TIGA IBLIS PULAU BERHALA
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 004 :
Tiga Iblis Pulau Berhala
SATU
Denting suara beradunya berbagai senjata
tajam, jerit menyayat menyongsong maut. Rintih
dan tangis dari mereka yang terluka, semuanya
berbaur menjadi satu. Hampir ratusan nyawa
melayang, seolah tiada harga. Namun semua itu
tidak bisa mencegah peperangan yang sudah
berkobar.
Korban terus berjatuhan, darah mengalir di
mana-mana. Istana Kedatuan Khalayan yang tadi
sore nampak tenang dan tenteram kini berubah
menjadi ajang pertempuran yang menakutkan. Satu
demi satu pengawal yang berusaha untuk
mempertahankan istana Kedatuan bergelimpangan
terbabat senjata kaum pemberontak. Kutungan
tangan dan kaki bergeletakan di mana-mana.
Kini pasukan penyerbu itu sebagian telah
sampai di serambi paling depan istana Kedatuan.
Mereka terus menerjang membabi buta, dan hanya
dalam waktu sekejap sampailah mereka di pintu
utama. Dua orang pengawal pribadi raja nampak
menghadang, pertarungan seru pun terjadi. Empat
orang pasukan penyerbu segera menerjang, namun
agaknya dua orang pengawal utama yang bernama
Awangga dan Pradilaga ini bukanlah dua orang
lawan tandingan mereka. Dalam waktu hanya
sekejap saja empat orang anggota pasukan
penyerbu itu pun kena didesak oleh Awangga dan
Pradilaga. Hanya dalam waktu yang sangat singkat
pedang di tangan Awangga menusuk lambung kiri
dan selebihnya membabat hampir putus yang
lainnya. Dua orang pasukan penyerbu roboh
bermandikan darah. Pada Saat hampir bersamaan
keris di tangan Pradilaga juga berhasil menghunjam
dada lawannya. Darah memuncrat dari luka yang
menganga.
Kiranya kejadian itu tak luput dari
pengawasan salah seorang dari pemimpin
pemberontakan. Dengan amarah yang meluap-luap
laki-laki berbadan Bungkuk ini segera menyerang
Awangga dan Pradilaga. Senjata laki-laki Bungkuk
yang hanya berupa tongkat berkepala patung
telanjang itu menderu dan terus mencecar Awangga
dan Pradilaga tanpa ampun. Meskipun badan laki-
laki itu Bungkuk seperti onta akan tetapi dia
memiliki kepandaian silat yang sangat luar biasa.
Gerakannya sebat, bahkan sekali dia lancarkan
pukulan jarak jauhnya. Awangga dan Pradilaga
nampak kalang kabut. Kini pertarungan di antara
mereka telah mencapai puluhan jurus, kedua
pengawal utama dalam waktu hanya kurang dari
lima belas menit sudah jatuh di bawah angin.
Menyadari bahwa laki-laki Bungkuk itu merupakan
seorang lawan yang tangguh. Pradilaga segera
memberi peringatan pada Awangga:
"Cepat kau selamatkan Gusti, Wangga!
Tinggalkan istana...!" perintah Pradilaga yang
sesungguhnya masih merupakan pamannya sendiri.
Agaknya Awangga tidak sampai hati untuk
meninggalkan pamannya seorang diri. Seolah bagai
tak mendengar Awangga tetap saja menerjang si
Bungkuk, yang mulai tergelak-gelak. Melihat
keponakannya yang tak mau mendengar perintah
marahlah Pradilaga yang merupakan orang ketiga di
istana Kedatuan Khalayan.
"Wangga....... berani kau membantah
perintahku...!" bentak Pradilaga sambil
membabatkan pedangnya ke arah si Bungkuk Ludra.
"Wuut!"
Babatan pedang Pradilaga luput, meskipun
kepepet lagi-lagi dia kirimkan tusukan. "Paman;..
aku tak sampai hati meninggalkanmu...!" sela
Awangga. Dia nampak cemas sekali memikirkan
keselamatan pamannya.
"Bocah goblok... jangan perdulikan diriku!
Cepat pergi...!" Dengan sangat marah sekali
Pradilaga membentak.
"Ha... ha... ha...! Jangankan rajanya, tikus-
tikus istana yang tiada guna pun tak akan kubiarkan
hidup...!" kata Bungkuk Ludra mencemooh.
Ucapan si Bungkuk itu ternyata memang
hanya sekedar gertak belaka, sebab setelah itu dia
memang benar-benar segera menyerang lawan-
lawannya tanpa memberi kesempatan sedikit pun
pada Pradilaga maupun Awangga. Pukulan-pukulan
gencar dia lepaskan tanpa henti, Awangga dan
pamannya meski pun dalam keadaan terdesak
masih dapat mengelak. Hingga pada satu
kesempatan yang tak terduga, secara hampir
bersamaan keduanya menusuk dan membabat
pedang mereka pada bagian perut dan kaki si Bung-
kuk Ludra. Tidak ada kesempatan bagi Ludra untuk
mengelak atau menangkis.
"Bret!"
Si Bungkuk Ludra mengeluarkan jerit tertahan
begitu mata pedang di tangan Pradilaga merobek
pangkal lengannya. Darah mulai mengucur dari luka
yang cukup parah. Pradilaga terus mencecar hingga
memaksa si Bungkuk Ludra harus bergulingan. Pada
kesempatan itulah Awangga berkelebat pergi
menuju ruangan pribadi raja. Si Bungkuk Ludra
begitu mengetahui dirinya kena diperdaya,
meskipun telah terluka sangat marah luar biasa.
"Bangsat! Rupanya kau sengaja menjebakku
hanya dengan maksud memberi kesempatan pada
keponakanmu itu melarikan diri...!"
Pradilaga gertakkan rahang:
"Bungkuk keparat! Rupanya pengkhianat
Wara Wiri dan Runa telah memanfaatkan tenaga
busukmu untuk memperkeruh suasana...!"
"Jangan banyak mulut. Percuma kau bertahan
mati-matian, Kedatuan ini segera jatuh ke tangan
kami...!" kata si Bungkuk Ludra mencemooh.
"Meskipun darahku berceceran dan nyawa
melayang! Tidak akan aku berkomplot pada para
penghianat raja...!"
Belum lagi Pradilaga selesai dengan
ucapannya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan
menggelegar.
"Pradilaga.... Istana Kedatuan sudah jatuh di
tangan kami! Tiada guna kau mempertahankannya.
Kami masih mau memaafkanmu jika kau masih mau
menyerah dan bersekutu dengan kami! Percayalah
kami punya tujuan yang lebih baik dari pada Raja
Jasa Dewa yang tolol...!"
Begitu mendengar peringatan itu, baik si
Bungkuk Ludra maupun Pradilaga hentikan
pertarungan. Hampir berbareng mereka menoleh.
Pradilaga begitu melihat siapa adanya orang itu,
mendidihlah darahnya. Tanpa sadar tangannya
semakin erat mencengkeram pedangnya. Dengan
nafas yang memburu kemudian dia menyela:
"Runa.... Wara Wiri manusia busuk penhianat
tengik! Terhadap manusia anjing seperti kalian,
bagiku mati justru lebih baik daripada harus jadi
pengkhianat kerajaan...!"
Laki-laki berperut buncit seperti balon
bernama Runa tergelak-gelak.
"Benar-benar manusia jahanam kau Pradilaga!
Di kasih jalan yang baik, tak dinyana kau malah
memilih jalan ke Neraka!" tukas orang pertama
istana Khalayan marah sekali. Kemudian dia
menoleh pada Wara Wiri.
"Kalian bereskan manusia tengik itu! Aku akan
ke ruangan pribadi raja...!"
Seusai berkata Runa nampak berkelebat
pergi. Tinggallah Pradilaga berjuang mati-matian
menghadapi kroyokan Wari Wiri dan si Bungkuk
Ludra.
Sementara itu Awangga yang sudah sampai
terlebih dulu di ruangan pribadi raja segera mencari-
cari. Ruangan itu sepi, dengan penasaran dia
melongok kamar yang tidak terkunci. Tak seorang
pun berada di sana, Hal ini sudah barang pasti
membuat Awangga menjadi terheran-heran.
"Bukankah tadi sebelum mereka berhadapan dengan
si Bungkuk Ludra, pamannya sempat meninggalkan
pesan pada Raja Jasa Dewa untuk tidak me-
ninggalkan tempat?"
Akhirnya tanpa membuang waktu lagi
Awangga bergegas ke ruangan rahasia. Bagai
dikejar-kejar setan pemuda itu bergerak cepat.
Hingga dalam waktu yang demikian sing-kat
sampailah pemuda itu di depan pintu rahasia.
Awangga tersentak kaget begitu dia memeriksa
keadaan mayat-mayat itu, kini dia semakin
terheran-heran, pengawal-pengawal itu mati dengan
bekas luka gigitan binatang buas. Tewas dengan
wajah pucat kehabisan darah! Perbuatan siapakah?
Atau mungkin ada binatang buas sempat masuk ke
dalam istana? Tidak mungkin!
Awangga nampak semakin kalut, dengan
segera pemuda ini segera menerjang ruangan
rahasia itu. Awangga hampir menjerit begitu
dilihatnya Raja Jasa Dewa telah tewas bersama
permaisurinya. Raja Jasa Dewa mengalami nasib tak
ubahnya dengan empat orang pengawal pilihan.
Pada pangkal lehernya terdapat bekas gigitan
binatang buas! Mata pemuda itu nanar mencari-cari
ke seluruh penjuru ruangan, tak dilihatnya Putri
Permata Ningrum berada di antara mereka. Siapa
pun orangnya telah melakukan perbuatan terkutuk
itu yang pasti Putri Permata Ningrum telah mereka
culik.
"Bangsat! Ini benar-benar keterlaluan, aku
harus secepatnya menyelamatkan Putri Permata
Ningrum...!" teriak Awangga dengan kemarahan
yang meluap-luap.
Belum lagi dia beranjak dari ruangan itu, tiba-
tiba ia mendengar suara teriakan seorang wanita di
bagian lorong menuju jalan ke luar. Tak salah suara
itu adalah suara khas Putri Permata Ningrum. Tanpa
membuang-buang waktu lagi Awangga berkelebat
mengejar si penculik Putri. Dalam waktu sekejap
kejar-kejaran segera berlangsung. Awangga dengan
jelas dapat melihat seorang laki-laki berbadan kurus
ceking berpakaian perempuan berlari cepat sambil
memondong tubuh Putri Permata Ningrum di
pundaknya.
Sementara itu Pradilaga yang ditinggal oleh
Awangga, semakin terdesak hebat. Apa lagi
Sigalumet yang telah membasmi habis sisa-sisa
pengawal istana mulai bergabung dengan Wari Wiri
dan si Bungkuk Ludra. Pradilaga meskipun memiliki
kepandaian yang sangat tinggi, bahkan boleh dikata
melebihi Wara Wiri maupun Runa. Akan tetapi
mendapat keroyokan sedemikian rupa. Pula lawan-
lawannya memiliki kepandaian yang sangat tinggi
sebentar saja Pradilaga menjadi kewalahan. Hingga
beberapa saat kemudian Sigalumet berseru
membentak:
"Minggir kalian semua! Membereskan
cecunguk istana dengan orang begini banyak bikin
kepalaku jadi pusing...!"
Bentakan Sigalumet yang punya penyakit
bengek ini ternyata cukup berpengaruh bagi
sekutunya. Sontak si Bungkuk Ludra maupun Wara
Wiri melompat mundur. Sigalumet melangkah
beberapa tindak menghampiri Pradilaga, sebentar di
perhatikannya Pradilaga yang tak pernah kenal
menyerah meski pun dia tahu prajurit-prajurit istana
tidak seorang pun yang tersisa lagi.
"Pradilaga tikus gila!" bentak Sigalumet.
"Tidak kau lihatkah bahwa kawan-kawanmu sudah
pada mampus semua. Menyerah atau kupenggal
kepalamu...!"
Pradilaga sesaat menjadi merah wajahnya..
Dengan penuh kebencian di pandanginya Sigalumet
dan kawan-kawannya.
"Iblis Bengek Sigalumet, jangan kira aku
menjadi gentar menghadapi kawan-kawanmu.
Majulah! Biar kucincang kalian semuanya...!" kata
Pradilaga sambil acung-acungkan pedangnya,
Sigalumet dan yang lain-lainnya tergelak-
gelak:
"Ha... ha... ha...!"
Si Bungkuk Ludra menyela.
"Ajal di ambang pintu, masih juga kau besar
mulut Pradilaga...!"
"Jangan kau mengharap namamu akan
dikenang orang Pradilaga. Begitu kau mampus,
jangankan manusia, setan kuburan sekali pun tak
akan mengenangmu...!" Wara Wiri menyela.
"Puih... jahanan kau pengkhianat! Makanlah
pedangku...!"
Belum lagi usai Pradilaga dengan kata-
katanya, tiba-tiba dengan jeritan tinggi melengking
segera menghunus pedangnya ke arah perut Wara
Wiri. Agaknya pengkhianat Wara Wiri yang tidak
pernah menyangka datangnya serangan yang begitu
tiba-tiba sudah tak mungkin bisa menghindari mata
pedang Pradilaga.
* * *
DUA
Pedang di tangan warok istana itu datangnya
laksana kilat, meluncur deras seakan ingin
secepatnya menembus perut Wara Wiri yang tak
ubahnya bagai sebuah balon. Hampir saja mata
pedang di tangan Pradilaga mencapai sasarannya.
Namun pada saat-saat yang kritis itu sebuah batu
kerikil melesat lebih cepat lagi.
"Trang...!"
Pedang di tangan Pradilaga hampir saja
terjatuh, tangan laki-laki jangkung itu sampai
tergetar hebat. Bahkan sampai-sampai tangannya
terasa kesemutan. Pradilaga menoleh kanan kiri,
kemudian membentak marah:
"Bangsat rendah! Kalian pengecut...!"
"Pradilaga kau mau apa? Bukankah sudah
kubilang bahwa kau harus berhadapan denganku...!"
kata Sigalumet mencemooh.
"Jahanan! Manusia bengek mau mampus...
mengapa tanggung-tanggung! Majulah kalian semua
tidak nantinya aku melarikan diri...!" Pradilaga
membentak dengan sikap menantang.
"Monyet sombong! Sudah mau mampus saja
banyak tingkah...!" dengus Wara Wiri.
"Buang tabiat barangkali...!" si Bungkuk Ludra
ikut menimpali.
"Banyak cingcong... mampuslah kau
Pradilaga...!"
Sigalumet yang sudah naik pitam itu kini
langsung menerjang. Sebentar saja pertarungan
seru pun terjadi. Sigalumet yang merupakan orang
nomor satu di Pulau Berhala, pada kenyataannya
memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Apalagi kini dia telah mempergunakan senjata yang
berupa cambuk tulang paus yang sempat
menggegerkan kalangan persilatan selama belasan
tahun. Dengan senjata ini di tangannya. Dedengkot
Pulau Berhala ini nampak sangat berbahaya sekali.
Cambuk di tangan datuk sakti ini nampak melecut
ke segala arah. Bahkan semakin lama semakin
mempersempit ruang gerak Pradilaga. Beberapa kali
senjata yang sangat ampuh ini hampir melilit, me-
lecut atau bahkan membutakan kedua mata
Pradilaga. Pada saat yang melelahkan pengawal
utama ini lengah:
"Ctar Ctaar... Trang...! Ctar...!"
Pradilaga terhuyung dan tubuhnya terdorong
ke belakang. Pedang di tangannya buntung di
bagian ujung. Pradilaga berseru kaget. Setahunya
pedang itu dia pergunakan untuk memapaki
serangan cambuk yang hampir saja melilit lehernya
untuk itu dia mengelak dan menangkis. Tak dinyana
cambuk yang hampir saja membuatnya celaka
malah tak mempan pedang. Bahkan senjata itu
malah patah. "Hmm!" Diam-diam laki-laki pengawal
utama itu mulai was-was.
Akan tetapi menyerah baginya adalah salah
satu pandangan yang paling dia benci. Dan agaknya
Sigalumet dapat membaca keragu-raguan yang
sedang menyelimuti hati lawannya. Laki-laki bengek
yang selalu gila harta ini pun tersenyum mengejek:
'’Pradilaga manusia tolol! Tukarlah pedangmu
yang sudah buntung itu. Aku takut kalau kau tidak
cepat-cepat menggantikannya sebentar lagi malah
kepalamu yang copot...!"
"Besar mulut! Makanlah nih...!" Pradilaga
menyambitkan pedangnya yang sudah puntung.
Lalu segera mencabut pedang yang lainnya,
langsung menyerang Sigalumet dengan jurus-jurus
pedang yang paling sangat dia andalkan. Hanya
dalam waktu hanya sekejap bertarungan sudah
mencapai puluhan jurus, pertarungan semakin lama
semakin seru. Dalam pada itu baik serangan gencar
yang dilancarkan Pradilaga maupun serangan balik
yang dikirim Sigalumet tak satu pun yang mencapai
sasaran dengan baik. Agaknya Sigalumet tak ingin
berlarut-larut untuk segera dapat membinasakan
lawannya. Tak lama kemudian dengan cepat dia
segera rubah variasi jurus-jurus silatnya. Terbukti
Sigalumet memiliki berbagai campuran jurus-jurus
silat yang dapat diandalkan. Baik dari golongan
putih maupun golongan hitam. Meskipun demikian
karena sesungguhnya Sigalumet merupakan tokoh
silat beraliran hitam, maka hampir semua jurus-
jurus yang dipadukan itu semuanya mengandung
hawa pembunuhan yang sangat keji.
Sementara Pradilaga yang merupakan tokoh
silat yang hanya berasal dari satu golongan dan satu
guru, menghadapi serangan gencar dan beraneka
ragam ini sudah barang tentu menjadi kalang kabut
dan dalam waktu sekejap saja sudah semakin jatuh
di bawah angin. Pada satu kesempatan yang sangat
tepat Sigalumet pecutkan cambuknya disusul
dengan satu pukulan tangan kirinya. Pradilaga yang
mengira bahwa serangan cambuk itulah yang harus
dia elakkan. Dengan cepat kiblatkan pedangnya.
"Wuutr”
Babatan pedang luput, sebagai gantinya
tangan kiri Sigalumet yang telah terisi tenaga dalam
penuh menderu cepat ke arah dada lawannya.
Pradilaga menjadi gugup dan tak sempat pula untuk
babatkan pedangnya.
"Buuk!"
Tubuh Pradilaga mencelat beberapa tombak.
Beribu kunang-kunang bermain di pelupuk matanya.
Dada terasa sesak bagai terhimpit puluhan kwintal
batu gunung. Dengan sempoyongan dia berusaha
bangkit, sementara darah kental kehitam-hitaman
meleleh dari celah bibir dan hidungnya.
Sigalumet demi mengetahui keadaan
lawannya yang sudah nampak kepayahan, tertawa
tergelak-gelak:
"Pradilaga pahlawan kesiangan! Racun Kala
Biruku sebentar lagi segera, mengirimmu ke
neraka...!" tukas Sigalumet sinis.
Pradilaga meskipun tubuhnya sudah nampak
gemetaran" karena terpengaruh racun Kala Biru,
gertakkan rahang.
"Manusia iblis... meski pun tubuhku hancur
sekali pun, tidak nantinya aku merengek minta
ampun...!"
"Bagus! Aku memang tak akan
mengampunimu. Nah sekarang kau bisa apa?
Majulah!" pancing Sigalumet penuh kelicikan.
"Bajingan kau kira aku takut...!"
Pradilaga bermaksud memulai serangan baru,
namun baru saja dia hendak menerjang Sigalumet,
mendadak tubuhnya terasa kejang, dadanya
semakin menyesak. Tubuh yang sudah keracunan
itu bergoyang-goyang untuk beberapa saat
lamanya. Tanpa ampun lagi ambruk ke bumi dengan
mata melotot.
Melihat nasib yang dialami Pradilaga,
bergemuruhlah tawa sekutu-sekutu pengkhianat
Ranu.
Wara Wiri bermaksud memeriksa tubuh
Pradilaga ketika tiba-tiba Sigalumet menegurnya:
"Tuan Wara Wiri tak usah ragu! Nyawa
Pradilaga sudah kukirim ke neraka” ujarnya dengan
perasaan kurang senang.
"Ah, maaf sobat! Aku hanya ingin melihat
bagaimana rupa Pradilaga yang sudah mampus
itu...!"
"Hak... hak... hak...!" Sigalumet terkekeh.
"Tak seorang pun di atas dunia ini yang mampu
bertahan hidup, jika sudah terkena pukulan racun
Kala Biruku! Jangankan bangsanya manusia, gajah
sekali pun segera mampus terkena pukulan
berancunku...!" sela Sigalumet membanggakan diri.
"Kakang Sigalumet memang tak pernah gagal
dengan serangan racunnya yang dahsyat itu!"
Si Bungkuk Ludra yang sejak tadi hanya
berdiam diri kini ikut menimpali. Sekutu-sekutu
Runa menganggukkan kepalanya.
Dalam pada itu, mendadak Sigalumet
menoleh kanan kiri. Laki-laki yang menjadi
dedengkot Pulau Berhala dan pengidap penyakit
bengek yang kronis nampak mengerutkan
keningnya. Sesaat kemudian pada adik
seperguruannya, yaitu si Bungkuk Ludra:
"Adi Ludra... sedari tadi aku tak melihat
adanya adi Karpala? Kemanakah?"
"Tadi dia mengatakan mau menyerbu bagian
belakang, Kakang...!"
Si Bungkuk Ludra menyahut, lalu mengerling
penuh maksud.
"Dasar si gila perempuan...!" Sigalumet
ngedumel tak karuan.
"Maksud saudara Sigalumet dia mengejar
Putri Permata Ningrum...!" tanya Wara Wiri.
Matanya terbelalak tak percaya.
Dengan acuh Sigalumet mengangguk.
"Dia... dia calon istriku...!" ucap Wara Wiri
tanpa malu.
Si Bungkuk Ludra mendengus.
"Apakah kau telah memintanya pada Jasa
Dewa sebelumnya...?"
"Belum...!"
"Kalau begitu Tuan hanya ingin memilikinya
secara paksa!" kata Bungkuk Ludra mencemooh.
Wajah Wara Wiri memerah seketika, tapi dia
berusaha menahan kemarahannya. Sebab dia cukup
menyadari tanpa bantuan dari tiga iblis Pulau
Berhala, usaha mereka untuk menggulingkan
kekuasaan Raja Jasa Dewa tak akan membuahkan
hasil gemilang seperti yang mereka peroleh
sekarang.
Meskipun demikian dia masih berharap untuk
memiliki Putri Permata Ningrum yang kecantikannya
menggoyahkan iman setiap lelaki. Dengan
merendah kemudian dia berkata:
"Kalau saudara Karpala menghendaki Putri
Permata Ningrum tidak apa! Tapi bukankah dia akan
kembali bergabung dengan kita,..?"
Pancingnya mencari-cari kemungkinan.
Sigalumet menyela.
"Oh tentu tuan! Tapi mungkin setelah
besenang-senang dengan bidadari yang cantik itu.
Nanti kalau sudah bosan, tentu dia akan kembali
bersama sang Putri."
Mendengar penjelasan Sigalumet
sesungguhnya Wara Wiri sangat marah sekali,
namun lagi-lagi demi menjaga persahabatan
mereka, kemarahan yang sudah tiada terkirakan itu
masih mampu dia redam di dasar hati yang paling
dalam. Dan dalam hatinya dia masih menghibur diri.
Biarlah dia hanya kebagian bekasnya saja, yang
penting Putri Permata Ningrum masih dapat kembali
dengan selamat.
Pada saat suasana sedang diliputi keheningan
itulah tiba-tiba Runa telah muncul kembali di
hadapan mereka. Wajah laki-laki berbadan tegak itu
kelihatan cerah, meskipun di sisi lain dia tidak dapat
menyembunyikan kekecewaannya.
"Bagaimana situasi di dalam sana Kakang
Runa...?" Wara Wiri menyela dengan harap-harap
cemas.
Orang nomor satu yang kini menjadi
pemimpin pemberontak, nampak menarik nafas
pendek. Kemudian dengan mantap dia pun berkata:
"Aku telah didahului oleh seseorang! Raja Jasa
Dewa berikut permaisurinya sudah mampus di
ruangan rahasia. Tapi.... Aku tak melihat adanya
Putri Permata Ningrum ada di antara mereka...!"
"Apakah mereka tewas dengan luka gigitan di
pangkal lehernya...?" Sigalumet menyela pula.
Anggukan itu saja sudah cukup bagi si
Bungkuk Ludra dan Sigalumet untuk mengetahui
siapa sesungguhnya yang telah melakukan
perbuatan itu.
"Sudahlah tuan panglima! Tuan tak perlu
gusar yang melakukan semua itu tak lain
merupakan kawan kami sendiri si Karpala gila...!"
Sigalumet mengingatkan.
"Tapi untuk apa dia melarikan Putri Permata
Ningrum...?" tanya panglima pemberontak merasa
heran.
Si Bungkuk Ludra dan Sigalumet terkekeh:
"Sekarang tuan sudah menjadi raja dan
berkuasa penuh terhadap istana Khalayan. Perlu
tuan ketahui kawan kami yang satu itu mempunyai
tujuan yang sangat lain dari tujuan kami. Kalau
adikku Ludra menginginkan sebagian harta kerajaan
dan aku ingin menjadi panglima tertinggi
menggantikan kedudukan tuan. Sedangkan dia
datang jauh-jauh ke tempat ini hanya dengan tujuan
ingin memiliki Putri Permata Ningrum itu ujar Siga-
lumet apa adanya.
* * *
Biarpun Runa yang kini menjadi pucuk
pimpinan Kedatuan Khalayan mengangguk maklum.
Akan tetapi tidak begitu halnya dengan Wara Wiri,
dia yang sejak tadi hanya dapat menahan
kekesalannya, kini mulai memprotes.
"Kakang... eee... yang mulia! Bagaimana
dengan janjimu padaku...!"
Runa mengerling sejenak, kemudian kerutkan
kening.
"Apa maksudmu...?!" tanya Runa tak
mengerti.
"Masa yang mulia sudah tidak ingat!" sela
Wara Wiri malu-malu. Mengertilah Runa dengan
maksud kawannya, akan tetapi dia adalah seorang
yang cerdik. Dan tentunya dia tak ingin
persahabatannya dengan Iblis Pulau Berhala jadi
terganggu hanya karena memenuhi keinginan
kawannya yang menginginkan Putri Permata
Ningrum. Dengan penuh kelicikan pula dia
menjawab.
"Bukankah kau mau kuangkat menjadi Patih
Kedatuan! Lagipula masih sangat banyak putri-putri
cantik di kerajaan lain yang dapat kau peristri bila
kau mau melakukannya...!" Runa menyela dengan
pandangan penuh maksud.
Agaknya Wara Wiri bisa memaklumi arti
ucapan Runa yang sesungguhnya, untuk itu dia pun
mengangguk hormat.
"Oh, kalau begitu aku sangat berterima kasih
sekali atas kebijaksanaan yang mulia...."
"Patihmu ini memang goblok sekali tuan!
Sedari tadi hanya mempersoalkan wanita saja!
Padahal dunia ini kan tak selembar daun putri
malu!" si Bungkuk Ludra mencela.
Runa tersenyum tipis.
"Ah, maafkan Patihku ini sobat! Maklum sudah
hampir setengah abad dia hidup membujang!"
"Oh, kasihan sekali, padahal di kolong langit
ini lebih banyak jumlah perempuan bila
dibandingkan laki-laki...!"
"Saudara jangan salah sangka! Meskipun
usiaku sudah setengah abad, tidak nantinya aku
mengambil seorang janda...!" Wara Wiri menyela
tiba-tiba. Tak lama kemudian derai tawa mereka
pun terdengar.
Begitu tawa mereka reda, Sigalumet menjura
hormat, lalu dengan suara tegas dia segera
menyampaikan unek-unek yang sejak tadi hanya
tertanam di dalam hati.
"Yang mulia, aku ingin yang mulia segera
mengukuhkan statusku dan juga pembagian harta
buat kawanku Ludra...!"
"Hemm... saya akan menepati janji. Saudara
Sigalumet sudah saya tetapkan menjadi panglima
perang utama. Adikku Wara Wiri kunobatkan
menjadi Patih Kedatuan. Sedangkan pada Saudara
Ludra sebagaimana janjiku akan kuberikan harta
kerajaan pada hari ini juga!"
Mendengar penjelasan Runa pemimpin
Kedatuan yang baru, nampaknya masing-masing
pihak merasa sangat puas. Demikianlah setelah
acara pengukuhan kedudukan dan pembagian harta
buat si Bungkuk Ludra acara diteruskan dengan
pesta kemenangan yang berakhir sampai menjelang
dini hari.
Sementara itu sampai menjelang pagi,
Awangga yang tengah melakukan pengejaran. Terus
berusaha memperkecil jarak, namun meski pun dia
berusaha mengerahkan segenap kemampuannya,
bahkan telah mengerahkan ilmu berlari cepat yang
dia miliki. Tetap saja jarak di antara mereka tidak
berkurang dan tidak lebih dari dua puluh tombak.
Dalam hal kecepatan lari agaknya mereka punya
kemampuan yang berimbang. Tapi karena laki-laki
berpakaian perempuan ini bergerak terlebih dahulu,
tak urung tetap saja Awangga tertinggal di
belakangnya.
Tak lama kemudian Karpala hentikan
langkahnya dia menoleh kanan kiri. Baginya kalau
ingin terus melarikan Putri Permata Ningrum sudah
tidak ada jalan lagi terkecuali harus membunuh
Awangga terlebih dulu. Sebab di hadapannya
terbentang sebuah sungai yang lebarnya mencapai
tiga puluh tombak, untuk terjun juga tidak mungkin
air sungat terlalu dalam, lebih dari itu sungai itu
dihuni oleh banyak binatang melata. Sungguhpun
dia memang benar-benar kebal terhadap segala
macam binatang berbisa. Akan tetapi berhadapan
dengan puluhan ekor buaya dengan membawa
beban sedemikian rupa siapa sudi?
Awangga yang sudah sampai di tempat itu,
segera mengetahui kesulitan yang dialami
musuhnya mulai memaki habis-habisan.
"Karpala manusia rendah, kau kembalikan
tuan Putri atau kepalamu segera menggelinding ke
dalam sungai itu...?"
"Kau bocah kemarin sore sudah berani jual
lagak di hadapanku! Jangan sekali-kali kau berharap
bahwa aku mau menyerah kan Putri yang sudah
menjadi milikku! Huh... pulanglah bocah pentil!
Lebih baik kau kembali menetek pada ibumu...!"
Karpala mengejek dan tersenyum sinis pada
Awangga.
Dihina sedemikian rupa, sudah barang tentu
pengawal utama yang memiliki kepandaian silat
setingkat di bawah pamannya menjadi sangat
marah sekali.
"Tua bangka jahanam! Kesalahanmu saja
sudah melampaui batas, kembalikan Tuan Putri!
Kemudian berlututlah di hadapanku, niscaya aku
mengampuni kesalahanmu."
"Huh! Menyesal sekali Putri yang jelita ini kini
sudah menjadi milikku!" Karpala tersenyum sinis.
"Puih... setan tua. Kiranya aku harus
meremukkan batok kepalamu terlebih dulu baru
kemudian kau menurut...."
Awangga yang sudah semakin tak sabaran itu
segera meloloskan pedangnya. Melihat kenekatan
pengawal utama ini Karpala segera meletakkan
tubuh Putri Permata Ningrum yang masih dalam
kaku tertotok. Setelah itu dia melangkah beberapa
tindak dan langsung berhadapan dengan Awangga.
"Bocah. Kuberi peringatan padamu, sebelum
segalanya terlambat pergilah dari hadapanku...!"
Awangga nampaknya sudah tidak perduli
dengan segala macam ocehan Karpala, pemuda
pemberani itu sambil menggerung marah langsung
menyerang dedengkot Pulau Berhala dengan
dahsyat sekali. Dalam waktu sekejap saja
pertarungan menjadi seru. Namun sebegitu jauh
masih belum ada tanda-tanda siapa yang bakal
keluar sebagai pemenangnya.
Sementara itu Awangga dengan pedang di
tangannya terus mendesak Karpala. Pedangnya
berkelebat, membabat, menusuk atau bahkan
mengurung lawan tanpa sedikit pun memberi
peluang pada lawannya untuk berbuat lebih banyak.
Di lain pihak, Karpala bukanlah bocah kemarin sore
malang melintang di rimba persilatan. Sudah hampir
belas tahun kehadiran mereka selalu menjadi
momok kaum persilatan di bagian Timur. Siapa pun
pasti mengenal siapa adanya Tiga Iblis Pulau
Berhala ini.
Kalaupun pada awal jurus hingga pada jurus-
jurus berikutnya Karpala mulai kelihatan terdesak.
Sesungguhnya hal itu memang di sengaja, dengan
maksud ingin mengetahui seberapa hebat
permainan pedang lawannya. Dan sudah barang
tentu hal ini di luar sepengetahuan lawannya.
Segera setelah dia dapat membaca situasi
permainan lawannya. Dengan diawali satu bentakan
keras dan sesungging senyum sinis mencemooh.
Salah seorang dari dedengkot Iblis Pulau Berhala ini
pun mulai menggebrak dengan jurus-jurus silatnya
yang beraneka ragam.
Di sudut lain Putri Permata Ningrum begitu
menyaksikan musuh pengawal utamanya mulai
melakukan serangan-serangan gencar, nampak
cemas. Parasnya yang sangat cantik itu nampak
memucat. Meskipun begitu dia tetap berdoa semoga
kemenangan tetap berada di pihak Awangga.
Kini Karpala dengan jurus Dewa Gila terus
mendesak Awangga tanpa kenal ampun. Pengawal
utama istana Kedatuan itu beberapa saat kemudian
dibuat kalang kabut. Jangankan untuk melancarkan
serangan balasan, sedangkan untuk bertahan dari
gempuran-gempuran yang dilakukan Karpala saja
rasanya sudah sangat sulit. Diam-diam Awangga
mengeluh dan mencaci maki dirinya habis-habisan.
Agaknya dalam beberapa jurus di depan pemuda
perkasa ini segera roboh andai saja pada saat-saat
yang kritis itu Awangga tidak menyurut beberapa
langkah. Karpala yang sudah mengetahui gelagat
kemenangan berada pada pihaknya nampak
terkekeh. Meskipun ada sedikit rasa heran
menyelimuti benaknya.
"Bocah tolol! Mulanya aku bermaksud
mengampuni jiwamu! Akan tetapi karena kau begitu
jauh telah berani mencampuri urusanku! Dengan
sangat terpaksa aku harus mengakhiri hidupmu
sampai hari ini saja..,.!"
"Bangsat tua! Jangan kira aku takut mati”
Seusai berkata begitu tiba-tiba Awangga
melengking dahsyat! Tubuhnya segera lenyap.
Sementara sinar putih nampak berkelebat
membabat ke segala arah, Karpala yang tiada
menyangka lawannya masih mempunyai simpanan
jurus-jurus permainan pedang sangat hebat ini
nampak mengeluarkan seruan tertahan. Dalam
waktu singkat dia sudah mencabut senjatanya yang
berupa sebuah Payung Perisai Kematian. Meskipun
begitu Awangga dengan jurus pedang Pembasmi Ib-
lis sudah tak menghiraukan semua itu. Dengan
kilatan pedang yang datangnya bergulung-gulung
tiada henti dan menyebarkan hawa maut di mana-
mana pengawal utama ini terus mencecar lawannya
tiada ampun. Setiap serangannya semakin gencar
dan tiada terduga. Gerakan pedangnya
mendatangkan angin bercuitan.
Dengan beberapa jurus di depan Awangga
berhasil hantamkan satu pukulan tepat di dada
Karpala. Bahkan, tidak sampai di situ saja, Awangga
yang sudah kalap ini langsung babatkan pedangnya.
Karpala yang sudah terhuyung dan muntah darah ini
kiranya masih sempat menangkis.
"Craaak!"
Tubuh Karpala jatuh berguling-guling.
Sementara Awangga nampak tersurut beberapa
langkah. Meskipun begitu Awangga nampak sangat
terkejut begitu melihat pada pedangnya yang kini
hanya tinggal bersisa sejengkal saja. Sadarlah
pemuda ini bahwa senjata Karpala yang berupa
sebuah Payung Perisai Kematian itu kiranya sebuah
pusaka yang sangat ampuh. Awangga yang sudah
kesetanan ini menjadi sangat marah. Dengan geram
dia menyambitkan sisa pedang yang cuma tinggal
sejengkal itu pada Karpala yang baru saja bangkit
berdiri.
"Ziiing...!"
Sisa pedang itu melesat cepat, lagi-lagi
dengan Payung Perisai Kematian dia menangkis.
"Tak!"
Tanpa pernah di duga oleh Awangga, kiranya
Karpala sengaja mengembalikan puntungan pedang
pada pemiliknya. Dengan kecepatan lebih besar
puntungan pedang itu melesat. Demi menghindari
tertembus sisa pedang miliknya sendiri. Awangga
langsung ngedeprok. Puntungan pedang terus
melesat untuk kemudian menancap pada sebatang
pohon yang sangat besar tak jauh di belakangnya.
Awangga memaki habis-habisan. Karpala tergelak-
gelak. "Ha... ha... ha...!" Karpala masih terkekeh.
"Bocah pentil! Kuakui jurus-jurus silatmu memang
hebat! Sayangnya aku telah mematahkan pedang
panjagal babi hutan milikmu...!" kata Karpala
mencemooh.
Awangga memerah parasnya, tangan-
tangannya berkerotokan, dengan penuh kebencian
dia lagsung membentak.
"Karpala manusia binatang! Meskipun bahwa
gigi-gigimu setajam pisau cukur! Biar pun kau
berubah menjadi beribu-ribu serigala, jangan kau
kira aku takut...!"
Kata Awangga dengan amarah yang berkobar-
kobar.
* * *
EMPAT
Agaknya Karpala memang sengaja
memancing kemarahan sisa pengawal utama ini.
Sebab seperti pengalaman-pengalaman yang sering
dia temui, orang yang sedang marah baginya paling
mudah untuk menjatuhkannya.
"Hemm... kiranya kau pun sudah tahu siapa
orang yang berdiri di hadapanmu ini. Syukurlah!
Seperti nasib yang dialami oleh Raja Kedatuan
Khalayan, begitu pula nasib yang akan kau alami.
Tak lama lagi aku akan melobangi tenggorokanmu,
hek... darah pemberani pasti sangat lezat
rasanya...!"
"Manusia iblis...!" teriak Awangga. Tanpa
banyak cingcong lagi dengan ilmu silat tangan
kosong dia menerjang kembali. Kiranya Karpala
meskipun salah seorang tokoh sesat masih
menghagai peradatan. Dengan cepat dia
menyelipkan senjata di balik jubahnya.
Pertarungan antara hidup dan mati pun
berlangsung kembali, hanya dalam waktu sekejap
telah mencapai belasan jurus. Agaknya Karpala
sudah tak sabar lagi, sebentar kemudian mulutnya
nampak berkomat kamit. Begitu tubuhnya
mengejang dan berguling-guling ke tanah dan
kembali berdiri. Wajah Karpala benar-benar telah
berubah menjadi beruang yang sangat mengerikan.
Sesungging senyum maut memperlihatkan taring-
taring yang tajam. Awangga terpana, kedua bola
matanya terbelalak tak percaya. Pada kesempatan
itulah dengan diiringi suara raungan membahana,
tubuh Karpala melesat dan langsung menubruk
Awangga yang masih tetap terperangah. Begitu
Awangga menyadari, segalanya benar-benar sudah
terlambat. Tubuh Awangga sudah tercengkeram erat
oleh jemari tangan Karpala yang juga sudah
ditumbuhi oleh kuku-kuku yang runcing dan sangat
tajam. Tanpa daya hanya memandang hampa pada
musuh yang telah menguasai dirinya. Tak ayal
Karpala segera menghunjamkan taring-taringnya
tepat pada pangkal leher Awangga. Tiada jerit yang
terdengar. Sebentar kemudian taring-taring yang
tajam dan panjang itu telah amblas pada daging
leher lawannya. Mulut Karpala mengeluarkan decap-
decap menjijikkan begitu dia mulai menghisap habis
darah Awangga yang malang.
Kejadian ini tentu tak luput dari perhatian
Putri Permata Ningrum yang tetap dalam keadaan
tertotok. Tubuh putri jelita itu nampak menggigil
ketakutan. Apalagi tak begitu lama setelah itu dia
melihat tubuh Awangga yang sudah tiada berdarah
lagi terkulai roboh tanpa dapat berkutik lagi.
Hilanglah semua harapannya untuk dapat
menyelamatkan diri. Tanpa kuasa dia menangis
sedih! Dia tau nasib apa yang bakal dia terima
nantinya. Karpala bukan menghendaki nyawanya
melainkan dirinya. Tubuhnya! Andai saja dia tidak
dalam keadaan tertotok sudah sejak tadi dia pasti
telah membunuh diri.
Kini Karpala yang sudah berubah dalam ujud
yang sesungguhnya nampak menghampiri Putri
Permata Ningrum. Sesungging senyum kemenangan
menghias bibirnya yang tiada berkumis. Setelah
duduk di samping tubuh Putri Permata Ningrum, lalu
segera membebaskan totokannya.
Sementara sang putri begitu terbebas dari
totokan nampak menjerit-jerit ketakutan. Dia
menyesali diri mengapa dulu ayahandanya tidak
pernah memberi kesempatan padanya untuk belajar
ilmu kanuragan.
"Putri jelita yang selalu membuatku tak dapat
tidur! Mengapa kau harus menjerit-jerit seperti itu!
Percayalah setahi kuku pun aku tak bermaksud
menyakitimu. Kemarilah...!"
"Bangsat rendah... siapa sudi bersamamu!
Kau telah membunuh kedua orang tuaku, kini kau
bunuh pula orang-orang kepercayaan Ayahanda."
bentak Putri Permata Ningrum sambil mundur
beberapa langkah.
Karpala tergelak-gelak tanda senang. Lalu dia
hentikan tawa dan langsung mendatangi putri yang
sangat rupawan itu lekat-lekat. Darah terasa
bergemuruh di dalam dadanya. Meskipun begitu dia
masih tak ingin berbuat kasar.
"Putri... aku yang rendah ini minta maaf
Semua itu kulakukan demi cintaku padamu. Aku
takut kehilangan engkau! Tapi karena mereka
menghalangi maksud baikku, maka dengan sangat
terpaksa aku harus membereskan mereka!
Sedangkan tikus Awangga, dia tak perlu kau
risaukan. Dia bermaksud menghalangi kebahagiaan
kita berdua. Dengan sangat terpaksa pula aku harus
menyingkirkannya...!" kata Karpala lunak.
Begitu mendengar ucapan Karpala wajah Putri
Permata Ningrum nampak memerah, sebentar saja
dia telah menghunus sebuah keris kecil yang
menyerupai mahkota di kepalanya.
"Tuan putri, kau jangan main-main dengan
keris itu!" Karpala menegur tanpa beringsut dari
tempat duduknya.
"Aku lebih baik membunuh atau dibunuh...!"
Putri Permata Ningrum semakin
mendekatinya.
Kemudian dengan nekad dia menyerang
dengan keris lekuk tiga kebesaran Kaputren. Akan
tetapi bukan Karpala orangnya kalau hanya
mendapat serangan dari putri yang berparas jelita
dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa itu
menjadi kalang kabut. Sebaliknya dengan sangat
mudah dedengkot Pulau Berhala ini malah maju
selangkah, lalu dengan sedikit berkelit tangan-
tangan yang kokoh itu pun dengan cepat
menyambar pergelangan tangan Putri Permata
Ningrum.
"He... he... he...!"
Karpala tergelak-gelak, kemudian masih
dengan tertawa-tawa dia merampas keris di tangan
sang putri. Setelah melempar keris itu ke dalam
sungai dia memeluk tubuh Putri Permata Ningrum
erat-erat. Di jatuhkannya tubuh sang putri yang
cantik jelita itu dalam pangkuannya. Bau harum
yang keluar dari tubuh Permata Ningrum yang
menyebar dan menusuk hidungnya, membuat
gairah Karpala meledak-ledak. Lalu dielusnya
tangan
Putri Permata Ningrum yang kuning langsat,
kemudian pipinya, lalu lehernya. Begitu tangan itu
bergerak lebih ke bawah. Putri Permata Ningrum
menjerit-jerit ketakutan. Tapi Karpala si manusia
iblis itu tidak perduli. Bahkan dengan nekad kini dia
mulai berani mencium pipi sang putri.
"Bangsat rendah...! Lepaskan aku...!" teriak
Putri Permata Ningrum keras-keras.
Karpala yang sudah dirasuki setan gila, terus
saja terkekeh dan tiada perduli lagi. Darah mengalir
deras sampai ke ubun-ubun, sementara nafas
dilanda birahi yang mulai berkobar-kobar.
"Breet!"
Karpala berhasil menyentakkan pakaian Putri
Permata Ningrum persis pada bagian dadanya.
Begitu dia melihat pemandangan di depan
hidungnya. Kedua bola mata Karpala terbeliak bagai
mau melompat keluar. Agaknya Putri Permata
Ningrum sebentar lagi bakal mengalami nasib yang
sangat mengerikan bagi seorang gadis. Kalau saja
pada saat yang bersamaan sepasang mata elang
yang sejak dari tadi memperhatikan ulah Karpala
yang sangat menjengkelkan perutnya.
Kini dengan cepat pemuda itu bertindak,
sekali saja tangannya terayun ke depan. Sebuah
batu kali berwarna hitam melesat demikian
pesatnya.
"Wuut!" "Pletak!"
Karpala yang hampir saja berhasil melucuti
pakaian sang Putri, menjadi tersentak kaget. Bagai
terhantam sebuah palu godam dia merasakan
kepalanya bernyut-nyutan. Begitu dia menoleh
sambil meraba kepalanya yang terus mengalirkan
darah. Tiba-tiba di hadapan dedengkot Iblis Pulau
Berhala ini telah pula berdiri seorang pemuda
berpakaian lusuh, dengan sebuah periuk besar
tergantung di pundaknya.
Siapakah pemuda berwajah sangat tampan
ini? Tak asing lagi kalangan persilatan mengenalnya
sebagai Pendekar si Hina Kelana. Pemuda ini untuk
beberapa saat lamanya memandang pada Karpala
tiada berkedip sedikit pun. Tak lama kemudian dia
menoleh pada Putri Permata Ningrum yang nampak
sibuk membenahi pakaiannya yang sudah tak
karuan.
Sementara itu Karpala begitu melihat ada
orang lain datang-datang mengganggu
kesenangannya, nampak marah sekali. Apalagi dia
melihat bahwa orang ini baru pertama kali
dilihatnya.
"Budak hina! Berani sekali kau mencampuri
urusanku. Agaknya kau memang sudah bosan
hidup...!" bentak Karpala memandang remeh pada
Buang Sengketa.
"Segala bangsat rendah tak bermalu! Apa
takutnya menghadapi manusia jejadian seperti
setan! Kalau pun kau bisa berubah seribu satu rupa
sekali pun. Tidak akan nantinya aku bersurut
langkah...!" Pendekar Hina Kelana mencemooh.
Dihina sedemikian rupa Karpala semakin naik
darah. Kalau tadinya darahnya mendidih karena
amarah, maka kini darahnya terasa menggelegak
karena marah.
"Keparat...! Rupanya kau belum tahu dengan
siapa kau berhadapan?" tukas Karpala.
"Huh... sekali pun kau iblis dari neraka! Aku
tak pernah membatalkan niatku untuk memenggal
kepalamu...!"
"Bagus! Sebelum kau melakukan niatmu itu
aku ingin tahu siapakah namamu!"
Buang Sengketa tergelak-gelak. "Ha... ha...
ha...! Tua bangka, apa artinya sebuah nama. Aku
hanyalah si Hina Kelana yang tiada guna...!"
Begitu Buang Sengketa menyebut nama
gelarannya, Karpala nampak terperangah kaget.
Akhir-akhir ini dia memang mendengar adanya
sepak terjang seorang tokoh muda dari bagian
Barat, yang selalu bertindak tanpa kenal ampun.
Akan tetapi sedikit pun dia tiada pernah menyangka
bahwa tokoh baru dalam rimba persilatan masih
begitu muda. Walaupun pemuda ini memiliki wajah
yang sangat tampan, akan tetapi penampilannya
yang mirip gembel membuat Karpala tidak
mempercayainya. Untuk sesaat Karpala
mengerutkan alisnya. Kemudian dedongkot dari
Pulau Berhala itu pun terkekeh.
"Budak gembel, jangan kau coba-coba
mengelabui aku! Meskipun si Hina Kelana itu
manusia keturunan dewa yang memiliki kesaktian
tiada tanding! Siapa mau percaya pada bualan tikus
busuk...?!" kata Karpala mencemooh.
"Catat dalam otakmu bangsat Karpala! Di
kolong langit ini cuma ada satu nama si Hina
Kelana!"
"Puih! Hanya orang gila saja yang mau
percaya pada ocehanmu...!"
Seketika itu juga Buang Sengketa nampak
berubah parasnya, bibir terkatup rapat Apabila dia
pentangkan kedua tangannya ke depan. Pada saat
itulah dengan di awali satu bentakan keras tanpa
kompromi lagi dia langsung kirimkan serangan-
serangan dahsyat. Dengan cepat dia lancarkan jurus
Membendung Samudra Menimba Gelombang yang
sudah tidak diragukan lagi akan kemampuannya.
Serangan-serangan itu sedemikian cepat dan selalu
mengarah pada tempat-tempat yang paling
mematikan.
Karpala yang tadinya tak percaya dengan apa
yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana, agaknya
kini mulai menyadari bahwa sesungguhnya lawan
yang sedang di hadapinya. Kini dengan jurus Seribu
Berhala Mengusir Naga dia mulai membendung
serangan-serangan lawannya.
Berulang kali pukulan-pukulan Buang
Sengketa nyaris mencederai Karpala. Dalam waktu
sekejap pertarungan sudah mencapai puluhan jurus,
sementara Karpala yang merupakan orang nomor
dua dari Pulau Berhala beberapa saat berikutnya
sudah nampak mulai terdesak. Menghadapi
kenyataan pahit ini dedengkot dari Pulau Berhala ini
segera tingkatkan serangannya. Jurus Seribu
Berhala Mengusir Naga pada saat itu telah mencapai
tingkatan yang kesepuluh, berarti satu tingkat di
bawah puncaknya. Akan tetapi jangankan
melakukan serangan balasan sedangkan untuk
mengembangkan permainan silatnya saja rasanya
sudah teramat sulit. Padahal selama malang
melintang dirimba persilatan belum pernah seorang
musuh pun walau bagaimana tangguhnya dapat
mampu bertahan sampai lima jurus. Kini hanya
berhadapan dengan seorang pemuda gembel, malah
dia tak mampu berbuat banyak. Diam-diam Karpala
mulai mengeluh di dalam hati.
"Bangsat tua! Mana variasi jurus-jurus silatmu
yang sangat kau banggakan itu...!" ledek Pendekar
Hina Kelana sambil terus melancarkan serangan
gencar.
"Haram jadah! Sebentar lagi Racun Kala
Biruku segera mengirimmu ke neraka!" sentak
Karpala mendengus marah.
* * *
LIMA
Ternyata dedengkot iblis itu memang tidak
omong kosong. Sebab begitu katanya-katanya usai.
Dengan cepat dia merubah jurus-jurus silatnya. Kini
dengan mempergunakan jurus Berhala Menyembah
Matahari, tubuh Karpala berkelebat kian kemari,
terkadang tubuh dedengkot Pulau Berhala itu lenyap
di telah bayang-bayangnya sendiri. Sesaat pemuda
dari Negeri Bunian ini nampak berputar-putar
kebingungan. Serangan-serangan lawan yang tiada
berketentuan ini bahkan nyaris membahayakan
jiwanya. Lama kelamaan Pendekar dari Negeri
Bunian sudah semakin tak sabar lagi. Disertai
dengan lengkingan dahsyat, tubuh Buang Sengketa
melesat ke udara. Begitu tubuhnya menukik ke
bawah, tangan kanannya berkelebat cepat.
"Weer!"
Selarik sinar Ultra Violet melesat meluruk ke
arah Karpala. Pukulan yang diberi nama Empat
Anasir Kehidupan itu terus menderu dengan
mengeluarkan hawa panas yang teramat sangat.
Dedengkot Pulau Berhala terpekik kaget begitu dia
merasakan hawa pukulan yang sangat panas
menyambar tubuhnya. Lalu tanpa berpikir panjang.
Karpala segera memapaki.
"Blaaar...!"
Bertemunya dua kekuatan sakti, meskipun
Karpala memiliki tenaga dalam yang sudah
mencapai tarap sempurna, tak urung kedua kakinya
amblas sampai sebatas lutut. Rambut Karpala
kebakaran, keadaannya tak jauh beda dengan
seekor monyet yang kebakaran ekor.
Sementara Buang Sengketa sendiri kini sudah
nampak berdiri, sambil memegangi perutnya yang
terasa kaku karena menahan tawa.
"Ha... ha... ha.... ha...! Karpala monyet tolol!
Seharusnya kau berterima kasih padaku, sebab kau
tak usah bersusah payah pergi ke tukang cukur.
Sudah kugundul habis rambutnya yang mirip
monyet hutan itu! Lumayan kan...!" Pendekar Hina
Kelana masih dengan memegangi perutnya tertawa
mengejek.
Dedengkot Pulau Berhala yang memang lagi
ketemu batunya ini, mencaci maki panjang pendek.
"Bangsat terkutuk! Kau harus membayar
mahal semua penghinaan ini!" Karpala menyela,
sambil angkat-angkat kakinya yang masih terasa
sulit untuk dicabut.
"Goblok! Mestinya kau tak memaki seperti itu!
Di dunia ini mana ada seorang musuh sebaik
aku...!"
"Hutangmu baru ku anggap lunas apabila aku
telah meminum darahmu hingga asat...!"
"Hak... hak... hak! Ketahuilah beruang sial.
Darah si Hina Kelana rasanya sangat pahit!
Bagaimana kalau ku tukar dengan darah anjing...!"
kata Buang Sengketa konyol.
"Budak Hina jangan banyak mulut! Makan nih
senjataku!"
Kini dengan senjata Payung Perisai Kematian
Karpala menerjang kembali.
Payung kematian di tangan Karpala mencecar
ke segala arah. Suara bersiuran yang ditimbulkan
oleh senjata pusaka itu membuat gendang-gendang
telinga bagai dicabik-cabik, meskipun begitu
nampaknya Buang Sengketa tidak terpengaruh.
Malang bagi Putri Permata Ningrum yang tak
memiliki kepandaian apa-apa. Gadis putri raja ini
nampak sangat tersiksa, bahkan terguling-guling di
atas tanah. Demi menyaksikan keadaan sang Putri,
Buang Sengketa sambil terus mengimbangi
serangan-serangan lawannya segera berteriak:
"Putri! Kau sumbatlah telingamu dengan
daun-daun yang berada di sekelilingmu...!"
Begitu mendengar peringatan Pendekar Hina
Kelana cepat-cepat Putri Permata Ningrum sumbat
lubang telinganya.
Kini Karpala menjadi bertambah beringas,
beberapa saat kemudian senjata itu sempat
merobek bagian dada Pendekar Hina Kelana. Darah
berwarna kehitam-hitaman mulai meleleh
membasahi bajunya. Akan tetapi walau bagaimana
pun Buang Sengketa adalah seorang Pendekar sejati
yang kebal terhadap segala macam racun, walaupun
yang bagaimana pun ganasnya. Itu makanya dia
nampak tenang-tenang saja. Lain lagi dengan
Karpala, Dedengkot Pulau Berhala ini sudah dapat
menduga bahwa sebentar lagi lawannya yang
sangat tangguh itu akan roboh terkena racun
miliknya. Untuk itu sambil menyerang dia terkekeh:
"Hemm! Sebentar lagi nyawamu akan
melayang bocah sinting...!" Karpala sekali lagi
melancarkan serangan mautnya.
"Weer!"
"Heeiiik...!"
Buang Sengketa mencelat ke atas, serangan
Karpala luput. Namun tanpa dapat diduga oleh
lawannya. Kiranya pemuda itu telah mencabut
pusaka Golok Buntung. Udara di sekitarnya
mendadak berubah sekali, Karpala berseru kaget.
Seberkas sinar merah menyala memancar dari golok
pusaka yang tergenggam di tangan Pendekar Hina
Kelana.
Saat itu meskipun Karpala telah mengerahkan
seluruh kekuatan untuk menolak pengaruh hawa
dingin yang ditimbulkan oleh kharisma Golok
Buntung namun tetap saja tidak merobah keadaan.
Sementara itu Golok Buntung di tangan Pendekar
dari negeri Bunian telah berkelebat-kelebat mencari
sasaran.
Pertarungan mempergunakan senjata pusaka
kini telah mencapai puluhan jurus. Karpala kini
benar-benar telah jauh di bawah angin. Beberapa
saat berikutnya. Buang Sengketa yang sudah
semakin tak sabaran ini, kirimkan satu babatan dua
tusukan. Menghadapi serangan yang begini rupa,
Karpala menjadi gugup, dengan tiga kali berkeht,
dua tusukan dapat dia elakkan dengan baik. Tetapi
satu babatan berikut agaknya tak mungkin dia
hindari lagi. Dalam keadaan terdesak seperti itu
tiba-tiba saja Karpala dengan nekad memapaki
sabetan Golok Buntung dengan Payung Perisai
Kematian.
Tak terelakkan lagi:
"Trang!"
"Brebet!"
Karpala nampak tergetar hebat, senjata
payung di tangannya hancur berantakan terbabat
Pusaka Golok Buntung Pendekar Hina Kelana.
Karpala menjadi ciut nyalinya. Belum lagi hilang
keterkejutan dedengkot Pulau Berhala ini, tiba-tiba
Buang Sengketa sambil membabatkan golok pusaka
di tangannya berteriak:
"Kuberi satu pelajaran yang paling berharga
buatmu! Tapi sebagai gantinya tinggalkan sebelah
tanganmu...!"
Kembali pusaka golok Buntung berkelebat.
"Craaas!"
Tangan kiri Karpala terkutung sebatas pangkal
lengan. Iblis dari Pulau Berhala itu melolong setinggi
langit, darah memancar deras dari lengan yang
sudah kutung. Dengan cepat Karpala menotok jalan
darah demi menghindari darah lebih banyak keluar.
Sebentar wajahnya yang sudah memucat itu
memandang pada Pendekar Hina Kelana.
"Budak Hina Kelana...! Hari ini kau tertawalah
sepuas hatimu, tapi kau pasti menyesal telah
membuat perkara pada Tiga Datuk dari Pulau
Berhala!"
"Tua tiada guna! Cepat menyingkirlah dari
depanku sebelum aku berobah pendirian...!" bentak
Pendekar Hina Kelana dengan sesungging senyum
mengejek.
"Tunggu pembalasanku...!"
Usai berkata begitu, sambil membawa
kutungan tangannya Karpala berkelebat pergi.
Beberapa saat kemudian setelah Karpala
berlalu dari hadapan Pendekar Hina Kelana. Putri
Permata Ningrum yang sedari tadi menyaksikan
sepak terjang Pendekar tampan ini bergegas
menghampiri. Kemudian dia berlutut di depan Buang
Sengketa. Sudah barang tentu ulah Putri Permata
Ningrum ini membuat Pendekar yang memiliki sifat
pemalu pada wanita menjadi kelabakan dan salah
tingkah. Kemudian dengan suara terbata-bata dia
menyela:
"Ee... tu... tuan Putri mengapa begitu!
Seharusnya akulah yang menghaturkan sembah
padamu!"
"Engkau telah menyelamatkan kehidupanku
tuan Pendekar! Sewajarnya aku berterima kasih
padamu...!" ucap Putri Permata Ningrum masih
tetap dengan keadaannya.
"Bangkitlah tuan Putri! Engkau tak pantas
berlaku seperti itu...!" kata Buang Sengketa pula.
Putri Permata Ningrum kini sudah bang-kit
berdiri, dengan penuh kagum dipandanginya wajah
Pendekar Hina Kelana yang tampan namun polos,
begitu pandangan matanya bersitatap, tiba-tiba saja
hatinya berdetak keras. Ada keteduhan yang
terpancar dari mata pemuda itu. Buang Sengketa
yang memang tak memiliki sifat mata keranjang.
Dipandang demikian rupa tentu saja menjadi
jengah. Lalu dengan suara pelan dia memecah
keheningan.
"Tuan Putri! Si bangsat Karpala sudah pergi,
lalu apakah yang harus kuperbuat untukmu...?"
tanya Pendekar Hina Kelana serba canggung.
"Sekali lagi jangan tuan menyebutku dengan
panggilan seperti itu. Aku tidak suka...!" sela Putri
Permata Ningrum marah.
Tentu saja tingkah Putri Permata Ningrum
yang berubah seketika itu membuat Buang
Sengketa terheran-heran.
"Mengapa? Bukankah engkau seorang Putri
raja, sudah selayaknya aku bersikap hormat
padamu...!"
Tiba-tiba saja Permata Ningrum
menangkupkan wajahnya pada kedua belah tangan-
nya. Sebentar kemudian dia sudah menangis, Buang
Sengketa semakin tak mengerti dan usap-usap
pipinya yang kotor.
"Putri, mengapa kau menangis...?"
Putri Permata Ningrum dengan cepat me-
noleh, lalu memandang sinis pada Pendekar dari
Negeri Bunian ini.
"Putri lagi... Putri lagi...! Sudah kukatakan
jangan ulangi...!" tukas Permata Ningrum kesal.
"Lalu bagaimana...?" Buang Sengketa menjadi
bingung.
"Tuan punya nama...?"
"Punya...!"
Buang Sengketa menjawab tegas.
"Siapa... nama Tuan...!"
"Buang Sengketa...;"
"Buang Sengketa...!"
Ulang Putri Permata Ningrum seolah
merasakan ada sesuatu yang sangat asing.
"Aneh sekali! Seumur hidup baru sekarang
aku mendengar nama seasing namamu itu!" gumam
Putri Permata Ningrum.
"Namaku adalah sebagian dari masa laluku
yang pahit...!"
"Oh ya! Aku Permata Ningrum. Sekali lagi
jangan tuan menambahi dengan tuan Putri! Aku
muak mendengarnya...!"
Tiba-tiba Pendekar Hina Kelana tergelak-
gelak:
"Kau lucu...!"
Masih terkekeh Buang Sengketa menyela.
Putri Permata Ningrum merengut. "Apanya yang
lucu...!" "Di kolong jagat ini. Cukup banyak tikus-
tikus menonjolkan nama besar atau setidak-
tidaknya mengagung-agungkan nama besar bapak
moyangnya, akan tetapi kau malah sebaliknya
berusaha bersembunyi di bawah kebesaran
keturunan. Apakah itu tidak lucu...?"
Putri Permata Ningrum cemberut, kemudian
menyela:
* * *
ENAM
ku hanyalah seorang anak yang tiada guna.
Ayah bundaku tewas aku tak bisa membela. Bahkan
untuk keselamatan sendiri aku tak dapat
menjaga...!" kata Putri Permata Ningrum tertunduk
sedih mengenang nasib ayah bundanya.
Buang Sengketa tercenung seketika.
Kemudian manggut-manggut:
"Put…eeh... Permata Ningrum! Setan dari
manakah yang telah bikin sengsara kedua orang
tuamu itu?" tanya Buang Sengketa dengan sangat
hati-hati.
"Bukan bikin sengsara... mungkin saat ini
kedua orang tuaku telah binasa di tangan
mereka...!" ujar Permata Ningrum agak tersendat.
Kemudian dia menyambung lagi: "Ayahanda
Jasa Dewa adalah seorang raja di istana Kedatuan
Khalayan, bahkan secara turun temurun. Beliau
selama dalam pemerintahan selalu bertindak adil
bijaksana. Karena memang pada dasarnya
ayahanda selalu berpihak pada kebenaran dan
menjadi pelindung kaum yang lemah. Tapi siapa
sangka bahwa adik tirinya yang juga merupakan
tangan kanannya sendiri tidak menyukai cara-cara
ayahanda menjalankan pemerintahan ayahanda.
Lalu mereka dengan dibantu oleh sekutu-sekutunya,
berniat mengadakan pemberontakkan. Padahal niat
buruk mereka itu sebenarnya pernah disampaikan
oleh paman Pradilaga dan Awangga yang juga masih
merupakan pengawal utama tingkat tiga. Akan
tetapi ayahanda tidak pernah percaya bahkan diam-
diam mulai menaruh curiga pada pa-man Pradilaga
dan Awangga. Hingga tadi malam pemberontakan
itu meletus. Ayahanda baru sadar, tapi semuanya
sudah terlambat! Paman Pradilaga mungkin sudah
tewas seperti Awangga keponakannya itu...!" kata
Putri Permata Ningrum sambil menunjuk ke arah
mayat Awangga yang sudah nampak membeku. Dan
tiba-tiba pula Permata Ningrum menangis sedih.
Pendekar Hina Kelana mengawasi mayat
Awangga sejenak, dalam pertarungan tadi bahkan
dia sempat melihat sepak terjang Awangga yang tak
kenal takut. Diam-diam dia memuji keberanian
pemuda itu.
"Seperti halnya Tuan! Dia seorang pemuda
yang baik dan jujur, tapi tangan-tangan iblis itu
telah merenggutkan nyawanya! Kalau saja aku
memiliki kepandaian sehebat tuan, aku pasti tidak
mengampuni jiwa mereka!" tukas Putri Permata
Ningrum geram sekali.
Pendekar Hina Kelana menarik nafas dalam-
dalam, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang
menyesak di dalam dadanya. Marah. Itu pasti!
"Putri... ee... Permata Ningrum! Aku berjanji
untuk membantumu sampai Kedatuan Khalayan
kembali pada yang berhak! Tapi bagaimana dengan
engkau...?" tanya Buang Sengketa.
Dalam hati dia berkata tak mungkin dia
membawa serta Putri Permata Ningrum dalam
menumpas kaum pemberontak yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi. Lebih dari itu dengan
sertanya Putri Permata Ningrum dalam perjalanan
tentu lama kelamaan bisa memancing datangnya
musuh lebih banyak lagi. Apalagi Putri Permata
Ningrum memiliki wajah dan dandanan yang sangat
lain dari kebanyakan kaum penduduk. Sedang
dalam berfikir begitu tiba-tiba Permata Ningrum
menyela:
"Tuan...!"
"Jangan panggil begitu, aku bukan Tuanmu!
Panggil saja si Hina...!" Putri Permata Ningrum
mengajuk.
"Kau orang baik, aku tak mau memanggilmu
si Hina, lebih baik kupanggil Kelana saja." kata
Permata Ningrum tersipu-sipu.
"Sesuka-sukamulah...!"
Agaknya Putri Permata Ningrum merupakan
seorang gadis yang periang, meskipun jiwanya baru
terguncang hebat. Akan tetapi kini sudah berubah
seperti biasa kembali.
"Kelana. Kalau engkau tidak keberatan aku
ingin mengikutimu sampai Kedatuan Khalayan. Aku
ingin melihat pemberontak Runa mampus di
tanganmu...!"
"Kau mau ikut! Mereka bisa
mencelakakanmu...!"
Buang Sengketa mencela dengan perasaan
was-was.
Putri Permata Ningrum tiba-tiba membalikkan
diri dan bermaksud melangkah pergi. Pendekar Hina
Kelana gelengkan kepala. Permata Ningrum
meskipun berhati baik nyatanya keras kepala juga.
"Tunggu...!"
Putri Permata Ningrum sambil terus me-
langkah menjawab:
"Maaf.! Aku telah membuatmu repot...!"
ucapnya acuh.
Buang Sengketa, tiba-tiba saja dia telah
berdiri di hadapan Permata Ningrum. Putri tunggal
Kedatuan Khalayan hentikan langkah, sekejap
menatap sinis pada Pendekar Hina Kelana, lalu:
"Minggir...! Aku tak butuh bantuanmu!"
Dibentak seperti itu, sudah barang tentu
membuat Pendekar dari Negeri Bunian ini sudah
tidak dapat bersabar lagi.
"Baik! Kalau kau sudah memutuskan begitu.
Sekali pun kau seorang Putri Dewa Kayangan apa
peduliku! Aku paling benci pada perempuan yang
kasar...!" Usai berkata, tanpa menoleh lagi Buang
Sengketa segera melangkah pergi tanpa menoleh-
noleh lagi.
Putri Permata Ningrum yang biasa di manja
agaknya dia tak tahu bahwa pemuda ini selalu
bersikap tegas pada siapa pun. Dia menjadi
bimbang untuk meneruskan langkahnya. Terlebih-
lebih lagi bila dia ingat pada kejadian yang hampir
saja menimpa dirinya. Tiba-tiba perasaan takut
menyelimuti hati-nya. Begitu menoleh di lihatnya
Pendekar Hina Kelana sudah berlalu jauh darinya.
"Kelana... tunggu! Maafkan aku... aku takut.
Kelana, oh...!"
Sambil berteriak-teriak Putri Permata Ningrum
berbalik dan berlari-lari mengejar Pendekar Hina
Kelana. Sementara Buang Sengketa meskipun
hatinya sangat kesal kiranya tak sampai hati juga.
Tanpa menoleh dia hentikan langkah. Tak berapa
lama kemudian Putri Permata Ningrum sudah
menyusulnya. Dengan nafas terengah-engah
kemudian dia berkata:
"Maafkan aku! Aku tak seharusnya bersikap
kasar padamu...!" ucap Permata Ningrum lirih.
Tanpa menjawab, Buang Sengketa kembali
meneruskan langkahnya dengan diikuti Putri
Permata Ningrum. Anak raja Kedatuan Khalayan,
yang sesungguhnya mulai menaruh rasa simpati
pada pendekar tampan itu.
* * *
Sejak terjadinya pemberontakan di istana
Kedatuan Khalayan yang menewaskan Raja Jasa
Dewa berikut permaisurinya. Kini keadaan negeri di
wilayah Khalayan sudah terasa semakin tidak aman.
Perampokan berupa harta benda penduduk.
Penculikan gadis-gadis desa, merajalela di mana-
mana. Beberapa bulan keadaan semakin bertambah
memburuk. Terlebih-lebih Runa yang menjadikan
dirinya seorang raja yang baru kelihatan sudah tidak
perduli dengan nasib buruk yang menimpa
rakyatnya. Setiap hari dia banyak menghabiskan
waktu hanya untuk bersenang-senang dengan
wanita-wanita murahan. Bermain judi, bercinta atau
bahkan minum-minum sampai mabuk. Masyarakat
semakin menderita saja, apalagi Sigalumet panglima
perang Kedatuan Khalayan yang baru selalu
bertindak sewenang-wenang. Menyiksa, membunuh
atau bahkan memperkosa anak bini orang, sudah
merupakan kebiasaan datuk sesat dari Pulau
Berhala ini.
Si bungkuk Ludra yang tak memiliki
wewenang apa-apa di Kedatuan Khalayan lain lagi
kesibukannya. Laki-laki bungkuk bertampang
serakah ini, hidup bergelimang kemewahan. Dia
mendirikan sebuah rumah megah yang sepintas lalu
menyerupai sebuah istana kecil tidak begitu jauh
dari wilayah Khalayan. Meskipun dia tak pernah mau
mengganggu anak istri penduduk. Tapi apa
bedanya! Setiap hari dia mengutus sepuluh orang
kepercayaan untuk merampoki harta benda milik
penduduk sekitarnya, bahkan lama kelamaan mulai
merambah daerah-daerah lain di luar wilayah
Khalayan. Sementara di istana kediamannya, dia
nampak duduk ongkang-ongkang di atas tumpukan
harta.
Seperti di siang itu di sebuah kota kecil yang
bernama Palang Sejajar. Sepuluh orang berkuda
nampak memasuki kota. Sebagaimana yang pernah
terjadi di daerah-daerah lain-ya. Kini orang-orang
bertampang bengis itu langsung melakukan aksinya.
Jerit pekik ketakutan segera mewarnai aksi
mereka. Korban satu demi satu mulai berjatuhan,
darah berceceran, tiada sedikit pun terlintas belas
kasihan di hati sambil terus melakukan aksinya
mereka nampak tertawa-tawa. Tak segan-segan
mereka berbuat kurang ajar dengan anak gadis
korbannya. Setelah itu berlalu begitu saja.
Siang itu Buang Sengketa secara kebetulan
telah sampai pula di kota kecil Palang Sejajar.
Setelah hampir seminggu melakukan perjalanan,
sesungguhnya bagi pemuda itu apa yang telah dia
lakukan adalah merupakan hal yang wajar. Tapi
mengingat Putri Permata Ningrum yang keadaannya
sudah sangat payah, mau tak mau dia harus
bersikap sabar. Perjalanan mereka ke Khalayan
masih terlalu jauh. Sementara dia tak mungkin
mempergunakan ajian Sapu Jagat untuk
mempersingkat waktu. Kalau pun hal itu sangat
mungkin untuk dia lakukan, akan tetapi bagaimana
halnya dengan Putri Permata Ningrum?
Menggendongnya? Huh! Itu hanya pekerjaan orang
setengah sinting. Putri Permata Ningrum bukan
bocah kecil lagi. Sudah gadis! Bahkan sudah cukup
dewasa. Pekerjaan itu mana pantas dilakukan oleh
Pendekar tampan yang mempunyai sifat sedikit pe-
malu ini.
Demikianlah ketika mereka mengayunkan
langkah sampai di tengah-tengah kota. Pemuda ini
sempat dibuat heran begitu melihat keributan terjadi
di sana-sini, sementara orang-orang berlarian kian
kemari.
"Ada apa Kelana...?" tanya Permata Ningrum
mengerling manja.
"Agaknya telah terjadi sesuatu yang tak beres
di tempat ini! Coba kutanyakan bapak tua yang
menuju ke mari...."
Begitu laki-laki setengah baya itu hampir di
hadapannya. Buang Sengketa menegur: "Bapak!
Ada apakah...?" Laki-laki itu nampak ketakutan,
mengira bahwa pemuda ini merupakan komplotan
para perampok.
"Bapak jangan takut! Katakan saja...!" desak
Pendekar Hina Kelana.
"Anu... Kisanak, ada perampokan! Mereka
merampoki harta benda penduduk. Bahkan kini
mulai membunuh...!"
Laki-laki itu berkata dengan tubuh meng-gigil
ketakutan.
Buang Sengketa kerutkan kening. "Siapakah
mereka...?" tanya pemuda itu penasaran sekali.
"Mereka orang-orang dari Kedatuan
Khalayan...."
"Kedatuan Khalayan?" desah Pendekar Hina
Kelana seolah tak percaya.
Sekejap dia melirik pada Putri Permata
Ningrum.
"Berarti, mereka orang-orangnya si
pemberontak Runa...!" tukas Putri Permata Ningrum
begitu geramnya.
"Kalau begitu mari kita ke sana...!"
Pendekar Hina Kelana beserta Putri Permata
Ningrum tak lama kemudian telah sampai pada
tempat keributan. Orang-orang suruhan si Bungkuk
Ludra itu nampak sibuk sekali. Mereka mengangkat
harta benda penduduk dengan keadaan tergesa-
gesa. Semuanya itu tak lepas dari perhatian
Pendekar Hina Kelana dan Putri Permata Ningrum.
Buang Sengketa dengan sabar menantikan apa lagi
yang bakal dilakulan oleh para perampok itu. Meski
pun darahnya sudah mendidih sedapatnya dia masih
menahan diri.
Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja Putri
Permata Ningrum berseru kaget sekali. Buang
Sengketa merasa heran dengan ulah si gadis putri
istana ini. Agaknya Putri Permata Ningrum tidak
memperdulikan hal itu. Tetap saja dia berseru:
"Sena... Sura...! Sejak kapan ayahandaku
mengajarimu menjadi perampok seperti itu!” bentak
Putri Permata Ningrum pada dua orang yang baru
saja keluar dari dalam rumah penduduk sambil
menjinjing benda-benda berharga.
Begitu mendengar ada seseorang memanggil
namanya dua orang laki-laki ini yang sesungguhnya
masih sangat setia pada mendiang Raja Jasa Dewa,
secara serentak menoleh. Alangkah terkejutnya hati
mereka begitu dilihatnya putri junjungan mereka
nampak berdiri, dan memandang marah padanya.
Sena dan Sura tanpa diperintah lagi langsung
mencampakkan barang-barang yang mereka bawa,
kemudian berlari menghampiri Putri Permata
Ningrum yang masih tetap berdiri bersama seorang
pemuda yang belum mereka kenal. Begitu sampai di
depan junjungannya, Sena dan Sura langsung
menyembah dan berlutut minta ampun.
"Berani sekali kau membuat kesengsaraan
pada rakyat...!" bentak Putri Permata Ningrum
sangat marah sekali.
Mendadak kedua orang ini menangis bagai
bocah kecil, masih dengan sesenggukkan salah
seorang di antara mereka memberi penjelasan.
"Putri yang mulia... limpahilah kami dengan
maafmu! Semua ini hamba lakukan karena demi
keselamatan jiwa kami yang tiada berharga ini.
Mereka memaksa kami untuk melakukan
perampokan dengan cara yang keras! Percayalah
Tuan Putri kami tak pernah menyakiti penduduk!
Anjing-anjing suruhan itulah yang sering melakukan
pembunuhan...!" '
"Kalau memang jiwa kalian tiada harganya!
Maka aku akan segera mengirimnya ke neraka...!"
Buang Sengketa menyela dengan tatapan mata
dingin.
"Tuan ampunilah jiwa kami! Semua ini kami
lakukan karena sangat terpaksa sekali...!". Sura ikut
menimpali.
Putri Permata Ningrum menoleh pada si
pemuda, tatapan matanya seperti memberi isyarat
bahwa kedua orang itu merupakan bawahan yang
bisa dipercaya. Tak lama kemudian dia kembali lagi
pada Sena dan Sura.
"Baik kuampuni jiwa kalian! Sekarang ikut
bersama kami...!" perintah Putri Permata Ningrum
pada bekas abdinya.
"Terima kasih atas kemurahan hati tuan Putri!
Dengan penuh suka cita kami siap menjalankan
perintah yang mulia...!" ucap kedua orang itu
hampir bersamaan.
"Berapa orang kawan-kawanmu orang
tolol...!" tiba-tiba saja Buang Sengketa menyela.
"Mereka tinggal delapan orang lagi tuan...!"
jawab Sura dengan tubuh masih gemetaran.
"Anjing-anjing sialan itu memang perlu
digebuk. Suruh mereka keluar...!" bentak Pendekar
Hina Kelana mendadak menjadi bengis.
"Ka... kami takut Tuan...!" jawab Sena
semakin bertambah menggigil ketakutan.
"Goblok! Terhadap anjing dungu saja kalian
takut...!"
Pendekar Hina Kelana merasa sangat kesal
sekali. Tak lama kemudian dia sudah berseru
lantang:
"Perampok-perampok sial yang ada di dalam
rumah! Cepat keluar...!"
Dari sebuah pintu jendela, salah seorang di
antara mereka melongokkan kepalanya. Sebentar
kemudian telah lenyap kembali.
"Bangsat! Haruskah aku yang datang
menyeret kalian...!"
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja seorang
laki-laki berbadan pendek kurus melesat dari dalam
jendela diikuti oleh beberapa orang lainnya.
"Hemm... kiranya kunyuk-kunyuk macam ini
yang telah bikin onar di mana-mana?" kata Buang
Sengketa dingin.
Tanpa memperdulikan Buang Sengketa laki-
laki berbadan pendek kurus malah menyela:
"Kawan-kawan! Kiranya Sena dan Sura mau
membelok kembali pada majikannya! Sungguh
bangsat tak tahu diuntung, diberi kehidupan yang
enak kini kalian berdua telah pula menjadi
pengkhianat...!"
"Kakang Cindek! Bukankah gadis jelita itu
bekas anak raja yang sudah mampus itu! Benar-
benar pucuk dicinta ulam tiba...!" salah satu orang
lainnya yang berbadan gempal ikut menyela.
"Hak... hak... hak...! Kalau kita tangkap dia,
pasti kita akan mendapat hadiah yang sangat
besar...!"
Pendekar Hina Kelana yang sejak tadi
membiarkan tingkah mereka, kini nampaknya
sangat gusar.
"Manusia-manusia terkutuk! Kalian memang
lebih pantas mampus...!"
Bersamaan dengan kata-katanya, secepat
kilat pemuda itu kiblatkan tangan kanannya. Tak
ayal lagi Buang Sengketa telah lepaskan pukulan
andalam Empat Anasir Kehidupan Selarik sinar yang
hampir-hampir tak dapat dilihat dengan kasat mata
melesat, lalu menderu meluruk ke arah mereka.
Udara di sekitarnya terasa panas luar biasa.
Sampai-sampai Putri Permata Ningrum yang berdiri
di samping pemuda itu menjerit kaget.
Para perampok yang tak mengira bahwa
pemuda gembel yang mereka anggap tak memiliki
kepandaian apa-apa, nampak terkesiap. Namun
sebelum mereka menyadari apa sesungguhnya yang
terjadi pukulan yang dilancarkan Pendekar Hina
Kelana telah melabrak. Tubuh orang-orang itu
berpelantingan roboh, untuk kemudian tidak bangun
untuk selama-lamanya.
Dari sekian banyaknya anggota perampok,
hanya si pendek kurus dan yang berbadan gempal
saja yang dapat menyelamatkan diri. Untuk
beberapa saat lamanya, mereka nampak terkesima.
Perasaan kecut nampak membayang di wajah
mereka.
"Hahaha... hahaha...! Kroco-kroco sialan...
malang sekali nasib kalian hari ini. Sekali kalian
bertemu denganku, menyesal pun sudah tiada guna
melolonglah seperti anjing kalau kalian ingin aku
mengampuninya...!" Pendekar Hina Kelana
membentak dengan tatapan mata dingin.
Dua orang kepala perampok ini meskipun
sudah merasa jerih melihat sepak terjang
Pendekar Hina Kelana. Akan tetapi demi
menjaga gengsi, tak urung si Cindek tertawa
mencibir.
"Gembel kesasar! Meskipun kepandaianmu
setinggi gunung, tidak nantinya kami merengek
minta ampun padamu."
"Bagus! Manusia-manusia semacam kalian
memang lebih pantas mampus...!"
Belum lagi Buang Sengketa selesai de-ngan
kata-katanya, tiba-tiba kedua orang ini dengan
nekat telah menerjang terlebih dulu.
Sena dan Sura segera membawa majikannya
menyingkir ke tempat yang aman. Pertarungan seru
pun segera terjadi. Dalam waktu sekejap si Cindek
dan si Gempal telah keluarkan jurus-jurus yang
paling sangat mereka andalkan. Dengan gerakan-
gerakan yang sangat teratur dari dua arah kedua
orang ini menggempur Buang Sengketa. Sesuai
dengan pekerjaannya, kedua perampok ini telah
mempergunakan jurus Rampok Hutan Menyergap
Mangsa. Buang Sengketa memang pantas memuji
kehebatan jurus-jurus yang mereka ma-inkan.
Gempuran dahsyat yang bertubi-tubi, serangan
gencar yang selalu mengarah pada bagian-bagian
yang mematikan, semua itu bisa membuat lawan
menjadi kalang kabut. Akan tetapi agaknya hal itu
tidak berlaku bagi Pendekar Hina Kelana. Yang sejak
kecil telah mendapat gemblengan berbagai ilmu
kanuragan dari seorang kakek sakti si Bangkotan
Koreng Seribu.
Dengan mempergunakan jurus si Hina
Mengusir Lalat dia putar kedua tangannya untuk
melindungi diri. Tubuh si pemuda berkelebat cepat
kian ke mari. Hal ini benar-benar membuat kedua
lawannya menjadi kebingungan. Pertarungan sudah
memakan puluhan jurus, sejauh itu si Cindek dan si
Gempal masih belum berhasil memukul lawannya.
Usapkan sampai memukul sedang menyentuh
kulitnya pun belum dapat.
Mendadak Buang Sengketa segera rubah
permainan silatnya. Tubuhnya bergerak tak
beraturan, sekali tangannya memukul ke depan,
kaki terangkat ke atas bagai seorang yang
terpeleset kulit pisang, di lain saat terhuyung-
huyung bagai pemabukan, meskipun begitu dengan
mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk ini. Tubuh
si pemuda itu semakin terasa sulit untuk mereka
sergap.
Agaknya Si Cindek dan si Gempal sudah tak
dapat lagi menguasai emosi. Kedua orang itu segera
cabut senjatanya yang berupa sebuah golok besar
dan sebilah pedang berwarna kuning.
Dengan senjata ini mereka mencecar habis-
habisan Pendekar Hina Kelana. Pertarungan menjadi
semakin mendebarkan, apa lagi pedang dan golok di
tangan lawannya berkelebat menyambar-nyambar
ke segala arah. Mau tak mau pendekar dari negeri
Bunian ini segera merubah jurus-jurus silatnya
dengan Membendung Gelombang Menimba
Samudra. Dari gerakan pelan seperti orang
pemabukan kini berubah menjadi cepat luar biasa.
Tubuhnya berkelebat bahkan terkadang lenyap dari
pandangan lawannya.
Hal ini sudah barang tentu kembali membuat
bingung lawannya, tak lama kemudian sambil terus
melancarkan serangan si Gempal menyela:
"Manusia siluman! Kau benar-benar seorang
pengecut, berani bertarung tapi hanya main kucing-
kucingan...!" kata si Gempal marah.
"Jligk!"
Tanpa menimbulkan suara, kini pemuda itu
sudah berdiri lagi di hadapan mereka, "Manusia
tiada guna! Supaya kalian tidak mati penasaran,
sekarang aku tak akan mengelak lagi. Kuberi
kesempatan pada kalian dan pergunakan dengan
baik. Tunggu apa lagi, cepat serang…!" bentak
Pendekar Hina Kelana, tanpa maksud mengelakkan
serangan lawannya.
Melihat kenekatan Buang Sengketa, pucatlah
wajah Putri Permata Ningrum dan juga kedua
abdinya. Mereka berfikir selain senjata-senjata di
tangan kepala perampok itu sangat tajam, bukan
tidak mungkin senjata itu juga sangat berbisa.
Sebaliknya si Cindek dan si Gempal ini beranggapan
dengan sekali tusuk tamatlah riwayat pemuda
gembel di depanny a. Semua orang yang hadir di
tempat itu nampak memejamkan matanya, begitu si
Cindek dan si Gempal membabatkan pedangnya ke
seluruh bagian tubuh Pendekar Hina Kelana. Dengan
diiringi teriakan dahsyat, ker dua orang itu secara
hampir bersamaan membabatkan pedang dan
goloknya.
"Ciaaat! Haiiit!"
"Crak! Crak!"
Bagai membabat sebuah batu gunung senjata
mereka menghantam tubuh si pemuda. Tapi
sedikitpun tubuh yang tertebas pedang maupun
golok, tak terluka. Hanya pakaian si pemuda
nampak terobek di beberapa bagian. Si Cindek dan
si Gempal terkejut bukan alang kepalang. Tanpa
sadar mereka berseru:
"Ilmu Setan...!"
Buang Sengketa tergelak-gelak.
Namun beberapa saat kemudian tanpa
terduga, kedua orang itu segera berbalik langkah
dan bermaksud langkah seribu. Pemuda ini sudah
tidak kasih kesempatan lagi.
Selanjutnya dengan mengerahkan sepertiga
bagian tenaganya. Dia pukulkan kedua tangannya
ke depan.
"Mampuslah kalian...!" Dengusnya. Selarik
sinar Ultra Violet berkelebat cepat untuk kemudian
melabrak tubuh lawan-lawannjra.
"Blaar!"
Tubuh kedua orang itu terpelanting puluhan
tombak, tanpa sempat menjerit atau melolong,
mereka terkapar dengan nyawa melayang.
Buang Sengketa menarik nafas pendek,
sementara Putri Permata Ningrum nampak berlari-
lari menghampirinya.
"Kau tak apa-apa Kelana...?" tanya Permata
Ningrum kuatir. Buang Sengketa gelengkan kepala,
lalu katanya: "Mari kita pergi dari sini...!"
Dengan mempergunakan kuda milik
perampok, keempat orang itu berlalu meninggalkan
kota Palang Sejajar.
* * *
DELAPAN
Matahari sore sudah tenggelam di kaki bukit,
di langit lepas awan hitam nampak semakin
menebal. Tak lama kemudian angin dari arah Barat
Daya terasa berhembus kencang. Bersamaan
dengan bertiupnya angin kencang, di atas langit
mendung sudah mulai meneteskan air. Suasana di
pinggiran hutan seketika berobah gelap gulita. Tiada
rumah penduduk di sekitar hutan itu. Pendekar Hina
Kelana menghentikan kuda, pandangan matanya
menoleh kanan kiri.
"Alamat mandi hujanlah kita malam ini?"
gumamnya.
Tiba-tiba Sena yang berada paling belakang
berkata pelan.
"Tuan... ketika kami melewati hutan ini
kemarin. Kami lihat tidak begitu jauh di depan sana
ada sebuah kuil yang kosong. Siapa tahu masih bisa
kita manfaatkan...!"
"Hemm... mengapa tidak bilang sejak tadi...!"
Berkata begitu Buang Sengketa segera
menarik tali kekang kudanya. Sebentar kemudian
mereka sudah bergerak kembali. Memang benar
seperti apa yang dikatakan oleh Sena, setelah
beberapa saat mereka memacu kuda. Di pinggiran
hutan itu terdapat sebuah kuil yang memang sudah
kosong. Segera setelah menambatkan kudanya,
mereka bergegas memasuki kuil itu. Baru beberapa
saat lamanya mereka berada dalam kuil. Hujan
deraspun turun.
Sena dan Sura segera membersihkan kuil itu
dari kotoran dan debu. Tak lama kemudian setelah
melewatkan makan malam seadanya Buang
Sengketa nampak berbincang-bincang dengan Putri
Permata Ningrum.
Sementara Sena dan Sura nampak berjaga-
jaga di ruangan depan. Terkadang kesunyian malam
dipecahkan oleh suara kedua abdi yang masih
sangat setia pada putri junjungan mereka.
Pembicaraan mereka berkisar tentang kehebatan si
pemuda yang telah menyelamatkan mereka bertiga.
Pada saat yang sama di ruangan dalam, tanpa
mengenal bosan Putri Permata Ningrum tak henti-
hentinya memandangi Pendekar Hina Kelana yang
semakin membuatnya kagum dan menarik hatinya.
"Sudah malam Ning...!" ucap Pendekar Negeri
Bunian itu menyebut panggilan akrab Putri Permata
Ningrum.
"Aku tidur di sini dan engkau tidur di ruangan
yang berpintu itu...!"
Putri Permata Ningrum tak menyahut,
sepasang bola matanya yang indah memandang
sendu pada Pendekar Hina Kelana.
Sebagai orang yang sudah dewasa sedikit
banyaknya Buang Sengketa tahu kalau Putri
Permata Ningrum sudah jatuh hati padanya. Akan
tetapi sebagai seorang pengembara dan
menghormati lawan jenisnya dia tak ingin memberi
harapan apapun pada putri Kedatuan Khalayan ini,
apalagi mengingat dia hanya pemuda biasa yang
tidak memiliki orang tua pula. Si Hina Kelana yang
papa.
"Ningrum...!" panggilnya lagi.
Putri Permata Ningrum mendesah perlahan,
ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi akhirnya
urung.
"Jangan kau fikirkan masa lalumu! Hal itu
malah akan membuatmu sedih!" kata Pendekar Hina
Kelana berpura-pura tolol.
Putri Permata Ningrum menggeleng pelan.
"Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat,
andai nantinya Kedatuan Khalayan kembali ke
dalam pangkuanku...!" ujar Putri Permata Ningrum
berusaha menutupi perasaannya.
Buang Sengketa kerutkan kening, lalu
menoleh pada Permata Ningrum untuk beberapa
saat lamanya.
"Hmm... kau ini lucu! Walaupun kau seorang
wanita tapi sudah menjadi kewajibanmu untuk
meneruskan tahta pemerintahan." Pendekar Hina
Kelana menyela.
"Justru itu yang mungkin tak mampu untuk
kulakukan! Aku tak becus apa-apa." kata-nya polos.
Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang
tak gatal. Sebab sesungguhnya dia sendiri pun tak
tahu dengan tetek bengek yang berhubungan
dengan pemerintahan.
"Kalau begitu kau harus mencari seorang
putra mahkota yang mengerti dalam urusan
pemerintahan...!" tanpa sadar Pendekar Hina Kelana
berucap. Dan kesempatan itulah yang sesungguhnya
sangat dinanti-nantikan oleh Putri Permata Ningrum
untuk memulai pembicaraan.
"Itu mungkin saja terjadi! Tapi persoalannya
tak semudah seperti apa yang kau katakan...!"
"Maksudmu...?!" tanya Buang Sengketa tak
mengerti.
Putri Permata Ningrum terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Kemudian dia menyela:
"Pengalaman yang pernah menimpa
keluargaku terlalu sulit untuk kulupakan, aku tak
ingin peristiwa buruk itu terulang kembali dalam
hidupku. Untuk itu aku tidak melulu berpatokan.
bahwa calon suamiku itu mesti seorang keturunan
raja. Siapapun orangnya baru pantas menjadi
suamiku apabila orang itu memiliki kepandaian
seperti engkau...!" Aku Putri Permata Ningrum tanpa
malu-malu.
Pendekar Hina Kelana tersenyum kecut.
Agaknya dia merasa geli dengan keganjilan watak
Putri Khalayan ini. Bayangkan, cukup banyak
manusia di kolong langit ini selalu menilai seseorang
dengan pangkat dan jabatan atau dengan kaya
miskinnya. Akan tetapi Putri Permata Ningrum
malah bersikap sebaliknya.
"Kau kok malah mentertawaiku seperti seekor
monyet begitu...!" Putri Permata Ningrum
mengajuk.
"Engkau sungguh aneh sekali...!"
"Apanya yang aneh!"
"Banyak orang di dunia ini dalam memilih
jodoh selalu memandang tinggi rendahnya derajat
seseorang, tetapi kau...!"
Putri Permata Ningrum makin cemberut.
"Peduli apa! Itu urusan mereka! Toh aku sedang
membicarakan diriku sendiri”.
Melihat gelagat yang kurang mengenakkan,
Buang Sengketa segera mengalah.
"Baiklah... baiklah! Bicara padamu aku
memang tak pernah menang!"
"Habisnya kau memang tolol..!"
"Aku memang tolol! Tapi yang terpenting
bagiku, aku butuh istirahat, perjalanan ke Khalayan
masih satu hari lagi! Engkau boleh tidur di kamar
yang tertutup itu!"
Nampaknya Putri Permata Ningrum menurut,
tak lama kemudian dia sudah berada dalam kamar
lain yang terdapat di dalam kuil itu.
Buang Sengketa segera mematikan lampu
minyak yang terletak tidak begitu jauh darinya.
Sebentar saja Pendekar dari Negeri Bunian ini
sudah tertidur pulas. Pada saat itu Sena dan Sura
yang berjaga-jaga di ruangan depan masih
terdengar berbicara sesamanya.
Malam terasa semakin sunyi.
Sementara dalam ruangan lain Putri Permata
Ningrum nampak gelisah tidak dapat memejamkan
mata. Fikirannya kacau,. entah mengapa dia selalu
teringat pada Pendekar Hina Kelana yang sudah
tertidur di ruangan tengah. Pemuda perkasa itu
benar-benar telah meluluhkan hatinya. Andai saja
Kedatuan Khalayan memiliki orang berkepandaian
tinggi seperti Pendekar Hina Kelana, tentu setiap
saat hatinya tidak tercekam rasa was-was lebih dari
itu peristiwa mengerikan tidak akan pernah terjadi.
Fikirnya.
Fikiran seperti itu semakin membuat hatinya
resah, kemudian dia telah melangkahkan kakinya
menuju ruang tengah. Agaknya Buang Sengketa
yang sudah tertidur itu sudah tak menyadari kalau
Putri Permata Ningrum sudah kembali ke ruangan
itu.
Permata Ningrum segera duduk di sisi
Pendekar Hina Kelana dengan penerangan ala
kadarnya itu dipandanginya wajah tuan penolongnya
tanpa mengenal rasa puas. Wajah si pemuda
meskipun agak kotor, namun sedikit pun tak
mengurangi ketampanannya. Tubuhnya yang kekar
berotot, tidak sedikit pun menyiratkan sebuah
kesombongan. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak
lebih keras, wajahnya yang jelita itu agak memerah.
Lalu dikecupnya kening Pendekar Hina Kelana,
kemudian bibirnya. Merasakan ada sesuatu yang
menempel pada wajahnya. Pendekar Hina Kelana
menggeliat lalu terjaga dari tidurnya.
Pemuda lugu ini sangat terkejut begitu
melihat Putri Permata Ningrum sudah berada di
sisinya, bahkan wajah mereka sangat berdekatan
sekali.
"Putri Ningrum apa yang telah kau lakukan!"
tegurnya dengan suara lirih.
Wajah Putri Permata Ningrum tertunduk dan
memerah.
"Aku tak berani tidur di sana sendirian
Kelana!" kilahnya.
"Bukankah ada penjaga di luar dan aku
menjaga di sini!" kata Buang Sengketa pilon.
"Hi... hi… hi...! Sedari tadi engkau sudah
mendengkur, kau bilang menjagaku...!"
Setelah berkata begitu, tiba-tiba Putri
Permata Ningrum memeluk Pendekar Hina Kelana
erat-erat. Pemuda ini nampak kelabakan. Buru-buru
dia menyela:
"Putri apa-apaan ini...!"
"Kelana! A... aku suka padamu, aku
mencintaimu...!" ucap Permata Ningrum terbata.
"Hei... tidak kau lihatkah siapa aku ini...?"
"Aku tahu, kau seorang pengelana yang telah
menjadi tuan penolongku...?" kata Putri Permata
Ningrum sambil membenamkan wajahnya di dada
Pendekar Hina Kelana. Gadis Putri raja itu kini
menangis.
"Ning... kau tak boleh bicara begitu! Kau
seorang calon raja, aku ini hanya manusia Hina...!"
Buang Sengketa menjadi serba salah.
"Aku tidak perduli Kelana!" sela Permata
Ningrum. "Apakah kau tidak menaruh perasaan apa-
apa padaku...?"
Buang Sengketa terdiam.
"Kalau kau tidak mencintaiku lebih baik tak
usah menolongku...!" Putri Permata Ningrum
mengajuk.
Didesak seperti itu, tiba-tiba Buang Sengketa
mendapat akal.
"Putri... tidurlah, malam sudah larut! Lagipula
kalau sampai didengar abdimu rasanya tidak
baik...!" kata Buang Sengketa pelan.
"Jawab dulu pertanyaanku...!"
"Baiklah! Kalau kau mencintai aku, aku pun
mencintaimu...!" jawab Buang Sengketa konyol.
"Benarkah... benarkah kanda Kelana?" Putri
Permata Ningrum girangnya nggak karuan. Buang
Sengketa mengangguk sambil menahan geli.
"Sekarang engkau harus tidur! Biar aku yang
berjaga-jaga!" ucap Pendekar Hina Kelana. Setelah
mencium kening si gadis, Pendekar Hina Kelana
segera melangkah keluar. Tak lama kemudian
suasana sepi kembali menyelimuti kuil itu.
* * *
SEMBILAN
"Hampir dua hari dua malam! Hh. Kemana
saja perginya si Cidek dan si Gempal? Jangan-
jangan malah ngerampok anak bini orang. Ini
benar-benar keterlaluan. Kalau saja tugas yang
kuberikan pada tidak membawa hasil, orang-orang
itu harus mendapat hukuman yang setimpal dariku!"
Laki-laki bungkuk dari Pulau Berhala itu agaknya su-
dah tak sabar menunggu kepulangan Orang-orang
suruhannya.
Dari jendela rumah yang berlapis emas, si
Bungkuk Ludra tongolkan kepala, clingak clinguk
bagai monyet tua yang ditinggalkan kerabatnya.
Sampai saat itu masih belum ada tanda-tanda
kehadiran si Cindek dan si Gempal. Si Bungkuk
Ludra yang memang sudah sangat kesal banting-
banting kakinya yang cuma sebesar kaki sapi.
Baru saja hendak melangkah ke pintu depan,
tiba-tiba dia mendengar suara seseorang yang
sangat di kenalnya.
"Juragan... juragan! Oh celaka juragan...!"
Dengan langkah tergesa-gesa, si Bungkuk
Ludra membuka pintu. Laki-laki setengah baya itu
nampak terperangah begitu melihat Sena dengan
langkah terhuyung-huyung menghampirinya.
Sebelum dia sampai di depan dedengkot Pulau
Berhala dia sudah jatuh terjerembab tanpa dapat
berkutik lagi.
"Hahahah... hahaha! Bongkok unta yang
malang, hari ini berakhirlah sudah
petualanganmu...!"
Bersamaan dengan ambruknya Sena, telah
hadir seorang pemuda berpakaian merah darah. Tak
asing lagi, dialah Pendekar Hina Kelana. Sesaat
lamanya si Bungkuk Ludra menatap tajam pada si
pemuda.
"Bangsat Hina, kaukah yang telah membunuh
Sena?" tanya si Bungkuk Ludra geram.
"Bukan cacing tiada guna itu saja yang telah
kubunuh! Bahkan semua orang-orangmu sudah
kukirim ke Neraka semuanya...!"
"Bangsat gila! Apa alasanmu hingga kau
berani membuat urusan dengan majikan Pulau
Berhala...?!" gertak si Bungkuk Ludra nampak-
marah.
"Dosamu sudah melebihi takaran! Masihkah
kau mau mungkir...?"
"Jahanam! Melihat tampangmu saja baru kali
ini, kiranya kau cuma ingin mencari gara-gara saja
rupanya...!"
"Tua bangka sialan. Catat dalam otakmu,
pekerjaanmu merampoki harta benda penduduk itu
saja sudah merupakan dosa yang tak akan
kuampuni belum lagi pemberontakan yang telah
kalian lakukan. Dewa sekalipun akan memenggal
kepalamu...!"
"Jahanam! Kiranya kau sengaja mencari
mampus. Rupanya kau belum tahu dengan siapa
kau berhadapan...?" bentak si Bungkuk Ludra.
Pendekar Hina Kelana tersenyum mengejek:
"Terhadap kembratnya tiga iblis cacingan dari
Pulau Berhala, siapa takut!"
Terkejutlah si Bungkuk Ludra! Tak disangka
kiranya, pemuda penyandang periuk dan berpakaian
gembel ini mengetahui pula asal usulnya. Begitu pun
dia masih membentak:
"Bagus! Kiranya kau sudah tahu siapa aku,
Sekarang berlututlah minta ampun, siapa tahu aku
cuma ingin mengambil sebelah tanganmu saja...!"
"Punggung unta goblook! Apakah kembratmu
si gila perempuan belum memberi kabar padamu
bahwa sebelah tangannya telah kuambil...?" ejek
Buang Sengketa.
Si Bungkuk Ludra bagai tersengat ratusan
kala terlonjak tubuhnya. Dia tidak percaya kalau
Karpala sampai mengalami nasib apes seperti itu.
Seperti diketahui Karpala sesungguhnya merupakan
orang kedua dalam persekutuan Tiga Iblis Pulau
Berhala. Berkepandaian sangat tinggi dan pada
saat-saat tertentu dia bisa berubah wujud menjadi
beruang. Dan pemuda gembel yang masih sangat
hijau ini mengaku bahwa dia telah memotong sebe-
lah tangan kawannya. Siapa mau percaya pada
ucapan pemuda yang agaknya kurang waras. Laki-
laki bungkuk ini kemudian memandang sinis, dan
tertawa tergelak-gelak:
"Bocah edan! Karpala bukanlah orang
sembarangan yang bisa dikerjai oleh bocah ingusan
sepertimu. Jangan coba-coba mengelabuhi aku...!"
Buang Sengketa mendengus. Agaknya dia
sudah begitu muak malihat si Bungkuk Ludra ini.
"Bungkuk keparat! Bersiap-siaplah, aku akan
segera mengirimmu ke Neraka...!"
"Mampuslah...!" teriak Pendekar Hina Kelana
langsung kirimkan satu pukulan dahsyat pada si
Bungkuk Ludra. Namun agaknya dedengkot dari
Pulau Berhala ini sudah memperhitungkan
kemungkinan ini. Dengan gerakan yang sangat gesit
si Bungkuk Ludra berkelit ke samping, kemudian
kirimkan satu totokan pada bagian yang sangat
mematikan. Jemari tangan si Bungkuk terpentang
bagaikan sebuah cakar burung elang, terus
meluncur laksana kilat. Meskipun serangan pertama
yang dilancarkan oleh Pendekar Hina Kelana dapat
dielakkan dengan baik oleh lawannya. Namun
serangan berikutnya kembali meluruk.
Apabila tubuh si pemuda telah berkelebat, jika
mulutnya telah mengeluarkan suara mendesis
seperti seekor ular Piton yang sedang marah,
dengan nekad dia langsung memapaki jemari
tangan lawan yang bermaksud melakukan satu
totokan.
"Plak!"
Dua kekuatan berisi tenaga dalam bertemu, si
Bungkuk Ludra menjerit kesakitan. Tubuhnya
tersurut beberapa langkah ke belakang. Sementara
Buang Sengketa nampak tergetar, tangan terasa
kesemutan. Dalam hati dia memuji tenaga dalam
lawannya yang sudah sangat sempurna sekali. Tapi
begitu menoleh dan memandang pada tangan si
Bungkuk Ludra, mendadak dia tertawa panjang-
panjang. Kiranya tangan si Bungkuk Ludra telah
terpuntir ke belakang. Sehingga sepintas lalu
memberi kesan lucu.
Dedengkot Pulau Berhala ini nampak
pencongkan bibir menahan rasa sakit. Dengan cepat
dia berusaha meluruskan tangan kirinya yang
terkilir, namun usaha itu agaknya tidak membawa
hasil, sebaliknya malah menjerit-jerit kesakitan.
"Ha... ha... ha...!" Pendekar Hina Kelana
tergelak-gelak kembali. "Manusia sesat, setelah
kupelintir tanganmu tak lama lagi menyusul
kepalamu pula...!"
Si Bungkuk Ludra menyeringai. Kedua
bibirnya kemudian terkatup rapat, setelah itu
dengan pandangan penuh kebencian, dedengkot
dari Pulau Berhala ini menggeram:
"Pemuda hina! Aku belum kalah, jangan
sombong dulu...."
"Aku sombong katamu! Kau salah besar
punggung unta. Dari jauh aku datang ke mari justru
ingin melenyapkan kesombonganmu."
"Keparat pendusta! Kau kira aku bisa
dikelabuhi oleh orang gila semacammu...."
Pendekar Hina Kelana keluarkan suara
mengekeh. Dalam hatinya mencaci maki habis-
babisan.
Tak lama kemudian si Bungkuk sudah
keluarkan sebuah tongkat yang sesungguhnya
merupakan sebuah senjata yang sangat
dibanggakan oleh si Bungkuk. Begitu Buang
Sengketa mengetahui si Bungkuk keluarkan tongkat
yang sudah sangat jelek rupanya. Pendekar Hina
Kelana menyela.
"Hemm... hanya sebuah tongkat pemukul
anjing saja kau pamerkan di depan hidungku...!"
kata Buang Sengketa sambil tertawa mengejek.
"Benar... karena kau yang menjadi anjingnya
maka bersiap-siaplah untuk kugebuk...."
Usai berkata begitu, dengan tongkat di
tangannya si Bungkuk Ludra langsung menyerbu.
Tongkat di tangan si Bungkuk berke-lebat
menyambar kian ke mari. Sementara itu dengan tak
kalah gesitnya Buang Sengketa segera gunakan
jurus si Hina Mengusir Lalat.
Sebentar saja tubuh Buang Sengketa nampak
lenyap terbungkus berkelebatnya kedua tangan
yang berputar cepat laksana sebuah baling-baling.
Pertarungan sudah mencapai puluhan jurus,
keringat mulai menetes di tubuh si Bungkuk,
sebentar kemudian tubuhnya telah basah oleh
keringatnya sendiri. Sementara Buang Sengketa
hanya sekali saja menyeka peluh yang terkadang
meleleh di pipinya.
Sebentar kemudian si Bungkuk Ludra
mencelat beberapa tombak, tangan kiri menyilang di
depan dada. Tangan kanan dengan memegangi
tongkat terangkat tinggi-tinggi ke atas.
Pendekar Hina Kelana tak tahu apa yang bakal
dilakukah oleh lawannya. Tapi walau bagaimana dia
sudah dapat menduga bahwa si Bungkuk Ludra
setidak-tidaknya bakal melancarkan satu pukulan
yang sangat dahsyat. Dengan cepat dia segera
mempersiapkan segala kemungkinan yang bakal
terjadi.
Memang benar seperti apa yang diduga oleh
Pendekar Hina Kelana. Bahwa sesungguhnya pada
saat itu si Bungkuk Ludra sedang bersiap-siap untuk
melancarkan sebuah pukulan jarak jauh yang diberi
nama Berhala Mencabut Nyawa, yang intinya
berpangkal pada sumber suara. Kalau dihitung-
hitung kesaktian itu hampir tidak jauh beda dengan
Ilmu Pemenggal Roh yang dimiliki oleh Buang
Sengketa.
Beberapa saat kemudian diiringi dengan
jeritan tinggi melengking yang datangnya sambung
menyambung tiada henti. Si Bungkuk Ludra
lancarkan serangan ganas.
Daun-daun beterbangan, si Bungkuk Ludra
terus lipat gandakan suaranya. Semakin lama
semakin memekakkan. Buang Sengketa yang sudah
sejak semula telah bersiap-siap agaknya mulai
terpengaruh. Gerakan-gerak-an silatnya nampak
kacau. Sementara itu Putri Permata Ningrum dan
Sura yang bersembunyi tidak begitu jauh dari
tempat itu sebagaimana telah diajarkan oleh Buang
Sengketa segera menyumbat telinga mereka dengan
dedaunan.
Kini si Bungkuk Ludra benar-benar merasa di
atas angin, beberapa kali tongkat di tangannya
sempat menggebuk tubuh lawannya. Buang
Sengketa mengeluh panjang pendek. Sejauh itu
nampaknya Pendekar Hina Kelana masih memberi
angin pada lawannya yang terus mencecarkan tanpa
ampun.
Puluhan jurus sudah terlewati, agaknya
Pendekar Hina Kelana sudah cukup memberi waktu
pada lawannya, satu saat kemudian dengan diawali
suara mendesis bagai seekor ular Piton yang sedang
marah.
"Heiiiik!"
Sebuah ilmu kesaktian Berhala Mencabut
Nyawa bertemu dengan Ilmu Sakti Pemenggal Roh.
Bumi seakan runtuh. Rumah dan pohon-pohon yang
berada di sekitarnya nampak bergetar hebat.
Sementara itu tubuh si Bungkuk Ludra amblas
ke dalam tanah sampai sebatas pinggang. Darah
kental kehitam-hitaman meleleh dari kuping, hidung
dan mulut si Bungkuk Ludra.
Buang Sengketa sendiri kakinya sampai
amblas beberapa senti. Dia segera tarik kakinya
yang sempat nyungsep ke dalam tanah, begitu sinis
dipandanginya si Bungkuk Ludra yang masih
berusaha keluar dari timbunan tanah yang
menghimpit bagian pinggangnya.
Tak lama kemudian dedengkot dari Pulau
Berhala yang gila harta ini pun telah keluar dari
tempatnya. Segera dia himpun hawa murni,
sebentar kemudian wajahnya yang pucat telah
kembali seperti sediakala. Si Bungkuk Ludra
tersenyum kecut, lalu menyela:
"Budak Hina! Ada hubungan apakah kau
dengan tokoh sakti yang pernah hidup ratusan
tahun yang lalu itu...?"
"Agaknya nyalimu mulai ciut...!" Pendekar
Hina Kelana mencibir.
"Kau memang hebat orang muda! Mati pun
aku di tanganmu aku puas. Namun jawablah dulu
pertanyaanku...!" bentak si Bungkuk Ludra.
* * *
SEPULUH
Pendekar Negeri Bunian ini kembali terkekeh,
kemudian keluarkan suara lantang.
"Nama guruku tidak boleh disebut oleh
sembarangan orang, apalagi pada manusia budak
iblis sepertimu...!"
"Bangsat! Kau kira kehebatan si Bangkotan
Koreng Seribu dapat membuatku takut
menghadapimu?"
Buang Sengketa nampak terkejut sekali
begitu si Bungkuk Ludra menyebut-nyebut nama
gurunya. Padahal wilayah Khalayan merupakan
sebuah daerah yang terletak jauh di tanah air
bagian Timur. Sedemikian hebatnya sepak terjang
gurunya yang pemurung itu sehingga nama
besarnya dikenal di mana-mana. Yang lebih
membuat Buang Sengketa terheran-heran adalah
pengetahuan si Bungkuk Ludra yang begitu luas.
Sampai-sampai dia bisa mengenali ilmu Sakti
Pemenggal Roh dapat dia kenali.
Buang Sengketa tidak dapat berfikir panjang
karena beberapa saat kemudian dedengkot dari
Pulau Berhala ini sudah menyela kembali.
"Bocah gila Teluk Belanga, meskipun engkau
tidak mengakuinya itu tak menjadi soal. Agaknya
aku perlu memaksamu untuk mengeluarkan cambuk
Gelap Sayuto yang pernah menggegerkan dunia
itu...."
Lagi-lagi Buang Sengketa di buat terperangah.
"Bagaimana orang ini bisa tahu banyak tentang
gurunya?"
"Bagus, kau telah tahu segala-galanya.
Sebentar lagi kau akan segera tahu bagaimana
hebatnya cambuk Gelap Sayuto!" Pendekar Hina
Kelana mendengus.
"Ha... ha... ha...!"
Si Bungkuk Ludra tertawa panjang-panjang.
"Dulu persekutuan manusia iblis milik kakek
buyutku telah diobrak abrik oleh setan keparat itu.
Bahkan dia membunuhi kakek dan nenekku pula!
Bertahun-tahun aku mencarinya untuk membalas
dendam tapi tidak juga berhasil. Karena kau
muridnya manusia sadis itu, maka kau harus
membayar lunas semua hutang gurumu berikut
bunganya...!"
"Hmmm! Besar sekali nyalimu. Agaknya hari
ini aku pun harus menyelesaikan pekerjaan guruku
yang masih belum sempurna. "Mampuslah!"
Si Bungkuk Ludra kembali bergerak. Kini
setelah segala-galanya menjadi jelas dedengkot dari
Pulau Berhala ini segera keluarkan segala
kemampuannya. Api dendam di hati si Bungkuk
Ludra berkobar-kobar kini, kenyataan itu sudah
barang tentu membangkitkan semangatnya yang
hampir saja padam.
Buang Sengketa pun tak ingin bertindak
setengah-setengah. Tidak ada pilihan lain lagi
baginya kecuali segera menyudahi pertarungan
dalam waktu sesingkat mungkin.
Karena masing-masing keluarkan jurus-jurus
yang paling mereka andalkan, maka pertarungan
yang sedang berlangsungpun benar-benar sangat
menegangkan. Berpuluh-puluh jurus mereka saling
lancarkan serangan-serangan ganas. Sejauh itu
masih belum ada tanda siapa yang bakal menjadi
pemenang dalam pertarungan itu.
Beberapa saat kemudian Buang Sengketa
segera merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya
berkelebat lenyap ditelan bayang-bayangnya
sendiri. Tak pelak lagi Buang Sengketa kiranya telah
pergunakan jurus si Jadah Terbuang. Namun pada
saat itu lebih cepat lagi si Bungkuk Ludra telah
kirimkan pukulan Berhala Gila Menggapai Bulan.
Dari tangan si Bungkuk Ludra menderu selarik sinar
berwarna biru dan menebarkan hawa dingin meluruk
ke arah Pendekar Hina Kelana.
Terkesiaplah pemuda ini, sebelum gulungan-
gulungan sinar warna biru itu benar-benar melumat
tubuhnya. Buang Sengketa kiblatkan tangannya.
Empat Anasir Kehidupan tak salah lagi! Selarik sinar
Ultra Violet melesat lebih cepat lagi. "Blaar!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana terpental
beberapa tombak, dari celah bibirnya meleleh pula
darah segar. Buang Sengketa tarik nafas pendek.
Sementara itu si Bungkuk Ludra hanya terhuyung
beberapa tindak ke belakang, tubuh tergoyang-
goyang sedikit, tapi segera tersenyum.
"Empat Anasir Kehidupan benar-benar ilmu
pukulan yang hebat! Tetapi ternyata tidak ada apa-
apanya. Barangkali cambuk Gelap Sayuto yang
banyak digembar-gemborkan orang itu juga cuma
merupakan berita bohong belaka!"
Si Bungkuk Ludra tersenyum mengejek.
"Manusia sombong! Kau benar-benar akan
sangat menyesal...!" kata Pendekar Hina Kelana
mengigit bibir.
"Hak... hak... hak...! Bocah sinting murid-nya
orang gila, kalau kau punya seribu senjata cepat-
cepatlah kau cabut! Kalau tidak, kau benar-benar
akan menyesal sampai ke liang kubur...!"
"Bagus! Sebuah kesombongan dan satu
kejahatan hari ini memang benar-benar harus
kulenyapkan dari kolong langit ini...."
Dengan diawali satu bentakan tinggi
melengking kini Buang Sengketa telah melabrak
terlebih dahulu.
Dedengkot dari Pulau Berhala menggerung
bagai harimau terluka, dengan tongkat di tangan
yang menyambar-nyambar ke segala arah. Agaknya
Buang Sengketa sudah tak ingin lagi memberi
kesempatan pada lawannya. Kini kembali terdengar
jeritan melengking disertai bunyi mendesis bagai
Ular Piton yang sedang marah, tubuhnya berkelebat,
sebentar kemudian:
"Haiiit!"
"Ctar! Ctaar! Ctaar!"
Seusai dengan lecutan pecutnya ke udara,
menderulah gelombang angin topan yang ma-ha
dahsyat. Batu dan pasir berterbangan, sebentar saja
langit menjadi gelap. Suasana di sekitar tempat itu
benar-benar telah berubah gelap gulita.
Terkesiaplah si Bungkuk Ludra demi menghadapi
keanehan ini. Tiba-tiba hatinya menjadi bimbang,
akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Segera dia
mendengar suara lawannya menyela:
"Bungkuk keparat! Kini kau benar-benar telah
menyaksikan apa yang kau minta. Seperti janjiku,
aku memang tidak akan mengampunimu...!"
Dalam keadaan gelap gulita bahkan batang
hidung sendiri pun tak tampak, kata-kata Buang
Sengketa yang bernada mengancam itu benar-benar
membuat nyali si Bungkuk Ludra menciut.
Tiba-tiba, dedengkot Pulau Berhala itu melihat
sinar merah tak jauh di depannya, sinar itu berkilau-
kilau menyinari sebagian wajah Pendekar Hina
Kelana yang nampak memandang dingin padanya.
"Golok Buntung!"
Si bungkuk Ludra berseru kaget. Kini dia
benar-benar telah menyaksikannya sendiri tentang
apa yang sering didengarnya dari orang-orang yang
lalu lalang tentang sepak terjang seorang pemuda
dengan pusaka golok Buntungnya yang dahsyat itu.
"Jadi kaulah orangnya Pendekar Golok
Buntung itu...!" tanya si Bungkuk Ludra undur
beberapa langkah.
Buang Sengketa memandang sinis.
"Semuanya sudah terlambat Ludra! Kau sudah
terlanjur mengetahui segala-galanya...!"
"Bersiap-siaplah untuk mampus."
Tubuh Buang Sengketa berkelebat, Pusaka
Golok Buntung di tangannya menderu sinar merah
menyala berkiblat-kiblat laksana meteor. Keadaan
yang gelap gulita karena pengaruh cambuk Gelap
Sayuto ditambah lagi dengan rasa dingin yang
sangat luar biasa karena pengaruh pusaka golok
Buntung. membuat si Bungkuk Ludra tidak begitu
leluasa dalam bergerak.
Tubuh Buang Sengketa terus berkelebat.
"Cras! Cras!"
"Arrghk!"
Golok di tangan Pendekar Hina Kelana
merobek bagian lambung dan dada si Bungkuk
Ludra. Dedengkot dari Pulau Berhala itu menjerit
setinggi langit. Untuk kemudian ambruk ke bumi
dengan tubuh bersimbah darah.
Buang Sengketa segera simpan kedua
senjatanya. Bersamaan dengan itu kegelapan di
sekitarnya secara perlahan mulai sirna dan kembali
pada keadaan semula.
Buang Sengketa melirik pada tubuh Sena
yang masih tergeletak di tempatnya.
"Sena! Apakah kau mau sampai tua tetap
berpura-pura mati seperti itu?" Buang Sengketa
menyela.
Cepat-cepat Sena bangun dari tempatnya,
kemudian dengan perasaan penuh kagum.
"Tuan Pendekar benar-benar hebat! Bahkan
lebih hebat dari yang hamba duga sebelumnya...!"
ujar Sena lalu menjura hormat.
"Panggil Putri Permata Ningrum! Kita akan
segera meninggalkan tempat ini secepatnya!"
perintah Pendekar Hina Kelana.
Begitu Sena hendak melangkah, dia melihat
Putri Permata Ningrum dan Sura telah menghampiri
mereka.
Dengan pandangan mata berseri-seri Putri
Permata Ningrum menghampiri Pendekar dari Negeri
Bunian ini. Andai saja di tempat itu tidak ada orang
lain, sudah barang tentu Putri Permata Ningrum
langsung memeluk Pendekar yang telah meluluhkan
hatinya itu.
"Kau benar-benar hebat, Kelana...!" serunya
memuji.
Buang Sengketa tersenyum tipis. Tapi
kemudian dia kerutkan kening. "Ada apa?" tanya
Putri Permata Ningrum. "Sebaiknya Putri tinggal
saja di istana bekas milik si Bungkuk Ludra ini,
untuk sementara waktu...!" sela Pendekar Hina
Kelana berubah fikiran.
"Mengapa harus begitu...!"
'Di Khalayan terlalu banyak lawan-lawan
tangguh yang mungkin saja dapat mengancam
keselamatanmu. Bertarung melawan mereka tidak
selamanya aku bisa mengawasi keselamatanmu...!"
"Bukankah ada Sena dan Sura yang bisa
menjaga keselamatanku...?"
"Aku meragukan kemampuan mereka! Tapi
seandainya dalam waktu tiga hari aku tidak kembali
ke sini kalian sudah bisa menyusulku ke sana!" jelas
Buang Sengketa.
Sesaat Putri Permata Ningrum nampak
meragu. Tetapi kemudian dia mengangguk.
"Aku hanya dapat mendoakan keselamatanmu
Tuan Pendekar!" ucapnya sambil melirik penuh arti.
"Bagus kalau kau bisa mengerti."
Usai berkata begitu Buang Sengketa sudah
berbalik langkah. Sekejap kemudian tubuhnya telah
berkelebat pergi dan lenyap dari pandangan
mereka.
* * *
SEBELAS
Hampir setengah hari melakukan perjalanan
sampailah Pendekar Hina Kelana di pinggiran
Kotaraja Kedatuan Khalayan. Di kanan kiri jalan
yang dia lalui, keadaan sunyi sepi, pintu rumah-
rumah penduduk tertutup rapat. Warung-warung
jalanan tak satu pun yang buka. Hal ini agaknya hal
baru yang sangat menarik perhatian si pemuda.
Setelah clingak clinguk bagai si monyet katisan,
pemuda itu kembali meneruskan langkahnya. Kira-
kira sepeminum teh, tiba-tiba dia melihat di depan
tak jauh darinya serombongan orang berkuda yang
berjumlah lebih kurang enam orang nampak menuju
ke arahnya.
Dengan cermat Buang Sengketa
memperhatikan si penunggang yang kelihatan
dalam keadaan tergesa-gesa. Pendekar Buang
Sengketa tersenyum mencibir begitu mengenali
salah seorang di antara mereka yang tak lain Si Gila
Karpala adanya.
Kemudian pemuda itu dengan sengaja duduk
di tengah-tengah jalan sambil palangkan kedua
kakinya. Dengan sikap pura-pura tertidur dia
telungkupkan wajah, si rombongan berkuda makin
lama semakin dekat. Hingga pada jarak hampir
enam tombak laki-laki yang berada di atas
punggung kuda menghentikan tunggangannya.
"Orang gila dari mana yang berani sekali tidur
di jalanan?" bentak salah seorang di antara mereka
yang berbadan tinggi dengan cambang dan bawuk
yang tak tercukur rapi.
"Tabrak saja panglima! Biar mampus
sekalian...!" ucap salah seorang di sebelah laki-laki
itu. Dan tentu saja Buang Sengketa sangat
mengenali pemilik suara itu yang tak lain si Keparat
Karpala.
"Manusia Hina! Minggir atau kutendang. Nih
panglimamu mau lewat!!" bentak laki-laki itu bengis.
"Panglima kentut bau! Segala iblis dari Pulau
Berhala siapa takut...!" Masih dalam posisinya
Buang Sengketa balas membentak.
Karpala dan Sigalumet saling pandang.
Mereka nampak terheran-heran, bagaimana si
gembel jalanan itu bisa tahu kalau mereka
dedengkot dari Pulau Berhala?
"Manusia hina segera tunjukkan muka, agar
kami tak salah tangan...!" bentak Sigalumet marah
sekali.
"Sebelah tangan kawanmu yang kubuntungi,
itu saja sudah cukup untuk mengenal siapa adanya
aku ini...!" Usai berkata Buang Sengketa langsung
berdiri.
Tiba-tiba Karpala terlonjak dan berseru
marah.
"Kakang! Dialah si bangsat sialan yang kita
cari-cari itu...!"
Sigalumet kertakkan rahang:
"Oh, kiranya inilah kunyuk yang telah
memapras tanganmu itu adi Karpala?"
"Benar, kakang! Tak salah lagi dialah
orangnya!"
Sigalumet sejenak lamanya nampak
memperhatikan Buang Sengketa dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Budak penyandang periuk
berjelaga, masih begini sangat muda. Akan tetapi
mengapa adiknya Karpala yang punya berbagai ilmu
kesaktian dan bahkan bisa malih sampai dapat
dibuat tak berdaya? Sungguh Sigalumet tak dapat
mempercayai cerita Karpala dengan kenyataan yang
ada.
"Budak Hina! Siapakah engkau dan dari mana
pula asal usulmu...!" tanya Sigalumet. Agaknya dia
ingin tahu banyak tentang siapa dan dari mana asal
muasal si pemuda.
Ditanya seperti itu pendekar Hina Kelana
mendengus.
"Dulu aku sering berkata, apa artinya sebuah
nama! Orang kemudian menanyaiku dengan
pertanyaan yang sama-sama membosankan untuk
kujawab. Tapi kiranya tak salah bila kujawab
pertanyaan orang-orang yang akan mampus! Agar
kalian tidak mati penasaran. Catat dalam otakmu,
aku si Hina Kelana datang dari sebuah negeri yang
tak bisa dilihat oleh kasat mata. Sengaja datang
untuk mencabuti nyawa anjing-anjing pembuat
sengsara masyarakat...!"
Begitu mendengar kata-kata Pendekar Hina
Kelana, Sigalumet dan kawan-kawannya tergelak-
gelak.
"Tikus sial! Sombong sekali mulutmu! Tidak
tahu betapa tingginya gunung yang kini tegak di
hadapanmu...!" kata Sigalumet dengan wajah
memerah.
"Aku tahu gunung memang tinggi! Tetapi
terhadap iblis-iblis pendukung pemberontakan tak
seorang pun yang akan kubiarkan hidup...!" ejeknya
pula.
Sigalumet mendengus:
"Puih! Besar sekali nyalimu. Berhadapan
dengan salah seorang di antara kami saja engkau
belum dapat menang, apalagi bila kami
mengeroyokmu...?"
Pendekar Hina Kelana nampak tergelak-gelak
begitu melihat Sigalumet yang nampaknya sangat
meremehkan dirinya.
"Kakang! Orang yang mau mampus biasanya
banyak tingkah!" Karpala ikut menyela.
"Kalian terlalu menjunjung diri setinggi langit
iblis bau! Padahal sebuah kesombongan sangat
sering menjerumuskan diri seseorang pada lembah
kehancuran. Bagiku Tiga Iblis dari Pulau Berhala,
hanyalah sebuah nama kosong melompong...!"
"Sialan keparat! Bersiap-siap untuk
mampus...!"
Belum lagi Sigalumet selesai dengan kata-
katanya, serentak dia melompat dari punggung
kudanya dengan diikuti oleh yang lainnya.
"Bagus.... Kiranya kalian sudah semakin tak
sabaran untuk menyusul si Bungkuk Ludra yang
telah terlebih dahulu berangkat ke liang kubur...!"
Lagi-lagi Pendekar dari lembah Bunian ini
mendengus.
Bukan alang kepalang terkejutnya keenam
orang ini, bagaimana bisa dipercaya kalau si
Bungkuk Ludra sampai tewas di tangan pemuda
gembel ini?
"Bangsat pembual! Mulutmu benar-benar
sudah rusak...!"
Tak lama kemudian Sigalumet. Segera
memberi isyarat pada keempat anak buahnya Tanpa
menunggu diperintah dua kali, dengan cepat
keempat orang itu segera menyerang Buang
Sengketa.
Sambil membuka jurus-jurus silatnya, si
pemuda berseru lantang:
"Iblis gila kedudukan dan iblis gila perempuan
mengapa tanggung-tanggung, sekalian saja kalian
maju berbareng...!"
"Terhadap empat orang-orangku saya kau
belum tentu unggul! Hadapilah mereka terlebih
dahulu...!"
Sigalumet mencemooh, sepasang matanya
mulai tertuju pada pertempuran yang tengah
berlangsung.
Saat itu, keempat orang anak buah
Sigalumet, sudah mengepung Buang Sengketa dari
empat penjuru. Keempat orang ini dengan
bersenjatakan pedang, langsung mencecar Pendekar
Hina Kelana tanpa memberi sedikit pun kesempatan
pada lawannya. Pedang-pedang di tangan mereka
menderu, membabat, menusuk dari berbagai arah.
Menghadapi serangan lawannya yang datang bagai
turunnya air hujan. Buang Sengketa pergunakan
jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra.
Meskipun begitu pemuda ini nampaknya masih
kewalahan juga. Satu saat salah seorang dari lawan
kirimkan satu tusukan satu babatan, serangan itu
begitu sangat cepatnya. Pemuda itu secepatnya
berusaha berkelit ke samping. Serangan lawan
hanya beberapa senti saja hampir menembus
batang hidungnya.
Pendekar Hina Kelana memaki habis-habisan,
namun baru saja dia berhasil menghindari serangan
lawan yang berada di depannya, dari arah belakang
menyusul sabetan pedang dan dari samping kiri
pula.
"Breet!"
"Breet!"
Pedang di tangan lawannya berhasil
menggores sekaligus merobek kulit dan pakaian si
Hina Kelana pada bagian lengan kiri dan punggung
belakang. Tak jauh dari tempat itu Sigalumet dan
Karpala yang terus menyaksikan jalannya
pertarungan diam-diam berseru memuji
keberhasilan anak buahnya.
"Agaknya sebentar lagi budak Gombal amoh
itu segera mampus di tangan orang-orang kita adik
Karpala...!" ucap Sigalumet dengan sesungging
senyum penuh kelicikan.
"Kita lihat saja perkembangan selanjutnya
Kakang...!" jawab Karpala yang sudah sangat tahu
tentang kehebatan lawannya.
Sigalumet menoleh pada kembratnya begitu
mendengar jawaban Karpala yang kurang
mengenakkan fikirannya.
"Sepertinya kau tidak yakin dengan
kemampuan orang-orang kita, adik Karpala...?"
tegurnya.
"Kakang belum tahu bagaimana sepak terjang
pemuda itu! Masakkan kalau dia benar-benar tidak
berisi aku kena dikerjainya...!" kata Karpala
berusaha meyakinkan.
Sigalumet nampak manggut-manggut. Dalam
hati dia membenarkan apa yang baru saja dikatakan
oleh kembratnya. Akan tetapi kemudian dia nampak
meragu.
"Apakah benar seperti yang dia katakan,
bahwa adik Bungkuk Ludra telah dibunuhnya..,?"
Karpala yang hanya tinggal memiliki sebelah
tangan itu nampak kerutkan kening. Seharusnya si
Bungkuk Ludra telah bergabung dengan mereka tadi
malam. Bukankah mereka sudah berencana untuk
mencari Pendekar Hina Kelana untuk membalaskan
sakit hati. Karena pemuda itu telah membuntungi
tangan Karpala. Tapi ternyata setelah ditunggu-
tunggu si Bungkuk Ludra tidak muncul juga hingga
mereka bermaksud datang menyusuli. Siapa kira
kalau di jalanan mereka bertemu dengan musuh
yang akan mereka cari!
"Mengapa engkau diam saja adik Karpala?"
Suara Sigalumet membuat Karpala tersentak
dari lamunannya.
"Eee... aku cuma berfikir, mungkin saja apa
yang dikatakan oleh budak hina itu ada juga
kebenarannya."
Merahlah wajah Sigalumet begitu mendengar
jawaban kembratnya, dia berprasangka bahwa
Karpala sesungguhnya sudah merasa jerih untuk
berhadapan dengan pemuda gembel yang kini
sedang bertarung.
"Agaknya kau merasa gentar untuk ber-
hadapan dengan budak itu kembali!" kata Sigalumet
menyindir.
"Ah! Kakang terlalu berprasangka yang
bukan-bukan. Selama nyawaku masih melengket di
badanku, selama itu pula aku akan menghadapi
siapa pun. Tokh bocah itu bukanlah anak dewa...!"
jawab Karpala menutupi perasaannya.
"Benar adik Karpala, dia bukan manusia
setengah Dewa.,.!" Sigalumet manggut-manggut.
"Kakang! Meskipun dia bapak moyangnya
dewa, aku pun tak akan pernah takut!" ucap Karpala
berusaha menyenangkan hati Sigalumet.
Mendengar jawaban Karpala kini Sigalumet
tertawa-tawa. Senang!
"Bagus! Majikan Pulau Berhala memang tidak
boleh mundur terhadap lawan yang bagaimana pun
hebatnya. Apalagi kalau cuma berhadapan dengan
lawan seperti si gembel itu."
Belum lagi Sigalumet selesai dengan segala
pujiannya, mendadak dari dalam pertarungan
terdengar jeritan yang menyayat.
"Crar! Cras!"
"Arghk...!"
Dua orang pengeroyok terpelanting roboh
dengan keadaan leher hampir putus. Karpala dan
Sigalumet terperangah kaget.
Dan belum lagi hilang keterkejutan di hati
mereka, terdengar pula jeritan dua orang lainnya.
Sama seperti pendahulunya. Orang ini pun
mengalami nasib yang sama. Di antara dua orang
dedengkot iblis Pulau Berhala ini. Sigalumet lah
yang dibuat paling terkejut, hanya dalam waktu
singkat saja si pemuda sudah merobohkan empat
orang pilihan. Bahkan tadi dia sempat melihat
berkelebatnya golok Buntung di tangan si pemuda.
"Apa kubilang, pemuda itu benar-benar
sangat hebat, Kakang...!" Karpala mengingatkan.
"Kentut! Aku paling benci pada orang yang
sangat pengecut!" kata Sigalumet kemudian
melangkah dari tempatnya berdiri. Kini laki-laki itu
telah benar-benar berdiri di depan Buang Sengketa.
Dengan kemarahan yang luar biasa dia
membentak Pendekar Hina Kelana.
"Budak iblis! Kau harus membayar mahal atas
perbuatanmu itu...!"
Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak.
"Wuaah... ada maling teriak maling! Kau pun harus
segera mampus."
Segera saja Buang Sengketa lancarkan
pukulan Empat Anasir Kehidupan terhadap dua
orang lawan-lawannya. Begitu pula dengan
Sigalumet dan Karpala.
Dengan dua kaki satu tangan Karpala yang
begitu mendendam pada Pendekar Hina Kelana,
nampak begitu rakus merangsak lawannya dengan
pukulan-pukulan Kala Birunya. Sementara itu
Sigalumet tak mau kalah dengan kembratnya yang
satu ini. Dengan pukulan Berhala Memukul Naga,
dia terus mengumbar serangan-serangannya.
Pertarungan dengan mempergunakan pukulan sakti,
lalu ditandingi dengan pukulan sakti pula, dalam
waktu sekejap benar-benar telah menguras tenaga
inti. Sejauh itu baik dedengkot dari Pulau Berhala
maupun di pihak Buang Sengketa sendiri masih
belum mampu menghancurkan pertahanan lawan.
Beberapa saat kemudian Sigalumet dan
Karpala pada saat yang hampir bersamaan kirimkan
satu rangkaian pukulan Kala Biru pada lawannya.
Seberkas sinar berwarna kebiruan nampak melesat
sedemikian cepatnya ke arah Pendekar Hina Kelana.
Menghadapi serangan beruntun dari dua arah, yang
masing-masing sama berbahaya, Buang Sengketa
yang memang kebal terhadap segala macam racun
berbisa ini nampaknya memang tidak berusaha
menghindar.
Dengan kedua tangan terpentang secara
berlawanan dan masing-masing telah terisi tenaga
dalam pula, dengan nekad dia memapaki datangnya
kedua pukulan tersebut.
* * *
DUA BELAS
Bertemunya tiga tenaga sakti sudah tak dapat
dihindari lagi.
"Blaar!" "Blaar!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana amblas ke dalam
tanah sampai sebatas pinggang, dia merasakan
dadanya sesak luar biasa. Sementara darah segera
meleleh dari hidung dan bibir. Cepat-cepat dia
menghimpun hawa murni, tak lama kemudian rasa
sesak itu pun berangsur angsur lenyap.
Belum lagi dia bangkit dari tempatnya,
Sigalumet dan Karpala yang tadinya hanya
mengalami guncangan sedikit akibat berbenturan
pukulan mereka. Saat itu sudah meluruk lagi
dengan pedang dan payung terhunus.
Senjata di tangan lawan-lawannya menderu
dan timbulkan suara bercuitan. Pada saat itu
mereka sudah dapat memastikan bahwa lawannya
yang masih terbenam tubuhnya setengah badan
sudah tak mungkin dapat mengelak lagi. Senjata di
tangan mereka terns meluncur begitu cepatnya.
Pada saat-saat yang sangat kritis itu di luar dugaan
musuh-musuhnya. Buang Sengketa kerahkan
segenap kemampuannya untuk segera dapat keluar
dari dalam tanah yang menghimpit tubuhnya.
Dengan diiringi teriakan menggelegar, tiba-
tiba saja tubuh pemuda itu telah melesat ke udara.
Tubuh pemuda itu berjumpalitan beberapa
kali, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah,
tubuhnya berkelebat kembali.
Baik Sigalumet dan Karpala yang sudah
kirimkan satu tusukan satu babatan nampak sangat
kecewa karena pedang dan payung ditangan
masing-masing telah mengenai tempat yang
kosong.
Saat keduanya nampak kebingungan mencari-
cari posisi lawannya. Pada saat itu terdengar desis
suara seekor Ular Piton yang sedang marah. Udara
di sekitar tempat itu tiba-tiba saja telah berubah
menjadi dingin, sementara di tangan Buang
Sengketa telah tergenggam Pusaka Golok Buntung
yang memancarkan cahaya yang berwarna merah
menyala.
Kini terkesiapkan Wajah mereka begitu
melihat senjata yang tergenggam di tangan si
pemuda. Akan tetapi hanya sesaat itu saja, karena
tak berapa lama kemudian mereka harus melindungi
diri dari sambaran golok di tangan lawannya.
Berkelebatnya golok pusaka di tangan Buang
Sengketa menimbulkan badai pasir yang sangat
besar. Bahkan salah seorang di antara mereka
sudah ada yang kelilipan.
Buang Sengketa agaknya sudah tidak
memberi ampun lagi, dengan sangat cepat Pendekar
dari Negeri Bunian ini melabrak seorang lawan yang
berada paling dekat dengannya.
"Craas!"
"Arrghk!"
Karpala melolong setinggi langit, sebagian isi
perutnya terburai keluar dari badannya. Tubuh
Karpala hampir putus terbagi dua terbabat golok
milik Pendekar Hina Kelana. Tubuh Karpala langsung
terlipat dua. Sedangkan kedua bola matanya
nampak melotot seakan tak percaya dengan apa
yang telah dia alami. Darah semakin banyak yang
keluar, secara perlahan tubuh yang sudah tak
bernyawa itu nampak melorot untuk kemudian
ambruk ke bumi.
Tinggallah Sigalumet seorang diri yang
nampak terdiam dengan mulut menganga. Mungkin
melihat kenyataan yang terjadi, nyalinya mulai
kedodoran, meskipun begitu dengan membentak
dahsyat dia kembali menyerang Buang Sengketa.
Akan tetapi agaknya karena sangat
terpengaruh dengan kematian kawannnya. Kini
serangan-serangan yang dia lancarkan sudah mulai
kacau balau. Sebaliknya Buang Sengketa dengan
gencar melakukan serangan-serangan balasan
semakin lama Sigalumet tampak semakin terdesak.
Hingga tak begitu lama dia benar-benar sampai
pada posisi yang sangat membahayakan dirinya
sendiri. Lagi-lagi senjata di tangan Pendekar Buang
Sengketa mencari sasaran.
"Brebet!"
"Craas!"
Golok di tangan Buang Sengketa berhasil
melubangi tenggorokan Sigalumet. Darah memancar
dari luka yang menganga. Tiada kata yang terucap
dari mulut Dedengkot Pulau Berhala ini, kecuali
suara dengkur nafas bagai kerbau yang disembelih.
Masih dengan memegangi lehernya yang berlubang,
tubuh Sigalumet nampak tergetar beberapa saat
lamanya. Darah semakin lama semakin berkurang
yang keluar dari luka itu. Seiring dengan tetesan
darah yang terakhir, tubuh Sigalumet limbung dan
untuk kemudian terjengkang dengan nyawa putus.
Habislah sudah sekutu-sekutu pemberontak
Runa. Buang Sengketa menarik nafas panjang.
Pemuda itu sudah bermaksud meninggalkan tempat
itu ketika sepasang matanya yang setajam mata
elang itu melihat dua orang penunggang kuda yang
tengah menuju ke arahnya.
Pendekar Hina Kelana urungkan niatnya, dua
orang penunggang kuda itu makin lama makin
dekat, Pendekar ini kernyitkan alisnya begitu
melihat pakaian yang dikenakan oleh orang-orang
itu. Kalau melihat dandanan yang mereka pakai
sudah barang tentu dua orang ini merupakan
seorang raja dan patihnya. Akan tetapi hendak
kemanakah mereka? Batin Pendekar Hina Kelana
dalam hati.
Hanya beberapa saat kemudian dua orang
penunggang kuda ini sudah sampai di depan
Pendekar Hina Kelana.
Laki-laki setengah tua yang mengenakan
pakaian raja bermaksud memerintahkan si Hina
Kelana supaya minggir, karena memang kedua
orang itu bermaksud menuju ke rumah kediaman
salah seorang sekutunya. Si Bungkuk Ludra! Akan
tetapi kiranya tanpa di sengaja dia melirik ke arah
kanan kiri jalan.
Begitu mereka melihat mayat-mayat
bergelimpangan terbelalaklah mata kedua orang itu,
karena mayat-mayat yang berlumuran darah itu tak
lain merupakan mayat para sekutu-sekutunya.
"Yang mulia Kanda Raja... bukankah mayat-
mayat itu merupakan mayat orang kita...?" sentak
laki-laki di sebelahnya yang berpakaian kepatihan.
"Hmm... benar sekali adik Patih! Bangsat
manakah yang telah berani membuat urusan
dengan pemerintahan Khalayan!" geram si Raja.
Kedua matanya memandang pada Buang Sengketa
seolaholah menuduh.
Pendekar Hina Kelana tahu bahwa mungkin
dua orang inilah yang telah melakukan
pemberontakan terhadap kekuasaan raja yang sah.
"Kunyuk-kunyuk keparat! Kaliankah yang
bernama Runa dan Wara Wiri...?"
Dibentak sedemikian rupa sudah barang tentu
kedua orang yang berpakaian kebesaran kerajaan
itu sangat marah sekali.
"Siapakah kau, berani sekali menghina Raja
Khalayan! Kau benar-benar seekor anjing yang tak
tahu adat!" kata laki-laki yang berpakaian patih
menyela. Lalu segera kedua orang itu melompat dari
punggung kudanya.
"Terhadap bangsat-bangsat pemberontak, tak
perlu memakai segala peradatan!"
"Jahanan! Berarti budak gembel inilah yang
telah membunuh orang-orang kita Yang Mulia Kanda
Raja...!" kata Patih Wara Wiri. Pendekar Hina Kelana
tergelak-gelak: "Patih dan raja keparat! Bukan iblis-
iblis itu saja yang kukirim ke neraka! Tapi sebentar
lagi kalian pun akan kugusur ke Liang kubur...!"
"Jahanam terkutuk!" bentak Runa geram.
"Hmm! Cabutlah senjata kalian, sebab hari ini
juga kekuasaan kalian sudah berakhir...!" kata
Pendekar Hina Kelana mencemo-oh.
"Kalau begitu, kalau begitu kaulah yang harus
segera mampus...!"
Seusai berkata begitu kedua orang ini
langsung cabut senjatanya, lalu secara serentak
menyerang Buang Sengketa dengan jurus-jurus
pedang yang ganas. Hanya dalam waktu sekejap
saja pertarungan seru pun terjadi, Buang Sengketa
yang memang menaruh kebencian pada Wara Wiri
dan Runa nampak kerahkan jurus-jurus andalannya.
Masing-masing lawan yang memang sudah
dirasuki nafsu membunuh, kelihatan saling
mendahului dan secepatnya pula menjatuhkan pihak
lawan.
Beberapa saat kemudian pertarungan sudah
mencapai puluhan jurus. Walaupun begitu Wara Wiri
dan Runa masih belum berhasil menjatuhkan
lawannya. Dan sesungguhnya pula Wara Wiri dan
Runa bagi Pendekar Hina Kelana merupakan dua
lawan yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh
di bawah Tiga Iblis dari Pulau Berhala. Bahkan kalau
dia mau sudah sejak tadi Runa maupun Wara Wiri
sudah kena dikerjainya. Akan tetapi dia ingin tahu
sejauh mana ilmu kepandaian pemberontak ini.
Setelah pertarungan mencapai puluhan jurus,
tahulah pemuda ini bahwa kekuatan mereka dalam
memberontak Khanyalan karena atas dukungan Tiga
Dedengkot dari Pulau Berhala.
Empat puluh jurus telah berlalu, tetap saja
keadaan tak berubah. Wara Wiri dan Runa bahkan
nampak kelabakan begitu Buang merubah jurus-
jurus silatnya dengan jurus Si Jadah Terbuang.
Bahkan beruiang kali Buang Sengketa berhasil
mendaratkan pukulannya dengan sangat telak di
tubuh lawannya. Hingga tak begitu lama kemudian
batas kesabarannya pun pupuslah sudah. Sekali saja
tubuh pemuda itu melesat ke udara, begitu menukik
ke bawah dia telah lepaskan pukulan Empat Anasir
Kehidupan dengan menggunakan setengah
tenaganya. Selarik sinar dengan gelombang Ultra
Violet menderu dahsyat meluruk pada kedua orang
itu. Agaknya mereka tidak menyadari apa yang
sedang terjadi sesungguhnya. Akan tetapi begitu
mereka merasakan adanya hawa pukulan yang
melongok ke atas. Pucatlah paras keduanya.
Mengelak sudah tak mungkin lagi. Tiada pilihan lain
kecuali memapasinya dengan sabetan pedang. Tak
ayal lagi:
"Blaark”
Tubuh Wara Wiri dan Runa terpental
berpuluh-puluh tombak lalu terhempas pada
sebatang pohon yang sangat besar. Tiada jerit
kematian. Tubuh yang dalam keadaan hangus itu
remuk menghantam pohoh. Sebelum kedua orang
itu menyadari apa yang sedang tejadi pada diri
mereka, dua lembar nyawa telah melayang dari
jasadnya.
Begitu Buang Sengketa hendak putar langkah,
telinganya sempat mendengar panggilan merdu si
Jelita Putri Permata Ningrum. Begitu hampir di
depan Pendekar Hina Kelana Putri Permata Ningrum
langsung menghambur kedalam pelukan tangan-
tangan Pendekar perkasa ini.
"Kanda Kelana kau telah berhasil!" ucapnya
sambil menjatuhkan ciuman-ciuman hangat pada
wajah si pemuda dari Negeri Bunian itu. Merasa
jengah pemuda itu cepat-cepat menoleh kanan kiri,
tapi dia tak melihat adanya Sena dan Sura di tempat
itu.
"Kemana Sena dan Sura?" tanya pemuda itu
heran.
"Mereka sudah kusuruh ke Kedatuan Khalayan
terlebih dulu!" ujar Putri Permata Ningrum sambil
bergelayut manja pada Buang Sengketa.
"Kalau begitu kita susul mereka!"
Kemudian keduanya nampak menelusuri jalan
raja menuju istana Kedatuan. Tidak henti-hentinya
Putri Permata Ningrum memuji kehebatan pemuda
yang telah membuatnya tergila-gila. "Biarlah!" batin
Pendekar Hina Kelana. Toh setelah itu dia harus
kembali pada dunianya masing-masing.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar