..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 11 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE UTUSAN ORANG ORANG SESAT

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE UTUSAN ORANG ORANG SESAT

 UTUSAN ORANG-ORANG SESAT

Oleh D. Affandy

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Mutiara, Jakarta

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh is buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Hak cipta ada pada Penerbit Mutiara Jakarta

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam episode 001:

Utusan Orang-Orang Sesat


SATU


Hari masih begitu pagi ketika sesosok tubuh

yang bertelanjang dada itu nampak berloncatan di

atas karang-karang tajam. Dengan gerakan yang

sangat ringan seolah tubuh yang sangat kekar itu

tiada memiliki bobot. Dia berpindah dari sebuah

karang yang satu hingga ke karang tajam

berikutnya. Sementara pada saat dia melakukan

gerakan-gerakan yang begitu manisnya,

gelombang laut masih terus menggila.

Menghempas, memukul, seolah ingin

meruntuhkan batu-batu karang tempat di mana

pemuda itu berpijak. Begitulah yang terjadi setiap

harinya di tempat yang sepi itu. Berlatih dan

melatih diri.

Kini pemuda yang memiliki wajah sangat

tampan itu kembali melakukan gerakan-gerakan

yang sangat mendebarkan, beberapa kali ia

berjumpalitan dan tiba-tiba saja tubuhnya yang

kekar itu lenyap dalam sapuan gelombang yang

terkenal ganas. Tubuhnya tergulung terseret arus

yang dahsyat, air laut terus menggulungnya

tanpa ampun dan seandainya saja saat itu ada

orang lain yang turut menyaksikan adegan itu

tentu saja mereka tidak berani membayangkan


akibatnya. Pemuda itu terus tergulung-gulung,

terseret, dan terus terseret. Namun begitu

gelombang besar itu hampir menghempaskan

tubuhnya pada batu karang yang sangat tajam,

tiba-tiba bagai cengkraman sebuah tangan

raksasa, pemuda itu dengan begitu mudahnya

dapat membebaskan diri dari perangkap

gelombang. Kemudian beberapa kali ia

berjumpalitan ke udara, lalu dengan manis pula ia

mendarat ke puncak karang yang lebih tinggi.

Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat

pemuda itu melatih diri seorang kakek tua renta

dengan warna rambutnya yang tampak memutih,

dengan sikap acuh tak acuh terus mengawasi si

pemuda. Kakek berwajah murung ini dulunya

adalah merupakan seorang tokoh kosen yang

memiliki kepandaian silat tiada tanding. Dia

pernah malang melintang merajai empat penjuru

angin dunia persilatan. Namun meskipun begitu,

kakek angin-anginan ini dalam sejarahnya belum

pernah dan berpantang melakukan kejahatan.

Bahkan dalam dunia persilatan golongan hitam

akan merasa ngeri bahkan lari terbirit-birit bila

melihat kehadirannya. Sebab siapapun tahu

bahwa kakek ini tidak pernah bertindak

tanggung-tanggung dalam menghadapi segala

bentuk kejahatan, bunuh dan sikat sampai ke

akar-akarnya. Kebrutalannya dalam menghadapi


kejahatan inilah yang menyebabkan orang

menjulukinya sebagai pendekar "SUPER SADIS".

Konon semua itu adalah demi menebus dosa-dosa

gurunya yang selama hidupnya penuh kesesatan.

Tak urung kakek tua ini sebagai pewaris ilmu

dahsyat harus pula memikul dosa-dosa gurunya.

Sebagai murid yang berbakti ia harus merelakan

dirinya ditumbuhi beribu koreng yang sangat

menjijikan dan tak pernah kunjung sembuh.

Karena koreng-koreng ini pula dirinya di juluki "SI

BANGKOTAN KORENG SERIBU".

Kini kembali pada si Bangkotan Koreng

Seribu yang terus mengawasi jalannya latihan

pemuda itu. Kakek berwajah muram itu masih

terihat duduk ongkang-ongkang di atas sebuah

pohon Kejabu. Sesekali giginya yang sudah

ompong menggerogoti buah kejabu yang sudah

masak. Di lain saat ia menyambit pemuda yang

sedang berloncatan di atas karang itu dengan

ratusan buah kejabu yang masih hijau.

Mendapat serangan beruntun pemuda itu

menyadari kalau gurunya sedang menguji

kelincahannya. Dan tentu pula dia pun menyadari

kalau dalam setiap bertindak gurunya tak pernah

berlaku setengah-setengah. Untuk tidak mati

konyol ditangan guru sendiri dia membentengi diri

dengan jurus "si HINA MENGUSIR LALAT". Tubuh

pemuda itu terus berkelebat bagai sebuah baling


baling kedua tangannya di putar membentuk

perisai yang sangat sulit untuk dicari titik

kelemahannya. Secara praktis semua serangan

yang dilakukan gurunya berpentalan kian kemari,

bahkan beberapa buah Kejabu yang di sambitkan

oleh si Kakek Renta kembali berbalik dan

menyerang si Kakek itu sendiri.

Dengan gerakan yang sangat ringan Tua

Renta Berkoreng melompat. Buah Kejabu yang

disambitkan oleh si pemuda terus melesat

kemudian melabrak sebuah dahan yang berbuah

lebat. Dahan itu berderak patah, lalu ambruk ke

Bumi. Sumpah serapah berhamburan dari mulut

si Kakek tua ini. Dengan tersenyum masam ia

berjumpalitan dan tanpa di sadari oleh si pemuda,

tahu-tahu kakek berwajah murung itu langsung

menyerang si pemuda. Serangan-serangan yang

sangat dasyatpun segera ia lancarkan, setiap

jurus pasti mengisyaratkan janji maut bahkan

lengah sedikit saja tak seorangpun yang mampu

menjadi juru selamat. Pemuda itu kelihatan

menjadi kalang kabut. Mengetahui muridnya

bertindak setengah-setengah si Kakek Renta

nampak murka.

"Bung....apakah kau ingin mati konyol!?"

Bentakan yang tak lebih merupakan kemarahan

dari si guru, malah membuat pemuda ini

terkekeh.


"Bagaimana aku bisa sungguh-sungguh,

sedangkan pukulan yang guru lancarkan saja

semakin lamban....!"

"Jangan menganggap remeh bocah tolol...!"

Suara kakek berkoreng itu sesungguhnya sangat

lirih saja, namun karena di sertai dengan tenaga

dalam yang sangat sempurna, mengakibatkan

pemuda itu hampir saja terpeleset dari tempatnya

berpijak.

"Bocah goblok... kubilang apa padamu!"

Berkata begitu Kakek ini langsung mengirimkan

serangan-serangan yang mematikan.

"Selalu bersikap waspada terhadap siapapun

hei, murid...!" Jawabnya sambil mengimbangi

serangan-serangan yang di lancarkan oleh si

Kakek berkoreng. Kakek berwajah muram hanya

terdiam. Sebaliknya dia meningkatkan

serangannya dengan jurus "SI GILA MENGAMUK".

Pukulan-pukulan si Kakek nampak mengarah

pada bagian-bagian yang mematikan, sangat

cepat, lincah dan sangat sulit untuk di duga-duga.

Menghadapi serangan seperti ini si pemuda

segera mengimbanginya dengan jurus

"MEMBENDUNG GELOMBANG MENIMBA

SAMUDRA". Maka segera saja terjadi

pertandingan yang sangat seru. Jurus yang di

pergunakan si Pemuda walau secara lahiriah

kelihatannya sangat sederhana sekali,


sesungguhnya merupakan intisari dari sembilan

puluh sembilan jurus dari golongan hitam dan

putih. Itu makanya siapapun yang

mempergunakan jurus itu dalam tahap sempurna,

keadaan yang dialaminya akan selalu bertolak

belakang dengan keinginan hati nurani. Seperti

yang sedang terjadi dengan pemuda itu, dia

berkeinginan untuk menendang pantat gurunya

yang jaraknya hanya beberapa centi dari depan

hidungnya, tapi keadaan yang terjadi di luar

kesadarannya. Tangan kanan malah terulur

bergerak menghantam batok kepala Kakek

berkoreng.

Tentu saja kakek berwajah muram ini tidak

tinggal diam, mengetahui serangan-serangannya

dapat di patahkan oleh muridnya. Kakek tua renta

itu segera merubah jurus-jurus silatnya. Kali ini

kedua tangannya terentang tinggi-tinggi di atas

kepalanya, secara cepat sebelah tangannya

meluncur ke-bawah, lalu berputar-putar, lalu

tangannya yang lain memukul diri sendiri. Dilain

saat bagai orang frustasi ia menerjang ke arah

muridnya. Walaupun serangan-serangannya

terlihat ngawur namun setiap gerak selalu di

penuhi dengan berbagai tipuan yang sangat sulit

untuk diduga-duga. Si Kakek Tua Renta memberi

nama jurus ini dengan "SI JADAH TERBUANG"


Sementara itu si pemuda yang mengetahui

dirinya di uji dengan jurus yang paling berbahaya

dari seluruh jurus yang ada, maka dengan sikap

lebih waspada ia menyambut dengan sebuah

jurus yang tak kalah hebatnya dari jurus yang

sedang dimainkan oleh gurunya. "SI HINA

MENGUSIR LALAT” jurus inilah yang kini di

pergunakan oleh si pemuda untuk mengimbangi

gurunya. Tak dapat dibayangkan betapa serunya

adu kepandaian antara guru dan murid di atas

karang-karang itu. Sementara pasang laut

nampak membumbung tinggi. Adu kepandaian

berlangsung makin seru dan sudah berlangsung

puluhan jurus. Bagai kesetanan si Kakek

Berkoreng terus mencecar si pemuda. Di lain saat

si pemuda bagai di keroyok ribuan lalat yang

menjijikan nampak berjingkrakan kian kemari.

Hingga pada satu kesempatan yang cukup pasti si

Kakek berhasil menyarangkan pukulan yang

Cukup telak di dada pemuda itu.

"Blaaaak....!"

"Byuuur....!" Tubuh si pemuda terhempas,

terjengkang ke dalam laut. Sekali saja gelombang

laut yang sedang membesar itu menyapu tubuh si

pemuda, maka lenyaplah tubuhnya tiada

berbekas. Si Tua Renta Berkoreng tertawa

tergelak-gelak. Wajahnya kelihatan semakin

murung tetapi puas. Kini sepasang matanya yang


lamur itu memandang hampa ke laut lepas. Ada

sebersit kesal dan sesal di wajahnya. Tiba-tiba

saja si kakek aneh itu kembali tergelak.

"Buang Sengketa....apa yang ada padaku

sudah kuberikan semua untukmu, tapi

kepekaanmu terhadap musuh, inilah yang sangat

kuragukan....!" Sedangkan ia berbicara seorang

diri seperti itulah tahu-tahu orang yang baru saja

di sebut-sebutnya itu nyeletuk.

"Guru. Pukulanmu itu semakin lembek,

lihatlah aku masih hidup, hehehe....!" Si Kakek

Renta terdiam tiada bergeming, namun tak lama

kemudian dia membentak

"Kalau hidup tiada guna untuk apa? Lebih

baik cepat-cepat masuk lang kubur. Supaya dunia

tidak di kotori oleh banyak sampah....!"

"Guru, kita kan cuma dalam latihan....aku

tak sampai hati untuk adu tenaga dengan

Guru....!"

"Bocah gendeng apa bedanya latihan dengan

sungguhan....?!" Bentak si Kakek tua itu penuh

amarah. Kemudian tanpa terduga-duga, si Kakek

kembali menyerang si pemuda.

"Kalau kau belum becus juga! Lebih baik

mampus....!" Makinya di sertai pukulan-pukulan

menggelegar. Si pemuda cukup tahu sebentar lagi

gurunya tentu mempergunakan pukulan-pukulan

yang maha dasyat. Untuk itu sejak awal dia telah


mempersiapkan diri untuk memberi perlawanan

yang lebih baik demi tidak mengecewakan

gurunya.

Apa yang sedang di fikirkan oleh Buang

Sengketa memang benar adanya, sebab beberapa

saat kemudaian si Kakek Renta Berkoreng sudah

mulai bersiap-siap dengan pukulan-pukulan yang

sangat di andalkan.

"Buang... kalau kau benar-benar seorang

murid yang ingin berbakti pada gurumu dan juga

orang tuamu, kau tahanlah pukulan ini. Jika tidak

lebih baik kau kukirim ke liang kubur saja....!"

Suara lengkingan yang di sertai dengan ilmu

"PEMENGGAL RUH" itu, bukanlah sebuah pukulan

yang bisa di anggap enteng. Kalau hanya manusia

biasa yang tiada memiliki tenaga dalam yang

sangat sempurna yang kebetulan mendengar

suara lengkingan itu tentu segera menjelang ajal,

begitaupun burung-burung yang beterbangan

diangkasa itu akan luruh ke bumi. Begitulah yang

terjadi di pantai karang saat itu. Beberapa ekor

camar laut menggelepar mati demi mendengar

lengkingan si Kakek Renta. Bahkan bukit karang

tempat di mana Buang Sengketa berpijak secara

pelan namun cukup pasti segera nampak mulai

runtuh. Buang Sengketa menutup jalan

inderanya. Dengan berjumpalitan, selarik sinar

dengan kekuatan lebih besar kembali menderu


dan menyambarnya. Bagai seekor walet, Buang

mengelak dan berkelit. Namun kelihatannya si

Kakek tiada memberinya kesempatan.

Dia terus mengumbar pukulannya. Buang

semakin terdesak dan keteter, pada saat

demikian teringatlah dia pada pukulan pemunah

"HAMPA UDARA". Sekali saja ia mengerahkan

tenaga dalam nya maka dada si Kakek mendadak

terasa sesak dan sulit bernafas. Segera saja si

Kakek mengerahkan segenap kemampuannya,

selarik sinar pelangi yang lebih besar dan terang,

kembali meluruh tubuh si pemuda. Tiada pilihan

lain, meng-hindar berarti gurunya akan menjadi

murka. Maka ia pun menadahkan tangannya.

Akibatnya sungguh fatal sekali.

"Blaaar!" Tubuh keduanya terpental beberapa

tombak, kemudian lenyap di telan gelombang

besar. Sungguh sangat menakjubkan karena tak

begitu lama kemudian secara bersamaan tubuh

keduanya kembali muncul kepermukaan, untuk

kemudian keduanya melesat ke udara. Dengan

jarak dekat mereka saling berhadapan kembali.

"Buang. Bersiap-siaplah....!" Hardik si Kakek

Renta.

"Istirahatlah dulu, Guru. Lihat nafas Guru

senin kamis....!" Ujar pemuda itu prihatin. Di

tegur muridnya sedemikian rupa si kakek menjadi

berang.


"Bocah, kepandaian yang kau miliki tak ada

setahi kukuku. Apakah kau mau berlagak di

depan Si Renta Koreng Seribu....?"

"Tapi. Guru....!"

* * * * *


DUA


Tua Renta Berkoreng sudah tak menggubris

lagi protes Buang Sengketa. Dia menerjang maju:

"Mampus saja, caaat...!" Si kakek lagi-lagi

menyerang. Kali ini tangan di silangkan di depan

dada. Maka terkesiaplah darah pemuda keturunan

manusia Bunian ini.

Dengan suara tergetar: "Pukulan EMPAT

ANASIR KEHIDUPAN.... Guru! Apakah kau

bermaksud membunuhku....?"

"Bukankah tadi kau juga mempergunakan

salah satu dari padanya?" Bentak si Kakek dingin.

"Aku hanya membela diri, Guru....!"

Terlambat, seberkas sinar Ultra Violet meluncur

pesat dari kedua telapak tangan si Kakek. Tiada

lagi kesempatan untuk berfikir, walau hanya

beberapa saat saja. Maka: "Heiit....!" Buang

Sengketa bersalto ke udara. Si kakek tidak tinggal

diam sampai di situ saja. Selarik sinar kembali

mengejar si pemuda, pemuda itu menjadi kalang

kabut. Lagi-lagi Buang di hadapkan pada satu

pilihan yang paling menyakitkan. Baginya kalau

tidak ingin celaka hanya ada satu cara untuk

memapaki serangan yang di lancarkan oleh

gurunya yang setengah edan itu. SI HINA DINA

MERANA, hanya jurus inilah yang mampu


mengatasinya. Akan tetapi tegakah dia?

Mengingat gurunya sudah sangat tua sekali.

"Bocah menyebalkan.... matilah kau....!"

Lagi-lagi selarik sinar Ultra Violet dengan cepat

meluncur, Buang Sengketa berkelit kesamping.

Namun hasilnya tetap saja ujung bajunya

terbakar akibat sambaran sinar tadi. Buang

menjadi kalang kabut dan berusaha mematikan

api yang hampir saja membakar sekujur

tubuhnya.

Sementara itu si kakek terus mengumbar

pukulan-pukulan mautnya. Dia sudah tak

member! kesempatan lagi pada Buang.

"Bocah, kalau kau tetap saja mengelak

seperti seekor monyet begitu, jangan kau

salahkan aku bila kau menyesal sampai ke liang

kubur....!" Sebuah pukulan yang lebih dahsyat

kembali meluruk kearah Buang. Maka dengan

nekad Buang memapakinya.

"Blaaam....!" Dua kekuatan raksasa bertemu.

Berpuluh-puluh tombak Buang terpental,

Sebaliknya Tua Renta Berkoreng menerima akibat

lebih parah lagi. Tubuh laki-laki yang selalu

berperangai aneh itu terhempas dan membentur

dinding karang. Dari celah-celah bibirnya meleleh

darah segar. Buang yang masih dalam keadaan

sempoyongan. Mengetahui gurunya terkapar

tanpa daya segera memburunya.


"Sudah kubilang kita tak usah

sungguhan.Tapi Guru tetap ngotot, Tapi kau kan

tidak mati Guru....!"Tanya Buang pilon. Beberapa

kali laki-laki tua itu terbatuk, darah segar

berwarna kehitam-hitaman kembali menyembur.

Hal ini membuat pemuda itu semakin bertambah

bingung.

Dalam keadaan seperti itu mendadak laki-laki

renta itu tertawa bergelak wajahnya yang selalu

di liputi oleh mendung itu membersitkan rasa

puas.

"Hehehe....hoahahaha.....prus!" Si Tua

Koreng Seribu segera bangkit, seanjutnya

menghimpun hawa murni. Sementara Buang yang

ingin membantu di bentaknya. Mau tak mau

Buang Sengketa bersurut langkah. Tak kurang

dari sepemakan sirih, wajah Si Tua Renta yang

pucat itu secara perlahan berubah ke merah-

merahan. Kemudian ia berpaling pada muridnya.

"Bocah. Apa-apaan kau melotot begitu....?”

”Mari kita pulang!"

”Apakah kau perlu kugendong, Gu.....!"

Belum lagi selesai Buang Sengketa dengan kata-

katanya di luar sepengetahuannya, laki-laki renta

itu telah lenyap dari hadapannya.

"Sialan, kiranya dia masih alot juga

tenaganya....!" Kemudian tanpa membuang

waktu pemuda itu melesat mengikuti gurunya.


* * * * *

Puncak Sorik Merpati yang menjulang tinggi

masih kelihatan berselimut kabut di Hiang itu.

Burung-burung berterbangan dari satu pohon ke

pohon lainnya. Nun jauh di lereng pegunungan,

penduduk desa sedang mengerjakan sawah dan

ladangnya. Suasana di lingkungan pegunungan

itu seolah memang tak pernah terusik, nampak

damai dan selalu menjanjikan kebahagiaan.

Begitulah kesan yang dapat dilihat sepintas lalu.

Namun sesungguhnya apa yang terjadi di

daerah itu sangat menyedihkan, hati setiap

penduduk hampir setiap harinya selalu di liputi

keresahan. Dengan harap-harap cemas mereka

senantiasa berdoa agar manusia-manusia durjana

yang setiap kedatangannya selalu mengambil

secara paksa, anak-anak gadis desa itu tidak

terulang kembali. Begitulah yang selalu mereka

harapkan, terlebih-lebih bagi orang tua yang

memiliki anak gadis berparas cantik.

Kini mereka bisa sedikit berlapang

dada,karena sudah hampir dua purnama desa

mereka tidak lagi kedatangan manusia-manusia

iblis itu. Melihat keadaan seperti ini, penduduk


desa dapat menyimpulkan bahwa mungkin

seratus perawan seperti yang dibutuhkan oleh

utusan manusia iblis itu sudah terpenuhi.

Begitupun kesedihan panjang masih menyelimuti

hati para orang tua yang kehilangan anak

gadisnya. Siang itu Ni Sukmini yang baru saja

menjadi pengantin baru, kelihatan sedang

mencuci pakaian di sebuah sungai yang bening

tidak begitu jauh di belakang rumahnya. Hanya

beberapa tombak dari temapt Ni Sukmini

mencuci, terbentanglah jalan setapak yang

menghubungkan antara desa dan hutan rumba

Sorik Merapi. Jalan berbatu itu sengaja di buat

oleh penduduk desa untuk mempermudah bagi

mereka yang ingin mencari kayu bakar,maupun

mengambil hasil hutan lainnya.

Suasana memang nampak lengang, akan

tetapi dari kejauhan sana di pinggiran hutan,

kelihatan tiga buah titik hitam yang sedang

bergerak. Semakin lama semakin cepat. Setelah

jarak semakin dekat maka terlihatlah mereka ini

tiga orang penunggang kuda dengan seragam

pakaian yang sama, yaitu warna hitam dengan

tunggangan hitam pula. Yang membedakan

mereka hanyalah wajahnya. Yang seorang

berbadan tinggi besar berwajah tengkorak, yang

seorang lagi gemuk cebolan di seluruh permukaan

kulit wajahnya belang- belang tidak ubahnya dengan kulit macan. Si orang terakhir wajahnya

begitu tebal seperti kulit badak, sedangkan-

sepasang matanya selalu nampak mengantuk.

Siapa yang tak kenal mereka! Kalangan

persilatan baik golongan putih maupun golongan

hitam tentu sangat mengenal tiga manusia iblis

yang selalu membuat keonaran di mana-mana ini.

Kepandaian silat mereka sangat tinggi. Disamping

memiliki kesaktian yang belum ada tandingannya.

Mereka ini juga sewaktu-waktu dapat berubah

menjadi beberapa ekor siluman. Siapapun

orangnya akan merasa ngeri berurusan dengan

mereka. Bahkan kalau pun mereka mempunyai

persoalan yang sangat besar sekalipun dengan

keliga manusia iblis ini mereka lebih baik

Mengalah daripada harus berurusan kemudian

pulang dengan tubuh tanpa nyawa dan tercabik-

cabik.

Kalaupun di siang itu mereka turun gunung

dan dalam keadaan tergesa-gesa. Sudah barang

tentu kehadirannya di dunia ramai mempunyai

maksud-maksud tertentu. Sebab seperti di

ketahui beberapa tahun terakhir ketiga tokoh

kosen tingkat tinggi ini, sudah mulai kelihatan

jarang malang melintang di rimba persilatan.

Kalaupun mereka punya urusan dengan dunia

luar, paling mereka hanya mengutus murid-murid

terpercaya untuk mengerjakan apa yang mereka


maui .Seperti merampas dan menculik gadis-

gadis desa yang jumlahnya mencapai ratusan

saja, mereka cukup mengutus beberapa orang

bawahan terpercaya. Lalu, Apa yang dikehendaki

oleh ketiga dedengkot hantu persilatan itu

sehingga mereka keluar dari sarangnya?

Sesuai dengan wangsit yang mereka terima,

hari itu mereka harus mengambil dengan paksa

seorang pengantin baru yang bernama Ni Sukmini

pada tetua mereka yaitu sepasang siluman naga

putih di sebuah telaga kawah yang terletak tidak

begitu jauh dari tempat pertapaan mereka.

Kalaupun sekarang ini mereka turun gunung

secara langsung adalah dengan maksud orang

yang diinginkan tidak salah ambil.

Demikianlah tidak begitu lama kemudian

sampailah mereka di perbatasan desa. Beberapa

orang penduduk yang secara kebetulan

mengetahui kehadiran mereka langsung saja lari

terkencing-kencing. Sedangkan yang tidak

sempat bersembunyi, mereka inilah yang

memperoleh nasib celaka. Pertanyaaan-

pertanyaan langsung saja memberondong mereka

yang nampak menggigil ketakutan.

"Hei.....kau.....Apakah di desa ini ada orang

yang bernama Ni Sukmini...!" Seru Si Tinggi

Besar Muka Tengkorak. Atau yang sangat di kenal

dengan julukan Iblis Muka Tengkorak. Empat


orang penduduk desa yang di tanya seperti itu

tentu saja semakin menggigil ketakutan.

"Ayo jawab.. ..!" Bentak Si Muka Tengkorak

marah sekali.

“Ka...kami....!"

"Potes saja kepalanya kakang. Biar ku

minum darahnya....!" Tukas Si Cebol Muka

Harimau tak sabaran.

"Benar adi Cebol.... tentu otaknya pun enak

untuk ku kremus...!" Mendengar ucapan Si Tinggi

Kurus, pucatlah wajah keempat orang ini

"Kalian dengar apa yang baru saja dikatakan

oleh saudaraku....?" Tanya Si Tinggi Besar dingin.

Dengan langkah gemetar salah seorang dari

mereka melangkah maju. Dengan suara bergetar

ia berkata: "Orang yang seperti tuan maksudkan

memang ada di desa ini, dan baru saja tadi

malam melangsungkan pesta perkawinan,.....!"

Mendengar penjelasan salah seorang dari

keempat orang itu,ketiga manusia iblis ini pun

saling berpandangan. Lalu bergemuruhlah suara

tawa mereka di sertai dengan tenaga dalam yang

sudah cukup sempurna, maka akibatnya bagi

keempat penduduk desa yang tak memiiki

kepandaian apapun sudah barang tentu sangat

menyiksa pendengaran mereka. Bahkan di antara

mereka ada yang sampai menutupi kedua

telinganya. Begitupun suara tawa ketiga manusia


iblis itu tetap mengetarkan gendang-gendang

teling mereka. Akibatnya sungguh luar biasa,

keempat warga desa itu langsung roboh dan

mengerang-erang kesakitan. Melihat nasib yang

menimpa mereka, ketiga manusia iblis itu nam-

pak tersenyum puas. Lagi-lagi mereka saling

berpandangan.

"Bagaimana kita tinggalkan ..?'" Tanya Si

Tinggi Besar. Kedua saudaranya yang di tanya

basahi bibir dan leletkan lidah. Tentu saja Si Muka

Tengkorak cukup tahu apa yang diinginkan oleh

kedua saudaranya itu.

"Kalian boleh meminum dan menyantap

darah dan otak ke tiga orang itu,tapi yang

satunya jangan! Dia telah beri keterangan pada

kita...!"Tuding Si Muka Tengkorak pada tiga orang

desa yang sedang menggelupur dan mengerang-

ngerang di atas tanah berdebu.

Bagai memperebutkan harta paling berharga

Iblis Cebol Muka Harimau dan Si Tinggi Kurus

Muka Badak melompat dari punggung kudanya

masing-masing. Mereka berlomba saling

mendahului. Lalu dengan sekali tubruk saja.

Masing-masing dari mereka telah mendapatkan

mangsanya. Di tempat yang sepi itu tak lama

kemudian terdengar jerit lolong yang menyayat,

dan juga berderaknya tulang yang remuk dan

patah. Begitu rakusnya Si Cebol Muka Harimau


menghirup darah yang memancar dari tubuh yang

sudah tiada berkepala itu. Setelah kehabisan

darah, tubuh yang sudah tiada berkepala itu

berkelojotan untuk kemudian diam membisu.

Tanpa menghiraukan bekas mangsanya, Si Cebol

segera berpindah ke mangsa lainnya. Hal yang

sama pun terjadi pada mangsa berikutnya. Si

Cebol kelihatan semakin sibuk, begitupun dengan

Si Kurus Muka Badak. Ia menjilat dan mengunyah

otak dari dalam batok kepala yang sudah remuk.

Begitulah mereka saling berlomba seolah-olah

sedang adu kecepatan. Hingga hanya beberapa

saat saja ketiga orang desa yang bernasib malang

itu nampak terbujur pucat dan tanpa kepala.

Sementara itu salah seorang dari keempat

orang yang di biarkan hidup sudah tak sadarkan

diri. Rupanya dia tak kuat menyaksikan kejadian

yang berlangsung di depan matanya.

"Ayo tunggu apa lagi. Mari kita cari gadis

itu...!" Perintah Si Tinggi Besar yang sejak tadi

hanya duduk di punggung kuda sambil

menyaksikan apa yang sedang di kerjakan dua

saudaranya.

* * * * *


TIGA



Si Cebol Muka Harimau dan Si Tinggi Kurus

Muka Badak yang saat itu sedang menjilat kedua

tangannya yang berlumuran darah, nampak

saling berpandangan untuk kemudian

menyeringai.

"Apa lagi.... Mari kita pergi dan cari gadis

itu,....!" Bentak Si Tinggi Besar Muka Tengkorak

mulai menarik tali kekang kudanya.

"Tanggung Kakang....!" Jawab keduanya

hampir bersamaan. Si Tinggi Besar

mengurungkan niatnya di pandanginya wajah ke-

dua saudaranya dengan pandangan melotot.

"Sudah kubilang, bahwa yang satu itu harus

kita bebaskan, ayo cepat...! Manusia Muka

Tengkorak makin tak sabaran.

"Tapi....kakang....!'’ Protes Si Kurus Muka

Badak.

"Tak ada tapi....tapi....apakah kalian lebih

suka memangsa darah dan otak manusia-manusia

tak berguna itu dari pada kesaktian yang akan

bertambah!" Bentak Si Tinggi Besar Muka

Harimau marah sekali.

"Tapi darah mereka enak sekali kakang.... !"

Ujar Si Cebol.


"Otaknya juga manis....!" Dukung Si Tinggi

Kurus Muka Badak.

"Diam kalian semua!" Si Tinggi Besar

membentak.

"Kalian tak perlu membujuk dan merengek

seperti bayi ingusan. Kalian ingatkah bahwa kita

sedang mengemban tugas dari tetua "SILUMAN

NAGA PUTIH"? Kalau sampai tugas ini gagal. Itu

berarti kita kehilangan kesempatan untuk merajai

dunia persilatan. Apakah kalian mengerti?!"

Bentak si Tinggi Besar murka sekali.

"Dan ini berarti kita juga kehilangan

kesempatan untuk menghancurkan markas

golongan putih pada pertemuan kaum mereka

tiga purnama mendatangya...kakang....!" Sahut si

Cebol Muka Harimau lalu menepuk-nepuk

jidadnya.

"Aku juga tak ingin kehilangan Dewi

Bantaran yang ayu itu....! Celetuk si Tinggi Kurus

Muka Badak. Dia segera melompat ke atas

punggung kudanya di ikuti si Cebol Muka

Harimau. Derap langkah kuda kembali terdengar

bagai tanpa pernah ada kejadian, mereka

meninggalkan mayat-mayat tanpa kepala itu

begitu saja.

Sementara itu Ni Sukmini yang tak

mengetahui bahaya sedang mengancam dirinya,

nampak asyik mencuci dengan ditemani oleh


suaminya. Kedua pengantin baru itu saling

bercanda dan bercengkerama. Sesekali derai tawa

mereka terdengar meningkahi gemuruhnya air

sungai yang deras. Namun kata-kata mereka

pada akhirnya bagai tersekat di tenggorokan

begitu mereka mendengar derap langkah kuda,

yang semakin lama semakin terdengar jelas.

Ketika Bayu Anaksa, yaitu suami Ni Sukmini

mendongakkan kepalanya kearah jalan berbatu

yang jaraknya hanya beberapa tombak dari

tempat mereka semuanya sudah terlambat. Si

Tiga manusia iblis itu sudah sempat melihatnya.

Bayu Anaksa sudah tidak sempat lagi menyuruh

istrinya bersembunyi.

Begitu tiga manusia iblis itu sampai di

jalanan di tebing sungai, segera saja mereka

menghentikan kudanya. Untuk beberapa saat

mereka memperhatikan Ni Sukmini dan Bayu

Anaksa silih berganti. Kemudian mereka saling

berbisik sesamanya. Lalu tersenyum

menggidikkan.

"Hei....bocah, kemari kau....!" Perintah Si

Cebol Muka Harimau di sertai seringai menjijikan.

Bayu Anaksa yang merasa di panggil, bukannya

tak tahu siapa adanya orang-orang ini. Akan

tetapi pemuda itu, yang juga memiliki kepandaian

silat cukup tinggi dan di kenal sebagai seorang


pemberani, sebaliknya dengan sikap acuh malah

menyahut:

"Siapa perlu siapa? Kalau merasa memiliki

keperluan turunlah dari kuda kalian!" Ucapan

Bayu Anaksa barusan tentu saja membuat murka

ketiga manusia iblis ini. Sebab, selama malang

melintang di dunia persilatan belum pernah ada

yang berani membantah perintah manusia-

manusia dajal ini. Dan kini ada bocah belasan

tahun yang masih bau kencur berani

membangkang. Sungguh sangat keterluan,

begitulah fikir mereka. Lalu si Tinggi Besar

tertawa sinis. Sepasang matanya yang cekung

menyiratkan nafsu membunuh yang meledak-

ledak.

"Bocah....mulutmu sungguh lancang berani

membantah perintah. Kau tak tahu betapa

tingginya langit dan dalamnya lautan! Apakah kau

tak merasa sayang dengan orang yang berada di

sampingmu itu....?" Hardik si Tinggi Besar Muka

Tengkorak. Bayu Anaksa yang kini mulai

menyadari gelagat tak baik segera memberi

isyarat pada Ni Sukmini. Ni Sukmini yang

mengetahui makna isyarat itu bermaksud akan

meninggakan tempat itu. Akan tetapi baru saja Ni

Sukmini melangkah beberapa tindak, sekali si

Cebol Muka Harimau gerakkan jemarinya selarik

benda berwarna kehitaman tampak melesat ke


arah Ni Sukmini begitu cepatnya. Ni Sukmini

hanya sesaat saja bisa merasakan ada sesuatu

yang terasa begitu lembut menotok jalan

darahnya. Saat berikutnya ia merasakan ada

sesuatu yang menjalar dan membelai-belai

tubuhnya yang secara perlahan pula

membangkitkan nafsu birahinya. Wajah Ni Suk-

mini kelihatan memerah karena menahan sesuatu

yang terasa meledak-ledak di dalam dirinya.

Namun begitu gejolak itu mencapai puncaknya. Ni

Sukmini tiba-tiba saja merasakan tubuhnya

terasa kaku dan sangat sulit untuk di gerakkan. Si

Cebol Muka Harimau tersenyum puas. Apa yang

baru ia lakukan tadi adalah cara menotok jarak

jauh yang sangat ampuh, yaitu ilmu menotok

"MENGUSIR MENDUNG MENGELUS BIDADARI"

yang tiada tandingnya pada kaum golongan

hitam.

Mengetahui keadaan istrinya, beberapa saat

lamanya Bayu Anaksa nampak terperangah, tiada

kata yang terucap. Dan begitu ia menyadari apa

yang tengah terjadi dengan istrinya, maka

meledaklah kemarahannya. Dengan sekali genjot

tubuh pemuda itu melayang ke udara, kemudian

dengan manis ia menjejakan kakinya persis di

hadapan tiga manusia iblis itu. Dengan geram dan

penuh kebencian ia pun membentak: "Manusia-

manusia muka dajal! Kalian sungguh-sungguh tak


tahu malu memperlakukan istri orang sedemikian

rupa! kurang ajar, hadapilah aku...." Serentak

dengan ucapan itu, Bayu Anaksa menerjang

dengan sengit ke arah Si Tinggi Besar Muka

Tengkorak. Namun begitu jarak di antara mereka

sudah saling mendekat, Si Tinggi Besar Muka

Tengkorak hanya dengan mengebutkan tubuhnya

saja, sebuah gelombang hitam yang sangat panas

menerpa tubuh Bayu Anaksa. Tubuh pemuda itu

terlempar beberapa tombak, sebahagian tubuh-

nya berobah kehitam-hitaman. Bayu Anaksa

merasakan rongga dadanya remuk dan sesak.

Begitupun ia berusaha bangkit dan meng-adakan

perlawanan, demi melihat kenekatan pemuda ini,

ketiga manusia iblis tergelak-gelak.

"Hahaha....ja.lel....lel! Bocah! Nyawamu

sudah berada di tenggorokan masihkah kau ingin

jual lagak di depan kami?" Kata si Tinggi Besar.

"Manusia-manusia jahanam! Mau kalian

apakan istriku!" Bentak Bayu Anaksa lalu bersiap-

siap membangun serangan. Melihat gelagat ini Si

Tinggi Besar Muka Tengkorak menghardik :

"Bocah....beberapa tindak kau melangkah!

Nyawamu akan segera putus....!"

"Untuk itu sebelum ajal menjemputmu,

Jadilah pendekar yang baik. Dan supaya kau tidak

mati penasaran ketahuilah bahwa kami akan

mengambil alih untuk mengurus istrimu yang


cantik itu. kau masih belum becus apa-apa, kau

tak usah khawatir, karena kami akan

membahagiakannya. Dan tentu pula kami akan

membuatkan surga untuknya, he-hehe....!" Si

Cebol Muka Harimau menimpali. Demi mendengar

penjelasan manusia-manusia iblis ini, mendidihlah

darah Bayu Anaksa. Dia menerjang kembali. Akan

tetapi mendadak langkahnya tersendat, matanya

melotot. Sedangkan ke dua tangan menekap

tenggorokan. Tak lama kemudian pemuda ini pun

ambruk ke bumi.

"Padamu aku bilang apa bocah tolol, kau toh

mati juga, hehehe....!"

"Otaknya pasti masih enak kakang....!" Ujar

si Tinggi Kurus.

"Persetan. Cepat kita kembali dan urus

perempuan itu!" Bentak si Tinggi Besar. Tanpa

berani membantah Si Tinggi Kurus Muka Badak

loloskan sebuah selendang warna hitam yang

berbau sangat anyir, dengan sekali kebut, bagai

memungut sesuatu yang tak berguna, tubuh Ni

Sukmini melayang ke udara lalu jatuh di atas

pangkuan Si Tinggi Kurus.

Iblis Muka Badak ini pun tertawa tergelak-

gelak, begitu tangannya yang tinggal kulit

pembalut tulang itu tersentuh benda lunak yang

terdapat pada tubuh Ni Sukmini.


"Otakmu Adi Kurus. Jangan macam-macam!

Ingat perempuan itu untuk persembahan tetua

kita. Jangan kau kotori....!" Ujar Si Tinggi Besar

Muka Tengkorak mengingatkan. Si Tinggi Kurus

Muka Badak terkekeh.

"Jangan takut, aku pun tak ingin bertindak

ceroboh!"

"Kalau begitu mari kita tinggalkan tempat

ini!" Kata Si Cebol Muka Harimau. Baru saja

mereka menghentak kekang kuda, tiba-tiba saja

terdengar bentakan seorang laki-laki tua yang tak

lain merupakan orang tua si gadis. Tiga manusia

iblis urungkan niat, tanpa menoleh si Cebol Muka

Harimau menghardik: "Hemm....kiranya masih

ada tikus tua yang ingin di kirim ke neraka!"

Muka Badak kirimkan satu pukulan kilat.

"Wuut....!" Seberkas sinar maut berwarna ke

biru-biruan itu telah melabrak tubuhnya. Lolong

kematian pun menggema di udara. Jerit suara

tangis dari keluarga yang di tinggalkan terdengar

pilu menyayat. Ketiga manusia iblis itu saling

berpandangan: "Tunggu apa lagi, ayo,

...membuang-buang waktu saja....!" Tukas si

Tinggi Besar Muka Tengkorak, lalu menyentakkan

kekang kudanya. Gemuruh derap suara langkah

kuda akhirnya terdengar kembali. Semakin lama

semakin menjauh, begitu manusia-manusia iblis

itu lenyap. Bermunculanlah penduduk desa yang


sedari tadi hanya bersembunyi. Mereka beramai-

ramai memberikan pertolongan pada keluarga

yang baru saja di timpa malapetaka.


EMPAT



Di sebuah pesisir yang menjorok ke laut,

dengan hutan Bakau dan kayu api yang

menjulang tinggi. Hari itu angin laut berhembus

sepoi-sepoi basah. Dengan hamparan pasir yang

tampak memutih dan tiada pula bertepi, di situlah

yang bernama Tanjung Api berada. Sebuah

tempat di mana seorang guru dan muridnya

bermukim selama ini. Di sana pula si Tua Renta

Koreng Seribu dengan tekun dan tiada mengenal

bosan mnggembleng seorang murid yang

bernama Buang Sengketa dengan berbagai ilmu

kanuragan.

Hari itu genap dua puluh tahun Buang

Sengketa berada dalam asuhan si Tua Renta

Koreng Seribu. Seperti hari biasanya pagi-pagi

sekali tentu Buang Sengketa sudah terjaga dari

tidurnya. Dengan sigap dia langsung membuatkan

sarapan untuk gurunya, berupa ikan bakar, tak

lupa satu kendi nira kelapa yang masih segar.

Begitu jugalah yang terjadi di pagi itu. Buang

Sengketa selalu dengan telaten melayani segala

keperluan Guru, yang juga sekaligus sebagai

orang tua angkatnya ini. Dia tak tahu siapakah

orang tuanya yang sebenarnya, sebab menurut

cerita Kakek Berkoreng sejak bayi merah Buang

Sengketa telah di asuh oleh si Tua Renta yang

selalu bersikap angin-angin ini.

Kalau pada pagi itu dia melihat si Kakek yang

selalu murung ini kelihatan diam seribu bahasa,

hal ini membuat Buang Sengketa merasa sangat

heran. Sebab tak biasanya dia bertingkah seperti

itu. Atau sakitkah dia? Dalam keadaan seperti itu

Buang tak berani berkata sepatahpun. Begitulah

ketika Buang sedang menyertai gurunya untuk

sarapan pagi, Si Tua renta Berkoreng yang sejak

tadi hanya diam saja, kini mulai buka mulut.

"Buang.... sudah berapa tahun kau hidup

bersamaku?" Tanya si Tua Renta Berkoreng,

Seraya memandanggi wajah muridnya tidak

berkedip. Buang merasa sedikit heran dengan

pertanyaan yang di lontarkan oleh gurunya ini.

Dia tak pernah membayangkan bahwa pada

akhirnya dia harus menjawab pertanyaan seperti

itu. Dengan wajah tertunduk Buang berujar:

"Mungkin sudah hampir dua puluh tahun Guru!"

Si Tua Renta Koreng Seribu nampak manggut-

manggut, kemudian seperti berkata pada dirinya

sendiri.

"Dua puluh tahun.... berarti usiaku

menjelang seratus delapan puluh, hidup ratusan

tahun tiada guna. Aku sudah tua bangka. Dan aku

sudah bosan dalam pengembaraan ini. Sanak


saudara tiada punya. Apa daya! Hidup ini adalah

fatamorgana semata, orang-orang saling

membunuh demi memperebutkan sesuatu yang

tak pasti. Tapi diriku sendiri selalu lupa pada

Hyang Pencipta. Kata lalat-lalat itu aku ini dewa

pembasmi angkara murka, tapi aku sendiri

merasa bagai seorang setan pencabut nyawa.

Beribu-ribu jiwa telah di renggutkan oleh kedua

tangan celaka ini. Seandainya di sana nanti

terbentang pengadilan Yang Maha tinggi, apa

yang akan kukatakan. Sengsara....oh…celaka....!"

Kata-kata yang meluncur dari mulut si Tua

Renta Koreng Seribu, yang isinya membersitkan

penyesalan hati, membuat Buang Sengketa

semakin tak berani membuka suara. Tua Renta

Koreng Seribu agaknya mengetahui apa yang

sedang di fikirkan oleh muridnya ini. Lalu dia pun

menyela.

"Kau tentu heran mengapa aku berkata

begitu! Duduklah mendekat kepadaku. Hari ini

aku si Tua Renta yang tiada guna ini ingin

bertutur padamu tentang siapa dirimu yang

sebenarnya....!" Dengan hati berdebar Buang

Sengketa beringsut mendekati gurunya.

"Buang.... sebelum aku mengatakan sesuatu

padamu aku ingin bertanya apakah

keinginanmu....?" Tanya si kakek permurung ini


dengan senyum seperti dipaksakan. Buang

merasa bingung dengan pertanyaan gurunya.

"Maksud guru bagaimana?" Si Kakek Koreng

Seribu terkekeh, kelihatanlah giginya yang putih

bersih tapi hanya tinggal beberapa buah saja.

"Hahaha....huahaha....prush....!" Kemudian

masih di sea-sela tawanya: "Bocah, maksudku

apakah kau ingin sampai bangkotan tinggal

bersamaku di Tanjung Api ini....!"

"Maksud Guru apakah aku harus per....!"

"Buang.... aku sudah mau muntah melihat

tampangmu! Aku ingin agar kau segera

meninggalkan tempat ini..„!" Begitu tegas si Tua

Renta Berkoreng member! keputusan, sampai-

sampai Buang Sengketa di buat terbelalak tak

percaya. Sesungguhnya dia bukan tak mengerti

akan maksud gurunya. Sebagai orang yang sudah

dewasa sudah barang tentu gurunya ingin agar

muridnya ini dapat menimba pengalaman di dunia

luar. Akan tetapi dia merasa tak tega untuk

meninggalkan gurunya seorang diri di tempat itu.

Kalau saja nanti sampai gurunya jatuh sakit,

siapakah yang akan mengurusnya? Begitulah dia

berfikir.

"Mengertikah kau, Buang....?" Ulang si Tua

Renta begitu melihat keraguan di wajah Buang

Sengketa.


"Aku mengerti, Guru....tapi kalau ku ting-

galkan! Siapakah yang akan merawat dan

mengurus Guru, nantinya....?" Ujar Buang

khawatir. Mendengar pengakuan Buang Sengketa,

si Tua Renta Berkoreng kembali terkekeh.

"Hua....hahaha....prus....aku sudah tua

bangka! Mengapa ambil perduli. Apakah kau juga

bermaksud ingin menemaniku sampai ke liang

kubur....?" Bentak si Tua Renta Berkoreng tak

sabaran.

"Tapi, Guru....!"

"Aku si Tua Bangka tak mau dengar apa yang

kau katakan.... tapi kau harus mendengar apa

yang kukatakan nanti....!" Si Tua Renta nampak

diam sejenak, wajahnya yang sudah keriputan itu

kelihatan semakin mengkerut. Sementara Buang

Sengketa dengan sangat terpaksa hanya mampu

menurut. Ia tak ingin protes, walau sesungguhnya

kemauan untuk itu sesungguhnya sangat besar

sekali. Lalu tanpa memperhatikan Buang apakah

memperhatikan atau tidak, si Tua Renta

Berkoreng mulai lagi buka suara: "Sembilan

tahun yang lalu. Setiap menjelang tidur kau selalu

menanyakan siapa orang tuamu dan di mana

tinggalnya. Waktu itu aku hanya memberi

penjelasan sekenanya saja, karena ku fikir, saat

itu kau belum becus apa-apa. Kini tanpa kau

minta aku akan menjelaskan siapa orang tuamu


yang sebenarnya, karena setelah itu aku ingin

kau melihat-lihat keadaan dunia luar sana....!"

Sejenak Tua Renta Berkoreng hentikan kata-

katanya, alis wajahnya yang sudah kelihatan

memutih itu bergerak-gerak. Daya fikirnya yang

tumpul itu mencoba mengingat-ingat sebuah

masa lalu, saat di mana ia menemukan seorang

bayi yang masih merah, terombang ambing di

permainkan ombak di tengah lautan tidak begitu

jauh dari pertapaannya. Kemudian setelah

memungut bayi itu dari dalam sebuat kotak kayu

yang berlumuran darah dan telah kering. Di sisi

bayi itu terdapat sebuah pesan dun juga sebuah

golok Buntung yang setelah di teliti oleh si Kakek

Berkoreng adalah sebuah pusaka milik seorang

datuk dari Negeri Bunian. Lalu ingatlah pula dia

akan sebuah tulisan di dalam surat itu. Mendadak

wajah Si Tua Renta Koreng Seribu menunduk.

Tapi dasar orang tua aneh, sebentar kemudian dia

kelihatan seperti biasa kembali. Dengan mantap

dia mulai kembali.

"Buang, menurut sebuah pesan yang

menyertaimu sesungguhnya ibumu sudah tiada.

Beliau mangkat dalam menyelamatkan mu dari

orang-orang yang bermaksud ingin

membunuhmu....!" Penjelasan ini sudah barang

tentu sangat mengejutkan hati Buang Sengketa.


Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, waktu

itu dia memberanikan diri.

"Mengapa mereka mau membunuhku, Guru?

Siapakah mereka itu....?" Tanya pemuda itu

penasaran.

"Menurut pesan yang di tulis oleh bundamu

sendiri, kehadiranmu di dunia ini diramalkan oleh

banyak orang bakal menimbulkan malapetaka.

Sebab seperti pengakuan ibu kandungmu sendiri.

Ayahmu adalah seekor Piton raksasa yang di

kutuk dan terusi dari Negeri Bunian karena telah

melangga sumpah, yaitu dengan mengawini

ibumu di alam Mayapada ini....!" Mendengar di

sebutnya sekor ular, bukan alang kepalang

terkejutnya Buang Sengketa.

"Siapakah nama ibu dan ayahku, Guru....!'

"Ibumu bernama Nyai Laesih, dia telah tiada

seperti yang kukatakan tadi. Sedang kan ayahmu

bernama Raja Piton utara yan kini tinggal di dasar

laut Selat Malaka....! Meskipun dalam hati

kecilnya Buang merasa tak percaya. Tapi ia

merasa penasaran juga.

"Seekor ular raksasa.... tapi mengapa beliau

tinggal di dasar laut dan siapa yang telah

membunuh bunda....?"

"Mengenai siapa yang membunuh ibumu itu

aku kurang mengerti, tetapi mengapa

Ayahandamu tinggal di dasar laut, hal itu dia


lakukan semata hanyalah untuk menebus

kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah di

buatnya....!" Jelas si Tua Renta Koreng Seribu.

"Aku jadi semakin tak mengerti Guru....!"

ujar Buang Sengketa setengah linglung. Si Tua

Renta Berkoreng menarik nafas pendek: "Nanti

juga akhirnya kau akan mengerti Buang! Waktu

yang akan mengatakannya padamu....!" Usai

berkata, Tua Renta Berkoreng masukkan

tangannya ke dalam jubah. Dan begitu tangannya

terulur sebuah kantong warna merah telah

tergenggam di tangannya. Dengan sangat hati-

hati ia membuka tali pengikat kantong. Si kakek

mengambil sesuatu dari dalamnya.

Begitu benda itu telah berada di tangannya,

Buang Sengketa tersentak dan terbelalak tak

percaya. Bagaimana tidak, benda yang

tergenggam di tangan si kakek memang tidak

dapat di sangkal hanyalah merupakan sebuah

Golok Buntung, tapi yang membuat Buang

terheran-heran adalah karena golok di tangan si

kakek memancarkan sinar berkilauan dengan

warna merah menyilaukan mata. Di samping itu

dengan tiba-tiba udarai di ruangan pendopo

terasa sangat dingin menggigil, padahal di

ruangan itu terdapat sebuah tungku perapian

yang masih menyala. Hawa dingin terasa

menyerang pemuda itu semakin lama bertambah


dasyat. Dalam keadaan seperti itu, Buang

Sengketa terpaksa segera membentengi diri

dengan tenaga dalam. Tentu saja si kakek

berkoreng mengetahui hal itu. Maka si kakek pun

terkekeh: "Kalau pusaka ini berada dalam

genggamanmu tentu kau tak merasa kedinginan,

Buang..."

Pemuda ini melongo. lalu tanyanya "Apakah

pusaka itu milik guru....?"

Lagi-lagi si Tua Renta Koreng Seribu

terkekeh.

"Huahahaha... ho wah aha... prus... tentu

saja tidak, pusaka ini milikmu, yang di titipkan

oleh ibumu padaku. Ini adalah sebuah pusaka

yang sangat luar biasa! Aku yakin dikolong jagat

ini tiada duanya....!"


LIMA


Begitulah Tua Renta Berkoreng memuji, akan

tetapi walaupun Buang Sengketa sedikit

banyaknya sudah mengetahui kehebatan Golok

Buntung itu, tapi ia kelihatan tak berminat untuk

memilikinya.

"Guru, bukannya aku merehkan kehebatan

Golok Buntung itu, akan tetapi karena bentuknya

dan sangat pendek sekali, maka aku kurang

berhasrat untuk memilikinya....!" Mendengar

pengakuan Buang Sengketa, tentu saja Tua Renta

Berkoreng di buat terkejut bukan alang kepalang.

Di samping juga timbul perasaan marah, akan

tetapi begitu ia menyadari dan ingat akan

sesuatu, maka dia pun tersenyum.

"Wee...bocah goblok...Golok ini

sesungguhnya sangat panjang dan indah bahkan

bisa di sambung kembali....!" Ujar si Tua Renta

mengingatkan.

"Apa maksudmu Guru....?"

Kakek Koreng Seribu menyeringai, kemudian

lanjutnya :

"Patahan golok ini sesungguhnya masih ada

pada seseorang dan kau berhak untuk

memintanya kapan saja kau mau....!



Buang Sengketa gosok-gosok wajahnya,

"Aku tak mengerti, guru...!'’

"Memang dasar bocah bebal, maksudku

bahwa sambungan Golok ini ada pada

ayahandamu si Piton Utara! Tentu saja dia cukup

mengerti mengapa dia meninggalkan sisa golok

ini padamu....!"

"Tapi aku tidak mengerti, Guru...!" Si Tua

Renta meihat kepolosan muridnya, jadi geleng-

geleng kepala.

"Selain untuk melindungi dirimu, tentu

ayahmu itu berkeyakinan suatu saat kelak

seorang anak akan mencari ayahnya! Untuk itu

sebagai tanda-tanda tertentu ia memberikan

puntungan Golok pusaka ini pada almarhum

ibumu, sedangkan bagian yang lain tetap di

bawanya. Seandainya suatu saat kau dapat

bertemu dengan ayahmu itu, karena kau

mempunyai tanda-tanda itu, tentu beliau akan

mengakuimu sebagai anak kandungnya! Begitulah

sesuai dengan pesan yang di tulis oleh ibumu!"

"Nah. Buang segalanya telah jelas dan kau

tak mempunyai hak untuk menolak pusaka

pemberian orang tuamu itu. Terimalah....!" Ujar si

Tua Renta, menyarungkan pusaka itu lalu

menggangsurkannya pada Buang. Buang

Sengketa menyembah tiga kali. Dengan agak


gemetar ia menerima Golok Pusaka itu, untuk

kemudian meletakkannya persis di hadapannya.

"Bocah goblok, pusaka itu harus kau selipkan

di tempat yang pantas pada bagian tubuhmu.

Bukan untuk di lihat-lihat seperti itu....!" Bentak

si Tua Renta berwajah murung kesal.

"Aku mengerti Guru, nanti juga ku

lakukan...." Buang tersenyum-senyum. Tanpa

menghiraukan tingkah muridnya dengan tegas si

Renta Koreng Seribu memutuskan: "Buang

Sengketa! Hari ini adalah merupakan saat-saat

terakhir kau bersamaku! Pergilah ke dunia ramai!

Rimba persilatan kini sedang di landa keresahan.

Dan bukan tidak mungkin akhirnya keresahan itu

berubah menjadi malapetaka. Aku yang sudah tua

tiada guna ini, ingin agar kau ambil bagian dalam

membasmi segala kejahatan yang selalu

menindas kaum lemah. Aku rasa apa yang aku

berikan sudah cukup! Satu saja pesanku, bawalah

apa yang kau dapat selama ini dariku ke jalan

yang benar. Semoga kau tetap selamat dan cepat

bertemu ayahandamu....!" Kiranya mendengar

wejangan gurunya tanpa terasa air mata Buang

Sengketa menggelinding menuruni kelopak

matanya, kemudian turun ke pipi, Buang merasa

sangat sedih untuk berpisah dengan gurunya.

Tapi yang jelas, tingkah laku Buang membuat si

orang tua tidak dapat lagi manahan tawanya.


"Hahaha...hoahah.... sudah dua puluh tahun,

sejak kau kecil aku tak pernah melihat orang

menangis. Tapi kiranya hari ini aku di hadapkan

pada seorang bocah yang cengeng.

Huh....sungguh memalukan!" Kakek Renta ini

mendengus.

Serta merta Buang menghapus air matanya.

"Untuk tidak mengecewakan guru, aku tidak

akan bersikap lemah. Guru memutuskan aku

untuk turun ke dunia ramai. Aku turun! Akan

tetapi bolehkah aku kembali setiap tiga

purnama....?"

"Weii...bocah edan! Apa yang kau dapat di

luaran sana, kalau cuma tiga purnama kau telah

kembali? Tiga purnama adalah sebuah waktu, bila

kau berkeinginan untuk muter-muter di sekitar

hutan ini belum juga puput....!" Si Kakek Renta

menggertakkan rahang. Semakin kesal,

bertambah jengkel.

"Lalu bagaimana guru....!" Si Kakek Renta

garuk-garuk rambutnya yang sudah putih.

Sejenak matanya melotot.

"Sekali kau berniat mencampuri urusan dunia

ramai. Seratus tahun lagi kau baru boleh

kembali....!"

"Seratus tahun....? Bukankah pada saat itu

guru sudah mati? Sedangkan umurku sendiri

belum tentu bisa bertahan sampai segitu!" Buang


Sengketa menyela dan merasa kurang setuju

dengan keputusan gurunya.

"Aku tak ingin dengan semua protesmu, aku

ingin saat ini juga kau segera minggat dari

hadapanku....!"

"Oh itu tidak adil guru! Aku baru mau

meninggalkan tempat ini menjelang sore nanti!"

Si Tua renta Koreng seribu mengangguk. Buang

kelihatan gembira bukan alang kepalang. Sesaat

si kakek meninggalkan pendopo, tak lama telah

kembali lagi dengan membawa sebuah pecut

yang sudah butut. Si kakek kembali duduk di

tempat semula. Seraya memperlihatkan pecut

jelek yang berada di tangannya.

Buang melirik ulah gurunya tanpa berkedip.

Tak kala Buang sudah merasa hampir bosan,

barulah si kakek angkat bicara: "Buang Sengketa,

aku tak dapat memberi apa-apa kccuali pecut ini.

Pada zamanku, cambuk jelek ini pernah

menggegerkan dunia persilatan. Ratusan nyawa

telah terenggut oleh pecut ini. Cambuk ini ku beri

nama, "PECUT GELAP SAYUTO" kehebatannya tak

perlu ku ceritakan padamu sebab akhirnya kau

akan tahu sendiri. Jika kau dalam keadaan sangat

terdesak, pergunakanlah dia....!"

"Guru! Aku sangat berterima kasih dengan

semuanya ini! Murid berjanji untuk tidak

mengecewakan harapan guru....!" Setelah


menerima cambuk pemberian gurunya dan melilit

di pinggang, Buang menjura beberapa kali.

Matahari telah condong di ufuk barat ketika

Buang Sengketa meninggalkan Tanjung Api. Tak

ada yang mengantar kepergiannya. Kakek Tua

Renta Koreng Seribu pun hanya mengantar

kepergiannya sampai di halam rumah saja. Sekali

lagi Buang Sengketa menoleh ke arah sebuah

gubuk bertonggak tinggi yang sudah kelihatan

sangat jauh. Dia sudah tidak melihat lagi gurunya

menatap kepergiannya. Semuanya mulai

kelihatan samar-samar dan untuk kemudian

berubah menjadi titik kecil dan hitam Buang

Sengketa sudah tiada perduli, dia tetap

melangkah pergi.

* * * * *

Cuaca buruk dan hujan badai yang kerap

terjadi akhir-akhir ini di sebuah daerah yan

bernama Guntiam tidak menyebabkan niat dua

bersaudara seperguruan itu bersurut langkah

dalam upaya mempersatukan kembali kaum

persilatan golongan putih yang telah terpecah

belah. Pagi itu dalam suasana hujan lebat, Dewi

Bantaran dan Aki Sumendep telah sampai di

kediaman Resi Pranada. Sebuah pondok kecil

yang terletak di pegunungan Gundul itu lengang.


Murid-murid Resi Pranada tak seorangpun

kelihatan. Hal ini tentu membuat Dewi Bantaran

dan Aki Sumendep bertanya-tanya dalam hati.

Sebab sepengetahuan mereka berdua dalam

situasi bagaimanapun biasanya murid-murid

pondok Giunung Gundul yang jumlahnya

mencapai puluhan orang akan selalu tampak

berjaga-jaga walaupun hanya di depan pintu. Hal

ini tentu saja membuat kedua orang kurir

penghubung ini semakin bertambah curiga, Maka

kedua orang tokoh tingkat tiga dari kaum

persilatan golongan putih yang berasal dari bukit

Barisan ini dengan tergesa-gesa segera memburu

ke arah pondok. Akan tetapi baru saja mereka

sampai di depan pintu, alangkah terperanjatnya

hati mereka, ketika keduanya melihat mayat-

mayat bergelimpangan. Untuk beberapa saat

lamanya Aki Sumendep memeriksa keadaan

mayat-mayat itu. Hampir dari kesemuanya mati

dalam keadaan tubuh hangus terbakar, Melihat

keadaaan mayat-mayat itu, tentu pelakunya tidak

seorang dan vang pasti memiliki kepandaian yang

sangat tinggi. Dewi Bantaran dan Aki Sumendep

saling berpandangan. Namun begitu mereka

teringat akan Resi Pranada, serta merta keduanya

menerjang ke dalam pondok. Suasana telah

mengerikan terbentang d hadapan mereka. Bagai

sebuah mimpi yang teramat buruk. Saling


membisu mereka memeriksa keadaan mayat-

mayat itu. Dan begitu mereka sampai di sudut

ruangan, bukan main terkejutnya mereka, Resi

Pranada juga tewas dalam keadaan mengerikan

seperti yang lainnya.

Kalau melihat keadaannya, tentu malapetaka

itu hanya beberapa saat yang lalu terjadi. Tapi

siapakah pelakunya? Yang pasti manusia-manusia

keji itu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Resi

Pranada atau bahkan lebii tinggi dari mereka

berdua. Sebab seperti mereka ketahui, Resi

Pranada adalah salah seorang dari lima tokoh

kosen golongan putih di negeri Andalas. Siapapun

tak meragukan kemampuannya. Bahkan kedua

kurir ini hanya memiliki kepandaian setingkat di

bawah Resi yang tewas. Kejadian ini benar-benar

sangat membingungkan utusan dari bukit Barisan.

"Bagaimana kakang.... Resi Pranada juga

kiranya ikut tewas dalam peristiwa ini!" Ujar Dewi

Bantaran menyesalkan. Aki Sumendep menarik

nafas pendek, matanya yang lumur itu

memperhatikan berpuluh-puluh mayat yang

bergelimpangan di hadapannya. Dengan agak

tersendat dia berkata: "Kiranya kita telah

terlambat memberi isyarat maut pada mereka!

Kini hanya tinggal dua Padepokan lagi yang

tersisa dan sangat perlu kita hubungi, mudah-

mudahan kita masih belum terlambat!"


"Kira-kira siapakah yang bertanggung jawab

atas kejadian ini kakang...?" Dewi Bantaran

menyambung. Aki Semendep tercenung untuk

beberapa saat lamanya.

"Kalau kesimpulanmu apa....?" Tanya Dewi

Bantaran tak sabar. Lagi-lagi Aki Semendep

terdiam. Tapi kemudian dengan sangat berhati-

hati.

"Mungkin desas-desus yang kita terima se-

lama ini benar adanya! Tiga manusia iblis itu

audah mulai membangun kekuatan yang siap

untuk menghancurkan kita, kemudian memenuhi

ambisi mereka untuk merajai dunia persilatan!”

“Untuk apa mereka menculik gadis-gadis

itu?” Dewi Bantaran semakin tak sabar.



ENAM



Desakan adik seperguruannya membuat Aki

Sumendep teringat akan sesuatu yang pernah di

ceritakan oleh almarhum guru mereka. Lalu dia

menyambung kembali.

"Tentu saja untuk menyempurnakan ilmu

mereka.... atau mungkin pula untuk

dipersembahkan pada sesuatu yang sangat

mereka yakini....!"

"Maksudmu apakah gadis-gadis malang itu

akan mereka persembahkan pada "SEPASANG

SILUMAN NAGA PUTIH?"

"Itu mungkin saja terjadi” Ujar Aki

Sumendep was-was

"Bukankah Sepasang Siluman itu menurut

ceritanya sudah kalah dan sudah pula dilenyapkan

oleh seorang pendekar yang berjuluk “SI

BANGKOTAN KORENG SERIBU” seratus tahun

yang lalu” Bantah Dewi Bantaran tak percaya

"Kita tak tau apa yang sesungguhnya terjadi.

Saat itupun kita belum lahir dan mungkin juga

pendekar yang telah melegenda itu telah

membinasakan sepasang siluman itu. Akan tetapi

seperti pernah dituturkan oleh mendiang guru kita

bahwa sepasang siluman itu sewaktu-waktu dapat


hidup kembali, apabila ada orang yang tahu cara-

cara untuk membangunkannya....!"

"Kalau memang benar siluman itu dapat di

hidupkan kembali! Ini sudah jelas merupakan

malapetaka bagi kita, pertemuan golongan putih

satu purnama di depan tentu tidak akan berguna

banyak....!" Kenang Dewi Bantaran sedih. Melihat

adik seperguruannya patah semangat, Aki

Sumendep coba mengingatkan: "Langkah kita

belum sampai di tengah jalan adi! Kita tak boleh

lemah seperti itu bukankah almarhum guru kita

juga pernah berpesan begitu? Kita harus

mencegah mereka, walaupun air mata darah

taruhannya,...!" Demi mendengar peringatan

saudara seperguruan. Dewi Bantaran cepat-cepat

hapus air mata yang sempat bergulir menuruni

pipinya yang halus mulus.

"Kakang benar. Ayo kita rumat jenazah

saudara-saudara kita ini, terlebih lebih jenazah

Resi Pranada....!"

"Mari,adi...." Demikianlah saat mereka mulai

menggali kubur, hujan masih turun walau tidak

sederas tadi. Tapi cukup membuat pakaian

mereka basah kuyup. Mereka tidak perduli, dan

setelah sebuah lubang massal tergali, mereka

membuat sebuah kubur lagi untuk Resi Pranada

yang mereka hormati, mereka bekerja cepat. Tak

begitu lama kemudian merekapun telah selesai


menguburkan jenazah-jenazah itu, begitupun de-

ngan jenazah Resi Pranada.

Setelah memberi penghormatan terakhir,

mereka sudah berniat untuk meninggalkan

Pondok Gunung Gundul ketika Dewi Bantaran

sempat melihat seseorang berjalan melenggang.

Dengan mengenakan pakaian merah menyala

beberapa puluh tombak di depan mereka.

Kehadiran orang ini tentu saja membuat ke dua

orang ini menaruh curiga.

"Berhenti....!" Bentak Dewi Bantaran. Bagai

orang tuli orang yang berpakaian warna merah

menyala ini terus melangkah menjauh. Merasa

diremehkan sudah barang tentu Dewi Bantaran

menjadi marah. Kemudian dia cabut senjata

rahasia dari balik jubahnya. Saat tangannya

terayun ke atas, Aki Sumendep datang

mencegah,

"Jangan! Kita belum tahu siapa orang ini....!”

"Tapi orang itu bertingkah di hadapan kita

kakang. Siapa tahu dia pula yang telah

membunuh Resi Pranada...!" Tukas Dewi

Bantaran kesal.

"Sabar.... kita tanya dulu....!" Dewi Bantaran

geram. Lalu sekali orang-orang ini berkelebat,

langkah orang berpakaian merah menyala inipun

terhadang. Dan bukan main terkejutnya Aki

Sumendep dibuatnya. Karena nampak biasa-biasa


saja. Sesuatu yang membuat geli bagi kedua

orang saudara seperguruan itu adalah karena

pemuda itu membawa sebuah periuk penuh

jelaga, sedangkan rambut di kuncir sebatas bahu.

Dan Dewi Bantaran sendiri dalam hati sangat

menyayangkan. Karena pemuda yang sangat

tampan ini ternyata seorang pemuda yang kurang

waras.

Dewi Bantaran jadi tak berminat untuk

menanyai pemuda ini. Lain halnya dengan Aki

Sumendep, setelah dia memperhatikan pemuda

ini, sedikit banyaknya dia tahu, kalau pemuda

yang bertabiat aneh ini tentu mempunyai

kepandaian. Untuk itu dia menguji.

"Bocah....mampuslah kau....!" Aki Sumendep

lancarkan satu serangan. Hal ini tentu saja

membuat heran adik seperguruannya. Ketika

Dewi Bantaran bermaksud memprotes, sadarlah

dia bahwa Aki Sumendep hanya bermaksud

menguji pemuda itu.

Sementara itu si pemuda yang di serang

sedemikian mendadak, tidak membuatnya

menjadi gugup. Dengan mudah dia berkelit,

serangan mematikan yang di lancarkan Aki

Sumendep menemui tempat kosong. Hal itu

sudah cukup bagi Aki Sumendep untuk

mengetahui apakah pemuda itu memiliki

kepandaian silat atau tidak. Itu makanya dengan


sikap sopan ia bertanya: " Orang muda siapakah

kau ini sebenarnya dan dari mana asal

usulmu....?"

Dengan sikap acuh pemuda ini yang

sesungguhnya Buang Sengketa adanya untuk

beberapa saat memandang pada Aki Sumendep

dan Dewi Bantaran secara bergantian.

"Hei...malah melotot seperti itu! Jawab

pertanyaan kakangku, cepat....!" Bentak Dewi

Bantaran merasa jengah terus menerus di

perhatikan oleh Buang Sengketa.

"Kau cantik....tapi galak. Aku tak akan

menjawab orang yang galak seperti kau!"

"Kurang ajar....!" Dewi Bantaran kirim satu

pukulan yang mengarah ke perut Buang

Sengketa.

"Jangan adi....!" Cegah Aki Sumendep.

Namun terlambat, karena Buang Sengketa juga

memapasinya. Dua kekuatan bertemu walau

Buang Sengketa hanya mengerahkan seperempat

dari tenaganya akan tetapi akibatnya sungguh

sangat luar biasa bagi Dewi Bantaran.

"Blaaammm....!" Dewi Bantaran terpental

beberapa tombak. Walaupun tidak sampai

muntah darah karena Buang memang tidak punya

maksud buruk. Hal ini selain membuat dada Dewi

Bantaran terasa sesak akan tetapi ia merasa

sangat malu. Terlebih-lebih di depan saudara


seperguruan dia di perlakukan seperti itu. Dia

tidak bisa terima! Dengan cepat dia bangkit dan

bersiap-siap dengan sebuah serangan barunya.

"Adi, jangan! Lebih baik kita tanyai pemuda

ini, siapa tahu dia mengetahui hal yang telah

menimpa Pondok Gunung Gundul!"

"Tidak bisa kakang, dia telah

mempermalukan aku!”

”Aku tak bermaksud menghiha adikmu yang

cantik itu. Sungguh....!" Dengan polos Buang

memuji, dan dengan sopan pula ia menjura

hormat pada Aki Sumendep.

"Lihatlah Dewi, dia telah minta maaf

Sudahlah jangan sakit hati lagi....!"

Walaupun hatinya masih kesal, Dewi

Bantaran memaafkannya: "Baik, aku

memaafkanmu! Tukasnya ketus. Kemudian

sambungnya lagi: "Kakang cepat korek

keterangan dari mulut-nya....!"

"Adi kau tidak boleh bersikap kasar separti

itu...!" Lagi-lagi dengan sabar Aki Sumendep

mengingatkan adik seperguruannya. Tak lama

kemudian dia kembali lagi dengan Buang

Sengketa.

"Siapakah namamu dan dari manakah asal

usulmu!" Ulangnya.

"Namaku Buang Sengketa... mengenai asal

usul, aku tak dapat mengatakannya,....!


"Nah, kakang apa kubilang. pemuda ini tak

dapat di percaya....!" Protes Dewi Bantaran.

"Tenanglah Dewi....!"

"Untuk apa? Lebih baik kita potes kepalanya

lalu kita pergi! Siapa tahu dia sengaja mematai

kita....!"

"Jangan gegabah! Aku tak tahu apa yang

kalian kerjakan disini....!"

"Dia pura-pura kakang....!" Tukas Dewi

Bantaran marah. Aki Sumendep tanpa

menghiraukan ocehan adiknya kembai bertanya

pada Buang Sengketa: "Orang muda, melihat

tampangmu aku percaya padamu. Aku ingin agar

kau menjawab beberapa pertanyaan lagi. Setelah

itu kami akan pergi! Masih banyak pekerjaan

yang harus kami selesaikan daripada hanya

sekedar bertanya jawab....!"

"Silahkan! Kalau aku tahu tentu akan

kujawab!" Buang Sengketa berkata tegas.

"Baiklah....tahukah kau siapa yang telah

melakukan pembantaian disini. Tanya Aki

Sumendep dengan pandangan penuh selidik.

"Tidak tahu....tadi aku hanya melihat anda

berdua mengubur mayat-mayat itu!" Aki

Sumendep manggut-manggut. Lain lagi dengan

Dewi Bantaran yang merasa kurang puas dengan

jawaban si pemuda.


"Kakang tidak bisa percaya dengan orang ini

begitu saja. Siapa tahu dia berpura-pura....!"

Demi mendengar tuduhan Dewi Bantaran

yang tidak beralasan itu, memerahlah wajah

pemuda Bunian ini, Dengan dingin dia bergumam:

"Aku berada di dunia ramai yang penuh dengan

tipu-tipu ini ada satu yang ingin kutawarkan,

yaitu sebuah kebenaran. Sungguh keterlaluan kau

menuduhku begitu....!"

Mendengar ucapan yang terasa pelan, namun

menggetarkan pembuluh-pembuluh darah

mereka. Maka sadarlah kedua orang ini bahwa

laki-laki yang berada di hadapan mereka

bukanlah pemuda sembarangan. Belum lagi

pertanyaan di hati mereka terjawabkan.

Mendadak terdengar derap langkah kuda.

Semakin lama semakin dekat. Jumlah orang-

orang berkuda itu kesemuanya tidak lebih dari

sepuluh orang, berpakaian hitam gelap dengan

berbagai senjata bergeluyut di punggung mereka.

Orang-orang berkuda itu berhenti begitu sampai

di depan Buang Sengketa. Agaknya salah seorang

dari mereka mengenal Aki Sumendep dan Dewi

Bantaran. Karena begitu orang ini melihat mereka

langsung saja tertawa. Sebuah tawa yang tinggi

melengking sangat mirip dengan suara ringkik

kuda.


"Hehehehe.... sangat kebetulan sekali

kawan-kawan. Kalau hari ini begitu mudahnya

dapat menangkap kurir yang ingin

mempersatukan golongan putih, yang cuma

tinggal tikus-tikus comberan saja....!" Ujar si

Gemuk Ringkik Kuda terkekek.

"Tentu guru kita akan merasa bersukur

karena hari ini juga kita dapat tikus betina cantik

yang selama ini sangat didambakan-nya....!" Si

Brewok yang ada di sampingnya menimpali.

Diejek seperti itu tentu saja Dewi Bantaran mulai

naik pitam, dengan bertolak pinggang dia

membentak.

* * * * *

TUJUH


Dan kemudian mencaci maki pada orang-

orang utusan manusia iblis.

"Kalian para murid manusia iblis, jangan kira

kami takut menghadapi kalian semuanya. Kalian

jangan mimpi untuk dapat menghancurkan

golongan kami!" Si Muka Brewok tertawa

terkekeh-kekeh.

"Gundukan tanah itu saja sudah

membuktikan bahwa golongan kalian sudah tidak

ada apa-apanya. Hentikan sajalah usaha kalian.

Lebih baik ikut dengan kami! Kalian pasti hidup

senang dengan guru kami!"

"Puih... aku tidak akan berhenti sampai disini

saja. Jagalah mulutmu yang busuk itu....!"

"Wee...dia menghinamu kakang Brewok,

sikat saja....!" Si Brewok tanpa berkata-kata lagi

langsung meloloskan sebuah golok Besar

bierwarna kehitaman yang tergantung

dipunggungnya.

"Manusia Setan! Kalian berani berlagak di

depan kami....!" Maki Dewi Bantaran lalu bersiap-

siap membangun serangan.

"Bocah ayu...kami tidak perlu membuat lecet

tubuhmu. Tak usah galak-galak, kami hanya ingin

membantai kedua ekor tikus yang


menyertaimu...!" Ucapan si ringkik kuda ini tentu

saja memancing amarah Buang Sengketa yang

sejak tadi hanya diam menonton. Kini dia sudah

tahu masalah yang sesungguhnya dan siapa yang

harus di bela dia sudah tentukan. Untuk itu dia

menghardik kearah si Ringkik Kuda.

"Segala kucing belekan mau jual lagak di

depanku! Enyahlah kalian...!" Usai berkata begitu

Buang dorongkan tangan kirinya ke depan. Dan

selarik gelombang dengan warna Ultra Violet

menderu dan melesat ke arah orang-orang

berkuda itu. Itulah sebuah pukulan yang teramat

dasyat yang di beri nama, "EMPAT ANASIR

KEHIDUPAN" yang dimiiki oleh Buang. Dan

akibatnya sungguh sangat luar biasa. Bagai daun-

daun kering tubuh dan kuda mereka luruh

berpentalan ke bumi. Jerit kematian pun

membahana di tempat itu. Dari sekian banyak

orang berkuda itu, kini hanya tinggal bersisa

empat orang saja. Itupun keadaan mereka sudah

terluka dalam cukup parah, enam orang lainnya

sudah kojor dalam keadaan tubuh yang

mengerikan. Tentu saja kenyataan ini membuat

Dewi Bantaran dan Aki Sumendep terbelalak

kagum. Dalam usia masih begitu muda orang ini

sudah memiliki kesaktian yang sangat luar biasa.

Dan mungkin pula melebihi kesaktian dari tiga

manusia iblis yang kini sedang bersiap-siap untuk


menghancurkan kaum persilatan golongan putih.

Tanpa sadar Aki Sumendep berseru memuji.

"Sungguh mataku yang lamur ini tak percaya

bahwa hari ini sang Hyang widi telah

memperlihatkan sesuatu yang sangat luar biasa.

Hebat! Siapakah guru bocah....?"

"Ah.... anda terlalu berlebihan Aki. Segala

pukulan picisan begitu tentu setiap orang bisa

melakukannya!" Ujar Buang Sengketa merendah.

"Beginilah orang yang menganut ilmu padi....

semakin berisi semakin merunduk!" Buang hanya

tersenyum di kulum. Tanpa menghiraukan Aki

Sumendep, Buang Sengketa kembali kepada

keempat musuhnya yang mulai melangkah

tertatih-tatih.

"Hari ini kuampuni jiwa anjingmu. Katakan

pada majikanmu bahwa aku akan datang kesana.

Cepat kalian tinggalkan tempat ini sebelum aku

berobah pendirian!" Bentak Buang melotot. Lalu

tanpa menoleh lagi sisa-sisa utusan datuk sesat

ini dengan terhuyung-huyung meninggalkan

mereka bertiga. Setelah keempat sisa utusan

manusia sesat itu lenyap dari pandangan mereka.

Kini Buang Sengketa kembali pada Aki Sumendep

dan Dewi Bantaran.

Sebelum berkata apa-apa pendekar Bunian

ini merogoh periuk yang tergantung di

pundaknya. Dia mengeluarkan beberapa potong


dendeng ikan lumba-lumba kemudian

menawarkannya pada dua orang seperguruan itu.

Tapi dengan halus Aki Sumendep dan Dewi

Bantaran menolaknya. Tanpa merasa

tersinggung, dengan lahap Buang Sengketa mulai

mengunyah tiga potong dendeng yang di

keluarkan dari dalam periuk tadi. Kemudian masih

dengan mengunyah.

"Aki. Aku sudah tahu siapa kalian! Kita orang

segolongan, untuk itu aku sudah memutuskan

untuk membantu kalian berdua....!"

"Kalau begitu tentu anda tidak keberatan

untuk menyertai kami, orang muda?" Ujar Aki

Sumendep penuh harap.

"Namaku Buang Sengketa...!" Jelas si

pendekar Bunian.

"Tentu saudara Buang tidak keberatan

mengikuti kami dalam usaha mempersatukan

golongan kita!" Kata Dewi Bantaran berubah

lunak.

Buang tersenyum lucu.

"Maaf Dewi, untuk mengikuti kalian jelas

tidak mungkin sebab aku sendiri masih punya

urusan yang sangat penting!" Buang Sengketa

menjawab seadanya.

"Oh...!" Aki Sumendep agak kecewa. "Aki tak

perlu risau... bila saja nanti urusanku di Sorik

Merapi sudah beres, tentu aku akan


menyambangi anda berdua...!" Mendengar di

sebut-sebutnya Sorik Merapi tentu kedua orang

ini merasa kaget.

"Sorik Merapi? Ada keperuan apakah?!"

"Nantinya juga aki akan tahu, aku tak dapat

berama-lama. Selamat Tinggal!" Berkata begitu,

tiba-tiba saja Buang Sengketa telah lenyap dari

pandangan mereka.

"Pemuda itu memiliki kesaktian yang sangat

luar biasa ya, kakang....!" Kata Dewi Bantaran

diiringi sesungging senyum berseri-seri.

"Mudah-mudahan saja dia benar-benar akan

membantu kita...!" Ujar Aki Sumendep

melangkah pergi diikuti Dewi Bantaran. Dan

sebentar saja keduanya semakin menjauh dari

Pondok Gunung Gundul.

* * * * *

Puncak Sorik Merapi yang selalu

menampilkan kesan angker, masih di selimuti

kabut tebal di senja itu. Matahari yang sejak pagi

tertutup a wan membuat suasana di sekitar-nya

menjadi cepat bertambah gelap. Nun jauh di

ujung sebelah barat lereng bukit. Mengangalah

sebuah jurang yang tiada terukur dalamnya. Dan

di pinggiran tebing itu pula terdapat jalan setapak


berbatu lumut dan sangat licin. Andai orang biasa

tentu tak sanggup melalui jalan itu, sebab jika

kurang berhati-hati dan tergelincir, tentu batu-

batu cadas yang jauhnya ribuan meter di bawah

sana sudah siap menanti. Sorik Merapi memang

tidak pernah ramah pada siapapun. Berpuluh-

puluh orang, baik itu pemburu, pencari kayu

bakar ataupun hasil hutan lainnya telah banyak

tersesat dan hilang raib tak tentu rimbanya.

Hutan di sekitar Sorik Merapi memang selalu

terasa angker, penuh misteri dan penuh dengan

segudang tanda tanya. Itulah sebabnya Sorik

Merapi merupakan sebuah kawasan pegunungan

yang tertutup bagi siapapun.

Kembali pada jalan licin tadi. Meskipun jalan

ini sepertinya tak pernah dilalui jin, setan apalagi

manusia. Tetapi sesungguhnya jalan di pinggir

tebing yang curam itu, merupakan jalan satu-

satunya untuk dapat mencapai mulut gua tempat

pertapaan tiga manusia iblis yang terletak tidak

begitu jauh dari pinggiran tebing. Merekalah yang

selama ini mempergunakan jalan itu pada saat-

saat mereka ingin bertemu dengan para muridnya

yang bermukim di bawah jurang sana jadi

tepatnya tiga manusia iblis itu tinggal di atas

tempat tinggal para muridnya. Persis seperti raja.

Sore menjelang malam kesibukan di dalam

goa kelihatan lain dari biasanya. Tiga manusia


manusia sesat ini nampak berkumpul, tidak diam

di pertapaannya masing masing. Mereka sedang

sibuk mempersiapkan persembahan untuk

disajikan pada sepasang siluman naga putih, yang

berdiam di telaga kawah, hanya beberapa meter

dari pertapaan mereka. Masing-masing orang

mempunyai keperluan dan tugas yang saling

tarbeda. Si Cebol Muka Harimau sedang berbenah

mendandani sebuah altar persembahan yang

terbuat dari batu pualam merah darah. Si Tinggi

Kurus Muka Badak nampak sedang

mempersiapkan berbagai jenis bunga-bunga di

samping memotong kemenyan lonjoran sebesar

batang kelapa. Si Tinggi Besar Muka Tengkorak

lain lagi. Sedari tadi dedengkot rimba persilatan

golongan hitam ini kelihatan sibuk memandikan

tubuh Ni Sukmini.

Karena masih dalam keadaan tertotok, tubuh

Ni Sukmini yang putih mulus itu dari dalam

keadaan setengah telanjang tidak mampu untuk

di gerak-gerakan. Bahkan untuk berkata-kata dia

pun tidak mampu. Hanya linangan air mata saja

yang menggambarkan kepedihan dan rasa

takutnya. Meskipun dia tahu bahwa si Tinggi

Besar Muka Tengkorak keihatannya tidak memiiki

nafsu untuk kaum perempuan dan walaupun dia

tahu si Muka Tengkorak bertampang dingin ini tak

mempunyai niat kurang ajar padanya Akan tetapi


cara ia memandikan Ni Sukmini yang tak ubahnya

bagai memandikan bayi merah. Membuat bekas

pengantin baru itu meremang sekujur tubuhnya.

Apalagi terkadang dengan tangannya yang kokoh

si iblii muka Tengkorak menggosok-gosok bagian

tertentu yan sangat sensitif. Kalau saja Sukmini

bisa membebaskan diri dari totok tentu dia akan

mencakar dan mencaci maki wajah yang sangat

buruk itu. Atau bahkan memenggal tangannya

yang bergentayangan ke mana-mana.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba saja Ni

Sukmini teringat pada Bayu Anaksa suaminya dan

juga teringat akan nasib ayahnya tewas di tangan

iblis-iblis ini secara mengenaskan. Akan tetapi

apabila ia terkenang pada nasibnya sendiri,

semuanya akan lebih buruk lagi bila di banding

dengan nasib yang dialami oleh suami maupun

ayahnya. Waktu terus berputar tanpa bosan,

malam nanti tentu akan terjadi bulan purnama

penuh, satu saat yang telah lama di nanti-

nantikan oleh ketiga manusia iblis ini. Sebab

malam nanti adalah merupakan malam puncak

kesempurnaan ilmu mereka. Satu lagi ilmu sesat

paling tinggi yang akan di turunkan oleh tetua

mereka yaitu, "SEPASANG SILUMAN NAGA PUTIH"

Alat-alat persembahan sudah hampir usai di

sediakan, Tubuh mulus Ni Sukmini yang setengah

telanjang, telah diletakkan di tengah-tengah altar.


Di sekeliling tubuh wanita malang itu diletakkan

pula berbagai rangkaian bunga aneka warna.

Tidak jauh di sudut altar, tumpukan bara merah

menyala telah siap untuk membakar berpuluh-

puluh batangan kemenyan. Sebuah tempayan

yang berukuran sedang telah pula siap

menampung darah Segar Ni Sukmini. Kini hanya

tinggal menunggu waktu. Saat-saat di mana

bulan purnama penuh tiba, Ke tiga manusia iblis

itu menanti dengan penuh harap. Lain lagi halnya

dengan Ni Sukmini yang sudah nampak pasrah.

Menunggu saat-saat paling mengerikan tiba.

Begitulah keadaan mereka masing-masing.

Dan apabila malam bertambah larut dan apabila

langit gelap sudah tersibak, diangkasa raya sana

bulan purnama penuh terlihat terang benderang.

Tiada kata yang terucap dari mulut ketiga laki-laki

itu. Akan tetapi dengan pasti mereka mulai

melangkah men-dekati altar. Beberapa saat

kemudian mereka telah tegak berdiri mengelilingi

tubuh Ni Sukmini. Mulut si Tinggi Besar Muka

Tengkorak nampak berkomat-kamit, sesungging

senyum menjijikkan menghias di wajahnya yang

mengerikan itu.


DELAPAN


Ni Sukmini hanya mampu memandangi

manusia iblis ini dengan rasa takut yang tiada

terperikan. Selesai si Tinggi Besar membacakan

mantera-mantera yang tiada di mengerti akan

maksudnya oleh Ni Sukmini. Manusia Muka

Tengkorak itu memberi isyarat pada si Cebol

Muka Harimau. Si Cebol Muka Harimau segera

mendekati dupa yang berisikan bara api yang

menyala-menyala, Di pungutnya sepotong

kemenyan sebesar batang kelapa. Lalu di

angkatnya keatas bara api! Dengan sekali remet

kemenyan tadi lebur menjadi serpihan-serpihan

kecil, lalu serpihannya dia taburkan di atas bara

api. Bau yang menyengat hidung sebentar saja

telah memenuhi ruangan gua.

Mulut si Cebol terus berkomat kamit

membacakan mantera, tak lama kemudian

terjadilah sesuatu yang sangat luar biasa. Tidak

begitu jauh di bawah mereka, terdengar suara

bergemuruh yang sangat dahsyat.

Telaga kawah yang tadinya nampak tenang

kini mulai menggelegak dan bergejolak. Air di

dalam telaga kawah itu mulai mendidih dan

semakin lama semakin bergolak naik

kepermukaan. Si Cebol Muka Harimau


menyeringai puas. Pada saat yang bersamaan di

tengah altar, Si Tinggi Besar Muka Tengkorak dan

Si Tinggi Kurus Muka Badak segera melaksanakan

tugasnya. Keduanya segera mendekati tubuh Ni

Sukmini yang setengah telanjang. Lalu Si Tinggi

Besar Muka Tengkorak mengangkat tubuh Ni

Sukmini tinggi-tinggi, sementara Si Tinggi Kurus

Muka Badak menyediakan tempayan kosong

untuk menampung darah Ni Sukmini yang saat itu

kelihatan menggigil.

"Jangan takut bocah! Arwahmu pasti bisa

tenang bersama sepasang siluman junjungan

kami....!" Si Tinggi Besar Muka Tengkorak

menggerang. Ni Sukmini meskipun dalam

keadaan ketakutan yang sangat luar biasa tiada

mampu berbuat banyak. Bahkan berteriak pun dia

tak kuasa karena urat lehernya masih dalam

keadaan tertotok. Begitu Si Tinggi Besar Muka

Tengkorak selesai dengan ucapannya, secepat

kilat ujung-ujung jemarinya yang berkuku

panjang itu berlebat.

"Crasss....!" Sebelum Ni Sukmini dapat

menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi

dengannya, darah telah memancarkan dari

lehernya yang terputus. Si Tinggi Kurus Muka

Badak segera manampung curahan darah itu

dengan tempayan yang telah disediakan.

Kemudian tubuh tanpa kepala itu tampak


mengejang selanjutnya terkulai di tangan si

Tinggi Besar Muka Tengkorak. Lalu manusia iblis

itu segera melemparkan tubuh berikut kepala

yang terputus ke dalam telaga kawah. Telaga

Kawah yang memang sudah mengelegak itu,

begitu menerima tubuh Ni Sukmini semakin

bergejolak. Tubuh Ni Sukmini sebentar saja telah

lenyap di telan air telaga yang baunya sangat

menjijikkan. Didih air telaga semakin menjadi-

jadi.

Tatkala Si Tinggi Kurus Muka Badak mulai

mencurahkan darah bercampur ramuan berbagai

bunga itu ke dalam telaga. Bagai sebuah letusan

gunung berapi, suara menggelegar terdengar.

Bumi seakan runtuh, bahkan dinding gua tempat

pertapaan mereka bergetar hebat. Air telaga

segera membubung keatas. Bersamaan dengan

itu muncullah sosok siluman naga putih yang

sangat mengerikan.

Dari dalam telaga, "SEPASANG SILUMAN

NAGA PUTIH ITU", melesat ke udara dan

beberapa saat kemudian ia menjejakkan kakinya

di tengah Altar. Si Tiga mausia iblis itu langsung

ngdeprok menghaturkan sembah. Sepasang naga

putih yang setengah badannya dalam ujud

manusia, tertawa tergelak-gelak. Kemudian

dengan tatapan bengis dia pun berkata:

"Huahaha.... hahaha.... Ngik Terimakasih....


kalian telah mampu membuat kami terjaga dari

tidur kami yang panjang. Kami telah berjanji

untuk membuat kalian dapat merajai dunia

persilatan. Persembah yang kalian berikan pada

kami, telah kami terima dengan senang hati.

Untuk itu kam berkenan mengabulkan

permohonan kalian.

"Terima kasih, tetua....!" Ketiga manusia iblis

itu serentak menghaturkan sembah. Lagi-lagi

Sepasang Siluman Naga Putih itu tergelak-gelak.

"Bersiap-siaplah kalian bertiga untuk

menerima ilmu warisan dari kami...!” Usai berkata

begitu, tangan sepasang siluman yang bagaikan

cakar itu terpentang ke depan. Dari mulutnya

terdengar suara mendesis dan suara raungan dua

ekor naga. Tiga manusia iblis sudah nampak

bersiap-siap. Begitu suara raungan itu usai.

Sepasang siluman itu menggerakkan ke empat

tangannya ke depan. Selarik sinar berbau anyir

melesat kearah tiga manusia iblis. Sinar warna

biru kehitam-hitaman itu kemudian seperti

bernyawa bergerak mengurung dan mengitari

ketiga manusia iblis. Mereka segera saja

merasakan panas yang sangat luar biasa

merasuki tubuh mereka. Darah seakan

menggelegak, dan begitu sinar sakti itu berputar

dan sampai di atas kepala mereka, perlahan


lahan sinar itu bagai di sedot merasuki ubun-ubun

mereka.

Begitu sinar itu lenyap ketiga orang itu

merasakan tubuhnya seperti di rasuki kekuatan

aneh yang meledak-ledak. Mengetahui ketiga

orang asuhannya nampak kebingungan, sepasang

siluman naga putih berseru lantang.

"Tak usah heran dengan keadaan yang

tengah terjadi. Kalian ketahuilah bahwa ilmu sakti

yang kami turunkan pada kalian ini adalah,

"DARAH NAGA BERGELORA". Dengan ilmu yang

sangat hebat ini, dalam waktu singkat kalian

dapat malang melintang di rimba persilatan tanpa

penghalang. Dalam waktu singkat pula kalian

sudah dapat menjadi raja dari segala raja kaum

persilatan. Tak seorangpun yang mampu

menghalangi kalian. Sebab di dunia ini hanya ada

satu orang yang dapat menandingi kesaktian,

"DARAH NAGA BERGELORA", tapi itu ratusan

tahun yang lalu, Yaitu Si Bangkotan Koreng

Seribu! Tapi kalian tak perlu takut, sebab manusia

jahanam itu kini telah mampus....!" Kata

Sepasang Siluman naga putih dengan penuh

kebencian.

"Nah...kami tak dapat berlama-lama disini.

Kami kira dengan apa yang telah kami berikan

pada kalian itu sudah cukup untuk memenuhi

ambisi kalian selanjutnya....!"


"Terima kasih tetua....!" Ucap si tiga manusia

iblis serentak. Mereka menghaturkan sembah tiga

kali. Namun begitu mereka mengangkat wajahnya

Sepasang Siluman Naga Putih telah lenyap dari

pandangan mereka. Secara berbareng mereka

menoleh ke telaga kawah. Suara bergemuruh

kembali terdengar, air telaga nampak menyusut

kembali. Beberapa saat kemudian goa itu kembali

sepi menyeramkan.

* * * * *

Sudah hampir sepekan saudara seperguruan

ini melakukan perjalanan, namun Bukit Penantian

yang mereka tuju masih belum juga kelihatan.

Menurut perkiraan Aki Sumendep, menjelang

tengah hari nanti jika tidak ada halangan tentu

mereka sudah sampai di Padepokan Bukit

Penantian. Demikianlah, tanpa mengenal lelah

kedua orang ini nampak terus berkelebat di

antara kayu-kayu hutan yang tinggi menjulang ke

angkasa raya. Tepat seperti apa yang di

perkirakan oleh Aki Sumendep, menjelang tengah

hari puncak bukit penantian telah kelihatan dari

kejauhan. Akan tetapi alangkah terkejutnya dua

orang saudara seperguruan itu begitu melihat

asap dan lidah api nampak membubung tinggi


keudara. Aki Sumendep dan Dewi Bantaran saling

berpandangan.

"Apa yang sedang terjadi, kakang....!" Tanya

Dewi Bantaran curiga. Beberapa saat lamanya Aki

Sumendep terdiam, lalu bayangan yang tidak-

tidak bermuculan di benaknya.

"Api itu kelihatannya berasal dari lereng bukit

penantian....!" Aki Sumendep setengah

bergumam.

"Kakang, jangan-jangan padepokan bukit

penantian terbakar....!" Jerit Dewi Bantaran

Histeri.

"Cepat kita kesana....!" Tanpa membuang

waktu, keduanya bagai kesetanan melesat. Hanya

dalam waktu sepemakan sirih keduanya telah

sampai di depan Padepokan bukit Penantian.

Tepat seperti dugaan Dewi Bantaran, Padepokan

itu memang sedang terbakar hebat. Api berkobar

di mana-mana, Mayat-mayat tampak

bergelimpangan. Keadaan mengerikan memang

sedang terjadi di sekitar padepokan itu.

Segalanya berlalu cepat, ketika Aki Sumendep

teringat akan sesuatu, laki-laki setengah tua itu

berteriak-teriak.

"Adi Dewi..... kakang Narada..... kakang

Narada harus kita selamatkan!" Tanpa menunggu

jawaban adik seperguruannya Aki Sumendep

berari-lari mengitari Padepokan yang di lalap api.


Begitu juga Dewi Bantaran tidak tinggal diam. Dia

mencari-cari di sekitar padepokan. Begitu mereka

berulang kali mengitari tempat itu, namun tidak

ada tanda-tanda bahwa Resi Narada berada di

antara mayat-mayat itu.

Sedang mereka dalam keadaan bingung

seperti itu, mendadak terdengar suara lolong dan

berkelebat nya sesosok tubuh yang terbakar

mencelat keluar dari kobaran api yang semakin

menggila. Begitu keluar dari kobaran api tersebut,

tubuh yang terbakar itu langsung bergulingan di

atas tanah berpasir. Aki Sumendep dan Dewi

Bantaran segera memburunya, Begitu mereka

sampai di depan orang yang terbakar itu. Maka

tahulah mereka bahwa orang yang dalam

keadaan sekarat itu tak lain dan tak bukan Resi

Narada adanya. Dengan sekali kebut padamlah

api yang membakar tubuh Resi Narada. Aki Su-

mendep segera membalikkan tubuh Resi Narada

yang sudah setengah matang dan nafasnya hanya

tinggal satu-satu. Dengan cepat pula dia bertanya

pada Resi Narada.

"Kakang Narada.... siapa yang telah me-

lakukan perbuatan keji ini....?" Tanya Aki

Sumendep lirih. Agaknya Aki Narada walau kini

sudah tidak dapat lagi melihat karena luka bakar

yang dideritanya masih dapat mengenali suara

Aki Sumendep. Meskipun dengan sura parau dan


hampir tak terdengar, ia bicara patah-patah dan

tersendat.

"Manusia.... ma.... nusia....iblis itu. Berhati...

hat....i lah kalian....!" Belum lagi Resi Narada

selesai berkata-kata, nyawa sudah terputus.

Melihat keadaan Resi Narada yang tewas secara

menggenaskan, Aki Sumendep nampak mengepal

tangannya Dia merasa sangat geram, amarahnya

meledak-ledak sampai keubun-ubun.

"Keparat setan-setan itu! Aku. Aki Sumendep

tidak akan tinggal diam dan akan kubalas sakit

hati ini. Iblis....hati-hatilah kalian....!" Geramnya.

"Kakang semuanya sudah terlambat! Kita

selalu dan selalu keduluan....!" Dewi Bantaran

raenyesali. Mendengar keluh kesah adik se-

perguruannya, maka semakin mendidihlah darah

Aki Sumendep. Amarah menjadi-jadi. Begitu

tangannya bergerak sebuah pohon besar menjadi

sasaran kemarahannya. Satu pukulan dasyat

yang dimilikinya terlepas tanpa kontrol, akibatnya

pohon tadi berderak patah, lalu.

* * * * *


SEMBILAN


Tanpa dapat di cegah lagi pohon itu ambruk

kebumi. Dewi Bantaran merasa kurang senang

dengan tindakan saudara seperguruannya ini.

Untuk itu dia coba memprotes: "Kakang!

Mengapa kakang bersikap seperti itu! Kalau

kakang marah ya, marah....jangan membabi buta

seperti anak kecil.....!" Di tegur seperti itu oleh

adiknya, Aki Sumendep nampak terdiam, agaknya

dia merasa bersalah.

"Sudahlah kakang....masih banyak yang

harus kita kerjakan. Mayat-mayat itu sangat

membutuhkan kita. Alangkah baiknya kalau kita

segera mengubur mereka! Lihatlah sebentar lagi

senja telah tiba....!" Ujar Dewi Bantaran. Namun

Aki Sumendep bagai tak mendengar kata-kata

adiknya, dia masih saja menekuri mayat Resi

Narada. Sepasang matanya menatap hampa pada

sosok tubuh yang hangus terbakar itu. Agaknya

kejadian itu terasa sangat memukul hati Aki

Sumendep.

"Kakang apa yang kau renungi lagi,

ayolah....!" Ulang Dewi Bantaran. Aki Sumendep

tetap terdiam! Dalam keadaan seperti itu, tentu

saja Dewi Bantaran tidak berani mengusik. Dia

cukup tahu bagaimana adat saudara



seperguruannya ini. Untuk itu tanpa berbasa basi

lagi Dewi Bantaran segera melaksanakan

tugasnya seorang diri.

Kuburan massal kini harus dia buat lagi.

Bahkan kini seorang diri! Demi untuk mengejar

waktu agar jangan pekerjaan menguburkan

mayat-mayat itu sampai kemalaman. Dewi

Bantaran segera mengerahkan segenap

kemampuan yang ada. Setelah satu lubang

massal tergali, Dewi Bantaran dengan cekatan

pula mengumpulkan mayat-mayat murid

Padepokan Bukit Penantian yang bergeletakan di

mana-mana. Sementara Aki Sumendep bagai

orang linglung masih kelihatan menekuri mayat

Resi Narada, orang yang paling dia hormati

selama ini. Tanpa menghiraukan saudara

seprguruan yang masih tenggelam dalam

kesedihan Dewi Bantaran segera mengubur

mayat-mayat yang sudah terkumpul dalam satu

lubang yang sangat besar. Sebentar saja

pekerjaan itu telah selesai. Nafas gadis berumur

dua puluhan itu nampak ngos-ngosan. Tapi dia

sudah tidak perduli, dia masih harus menggali

satu lubang. Yaitu untuk menguburkan jenazah

Resi Narada. Kini dia kembali menggali dari terus

menggali, hingga kemudian pekerjaan itu di

rasakannya sudah cukup.


Gadis itu segera menghampiri Aki Sumendep

yang masih tetap dalam keadaan semula. Lalu

digamitnya pundak saudara seperguruannya itu,

lalu dengan sangat berhati-hati : "Kakang....kita

harus segera mengubur jenazah Resi Narada!

Sebentar lagi malam tiba, perjalanan kita pun

masih panjang! Kalau kakang selemah ini,

bagaimana bisa meneruskan pesan guru!

Terlebih-lebih untuk menghadapi mereka

kakang....!" Dewi Bantaran menjadi sedih.

Sementara itu, Aki Sumendep masih tidak

bergeming, Dewi Bantaran semakin bertambah

sedih.

"Kakang.... kalau kakang tidak mau dengar

kata-kataku lagi lebih baik aku pergi saja....!"

Bagai arca Aki Sumendep tetap dengan

keadaannya. Mengetahui saudara seperguruanya

tetap seperti semula, maka tahulah Dewi

Bantaran, bahwa Aki Sumendep terpukul

semangatnya. Tiada cara lain untuk dapat

memulihkan keadaan saudara seperguruannya ini

terkecuali dengan sebuah kekuatan pemberian

mendiang gurunya, yaitu sebuah ilmu,

"PEMBANGKIT SEMANGAT". Dewi Bantaran

menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan

satu kali lengkingan yang sangat keras dia pun

membentak.


"Kakaaaaannnngggg.....!" Bukan main

akibat dari ilmu pembangkit semangat itu. Suara

Dewi Bantaran yang melengking tinggi itu

menggema di seantaro penjuru. Daun-daun yang

masih hijau berguguran, bahkan andai suara

lengkingan itu di perdengarkan pada Orang yang

sedang bunting, pasti melahirkan saat itu juga.

Demikianlah demi mendengar suara lengkingan

adik seperguruannya. Aki Sumendep tersentak,

lalu bagai orang yang baru terjaga dari tidurnya

dia menatap heran pada keadaan sekelilingnya.

"Apa yang telah terjadi denganku, adi....!?"

Tanya Aki Sumendep setengah pikun.

"Tak ada apa-apa... kakang cuma tertidur

sebentar....!" Dewi Bantaran berkata lunak.

"Eh.... mayat Resi Narada! Mengapa kita

belum menguburkannya....?" Tanyanya

memprotes.

"Aku baru saja hendak memulainya.....!"

Jelas Dewi Bantaran.

"Kalau begitu mari cepat kita kerjakan!

Sebentar lagi tentu akan segera malam….!" Kata-

kata Aki Sumendep yang terasa sangat

menggelitik hati Dewi Bantaran ini sudah barang

tentu membuatnya tak mampu untuk menahan

tawa.

"Hihihi....kakang lucu! Itu makanya jangan

tidur melulu! Kuburan untuk Resi Narada telah


selesai ku gali, yang lainnya pun sudah ku

kuburkan. Hanya tinggal Resi Narada saja yang

belum....!"

"Kalau begitu ini bagianku....!" Berkata

begitu Aki Sumendep segera saja membopong

tubuh Resi Narada yang sudah setengah matang.

Akhirnya dengan di bantu oleh Dewi Ban-

taran, hanya dalam waktu yang tidak begitu lama

Aki Sumendep telah menyelesaikan tugasnya.

Kedua orang itu beberapa saat lamanya nampak

menekur dekat gundukan tanah merah, mereka

tenggelam dalam kekusyukan doa, tatkala

segalanya telah selesai. Saat itu malam telah tiba.

Aki Sumendep dan Dewi Bantaran tidak dapat

meneruskan perjalanannya, di samping mereka

memang sangat lelah setelah melakukan

perjalanan berhari-hari tiada henti-hentinya. Ki-

ranya mereka memang butuh waktu untuk

istirahat. Demikianlah secara bergantian mereka

memejamkan mata. Di tempat itu malam yang

begitu dingin mereka lewatkan, tiada kata-kata

yang terucap, ketika pagi menjelang kedua

saudara seperguruan itu kembali meneruskan

perjalanan yaitu mengubungi sebuah Padepokan

yang cuma tinggal satu-satunya

Pada saat itu di sebuah tempat lain pada saat

yang sama nampak seorang pemuda dengan

berpakaian warna merah menyala kelihatan


sangat tergesa-gesa melompat dan menjejakan

kakinya di atas sebuah pohon. Siapakah adanya

pemuda yang berpakaian merah menyala dengan

sebuah periuk yang selalu tergantung di

pundaknya ini? Dia tak lain adalah Buang

Sengketa si pendekar negeri bunian. Tapi

mengapa pula dia yang semula berniat membuat

urusan di puncak Sorik Merapi, kini malah sampai

di tempat itu? Singkatnya begini!

Ketika Buang Sengketa mulai melakukan

perjalanan untuk mencapai Sorik Merapi,

sesungguhnya hatinya diliputi keragu-raguan.

Entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa sangat

kasihan pada dua orang seperguruan itu. Sebab

menurut perhitungannya sesungguhnya Aki

Sumendep maupun Dewi Bantaran meskipun dua

tokoh persilatan yang tidak perlu diragukan akan

kemampuannya tetapi jelas tidak mungkin untuk

menghadapi si Tiga Manusia iblis dari puncak

Sorik Merapi. Yang menurut desas desus yang dia

dengar sepanjang perjalanan yang mereka lalui,

kini tiga manusia-manusia iblis itu sudah memiliki

kesaktian maupun kepandaian yang sangat

sempurna. Yang pasti berada beberapa tingkat di

atas kepandaian yang dimiliki oleh dua orang

seprguruan itu. Pada saat itu Buang berfikir,

walau memang pada dasarnya bahwa dia tidak

pernah meragukan kemampuannya sendiri, akan


tetapi menurut hematnya alangkah lebih baik lagi

jika dia ikut bergabung dengan kedua orang itu

dan juga beberapa tokoh dari beberapa

padepokan yang ada dengan begitu dia berarti

tidak usah susah payah lagi untuk menemukan

tempat di mana iblis-iblis itu berada. Begitulah

dipertengahan perjalanan pemuda ini memutar

langkah. Kemudian tanpa tujuan yang pasti,

karena sesungguhnya dia tak tahu ke arah mana

Aki Sumendep dan Dewi Bantaran pergi. Pemuda

melangkah kearah matahari terbit. Beberapa hari

kemudian ketika pemuda itu melintas di sebuah

daerah dia melihat api menjulang tinggi. Semula

ia hanya menyangka bahwa kobaran api itu

hanyalah merupakan kebakaran biasa, akan

tetapi begitu dia mengampiri tempat kejadian,

tahulah dia bahwa di tempat itu telah terjadi

pembantaian yang sangat mengerikan. Mayat-

mayat bergeleletakan di mana-mana. Buang

merasa tak seorangpun di antara mereka yang

selamat.

Begitu pemuda itu melihat rombongan kuda

berlalu menjauh dari tempat kejadian. Sadarlah

pemuda itu bahwa yang bertanggung jawab

dalam peristiwa mengerikan itu mungkin saja

orang-orang berkuda yang baru saja

meninggalkan tempat itu. Maka tanpa

membuang-buang waktu lagi Pemuda ini segera


mengerahkan segenap kemampuannya. Ilmu lari

cepat yang dia miliki ternyata cukup berarti

banyak dalam melakukan usahanya ini. Maka

sebentar saja orang-orang berkuda itu talah

terlapaui, tak heran karena Si Tua Renta

Berkoreng pernah mengajarkan ajian, "SAPU

ANGIN" pada pemuda itu.

Pemuda itu kini kelihatan duduk ongkang-

ongkang di atas pohon randu yang sedang

berbuah lebat. Dari kejauhan terdengar derap

langakah kuda, semakin lama semakin jelas.

Hanya beberapa saat kemudian mucullah

rombongan berkuda ini. Jumlah mereka lebih dari

tiga puluh orang. Si pemuda demi melihat jumlah

mereka nampak tersenyum sinis. Nafsu amarah

yang meledak-ledak memenuhi rongga dada

Buang Sengketa. Tak lama setelah rombongan

berkuda itu mendekat, Buang Sengketa meraih

beberapa buah Randu, sekali tangannya yang

kokoh itu ber-kelebat, Bagai meteor buah Randu

itu melesat. Rombongan berkuda yang tidak me-

ngetahui adanya serangan kilat ini berpelantingan

roboh untuk kemudian tidak bangun-bangun lagi.

Kejadian yang begitu tiba-tiba ini tentu saja

sangat mengejutkan kawan-kawan mereka yang

lainnya.

"Hemmm....tikus dari mana yang berani

sekali jual lagak di depan utusan tiga datuk


iblis....?" Geram salah seorang dari mereka, lalu

kiblatkan tangannya ke arah Buang Sengketa.

Buang yang menyadari bahwa si Gemuk Pendek

berwajah hitam legam yang di sekujur tubuhnya

di tumbuhi bulu-bulu mirip seekor Gorilla,

menyambitkan senjata rahasia dengan tengan dia

memapasi. Lalu hanya dengan sekali tiupan saja

menderulah angin kencang dari mulut nya,

Senjata rahasia yang dikirimkan oleh si gemuk

pendek pun runtuh dan berpentalan ke mana-

mana, bahkan beberapa buah di antaranya

berbalik dan menyerang si empunya. Si Gemuk

Pendek sambil mencaci maki kembali kiblatan ta-

ngannya. Senjata rahasia yang berupa batang hio

beracun miliknya itupun runtuh ke bumi.

* * * * *


SEPULUH


Buang Sengketa terkekeh begitu melihat si

Gemuk Pendek semakin bertambah marah.

Kemudian dengan gerakan yang sangat ringan,

tubuh Buang Sengketa melayang turun.

"Setan gila pembawa priuk! Apa maksudmu

menghadang perjalanan kami...?" Hardik si

Gemuk Pendek Muka Gorila.

"Siapa yang menghadang! Siapa pula yang di

hadang....?" Buang Sengketa balik bertanya. Hal

ini membuat si Tinggi Gemuk yang berada di

sebelah si Gemuk Pendek jadi ikut marah,

kemudian dengan suara lantang segera

membentak: "Bocah sialan, di tanya malah balik

bertanya! Kau benar-benar ingin segera di kirim

ke liang kubur...!"

"Sebaiknya kita memang harus cepat-cepat

mengirimnya ke neraka kakang Begu untuk apa

kita membuang-buang waktu! Bukankah satu

padepokan lagi yang harus kita selesaikan...?" Si

Gemuk Pendek menimpali.

Melihat pembicaraan mereka, maka kini

jelaslah sudah bahwa orang-orang ini kiranya

yang telah melakukan pembantaian di Bukit

Penantian. Wajah Pendekar dari Negeri Bunian ini

mendadak berubah menjadi kelam membesi,


sepasang matanya menyorot tajam dan

memandang penuh kesadisan, kemudian dengan

suara keras menggelegar dia menghardik.

"Orang-orang sesat! Kaliankah yang telah

membunuh dan membakar Padepokan Bukit

Penantian..?"

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh

Buang Sengketa, si Tinggi Gemuk terkekeh.

Perutnya yang bundar bagai kuali yang dibalikkan

itu ikut bergoyang-goyang.

"Kalau benar... kau mau apa bocah?"

Ejeknya.

”Jika memang benar, kalian harus

meninggalkan kepala kalian semuanya di sini!

Barulah kalian boleh berlalu dari hadapanku..."

"Weee... bocah, nyawa kawanku yang baru

kau betot saja belum kau tebus kini kau malah

minta kepala kami, apakah kupingku yang tua ini

tidak salah dengar...?"

"Hem... nyawa anjing kurap begitu, mana

ada harganya di mataku...!" Buang Sengketa

mendengus.

Mendapat penghinaan ini tentu saja orang-

orang berkuda itu sangat marah. Kemudian

dengan gerakan tanpa terduga-duga. Si Tinggi

Gemuk segera kirimkan pukulan kilat. Pukulan ini

sesungguhnya tidak dapat di anggap enteng,

sebab pukulan yang diberi nama dengan,


"SERIGALA TERLUKA" ini sesungguhnya

merupakan sebuah pukulan yang sangat beracun

dan mematikan. Jangankan hanya manusia,

seekor gajah sekalipun bila mendapat pukulan

seperti ini sudah barang tentu akan segera

terkapar mati. Begitulah, walaupun Buang

menyadari pukulan ganas itu mengarah ke

dadanya, tetapi dengan tenang dia menyambut.

"Plak, Blaaar...!" Buang Sengketa

memapakinya dengan jurus "SI HINA MENGUSIR

LALAT."

Karuan saja Si Tinggi Gemuk terpental

beberapa tombak. Kenyataan ini membuat

kawan-kawannya yang lain terbelalak tak

percaya. Si Tinggi Gemuk adalah merupakan

murid kedua dalam asuhan si Tiga Manusia Iblis

yang selama ini mereka ketahui sebagai utusan

yang belum pernah ketemu tanding.

Kenyataannya kali ini pemuda yang masih sangat

hijau dan belum mereka kenal, akan tetapi telah

mampu membuat si Tinggi Gemuk utusan Tiga

Datuk Iblis itu terjatuh bahkan menyemburkan

darah segar. Sungguh tidak masuk di akal.

Si Gemuk Pendek segera melompat dari

kudanya. Dengan pandangan penuh selidik dia

membentak: "Bocah... siapakah kau? Aku masih

dapat memberimu ampun asal saja kau segera

menyingkir dari hadapan kami...!"


Mendengar kata-kata Si Gemuk Pendek

kiranya si Tinggi Gemuk tak mau terima dengan

perlakuan yang baru saja dia alami. Dengan

tergesa-gesa dia menyela.

"Tidak bisa Adik pendek! Aku akan pergi dari

sini setelah memenggal kepala bocah edan ini...!"

Tukas Si Tinggi Gemuk sambil menyeka darah

yang meleleh dari celah-celah bibirnya. Melihat si

Tinggi Gemuk dan Gemuk Pendek, Buang

Sengketa tergelak-gelak.

"Hei... manusia-manusia iblis! Mengapa

kalian saling cakar bagai anjing kurus berebut

tulang?" celetuk Buang. "Aku sendiri! tidak akan

mengampuni kalian, jangankan kau harap aku

ingin minta ampun pada iblis-iblis seperti

kalian...!"

"Jahanam! Anak-anak, cincang bocah itu...!"

perintah si Gemuk Pendek. Karuan saja, tanpa

menunggu di perintah dua kali anggota utusan

datauk-datuk sesat ini yang sejak tadi hanya

mampu memendam amarah segera berloncatan

dari kuda-kuda mereka.

Pertarungan sengit pun segera terjadi.

Pendekar dari negeri Bunian ini di kepung dari

berbagai penjuru. Segera saja suasana yang

tadinya sepi kini berubah menjadi hiruk pikuk tak

karuan. Berbagai jenis senjata nampak

mengurung, membabat, menusuk, bahkan


memenggal. Dalam keadaan seperti ini Buang

Sengeketa tak mau bertindak tanggung-

tanggung. Sekali tangannya berkiblat, jerit

kematian setinggi langit menyayat dari mulut

mereka yang menjadi korbannya.

Kini Pendekar dari Negeri Bunian ini kembali

bergebrak, kemudian tanpa terduga-duga ia

bersalto ke udara, begitu tubuhnya yang kekar itu

menukik, dengan di sertai lengkingan yang

dahsyat, pendekar ini hantamkan telapak tangan

kanannya pada musuh-musuhnya, selarik sinar

berwarna merah membara segera saja menderu

dari tangan Buang Sengeketa. Begitu sinar tadi

mendera tubuh musuh-musuhnya. Tak ampun,

kembali jerit kemataian membahana. Lebih dari

selusin utusan manusia iblis itu berpelantingan ke

berbagai penjuru, untuk kemudian roboh ke bumi

dengan tubuh hangus dan nyawa terputus. Demi

menyaksikan apa yang sedang terjadi di hadapan

mereka. si Gemuk Pendek dan Si Gemuk Tinggi

nampak semakin keheranan. Sungguh mereka tak

pernah menyangka kalau hari ini mereka bakal

menghadapi seorang bocah ingusan namun cukup

tangguh.

"Gorila jelek... apakah aku harus membantu

orang-orangmu ini sampai tiada bersisa baru

nantinya kalian berdua....?" Teriak Buang

Sengketa tanpa berpaling dari lawan-lawannya.


"Hahaha... kau jangan bangga dulu! Coro-

coro itu memang bukan lawanmu berpalinglah

dan hadapi kami...!"

Kepalang basah, para bawah utusan manusia

iblis itupun yang hanya tinggal beberapa orang

lagi dia sikat habis.Dengan melipat gandakan

tenaganya Buang Sengketa kirimkan satu pukulan

lagi. Tanpa ampun selarik sinar merah menyala

kembali menderu. Satu sapuan dari hawa

kesaktian yang dahsyat membuat orang-orang ini

berpelantingan meregang ajal. Pendekar Bunian

ini tersenyum sinis. kemudian berpaling pada dua

orang yang menjadi pimpinan rombongan, yang

kini telah bersiap-siap dengan serangannya.

"Apa lagi yang kalian tunggu! Tikus-tikus

comberan itu telah kukirim ke neraka! Sebentar

lagi tentu kalian pun akan segera menyusul...!"

"Wueeeh... mulutmu terlalu sombong bocah!

Kau belum tahu siapa kami, tapi sayang...

kesalahan terlalu besar telah kau buat! nanti jika

sudah sampai ke liang kubur menyesal pun tiada

guna...!"

Usai berkata begitu dua orang utusan

manusia iblis itu serentak meyerang ke arah si

Pendekar Bunian. Benar saja, kiranya apa yang

baru mereka gembar-gemborkan itu kiranya

bukanlah omong kosong belaka. Kombinasi jurus-

jurus silat mereka yang bervariasi di tambah lagi


dengan kerja sama di antara mereka yang begitu

baik, membuat Buang Sengketa tiada mempunyai

kesempatan untuk melakukan serangan-serangan

balasan. Beberapa puluh jurus telah berlangsung

namun sejauh itu Pendekar Bunian ini masih

belum mampu melakukan serangan balik. Dan

ketika satu pukulan yang cukup telak yang

dilancarakan oleh Si Gemuk Pendek hampir saja

menggedor dan meremukkan dadanya. Pada saat

itulah Buang Sengketa mulai merubah jurus-jurus

silatanya. Dengan mempergunakan jurus

"MEMBENDUNG GELOMBANG MENIMBA

SAMUDRA" kini perubahan besar segera terjadi.

Sepasang tangannya yang kokoh itu membentuk

sebuah perisai yang sangat sulit untuk dicari titik

kelemahannya. bahkan kini dengan gerakan yang

lincah dan sangat sulit untuk di duga-duga, Buang

Sengeketa melakukan serangan balik yang sangat

mematikan. Dua orang datuk-datuk sesat ini

mulai nampak kewalahan dan keteter. Saat-saat

berikutnya orang-orang ini mulai terdesak hebat.

Menghadapi kenyataan seperti itu, si Gemuk

Pendek dan Si Gemuk Tinggi segera mencabut

senjatanya yang bentuknya sangat aneh. Senjata

si Gemuk Pendek adalah sebuah untaian mata

rantai yang sangat besar sedang di ujung mata

rantai itu terdapat bola besi berduri. Sedangkan

senjata yang dimiliki oleh si Gemuk Tinggi ini lain


lagi, Si Tinggi Gemuk ini nampak

mempergunakan sebilah pedang bercabang yang

sangat putih mengkilat. Dengan senjata berada di

tangan, orang-orang ini nampak berbahaya

kembali. Dan hanya beberapa saat saja, setelah

senjata itu ada di tangan mereka Buang masih

dapat mempergunakan jurus, "MEMBENDUNG GE-

LOMBANG MENIMBA SAMUDRA" selanjutnya

Buang Sengketa mulai di buat kalang kabut.

Dengan bola rantai di tangannya yang terus

berputar mencari sasaran di Gemuk Pendek terus

mencecar, suara-suara berdentum yang di

timbulkan oleh bola rantai itu bagai meruntuhkan

gendang-gendang telinga. Sementara si Gemuk

Tinggi dengan pedang bercabangnya pun tak

kalah bahayanya, mendadak Buang Sengketa

melabrak membabi buta. Walaupun jurus-

jurusnya bagai tak terkendali dan tanpa suatu

perhitungan, akan tetapi sesungguhnya setiap

langkah dan geraknya bisa berakibat sangat fatal.

Demikianlah dalam waktu singkat Pendekar

Bunian ini sudah dapat menguasai keadaan.

Walaupun keadaannya telah berubah, kiranya

pendekar tampan ini agaknya menginginkan

untuk mengakhiri pertarungan itu. Terbukti

beberapa saat berikutnya Buang kembali

mencelat ke udara, setelah bersalto beberapa kali

kini dia sudah agak menjauh dari arena


pertempuran. Dua Utusan Iblis yang menyangka

bahwa lawannya segera kabur, dengan cepat

segera memburu.

"Mau lari kemana kau bocah edan...!"

"Tinggalkan dulu kepalamu baru kau boleh

berlalu dari hadapan kami...!"

Buang nampak diam tiada bergeming,

kiranya pada saat itu, Pendekar Bunian ini sedang

mempersiapakan sebuah pukulan mematikan

yang diberi nama, "SI HINA DINA MERANA."

Begitu tangan pemuda itu terpentang ke atas,

sadarlah utusan datuk-datuk sesat ini bahwa

nyawa mereka dalam keadaan terancam. Buang

Sengketa rentangkannya ke depan. Selarik sinar

berwarna ungu menderu.

"Awas kakang...!" Si Gemuk Pendek meng-

ingatkan, kiranya peringatan itu tiada memiliki

arti apa-apa. Sebab sinar ungu yang menyatu

dengan sebuah gelombang yang sangat panas itu

ternyata lebih cepat dari sekedar kata-kata Baik si

Gemuk Pendek maupun si Gemuk Tinggi sudah

tidak dapat lagi menyelamatkan diri. Keduanya

tunggang langgang di landa pukulan yang

dilancarkan oleh Buang Sengketa. Jerit kematian

membahana setinggi langit. beberapa saat tubuh

utusan manusia-manusia iblis itu nampak

berkelonjotan. Buang dengan cepat menghampiri,

si Gemuk Pendek maupun si Gemuk Tinggi


nampak melotot seolah tak percaya dengan apa

yang sedang terjadi pada diri mereka Pendekar

Bunian itu tersenyum dingin, kemudian segera

memungut sebilah pedang yang tergeletak tidak

begitu jauh dari tempat berdiri. Kemudian

katanya: "SESUNGGUHNYA, aku tak sampai hati

melihat penderitaan kalian, untuk itu aku akan

meringankannya..!" Usai berkata begitu pedang di

tangannya berkelebat, maka putuslah kedua leher

utusan datuk sesat itu tanpa dapat memprotes.

Sesaat kemudian di pandanginya mayat-mayat

yang bergelimpangan itu. Setelah itu tanpa peduli

dia segera berlalu dari tempat itu.

* * * * *


SEBELAS


Lembah Kaur yang jaraknya lebih kurang

setengah hari perjalanan berkuda andai di

tempuh dari Padepokan bukit Penantian, hanya

kelihatan bagai sebuah guliran yang memanjang

di sela-sela bukit terjal yang tiada terhitung

jumlahnya. Sore itu Buang Sengeketa telah

sampai di bibir lembah yang merupaka sebuah

jembatan penghubung untuk sampai di lembah

itu. Meskipun dia tidak tahu siapa sesungguhnya

yang menghuni lembah yang sangat sunyi itu.

Akan tetapi Pendekar Bunian itu tetap

mengayunkan langkahnya ke sana. Pemuda itu

tanpa mengalami kesulitan yang cukup berarti

terus menuruni lereng tebing yang curam. Malam

ini dia merasa sangat perlu untuk dapat

beristirahat yang cukup. Setelah berahari-hari

melakukan perjalanan. Di samping mencari

sekedar keterangan, dalam hati kecilnya

sesungguhnya dia ingin tahu siapakah penghuni

lembah yang berkesan angker itu.

Seolah tak begitu lama Buang mengayunkan

langkah, kini sampailah pemuda itu di daerah

lembah. Dia terus melangkah menuju sebuah

pondok yang sangat sederhana. Akan tetapi

begitu dia bermaksud untuk melangkahkan


kakinya ke arah halaman yang resik. Nalurinya

mengatakan ada beberapa pasang mata yang

terus mengawasi gerak geriknya, Karena pada

dasarnya ia memang membawa maksud baik, dia

tidak perduli dengan orang-orang yang

mengintainya tak jauh dari pondok. Begitulah,

ketika pemuda itu sudah hampir di depan pintu.

Suara bentakan-bentakan pun terdengar. Lalu

bermunculan lah beberapa orang berpakaian

putih-putih. Pendekar Bunian mengurungkan

niatnya, beberapa saat dengan sabar dia menanti.

Sebentar saja orang-orang ini sudah

mengurungnya.

"Apa saja kerjamu di lembah Kaur ini

kisanak...?" tanya salah seorang mereka yang

berkumis tebal.

Melihat cara mereka bertata krama,

mengertilah Pendekar Bunian ini bahwa orang-

orang penghuni lembah itu ternyata merupakan

orang baik-baik adanya. Maka dengan sopan pula

dia menjawab.

"Namaku Buang Sengketa! Sengaja datang

dari daerah yang jauh hanya ingin bertemu

dengan sesepuh lembah ini...!"

"Kisanak. Guru kami Kyai Prambudi sedang

kedatangan tamu yang sangat penting! Rasanya

beliau masih belum bisa di ganggu....!"


Mendengar jawaban laki-laki berkumis tebal

ini wajah Pendekar Bunian memerah. Dengan

kemarahan yang tertahan pemuda ini bergumam.

"Aku juga seorang tamu! Walau tak diundang

tetapi aku membawa sebuah maksud yang baik.

Apakah kalian curiga padaku...?!"

"Kisanak. Kami tak berani melanggar

peraturan yang sudah di tentukan! Kalau kisanak

sabar, tunggulah sampai guru kami berkenan

menemuimu...!"

Mendengar jawab orang ini yang terdengar

lembut namun menyakitkan, Buang Sengketa

menggertakkan geraham. Masih untung dalam

keadaan tegang seperti itu, terdengar suara

teguran dari dalam pondok.

"Murid Salanaya... ada tamu, perlakukan

dengan baik! Suruh dia menemuiku sekarang

juga....!"

"Maafkan aku guru...!" Setelah menjura ke

dalam pondok, laki-laki berkumis tebal yang

bernama Salanaya itu kembali menoleh pada

Buang Sengketa.

"Kisanak.... guru mengijinkan kisanak untuk

menemui beliau...!* ujar Salanaya tersipu.

"Terima kasih atas kemurahan anda

semuanya...!"

Setelah menjura hormat, Buang Sengketa

segera melangkahkan kakinya ke arah pintu yang


sudah terbuka. Namun begitu dia sampai di dalam

ruangan pondok dia agak kaget. Karena ternyata

tamu yang dimaksud oleh orang-orang di luar

pondok adalah orang yang pernah dia kenal.

Siapa lagi kalau bukan Aki Sumendep dan Dewi

Bantaran. Kedua orang ini langsung mengangguk

hormat dan nampak sangat gembira melihat

kehadiran penekar Bunian.

"Panjang umurmu saudara Buang! Kami baru

saja membicarkan dirimu...!" Buang Sengketa

tersenyum di kulum.

"Ada apa denganku...?"

"Duduklah dulu, baru kemudian kita bicara

dengan baik...!" ujar Kayi Prambudi ramah.

"Terimakasih...!" Ujar Buang pula, untuk

kemudian duduk saling berhadapan.

Kemudian masih dengan sesungging senyum,

Aki Sumendep menyambung lagi: "Dialah

pendekar yang saya maksudkan Kakang Prambu-

di...?" Kyai Prambudi menganggukkan kepala.

"Hem... masih begini muda tetapi telah

memiliki kepandaian yang sangat

menakjubkan...!" puji Kyai Prambudi.

"Ah. Aki Sumendep terlalu berlebih-lebihan

Kyai! Tentu bila di bandingkan dengan anda

semua aku bukanlah apa-apa...!" Kilah Buang

Sengketa.


"Sifatmu sungguh sangat terpuji Buang!

Sudah berilmu sangat tinggi, tapi memiliki

keluhan hati yang sangat mulia. Sungguh pada

zaman ini sangat langka sekali orang muda yang

mempunyai watak seperti engkau...!"

Dewi Bantaran yang sejak tadi hanya diam

saja, kini ikut menimpali pula.

"Kakang Prambudi benar, wataknya yang

pemalu itu! Siapa kira dia memiliki sesuatu yang

sangat luar biasa...!" Ujar Dewi Bantaran lalu

melirik penuh arti. Mendapat pujian dari gadis

secantik Dewi Bantaran tentu saja membuat

wajah Buang Sengeketa memerah bagai kepiting

rebus. Untuk itu dia mencoba mengalihkan

pembicaraan.

"Maaf... mungkin Aki Sumendep telah

bercerita banyak tentang kekacauan yang terjadi

di mana-mana! Aku yang hanya memiliki

kepandaian pasaran dengan sukarela ingin ikut

bergabung dengan kalian! Itupun kalau kalian

tidak keberatan menerima kehadiranku...!"

Mendengar penjelasan pemuda itu sudah

barang tentu Kyai Prambudi menyambut gembira.

Apalagi dia telah mendengar dari kedua

sahabatnya tentang bagaimana sepak terjang

pemuda ini. Kyai Prambudi pun tersenyum.

"Tentu kami sangat menerima dengan

tangan terbuka atas keputusan itu orang muda!


Akan tetapi sebelum itu maukah kau memberi

sedikit penjelasan pada kami tentang asal

usulmu...?" Tanya Kyai Prambudi tanpa suatu

maksud. Untuk beberapa saat lamanya pendekar

Bunian ini terdiam, sepasang alisnya nampak

mengkerut. Akan tetapi beberapa saat kemudian

wajahnya berubah seperti biasa kembali.

"Apakah hal itu sangat perlu...?" Tanya

Buang Sengketa penuh selidik.

Kyai Prambudi tertawa ramah.

"Oh, itu tidak mutlak! kami bertanya itu pun

kalau engkau merasa keberatan kami tak

memaksa...!"

"Engkau tak perlu curiga Buang...!" sela Dewi

Bantaran.

Pendekar Bunian itu kelihatannya menjadi

maklum. Kemudian dengan suara merendah dia

berucap: "Sesungguhnya aku paling segan untuk

bercerita tentang asal usulku, akan tetapi

selamanya aku ingin menghargai sebuah kerja

sama yang baik. Dan hal itu hanya dapat terbina

apabila kita tidak saling curiga mencurigai. Aku

sangat yakin kalian tidak mempunayai maksud

seperti itu! Untuk itu aku akan mengatakan

seputar diriku sendiri!" Beberapa saat lamanya

pendekar Bunian ini terdiam, akan tetapi setelah

itu dia melanjutkan kembali.


"Namaku Buang Sengketa, ayahku seorang

raja di Negeri Bunian yang kini tengah menjalani

hukuman yang dibuatnya sendiri sebagai penebus

kesalahan-kesalahan yang pemah dilakukannya.

Sedangkan ibuku sudah tiada! Sejak bayi merah

aku telah di asuh oleh seseorang yang sekaligus

merupakan guruku... bersamanya aku tinggal di

sebuah daerah pantai yang bernama Tanjung

Api...!"

Mendengar disebutnya Tanjung Api, Kyai

Prambudi menyela: "Tunggu dulu orang muda!

Seingatku di daerah yang bernama Tanjung Api

itu dulu ada seorang pendekar pembela

kebenaran yang sangat arif bijaksana, menyepi di

tempat itu. Akan, tetapi itu sudah hampir

sembilan puluh tahun yang lalu. Seingatku

pendekar itu sudah sangat tua sekali. Dan

sepanjang sejarahnya dia tak pernah mengambil

seorang murid pun. Menurut kabar burung yang

terdengar Pendekar sakti itu bernama "SI

BANGKOTAN KORENG SERIBU" dan telah

mangkat lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu

sebagai orang yang dibesarkan di sana, apakah

kau pernah mendengar tentang kehebatan beliau

ini atau bahkan sudah melihat kuburnya...?"

Mendengar di sebut-sebut nama gurunya

sudah barang tentu Buang Sengketa tertawa geli


di dalam hati. Akan tetapi begitu pun dia

mencoba menutupinya.

"Tentang pendekar kesohor itu aku memang

pernah dengar, tetapi melihat kuburnya itu yang

belum sampai saat kini...!"

Mendapat jawaban seperti tiu, tentu saja

Kayai Prambdi merasa heran dan mengkerutkan

alisnya. Dengan masih penasaran dia bertanya

kembali.

"Masa dalam daerahmu sendiri kau yang

telah hidup puluhan tahun tak pernah

menyambangi kubur orang tua mulia itu? Aku

sendiri sejak dulu mengimpikan untuk dapat

sampai kesana...!"

"Kadang-kadang kesibukan dalam hidup

menyebabkan kita melupakan orang-orang di

sekeliling kita, tak terkecuali orang itu merupakan

bekas orang yang paling berjasa sekalipun...!"

Kilah Buang Sengketa.

Aki Sumendep dan Dewi Bantaran

mengangguk setuju, lain lagi dengan Kyai

Prambudi yang agaknya banyak tahu tentang

pendekar luhur itu. Sepasang matanya yang awas

itu kini nampak memperhatikan Buang Sengketa

dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Tatkala

matanya melihat sesuatu yang melilit di pinggang

pendekar Bunian. Perhatiannya terpaku di sana.

Wajah Kyai yang telah cukup berumur itu nampak


mengkerut beberapa saat lamanya. Dan saja hal

ini sangat menarik perhatian yang lainnya.

Sedangkan Buang sendiri mendapat perlakuan

seperti itu menjadi jengah.

Begitulah, Ketika Kyai teringat senjata

andalan yang pernah dia lihat waktu kecil dulu,

yaitu berupa sebuah cambuk butut yang sangat

menggemparkan milik si Bangkotan Koreng

Seribu. Mendadak Kyai Prambudi terperangah dan

terbelalak tak percaya.

"Ada apa kakang Prambudi...?" Tanya Aki

Sumendep memandang heran pada tingkah Kyai

Prambudi yang agak ganjil itu.

Tanpa menjawab, sebaliknya Kyai Prambudi

tertawa tergelak-gelak. Tentu saja hal ini semakin

membuat heran kedua orang kurir dari Bukit

Barisan yang telah mengenal benar bagaimana

watak Kyai Prambudi yang sepanjang hidupnya

belum pernah mengumbar tawa seperti yang

mereka lihat kali ini.

"Huahaha... hahaha... beruntung... sungguh

sangat beruntung! Kiranya hari ini menjelang

usiaku yang renta ini, Sang Hyang Widi telah

mengabulkan doaku selama bertahun-tahun...!"

Serta merta Kyai tua ini membungkuk hormat

beberapa kali pada Buang Sengketa.

Perangai Kyai Prambudi yang mendadak saja

berubah aneh tentu saja membuat Buang


Sengketa maupun Aki Sumendep dan Dewi

Bantaran di liputi tanda tanya besar.

"Kyai... mengapa anda bertingkah seperti

ini...!" Tegur Buang Sengketa.

Sebaliknya Kyai Prambudi tanpa

menghiraukan protes si pendekar Bunian kembali

tertawa terbahak-bahak.

"Hah ah a... huahaha...! Buang! Manusia

rendah hati seperti gurunya! Hari ini terimalah

hormat si tua bangka ini...!" Sambil berkata

begitu, kembali Kyai Prambudi membungkuk

hormat tiga kali, Buang Sengketa semakin

bertambah heran. Dalam hati ia beranggapan

bahwa Kyai Prambudi merupakan seorang yang

mengidap menyakit jiwa. Namun begitu dia

berusaha menyadarkan Kyai Prambudi yang

agaknya sedang kambuh penyakitnya.

"Kyai... sadarlah! Aku bocah ingusan, me-

ngapa Kyai membungkuk-bungkuk seperti itu....?"

Agaknya Kyai Prambudi kembali menya-dari

keadaannya. Sebab tiba-tiba saja dia

menghentikan tawanya. Kemudian memandang

tajam pada Pendekar Bunian.

"Buang Sengketa... kali ini kau tidak dapat

mungkir, bahwa kau merupakan murid orang

sakti itu! Mengakulah....?"

Mendapat pertanyaan seperti itu sudah

barang tentu Buang Sengketa menjadi kelabakan.


Bagaimana orang ini bisa tahu kalau dia

merupakan murid dari "SI BANGKOTAN KORENG

SERIBU?" Mungkinkah Kyai Prambudi hanya

menduga-duga saja.

* * * * *


DUA BELAS


Atau adakah sesuatu yang terdapat pada

dirinya tentang gurunya? Begitupun dia masih

mencoba berkilah.

"Mungkin anda hanya salah duga saja,

Kyai....!"

Mendengar ucapan Buang Sengketa, Kyail

Prambudi berkata tegas: "Buang Sengketa! lain

mungkin bisa saja untuk tidak dapat mengenali

siapa dirimu yang sebenarnya! Akan tetapi tidak

untuk diriku...!" Kemudian dia melanjutkan.

“Mungkin kau merasa heran mengapa aku

bisa mengatakan bahwa kau merupakan mmurid

dari orang yang sakti itu...!" Lagi-lagi Kyai

Prambudi tergelak: "Hahahaha..... pinggangmu,

cambuk butut itu adalah merupakan senjata yang

tiada banding yang sangat menggemparkan!

Bukankan cambuk itu merupakan cambuk "GELAP

SAYUTO" milik pendekar Bangkotan Koreng

Seribu...!"

Mendengar penuturan Kyai Prambudi tentu

saja Aki Sumendep dan Dewi Bantaran menjadi

terkejut bukan kepalang.

"Buang Sengketa! Masihkah kau belum

mengakuinya...!" Ulang Kyai Prambudi. Tahulah

pendekar Bunian ini kiranya cambuk "GELAP


SAYUTO" kiranya sangat dikenali oleh Kyai

Prambudi. Kini baginya tiada lagi alasan untuk

mengelak. Maka dengan rendah hati dia pun

berucap: 'Kyai ... maafkan aku! Kiranya apa yang

Kyai katakan itu sesungguhnya memang benar

adanya. Aku memang murid Kakek Bangkotan

Koreng Seribu..." Ujar Buang Sengketa seadanya.

Mendengar pengakuan Buang Sengketa

maka semakin terbelalaklah kedua kurir dari bukit

barisan ini.

"Sesungguhnya merupakan satu kehormatan

besar! Aku hari ini orang tua yang lamur ini dapat

bertemu dengan murid orang tua yang kesohor

itu...!" Aki Sumendep kini ikut bicara.

Merasa terus dipuji-puji seperti itu pendekar

yang selalu bersikap sederhana ini segera

mengetengahi, "Sudahlah.... janganlah anda

semua memujiku setinggi langit. Bukankah masih

ada yang lebih penting dan lebih patut lagi kita

bicarakan ketimbang hanya membicarakan

diriku...?" Tukas Buang Sengketa.

Tetapi Kyai Prambudi masih menyela:

"Tunggu dulu..!"

"Apa lagi Kyai...?" Tanya Buang Sengketa tak

sabaran.

"Bagaimana keadaan gurumu, benarkah

beliau telah mangkat...?" tanya Kyai Prambudi

penasaran.


Buang Sengketa tersenyum: "Berkat

kemurahan Sang Hyang Widi... mudah-mudahan

sampai saat ini beliau masih dalam keadaan segar

bugar....!"

"Oh... sukurlah kalau begitu. Dengan

demikian berarti desas desus yang aku dengar

selama ini ternyata berita kosong belaka...!"

"Dengan adanya murid pendekar sakti itu

berati kita tak begitu sulit membasmi manusia-

inanusia iblis yang gila kekuasaan di puncak Sorik

Merapi sana... kakang...!" kata Aki Sumendep

nampak bergembira sekali.

"Benar Adi Sumendep! Semula aku

meragukan kemampuan kita... akan tetapi kini

dengan hadirnya Buang Sengketa di tengah-

tengah kita! Kuat dugaanku bahwa kita akan

berhasil membasmi iblis-iblis itu...!"

"Kalau begitu pendekar kita inilah yang telah

menumpas habis utusan datuk-datuk sesat tidak

jauh dari Bukit Penantian....!" ujar Dewi Bantaran

kembali mengerling penuh arti pada pendekar

Bunian.

"Benarkah itu Buang...?" Tanya Kyai

Prambudi.

Tanpa menjawab Buang Sengketa

menganggukkan kepalanya.

"Mungkin kalau tidak kau dahului, mungkin

nasib perguruan ini tidak lebih baik dari nasib


Padepokan Gunung Gundul atau juga Padepokan

Bukit Penantian, Buang..!" Desah Kyai Prambudi

lirih.

"Anda terlalu berlebihan Kyai.. hidup dan

mati itu sesungguhnya sudah ada yang

menentukan. Kalaupun perguruan ini luput itu

pun memang sudah ditentukan harus begitu...!"

"Kau memang benar Buang... seperti juga

pertemuan ini! siapa sangka hari ini kami dapat

bertemu dengan murid pendekar yang namanya

telah melegenda itu! Sungguh tak seorang pun

dapat menjawab misteri kehidupan ini. Kalau

semakin direnungi rasa-rasanya manusia itu

hanya sebagian terkecil dari seluruh teka-teki

yang ada...!"

Ketiga orang itu nampak mengangguk,

membenarkan apa yang baru saja diucapkan oleh

Kyai Prambudi.

"Lalu apa rencana kita selanjutnya

kakang...!" Tanya Aki Sumendep mengalihkan

perhatian pada tujuan semula.

"Rencana sudah jelas! Mulai besok kita mulai

susun kekuatan!" Kata Kyai Prambudi, kemudian

lanjutnya: "Aku merasa yakin si Tiga Manusia

Iblis itu tentu kini sudah menyusun kekuatan

untuk menghancurkan kita! Hal ini sudah jelas,

sebab mereka memiliki mata-mata di mana-

mana. Pertemuan golongan putih dua pekan


didepan tentu juga sudah sampai di telinga

mereka...!"

"Apakah kita harus mendahului mereka,

kakang...?" Tanya Dewi Bantaran pula.

Kyai Prambudi melirik ke arah Buang

Sengketa.

"Bagaimana pendapatmu Buang...?"

Buang Sengketa garuk-garuk kepala.

"Saya menurut saja dengan apa yang Kyai

putuskan..!"

"Eeh... tidak boleh begitu! Kita ini sedang

bermusyawarah. Dalam bermusyawarah siapapun

orangnya berhak untuk mengeluarkan pendapat!

Jadi bukan berarti mentang-mentang merasa

dituakan seseorang itu sesuka hati untuk

mengambil tindakan. Sekalipun orang itu

merupakan keturuan dewa, tetapi tidak semua

tindakannya itu mutlak kebenarannya...!"

Mendengar alasan Kyai Prambudi yang

sesungguhnya memang benar adanya, Buang

Sengketa menjadi maklum.

Kemudian dengan sangat berhati-hati, Buang

Sengketa mulai mengutarakan pendapatnya.

"Kalau menurut hemat saya, alangkah

baiknya kalau kita menyerbu ke sarang mereka.

Kita tak perlu bertindak tanggung-tanggung!

Membasmi kejahatan harus sampai ke akar-

akarnya...!"


"Aku setuju dengan pendapat Buang, kakang

Prambudi... “ Ujar Aki Sumendep.

"Aku juga setuju, kakang...!" Tambah Dewi

Bantaran.

Kyai Prambudi menarik nafas lega.

"Baiklah kalian semua sudah setuju, mungkin

menjelang akhir pekan kita sudah dapat ke sana!"

Kyai Prambudi memberi keputusan.

"Malam sudah larut! Dan tentu pula kalian

semua sudah sangat lelah. Di rumah ini masih

ada beberapa kamar yang kosong kalian bisa

menempatinya! Tapi maaf keadaannya sangat

sederhana saja..."

"Tidak apa-apa Kyai...!"

Kemudian setelah berpamitan dengan Kyai

Prambudi, berangkatlah mereka menuju

kamarnya masing-masing. Suasana sepi sebentar

saja menyelimuti pondok dan juga Lembah Kaur

tempat di mana mereka berada.

Rimba belantara Sorik Merapi di siang yang

terik itu kelihatan bagai hamparan permadani

hijau yang sangat luas. Sementara Gunung sorik

Merapi yang menjulang tinggi tidak pernah

meninggalkan keangkuhannya. Jauh di tebing

jurang yang dalam dengan sebuah lembah yang

berdataran rendah bermukim lebih kurang seratus

orang para murid asuhan tiga manusia iblis.

Mereka yang sedang bersiap-siap untuk


memporak-porandakan pertemuan golongan putih

yang hanya tinggal beberapa hari itu, kiranya

tidak menyadari adanya bahaya yang sedang

mengancam diri mereka. Dalam jarak tidak begitu

jauh dari gubuk-gubuk mereka. Beberapa pasang

mata dengan cermat kelihatan sedang

mempelajari keadaan. Siapakah orang-orang

yang sedang mengadakan pengintaian ini? Tak

lain dan tak bukan adalah si pendekar Bunian, Aki

Sumendep dan juga Dewi Bantaran. Mereka-

mereka inilah yang diutus oleh Kyai Prambudi

yang kini dengan pasukannya sedang menunggu

di sebuah tempat tidak begitu jauh dari sarang

iblis-iblis itu.

Setelah mempelajari situasi di tempat itu dan

merasa apa yang harus mereka kerjakan sudah

terselesaikan. Maka tanpa menimbulkan

kecurigaan sedikitpun pada pihak lawan. Maka

ketiga orang ini pun berkelebat pergi dan kembali

menjumpai Kyai Prambudi.

Setelah sampai di tempat para anggotanya

yang jumlah keseluruhannya tidak kurang dari

enam puluh orang. Ketiga tokoh persilatan

golongan putih itu segera menjumpai Kyai

Prambudi.

"Bagaimana kekuatan mereka...?" Tanya

Kyai berambut putih itu begitu mereka

menghadap.


"Jumlah mereka tak kurang dari seratus

orang kakang...!" Dewi Bantaran menjelaskan.

”Hemmm... suatu jumlah yang cukup

besar...!" Gumam Kyai Prambudi.

"Tapi kami tak melihat adanya datuk-datuk

sesat itu..." sela Buang Sengketa.

"Kalau iblis-iblis itu tidak ada di tengah-

tengah mereka! Pasti dia berada di dalam goa

pertapaan yang terletak di atas perumahan para

muridnya!"

"Kalau begitu aku akan ke sana dan

menghancurkan mereka...!"

"Apakah engkau tak memerlukan beberapa

orang kawan...!"

"Aku hanya butuh penunjuk jalan Kyai! Satu

orang saja." kata Pendekar Bunian mantap.

”Kalau begitu aku bersedia menyertaimu

Buang...!" Ucap Dewi Bantaran menawarkan diri.

"Jangan! Tempat itu terlalu berbahaya untuk

seorang wanita! Ada baiknya kalau Dewi

membantu membereskan orang-orang di bawah

lembah itu...!"

"Kurasa apa yang dikatakan oleh Buang

Sengketa itu memang benar adi Dewi. Biarlah

muridku Salanaya yang menyertai Buang

Sengketa untuk sampai di goa itu secepatnya...!"


Meskipun Dewi Bantara kecewa dengan

keputusan yang diberikan oleh Kyai Prambudi tapi

mau tidak mau dia harus terima juga.

Demikianlah dengan di sertai oleh Salanaya

Buang Sengketa segera mulai bergerak mendaki

tebing.

Kyai Prambudi dan orang-orangnya pun

segera melakukan hal yang sama, sebent saja

mereka telah mengepung dan mulai membakar

gubuk-gubuk tempat tingga para murid Si Tiga

Manusia Iblis. Pertempuran berdarah pun tak

dapat dihindari. Suara denting beradunya senjata

tajam membahana memenuhi dasar lembah, jerit

kematian terdengar di mana-mana.

Sementara itu Buang sengketa yang kini

sudah mulai masuk ke dalam pintu goa dengan

sangat hati-hati terus bergerak. Begitu dia sampai

di tengah-tengah ruangan goa yang begitu luas

dari salah satu sudut ruangan bertiuplah angin

kencang yang berhawa aneh meluruk ke arahnya.

Buang Sengketa kiblatkan tangan kanannya, lalu

dari kedua tangannya menderu pula sebuah

gelombang yang lebih besar memapasi angin

berhawa aneh yang berasal dari sudut ruangan.

Begitu angin kencang yang berasal dari sudut

sebelah barat itu sirna, dari sudut sebelah timur

dan selatan tiba-tiba pula berhembus angin

kencang yang lebih hebat lagi. Dalam keadaan


seperti itu Buang Sengketa segera memapasi-nya

dengan jurus si "HINA MENGUSIR LALAT" sinar

merah segera membungkus tubuh pemuda itu.

Bagaikan sebuah perisai yang sangat kuat dan tak

tergoyahkan. Namun kejadian itu hanya beberapa

saat saja dapat di pertahankan. Begitu gelombang

angin yang lebih bersar bertiup, tiba-tiba saja

hembusan angin yang berbau menjijikkan itu

membuatnya sesak nafas. Tak ada pilihan lain,

Buang Sengketa segera mempergunakan jurus si

HINA DINA MERANA, sekali tangannya terpentang

ke atas ubun-ubun selarik sinar merah segera

menderu dan mengarah ke dua arah. Dua

kekuatan sakti bertemu, dinding goa seakan

runtuh. Bahkan dari ujung timur dan ujung

selatan terdengar seruan tertahan. "Hem... bukan

main!"

* * * * *


TIGA BELAS


Bersamaan dengan suara itu, tahu-tahu di

hadapan Buang Sengketa kini telah muncul tiga

sosok manusia dengan raut wajah sangat

mengerikan. Mereka inilah ketiga manusia iblis

itu.

"Bocah! Sungguh berani mati kau telah

menyantroni sarang macan Suwarna Angresta

Apakah keperluanmu hingga aku sampai kesasar

kemari...?" Tanya si Cebol Muka Harimau diiringi

seringai menjijikkan.

"Aku tak perlu banyak basa basi!

Keperluanku kemari hanya satu, yaitu ingin

mengirim kalian ke liang kubur...!"

"Bocah sombong kau tak tahu dengan siapa

kau berhadapan...!" Bentak si Tinggi Kurus Muka

Badak murka.

Buang Sengketa tersenyum mengejek.

"Kepada manusia-manusia iblis siapa

takut..."

"Keparaaaat....!"

Sambil berkata begitu Si Cebol Muka Ha-

rimau menerjang, lalu kirimkan satu pukulan

yang sangat mematikan. Menghadapi orang-orang

ini Buang Sengketa segera saja keluarkan jurus-

jurus yang sangat di andalkan. Demikianlah


begitu serangan yang dilancarkan si Cebol hampir

mencapai sasarannya dengan sedikit berkelit

Buang berhasil menghindari kematian. Lalu tanpa

sungkan-sungkan lagi dia melancarkan serangan

kilat. Tangannya yang terpentang dan sudah di

aliri tenaga dalam itu terus meluncur dan

mengarah kebatok kepala si Cebol Muka Harimau,

akan tetapi begitu ia berhasil menghindari tangan

yang hampri saja merengkahkan batok

kepalanya, tanpa pernah di duga oleh si Cebol,

kaki kiri Buang menyambut, "Blaak....!"

Akibatnya si Cebol terpelanting roboh dan

muntah darah segar. akan tetapi sungguh sangat

luar biasa daya tahan si Cebol ini, sebab

walaupun dia telah muntah darah tapi dia segera

bangkit kembali dan bersiap-siap mulai

menyerang. Dalam keadaan seperti itu sadarlah si

Tinggi Besar Muka Tengkorak begitu juga si Tinggi

Kurus Muka Badak bahwa lawan yang mereka

hadapi tidak dapat dianggap remeh. Kejadian

barusan saja telah membuktikan pada mereka

bahwa si Cebol Muka Harimau sesungguhnya

seorang dari tiga datuk yang memiliki kepandaian

hanya satu tingkat di bawah kedua orang ini. Tapi

dalam satu gebrakan saja si Cebol telah mampu

di buat jatuh oleh pemuda yang masih hijau. Si

Tinggi Besar dan Si Tinggi Kurus kini berbareng

maju menyerang. Dikeroyok oleh tiga datuk sesat


demikian rupa, tentu Buang Sengketa yang masih

hijau dalam pengalaman ini kalah pengalaman.

Maka dalam waktu singkat, pendekar Bunian ini

menjadi bulan-bulanan ketiga tokoh tingkat tinggi

ini. Jangankan untuk menyerang sedangkan

untuk bertahan saja dia sudah sangat kewalahan.

Begitulah satu serangan dia elakan tetapi

serangan yang lain mencecarnya. Hingga pada

satu kesempatan si tiga manusia iblis itu secara

bersamaan dapat menyarangkan satu pukulan

yang mematikan.

"Blak...plak! Plak...!"

Mendapat serangan dahsyat secara ber-

bareng seperti itu, Buang Sengketa terpelanting,

tubuhnya langsung membentur dinding goa.

Andai manusia biasa mendapat pukulan seperti

itu sudah barang tentu tubuhnya menjadi remuk

dan mati saat itu juga. Mujurlah pemuda ini,

walaupun darah segar sempat belelehan di

bibirnya, biarpun perutnya seperti diaduk-aduk.

Dan sesungguhnya kepalanya terasa bagai mau

meledak namun dengan cepat dia bangkit kembali

Dengan cepat pula dia mengatur jalannya nafas,

kini hanya ada satu di dalam benaknya yaitu,

membunuh atau dibunuh. Pemuda ini meraba

pinggangnya. Sungguhpun dia menyadari masih

mempunyai banyak pukulan-pukulan ampuh yang

pasti dapat menghancurkan mereka tapi kali ini


dia tak mau mengulur-ulur waktu. Pendekar

Bunian itu ingin agar tugas yang diberikan

padanya dapat terselesaikan secepatnya. Dengan

suara menggelegar pemuda ini membentak;

"manusia iblis! Kalau kalian punya senjata yang

diandalkan cabutlah! Aku Buang Sengketa sudah

tidak banyak waktu untuk berurusan dengan

kalian....!"

Si Tiga Manusia Iblis tertawa berbareng.

"Tanpa senjata saja nyawamu sudah hampir

tak tertolong... sebaliknya kalau kau punya

senjata tak berguna keluarkan semuanya,

hahahah.....!"

Buang Sengketa segera cabut golok

buntungnya, sinar merah menyala segera saja

memancar dari golok yang digenggamnya, hawa

dingin mulai terasa menyebar ke mana-mana.

Dengan satu lengkingan yang dahsyat,

pemuda berbaju merah dengan golok yang

memancarkan sinar merah pula dia berkelebat.

Serangan-serangan dahsyat yang sebelumnya

tiada pernah terduga oleh ketiga manusia iblis itu

segera mengurung mereka.

Isyarat maut segera bergema dari

berkelebatnya golok di tangan Buang Sengketa

yang menderu-deru. Demikian ketatnya

serangan-serangan itu sampai-sampai tiga datuk

sesat yang punya banyak pengalaman da

memiliki berbagai kesaktian itu tak mampu

berbuat banyak. Buang Sengketa kini terlihat

lebih meningkatkan serangannya, Si Tiga manusia

iblis semakin terkurung rapat. Begitu Buang

memperoleh satu kesempatan.

"Cras...crat...crat!"

Jerit kematian pun bergema memenuhi

ruangan goa. Si Tinggi Kurus Muka Badak

terkapar dengan leher terputus. Kejadian ini

membuat Si Cebol Muka Harimau dan si Tinggi

Besar Muka Tengkorak menjadi murka. Si Tinggi

Besar Muka Tengkorak segera silangkan tangan

ke depan dada, tak begitu lama kemudian dia

pentangkan tangannya membentuk sebuah cakar

naga, dengan satu lengkingan yang mirip jeritan

seekor naga yang sedang marah dia lancarkan

satu pukulan. Inilah sebuah ilmu pemberian

SEPASANG SILUMAN NAGA PUTIH yang di beri

nama "DARAH NAGA BERGELORA"

Sinar maut berwarna biru kehitam-hitaman

meluruk ke arah Buang dan pada saat yang sama

pula kiranya si Cebol Muka Harimau pun telah

berubah ujudnya menjadi seekor siluman

harimau. Menghadapi dua bahaya yang

bersamaan datangnya pendekar cepat bertindak.

Dengan satu gerakan kilat Buang Sengketa

segera kiblatkan tangan kirinya yang telah terisi

pukulan "EMPAT ANASIR KEHIDUPAN" sedangkan


tangannya yang lain dengan golok terhunus

menyambut datangnya terkaman siluman

harimau, maka bersamaan dengan itu, beradulah

satu kekuatan melawan dua ancaman maut.

"Cras... Blar...!"

Lagi-lagi lolongan maut membahana

memenuhi ruangan goa. Siluman Harimau

terpental lalu menabrak dinding goa dengan leher

hampir putus. Si Tinggi Besar Muka Tengkorak

nasibnya tidak lebih baik dari saudaranya yang

lain meskipun masih hidup akan tetapi sudah

dalam keadaan sekarat. Tidak tanggung-tanggung

mengetahui musuhnya masih hidup Buang

Sengketa kirimkan satu pukulan jarak jauh. Sinar

Ultra Violet kembali menderu dan melabrak tubuh

si Tinggi Besar. Tewaslah ketiga gembong datuk

sesat itu di sarangnya sendiri. Buang mencabut

kakinya yang amblas sebatas lutut, kemudian

dengan memegangi dadanya yang terasa agak

nyeri dia sudah bermaksud meninggalkan tempat

itu. Namun mendadak terdengar suara Kyai

Prambudi di tempat itu "Buang membasmi

kejahatan harus sampai ke akar-akarnya, Guru

Manusia Iblis belum mati...!"

"Di manakah dia....?" Tanya Buang tak sabar.

"Di telaga kawah di dalam goa ini...!"

"Hem... kalau begitu mari kita cepat keluar!

Aku mau meruntuhkan goa ini...” Usai berkata


begitu dengan sangat tergesa-gesa mereka

segera keluar dari dalam goa. Sesampainya di

luar goa Buang segera kirimkan satu pukulan

sakti "EMPAT ANASIR KEHIDUPAN" dengan

kekuatan yang berlipat ganda. Begitu sinar

dahsyat itu menderu dan melabrak ke arah goa

dan seisinya pertapaan tiga manusia iblis itu pun

runtuh dan ambruk tanpa dapat dicegah lagi.

Tanpa kata-kata Buang melangkah menuruni

tebing Sorik Merapi. Tak kala Pendekar Bunian itu

sampai di lereng bukit. Sorak kemenangan pun

membahana di mana-mana. Sementara tak jauh

dari tempat itu Dewi Bantaran berlari-lari kecil

menghampiri Buang Sengket. Gadis cantik yang

sudah terlanjur jatuh cinta itu untuk beberapa

saat memeluk tubuh sang pemuda dengan penuh

kebahagiaan. Hari telah menjadi malam ketika

mereka meninggalkan tempat itu.



                       TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar