Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
SEPASANG WALET MERAH
Oleh D. Affandy
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Sepasang Walet Merah
SATU
Tanpa menghiraukan udara pagi yang terasa
begitu dingin menggigit sampai ke sum-sum tulang.
Perempuan itu terus berenang menelusuri Sungai
Banyu Urip yang jernih, namun memiliki kedalaman
tidak lebih dari empat tombak. Sesekali tubuhnya yang
berkulit halus mulus tampak melonjak-lonjak bagai
sosok makhluk yang sudah sampai pada puncak bira-
hi. Lalu tubuhnya kemudian lemas lunglai, mengem-
bang di atas permukaan air sekejap, selanjutnya tubuh
itu tenggelam perlahan. Lenyap tak lebih dari sepema-
kan sirih lamanya. Air di dalam Sungai Banyu Urip
tampak kembali tenang bagai tak pernah ada siapa
pun hadir di dalamnya. Tinggallah tebing batu cadas
nan bisu yang menjadi pagar dalam derasnya air Sun-
gai Banyu Urip yang banyak menyimpan seribu satu
macam misteri.
Lalu saat mana perempuan berkulit putih mu-
lus dan tanpa mengenakan sehelai pakaian itu kembali
muncul ke permukaan air. Maka perubahan pun lang-
sung terjadi Air Sungai Banyu Urip yang semula nam-
pak tenang, bening nan sejuk tampak bergolak. Bah-
kan rasa dingin yang ditimbulkannya, mendadak saja
berubah hangat dan seiring dengan perubahan itu,
warna air di dalamnya berubah pula menjadi merah.
Darah! Tubuh perempuan itu mengejang dengan gele-
tar-geletar kecil di sekujur permukaan kulitnya. Seir-
ing dengan perubahan-perubahan secara mengejutkan
tersebut, maka gejolak air dari bawah dasarnya mulai
menimbulkan riak-riak gelombang yang akhirnya me-
nimbulkan satu gerakan yang tak ubahnya bagai pa-
sang surut air laut. Detik selanjutnya seluruh permu-
kaan air tempat di mana perempuan berambut pan
jang dan berwajah lumayan, tampak berputar-putar
membentuk satu pusaran air yang sangat kencang se-
kali. Kini kembali tubuh telanjang tersebut timbul
tenggelam dipermainkan pusaran air yang mengelilingi
tubuhnya. Tapi dari mimik wajahnya yang oval mengi-
syaratkan, tiada rasa ketakutan membayang di sana.
Sebaliknya sepasang bibirnya yang ranum itu me-
nyunggingkan seulas senyum renyah. Terkadang ter-
dengar pula suara mendesis dan erangan-erangan kecil
secara samar-samar. Ada sesuatu yang terasa mengge-
litik di bagian perut dan bagian-bagian lainnya.
"Bleep...!" Satu sentakan keras ke arah dasar
sungai, membuat tubuhnya lenyap seiring dengan ke-
cepatan putaran arus yang sangat kuat dan bahkan
sampai menimbulkan suara berdengung-dengung ba-
gai bunyi sempritan. Setelah lenyapnya tubuh perem-
puan itu bersama dengan putaran arus sungai yang
terjadi secara tiba-tiba. Maka detik selanjutnya bagai
tak pernah terjadi apa-apa, air sungai itu kembali
menjadi tenang seperti belum sediakala. Bahkan warna
merah yang ditimbulkannya akibat gelembung-
gelembung udara dari bawah dasarnya secara perlahan
berangsur-angsur lenyap sama sekali. Apakah yang
terjadi dengan perempuan itu?
Setelah mengikuti putaran arus yang sangat
kencang itu, maka tubuhnya terus meluncur pada se-
buah terowongan yang terdapat di dasar sungai yang
memiliki kedalaman tak kurang delapan tombak.
Anehnya ketika tubuh tiada berpakaian itu terus men-
gikuti putaran arus yang membawanya ke sebuah te-
rowongan di bawahnya. Dia masih dapat mengingat
bahwa memasuki terowongan itu semakin ke dalam-
nya, ternyata terasa semakin bertambah luas. Dan da-
lam keadaan seperti itu, masih teringat akan dia ten-
tang pesan-pesan Eyang Girinda enam purnama sebe
lum dia menjejakkan kakinya di pinggiran Sungai
Banyu Urip.
"Dewi Ratih! Sebagai gurumu di padepokan Bu-
kit Berkabung ini, Eyang tidak dapat menghalang-
halangi tentang semua rencana hidupmu di masa yang
akan datang. Kalau pun engkau tetap juga bersikeras
untuk mendapatkan Batu Permata Walet Merah milik
Eyang Buyut mu yang telah dia buang ke dalam sungai
Banyu Urip lebih kurang seratus tahun yang lalu. Ma-
ka aku tak bisa mencegahnya, tapi perlu kau ketahui.
Bahwa Eyang Buyut mu Resi Mamba, membuang Batu
Permata Walet Merah ke dalam sungai Banyu Urip,
sudah barang tentu ada sesuatu yang melatar bela-
kanginya. Setidak-tidaknya ada rahasia yang mungkin
hanya dia sendiri yang mengetahuinya!"
Saat itu perempuan yang bernama Dewi Ratih
tersebut dan merupakan murid ke tiga di padepokan
Bukit Berkabung hanya menyahut.
"Eyang Girinda! Eyang Buyut Resi Mamba sen-
gaja membuang Batu Permata Walet Merah yang me-
miliki kekuatan dahsyat itu ke dalam Sungai Banyu
Urip, menurut kesimpulanku adalah untuk menguji
siapa di antara keturunannya yang tabah dan memiliki
kemampuan dalam mendapatkan kembali Permata
Walet Merah. Dan menurut kesimpulanku pula, andai
di antara keturunannya ada yang mampu menda-
patkannya. Mungkin dialah yang punya hak untuk da-
pat mempelajari dan mewarisi kitab Dewa Berkabung
yang terkunci di bukit Siluman...!"
Mendengar ucapan Dewi Ratih, saat itu Eyang
Girinda tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Se-
bagai orang tua sekaligus merupakan generasi ketujuh
dalam padepokan Bukit Berkabung. Sudah barang ten-
tu dia lebih banyak mengetahui apa dan bagaimana
keinginan almarhum ayahnya Resi Mamba. Sungguh
pun bagi dirinya pribadi, bahwa Resi Mamba ayahnya,
memiliki kepribadian yang misterius. Akan tetapi keti-
ka kecil, dulu dia pun masih dapat mengingat betapa
Batu Permata Walet Merah yang memiliki kekuatan
yang dahsyat itu dapat menghancurkan dan membu-
nuh banyak orang ketika batu itu pernah terjatuh ke
tangan orang-orang sesat. Sebab Batu Walet Merah itu
memiliki pamor tinggi dan banyak diincar oleh orang-
orang rimba persilatan bukanlah karena harganya. Me-
lainkan karena batu tersebut mengandung ‘kekuatan’
sakti yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan sebagai
senjata yang sangat ampuh. Sedangkan keberadaan ki-
tab Dewa Berkabung yang terkunci di dalam sebuah
gua di Bukit Siluman, keberadaannya pun masih san-
gat diragukan oleh Eyang Girinda.
Kini apabila dia teringat tentang masa depan
padepokan Bukit Berkabung yang hanya memiliki mu-
rid-murid keluarga berjumlah tak lebih dari tiga puluh
orang. Dan murid ahli waris tiga orang, rasa-rasanya
Eyang Girinda tidak dapat melihat bahwa padepokan
Bukit Berkabung akan mampu mencapai jaman kee-
masan seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat
mana ayah kandungnya Resi Mamba memegang pucuk
pimpinan di padepokan itu. Ketiga orang murid yang
masih keturunan langsung dari anak-anaknya, ternya-
ta memiliki watak dan perangai yang berbeda-beda.
Murid pertama yang bernama Dewi Ratna Juwita,
sungguh pun merupakan murid yang memiliki kepan-
daian sangat tinggi namun mempunyai watak yang te-
lengas dan suka mengembara ke mana-mana. Disamp-
ing itu, Eyang Girinda juga terpaksa harus mengusir-
nya karena ternyata Dewi Ratna Juwita menyimpan
hubungan cinta dengan Bagas Salaya, yang sebenar-
nya masih merupakan adik tirinya sendiri. Kini hara-
pan satu-satunya sebagai ahli waris yang dapat melan
jutkan kepemimpinan padepokan Bukit Berkabung se-
penuhnya terletak di pundak Dewi Ratih. Sebagai mu-
rid ketiga sebenarnya gadis itu memiliki pendirian yang
kokoh dan berpikiran cerdas. Sayangnya murid sekali-
gus merupakan cucu ketiga Eyang Girinda ini meru-
pakan seorang murid yang sangat pemalas dan tak
pernah giat dalam berlatih ilmu silat.
Sehingga dia selalu ketinggalan jauh bila di-
bandingkan dengan dua orang saudaranya yang lain.
Sekarang setelah dua tahun ditinggalkan oleh kakak
tuanya Dewi Ratna Juwita, menyusul kemudian Bagas
Salaya, yang pergi dari padepokan karena kekasihnya
yang diusir oleh kakeknya. Tampak-tampaknya gadis
itu mulai menyadari betapa kehadirannya di padepo-
kan Bukit Berkabung benar-benar sangat dibutuhkan
untuk menggantikan Eyang Girinda yang sudah sangat
lanjut usia.
Mau tak mau Dewi Ratih harus berlatih keras
hampir sepanjang hari. Satu-satunya kitab dari lima
kitab warisan leluhur yang diberi nama 'Dewa Berka-
bung' tingkatan ketujuh telah berhasil di kuasainya
dengan baik hanya dalam waktu lebih kurang tujuh
purnama. Lebih dari itu tanpa dia sadari, Dewi Ratih
yang sangat dikenal sebagai seorang pemalas dalam
padepokan itu, sekarang telah memiliki tenaga dalam
serta ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
taraf sempurna. Selain itu setelah berhasil menguasai
kitab kelima dari seluruh kitab 'Dewa Berkabung'. ini
berarti, puncak kepandaian yang dimilikinya sekarang
ini telah melebihi kepandaian yang dimiliki oleh dua
orang saudaranya yang lain. Hal ini sudah tentu pula
di luar sepengetahuan dua orang saudaranya yang te-
lah pergi meninggalkan padepokan. Mungkin satu saja
rasa penasarannya yang tidak dapat dicegah oleh
Eyang Girinda, yaitu rasa keingintahuannya tentang
Batu Permata Walet Merah yang dibuang ke Sungai
Banyu Urip oleh eyang buyutnya Resi Mamba. Dan itu-
lah satu-satunya keinginan yang pada akhirnya telah
membawa langkahnya sampai di Sungai Banyu Urip.
Demikianlah dalam keadaan mengikuti putaran
arus di dalam terowongan di dasar sungai, perempuan
itu masih teringat tentang pesan-pesan gurunya.
"Dewi Ratih, cucuku! Kalau pun engkau berha-
sil mendapatkan Batu Permata Walet Merah di dalam
sungai Banyu Urip, eyang merasa sangat kuatir kalau
nantinya batu yang berkekuatan dahsyat itu akan me-
nimbulkan bala bencana di rimba persilatan. Engkau
harus ingat waktu dulu eyang buyut mu sampai me-
mutuskan untuk membuang Batu Walet Merah terse-
but, hal itu semata-mata, eyang buyut mu telah mera-
sakan betapa semasa hidupnya kehadiran Batu Per-
mata Walet Merah telah banyak menimbulkan pertum-
pahan darah...!"
"Tapi eyang.... Batu Walet Merah adalah milik
leluhur kita yang syah, dan mungkin kemunduran pa-
depokan ini ada kaitannya dengan batu yang dibuang
eyang buyut Resi Mamba...!" Sergah Dewi Ratih saat
itu. Dan pada dasarnya di dalam lubuk hati, Eyang Gi-
rinda membenarkan ucapan cucunya. Namun mana-
kala dia teringat tentang nasib yang dialami oleh orang
tua ketiga cucu-cucunya, yaitu Kartapati dan Lasmi
Kenaka yang tiada pernah kembali setelah berusaha
mendapatkan Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip.
Tak urung rasa was-was menghantui dirinya.
"Hal itu memang tak dapat kubantu! Tapi perlu
kau ingat kedua orang tuamu sampai tewas dan bah-
kan tak diketahui mayatnya, juga karena ingin men-
dapatkan Batu Walet Merah itu. Pula kemunduran pa-
depokan ini tidak berarti apa-apa, andai dengan kea-
daan seperti itu, padepokan kita menjadi aman dari
gangguan tokoh-tokoh silat golongan mana pun. Bu-
kankah menurut eyang justru hal itu malah lebih baik
lagi...?" Ucap Eyang Girinda seolah mengajukan se-
buah pertanyaan. Dewi Ratih sebagai gadis yang berpi-
kiran cerdik dan berpandangan luas, sungguhpun pa-
da hakekatnya sebagai seorang gadis pemalas berat.
Namun sejak saat itu mulai memiliki satu gagasan
bahwa padepokan Bukit Berkabung harus mampu
mengulang masa jayanya kembali. Dan bagi Dewi Ra-
tih, latar belakang kemunduran padepokan Bukit Ber-
kabung telah diketahuinya. Yaitu setelah dibuangnya
Batu Walet Merah di Sungai Banyu Urip.
"Eyang! Bukannya aku mau membantah apa
yang telah eyang katakan! Tetapi walau apapun yang
bakal terjadi, aku ingin padepokan ini bisa mengulangi
jaman keemasan seperti saat dulu eyang buyut Resi
Mamba menjadi pimpinan di sini...!" sela Dewi Ratih
nampaknya sudah tak ingin cita-citanya dihalang-
halangi.
"Ratih... Ratih... sama seperti ayah dan ibumu,
kau pun memiliki pendirian yang keras...!" Ratih tam-
pak terdiam, dia dapat merasakan apa yang ada di da-
lam hati eyangnya. Sebagai orang yang sangat diha-
rapkan di padepokan Bukit Berkabung itu, sudah ten-
tu Eyang Girinda selalu mengkhawatirkan tentang ke-
selamatannya. Andai saja dia sampai menemui nasib
seperti orang tuanya di Sungai Banyu Urip. Pupuslah
sudah harapan orang tua bertubuh ceking dan tinggi
ini. Walau bagaimana pun dia tak pernah mengha-
rapkan Dewi Ratna Juwita yang telengas dan suka
mengembara itu, apalagi dia sempat menjalin hubun-
gan cinta dengan saudara tiri-nya sendiri, yaitu Bagas
Salaya. Sebaliknya Bagas Salaya pun tak dapat diha-
rapkan sebagai keturunan pengganti, karena pemuda
itu lebih cenderung bersahabat dengan tokoh-tokoh
persilatan golongan sesat. Tapi ketika Dewi Ratih te-
ringat akan Bukit Siluman yang menyimpan sebuah
misteri yang tak pernah terungkap oleh Eyang Girinda,
maka dalam pikirannya muncul satu pertanyaan yang
tak kalah pentingnya dengan kepergian dirinya ke
Sungai Banyu Urip. Selanjutnya setelah menarik nafas
dalam-dalam dan membuang praduga yang bukan-
bukan lalu dia pun bertanya:
"Eyang! Menurutmu, apakah Bukit Siluman
yang ruangan gua di dalamnya selalu terkunci itu ti-
dak menyimpan sesuatu yang mungkin sangat penting
artinya dalam padepokan Bukit Berkabung...?" Sela si
gadis dengan tatapan penuh selidik. Namun lewat so-
rot mata laki-laki renta ini, Ratih tiada melihat bahwa
Eyang Girinda tiada menyimpan sesuatu yang sangat
rahasia. Malah sebaliknya sembari menatap cucunya,
Eyang Girinda berucap pelan.
"Bagiku dan sepanjang yang kuketahui di da-
lam gua Bukit Siluman tak terdapat sesuatu apa pun
terkecuali tempat itu memang sangat di keramatkan
bagi para keturunan padepokan Bukit Berkabung. Ka-
rena seperti diketahui gua Siluman merupakan tempat
bersemayamnya leluhur-leluhur kita yang telah tiada.
Sayangnya kunci untuk membuka pintu di dalam gua
itu juga kini telah hilang entah ke mana...!" kata Eyang
Girinda seperti menyesalkan. Apa yang dikatakan oleh
laki-laki renta pada bagian yang paling akhir tersebut
sudah cukup membuat kejut di hati Ratih. Sebagai
orang cerdik namun pemalas, dia dapat menduga. Ka-
laulah memang benar kunci itu hilang begitu saja, ga-
dis ini tak ambil pusing. Namun andai sampai terjatuh
ke tangan orang sesat yang ingin mengetahui lebih ba-
nyak tentang rahasia di dalam gua itu.
DUA
Dewi Ratih tak dapat membayangkan akibat-
nya, sejauh itu dia tak punya keinginan untuk menga-
takan kekhawatirannya tentang hilangnya kunci perak
tersebut, mungkin suatu saat dia dapat mencari tahu
benar tidaknya kunci itu hilang secara wajar.
"Baiklah eyang...! Mengenai rahasia Bukit Si-
luman aku tak akan mempertanyakannya lagi pada
eyang, tapi walau bagaimana pun aku tetap memu-
tuskan untuk pergi ke Sungai Banyu Urip...!" katanya
begitu tegas dan pasti. Saat itu, walaupun merasa san-
gat berat hati untuk melepaskan Dewi Ratih, namun
akhirnya Eyang Girinda memberi ijin juga.
Kini kita kembali pada Ratih yang sedang bera-
da di dalam sebuah lorong di dasar sungai yang terus
mengikuti putaran arus. Tubuh telanjang itu terus me-
luncur cepat ke arah bagian dalam terowongan pusa-
ran air yang di kanan kirinya ditumbuhi dengan gang-
gang dan lumut yang sangat licin. Selanjutnya tak ku-
rang dari sekedipan mata lamanya, sampailah Dewi
Ratih di dalam ruangan paling mendasar di dalam te-
rowongan yang sangat panjang tersebut.
"Splaaak! Gabruuuk...!" Bagai ada sebuah ke-
kuatan gaib bertenaga sangat besar, tubuh Ratih ter-
lempar dari dasar terowongan untuk selanjutnya ter-
campak di atas sebuah daratan batu cadas berlumut.
Yang membuat heran gadis itu adalah karena begitu
tubuhnya menyentuh permukaan tebing batu cadas
yang terdapat di dasar pusaran air ini. Secara menda-
dak tempat itu menjadi terang benderang.
"Aneh! Terowongan dan pusaran air yang begitu
deras telah mencampakkan diriku pada sebuah ruan-
gan yang mungkin tak pernah terpikirkan keberadaannya oleh siapa pun. Namun... eee... sepertinya ca-
haya yang menerangi ruangan dinding batu itu berasal
dari ruangan lain yang terdapat di sebelah depan sa-
na? Mungkinkah semua itu karena pengaruh tapaku
yang telah berlangsung selama empat puluh hari itu?
Ataukah karena Sang Hyang Widi telah pula merestui
semua usahaku untuk mengembalikan jaman keema-
san padepokan Bukit Berkabung? Tapi kalau pun se-
mua itu benar adanya, pasti ada sesuatu terdapat di
dalam ruangan itu. Apapun yang bakal terjadi, aku ha-
rus sampai ke ruangan itu...!" batin Ratih. Selanjutnya
tanpa membuang-buang waktu lagi. Tubuh dalam
keadaan telanjang itu, mulai merangkak menuju ruan-
gan lain yang berada di depannya. Usahanya untuk
dapat sampai ke dalam ruangan yang menimbulkan
cahaya terang benderang itu bukanlah suatu peker-
jaan yang sangat mudah. Sebab selain ruangan menu-
ju tempat tersebut sangat sempit namun juga sangat
licin luar biasa. Berulang kali dia harus jatuh bangun
untuk dapat sampai di sana. Hanya dengan mengan-
dalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh sa-
ja, akhirnya dia sampai juga di depan pintu terowon-
gan yang menyerupai lorong gua tersebut. Namun ak-
hirnya dia harus terperangah saat mana gadis telan-
jang itu merasakan ada hawa panas terasa mendera
tubuhnya. Kejadian yang sangat tiba-tiba ini membuat
Ratih tersentak ke belakang. Tubuh si gadis terbanting
dalam keadaan terlentang, namun secepatnya tangan
dan kakinya berkelebat mencari keseimbangan. Karena
lantai dasar gua batu itu sangat licin, barulah setelah
bersusah payah dia dapat kembali dalam posisinya.
Apabila kedua matanya kembali memandang
pada ruangan yang menimbulkan cahaya terang ben-
derang yang terdapat dua tombak di depannya. Maka
sadarlah dia bahwa cahaya terang yang sangat menyilaukan itu tersumber dari sebuah benda yang terletak
di atas tempat yang sangat mirip dengan sebuah altar
kecil.
"Hmm. Mungkin benda yang mengeluarkan ca-
haya itulah Batu Permata Walet Merah milik Eyang
Buyut Resi Mamba! Tapi sangat mustahil sekali andai
batu itu dicampakkan sedemikian rupa, kini bisa terle-
tak di atas sebuah altar? Mungkinkah ada tangan lain
yang telah meletakkannya di tempat itu? Emm... aku
merasa tiba-tiba saja bulu kudukku merinding, dan
mengapa secara mendadak pula batu itu bergerak-
gerak...!" batin gadis itu, secara reflek Ratih beringsut
mundur. Bersamaan dengan sirnanya cahaya yang di-
timbulkan oleh batu yang terletak di atas altar terse-
but. Maka muncul pula cahaya lain yang memancar-
kan cahaya berwarna biru, cahaya itu tampak meman-
car dari lantai batu licin yang terdapat tidak begitu
jauh dari altar tadi. Semakin lama, cahaya berwarna
biru tersebut semakin bertambah membesar, semakin
tinggi, hingga pada akhirnya membentuk sesosok tu-
buh seorang kakek berbadan tegak dengan mengena-
kan pakaian berwarna biru pula.
Dewi Ratih tersentak kaget, wajahnya yang ke-
merahan berubah pucat pasi. Terlebih-lebih bila meli-
hat tatapan mata kakek berambut dan berjenggot ser-
ba putih, yang sejak kehadirannya terus memperhati-
kan Ratih mulai dari ujung rambut hingga sampai ke
ujung kaki. Bukan karena apa si gadis bertingkah se-
perti itu. Hal ini tak lain sebagai seorang gadis dia me-
nyadari, saat itu dia tengah berhadapan dengan insan
berlainan jenis, apalagi dia menyadari kala itu tubuh-
nya tiada terbungkus selembar kain apapun. Sudah
tentu dengan sangat leluasa kakek yang belum di ke-
nalnya ini dapat memperhatikan dengan jelas lekuk
lengkung tubuhnya yang halus mulus itu. Merasa malu sendiri, Ratih menutupi tempat-tempat tertentu di
bagian tubuhnya dengan kedua belah tangannya. Akan
tetapi nampaknya si kakek yang kedatangannya ber-
sama dengan cahaya biru tersebut dapat menangkap
apa yang menjadikan gadis itu menjadi gelisah. Detik
kemudian menggemalah tawa.
"Ha... ha... ha...! Dewi Ratih, di dalam darahmu
mengalir pula darahku, jadi untuk apa kau harus ma-
lu pada dirimu sendiri? Pula aku telah berada di alam
yang sangat berbeda dengan dunia mu...!" sejenak la-
manya si kakek yang berselimutkan kabut itu hentikan
kata-katanya. Sebaliknya bagi si gadis yang memiliki
pikiran cerdik ini kata-kata laki-laki tua itu sudah cu-
kup baginya untuk mengerti siapa sesungguhnya
orang itu. Maka tanpa canggung-canggung lagi dia pun
bersujud memberi hormat. Sebaliknya si kakek tanpa
menghiraukan apa yang dilakukan oleh Ratih terus sa-
ja melanjutkan ucapannya; "Tapamu yang empat pu-
luh hari itu, telah membangkitkan aku dari tidurku
yang panjang. Bersyukurlah engkau bahwa sampai
saat ini dirimu masih tetap perawan. Jika tidak maka
engkau akan menemui nasib sebagaimana yang diala-
mi oleh kedua orang tuamu. Ketahuilah Sungai Banyu
Urip tak pernah menerima tapa atau tubuh siapa pun
jika orang itu ternyata sudah tidak utuh lagi, walau
dengan bentuk apa pun...!" kata kakek berambut putih
itu pelan namun tegas. Kenyataan itu membuat wajah
Ratih semakin bertambah memucat. Namun akhirnya
dia memberanikan diri untuk mengajukan beberapa
pertanyaan pada kakek itu.
"Jadi... jadi benarlah adanya bahwa yang se-
dang berdiri di hadapanku ini Eyang Buyut Resi Mam-
ba...?" Laki-laki berbadan kekar itu tidak menjawab,
sebaliknya sepasang matanya yang dihiasi sederetan
alis yang sudah memutih membelalak. Untuk beberapa
saat lamanya kakek berselimutkan kabut itu menatap
pada Ratih. Namun gadis itu tiada perduli dengan ta-
tapan mata laki-laki itu, gadis itu kembali mengulangi
pertanyaannya; "Benarkah engkau ini Eyang Buyut
Resi Mamba?"
"Hmm, tak kusangka selain sangat dikenal se-
bagai seorang pemalas, kiranya kau juga merupakan
orang yang tolol. Bagaimana mungkin Girinda mena-
ruh harapan yang begitu besar padamu jika ternyata
hanya sebegitu saja pengetahuanmu...!"
"Aku hanya memerlukan sebuah keyakinan,
Eyang Buyut...!"
"Dan kau selalu berkeyakinan pada usahamu
untuk dapat mengulangi masa kejayaan padepokan
Bukit Berkabung sebagaimana ketika ku pimpin du-
lu?" sambut laki-laki tua ini yang tak lain merupakan
badan halus Eyang Buyut Resi Mamba adanya.
"Itulah yang selalu kuharapkan Eyang
Buyut...!"
"Ha... ha... ha...! Mengandalkan kepandaian
'Dewa Berkabung' tingkatan kelima kau hendak men-
dirikan puing-puing padepokan Bukit Berkabung...?"
sela Eyang Buyut Resi Mamba.
"Kukira dengan adanya Batu Permata Walet
Merah, semua impian ku untuk mewujudkan cita-
citaku dapat terpenuhi...!"
Mendengar ucapan Dewi Ratih, tampaklah
Eyang Buyut Resi Mamba perlu mengacungi jempol.
Tapi apabila dia teringat bahwa betapa Batu Permata
Walet Merah pada akhirnya hanya akan mendatang-
kan bencana di rimba persilatan, mendadak wajahnya
berubah muram.
"Cucuku...! Ketika dulu aku masih ada, Batu
Permata Walet Merah memang merupakan senjata pa-
mungkas yang tiada tandingnya. Bahkan sangat jarang
orang yang bisa selamat dalam adu kekuatan dengan-
ku. Sayangnya Batu Walet Merah bukan milikku seo-
rang. Masih ada pasangannya, karena pada hakekat-
nya batu itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ka-
rena aku laki-laki, maka yang kupegang batu yang jan-
tannya, sedangkan yang satunya lagi dipegang oleh
nenek buyut mu. Sayangnya dia hidup di pihak golon-
gan hitam, sehingga walau aku telah membujuknya
untuk kembali ke jalan yang benar dia tak pernah
mau...!"
"Kalau begitu masih ada orang lain yang memi-
liki batu seperti yang eyang buyut miliki...?" sergah
Dewi Ratih tampak harap-harap cemas. Namun ha-
tinya menjadi lega saat kemudian Resi Mamba geleng-
kan kepalanya berulang-ulang.
"Setidak-tidaknya sampai saat ini masih aman-
aman saja. Karena sebenarnya sejak nenek buyut mu
tewas dalam pertarungan denganku, hanya aku seo-
ranglah yang mengetahui di mana Batu Permata Walet
Merah yang satunya lagi berada. Tapi karena kini ada
kau sebagai keturunan sesepuh padepokan Bukit Ber-
kabung, dan kuanggap benar maka kau punya hak
untuk mengetahui di mana sebenarnya ku sembunyi-
kan pasangan Batu Walet Merah yang satunya lagi...!"
"Dimanakah, Eyang Buyut...?"
"Batu Walet Merah yang betinanya eyang buyut
sembunyikan di dalam Gua Bukit Siluman!" Bukan
main kejut hati Ratih mendengar pengakuan Resi
Mamba, sama sekali dia tiada menyangka kalau Bukit
Siluman yang sangat dikeramatkan oleh semua ketu-
runan padepokan Bukit Berkabung, kiranya merupa-
kan tempat penyimpanan sebuah benda yang memiliki
kekuatan yang sangat dahsyat.
"Eyang Buyut! Bukankah menurut Eyang Gi-
rinda, Bukit Siluman merupakan kubur bagi seluruh
leluhur kita, bahkan tak seorang pun pernah diijinkan
berkeliaran di tempat itu...?" sela Ratih,
"Ha... ha... ha...! Betul, tapi tak dapat disangkal
peraturan itu akulah yang membuatnya. Pesanku sete-
lah kau keluar dari tempat ini, sering-seringlah kau li-
hat keamanan Bukit Siluman. Dan jangan kau lupa-
kan pula, bahwa kau harus mencari dan berhati-hati
dengan beberapa gelintir tokoh sesat yang memiliki ju-
lukan, Gajah Mungkur, Nyai Plasik, dan juga gerombo-
lan sinar Kayangan...!"
"Maksud eyang buyut, apakah mereka itu me-
rupakan musuh besar dari padepokan Bukit Berka-
bung...?" tanya Ratih berapi-api. Sedangkan badan ha-
lus Resi Mamba hanya mengangguk kecil.
"Bukan sebagai musuh saja. Namun karena
mereka inilah maka nenek buyut mu sampai tersesat
sedemikian jauh, hingga pada akhirnya dia menjadi
manusia pembangkang yang paling keji di padepokan
Bukit Berkabung...!"
"Apakah Eyang Girinda juga tahu tentang seja-
rah ini?"
"Sedikit banyaknya Girinda pasti tahu, dan itu
tak perlu kau persoalkan secara panjang lebar. Nah
kukira keteranganku sudah cukup, sekarang kau am-
billah Batu Walet Merah yang berbentuk cincin itu, in-
gat dengan adanya batu cincin di tanganmu padepo-
kan Bukit Berkabung yang selama ini sunyi bagai tak
berpenghuni, dalam waktu yang akan datang pasti
akan berdatangan para musuh yang tidak kau ha-
rapkan. Dan musuh yang lebih berbahaya adalah me-
reka yang berasal dari dalam padepokan itu sendiri."
Kata laki-laki berselimut kabut itu lugas.
Kembali Ratih menjatuhkan diri, berlutut
memberi hormat Resi Mamba. Detik kemudian begitu
dia kembali pada sikapnya, dilihatnya Resi Mamba telah bergeser sejauh tiga langkah dari pendopo kecil
tempat di mana terletak Batu Walet Merah. Dewi Ratih
mengetahui bahwa itu adalah sebuah isyarat baginya
untuk mengambil benda tersebut. Tidak seperti ketika
pertama kali tadi dia mencoba meraih benda di atas
pendopo di depannya. Kali ini semuanya berjalan lan-
car, bahkan kini dia tidak lagi berjalan merangkak. Dia
sudah mampu berdiri, dan langit-langit gua di sekitar-
nya seolah semakin bertambah meninggi. Secara pelan
namun cukup pasti, tubuh telanjang itu pun melang-
kah menghampiri Batu Walet Merah. Tapi setelah be-
rada dia depan batu yang berbentuk badan burung
walet tersebut, tiba-tiba dia menjadi ragu. Dalam ke-
heningan itu mendadak terdengar seruan Eyang Buyut
Resi Mamba;
"Cepatlah ambal! Kemudian sarungkan ke sa-
lah sebuah jemarimu...!" Dewi Ratih tanpa berpaling
pada badan halus kakek buyutnya, dengan tangan
gemetaran segera mengambil batu cincin yang berben-
tuk seekor burung Walet Merah itu. Anehnya sesaat
setelah melingkarkan cincin permata tadi, tubuh Ratih
mendadak serasa panas, lutut menggeletar. Bahkan
dia merasakan ada sesuatu yang terasa menyentak-
nyentak di bawah perutnya. Gadis itu merintih seten-
gah mengerang, selanjutnya tubuhnya menggeliat-
geliat bagai orang yang sedang dilanda birahi. Namun
begitu Eyang Buyut Resi Mamba acungkan jari telun-
juknya mengarah pada bagian dada Ratih. Maka sela-
rik sinar berwarna salju mendera tubuh gadis itu. Satu
erangan panjang membuat gadis itu kembali pada si-
kapnya. Dia tersipu malu melihat keadaannya sendiri.
Kemudian entah dari mana datangnya, mendadak di
tangan Resi Mamba telah terdapat seperangkat pa-
kaian berwarna merah biru lengkap dengan ikat kepa-
lanya yang berwarna biru pula. Dalam satu gerakan
yang sangat mirip dengan lambaian tangan, detik se-
lanjutnya pakaian itu pun telah menutupi sebagian
tubuh Ratih.
"Kenakanlah pakaian itu sekarang juga!" perin-
tahnya. "Setelah kau pakai pakaian tersebut, selanjut-
nya pejamkan matamu. Jangan banyak tanya, karena
kau segera tiba di alam terbuka dan harus cepat kem-
bali memberi kabar pada Eyangmu Girinda...." lanjut-
nya pula.
Maka tanpa berani membantah, Dewi Ratih ce-
pat-cepat mengenakan pakaian pemberian Resi Mam-
ba. Usai mengenakan pakaian tersebut dia merasakan
tubuhnya menjadi hangat bahkan segala bentuk rasa
yang bersifat rangsangan yang ditimbulkan oleh cincin
Batu Permata Walet Merah yang tadinya sangat me-
nyiksa, kini telah lenyap sama sekali. Setelah selesai
mengikat kepalanya dengan sebuah selendang berwar-
na biru yang juga merupakan pemberian Resi Mamba,
maka saat selanjutnya dia pejamkan matanya. Ratih
tak tahu apa yang dilakukan oleh Resi Mamba, tapi dia
merasakan tubuhnya seperti melayang menembus lo-
rong panjang menuju keluar dari pusaran arus yang
terdapat di dasar terowongan itu. Sementara itu, sepe-
ninggalnya Ratih, maka sosok tubuh Resi Mamba, se-
dikit demi sedikit tampak memudar seiring dengan
semakin membesarnya cahaya biru dan kabut tebal
yang menyertainya.
"Weees!" Satu tiupan angin kencang yang da-
tangnya dari arah sebelah kiri, membuat cahaya berse-
limut kabut itu turut lenyap bersama hembusan angin
kencang itu.
***
TIGA
Menjelang tengah hari di sepanjang jalan seta-
pak yang diapit oleh dua hutan tua Maliau dan Teruak.
Tak terlihat seorang pun berani lalu lalang di sana. Ti-
dak juga penduduk Desa Singkalang yang biasanya ke-
luar masuk hutan untuk maksud-maksud berburu,
maupun mencari hasil hutan lainnya. Begitulah kenya-
taannya, setahun belakangan setelah hutan Maliau
dan Teruak di jadikan markas besar oleh gerombolan
sinar kayangan. Tidak terkecuali penduduk desa,
orang asing pun yang coba-coba berani datang atau
melintas secara tidak sengaja akan mendapat perla-
kuan yang tidak manusiawi dari gerombolan Sinar
Kayangan yang saat ini telah berkuasa penuh pada
dua daerah itu.
Namun suasana sepi mencekam di sekitar hu-
tan itu tidak sedikit pun mengurangi hasrat bagi pe-
muda berkuncir ini untuk tetap melanjutkan perjala-
nannya. Dia tak perduli, walau sejak menginjakkan
kakinya di ujung sebelah Barat hutan tersebut ada
berpasang-pasang mata terus memperhatikan kehadi-
rannya dengan sorot curiga. Sebaliknya dia malah ber-
lari-lari sembari menyenandungkan bait-bait lagu
orang-orang berkelana. Sesekali suaranya terdengar
merdu mendayu-dayu, di lain saat begitu sedih. Atau
bahkan tinggi melengking, sehingga memaksa para
pengintainya menutupi kedua telinga. Lewat sepema-
kan sirih, pemuda berpakaian merah dan selalu kumal
ini menghentikan langkahnya. Sekali lagi dia menoleh
pada jalan yang telah dilaluinya di saat lain sepasang
matanya yang sangat tajam memandang jalan setapak
yang menghampar di hadapannya. Masih terlalu jauh
untuk melalui jalan itu. Seharusnya dia sudah mengerahkan Ajian Sepi Angin, tapi itu tidak dilakukannya.
Para pengintai yang terus mengikuti dirinya di kanan
kiri jalan itu membuat dia menjadi sangat curiga.
"Wuus! Jleeegk...!" Laksana kilat, tubuhnya
mendadak lenyap dari jalanan itu, selanjutnya tubuh
si pemuda telah duduk ongkang-ongkang di atas se-
buah cabang pohon damar yang berukuran sangat be-
sar lagi tinggi. Gerakan yang sangat cepat dan sulit di-
ikuti oleh kasat mata ini, membuat para pengintainya
jadi kelabakan karena kehilangan jejak. Mereka saling
berbisik sesamanya. Sebaliknya, di atas cabang pohon
pemuda tampan yang sudah tak asing lagi bagi kita ini
hanya cengar-cengir sembari leletkan lidah.
"Dia bukan manusia sembarangan! Baiknya ki-
ta beri laporan pada majikan besar bahwa orang lain
telah memasuki wilayah kekuasaan kita...!" sentak sa-
lah seorang dari mereka yang bersembunyi di balik se-
buah gerumbulan semak belukar.
"Siapa adanya orang itu belum juga jelas, men-
gapa harus tergesa-gesa beri laporan? Salah-salah beri
keterangan kepala kita menggelinding Tongos...!" ban-
tah yang disebelahnya karena memang bergigi meron-
gos.
"Goblok banget sih kau! Ketahuan secara tiba-
tiba gembel berperiuk itu lenyap dari depan hidung ki-
ta. Masihkah kau membantah bahwa orang itu tidak
berkepandaian tinggi...!" laki-laki berpakaian hitam
yang di panggil tongos balas menyelak.
"Gaplok! Gaplok...!"
"Gusrak...!" Dua kali tamparan ringan dari se-
buah tangan berotot di sampingnya membuat dua
orang yang terlibat berbantahan itu tersungkur ke de-
pan. Terdengar suara bergerosakan menubruk semak-
semak di depannya. Namun tanpa mengeluarkan sua-
ra keluhan atau sejenisnya, kedua orang bersenjata
kelewang itu pun cepat bangkit berdiri dengan wajah
pucat.
"Sekali lagi, kudengar kalian saling berbanta-
han! Kutampar mulut kalian!" ucap si gemuk berewo-
kan yang melakukan tamparan tadi.
"Tongos tuh, yang mulain, Bang.... Bukan
aku...!" kilah yang seorangnya berusaha membela diri.
"Kampret kau Min! Aku tadi cuma memberi
usul, tapi siapa suruh kau ikut-ikutan!" sergah yang
bernama Tongos juga tak mau kalah.
"Marimin.... Tongos...!" bentak si laki-laki ber-
pakaian hitam berbadan gemuk dengan kedua mata
bagai hendak melompat keluar.
"Saya bang...!" sahut orang itu hampir serentak.
"Sekali lagi kalian berani membantah, kugan-
tung nanti kalian berdua...!" bentak si gemuk yang le-
bih dikenal dengan julukan si 'Tanduk Maut'. Pada ha-
kekatnya ancaman itu bukanlah ancaman kosong, se-
bab dalam lingkungan gerombolan 'Sinar Kayangan'
siapa pun orangnya pasti mengenal bagaimana kejinya
watak si Tanduk Maut dalam menjatuhkan hukuman
terhadap para bawahannya, terlebih-lebih pada orang
lain. Kata-kata si 'Tanduk Maut' yang bernada men-
gancam ini membuat orang-orang tadi tak berani ber-
kutik.
Selanjutnya si Tanduk Maut memberi isyarat
pada orang-orangnya yang berjumlah enam orang me-
nyebar. Di sisi jalan sebelah kiri yang dipimpin oleh
seorang laki-laki lain berbadan tinggi ceking. Juga
memberi perintah yang sama pada delapan orang laki-
laki lainnya. Orang-orang itu pun mulai bergerak me-
nyebar, menyibak setiap gerombolan semak-semak
yang terdapat hampir di sepanjang jalan itu. Pemuda
tampan yang tak lain merupakan Buang Sengketa
adanya, dengan sikap acuh mulai mengeluarkan unek
uneknya:
"Tak percuma Sang Hyang Widi menjadikan
dunia dari dua sisi dan dua rupa. Ada gelap ada ma-
lam, ada susah ada senang, ada laki-laki ada juga pe-
rempuan. Laki-laki ditakdirkan sebagai sosok yang
perkasa, bertindak dengan perantaraan akal. Sedang-
kan wanita adalah sebaliknya berbuat menurut pera-
saan. Perasaan adalah kasih sayang. Sungguh pun se-
bagai kaum yang lemah, tapi dia mampu membuat
dunia jadi porak poranda. Tapi celakalah apabila laki-
laki berbalik rupa sebagai manusia. Sebab dia bisa be-
rubah menjadi seperti tikus-tikus comberan yang ada
di bawah sana."
Ucapan Buang yang ditujukkan pada orang-
orang yang berada di bawahnya dan disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Sudah
barang tentu membuat orang-orang yang berada di
bawahnya menjadi kelabakan. Selain telinga mereka
terasa sakit. Tapi sumber suara bergema akibat dipan-
tulkan oleh pohon-pohon besar di sekitarnya membuat
mereka merasa sulit untuk melacak keberadaan Pen-
dekar Hina Kelana. Kemudian bagai dikomando seren-
tak mereka turun ke jalan dan berkumpul sembari
memandang berkeliling meneliti sekitar tempat itu.
Sejauh itu mereka masih belum dapat melihat
di mana sesungguhnya posisi pemuda yang sejak tadi
mereka kuntit. Menyadari menghadapi mangsa yang
mungkin saja memiliki kekuatan yang tangguh. Sejak
awal-awal lagi mereka ini sudah bersiap-siap mengha-
dapi segala kemungkinan.
"Wah... wah... wah...! Dasar tikus-tikus bego,
menguntit seekor macan pengelana saja bisa kehilan-
gan jajak. Apa gunanya majikanmu memberi makan
setiap hari...?" disertai tawa mengekeh, pemuda di atas
pohon ini, mencemooh. Ucapan Buang yang sedikit pelan membuat anggota gerombolan Sinar Kayangan da-
pat mengetahui di mana sesungguhnya posisi pemuda
gembel yang mendadak saja sirna dari penglihatan me-
reka. Yang mula-mula mengetahui posisi Pendekar Hi-
na Kelana, adalah laki-laki yang bernama Tongos tadi.
Demi menarik simpati si Tanduk Maut yang telah me-
marahinya tadi, maka begitu melihat dia langsung ber-
teriak
"Bang... lihat... cacing gembel itu lagi non-
gkrong di atas pohon...!" berkata begitu dia menunjuk
pada sebuah pohon damar yang menjulang tinggi tak
jauh di sebelah kanannya. Secara serentak keempat
belas laki-laki berpakaian serba hitam itu memperha-
tikan ke arah tempat di mana pendekar itu berada.
Yang menjadi beringas setelah melihat keberadaan si
pemuda adalah laki-laki gemuk yang berjuluk si ‘Tan-
duk Maut’ dengan si laki-laki kurus kering yang memi-
liki julukan 'Cacing Kalung'. Sebagai orang yang sudah
sangat berpengalaman banyak di rimba persilatan ser-
ta memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Baru kali
inilah adalah sejarahnya mereka kena dikerjai. Yang
membuat mereka cepat naik darah adalah justru orang
yang telah berhasil memperdayainya sesungguhnya
hanyalah seorang pemuda gembel yang mungkin juga
hanya memiliki kepandaian beberapa tingkat di bawah
mereka. Tak pelak lagi, begitu telah mengetahui posisi
pemuda berpakaian merah itu, si Tanduk Maut pun
langsung membentak dengan sorot mata mengancam.
"Monyet gembel manusia rendah yang di atas
pohon. Cepat kau turun, jika tidak dengan sangat ter-
paksa aku akan robohkan pohon itu...!" perintah laki-
laki berewokan ini terlihat semakin bertambah geram
saja.
"Ah... ha... ha...! Aku mau manjat, jalan atau
berlari-lari, apa perdulimu? Toh aku merasa tak pernah mengganggu siapa pun di sini...!" sergah Buang
Sengketa seenaknya. Bahkan setelah kata-katanya itu
dia malah rebahkan tubuhnya di pohon damar yang
berukuran sangat besar itu. Semakin bertambah men-
jadi-jadilah amarah si 'Tanduk Maut' begitu pun hal-
nya dengan si 'Cacing Kalung'.
"Kakang Tanduk Maut... agaknya dia tak men-
gerti bahwa Hutan Maliau dan Teruak berada di dalam
kekuasaan Gerombolan Sinar Kayangan. Untuk apa
basa basi, suruh saja gembel itu serahkan barang ba-
waannya. Setelah itu usir dia...!" kata si Cacing Ka-
lung. Melihat caranya memberi saran pada si gemuk
hitam, tahulah si pemuda bahwa dalam hal kedudu-
kan kiranya si Cacing Kalung masih merupakan bawa-
han si Tanduk Maut. Tapi dalam pada itu, si laki-laki
gemuk berewokan tampak geleng-gelengkan kepalanya
ditujukan pada Buang Sengketa dia berteriak.
"Bangsat rendah, bukan saja kau harus menye-
rahkan periuk yang kau bawa. Tapi engkau juga harus
meninggalkan kedua kaki dan tanganmu...!"
"Enak saja kau bicara, aku merasa tak pernah
berbuat salah pada kalian. Kini secara tiba-tiba saja
kau menghendaki barang-barang yang paling berharga
dalam hidupku...?" tukasnya sembari menepuk-nepuk
periuknya sehingga menimbulkan suara bising dan
membuat kacau pendengaran mereka yang ada di ba-
wahnya.
"Sialan! Tak kusangka orang itu memiliki ber-
bagai kepandaian yang aneh. Agaknya dia bukanlah
pemuda sembarangan seperti yang kuduga...!" memba-
tin si Tinggi ceking.
"Kunyuk di atas pohon... turun secara baik-
baik, atau aku harus memaksamu?" bentak si Tanduk
Maut dengan disertai satu erangan jengkel.
"Hmm, biasanya aku memang lebih suka melakukan sesuatu menuruti keinginan sendiri, tapi kare-
na tingkah kalian tak ubahnya bagai garong-garong pi-
cisan. Maka aku jadi ingin melihat sejauh mana kehe-
batan kutu kupret yang telah begitu berani memberi
perintah kepadaku itu...!" masih dengan tersenyum-
senyum Buang secara sengaja memanas-manasi ang-
gota gerombolan Sinar Kayangan.
"Bedebah! Hiaaaat.... Wuuuus...!"
"Bruaaaak...!" Tanpa banyak cincong si Tanduk
Maut kirimkan satu pukulan jarak jauh dengan sasa-
ran pohon yang ada di depannya. Begitu pukulan ber-
hawa panas dan sangat dikenal dengan nama 'Pukulan
Gajah Geledek' dilepas dengan mengandalkan setengah
dari tenaga dalam yang dimilikinya. Maka tak ayal lagi
menderulah selarik sinar berwarna jingga mengarah
pada sasarannya. Detik selanjutnya saat mana puku-
lan itu menghantam sasarannya. Tak dapat dicegah la-
gi pohon damar yang berukuran sangat besar itu ber-
derak patah, menimbulkan suara berkerotakan. Lalu
ambruk ke bumi.
"Hebat... hebat... kiranya si Tanduk goblok, bu-
kanlah nama kosong. Pohon roboh daun-daunnya
layu. Ihh... pukulan beracun yang sangat keji, tapi ka-
rena aku pun tak punya persoalan dengan kalian.
Baiknya sekarang aku minggat saja...!"
"Wees...!" Sekali berkelebat, maka tubuh Pen-
dekar Hina Kelana telah pula lenyap dari pandangan
mereka. Dia memang tak perduli dengan teriakan-
teriakan para pengejarnya. Sebaliknya pemuda itu ma-
lah mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya
'Ajian Sepi Angin'. Waktu selanjutnya tubuh pemuda
itu melesat laksana terbang. Tinggallah para gerombo-
lan Sinar Kayangan yang terus berkutat mencari jejak
Pendekar Hina Kelana.
EMPAT
Di sepanjang lembah di Bukit Kapur yang ma-
sih merupakan gugus Bukit Siluman, dilihat sepintas
lalu merupakan sebuah daerah yang memberi kesan
angker bagi mereka yang secara kebetulan hadir di sa-
na. Kenyataannya daerah itu memang tak pernah dija-
rah oleh siapa pun terkecuali sanak keluarga Leluhur
padepokan Bukit Berkabung dan para kerabatnya.
Dan itu pun hanya terjadi dalam waktu setahun sekali.
Selama bertahun-tahun, bahkan sejak meninggalnya
sesepuh padepokan Bukit Berkabung yaitu 'Eyang
Buyut Resi Mamba', Bukit Siluman merupakan daerah
yang sangat disucikan sekaligus merupakan daerah
terlarang bagi mereka yang bukan merupakan keturu-
nan padepokan Bukit Berkabung.
Pagi itu menjelang matahari terbit dan semasih
mengguratkan bayang-bayang merah. Udara di sekitar
perbukitan dan lembah yang terdapat di lerengnya,
tampak berselimut kabut. Embun pun masih menetes
dari ujung-ujung ranting yang meranggas karena pen-
garuh kemarau yang sangat panjang. Menelusuri se-
panjang perbukitan yang menghubungkan pada bukit
induk dan merupakan sebuah kubur bagi para leluhur
padepokan Bukit Berkabung. Tak terlihat lalu lalang
mahkluk hidup di sana, hanya bukit-bukit berbatu
kapur berderet memanjang dan tak ubahnya bagai un-
taian salju putih abadi. Pemandangan seperti itulah
yang terlihat, sejauh-jauh mata memandang. Namun
saat itu apabila deretan bukit kapur itu terus ditelusu-
ri hingga sampai pada sebuah bukit yang paling tinggi
dan berukuran sebesar anak gunung, maka akan terli-
hatlah sebuah pintu gua yang senantiasa terkunci.
Dan dekat pintu yang terkunci itu seorang pemuda
dengan pakaian biru terang nampak bersimpuh di de-
pannya.
Wajah pemuda itu tampak sedikit pucat, pa-
kaian kotor karena debu-debu kapur. Sementara sorot
matanya membayangkan rasa letih dan keputusasaan.
Di tangan pemuda itu tampak pula tergenggam sebilah
pedang pendek namun tajam di kedua sisinya. Tapi se-
jak tercabut dari sarungnya dua hari lalu, pedang di
tangan pemuda berbadan pendek itu sudah hilang ke-
tajamannya. Bahkan tampak rompal di sana sini, pa-
dahal pedang itu sebenarnya merupakan pedang mus-
tika yang terbuat dari baja pilihan. Maka apabila pe-
muda itu kembali memandangi kedua sisi mata pe-
dangnya yang sudah tak karuan ujudnya dia pun
menggerutu kesal.
"Gembok pintu batu ini entah terbuat dari apa,
sungguh sangat keterlaluan kalau pedangku yang se-
lama ini mampu menggempur batu kali, namun tak
mampu memutus sebuah gembok yang hanya sebesar
tinju bocah bayi. Dua hari dua malam aku telah men-
guras tenaga. Badan letih pedang berantakan, tapi
gembok terkutuk ini tidak juga bergeming dari posi-
sinya. Apa dayaku kini, Eyang Girinda telah mengusir-
ku, sedangkan Kakak Dewi Ratna Juwita tidak pernah
kutemukan. Oh... padahal seperti apa yang dia rasa-
kan, aku pun selalu memendam rindu padanya. Aku
tak perduli dia saudara tiriku. Aku tak tahu Sang
Hyang Widi memberi ijin atau tidak, yang penting aku
harus mengawini dia...!" batinnya tanpa mempertim-
bangkan apakah rencananya mengawini kakak tirinya
itu dilaknat oleh Sang Hyang Pencipta atau tidak.
Sementara itu tidak jauh dari tempat si pemuda
merebahkan diri dalam usahanya untuk mengusir rasa
lelah. Tampak sesosok bayangan sedang berlari-lari
cepat menuju ke arahnya. Dari gerakannya yang sangat sebat dan ringan, tak dapat disangkal kalau sosok
tubuh yang semakin bertambah jelas itu memiliki ke-
pandaian dan ilmu lari cepat yang mengagumkan. Se-
saat kemudian setelah semakin mendekat ternyata si
pemilik ilmu lari cepat itu tak lain adalah seorang ga-
dis yang memiliki wajah rupawan. Tubuhnya tinggi
semampai, dengan rambut panjang dibiarkan tergerai
dia mengenakan pakaian hijau lumut. Dan apabila me-
lihat pedang tipis menggelantung di pinggangnya, me-
mang tak dapat di sangkal kalau dia merupakan seo-
rang gadis persilatan yang memiliki kepandaian cukup
tinggi.
Setelah berlompatan di atas batu-batu kapur
sejenak lamanya dia menghentikan langkah, sepasang
matanya yang merembab basah, bekerjab-kerjab me-
mandang pada suasana sekelilingnya. Sama sekali si
gadis tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Lalu
dia pun kembali berlari-lari ke arah bukit yang memili-
ki sebuah pintu di depannya. Dan gadis itu pun ham-
pir terlonjak begitu melihat pemuda yang sangat dike-
nalnya telah berada di mulut gua berpintu batu pua-
lam tersebut.
"Adik Bagas Salaya...!" serunya setengah me-
mekik kegirangan. Pemuda yang dalam keadaan ter-
lentang itu mendadak telengkan kepalanya. Seraya me-
lonjak bangun dari tempatnya.
"Kak Dewi...!" ucap si pemuda yang ternyata
Bagas Salaya, adik tiri dan sekaligus kekasihnya. Ke-
dua insan berlainan jenis ini saling menghambur dan
saling berpelukan erat satu sama lain.
"Kak Dewi... aku merindukanmu, Kak...!" desah
Bagas Salaya di sela-sela pagutan mesra. "Aku pun se-
lalu memikirkanmu, Dik... tapi... mengapa kau sampai
berada di Bukit Siluman ini...?" tanya Dewi Ratna Ju-
wita sesaat setelah melepaskan pelukannya. Sejenak
Bagas Salaya menatap tajam pada saudara tirinya
yang memiliki wajah rupawan itu. Kemudian dia me-
langkah, lalu duduk di atas sebongkah batu. Dewi
Ratna Juwita mengikut di sebelahnya.
"Aku telah diusir oleh Eyang Girinda...!" ucap-
nya sendu.
Dewi Ratna Juwita menggeser punggungnya
hingga kian merapat pada posisi pemuda yang sangat
dicintainya itu.
"Telah diusir oleh Eyang? Apa salahmu...?" seli-
dik Dewi Ratna Juwita tersentak kaget.
"Karena sejak engkau pergi aku selalu memi-
kirkanmu, dan eyang nampaknya benar-benar mengu-
tuki hubungan cinta kita...!" selak Bagas Salaya, mera-
sa sedih hatinya. Namun Dewi Ratna Juwita tidak
menginginkan saudara yang sangat di cintainya berse-
dih hati. Cepat-cepat dia merengkuh tubuh pemuda itu
ke dalam pelukannya. Dua insan tersesat itu pun
kembali terlibat ciuman.
"Kita harus membuktikan pada dunia bahwa
tanpa bantuan siapa pun kita mampu berdiri sendiri.
Ya... kita akan menjadi Sepasang Walet Merah yang
sangat tangguh!" bisik si gadis dengan napas terengah-
engah karena dilanda gelora nafsu. Dengan halus Ba-
gas Salaya mendorongkan tubuh Dewi Ratna Juwita,
dia masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan
oleh gadis pujaannya itu. Maka dengan cepat dia pun
bertanya:
"Apa maksudmu Kak Dewi?" tanpa menjawab
Dewi Ratna Juwita mengambil sesuatu dari balik ju-
bahnya. Kemudian si gadis memperlihatkan sebuah
benda yang ternyata sebuah kunci yang terbuat dari
perak.
"Kunci perak ini! Dengan kunci di tanganku,
aku berharap dapat membuka pintu batu yang terletak
di depan itu. Aku punya bukti bahwa di dalam goa
tempat penyimpanan mayat para leluhur kita terdapat
sebuah Batu Walet Merah yang menurut sejarahnya
menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat...!"
"Eh... kalau begitu kita memiliki tujuan yang
sama... kakak tahu selama dua hari dua malam aku
telah berusaha untuk membuka gembok pintu itu na-
mun tak pernah membawa hasil. Lihatlah pedangku
itu, rompal di sana sini...!" desah Bagas Salaya, seraya
menunjuk ke arah pedang miliknya yang menggeletak
di bawah pintu dinding batu.
"Dengan pedang itu kau berusaha membuka
gembok tersebut...?" tanya si gadis setelah memperha-
tikan pedang milik kekasihnya sejenak lamanya.
"Hi... hi... hi...! Kau ini selain nakal dan konyol
kiranya juga manusia yang bego. Mana mungkin pe-
dangmu mampu membentur gembok kecil mungil itu,
karena gembok itu yang membuatnya Eyang Resi
Mamba sendiri, paling tidak dia telah menyalurkan
hawa sakti ke dalamnya. Tapi dengan kunci yang ku
curi dari tangan Eyang Girinda, mudah-mudahan kita
bisa mendapatkan Batu Walet Merah...!"
Terbelalak mata Bagas Salaya demi mendengar
pengakuan kekasihnya, sama sekali dia tiada me-
nyangka pada saat Eyang Girinda meributkan tentang
hilangnya kunci perak pembuka Gua Siluman, gadis
pujaannya itulah yang telah mencurinya. Mengagum-
kan! Pujinya.
"Kau benar-benar seorang pencuri yang lihai,
Kak Dewi! Tapi...!" tiba-tiba Bagas Salaya menjadi ra-
gu-ragu. Keraguan si pemuda untuk mengatakan se-
suatu, ini membuat Dewi Ratna Juwita jadi penasaran.
"Adik Bagas, kau berkata apa! Katakan saja,
aku tak mau di antara kita masih ada saling menyim-
pan rahasia...!" tukasnya dengan wajah berseru merah.
Bagas Salaya tampak menarik napas panjang, baginya
kalau pun memang benar di dalam gua yang tempat
penyimpanan mayat para leluhur mereka tersimpan
pula Batu Permata Walet Merah salah sebuah di anta-
ra yang sepasang itu. Berarti berita tentang Batu Walet
Merah yang terdapat di Sungai Banyu Urip benar
adanya. Tanpa mendapatkan kedua-duanya, itu masih
berarti bahwa mereka pada satu saat kelak akan men-
dapat satu rintangan yang sangat besar untuk dapat
mengembalikan jaman keemasan padepokan Bukit
Berkabung sebagaimana saat Eyang Buyut Resi Mam-
ba menjadi pimpinan dulu. Pada hakekatnya sungguh
pun Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya memiliki tu-
juan yang sama seperti apa yang dicita-citakan oleh
adik bungsunya, yaitu Dewi Ratih. Namun hasrat yang
terkandung dalam jiwa Dewi Ratna Juwita adalah juga
mencakup sekaligus merangkul kaum persilatan go-
longan hitam.
"Cepat katakan Adik Bagas...!" ucapan si gadis
yang mendadak saja berubah ketus ini membuat Ba-
gas Salaya tersentak dari lamunannya. Maka tanpa
merasa sungkan-sungkan lagi dia pun berkata; "Kakak
Dewi! Aku menjadi bimbang dengan apa yang akan ki-
ta lakukan. Sebab seperti kita ketahui Batu Walet Me-
rah itu pada hakekatnya ada sepasang. Kalaulah me-
mang benar di sini ada salah satu di antaranya, maka
seperti yang pernah dikatakan oleh Eyang Girinda du-
lu, Eyang Buyut Resi Mamba telah membuang yang sa-
tunya lagi di Sungai Banyu Urip. Kita bisa mengalami
kesulitan yang sangat besar andai nanti Eyang Girinda
mengutus Adik Dewi Ratih untuk mendapatkan batu
yang terbuang itu, bukankah ini merupakan hambatan
yang sangat berarti bagi kita...?" ujar Bagas Salaya,
sebagai tanggapannya sebaliknya Dewi Ratna Juwita
malah tersenyum-senyum penuh arti.
LIMA
Kita tinggalkan dulu Dewi Ratna Juwita dan
Bagas Salaya yang sedang mempersoalkan Batu Walet
Merah dan rencana mereka untuk memasuki gua Bu-
kit Siluman yang terkunci. Pada saat yang sama di pa-
depokan Bukit Berkabung, Eyang Girinda sedang ke-
datangan dua orang utusan yang masih belum dike-
nalnya. Demikianlah setelah menerima laporan dari
salah seorang muridnya yang bernama Bayu Puput,
maka Eyang Girinda memberi perintah pada muridnya
untuk menyuruh tamunya menghadap padanya. Bayu
Puput keluar sebentar, kemudian memperkenankan
dua orang tamu berkerudung yang masih tetap berdiri
di halaman padepokan, untuk menemui sesepuh pa-
depokan Bukit Berkabung yang sudah menanti mereka
di ruangan depan. Beberapa saat setelah mereka saling
berhadap-hadapan, maka Eyang Girinda mulai me-
nyapa tamunya dengan ramah, walau hati dan pera-
saannya sesungguhnya menaruh perasaan curiga ter-
hadap diri dua orang berkerudung yang mengaku se-
bagai utusan itu.
"Ah... sudah hampir sepuluh tahun padepokan
Bukit Berkabung tak pernah menerima tamu terlebih-
lebih utusan. Namun hari ini anda berdua telah datang
ke mari, ada gerangan apakah dan siapa pula yang te-
lah mengutus anda...?" tanya Eyang Girinda langsung
menuju pada titik persoalan. Salah seorang yang men-
gaku sebagai utusan itu menjura beberapa kali, kemu-
dian setelah menoleh pada kawannya yang selalu ber-
sikap acuh. Dia pun buka suara
"Hik... hik... hik...! Masak kau tak bisa menge-
nali siapa adanya kami ini, Girinda...!" setengah meng-
geram si orang berkerudung itu, hingga membuat
Eyang Girinda tersentak dari tempat duduknya yang
hanya terbuat dari anyaman rotan. Dari nada tawanya,
Eyang Girinda dapat mengenal suara orang yang men-
genakan kerudung merah ini. Laki-laki tua itu kemu-
dian berusaha mengingat-ingat siapa sesungguhnya
pemilik suara yang rasa-rasanya pernah dia kenal. Ku-
rang lebih lima belas tahun yang lalu! Tiba-tiba saja
Eyang Girinda melompat ke depan begitu mengenali
siapa adanya dua orang yang mengaku sebagai utusan
ini.
"Ka... kau... Nyai Plasik yang pernah mengo-
brak-abrik padepokan ini, kemudian lari terbirit-birit
setelah ayahku Resi Mamba menghadapimu dengan
cincin Permata Walet Merah...!" Dalam keterkejutannya
itu, Eyang Girinda masih sempat mengingat sebuah
kenangan lama yang bagi si orang berkerudung merah
merupakan kata-kata yang sangat menyakitkan.
"Girinda manusia pengecut! Setelah Resi Mam-
ba bapak moyangmu mampus, dan tanpa Batu Walet
Merah yang menghebohkan itu, mampu berbuat apa-
kah kau terhadap Nyai Plasik dedengkot dari kuburan
iblis..,?" maki si kerudung merah yang ternyata me-
mang Nyai Plasik adanya.
"Ah... apakah bangsat berkerudung yang ada di
sampingmu itu si Gajah Mungkur bekas suamimu...?"
sela Eyang Girinda tanpa menghiraukan ucapan Nyai
Plasik. Selanjutnya setelah meneliti orang yang duduk
di samping perempuan muka setan itu Eyang Girinda
melanjutkan. "He... he... he...! Bukan... dia bukan Ga-
jah Mungkur. Gajah Mungkur tidak kurus cacingan
seperti dia. Manusia iblis itu gemuk macam gentong,
sedangkan dia... hoa... ha... ha...! Mungkin juga gen-
dakmu yang baru...!" ejek Eyang Girinda sembari me-
nyeringai lebar. Geram bukan main orang yang berada
di samping Nyai Plasik, kejengkelannya yang sejak tadi
ditahan-tahannya sekarang dilampiaskannya lewat sa-
tu pukulan beracun yang sudah barang tentu tidak as-
ing lagi bagi Eyang Girinda. Maka begitu tangannya
yang kuning pucat dan hanya sebesar tangan bayi
yang baru berumur dua bulan itu menjulur, serang-
kum gelombang yang menimbulkan hawa dingin luar
biasa langsung menyambar pada sasarannya. Masih
untung Eyang Girinda yang sudah banyak mengenal
tipu-tipu kaum persilatan golongan sesat ini dengan
cepat dapat membaca gelagat lawan yang bermaksud
untuk mencelakakannya. Lalu kesempatan yang hanya
sesaat itu dipergunakan oleh Eyang Girinda untuk
membuang tubuhnya di samping kiri.
"Braaak...!" luput dari sasarannya, pukulan
maut yang dikenal sebagai Badai Kematian, terus me-
luncur dan langsung melabrak tiang penyangga ruan-
gan pendopo. Bagian bawah tiang itu hancur berkep-
ing-keping dilanda pukulan yang telah dilepaskan oleh
lawannya.
Suara keras yang ditimbulkan oleh pukulan itu
sudah barang tentu membuat murid-murid padepokan
Bukit Berkabung menjadi terkejut sekali, begitu mere-
ka memandang ke bagian dalam dan melihat gurunya
sedang menghadapi keroyokan dua orang yang menga-
ku sebagai utusan tadi. Maka detik kemudian dengan
pedang terhunus mereka langsung menyerbu ke ba-
gian ruangan dalam.
"Mundur kalian semua...!" teriak Eyang Girin-
da. Dalam keadaan bertarung seperti itu, Eyang Girin-
da masih sempat berseru memberi peringatan pada
murid-muridnya. Belasan murid-murid padepokan
Bukit Berkabung, tampaknya tiada berani membantah
perintah gurunya. Mereka mundur namun tetap mem-
buat satu lingkaran untuk menjaga setiap kemungki-
nan yang tiada dikehendaki.
"Bangsat, Girinda! Mengapa tidak kau biarkan
saja murid-muridmu berhadapan dengan aku dan mu-
ridku...!" hardik Nyai Plasik berusaha menutupi keke-
cewaannya.
"Hhh. Terhadap manusia setan seperti kalian,
kukira tubuh rongsokanku ini sudah cukup untuk
membantai tubuh rusak seperti kalian...!" bentak
Eyang Girinda.
Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama lagi,
tubuh Eyang Girinda tampak melesat melalui pintu
jendela samping. Dua perempuan berkerudung merah
itu pun memburunya.
"Jliigk...!" Tiga kali berturut-turut suara menje-
jakkan kaki di atas permukaan tanah terdengar, dan
murid-murid padepokan Bukit Berkabung mengiku-
tinya dari pintu depan. Selagi dua orang berkerudung
itu sedang saling bersitatap dengan musuh bebuyu-
tannya, maka belasan murid padepokan telah mengu-
rung mereka kembali.
"Hik... masihkah kau berharap adanya dewa
penolong yang dapat menunda kematianmu, Girinda!"
ejek Nyai Plasik dengan sesungging senyum menye-
ramkan. Namun sejauh itu Eyang Girinda yang berba-
dan tinggi semampai ini masih kelihatan tenang-
tenang saja.
"Kematian bagiku bukanlah sebuah persoalan
yang memusingkan dan tak perlu ditakuti, besok atau
lusa sama saja!"
"Sombong! Kau kira kau bisa menang dalam
menghadapi kami?" gertak Nyai Plasik semakin mendi-
dih darah tuanya. Sebaliknya manusia berkerudung
merah yang ada disampingnya hanya diam saja. Dan
dari caranya melontarkan pukulan tadi Eyang Girinda
pun sudah dapat mengetahui bahwa ternyata murid
Nyai Plasik jenis manusia yang tiada dapat berkata
kata.
"Jangan banyak ngebacot, cabut senjatamu
atau kau akan menyesal untuk selama-lamanya...." te-
riak Eyang Girinda. Selanjutnya mengawali serangan
pertama, laki-laki berambut kecoklatan itu mengge-
brak Nyai Plasik dengan jurus tangan kosong ‘Menyisir
Bidadari Menggapai Bulan’ Maka dalam waktu sekedip
mata saja tubuh Eyang Girinda telah pula berkelebat
lenyap.
Dari gerakannya yang sangat sebat itu menim-
bulkan angin kencang bersiuran. Baik tendangan kaki
maupun jotosan-jotosan yang telah teraliri tenaga da-
lam selalu menimbulkan angin pukulan yang sangat
hebat. Tak dapat di sangkal lagi, jubah merah yang
menutupi segenap wajah dan tubuh Nyai Plasik nam-
pak berkibar-kibar, sehingga memperlihatkan sebagian
wajahnya yang rusak mengerikan. Sebaliknya Nyai
Plasik pun tidak tinggal diam, dengan mengandalkan
ilmu mengentengi tubuh dan kecepatan gerak yang
sama hebatnya. Menjelang pertarungan berlangsung
lima belas jurus dia masih mampu menghindari setiap
sergapan maupun pukulan tangan dan tendangan kaki
yang datangnya bertubi-tubi itu.
Di lain pihak, murid Nyai Plasik yang bernama
Puteri Gagu tampak merasa yakin kalau gurunya pasti
mampu mengatasi lawannya. Maka selanjutnya tanpa
membuang-buang waktu lagi dia pun berbalik dan
menyerang barisan murid-murid padepokan Bukit
Berkabung yang memang sudah bersiap siaga dengan
segala kemungkinan. Dalam waktu sekejap berkobar-
lah pertempuran yang menentukan hidup atau ma-
tinya pribadi masing-masing. Ternyata murid-murid
padepokan Bukit Berkabung yang jumlahnya tak lebih
dari dua puluh orang itu merupakan murid-murid
yang berkepandaian tinggi. Dengan senjata pedang
yang mempunyai ketajaman di kedua sisinya mereka
terus merangsak dan mencecar Puteri Gagu dengan ju-
rus pedang 'Dewa Gemblung Menabuh Gendang', ka-
ruan saja walau murid tunggal Nyai Plasik itu memiliki
kepandaian tinggi, tapi menghadap dua puluh orang
lawan yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian tiga
tingkat di bawahnya, sudah barang tentu lama kela-
maan menjadi terdesak juga.
Yang paling kesal melihat kenyataan ini adalah
Nyai Plasik. Sebab semula dia hanya menduga bahwa
murid-murid padepokan Bukit Berkabung tak mung-
kin memiliki kepandaian yang cukup berarti. Sehingga
dia memperhitungkan dengan hanya dihadapi murid
tunggalnya yang juga memiliki kepandaian yang telah
diturunkannya maka orang-orang itu dengan mudah
dapat dikalahkan oleh muridnya. Semua memang di
luar perhitungannya, tapi dia pun melihat sampai se-
jauh itu Puteri masih belum mempergunakan pukulan
'Mayat Iblis'. Itu makanya dia tak perlu mengkhawatir-
kan keselamatan muridnya.
Sementara itu, Nyai Plasik dan Eyang Girinda
yang sedang terlibat pertempuran tampak mulai saling
melancarkan jurus-jurus mautnya. Kedua musuh be-
buyutan ini saling terjang mengandalkan ilmu merin-
gankan tubuh, dan juga kemampuan menghindar yang
sangat luar biasa cepatnya.
"Caaat... Hiaaaa...!" satu bentakan keras men-
gawali jurus tangan kosong 'Siluman Tanpa Nama'.
Tangan kanan Eyang Girinda terpentang kokoh mem-
bentuk cakar, sedangkan tangan kirinya menyilang di
depan dada.
Sebelah kaki kanannya juga terangkat setinggi
lutut. Nyai Plasik kiranya juga menyadari bahwa jurus
silat tangan kosong yang di gelar oleh Girinda merupa-
kan sebuah jurus yang sangat berbahaya. Tak ayal lagi
perempuan renta muka rusak itu pun segera pula
mengimbanginya dengan jurus 'Iblis Mencabut Mae-
san', maka bertarunglah kedua dedengkot rimba persi-
latan itu dengan hebatnya.
"Heiiik...!" Dengan posisi badan setengah berpu-
tar, Eyang Girinda pukulkan tangan kanannya yang
membentuk cakar, sementara kaki tangannya menen-
dang ke arah bagian perut lawannya. Nyai Plasik nam-
paknya juga tak mau bertindak tanggung-tanggung,
dengan mengandalkan tiga perempat tenaga dalam
yang disalurkan melalui tangannya, maka dia pun ber-
gegas menampik.
"Craak! Dees...!"
"Wuaaah...!" Tubuh Nyai Plasik terbanting ro-
boh, satu cakaran memang berhasil dia elakkan, na-
mun tendangan kaki kanan Eyang Girinda yang begitu
telak masuk di luar perhitungannya. Sambil memegan-
gi perutnya yang terasa mual bagai di aduk-aduk, Nyai
Plasik cepat bangkit kembali. Namun begitu dia siap
dalam posisi yang goyah, mendadak darah meleleh
membasahi pinggiran bibirnya. Perempuan renta ber-
wajah rusak ini cepat-cepat seka darah yang mengalir
itu sembari mengeluarkan satu erangan marah. Se-
mentara itu di pihak Eyang Girinda sebenarnya bukan
tak mengalami satu akibat apapun. Dari beradunya
kedua tangan tadi dia merasakan tangannya terasa
ngilu, dan mulai berdenyut-denyut sakit. Bahkan da-
danya pun terasa sesak luar biasa. Apapun akibat
yang dialami oleh kakek renta itu, namun tak separah
apa yang diderita oleh Nyai Plasik yang menjadi lawan
besarnya.
"Girinda manusia kropos!" bentaknya secara ti-
ba-tiba. "Kalau hari ini aku tak sanggup mencabut
nyawa anjingmu, biarlah aku berhenti saja sebagai
manusia...!" Eyang Girinda keluarkan tawa bergelak,
sama sekali dia tak merasa gentar sedikit pun meng-
hadapi si buruk rupa dari Kuburan Iblis itu. Maka
dengan sikap menantang dia berucap;
"Siapa bilang kau manusia, sejak kau dilahir-
kan semua kalangan persilatan tau kalau kau sesung-
guhnya merupakan nenek moyangnya para iblis! Maju-
lah aku tak pernah gentar menghadapimu...!" Menden-
gar kata-kata yang bernada mengancam ini, sedikitpun
Nyai Plasik tiada bergeming. Kedua bola matanya yang
kecoklat-coklatan itu kini telah berubah memerah
pandangan matanya mencorong lurus terasa meng-
hunjam ulu hati lawannya. Sementara kedua tangan-
nya yang menyilang kedepan dada sudah mulai nam-
pak berubah kehitam-hitaman. Kabut tebal yang ber-
warna hitam pula mulai mengepul meninggalkan
ujung-ujung jemarinya. Menggeletar tubuh perempuan
reot itu bagai terserang demam malaria. Bagai diserta-
kan kekuatan yang tiada terlihat, tubuh Eyang Girinda
melompat mundur empat langkah. Dia masih ingat ke-
tika dulu ayahnya, Resi Mamba hanya mampu menga-
tasi pukulan 'Jemari Iblis' ini dengan mempergunakan
Batu Walet Merah. Sedangkan kini dia tiada memiliki
batu tersebut. Mempergunakan kitab kelima pukulan
'Dewa Berkabung' hanya itulah yang dapat diha-
rapkannya. Selanjutnya mendahului bergeraknya tu-
buh Nyai Plasik dengan pukulan andalannya 'Jari Ib-
lis', maka detik selanjutnya sembari berusaha meng-
hindar, Eyang Girinda lepaskan pukulan 'Dewa Berka-
bung' yang sangat diandalkannya.
***
ENAM
Merasa didahului oleh lawannya, Nyai Plasik
sembari keluarkan suara menggembor cepat pula le-
paskan pukulan beracun 'Jari Iblis'.
"Weees! Wees...!" Dua pukulan sakti saling ber-
gerak menyongsong. Tak pelak pukulan 'Jari Iblis' yang
dilancarkan oleh Nyai Plasik dan pukulan 'Dewa Ber-
kabung' yang dilepas oleh Eyang Girinda. Kedua puku-
lan sakti itu saling menimbulkan gelombang angin
yang sangat kencang. Bahkan murid-murid Eyang Gi-
rinda yang tampak mulai terdesak menghadapi seran-
gan Puteri Gagu beberapa orang diantaranya sampai
terseret-seret dihentak sapuan angin yang menyebar-
kan bau busuk menusuk hidung.
"Blaar! Blaar!" Beradunya dua pukulan sakti itu
menimbulkan getaran yang sangat hebat. Beberapa
murid padepokan Bukit Berkabung terpelanting roboh
dengan jiwa melayang. Sebaliknya gurunya sendiri,
Eyang Girinda terjengkang tujuh tombak. Tapi kakek
renta ini meskipun harus bersusah payah merangkak,
tampak berusaha bangkit kembali. Dia sudah tiada
memperdulikan keselamatan dirinya, walau darah ken-
tal berwarna kehitam-hitaman terus menggelogok tan-
pa henti. Sebaliknya di pihak Nyai Plasik sendiri,
sungguh pun hanya terpelanting tiga tombak, namun
dari bibirnya mengucur darah segar. Melihat keadaan
mereka berdua, nyatalah yang paling banyak menang-
gung akibatnya adalah sesepuh padepokan Bukit Ber-
kabung. Dia sendiri dapat merasakan racun akibat
pukulan mulai menjalar ke mana-mana.
Sebenarnya kejadian itu bukannya luput dari
perhatian murid-murid Eyang Girinda, namun mereka
juga tidak dapat berbuat banyak untuk memberi perto
longan pada gurunya. Sebab mereka sendiri kini tam-
pak tengah berjuang mati-matian menghadapi gempu-
ran serangan Puteri Gagu yang mengandalkan puku-
lan tak kalah hebatnya dengan pukulan yang meng-
hantam tubuh Eyang Girinda. Satu demi satu murid-
murid padepokan Bukit Berkabung mulai berguguran.
Puteri Gagu yang sudah kalap itu sudah tidak mem-
perhitungkan lagi berapa banyak korban yang gugur di
tangannya. Malah kini dia semakin gencar menghujani
lawan-lawannya dengan pukulan yang sangat memati-
kan.
Di pihak Nyai Plasik, tampaknya pun sudah tak
sabaran lagi untuk mengakhiri pertarungannya dengan
Eyang Girinda. Sudah dua kali laki-laki berambut cok-
lat itu dihajar pukulan beracun 'Jari Iblis', keadaannya
sudah sangat payah sekali. Agaknya pukulan berikut
yang sudah siap dilancarkan oleh Nyai Plasik segera
mengakhiri hidupnya andai saja dalam keadaan yang
sangat kritis itu tidak muncul sosok bayangan merah
yang datang begitu cepat menyambar tubuh Eyang Gi-
rinda yang sedang mengalami luka dalam sangat pa-
rah.
"Blaaaam...!" Pukulan yang dilancarkan oleh
Nyai Plasik hanya mengenai tempat yang kosong. Debu
mengepul ke udara sebagai akibat yang ditimbulkan
oleh pukulan itu. Sementara bayangan merah tadi se-
telah meletakkan tubuh Eyang Girinda di tempat yang
aman kembali berkelebat menghampiri Nyai Plasik
yang sedang terbengong-bengong.
"Jliigk...!" Dengan mulus si bayangan merah,
rambut berkuncir dengan periuk yang selalu menyer-
tainya kemana pergi menjejakkan kakinya di atas se-
bongkah batu berukuran besar. Kehadiran pemuda
yang tidak dikenal oleh perempuan muka rusak ini
langsung dia sambut dengan caci maki. Sebaliknya
yang mendapat makian malah tertawa mengekeh.
"Ah... sebuah pertarungan yang sangat tidak bi-
jaksana! Sudah tau musuh tiada berdaya, tapi kau
malah bermaksud menghabisinya...!" tegurnya masih
dengan tersenyum-senyum. Nyai Plasik yang sudah
kehilangan kesempatan untuk membunuh musuh be-
buyutannya menjadi sangat marah sekali. Sementara
itu pertarungan antara Puteri Gagu sudah tampak mu-
lai terhenti. Murid-murid padepokan Bukit Berkabung
hanya bersisa tak lebih lima orang saja. Sebaliknya Pu-
teri Gagu sendiri kini telah bergabung dengan gurunya
untuk melakukan keroyokan pada pemuda penyan-
dang priuk yang sangat menyebalkan itu.
"Bocah, siapakah kau ini? Begitu berani men-
campuri urusan dedengkot Kuburan Iblis...!" memben-
tak Nyai Plasik setelah memandang tajam pada si pe-
muda beberapa saat lamanya.
"He... he... he...! Aku cuma pengelana kok. Na-
maku kukira tak penting bagimu pula iblis jelek seper-
timu tak perlu tahu lebih banyak siapa aku ini!" jawab
Buang Sengketa mencemooh. Maka habislah sudah
kesabaran yang dimiliki oleh Nyai Plasik. Kemudian
tanpa berkata-kata lagi Nyai Plasik dan muridnya
langsung menyerang pemuda keturunan Raja Ular Pi-
ton Utara ini dengan pukulan-pukulan beracun yang
sangat ganas. Kini pemuda itulah yang menjadi pelam-
piasan kemarahan Nyai Plasik. Buang sadar betapa
tiada guna mempergunakan Jurus Kesabaran 'Koreng
Seribu' apalagi dia sendiri sempat melihat betapa te-
lengasnya manusia muka rusak itu. Di sisi lainnya,
sungguh pun dia menyadari tubuhnya kebal terhadap
berbagai jenis racun. Namun dia tidak akan membiar-
kan begitu saja dirinya menjadi sasaran pukulan-
pukulan dahsyat yang mulai dilancarkan oleh kedua
lawannya. Itulah sebabnya ketika Puteri Gagu mulai
melepaskan pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan Nyai
Plasik juga mempersiapkan pukulan 'Jari Iblis' maka si
pemuda dengan mengerahkan tiga perempat tenaga
dalamnya segera pula melepaskan pukulan 'Empat
Anasir Kehidupan' yang sudah tidak asing lagi. Tak
ayal selarik gelombang angin pukulan yang meman-
carkan sinar Ultra Violet dan menimbulkan hawa pa-
nas luar biasa melesat sedemikian cepatnya menyong-
song pukulan 'Iblis Mencabut Maesan' dan pukulan
'Jari Iblis' dua pukulan yang menimbulkan hawa din-
gin dan menebarkan bau racun bertemu dengan se-
buah pukulan yang menyebarkan udara panas.
"Blaaar...!" Dua letupan keras yang menimbul-
kan getaran yang sangat hebat terdengar. Tubuh pen-
dekar dari Negeri Bunian itu terpelanting roboh. Dari
hidung dan bibirnya mengalir darah kental, dia mera-
sakan tulang belulangnya bagai remuk. Sementara ke-
palanya berdenyut-denyut sakit. Baik Nyai Plasik
maupun Puteri Gagu yang hanya tergetar saja tubuh-
nya akibat benturan tenaga sakti tadi, kini telah siap
kembali dengan pukulan susulan.
"Hiaaaat Caaaaait...!"
"Wuss.... Weeer...!" Menghadapi dua ancaman
maut sekaligus, Buang sudah bermaksud berkelit
menghindar namun dia sendiri akhirnya terperangah
ketika menyadari tubuhnya terasa sangat sulit untuk
digerakkan. Tiada pilihan lain, sungguh pun dia me-
nyadari dirinya sedang menderita luka dalam yang ti-
dak ringan, namun akhirnya dengan nekad si pemuda
mengadu jiwa dengan lawannya.
"Hhhh...!" Sedikit saja dia mengerahkan tenaga
dalamnya, maka kedua tangannya terangkat ke atas
dan menyilang di atas kepala. Melihat tingkah si pe-
muda seperti orang yang sedang memasrahkan nasib,
kejab kemudian sebenarnya Nyai Plasik hampir saja
melonjak kegirangan. Tapi rasa senang itu akhirnya
harus dia bayar dengan rasa kecut yang luar biasa.
Bagaimana tidak, begitu pula yang dia lepaskan dan
pukulan yang dilepaskan oleh muridnya menghantam
lawannya. Dia dapat merasakan pukulan yang mereka
lepaskan rasa-rasanya seperti menghantam bayang-
bayang, kini bahkan mereka mulai merasakan seperti
dua kekuatan raksasa yang membetot tubuh mereka
menuju ke arah Buang Sengketa. Bahkan Nyai Plasik
mulai merasakan ada sesuatu yang mengalir deras le-
wat tangannya. Masih dalam keheranan Nyai Plasik
maupun Puteri Gagu muridnya terus berusaha menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk memunahkan penga-
ruh daya tarik yang sangat kuat itu. Tapi mereka nam-
paknya mulai menyadari semakin kuat mereka menge-
rahkan tenaga dalamnya maka semakin deras pula te-
naganya yang tersedot keluar.
Memang tidak dapat di sangkal, justru semua
itu terjadi karena Buang yang tadinya dalam keadaan
kepepet itu sudah tak punya pilihan lain terkecuali
membuka jurus Koreng Seribu yang mempunyai sifat
membetot tenaga sakti lawannya. Namun lama kela-
maan Nyai Plasik yang sudah banyak pengalaman da-
lam dunia persilatan itu menyadari apa sesungguhnya
yang sedang terjadi. Dia pun akhirnya mengeluarkan
seruan kaget; "Ilmu setan...!" desisnya. Apabila dia me-
lirik ke arah muridnya yang sudah mulai menggigil dan
pucat wajahnya. Maka dia pun berteriak: "Puteri! Tarik
balik tenaga dalammu...!" perintahnya sembari mem-
beri aba-aba dengan mempergunakan jari tangan ki-
rinya. Dengan isyarat gurunya. Puteri Gagu segera
menarik balik tenaga dalamnya, begitu pula halnya
dengan Nyai Plasik.
Begitu mereka terbebas dari siksaan 'Jurus Ko-
reng Seribu' yang hampir menguras setengah dari te
naga dalam yang mereka miliki, maka tubuh kedua
orang itu tampak terhuyung-huyung. Sebaliknya
Buang Sengketa yang memperoleh tenaga tambahan
dari lawan-lawannya, sekarang sudah berdiri tegak
dengan seringai senyum menggidikkan.
"Ilmu iblis...!" maki Nyai Plasik dengan nafas te-
rengah-engah. Hal yang sebenarnya, Nyai Plasik mulai
keder juga, sebab baru kali inilah dia mendapati seo-
rang pemuda aneh memiliki ilmu kepandaian yang tia-
da duanya. Menyedot tenaga dalam lawan! Dedengkot
Kuburan Iblis itu tak mungkin pernah percaya andai
tidak menyaksikannnya sendiri.
Apapun ilmu gila yang dimiliki oleh lawannya
dia sudah tidak perduli lagi. Kepalang tanggung. Kem-
bali dia memberi isyarat pada Puteri Gagu, lalu dengan
disertai jeritan tinggi melengking tubuh kedua manu-
sia buruk rupa itu telah berkelebat menyambar-
nyambar. Sesekali dengan kecepatan yang sangat sulit
diikuti oleh kasat mata, Nyai Plasik dan Puteri Gagu
menyerang Buang Sengketa dengan senjata rahasianya
yang berupa Paku Beracun berwarna hitam.
Pada dasarnya tokoh sesat ini sangat dikenal
dengan pukulan 'Jari Iblisnya, satu-satunya senjata
yang mereka andalkan adalah senjata rahasia yang be-
rupa jarum beracun itu.
Pendekar Hina Kelana sungguhpun baru sekali
ini bertemu dengan lawan yang menamakan dirinya
sebagai dedengkot dari Kuburan Iblis, tapi dapat me-
nyadari, bahwa senjata rahasia yang disambitkan se-
cara cepat oleh kedua lawannya itu sesungguhnya le-
bih berbahaya lagi daripada menghadapi sepuluh mata
pedang.
Itulah sebabnya dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh dan kecepatan gerakan tubuh, si
pemuda secara silih berganti memainkan jurus-jurus
silatnya. Pertama-tama dia mempergunakan Jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudra', mem-
pergunakan jurus ini dia hanya mampu bertahan se-
bentar, karena di pihak lawan ternyata telah pula me-
mainkan Jurus 'Mayat Iblis' sembari menyambitkan
paku-paku beracunnya. Lalu Buang mengalihkan ju-
rus silat pertama dengan Jurus 'Si Gila Mengamuk',
setelah pertarungan mencapai tiga puluh lima jurus di
muka, maka terlihatlah posisi si pemuda mulai keteter.
Dan saat itu tampaknya Buang Sengketa me-
mang sudah tak dapat lagi mengendalikan emosinya
sebagai manusia. Terlebih-lebih ketika dua buah paku
beracun sempat menghantam betisnya. Maka detik be-
rikutnya nalurinya sebagai titisan Raja Siluman lah
yang bicara.
Apabila Nyai Plasik yang sedang terkekeh meli-
hat lawannya yang terpincang-pincang itu memandang
ke arah wajah si pemuda, tersentaklah dia. Detik itu
juga dia telah hentikan tawanya. Dia melihat kedua
mata pemuda itu sekarang telah memerah saga, dari
celah bibirnya yang dipenuhi lelehan darah kering, ke-
luarkan bunyi mendesis-desis bagai ular piton yang
sedang marah. Wajah Buang Sengketa tampak tegang
sekali.
"Nguuung...!" Satu kali kelebatan maka mende-
ru selaksa gelombang angin menyertai berkelebatnya
sinar merah yang ditimbulkan oleh senjata yang bera-
da dalam genggaman Buang Sengketa. Pucat pasi wa-
jah Nyai Plasik dan muridnya, menggigil tubuh mereka
di dera rasa kecut dan hawa dingin menusuk yang di-
timbulkan oleh Pusaka Golok Buntung yang tergeng-
gam erat di tangan si pemuda.
"Golok Buntung... ka... kau Pendekar Golok
Buntung...!" desis Nyai Plasik yang pernah mendengar
kehebatan pendekar dari paparan Sahul ini. Namun sipemuda sudah tiada menjawab lagi. Sebaliknya den-
gan mempergunakan jurus si 'Jadah Terbuang', tubuh
Buang Sengketa berkelebat lenyap. Hanya kelebat-
kelebatan sinar merah menyala saja yang merupakan
satu tanda bahwa saat itu secara rapat Pendekar Hina
Kelana telah mengurung kedua lawannya dengan sam-
baran-sambaran ganas Golok Buntung di tangannya.
Sejauh itu menyadari adanya bahaya yang se-
dang mengancam jiwanya, tampaknya Nyai Plasik dan
muridnya tiada pilihan lain terkecuali terus menyam-
bitkan senjata rahasia demi menghindari pertarungan
jarak dekat.
"Cring! Traaang!" Terdengar suara nyaring saat
mana golok di tangan Buang Sengketa membabat run-
tuh paku beracun yang disambitkan oleh pihak lawan-
nya. Mempergunakan kesempatan yang hanya bebera-
pa detik, dengan gerakan udang meletik tubuh si pe-
muda melesat ke udara.
***
TUJUH
Secepat gerakannya mumbul ke atas, lebih ce-
pat lagi tubuhnya meluncur ke bawah. Satu sabetan
dia lakukan. Nyai Plasik membuang tubuhnya ke
samping. Tapi golok buntung di tangan Buang menca-
pai sasaran disebelahnya.
"Brebet...!"
"Arghk...!"
Bagian dada Puteri Gagu terbelah memanjang
sampai pada bagian perutnya. Usus terburai disertai
semburan darah dari bagian jantungnya yang sempat
tergores ketajaman golok lawannya. Hanya sekejap sa
ja tubuh nan ramping itu berputar dan meliuk-liuk.
Kemudian jatuh tersungkur dengan jiwa melayang. Ke-
jut bercampur marah Nyai Plasik, demi melihat nasib
yang dialami oleh muridnya. Satu bentakan menggele-
dek kemudian menyertai serangan-serangan mautnya
yang didasari oleh pelampiasan emosi.
"Kubunuh engkau, keparaaaat...!" teriaknya
sembari melancarkan pukulan maut bertubi-tubi. Na-
mun sejauh apapun perempuan muka rusak itu beru-
saha mengimbangi gempuran lawannya. Tapi dengan
adanya senjata maut di tangan si pemuda, secara lam-
bat laun akhirnya dia kepepet dan tak mampu berbuat
banyak ketika golok di tangan Buang menderu ke ba-
gian kepalanya.
"Croook...!" terdengar suara lolongan panjang
pada saat senjata itu membelah batok kepala Nyai Pla-
sik. Darah meleleh bercampur dengan cairan otak yang
berwarna putih kecoklatan. Tak lama setelahnya tubuh
Nyai Plasik menggelosoh di atas tanah berdebu. Tiada
berkutik karena pada saat Golok Buntung membelah
kepalanya. Sedetik setelahnya jiwanya telah berangkat
meninggalkan badan kasarnya.
Pendekar Hina Kelana menarik napas lega, se-
cara perlahan dia menoleh setelah sebelumnya menye-
lipkan golok di bagian pinggangnya. Begitu matanya
tertumbuk pada kerumunan murid-murid padepokan
yang hanya tinggal lima orang, enam dengan seorang
gadis yang belum dikenalnya. Maka disitulah dia terin-
gat pada Eyang Girinda yang sedang menderita luka
dalam cukup parah. Bergegas pemuda ini datang
menghampiri, melihat kehadiran si pemuda, kelima
murid padepokan memberi jalan. Tanpa berkata apa-
apa, Buang langsung jongkok di sisi kakek tua. Lebih
cepat lagi dia memeriksa keadaan yang diderita oleh
kakek itu.
"Luka beracun yang di deritanya sudah sangat
parah, bahkan kini telah menjalar sampai kebagian
jantung. Mungkin Golok Buntung mampu menyedot
habis racun yang mengendap di dalam tubuhnya. Tapi
dia sudah tidak memiliki kemampuan untuk berta-
han...!" ucap si pemuda setelah melihat gadis berpa-
kaian merah biru memperhatikan dirinya dengan per-
tanyaan lewat matanya.
"Jadi eyangku tidak bisa disembuhkan...!"
tanya si gadis tampak cemas.
"Lukanya benar-benar sangat parah, kalau pun
aku berhasil mengeluarkan racun itu dari dalam tu-
buhnya, tapi aku tak bisa jamin keselamatannya...!"
"Kalau saudara memang mampu mengeluarkan
racun yang mengeram di tubuh eyangku, cepat laku-
kanlah...!" perintahnya.
Buang Sengketa memang tak ingin mengecewa-
kan hati gadis yang belum dikenalnya itu. Maka dia
baru hendak mencabut Golok Buntung yang terselip di
pinggangnya ketika terdengar suara erangan lirih, me-
manggil!
"Dew... Dewi Ratih cucuku!" Ucapnya lemah se-
kali. Gadis baju hijau lumut yang kemudian di kenal
oleh pemuda sebagai Dewi Ratih beringsut mendekat.
"Saya, Eyang..." sahutnya dengan hati gundah.
Sedih melihat keadaan eyangnya yang sangat menge-
naskan.
Eyang Girinda mengerjab-kerjabkan matanya,
tapi hanya mampu terbuka sedikit. Melihat tatapan
mata si orang tua yang kosong, tahulah Buang Sengke-
ta, bahwa ajal bagi orang tua itu sudah berada di am-
bang pintu.
"Mm... manakah pemuda yang telah menolong-
ku tadi...!" tanyanya lirih.
"Aku di sini, orang tua...!" si pemuda menyahuti. Mendengar suara Buang Sengketa Eyang Girinda
yang sedang meregang ajal itu bermaksud menoleh,
tapi tak mampu. Ganti si pemuda yang semakin be-
ringsut mendekat.
"Kau sungguh pun aneh, tapi pemuda yang ju-
jur dan memiliki kesaktian yang tiada terduga oleh
siapa pun. Menjelang akhir hidupku, maukah kau me-
luluskan permintaanku andai aku mohon pertolongan
padamu...?"
"Selama pertolongan itu sanggup aku kerjakan,
maka dengan senang hati aku akan mengerjakan-
nya...!" sahut Buang Sengketa pasti.
"Terima kasih! Permintaanku hanya satu, to-
long lindungilah padepokan Bukit Berkabung ini dari
kemusnahan. Dan... cucuku ini kutitipkan padamu,
sampai menjelang dia mampu berdiri sendiri...!"
"Tap...!" Buang Sengketa tak dapat melanjutkan
ucapannya, karena detik kemudian Eyang Girinda te-
lah tiada bernyawa lagi. Dewi Ratih dan kelima murid
yang ditinggalkan meskipun merasa sangat terpukul
dan sedih, namun tak sampai keluarkan isak tangis.
"Dia sudah pergi!" desah Dewi Ratih di sela-sela
kesedihannya.
"Sebagaimana dirinya, kita pun pada saatnya
akan kembali juga kepangkuan Sang Hyang Widi. Ada
baiknya kalau kita urus jenazah mereka dan jenazah
eyangmu untuk dikuburkan...!" kata Buang coba me-
nasehati.
"Saudara siapakah...?"
"Aku hanya seorang pengelana, namaku Buang
Sengketa!" Meskipun masih dalam keadaan bersedih
hati, namun saat si pemuda menyebutkan namanya,
sepasang matanya yang indah itu membelalak lebar.
"Nama yang sangat aneh, tapi aku tahu situ
seorang pemuda yang berkepandaian tinggi...!"
"Ah... ah... jangan pakai situ atau segala pera-
datan, panggil saja aku, Kelana sudah cukup...!" tukas
si pemuda. Dewi Ratih tampak memerah parasnya, ta-
pi kemudian dia mengangguk. Sementara Buang Seng-
keta sendiri segera mengusung mayat Kakek Girinda
menuju ruangan depan padepokan. Lima orang murid
padepokan juga melakukan hal yang sama.
* * *
Pagi menjelang siang, suasana di Bukit Silu-
man tampak tiada berubah sebagaimana hari-hari
yang telah berlalu. Tapi ada yang tidak sebagaimana
biasanya, yaitu pintu gua tempat penyimpanan mayat
itu kini telah terbuka lebar. Di luar pintu gua keadaan
sepi. Namun di ruangan dalam yang penuh sesaki teri-
si peti mati, tampak dua orang muda mudi sedang me-
nelusuri sepanjang lorong gua yang berudara pengap
dan terasa sangat menyesakkan pernapasan. Tapi
tampaknya kedua orang itu tiada perduli dengan situ-
asi seperti itu. Tetap saja mereka melangkah dalam ke-
remangan gua sambil membolak-balik peti-peti itu
hingga jadi berantakan. Tubuh mereka sudah mulai
basah oleh keringat, sampai kemudian sampai di
ujung lorong gua dua orang muda mudi yang tak lain
Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya masih belum ju-
ga menemukan apa yang di cari-carinya.
"Bagaimana Kak Dewi? Semua peti mata telah
kita bongkar, tapi kita tak menemukan Batu Walet Me-
rah seperti yang pernah kakak katakan itu...!" sela Ba-
gas Salaya sembari menyandarkan tubuhnya pada
dinding gua.
"Hi... hi... hi...!" si gadis tertawa genit. "Kita be-
lum melihat sebuah ruangan kecil yang terletak di su-
dut itu...!" Ringan sekali Dewi Ratna Juwita mengayunkan langkahnya. Bagas Salaya masih berada pa-
da tempatnya. Saat itu si gadis telah sampai di depan
pintu ruangan yang hanya berukuran tak lebih seten-
gah meter. Baik besar maupun panjangnya juga sama.
Dengan hati berdebar-debar, Dewi mulai membuka
pintu penutupnya. Begitu pintu penutup itu terbuka
maka terlihatlah sebuah cincin Batu Walet Merah yang
memancarkan cahaya merah berkilauan. Gadis itu
berseru kegirangan. Sudah tentu suara Dewi yang se-
dikit keras ini membuat Bagas Salaya menjadi terhe-
ran-heran. Bergegas dia pun datang menghampiri.
"Batu Walet Merah... hi... hi... hi...! Kita akan
menjadi penguasa atas semua perguruan silat yang
ada di kolong langit ini...!" suara teriakan yang berupa
luapan rasa kegembiraan itu menggema di seantero
dinding gua. Dengan sikap pongah yang berlebih-
lebihan, Dewi Ratna Juwita cepat-cepat mengenakan
cincin Batu Walet Merah ke bagian jari manisnya. Na-
mun mendadak saja dia merasakan tubuhnya mengge-
letar, kedua mata memandang sendu pada Bagas Sa-
laya yang berada tidak begitu jauh dari dirinya. Bagas
Salaya sendiri tidak menyadari perubahan apa yang
sedang terjadi atas diri kakak tirinya. Tanpa sadar dia
pun melangkah menghampiri Dewi Ratna Juwita dan
memegang tangannya.
"Ada apa, Kakak...!" tanyanya gemetar. Saat itu
dia pun merasakan adanya hawa hangat yang menjalar
lewat tangan Dewi. Si gadis yang sudah dirasuki oleh
perasaan aneh akibat pengaruh Cincin Batu Walet Me-
rah ini sudah tiada kuasa untuk menjawab pertanyaan
adik tirinya yang sekaligus merupakan kekasihnya pu-
la. Begitu tangan Bagas Salaya menggenggam lebih
erat tangan Dewi, maka dengan cepat gadis itu mende-
kapnya, secara perlahan namun cukup pasti. Bagas
Salaya juga kiranya merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Dewi. Sesungguhnya tanpa mereka sadari
pengaruh Batu Walet Merah itu membangkitkan gelora
nafsu sebagaimana yang pernah dialami oleh para
pendahulunya.
Namun hal itu masih dapat dikendalikan andai
saja bagi siapapun yang menguasai batu itu telah me-
miliki tenaga dalam yang sudah sangat sempurna.
Sebagaimana sifat yang dimiliki oleh batu itu
sendiri, mempunyai daya tarik antara yang ada satu
dengan yang lainnya. Dan andai saja batu yang di tan-
gan Dewi jumlahnya ada sepasang. Maka kejadian se-
perti apa yang sedang mereka lakukan itu tak mung-
kin pernah ada.
Kembali pada kedua insan yang berlainan jenis
dan sedang terlibat pergumulan asmara di dalam
ruangan gua tempat penyimpanan mayat-mayat para
leluhurnya sendiri ini. Tampaknya mereka sudah tiada
perduli lagi dengan perbuatan terkutuk yang mereka
lakukan. Tubuh keduanya telah bermandikan kerin-
gat, pakaian berserakan entah ke mana. Kejadian ter-
kutuk yang telah sama-sama mereka lakukan itu ber-
langsung sangat cepat sekali. Hingga pada akhirnya
tubuh yang saling tindih itu melengguh tertahan. Dan
secara perlahan hawa hangat yang mengalir lewat Batu
Walet Merah itu pun sudah sirna sama sekali.
"Adik Bagas...! Kita... oh, di makam leluhur
sendiri kita telah melakukan hubungan terkutuk
itu...!" rintih Dewi Ratna Juwita merasakan sakit di
bagian bawah perutnya.
"Aku yakin, semua ini akibat pengaruh Batu
Walet Merah, Kak Dewi...!" desah Bagas Salaya cepat-
cepat membetulkan pakaiannya kembali. "Tapi itu tak
jadi soal, bukankah diantara kita sama-sama saling
mencinta? Pula di sini atau di tempat lain sama saja,
tokh Eyang Girinda tak pernah merestui hubungan
cinta kita!"
"Para Dewa pasti mengutuk perbuatan kita,
Adik Bagas...!" sela si gadis was-was. Bagas Salaya tia-
da menjawab. Sebaliknya malah membelai-belai ram-
but kekasihnya sembari menutunnya pergi meninggal-
kan tempat itu. Semakin jelaslah kini, setelah Batu
Walet Merah berada di tangan salah seorang di antara
mereka. Perbuatan keduanya semakin jauh tersesat.
***
DELAPAN
Kereta kuda itu tampak melaju dengan kecepa-
tan tinggi, karena keempat ekor kuda yang menariknya
terdiri dari kuda-kuda pilihan dan berbadan sehat ke-
limis. Seorang kusir yang terus sibuk mencambuki ku-
da-kuda itu kelihatan masih begitu muda, mengena-
kan sebuah topi caping sebagai pelindung panas ma-
tahari. Melihat caranya mengendalikan kuda penarik
kereta, nyata sekali bahwa pemuda itu tak memiliki
pengalaman apa-apa dalam hal pekerjaan ini. Sesekali
kuda-kuda itu meringkik keras, berlari tersendat-
sengat, hingga membuat para penumpangnya tergun-
cang-guncang.
"Pelan-pelan, Kakang...!" terdengar sebuah sua-
ra yang begitu merdu, namun tidak menyembunyikan
perasaan berkabung. Si kusir menoleh ke belakang se-
jenak. Dengan suara pelan dia pun menyahut.
"Aku sedang berusaha bagaimana caranya agar
kuda-kuda itu tidak melonjak-lonjak binal. Kau pegan-
gi lah peti itu jangan sampai terguling...!" kata si pe-
muda berpakaian merah kumal sambil membuang
pandangan matanya jauh-jauh ke depan. Sementara
itu lima orang penunggang kuda lainnya tampak men-
giringi kereta di depannya dalam jarak tak lebih dari
tiga tombak.
"Masih jauh Bukit Siluman dari sini...?" ber-
tanya pemuda berkuncir yang tak lain adalah Pende-
kar Hina Kelana.
"Tidak, mungkin sekitar setengah jam lagi kita
sudah sampai ke sana...!" ujar suara merdu yang di
kenal sebagai murid bungsu padepokan Bukit Berka-
bung. Sebenarnya apa yang di muat dalam kereta kuda
itu tak lain adalah sebuah peti berisikan jenazah
Eyang Girinda yang telah siap dimakamkan di dalam
goa Bukit Siluman. Sedangkan murid-murid padepo-
kan yang juga gugur dalam pertempuran melawan de-
dengkot persilatan dari 'Kuburan Iblis.' yaitu Nyai Pla-
sik dan Putri Gagu. Sore itu atas kesepakatan bersama
cukup dikuburkan di halaman belakang padepokan
Bukit Berkabung. Sedangkan malamnya Ratih sempat
pula bertutur banyak tentang kemelut yang terjadi di
padepokan itu. Tak lupa juga tentang lawan-lawan me-
reka yang masih berkeliaran di rimba persilatan bebe-
rapa di antaranya adalah, Gajah Mungkur dan juga ge-
rombolan yang sangat kuat yang bernama Gerombolan
Sinar Kayangan.
Tentang kehadiran gerombolan itu tentu saja
Buang Sengketa yang pernah bertemu dengan mereka
bertanya-tanya tentang siapa dan apa-apa saja tujuan
mereka bermusuhan dengan padepokan Bukit Berka-
bung! Dan jawaban yang diberikan oleh Dewi Ratih
sungguh sangat mengejutkan dirinya. 'Batu Permata
Walet Merah', seumur hidup baru kali ini si pemuda
mendengar tentang adanya batu yang menyimpan ke-
kuatan yang sangat luar biasa. Dan si pemuda malah
bertambah terkejut lagi saat mana Ratih memperli-
hatkan salah satu batu berbentuk cincin yang baru saja didapatnya dari Sungai Banyu Urip.
"Batu ini bisa berakibat malapetaka, bagi pemi-
liknya terlebih-lebih bagi orang lain...!" ujar Buang
Sengketa saat merasakan getaran halus yang ber-
sumber dari batu yang tergenggam di tangannya. Kejab
kemudian dia telah mengembalikan batu itu pada Ra-
tih yang duduk tidak begitu jauh darinya.
"Apa maksudmu, Kakang...?" tanya si gadis lu-
gu tiada mengerti. Buang gelengkan kepala pelan.
"Batu itu bersumber dari tenaga asmara yang
sangat tinggi. Aku yakin siapa pun orangnya yang
memegang cincin batu ini tidak memiliki tenaga dalam
yang cukup tinggi, maka hidupnya akan menjadi bu-
lan-bulanan nafsu yang ditimbulkan oleh batu yang
kau miliki sekarang...!" Keterangan Buang benar-benar
membuat kejut di hati Ratih, hal seperti yang dikata-
kan oleh si pemuda. Juga pernah dia rasakan di dalam
gua saat mana pertama kali dia berusaha mengenakan
batu itu di bagian jemari tangannya. Tapi saat itu, ba-
dan halus Eyang Buyut Resi Mamba telah memberikan
sesuatu, yaitu berupa pakaian merah biru dan sebuah
ikat kepala yang berwarna merah. Gejala aneh itu ti-
dak pernah dia rasakan lagi, cuma terkadang saja
apabila dia berganti pakaian selain dari pakaian pem-
berian Eyang Buyut Resi Mamba, dia merasakan gejala
aneh itu timbul kembali. Mungkinkah pakaian pembe-
rian Eyang Buyut Resi Mamba merupakan penangkal
dari kejadian yang tidak diinginkan akibat pengaruh
Batu Walet Merah? Membatin Dewi Ratih. Kalau me-
mang benar adanya itu berarti dia harus mengenakan
baju itu sepanjang hari, minggu, bulan, bahkan tahun.
Dan yang pasti apa yang dikatakan oleh Pendekar Hina
Kelana benar adanya. Ratih jadi bergidik tubuhnya tak
berani membayangkan apa yang bakal terjadi andai
tanpa pakaian pemberian Eyang Buyut Resi Mamba.
"Kakang Kelana bagaimana bisa tahu tentang
akibat-akibat yang ditimbulkan batu ini?" Tanya si ga-
dis menyelidik.
"Aku merasakannya! Batinku mengatakan ada
hawa dendam asmara dan hawa siluman bersatu di
sana. Tapi yang ku herankan sepertinya kau tidak ter-
pengaruh dengan tenaga gaib yang bersumber dari ba-
tu itu. Tenaga dalammu belum cukup tinggi, orang-
orang yang tidak dapat dipengaruhi batu itu hanyalah
orang-orang yang sudah memiliki tenaga dalam yang
sudah mencapai taraf sempurna... dan kau...!" desah
titisan Raja Ular Piton Utara itu merasa yakin ada se-
suatu yang melindungi diri si gadis. Apapun yang ada
dalam dugaan Buang Sengketa, semua jawabannya
hanya Ratihlah yang tahu.
"Kakang tak perlu merisaukan keadaanku, tapi
aku selalu risau tentang dua orang saudaraku yang
lain...!"
"Maksudmu tentang Dewi Ratna Juwita dan
Bagas Salaya yang di usir oleh eyangmu karena mere-
ka terlibat hubungan cinta...!"
"Ya...! Aku takut mereka mendapatkan Batu
Walet Merah yang betinanya. Kalau batu itu benar-
benar telah mereka dapatkan, bukan kita saja yang
bakal celaka, tapi rimba persilatan juga bakal dilanda
malapetaka besar!" katanya tanpa mampu menyembu-
nyikan rasa cemasnya.
"Bagaimana kau bisa berpikir sampai sejauh
itu...?"
Dewi Ratih tampak tercenung beberapa saat
lamanya, sorot matanya menatap hampa pada nyala
pelita yang bergoyang-goyang terhembus angin. Tapi
kemudian setelah menarik nafas pendek, sangat lirih
sekali dia berucap;
"Selain saudaraku itu memiliki jiwa yang se
nantiasa memberontak, namun juga langkah mereka
senantiasa cenderung ke arah sesat. Bahkan Kak Dewi
mempunyai watak telengas...!"
"Tapi mereka kan tak tahu di mana Batu Walet
Merah yang satunya disembunyikan?"
"Mudah-mudahan saja begitu!" ucap Dewi Ra-
tih.
"Itu bisa kita pikirkan nanti, yang penting be-
sok pagi kita harus berangkat ke Bukit Siluman untuk
menguburkan jenazah eyangmu...!" ujar si pemuda
menutup pembicaraannya.
Kini kita kembali pada Buang Sengketa dan
Dewi Ratih serta kelima orang murid padepokan Bukit
Berkabung yang sedang melakukan perjalanan menuju
Bukit Siluman. Dalam perjalanan panjang dan cukup
melelahkan itu, setelah melewati beberapa tikungan
dan hutan-hutan gundul yang terdapat di kanan kiri
jalan itu, kini sampailah mereka di kaki bukit yang
sangat curam yang lebih di kenal dengan 'Bukit Begal
Sewu', dinamakan Bukit Begal Sewu dikarenakan di
bukit itulah sering terjadi perampokan bagi mereka
yang sedang melakukan perjalanan jauh, dan ber-
akhir dengan pembantaian yang sangat keji.
Melintasi daerah yang terkenal rawan ini, em-
pat ekor kuda penarik kereta tampak meringkik keras.
Bagi Buang Sengketa yang tiada mengetahui tentang
keangkeran bukit yang mengapit jalanan ini, ringkikan
kuda-kuda itu baginya sudah cukup mengisyaratkan
adanya satu bahaya yang mengancam mereka. Tapi
nalurinya sebagai keturunan siluman membuat dia
tampak tenang-tenang saja.
"Kakang, kita telah memasuki wilayah 'Bukit
Begal Sewu' berhati-hatilah...!" kata Ratih dari dalam
kereta memperingatkan.
"Hemm, sebuah nama yang cukup menyeram
kan!" Gumam si pemuda. "Tapi mengapa harus perduli
dengan segala monyet begal, tokh kita tak membawa
emas permata atau barang berharga lainnya...!" ucap-
nya lagi sembari menyeringai dan tepuk-tepuk periuk-
nya hingga menimbulkan bunyi cempreng dan bising.
"Kakang! Jangan bicara sembarangan, bisa-bisa
kita celaka...!" dari nada ucapnya tampak sekali kalau
si gadis benar-benar mengkhawatirkan sesuatu. Buang
Sengketa menanggapi dengan tawanya yang lepas.
"Dunia ini memang banyak pekerjaan yang
aneh-aneh, para pembesar kota raja yang korupsi, pa-
ra pengemis di pasar-pasar, juga tikus-tikus begal
yang sangat menjijikkan.... Tak ada yang lebih mulia
selain dari pekerjaan seorang petani yang membanting
tulang untuk anak bini. Kau lihatlah... para begal ce-
laka itu sekarang sudah mulai berkasak-kusuk di
tempatnya. Agaknya mereka lamur, bahwa mahkluk
yang sedang mereka intai itu ternyata hanya seorang
gembel yang tiada memiliki harta benda atau barang
ber-harga lainnya...!" Dalam berkata tadi, sengaja
Buang mengeraskan suaranya agar di dengar oleh
orang-orang bertampang kasar yang bersembunyi di
kanan kiri bukit.
"Awas kakang...!" teriak Dewi Ratih begitu me-
nangkap berkelebatnya empat sosok bayangan hitam,
dua dari samping kanan dan dua lainnya dari bagian
kiri.
"Aku sudah melihatnya...!"
"Des.... Des...!" Gerakan yang sangat cepat itu
memang benar-benar sangat sulit diikuti kasat mata
dan tahu-tahu, keempat orang penyerang yang ber-
maksud membacok sang kusir, sudah terjengkang
dengan batok kepala rengkah.
"Heaaa... heaaaa...!" Mengetahui keempat ka-
wannya tewas hanya dengan sekali bergebrak, maka kawan-kawannya yang lain berserabut keluar dari
tempat persembunyiannya. Cepat sekali gerakan me-
reka, hingga detik selanjutnya Buang Sengketa dan ke-
lima penunggang kuda lainnya telah berada dalam po-
sisi terkurung.
Si pemuda menarik kendali kudanya, hingga
kuda-kuda itu berhenti sama sekali. Masih dengan ter-
senyum-senyum dia menyapu pandang pada puluhan
orang pengepungnya. Sementara itu Dewi Ratih pun
sudah keluar dari dalam kereta, langsung melompat
turun. Sejenak lamanya mereka saling berpandang-
pandangan. Tiba-tiba salah seorang dari para begal itu
membentak marah: "Bocah! Kau telah membunuh
orang-orangku, sungguh kau orang yang telah begitu
berani mencari penyakit di wilayah ku...!" kata si ku-
mis tebal berkulit putih itu sembari pelototkan ma-
tanya.
"Siapa bilang ini wilayah mu, jalan ini milik
orang ramai, Siapa pun berhak melewatinya...!"
Ratih yang sudah muak melihat tampang si
kumis tebal tiba-tiba saja menyelak. Kata-katanya
memang terdengar ketus, hingga membuat berpasang-
pasang mata mengalihkan perhatiannya pada gadis
berwajah ayu ini. Yang di pandang tampak memerah
parasnya. Lain lagi halnya dengan si kumis tebal yang
di kalangan persilatan di kenal sebagai 'Singa Hitam'.
Laki-laki yang memiliki nama asli Gendam Lukito ini
tampak tersenyum-senyum penuh arti pada Ratih.
"Kunyuk kumis tebal. Simpan senyum mu yang
mirip seringai kuda...!" bentaknya pula.
"Bueh...! Kalau tidak mengingat pada wajahmu
yang cantik, sudah sejak tadi aku pecahkan mulutmu
yang sangat menghina itu! Tapi... he... he... sudah
sangat lama aku hidup menyendiri, hangatnya tidur
bersama seorang perawan cantik pun aku tak tau bagaimana rasanya... ha... ha... ha...! Sungguh pun galak
aku sangat menyukaimu. Biarlah hari ini kami tidak
mendapatkan hasil rampokan harta, tapi aku harus
dapat menangkapmu...!" menggeram Gendam Lukito,
kemudian dia berpaling pada si pemuda sebentar.
"Karena kau telah membunuh empat orang ka-
wanku, maka kau berikut empat orang kawanmu yang
lain sudah selayaknya mampus!" bentak si kumis tebal
yang memiliki julukan 'Singa Hitam' itu marah.
Hanya sekali saja dia memberi tanda pada ka-
wannya yang berjumlah dua puluh lima orang. Maka
secara serentak orang-orang bertampang kasar itu se-
cara serentak menyerang Buang Sengketa dan kelima
murid padepokan Bukit Berkabung. Sementara Gen-
dam Lukito sebagai ketuanya sudah sejak awal telah
berusaha meringkus Dewi Ratih.
Gadis itu juga tidak tinggal diam, begitu tan-
gan-tangan yang bermaksud mencengkeram itu berge-
rak menyambar, maka Ratih berkelit dan langsung ca-
but pedangnya yang berwarna kuning keperak-
perakan. Serangan pertama yang mengalami kegagalan
ini membuat Gendam Lukito menjadi sadar saat itu
mereka sedang berhadapan dengan orang yang memi-
liki kepandaian tinggi. Waktu selanjutnya, Gendam
Lukito sudah tak ingin main-main dan sungkan lagi.
Dengan mempergunakan Jurus 'Begal Bayangan Me-
nyergap Dewa Rembulan', detik berikutnya tubuhnya
telah berkelebat lenyap, tak ayal Ratih pun mulai men-
geluarkan jurus silat 'Dewa Berkabung' yang pernah
dipelajari dari Eyang Girinda. Tak dapat disangkal per-
tarungan yang terjadi selanjutnya merupakan perta-
rungan yang sangat seru dan menegangkan.
Di lain pihak Buang Sengketa dan kelima ka-
wannya yang sedang berhadapan dengan belasan bah-
kan puluhan anak buah Dendam Lukito tampaknya
masih memberi angin pada orang-orang itu. Ini terbuk-
ti dia hanya mengelak dan menangkis setiap serangan
yang datang.
***
SEMBILAN
Tapi ketika pada gebrakan selanjutnya dia
mendengar jeritan panjang dari salah seorang murid
padepokan Bukit Berkabung. Maka menggeletarlah tu-
buhnya, unsur kesabaran yang berusaha dia praktek-
kan lewat jurus-jurus Koreng Seribu, ilmu warisan te-
rakhir mendiang gurunya sudah tak dapat dia perta-
hankan lagi. Ini bukan berarti sama sekali dia tak da-
pat mengendalikan diri karena adanya unsur siluman
di dalam tubuhnya. Tapi semata-mata di masih terin-
gat kematian belasan murid-murid padepokan Bukit
Berkabung yang dibantai oleh Nyai Plasik dan murid-
nya. Pula perjalanan yang mereka tempuh saat itu
adalah perjalanan duka mengantarkan jenazah Eyang
Girinda? Dengan kematian murid padepokan yang
hanya lima orang itu, sama saja artinya dia menambah
jumlah mayat yang harus di usung. Wajarlah kalau
Buang Sengketa harus marah pada saat seperti ini.
Sembari berkelebat menghindari tusukan dan babatan
pedang yang terus mencecar ke arahnya, pemuda ini
mulai bersiap-siap mengeluarkan ajian 'Pemenggal
Roh'.
"Heiiiiiik...!" Suara teriakannya bagai halilintar
menyambar di siang hari, mengejutkan semua orang
yang hadir di situ, tak terkecuali Dewi Ratih dan Gen-
dam Lukito yang sedang terlibat pertarungan. Bebera-
pa orang anggota begal terkapar tewas dengan telinga
mengalirkan darah. Bahkan beberapa orang lainnya
yang masih dapat bertahan dari pengaruh lengkingan
ilmu Pemenggal Roh, tampak berputar-putar tubuh-
nya, berteriak. Bagai orang yang kurang waras. Semen-
tara sisanya yang hanya merasakan sakit pada bagian
dadanya terus saja mencecar si pemuda dengan jurus-
jurus pedang andalan. Begitulah kenyataannya, mere-
ka sebenarnya bukan tidak keder setelah menerima
akibat yang ditimbulkan oleh suara lengkingan 'Ilmu
Pemenggal Roh' namun sudah menjadi prinsip bagi
kaum begal. Bahwa mereka lebih baik mati dalam per-
tarungan daripada harus menyerah begitu saja, apala-
gi kabur.
Karena memang pada hakekatnya para begal
itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mau
tak mau Buang harus mempergunakan pukulan anda-
lannya 'Empat Anasir Kehidupan' tak salah lagi.
"Hiaaat...!" Mempergunakan gerakan udang me-
letik, tubuhnya mencelat ke udara, saat mana tubuh-
nya kembali menungkik ke bawah, tangan kanannya
pun bergerak memukul.
"Weees!" Satu gelombang sinar ultra violet me-
nebarkan hawa panas tiada tertahankan langsung
menghantam orang-orang yang berada di bawahnya.
Yang sempat merasakan sambaran angin pukulan ce-
pat-cepat putar pedang ditangannya membentuk peri-
sai diri, tapi celakalah bagi mereka yang tidak menya-
dari adanya ancaman bahaya itu.
"Bluaaar...!"
"Argggkh...!" Tanah di sekitarnya bergetar he-
bat, lebih kurang tujuh orang anggota begal terpelant-
ing roboh dengan tubuh hangus dan jiwa melayang.
Sementara itu beberapa orang anggota begal masih
dapat menyelamatkan diri, walaupun harus menderita
luka dalam yang cukup parah. Semua yang terjadi atas
diri anggota para begal itu kiranya tak luput dari per-
hatian ketuanya, Gendam Lukito, tapi dia juga tak
mampu berbuat banyak karena saat itu dia masih te-
rus berusaha meringkus Dewi Ratih dan bermaksud
membawanya kabur. Tapi kenyataannya gadis yang
dihadapinya ini juga selain memiliki ilmu mengentengi
tubuh yang lumayan ternyata juga memiliki kepan-
daian silat tinggi sehingga dia selalu mengalami kesuli-
tan untuk meringkusnya dalam keadaan tanpa cedera.
Pertarungan yang mereka lakukan telah berlangsung
lebih empat puluh jurus. Tapi masih belum ada tanda-
tanda bagi Gendam Lukito mampu mengatasi lawan-
nya, pertarungan itu boleh dikata berlangsung seim-
bang. Padahal sampai saat itu laki-laki berkumis tebal
ini telah mengerahkan jurus 'Menangkap Capung Men-
gejar Belalang' yaitu sebuah jurus menangkap lawan
yang penuh dengan tipu-tipu. "Heeees...!"
"Hiaat...!" Dewi Ratih membanting tubuhnya ke
samping kiri pada saat tangan-tangan yang kokoh dan
berbulu lebat itu berusaha mencengkeram bagian
pinggangnya. Satu tendangan kilat masih sempat dila-
kukan oleh Ratih mengarah pada bagian perut gendut
lawannya.
"Deeess!"
"Wuaaa...!" Gendam Lukito menggerung semba-
ri memegangi bagian perutnya yang terasa mules dan
melilit-lilit.
"Bocah kampret! Diajak berdamai tidak mau,
bahkan kawanmu bocah gembel itu telah membunuhi
orang-orangku dengan ilmu gilanya!"
"Sriiing...!" Gendam Lukito cabut senjatanya
yang berbentuk sebuah kaitan namun tajam di bagian
sisinya. "Tiada yang paling baik jalan untukmu terke-
cuali mati...!" teriak laki-laki berkumis tebal itu semba-
ri lancarkan satu tusukan satu babatan.
"Bagus, aku pun jadi ingin menjajal sampai di
mana kehebatan Batu Walet Merah yang pernah
menghebohkan itu!" Berkata Dewi Ratih sambil putar
pedangnya membentuk sebuah perisai yang sangat
kokoh. Kejut hati Gendam Lukito begitu melihat se-
buah cincin yang melingkar di jari manis Ratih. Aneh-
nya begitu si gadis mengerahkan tenaga dalamnya ke
arah bagian Batu Walet Merah di jarinya, laksana kilat
selarik sinar pipih berwarna merah bara melesat dari
padanya. Masih untung secara reflek Gendam Lukito
mampu mengkelit serangan itu dengan cara berjumpa-
litan. Sinar merah itu terus men-deru hebat dan
menghantam lereng bukit yang ada di belakangnya.
Saat itu tidak begitu jauh jaraknya dari perta-
rungan tampak tiga orang berpakaian hitam lainnya
terus mengawasi jalannya pertarungan. Ketiga orang
itu menjadi terkejut saat mana Dewi Ratih mempergu-
nakan Batu Walet Merah untuk menyerang lawannya.
Sebab seperti yang mereka ketahui, batu Walet Merah
selama puluhan tahun terakhir telah menghilang dan
menurut kabarnya batu Walet Merah yang jantan di
buang di Sungai Banyu Urip oleh Eyang Buyut Resi
Mamba, sedangkan yang betinanya tidak di ketahui
entah berada di mana. Bagi ketiga orang pengintai itu
apa yang mereka saksikan merupakan sebuah kabar
yang sangat perlu untuk di sampaikan kepada ketua
mereka di Rimba Maliau dan Taruak. Pada akhirnya
mereka tidak menyaksikan pertempuran yang terjadi
sampai pada titik klimaknya. Bergegas para pengintai
itu meninggalkan lereng bukit 'Begal Sewu' di luar se-
pengetahuan mereka yang sedang terlibat pertarungan.
Kembali pada pertarungan Buang Sengketa
dengan anggota para begal yang sudah mencapai pun-
caknya. Para begal itu kini hanya bersisa empat orang
saja, dan lima beserta Gendam Lukito yang sedang berusaha mati-matian menyelamatkan diri menghindari
terjangan sinar merah yang bertubi-tubi menghajar.
Saat seperti itu si pemuda penyandang periuk itu
membentak pada ketiga orang lawannya: "Kuberi ke-
sempatan pada kalian untuk meninggalkan tempat ini,
kalau kalian tetap bersikeras, jangan kalian salahkan
aku...!"
"Jangan coba-coba menggertak kami, Pendekar
Golok Buntung! Kami akan mengadu jiwa denganmu
sampai titik darah terakhir!" selak salah seorang dian-
taranya dan langsung menerjang dengan senjata ter-
hunus.
"Mampuslah.... Caaaaat...!" Gusar sekali Buang
mendengar jawaban yang diberikan oleh anggota begal
itu, tanpa ampun hantamkan tangan kanan ke depan.
Serangkum gelombang angin berhawa panas datang
menggebu menyongsong orang itu, si orang nekad yang
tiada menyangka Buang Sengketa mampu melakukan
gerak memukul secepat itu, masih juga berusaha
membuang tubuhnya. Tapi pukulan 'Si Hina Kelana
Merana' telah menghajarnya. Tubuh laki-laki itu ter-
sentak ke belakang dan terpelanting roboh. Tewas se-
ketika itu juga. Dua orang lainnya semakin terbelalak
matanya dan langsung kabur tunggang langgang. Pada
saat kedua orang itu kabur meninggalkan mayat-
mayat kawannya, terdengar pula jerit Gendam Lukito.
Begitu Buang Sengketa menoleh, dilihatnya tubuh la-
ki-laki kumis tebal itu telah terkapar. Tubuhnya men-
gejang sekarang. Dua kali le-satan sinar merah yang
memancar dari Batu Walet Merah di tangan Dewi Ratih
telah membuat Gendam Lukito tergeletak untuk sela-
ma-lamanya.
Si pemuda melirik pada Dewi Ratih, memperha-
tikan sekilas terus berkata: "Batu Walet Merah hebat,
tapi aku malah khawatir akan menimbulkan bencana
di mana-mana...!" desahnya lesu.
"Apa katamu, Kakang...!?"
"Kubilang, ada baiknya kalau kita cepat-cepat
tinggalkan tempat ini!" kata Buang tanpa bermaksud
menyinggung perasaan Ratih. Akhirnya setelah mem-
beri perintah pada keempat murid padepokan untuk
mengusung mayat salah seorang kawannya yang te-
was. Rombongan kereta kuda itu melanjutkan perjala-
nannya kembali. Sepanjang perjalanan menuju Bukit
Siluman baik Buang Sengketa maupun Dewi Ratih
sama-sama saling diam membisu.
Memasuki daerah bukit kapur, kesunyian me-
nyambut kehadiran mereka. Saat itu bagai orang men-
gantuk Buang Sengketa yang bertindak sebagai kusir
tampak menoleh ke belakang.
"Tanah berkapur, bukit bahkan sisi jalan kanan
kiri! Inikah yang kau maksudkan Bukit Siluman itu,
Adik Ratih...?" tanya Buang Sengketa coba-coba men-
gitarkan pandangan matanya.
"Ya... kita memang sudah sampai di Bukit Si-
luman, Kakang...! Satu belokan di depan kita pasti su-
dah tiba di depan sebuah gua tempat penyimpangan
peti mati para leluhur ku...!" jawab Dewi Ratih lalu me-
longokkan kepalanya lewat jendela kereta bagian de-
pan.
"Tempat yang tenang, sayangnya berkesan ang-
ker...!"
"Namanya juga kuburan...!" kata Ratih menim-
pali. Kereta kuda terus berjalan perlahan, hingga ak-
hirnya membelok di sebuah tikungan yang sangat ta-
jam, hingga tak lama kemudian sampailah mereka per-
sis di depan pintu gua tempat penguburan para lelu-
hur padepokan Bukit Berkabung. Ratih melompat tu-
run dari kereta kuda yang membawanya, begitu dia
melihat pintu gua yang senantiasa terkunci itu terbuka, wajahnya tiba-tiba saja berubah pucat.
"Kakang... gua itu telah terbuka...!" serunya.
Tanpa sadar dia menghambur ke depannya. Namun
dia tampak terbelalak kaget begitu melihat sebilah pe-
dang pendek yang telah rusak terletak tak begitu jauh
dari kakinya. Cepat-cepat dia memungutnya.
"Kalau tak salah pedang ini milik Kakang Bagas
Salaya. Celaka dia pasti telah mengambil Batu Walet
Merah yang terletak di dalam gua ini...!" serunya, lalu
berlari cepat memasuki ruangan gua. Tak ketinggalan
Pendekar Hina Kelana pun mengekor dibelakangnya.
Benar seperti apa yang ada dalam dugaan Ratih, peti-
peti mati dalam gua itu tampak berantakan. Apabila
gadis itu memeriksa ke bagian sudut, maka sebuah
ruangan kecil ber-ukuran setengah meter itu pun telah
terbuka pintunya.
"Jangan-jangan disinilah di simpan Batu Walet
Merah. Kalau begitu Kakang Bagas Salaya telah mela-
rikannya!" desahnya lemah dengan tubuh gemetaran.
"Ancaman baru bagi dunia persilatan! Tapi
mungkin kita masih dapat melacak ke mana perginya
orang itu!"
"Tapi kakang...!"
"Sudahlah, lebih baik kita rapikan peti-peti ini,
setelah itu kita angkat peti jenazah eyangmu dan seo-
rang kawanmu. Masih banyak waktu untuk menda-
patkan batu itu lagi...!" berucap si pemuda sambil me-
langkah keluar.
***
SEPULUH
Sejak hadirnya sepasang tokoh muda yang me-
namakan dirinya sebagai 'Sepasang Walet Merah', du-
nia persilatan mulai kacau karena kehadirannya. Ke-
mana pun kedua tokoh muda ini hadir, maka di sana-
lah mereka mulai menyebar maut. Sudah tidak terhi-
tung beberapa tokoh persilatan baik dari golongan
muda maupun kalangan tua tewas di tangan mereka
dengan keadaan sangat menggenaskan. Dengan men-
gandalkan batu Walet Merah serta kepandaian silat
yang mereka miliki, kedua orang itu mulai malang me-
lintang di dunia ramai. Dua orang tokoh muda yang
namanya mulai menghebohkan itu tak lain adalah De-
wi Ratna Juwita dan Bagas Salaya.
Sudah barang tentu berita mengenai sepasang
Walet Merah dengan batu sakti yang dimilikinya mem-
buat gempar berbagai tokoh golongan persilatan. Teru-
tama kalangan tua yang dulu sempat pernah merasa-
kan bagaimana hebatnya Batu Walet Merah ketika
Eyang Buyut Resi Mamba sempat mempergunakannya
ketika terlibat pertarungan besar di Bukit Siluman. Se-
cara pelan namun cukup pasti, dedengkot-dedengkot
persilatan yang telah lama mengasingkan diri di berba-
gai tempat, sekarang mulai bermunculan. Sebagaima-
na halnya di siang yang sangat terik itu, tampak se-
rombongan orang-orang berkuda memasuki Dusun
Genter yang memiliki penduduk rapat. Melihat cara
mereka memacu kuda tunggangan nampak sekali ka-
lau rombongan penunggang kuda dan berpakaian bi-
ru-biru ini dalam keadaan sangat tergesa-gesa. Sema-
kin ke dalam memasuki desa Genter, rombongan ber-
kuda itu tampak berhenti di sebuah warung yang se-
dang ramai pengunjung. Rombongan penunggang ku
da yang berjumlah tujuh orang ini, begitu menghenti-
kan kudanya langsung melompat, dan dengan sangat
tergesa-gesa memasuki warung tadi. Beberapa orang
yang berada di dalamnya tampak menyingkir atau
bahkan buru-buru meninggalkan warung itu saat me-
lihat kehadiran orang-orang bertampang sangar ini.
Tak lama setelahnya salah seorang diantara mereka
menghampiri si pemilik warung itu.
"Pak tua...!" panggilnya dengan suara cukup
keras. Dengan tergopoh-gopoh dan tubuh gemetar pe-
milik warung yang berusia sekitar lima puluh enam
tahun ini datang menghampiri.
"Sa... saya... tuan...! Tuan-tuan mau pesan
apa...!" tanyanya terbata-bata. Laki-laki yang bertanya
tadi langsung menggebrak meja. Meja yang berada di
depannya hancur berantakan.
"Gooblook...! Aku bukan mau pesan maka-
nan...!" bentaknya. Kemudian sekali saja tangannya
yang kokoh terulur, maka krah baju yang di pakai oleh
pemilik warung itu tercengkeram erat. Dengan satu
sentakan keras, maka terangkatlah tubuh pemilik wa-
rung itu terangkat tinggi-tinggi. Laki-laki tua itu keta-
kutan setengah mati. Apalagi ketika disadarinya laki-
laki berpakaian biru tersebut mulai mengguncang-
guncangkan tubuhnya.
"Ampun tuan, maafkanlah saya...!"
"Coba kau katakan padaku, pernahkah kau
mendengar tentang sepasang tokoh muda yang mena-
makan dirinya Sepasang Walet Merah?" bentaknya lagi
sembari mempererat cengkeramnya.
"Sa... saya memang pernah mendengarnya
tuan! Tapi orangnya saya belum pernah berjumpa...!"
jawab si pemilik warung bertambah menggigil ketaku-
tan.
"Aku tak butuh jawaban seperti itu, tolol! Yang
aku ingin ketahui, pernahkah Sepasang Walet Merah
melintas di desamu ini...!"
"Belum, Tuan...!"
"Gabruuuk...!" Tubuh pemilik waning dicam-
pakkan begitu saja oleh laki-laki berbaju biru tadi, dan
ketika dia menoleh dan hendak berbalik langkah. Ma-
ka dilihatnya seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang berusia sekitar dua puluh satu tahun tampak
berdiri di depan pintu warung itu.
"Kalian siapakah? Sehingga mencari-cari ka-
mi...?" tanya salah seorang yang berdiri di depan itu
merasa curiga
"Kami dari anggota gerombolan Sinar Kayan-
gan! Benarkah kalian yang berjuluk Sepasang Walet
Merah?" Kedua muda mudi yang tak lain Dewi Ratna
Juwita dan Bagas Salaya tampak saling berpandangan
seketika lamanya.
"Kalau benar kalian mau apa...?" tanya Bagas
Salaya dengan sesungging senyum sinis. Mendengar
pengakuan Bagas Salaya, bukan main gembiranya hati
mereka. Tanpa sadar mereka pun tergelak-gelak.
"Bocah ingusan seperti inikah yang telah men-
gangkat dirinya sebagai Sepasang Walet Merah?" ejek
pimpinan rombongan yang bernama Sudiro.
"Tak salah...!" tukas Dewi Ratna Juwita sambil
maju dua langkah.
"Kalau begitu serahkan Batu Walet Merah yang
ada di jarimu itu...!" perintahnya, serta merta mereka
mencabut senjatanya yang berupa golok panjang na-
mun bengkok di bagian ujungnya.
"Itukah keinginan kalian?" bentak Bagas Sa-
laya, lalu menatap tajam pada ketujuh penunggang
kuda berpakaian biru itu.
"Kami hanya menjalankan perintah ketua kami
dari Maliau dan Taruak...!" sentak Sudiro.
"Ha... ha... ha...! Ha... hi... hi...! Kalau begitu
berangkatlah kalian ke neraka mendahului ketua-
mu...!" teriak Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita
hampir bersamaan.
"Kurang ajar! Anak-anak cincang kedua bocah
ingusan itu sekarang juga...!" perintah Sudiro. Tak da-
pat di hindari terjadilah pertarungan seru di tempat
itu. Tujuh orang utusan gerombolan Sinar Kayangan
ternyata memiliki kepandaian yang cukup lumayan.
Bahkan permainan golok panjang mereka juga sangat
berbahaya bagi pihak lawan, apalagi semua itu diba-
rengi dengan kerjasama yang sangat baik. Tak heran
kalau mereka dalam waktu sekejap saja sudah mulai
mendesak kedua lawannya. Sebaliknya pasangan Wa-
let Merah juga tidaklah memiliki kepandaian yang ren-
dah. Jurus silat sempurna. Apalagi ketika tinggal di
padepokan Bukit Berkabung mereka ini merupakan
murid pertama dan kedua. Sudah barang tentu setelah
gurunya, maka merekalah yang memiliki kepandaian
tinggi. Secara silih berganti mereka ini terus berusaha
membubarkan gulungan sinar golok yang mengung-
kung tubuh mereka.
"Hiaaa...! Sriiing.... Sriiing...!" Dewi Ratna Juwi-
ta dan Bagas Salaya cabut pedangnya, begitu senjata
itu telah berada di dalam genggamannya maka men-
gamuklah kedua orang itu bagai benteng terluka.
Menggunakan jurus pedang 'Menggapai Langit Me-
rengkuh Bintang', senjata mereka memapaki setiap
sambaran golok lawan yang datangnya bertubi-tubi.
Tak pelak lagi denting beradunya senjata tajam terden-
gar tiada henti.
"Heaaa... heaaa...!"
"Traaang...!" terlihat bunga api berpijar ketika
benturan keras terjadi. Utusan gerombolan Sinar
Kayangan yang bernama Sudiro terhuyung-huyung,
bibirnya menyeringai menahan sakit. Sementara di pi-
hak Bagas Salaya hanya tergetar saja bagian tangan-
nya. Dari beradunya senjata mereka tadi, nyatalah ba-
gi Bagas Salaya kalau lawannya yang bernama Sudiro
itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tidak rendah.
Selanjutnya dia pun lipat gandakan tenaganya.
"Arrgkh...!" Salah seorang dari enam orang yang
sedang mengkerubuti Dewi Ratna Juwita menjerit ter-
tahan ketika pada satu kesempatan yang sangat baik
senjata di tangan gadis itu berhasil menghunjam ke
bagian lambungnya sebelah kiri. Laki-laki berpakaian
biru ini terbanting keras, menggelepar kemudian tewas
seketika. Melihat kematian kawannya lima orang lain-
nya tampak sangat marah sekali, selanjutnya tanpa
membuang-buang waktu lagi, satu serangan kilat yang
di dahului dengan bentakan-bentakan menggelegar
mereka lakukan secara berbarengan.
"Bet! Bet!"
"Ah...!" Dewi Ratna Juwita mengeluh, serangan
kilat yang memiliki kerja sama yang terbina dengan
baik ini membuat dia tidak mampu melakukan seran-
gan balasan terkecuali hanya mengelak dan menang-
kis. Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, si gadis
malah tersenyum penuh kelicikan. Sambil terus men-
gelakkan setiap serangan-serangan yang datang diam-
diam dia mulai mengerahkan sebagian tenaga dalam-
nya ke bagian tangan, begitu tenaga dalam tadi telah
sampai ke sana, tiba-tiba cincin Batu Walet Merah
mengeluarkan cahaya merah berkilauan.
"Hiaaat...!"
"Weeer.... Weeer...!" Begitu Dewi Ratna Juwita
mengarahkan batu cincinnya kepada lawan-lawannya.
Dua larik cahaya merah tampak melesat menghajar
dua orang lawan yang berada paling dekat dengannya.
"Argggk...!" Dua jeritan maut terdengar bertu
rut-turut. Tubuh dua orang utusan gerombolan Sinar
Kayangan itu terpelanting roboh, kulit tubuh yang te-
lah tewas itu melepuh dan berubah menjadi biru. Na-
mun gadis itu tidak ingin berhenti sampai di situ saja,
dia terus melabrak lawannya dengan mengumbar sinar
maut yang bersumber dari cincin batu Walet Merah di
tangannya. Keadaan kini benar-benar telah berbalik,
posisi utusan gerombolan Sinar Kayangan benar-benar
menjadi kacau akibat serangan itu. Tak ada pilihan
lain bagi mereka terkecuali bertahan sebisa-bisanya
demi menyelamatkan selembar nyawanya.
"Hi... hi... hi...! Sial betul kalian jadi manusia!
Mampuslah...!" jerit gadis itu, dan kembali selarik si-
nar merah datang bertubi-tubi mencecar lawannya.
Tunggang langgang utusan gerombolan Sinar Kayan-
gan berusaha mengelakkannya, tapi pada kesempatan
berikutnya, tak terelakkan lagi.
"Blaar...! Blaar...!"
"Wuaaa...!" Dua orang diantara tiga orang itu
langsung menjerit, lalu roboh tanda jiwa telah merat
dari badan kasarnya. Tapi Dewi Ratna Juwita tidak in-
gin memberi jalan hidup pada yang satunya lagi. Kem-
bali terlihat dua kali sinar merah melesat dari batu
cincin Walet Merah di tangan si gadis. Utusan Gerom-
bolan Sinar Kayangan yang sedang berhadapan den-
gan gadis telenggas itu terperangah, namun masih te-
tap berusaha memutar goloknya.
"Breess...!" Tiada lolongan yang terdengar, laki
berpakaian biru itu terjengkang tewas dalam keadaan
masih tetap memegangi golok. Dewi Ratna Juwita
hanya tersenyum sinis. Dan apabila dia memandang
pada Bagas Salaya yang sedang bertarung melawan
Sudiro, maka dia pun mencibir;
"Adik Bagas! Menghadapi seekor bandot saja
sedari tadi kau tak mampu merobohkannya! Nih kubantu...!" Perempuan itu mengarahkan batu Walet Me-
rah pada Sudiro yang sedang berada dalam posisi ter-
jepit.
"Weeer.... Weeer...!"
"Ihh...!" Sudiro cepat-cepat buang tubuhnya ke
samping kiri begitu merasakan adanya sambaran hawa
panas di belakangnya. Serangan pertama luput, tapi
celakanya dia tak mampu mengelakkan serangan ke-
dua yang bertenaga berlipat ganda.
"Auugghk...!" Sudiro meraung keras, tubuhnya
terjerembab ke depan. Berkelojotan sebentar, kemu-
dian meregang ajal dengan kedua bola mata melotot.
Sepasang Walet Merah sama-sama tersenyum
puas. Lalu tanpa menghiraukan orang-orang yang ha-
dir di situ, keduanya pun cepat-cepat berkelebat pergi.
***
SEBELAS
Sejak kematian Eyang Girinda dan sebagian
besar murid-murid padepokan Bukit Berkabung.
Hampir setiap malamnya suasana di sekitar padepo-
kan itu terasa sunyi mencekam. Tak terlihat seorang
pun penjaga di luar padepokan itu, tidak sebagaimana
biasanya, ruangan depan tampak gelap, hanya di
ruangan tengah saja terlihat nyala pelita yang di letak-
kan persis di tengah-tengah tikar pandan. Dan di se-
tiap sudut pintu ruangan itulah keempat murid pade-
pokan berjaga-jaga. Sementara di tengah-tengah ruan-
gan di atas tikar pandan tampak Pendekar Hina Kela-
na dan Dewi Ratih sedang duduk mengelilingi lampu.
Saat itu diantara mereka sama-sama saling diam den-
gan wajah tertunduk. Tampaknya kematian Eyang Girinda benar-benar masih mendera batin gadis itu. Lain
lagi halnya dengan Buang Sengketa, justru dia menya-
dari dengan adanya pesan Eyang Girinda menjelang
kematiannya beberapa minggu yang lalu membuat di-
rinya tak dapat bergerak ke mana-mana. Bahkan kini
pun disadarinya dengan adanya Batu Walet Merah di
tangan Ratih, cepat atau lambat pasti akan mengun-
dang perhatian tokoh-tokoh persilatan dari berbagai
golongan. Hal itu merupakan sebuah kenyataan yang
tidak disangkal oleh siapa pun. Sebab sepanjang seja-
rahnya sepasang Batu Walet Merah, keberadaannya
selalu diperebutkan oleh banyak tokoh. Entah sudah
beratus jiwa yang melayang hanya karena mempere-
butkan dua batu yang memiliki kekuatan gaib yang
luar biasa ini. Bahkan ketika Resi Mamba masih hidup
dulu sampai membuang batu itu, juga karena dia tak
ingin jatuhnya korban-korban lebih banyak lagi. Pe-
nyesalannya telah membunuh istrinya sendiri yang le-
bih cenderung berpihak pada golongan sesat itu, telah
membuatnya menjadi putus asa. Itulah sebabnya keti-
ka istrinya dulu tewas di tangannya. Resi Mamba lang-
sung berada di dalam gua tempat penyimpanan jena-
zah di dalam sebuah ruangan kecil yang berada di da-
lam gua tempat penyimpanan jenazah para leluhur.
Dan sebelum Resi Mamba meninggal dunia dia pun te-
lah memutuskan untuk membuang Batu Walet Merah
jantan miliknya. Siapa kira kemudian muncul Dewi
Ratih yang punya ambisi untuk mengembalikan jaman
kejayaan padepokan Bukit Berkabung.
"Kita tak mungkin tetap tinggal di sini sela-
manya, apalagi dua orang saudaramu kini dengan Ba-
tu Walet Merah mulai menyebar malapetaka di mana-
mana...!" ucap Buang Sengketa memecah keheningan
suasana. Suaranya yang lirih, cukup membuat Ratih
tersentak dari lamunannya. Sejenak dipandanginya
wajah pemuda di depannya dengan sudut matanya
yang indah.
"Maksud kakang bagaimana...!" tanya gadis
berpakaian merah biru dengan ikat kepala merah ini
penuh perhatian.
Si pemuda tak segera menjawab, sebaliknya di-
buangnya pandangan mata jauh-jauh sambil menarik
nafas pendek, dan menghembuskannya kembali. Maka
dia pun menyahut.
"Mestinya kita mulai bergerak meninggalkan
padepokan ini, atau paling tidak mengosongkan pade-
pokan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu andai
saja dunia persilatan tau bahkan apabila dua orang
saudaramu tahu bahwa kau ada memiliki Batu Walet
Merah yang satunya lagi. Maka aku punya keyakinan
mereka tak terkecuali saudaramu pasti segera membu-
rumu...!" ujar si pemuda was-was.
Dewi Ratih tampak angguk-anggukkan kepa-
lanya.
"Menurutmu apakah kita mampu mengambil
Batu Walet Merah betina yang kini berada di tangan
Kakang Bagas Salaya, Kakang...?"
Buang Sengketa hanya tersenyum saja men-
dengar kata-kata Dewi Ratih yang agaknya tak tau ba-
nyak tentang kemelut yang sedang terjadi di rimba
persilatan.
"Kau bilang pemilik pedang itu Bagas Salaya?"
tanyanya setengah tertegun.
"Ya... ada tanda dari pedang yang menggeletak
di depan pintu gua...!" ujar Ratih merasa sangat yakin.
Pendekar Hina Kelana hanya manggut satu kali.
"Kalau pun memang benar apa yang kau kata-
kan itu, yang jelas dia datang kesana tentulah bersama
dengan kakak tuamu, Dewi Ratna Juwita...!"
Tersentak Dewi Ratih mendengar apa yang baru
saja dikatakan oleh pemuda tampan yang duduk di
hadapannya.
"Bagaimana kakang bisa mengetahui-nya...?"
"Apakah beberapa hari ini kau tidak mendengar
adanya berita tentang sepak terjang tokoh muda yang
menamakan dirinya sebagai Sepasang Walet Merah?
Kalau sudah dibilang sepasang itu berarti dua orang,
yang jelas laki-laki dan seorang perempuan...!"
"Apakah orang itu juga memiliki batu cincin se-
perti yang ada padaku ini?" tanya si gadis pilon. Buang
Sengketa tampak garuk-garuk kepalanya.
"Justru batu itulah yang telah banyak menim-
bulkan jatuhnya korban dimana-mana...!"
"Kalau begitu kita harus bisa menghentikan-
nya, Kakang...!" tukas Ratih. Si pemuda menanggapi
dengan sesungging senyum kecut.
"Memang kenapa, Kakang Kelana...!"
"Yang ingin kita buru adalah Batu Walet Merah,
sedangkan yang memburu juga memiliki batu yang
sama. Pernahkah terlintas di dalam hatimu bahwa kita
pun punya kemungkinan besar untuk diserbu oleh
orang lain, atau bahkan saudara-saudaramu juga ma-
lah berbalik memburumu...?" tanya Pendekar Hina Ke-
lana seperti pada dirinya sendiri.
"Betul juga katamu kakang...! Tapi mungkinkah
kita mendapatkan kembali Batu Walet Merah yang be-
tinanya, jika kita menghadapi dua orang saudaraku itu
hanya mengandalkan tenagamu...?!"
"Kemungkinan itu selalu ada, asal saja kita tau
selanya...!"
"Tapi kehebatan Batu Walet Merah tak bisa di-
anggap main-main, Kakang...! Bahkan kakang sendiri
pernah menyaksikannya ketika kita terlibat pertarun-
gan dengan Gendam Lukito...!"
"Aku hanya memberi usul, Adik Ratih... jika
kau keberatan itu berarti segala resiko apapun kita
sudah siap menghadapinya...!" katanya. "Pula yang
akan merintangi jalan di depan sana bukanlah sauda-
ramu saja, masih banyak tokoh persilatan yang lain
yang mungkin juga berambisi untuk mengangkangi
kedua batu itu...!"
"Menurutmu bagaimana, Kakang...!"
"Kalau menurut aku, ada baiknya Batu Walet
Merah yang berada di tanganmu itu disembunyikan di
suatu tempat!" ujarnya berbisik-bisik.
"Apa disembunyikan? Justru dengan cara dis-
embunyikan seperti itu aku merasa kurang yakin akan
keselamatan...!"
"Bagaimana kalau tidak kau pakai di jari, tapi
di bungkus dengan sebuah kain kemudian kau sem-
bunyikan di salah satu saku bajumu...!" katanya lagi
memberi pandangan yang lain. Sekejap Dewi Ratih be-
rusaha memahami apa yang di katakan oleh Buang
Sengketa. Lalu tak lama setelahnya dia pun sudah
mengangguk setuju.
Dalam kesempatan itu, sebelum keduanya
mengambil langkah lebih lanjut, dari luar padepokan
dalam suasana kegelapan terdengar suara tawa seseo-
rang yang disertai tenaga dalam tinggi. Padepokan
tempat di mana orang itu berada terasa tergetar, bah-
kan keempat orang murid padepokan terpaksa harus
menutupi kedua telinganya. Tak lama suara tawa tadi
berlangsung disambung dengan kata-katanya.
"Kalau kalian berdua selalu merasa was-was
dengan keselamatan Batu Walet Merah itu, alangkah
baiknya kalau kalian serahkan padaku. Percayalah
aku pasti mampu menjaganya dari tangan orang-orang
yang punya niat tak baik...!" Dengan mempergunakan
obor di tangan, Dewi Ratih tanpa banyak suara lang-
sung melompat ke luar lalu diikuti pula oleh Buang
Sengketa. Begitu mereka sampai di luar tak seorang
pun terlihat di sana. Tapi naluri kependekaran Buang
mengatakan bahwa sesosok tubuh dalam kegelapan
itu tidak jauh jaraknya dari mereka berdua.
"Siapa pun adanya orang tua di dalam kegela-
pan! Ku mohon tunjukkan rupa, dan katakan apa tu-
juan sehingga malam-malam begini keluyuran sampai
ke padepokan Bukit Berkabung...!"
"Tak banyak keperluan datang ke tempatmu ini
orang muda, pertama aku ingin turut mengatakan
berduka cita atas meninggalnya Girinda! Yang kedua
aku ingin menagih hutang nyawa atas diri Nyai Plasik
bekas istriku dan seorang muridnya. Tapi sebelum se-
mua yang kukatakan itu kulaksanakan, maka aku
minta agar Batu Walet Merah di serahkan padaku...!"
Baik Dewi Ratih maupun Pendekar Hina Kelana
sudah barang tentu sangat terkejut sekali mendengar
permintaan yang sangat gila-gilaan ini. Mereka menjadi
penasaran tentang keberadaan si suara di kegelapan
yang belum jelas rupanya ini. Dengan gusar Ratih pun
tak ketinggalan membentak;
"Enak saja, begitu mudahkah kau meminta ba-
rang milik orang lain begitu saja, seolah engkaulah
yang paling berkuasa atas diri orang lain."
"Hek... hek... hek...!" tawanya sumbang. "Sudah
kukatakan bahwa kedatanganku kemari adalah untuk
menagih hutang nyawa kawanku, tapi karena kulihat
juga kalian merasa kebingungan untuk menyimpan
Batu Walet Merah yang hampir saja membuat aku
mampus dulu. Maka kuperintahkan agar batu itu di
serahkan padaku dengan sukarela!"
"Kalau kami tak mau...!" tukas si pemuda.
"Maka aku akan memaksanya...?!"
"Mampukah kau...!"
"Hek... he... hek... he...!" tawanya lagi. "Semudah aku membalikkan telapak tanganku bocah-bocah
ingusan...!"
"Besar mulut...!" cibir si gadis. Tiada terdengar
jawaban apapun, tapi saat kemudian keduanya ter-
paksa harus membuang tubuhnya ke samping dan
berguling-guling saat mana satu pukulan mematikan
di lancarkan oleh orang yang berada di dalam kegela-
pan itu.
"Sompreet...!" maki Buang Sengketa sembari
bangkit berdiri.
"Jleeegkh...!" Ketika Buang dan Ratih baru saja
bersiap-siap dengan posisinya, maka sosok bayangan
yang telah memukulnya dengan pukulan jarak jauh
tadi telah berdiri dihadapannya. Satu seringai lebar
mengawali kehadirannya.
"Ka... kau... siapakah kau ini...?" tanya Buang
Sengketa begitu melihat seorang kakek berkepala gun-
dul dengan pakaian warna cokelat menyelempang ke
bagian sebelah dada sehingga mirip sekali dengan pa-
kaian seorang pendeta. Selain Buang Sengketa, rasa-
rasanya Dewi Ratih pun baru kali ini melihat kehadi-
ran laki-laki berkepala botak macam tuyul ini. Cuma
ada keanehan yang lainnya adalah karena kakek ber-
kepala botak itu tiada henti-hentinya tertawa-tawa.
"Hek... hek... hek...! Kalau kalian ingin kenal
denganku, akulah si Gajah Mungkur...!" bentaknya
sambil terus mengumbar tawanya tanpa henti. Suara
tawa Gajah Mungkur terasa benar bagi Buang meru-
pakan satu ejekan yang sangat meremehkan sekali,
itulah makanya sebelum dia bergebrak dia pun tak in-
gin mau kalah.
"Bangsat! Kiranya setan berkepala botak ini,
Gajah Bengkak namanya! Kaukah saudaranya Nyai
Plasik atau bandot simpanannya? Hhh... bibirmu yang
selalu tersenyum-senyum itu memang tak ubahnya
bagai seekor bandot ketemu betinanya! Alangkah lebih
baik kalau kuberi engkau ganjaran yang setimpal atas
segala tingkahmu yang punya niat untuk menguasai
Batu Walet Merah...!" teriak Buang Sengketa, selanjut-
nya dia memberi isyarat pada Dewi Ratih dan keempat
murid padepokan untuk menyingkir dari tempat itu.
"Hek... hek... hek.... Hoeek...! Tiada guna kau
menyuruh adikmu minggat dari tempat ini bocah gem-
bel! Lihatlah tak sampai satu jam di depan, padepokan
Bukit Berkabung segera terkepung dari segala penjuru.
Percuma... percuma... kalangan persilatan sudah tau,
bahwa saudaramu yang lain telah berani pamer di du-
nia ramai dengan mengandalkan Batu Walet Merah.
Mereka pasti marah, bocah...! Tapi sebelum mereka
datang melabrakmu itu makanya aku datang lebih aw-
al, menyerahlah...!" perintah Gajah Mungkur yang su-
dah barang tentu menganggap Buang Sengketa masih
merupakan murid padepokan Bukit Berkabung.
Sementara itu apapun yang bakal terjadi, seda-
patnya Pendekar Hina Kelana telah memberi jalan bagi
Dewi Ratih dan keempat orang muridnya untuk kabur
dari tempat itu. Mulanya Ratih merasa bimbang den-
gan keselamatan Buang yang selama ini bertindak se-
bagai pelindungnya. Tapi karena secara terus menerus
Pendekar Hina Kelana mendesaknya maka dengan be-
rat hati dia dan kawannya terpaksa meninggalkan
tempat itu. Keadaan seperti itu tidak dikehendaki oleh
Gajah Mungkur, dia berusaha mencegah namun
Buang Sengketa merintanginya. Tanpa tercegah lagi,
Gajah Mungkur menjadikan si pemuda sebagai tempat
pelampiasan kemarahannya. Mulanya dia mengira
dengan sekali gebuk mempergunakan senjata mautnya
yang berupa pecut dari ekor ikan hiu maka binasalah
pemuda berperiuk itu di tangannya. Tapi akhirnya dia
harus kecewa setelah melihat kenyataan yang terjadi
bahwa pemuda yang dianggapnya hanya memiliki ilmu
kepandaian tidak seberapa ini ternyata mampu menge-
lakkan cambukan pecutnya yang sangat luar biasa ce-
pat ini.
"Keparat...! Kebisaanmu bertingkah di depanku
benar-benar harus kau tebus dengan kematian yang
mengertikan...!" Gajah Mungkur lagi-lagi membentak,
selanjutnya dia ayunkan pecutnya yang memiliki berat
hampir satu kwintal itu.
***
DUA BELAS
"Jder.... Jdeeer.... Jdeeer...!" suara pecut di tan-
gan Gajah Mungkur meledak-ledak mencecar lawan-
nya. Tapi Buang Sengketa telah berkelebat cepat.
Mempergunakan jurus silat 'Membendung Gelombang
Menimba Samudra', kedua tangannya dia putar sede-
mikian rupa sehingga membentuk sebuah pertahanan
yang sangat kokoh sekali. Sekali dua lecutan cambuk
di tangan Gajah Mungkur dengan nekad dia pakai di
tengah jalan dengan mempergunakan jurus si Gila
Mengamuk. Namun ternyata cambuk yang terbuat dari
ekor ikan hiu itu selain memiliki berat yang luar biasa
juga dialiri dengan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Hingga mau tak mau Buang terpaksa menarik pulang
tangannya, saat dia merasakan tangan kanan yang dia
pergunakan untuk memapaki serangan cambuk itu
kesemutan dan berdenyut-denyut sakit.
"Sekejap lagi engkau harus terima mampus,
bocah...!" teriak Gajah Mungkur sambil melipat ganda-
kan tenaganya sehingga membuat cambuk di tangan-
nya meledak-ledak bagai sebuah senjata yang sangat
ringan sekali.
"Dwwuueer...!"
"Kampret...!" maki Pendekar Hina Kelana saat
cambuk di tangan Gajah Mungkur hampir saja mende-
ranya. Angin sambaran cambuk yang dilecutkan oleh
Gajah Mungkur terasa sangat panas menyambar ba-
gian kepalanya, kini sadarlah dia bahwa ujung cambuk
selain memiliki berat yang luar biasa kiranya mengan-
dung racun yang jahat. "Aku harus lebih cepat dalam
bertindak, kalau tidak tubuhku bisa hancur berkeping
dilanda cambuk sialan itu!" gumam si pemuda dalam
hati.
"Caiiit...!" mempergunakan jurus si 'Gila Men-
gamuk' secara mendadak tubuh Buang Sengketa ber-
gerak lambat, meliuk-liuk, terhuyung ke depan dan ke
belakang bagai orang yang sedang mabuk. Inilah yang
merupakan ciri khas dari jurus si Gila Mengamuk yang
di mainkan oleh Buang Sengketa. Sungguhpun gera-
kan silat si pemuda menjadi kacau tak beraturan,
akan tetapi sampai sejauh ini cambuk di tangan Gajah
Mungkur secepat apapun berkelebat menyambar ma-
sih tetap saja dapat dielakkan oleh pihak lawannya.
Selaku tokoh silat, bahkan boleh dikata dedengkotnya
kaum persilatan golongan hitam yang sudah banyak
makan asam garam pengalaman. Sudah barang tentu
keadaan seperti itu tak dapat dibiarkan terus berlan-
jut. Maka tanpa banyak komentar lagi, dia pun cepat-
cepat robah jurus silatnya dengan tingkatan yang lebih
tinggi. 'Gajah Buta Menendang Serigala', memperguna-
kan jurus ini, tubuh Gajah Mungkur yang sangat ge-
muk luar biasa tampak bergerak lebih cepat lagi dari
yang sudah-sudah. Cambuk di tangan tiada henti-
henti melecut ke arah bagian tubuh lawannya. Gera-
kan tubuh Gajah Mungkur yang sedemikian cepat,
membuat Buang Sengketa mulai kehilangan ruangan
gerak. Hingga satu kesempatan pihak lawan lancarkan
satu sodokan keras ke arah bagian perut. Buang me-
nangkisnya dengan kibaskan tangan kanan, sementara
tangan kirinya menghajar bagian dada Gajah Mung-
kur.
"Buuuuk!" Gajah Mungkur mengeluh dengan
tubuh terhuyung-huyung ke belakang, tapi di luar du-
gaannya pecut di tangannya menghajar bagian pung-
gung Buang Sengketa.
"Breet! Ahhkh...!" tubuh pemuda keturunan ra-
ja para siluman itu terguling-guling roboh. Dia mera-
sakan bagian punggungnya seperti remuk, bajunya
pun robek hampir sepanjang punggung belakangnya.
Tertatih-tatih, pemuda itu berusaha bangkit, sementa-
ra bagian punggung yang terkena itu telah mulai men-
geluarkan darah, hingga menimbulkan rasa perih yang
tiada tertahankan.
"Mampuslah, kau bocah...!" teriak Gajah Mung-
kur. Sambil melecutkan cambuknya dia kirimkan satu
pukulan maut yang tak kalah hebatnya dengan cam-
buk ditangannya. Begitu tangan kirinya mendorong ke
depan, maka tak pelak lagi selarik sinar berwarna pu-
tih tampak melesat dari bagian telapak tangannya.
Buang Sengketa sama sekali tiada menduga akan
adanya bahaya yang datang secara bersamaan ini. Dia
tiada memiliki pilihan lain terkecuali memapaki puku-
lan lawan dengan pukulan si Hina Kelana Merana, se-
dangkan lecutan cambuk di tangan Gajah Mungkur
dia atasi dengan mempergunakan Jurus Koreng Seri-
bu.
"Blaaam! Creep!" sesungguhnya tubuh masing-
masing lawan sama-sama terpental pada saat dua ke-
kuatan sakti itu saling berbenturan. Tapi karena ter-
lanjur ujung cambuk milik Gajah Mungkur terpegang
oleh si pemuda. Maka begitu tubuh mereka tersentak
ke belakang, secara tak terduga mereka malah terpe-
lanting ke depan. Masih untung Buang Sengketa ce-
pat-cepat menarik balik daya sedot Jurus Koreng Seri-
bu yang telah dia lancarkan andai tidak dapat dipasti-
kan dialah yang paling parah menderita luka dalam.
Gajah Mungkur yang terlempar tubuhnya ke
samping kiri, ternyata juga merupakan orang yang
sangat kedot luar biasa. Terbukti sampai sejauh itu
tiada perubahan yang terjadi pada dirinya. Padahal
saat itu Buang Sengketa sendiri sudah menderita luka
dalam yang tidak ringan, bahkan dari hidung dan bibir
si pemuda mulai nampak mengalir darah kental.
"Bocah! Tiga pukulan di depan, nyawamu akan
terbang ke neraka! Kuperingatkan padamu, cabutlah
senjatamu andai memang benar kau memiliki senjata
yang dapat kau andalkan, cepatlah...!" teriak Gajah
Mungkur. Saat itu dia sudah putar-putar cambuknya
tepat di bagian atas kepalanya.
"Botak keparat, tak perlu kau beri peringatkan!
Andai memang telah tiba waktumu untuk mampus,
maka tak apalah kau perintah sekalipun aku akan ca-
but senjataku...!" Kata Buang Sengketa, seraya meng-
gerung marah. Dalam keadaan seperti itu, manusia
berbadan besar yang menjadi lawannya telah pula
memburunya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan
juga mengandalkan cambuk di tangannya. Buang
Sengketa merasa tak perlu mengulang kebodohannya
untuk yang kedua kalinya. Begitu tubuhnya berkele-
bat, maka tangan kanannya sudah pula mencabut pu-
saka Golok Buntung yang selalu terselip di bagian
pinggangnya. Dengan mempergunakan golok itu Buang
sudah merasa cukup untuk menandingi lawannya, tak
perlu mempergunakan Cambuk Gelap Sayuto yang
sangat luar biasa itu.
"Heeeiiik...!"
"Nguuung...!" saat Buang Sengketa mengelua-
rkan jeritan tertahan, maka tubuhnya berkelebat cepat
mengiringi melesatnya sinar merah menyala yang me-
mancar dari pusaka Golok Buntung yang berada da-
lam genggaman si pemuda. Dingin angin malam sema-
kin bertambah dingin, saat senjata maut itu menyam-
bar-nyambar bagian tubuh lawannya. Gajah Mungkur
sudah barang tentu merasa terkejut bukan alang kepa-
lang. Apalagi ketika melihat berkelebatnya sinar merah
menyala di tangan lawannya. Dan dia menjadi lebih
terperanjat lagi saat dia merasakan udara dingin yang
hebat mendera tubuhnya. Perobahan yang sangat tiba-
tiba itu memang membuat Gajah Mungkur menjadi
lengah sedikit.
"Siiing!" golok di tangan lawan menyambar de-
kat sekali dengan bagian dadanya. Setengah tergagap
dia sabetkan cambuknya.
"Ctar.... Criiing...!" lecutan cambuk di sambut
dengan ketajaman golok, tak ayal lagi cambuk itu pun
terpotong menjadi beberapa bagian. Gajah Mungkur
tanpa senjata andalan di tangan tampaknya menjadi
semakin kelabakan. Pendekar Hina Kelana terus mem-
burunya tanpa memberi peluang lagi pada lawannya
untuk berbuat lebih banyak.
"Caaait...! Hiaaa...!"
"Creees...!"
"Argk...!" Gajah Mungkur menjerit setinggi lan-
git pada saat senjata di tangan Buang Sengketa berha-
sil menyambar bagian ulu hatinya. Tubuh Gajah
Mungkur terhuyung-huyung, tangan menekan bagian
yang terluka. Tapi karena darah yang keluar terus me-
nerus memancar tiada henti. Maka tak lama kemudian
tubuhnya ambruk tiada berkutik lagi. Hanya sebentar
saja Buang Sengketa memperhatikan keadaan mayat
lawannya, kemudian barulah dia memperhatikan ke
sekelilingnya. Maka padepokan Bukit Berkabung dari
jarak yang tidak begitu jauh telah di kelilingi oleh obor
dari berbagai penjuru. Bahkan sayup-sayup dia men-
dengar suara orang-orang itu meneriakkan kata "Walet
Merah." Tak salah semua golongan persilatan memang
ingin memiliki batu Walet Merah. Mampukah Dewi Ra-
tih menyelamatkan batu Walet Merah di tangannya?
Bagaimana halnya dengan Pendekar Hina Kelana yang
terkepung? Lalu siapa pula ketua Gerombolan Sinar
Kayangan? Untuk mengetahui jawabnya ada pada ju-
dul "Banjir Darah Di Bukit Siluman".
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar