..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE SEPASANG WALET MERAH

Sepasang Walet Merah

 

Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama, 

tempat dan ide, hanya kebetulan belaka


SEPASANG WALET MERAH

Oleh D. Affandy

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Sepasang Walet Merah


SATU


Tanpa menghiraukan udara pagi yang terasa 

begitu dingin menggigit sampai ke sum-sum tulang. 

Perempuan itu terus berenang menelusuri Sungai 

Banyu Urip yang jernih, namun memiliki kedalaman 

tidak lebih dari empat tombak. Sesekali tubuhnya yang 

berkulit halus mulus tampak melonjak-lonjak bagai 

sosok makhluk yang sudah sampai pada puncak bira-

hi. Lalu tubuhnya kemudian lemas lunglai, mengem-

bang di atas permukaan air sekejap, selanjutnya tubuh 

itu tenggelam perlahan. Lenyap tak lebih dari sepema-

kan sirih lamanya. Air di dalam Sungai Banyu Urip 

tampak kembali tenang bagai tak pernah ada siapa 

pun hadir di dalamnya. Tinggallah tebing batu cadas 

nan bisu yang menjadi pagar dalam derasnya air Sun-

gai Banyu Urip yang banyak menyimpan seribu satu 

macam misteri.

Lalu saat mana perempuan berkulit putih mu-

lus dan tanpa mengenakan sehelai pakaian itu kembali 

muncul ke permukaan air. Maka perubahan pun lang-

sung terjadi Air Sungai Banyu Urip yang semula nam-

pak tenang, bening nan sejuk tampak bergolak. Bah-

kan rasa dingin yang ditimbulkannya, mendadak saja 

berubah hangat dan seiring dengan perubahan itu, 

warna air di dalamnya berubah pula menjadi merah. 

Darah! Tubuh perempuan itu mengejang dengan gele-

tar-geletar kecil di sekujur permukaan kulitnya. Seir-

ing dengan perubahan-perubahan secara mengejutkan 

tersebut, maka gejolak air dari bawah dasarnya mulai 

menimbulkan riak-riak gelombang yang akhirnya me-

nimbulkan satu gerakan yang tak ubahnya bagai pa-

sang surut air laut. Detik selanjutnya seluruh permu-

kaan air tempat di mana perempuan berambut pan


jang dan berwajah lumayan, tampak berputar-putar 

membentuk satu pusaran air yang sangat kencang se-

kali. Kini kembali tubuh telanjang tersebut timbul 

tenggelam dipermainkan pusaran air yang mengelilingi 

tubuhnya. Tapi dari mimik wajahnya yang oval mengi-

syaratkan, tiada rasa ketakutan membayang di sana. 

Sebaliknya sepasang bibirnya yang ranum itu me-

nyunggingkan seulas senyum renyah. Terkadang ter-

dengar pula suara mendesis dan erangan-erangan kecil 

secara samar-samar. Ada sesuatu yang terasa mengge-

litik di bagian perut dan bagian-bagian lainnya.

"Bleep...!" Satu sentakan keras ke arah dasar 

sungai, membuat tubuhnya lenyap seiring dengan ke-

cepatan putaran arus yang sangat kuat dan bahkan 

sampai menimbulkan suara berdengung-dengung ba-

gai bunyi sempritan. Setelah lenyapnya tubuh perem-

puan itu bersama dengan putaran arus sungai yang 

terjadi secara tiba-tiba. Maka detik selanjutnya bagai 

tak pernah terjadi apa-apa, air sungai itu kembali 

menjadi tenang seperti belum sediakala. Bahkan warna 

merah yang ditimbulkannya akibat gelembung-

gelembung udara dari bawah dasarnya secara perlahan 

berangsur-angsur lenyap sama sekali. Apakah yang 

terjadi dengan perempuan itu?

Setelah mengikuti putaran arus yang sangat 

kencang itu, maka tubuhnya terus meluncur pada se-

buah terowongan yang terdapat di dasar sungai yang 

memiliki kedalaman tak kurang delapan tombak. 

Anehnya ketika tubuh tiada berpakaian itu terus men-

gikuti putaran arus yang membawanya ke sebuah te-

rowongan di bawahnya. Dia masih dapat mengingat 

bahwa memasuki terowongan itu semakin ke dalam-

nya, ternyata terasa semakin bertambah luas. Dan da-

lam keadaan seperti itu, masih teringat akan dia ten-

tang pesan-pesan Eyang Girinda enam purnama sebe



lum dia menjejakkan kakinya di pinggiran Sungai 

Banyu Urip.

"Dewi Ratih! Sebagai gurumu di padepokan Bu-

kit Berkabung ini, Eyang tidak dapat menghalang-

halangi tentang semua rencana hidupmu di masa yang 

akan datang. Kalau pun engkau tetap juga bersikeras 

untuk mendapatkan Batu Permata Walet Merah milik 

Eyang Buyut mu yang telah dia buang ke dalam sungai 

Banyu Urip lebih kurang seratus tahun yang lalu. Ma-

ka aku tak bisa mencegahnya, tapi perlu kau ketahui. 

Bahwa Eyang Buyut mu Resi Mamba, membuang Batu 

Permata Walet Merah ke dalam sungai Banyu Urip, 

sudah barang tentu ada sesuatu yang melatar bela-

kanginya. Setidak-tidaknya ada rahasia yang mungkin 

hanya dia sendiri yang mengetahuinya!" 

Saat itu perempuan yang bernama Dewi Ratih 

tersebut dan merupakan murid ke tiga di padepokan 

Bukit Berkabung hanya menyahut.

"Eyang Girinda! Eyang Buyut Resi Mamba sen-

gaja membuang Batu Permata Walet Merah yang me-

miliki kekuatan dahsyat itu ke dalam Sungai Banyu 

Urip, menurut kesimpulanku adalah untuk menguji 

siapa di antara keturunannya yang tabah dan memiliki 

kemampuan dalam mendapatkan kembali Permata 

Walet Merah. Dan menurut kesimpulanku pula, andai 

di antara keturunannya ada yang mampu menda-

patkannya. Mungkin dialah yang punya hak untuk da-

pat mempelajari dan mewarisi kitab Dewa Berkabung 

yang terkunci di bukit Siluman...!"

Mendengar ucapan Dewi Ratih, saat itu Eyang 

Girinda tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Se-

bagai orang tua sekaligus merupakan generasi ketujuh 

dalam padepokan Bukit Berkabung. Sudah barang ten-

tu dia lebih banyak mengetahui apa dan bagaimana 

keinginan almarhum ayahnya Resi Mamba. Sungguh



pun bagi dirinya pribadi, bahwa Resi Mamba ayahnya, 

memiliki kepribadian yang misterius. Akan tetapi keti-

ka kecil, dulu dia pun masih dapat mengingat betapa 

Batu Permata Walet Merah yang memiliki kekuatan 

yang dahsyat itu dapat menghancurkan dan membu-

nuh banyak orang ketika batu itu pernah terjatuh ke 

tangan orang-orang sesat. Sebab Batu Walet Merah itu 

memiliki pamor tinggi dan banyak diincar oleh orang-

orang rimba persilatan bukanlah karena harganya. Me-

lainkan karena batu tersebut mengandung ‘kekuatan’ 

sakti yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan sebagai 

senjata yang sangat ampuh. Sedangkan keberadaan ki-

tab Dewa Berkabung yang terkunci di dalam sebuah 

gua di Bukit Siluman, keberadaannya pun masih san-

gat diragukan oleh Eyang Girinda.

Kini apabila dia teringat tentang masa depan 

padepokan Bukit Berkabung yang hanya memiliki mu-

rid-murid keluarga berjumlah tak lebih dari tiga puluh 

orang. Dan murid ahli waris tiga orang, rasa-rasanya 

Eyang Girinda tidak dapat melihat bahwa padepokan 

Bukit Berkabung akan mampu mencapai jaman kee-

masan seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat 

mana ayah kandungnya Resi Mamba memegang pucuk 

pimpinan di padepokan itu. Ketiga orang murid yang 

masih keturunan langsung dari anak-anaknya, ternya-

ta memiliki watak dan perangai yang berbeda-beda. 

Murid pertama yang bernama Dewi Ratna Juwita, 

sungguh pun merupakan murid yang memiliki kepan-

daian sangat tinggi namun mempunyai watak yang te-

lengas dan suka mengembara ke mana-mana. Disamp-

ing itu, Eyang Girinda juga terpaksa harus mengusir-

nya karena ternyata Dewi Ratna Juwita menyimpan 

hubungan cinta dengan Bagas Salaya, yang sebenar-

nya masih merupakan adik tirinya sendiri. Kini hara-

pan satu-satunya sebagai ahli waris yang dapat melan


jutkan kepemimpinan padepokan Bukit Berkabung se-

penuhnya terletak di pundak Dewi Ratih. Sebagai mu-

rid ketiga sebenarnya gadis itu memiliki pendirian yang 

kokoh dan berpikiran cerdas. Sayangnya murid sekali-

gus merupakan cucu ketiga Eyang Girinda ini meru-

pakan seorang murid yang sangat pemalas dan tak 

pernah giat dalam berlatih ilmu silat.

Sehingga dia selalu ketinggalan jauh bila di-

bandingkan dengan dua orang saudaranya yang lain. 

Sekarang setelah dua tahun ditinggalkan oleh kakak 

tuanya Dewi Ratna Juwita, menyusul kemudian Bagas 

Salaya, yang pergi dari padepokan karena kekasihnya 

yang diusir oleh kakeknya. Tampak-tampaknya gadis 

itu mulai menyadari betapa kehadirannya di padepo-

kan Bukit Berkabung benar-benar sangat dibutuhkan 

untuk menggantikan Eyang Girinda yang sudah sangat 

lanjut usia.

Mau tak mau Dewi Ratih harus berlatih keras 

hampir sepanjang hari. Satu-satunya kitab dari lima 

kitab warisan leluhur yang diberi nama 'Dewa Berka-

bung' tingkatan ketujuh telah berhasil di kuasainya 

dengan baik hanya dalam waktu lebih kurang tujuh 

purnama. Lebih dari itu tanpa dia sadari, Dewi Ratih 

yang sangat dikenal sebagai seorang pemalas dalam 

padepokan itu, sekarang telah memiliki tenaga dalam 

serta ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai 

taraf sempurna. Selain itu setelah berhasil menguasai 

kitab kelima dari seluruh kitab 'Dewa Berkabung'. ini 

berarti, puncak kepandaian yang dimilikinya sekarang 

ini telah melebihi kepandaian yang dimiliki oleh dua 

orang saudaranya yang lain. Hal ini sudah tentu pula 

di luar sepengetahuan dua orang saudaranya yang te-

lah pergi meninggalkan padepokan. Mungkin satu saja 

rasa penasarannya yang tidak dapat dicegah oleh 

Eyang Girinda, yaitu rasa keingintahuannya tentang


Batu Permata Walet Merah yang dibuang ke Sungai 

Banyu Urip oleh eyang buyutnya Resi Mamba. Dan itu-

lah satu-satunya keinginan yang pada akhirnya telah 

membawa langkahnya sampai di Sungai Banyu Urip.

Demikianlah dalam keadaan mengikuti putaran 

arus di dalam terowongan di dasar sungai, perempuan 

itu masih teringat tentang pesan-pesan gurunya.

"Dewi Ratih, cucuku! Kalau pun engkau berha-

sil mendapatkan Batu Permata Walet Merah di dalam 

sungai Banyu Urip, eyang merasa sangat kuatir kalau 

nantinya batu yang berkekuatan dahsyat itu akan me-

nimbulkan bala bencana di rimba persilatan. Engkau 

harus ingat waktu dulu eyang buyut mu sampai me-

mutuskan untuk membuang Batu Walet Merah terse-

but, hal itu semata-mata, eyang buyut mu telah mera-

sakan betapa semasa hidupnya kehadiran Batu Per-

mata Walet Merah telah banyak menimbulkan pertum-

pahan darah...!"

"Tapi eyang.... Batu Walet Merah adalah milik 

leluhur kita yang syah, dan mungkin kemunduran pa-

depokan ini ada kaitannya dengan batu yang dibuang 

eyang buyut Resi Mamba...!" Sergah Dewi Ratih saat 

itu. Dan pada dasarnya di dalam lubuk hati, Eyang Gi-

rinda membenarkan ucapan cucunya. Namun mana-

kala dia teringat tentang nasib yang dialami oleh orang 

tua ketiga cucu-cucunya, yaitu Kartapati dan Lasmi 

Kenaka yang tiada pernah kembali setelah berusaha 

mendapatkan Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip. 

Tak urung rasa was-was menghantui dirinya.

"Hal itu memang tak dapat kubantu! Tapi perlu

kau ingat kedua orang tuamu sampai tewas dan bah-

kan tak diketahui mayatnya, juga karena ingin men-

dapatkan Batu Walet Merah itu. Pula kemunduran pa-

depokan ini tidak berarti apa-apa, andai dengan kea-

daan seperti itu, padepokan kita menjadi aman dari


gangguan tokoh-tokoh silat golongan mana pun. Bu-

kankah menurut eyang justru hal itu malah lebih baik 

lagi...?" Ucap Eyang Girinda seolah mengajukan se-

buah pertanyaan. Dewi Ratih sebagai gadis yang berpi-

kiran cerdik dan berpandangan luas, sungguhpun pa-

da hakekatnya sebagai seorang gadis pemalas berat. 

Namun sejak saat itu mulai memiliki satu gagasan 

bahwa padepokan Bukit Berkabung harus mampu 

mengulang masa jayanya kembali. Dan bagi Dewi Ra-

tih, latar belakang kemunduran padepokan Bukit Ber-

kabung telah diketahuinya. Yaitu setelah dibuangnya 

Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip.

"Eyang! Bukannya aku mau membantah apa 

yang telah eyang katakan! Tetapi walau apapun yang 

bakal terjadi, aku ingin padepokan ini bisa mengulangi 

jaman keemasan seperti saat dulu eyang buyut Resi 

Mamba menjadi pimpinan di sini...!" sela Dewi Ratih 

nampaknya sudah tak ingin cita-citanya dihalang-

halangi.

"Ratih... Ratih... sama seperti ayah dan ibumu, 

kau pun memiliki pendirian yang keras...!" Ratih tam-

pak terdiam, dia dapat merasakan apa yang ada di da-

lam hati eyangnya. Sebagai orang yang sangat diha-

rapkan di padepokan Bukit Berkabung itu, sudah ten-

tu Eyang Girinda selalu mengkhawatirkan tentang ke-

selamatannya. Andai saja dia sampai menemui nasib 

seperti orang tuanya di Sungai Banyu Urip. Pupuslah 

sudah harapan orang tua bertubuh ceking dan tinggi 

ini. Walau bagaimana pun dia tak pernah mengha-

rapkan Dewi Ratna Juwita yang telengas dan suka 

mengembara itu, apalagi dia sempat menjalin hubun-

gan cinta dengan saudara tiri-nya sendiri, yaitu Bagas 

Salaya. Sebaliknya Bagas Salaya pun tak dapat diha-

rapkan sebagai keturunan pengganti, karena pemuda 

itu lebih cenderung bersahabat dengan tokoh-tokoh


persilatan golongan sesat. Tapi ketika Dewi Ratih te-

ringat akan Bukit Siluman yang menyimpan sebuah 

misteri yang tak pernah terungkap oleh Eyang Girinda, 

maka dalam pikirannya muncul satu pertanyaan yang 

tak kalah pentingnya dengan kepergian dirinya ke 

Sungai Banyu Urip. Selanjutnya setelah menarik nafas 

dalam-dalam dan membuang praduga yang bukan-

bukan lalu dia pun bertanya:

"Eyang! Menurutmu, apakah Bukit Siluman 

yang ruangan gua di dalamnya selalu terkunci itu ti-

dak menyimpan sesuatu yang mungkin sangat penting 

artinya dalam padepokan Bukit Berkabung...?" Sela si 

gadis dengan tatapan penuh selidik. Namun lewat so-

rot mata laki-laki renta ini, Ratih tiada melihat bahwa 

Eyang Girinda tiada menyimpan sesuatu yang sangat 

rahasia. Malah sebaliknya sembari menatap cucunya, 

Eyang Girinda berucap pelan.

"Bagiku dan sepanjang yang kuketahui di da-

lam gua Bukit Siluman tak terdapat sesuatu apa pun 

terkecuali tempat itu memang sangat di keramatkan 

bagi para keturunan padepokan Bukit Berkabung. Ka-

rena seperti diketahui gua Siluman merupakan tempat 

bersemayamnya leluhur-leluhur kita yang telah tiada. 

Sayangnya kunci untuk membuka pintu di dalam gua 

itu juga kini telah hilang entah ke mana...!" kata Eyang 

Girinda seperti menyesalkan. Apa yang dikatakan oleh 

laki-laki renta pada bagian yang paling akhir tersebut 

sudah cukup membuat kejut di hati Ratih. Sebagai 

orang cerdik namun pemalas, dia dapat menduga. Ka-

laulah memang benar kunci itu hilang begitu saja, ga-

dis ini tak ambil pusing. Namun andai sampai terjatuh 

ke tangan orang sesat yang ingin mengetahui lebih ba-

nyak tentang rahasia di dalam gua itu.


DUA


Dewi Ratih tak dapat membayangkan akibat-

nya, sejauh itu dia tak punya keinginan untuk menga-

takan kekhawatirannya tentang hilangnya kunci perak 

tersebut, mungkin suatu saat dia dapat mencari tahu 

benar tidaknya kunci itu hilang secara wajar.

"Baiklah eyang...! Mengenai rahasia Bukit Si-

luman aku tak akan mempertanyakannya lagi pada 

eyang, tapi walau bagaimana pun aku tetap memu-

tuskan untuk pergi ke Sungai Banyu Urip...!" katanya 

begitu tegas dan pasti. Saat itu, walaupun merasa san-

gat berat hati untuk melepaskan Dewi Ratih, namun 

akhirnya Eyang Girinda memberi ijin juga.

Kini kita kembali pada Ratih yang sedang bera-

da di dalam sebuah lorong di dasar sungai yang terus 

mengikuti putaran arus. Tubuh telanjang itu terus me-

luncur cepat ke arah bagian dalam terowongan pusa-

ran air yang di kanan kirinya ditumbuhi dengan gang-

gang dan lumut yang sangat licin. Selanjutnya tak ku-

rang dari sekedipan mata lamanya, sampailah Dewi 

Ratih di dalam ruangan paling mendasar di dalam te-

rowongan yang sangat panjang tersebut.

"Splaaak! Gabruuuk...!" Bagai ada sebuah ke-

kuatan gaib bertenaga sangat besar, tubuh Ratih ter-

lempar dari dasar terowongan untuk selanjutnya ter-

campak di atas sebuah daratan batu cadas berlumut. 

Yang membuat heran gadis itu adalah karena begitu 

tubuhnya menyentuh permukaan tebing batu cadas

yang terdapat di dasar pusaran air ini. Secara menda-

dak tempat itu menjadi terang benderang.

"Aneh! Terowongan dan pusaran air yang begitu 

deras telah mencampakkan diriku pada sebuah ruan-

gan yang mungkin tak pernah terpikirkan keberadaannya oleh siapa pun. Namun... eee... sepertinya ca-

haya yang menerangi ruangan dinding batu itu berasal 

dari ruangan lain yang terdapat di sebelah depan sa-

na? Mungkinkah semua itu karena pengaruh tapaku 

yang telah berlangsung selama empat puluh hari itu? 

Ataukah karena Sang Hyang Widi telah pula merestui 

semua usahaku untuk mengembalikan jaman keema-

san padepokan Bukit Berkabung? Tapi kalau pun se-

mua itu benar adanya, pasti ada sesuatu terdapat di 

dalam ruangan itu. Apapun yang bakal terjadi, aku ha-

rus sampai ke ruangan itu...!" batin Ratih. Selanjutnya 

tanpa membuang-buang waktu lagi. Tubuh dalam 

keadaan telanjang itu, mulai merangkak menuju ruan-

gan lain yang berada di depannya. Usahanya untuk 

dapat sampai ke dalam ruangan yang menimbulkan 

cahaya terang benderang itu bukanlah suatu peker-

jaan yang sangat mudah. Sebab selain ruangan menu-

ju tempat tersebut sangat sempit namun juga sangat 

licin luar biasa. Berulang kali dia harus jatuh bangun 

untuk dapat sampai di sana. Hanya dengan mengan-

dalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh sa-

ja, akhirnya dia sampai juga di depan pintu terowon-

gan yang menyerupai lorong gua tersebut. Namun ak-

hirnya dia harus terperangah saat mana gadis telan-

jang itu merasakan ada hawa panas terasa mendera 

tubuhnya. Kejadian yang sangat tiba-tiba ini membuat

Ratih tersentak ke belakang. Tubuh si gadis terbanting 

dalam keadaan terlentang, namun secepatnya tangan 

dan kakinya berkelebat mencari keseimbangan. Karena 

lantai dasar gua batu itu sangat licin, barulah setelah 

bersusah payah dia dapat kembali dalam posisinya.

Apabila kedua matanya kembali memandang 

pada ruangan yang menimbulkan cahaya terang ben-

derang yang terdapat dua tombak di depannya. Maka 

sadarlah dia bahwa cahaya terang yang sangat menyilaukan itu tersumber dari sebuah benda yang terletak 

di atas tempat yang sangat mirip dengan sebuah altar 

kecil.

"Hmm. Mungkin benda yang mengeluarkan ca-

haya itulah Batu Permata Walet Merah milik Eyang 

Buyut Resi Mamba! Tapi sangat mustahil sekali andai 

batu itu dicampakkan sedemikian rupa, kini bisa terle-

tak di atas sebuah altar? Mungkinkah ada tangan lain 

yang telah meletakkannya di tempat itu? Emm... aku 

merasa tiba-tiba saja bulu kudukku merinding, dan 

mengapa secara mendadak pula batu itu bergerak-

gerak...!" batin gadis itu, secara reflek Ratih beringsut 

mundur. Bersamaan dengan sirnanya cahaya yang di-

timbulkan oleh batu yang terletak di atas altar terse-

but. Maka muncul pula cahaya lain yang memancar-

kan cahaya berwarna biru, cahaya itu tampak meman-

car dari lantai batu licin yang terdapat tidak begitu 

jauh dari altar tadi. Semakin lama, cahaya berwarna 

biru tersebut semakin bertambah membesar, semakin 

tinggi, hingga pada akhirnya membentuk sesosok tu-

buh seorang kakek berbadan tegak dengan mengena-

kan pakaian berwarna biru pula.

Dewi Ratih tersentak kaget, wajahnya yang ke-

merahan berubah pucat pasi. Terlebih-lebih bila meli-

hat tatapan mata kakek berambut dan berjenggot ser-

ba putih, yang sejak kehadirannya terus memperhati-

kan Ratih mulai dari ujung rambut hingga sampai ke 

ujung kaki. Bukan karena apa si gadis bertingkah se-

perti itu. Hal ini tak lain sebagai seorang gadis dia me-

nyadari, saat itu dia tengah berhadapan dengan insan 

berlainan jenis, apalagi dia menyadari kala itu tubuh-

nya tiada terbungkus selembar kain apapun. Sudah 

tentu dengan sangat leluasa kakek yang belum di ke-

nalnya ini dapat memperhatikan dengan jelas lekuk 

lengkung tubuhnya yang halus mulus itu. Merasa malu sendiri, Ratih menutupi tempat-tempat tertentu di 

bagian tubuhnya dengan kedua belah tangannya. Akan 

tetapi nampaknya si kakek yang kedatangannya ber-

sama dengan cahaya biru tersebut dapat menangkap 

apa yang menjadikan gadis itu menjadi gelisah. Detik 

kemudian menggemalah tawa.

"Ha... ha... ha...! Dewi Ratih, di dalam darahmu 

mengalir pula darahku, jadi untuk apa kau harus ma-

lu pada dirimu sendiri? Pula aku telah berada di alam 

yang sangat berbeda dengan dunia mu...!" sejenak la-

manya si kakek yang berselimutkan kabut itu hentikan 

kata-katanya. Sebaliknya bagi si gadis yang memiliki 

pikiran cerdik ini kata-kata laki-laki tua itu sudah cu-

kup baginya untuk mengerti siapa sesungguhnya 

orang itu. Maka tanpa canggung-canggung lagi dia pun 

bersujud memberi hormat. Sebaliknya si kakek tanpa 

menghiraukan apa yang dilakukan oleh Ratih terus sa-

ja melanjutkan ucapannya; "Tapamu yang empat pu-

luh hari itu, telah membangkitkan aku dari tidurku 

yang panjang. Bersyukurlah engkau bahwa sampai 

saat ini dirimu masih tetap perawan. Jika tidak maka 

engkau akan menemui nasib sebagaimana yang diala-

mi oleh kedua orang tuamu. Ketahuilah Sungai Banyu 

Urip tak pernah menerima tapa atau tubuh siapa pun 

jika orang itu ternyata sudah tidak utuh lagi, walau 

dengan bentuk apa pun...!" kata kakek berambut putih 

itu pelan namun tegas. Kenyataan itu membuat wajah 

Ratih semakin bertambah memucat. Namun akhirnya 

dia memberanikan diri untuk mengajukan beberapa 

pertanyaan pada kakek itu.

"Jadi... jadi benarlah adanya bahwa yang se-

dang berdiri di hadapanku ini Eyang Buyut Resi Mam-

ba...?" Laki-laki berbadan kekar itu tidak menjawab, 

sebaliknya sepasang matanya yang dihiasi sederetan 

alis yang sudah memutih membelalak. Untuk beberapa


saat lamanya kakek berselimutkan kabut itu menatap 

pada Ratih. Namun gadis itu tiada perduli dengan ta-

tapan mata laki-laki itu, gadis itu kembali mengulangi 

pertanyaannya; "Benarkah engkau ini Eyang Buyut 

Resi Mamba?"

"Hmm, tak kusangka selain sangat dikenal se-

bagai seorang pemalas, kiranya kau juga merupakan 

orang yang tolol. Bagaimana mungkin Girinda mena-

ruh harapan yang begitu besar padamu jika ternyata 

hanya sebegitu saja pengetahuanmu...!"

"Aku hanya memerlukan sebuah keyakinan, 

Eyang Buyut...!"

"Dan kau selalu berkeyakinan pada usahamu 

untuk dapat mengulangi masa kejayaan padepokan 

Bukit Berkabung sebagaimana ketika ku pimpin du-

lu?" sambut laki-laki tua ini yang tak lain merupakan 

badan halus Eyang Buyut Resi Mamba adanya.

"Itulah yang selalu kuharapkan Eyang 

Buyut...!"

"Ha... ha... ha...! Mengandalkan kepandaian 

'Dewa Berkabung' tingkatan kelima kau hendak men-

dirikan puing-puing padepokan Bukit Berkabung...?" 

sela Eyang Buyut Resi Mamba.

"Kukira dengan adanya Batu Permata Walet 

Merah, semua impian ku untuk mewujudkan cita-

citaku dapat terpenuhi...!"

Mendengar ucapan Dewi Ratih, tampaklah 

Eyang Buyut Resi Mamba perlu mengacungi jempol. 

Tapi apabila dia teringat bahwa betapa Batu Permata 

Walet Merah pada akhirnya hanya akan mendatang-

kan bencana di rimba persilatan, mendadak wajahnya 

berubah muram.

"Cucuku...! Ketika dulu aku masih ada, Batu 

Permata Walet Merah memang merupakan senjata pa-

mungkas yang tiada tandingnya. Bahkan sangat jarang


orang yang bisa selamat dalam adu kekuatan dengan-

ku. Sayangnya Batu Walet Merah bukan milikku seo-

rang. Masih ada pasangannya, karena pada hakekat-

nya batu itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ka-

rena aku laki-laki, maka yang kupegang batu yang jan-

tannya, sedangkan yang satunya lagi dipegang oleh 

nenek buyut mu. Sayangnya dia hidup di pihak golon-

gan hitam, sehingga walau aku telah membujuknya 

untuk kembali ke jalan yang benar dia tak pernah 

mau...!"

"Kalau begitu masih ada orang lain yang memi-

liki batu seperti yang eyang buyut miliki...?" sergah 

Dewi Ratih tampak harap-harap cemas. Namun ha-

tinya menjadi lega saat kemudian Resi Mamba geleng-

kan kepalanya berulang-ulang.

"Setidak-tidaknya sampai saat ini masih aman-

aman saja. Karena sebenarnya sejak nenek buyut mu

tewas dalam pertarungan denganku, hanya aku seo-

ranglah yang mengetahui di mana Batu Permata Walet 

Merah yang satunya lagi berada. Tapi karena kini ada 

kau sebagai keturunan sesepuh padepokan Bukit Ber-

kabung, dan kuanggap benar maka kau punya hak 

untuk mengetahui di mana sebenarnya ku sembunyi-

kan pasangan Batu Walet Merah yang satunya lagi...!"

"Dimanakah, Eyang Buyut...?"

"Batu Walet Merah yang betinanya eyang buyut 

sembunyikan di dalam Gua Bukit Siluman!" Bukan 

main kejut hati Ratih mendengar pengakuan Resi 

Mamba, sama sekali dia tiada menyangka kalau Bukit 

Siluman yang sangat dikeramatkan oleh semua ketu-

runan padepokan Bukit Berkabung, kiranya merupa-

kan tempat penyimpanan sebuah benda yang memiliki 

kekuatan yang sangat dahsyat.

"Eyang Buyut! Bukankah menurut Eyang Gi-

rinda, Bukit Siluman merupakan kubur bagi seluruh


leluhur kita, bahkan tak seorang pun pernah diijinkan 

berkeliaran di tempat itu...?" sela Ratih,

"Ha... ha... ha...! Betul, tapi tak dapat disangkal 

peraturan itu akulah yang membuatnya. Pesanku sete-

lah kau keluar dari tempat ini, sering-seringlah kau li-

hat keamanan Bukit Siluman. Dan jangan kau lupa-

kan pula, bahwa kau harus mencari dan berhati-hati 

dengan beberapa gelintir tokoh sesat yang memiliki ju-

lukan, Gajah Mungkur, Nyai Plasik, dan juga gerombo-

lan sinar Kayangan...!"

"Maksud eyang buyut, apakah mereka itu me-

rupakan musuh besar dari padepokan Bukit Berka-

bung...?" tanya Ratih berapi-api. Sedangkan badan ha-

lus Resi Mamba hanya mengangguk kecil.

"Bukan sebagai musuh saja. Namun karena 

mereka inilah maka nenek buyut mu sampai tersesat 

sedemikian jauh, hingga pada akhirnya dia menjadi 

manusia pembangkang yang paling keji di padepokan 

Bukit Berkabung...!"

"Apakah Eyang Girinda juga tahu tentang seja-

rah ini?"

"Sedikit banyaknya Girinda pasti tahu, dan itu 

tak perlu kau persoalkan secara panjang lebar. Nah 

kukira keteranganku sudah cukup, sekarang kau am-

billah Batu Walet Merah yang berbentuk cincin itu, in-

gat dengan adanya batu cincin di tanganmu padepo-

kan Bukit Berkabung yang selama ini sunyi bagai tak 

berpenghuni, dalam waktu yang akan datang pasti 

akan berdatangan para musuh yang tidak kau ha-

rapkan. Dan musuh yang lebih berbahaya adalah me-

reka yang berasal dari dalam padepokan itu sendiri." 

Kata laki-laki berselimut kabut itu lugas.

Kembali Ratih menjatuhkan diri, berlutut 

memberi hormat Resi Mamba. Detik kemudian begitu 

dia kembali pada sikapnya, dilihatnya Resi Mamba telah bergeser sejauh tiga langkah dari pendopo kecil 

tempat di mana terletak Batu Walet Merah. Dewi Ratih 

mengetahui bahwa itu adalah sebuah isyarat baginya 

untuk mengambil benda tersebut. Tidak seperti ketika 

pertama kali tadi dia mencoba meraih benda di atas 

pendopo di depannya. Kali ini semuanya berjalan lan-

car, bahkan kini dia tidak lagi berjalan merangkak. Dia 

sudah mampu berdiri, dan langit-langit gua di sekitar-

nya seolah semakin bertambah meninggi. Secara pelan 

namun cukup pasti, tubuh telanjang itu pun melang-

kah menghampiri Batu Walet Merah. Tapi setelah be-

rada dia depan batu yang berbentuk badan burung 

walet tersebut, tiba-tiba dia menjadi ragu. Dalam ke-

heningan itu mendadak terdengar seruan Eyang Buyut 

Resi Mamba; 

"Cepatlah ambal! Kemudian sarungkan ke sa-

lah sebuah jemarimu...!" Dewi Ratih tanpa berpaling 

pada badan halus kakek buyutnya, dengan tangan 

gemetaran segera mengambil batu cincin yang berben-

tuk seekor burung Walet Merah itu. Anehnya sesaat 

setelah melingkarkan cincin permata tadi, tubuh Ratih 

mendadak serasa panas, lutut menggeletar. Bahkan 

dia merasakan ada sesuatu yang terasa menyentak-

nyentak di bawah perutnya. Gadis itu merintih seten-

gah mengerang, selanjutnya tubuhnya menggeliat-

geliat bagai orang yang sedang dilanda birahi. Namun 

begitu Eyang Buyut Resi Mamba acungkan jari telun-

juknya mengarah pada bagian dada Ratih. Maka sela-

rik sinar berwarna salju mendera tubuh gadis itu. Satu 

erangan panjang membuat gadis itu kembali pada si-

kapnya. Dia tersipu malu melihat keadaannya sendiri. 

Kemudian entah dari mana datangnya, mendadak di 

tangan Resi Mamba telah terdapat seperangkat pa-

kaian berwarna merah biru lengkap dengan ikat kepa-

lanya yang berwarna biru pula. Dalam satu gerakan


yang sangat mirip dengan lambaian tangan, detik se-

lanjutnya pakaian itu pun telah menutupi sebagian 

tubuh Ratih.

"Kenakanlah pakaian itu sekarang juga!" perin-

tahnya. "Setelah kau pakai pakaian tersebut, selanjut-

nya pejamkan matamu. Jangan banyak tanya, karena 

kau segera tiba di alam terbuka dan harus cepat kem-

bali memberi kabar pada Eyangmu Girinda...." lanjut-

nya pula.

Maka tanpa berani membantah, Dewi Ratih ce-

pat-cepat mengenakan pakaian pemberian Resi Mam-

ba. Usai mengenakan pakaian tersebut dia merasakan 

tubuhnya menjadi hangat bahkan segala bentuk rasa 

yang bersifat rangsangan yang ditimbulkan oleh cincin 

Batu Permata Walet Merah yang tadinya sangat me-

nyiksa, kini telah lenyap sama sekali. Setelah selesai 

mengikat kepalanya dengan sebuah selendang berwar-

na biru yang juga merupakan pemberian Resi Mamba, 

maka saat selanjutnya dia pejamkan matanya. Ratih 

tak tahu apa yang dilakukan oleh Resi Mamba, tapi dia 

merasakan tubuhnya seperti melayang menembus lo-

rong panjang menuju keluar dari pusaran arus yang 

terdapat di dasar terowongan itu. Sementara itu, sepe-

ninggalnya Ratih, maka sosok tubuh Resi Mamba, se-

dikit demi sedikit tampak memudar seiring dengan 

semakin membesarnya cahaya biru dan kabut tebal 

yang menyertainya.

"Weees!" Satu tiupan angin kencang yang da-

tangnya dari arah sebelah kiri, membuat cahaya berse-

limut kabut itu turut lenyap bersama hembusan angin 

kencang itu.

***


TIGA


Menjelang tengah hari di sepanjang jalan seta-

pak yang diapit oleh dua hutan tua Maliau dan Teruak. 

Tak terlihat seorang pun berani lalu lalang di sana. Ti-

dak juga penduduk Desa Singkalang yang biasanya ke-

luar masuk hutan untuk maksud-maksud berburu, 

maupun mencari hasil hutan lainnya. Begitulah kenya-

taannya, setahun belakangan setelah hutan Maliau 

dan Teruak di jadikan markas besar oleh gerombolan 

sinar kayangan. Tidak terkecuali penduduk desa, 

orang asing pun yang coba-coba berani datang atau 

melintas secara tidak sengaja akan mendapat perla-

kuan yang tidak manusiawi dari gerombolan Sinar 

Kayangan yang saat ini telah berkuasa penuh pada 

dua daerah itu.

Namun suasana sepi mencekam di sekitar hu-

tan itu tidak sedikit pun mengurangi hasrat bagi pe-

muda berkuncir ini untuk tetap melanjutkan perjala-

nannya. Dia tak perduli, walau sejak menginjakkan 

kakinya di ujung sebelah Barat hutan tersebut ada 

berpasang-pasang mata terus memperhatikan kehadi-

rannya dengan sorot curiga. Sebaliknya dia malah ber-

lari-lari sembari menyenandungkan bait-bait lagu 

orang-orang berkelana. Sesekali suaranya terdengar 

merdu mendayu-dayu, di lain saat begitu sedih. Atau 

bahkan tinggi melengking, sehingga memaksa para 

pengintainya menutupi kedua telinga. Lewat sepema-

kan sirih, pemuda berpakaian merah dan selalu kumal 

ini menghentikan langkahnya. Sekali lagi dia menoleh 

pada jalan yang telah dilaluinya di saat lain sepasang 

matanya yang sangat tajam memandang jalan setapak 

yang menghampar di hadapannya. Masih terlalu jauh 

untuk melalui jalan itu. Seharusnya dia sudah mengerahkan Ajian Sepi Angin, tapi itu tidak dilakukannya. 

Para pengintai yang terus mengikuti dirinya di kanan 

kiri jalan itu membuat dia menjadi sangat curiga.

"Wuus! Jleeegk...!" Laksana kilat, tubuhnya 

mendadak lenyap dari jalanan itu, selanjutnya tubuh 

si pemuda telah duduk ongkang-ongkang di atas se-

buah cabang pohon damar yang berukuran sangat be-

sar lagi tinggi. Gerakan yang sangat cepat dan sulit di-

ikuti oleh kasat mata ini, membuat para pengintainya 

jadi kelabakan karena kehilangan jejak. Mereka saling 

berbisik sesamanya. Sebaliknya, di atas cabang pohon 

pemuda tampan yang sudah tak asing lagi bagi kita ini 

hanya cengar-cengir sembari leletkan lidah.

"Dia bukan manusia sembarangan! Baiknya ki-

ta beri laporan pada majikan besar bahwa orang lain 

telah memasuki wilayah kekuasaan kita...!" sentak sa-

lah seorang dari mereka yang bersembunyi di balik se-

buah gerumbulan semak belukar.

"Siapa adanya orang itu belum juga jelas, men-

gapa harus tergesa-gesa beri laporan? Salah-salah beri 

keterangan kepala kita menggelinding Tongos...!" ban-

tah yang disebelahnya karena memang bergigi meron-

gos.

"Goblok banget sih kau! Ketahuan secara tiba-

tiba gembel berperiuk itu lenyap dari depan hidung ki-

ta. Masihkah kau membantah bahwa orang itu tidak 

berkepandaian tinggi...!" laki-laki berpakaian hitam 

yang di panggil tongos balas menyelak.

"Gaplok! Gaplok...!"

"Gusrak...!" Dua kali tamparan ringan dari se-

buah tangan berotot di sampingnya membuat dua 

orang yang terlibat berbantahan itu tersungkur ke de-

pan. Terdengar suara bergerosakan menubruk semak-

semak di depannya. Namun tanpa mengeluarkan sua-

ra keluhan atau sejenisnya, kedua orang bersenjata



kelewang itu pun cepat bangkit berdiri dengan wajah 

pucat.

"Sekali lagi, kudengar kalian saling berbanta-

han! Kutampar mulut kalian!" ucap si gemuk berewo-

kan yang melakukan tamparan tadi.

"Tongos tuh, yang mulain, Bang.... Bukan 

aku...!" kilah yang seorangnya berusaha membela diri.

"Kampret kau Min! Aku tadi cuma memberi 

usul, tapi siapa suruh kau ikut-ikutan!" sergah yang 

bernama Tongos juga tak mau kalah.

"Marimin.... Tongos...!" bentak si laki-laki ber-

pakaian hitam berbadan gemuk dengan kedua mata 

bagai hendak melompat keluar.

"Saya bang...!" sahut orang itu hampir serentak.

"Sekali lagi kalian berani membantah, kugan-

tung nanti kalian berdua...!" bentak si gemuk yang le-

bih dikenal dengan julukan si 'Tanduk Maut'. Pada ha-

kekatnya ancaman itu bukanlah ancaman kosong, se-

bab dalam lingkungan gerombolan 'Sinar Kayangan' 

siapa pun orangnya pasti mengenal bagaimana kejinya 

watak si Tanduk Maut dalam menjatuhkan hukuman 

terhadap para bawahannya, terlebih-lebih pada orang 

lain. Kata-kata si 'Tanduk Maut' yang bernada men-

gancam ini membuat orang-orang tadi tak berani ber-

kutik.

Selanjutnya si Tanduk Maut memberi isyarat 

pada orang-orangnya yang berjumlah enam orang me-

nyebar. Di sisi jalan sebelah kiri yang dipimpin oleh 

seorang laki-laki lain berbadan tinggi ceking. Juga 

memberi perintah yang sama pada delapan orang laki-

laki lainnya. Orang-orang itu pun mulai bergerak me-

nyebar, menyibak setiap gerombolan semak-semak 

yang terdapat hampir di sepanjang jalan itu. Pemuda 

tampan yang tak lain merupakan Buang Sengketa 

adanya, dengan sikap acuh mulai mengeluarkan unek


uneknya:

"Tak percuma Sang Hyang Widi menjadikan 

dunia dari dua sisi dan dua rupa. Ada gelap ada ma-

lam, ada susah ada senang, ada laki-laki ada juga pe-

rempuan. Laki-laki ditakdirkan sebagai sosok yang 

perkasa, bertindak dengan perantaraan akal. Sedang-

kan wanita adalah sebaliknya berbuat menurut pera-

saan. Perasaan adalah kasih sayang. Sungguh pun se-

bagai kaum yang lemah, tapi dia mampu membuat 

dunia jadi porak poranda. Tapi celakalah apabila laki-

laki berbalik rupa sebagai manusia. Sebab dia bisa be-

rubah menjadi seperti tikus-tikus comberan yang ada 

di bawah sana." 

Ucapan Buang yang ditujukkan pada orang-

orang yang berada di bawahnya dan disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Sudah 

barang tentu membuat orang-orang yang berada di 

bawahnya menjadi kelabakan. Selain telinga mereka 

terasa sakit. Tapi sumber suara bergema akibat dipan-

tulkan oleh pohon-pohon besar di sekitarnya membuat 

mereka merasa sulit untuk melacak keberadaan Pen-

dekar Hina Kelana. Kemudian bagai dikomando seren-

tak mereka turun ke jalan dan berkumpul sembari 

memandang berkeliling meneliti sekitar tempat itu.

Sejauh itu mereka masih belum dapat melihat 

di mana sesungguhnya posisi pemuda yang sejak tadi 

mereka kuntit. Menyadari menghadapi mangsa yang 

mungkin saja memiliki kekuatan yang tangguh. Sejak 

awal-awal lagi mereka ini sudah bersiap-siap mengha-

dapi segala kemungkinan.

"Wah... wah... wah...! Dasar tikus-tikus bego, 

menguntit seekor macan pengelana saja bisa kehilan-

gan jajak. Apa gunanya majikanmu memberi makan 

setiap hari...?" disertai tawa mengekeh, pemuda di atas 

pohon ini, mencemooh. Ucapan Buang yang sedikit pelan membuat anggota gerombolan Sinar Kayangan da-

pat mengetahui di mana sesungguhnya posisi pemuda 

gembel yang mendadak saja sirna dari penglihatan me-

reka. Yang mula-mula mengetahui posisi Pendekar Hi-

na Kelana, adalah laki-laki yang bernama Tongos tadi. 

Demi menarik simpati si Tanduk Maut yang telah me-

marahinya tadi, maka begitu melihat dia langsung ber-

teriak

"Bang... lihat... cacing gembel itu lagi non-

gkrong di atas pohon...!" berkata begitu dia menunjuk 

pada sebuah pohon damar yang menjulang tinggi tak 

jauh di sebelah kanannya. Secara serentak keempat 

belas laki-laki berpakaian serba hitam itu memperha-

tikan ke arah tempat di mana pendekar itu berada. 

Yang menjadi beringas setelah melihat keberadaan si 

pemuda adalah laki-laki gemuk yang berjuluk si ‘Tan-

duk Maut’ dengan si laki-laki kurus kering yang memi-

liki julukan 'Cacing Kalung'. Sebagai orang yang sudah 

sangat berpengalaman banyak di rimba persilatan ser-

ta memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Baru kali 

inilah adalah sejarahnya mereka kena dikerjai. Yang 

membuat mereka cepat naik darah adalah justru orang 

yang telah berhasil memperdayainya sesungguhnya 

hanyalah seorang pemuda gembel yang mungkin juga 

hanya memiliki kepandaian beberapa tingkat di bawah 

mereka. Tak pelak lagi, begitu telah mengetahui posisi 

pemuda berpakaian merah itu, si Tanduk Maut pun 

langsung membentak dengan sorot mata mengancam.

"Monyet gembel manusia rendah yang di atas 

pohon. Cepat kau turun, jika tidak dengan sangat ter-

paksa aku akan robohkan pohon itu...!" perintah laki-

laki berewokan ini terlihat semakin bertambah geram 

saja.

"Ah... ha... ha...! Aku mau manjat, jalan atau 

berlari-lari, apa perdulimu? Toh aku merasa tak pernah mengganggu siapa pun di sini...!" sergah Buang 

Sengketa seenaknya. Bahkan setelah kata-katanya itu 

dia malah rebahkan tubuhnya di pohon damar yang 

berukuran sangat besar itu. Semakin bertambah men-

jadi-jadilah amarah si 'Tanduk Maut' begitu pun hal-

nya dengan si 'Cacing Kalung'.

"Kakang Tanduk Maut... agaknya dia tak men-

gerti bahwa Hutan Maliau dan Teruak berada di dalam 

kekuasaan Gerombolan Sinar Kayangan. Untuk apa 

basa basi, suruh saja gembel itu serahkan barang ba-

waannya. Setelah itu usir dia...!" kata si Cacing Ka-

lung. Melihat caranya memberi saran pada si gemuk 

hitam, tahulah si pemuda bahwa dalam hal kedudu-

kan kiranya si Cacing Kalung masih merupakan bawa-

han si Tanduk Maut. Tapi dalam pada itu, si laki-laki 

gemuk berewokan tampak geleng-gelengkan kepalanya 

ditujukan pada Buang Sengketa dia berteriak.

"Bangsat rendah, bukan saja kau harus menye-

rahkan periuk yang kau bawa. Tapi engkau juga harus 

meninggalkan kedua kaki dan tanganmu...!"

"Enak saja kau bicara, aku merasa tak pernah 

berbuat salah pada kalian. Kini secara tiba-tiba saja 

kau menghendaki barang-barang yang paling berharga 

dalam hidupku...?" tukasnya sembari menepuk-nepuk 

periuknya sehingga menimbulkan suara bising dan 

membuat kacau pendengaran mereka yang ada di ba-

wahnya.

"Sialan! Tak kusangka orang itu memiliki ber-

bagai kepandaian yang aneh. Agaknya dia bukanlah 

pemuda sembarangan seperti yang kuduga...!" memba-

tin si Tinggi ceking.

"Kunyuk di atas pohon... turun secara baik-

baik, atau aku harus memaksamu?" bentak si Tanduk 

Maut dengan disertai satu erangan jengkel.

"Hmm, biasanya aku memang lebih suka melakukan sesuatu menuruti keinginan sendiri, tapi kare-

na tingkah kalian tak ubahnya bagai garong-garong pi-

cisan. Maka aku jadi ingin melihat sejauh mana kehe-

batan kutu kupret yang telah begitu berani memberi 

perintah kepadaku itu...!" masih dengan tersenyum-

senyum Buang secara sengaja memanas-manasi ang-

gota gerombolan Sinar Kayangan.

"Bedebah! Hiaaaat.... Wuuuus...!"

"Bruaaaak...!" Tanpa banyak cincong si Tanduk 

Maut kirimkan satu pukulan jarak jauh dengan sasa-

ran pohon yang ada di depannya. Begitu pukulan ber-

hawa panas dan sangat dikenal dengan nama 'Pukulan 

Gajah Geledek' dilepas dengan mengandalkan setengah 

dari tenaga dalam yang dimilikinya. Maka tak ayal lagi 

menderulah selarik sinar berwarna jingga mengarah 

pada sasarannya. Detik selanjutnya saat mana puku-

lan itu menghantam sasarannya. Tak dapat dicegah la-

gi pohon damar yang berukuran sangat besar itu ber-

derak patah, menimbulkan suara berkerotakan. Lalu 

ambruk ke bumi.

"Hebat... hebat... kiranya si Tanduk goblok, bu-

kanlah nama kosong. Pohon roboh daun-daunnya 

layu. Ihh... pukulan beracun yang sangat keji, tapi ka-

rena aku pun tak punya persoalan dengan kalian. 

Baiknya sekarang aku minggat saja...!"

"Wees...!" Sekali berkelebat, maka tubuh Pen-

dekar Hina Kelana telah pula lenyap dari pandangan 

mereka. Dia memang tak perduli dengan teriakan-

teriakan para pengejarnya. Sebaliknya pemuda itu ma-

lah mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya 

'Ajian Sepi Angin'. Waktu selanjutnya tubuh pemuda 

itu melesat laksana terbang. Tinggallah para gerombo-

lan Sinar Kayangan yang terus berkutat mencari jejak 

Pendekar Hina Kelana.



EMPAT


Di sepanjang lembah di Bukit Kapur yang ma-

sih merupakan gugus Bukit Siluman, dilihat sepintas 

lalu merupakan sebuah daerah yang memberi kesan 

angker bagi mereka yang secara kebetulan hadir di sa-

na. Kenyataannya daerah itu memang tak pernah dija-

rah oleh siapa pun terkecuali sanak keluarga Leluhur 

padepokan Bukit Berkabung dan para kerabatnya. 

Dan itu pun hanya terjadi dalam waktu setahun sekali. 

Selama bertahun-tahun, bahkan sejak meninggalnya 

sesepuh padepokan Bukit Berkabung yaitu 'Eyang 

Buyut Resi Mamba', Bukit Siluman merupakan daerah 

yang sangat disucikan sekaligus merupakan daerah 

terlarang bagi mereka yang bukan merupakan keturu-

nan padepokan Bukit Berkabung.

Pagi itu menjelang matahari terbit dan semasih 

mengguratkan bayang-bayang merah. Udara di sekitar 

perbukitan dan lembah yang terdapat di lerengnya, 

tampak berselimut kabut. Embun pun masih menetes 

dari ujung-ujung ranting yang meranggas karena pen-

garuh kemarau yang sangat panjang. Menelusuri se-

panjang perbukitan yang menghubungkan pada bukit 

induk dan merupakan sebuah kubur bagi para leluhur 

padepokan Bukit Berkabung. Tak terlihat lalu lalang 

mahkluk hidup di sana, hanya bukit-bukit berbatu 

kapur berderet memanjang dan tak ubahnya bagai un-

taian salju putih abadi. Pemandangan seperti itulah 

yang terlihat, sejauh-jauh mata memandang. Namun 

saat itu apabila deretan bukit kapur itu terus ditelusu-

ri hingga sampai pada sebuah bukit yang paling tinggi 

dan berukuran sebesar anak gunung, maka akan terli-

hatlah sebuah pintu gua yang senantiasa terkunci. 

Dan dekat pintu yang terkunci itu seorang pemuda


dengan pakaian biru terang nampak bersimpuh di de-

pannya.

Wajah pemuda itu tampak sedikit pucat, pa-

kaian kotor karena debu-debu kapur. Sementara sorot 

matanya membayangkan rasa letih dan keputusasaan. 

Di tangan pemuda itu tampak pula tergenggam sebilah 

pedang pendek namun tajam di kedua sisinya. Tapi se-

jak tercabut dari sarungnya dua hari lalu, pedang di 

tangan pemuda berbadan pendek itu sudah hilang ke-

tajamannya. Bahkan tampak rompal di sana sini, pa-

dahal pedang itu sebenarnya merupakan pedang mus-

tika yang terbuat dari baja pilihan. Maka apabila pe-

muda itu kembali memandangi kedua sisi mata pe-

dangnya yang sudah tak karuan ujudnya dia pun 

menggerutu kesal.

"Gembok pintu batu ini entah terbuat dari apa, 

sungguh sangat keterlaluan kalau pedangku yang se-

lama ini mampu menggempur batu kali, namun tak 

mampu memutus sebuah gembok yang hanya sebesar 

tinju bocah bayi. Dua hari dua malam aku telah men-

guras tenaga. Badan letih pedang berantakan, tapi 

gembok terkutuk ini tidak juga bergeming dari posi-

sinya. Apa dayaku kini, Eyang Girinda telah mengusir-

ku, sedangkan Kakak Dewi Ratna Juwita tidak pernah 

kutemukan. Oh... padahal seperti apa yang dia rasa-

kan, aku pun selalu memendam rindu padanya. Aku 

tak perduli dia saudara tiriku. Aku tak tahu Sang 

Hyang Widi memberi ijin atau tidak, yang penting aku

harus mengawini dia...!" batinnya tanpa mempertim-

bangkan apakah rencananya mengawini kakak tirinya 

itu dilaknat oleh Sang Hyang Pencipta atau tidak.

Sementara itu tidak jauh dari tempat si pemuda 

merebahkan diri dalam usahanya untuk mengusir rasa 

lelah. Tampak sesosok bayangan sedang berlari-lari 

cepat menuju ke arahnya. Dari gerakannya yang sangat sebat dan ringan, tak dapat disangkal kalau sosok 

tubuh yang semakin bertambah jelas itu memiliki ke-

pandaian dan ilmu lari cepat yang mengagumkan. Se-

saat kemudian setelah semakin mendekat ternyata si 

pemilik ilmu lari cepat itu tak lain adalah seorang ga-

dis yang memiliki wajah rupawan. Tubuhnya tinggi 

semampai, dengan rambut panjang dibiarkan tergerai 

dia mengenakan pakaian hijau lumut. Dan apabila me-

lihat pedang tipis menggelantung di pinggangnya, me-

mang tak dapat di sangkal kalau dia merupakan seo-

rang gadis persilatan yang memiliki kepandaian cukup 

tinggi.

Setelah berlompatan di atas batu-batu kapur 

sejenak lamanya dia menghentikan langkah, sepasang 

matanya yang merembab basah, bekerjab-kerjab me-

mandang pada suasana sekelilingnya. Sama sekali si 

gadis tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Lalu 

dia pun kembali berlari-lari ke arah bukit yang memili-

ki sebuah pintu di depannya. Dan gadis itu pun ham-

pir terlonjak begitu melihat pemuda yang sangat dike-

nalnya telah berada di mulut gua berpintu batu pua-

lam tersebut.

"Adik Bagas Salaya...!" serunya setengah me-

mekik kegirangan. Pemuda yang dalam keadaan ter-

lentang itu mendadak telengkan kepalanya. Seraya me-

lonjak bangun dari tempatnya.

"Kak Dewi...!" ucap si pemuda yang ternyata 

Bagas Salaya, adik tiri dan sekaligus kekasihnya. Ke-

dua insan berlainan jenis ini saling menghambur dan 

saling berpelukan erat satu sama lain.

"Kak Dewi... aku merindukanmu, Kak...!" desah 

Bagas Salaya di sela-sela pagutan mesra. "Aku pun se-

lalu memikirkanmu, Dik... tapi... mengapa kau sampai 

berada di Bukit Siluman ini...?" tanya Dewi Ratna Ju-

wita sesaat setelah melepaskan pelukannya. Sejenak


Bagas Salaya menatap tajam pada saudara tirinya 

yang memiliki wajah rupawan itu. Kemudian dia me-

langkah, lalu duduk di atas sebongkah batu. Dewi 

Ratna Juwita mengikut di sebelahnya.

"Aku telah diusir oleh Eyang Girinda...!" ucap-

nya sendu.

Dewi Ratna Juwita menggeser punggungnya 

hingga kian merapat pada posisi pemuda yang sangat 

dicintainya itu.

"Telah diusir oleh Eyang? Apa salahmu...?" seli-

dik Dewi Ratna Juwita tersentak kaget.

"Karena sejak engkau pergi aku selalu memi-

kirkanmu, dan eyang nampaknya benar-benar mengu-

tuki hubungan cinta kita...!" selak Bagas Salaya, mera-

sa sedih hatinya. Namun Dewi Ratna Juwita tidak 

menginginkan saudara yang sangat di cintainya berse-

dih hati. Cepat-cepat dia merengkuh tubuh pemuda itu 

ke dalam pelukannya. Dua insan tersesat itu pun 

kembali terlibat ciuman.

"Kita harus membuktikan pada dunia bahwa 

tanpa bantuan siapa pun kita mampu berdiri sendiri. 

Ya... kita akan menjadi Sepasang Walet Merah yang 

sangat tangguh!" bisik si gadis dengan napas terengah-

engah karena dilanda gelora nafsu. Dengan halus Ba-

gas Salaya mendorongkan tubuh Dewi Ratna Juwita, 

dia masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan 

oleh gadis pujaannya itu. Maka dengan cepat dia pun 

bertanya:

"Apa maksudmu Kak Dewi?" tanpa menjawab 

Dewi Ratna Juwita mengambil sesuatu dari balik ju-

bahnya. Kemudian si gadis memperlihatkan sebuah 

benda yang ternyata sebuah kunci yang terbuat dari 

perak.

"Kunci perak ini! Dengan kunci di tanganku, 

aku berharap dapat membuka pintu batu yang terletak


di depan itu. Aku punya bukti bahwa di dalam goa 

tempat penyimpanan mayat para leluhur kita terdapat 

sebuah Batu Walet Merah yang menurut sejarahnya 

menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat...!"

"Eh... kalau begitu kita memiliki tujuan yang 

sama... kakak tahu selama dua hari dua malam aku 

telah berusaha untuk membuka gembok pintu itu na-

mun tak pernah membawa hasil. Lihatlah pedangku 

itu, rompal di sana sini...!" desah Bagas Salaya, seraya 

menunjuk ke arah pedang miliknya yang menggeletak 

di bawah pintu dinding batu.

"Dengan pedang itu kau berusaha membuka 

gembok tersebut...?" tanya si gadis setelah memperha-

tikan pedang milik kekasihnya sejenak lamanya.

"Hi... hi... hi...! Kau ini selain nakal dan konyol 

kiranya juga manusia yang bego. Mana mungkin pe-

dangmu mampu membentur gembok kecil mungil itu, 

karena gembok itu yang membuatnya Eyang Resi 

Mamba sendiri, paling tidak dia telah menyalurkan 

hawa sakti ke dalamnya. Tapi dengan kunci yang ku

curi dari tangan Eyang Girinda, mudah-mudahan kita 

bisa mendapatkan Batu Walet Merah...!" 

Terbelalak mata Bagas Salaya demi mendengar 

pengakuan kekasihnya, sama sekali dia tiada me-

nyangka pada saat Eyang Girinda meributkan tentang 

hilangnya kunci perak pembuka Gua Siluman, gadis 

pujaannya itulah yang telah mencurinya. Mengagum-

kan! Pujinya.

"Kau benar-benar seorang pencuri yang lihai, 

Kak Dewi! Tapi...!" tiba-tiba Bagas Salaya menjadi ra-

gu-ragu. Keraguan si pemuda untuk mengatakan se-

suatu, ini membuat Dewi Ratna Juwita jadi penasaran.

"Adik Bagas, kau berkata apa! Katakan saja, 

aku tak mau di antara kita masih ada saling menyim-

pan rahasia...!" tukasnya dengan wajah berseru merah.


Bagas Salaya tampak menarik napas panjang, baginya 

kalau pun memang benar di dalam gua yang tempat 

penyimpanan mayat para leluhur mereka tersimpan 

pula Batu Permata Walet Merah salah sebuah di anta-

ra yang sepasang itu. Berarti berita tentang Batu Walet 

Merah yang terdapat di Sungai Banyu Urip benar 

adanya. Tanpa mendapatkan kedua-duanya, itu masih 

berarti bahwa mereka pada satu saat kelak akan men-

dapat satu rintangan yang sangat besar untuk dapat 

mengembalikan jaman keemasan padepokan Bukit 

Berkabung sebagaimana saat Eyang Buyut Resi Mam-

ba menjadi pimpinan dulu. Pada hakekatnya sungguh 

pun Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya memiliki tu-

juan yang sama seperti apa yang dicita-citakan oleh 

adik bungsunya, yaitu Dewi Ratih. Namun hasrat yang 

terkandung dalam jiwa Dewi Ratna Juwita adalah juga 

mencakup sekaligus merangkul kaum persilatan go-

longan hitam.

"Cepat katakan Adik Bagas...!" ucapan si gadis 

yang mendadak saja berubah ketus ini membuat Ba-

gas Salaya tersentak dari lamunannya. Maka tanpa 

merasa sungkan-sungkan lagi dia pun berkata; "Kakak 

Dewi! Aku menjadi bimbang dengan apa yang akan ki-

ta lakukan. Sebab seperti kita ketahui Batu Walet Me-

rah itu pada hakekatnya ada sepasang. Kalaulah me-

mang benar di sini ada salah satu di antaranya, maka 

seperti yang pernah dikatakan oleh Eyang Girinda du-

lu, Eyang Buyut Resi Mamba telah membuang yang sa-

tunya lagi di Sungai Banyu Urip. Kita bisa mengalami 

kesulitan yang sangat besar andai nanti Eyang Girinda 

mengutus Adik Dewi Ratih untuk mendapatkan batu 

yang terbuang itu, bukankah ini merupakan hambatan 

yang sangat berarti bagi kita...?" ujar Bagas Salaya, 

sebagai tanggapannya sebaliknya Dewi Ratna Juwita 

malah tersenyum-senyum penuh arti.


LIMA


Kita tinggalkan dulu Dewi Ratna Juwita dan 

Bagas Salaya yang sedang mempersoalkan Batu Walet 

Merah dan rencana mereka untuk memasuki gua Bu-

kit Siluman yang terkunci. Pada saat yang sama di pa-

depokan Bukit Berkabung, Eyang Girinda sedang ke-

datangan dua orang utusan yang masih belum dike-

nalnya. Demikianlah setelah menerima laporan dari 

salah seorang muridnya yang bernama Bayu Puput, 

maka Eyang Girinda memberi perintah pada muridnya 

untuk menyuruh tamunya menghadap padanya. Bayu 

Puput keluar sebentar, kemudian memperkenankan 

dua orang tamu berkerudung yang masih tetap berdiri 

di halaman padepokan, untuk menemui sesepuh pa-

depokan Bukit Berkabung yang sudah menanti mereka 

di ruangan depan. Beberapa saat setelah mereka saling 

berhadap-hadapan, maka Eyang Girinda mulai me-

nyapa tamunya dengan ramah, walau hati dan pera-

saannya sesungguhnya menaruh perasaan curiga ter-

hadap diri dua orang berkerudung yang mengaku se-

bagai utusan itu.

"Ah... sudah hampir sepuluh tahun padepokan 

Bukit Berkabung tak pernah menerima tamu terlebih-

lebih utusan. Namun hari ini anda berdua telah datang 

ke mari, ada gerangan apakah dan siapa pula yang te-

lah mengutus anda...?" tanya Eyang Girinda langsung 

menuju pada titik persoalan. Salah seorang yang men-

gaku sebagai utusan itu menjura beberapa kali, kemu-

dian setelah menoleh pada kawannya yang selalu ber-

sikap acuh. Dia pun buka suara

"Hik... hik... hik...! Masak kau tak bisa menge-

nali siapa adanya kami ini, Girinda...!" setengah meng-

geram si orang berkerudung itu, hingga membuat


Eyang Girinda tersentak dari tempat duduknya yang 

hanya terbuat dari anyaman rotan. Dari nada tawanya, 

Eyang Girinda dapat mengenal suara orang yang men-

genakan kerudung merah ini. Laki-laki tua itu kemu-

dian berusaha mengingat-ingat siapa sesungguhnya 

pemilik suara yang rasa-rasanya pernah dia kenal. Ku-

rang lebih lima belas tahun yang lalu! Tiba-tiba saja 

Eyang Girinda melompat ke depan begitu mengenali 

siapa adanya dua orang yang mengaku sebagai utusan 

ini.

"Ka... kau... Nyai Plasik yang pernah mengo-

brak-abrik padepokan ini, kemudian lari terbirit-birit 

setelah ayahku Resi Mamba menghadapimu dengan 

cincin Permata Walet Merah...!" Dalam keterkejutannya 

itu, Eyang Girinda masih sempat mengingat sebuah 

kenangan lama yang bagi si orang berkerudung merah 

merupakan kata-kata yang sangat menyakitkan.

"Girinda manusia pengecut! Setelah Resi Mam-

ba bapak moyangmu mampus, dan tanpa Batu Walet 

Merah yang menghebohkan itu, mampu berbuat apa-

kah kau terhadap Nyai Plasik dedengkot dari kuburan 

iblis..,?" maki si kerudung merah yang ternyata me-

mang Nyai Plasik adanya.

"Ah... apakah bangsat berkerudung yang ada di 

sampingmu itu si Gajah Mungkur bekas suamimu...?" 

sela Eyang Girinda tanpa menghiraukan ucapan Nyai 

Plasik. Selanjutnya setelah meneliti orang yang duduk 

di samping perempuan muka setan itu Eyang Girinda 

melanjutkan. "He... he... he...! Bukan... dia bukan Ga-

jah Mungkur. Gajah Mungkur tidak kurus cacingan 

seperti dia. Manusia iblis itu gemuk macam gentong, 

sedangkan dia... hoa... ha... ha...! Mungkin juga gen-

dakmu yang baru...!" ejek Eyang Girinda sembari me-

nyeringai lebar. Geram bukan main orang yang berada

di samping Nyai Plasik, kejengkelannya yang sejak tadi


ditahan-tahannya sekarang dilampiaskannya lewat sa-

tu pukulan beracun yang sudah barang tentu tidak as-

ing lagi bagi Eyang Girinda. Maka begitu tangannya 

yang kuning pucat dan hanya sebesar tangan bayi 

yang baru berumur dua bulan itu menjulur, serang-

kum gelombang yang menimbulkan hawa dingin luar 

biasa langsung menyambar pada sasarannya. Masih 

untung Eyang Girinda yang sudah banyak mengenal 

tipu-tipu kaum persilatan golongan sesat ini dengan 

cepat dapat membaca gelagat lawan yang bermaksud 

untuk mencelakakannya. Lalu kesempatan yang hanya 

sesaat itu dipergunakan oleh Eyang Girinda untuk 

membuang tubuhnya di samping kiri.

"Braaak...!" luput dari sasarannya, pukulan 

maut yang dikenal sebagai Badai Kematian, terus me-

luncur dan langsung melabrak tiang penyangga ruan-

gan pendopo. Bagian bawah tiang itu hancur berkep-

ing-keping dilanda pukulan yang telah dilepaskan oleh 

lawannya.

Suara keras yang ditimbulkan oleh pukulan itu 

sudah barang tentu membuat murid-murid padepokan 

Bukit Berkabung menjadi terkejut sekali, begitu mere-

ka memandang ke bagian dalam dan melihat gurunya 

sedang menghadapi keroyokan dua orang yang menga-

ku sebagai utusan tadi. Maka detik kemudian dengan 

pedang terhunus mereka langsung menyerbu ke ba-

gian ruangan dalam.

"Mundur kalian semua...!" teriak Eyang Girin-

da. Dalam keadaan bertarung seperti itu, Eyang Girin-

da masih sempat berseru memberi peringatan pada 

murid-muridnya. Belasan murid-murid padepokan 

Bukit Berkabung, tampaknya tiada berani membantah 

perintah gurunya. Mereka mundur namun tetap mem-

buat satu lingkaran untuk menjaga setiap kemungki-

nan yang tiada dikehendaki.



"Bangsat, Girinda! Mengapa tidak kau biarkan 

saja murid-muridmu berhadapan dengan aku dan mu-

ridku...!" hardik Nyai Plasik berusaha menutupi keke-

cewaannya.

"Hhh. Terhadap manusia setan seperti kalian, 

kukira tubuh rongsokanku ini sudah cukup untuk 

membantai tubuh rusak seperti kalian...!" bentak 

Eyang Girinda.

Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama lagi, 

tubuh Eyang Girinda tampak melesat melalui pintu 

jendela samping. Dua perempuan berkerudung merah 

itu pun memburunya.

"Jliigk...!" Tiga kali berturut-turut suara menje-

jakkan kaki di atas permukaan tanah terdengar, dan 

murid-murid padepokan Bukit Berkabung mengiku-

tinya dari pintu depan. Selagi dua orang berkerudung 

itu sedang saling bersitatap dengan musuh bebuyu-

tannya, maka belasan murid padepokan telah mengu-

rung mereka kembali.

"Hik... masihkah kau berharap adanya dewa 

penolong yang dapat menunda kematianmu, Girinda!" 

ejek Nyai Plasik dengan sesungging senyum menye-

ramkan. Namun sejauh itu Eyang Girinda yang berba-

dan tinggi semampai ini masih kelihatan tenang-

tenang saja.

"Kematian bagiku bukanlah sebuah persoalan 

yang memusingkan dan tak perlu ditakuti, besok atau 

lusa sama saja!"

"Sombong! Kau kira kau bisa menang dalam 

menghadapi kami?" gertak Nyai Plasik semakin mendi-

dih darah tuanya. Sebaliknya manusia berkerudung 

merah yang ada disampingnya hanya diam saja. Dan 

dari caranya melontarkan pukulan tadi Eyang Girinda 

pun sudah dapat mengetahui bahwa ternyata murid 

Nyai Plasik jenis manusia yang tiada dapat berkata



kata.

"Jangan banyak ngebacot, cabut senjatamu 

atau kau akan menyesal untuk selama-lamanya...." te-

riak Eyang Girinda. Selanjutnya mengawali serangan 

pertama, laki-laki berambut kecoklatan itu mengge-

brak Nyai Plasik dengan jurus tangan kosong ‘Menyisir 

Bidadari Menggapai Bulan’ Maka dalam waktu sekedip 

mata saja tubuh Eyang Girinda telah pula berkelebat 

lenyap.

Dari gerakannya yang sangat sebat itu menim-

bulkan angin kencang bersiuran. Baik tendangan kaki 

maupun jotosan-jotosan yang telah teraliri tenaga da-

lam selalu menimbulkan angin pukulan yang sangat 

hebat. Tak dapat di sangkal lagi, jubah merah yang 

menutupi segenap wajah dan tubuh Nyai Plasik nam-

pak berkibar-kibar, sehingga memperlihatkan sebagian 

wajahnya yang rusak mengerikan. Sebaliknya Nyai 

Plasik pun tidak tinggal diam, dengan mengandalkan 

ilmu mengentengi tubuh dan kecepatan gerak yang 

sama hebatnya. Menjelang pertarungan berlangsung 

lima belas jurus dia masih mampu menghindari setiap 

sergapan maupun pukulan tangan dan tendangan kaki 

yang datangnya bertubi-tubi itu.

Di lain pihak, murid Nyai Plasik yang bernama 

Puteri Gagu tampak merasa yakin kalau gurunya pasti 

mampu mengatasi lawannya. Maka selanjutnya tanpa 

membuang-buang waktu lagi dia pun berbalik dan 

menyerang barisan murid-murid padepokan Bukit 

Berkabung yang memang sudah bersiap siaga dengan 

segala kemungkinan. Dalam waktu sekejap berkobar-

lah pertempuran yang menentukan hidup atau ma-

tinya pribadi masing-masing. Ternyata murid-murid 

padepokan Bukit Berkabung yang jumlahnya tak lebih 

dari dua puluh orang itu merupakan murid-murid 

yang berkepandaian tinggi. Dengan senjata pedang


yang mempunyai ketajaman di kedua sisinya mereka 

terus merangsak dan mencecar Puteri Gagu dengan ju-

rus pedang 'Dewa Gemblung Menabuh Gendang', ka-

ruan saja walau murid tunggal Nyai Plasik itu memiliki 

kepandaian tinggi, tapi menghadap dua puluh orang 

lawan yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tiga 

tingkat di bawahnya, sudah barang tentu lama kela-

maan menjadi terdesak juga.

Yang paling kesal melihat kenyataan ini adalah 

Nyai Plasik. Sebab semula dia hanya menduga bahwa 

murid-murid padepokan Bukit Berkabung tak mung-

kin memiliki kepandaian yang cukup berarti. Sehingga 

dia memperhitungkan dengan hanya dihadapi murid 

tunggalnya yang juga memiliki kepandaian yang telah 

diturunkannya maka orang-orang itu dengan mudah 

dapat dikalahkan oleh muridnya. Semua memang di 

luar perhitungannya, tapi dia pun melihat sampai se-

jauh itu Puteri masih belum mempergunakan pukulan 

'Mayat Iblis'. Itu makanya dia tak perlu mengkhawatir-

kan keselamatan muridnya.

Sementara itu, Nyai Plasik dan Eyang Girinda 

yang sedang terlibat pertempuran tampak mulai saling 

melancarkan jurus-jurus mautnya. Kedua musuh be-

buyutan ini saling terjang mengandalkan ilmu merin-

gankan tubuh, dan juga kemampuan menghindar yang 

sangat luar biasa cepatnya.

"Caaat... Hiaaaa...!" satu bentakan keras men-

gawali jurus tangan kosong 'Siluman Tanpa Nama'. 

Tangan kanan Eyang Girinda terpentang kokoh mem-

bentuk cakar, sedangkan tangan kirinya menyilang di 

depan dada.

Sebelah kaki kanannya juga terangkat setinggi 

lutut. Nyai Plasik kiranya juga menyadari bahwa jurus 

silat tangan kosong yang di gelar oleh Girinda merupa-

kan sebuah jurus yang sangat berbahaya. Tak ayal lagi


perempuan renta muka rusak itu pun segera pula 

mengimbanginya dengan jurus 'Iblis Mencabut Mae-

san', maka bertarunglah kedua dedengkot rimba persi-

latan itu dengan hebatnya.

"Heiiik...!" Dengan posisi badan setengah berpu-

tar, Eyang Girinda pukulkan tangan kanannya yang 

membentuk cakar, sementara kaki tangannya menen-

dang ke arah bagian perut lawannya. Nyai Plasik nam-

paknya juga tak mau bertindak tanggung-tanggung, 

dengan mengandalkan tiga perempat tenaga dalam 

yang disalurkan melalui tangannya, maka dia pun ber-

gegas menampik.

"Craak! Dees...!"

"Wuaaah...!" Tubuh Nyai Plasik terbanting ro-

boh, satu cakaran memang berhasil dia elakkan, na-

mun tendangan kaki kanan Eyang Girinda yang begitu 

telak masuk di luar perhitungannya. Sambil memegan-

gi perutnya yang terasa mual bagai di aduk-aduk, Nyai 

Plasik cepat bangkit kembali. Namun begitu dia siap 

dalam posisi yang goyah, mendadak darah meleleh 

membasahi pinggiran bibirnya. Perempuan renta ber-

wajah rusak ini cepat-cepat seka darah yang mengalir 

itu sembari mengeluarkan satu erangan marah. Se-

mentara itu di pihak Eyang Girinda sebenarnya bukan 

tak mengalami satu akibat apapun. Dari beradunya 

kedua tangan tadi dia merasakan tangannya terasa 

ngilu, dan mulai berdenyut-denyut sakit. Bahkan da-

danya pun terasa sesak luar biasa. Apapun akibat 

yang dialami oleh kakek renta itu, namun tak separah 

apa yang diderita oleh Nyai Plasik yang menjadi lawan 

besarnya.

"Girinda manusia kropos!" bentaknya secara ti-

ba-tiba. "Kalau hari ini aku tak sanggup mencabut 

nyawa anjingmu, biarlah aku berhenti saja sebagai 

manusia...!" Eyang Girinda keluarkan tawa bergelak,


sama sekali dia tak merasa gentar sedikit pun meng-

hadapi si buruk rupa dari Kuburan Iblis itu. Maka 

dengan sikap menantang dia berucap; 

"Siapa bilang kau manusia, sejak kau dilahir-

kan semua kalangan persilatan tau kalau kau sesung-

guhnya merupakan nenek moyangnya para iblis! Maju-

lah aku tak pernah gentar menghadapimu...!" Menden-

gar kata-kata yang bernada mengancam ini, sedikitpun 

Nyai Plasik tiada bergeming. Kedua bola matanya yang 

kecoklat-coklatan itu kini telah berubah memerah 

pandangan matanya mencorong lurus terasa meng-

hunjam ulu hati lawannya. Sementara kedua tangan-

nya yang menyilang kedepan dada sudah mulai nam-

pak berubah kehitam-hitaman. Kabut tebal yang ber-

warna hitam pula mulai mengepul meninggalkan 

ujung-ujung jemarinya. Menggeletar tubuh perempuan 

reot itu bagai terserang demam malaria. Bagai diserta-

kan kekuatan yang tiada terlihat, tubuh Eyang Girinda 

melompat mundur empat langkah. Dia masih ingat ke-

tika dulu ayahnya, Resi Mamba hanya mampu menga-

tasi pukulan 'Jemari Iblis' ini dengan mempergunakan 

Batu Walet Merah. Sedangkan kini dia tiada memiliki 

batu tersebut. Mempergunakan kitab kelima pukulan 

'Dewa Berkabung' hanya itulah yang dapat diha-

rapkannya. Selanjutnya mendahului bergeraknya tu-

buh Nyai Plasik dengan pukulan andalannya 'Jari Ib-

lis', maka detik selanjutnya sembari berusaha meng-

hindar, Eyang Girinda lepaskan pukulan 'Dewa Berka-

bung' yang sangat diandalkannya.

***


ENAM


Merasa didahului oleh lawannya, Nyai Plasik 

sembari keluarkan suara menggembor cepat pula le-

paskan pukulan beracun 'Jari Iblis'.

"Weees! Wees...!" Dua pukulan sakti saling ber-

gerak menyongsong. Tak pelak pukulan 'Jari Iblis' yang 

dilancarkan oleh Nyai Plasik dan pukulan 'Dewa Ber-

kabung' yang dilepas oleh Eyang Girinda. Kedua puku-

lan sakti itu saling menimbulkan gelombang angin 

yang sangat kencang. Bahkan murid-murid Eyang Gi-

rinda yang tampak mulai terdesak menghadapi seran-

gan Puteri Gagu beberapa orang diantaranya sampai 

terseret-seret dihentak sapuan angin yang menyebar-

kan bau busuk menusuk hidung.

"Blaar! Blaar!" Beradunya dua pukulan sakti itu 

menimbulkan getaran yang sangat hebat. Beberapa 

murid padepokan Bukit Berkabung terpelanting roboh 

dengan jiwa melayang. Sebaliknya gurunya sendiri, 

Eyang Girinda terjengkang tujuh tombak. Tapi kakek 

renta ini meskipun harus bersusah payah merangkak, 

tampak berusaha bangkit kembali. Dia sudah tiada 

memperdulikan keselamatan dirinya, walau darah ken-

tal berwarna kehitam-hitaman terus menggelogok tan-

pa henti. Sebaliknya di pihak Nyai Plasik sendiri, 

sungguh pun hanya terpelanting tiga tombak, namun 

dari bibirnya mengucur darah segar. Melihat keadaan 

mereka berdua, nyatalah yang paling banyak menang-

gung akibatnya adalah sesepuh padepokan Bukit Ber-

kabung. Dia sendiri dapat merasakan racun akibat 

pukulan mulai menjalar ke mana-mana.

Sebenarnya kejadian itu bukannya luput dari 

perhatian murid-murid Eyang Girinda, namun mereka 

juga tidak dapat berbuat banyak untuk memberi perto


longan pada gurunya. Sebab mereka sendiri kini tam-

pak tengah berjuang mati-matian menghadapi gempu-

ran serangan Puteri Gagu yang mengandalkan puku-

lan tak kalah hebatnya dengan pukulan yang meng-

hantam tubuh Eyang Girinda. Satu demi satu murid-

murid padepokan Bukit Berkabung mulai berguguran. 

Puteri Gagu yang sudah kalap itu sudah tidak mem-

perhitungkan lagi berapa banyak korban yang gugur di 

tangannya. Malah kini dia semakin gencar menghujani 

lawan-lawannya dengan pukulan yang sangat memati-

kan.

Di pihak Nyai Plasik, tampaknya pun sudah tak 

sabaran lagi untuk mengakhiri pertarungannya dengan 

Eyang Girinda. Sudah dua kali laki-laki berambut cok-

lat itu dihajar pukulan beracun 'Jari Iblis', keadaannya 

sudah sangat payah sekali. Agaknya pukulan berikut 

yang sudah siap dilancarkan oleh Nyai Plasik segera 

mengakhiri hidupnya andai saja dalam keadaan yang 

sangat kritis itu tidak muncul sosok bayangan merah 

yang datang begitu cepat menyambar tubuh Eyang Gi-

rinda yang sedang mengalami luka dalam sangat pa-

rah.

"Blaaaam...!" Pukulan yang dilancarkan oleh 

Nyai Plasik hanya mengenai tempat yang kosong. Debu 

mengepul ke udara sebagai akibat yang ditimbulkan 

oleh pukulan itu. Sementara bayangan merah tadi se-

telah meletakkan tubuh Eyang Girinda di tempat yang 

aman kembali berkelebat menghampiri Nyai Plasik 

yang sedang terbengong-bengong.

"Jliigk...!" Dengan mulus si bayangan merah, 

rambut berkuncir dengan periuk yang selalu menyer-

tainya kemana pergi menjejakkan kakinya di atas se-

bongkah batu berukuran besar. Kehadiran pemuda 

yang tidak dikenal oleh perempuan muka rusak ini 

langsung dia sambut dengan caci maki. Sebaliknya


yang mendapat makian malah tertawa mengekeh.

"Ah... sebuah pertarungan yang sangat tidak bi-

jaksana! Sudah tau musuh tiada berdaya, tapi kau 

malah bermaksud menghabisinya...!" tegurnya masih 

dengan tersenyum-senyum. Nyai Plasik yang sudah 

kehilangan kesempatan untuk membunuh musuh be-

buyutannya menjadi sangat marah sekali. Sementara 

itu pertarungan antara Puteri Gagu sudah tampak mu-

lai terhenti. Murid-murid padepokan Bukit Berkabung 

hanya bersisa tak lebih lima orang saja. Sebaliknya Pu-

teri Gagu sendiri kini telah bergabung dengan gurunya 

untuk melakukan keroyokan pada pemuda penyan-

dang priuk yang sangat menyebalkan itu.

"Bocah, siapakah kau ini? Begitu berani men-

campuri urusan dedengkot Kuburan Iblis...!" memben-

tak Nyai Plasik setelah memandang tajam pada si pe-

muda beberapa saat lamanya.

"He... he... he...! Aku cuma pengelana kok. Na-

maku kukira tak penting bagimu pula iblis jelek seper-

timu tak perlu tahu lebih banyak siapa aku ini!" jawab 

Buang Sengketa mencemooh. Maka habislah sudah 

kesabaran yang dimiliki oleh Nyai Plasik. Kemudian 

tanpa berkata-kata lagi Nyai Plasik dan muridnya 

langsung menyerang pemuda keturunan Raja Ular Pi-

ton Utara ini dengan pukulan-pukulan beracun yang 

sangat ganas. Kini pemuda itulah yang menjadi pelam-

piasan kemarahan Nyai Plasik. Buang sadar betapa 

tiada guna mempergunakan Jurus Kesabaran 'Koreng 

Seribu' apalagi dia sendiri sempat melihat betapa te-

lengasnya manusia muka rusak itu. Di sisi lainnya, 

sungguh pun dia menyadari tubuhnya kebal terhadap 

berbagai jenis racun. Namun dia tidak akan membiar-

kan begitu saja dirinya menjadi sasaran pukulan-

pukulan dahsyat yang mulai dilancarkan oleh kedua 

lawannya. Itulah sebabnya ketika Puteri Gagu mulai


melepaskan pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan Nyai 

Plasik juga mempersiapkan pukulan 'Jari Iblis' maka si 

pemuda dengan mengerahkan tiga perempat tenaga 

dalamnya segera pula melepaskan pukulan 'Empat 

Anasir Kehidupan' yang sudah tidak asing lagi. Tak 

ayal selarik gelombang angin pukulan yang meman-

carkan sinar Ultra Violet dan menimbulkan hawa pa-

nas luar biasa melesat sedemikian cepatnya menyong-

song pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan pukulan 

'Jari Iblis' dua pukulan yang menimbulkan hawa din-

gin dan menebarkan bau racun bertemu dengan se-

buah pukulan yang menyebarkan udara panas.

"Blaaar...!" Dua letupan keras yang menimbul-

kan getaran yang sangat hebat terdengar. Tubuh pen-

dekar dari Negeri Bunian itu terpelanting roboh. Dari 

hidung dan bibirnya mengalir darah kental, dia mera-

sakan tulang belulangnya bagai remuk. Sementara ke-

palanya berdenyut-denyut sakit. Baik Nyai Plasik 

maupun Puteri Gagu yang hanya tergetar saja tubuh-

nya akibat benturan tenaga sakti tadi, kini telah siap 

kembali dengan pukulan susulan.

"Hiaaaat Caaaaait...!"

"Wuss.... Weeer...!" Menghadapi dua ancaman 

maut sekaligus, Buang sudah bermaksud berkelit 

menghindar namun dia sendiri akhirnya terperangah 

ketika menyadari tubuhnya terasa sangat sulit untuk 

digerakkan. Tiada pilihan lain, sungguh pun dia me-

nyadari dirinya sedang menderita luka dalam yang ti-

dak ringan, namun akhirnya dengan nekad si pemuda 

mengadu jiwa dengan lawannya.

"Hhhh...!" Sedikit saja dia mengerahkan tenaga 

dalamnya, maka kedua tangannya terangkat ke atas 

dan menyilang di atas kepala. Melihat tingkah si pe-

muda seperti orang yang sedang memasrahkan nasib, 

kejab kemudian sebenarnya Nyai Plasik hampir saja



melonjak kegirangan. Tapi rasa senang itu akhirnya 

harus dia bayar dengan rasa kecut yang luar biasa. 

Bagaimana tidak, begitu pula yang dia lepaskan dan 

pukulan yang dilepaskan oleh muridnya menghantam 

lawannya. Dia dapat merasakan pukulan yang mereka 

lepaskan rasa-rasanya seperti menghantam bayang-

bayang, kini bahkan mereka mulai merasakan seperti 

dua kekuatan raksasa yang membetot tubuh mereka 

menuju ke arah Buang Sengketa. Bahkan Nyai Plasik 

mulai merasakan ada sesuatu yang mengalir deras le-

wat tangannya. Masih dalam keheranan Nyai Plasik 

maupun Puteri Gagu muridnya terus berusaha menge-

rahkan tenaga dalamnya untuk memunahkan penga-

ruh daya tarik yang sangat kuat itu. Tapi mereka nam-

paknya mulai menyadari semakin kuat mereka menge-

rahkan tenaga dalamnya maka semakin deras pula te-

naganya yang tersedot keluar.

Memang tidak dapat di sangkal, justru semua 

itu terjadi karena Buang yang tadinya dalam keadaan 

kepepet itu sudah tak punya pilihan lain terkecuali 

membuka jurus Koreng Seribu yang mempunyai sifat 

membetot tenaga sakti lawannya. Namun lama kela-

maan Nyai Plasik yang sudah banyak pengalaman da-

lam dunia persilatan itu menyadari apa sesungguhnya 

yang sedang terjadi. Dia pun akhirnya mengeluarkan 

seruan kaget; "Ilmu setan...!" desisnya. Apabila dia me-

lirik ke arah muridnya yang sudah mulai menggigil dan 

pucat wajahnya. Maka dia pun berteriak: "Puteri! Tarik 

balik tenaga dalammu...!" perintahnya sembari mem-

beri aba-aba dengan mempergunakan jari tangan ki-

rinya. Dengan isyarat gurunya. Puteri Gagu segera 

menarik balik tenaga dalamnya, begitu pula halnya 

dengan Nyai Plasik.

Begitu mereka terbebas dari siksaan 'Jurus Ko-

reng Seribu' yang hampir menguras setengah dari te


naga dalam yang mereka miliki, maka tubuh kedua 

orang itu tampak terhuyung-huyung. Sebaliknya 

Buang Sengketa yang memperoleh tenaga tambahan 

dari lawan-lawannya, sekarang sudah berdiri tegak 

dengan seringai senyum menggidikkan.

"Ilmu iblis...!" maki Nyai Plasik dengan nafas te-

rengah-engah. Hal yang sebenarnya, Nyai Plasik mulai 

keder juga, sebab baru kali inilah dia mendapati seo-

rang pemuda aneh memiliki ilmu kepandaian yang tia-

da duanya. Menyedot tenaga dalam lawan! Dedengkot 

Kuburan Iblis itu tak mungkin pernah percaya andai 

tidak menyaksikannnya sendiri.

Apapun ilmu gila yang dimiliki oleh lawannya 

dia sudah tidak perduli lagi. Kepalang tanggung. Kem-

bali dia memberi isyarat pada Puteri Gagu, lalu dengan 

disertai jeritan tinggi melengking tubuh kedua manu-

sia buruk rupa itu telah berkelebat menyambar-

nyambar. Sesekali dengan kecepatan yang sangat sulit 

diikuti oleh kasat mata, Nyai Plasik dan Puteri Gagu 

menyerang Buang Sengketa dengan senjata rahasianya 

yang berupa Paku Beracun berwarna hitam.

Pada dasarnya tokoh sesat ini sangat dikenal 

dengan pukulan 'Jari Iblisnya, satu-satunya senjata 

yang mereka andalkan adalah senjata rahasia yang be-

rupa jarum beracun itu.

Pendekar Hina Kelana sungguhpun baru sekali 

ini bertemu dengan lawan yang menamakan dirinya 

sebagai dedengkot dari Kuburan Iblis, tapi dapat me-

nyadari, bahwa senjata rahasia yang disambitkan se-

cara cepat oleh kedua lawannya itu sesungguhnya le-

bih berbahaya lagi daripada menghadapi sepuluh mata 

pedang.

Itulah sebabnya dengan mengandalkan ilmu 

meringankan tubuh dan kecepatan gerakan tubuh, si 

pemuda secara silih berganti memainkan jurus-jurus


silatnya. Pertama-tama dia mempergunakan Jurus 

'Membendung Gelombang Menimba Samudra', mem-

pergunakan jurus ini dia hanya mampu bertahan se-

bentar, karena di pihak lawan ternyata telah pula me-

mainkan Jurus 'Mayat Iblis' sembari menyambitkan 

paku-paku beracunnya. Lalu Buang mengalihkan ju-

rus silat pertama dengan Jurus 'Si Gila Mengamuk', 

setelah pertarungan mencapai tiga puluh lima jurus di 

muka, maka terlihatlah posisi si pemuda mulai keteter.

Dan saat itu tampaknya Buang Sengketa me-

mang sudah tak dapat lagi mengendalikan emosinya 

sebagai manusia. Terlebih-lebih ketika dua buah paku 

beracun sempat menghantam betisnya. Maka detik be-

rikutnya nalurinya sebagai titisan Raja Siluman lah

yang bicara. 

Apabila Nyai Plasik yang sedang terkekeh meli-

hat lawannya yang terpincang-pincang itu memandang 

ke arah wajah si pemuda, tersentaklah dia. Detik itu 

juga dia telah hentikan tawanya. Dia melihat kedua 

mata pemuda itu sekarang telah memerah saga, dari 

celah bibirnya yang dipenuhi lelehan darah kering, ke-

luarkan bunyi mendesis-desis bagai ular piton yang 

sedang marah. Wajah Buang Sengketa tampak tegang 

sekali.

"Nguuung...!" Satu kali kelebatan maka mende-

ru selaksa gelombang angin menyertai berkelebatnya 

sinar merah yang ditimbulkan oleh senjata yang bera-

da dalam genggaman Buang Sengketa. Pucat pasi wa-

jah Nyai Plasik dan muridnya, menggigil tubuh mereka 

di dera rasa kecut dan hawa dingin menusuk yang di-

timbulkan oleh Pusaka Golok Buntung yang tergeng-

gam erat di tangan si pemuda.

"Golok Buntung... ka... kau Pendekar Golok 

Buntung...!" desis Nyai Plasik yang pernah mendengar 

kehebatan pendekar dari paparan Sahul ini. Namun sipemuda sudah tiada menjawab lagi. Sebaliknya den-

gan mempergunakan jurus si 'Jadah Terbuang', tubuh 

Buang Sengketa berkelebat lenyap. Hanya kelebat-

kelebatan sinar merah menyala saja yang merupakan 

satu tanda bahwa saat itu secara rapat Pendekar Hina 

Kelana telah mengurung kedua lawannya dengan sam-

baran-sambaran ganas Golok Buntung di tangannya.

Sejauh itu menyadari adanya bahaya yang se-

dang mengancam jiwanya, tampaknya Nyai Plasik dan 

muridnya tiada pilihan lain terkecuali terus menyam-

bitkan senjata rahasia demi menghindari pertarungan 

jarak dekat.

"Cring! Traaang!" Terdengar suara nyaring saat 

mana golok di tangan Buang Sengketa membabat run-

tuh paku beracun yang disambitkan oleh pihak lawan-

nya. Mempergunakan kesempatan yang hanya bebera-

pa detik, dengan gerakan udang meletik tubuh si pe-

muda melesat ke udara.

***


TUJUH



Secepat gerakannya mumbul ke atas, lebih ce-

pat lagi tubuhnya meluncur ke bawah. Satu sabetan 

dia lakukan. Nyai Plasik membuang tubuhnya ke 

samping. Tapi golok buntung di tangan Buang menca-

pai sasaran disebelahnya.

"Brebet...!"

"Arghk...!"

Bagian dada Puteri Gagu terbelah memanjang 

sampai pada bagian perutnya. Usus terburai disertai 

semburan darah dari bagian jantungnya yang sempat 

tergores ketajaman golok lawannya. Hanya sekejap sa


ja tubuh nan ramping itu berputar dan meliuk-liuk. 

Kemudian jatuh tersungkur dengan jiwa melayang. Ke-

jut bercampur marah Nyai Plasik, demi melihat nasib 

yang dialami oleh muridnya. Satu bentakan menggele-

dek kemudian menyertai serangan-serangan mautnya 

yang didasari oleh pelampiasan emosi.

"Kubunuh engkau, keparaaaat...!" teriaknya 

sembari melancarkan pukulan maut bertubi-tubi. Na-

mun sejauh apapun perempuan muka rusak itu beru-

saha mengimbangi gempuran lawannya. Tapi dengan 

adanya senjata maut di tangan si pemuda, secara lam-

bat laun akhirnya dia kepepet dan tak mampu berbuat 

banyak ketika golok di tangan Buang menderu ke ba-

gian kepalanya.

"Croook...!" terdengar suara lolongan panjang 

pada saat senjata itu membelah batok kepala Nyai Pla-

sik. Darah meleleh bercampur dengan cairan otak yang 

berwarna putih kecoklatan. Tak lama setelahnya tubuh 

Nyai Plasik menggelosoh di atas tanah berdebu. Tiada 

berkutik karena pada saat Golok Buntung membelah 

kepalanya. Sedetik setelahnya jiwanya telah berangkat 

meninggalkan badan kasarnya.

Pendekar Hina Kelana menarik napas lega, se-

cara perlahan dia menoleh setelah sebelumnya menye-

lipkan golok di bagian pinggangnya. Begitu matanya 

tertumbuk pada kerumunan murid-murid padepokan 

yang hanya tinggal lima orang, enam dengan seorang 

gadis yang belum dikenalnya. Maka disitulah dia terin-

gat pada Eyang Girinda yang sedang menderita luka 

dalam cukup parah. Bergegas pemuda ini datang 

menghampiri, melihat kehadiran si pemuda, kelima 

murid padepokan memberi jalan. Tanpa berkata apa-

apa, Buang langsung jongkok di sisi kakek tua. Lebih 

cepat lagi dia memeriksa keadaan yang diderita oleh 

kakek itu.



"Luka beracun yang di deritanya sudah sangat 

parah, bahkan kini telah menjalar sampai kebagian 

jantung. Mungkin Golok Buntung mampu menyedot 

habis racun yang mengendap di dalam tubuhnya. Tapi 

dia sudah tidak memiliki kemampuan untuk berta-

han...!" ucap si pemuda setelah melihat gadis berpa-

kaian merah biru memperhatikan dirinya dengan per-

tanyaan lewat matanya.

"Jadi eyangku tidak bisa disembuhkan...!" 

tanya si gadis tampak cemas.

"Lukanya benar-benar sangat parah, kalau pun 

aku berhasil mengeluarkan racun itu dari dalam tu-

buhnya, tapi aku tak bisa jamin keselamatannya...!"

"Kalau saudara memang mampu mengeluarkan 

racun yang mengeram di tubuh eyangku, cepat laku-

kanlah...!" perintahnya.

Buang Sengketa memang tak ingin mengecewa-

kan hati gadis yang belum dikenalnya itu. Maka dia 

baru hendak mencabut Golok Buntung yang terselip di 

pinggangnya ketika terdengar suara erangan lirih, me-

manggil!

"Dew... Dewi Ratih cucuku!" Ucapnya lemah se-

kali. Gadis baju hijau lumut yang kemudian di kenal 

oleh pemuda sebagai Dewi Ratih beringsut mendekat.

"Saya, Eyang..." sahutnya dengan hati gundah. 

Sedih melihat keadaan eyangnya yang sangat menge-

naskan.

Eyang Girinda mengerjab-kerjabkan matanya, 

tapi hanya mampu terbuka sedikit. Melihat tatapan 

mata si orang tua yang kosong, tahulah Buang Sengke-

ta, bahwa ajal bagi orang tua itu sudah berada di am-

bang pintu.

"Mm... manakah pemuda yang telah menolong-

ku tadi...!" tanyanya lirih.

"Aku di sini, orang tua...!" si pemuda menyahuti. Mendengar suara Buang Sengketa Eyang Girinda 

yang sedang meregang ajal itu bermaksud menoleh, 

tapi tak mampu. Ganti si pemuda yang semakin be-

ringsut mendekat.

"Kau sungguh pun aneh, tapi pemuda yang ju-

jur dan memiliki kesaktian yang tiada terduga oleh 

siapa pun. Menjelang akhir hidupku, maukah kau me-

luluskan permintaanku andai aku mohon pertolongan 

padamu...?"

"Selama pertolongan itu sanggup aku kerjakan, 

maka dengan senang hati aku akan mengerjakan-

nya...!" sahut Buang Sengketa pasti.

"Terima kasih! Permintaanku hanya satu, to-

long lindungilah padepokan Bukit Berkabung ini dari 

kemusnahan. Dan... cucuku ini kutitipkan padamu, 

sampai menjelang dia mampu berdiri sendiri...!"

"Tap...!" Buang Sengketa tak dapat melanjutkan 

ucapannya, karena detik kemudian Eyang Girinda te-

lah tiada bernyawa lagi. Dewi Ratih dan kelima murid 

yang ditinggalkan meskipun merasa sangat terpukul 

dan sedih, namun tak sampai keluarkan isak tangis.

"Dia sudah pergi!" desah Dewi Ratih di sela-sela 

kesedihannya.

"Sebagaimana dirinya, kita pun pada saatnya 

akan kembali juga kepangkuan Sang Hyang Widi. Ada 

baiknya kalau kita urus jenazah mereka dan jenazah 

eyangmu untuk dikuburkan...!" kata Buang coba me-

nasehati.

"Saudara siapakah...?"

"Aku hanya seorang pengelana, namaku Buang 

Sengketa!" Meskipun masih dalam keadaan bersedih 

hati, namun saat si pemuda menyebutkan namanya, 

sepasang matanya yang indah itu membelalak lebar.

"Nama yang sangat aneh, tapi aku tahu situ 

seorang pemuda yang berkepandaian tinggi...!"


"Ah... ah... jangan pakai situ atau segala pera-

datan, panggil saja aku, Kelana sudah cukup...!" tukas 

si pemuda. Dewi Ratih tampak memerah parasnya, ta-

pi kemudian dia mengangguk. Sementara Buang Seng-

keta sendiri segera mengusung mayat Kakek Girinda 

menuju ruangan depan padepokan. Lima orang murid 

padepokan juga melakukan hal yang sama.

* * *

Pagi menjelang siang, suasana di Bukit Silu-

man tampak tiada berubah sebagaimana hari-hari 

yang telah berlalu. Tapi ada yang tidak sebagaimana 

biasanya, yaitu pintu gua tempat penyimpanan mayat 

itu kini telah terbuka lebar. Di luar pintu gua keadaan 

sepi. Namun di ruangan dalam yang penuh sesaki teri-

si peti mati, tampak dua orang muda mudi sedang me-

nelusuri sepanjang lorong gua yang berudara pengap 

dan terasa sangat menyesakkan pernapasan. Tapi 

tampaknya kedua orang itu tiada perduli dengan situ-

asi seperti itu. Tetap saja mereka melangkah dalam ke-

remangan gua sambil membolak-balik peti-peti itu 

hingga jadi berantakan. Tubuh mereka sudah mulai 

basah oleh keringat, sampai kemudian sampai di 

ujung lorong gua dua orang muda mudi yang tak lain 

Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya masih belum ju-

ga menemukan apa yang di cari-carinya.

"Bagaimana Kak Dewi? Semua peti mata telah 

kita bongkar, tapi kita tak menemukan Batu Walet Me-

rah seperti yang pernah kakak katakan itu...!" sela Ba-

gas Salaya sembari menyandarkan tubuhnya pada 

dinding gua.

"Hi... hi... hi...!" si gadis tertawa genit. "Kita be-

lum melihat sebuah ruangan kecil yang terletak di su-

dut itu...!" Ringan sekali Dewi Ratna Juwita mengayunkan langkahnya. Bagas Salaya masih berada pa-

da tempatnya. Saat itu si gadis telah sampai di depan 

pintu ruangan yang hanya berukuran tak lebih seten-

gah meter. Baik besar maupun panjangnya juga sama. 

Dengan hati berdebar-debar, Dewi mulai membuka 

pintu penutupnya. Begitu pintu penutup itu terbuka 

maka terlihatlah sebuah cincin Batu Walet Merah yang 

memancarkan cahaya merah berkilauan. Gadis itu 

berseru kegirangan. Sudah tentu suara Dewi yang se-

dikit keras ini membuat Bagas Salaya menjadi terhe-

ran-heran. Bergegas dia pun datang menghampiri.

"Batu Walet Merah... hi... hi... hi...! Kita akan 

menjadi penguasa atas semua perguruan silat yang 

ada di kolong langit ini...!" suara teriakan yang berupa 

luapan rasa kegembiraan itu menggema di seantero 

dinding gua. Dengan sikap pongah yang berlebih-

lebihan, Dewi Ratna Juwita cepat-cepat mengenakan 

cincin Batu Walet Merah ke bagian jari manisnya. Na-

mun mendadak saja dia merasakan tubuhnya mengge-

letar, kedua mata memandang sendu pada Bagas Sa-

laya yang berada tidak begitu jauh dari dirinya. Bagas 

Salaya sendiri tidak menyadari perubahan apa yang 

sedang terjadi atas diri kakak tirinya. Tanpa sadar dia 

pun melangkah menghampiri Dewi Ratna Juwita dan 

memegang tangannya.

"Ada apa, Kakak...!" tanyanya gemetar. Saat itu 

dia pun merasakan adanya hawa hangat yang menjalar 

lewat tangan Dewi. Si gadis yang sudah dirasuki oleh 

perasaan aneh akibat pengaruh Cincin Batu Walet Me-

rah ini sudah tiada kuasa untuk menjawab pertanyaan 

adik tirinya yang sekaligus merupakan kekasihnya pu-

la. Begitu tangan Bagas Salaya menggenggam lebih 

erat tangan Dewi, maka dengan cepat gadis itu mende-

kapnya, secara perlahan namun cukup pasti. Bagas 

Salaya juga kiranya merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Dewi. Sesungguhnya tanpa mereka sadari 

pengaruh Batu Walet Merah itu membangkitkan gelora 

nafsu sebagaimana yang pernah dialami oleh para

pendahulunya.

Namun hal itu masih dapat dikendalikan andai 

saja bagi siapapun yang menguasai batu itu telah me-

miliki tenaga dalam yang sudah sangat sempurna.

Sebagaimana sifat yang dimiliki oleh batu itu 

sendiri, mempunyai daya tarik antara yang ada satu 

dengan yang lainnya. Dan andai saja batu yang di tan-

gan Dewi jumlahnya ada sepasang. Maka kejadian se-

perti apa yang sedang mereka lakukan itu tak mung-

kin pernah ada.

Kembali pada kedua insan yang berlainan jenis 

dan sedang terlibat pergumulan asmara di dalam 

ruangan gua tempat penyimpanan mayat-mayat para 

leluhurnya sendiri ini. Tampaknya mereka sudah tiada 

perduli lagi dengan perbuatan terkutuk yang mereka 

lakukan. Tubuh keduanya telah bermandikan kerin-

gat, pakaian berserakan entah ke mana. Kejadian ter-

kutuk yang telah sama-sama mereka lakukan itu ber-

langsung sangat cepat sekali. Hingga pada akhirnya 

tubuh yang saling tindih itu melengguh tertahan. Dan 

secara perlahan hawa hangat yang mengalir lewat Batu 

Walet Merah itu pun sudah sirna sama sekali.

"Adik Bagas...! Kita... oh, di makam leluhur 

sendiri kita telah melakukan hubungan terkutuk 

itu...!" rintih Dewi Ratna Juwita merasakan sakit di 

bagian bawah perutnya.

"Aku yakin, semua ini akibat pengaruh Batu 

Walet Merah, Kak Dewi...!" desah Bagas Salaya cepat-

cepat membetulkan pakaiannya kembali. "Tapi itu tak 

jadi soal, bukankah diantara kita sama-sama saling 

mencinta? Pula di sini atau di tempat lain sama saja, 

tokh Eyang Girinda tak pernah merestui hubungan


cinta kita!"

"Para Dewa pasti mengutuk perbuatan kita, 

Adik Bagas...!" sela si gadis was-was. Bagas Salaya tia-

da menjawab. Sebaliknya malah membelai-belai ram-

but kekasihnya sembari menutunnya pergi meninggal-

kan tempat itu. Semakin jelaslah kini, setelah Batu 

Walet Merah berada di tangan salah seorang di antara 

mereka. Perbuatan keduanya semakin jauh tersesat.

***


DELAPAN



Kereta kuda itu tampak melaju dengan kecepa-

tan tinggi, karena keempat ekor kuda yang menariknya 

terdiri dari kuda-kuda pilihan dan berbadan sehat ke-

limis. Seorang kusir yang terus sibuk mencambuki ku-

da-kuda itu kelihatan masih begitu muda, mengena-

kan sebuah topi caping sebagai pelindung panas ma-

tahari. Melihat caranya mengendalikan kuda penarik 

kereta, nyata sekali bahwa pemuda itu tak memiliki 

pengalaman apa-apa dalam hal pekerjaan ini. Sesekali 

kuda-kuda itu meringkik keras, berlari tersendat-

sengat, hingga membuat para penumpangnya tergun-

cang-guncang.

"Pelan-pelan, Kakang...!" terdengar sebuah sua-

ra yang begitu merdu, namun tidak menyembunyikan 

perasaan berkabung. Si kusir menoleh ke belakang se-

jenak. Dengan suara pelan dia pun menyahut.

"Aku sedang berusaha bagaimana caranya agar 

kuda-kuda itu tidak melonjak-lonjak binal. Kau pegan-

gi lah peti itu jangan sampai terguling...!" kata si pe-

muda berpakaian merah kumal sambil membuang 

pandangan matanya jauh-jauh ke depan. Sementara



itu lima orang penunggang kuda lainnya tampak men-

giringi kereta di depannya dalam jarak tak lebih dari 

tiga tombak.

"Masih jauh Bukit Siluman dari sini...?" ber-

tanya pemuda berkuncir yang tak lain adalah Pende-

kar Hina Kelana.

"Tidak, mungkin sekitar setengah jam lagi kita 

sudah sampai ke sana...!" ujar suara merdu yang di 

kenal sebagai murid bungsu padepokan Bukit Berka-

bung. Sebenarnya apa yang di muat dalam kereta kuda 

itu tak lain adalah sebuah peti berisikan jenazah 

Eyang Girinda yang telah siap dimakamkan di dalam 

goa Bukit Siluman. Sedangkan murid-murid padepo-

kan yang juga gugur dalam pertempuran melawan de-

dengkot persilatan dari 'Kuburan Iblis.' yaitu Nyai Pla-

sik dan Putri Gagu. Sore itu atas kesepakatan bersama 

cukup dikuburkan di halaman belakang padepokan 

Bukit Berkabung. Sedangkan malamnya Ratih sempat 

pula bertutur banyak tentang kemelut yang terjadi di 

padepokan itu. Tak lupa juga tentang lawan-lawan me-

reka yang masih berkeliaran di rimba persilatan bebe-

rapa di antaranya adalah, Gajah Mungkur dan juga ge-

rombolan yang sangat kuat yang bernama Gerombolan 

Sinar Kayangan.

Tentang kehadiran gerombolan itu tentu saja 

Buang Sengketa yang pernah bertemu dengan mereka 

bertanya-tanya tentang siapa dan apa-apa saja tujuan 

mereka bermusuhan dengan padepokan Bukit Berka-

bung! Dan jawaban yang diberikan oleh Dewi Ratih 

sungguh sangat mengejutkan dirinya. 'Batu Permata 

Walet Merah', seumur hidup baru kali ini si pemuda 

mendengar tentang adanya batu yang menyimpan ke-

kuatan yang sangat luar biasa. Dan si pemuda malah 

bertambah terkejut lagi saat mana Ratih memperli-

hatkan salah satu batu berbentuk cincin yang baru saja didapatnya dari Sungai Banyu Urip.

"Batu ini bisa berakibat malapetaka, bagi pemi-

liknya terlebih-lebih bagi orang lain...!" ujar Buang 

Sengketa saat merasakan getaran halus yang ber-

sumber dari batu yang tergenggam di tangannya. Kejab 

kemudian dia telah mengembalikan batu itu pada Ra-

tih yang duduk tidak begitu jauh darinya.

"Apa maksudmu, Kakang...?" tanya si gadis lu-

gu tiada mengerti. Buang gelengkan kepala pelan.

"Batu itu bersumber dari tenaga asmara yang 

sangat tinggi. Aku yakin siapa pun orangnya yang 

memegang cincin batu ini tidak memiliki tenaga dalam 

yang cukup tinggi, maka hidupnya akan menjadi bu-

lan-bulanan nafsu yang ditimbulkan oleh batu yang 

kau miliki sekarang...!" Keterangan Buang benar-benar 

membuat kejut di hati Ratih, hal seperti yang dikata-

kan oleh si pemuda. Juga pernah dia rasakan di dalam 

gua saat mana pertama kali dia berusaha mengenakan 

batu itu di bagian jemari tangannya. Tapi saat itu, ba-

dan halus Eyang Buyut Resi Mamba telah memberikan 

sesuatu, yaitu berupa pakaian merah biru dan sebuah 

ikat kepala yang berwarna merah. Gejala aneh itu ti-

dak pernah dia rasakan lagi, cuma terkadang saja 

apabila dia berganti pakaian selain dari pakaian pem-

berian Eyang Buyut Resi Mamba, dia merasakan gejala 

aneh itu timbul kembali. Mungkinkah pakaian pembe-

rian Eyang Buyut Resi Mamba merupakan penangkal 

dari kejadian yang tidak diinginkan akibat pengaruh 

Batu Walet Merah? Membatin Dewi Ratih. Kalau me-

mang benar adanya itu berarti dia harus mengenakan 

baju itu sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun. 

Dan yang pasti apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina 

Kelana benar adanya. Ratih jadi bergidik tubuhnya tak 

berani membayangkan apa yang bakal terjadi andai 

tanpa pakaian pemberian Eyang Buyut Resi Mamba.


"Kakang Kelana bagaimana bisa tahu tentang 

akibat-akibat yang ditimbulkan batu ini?" Tanya si ga-

dis menyelidik.

"Aku merasakannya! Batinku mengatakan ada 

hawa dendam asmara dan hawa siluman bersatu di 

sana. Tapi yang ku herankan sepertinya kau tidak ter-

pengaruh dengan tenaga gaib yang bersumber dari ba-

tu itu. Tenaga dalammu belum cukup tinggi, orang-

orang yang tidak dapat dipengaruhi batu itu hanyalah 

orang-orang yang sudah memiliki tenaga dalam yang 

sudah mencapai taraf sempurna... dan kau...!" desah 

titisan Raja Ular Piton Utara itu merasa yakin ada se-

suatu yang melindungi diri si gadis. Apapun yang ada 

dalam dugaan Buang Sengketa, semua jawabannya 

hanya Ratihlah yang tahu.

"Kakang tak perlu merisaukan keadaanku, tapi 

aku selalu risau tentang dua orang saudaraku yang 

lain...!"

"Maksudmu tentang Dewi Ratna Juwita dan 

Bagas Salaya yang di usir oleh eyangmu karena mere-

ka terlibat hubungan cinta...!"

"Ya...! Aku takut mereka mendapatkan Batu 

Walet Merah yang betinanya. Kalau batu itu benar-

benar telah mereka dapatkan, bukan kita saja yang 

bakal celaka, tapi rimba persilatan juga bakal dilanda 

malapetaka besar!" katanya tanpa mampu menyembu-

nyikan rasa cemasnya.

"Bagaimana kau bisa berpikir sampai sejauh 

itu...?"

Dewi Ratih tampak tercenung beberapa saat 

lamanya, sorot matanya menatap hampa pada nyala 

pelita yang bergoyang-goyang terhembus angin. Tapi 

kemudian setelah menarik nafas pendek, sangat lirih 

sekali dia berucap;

"Selain saudaraku itu memiliki jiwa yang se


nantiasa memberontak, namun juga langkah mereka 

senantiasa cenderung ke arah sesat. Bahkan Kak Dewi 

mempunyai watak telengas...!"

"Tapi mereka kan tak tahu di mana Batu Walet 

Merah yang satunya disembunyikan?"

"Mudah-mudahan saja begitu!" ucap Dewi Ra-

tih.

"Itu bisa kita pikirkan nanti, yang penting be-

sok pagi kita harus berangkat ke Bukit Siluman untuk 

menguburkan jenazah eyangmu...!" ujar si pemuda 

menutup pembicaraannya.

Kini kita kembali pada Buang Sengketa dan 

Dewi Ratih serta kelima orang murid padepokan Bukit 

Berkabung yang sedang melakukan perjalanan menuju 

Bukit Siluman. Dalam perjalanan panjang dan cukup 

melelahkan itu, setelah melewati beberapa tikungan 

dan hutan-hutan gundul yang terdapat di kanan kiri 

jalan itu, kini sampailah mereka di kaki bukit yang 

sangat curam yang lebih di kenal dengan 'Bukit Begal 

Sewu', dinamakan Bukit Begal Sewu dikarenakan di 

bukit itulah sering terjadi perampokan bagi mereka 

yang sedang melakukan perjalanan jauh, dan ber-

akhir dengan pembantaian yang sangat keji.

Melintasi daerah yang terkenal rawan ini, em-

pat ekor kuda penarik kereta tampak meringkik keras. 

Bagi Buang Sengketa yang tiada mengetahui tentang 

keangkeran bukit yang mengapit jalanan ini, ringkikan 

kuda-kuda itu baginya sudah cukup mengisyaratkan 

adanya satu bahaya yang mengancam mereka. Tapi 

nalurinya sebagai keturunan siluman membuat dia 

tampak tenang-tenang saja.

"Kakang, kita telah memasuki wilayah 'Bukit 

Begal Sewu' berhati-hatilah...!" kata Ratih dari dalam 

kereta memperingatkan.

"Hemm, sebuah nama yang cukup menyeram


kan!" Gumam si pemuda. "Tapi mengapa harus perduli 

dengan segala monyet begal, tokh kita tak membawa 

emas permata atau barang berharga lainnya...!" ucap-

nya lagi sembari menyeringai dan tepuk-tepuk periuk-

nya hingga menimbulkan bunyi cempreng dan bising.

"Kakang! Jangan bicara sembarangan, bisa-bisa 

kita celaka...!" dari nada ucapnya tampak sekali kalau 

si gadis benar-benar mengkhawatirkan sesuatu. Buang 

Sengketa menanggapi dengan tawanya yang lepas.

"Dunia ini memang banyak pekerjaan yang 

aneh-aneh, para pembesar kota raja yang korupsi, pa-

ra pengemis di pasar-pasar, juga tikus-tikus begal 

yang sangat menjijikkan.... Tak ada yang lebih mulia 

selain dari pekerjaan seorang petani yang membanting 

tulang untuk anak bini. Kau lihatlah... para begal ce-

laka itu sekarang sudah mulai berkasak-kusuk di 

tempatnya. Agaknya mereka lamur, bahwa mahkluk 

yang sedang mereka intai itu ternyata hanya seorang 

gembel yang tiada memiliki harta benda atau barang 

ber-harga lainnya...!" Dalam berkata tadi, sengaja 

Buang mengeraskan suaranya agar di dengar oleh 

orang-orang bertampang kasar yang bersembunyi di 

kanan kiri bukit.

"Awas kakang...!" teriak Dewi Ratih begitu me-

nangkap berkelebatnya empat sosok bayangan hitam, 

dua dari samping kanan dan dua lainnya dari bagian 

kiri.

"Aku sudah melihatnya...!"

"Des.... Des...!" Gerakan yang sangat cepat itu 

memang benar-benar sangat sulit diikuti kasat mata 

dan tahu-tahu, keempat orang penyerang yang ber-

maksud membacok sang kusir, sudah terjengkang 

dengan batok kepala rengkah.

"Heaaa... heaaaa...!" Mengetahui keempat ka-

wannya tewas hanya dengan sekali bergebrak, maka kawan-kawannya yang lain berserabut keluar dari 

tempat persembunyiannya. Cepat sekali gerakan me-

reka, hingga detik selanjutnya Buang Sengketa dan ke-

lima penunggang kuda lainnya telah berada dalam po-

sisi terkurung. 

Si pemuda menarik kendali kudanya, hingga 

kuda-kuda itu berhenti sama sekali. Masih dengan ter-

senyum-senyum dia menyapu pandang pada puluhan 

orang pengepungnya. Sementara itu Dewi Ratih pun 

sudah keluar dari dalam kereta, langsung melompat 

turun. Sejenak lamanya mereka saling berpandang-

pandangan. Tiba-tiba salah seorang dari para begal itu 

membentak marah: "Bocah! Kau telah membunuh 

orang-orangku, sungguh kau orang yang telah begitu

berani mencari penyakit di wilayah ku...!" kata si ku-

mis tebal berkulit putih itu sembari pelototkan ma-

tanya.

"Siapa bilang ini wilayah mu, jalan ini milik 

orang ramai, Siapa pun berhak melewatinya...!"

Ratih yang sudah muak melihat tampang si 

kumis tebal tiba-tiba saja menyelak. Kata-katanya 

memang terdengar ketus, hingga membuat berpasang-

pasang mata mengalihkan perhatiannya pada gadis 

berwajah ayu ini. Yang di pandang tampak memerah 

parasnya. Lain lagi halnya dengan si kumis tebal yang 

di kalangan persilatan di kenal sebagai 'Singa Hitam'. 

Laki-laki yang memiliki nama asli Gendam Lukito ini 

tampak tersenyum-senyum penuh arti pada Ratih.

"Kunyuk kumis tebal. Simpan senyum mu yang 

mirip seringai kuda...!" bentaknya pula.

"Bueh...! Kalau tidak mengingat pada wajahmu 

yang cantik, sudah sejak tadi aku pecahkan mulutmu 

yang sangat menghina itu! Tapi... he... he... sudah 

sangat lama aku hidup menyendiri, hangatnya tidur 

bersama seorang perawan cantik pun aku tak tau bagaimana rasanya... ha... ha... ha...! Sungguh pun galak 

aku sangat menyukaimu. Biarlah hari ini kami tidak 

mendapatkan hasil rampokan harta, tapi aku harus 

dapat menangkapmu...!" menggeram Gendam Lukito, 

kemudian dia berpaling pada si pemuda sebentar.

"Karena kau telah membunuh empat orang ka-

wanku, maka kau berikut empat orang kawanmu yang 

lain sudah selayaknya mampus!" bentak si kumis tebal 

yang memiliki julukan 'Singa Hitam' itu marah.

Hanya sekali saja dia memberi tanda pada ka-

wannya yang berjumlah dua puluh lima orang. Maka 

secara serentak orang-orang bertampang kasar itu se-

cara serentak menyerang Buang Sengketa dan kelima 

murid padepokan Bukit Berkabung. Sementara Gen-

dam Lukito sebagai ketuanya sudah sejak awal telah 

berusaha meringkus Dewi Ratih.

Gadis itu juga tidak tinggal diam, begitu tan-

gan-tangan yang bermaksud mencengkeram itu berge-

rak menyambar, maka Ratih berkelit dan langsung ca-

but pedangnya yang berwarna kuning keperak-

perakan. Serangan pertama yang mengalami kegagalan 

ini membuat Gendam Lukito menjadi sadar saat itu 

mereka sedang berhadapan dengan orang yang memi-

liki kepandaian tinggi. Waktu selanjutnya, Gendam 

Lukito sudah tak ingin main-main dan sungkan lagi. 

Dengan mempergunakan Jurus 'Begal Bayangan Me-

nyergap Dewa Rembulan', detik berikutnya tubuhnya 

telah berkelebat lenyap, tak ayal Ratih pun mulai men-

geluarkan jurus silat 'Dewa Berkabung' yang pernah 

dipelajari dari Eyang Girinda. Tak dapat disangkal per-

tarungan yang terjadi selanjutnya merupakan perta-

rungan yang sangat seru dan menegangkan.

Di lain pihak Buang Sengketa dan kelima ka-

wannya yang sedang berhadapan dengan belasan bah-

kan puluhan anak buah Dendam Lukito tampaknya


masih memberi angin pada orang-orang itu. Ini terbuk-

ti dia hanya mengelak dan menangkis setiap serangan 

yang datang.

***


SEMBILAN



Tapi ketika pada gebrakan selanjutnya dia 

mendengar jeritan panjang dari salah seorang murid 

padepokan Bukit Berkabung. Maka menggeletarlah tu-

buhnya, unsur kesabaran yang berusaha dia praktek-

kan lewat jurus-jurus Koreng Seribu, ilmu warisan te-

rakhir mendiang gurunya sudah tak dapat dia perta-

hankan lagi. Ini bukan berarti sama sekali dia tak da-

pat mengendalikan diri karena adanya unsur siluman 

di dalam tubuhnya. Tapi semata-mata di masih terin-

gat kematian belasan murid-murid padepokan Bukit 

Berkabung yang dibantai oleh Nyai Plasik dan murid-

nya. Pula perjalanan yang mereka tempuh saat itu 

adalah perjalanan duka mengantarkan jenazah Eyang 

Girinda? Dengan kematian murid padepokan yang 

hanya lima orang itu, sama saja artinya dia menambah 

jumlah mayat yang harus di usung. Wajarlah kalau 

Buang Sengketa harus marah pada saat seperti ini. 

Sembari berkelebat menghindari tusukan dan babatan 

pedang yang terus mencecar ke arahnya, pemuda ini 

mulai bersiap-siap mengeluarkan ajian 'Pemenggal 

Roh'.

"Heiiiiiik...!" Suara teriakannya bagai halilintar 

menyambar di siang hari, mengejutkan semua orang 

yang hadir di situ, tak terkecuali Dewi Ratih dan Gen-

dam Lukito yang sedang terlibat pertarungan. Bebera-

pa orang anggota begal terkapar tewas dengan telinga


mengalirkan darah. Bahkan beberapa orang lainnya 

yang masih dapat bertahan dari pengaruh lengkingan 

ilmu Pemenggal Roh, tampak berputar-putar tubuh-

nya, berteriak. Bagai orang yang kurang waras. Semen-

tara sisanya yang hanya merasakan sakit pada bagian 

dadanya terus saja mencecar si pemuda dengan jurus-

jurus pedang andalan. Begitulah kenyataannya, mere-

ka sebenarnya bukan tidak keder setelah menerima 

akibat yang ditimbulkan oleh suara lengkingan 'Ilmu 

Pemenggal Roh' namun sudah menjadi prinsip bagi 

kaum begal. Bahwa mereka lebih baik mati dalam per-

tarungan daripada harus menyerah begitu saja, apala-

gi kabur.

Karena memang pada hakekatnya para begal 

itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mau 

tak mau Buang harus mempergunakan pukulan anda-

lannya 'Empat Anasir Kehidupan' tak salah lagi.

"Hiaaat...!" Mempergunakan gerakan udang me-

letik, tubuhnya mencelat ke udara, saat mana tubuh-

nya kembali menungkik ke bawah, tangan kanannya 

pun bergerak memukul.

"Weees!" Satu gelombang sinar ultra violet me-

nebarkan hawa panas tiada tertahankan langsung 

menghantam orang-orang yang berada di bawahnya. 

Yang sempat merasakan sambaran angin pukulan ce-

pat-cepat putar pedang ditangannya membentuk peri-

sai diri, tapi celakalah bagi mereka yang tidak menya-

dari adanya ancaman bahaya itu.

"Bluaaar...!"

"Argggkh...!" Tanah di sekitarnya bergetar he-

bat, lebih kurang tujuh orang anggota begal terpelant-

ing roboh dengan tubuh hangus dan jiwa melayang. 

Sementara itu beberapa orang anggota begal masih 

dapat menyelamatkan diri, walaupun harus menderita 

luka dalam yang cukup parah. Semua yang terjadi atas


diri anggota para begal itu kiranya tak luput dari per-

hatian ketuanya, Gendam Lukito, tapi dia juga tak 

mampu berbuat banyak karena saat itu dia masih te-

rus berusaha meringkus Dewi Ratih dan bermaksud 

membawanya kabur. Tapi kenyataannya gadis yang 

dihadapinya ini juga selain memiliki ilmu mengentengi 

tubuh yang lumayan ternyata juga memiliki kepan-

daian silat tinggi sehingga dia selalu mengalami kesuli-

tan untuk meringkusnya dalam keadaan tanpa cedera. 

Pertarungan yang mereka lakukan telah berlangsung 

lebih empat puluh jurus. Tapi masih belum ada tanda-

tanda bagi Gendam Lukito mampu mengatasi lawan-

nya, pertarungan itu boleh dikata berlangsung seim-

bang. Padahal sampai saat itu laki-laki berkumis tebal 

ini telah mengerahkan jurus 'Menangkap Capung Men-

gejar Belalang' yaitu sebuah jurus menangkap lawan 

yang penuh dengan tipu-tipu. "Heeees...!"

"Hiaat...!" Dewi Ratih membanting tubuhnya ke 

samping kiri pada saat tangan-tangan yang kokoh dan 

berbulu lebat itu berusaha mencengkeram bagian 

pinggangnya. Satu tendangan kilat masih sempat dila-

kukan oleh Ratih mengarah pada bagian perut gendut 

lawannya.

"Deeess!"

"Wuaaa...!" Gendam Lukito menggerung semba-

ri memegangi bagian perutnya yang terasa mules dan 

melilit-lilit.

"Bocah kampret! Diajak berdamai tidak mau, 

bahkan kawanmu bocah gembel itu telah membunuhi 

orang-orangku dengan ilmu gilanya!"

"Sriiing...!" Gendam Lukito cabut senjatanya 

yang berbentuk sebuah kaitan namun tajam di bagian 

sisinya. "Tiada yang paling baik jalan untukmu terke-

cuali mati...!" teriak laki-laki berkumis tebal itu semba-

ri lancarkan satu tusukan satu babatan.


"Bagus, aku pun jadi ingin menjajal sampai di 

mana kehebatan Batu Walet Merah yang pernah 

menghebohkan itu!" Berkata Dewi Ratih sambil putar 

pedangnya membentuk sebuah perisai yang sangat 

kokoh. Kejut hati Gendam Lukito begitu melihat se-

buah cincin yang melingkar di jari manis Ratih. Aneh-

nya begitu si gadis mengerahkan tenaga dalamnya ke 

arah bagian Batu Walet Merah di jarinya, laksana kilat 

selarik sinar pipih berwarna merah bara melesat dari 

padanya. Masih untung secara reflek Gendam Lukito 

mampu mengkelit serangan itu dengan cara berjumpa-

litan. Sinar merah itu terus men-deru hebat dan 

menghantam lereng bukit yang ada di belakangnya.

Saat itu tidak begitu jauh jaraknya dari perta-

rungan tampak tiga orang berpakaian hitam lainnya 

terus mengawasi jalannya pertarungan. Ketiga orang 

itu menjadi terkejut saat mana Dewi Ratih mempergu-

nakan Batu Walet Merah untuk menyerang lawannya. 

Sebab seperti yang mereka ketahui, batu Walet Merah 

selama puluhan tahun terakhir telah menghilang dan 

menurut kabarnya batu Walet Merah yang jantan di 

buang di Sungai Banyu Urip oleh Eyang Buyut Resi 

Mamba, sedangkan yang betinanya tidak di ketahui 

entah berada di mana. Bagi ketiga orang pengintai itu 

apa yang mereka saksikan merupakan sebuah kabar 

yang sangat perlu untuk di sampaikan kepada ketua 

mereka di Rimba Maliau dan Taruak. Pada akhirnya 

mereka tidak menyaksikan pertempuran yang terjadi 

sampai pada titik klimaknya. Bergegas para pengintai 

itu meninggalkan lereng bukit 'Begal Sewu' di luar se-

pengetahuan mereka yang sedang terlibat pertarungan.

Kembali pada pertarungan Buang Sengketa 

dengan anggota para begal yang sudah mencapai pun-

caknya. Para begal itu kini hanya bersisa empat orang 

saja, dan lima beserta Gendam Lukito yang sedang berusaha mati-matian menyelamatkan diri menghindari 

terjangan sinar merah yang bertubi-tubi menghajar. 

Saat seperti itu si pemuda penyandang periuk itu 

membentak pada ketiga orang lawannya: "Kuberi ke-

sempatan pada kalian untuk meninggalkan tempat ini, 

kalau kalian tetap bersikeras, jangan kalian salahkan 

aku...!"

"Jangan coba-coba menggertak kami, Pendekar 

Golok Buntung! Kami akan mengadu jiwa denganmu 

sampai titik darah terakhir!" selak salah seorang dian-

taranya dan langsung menerjang dengan senjata ter-

hunus.

"Mampuslah.... Caaaaat...!" Gusar sekali Buang 

mendengar jawaban yang diberikan oleh anggota begal 

itu, tanpa ampun hantamkan tangan kanan ke depan. 

Serangkum gelombang angin berhawa panas datang 

menggebu menyongsong orang itu, si orang nekad yang 

tiada menyangka Buang Sengketa mampu melakukan 

gerak memukul secepat itu, masih juga berusaha 

membuang tubuhnya. Tapi pukulan 'Si Hina Kelana 

Merana' telah menghajarnya. Tubuh laki-laki itu ter-

sentak ke belakang dan terpelanting roboh. Tewas se-

ketika itu juga. Dua orang lainnya semakin terbelalak 

matanya dan langsung kabur tunggang langgang. Pada 

saat kedua orang itu kabur meninggalkan mayat-

mayat kawannya, terdengar pula jerit Gendam Lukito. 

Begitu Buang Sengketa menoleh, dilihatnya tubuh la-

ki-laki kumis tebal itu telah terkapar. Tubuhnya men-

gejang sekarang. Dua kali le-satan sinar merah yang 

memancar dari Batu Walet Merah di tangan Dewi Ratih 

telah membuat Gendam Lukito tergeletak untuk sela-

ma-lamanya.

Si pemuda melirik pada Dewi Ratih, memperha-

tikan sekilas terus berkata: "Batu Walet Merah hebat, 

tapi aku malah khawatir akan menimbulkan bencana


di mana-mana...!" desahnya lesu.

"Apa katamu, Kakang...!?"

"Kubilang, ada baiknya kalau kita cepat-cepat 

tinggalkan tempat ini!" kata Buang tanpa bermaksud 

menyinggung perasaan Ratih. Akhirnya setelah mem-

beri perintah pada keempat murid padepokan untuk 

mengusung mayat salah seorang kawannya yang te-

was. Rombongan kereta kuda itu melanjutkan perjala-

nannya kembali. Sepanjang perjalanan menuju Bukit 

Siluman baik Buang Sengketa maupun Dewi Ratih 

sama-sama saling diam membisu.

Memasuki daerah bukit kapur, kesunyian me-

nyambut kehadiran mereka. Saat itu bagai orang men-

gantuk Buang Sengketa yang bertindak sebagai kusir 

tampak menoleh ke belakang.

"Tanah berkapur, bukit bahkan sisi jalan kanan 

kiri! Inikah yang kau maksudkan Bukit Siluman itu, 

Adik Ratih...?" tanya Buang Sengketa coba-coba men-

gitarkan pandangan matanya.

"Ya... kita memang sudah sampai di Bukit Si-

luman, Kakang...! Satu belokan di depan kita pasti su-

dah tiba di depan sebuah gua tempat penyimpangan 

peti mati para leluhur ku...!" jawab Dewi Ratih lalu me-

longokkan kepalanya lewat jendela kereta bagian de-

pan.

"Tempat yang tenang, sayangnya berkesan ang-

ker...!"

"Namanya juga kuburan...!" kata Ratih menim-

pali. Kereta kuda terus berjalan perlahan, hingga ak-

hirnya membelok di sebuah tikungan yang sangat ta-

jam, hingga tak lama kemudian sampailah mereka per-

sis di depan pintu gua tempat penguburan para lelu-

hur padepokan Bukit Berkabung. Ratih melompat tu-

run dari kereta kuda yang membawanya, begitu dia 

melihat pintu gua yang senantiasa terkunci itu terbuka, wajahnya tiba-tiba saja berubah pucat.

"Kakang... gua itu telah terbuka...!" serunya. 

Tanpa sadar dia menghambur ke depannya. Namun 

dia tampak terbelalak kaget begitu melihat sebilah pe-

dang pendek yang telah rusak terletak tak begitu jauh 

dari kakinya. Cepat-cepat dia memungutnya.

"Kalau tak salah pedang ini milik Kakang Bagas 

Salaya. Celaka dia pasti telah mengambil Batu Walet 

Merah yang terletak di dalam gua ini...!" serunya, lalu 

berlari cepat memasuki ruangan gua. Tak ketinggalan 

Pendekar Hina Kelana pun mengekor dibelakangnya. 

Benar seperti apa yang ada dalam dugaan Ratih, peti-

peti mati dalam gua itu tampak berantakan. Apabila 

gadis itu memeriksa ke bagian sudut, maka sebuah 

ruangan kecil ber-ukuran setengah meter itu pun telah 

terbuka pintunya.

"Jangan-jangan disinilah di simpan Batu Walet 

Merah. Kalau begitu Kakang Bagas Salaya telah mela-

rikannya!" desahnya lemah dengan tubuh gemetaran.

"Ancaman baru bagi dunia persilatan! Tapi 

mungkin kita masih dapat melacak ke mana perginya 

orang itu!"

"Tapi kakang...!"

"Sudahlah, lebih baik kita rapikan peti-peti ini, 

setelah itu kita angkat peti jenazah eyangmu dan seo-

rang kawanmu. Masih banyak waktu untuk menda-

patkan batu itu lagi...!" berucap si pemuda sambil me-

langkah keluar.

***

SEPULUH


Sejak hadirnya sepasang tokoh muda yang me-

namakan dirinya sebagai 'Sepasang Walet Merah', du-

nia persilatan mulai kacau karena kehadirannya. Ke-

mana pun kedua tokoh muda ini hadir, maka di sana-

lah mereka mulai menyebar maut. Sudah tidak terhi-

tung beberapa tokoh persilatan baik dari golongan 

muda maupun kalangan tua tewas di tangan mereka 

dengan keadaan sangat menggenaskan. Dengan men-

gandalkan batu Walet Merah serta kepandaian silat 

yang mereka miliki, kedua orang itu mulai malang me-

lintang di dunia ramai. Dua orang tokoh muda yang 

namanya mulai menghebohkan itu tak lain adalah De-

wi Ratna Juwita dan Bagas Salaya.

Sudah barang tentu berita mengenai sepasang 

Walet Merah dengan batu sakti yang dimilikinya mem-

buat gempar berbagai tokoh golongan persilatan. Teru-

tama kalangan tua yang dulu sempat pernah merasa-

kan bagaimana hebatnya Batu Walet Merah ketika 

Eyang Buyut Resi Mamba sempat mempergunakannya 

ketika terlibat pertarungan besar di Bukit Siluman. Se-

cara pelan namun cukup pasti, dedengkot-dedengkot 

persilatan yang telah lama mengasingkan diri di berba-

gai tempat, sekarang mulai bermunculan. Sebagaima-

na halnya di siang yang sangat terik itu, tampak se-

rombongan orang-orang berkuda memasuki Dusun 

Genter yang memiliki penduduk rapat. Melihat cara 

mereka memacu kuda tunggangan nampak sekali ka-

lau rombongan penunggang kuda dan berpakaian bi-

ru-biru ini dalam keadaan sangat tergesa-gesa. Sema-

kin ke dalam memasuki desa Genter, rombongan ber-

kuda itu tampak berhenti di sebuah warung yang se-

dang ramai pengunjung. Rombongan penunggang ku


da yang berjumlah tujuh orang ini, begitu menghenti-

kan kudanya langsung melompat, dan dengan sangat 

tergesa-gesa memasuki warung tadi. Beberapa orang 

yang berada di dalamnya tampak menyingkir atau 

bahkan buru-buru meninggalkan warung itu saat me-

lihat kehadiran orang-orang bertampang sangar ini. 

Tak lama setelahnya salah seorang diantara mereka 

menghampiri si pemilik warung itu.

"Pak tua...!" panggilnya dengan suara cukup 

keras. Dengan tergopoh-gopoh dan tubuh gemetar pe-

milik warung yang berusia sekitar lima puluh enam 

tahun ini datang menghampiri.

"Sa... saya... tuan...! Tuan-tuan mau pesan 

apa...!" tanyanya terbata-bata. Laki-laki yang bertanya 

tadi langsung menggebrak meja. Meja yang berada di 

depannya hancur berantakan.

"Gooblook...! Aku bukan mau pesan maka-

nan...!" bentaknya. Kemudian sekali saja tangannya 

yang kokoh terulur, maka krah baju yang di pakai oleh 

pemilik warung itu tercengkeram erat. Dengan satu 

sentakan keras, maka terangkatlah tubuh pemilik wa-

rung itu terangkat tinggi-tinggi. Laki-laki tua itu keta-

kutan setengah mati. Apalagi ketika disadarinya laki-

laki berpakaian biru tersebut mulai mengguncang-

guncangkan tubuhnya.

"Ampun tuan, maafkanlah saya...!"

"Coba kau katakan padaku, pernahkah kau 

mendengar tentang sepasang tokoh muda yang mena-

makan dirinya Sepasang Walet Merah?" bentaknya lagi 

sembari mempererat cengkeramnya.

"Sa... saya memang pernah mendengarnya 

tuan! Tapi orangnya saya belum pernah berjumpa...!" 

jawab si pemilik warung bertambah menggigil ketaku-

tan.

"Aku tak butuh jawaban seperti itu, tolol! Yang


aku ingin ketahui, pernahkah Sepasang Walet Merah 

melintas di desamu ini...!"

"Belum, Tuan...!"

"Gabruuuk...!" Tubuh pemilik waning dicam-

pakkan begitu saja oleh laki-laki berbaju biru tadi, dan 

ketika dia menoleh dan hendak berbalik langkah. Ma-

ka dilihatnya seorang laki-laki dan seorang perempuan 

yang berusia sekitar dua puluh satu tahun tampak

berdiri di depan pintu warung itu.

"Kalian siapakah? Sehingga mencari-cari ka-

mi...?" tanya salah seorang yang berdiri di depan itu 

merasa curiga

"Kami dari anggota gerombolan Sinar Kayan-

gan! Benarkah kalian yang berjuluk Sepasang Walet 

Merah?" Kedua muda mudi yang tak lain Dewi Ratna 

Juwita dan Bagas Salaya tampak saling berpandangan 

seketika lamanya.

"Kalau benar kalian mau apa...?" tanya Bagas 

Salaya dengan sesungging senyum sinis. Mendengar 

pengakuan Bagas Salaya, bukan main gembiranya hati 

mereka. Tanpa sadar mereka pun tergelak-gelak.

"Bocah ingusan seperti inikah yang telah men-

gangkat dirinya sebagai Sepasang Walet Merah?" ejek 

pimpinan rombongan yang bernama Sudiro.

"Tak salah...!" tukas Dewi Ratna Juwita sambil 

maju dua langkah.

"Kalau begitu serahkan Batu Walet Merah yang 

ada di jarimu itu...!" perintahnya, serta merta mereka 

mencabut senjatanya yang berupa golok panjang na-

mun bengkok di bagian ujungnya.

"Itukah keinginan kalian?" bentak Bagas Sa-

laya, lalu menatap tajam pada ketujuh penunggang 

kuda berpakaian biru itu.

"Kami hanya menjalankan perintah ketua kami 

dari Maliau dan Taruak...!" sentak Sudiro.


"Ha... ha... ha...! Ha... hi... hi...! Kalau begitu 

berangkatlah kalian ke neraka mendahului ketua-

mu...!" teriak Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita 

hampir bersamaan.

"Kurang ajar! Anak-anak cincang kedua bocah 

ingusan itu sekarang juga...!" perintah Sudiro. Tak da-

pat di hindari terjadilah pertarungan seru di tempat 

itu. Tujuh orang utusan gerombolan Sinar Kayangan 

ternyata memiliki kepandaian yang cukup lumayan. 

Bahkan permainan golok panjang mereka juga sangat 

berbahaya bagi pihak lawan, apalagi semua itu diba-

rengi dengan kerjasama yang sangat baik. Tak heran 

kalau mereka dalam waktu sekejap saja sudah mulai 

mendesak kedua lawannya. Sebaliknya pasangan Wa-

let Merah juga tidaklah memiliki kepandaian yang ren-

dah. Jurus silat sempurna. Apalagi ketika tinggal di 

padepokan Bukit Berkabung mereka ini merupakan 

murid pertama dan kedua. Sudah barang tentu setelah 

gurunya, maka merekalah yang memiliki kepandaian 

tinggi. Secara silih berganti mereka ini terus berusaha 

membubarkan gulungan sinar golok yang mengung-

kung tubuh mereka.

"Hiaaa...! Sriiing.... Sriiing...!" Dewi Ratna Juwi-

ta dan Bagas Salaya cabut pedangnya, begitu senjata 

itu telah berada di dalam genggamannya maka men-

gamuklah kedua orang itu bagai benteng terluka. 

Menggunakan jurus pedang 'Menggapai Langit Me-

rengkuh Bintang', senjata mereka memapaki setiap 

sambaran golok lawan yang datangnya bertubi-tubi. 

Tak pelak lagi denting beradunya senjata tajam terden-

gar tiada henti.

"Heaaa... heaaa...!"

"Traaang...!" terlihat bunga api berpijar ketika 

benturan keras terjadi. Utusan gerombolan Sinar 

Kayangan yang bernama Sudiro terhuyung-huyung,


bibirnya menyeringai menahan sakit. Sementara di pi-

hak Bagas Salaya hanya tergetar saja bagian tangan-

nya. Dari beradunya senjata mereka tadi, nyatalah ba-

gi Bagas Salaya kalau lawannya yang bernama Sudiro 

itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tidak rendah. 

Selanjutnya dia pun lipat gandakan tenaganya.

"Arrgkh...!" Salah seorang dari enam orang yang 

sedang mengkerubuti Dewi Ratna Juwita menjerit ter-

tahan ketika pada satu kesempatan yang sangat baik 

senjata di tangan gadis itu berhasil menghunjam ke

bagian lambungnya sebelah kiri. Laki-laki berpakaian 

biru ini terbanting keras, menggelepar kemudian tewas 

seketika. Melihat kematian kawannya lima orang lain-

nya tampak sangat marah sekali, selanjutnya tanpa 

membuang-buang waktu lagi, satu serangan kilat yang 

di dahului dengan bentakan-bentakan menggelegar 

mereka lakukan secara berbarengan. 

"Bet! Bet!"

"Ah...!" Dewi Ratna Juwita mengeluh, serangan 

kilat yang memiliki kerja sama yang terbina dengan 

baik ini membuat dia tidak mampu melakukan seran-

gan balasan terkecuali hanya mengelak dan menang-

kis. Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, si gadis 

malah tersenyum penuh kelicikan. Sambil terus men-

gelakkan setiap serangan-serangan yang datang diam-

diam dia mulai mengerahkan sebagian tenaga dalam-

nya ke bagian tangan, begitu tenaga dalam tadi telah 

sampai ke sana, tiba-tiba cincin Batu Walet Merah 

mengeluarkan cahaya merah berkilauan.

"Hiaaat...!"

"Weeer.... Weeer...!" Begitu Dewi Ratna Juwita 

mengarahkan batu cincinnya kepada lawan-lawannya. 

Dua larik cahaya merah tampak melesat menghajar 

dua orang lawan yang berada paling dekat dengannya.

"Argggk...!" Dua jeritan maut terdengar bertu

rut-turut. Tubuh dua orang utusan gerombolan Sinar 

Kayangan itu terpelanting roboh, kulit tubuh yang te-

lah tewas itu melepuh dan berubah menjadi biru. Na-

mun gadis itu tidak ingin berhenti sampai di situ saja, 

dia terus melabrak lawannya dengan mengumbar sinar 

maut yang bersumber dari cincin batu Walet Merah di 

tangannya. Keadaan kini benar-benar telah berbalik, 

posisi utusan gerombolan Sinar Kayangan benar-benar 

menjadi kacau akibat serangan itu. Tak ada pilihan 

lain bagi mereka terkecuali bertahan sebisa-bisanya 

demi menyelamatkan selembar nyawanya.

"Hi... hi... hi...! Sial betul kalian jadi manusia! 

Mampuslah...!" jerit gadis itu, dan kembali selarik si-

nar merah datang bertubi-tubi mencecar lawannya. 

Tunggang langgang utusan gerombolan Sinar Kayan-

gan berusaha mengelakkannya, tapi pada kesempatan 

berikutnya, tak terelakkan lagi.

"Blaar...! Blaar...!"

"Wuaaa...!" Dua orang diantara tiga orang itu 

langsung menjerit, lalu roboh tanda jiwa telah merat 

dari badan kasarnya. Tapi Dewi Ratna Juwita tidak in-

gin memberi jalan hidup pada yang satunya lagi. Kem-

bali terlihat dua kali sinar merah melesat dari batu 

cincin Walet Merah di tangan si gadis. Utusan Gerom-

bolan Sinar Kayangan yang sedang berhadapan den-

gan gadis telenggas itu terperangah, namun masih te-

tap berusaha memutar goloknya.

"Breess...!" Tiada lolongan yang terdengar, laki 

berpakaian biru itu terjengkang tewas dalam keadaan 

masih tetap memegangi golok. Dewi Ratna Juwita 

hanya tersenyum sinis. Dan apabila dia memandang 

pada Bagas Salaya yang sedang bertarung melawan 

Sudiro, maka dia pun mencibir;

"Adik Bagas! Menghadapi seekor bandot saja 

sedari tadi kau tak mampu merobohkannya! Nih kubantu...!" Perempuan itu mengarahkan batu Walet Me-

rah pada Sudiro yang sedang berada dalam posisi ter-

jepit.

"Weeer.... Weeer...!"

"Ihh...!" Sudiro cepat-cepat buang tubuhnya ke 

samping kiri begitu merasakan adanya sambaran hawa 

panas di belakangnya. Serangan pertama luput, tapi 

celakanya dia tak mampu mengelakkan serangan ke-

dua yang bertenaga berlipat ganda.

"Auugghk...!" Sudiro meraung keras, tubuhnya 

terjerembab ke depan. Berkelojotan sebentar, kemu-

dian meregang ajal dengan kedua bola mata melotot.

Sepasang Walet Merah sama-sama tersenyum 

puas. Lalu tanpa menghiraukan orang-orang yang ha-

dir di situ, keduanya pun cepat-cepat berkelebat pergi.

***


SEBELAS



Sejak kematian Eyang Girinda dan sebagian 

besar murid-murid padepokan Bukit Berkabung. 

Hampir setiap malamnya suasana di sekitar padepo-

kan itu terasa sunyi mencekam. Tak terlihat seorang 

pun penjaga di luar padepokan itu, tidak sebagaimana 

biasanya, ruangan depan tampak gelap, hanya di 

ruangan tengah saja terlihat nyala pelita yang di letak-

kan persis di tengah-tengah tikar pandan. Dan di se-

tiap sudut pintu ruangan itulah keempat murid pade-

pokan berjaga-jaga. Sementara di tengah-tengah ruan-

gan di atas tikar pandan tampak Pendekar Hina Kela-

na dan Dewi Ratih sedang duduk mengelilingi lampu. 

Saat itu diantara mereka sama-sama saling diam den-

gan wajah tertunduk. Tampaknya kematian Eyang Girinda benar-benar masih mendera batin gadis itu. Lain 

lagi halnya dengan Buang Sengketa, justru dia menya-

dari dengan adanya pesan Eyang Girinda menjelang 

kematiannya beberapa minggu yang lalu membuat di-

rinya tak dapat bergerak ke mana-mana. Bahkan kini 

pun disadarinya dengan adanya Batu Walet Merah di

tangan Ratih, cepat atau lambat pasti akan mengun-

dang perhatian tokoh-tokoh persilatan dari berbagai 

golongan. Hal itu merupakan sebuah kenyataan yang 

tidak disangkal oleh siapa pun. Sebab sepanjang seja-

rahnya sepasang Batu Walet Merah, keberadaannya 

selalu diperebutkan oleh banyak tokoh. Entah sudah 

beratus jiwa yang melayang hanya karena mempere-

butkan dua batu yang memiliki kekuatan gaib yang 

luar biasa ini. Bahkan ketika Resi Mamba masih hidup 

dulu sampai membuang batu itu, juga karena dia tak 

ingin jatuhnya korban-korban lebih banyak lagi. Pe-

nyesalannya telah membunuh istrinya sendiri yang le-

bih cenderung berpihak pada golongan sesat itu, telah 

membuatnya menjadi putus asa. Itulah sebabnya keti-

ka istrinya dulu tewas di tangannya. Resi Mamba lang-

sung berada di dalam gua tempat penyimpanan jena-

zah di dalam sebuah ruangan kecil yang berada di da-

lam gua tempat penyimpanan jenazah para leluhur. 

Dan sebelum Resi Mamba meninggal dunia dia pun te-

lah memutuskan untuk membuang Batu Walet Merah 

jantan miliknya. Siapa kira kemudian muncul Dewi 

Ratih yang punya ambisi untuk mengembalikan jaman 

kejayaan padepokan Bukit Berkabung.

"Kita tak mungkin tetap tinggal di sini sela-

manya, apalagi dua orang saudaramu kini dengan Ba-

tu Walet Merah mulai menyebar malapetaka di mana-

mana...!" ucap Buang Sengketa memecah keheningan 

suasana. Suaranya yang lirih, cukup membuat Ratih 

tersentak dari lamunannya. Sejenak dipandanginya


wajah pemuda di depannya dengan sudut matanya 

yang indah.

"Maksud kakang bagaimana...!" tanya gadis 

berpakaian merah biru dengan ikat kepala merah ini 

penuh perhatian.

Si pemuda tak segera menjawab, sebaliknya di-

buangnya pandangan mata jauh-jauh sambil menarik 

nafas pendek, dan menghembuskannya kembali. Maka 

dia pun menyahut.

"Mestinya kita mulai bergerak meninggalkan 

padepokan ini, atau paling tidak mengosongkan pade-

pokan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu andai 

saja dunia persilatan tau bahkan apabila dua orang 

saudaramu tahu bahwa kau ada memiliki Batu Walet 

Merah yang satunya lagi. Maka aku punya keyakinan 

mereka tak terkecuali saudaramu pasti segera membu-

rumu...!" ujar si pemuda was-was.

Dewi Ratih tampak angguk-anggukkan kepa-

lanya.

"Menurutmu apakah kita mampu mengambil 

Batu Walet Merah betina yang kini berada di tangan 

Kakang Bagas Salaya, Kakang...?"

Buang Sengketa hanya tersenyum saja men-

dengar kata-kata Dewi Ratih yang agaknya tak tau ba-

nyak tentang kemelut yang sedang terjadi di rimba 

persilatan.

"Kau bilang pemilik pedang itu Bagas Salaya?" 

tanyanya setengah tertegun.

"Ya... ada tanda dari pedang yang menggeletak 

di depan pintu gua...!" ujar Ratih merasa sangat yakin. 

Pendekar Hina Kelana hanya manggut satu kali.

"Kalau pun memang benar apa yang kau kata-

kan itu, yang jelas dia datang kesana tentulah bersama 

dengan kakak tuamu, Dewi Ratna Juwita...!"

Tersentak Dewi Ratih mendengar apa yang baru


saja dikatakan oleh pemuda tampan yang duduk di 

hadapannya.

"Bagaimana kakang bisa mengetahui-nya...?"

"Apakah beberapa hari ini kau tidak mendengar 

adanya berita tentang sepak terjang tokoh muda yang 

menamakan dirinya sebagai Sepasang Walet Merah? 

Kalau sudah dibilang sepasang itu berarti dua orang, 

yang jelas laki-laki dan seorang perempuan...!"

"Apakah orang itu juga memiliki batu cincin se-

perti yang ada padaku ini?" tanya si gadis pilon. Buang 

Sengketa tampak garuk-garuk kepalanya.

"Justru batu itulah yang telah banyak menim-

bulkan jatuhnya korban dimana-mana...!"

"Kalau begitu kita harus bisa menghentikan-

nya, Kakang...!" tukas Ratih. Si pemuda menanggapi 

dengan sesungging senyum kecut.

"Memang kenapa, Kakang Kelana...!"

"Yang ingin kita buru adalah Batu Walet Merah, 

sedangkan yang memburu juga memiliki batu yang 

sama. Pernahkah terlintas di dalam hatimu bahwa kita 

pun punya kemungkinan besar untuk diserbu oleh 

orang lain, atau bahkan saudara-saudaramu juga ma-

lah berbalik memburumu...?" tanya Pendekar Hina Ke-

lana seperti pada dirinya sendiri.

"Betul juga katamu kakang...! Tapi mungkinkah 

kita mendapatkan kembali Batu Walet Merah yang be-

tinanya, jika kita menghadapi dua orang saudaraku itu 

hanya mengandalkan tenagamu...?!"

"Kemungkinan itu selalu ada, asal saja kita tau 

selanya...!"

"Tapi kehebatan Batu Walet Merah tak bisa di-

anggap main-main, Kakang...! Bahkan kakang sendiri 

pernah menyaksikannya ketika kita terlibat pertarun-

gan dengan Gendam Lukito...!"

"Aku hanya memberi usul, Adik Ratih... jika


kau keberatan itu berarti segala resiko apapun kita 

sudah siap menghadapinya...!" katanya. "Pula yang 

akan merintangi jalan di depan sana bukanlah sauda-

ramu saja, masih banyak tokoh persilatan yang lain 

yang mungkin juga berambisi untuk mengangkangi 

kedua batu itu...!"

"Menurutmu bagaimana, Kakang...!"

"Kalau menurut aku, ada baiknya Batu Walet 

Merah yang berada di tanganmu itu disembunyikan di

suatu tempat!" ujarnya berbisik-bisik.

"Apa disembunyikan? Justru dengan cara dis-

embunyikan seperti itu aku merasa kurang yakin akan 

keselamatan...!"

"Bagaimana kalau tidak kau pakai di jari, tapi 

di bungkus dengan sebuah kain kemudian kau sem-

bunyikan di salah satu saku bajumu...!" katanya lagi 

memberi pandangan yang lain. Sekejap Dewi Ratih be-

rusaha memahami apa yang di katakan oleh Buang 

Sengketa. Lalu tak lama setelahnya dia pun sudah 

mengangguk setuju.

Dalam kesempatan itu, sebelum keduanya 

mengambil langkah lebih lanjut, dari luar padepokan 

dalam suasana kegelapan terdengar suara tawa seseo-

rang yang disertai tenaga dalam tinggi. Padepokan 

tempat di mana orang itu berada terasa tergetar, bah-

kan keempat orang murid padepokan terpaksa harus 

menutupi kedua telinganya. Tak lama suara tawa tadi 

berlangsung disambung dengan kata-katanya.

"Kalau kalian berdua selalu merasa was-was 

dengan keselamatan Batu Walet Merah itu, alangkah 

baiknya kalau kalian serahkan padaku. Percayalah 

aku pasti mampu menjaganya dari tangan orang-orang 

yang punya niat tak baik...!" Dengan mempergunakan 

obor di tangan, Dewi Ratih tanpa banyak suara lang-

sung melompat ke luar lalu diikuti pula oleh Buang


Sengketa. Begitu mereka sampai di luar tak seorang 

pun terlihat di sana. Tapi naluri kependekaran Buang 

mengatakan bahwa sesosok tubuh dalam kegelapan 

itu tidak jauh jaraknya dari mereka berdua.

"Siapa pun adanya orang tua di dalam kegela-

pan! Ku mohon tunjukkan rupa, dan katakan apa tu-

juan sehingga malam-malam begini keluyuran sampai 

ke padepokan Bukit Berkabung...!"

"Tak banyak keperluan datang ke tempatmu ini 

orang muda, pertama aku ingin turut mengatakan 

berduka cita atas meninggalnya Girinda! Yang kedua 

aku ingin menagih hutang nyawa atas diri Nyai Plasik 

bekas istriku dan seorang muridnya. Tapi sebelum se-

mua yang kukatakan itu kulaksanakan, maka aku 

minta agar Batu Walet Merah di serahkan padaku...!"

Baik Dewi Ratih maupun Pendekar Hina Kelana 

sudah barang tentu sangat terkejut sekali mendengar 

permintaan yang sangat gila-gilaan ini. Mereka menjadi 

penasaran tentang keberadaan si suara di kegelapan 

yang belum jelas rupanya ini. Dengan gusar Ratih pun 

tak ketinggalan membentak;

"Enak saja, begitu mudahkah kau meminta ba-

rang milik orang lain begitu saja, seolah engkaulah 

yang paling berkuasa atas diri orang lain."

"Hek... hek... hek...!" tawanya sumbang. "Sudah 

kukatakan bahwa kedatanganku kemari adalah untuk 

menagih hutang nyawa kawanku, tapi karena kulihat 

juga kalian merasa kebingungan untuk menyimpan 

Batu Walet Merah yang hampir saja membuat aku 

mampus dulu. Maka kuperintahkan agar batu itu di 

serahkan padaku dengan sukarela!"

"Kalau kami tak mau...!" tukas si pemuda.

"Maka aku akan memaksanya...?!"

"Mampukah kau...!"

"Hek... he... hek... he...!" tawanya lagi. "Semudah aku membalikkan telapak tanganku bocah-bocah 

ingusan...!"

"Besar mulut...!" cibir si gadis. Tiada terdengar 

jawaban apapun, tapi saat kemudian keduanya ter-

paksa harus membuang tubuhnya ke samping dan 

berguling-guling saat mana satu pukulan mematikan 

di lancarkan oleh orang yang berada di dalam kegela-

pan itu.

"Sompreet...!" maki Buang Sengketa sembari 

bangkit berdiri.

"Jleeegkh...!" Ketika Buang dan Ratih baru saja 

bersiap-siap dengan posisinya, maka sosok bayangan 

yang telah memukulnya dengan pukulan jarak jauh 

tadi telah berdiri dihadapannya. Satu seringai lebar 

mengawali kehadirannya.

"Ka... kau... siapakah kau ini...?" tanya Buang

Sengketa begitu melihat seorang kakek berkepala gun-

dul dengan pakaian warna cokelat menyelempang ke 

bagian sebelah dada sehingga mirip sekali dengan pa-

kaian seorang pendeta. Selain Buang Sengketa, rasa-

rasanya Dewi Ratih pun baru kali ini melihat kehadi-

ran laki-laki berkepala botak macam tuyul ini. Cuma 

ada keanehan yang lainnya adalah karena kakek ber-

kepala botak itu tiada henti-hentinya tertawa-tawa.

"Hek... hek... hek...! Kalau kalian ingin kenal 

denganku, akulah si Gajah Mungkur...!" bentaknya 

sambil terus mengumbar tawanya tanpa henti. Suara 

tawa Gajah Mungkur terasa benar bagi Buang meru-

pakan satu ejekan yang sangat meremehkan sekali, 

itulah makanya sebelum dia bergebrak dia pun tak in-

gin mau kalah.

"Bangsat! Kiranya setan berkepala botak ini, 

Gajah Bengkak namanya! Kaukah saudaranya Nyai 

Plasik atau bandot simpanannya? Hhh... bibirmu yang 

selalu tersenyum-senyum itu memang tak ubahnya


bagai seekor bandot ketemu betinanya! Alangkah lebih 

baik kalau kuberi engkau ganjaran yang setimpal atas 

segala tingkahmu yang punya niat untuk menguasai 

Batu Walet Merah...!" teriak Buang Sengketa, selanjut-

nya dia memberi isyarat pada Dewi Ratih dan keempat 

murid padepokan untuk menyingkir dari tempat itu.

"Hek... hek... hek.... Hoeek...! Tiada guna kau 

menyuruh adikmu minggat dari tempat ini bocah gem-

bel! Lihatlah tak sampai satu jam di depan, padepokan 

Bukit Berkabung segera terkepung dari segala penjuru. 

Percuma... percuma... kalangan persilatan sudah tau, 

bahwa saudaramu yang lain telah berani pamer di du-

nia ramai dengan mengandalkan Batu Walet Merah. 

Mereka pasti marah, bocah...! Tapi sebelum mereka 

datang melabrakmu itu makanya aku datang lebih aw-

al, menyerahlah...!" perintah Gajah Mungkur yang su-

dah barang tentu menganggap Buang Sengketa masih 

merupakan murid padepokan Bukit Berkabung.

Sementara itu apapun yang bakal terjadi, seda-

patnya Pendekar Hina Kelana telah memberi jalan bagi 

Dewi Ratih dan keempat orang muridnya untuk kabur 

dari tempat itu. Mulanya Ratih merasa bimbang den-

gan keselamatan Buang yang selama ini bertindak se-

bagai pelindungnya. Tapi karena secara terus menerus 

Pendekar Hina Kelana mendesaknya maka dengan be-

rat hati dia dan kawannya terpaksa meninggalkan 

tempat itu. Keadaan seperti itu tidak dikehendaki oleh 

Gajah Mungkur, dia berusaha mencegah namun 

Buang Sengketa merintanginya. Tanpa tercegah lagi, 

Gajah Mungkur menjadikan si pemuda sebagai tempat 

pelampiasan kemarahannya. Mulanya dia mengira 

dengan sekali gebuk mempergunakan senjata mautnya 

yang berupa pecut dari ekor ikan hiu maka binasalah 

pemuda berperiuk itu di tangannya. Tapi akhirnya dia 

harus kecewa setelah melihat kenyataan yang terjadi



bahwa pemuda yang dianggapnya hanya memiliki ilmu 

kepandaian tidak seberapa ini ternyata mampu menge-

lakkan cambukan pecutnya yang sangat luar biasa ce-

pat ini.

"Keparat...! Kebisaanmu bertingkah di depanku 

benar-benar harus kau tebus dengan kematian yang 

mengertikan...!" Gajah Mungkur lagi-lagi membentak, 

selanjutnya dia ayunkan pecutnya yang memiliki berat 

hampir satu kwintal itu.

***


DUA BELAS



"Jder.... Jdeeer.... Jdeeer...!" suara pecut di tan-

gan Gajah Mungkur meledak-ledak mencecar lawan-

nya. Tapi Buang Sengketa telah berkelebat cepat. 

Mempergunakan jurus silat 'Membendung Gelombang 

Menimba Samudra', kedua tangannya dia putar sede-

mikian rupa sehingga membentuk sebuah pertahanan 

yang sangat kokoh sekali. Sekali dua lecutan cambuk 

di tangan Gajah Mungkur dengan nekad dia pakai di 

tengah jalan dengan mempergunakan jurus si Gila 

Mengamuk. Namun ternyata cambuk yang terbuat dari 

ekor ikan hiu itu selain memiliki berat yang luar biasa 

juga dialiri dengan tenaga dalam yang cukup tinggi. 

Hingga mau tak mau Buang terpaksa menarik pulang 

tangannya, saat dia merasakan tangan kanan yang dia 

pergunakan untuk memapaki serangan cambuk itu 

kesemutan dan berdenyut-denyut sakit.

"Sekejap lagi engkau harus terima mampus, 

bocah...!" teriak Gajah Mungkur sambil melipat ganda-

kan tenaganya sehingga membuat cambuk di tangan-

nya meledak-ledak bagai sebuah senjata yang sangat


ringan sekali.

"Dwwuueer...!"

"Kampret...!" maki Pendekar Hina Kelana saat 

cambuk di tangan Gajah Mungkur hampir saja mende-

ranya. Angin sambaran cambuk yang dilecutkan oleh 

Gajah Mungkur terasa sangat panas menyambar ba-

gian kepalanya, kini sadarlah dia bahwa ujung cambuk 

selain memiliki berat yang luar biasa kiranya mengan-

dung racun yang jahat. "Aku harus lebih cepat dalam 

bertindak, kalau tidak tubuhku bisa hancur berkeping 

dilanda cambuk sialan itu!" gumam si pemuda dalam 

hati.

"Caiiit...!" mempergunakan jurus si 'Gila Men-

gamuk' secara mendadak tubuh Buang Sengketa ber-

gerak lambat, meliuk-liuk, terhuyung ke depan dan ke 

belakang bagai orang yang sedang mabuk. Inilah yang 

merupakan ciri khas dari jurus si Gila Mengamuk yang 

di mainkan oleh Buang Sengketa. Sungguhpun gera-

kan silat si pemuda menjadi kacau tak beraturan, 

akan tetapi sampai sejauh ini cambuk di tangan Gajah 

Mungkur secepat apapun berkelebat menyambar ma-

sih tetap saja dapat dielakkan oleh pihak lawannya. 

Selaku tokoh silat, bahkan boleh dikata dedengkotnya 

kaum persilatan golongan hitam yang sudah banyak 

makan asam garam pengalaman. Sudah barang tentu 

keadaan seperti itu tak dapat dibiarkan terus berlan-

jut. Maka tanpa banyak komentar lagi, dia pun cepat-

cepat robah jurus silatnya dengan tingkatan yang lebih 

tinggi. 'Gajah Buta Menendang Serigala', memperguna-

kan jurus ini, tubuh Gajah Mungkur yang sangat ge-

muk luar biasa tampak bergerak lebih cepat lagi dari 

yang sudah-sudah. Cambuk di tangan tiada henti-

henti melecut ke arah bagian tubuh lawannya. Gera-

kan tubuh Gajah Mungkur yang sedemikian cepat, 

membuat Buang Sengketa mulai kehilangan ruangan


gerak. Hingga satu kesempatan pihak lawan lancarkan 

satu sodokan keras ke arah bagian perut. Buang me-

nangkisnya dengan kibaskan tangan kanan, sementara 

tangan kirinya menghajar bagian dada Gajah Mung-

kur.

"Buuuuk!" Gajah Mungkur mengeluh dengan 

tubuh terhuyung-huyung ke belakang, tapi di luar du-

gaannya pecut di tangannya menghajar bagian pung-

gung Buang Sengketa.

"Breet! Ahhkh...!" tubuh pemuda keturunan ra-

ja para siluman itu terguling-guling roboh. Dia mera-

sakan bagian punggungnya seperti remuk, bajunya 

pun robek hampir sepanjang punggung belakangnya. 

Tertatih-tatih, pemuda itu berusaha bangkit, sementa-

ra bagian punggung yang terkena itu telah mulai men-

geluarkan darah, hingga menimbulkan rasa perih yang 

tiada tertahankan.

"Mampuslah, kau bocah...!" teriak Gajah Mung-

kur. Sambil melecutkan cambuknya dia kirimkan satu 

pukulan maut yang tak kalah hebatnya dengan cam-

buk ditangannya. Begitu tangan kirinya mendorong ke 

depan, maka tak pelak lagi selarik sinar berwarna pu-

tih tampak melesat dari bagian telapak tangannya. 

Buang Sengketa sama sekali tiada menduga akan 

adanya bahaya yang datang secara bersamaan ini. Dia 

tiada memiliki pilihan lain terkecuali memapaki puku-

lan lawan dengan pukulan si Hina Kelana Merana, se-

dangkan lecutan cambuk di tangan Gajah Mungkur 

dia atasi dengan mempergunakan Jurus Koreng Seri-

bu.

"Blaaam! Creep!" sesungguhnya tubuh masing-

masing lawan sama-sama terpental pada saat dua ke-

kuatan sakti itu saling berbenturan. Tapi karena ter-

lanjur ujung cambuk milik Gajah Mungkur terpegang 

oleh si pemuda. Maka begitu tubuh mereka tersentak


ke belakang, secara tak terduga mereka malah terpe-

lanting ke depan. Masih untung Buang Sengketa ce-

pat-cepat menarik balik daya sedot Jurus Koreng Seri-

bu yang telah dia lancarkan andai tidak dapat dipasti-

kan dialah yang paling parah menderita luka dalam.

Gajah Mungkur yang terlempar tubuhnya ke 

samping kiri, ternyata juga merupakan orang yang 

sangat kedot luar biasa. Terbukti sampai sejauh itu 

tiada perubahan yang terjadi pada dirinya. Padahal 

saat itu Buang Sengketa sendiri sudah menderita luka 

dalam yang tidak ringan, bahkan dari hidung dan bibir 

si pemuda mulai nampak mengalir darah kental.

"Bocah! Tiga pukulan di depan, nyawamu akan 

terbang ke neraka! Kuperingatkan padamu, cabutlah 

senjatamu andai memang benar kau memiliki senjata 

yang dapat kau andalkan, cepatlah...!" teriak Gajah 

Mungkur. Saat itu dia sudah putar-putar cambuknya 

tepat di bagian atas kepalanya.

"Botak keparat, tak perlu kau beri peringatkan! 

Andai memang telah tiba waktumu untuk mampus, 

maka tak apalah kau perintah sekalipun aku akan ca-

but senjataku...!" Kata Buang Sengketa, seraya meng-

gerung marah. Dalam keadaan seperti itu, manusia 

berbadan besar yang menjadi lawannya telah pula 

memburunya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan 

juga mengandalkan cambuk di tangannya. Buang 

Sengketa merasa tak perlu mengulang kebodohannya 

untuk yang kedua kalinya. Begitu tubuhnya berkele-

bat, maka tangan kanannya sudah pula mencabut pu-

saka Golok Buntung yang selalu terselip di bagian 

pinggangnya. Dengan mempergunakan golok itu Buang 

sudah merasa cukup untuk menandingi lawannya, tak 

perlu mempergunakan Cambuk Gelap Sayuto yang 

sangat luar biasa itu.

"Heeeiiik...!"


"Nguuung...!" saat Buang Sengketa mengelua-

rkan jeritan tertahan, maka tubuhnya berkelebat cepat 

mengiringi melesatnya sinar merah menyala yang me-

mancar dari pusaka Golok Buntung yang berada da-

lam genggaman si pemuda. Dingin angin malam sema-

kin bertambah dingin, saat senjata maut itu menyam-

bar-nyambar bagian tubuh lawannya. Gajah Mungkur 

sudah barang tentu merasa terkejut bukan alang kepa-

lang. Apalagi ketika melihat berkelebatnya sinar merah 

menyala di tangan lawannya. Dan dia menjadi lebih 

terperanjat lagi saat dia merasakan udara dingin yang 

hebat mendera tubuhnya. Perobahan yang sangat tiba-

tiba itu memang membuat Gajah Mungkur menjadi 

lengah sedikit.

"Siiing!" golok di tangan lawan menyambar de-

kat sekali dengan bagian dadanya. Setengah tergagap 

dia sabetkan cambuknya.

"Ctar.... Criiing...!" lecutan cambuk di sambut 

dengan ketajaman golok, tak ayal lagi cambuk itu pun 

terpotong menjadi beberapa bagian. Gajah Mungkur 

tanpa senjata andalan di tangan tampaknya menjadi 

semakin kelabakan. Pendekar Hina Kelana terus mem-

burunya tanpa memberi peluang lagi pada lawannya 

untuk berbuat lebih banyak. 

"Caaait...! Hiaaa...!"

"Creees...!"

"Argk...!" Gajah Mungkur menjerit setinggi lan-

git pada saat senjata di tangan Buang Sengketa berha-

sil menyambar bagian ulu hatinya. Tubuh Gajah 

Mungkur terhuyung-huyung, tangan menekan bagian 

yang terluka. Tapi karena darah yang keluar terus me-

nerus memancar tiada henti. Maka tak lama kemudian 

tubuhnya ambruk tiada berkutik lagi. Hanya sebentar 

saja Buang Sengketa memperhatikan keadaan mayat 

lawannya, kemudian barulah dia memperhatikan ke


sekelilingnya. Maka padepokan Bukit Berkabung dari 

jarak yang tidak begitu jauh telah di kelilingi oleh obor 

dari berbagai penjuru. Bahkan sayup-sayup dia men-

dengar suara orang-orang itu meneriakkan kata "Walet 

Merah." Tak salah semua golongan persilatan memang 

ingin memiliki batu Walet Merah. Mampukah Dewi Ra-

tih menyelamatkan batu Walet Merah di tangannya? 

Bagaimana halnya dengan Pendekar Hina Kelana yang 

terkepung? Lalu siapa pula ketua Gerombolan Sinar 

Kayangan? Untuk mengetahui jawabnya ada pada ju-

dul "Banjir Darah Di Bukit Siluman".



                              TAMAT














Share:

0 comments:

Posting Komentar