..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE TEROR SI PEDANG KILAT


 

TEROR SI PEDANG KILAT

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: 

Teror Si Pedang Kilat


SATU


Hanya dengan sekali berkelebat orang-orang 

yang berada di dalam warung itu tersungkur roboh. 

Tidak seorangpun diantara mereka yang tersisa 

hidup. Terkecuali pemilik warung yang bersembunyi 

di sudut ruangan dengan tubuh menggigil 

ketakutan. Laki-laki tua bertopi lebar dengan 

rambut riap-riap itu melirik sebentar dengan sikap 

angker. Sekali lagi tongkat di tangannya yang 

berbentuk sebuah ukiran berhala itu diketukkannya 

di atas sebuah meja. Sesaat meja yang dijadikan 

tumpuan tongkat itu pun tergetar hebat.

Braaak...!

Meja panjang yang tersedia di warung 

tersebut hancur berantakan. Semakin bertambah 

pucatlah tubuh pemilik warung itu, keringat dingin 

terasa membasahi punggung bajunya. Bahkan tanpa 

disadarinya laki-laki berusia tiga puluh tahun itu 

sampai terkencing di dalam celana. Dalam keadaan 

ketakutan seperti itu, secara tiba-tiba laki-laki 

bertopi lebar tersebut memanggilnya.

"Hei... cepat kau kemari...! Atau aku harus 

mengobrak-abrik seisi warungmu ini...!" bentak laki-

laki berwajah buruk itu tanpa menoleh sedikitpun 

juga. Dengan langkah gemetaran pemilik warung itu 

datang menghampiri.

"Ss... saya tuan. Apakah yang dapat saya 

bantu...?" tanyanya dengan suara gemetar. Laki-laki 

bertopi lebar itu hanya melirik sebentar, kemudian 

dengan suaranya yang serak.

"Cepat kau sediakan makanan yang paling


enak di warungmu ini untukku...!" perintahnya 

sambil menghampiri sebuah meja lain lalu duduk di 

sana.

Sementara pemilik warung itu tanpa berani 

membantah segera bergegas ke belakang untuk 

menyediakan makanan yang dipesan oleh laki-laki 

bertampang seram tadi. Hanya beberapa saat 

kemudian pemilik warung itu telah datang kembali 

dengan membawa sebuah nampan yang berisi 

berbagai jenis makanan serta beberapa guci arak 

wangi. Setelah selesai menghidangkan makanan, 

pemilik warung itu bermaksud segera meninggalkan 

laki-laki bertopi lebar itu. Namun baru saja ia 

hendak memutar langkah. Laki-laki itu kembali 

membentaknya.

"Tunggu dulu, pelayan goblok!" sekarang 

bagian krah pakaian pemilik warung telah berada 

dalam cengkeraman tangan si laki-laki bertopi. 

Sudah barang tentu pemilik warung itu semakin 

bertambah ketakutan saja. Namun sebelum ia 

sempat berkata apa-apa, laki-laki bertopi itu telah 

melanjutkan kata-katanya, "Cepat kau singkirkan 

tikus-tikus yang sudah pada mampus itu...!"

"Ba... baik tuan...!" dengan tergesa-gesa 

pemilik warung yang sudah dicekam ketakutan itu 

mengerjakan apa yang diperintahkan oleh 

pendatang tak dikenal tersebut. Sementara laki-laki 

bertopi lebar itu mulai menyantap pesanannya. Si 

pemilik warung hanya sempat menghitung jumlah 

korban tidak lebih dari enam orang. Masing-masing 

mayat itu mengalami luka yang cukup parah. Tapi ia 

tidak dapat memastikan senjata apakah yang telah 

dipergunakan oleh laki-laki bertopi lebar itu.


Sehingga begitu muncul enam orang itu langsung 

tersungkur roboh. Dengan menahan perasaan mual 

karena bau amis darah serta bagian isi perut yang 

memburai dari tubuh mayat-mayat itu. Laki-laki 

itupun segera mengusung mayat-mayat tadi keluar 

warungnya. Tidak lama kemudian dengan perasaan 

takut-takut ia telah kembali lagi ke dalam 

warungnya. Si laki-laki bertopi lebar itu tidak 

sedikitpun menoleh kepadanya. Keadaan hening 

mencekam. Sekarang pemilik warung tersebut telah 

terduduk di sudut ruangan, wajahnya yang pucat 

terus menunduk. Dalam keadaan seperti itu tiba-

tiba angin kencang berhembus menerobos dari 

bagian pintu depan warung itu. Tiupan angin itu 

semakin lama semakin bertambah kencang seiring 

dengan berkelebatnya dua sosok tubuh seorang 

kakek tua dengan seorang gadis yang berusia masih 

begitu muda. 

Jleeekgh...!

Dua orang pendatang itu langsung 

memperhatikan suasana di dalam warung. Begitu 

pandangan mereka mengarah ke bagian lantai. 

Mereka melengak, lalu cepat-cepat beralih pada laki-

laki bertopi lebar yang sedang sibuk menikmati 

hidangannya.

"Mungkin dialah orangnya yang telah 

melakukan pembantaian keji ini. Ah, masa bodoh. 

Itu urusannya, bukan urusanku...!" batin kakek tua 

itu. Seraya bersama gadis cantik di sebelahnya 

segera pula mengambil duduk dekat jendela.

"Pelayan...!" teriak gadis berpakaian serba 

ungu sambil memandang pada laki-laki berusia tiga 

puluhan itu dengan kedua mata melotot.


"I... iya tuan dan nona! Apa yang dapat sa... 

saya lakukan untuk anda berdua?" tanyanya dengan 

wajah menunduk dan suara terbata-bata.

"Tolong kau sediakan makanan yang lebih 

enak dari makanan yang di sediakan untuk tikus 

buduk bertopi itu...!"

"Ba... baik nona. Aku akan menyediakan–

nya...!" pemilik warung itu dengan tergopoh-gopoh 

segera meninggalkan mereka. Sementara laki- laki 

bertopi lebar yang disebut-sebut sebagai tikus 

'Buduk', serta merta mengurungkan niatnya untuk 

melahap sisa terakhir hidangan yang tersedia. Tanpa 

menoleh sedikitpun, laki-laki itu berucap dalam 

luapan kemarahan yang tertahan-tahan.

"Sungguh manusia yang tidak tahu adat telah 

begitu berani menghina dedengkot persilatan seperti 

aku...! Iblis Liang Kubur! Apakah kau tak pernah 

mendidik muridmu dalam bersopan santun...?" 

sentak laki-laki bertopi lebar itu penuh teguran 

keras.

Mengetahui laki-laki bertopi lebar itu 

mengenal julukannya. Sudah tentu kakek tua 

berambut putih berpakaian tambal-tambal ini 

menjadi sangat terkejut sekali. Padahal sungguhpun 

ia merupakan seorang tokoh yang sangat dikenal 

karena kekejamannya dalam membasmi golongan 

putih. Namun penampilannya yang sesungguhnya 

sangat jarang orang yang tahu. Sekarang seorang 

laki-laki yang menyembunyikan wajahnya di bawah 

topi lebar itu malah tahu siapa dirinya. Hal ini tentu 

merupakan sesuatu yang sangat luar biasa.

"Kisanak! Siapakah engkau. Rasanya kita 

belum pernah bertemu, namun kau telah mengenal


julukanku...!" kata si kakek tua yang memiliki 

julukan Iblis Liang Kubur itu masih dalam 

keheranannya.

Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung 

lama, setelah laki-laki bertopi lebar itu membuka 

topinya sehingga menampakkan rambutnya yang 

menjuntai sampai ke pinggang. Maka berserulah 

kakek rambut putih serta gadis yang berada di 

sisinya.

"Sahabatku, Burung Hantu...! Ahh... sudah 

sangat lama sekali kita tidak bertemu...!" kata Iblis 

Liang Kubur.

"Aha... ha... ha...! Semakin tua kau semakin 

bertambah keriput dan jelek, Iblis Liang Kubur. Di 

samping itu matamupun bertambah lamur...!" seru 

si Burung Hantu tetap berada di tempatnya. 

Sementara itu kakek tua berambut serba putih itu 

sudah bergerak dengan maksud menghambur ke 

arah si Burung Hantu. Namun langkahnya jadi 

terhenti bagai ada sebuah kekuatan yang 

menghadangnya. Di tempat duduknya si Burung 

Hantu nampak tersenyum tipis. 

Kampret. Manusia tengik itu sengaja hendak 

mempermainkan aku. Membatin si kakek rambut 

putih, di luar dugaan ia melambaikan tangannya. 

Lambaian tangannya itu bukanlah satu gerakan 

sembarangan, karena ia menyertakan tenaga dalam 

untuk mengatasi serangan si Burung Hantu.

Wuuus...!

Sambaran angin keras menderu ke arah si 

Burung Hantu. Sehingga membuat laki-laki bertopi 

lebar itu terhenyak dari tempat duduknya. Tubuh 

Iblis Liang Kubur terdorong beberapa tindak ke


belakang.

"Wuah kampret! Tingkah konyolmu rupanya 

masih belum juga hilang sejak dulu, Burung 

Hantu...!" maki si kakek berambut putih. Sekali lagi 

tubuhnya melayang. Maka sekarang ia telah duduk 

di atas meja persis di hadapan si Burung Hantu.

"Manusia bangkotan tidak tahu adat! 

Braaak...!" begitu mengucapkan kata-katanya si 

Burung Hantu menggebrak meja yang diduduki oleh 

Iblis Liang Kubur. Meja hancur berantakan. Namun 

tubuh kakek tua itu laksana kilat melesat ke arah 

meja yang terletak di sebelahnya. Dengan sikap 

tenang, sekarang ia telah duduk di tempat itu.

"Hemm. Tidak kusangka semakin tua engkau 

semakin berisi saja, sobat...!" gumam si Burung 

Hantu sambil meneguk arak di dalam bumbung 

bambu di tangannya hingga tidak bersisa sama 

sekali.

"Kakek, Uwa Burung Hantu! Kalian jangan 

terus berkelakar, aku sudah sangat lapar sekali...!" 

tukas gadis berpakaian ungu itu merasa kesal 

melihat ulah guru maupun si laki-laki bertopi lebar 

yang sudah sangat dikenalnya. Si Burung Hantu 

melirik sekilas pada gadis berwajah rupawan itu 

dengan pandangan berbinar.

"Kalau tak salah bocah ini muridmu yang 

bernama Pertiwi itu bukan?" tanya si Burung Hantu 

sambil berpaling pada si kakek berambut putih.

"Tidak salah, dialah muridku satu-satunya. 

Kau lihat betapa ia memiliki kecantikan melebihi 

putri-putri kerajaan, bukan...?" kata Iblis Liang 

Kubur bangga.

"Hemm. Betul, aku yakin ia akan menjadi


ratu semua golongan sesat...!" si Burung Hantu 

menimpali.

Sementara gadis berpakaian serba ungu yang 

bernama Pertiwi itu kelihatannya sudah tidak sabar 

lagi menunggu pesanan datang. Dengan wajah 

memberengut ia kembali menggebrak meja.

"Pelayan! Lambat sekali kerjamu. Apakah kau 

sudah bosan hidup...!" ternyata meskipun gadis itu 

memiliki wajah cantik jelita, namun wataknya begitu 

keras.

"Ss... saya baru selesai menyiapkan makanan 

yang nona pesan...!" dengan gugup pemilik warung 

itu menghidangkan makanan yang dipesan oleh Iblis 

Liang Kubur dan Pertiwi pada meja yang berlainan. 

Kenyataannya memang pada saat itu, Pertiwi duduk 

sendirian di depan jendela. Sedangkan si kakek 

berambut putih duduk semeja dengan sahabat 

karibnya si Burung Hantu.

"Pekerjaanmu terlalu lamban, laki-laki 

goblok!" bentak Pertiwi. Bersamaan kata-katanya itu 

dengan mempergunakan tenaga dalam yang cukup 

tinggi, gadis berwatak telenggas itu mendorongkan 

tubuh si pemilik warung, hingga menyebabkannya 

jatuh terguling-guling setelah sebelumnya sempat 

melabrak meja. Pemilik warung itu mengaduh 

kesakitan. Bagian punggungnya mengalami luka 

memar akibat menghempas pinggiran meja. Melihat 

apa yang di alami oleh si pemilik warung, Pertiwi 

nampak menyunggingkan seulas senyum sinis.

"Cepat berlalu dari hadapanku...!" bentak 

gadis berwatak kejam itu dengan mata melotot. 

Melihat gelagat yang tidak baik ini tentu saja pemilik 

warung tidak mau mengambil resiko. Dengan


langkah terhuyung-huyung ia segera berlalu dari 

hadapan ketiga pendatang sadis itu.

Selanjutnya tanpa menghiraukan apa yang 

sedang dibicarakan oleh gurunya dan si topi lebar. 

Gadis cantik yang bernama Pertiwi itu menyantap 

pesanan yang terhidang di atas meja dengan 

lahapnya.

"Angin apa yang membuatmu meninggalkan 

Lembah Darah, sahabat Burung Hantu?" tanya Iblis 

Liang Kubur sambil meneguk araknya.

"Engkau sendiri yang hampir tersungkur ke 

liang kubur. Tapi hari ini malah berkeliaran di dunia 

ramai ada keperluan apakah...?" si Burung Hantu 

balik bertanya. Sementara itu perhatiannya tetap 

tertuju pada Pertiwi yang kelihatan sibuk melahap 

makanannya.

Iblis Liang Kubur meskipun mengetahui apa 

yang menjadi pusat perhatian sahabat karibnya itu 

hanya menggelengkan kepalanya. Ia menyadari 

sahabatnya yang satu ini termasuk laki-laki mata 

keranjang. Bahkan tak segan-segan ia melakukan 

pemerkosaan di mana-mana. Namun kakek tua 

berambut putih merasa yakin, Burung Hantu tidak 

ingin bertindak gegabah pada Pertiwi. Apalagi bila 

mengingat Pertiwi merupakan murid tunggal Iblis 

Liang Kubur.

"Burung Hantu...! Aku dulu pernah 

bersumpah untuk tetap tinggal di Bukit Setan 

sampai akhir menutup mata. Namun sumpahku itu 

terpaksa kucabut kembali setelah mendengar 

keganasan sepak terjang pendekar golongan lurus 

yang bertindak di luar periblisan...!"

Laki-laki bertopi lebar itu langsung tergelak



gelak demi mendengar apa yang dikatakan oleh 

sahabatnya itu.

"Sampai dunia kiamat, sumpahnya para iblis

mana dapat dipercaya...! Lagi pula siapakah 

pendekar golongan lurus yang kau maksudkan itu?" 

lanjutnya kemudian. Sekali lagi Iblis Liang Kubur 

meneguk tuaknya hingga tinggal setengahnya. Mata 

laki-laki itu sekarang telah berubah kemerah-

merahan, begitu juga dengan wajahnya. Namun 

justru dengan keadaannya yang seperti sekarang ini 

penampilan kakek berambut putih itu semakin 

bertambah menyeramkan.

"Orang yang telah begitu berani 

mepecundangi golongan kita itu katanya seorang 

pendekar yang menamakan dirinya si Hina Kelana. 

Orang itu kabarnya juga telah bermusuhan dengan 

orang-orang segolongannya sendiri. Namun patut 

kita perhitungkan pendekar itu akan sangat 

berbahaya dengan senjata andalannya yang berupa 

pusaka Golok Buntung dan cambuk Gelap 

Sayuto...!" kata si kakek rambut putih dengan suara 

parau.

"Lha dala...! Bagaimana mungkin seorang 

pendekar golongan lurus selain membantai para 

tokoh sesat, namun juga membantai orang-orang 

segolongannya sendiri. Hanya orang gila saja yang 

berbuat seperti itu...!" tukas si Burung Hantu 

dengan suara berapi-api.

"Mengapa kau bicara begitu?" Iblis Liang 

Kubur tak mengerti.

"Kau sendiri tahu! Sesama golongan kita 

belum pernah bermusuhan. Terkecuali tindakan 

mereka yang keterlaluan. Jangankan mereka itu di


kenal sebagai kaum persilatan yang terkenal jujur. 

Mana ada seorang pendekar membunuh sesama 

kaumnya sendiri...!" tukas si Burung Hantu sambil 

tersenyum-senyum.

"Pendekar Hina Kelana! Hemm... selama ini 

aku mendengar nama kebesarannya itu dari kabar 

angin belaka. Bahkan kehebatan yang dimilikinya 

konon melebihi seorang tokoh manusia setengah 

dewa si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau memang 

benar ia merupakan seorang tokoh golongan putih. 

Mustahil orang itu mau membantai sesama 

golongannya sendiri...!" gumam Iblis Liang Kubur 

seperti pada dirinya sendiri.

"Wua...ha...ha...ha...! Jangan kau samakan 

pendekar Golok Buntung dengan si Bangkotan 

Koreng Seribu yang melegenda sejak ratusan tahun 

yang silam. Manusia yang berdiam di Tanjung Api 

itu menjadi ditakuti oleh orang-orang rimba 

persilatan karena ketegasannya dalam membasmi 

golongan hitam yang terlibat dalam kejahatan. 

Sedangkan orang yang berjuluk Pendekar Hina 

Kelana itu kurasa bukanlah seorang pendekar sejati. 

Bahkan kudengar golongan putihpun sekarang telah 

menjadikannya sebagai seorang buronan...!" kata si 

Burung Hantu ketus.

"Berita yang kudengar terlalu simpang siur! 

Sebelum segala-galanya terlambat. Ada baiknya 

kalau sekarang kita mulai mencari orang itu...!" Iblis 

Liang Kubur nampaknya sudah merasa tidak 

sabaran lagi. Sedangkan si Burung Hantu melirik 

pada Pertiwi yang baru saja selesai menyantap 

hidangannya. Kelihatannya ada sesuatu yang 

disembunyikannya oleh laki-laki berusia lima

puluhan dari Lembah Darah ini. Hanya dia 

sendirilah yang mengetahuinya.

"Kita mau ke mana, guru...?" tanya Pertiwi 

tanpa menghiraukan si Burung Hantu yang terus 

melirik kepadanya. Pada hakekatnya meskipun 

murid seorang tokoh sesat, namun Pertiwi 

merupakan seorang gadis lugu yang belum 

mengetahui kelicikan sifat laki-laki.

"Jangan banyak tanya! Ayo kita segera 

berangkat...!" kata Iblis Liang Kubur. Usai dengan 

kata-katanya itu si kakek tua rambut putih dengan 

diikuti oleh si Burung Hantu dan Pertiwi segera 

meninggalkan tempat itu.


DUA


Gunung Gendeng nampak berdiri kokoh 

dengan angkuhnya. Udara menjelang tengah hari 

terasa panas bukan main. Karena musim kemarau 

yang panjang selama beberapa tahun terakhir. Maka 

pemandangan di sekitar lereng gunung Gendeng 

terasa gersang. Dalam suasana panas yang cukup 

terik, seorang pemuda berwajah tampan dengan 

rambut di kuncir nampak sedang menelusuri jalan 

setapak di pinggir lereng gunung Gendeng. Sesekali 

butiran keringatnya menetes deras membasahi 

pakaiannya yang berwarna merah. Di lain saat 

matanya yang setajam mata elang itu setengah 

dipicingkan untuk dapat melihat ke arah lebih jauh 

lagi.

"Uhh! Panas bukan main. Panas begini aku 

jadi ingin mandi, tapi aku yakin sungaipun pasti


kering. Memang serba salah jadi manusia, pabila 

hujan orang akan meminta panas, pabila panas 

orang malah meminta hujan. Hujan panas, panas 

hujan. Hanya merupakan irama musim belaka, 

masa bodoh. Bukan wewenangku membagi hujan. 

Ahh... lapar...!" gumam pemuda berpakaian merah 

itu sambil membuka periuk besar yang selalu di 

bawanya ke manapun ia melangkah. 

Breeng!

Terdengar beradunya benda mustika. Buang 

Sengketa memang menutupkan periuk itu kembali 

ketika ia tidak melihat dendeng lumba-lumba di 

dalam periuk itu. Namun setelah pemuda itu 

teringat sesuatu, barulah ia menepuk-nepuk 

keningnya beberapa kali.

"Mengapa menjadi tolol! Bukankah makanan 

yang kumiliki telah kubagi-bagikan pada penduduk 

yang kelaparan di desa Dumai. Masa bodoh...!" pelan 

sekali suara Pendekar Hina Kelana.

Pemuda titisan Raja Ular Piton Utara dari 

Negeri Bunian ini terus mengayunkan langkahnya. 

Semakin lama langkah-langkah kaki Buang 

Sengketa semakin bertambah cepat. Bahkan ia telah 

bersiap-siap mempergunakan ilmu lari cepatnya 

yang berupa ajian 'Sepi Angin'. Ketika secara tiba-

tiba dari arah sebelah Utara jalan yang dilaluinya 

terdengar suara jeritan-jeritan maut. Tanpa berpikir 

panjang lagi Pendekar Hina Kelana pun dengan 

mempergunakan tenaga dalamnya segera berlari 

cepat menuju tempat terjadinya keributan.

Hanya dalam waktu sekejap saja Buang 

Sengketa telah sampai di tempat kejadian. Begitu 

pemuda ini menginjakkan kakinya di atas


sebongkah batu besar, maka terbelalaklah kedua 

matanya. Bagaimana tidak, persis di pertengahan 

lereng gunung Gendeng terlihat mayat-mayat 

bergelimpangan tumpang tindih tidak karuan. 

Mereka yang tewas itu berjumlah tidak kurang dari 

dua puluh orang. Ketika Buang Sengketa 

memperhatikan daerah sekitarnya. Ia tidak melihat 

siapapun di sana. Namun beberapa saat kemudian 

perhatian Buang Sengketa telah beralih pada sosok 

tubuh yang menggeletak pada tempat yang agak 

terpisah.

Dengan sangat berhati-hati pemuda itu me-

langkah ke sana. Keadaan mayat itu tidak jauh beda 

dengan keadaan mayat-mayat lainnya. Bagian 

kepala hampir terlepas dari lehernya, sedangkan 

bekas luka nampak bergerigi, seolah senjata yang 

dipergunakan untuk membunuh orang-orang itu 

merupakan senjata yang tidak tajam. Lebih dari itu 

bagian perut orang tersebut memburai keluar 

bercampur dengan genangan darah. Bahkan 

pemuda keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib itu 

terpaksa memalingkan wajahnya sebentar ke arah 

lain demi melihat keadaan mayat itu.

Namun setelah itu si pemuda segera 

memungut selembar daun lontar yang terletak di 

bagian dada mayat berpakaian serba biru itu. Dan ia 

semakin bertambah kaget ketika melihat tulisan 

yang tertera di atas daun lontar itu. Dengan wajah 

berubah pucat, Buang Sengketa segera 

membacanya.

Kepada semua golongan kaum persilatan!

Adapun orang yang bertanggung jawab dalam



pembantaian ini adalah aku, Pendekar Hina Kelana. 

Buat golongan manapun yang tidak senang dengan 

segala sepak terjangku. Kalian boleh mencariku. 

Karena sesungguhnya aku sangat mengharapkan 

tantangan kalian...!

Tertanda

Pendekar Hina Kelana.

Mendidih darah Buang Sengketa ketika 

selesai membaca surat yang di tulis di atas daun 

lontar itu. Dengan kemarahan yang meluap-luap. 

Pemuda itu langsung meremas daun lontar tersebut 

hingga hancur berkeping-keping.

"Dewata yang agung! Oh... keparaaat! Fitnah! 

Fitnah yang sangat keji. Para Dewa di atas sana. 

Apakah dosaku sehingga ada orang yang begitu tega 

memfitnahku. Jahanam, seumur hidup aku belum 

pernah melakukan pembantaian seperti ini." geram 

Buang Sengketa dalam kemarahannya yang tiada 

tertahankan lagi. Pemuda itu sekarang nampak 

menundukkan wajahnya dalam-dalam, tubuhnya 

bergetar menahan marah, dadanya terasa sesak 

sekali. Dalam kemarahan yang sudah tiada 

terkontrol lagi, maka unsur siluman di dalam 

tubuhnya pun mulai mengambil peranan besar.

"Uaahhh... Heiiikhh...!"

"Shaaaat...!"

Blaaam...! Blaaam...!

Gunung Gendeng benar-benar terasa bagai 

dilanda gempa bumi yang sangat dahsyat. Pohon-

pohon besar yang meranggas tanpa daun nampak 

bertumbangan secara beruntun. Terhantam pukulan 

'Si Hina Kelana Merana'. Bahkan batu-batu yang


terdapat di lereng gunung itu akhirnya runtuh 

menerima getaran ilmu 'Lengkingan Pemenggal Roh' 

yang begitu hebat.

Namun Pendekar Hina Kelana yang sedang 

dilanda kemarahan itu tidak berhenti cukup di situ 

saja. Dengan gerakan yang sangat cepat ia 

mengumbar pukulannya ke berbagai arah. Keadaan 

di sekelilingnyapun menjadi porak poranda. Dalam 

keadaan seperti itu, secara sayup-sayup, Buang 

Sengketa mendengar sebuah bisikan yang 

datangnya dari sebuah tempat yang tiada terukur 

jauhnya. Bahkan jika saja Buang Sengketa tidak 

memiliki kesaktian yang sudah sangat sempurna, 

mustahil ia mampu mendengar bisikan itu.

"Bocah tolol, apakah kau sudah gila...! 

Merobohkan pohon-pohon yang tidak memiliki salah 

apa-apa...!" bentak suara bisikan itu lugas.

Buang Sengketa hapal betul siapa yang 

sedang berbicara itu. Cepat sekali ia menekuk 

lututnya hingga jatuh terduduk. Dengan sikap 

hormat ia berucap.

"Guru tidak melihat apa yang telah dilakukan 

oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. 

Mereka telah memfitnahku, Guru...! Bukankah apa 

yang mereka lakukan merupakan bencana yang 

dapat membuatku harus berhadapan dengan 

banyak tokoh...?" jelas si pemuda dengan suara 

tergetar.

Dari kegaiban sana terdengar suara tawa 

orang yang sangat dihormati oleh Pendekar Hina 

Kelana. Dialah gurunya yang telah tiada itu, yaitu 

manusia setengah Dewa Si Bangkotan Koreng 

Seribu.


"Buang, kehidupan manusia itu sudah ada 

yang mengaturnya. Apa gunanya kuwariskan jurus 

Pamungkas 'Koreng Seribu'. Jika dalam menghadapi 

cobaan seperti sekarang ini kau tidak dapat 

mengendalikan unsur siluman yang mengalir di 

dalam darahmu. Bukankah dulu pernah kukatakan, 

bahwa jurus Sakti Koreng Seribu kuwariskan 

padamu untuk mengendalikan hawa amarah, di 

samping sangat berguna dalam menghadapi lawan-

lawanmu...?" kata suara bisikan itu penuh tanya.

"Tetapi apa yang kuhadapi sekarang ini 

benar-benar sangat keterlaluan sekali, guru...! 

Fitnah itu sewaktu-waktu dapat mencelakakan 

muridmu?!" bantah si pemuda dengan wajah tetap 

menunduk.

"He... he... he...! Kalau kau merasa berada di 

pihak yang benar. Apa salahnya jika kau 

menghadapi mereka dengan jurus Koreng Seribu...!"

Buang Sengketa nampak terdiam untuk 

sesaat lamanya. Kalau di timbang-timbang rasanya 

apa yang dikatakan oleh gurunya itu tidak salah.

"Baiklah. Kalau guru sudah mengatakan 

demikian, sebagai murid yang belum mengerti 

banyak aku hanya akan menuruti perintahmu...!"

"Bukan saja belum mengerti banyak, namun 

kau juga edan...!" dengus bisikan itu, sehingga 

membuat Pendekar Hina Kelana yang tadinya 

kehilangan kontrol sekarang telah kembali lagi pada 

sikap konyolnya.

"Tidak salah. Guru sendiri juga sinting...!" 

sambut Buang Sengketa dengan tawa tergelak-gelak.

"Sudahlah. Bicara denganmu lebih lama 

hanya membuatku muak...!"


"Jadi kau hendak ke mana, guru...!" pancing 

si pemuda sambil menahan perasaan geli.

"Aku tidak ke mana-mana, bocah gemblung. 

Aku tetap di alamku alam kedamaian abadi yang 

tiada mengenal lagi kematian...!" kata bisikan itu 

ringan.

"Aku ikut, guru...!"

"Kau semakin keblinger, bocah. Tugasmu 

sebagai seorang pendekar masih menantang di 

hadapanmu. Lagi pula siapa sudi diikuti bocah tolol 

sepertimu...!" bersamaan dengan kata-katanya itu. 

Maka suara bisikan gaib itupun akhirnya lenyap 

begitu saja. Tinggal Buang Sengketa yang nampak 

duduk termangu sambil menarik nafasnya berulang-

ulang. Tidak mengapa. Siapapun orang yang telah 

berani mempergunakan namaku dalam 

pembantaian ini. Yang jelas mungkin saja ia 

memiliki kepandaian yang tiada terukur. Namun 

walaupun dia berujud sebagai dedengkot manusia 

iblis sekalipun. Aku akan mencari keadilan. Aku 

pasti akan mengadakan perhitungan dengannya. 

Batin Pendekar Hina Kelana.

Akhirnya dengan perasaan tiada menentu, 

Buang Sengketa pun segera meninggalkan gunung 

Gendeng menuju ke arah kota Kadipaten.


TIGA



Kota Kadipaten Kalungkung pada malam hari 

kelihatan ramai dikunjungi oleh orang-orang dari 

daerah. Apalagi Kadipaten merupakan pusatnya 

kesenian dan juga atraksi berbagai kegiatan orang

orang yang mencari nafkah. Pendek kata daerah itu 

nampak semakin mempesona keindahannya pabila 

malam hari. Lampu warna warni berkelap-kelip tak 

ubahnya bagai kunang-kunang yang bertaburan di 

kegelapan malam.

Namun nun jauh dari pusat keramaian itu. Di 

sebuah kedai penjual makanan yang sangat sarat 

oleh pengunjung. Nampak kesibukan yang agak lain 

bila dibandingkan dengan kesibukan yang sedang 

berlangsung di tengah-tengah kota.

"Kudengar telah begitu banyak kaum 

persilatan yang telah bergelimpangan menjadi 

korban sepak terjang Pendekar Hina Kelana?" tanya 

seorang laki-laki bertubuh kekar berjambang serta 

kumis lebat dengan pakaian serba kuning dan ikat 

kepala berwarna kuning pula.

Orang yang menjadi lawan bicaranya adalah 

seorang laki-laki berbadan tinggi kurus, berkumis 

jarang dan berpakaian serba hitam. Di bagian 

pinggang laki-laki itu menggelantung sebuah senjata 

yang berupa kaitan dan bertali panjang. Orang-

orang di sekitar Kadipaten mengenal laki-laki 

berbadan kurus itu sebagai si Pengait Aneh. 

Sedangkan laki-laki bertubuh kekar sama sekali 

belum pernah di kenal sebelumnya.

"Tidak perlu diragukan lagi! Orang yang 

berjuluk Pendekar Hina Kelana itu bahkan beberapa 

hari yang lalu telah membunuh anggota keamanan 

Kadipaten ini...!"

"Itu makanya kau mengundangku untuk 

datang ke tempat ini...!" dengus laki-laki berpakaian 

kuning.

"Kau jangan salah sangka, Anggoro! Kalaupun


aku mengundangmu jauh-jauh dari Kemujang sana. 

Semua itu berdasarkan atas perintah Kanjeng 

Adipati. Bahkan demi menjaga keamanan Kadipaten 

ini beliau telah berkenan mengeluarkan biaya yang 

sangat besar untuk penjaga keamanan...!" jelas si 

Pengait Aneh.

"Huh...! Sekarang setelah keadaan menjadi 

gawat. Engkau baru mau mengundangku untuk 

sama-sama bergabung menjadi pengawal keamanan.

Tapi dulu aku datang padamu untuk meminta 

pekerjaan pada Adipatimu itu, sedikitpun kau tidak 

mau membantu...!" sergah Anggoro dengan perasaan 

kurang senang.

"Dulu pekerjaan seperti yang kau inginkan itu 

memang belum ada. Bukan aku tidak mau 

menolongmu...!"

Sesaat suasana di dalam warung itu berubah 

sunyi. Pengunjung di dalam warung yang rata-rata 

merupakan para bawahan si Pengait Aneh 

kelihatannya tidak berani bicara apa-apa. Mereka 

menyadari apapun yang dibicarakan oleh si Pengait 

Aneh atasan mereka yang jelas menyangkut masalah 

keamanan Kadipaten.

"Sekarang tawaranmu cukup menggiurkan 

juga. Namun apakah Adipatimu itu mampu 

memberikan upah seperti yang aku inginkan?" tanya 

Anggoro dengan sesungging senyum tipis.

"Berapa yang kau minta...?" tanya si Pengait

Aneh.

"Dua puluh keping uang emas...!" kata 

Anggoro mantap. Semua itu membuat mereka yang 

hadir di tempat itu nampak membelalakkan 

matanya. Tidak terkecuali si Pengait Aneh.


"Gila!" seru si Pengait Aneh dengan kedua 

mata melotot. "Aku saja setiap bulannya hanya 

mendapat satu keping uang emas. Dan kau meminta 

dua puluh keping uang yang sama?" Pengait Aneh 

geleng-gelengkan kepalanya.

"Bukankah aku tak memaksa? Kalau 

Adipatimu merasa keberatan dengan upah yang 

kuminta, silahkan mencari yang lain...!"

Si Pengait Aneh baru saja hendak 

melanjutkan kata-katanya ketika pada saat itu 

muncul seorang laki-laki muda berwajah tampan di 

dalam warung itu. Mereka yang hadir di sana 

hampir bersamaan menoleh pada pemuda berwajah 

tampan. Suasana berobah menjadi sepi mencekam.

Pemuda tampan itu dengan sikap acuh segera 

duduk di sebuah bangku yang terletak di tengah-

tengah ruangan, sementara si pelayan warung 

dengan sikap tergesa-gesa datang menghampiri.

"Tuan mau pesan apa?" tanya si pelayan 

warung dengan sikap sungkan.

"Aku menginginkan kepala semua orang yang 

berada di dalam warung ini...!" kata pemuda 

bersenjata pedang itu dengan suara dingin 

menyeramkam.

Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda 

itu sudah barang tentu membuat mereka yang 

berada di dalam warung terperangah. Mereka 

menganggap apa yang diminta oleh pemuda tidak 

dikenal itu merupakan sebuah tantangan yang jelas-

jelas ditujukan untuk mereka. Diantara sekian 

banyak orang yang berada di dalam warung itu. 

Laki-laki yang bernama Anggoro itulah yang tidak 

dapat menerima penghinaan tersebut. Dengan wajah



merah padam ia segera bangkit dari tempat 

duduknya, kemudian laki-laki bertubuh kekar itu 

pun sudah membentak, "Apakah aku tidak salah 

dengar?" ucapnya setengah bertanya.

"Kurasa kalian tidak tuli bukan? Sudah 

kukatakan aku ingin meminta kepala kalian 

semua...!" ulang pemuda itu dengan suara keras.

Si Pengait Aneh rasanya sudah tidak mampu 

lagi menahan kemarahannya. Bagaimana tidak. Di 

Kadipaten Kalungkung ia merupakan orang yang 

sangat disegani oleh masyarakat setempat. Karena 

selain merupakan seorang kepala pengawal 

keamanan, laki-laki setengah baya ini juga di kenal 

sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi. 

Namun siapa sangka malam itu seorang pemuda 

yang tidak mereka kenal telah berani menghina 

sedemikian rupa? Tanpa basa-basi lagi, dengan 

gerakan yang sangat cepat tubuhnya langsung 

berkelebat. Di saat lain si Pengait Aneh telah berdiri 

tegak empat meter di hadapan si pemuda.

"Bocah! Siapakah engkau ini...?" tanyanya 

dengan suara bergetar. Pemuda berwajah tampan 

itu tersenyum dingin. Sedingin tatapan matanya 

yang memandang tajam pada si Pengait Aneh dan 

Anggoro.

"Hiaaa... hak... hak... haak...! Mengenai 

namaku kalian tidak perlu tahu, tapi agar kalian 

tidak mampus secara penasaran. Orang-orang 

mengenalku sebagai Pendekar Hina Kelana...!"

"Setan alas! Kawan-kawan inilah si manusia 

iblis yang telah meminta banyak korban. Keparat...!" 

geram si Pengait Aneh. Sesaat ia memandang 

kepada seluruh bawahannya yang berjumlah



puluhan orang. Semua anggota pengawal Kadipaten 

itu cukup mengerti apa makna pandangan mata 

atasannya. Maka tanpa menunggu perintah lagi. 

Puluhan pengawal keamanan Kadipaten itu segera 

menghunus senjatanya. Secara serentak pula 

mereka langsung menerjang si pemuda. Laki-laki 

muda berwajah tampan yang mengaku-ngaku 

sebagai Pendekar Hina Kelana itu tergelak-gelak. 

Masih dengan posisi duduk, pemuda itu 

menyongsong kedatangan para pengeroyoknya.

Siing! Sraaaass!

Cepat bukan main gerakan tangan si pemuda 

yang mengaku-ngaku sebagai Pendekar Hina Kelana 

itu. Begitu tangannya berkelebat tahu-tahu di 

tangannya sekarang tergenggam sebilah pedang 

pusaka yang memancarkan sinar kuning keemasan. 

Bahkan lebih cepat lagi pedang di tangannya 

menyambar tubuh lawannya. Tidak kurang sembilan 

orang anggota pengawal Kadipaten tersungkur roboh 

begitu senjata yang mengandung racun itu 

merenggut nyawa lawannya. Laksana kilat pedang 

itu kembali lagi ke sarungnya. 

Sraak...!"

Gerakan memasukkan dan mencabut pedang 

yang sedemikian cepat itu saja sudah merupakan 

suatu tanda bahwa pemuda berwajah tampan itu 

memiliki ilmu memainkan pedang yang sedemikian 

hebat. Namun si Pengait Aneh maupun Anggoro 

tidak mungkin mendiamkan sepak terjang si 

pemuda. Terlebih-lebih setelah melihat sembilan 

orang anggotanya tewas seketika dengan tubuh 

berubah menjadi kuning bagaikan kunyit.

"Jahanam! Kau ternyata bukanlah seorang


pendekar seperti yang kau sebut-sebut. Namun kau 

tak lebih merupakan seorang iblis yang harus di 

bikin mampus!" teriak si Pengait Aneh. Ketika itu ia 

sudah melolos senjata andalannya yang berupa 

mata kait berjabang tajam bertali panjang.

"Jangan banyak membantah, akulah 

Pendekar Hina Kelana...!" kata pemuda itu masih 

tetap berada di tempatnya. Sementara itu Anggoro 

dan si Pengait Aneh telah menerjangnya dengan 

serangan-serangan yang sangat gencar. Anggoro 

yang bersenjata pedang menyerang si pemuda 

dengan senjata mengarah pada bagian kaki dan 

perut. Sedangkan senjata si Pengait Aneh mencari 

sasaran pada bagian dada dan kaki. Sampai sejauh 

itu si pemuda tampan melayani mereka dengan 

mengandalkan kelincahan gerak serta jurus-jurus 

tangan kosong.

Dalam waktu yang sangat singkat tiga puluh 

jurus telah berlalu. Warung yang menjadi ajang 

pertempuran telah porak poranda. Bahkan sekarang 

mereka telah bergerak keluar. Suara teriakan-

teriakan menggelegar terasa memecah keheningan 

malam. Saat itu hampir seluruh kekuatan pengawal 

Kadipaten telah mengeroyok pemuda yang mengaku 

sebagai Pendekar Hina Kelana itu. Bantuan para 

pengawal itupun tidak berarti banyak. Karena begitu 

si pemuda mencabut senjata andalannya yang 

memancarkan sinar kuning itu menderu. Maka 

korban demi korban pun berjatuhan. Lama 

kelamaan para pengawal Kadipaten Kalungkung pun 

tidak bersisa sama sekali.

"Kurang ajar. Kau benar-benar iblis...!" teriak 

si Pengait Aneh. Pada saat itu ia berusaha memutar



senjata andalannya. Namun setelah pedang di 

tangan si pemuda ikut bicara, kait bermata tajam 

itupun sudah tidak mempunyai banyak arti 

menghadapi jurus-jurus pedang lawannya. 

Meskipun saat itu si Pengait Aneh telah 

mengerahkan jurus andalannya yaitu jurus 'Kait 

Gila Bermata Buta'. Hingga pada satu kesempatan.

Traaang!

Senjata di tangan si Pengait Aneh berantakan 

saat dilanda ketajaman mata pedang si pemuda. 

Bahkan laksana kilat dan tidak dapat dihindari lagi.

Jroooss!

"Akrrrgh...!" si Pengait Aneh keluarkan jeritan 

tertahan-tahan. Bagian kepadanya melesat cepat 

dan nyaris menghantam kepala Anggoro yang 

berusaha mati-matian membendung serangan 

lawannya. Jika saja laki-laki itu tidak cepat-cepat 

merendahkan tubuhnya. Pastilah kepala si Pengait 

Aneh yang melesat cepat itu menghantam 

kepalanya.

Weeess! Daarrk...! 

Kutungan kepala si Pengait Aneh begitu luput 

menghantam kawannya sendiri langsung 

menghantam dinding warung yang terbuat dari 

papan. Begitu membentur dinding warung. Maka 

kepala itupun hancur dengan otak bertaburan ke 

mana-mana.

"Iblis...!" teriak Anggoro berulang-ulang. 

Dengan sebat dia memutar pedang di tangannya. 

Lawan melayaninya dengan tawa mengekeh. Dalam 

kemarahannya itu jelas nyata bahwa gerakan silat 

Anggoro sudah tidak terkontrol dengan baik. Pada 

saat yang tepat pemuda itupun memapaki senjata


Anggoro yang menderu mengarah batang lehernya.

Traaang! Traaang...! 

Pedang di tangan Anggoro patah menjadi 

beberapa bagian saat membentur senjata pusaka 

lawannya. Laksana kilat lawan menusukkan 

senjatanya ke arah bagian perut lawannya.

"Jrees...!"

Anggoro hanya mampu membelalakkan 

matanya. Kelengahan yang hanya sesaat itu benar-

benar harus ditebusnya dengan mahal.

"Sreek!" begitu pedang di tangan pemuda 

yang mengaku sebagai Pendekar Hina Kelana itu 

kembali ke sarungnya. Maka tanpa ampun lagi 

tubuh Anggoro langsung terjerembat ke depan. 

Tubuh laki-laki berbadan kekar inipun hanya 

berkelojotan sesaat lamanya. Kemudian terdiam 

pula untuk selama-lamanya. Si pemuda nampak 

tersenyum puas. Dengan diiringi suara tawa 

menggidikkan tubuhnyapun berkelebat lenyap di 

telan kegelapan malam.


EMPAT


Buang Sengketa merasa tidak punya pilihan 

lain lagi ketika hampir di setiap langkahnya ia 

menemukan korban demi korban dari tokoh 

misterius yang telah mempergunakan namanya 

dalam setiap aksinya, dalam setiap melakukan 

pembunuhan. Dia telah bertekad untuk memburu 

tokoh misterius itu, meskipun ia sendiri tidak dapat 

memastikan betapa hebatnya kepandaian yang 

dimiliki oleh tokoh misterius yang telah


mencemarkan nama baiknya itu.

Dalam keadaan berjalan melenggang namun 

tanpa pernah mengurangi kewaspadaannya. Tiba-

tiba Pendekar Hina Kelana mendengar suara 

gemerisik yang mencurigakan di kanan kiri jalan 

yang dilaluinya. Untuk tidak menimbulkan 

kecurigaan bagi para pengintainya. Pemuda tampan 

ini terus melangkahkan kakinya dengan sikap acuh. 

Dan ia menyadari semak-semak di kanan kiri jalan 

itu bergerak cepat, seolah ingin menyamai 

langkahnya. Buang Sengketa secara mendadak 

menghentikan langkahnya, maka semak-semak 

itupun tidak bergoyang-goyang lagi.

"Orang-orang yang bersembunyi di dalam 

semak-semak. Coba tunjukkan muka...!" kata 

pemuda itu sambil memperhatikan semak-semak 

yang terdapat di sekelilingnya. Tidak ada reaksi 

apapun atas kata-kata pemuda itu. Melihat semua 

ini sebenarnya si pemuda mulai merasa kesal. Tapi 

mengingat ia sendiri saat itu sedang berusaha 

mengembalikan nama baiknya. Maka Buang 

Sengketa pun tidak berani bertindak gegabah.

"Kuingatkan pada kalian sekali lagi, coba 

tunjukkan muka...?" ulangnya. Beberapa saat 

setelah itu maka dari kanan kiri jalan yang dilalui 

oleh Buang Sengketa nampak bermunculan 

beberapa orang laki-laki bersenjata cambuk dan 

pedang. Wajah-wajah mereka yang sinis memandang 

tajam pada pemuda yang berdiri tegak di hadapan 

mereka. Buang Sengketa segera menyadari pastilah 

orang-orang itu terdiri dari dua perguruan. Atau 

paling tidak dari partai yang berbeda.

"Kisanak! Apa maksud kalian memata-matai


perjalananku...?" tanya pemuda itu dengan sikap 

tenang.

Mereka yang ditanya mendengus dan saling 

berpandangan sesamanya. Lalu seorang laki-laki 

berbadan tinggi besar, berpakaian warna gelap serta 

berwajah tengkorak nampak maju dua tindak. 

Sepasang matanya yang menjorok ke dalam batok 

kepala memandang sinis pada Pendekar Hina 

Kelana.

"Bertanya terus terang. Kaukah yang berjuluk 

Pendekar Hina Kelana...?" bentak laki-laki itu 

dengan tatapan menyelidik.

"Siapskah anda semua...?"

"Jawab dulu pertanyaan kami, orang 

muda...!" kata laki-laki muka tengkorak merasa 

tidak senang.

"Saya tidak akan berkata apa-apa sebelum 

kalian menjawab pertanyaan itu...!"

"Hemm." laki-laki itu mengumamkan kata-

kata yang tidak jelas. "Seumur hidup belum pernah 

ada yang berani menjual lagak di depan Ketua 

Tengkorak Putih, selain manusia tolol sepertimu...!" 

geram laki-laki berwajah mengerikan itu yang 

ternyata merupakan orang-orang Tengkorak Putih.

"Maaf. Bukan aku menjual lagak. Tapi kurasa 

menanya asal usul orang yang bertanya padaku 

tidak ada salahnya..." Buang Sengketa rangkapkan 

tangannya ke depan dada. Laki-laki berwajah 

mengerikan itu sekali lagi mendengus bagai kerbau.

"Omong kosong...! Anak muda cepat kau 

katakan siapa engkau yang sebenarnya. Kalau tidak 

kau akan menanggung sendiri akibatnya...!"

"Ketua mengapa harus bertanya lagi. Sudah


jelas pemuda yang punya penampilan seperti ini 

tidak lain orang yang memiliki gelar Pendekar Hina 

Kelana...!" kata salah seorang dari mereka merasa 

tidak sabar lagi.

"Benar... aku memang Pendekar Hina Kelana. 

Ada keperluan apakah kalian mencari aku...!"

"Kau jangan berpura-pura, bocah! Telah 

begitu banyak korban yang jatuh di tanganmu. 

Kejahatanmu melebihi tindakan manusia iblis. Di 

setiap daun lontar kau tinggalkan pesan. Masihkah 

kau mau mungkir...!" bentak laki-laki berwajah 

tengkorak itu dengan kemarahan yang tiada 

terperikan.

Buang Sengketa tersenyum kecut. Ia memang 

sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh 

laki-laki itu. Karena ia sendiri telah banyak melihat 

korban yang bergelimpangan dengan ulah tokoh 

misterius yang mengaku-aku sebagai dirinya. 

Begitupun ia masih bersabar dengan berkata, "Maaf, 

sobat. Bukan aku seorang pengecut, untuk 

mengakui segala perbuatanku. Tapi perlu kalian 

ketahui bahwa di kalangan persilatan ada orang 

yang sengaja melakukan teror dan berusaha 

memfitnah aku...!"

"Bedebah. Bagaimana mungkin kau bisa 

berubah menjadi sepengecut ini, tikus budukan...!"

"Kalian jangan gegabah menuduh orang 

secara serampangan. Aku sendiri sekarang ini 

sedang berusaha mencari orang yang mengaku-aku 

sebagai diriku itu!" jelas pemuda itu dengan wajah 

memerah.

"Omong kosong. Lebih baik kau menyerah 

untuk mempertanggungkan segala perbuatanmu!"


"Menangkap orang yang tidak bersalah, sama 

saja artinya kalian akan kehilangan orang-orang 

tidak berdosa...!" kata Buang Sengketa mencoba 

menyadarkan orang-orang yang telah 

mengepungnya. Tetapi manalah orang-orang yang 

telah dirasuki perasaan dendam itu memperdulikan 

ucapannya. Sebaiknya mereka segera melolos 

pedang dan cambuknya. Dengan senjata itu mereka 

langsung menggempur Buang Sengketa dari 

berbagai penjuru. Tidak dapat dihindari, 

pertempuran sengit pun terjadi. Para pengeroyoknya 

dengan segenap kemampuan yang dimilikinya 

berusaha mendesak Pendekar Hina Kelana. 

Sebaliknya pemuda titisan Raja dari Negeri Alam 

Gaib ini mana mau membiarkan tubuhnya termakan 

senjata di tangan lawan-lawannya begitu saja.

Dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh 

yang begitu sempurna. Buang Sengketa masih 

mampu menghindari serangan-serangan ganas

mereka. Tanpa terasa lima belas jurus telah 

terlewati. Namun sampai sejauh itu para 

pengeroyoknya masih belum mampu merobohkan 

Buang Sengketa. Jangankan sampai merobohkan, 

sedangkan menyentuh bagian tubuh si pemuda 

masih belum dapat mereka lakukan. Kenyataan ini 

jelas-jelas membuka mata si Muka Tengkorak yang 

mengepalai orang-orang itu. Bahkan ia sendiri di 

buat terkagum-kagum melihat kelincahan gerak 

pemuda itu. Padahal selama ini Tengkorak Putih 

tahu betul, bahwa orang-orang yang diasuhnya 

bukanlah murid-murid sembarangan. Dengan 

senjata mereka yang berupa cambuk dan pedang, 

telah begitu banyak lawan-lawan mereka yang


menjadi pecundang, tanpa campur tangan ketuanya 

sendiri.

Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini 

memang merupakan seorang lawan yang sangat 

tangguh. Akhirnya tanpa berkata apa-apa. Laki-laki 

bermuka buruk inipun ikut terjun ke gelanggang 

pertempuran. Dengan turunnya Tengkorak Putih 

dalam pertempuran itu. Maka dalam beberapa jurus 

di depan pemuda itu mulai kelihatan terdesak. 

Buang Sengketa segera merubah jurus-jurus 

silatnya yang bervariasi itu.

Pada dasarnya tokoh Tengkorak Putih itu 

bukanlah seorang lawan yang dapat dianggap 

ringan. Buang dapat merasakan setiap serangan 

yang dilancarkan oleh laki-laki muka buruk itu 

selalu menimbulkan getaran dan sambaran angin 

yang sangat keras lagi membuat sakit lubang pori-

pori. Kecepatannya dalam melakukan serangan juga 

sangat sulit untuk diduga-duga. Tetapi kiranya 

Tengkorak Putih juga menyadari bahwa orang yang 

menjadi lawannya kali ini bukan pula orang 

sembarangan. Bahkan ia sendiri dulu sering 

mendengar kehebatan pemuda yang berjuluk 

Pendekar Hina Kelana ini. Namun nama besar 

pendekar itu menjadi tidak ada artinya di mata 

Tengkorak Putih. Karena ia tetap beranggapan 

bahwa pemuda itu telah menebar berbagai 

kejahatan, akhir-akhir ini.

Lima puluh jurus telah terlewati tanpa terasa. 

Bahkan anak buah Tengkorak Putih sekarang sudah 

tidak lagi ikut melakukan pengeroyokan. Apalagi 

ketika mendengar teriakan Ketua mereka yang 

mengisyaratkan agar mereka menjauhkan diri dari


pertempuran. Maka orang-orang itu pun tidak 

punya keberanian bertindak gegabah. Bahkan 

mereka pun sadar betapa lawan yang dihadapi oleh 

Ketua mereka sekarang ini merupakan lawan yang 

sangat tangguh.

"Hiaat... Hayaaaa...!"

Di sertai dengan jeritan tinggi melengking, 

tubuh pendekar itu bersalto sebanyak tiga kali di 

udara. Pemuda ini nampaknya sedang berusaha 

menjauhi pertempuran. Tapi celakanya begitu 

Buang Sengketa menjejakkan kakinya sebanyak 

tujuh langkah dari Tengkorak Putih. Laki-laki muka 

buruk itu terus memburunya tanpa memberi 

kesempatan pada pemuda itu untuk bicara.

"Tunggu... aku...!"

"Syaaat...!" belum sempat Buang Sengketa 

melanjutkan kata-katanya. Tendangan kaki kanan 

Tengkorak Putih menderu keras mengarah pada 

bagian wajahnya. Si pemuda yang mengetahui 

betapa berbahayanya serangan itu, segera 

menghindar dengan cara berjumpalitan ke belakang. 

Melihat lawan masih dapat menghindari tendangan 

mautnya yang telah teraliri sepertiga dari tenaga 

dalam yang dimilikinya. Maka Tengkorak Putih pun 

melepaskan pukulan jarak jauh, yang sangat di 

kenal dengan nama 'Mempersempit Jarak'. Begitu 

Tengkorak Putih menghantamkan ke dua tangannya 

ke arah lawannya dengan jari-jari terkembang. Maka 

menebarlah bau busuk yang sangat keras sekali. Di 

samping itu dengan kecepatan yang sangat sulit 

untuk diikuti oleh kasat mata. Seberkas sinar 

berwarna biru melesat cepat ke arah Buang 

Sengketa. Menyadari dirinya dalam keadaan


berbahaya. Buang Sengketa segera merentangkan 

kedua tangannya di atas kepala. Saat itu juga dari 

telapak tangannya yang menggeletar hebat. Nampak 

melesat dua larik sinar merah menyala memapaki 

datangnya pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.

Begitu dua pukulan yang teraliri tenaga sakti 

itu saling berbenturan di tengah jalan. Maka tubuh 

mereka saling bergetar. Tengkorak Putih melipat 

gandakan tenaga dalamnya. Begitu pula halnya 

dengan Pendekar Hina Kelana yang merasa bahwa 

lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tenaga 

dalam setingkat di atasnya segera pula menguras 

segenap kemampuan yang dimilikinya. Adu tenaga 

dalam itu berlangsung seru dan menegangkan. 

Masing-masing lawan sudah mulai basah oleh 

keringat. Wajah mereka sebentar memerah dan di 

lain saat telah berubah pucat pasi. Namun diantara 

keduanya tidak seorang pun yang berani bertindak 

gegabah. Mereka menyadari dalam adu tenaga 

dalam seperti sekarang ini, siapa yang lengah, 

jiwanya pasti tidak akan tertolong lagi. Sementara 

Tengkorak Putih sedang memutar pikiran untuk 

mencari jalan keluar dalam usahanya mengakhiri 

pertarungan itu dengan harapan kemenangan harus 

berada di pihaknya. Buang Sengketa malah 

berusaha agar lawannya tidak mengalami luka-luka 

yang berarti. Sebab dalam usahanya mengembalikan 

nama baik yang dicemarkan oleh orang lain, ia tidak 

ingin adanya korban karena tangannya sendiri. Apa 

yang ingin ditunjukkan pemuda itu di depan para 

pengeroyoknya. Bahwa selama ini ia memang tidak 

pernah terlibat kejahatan manapun. Apalagi sampai 

membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Tapi


tentu saja usaha yang dilakukan oleh pemuda itu 

jelas terlalu sulit untuk dilaksanakan. Semuanya 

akan membawa resiko yang sangat tinggi. Bahkan 

salah-salah nyawanya sendiri yang menjadi 

taruhannya. Dalam keadaan yang serba sulit itu. 

Tiba-tiba Buang Sengketa menarik balik tenaga 

dalamnya sendiri........

Pada saat itulah Tengkorak Putih nampak 

terkejut bukan alang kepalang. Bahkan ia merasa 

tidak percaya dengan apa yang terjadi pada saat itu. 

Bagaimana mungkin pukulannya amblas begitu 

saja. Bahkan ia melihat pemuda itu sambil 

tersenyum kecut masih tetap merentangkan 

tangannya di atas kepala. Dan Tengkorak Putih 

menjadi lebih terkesima lagi ketika secara perlahan 

namun cukup pasti, tubuhnya terseret dan bergerak 

cepat ke arah Buang Sengketa

Melihat kejadian yang mereka rasakan ganjil 

ini. Semua anak buah laki-laki muka buruk itu 

tidak tinggal diam. Tanpa dikomando lagi mereka 

menyerang Buang Sengketa yang tetap dalam 

keadaan tegak bahkan tidak bergeming sedikit pun 

juga. Tanpa ragu-ragu lagi, mereka mengayunkan 

senjatanya.

Craaak... sheeeb...! 

Senjata-senjata mereka begitu menyentuh 

tubuh Pendekar Hina Kelana langsung melekat erat 

dan tidak dapat mereka tarik kembali. Lebih celaka 

lagi ketika mereka berusaha membetot senjatanya 

masing-masing. Senjata yang menempel di bagian 

tubuh Buang Sengketa terasa melekat lebih erat lagi. 

Bahkan detik-detik berikutnya mereka merasakan 

adanya sebuah kekuatan yang tiada terlihat


mengalir deras melalui tangan mereka.

"Ilmu ibliss...!" geram Tengkorak Putih. 

Sementara ia sendiri masih belum menemukan jalan 

untuk membebaskan diri dari pengaruh betotan 

yang ditimbulkan akibat pengerahan tenaga dalam 

yang terus menerus. Puluhan anak buahnya 

berjatuhan bagai pohon pisang ditebang. Dalam 

pada itu dengan melakukan satu dorongan yang 

agak keras. Tubuh laki-laki muka buruk itu hampir 

saja terjengkang. Dengan gerakan cepat ia segera 

bangkit berdiri. Dengan suaranya yang mengguntur 

Tengkorak Putih berucap penuh teguran.

"Orang muda. Kalau kau menghendaki. 

Mungkin sudah sejak tadi jiwa kami melayang. Tapi 

benarkah kau orang yang berjuluk Pendekar Hina 

Kelana?" tanya Tengkorak Putih seakan tidak 

percaya.

"Aku memang Pendekar Hina Kelana. Tapi 

yakinlah kalian, bukan aku yang telah melakukan 

pembunuhan demi pembunuhan itu...!" jawab 

pemuda itu serius.

"Maaf orang muda. Kalaulah bukan kau yang 

telah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. 

Apakah kau beranggapan ada orang lain yang 

sedang berusaha melakukan fitnah terhadap 

dirimu...?"

"Ya... tidak dapat ku sangkal. Ada pihak 

tertentu yang sedang menyebarkan fitnah 

terhadapku...!"

"Kalau begitu ada orang-orang tertentu yang 

merasa tidak senang dengan dirimu...?" tanya 

Tengkorak Putih dengan nada sedikit lunak.

"Mungkin saja, tapi aku tidak dapat

memastikan siapa mereka. Karena terlalu banyak 

golongan hitam yang tewas di tanganku...!"

"Heh... baiklah. Siapapun adanya engkau ini, 

sekarang aku merasa yakin bahwa kau bukan orang 

yang pantas untuk dicurigai...!"

"Maafkan aku orang tua... apa yang 

kulakukan hanyalah untuk membela diri. Sekarang 

aku harus segera pergi...!" Buang Sengketa meminta 

diri.

"Pergilah. Semoga Dewata selalu 

menyertaimu...!" kata Tengkorak Putih tulus. 

Dengan sekali berkelebat, pemuda itu telah lenyap 

dari hadapan orang-orang Tengkorak Putih.

"Hemm. Bukan main. Jika saja ia memang 

tokoh misterius itu. Mungkin saja sejak tadi aku dan 

orang-orangku cuma tinggal nama saja...!" batin 

laki-laki muka buruk itu. Tak lama setelah itu 

dengan disertai seluruh anak buahnya. Tengkorak 

Putih segera melakukan perjalanan kembali.

5l

LIMA



Setelah bertemu dan sempat bentrok pula 

dengan pemuda berpakaian merah. Laki-laki muka 

buruk yang berjuluk Tengkorak Putih itu bermaksud 

membantu pemuda yang diyakininya tidak bersalah 

itu mengembalikan nama baiknya. Maka niat yang 

pertama sekali harus dilakukannya adalah 

menghubungi para sahabat-sahabatnya. Juga 

semua golongan putih. Rupanya Tengkorak Putih 

yang semula secara terang-terangan berusaha 

menangkap Pendekar Hina Kelana, akhirnya


berubah niat setelah ia bertemu dengan pemuda 

sakti itu. Dan Tengkorak Putih akhirnya merasa 

maklum sendiri setelah, kalah bertarung dengan 

pemuda itu. Yang membuat Tengkorak Putih merasa 

sangat yakin bahwa Pendekar Hina Kelana tidak 

pernah terlibat dalam segala bentuk teror yang 

selama ini terjadi ialah karena pada saat akhir 

pertarungan itu dengan kesaktiannya yang sangat 

luar biasa itu. Kalau pendekar itu mau tentu mereka 

telah terbunuh seluruhnya.

Sekarang dengan segenap keyakinan yang ia 

miliki dalam usahanya mengembalikan nama baik 

Pendekar Hina Kelana. Rombongan yang dipimpin 

oleh Tengkorak Putih itu nampak menuju ke sebuah 

Perguruan yang bernama Perguruan 'Elang Emas'. 

Jarak yang ditempuh oleh mereka sebenarnya masih 

sangat jauh sekali. Karena Perguruan Elang Emas 

itu terletak bagian Tenggara selat Berhala. 

Demikianlah tanpa mengenal lelah hampir 

sepanjang hari mereka terus melakukan perjalanan.

Ketika keesokan harinya mereka telah 

memasuki daerah Selat Berhala. Pada sebuah jalan 

yang sangat sunyi. Seorang pemuda bertopi lebar 

nampak menghadang di tengah jalan yang mereka 

lalui. Melihat kenekatan orang itu tentu saja 

Tengkorak Putih dan orang-orangnya menjadi 

berang juga.

"Sobat bertopi. Kami harap jangan halangi 

jalan yang akan kami lewati. Menyingkirlah...!" 

perintah Tengkorak Putih dengan suara bergetar. 

Wajah yang tersembunyi di balik topi lebar itu 

tersenyum dingin. Sepasang matanya yang setajam 

serigala kelaparan memperhatikan Tengkorak Putih


untuk seketika lamanya. Tapi pemuda bertampang 

kejam dan bertopi lebar itu tidak berkata apa-apa. 

Tetapi ia juga tidak mau menyingkir dari jalan itu. 

Kenyataan ini secara tidak langsung telah 

membangkitkan amarah Tengkorak Putih dan para 

anak buahnya.

"Hei... apakah kau tidak dengar apa yang 

kukatakan...?" ulang Tengkorak Putih dengan suara 

keras.

"Aku selalu mendengar setiap apa yang 

dikatakan oleh orang lain, manusia muka hantu. 

Bukankah kau menyuruhku segera menyingkir?" 

suara pemuda bertopi lebar itu terasa dingin 

menyeramkan.

"Bagus kalau kau telah mendengarnya. 

Sekarang kerjakanlah yang aku perintahkan 

tadi...?!" kata Tengkorak Putih tanpa merasa curiga 

apa-apa.

"Jalan ini bukan milik nenek moyang kalian. 

Siapapun punya hak berada di sini. Jadi apa 

perdulimu. Mau aku berada di tengah-tengah jalan 

ini sepanjang hari, tidak seorangpun yang dapat 

melarangku...!" kata pemuda itu semakin bertambah 

dingin.

Apa yang baru saja dikatakan oleh orang di 

depannya itu jelas-jelas membuat Tengkorak Putih 

semakin bertambah murka

"Iblis jalanan, siapakah Engkau ini? Kulihat 

kau sengaja mencari gara-gara dengan kami...!" 

Pemuda bertopi lebar itu tergelak-gelak. 

Suaranya melengking tinggi menggidikkan bulu 

kuduk setiap orang yang berada di sekitarnya

"Untuk kalian ketahui. Sebenarnya saat ini



aku sedang melaksanakan satu pekerjaan yang 

sangat rahasia. Tapi karena kalian telah hampir 

berhasil menemukan sesuatu yang kuperbuat. Maka 

kalian hanya pantas mengenalku sebagai si Pedang 

Kilat...!"

"Pedang Kilat...?" gumam Tengkorak Putih 

sambil berusaha merenungi kata-kata yang baru 

saja diucapkan oleh pemuda bertopi lebar itu. Tetapi 

setelah agak lama memutar otak. Ia sendiri akhirnya 

menarik kesimpulan. Bahwa pada waktu-waktu 

sebelumnya mereka memang belum pernah bertemu 

atau mendengar sebuah julukan yang agak 

menyeramkan ini.

"Pedang Kilat! Aku tidak mengenal siapapun 

engkau. Tapi kuharap menyingkirlah dari hadapan 

kami. Jika tidak aku pasti segera memberi pelajaran 

padamu...!" teriak Tengkorak Putih.

"Jangan banyak tanya. Lebih baik kita gebuk 

saja, Ketua...!" celetuk salah seorang anak buahnya 

tidak sabaran lagi.

"Ha... ha... ha...! Kalian adalah badut-badut 

tidak lucu yang sebentar lagi segera kukirim ke 

neraka...!" pemuda bertopi lebar itu mengancam.

"Kurang ajar. Kau benar-benar telah 

menghina kami manusia sinting...!"

"Kalian tidak percaya! Lihatlah...!" belum lagi 

selesai dengan kata-katanya dengan kecepatan 

melebihi kecepatan suara, samar-samar terlihat 

sekelebatan sinar putih menyilaukan mata bergerak 

cepat menyambar. Bersamaan dengan itu terdengar 

suara jeritan maut dari anak buah Tengkorak Putih. 

Lima orang dari mereka tersungkur roboh dengan 

luka di bagian leher yang sangat dalam. Darah


menyembur dari masing-masing luka itu. Yang 

membuat Tengkorak Putih jadi terperangah, karena 

bekas luka itu tidak jauh beda dengan luka-luka 

yang sama dari orang-orang yang telah terbunuh 

pada waktu-waktu yang telah berlalu. Luka-luka itu 

bergerigi, seolah-olah senjata yang dipergunakan 

oleh orang bertopi lebar itu merupakan sebuah 

senjata yang tidak tajam. Dan Tengkorak Putih 

merasa lebih terkesima lagi. Ketika sepasang 

matanya yang menjorok ke dalam batok kepalanya 

itu melirik ke arah pemuda itu. Ia tidak melihat 

pemuda itu sedang menggenggam senjata apapun. 

Hal ini merupakan bukti. Bahwa kecepatan pemuda 

itu dalam mempergunakan senjatanya melebihi 

kecepatan suaranya sendiri.

"Keparaat! Melihat luka dan caramu dalam 

mempergunakan senjata. Kau memang pantas 

memiliki gelar si Pedang Kilat. Tapi melihat apa yang 

kau lakukan, maka aku pun dapat menarik 

kesimpulan. Bahwa kunyuk sepertimulah yang telah 

mempergunakan nama Pendekar Hina Kelana dalam 

setiap aksimu membunuh orang-orang yang tidak 

berdosa...!"

"Wua... ha... ha...! Hem... rupanya otakmu 

tidaklah serusak mukamu yang jelek itu. Memang... 

memang tidak akan memungkiri bahwa sebenarnya 

memang akulah yang dengan sengaja 

mempergunakan nama manusia yang paling kubenci 

di kolong langit ini dalam segala usahaku 

menjatuhkan nama baiknya...!"

"Oh, rupanya kau punya dendam tersendiri 

dengan pendekar itu? Pantasan setiap selesai 

melakukan kejahatan, kau menuliskan namanya


pada selembar daun lontar. Ternyata. Kau hanyalah 

seorang iblis pengecut...?" Tengkorak Putih merasa 

geram sekali.

"He... he... he...! Kau salah jika 

menganggapku seorang pengecut, manusia jelek. 

Ketahuilah bahwa semua itu kulakukan semata-

mata hanya untuk menyiksa perasaannya. Setelah 

dia cukup menderita, barulah aku datang 

membunuhnya...!" kata pemuda bertopi lebar itu 

masih terus tergelak-gelak.

"Tidak semudah itu, manusia iblis. Karena 

kami segera menghubungi kaum persilatan untuk 

menjernihkan dulu persoalan yang sebenarnya. 

Sehingga pendekar itu tidak akan menjadi korban 

kelicikanmu..."

"Tidak bisa... tidak dapat... karena aku segera 

mengirim kalian ke neraka...!"

Sriing...!

Hanya terdengar gemerincing suara senjata 

tercabut dari sarungnya saja. Ketika pemuda bertopi 

lebar itu menggerakkan senjatanya. Maka jeritan-

jeritan meregang ajalpun terdengar saling susul 

menyusul. Dalam waktu yang sangat singkat sekali 

seluruh orang-orang Tengkorak Putih habis 

terbantai hingga tidak bersisa sama sekali. Melihat 

kejadian ini semua sudah barang tentu Tengkorak 

Putih menjadi sangat gusar sekali.

"Keparat. Kau benar-benar manusia iblis...!" 

maki laki-laki berwajah buruk itu dengan 

kemarahan tertahan-tahan. Sebaliknya si Pedang 

Kilat alias Pendekar Hina Kelana palsu malah 

tergelak-gelak.

"Sampai waktu yang kuinginkan. Tidak akan

kubiarkan siapapun membongkar rahasiaku. Itu 

makanya aku harus mencegahmu agar tidak pernah 

sampai ke perguruan Elang Emas...!"

"Kalau begitu mampuslah, kau...!" teriak 

Tengkorak Putih. Sambil menghunus senjatanya 

yang berupa cambuk dan pedang pendek. Laki-laki 

buruk rupa ini berusaha mendesak lawannya 

dengan serangan-serangan gencar. Tapi oleh 

lawannya semua itu dapat diatasi dengan kecepatan 

gerak yang sangat hebat. Hingga ketika pertempuran 

baru berlangsung tiga empat jurus. Tengkorak Putih 

telah tersungkur roboh bermandikan darah. Dapat 

dibayangkan Tengkorak Putih yang memiliki tenaga 

dalam seimbang dengan Pendekar Hina Kelana itu 

dapat dijatuhkan oleh lawannya hanya pada 

gebrakan-gebrakan awal. Hal ini merupakan satu 

bukti. Bahwa pemuda bertopi lebar itu memang 

merupakan seorang pemuda yang sangat handal 

yang memiliki kecepatan gerak tidak dapat 

diperhitungkan. Selesai membunuh lawan-

lawannya, si Pedang Kilat dengan tenang segera 

meninggalkan korban-korbannya.


ENAM



Malam itu udara terasa dingin sekali. Langit 

agak tertutup awan. Hanya sedikit saja cahaya 

bulan yang kelihatan di langit sana. Suasana di 

sekitar hutan Tengger kelihatan lenggang tidak 

ubahnya bagai hutan mati. Tapi di tengah-tengah 

hutan yang jarang di jarah oleh kalangan persilatan 

manapun itu. Di sebuah kuil tua yang sudah tidak


terurus. Seorang laki-laki tua berpakaian tambal-

tambal nampak sedang duduk-duduk menikmati 

lezatnya ayam panggang hutan bersama seorang 

gadis cantik berpakaian, serba ungu.

Sesekali gadis berparas cantik jelita ini 

melirik pada laki-laki tua yang duduk tidak begitu 

jauh dari sisinya. Melihat cara laki-laki berpakaian 

tambal-tambal itu menggerogoti ayam panggang itu. 

Tiba-tiba gadis berwajah rupawan itu bergumam 

pelan.

"Guru...! Siapakah orang yang paling rakus di 

kolong langit ini?"

Laki-laki yang di panggil 'Guru' oleh gadis 

cantik itu tidak Iain Iblis Liang Kubur adanya. 

Sedangkan gadis itu tidak lain merupakan murid 

tunggal Iblis Liang Kubur yang bernama Pertiwi.

"Di dunia ini cuma ada satu orang yang 

sangat rakus, bahkan mempunyai sifat mata 

keranjang...!" kata laki-laki bertampang sangar itu 

seolah memperingatkan pada muridnya yang luar 

biasa cantik itu.

"Siapakah orang itu, Guru...?" tanya Pertiwi. 

Pada kenyataannya meskipun gadis itu merupakan 

seorang murid manusia sesat, tetapi ia memiliki 

watak yang polos.

"Siapa lagi kalau bukan si Burung Hantu 

sahabatku itu...!" kata kakek tua itu polos.

"Hah...!" Pertiwi sampai terlonjak dari tempat 

duduknya. Selama ini ia memang tidak pernah 

menghiraukan kehadiran si Burung Hantu di 

tengah-tengah mereka. Bahkan ia tidak begitu 

perduli cara si Burung Hantu memandang padanya.

"Bagaimana guru bisa mengetahuinya...?"


tanya gadis cantik itu setengah ragu-ragu.

"Aku mengenal si Burung Hantu tidak 

ubahnya bagai tangan dan kakiku sendiri. Itu 

makanya, meskipun dia merupakan sahabat baikku. 

Tetapi kau jangan bersikap lengah...!"

Pertiwi menganggukkan kepalanya. Kemudian 

setelah menoleh ke kanan dan kiri. Pertiwi 

melanjutkan pertanyaannya, "Guru. Apakah guru 

tahu, kemana saja perginya Uwa Burung Hantu 

pada saat-saat memisahkan diri dari kita seperti 

sekarang ini?" sambil menggerogoti kerat terakhir 

bagian kepala ayam hutan panggang itu. Iblis Liang 

Kubur berkata:

"Mungkin saja ada pekerjaan lain yang harus 

segera diselesaikannya. Atau bisa saja ia sedang 

memburu Pendekar Hina Kelana, yang konon 

kabarnya telah membunuh adik-adik 

seperguruannya dari pulau Berhala sana...!"

"Menurut guru. Mana diantara anda berdua 

yang lebih sakti...?" pancing gadis itu lebih jauh.

Iblis Liang Kubur mendengus kesal. Sejak 

dulu ia paling tidak suka bila dibanding-bandingkan 

dengan orang lain. Meskipun yang mengajukan 

pertanyaan itu merupakan murid tunggalnya 

sendiri.

"Kau jangan membuat gurumu marah, 

Pertiwi...?"

"Ah, aku kan cuma tanya saja. Kalau guru 

tidak sudi menjawabnya atau barangkali guru 

sendiri merasa tidak punya keberanian untuk 

mengatakannya. Tokh aku tidak memaksa...!" kata 

Pertiwi dengan wajah cemberut.

"Weh... kau pikir aku takut


mengatakannya...?" ujar Iblis Liang Kubur. "Kau 

pikir gurumu ini memiliki ilmu lebih rendah bila 

dibandingkan dengan ilmunya si Burung Hantu itu? 

He... he... he...! Dalam ilmu silat kami seimbang. 

Begitu juga halnya dengan kecepatan menggunakan 

senjata. Tapi entah kalau sekarang...! Entah dia 

malah lebih maju, entah lebih mundur. Cuma satu 

saja yang tidak kupunyai dari seluruh apa yang 

dimilikinya. Bahwa aku tidak ahli dalam hal ilmu 

penyamaran. Selebihnya dia tidak dapat 

memandang remeh pada gurumu ini...!" jelas Iblis 

Liang Kubur dengan perasaan bangga.

Setelah puas mendengar jawaban gurunya. 

Akhirnya Pertiwi hanya diam saja. Sedangkan 

gurunya karena merasa kekenyangan telah bersiap-

siap ingin tidur. Lain halnya sang guru lain pula 

halnya dengan apa yang dialami oleh muridnya. 

Setelah memakan daging panggang ayam hutan 

yang lezat itu. Pertiwi merasakan tubuhnya terasa 

panas. Keringat mulai meleleh membasahi sekujur 

tubuhnya. Padahal saat itu udara di sekitar itu 

terasa dingin sekali. Tapi Pertiwi merasakan 

badannya gerah dan ingin mandi. Satu hal yang 

tidak terpikirkan di benak Pertiwi, mengapa udara 

yang dingin itu tidak dirasakannya sama sekali. 

Bahkan ia tidak merasa curiga dengan ayam hutan 

yang dimakannya dan siapa yang menangkapnya 

siang tadi? Yang ada dalam ingatannya saat itu ialah 

ia ingin mandi sepuas-puasnya. Dan ketika ia ingat 

dengan sebuah sungai yang terletak tidak begitu 

jauh dari kuil tua yang mereka tempati. Maka gadis 

itupun pamitan pada gurunya.

"Guru...! Badanku terasa gerah sekali. Aku


ingin mandi di sungai yang kita lewati tadi...!" kata 

gadis itu sambil melangkah seenaknya.

"Jangan lama-lama...!" kata Iblis Liang Kubur 

yang sudah sangat mengantuk itu tanpa merasa 

curiga apa-apa. Sedangkan Pertiwi tanpa berkata 

lagi segera bergegas menuju ke arah sungai.

Di luar sepengetahuan gadis itu, kiranya 

sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasi 

gerak-gerik Pertiwi yang memiliki wajah sangat 

rupawan ini. Dari jarak tertentu sepasang mata yang 

penuh birahi ini terus mengikuti ke manapun 

Pertiwi melangkahkan kakinya.

Di langit bulan memancarkan cahaya kuning 

keemasan ke segenap pelosok hutan rimba di 

sekitarnya. Gadis berparas jelita itu sekarang telah 

berada persis di pinggiran sungai. Tanpa berpikir 

panjang lagi, gadis itu mulai menanggalkan 

pakaiannya satu demi satu. Maka tanpa penghalang 

lagi kulit putih yang halus mulus itu terlihat dengan 

jelas. Bahkan sepasang bukit kembarnya yang 

ranum, padat dan kenyal menandakan belum 

pernah tersentuh tangan-tangan jahil. Ketika gadis 

itu melemparkan lembaran terakhir pakaian bagian 

bawah. Pertiwi meletakkannya di atas sebongkah 

batu besar. Tubuh gadis yang tiada tertutupi 

selembar benang itu segera meluncur memasuki 

kedalaman sungai.

Sementara pemilik sepasang mata yang 

menyaksikan semua yang dimiliki Pertiwi dengan 

jelas, berulang kali nampak menelan ludah. Lutut 

terasa goyah bahkan ia merasa semakin tidak sabar 

untuk menyergap mangsanya. Namun ia masih 

berusaha menahan gejolak perasaannya dengan


menanti perkembangan selanjutnya.

Di dalam air sungai yang bening itu. Pertiwi 

terlihat berenang kian ke mari mengikuti arus 

sungai. Tubuhnya yang tiada tertutup sehelai 

benang itupun bergerak mengikuti arus sungai. 

Hingga pada beberapa saat setelahnya ia merasakan 

satu perasaan yang belum pernah dialaminya pada 

waktu-waktu sebelumnya.

Mula-mula tubuhnya menggeletar bagai orang 

yang kedinginan. Kemudian ia merasakan arus 

sungai yang mengalir deras itu tidak jauh bedanya 

dengan belaian dari tangan-tangan yang kokoh. 

Pertiwi merasakan satu rangsangan yang besar 

bersumber dari bagian bawah perutnya. Tidak ayal 

tubuh gadis rupawan itupun menggelinjang 

beberapa kali. Nafasnya turun naik tidak teratur. 

Sementara bibirnya terus mendesis-desis tidak 

ubahnya bagai seekor ular yang tengah berhadapan 

dengan lawannya. Pertiwi kemudian berenang ke 

tepi sungai. Di atas tanah berpasir tubuhnya 

terguling-guling, mulutnya terus mendesis tiada 

henti. Sementara itu sepasang mata yang terus 

mengintai dari semak-semak nampaknya merasa 

sudah tidak sabar lagi melihat buruannya telah

berhasil dijinakkan. Dengan sekali berkelebat tubuh 

orang itu tahu-tahu telah berada di depan Pertiwi. 

Luar biasa nampaknya daya rangsangan yang 

dibubuhkan laki-laki pengintai itu pada ayam hutan 

yang sempat dimakan oleh Pertiwi itu. Sampai-

sampai gadis cantik yang memiliki tenaga dalam 

tinggi ini. Tidak dapat berbuat banyak atas 

kehadiran laki-laki muda bertopi lebar ini. Bahkan 

pemuda bertopi lebar itu dengan jelas dapat melihat


kepasrahan gadis rupawan yang terus mengerang 

dalam keadaan terlentang ini.

Tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu 

mencopoti pakaiannya sendiri. Sementara sepasang 

matanya nampak berkilat-kilat memandang bebas 

pada tubuh yang tergolek menelentang di 

hadapannya itu. Pemuda itu kemudian segera 

berjongkok, lalu tangannya yang kokoh itu me-rayap 

ke bagian dada. Pertiwi yang telah dirasuki hawa 

aneh itu menggelinjang beberapa kali. Dan pada 

saat jemari tangan pemuda itu meluncur menuruni 

bagian perut hingga sampai ke bawah. Tanpa dapat 

dicegah lagi gadis itu langsung memeluk si pemuda. 

Bahkan ia nampak pasrah ketika pemuda itu 

bermaksud menindihnya. Mungkin saja beberapa 

saat kemudian Pertiwi akan kehilangan segala-

galanya jika pada saat itu tidak muncul sesosok 

bayangan yang menyambar deras ke arah pemuda 

yang mulai menindih tubuh gadis rupawan itu. 

Bayangan merah itu berkelebat menghantam bagian 

tengkuk laki-laki itu. Mendapat serangan yang tiada 

terduga-duga. Laki-laki bertopi lebar itu langsung 

tersungkur roboh. Namun di luar dugaan ia memiliki 

daya tahan yang luar biasa sekali. Dengan cepat ia 

bangkit kembali. Sementara bayangan merah tadi 

telah menyambar tubuh telanjang bulat itu. Karena 

menyadari lawannya tidak dapat dijatuhkan padahal 

ia telah melakukan tendangan dengan 

mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang 

dimilikinya. Maka bayangan merah itu segera 

berkelebat pergi dengan membawa tubuh Pertiwi 

yang telanjang bulat.

Melihat mangsanya berhasil dilarikan oleh


bayangan merah itu. Pemuda bertopi lebar itu 

bermaksud melakukan pengejaran. Tetapi ia jadi 

mengurungkan niatnya ketika lamat-lamat ia 

mendengar suara orang yang akan dikejarnya itu 

berkata.

"Bangsat cabul! Kalau engkau hendak 

mengejar kami... sarungkan dulu pedang 

keramatmu. Kalau tidak kan malu bila sempat 

dilihat babi hutan...!" ejek bayangan merah itu 

melalui ilmu mengirimkan suara.

Tentu saja pemuda bertopi lebar itu segera 

menyadari keadaan dirinya sendiri. Dan ketika ia 

memandang ke arah bawah ia segera menutup 

bagian itu dengan ke dua tangannya sendiri. Cepat-

cepat ia menghampiri pakaiannya yang tergeletak di 

tepi sungai. Namun ketika ia telah sampai di tempat 

itu tidak dilihatnya pakaian yang berserakan tadi. 

Begitupun ketika ia melihat ke arah sebongkah batu 

besar yang merupakan tempat teronggoknya 

pakaian gadis yang telah dilarikan bayangan merah 

tadi. Ia pun tidak melihat pakaian itu masih berada 

di tempatnya. Akhirnya pemuda bertopi lebar itupun 

uring-uringan sendiri. Bahkan untuk sementara ia 

terpaksa menggunakan daun-daun hutan yang 

sangat lebar untuk melindungi tempat-tempat yang 

sangat dikeramatkan itu. Setelah menutupi bagian-

bagian tertentu dengan ala kadarnya sejurus 

kemudian pemuda bertopi lebar itu segera 

melakukan pengejaran dengan membawa 

kemarahan yang sangat besar.

Sementara itu Iblis Liang Kubur yang tidak 

dapat tidur pulas. Begitu merasa betapa lamanya 

muridnya mandi di sungai segera melakukan

pencarian. Namun ia menjadi terkejut sekali ketika 

di sungai itu ia tidak menemukan Pertiwi. Bahkan 

dugaan-dugaan yang tidak baik pun mulai terlintas 

di pikirannya. Tanpa putus asa, Iblis Liang Kubur 

memanggil-manggil muridnya. Namun sampai 

sejauh itu tidak ada sahutan. Iblis Liang Kubur tiba-

tiba saja menjadi cemas. Akhirnya setelah tidak 

berhasil menemukan murid tunggalnya di tempat 

itu. Iblis Liang Kubur pun malam itu juga ia 

meninggalkan hutan Tengger untuk mencari 

muridnya di tempat lain.


TUJUH



Bayangan merah itu terus saja berlari cepat 

meninggalkan hutan Tengger. Barulah setelah 

menjelang fajar dan telah jauh meninggalkan tempat 

yang dirasanya tidak aman. Bayangan merah itu 

menghentikan ilmu lari cepatnya. Namun di luar 

dugaannya begitu langkahnya terhenti. Gadis 

telanjang yang berada di atas pundaknya langsung 

menghantam bagian punggung orang berpakaian 

merah yang telah menyelamatkannya. Tak ayal lagi 

tubuh sang penyelamat yang tidak lain Buang 

Sengketa ini langsung tersungkur roboh. Sementara 

tubuh si gadis nampak melesat ke udara. Setelah 

bersalto beberapa kali. Gadis itu menjejakkan 

kakinya dengan mulus di atas permukaan tanah. 

Rupanya di luar sepengetahuan si pemuda. Pada 

saat diselamatkan tadi. Tidak sampai setengah jam 

kemudian gadis itu mulai sadar dari pengaruh


rangsangan yang masih belum ia ketahui dari mana 

sumbernya itu.

Namun pada dasarnya gadis berparas cantik 

jelita ini murid seorang datuk sesat. Tanpa 

menghiraukan dirinya yang dalam keadaan bugil. Ia 

tetap terus berpura-pura belum sadarkan diri. 

Bahkan sepanjang jalanan ia terus mengerang dan 

mendesis-desis bagai ular kepanasan. Rupanya 

gadis cantik muridnya Iblis Liang Kubur ini 

merupakan seorang gadis yang berotak cerdik. 

Setelah mengetahui bahwa ia diselamatkan oleh 

seorang pemuda tampan yang baik hati. Maka tanpa 

disangka-sangka ia telah memasang siasat untuk 

menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu? Tapi 

sepanjang perjalanan ketika tubuhnya berada di 

atas bahu pemuda itu. Sebenarnya bukan hanya 

pemuda yang menolongnya itu saja yang menjadi 

pikirannya. Tetapi juga ada hal lain yang tidak kalah 

pentingnya, yaitu siapakah pemuda bertopi lebar 

yang hampir memperkosanya itu? Rasanya selama 

ini gadis yang bernama Pertiwi itu belum pernah 

berjumpa dengan pemuda bertopi lebar itu.

"Uh... keparaat...!" tiba-tiba saja wajah gadis 

cantik itu berobah merah padam. Apalagi bila ia 

mengingat kejadian buruk yang hampir 

menimpanya. Namun sekarangpun dia bukannya 

tidak sedang ke bagian sialnya. Pemuda yang telah 

menolongnya itu bagaimanapun sempat melihat 

lekuk lengkung bagian tubuhnya. Bahkan dengan 

sejelas-jelasnya. Meskipun pada dasarnya pemuda 

berbaju merah itu tidak memiliki niat yang tidak 

baik. Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang 

sangat polos hal itupun ia anggap sebagai satu



penghinaan.

Tanpa menghiraukan keadaan Buang 

Sengketa yang di bagian bibirnya nampak 

mengalirkan darah akibat pukulannya tadi. Kali ini 

si gadis kembali melakukan serangan-serangan 

gencar.

Pendekar Hina Kelana menyadari selain 

pukulan-pukulan gencar yang dilakukan oleh gadis 

itu sangat ganas dan berbahaya. Namun ia juga 

melihat pukulan yang dimiliki gadis itu mengandung 

racun yang sangat keji. Dengan tubuh terhuyung-

huyung, Buang Sengketa berusaha mencegah niat 

gadis itu melanjutkan pukulan mautnya.

"Tunggu, nona...! Lebih baik nona memakai 

pakaian dulu. Setelah itu terserah. Mau marah 

silakan, mau memukuliku, lebih baik jangan 

dilakukan...!" kata pemuda itu sambil memegangi 

dadanya yang terasa sakit sekali. Rupanya gadis itu 

baru menyadari keadaan dirinya. Dengan cepat ia 

mendekap dua bisul kembar di bagian dadanya. 

Sedangkan sepasang kakinya langsung dirapatkan 

dalam posisi menyilang dengan tujuan melindungi 

hutan keramat dari penglihatan pemuda tampan di 

depannya. Sebenarnya gadis itu tidak perlu berbuat 

seperti itu karena ternyata sejak tadi Buang 

Sengketa secara terus menerus memalingkan 

perhatiannya ke arah lain.

"Keparaat. Pemuda kurang ajar... aku benar-

benar akan membunuhmu...!" teriak Pertiwi dalam 

kemarahannya yang tertahan-tahan.

"Kau tidak perlu marah-marah, nona...! Aku 

masih sempat menyambar pakaianmu ketika 

menyelamatkanmu dari orang yang bermaksud


kurang ajar itu...!" Buang Sengketa lalu 

melemparkan seluruh pakaian milik si gadis. Sambil 

menangkap pakaian-pakaian itu, Pertiwi semakin 

membentak marah.

"Kau kira telah berbuat baik padaku. Puih... 

siapa sudi. Kau tidak lebih baik dari manusia 

brengsek itu. Tahukah kau gara-gara kau, aku 

sampai terpisah dengan guruku...!" kata si gadis 

sambil mengenakan pakaiannya. Dan ketika 

Pendekar Hina Kelana bermaksud menoleh dan 

memandang padanya. Maka gadis itu pun kembali 

membentak.

"Hei... jangan lihat kemari dulu. Kau mau 

mengintip ya...!" kata-kata Pertiwi yang ketus dan 

tanpa perasaan itu tentu saja membuat Buang 

Sengketa kehilangan kesabarannya.

"Kalau aku mempunyai maksud-maksud 

tidak baik kepadamu. Apakah kau tadi dapat 

terhindar dari sebuah malapetaka yang sangat 

menyakitkan itu?" tanya pendekar berwajah tampan 

ini seperti pada dirinya sendiri.

"Huh... baru saja memiliki kepandaian picisan 

begitu saja kau sudah berani jual lagak di 

depanku...!" dengus Pertiwi yang baru saja selesai 

mengenakan pakaiannya.

"Aku bukannya jual lagak. Tapi... ah 

sudahlah... selamanya aku paling tidak suka 

berdebat dengan perempuan sepertimu...!" Buang 

Sengketa sudah bermaksud meninggalkan tempat 

itu. Tetapi begitu ia melangkahkan kakinya. Tahu-

tahu Pertiwi telah menghadang di depannya.

"Jangan coba-coba bertingkah di hadapanku. 

Siapapun adanya engkau ini. Kau harus diberi


pelajaran yang setimpal atas segala ulahmu...!" 

setelah berkata begitu. Pertiwi segera melancarkan 

serangan kilat mengarah pada bagian urat darah 

pemuda itu. Buang menyadari serangan yang 

dilakukan oleh gadis itu merupakan sebuah 

serangan yang tidak dapat dianggap ringan. Karena 

pada dasarnya ia memang tidak bermusuhan 

dengan gadis yang dianggapnya sinting itu. Maka 

untuk melindungi dirinya pemuda itu segera 

mempergunakan jurus si 'Gila Mengamuk'. Dalam 

sekejap itu juga, tubuh Buang Sengketa nampak 

terhuyung-huyung. Gerakan kaki dan tangannya 

tidak ubahnya bagai orang yang sedang mabuk. 

Tubuhnya terkadang terhuyung-huyung ke kanan 

dan kiri. Namun dilain saat bergerak cepat hingga 

tidak ubahnya bagai bayang-bayang belaka.

Bagaimana mungkin sejak tadi pukulan-

pukulan mautnya dapat dikandaskan oleh 

lawannya. Padahal sampai saat itu ia telah 

mempergunakan pukulan 'Si Buta Memandang 

Bulan' dan pukulan 'Inti Sukma' secara silih 

berganti. Tapi bagaimana mungkin pemuda itu 

masih dapat menghindari dua pukulan ampuh 

miliknya?

Rupanya setelah bertarung selama hampir 

empat puluh jurus. Pertiwi merasa kesal juga karena 

sejak tadi usahanya untuk menjatuhkan lawannya 

masih juga sia-sia. Akhirnya gadis itu sudah tidak 

dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan 

cepat Pertiwi merangkapkan kedua tangannya di

atas kepala. Pandangan gadis itu sekarang berubah 

tajam menusuk pada pemuda tampan yang menjadi 

lawannya. Selanjutnya dengan gerakan yang lincah


kedua kakinya bergeser ke kanan dan kiri. Tidak 

jauh bedanya dengan seekor kuda betina yang 

sedang ancang-ancang mengatur kakinya untuk 

berlari sekencang-kencangnya.

"Pukulan 'Tarian Iblis'...?!" gumam pemuda 

itu ketika melihat kedua telapak tangan Pertiwi 

menebarkan asap tipis berwarna putih ke biru-

biruan. Selain itu kedua telapak tangan yang 

diselimuti kabut itu juga telah berubah warna 

menjadi hitam legam. Buang Sengketa jelas-jelas 

merasa terkesima dengan kehebatan yang dimiliki 

oleh gadis berwajah jelita itu. Sebab seingatnya di 

dunia ini satu-satunya orang yang memiliki ilmu 

semacam itu hanyalah Nyai Sumirah seorang. Tapi 

bukankah orang itu telah tewas di tangannya 

beberapa tahun yang lalu? (Jelasnya dalam Episode 

Sepasang Iblis Bermata Dewa). Atau mungkinkah 

gadis cantik ini masih memiliki hubungan dengan 

perempuan itu? Batin pemuda itu dengan perasaan 

tidak mengerti. Namun lepas dari semua itu. 

Pendekar Hina Kelana nampaknya sudah tidak 

dapat berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu, 

gadis yang di tolongnya itu sekarang telah 

melepaskan pukulan beruntun yang sangat 

berbahaya sekali.

Buang Sengketa tentu saja tidak ingin 

bertindak secara gegabah. Apalagi ia belum dapat 

memastikan siapa sebenarnya gadis yang 

dihadapinya itu. Karena tindakannya yang sangat 

berhati-hati itu. Maka ia terpaksa harus 

mengerahkan segenap kemampuannya untuk 

menghindari serangan-serangan yang berupa 

pukulan jarak jauh dengan segenap kemampuan


yang dimilikinya. Melihat lawan masih juga mampu 

menghindari dari pukulan Tarian Bidadari itu, 

Pertiwi segera menggeser langkahnya ke samping 

kiri sebanyak tujuh langkah. Melihat perobahan 

yang sangat tiba-tiba ini Buang kembali dibuat 

terheran-heran. Bukankah jurus yang dimainkan 

oleh gadis itu tidak lain dan tidak bukan merupakan 

jurus 'Berhala Menyembah Matahari'. Jurus ini 

dulunya merupakan milik tiga tokoh iblis dari pulau 

Berhala. Tiada di sangka-sangka kini gadis itu 

memainkan jurus-jurus milik para tokoh iblis dari 

pulau Berhala itu!

Namun kali ini Buang Sengketa yang tidak 

memiliki kemauan untuk melayani lawannya tidak 

punya waktu yang cukup untuk menghindari 

gerakan lawan yang begitu cepat datangnya.

Wuuees... 

Buuuk...!

Pendekar Hina Kelana untuk kedua kalinya 

kembali terpelanting roboh ketika tendangan yang 

dilakukan oleh Pertiwi yang terisi tenaga dalam itu 

menghajar telak bagian perutnya. Dengan langkah 

tertatih-tatih pemuda itu berusaha bangkit berdiri, 

namun gerakannya itu limbung sekali. Si pemuda 

merasakan kepalanya sakit luar biasa. Perut terasa 

mulas bagai terpotong-potong. Ketika dipaksanya 

juga untuk bangkit berdiri. Maka pemuda itu pun 

terbatuk beberapa kali. Dari sela-sela bibir pemuda 

itu nampak mengalir darah kental. Dalam keadaan 

menderita sakit yang cukup hebat itu. Lamat-lamat 

ia mendengar suara-suara aneh dari belakangnya 

sana. Ketika ia secara tidak sengaja memandang 

pada gadis itu, Buang Sengketa melihat gadis


berwajah rupawan itu nampak cemas sekali. Dan di 

luar dugaan dengan cepat ia menghampiri Buang 

Sengketa. Si pemuda yang tidak mengetahui 

maksud si gadis sudah barang tentu bersikap 

waspada meskipun saat itu dirinya sedang terluka.

Tapi di luar dugaan gadis itu malah memberi 

isyarat agar dia diam saja.

"Kau mau membawaku ke mana...?"

"Cerewet. Aku tidak membawamu ke mana-

mana. Aku hanya ingin membunuhmu di tempat 

lain...!" cibir gadis itu. Lalu dengan cepat ia 

memanggul Buang Sengketa yang dalam keadaan 

terluka akibat perbuatan gadis itu sendiri.

"Aku tahu kau takut dengan suara tadi...!" 

sindir pemuda itu sinis.

Gadis itu terdiam. Ia sendiri tidak tahu 

mengapa tiba-tiba dirinya yang selalu berbuat 

telenggas itu sekarang tidak sampai hati untuk 

menyakiti pemuda yang pernah menolongnya itu.

"Ternyata kau gadis pengecut...!" ejek Buang 

Sengketa ketika dilihatnya gadis itu hanya diam 

saja.

"Diam...! Orang yang bicara itu guruku dan 

kawannya. Kalau sampai ketahuan aku 

menyelamatkan kau. Kita semua bisa celaka...!" 

komentar gadis itu. Kemudian tanpa berkata-kata 

lagi ia pun segera berlari cepat meninggalkan tempat 

itu.


DELAPAN



Setelah mencari ke berbagai tempat dan tetap tidak mendatangkan hasil. Akhirnya Iblis Liang 

Kubur dan si Burung Hantu merasa hampir putus 

asa juga. Padahal hampir setiap tempat yang mereka 

curigai, selalu tidak luput dari perhatian mereka. 

Tetapi sampai sejauh itu mereka masih belum juga 

menemukan di mana murid Iblis Liang Kubur 

bersembunyi atau disembunyikan. Hingga sampai 

menjelang tengah hari, si Burung Hantu yang juga 

ikut melakukan pencarian nampak menjadi kesal.

"Kita tidak mungkin menemukan muridmu 

itu di tempat ini. Lagi pula kalau memang benar 

muridmu diculik oleh Pendekar Hina Kelana itu. 

Setidak-tidaknya kita telah menemukan mayatnya. 

Atau mungkinkah muridmu itu di sekap di sebuah 

tempat, Iblis Liang Kubur...?" kata si Burung Hantu. 

Lalu memalingkan wajahnya dan memandang ke 

jurusan lain.

"Tidak mungkin. Aku masih ingat betul, saat 

aku hendak tidur, muridku Pertiwi bicara padaku 

hendak mandi di sungai. Setelah itu aku tidak 

mendengar suara apa-apa hingga menjelang tengah 

malam...!"

"Itu menandakan, bahwa pendekar yang telah 

membunuh berbagai golongan itu ternyata memiliki 

ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Bahkan bisa 

saja melebihi kita-kita ini, apalagi hanya 

muridmu...?" kata si Burung Hantu tidak ubahnya 

bagai orang yang sedang dalam keragu-raguan.

"Omong kosong. Pertiwi bukan gadis yang 

lemah. Lebih dari itu kalau murid tunggalku itu 

sampai mengalami suatu kejadian yang tidak 

kuingini. Maka pelakunya tidak mungkin mendapat 

pengampunan dari Iblis Liang Kubur...!"


"Bagaimana pula kalau orang itu tidak dapat 

kau kalahkan...?" pancing si Burung Hantu.

Iblis Liang Kubur sungguh pun hatinya 

sedang diliputi kesedihan masih juga tersenyum-

senyum.

"Kalau memang ternyata si bangsat Hina 

Kelana itu memiliki kepandaian yang tidak dapat di 

tandingi. Maka aku telah memilih untuk mengadu 

jiwa dengannya." sergah laki-laki bermuka bengis itu 

geram.

"Baiklah... baiklah. Sudah waktunya kita 

mencari jalan sendiri-sendiri. Aku merasa lebih baik 

kita mencari jalan masing-masing dalam usaha 

membunuh pendekar yang sekarang sedang menjadi 

buronan kaum persilatan itu...!" kata si Burung 

Hantu merasa tidak sabar lagi untuk berpisah.

"Aku pun tidak dapat membantumu, karena 

aku sendiri sekarang sedang bingung dengan 

hilangnya murid tunggalku itu...!"

"Siapa yang meminta bantuan siapa? Kita 

sudah sama-sama tua bangka, Iblis Liang Kubur. 

Dari pada kita merasa pusing mencari seorang 

buronan dengan cara bekerja sama. Bukankah 

malah lebih baik jika kita bekerja sendiri-sendiri? 

Apalagi sekarang ini kau sedang bingung 

memikirkan nasib murid tunggalmu? He... he... 

he...!" si Burung Hantu terkekeh-kekeh.

"Cepatlah kau merat dari hadapanku, Burung 

keparaat. Aku semakin muak mendengar ocehanmu 

yang tidak bermutu itu..." hardik Iblis Liang Kubur 

semakin bertambah senewen.

"Baiklah... baiklah... aku segera pergi...!" 

berkata begitu, tiba-tiba saja Burung Hantu sudah


tidak kelihatan lagi di tempatnya. Tinggallah Iblis 

Liang Kubur yang termangu-mangu sendiri 

memikirkan nasib murid kesayangan satu-satunya.

Dalam kebingungannya itu entah mengapa 

secara tiba-tiba ia teringat pada si Burung Hantu 

yang baru berlalu dari hadapannya. Dan ketika ia 

teringat segala sesuatu yang dimiliki orang itu. Maka 

Iblis Liang Kubur menepuk-nepuk jidatnya sendiri 

yang setengah botak pelontos.

"Dasar goblook. Burung Hantu tidak ubahnya 

bagai setan alas, di depan hidungku bisa saja ia 

berpura-pura tidak mengerti. Aha... betul juga...!" 

sekali lagi Iblis Liang Kubur menepuk keningnya. 

Kemudian dengan cepat ia melakukan pengejaran ke 

arah perginya kawannya tadi.


SEMBILAN


Melalui jalan berbatu licin itu, Pertiwi terus 

melangkahkan kakinya dengan mantap. Di atas 

pundaknya Buang Sengketa masih dalam terlentang 

dengan tubuh lemas lunglai.

Hal yang sebenarnya Pendekar Hina Kelana 

itu sudah tidak merasakan akibat apa-apa. Bahkan 

luka dalam yang dialaminya sudah hampir sembuh. 

Hanya saja si pemuda terus berpura-pura. Walau 

sebenarnya hatinya merasa geli sendiri. Sambil terus 

berjalan, "Hei... kau jangan tidur! Bisa-bisa 

kucampakkan kau nanti. Emm... apa luka dalammu 

masih sakit...!"

"Iya...!" jawab si pemuda dengan suara lirih. 

Padahal saat itu ingin sekali ia tertawa keras-keras.


"Ah... tolol sekali engkau ini. Untuk apa 

berkeliaran di rimba persilatan jika tidak memiliki 

kepandaian apa-apa...?" Pertiwi mengumpat panjang 

pendek. Begitupun sebenarnya ia merasa suka 

bergaul dengan pemuda yang baginya agak aneh ini. 

Apalagi selain memiliki ketampanan yang 

mengagumkan pemuda itu juga tidak mempunyai 

watak-watak yang kurang ajar.

"Aku hanya seorang pengembara yang tidak 

punya apa-apa. Tapi aku tidak perduli meskipun 

kepandaianku hanya setahi kuku...!"

"Kau memang goblok. Harta benda juga hanya 

berupa sebuah periuk butut. Kemudian apa ini yang 

melilit di pinggangmu...?" Pertiwi tidak mengerti. 

Dan sebenarnya ia tidak menduga sama sekali 

bahwa saat itu ia sedang bersama-sama dengan 

seorang pendekar yang sangat tangguh.

"Yang melilit di pinggangku ini hanya berupa 

gulungan kulit rotan...!"

"Apa kubilang... kau memang pemuda tolol 

yang tidak becus apa-apa...!" kata gadis itu sambil 

terus memanggul tubuh Buang Sengketa.

Pendekar Hina Kelana kemudian hanya diam 

saja tanpa punya niat untuk berdebat dengan gadis 

itu.

Entah sudah berapa lama Pertiwi terus 

melakukan perjalanan seperti itu. Yang pasti ketika 

mereka mulai menuruni kaki bukit. Tiba-tiba dari 

berbagai jurusan bermunculan puluhan laki-laki 

berpakaian serba putih mengepung mereka berdua. 

Melihat gelagat tak baik ini Pertiwi bersikap tenang-

tenang saja.

"Bocah cantik... berhenti dulu...!" tiga orang


berbadan cebol yang menyertai puluhan laki-laki itu 

bergerak maju. 

"Hei... monyet cebol berkumis. Apakah 

keperluan kalian sehingga begitu berani 

menghentikan perjalanan kami...?" bentak gadis itu.

"Kalian telah memasuki daerah kekuasaan 

Elang Emas. Sudah menjadi peraturan di sini. 

Siapapun yang akan meneruskan perjalanan dari 

tempat ini harus kami periksa terlebih dulu...!" kata 

salah seorang laki-laki cebol berperut buncit itu.

"Apalagi dia merupakan gadis yang sangat 

cantik, Ketua...!" celetuk beberapa orang anggotanya 

dengan maksud cabul.

"Kalian pikir semudah itukah 

melakukannya...! Ketahuilah oleh kalian bahwa 

sekarang ini aku dalam keadaan tergesa-gesa. 

Apalagi mengingat sahabatku yang sakit dan hampir 

kelenger ini. Maka lebih baik kalian biarkan kami 

lewat...!"

Tiga orang laki-laki cebol yang menjadi 

pimpinan lebih dari dua puluh orang laki-laki 

bersenjata ruyung itu kelihatan saling 

berpandangan sesamanya untuk beberapa saat 

lamanya. Lalu secara serentak mereka 

memperhatikan pemuda yang berada di atas bahu 

gadis itu. Dan mereka jadi terkesima ketika melihat 

sebuah periuk mustika menggelantung di bagian 

pinggang pemuda itu.

"Bocah... siapakah engkau ini. Dan siapa pula 

pemuda yang kau gendong itu?" tanya salah seorang 

dari laki-laki berbadan cebol itu curiga.

"Aku... he... he... he! Aku hanya muridnya 

seorang manusia sesat. Sedangkan pemuda ini tidak


lain dan tidak bukan merupakan orang sinting yang 

kutemukan di tengah jalan...!"

"Bohong...! Kau tidak dapat membohong-

bohongi kami. Pemuda yang turut bersamamu itu 

pastilah, orang yang telah membunuh golongannya 

sendiri. Dia pasti Pendekar Hina Kelana...!"

Pertiwi tentu merasa terkejut sekali dengan 

apa yang dikatakan oleh orang-orang Elang Emas. 

Karena pada dasarnya ia sendiri bersama gurunya 

sedang mencari-cari orang yang berjuluk Pendekar 

Hina Kelana itu. Dalam rasa kepenasarannya itu, 

Pertiwi tiba-tiba saja bertanya, "Bagaimana kalian 

bisa mengetahui kalau pemuda yang dalam keadaan 

terluka ini Pendekar Hina Kelana...?" tanya Pertiwi 

dengan hati berdebar-debar.

Tiga orang laki-laki bersenjata ruyung 

raksasa dan berbadan cebol ini kembali tergelak-

gelak.

"Di kolong langit ini hanya orang yang 

mempunyai gelar Pendekar Hina Kelana saja yang 

membawa-bawa periuk nasi ke manapun ia pergi...!" 

jawab orang-orang itu merasa begitu yakin.

"Kau yang berada dalam gendonganku. 

Benarkah apa yang dikatakan oleh orang-orang 

cebol ini...!" bentak gadis itu pada Buang Sengketa.

"Katakan saja pada mereka. Jika mereka 

beranggapan bahwa orang sepertiku ini yang telah 

membunuh dan melakukan teror terhadap golongan 

putih dan hitam. Maka lebih baik cepat-cepat 

menarik ucapannya. Karena sekarang ini ada orang 

yang sengaja menyebarkan fitnah untuk 

mencelakakan orang yang bergelar Pendekar Hina 

Kelana itu...!" kata Buang Sengketa tandas.


"Nah kalian telah mendengar sendiri apa yang 

baru dikatakan oleh kawanku. Lebih baik kalian 

menyingkirlah...!" perintah Pertiwi merasa tidak 

sabar lagi.

"Orang lain mungkin dapat saja kalian 

bohongi. Namun kami orang-orang Elang Emas 

tidak sebodoh itu. Bocah cantik, kau boleh pergi dari 

sini sesuka hatimu, asal kau tinggalkan pemuda itu 

untuk kami...!" tukas salah seorang laki-laki cebol 

berkumis lebat dan berambut riap-riapan itu.

"Mana bisa. Kawanku yang tolol ini sedang 

terluka. Mana mungkin aku tega menyerahkannya 

pada kalian begitu saja...!"

"Kalau begitu kalian berdua memang perlu di 

ringkus...!" geram laki-laki cebol.

"Eeh... apa salah kami...?" Pertiwi 

membentak.

"Kesalahan kalian... coba tanyakan saja pada 

pemuda itu...!" sergah salah seorang dari mereka 

dengan perasaan jengkel.

"Kalian hanya mengada-ada dan jangan 

bermimpi aku mau menyerahkan pemuda ini pada 

kalian...!"

"Kalau itu yang menjadi keputusanmu. 

Hemm... rupanya kau lebih suka melindungi 

seorang pembunuh dari pada menjaga keselamatan 

sendiri. Anak-anak... ringkus mereka...!" perintah si 

cebol berkumis pada seluruh anggotanya.

"Pemuda gendeng dalam gendonganku. 

Apakah luka dalammu masih belum sembuh juga?" 

tanya Pertiwi sambil berusaha menghindari 

serangan sekian banyak orang yang 

mempergunakan senjata ruyung dalam usahanya


meringkus gadis itu.

"Sakit sih sakit... tapi kurasa kalau cuma 

menggebuk tikus-tikus penasaran. Aku pikir apa 

sulitnya...!"

"Jangan sombong! Ruyung mereka sewaktu-

waktu dapat meremukkan batok kepalamu..." kata 

gadis itu masih terus memanggul tubuh Buang 

Sengketa sambil melakukan serangan-serangan 

balasan. Di kesempatan Buang Sengketa yang sudah 

tidak sabar lagi melihat pertempuran itu segera 

melesat dari bahu Pertiwi. Tubuhnya berjumpalitan. 

Kemudian mendarat dengan baik di atas cabang 

pohon. Apa yang dilakukan oleh si pemuda 

sebenarnya membuat gadis itu menjadi marah. 

Karena ia beranggapan bahwa Buang Sengketa 

ternyata berpura-pura sakit. Padahal luka dalam 

yang sesungguhnya mungkin saja sudah sembuh.

"Wah... bocah edan... kubilang kalau lagi 

sakit tidak usah ke mana-mana. Ee... tidak tahunya 

malah nekad kabur. Aha... apakah kau merasa takut 

dengan para badut bersenjata ruyung ini? Kalau 

takut, baiknya kita hajar mereka...!" berkata begitu 

Pertiwi segera mempergunakan segenap ilmu 

meringankan tubuh yang dimilikinya. Sekarang 

tanpa beban di pundaknya. Dalam waktu sebentar 

saja pengeroyoknya dibuat terperangah tidak 

percaya. Sampai pertempuran berlangsung empat 

puluh jurus. Para pengeroyoknya itu jangankan 

dapat menangkapnya. Sedangkan menyentuh 

bajunya saja mereka tidak punya kemampuan. 

Keadaan seperti ini tentu saja membuat tiga laki-laki 

cebol yang menjadi pemimpinnya marah sekali.

"Pada tolol semuanya. Ringkus betina keparat


itu. Biarkan kami meringkus monyet yang berada di 

atas pohon itu...!" belum lagi mereka selesai berkata. 

Tahu-tahu tiga orang cebol itu melepaskan 

pukulannya mengarah pada batang pohon yang 

dijadikan tempat berpijak oleh Buang Sengketa. 

Spontan, serangkum cahaya berwarna biru dan 

menebarkan hawa panas luar biasa. Buang 

Sengketa menyadari betapa berbahayanya pukulan 

yang dilepaskan oleh para manusia cebol ini. Maka 

sebelum pukulan ini sampai pada sasarannya. 

Pemuda itu sudah mengempos tubuhnya bergerak 

cepat meninggalkan dahan pohon yang sekarang 

telah hancur berkeping-keping dilanda pukulan 

maut itu

"Hebat... benar-benar hebat sekali...!" puji 

Buang Sengketa begitu menjejakkan kakinya di atas 

permukaan tanah.

"Keparaat... kau harus berani berterus terang. 

Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Hina 

Kelana...?" tanya laki-laki cebol berperut buncit 

sambil memperhatikan Buang Sengketa dari ujung 

rambut sampai ujung kaki.

"Betul...! Tapi aku bukan Pendekar Hina 

Kelana palsu yang telah banyak membunuh orang 

dan menyebar teror di mana-mana...!"

"Bagaimana kami dapat mempercayaimu...! 

Kalau kau memang betul Pendekar itu, semua 

sudah jelas bagi kami. Bahwa selama ini kaulah 

yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan 

itu...!" bentak laki-laki cebol itu dengan pandangan 

berapi-api.

"Kalian tidak pernah tahu siapa aku dan 

siapa pula yang memfitnah aku. Lebih baik kalian


tidak melakukan tuduhan keji sebelum tahu betul 

siapa yang telah melakukan fitnah dengan memakai 

namaku itu...!"

"Tidak akan ada orang yang dapat 

mempercayaimu. Lebih baik kau serahkan saja 

kepalamu kepada kami...!" teriak ketiga laki-laki 

cebol itu sambil menghantamkan ruyung besar di 

tangan mereka ke bagian kepala dan leher Pendekar 

Hina Kelana. Sementara itu tidak henti-hentinya 

mereka melepaskan pukulan jarak jauhnya dalam 

usahanya mendesak pemuda itu.

Pemuda itu menyadari sepenuhnya dia tidak 

mungkin hanya melakukan pertahanan semata 

tanpa ada usaha untuk menjatuhkan mereka. 

Karena walau bagaimanapun orang-orang perguruan 

Elang Emas itu jelas-jelas menginginkan jiwanya. 

Kalaupun ia tetap mengambil kesimpulan untuk 

tetap bertahan. Maka cepat atau lambat mungkin 

saja ia bakal mengalami nasib celaka.

Namun jika saja ia sampai menjatuhkan 

korban. Hal ini jelas membawa kesan bahwa dirinya 

memang benar yang telah melakukan teror di mana-

mana.

Terjerat oleh belenggu keragu-raguan itu. 

Buang Sengketa yang sering kali melirik ke arah 

Pertiwi yang nampak mulai menjatuhkan lawan-

lawannya. Di suatu kesempatan yang kurang 

menguntungkan pemuda ini lepas kontrol. Si cebol 

kumis tebal yang menyerang dari bagian rusuk kiri 

berhasil mendaratkan pukulannya.

Buuk!

Dua kali pukulan berturut-turut secara telak 

dan keras membuat Buang Sengketa terhuyung


huyung. Pertiwi yang sempat melihat kejadian yang 

dialami oleh pemuda yang sangat disukainya 

nampak khawatir sekali.

"Badut-badut cebol. Awas kalian semua. Jika 

sampai kawanku itu mengalami hal-hal yang tidak 

diingini. Kalian semua akan kugantung...!" sambil 

berteriak-teriak seperti itu. Pertiwi tidak segan-segan 

menurunkan tangan mautnya terhadap murid-

murid perguruan Elang Emas yang bersenjata 

ruyung itu.

Korban demi korban pun berjatuhan. Melihat 

apa yang dilakukan oleh perempuan cantik itu 

sebenarnya Buang merasa tidak setuju. Tapi ia pun 

merasa tidak ingin mempengaruhi gadis seorang 

murid tokoh sesat itu dengan kemauannya sendiri.

"Hiaaaa...!"

Dengan disertai satu bentakan tinggi 

melengking tubuh pemuda itu melesat di udara. 

Tapi serangan ketiga laki-laki cebol itu cepatnya 

bukan main. Kemana pun Buang Sengketa berusaha 

menghindar, ke situ serangan ruyung raksasa itu 

memburunya. Kenyataan seperti ini tentu saja tidak 

menguntungkan posisi si pemuda. Dengan 

mempergunakan jurus si Jadah Terbuang dan 

dipadukan dengan jurus silat tangan kosong si Gila 

Mengamuk. Tubuh pemuda itu kemudian berkelebat 

cepat menghindari setiap serangan lawan yang 

datangnya tidak dapat diduga-duga itu. Tiga tokoh 

perguruan Elang Emas itu dalam beberapa jurus di 

depan nampak menjadi bingung. Ke manapun 

mereka berusaha menyerang si pemuda, namun 

mereka selalu tidak dapat menghantam sasarannya 

sebagaimana yang mereka harapkan. Bahkan


mereka merasa bahwa pihak lawannya memiliki 

gerakan tidak ubahnya bagai setan gentayangan. 

Hal-hal seperti ini tentu saja semakin lama 

membuat tiga laki-laki cebol itu menjadi jengkel dan 

frustasi. Dengan cepat mereka segera 

mempergunakan senjata andalannya yang berupa 

ruyung raksasa. Terdengar suara bercuitan saat 

senjata yang dapat mengembang dan menguncup itu 

menderu ke arah Buang Sengketa.

Pendekar ini terpaksa berlompatan mundur 

saat merasakan adanya sambaran hawa panas 

menerpa kulitnya. Dengan gerakan-gerakan yang 

sangat sulit diikuti penglihatan biasa. Buang 

Sengketa terus bergerak mundur. Keadaan seperti 

ini jelas-jelas menguntungkan posisi lawannya. 

Karena dengan begitu mereka dapat leluasa 

menyabetkan senjatanya mencecar bagian tubuh 

lawannya dari berbagai penjuru. Dalam pada itu 

Pertiwi yang baru saja menyudahi pertempuran 

dengan seluruh murid-murid perguruan Elang 

Emas, nampak sudah menyarungkan senjatanya 

kembali. Hampir seluruh orang-orang perguruan 

Elang Emas tewas di tangan gadis berwatak kejam 

itu.

"Orang berperiuk. Jika kau benar-benar 

Pendekar Hina Kelana... mengapa hanya 

menghadapi orang-orang Elang Emas saja kau 

hanya mampu melompat-lompat kayak monyet 

kesetanan...?" ejek gadis itu dengan posisi bertolak 

pinggang.

"Aku hanya ingin membuktikan pada mereka. 

Bahwa selama ini aku tidak pernah berbuat nekad 

dengan membunuhi orang-orang yang tidak


bersalah...!" kata pemuda itu sambil terus 

menghindari serangan ruyung-ruyung maut di 

tangan lawannya.

"Kalau kau tetap berbuat tolol seperti itu, 

lama kelamaan kau pasti mampus di tangan badut-

badut cebol itu...!" teriak Pertiwi merasa sangat 

kesal sekali melihat kesabaran si pemuda. 

Sementara lawan-lawannya bagai orang yang tidak 

memiliki dasar pertimbangan dan pikiran terus saja 

melakukan serangan-serangan gencar. Padahal 

mereka sendiri sebenarnya menyadari sepenuhnya, 

jika saja pemuda itu mempunyai maksud 

menjatuhkannya. Tentu hal ini dapat dilakukannya 

sejak tadi.

"Orang-orang cebol manusia laknat...! 

Kuperintahkan pada kalian untuk menyudahi 

pertempuran. Jika tidak... jangan salahkan aku... 

jika aku harus membunuh kalian...!" teriak pemuda 

itu dengan kemarahan yang tertahan-tahan.

"Siapa sudi menyudahi pertarungan. 

Terkecuali kau telah mampus di tanganku...!" 

dengus salah seorang dari mereka. Mendengar ini 

bukan Pendekar Hina Kelana yang menjadi panas 

hatinya. Tetapi Pertiwi. Ya... gadis itu memang 

sangat gusar sekali dengan kebandelan tiga orang 

laki-laki yang dihadapi oleh Pendekar Hina Kelana. 

Padahal secara jelas ia dapat mengetahui bahwa 

kemampuan yang dimiliki oleh pemuda itu jauh 

berada di atas para lawan-lawannya. Tapi karena 

pemuda itu terus bersikap mengalah. Maka habislah 

sudah kesabaran yang dimiliki oleh gadis berwajah 

rupawan itu. Tidak ayal lagi, dengan diawali satu 

teriakan tinggi melengking Pertiwi segera menerjang


tiga laki-laki cebol itu. Bahkan dengan senjata 

andalannya yang berupa pedang. Gadis itu 

menggempur orang-orang yang dianggapnya tidak 

tahu diri dengan tusukan-tusukan ganas senjata di 

tangannya.

"Kalau kau merasa tidak sampai hati untuk 

membabat kepala orang-orang yang tidak tahu adat. 

Silahkan menyingkir... biar aku yang akan 

mencabut kepala mereka dari badannya...!"

"Lebih baik jangan kau campuri urusanku...!"

"Jangan gegabah... salah-salah akupun akan 

memenggal kepalamu yang sangat pengasihan 

itu...!"

Pendekar Hina Kelana akhirnya terdiam. Dia 

tidak tahu harus berbuat apa. Untuk tidak 

memperkeruh suasana akhirnya Buang Sengketa 

melompat mundur. Sedangkan tiga orang laki-laki 

berbadan cebol itu segera mengurung Pertiwi. 

Dengan mempergunakan jurus pedang Tarian 

Bidadari, gadis berwajah rupawan ini melayani 

permainan ruyung lawan-lawannya dengan gerakan-

gerakan yang sangat lincah sekali. Sebaliknya tiga 

laki-laki cebol ini rupanya bukan lawan yang dapat 

dipecundangi dengan mudah. Beberapa kali 

serangan ganas lawan hampir saja menghajar 

bagian punggung dan dada Pertiwi. Sejauh itu si 

gadis masih mampu mengelakkannya dengan baik. 

Namun dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya 

Pertiwi kena batunya. Serangan ruyung dari si cebol 

berkumis menghantam bagian bahunya. 

Breet...!

"Aughk...!" gadis itu jatuh terguling-guling. 

Sementara tiga orang lawan begitu melihat keadaan


si gadis berebut memburunya. Bahkan dengan 

beringas mereka bermaksud menghabisi lawannya.

Pada saat-saat yang sangat kritis itu. Buang 

Sengketa langsung bertindak cepat. Dengan 

mempergunakan beberapa buah batu, pemuda itu 

dengan mempergunakan setengah tenaga dalam 

yang dimilikinya ia menyambitkan batu-batu itu 

tepat pada sasarannya.

Tuuuk...!

Tiga kali berturut-turut batu-batu yang 

disambitkan oleh si pemuda mencapai sasarannya. 

Ruyung di tangan mereka terlepas, sementara 

tangan mereka terasa kaku dan sulit untuk 

digerakkan. Dan ketika batu-batu berikutnya 

menimpa punggung mereka. Maka semakin 

bertambah terkejutlah ketiga orang cebol dari 

perguruan Elang Emas itu. Karena mereka segera 

merasakan tubuh mereka kaku dan sulit untuk 

digerak-gerakkan. Melihat Buang Sengketa telah 

bertindak membantunya. Pertiwi dengan pedang 

terhunus bangkit berdiri dan berniat menghabisi 

lawan-lawannya yang sedang dalam keadaan tidak 

berdaya itu. Tetapi dengan gerakan kilat si pemuda 

telah menghadang langkahnya. Masih untung 

Pertiwi segera membelokkan arah senjatanya. Jika 

tidak tentu saja pedang di tangan gadis itu 

menembus dada pemuda yang telah membuatnya 

jatuh cinta itu.

"Mengapa kau malah melindungi mereka...!" 

bentak gadis itu tanpa dapat menyembunyikan 

kemarahannya.

"Aku tidak ingin dunia persilatan semakin 

benci padaku karena teror-teror yang tidak



beralasan itu. Apalagi jika mereka sampai tewas di 

tanganku. Pasti orang-orang tidak tahu duduk 

persoalan yang sebenarnya tetap beranggapan 

akulah orang yang telah membunuh tokoh golongan 

putih dan hitam...!" kata si pemuda beralasan.

"Oh. Jadi kau benar-benar orang yang punya 

julukan Pendekar Hina Kelana itu?" tanya Pertiwi 

dengan kedua mata membelalak lebar.

"Sejujurnya kuakui, bahwa akulah orangnya. 

Tetapi yang paling penting untuk diketahui oleh 

orang Iain. Bahwa ada orang-orang tertentu yang 

sedang melancarkan fitnah padaku...!"

Pertiwi nampak terdiam beberapa saat 

lamanya. Sementara pandangan matanya tidak 

henti-hentinya memperhatikan pemuda yang telah 

mencuri hatinya itu.

"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah 

melakukannya...?" tanya gadis itu ragu-ragu.

"Sudah kukatakan bahwa aku sedang 

menyelidikinya...!"

"Kuharap kau tidak sedang bersandiwara...?" 

kata gadis itu berubah serius.

Buang Sengketa tersenyum getir.

"Apakah aku punya tampang menjadi orang 

sepengecut yang kau perkirakan...?" tukas si 

pemuda tanpa ekspresi.

"Aku tidak tahu. Cuma asal kau tahu saja, 

aku punya tugas membunuhmu. Jika di kemudian

hari, ternyata kau orang yang kau sebut-sebut 

sebagai pendekar gadungan itu...!" ancam Pertiwi.

"Untuk sebuah kebenaran aku tidak segan-

segan mempertaruhkan nyawaku...!"

Pertiwi menganggukkan kepalanya. Sebentar

ia memperhatikan tiga laki-laki yang masih dalam 

keadaan tertotok kaku.

"Sekarang kau hendak ke mana...?" tanya 

gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari 

orang-orang Elang Emas.

"Aku harus mencari manusia palsu yang telah 

membuat rusak nama baikku...!"

"Lalu badut-badut cebol itu bagaimana...?"

"Biarkan saja... tokh nantinya mereka juga 

akan terbebas dengan sendirinya dari pengaruh 

totokan itu...!"

"Kalau begitu mari kita tinggalkan mereka...!" 

kata Pertiwi lalu melangkah pergi.

"Tuan dan Nona...! Tolong bebaskan totokan 

ini...!" si cebol berperut buncit berteriak-teriak 

penuh permohonan. Tetapi kedua orang itu sudah 

tidak terlihat lagi batang hidungnya.


SEPULUH


Setelah sekian lama melakukan pengejaran 

dan menelusuri jejak si Burung Hantu. Iblis Liang 

Kubur akhirnya merasa kecewa saja. Dalam hati ia 

merasa heran sendiri mengapa orang yang 

dikejarnya itu lenyap begitu saja. Seolah-olah hilang 

raib di telan bumi. Padahal seingatnya dalam hal 

ilmu lari sekalipun Iblis Liang Kubur merasa tidak 

kalah cepat dengan ilmu lari yang dimiliki 

sahabatnya itu. Iblis Liang Kubur akhirnya hanya 

mampu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa tidak 

tahu lagi apa yang harus dilakukannya selanjutnya. 

Kejadian demi kejadian yang dialaminya membuat


kepalanya berdenyut-denyut sakit. Bagaimana tidak. 

Mula-mula murid tunggalnya yang memiliki 

kecantikan luar biasa itu hilang begitu saja. Bahkan 

hingga sampai saat itu ia masih belum mengetahui 

bagaimana kabar beritanya. Kemudian, ketika ia 

mulai menemukan jalan dan berusaha 

menyelidikinya. Satu-satunya orang yang begitu 

dekat dengan dirinya hilang begitu saja. Merasa 

bingung sendiri akhirnya Iblis Liang Kubur jatuh 

terduduk di atas batu. Beberapa kali dari atas 

perbukitan yang cukup tinggi itu, Iblis Liang Kubur 

mengitarkan pandangan matanya ke segenap daerah 

di sekelilingnya. Namun sampai sejauh itu. Ia tidak 

melihat adanya tanda-tanda yang membuatnya 

curiga.

"Ah, sial betul nasib ini. Entah nasibku yang 

sial atau malah nasib muridku. Atau nasib si 

Burung Hantu yang lebih sial... aku tidak tahu. 

Yang membuat aku tidak mengerti apakah semua ini 

hasil pekerjaan pendekar sialan itu. Atau ia sengaja 

menculik muridku...? Kalau betul, kemana pula 

perginya si Burung Hantu. Atau orang itu juga 

dijadikan sandera oleh Pendekar Hina Kelana? Kalau 

betul untuk apa? Kalau manusia keparat itu sengaja 

membiarkan muridku hidup, hal itu masuk di akal. 

Tetapi kalau si Burung Hantu yang dibiarkannya 

hidup, untuk apa. Bukankah mereka sama-sama 

memiliki pedang keramat... oh... oh... kiamat-

kiamat...!" Iblis Liang Kubur meracau sendiri bagai 

orang linglung.

Dalam keadaan serba tidak menentu seperti 

itu, mendadak Iblis Liang Kubur mendongakkan 

kepalanya. Lalu perhatiannya langsung tertuju pada


satu arah, di mana ia mendengar denting beradunya 

suara senjata tajam. Iblis Liang Kubur hanya dalam 

sekelebatan saja sudah dapat memastikan sedang 

terjadi pertempuran tidak jauh dari tempat ia 

berada.

Akhirnya tanpa membuang-buang waktu lagi, 

tubuh laki-laki tua itupun melesat cepat mendekati 

tempat terjadinya pertempuran. Setelah sampai di 

tempat itu, benar saja dugaannya. Beberapa orang 

laki-laki sedang mengeroyok seorang pemuda bertopi 

lebar dengan mempergunakan berbagai jenis 

senjata.

Sementara di sekitar tempat itu, mayat-mayat 

terlihat bergeletakan tumpang tindih. Orang-orang 

yang tewas itu jumlahnya mencapai puluhan orang. 

Dan apabila Iblis Liang Kubur memperhatikan 

mereka yang sedang terlibat pertempuran, maka 

terbelalaklah kedua matanya. Bagaimana tidak. 

Pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan yang 

sangat sulit diikuti oleh mata biasa dalam 

mempergunakan senjatanya. Bahkan boleh dikata 

pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan 

menggerakkan senjatanya dua kali kecepatan suara. 

Bahkan Iblis Liang Kubur sendiri sampai tidak dapat 

memastikan jenis senjata yang dipergunakan oleh 

pemuda itu dalam membunuh lawan-lawannya 

karena sedemikian cepatnya senjata itu berkelebat.

Dalam waktu sekedipan mata saja, lawan-

lawan si pemuda yang tadinya sempat melakukan 

perlawanan sengit, sekarang sudah bergelimpangan 

roboh bermandikan darah.

Sekarang setelah mereka-mereka itu tewas 

keseluruhannya hingga tidak bersisa lagi. Maka


pemuda bertopi lebar itu pun tertawa tergelak-gelak. 

Dengan perasaan puas dipandanginya mayat-mayat 

bergelimpangan itu satu demi satu. Hampir seluruh 

korban yang berjatuhan itu kesemuanya menderita 

luka di bagian pangkal leher dan perutnya. Lagi-lagi 

pemuda bertopi lebar itu memperdengarkan suara 

tawanya yang terasa menggidikkan bulu kuduk yang 

mendengarnya.

"Ha... ha... ha...! Tidak seorang pun dapat 

menandingi kecepatanku dalam mempergunakan 

senjata. Akulah si Pedang Kilat yang tidak memiliki 

tanding. Lebih dari itu hingga sampai saat ini tidak 

seorang pun yang tahu bahwa orang yang menyebut 

dirinya dengan si Hina Kelana akulah orangnya. 

Aha... ha... ha...! Kasihan sekali pendekar tangguh 

yang berjuluk si Hina Kelana itu. Karena ia harus 

rela menjadi buronan para kaum persilatan. Yang 

lebih celaka lagi, hingga sampai saat ini dia masih 

juga belum mengetahui siapa sebenarnya yang telah 

melancarkan fitnah kepadanya itu...!" kata pemuda 

bertopi lebar yang tidak lain merupakan si Hina 

Kelana palsu, dengan suara lantang.

Dari tempat persembunyiannya Iblis Liang 

Kubur yang sempat mendengarkan semua apa yang 

dikatakan oleh pemuda bertopi lebar itu sempat 

terbelalak tak percaya. Baru sekaranglah ia tahu, 

rupanya pemuda itulah yang sedang menjalankan 

fitnah pada Pendekar Hina Kelana. Itu berarti ia 

memiliki dendam tersendiri pada pendekar yang 

sekarang menjadi buronan kaum persilatan itu.

"Yang lebih celaka lagi adalah Iblis Liang 

Kubur. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa yang 

telah melarikan muridnya yang cantik itu. Padahal


aku sendiri hampir saja berhasil... ha... ha... ha...! 

Kalau saja tidak muncul bayangan merah itu, sudah 

pasti saat itu juga aku berhasil mencicipi 

kehangatan tubuhnya...!" lanjut pemuda bertopi 

lebar itu lalu tertawa-tawa kembali

Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda 

itu kali ini benar-benar bagai sambaran petir di 

siang bolong. Sama sekali ia tidak menyangka, kalau 

pemuda itulah yang hampir saja mencelakai 

muridnya sendiri. Sampai sejauh itu akhirnya ia 

dapat menyimpulkan sedikit banyaknya tentu saja 

pemuda itu tahu siapa yang telah melarikan 

muridnya. Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba Iblis 

Liang Kubur melesat cepat dari tempat 

persembunyiannya. 

Jligkh...!

Dengan tepat Iblis Liang Kubur mendaratkan 

kakinya persis di depan si pemuda bertopi lebar itu. 

Melihat kemunculan Iblis Liang Kubur yang tiada di 

duga-duga itu. Sudah barang tentu membuat 

pemuda itu menjadi terkejut.

"Kau, Iblis Liang Kubur...!" serunya spontan. 

Apa yang dikatakan oleh pemuda itu tentu saja 

membuat laki-laki berpakaian tambal-tambal itu 

sangat kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu dapat 

mengenalinya. Iblis Liang Kubur nampak 

mengerutkan keningnya. Tapi sedetik berikutnya 

wajahnya yang penuh keriput itu menjadi merah 

padam ketika Iblis Liang Kubur merasa mengenali 

suara pemuda itu.

"Keparaat. Rupanya kaulah yang berjuluk 

Pendekar Hina Kelana yang telah melakukan 

pembunuhan demi pembunuhan itu...!" bentak Iblis


Liang Kubur berpura-pura tidak mengenali siapa 

orang yang memakai topi lebar itu.

"Betul akulah orangnya...!" jawab si pemuda 

yang menyangka lawan bicaranya benar-benar tidak 

mengenal siapa dia.

"Hemm. Kau tadi ada menyebut-nyebut 

bahwa kaulah orangnya yang hampir saja 

memperkosa muridku. Apakah itu juga betul...?" 

ejek kakek berpakaian tambal-tambal itu sambil 

tersenyum sinis.

"Ha... ha... ha...! Kau rupanya telah 

mendengarkan semuanya, Iblis Liang Kubur. Itu 

berarti kau juga telah mengetahui siapa diriku 

ini...?" bentak pemuda bertopi lebar tersebut dengan 

kemarahan tertahan-tahan.

"Betul... aku tahu siapa kau sebenarnya 

Pendekar Hina Kelana palsu. Dalam sehari kau bisa 

saja mengganti penampilanmu dengan seribu satu 

macam topeng yang dapat kau ciptakan dengan 

mudah. Tetapi kau tetap menemukan kesulitan 

untuk merobah suaramu, Burung Hantu...!"

"Heh... jadi kau benar-benar dapat menebak 

wajah tua di balik topeng ini?" kata pemuda yang 

selama ini telah menyebarkan teror dengan 

mengatakan dirinya sebagai Pendekar Hina Kelana.

"Aku telah mengenal dirimu sebagai mana 

aku mengenal telapak tanganku sendiri, Burung 

Hantu. Hanya saja aku memang tidak menyadari 

kemajuan yang kau peroleh dalam hal 

mempergunakan pedang. Sebagai seorang sahabat. 

Satu yang selalu kusesalkan. Mengapa kau begitu 

tega dan punya niat hendak memperkosa murid 

sahabatmu sendiri?" tanya Iblis Liang Kubur seolah


menyesalkan tindakan sahabatnya yang dinilainya 

sebagai satu tindakan yang sangat gegabah.

"Semua itu tidak perlu kau tanyakan padaku, 

Iblis Liang Kubur. Meskipun kau sahabatku, tokh 

kau telah tahu bagaimana kebiasaanku sejak 

dulu...!"

"Keparaat... jika kau berani merusak nama 

baik sahabat sendiri, apa gunanya sebuah 

persahabatan. Burung Hantu... cepat kau katakan 

di mana kau sembunyikan muridku...?" teriak Iblis 

Liang Kubur dengan kemarahan meluap-luap.

"Sudah kukatakan aku gagal menggauli 

muridmu itu. Sekarang aku tidak tahu ia berada di 

mana? Atau mungkin saja ia telah menjadi istri 

Pendekar Hina Kelana." jawab si Burung Hantu 

memanas-manasi sahabatnya.

"Kau jangan berpura-pura, Burung laknat. 

Kaulah pendekar palsu yang telah menjatuhkan 

nama baik Pendekar Hina Kelana. Ah... menyesal 

sekali mengapa baru sekarang aku mengetahuinya. 

Andai saja sejak dulu aku tahu tentang tabiatmu 

yang jelek itu. Mungkin aku tidak akan pernah 

menaruh kepercayaan padamu...!"

"Semua sudah terlambat sobat. Lagipula 

karena di kolong langit ini hanya kau seorang yang 

tahu siapa aku yang sebenarnya. Maka untuk 

melancarkan jalan usahaku dalam menjebak 

Pendekar Hina Kelana. Walau bagaimanapun aku 

harus membunuhmu...!" kata si Burung Hantu yang 

saat itu merobah penampilannya sebagai seorang 

pemuda tampan.

"Kau tidak mungkin mampu mengalahkan 

aku begitu saja, Burung Hantu. Aku kenal betul


dengan segala jenis jurus-jurus silatmu...!" Iblis 

Liang Kubur tersenyum mengejek. Tapi dengan 

sikap tenang dan penuh percaya diri. Burung Hantu 

malah berkata sinis.

"Kau tidak akan mampu menandingi jurus-

jurus pedang hasil ciptaanku yang terakhir...!"

"Setan alas...! Terhadap manusia semacamku 

ini. Jangan coba-coba menggertakku." kata Iblis 

Liang Kubur. Kemudian tanpa berkata-kata lagi. 

Laki-laki tua berpakaian tambal-tambal ini segera 

menyerang si Burung Hantu dengan jurus-jurus 

silat andalan yang sudah tidak asing lagi bagi si 

Burung Hantu. Pertempuran dua tokoh sesat tingkat 

tinggi itu berlangsung seru dan menegangkan. 

Menyadari betapa hebatnya jurus-jurus baru hasil 

ciptaan si Burung Hantu. Maka sejak awal Iblis 

Liang Kubur telah mempergunakan pukulan-

pukulan andalan yang dimilikinya. Bahkan saat itu 

Iblis Liang Kubur telah mempergunakan pukulan 

'Segara Geni" yang luar biasa kehebatannya itu. Si 

Burung Hantu sudah barang tentu hapal betul 

dengan pukulan andalan yang dipergunakan oleh 

bekas sahabat baiknya itu. Dengan cepat ia segera 

pula mempergunakan pukulan 'Menguak Tabir 

Kegelapan' yang juga merupakan pukulan andalan 

yang dimiliki oleh si Burung Hantu. Begitu masing-

masing lawan melambaikan tangannya ke depannya. 

Maka detik itu juga serangkum gelombang berhawa 

dingin menderu ke arah Iblis Liang Kubur. 

Sebaliknya kakek tua renta itu mendorongkan 

tangannya ke depan. Maka serangkum gelombang 

berwarna putih kebiru-biruan menderu deras 

memapaki serangan si Burung Hantu yang membuat


menggigil tulang belulang laki-laki itu. 

Bldaaar...!

Tidak dapat dihindari lagi, dua pukulan yang 

teraliri tenaga sakti itupun saling bertemu di tengah 

jalan. Baik Iblis Liang Kubur maupun si Burung 

Hantu sama-sama terjengkang tiga tombak. Masing-

masing lawan mengalami luka dalam yang cukup 

lumayan. Tetapi dengan cepat mereka menghimpun 

hawa murninya kembali untuk menyembuhkan luka 

dalam yang mereka derita. Tidak lama kemudian 

setelah menyeka darah yang mengalir di sudut-

sudut bibirnya. Baik Burung Hantu maupun Iblis 

Liang Kubur telah saling berhadapan kembali.

"Kau tidak mungkin menang berhadapan 

dengan aku, Burung Hantu...!" bentak Iblis Liang 

Kubur dengan mata mencorong merah.

"Kau belum melihat bagaimana cepatnya 

pedangku melubangi tenggorokan lawannya...!" 

dengus sinis si Burung Hantu.

Burung Hantu segera menghimpun tiga 

seperempat tenaga dalamnya ke bagian telapak 

tangannya. Tidak lama setelah itu tubuh laki-laki 

bertopeng itupun nampak menggeletar hebat. 

Bahkan tidak lama setelah itu, kabut tipis mulai 

menyelimuti tubuh si Burung Hantu. Sedangkan 

telapak tangannya yang terus menebarkan bau 

busuk itu mulai berubah warna menjadi merah 

bara.

"Kidung Kematian...!" seru Iblis Liang Kubur 

dengan mata membelalak. Sekarang laki-laki tua itu 

sadar sepenuhnya bahwa si Burung Hantu benar-

benar menghendaki jiwanya. Maka tanpa ragu-ragu 

lagi Iblis Liang Kubur juga langsung merentangkan

kepalanya tinggi-tinggi di atas kepala.

Selanjutnya tubuh laki-laki itu berputar 

kencang tidak ubahnya bagai sebuah ganging. Lalu 

dari tubuh yang berputar-putar itu berhembuslah 

angin kencang yang sangat dahsyat sekali. Ketika si 

Burung Hantu melihat apa yang dilakukan oleh 

lawannya. Maka sekarang ia pun sadar, bahwa Iblis 

Liang Kubur sedang mengerahkan ajian Bayu Pati, 

yang dikenalnya sebagai sebuah ajian yang sangat 

luar biasa itu.

Weeer... Deer... 

Blaaam...!

Suara angin ribut bercampur dengan 

ledakan-ledakan yang keras dan terasa 

memekakkan gendang-gendang telinga ketika 

masing-masing kekuatan sakti itu saling gilas dan 

beradu secara terus menerus. Pohon-pohon besar 

yang berdiri kokoh di sekitar tempat pertempuran 

itu menjadi porak poranda.


SEBELAS


Si Burung Hantu benar-benar merasa 

kewalahan mendapat serangan gencar seperti ini. 

Berkali-kali tubuhnya jatuh bangun menghindari 

serangan-serangan Iblis Liang Kubur yang terus 

mengejarnya kemanapun ia berusaha menghindar. 

Sampai pada satu keadaan yang sangat tidak 

menguntungkan bagi laki-laki yang sangat ahli 

dalam penyamaran itu.

Breet...!


Tendangan kaki dan pukulan tangan yang 

terus berputar-putar itu membuat si Burung Hantu 

jatuh tersungkur dengan menderita luka memar di 

bagian punggungnya. Melihat kenyataan ini Iblis 

Liang Kubur bermaksud mengakhiri dengan satu 

tendangan berputar. Namun pada saat-saat yang 

sangat kritis bagi keselamatan jiwanya sendiri. Si 

Burung Hantu serta merta mencabut pedang 

pusakanya. Begitu ia memutar senjata itu dengan 

kecepatan tinggi. Maka Iblis Liang Kubur yang 

sedang dalam keadaan posisi berputar-putar itu 

segera merasakan sambaran hawa dingin yang 

menusuk pori-pori kulitnya. Dengan cepat kakek tua 

ini mencoba menarik balik tendangan kakinya. Tapi 

di luar dugaan laki-laki tua itu. Gerakan kilat yang 

dilakukannya masih kalah cepat dengan babatan 

pedang yang dilakukan oleh si Burung Hantu. Tidak 

dapat dihindari lagi. 

Craaas...!

"Arggkh...!" Iblis Liang Kubur menjerit-jerit 

setinggi langit. Bagian kakinya sebatas mata kaki 

terbabat putus oleh ketajaman mata pedang si 

Burung Hantu. Dengan gerakan cepat ia segera 

menotok jalan darah untuk mencegah pendarahan 

lebih banyak lagi. Melihat apa yang dialami oleh 

lawannya si Burung Hantu langsung tergelak-gelak.

"Kau harus mati ditanganku, Iblis Liang 

Kubur...!" desis si Burung Hantu sambil memandang 

tidak berkedip pada Iblis Liang Kubur yang nampak 

jatuh terduduk tidak jauh di hadapannya.

"Aku tidak takut, meskipun kau memiliki 

kecepatan dalam mempergunakan ilmu pedang, 

Burung laknat. Walau kau mau membunuhku,



cepat kau lakukan sekarang juga." kata Iblis Liang 

Kubur tanpa mengenal takut sedikitpun juga

"Baik... baik sekarang kau bersiap-siaplah 

untuk mampus...!" kata si Burung Hantu. Lalu 

dengan disertai jeritan tinggi melengking tubuh laki-

laki itu melesat cepat dengan senjata terhunus 

mengarah bagian dada lawannya. Tapi sebelum 

niatnya itu kesampaian. Dari arah yang berlawanan 

meluncur sebuah benda berwarna hitam berkilat-

kilat. Dengan telak benda hitam itu menghantam 

bagian pergelangan tangan si Burung Hantu.

"Uhh...!" si Burung Hantu memekik keras 

sambil memegangi tangannya yang terasa 

berdenyut-denyut sakit.

Ketika si Burung Hantu memandang ke 

sekeliling tempat itu. Maka terlihatlah olehnya 

seorang pemuda berpakaian serba merah dan 

seorang gadis cantik yang sudah sangat dikenalnya. 

Begitu melihat si Burung Hantu dan Iblis Liang 

Kubur, Pertiwi langsung berteriak lantang.

"Inilah kunyuknya yang hampir memperkosa 

aku tempo hari, Kelana…! Hei, bahkan sekarang ia 

telah begitu berani membuntungi kaki guruku...!"

"Tidak salah lagi...! Pastilah dia orangnya 

yang telah memfitnahku dengan tindakan-

tindakannya yang keji. Pertiwi... kau uruslah 

gurumu. Biarkan kunyuk di balik topeng ini aku 

yang mengurusnya...!"

Dengan menahan perasaan kesal, akhirnya 

Pertiwi menuruti apa yang dikatakan oleh Buang 

Sengketa. Sementara pemuda itu sekarang telah 

berhadapan dengan si Burung Hantu.

"Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana


itu...?" ejek Buang Sengketa berusaha menahan 

kejengkelannya.

"Kau tidak perlu bertanya lagi, bocah 

gembel...! Tokh kau sudah tahu siapa orang yang 

kau maksudkan itu. Bukankah engkau sendiri...!"

"Hemm... kau tahu siapa aku. Tapi alangkah 

tidak bermalunya kau mempergunakan nama orang 

untuk melakukan kejahatan bahkan membuat 

rusak nama baikku. Apakah tujuanmu...?" tanya 

pemuda itu gusar sekali.

Di luar dugaan. Si Burung Hantu malah ter-

tawa tergelak-gelak.

"Semua orang dalam hidupnya tentu saja 

menginginkan nama besar, sobat. Tetapi lebih dari 

sekedar itu, aku memang sengaja merusak nama 

baikmu untuk membalas sakit hati ini...!"

"Keparaat... kau jangan mengada-ada. 

Bertemu denganmu pun baru sekali ini!" kata 

pemuda itu semakin tidak sabar saja.

"Kau telah membunuh tiga orang saudara 

seperguruanku. Masihkah kau mau mungkir...?"

"Saudara seperguruanmu, kalaupun aku 

pernah membunuh orang. Pastilah mereka itu dari 

golongan kaum sesat." sentak pemuda itu seolah 

pada dirinya sendiri.

"Bagus kalau kau mau mengingatnya. Tentu 

kau tidak mungkin menyangkal bahwa kau telah 

membunuh saudara seperguruanku dari Pulau 

Berhala...?" tanya si Burung Hantu.

Buang Sengketa yang masih ingat betul 

tentang orang yang dimaksud oleh lawannya hanya 

menganggukkan kepalanya. (Untuk lebih jelasnya 

dalami Episode Tiga Iblis Pulau Berhala).


"Kalau begitu sekarang juga kau harus 

mampus di ujung pedangku...!" belum lagi si Burung 

Hantu selesai dengan kata-katanya. Tahu-tahu

ujung pedang di tangannya telah berkelebat 

menyambar di depan hidung Buang Sengketa. 

Dengan cepat pemuda itu berjumpalitan ke 

belakang. Tapi pemuda itu memang harus mengakui 

betapa cepatnya permainan pedang lawannya itu. 

Karena baru saja ia dapat berdiri tegak. Tahu-tahu 

pedang itu telah menyabet ke bagian pundaknya.

Breet...!

"Iihhh...!" Buang Sengketa memekik tertahan. 

Bagian punggungnya sempat terobek besar dan 

mengalirkan darah. Pedih sekali rasanya bagian 

yang terluka itu. Masih untung Pendekar Hina 

Kelana merupakan orang yang kebal terhadap 

serangan racun. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi 

ia tersungkur roboh karena pedang di tangan si 

Burung Hantu itu sebenarnya mengandung racun 

yang sangat keji.

Sebaliknya begitu melihat lawannya terluka. 

Si Burung Hantu semakin bernafsu untuk segera 

menghabisi lawannya. Dengan ganas pedang di 

tangan Burung Hantu menyambar ke bagian-bagian 

tubuh si pemuda. Namun Buang Sengketa yang 

telah mengetahui kehebatan lawannya segera 

mempergunakan jurus silat tangan kosong, si Jadah 

Terbuang dan si Gila Mengamuk secara silih 

berganti. Tapi Buang Sengketa lambat laun segera 

menyadari bahwa melayani si Burung Hantu dengan 

mempergunakan tangan kosong sama saja artinya 

dengan mencari mati. Apalagi ketika sedetik 

berikutnya senjata di tangan Burung Hantu kembali


menyambar bagian pangkal lengannya dan membuat 

luka memanjang.

Pendekar Hina Kelana nampak terhuyung-

huyung. Darah semakin bertambah banyak yang 

keluar. Sementara itu Pertiwi yang merasa khawatir 

melihat keadaan si pemuda sudah bersiap-siap 

untuk melakukan pengeroyokan. Namun Iblis Liang 

Kubur mencegah niatnya itu.

"Biarkan saja... aku yakin pemuda itu tidak 

akan tinggal diam mendapat tekanan-tekanan dari 

lawannya. Apalagi lawan yang dihadapinya kali ini 

merupakan seorang lawan yang telah mencemarkan 

nama baiknya. Lebih baik kita tetap berada di 

tempat ini sambil menjaga segala kemungkinan...!"

Benar saja apa yang dikatakan oleh Iblis 

Liang Kubur. Karena tidak lama kemudian Buang 

Sengketa yang telah mengalami luka-luka itu segera 

mencabut senjata andalannya yang berupa golok 

buntung. Begitu senjata maut itu keluar dari 

sarungnya. Maka udara di sekitar tempat itu 

berubah dingin sekali. Sementara sinar merah 

menyala yang agak bercampur dengan warna 

kebiru-biruan nampak terpancar dari senjata itu. 

Baik si Burung Hantu ataupun Iblis Liang Kubur 

dan Pertiwi yang turut menyaksikan pertarungan itu 

nampak terperangah. Tapi mereka tidak dapat 

melihat lebih lama lagi. Karena ketika tubuh Buang 

Sengketa bergerak, maka terdengarlah suara 

raungan bagai puluhan suara raungan harimau 

terluka. Kemudian yang terlihat hanyalah sinar 

merah dan hitam yang berkelebat cepat dan saling 

menyambar. Sesekali terlihat pula pijaran bunga api 

setelah terdengar beradunya suara senjata mustika



di tangan masing-masing lawannya.

"Traaang...!"

Dua senjata pusaka itu kembali saling 

beradu. Begitu kerasnya getaran dua senjata maut 

itu hingga menyebabkan senjata di tangan si Burung 

Hantu terlepas dari genggamannya. Tapi laki-laki ini 

rupanya tidak mau menyerah. Begitu melihat 

senjata pusakanya melayang entah ke mana. Ia 

segera mengambil senjata lainnya. Dengan 

mempergunakan senjata baru tersebut sekarang ia 

menggempur Buang Sengketa. Semakin lama 

serangan-serangan semakin bertambah cepat. 

Buang Sengketa akhirnya terdesak hebat. Bahkan 

beberapa kali sabetan senjata lawan berhasil 

menggores bagian kakinya. Buang Sengketa yang 

menyadari dirinya kalah cepat dalam 

mempergunakan senjata langsung mengadu 

senjatanya dengan senjata di tangan lawannya.

Traaang! Creeep...!

Senjata itu tiada disangka-sangka oleh 

Burung Hantu saling menempel. Hal ini tentu saja 

yang diharapkan oleh Pendekar Hina Kelana. Karena 

sedetik kemudian ia telah mengerahkan jurus 

Koreng Seribu untuk melumpuhkan lawannya. 

Mulailah si Burung Hantu merasakan keganjilan 

demi keganjilan. Mula-mula ketika ia mengerahkan 

tenaganya untuk menarik senjatanya yang saling 

melekat itu tidak mendatangkan hasil sama sekali. 

Bahkan semakin kuat ia menyalurkan tenaga dalam 

untuk membetot pedang miliknya. Ia merasakan ada 

kekuatan lain seperti menyentak-nyentakkan 

sesuatu dari dalam tubuhnya. Sampai sejauh itu ia 

tidak menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi


pada dirinya. Hingga sampai sepemakan sirih, 

barulah ia menyadari bahwa tenaganya telah 

berkurang jauh. Dan semua itu tentu saja 

membuatnya terkejut.

"Heaah...!"

Buang Sengketa menyentakkan senjatanya 

hingga terlepas. Si Burung Hantu terperangah 

merasakan tubuhnya yang terasa lemas sekali. 

Dalam keadaan lengah seperti itu. Dengan cepat si 

pemuda membabatkan senjatanya.

"Heaaat...!"

Breees... 

Jrooos!

Begitu senjata maut itu berkelebat. Tidak ayal 

lagi kepala si Burung Hantu menggelinding ke atas 

tanah. Darah menyembur dari luka di bagian leher 

dan perut si Burung Hantu. Tubuh tanpa kepala itu 

kemudian limbung dan jatuh tersungkur untuk 

selama-lamanya.

"Kau memang harus membayarnya dengan 

sangat mahal, Burung Hantu...!" setelah berkata 

begitu. Pendekar Hina Kelana tanpa berpamitan lagi 

pada Pertiwi langsung berkelebat pergi.

"Kelana...!" panggil gadis itu ketika melihat 

sebuah bayangan merah bergerak menjauh dan 

mereka.

"Biarkan muridku...!"

"Tapi aku... aku ... mencin... tainya, guru...!" 

kata gadis itu hampir saja menangis.

"Kalau kau mencintainya. Kau harus 

membantunya mengembalikan nama baiknya...!" 

kata Iblis Liang Kubur dengan perasaan penuh 

kasih


                          T A M A T



Share:

0 comments:

Posting Komentar