TEROR SI PEDANG KILAT
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Teror Si Pedang Kilat
SATU
Hanya dengan sekali berkelebat orang-orang
yang berada di dalam warung itu tersungkur roboh.
Tidak seorangpun diantara mereka yang tersisa
hidup. Terkecuali pemilik warung yang bersembunyi
di sudut ruangan dengan tubuh menggigil
ketakutan. Laki-laki tua bertopi lebar dengan
rambut riap-riap itu melirik sebentar dengan sikap
angker. Sekali lagi tongkat di tangannya yang
berbentuk sebuah ukiran berhala itu diketukkannya
di atas sebuah meja. Sesaat meja yang dijadikan
tumpuan tongkat itu pun tergetar hebat.
Braaak...!
Meja panjang yang tersedia di warung
tersebut hancur berantakan. Semakin bertambah
pucatlah tubuh pemilik warung itu, keringat dingin
terasa membasahi punggung bajunya. Bahkan tanpa
disadarinya laki-laki berusia tiga puluh tahun itu
sampai terkencing di dalam celana. Dalam keadaan
ketakutan seperti itu, secara tiba-tiba laki-laki
bertopi lebar tersebut memanggilnya.
"Hei... cepat kau kemari...! Atau aku harus
mengobrak-abrik seisi warungmu ini...!" bentak laki-
laki berwajah buruk itu tanpa menoleh sedikitpun
juga. Dengan langkah gemetaran pemilik warung itu
datang menghampiri.
"Ss... saya tuan. Apakah yang dapat saya
bantu...?" tanyanya dengan suara gemetar. Laki-laki
bertopi lebar itu hanya melirik sebentar, kemudian
dengan suaranya yang serak.
"Cepat kau sediakan makanan yang paling
enak di warungmu ini untukku...!" perintahnya
sambil menghampiri sebuah meja lain lalu duduk di
sana.
Sementara pemilik warung itu tanpa berani
membantah segera bergegas ke belakang untuk
menyediakan makanan yang dipesan oleh laki-laki
bertampang seram tadi. Hanya beberapa saat
kemudian pemilik warung itu telah datang kembali
dengan membawa sebuah nampan yang berisi
berbagai jenis makanan serta beberapa guci arak
wangi. Setelah selesai menghidangkan makanan,
pemilik warung itu bermaksud segera meninggalkan
laki-laki bertopi lebar itu. Namun baru saja ia
hendak memutar langkah. Laki-laki itu kembali
membentaknya.
"Tunggu dulu, pelayan goblok!" sekarang
bagian krah pakaian pemilik warung telah berada
dalam cengkeraman tangan si laki-laki bertopi.
Sudah barang tentu pemilik warung itu semakin
bertambah ketakutan saja. Namun sebelum ia
sempat berkata apa-apa, laki-laki bertopi itu telah
melanjutkan kata-katanya, "Cepat kau singkirkan
tikus-tikus yang sudah pada mampus itu...!"
"Ba... baik tuan...!" dengan tergesa-gesa
pemilik warung yang sudah dicekam ketakutan itu
mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
pendatang tak dikenal tersebut. Sementara laki-laki
bertopi lebar itu mulai menyantap pesanannya. Si
pemilik warung hanya sempat menghitung jumlah
korban tidak lebih dari enam orang. Masing-masing
mayat itu mengalami luka yang cukup parah. Tapi ia
tidak dapat memastikan senjata apakah yang telah
dipergunakan oleh laki-laki bertopi lebar itu.
Sehingga begitu muncul enam orang itu langsung
tersungkur roboh. Dengan menahan perasaan mual
karena bau amis darah serta bagian isi perut yang
memburai dari tubuh mayat-mayat itu. Laki-laki
itupun segera mengusung mayat-mayat tadi keluar
warungnya. Tidak lama kemudian dengan perasaan
takut-takut ia telah kembali lagi ke dalam
warungnya. Si laki-laki bertopi lebar itu tidak
sedikitpun menoleh kepadanya. Keadaan hening
mencekam. Sekarang pemilik warung tersebut telah
terduduk di sudut ruangan, wajahnya yang pucat
terus menunduk. Dalam keadaan seperti itu tiba-
tiba angin kencang berhembus menerobos dari
bagian pintu depan warung itu. Tiupan angin itu
semakin lama semakin bertambah kencang seiring
dengan berkelebatnya dua sosok tubuh seorang
kakek tua dengan seorang gadis yang berusia masih
begitu muda.
Jleeekgh...!
Dua orang pendatang itu langsung
memperhatikan suasana di dalam warung. Begitu
pandangan mereka mengarah ke bagian lantai.
Mereka melengak, lalu cepat-cepat beralih pada laki-
laki bertopi lebar yang sedang sibuk menikmati
hidangannya.
"Mungkin dialah orangnya yang telah
melakukan pembantaian keji ini. Ah, masa bodoh.
Itu urusannya, bukan urusanku...!" batin kakek tua
itu. Seraya bersama gadis cantik di sebelahnya
segera pula mengambil duduk dekat jendela.
"Pelayan...!" teriak gadis berpakaian serba
ungu sambil memandang pada laki-laki berusia tiga
puluhan itu dengan kedua mata melotot.
"I... iya tuan dan nona! Apa yang dapat sa...
saya lakukan untuk anda berdua?" tanyanya dengan
wajah menunduk dan suara terbata-bata.
"Tolong kau sediakan makanan yang lebih
enak dari makanan yang di sediakan untuk tikus
buduk bertopi itu...!"
"Ba... baik nona. Aku akan menyediakan–
nya...!" pemilik warung itu dengan tergopoh-gopoh
segera meninggalkan mereka. Sementara laki- laki
bertopi lebar yang disebut-sebut sebagai tikus
'Buduk', serta merta mengurungkan niatnya untuk
melahap sisa terakhir hidangan yang tersedia. Tanpa
menoleh sedikitpun, laki-laki itu berucap dalam
luapan kemarahan yang tertahan-tahan.
"Sungguh manusia yang tidak tahu adat telah
begitu berani menghina dedengkot persilatan seperti
aku...! Iblis Liang Kubur! Apakah kau tak pernah
mendidik muridmu dalam bersopan santun...?"
sentak laki-laki bertopi lebar itu penuh teguran
keras.
Mengetahui laki-laki bertopi lebar itu
mengenal julukannya. Sudah tentu kakek tua
berambut putih berpakaian tambal-tambal ini
menjadi sangat terkejut sekali. Padahal sungguhpun
ia merupakan seorang tokoh yang sangat dikenal
karena kekejamannya dalam membasmi golongan
putih. Namun penampilannya yang sesungguhnya
sangat jarang orang yang tahu. Sekarang seorang
laki-laki yang menyembunyikan wajahnya di bawah
topi lebar itu malah tahu siapa dirinya. Hal ini tentu
merupakan sesuatu yang sangat luar biasa.
"Kisanak! Siapakah engkau. Rasanya kita
belum pernah bertemu, namun kau telah mengenal
julukanku...!" kata si kakek tua yang memiliki
julukan Iblis Liang Kubur itu masih dalam
keheranannya.
Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung
lama, setelah laki-laki bertopi lebar itu membuka
topinya sehingga menampakkan rambutnya yang
menjuntai sampai ke pinggang. Maka berserulah
kakek rambut putih serta gadis yang berada di
sisinya.
"Sahabatku, Burung Hantu...! Ahh... sudah
sangat lama sekali kita tidak bertemu...!" kata Iblis
Liang Kubur.
"Aha... ha... ha...! Semakin tua kau semakin
bertambah keriput dan jelek, Iblis Liang Kubur. Di
samping itu matamupun bertambah lamur...!" seru
si Burung Hantu tetap berada di tempatnya.
Sementara itu kakek tua berambut serba putih itu
sudah bergerak dengan maksud menghambur ke
arah si Burung Hantu. Namun langkahnya jadi
terhenti bagai ada sebuah kekuatan yang
menghadangnya. Di tempat duduknya si Burung
Hantu nampak tersenyum tipis.
Kampret. Manusia tengik itu sengaja hendak
mempermainkan aku. Membatin si kakek rambut
putih, di luar dugaan ia melambaikan tangannya.
Lambaian tangannya itu bukanlah satu gerakan
sembarangan, karena ia menyertakan tenaga dalam
untuk mengatasi serangan si Burung Hantu.
Wuuus...!
Sambaran angin keras menderu ke arah si
Burung Hantu. Sehingga membuat laki-laki bertopi
lebar itu terhenyak dari tempat duduknya. Tubuh
Iblis Liang Kubur terdorong beberapa tindak ke
belakang.
"Wuah kampret! Tingkah konyolmu rupanya
masih belum juga hilang sejak dulu, Burung
Hantu...!" maki si kakek berambut putih. Sekali lagi
tubuhnya melayang. Maka sekarang ia telah duduk
di atas meja persis di hadapan si Burung Hantu.
"Manusia bangkotan tidak tahu adat!
Braaak...!" begitu mengucapkan kata-katanya si
Burung Hantu menggebrak meja yang diduduki oleh
Iblis Liang Kubur. Meja hancur berantakan. Namun
tubuh kakek tua itu laksana kilat melesat ke arah
meja yang terletak di sebelahnya. Dengan sikap
tenang, sekarang ia telah duduk di tempat itu.
"Hemm. Tidak kusangka semakin tua engkau
semakin berisi saja, sobat...!" gumam si Burung
Hantu sambil meneguk arak di dalam bumbung
bambu di tangannya hingga tidak bersisa sama
sekali.
"Kakek, Uwa Burung Hantu! Kalian jangan
terus berkelakar, aku sudah sangat lapar sekali...!"
tukas gadis berpakaian ungu itu merasa kesal
melihat ulah guru maupun si laki-laki bertopi lebar
yang sudah sangat dikenalnya. Si Burung Hantu
melirik sekilas pada gadis berwajah rupawan itu
dengan pandangan berbinar.
"Kalau tak salah bocah ini muridmu yang
bernama Pertiwi itu bukan?" tanya si Burung Hantu
sambil berpaling pada si kakek berambut putih.
"Tidak salah, dialah muridku satu-satunya.
Kau lihat betapa ia memiliki kecantikan melebihi
putri-putri kerajaan, bukan...?" kata Iblis Liang
Kubur bangga.
"Hemm. Betul, aku yakin ia akan menjadi
ratu semua golongan sesat...!" si Burung Hantu
menimpali.
Sementara gadis berpakaian serba ungu yang
bernama Pertiwi itu kelihatannya sudah tidak sabar
lagi menunggu pesanan datang. Dengan wajah
memberengut ia kembali menggebrak meja.
"Pelayan! Lambat sekali kerjamu. Apakah kau
sudah bosan hidup...!" ternyata meskipun gadis itu
memiliki wajah cantik jelita, namun wataknya begitu
keras.
"Ss... saya baru selesai menyiapkan makanan
yang nona pesan...!" dengan gugup pemilik warung
itu menghidangkan makanan yang dipesan oleh Iblis
Liang Kubur dan Pertiwi pada meja yang berlainan.
Kenyataannya memang pada saat itu, Pertiwi duduk
sendirian di depan jendela. Sedangkan si kakek
berambut putih duduk semeja dengan sahabat
karibnya si Burung Hantu.
"Pekerjaanmu terlalu lamban, laki-laki
goblok!" bentak Pertiwi. Bersamaan kata-katanya itu
dengan mempergunakan tenaga dalam yang cukup
tinggi, gadis berwatak telenggas itu mendorongkan
tubuh si pemilik warung, hingga menyebabkannya
jatuh terguling-guling setelah sebelumnya sempat
melabrak meja. Pemilik warung itu mengaduh
kesakitan. Bagian punggungnya mengalami luka
memar akibat menghempas pinggiran meja. Melihat
apa yang di alami oleh si pemilik warung, Pertiwi
nampak menyunggingkan seulas senyum sinis.
"Cepat berlalu dari hadapanku...!" bentak
gadis berwatak kejam itu dengan mata melotot.
Melihat gelagat yang tidak baik ini tentu saja pemilik
warung tidak mau mengambil resiko. Dengan
langkah terhuyung-huyung ia segera berlalu dari
hadapan ketiga pendatang sadis itu.
Selanjutnya tanpa menghiraukan apa yang
sedang dibicarakan oleh gurunya dan si topi lebar.
Gadis cantik yang bernama Pertiwi itu menyantap
pesanan yang terhidang di atas meja dengan
lahapnya.
"Angin apa yang membuatmu meninggalkan
Lembah Darah, sahabat Burung Hantu?" tanya Iblis
Liang Kubur sambil meneguk araknya.
"Engkau sendiri yang hampir tersungkur ke
liang kubur. Tapi hari ini malah berkeliaran di dunia
ramai ada keperluan apakah...?" si Burung Hantu
balik bertanya. Sementara itu perhatiannya tetap
tertuju pada Pertiwi yang kelihatan sibuk melahap
makanannya.
Iblis Liang Kubur meskipun mengetahui apa
yang menjadi pusat perhatian sahabat karibnya itu
hanya menggelengkan kepalanya. Ia menyadari
sahabatnya yang satu ini termasuk laki-laki mata
keranjang. Bahkan tak segan-segan ia melakukan
pemerkosaan di mana-mana. Namun kakek tua
berambut putih merasa yakin, Burung Hantu tidak
ingin bertindak gegabah pada Pertiwi. Apalagi bila
mengingat Pertiwi merupakan murid tunggal Iblis
Liang Kubur.
"Burung Hantu...! Aku dulu pernah
bersumpah untuk tetap tinggal di Bukit Setan
sampai akhir menutup mata. Namun sumpahku itu
terpaksa kucabut kembali setelah mendengar
keganasan sepak terjang pendekar golongan lurus
yang bertindak di luar periblisan...!"
Laki-laki bertopi lebar itu langsung tergelak
gelak demi mendengar apa yang dikatakan oleh
sahabatnya itu.
"Sampai dunia kiamat, sumpahnya para iblis
mana dapat dipercaya...! Lagi pula siapakah
pendekar golongan lurus yang kau maksudkan itu?"
lanjutnya kemudian. Sekali lagi Iblis Liang Kubur
meneguk tuaknya hingga tinggal setengahnya. Mata
laki-laki itu sekarang telah berubah kemerah-
merahan, begitu juga dengan wajahnya. Namun
justru dengan keadaannya yang seperti sekarang ini
penampilan kakek berambut putih itu semakin
bertambah menyeramkan.
"Orang yang telah begitu berani
mepecundangi golongan kita itu katanya seorang
pendekar yang menamakan dirinya si Hina Kelana.
Orang itu kabarnya juga telah bermusuhan dengan
orang-orang segolongannya sendiri. Namun patut
kita perhitungkan pendekar itu akan sangat
berbahaya dengan senjata andalannya yang berupa
pusaka Golok Buntung dan cambuk Gelap
Sayuto...!" kata si kakek rambut putih dengan suara
parau.
"Lha dala...! Bagaimana mungkin seorang
pendekar golongan lurus selain membantai para
tokoh sesat, namun juga membantai orang-orang
segolongannya sendiri. Hanya orang gila saja yang
berbuat seperti itu...!" tukas si Burung Hantu
dengan suara berapi-api.
"Mengapa kau bicara begitu?" Iblis Liang
Kubur tak mengerti.
"Kau sendiri tahu! Sesama golongan kita
belum pernah bermusuhan. Terkecuali tindakan
mereka yang keterlaluan. Jangankan mereka itu di
kenal sebagai kaum persilatan yang terkenal jujur.
Mana ada seorang pendekar membunuh sesama
kaumnya sendiri...!" tukas si Burung Hantu sambil
tersenyum-senyum.
"Pendekar Hina Kelana! Hemm... selama ini
aku mendengar nama kebesarannya itu dari kabar
angin belaka. Bahkan kehebatan yang dimilikinya
konon melebihi seorang tokoh manusia setengah
dewa si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau memang
benar ia merupakan seorang tokoh golongan putih.
Mustahil orang itu mau membantai sesama
golongannya sendiri...!" gumam Iblis Liang Kubur
seperti pada dirinya sendiri.
"Wua...ha...ha...ha...! Jangan kau samakan
pendekar Golok Buntung dengan si Bangkotan
Koreng Seribu yang melegenda sejak ratusan tahun
yang silam. Manusia yang berdiam di Tanjung Api
itu menjadi ditakuti oleh orang-orang rimba
persilatan karena ketegasannya dalam membasmi
golongan hitam yang terlibat dalam kejahatan.
Sedangkan orang yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana itu kurasa bukanlah seorang pendekar sejati.
Bahkan kudengar golongan putihpun sekarang telah
menjadikannya sebagai seorang buronan...!" kata si
Burung Hantu ketus.
"Berita yang kudengar terlalu simpang siur!
Sebelum segala-galanya terlambat. Ada baiknya
kalau sekarang kita mulai mencari orang itu...!" Iblis
Liang Kubur nampaknya sudah merasa tidak
sabaran lagi. Sedangkan si Burung Hantu melirik
pada Pertiwi yang baru saja selesai menyantap
hidangannya. Kelihatannya ada sesuatu yang
disembunyikannya oleh laki-laki berusia lima
puluhan dari Lembah Darah ini. Hanya dia
sendirilah yang mengetahuinya.
"Kita mau ke mana, guru...?" tanya Pertiwi
tanpa menghiraukan si Burung Hantu yang terus
melirik kepadanya. Pada hakekatnya meskipun
murid seorang tokoh sesat, namun Pertiwi
merupakan seorang gadis lugu yang belum
mengetahui kelicikan sifat laki-laki.
"Jangan banyak tanya! Ayo kita segera
berangkat...!" kata Iblis Liang Kubur. Usai dengan
kata-katanya itu si kakek tua rambut putih dengan
diikuti oleh si Burung Hantu dan Pertiwi segera
meninggalkan tempat itu.
DUA
Gunung Gendeng nampak berdiri kokoh
dengan angkuhnya. Udara menjelang tengah hari
terasa panas bukan main. Karena musim kemarau
yang panjang selama beberapa tahun terakhir. Maka
pemandangan di sekitar lereng gunung Gendeng
terasa gersang. Dalam suasana panas yang cukup
terik, seorang pemuda berwajah tampan dengan
rambut di kuncir nampak sedang menelusuri jalan
setapak di pinggir lereng gunung Gendeng. Sesekali
butiran keringatnya menetes deras membasahi
pakaiannya yang berwarna merah. Di lain saat
matanya yang setajam mata elang itu setengah
dipicingkan untuk dapat melihat ke arah lebih jauh
lagi.
"Uhh! Panas bukan main. Panas begini aku
jadi ingin mandi, tapi aku yakin sungaipun pasti
kering. Memang serba salah jadi manusia, pabila
hujan orang akan meminta panas, pabila panas
orang malah meminta hujan. Hujan panas, panas
hujan. Hanya merupakan irama musim belaka,
masa bodoh. Bukan wewenangku membagi hujan.
Ahh... lapar...!" gumam pemuda berpakaian merah
itu sambil membuka periuk besar yang selalu di
bawanya ke manapun ia melangkah.
Breeng!
Terdengar beradunya benda mustika. Buang
Sengketa memang menutupkan periuk itu kembali
ketika ia tidak melihat dendeng lumba-lumba di
dalam periuk itu. Namun setelah pemuda itu
teringat sesuatu, barulah ia menepuk-nepuk
keningnya beberapa kali.
"Mengapa menjadi tolol! Bukankah makanan
yang kumiliki telah kubagi-bagikan pada penduduk
yang kelaparan di desa Dumai. Masa bodoh...!" pelan
sekali suara Pendekar Hina Kelana.
Pemuda titisan Raja Ular Piton Utara dari
Negeri Bunian ini terus mengayunkan langkahnya.
Semakin lama langkah-langkah kaki Buang
Sengketa semakin bertambah cepat. Bahkan ia telah
bersiap-siap mempergunakan ilmu lari cepatnya
yang berupa ajian 'Sepi Angin'. Ketika secara tiba-
tiba dari arah sebelah Utara jalan yang dilaluinya
terdengar suara jeritan-jeritan maut. Tanpa berpikir
panjang lagi Pendekar Hina Kelana pun dengan
mempergunakan tenaga dalamnya segera berlari
cepat menuju tempat terjadinya keributan.
Hanya dalam waktu sekejap saja Buang
Sengketa telah sampai di tempat kejadian. Begitu
pemuda ini menginjakkan kakinya di atas
sebongkah batu besar, maka terbelalaklah kedua
matanya. Bagaimana tidak, persis di pertengahan
lereng gunung Gendeng terlihat mayat-mayat
bergelimpangan tumpang tindih tidak karuan.
Mereka yang tewas itu berjumlah tidak kurang dari
dua puluh orang. Ketika Buang Sengketa
memperhatikan daerah sekitarnya. Ia tidak melihat
siapapun di sana. Namun beberapa saat kemudian
perhatian Buang Sengketa telah beralih pada sosok
tubuh yang menggeletak pada tempat yang agak
terpisah.
Dengan sangat berhati-hati pemuda itu me-
langkah ke sana. Keadaan mayat itu tidak jauh beda
dengan keadaan mayat-mayat lainnya. Bagian
kepala hampir terlepas dari lehernya, sedangkan
bekas luka nampak bergerigi, seolah senjata yang
dipergunakan untuk membunuh orang-orang itu
merupakan senjata yang tidak tajam. Lebih dari itu
bagian perut orang tersebut memburai keluar
bercampur dengan genangan darah. Bahkan
pemuda keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib itu
terpaksa memalingkan wajahnya sebentar ke arah
lain demi melihat keadaan mayat itu.
Namun setelah itu si pemuda segera
memungut selembar daun lontar yang terletak di
bagian dada mayat berpakaian serba biru itu. Dan ia
semakin bertambah kaget ketika melihat tulisan
yang tertera di atas daun lontar itu. Dengan wajah
berubah pucat, Buang Sengketa segera
membacanya.
Kepada semua golongan kaum persilatan!
Adapun orang yang bertanggung jawab dalam
pembantaian ini adalah aku, Pendekar Hina Kelana.
Buat golongan manapun yang tidak senang dengan
segala sepak terjangku. Kalian boleh mencariku.
Karena sesungguhnya aku sangat mengharapkan
tantangan kalian...!
Tertanda
Pendekar Hina Kelana.
Mendidih darah Buang Sengketa ketika
selesai membaca surat yang di tulis di atas daun
lontar itu. Dengan kemarahan yang meluap-luap.
Pemuda itu langsung meremas daun lontar tersebut
hingga hancur berkeping-keping.
"Dewata yang agung! Oh... keparaaat! Fitnah!
Fitnah yang sangat keji. Para Dewa di atas sana.
Apakah dosaku sehingga ada orang yang begitu tega
memfitnahku. Jahanam, seumur hidup aku belum
pernah melakukan pembantaian seperti ini." geram
Buang Sengketa dalam kemarahannya yang tiada
tertahankan lagi. Pemuda itu sekarang nampak
menundukkan wajahnya dalam-dalam, tubuhnya
bergetar menahan marah, dadanya terasa sesak
sekali. Dalam kemarahan yang sudah tiada
terkontrol lagi, maka unsur siluman di dalam
tubuhnya pun mulai mengambil peranan besar.
"Uaahhh... Heiiikhh...!"
"Shaaaat...!"
Blaaam...! Blaaam...!
Gunung Gendeng benar-benar terasa bagai
dilanda gempa bumi yang sangat dahsyat. Pohon-
pohon besar yang meranggas tanpa daun nampak
bertumbangan secara beruntun. Terhantam pukulan
'Si Hina Kelana Merana'. Bahkan batu-batu yang
terdapat di lereng gunung itu akhirnya runtuh
menerima getaran ilmu 'Lengkingan Pemenggal Roh'
yang begitu hebat.
Namun Pendekar Hina Kelana yang sedang
dilanda kemarahan itu tidak berhenti cukup di situ
saja. Dengan gerakan yang sangat cepat ia
mengumbar pukulannya ke berbagai arah. Keadaan
di sekelilingnyapun menjadi porak poranda. Dalam
keadaan seperti itu, secara sayup-sayup, Buang
Sengketa mendengar sebuah bisikan yang
datangnya dari sebuah tempat yang tiada terukur
jauhnya. Bahkan jika saja Buang Sengketa tidak
memiliki kesaktian yang sudah sangat sempurna,
mustahil ia mampu mendengar bisikan itu.
"Bocah tolol, apakah kau sudah gila...!
Merobohkan pohon-pohon yang tidak memiliki salah
apa-apa...!" bentak suara bisikan itu lugas.
Buang Sengketa hapal betul siapa yang
sedang berbicara itu. Cepat sekali ia menekuk
lututnya hingga jatuh terduduk. Dengan sikap
hormat ia berucap.
"Guru tidak melihat apa yang telah dilakukan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu.
Mereka telah memfitnahku, Guru...! Bukankah apa
yang mereka lakukan merupakan bencana yang
dapat membuatku harus berhadapan dengan
banyak tokoh...?" jelas si pemuda dengan suara
tergetar.
Dari kegaiban sana terdengar suara tawa
orang yang sangat dihormati oleh Pendekar Hina
Kelana. Dialah gurunya yang telah tiada itu, yaitu
manusia setengah Dewa Si Bangkotan Koreng
Seribu.
"Buang, kehidupan manusia itu sudah ada
yang mengaturnya. Apa gunanya kuwariskan jurus
Pamungkas 'Koreng Seribu'. Jika dalam menghadapi
cobaan seperti sekarang ini kau tidak dapat
mengendalikan unsur siluman yang mengalir di
dalam darahmu. Bukankah dulu pernah kukatakan,
bahwa jurus Sakti Koreng Seribu kuwariskan
padamu untuk mengendalikan hawa amarah, di
samping sangat berguna dalam menghadapi lawan-
lawanmu...?" kata suara bisikan itu penuh tanya.
"Tetapi apa yang kuhadapi sekarang ini
benar-benar sangat keterlaluan sekali, guru...!
Fitnah itu sewaktu-waktu dapat mencelakakan
muridmu?!" bantah si pemuda dengan wajah tetap
menunduk.
"He... he... he...! Kalau kau merasa berada di
pihak yang benar. Apa salahnya jika kau
menghadapi mereka dengan jurus Koreng Seribu...!"
Buang Sengketa nampak terdiam untuk
sesaat lamanya. Kalau di timbang-timbang rasanya
apa yang dikatakan oleh gurunya itu tidak salah.
"Baiklah. Kalau guru sudah mengatakan
demikian, sebagai murid yang belum mengerti
banyak aku hanya akan menuruti perintahmu...!"
"Bukan saja belum mengerti banyak, namun
kau juga edan...!" dengus bisikan itu, sehingga
membuat Pendekar Hina Kelana yang tadinya
kehilangan kontrol sekarang telah kembali lagi pada
sikap konyolnya.
"Tidak salah. Guru sendiri juga sinting...!"
sambut Buang Sengketa dengan tawa tergelak-gelak.
"Sudahlah. Bicara denganmu lebih lama
hanya membuatku muak...!"
"Jadi kau hendak ke mana, guru...!" pancing
si pemuda sambil menahan perasaan geli.
"Aku tidak ke mana-mana, bocah gemblung.
Aku tetap di alamku alam kedamaian abadi yang
tiada mengenal lagi kematian...!" kata bisikan itu
ringan.
"Aku ikut, guru...!"
"Kau semakin keblinger, bocah. Tugasmu
sebagai seorang pendekar masih menantang di
hadapanmu. Lagi pula siapa sudi diikuti bocah tolol
sepertimu...!" bersamaan dengan kata-katanya itu.
Maka suara bisikan gaib itupun akhirnya lenyap
begitu saja. Tinggal Buang Sengketa yang nampak
duduk termangu sambil menarik nafasnya berulang-
ulang. Tidak mengapa. Siapapun orang yang telah
berani mempergunakan namaku dalam
pembantaian ini. Yang jelas mungkin saja ia
memiliki kepandaian yang tiada terukur. Namun
walaupun dia berujud sebagai dedengkot manusia
iblis sekalipun. Aku akan mencari keadilan. Aku
pasti akan mengadakan perhitungan dengannya.
Batin Pendekar Hina Kelana.
Akhirnya dengan perasaan tiada menentu,
Buang Sengketa pun segera meninggalkan gunung
Gendeng menuju ke arah kota Kadipaten.
TIGA
Kota Kadipaten Kalungkung pada malam hari
kelihatan ramai dikunjungi oleh orang-orang dari
daerah. Apalagi Kadipaten merupakan pusatnya
kesenian dan juga atraksi berbagai kegiatan orang
orang yang mencari nafkah. Pendek kata daerah itu
nampak semakin mempesona keindahannya pabila
malam hari. Lampu warna warni berkelap-kelip tak
ubahnya bagai kunang-kunang yang bertaburan di
kegelapan malam.
Namun nun jauh dari pusat keramaian itu. Di
sebuah kedai penjual makanan yang sangat sarat
oleh pengunjung. Nampak kesibukan yang agak lain
bila dibandingkan dengan kesibukan yang sedang
berlangsung di tengah-tengah kota.
"Kudengar telah begitu banyak kaum
persilatan yang telah bergelimpangan menjadi
korban sepak terjang Pendekar Hina Kelana?" tanya
seorang laki-laki bertubuh kekar berjambang serta
kumis lebat dengan pakaian serba kuning dan ikat
kepala berwarna kuning pula.
Orang yang menjadi lawan bicaranya adalah
seorang laki-laki berbadan tinggi kurus, berkumis
jarang dan berpakaian serba hitam. Di bagian
pinggang laki-laki itu menggelantung sebuah senjata
yang berupa kaitan dan bertali panjang. Orang-
orang di sekitar Kadipaten mengenal laki-laki
berbadan kurus itu sebagai si Pengait Aneh.
Sedangkan laki-laki bertubuh kekar sama sekali
belum pernah di kenal sebelumnya.
"Tidak perlu diragukan lagi! Orang yang
berjuluk Pendekar Hina Kelana itu bahkan beberapa
hari yang lalu telah membunuh anggota keamanan
Kadipaten ini...!"
"Itu makanya kau mengundangku untuk
datang ke tempat ini...!" dengus laki-laki berpakaian
kuning.
"Kau jangan salah sangka, Anggoro! Kalaupun
aku mengundangmu jauh-jauh dari Kemujang sana.
Semua itu berdasarkan atas perintah Kanjeng
Adipati. Bahkan demi menjaga keamanan Kadipaten
ini beliau telah berkenan mengeluarkan biaya yang
sangat besar untuk penjaga keamanan...!" jelas si
Pengait Aneh.
"Huh...! Sekarang setelah keadaan menjadi
gawat. Engkau baru mau mengundangku untuk
sama-sama bergabung menjadi pengawal keamanan.
Tapi dulu aku datang padamu untuk meminta
pekerjaan pada Adipatimu itu, sedikitpun kau tidak
mau membantu...!" sergah Anggoro dengan perasaan
kurang senang.
"Dulu pekerjaan seperti yang kau inginkan itu
memang belum ada. Bukan aku tidak mau
menolongmu...!"
Sesaat suasana di dalam warung itu berubah
sunyi. Pengunjung di dalam warung yang rata-rata
merupakan para bawahan si Pengait Aneh
kelihatannya tidak berani bicara apa-apa. Mereka
menyadari apapun yang dibicarakan oleh si Pengait
Aneh atasan mereka yang jelas menyangkut masalah
keamanan Kadipaten.
"Sekarang tawaranmu cukup menggiurkan
juga. Namun apakah Adipatimu itu mampu
memberikan upah seperti yang aku inginkan?" tanya
Anggoro dengan sesungging senyum tipis.
"Berapa yang kau minta...?" tanya si Pengait
Aneh.
"Dua puluh keping uang emas...!" kata
Anggoro mantap. Semua itu membuat mereka yang
hadir di tempat itu nampak membelalakkan
matanya. Tidak terkecuali si Pengait Aneh.
"Gila!" seru si Pengait Aneh dengan kedua
mata melotot. "Aku saja setiap bulannya hanya
mendapat satu keping uang emas. Dan kau meminta
dua puluh keping uang yang sama?" Pengait Aneh
geleng-gelengkan kepalanya.
"Bukankah aku tak memaksa? Kalau
Adipatimu merasa keberatan dengan upah yang
kuminta, silahkan mencari yang lain...!"
Si Pengait Aneh baru saja hendak
melanjutkan kata-katanya ketika pada saat itu
muncul seorang laki-laki muda berwajah tampan di
dalam warung itu. Mereka yang hadir di sana
hampir bersamaan menoleh pada pemuda berwajah
tampan. Suasana berobah menjadi sepi mencekam.
Pemuda tampan itu dengan sikap acuh segera
duduk di sebuah bangku yang terletak di tengah-
tengah ruangan, sementara si pelayan warung
dengan sikap tergesa-gesa datang menghampiri.
"Tuan mau pesan apa?" tanya si pelayan
warung dengan sikap sungkan.
"Aku menginginkan kepala semua orang yang
berada di dalam warung ini...!" kata pemuda
bersenjata pedang itu dengan suara dingin
menyeramkam.
Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda
itu sudah barang tentu membuat mereka yang
berada di dalam warung terperangah. Mereka
menganggap apa yang diminta oleh pemuda tidak
dikenal itu merupakan sebuah tantangan yang jelas-
jelas ditujukan untuk mereka. Diantara sekian
banyak orang yang berada di dalam warung itu.
Laki-laki yang bernama Anggoro itulah yang tidak
dapat menerima penghinaan tersebut. Dengan wajah
merah padam ia segera bangkit dari tempat
duduknya, kemudian laki-laki bertubuh kekar itu
pun sudah membentak, "Apakah aku tidak salah
dengar?" ucapnya setengah bertanya.
"Kurasa kalian tidak tuli bukan? Sudah
kukatakan aku ingin meminta kepala kalian
semua...!" ulang pemuda itu dengan suara keras.
Si Pengait Aneh rasanya sudah tidak mampu
lagi menahan kemarahannya. Bagaimana tidak. Di
Kadipaten Kalungkung ia merupakan orang yang
sangat disegani oleh masyarakat setempat. Karena
selain merupakan seorang kepala pengawal
keamanan, laki-laki setengah baya ini juga di kenal
sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Namun siapa sangka malam itu seorang pemuda
yang tidak mereka kenal telah berani menghina
sedemikian rupa? Tanpa basa-basi lagi, dengan
gerakan yang sangat cepat tubuhnya langsung
berkelebat. Di saat lain si Pengait Aneh telah berdiri
tegak empat meter di hadapan si pemuda.
"Bocah! Siapakah engkau ini...?" tanyanya
dengan suara bergetar. Pemuda berwajah tampan
itu tersenyum dingin. Sedingin tatapan matanya
yang memandang tajam pada si Pengait Aneh dan
Anggoro.
"Hiaaa... hak... hak... haak...! Mengenai
namaku kalian tidak perlu tahu, tapi agar kalian
tidak mampus secara penasaran. Orang-orang
mengenalku sebagai Pendekar Hina Kelana...!"
"Setan alas! Kawan-kawan inilah si manusia
iblis yang telah meminta banyak korban. Keparat...!"
geram si Pengait Aneh. Sesaat ia memandang
kepada seluruh bawahannya yang berjumlah
puluhan orang. Semua anggota pengawal Kadipaten
itu cukup mengerti apa makna pandangan mata
atasannya. Maka tanpa menunggu perintah lagi.
Puluhan pengawal keamanan Kadipaten itu segera
menghunus senjatanya. Secara serentak pula
mereka langsung menerjang si pemuda. Laki-laki
muda berwajah tampan yang mengaku-ngaku
sebagai Pendekar Hina Kelana itu tergelak-gelak.
Masih dengan posisi duduk, pemuda itu
menyongsong kedatangan para pengeroyoknya.
Siing! Sraaaass!
Cepat bukan main gerakan tangan si pemuda
yang mengaku-ngaku sebagai Pendekar Hina Kelana
itu. Begitu tangannya berkelebat tahu-tahu di
tangannya sekarang tergenggam sebilah pedang
pusaka yang memancarkan sinar kuning keemasan.
Bahkan lebih cepat lagi pedang di tangannya
menyambar tubuh lawannya. Tidak kurang sembilan
orang anggota pengawal Kadipaten tersungkur roboh
begitu senjata yang mengandung racun itu
merenggut nyawa lawannya. Laksana kilat pedang
itu kembali lagi ke sarungnya.
Sraak...!"
Gerakan memasukkan dan mencabut pedang
yang sedemikian cepat itu saja sudah merupakan
suatu tanda bahwa pemuda berwajah tampan itu
memiliki ilmu memainkan pedang yang sedemikian
hebat. Namun si Pengait Aneh maupun Anggoro
tidak mungkin mendiamkan sepak terjang si
pemuda. Terlebih-lebih setelah melihat sembilan
orang anggotanya tewas seketika dengan tubuh
berubah menjadi kuning bagaikan kunyit.
"Jahanam! Kau ternyata bukanlah seorang
pendekar seperti yang kau sebut-sebut. Namun kau
tak lebih merupakan seorang iblis yang harus di
bikin mampus!" teriak si Pengait Aneh. Ketika itu ia
sudah melolos senjata andalannya yang berupa
mata kait berjabang tajam bertali panjang.
"Jangan banyak membantah, akulah
Pendekar Hina Kelana...!" kata pemuda itu masih
tetap berada di tempatnya. Sementara itu Anggoro
dan si Pengait Aneh telah menerjangnya dengan
serangan-serangan yang sangat gencar. Anggoro
yang bersenjata pedang menyerang si pemuda
dengan senjata mengarah pada bagian kaki dan
perut. Sedangkan senjata si Pengait Aneh mencari
sasaran pada bagian dada dan kaki. Sampai sejauh
itu si pemuda tampan melayani mereka dengan
mengandalkan kelincahan gerak serta jurus-jurus
tangan kosong.
Dalam waktu yang sangat singkat tiga puluh
jurus telah berlalu. Warung yang menjadi ajang
pertempuran telah porak poranda. Bahkan sekarang
mereka telah bergerak keluar. Suara teriakan-
teriakan menggelegar terasa memecah keheningan
malam. Saat itu hampir seluruh kekuatan pengawal
Kadipaten telah mengeroyok pemuda yang mengaku
sebagai Pendekar Hina Kelana itu. Bantuan para
pengawal itupun tidak berarti banyak. Karena begitu
si pemuda mencabut senjata andalannya yang
memancarkan sinar kuning itu menderu. Maka
korban demi korban pun berjatuhan. Lama
kelamaan para pengawal Kadipaten Kalungkung pun
tidak bersisa sama sekali.
"Kurang ajar. Kau benar-benar iblis...!" teriak
si Pengait Aneh. Pada saat itu ia berusaha memutar
senjata andalannya. Namun setelah pedang di
tangan si pemuda ikut bicara, kait bermata tajam
itupun sudah tidak mempunyai banyak arti
menghadapi jurus-jurus pedang lawannya.
Meskipun saat itu si Pengait Aneh telah
mengerahkan jurus andalannya yaitu jurus 'Kait
Gila Bermata Buta'. Hingga pada satu kesempatan.
Traaang!
Senjata di tangan si Pengait Aneh berantakan
saat dilanda ketajaman mata pedang si pemuda.
Bahkan laksana kilat dan tidak dapat dihindari lagi.
Jroooss!
"Akrrrgh...!" si Pengait Aneh keluarkan jeritan
tertahan-tahan. Bagian kepadanya melesat cepat
dan nyaris menghantam kepala Anggoro yang
berusaha mati-matian membendung serangan
lawannya. Jika saja laki-laki itu tidak cepat-cepat
merendahkan tubuhnya. Pastilah kepala si Pengait
Aneh yang melesat cepat itu menghantam
kepalanya.
Weeess! Daarrk...!
Kutungan kepala si Pengait Aneh begitu luput
menghantam kawannya sendiri langsung
menghantam dinding warung yang terbuat dari
papan. Begitu membentur dinding warung. Maka
kepala itupun hancur dengan otak bertaburan ke
mana-mana.
"Iblis...!" teriak Anggoro berulang-ulang.
Dengan sebat dia memutar pedang di tangannya.
Lawan melayaninya dengan tawa mengekeh. Dalam
kemarahannya itu jelas nyata bahwa gerakan silat
Anggoro sudah tidak terkontrol dengan baik. Pada
saat yang tepat pemuda itupun memapaki senjata
Anggoro yang menderu mengarah batang lehernya.
Traaang! Traaang...!
Pedang di tangan Anggoro patah menjadi
beberapa bagian saat membentur senjata pusaka
lawannya. Laksana kilat lawan menusukkan
senjatanya ke arah bagian perut lawannya.
"Jrees...!"
Anggoro hanya mampu membelalakkan
matanya. Kelengahan yang hanya sesaat itu benar-
benar harus ditebusnya dengan mahal.
"Sreek!" begitu pedang di tangan pemuda
yang mengaku sebagai Pendekar Hina Kelana itu
kembali ke sarungnya. Maka tanpa ampun lagi
tubuh Anggoro langsung terjerembat ke depan.
Tubuh laki-laki berbadan kekar inipun hanya
berkelojotan sesaat lamanya. Kemudian terdiam
pula untuk selama-lamanya. Si pemuda nampak
tersenyum puas. Dengan diiringi suara tawa
menggidikkan tubuhnyapun berkelebat lenyap di
telan kegelapan malam.
EMPAT
Buang Sengketa merasa tidak punya pilihan
lain lagi ketika hampir di setiap langkahnya ia
menemukan korban demi korban dari tokoh
misterius yang telah mempergunakan namanya
dalam setiap aksinya, dalam setiap melakukan
pembunuhan. Dia telah bertekad untuk memburu
tokoh misterius itu, meskipun ia sendiri tidak dapat
memastikan betapa hebatnya kepandaian yang
dimiliki oleh tokoh misterius yang telah
mencemarkan nama baiknya itu.
Dalam keadaan berjalan melenggang namun
tanpa pernah mengurangi kewaspadaannya. Tiba-
tiba Pendekar Hina Kelana mendengar suara
gemerisik yang mencurigakan di kanan kiri jalan
yang dilaluinya. Untuk tidak menimbulkan
kecurigaan bagi para pengintainya. Pemuda tampan
ini terus melangkahkan kakinya dengan sikap acuh.
Dan ia menyadari semak-semak di kanan kiri jalan
itu bergerak cepat, seolah ingin menyamai
langkahnya. Buang Sengketa secara mendadak
menghentikan langkahnya, maka semak-semak
itupun tidak bergoyang-goyang lagi.
"Orang-orang yang bersembunyi di dalam
semak-semak. Coba tunjukkan muka...!" kata
pemuda itu sambil memperhatikan semak-semak
yang terdapat di sekelilingnya. Tidak ada reaksi
apapun atas kata-kata pemuda itu. Melihat semua
ini sebenarnya si pemuda mulai merasa kesal. Tapi
mengingat ia sendiri saat itu sedang berusaha
mengembalikan nama baiknya. Maka Buang
Sengketa pun tidak berani bertindak gegabah.
"Kuingatkan pada kalian sekali lagi, coba
tunjukkan muka...?" ulangnya. Beberapa saat
setelah itu maka dari kanan kiri jalan yang dilalui
oleh Buang Sengketa nampak bermunculan
beberapa orang laki-laki bersenjata cambuk dan
pedang. Wajah-wajah mereka yang sinis memandang
tajam pada pemuda yang berdiri tegak di hadapan
mereka. Buang Sengketa segera menyadari pastilah
orang-orang itu terdiri dari dua perguruan. Atau
paling tidak dari partai yang berbeda.
"Kisanak! Apa maksud kalian memata-matai
perjalananku...?" tanya pemuda itu dengan sikap
tenang.
Mereka yang ditanya mendengus dan saling
berpandangan sesamanya. Lalu seorang laki-laki
berbadan tinggi besar, berpakaian warna gelap serta
berwajah tengkorak nampak maju dua tindak.
Sepasang matanya yang menjorok ke dalam batok
kepala memandang sinis pada Pendekar Hina
Kelana.
"Bertanya terus terang. Kaukah yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana...?" bentak laki-laki itu
dengan tatapan menyelidik.
"Siapskah anda semua...?"
"Jawab dulu pertanyaan kami, orang
muda...!" kata laki-laki muka tengkorak merasa
tidak senang.
"Saya tidak akan berkata apa-apa sebelum
kalian menjawab pertanyaan itu...!"
"Hemm." laki-laki itu mengumamkan kata-
kata yang tidak jelas. "Seumur hidup belum pernah
ada yang berani menjual lagak di depan Ketua
Tengkorak Putih, selain manusia tolol sepertimu...!"
geram laki-laki berwajah mengerikan itu yang
ternyata merupakan orang-orang Tengkorak Putih.
"Maaf. Bukan aku menjual lagak. Tapi kurasa
menanya asal usul orang yang bertanya padaku
tidak ada salahnya..." Buang Sengketa rangkapkan
tangannya ke depan dada. Laki-laki berwajah
mengerikan itu sekali lagi mendengus bagai kerbau.
"Omong kosong...! Anak muda cepat kau
katakan siapa engkau yang sebenarnya. Kalau tidak
kau akan menanggung sendiri akibatnya...!"
"Ketua mengapa harus bertanya lagi. Sudah
jelas pemuda yang punya penampilan seperti ini
tidak lain orang yang memiliki gelar Pendekar Hina
Kelana...!" kata salah seorang dari mereka merasa
tidak sabar lagi.
"Benar... aku memang Pendekar Hina Kelana.
Ada keperluan apakah kalian mencari aku...!"
"Kau jangan berpura-pura, bocah! Telah
begitu banyak korban yang jatuh di tanganmu.
Kejahatanmu melebihi tindakan manusia iblis. Di
setiap daun lontar kau tinggalkan pesan. Masihkah
kau mau mungkir...!" bentak laki-laki berwajah
tengkorak itu dengan kemarahan yang tiada
terperikan.
Buang Sengketa tersenyum kecut. Ia memang
sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh
laki-laki itu. Karena ia sendiri telah banyak melihat
korban yang bergelimpangan dengan ulah tokoh
misterius yang mengaku-aku sebagai dirinya.
Begitupun ia masih bersabar dengan berkata, "Maaf,
sobat. Bukan aku seorang pengecut, untuk
mengakui segala perbuatanku. Tapi perlu kalian
ketahui bahwa di kalangan persilatan ada orang
yang sengaja melakukan teror dan berusaha
memfitnah aku...!"
"Bedebah. Bagaimana mungkin kau bisa
berubah menjadi sepengecut ini, tikus budukan...!"
"Kalian jangan gegabah menuduh orang
secara serampangan. Aku sendiri sekarang ini
sedang berusaha mencari orang yang mengaku-aku
sebagai diriku itu!" jelas pemuda itu dengan wajah
memerah.
"Omong kosong. Lebih baik kau menyerah
untuk mempertanggungkan segala perbuatanmu!"
"Menangkap orang yang tidak bersalah, sama
saja artinya kalian akan kehilangan orang-orang
tidak berdosa...!" kata Buang Sengketa mencoba
menyadarkan orang-orang yang telah
mengepungnya. Tetapi manalah orang-orang yang
telah dirasuki perasaan dendam itu memperdulikan
ucapannya. Sebaiknya mereka segera melolos
pedang dan cambuknya. Dengan senjata itu mereka
langsung menggempur Buang Sengketa dari
berbagai penjuru. Tidak dapat dihindari,
pertempuran sengit pun terjadi. Para pengeroyoknya
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya
berusaha mendesak Pendekar Hina Kelana.
Sebaliknya pemuda titisan Raja dari Negeri Alam
Gaib ini mana mau membiarkan tubuhnya termakan
senjata di tangan lawan-lawannya begitu saja.
Dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh
yang begitu sempurna. Buang Sengketa masih
mampu menghindari serangan-serangan ganas
mereka. Tanpa terasa lima belas jurus telah
terlewati. Namun sampai sejauh itu para
pengeroyoknya masih belum mampu merobohkan
Buang Sengketa. Jangankan sampai merobohkan,
sedangkan menyentuh bagian tubuh si pemuda
masih belum dapat mereka lakukan. Kenyataan ini
jelas-jelas membuka mata si Muka Tengkorak yang
mengepalai orang-orang itu. Bahkan ia sendiri di
buat terkagum-kagum melihat kelincahan gerak
pemuda itu. Padahal selama ini Tengkorak Putih
tahu betul, bahwa orang-orang yang diasuhnya
bukanlah murid-murid sembarangan. Dengan
senjata mereka yang berupa cambuk dan pedang,
telah begitu banyak lawan-lawan mereka yang
menjadi pecundang, tanpa campur tangan ketuanya
sendiri.
Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini
memang merupakan seorang lawan yang sangat
tangguh. Akhirnya tanpa berkata apa-apa. Laki-laki
bermuka buruk inipun ikut terjun ke gelanggang
pertempuran. Dengan turunnya Tengkorak Putih
dalam pertempuran itu. Maka dalam beberapa jurus
di depan pemuda itu mulai kelihatan terdesak.
Buang Sengketa segera merubah jurus-jurus
silatnya yang bervariasi itu.
Pada dasarnya tokoh Tengkorak Putih itu
bukanlah seorang lawan yang dapat dianggap
ringan. Buang dapat merasakan setiap serangan
yang dilancarkan oleh laki-laki muka buruk itu
selalu menimbulkan getaran dan sambaran angin
yang sangat keras lagi membuat sakit lubang pori-
pori. Kecepatannya dalam melakukan serangan juga
sangat sulit untuk diduga-duga. Tetapi kiranya
Tengkorak Putih juga menyadari bahwa orang yang
menjadi lawannya kali ini bukan pula orang
sembarangan. Bahkan ia sendiri dulu sering
mendengar kehebatan pemuda yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana ini. Namun nama besar
pendekar itu menjadi tidak ada artinya di mata
Tengkorak Putih. Karena ia tetap beranggapan
bahwa pemuda itu telah menebar berbagai
kejahatan, akhir-akhir ini.
Lima puluh jurus telah terlewati tanpa terasa.
Bahkan anak buah Tengkorak Putih sekarang sudah
tidak lagi ikut melakukan pengeroyokan. Apalagi
ketika mendengar teriakan Ketua mereka yang
mengisyaratkan agar mereka menjauhkan diri dari
pertempuran. Maka orang-orang itu pun tidak
punya keberanian bertindak gegabah. Bahkan
mereka pun sadar betapa lawan yang dihadapi oleh
Ketua mereka sekarang ini merupakan lawan yang
sangat tangguh.
"Hiaat... Hayaaaa...!"
Di sertai dengan jeritan tinggi melengking,
tubuh pendekar itu bersalto sebanyak tiga kali di
udara. Pemuda ini nampaknya sedang berusaha
menjauhi pertempuran. Tapi celakanya begitu
Buang Sengketa menjejakkan kakinya sebanyak
tujuh langkah dari Tengkorak Putih. Laki-laki muka
buruk itu terus memburunya tanpa memberi
kesempatan pada pemuda itu untuk bicara.
"Tunggu... aku...!"
"Syaaat...!" belum sempat Buang Sengketa
melanjutkan kata-katanya. Tendangan kaki kanan
Tengkorak Putih menderu keras mengarah pada
bagian wajahnya. Si pemuda yang mengetahui
betapa berbahayanya serangan itu, segera
menghindar dengan cara berjumpalitan ke belakang.
Melihat lawan masih dapat menghindari tendangan
mautnya yang telah teraliri sepertiga dari tenaga
dalam yang dimilikinya. Maka Tengkorak Putih pun
melepaskan pukulan jarak jauh, yang sangat di
kenal dengan nama 'Mempersempit Jarak'. Begitu
Tengkorak Putih menghantamkan ke dua tangannya
ke arah lawannya dengan jari-jari terkembang. Maka
menebarlah bau busuk yang sangat keras sekali. Di
samping itu dengan kecepatan yang sangat sulit
untuk diikuti oleh kasat mata. Seberkas sinar
berwarna biru melesat cepat ke arah Buang
Sengketa. Menyadari dirinya dalam keadaan
berbahaya. Buang Sengketa segera merentangkan
kedua tangannya di atas kepala. Saat itu juga dari
telapak tangannya yang menggeletar hebat. Nampak
melesat dua larik sinar merah menyala memapaki
datangnya pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
Begitu dua pukulan yang teraliri tenaga sakti
itu saling berbenturan di tengah jalan. Maka tubuh
mereka saling bergetar. Tengkorak Putih melipat
gandakan tenaga dalamnya. Begitu pula halnya
dengan Pendekar Hina Kelana yang merasa bahwa
lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tenaga
dalam setingkat di atasnya segera pula menguras
segenap kemampuan yang dimilikinya. Adu tenaga
dalam itu berlangsung seru dan menegangkan.
Masing-masing lawan sudah mulai basah oleh
keringat. Wajah mereka sebentar memerah dan di
lain saat telah berubah pucat pasi. Namun diantara
keduanya tidak seorang pun yang berani bertindak
gegabah. Mereka menyadari dalam adu tenaga
dalam seperti sekarang ini, siapa yang lengah,
jiwanya pasti tidak akan tertolong lagi. Sementara
Tengkorak Putih sedang memutar pikiran untuk
mencari jalan keluar dalam usahanya mengakhiri
pertarungan itu dengan harapan kemenangan harus
berada di pihaknya. Buang Sengketa malah
berusaha agar lawannya tidak mengalami luka-luka
yang berarti. Sebab dalam usahanya mengembalikan
nama baik yang dicemarkan oleh orang lain, ia tidak
ingin adanya korban karena tangannya sendiri. Apa
yang ingin ditunjukkan pemuda itu di depan para
pengeroyoknya. Bahwa selama ini ia memang tidak
pernah terlibat kejahatan manapun. Apalagi sampai
membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Tapi
tentu saja usaha yang dilakukan oleh pemuda itu
jelas terlalu sulit untuk dilaksanakan. Semuanya
akan membawa resiko yang sangat tinggi. Bahkan
salah-salah nyawanya sendiri yang menjadi
taruhannya. Dalam keadaan yang serba sulit itu.
Tiba-tiba Buang Sengketa menarik balik tenaga
dalamnya sendiri........
Pada saat itulah Tengkorak Putih nampak
terkejut bukan alang kepalang. Bahkan ia merasa
tidak percaya dengan apa yang terjadi pada saat itu.
Bagaimana mungkin pukulannya amblas begitu
saja. Bahkan ia melihat pemuda itu sambil
tersenyum kecut masih tetap merentangkan
tangannya di atas kepala. Dan Tengkorak Putih
menjadi lebih terkesima lagi ketika secara perlahan
namun cukup pasti, tubuhnya terseret dan bergerak
cepat ke arah Buang Sengketa
Melihat kejadian yang mereka rasakan ganjil
ini. Semua anak buah laki-laki muka buruk itu
tidak tinggal diam. Tanpa dikomando lagi mereka
menyerang Buang Sengketa yang tetap dalam
keadaan tegak bahkan tidak bergeming sedikit pun
juga. Tanpa ragu-ragu lagi, mereka mengayunkan
senjatanya.
Craaak... sheeeb...!
Senjata-senjata mereka begitu menyentuh
tubuh Pendekar Hina Kelana langsung melekat erat
dan tidak dapat mereka tarik kembali. Lebih celaka
lagi ketika mereka berusaha membetot senjatanya
masing-masing. Senjata yang menempel di bagian
tubuh Buang Sengketa terasa melekat lebih erat lagi.
Bahkan detik-detik berikutnya mereka merasakan
adanya sebuah kekuatan yang tiada terlihat
mengalir deras melalui tangan mereka.
"Ilmu ibliss...!" geram Tengkorak Putih.
Sementara ia sendiri masih belum menemukan jalan
untuk membebaskan diri dari pengaruh betotan
yang ditimbulkan akibat pengerahan tenaga dalam
yang terus menerus. Puluhan anak buahnya
berjatuhan bagai pohon pisang ditebang. Dalam
pada itu dengan melakukan satu dorongan yang
agak keras. Tubuh laki-laki muka buruk itu hampir
saja terjengkang. Dengan gerakan cepat ia segera
bangkit berdiri. Dengan suaranya yang mengguntur
Tengkorak Putih berucap penuh teguran.
"Orang muda. Kalau kau menghendaki.
Mungkin sudah sejak tadi jiwa kami melayang. Tapi
benarkah kau orang yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana?" tanya Tengkorak Putih seakan tidak
percaya.
"Aku memang Pendekar Hina Kelana. Tapi
yakinlah kalian, bukan aku yang telah melakukan
pembunuhan demi pembunuhan itu...!" jawab
pemuda itu serius.
"Maaf orang muda. Kalaulah bukan kau yang
telah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu.
Apakah kau beranggapan ada orang lain yang
sedang berusaha melakukan fitnah terhadap
dirimu...?"
"Ya... tidak dapat ku sangkal. Ada pihak
tertentu yang sedang menyebarkan fitnah
terhadapku...!"
"Kalau begitu ada orang-orang tertentu yang
merasa tidak senang dengan dirimu...?" tanya
Tengkorak Putih dengan nada sedikit lunak.
"Mungkin saja, tapi aku tidak dapat
memastikan siapa mereka. Karena terlalu banyak
golongan hitam yang tewas di tanganku...!"
"Heh... baiklah. Siapapun adanya engkau ini,
sekarang aku merasa yakin bahwa kau bukan orang
yang pantas untuk dicurigai...!"
"Maafkan aku orang tua... apa yang
kulakukan hanyalah untuk membela diri. Sekarang
aku harus segera pergi...!" Buang Sengketa meminta
diri.
"Pergilah. Semoga Dewata selalu
menyertaimu...!" kata Tengkorak Putih tulus.
Dengan sekali berkelebat, pemuda itu telah lenyap
dari hadapan orang-orang Tengkorak Putih.
"Hemm. Bukan main. Jika saja ia memang
tokoh misterius itu. Mungkin saja sejak tadi aku dan
orang-orangku cuma tinggal nama saja...!" batin
laki-laki muka buruk itu. Tak lama setelah itu
dengan disertai seluruh anak buahnya. Tengkorak
Putih segera melakukan perjalanan kembali.
5l
LIMA
Setelah bertemu dan sempat bentrok pula
dengan pemuda berpakaian merah. Laki-laki muka
buruk yang berjuluk Tengkorak Putih itu bermaksud
membantu pemuda yang diyakininya tidak bersalah
itu mengembalikan nama baiknya. Maka niat yang
pertama sekali harus dilakukannya adalah
menghubungi para sahabat-sahabatnya. Juga
semua golongan putih. Rupanya Tengkorak Putih
yang semula secara terang-terangan berusaha
menangkap Pendekar Hina Kelana, akhirnya
berubah niat setelah ia bertemu dengan pemuda
sakti itu. Dan Tengkorak Putih akhirnya merasa
maklum sendiri setelah, kalah bertarung dengan
pemuda itu. Yang membuat Tengkorak Putih merasa
sangat yakin bahwa Pendekar Hina Kelana tidak
pernah terlibat dalam segala bentuk teror yang
selama ini terjadi ialah karena pada saat akhir
pertarungan itu dengan kesaktiannya yang sangat
luar biasa itu. Kalau pendekar itu mau tentu mereka
telah terbunuh seluruhnya.
Sekarang dengan segenap keyakinan yang ia
miliki dalam usahanya mengembalikan nama baik
Pendekar Hina Kelana. Rombongan yang dipimpin
oleh Tengkorak Putih itu nampak menuju ke sebuah
Perguruan yang bernama Perguruan 'Elang Emas'.
Jarak yang ditempuh oleh mereka sebenarnya masih
sangat jauh sekali. Karena Perguruan Elang Emas
itu terletak bagian Tenggara selat Berhala.
Demikianlah tanpa mengenal lelah hampir
sepanjang hari mereka terus melakukan perjalanan.
Ketika keesokan harinya mereka telah
memasuki daerah Selat Berhala. Pada sebuah jalan
yang sangat sunyi. Seorang pemuda bertopi lebar
nampak menghadang di tengah jalan yang mereka
lalui. Melihat kenekatan orang itu tentu saja
Tengkorak Putih dan orang-orangnya menjadi
berang juga.
"Sobat bertopi. Kami harap jangan halangi
jalan yang akan kami lewati. Menyingkirlah...!"
perintah Tengkorak Putih dengan suara bergetar.
Wajah yang tersembunyi di balik topi lebar itu
tersenyum dingin. Sepasang matanya yang setajam
serigala kelaparan memperhatikan Tengkorak Putih
untuk seketika lamanya. Tapi pemuda bertampang
kejam dan bertopi lebar itu tidak berkata apa-apa.
Tetapi ia juga tidak mau menyingkir dari jalan itu.
Kenyataan ini secara tidak langsung telah
membangkitkan amarah Tengkorak Putih dan para
anak buahnya.
"Hei... apakah kau tidak dengar apa yang
kukatakan...?" ulang Tengkorak Putih dengan suara
keras.
"Aku selalu mendengar setiap apa yang
dikatakan oleh orang lain, manusia muka hantu.
Bukankah kau menyuruhku segera menyingkir?"
suara pemuda bertopi lebar itu terasa dingin
menyeramkan.
"Bagus kalau kau telah mendengarnya.
Sekarang kerjakanlah yang aku perintahkan
tadi...?!" kata Tengkorak Putih tanpa merasa curiga
apa-apa.
"Jalan ini bukan milik nenek moyang kalian.
Siapapun punya hak berada di sini. Jadi apa
perdulimu. Mau aku berada di tengah-tengah jalan
ini sepanjang hari, tidak seorangpun yang dapat
melarangku...!" kata pemuda itu semakin bertambah
dingin.
Apa yang baru saja dikatakan oleh orang di
depannya itu jelas-jelas membuat Tengkorak Putih
semakin bertambah murka
"Iblis jalanan, siapakah Engkau ini? Kulihat
kau sengaja mencari gara-gara dengan kami...!"
Pemuda bertopi lebar itu tergelak-gelak.
Suaranya melengking tinggi menggidikkan bulu
kuduk setiap orang yang berada di sekitarnya
"Untuk kalian ketahui. Sebenarnya saat ini
aku sedang melaksanakan satu pekerjaan yang
sangat rahasia. Tapi karena kalian telah hampir
berhasil menemukan sesuatu yang kuperbuat. Maka
kalian hanya pantas mengenalku sebagai si Pedang
Kilat...!"
"Pedang Kilat...?" gumam Tengkorak Putih
sambil berusaha merenungi kata-kata yang baru
saja diucapkan oleh pemuda bertopi lebar itu. Tetapi
setelah agak lama memutar otak. Ia sendiri akhirnya
menarik kesimpulan. Bahwa pada waktu-waktu
sebelumnya mereka memang belum pernah bertemu
atau mendengar sebuah julukan yang agak
menyeramkan ini.
"Pedang Kilat! Aku tidak mengenal siapapun
engkau. Tapi kuharap menyingkirlah dari hadapan
kami. Jika tidak aku pasti segera memberi pelajaran
padamu...!" teriak Tengkorak Putih.
"Jangan banyak tanya. Lebih baik kita gebuk
saja, Ketua...!" celetuk salah seorang anak buahnya
tidak sabaran lagi.
"Ha... ha... ha...! Kalian adalah badut-badut
tidak lucu yang sebentar lagi segera kukirim ke
neraka...!" pemuda bertopi lebar itu mengancam.
"Kurang ajar. Kau benar-benar telah
menghina kami manusia sinting...!"
"Kalian tidak percaya! Lihatlah...!" belum lagi
selesai dengan kata-katanya dengan kecepatan
melebihi kecepatan suara, samar-samar terlihat
sekelebatan sinar putih menyilaukan mata bergerak
cepat menyambar. Bersamaan dengan itu terdengar
suara jeritan maut dari anak buah Tengkorak Putih.
Lima orang dari mereka tersungkur roboh dengan
luka di bagian leher yang sangat dalam. Darah
menyembur dari masing-masing luka itu. Yang
membuat Tengkorak Putih jadi terperangah, karena
bekas luka itu tidak jauh beda dengan luka-luka
yang sama dari orang-orang yang telah terbunuh
pada waktu-waktu yang telah berlalu. Luka-luka itu
bergerigi, seolah-olah senjata yang dipergunakan
oleh orang bertopi lebar itu merupakan sebuah
senjata yang tidak tajam. Dan Tengkorak Putih
merasa lebih terkesima lagi. Ketika sepasang
matanya yang menjorok ke dalam batok kepalanya
itu melirik ke arah pemuda itu. Ia tidak melihat
pemuda itu sedang menggenggam senjata apapun.
Hal ini merupakan bukti. Bahwa kecepatan pemuda
itu dalam mempergunakan senjatanya melebihi
kecepatan suaranya sendiri.
"Keparaat! Melihat luka dan caramu dalam
mempergunakan senjata. Kau memang pantas
memiliki gelar si Pedang Kilat. Tapi melihat apa yang
kau lakukan, maka aku pun dapat menarik
kesimpulan. Bahwa kunyuk sepertimulah yang telah
mempergunakan nama Pendekar Hina Kelana dalam
setiap aksimu membunuh orang-orang yang tidak
berdosa...!"
"Wua... ha... ha...! Hem... rupanya otakmu
tidaklah serusak mukamu yang jelek itu. Memang...
memang tidak akan memungkiri bahwa sebenarnya
memang akulah yang dengan sengaja
mempergunakan nama manusia yang paling kubenci
di kolong langit ini dalam segala usahaku
menjatuhkan nama baiknya...!"
"Oh, rupanya kau punya dendam tersendiri
dengan pendekar itu? Pantasan setiap selesai
melakukan kejahatan, kau menuliskan namanya
pada selembar daun lontar. Ternyata. Kau hanyalah
seorang iblis pengecut...?" Tengkorak Putih merasa
geram sekali.
"He... he... he...! Kau salah jika
menganggapku seorang pengecut, manusia jelek.
Ketahuilah bahwa semua itu kulakukan semata-
mata hanya untuk menyiksa perasaannya. Setelah
dia cukup menderita, barulah aku datang
membunuhnya...!" kata pemuda bertopi lebar itu
masih terus tergelak-gelak.
"Tidak semudah itu, manusia iblis. Karena
kami segera menghubungi kaum persilatan untuk
menjernihkan dulu persoalan yang sebenarnya.
Sehingga pendekar itu tidak akan menjadi korban
kelicikanmu..."
"Tidak bisa... tidak dapat... karena aku segera
mengirim kalian ke neraka...!"
Sriing...!
Hanya terdengar gemerincing suara senjata
tercabut dari sarungnya saja. Ketika pemuda bertopi
lebar itu menggerakkan senjatanya. Maka jeritan-
jeritan meregang ajalpun terdengar saling susul
menyusul. Dalam waktu yang sangat singkat sekali
seluruh orang-orang Tengkorak Putih habis
terbantai hingga tidak bersisa sama sekali. Melihat
kejadian ini semua sudah barang tentu Tengkorak
Putih menjadi sangat gusar sekali.
"Keparat. Kau benar-benar manusia iblis...!"
maki laki-laki berwajah buruk itu dengan
kemarahan tertahan-tahan. Sebaliknya si Pedang
Kilat alias Pendekar Hina Kelana palsu malah
tergelak-gelak.
"Sampai waktu yang kuinginkan. Tidak akan
kubiarkan siapapun membongkar rahasiaku. Itu
makanya aku harus mencegahmu agar tidak pernah
sampai ke perguruan Elang Emas...!"
"Kalau begitu mampuslah, kau...!" teriak
Tengkorak Putih. Sambil menghunus senjatanya
yang berupa cambuk dan pedang pendek. Laki-laki
buruk rupa ini berusaha mendesak lawannya
dengan serangan-serangan gencar. Tapi oleh
lawannya semua itu dapat diatasi dengan kecepatan
gerak yang sangat hebat. Hingga ketika pertempuran
baru berlangsung tiga empat jurus. Tengkorak Putih
telah tersungkur roboh bermandikan darah. Dapat
dibayangkan Tengkorak Putih yang memiliki tenaga
dalam seimbang dengan Pendekar Hina Kelana itu
dapat dijatuhkan oleh lawannya hanya pada
gebrakan-gebrakan awal. Hal ini merupakan satu
bukti. Bahwa pemuda bertopi lebar itu memang
merupakan seorang pemuda yang sangat handal
yang memiliki kecepatan gerak tidak dapat
diperhitungkan. Selesai membunuh lawan-
lawannya, si Pedang Kilat dengan tenang segera
meninggalkan korban-korbannya.
ENAM
Malam itu udara terasa dingin sekali. Langit
agak tertutup awan. Hanya sedikit saja cahaya
bulan yang kelihatan di langit sana. Suasana di
sekitar hutan Tengger kelihatan lenggang tidak
ubahnya bagai hutan mati. Tapi di tengah-tengah
hutan yang jarang di jarah oleh kalangan persilatan
manapun itu. Di sebuah kuil tua yang sudah tidak
terurus. Seorang laki-laki tua berpakaian tambal-
tambal nampak sedang duduk-duduk menikmati
lezatnya ayam panggang hutan bersama seorang
gadis cantik berpakaian, serba ungu.
Sesekali gadis berparas cantik jelita ini
melirik pada laki-laki tua yang duduk tidak begitu
jauh dari sisinya. Melihat cara laki-laki berpakaian
tambal-tambal itu menggerogoti ayam panggang itu.
Tiba-tiba gadis berwajah rupawan itu bergumam
pelan.
"Guru...! Siapakah orang yang paling rakus di
kolong langit ini?"
Laki-laki yang di panggil 'Guru' oleh gadis
cantik itu tidak Iain Iblis Liang Kubur adanya.
Sedangkan gadis itu tidak lain merupakan murid
tunggal Iblis Liang Kubur yang bernama Pertiwi.
"Di dunia ini cuma ada satu orang yang
sangat rakus, bahkan mempunyai sifat mata
keranjang...!" kata laki-laki bertampang sangar itu
seolah memperingatkan pada muridnya yang luar
biasa cantik itu.
"Siapakah orang itu, Guru...?" tanya Pertiwi.
Pada kenyataannya meskipun gadis itu merupakan
seorang murid manusia sesat, tetapi ia memiliki
watak yang polos.
"Siapa lagi kalau bukan si Burung Hantu
sahabatku itu...!" kata kakek tua itu polos.
"Hah...!" Pertiwi sampai terlonjak dari tempat
duduknya. Selama ini ia memang tidak pernah
menghiraukan kehadiran si Burung Hantu di
tengah-tengah mereka. Bahkan ia tidak begitu
perduli cara si Burung Hantu memandang padanya.
"Bagaimana guru bisa mengetahuinya...?"
tanya gadis cantik itu setengah ragu-ragu.
"Aku mengenal si Burung Hantu tidak
ubahnya bagai tangan dan kakiku sendiri. Itu
makanya, meskipun dia merupakan sahabat baikku.
Tetapi kau jangan bersikap lengah...!"
Pertiwi menganggukkan kepalanya. Kemudian
setelah menoleh ke kanan dan kiri. Pertiwi
melanjutkan pertanyaannya, "Guru. Apakah guru
tahu, kemana saja perginya Uwa Burung Hantu
pada saat-saat memisahkan diri dari kita seperti
sekarang ini?" sambil menggerogoti kerat terakhir
bagian kepala ayam hutan panggang itu. Iblis Liang
Kubur berkata:
"Mungkin saja ada pekerjaan lain yang harus
segera diselesaikannya. Atau bisa saja ia sedang
memburu Pendekar Hina Kelana, yang konon
kabarnya telah membunuh adik-adik
seperguruannya dari pulau Berhala sana...!"
"Menurut guru. Mana diantara anda berdua
yang lebih sakti...?" pancing gadis itu lebih jauh.
Iblis Liang Kubur mendengus kesal. Sejak
dulu ia paling tidak suka bila dibanding-bandingkan
dengan orang lain. Meskipun yang mengajukan
pertanyaan itu merupakan murid tunggalnya
sendiri.
"Kau jangan membuat gurumu marah,
Pertiwi...?"
"Ah, aku kan cuma tanya saja. Kalau guru
tidak sudi menjawabnya atau barangkali guru
sendiri merasa tidak punya keberanian untuk
mengatakannya. Tokh aku tidak memaksa...!" kata
Pertiwi dengan wajah cemberut.
"Weh... kau pikir aku takut
mengatakannya...?" ujar Iblis Liang Kubur. "Kau
pikir gurumu ini memiliki ilmu lebih rendah bila
dibandingkan dengan ilmunya si Burung Hantu itu?
He... he... he...! Dalam ilmu silat kami seimbang.
Begitu juga halnya dengan kecepatan menggunakan
senjata. Tapi entah kalau sekarang...! Entah dia
malah lebih maju, entah lebih mundur. Cuma satu
saja yang tidak kupunyai dari seluruh apa yang
dimilikinya. Bahwa aku tidak ahli dalam hal ilmu
penyamaran. Selebihnya dia tidak dapat
memandang remeh pada gurumu ini...!" jelas Iblis
Liang Kubur dengan perasaan bangga.
Setelah puas mendengar jawaban gurunya.
Akhirnya Pertiwi hanya diam saja. Sedangkan
gurunya karena merasa kekenyangan telah bersiap-
siap ingin tidur. Lain halnya sang guru lain pula
halnya dengan apa yang dialami oleh muridnya.
Setelah memakan daging panggang ayam hutan
yang lezat itu. Pertiwi merasakan tubuhnya terasa
panas. Keringat mulai meleleh membasahi sekujur
tubuhnya. Padahal saat itu udara di sekitar itu
terasa dingin sekali. Tapi Pertiwi merasakan
badannya gerah dan ingin mandi. Satu hal yang
tidak terpikirkan di benak Pertiwi, mengapa udara
yang dingin itu tidak dirasakannya sama sekali.
Bahkan ia tidak merasa curiga dengan ayam hutan
yang dimakannya dan siapa yang menangkapnya
siang tadi? Yang ada dalam ingatannya saat itu ialah
ia ingin mandi sepuas-puasnya. Dan ketika ia ingat
dengan sebuah sungai yang terletak tidak begitu
jauh dari kuil tua yang mereka tempati. Maka gadis
itupun pamitan pada gurunya.
"Guru...! Badanku terasa gerah sekali. Aku
ingin mandi di sungai yang kita lewati tadi...!" kata
gadis itu sambil melangkah seenaknya.
"Jangan lama-lama...!" kata Iblis Liang Kubur
yang sudah sangat mengantuk itu tanpa merasa
curiga apa-apa. Sedangkan Pertiwi tanpa berkata
lagi segera bergegas menuju ke arah sungai.
Di luar sepengetahuan gadis itu, kiranya
sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasi
gerak-gerik Pertiwi yang memiliki wajah sangat
rupawan ini. Dari jarak tertentu sepasang mata yang
penuh birahi ini terus mengikuti ke manapun
Pertiwi melangkahkan kakinya.
Di langit bulan memancarkan cahaya kuning
keemasan ke segenap pelosok hutan rimba di
sekitarnya. Gadis berparas jelita itu sekarang telah
berada persis di pinggiran sungai. Tanpa berpikir
panjang lagi, gadis itu mulai menanggalkan
pakaiannya satu demi satu. Maka tanpa penghalang
lagi kulit putih yang halus mulus itu terlihat dengan
jelas. Bahkan sepasang bukit kembarnya yang
ranum, padat dan kenyal menandakan belum
pernah tersentuh tangan-tangan jahil. Ketika gadis
itu melemparkan lembaran terakhir pakaian bagian
bawah. Pertiwi meletakkannya di atas sebongkah
batu besar. Tubuh gadis yang tiada tertutupi
selembar benang itu segera meluncur memasuki
kedalaman sungai.
Sementara pemilik sepasang mata yang
menyaksikan semua yang dimiliki Pertiwi dengan
jelas, berulang kali nampak menelan ludah. Lutut
terasa goyah bahkan ia merasa semakin tidak sabar
untuk menyergap mangsanya. Namun ia masih
berusaha menahan gejolak perasaannya dengan
menanti perkembangan selanjutnya.
Di dalam air sungai yang bening itu. Pertiwi
terlihat berenang kian ke mari mengikuti arus
sungai. Tubuhnya yang tiada tertutup sehelai
benang itupun bergerak mengikuti arus sungai.
Hingga pada beberapa saat setelahnya ia merasakan
satu perasaan yang belum pernah dialaminya pada
waktu-waktu sebelumnya.
Mula-mula tubuhnya menggeletar bagai orang
yang kedinginan. Kemudian ia merasakan arus
sungai yang mengalir deras itu tidak jauh bedanya
dengan belaian dari tangan-tangan yang kokoh.
Pertiwi merasakan satu rangsangan yang besar
bersumber dari bagian bawah perutnya. Tidak ayal
tubuh gadis rupawan itupun menggelinjang
beberapa kali. Nafasnya turun naik tidak teratur.
Sementara bibirnya terus mendesis-desis tidak
ubahnya bagai seekor ular yang tengah berhadapan
dengan lawannya. Pertiwi kemudian berenang ke
tepi sungai. Di atas tanah berpasir tubuhnya
terguling-guling, mulutnya terus mendesis tiada
henti. Sementara itu sepasang mata yang terus
mengintai dari semak-semak nampaknya merasa
sudah tidak sabar lagi melihat buruannya telah
berhasil dijinakkan. Dengan sekali berkelebat tubuh
orang itu tahu-tahu telah berada di depan Pertiwi.
Luar biasa nampaknya daya rangsangan yang
dibubuhkan laki-laki pengintai itu pada ayam hutan
yang sempat dimakan oleh Pertiwi itu. Sampai-
sampai gadis cantik yang memiliki tenaga dalam
tinggi ini. Tidak dapat berbuat banyak atas
kehadiran laki-laki muda bertopi lebar ini. Bahkan
pemuda bertopi lebar itu dengan jelas dapat melihat
kepasrahan gadis rupawan yang terus mengerang
dalam keadaan terlentang ini.
Tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu
mencopoti pakaiannya sendiri. Sementara sepasang
matanya nampak berkilat-kilat memandang bebas
pada tubuh yang tergolek menelentang di
hadapannya itu. Pemuda itu kemudian segera
berjongkok, lalu tangannya yang kokoh itu me-rayap
ke bagian dada. Pertiwi yang telah dirasuki hawa
aneh itu menggelinjang beberapa kali. Dan pada
saat jemari tangan pemuda itu meluncur menuruni
bagian perut hingga sampai ke bawah. Tanpa dapat
dicegah lagi gadis itu langsung memeluk si pemuda.
Bahkan ia nampak pasrah ketika pemuda itu
bermaksud menindihnya. Mungkin saja beberapa
saat kemudian Pertiwi akan kehilangan segala-
galanya jika pada saat itu tidak muncul sesosok
bayangan yang menyambar deras ke arah pemuda
yang mulai menindih tubuh gadis rupawan itu.
Bayangan merah itu berkelebat menghantam bagian
tengkuk laki-laki itu. Mendapat serangan yang tiada
terduga-duga. Laki-laki bertopi lebar itu langsung
tersungkur roboh. Namun di luar dugaan ia memiliki
daya tahan yang luar biasa sekali. Dengan cepat ia
bangkit kembali. Sementara bayangan merah tadi
telah menyambar tubuh telanjang bulat itu. Karena
menyadari lawannya tidak dapat dijatuhkan padahal
ia telah melakukan tendangan dengan
mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang
dimilikinya. Maka bayangan merah itu segera
berkelebat pergi dengan membawa tubuh Pertiwi
yang telanjang bulat.
Melihat mangsanya berhasil dilarikan oleh
bayangan merah itu. Pemuda bertopi lebar itu
bermaksud melakukan pengejaran. Tetapi ia jadi
mengurungkan niatnya ketika lamat-lamat ia
mendengar suara orang yang akan dikejarnya itu
berkata.
"Bangsat cabul! Kalau engkau hendak
mengejar kami... sarungkan dulu pedang
keramatmu. Kalau tidak kan malu bila sempat
dilihat babi hutan...!" ejek bayangan merah itu
melalui ilmu mengirimkan suara.
Tentu saja pemuda bertopi lebar itu segera
menyadari keadaan dirinya sendiri. Dan ketika ia
memandang ke arah bawah ia segera menutup
bagian itu dengan ke dua tangannya sendiri. Cepat-
cepat ia menghampiri pakaiannya yang tergeletak di
tepi sungai. Namun ketika ia telah sampai di tempat
itu tidak dilihatnya pakaian yang berserakan tadi.
Begitupun ketika ia melihat ke arah sebongkah batu
besar yang merupakan tempat teronggoknya
pakaian gadis yang telah dilarikan bayangan merah
tadi. Ia pun tidak melihat pakaian itu masih berada
di tempatnya. Akhirnya pemuda bertopi lebar itupun
uring-uringan sendiri. Bahkan untuk sementara ia
terpaksa menggunakan daun-daun hutan yang
sangat lebar untuk melindungi tempat-tempat yang
sangat dikeramatkan itu. Setelah menutupi bagian-
bagian tertentu dengan ala kadarnya sejurus
kemudian pemuda bertopi lebar itu segera
melakukan pengejaran dengan membawa
kemarahan yang sangat besar.
Sementara itu Iblis Liang Kubur yang tidak
dapat tidur pulas. Begitu merasa betapa lamanya
muridnya mandi di sungai segera melakukan
pencarian. Namun ia menjadi terkejut sekali ketika
di sungai itu ia tidak menemukan Pertiwi. Bahkan
dugaan-dugaan yang tidak baik pun mulai terlintas
di pikirannya. Tanpa putus asa, Iblis Liang Kubur
memanggil-manggil muridnya. Namun sampai
sejauh itu tidak ada sahutan. Iblis Liang Kubur tiba-
tiba saja menjadi cemas. Akhirnya setelah tidak
berhasil menemukan murid tunggalnya di tempat
itu. Iblis Liang Kubur pun malam itu juga ia
meninggalkan hutan Tengger untuk mencari
muridnya di tempat lain.
TUJUH
Bayangan merah itu terus saja berlari cepat
meninggalkan hutan Tengger. Barulah setelah
menjelang fajar dan telah jauh meninggalkan tempat
yang dirasanya tidak aman. Bayangan merah itu
menghentikan ilmu lari cepatnya. Namun di luar
dugaannya begitu langkahnya terhenti. Gadis
telanjang yang berada di atas pundaknya langsung
menghantam bagian punggung orang berpakaian
merah yang telah menyelamatkannya. Tak ayal lagi
tubuh sang penyelamat yang tidak lain Buang
Sengketa ini langsung tersungkur roboh. Sementara
tubuh si gadis nampak melesat ke udara. Setelah
bersalto beberapa kali. Gadis itu menjejakkan
kakinya dengan mulus di atas permukaan tanah.
Rupanya di luar sepengetahuan si pemuda. Pada
saat diselamatkan tadi. Tidak sampai setengah jam
kemudian gadis itu mulai sadar dari pengaruh
rangsangan yang masih belum ia ketahui dari mana
sumbernya itu.
Namun pada dasarnya gadis berparas cantik
jelita ini murid seorang datuk sesat. Tanpa
menghiraukan dirinya yang dalam keadaan bugil. Ia
tetap terus berpura-pura belum sadarkan diri.
Bahkan sepanjang jalanan ia terus mengerang dan
mendesis-desis bagai ular kepanasan. Rupanya
gadis cantik muridnya Iblis Liang Kubur ini
merupakan seorang gadis yang berotak cerdik.
Setelah mengetahui bahwa ia diselamatkan oleh
seorang pemuda tampan yang baik hati. Maka tanpa
disangka-sangka ia telah memasang siasat untuk
menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu? Tapi
sepanjang perjalanan ketika tubuhnya berada di
atas bahu pemuda itu. Sebenarnya bukan hanya
pemuda yang menolongnya itu saja yang menjadi
pikirannya. Tetapi juga ada hal lain yang tidak kalah
pentingnya, yaitu siapakah pemuda bertopi lebar
yang hampir memperkosanya itu? Rasanya selama
ini gadis yang bernama Pertiwi itu belum pernah
berjumpa dengan pemuda bertopi lebar itu.
"Uh... keparaat...!" tiba-tiba saja wajah gadis
cantik itu berobah merah padam. Apalagi bila ia
mengingat kejadian buruk yang hampir
menimpanya. Namun sekarangpun dia bukannya
tidak sedang ke bagian sialnya. Pemuda yang telah
menolongnya itu bagaimanapun sempat melihat
lekuk lengkung bagian tubuhnya. Bahkan dengan
sejelas-jelasnya. Meskipun pada dasarnya pemuda
berbaju merah itu tidak memiliki niat yang tidak
baik. Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang
sangat polos hal itupun ia anggap sebagai satu
penghinaan.
Tanpa menghiraukan keadaan Buang
Sengketa yang di bagian bibirnya nampak
mengalirkan darah akibat pukulannya tadi. Kali ini
si gadis kembali melakukan serangan-serangan
gencar.
Pendekar Hina Kelana menyadari selain
pukulan-pukulan gencar yang dilakukan oleh gadis
itu sangat ganas dan berbahaya. Namun ia juga
melihat pukulan yang dimiliki gadis itu mengandung
racun yang sangat keji. Dengan tubuh terhuyung-
huyung, Buang Sengketa berusaha mencegah niat
gadis itu melanjutkan pukulan mautnya.
"Tunggu, nona...! Lebih baik nona memakai
pakaian dulu. Setelah itu terserah. Mau marah
silakan, mau memukuliku, lebih baik jangan
dilakukan...!" kata pemuda itu sambil memegangi
dadanya yang terasa sakit sekali. Rupanya gadis itu
baru menyadari keadaan dirinya. Dengan cepat ia
mendekap dua bisul kembar di bagian dadanya.
Sedangkan sepasang kakinya langsung dirapatkan
dalam posisi menyilang dengan tujuan melindungi
hutan keramat dari penglihatan pemuda tampan di
depannya. Sebenarnya gadis itu tidak perlu berbuat
seperti itu karena ternyata sejak tadi Buang
Sengketa secara terus menerus memalingkan
perhatiannya ke arah lain.
"Keparaat. Pemuda kurang ajar... aku benar-
benar akan membunuhmu...!" teriak Pertiwi dalam
kemarahannya yang tertahan-tahan.
"Kau tidak perlu marah-marah, nona...! Aku
masih sempat menyambar pakaianmu ketika
menyelamatkanmu dari orang yang bermaksud
kurang ajar itu...!" Buang Sengketa lalu
melemparkan seluruh pakaian milik si gadis. Sambil
menangkap pakaian-pakaian itu, Pertiwi semakin
membentak marah.
"Kau kira telah berbuat baik padaku. Puih...
siapa sudi. Kau tidak lebih baik dari manusia
brengsek itu. Tahukah kau gara-gara kau, aku
sampai terpisah dengan guruku...!" kata si gadis
sambil mengenakan pakaiannya. Dan ketika
Pendekar Hina Kelana bermaksud menoleh dan
memandang padanya. Maka gadis itu pun kembali
membentak.
"Hei... jangan lihat kemari dulu. Kau mau
mengintip ya...!" kata-kata Pertiwi yang ketus dan
tanpa perasaan itu tentu saja membuat Buang
Sengketa kehilangan kesabarannya.
"Kalau aku mempunyai maksud-maksud
tidak baik kepadamu. Apakah kau tadi dapat
terhindar dari sebuah malapetaka yang sangat
menyakitkan itu?" tanya pendekar berwajah tampan
ini seperti pada dirinya sendiri.
"Huh... baru saja memiliki kepandaian picisan
begitu saja kau sudah berani jual lagak di
depanku...!" dengus Pertiwi yang baru saja selesai
mengenakan pakaiannya.
"Aku bukannya jual lagak. Tapi... ah
sudahlah... selamanya aku paling tidak suka
berdebat dengan perempuan sepertimu...!" Buang
Sengketa sudah bermaksud meninggalkan tempat
itu. Tetapi begitu ia melangkahkan kakinya. Tahu-
tahu Pertiwi telah menghadang di depannya.
"Jangan coba-coba bertingkah di hadapanku.
Siapapun adanya engkau ini. Kau harus diberi
pelajaran yang setimpal atas segala ulahmu...!"
setelah berkata begitu. Pertiwi segera melancarkan
serangan kilat mengarah pada bagian urat darah
pemuda itu. Buang menyadari serangan yang
dilakukan oleh gadis itu merupakan sebuah
serangan yang tidak dapat dianggap ringan. Karena
pada dasarnya ia memang tidak bermusuhan
dengan gadis yang dianggapnya sinting itu. Maka
untuk melindungi dirinya pemuda itu segera
mempergunakan jurus si 'Gila Mengamuk'. Dalam
sekejap itu juga, tubuh Buang Sengketa nampak
terhuyung-huyung. Gerakan kaki dan tangannya
tidak ubahnya bagai orang yang sedang mabuk.
Tubuhnya terkadang terhuyung-huyung ke kanan
dan kiri. Namun dilain saat bergerak cepat hingga
tidak ubahnya bagai bayang-bayang belaka.
Bagaimana mungkin sejak tadi pukulan-
pukulan mautnya dapat dikandaskan oleh
lawannya. Padahal sampai saat itu ia telah
mempergunakan pukulan 'Si Buta Memandang
Bulan' dan pukulan 'Inti Sukma' secara silih
berganti. Tapi bagaimana mungkin pemuda itu
masih dapat menghindari dua pukulan ampuh
miliknya?
Rupanya setelah bertarung selama hampir
empat puluh jurus. Pertiwi merasa kesal juga karena
sejak tadi usahanya untuk menjatuhkan lawannya
masih juga sia-sia. Akhirnya gadis itu sudah tidak
dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan
cepat Pertiwi merangkapkan kedua tangannya di
atas kepala. Pandangan gadis itu sekarang berubah
tajam menusuk pada pemuda tampan yang menjadi
lawannya. Selanjutnya dengan gerakan yang lincah
kedua kakinya bergeser ke kanan dan kiri. Tidak
jauh bedanya dengan seekor kuda betina yang
sedang ancang-ancang mengatur kakinya untuk
berlari sekencang-kencangnya.
"Pukulan 'Tarian Iblis'...?!" gumam pemuda
itu ketika melihat kedua telapak tangan Pertiwi
menebarkan asap tipis berwarna putih ke biru-
biruan. Selain itu kedua telapak tangan yang
diselimuti kabut itu juga telah berubah warna
menjadi hitam legam. Buang Sengketa jelas-jelas
merasa terkesima dengan kehebatan yang dimiliki
oleh gadis berwajah jelita itu. Sebab seingatnya di
dunia ini satu-satunya orang yang memiliki ilmu
semacam itu hanyalah Nyai Sumirah seorang. Tapi
bukankah orang itu telah tewas di tangannya
beberapa tahun yang lalu? (Jelasnya dalam Episode
Sepasang Iblis Bermata Dewa). Atau mungkinkah
gadis cantik ini masih memiliki hubungan dengan
perempuan itu? Batin pemuda itu dengan perasaan
tidak mengerti. Namun lepas dari semua itu.
Pendekar Hina Kelana nampaknya sudah tidak
dapat berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu,
gadis yang di tolongnya itu sekarang telah
melepaskan pukulan beruntun yang sangat
berbahaya sekali.
Buang Sengketa tentu saja tidak ingin
bertindak secara gegabah. Apalagi ia belum dapat
memastikan siapa sebenarnya gadis yang
dihadapinya itu. Karena tindakannya yang sangat
berhati-hati itu. Maka ia terpaksa harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk
menghindari serangan-serangan yang berupa
pukulan jarak jauh dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya. Melihat lawan masih juga mampu
menghindari dari pukulan Tarian Bidadari itu,
Pertiwi segera menggeser langkahnya ke samping
kiri sebanyak tujuh langkah. Melihat perobahan
yang sangat tiba-tiba ini Buang kembali dibuat
terheran-heran. Bukankah jurus yang dimainkan
oleh gadis itu tidak lain dan tidak bukan merupakan
jurus 'Berhala Menyembah Matahari'. Jurus ini
dulunya merupakan milik tiga tokoh iblis dari pulau
Berhala. Tiada di sangka-sangka kini gadis itu
memainkan jurus-jurus milik para tokoh iblis dari
pulau Berhala itu!
Namun kali ini Buang Sengketa yang tidak
memiliki kemauan untuk melayani lawannya tidak
punya waktu yang cukup untuk menghindari
gerakan lawan yang begitu cepat datangnya.
Wuuees...
Buuuk...!
Pendekar Hina Kelana untuk kedua kalinya
kembali terpelanting roboh ketika tendangan yang
dilakukan oleh Pertiwi yang terisi tenaga dalam itu
menghajar telak bagian perutnya. Dengan langkah
tertatih-tatih pemuda itu berusaha bangkit berdiri,
namun gerakannya itu limbung sekali. Si pemuda
merasakan kepalanya sakit luar biasa. Perut terasa
mulas bagai terpotong-potong. Ketika dipaksanya
juga untuk bangkit berdiri. Maka pemuda itu pun
terbatuk beberapa kali. Dari sela-sela bibir pemuda
itu nampak mengalir darah kental. Dalam keadaan
menderita sakit yang cukup hebat itu. Lamat-lamat
ia mendengar suara-suara aneh dari belakangnya
sana. Ketika ia secara tidak sengaja memandang
pada gadis itu, Buang Sengketa melihat gadis
berwajah rupawan itu nampak cemas sekali. Dan di
luar dugaan dengan cepat ia menghampiri Buang
Sengketa. Si pemuda yang tidak mengetahui
maksud si gadis sudah barang tentu bersikap
waspada meskipun saat itu dirinya sedang terluka.
Tapi di luar dugaan gadis itu malah memberi
isyarat agar dia diam saja.
"Kau mau membawaku ke mana...?"
"Cerewet. Aku tidak membawamu ke mana-
mana. Aku hanya ingin membunuhmu di tempat
lain...!" cibir gadis itu. Lalu dengan cepat ia
memanggul Buang Sengketa yang dalam keadaan
terluka akibat perbuatan gadis itu sendiri.
"Aku tahu kau takut dengan suara tadi...!"
sindir pemuda itu sinis.
Gadis itu terdiam. Ia sendiri tidak tahu
mengapa tiba-tiba dirinya yang selalu berbuat
telenggas itu sekarang tidak sampai hati untuk
menyakiti pemuda yang pernah menolongnya itu.
"Ternyata kau gadis pengecut...!" ejek Buang
Sengketa ketika dilihatnya gadis itu hanya diam
saja.
"Diam...! Orang yang bicara itu guruku dan
kawannya. Kalau sampai ketahuan aku
menyelamatkan kau. Kita semua bisa celaka...!"
komentar gadis itu. Kemudian tanpa berkata-kata
lagi ia pun segera berlari cepat meninggalkan tempat
itu.
DELAPAN
Setelah mencari ke berbagai tempat dan tetap tidak mendatangkan hasil. Akhirnya Iblis Liang
Kubur dan si Burung Hantu merasa hampir putus
asa juga. Padahal hampir setiap tempat yang mereka
curigai, selalu tidak luput dari perhatian mereka.
Tetapi sampai sejauh itu mereka masih belum juga
menemukan di mana murid Iblis Liang Kubur
bersembunyi atau disembunyikan. Hingga sampai
menjelang tengah hari, si Burung Hantu yang juga
ikut melakukan pencarian nampak menjadi kesal.
"Kita tidak mungkin menemukan muridmu
itu di tempat ini. Lagi pula kalau memang benar
muridmu diculik oleh Pendekar Hina Kelana itu.
Setidak-tidaknya kita telah menemukan mayatnya.
Atau mungkinkah muridmu itu di sekap di sebuah
tempat, Iblis Liang Kubur...?" kata si Burung Hantu.
Lalu memalingkan wajahnya dan memandang ke
jurusan lain.
"Tidak mungkin. Aku masih ingat betul, saat
aku hendak tidur, muridku Pertiwi bicara padaku
hendak mandi di sungai. Setelah itu aku tidak
mendengar suara apa-apa hingga menjelang tengah
malam...!"
"Itu menandakan, bahwa pendekar yang telah
membunuh berbagai golongan itu ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Bahkan bisa
saja melebihi kita-kita ini, apalagi hanya
muridmu...?" kata si Burung Hantu tidak ubahnya
bagai orang yang sedang dalam keragu-raguan.
"Omong kosong. Pertiwi bukan gadis yang
lemah. Lebih dari itu kalau murid tunggalku itu
sampai mengalami suatu kejadian yang tidak
kuingini. Maka pelakunya tidak mungkin mendapat
pengampunan dari Iblis Liang Kubur...!"
"Bagaimana pula kalau orang itu tidak dapat
kau kalahkan...?" pancing si Burung Hantu.
Iblis Liang Kubur sungguh pun hatinya
sedang diliputi kesedihan masih juga tersenyum-
senyum.
"Kalau memang ternyata si bangsat Hina
Kelana itu memiliki kepandaian yang tidak dapat di
tandingi. Maka aku telah memilih untuk mengadu
jiwa dengannya." sergah laki-laki bermuka bengis itu
geram.
"Baiklah... baiklah. Sudah waktunya kita
mencari jalan sendiri-sendiri. Aku merasa lebih baik
kita mencari jalan masing-masing dalam usaha
membunuh pendekar yang sekarang sedang menjadi
buronan kaum persilatan itu...!" kata si Burung
Hantu merasa tidak sabar lagi untuk berpisah.
"Aku pun tidak dapat membantumu, karena
aku sendiri sekarang sedang bingung dengan
hilangnya murid tunggalku itu...!"
"Siapa yang meminta bantuan siapa? Kita
sudah sama-sama tua bangka, Iblis Liang Kubur.
Dari pada kita merasa pusing mencari seorang
buronan dengan cara bekerja sama. Bukankah
malah lebih baik jika kita bekerja sendiri-sendiri?
Apalagi sekarang ini kau sedang bingung
memikirkan nasib murid tunggalmu? He... he...
he...!" si Burung Hantu terkekeh-kekeh.
"Cepatlah kau merat dari hadapanku, Burung
keparaat. Aku semakin muak mendengar ocehanmu
yang tidak bermutu itu..." hardik Iblis Liang Kubur
semakin bertambah senewen.
"Baiklah... baiklah... aku segera pergi...!"
berkata begitu, tiba-tiba saja Burung Hantu sudah
tidak kelihatan lagi di tempatnya. Tinggallah Iblis
Liang Kubur yang termangu-mangu sendiri
memikirkan nasib murid kesayangan satu-satunya.
Dalam kebingungannya itu entah mengapa
secara tiba-tiba ia teringat pada si Burung Hantu
yang baru berlalu dari hadapannya. Dan ketika ia
teringat segala sesuatu yang dimiliki orang itu. Maka
Iblis Liang Kubur menepuk-nepuk jidatnya sendiri
yang setengah botak pelontos.
"Dasar goblook. Burung Hantu tidak ubahnya
bagai setan alas, di depan hidungku bisa saja ia
berpura-pura tidak mengerti. Aha... betul juga...!"
sekali lagi Iblis Liang Kubur menepuk keningnya.
Kemudian dengan cepat ia melakukan pengejaran ke
arah perginya kawannya tadi.
SEMBILAN
Melalui jalan berbatu licin itu, Pertiwi terus
melangkahkan kakinya dengan mantap. Di atas
pundaknya Buang Sengketa masih dalam terlentang
dengan tubuh lemas lunglai.
Hal yang sebenarnya Pendekar Hina Kelana
itu sudah tidak merasakan akibat apa-apa. Bahkan
luka dalam yang dialaminya sudah hampir sembuh.
Hanya saja si pemuda terus berpura-pura. Walau
sebenarnya hatinya merasa geli sendiri. Sambil terus
berjalan, "Hei... kau jangan tidur! Bisa-bisa
kucampakkan kau nanti. Emm... apa luka dalammu
masih sakit...!"
"Iya...!" jawab si pemuda dengan suara lirih.
Padahal saat itu ingin sekali ia tertawa keras-keras.
"Ah... tolol sekali engkau ini. Untuk apa
berkeliaran di rimba persilatan jika tidak memiliki
kepandaian apa-apa...?" Pertiwi mengumpat panjang
pendek. Begitupun sebenarnya ia merasa suka
bergaul dengan pemuda yang baginya agak aneh ini.
Apalagi selain memiliki ketampanan yang
mengagumkan pemuda itu juga tidak mempunyai
watak-watak yang kurang ajar.
"Aku hanya seorang pengembara yang tidak
punya apa-apa. Tapi aku tidak perduli meskipun
kepandaianku hanya setahi kuku...!"
"Kau memang goblok. Harta benda juga hanya
berupa sebuah periuk butut. Kemudian apa ini yang
melilit di pinggangmu...?" Pertiwi tidak mengerti.
Dan sebenarnya ia tidak menduga sama sekali
bahwa saat itu ia sedang bersama-sama dengan
seorang pendekar yang sangat tangguh.
"Yang melilit di pinggangku ini hanya berupa
gulungan kulit rotan...!"
"Apa kubilang... kau memang pemuda tolol
yang tidak becus apa-apa...!" kata gadis itu sambil
terus memanggul tubuh Buang Sengketa.
Pendekar Hina Kelana kemudian hanya diam
saja tanpa punya niat untuk berdebat dengan gadis
itu.
Entah sudah berapa lama Pertiwi terus
melakukan perjalanan seperti itu. Yang pasti ketika
mereka mulai menuruni kaki bukit. Tiba-tiba dari
berbagai jurusan bermunculan puluhan laki-laki
berpakaian serba putih mengepung mereka berdua.
Melihat gelagat tak baik ini Pertiwi bersikap tenang-
tenang saja.
"Bocah cantik... berhenti dulu...!" tiga orang
berbadan cebol yang menyertai puluhan laki-laki itu
bergerak maju.
"Hei... monyet cebol berkumis. Apakah
keperluan kalian sehingga begitu berani
menghentikan perjalanan kami...?" bentak gadis itu.
"Kalian telah memasuki daerah kekuasaan
Elang Emas. Sudah menjadi peraturan di sini.
Siapapun yang akan meneruskan perjalanan dari
tempat ini harus kami periksa terlebih dulu...!" kata
salah seorang laki-laki cebol berperut buncit itu.
"Apalagi dia merupakan gadis yang sangat
cantik, Ketua...!" celetuk beberapa orang anggotanya
dengan maksud cabul.
"Kalian pikir semudah itukah
melakukannya...! Ketahuilah oleh kalian bahwa
sekarang ini aku dalam keadaan tergesa-gesa.
Apalagi mengingat sahabatku yang sakit dan hampir
kelenger ini. Maka lebih baik kalian biarkan kami
lewat...!"
Tiga orang laki-laki cebol yang menjadi
pimpinan lebih dari dua puluh orang laki-laki
bersenjata ruyung itu kelihatan saling
berpandangan sesamanya untuk beberapa saat
lamanya. Lalu secara serentak mereka
memperhatikan pemuda yang berada di atas bahu
gadis itu. Dan mereka jadi terkesima ketika melihat
sebuah periuk mustika menggelantung di bagian
pinggang pemuda itu.
"Bocah... siapakah engkau ini. Dan siapa pula
pemuda yang kau gendong itu?" tanya salah seorang
dari laki-laki berbadan cebol itu curiga.
"Aku... he... he... he! Aku hanya muridnya
seorang manusia sesat. Sedangkan pemuda ini tidak
lain dan tidak bukan merupakan orang sinting yang
kutemukan di tengah jalan...!"
"Bohong...! Kau tidak dapat membohong-
bohongi kami. Pemuda yang turut bersamamu itu
pastilah, orang yang telah membunuh golongannya
sendiri. Dia pasti Pendekar Hina Kelana...!"
Pertiwi tentu merasa terkejut sekali dengan
apa yang dikatakan oleh orang-orang Elang Emas.
Karena pada dasarnya ia sendiri bersama gurunya
sedang mencari-cari orang yang berjuluk Pendekar
Hina Kelana itu. Dalam rasa kepenasarannya itu,
Pertiwi tiba-tiba saja bertanya, "Bagaimana kalian
bisa mengetahui kalau pemuda yang dalam keadaan
terluka ini Pendekar Hina Kelana...?" tanya Pertiwi
dengan hati berdebar-debar.
Tiga orang laki-laki bersenjata ruyung
raksasa dan berbadan cebol ini kembali tergelak-
gelak.
"Di kolong langit ini hanya orang yang
mempunyai gelar Pendekar Hina Kelana saja yang
membawa-bawa periuk nasi ke manapun ia pergi...!"
jawab orang-orang itu merasa begitu yakin.
"Kau yang berada dalam gendonganku.
Benarkah apa yang dikatakan oleh orang-orang
cebol ini...!" bentak gadis itu pada Buang Sengketa.
"Katakan saja pada mereka. Jika mereka
beranggapan bahwa orang sepertiku ini yang telah
membunuh dan melakukan teror terhadap golongan
putih dan hitam. Maka lebih baik cepat-cepat
menarik ucapannya. Karena sekarang ini ada orang
yang sengaja menyebarkan fitnah untuk
mencelakakan orang yang bergelar Pendekar Hina
Kelana itu...!" kata Buang Sengketa tandas.
"Nah kalian telah mendengar sendiri apa yang
baru dikatakan oleh kawanku. Lebih baik kalian
menyingkirlah...!" perintah Pertiwi merasa tidak
sabar lagi.
"Orang lain mungkin dapat saja kalian
bohongi. Namun kami orang-orang Elang Emas
tidak sebodoh itu. Bocah cantik, kau boleh pergi dari
sini sesuka hatimu, asal kau tinggalkan pemuda itu
untuk kami...!" tukas salah seorang laki-laki cebol
berkumis lebat dan berambut riap-riapan itu.
"Mana bisa. Kawanku yang tolol ini sedang
terluka. Mana mungkin aku tega menyerahkannya
pada kalian begitu saja...!"
"Kalau begitu kalian berdua memang perlu di
ringkus...!" geram laki-laki cebol.
"Eeh... apa salah kami...?" Pertiwi
membentak.
"Kesalahan kalian... coba tanyakan saja pada
pemuda itu...!" sergah salah seorang dari mereka
dengan perasaan jengkel.
"Kalian hanya mengada-ada dan jangan
bermimpi aku mau menyerahkan pemuda ini pada
kalian...!"
"Kalau itu yang menjadi keputusanmu.
Hemm... rupanya kau lebih suka melindungi
seorang pembunuh dari pada menjaga keselamatan
sendiri. Anak-anak... ringkus mereka...!" perintah si
cebol berkumis pada seluruh anggotanya.
"Pemuda gendeng dalam gendonganku.
Apakah luka dalammu masih belum sembuh juga?"
tanya Pertiwi sambil berusaha menghindari
serangan sekian banyak orang yang
mempergunakan senjata ruyung dalam usahanya
meringkus gadis itu.
"Sakit sih sakit... tapi kurasa kalau cuma
menggebuk tikus-tikus penasaran. Aku pikir apa
sulitnya...!"
"Jangan sombong! Ruyung mereka sewaktu-
waktu dapat meremukkan batok kepalamu..." kata
gadis itu masih terus memanggul tubuh Buang
Sengketa sambil melakukan serangan-serangan
balasan. Di kesempatan Buang Sengketa yang sudah
tidak sabar lagi melihat pertempuran itu segera
melesat dari bahu Pertiwi. Tubuhnya berjumpalitan.
Kemudian mendarat dengan baik di atas cabang
pohon. Apa yang dilakukan oleh si pemuda
sebenarnya membuat gadis itu menjadi marah.
Karena ia beranggapan bahwa Buang Sengketa
ternyata berpura-pura sakit. Padahal luka dalam
yang sesungguhnya mungkin saja sudah sembuh.
"Wah... bocah edan... kubilang kalau lagi
sakit tidak usah ke mana-mana. Ee... tidak tahunya
malah nekad kabur. Aha... apakah kau merasa takut
dengan para badut bersenjata ruyung ini? Kalau
takut, baiknya kita hajar mereka...!" berkata begitu
Pertiwi segera mempergunakan segenap ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Sekarang
tanpa beban di pundaknya. Dalam waktu sebentar
saja pengeroyoknya dibuat terperangah tidak
percaya. Sampai pertempuran berlangsung empat
puluh jurus. Para pengeroyoknya itu jangankan
dapat menangkapnya. Sedangkan menyentuh
bajunya saja mereka tidak punya kemampuan.
Keadaan seperti ini tentu saja membuat tiga laki-laki
cebol yang menjadi pemimpinnya marah sekali.
"Pada tolol semuanya. Ringkus betina keparat
itu. Biarkan kami meringkus monyet yang berada di
atas pohon itu...!" belum lagi mereka selesai berkata.
Tahu-tahu tiga orang cebol itu melepaskan
pukulannya mengarah pada batang pohon yang
dijadikan tempat berpijak oleh Buang Sengketa.
Spontan, serangkum cahaya berwarna biru dan
menebarkan hawa panas luar biasa. Buang
Sengketa menyadari betapa berbahayanya pukulan
yang dilepaskan oleh para manusia cebol ini. Maka
sebelum pukulan ini sampai pada sasarannya.
Pemuda itu sudah mengempos tubuhnya bergerak
cepat meninggalkan dahan pohon yang sekarang
telah hancur berkeping-keping dilanda pukulan
maut itu
"Hebat... benar-benar hebat sekali...!" puji
Buang Sengketa begitu menjejakkan kakinya di atas
permukaan tanah.
"Keparaat... kau harus berani berterus terang.
Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Hina
Kelana...?" tanya laki-laki cebol berperut buncit
sambil memperhatikan Buang Sengketa dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Betul...! Tapi aku bukan Pendekar Hina
Kelana palsu yang telah banyak membunuh orang
dan menyebar teror di mana-mana...!"
"Bagaimana kami dapat mempercayaimu...!
Kalau kau memang betul Pendekar itu, semua
sudah jelas bagi kami. Bahwa selama ini kaulah
yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan
itu...!" bentak laki-laki cebol itu dengan pandangan
berapi-api.
"Kalian tidak pernah tahu siapa aku dan
siapa pula yang memfitnah aku. Lebih baik kalian
tidak melakukan tuduhan keji sebelum tahu betul
siapa yang telah melakukan fitnah dengan memakai
namaku itu...!"
"Tidak akan ada orang yang dapat
mempercayaimu. Lebih baik kau serahkan saja
kepalamu kepada kami...!" teriak ketiga laki-laki
cebol itu sambil menghantamkan ruyung besar di
tangan mereka ke bagian kepala dan leher Pendekar
Hina Kelana. Sementara itu tidak henti-hentinya
mereka melepaskan pukulan jarak jauhnya dalam
usahanya mendesak pemuda itu.
Pemuda itu menyadari sepenuhnya dia tidak
mungkin hanya melakukan pertahanan semata
tanpa ada usaha untuk menjatuhkan mereka.
Karena walau bagaimanapun orang-orang perguruan
Elang Emas itu jelas-jelas menginginkan jiwanya.
Kalaupun ia tetap mengambil kesimpulan untuk
tetap bertahan. Maka cepat atau lambat mungkin
saja ia bakal mengalami nasib celaka.
Namun jika saja ia sampai menjatuhkan
korban. Hal ini jelas membawa kesan bahwa dirinya
memang benar yang telah melakukan teror di mana-
mana.
Terjerat oleh belenggu keragu-raguan itu.
Buang Sengketa yang sering kali melirik ke arah
Pertiwi yang nampak mulai menjatuhkan lawan-
lawannya. Di suatu kesempatan yang kurang
menguntungkan pemuda ini lepas kontrol. Si cebol
kumis tebal yang menyerang dari bagian rusuk kiri
berhasil mendaratkan pukulannya.
Buuk!
Dua kali pukulan berturut-turut secara telak
dan keras membuat Buang Sengketa terhuyung
huyung. Pertiwi yang sempat melihat kejadian yang
dialami oleh pemuda yang sangat disukainya
nampak khawatir sekali.
"Badut-badut cebol. Awas kalian semua. Jika
sampai kawanku itu mengalami hal-hal yang tidak
diingini. Kalian semua akan kugantung...!" sambil
berteriak-teriak seperti itu. Pertiwi tidak segan-segan
menurunkan tangan mautnya terhadap murid-
murid perguruan Elang Emas yang bersenjata
ruyung itu.
Korban demi korban pun berjatuhan. Melihat
apa yang dilakukan oleh perempuan cantik itu
sebenarnya Buang merasa tidak setuju. Tapi ia pun
merasa tidak ingin mempengaruhi gadis seorang
murid tokoh sesat itu dengan kemauannya sendiri.
"Hiaaaa...!"
Dengan disertai satu bentakan tinggi
melengking tubuh pemuda itu melesat di udara.
Tapi serangan ketiga laki-laki cebol itu cepatnya
bukan main. Kemana pun Buang Sengketa berusaha
menghindar, ke situ serangan ruyung raksasa itu
memburunya. Kenyataan seperti ini tentu saja tidak
menguntungkan posisi si pemuda. Dengan
mempergunakan jurus si Jadah Terbuang dan
dipadukan dengan jurus silat tangan kosong si Gila
Mengamuk. Tubuh pemuda itu kemudian berkelebat
cepat menghindari setiap serangan lawan yang
datangnya tidak dapat diduga-duga itu. Tiga tokoh
perguruan Elang Emas itu dalam beberapa jurus di
depan nampak menjadi bingung. Ke manapun
mereka berusaha menyerang si pemuda, namun
mereka selalu tidak dapat menghantam sasarannya
sebagaimana yang mereka harapkan. Bahkan
mereka merasa bahwa pihak lawannya memiliki
gerakan tidak ubahnya bagai setan gentayangan.
Hal-hal seperti ini tentu saja semakin lama
membuat tiga laki-laki cebol itu menjadi jengkel dan
frustasi. Dengan cepat mereka segera
mempergunakan senjata andalannya yang berupa
ruyung raksasa. Terdengar suara bercuitan saat
senjata yang dapat mengembang dan menguncup itu
menderu ke arah Buang Sengketa.
Pendekar ini terpaksa berlompatan mundur
saat merasakan adanya sambaran hawa panas
menerpa kulitnya. Dengan gerakan-gerakan yang
sangat sulit diikuti penglihatan biasa. Buang
Sengketa terus bergerak mundur. Keadaan seperti
ini jelas-jelas menguntungkan posisi lawannya.
Karena dengan begitu mereka dapat leluasa
menyabetkan senjatanya mencecar bagian tubuh
lawannya dari berbagai penjuru. Dalam pada itu
Pertiwi yang baru saja menyudahi pertempuran
dengan seluruh murid-murid perguruan Elang
Emas, nampak sudah menyarungkan senjatanya
kembali. Hampir seluruh orang-orang perguruan
Elang Emas tewas di tangan gadis berwatak kejam
itu.
"Orang berperiuk. Jika kau benar-benar
Pendekar Hina Kelana... mengapa hanya
menghadapi orang-orang Elang Emas saja kau
hanya mampu melompat-lompat kayak monyet
kesetanan...?" ejek gadis itu dengan posisi bertolak
pinggang.
"Aku hanya ingin membuktikan pada mereka.
Bahwa selama ini aku tidak pernah berbuat nekad
dengan membunuhi orang-orang yang tidak
bersalah...!" kata pemuda itu sambil terus
menghindari serangan ruyung-ruyung maut di
tangan lawannya.
"Kalau kau tetap berbuat tolol seperti itu,
lama kelamaan kau pasti mampus di tangan badut-
badut cebol itu...!" teriak Pertiwi merasa sangat
kesal sekali melihat kesabaran si pemuda.
Sementara lawan-lawannya bagai orang yang tidak
memiliki dasar pertimbangan dan pikiran terus saja
melakukan serangan-serangan gencar. Padahal
mereka sendiri sebenarnya menyadari sepenuhnya,
jika saja pemuda itu mempunyai maksud
menjatuhkannya. Tentu hal ini dapat dilakukannya
sejak tadi.
"Orang-orang cebol manusia laknat...!
Kuperintahkan pada kalian untuk menyudahi
pertempuran. Jika tidak... jangan salahkan aku...
jika aku harus membunuh kalian...!" teriak pemuda
itu dengan kemarahan yang tertahan-tahan.
"Siapa sudi menyudahi pertarungan.
Terkecuali kau telah mampus di tanganku...!"
dengus salah seorang dari mereka. Mendengar ini
bukan Pendekar Hina Kelana yang menjadi panas
hatinya. Tetapi Pertiwi. Ya... gadis itu memang
sangat gusar sekali dengan kebandelan tiga orang
laki-laki yang dihadapi oleh Pendekar Hina Kelana.
Padahal secara jelas ia dapat mengetahui bahwa
kemampuan yang dimiliki oleh pemuda itu jauh
berada di atas para lawan-lawannya. Tapi karena
pemuda itu terus bersikap mengalah. Maka habislah
sudah kesabaran yang dimiliki oleh gadis berwajah
rupawan itu. Tidak ayal lagi, dengan diawali satu
teriakan tinggi melengking Pertiwi segera menerjang
tiga laki-laki cebol itu. Bahkan dengan senjata
andalannya yang berupa pedang. Gadis itu
menggempur orang-orang yang dianggapnya tidak
tahu diri dengan tusukan-tusukan ganas senjata di
tangannya.
"Kalau kau merasa tidak sampai hati untuk
membabat kepala orang-orang yang tidak tahu adat.
Silahkan menyingkir... biar aku yang akan
mencabut kepala mereka dari badannya...!"
"Lebih baik jangan kau campuri urusanku...!"
"Jangan gegabah... salah-salah akupun akan
memenggal kepalamu yang sangat pengasihan
itu...!"
Pendekar Hina Kelana akhirnya terdiam. Dia
tidak tahu harus berbuat apa. Untuk tidak
memperkeruh suasana akhirnya Buang Sengketa
melompat mundur. Sedangkan tiga orang laki-laki
berbadan cebol itu segera mengurung Pertiwi.
Dengan mempergunakan jurus pedang Tarian
Bidadari, gadis berwajah rupawan ini melayani
permainan ruyung lawan-lawannya dengan gerakan-
gerakan yang sangat lincah sekali. Sebaliknya tiga
laki-laki cebol ini rupanya bukan lawan yang dapat
dipecundangi dengan mudah. Beberapa kali
serangan ganas lawan hampir saja menghajar
bagian punggung dan dada Pertiwi. Sejauh itu si
gadis masih mampu mengelakkannya dengan baik.
Namun dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya
Pertiwi kena batunya. Serangan ruyung dari si cebol
berkumis menghantam bagian bahunya.
Breet...!
"Aughk...!" gadis itu jatuh terguling-guling.
Sementara tiga orang lawan begitu melihat keadaan
si gadis berebut memburunya. Bahkan dengan
beringas mereka bermaksud menghabisi lawannya.
Pada saat-saat yang sangat kritis itu. Buang
Sengketa langsung bertindak cepat. Dengan
mempergunakan beberapa buah batu, pemuda itu
dengan mempergunakan setengah tenaga dalam
yang dimilikinya ia menyambitkan batu-batu itu
tepat pada sasarannya.
Tuuuk...!
Tiga kali berturut-turut batu-batu yang
disambitkan oleh si pemuda mencapai sasarannya.
Ruyung di tangan mereka terlepas, sementara
tangan mereka terasa kaku dan sulit untuk
digerakkan. Dan ketika batu-batu berikutnya
menimpa punggung mereka. Maka semakin
bertambah terkejutlah ketiga orang cebol dari
perguruan Elang Emas itu. Karena mereka segera
merasakan tubuh mereka kaku dan sulit untuk
digerak-gerakkan. Melihat Buang Sengketa telah
bertindak membantunya. Pertiwi dengan pedang
terhunus bangkit berdiri dan berniat menghabisi
lawan-lawannya yang sedang dalam keadaan tidak
berdaya itu. Tetapi dengan gerakan kilat si pemuda
telah menghadang langkahnya. Masih untung
Pertiwi segera membelokkan arah senjatanya. Jika
tidak tentu saja pedang di tangan gadis itu
menembus dada pemuda yang telah membuatnya
jatuh cinta itu.
"Mengapa kau malah melindungi mereka...!"
bentak gadis itu tanpa dapat menyembunyikan
kemarahannya.
"Aku tidak ingin dunia persilatan semakin
benci padaku karena teror-teror yang tidak
beralasan itu. Apalagi jika mereka sampai tewas di
tanganku. Pasti orang-orang tidak tahu duduk
persoalan yang sebenarnya tetap beranggapan
akulah orang yang telah membunuh tokoh golongan
putih dan hitam...!" kata si pemuda beralasan.
"Oh. Jadi kau benar-benar orang yang punya
julukan Pendekar Hina Kelana itu?" tanya Pertiwi
dengan kedua mata membelalak lebar.
"Sejujurnya kuakui, bahwa akulah orangnya.
Tetapi yang paling penting untuk diketahui oleh
orang Iain. Bahwa ada orang-orang tertentu yang
sedang melancarkan fitnah padaku...!"
Pertiwi nampak terdiam beberapa saat
lamanya. Sementara pandangan matanya tidak
henti-hentinya memperhatikan pemuda yang telah
mencuri hatinya itu.
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah
melakukannya...?" tanya gadis itu ragu-ragu.
"Sudah kukatakan bahwa aku sedang
menyelidikinya...!"
"Kuharap kau tidak sedang bersandiwara...?"
kata gadis itu berubah serius.
Buang Sengketa tersenyum getir.
"Apakah aku punya tampang menjadi orang
sepengecut yang kau perkirakan...?" tukas si
pemuda tanpa ekspresi.
"Aku tidak tahu. Cuma asal kau tahu saja,
aku punya tugas membunuhmu. Jika di kemudian
hari, ternyata kau orang yang kau sebut-sebut
sebagai pendekar gadungan itu...!" ancam Pertiwi.
"Untuk sebuah kebenaran aku tidak segan-
segan mempertaruhkan nyawaku...!"
Pertiwi menganggukkan kepalanya. Sebentar
ia memperhatikan tiga laki-laki yang masih dalam
keadaan tertotok kaku.
"Sekarang kau hendak ke mana...?" tanya
gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari
orang-orang Elang Emas.
"Aku harus mencari manusia palsu yang telah
membuat rusak nama baikku...!"
"Lalu badut-badut cebol itu bagaimana...?"
"Biarkan saja... tokh nantinya mereka juga
akan terbebas dengan sendirinya dari pengaruh
totokan itu...!"
"Kalau begitu mari kita tinggalkan mereka...!"
kata Pertiwi lalu melangkah pergi.
"Tuan dan Nona...! Tolong bebaskan totokan
ini...!" si cebol berperut buncit berteriak-teriak
penuh permohonan. Tetapi kedua orang itu sudah
tidak terlihat lagi batang hidungnya.
SEPULUH
Setelah sekian lama melakukan pengejaran
dan menelusuri jejak si Burung Hantu. Iblis Liang
Kubur akhirnya merasa kecewa saja. Dalam hati ia
merasa heran sendiri mengapa orang yang
dikejarnya itu lenyap begitu saja. Seolah-olah hilang
raib di telan bumi. Padahal seingatnya dalam hal
ilmu lari sekalipun Iblis Liang Kubur merasa tidak
kalah cepat dengan ilmu lari yang dimiliki
sahabatnya itu. Iblis Liang Kubur akhirnya hanya
mampu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa tidak
tahu lagi apa yang harus dilakukannya selanjutnya.
Kejadian demi kejadian yang dialaminya membuat
kepalanya berdenyut-denyut sakit. Bagaimana tidak.
Mula-mula murid tunggalnya yang memiliki
kecantikan luar biasa itu hilang begitu saja. Bahkan
hingga sampai saat itu ia masih belum mengetahui
bagaimana kabar beritanya. Kemudian, ketika ia
mulai menemukan jalan dan berusaha
menyelidikinya. Satu-satunya orang yang begitu
dekat dengan dirinya hilang begitu saja. Merasa
bingung sendiri akhirnya Iblis Liang Kubur jatuh
terduduk di atas batu. Beberapa kali dari atas
perbukitan yang cukup tinggi itu, Iblis Liang Kubur
mengitarkan pandangan matanya ke segenap daerah
di sekelilingnya. Namun sampai sejauh itu. Ia tidak
melihat adanya tanda-tanda yang membuatnya
curiga.
"Ah, sial betul nasib ini. Entah nasibku yang
sial atau malah nasib muridku. Atau nasib si
Burung Hantu yang lebih sial... aku tidak tahu.
Yang membuat aku tidak mengerti apakah semua ini
hasil pekerjaan pendekar sialan itu. Atau ia sengaja
menculik muridku...? Kalau betul, kemana pula
perginya si Burung Hantu. Atau orang itu juga
dijadikan sandera oleh Pendekar Hina Kelana? Kalau
betul untuk apa? Kalau manusia keparat itu sengaja
membiarkan muridku hidup, hal itu masuk di akal.
Tetapi kalau si Burung Hantu yang dibiarkannya
hidup, untuk apa. Bukankah mereka sama-sama
memiliki pedang keramat... oh... oh... kiamat-
kiamat...!" Iblis Liang Kubur meracau sendiri bagai
orang linglung.
Dalam keadaan serba tidak menentu seperti
itu, mendadak Iblis Liang Kubur mendongakkan
kepalanya. Lalu perhatiannya langsung tertuju pada
satu arah, di mana ia mendengar denting beradunya
suara senjata tajam. Iblis Liang Kubur hanya dalam
sekelebatan saja sudah dapat memastikan sedang
terjadi pertempuran tidak jauh dari tempat ia
berada.
Akhirnya tanpa membuang-buang waktu lagi,
tubuh laki-laki tua itupun melesat cepat mendekati
tempat terjadinya pertempuran. Setelah sampai di
tempat itu, benar saja dugaannya. Beberapa orang
laki-laki sedang mengeroyok seorang pemuda bertopi
lebar dengan mempergunakan berbagai jenis
senjata.
Sementara di sekitar tempat itu, mayat-mayat
terlihat bergeletakan tumpang tindih. Orang-orang
yang tewas itu jumlahnya mencapai puluhan orang.
Dan apabila Iblis Liang Kubur memperhatikan
mereka yang sedang terlibat pertempuran, maka
terbelalaklah kedua matanya. Bagaimana tidak.
Pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan yang
sangat sulit diikuti oleh mata biasa dalam
mempergunakan senjatanya. Bahkan boleh dikata
pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan
menggerakkan senjatanya dua kali kecepatan suara.
Bahkan Iblis Liang Kubur sendiri sampai tidak dapat
memastikan jenis senjata yang dipergunakan oleh
pemuda itu dalam membunuh lawan-lawannya
karena sedemikian cepatnya senjata itu berkelebat.
Dalam waktu sekedipan mata saja, lawan-
lawan si pemuda yang tadinya sempat melakukan
perlawanan sengit, sekarang sudah bergelimpangan
roboh bermandikan darah.
Sekarang setelah mereka-mereka itu tewas
keseluruhannya hingga tidak bersisa lagi. Maka
pemuda bertopi lebar itu pun tertawa tergelak-gelak.
Dengan perasaan puas dipandanginya mayat-mayat
bergelimpangan itu satu demi satu. Hampir seluruh
korban yang berjatuhan itu kesemuanya menderita
luka di bagian pangkal leher dan perutnya. Lagi-lagi
pemuda bertopi lebar itu memperdengarkan suara
tawanya yang terasa menggidikkan bulu kuduk yang
mendengarnya.
"Ha... ha... ha...! Tidak seorang pun dapat
menandingi kecepatanku dalam mempergunakan
senjata. Akulah si Pedang Kilat yang tidak memiliki
tanding. Lebih dari itu hingga sampai saat ini tidak
seorang pun yang tahu bahwa orang yang menyebut
dirinya dengan si Hina Kelana akulah orangnya.
Aha... ha... ha...! Kasihan sekali pendekar tangguh
yang berjuluk si Hina Kelana itu. Karena ia harus
rela menjadi buronan para kaum persilatan. Yang
lebih celaka lagi, hingga sampai saat ini dia masih
juga belum mengetahui siapa sebenarnya yang telah
melancarkan fitnah kepadanya itu...!" kata pemuda
bertopi lebar yang tidak lain merupakan si Hina
Kelana palsu, dengan suara lantang.
Dari tempat persembunyiannya Iblis Liang
Kubur yang sempat mendengarkan semua apa yang
dikatakan oleh pemuda bertopi lebar itu sempat
terbelalak tak percaya. Baru sekaranglah ia tahu,
rupanya pemuda itulah yang sedang menjalankan
fitnah pada Pendekar Hina Kelana. Itu berarti ia
memiliki dendam tersendiri pada pendekar yang
sekarang menjadi buronan kaum persilatan itu.
"Yang lebih celaka lagi adalah Iblis Liang
Kubur. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa yang
telah melarikan muridnya yang cantik itu. Padahal
aku sendiri hampir saja berhasil... ha... ha... ha...!
Kalau saja tidak muncul bayangan merah itu, sudah
pasti saat itu juga aku berhasil mencicipi
kehangatan tubuhnya...!" lanjut pemuda bertopi
lebar itu lalu tertawa-tawa kembali
Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda
itu kali ini benar-benar bagai sambaran petir di
siang bolong. Sama sekali ia tidak menyangka, kalau
pemuda itulah yang hampir saja mencelakai
muridnya sendiri. Sampai sejauh itu akhirnya ia
dapat menyimpulkan sedikit banyaknya tentu saja
pemuda itu tahu siapa yang telah melarikan
muridnya. Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba Iblis
Liang Kubur melesat cepat dari tempat
persembunyiannya.
Jligkh...!
Dengan tepat Iblis Liang Kubur mendaratkan
kakinya persis di depan si pemuda bertopi lebar itu.
Melihat kemunculan Iblis Liang Kubur yang tiada di
duga-duga itu. Sudah barang tentu membuat
pemuda itu menjadi terkejut.
"Kau, Iblis Liang Kubur...!" serunya spontan.
Apa yang dikatakan oleh pemuda itu tentu saja
membuat laki-laki berpakaian tambal-tambal itu
sangat kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu dapat
mengenalinya. Iblis Liang Kubur nampak
mengerutkan keningnya. Tapi sedetik berikutnya
wajahnya yang penuh keriput itu menjadi merah
padam ketika Iblis Liang Kubur merasa mengenali
suara pemuda itu.
"Keparaat. Rupanya kaulah yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana yang telah melakukan
pembunuhan demi pembunuhan itu...!" bentak Iblis
Liang Kubur berpura-pura tidak mengenali siapa
orang yang memakai topi lebar itu.
"Betul akulah orangnya...!" jawab si pemuda
yang menyangka lawan bicaranya benar-benar tidak
mengenal siapa dia.
"Hemm. Kau tadi ada menyebut-nyebut
bahwa kaulah orangnya yang hampir saja
memperkosa muridku. Apakah itu juga betul...?"
ejek kakek berpakaian tambal-tambal itu sambil
tersenyum sinis.
"Ha... ha... ha...! Kau rupanya telah
mendengarkan semuanya, Iblis Liang Kubur. Itu
berarti kau juga telah mengetahui siapa diriku
ini...?" bentak pemuda bertopi lebar tersebut dengan
kemarahan tertahan-tahan.
"Betul... aku tahu siapa kau sebenarnya
Pendekar Hina Kelana palsu. Dalam sehari kau bisa
saja mengganti penampilanmu dengan seribu satu
macam topeng yang dapat kau ciptakan dengan
mudah. Tetapi kau tetap menemukan kesulitan
untuk merobah suaramu, Burung Hantu...!"
"Heh... jadi kau benar-benar dapat menebak
wajah tua di balik topeng ini?" kata pemuda yang
selama ini telah menyebarkan teror dengan
mengatakan dirinya sebagai Pendekar Hina Kelana.
"Aku telah mengenal dirimu sebagai mana
aku mengenal telapak tanganku sendiri, Burung
Hantu. Hanya saja aku memang tidak menyadari
kemajuan yang kau peroleh dalam hal
mempergunakan pedang. Sebagai seorang sahabat.
Satu yang selalu kusesalkan. Mengapa kau begitu
tega dan punya niat hendak memperkosa murid
sahabatmu sendiri?" tanya Iblis Liang Kubur seolah
menyesalkan tindakan sahabatnya yang dinilainya
sebagai satu tindakan yang sangat gegabah.
"Semua itu tidak perlu kau tanyakan padaku,
Iblis Liang Kubur. Meskipun kau sahabatku, tokh
kau telah tahu bagaimana kebiasaanku sejak
dulu...!"
"Keparaat... jika kau berani merusak nama
baik sahabat sendiri, apa gunanya sebuah
persahabatan. Burung Hantu... cepat kau katakan
di mana kau sembunyikan muridku...?" teriak Iblis
Liang Kubur dengan kemarahan meluap-luap.
"Sudah kukatakan aku gagal menggauli
muridmu itu. Sekarang aku tidak tahu ia berada di
mana? Atau mungkin saja ia telah menjadi istri
Pendekar Hina Kelana." jawab si Burung Hantu
memanas-manasi sahabatnya.
"Kau jangan berpura-pura, Burung laknat.
Kaulah pendekar palsu yang telah menjatuhkan
nama baik Pendekar Hina Kelana. Ah... menyesal
sekali mengapa baru sekarang aku mengetahuinya.
Andai saja sejak dulu aku tahu tentang tabiatmu
yang jelek itu. Mungkin aku tidak akan pernah
menaruh kepercayaan padamu...!"
"Semua sudah terlambat sobat. Lagipula
karena di kolong langit ini hanya kau seorang yang
tahu siapa aku yang sebenarnya. Maka untuk
melancarkan jalan usahaku dalam menjebak
Pendekar Hina Kelana. Walau bagaimanapun aku
harus membunuhmu...!" kata si Burung Hantu yang
saat itu merobah penampilannya sebagai seorang
pemuda tampan.
"Kau tidak mungkin mampu mengalahkan
aku begitu saja, Burung Hantu. Aku kenal betul
dengan segala jenis jurus-jurus silatmu...!" Iblis
Liang Kubur tersenyum mengejek. Tapi dengan
sikap tenang dan penuh percaya diri. Burung Hantu
malah berkata sinis.
"Kau tidak akan mampu menandingi jurus-
jurus pedang hasil ciptaanku yang terakhir...!"
"Setan alas...! Terhadap manusia semacamku
ini. Jangan coba-coba menggertakku." kata Iblis
Liang Kubur. Kemudian tanpa berkata-kata lagi.
Laki-laki tua berpakaian tambal-tambal ini segera
menyerang si Burung Hantu dengan jurus-jurus
silat andalan yang sudah tidak asing lagi bagi si
Burung Hantu. Pertempuran dua tokoh sesat tingkat
tinggi itu berlangsung seru dan menegangkan.
Menyadari betapa hebatnya jurus-jurus baru hasil
ciptaan si Burung Hantu. Maka sejak awal Iblis
Liang Kubur telah mempergunakan pukulan-
pukulan andalan yang dimilikinya. Bahkan saat itu
Iblis Liang Kubur telah mempergunakan pukulan
'Segara Geni" yang luar biasa kehebatannya itu. Si
Burung Hantu sudah barang tentu hapal betul
dengan pukulan andalan yang dipergunakan oleh
bekas sahabat baiknya itu. Dengan cepat ia segera
pula mempergunakan pukulan 'Menguak Tabir
Kegelapan' yang juga merupakan pukulan andalan
yang dimiliki oleh si Burung Hantu. Begitu masing-
masing lawan melambaikan tangannya ke depannya.
Maka detik itu juga serangkum gelombang berhawa
dingin menderu ke arah Iblis Liang Kubur.
Sebaliknya kakek tua renta itu mendorongkan
tangannya ke depan. Maka serangkum gelombang
berwarna putih kebiru-biruan menderu deras
memapaki serangan si Burung Hantu yang membuat
menggigil tulang belulang laki-laki itu.
Bldaaar...!
Tidak dapat dihindari lagi, dua pukulan yang
teraliri tenaga sakti itupun saling bertemu di tengah
jalan. Baik Iblis Liang Kubur maupun si Burung
Hantu sama-sama terjengkang tiga tombak. Masing-
masing lawan mengalami luka dalam yang cukup
lumayan. Tetapi dengan cepat mereka menghimpun
hawa murninya kembali untuk menyembuhkan luka
dalam yang mereka derita. Tidak lama kemudian
setelah menyeka darah yang mengalir di sudut-
sudut bibirnya. Baik Burung Hantu maupun Iblis
Liang Kubur telah saling berhadapan kembali.
"Kau tidak mungkin menang berhadapan
dengan aku, Burung Hantu...!" bentak Iblis Liang
Kubur dengan mata mencorong merah.
"Kau belum melihat bagaimana cepatnya
pedangku melubangi tenggorokan lawannya...!"
dengus sinis si Burung Hantu.
Burung Hantu segera menghimpun tiga
seperempat tenaga dalamnya ke bagian telapak
tangannya. Tidak lama setelah itu tubuh laki-laki
bertopeng itupun nampak menggeletar hebat.
Bahkan tidak lama setelah itu, kabut tipis mulai
menyelimuti tubuh si Burung Hantu. Sedangkan
telapak tangannya yang terus menebarkan bau
busuk itu mulai berubah warna menjadi merah
bara.
"Kidung Kematian...!" seru Iblis Liang Kubur
dengan mata membelalak. Sekarang laki-laki tua itu
sadar sepenuhnya bahwa si Burung Hantu benar-
benar menghendaki jiwanya. Maka tanpa ragu-ragu
lagi Iblis Liang Kubur juga langsung merentangkan
kepalanya tinggi-tinggi di atas kepala.
Selanjutnya tubuh laki-laki itu berputar
kencang tidak ubahnya bagai sebuah ganging. Lalu
dari tubuh yang berputar-putar itu berhembuslah
angin kencang yang sangat dahsyat sekali. Ketika si
Burung Hantu melihat apa yang dilakukan oleh
lawannya. Maka sekarang ia pun sadar, bahwa Iblis
Liang Kubur sedang mengerahkan ajian Bayu Pati,
yang dikenalnya sebagai sebuah ajian yang sangat
luar biasa itu.
Weeer... Deer...
Blaaam...!
Suara angin ribut bercampur dengan
ledakan-ledakan yang keras dan terasa
memekakkan gendang-gendang telinga ketika
masing-masing kekuatan sakti itu saling gilas dan
beradu secara terus menerus. Pohon-pohon besar
yang berdiri kokoh di sekitar tempat pertempuran
itu menjadi porak poranda.
SEBELAS
Si Burung Hantu benar-benar merasa
kewalahan mendapat serangan gencar seperti ini.
Berkali-kali tubuhnya jatuh bangun menghindari
serangan-serangan Iblis Liang Kubur yang terus
mengejarnya kemanapun ia berusaha menghindar.
Sampai pada satu keadaan yang sangat tidak
menguntungkan bagi laki-laki yang sangat ahli
dalam penyamaran itu.
Breet...!
Tendangan kaki dan pukulan tangan yang
terus berputar-putar itu membuat si Burung Hantu
jatuh tersungkur dengan menderita luka memar di
bagian punggungnya. Melihat kenyataan ini Iblis
Liang Kubur bermaksud mengakhiri dengan satu
tendangan berputar. Namun pada saat-saat yang
sangat kritis bagi keselamatan jiwanya sendiri. Si
Burung Hantu serta merta mencabut pedang
pusakanya. Begitu ia memutar senjata itu dengan
kecepatan tinggi. Maka Iblis Liang Kubur yang
sedang dalam keadaan posisi berputar-putar itu
segera merasakan sambaran hawa dingin yang
menusuk pori-pori kulitnya. Dengan cepat kakek tua
ini mencoba menarik balik tendangan kakinya. Tapi
di luar dugaan laki-laki tua itu. Gerakan kilat yang
dilakukannya masih kalah cepat dengan babatan
pedang yang dilakukan oleh si Burung Hantu. Tidak
dapat dihindari lagi.
Craaas...!
"Arggkh...!" Iblis Liang Kubur menjerit-jerit
setinggi langit. Bagian kakinya sebatas mata kaki
terbabat putus oleh ketajaman mata pedang si
Burung Hantu. Dengan gerakan cepat ia segera
menotok jalan darah untuk mencegah pendarahan
lebih banyak lagi. Melihat apa yang dialami oleh
lawannya si Burung Hantu langsung tergelak-gelak.
"Kau harus mati ditanganku, Iblis Liang
Kubur...!" desis si Burung Hantu sambil memandang
tidak berkedip pada Iblis Liang Kubur yang nampak
jatuh terduduk tidak jauh di hadapannya.
"Aku tidak takut, meskipun kau memiliki
kecepatan dalam mempergunakan ilmu pedang,
Burung laknat. Walau kau mau membunuhku,
cepat kau lakukan sekarang juga." kata Iblis Liang
Kubur tanpa mengenal takut sedikitpun juga
"Baik... baik sekarang kau bersiap-siaplah
untuk mampus...!" kata si Burung Hantu. Lalu
dengan disertai jeritan tinggi melengking tubuh laki-
laki itu melesat cepat dengan senjata terhunus
mengarah bagian dada lawannya. Tapi sebelum
niatnya itu kesampaian. Dari arah yang berlawanan
meluncur sebuah benda berwarna hitam berkilat-
kilat. Dengan telak benda hitam itu menghantam
bagian pergelangan tangan si Burung Hantu.
"Uhh...!" si Burung Hantu memekik keras
sambil memegangi tangannya yang terasa
berdenyut-denyut sakit.
Ketika si Burung Hantu memandang ke
sekeliling tempat itu. Maka terlihatlah olehnya
seorang pemuda berpakaian serba merah dan
seorang gadis cantik yang sudah sangat dikenalnya.
Begitu melihat si Burung Hantu dan Iblis Liang
Kubur, Pertiwi langsung berteriak lantang.
"Inilah kunyuknya yang hampir memperkosa
aku tempo hari, Kelana…! Hei, bahkan sekarang ia
telah begitu berani membuntungi kaki guruku...!"
"Tidak salah lagi...! Pastilah dia orangnya
yang telah memfitnahku dengan tindakan-
tindakannya yang keji. Pertiwi... kau uruslah
gurumu. Biarkan kunyuk di balik topeng ini aku
yang mengurusnya...!"
Dengan menahan perasaan kesal, akhirnya
Pertiwi menuruti apa yang dikatakan oleh Buang
Sengketa. Sementara pemuda itu sekarang telah
berhadapan dengan si Burung Hantu.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana
itu...?" ejek Buang Sengketa berusaha menahan
kejengkelannya.
"Kau tidak perlu bertanya lagi, bocah
gembel...! Tokh kau sudah tahu siapa orang yang
kau maksudkan itu. Bukankah engkau sendiri...!"
"Hemm... kau tahu siapa aku. Tapi alangkah
tidak bermalunya kau mempergunakan nama orang
untuk melakukan kejahatan bahkan membuat
rusak nama baikku. Apakah tujuanmu...?" tanya
pemuda itu gusar sekali.
Di luar dugaan. Si Burung Hantu malah ter-
tawa tergelak-gelak.
"Semua orang dalam hidupnya tentu saja
menginginkan nama besar, sobat. Tetapi lebih dari
sekedar itu, aku memang sengaja merusak nama
baikmu untuk membalas sakit hati ini...!"
"Keparaat... kau jangan mengada-ada.
Bertemu denganmu pun baru sekali ini!" kata
pemuda itu semakin tidak sabar saja.
"Kau telah membunuh tiga orang saudara
seperguruanku. Masihkah kau mau mungkir...?"
"Saudara seperguruanmu, kalaupun aku
pernah membunuh orang. Pastilah mereka itu dari
golongan kaum sesat." sentak pemuda itu seolah
pada dirinya sendiri.
"Bagus kalau kau mau mengingatnya. Tentu
kau tidak mungkin menyangkal bahwa kau telah
membunuh saudara seperguruanku dari Pulau
Berhala...?" tanya si Burung Hantu.
Buang Sengketa yang masih ingat betul
tentang orang yang dimaksud oleh lawannya hanya
menganggukkan kepalanya. (Untuk lebih jelasnya
dalami Episode Tiga Iblis Pulau Berhala).
"Kalau begitu sekarang juga kau harus
mampus di ujung pedangku...!" belum lagi si Burung
Hantu selesai dengan kata-katanya. Tahu-tahu
ujung pedang di tangannya telah berkelebat
menyambar di depan hidung Buang Sengketa.
Dengan cepat pemuda itu berjumpalitan ke
belakang. Tapi pemuda itu memang harus mengakui
betapa cepatnya permainan pedang lawannya itu.
Karena baru saja ia dapat berdiri tegak. Tahu-tahu
pedang itu telah menyabet ke bagian pundaknya.
Breet...!
"Iihhh...!" Buang Sengketa memekik tertahan.
Bagian punggungnya sempat terobek besar dan
mengalirkan darah. Pedih sekali rasanya bagian
yang terluka itu. Masih untung Pendekar Hina
Kelana merupakan orang yang kebal terhadap
serangan racun. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi
ia tersungkur roboh karena pedang di tangan si
Burung Hantu itu sebenarnya mengandung racun
yang sangat keji.
Sebaliknya begitu melihat lawannya terluka.
Si Burung Hantu semakin bernafsu untuk segera
menghabisi lawannya. Dengan ganas pedang di
tangan Burung Hantu menyambar ke bagian-bagian
tubuh si pemuda. Namun Buang Sengketa yang
telah mengetahui kehebatan lawannya segera
mempergunakan jurus silat tangan kosong, si Jadah
Terbuang dan si Gila Mengamuk secara silih
berganti. Tapi Buang Sengketa lambat laun segera
menyadari bahwa melayani si Burung Hantu dengan
mempergunakan tangan kosong sama saja artinya
dengan mencari mati. Apalagi ketika sedetik
berikutnya senjata di tangan Burung Hantu kembali
menyambar bagian pangkal lengannya dan membuat
luka memanjang.
Pendekar Hina Kelana nampak terhuyung-
huyung. Darah semakin bertambah banyak yang
keluar. Sementara itu Pertiwi yang merasa khawatir
melihat keadaan si pemuda sudah bersiap-siap
untuk melakukan pengeroyokan. Namun Iblis Liang
Kubur mencegah niatnya itu.
"Biarkan saja... aku yakin pemuda itu tidak
akan tinggal diam mendapat tekanan-tekanan dari
lawannya. Apalagi lawan yang dihadapinya kali ini
merupakan seorang lawan yang telah mencemarkan
nama baiknya. Lebih baik kita tetap berada di
tempat ini sambil menjaga segala kemungkinan...!"
Benar saja apa yang dikatakan oleh Iblis
Liang Kubur. Karena tidak lama kemudian Buang
Sengketa yang telah mengalami luka-luka itu segera
mencabut senjata andalannya yang berupa golok
buntung. Begitu senjata maut itu keluar dari
sarungnya. Maka udara di sekitar tempat itu
berubah dingin sekali. Sementara sinar merah
menyala yang agak bercampur dengan warna
kebiru-biruan nampak terpancar dari senjata itu.
Baik si Burung Hantu ataupun Iblis Liang Kubur
dan Pertiwi yang turut menyaksikan pertarungan itu
nampak terperangah. Tapi mereka tidak dapat
melihat lebih lama lagi. Karena ketika tubuh Buang
Sengketa bergerak, maka terdengarlah suara
raungan bagai puluhan suara raungan harimau
terluka. Kemudian yang terlihat hanyalah sinar
merah dan hitam yang berkelebat cepat dan saling
menyambar. Sesekali terlihat pula pijaran bunga api
setelah terdengar beradunya suara senjata mustika
di tangan masing-masing lawannya.
"Traaang...!"
Dua senjata pusaka itu kembali saling
beradu. Begitu kerasnya getaran dua senjata maut
itu hingga menyebabkan senjata di tangan si Burung
Hantu terlepas dari genggamannya. Tapi laki-laki ini
rupanya tidak mau menyerah. Begitu melihat
senjata pusakanya melayang entah ke mana. Ia
segera mengambil senjata lainnya. Dengan
mempergunakan senjata baru tersebut sekarang ia
menggempur Buang Sengketa. Semakin lama
serangan-serangan semakin bertambah cepat.
Buang Sengketa akhirnya terdesak hebat. Bahkan
beberapa kali sabetan senjata lawan berhasil
menggores bagian kakinya. Buang Sengketa yang
menyadari dirinya kalah cepat dalam
mempergunakan senjata langsung mengadu
senjatanya dengan senjata di tangan lawannya.
Traaang! Creeep...!
Senjata itu tiada disangka-sangka oleh
Burung Hantu saling menempel. Hal ini tentu saja
yang diharapkan oleh Pendekar Hina Kelana. Karena
sedetik kemudian ia telah mengerahkan jurus
Koreng Seribu untuk melumpuhkan lawannya.
Mulailah si Burung Hantu merasakan keganjilan
demi keganjilan. Mula-mula ketika ia mengerahkan
tenaganya untuk menarik senjatanya yang saling
melekat itu tidak mendatangkan hasil sama sekali.
Bahkan semakin kuat ia menyalurkan tenaga dalam
untuk membetot pedang miliknya. Ia merasakan ada
kekuatan lain seperti menyentak-nyentakkan
sesuatu dari dalam tubuhnya. Sampai sejauh itu ia
tidak menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi
pada dirinya. Hingga sampai sepemakan sirih,
barulah ia menyadari bahwa tenaganya telah
berkurang jauh. Dan semua itu tentu saja
membuatnya terkejut.
"Heaah...!"
Buang Sengketa menyentakkan senjatanya
hingga terlepas. Si Burung Hantu terperangah
merasakan tubuhnya yang terasa lemas sekali.
Dalam keadaan lengah seperti itu. Dengan cepat si
pemuda membabatkan senjatanya.
"Heaaat...!"
Breees...
Jrooos!
Begitu senjata maut itu berkelebat. Tidak ayal
lagi kepala si Burung Hantu menggelinding ke atas
tanah. Darah menyembur dari luka di bagian leher
dan perut si Burung Hantu. Tubuh tanpa kepala itu
kemudian limbung dan jatuh tersungkur untuk
selama-lamanya.
"Kau memang harus membayarnya dengan
sangat mahal, Burung Hantu...!" setelah berkata
begitu. Pendekar Hina Kelana tanpa berpamitan lagi
pada Pertiwi langsung berkelebat pergi.
"Kelana...!" panggil gadis itu ketika melihat
sebuah bayangan merah bergerak menjauh dan
mereka.
"Biarkan muridku...!"
"Tapi aku... aku ... mencin... tainya, guru...!"
kata gadis itu hampir saja menangis.
"Kalau kau mencintainya. Kau harus
membantunya mengembalikan nama baiknya...!"
kata Iblis Liang Kubur dengan perasaan penuh
kasih
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar