..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 11 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE TIGA IBLIS PULAU BERHALA

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE TIGA IBLIS PULAU BERHALA

 TIGA IBLIS PULAU BERHALA

Oleh D. Affandi

Cetakan Pertama

Penerbit Mutiara, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 004 :

Tiga Iblis Pulau Berhala



SATU


Denting suara beradunya berbagai senjata

tajam, jerit menyayat menyongsong maut. Rintih

dan tangis dari mereka yang terluka, semuanya

berbaur menjadi satu. Hampir ratusan nyawa

melayang, seolah tiada harga. Namun semua itu

tidak bisa mencegah peperangan yang sudah

berkobar.

Korban terus berjatuhan, darah mengalir di

mana-mana. Istana Kedatuan Khalayan yang tadi

sore nampak tenang dan tenteram kini berubah

menjadi ajang pertempuran yang menakutkan. Satu

demi satu pengawal yang berusaha untuk

mempertahankan istana Kedatuan bergelimpangan

terbabat senjata kaum pemberontak. Kutungan

tangan dan kaki bergeletakan di mana-mana.

Kini pasukan penyerbu itu sebagian telah

sampai di serambi paling depan istana Kedatuan.

Mereka terus menerjang membabi buta, dan hanya

dalam waktu sekejap sampailah mereka di pintu

utama. Dua orang pengawal pribadi raja nampak

menghadang, pertarungan seru pun terjadi. Empat

orang pasukan penyerbu segera menerjang, namun

agaknya dua orang pengawal utama yang bernama

Awangga dan Pradilaga ini bukanlah dua orang

lawan tandingan mereka. Dalam waktu hanya


sekejap saja empat orang anggota pasukan

penyerbu itu pun kena didesak oleh Awangga dan

Pradilaga. Hanya dalam waktu yang sangat singkat

pedang di tangan Awangga menusuk lambung kiri

dan selebihnya membabat hampir putus yang

lainnya. Dua orang pasukan penyerbu roboh

bermandikan darah. Pada Saat hampir bersamaan

keris di tangan Pradilaga juga berhasil menghunjam

dada lawannya. Darah memuncrat dari luka yang

menganga.

Kiranya kejadian itu tak luput dari

pengawasan salah seorang dari pemimpin

pemberontakan. Dengan amarah yang meluap-luap

laki-laki berbadan Bungkuk ini segera menyerang

Awangga dan Pradilaga. Senjata laki-laki Bungkuk

yang hanya berupa tongkat berkepala patung

telanjang itu menderu dan terus mencecar Awangga

dan Pradilaga tanpa ampun. Meskipun badan laki-

laki itu Bungkuk seperti onta akan tetapi dia

memiliki kepandaian silat yang sangat luar biasa.

Gerakannya sebat, bahkan sekali dia lancarkan

pukulan jarak jauhnya. Awangga dan Pradilaga

nampak kalang kabut. Kini pertarungan di antara

mereka telah mencapai puluhan jurus, kedua

pengawal utama dalam waktu hanya kurang dari

lima belas menit sudah jatuh di bawah angin.

Menyadari bahwa laki-laki Bungkuk itu merupakan

seorang lawan yang tangguh. Pradilaga segera

memberi peringatan pada Awangga:



"Cepat kau selamatkan Gusti, Wangga!

Tinggalkan istana...!" perintah Pradilaga yang

sesungguhnya masih merupakan pamannya sendiri.

Agaknya Awangga tidak sampai hati untuk

meninggalkan pamannya seorang diri. Seolah bagai

tak mendengar Awangga tetap saja menerjang si

Bungkuk, yang mulai tergelak-gelak. Melihat

keponakannya yang tak mau mendengar perintah

marahlah Pradilaga yang merupakan orang ketiga di

istana Kedatuan Khalayan.

"Wangga....... berani kau membantah

perintahku...!" bentak Pradilaga sambil

membabatkan pedangnya ke arah si Bungkuk Ludra.

"Wuut!"

Babatan pedang Pradilaga luput, meskipun

kepepet lagi-lagi dia kirimkan tusukan. "Paman;..

aku tak sampai hati meninggalkanmu...!" sela

Awangga. Dia nampak cemas sekali memikirkan

keselamatan pamannya.

"Bocah goblok... jangan perdulikan diriku!

Cepat pergi...!" Dengan sangat marah sekali

Pradilaga membentak.

"Ha... ha... ha...! Jangankan rajanya, tikus-

tikus istana yang tiada guna pun tak akan kubiarkan

hidup...!" kata Bungkuk Ludra mencemooh.

Ucapan si Bungkuk itu ternyata memang

hanya sekedar gertak belaka, sebab setelah itu dia

memang benar-benar segera menyerang lawan-

lawannya tanpa memberi kesempatan sedikit pun


pada Pradilaga maupun Awangga. Pukulan-pukulan

gencar dia lepaskan tanpa henti, Awangga dan

pamannya meski pun dalam keadaan terdesak

masih dapat mengelak. Hingga pada satu

kesempatan yang tak terduga, secara hampir

bersamaan keduanya menusuk dan membabat

pedang mereka pada bagian perut dan kaki si Bung-

kuk Ludra. Tidak ada kesempatan bagi Ludra untuk

mengelak atau menangkis.

"Bret!"

Si Bungkuk Ludra mengeluarkan jerit tertahan

begitu mata pedang di tangan Pradilaga merobek

pangkal lengannya. Darah mulai mengucur dari luka

yang cukup parah. Pradilaga terus mencecar hingga

memaksa si Bungkuk Ludra harus bergulingan. Pada

kesempatan itulah Awangga berkelebat pergi

menuju ruangan pribadi raja. Si Bungkuk Ludra

begitu mengetahui dirinya kena diperdaya,

meskipun telah terluka sangat marah luar biasa.

"Bangsat! Rupanya kau sengaja menjebakku

hanya dengan maksud memberi kesempatan pada

keponakanmu itu melarikan diri...!"

Pradilaga gertakkan rahang:

"Bungkuk keparat! Rupanya pengkhianat

Wara Wiri dan Runa telah memanfaatkan tenaga

busukmu untuk memperkeruh suasana...!"

"Jangan banyak mulut. Percuma kau bertahan

mati-matian, Kedatuan ini segera jatuh ke tangan

kami...!" kata si Bungkuk Ludra mencemooh.


"Meskipun darahku berceceran dan nyawa

melayang! Tidak akan aku berkomplot pada para

penghianat raja...!"

Belum lagi Pradilaga selesai dengan

ucapannya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan

menggelegar.

"Pradilaga.... Istana Kedatuan sudah jatuh di

tangan kami! Tiada guna kau mempertahankannya.

Kami masih mau memaafkanmu jika kau masih mau

menyerah dan bersekutu dengan kami! Percayalah

kami punya tujuan yang lebih baik dari pada Raja

Jasa Dewa yang tolol...!"

Begitu mendengar peringatan itu, baik si

Bungkuk Ludra maupun Pradilaga hentikan

pertarungan. Hampir berbareng mereka menoleh.

Pradilaga begitu melihat siapa adanya orang itu,

mendidihlah darahnya. Tanpa sadar tangannya

semakin erat mencengkeram pedangnya. Dengan

nafas yang memburu kemudian dia menyela:

"Runa.... Wara Wiri manusia busuk penhianat

tengik! Terhadap manusia anjing seperti kalian,

bagiku mati justru lebih baik daripada harus jadi

pengkhianat kerajaan...!"

Laki-laki berperut buncit seperti balon

bernama Runa tergelak-gelak.

"Benar-benar manusia jahanam kau Pradilaga!

Di kasih jalan yang baik, tak dinyana kau malah

memilih jalan ke Neraka!" tukas orang pertama


istana Khalayan marah sekali. Kemudian dia

menoleh pada Wara Wiri.

"Kalian bereskan manusia tengik itu! Aku akan

ke ruangan pribadi raja...!"

Seusai berkata Runa nampak berkelebat

pergi. Tinggallah Pradilaga berjuang mati-matian

menghadapi kroyokan Wari Wiri dan si Bungkuk

Ludra.

Sementara itu Awangga yang sudah sampai

terlebih dulu di ruangan pribadi raja segera mencari-

cari. Ruangan itu sepi, dengan penasaran dia

melongok kamar yang tidak terkunci. Tak seorang

pun berada di sana, Hal ini sudah barang pasti

membuat Awangga menjadi terheran-heran.

"Bukankah tadi sebelum mereka berhadapan dengan

si Bungkuk Ludra, pamannya sempat meninggalkan

pesan pada Raja Jasa Dewa untuk tidak me-

ninggalkan tempat?"

Akhirnya tanpa membuang waktu lagi

Awangga bergegas ke ruangan rahasia. Bagai

dikejar-kejar setan pemuda itu bergerak cepat.

Hingga dalam waktu yang demikian sing-kat

sampailah pemuda itu di depan pintu rahasia.

Awangga tersentak kaget begitu dia memeriksa

keadaan mayat-mayat itu, kini dia semakin

terheran-heran, pengawal-pengawal itu mati dengan

bekas luka gigitan binatang buas. Tewas dengan

wajah pucat kehabisan darah! Perbuatan siapakah?


Atau mungkin ada binatang buas sempat masuk ke

dalam istana? Tidak mungkin!

Awangga nampak semakin kalut, dengan

segera pemuda ini segera menerjang ruangan

rahasia itu. Awangga hampir menjerit begitu

dilihatnya Raja Jasa Dewa telah tewas bersama

permaisurinya. Raja Jasa Dewa mengalami nasib tak

ubahnya dengan empat orang pengawal pilihan.

Pada pangkal lehernya terdapat bekas gigitan

binatang buas! Mata pemuda itu nanar mencari-cari

ke seluruh penjuru ruangan, tak dilihatnya Putri

Permata Ningrum berada di antara mereka. Siapa

pun orangnya telah melakukan perbuatan terkutuk

itu yang pasti Putri Permata Ningrum telah mereka

culik.

"Bangsat! Ini benar-benar keterlaluan, aku

harus secepatnya menyelamatkan Putri Permata

Ningrum...!" teriak Awangga dengan kemarahan

yang meluap-luap.

Belum lagi dia beranjak dari ruangan itu, tiba-

tiba ia mendengar suara teriakan seorang wanita di

bagian lorong menuju jalan ke luar. Tak salah suara

itu adalah suara khas Putri Permata Ningrum. Tanpa

membuang-buang waktu lagi Awangga berkelebat

mengejar si penculik Putri. Dalam waktu sekejap

kejar-kejaran segera berlangsung. Awangga dengan

jelas dapat melihat seorang laki-laki berbadan kurus

ceking berpakaian perempuan berlari cepat sambil


memondong tubuh Putri Permata Ningrum di

pundaknya.

Sementara itu Pradilaga yang ditinggal oleh

Awangga, semakin terdesak hebat. Apa lagi

Sigalumet yang telah membasmi habis sisa-sisa

pengawal istana mulai bergabung dengan Wari Wiri

dan si Bungkuk Ludra. Pradilaga meskipun memiliki

kepandaian yang sangat tinggi, bahkan boleh dikata

melebihi Wara Wiri maupun Runa. Akan tetapi

mendapat keroyokan sedemikian rupa. Pula lawan-

lawannya memiliki kepandaian yang sangat tinggi

sebentar saja Pradilaga menjadi kewalahan. Hingga

beberapa saat kemudian Sigalumet berseru

membentak:

"Minggir kalian semua! Membereskan

cecunguk istana dengan orang begini banyak bikin

kepalaku jadi pusing...!"

Bentakan Sigalumet yang punya penyakit

bengek ini ternyata cukup berpengaruh bagi

sekutunya. Sontak si Bungkuk Ludra maupun Wara

Wiri melompat mundur. Sigalumet melangkah

beberapa tindak menghampiri Pradilaga, sebentar di

perhatikannya Pradilaga yang tak pernah kenal

menyerah meski pun dia tahu prajurit-prajurit istana

tidak seorang pun yang tersisa lagi.

"Pradilaga tikus gila!" bentak Sigalumet.

"Tidak kau lihatkah bahwa kawan-kawanmu sudah

pada mampus semua. Menyerah atau kupenggal

kepalamu...!"


Pradilaga sesaat menjadi merah wajahnya..

Dengan penuh kebencian di pandanginya Sigalumet

dan kawan-kawannya.

"Iblis Bengek Sigalumet, jangan kira aku

menjadi gentar menghadapi kawan-kawanmu.

Majulah! Biar kucincang kalian semuanya...!" kata

Pradilaga sambil acung-acungkan pedangnya,

Sigalumet dan yang lain-lainnya tergelak-

gelak:

"Ha... ha... ha...!"

Si Bungkuk Ludra menyela.

"Ajal di ambang pintu, masih juga kau besar

mulut Pradilaga...!"

"Jangan kau mengharap namamu akan

dikenang orang Pradilaga. Begitu kau mampus,

jangankan manusia, setan kuburan sekali pun tak

akan mengenangmu...!" Wara Wiri menyela.

"Puih... jahanan kau pengkhianat! Makanlah

pedangku...!"

Belum lagi usai Pradilaga dengan kata-

katanya, tiba-tiba dengan jeritan tinggi melengking

segera menghunus pedangnya ke arah perut Wara

Wiri. Agaknya pengkhianat Wara Wiri yang tidak

pernah menyangka datangnya serangan yang begitu

tiba-tiba sudah tak mungkin bisa menghindari mata

pedang Pradilaga.

* * *


DUA


Pedang di tangan warok istana itu datangnya

laksana kilat, meluncur deras seakan ingin

secepatnya menembus perut Wara Wiri yang tak

ubahnya bagai sebuah balon. Hampir saja mata

pedang di tangan Pradilaga mencapai sasarannya.

Namun pada saat-saat yang kritis itu sebuah batu

kerikil melesat lebih cepat lagi.

"Trang...!"

Pedang di tangan Pradilaga hampir saja

terjatuh, tangan laki-laki jangkung itu sampai

tergetar hebat. Bahkan sampai-sampai tangannya

terasa kesemutan. Pradilaga menoleh kanan kiri,

kemudian membentak marah:

"Bangsat rendah! Kalian pengecut...!"

"Pradilaga kau mau apa? Bukankah sudah

kubilang bahwa kau harus berhadapan denganku...!"

kata Sigalumet mencemooh.

"Jahanan! Manusia bengek mau mampus...

mengapa tanggung-tanggung! Majulah kalian semua

tidak nantinya aku melarikan diri...!" Pradilaga

membentak dengan sikap menantang.

"Monyet sombong! Sudah mau mampus saja

banyak tingkah...!" dengus Wara Wiri.

"Buang tabiat barangkali...!" si Bungkuk Ludra

ikut menimpali.


"Banyak cingcong... mampuslah kau

Pradilaga...!"

Sigalumet yang sudah naik pitam itu kini

langsung menerjang. Sebentar saja pertarungan

seru pun terjadi. Sigalumet yang merupakan orang

nomor satu di Pulau Berhala, pada kenyataannya

memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Apalagi kini dia telah mempergunakan senjata yang

berupa cambuk tulang paus yang sempat

menggegerkan kalangan persilatan selama belasan

tahun. Dengan senjata ini di tangannya. Dedengkot

Pulau Berhala ini nampak sangat berbahaya sekali.

Cambuk di tangan datuk sakti ini nampak melecut

ke segala arah. Bahkan semakin lama semakin

mempersempit ruang gerak Pradilaga. Beberapa kali

senjata yang sangat ampuh ini hampir melilit, me-

lecut atau bahkan membutakan kedua mata

Pradilaga. Pada saat yang melelahkan pengawal

utama ini lengah:

"Ctar Ctaar... Trang...! Ctar...!"

Pradilaga terhuyung dan tubuhnya terdorong

ke belakang. Pedang di tangannya buntung di

bagian ujung. Pradilaga berseru kaget. Setahunya

pedang itu dia pergunakan untuk memapaki

serangan cambuk yang hampir saja melilit lehernya

untuk itu dia mengelak dan menangkis. Tak dinyana

cambuk yang hampir saja membuatnya celaka

malah tak mempan pedang. Bahkan senjata itu


malah patah. "Hmm!" Diam-diam laki-laki pengawal

utama itu mulai was-was.

Akan tetapi menyerah baginya adalah salah

satu pandangan yang paling dia benci. Dan agaknya

Sigalumet dapat membaca keragu-raguan yang

sedang menyelimuti hati lawannya. Laki-laki bengek

yang selalu gila harta ini pun tersenyum mengejek:

'’Pradilaga manusia tolol! Tukarlah pedangmu

yang sudah buntung itu. Aku takut kalau kau tidak

cepat-cepat menggantikannya sebentar lagi malah

kepalamu yang copot...!"

"Besar mulut! Makanlah nih...!" Pradilaga

menyambitkan pedangnya yang sudah puntung.

Lalu segera mencabut pedang yang lainnya,

langsung menyerang Sigalumet dengan jurus-jurus

pedang yang paling sangat dia andalkan. Hanya

dalam waktu hanya sekejap bertarungan sudah

mencapai puluhan jurus, pertarungan semakin lama

semakin seru. Dalam pada itu baik serangan gencar

yang dilancarkan Pradilaga maupun serangan balik

yang dikirim Sigalumet tak satu pun yang mencapai

sasaran dengan baik. Agaknya Sigalumet tak ingin

berlarut-larut untuk segera dapat membinasakan

lawannya. Tak lama kemudian dengan cepat dia

segera rubah variasi jurus-jurus silatnya. Terbukti

Sigalumet memiliki berbagai campuran jurus-jurus

silat yang dapat diandalkan. Baik dari golongan

putih maupun golongan hitam. Meskipun demikian

karena sesungguhnya Sigalumet merupakan tokoh


silat beraliran hitam, maka hampir semua jurus-

jurus yang dipadukan itu semuanya mengandung

hawa pembunuhan yang sangat keji.

Sementara Pradilaga yang merupakan tokoh

silat yang hanya berasal dari satu golongan dan satu

guru, menghadapi serangan gencar dan beraneka

ragam ini sudah barang tentu menjadi kalang kabut

dan dalam waktu sekejap saja sudah semakin jatuh

di bawah angin. Pada satu kesempatan yang sangat

tepat Sigalumet pecutkan cambuknya disusul

dengan satu pukulan tangan kirinya. Pradilaga yang

mengira bahwa serangan cambuk itulah yang harus

dia elakkan. Dengan cepat kiblatkan pedangnya.

"Wuutr”

Babatan pedang luput, sebagai gantinya

tangan kiri Sigalumet yang telah terisi tenaga dalam

penuh menderu cepat ke arah dada lawannya.

Pradilaga menjadi gugup dan tak sempat pula untuk

babatkan pedangnya.

"Buuk!"

Tubuh Pradilaga mencelat beberapa tombak.

Beribu kunang-kunang bermain di pelupuk matanya.

Dada terasa sesak bagai terhimpit puluhan kwintal

batu gunung. Dengan sempoyongan dia berusaha

bangkit, sementara darah kental kehitam-hitaman

meleleh dari celah bibir dan hidungnya.

Sigalumet demi mengetahui keadaan

lawannya yang sudah nampak kepayahan, tertawa

tergelak-gelak:


"Pradilaga pahlawan kesiangan! Racun Kala

Biruku sebentar lagi segera, mengirimmu ke

neraka...!" tukas Sigalumet sinis.

Pradilaga meskipun tubuhnya sudah nampak

gemetaran" karena terpengaruh racun Kala Biru,

gertakkan rahang.

"Manusia iblis... meski pun tubuhku hancur

sekali pun, tidak nantinya aku merengek minta

ampun...!"

"Bagus! Aku memang tak akan

mengampunimu. Nah sekarang kau bisa apa?

Majulah!" pancing Sigalumet penuh kelicikan.

"Bajingan kau kira aku takut...!"

Pradilaga bermaksud memulai serangan baru,

namun baru saja dia hendak menerjang Sigalumet,

mendadak tubuhnya terasa kejang, dadanya

semakin menyesak. Tubuh yang sudah keracunan

itu bergoyang-goyang untuk beberapa saat

lamanya. Tanpa ampun lagi ambruk ke bumi dengan

mata melotot.

Melihat nasib yang dialami Pradilaga,

bergemuruhlah tawa sekutu-sekutu pengkhianat

Ranu.

Wara Wiri bermaksud memeriksa tubuh

Pradilaga ketika tiba-tiba Sigalumet menegurnya:

"Tuan Wara Wiri tak usah ragu! Nyawa

Pradilaga sudah kukirim ke neraka” ujarnya dengan

perasaan kurang senang.


"Ah, maaf sobat! Aku hanya ingin melihat

bagaimana rupa Pradilaga yang sudah mampus

itu...!"

"Hak... hak... hak...!" Sigalumet terkekeh.

"Tak seorang pun di atas dunia ini yang mampu

bertahan hidup, jika sudah terkena pukulan racun

Kala Biruku! Jangankan bangsanya manusia, gajah

sekali pun segera mampus terkena pukulan

berancunku...!" sela Sigalumet membanggakan diri.

"Kakang Sigalumet memang tak pernah gagal

dengan serangan racunnya yang dahsyat itu!"

Si Bungkuk Ludra yang sejak tadi hanya

berdiam diri kini ikut menimpali. Sekutu-sekutu

Runa menganggukkan kepalanya.

Dalam pada itu, mendadak Sigalumet

menoleh kanan kiri. Laki-laki yang menjadi

dedengkot Pulau Berhala dan pengidap penyakit

bengek yang kronis nampak mengerutkan

keningnya. Sesaat kemudian pada adik

seperguruannya, yaitu si Bungkuk Ludra:

"Adi Ludra... sedari tadi aku tak melihat

adanya adi Karpala? Kemanakah?"

"Tadi dia mengatakan mau menyerbu bagian

belakang, Kakang...!"

Si Bungkuk Ludra menyahut, lalu mengerling

penuh maksud.

"Dasar si gila perempuan...!" Sigalumet

ngedumel tak karuan.


"Maksud saudara Sigalumet dia mengejar

Putri Permata Ningrum...!" tanya Wara Wiri.

Matanya terbelalak tak percaya.

Dengan acuh Sigalumet mengangguk.

"Dia... dia calon istriku...!" ucap Wara Wiri

tanpa malu.

Si Bungkuk Ludra mendengus.

"Apakah kau telah memintanya pada Jasa

Dewa sebelumnya...?"

"Belum...!"

"Kalau begitu Tuan hanya ingin memilikinya

secara paksa!" kata Bungkuk Ludra mencemooh.

Wajah Wara Wiri memerah seketika, tapi dia

berusaha menahan kemarahannya. Sebab dia cukup

menyadari tanpa bantuan dari tiga iblis Pulau

Berhala, usaha mereka untuk menggulingkan

kekuasaan Raja Jasa Dewa tak akan membuahkan

hasil gemilang seperti yang mereka peroleh

sekarang.

Meskipun demikian dia masih berharap untuk

memiliki Putri Permata Ningrum yang kecantikannya

menggoyahkan iman setiap lelaki. Dengan

merendah kemudian dia berkata:

"Kalau saudara Karpala menghendaki Putri

Permata Ningrum tidak apa! Tapi bukankah dia akan

kembali bergabung dengan kita,..?"

Pancingnya mencari-cari kemungkinan.

Sigalumet menyela.


"Oh tentu tuan! Tapi mungkin setelah

besenang-senang dengan bidadari yang cantik itu.

Nanti kalau sudah bosan, tentu dia akan kembali

bersama sang Putri."

Mendengar penjelasan Sigalumet

sesungguhnya Wara Wiri sangat marah sekali,

namun lagi-lagi demi menjaga persahabatan

mereka, kemarahan yang sudah tiada terkirakan itu

masih mampu dia redam di dasar hati yang paling

dalam. Dan dalam hatinya dia masih menghibur diri.

Biarlah dia hanya kebagian bekasnya saja, yang

penting Putri Permata Ningrum masih dapat kembali

dengan selamat.

Pada saat suasana sedang diliputi keheningan

itulah tiba-tiba Runa telah muncul kembali di

hadapan mereka. Wajah laki-laki berbadan tegak itu

kelihatan cerah, meskipun di sisi lain dia tidak dapat

menyembunyikan kekecewaannya.

"Bagaimana situasi di dalam sana Kakang

Runa...?" Wara Wiri menyela dengan harap-harap

cemas.

Orang nomor satu yang kini menjadi

pemimpin pemberontak, nampak menarik nafas

pendek. Kemudian dengan mantap dia pun berkata:

"Aku telah didahului oleh seseorang! Raja Jasa

Dewa berikut permaisurinya sudah mampus di

ruangan rahasia. Tapi.... Aku tak melihat adanya

Putri Permata Ningrum ada di antara mereka...!"


"Apakah mereka tewas dengan luka gigitan di

pangkal lehernya...?" Sigalumet menyela pula.

Anggukan itu saja sudah cukup bagi si

Bungkuk Ludra dan Sigalumet untuk mengetahui

siapa sesungguhnya yang telah melakukan

perbuatan itu.

"Sudahlah tuan panglima! Tuan tak perlu

gusar yang melakukan semua itu tak lain

merupakan kawan kami sendiri si Karpala gila...!"

Sigalumet mengingatkan.

"Tapi untuk apa dia melarikan Putri Permata

Ningrum...?" tanya panglima pemberontak merasa

heran.

Si Bungkuk Ludra dan Sigalumet terkekeh:

"Sekarang tuan sudah menjadi raja dan

berkuasa penuh terhadap istana Khalayan. Perlu

tuan ketahui kawan kami yang satu itu mempunyai

tujuan yang sangat lain dari tujuan kami. Kalau

adikku Ludra menginginkan sebagian harta kerajaan

dan aku ingin menjadi panglima tertinggi

menggantikan kedudukan tuan. Sedangkan dia

datang jauh-jauh ke tempat ini hanya dengan tujuan

ingin memiliki Putri Permata Ningrum itu ujar Siga-

lumet apa adanya.

* * *


Biarpun Runa yang kini menjadi pucuk

pimpinan Kedatuan Khalayan mengangguk maklum.

Akan tetapi tidak begitu halnya dengan Wara Wiri,

dia yang sejak tadi hanya dapat menahan

kekesalannya, kini mulai memprotes.

"Kakang... eee... yang mulia! Bagaimana

dengan janjimu padaku...!"

Runa mengerling sejenak, kemudian kerutkan

kening.

"Apa maksudmu...?!" tanya Runa tak

mengerti.

"Masa yang mulia sudah tidak ingat!" sela

Wara Wiri malu-malu. Mengertilah Runa dengan

maksud kawannya, akan tetapi dia adalah seorang

yang cerdik. Dan tentunya dia tak ingin

persahabatannya dengan Iblis Pulau Berhala jadi

terganggu hanya karena memenuhi keinginan

kawannya yang menginginkan Putri Permata

Ningrum. Dengan penuh kelicikan pula dia

menjawab.

"Bukankah kau mau kuangkat menjadi Patih

Kedatuan! Lagipula masih sangat banyak putri-putri

cantik di kerajaan lain yang dapat kau peristri bila

kau mau melakukannya...!" Runa menyela dengan

pandangan penuh maksud.

Agaknya Wara Wiri bisa memaklumi arti

ucapan Runa yang sesungguhnya, untuk itu dia pun

mengangguk hormat.


"Oh, kalau begitu aku sangat berterima kasih

sekali atas kebijaksanaan yang mulia...."

"Patihmu ini memang goblok sekali tuan!

Sedari tadi hanya mempersoalkan wanita saja!

Padahal dunia ini kan tak selembar daun putri

malu!" si Bungkuk Ludra mencela.

Runa tersenyum tipis.

"Ah, maafkan Patihku ini sobat! Maklum sudah

hampir setengah abad dia hidup membujang!"

"Oh, kasihan sekali, padahal di kolong langit

ini lebih banyak jumlah perempuan bila

dibandingkan laki-laki...!"

"Saudara jangan salah sangka! Meskipun

usiaku sudah setengah abad, tidak nantinya aku

mengambil seorang janda...!" Wara Wiri menyela

tiba-tiba. Tak lama kemudian derai tawa mereka

pun terdengar.

Begitu tawa mereka reda, Sigalumet menjura

hormat, lalu dengan suara tegas dia segera

menyampaikan unek-unek yang sejak tadi hanya

tertanam di dalam hati.

"Yang mulia, aku ingin yang mulia segera

mengukuhkan statusku dan juga pembagian harta

buat kawanku Ludra...!"

"Hemm... saya akan menepati janji. Saudara

Sigalumet sudah saya tetapkan menjadi panglima

perang utama. Adikku Wara Wiri kunobatkan

menjadi Patih Kedatuan. Sedangkan pada Saudara


Ludra sebagaimana janjiku akan kuberikan harta

kerajaan pada hari ini juga!"

Mendengar penjelasan Runa pemimpin

Kedatuan yang baru, nampaknya masing-masing

pihak merasa sangat puas. Demikianlah setelah

acara pengukuhan kedudukan dan pembagian harta

buat si Bungkuk Ludra acara diteruskan dengan

pesta kemenangan yang berakhir sampai menjelang

dini hari.

Sementara itu sampai menjelang pagi,

Awangga yang tengah melakukan pengejaran. Terus

berusaha memperkecil jarak, namun meski pun dia

berusaha mengerahkan segenap kemampuannya,

bahkan telah mengerahkan ilmu berlari cepat yang

dia miliki. Tetap saja jarak di antara mereka tidak

berkurang dan tidak lebih dari dua puluh tombak.

Dalam hal kecepatan lari agaknya mereka punya

kemampuan yang berimbang. Tapi karena laki-laki

berpakaian perempuan ini bergerak terlebih dahulu,

tak urung tetap saja Awangga tertinggal di

belakangnya.

Tak lama kemudian Karpala hentikan

langkahnya dia menoleh kanan kiri. Baginya kalau

ingin terus melarikan Putri Permata Ningrum sudah

tidak ada jalan lagi terkecuali harus membunuh

Awangga terlebih dulu. Sebab di hadapannya

terbentang sebuah sungai yang lebarnya mencapai

tiga puluh tombak, untuk terjun juga tidak mungkin

air sungat terlalu dalam, lebih dari itu sungai itu


dihuni oleh banyak binatang melata. Sungguhpun

dia memang benar-benar kebal terhadap segala

macam binatang berbisa. Akan tetapi berhadapan

dengan puluhan ekor buaya dengan membawa

beban sedemikian rupa siapa sudi?

Awangga yang sudah sampai di tempat itu,

segera mengetahui kesulitan yang dialami

musuhnya mulai memaki habis-habisan.

"Karpala manusia rendah, kau kembalikan

tuan Putri atau kepalamu segera menggelinding ke

dalam sungai itu...?"

"Kau bocah kemarin sore sudah berani jual

lagak di hadapanku! Jangan sekali-kali kau berharap

bahwa aku mau menyerah kan Putri yang sudah

menjadi milikku! Huh... pulanglah bocah pentil!

Lebih baik kau kembali menetek pada ibumu...!"

Karpala mengejek dan tersenyum sinis pada

Awangga.

Dihina sedemikian rupa, sudah barang tentu

pengawal utama yang memiliki kepandaian silat

setingkat di bawah pamannya menjadi sangat

marah sekali.

"Tua bangka jahanam! Kesalahanmu saja

sudah melampaui batas, kembalikan Tuan Putri!

Kemudian berlututlah di hadapanku, niscaya aku

mengampuni kesalahanmu."

"Huh! Menyesal sekali Putri yang jelita ini kini

sudah menjadi milikku!" Karpala tersenyum sinis.


"Puih... setan tua. Kiranya aku harus

meremukkan batok kepalamu terlebih dulu baru

kemudian kau menurut...."

Awangga yang sudah semakin tak sabaran itu

segera meloloskan pedangnya. Melihat kenekatan

pengawal utama ini Karpala segera meletakkan

tubuh Putri Permata Ningrum yang masih dalam

kaku tertotok. Setelah itu dia melangkah beberapa

tindak dan langsung berhadapan dengan Awangga.

"Bocah. Kuberi peringatan padamu, sebelum

segalanya terlambat pergilah dari hadapanku...!"

Awangga nampaknya sudah tidak perduli

dengan segala macam ocehan Karpala, pemuda

pemberani itu sambil menggerung marah langsung

menyerang dedengkot Pulau Berhala dengan

dahsyat sekali. Dalam waktu sekejap saja

pertarungan menjadi seru. Namun sebegitu jauh

masih belum ada tanda-tanda siapa yang bakal

keluar sebagai pemenangnya.

Sementara itu Awangga dengan pedang di

tangannya terus mendesak Karpala. Pedangnya

berkelebat, membabat, menusuk atau bahkan

mengurung lawan tanpa sedikit pun memberi

peluang pada lawannya untuk berbuat lebih banyak.

Di lain pihak, Karpala bukanlah bocah kemarin sore

malang melintang di rimba persilatan. Sudah hampir

belas tahun kehadiran mereka selalu menjadi

momok kaum persilatan di bagian Timur. Siapa pun


pasti mengenal siapa adanya Tiga Iblis Pulau

Berhala ini.

Kalaupun pada awal jurus hingga pada jurus-

jurus berikutnya Karpala mulai kelihatan terdesak.

Sesungguhnya hal itu memang di sengaja, dengan

maksud ingin mengetahui seberapa hebat

permainan pedang lawannya. Dan sudah barang

tentu hal ini di luar sepengetahuan lawannya.

Segera setelah dia dapat membaca situasi

permainan lawannya. Dengan diawali satu bentakan

keras dan sesungging senyum sinis mencemooh.

Salah seorang dari dedengkot Iblis Pulau Berhala ini

pun mulai menggebrak dengan jurus-jurus silatnya

yang beraneka ragam.

Di sudut lain Putri Permata Ningrum begitu

menyaksikan musuh pengawal utamanya mulai

melakukan serangan-serangan gencar, nampak

cemas. Parasnya yang sangat cantik itu nampak

memucat. Meskipun begitu dia tetap berdoa semoga

kemenangan tetap berada di pihak Awangga.

Kini Karpala dengan jurus Dewa Gila terus

mendesak Awangga tanpa kenal ampun. Pengawal

utama istana Kedatuan itu beberapa saat kemudian

dibuat kalang kabut. Jangankan untuk melancarkan

serangan balasan, sedangkan untuk bertahan dari

gempuran-gempuran yang dilakukan Karpala saja

rasanya sudah sangat sulit. Diam-diam Awangga

mengeluh dan mencaci maki dirinya habis-habisan.

Agaknya dalam beberapa jurus di depan pemuda


perkasa ini segera roboh andai saja pada saat-saat

yang kritis itu Awangga tidak menyurut beberapa

langkah. Karpala yang sudah mengetahui gelagat

kemenangan berada pada pihaknya nampak

terkekeh. Meskipun ada sedikit rasa heran

menyelimuti benaknya.

"Bocah tolol! Mulanya aku bermaksud

mengampuni jiwamu! Akan tetapi karena kau begitu

jauh telah berani mencampuri urusanku! Dengan

sangat terpaksa aku harus mengakhiri hidupmu

sampai hari ini saja..,.!"

"Bangsat tua! Jangan kira aku takut mati”

Seusai berkata begitu tiba-tiba Awangga

melengking dahsyat! Tubuhnya segera lenyap.

Sementara sinar putih nampak berkelebat

membabat ke segala arah, Karpala yang tiada

menyangka lawannya masih mempunyai simpanan

jurus-jurus permainan pedang sangat hebat ini

nampak mengeluarkan seruan tertahan. Dalam

waktu singkat dia sudah mencabut senjatanya yang

berupa sebuah Payung Perisai Kematian. Meskipun

begitu Awangga dengan jurus pedang Pembasmi Ib-

lis sudah tak menghiraukan semua itu. Dengan

kilatan pedang yang datangnya bergulung-gulung

tiada henti dan menyebarkan hawa maut di mana-

mana pengawal utama ini terus mencecar lawannya

tiada ampun. Setiap serangannya semakin gencar

dan tiada terduga. Gerakan pedangnya

mendatangkan angin bercuitan.


Dengan beberapa jurus di depan Awangga

berhasil hantamkan satu pukulan tepat di dada

Karpala. Bahkan, tidak sampai di situ saja, Awangga

yang sudah kalap ini langsung babatkan pedangnya.

Karpala yang sudah terhuyung dan muntah darah ini

kiranya masih sempat menangkis.

"Craaak!"

Tubuh Karpala jatuh berguling-guling.

Sementara Awangga nampak tersurut beberapa

langkah. Meskipun begitu Awangga nampak sangat

terkejut begitu melihat pada pedangnya yang kini

hanya tinggal bersisa sejengkal saja. Sadarlah

pemuda ini bahwa senjata Karpala yang berupa

sebuah Payung Perisai Kematian itu kiranya sebuah

pusaka yang sangat ampuh. Awangga yang sudah

kesetanan ini menjadi sangat marah. Dengan geram

dia menyambitkan sisa pedang yang cuma tinggal

sejengkal itu pada Karpala yang baru saja bangkit

berdiri.

"Ziiing...!"

Sisa pedang itu melesat cepat, lagi-lagi

dengan Payung Perisai Kematian dia menangkis.

"Tak!"

Tanpa pernah di duga oleh Awangga, kiranya

Karpala sengaja mengembalikan puntungan pedang

pada pemiliknya. Dengan kecepatan lebih besar

puntungan pedang itu melesat. Demi menghindari

tertembus sisa pedang miliknya sendiri. Awangga

langsung ngedeprok. Puntungan pedang terus


melesat untuk kemudian menancap pada sebatang

pohon yang sangat besar tak jauh di belakangnya.

Awangga memaki habis-habisan. Karpala tergelak-

gelak. "Ha... ha... ha...!" Karpala masih terkekeh.

"Bocah pentil! Kuakui jurus-jurus silatmu memang

hebat! Sayangnya aku telah mematahkan pedang

panjagal babi hutan milikmu...!" kata Karpala

mencemooh.

Awangga memerah parasnya, tangan-

tangannya berkerotokan, dengan penuh kebencian

dia lagsung membentak.

"Karpala manusia binatang! Meskipun bahwa

gigi-gigimu setajam pisau cukur! Biar pun kau

berubah menjadi beribu-ribu serigala, jangan kau

kira aku takut...!"

Kata Awangga dengan amarah yang berkobar-

kobar.

* * *


EMPAT



Agaknya Karpala memang sengaja

memancing kemarahan sisa pengawal utama ini.

Sebab seperti pengalaman-pengalaman yang sering

dia temui, orang yang sedang marah baginya paling

mudah untuk menjatuhkannya.

"Hemm... kiranya kau pun sudah tahu siapa

orang yang berdiri di hadapanmu ini. Syukurlah!

Seperti nasib yang dialami oleh Raja Kedatuan

Khalayan, begitu pula nasib yang akan kau alami.

Tak lama lagi aku akan melobangi tenggorokanmu,

hek... darah pemberani pasti sangat lezat

rasanya...!"

"Manusia iblis...!" teriak Awangga. Tanpa

banyak cingcong lagi dengan ilmu silat tangan

kosong dia menerjang kembali. Kiranya Karpala

meskipun salah seorang tokoh sesat masih

menghagai peradatan. Dengan cepat dia

menyelipkan senjata di balik jubahnya.

Pertarungan antara hidup dan mati pun

berlangsung kembali, hanya dalam waktu sekejap

telah mencapai belasan jurus. Agaknya Karpala

sudah tak sabar lagi, sebentar kemudian mulutnya

nampak berkomat kamit. Begitu tubuhnya

mengejang dan berguling-guling ke tanah dan

kembali berdiri. Wajah Karpala benar-benar telah


berubah menjadi beruang yang sangat mengerikan.

Sesungging senyum maut memperlihatkan taring-

taring yang tajam. Awangga terpana, kedua bola

matanya terbelalak tak percaya. Pada kesempatan

itulah dengan diiringi suara raungan membahana,

tubuh Karpala melesat dan langsung menubruk

Awangga yang masih tetap terperangah. Begitu

Awangga menyadari, segalanya benar-benar sudah

terlambat. Tubuh Awangga sudah tercengkeram erat

oleh jemari tangan Karpala yang juga sudah

ditumbuhi oleh kuku-kuku yang runcing dan sangat

tajam. Tanpa daya hanya memandang hampa pada

musuh yang telah menguasai dirinya. Tak ayal

Karpala segera menghunjamkan taring-taringnya

tepat pada pangkal leher Awangga. Tiada jerit yang

terdengar. Sebentar kemudian taring-taring yang

tajam dan panjang itu telah amblas pada daging

leher lawannya. Mulut Karpala mengeluarkan decap-

decap menjijikkan begitu dia mulai menghisap habis

darah Awangga yang malang.

Kejadian ini tentu tak luput dari perhatian

Putri Permata Ningrum yang tetap dalam keadaan

tertotok. Tubuh putri jelita itu nampak menggigil

ketakutan. Apalagi tak begitu lama setelah itu dia

melihat tubuh Awangga yang sudah tiada berdarah

lagi terkulai roboh tanpa dapat berkutik lagi.

Hilanglah semua harapannya untuk dapat

menyelamatkan diri. Tanpa kuasa dia menangis

sedih! Dia tau nasib apa yang bakal dia terima


nantinya. Karpala bukan menghendaki nyawanya

melainkan dirinya. Tubuhnya! Andai saja dia tidak

dalam keadaan tertotok sudah sejak tadi dia pasti

telah membunuh diri.

Kini Karpala yang sudah berubah dalam ujud

yang sesungguhnya nampak menghampiri Putri

Permata Ningrum. Sesungging senyum kemenangan

menghias bibirnya yang tiada berkumis. Setelah

duduk di samping tubuh Putri Permata Ningrum, lalu

segera membebaskan totokannya.

Sementara sang putri begitu terbebas dari

totokan nampak menjerit-jerit ketakutan. Dia

menyesali diri mengapa dulu ayahandanya tidak

pernah memberi kesempatan padanya untuk belajar

ilmu kanuragan.

"Putri jelita yang selalu membuatku tak dapat

tidur! Mengapa kau harus menjerit-jerit seperti itu!

Percayalah setahi kuku pun aku tak bermaksud

menyakitimu. Kemarilah...!"

"Bangsat rendah... siapa sudi bersamamu!

Kau telah membunuh kedua orang tuaku, kini kau

bunuh pula orang-orang kepercayaan Ayahanda."

bentak Putri Permata Ningrum sambil mundur

beberapa langkah.

Karpala tergelak-gelak tanda senang. Lalu dia

hentikan tawa dan langsung mendatangi putri yang

sangat rupawan itu lekat-lekat. Darah terasa

bergemuruh di dalam dadanya. Meskipun begitu dia

masih tak ingin berbuat kasar.


"Putri... aku yang rendah ini minta maaf

Semua itu kulakukan demi cintaku padamu. Aku

takut kehilangan engkau! Tapi karena mereka

menghalangi maksud baikku, maka dengan sangat

terpaksa aku harus membereskan mereka!

Sedangkan tikus Awangga, dia tak perlu kau

risaukan. Dia bermaksud menghalangi kebahagiaan

kita berdua. Dengan sangat terpaksa pula aku harus

menyingkirkannya...!" kata Karpala lunak.

Begitu mendengar ucapan Karpala wajah Putri

Permata Ningrum nampak memerah, sebentar saja

dia telah menghunus sebuah keris kecil yang

menyerupai mahkota di kepalanya.

"Tuan putri, kau jangan main-main dengan

keris itu!" Karpala menegur tanpa beringsut dari

tempat duduknya.

"Aku lebih baik membunuh atau dibunuh...!"

Putri Permata Ningrum semakin

mendekatinya.

Kemudian dengan nekad dia menyerang

dengan keris lekuk tiga kebesaran Kaputren. Akan

tetapi bukan Karpala orangnya kalau hanya

mendapat serangan dari putri yang berparas jelita

dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa itu

menjadi kalang kabut. Sebaliknya dengan sangat

mudah dedengkot Pulau Berhala ini malah maju

selangkah, lalu dengan sedikit berkelit tangan-

tangan yang kokoh itu pun dengan cepat


menyambar pergelangan tangan Putri Permata

Ningrum.

"He... he... he...!"

Karpala tergelak-gelak, kemudian masih

dengan tertawa-tawa dia merampas keris di tangan

sang putri. Setelah melempar keris itu ke dalam

sungai dia memeluk tubuh Putri Permata Ningrum

erat-erat. Di jatuhkannya tubuh sang putri yang

cantik jelita itu dalam pangkuannya. Bau harum

yang keluar dari tubuh Permata Ningrum yang

menyebar dan menusuk hidungnya, membuat

gairah Karpala meledak-ledak. Lalu dielusnya

tangan

Putri Permata Ningrum yang kuning langsat,

kemudian pipinya, lalu lehernya. Begitu tangan itu

bergerak lebih ke bawah. Putri Permata Ningrum

menjerit-jerit ketakutan. Tapi Karpala si manusia

iblis itu tidak perduli. Bahkan dengan nekad kini dia

mulai berani mencium pipi sang putri.

"Bangsat rendah...! Lepaskan aku...!" teriak

Putri Permata Ningrum keras-keras.

Karpala yang sudah dirasuki setan gila, terus

saja terkekeh dan tiada perduli lagi. Darah mengalir

deras sampai ke ubun-ubun, sementara nafas

dilanda birahi yang mulai berkobar-kobar.

"Breet!"

Karpala berhasil menyentakkan pakaian Putri

Permata Ningrum persis pada bagian dadanya.

Begitu dia melihat pemandangan di depan


hidungnya. Kedua bola mata Karpala terbeliak bagai

mau melompat keluar. Agaknya Putri Permata

Ningrum sebentar lagi bakal mengalami nasib yang

sangat mengerikan bagi seorang gadis. Kalau saja

pada saat yang bersamaan sepasang mata elang

yang sejak dari tadi memperhatikan ulah Karpala

yang sangat menjengkelkan perutnya.

Kini dengan cepat pemuda itu bertindak,

sekali saja tangannya terayun ke depan. Sebuah

batu kali berwarna hitam melesat demikian

pesatnya.

"Wuut!" "Pletak!"

Karpala yang hampir saja berhasil melucuti

pakaian sang Putri, menjadi tersentak kaget. Bagai

terhantam sebuah palu godam dia merasakan

kepalanya bernyut-nyutan. Begitu dia menoleh

sambil meraba kepalanya yang terus mengalirkan

darah. Tiba-tiba di hadapan dedengkot Iblis Pulau

Berhala ini telah pula berdiri seorang pemuda

berpakaian lusuh, dengan sebuah periuk besar

tergantung di pundaknya.

Siapakah pemuda berwajah sangat tampan

ini? Tak asing lagi kalangan persilatan mengenalnya

sebagai Pendekar si Hina Kelana. Pemuda ini untuk

beberapa saat lamanya memandang pada Karpala

tiada berkedip sedikit pun. Tak lama kemudian dia

menoleh pada Putri Permata Ningrum yang nampak

sibuk membenahi pakaiannya yang sudah tak

karuan.


Sementara itu Karpala begitu melihat ada

orang lain datang-datang mengganggu

kesenangannya, nampak marah sekali. Apalagi dia

melihat bahwa orang ini baru pertama kali

dilihatnya.

"Budak hina! Berani sekali kau mencampuri

urusanku. Agaknya kau memang sudah bosan

hidup...!" bentak Karpala memandang remeh pada

Buang Sengketa.

"Segala bangsat rendah tak bermalu! Apa

takutnya menghadapi manusia jejadian seperti

setan! Kalau pun kau bisa berubah seribu satu rupa

sekali pun. Tidak akan nantinya aku bersurut

langkah...!" Pendekar Hina Kelana mencemooh.

Dihina sedemikian rupa Karpala semakin naik

darah. Kalau tadinya darahnya mendidih karena

amarah, maka kini darahnya terasa menggelegak

karena marah.

"Keparat...! Rupanya kau belum tahu dengan

siapa kau berhadapan?" tukas Karpala.

"Huh... sekali pun kau iblis dari neraka! Aku

tak pernah membatalkan niatku untuk memenggal

kepalamu...!"

"Bagus! Sebelum kau melakukan niatmu itu

aku ingin tahu siapakah namamu!"

Buang Sengketa tergelak-gelak. "Ha... ha...

ha...! Tua bangka, apa artinya sebuah nama. Aku

hanyalah si Hina Kelana yang tiada guna...!"


Begitu Buang Sengketa menyebut nama

gelarannya, Karpala nampak terperangah kaget.

Akhir-akhir ini dia memang mendengar adanya

sepak terjang seorang tokoh muda dari bagian

Barat, yang selalu bertindak tanpa kenal ampun.

Akan tetapi sedikit pun dia tiada pernah menyangka

bahwa tokoh baru dalam rimba persilatan masih

begitu muda. Walaupun pemuda ini memiliki wajah

yang sangat tampan, akan tetapi penampilannya

yang mirip gembel membuat Karpala tidak

mempercayainya. Untuk sesaat Karpala

mengerutkan alisnya. Kemudian dedongkot dari

Pulau Berhala itu pun terkekeh.

"Budak gembel, jangan kau coba-coba

mengelabui aku! Meskipun si Hina Kelana itu

manusia keturunan dewa yang memiliki kesaktian

tiada tanding! Siapa mau percaya pada bualan tikus

busuk...?!" kata Karpala mencemooh.

"Catat dalam otakmu bangsat Karpala! Di

kolong langit ini cuma ada satu nama si Hina

Kelana!"

"Puih! Hanya orang gila saja yang mau

percaya pada ocehanmu...!"

Seketika itu juga Buang Sengketa nampak

berubah parasnya, bibir terkatup rapat Apabila dia

pentangkan kedua tangannya ke depan. Pada saat

itulah dengan di awali satu bentakan keras tanpa

kompromi lagi dia langsung kirimkan serangan-

serangan dahsyat. Dengan cepat dia lancarkan jurus


Membendung Samudra Menimba Gelombang yang

sudah tidak diragukan lagi akan kemampuannya.

Serangan-serangan itu sedemikian cepat dan selalu

mengarah pada tempat-tempat yang paling

mematikan.

Karpala yang tadinya tak percaya dengan apa

yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana, agaknya

kini mulai menyadari bahwa sesungguhnya lawan

yang sedang di hadapinya. Kini dengan jurus Seribu

Berhala Mengusir Naga dia mulai membendung

serangan-serangan lawannya.

Berulang kali pukulan-pukulan Buang

Sengketa nyaris mencederai Karpala. Dalam waktu

sekejap pertarungan sudah mencapai puluhan jurus,

sementara Karpala yang merupakan orang nomor

dua dari Pulau Berhala beberapa saat berikutnya

sudah nampak mulai terdesak. Menghadapi

kenyataan pahit ini dedengkot dari Pulau Berhala ini

segera tingkatkan serangannya. Jurus Seribu

Berhala Mengusir Naga pada saat itu telah mencapai

tingkatan yang kesepuluh, berarti satu tingkat di

bawah puncaknya. Akan tetapi jangankan

melakukan serangan balasan sedangkan untuk

mengembangkan permainan silatnya saja rasanya

sudah teramat sulit. Padahal selama malang

melintang dirimba persilatan belum pernah seorang

musuh pun walau bagaimana tangguhnya dapat

mampu bertahan sampai lima jurus. Kini hanya

berhadapan dengan seorang pemuda gembel, malah


dia tak mampu berbuat banyak. Diam-diam Karpala

mulai mengeluh di dalam hati.

"Bangsat tua! Mana variasi jurus-jurus silatmu

yang sangat kau banggakan itu...!" ledek Pendekar

Hina Kelana sambil terus melancarkan serangan

gencar.

"Haram jadah! Sebentar lagi Racun Kala

Biruku segera mengirimmu ke neraka!" sentak

Karpala mendengus marah.

* * *


LIMA


Ternyata dedengkot iblis itu memang tidak

omong kosong. Sebab begitu katanya-katanya usai.

Dengan cepat dia merubah jurus-jurus silatnya. Kini

dengan mempergunakan jurus Berhala Menyembah

Matahari, tubuh Karpala berkelebat kian kemari,

terkadang tubuh dedengkot Pulau Berhala itu lenyap

di telah bayang-bayangnya sendiri. Sesaat pemuda

dari Negeri Bunian ini nampak berputar-putar

kebingungan. Serangan-serangan lawan yang tiada

berketentuan ini bahkan nyaris membahayakan

jiwanya. Lama kelamaan Pendekar dari Negeri

Bunian sudah semakin tak sabar lagi. Disertai

dengan lengkingan dahsyat, tubuh Buang Sengketa

melesat ke udara. Begitu tubuhnya menukik ke

bawah, tangan kanannya berkelebat cepat.

"Weer!"

Selarik sinar Ultra Violet melesat meluruk ke

arah Karpala. Pukulan yang diberi nama Empat

Anasir Kehidupan itu terus menderu dengan

mengeluarkan hawa panas yang teramat sangat.

Dedengkot Pulau Berhala terpekik kaget begitu dia

merasakan hawa pukulan yang sangat panas


menyambar tubuhnya. Lalu tanpa berpikir panjang.

Karpala segera memapaki.

"Blaaar...!"

Bertemunya dua kekuatan sakti, meskipun

Karpala memiliki tenaga dalam yang sudah

mencapai tarap sempurna, tak urung kedua kakinya

amblas sampai sebatas lutut. Rambut Karpala

kebakaran, keadaannya tak jauh beda dengan

seekor monyet yang kebakaran ekor.

Sementara Buang Sengketa sendiri kini sudah

nampak berdiri, sambil memegangi perutnya yang

terasa kaku karena menahan tawa.

"Ha... ha... ha.... ha...! Karpala monyet tolol!

Seharusnya kau berterima kasih padaku, sebab kau

tak usah bersusah payah pergi ke tukang cukur.

Sudah kugundul habis rambutnya yang mirip

monyet hutan itu! Lumayan kan...!" Pendekar Hina

Kelana masih dengan memegangi perutnya tertawa

mengejek.

Dedengkot Pulau Berhala yang memang lagi

ketemu batunya ini, mencaci maki panjang pendek.

"Bangsat terkutuk! Kau harus membayar

mahal semua penghinaan ini!" Karpala menyela,

sambil angkat-angkat kakinya yang masih terasa

sulit untuk dicabut.

"Goblok! Mestinya kau tak memaki seperti itu!

Di dunia ini mana ada seorang musuh sebaik

aku...!"


"Hutangmu baru ku anggap lunas apabila aku

telah meminum darahmu hingga asat...!"

"Hak... hak... hak! Ketahuilah beruang sial.

Darah si Hina Kelana rasanya sangat pahit!

Bagaimana kalau ku tukar dengan darah anjing...!"

kata Buang Sengketa konyol.

"Budak Hina jangan banyak mulut! Makan nih

senjataku!"

Kini dengan senjata Payung Perisai Kematian

Karpala menerjang kembali.

Payung kematian di tangan Karpala mencecar

ke segala arah. Suara bersiuran yang ditimbulkan

oleh senjata pusaka itu membuat gendang-gendang

telinga bagai dicabik-cabik, meskipun begitu

nampaknya Buang Sengketa tidak terpengaruh.

Malang bagi Putri Permata Ningrum yang tak

memiliki kepandaian apa-apa. Gadis putri raja ini

nampak sangat tersiksa, bahkan terguling-guling di

atas tanah. Demi menyaksikan keadaan sang Putri,

Buang Sengketa sambil terus mengimbangi

serangan-serangan lawannya segera berteriak:

"Putri! Kau sumbatlah telingamu dengan

daun-daun yang berada di sekelilingmu...!"

Begitu mendengar peringatan Pendekar Hina

Kelana cepat-cepat Putri Permata Ningrum sumbat

lubang telinganya.

Kini Karpala menjadi bertambah beringas,

beberapa saat kemudian senjata itu sempat

merobek bagian dada Pendekar Hina Kelana. Darah


berwarna kehitam-hitaman mulai meleleh

membasahi bajunya. Akan tetapi walau bagaimana

pun Buang Sengketa adalah seorang Pendekar sejati

yang kebal terhadap segala macam racun, walaupun

yang bagaimana pun ganasnya. Itu makanya dia

nampak tenang-tenang saja. Lain lagi dengan

Karpala, Dedengkot Pulau Berhala ini sudah dapat

menduga bahwa sebentar lagi lawannya yang

sangat tangguh itu akan roboh terkena racun

miliknya. Untuk itu sambil menyerang dia terkekeh:

"Hemm! Sebentar lagi nyawamu akan

melayang bocah sinting...!" Karpala sekali lagi

melancarkan serangan mautnya.

"Weer!"

"Heeiiik...!"

Buang Sengketa mencelat ke atas, serangan

Karpala luput. Namun tanpa dapat diduga oleh

lawannya. Kiranya pemuda itu telah mencabut

pusaka Golok Buntung. Udara di sekitarnya

mendadak berubah sekali, Karpala berseru kaget.

Seberkas sinar merah menyala memancar dari golok

pusaka yang tergenggam di tangan Pendekar Hina

Kelana.

Saat itu meskipun Karpala telah mengerahkan

seluruh kekuatan untuk menolak pengaruh hawa

dingin yang ditimbulkan oleh kharisma Golok

Buntung namun tetap saja tidak merobah keadaan.

Sementara itu Golok Buntung di tangan Pendekar


dari negeri Bunian telah berkelebat-kelebat mencari

sasaran.

Pertarungan mempergunakan senjata pusaka

kini telah mencapai puluhan jurus. Karpala kini

benar-benar telah jauh di bawah angin. Beberapa

saat berikutnya. Buang Sengketa yang sudah

semakin tak sabaran ini, kirimkan satu babatan dua

tusukan. Menghadapi serangan yang begini rupa,

Karpala menjadi gugup, dengan tiga kali berkeht,

dua tusukan dapat dia elakkan dengan baik. Tetapi

satu babatan berikut agaknya tak mungkin dia

hindari lagi. Dalam keadaan terdesak seperti itu

tiba-tiba saja Karpala dengan nekad memapaki

sabetan Golok Buntung dengan Payung Perisai

Kematian.

Tak terelakkan lagi:

"Trang!"

"Brebet!"

Karpala nampak tergetar hebat, senjata

payung di tangannya hancur berantakan terbabat

Pusaka Golok Buntung Pendekar Hina Kelana.

Karpala menjadi ciut nyalinya. Belum lagi hilang

keterkejutan dedengkot Pulau Berhala ini, tiba-tiba

Buang Sengketa sambil membabatkan golok pusaka

di tangannya berteriak:

"Kuberi satu pelajaran yang paling berharga

buatmu! Tapi sebagai gantinya tinggalkan sebelah

tanganmu...!"

Kembali pusaka golok Buntung berkelebat.


"Craaas!"

Tangan kiri Karpala terkutung sebatas pangkal

lengan. Iblis dari Pulau Berhala itu melolong setinggi

langit, darah memancar deras dari lengan yang

sudah kutung. Dengan cepat Karpala menotok jalan

darah demi menghindari darah lebih banyak keluar.

Sebentar wajahnya yang sudah memucat itu

memandang pada Pendekar Hina Kelana.

"Budak Hina Kelana...! Hari ini kau tertawalah

sepuas hatimu, tapi kau pasti menyesal telah

membuat perkara pada Tiga Datuk dari Pulau

Berhala!"

"Tua tiada guna! Cepat menyingkirlah dari

depanku sebelum aku berobah pendirian...!" bentak

Pendekar Hina Kelana dengan sesungging senyum

mengejek.

"Tunggu pembalasanku...!"

Usai berkata begitu, sambil membawa

kutungan tangannya Karpala berkelebat pergi.

Beberapa saat kemudian setelah Karpala

berlalu dari hadapan Pendekar Hina Kelana. Putri

Permata Ningrum yang sedari tadi menyaksikan

sepak terjang Pendekar tampan ini bergegas

menghampiri. Kemudian dia berlutut di depan Buang

Sengketa. Sudah barang tentu ulah Putri Permata

Ningrum ini membuat Pendekar yang memiliki sifat

pemalu pada wanita menjadi kelabakan dan salah

tingkah. Kemudian dengan suara terbata-bata dia

menyela:


"Ee... tu... tuan Putri mengapa begitu!

Seharusnya akulah yang menghaturkan sembah

padamu!"

"Engkau telah menyelamatkan kehidupanku

tuan Pendekar! Sewajarnya aku berterima kasih

padamu...!" ucap Putri Permata Ningrum masih

tetap dengan keadaannya.

"Bangkitlah tuan Putri! Engkau tak pantas

berlaku seperti itu...!" kata Buang Sengketa pula.

Putri Permata Ningrum kini sudah bang-kit

berdiri, dengan penuh kagum dipandanginya wajah

Pendekar Hina Kelana yang tampan namun polos,

begitu pandangan matanya bersitatap, tiba-tiba saja

hatinya berdetak keras. Ada keteduhan yang

terpancar dari mata pemuda itu. Buang Sengketa

yang memang tak memiliki sifat mata keranjang.

Dipandang demikian rupa tentu saja menjadi

jengah. Lalu dengan suara pelan dia memecah

keheningan.

"Tuan Putri! Si bangsat Karpala sudah pergi,

lalu apakah yang harus kuperbuat untukmu...?"

tanya Pendekar Hina Kelana serba canggung.

"Sekali lagi jangan tuan menyebutku dengan

panggilan seperti itu. Aku tidak suka...!" sela Putri

Permata Ningrum marah.

Tentu saja tingkah Putri Permata Ningrum

yang berubah seketika itu membuat Buang

Sengketa terheran-heran.


"Mengapa? Bukankah engkau seorang Putri

raja, sudah selayaknya aku bersikap hormat

padamu...!"

Tiba-tiba saja Permata Ningrum

menangkupkan wajahnya pada kedua belah tangan-

nya. Sebentar kemudian dia sudah menangis, Buang

Sengketa semakin tak mengerti dan usap-usap

pipinya yang kotor.

"Putri, mengapa kau menangis...?"

Putri Permata Ningrum dengan cepat me-

noleh, lalu memandang sinis pada Pendekar dari

Negeri Bunian ini.

"Putri lagi... Putri lagi...! Sudah kukatakan

jangan ulangi...!" tukas Permata Ningrum kesal.

"Lalu bagaimana...?" Buang Sengketa menjadi

bingung.

"Tuan punya nama...?"

"Punya...!"

Buang Sengketa menjawab tegas.

"Siapa... nama Tuan...!"

"Buang Sengketa...;"

"Buang Sengketa...!"

Ulang Putri Permata Ningrum seolah

merasakan ada sesuatu yang sangat asing.

"Aneh sekali! Seumur hidup baru sekarang

aku mendengar nama seasing namamu itu!" gumam

Putri Permata Ningrum.

"Namaku adalah sebagian dari masa laluku

yang pahit...!"


"Oh ya! Aku Permata Ningrum. Sekali lagi

jangan tuan menambahi dengan tuan Putri! Aku

muak mendengarnya...!"

Tiba-tiba Pendekar Hina Kelana tergelak-

gelak:

"Kau lucu...!"

Masih terkekeh Buang Sengketa menyela.

Putri Permata Ningrum merengut. "Apanya yang

lucu...!" "Di kolong jagat ini. Cukup banyak tikus-

tikus menonjolkan nama besar atau setidak-

tidaknya mengagung-agungkan nama besar bapak

moyangnya, akan tetapi kau malah sebaliknya

berusaha bersembunyi di bawah kebesaran

keturunan. Apakah itu tidak lucu...?"

Putri Permata Ningrum cemberut, kemudian

menyela:

* * *



ENAM



ku hanyalah seorang anak yang tiada guna.

Ayah bundaku tewas aku tak bisa membela. Bahkan

untuk keselamatan sendiri aku tak dapat

menjaga...!" kata Putri Permata Ningrum tertunduk

sedih mengenang nasib ayah bundanya.

Buang Sengketa tercenung seketika.

Kemudian manggut-manggut:

"Put…eeh... Permata Ningrum! Setan dari

manakah yang telah bikin sengsara kedua orang

tuamu itu?" tanya Buang Sengketa dengan sangat

hati-hati.

"Bukan bikin sengsara... mungkin saat ini

kedua orang tuaku telah binasa di tangan

mereka...!" ujar Permata Ningrum agak tersendat.

Kemudian dia menyambung lagi: "Ayahanda

Jasa Dewa adalah seorang raja di istana Kedatuan

Khalayan, bahkan secara turun temurun. Beliau

selama dalam pemerintahan selalu bertindak adil

bijaksana. Karena memang pada dasarnya

ayahanda selalu berpihak pada kebenaran dan

menjadi pelindung kaum yang lemah. Tapi siapa

sangka bahwa adik tirinya yang juga merupakan

tangan kanannya sendiri tidak menyukai cara-cara

ayahanda menjalankan pemerintahan ayahanda.

Lalu mereka dengan dibantu oleh sekutu-sekutunya,


berniat mengadakan pemberontakkan. Padahal niat

buruk mereka itu sebenarnya pernah disampaikan

oleh paman Pradilaga dan Awangga yang juga masih

merupakan pengawal utama tingkat tiga. Akan

tetapi ayahanda tidak pernah percaya bahkan diam-

diam mulai menaruh curiga pada pa-man Pradilaga

dan Awangga. Hingga tadi malam pemberontakan

itu meletus. Ayahanda baru sadar, tapi semuanya

sudah terlambat! Paman Pradilaga mungkin sudah

tewas seperti Awangga keponakannya itu...!" kata

Putri Permata Ningrum sambil menunjuk ke arah

mayat Awangga yang sudah nampak membeku. Dan

tiba-tiba pula Permata Ningrum menangis sedih.

Pendekar Hina Kelana mengawasi mayat

Awangga sejenak, dalam pertarungan tadi bahkan

dia sempat melihat sepak terjang Awangga yang tak

kenal takut. Diam-diam dia memuji keberanian

pemuda itu.

"Seperti halnya Tuan! Dia seorang pemuda

yang baik dan jujur, tapi tangan-tangan iblis itu

telah merenggutkan nyawanya! Kalau saja aku

memiliki kepandaian sehebat tuan, aku pasti tidak

mengampuni jiwa mereka!" tukas Putri Permata

Ningrum geram sekali.

Pendekar Hina Kelana menarik nafas dalam-

dalam, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang

menyesak di dalam dadanya. Marah. Itu pasti!

"Putri... ee... Permata Ningrum! Aku berjanji

untuk membantumu sampai Kedatuan Khalayan


kembali pada yang berhak! Tapi bagaimana dengan

engkau...?" tanya Buang Sengketa.

Dalam hati dia berkata tak mungkin dia

membawa serta Putri Permata Ningrum dalam

menumpas kaum pemberontak yang rata-rata

memiliki kepandaian tinggi. Lebih dari itu dengan

sertanya Putri Permata Ningrum dalam perjalanan

tentu lama kelamaan bisa memancing datangnya

musuh lebih banyak lagi. Apalagi Putri Permata

Ningrum memiliki wajah dan dandanan yang sangat

lain dari kebanyakan kaum penduduk. Sedang

dalam berfikir begitu tiba-tiba Permata Ningrum

menyela:

"Tuan...!"

"Jangan panggil begitu, aku bukan Tuanmu!

Panggil saja si Hina...!" Putri Permata Ningrum

mengajuk.

"Kau orang baik, aku tak mau memanggilmu

si Hina, lebih baik kupanggil Kelana saja." kata

Permata Ningrum tersipu-sipu.

"Sesuka-sukamulah...!"

Agaknya Putri Permata Ningrum merupakan

seorang gadis yang periang, meskipun jiwanya baru

terguncang hebat. Akan tetapi kini sudah berubah

seperti biasa kembali.

"Kelana. Kalau engkau tidak keberatan aku

ingin mengikutimu sampai Kedatuan Khalayan. Aku

ingin melihat pemberontak Runa mampus di

tanganmu...!"


"Kau mau ikut! Mereka bisa

mencelakakanmu...!"

Buang Sengketa mencela dengan perasaan

was-was.

Putri Permata Ningrum tiba-tiba membalikkan

diri dan bermaksud melangkah pergi. Pendekar Hina

Kelana gelengkan kepala. Permata Ningrum

meskipun berhati baik nyatanya keras kepala juga.

"Tunggu...!"

Putri Permata Ningrum sambil terus me-

langkah menjawab:

"Maaf.! Aku telah membuatmu repot...!"

ucapnya acuh.

Buang Sengketa, tiba-tiba saja dia telah

berdiri di hadapan Permata Ningrum. Putri tunggal

Kedatuan Khalayan hentikan langkah, sekejap

menatap sinis pada Pendekar Hina Kelana, lalu:

"Minggir...! Aku tak butuh bantuanmu!"

Dibentak seperti itu, sudah barang tentu

membuat Pendekar dari Negeri Bunian ini sudah

tidak dapat bersabar lagi.

"Baik! Kalau kau sudah memutuskan begitu.

Sekali pun kau seorang Putri Dewa Kayangan apa

peduliku! Aku paling benci pada perempuan yang

kasar...!" Usai berkata, tanpa menoleh lagi Buang

Sengketa segera melangkah pergi tanpa menoleh-

noleh lagi.

Putri Permata Ningrum yang biasa di manja

agaknya dia tak tahu bahwa pemuda ini selalu


bersikap tegas pada siapa pun. Dia menjadi

bimbang untuk meneruskan langkahnya. Terlebih-

lebih lagi bila dia ingat pada kejadian yang hampir

saja menimpa dirinya. Tiba-tiba perasaan takut

menyelimuti hati-nya. Begitu menoleh di lihatnya

Pendekar Hina Kelana sudah berlalu jauh darinya.

"Kelana... tunggu! Maafkan aku... aku takut.

Kelana, oh...!"

Sambil berteriak-teriak Putri Permata Ningrum

berbalik dan berlari-lari mengejar Pendekar Hina

Kelana. Sementara Buang Sengketa meskipun

hatinya sangat kesal kiranya tak sampai hati juga.

Tanpa menoleh dia hentikan langkah. Tak berapa

lama kemudian Putri Permata Ningrum sudah

menyusulnya. Dengan nafas terengah-engah

kemudian dia berkata:

"Maafkan aku! Aku tak seharusnya bersikap

kasar padamu...!" ucap Permata Ningrum lirih.

Tanpa menjawab, Buang Sengketa kembali

meneruskan langkahnya dengan diikuti Putri

Permata Ningrum. Anak raja Kedatuan Khalayan,

yang sesungguhnya mulai menaruh rasa simpati

pada pendekar tampan itu.

* * *


Sejak terjadinya pemberontakan di istana

Kedatuan Khalayan yang menewaskan Raja Jasa

Dewa berikut permaisurinya. Kini keadaan negeri di

wilayah Khalayan sudah terasa semakin tidak aman.

Perampokan berupa harta benda penduduk.

Penculikan gadis-gadis desa, merajalela di mana-

mana. Beberapa bulan keadaan semakin bertambah

memburuk. Terlebih-lebih Runa yang menjadikan

dirinya seorang raja yang baru kelihatan sudah tidak

perduli dengan nasib buruk yang menimpa

rakyatnya. Setiap hari dia banyak menghabiskan

waktu hanya untuk bersenang-senang dengan

wanita-wanita murahan. Bermain judi, bercinta atau

bahkan minum-minum sampai mabuk. Masyarakat

semakin menderita saja, apalagi Sigalumet panglima

perang Kedatuan Khalayan yang baru selalu

bertindak sewenang-wenang. Menyiksa, membunuh

atau bahkan memperkosa anak bini orang, sudah

merupakan kebiasaan datuk sesat dari Pulau

Berhala ini.

Si bungkuk Ludra yang tak memiliki

wewenang apa-apa di Kedatuan Khalayan lain lagi

kesibukannya. Laki-laki bungkuk bertampang

serakah ini, hidup bergelimang kemewahan. Dia

mendirikan sebuah rumah megah yang sepintas lalu

menyerupai sebuah istana kecil tidak begitu jauh

dari wilayah Khalayan. Meskipun dia tak pernah mau

mengganggu anak istri penduduk. Tapi apa

bedanya! Setiap hari dia mengutus sepuluh orang


kepercayaan untuk merampoki harta benda milik

penduduk sekitarnya, bahkan lama kelamaan mulai

merambah daerah-daerah lain di luar wilayah

Khalayan. Sementara di istana kediamannya, dia

nampak duduk ongkang-ongkang di atas tumpukan

harta.

Seperti di siang itu di sebuah kota kecil yang

bernama Palang Sejajar. Sepuluh orang berkuda

nampak memasuki kota. Sebagaimana yang pernah

terjadi di daerah-daerah lain-ya. Kini orang-orang

bertampang bengis itu langsung melakukan aksinya.

Jerit pekik ketakutan segera mewarnai aksi

mereka. Korban satu demi satu mulai berjatuhan,

darah berceceran, tiada sedikit pun terlintas belas

kasihan di hati sambil terus melakukan aksinya

mereka nampak tertawa-tawa. Tak segan-segan

mereka berbuat kurang ajar dengan anak gadis

korbannya. Setelah itu berlalu begitu saja.

Siang itu Buang Sengketa secara kebetulan

telah sampai pula di kota kecil Palang Sejajar.

Setelah hampir seminggu melakukan perjalanan,

sesungguhnya bagi pemuda itu apa yang telah dia

lakukan adalah merupakan hal yang wajar. Tapi

mengingat Putri Permata Ningrum yang keadaannya

sudah sangat payah, mau tak mau dia harus

bersikap sabar. Perjalanan mereka ke Khalayan

masih terlalu jauh. Sementara dia tak mungkin

mempergunakan ajian Sapu Jagat untuk

mempersingkat waktu. Kalau pun hal itu sangat


mungkin untuk dia lakukan, akan tetapi bagaimana

halnya dengan Putri Permata Ningrum?

Menggendongnya? Huh! Itu hanya pekerjaan orang

setengah sinting. Putri Permata Ningrum bukan

bocah kecil lagi. Sudah gadis! Bahkan sudah cukup

dewasa. Pekerjaan itu mana pantas dilakukan oleh

Pendekar tampan yang mempunyai sifat sedikit pe-

malu ini.

Demikianlah ketika mereka mengayunkan

langkah sampai di tengah-tengah kota. Pemuda ini

sempat dibuat heran begitu melihat keributan terjadi

di sana-sini, sementara orang-orang berlarian kian

kemari.

"Ada apa Kelana...?" tanya Permata Ningrum

mengerling manja.

"Agaknya telah terjadi sesuatu yang tak beres

di tempat ini! Coba kutanyakan bapak tua yang

menuju ke mari...."

Begitu laki-laki setengah baya itu hampir di

hadapannya. Buang Sengketa menegur: "Bapak!

Ada apakah...?" Laki-laki itu nampak ketakutan,

mengira bahwa pemuda ini merupakan komplotan

para perampok.

"Bapak jangan takut! Katakan saja...!" desak

Pendekar Hina Kelana.

"Anu... Kisanak, ada perampokan! Mereka

merampoki harta benda penduduk. Bahkan kini

mulai membunuh...!"


Laki-laki itu berkata dengan tubuh meng-gigil

ketakutan.

Buang Sengketa kerutkan kening. "Siapakah

mereka...?" tanya pemuda itu penasaran sekali.

"Mereka orang-orang dari Kedatuan

Khalayan...."

"Kedatuan Khalayan?" desah Pendekar Hina

Kelana seolah tak percaya.

Sekejap dia melirik pada Putri Permata

Ningrum.

"Berarti, mereka orang-orangnya si

pemberontak Runa...!" tukas Putri Permata Ningrum

begitu geramnya.

"Kalau begitu mari kita ke sana...!"

Pendekar Hina Kelana beserta Putri Permata

Ningrum tak lama kemudian telah sampai pada

tempat keributan. Orang-orang suruhan si Bungkuk

Ludra itu nampak sibuk sekali. Mereka mengangkat

harta benda penduduk dengan keadaan tergesa-

gesa. Semuanya itu tak lepas dari perhatian

Pendekar Hina Kelana dan Putri Permata Ningrum.

Buang Sengketa dengan sabar menantikan apa lagi

yang bakal dilakulan oleh para perampok itu. Meski

pun darahnya sudah mendidih sedapatnya dia masih

menahan diri.

Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja Putri

Permata Ningrum berseru kaget sekali. Buang

Sengketa merasa heran dengan ulah si gadis putri


istana ini. Agaknya Putri Permata Ningrum tidak

memperdulikan hal itu. Tetap saja dia berseru:

"Sena... Sura...! Sejak kapan ayahandaku

mengajarimu menjadi perampok seperti itu!” bentak

Putri Permata Ningrum pada dua orang yang baru

saja keluar dari dalam rumah penduduk sambil

menjinjing benda-benda berharga.

Begitu mendengar ada seseorang memanggil

namanya dua orang laki-laki ini yang sesungguhnya

masih sangat setia pada mendiang Raja Jasa Dewa,

secara serentak menoleh. Alangkah terkejutnya hati

mereka begitu dilihatnya putri junjungan mereka

nampak berdiri, dan memandang marah padanya.

Sena dan Sura tanpa diperintah lagi langsung

mencampakkan barang-barang yang mereka bawa,

kemudian berlari menghampiri Putri Permata

Ningrum yang masih tetap berdiri bersama seorang

pemuda yang belum mereka kenal. Begitu sampai di

depan junjungannya, Sena dan Sura langsung

menyembah dan berlutut minta ampun.

"Berani sekali kau membuat kesengsaraan

pada rakyat...!" bentak Putri Permata Ningrum

sangat marah sekali.

Mendadak kedua orang ini menangis bagai

bocah kecil, masih dengan sesenggukkan salah

seorang di antara mereka memberi penjelasan.

"Putri yang mulia... limpahilah kami dengan

maafmu! Semua ini hamba lakukan karena demi

keselamatan jiwa kami yang tiada berharga ini.


Mereka memaksa kami untuk melakukan

perampokan dengan cara yang keras! Percayalah

Tuan Putri kami tak pernah menyakiti penduduk!

Anjing-anjing suruhan itulah yang sering melakukan

pembunuhan...!" '

"Kalau memang jiwa kalian tiada harganya!

Maka aku akan segera mengirimnya ke neraka...!"

Buang Sengketa menyela dengan tatapan mata

dingin.

"Tuan ampunilah jiwa kami! Semua ini kami

lakukan karena sangat terpaksa sekali...!". Sura ikut

menimpali.

Putri Permata Ningrum menoleh pada si

pemuda, tatapan matanya seperti memberi isyarat

bahwa kedua orang itu merupakan bawahan yang

bisa dipercaya. Tak lama kemudian dia kembali lagi

pada Sena dan Sura.

"Baik kuampuni jiwa kalian! Sekarang ikut

bersama kami...!" perintah Putri Permata Ningrum

pada bekas abdinya.

"Terima kasih atas kemurahan hati tuan Putri!

Dengan penuh suka cita kami siap menjalankan

perintah yang mulia...!" ucap kedua orang itu

hampir bersamaan.

"Berapa orang kawan-kawanmu orang

tolol...!" tiba-tiba saja Buang Sengketa menyela.

"Mereka tinggal delapan orang lagi tuan...!"

jawab Sura dengan tubuh masih gemetaran.


"Anjing-anjing sialan itu memang perlu

digebuk. Suruh mereka keluar...!" bentak Pendekar

Hina Kelana mendadak menjadi bengis.

"Ka... kami takut Tuan...!" jawab Sena

semakin bertambah menggigil ketakutan.

"Goblok! Terhadap anjing dungu saja kalian

takut...!"

Pendekar Hina Kelana merasa sangat kesal

sekali. Tak lama kemudian dia sudah berseru

lantang:

"Perampok-perampok sial yang ada di dalam

rumah! Cepat keluar...!"

Dari sebuah pintu jendela, salah seorang di

antara mereka melongokkan kepalanya. Sebentar

kemudian telah lenyap kembali.

"Bangsat! Haruskah aku yang datang

menyeret kalian...!"

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja seorang

laki-laki berbadan pendek kurus melesat dari dalam

jendela diikuti oleh beberapa orang lainnya.

"Hemm... kiranya kunyuk-kunyuk macam ini

yang telah bikin onar di mana-mana?" kata Buang

Sengketa dingin.

Tanpa memperdulikan Buang Sengketa laki-

laki berbadan pendek kurus malah menyela:

"Kawan-kawan! Kiranya Sena dan Sura mau

membelok kembali pada majikannya! Sungguh

bangsat tak tahu diuntung, diberi kehidupan yang


enak kini kalian berdua telah pula menjadi

pengkhianat...!"

"Kakang Cindek! Bukankah gadis jelita itu

bekas anak raja yang sudah mampus itu! Benar-

benar pucuk dicinta ulam tiba...!" salah satu orang

lainnya yang berbadan gempal ikut menyela.

"Hak... hak... hak...! Kalau kita tangkap dia,

pasti kita akan mendapat hadiah yang sangat

besar...!"

Pendekar Hina Kelana yang sejak tadi

membiarkan tingkah mereka, kini nampaknya

sangat gusar.

"Manusia-manusia terkutuk! Kalian memang

lebih pantas mampus...!"

Bersamaan dengan kata-katanya, secepat

kilat pemuda itu kiblatkan tangan kanannya. Tak

ayal lagi Buang Sengketa telah lepaskan pukulan

andalam Empat Anasir Kehidupan Selarik sinar yang

hampir-hampir tak dapat dilihat dengan kasat mata

melesat, lalu menderu meluruk ke arah mereka.

Udara di sekitarnya terasa panas luar biasa.

Sampai-sampai Putri Permata Ningrum yang berdiri

di samping pemuda itu menjerit kaget.

Para perampok yang tak mengira bahwa

pemuda gembel yang mereka anggap tak memiliki

kepandaian apa-apa, nampak terkesiap. Namun

sebelum mereka menyadari apa sesungguhnya yang

terjadi pukulan yang dilancarkan Pendekar Hina

Kelana telah melabrak. Tubuh orang-orang itu


berpelantingan roboh, untuk kemudian tidak bangun

untuk selama-lamanya.

Dari sekian banyaknya anggota perampok,

hanya si pendek kurus dan yang berbadan gempal

saja yang dapat menyelamatkan diri. Untuk

beberapa saat lamanya, mereka nampak terkesima.

Perasaan kecut nampak membayang di wajah

mereka.

"Hahaha... hahaha...! Kroco-kroco sialan...

malang sekali nasib kalian hari ini. Sekali kalian

bertemu denganku, menyesal pun sudah tiada guna

melolonglah seperti anjing kalau kalian ingin aku

mengampuninya...!" Pendekar Hina Kelana

membentak dengan tatapan mata dingin.

Dua orang kepala perampok ini meskipun

sudah merasa jerih melihat sepak terjang

Pendekar Hina Kelana. Akan tetapi demi

menjaga gengsi, tak urung si Cindek tertawa

mencibir.

"Gembel kesasar! Meskipun kepandaianmu

setinggi gunung, tidak nantinya kami merengek

minta ampun padamu."

"Bagus! Manusia-manusia semacam kalian

memang lebih pantas mampus...!"

Belum lagi Buang Sengketa selesai de-ngan

kata-katanya, tiba-tiba kedua orang ini dengan

nekat telah menerjang terlebih dulu.

Sena dan Sura segera membawa majikannya

menyingkir ke tempat yang aman. Pertarungan seru


pun segera terjadi. Dalam waktu sekejap si Cindek

dan si Gempal telah keluarkan jurus-jurus yang

paling sangat mereka andalkan. Dengan gerakan-

gerakan yang sangat teratur dari dua arah kedua

orang ini menggempur Buang Sengketa. Sesuai

dengan pekerjaannya, kedua perampok ini telah

mempergunakan jurus Rampok Hutan Menyergap

Mangsa. Buang Sengketa memang pantas memuji

kehebatan jurus-jurus yang mereka ma-inkan.

Gempuran dahsyat yang bertubi-tubi, serangan

gencar yang selalu mengarah pada bagian-bagian

yang mematikan, semua itu bisa membuat lawan

menjadi kalang kabut. Akan tetapi agaknya hal itu

tidak berlaku bagi Pendekar Hina Kelana. Yang sejak

kecil telah mendapat gemblengan berbagai ilmu

kanuragan dari seorang kakek sakti si Bangkotan

Koreng Seribu.

Dengan mempergunakan jurus si Hina

Mengusir Lalat dia putar kedua tangannya untuk

melindungi diri. Tubuh si pemuda berkelebat cepat

kian ke mari. Hal ini benar-benar membuat kedua

lawannya menjadi kebingungan. Pertarungan sudah

memakan puluhan jurus, sejauh itu si Cindek dan si

Gempal masih belum berhasil memukul lawannya.

Usapkan sampai memukul sedang menyentuh

kulitnya pun belum dapat.

Mendadak Buang Sengketa segera rubah

permainan silatnya. Tubuhnya bergerak tak

beraturan, sekali tangannya memukul ke depan,


kaki terangkat ke atas bagai seorang yang

terpeleset kulit pisang, di lain saat terhuyung-

huyung bagai pemabukan, meskipun begitu dengan

mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk ini. Tubuh

si pemuda itu semakin terasa sulit untuk mereka

sergap.

Agaknya Si Cindek dan si Gempal sudah tak

dapat lagi menguasai emosi. Kedua orang itu segera

cabut senjatanya yang berupa sebuah golok besar

dan sebilah pedang berwarna kuning.

Dengan senjata ini mereka mencecar habis-

habisan Pendekar Hina Kelana. Pertarungan menjadi

semakin mendebarkan, apa lagi pedang dan golok di

tangan lawannya berkelebat menyambar-nyambar

ke segala arah. Mau tak mau pendekar dari negeri

Bunian ini segera merubah jurus-jurus silatnya

dengan Membendung Gelombang Menimba

Samudra. Dari gerakan pelan seperti orang

pemabukan kini berubah menjadi cepat luar biasa.

Tubuhnya berkelebat bahkan terkadang lenyap dari

pandangan lawannya.

Hal ini sudah barang tentu kembali membuat

bingung lawannya, tak lama kemudian sambil terus

melancarkan serangan si Gempal menyela:

"Manusia siluman! Kau benar-benar seorang

pengecut, berani bertarung tapi hanya main kucing-

kucingan...!" kata si Gempal marah.

"Jligk!"


Tanpa menimbulkan suara, kini pemuda itu

sudah berdiri lagi di hadapan mereka, "Manusia

tiada guna! Supaya kalian tidak mati penasaran,

sekarang aku tak akan mengelak lagi. Kuberi

kesempatan pada kalian dan pergunakan dengan

baik. Tunggu apa lagi, cepat serang…!" bentak

Pendekar Hina Kelana, tanpa maksud mengelakkan

serangan lawannya.

Melihat kenekatan Buang Sengketa, pucatlah

wajah Putri Permata Ningrum dan juga kedua

abdinya. Mereka berfikir selain senjata-senjata di

tangan kepala perampok itu sangat tajam, bukan

tidak mungkin senjata itu juga sangat berbisa.

Sebaliknya si Cindek dan si Gempal ini beranggapan

dengan sekali tusuk tamatlah riwayat pemuda

gembel di depanny a. Semua orang yang hadir di

tempat itu nampak memejamkan matanya, begitu si

Cindek dan si Gempal membabatkan pedangnya ke

seluruh bagian tubuh Pendekar Hina Kelana. Dengan

diiringi teriakan dahsyat, ker dua orang itu secara

hampir bersamaan membabatkan pedang dan

goloknya.

"Ciaaat! Haiiit!"

"Crak! Crak!"

Bagai membabat sebuah batu gunung senjata

mereka menghantam tubuh si pemuda. Tapi

sedikitpun tubuh yang tertebas pedang maupun

golok, tak terluka. Hanya pakaian si pemuda

nampak terobek di beberapa bagian. Si Cindek dan


si Gempal terkejut bukan alang kepalang. Tanpa

sadar mereka berseru:

"Ilmu Setan...!"

Buang Sengketa tergelak-gelak.

Namun beberapa saat kemudian tanpa

terduga, kedua orang itu segera berbalik langkah

dan bermaksud langkah seribu. Pemuda ini sudah

tidak kasih kesempatan lagi.

Selanjutnya dengan mengerahkan sepertiga

bagian tenaganya. Dia pukulkan kedua tangannya

ke depan.

"Mampuslah kalian...!" Dengusnya. Selarik

sinar Ultra Violet berkelebat cepat untuk kemudian

melabrak tubuh lawan-lawannjra.

"Blaar!"

Tubuh kedua orang itu terpelanting puluhan

tombak, tanpa sempat menjerit atau melolong,

mereka terkapar dengan nyawa melayang.

Buang Sengketa menarik nafas pendek,

sementara Putri Permata Ningrum nampak berlari-

lari menghampirinya.

"Kau tak apa-apa Kelana...?" tanya Permata

Ningrum kuatir. Buang Sengketa gelengkan kepala,

lalu katanya: "Mari kita pergi dari sini...!"

Dengan mempergunakan kuda milik

perampok, keempat orang itu berlalu meninggalkan

kota Palang Sejajar.

* * *


DELAPAN


Matahari sore sudah tenggelam di kaki bukit,

di langit lepas awan hitam nampak semakin

menebal. Tak lama kemudian angin dari arah Barat

Daya terasa berhembus kencang. Bersamaan

dengan bertiupnya angin kencang, di atas langit

mendung sudah mulai meneteskan air. Suasana di

pinggiran hutan seketika berobah gelap gulita. Tiada

rumah penduduk di sekitar hutan itu. Pendekar Hina

Kelana menghentikan kuda, pandangan matanya

menoleh kanan kiri.

"Alamat mandi hujanlah kita malam ini?"

gumamnya.

Tiba-tiba Sena yang berada paling belakang

berkata pelan.

"Tuan... ketika kami melewati hutan ini

kemarin. Kami lihat tidak begitu jauh di depan sana

ada sebuah kuil yang kosong. Siapa tahu masih bisa

kita manfaatkan...!"

"Hemm... mengapa tidak bilang sejak tadi...!"

Berkata begitu Buang Sengketa segera

menarik tali kekang kudanya. Sebentar kemudian

mereka sudah bergerak kembali. Memang benar

seperti apa yang dikatakan oleh Sena, setelah

beberapa saat mereka memacu kuda. Di pinggiran

hutan itu terdapat sebuah kuil yang memang sudah


kosong. Segera setelah menambatkan kudanya,

mereka bergegas memasuki kuil itu. Baru beberapa

saat lamanya mereka berada dalam kuil. Hujan

deraspun turun.

Sena dan Sura segera membersihkan kuil itu

dari kotoran dan debu. Tak lama kemudian setelah

melewatkan makan malam seadanya Buang

Sengketa nampak berbincang-bincang dengan Putri

Permata Ningrum.

Sementara Sena dan Sura nampak berjaga-

jaga di ruangan depan. Terkadang kesunyian malam

dipecahkan oleh suara kedua abdi yang masih

sangat setia pada putri junjungan mereka.

Pembicaraan mereka berkisar tentang kehebatan si

pemuda yang telah menyelamatkan mereka bertiga.

Pada saat yang sama di ruangan dalam, tanpa

mengenal bosan Putri Permata Ningrum tak henti-

hentinya memandangi Pendekar Hina Kelana yang

semakin membuatnya kagum dan menarik hatinya.

"Sudah malam Ning...!" ucap Pendekar Negeri

Bunian itu menyebut panggilan akrab Putri Permata

Ningrum.

"Aku tidur di sini dan engkau tidur di ruangan

yang berpintu itu...!"

Putri Permata Ningrum tak menyahut,

sepasang bola matanya yang indah memandang

sendu pada Pendekar Hina Kelana.

Sebagai orang yang sudah dewasa sedikit

banyaknya Buang Sengketa tahu kalau Putri


Permata Ningrum sudah jatuh hati padanya. Akan

tetapi sebagai seorang pengembara dan

menghormati lawan jenisnya dia tak ingin memberi

harapan apapun pada putri Kedatuan Khalayan ini,

apalagi mengingat dia hanya pemuda biasa yang

tidak memiliki orang tua pula. Si Hina Kelana yang

papa.

"Ningrum...!" panggilnya lagi.

Putri Permata Ningrum mendesah perlahan,

ada sesuatu yang ingin dikatakannya tapi akhirnya

urung.

"Jangan kau fikirkan masa lalumu! Hal itu

malah akan membuatmu sedih!" kata Pendekar Hina

Kelana berpura-pura tolol.

Putri Permata Ningrum menggeleng pelan.

"Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat,

andai nantinya Kedatuan Khalayan kembali ke

dalam pangkuanku...!" ujar Putri Permata Ningrum

berusaha menutupi perasaannya.

Buang Sengketa kerutkan kening, lalu

menoleh pada Permata Ningrum untuk beberapa

saat lamanya.

"Hmm... kau ini lucu! Walaupun kau seorang

wanita tapi sudah menjadi kewajibanmu untuk

meneruskan tahta pemerintahan." Pendekar Hina

Kelana menyela.

"Justru itu yang mungkin tak mampu untuk

kulakukan! Aku tak becus apa-apa." kata-nya polos.


Buang Sengketa garuk-garuk kepalanya yang

tak gatal. Sebab sesungguhnya dia sendiri pun tak

tahu dengan tetek bengek yang berhubungan

dengan pemerintahan.

"Kalau begitu kau harus mencari seorang

putra mahkota yang mengerti dalam urusan

pemerintahan...!" tanpa sadar Pendekar Hina Kelana

berucap. Dan kesempatan itulah yang sesungguhnya

sangat dinanti-nantikan oleh Putri Permata Ningrum

untuk memulai pembicaraan.

"Itu mungkin saja terjadi! Tapi persoalannya

tak semudah seperti apa yang kau katakan...!"

"Maksudmu...?!" tanya Buang Sengketa tak

mengerti.

Putri Permata Ningrum terdiam untuk

beberapa saat lamanya. Kemudian dia menyela:

"Pengalaman yang pernah menimpa

keluargaku terlalu sulit untuk kulupakan, aku tak

ingin peristiwa buruk itu terulang kembali dalam

hidupku. Untuk itu aku tidak melulu berpatokan.

bahwa calon suamiku itu mesti seorang keturunan

raja. Siapapun orangnya baru pantas menjadi

suamiku apabila orang itu memiliki kepandaian

seperti engkau...!" Aku Putri Permata Ningrum tanpa

malu-malu.

Pendekar Hina Kelana tersenyum kecut.

Agaknya dia merasa geli dengan keganjilan watak

Putri Khalayan ini. Bayangkan, cukup banyak

manusia di kolong langit ini selalu menilai seseorang


dengan pangkat dan jabatan atau dengan kaya

miskinnya. Akan tetapi Putri Permata Ningrum

malah bersikap sebaliknya.

"Kau kok malah mentertawaiku seperti seekor

monyet begitu...!" Putri Permata Ningrum

mengajuk.

"Engkau sungguh aneh sekali...!"

"Apanya yang aneh!"

"Banyak orang di dunia ini dalam memilih

jodoh selalu memandang tinggi rendahnya derajat

seseorang, tetapi kau...!"

Putri Permata Ningrum makin cemberut.

"Peduli apa! Itu urusan mereka! Toh aku sedang

membicarakan diriku sendiri”.

Melihat gelagat yang kurang mengenakkan,

Buang Sengketa segera mengalah.

"Baiklah... baiklah! Bicara padamu aku

memang tak pernah menang!"

"Habisnya kau memang tolol..!"

"Aku memang tolol! Tapi yang terpenting

bagiku, aku butuh istirahat, perjalanan ke Khalayan

masih satu hari lagi! Engkau boleh tidur di kamar

yang tertutup itu!"

Nampaknya Putri Permata Ningrum menurut,

tak lama kemudian dia sudah berada dalam kamar

lain yang terdapat di dalam kuil itu.

Buang Sengketa segera mematikan lampu

minyak yang terletak tidak begitu jauh darinya.


Sebentar saja Pendekar dari Negeri Bunian ini

sudah tertidur pulas. Pada saat itu Sena dan Sura

yang berjaga-jaga di ruangan depan masih

terdengar berbicara sesamanya.

Malam terasa semakin sunyi.

Sementara dalam ruangan lain Putri Permata

Ningrum nampak gelisah tidak dapat memejamkan

mata. Fikirannya kacau,. entah mengapa dia selalu

teringat pada Pendekar Hina Kelana yang sudah

tertidur di ruangan tengah. Pemuda perkasa itu

benar-benar telah meluluhkan hatinya. Andai saja

Kedatuan Khalayan memiliki orang berkepandaian

tinggi seperti Pendekar Hina Kelana, tentu setiap

saat hatinya tidak tercekam rasa was-was lebih dari

itu peristiwa mengerikan tidak akan pernah terjadi.

Fikirnya.

Fikiran seperti itu semakin membuat hatinya

resah, kemudian dia telah melangkahkan kakinya

menuju ruang tengah. Agaknya Buang Sengketa

yang sudah tertidur itu sudah tak menyadari kalau

Putri Permata Ningrum sudah kembali ke ruangan

itu.

Permata Ningrum segera duduk di sisi

Pendekar Hina Kelana dengan penerangan ala

kadarnya itu dipandanginya wajah tuan penolongnya

tanpa mengenal rasa puas. Wajah si pemuda

meskipun agak kotor, namun sedikit pun tak

mengurangi ketampanannya. Tubuhnya yang kekar

berotot, tidak sedikit pun menyiratkan sebuah


kesombongan. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak

lebih keras, wajahnya yang jelita itu agak memerah.

Lalu dikecupnya kening Pendekar Hina Kelana,

kemudian bibirnya. Merasakan ada sesuatu yang

menempel pada wajahnya. Pendekar Hina Kelana

menggeliat lalu terjaga dari tidurnya.

Pemuda lugu ini sangat terkejut begitu

melihat Putri Permata Ningrum sudah berada di

sisinya, bahkan wajah mereka sangat berdekatan

sekali.

"Putri Ningrum apa yang telah kau lakukan!"

tegurnya dengan suara lirih.

Wajah Putri Permata Ningrum tertunduk dan

memerah.

"Aku tak berani tidur di sana sendirian

Kelana!" kilahnya.

"Bukankah ada penjaga di luar dan aku

menjaga di sini!" kata Buang Sengketa pilon.

"Hi... hi… hi...! Sedari tadi engkau sudah

mendengkur, kau bilang menjagaku...!"

Setelah berkata begitu, tiba-tiba Putri

Permata Ningrum memeluk Pendekar Hina Kelana

erat-erat. Pemuda ini nampak kelabakan. Buru-buru

dia menyela:

"Putri apa-apaan ini...!"

"Kelana! A... aku suka padamu, aku

mencintaimu...!" ucap Permata Ningrum terbata.

"Hei... tidak kau lihatkah siapa aku ini...?"


"Aku tahu, kau seorang pengelana yang telah

menjadi tuan penolongku...?" kata Putri Permata

Ningrum sambil membenamkan wajahnya di dada

Pendekar Hina Kelana. Gadis Putri raja itu kini

menangis.

"Ning... kau tak boleh bicara begitu! Kau

seorang calon raja, aku ini hanya manusia Hina...!"

Buang Sengketa menjadi serba salah.

"Aku tidak perduli Kelana!" sela Permata

Ningrum. "Apakah kau tidak menaruh perasaan apa-

apa padaku...?"

Buang Sengketa terdiam.

"Kalau kau tidak mencintaiku lebih baik tak

usah menolongku...!" Putri Permata Ningrum

mengajuk.

Didesak seperti itu, tiba-tiba Buang Sengketa

mendapat akal.

"Putri... tidurlah, malam sudah larut! Lagipula

kalau sampai didengar abdimu rasanya tidak

baik...!" kata Buang Sengketa pelan.

"Jawab dulu pertanyaanku...!"

"Baiklah! Kalau kau mencintai aku, aku pun

mencintaimu...!" jawab Buang Sengketa konyol.

"Benarkah... benarkah kanda Kelana?" Putri

Permata Ningrum girangnya nggak karuan. Buang

Sengketa mengangguk sambil menahan geli.

"Sekarang engkau harus tidur! Biar aku yang

berjaga-jaga!" ucap Pendekar Hina Kelana. Setelah

mencium kening si gadis, Pendekar Hina Kelana


segera melangkah keluar. Tak lama kemudian

suasana sepi kembali menyelimuti kuil itu.

* * *


SEMBILAN



"Hampir dua hari dua malam! Hh. Kemana

saja perginya si Cidek dan si Gempal? Jangan-

jangan malah ngerampok anak bini orang. Ini

benar-benar keterlaluan. Kalau saja tugas yang

kuberikan pada tidak membawa hasil, orang-orang

itu harus mendapat hukuman yang setimpal dariku!"

Laki-laki bungkuk dari Pulau Berhala itu agaknya su-

dah tak sabar menunggu kepulangan Orang-orang

suruhannya.

Dari jendela rumah yang berlapis emas, si

Bungkuk Ludra tongolkan kepala, clingak clinguk

bagai monyet tua yang ditinggalkan kerabatnya.

Sampai saat itu masih belum ada tanda-tanda

kehadiran si Cindek dan si Gempal. Si Bungkuk

Ludra yang memang sudah sangat kesal banting-

banting kakinya yang cuma sebesar kaki sapi.

Baru saja hendak melangkah ke pintu depan,

tiba-tiba dia mendengar suara seseorang yang

sangat di kenalnya.

"Juragan... juragan! Oh celaka juragan...!"

Dengan langkah tergesa-gesa, si Bungkuk

Ludra membuka pintu. Laki-laki setengah baya itu

nampak terperangah begitu melihat Sena dengan

langkah terhuyung-huyung menghampirinya.

Sebelum dia sampai di depan dedengkot Pulau


Berhala dia sudah jatuh terjerembab tanpa dapat

berkutik lagi.

"Hahahah... hahaha! Bongkok unta yang

malang, hari ini berakhirlah sudah

petualanganmu...!"

Bersamaan dengan ambruknya Sena, telah

hadir seorang pemuda berpakaian merah darah. Tak

asing lagi, dialah Pendekar Hina Kelana. Sesaat

lamanya si Bungkuk Ludra menatap tajam pada si

pemuda.

"Bangsat Hina, kaukah yang telah membunuh

Sena?" tanya si Bungkuk Ludra geram.

"Bukan cacing tiada guna itu saja yang telah

kubunuh! Bahkan semua orang-orangmu sudah

kukirim ke Neraka semuanya...!"

"Bangsat gila! Apa alasanmu hingga kau

berani membuat urusan dengan majikan Pulau

Berhala...?!" gertak si Bungkuk Ludra nampak-

marah.

"Dosamu sudah melebihi takaran! Masihkah

kau mau mungkir...?"

"Jahanam! Melihat tampangmu saja baru kali

ini, kiranya kau cuma ingin mencari gara-gara saja

rupanya...!"

"Tua bangka sialan. Catat dalam otakmu,

pekerjaanmu merampoki harta benda penduduk itu

saja sudah merupakan dosa yang tak akan

kuampuni belum lagi pemberontakan yang telah


kalian lakukan. Dewa sekalipun akan memenggal

kepalamu...!"

"Jahanam! Kiranya kau sengaja mencari

mampus. Rupanya kau belum tahu dengan siapa

kau berhadapan...?" bentak si Bungkuk Ludra.

Pendekar Hina Kelana tersenyum mengejek:

"Terhadap kembratnya tiga iblis cacingan dari

Pulau Berhala, siapa takut!"

Terkejutlah si Bungkuk Ludra! Tak disangka

kiranya, pemuda penyandang periuk dan berpakaian

gembel ini mengetahui pula asal usulnya. Begitu pun

dia masih membentak:

"Bagus! Kiranya kau sudah tahu siapa aku,

Sekarang berlututlah minta ampun, siapa tahu aku

cuma ingin mengambil sebelah tanganmu saja...!"

"Punggung unta goblook! Apakah kembratmu

si gila perempuan belum memberi kabar padamu

bahwa sebelah tangannya telah kuambil...?" ejek

Buang Sengketa.

Si Bungkuk Ludra bagai tersengat ratusan

kala terlonjak tubuhnya. Dia tidak percaya kalau

Karpala sampai mengalami nasib apes seperti itu.

Seperti diketahui Karpala sesungguhnya merupakan

orang kedua dalam persekutuan Tiga Iblis Pulau

Berhala. Berkepandaian sangat tinggi dan pada

saat-saat tertentu dia bisa berubah wujud menjadi

beruang. Dan pemuda gembel yang masih sangat

hijau ini mengaku bahwa dia telah memotong sebe-

lah tangan kawannya. Siapa mau percaya pada


ucapan pemuda yang agaknya kurang waras. Laki-

laki bungkuk ini kemudian memandang sinis, dan

tertawa tergelak-gelak:

"Bocah edan! Karpala bukanlah orang

sembarangan yang bisa dikerjai oleh bocah ingusan

sepertimu. Jangan coba-coba mengelabuhi aku...!"

Buang Sengketa mendengus. Agaknya dia

sudah begitu muak malihat si Bungkuk Ludra ini.

"Bungkuk keparat! Bersiap-siaplah, aku akan

segera mengirimmu ke Neraka...!"

"Mampuslah...!" teriak Pendekar Hina Kelana

langsung kirimkan satu pukulan dahsyat pada si

Bungkuk Ludra. Namun agaknya dedengkot dari

Pulau Berhala ini sudah memperhitungkan

kemungkinan ini. Dengan gerakan yang sangat gesit

si Bungkuk Ludra berkelit ke samping, kemudian

kirimkan satu totokan pada bagian yang sangat

mematikan. Jemari tangan si Bungkuk terpentang

bagaikan sebuah cakar burung elang, terus

meluncur laksana kilat. Meskipun serangan pertama

yang dilancarkan oleh Pendekar Hina Kelana dapat

dielakkan dengan baik oleh lawannya. Namun

serangan berikutnya kembali meluruk.

Apabila tubuh si pemuda telah berkelebat, jika

mulutnya telah mengeluarkan suara mendesis

seperti seekor ular Piton yang sedang marah,

dengan nekad dia langsung memapaki jemari

tangan lawan yang bermaksud melakukan satu

totokan.


"Plak!"

Dua kekuatan berisi tenaga dalam bertemu, si

Bungkuk Ludra menjerit kesakitan. Tubuhnya

tersurut beberapa langkah ke belakang. Sementara

Buang Sengketa nampak tergetar, tangan terasa

kesemutan. Dalam hati dia memuji tenaga dalam

lawannya yang sudah sangat sempurna sekali. Tapi

begitu menoleh dan memandang pada tangan si

Bungkuk Ludra, mendadak dia tertawa panjang-

panjang. Kiranya tangan si Bungkuk Ludra telah

terpuntir ke belakang. Sehingga sepintas lalu

memberi kesan lucu.

Dedengkot Pulau Berhala ini nampak

pencongkan bibir menahan rasa sakit. Dengan cepat

dia berusaha meluruskan tangan kirinya yang

terkilir, namun usaha itu agaknya tidak membawa

hasil, sebaliknya malah menjerit-jerit kesakitan.

"Ha... ha... ha...!" Pendekar Hina Kelana

tergelak-gelak kembali. "Manusia sesat, setelah

kupelintir tanganmu tak lama lagi menyusul

kepalamu pula...!"

Si Bungkuk Ludra menyeringai. Kedua

bibirnya kemudian terkatup rapat, setelah itu

dengan pandangan penuh kebencian, dedengkot

dari Pulau Berhala ini menggeram:

"Pemuda hina! Aku belum kalah, jangan

sombong dulu...."


"Aku sombong katamu! Kau salah besar

punggung unta. Dari jauh aku datang ke mari justru

ingin melenyapkan kesombonganmu."

"Keparat pendusta! Kau kira aku bisa

dikelabuhi oleh orang gila semacammu...."

Pendekar Hina Kelana keluarkan suara

mengekeh. Dalam hatinya mencaci maki habis-

babisan.

Tak lama kemudian si Bungkuk sudah

keluarkan sebuah tongkat yang sesungguhnya

merupakan sebuah senjata yang sangat

dibanggakan oleh si Bungkuk. Begitu Buang

Sengketa mengetahui si Bungkuk keluarkan tongkat

yang sudah sangat jelek rupanya. Pendekar Hina

Kelana menyela.

"Hemm... hanya sebuah tongkat pemukul

anjing saja kau pamerkan di depan hidungku...!"

kata Buang Sengketa sambil tertawa mengejek.

"Benar... karena kau yang menjadi anjingnya

maka bersiap-siaplah untuk kugebuk...."

Usai berkata begitu, dengan tongkat di

tangannya si Bungkuk Ludra langsung menyerbu.

Tongkat di tangan si Bungkuk berke-lebat

menyambar kian ke mari. Sementara itu dengan tak

kalah gesitnya Buang Sengketa segera gunakan

jurus si Hina Mengusir Lalat.

Sebentar saja tubuh Buang Sengketa nampak

lenyap terbungkus berkelebatnya kedua tangan

yang berputar cepat laksana sebuah baling-baling.


Pertarungan sudah mencapai puluhan jurus,

keringat mulai menetes di tubuh si Bungkuk,

sebentar kemudian tubuhnya telah basah oleh

keringatnya sendiri. Sementara Buang Sengketa

hanya sekali saja menyeka peluh yang terkadang

meleleh di pipinya.

Sebentar kemudian si Bungkuk Ludra

mencelat beberapa tombak, tangan kiri menyilang di

depan dada. Tangan kanan dengan memegangi

tongkat terangkat tinggi-tinggi ke atas.

Pendekar Hina Kelana tak tahu apa yang bakal

dilakukah oleh lawannya. Tapi walau bagaimana dia

sudah dapat menduga bahwa si Bungkuk Ludra

setidak-tidaknya bakal melancarkan satu pukulan

yang sangat dahsyat. Dengan cepat dia segera

mempersiapkan segala kemungkinan yang bakal

terjadi.

Memang benar seperti apa yang diduga oleh

Pendekar Hina Kelana. Bahwa sesungguhnya pada

saat itu si Bungkuk Ludra sedang bersiap-siap untuk

melancarkan sebuah pukulan jarak jauh yang diberi

nama Berhala Mencabut Nyawa, yang intinya

berpangkal pada sumber suara. Kalau dihitung-

hitung kesaktian itu hampir tidak jauh beda dengan

Ilmu Pemenggal Roh yang dimiliki oleh Buang

Sengketa.

Beberapa saat kemudian diiringi dengan

jeritan tinggi melengking yang datangnya sambung


menyambung tiada henti. Si Bungkuk Ludra

lancarkan serangan ganas.

Daun-daun beterbangan, si Bungkuk Ludra

terus lipat gandakan suaranya. Semakin lama

semakin memekakkan. Buang Sengketa yang sudah

sejak semula telah bersiap-siap agaknya mulai

terpengaruh. Gerakan-gerak-an silatnya nampak

kacau. Sementara itu Putri Permata Ningrum dan

Sura yang bersembunyi tidak begitu jauh dari

tempat itu sebagaimana telah diajarkan oleh Buang

Sengketa segera menyumbat telinga mereka dengan

dedaunan.

Kini si Bungkuk Ludra benar-benar merasa di

atas angin, beberapa kali tongkat di tangannya

sempat menggebuk tubuh lawannya. Buang

Sengketa mengeluh panjang pendek. Sejauh itu

nampaknya Pendekar Hina Kelana masih memberi

angin pada lawannya yang terus mencecarkan tanpa

ampun.

Puluhan jurus sudah terlewati, agaknya

Pendekar Hina Kelana sudah cukup memberi waktu

pada lawannya, satu saat kemudian dengan diawali

suara mendesis bagai seekor ular Piton yang sedang

marah.

"Heiiiik!"

Sebuah ilmu kesaktian Berhala Mencabut

Nyawa bertemu dengan Ilmu Sakti Pemenggal Roh.

Bumi seakan runtuh. Rumah dan pohon-pohon yang

berada di sekitarnya nampak bergetar hebat.


Sementara itu tubuh si Bungkuk Ludra amblas

ke dalam tanah sampai sebatas pinggang. Darah

kental kehitam-hitaman meleleh dari kuping, hidung

dan mulut si Bungkuk Ludra.

Buang Sengketa sendiri kakinya sampai

amblas beberapa senti. Dia segera tarik kakinya

yang sempat nyungsep ke dalam tanah, begitu sinis

dipandanginya si Bungkuk Ludra yang masih

berusaha keluar dari timbunan tanah yang

menghimpit bagian pinggangnya.

Tak lama kemudian dedengkot dari Pulau

Berhala yang gila harta ini pun telah keluar dari

tempatnya. Segera dia himpun hawa murni,

sebentar kemudian wajahnya yang pucat telah

kembali seperti sediakala. Si Bungkuk Ludra

tersenyum kecut, lalu menyela:

"Budak Hina! Ada hubungan apakah kau

dengan tokoh sakti yang pernah hidup ratusan

tahun yang lalu itu...?"

"Agaknya nyalimu mulai ciut...!" Pendekar

Hina Kelana mencibir.

"Kau memang hebat orang muda! Mati pun

aku di tanganmu aku puas. Namun jawablah dulu

pertanyaanku...!" bentak si Bungkuk Ludra.

* * *


SEPULUH


Pendekar Negeri Bunian ini kembali terkekeh,

kemudian keluarkan suara lantang.

"Nama guruku tidak boleh disebut oleh

sembarangan orang, apalagi pada manusia budak

iblis sepertimu...!"

"Bangsat! Kau kira kehebatan si Bangkotan

Koreng Seribu dapat membuatku takut

menghadapimu?"

Buang Sengketa nampak terkejut sekali

begitu si Bungkuk Ludra menyebut-nyebut nama

gurunya. Padahal wilayah Khalayan merupakan

sebuah daerah yang terletak jauh di tanah air

bagian Timur. Sedemikian hebatnya sepak terjang

gurunya yang pemurung itu sehingga nama

besarnya dikenal di mana-mana. Yang lebih

membuat Buang Sengketa terheran-heran adalah

pengetahuan si Bungkuk Ludra yang begitu luas.

Sampai-sampai dia bisa mengenali ilmu Sakti

Pemenggal Roh dapat dia kenali.

Buang Sengketa tidak dapat berfikir panjang

karena beberapa saat kemudian dedengkot dari

Pulau Berhala ini sudah menyela kembali.

"Bocah gila Teluk Belanga, meskipun engkau

tidak mengakuinya itu tak menjadi soal. Agaknya

aku perlu memaksamu untuk mengeluarkan cambuk


Gelap Sayuto yang pernah menggegerkan dunia

itu...."

Lagi-lagi Buang Sengketa di buat terperangah.

"Bagaimana orang ini bisa tahu banyak tentang

gurunya?"

"Bagus, kau telah tahu segala-galanya.

Sebentar lagi kau akan segera tahu bagaimana

hebatnya cambuk Gelap Sayuto!" Pendekar Hina

Kelana mendengus.

"Ha... ha... ha...!"

Si Bungkuk Ludra tertawa panjang-panjang.

"Dulu persekutuan manusia iblis milik kakek

buyutku telah diobrak abrik oleh setan keparat itu.

Bahkan dia membunuhi kakek dan nenekku pula!

Bertahun-tahun aku mencarinya untuk membalas

dendam tapi tidak juga berhasil. Karena kau

muridnya manusia sadis itu, maka kau harus

membayar lunas semua hutang gurumu berikut

bunganya...!"

"Hmmm! Besar sekali nyalimu. Agaknya hari

ini aku pun harus menyelesaikan pekerjaan guruku

yang masih belum sempurna. "Mampuslah!"

Si Bungkuk Ludra kembali bergerak. Kini

setelah segala-galanya menjadi jelas dedengkot dari

Pulau Berhala ini segera keluarkan segala

kemampuannya. Api dendam di hati si Bungkuk

Ludra berkobar-kobar kini, kenyataan itu sudah

barang tentu membangkitkan semangatnya yang

hampir saja padam.


Buang Sengketa pun tak ingin bertindak

setengah-setengah. Tidak ada pilihan lain lagi

baginya kecuali segera menyudahi pertarungan

dalam waktu sesingkat mungkin.

Karena masing-masing keluarkan jurus-jurus

yang paling mereka andalkan, maka pertarungan

yang sedang berlangsungpun benar-benar sangat

menegangkan. Berpuluh-puluh jurus mereka saling

lancarkan serangan-serangan ganas. Sejauh itu

masih belum ada tanda siapa yang bakal menjadi

pemenang dalam pertarungan itu.

Beberapa saat kemudian Buang Sengketa

segera merubah jurus-jurus silatnya. Tubuhnya

berkelebat lenyap ditelan bayang-bayangnya

sendiri. Tak pelak lagi Buang Sengketa kiranya telah

pergunakan jurus si Jadah Terbuang. Namun pada

saat itu lebih cepat lagi si Bungkuk Ludra telah

kirimkan pukulan Berhala Gila Menggapai Bulan.

Dari tangan si Bungkuk Ludra menderu selarik sinar

berwarna biru dan menebarkan hawa dingin meluruk

ke arah Pendekar Hina Kelana.

Terkesiaplah pemuda ini, sebelum gulungan-

gulungan sinar warna biru itu benar-benar melumat

tubuhnya. Buang Sengketa kiblatkan tangannya.

Empat Anasir Kehidupan tak salah lagi! Selarik sinar

Ultra Violet melesat lebih cepat lagi. "Blaar!"

Tubuh Pendekar Hina Kelana terpental

beberapa tombak, dari celah bibirnya meleleh pula

darah segar. Buang Sengketa tarik nafas pendek.


Sementara itu si Bungkuk Ludra hanya terhuyung

beberapa tindak ke belakang, tubuh tergoyang-

goyang sedikit, tapi segera tersenyum.

"Empat Anasir Kehidupan benar-benar ilmu

pukulan yang hebat! Tetapi ternyata tidak ada apa-

apanya. Barangkali cambuk Gelap Sayuto yang

banyak digembar-gemborkan orang itu juga cuma

merupakan berita bohong belaka!"

Si Bungkuk Ludra tersenyum mengejek.

"Manusia sombong! Kau benar-benar akan

sangat menyesal...!" kata Pendekar Hina Kelana

mengigit bibir.

"Hak... hak... hak...! Bocah sinting murid-nya

orang gila, kalau kau punya seribu senjata cepat-

cepatlah kau cabut! Kalau tidak, kau benar-benar

akan menyesal sampai ke liang kubur...!"

"Bagus! Sebuah kesombongan dan satu

kejahatan hari ini memang benar-benar harus

kulenyapkan dari kolong langit ini...."

Dengan diawali satu bentakan tinggi

melengking kini Buang Sengketa telah melabrak

terlebih dahulu.

Dedengkot dari Pulau Berhala menggerung

bagai harimau terluka, dengan tongkat di tangan

yang menyambar-nyambar ke segala arah. Agaknya

Buang Sengketa sudah tak ingin lagi memberi

kesempatan pada lawannya. Kini kembali terdengar

jeritan melengking disertai bunyi mendesis bagai


Ular Piton yang sedang marah, tubuhnya berkelebat,

sebentar kemudian:

"Haiiit!"

"Ctar! Ctaar! Ctaar!"

Seusai dengan lecutan pecutnya ke udara,

menderulah gelombang angin topan yang ma-ha

dahsyat. Batu dan pasir berterbangan, sebentar saja

langit menjadi gelap. Suasana di sekitar tempat itu

benar-benar telah berubah gelap gulita.

Terkesiaplah si Bungkuk Ludra demi menghadapi

keanehan ini. Tiba-tiba hatinya menjadi bimbang,

akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Segera dia

mendengar suara lawannya menyela:

"Bungkuk keparat! Kini kau benar-benar telah

menyaksikan apa yang kau minta. Seperti janjiku,

aku memang tidak akan mengampunimu...!"

Dalam keadaan gelap gulita bahkan batang

hidung sendiri pun tak tampak, kata-kata Buang

Sengketa yang bernada mengancam itu benar-benar

membuat nyali si Bungkuk Ludra menciut.

Tiba-tiba, dedengkot Pulau Berhala itu melihat

sinar merah tak jauh di depannya, sinar itu berkilau-

kilau menyinari sebagian wajah Pendekar Hina

Kelana yang nampak memandang dingin padanya.

"Golok Buntung!"

Si bungkuk Ludra berseru kaget. Kini dia

benar-benar telah menyaksikannya sendiri tentang

apa yang sering didengarnya dari orang-orang yang


lalu lalang tentang sepak terjang seorang pemuda

dengan pusaka golok Buntungnya yang dahsyat itu.

"Jadi kaulah orangnya Pendekar Golok

Buntung itu...!" tanya si Bungkuk Ludra undur

beberapa langkah.

Buang Sengketa memandang sinis.

"Semuanya sudah terlambat Ludra! Kau sudah

terlanjur mengetahui segala-galanya...!"

"Bersiap-siaplah untuk mampus."

Tubuh Buang Sengketa berkelebat, Pusaka

Golok Buntung di tangannya menderu sinar merah

menyala berkiblat-kiblat laksana meteor. Keadaan

yang gelap gulita karena pengaruh cambuk Gelap

Sayuto ditambah lagi dengan rasa dingin yang

sangat luar biasa karena pengaruh pusaka golok

Buntung. membuat si Bungkuk Ludra tidak begitu

leluasa dalam bergerak.

Tubuh Buang Sengketa terus berkelebat.

"Cras! Cras!"

"Arrghk!"

Golok di tangan Pendekar Hina Kelana

merobek bagian lambung dan dada si Bungkuk

Ludra. Dedengkot dari Pulau Berhala itu menjerit

setinggi langit. Untuk kemudian ambruk ke bumi

dengan tubuh bersimbah darah.

Buang Sengketa segera simpan kedua

senjatanya. Bersamaan dengan itu kegelapan di

sekitarnya secara perlahan mulai sirna dan kembali

pada keadaan semula.


Buang Sengketa melirik pada tubuh Sena

yang masih tergeletak di tempatnya.

"Sena! Apakah kau mau sampai tua tetap

berpura-pura mati seperti itu?" Buang Sengketa

menyela.

Cepat-cepat Sena bangun dari tempatnya,

kemudian dengan perasaan penuh kagum.

"Tuan Pendekar benar-benar hebat! Bahkan

lebih hebat dari yang hamba duga sebelumnya...!"

ujar Sena lalu menjura hormat.

"Panggil Putri Permata Ningrum! Kita akan

segera meninggalkan tempat ini secepatnya!"

perintah Pendekar Hina Kelana.

Begitu Sena hendak melangkah, dia melihat

Putri Permata Ningrum dan Sura telah menghampiri

mereka.

Dengan pandangan mata berseri-seri Putri

Permata Ningrum menghampiri Pendekar dari Negeri

Bunian ini. Andai saja di tempat itu tidak ada orang

lain, sudah barang tentu Putri Permata Ningrum

langsung memeluk Pendekar yang telah meluluhkan

hatinya itu.

"Kau benar-benar hebat, Kelana...!" serunya

memuji.

Buang Sengketa tersenyum tipis. Tapi

kemudian dia kerutkan kening. "Ada apa?" tanya

Putri Permata Ningrum. "Sebaiknya Putri tinggal

saja di istana bekas milik si Bungkuk Ludra ini,


untuk sementara waktu...!" sela Pendekar Hina

Kelana berubah fikiran.

"Mengapa harus begitu...!"

'Di Khalayan terlalu banyak lawan-lawan

tangguh yang mungkin saja dapat mengancam

keselamatanmu. Bertarung melawan mereka tidak

selamanya aku bisa mengawasi keselamatanmu...!"

"Bukankah ada Sena dan Sura yang bisa

menjaga keselamatanku...?"

"Aku meragukan kemampuan mereka! Tapi

seandainya dalam waktu tiga hari aku tidak kembali

ke sini kalian sudah bisa menyusulku ke sana!" jelas

Buang Sengketa.

Sesaat Putri Permata Ningrum nampak

meragu. Tetapi kemudian dia mengangguk.

"Aku hanya dapat mendoakan keselamatanmu

Tuan Pendekar!" ucapnya sambil melirik penuh arti.

"Bagus kalau kau bisa mengerti."

Usai berkata begitu Buang Sengketa sudah

berbalik langkah. Sekejap kemudian tubuhnya telah

berkelebat pergi dan lenyap dari pandangan

mereka.

* * *


SEBELAS


Hampir setengah hari melakukan perjalanan

sampailah Pendekar Hina Kelana di pinggiran

Kotaraja Kedatuan Khalayan. Di kanan kiri jalan

yang dia lalui, keadaan sunyi sepi, pintu rumah-

rumah penduduk tertutup rapat. Warung-warung

jalanan tak satu pun yang buka. Hal ini agaknya hal

baru yang sangat menarik perhatian si pemuda.

Setelah clingak clinguk bagai si monyet katisan,

pemuda itu kembali meneruskan langkahnya. Kira-

kira sepeminum teh, tiba-tiba dia melihat di depan

tak jauh darinya serombongan orang berkuda yang

berjumlah lebih kurang enam orang nampak menuju

ke arahnya.

Dengan cermat Buang Sengketa

memperhatikan si penunggang yang kelihatan

dalam keadaan tergesa-gesa. Pendekar Buang

Sengketa tersenyum mencibir begitu mengenali

salah seorang di antara mereka yang tak lain Si Gila

Karpala adanya.

Kemudian pemuda itu dengan sengaja duduk

di tengah-tengah jalan sambil palangkan kedua

kakinya. Dengan sikap pura-pura tertidur dia

telungkupkan wajah, si rombongan berkuda makin

lama semakin dekat. Hingga pada jarak hampir


enam tombak laki-laki yang berada di atas

punggung kuda menghentikan tunggangannya.

"Orang gila dari mana yang berani sekali tidur

di jalanan?" bentak salah seorang di antara mereka

yang berbadan tinggi dengan cambang dan bawuk

yang tak tercukur rapi.

"Tabrak saja panglima! Biar mampus

sekalian...!" ucap salah seorang di sebelah laki-laki

itu. Dan tentu saja Buang Sengketa sangat

mengenali pemilik suara itu yang tak lain si Keparat

Karpala.

"Manusia Hina! Minggir atau kutendang. Nih

panglimamu mau lewat!!" bentak laki-laki itu bengis.

"Panglima kentut bau! Segala iblis dari Pulau

Berhala siapa takut...!" Masih dalam posisinya

Buang Sengketa balas membentak.

Karpala dan Sigalumet saling pandang.

Mereka nampak terheran-heran, bagaimana si

gembel jalanan itu bisa tahu kalau mereka

dedengkot dari Pulau Berhala?

"Manusia hina segera tunjukkan muka, agar

kami tak salah tangan...!" bentak Sigalumet marah

sekali.

"Sebelah tangan kawanmu yang kubuntungi,

itu saja sudah cukup untuk mengenal siapa adanya

aku ini...!" Usai berkata Buang Sengketa langsung

berdiri.

Tiba-tiba Karpala terlonjak dan berseru

marah.


"Kakang! Dialah si bangsat sialan yang kita

cari-cari itu...!"

Sigalumet kertakkan rahang:

"Oh, kiranya inilah kunyuk yang telah

memapras tanganmu itu adi Karpala?"

"Benar, kakang! Tak salah lagi dialah

orangnya!"

Sigalumet sejenak lamanya nampak

memperhatikan Buang Sengketa dari ujung rambut

sampai ke ujung kaki. Budak penyandang periuk

berjelaga, masih begini sangat muda. Akan tetapi

mengapa adiknya Karpala yang punya berbagai ilmu

kesaktian dan bahkan bisa malih sampai dapat

dibuat tak berdaya? Sungguh Sigalumet tak dapat

mempercayai cerita Karpala dengan kenyataan yang

ada.

"Budak Hina! Siapakah engkau dan dari mana

pula asal usulmu...!" tanya Sigalumet. Agaknya dia

ingin tahu banyak tentang siapa dan dari mana asal

muasal si pemuda.

Ditanya seperti itu pendekar Hina Kelana

mendengus.

"Dulu aku sering berkata, apa artinya sebuah

nama! Orang kemudian menanyaiku dengan

pertanyaan yang sama-sama membosankan untuk

kujawab. Tapi kiranya tak salah bila kujawab

pertanyaan orang-orang yang akan mampus! Agar

kalian tidak mati penasaran. Catat dalam otakmu,

aku si Hina Kelana datang dari sebuah negeri yang


tak bisa dilihat oleh kasat mata. Sengaja datang

untuk mencabuti nyawa anjing-anjing pembuat

sengsara masyarakat...!"

Begitu mendengar kata-kata Pendekar Hina

Kelana, Sigalumet dan kawan-kawannya tergelak-

gelak.

"Tikus sial! Sombong sekali mulutmu! Tidak

tahu betapa tingginya gunung yang kini tegak di

hadapanmu...!" kata Sigalumet dengan wajah

memerah.

"Aku tahu gunung memang tinggi! Tetapi

terhadap iblis-iblis pendukung pemberontakan tak

seorang pun yang akan kubiarkan hidup...!" ejeknya

pula.

Sigalumet mendengus:

"Puih! Besar sekali nyalimu. Berhadapan

dengan salah seorang di antara kami saja engkau

belum dapat menang, apalagi bila kami

mengeroyokmu...?"

Pendekar Hina Kelana nampak tergelak-gelak

begitu melihat Sigalumet yang nampaknya sangat

meremehkan dirinya.

"Kakang! Orang yang mau mampus biasanya

banyak tingkah!" Karpala ikut menyela.

"Kalian terlalu menjunjung diri setinggi langit

iblis bau! Padahal sebuah kesombongan sangat

sering menjerumuskan diri seseorang pada lembah

kehancuran. Bagiku Tiga Iblis dari Pulau Berhala,

hanyalah sebuah nama kosong melompong...!"


"Sialan keparat! Bersiap-siap untuk

mampus...!"

Belum lagi Sigalumet selesai dengan kata-

katanya, serentak dia melompat dari punggung

kudanya dengan diikuti oleh yang lainnya.

"Bagus.... Kiranya kalian sudah semakin tak

sabaran untuk menyusul si Bungkuk Ludra yang

telah terlebih dahulu berangkat ke liang kubur...!"

Lagi-lagi Pendekar dari lembah Bunian ini

mendengus.

Bukan alang kepalang terkejutnya keenam

orang ini, bagaimana bisa dipercaya kalau si

Bungkuk Ludra sampai tewas di tangan pemuda

gembel ini?

"Bangsat pembual! Mulutmu benar-benar

sudah rusak...!"

Tak lama kemudian Sigalumet. Segera

memberi isyarat pada keempat anak buahnya Tanpa

menunggu diperintah dua kali, dengan cepat

keempat orang itu segera menyerang Buang

Sengketa.

Sambil membuka jurus-jurus silatnya, si

pemuda berseru lantang:

"Iblis gila kedudukan dan iblis gila perempuan

mengapa tanggung-tanggung, sekalian saja kalian

maju berbareng...!"

"Terhadap empat orang-orangku saya kau

belum tentu unggul! Hadapilah mereka terlebih

dahulu...!"


Sigalumet mencemooh, sepasang matanya

mulai tertuju pada pertempuran yang tengah

berlangsung.

Saat itu, keempat orang anak buah

Sigalumet, sudah mengepung Buang Sengketa dari

empat penjuru. Keempat orang ini dengan

bersenjatakan pedang, langsung mencecar Pendekar

Hina Kelana tanpa memberi sedikit pun kesempatan

pada lawannya. Pedang-pedang di tangan mereka

menderu, membabat, menusuk dari berbagai arah.

Menghadapi serangan lawannya yang datang bagai

turunnya air hujan. Buang Sengketa pergunakan

jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra.

Meskipun begitu pemuda ini nampaknya masih

kewalahan juga. Satu saat salah seorang dari lawan

kirimkan satu tusukan satu babatan, serangan itu

begitu sangat cepatnya. Pemuda itu secepatnya

berusaha berkelit ke samping. Serangan lawan

hanya beberapa senti saja hampir menembus

batang hidungnya.

Pendekar Hina Kelana memaki habis-habisan,

namun baru saja dia berhasil menghindari serangan

lawan yang berada di depannya, dari arah belakang

menyusul sabetan pedang dan dari samping kiri

pula.

"Breet!"

"Breet!"

Pedang di tangan lawannya berhasil

menggores sekaligus merobek kulit dan pakaian si


Hina Kelana pada bagian lengan kiri dan punggung

belakang. Tak jauh dari tempat itu Sigalumet dan

Karpala yang terus menyaksikan jalannya

pertarungan diam-diam berseru memuji

keberhasilan anak buahnya.

"Agaknya sebentar lagi budak Gombal amoh

itu segera mampus di tangan orang-orang kita adik

Karpala...!" ucap Sigalumet dengan sesungging

senyum penuh kelicikan.

"Kita lihat saja perkembangan selanjutnya

Kakang...!" jawab Karpala yang sudah sangat tahu

tentang kehebatan lawannya.

Sigalumet menoleh pada kembratnya begitu

mendengar jawaban Karpala yang kurang

mengenakkan fikirannya.

"Sepertinya kau tidak yakin dengan

kemampuan orang-orang kita, adik Karpala...?"

tegurnya.

"Kakang belum tahu bagaimana sepak terjang

pemuda itu! Masakkan kalau dia benar-benar tidak

berisi aku kena dikerjainya...!" kata Karpala

berusaha meyakinkan.

Sigalumet nampak manggut-manggut. Dalam

hati dia membenarkan apa yang baru saja dikatakan

oleh kembratnya. Akan tetapi kemudian dia nampak

meragu.

"Apakah benar seperti yang dia katakan,

bahwa adik Bungkuk Ludra telah dibunuhnya..,?"


Karpala yang hanya tinggal memiliki sebelah

tangan itu nampak kerutkan kening. Seharusnya si

Bungkuk Ludra telah bergabung dengan mereka tadi

malam. Bukankah mereka sudah berencana untuk

mencari Pendekar Hina Kelana untuk membalaskan

sakit hati. Karena pemuda itu telah membuntungi

tangan Karpala. Tapi ternyata setelah ditunggu-

tunggu si Bungkuk Ludra tidak muncul juga hingga

mereka bermaksud datang menyusuli. Siapa kira

kalau di jalanan mereka bertemu dengan musuh

yang akan mereka cari!

"Mengapa engkau diam saja adik Karpala?"

Suara Sigalumet membuat Karpala tersentak

dari lamunannya.

"Eee... aku cuma berfikir, mungkin saja apa

yang dikatakan oleh budak hina itu ada juga

kebenarannya."

Merahlah wajah Sigalumet begitu mendengar

jawaban kembratnya, dia berprasangka bahwa

Karpala sesungguhnya sudah merasa jerih untuk

berhadapan dengan pemuda gembel yang kini

sedang bertarung.

"Agaknya kau merasa gentar untuk ber-

hadapan dengan budak itu kembali!" kata Sigalumet

menyindir.

"Ah! Kakang terlalu berprasangka yang

bukan-bukan. Selama nyawaku masih melengket di

badanku, selama itu pula aku akan menghadapi


siapa pun. Tokh bocah itu bukanlah anak dewa...!"

jawab Karpala menutupi perasaannya.

"Benar adik Karpala, dia bukan manusia

setengah Dewa.,.!" Sigalumet manggut-manggut.

"Kakang! Meskipun dia bapak moyangnya

dewa, aku pun tak akan pernah takut!" ucap Karpala

berusaha menyenangkan hati Sigalumet.

Mendengar jawaban Karpala kini Sigalumet

tertawa-tawa. Senang!

"Bagus! Majikan Pulau Berhala memang tidak

boleh mundur terhadap lawan yang bagaimana pun

hebatnya. Apalagi kalau cuma berhadapan dengan

lawan seperti si gembel itu."

Belum lagi Sigalumet selesai dengan segala

pujiannya, mendadak dari dalam pertarungan

terdengar jeritan yang menyayat.

"Crar! Cras!"

"Arghk...!"

Dua orang pengeroyok terpelanting roboh

dengan keadaan leher hampir putus. Karpala dan

Sigalumet terperangah kaget.

Dan belum lagi hilang keterkejutan di hati

mereka, terdengar pula jeritan dua orang lainnya.

Sama seperti pendahulunya. Orang ini pun

mengalami nasib yang sama. Di antara dua orang

dedengkot iblis Pulau Berhala ini. Sigalumet lah

yang dibuat paling terkejut, hanya dalam waktu

singkat saja si pemuda sudah merobohkan empat


orang pilihan. Bahkan tadi dia sempat melihat

berkelebatnya golok Buntung di tangan si pemuda.

"Apa kubilang, pemuda itu benar-benar

sangat hebat, Kakang...!" Karpala mengingatkan.

"Kentut! Aku paling benci pada orang yang

sangat pengecut!" kata Sigalumet kemudian

melangkah dari tempatnya berdiri. Kini laki-laki itu

telah benar-benar berdiri di depan Buang Sengketa.

Dengan kemarahan yang luar biasa dia

membentak Pendekar Hina Kelana.

"Budak iblis! Kau harus membayar mahal atas

perbuatanmu itu...!"

Pendekar Hina Kelana tergelak-gelak.

"Wuaah... ada maling teriak maling! Kau pun harus

segera mampus."

Segera saja Buang Sengketa lancarkan

pukulan Empat Anasir Kehidupan terhadap dua

orang lawan-lawannya. Begitu pula dengan

Sigalumet dan Karpala.

Dengan dua kaki satu tangan Karpala yang

begitu mendendam pada Pendekar Hina Kelana,

nampak begitu rakus merangsak lawannya dengan

pukulan-pukulan Kala Birunya. Sementara itu

Sigalumet tak mau kalah dengan kembratnya yang

satu ini. Dengan pukulan Berhala Memukul Naga,

dia terus mengumbar serangan-serangannya.

Pertarungan dengan mempergunakan pukulan sakti,

lalu ditandingi dengan pukulan sakti pula, dalam

waktu sekejap benar-benar telah menguras tenaga


inti. Sejauh itu baik dedengkot dari Pulau Berhala

maupun di pihak Buang Sengketa sendiri masih

belum mampu menghancurkan pertahanan lawan.

Beberapa saat kemudian Sigalumet dan

Karpala pada saat yang hampir bersamaan kirimkan

satu rangkaian pukulan Kala Biru pada lawannya.

Seberkas sinar berwarna kebiruan nampak melesat

sedemikian cepatnya ke arah Pendekar Hina Kelana.

Menghadapi serangan beruntun dari dua arah, yang

masing-masing sama berbahaya, Buang Sengketa

yang memang kebal terhadap segala macam racun

berbisa ini nampaknya memang tidak berusaha

menghindar.

Dengan kedua tangan terpentang secara

berlawanan dan masing-masing telah terisi tenaga

dalam pula, dengan nekad dia memapaki datangnya

kedua pukulan tersebut.

* * *


DUA BELAS



Bertemunya tiga tenaga sakti sudah tak dapat

dihindari lagi.

"Blaar!" "Blaar!"

Tubuh Pendekar Hina Kelana amblas ke dalam

tanah sampai sebatas pinggang, dia merasakan

dadanya sesak luar biasa. Sementara darah segera

meleleh dari hidung dan bibir. Cepat-cepat dia

menghimpun hawa murni, tak lama kemudian rasa

sesak itu pun berangsur angsur lenyap.

Belum lagi dia bangkit dari tempatnya,

Sigalumet dan Karpala yang tadinya hanya

mengalami guncangan sedikit akibat berbenturan

pukulan mereka. Saat itu sudah meluruk lagi

dengan pedang dan payung terhunus.

Senjata di tangan lawan-lawannya menderu

dan timbulkan suara bercuitan. Pada saat itu

mereka sudah dapat memastikan bahwa lawannya

yang masih terbenam tubuhnya setengah badan

sudah tak mungkin dapat mengelak lagi. Senjata di

tangan mereka terns meluncur begitu cepatnya.

Pada saat-saat yang sangat kritis itu di luar dugaan

musuh-musuhnya. Buang Sengketa kerahkan

segenap kemampuannya untuk segera dapat keluar

dari dalam tanah yang menghimpit tubuhnya.


Dengan diiringi teriakan menggelegar, tiba-

tiba saja tubuh pemuda itu telah melesat ke udara.

Tubuh pemuda itu berjumpalitan beberapa

kali, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah,

tubuhnya berkelebat kembali.

Baik Sigalumet dan Karpala yang sudah

kirimkan satu tusukan satu babatan nampak sangat

kecewa karena pedang dan payung ditangan

masing-masing telah mengenai tempat yang

kosong.

Saat keduanya nampak kebingungan mencari-

cari posisi lawannya. Pada saat itu terdengar desis

suara seekor Ular Piton yang sedang marah. Udara

di sekitar tempat itu tiba-tiba saja telah berubah

menjadi dingin, sementara di tangan Buang

Sengketa telah tergenggam Pusaka Golok Buntung

yang memancarkan cahaya yang berwarna merah

menyala.

Kini terkesiapkan Wajah mereka begitu

melihat senjata yang tergenggam di tangan si

pemuda. Akan tetapi hanya sesaat itu saja, karena

tak berapa lama kemudian mereka harus melindungi

diri dari sambaran golok di tangan lawannya.

Berkelebatnya golok pusaka di tangan Buang

Sengketa menimbulkan badai pasir yang sangat

besar. Bahkan salah seorang di antara mereka

sudah ada yang kelilipan.

Buang Sengketa agaknya sudah tidak

memberi ampun lagi, dengan sangat cepat Pendekar


dari Negeri Bunian ini melabrak seorang lawan yang

berada paling dekat dengannya.

"Craas!"

"Arrghk!"

Karpala melolong setinggi langit, sebagian isi

perutnya terburai keluar dari badannya. Tubuh

Karpala hampir putus terbagi dua terbabat golok

milik Pendekar Hina Kelana. Tubuh Karpala langsung

terlipat dua. Sedangkan kedua bola matanya

nampak melotot seakan tak percaya dengan apa

yang telah dia alami. Darah semakin banyak yang

keluar, secara perlahan tubuh yang sudah tak

bernyawa itu nampak melorot untuk kemudian

ambruk ke bumi.

Tinggallah Sigalumet seorang diri yang

nampak terdiam dengan mulut menganga. Mungkin

melihat kenyataan yang terjadi, nyalinya mulai

kedodoran, meskipun begitu dengan membentak

dahsyat dia kembali menyerang Buang Sengketa.

Akan tetapi agaknya karena sangat

terpengaruh dengan kematian kawannnya. Kini

serangan-serangan yang dia lancarkan sudah mulai

kacau balau. Sebaliknya Buang Sengketa dengan

gencar melakukan serangan-serangan balasan

semakin lama Sigalumet tampak semakin terdesak.

Hingga tak begitu lama dia benar-benar sampai

pada posisi yang sangat membahayakan dirinya

sendiri. Lagi-lagi senjata di tangan Pendekar Buang

Sengketa mencari sasaran.


"Brebet!"

"Craas!"

Golok di tangan Buang Sengketa berhasil

melubangi tenggorokan Sigalumet. Darah memancar

dari luka yang menganga. Tiada kata yang terucap

dari mulut Dedengkot Pulau Berhala ini, kecuali

suara dengkur nafas bagai kerbau yang disembelih.

Masih dengan memegangi lehernya yang berlubang,

tubuh Sigalumet nampak tergetar beberapa saat

lamanya. Darah semakin lama semakin berkurang

yang keluar dari luka itu. Seiring dengan tetesan

darah yang terakhir, tubuh Sigalumet limbung dan

untuk kemudian terjengkang dengan nyawa putus.

Habislah sudah sekutu-sekutu pemberontak

Runa. Buang Sengketa menarik nafas panjang.

Pemuda itu sudah bermaksud meninggalkan tempat

itu ketika sepasang matanya yang setajam mata

elang itu melihat dua orang penunggang kuda yang

tengah menuju ke arahnya.

Pendekar Hina Kelana urungkan niatnya, dua

orang penunggang kuda itu makin lama makin

dekat, Pendekar ini kernyitkan alisnya begitu

melihat pakaian yang dikenakan oleh orang-orang

itu. Kalau melihat dandanan yang mereka pakai

sudah barang tentu dua orang ini merupakan

seorang raja dan patihnya. Akan tetapi hendak

kemanakah mereka? Batin Pendekar Hina Kelana

dalam hati.


Hanya beberapa saat kemudian dua orang

penunggang kuda ini sudah sampai di depan

Pendekar Hina Kelana.

Laki-laki setengah tua yang mengenakan

pakaian raja bermaksud memerintahkan si Hina

Kelana supaya minggir, karena memang kedua

orang itu bermaksud menuju ke rumah kediaman

salah seorang sekutunya. Si Bungkuk Ludra! Akan

tetapi kiranya tanpa di sengaja dia melirik ke arah

kanan kiri jalan.

Begitu mereka melihat mayat-mayat

bergelimpangan terbelalaklah mata kedua orang itu,

karena mayat-mayat yang berlumuran darah itu tak

lain merupakan mayat para sekutu-sekutunya.

"Yang mulia Kanda Raja... bukankah mayat-

mayat itu merupakan mayat orang kita...?" sentak

laki-laki di sebelahnya yang berpakaian kepatihan.

"Hmm... benar sekali adik Patih! Bangsat

manakah yang telah berani membuat urusan

dengan pemerintahan Khalayan!" geram si Raja.

Kedua matanya memandang pada Buang Sengketa

seolaholah menuduh.

Pendekar Hina Kelana tahu bahwa mungkin

dua orang inilah yang telah melakukan

pemberontakan terhadap kekuasaan raja yang sah.

"Kunyuk-kunyuk keparat! Kaliankah yang

bernama Runa dan Wara Wiri...?"


Dibentak sedemikian rupa sudah barang tentu

kedua orang yang berpakaian kebesaran kerajaan

itu sangat marah sekali.

"Siapakah kau, berani sekali menghina Raja

Khalayan! Kau benar-benar seekor anjing yang tak

tahu adat!" kata laki-laki yang berpakaian patih

menyela. Lalu segera kedua orang itu melompat dari

punggung kudanya.

"Terhadap bangsat-bangsat pemberontak, tak

perlu memakai segala peradatan!"

"Jahanan! Berarti budak gembel inilah yang

telah membunuh orang-orang kita Yang Mulia Kanda

Raja...!" kata Patih Wara Wiri. Pendekar Hina Kelana

tergelak-gelak: "Patih dan raja keparat! Bukan iblis-

iblis itu saja yang kukirim ke neraka! Tapi sebentar

lagi kalian pun akan kugusur ke Liang kubur...!"

"Jahanam terkutuk!" bentak Runa geram.

"Hmm! Cabutlah senjata kalian, sebab hari ini

juga kekuasaan kalian sudah berakhir...!" kata

Pendekar Hina Kelana mencemo-oh.

"Kalau begitu, kalau begitu kaulah yang harus

segera mampus...!"

Seusai berkata begitu kedua orang ini

langsung cabut senjatanya, lalu secara serentak

menyerang Buang Sengketa dengan jurus-jurus

pedang yang ganas. Hanya dalam waktu sekejap

saja pertarungan seru pun terjadi, Buang Sengketa

yang memang menaruh kebencian pada Wara Wiri

dan Runa nampak kerahkan jurus-jurus andalannya.


Masing-masing lawan yang memang sudah

dirasuki nafsu membunuh, kelihatan saling

mendahului dan secepatnya pula menjatuhkan pihak

lawan.

Beberapa saat kemudian pertarungan sudah

mencapai puluhan jurus. Walaupun begitu Wara Wiri

dan Runa masih belum berhasil menjatuhkan

lawannya. Dan sesungguhnya pula Wara Wiri dan

Runa bagi Pendekar Hina Kelana merupakan dua

lawan yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh

di bawah Tiga Iblis dari Pulau Berhala. Bahkan kalau

dia mau sudah sejak tadi Runa maupun Wara Wiri

sudah kena dikerjainya. Akan tetapi dia ingin tahu

sejauh mana ilmu kepandaian pemberontak ini.

Setelah pertarungan mencapai puluhan jurus,

tahulah pemuda ini bahwa kekuatan mereka dalam

memberontak Khanyalan karena atas dukungan Tiga

Dedengkot dari Pulau Berhala.

Empat puluh jurus telah berlalu, tetap saja

keadaan tak berubah. Wara Wiri dan Runa bahkan

nampak kelabakan begitu Buang merubah jurus-

jurus silatnya dengan jurus Si Jadah Terbuang.

Bahkan beruiang kali Buang Sengketa berhasil

mendaratkan pukulannya dengan sangat telak di

tubuh lawannya. Hingga tak begitu lama kemudian

batas kesabarannya pun pupuslah sudah. Sekali saja

tubuh pemuda itu melesat ke udara, begitu menukik

ke bawah dia telah lepaskan pukulan Empat Anasir

Kehidupan dengan menggunakan setengah


tenaganya. Selarik sinar dengan gelombang Ultra

Violet menderu dahsyat meluruk pada kedua orang

itu. Agaknya mereka tidak menyadari apa yang

sedang terjadi sesungguhnya. Akan tetapi begitu

mereka merasakan adanya hawa pukulan yang

melongok ke atas. Pucatlah paras keduanya.

Mengelak sudah tak mungkin lagi. Tiada pilihan lain

kecuali memapasinya dengan sabetan pedang. Tak

ayal lagi:

"Blaark”

Tubuh Wara Wiri dan Runa terpental

berpuluh-puluh tombak lalu terhempas pada

sebatang pohon yang sangat besar. Tiada jerit

kematian. Tubuh yang dalam keadaan hangus itu

remuk menghantam pohoh. Sebelum kedua orang

itu menyadari apa yang sedang tejadi pada diri

mereka, dua lembar nyawa telah melayang dari

jasadnya.

Begitu Buang Sengketa hendak putar langkah,

telinganya sempat mendengar panggilan merdu si

Jelita Putri Permata Ningrum. Begitu hampir di

depan Pendekar Hina Kelana Putri Permata Ningrum

langsung menghambur kedalam pelukan tangan-

tangan Pendekar perkasa ini.

"Kanda Kelana kau telah berhasil!" ucapnya

sambil menjatuhkan ciuman-ciuman hangat pada

wajah si pemuda dari Negeri Bunian itu. Merasa

jengah pemuda itu cepat-cepat menoleh kanan kiri,


tapi dia tak melihat adanya Sena dan Sura di tempat

itu.

"Kemana Sena dan Sura?" tanya pemuda itu

heran.

"Mereka sudah kusuruh ke Kedatuan Khalayan

terlebih dulu!" ujar Putri Permata Ningrum sambil

bergelayut manja pada Buang Sengketa.

"Kalau begitu kita susul mereka!"

Kemudian keduanya nampak menelusuri jalan

raja menuju istana Kedatuan. Tidak henti-hentinya

Putri Permata Ningrum memuji kehebatan pemuda

yang telah membuatnya tergila-gila. "Biarlah!" batin

Pendekar Hina Kelana. Toh setelah itu dia harus

kembali pada dunianya masing-masing.



                          TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar