..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE PERTARUNGAN DI LEMBAH SELAKSA MAYAT

Pertarungan Di Lembah Selaksa Mayat

 

Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, 

tempat dan ide, hanya kebetulan belaka


PERTARUNGAN DI LEMBAH SELAKSA MAYAT


Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69

Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D.Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Pertarungan Di Lembah 

Selaksa Mayat


SATU


Pagi yang cerah, suasana di lereng perbukitan 

itu masih kelihatan terbelenggu kabut dan rasa dingin 

yang menggigit. Burung-burung belibis hutan pun ba-

ru kelihatan mulai mengepakkan sayapnya. Enggan. 

Sesekali terdengar pula lenguh suara sapi hutan di se-

kitar tempat itu. Sebuah suasana kehidupan alam 

yang sangat damai, seolah-olah tiada pernah terusik 

oleh tangan-tangan yang merusak. Sementara masih di 

sekitar tempat itu juga, nampak seseorang yang sudah 

sangat lanjut usianya sedang berlari cepat bagai di ke-

jar-kejar setan. Hampir semalaman perempuan usia 

lanjut yang bernama Nyai Tambak Sari ini terus men-

gerahkan ilmu lari cepatnya, Seribu Jarak Terlampaui.

Dalam pada itu tiada keinginannya untuk me-

noleh-noleh ke belakang. Bukan karena apa, dia hanya 

merasa dengan kejadian yang telah di alaminya sema-

lam. Kilatan senjata pusaka dan suara lecutan cambuk 

yang membuat segala-galanya jadi berubah. Setengah 

pudar harapannya untuk memiliki Kitab Jurus Koreng 

Seribu. Di lain pihak, ternyata nama besar Pendekar 

Hina Kelana bukanlah nama kosong. Syukur dia masih 

bisa meloloskan diri dari sepak terjang pemuda ber-

kuncir murid tunggal almarhum si Bangkotan Koreng 

Seribu. Andai tidak sudah tentu dia benar-benar ke-

hilangan harapan untuk memiliki Kitab Jurus Koreng 

Seribu, hasil ciptaan terakhir dari kakek sakti si Bang-

kotan Koreng Seribu. {Dalam Episode Badai Selat Ma-

laka)

Sungguh pun dia merasa jerih setelah berhada-

pan dengan Pendekar Hina Kelana. Namun itu bukan 

berarti telah mematahkan semangatnya untuk meme


nuhi ambisinya dalam merebut kitab yang sangat 

langka itu. Saat itu setelah hampir tewas di tangan 

Buang Sengketa dia sudah bertekad untuk pergi ke 

Bukit Sambuang yang merupakan tempat pertapaan 

kakang seperguruannya yang bernama Badak San-

grang. Kepada tokoh sakti yang telah lama meninggal-

kan dunia persilatan itulah dia menaruh harap dan in-

gin minta bantuan. Sebab menurut Nyai Tambak Sari, 

di dalam rimba persilatan mungkin hanya Badak San-

grang sajalah yang mampu menghadapi kehebatan 

Cambuk Gelap Sayuto yang dimiliki oleh Pendekar Hi-

na Kelana. Bahkan dulu pun dia pernah menyaksikan 

Badak Sangrang yang saat itu berumur sembilan pu-

luh tahun bertarung dengan si Bangkotan Koreng Se-

ribu. Badak Sangrang dengan Cambuk Inti Sukmanya 

masih mampu menandingi Cambuk Gelap Sayoto milik 

Bangkotan Koreng Seribu yang kini diwariskan kepada 

Buang Sengketa. Walaupun saat itu Badak Sangrang 

memang harus mengakui keunggulan si Bangkotan 

Koreng Seribu, namun pantas untuk di acungi jempol. 

Dari sekian banyak lawan-lawan yang pernah binasa di 

tangan Bangkotan Koreng Seribu, hanya Badak San-

grang seoranglah yang mampu bertahan hidup hingga 

sampai saat kini.

Dalam keadaan berlari itu dia masih berpikir 

tentang sebuah kemenangan yang akan diperolehnya. 

Satu hal yang telah sama-sama kita ketahui bahwa ke-

tua Perguruan Beruang Merah ini dalam keadaan buta 

kedua matanya. Mengagumkan dalam keadaan seperti 

itu dia masih dapat mengerahkan ilmu lari cepat, Seri-

bu Jarak Terlampaui, tanpa takut menabrak pepoho-

nan yang berada di depannya. Keringat telah memba-

sahi sekujur tubuh Nyai Tambak Sari, begitu pun dia 

masih terus mengerahkan ilmu lari cepatnya. Hingga 

beberapa jam kemudian sampailah dia di sebuah dae


rah perbukitan yang memiliki udara sangat dingin se-

kali. Itulah salah saru ciri-ciri yang sangat khas se-

buah daerah yang didiami oleh Badak Sangrang. Nyai 

Tambak Sari hentikan langkah, sekejap dia menarik 

nafas panjang-panjang. Lalu alis matanya yang tebal 

dan telah memutih nampak berkedut-kedut. Hemm. 

Tiada suara apa pun yang terdengar, agaknya kakang 

Badak Sangrang tidak ada di tempat. Atau mungkin 

aku belum berada tepat di depan gua tempat perta-

paannya. Ah... aku tak perlu berteriak-teriak seperti 

orang kesurupan, kalau kupanggil dia dengan ilmu 

menyusupkan suara. Kalau benar-benar kakang Ba-

dak Sangrang ada di tempat, tentu dia akan menden-

garnya. Batin Nyai Tambak Sari dalam hati.

"Kakang Badak Sangrang! Adakah kau di tem-

pat...?" Panggil perempuan itu dengan memperguna-

kan ilmu menyusupkan suara-nya. Sejenak tiada sa-

hutan seperti apa yang di harapkannya. Ketua partai 

Beruang Merah itu menjadi ragu-ragu.

"Kakang... Ini adikmu datang... apakah kau be-

rada di dalam gua...?" Ulangnya sambil garuk-garuk 

rambutnya yang cuma beberapa helai itu. Sekejap ke-

mudian gua yang berada tidak begitu jauh di depan 

Nyai Tambak Sari nampak bergetar, lalu dari dalamnya 

yang serba gelap menyeramkan itu pun berhembus 

asap putih yang menebarkan bau yang sangat amis 

sekali. Asap yang membentuk kabut itu pun semakin 

lama semakin menebal sehingga menyesakkan perna-

pasan Nyai Tambak Sari.

Dan kiranya perempuan buta itu menyadari ka-

lau dirinya sedang di uji kemampuannya oleh orang 

yang berada di dalam gua itu.

Maka tanpa bicara sepatah kata pun Nyai Tam-

bak Sari lambaikan tangan kanannya. Sungguh pun 

gerakan melambai itu kelihatannya hanya seperti


main-main saja tetapi sesungguhnya perempuan renta 

itu telah mempergunakan sebagian tenaga dalamnya. 

Akibatnya serangkum gelombang angin pukulan men-

deru pada empat penjuru mata angin. Satu letupan ke-

ras terdengar meningkahi suara tawa yang berkepan-

jangan.

"Ohok... ohok... ohok...! Adi Tambak... semakin 

tua rupanya engkau semakin rapuh saja, kiranya ke-

tua partai Beruang Merah nggak ada apa-apanya. Na-

ma besar namun memiliki kekuatan yang rapuh. Nafsu 

untuk mengangkangi kitab Jurus Koreng Seribu begitu 

besar, tapi tenaga kurang...!" Ucapnya dengan masih 

mengekeh menyeramkan. Lalu usai dengan suara ta-

wanya itu, nampak melayang sosok tubuh lebih tua 

dari perempuan buta itu. Laki-laki ini memiliki wajah 

lebih menyeramkan lagi. Badannya kurus kering tiada 

berdaging, rambutnya yang berwarna cokelat nampak 

acak-acakan bagai tak terurus. Kedua mata menjorok 

ke depan, dengan kumis dan janggutnya yang lebat 

dan juga sudah berubah warna. Sepintas lalu sangat 

tidak pantas bila dibandingkan dengan keadaan tu-

buhnya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang. Na-

mun siapa sangka kalau tokoh sesat yang sudah pulu-

han tahun ini banyak menghabiskan waktunya di bu-

kit Sambuang, dulunya merupakan tokoh sakti yang 

memiliki kepandaian hanya tiga tingkat saja di bawah 

almarhum si Bangkotan Koreng Seribu! Saat itu, laki-

laki ceking yang murah tertawa tersebut telah pula 

berhadapan dengan Nyai Tambak Sari adik sepergu-

ruannya. Sejenak laki-laki berpenampilan mirip orang 

yang kurang waras dan seumur hidup tak pernah me-

makai baju ini menyapu pandang pada adik sepergu-

ruannya. Lagi-lagi dia tertawa mengekeh.

"Kau datang jauh-jauh ke sini! Sesungguhnya 

ada keperluan apakah, Adi...?" Tanya Badak Sangrang,


walau sudah tahu tapi masih berusaha mendengar 

pengakuan adik seperguruannya.

"Berkata terus terang bahwa maksud kedatan-

ganku ke mari adalah ingin minta bantuanmu...!" Ujar 

Nyai Tambak Sari tanpa malu-malu lagi.

"Ho... ho... ho...! Bantuan? Selamanya kuketa-

hui kau merupakan orang yang tak pernah minta ban-

tuan siapapun. Maaf, dulu ketika kedua matamu dibu-

takan oleh si Bangkotan Koreng Seribu, engkau pun 

tak pernah minta bantuan padaku. Aneh kini kau ma-

lahan datang padaku seperti bocah kecil...?" 

"Kakang! Dulu rasa sakit itu tidak seberapa bila 

dibandingkan dengan rasa sakit hati yang kini sedang 

ku tanggungkan... ini merupakan satu penghinaan be-

sar kakang. Bukan pada diriku saja, namun juga buat 

dirimu...!" Ucap Nyai Tambak Sari berusaha manas-

manasi hati kakang seperguruannya yang mudah naik 

darah tersebut. Badak Sangrang pelototkan matanya 

yang menjorok ke dalam itu, sementara mulutnya 

mengeluarkan bunyi berdecap tiada berketentuan.

"Apakah maksudmu, Adi...?"

"Aku menaruh dendam pada muridnya Bangko-

tan Koreng Seribu yang telah mampus itu. Murid-

muridku terbantai habis semua-nya...!" Menyela Nyai 

Tambak Sari dengan geramnya. Nampaknya Badak 

Sangrang agak terkejut juga begitu mendengar apa 

yang dikatakan oleh adik seperguruannya. Selama be-

berapa purnama ini dia hanya bermimpi tentang lawan 

besarnya yang telah berhasil menciptakan kitab Jurus-

jurus Koreng Seribu. Namun tak sedikit pun dia me-

nyangka kalau si Bangkotan Koreng Seribu bekas la-

wan besarnya itu telah meninggal dunia. Hemm. Aku 

menjajal jurus-jurus ciptaanku yang paling ampuh pa-

da orang yang pernah membuat aku malu di depan be-

ratus-ratus orang persilatan tempo hari. Namun ter


nyata orang itu kini telah kojor. Enak betul manusia 

gudis itu? Maki Badak Sangrang setengah menyesal-

kan kematian musuh nomer satunya. Tapi kalau dia 

kembali teringat pada apa yang baru saja di katakana 

oleh adik seperguruannya. Nampaknya dia masih 

mempunyai harapan untuk membalaskan rasa malu 

yang pernah dialaminya dulu pada murid tokoh super 

sakti itu. Akhirnya dengan semangat yang menggebu, 

dia pun kembali bertanya pada Nyai Tambak Sari; "Adi 

Tambak! Benarkah si Bangkotan Koreng Seribu sebe-

lum mampus telah menciptakan kitab Jurus Koreng 

Seribu?" Tanyanya dengan sangat penasaran sekali.

"Itulah persoalannya, kakang...! Aku merasa 

tertarik dengan berita tentang jurus-jurus langka yang 

telah diciptakan oleh si keparat itu. Muridku kuutus 

untuk mengetahui tentang kebenaran cerita itu di Tan-

jung Api. Kenyataannya cerita memang benar adanya. 

Seperti dugaanku, di tempat itu rupanya sudah ba-

nyak kalangan persilatan dari berbagai golongan telah 

hadir di sana. Apa yang mereka inginkan tak lain ada-

lah ingin memiliki kitab yang sangat dahsyat itu. Tidak 

munafik kalau kukatakan bahwa aku sesungguhnya, 

juga ingin memiliki kitab itu. Tapi ternyata niat adik-

mu ini telah terhalangi dengan hadirnya Bara Seta 

yang merupakan anak angkat si Bangkotan Koreng Se-

ribu, dan lebih celaka lagi setelah murid manusia pe-

murung yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu ikut 

turun tangan...!"

Badak Sangrang menarik nafas dalam-dalam. 

Baginya masih belum jelas benar siapa adanya Bara 

Seta. Tapi yang lebih menarik lagi adalah tentang ma-

nusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu.

"Apakah dia mempergunakan Cambuk Gelap 

Sayoto...?" Tukasnya tak sabar. Sepasang mata be-

rongga milik Nyai Tambak Sari nampak memandang


pada Badak Sangrang.

"Aku merasa begitu, namun dia bukan memiliki 

cambuk yang sangat mengerikan itu saja, tapi juga dia 

memiliki senjata ampuh, yang pada akhirnya mene-

waskan semua murid-muridku...!" Gigi-gigi Badak 

Sangrang yang hanya tinggal beberapa gelintir itu ber-

keretukan menahan geram.

"Cambuk Gelap Sayuto, aku masih mampu 

menandinginya dengan cambuk ku, Inti Sukma, tapi 

senjata yang baru kau sebutkan belakangan, macam 

apakah bentuknya?" Tanya Badak Sangrang.

"Kuketahui begitu senjata itu tercabut dari sa-

rungnya aku merasakan senjata itu mendengung. 

Mendadak udara di sekitarnya menjadi dingin luar bi-

asa, orang-orang di sekeliling ku berteriak, Pusaka Go-

lok Buntung...!" jawab Nyai Tambak Sari, dan wajah-

nya masih membayangkan rasa jerih. Sebaliknya Ba-

dak Sangrang merasa kurang kenal dengan pusaka 

yang baru saja disebutkan oleh adik seperguruannya. 

Selama ini dia tak pernah melihat Bangkotan Koreng 

Seribu mempergunakan senjata seperti apa yang dika-

takan oleh adiknya. Lalu dari manakah pemuda itu 

memperoleh senjata itu. Mengingat sampai ke situ ce-

pat-cepat dia bertanya pada Nyai Tambak Sari.

"Adi Tambak! Manakah yang lebih hebat antara 

Pusaka Golok Buntung dengan Cambuk Gelap Sayo-

to...?" Ketua Partai Beruang Merah itu geleng-

gelengkan kepalanya.

"Menurutku, dua-duanya sama dahsyat luar 

biasa. Tapi mungkin dalam fungsinya Pusaka Golok 

Buntunglah yang paling berperan banyak dalam mem-

basmi lawan-lawan-nya...!" 

Panas bukan alang kepalang hati Badak San-

grang dibuatnya, semakin bertambah penasaran pula 

hatinya.

"Sungguh pun senjata dari akhirat sekalipun 

yang dia pergunakan untuk berhadapan denganku. Ti-

dak nantinya bocah goblok itu mampu menahan puku-

lan Tapak Setan hasil ciptaanku yang terbaru...!"

Bukan main gembiranya hati Nyai Tambak Sari 

begitu mendengar keputusan kakang seperguruannya. 

Dalam luapan kegembiraan itu, tiba-tiba dia berkata:

"Kakang benar-benar mau menghadapi murid-

nya Bangkotan Koreng Seribu?"

"Ya... bahkan aku pun akan merebut dan ingin 

mengetahui apa sih hebatnya kitab Jurus Koreng Seri-

bu itu...!" Ucapnya mencemooh. 

"Jadi kapan kita berangkat, kakang...?"

"Hmm. Kurang lebih sepuluh hari mendatang...! 

Kau istirahatlah di gua sebelah. Aku akan menyiapkan 

segala sesuatunya." Kata Badak Sangrang. Dan seke-

jap kemudian kedua orang itu pun telah berkelebat 

memasuki Gua pertapaan.


DUA



Matahari panas terik membakar dan apa yang 

terlihat di depan mereka hanyalah sebuah kegersangan 

yang sangat membosankan. Di kanan kiri jalan itu 

nampak sebuah jurang yang menganga dalam. Semen-

tara jalan. yang mereka lalui pun merupakan sebuah 

jalan setapak yang dipenuhi oleh batu-batu yang san-

gat runcing lagi tajam. Namun semua itu tidak meng-

halangi gerakan langkah Buang Sengketa, Bara Seta 

dan seorang muridnya yang sedang melakukan perja-

lanan jauh. Seperti di ketahui, setelah meninggalkan 

Tanjung Api yang merupakan tempat tinggal gurunya, 

Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Dan kemudian berta-

rung pula dengan ketua partai Beruang Merah, mereka


ini tetap melanjutkan niatnya untuk mencari tempat 

baru yang benar-benar mereka anggap aman untuk 

mempelajari Kitab Jurus Koreng Seribu (Dalam Epi-

sode Badai Selat Malaka).

Hari ini mereka telah sampai di sebuah lembah 

yang bernama Lembah Selaksa Mayat. Seperti apa 

yang pernah di katakan oleh Bara Seta, bahwa Lembah 

Selaksa Mayat adalah merupakan tempat tinggal istri 

dan anaknya satu-satunya. Lembah itu merupakan 

sebuah daerah yang terpencil dan terletak di pedala-

man hutan yang tak pernah di jamah oleh orang lain 

selain keluarganya. Dulunya anak dan istrinya sama-

sama tinggal di Lubuk Sikaping yang sekaligus meru-

pakan sebuah perguruan yang dipimpin oleh Bara Se-

ta. Namun karena sejak kecil istri Bara Seta yang ber-

nama Dewi Wulan tinggal di lembah tersebut. Maka 

tak heran kalau kemudian dia memilih untuk membe-

sarkan anaknya di tempat yang sangat jauh dari ke-

ramaian dunia. Dan di sanalah putri tunggalnya yang 

bernama Ayunda di besarkan dan di didik dengan ber-

bagai ilmu kanuragan selama hampir tujuh belas ta-

hun. Walaupun selama itu antara Bara Seta dan Dewi 

Wulan sering memiliki beda pendapat dalam mendidik 

anaknya. Namun ketua Perguruan Canduk Ginaka itu 

juga sering berkunjung ke Lembah Selaksa Mayat.

Karena menurut Bara Seta hanya Lem-bah Se-

laksa Mayat sajalah yang merupakan tempat paling 

aman untuk mempelajari kitab Jurus Koreng Seribu. 

Maka dalam perjalanan meninggalkan Tanjung Api be-

berapa hari yang lalu, mereka telah mencapai kata se-

pakat untuk datang ke tempat itu. Dalam pada itu se-

telah melalui jurang-jurang yang sangat sulit dan lagi 

licin. Maka lewat sepemakan sirih, sampailah mereka 

bertiga di dasar lembah itu. Dari kejauhan Buang da-

pat melihat sebuah rumah panggung yang terbuat dari


anyaman bambu dan beratap daun kirai. Rumah itu 

tingginya kurang lebih tujuh meter. Sesaat saja Buang 

Sengketa memperhatikan situasi di sekitarnya. Tapi 

ketika kemudian Bara Seta menarikkan tangannya, 

kemudian mengajaknya terus berjalan menuju rumah 

itu pemuda dari Negeri Bunian ini hanya mampu me-

nurut saja.

"Dewi Wulan...! Aku yang datang...!" Kata Bara 

Seta setengah berteriak. Beberapa saat setelah uca-

pannya itu, maka pintu depan rumah itu pun nampak 

terbuka. Seorang gadis berwajah sangat cantik muncul 

dari dalamnya, lalu mereka saling pandang. Begitu ga-

dis yang berada di depan pintu rumah bertonggak 

tinggi itu mengenali siapa adanya orang-orang yang 

datang. Maka gadis cantik yang bernama Ayunda itu 

pun menghambur menuruni anak tangga.

"Ayah...!" Serunya. Lalu begitu hampir di depan 

Bara Seta, gadis itu langsung memeluk tubuh gemuk 

ayahnya. 

"Bagaimana keadaan ibumu...?" Tanya Bara Se-

ta di tengah-tengah luapan kerinduannya. Sejenak 

Ayunda melepaskan pelukannya, di pandanginya wa-

jah ayahnya, lalu beralih pada Buang Sengketa. Dalam 

hati dia merasa geli sendiri begitu melihat pemuda 

tampan yang datang bersama ayahnya tersebut. Ba-

gaimana tidak! Ketampanan pemuda itu benar dia 

akui, namun pakaiannya yang kumuh, dengan sebuah 

periuk berjelaga menggelantung di pinggangnya. Se-

hingga mengesankan seorang sinting yang baru saja 

pulang dari mengembara.

"Ayunda! Kenalilah, pemuda ini masih merupa-

kan kerabat kita juga. Namanya Buang Sengketa...!" 

Ujar Bara Seta setelah melihat anaknya terus mem-

perhatikan Pendekar Hina Kelana.

"Buang Sengketa...? Heh, sebuah nama yang


sangat aneh...!" Desah Ayunda begitu polos. Dan tentu 

saja hal ini membuat wajah Buang Sengketa berubah 

menjadi merah jengah.

"Ayunda, tak boleh bersikap seperti itu, berlaku 

sopanlah sedikit pada orang lain...!"

"Eeh, maaf ayah! Sebenarnya Ayu tak bermak-

sud begitu...!" Kata Ayunda lalu menjura hormat pada 

ayahnya. Keadaan seperti itu sudah barang tentu tidak 

mengenakkan Pendekar Hina Kelana. Maka kemudian 

dia berkata pelan.

"Sudahlah paman! Tak perlu memakai perada-

tan segala. Pula kita ini berada dikalangan keluarga 

sendiri...!"

Belum lagi Bara Seta maupun Ayunda sempat 

mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar suara teguran 

dari dalam rumah yang bertonggak tinggi tersebut

"Yunda, mengapa tamu-tamu kita di biarkan 

saja berdiri di luar. Suruhlah mereka masuk...!" 

Mereka yang berada tidak begitu jauh dari ru-

mah bertonggak ini pun saling berpandangan. Selan-

jutnya Ayunda menggandeng tangan ayahnya menaiki 

tangga rumah itu. Setelah sampai di dalam rumah ke-

cil itu, mereka duduk di atas sebuah tikar yang terbuat 

dari anyaman kulit rotan. Sebagaimana lazimnya, pa-

sangan suami istri ini pun saling bersalaman. Hal ini 

kiranya tak luput dari perhatian Pendekar Hina Kela-

na. Sekilas dia memperhatikan Dewi Wulan yang me-

nurutnya berusia sekitar empat puluh tahun. Namun 

walau usianya sudah terbilang sudah lanjut, masih ke-

lihatan sisa-sisa kecantikan membias di wajahnya. Ke-

tika selanjutnya Dewi Wulan menanyakan segala sesu-

atunya tentang pemuda yang bersama suaminya itu. 

Maka secara panjang lebar Bara Seta menceritakan se-

gala sesuatunya tentang pemuda itu. Mengertilah Dewi 

Wulan tentang siapa sebenarnya pemuda yang duduk


di samping Bara Seta suaminya. Perempuan setengah 

baya itu angguk-anggukkan kepalanya. Selanjutnya 

dia berkata lunak: "Oh... tak kusangka kalau tokoh 

nomer satu sekaligus merupakan angkatan tua golon-

gan kaum yang lurus itu telah tiada. Tapi aku mendu-

kung usulmu itu, kakang. Aku yakin kalau jejak kalian 

ke mari ini tidak tercium oleh golongan persilatan ma-

na pun. Lembah Selaksa Mayat ini merupakan sebuah 

daerah yang sangat aman untuk membuka kemungki-

nan tentang rahasia Kitab Jurus Koreng Seribu. Kare-

na hanya Buang sendiri yang mengerti akan makna 

kata maupun tulisan-tulisan rahasia yang terkandung 

dalam kitab itu. Maka tak banyak yang dapat kita la-

kukan terkecuali melindungi keselamatan Buang dari 

ancaman pihak manapun yang bermaksud merampas 

Kitab Rahasia Jurus Koreng Seribu...!"

"Itu memang betul, apalagi bila mengingat pe-

san bapak yang pernah di sampaikan padaku setahun 

sebelum dia meninggal dunia...!" Berkata Bara Seta 

pada istri dan anaknya.

"Sesungguhnya kedatanganku ke sini hanya 

membuat repot paman dan bibi saja!" Sahut pemuda 

itu, dan dalam kesempatan yang hanya sesaat itu tan-

pa sepengetahuan yang lain-lainnya Buang sempat 

melirik pandang pada Ayunda yang sejak tadi terus 

memperhatikan dirinya. Wajah gadis itu berubah ke-

merah-merahan begitu mata mereka saling beradu 

pandang. Sementara itu Buang Sengketa yang sesung-

guhnya mempunyai watak pemalu itu hanya menun-

dukkan kepala. Lalu dia membatin: Gadis cantik 

anaknya paman Bara Seta ini wajahnya sangat mirip 

dengan Wanti Sarati, entah mengapa fikiranku tiba-

tiba saja teringat akan dia, aneh... hatiku berdebar ke-

tika tadi aku memandangnya. Wanti Sarati, betapa ak-

hir-akhir ini aku selalu mengingatnya. Tidak seperti


dulu saat mana pertama kali dia telah begitu berani 

mengatakan cinta padaku. Saat itu aku tak pernah 

menaruh perasaan apa-apa padanya. Dia cantik, na-

mun juga cerdas, bahkan mungkin lebih cantik dari 

Ayunda yang sekarang duduk tak jauh dari ibunya. 

Wanti... semoga aku tak pernah terlambat untuk 

membalas cintamu. Dan semoga pula dia dapat belajar 

dengan guru setengah siluman itu dengan baik. Wanti 

Sarati. Maafkanlah pamanmu ini! Desahnya setengah 

menyesali. (Untuk jelasnya siapa Wanti Sarati, dalam 

episode Satria Penggali Kubur).

"Buang! Apa yang kau pikirkan?" Tanya Bara 

Seta tiba-tiba. Pertanyaan yang tiada di sangka-sangka 

itu sudah barang tentu membuat Pendekar Hina Kela-

na jadi kelabakan. Lalu dengan suara terbata-bata dia 

menjawab;

"Ee... tid... tidak paman. Aku hanya merasa le-

tih saja, mungkin karena selama ini aku selalu mela-

kukan perjalanan yang jauh."

"Kalau begitu, baiknya kau istirahat dulu!" Ber-

kata Dewi Wulan, sebentar dia menoleh pada putri sa-

tu-satunya. Kemudian perintahnya; "Yunda... coba kau 

tunjukkan kamar buat kakangmu...!"

Tanpa menjawab Ayunda segera melak-

sanakan apa yang di perintahkan ibunya. Buang 

Sengketa hanya mengikuti dari belakangnya.

"Kakang bisa istirahat di sini, oh ya... maafkan 

atas segala perlakuanku yang kurang pada tempat-

nya...!"

"Tak apa... kau juga tidak bersalah...!" Tukas si 

pemuda apa adanya. Sesaat kemudian Ayunda telah 

meninggalkan Pendekar Hina Kelana di kamar itu seo-

rang diri. Pada dasarnya karena pemuda ini memang 

sudah keadaan sangat letih, maka begitu dia mere-

bahkan tubuhnya di atas balai bambu, maka sekejap


kemudian dia telah lelap tertidur.

Sementara itu di ruangan depan, pembicaraan 

antara Dewi Wulan, Ayunda dan Bara Seta masih terus 

berlanjut. Nampaknya istri Bara Seta maupun putrinya 

benar-benar merasa tertarik dengan kehidupan dan 

sepak terjang pemuda keturunan raja dari negeri alam 

gaib tersebut. Tak dapat di sangkal kalau sekejap ke-

mudian pertanyaan Dewi Wulan pun kembali terden-

gar;

"Kakang sudah begitu lama kenal dengan al-

marhum bapak! Tapi pernahkan bapak Bangkotan Ko-

reng Seribu bercerita tentang muridnya...?" Tanya Dewi 

Wulan dengan penuh perhatian. Yang di tanya nampak 

terdiam beberapa saat lamanya. Seingatnya sebelum 

meninggal, dulu si Bangkotan Koreng Seribu memang 

sering bercerita tentang murid tunggalnya. Asal usul, 

maupun ketika saat kakek itu menemukan bayi merah 

yang terapung di tengah-tengah lautan. Sedapatnya 

dia berusaha mengingat-ingat tentang apa yang pernah 

di katakan oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Se-

lanjutnya begitu dia dapat mengingat kembali tentang 

segala apa yang pernah di katakan oleh tokoh sakti 

yang merupakan tokoh sangat di takuti oleh semua go-

longan itu, maka tanpa ragu lagi dia pun mulai berkata 

pada istri dan anaknya;

"Hanya beberapa purnama sebelum bapak me-

ninggalkan dunia fana ini untuk selama-lamanya. Pa-

daku dia pernah mengatakan segala sesuatunya ten-

tang murid tunggal yang sangat di sayanginya itu. Si 

Bangkotan Koreng Seribu adalah tokoh sakti yang se-

lama malang melintang di rimba persilatan hampir le-

bih dari delapan puluh tahun menjadi momok dalam 

kalangan persilatan golongan hitam. Dalam usianya 

yang mencapai seratus delapan puluh tahun itu, bah-

kan hingga akhir hayatnya. Dia tetap merupakan to


koh nomor satu yang tak pernah terkalahkan. Sung-

guh pun dia merupakan tokoh sakti yang pada jaman-

nya membuat geger delapan penjuru persilatan karena 

Cambuk Gelap Sayutonya. Tapi dia juga merupakan 

tokoh yang paling malang di atas dunia fana ini...!"

"Apa maksudmu, kakang...?" Tanya Dewi Wu-

lan keheranan. Bara Seta menarik napas pendek. Se-

lanjutnya dia menyambung;

"Dulu sebelum dia berguru oleh almarhum gu-

runya yang pada jaman ratusan tahun yang lalu me-

rupakan orang yang Maha Sakti tapi buruk peran-

gainya. Bapak Bangkotan Koreng Seribu bukanlah 

manusia yang memiliki penyakit buruk yang di seluruh 

permukaan kulitnya di tumbuhi oleh ribuan koreng. 

Tapi bapak pada jaman mudanya adalah merupakan 

seorang bocah yang suka mengembara dan berguru 

berbagai ilmu kesaktian. Bertemulah dia dengan tokoh 

Buruk Perangai yang memiliki berbagai ilmu kesak-

tian. Padanya dia berusaha menuntut berbagai ilmu 

kanuragan. Mulanya tokoh Maha Sakti dari Selatan itu 

tidak bersedia memberi pelajaran ilmu apapun. Tapi 

karena bapak merupakan orang yang keras kemauan. 

Maka si Buruk Perangai bersedia menjadi gurunya, 

dengan satu syarat. Bahwa segala dosa maupun kutuk 

yang telah di jatuhkan Dewata pada si Buruk Perangai, 

bapak bersedia memikulnya. Tak dinyana bapak yang 

haus akan ilmu sakti itu menerima. Sebagai imbalan-

nya, si Buruk Perangai memberikan segala kesaktian 

yang pernah di milikinya...!"

"Karena kutuk itukah maka sampai akhir 

hayatnya, bapak harus menanggungkan penyakit ko-

reng yang tiada kunjung sembuh...?" Tanya sang istri 

semakin tertarik saja. Bara Seta menganggukkan ke-

palanya pelan.

"Benar sekali...!" Ucapnya tanpa ragu.

"Tapi ayah, apakah tokoh maha sakti si Buruk 

Perangai masih hidup sampai sekarang ini...!" Sela 

Ayunda tiba-tiba.

"Mungkin juga. Sebab menurut bapak, gu-

runya, si Buruk Perangai memiliki ilmu yang dapat 

memanjangkan umur seseorang tanpa menyalahi ko-

drat. Coba bayangkan saja kalau bapak saat meninggal 

berumur seratus delapan puluh tahun, lalu bagaimana 

dengan gurunya?" Tanya Bara Seta seperti pada di-

rinya sendiri.


TIGA



"Hemm, Sebuah ilmu langka yang tak di miliki 

oleh kalangan persilatan mana pun saat ini. Dalam 

umur bapak yang panjang itu mungkin bapak telah 

mempergunakan ilmu gurunya...!" Kata Dewi Wulan 

menduga-duga. Saat itu Bara Seta cepat-cepat geleng-

kan kepala.

"Tidak sama sekali. Bapak Bangkotan Koreng 

Seribu, telah mewariskan ilmu awet muda yang ber-

nama Tetep Rupo pada murid tunggalnya Buang Seng-

keta...!"

"Itu berarti Buang Sengketa tak pernah tua se-

lama-lamanya." Seru Dewi Wulan setengah terperan-

gah.

"Ya, itu sudah barang tentu. Terkecuali Buang 

telah melakukan pelanggaran terhadap satu pantan-

gan yang dapat membuatnya tua menuruti kodrat...!" 

Baik Ayunda maupun ibunya nampak terheran-heran 

dalam rasa ketidak mengertian.

"Apakah yang ayah maksudkan dengan pelang-

garan yang pernah di katakan oleh Kakek Bangkotan


Koreng Seribu...?" sela gadis cantik itu tanpa malu-

malu.

"Pelanggaran itu adalah apabila Buang sampai 

berzina dengan perempuan yang bukan istrinya...!"

"Apakah pantangan itu di ketahui oleh Buang 

Sengketa, kakang...?" Tanya sang istri pula.

"Tidak. Semua itu sengaja di rahasiakan oleh 

bapak demi untuk mengetahui sebatas mana murid 

tunggalnya dapat mengekang diri dalam mengendali-

kan hawa nafsu!"

"Itu sama saja artinya merupakan satu ujian 

yang berat bagi anak itu kakang...?" Ujar Dewi Wulan 

setengah memprotes.

"Bapak hanya menginginkan agar murid tung-

galnya benar-benar merupakan seorang pendekar seja-

ti yang berhati lurus...!" Dewi Wulan dan anaknya 

mengangguk-angguk tanda mengerti. Namun selanjut-

nya Ayunda yang semula merasa kurang begitu senang 

dengan kehadiran pendekar ini, tapi kemudian setelah 

mengetahui sedikit banyaknya tentang pemuda itu. 

Dengan rasa keingintahuan yang besar segera pula 

menyala

"Ayah! Menurut kata ayah, kakek sepanjang hi-

dupnya tak pernah merasa tertarik untuk mendidik 

seorang murid. Tapi mengapa kemudian dia bersedia 

mengambil Buang Sengketa menjadi muridnya? Siapa-

kah dan anak siapa pula Buang Sengketa itu...?" Ta-

nyanya penuh semangat. Lagi-lagi Bara Seta tunduk-

kan wajahnya, mungkin ada sesuatu yang berusaha di 

ingat-ingatnya kembali tentang pemuda itu. Namun 

saat mana dia teringat kembali tentang apa yang per-

nah di katakan oleh almarhum Bangkotan Koreng Se-

ribu, maka tanpa menunggu lebih lama lagi dia pun 

menjawab.

"Hampir kurang lebih dua puluh satu tahun


yang lalu, Tanjung Api yang memiliki bukit-bukit ka-

rang tajam, merupakan daerah yang sangat sunyi dan 

hanya di huni oleh seorang tokoh sakti yang bernama 

si Bangkotan Koreng Seribu. Satu ketika, hampir satu 

minggu. Laut di Selat Malaka di landa badai yang san-

gat dahsyat. Hujan deras tercurah bagai tiada henti-

hentinya. Si Bangkotan Koreng Seribu yang telah lama 

mendiami Tanjung Api sedikit banyaknya tentu merasa 

sangat heran dengan keadaan yang tidak sebagaimana 

mestinya ini. Tetapi firasatnya mengatakan bakal ada 

sesuatu yang sangat besar terjadi di tempat itu. Siang 

dan malam orang tua sakti ini hanya mengurung diri 

di dalam gubuknya, dia pun melakukan semedi untuk 

memohon petunjuk dari sang Dewata. Dalam keadaan 

hujan yang tiada mengenal henti, sementara di laut di 

landa badai besar-besaran, hari ketujuh dalam seme-

dinya itu, si Bangkotan Koreng Seribu di datangi oleh 

sosok raja siluman yang berujud seekor Ular Piton 

yang sangat luar biasa besarnya. Raja para siluman itu

tinggal di alam kedua di sebuah pesisir pantai bagian 

Barat pulau Andalas. Pada si Bangkotan Koreng Seribu 

raja para siluman yang menamakan dirinya sebagai 

Raja Piton Utara itu berpesan bahwa akan datang pa-

danya seorang bayi laki-laki yang nantinya akan men-

jadi seorang satria pendekar pembela kebenaran. Di 

katakan pula oleh raja para siluman itu bahwa bayi 

merah yang telah di hanyutkan oleh ibunya ke laut 

tersebut masih merupakan titisannya dari hasil per-

kawinannya dengan manusia biasa. Ibu sang bayi te-

lah binasa di tangan para peramal sinting manakala 

berusaha menyelamatkan putranya, yang menurut 

ramalan akan menjadi penyebab malapetaka di kalan-

gan persilatan. Sedangkan menurut pengakuan raja 

para siluman itu. Para peramal yang telah membunuh 

ibu si bayi yang sekaligus merupakan istri raja Piton



Utara telah pula tewas di tangannya sendiri. Pada si 

Bangkotan Koreng Seribu, raja para siluman itu mem-

berikan kepercayaan penuh untuk merawat anaknya. 

Sedangkan dia sendiri demi menebus kesalahan yang 

telah di perbuatnya akibat perkawinannya dengan ma-

nusia biasa telah memutuskan untuk melakukan tapa 

di laut Malaka. Selesai dengan kedatangan raja para 

siluman itu, mendadak hujan terhenti seketika. Laut 

kembali berubah tenang, keesokan harinya Pantai Tan-

jung Api yang terkenal dengan keganasan ombaknya 

nampak dalam keadaan lengang bagai tak pernah ter-

jadi sesuatu.

Sementara itu sesuai dengan yang dia terima, 

sepanjang hari si Bangkotan Koreng Seribu berada di 

pinggiran laut sambil memperhatikan keadaan di seke-

lilingnya. Dan ternyata wangsit yang di terimanya me-

mang benar adanya. Begitu laut bergerak pasang naik. 

Dia melihat sebuah kotak terapung-apung di atas air 

menuju ketepian pantai. Kotak berukuran setengah 

meter itu ternyata memang benar berisi sosok bayi la-

ki-laki yang sangat sehat dan montok. Sesuai dengan 

pesan yang di terimanya dalam wangsit, Bapak Bang-

kotan Koreng Seribu kemudian merawat dan mendi-

diknya dengan berbagai ilmu silat dan pukulan-

pukulan sakti hasil ciptaannya. Anak itu di beri nama 

Buang Sengketa. Buang artinya anak yang sengaja di 

buang atau di campakkan ke laut demi keselamatan-

nya. Sedangkan Sengketa, karena sejak masih dalam 

kandungan ibunya, tanda-tanda kehadiran anak itu di 

alam dunia di penuhi dengan kejadian yang aneh-aneh 

lagi menggemparkan. Itu makanya orang-orang persila-

tan memburu ibunya. Kelahirannya memang banyak 

di persoalkan oleh orang ramai...!" Kata Bara Seta, se-

jenak dia menarik nafas pendek. Namun ketika dia 

bermaksud melanjutkan ucapannya. Dewi Wulan tiba


tiba menyela;

"Kakang! Kalau begitu dia masih merupakan ti-

tisan para siluman...?" Kata istri Bara Seta setengah 

takut-takut. Ketua Perguruan Candak Ginaka ini 

hanya tersenyum saja demi melihat wajah istrinya 

yang mendadak berubah pucat. Lalu dengan suara 

hampir-hampir tak terdengar dia melanjutkan;

"Sungguh pun ayahnya masih merupakan raja 

para siluman di Negeri Bunian, namun pada kenya-

taannya dia masih merupakan seorang manusia, yang 

memiliki hati dan perasaan sebagaimana manusia ke-

banyakan."

"Jadi sejak kecil kakek Bangkotan Koreng Seri-

bu telah melatih Buang dalam berbagai ilmu sakti yang 

di miliki oleh kakek itu...?" Tanya Ayunda secara diam-

diam dia mulai mengagumi keberadaan Pendekar Hina 

Kelana di rumahnya.

"Ya... bahkan ketika pemuda itu masih beru-

mur satu tahun si Bangkotan Koreng Seribu telah 

mendidiknya dengan berbagai ilmu kanuragan. Salah 

satu diantaranya yang pertama kali dilakukan adalah 

dengan merebus tubuh bocah itu di dalam sebuah te-

laga alam yang memiliki panas bersumber dari dalam 

perut bumi. Hal ini menurut kakek Bangkotan Koreng 

Seribu di rasa sangat perlu untuk menghilangkan un-

sur siluman yang ikut mengalir bersama darah di da-

lam tubuhnya. Dan ketika usianya menjelang tiga ta-

hun, si Bangkotan Koreng Seribu menurunkan satu 

kesaktian yang pada akhirnya membuat dirinya kebal 

terhadap serangan beracun mana pun.

Kemudian ilmu maupun jurus-jurus silat sakti 

pun mulai dia turunkan pada Buang saat mana 

usianya sudah mencapai lima tahun. Hampir setiap 

hari si Bangkotan Koreng Seribu melatih bocah yang 

berasal dari keturunan raja para siluman itu tiada


henti bahkan tiada pula mengenal lelah. Tahun demi 

tahun pemuda bocah itu mengalami kemajuan yang 

sangat pesat. Sebaliknya kakek pemurung itu semakin 

memperketat waktu latihan muridnya dengan cara 

menggemblengnya di pantai berbatu karang di pesisir 

Tanjung Api. Di sela-sela hempasan gelombang laut 

itulah si Bangkotan Koreng Seribu mendidik Buang 

Sengketa. Jurus-jurus silat tangan kosong, mulai dari 

jurus silat Membendung Gelombang Menimba Samu-

dra, kemudian jurus silat si Gila Mengamuk, lalu jurus 

si Jadah Terbuang. Hampir setiap tiga purnama sekali 

dia turunkan. Lalu setelah usianya mencapai belasan 

tahun Bangkotan Koreng Seribu menurunkan ilmu 

pukulan yang sangat dahsyat yang di beri nama puku-

lan Empat Anasir Kehidupan, selanjutnya

setahun berikutnya menurunkan ilmu pukulan yang 

lebih dahsyat lagi yang diberi nama si Hina Kelana Me-

rana...!"

"Hemm. Begitu besar perhatian kakek Bangko-

tan Koreng Seribu terhadap Buang Sengketa. Sehingga 

beliau menurunkan segala apa yang di milikinya pada 

Buang! Tapi benarkah apa yang di katakan oleh ba-

nyak orang bahwa orang yang memiliki gelar Pendekar 

Hina Kelana itu Buang Sengketa adanya...?" Tukas 

Ayunda, lalu memandang tajam pada Bara Seta.

"Ya... dialah Pendekar Hina Kelana yang mewa-

risi pusaka Golok Buntung pemberian ayahandanya 

yang sangat menggemparkan itu." Jawab Bara Seta be-

gitu mantap.

"Tapi kakang... mengapa bapak Bangkotan Ko-

reng Seribu masih mewariskan satu kitab pada Buang, 

padahal dia seorang pendekar yang tiada memiliki 

tanding?" Tukas Dewi Wulan setengah penasaran.

"Mungkin ada beberapa hal yang tak pernah di-

ketahui oleh siapapun, namun telah terpikirkan oleh


orang sakti itu. Kitab Jurus Koreng Seribu yang masih 

belum terungkap maknanya tersebut. Di dalamnya aku 

merasa yakin, di samping memuat rangkaian jurus 

yang maha dahsyat tentu juga mewariskan sifat-sifat 

kemanusiaan sebagai mana lazimnya. Sebab walau ba-

gaimana pun unsur siluman itu masih bersisa di da-

lam-diri Pendekar Hina Kelana. Untuk menghindari 

agar dirinya tak terjerumus sebagai seorang pendekar 

super sadis. Maka harus di tanamkan unsur kesaba-

ran dan rasa welas asih di dalam dirinya. Dan menurut 

dugaanku kesanalah almarhum Bapak Bangkotan Ko-

reng Seribu ingin menjadikan muridnya sebagai pen-

dekar tiada tanding pembela kebenaran namun memi-

liki rasa kemanusiaan yang sangat tinggi...!" Ujar Bara 

Seta berusaha menarik satu kesimpulan tentang kitab 

Jurus Koreng Seribu peninggalan almarhum si Bang-

kotan Koreng Seribu.

"Hemm. Sungguh besar harapan kakek Bang-

kotan Koreng Seribu, terhadap murid tunggalnya 

itu...!" Bara Seta menganggukkan kepalanya.

"Ya... hal itu pun pernah di katakan oleh bapak 

secara langsung pada ayahmu ini, beberapa purnama 

sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terak-

hir...!"

"Kita hanya mampu berdoa pada sang Hyang 

Widi, semoga apa yang menjadi harapannya dapat ter-

laksana sebagaimana yang di harapkan...!" Dewi Wu-

lan menambahi. 

Saat itu hari sudah larut malam, maka Bara 

Seta mengakhiri pembicaraannya. Tak sampai seten-

gah jam kemudian Lembah Selaksa Mayat kelihatan

menjadi sunyi sepi bagai tiada berpenghuni.


EMPAT



Sejak tersiar berita kematian tentang tokoh 

sakti si Bangkotan Koreng Seribu dan tentang sebuah 

kitab ciptaannya yang sangat dahsyat itu. Dunia persi-

latan menjadi gempar karenanya. Masing-masing go-

longan persilatan yang memiliki jiwa serakah dan be-

rambisi untuk mendapatkannya. Segera bergerak dari 

partai, perguruan maupun secara perorangan untuk 

mencari tahu kemanakah perginya murid tunggal si 

Bangkotan Koreng Seribu yang telah membawa serta 

kitab Jurus Koreng Seribu yang di dalamnya sudah 

barang tentu memuat jurus-jurus yang sangat dah-

syat. Tak ubahnya bagai memperebutkan harta karun 

milik nenek moyangnya saja, masing-masing mereka 

saling curiga-mencurigai. Bahkan tak segan-segan me-

reka dari aliran yang berbeda saling bunuh.

Keadaan dunia persilatan saat itu memang be-

nar-benar sangat runyam. Siang dan malam baik to-

koh maupun tokoh beraliran putih yang telah kepincut 

dengan kabar yang mereka terima kelihatan berkelia-

ran di mana-mana. Siang itu nampak serombongan pe-

jalan kaki sedang memasuki sebuah kota kecil yang 

bernama Muara Beliti. Mereka ini terdiri dari lima 

orang laki-laki bertampang kejam, mengenakan pa-

kaian warna kelabu berbadan tegap dengan dada ter-

buka dan berbulu lebat. Di bagian pinggang mereka 

menggelantung lima batang golok besar yang nampak 

mengkilat-kilat karena ketajamannya. Dalam kalangan 

persilatan, mereka di kenal sebagai si Lima Golok Maut 

dari Gunung Bisu.

Sementara itu di dalam sebuah kedai penjual 

makanan, nampak tiga orang berpakaian putih sedang 

menikmati makanan yang di pesan oleh mereka. Ketiga


orang laki-laki itu dikenal merupakan tokoh tingkat 

tinggi yang berasal dari perguruan Catur Tunggal. Se-

sungguhnya mereka ini juga masih merupakan tokoh 

golongan hitam, berilmu sangat tinggi dan terkenal ka-

rena jurus-jurus tangan kosongnya yang di beri nama 

Jurus Jari Sakti. Ke manapun mereka tiada pernah 

membawa-bawa senjata dalam bentuk apa pun. Dalam 

bertarung mereka cukup mengandalkan jari-jari tan-

gannya yang dapat berubah menjadi sekeras baja. Me-

reka yang selama ini bermukim di lereng Gunung Bu-

tak, sebenarnya tak pernah turun gunung, walau da-

lam dunia persilatan sedang terjadi bencana maupun 

berita yang sangat menggemparkan sekali pun. Tapi 

untuk urusan yang satu ini lain lagi, delapan penjuru 

mata angin dunia persilatan cukup tahu siapa sesung-

guhnya si Bangkotan Koreng Seribu yang telah me-

ninggal dunia itu. Seorang angkatan tua yang tiada 

duanya. Yang dalam tindakannya tak pernah bersikap 

tanggung-tanggung.

Si Bangkotan Koreng Seribu telah tiada, hal itu 

bukanlah menjadi perhitungan bagi mereka, bahkan 

dalam hati mereka pun bersyukur sebab orang yang 

paling sangat mereka takuti telah tiada, tapi yang me-

narik perhatian mereka adalah tentang kabar kitab 

ciptaan terakhir orang tua sakti itu. Yang jelas meru-

pakan sebuah kitab yang tiada memiliki tanding bagi 

siapa saja yang dapat memilikinya. Sayangnya mereka 

tak tahu kepada siapa mereka harus bertanya tentang 

kemanakah perginya murid si Bangkotan Koreng Seri-

bu tersebut. Sepanjang jalan dalam mencari jejak ten-

tang menghilangnya murid tunggal tokoh tua itu, me-

reka telah banyak bertanya-tanya di sana sini. Bahkan 

sampai pada juragan sapi pun telah mereka tanyai 

namun sejauh itu mereka masih belum mendapatkan 

keterangan yang cukup berarti. Begitu pun ketika me


reka berada di kedai penjual makanan, mereka mena-

nyakan tentang orang yang mereka maksudkan pada 

pemilik kedai itu. Tapi kalau pun keterangan itu dia 

dapatkan, jawabannya sangat meragukan. Demikian-

lah sambil menikmati makanan dan meminum arak 

yang sangat wangi, ketiga laki-laki dari Catur Tunggal 

itu kelihatan tenggelam dalam fikirannya masing-

masing. Hingga tak berapa lama kemudian masuklah 

rombongan pejalan kaki yang di kenal sebagai si Lima 

Golok Maut dari Gunung Bisu, ke dalam kedai yang

sama.

Begitu telah berada di dalam kedai itu, kelima 

laki-laki berbadan tegak dan angker itu pun nampak 

celingak celinguk bagai lima ekor monyet yang di ting-

gal induknya. Namun begitu mata mereka beradu pan-

dang dengan ketiga laki-laki yang berpakaian putih itu 

maka rasa benci pun membayang dari cara mereka 

memandang. 

Tapi mereka tiada membatalkan niatnya untuk 

memesan makanan pada pemilik kedai. Tak lama ke-

mudian seorang wanita setengah tua nampak meng-

hampiri mereka, lalu dengan sangat sopan sekali pe-

rempuan itu segera bertanya;

"Tuan-tuan mau pesan apa...!" Ucapnya dengan 

perasaan takut. Salah seorang dari mereka yang jadi 

pimpinan langsung saja menyahut dengan pandangan 

masih saja tertuju pada ketiga laki-laki dari Catur 

Tunggal.

"Sediakan kami makanan yang paling enak di 

warung ini, dan juga jangan lupa beberapa guci arak 

wangi, cepat...!" Perintahnya setengah membentak.

"Baiklah tuan, tunggu sebentar... pesanan tuan 

akan segera kami sediakan...!" Kata perempuan pemi-

lik kedai itu dengan suara gemetaran menahan rasa 

takut. Selanjutnya dia pun segera bergegas meninggal


kan kelima orang itu lalu menghilang dibagian bela-

kang.

Sementara itu suasana di dalam warung itu 

nampak semakin tegang. Masing-masing mereka terus 

saling pandang. Tapi masih belum terlihat tanda-tanda 

terjadinya kekerasan di tempat itu. Saat itu, si Lima 

Golok Maut kelihatan saling berbisik sesamanya;

"Sialan betul kita ini. Warung cuma atu-atunya. 

Pelayannya nenek-nenek peot lagi...!" Kata salah seo-

rang diantaranya hingga mengundang rasa geli di hati 

kawan-kawannya yang lain.

"Kau ini yang ngeres-ngeres saja yang ada di 

dalam pikiranmu. Apa yang kita inginkan adalah ma-

kan sekenyang-kenyangnya. Mau nenek-nenek peot 

kek atau apa yang penting kita harus dapatkan kete-

rangan seperti yang kita inginkan...!"

Belum lagi, laki-laki yang pertama tadi menya-

hut, pemilik kedai itu telah kembali membawakan ma-

kanan dan arak yang mereka pesan. Cepat-cepat pe-

rempuan itu menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian 

setelah meletakkan makanan dan minuman yang di 

pesan oleh orang-orang itu, dia sudah membalikkan 

langkah dan bermaksud kembali ke belakang. Namun 

baru saja beberapa tindak dia melangkah, salah seo-

rang dari mereka yang bernama Kuraya dan sekaligus 

menjadi ketua dalam rombongan itu memanggilnya.

"Heiit, jangan pergi dulu. Coba ke sini...!" Perin-

tahnya kasar sekali. Dengan tergopoh-gopoh perem-

puan itu datang menghampiri.

"Ada apakah tuan-tuan...?"

"Perempuan tua...!" Bentaknya dengan suara 

keras. Lalu sambungnya, "Pernahkah kau melihat seo-

rang pemuda berkuncir dengan sebuah periuk besar di 

bagian pinggang, dan berpakaian kumuh mirip seorang 

gembel lewat atau singgah di warungmu ini?" Ta


nyanya sambil melirik pada laki-laki berpakaian putih 

yang duduk tidak begitu jauh dari mereka.

"Eee... sa... saya tidak melihatnya tuan...!" Ja-

wab perempuan itu dengan suara terbata-bata.

"Wah, tolol betul kau ini. Masak kau tak pernah 

melihat orang yang ciri-cirinya seperti kusebutkan ta-

di...!" Dengus Kuraya, lalu cepat-cepat hempaskan 

punggungnya di atas kursi. Demi meluapkan rasa ke-

marahannya, diteguknya beberapa guci arak selanjut-

nya menyantap makanan itu hingga tuntas.

"Cepat kau sediakan makanan untuk kawan-

kawanku, perempuan tua...!" Bentaknya tanpa berpal-

ing sedikit pun. Saat itu pemilik kedai yang sudah da-

lam keadaan ketakutan cepat-cepat bergegas ke bela-

kang untuk mengambilkan apa yang di katakan oleh 

Kuraya.

Kiranya hal itu tak luput dari perhatian ketiga 

laki-laki dari Catur Tunggal. Mereka merasa heran 

bercampur geli melihat ulah laki-laki berbulu monyet 

yang sedang melahap makanan tak jauh di depannya. 

Heran, karena tak ubahnya bagai seekor babi kelapa-

ran saja orang ini menyantap makanan kawan-

kawannya yang lain. Bahkan sampai tuntas tiada ber-

sisa sedikitpun. Geli karena cara pelampiasan emo-

sinya di tumpahkan pada makanan yang ada, bukan 

pada barang-barang yang ada. Pantasan saja kelima 

orang itu berbadan gemuk luar biasa. Kiranya mereka 

tak lebih dari beberapa ekor anjing yang sangat rakus. 

Batin salah seorang dari mereka, dan tanpa tertahan-

kan lagi dia pun berkata; 

"Sobat-sobat! Lihatlah tikus-tikus gembrot itu 

sangat rakus sekali, seperti sudah sebulan saja mereka 

tak pernah ketemu nasi. Bagian kawannya pun di sikat 

habis...!" Ejeknya dengan tawa mengekeh.

"Ya, maklum saja, namanya juga tikus kelapa


ran, mana perduli bagian kawan atau lawan yang pent-

ing perut sendiri kenyang...!" sahut yang lainnya me-

nimpali. Sudah barang tentu ejekan itu membuat Ku-

raya dan empat orang lainnya menjadi sangat tersing-

gung. Lalu tanpa banyak basa basi, Kuraya memben-

tak:

"Monyet-monyet putih. Apa pedulimu dengan 

segala urusan kami? Mau kami habiskan seisi kedai ini 

kau mau apa...?"

"Mengapa harus banyak kata! Kita gebuk saja 

monyet-monyet tak tahu adat itu habis perkara...!" Sa-

hut yang lainnya menimpali. Yang di bentak keluarkan 

tawa tergelak-gelak!

"Hiehe... he... he...! Kalian bisa berbuat apa pa-

da orang-orang dari Catur Tunggal...!" Bentak salah 

seorang yang berpakaian putih dan bernama Wahana 

itu dengan sesungging senyum sinis.

"Kampret sialan. Kau kira dengan mengandal-

kan nama besar Catur Tunggal, lantas kami akan ka-

bur tunggang langgang meninggalkan kalian...! Puih 

tak sekalipun kami, si Lima Golok Maut akan bertin-

dak sepengecut itu...!" Kata Kuraya, serentak mereka 

segera meraba bagian gagang goloknya. Ketiga orang 

dari Catur Tunggal itu pun saling pandang sesamanya. 

Bagi mereka nama si Lima Golok Maut sering mereka 

dengar, namun baru sekali ini mereka bertemu muka 

secara kebetulan. Begitu pun mereka masih mengang-

gap kelima orang itu merupakan kaum persilatan sego-

longan yang memiliki kepandaian yang masih rendah 

dan setidak-tidaknya masih berada di bawah mereka. 

Selanjutnya masih dengan tergelak-gelak. Wahana 

berkata ketus;

"Baru saja memiliki golok karatan, beberapa 

ekor tikus coba-coba unjuk gigi di depan Catur Tung-

gal. Bueeh... majulah kalian semua kalau ingin pada


kojor...!" Sela Wahana gusar.

"Sesungguhnya kami tak punya persoalan den-

gan Catur Tunggal. Berhubung kami masih banyak 

urusan, maka persoalan ini kami anggap selesai sam-

pai di sini saja. Tapi ingat, di lain hari kami akan men-

cari kalian, walaupun sampai ke lobang semut sekali 

pun...!" Berkata Kuraya dan mereka sudah bersiap-

siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun mereka 

terpaksa menghentikan langkah ketika secara tiba-tiba 

salah seorang dari Catur Tunggal melompat dan 

menghadang jalan mereka.

"Enak saja kau bicara. Jangan kira kami tak 

tahu kalau sesungguhnya kalian hanyalah ingin pergi 

mencari Kitab Jurus Koreng Seribu. Jangan mimpi so-

bat. Kitab Jurus Koreng Seribu tidak sembarang orang 

bisa memilikinya. Jangankan kalian yang hanya men-

gandalkan golok-golok karatan. Sedangkan kami dari 

Catur Tunggal pun belum tentu dapat merebut kitab 

yang sangat hebat itu...!"

Akhirnya mengertilah Kuraya dan keempat 

orang kawannya, kalau sesungguhnya orang-orang da-

ri Catur Tunggal juga mempunyai tujuan yang sama 

dengan mereka. Lalu muncullah gagasan yang sangat 

baik dalam pikiran Kuraya. Menurutnya, karena mere-

ka masih terbilang satu golongan, mungkin akan lebih 

baik dan lebih kuat andai mereka mengadakan sema-

cam perjanjian dan kerja sama. Maka tanpa merasa 

sungkan-sungkan lagi, Kuraya kemudian berucap den-

gan nada merendah; "Tak dinyana kiranya anda semua 

mengetahui tujuan kami, kebetulan kami memiliki tu-

juan yang sama. Kita satu golongan, mungkin ada 

baiknya kalau kita bergabung kemudian sama-sama 

mencari murid tunggalnya si Bangkotan Koreng Seribu 

untuk merebut kitab itu dari tangannya...!" Wahana 

dan dua orang kembratnya angguk-anggukkan kepa


lanya bagai burung kondor namun hati mereka dengan 

tegas menolak mentah-mentah semua gagasan yang di 

berikan oleh Kuraya, bahkan sebaliknya dia merasa 

mendapat saingan baru yang perlu di bereskan saat itu 

juga. Lalu dengan tegas dia berkata;

"Wah enak betul. Siapa sudi bekerja sama den-

gan tikus-tikus badut yang memuakkan...!" Maka 

mendidihlah darah Kuraya dan kawan-kawannya 

mendapat penghinaan sedemikian rupa. Ucapan Wa-

hana mereka nilai benar-benar merupakan sebuah 

penghinaan yang tak dapat di maafkan. Bahkan mere-

ka pun merasa, selama malang melintang di rimba 

persilatan, baru kali inilah mereka di hina sedemikian 

rupa. Tak ayal lagi keempat orang kawan Kuraya lak-

sana kilat sudah mencabut goloknya yang berukuran 

sangat besar sekali.

"Kalian benar-benar monyet keparat yang harus 

di basmi dari jagad ini. Cepat cabutlah senjata kalian 

kalau tak ingin kalian mati penasaran...!" Maki Kuraya.

"Menghadapi tikus-tikus rakus tak perlu me-

makai segala macam senjata. Bagi kami cukuplah tan-

gan kami yang akan mengatasi segala golok karatan 

yang tiada guna itu...!" Kata Wahana. Selanjutnya dia 

dan kambratnya sudah bersiap-siap menghadapi sega-

la kemungkinan.


LIMA



Bukan main gusarnya Kuraya demi melihat 

Wahana yang masih tetap saja meremehkan mereka. 

Beberapa detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi. 

Kuraya telah memberi isyarat pada keempat orang 

kembrat-kembratnya. Masih di dalam kedai itu tanpa 

dapat di cegah lagi terjadilah pertarungan yang sangat


seru. Perempuan pemilik kedai demi melihat gelagat 

yang tak baik segera pula kabur meninggalkan kedai 

miliknya. Dalam waktu sekejap saja kedai itu pun jadi 

berantakan di buatnya. Tetapi nampaknya mereka su-

dah tiada memperdulikan keadaan di sekitarnya. Dari 

pihak si Lima Golok Maut dalam pertarungan enam ju-

rus selanjutnya telah pula mengeluarkan jurus-jurus 

golok mautnya yang sangat dahsyat itu.

Sampai sejauh itu tiga laki-laki dari Gunung 

Butak masih kelihatan tenang-tenang saja, bahkan be-

rulang kali serangan maupun sambaran golok di tan-

gan lawan yang datangnya menggebu-gebu masih da-

pat dia elakkan dengan sangat baik sekali. Semakin 

bertambah gusar sajalah pihak si Lima Golok Maut 

demi melihat bahwa serangan-serangan gencar yang 

mereka lakukan masih saja dapat di elakkan oleh pi-

hak lawannya dengan baik. Tak ayal lagi dalam gebra-

kan selanjutnya, si Lima Golok Maut telah mempergu-

nakan jurus-jurus golok andalan mereka yang sangat 

ampuh. Sekali kesempatan Kuraya hantamkan telapak 

tangannya ke depan, dalam pada itu golok di tangan-

nya juga berkelebat menyusul.

"Heiiit! Nguuuung!" Serangan yang bernama 

Dewa Golok Turun Tangan itu terkenal sangat cepat, 

dan tahu-tahu sambaran angin dari babatan golok 

yang sangat tajam tersebut telah mendera pada bagian 

dada lawan. Salah seorang dari Catur Tunggal kelua-

rkan seruan tertahan, tapi lebih cepat lagi dia menyu-

rut satu langkah sambil berusaha mengkelit serangan 

yang datang. Sambaran golok lawan luput, tetapi pu-

kulan yang di lepaskan oleh Kuraya masih tetap mem-

burunya. Tak dapat di sangkal dia pun segera pula do-

rongkan telapak tangannya ke depan.

"Breeees!" Terdengar satu letupan kecil saat 

mana kedua pukulan yang terisi setengah tenaga sakti



itu saling bertemu. Kuraya nampak terhuyung-huyung 

langkahnya, di pihak lawan hanya tergetar sedikit 

sambil memegangi dadanya yang terasa berdenyut. 

Kembrat Wahana dengan kedua jari tangan terpentang 

langsung kirimkan serangan ke arah bagian mata la-

wannya. Bersamaan dengan melesatnya tubuh salah 

seorang dari Catur Tunggal maka keempat jari tangan 

kirinya meluruk ke arah tubuh lawannya. Sejengkal 

lebih serangan balasan itu hampir mencapai sasaran-

nya. Namun Kuraya dan kawan-kawannya bukanlah 

orang-orang persilatan yang baru kemarin sore turun 

gunung;

Menyadari adanya ancaman bahaya terhadap 

pimpinan mereka, maka dua orang di antaranya berge-

rak cepat melindungi ketuanya dengan sambaran golok 

besar yang datangnya bertubi-tubi.

"Kampret sialan...!" Maki salah seorang Catur 

Tunggal langsung tarik balik tangannya. Namun di 

luar dugaan lawan-lawannya dengan sangat cepat pula 

laki-laki itu kirimkan satu sapuan dengan mempergu-

nakan kaki kanannya.

"Ayaaa...!"

"Gabruk! Gabruk!" Dua orang dari si Lima Go-

lok Maut, jatuh terjerembab dengan wajah mencium 

lantai kedai. Hidung mereka yang telah mencium lantai 

yang sangat keras itu pun nampak mengalirkan darah. 

Caci maki berhamburan dari mulut mereka ini, tapi 

secepatnya pula mereka bangkit. Dalam kemarahan-

nya itu dengan di pimpin oleh Kuraya mereka segera 

keluarkan jurus Dewa Golok Membasmi Iblis. Begitu 

mereka bergerak, maka tahu-tahu ketiga laki-laki dari 

Catur Tunggal itu pun telah terkurung di tengah-

tengahnya dalam posisi yang sangat rapat sekali.

"Ciaaat.... Mampus...!" Jerit dan makian tinggi 

melengking mengawali serangan gencar yang datang


nya secara bersamaan. Golok-golok di tangan mereka 

menderu hingga timbulkan angin bersiuran. Serangan 

itu benar-benar sangat cepat sekali, bahkan dalam me-

lancarkan serangan terlihat satu variasi kerja sama 

yang terbina sangat baik. Berulang kali golok-golok 

yang sangat besar dan tajam ini nyaris menghajar tu-

buh ketiga orang lawannya. Namun bagaimana pun 

hebatnya serangan yang di lancarkan oleh si Lima Go-

lok Maut terhadap lawan-lawannya. Tapi nampaknya 

mereka masih kalah dalam pengalaman dan ilmu silat.

Dalam keadaan terdesak hebat seperti itu, tiba-

tiba saja tubuh ketiga laki-laki dari Catur Tunggal su-

dah melentik ke udara, selanjutnya dengan mengan-

dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai 

taraf sempurna, sekejap kemudian mereka telah keluar 

dari kepungan. Satu seruan mengejek terdengar, 

membuat si Lima Golok Maut melakukan serangan 

membabi buta.

"Segala tikus-tikus sial mau bikin perkara den-

gan Catur Tunggal! Bueh. Kalau kalian bisa bertahan 

dalam sepuluh jurus serangan di depan, biarlah hari 

ini kami dengan rela menjadi budak yang paling patuh 

terhadap segala perintah kalian!" Tukas Wahana. Lalu 

detik selanjutnya, mereka sudah mulai menggelar ju-

rus-jurus silat tangan kosong yang di kenal sebagai si 

Jari Sakti dari lereng Gunung Butak. Begitu mereka 

keluarkan suara menggembor bagai banteng terluka, 

sekejap kemudian tubuh mereka telah lenyap dari 

pandangan lawan-lawannya. Hanya angin sambaran 

saja yang menandakan bahwa mereka sedang berusa-

ha membuyarkan konsentrasi pertahanan lawannya.

Gerakan Catur Tunggal yang sangat cepat bah-

kan membuat sakit mata yang melihatnya sudah ba-

rang pasti membuat bingung lawan-lawannya. Kata-

kata yang sangat kotor pun berhamburan menyertai


caci maki sebagai pelampiasan kekesalan mereka. Tapi 

ketika Catur Tunggal telah keluarkan jurus ketiga dari 

Jurus Tangan Kosong Jari Sakti yang mereka miliki. Di 

pihak lawan terdengar satu jeritan panjang menyayat 

hati. Salah seorang dari mereka terkapar dengan ke-

dua mata berlumur darah, sementara pada bagian le-

hernya terlihat dua lubang menganga. Dari lubang be-

kas tusukan jari itu mengalirkan darah yang tiada 

henti. Tubuh salah seorang dari si Lima Golok Maut ini 

pun nampak berkelojotan untuk beberapa saat la-

manya, selanjutnya tiada bergerak untuk selama-

lamanya. Orang-orang Catur Tunggal sudah tiada 

memperdulikan keadaan lawannya, tubuh mereka te-

rus berkelebat mencari sasaran berikutnya. Saat itu si 

Lima Golok Maut yang hanya tinggal empat orang su-

dah membentuk satu pertahanan yang kuat dengan 

memutar goloknya melindungi diri masing-masing. Be-

rulang kali orang-orang Catur Tunggal berusaha mene-

robos pertahanan lawannya. Tapi berkali-kali pula 

usaha mereka mengalami kegagalan.

"Keluarkan jurus Jari Sakti Baja...!" Teriak Wa-

hana saat mana dia menjejak kakinya tak begitu jauh 

dari tempat di mana lawan-lawannya berada. Serentak 

tiga laki-laki dari Catur Tunggal itu pun mengerahkan 

tenaga, dalamnya mengarah pada kedua telapak tan-

gan mereka. Tubuh orang-orang itu bergetar saat la-

manya, wajah mereka nampak menegang dan bersemu 

merah. Telapak tangan itu pun telah berubah warna 

menjadi kehitam-hitaman dan menebarkan bau amis 

menjijikkan.

Kuraya dan kawan-kawannya nampak sangat 

terkejut melihat perubahan yang tiada mereka duga 

sebelumnya. Sadarlah mereka, ternyata Catur Tunggal 

merupakan lawan yang sangat tangguh. Bagi Kuraya 

mungkin saja Catur Tunggal merupakan lawan yang



sangat berat. Tapi dalam sejarahnya, bagi si Lima Go-

lok Maut tiada sejarahnya untuk mundur teratur da-

lam menghadapi lawan yang sehebat mana pun, sudah 

menjadi prinsip mereka lebih baik mati mempertahan-

kan nama besar dari pada harus lari meninggalkan 

pertarungan.

"Ha... ha... ha...! Inikah jurus-jurus Jari Sakti 

Baja! Kami jadi ingin menjajal apa si hebatnya jurus 

tangan kosong yang sangat kesohor itu...!" Berkata Ku-

raya sambil bersiap-siap dengan jurus Golok Maut 

Pembasmi Iblis-nya yang terkenal sangat ampuh dan 

dahsyat.

"Ingat tikus-tikus Golok Karatan. Apa yang ku-

janjikan masih tersisa empat jurus lagi. Jangan sebut 

si Catur Tunggal andai kalian masih mampu luput dari 

serangan-serangan yang akan kami lakukan...!" Teriak 

Wahana. Dan bersamaan dengan teriakannya itu tu-

buh ketiga laki-laki dari lereng Gunung Bisu tak telah 

pula melesat laksana kilat.

Di pihak lawan, Kuraya menggembor, lalu ber-

sama-sama dengan kembratnya segera kirimkan se-

rangan-serangan gencar menyongsong datangnya se-

rangan yang di lakukan oleh pihak lawan. Tak dapat di 

sangkal pertarungan yang terjadi pun semakin seru. 

Masing-masing lawan telah pula keluarkan jurus-jurus 

silat yang sangat mereka andalkan. Di lain saat tak se-

gan-segan pula mereka kirimkan pukulan-pukulan keji 

yang sangat mematikan. Di pihak Catur Tunggal ber-

hadapanlah Wahana dengan Kuraya, sementara dua 

orang kembratnya berhadapan pula dengan tiga orang 

si Lima Golok Maut.

"Caiiiit! Wiiiiing...!" 

Menderu senjata di tangan tiga orang golok 

maut mengarah pada bagian perut dan dada dua orang 

lawannya. Dua orang dari Catur Tunggal tidak ingin


mengambil resiko yang lebih besar dan terlalu bertele-

tele. Maka keduanya pun kembang-kan jemari mereka. 

Tak dapat di elakkan lagi.

"Craaak! Craaak!" Tergetar tubuh kembrat-

kembratnya Kuraya sambil keluarkan seruan tertahan. 

Nampaknya mereka merasa jerih dengan apa yang ba-

ru saja mereka lihat. Bagaimana mungkin jari-jari yang 

terpentang itu bisa sekeras dinding baja. Bahkan da-

lam adu tenaga dalam tadi tubuh orang-orang dari Ca-

tur Tunggal tiada bergeming sedikitpun. Satu kekua-

tan yang sangat aneh, kalau tak boleh di kata sebagai 

ilmu setan. Batin mereka dalam hati. Tetapi mereka 

sudah tak dapat berpikir panjang lagi, karena kelenga-

han mereka yang hanya beberapa detik itu telah diper-

gunakan oleh pihak lawannya untuk melakukan se-

rangan kilat. Cepat sekali gerakan orang-orang Catur 

Tunggal itu hingga tak sempat bagi tiga orang lawan-

lawannya untuk menangkis gerakan dan serangan me-

reka.

"Croook! Jrooos! Jrooos!" Tiga orang kembrat 

Kuraya menjerit-jerit bagai setan gila saat mana jemari 

tangan lawan yang dapat berubah sekeras baja itu 

menembus bagian jantung mereka. Sekejap saja darah 

telah menyembur dari dua buah lubang yang mengan-

ga akibat tusukan jari sakti orang-orang Catur Tung-

gal. Tak berapa lama, setelah tubuh mereka ter-

huyung-huyung ke depan, kemudian ambruk di lantai 

kedai dengan jiwa melayang.

Melihat kematian kawan-kawannya, kecut ber-

campur marah Kuraya di buatnya. Maka dalam luapan 

kemarahan yang sudah tiada terbendung itu. Di sertai 

dengan jeritan yang terasa menggetarkan kedai dan 

sekitarnya. Mengamuklah tokoh si Lima Golok Maut 

itu tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Hal 

itu merupakan satu keuntungan bagi pihak Catur


Tunggal, dua orang lainnya turun membantu Wahana. 

Menghadapi Wahana saja, Kuraya sudah tak mampu 

berbuat banyak selain hanya bertahan mati-matian, 

jangankan kini dua orang kawannya datang memban-

tu. Maka sebentar saja Kuraya sudah terdesak hebat. 

Laki-laki berbadan gemuk bagai karung butut ini putar 

goloknya ke segala penjuru untuk menangkis seran-

gan-serangan jari sakti lawannya. Tapi itu pun hanya 

dapat dia pertahankan hanya beberapa detik saja. 

Hingga akhirnya manakala secara berbarengan Waha-

na dan kawan-kawannya melakukan serangan gencar. 

Orang itu pun sudah mati langkah dan sangat sulit 

untuk mengelakkannya.

"Croook! Blees! Jreees!"

"Arrrrghk...!" Lolongan panjang menyertai am-

bruknya tubuh Kuraya. Dia mendapat luka-luka yang 

sangat mengerikan pada bagian mata, dada, serta 

pangkal lehernya. Dalam keadaan sekarat itu tubuh 

ketua si Lima Golok Maut menggelepar-gelepar bagai 

seekor ikan yang terlempar dari dalam air. Selanjutnya 

manakala darah di tubuhnya telah berhenti menetes 

pada saat itulah sang maut telah merenggutkan nya-

wanya dari jasadnya. 

Orang-orang Catur Tunggal saling pandang, la-

lu keluarkan suara mengekeh tanda puas dengan apa 

yang dikerjakannya. Belum lagi suara tawa itu terhen-

ti, maka tubuh ketiganya pun telah melesat pergi me-

ninggalkan tempat itu.


ENAM



Kaki buntung sebatas betis, wajah maupun se-

kujur tubuhnya yang tiada memakai baju nampak ca-

cat di sana sini, bekas guratan luka-luka cambukan.


Raut mukanya rusak mengerikan, siapa pun yang me-

lihat orang yang sedang melakukan perjalanan yang 

sangat jauh itu pasti akan lari ketakutan demi melihat 

keangkeran penampilannya karena bekas luka-luka 

itu. Walaupun laki-laki renta tersebut hanya tinggal 

memiliki kaki sebelah saja, namun dia tak pernah me-

rasa terganggu dengan cacat yang di deritanya. Tanpa 

bantuan tongkat dia terus mengayunkan langkah 

meskipun sesekali dia harus berlompatan bagai seekor 

katak yang di kejar-kejar oleh seekor ular. Di lain ke-

sempatan dengan mempergunakan ilmu mengentengi 

tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, laki-laki 

renta tersebut mengempos tubuhnya sehingga melesat 

sedemikian pesatnya. Bahkan sekali waktu dalam me-

lepas lelah dia nampak duduk ongkang-ongkang di 

atas sebuah cabang pohon yang sangat tinggi. Sambil 

menikmati buah-buahan hutan yang berbuah lebat, 

kakek renta itu mengitarkan pandangarannya sejauh-

jauhnya ke depan sana.

Tak terlihat sebuah rumah pun seperti yang dia 

harapkan. Sejauh-jauh mata memandang hanya ke-

rimbunan hutan, dan ke-dalaman lembah yang tiada 

terukur dalam-nya. Lalu siapakah laki-laki renta yang 

berasal dari gua monyet itu? Pada jaman jaya-jayanya 

kakek Bangkotan Koreng Seribu, laki-laki cacat itu me-

rupakan tokoh sesat yang sangat di takuti oleh kalan-

gan rimba persilatan. Laki-laki cacat yang bernama 

Wandiro tersebut pada saat itu terkenal sebagai seo-

rang pembunuh berdarah dingin yang sangat di kenal 

dengan racun Bunga Neraka yang ganas dan memati-

kan. Karena keganasannya itu, maka dia di juluki se-

bagai Iblis Pencabut Nyawa dari Gua Monyet. Dia sela-

lu mendewa-dewakan dirinya sebagai manusia paling 

sakti tanpa tanding di kolong jagat itu. Setiap kali dia 

mendengar ada orang yang memiliki kepandaian tinggi.


Pasti dia akan mendatanginya, di ajak bertarung hing-

ga akhirnya semua saingannya tewas di tangannya se-

cara mengerikan. Satu saat Wandiro atau yang lebih 

kesohor dengan julukan Iblis Pencabut Nyawa ini ada 

mendengar kabar tentang seorang kakek sakti yang 

saat itu telah bermukim di Tanjung Api. Tentang sepak 

terjangnya di delapan penjuru mata angin dalam 

membela kebenaran membuat dia tertantang untuk 

melakukan tanding dengannya.

Satu ketika secara nekad dia datang ke Tan-

jung Api, lalu di temuinya si Bangkotan Koreng Seribu 

untuk di ajaknya bertarung. Mulanya kakek sakti itu 

menolak ajakan tokoh sesat yang haus akan nama ha-

rum itu. Tapi karena Wandiro terus mendesaknya den-

gan pukulan-pukulan yang sangat ganas, maka mau 

tak mau akhirnya demi menjaga keselamatannya sen-

diri si Bangkotan Koreng Seribu terpaksa melayaninya 

dengan segenap kemampuan yang di milikinya. Akhir-

nya Iblis Pencabut Nyawa setelah melalui pertarungan 

seru yang sangat panjang harus mengakui kehebatan 

kakek sakti itu. Namun sungguh pun Kakek Bangko-

tan Koreng Seribu sungguh pun merupakan tokoh 

yang sudah sangat tua, namun sifat-sifat kesadisannya 

nampaknya masih melekat dalam dirinya. Maka tanpa 

ampun lagi-lagi dengan cambuknya yang sangat dah-

syat itu, dia melakukan penyiksaan atas diri Wandiro. 

Bahkan tanpa segan-segan dia terpaksa membuntungi 

kaki Iblis Pencabut Nyawa.

Sejak kekalahannya itu Wandiro terus berusa-

ha meningkatkan kemampuan ilmu silatnya. Dendam-

nya terhadap Bangkotan Koreng Seribu benar-benar 

tak dapat dia padamkan. Bertahun-tahun dia berusa-

ha melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan dan 

pukulan sakti hasil ciptaannya.

Tetapi akhirnya dia harus kecewa setelah men


dengar tentang kabar kematian Bangkotan Koreng Se-

ribu. Berhari-hari dia merenungi kematian musuh be-

sarnya itu, sedihkah dia? Sama sekali tidak! Dia hanya 

menyayangkan mengapa Bangkotan Koreng Seribu 

pergi secepat itu. Padahal dia belum sempat menjajal 

kehebatan ilmu sakti hasil ciptaannya yang baru. Tapi 

hatinya menjadi sedikit terhibur saat mana dia men-

dengar bahwa Bangkotan Koreng Seribu memiliki seo-

rang murid yang beberapa tahun belakangan sepak 

terjangnya membuat gempar dunia persilatan. Dan 

menurut kabar angin yang sampai ke telinganya yang 

setengah tuli itu, murid almarhum Bangkotan Koreng 

Seribu tersebut telah meninggalkan Tanjung Api den-

gan membawa kitab Jurus Koreng Seribu.

"Hem... masih belum puas hatiku, andai aku 

tak bertemu dengan gurunya! Tentu muridnya pun 

merupakan orang yang pantas untuk mendapat hu-

kuman yang setimpal dariku. Aku selalu merasa yakin, 

walaupun muridnya si keparat itu memiliki kesaktian 

setinggi gunung, biarpun dia memiliki kepandaian ilmu 

silat sebanyak buih di lautan. Tidak nantinya dia un-

ggulan bertarung denganku. Eeh... tapi, bocah itu ten-

tu mewarisi Cambuk Gelap Sayuto yang pernah ham-

pir mencelakaiku. Bahkan kudengar dia pun memiliki 

senjata lain yang sangat ampuh, Pusaka Golok Bun-

tung...! Kehebatan senjata itu hanya kudengar dari ce-

rita orang-orang yang lewat. Aku sendiri tak pernah 

percaya andai masih belum melihatnya secara lang-

sung." Batin Wandiro. Lalu di luar dugaan dia lambai-

kan tangannya ke arah empat penjuru mata angin. Sa-

tu gelombang angin pukulan yang sangat dingin men-

deru bagai badai puting beliung. Badai topan itu 

menghantam pohon-pohon besar yang ada di sekitar 

tempat itu sehingga roboh tak berketentuan dengan 

menimbulkan bunyi berisik. Bagai orang sinting Iblis


Pencabut Nyawa tergelak-gelak lalu tepuk-tepuk da-

danya yang kurus kering. Sesaat dia terbatuk-batuk. 

Tapi kemudian seorang diri dia berkata; "He... ho... 

haaa...! Dengan kepandaianku yang sehebat ini, tak 

seorang pun yang mampu menahan pukulanku. Jan-

gankan hanya muridnya manusia berkoreng itu, sepu-

luh ekor gajah sekalipun akan binasa di tangan Iblis 

Pencabut Nyawa andai berani-berani mendekat...!"

Belum lagi dia selesai dengan ucapannya. Men-

dadak terdengar suara terompet gajah. Tak lama ke-

mudian terlihatlah sosok binatang-binatang yang san-

gat besar itu. Berjalan lambat ke arah di mana Wandi-

ro berada.

"Ha... gajah? Binatang itu memang tak bisa di 

rasani, ya ampun besarnya nggak ketulungan. Seumur 

hidup baru sekali ini aku melihat makhluk sebesar itu, 

tapi nampaknya binatang itu menuju kemari. Akh, un-

tuk apa takut, tokh aku pun tak pernah mundur 

menghadapi lawan sehebat mana pun, masa aku ka-

lah!" Batin Wandiro, selanjutnya bersiap-siap mele-

paskan satu pukulan ke arah makhluk-makhluk yang

sangat besar itu.

"Hiaaak... haiiiiit...!" Tak terhindarkan lagi, se-

larik sinar berhawa dingin luar biasa kembali melesat 

ke arah binatang-binatang yang jumlahnya tidak ku-

rang dari delapan ekor.

"Bluuuk! Dummmm...!"

"Pruuuung...!" Gajah-gajah itu menguik keras, 

enam ekor diantaranya rubuh dengan menimbulkan 

suara berdebum. Dua ekor diantaranya yang sempat 

luput dari sasaran pukulan nampaknya mengamuk 

secara membabi buta. Dengan belalai dan gadingnya 

yang panjang di terjangnya pohon tempat Wandira 

berpijak. Sekali seruduk maka pohon yang berukuran 

cukup besar itu pun tumbang. Sebelum pohon itu be


nar-benar ambruk ke bumi. Tubuh Iblis Pencabut 

Nyawa telah melesat meninggalkan pohon itu. Tapi 

nampaknya dua ekor gajah itu terus memburunya 

dengan kemarahan yang membabi buta. Wandiro tidak 

ingin mengambil resiko yang terlalu besar. Lagi-lagi dia 

lepaskan pukulan Iblis Pencabut Nyawa yang sudah 

sangat sempurna itu.

"Wuss! Wuuus!" Dua pukulan beruntun di le-

paskan sekaligus, nampaknya gajah-gajah itu tidak 

perduli dengan keselamatan dirinya. Namun juga bina-

tang, pukulan itu menyongsong ke arah mereka.

"Bummm... bummmm!" 

"Pruuuung...!" Kembali terdengar suara berde-

bum saat mana binatang-binatang itu jatuh ke bumi. 

Tubuh makhluk hutan itu berkelojotan sebentar, kulit 

tubuhnya sekejap saja telah berubah menghitam, den-

gan nyawa melayang dari tubuhnya. 

Wandiro gosok-gosokkan kedua belah tangan-

nya dengan hati lega di sertai seringai senyum menye-

ramkan.

"Binatang-binatang malang! Kiranya kalian ti-

dak seberapa juga. Siapa suruh kalian bertemu dengan 

Iblis Pencabut Sukma. Coba kalau menghindar, tentu 

kalian masih dapat melihat hari esok!" Kata Wandiro 

mirip seperti orang sinting.

"Ah, kampret! Seharusnya aku cepat-cepat 

mencari muridnya si keparat itu di Lembah Selaksa 

Mayat. Mungkin saja apa yang di katakan orang-orang 

di jalan benar adanya. Sudah gatal sekali tanganku ini 

untuk menjajal kehebatan Pendekar Golok Buntung 

itu...!" Gumamnya lagi. Selanjutnya tanpa menoleh-

noleh lagi, Iblis Pencabut Nyawa telah melangkah per-

gi.

* * *


Di bagian kiri Lembah Selaksa Mayat, terdapat 

sebuah tikungan kecil yang bila di ikuti ke dalamnya 

semakin sempit dan buntu. Sepanjang lorong tikungan 

itu merupakan dinding alam yang terdiri dari batu 

gamping yang penuh dengan tonjolan-tonjolan batu ta-

jam yang licin lagi basah oleh tetesan air yang ber-

sumber dari atasnya. Masih di tikungan yang merupa-

kan jalan buntu itu, terdapat sebuah batu besar yang 

sangat mirip dengan sebuah bangku bulat. Pagi itu 

seorang pemuda tampan yang sudah tak asing bagi ki-

ta, kelihatan duduk menekur di atasnya. Sementara di 

atas pangkuannya terlihat sebuah kitab yang tidak se-

berapa tebalnya dia bolak-balikkan.

"Hhh. Lagi-lagi aku menemui jalan buntu. Kitab 

ini sangat sulit sekali untuk kupecahkan. Sudah ber-

hari-hari aku mencobanya, hasilnya tetap nihil dan 

membingungkan. Coretan-coretan yang nyata sudah 

jelas tak memiliki arti apa-apa selain untuk mengecoh 

bagi siapa saja yang coba-coba merampas kitab ini. 

Tapi tulisan-tulisan yang tak terlihat ini pun rasa-

rasanya sangat sulit dan membingungkan. Ah, guru 

sejak dulu engkau selalu membuatku bingung, aku 

merasa khawatir sebelum kitab ini berhasil kupecah-

kan, sudah ada orang lain yang menyantroni daerah 

ini. Ini bukan berarti aku putus asa. Tapi... ah... 

yaya... ya... kau terlalu baik padaku, sedangkan aku 

hingga kini masih tak dapat membalas segala kebai-

kanmu. Aku ini muridmu yang paling tolol ya, guru...!" 

Katanya seorang diri. Dan tiba-tiba saja dia menjadi 

sangat sedih sekali, air matanya pun tanpa dia sadari 

menetes menuruni pipinya. Walau suara tangisnya tia-

da pernah terdengar, namun air matanya menetes tia-

da henti. Di antara sekian banyak air mata yang ter-

tumpah itu sebagian diantaranya jatuh tepat di atas


kitab yang berada dalam pangkuannya. Di luar sepen-

getahuan pemuda itu terjadilah perubahan di dalam 

kitab tersebut. Huruf maupun tulisan yang tadinya ter-

lihat nyata kini sudah tak terlihat sama sekali. Sebagai 

gantinya tulisan dan tanda-tanda yang mulanya hanya 

merupakan bayang-bayang saja, kini terlihat dengan 

jelas. Sungguh merupakan sebuah kitab yang memiliki 

keanehan yang sangat luar biasa yang tidak ada dua-

nya di dunia persilatan saat itu.

Sementara itu Buang Sengketa kelihatannya 

sudah merasa sangat letih sekali, kemudian dia me-

nyeka air matanya. Sambil mengumpat dan memaki 

dirinya sendiri; "Sial... mengapa aku jadi secengeng ini. 

Almarhum guru pasti sangat marah andai dia sempat 

melihat kecengenganku ini...!" Batinnya lalu kembali 

menekuri kitab yang masih berada di atas pangkuan-

nya. Namun alangkah terkejutnya pemuda itu saat dia 

memperhatikan halaman kitab tersebut telah menga-

lami perubahan yang sangat mengejutkan hatinya. Tu-

lisan maupun coretan yang tadinya hanya nampak 

samar-samar kini kelihatan semakin nyata dan jelas. 

Bukan main gembiranya hati Buang Sengketa di buat-

nya, berulang kali di pandanginya tulisan-tulisan itu 

dan pada halaman pertama kitab tersebut terdapat tu-

lisan yang berbunyi;

Kepada muridku Buang Sengketa.

Menjelang akhir hidupku telah ku tinggalkan

buatmu sebuah ilmu silat yang kuberi nama Jurus Ko-

reng Seribu, intinya adalah ujud kesabaran bagimu 

yang baharu. Jurus-jurus itu mengajarkan padamu ten-

tang bagaimana seorang titisan raja siluman itu harus 

berusaha menahan diri dari hawa angkara murka. Me-

nahan nafsu dari amarah, sehingga menjadikan dirimu 

sebagai seorang ksatria pendekar yang memiliki jiwa


welas asih. Tanamkanlah satu keyakinan dalam diri-

mu, bahwa apapun yang kau lakukan saat ini akan 

mendapat satu balasan yang sesuai dengan perbuatan, 

kelak di kemudian hari. Jadikanlah akal sehat merupa-

kan raja yang berkuasa atas nafsu, jangan sampai ter-

jadi hal sebaliknya. Sebab hal itu hanyalah akan men-

jadikan dirimu sebagai seorang pendekar yang angkara 

murka. Balaslah setiap kebaikan dengan yang lebih 

baik. Namun balas pula setiap keburukan dengan sesu-

atu yang baik.

Muridku yang setengah tolol... mungkin jurus-

jurus Koreng Seribu agak rumit dari jurus-jurus silat 

yang telah kau kuasai, tapi hal itu akan mudah kau pa-

hami, karena sifat dari jurus-jurus itu pun sifatnya 

hanya bertahan dalam lima keadaan dan membalas bi-

la jiwamu dalam keadaan-keadaan terancam.

Kitab ini akan sangat dahsyat bagi jiwa yang 

dapat menguasai hawa nafsunya. Nah... Buang Seng-

keta... waktu untuk mempelajari kitab ini hanya Empat 

puluh hari. Setelah itu, kitab ini akan lenyap, dan dia 

akan berubah menjadi sebuah kitab yang tiada har-

ganya. Manfaatkanlah waktu yang sangat terbatas itu 

dengan sebaik-baiknya.


TUJUH



Setelah membaca tulisan itu, Buang Sengketa 

nampak tercenung beberapa saat lamanya. Teringat 

pula oleh Buang Sengketa akan segala sepak terjang-

nya selama ini di dunia persilatan. Sering dia memban-

tai lawannya tanpa kenal ampun hanyalah karena dia 

merasa terlalu disakiti. Dalam perhitungannya kini, 

termasuklah hal itu merupakan satu kekejaman, apa-

kah gurunya memang ingin mengarahkan dirinya se


bagai seorang pendekar yang memiliki jiwa sebagai 

seorang begawan? Itu juga satu hal yang sangat tidak 

mungkin untuk dilakukannya. Sambil merenungi akan 

pesan-pesan gurunya, Pendekar Hina Kelana ini kem-

bali membuka halaman berikutnya. Hanya terdapat 

beberapa baris kalimat saja di sana yang berbunyi:

Dalam mempelajari setiap jurus yang terdapat 

dalam kitab ini, tidak di benarkan mempergunakan te-

naga murni secara keseluruhan, sebab sifatnya hanya 

menahan dan menarik tenaga dalam lawan. Hingga la-

wan-lawanmu akan menjadi tiada berdaya karenanya. 

Itu pun bukan berarti kau harus membiarkan dirimu di 

cincang lawan tanpa perlawanan. Lakukanlah andai 

tindakan itu benar-benar di luar batas kesabaran mu

sebagai seorang manusia....

Kembali Buang Sengketa merenungi akan 

makna kata-kata yang di tulis oleh si Bangkotan Ko-

reng Seribu. Tak sampai sepeminum teh, pemuda itu 

angguk-anggukkan kepalanya. Nampaknya dia mulai 

mengerti ke mana arahnya dari semua apa yang di pe-

sankan oleh sang guru. Selanjutnya dia membuka 

lembaran berikutnya, begitu dia memperhatikannya 

dengan seksama. Maka terlihatlah pembukaan jurus-

jurus Silat Koreng Seribu. Buang Sengketa kemudian 

bangkit berdiri, dengan sikap tegak dan tangan te-

rangkap di depan dada pemuda ini mulai memusatkan 

perhatiannya, sekejap dia melirik ke arah kitab yang 

dia letakkan di atas batu, maka mulailah dia menga-

wali pelajaran silat itu dengan satu gerakan yang sulit 

untuk di duga-duga.

"Hiaaat...!" Jeritan itu mengawali gerakan 

menggunting pada bagian kaki, sementara kedua tan-

gan mendorong ke arah depan, samping kanan kiri, la


lu mendorong ke atas. Satu dasar permulaan telah dia 

selesaikan, lalu berlanjut dengan jurus-jurus berikut-

nya.

Kaki kanan menendang ke depan, tangan kiri 

terkepal dan merapat di bagian perut. Selanjutnya tan-

gan kanan melakukan gerakan membabat dan memu-

kul, di susul dengan satu tendangan kaki kiri, terus 

berputar-putar dan bersalto ke udara sambil kirimkan 

satu dorongan mengarah pada batu tempat di mana ki-

tab tadi berada.

"Wuuuut!" Pendekar Hina Kelana setengah 

memekik heran saat mana kitab tersebut laksana kilat 

melayang ke arah telapak tangannya kemudian mele-

kat di sana. Cepat-cepat dia daratkan kakinya di atas 

tanah dengan mulus, sementara kitab tadi menempel 

erat di bagian telapak tangannya. Secara perlahan dia 

berusaha melepaskan kitab tersebut dari telapak tan-

gannya. Tapi bagai sebuah magnit saja kedua tangan-

nya menahan kitab tersebut.

"Ah, mengapa begini! Bagaimana cara mele-

paskannya...? Celaka tanganku tak ubahnya...!" Buang 

Sengketa tidak meneruskan ucapannya, begitu dia te-

ringat pesan gurunya. Secara perlahan dia menarik ba-

lik tenaga saktinya, maka perubahan perlahan pula 

terjadilah. Mula-mula kitab yang melekat di telapak 

tangannya itu merenggang. Kemudian jatuh di atas ba-

tu tadi. Heran bercampur kagum, Buang Sengketa 

memperhatikan telapak tangannya sendiri.

"Hemm. Sebuah ilmu yang sangat langka dan 

tak pernah dimiliki oleh orang lain. Seandainya aku 

berhasil mempelajari kitab ini sesempurna mungkin, 

tentu aku tak perlu bersusah payah mengurus tenaga 

untuk melumpuhkan pihak lawan. Bahkan kalau perlu 

tak usah mencederainya...!"

Batinnya kagum sendiri. Selanjutnya dia men


gerahkan sedikit tenaganya ke arah pohon yang berada 

tak begitu jauh darinya. Tiada di sangka-sangka tu-

buhnya melayang tanpa terkendali.

"Wueeee...!"

"Kreeep!" Telapak tangan Buang Sengketa me-

lekat erat pada pohon yang berukuran sangat besar 

tersebut. Selanjutnya dari telapak tangannya ada se-

suatu yang dia rasakan mengalir deras. Pendekar Hina 

Kelana memperhatikan ke arah bagian atas pohon, dia 

akhirnya menjadi semakin terkejut sekali begitu meli-

hat bahwa daun-daun pohon yang menghijau itu men-

jadi layu. Walau pohon tersebut tidak mati maupun 

kering, namun cukup kuat dugaannya bahwa pohon 

tersebut telah kehilangan kekuatan untuk memulih-

kan keadaannya. "Sebuah ilmu sakti yang sangat men-

gerikan. Kalau aku tak pandai-pan-dai mengendali-

kannya. Maka aku bisa menjadi bulan-bulanan jurus-

jurus silat ciptaan guruku sendiri. Tapi tak mengapa, 

dalam waktu yang sangat singkat ini aku harus dapat 

memanfaatkannya dengan baik. Andai tidak, lewat 

empat puluh hari nanti tentu isi kitab ini akan hilang 

begitu saja."

Pada kenyataannya memang begitu, siang dan 

malam Pendekar Hina Kelana terus menggembleng di-

rinya dengan jurus-jurus peninggalan almarhum gu-

runya itu. Dia hanya menghentikan latihannya apabila 

Ayunda putri Bara Seta, maupun Bara Seta dan is-

trinya datang mengantarkan makanan atau hal-hal 

lain yang sangat di perlukan oleh pemuda itu. Selebih-

nya adalah latihan-latihan rutin yang tiada mengenal 

lelah. Sekali dua dia pun mengalami kesukaran, tapi 

dia tak pernah mengeluh. Apa yang di lakukannya se-

lama berhari-hari telah menempa dirinya menjadi seo-

rang yang sabar dengan di barengi ketekunannya. Pagi 

itu merupakan hari yang ketiga puluh bagi Buang


Sengketa dalam mempelajari Kitab Jurus Koreng Seri-

bu. Sebagaimana hari-hari biasanya, pagi itu pun 

Ayunda mengantarkan sarapan untuk si pemuda. 

Pendekar Hina Kelana menghentikan latihannya saat 

mana Ayunda datang menghampirinya. Sambil menye-

ka peluh yang meleleh di wajahnya, Buang Sengketa 

segera pula duduk di atas sebuah batu yang tidak se-

berapa besarnya. Sesaat dia, memandang pada Ayun-

da, seperti hari-hari sebelumnya jantungnya berdetak 

keras tiada berketentuan. Dia teringat kembali pada 

Wanti Sarati yang dia titipkan pada Satria Penggali 

Kubur.

Mengapa perasaan itu baru timbul saat ini, 

apakah karena dia melihat bahwa gadis yang bernama 

Ayunda itu sangat mirip sekali dengan Wanti yang du-

lu pernah dia selamatkan pada saat berumur belasan 

tahun?

"Kakang... sepagi ini kok sudah melamun! Sa-

rapan dulu! Ini ada aku bawakan ayam hutan yang di 

panggang kesukaan mu...!" Ucapnya sambil memper-

hatikan si pemuda dengan pandangan penuh rasa ka-

gum. Buyar lamunan si pemuda saat itu juga, wajah-

nya nampak berubah kemerahan saat dia menyadari 

ketololannya sendiri.

"Eee... ayam hutan! Tentu aku sangat suka se-

kali...!" Buang Sengketa tersenyum, dan tanpa malu-

malu lagi dia mencomot potongan ayam tersebut ke-

mudian mengunyahnya dengan lahap.

"Kulihat latihanmu semakin maju, kakang...! 

Beberapa hari lagi tentu kitab peninggalan kakek 

Bangkotan Koreng Seribu telah selesai kau pelajari...!" 

Berkata Ayunda dan kedua matanya mengerling penuh 

arti.

"Harapanku juga begitu, sebab waktu yang ada 

pun rasanya sangat terbatas sekali. Aku masih belum


tahu mengapa isi kitab Jurus Koreng Seribu umurnya 

sangat terbatas, walau aku sadar bahwa kitab ini me-

rupakan sebuah kitab yang isinya mengandung jurus-

jurus yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, tapi 

waktu yang sangat singkat itu terkadang membuatku 

bingung...!"

"Benarkah Jurus Koreng Seribu di dalam kitab 

itu hanya memuat empat jurus saja...?" Tanya Ayunda, 

sekejap dia memandang si pemuda, namun kemudian 

segera membuang pandangan matanya jauh-jauh.

"Ya... kenyataannya memang begitu."

"Itu berarti dalam setiap jurus, kakang harus 

mempelajarinya dalam waktu sepuluh hari...?"

"Benar!"

"Kakang...!" Ujar Ayunda manja. Ah, mesra 

banget! Kalau dia benar-benar sampai jatuh cinta pa-

daku! Matilah aku. Batin Pendekar Hina Kelana sambil 

berdoa semoga anaknya Bara Seta itu tidak sampai ja-

tuh hati padanya.

"Ada apa...!?" Tanya Buang Sengketa tanpa me-

noleh.

"Kau merupakan pendekar yang tangguh. Apa-

lagi kini engkau telah pula memiliki jurus-jurus Koreng 

Seribu...!" Pujinya tanpa malu-malu.

"Jurus Koreng Seribu belum sepenuhnya ku

kuasai, masih ada satu jurus lagi yang harus kupelaja-

ri dalam waktu sepuluh hari terakhir...!" 

"Semoga kakang dapat melakukannya dengan 

baik...!" Pendekar Hina Kelana menarik nafas panjang-

panjang, dalam hati diapun berharap seperti apa yang 

di harapkan oleh Ayunda. Sebab dia merasa tak enak 

bila harus tinggal di tempat itu lebih lama lagi, Buang 

tak ingin terlalu merepotkan Orang lain. Tanpa me-

nunggu jawaban Buang Sengketa, Ayunda menyam-

bung; "Beberapa hari ini ayah dan ibu melihat bebera


pa orang berkeliaran di sekitar pinggiran lembah ini, 

kakang...!" Katanya pelan. "Nampaknya orang-orang 

itu membawa maksud-maksud yang tak baik...."

"Mungkin mereka hanya merupakan penduduk 

yang sedang mencari rotan, berburu atau mencari ke-

perluan lainnya...!"

Jawab si pemuda berusaha menyembunyikan 

kegelisahannya. Ayunda cepat-cepat gelengkan kepa-

lanya.

"Sejak kecil aku telah tinggal di lembah ini, ka-

kang...! Aku cukup mengenali daerah tempat tinggalku 

sendiri. Sebelumnya aku tak pernah melihat seorang 

pun yang berani berkeliaran di tempat ini, selain jauh 

dari jangkauan penduduk desa. Daerah ini bagi mere-

ka juga merupakan sebuah tempat yang angker. Ayah 

dan ibu merasa yakin ada pun keperluan mereka sam-

pai di tempat ini hanyalah ingin merampas kitab itu, 

sebab menurut ayah orang-orang itu berpenampilan 

seperti orang-orang kalangan persilatan. Membawa-

bawa senjata sebagaimana layaknya."

"Kalau begitu aku tak membiarkan paman dan 

bibi begitu saja, bagaimana pun aku harus turun tan-

gan andai mereka sampai berani memasuki lembah 

ini...!" Katanya tegas.

"Sebaiknya kakang tak usah memikirkan lain 

hal. Itu cuma membuat kakang terganggu dalam lati-

han...!"

"Bagaimana mungkin! Siang dan malam mereka 

menjaga keselamatanku. Masa aku harus membiarkan 

mereka begitu saja...! Tak seorang pun kubiarkan me-

nyakiti orang tuamu...!" Tegas kata-kata si pemuda 

tanpa emosi.

"Terserahmulah, kakang...!" Katanya.


DELAPAN


Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek siang itu keliha-

tan sudah melewati daerah Pagar Gunung yang meru-

pakan hutan penghubung satu-satunya untuk dapat 

sampai di Lembah Selaksa Mayat. Panas surya me-

mang terasa terik membakar, masih untung sepanjang 

semak belukar yang mereka lalui terdapat pohon-

pohon liar yang menjulang tinggi sehingga mereka tak 

perlu mengeluh dari sengatan sang surya. Ketiga orang 

dari Perguruan Catur Tunggal itu terus menelusuri 

semak-semak belukar, batu-batu yang sangat licin dan 

juga tebing-tebing yang curam.

"Kakang Wahana! Berhentilah dulu, sejak dua 

malam yang lalu kita tak pernah istirahat barang seke-

jap pun...!" Ujar Adi Cilek setengah mengeluh. Saat itu 

Wahana yang berada di bagian paling depan nampak 

mengurungkan langkahnya saat mana Adi Cilek me-

manggilnya.

"Lembah Selaksa Mayat, sesuai dengan kete-

rangan yang kita peroleh tidak begitu jauh lagi dari si-

ni. Mengapa kita harus berhenti...!"

"Ah, kakang... untuk apa kita harus tergesa-

gesa? Pula kita hanya ingin melihat tentang kebenaran 

adanya kitab itu. Bukan untuk memilikinya...!" Tukas 

Adi Olo mendukung adiknya yang paling bungsu.

"Apa kalian kata! Untuk apa kita datang dari 

jauh-jauh, kalau hanya cuma ingin melihat kitab 

itu...!" Bentak Wahana marah. Adi Olo dan Adi Cilek 

saling pandang. Jelaslah bagi mereka sudah, bahwa 

sesungguhnya Wahana kiranya tidak berolok-olok ke-

tika mereka bicara dengan si Lima Golok Maut di Mua-

ra Beliti beberapa pekan yang lalu. Padahal sebelum-

nya Wahana sendiri pernah bicara pada sesamanya


bahwa tujuan mereka dalam mencari muridnya Bang-

kotan Koreng Seribu yang telah membawa kitab terse-

but ke sebuah tempat yang sangat rahasia. Wah... wah 

hal ini benar-benar menjadi runyam urusannya. Batin 

Adi Olo dan Adi Cilek.

"Jadi kakang juga punya niat untuk menda-

patkan kitab pusaka itu... apakah itu bukan berarti ki-

ta harus berhadapan dengan tokoh-tokoh silat tingkat 

tinggi yang pada dasarnya juga menginginkan kitab 

tersebut...?!" Menyela Adi Olo dengan perasaan khawa-

tir. Wahana yang sedari tadi hanya memandang ke 

arah depan kini menoleh dan memandangi tajam pada 

kembratnya.

"Perduli apa! Kalau kau merasa takut, lebih 

baik tak usah bergabung dengan Catur Tunggal. Tak 

pernah kulihat nyali kalian seciut ini, mengapa tiba-

tiba kalian berubah menjadi seorang pengecut...!" Te-

riak Wahana marah.

"Bukan pengecut kakang! Walau bagaimana 

pun kita harus menyadari bahwa murid si Bangkotan

Koreng Seribu juga bukanlah seorang murid yang bo-

doh. Sebagai murid tunggal sudah barang tentu dia 

memiliki kesaktian yang sangat luar biasa...!" Adi Cilek 

berusaha memberi pengertian. Tapi nampaknya Wa-

hana sudah tak memperdulikan segala penjelasan 

adik-adik seperguruannya.

"Kalau kalian berdua tak mau ikut! Baiknya ce-

pat-cepat tinggalkan tempat ini! Biarkan aku sendiri 

yang berangkat ke sana...!" Berkata begitu, tanpa me-

noleh-noleh lagi Wahana menggenjot tubuhnya. Ber-

loncatan di atas cabang-cabang pohon kemudian 

menghilang dari pandangan kedua orang kembratnya 

Adi Olo dan Adi Cilek saling berpandangan. Secara se-

rentak; "Kakang... aku ikuuuut...!" Teriak mereka seca-

ra bersamaan. Dengan cara yang sama mereka ini pun


akhirnya kabur mengejar Wahana yang sudah tak ter-

lihat lagi.

Setelah mengerahkan segenap kemampuan lari 

cepatnya, maka tak begitu lama kemudian Wahana 

pun telah tersusul. Saat itu mereka sudah berada di 

pinggiran Lembah Selaksa Mayat. Sejenak lamanya se-

cara seksama mereka memandang ke arah bagian 

lembah itu. Tak terlihat apapun di sana ter kecuali se-

buah rumah gubuk yang sangat kecil.

"Agaknya di sanalah muridnya si Bangkotan 

Koreng Seribu itu menetap! Mudah mudahan kita ma-

sih belum terlambat mendapatkan kitab itu...!" Gu-

mam Wahana tanpa berpaling dari lembah yang bera-

da di bawahnya.

"Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke sana, 

kakang...!" Kata Adi Olo, selanjutnya mereka sudah 

bermaksud mulai menuruni pinggiran lembah yang 

sangat licin itu saat mana terdengar suara hentakkan 

seseorang lalu di sertai melesatnya dua sosok tubuh ke 

arah mereka. Dengan gerakkan yang sangat menga-

gumkan kedua orang itu menjejakkan kakinya satu 

tombak di depan orang-orang Catur Tunggal. Melihat 

cara mereka menginjakkan kakinya di atas tanah dan 

tanpa menimbulkan suara itu saja sudah merupakan 

satu tanda bagi mereka, bahwa laki-laki gemuk dan 

perempuan setengah baya itu memiliki ilmu meringan-

kan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna. 

"Hei... siapakah kalian ini...?" Tanya Wahana 

dalam keterkejutannya. Dua orang ini, yang tak lain 

Bara Seta dan Dewi Wulan adanya kelihatan terse-

nyum-senyum.

"Seharusnya kamilah bertanya ada maksud apa 

kalian sampai datang di Lembah Selaksa Mayat ini...!"

"Melihat tampang-tampang kalian, kalau tak 

salah kalian ini merupakan ketua Perguruan Candak


Ginaka dan yang betinanya merupakan penguasa 

Lembah Selaksa Mayat ini...!" Berkata Adi Olo dengan 

sesungging senyum mencemooh. Bukan main gusar 

Dewi Wulan begitu mendengar nada ucapan yang san-

gat kasar ini. Sebagai orang yang tak pernah atau ka-

takanlah jarang berhubungan dengan dunia luar, su-

dah tentu kata-kata itu merupakan ucapan yang tak 

layak dari jiwanya yang terlalu lugu. Tapi dia masih 

berusaha menahan amarahnya begitu Bara Seta mem-

beri isyarat padanya untuk tidak bicara. Sebaliknya 

Bara Seta melangkah dua tindak ke depan. Tanpa 

sungkan-sungkan lagi dia membentak;

"Jangan bertele-tele! Kalau kalian sudah tahu 

bahwa aku merupakan penguasa di lembah ini. Cepat-

lah katakan apakah keperluan kalian hingga dari le-

reng Gunung Butak sampai ke tempat ini...?" Bentak 

Dewi Wulan geram. Ketiga laki-laki dari Catur Tunggal 

itu saling berpandangan, kemudian meledaklah tawa 

mereka.

"He... he... he....! Kudengar-dengar manusia 

gemuk seperti ikan buntal di sebelah mu itu merupa-

kan anak angkatnya almarhum si Bangkotan Koreng 

Seribu?" Tanyanya dengan maksud-maksud yang licik.

"Hemm. Orang-orang ini pasti membawa mak-

sud-maksud yang tak baik. Agaknya aku harus berha-

ti-hati menghadapi orang ini...!" Membatin Bara Seta.

"Hei... mengapa diam! Benarkah kau anak ang-

katnya orang tua yang sangat kesohor itu...?" Bentak 

Wahana bagai seorang penguasa saja layaknya.

Memerah wajah Dewi Wulan melihat ulah 

orang-orang yang itu. Sikap mereka yang kasar mem-

buat perempuan itu menjadi gatal tangannya.

"Kakang... mengapa kita biarkan mereka men-

jarah daerah kita. Pula iblis-iblis ini terlalu kotor mu-

lutnya...!"


"Tenanglah adi! Aku jadi pengin tau apa tujuan 

anjing-anjing geladak ini hingga begitu berani mema-

suki daerah terlarang...!" Tukasnya berusaha menya-

barkan Dewi Wulan. Kemudian dengan sikap tenang.

"Kalau kau mau tahu apa yang menjadi tujuan 

kami ke lembah yang sangat menakutkan ini. Jawab 

dulu, benarkah kau merupakan anak angkatnya al-

marhum Bangkotan Koreng Seribu...?" Tanyanya ke-

tus. Tanpa ragu dan tiada pula mengenal rasa takut, 

Bara Seta membentak marah.

"Bicara saja muter-muter. Kalau memang benar 

aku merupakan anak angkatnya Bapak Bangkotan Ko-

reng Seribu, kalian mau apa...?" Tantangnya.

"Ha... he... ha...! Kalau kau merupakan anak 

angkatnya si Bangkotan Koreng Seribu. Tentu kau juga 

tahu di manakah muridnya saat ini berada...?" Pancing 

Wahana. Maka mengertilah Bara Seta dan Dewi Wulan, 

apa sebenarnya yang menjadi tujuan orang-orang dari 

Catur Tunggal tersebut.

"Kalau pun aku tahu di mana muridnya bapak 

angkatku, tidak nantinya kuberitahukan pada ka-

lian...!"

"Lebih baik kau katakan saja monyet gemuk...!" 

Bentak Adi Olo ikut menimpali.

"Ya... lebih baik katakan saja, untuk apa men-

gorbankan nyawa hanya demi kepentingan orang 

lain...!" 

Maka meledaklah tawa Bara Seta begitu men-

dapat perintah yang bernada mengancam dari orang-

orang Catur Tunggal. Dia pun sudah dapat memasti-

kan bahwa se-benarnya kedatangan mereka hanyalah 

menginginkan kitab Jurus Koreng Seribu.

"Lebih terkutuk lagi andai aku membiarkan ka-

lian merampas kitab Jurus Koreng Seribu yang bukan 

hak kalian...!"


"Bagus kalau kau sudah tahu, itu berarti aku 

tak perlu bersusah payah menjelaskannya padamu... 

!"Kata Wahana sembari tersenyum-senyum.

"Hemm, sekarang katakan di mana muridnya 

orang sakti itu bersembunyi...!" Celetuk kembrat Wa-

hana.

"Kalau kau inginkan kitab itu, langkahi dulu 

mayat kami...!"

"Kakang jangan banyak cingcong, kita hajar sa-

ja manusia-manusia iblis ini beramai-ramai...!" Dewi 

Wulan yang sudah sangat marah itu nampak sudah 

tak dapat mengendalikan diri lagi. Maka tanpa me-

nunggu persetujuan suaminya, wanita pendekar itu 

pun langsung membuka serangan dengan jurus-jurus 

andalannya. Nampaknya Bara Seta pun tidak tinggal 

diam. Serentak dengan di sertai teriakan menggelegar, 

laki-laki gemuk itu pun kirimkan pukulan-pukulan 

mautnya. Orang-orang Catur Tunggal tidak tinggal di-

am, mereka adalah tokoh-tokoh seangkatan yang me-

miliki aliran berbeda. Dalam hal tenaga dalam, puku-

lan-pukulan andalan, nampaknya mereka memiliki ke-

lebihan dan kekurangan yang tidak begitu jauh be-

danya. Dalam waktu yang sangat singkat pertarungan 

itu telah mencapai belasan jurus. Namun kelihatannya 

keadaan masih tetap seimbang. Masing-masing lawan 

kini telah mulai mengeluarkan jurus-jurus simpanan-

nya. Maka semakin bertambah seru sajalah pertarun-

gan tokoh-tokoh tinggi tersebut.

Bara Seta nampaknya tidak ingin menyia-

nyiakan waktu, kejab kemudian tubuhnya berkelebat 

lenyap sambil bersiap-siap lancarkan pukulan Candak 

Ginaka Menerjang Gunung. Sementara itu istrinya ju-

ga telah mencabut pedang mustika yang di bagian ga-

gangnya terdapat ukiran kepala burung Sri Gunting, 

begitu pedang mustika itu tercabut dari sarungnya,


maka pedang itu pun berkelebat dahsyat sehingga 

timbulkan angin bersiuran. Pihak lawan ternyata juga 

memiliki ambisi yang sama untuk secepatnya dapat 

merobohkan musuh-musuhnya. Maka tak pelak lagi, 

dalam gebrakan berikutnya mereka pun lancarkan pu-

kulan Halilintar Tunggal yang tak perlu diragukan lagi 

akan kemampuannya,

"Hiaaa.... Hiaaa...!" 

Berputar-putar tubuh mereka sembari berjum-

palitan bagai tiada memiliki bobot. Saat selanjutnya 

Wahana dan kawan-kawannya kirimkan pukulan Hali-

lintar Tunggal ke arah tubuh Bara Seta dan Dewi Wu-

lan. Dalam kesempatan itu Bara Seta pun juga telah 

kirimkan pukulan Candak Ginaka Menerjang Gunung 

yang menebarkan hawa dingin dan panas. Pukulan 

Bara Seta yang membersitkan sinar ungu itu pun lebih 

cepat lagi memapaki datangnya serangan Halilintar 

Tunggal yang di lepaskan oleh lawan-lawannya. Se-

mentara itu, Dewi Wulan putar pedang mustikanya se-

demikian sebat sehingga membentuk satu gulungan 

sinar pedang yang dapat di jadikan sebuah perisai 

yang sangat kokoh.

"Nguung! Blaaam! Blaam!"

"Gusraak! Gabruuuk!" Masing-masing pukulan 

lawan bertubrukan dengan pukulan yang di lepaskan 

oleh Bara Seta, sementara dua pukulan lainnya yang 

di lepaskan oleh Wahana membentur pertahanan pe-

dang milik Dewi Wulan. Baik tubuh Wahana, Adi Olo, 

Adi Cilek terpelanting tiga tombak, dengan dada terasa 

sesak luar biasa, bahkan tangan mereka juga berde-

nyut-denyut sakit. Di pihak Bara Seta dan Dewi Wulan 

keadaan mereka juga tidak begitu berbeda jauh Dewi 

Wulan; sungguh pun tak sampai terpelanting tubuh-

nya, tapi malah amblas ke dalam tanah sebatas mata 

kaki. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Andai saja dia


tak memiliki tenaga dalam yang sudah sangat sempur-

na, sudah barang tentu dia muntah darah atau seti-

dak-tidaknya menderita luka dalam cukup parah. Pe-

rempuan itu cepat-cepat berdiri sembari mengembali-

kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangan yang tera-

sa kesemutan.

Sementara itu Bara Seta yang sempat terjeng-

kang dua tombak sudah nampak bangkit kembali. Be-

rulang kali dia meludah ke tanah rasa benci pada 

orang-orang Catur Tunggal membangkitkan kemara-

hannya yang sudah tak mampu dia kendalikan lagi.

"Orang-orang Catur Tunggal. Mampuslah ka-

lian...!" Teriak Bara Seta. Dan ternyata sebelum Bara 

Seta belum sempat kirimkan pukulan mautnya. Wa-

hana dan kawan-kawannya telah mendesaknya dengan 

jurus-jurus silat tangan kosong.

Agak kerepotan juta Bara Seta di buatnya, ma-

sih beruntung dia merupakan seorang tokoh yang cu-

kup berpengalaman. Sehingga dengan jurus-jurus silat 

tangan kosong pula dia masih mampu mengelak dan 

mengkelit serangan-serangan yang di lancarkan oleh 

ketiga lawannya. Menghadapi keroyokan tokoh-tokoh 

setingkat, yang kesemuanya memiliki permainan silat 

yang aneh dan membingungkan. Secepat mana pun 

Bara Seta bertindak dan menghindar, lama-kelamaan 

dia kena di desak juga. Masih untung Dewi Wulan ce-

pat tanggap menghadapi kenyataan itu. Maka sekali 

saja dia melompat, lalu menggempur Wahana dan ka-

wan-kawannya dengan serangan dan tusukan pedang 

mustikanya yang sangat ampuh.

"Weeeit! Nguuung...!" Babatan yang kesekian 

kalinya nyaris membuat buntung tangan Adi Olo, ka-

lau saja tak cepat-cepat tarik tangannya yang terjulur 

dengan maksud menghantam dada Bara Seta, sudah 

barang tentu Adi Olo sudah kehilangan sebelah tan


gannya. Usahanya gagal, bahkan nyaris kehilangan 

sebelah tangan membuat Adi Olo mencaci maki pan-

jang pendek.

"Kerahkan ajian Jari Sakti Baja...!" Teriak Wa-

hana memberi aba-aba pada kembrat-kembratnya.

"Ciaaat...! Giaat...! Ciaaat...!"

Dalam teriakannya itu, dengan gerakan yang 

sangat lincah tubuh orang-orang Catur Tunggal sudah 

melompat menjauhi pertarungan. Tetapi nampaknya 

Dewi Wulan mengetahui gelagat yang tak baik ini, se-

lanjutnya sambil terus memburu lawan-lawannya, dia 

berteriak memberi peringatan pada suaminya.

"Kakang! Jangan beri kesempatan pada mereka 

untuk mengerahkan ajian Jari Sakti Baja...!"

Bara Seta bagai tersentak dari lamunannya, se-

lanjutnya dia keluarkan bola berduri yang terikat den-

gan rantai baja. Tanpa buang-buang waktu lagi, dia 

putar bola duri itu sehingga menimbulkan suara men-

deru-deru. Sampai detik itu kiranya, Wahana dan ka-

wan-kawannya masih belum selesai merapal ajian Jari 

Sakti Baja. Mengetahui serangan kilat yang sangat 

membahayakan jiwa mereka, sudah barang tentu me-

reka urungkan niatnya. Akhirnya mereka pun bergerak 

mengelak, menghindari datangnya babatan mata pe-

dang dan bola duri yang di lancarkan oleh Bara Seta.

"Keparaat...!" Maki Wahana, lalu berlompatan 

bagai monyet gila mabuk terasi. Tiada sahutan, seba-

gai jawabannya, baik Bara Seta dan Dewi Wulan se-

makin mempergencar serangan-serangan mautnya.

Sementara itu pada saat yang sama di dasar 

Lembah Selaksa Mayat, Buang Sengketa dengan di te-

mani oleh Ayunda kelihatan sedang terlibat pembica-

raan yang serius. Akhir-akhir ini mereka memang keli-

hatan semakin bertambah akrab antara yang satu 

dengan yang lainnya.


"Kakang! Apakah engkau benar-benar berniat 

meninggalkan lembah ini andai nanti Kitab Jurus Ko-

reng Seribu telah berhasil engkau kuasai...?" bertanya 

Ayunda sementara badannya ngelendot di punggung 

Buang Sengketa. Sebenarnya Buang Sengketa menjadi 

risih juga, menghadapi suasana seperti ini. Dia merasa 

takut bagaimana nantinya kalau keadaan seperti itu 

sampai diketahui oleh Bara Seta dan istrinya. Tentu 

semuanya biasa berabe. Memang benar dia akui, bah-

wa mempelajari kitab jurus-jurus Koreng Seribu sudah 

tuntas bahkan dengan ketekunannya dia masih mem-

punyai sisa waktu tiga hari dari empat puluh hari se-

perti yang tertulis dalam kitab itu. Juga dia sendiri da-

pat merasakan betapa hebatnya Jurus-jurus Koreng 

Seribu hasil peninggalan gurunya itu. Tetapi dia juga 

menghadapi hal lain yang sebenarnya bisa di bilang 

persoalan yang sangat sepele, namun berhubungan 

erat dengan hati dan perasaan. Ayunda telah jatuh ha-

ti padanya, hal itu juga tak dapat dia sangkal. Gelagat 

seperti itu sudah dapat dia rasakan sejak mendengar 

pengakuan itu dari Ayunda. Hal ini juga membuat re-

sah hatinya, apalagi selama berada di lembah itu, ga-

dis cantik itulah yang teramat sering menyediakan se-

gala keperluan yang dibutuhkannya.

Haruskah dia mengatakan hal yang sesung-

guhnya bahwa dia sudah mempunyai gadis pilihan 

yang selama ini tak pernah dia balas cintanya. Tidak. 

Ayunda adalah seorang gadis yang sangat perasa, dia 

tak ingin putri paman Bara Seta yang telah banyak 

berkorban untuknya, jadi tersinggung, marah atau 

bahkan malah berubah membencinya. Tapi bagaima-

nakah caranya agar segala sesuatunya berjalan sesuai 

dengan apa yang dia harapkan? Buang menjadi bin-

gung, dan berdenyut-denyut kepalanya.

"Kakang! Mengapa kau hanya diam saja...?"


Ujar Ayunda setengah merajuk.

"Apa yang harus kukatakan...?"

"Katakanlah apakah kakang bermaksud me-

ninggalkan Lembah Selaksa Mayat...?" Tanya Ayunda 

sambil menarik nafas dalam-dalam, kemudian di bua-

ngnya pandangan matanya jauh-jauh. Hati-hati sekali 

dia berucap;

"Aku ini hanyalah seorang pengelana, hidupku 

tiada berketentuan dan tiada siapa-siapa pula yang 

kumiliki. Apa yang ingin kulakukan untuk hari-hari 

selanjutnya adalah mencari ayah kandungku, aku ha-

rus dapat menemukannya. Tak perduli apapun yang 

bakal terjadi...!" Ayunda tersentak, wajahnya sedikit 

memucat dan mendadak dia seperti akan kehilangan, 

namun untuk mencegah kepergian pemuda yang telah 

membuat hatinya jatuh cinta, juga tak mempunyai ku-

asa.

"Kakang andai engkau pergi! Aku di sini sendi-

rian...!"

"Siapa bilang? Bukankah masih ada ayah bun-

damu...!" kata pemuda itu sekenanya, namun hatinya 

juga merasa geli.

"Maksud... maksudku... ah mengapa engkau 

masih tak mau mengerti bagaimana perasaanku pa-

damu, kakang...!" Isak Ayunda, seraya lalu merebah-

kan kepalanya di atas dada si pemuda yang bidang. 

Buang mengelus-elus rambut Ayunda, tangis gadis 

cantik itu semakin keras hingga membuat Pendekar 

Hina Kelana jadi kelabakan.

"Sudahlah, mengapa harus menangis, bagai-

mana nanti juga ayah ibumu melihat kita sedang ber-

pelukan seperti ini" katanya, Lugu! Mendadak Ayunda 

tengadahkan wajahnya, pandangan matanya sendu 

menatap pada wajah tampan yang tidak begitu jauh 

dari wajahnya. Hati masing-masing mereka saling ber


getar. Lalu secara perlahan kedua wajah mereka saling 

mendekat, selanjutnya hembusan-hembusan nafas 

mereka yang terasa hangat membangkitkan gejolak ha-

ti yang telah lama tersimpan. Tak dapat di cegah lagi 

kedua bibir mereka pun saling bertemu dalam gelora 

cinta yang menggebu-gebu. Ayunda merintih manja. 

Tetapi hanya sebatas itu, sebab saat itu Buang Seng-

keta menangkap adanya suara-suara teriakan orang 

yang sedang terlibat pertarungan. Cepat-cepat dia 

menjauhkan wajahnya dari wajah Ayunda. Sudah ten-

tu hal ini membuat si gadis terperanjat. Dengan wajah 

bersemu merah dia pun bertanya;

"Aku mendengar seperti ada pertarungan di 

atas bukit sana. Jangan-jangan paman Bara dan bibi 

Dewi Wulan yang sedang bertarung...!" kata si pemuda 

menduga-duga. Tetapi ternyata memang benar adanya, 

ketika tak begitu jauh dari mereka nampak Suro bekas 

murid Bara Seta yang cuma tinggal satu-satunya itu 

berlari-lari menghampiri mereka.

"Cel... celana... eeh celaka, tuan muda...!" seru 

laki-laki berumur tiga puluhan itu dengan nafas ngos-

ngosan dan suara tergagap.

"Ada apakah, Suro! Berkatalah dengan jelas...!" 

Ucap si pemuda berusaha meredakan ketegangan yang 

dialami oleh laki-laki itu.

"Gu... guru sedang bertarung melawan orang-

orang dari Catur Tunggal...!" Buang Sengketa nampak-

nya sangat terkejut mendengar laporan Suro, lalu tan-

pa banyak tanya lagi, pemuda itu pun melesat laksana 

terbang. Dengan mengerahkan Ajian Sepi Anginnya 

hanya sekejapan mata saja dia sudah sampai di tem-

pat pertarungan itu. Sementara Ayunda dan Suro jauh 

tertinggal di belakangnya.

Saat itu Pendekar Hina Kelana dapat melihat 

bahwa lawan-lawan Bara Seta sedang mendesak di


rinya juga istrinya. Mereka kelihatannya sudah mulai 

jatuh di bawah angin. Bahkan di beberapa bagian pa-

kaian Bara Seta nampak robek di sana sini. Sedangkan 

apabila dia menoleh pada Dewi Wulan, nampaknya pe-

rempuan itu juga mendapat luka di bagian punggung 

dan dadanya.

"Hhh. Mereka tidak mempergunakan senjata 

apapun, namun mereka dapat melukai paman dan bibi 

sedemikian rupa. Mungkin jemari-jemari tangan yang 

menghitam itulah yang sering di sebut-sebut orang se-

bagai Jari Sakti Baja. Pantasan saja tangan mereka tak 

mempan terhadap benturan mata pedang. Hebat luar 

biasa...!" Serunya. Tiba-tiba dalam kegusarannya yang 

tertahan dia membentak; "Berhenti...!" Teriakan tinggi 

melengking yang di sertai dengan lengkingan Ilmu Pe-

menggal Roh itu membuat mereka yang sedang berta-

rung hampir terbanting ke tanah. Mereka merasakan 

gendang-gendang telinganya bagai mau pecah, sakit 

dan berdenyut-denyut. Andai saja mereka tidak memi-

liki tenaga dalam yang sempurna, sudah tentu mereka 

akan menemui ajal secara menyedihkan.

Dengan terdengarnya teriakan Buang Sengketa, 

maka pertarungan itu terhenti seketika itu juga. 

Orang-orang dari Catur Tunggal memandang tajam 

pada pemuda berkuncir ini. Ada rasa jerih menghantui 

diri mereka, suara teriakan tadi saja sudah cukup bagi 

mereka untuk mengetahui bahwa pemuda yang sangat 

asing bagai mereka ini sesungguhnya memiliki ilmu 

yang sangat hebat. Bahkan mereka pun mulai mendu-

ga, andai mereka bertiga maju secara berbareng, be-

lum tentu mereka bakal ungkulan. Namun di samping 

perasaan kecut tersebut kiranya rasa penasaran lebih 

menguasai jiwa mereka. Maka tanpa sungkan-sungkan 

lagi mereka ini langsung membentak;

"Engkaukah muridnya si Bangkotan Koreng Se



ribu yang telah mampus itu?" Teriak Wahana penasa-

ran.

"Ya... kau mau apa...?"

"Cepat serahkan Kitab Jurus Koreng Seribu pa-

da kami...!" Perintahnya. Buang Sengketa tersenyum 

saja demi mendengar kata-kata Wahana, sebaliknya 

dia malah berkata pula; "Paman Bara Seta dan Bibi 

Wulan minggirlah. Orang-orang ini merupakan bagian-

ku...!" Bara Seta dan Dewi Wulan, menepi dan berga-

bung dengan putri dan muridnya. 

"Kalau kalian ingin memiliki kitab itu, silakan 

ambil di dalam periuk ku ini! Tapi ingat, sekali saja ka-

lian coba-coba memaksaku. Maka liang kuburlah tem-

pat kalian untuk selama-lamanya...!" Ancam si pemu-

da dengan, suara hampir-hampir tak terdengar. Maka 

mendidihlah darah orang-orang dari lereng Gunung 

Butak ini. Mereka sadar sekarang mereka sedang 

menghadapi lawan yang sangat tangguh. Namun un-

tuk membatalkan niat hal itu adalah pantangan yang 

tak pernah mereka langgar.

Detik selanjutnya tanpa berkata-kata lagi me-

reka ini pun langsung menyerang Pendekar Hina Kela-

na dengan Ajian Jari Sakti Baja yang sangat dahsyat 

itu.

Pendekar Hina Kelana adalah pendekar yang 

sangat lihai, apalagi kini dia telah menguasai Jurus-

jurus Koreng Seribu yang sangat dahsyat itu. Mengha-

dapi serangan itu pun dia masih mengandalkan jurus-

jurus kesabaran yang sifatnya menyedot tenaga sakti 

lawannya. Pukulan-pukulan dahsyat mulai di lepaskan 

oleh lawan-lawannya. Tetapi begitu pukulan itu terle-

pas dan menghantam tubuh Pendekar Hina Kelana, 

kelihatannya bagai menembus ruang kosong saja. Pu-

kulan maut mereka amblas ke dalam tubuh lawannya 

tanpa meninggalkan akibat apa-apa. Hal itu membuat


ketiga orang lawan menjadi terheran-heran. Sekali lagi 

mereka mencobanya, saat mereka pukulkan kedua 

tangannya ke depan, maka tiga larik sinar yang berke-

kuatan dahsyat datang menggebu meluruk tubuh si

pemuda. Sebaliknya Buang Sengketa tiada mengelak 

maupun memapaki pukulan yang telah di lepaskan 

oleh lawan-lawannya.

"Beeees...!" Kembali kejadian pertama terulang. 

Buang Sengketa tetap tegak tanpa kekurangan sesuatu 

apapun. Heran, namun panas hati mereka demi meli-

hat semua kenyataan ini.

"Ilmu Siluman...!" Maki Wahana mulai timbul 

perasaan jeri. Dalam kesempatan itu Buang Sengketa 

berseru memberi peringatan.

"Kuperintahkan bagi kalian untuk segera me-

ninggalkan tempat ini...!" Wahana dan kembrat-

kembratnya sungguh pun sudah gentar tapi mana sudi 

menuruti perintah Buang Sengketa.

"Budak jangan kau harapkan kami untuk me-

nuruti perintahmu. Kami hanya meninggalkan tempat 

ini jika kau mau menyerahkan Kitab Jurus Koreng Se-

ribu...!"

Buang Sengketa hanya angguk-anggukkan ke-

palanya, tetapi hatinya mulai marah. 

"Kalau itulah keinginan kalian. Kesabaran ma-

nusia itu ada batasnya, maka jangan kau salahkan 

aku andai tindakanku nanti benar-benar membuat ka-

lian menjadi sengsara seumur-umur...!"

"Bocah gembel... jangan coba-coba menakuti-

nakuti kami, nih makanlah jari-jari kami...!" Berkata 

begitu orang-orang Catur Tunggal menerjang si pemu-

da dengan serangan-serangan jari sakti mereka.


SEPULUH


Pendekar Hina Kelana menyadari bahwa seran-

gan-serangan jemari mereka tentu lebih berbahaya lagi 

ketimbang pukulan-pukulan maut yang pernah mere-

ka lepaskan. Maka tak ayal lagi pendekar ini silih ber-

ganti mempergunakan jurus si Gila Mengamuk namun 

di lain kesempatan dia pergunakan pula Jurus Koreng 

Seribu yang sangat aneh tapi tak pernah di ragukan 

kedahsyatannya.

"Caiiiit...!" Tubuh Pendekar Hina Kelana yang 

bergerak tak beraturan itu tiba-tiba saja melesat ke 

udara, pada saat itu pihak lawan pun di luar dugaan si 

pemuda melakukan gerakan yang sama. Ketiga lawan-

nya melakukan tusukan secara berbarengan.

"Wuut! Wuut! Wuut!"

"Haiiit...!" Pendekar dari Negeri Bunian tersebut 

melakukan satu gerakan menangkis dengan sedikit 

mengerahkan tenaga dalamnya.

"Pleeek! Pleek!" Tangan Wahana dan Adi Olo 

melekat erat di telapak tangan Buang, sementara je-

mari tangan Adi Cilek terus menderu menghantam ba-

gian dadanya.

"Buuk!" Jemari tangan Adi Cilek pun melekat 

erat di bagian dada si pemuda. Dalam keadaan seperti 

itu sudah barang tentu mereka tidak memiliki kemam-

puan untuk menjaga keseimbangan maka begitu tu-

buh keempat-empatnya melayang turun mereka tidak 

mampu menjaga keseimbangan tubuhnya lagi.

"Gabruuk...!" Masing-masing mereka jatuh ter-

duduk dengan keadaan tangan melekat di bagian tu-

buh lawannya. Kejut di hati Wahana dan kawan-

kawannya bukan alang kepalang, wajah ketiga orang 

itu sekejap saja telah berubah menjadi pucat pasi.


"Ilmu Setan...!" Rutuk mereka di dalam hati. 

Sedapatnya mereka berusaha menarik balik tangan-

tangan mereka yang melekat tersebut. Tetapi setiap 

mereka mengerahkan tenaganya dengan maksud 

membetot. Mereka merasakan jemari tangan-tangan 

mereka terasa semakin bertambah erat melekat. Se-

mentara mereka merasakan pula tenaga dalamnya ter-

tarik keluar mengarah pada bagian tangan yang mele-

kat itu.

Maka sadarlah Wahana, apa sesungguhnya 

yang sedang terjadi, kalau mereka terus mengerahkan 

tenaga dalamnya tentu berakibat sangat fatal pada diri 

mereka sendiri. Sebab sama saja artinya secara tak 

langsung mereka telah menyumbangkan tangan sakti 

yang sangat besar terhadap pihak lawan.

"Jangan kerahkan tenaga dalam... kita semua-

nya bisa celaka...!" Teriak orang pertama dari Catur 

Tunggal tersebut pada kawan-kawannya. Buang Seng-

keta demi melihat lawannya menyadari keadaan itu 

hanya tersenyum-senyum saja. Ternyata memang be-

nar apa yang di katakan oleh Wahana, begitu mereka 

menarik balik tenaga dalamnya, maka mereka merasa-

kan daya lekat itu semakin mengendor. Satu kesempa-

tan yang sangat baik, orang-orang ini menyentakkan 

jemari tangan yang melekat itu secara bersamaan.

"Hayaaaa...!" Serentak dengan terlepasnya je-

mari tangan yang melekat tersebut, maka tanpa am-

pun tubuh mereka pun jatuh terguling-guling. Namun 

secepatnya pula mereka telah bangkit berdiri. Begitu 

pun halnya dengan si pemuda. Sesungging seringai 

menggidikkan membias di bibirnya, sementara sepa-

sang matanya yang sudah berubah memerah itu nam-

pak memandang tajam pada lawan-lawannya yang su-

dah kembali bersiap-siap untuk melakukan serangan-

serangan yang sudah barang tentu jauh berbeda dengan serangan terdahulu.

Buang Sengketa yang sejak tadi berusaha me-

redam kemarahannya, namun demi melihat orang-

orang Catur Tunggal masih juga, nekad kelihatannya 

dia sudah tak mampu membendung emosinya. Begitu 

pun dia masih berusaha memberi peringatan pada 

orang-orang itu.

"Kuperintahkan sekali lagi pada kalian! Cepat-

cepat menyingkirlah dari hadapanku. Andai tidak, me-

nyesal pun nantinya sudah tiada guna...!" teriaknya 

marah. Hanya Wahana saja yang keluarkan suara ta-

wa mengekeh, sedangkan dua orang lainnya semakin 

bertambah ciut nyalinya.

"Aku tau kau memiliki ilmu kepandaian yang 

luar biasa dahsyatnya. Tapi jangan kira aku akan lari 

ketakutan meninggalkanmu!" Maki Wahana semakin 

membuat sebal hati si pemuda.

"Guru...!" Teriaknya pada dirinya sendiri. "Seta-

pak jalan sulit yang ku lalui, aku sampai pada dua 

persimpangan jalan yang membuka pada dua pilihan. 

Aku memilih mengikuti jalan yang kau tunjukkan pa-

daku. Jangankan kau sesalkan aku, karena sebagai 

seorang anak manusia aku juga punya pilihan terbaik 

untuk diriku sendiri...! Pada mereka juga telah kuberi-

kan dua pilihan, namun mereka rupanya memilih jalan 

yang paling menyakitkan. Mampuslah kalian. Hiaaa...." 

Di sertai suara mendesis bagai seekor piton yang se-

dang di landa kemarahannya Buang Sengketa akhir-

nya membuka jalan darah.

Dengan sekali berkelebat saja, mendadak tu-

buhnya telah lenyap dari penglihatan lawan-lawannya. 

Tiada pukulan-pukulan maut yang dia lepaskan, seba-

liknya terlihat seberkas sinar merah menyala menyer-

tai berkelebatnya Pusaka Golok Buntung yang sudah 

tergenggam di tangannya. Udara di sekitar tempat itu


mendadak saja menjadi dingin luar biasa, bukan main 

terkejutnya Wahana di buatnya. Tubuh mereka meng-

gigil dalam rasa kecut dan dingin yang di timbulkan 

oleh senjata maut di tangan lawannya. Tapi perasaan 

apapun yang dihadapi oleh pihak lawan-lawan, Buang

Sengketa sudah tiada perduli lagi. Senjata di tangan-

nya terus berkelebat menyambar hingga menimbulkan 

suara mendengung-dengung.

"Wuua!" Senjata itu berkelebat kembali me-

rangsak pertahanan pihak lawan. Namun mereka ma-

sih berusaha menangkis dengan Ajian Jari Sakti Baja. 

"Creees! Crees! Crees...!"

"Arghh...!" Wahana, Adi Olo dan Adi Cilek me-

raung setinggi langit saat mana senjata di tangan 

Buang membabat tanpa ampun. Tangan mereka yang 

di pergunakan untuk menangkis serangan Golong 

Buntung, terbabat hingga sebatas pangkal lengan. Da-

rah menyembur-nyembur dari pangkal lengan yang 

terpotong itu. Secepatnya mereka menotok jalan darah 

di bagian pangkal lengan masing-masing. Tak lama 

kemudian darah pun berhenti mengalir. Adi Olo dan 

Adi Cilek menggigil ketakutan. Sementara Buang 

Sengketa nampaknya memang sengaja memberi ke-

sempatan pada lawan-lawannya. Dengan sekali bersal-

to, maka tubuhnya berjumpalitan, kemudian mendarat 

tidak begitu jauh dari depan lawan-lawannya.

"Kuberi kesempatan terakhir pada kalian. Ce-

pat-cepat minggatlah dari sini, andai masih juga kalian 

keras kepala. Maka sekejap lagi golok di tanganku ini 

akan memenggal kepala kalian...!" 

Wahana menoleh pada kembrat-kembratnya...!

"Baiklah kita menyingkir saja, kakang...!" rintih 

Adi Olo dan Adi Cilek menyeringai menahan rasa sakit.

"Ciuh. Mestinya kita harus bertarung dengan 

budak keparat ini sampai mampus. Tapi baiklah... tapi


awas kau Pendekar Golok Buntung. Satu saat kami 

pasti mencarimu untuk menagih hutang tangan...!"

"Sampai kapan pun aku tetap menantimu, so-

bat...!" kata pendekar ini. Tanpa menghiraukan jawa-

ban si pemuda, ketiga orang Catur Tunggal bergerak 

meninggalkan tempat itu, namun kemudian harus 

berbalik sebentar. Saat mana Buang Sengketa berkata;

"Eei... kutungan tangan kalian...!" ucapnya 

mengingatkan.

"Oh ya... kakang! Kutungan, tangan kita ter-

tinggal...!" kata Adi Cilek. Setelah memungut kutungan 

tangannya masing-masing. Tanpa menoleh-noleh lagi 

ketiga orang itu pun terbirit-birit meninggalkan tempat 

itu. Geli hati Buang Sengketa melihat tingkah orang-

orang Catur Tunggal. Namun rasa geli itu tidak sampai 

meledak jadi tawa. Hanya Bara Seta, istri dan anaknya 

saja yang sudah tak dapat membendung tawanya.

Di luar sepengetahuan mereka, tak jauh dari 

tempat itu, kiranya ada dua orang lain yang sejak tadi 

memperhatikan sepak terjang Pendekar Hina Kelana. 

Mereka ini terdiri dari seorang laki-laki dan seorang 

perempuan, yang keduanya telah berusia sangat lanjut 

sekali. Yang perempuan bermata buta, dengan wajah-

nya yang sangat angker, sedangkan yang laki-laki be-

rambut jarang-jarang berwarna kecoklatan, laki-laki 

ini seperti manusia yang kurang waras dan tiada pula 

memakai baju. Tubuh kurus kering dengan kedua ma-

ta menjorok ke dalam sehingga menambah keangke-

rannya. Sejak tadi mereka terus memperhatikan sepak 

terjang Buang Sengketa, dan laki-laki itu pun harus 

mengakui bahwa Jurus Koreng Seribu yang baru di-

pergunakan oleh si pemuda sama sekali belum pernah 

dikenalnya. Mungkinkah dalam waktu yang relatif 

singkat bocah muridnya almarhum si Bangkotan Ko-

reng Seribu itu telah mampu menguasai jurus terakhir


ciptaan gurunya?

"Ilmu yang sangat langka. Jurus-jurus yang 

sangat hebat! Andai aku ingin menjadi pemenang da-

lam pertarungan nanti, maka jalan satu-satunya aku 

harus menghindari bentrok tangan secara langsung...!" 

Membatin kakek kurus kering. Tiba-tiba dia meman-

dang pada adik seperguruannya.

"Adi Tambak. Sekarang saatnya kita turun tan-

gan...!" kata laki-laki tua renta tersebut. Wanita buta 

yang tak lain Nyai Tambak Sari adanya, mengangguk. 

Lalu dengan sekali lompat, melayanglah tubuh kedua-

nya dari tempat persembunyiannya.

Baik Pendekar Hina Kelana, Bara Seta, istri dan 

anaknya nampak terkejut demi melihat kehadiran ke-

dua orang itu. Tapi kemudian dia tersenyum-senyum 

begitu mengenali salah seorang di antara mereka. Se-

jenak mereka saling berpandangan. Tapi Buang Seng-

keta tak lama setelahnya segera berkata pelan.

"Aha... selamat bertemu lagi Ketua Beruang Me-

rah. Nampaknya kau mendatang-kan seorang ksatria

mu yang kurus kering bagai cacing...!" ejek si pemuda.

"Keparat kau bocah gembel! Dulu kau bisa ber-

tingkah dan membunuhi murid-muridku tapi tidak un-

tuk saat kini...!" Maki Nyai Tambak Sari sangat marah, 

apalagi bila teringat pada murid-muridnya yang tewas 

di tangan Pendekar Hina Kelana. (Dalam Episode Badai 

Selat Malaka). Dari hanya sekedar senyum sinis, kini 

pendekar itu malah tertawa lebar.

"Hia... haha... haha...! Dengan mengandalkan 

cacing kurus ini, kau dapat berkoar seenak perutmu. 

Dulu pun andai kau tidak kabur, kau pun sudah be-

rada di neraka saat ini...!" Merah padam wajah Nyai 

Tambak Sari, tapi dalam kesempatan itu kakang se-

perguruannya yang bernama Badak Sangrang sudah 

membentak dengan suaranya yang tinggi melengking.


"Bocah keparat! Kurang ajar sekali mulutmu, 

tahukah kau bahwa kedatanganku kemari ini hanya 

ingin menagih hutang nyawa dan malu pada gurumu 

yang korengan itu...?"

"Sobat tua. Jumpa dengan tampangmu saja ba-

ru kali kini, jangan kau bawa-bawa nama guruku yang 

sudah tiada...!" geram Buang Sengketa merasa tak re-

la, laki-laki renta itu menyebut-nyebut gurunya yang 

telah tiada.

"Keparat betul kau bocah! Kau tanyalah guru-

mu di liang kubur sana, kesalahan apa yang pernah 

dia perbuat terhadapku...!"

"Jadi sekarang apa maumu...?" 

Badak Sangrang kertakkan rahangnya yang 

hanya memiliki gigi tinggal beberapa buah saja.

"Karena gurumu sudah mampus! Maka sebagai 

muridnya kau harus membayar hutang mata adik se-

perguruanku, membayar hutang malu beberapa tahun 

yang lalu padaku. Selain itu, kau juga harus menye-

rahkan Kitab Jurus Koreng Seribu sebagai pembaya-

ran atas nyawa murid-murid adik seperguruanku 

ini...!" kata Badak Sangrang setengah memerintah.

Mengertilah Buang Sengketa duduk persoalan 

yang sebenarnya. Dia berfikir Nyai Tambak Sari meru-

pakan tokoh sakti yang sangat licik dan tak mudah di 

kalahkan. Kalau laki-laki kurus itu pernah berhada-

pan dengan gurunya, sudah barang tentu orang tua 

renta itu memiliki ilmu beberapa tingkat di bawah gu-

runya. Atau setidak-tidaknya dia merupakan lawan 

yang sangat tangguh.

"Tengkorak hidup, bagiku tiada pilihan lain. 

Majulah kalian bersama-sama, biar hari ini juga tak 

usah susah payah aku menggusur dedemit persilatan 

ke liang kubur...!" kata Buang Sengketa sambil menja-

ga setiap kemungkinan.


SEBELAS


"Untuk menghadapi kutu kecil sepertimu tak 

perlu orang lain ku libatkan. Kalau dulu kepandaianku 

hanya setingkat di bawahnya. Maka jangan harap hari 

ini kau mampu mengalahkan aku. Lihat serangan...!" 

Teriak Badak Sangrang. Begitu membuka serangan dia 

telah keluarkan jurus-jurus silatnya yang paling am-

puh. Di lain pihak, Nyai Tambak Sari yang buta kedua 

matanya itu berpaling pula pada Bara Seta dan is-

trinya.

"He... he... he...! Dari pada kalian bengong bagai 

monyet pesakitan seperti itu, lebih baik kumampusi 

saja sekalian...!"

"Sejak tadi pun kesempatan seperti ini selalu 

ku nanti-nantikan tikus buta!" Ejek Dewi Wulan. Ke-

mudian dengan di bantu oleh Mara Seta, Ayunda dan 

juga Suro. Bertarunglah Nyai Tambak Sari menghadapi 

keroyokan keempat orang lawan yang rata-rata memi-

liki kepandaian tinggi. Begitu bergebrak, Nyai Tambak 

Sari sudah lancarkan pukulan-pukulan andalan yang 

di beri nama Beruang Merah Menendang Gunung. Se-

berkas sinar hitam menderu menerjang ke arah empat 

penjuru mata angin. Dewi Wulan dan Ayunda memutar 

pedangnya begitu sebat, pedang itu bergelung-gelung 

membentuk sebuah perisai yang sangat kokoh.

Dalam pada itu Bara Seta pun tak mau kalah, 

sekali saja tubuh berlompatan maka dia pun lancar-

kan pukulan yang tak kalah dahsyatnya.

"Blumm!" Terdengar satu suara letupan bagai 

longsoran batu gunung. Nyai Tambak Sari tergetar tu-

buhnya, tapi Bara Seta, istri, anak dan seorang murid-

nya terpental beberapa tombak. Nyai Tambak Sari ter-

tawa tergelak-gelak. Sadarlah Bara Seta dan keluar


ganya, bahwa perempuan buta itu ternyata memiliki 

kepandaian beberapa tingkat di atas mereka. Begitu 

pun mereka tiada mengenai rasa takut secara beramai-

ramai mereka mengerubuti perempuan itu. Mau tak 

mau Nyai Tambak Sari jadi kerepotan juga. Apalagi pe-

dang di tangan Dewi Wulan dan Ayunda terus berkele-

bat menyambar, di lain pihak bola duri milik Bara Seta 

juga ikut bicara.

Sementara itu pertarungan antara Buang 

Sengketa dan Badak Sangrang semakin bertambah se-

ru saja. Apalagi mereka kini telah mengeluarkan segala 

kemampuan yang dimilikinya. Pertama-tama Badak 

Sangrang mempergunakan Jurus Dewa Matahari un-

tuk menggempur pertahanan pihak lawan. Namun ju-

rus-jurus ini selalu kandas saat mana Buang menan-

dinginya dengan jurus si Gila Mengamuk dan jurus si 

Jadah Terbuang. Badak Sangrang yang bertabiat be-

rangasan itu tak sabar. Lalu kirimkan pukulan Dewa 

Rembulan Menunggu Kekasih. Buang Sengketa ma-

mapakinya dengan Jurus Empat Anasir Kehidupan. 

Tapi dia merasa kewalahan, bahkan berulang kali dia 

sempat terbanting ke tanah, dengan bibir mengham-

burkan darah kental. Saat itu dia masih berusaha ber-

tahan dengan pukulan Empat Anasir Kehidupan dalam 

memapaki setiap serangan gencar yang dilancarkan 

oleh Buang Sengketa. Tapi setelah berulang kali di 

buat jatuh bangun bahkan terkadang sampai terpe-

lanting sepuluh tombak. Maka begitu Badak Sangrang 

melepaskan pukulan Dewa Rembulan Menunggu Ke-

kasih, untuk yang kesekian kalinya, dia pun mele-

paskan pukulan si Hina Kelana Merana.

Bumi bagai dilanda selaksa gempa manakala 

dua pukulan sakti itu saling bertemu antara yang satu 

dengan lainnya. Bahkan di pihak Nyai Tambak Sari 

yang sedang bertarung menghadapi keroyokan keluar


ga Bara Seta pun nampak terkejut bukan alang kepa-

lang. Bahkan sesaat mereka menghentikan pertarun-

gan, untuk kemudian berlanjut kembali.

Pada saat itu kedua lawan yang telah sama-

sama melepaskan pukulan sakti tersebut, nampak be-

rusaha merangkak bangun. Baik Buang Sengketa 

maupun Badak Sangrang sama-sama pula menghapus 

darah yang meleleh di bibir dan bagian hidung mereka. 

Wajah mereka sedikit memucat dengan dada terasa se-

sak luar biasa.

"Kau hebat orang muda. Tapi jangan bangga 

dulu... aku masih punya pukulan yang sebelumnya 

tak pernah di lihat oleh gurumu. Dan aku pun punya 

senjata yang dapat menandingi Cambuk Gelap Sayuto 

itu...!" kata Badak Sangrang dengan suara tergetar.

"Kau pun lebih hebat dariku orang tua, tapi 

kau pun harus ingat. Aku pun tak akan membuat ma-

lu almarhum guruku dengan sebuah kekalahan...!" 

Jawab si pemuda. Tapi akhirnya dia jadi sangat terke-

jut luar biasa saat mana dia memandang kembali pada 

Badak Sangrang. Dilihatnya kedua tangan laki-laki 

renta itu telah berubah bagai bara api yang menyala. 

Wajah Badak Sangrang telah di banjiri dengan kerin-

gatnya sendiri, sementara bibirnya menyunggingkan 

seringai maut, tak salah lagi. Saat itu Badak Sangrang 

kiranya sedang mengerahkan pukulan Tapak Setan 

hasil ciptaannya terakhir. Pendekar Hina Kelana tak 

mengerti banyak tentang bagaimana kekuatan puku-

lan yang akan di lepaskan oleh pihak lawan. Tapi dia 

yakin betul bahwa pukulan yang akan di lepaskan oleh 

Badak Sangrang tentunya merupakan pukulan yang 

sangat ampuh. Tegang wajah si pemuda bila mem-

bayangkan akibatnya. Memapaki pukulan itu dengan 

pukulan si Hina Kelana Merana? Sifatnya masih un-

tung-untungan. Bagaimana nanti andai ternyata puku



lan yang di lepas oleh si renta kurus itu berkekuatan 

lebih besar dari pukulan sakti yang dimilikinya. Dia 

cukup sadar bahwa saat itu dia sedang menghadapi 

lawan yang seangkatan dengan gurunya. Mempergu-

nakan Jurus-jurus Koreng Seribu baginya juga tidak 

mungkin. Pukulan itu tentunya berhawa panas mem-

bakar, kalaupun dia menyedot pukulan yang akan di 

lepaskan oleh Badak Sangrang. Akibatnya kalau sam-

pai kalah sakti tentu badannya akan hangus terbakar, 

hemm. Agaknya pukulan si Hina Kelana Merana, den-

gan di bantu Golok Buntung dapat mengatasi pukulan 

maut itu...! Membatin pendekar ini dalam keputusan 

yang mantap.

Saat itu, Badak Sangrang dengan di sertai sua-

ra melengking tinggi dan mata melotot sudah lepaskan 

pukulan Tapak Setan yang sangat berbahaya tersebut. 

Satu badai topan menyertai bergemuruhnya selarik si-

nar merah bara menyongsong ke arah tubuh Pendekar 

Hina Kelana. Angin pukulannya saja dapat di rasakan 

oleh si pemuda panas bukan main. Kalau sampai ter-

pukul matilah aku! Gumam pendekar ini. 

Selanjutnya dengan mengerahkan sebagian be-

sar tenaga saktinya, pemuda ini kembali lepaskan pu-

kulan si Hina Kelana Merana, lalu dibarengi dengan 

tercabutnya pusaka Golok Buntung sebagai perisai.

"Hiaaat...."

"Blaaaar...!" Orang-orang yang bertarung di se-

kitarnya pun berpelantingan dengan menderita luka 

dalam yang cukup hebat, Nya Tambak Sari pun tak 

luput dari akibatnya. Bahkan Lembah Selaksa Mayat 

terguncang keras. Buang Sengketa dan Badak San-

grang nampak lenyap dari pandangan mereka yang ter-

tatih-tatih. Di luar sepengetahuan mereka kiranya tu-

buh Badak Sangrang dan Buang Sengketa sama-sama 

amblas ke dalam tanah hingga sebatas leher, dalam ja


rak yang tidak begitu berjauhan pula. Berlomba mere-

ka berusaha membebaskan diri dari timbunan tanah 

yang menghimpit masing-masing tubuh keduanya. Ba-

dak Sangrang menggerakkan badannya, lalu menge-

rahkan segenap kemampuannya.

"Hiaaa...!"

"Brooll!" Laki-laki renta dari Bukit Sambuang 

itu, sekarang telah terbebas dari tanah yang menghim-

pitnya. Celinguk kanan, celinguk kiri. Dan sepasang 

matanya yang menjorok ke dalam membentur tubuh 

lawannya yang masih berkutetan membebaskan diri. 

Badak Sangrang tertawa mengekeh begitu melihat 

keadaan Buang Sengketa.

"Sudah kukatakan hari ini telah di tentukan 

akulah yang keluar sebagai pemenangnya. Mam-

pussss...!" Maki Badak Sangrang sambil pukulkan ke-

dua tangannya ke depan. Kembali sinar merah bara 

pukulan Tangan Setan menggemuruh menerjang ke 

arah bagian tubuh Buang Sengketa yang terbenam. 

Matilah aku kali ini! Membatin pemuda itu sambil me-

nadahkan pusaka Golok Buntung yang masih tergeng-

gam erat di tangannya. Pemuda itu pejamkan matanya 

saat mana dia melihat sinar maut itu semakin mende-

kat ke arahnya.

"Blaaar...!" Begitu sinar merah Pukulan Tapak 

Setan itu membentur golok pusaka di tangan Pendekar 

Hina Kelana, sinar itu membalik ke arah tuannya. Ba-

dak Sangrang tiada pernah menyangka kalau hal se-

perti itu bisa terjadi, maka laksana kilat tubuhnya 

berkelebat berusaha menghindari pukulannya sendiri. 

Kenyataannya sehebat dan secepat manapun dia 

menghindar, tak urung sebagian sinar merah menyala 

itu masih tetap saja menyambar tubuhnya. Laki-laki 

itu terjengkang di makan pukulannya sendiri. Sem-

poyongan dia bangkit.


Saat itu Buang Sengketa sudah tak terlihat dari 

pandangan siapa pun. Ternyata tubuhnya semakin 

amblas ke bumi. Hal ini sudah barang tentu membuat 

cemas hati Bara Seta dan Dewi Wulan yang kini mulai 

berada di atas angin. Tapi untuk mencari tahu lebih 

banyak rasa-rasanya tidak mungkin. Maka sebagai pe-

lampiasan kemarahan mereka mengamuklah Bara Se-

ta dan istri dengan di bantu Ayunda. Nyai Tambak Sari 

semakin lama semakin terdesak hebat. Hingga pada

satu kesempatan yang sangat baik, Nyai Tambak Sari 

lengah, Dewi Wulan kirimkan satu babatan satu tusu-

kan. Perempuan buta itu berusaha mengkelit serangan 

tersebut, namun dari samping kiri Ayunda kirimkan 

satu tusukan, di susul dengan satu pukulan yang te-

lak ke bagian dada.

"Argkh...!" Nyai Tambak Sari menjerit tertahan, 

pedang di tangan Ayunda menembus bagian lambung, 

sementara pedang Dewi Wulan menembus pada bagian 

lehernya. Tubuh perempuan buta itu tergetar sesaat, 

kemudian berjalan sempoyongan, lalu terjerembab ke 

depan tanpa mampu bangkit lagi.

Cepat-cepat mereka berbalik dan bermaksud 

menyerang Badak Sangrang yang masih terlolong-

lolong memandangi tubuh adik seperguruannya. Na-

mun pada saat itu dari dalam tanah, melesat tubuh 

Pendekar Hina Kelana dengan Golok Buntung tergeng-

gam di tangannya. Pakaiannya nampak kotor tak ka-

ruan, gigi-giginya bergemeletukan menahan marah, 

sedangkan dari bibirnya keluarkan bunyi mendesis-

desis tak beraturan. Tiba-tiba dia membentak garang;

"Badak Sangrang! Kau bilang kau masih memi-

liki senjata yang sangat ampuh. Cepat kau keluarkan-

lah sekarang juga, aku tak akan mengampuni jiwamu 

lagi...!" teriak Buang Sengketa dengan sikap menan-

tang. Dari memandangi jenazah adik seperguruannya,


kini Badak Sangrang yang juga sedang di landa kema-

rahan besar beralih pada keluarga Bara Seta, selanjut-

nya terpaku pada Pendekar Hina Kelana yang telah 

siap menanti.

"Kau memang hebat, bocah...! Tapi ingat aku 

pun masih belum kalah. Kalau kau ingin tahu sebera-

pa hebat senjata maut ku, inilah Cambuk Inti Sukma 

itu...!" Serentak dengan ucapannya itu, Badak San-

grang mencabut Cambuk Inti Sukma yang dulu juga 

pernah dia pergunakan untuk menandingi Cambuk 

Gelap Sayuto ketika melawan si Bangkotan Koreng Se-

ribu. Begitu cambuk di tangan Badak Sangrang terle-

pas dari pinggangnya, maka cambuk itu pun langsung 

menderu dan menghantam apa saja yang berada di se-

kitarnya. Batu-batu berukuran besar pun jadi hancur 

berkeping-keping saat mana cambuk tersebut meng-

hantamnya.

Buang Sengketa terus berkelebat, mengimbangi 

serangan-serangan cambuk tersebut, Golok Buntung 

di tangan Buang Sengketa bergerak lebih cepat mema-

tahkan setiap serangan yang datangnya saling susul 

menyusul. Pendekar Hina Kelana memang harus men-

gakui bahwa ternyata Cambuk Inti Sukma itu benar-

benar hebat luar biasa. Setiap kali cambuk itu mele-

cut, maka tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Tapi 

Pendekar Hina Kelana dengan Golok Buntungnya terus 

bergerak, kadang-kadang tubuhnya lenyap sehingga 

tinggal merupakan bayang-bayang saja.

"Ciaaaat...! Ngung...!"

"Cter... cter... cter...!" Begitu golok di tangan si 

pemuda bergerak mendesak lawannya, cambuk di tan-

gan Badak Sangrang datang menyambut.

"Aiiiiih...!" Kalau saja Buang tidak cepat-cepat 

tarik balik serangannya, sudah barang tentu tangan-

nya hancur dilanda cambuk lawan. Tak begitu jauh


dari tempat itu, Bara Seta menyaksikan pertarungan 

itu dengan hati harap-harap cemas. 

Masih di sekitar tempat terjadinya pertarungan, 

sudah hampir satu jam lebih nampak seorang laki-laki 

dalam suasana tegang terus memperhatikan jalannya 

pertarungan. Laki-laki berkaki buntung dengan kea-

daan tubuh rusak bekas luka-luka cambukan itu me-

rasa bahwa sekarang saat yang sangat tepat untuk 

membantu Badak Sangrang yang baru saja dia kenali, 

masih merupakan sahabat lamanya. Maka tanpa 

membuang-buang waktu lagi, begitu dia keluar dari 

tempat persembunyiannya, laki-laki berkaki buntung 

itu langsung menyerang Buang Sengketa dengan pu-

kulan-pukulan mautnya. Merasa ada orang lain yang 

datang membantu dirinya, sejenak tua renta kurus 

kering itu pun meneliti.


DUA BELAS



Begitu mengenali siapa adanya orang yang da-

tang membantunya, maka masih dalam keadaan ber-

gerak menyerang dia pun berseru;

"Aha... selamat datang sobat lama! Nampaknya 

kau pun mempunyai keperluan yang sama terhadap 

muridnya si Bangkotan Koreng Seribu?" Kata Badak 

Sarang masih dengan tawa mengekeh.

"Tepat sekali dugaanmu, Bangkotan Koreng Se-

ribu mempunyai hutang padaku. Pula dendam lama 

belum juga terobati. Gurunya sudah kojor, maka tak 

salah kalau hari ini aku menagih hutang pada murid-

nya...!" kata Wandiro sambil melakukan serangan-

serangan gencar.

"Keparat... kalian benar-benar iblis yang sudah 

bosan hidup...!" Maki Buang Sengketa secara terus


menerus berusaha menghindari pukulan maupun le-

cutan cambuk yang di lakukan oleh Badak Sangrang.

Sementara itu Bara Seta dan istrinya kelihatan 

saling berbisik sesamanya; "Kakang masakan kita bi-

arkan saja, Buang mendapat keroyokan seperti itu. 

Ada baiknya kalau kita datang membantu...!" Usul De-

wi Wulan tanpa mengalihkan perhatiannya dari perta-

rungan.

"Kalau kita membantu, hal itu malah mere-

potkan dia. Kau harus sadar istriku bahwa kita bukan-

lah lawan mereka. Mereka itu merupakan tokoh ting-

kat tinggi yang dapat di sejajarkan dengan almarhum 

bapak. Kalau pun kita turun tangan menggempur to-

koh-tokoh sesat tersebut, jangan-jangan jiwa kita sen-

diri sangat sulit untuk melindunginya...!"

"Tapi ayah... kelihatannya Kakang Kelana su-

dah sangat kerepotan sekali. Cambuk di tangan Badak 

Sangrang dahsyat memburu. Belum lagi menghadapi 

serangan-serangan si kaki buntung yang tak ubahnya 

bagai gelegar halilintar. Sementara Kakang Kelana 

hanya mengelak dan menangkis...!" Ayunda ikut men-

desak ayahnya dengan hati harap-harap cemas. Na-

mun nampaknya Bara Seta tidak terpengaruh dengan 

desakan istri dan anaknya, sebab dia merasa yakin, 

bahwa saat-saat itu Buang Sengketa sedang mene-

rapkan rasa kesabarannya demi mematuhi pesan-

pesan yang tertulis dalam kitab Jurus Koreng Seribu. 

Tak perduli walau berulang kali tubuhnya harus jatuh 

bangun menerima pukulan-pukulan maut yang di lan-

carkan oleh dua orang lawan-lawannya.

"Kita tak perlu cemas. Itu bukan berarti kita 

membiarkan bocah itu begitu saja, sudah kukatakan 

kita-kita ini bukanlah apa-apa bila di bandingkan den-

gan tokoh-tokoh itu. Aku yakin tak lama lagi pemuda 

itu akan mengambil tindakan yang sangat tepat...!"


Ternyata memang benar apa yang dikatakan 

oleh Bara Seta, setelah jatuh bangun tak karuan den-

gan menderita luka dalam yang lumayan. Pendekar 

Hina Kelana kemudian nampak bertindak sangat ce-

pat. Sementara Pecut Inti Sukma terus bergerak me-

nyambar memburu tubuhnya, Buang Sengketa sambil 

membabatkan Golok Buntungnya cepat pula melepas 

Cambuk Gelap Sayuto yang melilit di pinggangnya.

"Nguung! Ctar... ctaaaar... ctaar...!" 

Tak dapat di sangkal, menderulah angin topan 

yang sangat dahsyat menyertai terdengarnya gelegar 

petir di angkasa sana. Cambuk di tangan Pendekar Hi-

na Kelana terus melecut ke segala arah, mematahkan 

Pukulan Halilintar Tunggal yang di lepaskan oleh Iblis 

Pencabut Nyawa yang berkaki buntung itu. Tiba-tiba 

saja suasana di sekelilingnya berubah menjadi gelap 

gulita. Di lain pihak walaupun Badak Sangrang dan Ib-

lis Pencabut Sukma pernah berhadapan dengan situasi

itu ketika bertarung dengan si Bangkotan Koreng Seri-

bu pada beberapa puluh tahun yang lalu. Namun kea-

daan yang mereka hadapi sekarang ini terasa agak 

lain. Golok Buntung yang memancarkan sinar merah 

menyala dalam kegelapan yang di timbulkan oleh 

Cambuk Gelap Sayuto itu benar-benar terasa sangat 

angker sekali.

Buang Sengketa yang telah sampai pada pun-

cak kemarahannya itu, nampak sudah tak memperdu-

likan keadaan di sekitarnya.

"Heiiik...!" Jeritnya, sebentar saja gerakan tu-

buhnya pun sudah berputar sambil melecutkan cam-

buk di tangannya, dia juga kirimkan satu babatan ke 

arah tubuh Badak Sangrang.

"Nguuuung...!" Golok Buntung menderu dan 

timbulkan suara berisik meningkahi gelegar petir dan 

hujan topan di tempat itu. Namun Badak Sangrang



bukanlah tokoh sembarangan, dia merupakan tokoh 

yang seangkatan dengan si Bangkotan Koreng Seribu. 

Menghadapi berkelebatnya golok di tangan Buang, 

maka secepatnya dia menggempos tubuhnya hingga 

melesat ke udara, dalam suasana gelap seperti itu dia 

masih sempat lecutkan cambuknya mengarah pada 

bagian punggung Pendekar Hina Kelana. Si pemuda 

merasakan ada sambaran angin yang terasa panas 

bergerak menerjang bagian belakang.

Maka tanpa ayal-ayalan lagi dia putar tubuh, 

cambuk melecut ke arah tubuh Wandira sedangkan 

Golok Buntung di tangannya memapasi lecutan Cam-

buk Inti Sukma milik Badak Sangrang. 

"Tersss...! Teeees...!" Badak Sangrang keluarkan 

seruan tertahan saat mana dia lihat Cambuk Inti 

Sukma miliknya terbabat putus oleh ketajaman golok 

pusaka milik si pemuda. Namun dia sudah tak dapat 

berpikir panjang lagi, sebab saat itu golok di tangan 

Buang Sengketa menderu kencang ke arahnya. Lagi-

lagi Badak Sangrang berusaha mengkelit datangnya 

sambaran golok maut tersebut.

"Beeet!" Serangan kilat yang di lancarkan 

Buang, luput! Dia menjadi sangat penasaran. Kemu-

dian dia ulangi lagi.

"Crees...! Craaas...!"

"Ahhkk...!" Badak Sangrang menekuk tubuh-

nya, pada bagian leher terlihat luka yang sangat lebar. 

Melalui luka tersebut mengalir darah yang tiada kun-

jung henti. Sebentar tubuh Badak Sangrang ambruk 

dan berkelejat-kelejat selanjutnya diam membeku. Tapi 

Buang sudah tiada menghiraukannya lagi, sebab saat 

itu Wandiro demi melihat kematian kawan nya yang 

sangat mengenaskan itu, langsung menyerang si pe-

muda dengan pukulan-pukulan mautnya yang diberi 

nama Halilintar Tunggal Hancurkan Gunung Berapi.


Buang Sengketa pun tak kalah gusarnya, cam-

buk di tangannya terus melecut ke udara, sedangkan 

golok di tangan kanannya terus berkelebat menyam-

bar, memburu Wandiro dalam kegelapan yang di tim-

bulkan oleh Cambuk Galap Sayuto.

"Wiing... nguuung...!"

"Ctaaar...! Ctaaar...!"

"Caaait...!" Dengan keberanian yang luar biasa 

Iblis Pencabut Sukma itu berusaha merebut cambuk di 

tangan Pendekar Hina Kelana. Tapi akal licik itu tak 

luput dari perhatian Pendekar Hina Kelana. Golok di 

tangan pemuda itu menderu laksana kilat, Wandiro 

yang berkaki buntung berusaha membuang tubuhnya

ke samping. Tapi celakanya gerakan pertama yang di-

lakukan oleh si pemuda sesungguhnya hanyalah me-

rupakan gerakan tipuan semata. Begitu melihat tubuh 

Wandiro miring ke samping kiri, maka dari bagian 

atas, golok itu menyambar.

"Buuut...!"

"Kampreet sialan!" Maki si pemuda ketika un-

tuk yang kesekian kalinya babatan golok itu pun kem-

bali luput. Wandiro tergelak-gelak merasa menang da-

lam mengecoh lawan-lawannya. Buang semakin panas 

hatinya, lain di salurkannya sebagian tenaga dalamnya 

mengarah ke bagian cambuknya. Tubuhnya bergetaran 

sekejap lamanya. Lalu dengan disertai jeritan tinggi 

melengking, pemuda itu kini malah melecutkan cam-

buknya secara beruntun.

"Ctaaar... ctaaar... ctaaar...!"

Cambuk di tangan Buang terus melecut, berge-

rak menyambar-nyambar ke mana pun Wandiro beru-

saha menghindar. Hingga pada satu kesempatan yang 

sangat baik.

"Jdaaar...!" Wandiro terpelanting tubuhnya di-

landa Cambuk Gelap Sayulo ditangan Pendekar Hina


Kelana. Sebagian tubuhnya hangus dan bau daging 

terbakar pun menyebar bersamaan dengan berhem-

busnya badai topan dan gelegar suara petir yang da-

tang sambung menyambung tiada berkesudahan.

Pemuda itu melangkah perlahan meng-hampiri 

tubuh lawannya, sekejap dia meme-riksa keadaan 

orang itu. Begitu dia merabai denyut nadinya, Iblis 

Pencabut Nyawa kiranya sudah tiada bernyawa pula. 

Buang menarik nafas pendek, di selipkannya Pusaka 

Golok Buntung pada tempatnya menyusul Cambuk 

Gelap Sayuto yang telah menewaskan Wandiro. Tokoh 

seangkatan dengan gurunya itu. Seiring dengan ter-

simpannya cambuk di bagian pinggangnya, maka ba-

dai topan pun langsung terhenti. Begitu juga gelegar 

halilintar di angkasa sana. Saat itu Bara Seta, istri dan 

anaknya sudah datang menghampiri si pemuda, dari 

cara mereka memandangnya nyatalah bahwa mereka 

begitu terkesan dengan kesaktian yang di miliki oleh 

pemuda itu.

"Buang! Kau benar-benar seorang pendekar 

yang sangat mengagumkan...!" Puji Dewi Wulan sem-

bari menjabat erat tangan Buang Sengketa.

"Aku bukanlah apa-apa tanpa mendapat bim-

bingan kakek guru...!" Bantahnya begitu lugu.

"Hemm. Tokoh-tokoh sesat itu akhirnya tewas 

dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Tapi kupikir 

hal itu malah lebih baik...!" Ucapnya seperti pada di-

rinya sendiri.

"Ya... kadang-kadang keserakahan terhadap se-

suatu yang bukan miliknya, dapat berakibat fatal pada 

dirinya sendiri...!" Dewi Wulan menimpali.

"Oh ya, kau masih memiliki waktu sekitar dua 

hari lagi untuk menguasai Jurus-jurus Koreng Seribu 

yang berada dalam kitab itu...!" Buang hanya terse-

nyum-senyum saja.


"Kakang Kelana telah berhasil mempelajari Ki-

tab Jurus Koreng Seribu dalam waktu tiga puluh tujuh 

hari, ayah...!" Ucap Ayunda, kemudian memandang 

sendu pada pemuda yang sangat di cintainya.

"Benarkah itu, Buang...?" Tanya Dewi Wulan 

seolah-olah tak percaya.

"Benar, paman dan bibi... dan mungkin aku tak 

bisa berlama-lama tinggal di Lembah Selaksa Mayat 

ini...!"

"Hei mengapa harus tergesa-gesa...?" tukas Ba-

ra Seta.

"Aku ingin secepatnya bertemu dengan aya-

handa ku, paman...!" Jawabnya bersungguh-sungguh.

"Kalaupun memang begitu, tinggallah beberapa 

hari lagi di rumah kami...!" Kata Dewi Wulan penuh 

permohonan. Sebenarnya Buang merasa keberatan, 

tapi demi menyenangkan hati Bara Seta dan istri serta 

Ayunda. Maka akhirnya dia menyanggupinya juga. 

Demikianlah setelah menguburkan mayat ketiga orang 

lawannya, selanjutnya mereka kembali menuruni 

Lembah Selaksa Mayat.



                              TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar