hari kami akan men-
cari kalian, walaupun sampai ke lobang semut sekali
pun...!" Berkata Kuraya dan mereka sudah bersiap-
siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun mereka
terpaksa menghentikan langkah ketika secara tiba-tiba
salah seorang dari Catur Tunggal melompat dan
menghadang jalan mereka.
"Enak saja kau bicara. Jangan kira kami tak
tahu kalau sesungguhnya kalian hanyalah ingin pergi
mencari Kitab Jurus Koreng Seribu. Jangan mimpi so-
bat. Kitab Jurus Koreng Seribu tidak sembarang orang
bisa memilikinya. Jangankan kalian yang hanya men-
gandalkan golok-golok karatan. Sedangkan kami dari
Catur Tunggal pun belum tentu dapat merebut kitab
yang sangat hebat itu...!"
Akhirnya mengertilah Kuraya dan keempat
orang kawannya, kalau sesungguhnya orang-orang da-
ri Catur Tunggal juga mempunyai tujuan yang sama
dengan mereka. Lalu muncullah gagasan yang sangat
baik dalam pikiran Kuraya. Menurutnya, karena mere-
ka masih terbilang satu golongan, mungkin akan lebih
baik dan lebih kuat andai mereka mengadakan sema-
cam perjanjian dan kerja sama. Maka tanpa merasa
sungkan-sungkan lagi, Kuraya kemudian berucap den-
gan nada merendah; "Tak dinyana kiranya anda semua
mengetahui tujuan kami, kebetulan kami memiliki tu-
juan yang sama. Kita satu golongan, mungkin ada
baiknya kalau kita bergabung kemudian sama-sama
mencari murid tunggalnya si Bangkotan Koreng Seribu
untuk merebut kitab itu dari tangannya...!" Wahana
dan dua orang kembratnya angguk-anggukkan kepa
lanya bagai burung kondor namun hati mereka dengan
tegas menolak mentah-mentah semua gagasan yang di
berikan oleh Kuraya, bahkan sebaliknya dia merasa
mendapat saingan baru yang perlu di bereskan saat itu
juga. Lalu dengan tegas dia berkata;
"Wah enak betul. Siapa sudi bekerja sama den-
gan tikus-tikus badut yang memuakkan...!" Maka
mendidihlah darah Kuraya dan kawan-kawannya
mendapat penghinaan sedemikian rupa. Ucapan Wa-
hana mereka nilai benar-benar merupakan sebuah
penghinaan yang tak dapat di maafkan. Bahkan mere-
ka pun merasa, selama malang melintang di rimba
persilatan, baru kali inilah mereka di hina sedemikian
rupa. Tak ayal lagi keempat orang kawan Kuraya lak-
sana kilat sudah mencabut goloknya yang berukuran
sangat besar sekali.
"Kalian benar-benar monyet keparat yang harus
di basmi dari jagad ini. Cepat cabutlah senjata kalian
kalau tak ingin kalian mati penasaran...!" Maki Kuraya.
"Menghadapi tikus-tikus rakus tak perlu me-
makai segala macam senjata. Bagi kami cukuplah tan-
gan kami yang akan mengatasi segala golok karatan
yang tiada guna itu...!" Kata Wahana. Selanjutnya dia
dan kambratnya sudah bersiap-siap menghadapi sega-
la kemungkinan.
LIMA
Bukan main gusarnya Kuraya demi melihat
Wahana yang masih tetap saja meremehkan mereka.
Beberapa detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi.
Kuraya telah memberi isyarat pada keempat orang
kembrat-kembratnya. Masih di dalam kedai itu tanpa
dapat di cegah lagi terjadilah pertarungan yang sangat
seru. Perempuan pemilik kedai demi melihat gelagat
yang tak baik segera pula kabur meninggalkan kedai
miliknya. Dalam waktu sekejap saja kedai itu pun jadi
berantakan di buatnya. Tetapi nampaknya mereka su-
dah tiada memperdulikan keadaan di sekitarnya. Dari
pihak si Lima Golok Maut dalam pertarungan enam ju-
rus selanjutnya telah pula mengeluarkan jurus-jurus
golok mautnya yang sangat dahsyat itu.
Sampai sejauh itu tiga laki-laki dari Gunung
Butak masih kelihatan tenang-tenang saja, bahkan be-
rulang kali serangan maupun sambaran golok di tan-
gan lawan yang datangnya menggebu-gebu masih da-
pat dia elakkan dengan sangat baik sekali. Semakin
bertambah gusar sajalah pihak si Lima Golok Maut
demi melihat bahwa serangan-serangan gencar yang
mereka lakukan masih saja dapat di elakkan oleh pi-
hak lawannya dengan baik. Tak ayal lagi dalam gebra-
kan selanjutnya, si Lima Golok Maut telah mempergu-
nakan jurus-jurus golok andalan mereka yang sangat
ampuh. Sekali kesempatan Kuraya hantamkan telapak
tangannya ke depan, dalam pada itu golok di tangan-
nya juga berkelebat menyusul.
"Heiiit! Nguuuung!" Serangan yang bernama
Dewa Golok Turun Tangan itu terkenal sangat cepat,
dan tahu-tahu sambaran angin dari babatan golok
yang sangat tajam tersebut telah mendera pada bagian
dada lawan. Salah seorang dari Catur Tunggal kelua-
rkan seruan tertahan, tapi lebih cepat lagi dia menyu-
rut satu langkah sambil berusaha mengkelit serangan
yang datang. Sambaran golok lawan luput, tetapi pu-
kulan yang di lepaskan oleh Kuraya masih tetap mem-
burunya. Tak dapat di sangkal dia pun segera pula do-
rongkan telapak tangannya ke depan.
"Breeees!" Terdengar satu letupan kecil saat
mana kedua pukulan yang terisi setengah tenaga sakti
itu saling bertemu. Kuraya nampak terhuyung-huyung
langkahnya, di pihak lawan hanya tergetar sedikit
sambil memegangi dadanya yang terasa berdenyut.
Kembrat Wahana dengan kedua jari tangan terpentang
langsung kirimkan serangan ke arah bagian mata la-
wannya. Bersamaan dengan melesatnya tubuh salah
seorang dari Catur Tunggal maka keempat jari tangan
kirinya meluruk ke arah tubuh lawannya. Sejengkal
lebih serangan balasan itu hampir mencapai sasaran-
nya. Namun Kuraya dan kawan-kawannya bukanlah
orang-orang persilatan yang baru kemarin sore turun
gunung;
Menyadari adanya ancaman bahaya terhadap
pimpinan mereka, maka dua orang di antaranya berge-
rak cepat melindungi ketuanya dengan sambaran golok
besar yang datangnya bertubi-tubi.
"Kampret sialan...!" Maki salah seorang Catur
Tunggal langsung tarik balik tangannya. Namun di
luar dugaan lawan-lawannya dengan sangat cepat pula
laki-laki itu kirimkan satu sapuan dengan mempergu-
nakan kaki kanannya.
"Ayaaa...!"
"Gabruk! Gabruk!" Dua orang dari si Lima Go-
lok Maut, jatuh terjerembab dengan wajah mencium
lantai kedai. Hidung mereka yang telah mencium lantai
yang sangat keras itu pun nampak mengalirkan darah.
Caci maki berhamburan dari mulut mereka ini, tapi
secepatnya pula mereka bangkit. Dalam kemarahan-
nya itu dengan di pimpin oleh Kuraya mereka segera
keluarkan jurus Dewa Golok Membasmi Iblis. Begitu
mereka bergerak, maka tahu-tahu ketiga laki-laki dari
Catur Tunggal itu pun telah terkurung di tengah-
tengahnya dalam posisi yang sangat rapat sekali.
"Ciaaat.... Mampus...!" Jerit dan makian tinggi
melengking mengawali serangan gencar yang datang
nya secara bersamaan. Golok-golok di tangan mereka
menderu hingga timbulkan angin bersiuran. Serangan
itu benar-benar sangat cepat sekali, bahkan dalam me-
lancarkan serangan terlihat satu variasi kerja sama
yang terbina sangat baik. Berulang kali golok-golok
yang sangat besar dan tajam ini nyaris menghajar tu-
buh ketiga orang lawannya. Namun bagaimana pun
hebatnya serangan yang di lancarkan oleh si Lima Go-
lok Maut terhadap lawan-lawannya. Tapi nampaknya
mereka masih kalah dalam pengalaman dan ilmu silat.
Dalam keadaan terdesak hebat seperti itu, tiba-
tiba saja tubuh ketiga laki-laki dari Catur Tunggal su-
dah melentik ke udara, selanjutnya dengan mengan-
dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai
taraf sempurna, sekejap kemudian mereka telah keluar
dari kepungan. Satu seruan mengejek terdengar,
membuat si Lima Golok Maut melakukan serangan
membabi buta.
"Segala tikus-tikus sial mau bikin perkara den-
gan Catur Tunggal! Bueh. Kalau kalian bisa bertahan
dalam sepuluh jurus serangan di depan, biarlah hari
ini kami dengan rela menjadi budak yang paling patuh
terhadap segala perintah kalian!" Tukas Wahana. Lalu
detik selanjutnya, mereka sudah mulai menggelar ju-
rus-jurus silat tangan kosong yang di kenal sebagai si
Jari Sakti dari lereng Gunung Butak. Begitu mereka
keluarkan suara menggembor bagai banteng terluka,
sekejap kemudian tubuh mereka telah lenyap dari
pandangan lawan-lawannya. Hanya angin sambaran
saja yang menandakan bahwa mereka sedang berusa-
ha membuyarkan konsentrasi pertahanan lawannya.
Gerakan Catur Tunggal yang sangat cepat bah-
kan membuat sakit mata yang melihatnya sudah ba-
rang pasti membuat bingung lawan-lawannya. Kata-
kata yang sangat kotor pun berhamburan menyertai
caci maki sebagai pelampiasan kekesalan mereka. Tapi
ketika Catur Tunggal telah keluarkan jurus ketiga dari
Jurus Tangan Kosong Jari Sakti yang mereka miliki. Di
pihak lawan terdengar satu jeritan panjang menyayat
hati. Salah seorang dari mereka terkapar dengan ke-
dua mata berlumur darah, sementara pada bagian le-
hernya terlihat dua lubang menganga. Dari lubang be-
kas tusukan jari itu mengalirkan darah yang tiada
henti. Tubuh salah seorang dari si Lima Golok Maut ini
pun nampak berkelojotan untuk beberapa saat la-
manya, selanjutnya tiada bergerak untuk selama-
lamanya. Orang-orang Catur Tunggal sudah tiada
memperdulikan keadaan lawannya, tubuh mereka te-
rus berkelebat mencari sasaran berikutnya. Saat itu si
Lima Golok Maut yang hanya tinggal empat orang su-
dah membentuk satu pertahanan yang kuat dengan
memutar goloknya melindungi diri masing-masing. Be-
rulang kali orang-orang Catur Tunggal berusaha mene-
robos pertahanan lawannya. Tapi berkali-kali pula
usaha mereka mengalami kegagalan.
"Keluarkan jurus Jari Sakti Baja...!" Teriak Wa-
hana saat mana dia menjejak kakinya tak begitu jauh
dari tempat di mana lawan-lawannya berada. Serentak
tiga laki-laki dari Catur Tunggal itu pun mengerahkan
tenaga, dalamnya mengarah pada kedua telapak tan-
gan mereka. Tubuh orang-orang itu bergetar saat la-
manya, wajah mereka nampak menegang dan bersemu
merah. Telapak tangan itu pun telah berubah warna
menjadi kehitam-hitaman dan menebarkan bau amis
menjijikkan.
Kuraya dan kawan-kawannya nampak sangat
terkejut melihat perubahan yang tiada mereka duga
sebelumnya. Sadarlah mereka, ternyata Catur Tunggal
merupakan lawan yang sangat tangguh. Bagi Kuraya
mungkin saja Catur Tunggal merupakan lawan yang
sangat berat. Tapi dalam sejarahnya, bagi si Lima Go-
lok Maut tiada sejarahnya untuk mundur teratur da-
lam menghadapi lawan yang sehebat mana pun, sudah
menjadi prinsip mereka lebih baik mati mempertahan-
kan nama besar dari pada harus lari meninggalkan
pertarungan.
"Ha... ha... ha...! Inikah jurus-jurus Jari Sakti
Baja! Kami jadi ingin menjajal apa si hebatnya jurus
tangan kosong yang sangat kesohor itu...!" Berkata Ku-
raya sambil bersiap-siap dengan jurus Golok Maut
Pembasmi Iblis-nya yang terkenal sangat ampuh dan
dahsyat.
"Ingat tikus-tikus Golok Karatan. Apa yang ku-
janjikan masih tersisa empat jurus lagi. Jangan sebut
si Catur Tunggal andai kalian masih mampu luput dari
serangan-serangan yang akan kami lakukan...!" Teriak
Wahana. Dan bersamaan dengan teriakannya itu tu-
buh ketiga laki-laki dari lereng Gunung Bisu tak telah
pula melesat laksana kilat.
Di pihak lawan, Kuraya menggembor, lalu ber-
sama-sama dengan kembratnya segera kirimkan se-
rangan-serangan gencar menyongsong datangnya se-
rangan yang di lakukan oleh pihak lawan. Tak dapat di
sangkal pertarungan yang terjadi pun semakin seru.
Masing-masing lawan telah pula keluarkan jurus-jurus
silat yang sangat mereka andalkan. Di lain saat tak se-
gan-segan pula mereka kirimkan pukulan-pukulan keji
yang sangat mematikan. Di pihak Catur Tunggal ber-
hadapanlah Wahana dengan Kuraya, sementara dua
orang kembratnya berhadapan pula dengan tiga orang
si Lima Golok Maut.
"Caiiiit! Wiiiiing...!"
Menderu senjata di tangan tiga orang golok
maut mengarah pada bagian perut dan dada dua orang
lawannya. Dua orang dari Catur Tunggal tidak ingin
mengambil resiko yang lebih besar dan terlalu bertele-
tele. Maka keduanya pun kembang-kan jemari mereka.
Tak dapat di elakkan lagi.
"Craaak! Craaak!" Tergetar tubuh kembrat-
kembratnya Kuraya sambil keluarkan seruan tertahan.
Nampaknya mereka merasa jerih dengan apa yang ba-
ru saja mereka lihat. Bagaimana mungkin jari-jari yang
terpentang itu bisa sekeras dinding baja. Bahkan da-
lam adu tenaga dalam tadi tubuh orang-orang dari Ca-
tur Tunggal tiada bergeming sedikitpun. Satu kekua-
tan yang sangat aneh, kalau tak boleh di kata sebagai
ilmu setan. Batin mereka dalam hati. Tetapi mereka
sudah tak dapat berpikir panjang lagi, karena kelenga-
han mereka yang hanya beberapa detik itu telah diper-
gunakan oleh pihak lawannya untuk melakukan se-
rangan kilat. Cepat sekali gerakan orang-orang Catur
Tunggal itu hingga tak sempat bagi tiga orang lawan-
lawannya untuk menangkis gerakan dan serangan me-
reka.
"Croook! Jrooos! Jrooos!" Tiga orang kembrat
Kuraya menjerit-jerit bagai setan gila saat mana jemari
tangan lawan yang dapat berubah sekeras baja itu
menembus bagian jantung mereka. Sekejap saja darah
telah menyembur dari dua buah lubang yang mengan-
ga akibat tusukan jari sakti orang-orang Catur Tung-
gal. Tak berapa lama, setelah tubuh mereka ter-
huyung-huyung ke depan, kemudian ambruk di lantai
kedai dengan jiwa melayang.
Melihat kematian kawan-kawannya, kecut ber-
campur marah Kuraya di buatnya. Maka dalam luapan
kemarahan yang sudah tiada terbendung itu. Di sertai
dengan jeritan yang terasa menggetarkan kedai dan
sekitarnya. Mengamuklah tokoh si Lima Golok Maut
itu tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Hal
itu merupakan satu keuntungan bagi pihak Catur
Tunggal, dua orang lainnya turun membantu Wahana.
Menghadapi Wahana saja, Kuraya sudah tak mampu
berbuat banyak selain hanya bertahan mati-matian,
jangankan kini dua orang kawannya datang memban-
tu. Maka sebentar saja Kuraya sudah terdesak hebat.
Laki-laki berbadan gemuk bagai karung butut ini putar
goloknya ke segala penjuru untuk menangkis seran-
gan-serangan jari sakti lawannya. Tapi itu pun hanya
dapat dia pertahankan hanya beberapa detik saja.
Hingga akhirnya manakala secara berbarengan Waha-
na dan kawan-kawannya melakukan serangan gencar.
Orang itu pun sudah mati langkah dan sangat sulit
untuk mengelakkannya.
"Croook! Blees! Jreees!"
"Arrrrghk...!" Lolongan panjang menyertai am-
bruknya tubuh Kuraya. Dia mendapat luka-luka yang
sangat mengerikan pada bagian mata, dada, serta
pangkal lehernya. Dalam keadaan sekarat itu tubuh
ketua si Lima Golok Maut menggelepar-gelepar bagai
seekor ikan yang terlempar dari dalam air. Selanjutnya
manakala darah di tubuhnya telah berhenti menetes
pada saat itulah sang maut telah merenggutkan nya-
wanya dari jasadnya.
Orang-orang Catur Tunggal saling pandang, la-
lu keluarkan suara mengekeh tanda puas dengan apa
yang dikerjakannya. Belum lagi suara tawa itu terhen-
ti, maka tubuh ketiganya pun telah melesat pergi me-
ninggalkan tempat itu.
ENAM
Kaki buntung sebatas betis, wajah maupun se-
kujur tubuhnya yang tiada memakai baju nampak ca-
cat di sana sini, bekas guratan luka-luka cambukan.
Raut mukanya rusak mengerikan, siapa pun yang me-
lihat orang yang sedang melakukan perjalanan yang
sangat jauh itu pasti akan lari ketakutan demi melihat
keangkeran penampilannya karena bekas luka-luka
itu. Walaupun laki-laki renta tersebut hanya tinggal
memiliki kaki sebelah saja, namun dia tak pernah me-
rasa terganggu dengan cacat yang di deritanya. Tanpa
bantuan tongkat dia terus mengayunkan langkah
meskipun sesekali dia harus berlompatan bagai seekor
katak yang di kejar-kejar oleh seekor ular. Di lain ke-
sempatan dengan mempergunakan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, laki-laki
renta tersebut mengempos tubuhnya sehingga melesat
sedemikian pesatnya. Bahkan sekali waktu dalam me-
lepas lelah dia nampak duduk ongkang-ongkang di
atas sebuah cabang pohon yang sangat tinggi. Sambil
menikmati buah-buahan hutan yang berbuah lebat,
kakek renta itu mengitarkan pandangarannya sejauh-
jauhnya ke depan sana.
Tak terlihat sebuah rumah pun seperti yang dia
harapkan. Sejauh-jauh mata memandang hanya ke-
rimbunan hutan, dan ke-dalaman lembah yang tiada
terukur dalam-nya. Lalu siapakah laki-laki renta yang
berasal dari gua monyet itu? Pada jaman jaya-jayanya
kakek Bangkotan Koreng Seribu, laki-laki cacat itu me-
rupakan tokoh sesat yang sangat di takuti oleh kalan-
gan rimba persilatan. Laki-laki cacat yang bernama
Wandiro tersebut pada saat itu terkenal sebagai seo-
rang pembunuh berdarah dingin yang sangat di kenal
dengan racun Bunga Neraka yang ganas dan memati-
kan. Karena keganasannya itu, maka dia di juluki se-
bagai Iblis Pencabut Nyawa dari Gua Monyet. Dia sela-
lu mendewa-dewakan dirinya sebagai manusia paling
sakti tanpa tanding di kolong jagat itu. Setiap kali dia
mendengar ada orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Pasti dia akan mendatanginya, di ajak bertarung hing-
ga akhirnya semua saingannya tewas di tangannya se-
cara mengerikan. Satu saat Wandiro atau yang lebih
kesohor dengan julukan Iblis Pencabut Nyawa ini ada
mendengar kabar tentang seorang kakek sakti yang
saat itu telah bermukim di Tanjung Api. Tentang sepak
terjangnya di delapan penjuru mata angin dalam
membela kebenaran membuat dia tertantang untuk
melakukan tanding dengannya.
Satu ketika secara nekad dia datang ke Tan-
jung Api, lalu di temuinya si Bangkotan Koreng Seribu
untuk di ajaknya bertarung. Mulanya kakek sakti itu
menolak ajakan tokoh sesat yang haus akan nama ha-
rum itu. Tapi karena Wandiro terus mendesaknya den-
gan pukulan-pukulan yang sangat ganas, maka mau
tak mau akhirnya demi menjaga keselamatannya sen-
diri si Bangkotan Koreng Seribu terpaksa melayaninya
dengan segenap kemampuan yang di milikinya. Akhir-
nya Iblis Pencabut Nyawa setelah melalui pertarungan
seru yang sangat panjang harus mengakui kehebatan
kakek sakti itu. Namun sungguh pun Kakek Bangko-
tan Koreng Seribu sungguh pun merupakan tokoh
yang sudah sangat tua, namun sifat-sifat kesadisannya
nampaknya masih melekat dalam dirinya. Maka tanpa
ampun lagi-lagi dengan cambuknya yang sangat dah-
syat itu, dia melakukan penyiksaan atas diri Wandiro.
Bahkan tanpa segan-segan dia terpaksa membuntungi
kaki Iblis Pencabut Nyawa.
Sejak kekalahannya itu Wandiro terus berusa-
ha meningkatkan kemampuan ilmu silatnya. Dendam-
nya terhadap Bangkotan Koreng Seribu benar-benar
tak dapat dia padamkan. Bertahun-tahun dia berusa-
ha melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan dan
pukulan sakti hasil ciptaannya.
Tetapi akhirnya dia harus kecewa setelah men
dengar tentang kabar kematian Bangkotan Koreng Se-
ribu. Berhari-hari dia merenungi kematian musuh be-
sarnya itu, sedihkah dia? Sama sekali tidak! Dia hanya
menyayangkan mengapa Bangkotan Koreng Seribu
pergi secepat itu. Padahal dia belum sempat menjajal
kehebatan ilmu sakti hasil ciptaannya yang baru. Tapi
hatinya menjadi sedikit terhibur saat mana dia men-
dengar bahwa Bangkotan Koreng Seribu memiliki seo-
rang murid yang beberapa tahun belakangan sepak
terjangnya membuat gempar dunia persilatan. Dan
menurut kabar angin yang sampai ke telinganya yang
setengah tuli itu, murid almarhum Bangkotan Koreng
Seribu tersebut telah meninggalkan Tanjung Api den-
gan membawa kitab Jurus Koreng Seribu.
"Hem... masih belum puas hatiku, andai aku
tak bertemu dengan gurunya! Tentu muridnya pun
merupakan orang yang pantas untuk mendapat hu-
kuman yang setimpal dariku. Aku selalu merasa yakin,
walaupun muridnya si keparat itu memiliki kesaktian
setinggi gunung, biarpun dia memiliki kepandaian ilmu
silat sebanyak buih di lautan. Tidak nantinya dia un-
ggulan bertarung denganku. Eeh... tapi, bocah itu ten-
tu mewarisi Cambuk Gelap Sayuto yang pernah ham-
pir mencelakaiku. Bahkan kudengar dia pun memiliki
senjata lain yang sangat ampuh, Pusaka Golok Bun-
tung...! Kehebatan senjata itu hanya kudengar dari ce-
rita orang-orang yang lewat. Aku sendiri tak pernah
percaya andai masih belum melihatnya secara lang-
sung." Batin Wandiro. Lalu di luar dugaan dia lambai-
kan tangannya ke arah empat penjuru mata angin. Sa-
tu gelombang angin pukulan yang sangat dingin men-
deru bagai badai puting beliung. Badai topan itu
menghantam pohon-pohon besar yang ada di sekitar
tempat itu sehingga roboh tak berketentuan dengan
menimbulkan bunyi berisik. Bagai orang sinting Iblis
Pencabut Nyawa tergelak-gelak lalu tepuk-tepuk da-
danya yang kurus kering. Sesaat dia terbatuk-batuk.
Tapi kemudian seorang diri dia berkata; "He... ho...
haaa...! Dengan kepandaianku yang sehebat ini, tak
seorang pun yang mampu menahan pukulanku. Jan-
gankan hanya muridnya manusia berkoreng itu, sepu-
luh ekor gajah sekalipun akan binasa di tangan Iblis
Pencabut Nyawa andai berani-berani mendekat...!"
Belum lagi dia selesai dengan ucapannya. Men-
dadak terdengar suara terompet gajah. Tak lama ke-
mudian terlihatlah sosok binatang-binatang yang san-
gat besar itu. Berjalan lambat ke arah di mana Wandi-
ro berada.
"Ha... gajah? Binatang itu memang tak bisa di
rasani, ya ampun besarnya nggak ketulungan. Seumur
hidup baru sekali ini aku melihat makhluk sebesar itu,
tapi nampaknya binatang itu menuju kemari. Akh, un-
tuk apa takut, tokh aku pun tak pernah mundur
menghadapi lawan sehebat mana pun, masa aku ka-
lah!" Batin Wandiro, selanjutnya bersiap-siap mele-
paskan satu pukulan ke arah makhluk-makhluk yang
sangat besar itu.
"Hiaaak... haiiiiit...!" Tak terhindarkan lagi, se-
larik sinar berhawa dingin luar biasa kembali melesat
ke arah binatang-binatang yang jumlahnya tidak ku-
rang dari delapan ekor.
"Bluuuk! Dummmm...!"
"Pruuuung...!" Gajah-gajah itu menguik keras,
enam ekor diantaranya rubuh dengan menimbulkan
suara berdebum. Dua ekor diantaranya yang sempat
luput dari sasaran pukulan nampaknya mengamuk
secara membabi buta. Dengan belalai dan gadingnya
yang panjang di terjangnya pohon tempat Wandira
berpijak. Sekali seruduk maka pohon yang berukuran
cukup besar itu pun tumbang. Sebelum pohon itu be
nar-benar ambruk ke bumi. Tubuh Iblis Pencabut
Nyawa telah melesat meninggalkan pohon itu. Tapi
nampaknya dua ekor gajah itu terus memburunya
dengan kemarahan yang membabi buta. Wandiro tidak
ingin mengambil resiko yang terlalu besar. Lagi-lagi dia
lepaskan pukulan Iblis Pencabut Nyawa yang sudah
sangat sempurna itu.
"Wuss! Wuuus!" Dua pukulan beruntun di le-
paskan sekaligus, nampaknya gajah-gajah itu tidak
perduli dengan keselamatan dirinya. Namun juga bina-
tang, pukulan itu menyongsong ke arah mereka.
"Bummm... bummmm!"
"Pruuuung...!" Kembali terdengar suara berde-
bum saat mana binatang-binatang itu jatuh ke bumi.
Tubuh makhluk hutan itu berkelojotan sebentar, kulit
tubuhnya sekejap saja telah berubah menghitam, den-
gan nyawa melayang dari tubuhnya.
Wandiro gosok-gosokkan kedua belah tangan-
nya dengan hati lega di sertai seringai senyum menye-
ramkan.
"Binatang-binatang malang! Kiranya kalian ti-
dak seberapa juga. Siapa suruh kalian bertemu dengan
Iblis Pencabut Sukma. Coba kalau menghindar, tentu
kalian masih dapat melihat hari esok!" Kata Wandiro
mirip seperti orang sinting.
"Ah, kampret! Seharusnya aku cepat-cepat
mencari muridnya si keparat itu di Lembah Selaksa
Mayat. Mungkin saja apa yang di katakan orang-orang
di jalan benar adanya. Sudah gatal sekali tanganku ini
untuk menjajal kehebatan Pendekar Golok Buntung
itu...!" Gumamnya lagi. Selanjutnya tanpa menoleh-
noleh lagi, Iblis Pencabut Nyawa telah melangkah per-
gi.
* * *
Di bagian kiri Lembah Selaksa Mayat, terdapat
sebuah tikungan kecil yang bila di ikuti ke dalamnya
semakin sempit dan buntu. Sepanjang lorong tikungan
itu merupakan dinding alam yang terdiri dari batu
gamping yang penuh dengan tonjolan-tonjolan batu ta-
jam yang licin lagi basah oleh tetesan air yang ber-
sumber dari atasnya. Masih di tikungan yang merupa-
kan jalan buntu itu, terdapat sebuah batu besar yang
sangat mirip dengan sebuah bangku bulat. Pagi itu
seorang pemuda tampan yang sudah tak asing bagi ki-
ta, kelihatan duduk menekur di atasnya. Sementara di
atas pangkuannya terlihat sebuah kitab yang tidak se-
berapa tebalnya dia bolak-balikkan.
"Hhh. Lagi-lagi aku menemui jalan buntu. Kitab
ini sangat sulit sekali untuk kupecahkan. Sudah ber-
hari-hari aku mencobanya, hasilnya tetap nihil dan
membingungkan. Coretan-coretan yang nyata sudah
jelas tak memiliki arti apa-apa selain untuk mengecoh
bagi siapa saja yang coba-coba merampas kitab ini.
Tapi tulisan-tulisan yang tak terlihat ini pun rasa-
rasanya sangat sulit dan membingungkan. Ah, guru
sejak dulu engkau selalu membuatku bingung, aku
merasa khawatir sebelum kitab ini berhasil kupecah-
kan, sudah ada orang lain yang menyantroni daerah
ini. Ini bukan berarti aku putus asa. Tapi... ah...
yaya... ya... kau terlalu baik padaku, sedangkan aku
hingga kini masih tak dapat membalas segala kebai-
kanmu. Aku ini muridmu yang paling tolol ya, guru...!"
Katanya seorang diri. Dan tiba-tiba saja dia menjadi
sangat sedih sekali, air matanya pun tanpa dia sadari
menetes menuruni pipinya. Walau suara tangisnya tia-
da pernah terdengar, namun air matanya menetes tia-
da henti. Di antara sekian banyak air mata yang ter-
tumpah itu sebagian diantaranya jatuh tepat di atas
kitab yang berada dalam pangkuannya. Di luar sepen-
getahuan pemuda itu terjadilah perubahan di dalam
kitab tersebut. Huruf maupun tulisan yang tadinya ter-
lihat nyata kini sudah tak terlihat sama sekali. Sebagai
gantinya tulisan dan tanda-tanda yang mulanya hanya
merupakan bayang-bayang saja, kini terlihat dengan
jelas. Sungguh merupakan sebuah kitab yang memiliki
keanehan yang sangat luar biasa yang tidak ada dua-
nya di dunia persilatan saat itu.
Sementara itu Buang Sengketa kelihatannya
sudah merasa sangat letih sekali, kemudian dia me-
nyeka air matanya. Sambil mengumpat dan memaki
dirinya sendiri; "Sial... mengapa aku jadi secengeng ini.
Almarhum guru pasti sangat marah andai dia sempat
melihat kecengenganku ini...!" Batinnya lalu kembali
menekuri kitab yang masih berada di atas pangkuan-
nya. Namun alangkah terkejutnya pemuda itu saat dia
memperhatikan halaman kitab tersebut telah menga-
lami perubahan yang sangat mengejutkan hatinya. Tu-
lisan maupun coretan yang tadinya hanya nampak
samar-samar kini kelihatan semakin nyata dan jelas.
Bukan main gembiranya hati Buang Sengketa di buat-
nya, berulang kali di pandanginya tulisan-tulisan itu
dan pada halaman pertama kitab tersebut terdapat tu-
lisan yang berbunyi;
Kepada muridku Buang Sengketa.
Menjelang akhir hidupku telah ku tinggalkan
buatmu sebuah ilmu silat yang kuberi nama Jurus Ko-
reng Seribu, intinya adalah ujud kesabaran bagimu
yang baharu. Jurus-jurus itu mengajarkan padamu ten-
tang bagaimana seorang titisan raja siluman itu harus
berusaha menahan diri dari hawa angkara murka. Me-
nahan nafsu dari amarah, sehingga menjadikan dirimu
sebagai seorang ksatria pendekar yang memiliki jiwa
welas asih. Tanamkanlah satu keyakinan dalam diri-
mu, bahwa apapun yang kau lakukan saat ini akan
mendapat satu balasan yang sesuai dengan perbuatan,
kelak di kemudian hari. Jadikanlah akal sehat merupa-
kan raja yang berkuasa atas nafsu, jangan sampai ter-
jadi hal sebaliknya. Sebab hal itu hanyalah akan men-
jadikan dirimu sebagai seorang pendekar yang angkara
murka. Balaslah setiap kebaikan dengan yang lebih
baik. Namun balas pula setiap keburukan dengan sesu-
atu yang baik.
Muridku yang setengah tolol... mungkin jurus-
jurus Koreng Seribu agak rumit dari jurus-jurus silat
yang telah kau kuasai, tapi hal itu akan mudah kau pa-
hami, karena sifat dari jurus-jurus itu pun sifatnya
hanya bertahan dalam lima keadaan dan membalas bi-
la jiwamu dalam keadaan-keadaan terancam.
Kitab ini akan sangat dahsyat bagi jiwa yang
dapat menguasai hawa nafsunya. Nah... Buang Seng-
keta... waktu untuk mempelajari kitab ini hanya Empat
puluh hari. Setelah itu, kitab ini akan lenyap, dan dia
akan berubah menjadi sebuah kitab yang tiada har-
ganya. Manfaatkanlah waktu yang sangat terbatas itu
dengan sebaik-baiknya.
TUJUH
Setelah membaca tulisan itu, Buang Sengketa
nampak tercenung beberapa saat lamanya. Teringat
pula oleh Buang Sengketa akan segala sepak terjang-
nya selama ini di dunia persilatan. Sering dia memban-
tai lawannya tanpa kenal ampun hanyalah karena dia
merasa terlalu disakiti. Dalam perhitungannya kini,
termasuklah hal itu merupakan satu kekejaman, apa-
kah gurunya memang ingin mengarahkan dirinya se
bagai seorang pendekar yang memiliki jiwa sebagai
seorang begawan? Itu juga satu hal yang sangat tidak
mungkin untuk dilakukannya. Sambil merenungi akan
pesan-pesan gurunya, Pendekar Hina Kelana ini kem-
bali membuka halaman berikutnya. Hanya terdapat
beberapa baris kalimat saja di sana yang berbunyi:
Dalam mempelajari setiap jurus yang terdapat
dalam kitab ini, tidak di benarkan mempergunakan te-
naga murni secara keseluruhan, sebab sifatnya hanya
menahan dan menarik tenaga dalam lawan. Hingga la-
wan-lawanmu akan menjadi tiada berdaya karenanya.
Itu pun bukan berarti kau harus membiarkan dirimu di
cincang lawan tanpa perlawanan. Lakukanlah andai
tindakan itu benar-benar di luar batas kesabaran mu
sebagai seorang manusia....
Kembali Buang Sengketa merenungi akan
makna kata-kata yang di tulis oleh si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Tak sampai sepeminum teh, pemuda itu
angguk-anggukkan kepalanya. Nampaknya dia mulai
mengerti ke mana arahnya dari semua apa yang di pe-
sankan oleh sang guru. Selanjutnya dia membuka
lembaran berikutnya, begitu dia memperhatikannya
dengan seksama. Maka terlihatlah pembukaan jurus-
jurus Silat Koreng Seribu. Buang Sengketa kemudian
bangkit berdiri, dengan sikap tegak dan tangan te-
rangkap di depan dada pemuda ini mulai memusatkan
perhatiannya, sekejap dia melirik ke arah kitab yang
dia letakkan di atas batu, maka mulailah dia menga-
wali pelajaran silat itu dengan satu gerakan yang sulit
untuk di duga-duga.
"Hiaaat...!" Jeritan itu mengawali gerakan
menggunting pada bagian kaki, sementara kedua tan-
gan mendorong ke arah depan, samping kanan kiri, la
lu mendorong ke atas. Satu dasar permulaan telah dia
selesaikan, lalu berlanjut dengan jurus-jurus berikut-
nya.
Kaki kanan menendang ke depan, tangan kiri
terkepal dan merapat di bagian perut. Selanjutnya tan-
gan kanan melakukan gerakan membabat dan memu-
kul, di susul dengan satu tendangan kaki kiri, terus
berputar-putar dan bersalto ke udara sambil kirimkan
satu dorongan mengarah pada batu tempat di mana ki-
tab tadi berada.
"Wuuuut!" Pendekar Hina Kelana setengah
memekik heran saat mana kitab tersebut laksana kilat
melayang ke arah telapak tangannya kemudian mele-
kat di sana. Cepat-cepat dia daratkan kakinya di atas
tanah dengan mulus, sementara kitab tadi menempel
erat di bagian telapak tangannya. Secara perlahan dia
berusaha melepaskan kitab tersebut dari telapak tan-
gannya. Tapi bagai sebuah magnit saja kedua tangan-
nya menahan kitab tersebut.
"Ah, mengapa begini! Bagaimana cara mele-
paskannya...? Celaka tanganku tak ubahnya...!" Buang
Sengketa tidak meneruskan ucapannya, begitu dia te-
ringat pesan gurunya. Secara perlahan dia menarik ba-
lik tenaga saktinya, maka perubahan perlahan pula
terjadilah. Mula-mula kitab yang melekat di telapak
tangannya itu merenggang. Kemudian jatuh di atas ba-
tu tadi. Heran bercampur kagum, Buang Sengketa
memperhatikan telapak tangannya sendiri.
"Hemm. Sebuah ilmu yang sangat langka dan
tak pernah dimiliki oleh orang lain. Seandainya aku
berhasil mempelajari kitab ini sesempurna mungkin,
tentu aku tak perlu bersusah payah mengurus tenaga
untuk melumpuhkan pihak lawan. Bahkan kalau perlu
tak usah mencederainya...!"
Batinnya kagum sendiri. Selanjutnya dia men
gerahkan sedikit tenaganya ke arah pohon yang berada
tak begitu jauh darinya. Tiada di sangka-sangka tu-
buhnya melayang tanpa terkendali.
"Wueeee...!"
"Kreeep!" Telapak tangan Buang Sengketa me-
lekat erat pada pohon yang berukuran sangat besar
tersebut. Selanjutnya dari telapak tangannya ada se-
suatu yang dia rasakan mengalir deras. Pendekar Hina
Kelana memperhatikan ke arah bagian atas pohon, dia
akhirnya menjadi semakin terkejut sekali begitu meli-
hat bahwa daun-daun pohon yang menghijau itu men-
jadi layu. Walau pohon tersebut tidak mati maupun
kering, namun cukup kuat dugaannya bahwa pohon
tersebut telah kehilangan kekuatan untuk memulih-
kan keadaannya. "Sebuah ilmu sakti yang sangat men-
gerikan. Kalau aku tak pandai-pan-dai mengendali-
kannya. Maka aku bisa menjadi bulan-bulanan jurus-
jurus silat ciptaan guruku sendiri. Tapi tak mengapa,
dalam waktu yang sangat singkat ini aku harus dapat
memanfaatkannya dengan baik. Andai tidak, lewat
empat puluh hari nanti tentu isi kitab ini akan hilang
begitu saja."
Pada kenyataannya memang begitu, siang dan
malam Pendekar Hina Kelana terus menggembleng di-
rinya dengan jurus-jurus peninggalan almarhum gu-
runya itu. Dia hanya menghentikan latihannya apabila
Ayunda putri Bara Seta, maupun Bara Seta dan is-
trinya datang mengantarkan makanan atau hal-hal
lain yang sangat di perlukan oleh pemuda itu. Selebih-
nya adalah latihan-latihan rutin yang tiada mengenal
lelah. Sekali dua dia pun mengalami kesukaran, tapi
dia tak pernah mengeluh. Apa yang di lakukannya se-
lama berhari-hari telah menempa dirinya menjadi seo-
rang yang sabar dengan di barengi ketekunannya. Pagi
itu merupakan hari yang ketiga puluh bagi Buang
Sengketa dalam mempelajari Kitab Jurus Koreng Seri-
bu. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu pun
Ayunda mengantarkan sarapan untuk si pemuda.
Pendekar Hina Kelana menghentikan latihannya saat
mana Ayunda datang menghampirinya. Sambil menye-
ka peluh yang meleleh di wajahnya, Buang Sengketa
segera pula duduk di atas sebuah batu yang tidak se-
berapa besarnya. Sesaat dia, memandang pada Ayun-
da, seperti hari-hari sebelumnya jantungnya berdetak
keras tiada berketentuan. Dia teringat kembali pada
Wanti Sarati yang dia titipkan pada Satria Penggali
Kubur.
Mengapa perasaan itu baru timbul saat ini,
apakah karena dia melihat bahwa gadis yang bernama
Ayunda itu sangat mirip sekali dengan Wanti yang du-
lu pernah dia selamatkan pada saat berumur belasan
tahun?
"Kakang... sepagi ini kok sudah melamun! Sa-
rapan dulu! Ini ada aku bawakan ayam hutan yang di
panggang kesukaan mu...!" Ucapnya sambil memper-
hatikan si pemuda dengan pandangan penuh rasa ka-
gum. Buyar lamunan si pemuda saat itu juga, wajah-
nya nampak berubah kemerahan saat dia menyadari
ketololannya sendiri.
"Eee... ayam hutan! Tentu aku sangat suka se-
kali...!" Buang Sengketa tersenyum, dan tanpa malu-
malu lagi dia mencomot potongan ayam tersebut ke-
mudian mengunyahnya dengan lahap.
"Kulihat latihanmu semakin maju, kakang...!
Beberapa hari lagi tentu kitab peninggalan kakek
Bangkotan Koreng Seribu telah selesai kau pelajari...!"
Berkata Ayunda dan kedua matanya mengerling penuh
arti.
"Harapanku juga begitu, sebab waktu yang ada
pun rasanya sangat terbatas sekali. Aku masih belum
tahu mengapa isi kitab Jurus Koreng Seribu umurnya
sangat terbatas, walau aku sadar bahwa kitab ini me-
rupakan sebuah kitab yang isinya mengandung jurus-
jurus yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, tapi
waktu yang sangat singkat itu terkadang membuatku
bingung...!"
"Benarkah Jurus Koreng Seribu di dalam kitab
itu hanya memuat empat jurus saja...?" Tanya Ayunda,
sekejap dia memandang si pemuda, namun kemudian
segera membuang pandangan matanya jauh-jauh.
"Ya... kenyataannya memang begitu."
"Itu berarti dalam setiap jurus, kakang harus
mempelajarinya dalam waktu sepuluh hari...?"
"Benar!"
"Kakang...!" Ujar Ayunda manja. Ah, mesra
banget! Kalau dia benar-benar sampai jatuh cinta pa-
daku! Matilah aku. Batin Pendekar Hina Kelana sambil
berdoa semoga anaknya Bara Seta itu tidak sampai ja-
tuh hati padanya.
"Ada apa...!?" Tanya Buang Sengketa tanpa me-
noleh.
"Kau merupakan pendekar yang tangguh. Apa-
lagi kini engkau telah pula memiliki jurus-jurus Koreng
Seribu...!" Pujinya tanpa malu-malu.
"Jurus Koreng Seribu belum sepenuhnya ku
kuasai, masih ada satu jurus lagi yang harus kupelaja-
ri dalam waktu sepuluh hari terakhir...!"
"Semoga kakang dapat melakukannya dengan
baik...!" Pendekar Hina Kelana menarik nafas panjang-
panjang, dalam hati diapun berharap seperti apa yang
di harapkan oleh Ayunda. Sebab dia merasa tak enak
bila harus tinggal di tempat itu lebih lama lagi, Buang
tak ingin terlalu merepotkan Orang lain. Tanpa me-
nunggu jawaban Buang Sengketa, Ayunda menyam-
bung; "Beberapa hari ini ayah dan ibu melihat bebera
pa orang berkeliaran di sekitar pinggiran lembah ini,
kakang...!" Katanya pelan. "Nampaknya orang-orang
itu membawa maksud-maksud yang tak baik...."
"Mungkin mereka hanya merupakan penduduk
yang sedang mencari rotan, berburu atau mencari ke-
perluan lainnya...!"
Jawab si pemuda berusaha menyembunyikan
kegelisahannya. Ayunda cepat-cepat gelengkan kepa-
lanya.
"Sejak kecil aku telah tinggal di lembah ini, ka-
kang...! Aku cukup mengenali daerah tempat tinggalku
sendiri. Sebelumnya aku tak pernah melihat seorang
pun yang berani berkeliaran di tempat ini, selain jauh
dari jangkauan penduduk desa. Daerah ini bagi mere-
ka juga merupakan sebuah tempat yang angker. Ayah
dan ibu merasa yakin ada pun keperluan mereka sam-
pai di tempat ini hanyalah ingin merampas kitab itu,
sebab menurut ayah orang-orang itu berpenampilan
seperti orang-orang kalangan persilatan. Membawa-
bawa senjata sebagaimana layaknya."
"Kalau begitu aku tak membiarkan paman dan
bibi begitu saja, bagaimana pun aku harus turun tan-
gan andai mereka sampai berani memasuki lembah
ini...!" Katanya tegas.
"Sebaiknya kakang tak usah memikirkan lain
hal. Itu cuma membuat kakang terganggu dalam lati-
han...!"
"Bagaimana mungkin! Siang dan malam mereka
menjaga keselamatanku. Masa aku harus membiarkan
mereka begitu saja...! Tak seorang pun kubiarkan me-
nyakiti orang tuamu...!" Tegas kata-kata si pemuda
tanpa emosi.
"Terserahmulah, kakang...!" Katanya.
DELAPAN
Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek siang itu keliha-
tan sudah melewati daerah Pagar Gunung yang meru-
pakan hutan penghubung satu-satunya untuk dapat
sampai di Lembah Selaksa Mayat. Panas surya me-
mang terasa terik membakar, masih untung sepanjang
semak belukar yang mereka lalui terdapat pohon-
pohon liar yang menjulang tinggi sehingga mereka tak
perlu mengeluh dari sengatan sang surya. Ketiga orang
dari Perguruan Catur Tunggal itu terus menelusuri
semak-semak belukar, batu-batu yang sangat licin dan
juga tebing-tebing yang curam.
"Kakang Wahana! Berhentilah dulu, sejak dua
malam yang lalu kita tak pernah istirahat barang seke-
jap pun...!" Ujar Adi Cilek setengah mengeluh. Saat itu
Wahana yang berada di bagian paling depan nampak
mengurungkan langkahnya saat mana Adi Cilek me-
manggilnya.
"Lembah Selaksa Mayat, sesuai dengan kete-
rangan yang kita peroleh tidak begitu jauh lagi dari si-
ni. Mengapa kita harus berhenti...!"
"Ah, kakang... untuk apa kita harus tergesa-
gesa? Pula kita hanya ingin melihat tentang kebenaran
adanya kitab itu. Bukan untuk memilikinya...!" Tukas
Adi Olo mendukung adiknya yang paling bungsu.
"Apa kalian kata! Untuk apa kita datang dari
jauh-jauh, kalau hanya cuma ingin melihat kitab
itu...!" Bentak Wahana marah. Adi Olo dan Adi Cilek
saling pandang. Jelaslah bagi mereka sudah, bahwa
sesungguhnya Wahana kiranya tidak berolok-olok ke-
tika mereka bicara dengan si Lima Golok Maut di Mua-
ra Beliti beberapa pekan yang lalu. Padahal sebelum-
nya Wahana sendiri pernah bicara pada sesamanya
bahwa tujuan mereka dalam mencari muridnya Bang-
kotan Koreng Seribu yang telah membawa kitab terse-
but ke sebuah tempat yang sangat rahasia. Wah... wah
hal ini benar-benar menjadi runyam urusannya. Batin
Adi Olo dan Adi Cilek.
"Jadi kakang juga punya niat untuk menda-
patkan kitab pusaka itu... apakah itu bukan berarti ki-
ta harus berhadapan dengan tokoh-tokoh silat tingkat
tinggi yang pada dasarnya juga menginginkan kitab
tersebut...?!" Menyela Adi Olo dengan perasaan khawa-
tir. Wahana yang sedari tadi hanya memandang ke
arah depan kini menoleh dan memandangi tajam pada
kembratnya.
"Perduli apa! Kalau kau merasa takut, lebih
baik tak usah bergabung dengan Catur Tunggal. Tak
pernah kulihat nyali kalian seciut ini, mengapa tiba-
tiba kalian berubah menjadi seorang pengecut...!" Te-
riak Wahana marah.
"Bukan pengecut kakang! Walau bagaimana
pun kita harus menyadari bahwa murid si Bangkotan
Koreng Seribu juga bukanlah seorang murid yang bo-
doh. Sebagai murid tunggal sudah barang tentu dia
memiliki kesaktian yang sangat luar biasa...!" Adi Cilek
berusaha memberi pengertian. Tapi nampaknya Wa-
hana sudah tak memperdulikan segala penjelasan
adik-adik seperguruannya.
"Kalau kalian berdua tak mau ikut! Baiknya ce-
pat-cepat tinggalkan tempat ini! Biarkan aku sendiri
yang berangkat ke sana...!" Berkata begitu, tanpa me-
noleh-noleh lagi Wahana menggenjot tubuhnya. Ber-
loncatan di atas cabang-cabang pohon kemudian
menghilang dari pandangan kedua orang kembratnya
Adi Olo dan Adi Cilek saling berpandangan. Secara se-
rentak; "Kakang... aku ikuuuut...!" Teriak mereka seca-
ra bersamaan. Dengan cara yang sama mereka ini pun
akhirnya kabur mengejar Wahana yang sudah tak ter-
lihat lagi.
Setelah mengerahkan segenap kemampuan lari
cepatnya, maka tak begitu lama kemudian Wahana
pun telah tersusul. Saat itu mereka sudah berada di
pinggiran Lembah Selaksa Mayat. Sejenak lamanya se-
cara seksama mereka memandang ke arah bagian
lembah itu. Tak terlihat apapun di sana ter kecuali se-
buah rumah gubuk yang sangat kecil.
"Agaknya di sanalah muridnya si Bangkotan
Koreng Seribu itu menetap! Mudah mudahan kita ma-
sih belum terlambat mendapatkan kitab itu...!" Gu-
mam Wahana tanpa berpaling dari lembah yang bera-
da di bawahnya.
"Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke sana,
kakang...!" Kata Adi Olo, selanjutnya mereka sudah
bermaksud mulai menuruni pinggiran lembah yang
sangat licin itu saat mana terdengar suara hentakkan
seseorang lalu di sertai melesatnya dua sosok tubuh ke
arah mereka. Dengan gerakkan yang sangat menga-
gumkan kedua orang itu menjejakkan kakinya satu
tombak di depan orang-orang Catur Tunggal. Melihat
cara mereka menginjakkan kakinya di atas tanah dan
tanpa menimbulkan suara itu saja sudah merupakan
satu tanda bagi mereka, bahwa laki-laki gemuk dan
perempuan setengah baya itu memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna.
"Hei... siapakah kalian ini...?" Tanya Wahana
dalam keterkejutannya. Dua orang ini, yang tak lain
Bara Seta dan Dewi Wulan adanya kelihatan terse-
nyum-senyum.
"Seharusnya kamilah bertanya ada maksud apa
kalian sampai datang di Lembah Selaksa Mayat ini...!"
"Melihat tampang-tampang kalian, kalau tak
salah kalian ini merupakan ketua Perguruan Candak
Ginaka dan yang betinanya merupakan penguasa
Lembah Selaksa Mayat ini...!" Berkata Adi Olo dengan
sesungging senyum mencemooh. Bukan main gusar
Dewi Wulan begitu mendengar nada ucapan yang san-
gat kasar ini. Sebagai orang yang tak pernah atau ka-
takanlah jarang berhubungan dengan dunia luar, su-
dah tentu kata-kata itu merupakan ucapan yang tak
layak dari jiwanya yang terlalu lugu. Tapi dia masih
berusaha menahan amarahnya begitu Bara Seta mem-
beri isyarat padanya untuk tidak bicara. Sebaliknya
Bara Seta melangkah dua tindak ke depan. Tanpa
sungkan-sungkan lagi dia membentak;
"Jangan bertele-tele! Kalau kalian sudah tahu
bahwa aku merupakan penguasa di lembah ini. Cepat-
lah katakan apakah keperluan kalian hingga dari le-
reng Gunung Butak sampai ke tempat ini...?" Bentak
Dewi Wulan geram. Ketiga laki-laki dari Catur Tunggal
itu saling berpandangan, kemudian meledaklah tawa
mereka.
"He... he... he....! Kudengar-dengar manusia
gemuk seperti ikan buntal di sebelah mu itu merupa-
kan anak angkatnya almarhum si Bangkotan Koreng
Seribu?" Tanyanya dengan maksud-maksud yang licik.
"Hemm. Orang-orang ini pasti membawa mak-
sud-maksud yang tak baik. Agaknya aku harus berha-
ti-hati menghadapi orang ini...!" Membatin Bara Seta.
"Hei... mengapa diam! Benarkah kau anak ang-
katnya orang tua yang sangat kesohor itu...?" Bentak
Wahana bagai seorang penguasa saja layaknya.
Memerah wajah Dewi Wulan melihat ulah
orang-orang yang itu. Sikap mereka yang kasar mem-
buat perempuan itu menjadi gatal tangannya.
"Kakang... mengapa kita biarkan mereka men-
jarah daerah kita. Pula iblis-iblis ini terlalu kotor mu-
lutnya...!"
"Tenanglah adi! Aku jadi pengin tau apa tujuan
anjing-anjing geladak ini hingga begitu berani mema-
suki daerah terlarang...!" Tukasnya berusaha menya-
barkan Dewi Wulan. Kemudian dengan sikap tenang.
"Kalau kau mau tahu apa yang menjadi tujuan
kami ke lembah yang sangat menakutkan ini. Jawab
dulu, benarkah kau merupakan anak angkatnya al-
marhum Bangkotan Koreng Seribu...?" Tanyanya ke-
tus. Tanpa ragu dan tiada pula mengenal rasa takut,
Bara Seta membentak marah.
"Bicara saja muter-muter. Kalau memang benar
aku merupakan anak angkatnya Bapak Bangkotan Ko-
reng Seribu, kalian mau apa...?" Tantangnya.
"Ha... he... ha...! Kalau kau merupakan anak
angkatnya si Bangkotan Koreng Seribu. Tentu kau juga
tahu di manakah muridnya saat ini berada...?" Pancing
Wahana. Maka mengertilah Bara Seta dan Dewi Wulan,
apa sebenarnya yang menjadi tujuan orang-orang dari
Catur Tunggal tersebut.
"Kalau pun aku tahu di mana muridnya bapak
angkatku, tidak nantinya kuberitahukan pada ka-
lian...!"
"Lebih baik kau katakan saja monyet gemuk...!"
Bentak Adi Olo ikut menimpali.
"Ya... lebih baik katakan saja, untuk apa men-
gorbankan nyawa hanya demi kepentingan orang
lain...!"
Maka meledaklah tawa Bara Seta begitu men-
dapat perintah yang bernada mengancam dari orang-
orang Catur Tunggal. Dia pun sudah dapat memasti-
kan bahwa se-benarnya kedatangan mereka hanyalah
menginginkan kitab Jurus Koreng Seribu.
"Lebih terkutuk lagi andai aku membiarkan ka-
lian merampas kitab Jurus Koreng Seribu yang bukan
hak kalian...!"
"Bagus kalau kau sudah tahu, itu berarti aku
tak perlu bersusah payah menjelaskannya padamu...
!"Kata Wahana sembari tersenyum-senyum.
"Hemm, sekarang katakan di mana muridnya
orang sakti itu bersembunyi...!" Celetuk kembrat Wa-
hana.
"Kalau kau inginkan kitab itu, langkahi dulu
mayat kami...!"
"Kakang jangan banyak cingcong, kita hajar sa-
ja manusia-manusia iblis ini beramai-ramai...!" Dewi
Wulan yang sudah sangat marah itu nampak sudah
tak dapat mengendalikan diri lagi. Maka tanpa me-
nunggu persetujuan suaminya, wanita pendekar itu
pun langsung membuka serangan dengan jurus-jurus
andalannya. Nampaknya Bara Seta pun tidak tinggal
diam. Serentak dengan di sertai teriakan menggelegar,
laki-laki gemuk itu pun kirimkan pukulan-pukulan
mautnya. Orang-orang Catur Tunggal tidak tinggal di-
am, mereka adalah tokoh-tokoh seangkatan yang me-
miliki aliran berbeda. Dalam hal tenaga dalam, puku-
lan-pukulan andalan, nampaknya mereka memiliki ke-
lebihan dan kekurangan yang tidak begitu jauh be-
danya. Dalam waktu yang sangat singkat pertarungan
itu telah mencapai belasan jurus. Namun kelihatannya
keadaan masih tetap seimbang. Masing-masing lawan
kini telah mulai mengeluarkan jurus-jurus simpanan-
nya. Maka semakin bertambah seru sajalah pertarun-
gan tokoh-tokoh tinggi tersebut.
Bara Seta nampaknya tidak ingin menyia-
nyiakan waktu, kejab kemudian tubuhnya berkelebat
lenyap sambil bersiap-siap lancarkan pukulan Candak
Ginaka Menerjang Gunung. Sementara itu istrinya ju-
ga telah mencabut pedang mustika yang di bagian ga-
gangnya terdapat ukiran kepala burung Sri Gunting,
begitu pedang mustika itu tercabut dari sarungnya,
maka pedang itu pun berkelebat dahsyat sehingga
timbulkan angin bersiuran. Pihak lawan ternyata juga
memiliki ambisi yang sama untuk secepatnya dapat
merobohkan musuh-musuhnya. Maka tak pelak lagi,
dalam gebrakan berikutnya mereka pun lancarkan pu-
kulan Halilintar Tunggal yang tak perlu diragukan lagi
akan kemampuannya,
"Hiaaa.... Hiaaa...!"
Berputar-putar tubuh mereka sembari berjum-
palitan bagai tiada memiliki bobot. Saat selanjutnya
Wahana dan kawan-kawannya kirimkan pukulan Hali-
lintar Tunggal ke arah tubuh Bara Seta dan Dewi Wu-
lan. Dalam kesempatan itu Bara Seta pun juga telah
kirimkan pukulan Candak Ginaka Menerjang Gunung
yang menebarkan hawa dingin dan panas. Pukulan
Bara Seta yang membersitkan sinar ungu itu pun lebih
cepat lagi memapaki datangnya serangan Halilintar
Tunggal yang di lepaskan oleh lawan-lawannya. Se-
mentara itu, Dewi Wulan putar pedang mustikanya se-
demikian sebat sehingga membentuk satu gulungan
sinar pedang yang dapat di jadikan sebuah perisai
yang sangat kokoh.
"Nguung! Blaaam! Blaam!"
"Gusraak! Gabruuuk!" Masing-masing pukulan
lawan bertubrukan dengan pukulan yang di lepaskan
oleh Bara Seta, sementara dua pukulan lainnya yang
di lepaskan oleh Wahana membentur pertahanan pe-
dang milik Dewi Wulan. Baik tubuh Wahana, Adi Olo,
Adi Cilek terpelanting tiga tombak, dengan dada terasa
sesak luar biasa, bahkan tangan mereka juga berde-
nyut-denyut sakit. Di pihak Bara Seta dan Dewi Wulan
keadaan mereka juga tidak begitu berbeda jauh Dewi
Wulan; sungguh pun tak sampai terpelanting tubuh-
nya, tapi malah amblas ke dalam tanah sebatas mata
kaki. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Andai saja dia
tak memiliki tenaga dalam yang sudah sangat sempur-
na, sudah barang tentu dia muntah darah atau seti-
dak-tidaknya menderita luka dalam cukup parah. Pe-
rempuan itu cepat-cepat berdiri sembari mengembali-
kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangan yang tera-
sa kesemutan.
Sementara itu Bara Seta yang sempat terjeng-
kang dua tombak sudah nampak bangkit kembali. Be-
rulang kali dia meludah ke tanah rasa benci pada
orang-orang Catur Tunggal membangkitkan kemara-
hannya yang sudah tak mampu dia kendalikan lagi.
"Orang-orang Catur Tunggal. Mampuslah ka-
lian...!" Teriak Bara Seta. Dan ternyata sebelum Bara
Seta belum sempat kirimkan pukulan mautnya. Wa-
hana dan kawan-kawannya telah mendesaknya dengan
jurus-jurus silat tangan kosong.
Agak kerepotan juta Bara Seta di buatnya, ma-
sih beruntung dia merupakan seorang tokoh yang cu-
kup berpengalaman. Sehingga dengan jurus-jurus silat
tangan kosong pula dia masih mampu mengelak dan
mengkelit serangan-serangan yang di lancarkan oleh
ketiga lawannya. Menghadapi keroyokan tokoh-tokoh
setingkat, yang kesemuanya memiliki permainan silat
yang aneh dan membingungkan. Secepat mana pun
Bara Seta bertindak dan menghindar, lama-kelamaan
dia kena di desak juga. Masih untung Dewi Wulan ce-
pat tanggap menghadapi kenyataan itu. Maka sekali
saja dia melompat, lalu menggempur Wahana dan ka-
wan-kawannya dengan serangan dan tusukan pedang
mustikanya yang sangat ampuh.
"Weeeit! Nguuung...!" Babatan yang kesekian
kalinya nyaris membuat buntung tangan Adi Olo, ka-
lau saja tak cepat-cepat tarik tangannya yang terjulur
dengan maksud menghantam dada Bara Seta, sudah
barang tentu Adi Olo sudah kehilangan sebelah tan
gannya. Usahanya gagal, bahkan nyaris kehilangan
sebelah tangan membuat Adi Olo mencaci maki pan-
jang pendek.
"Kerahkan ajian Jari Sakti Baja...!" Teriak Wa-
hana memberi aba-aba pada kembrat-kembratnya.
"Ciaaat...! Giaat...! Ciaaat...!"
Dalam teriakannya itu, dengan gerakan yang
sangat lincah tubuh orang-orang Catur Tunggal sudah
melompat menjauhi pertarungan. Tetapi nampaknya
Dewi Wulan mengetahui gelagat yang tak baik ini, se-
lanjutnya sambil terus memburu lawan-lawannya, dia
berteriak memberi peringatan pada suaminya.
"Kakang! Jangan beri kesempatan pada mereka
untuk mengerahkan ajian Jari Sakti Baja...!"
Bara Seta bagai tersentak dari lamunannya, se-
lanjutnya dia keluarkan bola berduri yang terikat den-
gan rantai baja. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia
putar bola duri itu sehingga menimbulkan suara men-
deru-deru. Sampai detik itu kiranya, Wahana dan ka-
wan-kawannya masih belum selesai merapal ajian Jari
Sakti Baja. Mengetahui serangan kilat yang sangat
membahayakan jiwa mereka, sudah barang tentu me-
reka urungkan niatnya. Akhirnya mereka pun bergerak
mengelak, menghindari datangnya babatan mata pe-
dang dan bola duri yang di lancarkan oleh Bara Seta.
"Keparaat...!" Maki Wahana, lalu berlompatan
bagai monyet gila mabuk terasi. Tiada sahutan, seba-
gai jawabannya, baik Bara Seta dan Dewi Wulan se-
makin mempergencar serangan-serangan mautnya.
Sementara itu pada saat yang sama di dasar
Lembah Selaksa Mayat, Buang Sengketa dengan di te-
mani oleh Ayunda kelihatan sedang terlibat pembica-
raan yang serius. Akhir-akhir ini mereka memang keli-
hatan semakin bertambah akrab antara yang satu
dengan yang lainnya.
"Kakang! Apakah engkau benar-benar berniat
meninggalkan lembah ini andai nanti Kitab Jurus Ko-
reng Seribu telah berhasil engkau kuasai...?" bertanya
Ayunda sementara badannya ngelendot di punggung
Buang Sengketa. Sebenarnya Buang Sengketa menjadi
risih juga, menghadapi suasana seperti ini. Dia merasa
takut bagaimana nantinya kalau keadaan seperti itu
sampai diketahui oleh Bara Seta dan istrinya. Tentu
semuanya biasa berabe. Memang benar dia akui, bah-
wa mempelajari kitab jurus-jurus Koreng Seribu sudah
tuntas bahkan dengan ketekunannya dia masih mem-
punyai sisa waktu tiga hari dari empat puluh hari se-
perti yang tertulis dalam kitab itu. Juga dia sendiri da-
pat merasakan betapa hebatnya Jurus-jurus Koreng
Seribu hasil peninggalan gurunya itu. Tetapi dia juga
menghadapi hal lain yang sebenarnya bisa di bilang
persoalan yang sangat sepele, namun berhubungan
erat dengan hati dan perasaan. Ayunda telah jatuh ha-
ti padanya, hal itu juga tak dapat dia sangkal. Gelagat
seperti itu sudah dapat dia rasakan sejak mendengar
pengakuan itu dari Ayunda. Hal ini juga membuat re-
sah hatinya, apalagi selama berada di lembah itu, ga-
dis cantik itulah yang teramat sering menyediakan se-
gala keperluan yang dibutuhkannya.
Haruskah dia mengatakan hal yang sesung-
guhnya bahwa dia sudah mempunyai gadis pilihan
yang selama ini tak pernah dia balas cintanya. Tidak.
Ayunda adalah seorang gadis yang sangat perasa, dia
tak ingin putri paman Bara Seta yang telah banyak
berkorban untuknya, jadi tersinggung, marah atau
bahkan malah berubah membencinya. Tapi bagaima-
nakah caranya agar segala sesuatunya berjalan sesuai
dengan apa yang dia harapkan? Buang menjadi bin-
gung, dan berdenyut-denyut kepalanya.
"Kakang! Mengapa kau hanya diam saja...?"
Ujar Ayunda setengah merajuk.
"Apa yang harus kukatakan...?"
"Katakanlah apakah kakang bermaksud me-
ninggalkan Lembah Selaksa Mayat...?" Tanya Ayunda
sambil menarik nafas dalam-dalam, kemudian di bua-
ngnya pandangan matanya jauh-jauh. Hati-hati sekali
dia berucap;
"Aku ini hanyalah seorang pengelana, hidupku
tiada berketentuan dan tiada siapa-siapa pula yang
kumiliki. Apa yang ingin kulakukan untuk hari-hari
selanjutnya adalah mencari ayah kandungku, aku ha-
rus dapat menemukannya. Tak perduli apapun yang
bakal terjadi...!" Ayunda tersentak, wajahnya sedikit
memucat dan mendadak dia seperti akan kehilangan,
namun untuk mencegah kepergian pemuda yang telah
membuat hatinya jatuh cinta, juga tak mempunyai ku-
asa.
"Kakang andai engkau pergi! Aku di sini sendi-
rian...!"
"Siapa bilang? Bukankah masih ada ayah bun-
damu...!" kata pemuda itu sekenanya, namun hatinya
juga merasa geli.
"Maksud... maksudku... ah mengapa engkau
masih tak mau mengerti bagaimana perasaanku pa-
damu, kakang...!" Isak Ayunda, seraya lalu merebah-
kan kepalanya di atas dada si pemuda yang bidang.
Buang mengelus-elus rambut Ayunda, tangis gadis
cantik itu semakin keras hingga membuat Pendekar
Hina Kelana jadi kelabakan.
"Sudahlah, mengapa harus menangis, bagai-
mana nanti juga ayah ibumu melihat kita sedang ber-
pelukan seperti ini" katanya, Lugu! Mendadak Ayunda
tengadahkan wajahnya, pandangan matanya sendu
menatap pada wajah tampan yang tidak begitu jauh
dari wajahnya. Hati masing-masing mereka saling ber
getar. Lalu secara perlahan kedua wajah mereka saling
mendekat, selanjutnya hembusan-hembusan nafas
mereka yang terasa hangat membangkitkan gejolak ha-
ti yang telah lama tersimpan. Tak dapat di cegah lagi
kedua bibir mereka pun saling bertemu dalam gelora
cinta yang menggebu-gebu. Ayunda merintih manja.
Tetapi hanya sebatas itu, sebab saat itu Buang Seng-
keta menangkap adanya suara-suara teriakan orang
yang sedang terlibat pertarungan. Cepat-cepat dia
menjauhkan wajahnya dari wajah Ayunda. Sudah ten-
tu hal ini membuat si gadis terperanjat. Dengan wajah
bersemu merah dia pun bertanya;
"Aku mendengar seperti ada pertarungan di
atas bukit sana. Jangan-jangan paman Bara dan bibi
Dewi Wulan yang sedang bertarung...!" kata si pemuda
menduga-duga. Tetapi ternyata memang benar adanya,
ketika tak begitu jauh dari mereka nampak Suro bekas
murid Bara Seta yang cuma tinggal satu-satunya itu
berlari-lari menghampiri mereka.
"Cel... celana... eeh celaka, tuan muda...!" seru
laki-laki berumur tiga puluhan itu dengan nafas ngos-
ngosan dan suara tergagap.
"Ada apakah, Suro! Berkatalah dengan jelas...!"
Ucap si pemuda berusaha meredakan ketegangan yang
dialami oleh laki-laki itu.
"Gu... guru sedang bertarung melawan orang-
orang dari Catur Tunggal...!" Buang Sengketa nampak-
nya sangat terkejut mendengar laporan Suro, lalu tan-
pa banyak tanya lagi, pemuda itu pun melesat laksana
terbang. Dengan mengerahkan Ajian Sepi Anginnya
hanya sekejapan mata saja dia sudah sampai di tem-
pat pertarungan itu. Sementara Ayunda dan Suro jauh
tertinggal di belakangnya.
Saat itu Pendekar Hina Kelana dapat melihat
bahwa lawan-lawan Bara Seta sedang mendesak di
rinya juga istrinya. Mereka kelihatannya sudah mulai
jatuh di bawah angin. Bahkan di beberapa bagian pa-
kaian Bara Seta nampak robek di sana sini. Sedangkan
apabila dia menoleh pada Dewi Wulan, nampaknya pe-
rempuan itu juga mendapat luka di bagian punggung
dan dadanya.
"Hhh. Mereka tidak mempergunakan senjata
apapun, namun mereka dapat melukai paman dan bibi
sedemikian rupa. Mungkin jemari-jemari tangan yang
menghitam itulah yang sering di sebut-sebut orang se-
bagai Jari Sakti Baja. Pantasan saja tangan mereka tak
mempan terhadap benturan mata pedang. Hebat luar
biasa...!" Serunya. Tiba-tiba dalam kegusarannya yang
tertahan dia membentak; "Berhenti...!" Teriakan tinggi
melengking yang di sertai dengan lengkingan Ilmu Pe-
menggal Roh itu membuat mereka yang sedang berta-
rung hampir terbanting ke tanah. Mereka merasakan
gendang-gendang telinganya bagai mau pecah, sakit
dan berdenyut-denyut. Andai saja mereka tidak memi-
liki tenaga dalam yang sempurna, sudah tentu mereka
akan menemui ajal secara menyedihkan.
Dengan terdengarnya teriakan Buang Sengketa,
maka pertarungan itu terhenti seketika itu juga.
Orang-orang dari Catur Tunggal memandang tajam
pada pemuda berkuncir ini. Ada rasa jerih menghantui
diri mereka, suara teriakan tadi saja sudah cukup bagi
mereka untuk mengetahui bahwa pemuda yang sangat
asing bagai mereka ini sesungguhnya memiliki ilmu
yang sangat hebat. Bahkan mereka pun mulai mendu-
ga, andai mereka bertiga maju secara berbareng, be-
lum tentu mereka bakal ungkulan. Namun di samping
perasaan kecut tersebut kiranya rasa penasaran lebih
menguasai jiwa mereka. Maka tanpa sungkan-sungkan
lagi mereka ini langsung membentak;
"Engkaukah muridnya si Bangkotan Koreng Se
ribu yang telah mampus itu?" Teriak Wahana penasa-
ran.
"Ya... kau mau apa...?"
"Cepat serahkan Kitab Jurus Koreng Seribu pa-
da kami...!" Perintahnya. Buang Sengketa tersenyum
saja demi mendengar kata-kata Wahana, sebaliknya
dia malah berkata pula; "Paman Bara Seta dan Bibi
Wulan minggirlah. Orang-orang ini merupakan bagian-
ku...!" Bara Seta dan Dewi Wulan, menepi dan berga-
bung dengan putri dan muridnya.
"Kalau kalian ingin memiliki kitab itu, silakan
ambil di dalam periuk ku ini! Tapi ingat, sekali saja ka-
lian coba-coba memaksaku. Maka liang kuburlah tem-
pat kalian untuk selama-lamanya...!" Ancam si pemu-
da dengan, suara hampir-hampir tak terdengar. Maka
mendidihlah darah orang-orang dari lereng Gunung
Butak ini. Mereka sadar sekarang mereka sedang
menghadapi lawan yang sangat tangguh. Namun un-
tuk membatalkan niat hal itu adalah pantangan yang
tak pernah mereka langgar.
Detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi me-
reka ini pun langsung menyerang Pendekar Hina Kela-
na dengan Ajian Jari Sakti Baja yang sangat dahsyat
itu.
Pendekar Hina Kelana adalah pendekar yang
sangat lihai, apalagi kini dia telah menguasai Jurus-
jurus Koreng Seribu yang sangat dahsyat itu. Mengha-
dapi serangan itu pun dia masih mengandalkan jurus-
jurus kesabaran yang sifatnya menyedot tenaga sakti
lawannya. Pukulan-pukulan dahsyat mulai di lepaskan
oleh lawan-lawannya. Tetapi begitu pukulan itu terle-
pas dan menghantam tubuh Pendekar Hina Kelana,
kelihatannya bagai menembus ruang kosong saja. Pu-
kulan maut mereka amblas ke dalam tubuh lawannya
tanpa meninggalkan akibat apa-apa. Hal itu membuat
ketiga orang lawan menjadi terheran-heran. Sekali lagi
mereka mencobanya, saat mereka pukulkan kedua
tangannya ke depan, maka tiga larik sinar yang berke-
kuatan dahsyat datang menggebu meluruk tubuh si
pemuda. Sebaliknya Buang Sengketa tiada mengelak
maupun memapaki pukulan yang telah di lepaskan
oleh lawan-lawannya.
"Beeees...!" Kembali kejadian pertama terulang.
Buang Sengketa tetap tegak tanpa kekurangan sesuatu
apapun. Heran, namun panas hati mereka demi meli-
hat semua kenyataan ini.
"Ilmu Siluman...!" Maki Wahana mulai timbul
perasaan jeri. Dalam kesempatan itu Buang Sengketa
berseru memberi peringatan.
"Kuperintahkan bagi kalian untuk segera me-
ninggalkan tempat ini...!" Wahana dan kembrat-
kembratnya sungguh pun sudah gentar tapi mana sudi
menuruti perintah Buang Sengketa.
"Budak jangan kau harapkan kami untuk me-
nuruti perintahmu. Kami hanya meninggalkan tempat
ini jika kau mau menyerahkan Kitab Jurus Koreng Se-
ribu...!"
Buang Sengketa hanya angguk-anggukkan ke-
palanya, tetapi hatinya mulai marah.
"Kalau itulah keinginan kalian. Kesabaran ma-
nusia itu ada batasnya, maka jangan kau salahkan
aku andai tindakanku nanti benar-benar membuat ka-
lian menjadi sengsara seumur-umur...!"
"Bocah gembel... jangan coba-coba menakuti-
nakuti kami, nih makanlah jari-jari kami...!" Berkata
begitu orang-orang Catur Tunggal menerjang si pemu-
da dengan serangan-serangan jari sakti mereka.
SEPULUH
Pendekar Hina Kelana menyadari bahwa seran-
gan-serangan jemari mereka tentu lebih berbahaya lagi
ketimbang pukulan-pukulan maut yang pernah mere-
ka lepaskan. Maka tak ayal lagi pendekar ini silih ber-
ganti mempergunakan jurus si Gila Mengamuk namun
di lain kesempatan dia pergunakan pula Jurus Koreng
Seribu yang sangat aneh tapi tak pernah di ragukan
kedahsyatannya.
"Caiiiit...!" Tubuh Pendekar Hina Kelana yang
bergerak tak beraturan itu tiba-tiba saja melesat ke
udara, pada saat itu pihak lawan pun di luar dugaan si
pemuda melakukan gerakan yang sama. Ketiga lawan-
nya melakukan tusukan secara berbarengan.
"Wuut! Wuut! Wuut!"
"Haiiit...!" Pendekar dari Negeri Bunian tersebut
melakukan satu gerakan menangkis dengan sedikit
mengerahkan tenaga dalamnya.
"Pleeek! Pleek!" Tangan Wahana dan Adi Olo
melekat erat di telapak tangan Buang, sementara je-
mari tangan Adi Cilek terus menderu menghantam ba-
gian dadanya.
"Buuk!" Jemari tangan Adi Cilek pun melekat
erat di bagian dada si pemuda. Dalam keadaan seperti
itu sudah barang tentu mereka tidak memiliki kemam-
puan untuk menjaga keseimbangan maka begitu tu-
buh keempat-empatnya melayang turun mereka tidak
mampu menjaga keseimbangan tubuhnya lagi.
"Gabruuk...!" Masing-masing mereka jatuh ter-
duduk dengan keadaan tangan melekat di bagian tu-
buh lawannya. Kejut di hati Wahana dan kawan-
kawannya bukan alang kepalang, wajah ketiga orang
itu sekejap saja telah berubah menjadi pucat pasi.
"Ilmu Setan...!" Rutuk mereka di dalam hati.
Sedapatnya mereka berusaha menarik balik tangan-
tangan mereka yang melekat tersebut. Tetapi setiap
mereka mengerahkan tenaganya dengan maksud
membetot. Mereka merasakan jemari tangan-tangan
mereka terasa semakin bertambah erat melekat. Se-
mentara mereka merasakan pula tenaga dalamnya ter-
tarik keluar mengarah pada bagian tangan yang mele-
kat itu.
Maka sadarlah Wahana, apa sesungguhnya
yang sedang terjadi, kalau mereka terus mengerahkan
tenaga dalamnya tentu berakibat sangat fatal pada diri
mereka sendiri. Sebab sama saja artinya secara tak
langsung mereka telah menyumbangkan tangan sakti
yang sangat besar terhadap pihak lawan.
"Jangan kerahkan tenaga dalam... kita semua-
nya bisa celaka...!" Teriak orang pertama dari Catur
Tunggal tersebut pada kawan-kawannya. Buang Seng-
keta demi melihat lawannya menyadari keadaan itu
hanya tersenyum-senyum saja. Ternyata memang be-
nar apa yang di katakan oleh Wahana, begitu mereka
menarik balik tenaga dalamnya, maka mereka merasa-
kan daya lekat itu semakin mengendor. Satu kesempa-
tan yang sangat baik, orang-orang ini menyentakkan
jemari tangan yang melekat itu secara bersamaan.
"Hayaaaa...!" Serentak dengan terlepasnya je-
mari tangan yang melekat tersebut, maka tanpa am-
pun tubuh mereka pun jatuh terguling-guling. Namun
secepatnya pula mereka telah bangkit berdiri. Begitu
pun halnya dengan si pemuda. Sesungging seringai
menggidikkan membias di bibirnya, sementara sepa-
sang matanya yang sudah berubah memerah itu nam-
pak memandang tajam pada lawan-lawannya yang su-
dah kembali bersiap-siap untuk melakukan serangan-
serangan yang sudah barang tentu jauh berbeda dengan serangan terdahulu.
Buang Sengketa yang sejak tadi berusaha me-
redam kemarahannya, namun demi melihat orang-
orang Catur Tunggal masih juga, nekad kelihatannya
dia sudah tak mampu membendung emosinya. Begitu
pun dia masih berusaha memberi peringatan pada
orang-orang itu.
"Kuperintahkan sekali lagi pada kalian! Cepat-
cepat menyingkirlah dari hadapanku. Andai tidak, me-
nyesal pun nantinya sudah tiada guna...!" teriaknya
marah. Hanya Wahana saja yang keluarkan suara ta-
wa mengekeh, sedangkan dua orang lainnya semakin
bertambah ciut nyalinya.
"Aku tau kau memiliki ilmu kepandaian yang
luar biasa dahsyatnya. Tapi jangan kira aku akan lari
ketakutan meninggalkanmu!" Maki Wahana semakin
membuat sebal hati si pemuda.
"Guru...!" Teriaknya pada dirinya sendiri. "Seta-
pak jalan sulit yang ku lalui, aku sampai pada dua
persimpangan jalan yang membuka pada dua pilihan.
Aku memilih mengikuti jalan yang kau tunjukkan pa-
daku. Jangankan kau sesalkan aku, karena sebagai
seorang anak manusia aku juga punya pilihan terbaik
untuk diriku sendiri...! Pada mereka juga telah kuberi-
kan dua pilihan, namun mereka rupanya memilih jalan
yang paling menyakitkan. Mampuslah kalian. Hiaaa...."
Di sertai suara mendesis bagai seekor piton yang se-
dang di landa kemarahannya Buang Sengketa akhir-
nya membuka jalan darah.
Dengan sekali berkelebat saja, mendadak tu-
buhnya telah lenyap dari penglihatan lawan-lawannya.
Tiada pukulan-pukulan maut yang dia lepaskan, seba-
liknya terlihat seberkas sinar merah menyala menyer-
tai berkelebatnya Pusaka Golok Buntung yang sudah
tergenggam di tangannya. Udara di sekitar tempat itu
mendadak saja menjadi dingin luar biasa, bukan main
terkejutnya Wahana di buatnya. Tubuh mereka meng-
gigil dalam rasa kecut dan dingin yang di timbulkan
oleh senjata maut di tangan lawannya. Tapi perasaan
apapun yang dihadapi oleh pihak lawan-lawan, Buang
Sengketa sudah tiada perduli lagi. Senjata di tangan-
nya terus berkelebat menyambar hingga menimbulkan
suara mendengung-dengung.
"Wuua!" Senjata itu berkelebat kembali me-
rangsak pertahanan pihak lawan. Namun mereka ma-
sih berusaha menangkis dengan Ajian Jari Sakti Baja.
"Creees! Crees! Crees...!"
"Arghh...!" Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek me-
raung setinggi langit saat mana senjata di tangan
Buang membabat tanpa ampun. Tangan mereka yang
di pergunakan untuk menangkis serangan Golong
Buntung, terbabat hingga sebatas pangkal lengan. Da-
rah menyembur-nyembur dari pangkal lengan yang
terpotong itu. Secepatnya mereka menotok jalan darah
di bagian pangkal lengan masing-masing. Tak lama
kemudian darah pun berhenti mengalir. Adi Olo dan
Adi Cilek menggigil ketakutan. Sementara Buang
Sengketa nampaknya memang sengaja memberi ke-
sempatan pada lawan-lawannya. Dengan sekali bersal-
to, maka tubuhnya berjumpalitan, kemudian mendarat
tidak begitu jauh dari depan lawan-lawannya.
"Kuberi kesempatan terakhir pada kalian. Ce-
pat-cepat minggatlah dari sini, andai masih juga kalian
keras kepala. Maka sekejap lagi golok di tanganku ini
akan memenggal kepala kalian...!"
Wahana menoleh pada kembrat-kembratnya...!
"Baiklah kita menyingkir saja, kakang...!" rintih
Adi Olo dan Adi Cilek menyeringai menahan rasa sakit.
"Ciuh. Mestinya kita harus bertarung dengan
budak keparat ini sampai mampus. Tapi baiklah... tapi
awas kau Pendekar Golok Buntung. Satu saat kami
pasti mencarimu untuk menagih hutang tangan...!"
"Sampai kapan pun aku tetap menantimu, so-
bat...!" kata pendekar ini. Tanpa menghiraukan jawa-
ban si pemuda, ketiga orang Catur Tunggal bergerak
meninggalkan tempat itu, namun kemudian harus
berbalik sebentar. Saat mana Buang Sengketa berkata;
"Eei... kutungan tangan kalian...!" ucapnya
mengingatkan.
"Oh ya... kakang! Kutungan, tangan kita ter-
tinggal...!" kata Adi Cilek. Setelah memungut kutungan
tangannya masing-masing. Tanpa menoleh-noleh lagi
ketiga orang itu pun terbirit-birit meninggalkan tempat
itu. Geli hati Buang Sengketa melihat tingkah orang-
orang Catur Tunggal. Namun rasa geli itu tidak sampai
meledak jadi tawa. Hanya Bara Seta, istri dan anaknya
saja yang sudah tak dapat membendung tawanya.
Di luar sepengetahuan mereka, tak jauh dari
tempat itu, kiranya ada dua orang lain yang sejak tadi
memperhatikan sepak terjang Pendekar Hina Kelana.
Mereka ini terdiri dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, yang keduanya telah berusia sangat lanjut
sekali. Yang perempuan bermata buta, dengan wajah-
nya yang sangat angker, sedangkan yang laki-laki be-
rambut jarang-jarang berwarna kecoklatan, laki-laki
ini seperti manusia yang kurang waras dan tiada pula
memakai baju. Tubuh kurus kering dengan kedua ma-
ta menjorok ke dalam sehingga menambah keangke-
rannya. Sejak tadi mereka terus memperhatikan sepak
terjang Buang Sengketa, dan laki-laki itu pun harus
mengakui bahwa Jurus Koreng Seribu yang baru di-
pergunakan oleh si pemuda sama sekali belum pernah
dikenalnya. Mungkinkah dalam waktu yang relatif
singkat bocah muridnya almarhum si Bangkotan Ko-
reng Seribu itu telah mampu menguasai jurus terakhir
ciptaan gurunya?
"Ilmu yang sangat langka. Jurus-jurus yang
sangat hebat! Andai aku ingin menjadi pemenang da-
lam pertarungan nanti, maka jalan satu-satunya aku
harus menghindari bentrok tangan secara langsung...!"
Membatin kakek kurus kering. Tiba-tiba dia meman-
dang pada adik seperguruannya.
"Adi Tambak. Sekarang saatnya kita turun tan-
gan...!" kata laki-laki tua renta tersebut. Wanita buta
yang tak lain Nyai Tambak Sari adanya, mengangguk.
Lalu dengan sekali lompat, melayanglah tubuh kedua-
nya dari tempat persembunyiannya.
Baik Pendekar Hina Kelana, Bara Seta, istri dan
anaknya nampak terkejut demi melihat kehadiran ke-
dua orang itu. Tapi kemudian dia tersenyum-senyum
begitu mengenali salah seorang di antara mereka. Se-
jenak mereka saling berpandangan. Tapi Buang Seng-
keta tak lama setelahnya segera berkata pelan.
"Aha... selamat bertemu lagi Ketua Beruang Me-
rah. Nampaknya kau mendatang-kan seorang ksatria
mu yang kurus kering bagai cacing...!" ejek si pemuda.
"Keparat kau bocah gembel! Dulu kau bisa ber-
tingkah dan membunuhi murid-muridku tapi tidak un-
tuk saat kini...!" Maki Nyai Tambak Sari sangat marah,
apalagi bila teringat pada murid-muridnya yang tewas
di tangan Pendekar Hina Kelana. (Dalam Episode Badai
Selat Malaka). Dari hanya sekedar senyum sinis, kini
pendekar itu malah tertawa lebar.
"Hia... haha... haha...! Dengan mengandalkan
cacing kurus ini, kau dapat berkoar seenak perutmu.
Dulu pun andai kau tidak kabur, kau pun sudah be-
rada di neraka saat ini...!" Merah padam wajah Nyai
Tambak Sari, tapi dalam kesempatan itu kakang se-
perguruannya yang bernama Badak Sangrang sudah
membentak dengan suaranya yang tinggi melengking.
"Bocah keparat! Kurang ajar sekali mulutmu,
tahukah kau bahwa kedatanganku kemari ini hanya
ingin menagih hutang nyawa dan malu pada gurumu
yang korengan itu...?"
"Sobat tua. Jumpa dengan tampangmu saja ba-
ru kali kini, jangan kau bawa-bawa nama guruku yang
sudah tiada...!" geram Buang Sengketa merasa tak re-
la, laki-laki renta itu menyebut-nyebut gurunya yang
telah tiada.
"Keparat betul kau bocah! Kau tanyalah guru-
mu di liang kubur sana, kesalahan apa yang pernah
dia perbuat terhadapku...!"
"Jadi sekarang apa maumu...?"
Badak Sangrang kertakkan rahangnya yang
hanya memiliki gigi tinggal beberapa buah saja.
"Karena gurumu sudah mampus! Maka sebagai
muridnya kau harus membayar hutang mata adik se-
perguruanku, membayar hutang malu beberapa tahun
yang lalu padaku. Selain itu, kau juga harus menye-
rahkan Kitab Jurus Koreng Seribu sebagai pembaya-
ran atas nyawa murid-murid adik seperguruanku
ini...!" kata Badak Sangrang setengah memerintah.
Mengertilah Buang Sengketa duduk persoalan
yang sebenarnya. Dia berfikir Nyai Tambak Sari meru-
pakan tokoh sakti yang sangat licik dan tak mudah di
kalahkan. Kalau laki-laki kurus itu pernah berhada-
pan dengan gurunya, sudah barang tentu orang tua
renta itu memiliki ilmu beberapa tingkat di bawah gu-
runya. Atau setidak-tidaknya dia merupakan lawan
yang sangat tangguh.
"Tengkorak hidup, bagiku tiada pilihan lain.
Majulah kalian bersama-sama, biar hari ini juga tak
usah susah payah aku menggusur dedemit persilatan
ke liang kubur...!" kata Buang Sengketa sambil menja-
ga setiap kemungkinan.
SEBELAS
"Untuk menghadapi kutu kecil sepertimu tak
perlu orang lain ku libatkan. Kalau dulu kepandaianku
hanya setingkat di bawahnya. Maka jangan harap hari
ini kau mampu mengalahkan aku. Lihat serangan...!"
Teriak Badak Sangrang. Begitu membuka serangan dia
telah keluarkan jurus-jurus silatnya yang paling am-
puh. Di lain pihak, Nyai Tambak Sari yang buta kedua
matanya itu berpaling pula pada Bara Seta dan is-
trinya.
"He... he... he...! Dari pada kalian bengong bagai
monyet pesakitan seperti itu, lebih baik kumampusi
saja sekalian...!"
"Sejak tadi pun kesempatan seperti ini selalu
ku nanti-nantikan tikus buta!" Ejek Dewi Wulan. Ke-
mudian dengan di bantu oleh Mara Seta, Ayunda dan
juga Suro. Bertarunglah Nyai Tambak Sari menghadapi
keroyokan keempat orang lawan yang rata-rata memi-
liki kepandaian tinggi. Begitu bergebrak, Nyai Tambak
Sari sudah lancarkan pukulan-pukulan andalan yang
di beri nama Beruang Merah Menendang Gunung. Se-
berkas sinar hitam menderu menerjang ke arah empat
penjuru mata angin. Dewi Wulan dan Ayunda memutar
pedangnya begitu sebat, pedang itu bergelung-gelung
membentuk sebuah perisai yang sangat kokoh.
Dalam pada itu Bara Seta pun tak mau kalah,
sekali saja tubuh berlompatan maka dia pun lancar-
kan pukulan yang tak kalah dahsyatnya.
"Blumm!" Terdengar satu suara letupan bagai
longsoran batu gunung. Nyai Tambak Sari tergetar tu-
buhnya, tapi Bara Seta, istri, anak dan seorang murid-
nya terpental beberapa tombak. Nyai Tambak Sari ter-
tawa tergelak-gelak. Sadarlah Bara Seta dan keluar
ganya, bahwa perempuan buta itu ternyata memiliki
kepandaian beberapa tingkat di atas mereka. Begitu
pun mereka tiada mengenai rasa takut secara beramai-
ramai mereka mengerubuti perempuan itu. Mau tak
mau Nyai Tambak Sari jadi kerepotan juga. Apalagi pe-
dang di tangan Dewi Wulan dan Ayunda terus berkele-
bat menyambar, di lain pihak bola duri milik Bara Seta
juga ikut bicara.
Sementara itu pertarungan antara Buang
Sengketa dan Badak Sangrang semakin bertambah se-
ru saja. Apalagi mereka kini telah mengeluarkan segala
kemampuan yang dimilikinya. Pertama-tama Badak
Sangrang mempergunakan Jurus Dewa Matahari un-
tuk menggempur pertahanan pihak lawan. Namun ju-
rus-jurus ini selalu kandas saat mana Buang menan-
dinginya dengan jurus si Gila Mengamuk dan jurus si
Jadah Terbuang. Badak Sangrang yang bertabiat be-
rangasan itu tak sabar. Lalu kirimkan pukulan Dewa
Rembulan Menunggu Kekasih. Buang Sengketa ma-
mapakinya dengan Jurus Empat Anasir Kehidupan.
Tapi dia merasa kewalahan, bahkan berulang kali dia
sempat terbanting ke tanah, dengan bibir mengham-
burkan darah kental. Saat itu dia masih berusaha ber-
tahan dengan pukulan Empat Anasir Kehidupan dalam
memapaki setiap serangan gencar yang dilancarkan
oleh Buang Sengketa. Tapi setelah berulang kali di
buat jatuh bangun bahkan terkadang sampai terpe-
lanting sepuluh tombak. Maka begitu Badak Sangrang
melepaskan pukulan Dewa Rembulan Menunggu Ke-
kasih, untuk yang kesekian kalinya, dia pun mele-
paskan pukulan si Hina Kelana Merana.
Bumi bagai dilanda selaksa gempa manakala
dua pukulan sakti itu saling bertemu antara yang satu
dengan lainnya. Bahkan di pihak Nyai Tambak Sari
yang sedang bertarung menghadapi keroyokan keluar
ga Bara Seta pun nampak terkejut bukan alang kepa-
lang. Bahkan sesaat mereka menghentikan pertarun-
gan, untuk kemudian berlanjut kembali.
Pada saat itu kedua lawan yang telah sama-
sama melepaskan pukulan sakti tersebut, nampak be-
rusaha merangkak bangun. Baik Buang Sengketa
maupun Badak Sangrang sama-sama pula menghapus
darah yang meleleh di bibir dan bagian hidung mereka.
Wajah mereka sedikit memucat dengan dada terasa se-
sak luar biasa.
"Kau hebat orang muda. Tapi jangan bangga
dulu... aku masih punya pukulan yang sebelumnya
tak pernah di lihat oleh gurumu. Dan aku pun punya
senjata yang dapat menandingi Cambuk Gelap Sayuto
itu...!" kata Badak Sangrang dengan suara tergetar.
"Kau pun lebih hebat dariku orang tua, tapi
kau pun harus ingat. Aku pun tak akan membuat ma-
lu almarhum guruku dengan sebuah kekalahan...!"
Jawab si pemuda. Tapi akhirnya dia jadi sangat terke-
jut luar biasa saat mana dia memandang kembali pada
Badak Sangrang. Dilihatnya kedua tangan laki-laki
renta itu telah berubah bagai bara api yang menyala.
Wajah Badak Sangrang telah di banjiri dengan kerin-
gatnya sendiri, sementara bibirnya menyunggingkan
seringai maut, tak salah lagi. Saat itu Badak Sangrang
kiranya sedang mengerahkan pukulan Tapak Setan
hasil ciptaannya terakhir. Pendekar Hina Kelana tak
mengerti banyak tentang bagaimana kekuatan puku-
lan yang akan di lepaskan oleh pihak lawan. Tapi dia
yakin betul bahwa pukulan yang akan di lepaskan oleh
Badak Sangrang tentunya merupakan pukulan yang
sangat ampuh. Tegang wajah si pemuda bila mem-
bayangkan akibatnya. Memapaki pukulan itu dengan
pukulan si Hina Kelana Merana? Sifatnya masih un-
tung-untungan. Bagaimana nanti andai ternyata puku
lan yang di lepas oleh si renta kurus itu berkekuatan
lebih besar dari pukulan sakti yang dimilikinya. Dia
cukup sadar bahwa saat itu dia sedang menghadapi
lawan yang seangkatan dengan gurunya. Mempergu-
nakan Jurus-jurus Koreng Seribu baginya juga tidak
mungkin. Pukulan itu tentunya berhawa panas mem-
bakar, kalaupun dia menyedot pukulan yang akan di
lepaskan oleh Badak Sangrang. Akibatnya kalau sam-
pai kalah sakti tentu badannya akan hangus terbakar,
hemm. Agaknya pukulan si Hina Kelana Merana, den-
gan di bantu Golok Buntung dapat mengatasi pukulan
maut itu...! Membatin pendekar ini dalam keputusan
yang mantap.
Saat itu, Badak Sangrang dengan di sertai sua-
ra melengking tinggi dan mata melotot sudah lepaskan
pukulan Tapak Setan yang sangat berbahaya tersebut.
Satu badai topan menyertai bergemuruhnya selarik si-
nar merah bara menyongsong ke arah tubuh Pendekar
Hina Kelana. Angin pukulannya saja dapat di rasakan
oleh si pemuda panas bukan main. Kalau sampai ter-
pukul matilah aku! Gumam pendekar ini.
Selanjutnya dengan mengerahkan sebagian be-
sar tenaga saktinya, pemuda ini kembali lepaskan pu-
kulan si Hina Kelana Merana, lalu dibarengi dengan
tercabutnya pusaka Golok Buntung sebagai perisai.
"Hiaaat...."
"Blaaaar...!" Orang-orang yang bertarung di se-
kitarnya pun berpelantingan dengan menderita luka
dalam yang cukup hebat, Nya Tambak Sari pun tak
luput dari akibatnya. Bahkan Lembah Selaksa Mayat
terguncang keras. Buang Sengketa dan Badak San-
grang nampak lenyap dari pandangan mereka yang ter-
tatih-tatih. Di luar sepengetahuan mereka kiranya tu-
buh Badak Sangrang dan Buang Sengketa sama-sama
amblas ke dalam tanah hingga sebatas leher, dalam ja
rak yang tidak begitu berjauhan pula. Berlomba mere-
ka berusaha membebaskan diri dari timbunan tanah
yang menghimpit masing-masing tubuh keduanya. Ba-
dak Sangrang menggerakkan badannya, lalu menge-
rahkan segenap kemampuannya.
"Hiaaa...!"
"Brooll!" Laki-laki renta dari Bukit Sambuang
itu, sekarang telah terbebas dari tanah yang menghim-
pitnya. Celinguk kanan, celinguk kiri. Dan sepasang
matanya yang menjorok ke dalam membentur tubuh
lawannya yang masih berkutetan membebaskan diri.
Badak Sangrang tertawa mengekeh begitu melihat
keadaan Buang Sengketa.
"Sudah kukatakan hari ini telah di tentukan
akulah yang keluar sebagai pemenangnya. Mam-
pussss...!" Maki Badak Sangrang sambil pukulkan ke-
dua tangannya ke depan. Kembali sinar merah bara
pukulan Tangan Setan menggemuruh menerjang ke
arah bagian tubuh Buang Sengketa yang terbenam.
Matilah aku kali ini! Membatin pemuda itu sambil me-
nadahkan pusaka Golok Buntung yang masih tergeng-
gam erat di tangannya. Pemuda itu pejamkan matanya
saat mana dia melihat sinar maut itu semakin mende-
kat ke arahnya.
"Blaaar...!" Begitu sinar merah Pukulan Tapak
Setan itu membentur golok pusaka di tangan Pendekar
Hina Kelana, sinar itu membalik ke arah tuannya. Ba-
dak Sangrang tiada pernah menyangka kalau hal se-
perti itu bisa terjadi, maka laksana kilat tubuhnya
berkelebat berusaha menghindari pukulannya sendiri.
Kenyataannya sehebat dan secepat manapun dia
menghindar, tak urung sebagian sinar merah menyala
itu masih tetap saja menyambar tubuhnya. Laki-laki
itu terjengkang di makan pukulannya sendiri. Sem-
poyongan dia bangkit.
Saat itu Buang Sengketa sudah tak terlihat dari
pandangan siapa pun. Ternyata tubuhnya semakin
amblas ke bumi. Hal ini sudah barang tentu membuat
cemas hati Bara Seta dan Dewi Wulan yang kini mulai
berada di atas angin. Tapi untuk mencari tahu lebih
banyak rasa-rasanya tidak mungkin. Maka sebagai pe-
lampiasan kemarahan mereka mengamuklah Bara Se-
ta dan istri dengan di bantu Ayunda. Nyai Tambak Sari
semakin lama semakin terdesak hebat. Hingga pada
satu kesempatan yang sangat baik, Nyai Tambak Sari
lengah, Dewi Wulan kirimkan satu babatan satu tusu-
kan. Perempuan buta itu berusaha mengkelit serangan
tersebut, namun dari samping kiri Ayunda kirimkan
satu tusukan, di susul dengan satu pukulan yang te-
lak ke bagian dada.
"Argkh...!" Nyai Tambak Sari menjerit tertahan,
pedang di tangan Ayunda menembus bagian lambung,
sementara pedang Dewi Wulan menembus pada bagian
lehernya. Tubuh perempuan buta itu tergetar sesaat,
kemudian berjalan sempoyongan, lalu terjerembab ke
depan tanpa mampu bangkit lagi.
Cepat-cepat mereka berbalik dan bermaksud
menyerang Badak Sangrang yang masih terlolong-
lolong memandangi tubuh adik seperguruannya. Na-
mun pada saat itu dari dalam tanah, melesat tubuh
Pendekar Hina Kelana dengan Golok Buntung tergeng-
gam di tangannya. Pakaiannya nampak kotor tak ka-
ruan, gigi-giginya bergemeletukan menahan marah,
sedangkan dari bibirnya keluarkan bunyi mendesis-
desis tak beraturan. Tiba-tiba dia membentak garang;
"Badak Sangrang! Kau bilang kau masih memi-
liki senjata yang sangat ampuh. Cepat kau keluarkan-
lah sekarang juga, aku tak akan mengampuni jiwamu
lagi...!" teriak Buang Sengketa dengan sikap menan-
tang. Dari memandangi jenazah adik seperguruannya,
kini Badak Sangrang yang juga sedang di landa kema-
rahan besar beralih pada keluarga Bara Seta, selanjut-
nya terpaku pada Pendekar Hina Kelana yang telah
siap menanti.
"Kau memang hebat, bocah...! Tapi ingat aku
pun masih belum kalah. Kalau kau ingin tahu sebera-
pa hebat senjata maut ku, inilah Cambuk Inti Sukma
itu...!" Serentak dengan ucapannya itu, Badak San-
grang mencabut Cambuk Inti Sukma yang dulu juga
pernah dia pergunakan untuk menandingi Cambuk
Gelap Sayuto ketika melawan si Bangkotan Koreng Se-
ribu. Begitu cambuk di tangan Badak Sangrang terle-
pas dari pinggangnya, maka cambuk itu pun langsung
menderu dan menghantam apa saja yang berada di se-
kitarnya. Batu-batu berukuran besar pun jadi hancur
berkeping-keping saat mana cambuk tersebut meng-
hantamnya.
Buang Sengketa terus berkelebat, mengimbangi
serangan-serangan cambuk tersebut, Golok Buntung
di tangan Buang Sengketa bergerak lebih cepat mema-
tahkan setiap serangan yang datangnya saling susul
menyusul. Pendekar Hina Kelana memang harus men-
gakui bahwa ternyata Cambuk Inti Sukma itu benar-
benar hebat luar biasa. Setiap kali cambuk itu mele-
cut, maka tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Tapi
Pendekar Hina Kelana dengan Golok Buntungnya terus
bergerak, kadang-kadang tubuhnya lenyap sehingga
tinggal merupakan bayang-bayang saja.
"Ciaaaat...! Ngung...!"
"Cter... cter... cter...!" Begitu golok di tangan si
pemuda bergerak mendesak lawannya, cambuk di tan-
gan Badak Sangrang datang menyambut.
"Aiiiiih...!" Kalau saja Buang tidak cepat-cepat
tarik balik serangannya, sudah barang tentu tangan-
nya hancur dilanda cambuk lawan. Tak begitu jauh
dari tempat itu, Bara Seta menyaksikan pertarungan
itu dengan hati harap-harap cemas.
Masih di sekitar tempat terjadinya pertarungan,
sudah hampir satu jam lebih nampak seorang laki-laki
dalam suasana tegang terus memperhatikan jalannya
pertarungan. Laki-laki berkaki buntung dengan kea-
daan tubuh rusak bekas luka-luka cambukan itu me-
rasa bahwa sekarang saat yang sangat tepat untuk
membantu Badak Sangrang yang baru saja dia kenali,
masih merupakan sahabat lamanya. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, begitu dia keluar dari
tempat persembunyiannya, laki-laki berkaki buntung
itu langsung menyerang Buang Sengketa dengan pu-
kulan-pukulan mautnya. Merasa ada orang lain yang
datang membantu dirinya, sejenak tua renta kurus
kering itu pun meneliti.
DUA BELAS
Begitu mengenali siapa adanya orang yang da-
tang membantunya, maka masih dalam keadaan ber-
gerak menyerang dia pun berseru;
"Aha... selamat datang sobat lama! Nampaknya
kau pun mempunyai keperluan yang sama terhadap
muridnya si Bangkotan Koreng Seribu?" Kata Badak
Sarang masih dengan tawa mengekeh.
"Tepat sekali dugaanmu, Bangkotan Koreng Se-
ribu mempunyai hutang padaku. Pula dendam lama
belum juga terobati. Gurunya sudah kojor, maka tak
salah kalau hari ini aku menagih hutang pada murid-
nya...!" kata Wandiro sambil melakukan serangan-
serangan gencar.
"Keparat... kalian benar-benar iblis yang sudah
bosan hidup...!" Maki Buang Sengketa secara terus
menerus berusaha menghindari pukulan maupun le-
cutan cambuk yang di lakukan oleh Badak Sangrang.
Sementara itu Bara Seta dan istrinya kelihatan
saling berbisik sesamanya; "Kakang masakan kita bi-
arkan saja, Buang mendapat keroyokan seperti itu.
Ada baiknya kalau kita datang membantu...!" Usul De-
wi Wulan tanpa mengalihkan perhatiannya dari perta-
rungan.
"Kalau kita membantu, hal itu malah mere-
potkan dia. Kau harus sadar istriku bahwa kita bukan-
lah lawan mereka. Mereka itu merupakan tokoh ting-
kat tinggi yang dapat di sejajarkan dengan almarhum
bapak. Kalau pun kita turun tangan menggempur to-
koh-tokoh sesat tersebut, jangan-jangan jiwa kita sen-
diri sangat sulit untuk melindunginya...!"
"Tapi ayah... kelihatannya Kakang Kelana su-
dah sangat kerepotan sekali. Cambuk di tangan Badak
Sangrang dahsyat memburu. Belum lagi menghadapi
serangan-serangan si kaki buntung yang tak ubahnya
bagai gelegar halilintar. Sementara Kakang Kelana
hanya mengelak dan menangkis...!" Ayunda ikut men-
desak ayahnya dengan hati harap-harap cemas. Na-
mun nampaknya Bara Seta tidak terpengaruh dengan
desakan istri dan anaknya, sebab dia merasa yakin,
bahwa saat-saat itu Buang Sengketa sedang mene-
rapkan rasa kesabarannya demi mematuhi pesan-
pesan yang tertulis dalam kitab Jurus Koreng Seribu.
Tak perduli walau berulang kali tubuhnya harus jatuh
bangun menerima pukulan-pukulan maut yang di lan-
carkan oleh dua orang lawan-lawannya.
"Kita tak perlu cemas. Itu bukan berarti kita
membiarkan bocah itu begitu saja, sudah kukatakan
kita-kita ini bukanlah apa-apa bila di bandingkan den-
gan tokoh-tokoh itu. Aku yakin tak lama lagi pemuda
itu akan mengambil tindakan yang sangat tepat...!"
Ternyata memang benar apa yang dikatakan
oleh Bara Seta, setelah jatuh bangun tak karuan den-
gan menderita luka dalam yang lumayan. Pendekar
Hina Kelana kemudian nampak bertindak sangat ce-
pat. Sementara Pecut Inti Sukma terus bergerak me-
nyambar memburu tubuhnya, Buang Sengketa sambil
membabatkan Golok Buntungnya cepat pula melepas
Cambuk Gelap Sayuto yang melilit di pinggangnya.
"Nguung! Ctar... ctaaaar... ctaar...!"
Tak dapat di sangkal, menderulah angin topan
yang sangat dahsyat menyertai terdengarnya gelegar
petir di angkasa sana. Cambuk di tangan Pendekar Hi-
na Kelana terus melecut ke segala arah, mematahkan
Pukulan Halilintar Tunggal yang di lepaskan oleh Iblis
Pencabut Nyawa yang berkaki buntung itu. Tiba-tiba
saja suasana di sekelilingnya berubah menjadi gelap
gulita. Di lain pihak walaupun Badak Sangrang dan Ib-
lis Pencabut Sukma pernah berhadapan dengan situasi
itu ketika bertarung dengan si Bangkotan Koreng Seri-
bu pada beberapa puluh tahun yang lalu. Namun kea-
daan yang mereka hadapi sekarang ini terasa agak
lain. Golok Buntung yang memancarkan sinar merah
menyala dalam kegelapan yang di timbulkan oleh
Cambuk Gelap Sayuto itu benar-benar terasa sangat
angker sekali.
Buang Sengketa yang telah sampai pada pun-
cak kemarahannya itu, nampak sudah tak memperdu-
likan keadaan di sekitarnya.
"Heiiik...!" Jeritnya, sebentar saja gerakan tu-
buhnya pun sudah berputar sambil melecutkan cam-
buk di tangannya, dia juga kirimkan satu babatan ke
arah tubuh Badak Sangrang.
"Nguuuung...!" Golok Buntung menderu dan
timbulkan suara berisik meningkahi gelegar petir dan
hujan topan di tempat itu. Namun Badak Sangrang
bukanlah tokoh sembarangan, dia merupakan tokoh
yang seangkatan dengan si Bangkotan Koreng Seribu.
Menghadapi berkelebatnya golok di tangan Buang,
maka secepatnya dia menggempos tubuhnya hingga
melesat ke udara, dalam suasana gelap seperti itu dia
masih sempat lecutkan cambuknya mengarah pada
bagian punggung Pendekar Hina Kelana. Si pemuda
merasakan ada sambaran angin yang terasa panas
bergerak menerjang bagian belakang.
Maka tanpa ayal-ayalan lagi dia putar tubuh,
cambuk melecut ke arah tubuh Wandira sedangkan
Golok Buntung di tangannya memapasi lecutan Cam-
buk Inti Sukma milik Badak Sangrang.
"Tersss...! Teeees...!" Badak Sangrang keluarkan
seruan tertahan saat mana dia lihat Cambuk Inti
Sukma miliknya terbabat putus oleh ketajaman golok
pusaka milik si pemuda. Namun dia sudah tak dapat
berpikir panjang lagi, sebab saat itu golok di tangan
Buang Sengketa menderu kencang ke arahnya. Lagi-
lagi Badak Sangrang berusaha mengkelit datangnya
sambaran golok maut tersebut.
"Beeet!" Serangan kilat yang di lancarkan
Buang, luput! Dia menjadi sangat penasaran. Kemu-
dian dia ulangi lagi.
"Crees...! Craaas...!"
"Ahhkk...!" Badak Sangrang menekuk tubuh-
nya, pada bagian leher terlihat luka yang sangat lebar.
Melalui luka tersebut mengalir darah yang tiada kun-
jung henti. Sebentar tubuh Badak Sangrang ambruk
dan berkelejat-kelejat selanjutnya diam membeku. Tapi
Buang sudah tiada menghiraukannya lagi, sebab saat
itu Wandiro demi melihat kematian kawan nya yang
sangat mengenaskan itu, langsung menyerang si pe-
muda dengan pukulan-pukulan mautnya yang diberi
nama Halilintar Tunggal Hancurkan Gunung Berapi.
Buang Sengketa pun tak kalah gusarnya, cam-
buk di tangannya terus melecut ke udara, sedangkan
golok di tangan kanannya terus berkelebat menyam-
bar, memburu Wandiro dalam kegelapan yang di tim-
bulkan oleh Cambuk Galap Sayuto.
"Wiing... nguuung...!"
"Ctaaar...! Ctaaar...!"
"Caaait...!" Dengan keberanian yang luar biasa
Iblis Pencabut Sukma itu berusaha merebut cambuk di
tangan Pendekar Hina Kelana. Tapi akal licik itu tak
luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Golok di
tangan pemuda itu menderu laksana kilat, Wandiro
yang berkaki buntung berusaha membuang tubuhnya
ke samping. Tapi celakanya gerakan pertama yang di-
lakukan oleh si pemuda sesungguhnya hanyalah me-
rupakan gerakan tipuan semata. Begitu melihat tubuh
Wandiro miring ke samping kiri, maka dari bagian
atas, golok itu menyambar.
"Buuut...!"
"Kampreet sialan!" Maki si pemuda ketika un-
tuk yang kesekian kalinya babatan golok itu pun kem-
bali luput. Wandiro tergelak-gelak merasa menang da-
lam mengecoh lawan-lawannya. Buang semakin panas
hatinya, lain di salurkannya sebagian tenaga dalamnya
mengarah ke bagian cambuknya. Tubuhnya bergetaran
sekejap lamanya. Lalu dengan disertai jeritan tinggi
melengking, pemuda itu kini malah melecutkan cam-
buknya secara beruntun.
"Ctaaar... ctaaar... ctaaar...!"
Cambuk di tangan Buang terus melecut, berge-
rak menyambar-nyambar ke mana pun Wandiro beru-
saha menghindar. Hingga pada satu kesempatan yang
sangat baik.
"Jdaaar...!" Wandiro terpelanting tubuhnya di-
landa Cambuk Gelap Sayulo ditangan Pendekar Hina
Kelana. Sebagian tubuhnya hangus dan bau daging
terbakar pun menyebar bersamaan dengan berhem-
busnya badai topan dan gelegar suara petir yang da-
tang sambung menyambung tiada berkesudahan.
Pemuda itu melangkah perlahan meng-hampiri
tubuh lawannya, sekejap dia meme-riksa keadaan
orang itu. Begitu dia merabai denyut nadinya, Iblis
Pencabut Nyawa kiranya sudah tiada bernyawa pula.
Buang menarik nafas pendek, di selipkannya Pusaka
Golok Buntung pada tempatnya menyusul Cambuk
Gelap Sayuto yang telah menewaskan Wandiro. Tokoh
seangkatan dengan gurunya itu. Seiring dengan ter-
simpannya cambuk di bagian pinggangnya, maka ba-
dai topan pun langsung terhenti. Begitu juga gelegar
halilintar di angkasa sana. Saat itu Bara Seta, istri dan
anaknya sudah datang menghampiri si pemuda, dari
cara mereka memandangnya nyatalah bahwa mereka
begitu terkesan dengan kesaktian yang di miliki oleh
pemuda itu.
"Buang! Kau benar-benar seorang pendekar
yang sangat mengagumkan...!" Puji Dewi Wulan sem-
bari menjabat erat tangan Buang Sengketa.
"Aku bukanlah apa-apa tanpa mendapat bim-
bingan kakek guru...!" Bantahnya begitu lugu.
"Hemm. Tokoh-tokoh sesat itu akhirnya tewas
dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Tapi kupikir
hal itu malah lebih baik...!" Ucapnya seperti pada di-
rinya sendiri.
"Ya... kadang-kadang keserakahan terhadap se-
suatu yang bukan miliknya, dapat berakibat fatal pada
dirinya sendiri...!" Dewi Wulan menimpali.
"Oh ya, kau masih memiliki waktu sekitar dua
hari lagi untuk menguasai Jurus-jurus Koreng Seribu
yang berada dalam kitab itu...!" Buang hanya terse-
nyum-senyum saja.
"Kakang Kelana telah berhasil mempelajari Ki-
tab Jurus Koreng Seribu dalam waktu tiga puluh tujuh
hari, ayah...!" Ucap Ayunda, kemudian memandang
sendu pada pemuda yang sangat di cintainya.
"Benarkah itu, Buang...?" Tanya Dewi Wulan
seolah-olah tak percaya.
"Benar, paman dan bibi... dan mungkin aku tak
bisa berlama-lama tinggal di Lembah Selaksa Mayat
ini...!"
"Hei mengapa harus tergesa-gesa...?" tukas Ba-
ra Seta.
"Aku ingin secepatnya bertemu dengan aya-
handa ku, paman...!" Jawabnya bersungguh-sungguh.
"Kalaupun memang begitu, tinggallah beberapa
hari lagi di rumah kami...!" Kata Dewi Wulan penuh
permohonan. Sebenarnya Buang merasa keberatan,
tapi demi menyenangkan hati Bara Seta dan istri serta
Ayunda. Maka akhirnya dia menyanggupinya juga.
Demikianlah setelah menguburkan mayat ketiga orang
lawannya, selanjutnya mereka kembali menuruni
Lembah Selaksa Mayat.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar