UTUSAN ORANG-ORANG SESAT
Oleh D. Affandy
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh is buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Hak cipta ada pada Penerbit Mutiara Jakarta
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam episode 001:
Utusan Orang-Orang Sesat
SATU
Hari masih begitu pagi ketika sesosok tubuh
yang bertelanjang dada itu nampak berloncatan di
atas karang-karang tajam. Dengan gerakan yang
sangat ringan seolah tubuh yang sangat kekar itu
tiada memiliki bobot. Dia berpindah dari sebuah
karang yang satu hingga ke karang tajam
berikutnya. Sementara pada saat dia melakukan
gerakan-gerakan yang begitu manisnya,
gelombang laut masih terus menggila.
Menghempas, memukul, seolah ingin
meruntuhkan batu-batu karang tempat di mana
pemuda itu berpijak. Begitulah yang terjadi setiap
harinya di tempat yang sepi itu. Berlatih dan
melatih diri.
Kini pemuda yang memiliki wajah sangat
tampan itu kembali melakukan gerakan-gerakan
yang sangat mendebarkan, beberapa kali ia
berjumpalitan dan tiba-tiba saja tubuhnya yang
kekar itu lenyap dalam sapuan gelombang yang
terkenal ganas. Tubuhnya tergulung terseret arus
yang dahsyat, air laut terus menggulungnya
tanpa ampun dan seandainya saja saat itu ada
orang lain yang turut menyaksikan adegan itu
tentu saja mereka tidak berani membayangkan
akibatnya. Pemuda itu terus tergulung-gulung,
terseret, dan terus terseret. Namun begitu
gelombang besar itu hampir menghempaskan
tubuhnya pada batu karang yang sangat tajam,
tiba-tiba bagai cengkraman sebuah tangan
raksasa, pemuda itu dengan begitu mudahnya
dapat membebaskan diri dari perangkap
gelombang. Kemudian beberapa kali ia
berjumpalitan ke udara, lalu dengan manis pula ia
mendarat ke puncak karang yang lebih tinggi.
Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat
pemuda itu melatih diri seorang kakek tua renta
dengan warna rambutnya yang tampak memutih,
dengan sikap acuh tak acuh terus mengawasi si
pemuda. Kakek berwajah murung ini dulunya
adalah merupakan seorang tokoh kosen yang
memiliki kepandaian silat tiada tanding. Dia
pernah malang melintang merajai empat penjuru
angin dunia persilatan. Namun meskipun begitu,
kakek angin-anginan ini dalam sejarahnya belum
pernah dan berpantang melakukan kejahatan.
Bahkan dalam dunia persilatan golongan hitam
akan merasa ngeri bahkan lari terbirit-birit bila
melihat kehadirannya. Sebab siapapun tahu
bahwa kakek ini tidak pernah bertindak
tanggung-tanggung dalam menghadapi segala
bentuk kejahatan, bunuh dan sikat sampai ke
akar-akarnya. Kebrutalannya dalam menghadapi
kejahatan inilah yang menyebabkan orang
menjulukinya sebagai pendekar "SUPER SADIS".
Konon semua itu adalah demi menebus dosa-dosa
gurunya yang selama hidupnya penuh kesesatan.
Tak urung kakek tua ini sebagai pewaris ilmu
dahsyat harus pula memikul dosa-dosa gurunya.
Sebagai murid yang berbakti ia harus merelakan
dirinya ditumbuhi beribu koreng yang sangat
menjijikan dan tak pernah kunjung sembuh.
Karena koreng-koreng ini pula dirinya di juluki "SI
BANGKOTAN KORENG SERIBU".
Kini kembali pada si Bangkotan Koreng
Seribu yang terus mengawasi jalannya latihan
pemuda itu. Kakek berwajah muram itu masih
terihat duduk ongkang-ongkang di atas sebuah
pohon Kejabu. Sesekali giginya yang sudah
ompong menggerogoti buah kejabu yang sudah
masak. Di lain saat ia menyambit pemuda yang
sedang berloncatan di atas karang itu dengan
ratusan buah kejabu yang masih hijau.
Mendapat serangan beruntun pemuda itu
menyadari kalau gurunya sedang menguji
kelincahannya. Dan tentu pula dia pun menyadari
kalau dalam setiap bertindak gurunya tak pernah
berlaku setengah-setengah. Untuk tidak mati
konyol ditangan guru sendiri dia membentengi diri
dengan jurus "si HINA MENGUSIR LALAT". Tubuh
pemuda itu terus berkelebat bagai sebuah baling
baling kedua tangannya di putar membentuk
perisai yang sangat sulit untuk dicari titik
kelemahannya. Secara praktis semua serangan
yang dilakukan gurunya berpentalan kian kemari,
bahkan beberapa buah Kejabu yang di sambitkan
oleh si Kakek Renta kembali berbalik dan
menyerang si Kakek itu sendiri.
Dengan gerakan yang sangat ringan Tua
Renta Berkoreng melompat. Buah Kejabu yang
disambitkan oleh si pemuda terus melesat
kemudian melabrak sebuah dahan yang berbuah
lebat. Dahan itu berderak patah, lalu ambruk ke
Bumi. Sumpah serapah berhamburan dari mulut
si Kakek tua ini. Dengan tersenyum masam ia
berjumpalitan dan tanpa di sadari oleh si pemuda,
tahu-tahu kakek berwajah murung itu langsung
menyerang si pemuda. Serangan-serangan yang
sangat dasyatpun segera ia lancarkan, setiap
jurus pasti mengisyaratkan janji maut bahkan
lengah sedikit saja tak seorangpun yang mampu
menjadi juru selamat. Pemuda itu kelihatan
menjadi kalang kabut. Mengetahui muridnya
bertindak setengah-setengah si Kakek Renta
nampak murka.
"Bung....apakah kau ingin mati konyol!?"
Bentakan yang tak lebih merupakan kemarahan
dari si guru, malah membuat pemuda ini
terkekeh.
"Bagaimana aku bisa sungguh-sungguh,
sedangkan pukulan yang guru lancarkan saja
semakin lamban....!"
"Jangan menganggap remeh bocah tolol...!"
Suara kakek berkoreng itu sesungguhnya sangat
lirih saja, namun karena di sertai dengan tenaga
dalam yang sangat sempurna, mengakibatkan
pemuda itu hampir saja terpeleset dari tempatnya
berpijak.
"Bocah goblok... kubilang apa padamu!"
Berkata begitu Kakek ini langsung mengirimkan
serangan-serangan yang mematikan.
"Selalu bersikap waspada terhadap siapapun
hei, murid...!" Jawabnya sambil mengimbangi
serangan-serangan yang di lancarkan oleh si
Kakek berkoreng. Kakek berwajah muram hanya
terdiam. Sebaliknya dia meningkatkan
serangannya dengan jurus "SI GILA MENGAMUK".
Pukulan-pukulan si Kakek nampak mengarah
pada bagian-bagian yang mematikan, sangat
cepat, lincah dan sangat sulit untuk di duga-duga.
Menghadapi serangan seperti ini si pemuda
segera mengimbanginya dengan jurus
"MEMBENDUNG GELOMBANG MENIMBA
SAMUDRA". Maka segera saja terjadi
pertandingan yang sangat seru. Jurus yang di
pergunakan si Pemuda walau secara lahiriah
kelihatannya sangat sederhana sekali,
sesungguhnya merupakan intisari dari sembilan
puluh sembilan jurus dari golongan hitam dan
putih. Itu makanya siapapun yang
mempergunakan jurus itu dalam tahap sempurna,
keadaan yang dialaminya akan selalu bertolak
belakang dengan keinginan hati nurani. Seperti
yang sedang terjadi dengan pemuda itu, dia
berkeinginan untuk menendang pantat gurunya
yang jaraknya hanya beberapa centi dari depan
hidungnya, tapi keadaan yang terjadi di luar
kesadarannya. Tangan kanan malah terulur
bergerak menghantam batok kepala Kakek
berkoreng.
Tentu saja kakek berwajah muram ini tidak
tinggal diam, mengetahui serangan-serangannya
dapat di patahkan oleh muridnya. Kakek tua renta
itu segera merubah jurus-jurus silatnya. Kali ini
kedua tangannya terentang tinggi-tinggi di atas
kepalanya, secara cepat sebelah tangannya
meluncur ke-bawah, lalu berputar-putar, lalu
tangannya yang lain memukul diri sendiri. Dilain
saat bagai orang frustasi ia menerjang ke arah
muridnya. Walaupun serangan-serangannya
terlihat ngawur namun setiap gerak selalu di
penuhi dengan berbagai tipuan yang sangat sulit
untuk diduga-duga. Si Kakek Tua Renta memberi
nama jurus ini dengan "SI JADAH TERBUANG"
Sementara itu si pemuda yang mengetahui
dirinya di uji dengan jurus yang paling berbahaya
dari seluruh jurus yang ada, maka dengan sikap
lebih waspada ia menyambut dengan sebuah
jurus yang tak kalah hebatnya dari jurus yang
sedang dimainkan oleh gurunya. "SI HINA
MENGUSIR LALAT” jurus inilah yang kini di
pergunakan oleh si pemuda untuk mengimbangi
gurunya. Tak dapat dibayangkan betapa serunya
adu kepandaian antara guru dan murid di atas
karang-karang itu. Sementara pasang laut
nampak membumbung tinggi. Adu kepandaian
berlangsung makin seru dan sudah berlangsung
puluhan jurus. Bagai kesetanan si Kakek
Berkoreng terus mencecar si pemuda. Di lain saat
si pemuda bagai di keroyok ribuan lalat yang
menjijikan nampak berjingkrakan kian kemari.
Hingga pada satu kesempatan yang cukup pasti si
Kakek berhasil menyarangkan pukulan yang
Cukup telak di dada pemuda itu.
"Blaaaak....!"
"Byuuur....!" Tubuh si pemuda terhempas,
terjengkang ke dalam laut. Sekali saja gelombang
laut yang sedang membesar itu menyapu tubuh si
pemuda, maka lenyaplah tubuhnya tiada
berbekas. Si Tua Renta Berkoreng tertawa
tergelak-gelak. Wajahnya kelihatan semakin
murung tetapi puas. Kini sepasang matanya yang
lamur itu memandang hampa ke laut lepas. Ada
sebersit kesal dan sesal di wajahnya. Tiba-tiba
saja si kakek aneh itu kembali tergelak.
"Buang Sengketa....apa yang ada padaku
sudah kuberikan semua untukmu, tapi
kepekaanmu terhadap musuh, inilah yang sangat
kuragukan....!" Sedangkan ia berbicara seorang
diri seperti itulah tahu-tahu orang yang baru saja
di sebut-sebutnya itu nyeletuk.
"Guru. Pukulanmu itu semakin lembek,
lihatlah aku masih hidup, hehehe....!" Si Kakek
Renta terdiam tiada bergeming, namun tak lama
kemudian dia membentak
"Kalau hidup tiada guna untuk apa? Lebih
baik cepat-cepat masuk lang kubur. Supaya dunia
tidak di kotori oleh banyak sampah....!"
"Guru, kita kan cuma dalam latihan....aku
tak sampai hati untuk adu tenaga dengan
Guru....!"
"Bocah gendeng apa bedanya latihan dengan
sungguhan....?!" Bentak si Kakek tua itu penuh
amarah. Kemudian tanpa terduga-duga, si Kakek
kembali menyerang si pemuda.
"Kalau kau belum becus juga! Lebih baik
mampus....!" Makinya di sertai pukulan-pukulan
menggelegar. Si pemuda cukup tahu sebentar lagi
gurunya tentu mempergunakan pukulan-pukulan
yang maha dasyat. Untuk itu sejak awal dia telah
mempersiapkan diri untuk memberi perlawanan
yang lebih baik demi tidak mengecewakan
gurunya.
Apa yang sedang di fikirkan oleh Buang
Sengketa memang benar adanya, sebab beberapa
saat kemudaian si Kakek Renta Berkoreng sudah
mulai bersiap-siap dengan pukulan-pukulan yang
sangat di andalkan.
"Buang... kalau kau benar-benar seorang
murid yang ingin berbakti pada gurumu dan juga
orang tuamu, kau tahanlah pukulan ini. Jika tidak
lebih baik kau kukirim ke liang kubur saja....!"
Suara lengkingan yang di sertai dengan ilmu
"PEMENGGAL RUH" itu, bukanlah sebuah pukulan
yang bisa di anggap enteng. Kalau hanya manusia
biasa yang tiada memiliki tenaga dalam yang
sangat sempurna yang kebetulan mendengar
suara lengkingan itu tentu segera menjelang ajal,
begitaupun burung-burung yang beterbangan
diangkasa itu akan luruh ke bumi. Begitulah yang
terjadi di pantai karang saat itu. Beberapa ekor
camar laut menggelepar mati demi mendengar
lengkingan si Kakek Renta. Bahkan bukit karang
tempat di mana Buang Sengketa berpijak secara
pelan namun cukup pasti segera nampak mulai
runtuh. Buang Sengketa menutup jalan
inderanya. Dengan berjumpalitan, selarik sinar
dengan kekuatan lebih besar kembali menderu
dan menyambarnya. Bagai seekor walet, Buang
mengelak dan berkelit. Namun kelihatannya si
Kakek tiada memberinya kesempatan.
Dia terus mengumbar pukulannya. Buang
semakin terdesak dan keteter, pada saat
demikian teringatlah dia pada pukulan pemunah
"HAMPA UDARA". Sekali saja ia mengerahkan
tenaga dalam nya maka dada si Kakek mendadak
terasa sesak dan sulit bernafas. Segera saja si
Kakek mengerahkan segenap kemampuannya,
selarik sinar pelangi yang lebih besar dan terang,
kembali meluruh tubuh si pemuda. Tiada pilihan
lain, meng-hindar berarti gurunya akan menjadi
murka. Maka ia pun menadahkan tangannya.
Akibatnya sungguh fatal sekali.
"Blaaar!" Tubuh keduanya terpental beberapa
tombak, kemudian lenyap di telan gelombang
besar. Sungguh sangat menakjubkan karena tak
begitu lama kemudian secara bersamaan tubuh
keduanya kembali muncul kepermukaan, untuk
kemudian keduanya melesat ke udara. Dengan
jarak dekat mereka saling berhadapan kembali.
"Buang. Bersiap-siaplah....!" Hardik si Kakek
Renta.
"Istirahatlah dulu, Guru. Lihat nafas Guru
senin kamis....!" Ujar pemuda itu prihatin. Di
tegur muridnya sedemikian rupa si kakek menjadi
berang.
"Bocah, kepandaian yang kau miliki tak ada
setahi kukuku. Apakah kau mau berlagak di
depan Si Renta Koreng Seribu....?"
"Tapi. Guru....!"
* * * * *
DUA
Tua Renta Berkoreng sudah tak menggubris
lagi protes Buang Sengketa. Dia menerjang maju:
"Mampus saja, caaat...!" Si kakek lagi-lagi
menyerang. Kali ini tangan di silangkan di depan
dada. Maka terkesiaplah darah pemuda keturunan
manusia Bunian ini.
Dengan suara tergetar: "Pukulan EMPAT
ANASIR KEHIDUPAN.... Guru! Apakah kau
bermaksud membunuhku....?"
"Bukankah tadi kau juga mempergunakan
salah satu dari padanya?" Bentak si Kakek dingin.
"Aku hanya membela diri, Guru....!"
Terlambat, seberkas sinar Ultra Violet meluncur
pesat dari kedua telapak tangan si Kakek. Tiada
lagi kesempatan untuk berfikir, walau hanya
beberapa saat saja. Maka: "Heiit....!" Buang
Sengketa bersalto ke udara. Si kakek tidak tinggal
diam sampai di situ saja. Selarik sinar kembali
mengejar si pemuda, pemuda itu menjadi kalang
kabut. Lagi-lagi Buang di hadapkan pada satu
pilihan yang paling menyakitkan. Baginya kalau
tidak ingin celaka hanya ada satu cara untuk
memapaki serangan yang di lancarkan oleh
gurunya yang setengah edan itu. SI HINA DINA
MERANA, hanya jurus inilah yang mampu
mengatasinya. Akan tetapi tegakah dia?
Mengingat gurunya sudah sangat tua sekali.
"Bocah menyebalkan.... matilah kau....!"
Lagi-lagi selarik sinar Ultra Violet dengan cepat
meluncur, Buang Sengketa berkelit kesamping.
Namun hasilnya tetap saja ujung bajunya
terbakar akibat sambaran sinar tadi. Buang
menjadi kalang kabut dan berusaha mematikan
api yang hampir saja membakar sekujur
tubuhnya.
Sementara itu si kakek terus mengumbar
pukulan-pukulan mautnya. Dia sudah tak
member! kesempatan lagi pada Buang.
"Bocah, kalau kau tetap saja mengelak
seperti seekor monyet begitu, jangan kau
salahkan aku bila kau menyesal sampai ke liang
kubur....!" Sebuah pukulan yang lebih dahsyat
kembali meluruk kearah Buang. Maka dengan
nekad Buang memapakinya.
"Blaaam....!" Dua kekuatan raksasa bertemu.
Berpuluh-puluh tombak Buang terpental,
Sebaliknya Tua Renta Berkoreng menerima akibat
lebih parah lagi. Tubuh laki-laki yang selalu
berperangai aneh itu terhempas dan membentur
dinding karang. Dari celah-celah bibirnya meleleh
darah segar. Buang yang masih dalam keadaan
sempoyongan. Mengetahui gurunya terkapar
tanpa daya segera memburunya.
"Sudah kubilang kita tak usah
sungguhan.Tapi Guru tetap ngotot, Tapi kau kan
tidak mati Guru....!"Tanya Buang pilon. Beberapa
kali laki-laki tua itu terbatuk, darah segar
berwarna kehitam-hitaman kembali menyembur.
Hal ini membuat pemuda itu semakin bertambah
bingung.
Dalam keadaan seperti itu mendadak laki-laki
renta itu tertawa bergelak wajahnya yang selalu
di liputi oleh mendung itu membersitkan rasa
puas.
"Hehehe....hoahahaha.....prus!" Si Tua
Koreng Seribu segera bangkit, seanjutnya
menghimpun hawa murni. Sementara Buang yang
ingin membantu di bentaknya. Mau tak mau
Buang Sengketa bersurut langkah. Tak kurang
dari sepemakan sirih, wajah Si Tua Renta yang
pucat itu secara perlahan berubah ke merah-
merahan. Kemudian ia berpaling pada muridnya.
"Bocah. Apa-apaan kau melotot begitu....?”
”Mari kita pulang!"
”Apakah kau perlu kugendong, Gu.....!"
Belum lagi selesai Buang Sengketa dengan kata-
katanya di luar sepengetahuannya, laki-laki renta
itu telah lenyap dari hadapannya.
"Sialan, kiranya dia masih alot juga
tenaganya....!" Kemudian tanpa membuang
waktu pemuda itu melesat mengikuti gurunya.
* * * * *
Puncak Sorik Merpati yang menjulang tinggi
masih kelihatan berselimut kabut di Hiang itu.
Burung-burung berterbangan dari satu pohon ke
pohon lainnya. Nun jauh di lereng pegunungan,
penduduk desa sedang mengerjakan sawah dan
ladangnya. Suasana di lingkungan pegunungan
itu seolah memang tak pernah terusik, nampak
damai dan selalu menjanjikan kebahagiaan.
Begitulah kesan yang dapat dilihat sepintas lalu.
Namun sesungguhnya apa yang terjadi di
daerah itu sangat menyedihkan, hati setiap
penduduk hampir setiap harinya selalu di liputi
keresahan. Dengan harap-harap cemas mereka
senantiasa berdoa agar manusia-manusia durjana
yang setiap kedatangannya selalu mengambil
secara paksa, anak-anak gadis desa itu tidak
terulang kembali. Begitulah yang selalu mereka
harapkan, terlebih-lebih bagi orang tua yang
memiliki anak gadis berparas cantik.
Kini mereka bisa sedikit berlapang
dada,karena sudah hampir dua purnama desa
mereka tidak lagi kedatangan manusia-manusia
iblis itu. Melihat keadaan seperti ini, penduduk
desa dapat menyimpulkan bahwa mungkin
seratus perawan seperti yang dibutuhkan oleh
utusan manusia iblis itu sudah terpenuhi.
Begitupun kesedihan panjang masih menyelimuti
hati para orang tua yang kehilangan anak
gadisnya. Siang itu Ni Sukmini yang baru saja
menjadi pengantin baru, kelihatan sedang
mencuci pakaian di sebuah sungai yang bening
tidak begitu jauh di belakang rumahnya. Hanya
beberapa tombak dari temapt Ni Sukmini
mencuci, terbentanglah jalan setapak yang
menghubungkan antara desa dan hutan rumba
Sorik Merapi. Jalan berbatu itu sengaja di buat
oleh penduduk desa untuk mempermudah bagi
mereka yang ingin mencari kayu bakar,maupun
mengambil hasil hutan lainnya.
Suasana memang nampak lengang, akan
tetapi dari kejauhan sana di pinggiran hutan,
kelihatan tiga buah titik hitam yang sedang
bergerak. Semakin lama semakin cepat. Setelah
jarak semakin dekat maka terlihatlah mereka ini
tiga orang penunggang kuda dengan seragam
pakaian yang sama, yaitu warna hitam dengan
tunggangan hitam pula. Yang membedakan
mereka hanyalah wajahnya. Yang seorang
berbadan tinggi besar berwajah tengkorak, yang
seorang lagi gemuk cebolan di seluruh permukaan
kulit wajahnya belang- belang tidak ubahnya dengan kulit macan. Si orang terakhir wajahnya
begitu tebal seperti kulit badak, sedangkan-
sepasang matanya selalu nampak mengantuk.
Siapa yang tak kenal mereka! Kalangan
persilatan baik golongan putih maupun golongan
hitam tentu sangat mengenal tiga manusia iblis
yang selalu membuat keonaran di mana-mana ini.
Kepandaian silat mereka sangat tinggi. Disamping
memiliki kesaktian yang belum ada tandingannya.
Mereka ini juga sewaktu-waktu dapat berubah
menjadi beberapa ekor siluman. Siapapun
orangnya akan merasa ngeri berurusan dengan
mereka. Bahkan kalau pun mereka mempunyai
persoalan yang sangat besar sekalipun dengan
keliga manusia iblis ini mereka lebih baik
Mengalah daripada harus berurusan kemudian
pulang dengan tubuh tanpa nyawa dan tercabik-
cabik.
Kalaupun di siang itu mereka turun gunung
dan dalam keadaan tergesa-gesa. Sudah barang
tentu kehadirannya di dunia ramai mempunyai
maksud-maksud tertentu. Sebab seperti di
ketahui beberapa tahun terakhir ketiga tokoh
kosen tingkat tinggi ini, sudah mulai kelihatan
jarang malang melintang di rimba persilatan.
Kalaupun mereka punya urusan dengan dunia
luar, paling mereka hanya mengutus murid-murid
terpercaya untuk mengerjakan apa yang mereka
maui .Seperti merampas dan menculik gadis-
gadis desa yang jumlahnya mencapai ratusan
saja, mereka cukup mengutus beberapa orang
bawahan terpercaya. Lalu, Apa yang dikehendaki
oleh ketiga dedengkot hantu persilatan itu
sehingga mereka keluar dari sarangnya?
Sesuai dengan wangsit yang mereka terima,
hari itu mereka harus mengambil dengan paksa
seorang pengantin baru yang bernama Ni Sukmini
pada tetua mereka yaitu sepasang siluman naga
putih di sebuah telaga kawah yang terletak tidak
begitu jauh dari tempat pertapaan mereka.
Kalaupun sekarang ini mereka turun gunung
secara langsung adalah dengan maksud orang
yang diinginkan tidak salah ambil.
Demikianlah tidak begitu lama kemudian
sampailah mereka di perbatasan desa. Beberapa
orang penduduk yang secara kebetulan
mengetahui kehadiran mereka langsung saja lari
terkencing-kencing. Sedangkan yang tidak
sempat bersembunyi, mereka inilah yang
memperoleh nasib celaka. Pertanyaaan-
pertanyaan langsung saja memberondong mereka
yang nampak menggigil ketakutan.
"Hei.....kau.....Apakah di desa ini ada orang
yang bernama Ni Sukmini...!" Seru Si Tinggi
Besar Muka Tengkorak. Atau yang sangat di kenal
dengan julukan Iblis Muka Tengkorak. Empat
orang penduduk desa yang di tanya seperti itu
tentu saja semakin menggigil ketakutan.
"Ayo jawab.. ..!" Bentak Si Muka Tengkorak
marah sekali.
“Ka...kami....!"
"Potes saja kepalanya kakang. Biar ku
minum darahnya....!" Tukas Si Cebol Muka
Harimau tak sabaran.
"Benar adi Cebol.... tentu otaknya pun enak
untuk ku kremus...!" Mendengar ucapan Si Tinggi
Kurus, pucatlah wajah keempat orang ini
"Kalian dengar apa yang baru saja dikatakan
oleh saudaraku....?" Tanya Si Tinggi Besar dingin.
Dengan langkah gemetar salah seorang dari
mereka melangkah maju. Dengan suara bergetar
ia berkata: "Orang yang seperti tuan maksudkan
memang ada di desa ini, dan baru saja tadi
malam melangsungkan pesta perkawinan,.....!"
Mendengar penjelasan salah seorang dari
keempat orang itu,ketiga manusia iblis ini pun
saling berpandangan. Lalu bergemuruhlah suara
tawa mereka di sertai dengan tenaga dalam yang
sudah cukup sempurna, maka akibatnya bagi
keempat penduduk desa yang tak memiiki
kepandaian apapun sudah barang tentu sangat
menyiksa pendengaran mereka. Bahkan di antara
mereka ada yang sampai menutupi kedua
telinganya. Begitupun suara tawa ketiga manusia
iblis itu tetap mengetarkan gendang-gendang
teling mereka. Akibatnya sungguh luar biasa,
keempat warga desa itu langsung roboh dan
mengerang-erang kesakitan. Melihat nasib yang
menimpa mereka, ketiga manusia iblis itu nam-
pak tersenyum puas. Lagi-lagi mereka saling
berpandangan.
"Bagaimana kita tinggalkan ..?'" Tanya Si
Tinggi Besar. Kedua saudaranya yang di tanya
basahi bibir dan leletkan lidah. Tentu saja Si Muka
Tengkorak cukup tahu apa yang diinginkan oleh
kedua saudaranya itu.
"Kalian boleh meminum dan menyantap
darah dan otak ke tiga orang itu,tapi yang
satunya jangan! Dia telah beri keterangan pada
kita...!"Tuding Si Muka Tengkorak pada tiga orang
desa yang sedang menggelupur dan mengerang-
ngerang di atas tanah berdebu.
Bagai memperebutkan harta paling berharga
Iblis Cebol Muka Harimau dan Si Tinggi Kurus
Muka Badak melompat dari punggung kudanya
masing-masing. Mereka berlomba saling
mendahului. Lalu dengan sekali tubruk saja.
Masing-masing dari mereka telah mendapatkan
mangsanya. Di tempat yang sepi itu tak lama
kemudian terdengar jerit lolong yang menyayat,
dan juga berderaknya tulang yang remuk dan
patah. Begitu rakusnya Si Cebol Muka Harimau
menghirup darah yang memancar dari tubuh yang
sudah tiada berkepala itu. Setelah kehabisan
darah, tubuh yang sudah tiada berkepala itu
berkelojotan untuk kemudian diam membisu.
Tanpa menghiraukan bekas mangsanya, Si Cebol
segera berpindah ke mangsa lainnya. Hal yang
sama pun terjadi pada mangsa berikutnya. Si
Cebol kelihatan semakin sibuk, begitupun dengan
Si Kurus Muka Badak. Ia menjilat dan mengunyah
otak dari dalam batok kepala yang sudah remuk.
Begitulah mereka saling berlomba seolah-olah
sedang adu kecepatan. Hingga hanya beberapa
saat saja ketiga orang desa yang bernasib malang
itu nampak terbujur pucat dan tanpa kepala.
Sementara itu salah seorang dari keempat
orang yang di biarkan hidup sudah tak sadarkan
diri. Rupanya dia tak kuat menyaksikan kejadian
yang berlangsung di depan matanya.
"Ayo tunggu apa lagi. Mari kita cari gadis
itu...!" Perintah Si Tinggi Besar yang sejak tadi
hanya duduk di punggung kuda sambil
menyaksikan apa yang sedang di kerjakan dua
saudaranya.
* * * * *
TIGA
Si Cebol Muka Harimau dan Si Tinggi Kurus
Muka Badak yang saat itu sedang menjilat kedua
tangannya yang berlumuran darah, nampak
saling berpandangan untuk kemudian
menyeringai.
"Apa lagi.... Mari kita pergi dan cari gadis
itu,....!" Bentak Si Tinggi Besar Muka Tengkorak
mulai menarik tali kekang kudanya.
"Tanggung Kakang....!" Jawab keduanya
hampir bersamaan. Si Tinggi Besar
mengurungkan niatnya di pandanginya wajah ke-
dua saudaranya dengan pandangan melotot.
"Sudah kubilang, bahwa yang satu itu harus
kita bebaskan, ayo cepat...! Manusia Muka
Tengkorak makin tak sabaran.
"Tapi....kakang....!'’ Protes Si Kurus Muka
Badak.
"Tak ada tapi....tapi....apakah kalian lebih
suka memangsa darah dan otak manusia-manusia
tak berguna itu dari pada kesaktian yang akan
bertambah!" Bentak Si Tinggi Besar Muka
Harimau marah sekali.
"Tapi darah mereka enak sekali kakang.... !"
Ujar Si Cebol.
"Otaknya juga manis....!" Dukung Si Tinggi
Kurus Muka Badak.
"Diam kalian semua!" Si Tinggi Besar
membentak.
"Kalian tak perlu membujuk dan merengek
seperti bayi ingusan. Kalian ingatkah bahwa kita
sedang mengemban tugas dari tetua "SILUMAN
NAGA PUTIH"? Kalau sampai tugas ini gagal. Itu
berarti kita kehilangan kesempatan untuk merajai
dunia persilatan. Apakah kalian mengerti?!"
Bentak si Tinggi Besar murka sekali.
"Dan ini berarti kita juga kehilangan
kesempatan untuk menghancurkan markas
golongan putih pada pertemuan kaum mereka
tiga purnama mendatangya...kakang....!" Sahut si
Cebol Muka Harimau lalu menepuk-nepuk
jidadnya.
"Aku juga tak ingin kehilangan Dewi
Bantaran yang ayu itu....! Celetuk si Tinggi Kurus
Muka Badak. Dia segera melompat ke atas
punggung kudanya di ikuti si Cebol Muka
Harimau. Derap langkah kuda kembali terdengar
bagai tanpa pernah ada kejadian, mereka
meninggalkan mayat-mayat tanpa kepala itu
begitu saja.
Sementara itu Ni Sukmini yang tak
mengetahui bahaya sedang mengancam dirinya,
nampak asyik mencuci dengan ditemani oleh
suaminya. Kedua pengantin baru itu saling
bercanda dan bercengkerama. Sesekali derai tawa
mereka terdengar meningkahi gemuruhnya air
sungai yang deras. Namun kata-kata mereka
pada akhirnya bagai tersekat di tenggorokan
begitu mereka mendengar derap langkah kuda,
yang semakin lama semakin terdengar jelas.
Ketika Bayu Anaksa, yaitu suami Ni Sukmini
mendongakkan kepalanya kearah jalan berbatu
yang jaraknya hanya beberapa tombak dari
tempat mereka semuanya sudah terlambat. Si
Tiga manusia iblis itu sudah sempat melihatnya.
Bayu Anaksa sudah tidak sempat lagi menyuruh
istrinya bersembunyi.
Begitu tiga manusia iblis itu sampai di
jalanan di tebing sungai, segera saja mereka
menghentikan kudanya. Untuk beberapa saat
mereka memperhatikan Ni Sukmini dan Bayu
Anaksa silih berganti. Kemudian mereka saling
berbisik sesamanya. Lalu tersenyum
menggidikkan.
"Hei....bocah, kemari kau....!" Perintah Si
Cebol Muka Harimau di sertai seringai menjijikan.
Bayu Anaksa yang merasa di panggil, bukannya
tak tahu siapa adanya orang-orang ini. Akan
tetapi pemuda itu, yang juga memiliki kepandaian
silat cukup tinggi dan di kenal sebagai seorang
pemberani, sebaliknya dengan sikap acuh malah
menyahut:
"Siapa perlu siapa? Kalau merasa memiliki
keperluan turunlah dari kuda kalian!" Ucapan
Bayu Anaksa barusan tentu saja membuat murka
ketiga manusia iblis ini. Sebab, selama malang
melintang di dunia persilatan belum pernah ada
yang berani membantah perintah manusia-
manusia dajal ini. Dan kini ada bocah belasan
tahun yang masih bau kencur berani
membangkang. Sungguh sangat keterluan,
begitulah fikir mereka. Lalu si Tinggi Besar
tertawa sinis. Sepasang matanya yang cekung
menyiratkan nafsu membunuh yang meledak-
ledak.
"Bocah....mulutmu sungguh lancang berani
membantah perintah. Kau tak tahu betapa
tingginya langit dan dalamnya lautan! Apakah kau
tak merasa sayang dengan orang yang berada di
sampingmu itu....?" Hardik si Tinggi Besar Muka
Tengkorak. Bayu Anaksa yang kini mulai
menyadari gelagat tak baik segera memberi
isyarat pada Ni Sukmini. Ni Sukmini yang
mengetahui makna isyarat itu bermaksud akan
meninggakan tempat itu. Akan tetapi baru saja Ni
Sukmini melangkah beberapa tindak, sekali si
Cebol Muka Harimau gerakkan jemarinya selarik
benda berwarna kehitaman tampak melesat ke
arah Ni Sukmini begitu cepatnya. Ni Sukmini
hanya sesaat saja bisa merasakan ada sesuatu
yang terasa begitu lembut menotok jalan
darahnya. Saat berikutnya ia merasakan ada
sesuatu yang menjalar dan membelai-belai
tubuhnya yang secara perlahan pula
membangkitkan nafsu birahinya. Wajah Ni Suk-
mini kelihatan memerah karena menahan sesuatu
yang terasa meledak-ledak di dalam dirinya.
Namun begitu gejolak itu mencapai puncaknya. Ni
Sukmini tiba-tiba saja merasakan tubuhnya
terasa kaku dan sangat sulit untuk di gerakkan. Si
Cebol Muka Harimau tersenyum puas. Apa yang
baru ia lakukan tadi adalah cara menotok jarak
jauh yang sangat ampuh, yaitu ilmu menotok
"MENGUSIR MENDUNG MENGELUS BIDADARI"
yang tiada tandingnya pada kaum golongan
hitam.
Mengetahui keadaan istrinya, beberapa saat
lamanya Bayu Anaksa nampak terperangah, tiada
kata yang terucap. Dan begitu ia menyadari apa
yang tengah terjadi dengan istrinya, maka
meledaklah kemarahannya. Dengan sekali genjot
tubuh pemuda itu melayang ke udara, kemudian
dengan manis ia menjejakan kakinya persis di
hadapan tiga manusia iblis itu. Dengan geram dan
penuh kebencian ia pun membentak: "Manusia-
manusia muka dajal! Kalian sungguh-sungguh tak
tahu malu memperlakukan istri orang sedemikian
rupa! kurang ajar, hadapilah aku...." Serentak
dengan ucapan itu, Bayu Anaksa menerjang
dengan sengit ke arah Si Tinggi Besar Muka
Tengkorak. Namun begitu jarak di antara mereka
sudah saling mendekat, Si Tinggi Besar Muka
Tengkorak hanya dengan mengebutkan tubuhnya
saja, sebuah gelombang hitam yang sangat panas
menerpa tubuh Bayu Anaksa. Tubuh pemuda itu
terlempar beberapa tombak, sebahagian tubuh-
nya berobah kehitam-hitaman. Bayu Anaksa
merasakan rongga dadanya remuk dan sesak.
Begitupun ia berusaha bangkit dan meng-adakan
perlawanan, demi melihat kenekatan pemuda ini,
ketiga manusia iblis tergelak-gelak.
"Hahaha....ja.lel....lel! Bocah! Nyawamu
sudah berada di tenggorokan masihkah kau ingin
jual lagak di depan kami?" Kata si Tinggi Besar.
"Manusia-manusia jahanam! Mau kalian
apakan istriku!" Bentak Bayu Anaksa lalu bersiap-
siap membangun serangan. Melihat gelagat ini Si
Tinggi Besar Muka Tengkorak menghardik :
"Bocah....beberapa tindak kau melangkah!
Nyawamu akan segera putus....!"
"Untuk itu sebelum ajal menjemputmu,
Jadilah pendekar yang baik. Dan supaya kau tidak
mati penasaran ketahuilah bahwa kami akan
mengambil alih untuk mengurus istrimu yang
cantik itu. kau masih belum becus apa-apa, kau
tak usah khawatir, karena kami akan
membahagiakannya. Dan tentu pula kami akan
membuatkan surga untuknya, he-hehe....!" Si
Cebol Muka Harimau menimpali. Demi mendengar
penjelasan manusia-manusia iblis ini, mendidihlah
darah Bayu Anaksa. Dia menerjang kembali. Akan
tetapi mendadak langkahnya tersendat, matanya
melotot. Sedangkan ke dua tangan menekap
tenggorokan. Tak lama kemudian pemuda ini pun
ambruk ke bumi.
"Padamu aku bilang apa bocah tolol, kau toh
mati juga, hehehe....!"
"Otaknya pasti masih enak kakang....!" Ujar
si Tinggi Kurus.
"Persetan. Cepat kita kembali dan urus
perempuan itu!" Bentak si Tinggi Besar. Tanpa
berani membantah Si Tinggi Kurus Muka Badak
loloskan sebuah selendang warna hitam yang
berbau sangat anyir, dengan sekali kebut, bagai
memungut sesuatu yang tak berguna, tubuh Ni
Sukmini melayang ke udara lalu jatuh di atas
pangkuan Si Tinggi Kurus.
Iblis Muka Badak ini pun tertawa tergelak-
gelak, begitu tangannya yang tinggal kulit
pembalut tulang itu tersentuh benda lunak yang
terdapat pada tubuh Ni Sukmini.
"Otakmu Adi Kurus. Jangan macam-macam!
Ingat perempuan itu untuk persembahan tetua
kita. Jangan kau kotori....!" Ujar Si Tinggi Besar
Muka Tengkorak mengingatkan. Si Tinggi Kurus
Muka Badak terkekeh.
"Jangan takut, aku pun tak ingin bertindak
ceroboh!"
"Kalau begitu mari kita tinggalkan tempat
ini!" Kata Si Cebol Muka Harimau. Baru saja
mereka menghentak kekang kuda, tiba-tiba saja
terdengar bentakan seorang laki-laki tua yang tak
lain merupakan orang tua si gadis. Tiga manusia
iblis urungkan niat, tanpa menoleh si Cebol Muka
Harimau menghardik: "Hemm....kiranya masih
ada tikus tua yang ingin di kirim ke neraka!"
Muka Badak kirimkan satu pukulan kilat.
"Wuut....!" Seberkas sinar maut berwarna ke
biru-biruan itu telah melabrak tubuhnya. Lolong
kematian pun menggema di udara. Jerit suara
tangis dari keluarga yang di tinggalkan terdengar
pilu menyayat. Ketiga manusia iblis itu saling
berpandangan: "Tunggu apa lagi, ayo,
...membuang-buang waktu saja....!" Tukas si
Tinggi Besar Muka Tengkorak, lalu menyentakkan
kekang kudanya. Gemuruh derap suara langkah
kuda akhirnya terdengar kembali. Semakin lama
semakin menjauh, begitu manusia-manusia iblis
itu lenyap. Bermunculanlah penduduk desa yang
sedari tadi hanya bersembunyi. Mereka beramai-
ramai memberikan pertolongan pada keluarga
yang baru saja di timpa malapetaka.
EMPAT
Di sebuah pesisir yang menjorok ke laut,
dengan hutan Bakau dan kayu api yang
menjulang tinggi. Hari itu angin laut berhembus
sepoi-sepoi basah. Dengan hamparan pasir yang
tampak memutih dan tiada pula bertepi, di situlah
yang bernama Tanjung Api berada. Sebuah
tempat di mana seorang guru dan muridnya
bermukim selama ini. Di sana pula si Tua Renta
Koreng Seribu dengan tekun dan tiada mengenal
bosan mnggembleng seorang murid yang
bernama Buang Sengketa dengan berbagai ilmu
kanuragan.
Hari itu genap dua puluh tahun Buang
Sengketa berada dalam asuhan si Tua Renta
Koreng Seribu. Seperti hari biasanya pagi-pagi
sekali tentu Buang Sengketa sudah terjaga dari
tidurnya. Dengan sigap dia langsung membuatkan
sarapan untuk gurunya, berupa ikan bakar, tak
lupa satu kendi nira kelapa yang masih segar.
Begitu jugalah yang terjadi di pagi itu. Buang
Sengketa selalu dengan telaten melayani segala
keperluan Guru, yang juga sekaligus sebagai
orang tua angkatnya ini. Dia tak tahu siapakah
orang tuanya yang sebenarnya, sebab menurut
cerita Kakek Berkoreng sejak bayi merah Buang
Sengketa telah di asuh oleh si Tua Renta yang
selalu bersikap angin-angin ini.
Kalau pada pagi itu dia melihat si Kakek yang
selalu murung ini kelihatan diam seribu bahasa,
hal ini membuat Buang Sengketa merasa sangat
heran. Sebab tak biasanya dia bertingkah seperti
itu. Atau sakitkah dia? Dalam keadaan seperti itu
Buang tak berani berkata sepatahpun. Begitulah
ketika Buang sedang menyertai gurunya untuk
sarapan pagi, Si Tua renta Berkoreng yang sejak
tadi hanya diam saja, kini mulai buka mulut.
"Buang.... sudah berapa tahun kau hidup
bersamaku?" Tanya si Tua Renta Berkoreng,
Seraya memandanggi wajah muridnya tidak
berkedip. Buang merasa sedikit heran dengan
pertanyaan yang di lontarkan oleh gurunya ini.
Dia tak pernah membayangkan bahwa pada
akhirnya dia harus menjawab pertanyaan seperti
itu. Dengan wajah tertunduk Buang berujar:
"Mungkin sudah hampir dua puluh tahun Guru!"
Si Tua Renta Koreng Seribu nampak manggut-
manggut, kemudian seperti berkata pada dirinya
sendiri.
"Dua puluh tahun.... berarti usiaku
menjelang seratus delapan puluh, hidup ratusan
tahun tiada guna. Aku sudah tua bangka. Dan aku
sudah bosan dalam pengembaraan ini. Sanak
saudara tiada punya. Apa daya! Hidup ini adalah
fatamorgana semata, orang-orang saling
membunuh demi memperebutkan sesuatu yang
tak pasti. Tapi diriku sendiri selalu lupa pada
Hyang Pencipta. Kata lalat-lalat itu aku ini dewa
pembasmi angkara murka, tapi aku sendiri
merasa bagai seorang setan pencabut nyawa.
Beribu-ribu jiwa telah di renggutkan oleh kedua
tangan celaka ini. Seandainya di sana nanti
terbentang pengadilan Yang Maha tinggi, apa
yang akan kukatakan. Sengsara....oh…celaka....!"
Kata-kata yang meluncur dari mulut si Tua
Renta Koreng Seribu, yang isinya membersitkan
penyesalan hati, membuat Buang Sengketa
semakin tak berani membuka suara. Tua Renta
Koreng Seribu agaknya mengetahui apa yang
sedang di fikirkan oleh muridnya ini. Lalu dia pun
menyela.
"Kau tentu heran mengapa aku berkata
begitu! Duduklah mendekat kepadaku. Hari ini
aku si Tua Renta yang tiada guna ini ingin
bertutur padamu tentang siapa dirimu yang
sebenarnya....!" Dengan hati berdebar Buang
Sengketa beringsut mendekati gurunya.
"Buang.... sebelum aku mengatakan sesuatu
padamu aku ingin bertanya apakah
keinginanmu....?" Tanya si kakek permurung ini
dengan senyum seperti dipaksakan. Buang
merasa bingung dengan pertanyaan gurunya.
"Maksud guru bagaimana?" Si Kakek Koreng
Seribu terkekeh, kelihatanlah giginya yang putih
bersih tapi hanya tinggal beberapa buah saja.
"Hahaha....huahaha....prush....!" Kemudian
masih di sea-sela tawanya: "Bocah, maksudku
apakah kau ingin sampai bangkotan tinggal
bersamaku di Tanjung Api ini....!"
"Maksud Guru apakah aku harus per....!"
"Buang.... aku sudah mau muntah melihat
tampangmu! Aku ingin agar kau segera
meninggalkan tempat ini..„!" Begitu tegas si Tua
Renta Berkoreng member! keputusan, sampai-
sampai Buang Sengketa di buat terbelalak tak
percaya. Sesungguhnya dia bukan tak mengerti
akan maksud gurunya. Sebagai orang yang sudah
dewasa sudah barang tentu gurunya ingin agar
muridnya ini dapat menimba pengalaman di dunia
luar. Akan tetapi dia merasa tak tega untuk
meninggalkan gurunya seorang diri di tempat itu.
Kalau saja nanti sampai gurunya jatuh sakit,
siapakah yang akan mengurusnya? Begitulah dia
berfikir.
"Mengertikah kau, Buang....?" Ulang si Tua
Renta begitu melihat keraguan di wajah Buang
Sengketa.
"Aku mengerti, Guru....tapi kalau ku ting-
galkan! Siapakah yang akan merawat dan
mengurus Guru, nantinya....?" Ujar Buang
khawatir. Mendengar pengakuan Buang Sengketa,
si Tua Renta Berkoreng kembali terkekeh.
"Hua....hahaha....prus....aku sudah tua
bangka! Mengapa ambil perduli. Apakah kau juga
bermaksud ingin menemaniku sampai ke liang
kubur....?" Bentak si Tua Renta Berkoreng tak
sabaran.
"Tapi, Guru....!"
"Aku si Tua Bangka tak mau dengar apa yang
kau katakan.... tapi kau harus mendengar apa
yang kukatakan nanti....!" Si Tua Renta nampak
diam sejenak, wajahnya yang sudah keriputan itu
kelihatan semakin mengkerut. Sementara Buang
Sengketa dengan sangat terpaksa hanya mampu
menurut. Ia tak ingin protes, walau sesungguhnya
kemauan untuk itu sesungguhnya sangat besar
sekali. Lalu tanpa memperhatikan Buang apakah
memperhatikan atau tidak, si Tua Renta
Berkoreng mulai lagi buka suara: "Sembilan
tahun yang lalu. Setiap menjelang tidur kau selalu
menanyakan siapa orang tuamu dan di mana
tinggalnya. Waktu itu aku hanya memberi
penjelasan sekenanya saja, karena ku fikir, saat
itu kau belum becus apa-apa. Kini tanpa kau
minta aku akan menjelaskan siapa orang tuamu
yang sebenarnya, karena setelah itu aku ingin
kau melihat-lihat keadaan dunia luar sana....!"
Sejenak Tua Renta Berkoreng hentikan kata-
katanya, alis wajahnya yang sudah kelihatan
memutih itu bergerak-gerak. Daya fikirnya yang
tumpul itu mencoba mengingat-ingat sebuah
masa lalu, saat di mana ia menemukan seorang
bayi yang masih merah, terombang ambing di
permainkan ombak di tengah lautan tidak begitu
jauh dari pertapaannya. Kemudian setelah
memungut bayi itu dari dalam sebuat kotak kayu
yang berlumuran darah dan telah kering. Di sisi
bayi itu terdapat sebuah pesan dun juga sebuah
golok Buntung yang setelah di teliti oleh si Kakek
Berkoreng adalah sebuah pusaka milik seorang
datuk dari Negeri Bunian. Lalu ingatlah pula dia
akan sebuah tulisan di dalam surat itu. Mendadak
wajah Si Tua Renta Koreng Seribu menunduk.
Tapi dasar orang tua aneh, sebentar kemudian dia
kelihatan seperti biasa kembali. Dengan mantap
dia mulai kembali.
"Buang, menurut sebuah pesan yang
menyertaimu sesungguhnya ibumu sudah tiada.
Beliau mangkat dalam menyelamatkan mu dari
orang-orang yang bermaksud ingin
membunuhmu....!" Penjelasan ini sudah barang
tentu sangat mengejutkan hati Buang Sengketa.
Berbagai pertanyaan muncul di benaknya, waktu
itu dia memberanikan diri.
"Mengapa mereka mau membunuhku, Guru?
Siapakah mereka itu....?" Tanya pemuda itu
penasaran.
"Menurut pesan yang di tulis oleh bundamu
sendiri, kehadiranmu di dunia ini diramalkan oleh
banyak orang bakal menimbulkan malapetaka.
Sebab seperti pengakuan ibu kandungmu sendiri.
Ayahmu adalah seekor Piton raksasa yang di
kutuk dan terusi dari Negeri Bunian karena telah
melangga sumpah, yaitu dengan mengawini
ibumu di alam Mayapada ini....!" Mendengar di
sebutnya sekor ular, bukan alang kepalang
terkejutnya Buang Sengketa.
"Siapakah nama ibu dan ayahku, Guru....!'
"Ibumu bernama Nyai Laesih, dia telah tiada
seperti yang kukatakan tadi. Sedang kan ayahmu
bernama Raja Piton utara yan kini tinggal di dasar
laut Selat Malaka....! Meskipun dalam hati
kecilnya Buang merasa tak percaya. Tapi ia
merasa penasaran juga.
"Seekor ular raksasa.... tapi mengapa beliau
tinggal di dasar laut dan siapa yang telah
membunuh bunda....?"
"Mengenai siapa yang membunuh ibumu itu
aku kurang mengerti, tetapi mengapa
Ayahandamu tinggal di dasar laut, hal itu dia
lakukan semata hanyalah untuk menebus
kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah di
buatnya....!" Jelas si Tua Renta Koreng Seribu.
"Aku jadi semakin tak mengerti Guru....!"
ujar Buang Sengketa setengah linglung. Si Tua
Renta Berkoreng menarik nafas pendek: "Nanti
juga akhirnya kau akan mengerti Buang! Waktu
yang akan mengatakannya padamu....!" Usai
berkata, Tua Renta Berkoreng masukkan
tangannya ke dalam jubah. Dan begitu tangannya
terulur sebuah kantong warna merah telah
tergenggam di tangannya. Dengan sangat hati-
hati ia membuka tali pengikat kantong. Si kakek
mengambil sesuatu dari dalamnya.
Begitu benda itu telah berada di tangannya,
Buang Sengketa tersentak dan terbelalak tak
percaya. Bagaimana tidak, benda yang
tergenggam di tangan si kakek memang tidak
dapat di sangkal hanyalah merupakan sebuah
Golok Buntung, tapi yang membuat Buang
terheran-heran adalah karena golok di tangan si
kakek memancarkan sinar berkilauan dengan
warna merah menyilaukan mata. Di samping itu
dengan tiba-tiba udarai di ruangan pendopo
terasa sangat dingin menggigil, padahal di
ruangan itu terdapat sebuah tungku perapian
yang masih menyala. Hawa dingin terasa
menyerang pemuda itu semakin lama bertambah
dasyat. Dalam keadaan seperti itu, Buang
Sengketa terpaksa segera membentengi diri
dengan tenaga dalam. Tentu saja si kakek
berkoreng mengetahui hal itu. Maka si kakek pun
terkekeh: "Kalau pusaka ini berada dalam
genggamanmu tentu kau tak merasa kedinginan,
Buang..."
Pemuda ini melongo. lalu tanyanya "Apakah
pusaka itu milik guru....?"
Lagi-lagi si Tua Renta Koreng Seribu
terkekeh.
"Huahahaha... ho wah aha... prus... tentu
saja tidak, pusaka ini milikmu, yang di titipkan
oleh ibumu padaku. Ini adalah sebuah pusaka
yang sangat luar biasa! Aku yakin dikolong jagat
ini tiada duanya....!"
LIMA
Begitulah Tua Renta Berkoreng memuji, akan
tetapi walaupun Buang Sengketa sedikit
banyaknya sudah mengetahui kehebatan Golok
Buntung itu, tapi ia kelihatan tak berminat untuk
memilikinya.
"Guru, bukannya aku merehkan kehebatan
Golok Buntung itu, akan tetapi karena bentuknya
dan sangat pendek sekali, maka aku kurang
berhasrat untuk memilikinya....!" Mendengar
pengakuan Buang Sengketa, tentu saja Tua Renta
Berkoreng di buat terkejut bukan alang kepalang.
Di samping juga timbul perasaan marah, akan
tetapi begitu ia menyadari dan ingat akan
sesuatu, maka dia pun tersenyum.
"Wee...bocah goblok...Golok ini
sesungguhnya sangat panjang dan indah bahkan
bisa di sambung kembali....!" Ujar si Tua Renta
mengingatkan.
"Apa maksudmu Guru....?"
Kakek Koreng Seribu menyeringai, kemudian
lanjutnya :
"Patahan golok ini sesungguhnya masih ada
pada seseorang dan kau berhak untuk
memintanya kapan saja kau mau....!
Buang Sengketa gosok-gosok wajahnya,
"Aku tak mengerti, guru...!'’
"Memang dasar bocah bebal, maksudku
bahwa sambungan Golok ini ada pada
ayahandamu si Piton Utara! Tentu saja dia cukup
mengerti mengapa dia meninggalkan sisa golok
ini padamu....!"
"Tapi aku tidak mengerti, Guru...!" Si Tua
Renta meihat kepolosan muridnya, jadi geleng-
geleng kepala.
"Selain untuk melindungi dirimu, tentu
ayahmu itu berkeyakinan suatu saat kelak
seorang anak akan mencari ayahnya! Untuk itu
sebagai tanda-tanda tertentu ia memberikan
puntungan Golok pusaka ini pada almarhum
ibumu, sedangkan bagian yang lain tetap di
bawanya. Seandainya suatu saat kau dapat
bertemu dengan ayahmu itu, karena kau
mempunyai tanda-tanda itu, tentu beliau akan
mengakuimu sebagai anak kandungnya! Begitulah
sesuai dengan pesan yang di tulis oleh ibumu!"
"Nah. Buang segalanya telah jelas dan kau
tak mempunyai hak untuk menolak pusaka
pemberian orang tuamu itu. Terimalah....!" Ujar si
Tua Renta, menyarungkan pusaka itu lalu
menggangsurkannya pada Buang. Buang
Sengketa menyembah tiga kali. Dengan agak
gemetar ia menerima Golok Pusaka itu, untuk
kemudian meletakkannya persis di hadapannya.
"Bocah goblok, pusaka itu harus kau selipkan
di tempat yang pantas pada bagian tubuhmu.
Bukan untuk di lihat-lihat seperti itu....!" Bentak
si Tua Renta berwajah murung kesal.
"Aku mengerti Guru, nanti juga ku
lakukan...." Buang tersenyum-senyum. Tanpa
menghiraukan tingkah muridnya dengan tegas si
Renta Koreng Seribu memutuskan: "Buang
Sengketa! Hari ini adalah merupakan saat-saat
terakhir kau bersamaku! Pergilah ke dunia ramai!
Rimba persilatan kini sedang di landa keresahan.
Dan bukan tidak mungkin akhirnya keresahan itu
berubah menjadi malapetaka. Aku yang sudah tua
tiada guna ini, ingin agar kau ambil bagian dalam
membasmi segala kejahatan yang selalu
menindas kaum lemah. Aku rasa apa yang aku
berikan sudah cukup! Satu saja pesanku, bawalah
apa yang kau dapat selama ini dariku ke jalan
yang benar. Semoga kau tetap selamat dan cepat
bertemu ayahandamu....!" Kiranya mendengar
wejangan gurunya tanpa terasa air mata Buang
Sengketa menggelinding menuruni kelopak
matanya, kemudian turun ke pipi, Buang merasa
sangat sedih untuk berpisah dengan gurunya.
Tapi yang jelas, tingkah laku Buang membuat si
orang tua tidak dapat lagi manahan tawanya.
"Hahaha...hoahah.... sudah dua puluh tahun,
sejak kau kecil aku tak pernah melihat orang
menangis. Tapi kiranya hari ini aku di hadapkan
pada seorang bocah yang cengeng.
Huh....sungguh memalukan!" Kakek Renta ini
mendengus.
Serta merta Buang menghapus air matanya.
"Untuk tidak mengecewakan guru, aku tidak
akan bersikap lemah. Guru memutuskan aku
untuk turun ke dunia ramai. Aku turun! Akan
tetapi bolehkah aku kembali setiap tiga
purnama....?"
"Weii...bocah edan! Apa yang kau dapat di
luaran sana, kalau cuma tiga purnama kau telah
kembali? Tiga purnama adalah sebuah waktu, bila
kau berkeinginan untuk muter-muter di sekitar
hutan ini belum juga puput....!" Si Kakek Renta
menggertakkan rahang. Semakin kesal,
bertambah jengkel.
"Lalu bagaimana guru....!" Si Kakek Renta
garuk-garuk rambutnya yang sudah putih.
Sejenak matanya melotot.
"Sekali kau berniat mencampuri urusan dunia
ramai. Seratus tahun lagi kau baru boleh
kembali....!"
"Seratus tahun....? Bukankah pada saat itu
guru sudah mati? Sedangkan umurku sendiri
belum tentu bisa bertahan sampai segitu!" Buang
Sengketa menyela dan merasa kurang setuju
dengan keputusan gurunya.
"Aku tak ingin dengan semua protesmu, aku
ingin saat ini juga kau segera minggat dari
hadapanku....!"
"Oh itu tidak adil guru! Aku baru mau
meninggalkan tempat ini menjelang sore nanti!"
Si Tua renta Koreng seribu mengangguk. Buang
kelihatan gembira bukan alang kepalang. Sesaat
si kakek meninggalkan pendopo, tak lama telah
kembali lagi dengan membawa sebuah pecut
yang sudah butut. Si kakek kembali duduk di
tempat semula. Seraya memperlihatkan pecut
jelek yang berada di tangannya.
Buang melirik ulah gurunya tanpa berkedip.
Tak kala Buang sudah merasa hampir bosan,
barulah si kakek angkat bicara: "Buang Sengketa,
aku tak dapat memberi apa-apa kccuali pecut ini.
Pada zamanku, cambuk jelek ini pernah
menggegerkan dunia persilatan. Ratusan nyawa
telah terenggut oleh pecut ini. Cambuk ini ku beri
nama, "PECUT GELAP SAYUTO" kehebatannya tak
perlu ku ceritakan padamu sebab akhirnya kau
akan tahu sendiri. Jika kau dalam keadaan sangat
terdesak, pergunakanlah dia....!"
"Guru! Aku sangat berterima kasih dengan
semuanya ini! Murid berjanji untuk tidak
mengecewakan harapan guru....!" Setelah
menerima cambuk pemberian gurunya dan melilit
di pinggang, Buang menjura beberapa kali.
Matahari telah condong di ufuk barat ketika
Buang Sengketa meninggalkan Tanjung Api. Tak
ada yang mengantar kepergiannya. Kakek Tua
Renta Koreng Seribu pun hanya mengantar
kepergiannya sampai di halam rumah saja. Sekali
lagi Buang Sengketa menoleh ke arah sebuah
gubuk bertonggak tinggi yang sudah kelihatan
sangat jauh. Dia sudah tidak melihat lagi gurunya
menatap kepergiannya. Semuanya mulai
kelihatan samar-samar dan untuk kemudian
berubah menjadi titik kecil dan hitam Buang
Sengketa sudah tiada perduli, dia tetap
melangkah pergi.
* * * * *
Cuaca buruk dan hujan badai yang kerap
terjadi akhir-akhir ini di sebuah daerah yan
bernama Guntiam tidak menyebabkan niat dua
bersaudara seperguruan itu bersurut langkah
dalam upaya mempersatukan kembali kaum
persilatan golongan putih yang telah terpecah
belah. Pagi itu dalam suasana hujan lebat, Dewi
Bantaran dan Aki Sumendep telah sampai di
kediaman Resi Pranada. Sebuah pondok kecil
yang terletak di pegunungan Gundul itu lengang.
Murid-murid Resi Pranada tak seorangpun
kelihatan. Hal ini tentu membuat Dewi Bantaran
dan Aki Sumendep bertanya-tanya dalam hati.
Sebab sepengetahuan mereka berdua dalam
situasi bagaimanapun biasanya murid-murid
pondok Giunung Gundul yang jumlahnya
mencapai puluhan orang akan selalu tampak
berjaga-jaga walaupun hanya di depan pintu. Hal
ini tentu saja membuat kedua orang kurir
penghubung ini semakin bertambah curiga, Maka
kedua orang tokoh tingkat tiga dari kaum
persilatan golongan putih yang berasal dari bukit
Barisan ini dengan tergesa-gesa segera memburu
ke arah pondok. Akan tetapi baru saja mereka
sampai di depan pintu, alangkah terperanjatnya
hati mereka, ketika keduanya melihat mayat-
mayat bergelimpangan. Untuk beberapa saat
lamanya Aki Sumendep memeriksa keadaan
mayat-mayat itu. Hampir dari kesemuanya mati
dalam keadaan tubuh hangus terbakar, Melihat
keadaaan mayat-mayat itu, tentu pelakunya tidak
seorang dan vang pasti memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Dewi Bantaran dan Aki Sumendep
saling berpandangan. Namun begitu mereka
teringat akan Resi Pranada, serta merta keduanya
menerjang ke dalam pondok. Suasana telah
mengerikan terbentang d hadapan mereka. Bagai
sebuah mimpi yang teramat buruk. Saling
membisu mereka memeriksa keadaan mayat-
mayat itu. Dan begitu mereka sampai di sudut
ruangan, bukan main terkejutnya mereka, Resi
Pranada juga tewas dalam keadaan mengerikan
seperti yang lainnya.
Kalau melihat keadaannya, tentu malapetaka
itu hanya beberapa saat yang lalu terjadi. Tapi
siapakah pelakunya? Yang pasti manusia-manusia
keji itu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Resi
Pranada atau bahkan lebii tinggi dari mereka
berdua. Sebab seperti mereka ketahui, Resi
Pranada adalah salah seorang dari lima tokoh
kosen golongan putih di negeri Andalas. Siapapun
tak meragukan kemampuannya. Bahkan kedua
kurir ini hanya memiliki kepandaian setingkat di
bawah Resi yang tewas. Kejadian ini benar-benar
sangat membingungkan utusan dari bukit Barisan.
"Bagaimana kakang.... Resi Pranada juga
kiranya ikut tewas dalam peristiwa ini!" Ujar Dewi
Bantaran menyesalkan. Aki Sumendep menarik
nafas pendek, matanya yang lumur itu
memperhatikan berpuluh-puluh mayat yang
bergelimpangan di hadapannya. Dengan agak
tersendat dia berkata: "Kiranya kita telah
terlambat memberi isyarat maut pada mereka!
Kini hanya tinggal dua Padepokan lagi yang
tersisa dan sangat perlu kita hubungi, mudah-
mudahan kita masih belum terlambat!"
"Kira-kira siapakah yang bertanggung jawab
atas kejadian ini kakang...?" Dewi Bantaran
menyambung. Aki Semendep tercenung untuk
beberapa saat lamanya.
"Kalau kesimpulanmu apa....?" Tanya Dewi
Bantaran tak sabar. Lagi-lagi Aki Semendep
terdiam. Tapi kemudian dengan sangat berhati-
hati.
"Mungkin desas-desus yang kita terima se-
lama ini benar adanya! Tiga manusia iblis itu
audah mulai membangun kekuatan yang siap
untuk menghancurkan kita, kemudian memenuhi
ambisi mereka untuk merajai dunia persilatan!”
“Untuk apa mereka menculik gadis-gadis
itu?” Dewi Bantaran semakin tak sabar.
ENAM
Desakan adik seperguruannya membuat Aki
Sumendep teringat akan sesuatu yang pernah di
ceritakan oleh almarhum guru mereka. Lalu dia
menyambung kembali.
"Tentu saja untuk menyempurnakan ilmu
mereka.... atau mungkin pula untuk
dipersembahkan pada sesuatu yang sangat
mereka yakini....!"
"Maksudmu apakah gadis-gadis malang itu
akan mereka persembahkan pada "SEPASANG
SILUMAN NAGA PUTIH?"
"Itu mungkin saja terjadi” Ujar Aki
Sumendep was-was
"Bukankah Sepasang Siluman itu menurut
ceritanya sudah kalah dan sudah pula dilenyapkan
oleh seorang pendekar yang berjuluk “SI
BANGKOTAN KORENG SERIBU” seratus tahun
yang lalu” Bantah Dewi Bantaran tak percaya
"Kita tak tau apa yang sesungguhnya terjadi.
Saat itupun kita belum lahir dan mungkin juga
pendekar yang telah melegenda itu telah
membinasakan sepasang siluman itu. Akan tetapi
seperti pernah dituturkan oleh mendiang guru kita
bahwa sepasang siluman itu sewaktu-waktu dapat
hidup kembali, apabila ada orang yang tahu cara-
cara untuk membangunkannya....!"
"Kalau memang benar siluman itu dapat di
hidupkan kembali! Ini sudah jelas merupakan
malapetaka bagi kita, pertemuan golongan putih
satu purnama di depan tentu tidak akan berguna
banyak....!" Kenang Dewi Bantaran sedih. Melihat
adik seperguruannya patah semangat, Aki
Sumendep coba mengingatkan: "Langkah kita
belum sampai di tengah jalan adi! Kita tak boleh
lemah seperti itu bukankah almarhum guru kita
juga pernah berpesan begitu? Kita harus
mencegah mereka, walaupun air mata darah
taruhannya,...!" Demi mendengar peringatan
saudara seperguruan. Dewi Bantaran cepat-cepat
hapus air mata yang sempat bergulir menuruni
pipinya yang halus mulus.
"Kakang benar. Ayo kita rumat jenazah
saudara-saudara kita ini, terlebih lebih jenazah
Resi Pranada....!"
"Mari,adi...." Demikianlah saat mereka mulai
menggali kubur, hujan masih turun walau tidak
sederas tadi. Tapi cukup membuat pakaian
mereka basah kuyup. Mereka tidak perduli, dan
setelah sebuah lubang massal tergali, mereka
membuat sebuah kubur lagi untuk Resi Pranada
yang mereka hormati, mereka bekerja cepat. Tak
begitu lama kemudian merekapun telah selesai
menguburkan jenazah-jenazah itu, begitupun de-
ngan jenazah Resi Pranada.
Setelah memberi penghormatan terakhir,
mereka sudah berniat untuk meninggalkan
Pondok Gunung Gundul ketika Dewi Bantaran
sempat melihat seseorang berjalan melenggang.
Dengan mengenakan pakaian merah menyala
beberapa puluh tombak di depan mereka.
Kehadiran orang ini tentu saja membuat ke dua
orang ini menaruh curiga.
"Berhenti....!" Bentak Dewi Bantaran. Bagai
orang tuli orang yang berpakaian warna merah
menyala ini terus melangkah menjauh. Merasa
diremehkan sudah barang tentu Dewi Bantaran
menjadi marah. Kemudian dia cabut senjata
rahasia dari balik jubahnya. Saat tangannya
terayun ke atas, Aki Sumendep datang
mencegah,
"Jangan! Kita belum tahu siapa orang ini....!”
"Tapi orang itu bertingkah di hadapan kita
kakang. Siapa tahu dia pula yang telah
membunuh Resi Pranada...!" Tukas Dewi
Bantaran kesal.
"Sabar.... kita tanya dulu....!" Dewi Bantaran
geram. Lalu sekali orang-orang ini berkelebat,
langkah orang berpakaian merah menyala inipun
terhadang. Dan bukan main terkejutnya Aki
Sumendep dibuatnya. Karena nampak biasa-biasa
saja. Sesuatu yang membuat geli bagi kedua
orang saudara seperguruan itu adalah karena
pemuda itu membawa sebuah periuk penuh
jelaga, sedangkan rambut di kuncir sebatas bahu.
Dan Dewi Bantaran sendiri dalam hati sangat
menyayangkan. Karena pemuda yang sangat
tampan ini ternyata seorang pemuda yang kurang
waras.
Dewi Bantaran jadi tak berminat untuk
menanyai pemuda ini. Lain halnya dengan Aki
Sumendep, setelah dia memperhatikan pemuda
ini, sedikit banyaknya dia tahu, kalau pemuda
yang bertabiat aneh ini tentu mempunyai
kepandaian. Untuk itu dia menguji.
"Bocah....mampuslah kau....!" Aki Sumendep
lancarkan satu serangan. Hal ini tentu saja
membuat heran adik seperguruannya. Ketika
Dewi Bantaran bermaksud memprotes, sadarlah
dia bahwa Aki Sumendep hanya bermaksud
menguji pemuda itu.
Sementara itu si pemuda yang di serang
sedemikian mendadak, tidak membuatnya
menjadi gugup. Dengan mudah dia berkelit,
serangan mematikan yang di lancarkan Aki
Sumendep menemui tempat kosong. Hal itu
sudah cukup bagi Aki Sumendep untuk
mengetahui apakah pemuda itu memiliki
kepandaian silat atau tidak. Itu makanya dengan
sikap sopan ia bertanya: " Orang muda siapakah
kau ini sebenarnya dan dari mana asal
usulmu....?"
Dengan sikap acuh pemuda ini yang
sesungguhnya Buang Sengketa adanya untuk
beberapa saat memandang pada Aki Sumendep
dan Dewi Bantaran secara bergantian.
"Hei...malah melotot seperti itu! Jawab
pertanyaan kakangku, cepat....!" Bentak Dewi
Bantaran merasa jengah terus menerus di
perhatikan oleh Buang Sengketa.
"Kau cantik....tapi galak. Aku tak akan
menjawab orang yang galak seperti kau!"
"Kurang ajar....!" Dewi Bantaran kirim satu
pukulan yang mengarah ke perut Buang
Sengketa.
"Jangan adi....!" Cegah Aki Sumendep.
Namun terlambat, karena Buang Sengketa juga
memapasinya. Dua kekuatan bertemu walau
Buang Sengketa hanya mengerahkan seperempat
dari tenaganya akan tetapi akibatnya sungguh
sangat luar biasa bagi Dewi Bantaran.
"Blaaammm....!" Dewi Bantaran terpental
beberapa tombak. Walaupun tidak sampai
muntah darah karena Buang memang tidak punya
maksud buruk. Hal ini selain membuat dada Dewi
Bantaran terasa sesak akan tetapi ia merasa
sangat malu. Terlebih-lebih di depan saudara
seperguruan dia di perlakukan seperti itu. Dia
tidak bisa terima! Dengan cepat dia bangkit dan
bersiap-siap dengan sebuah serangan barunya.
"Adi, jangan! Lebih baik kita tanyai pemuda
ini, siapa tahu dia mengetahui hal yang telah
menimpa Pondok Gunung Gundul!"
"Tidak bisa kakang, dia telah
mempermalukan aku!”
”Aku tak bermaksud menghiha adikmu yang
cantik itu. Sungguh....!" Dengan polos Buang
memuji, dan dengan sopan pula ia menjura
hormat pada Aki Sumendep.
"Lihatlah Dewi, dia telah minta maaf
Sudahlah jangan sakit hati lagi....!"
Walaupun hatinya masih kesal, Dewi
Bantaran memaafkannya: "Baik, aku
memaafkanmu! Tukasnya ketus. Kemudian
sambungnya lagi: "Kakang cepat korek
keterangan dari mulut-nya....!"
"Adi kau tidak boleh bersikap kasar separti
itu...!" Lagi-lagi dengan sabar Aki Sumendep
mengingatkan adik seperguruannya. Tak lama
kemudian dia kembali lagi dengan Buang
Sengketa.
"Siapakah namamu dan dari manakah asal
usulmu!" Ulangnya.
"Namaku Buang Sengketa... mengenai asal
usul, aku tak dapat mengatakannya,....!
"Nah, kakang apa kubilang. pemuda ini tak
dapat di percaya....!" Protes Dewi Bantaran.
"Tenanglah Dewi....!"
"Untuk apa? Lebih baik kita potes kepalanya
lalu kita pergi! Siapa tahu dia sengaja mematai
kita....!"
"Jangan gegabah! Aku tak tahu apa yang
kalian kerjakan disini....!"
"Dia pura-pura kakang....!" Tukas Dewi
Bantaran marah. Aki Sumendep tanpa
menghiraukan ocehan adiknya kembai bertanya
pada Buang Sengketa: "Orang muda, melihat
tampangmu aku percaya padamu. Aku ingin agar
kau menjawab beberapa pertanyaan lagi. Setelah
itu kami akan pergi! Masih banyak pekerjaan
yang harus kami selesaikan daripada hanya
sekedar bertanya jawab....!"
"Silahkan! Kalau aku tahu tentu akan
kujawab!" Buang Sengketa berkata tegas.
"Baiklah....tahukah kau siapa yang telah
melakukan pembantaian disini. Tanya Aki
Sumendep dengan pandangan penuh selidik.
"Tidak tahu....tadi aku hanya melihat anda
berdua mengubur mayat-mayat itu!" Aki
Sumendep manggut-manggut. Lain lagi dengan
Dewi Bantaran yang merasa kurang puas dengan
jawaban si pemuda.
"Kakang tidak bisa percaya dengan orang ini
begitu saja. Siapa tahu dia berpura-pura....!"
Demi mendengar tuduhan Dewi Bantaran
yang tidak beralasan itu, memerahlah wajah
pemuda Bunian ini, Dengan dingin dia bergumam:
"Aku berada di dunia ramai yang penuh dengan
tipu-tipu ini ada satu yang ingin kutawarkan,
yaitu sebuah kebenaran. Sungguh keterlaluan kau
menuduhku begitu....!"
Mendengar ucapan yang terasa pelan, namun
menggetarkan pembuluh-pembuluh darah
mereka. Maka sadarlah kedua orang ini bahwa
laki-laki yang berada di hadapan mereka
bukanlah pemuda sembarangan. Belum lagi
pertanyaan di hati mereka terjawabkan.
Mendadak terdengar derap langkah kuda.
Semakin lama semakin dekat. Jumlah orang-
orang berkuda itu kesemuanya tidak lebih dari
sepuluh orang, berpakaian hitam gelap dengan
berbagai senjata bergeluyut di punggung mereka.
Orang-orang berkuda itu berhenti begitu sampai
di depan Buang Sengketa. Agaknya salah seorang
dari mereka mengenal Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran. Karena begitu orang ini melihat mereka
langsung saja tertawa. Sebuah tawa yang tinggi
melengking sangat mirip dengan suara ringkik
kuda.
"Hehehehe.... sangat kebetulan sekali
kawan-kawan. Kalau hari ini begitu mudahnya
dapat menangkap kurir yang ingin
mempersatukan golongan putih, yang cuma
tinggal tikus-tikus comberan saja....!" Ujar si
Gemuk Ringkik Kuda terkekek.
"Tentu guru kita akan merasa bersukur
karena hari ini juga kita dapat tikus betina cantik
yang selama ini sangat didambakan-nya....!" Si
Brewok yang ada di sampingnya menimpali.
Diejek seperti itu tentu saja Dewi Bantaran mulai
naik pitam, dengan bertolak pinggang dia
membentak.
* * * * *
TUJUH
Dan kemudian mencaci maki pada orang-
orang utusan manusia iblis.
"Kalian para murid manusia iblis, jangan kira
kami takut menghadapi kalian semuanya. Kalian
jangan mimpi untuk dapat menghancurkan
golongan kami!" Si Muka Brewok tertawa
terkekeh-kekeh.
"Gundukan tanah itu saja sudah
membuktikan bahwa golongan kalian sudah tidak
ada apa-apanya. Hentikan sajalah usaha kalian.
Lebih baik ikut dengan kami! Kalian pasti hidup
senang dengan guru kami!"
"Puih... aku tidak akan berhenti sampai disini
saja. Jagalah mulutmu yang busuk itu....!"
"Wee...dia menghinamu kakang Brewok,
sikat saja....!" Si Brewok tanpa berkata-kata lagi
langsung meloloskan sebuah golok Besar
bierwarna kehitaman yang tergantung
dipunggungnya.
"Manusia Setan! Kalian berani berlagak di
depan kami....!" Maki Dewi Bantaran lalu bersiap-
siap membangun serangan.
"Bocah ayu...kami tidak perlu membuat lecet
tubuhmu. Tak usah galak-galak, kami hanya ingin
membantai kedua ekor tikus yang
menyertaimu...!" Ucapan si ringkik kuda ini tentu
saja memancing amarah Buang Sengketa yang
sejak tadi hanya diam menonton. Kini dia sudah
tahu masalah yang sesungguhnya dan siapa yang
harus di bela dia sudah tentukan. Untuk itu dia
menghardik kearah si Ringkik Kuda.
"Segala kucing belekan mau jual lagak di
depanku! Enyahlah kalian...!" Usai berkata begitu
Buang dorongkan tangan kirinya ke depan. Dan
selarik gelombang dengan warna Ultra Violet
menderu dan melesat ke arah orang-orang
berkuda itu. Itulah sebuah pukulan yang teramat
dasyat yang di beri nama, "EMPAT ANASIR
KEHIDUPAN" yang dimiiki oleh Buang. Dan
akibatnya sungguh sangat luar biasa. Bagai daun-
daun kering tubuh dan kuda mereka luruh
berpentalan ke bumi. Jerit kematian pun
membahana di tempat itu. Dari sekian banyak
orang berkuda itu, kini hanya tinggal bersisa
empat orang saja. Itupun keadaan mereka sudah
terluka dalam cukup parah, enam orang lainnya
sudah kojor dalam keadaan tubuh yang
mengerikan. Tentu saja kenyataan ini membuat
Dewi Bantaran dan Aki Sumendep terbelalak
kagum. Dalam usia masih begitu muda orang ini
sudah memiliki kesaktian yang sangat luar biasa.
Dan mungkin pula melebihi kesaktian dari tiga
manusia iblis yang kini sedang bersiap-siap untuk
menghancurkan kaum persilatan golongan putih.
Tanpa sadar Aki Sumendep berseru memuji.
"Sungguh mataku yang lamur ini tak percaya
bahwa hari ini sang Hyang widi telah
memperlihatkan sesuatu yang sangat luar biasa.
Hebat! Siapakah guru bocah....?"
"Ah.... anda terlalu berlebihan Aki. Segala
pukulan picisan begitu tentu setiap orang bisa
melakukannya!" Ujar Buang Sengketa merendah.
"Beginilah orang yang menganut ilmu padi....
semakin berisi semakin merunduk!" Buang hanya
tersenyum di kulum. Tanpa menghiraukan Aki
Sumendep, Buang Sengketa kembali kepada
keempat musuhnya yang mulai melangkah
tertatih-tatih.
"Hari ini kuampuni jiwa anjingmu. Katakan
pada majikanmu bahwa aku akan datang kesana.
Cepat kalian tinggalkan tempat ini sebelum aku
berobah pendirian!" Bentak Buang melotot. Lalu
tanpa menoleh lagi sisa-sisa utusan datuk sesat
ini dengan terhuyung-huyung meninggalkan
mereka bertiga. Setelah keempat sisa utusan
manusia sesat itu lenyap dari pandangan mereka.
Kini Buang Sengketa kembali pada Aki Sumendep
dan Dewi Bantaran.
Sebelum berkata apa-apa pendekar Bunian
ini merogoh periuk yang tergantung di
pundaknya. Dia mengeluarkan beberapa potong
dendeng ikan lumba-lumba kemudian
menawarkannya pada dua orang seperguruan itu.
Tapi dengan halus Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran menolaknya. Tanpa merasa
tersinggung, dengan lahap Buang Sengketa mulai
mengunyah tiga potong dendeng yang di
keluarkan dari dalam periuk tadi. Kemudian masih
dengan mengunyah.
"Aki. Aku sudah tahu siapa kalian! Kita orang
segolongan, untuk itu aku sudah memutuskan
untuk membantu kalian berdua....!"
"Kalau begitu tentu anda tidak keberatan
untuk menyertai kami, orang muda?" Ujar Aki
Sumendep penuh harap.
"Namaku Buang Sengketa...!" Jelas si
pendekar Bunian.
"Tentu saudara Buang tidak keberatan
mengikuti kami dalam usaha mempersatukan
golongan kita!" Kata Dewi Bantaran berubah
lunak.
Buang tersenyum lucu.
"Maaf Dewi, untuk mengikuti kalian jelas
tidak mungkin sebab aku sendiri masih punya
urusan yang sangat penting!" Buang Sengketa
menjawab seadanya.
"Oh...!" Aki Sumendep agak kecewa. "Aki tak
perlu risau... bila saja nanti urusanku di Sorik
Merapi sudah beres, tentu aku akan
menyambangi anda berdua...!" Mendengar di
sebut-sebutnya Sorik Merapi tentu kedua orang
ini merasa kaget.
"Sorik Merapi? Ada keperuan apakah?!"
"Nantinya juga aki akan tahu, aku tak dapat
berama-lama. Selamat Tinggal!" Berkata begitu,
tiba-tiba saja Buang Sengketa telah lenyap dari
pandangan mereka.
"Pemuda itu memiliki kesaktian yang sangat
luar biasa ya, kakang....!" Kata Dewi Bantaran
diiringi sesungging senyum berseri-seri.
"Mudah-mudahan saja dia benar-benar akan
membantu kita...!" Ujar Aki Sumendep
melangkah pergi diikuti Dewi Bantaran. Dan
sebentar saja keduanya semakin menjauh dari
Pondok Gunung Gundul.
* * * * *
Puncak Sorik Merapi yang selalu
menampilkan kesan angker, masih di selimuti
kabut tebal di senja itu. Matahari yang sejak pagi
tertutup a wan membuat suasana di sekitar-nya
menjadi cepat bertambah gelap. Nun jauh di
ujung sebelah barat lereng bukit. Mengangalah
sebuah jurang yang tiada terukur dalamnya. Dan
di pinggiran tebing itu pula terdapat jalan setapak
berbatu lumut dan sangat licin. Andai orang biasa
tentu tak sanggup melalui jalan itu, sebab jika
kurang berhati-hati dan tergelincir, tentu batu-
batu cadas yang jauhnya ribuan meter di bawah
sana sudah siap menanti. Sorik Merapi memang
tidak pernah ramah pada siapapun. Berpuluh-
puluh orang, baik itu pemburu, pencari kayu
bakar ataupun hasil hutan lainnya telah banyak
tersesat dan hilang raib tak tentu rimbanya.
Hutan di sekitar Sorik Merapi memang selalu
terasa angker, penuh misteri dan penuh dengan
segudang tanda tanya. Itulah sebabnya Sorik
Merapi merupakan sebuah kawasan pegunungan
yang tertutup bagi siapapun.
Kembali pada jalan licin tadi. Meskipun jalan
ini sepertinya tak pernah dilalui jin, setan apalagi
manusia. Tetapi sesungguhnya jalan di pinggir
tebing yang curam itu, merupakan jalan satu-
satunya untuk dapat mencapai mulut gua tempat
pertapaan tiga manusia iblis yang terletak tidak
begitu jauh dari pinggiran tebing. Merekalah yang
selama ini mempergunakan jalan itu pada saat-
saat mereka ingin bertemu dengan para muridnya
yang bermukim di bawah jurang sana jadi
tepatnya tiga manusia iblis itu tinggal di atas
tempat tinggal para muridnya. Persis seperti raja.
Sore menjelang malam kesibukan di dalam
goa kelihatan lain dari biasanya. Tiga manusia
manusia sesat ini nampak berkumpul, tidak diam
di pertapaannya masing masing. Mereka sedang
sibuk mempersiapkan persembahan untuk
disajikan pada sepasang siluman naga putih, yang
berdiam di telaga kawah, hanya beberapa meter
dari pertapaan mereka. Masing-masing orang
mempunyai keperluan dan tugas yang saling
tarbeda. Si Cebol Muka Harimau sedang berbenah
mendandani sebuah altar persembahan yang
terbuat dari batu pualam merah darah. Si Tinggi
Kurus Muka Badak nampak sedang
mempersiapkan berbagai jenis bunga-bunga di
samping memotong kemenyan lonjoran sebesar
batang kelapa. Si Tinggi Besar Muka Tengkorak
lain lagi. Sedari tadi dedengkot rimba persilatan
golongan hitam ini kelihatan sibuk memandikan
tubuh Ni Sukmini.
Karena masih dalam keadaan tertotok, tubuh
Ni Sukmini yang putih mulus itu dari dalam
keadaan setengah telanjang tidak mampu untuk
di gerak-gerakan. Bahkan untuk berkata-kata dia
pun tidak mampu. Hanya linangan air mata saja
yang menggambarkan kepedihan dan rasa
takutnya. Meskipun dia tahu bahwa si Tinggi
Besar Muka Tengkorak keihatannya tidak memiiki
nafsu untuk kaum perempuan dan walaupun dia
tahu si Muka Tengkorak bertampang dingin ini tak
mempunyai niat kurang ajar padanya Akan tetapi
cara ia memandikan Ni Sukmini yang tak ubahnya
bagai memandikan bayi merah. Membuat bekas
pengantin baru itu meremang sekujur tubuhnya.
Apalagi terkadang dengan tangannya yang kokoh
si iblii muka Tengkorak menggosok-gosok bagian
tertentu yan sangat sensitif. Kalau saja Sukmini
bisa membebaskan diri dari totok tentu dia akan
mencakar dan mencaci maki wajah yang sangat
buruk itu. Atau bahkan memenggal tangannya
yang bergentayangan ke mana-mana.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba saja Ni
Sukmini teringat pada Bayu Anaksa suaminya dan
juga teringat akan nasib ayahnya tewas di tangan
iblis-iblis ini secara mengenaskan. Akan tetapi
apabila ia terkenang pada nasibnya sendiri,
semuanya akan lebih buruk lagi bila di banding
dengan nasib yang dialami oleh suami maupun
ayahnya. Waktu terus berputar tanpa bosan,
malam nanti tentu akan terjadi bulan purnama
penuh, satu saat yang telah lama di nanti-
nantikan oleh ketiga manusia iblis ini. Sebab
malam nanti adalah merupakan malam puncak
kesempurnaan ilmu mereka. Satu lagi ilmu sesat
paling tinggi yang akan di turunkan oleh tetua
mereka yaitu, "SEPASANG SILUMAN NAGA PUTIH"
Alat-alat persembahan sudah hampir usai di
sediakan, Tubuh mulus Ni Sukmini yang setengah
telanjang, telah diletakkan di tengah-tengah altar.
Di sekeliling tubuh wanita malang itu diletakkan
pula berbagai rangkaian bunga aneka warna.
Tidak jauh di sudut altar, tumpukan bara merah
menyala telah siap untuk membakar berpuluh-
puluh batangan kemenyan. Sebuah tempayan
yang berukuran sedang telah pula siap
menampung darah Segar Ni Sukmini. Kini hanya
tinggal menunggu waktu. Saat-saat di mana
bulan purnama penuh tiba, Ke tiga manusia iblis
itu menanti dengan penuh harap. Lain lagi halnya
dengan Ni Sukmini yang sudah nampak pasrah.
Menunggu saat-saat paling mengerikan tiba.
Begitulah keadaan mereka masing-masing.
Dan apabila malam bertambah larut dan apabila
langit gelap sudah tersibak, diangkasa raya sana
bulan purnama penuh terlihat terang benderang.
Tiada kata yang terucap dari mulut ketiga laki-laki
itu. Akan tetapi dengan pasti mereka mulai
melangkah men-dekati altar. Beberapa saat
kemudian mereka telah tegak berdiri mengelilingi
tubuh Ni Sukmini. Mulut si Tinggi Besar Muka
Tengkorak nampak berkomat-kamit, sesungging
senyum menjijikkan menghias di wajahnya yang
mengerikan itu.
DELAPAN
Ni Sukmini hanya mampu memandangi
manusia iblis ini dengan rasa takut yang tiada
terperikan. Selesai si Tinggi Besar membacakan
mantera-mantera yang tiada di mengerti akan
maksudnya oleh Ni Sukmini. Manusia Muka
Tengkorak itu memberi isyarat pada si Cebol
Muka Harimau. Si Cebol Muka Harimau segera
mendekati dupa yang berisikan bara api yang
menyala-menyala, Di pungutnya sepotong
kemenyan sebesar batang kelapa. Lalu di
angkatnya keatas bara api! Dengan sekali remet
kemenyan tadi lebur menjadi serpihan-serpihan
kecil, lalu serpihannya dia taburkan di atas bara
api. Bau yang menyengat hidung sebentar saja
telah memenuhi ruangan gua.
Mulut si Cebol terus berkomat kamit
membacakan mantera, tak lama kemudian
terjadilah sesuatu yang sangat luar biasa. Tidak
begitu jauh di bawah mereka, terdengar suara
bergemuruh yang sangat dahsyat.
Telaga kawah yang tadinya nampak tenang
kini mulai menggelegak dan bergejolak. Air di
dalam telaga kawah itu mulai mendidih dan
semakin lama semakin bergolak naik
kepermukaan. Si Cebol Muka Harimau
menyeringai puas. Pada saat yang bersamaan di
tengah altar, Si Tinggi Besar Muka Tengkorak dan
Si Tinggi Kurus Muka Badak segera melaksanakan
tugasnya. Keduanya segera mendekati tubuh Ni
Sukmini yang setengah telanjang. Lalu Si Tinggi
Besar Muka Tengkorak mengangkat tubuh Ni
Sukmini tinggi-tinggi, sementara Si Tinggi Kurus
Muka Badak menyediakan tempayan kosong
untuk menampung darah Ni Sukmini yang saat itu
kelihatan menggigil.
"Jangan takut bocah! Arwahmu pasti bisa
tenang bersama sepasang siluman junjungan
kami....!" Si Tinggi Besar Muka Tengkorak
menggerang. Ni Sukmini meskipun dalam
keadaan ketakutan yang sangat luar biasa tiada
mampu berbuat banyak. Bahkan berteriak pun dia
tak kuasa karena urat lehernya masih dalam
keadaan tertotok. Begitu Si Tinggi Besar Muka
Tengkorak selesai dengan ucapannya, secepat
kilat ujung-ujung jemarinya yang berkuku
panjang itu berlebat.
"Crasss....!" Sebelum Ni Sukmini dapat
menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi
dengannya, darah telah memancarkan dari
lehernya yang terputus. Si Tinggi Kurus Muka
Badak segera manampung curahan darah itu
dengan tempayan yang telah disediakan.
Kemudian tubuh tanpa kepala itu tampak
mengejang selanjutnya terkulai di tangan si
Tinggi Besar Muka Tengkorak. Lalu manusia iblis
itu segera melemparkan tubuh berikut kepala
yang terputus ke dalam telaga kawah. Telaga
Kawah yang memang sudah mengelegak itu,
begitu menerima tubuh Ni Sukmini semakin
bergejolak. Tubuh Ni Sukmini sebentar saja telah
lenyap di telan air telaga yang baunya sangat
menjijikkan. Didih air telaga semakin menjadi-
jadi.
Tatkala Si Tinggi Kurus Muka Badak mulai
mencurahkan darah bercampur ramuan berbagai
bunga itu ke dalam telaga. Bagai sebuah letusan
gunung berapi, suara menggelegar terdengar.
Bumi seakan runtuh, bahkan dinding gua tempat
pertapaan mereka bergetar hebat. Air telaga
segera membubung keatas. Bersamaan dengan
itu muncullah sosok siluman naga putih yang
sangat mengerikan.
Dari dalam telaga, "SEPASANG SILUMAN
NAGA PUTIH ITU", melesat ke udara dan
beberapa saat kemudian ia menjejakkan kakinya
di tengah Altar. Si Tiga mausia iblis itu langsung
ngdeprok menghaturkan sembah. Sepasang naga
putih yang setengah badannya dalam ujud
manusia, tertawa tergelak-gelak. Kemudian
dengan tatapan bengis dia pun berkata:
"Huahaha.... hahaha.... Ngik Terimakasih....
kalian telah mampu membuat kami terjaga dari
tidur kami yang panjang. Kami telah berjanji
untuk membuat kalian dapat merajai dunia
persilatan. Persembah yang kalian berikan pada
kami, telah kami terima dengan senang hati.
Untuk itu kam berkenan mengabulkan
permohonan kalian.
"Terima kasih, tetua....!" Ketiga manusia iblis
itu serentak menghaturkan sembah. Lagi-lagi
Sepasang Siluman Naga Putih itu tergelak-gelak.
"Bersiap-siaplah kalian bertiga untuk
menerima ilmu warisan dari kami...!” Usai berkata
begitu, tangan sepasang siluman yang bagaikan
cakar itu terpentang ke depan. Dari mulutnya
terdengar suara mendesis dan suara raungan dua
ekor naga. Tiga manusia iblis sudah nampak
bersiap-siap. Begitu suara raungan itu usai.
Sepasang siluman itu menggerakkan ke empat
tangannya ke depan. Selarik sinar berbau anyir
melesat kearah tiga manusia iblis. Sinar warna
biru kehitam-hitaman itu kemudian seperti
bernyawa bergerak mengurung dan mengitari
ketiga manusia iblis. Mereka segera saja
merasakan panas yang sangat luar biasa
merasuki tubuh mereka. Darah seakan
menggelegak, dan begitu sinar sakti itu berputar
dan sampai di atas kepala mereka, perlahan
lahan sinar itu bagai di sedot merasuki ubun-ubun
mereka.
Begitu sinar itu lenyap ketiga orang itu
merasakan tubuhnya seperti di rasuki kekuatan
aneh yang meledak-ledak. Mengetahui ketiga
orang asuhannya nampak kebingungan, sepasang
siluman naga putih berseru lantang.
"Tak usah heran dengan keadaan yang
tengah terjadi. Kalian ketahuilah bahwa ilmu sakti
yang kami turunkan pada kalian ini adalah,
"DARAH NAGA BERGELORA". Dengan ilmu yang
sangat hebat ini, dalam waktu singkat kalian
dapat malang melintang di rimba persilatan tanpa
penghalang. Dalam waktu singkat pula kalian
sudah dapat menjadi raja dari segala raja kaum
persilatan. Tak seorangpun yang mampu
menghalangi kalian. Sebab di dunia ini hanya ada
satu orang yang dapat menandingi kesaktian,
"DARAH NAGA BERGELORA", tapi itu ratusan
tahun yang lalu, Yaitu Si Bangkotan Koreng
Seribu! Tapi kalian tak perlu takut, sebab manusia
jahanam itu kini telah mampus....!" Kata
Sepasang Siluman naga putih dengan penuh
kebencian.
"Nah...kami tak dapat berlama-lama disini.
Kami kira dengan apa yang telah kami berikan
pada kalian itu sudah cukup untuk memenuhi
ambisi kalian selanjutnya....!"
"Terima kasih tetua....!" Ucap si tiga manusia
iblis serentak. Mereka menghaturkan sembah tiga
kali. Namun begitu mereka mengangkat wajahnya
Sepasang Siluman Naga Putih telah lenyap dari
pandangan mereka. Secara berbareng mereka
menoleh ke telaga kawah. Suara bergemuruh
kembali terdengar, air telaga nampak menyusut
kembali. Beberapa saat kemudian goa itu kembali
sepi menyeramkan.
* * * * *
Sudah hampir sepekan saudara seperguruan
ini melakukan perjalanan, namun Bukit Penantian
yang mereka tuju masih belum juga kelihatan.
Menurut perkiraan Aki Sumendep, menjelang
tengah hari nanti jika tidak ada halangan tentu
mereka sudah sampai di Padepokan Bukit
Penantian. Demikianlah, tanpa mengenal lelah
kedua orang ini nampak terus berkelebat di
antara kayu-kayu hutan yang tinggi menjulang ke
angkasa raya. Tepat seperti apa yang di
perkirakan oleh Aki Sumendep, menjelang tengah
hari puncak bukit penantian telah kelihatan dari
kejauhan. Akan tetapi alangkah terkejutnya dua
orang saudara seperguruan itu begitu melihat
asap dan lidah api nampak membubung tinggi
keudara. Aki Sumendep dan Dewi Bantaran saling
berpandangan.
"Apa yang sedang terjadi, kakang....!" Tanya
Dewi Bantaran curiga. Beberapa saat lamanya Aki
Sumendep terdiam, lalu bayangan yang tidak-
tidak bermuculan di benaknya.
"Api itu kelihatannya berasal dari lereng bukit
penantian....!" Aki Sumendep setengah
bergumam.
"Kakang, jangan-jangan padepokan bukit
penantian terbakar....!" Jerit Dewi Bantaran
Histeri.
"Cepat kita kesana....!" Tanpa membuang
waktu, keduanya bagai kesetanan melesat. Hanya
dalam waktu sepemakan sirih keduanya telah
sampai di depan Padepokan bukit Penantian.
Tepat seperti dugaan Dewi Bantaran, Padepokan
itu memang sedang terbakar hebat. Api berkobar
di mana-mana, Mayat-mayat tampak
bergelimpangan. Keadaan mengerikan memang
sedang terjadi di sekitar padepokan itu.
Segalanya berlalu cepat, ketika Aki Sumendep
teringat akan sesuatu, laki-laki setengah tua itu
berteriak-teriak.
"Adi Dewi..... kakang Narada..... kakang
Narada harus kita selamatkan!" Tanpa menunggu
jawaban adik seperguruannya Aki Sumendep
berari-lari mengitari Padepokan yang di lalap api.
Begitu juga Dewi Bantaran tidak tinggal diam. Dia
mencari-cari di sekitar padepokan. Begitu mereka
berulang kali mengitari tempat itu, namun tidak
ada tanda-tanda bahwa Resi Narada berada di
antara mayat-mayat itu.
Sedang mereka dalam keadaan bingung
seperti itu, mendadak terdengar suara lolong dan
berkelebat nya sesosok tubuh yang terbakar
mencelat keluar dari kobaran api yang semakin
menggila. Begitu keluar dari kobaran api tersebut,
tubuh yang terbakar itu langsung bergulingan di
atas tanah berpasir. Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran segera memburunya, Begitu mereka
sampai di depan orang yang terbakar itu. Maka
tahulah mereka bahwa orang yang dalam
keadaan sekarat itu tak lain dan tak bukan Resi
Narada adanya. Dengan sekali kebut padamlah
api yang membakar tubuh Resi Narada. Aki Su-
mendep segera membalikkan tubuh Resi Narada
yang sudah setengah matang dan nafasnya hanya
tinggal satu-satu. Dengan cepat pula dia bertanya
pada Resi Narada.
"Kakang Narada.... siapa yang telah me-
lakukan perbuatan keji ini....?" Tanya Aki
Sumendep lirih. Agaknya Aki Narada walau kini
sudah tidak dapat lagi melihat karena luka bakar
yang dideritanya masih dapat mengenali suara
Aki Sumendep. Meskipun dengan sura parau dan
hampir tak terdengar, ia bicara patah-patah dan
tersendat.
"Manusia.... ma.... nusia....iblis itu. Berhati...
hat....i lah kalian....!" Belum lagi Resi Narada
selesai berkata-kata, nyawa sudah terputus.
Melihat keadaan Resi Narada yang tewas secara
menggenaskan, Aki Sumendep nampak mengepal
tangannya Dia merasa sangat geram, amarahnya
meledak-ledak sampai keubun-ubun.
"Keparat setan-setan itu! Aku. Aki Sumendep
tidak akan tinggal diam dan akan kubalas sakit
hati ini. Iblis....hati-hatilah kalian....!" Geramnya.
"Kakang semuanya sudah terlambat! Kita
selalu dan selalu keduluan....!" Dewi Bantaran
raenyesali. Mendengar keluh kesah adik se-
perguruannya, maka semakin mendidihlah darah
Aki Sumendep. Amarah menjadi-jadi. Begitu
tangannya bergerak sebuah pohon besar menjadi
sasaran kemarahannya. Satu pukulan dasyat
yang dimilikinya terlepas tanpa kontrol, akibatnya
pohon tadi berderak patah, lalu.
* * * * *
SEMBILAN
Tanpa dapat di cegah lagi pohon itu ambruk
kebumi. Dewi Bantaran merasa kurang senang
dengan tindakan saudara seperguruannya ini.
Untuk itu dia coba memprotes: "Kakang!
Mengapa kakang bersikap seperti itu! Kalau
kakang marah ya, marah....jangan membabi buta
seperti anak kecil.....!" Di tegur seperti itu oleh
adiknya, Aki Sumendep nampak terdiam, agaknya
dia merasa bersalah.
"Sudahlah kakang....masih banyak yang
harus kita kerjakan. Mayat-mayat itu sangat
membutuhkan kita. Alangkah baiknya kalau kita
segera mengubur mereka! Lihatlah sebentar lagi
senja telah tiba....!" Ujar Dewi Bantaran. Namun
Aki Sumendep bagai tak mendengar kata-kata
adiknya, dia masih saja menekuri mayat Resi
Narada. Sepasang matanya menatap hampa pada
sosok tubuh yang hangus terbakar itu. Agaknya
kejadian itu terasa sangat memukul hati Aki
Sumendep.
"Kakang apa yang kau renungi lagi,
ayolah....!" Ulang Dewi Bantaran. Aki Sumendep
tetap terdiam! Dalam keadaan seperti itu, tentu
saja Dewi Bantaran tidak berani mengusik. Dia
cukup tahu bagaimana adat saudara
seperguruannya ini. Untuk itu tanpa berbasa basi
lagi Dewi Bantaran segera melaksanakan
tugasnya seorang diri.
Kuburan massal kini harus dia buat lagi.
Bahkan kini seorang diri! Demi untuk mengejar
waktu agar jangan pekerjaan menguburkan
mayat-mayat itu sampai kemalaman. Dewi
Bantaran segera mengerahkan segenap
kemampuan yang ada. Setelah satu lubang
massal tergali, Dewi Bantaran dengan cekatan
pula mengumpulkan mayat-mayat murid
Padepokan Bukit Penantian yang bergeletakan di
mana-mana. Sementara Aki Sumendep bagai
orang linglung masih kelihatan menekuri mayat
Resi Narada, orang yang paling dia hormati
selama ini. Tanpa menghiraukan saudara
seprguruan yang masih tenggelam dalam
kesedihan Dewi Bantaran segera mengubur
mayat-mayat yang sudah terkumpul dalam satu
lubang yang sangat besar. Sebentar saja
pekerjaan itu telah selesai. Nafas gadis berumur
dua puluhan itu nampak ngos-ngosan. Tapi dia
sudah tidak perduli, dia masih harus menggali
satu lubang. Yaitu untuk menguburkan jenazah
Resi Narada. Kini dia kembali menggali dari terus
menggali, hingga kemudian pekerjaan itu di
rasakannya sudah cukup.
Gadis itu segera menghampiri Aki Sumendep
yang masih tetap dalam keadaan semula. Lalu
digamitnya pundak saudara seperguruannya itu,
lalu dengan sangat berhati-hati : "Kakang....kita
harus segera mengubur jenazah Resi Narada!
Sebentar lagi malam tiba, perjalanan kita pun
masih panjang! Kalau kakang selemah ini,
bagaimana bisa meneruskan pesan guru!
Terlebih-lebih untuk menghadapi mereka
kakang....!" Dewi Bantaran menjadi sedih.
Sementara itu, Aki Sumendep masih tidak
bergeming, Dewi Bantaran semakin bertambah
sedih.
"Kakang.... kalau kakang tidak mau dengar
kata-kataku lagi lebih baik aku pergi saja....!"
Bagai arca Aki Sumendep tetap dengan
keadaannya. Mengetahui saudara seperguruanya
tetap seperti semula, maka tahulah Dewi
Bantaran, bahwa Aki Sumendep terpukul
semangatnya. Tiada cara lain untuk dapat
memulihkan keadaan saudara seperguruannya ini
terkecuali dengan sebuah kekuatan pemberian
mendiang gurunya, yaitu sebuah ilmu,
"PEMBANGKIT SEMANGAT". Dewi Bantaran
menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan
satu kali lengkingan yang sangat keras dia pun
membentak.
"Kakaaaaannnngggg.....!" Bukan main
akibat dari ilmu pembangkit semangat itu. Suara
Dewi Bantaran yang melengking tinggi itu
menggema di seantaro penjuru. Daun-daun yang
masih hijau berguguran, bahkan andai suara
lengkingan itu di perdengarkan pada Orang yang
sedang bunting, pasti melahirkan saat itu juga.
Demikianlah demi mendengar suara lengkingan
adik seperguruannya. Aki Sumendep tersentak,
lalu bagai orang yang baru terjaga dari tidurnya
dia menatap heran pada keadaan sekelilingnya.
"Apa yang telah terjadi denganku, adi....!?"
Tanya Aki Sumendep setengah pikun.
"Tak ada apa-apa... kakang cuma tertidur
sebentar....!" Dewi Bantaran berkata lunak.
"Eh.... mayat Resi Narada! Mengapa kita
belum menguburkannya....?" Tanyanya
memprotes.
"Aku baru saja hendak memulainya.....!"
Jelas Dewi Bantaran.
"Kalau begitu mari cepat kita kerjakan!
Sebentar lagi tentu akan segera malam….!" Kata-
kata Aki Sumendep yang terasa sangat
menggelitik hati Dewi Bantaran ini sudah barang
tentu membuatnya tak mampu untuk menahan
tawa.
"Hihihi....kakang lucu! Itu makanya jangan
tidur melulu! Kuburan untuk Resi Narada telah
selesai ku gali, yang lainnya pun sudah ku
kuburkan. Hanya tinggal Resi Narada saja yang
belum....!"
"Kalau begitu ini bagianku....!" Berkata
begitu Aki Sumendep segera saja membopong
tubuh Resi Narada yang sudah setengah matang.
Akhirnya dengan di bantu oleh Dewi Ban-
taran, hanya dalam waktu yang tidak begitu lama
Aki Sumendep telah menyelesaikan tugasnya.
Kedua orang itu beberapa saat lamanya nampak
menekur dekat gundukan tanah merah, mereka
tenggelam dalam kekusyukan doa, tatkala
segalanya telah selesai. Saat itu malam telah tiba.
Aki Sumendep dan Dewi Bantaran tidak dapat
meneruskan perjalanannya, di samping mereka
memang sangat lelah setelah melakukan
perjalanan berhari-hari tiada henti-hentinya. Ki-
ranya mereka memang butuh waktu untuk
istirahat. Demikianlah secara bergantian mereka
memejamkan mata. Di tempat itu malam yang
begitu dingin mereka lewatkan, tiada kata-kata
yang terucap, ketika pagi menjelang kedua
saudara seperguruan itu kembali meneruskan
perjalanan yaitu mengubungi sebuah Padepokan
yang cuma tinggal satu-satunya
Pada saat itu di sebuah tempat lain pada saat
yang sama nampak seorang pemuda dengan
berpakaian warna merah menyala kelihatan
sangat tergesa-gesa melompat dan menjejakan
kakinya di atas sebuah pohon. Siapakah adanya
pemuda yang berpakaian merah menyala dengan
sebuah periuk yang selalu tergantung di
pundaknya ini? Dia tak lain adalah Buang
Sengketa si pendekar negeri bunian. Tapi
mengapa pula dia yang semula berniat membuat
urusan di puncak Sorik Merapi, kini malah sampai
di tempat itu? Singkatnya begini!
Ketika Buang Sengketa mulai melakukan
perjalanan untuk mencapai Sorik Merapi,
sesungguhnya hatinya diliputi keragu-raguan.
Entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa sangat
kasihan pada dua orang seperguruan itu. Sebab
menurut perhitungannya sesungguhnya Aki
Sumendep maupun Dewi Bantaran meskipun dua
tokoh persilatan yang tidak perlu diragukan akan
kemampuannya tetapi jelas tidak mungkin untuk
menghadapi si Tiga Manusia iblis dari puncak
Sorik Merapi. Yang menurut desas desus yang dia
dengar sepanjang perjalanan yang mereka lalui,
kini tiga manusia-manusia iblis itu sudah memiliki
kesaktian maupun kepandaian yang sangat
sempurna. Yang pasti berada beberapa tingkat di
atas kepandaian yang dimiliki oleh dua orang
seprguruan itu. Pada saat itu Buang berfikir,
walau memang pada dasarnya bahwa dia tidak
pernah meragukan kemampuannya sendiri, akan
tetapi menurut hematnya alangkah lebih baik lagi
jika dia ikut bergabung dengan kedua orang itu
dan juga beberapa tokoh dari beberapa
padepokan yang ada dengan begitu dia berarti
tidak usah susah payah lagi untuk menemukan
tempat di mana iblis-iblis itu berada. Begitulah
dipertengahan perjalanan pemuda ini memutar
langkah. Kemudian tanpa tujuan yang pasti,
karena sesungguhnya dia tak tahu ke arah mana
Aki Sumendep dan Dewi Bantaran pergi. Pemuda
melangkah kearah matahari terbit. Beberapa hari
kemudian ketika pemuda itu melintas di sebuah
daerah dia melihat api menjulang tinggi. Semula
ia hanya menyangka bahwa kobaran api itu
hanyalah merupakan kebakaran biasa, akan
tetapi begitu dia mengampiri tempat kejadian,
tahulah dia bahwa di tempat itu telah terjadi
pembantaian yang sangat mengerikan. Mayat-
mayat bergeleletakan di mana-mana. Buang
merasa tak seorangpun di antara mereka yang
selamat.
Begitu pemuda itu melihat rombongan kuda
berlalu menjauh dari tempat kejadian. Sadarlah
pemuda itu bahwa yang bertanggung jawab
dalam peristiwa mengerikan itu mungkin saja
orang-orang berkuda yang baru saja
meninggalkan tempat itu. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi Pemuda ini segera
mengerahkan segenap kemampuannya. Ilmu lari
cepat yang dia miliki ternyata cukup berarti
banyak dalam melakukan usahanya ini. Maka
sebentar saja orang-orang berkuda itu talah
terlapaui, tak heran karena Si Tua Renta
Berkoreng pernah mengajarkan ajian, "SAPU
ANGIN" pada pemuda itu.
Pemuda itu kini kelihatan duduk ongkang-
ongkang di atas pohon randu yang sedang
berbuah lebat. Dari kejauhan terdengar derap
langakah kuda, semakin lama semakin jelas.
Hanya beberapa saat kemudian mucullah
rombongan berkuda ini. Jumlah mereka lebih dari
tiga puluh orang. Si pemuda demi melihat jumlah
mereka nampak tersenyum sinis. Nafsu amarah
yang meledak-ledak memenuhi rongga dada
Buang Sengketa. Tak lama setelah rombongan
berkuda itu mendekat, Buang Sengketa meraih
beberapa buah Randu, sekali tangannya yang
kokoh itu ber-kelebat, Bagai meteor buah Randu
itu melesat. Rombongan berkuda yang tidak me-
ngetahui adanya serangan kilat ini berpelantingan
roboh untuk kemudian tidak bangun-bangun lagi.
Kejadian yang begitu tiba-tiba ini tentu saja
sangat mengejutkan kawan-kawan mereka yang
lainnya.
"Hemmm....tikus dari mana yang berani
sekali jual lagak di depan utusan tiga datuk
iblis....?" Geram salah seorang dari mereka, lalu
kiblatkan tangannya ke arah Buang Sengketa.
Buang yang menyadari bahwa si Gemuk Pendek
berwajah hitam legam yang di sekujur tubuhnya
di tumbuhi bulu-bulu mirip seekor Gorilla,
menyambitkan senjata rahasia dengan tengan dia
memapasi. Lalu hanya dengan sekali tiupan saja
menderulah angin kencang dari mulut nya,
Senjata rahasia yang dikirimkan oleh si gemuk
pendek pun runtuh dan berpentalan ke mana-
mana, bahkan beberapa buah di antaranya
berbalik dan menyerang si empunya. Si Gemuk
Pendek sambil mencaci maki kembali kiblatan ta-
ngannya. Senjata rahasia yang berupa batang hio
beracun miliknya itupun runtuh ke bumi.
* * * * *
SEPULUH
Buang Sengketa terkekeh begitu melihat si
Gemuk Pendek semakin bertambah marah.
Kemudian dengan gerakan yang sangat ringan,
tubuh Buang Sengketa melayang turun.
"Setan gila pembawa priuk! Apa maksudmu
menghadang perjalanan kami...?" Hardik si
Gemuk Pendek Muka Gorila.
"Siapa yang menghadang! Siapa pula yang di
hadang....?" Buang Sengketa balik bertanya. Hal
ini membuat si Tinggi Gemuk yang berada di
sebelah si Gemuk Pendek jadi ikut marah,
kemudian dengan suara lantang segera
membentak: "Bocah sialan, di tanya malah balik
bertanya! Kau benar-benar ingin segera di kirim
ke liang kubur...!"
"Sebaiknya kita memang harus cepat-cepat
mengirimnya ke neraka kakang Begu untuk apa
kita membuang-buang waktu! Bukankah satu
padepokan lagi yang harus kita selesaikan...?" Si
Gemuk Pendek menimpali.
Melihat pembicaraan mereka, maka kini
jelaslah sudah bahwa orang-orang ini kiranya
yang telah melakukan pembantaian di Bukit
Penantian. Wajah Pendekar dari Negeri Bunian ini
mendadak berubah menjadi kelam membesi,
sepasang matanya menyorot tajam dan
memandang penuh kesadisan, kemudian dengan
suara keras menggelegar dia menghardik.
"Orang-orang sesat! Kaliankah yang telah
membunuh dan membakar Padepokan Bukit
Penantian..?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh
Buang Sengketa, si Tinggi Gemuk terkekeh.
Perutnya yang bundar bagai kuali yang dibalikkan
itu ikut bergoyang-goyang.
"Kalau benar... kau mau apa bocah?"
Ejeknya.
”Jika memang benar, kalian harus
meninggalkan kepala kalian semuanya di sini!
Barulah kalian boleh berlalu dari hadapanku..."
"Weee... bocah, nyawa kawanku yang baru
kau betot saja belum kau tebus kini kau malah
minta kepala kami, apakah kupingku yang tua ini
tidak salah dengar...?"
"Hem... nyawa anjing kurap begitu, mana
ada harganya di mataku...!" Buang Sengketa
mendengus.
Mendapat penghinaan ini tentu saja orang-
orang berkuda itu sangat marah. Kemudian
dengan gerakan tanpa terduga-duga. Si Tinggi
Gemuk segera kirimkan pukulan kilat. Pukulan ini
sesungguhnya tidak dapat di anggap enteng,
sebab pukulan yang diberi nama dengan,
"SERIGALA TERLUKA" ini sesungguhnya
merupakan sebuah pukulan yang sangat beracun
dan mematikan. Jangankan hanya manusia,
seekor gajah sekalipun bila mendapat pukulan
seperti ini sudah barang tentu akan segera
terkapar mati. Begitulah, walaupun Buang
menyadari pukulan ganas itu mengarah ke
dadanya, tetapi dengan tenang dia menyambut.
"Plak, Blaaar...!" Buang Sengketa
memapakinya dengan jurus "SI HINA MENGUSIR
LALAT."
Karuan saja Si Tinggi Gemuk terpental
beberapa tombak. Kenyataan ini membuat
kawan-kawannya yang lain terbelalak tak
percaya. Si Tinggi Gemuk adalah merupakan
murid kedua dalam asuhan si Tiga Manusia Iblis
yang selama ini mereka ketahui sebagai utusan
yang belum pernah ketemu tanding.
Kenyataannya kali ini pemuda yang masih sangat
hijau dan belum mereka kenal, akan tetapi telah
mampu membuat si Tinggi Gemuk utusan Tiga
Datuk Iblis itu terjatuh bahkan menyemburkan
darah segar. Sungguh tidak masuk di akal.
Si Gemuk Pendek segera melompat dari
kudanya. Dengan pandangan penuh selidik dia
membentak: "Bocah... siapakah kau? Aku masih
dapat memberimu ampun asal saja kau segera
menyingkir dari hadapan kami...!"
Mendengar kata-kata Si Gemuk Pendek
kiranya si Tinggi Gemuk tak mau terima dengan
perlakuan yang baru saja dia alami. Dengan
tergesa-gesa dia menyela.
"Tidak bisa Adik pendek! Aku akan pergi dari
sini setelah memenggal kepala bocah edan ini...!"
Tukas Si Tinggi Gemuk sambil menyeka darah
yang meleleh dari celah-celah bibirnya. Melihat si
Tinggi Gemuk dan Gemuk Pendek, Buang
Sengketa tergelak-gelak.
"Hei... manusia-manusia iblis! Mengapa
kalian saling cakar bagai anjing kurus berebut
tulang?" celetuk Buang. "Aku sendiri! tidak akan
mengampuni kalian, jangankan kau harap aku
ingin minta ampun pada iblis-iblis seperti
kalian...!"
"Jahanam! Anak-anak, cincang bocah itu...!"
perintah si Gemuk Pendek. Karuan saja, tanpa
menunggu di perintah dua kali anggota utusan
datauk-datuk sesat ini yang sejak tadi hanya
mampu memendam amarah segera berloncatan
dari kuda-kuda mereka.
Pertarungan sengit pun segera terjadi.
Pendekar dari negeri Bunian ini di kepung dari
berbagai penjuru. Segera saja suasana yang
tadinya sepi kini berubah menjadi hiruk pikuk tak
karuan. Berbagai jenis senjata nampak
mengurung, membabat, menusuk, bahkan
memenggal. Dalam keadaan seperti ini Buang
Sengeketa tak mau bertindak tanggung-
tanggung. Sekali tangannya berkiblat, jerit
kematian setinggi langit menyayat dari mulut
mereka yang menjadi korbannya.
Kini Pendekar dari Negeri Bunian ini kembali
bergebrak, kemudian tanpa terduga-duga ia
bersalto ke udara, begitu tubuhnya yang kekar itu
menukik, dengan di sertai lengkingan yang
dahsyat, pendekar ini hantamkan telapak tangan
kanannya pada musuh-musuhnya, selarik sinar
berwarna merah membara segera saja menderu
dari tangan Buang Sengeketa. Begitu sinar tadi
mendera tubuh musuh-musuhnya. Tak ampun,
kembali jerit kemataian membahana. Lebih dari
selusin utusan manusia iblis itu berpelantingan ke
berbagai penjuru, untuk kemudian roboh ke bumi
dengan tubuh hangus dan nyawa terputus. Demi
menyaksikan apa yang sedang terjadi di hadapan
mereka. si Gemuk Pendek dan Si Gemuk Tinggi
nampak semakin keheranan. Sungguh mereka tak
pernah menyangka kalau hari ini mereka bakal
menghadapi seorang bocah ingusan namun cukup
tangguh.
"Gorila jelek... apakah aku harus membantu
orang-orangmu ini sampai tiada bersisa baru
nantinya kalian berdua....?" Teriak Buang
Sengketa tanpa berpaling dari lawan-lawannya.
"Hahaha... kau jangan bangga dulu! Coro-
coro itu memang bukan lawanmu berpalinglah
dan hadapi kami...!"
Kepalang basah, para bawah utusan manusia
iblis itupun yang hanya tinggal beberapa orang
lagi dia sikat habis.Dengan melipat gandakan
tenaganya Buang Sengketa kirimkan satu pukulan
lagi. Tanpa ampun selarik sinar merah menyala
kembali menderu. Satu sapuan dari hawa
kesaktian yang dahsyat membuat orang-orang ini
berpelantingan meregang ajal. Pendekar Bunian
ini tersenyum sinis. kemudian berpaling pada dua
orang yang menjadi pimpinan rombongan, yang
kini telah bersiap-siap dengan serangannya.
"Apa lagi yang kalian tunggu! Tikus-tikus
comberan itu telah kukirim ke neraka! Sebentar
lagi tentu kalian pun akan segera menyusul...!"
"Wueeeh... mulutmu terlalu sombong bocah!
Kau belum tahu siapa kami, tapi sayang...
kesalahan terlalu besar telah kau buat! nanti jika
sudah sampai ke liang kubur menyesal pun tiada
guna...!"
Usai berkata begitu dua orang utusan
manusia iblis itu serentak meyerang ke arah si
Pendekar Bunian. Benar saja, kiranya apa yang
baru mereka gembar-gemborkan itu kiranya
bukanlah omong kosong belaka. Kombinasi jurus-
jurus silat mereka yang bervariasi di tambah lagi
dengan kerja sama di antara mereka yang begitu
baik, membuat Buang Sengketa tiada mempunyai
kesempatan untuk melakukan serangan-serangan
balasan. Beberapa puluh jurus telah berlangsung
namun sejauh itu Pendekar Bunian ini masih
belum mampu melakukan serangan balik. Dan
ketika satu pukulan yang cukup telak yang
dilancarakan oleh Si Gemuk Pendek hampir saja
menggedor dan meremukkan dadanya. Pada saat
itulah Buang Sengketa mulai merubah jurus-jurus
silatanya. Dengan mempergunakan jurus
"MEMBENDUNG GELOMBANG MENIMBA
SAMUDRA" kini perubahan besar segera terjadi.
Sepasang tangannya yang kokoh itu membentuk
sebuah perisai yang sangat sulit untuk dicari titik
kelemahannya. bahkan kini dengan gerakan yang
lincah dan sangat sulit untuk di duga-duga, Buang
Sengeketa melakukan serangan balik yang sangat
mematikan. Dua orang datuk-datuk sesat ini
mulai nampak kewalahan dan keteter. Saat-saat
berikutnya orang-orang ini mulai terdesak hebat.
Menghadapi kenyataan seperti itu, si Gemuk
Pendek dan Si Gemuk Tinggi segera mencabut
senjatanya yang bentuknya sangat aneh. Senjata
si Gemuk Pendek adalah sebuah untaian mata
rantai yang sangat besar sedang di ujung mata
rantai itu terdapat bola besi berduri. Sedangkan
senjata yang dimiliki oleh si Gemuk Tinggi ini lain
lagi, Si Tinggi Gemuk ini nampak
mempergunakan sebilah pedang bercabang yang
sangat putih mengkilat. Dengan senjata berada di
tangan, orang-orang ini nampak berbahaya
kembali. Dan hanya beberapa saat saja, setelah
senjata itu ada di tangan mereka Buang masih
dapat mempergunakan jurus, "MEMBENDUNG GE-
LOMBANG MENIMBA SAMUDRA" selanjutnya
Buang Sengketa mulai di buat kalang kabut.
Dengan bola rantai di tangannya yang terus
berputar mencari sasaran di Gemuk Pendek terus
mencecar, suara-suara berdentum yang di
timbulkan oleh bola rantai itu bagai meruntuhkan
gendang-gendang telinga. Sementara si Gemuk
Tinggi dengan pedang bercabangnya pun tak
kalah bahayanya, mendadak Buang Sengketa
melabrak membabi buta. Walaupun jurus-
jurusnya bagai tak terkendali dan tanpa suatu
perhitungan, akan tetapi sesungguhnya setiap
langkah dan geraknya bisa berakibat sangat fatal.
Demikianlah dalam waktu singkat Pendekar
Bunian ini sudah dapat menguasai keadaan.
Walaupun keadaannya telah berubah, kiranya
pendekar tampan ini agaknya menginginkan
untuk mengakhiri pertarungan itu. Terbukti
beberapa saat berikutnya Buang kembali
mencelat ke udara, setelah bersalto beberapa kali
kini dia sudah agak menjauh dari arena
pertempuran. Dua Utusan Iblis yang menyangka
bahwa lawannya segera kabur, dengan cepat
segera memburu.
"Mau lari kemana kau bocah edan...!"
"Tinggalkan dulu kepalamu baru kau boleh
berlalu dari hadapan kami...!"
Buang nampak diam tiada bergeming,
kiranya pada saat itu, Pendekar Bunian ini sedang
mempersiapakan sebuah pukulan mematikan
yang diberi nama, "SI HINA DINA MERANA."
Begitu tangan pemuda itu terpentang ke atas,
sadarlah utusan datuk-datuk sesat ini bahwa
nyawa mereka dalam keadaan terancam. Buang
Sengketa rentangkannya ke depan. Selarik sinar
berwarna ungu menderu.
"Awas kakang...!" Si Gemuk Pendek meng-
ingatkan, kiranya peringatan itu tiada memiliki
arti apa-apa. Sebab sinar ungu yang menyatu
dengan sebuah gelombang yang sangat panas itu
ternyata lebih cepat dari sekedar kata-kata Baik si
Gemuk Pendek maupun si Gemuk Tinggi sudah
tidak dapat lagi menyelamatkan diri. Keduanya
tunggang langgang di landa pukulan yang
dilancarkan oleh Buang Sengketa. Jerit kematian
membahana setinggi langit. beberapa saat tubuh
utusan manusia-manusia iblis itu nampak
berkelonjotan. Buang dengan cepat menghampiri,
si Gemuk Pendek maupun si Gemuk Tinggi
nampak melotot seolah tak percaya dengan apa
yang sedang terjadi pada diri mereka Pendekar
Bunian itu tersenyum dingin, kemudian segera
memungut sebilah pedang yang tergeletak tidak
begitu jauh dari tempat berdiri. Kemudian
katanya: "SESUNGGUHNYA, aku tak sampai hati
melihat penderitaan kalian, untuk itu aku akan
meringankannya..!" Usai berkata begitu pedang di
tangannya berkelebat, maka putuslah kedua leher
utusan datuk sesat itu tanpa dapat memprotes.
Sesaat kemudian di pandanginya mayat-mayat
yang bergelimpangan itu. Setelah itu tanpa peduli
dia segera berlalu dari tempat itu.
* * * * *
SEBELAS
Lembah Kaur yang jaraknya lebih kurang
setengah hari perjalanan berkuda andai di
tempuh dari Padepokan bukit Penantian, hanya
kelihatan bagai sebuah guliran yang memanjang
di sela-sela bukit terjal yang tiada terhitung
jumlahnya. Sore itu Buang Sengeketa telah
sampai di bibir lembah yang merupaka sebuah
jembatan penghubung untuk sampai di lembah
itu. Meskipun dia tidak tahu siapa sesungguhnya
yang menghuni lembah yang sangat sunyi itu.
Akan tetapi Pendekar Bunian itu tetap
mengayunkan langkahnya ke sana. Pemuda itu
tanpa mengalami kesulitan yang cukup berarti
terus menuruni lereng tebing yang curam. Malam
ini dia merasa sangat perlu untuk dapat
beristirahat yang cukup. Setelah berahari-hari
melakukan perjalanan. Di samping mencari
sekedar keterangan, dalam hati kecilnya
sesungguhnya dia ingin tahu siapakah penghuni
lembah yang berkesan angker itu.
Seolah tak begitu lama Buang mengayunkan
langkah, kini sampailah pemuda itu di daerah
lembah. Dia terus melangkah menuju sebuah
pondok yang sangat sederhana. Akan tetapi
begitu dia bermaksud untuk melangkahkan
kakinya ke arah halaman yang resik. Nalurinya
mengatakan ada beberapa pasang mata yang
terus mengawasi gerak geriknya, Karena pada
dasarnya ia memang membawa maksud baik, dia
tidak perduli dengan orang-orang yang
mengintainya tak jauh dari pondok. Begitulah,
ketika pemuda itu sudah hampir di depan pintu.
Suara bentakan-bentakan pun terdengar. Lalu
bermunculan lah beberapa orang berpakaian
putih-putih. Pendekar Bunian mengurungkan
niatnya, beberapa saat dengan sabar dia menanti.
Sebentar saja orang-orang ini sudah
mengurungnya.
"Apa saja kerjamu di lembah Kaur ini
kisanak...?" tanya salah seorang mereka yang
berkumis tebal.
Melihat cara mereka bertata krama,
mengertilah Pendekar Bunian ini bahwa orang-
orang penghuni lembah itu ternyata merupakan
orang baik-baik adanya. Maka dengan sopan pula
dia menjawab.
"Namaku Buang Sengketa! Sengaja datang
dari daerah yang jauh hanya ingin bertemu
dengan sesepuh lembah ini...!"
"Kisanak. Guru kami Kyai Prambudi sedang
kedatangan tamu yang sangat penting! Rasanya
beliau masih belum bisa di ganggu....!"
Mendengar jawaban laki-laki berkumis tebal
ini wajah Pendekar Bunian memerah. Dengan
kemarahan yang tertahan pemuda ini bergumam.
"Aku juga seorang tamu! Walau tak diundang
tetapi aku membawa sebuah maksud yang baik.
Apakah kalian curiga padaku...?!"
"Kisanak. Kami tak berani melanggar
peraturan yang sudah di tentukan! Kalau kisanak
sabar, tunggulah sampai guru kami berkenan
menemuimu...!"
Mendengar jawab orang ini yang terdengar
lembut namun menyakitkan, Buang Sengketa
menggertakkan geraham. Masih untung dalam
keadaan tegang seperti itu, terdengar suara
teguran dari dalam pondok.
"Murid Salanaya... ada tamu, perlakukan
dengan baik! Suruh dia menemuiku sekarang
juga....!"
"Maafkan aku guru...!" Setelah menjura ke
dalam pondok, laki-laki berkumis tebal yang
bernama Salanaya itu kembali menoleh pada
Buang Sengketa.
"Kisanak.... guru mengijinkan kisanak untuk
menemui beliau...!* ujar Salanaya tersipu.
"Terima kasih atas kemurahan anda
semuanya...!"
Setelah menjura hormat, Buang Sengketa
segera melangkahkan kakinya ke arah pintu yang
sudah terbuka. Namun begitu dia sampai di dalam
ruangan pondok dia agak kaget. Karena ternyata
tamu yang dimaksud oleh orang-orang di luar
pondok adalah orang yang pernah dia kenal.
Siapa lagi kalau bukan Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran. Kedua orang ini langsung mengangguk
hormat dan nampak sangat gembira melihat
kehadiran penekar Bunian.
"Panjang umurmu saudara Buang! Kami baru
saja membicarkan dirimu...!" Buang Sengketa
tersenyum di kulum.
"Ada apa denganku...?"
"Duduklah dulu, baru kemudian kita bicara
dengan baik...!" ujar Kayi Prambudi ramah.
"Terimakasih...!" Ujar Buang pula, untuk
kemudian duduk saling berhadapan.
Kemudian masih dengan sesungging senyum,
Aki Sumendep menyambung lagi: "Dialah
pendekar yang saya maksudkan Kakang Prambu-
di...?" Kyai Prambudi menganggukkan kepala.
"Hem... masih begini muda tetapi telah
memiliki kepandaian yang sangat
menakjubkan...!" puji Kyai Prambudi.
"Ah. Aki Sumendep terlalu berlebih-lebihan
Kyai! Tentu bila di bandingkan dengan anda
semua aku bukanlah apa-apa...!" Kilah Buang
Sengketa.
"Sifatmu sungguh sangat terpuji Buang!
Sudah berilmu sangat tinggi, tapi memiliki
keluhan hati yang sangat mulia. Sungguh pada
zaman ini sangat langka sekali orang muda yang
mempunyai watak seperti engkau...!"
Dewi Bantaran yang sejak tadi hanya diam
saja, kini ikut menimpali pula.
"Kakang Prambudi benar, wataknya yang
pemalu itu! Siapa kira dia memiliki sesuatu yang
sangat luar biasa...!" Ujar Dewi Bantaran lalu
melirik penuh arti. Mendapat pujian dari gadis
secantik Dewi Bantaran tentu saja membuat
wajah Buang Sengeketa memerah bagai kepiting
rebus. Untuk itu dia mencoba mengalihkan
pembicaraan.
"Maaf... mungkin Aki Sumendep telah
bercerita banyak tentang kekacauan yang terjadi
di mana-mana! Aku yang hanya memiliki
kepandaian pasaran dengan sukarela ingin ikut
bergabung dengan kalian! Itupun kalau kalian
tidak keberatan menerima kehadiranku...!"
Mendengar penjelasan pemuda itu sudah
barang tentu Kyai Prambudi menyambut gembira.
Apalagi dia telah mendengar dari kedua
sahabatnya tentang bagaimana sepak terjang
pemuda ini. Kyai Prambudi pun tersenyum.
"Tentu kami sangat menerima dengan
tangan terbuka atas keputusan itu orang muda!
Akan tetapi sebelum itu maukah kau memberi
sedikit penjelasan pada kami tentang asal
usulmu...?" Tanya Kyai Prambudi tanpa suatu
maksud. Untuk beberapa saat lamanya pendekar
Bunian ini terdiam, sepasang alisnya nampak
mengkerut. Akan tetapi beberapa saat kemudian
wajahnya berubah seperti biasa kembali.
"Apakah hal itu sangat perlu...?" Tanya
Buang Sengketa penuh selidik.
Kyai Prambudi tertawa ramah.
"Oh, itu tidak mutlak! kami bertanya itu pun
kalau engkau merasa keberatan kami tak
memaksa...!"
"Engkau tak perlu curiga Buang...!" sela Dewi
Bantaran.
Pendekar Bunian itu kelihatannya menjadi
maklum. Kemudian dengan suara merendah dia
berucap: "Sesungguhnya aku paling segan untuk
bercerita tentang asal usulku, akan tetapi
selamanya aku ingin menghargai sebuah kerja
sama yang baik. Dan hal itu hanya dapat terbina
apabila kita tidak saling curiga mencurigai. Aku
sangat yakin kalian tidak mempunayai maksud
seperti itu! Untuk itu aku akan mengatakan
seputar diriku sendiri!" Beberapa saat lamanya
pendekar Bunian ini terdiam, akan tetapi setelah
itu dia melanjutkan kembali.
"Namaku Buang Sengketa, ayahku seorang
raja di Negeri Bunian yang kini tengah menjalani
hukuman yang dibuatnya sendiri sebagai penebus
kesalahan-kesalahan yang pemah dilakukannya.
Sedangkan ibuku sudah tiada! Sejak bayi merah
aku telah di asuh oleh seseorang yang sekaligus
merupakan guruku... bersamanya aku tinggal di
sebuah daerah pantai yang bernama Tanjung
Api...!"
Mendengar disebutnya Tanjung Api, Kyai
Prambudi menyela: "Tunggu dulu orang muda!
Seingatku di daerah yang bernama Tanjung Api
itu dulu ada seorang pendekar pembela
kebenaran yang sangat arif bijaksana, menyepi di
tempat itu. Akan, tetapi itu sudah hampir
sembilan puluh tahun yang lalu. Seingatku
pendekar itu sudah sangat tua sekali. Dan
sepanjang sejarahnya dia tak pernah mengambil
seorang murid pun. Menurut kabar burung yang
terdengar Pendekar sakti itu bernama "SI
BANGKOTAN KORENG SERIBU" dan telah
mangkat lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu
sebagai orang yang dibesarkan di sana, apakah
kau pernah mendengar tentang kehebatan beliau
ini atau bahkan sudah melihat kuburnya...?"
Mendengar di sebut-sebut nama gurunya
sudah barang tentu Buang Sengketa tertawa geli
di dalam hati. Akan tetapi begitu pun dia
mencoba menutupinya.
"Tentang pendekar kesohor itu aku memang
pernah dengar, tetapi melihat kuburnya itu yang
belum sampai saat kini...!"
Mendapat jawaban seperti tiu, tentu saja
Kayai Prambdi merasa heran dan mengkerutkan
alisnya. Dengan masih penasaran dia bertanya
kembali.
"Masa dalam daerahmu sendiri kau yang
telah hidup puluhan tahun tak pernah
menyambangi kubur orang tua mulia itu? Aku
sendiri sejak dulu mengimpikan untuk dapat
sampai kesana...!"
"Kadang-kadang kesibukan dalam hidup
menyebabkan kita melupakan orang-orang di
sekeliling kita, tak terkecuali orang itu merupakan
bekas orang yang paling berjasa sekalipun...!"
Kilah Buang Sengketa.
Aki Sumendep dan Dewi Bantaran
mengangguk setuju, lain lagi dengan Kyai
Prambudi yang agaknya banyak tahu tentang
pendekar luhur itu. Sepasang matanya yang awas
itu kini nampak memperhatikan Buang Sengketa
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Tatkala
matanya melihat sesuatu yang melilit di pinggang
pendekar Bunian. Perhatiannya terpaku di sana.
Wajah Kyai yang telah cukup berumur itu nampak
mengkerut beberapa saat lamanya. Dan saja hal
ini sangat menarik perhatian yang lainnya.
Sedangkan Buang sendiri mendapat perlakuan
seperti itu menjadi jengah.
Begitulah, Ketika Kyai teringat senjata
andalan yang pernah dia lihat waktu kecil dulu,
yaitu berupa sebuah cambuk butut yang sangat
menggemparkan milik si Bangkotan Koreng
Seribu. Mendadak Kyai Prambudi terperangah dan
terbelalak tak percaya.
"Ada apa kakang Prambudi...?" Tanya Aki
Sumendep memandang heran pada tingkah Kyai
Prambudi yang agak ganjil itu.
Tanpa menjawab, sebaliknya Kyai Prambudi
tertawa tergelak-gelak. Tentu saja hal ini semakin
membuat heran kedua orang kurir dari Bukit
Barisan yang telah mengenal benar bagaimana
watak Kyai Prambudi yang sepanjang hidupnya
belum pernah mengumbar tawa seperti yang
mereka lihat kali ini.
"Huahaha... hahaha... beruntung... sungguh
sangat beruntung! Kiranya hari ini menjelang
usiaku yang renta ini, Sang Hyang Widi telah
mengabulkan doaku selama bertahun-tahun...!"
Serta merta Kyai tua ini membungkuk hormat
beberapa kali pada Buang Sengketa.
Perangai Kyai Prambudi yang mendadak saja
berubah aneh tentu saja membuat Buang
Sengketa maupun Aki Sumendep dan Dewi
Bantaran di liputi tanda tanya besar.
"Kyai... mengapa anda bertingkah seperti
ini...!" Tegur Buang Sengketa.
Sebaliknya Kyai Prambudi tanpa
menghiraukan protes si pendekar Bunian kembali
tertawa terbahak-bahak.
"Hah ah a... huahaha...! Buang! Manusia
rendah hati seperti gurunya! Hari ini terimalah
hormat si tua bangka ini...!" Sambil berkata
begitu, kembali Kyai Prambudi membungkuk
hormat tiga kali, Buang Sengketa semakin
bertambah heran. Dalam hati ia beranggapan
bahwa Kyai Prambudi merupakan seorang yang
mengidap menyakit jiwa. Namun begitu dia
berusaha menyadarkan Kyai Prambudi yang
agaknya sedang kambuh penyakitnya.
"Kyai... sadarlah! Aku bocah ingusan, me-
ngapa Kyai membungkuk-bungkuk seperti itu....?"
Agaknya Kyai Prambudi kembali menya-dari
keadaannya. Sebab tiba-tiba saja dia
menghentikan tawanya. Kemudian memandang
tajam pada Pendekar Bunian.
"Buang Sengketa... kali ini kau tidak dapat
mungkir, bahwa kau merupakan murid orang
sakti itu! Mengakulah....?"
Mendapat pertanyaan seperti itu sudah
barang tentu Buang Sengketa menjadi kelabakan.
Bagaimana orang ini bisa tahu kalau dia
merupakan murid dari "SI BANGKOTAN KORENG
SERIBU?" Mungkinkah Kyai Prambudi hanya
menduga-duga saja.
* * * * *
DUA BELAS
Atau adakah sesuatu yang terdapat pada
dirinya tentang gurunya? Begitupun dia masih
mencoba berkilah.
"Mungkin anda hanya salah duga saja,
Kyai....!"
Mendengar ucapan Buang Sengketa, Kyail
Prambudi berkata tegas: "Buang Sengketa! lain
mungkin bisa saja untuk tidak dapat mengenali
siapa dirimu yang sebenarnya! Akan tetapi tidak
untuk diriku...!" Kemudian dia melanjutkan.
“Mungkin kau merasa heran mengapa aku
bisa mengatakan bahwa kau merupakan mmurid
dari orang yang sakti itu...!" Lagi-lagi Kyai
Prambudi tergelak: "Hahahaha..... pinggangmu,
cambuk butut itu adalah merupakan senjata yang
tiada banding yang sangat menggemparkan!
Bukankan cambuk itu merupakan cambuk "GELAP
SAYUTO" milik pendekar Bangkotan Koreng
Seribu...!"
Mendengar penuturan Kyai Prambudi tentu
saja Aki Sumendep dan Dewi Bantaran menjadi
terkejut bukan kepalang.
"Buang Sengketa! Masihkah kau belum
mengakuinya...!" Ulang Kyai Prambudi. Tahulah
pendekar Bunian ini kiranya cambuk "GELAP
SAYUTO" kiranya sangat dikenali oleh Kyai
Prambudi. Kini baginya tiada lagi alasan untuk
mengelak. Maka dengan rendah hati dia pun
berucap: 'Kyai ... maafkan aku! Kiranya apa yang
Kyai katakan itu sesungguhnya memang benar
adanya. Aku memang murid Kakek Bangkotan
Koreng Seribu..." Ujar Buang Sengketa seadanya.
Mendengar pengakuan Buang Sengketa
maka semakin terbelalaklah kedua kurir dari bukit
barisan ini.
"Sesungguhnya merupakan satu kehormatan
besar! Aku hari ini orang tua yang lamur ini dapat
bertemu dengan murid orang tua yang kesohor
itu...!" Aki Sumendep kini ikut bicara.
Merasa terus dipuji-puji seperti itu pendekar
yang selalu bersikap sederhana ini segera
mengetengahi, "Sudahlah.... janganlah anda
semua memujiku setinggi langit. Bukankah masih
ada yang lebih penting dan lebih patut lagi kita
bicarakan ketimbang hanya membicarakan
diriku...?" Tukas Buang Sengketa.
Tetapi Kyai Prambudi masih menyela:
"Tunggu dulu..!"
"Apa lagi Kyai...?" Tanya Buang Sengketa tak
sabaran.
"Bagaimana keadaan gurumu, benarkah
beliau telah mangkat...?" tanya Kyai Prambudi
penasaran.
Buang Sengketa tersenyum: "Berkat
kemurahan Sang Hyang Widi... mudah-mudahan
sampai saat ini beliau masih dalam keadaan segar
bugar....!"
"Oh... sukurlah kalau begitu. Dengan
demikian berarti desas desus yang aku dengar
selama ini ternyata berita kosong belaka...!"
"Dengan adanya murid pendekar sakti itu
berati kita tak begitu sulit membasmi manusia-
inanusia iblis yang gila kekuasaan di puncak Sorik
Merapi sana... kakang...!" kata Aki Sumendep
nampak bergembira sekali.
"Benar Adi Sumendep! Semula aku
meragukan kemampuan kita... akan tetapi kini
dengan hadirnya Buang Sengketa di tengah-
tengah kita! Kuat dugaanku bahwa kita akan
berhasil membasmi iblis-iblis itu...!"
"Kalau begitu pendekar kita inilah yang telah
menumpas habis utusan datuk-datuk sesat tidak
jauh dari Bukit Penantian....!" ujar Dewi Bantaran
kembali mengerling penuh arti pada pendekar
Bunian.
"Benarkah itu Buang...?" Tanya Kyai
Prambudi.
Tanpa menjawab Buang Sengketa
menganggukkan kepalanya.
"Mungkin kalau tidak kau dahului, mungkin
nasib perguruan ini tidak lebih baik dari nasib
Padepokan Gunung Gundul atau juga Padepokan
Bukit Penantian, Buang..!" Desah Kyai Prambudi
lirih.
"Anda terlalu berlebihan Kyai.. hidup dan
mati itu sesungguhnya sudah ada yang
menentukan. Kalaupun perguruan ini luput itu
pun memang sudah ditentukan harus begitu...!"
"Kau memang benar Buang... seperti juga
pertemuan ini! siapa sangka hari ini kami dapat
bertemu dengan murid pendekar yang namanya
telah melegenda itu! Sungguh tak seorang pun
dapat menjawab misteri kehidupan ini. Kalau
semakin direnungi rasa-rasanya manusia itu
hanya sebagian terkecil dari seluruh teka-teki
yang ada...!"
Ketiga orang itu nampak mengangguk,
membenarkan apa yang baru saja diucapkan oleh
Kyai Prambudi.
"Lalu apa rencana kita selanjutnya
kakang...!" Tanya Aki Sumendep mengalihkan
perhatian pada tujuan semula.
"Rencana sudah jelas! Mulai besok kita mulai
susun kekuatan!" Kata Kyai Prambudi, kemudian
lanjutnya: "Aku merasa yakin si Tiga Manusia
Iblis itu tentu kini sudah menyusun kekuatan
untuk menghancurkan kita! Hal ini sudah jelas,
sebab mereka memiliki mata-mata di mana-
mana. Pertemuan golongan putih dua pekan
didepan tentu juga sudah sampai di telinga
mereka...!"
"Apakah kita harus mendahului mereka,
kakang...?" Tanya Dewi Bantaran pula.
Kyai Prambudi melirik ke arah Buang
Sengketa.
"Bagaimana pendapatmu Buang...?"
Buang Sengketa garuk-garuk kepala.
"Saya menurut saja dengan apa yang Kyai
putuskan..!"
"Eeh... tidak boleh begitu! Kita ini sedang
bermusyawarah. Dalam bermusyawarah siapapun
orangnya berhak untuk mengeluarkan pendapat!
Jadi bukan berarti mentang-mentang merasa
dituakan seseorang itu sesuka hati untuk
mengambil tindakan. Sekalipun orang itu
merupakan keturuan dewa, tetapi tidak semua
tindakannya itu mutlak kebenarannya...!"
Mendengar alasan Kyai Prambudi yang
sesungguhnya memang benar adanya, Buang
Sengketa menjadi maklum.
Kemudian dengan sangat berhati-hati, Buang
Sengketa mulai mengutarakan pendapatnya.
"Kalau menurut hemat saya, alangkah
baiknya kalau kita menyerbu ke sarang mereka.
Kita tak perlu bertindak tanggung-tanggung!
Membasmi kejahatan harus sampai ke akar-
akarnya...!"
"Aku setuju dengan pendapat Buang, kakang
Prambudi... “ Ujar Aki Sumendep.
"Aku juga setuju, kakang...!" Tambah Dewi
Bantaran.
Kyai Prambudi menarik nafas lega.
"Baiklah kalian semua sudah setuju, mungkin
menjelang akhir pekan kita sudah dapat ke sana!"
Kyai Prambudi memberi keputusan.
"Malam sudah larut! Dan tentu pula kalian
semua sudah sangat lelah. Di rumah ini masih
ada beberapa kamar yang kosong kalian bisa
menempatinya! Tapi maaf keadaannya sangat
sederhana saja..."
"Tidak apa-apa Kyai...!"
Kemudian setelah berpamitan dengan Kyai
Prambudi, berangkatlah mereka menuju
kamarnya masing-masing. Suasana sepi sebentar
saja menyelimuti pondok dan juga Lembah Kaur
tempat di mana mereka berada.
Rimba belantara Sorik Merapi di siang yang
terik itu kelihatan bagai hamparan permadani
hijau yang sangat luas. Sementara Gunung sorik
Merapi yang menjulang tinggi tidak pernah
meninggalkan keangkuhannya. Jauh di tebing
jurang yang dalam dengan sebuah lembah yang
berdataran rendah bermukim lebih kurang seratus
orang para murid asuhan tiga manusia iblis.
Mereka yang sedang bersiap-siap untuk
memporak-porandakan pertemuan golongan putih
yang hanya tinggal beberapa hari itu, kiranya
tidak menyadari adanya bahaya yang sedang
mengancam diri mereka. Dalam jarak tidak begitu
jauh dari gubuk-gubuk mereka. Beberapa pasang
mata dengan cermat kelihatan sedang
mempelajari keadaan. Siapakah orang-orang
yang sedang mengadakan pengintaian ini? Tak
lain dan tak bukan adalah si pendekar Bunian, Aki
Sumendep dan juga Dewi Bantaran. Mereka-
mereka inilah yang diutus oleh Kyai Prambudi
yang kini dengan pasukannya sedang menunggu
di sebuah tempat tidak begitu jauh dari sarang
iblis-iblis itu.
Setelah mempelajari situasi di tempat itu dan
merasa apa yang harus mereka kerjakan sudah
terselesaikan. Maka tanpa menimbulkan
kecurigaan sedikitpun pada pihak lawan. Maka
ketiga orang ini pun berkelebat pergi dan kembali
menjumpai Kyai Prambudi.
Setelah sampai di tempat para anggotanya
yang jumlah keseluruhannya tidak kurang dari
enam puluh orang. Ketiga tokoh persilatan
golongan putih itu segera menjumpai Kyai
Prambudi.
"Bagaimana kekuatan mereka...?" Tanya
Kyai berambut putih itu begitu mereka
menghadap.
"Jumlah mereka tak kurang dari seratus
orang kakang...!" Dewi Bantaran menjelaskan.
”Hemmm... suatu jumlah yang cukup
besar...!" Gumam Kyai Prambudi.
"Tapi kami tak melihat adanya datuk-datuk
sesat itu..." sela Buang Sengketa.
"Kalau iblis-iblis itu tidak ada di tengah-
tengah mereka! Pasti dia berada di dalam goa
pertapaan yang terletak di atas perumahan para
muridnya!"
"Kalau begitu aku akan ke sana dan
menghancurkan mereka...!"
"Apakah engkau tak memerlukan beberapa
orang kawan...!"
"Aku hanya butuh penunjuk jalan Kyai! Satu
orang saja." kata Pendekar Bunian mantap.
”Kalau begitu aku bersedia menyertaimu
Buang...!" Ucap Dewi Bantaran menawarkan diri.
"Jangan! Tempat itu terlalu berbahaya untuk
seorang wanita! Ada baiknya kalau Dewi
membantu membereskan orang-orang di bawah
lembah itu...!"
"Kurasa apa yang dikatakan oleh Buang
Sengketa itu memang benar adi Dewi. Biarlah
muridku Salanaya yang menyertai Buang
Sengketa untuk sampai di goa itu secepatnya...!"
Meskipun Dewi Bantara kecewa dengan
keputusan yang diberikan oleh Kyai Prambudi tapi
mau tidak mau dia harus terima juga.
Demikianlah dengan di sertai oleh Salanaya
Buang Sengketa segera mulai bergerak mendaki
tebing.
Kyai Prambudi dan orang-orangnya pun
segera melakukan hal yang sama, sebent saja
mereka telah mengepung dan mulai membakar
gubuk-gubuk tempat tingga para murid Si Tiga
Manusia Iblis. Pertempuran berdarah pun tak
dapat dihindari. Suara denting beradunya senjata
tajam membahana memenuhi dasar lembah, jerit
kematian terdengar di mana-mana.
Sementara itu Buang sengketa yang kini
sudah mulai masuk ke dalam pintu goa dengan
sangat hati-hati terus bergerak. Begitu dia sampai
di tengah-tengah ruangan goa yang begitu luas
dari salah satu sudut ruangan bertiuplah angin
kencang yang berhawa aneh meluruk ke arahnya.
Buang Sengketa kiblatkan tangan kanannya, lalu
dari kedua tangannya menderu pula sebuah
gelombang yang lebih besar memapasi angin
berhawa aneh yang berasal dari sudut ruangan.
Begitu angin kencang yang berasal dari sudut
sebelah barat itu sirna, dari sudut sebelah timur
dan selatan tiba-tiba pula berhembus angin
kencang yang lebih hebat lagi. Dalam keadaan
seperti itu Buang Sengketa segera memapasi-nya
dengan jurus si "HINA MENGUSIR LALAT" sinar
merah segera membungkus tubuh pemuda itu.
Bagaikan sebuah perisai yang sangat kuat dan tak
tergoyahkan. Namun kejadian itu hanya beberapa
saat saja dapat di pertahankan. Begitu gelombang
angin yang lebih bersar bertiup, tiba-tiba saja
hembusan angin yang berbau menjijikkan itu
membuatnya sesak nafas. Tak ada pilihan lain,
Buang Sengketa segera mempergunakan jurus si
HINA DINA MERANA, sekali tangannya terpentang
ke atas ubun-ubun selarik sinar merah segera
menderu dan mengarah ke dua arah. Dua
kekuatan sakti bertemu, dinding goa seakan
runtuh. Bahkan dari ujung timur dan ujung
selatan terdengar seruan tertahan. "Hem... bukan
main!"
* * * * *
TIGA BELAS
Bersamaan dengan suara itu, tahu-tahu di
hadapan Buang Sengketa kini telah muncul tiga
sosok manusia dengan raut wajah sangat
mengerikan. Mereka inilah ketiga manusia iblis
itu.
"Bocah! Sungguh berani mati kau telah
menyantroni sarang macan Suwarna Angresta
Apakah keperluanmu hingga aku sampai kesasar
kemari...?" Tanya si Cebol Muka Harimau diiringi
seringai menjijikkan.
"Aku tak perlu banyak basa basi!
Keperluanku kemari hanya satu, yaitu ingin
mengirim kalian ke liang kubur...!"
"Bocah sombong kau tak tahu dengan siapa
kau berhadapan...!" Bentak si Tinggi Kurus Muka
Badak murka.
Buang Sengketa tersenyum mengejek.
"Kepada manusia-manusia iblis siapa
takut..."
"Keparaaaat....!"
Sambil berkata begitu Si Cebol Muka Ha-
rimau menerjang, lalu kirimkan satu pukulan
yang sangat mematikan. Menghadapi orang-orang
ini Buang Sengketa segera saja keluarkan jurus-
jurus yang sangat di andalkan. Demikianlah
begitu serangan yang dilancarkan si Cebol hampir
mencapai sasarannya dengan sedikit berkelit
Buang berhasil menghindari kematian. Lalu tanpa
sungkan-sungkan lagi dia melancarkan serangan
kilat. Tangannya yang terpentang dan sudah di
aliri tenaga dalam itu terus meluncur dan
mengarah kebatok kepala si Cebol Muka Harimau,
akan tetapi begitu ia berhasil menghindari tangan
yang hampri saja merengkahkan batok
kepalanya, tanpa pernah di duga oleh si Cebol,
kaki kiri Buang menyambut, "Blaak....!"
Akibatnya si Cebol terpelanting roboh dan
muntah darah segar. akan tetapi sungguh sangat
luar biasa daya tahan si Cebol ini, sebab
walaupun dia telah muntah darah tapi dia segera
bangkit kembali dan bersiap-siap mulai
menyerang. Dalam keadaan seperti itu sadarlah si
Tinggi Besar Muka Tengkorak begitu juga si Tinggi
Kurus Muka Badak bahwa lawan yang mereka
hadapi tidak dapat dianggap remeh. Kejadian
barusan saja telah membuktikan pada mereka
bahwa si Cebol Muka Harimau sesungguhnya
seorang dari tiga datuk yang memiliki kepandaian
hanya satu tingkat di bawah kedua orang ini. Tapi
dalam satu gebrakan saja si Cebol telah mampu
di buat jatuh oleh pemuda yang masih hijau. Si
Tinggi Besar dan Si Tinggi Kurus kini berbareng
maju menyerang. Dikeroyok oleh tiga datuk sesat
demikian rupa, tentu Buang Sengketa yang masih
hijau dalam pengalaman ini kalah pengalaman.
Maka dalam waktu singkat, pendekar Bunian ini
menjadi bulan-bulanan ketiga tokoh tingkat tinggi
ini. Jangankan untuk menyerang sedangkan
untuk bertahan saja dia sudah sangat kewalahan.
Begitulah satu serangan dia elakan tetapi
serangan yang lain mencecarnya. Hingga pada
satu kesempatan si tiga manusia iblis itu secara
bersamaan dapat menyarangkan satu pukulan
yang mematikan.
"Blak...plak! Plak...!"
Mendapat serangan dahsyat secara ber-
bareng seperti itu, Buang Sengketa terpelanting,
tubuhnya langsung membentur dinding goa.
Andai manusia biasa mendapat pukulan seperti
itu sudah barang tentu tubuhnya menjadi remuk
dan mati saat itu juga. Mujurlah pemuda ini,
walaupun darah segar sempat belelehan di
bibirnya, biarpun perutnya seperti diaduk-aduk.
Dan sesungguhnya kepalanya terasa bagai mau
meledak namun dengan cepat dia bangkit kembali
Dengan cepat pula dia mengatur jalannya nafas,
kini hanya ada satu di dalam benaknya yaitu,
membunuh atau dibunuh. Pemuda ini meraba
pinggangnya. Sungguhpun dia menyadari masih
mempunyai banyak pukulan-pukulan ampuh yang
pasti dapat menghancurkan mereka tapi kali ini
dia tak mau mengulur-ulur waktu. Pendekar
Bunian itu ingin agar tugas yang diberikan
padanya dapat terselesaikan secepatnya. Dengan
suara menggelegar pemuda ini membentak;
"manusia iblis! Kalau kalian punya senjata yang
diandalkan cabutlah! Aku Buang Sengketa sudah
tidak banyak waktu untuk berurusan dengan
kalian....!"
Si Tiga Manusia Iblis tertawa berbareng.
"Tanpa senjata saja nyawamu sudah hampir
tak tertolong... sebaliknya kalau kau punya
senjata tak berguna keluarkan semuanya,
hahahah.....!"
Buang Sengketa segera cabut golok
buntungnya, sinar merah menyala segera saja
memancar dari golok yang digenggamnya, hawa
dingin mulai terasa menyebar ke mana-mana.
Dengan satu lengkingan yang dahsyat,
pemuda berbaju merah dengan golok yang
memancarkan sinar merah pula dia berkelebat.
Serangan-serangan dahsyat yang sebelumnya
tiada pernah terduga oleh ketiga manusia iblis itu
segera mengurung mereka.
Isyarat maut segera bergema dari
berkelebatnya golok di tangan Buang Sengketa
yang menderu-deru. Demikian ketatnya
serangan-serangan itu sampai-sampai tiga datuk
sesat yang punya banyak pengalaman da
memiliki berbagai kesaktian itu tak mampu
berbuat banyak. Buang Sengketa kini terlihat
lebih meningkatkan serangannya, Si Tiga manusia
iblis semakin terkurung rapat. Begitu Buang
memperoleh satu kesempatan.
"Cras...crat...crat!"
Jerit kematian pun bergema memenuhi
ruangan goa. Si Tinggi Kurus Muka Badak
terkapar dengan leher terputus. Kejadian ini
membuat Si Cebol Muka Harimau dan si Tinggi
Besar Muka Tengkorak menjadi murka. Si Tinggi
Besar Muka Tengkorak segera silangkan tangan
ke depan dada, tak begitu lama kemudian dia
pentangkan tangannya membentuk sebuah cakar
naga, dengan satu lengkingan yang mirip jeritan
seekor naga yang sedang marah dia lancarkan
satu pukulan. Inilah sebuah ilmu pemberian
SEPASANG SILUMAN NAGA PUTIH yang di beri
nama "DARAH NAGA BERGELORA"
Sinar maut berwarna biru kehitam-hitaman
meluruk ke arah Buang dan pada saat yang sama
pula kiranya si Cebol Muka Harimau pun telah
berubah ujudnya menjadi seekor siluman
harimau. Menghadapi dua bahaya yang
bersamaan datangnya pendekar cepat bertindak.
Dengan satu gerakan kilat Buang Sengketa
segera kiblatkan tangan kirinya yang telah terisi
pukulan "EMPAT ANASIR KEHIDUPAN" sedangkan
tangannya yang lain dengan golok terhunus
menyambut datangnya terkaman siluman
harimau, maka bersamaan dengan itu, beradulah
satu kekuatan melawan dua ancaman maut.
"Cras... Blar...!"
Lagi-lagi lolongan maut membahana
memenuhi ruangan goa. Siluman Harimau
terpental lalu menabrak dinding goa dengan leher
hampir putus. Si Tinggi Besar Muka Tengkorak
nasibnya tidak lebih baik dari saudaranya yang
lain meskipun masih hidup akan tetapi sudah
dalam keadaan sekarat. Tidak tanggung-tanggung
mengetahui musuhnya masih hidup Buang
Sengketa kirimkan satu pukulan jarak jauh. Sinar
Ultra Violet kembali menderu dan melabrak tubuh
si Tinggi Besar. Tewaslah ketiga gembong datuk
sesat itu di sarangnya sendiri. Buang mencabut
kakinya yang amblas sebatas lutut, kemudian
dengan memegangi dadanya yang terasa agak
nyeri dia sudah bermaksud meninggalkan tempat
itu. Namun mendadak terdengar suara Kyai
Prambudi di tempat itu "Buang membasmi
kejahatan harus sampai ke akar-akarnya, Guru
Manusia Iblis belum mati...!"
"Di manakah dia....?" Tanya Buang tak sabar.
"Di telaga kawah di dalam goa ini...!"
"Hem... kalau begitu mari kita cepat keluar!
Aku mau meruntuhkan goa ini...” Usai berkata
begitu dengan sangat tergesa-gesa mereka
segera keluar dari dalam goa. Sesampainya di
luar goa Buang segera kirimkan satu pukulan
sakti "EMPAT ANASIR KEHIDUPAN" dengan
kekuatan yang berlipat ganda. Begitu sinar
dahsyat itu menderu dan melabrak ke arah goa
dan seisinya pertapaan tiga manusia iblis itu pun
runtuh dan ambruk tanpa dapat dicegah lagi.
Tanpa kata-kata Buang melangkah menuruni
tebing Sorik Merapi. Tak kala Pendekar Bunian itu
sampai di lereng bukit. Sorak kemenangan pun
membahana di mana-mana. Sementara tak jauh
dari tempat itu Dewi Bantaran berlari-lari kecil
menghampiri Buang Sengket. Gadis cantik yang
sudah terlanjur jatuh cinta itu untuk beberapa
saat memeluk tubuh sang pemuda dengan penuh
kebahagiaan. Hari telah menjadi malam ketika
mereka meninggalkan tempat itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar