SEPASANG IBLIS BERMATA DEWA
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 011 :
Sepasang Iblis Bermata Dewa
SATU
Bila pemuda itu duduk di tepian pantai itu, dan
manakala sepasang matanya yang selalu mencorong seta-
jam mata elang, memandang ke samudra nan luas. Ra-
sanya dia ingin menyatu di dalamnya, bergulung bersama
deburan ombak, berayun di atas alun dalam semilir hem-
busan angin yang hangat. Ah. Betapa saat itu rasa-
rasanya sang waktu berlalu begitu cepat, padahal saat itu
begitu indah.
Kini dia berada di salah sebuah tanjung juga, Tan-
jung. Kait namanya. Dan semua itu mengingatkan dia
akan sebuah masa lalu. Saat di mana dia dalam asuhan si
Kakek Super Sakti Gurunya yang tua, bahkan orang yang
paling sangat mencintai dirinya. Siapa lagi kalau bukan Si
Bangkotan Koreng Seribu, Tanjung Api di sana dia ter-
buang dan dibesarkan, di tempat itu pula gurunya pernah
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Mendidik
dirinya dengan berbagai jurus-jurus silat dan ilmu sakti
yang tiada landing. Tanjung Api, yang terletak di pantai
sebelah Barat Nusantara, dengan batu-batu karangnya
yang tajam, di sela-sela deburan ombaknya yang selalu
menggila. Di sanalah dia pernah menyatu dengan suasana
laut yang maha ganas namun memberinya kehidupan.
Kakek Bangkotan Koreng Seribu, ah. Sudah lebih
dari sepuluh tahun pemuda berkuncir dan berwajah san-
gat tampan itu tak pernah menyambanginya. Bagaimana-
kah keadaannya, masih hidupkah dia. Pertanyaan-
pertanyaan itulah yang selama ini membuat galau di ha
tinya. Di hatinya sering menyesak rindu, bahkan sering
timbul pula rasa tak tega untuk meninggalkannya. Tetapi
semua itu sudah menjadi kehendak dan merupakan perin-
tah gurunya sendiri, pemuda yang selalu menyandang se-
buah periuk besar ke mana pun dia pergi. Mana pernah
berani kembali ke Tanjung Api. Pula usahanya untuk
mencari tempat di mana ayahnya berada belum pernah ke-
temu sampai saat itu. Raja Ular Piton Utara, itulah aya-
handanya, sungguh pun hanya seekor ular dan berasal
dari alam kedua. Tetapi itulah ayahnya. Orang yang mem-
buat dirinya terlahir ke dunia ini. Ayahanda nya yang be-
rasal dari sebuah negeri yang tak dapat dilihat oleh kasat
mata, kini mengasingkan diri di sebuah lautan yang maha
luas lagi dalam. Samudra begitu luas, ke mana dia harus
mencari?
Dia merasakan betapa hidup ini sunyi, dalam se-
panjang petualangan yang dia lalui. Hanya kekerasan dan
kekejaman yang dia temui. Satu pihak ingin menguasai
pihak lain. Golongan besar berkuasa di atas sekelompok
kecil. Benar dan salah hanyalah merupakan sebuah bata-
san setebal kulit ari. Nilai kemanusiaan merupakan se-
buah keberadaban yang tersamar. Ah mengapa dia memi-
kirkan sampai sejauh itu? Tolol betul. Bukankah dia sen-
diri baru saja kehilangan, dan selamanya pernah kehilan-
gan orang-orang yang dia cintai seperti Sri Pamuja. Gadis
yang untuk pertama kalinya pernah dia cinta. Dia juga te-
lah meninggalkannya. Tewas di tangan si Jubah Hitam.
(Untuk lebih jelasnya siapa Sri Pamuja yang sangat cantik
itu, anda dipersilahkan mengikuti judul Neraka Gunung
Dieng). Dalam pada itu, tiba-tiba si pemuda tampan yang
tak lain Buang Sengketa atau si Pendekar Hina Kelana
adanya, nampak tepuk-tepuk keningnya.
Untuk yang kesekian kalinya, dipandanginya ham-
paran laut yang begitu luas. Tetapi sesaat kemudian per-
hatiannya menjadi terpecah manakala pendengarannya
yang tajam itu mendengar langkah-langkah tapak kaki
mendekat ke arahnya. Sekejap pemuda itu menoleh, maka
tampaklah olehnya seorang laki-laki berbadan tinggi ke-
kar, berpakaian rompi warna merah. Tegak bagaikan area
berjarak beberapa meter saja di belakangnya. Laki-laki be-
rompi merah itu memandang pada Buang Sengketa tiada
berkedip sedikitpun juga. Dari sepasang matanya yang
memerah saga. Terasa ada yang sesuatu, yang membuat
dada pendekar itu berdebar. keras. Pembuluh darah me-
remang, kenyataan ini benar-benar mengejutkan hati Pen-
dekar Hina Kelana. Tiada kata yang terucap dari bibirnya
yang tertutup. kumis kecoklatan. Hanya jenggotnya saja
yang nampak bergerak-gerak manakala mulutnya berko-
mat kamit. Ada beberapa keadaan yang mengundang tan-
da tanya di hati si pemuda. Karena pada kenyataannya la-
ki-laki berompi merah ini tidak memiliki kedua tangan,
sementara itu rambutnya yang sudah memutih nampak
dibiarkan tumbuh memanjang. Tentang siapa adanya to-
koh ini, kalangan persilatan mengenalnya sebagai salah,
seorang dari Sepasang Iblis Bermata Malaikat. Selama pu-
luhan tahun pekerjaan laki-laki berompi merah ini hanya
mengembara mengikuti kehendak kaki ke mana pun ingin
melangkah. Konon setelah dia berpisah dengan istrinya
yang juga merupakan lawan yang membuat dirinya seng-
sara. Dia sudah cuci tangan dari segala macam urusan
dunia persilatan. Apalagi kini dia sudah kehilangan kedua
tangannya, yang semua itu dilakukan oleh bekas istrinya.
Dia merasa sangat kehilangan muka di depan tokoh persi-
latan dari semua golongan, pada saat itu. Pihak istri atau
yang dikenal sebagai Pri Kumala Dewi itu, kini benar-
benar sebagai tokoh sesat kelas satu. Sungguh pun begitu,
tiada sedikit pun berkurang semangatnya untuk menya-
darkan bekas istrinya tersebut. Tiada rasa jera, sungguh
pun kedua tangannya pernah dibuntungi oleh Pri Kumala
Dewi.
Pada saat itu, laki-laki berompi merah atau yang
lebih dikenal sebagai Mambang Sadewa. Lama setelah
memandang pada si pemuda beberapa saat kemudian se-
gera berkata:
"Pemuda aneh! Pembawa periuk dan berpakaian
sepertiku...! Ah, agaknya engkau keturunan orang sint-
ing...!" Kemudian setelah tak ada tanggapan dari si pemu-
da, maka laki-laki yang terkutung kedua tangannya ini
pun kembali bergumam, seperti pada dirinya sendiri.
"Di mana-mana, mataku yang sudah lamur ini mir-
ing melihat orang-orang yang aneh. Perempuan-
perempuan berdandan laki-laki, bayi merah terbuang tan-
pa tahu siapa bapaknya. Orang tua itu terlunta-lunta me-
rana. Apa arti nya hidup kalau cuma menumpuk dosa?
Apakah aku masih pantas untuk hidup?"
"Sambil berkata begitu, si laki-laki bertangan bun-
tung itu menoleh pada Buang .Sengketa. Sudah barang
tentu pemuda itu nampak sangat terkejut, apalagi kata-
kata yang sesungguhnya membutuhkan perenungan itu
seolah-olah ditujukan buat dirinya.
"Apakah aku masih pantas untuk hidup, hai orang
tuli...?" ulangnya setelah Buang Sengketa hanya terdiam
saja.
"Maaf, orang tua, aku tak tahu bagaimana harus
menjawabnya!" kata si pemuda berusaha jujur.
"Mengapa engkau sampai tak tahu!" bentak si laki-
laki berompi, tiba-tiba menjadi marah.
"Aku tak tahu karena aku sendiri pun tak bisa me-
nilai apakah diriku ini pantas hidup atau tidak? Tetapi
menurut aku yang bodoh ini sesuatu yang dihidupkan
pasti memiliki arti, jangankan manusia, semut pun kebe-
radaannya di atas dunia pasti mempunyai arti. Setidak-
tidaknya untuk dirinya sendiri!” kata Pendekar. Hina Kela-
na seadanya.
Nampaknya si laki-laki bertangan buntung atau
Mambang Sadewa itu tiada terpengaruh dengan ucapan-
nya. Masih dengan penasaran dia bertanya lagi.
"Mengapa segala semut kau bawa-bawa. Aku tanya
padamu, apakah aku yang sudah kehilangan segala-
galanya ini masih pantas hidup atau tidak...?" bentaknya
sangat jengkel sekali. Memerah wajah Buang Sengketa be-
gitu mendengar pertanyaan yang sesungguhnya sangat
konyol itu. Tetapi sungguh pun hatinya sangat dongkol se-
kali, namun dia masih berusaha untuk bersabar.
"Orang tua, sekali lagi maafkan aku! Aku bukan
seorang dewa, dan bukan pula seorang ahli agama. Untuk
semua pertanyaanmu itu, ada baiknya kalau engkau me-
nanyakannya pada seorang ahlinya!"
"Aku tak pernah bilang kalau bocah gembel seper-
timu ahli agama. Tampangmu yang dekil membuatmu le-
bih pantas menjadi seorang ketua partai gembel!"
Mendengar kata-kata yang begitu menghina, hilan-
glah kesabaran yang dimiliki oleh si pendekar ini. Dia be-
rusaha bangkit, dengan bermaksud untuk memaki Mam-
bang Sadewa. Namun alangkah terkejutnya pemuda ini,
karena dia merasakan ada kekuatan raksasa yang mene-
kan tubuhnya sehingga merasakan tubuhnya sangat sulit
untuk digerakkan.
Buang Sengketa menoleh pada si Mambang Sade-
wa. Pendekar Dari Negeri Bunian itu nampak geram bukan
main. Merasa dipermainkan seperti itu, sebaliknya Mam-
bang Sadewa malah tertawa tergelak-gelak.
"Bocah, kalau kau mau bangun dari tempat du-
dukmu silahkan saja. Mengapa harus sungkan-sungkan?"
kata si laki-laki berompi setengah mengejek.
Si pemuda panas hatinya, sedapatnya dia berusaha
bangkit. Tetapi sia-sia belaka. Semakin dia mencoba, maka
semakin besar tenaga raksasa itu menekan tubuhnya. Tak
lama kemudian secara perlahan tubuh pemuda itu pun
sedikit demi sedikit mulai amblas ke dalam pasir di pinggi-
ran pantai itu. Sedapat mungkin pendekar ini berusaha
mempertahankan diri dengan mengerahkan sepertiga dari
tenaga dalam yang dimilikinya. Alangkah terkejutnya pe-
muda ini, karena sungguh pun dia sudah mengerahkan
sebagian besar kekuatannya, namun tetap saja tubuhnya
secara perlahan-lahan terus amblas ke bumi.
"Kakek tua bertangan buntung ini memiliki kesak-
tian yang tidak terukur kehebatannya. Apa maksudnya
memperlakukan diriku seperti ini, juga masih belum kuke-
tahui. Tetapi siapa pun, adanya orang tua aneh ini, masa-
kan aku harus tinggal diam mendapat perlakuan seperti
ini?" batin pemuda itu. "Tidak. Aku tidak ingin bersikap
lemah dalam menghadapi kekasaran orang lain." Mengin-
gat sampai sebegitu jauh, tiba-tiba Pendekar Hina Kelana
kerahkan tenaga dalamnya, dia bermaksud bersiap-siap
dengan Ajian Pemenggal Roh untuk membubarkan kon-
sentrasi lawan. Sesaat badan Buang nampak menggigil
bagai orang yang terserang demam malaria. Kedua mata
terpejam, sementara keringat mulai menetes membasahi
pakaiannya. Hanya sedetik setelahnya, tanpa disangka-
sangka oleh Mambang Sadewa. Satu lengkingan keras dari
jeritan Ilmu Pemenggal Roh pun menggelegar bagai hendak
meruntuhkan gendang-gendang, telinga. Sungguh besar
sekali pengaruhnya pada keadaan di sekelilingnya. Bebe-
rapa ekor bangau laut yang kebetulan berada tak begitu
jauh dari tempat itu nampak menggelepar mati. Bumi se-
rasa bagai dilanda badai topan prahara. Laki-laki cacat
tangan itu nampak terkejut sekali demi menyaksikan keja-
dian yang sama sekali tiada pernah dia duga itu. Tubuh-
nya nampak tergetar sesaat saja, sementara pembuluh da-
rahnya pun hanya meremang pula. Andai saja dia bukan-
lah seorang tokoh yang sangat sakti, pada saat itu sudah
barang tentu jiwanya pasti melayang. Sebab seperti dike-
tahui, selama ini belum ada seorang pun di empat penjuru
mata angin yang mampu bertahan hidup menghadapi pe-
kikan menggeledek dari ilmu langka yang dimiliki oleh
Pendekar Hina Kelana.
Kalau kini ada seorang laki-laki memiliki mata se-
merah saga dapat bertahan hidup dari serangan yang am-
puh itu, Sudah barang tentu membuat pemuda ini menjadi
terkagum-kagum.
Hanya dalam waktu seketika saja si kakek bertam-
pang angker ini nampak terperangah, sejurus kemudian
dia sudah tergelak-gelak.
"Bocah pentil! Ilmu lengkingan monyet hutan saja
kau pamerkan padaku, sekali pun kau menjerit bagai
orang gila mana ada pengaruhnya padaku...!" kata Mam-
bang Sadewa di sela-sela tawanya.
Si pemuda kesal bukan main, terlebih-lebih dalam
keadaan bicara seperti itu, laki-laki bertangan buntung
tersebut tidak juga melepaskan tekanan jarak jauhnya.
Sehingga membuat tubuh Buang Sengketa semakin lama
semakin terbenam bertambah dalam.
"Orang tua, sejauh ini aku masih bisa mengalah
padamu. Tetapi engkau telah memperlakukan aku seperti
ini, apakah salahku?”
Mambang Sadewa mendengus seketika sepasang
matanya yang selalu memerah ini melirik pada Pendekar
Hina Kelana. Agaknya dia merasa kurang begitu yakin ka-
lau pemuda itu bukan salah seorang dari yang dia curigai.
"Bocah, sungguh pun engkau orang yang memiliki
ilmu sakti tiada tanding. Namun kalau engkau utusan dari
Kayu Agung, aku tak kan berpangku tangan...!"
Mendengar kata-kata si kakek bertangan buntung
maka tahulah Buang Sengketa kiranya kakek cacat itu se-
dang menaruh dendam pada seseorang. Atau mungkinkah
orang itu bekas istrinya, keluarganya atau...!
Buang Sengketa belum habis mereka-reka, Mam-
bang Sadewa sudah bicara lagi:
"Cepat kau katakan apakah kau murid-muridnya
Pri Kumala Hijau, atau bahkan muridnya si Iblis Joma?"
bentak Mambang Sadewa. Pendekar Hina Kelana geleng-
kan kepalanya berulang-ulang.
"Aku tak kenal dengan orang-orang yang anda se-
butkan tadi...!" bentaknya tegas. Tetapi nampaknya Mam-
bang Sadewa masih belum juga percaya dengan apa yang
dikatakan oleh si pemuda.
"Bohong...!" tukas laki-laki cacat itu geram.
* * *
DUA
"Aku tidak berbohong, orang tua...!" bantah Pende-
kar Hina Kelana merasa sangat tersinggung sekali,
"Kurang ajar, jangan kau kelabuhi aku lagi! Dulu
mereka juga berkata begitu. Tetapi setelah mereka menda-
pat apa yang mereka inginkan dariku. Bangsat itu men-
campakkan aku bagaikan sampah, bahkan iblis dan setan-
setan itu telah membuntungi kedua tanganku pula." jerit-
nya histeris. Dalam pada itu dia kembali memandang pada
Pendekar Hina Kelana. Sesaat setelahnya dia pun sudah
membentak,
"Bocah, kalau kau tidak mau mengaku, maka aku
akan membunuhmu...!" tukasnya penuh ancaman.
"Aku tak mengerti apa yang engkau katakan itu,
untuk apa aku berbohong!" bantahnya kesal sekali.
Kerut merut di wajah si Mambang Sadewa semakin
bertambah banyak manakala dia mendengar jawaban Pen-
dekar Hina Kelana. Sesungguhnya sepintas lalu dia dapat
melihat kejujuran hati pemuda itu, tetapi sikapnya yang
selalu menaruh curiga terhadap orang lain membuat dia.
merasa kurang percaya dengan pengakuan pemuda itu.
Mungkin hanya ada satu cara untuk membuktikan bahwa
pemuda itu murid seorang musuhnya. Adapun cara terse-
but adalah dengan mengenali jurus-jurus yang. dimain-
kannya.
Teringat sampai ke situ, laki-laki bertangan bun-
tung itu kembali menyela dengan ucapan sedikit lunak.
"Bocah! Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja,
aku baru percaya dengan pengakuanmu andai kita sudah
melakukan pertarungan yang sangat menyenangkan" kata
laki-laki berjenggot dan berkumis kelabu itu dengan se-
sungging senyum penuh arti.
"Maaf orang tua. Aku tak memiliki kepandaian apa-
apa, Pula aku bukanlah tukang jago berkelahi”.
"Jadi kau tak mau menuruti keinginanku?” tanya si
Mambang Sadewa tampak sangat gusar sekali. Buang
Sengketa kembali gelengkan kepalanya.
"Sial! Engkau benar-benar menolak bertarung den-
ganku...?" katanya sambil pelototkan mukanya.
"Betul, karena aku merasa tak pernah mempunyai
persoalan denganmu, bertemu pun kita baru kali ini...!"
Semakin bertambah beranglah kakek bertangan
buntung itu dibuatnya. Tak ampun lagi dalam kemara-
hannya yang berkobar-kobar itu dia pun berteriak:
"Bocah... mau tidak mau. Suka tidak suka... eng-
kau harus bertarung denganku. Jika tidak, jangan salah-
kan aku kalau dengan sangat terpaksa aku harus mem-
bunuhmu...!"
Terkesiaplah darah pendekar dari Negeri Bunian ini
demi mendengar keputusan Mambang Sadewa. Sebab
seandainya hal itu benar-benar terjadi dia tak habis men-
gerti bagaimana caranya laki-laki tua berbadan kekar itu
menghindari serangan-serangannya. Kalau pun mungkin
sudah barang tentu pendekar ini tak berani bahkan tak
tega untuk melakukannya. Akhirnya dia pun telah tetap
dengan pendiriannya.
"Orang tua yang mulia. Sungguh pun engkau me-
misahkan kepala dari badanku tidak nantinya. aku me-
layani keinginanmu yang gila-gilaan itu...!"
"Hemm… Agaknya aku harus membongkar ketolo-
lanmu itu...!"
Setelah. berkata begitu, tanpa diduga-duga Mam-
bang Sadewa atau yang dulunya dikenal sebagai Sepasang
Iblis Bermata Dewa, langsung menjejakkan kakinya. Da-
lam sekejap itu, Buang Sengketa merasa dirinya telah ter-
bebas dari pengaruh tenaga dalam lawan yang menghimpit
pundaknya. Dan pada saat yang bersamaan tubuh Mam-
bang Sadewa sudah bergerak dengan sangat cepat sekali.
Buang sempat dibuat terbelalak tak percaya, ma-
nakala dia melihat bahwa kakek berjenggot kecoklatan
yang tiada memiliki kedua tangan, nampak melakukan
serangan-serangan gencar dengan kedua kakinya. Sung-
guh pun begitu, andai Pendekar Hina Kelana tidak cepat-
cepat berkelit dan menghindari terjangan-terjangan dari
sepasang kakinya, sudah barang tentu pendekar ini men-
dapat nasib yang sangat mengenaskan. Bukan sampai di
situ saja, beberapa saat berikutnya manakala rambut
Mambang Sadewa secara tiba-tiba melecut kearah pende-
kar itu! Anehnya lagi rambut Mambang Sadewa yang ter-
gerai panjang itu sewaktu-waktu dapat melentur sebagai-
mana lazimnya dapat melentur. Namun di saat yang lain
rambutnya yang panjang itu dapat berubah menjadi san-
gat kaku tak ubahnya bagaikan kawat baja.
Hal itu jelas-jelas di luar perhitungan Pendekar Hi-
na Kelana, dan yang pasti serangan rambut yang sekeras
kawat baja dan datang secara tiba-tiba itu membuat si
pemuda berperiuk semakin bertambah kerepotan. Beru-
lang-ulang libasan-libasan rambut Mambang Sadewa yang
dapat melemas dan mengejang hampir saja menusuk bah-
kan melibat tangan dan tubuhnya. Buang Sengketa cepat-
cepat menghindar, lalu dengan mempergunakan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra, maka tu-
buhnya sekejap saja telah berkelebat lenyap. Tangan ber-
putar bagai sebuah baling-baling. Semakin lama semakin
bertambah cepat hingga pada kenyataannya hanya meru-
pakan bayang-bayang saja.
Sungguh pun Mambang Sadewa sudah mengetahui
bahwa pemuda yang dihadapinya itu jelas-jelas bukan mu-
rid musuhnya. Tetapi dia «masih merasa sangat penasaran
sekali, mengingat jurus silat yang dimainkan oleh si pe-
muda benar-benar masih terasa sangat asing dimata
Mambang Sadewa. Bahkan dia pun merasakan sendiri, se-
bab pertarungan yang telah berlangsung puluhan jurus itu
masih belum juga memberi tanda-tanda bahwa dirinya da-
pat mendesak atau pun memukul pemuda berkuncir yang
menjadi lawannya.
Padahal menurutnya jurus-jurus silat yang dimain-
kan oleh si pemuda sangat sederhana .sekali, tidak ada
yang sangat istimewa. Tetapi yang membuat dia melaku-
kan serangan-serangan gencar. Baik kedua kaki yang dia
pergunakan untuk menyerang maupun kibasan-kibasan
rambutnya, terasa selalu saja bagai membentur batu ka-
rang.
Rasa penasaran berbaur menjadi satu, sehingga
tanpa terbendung lagi beberapa jurus di depan dia pun
mulai mengumbar serangan-serangan yang sangat gencar
sekali. Bahkan ternyata kemudian tanpa sungkan-
sungkan lagi,. dia pun melancarkan pukulan-pukulan ja-
rak jauhnya. Satu hal yang membuat Buang Sengketa
nampak terbelalak tak percaya. Adalah karena pukulan
yang berupa lesatan cahaya maut itu bersumber pada ke-
dua matanya Hal ini bagi Pendekar Hina Kelana merupa-
kan sebuah pengalaman yang sangat langka. Mungkin ca-
haya maut yang bersumber dari kedua matanya itulah
yang membuat dirinya selalu disebut-sebut sebagai salah
seorang dari Sepasang Iblis Bermata Dewa. Hemm.. sangat
mengagumkan..Batin si pemuda!
Pada gebrakan selanjutnya maka dia pun sudah ke-
luarkan pukulan Empat Anasir Kehidupan. Tak ter-
bayangkan ketika selarik gelombang ultra violet itu mende-
ru dari kedua tangan pendekar ini. Sinar maut berhawa
sangat panas itu terus melesat sedemikian cepat mengarah
pada laki-laki tua berambut coklat. Saat yang sama pula
satu gelombang berwarna merah kebiru-biruan tak kalah
cepatnya memapaki datangnya sinar panas yang telah be-
gitu dekat sekali dengan laki-laki bekas penghuni pagar
dewa.
Sinar merah kebiruan yang keluar dari sepasang
mata laki-laki itu bagaikan tiada terputus-putus, datang
saling sambung menyambung, Tak terelakkan lagi bentu-
ran keras pun terjadi.
"Bumm...!"
Buang Sengketa terpental, tubuhnya terus bergul-
ing-guling di atas pasir putih. Dia merasakan pukulan
yang dilepaskannya membalik, bukan hawa panas saja
yang menyerang dirinya, tetapi juga hawa dingin yang di-
lepaskan oleh si laki-laki bertangan buntung. Yaitu sebuah
pukulan yang diberi nama Dewa Kayangan Membasmi
Durjana, juga turut menyertainya. Hawa dingin yang ber-
campur dengan hawa panas membuat tubuh Buang Seng-
keta menggigil bagai terserang penyakit malaria. Pemuda
itu merasakan dada sesak luar biasa, sesaat dia terbatuk,
kemudian menggelogoklah darah merah kehitam-hitaman
yang sudah sangat kental. Dengan sorot mata nanar pe-
muda itu memandang pada Mambang Sadewa. Laki-laki
yang tidak mempunyai kedua tangan itu, masih tetap ber-
diri tegak di tempatnya. Tetapi kini sorot matanya yang ta-
di nampak merah membara itu meredup. Seolah cahaya
semerah bara yang tadinya memancar dari padanya sudah
padam. Buang Sengketa tiada memperdulikan laki-laki itu
lagi. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya, terasa
ada hawa hangat yang mengalir dari pusat perutnya. Hawa
hangat itu secara perlahan menyerap ke seluruh tubuh-
nya. Sekejap kemudian dadanya yang terasa sesak luar.
biasa itu pun mulai terasa agak berkurang. Lalu wajahnya
yang pucat bagaikan kain kafan kini sudah kembali beru-
bah kemerah-merahan,
Tak lama kemudian dia pun telah tegak berdiri
kembali, maka semakin bertambah heran manakala dia
melihat wajah Mambang, Sadewa kini malah, tertunduk.
Tanpa menghiraukan sikap laki-laki tersebut, Buang
membentak.
"Orang tua! Mengapa anda membatalkan serangan?
Bukankah engkau menghendaki nyawaku...?"
Mambang Sadewa tersenyum tetapi hatinya menje-
rit sedih.
"Urusan nyawa, bukan wewenangku“ ujarnya sam-
bil memandang hampa.
“Tetapi bukankah engkau tadi sudah turunkan pu-
kulan maut yang hampir saja merenggut nyawaku...?"
"Maafkan aku. Terkadang hidupku yang sudah
hancur lebur karena ulahnya, membuatku selalu mencuri-
gai setiap orang. Akh, aku memang orang yang paling tolol
di kolong langit ini. Aku hampir saja membuatmu celaka.
Sering pula orang-orang yang tiada berdosa sepertimu,
hampir saja mati di tanganku. Orang muda... katakanlah
padaku apa. yang harus kuperbuat agar aku tidak terus.,
terseret dalam api dendam.,.!"
Dasar orang tolol, mana aku tahu apa yang harus
kau perbuat. Kenal pun baru hari ini, Batin si pemuda.
Sungguh pun begitu, dia hanya mampu garuk-
garuk kepala saja.
"Orang tua, siapakah. anda ini yang sesungguh-
nya? Siapa pula yang menjadi musuhmu itu...?” tanya
Pendekar Hina Kelana kemudian.
"Namaku Mambang Sadewa. Dulu pada jaman yang
memuakkan itu kaum persilatan mengenal kami sebagai
Sepasang Iblis Bermata Dewa” Ucapnya lirih, lalu dengan
wajah tertunduk dia menyambung, “Semua itu cuma ting-
gal cerita lama yang akhirnya menyeretku kedalam ke-
sengsaraan”
Pendekar Hina Kelana angguk-anggukkan, kepala
sungguh pun dia tidak mengerti secara keseluruhan apa
yang dikatakan oleh Mambang Sadewa.
"Dan engkau siapakah?"
"Aku cuma seorang pengelana. Namaku Buang
Sengketa!" ujar pemuda itu seadanya. Mambang Sadewa
kerutkan alisnya yang kecoklatan itu, sungguh baru kali
ini dia mendengar nama yang seaneh itu. Tetapi dari per-
tarungan yang memang sengaja diperbuatnya tadi dia tahu
kalau pemuda berwajah tampan itu memiliki kepandaian
tinggi, atau bahkan lebih tinggi dari yang diduganya.
"Buang Sengketa! Sebuah nama yang sangat asing
bagiku, tetapi aku tahu engkau merupakan seorang pe-
muda yang berilmu sangat tinggi. Siapakah gurumu?" se-
lanya nampak sangat penasaran sekali.
"Anda terlalu berlebihan, ilmu silatku yang hanya
picisan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan
kesaktian yang kau miliki...!" "
Sudah barang tentu Mambang Sadewa mengerti ka-
lau ucapan si pemuda hanyalah karena maksud merendah
saja. Semakin tahulah dia bahwa pemuda yang Berdiri te-
gak di hadapannya itu sesungguhnya seorang pemuda
yang rendah hati. "
"Buang! Janganlah engkau berkata seperti itu. Aku
tahu telah berbuat salah padamu, Tapi percayalah aku ti-
dak bermaksud untuk mencelakakanmu!" kata Mambang
Sadewa setengah memohon.
Pendekar Hina Kelana kembali garuk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal! Dari sorot mata Mambang Sadewa
yang redup dan sayu, dia menyadari ada sesuatu yang
bakal diharapkan oleh laki-laki itu darinya.
"Kakek Mambang!" ucapnya dengan nada bersaha-
bat. "Sesungguhnya aku paling segan membawa-bawa na-
ma guruku, selain itu dia sangat marah bila sampai na-
manya disebut-sebut dalam pengembaraanku."
"Orang muda. Dari jurus-jurus silat yang engkau
mainkan, rasanya aku pernah melihat jurus-jurus itu per-
nah pula dimainkan oleh bekas sahabatku. Tetapi kini
otakku yang sudah tumpul dan bebal ini sudah lupa siapa
dia...!"
"Baiklah dengan tidak mengagungkan nama be-
sarnya, sesungguhnya guruku bernama si Bangkotan Ko-
reng Seribu...!" jawab si pemuda hampir-hampir tak ter-
dengar.
* * *
TIGA
Maka tak ayal lagi begitu Buang Sengketa. menye-
but nama si Bangkotan Koreng Seribu, maka tubuh Mam-
bang Sadewa yang tiada memiliki kedua tangan nampak
terlonjak bagai disengat puluhan ekor lebah. Kedua ma-
tanya yang meredup kini terbelalak bagai hendak meloncat
keluar.
Serta merta laki-laki tua berbadan kekar ini berte-
riak-teriak kegirangan. Bahkan dalam luapan kegembi-
raannya dia sampai menari-nari. Pendekar Hina Kelana
hanya tersenyum dikulum. Sambil berkata dalam hati:
"Dasar kakek edan berotak sinting!"
Sesaat setelah luapan kegembiraannya itu, Mam-
bang. Sadewa nampak menjeplak di atas tanah. Kemudian
bagai anak kecil dia meratap bahkan menangis. Dengan
suara memelas sekali,
"Orang tua yang mulia Si Bangkotan Koreng Seribu!
Oh, kaum persilatan yang mana yang tak kenal dengan
cambuk Gelap Sayuto, Empat Anasir Kehidupan. Hh, be-
tapa aku tadi telah melihat. Mataku buta, mengapa aku
seperti ini, melihat tapi tak tampak apa-apa!" Mambang
Sadewa menggerang.
"Kakek Mambang Sadewa, mengapa kau bertingkah
seperti itu...?" tanya Buang Sengketa dalam kebimbangan.
"Mengapa aku seperti ini, oh, angger betapa engkau
tak mengerti bahwa kakek yang menjadi gurumu itu sebe-
narnya orang yang. paling aku hormati, tujuh puluh tahun
yang lalu ketika aku masih berumur lima belas tahun, be
tapa aku ingin menjadi muridnya. Tetapi kakek sakti itu
tak pernah mengangkat seorang murid pun, mungkin se-
mua itu karena kebengalan sikapku...!"
"Kebengalan bagaimana, kakek?"
Sambil menengadahkan wajahnya Mambang Sade-
wa berucap!
"Masih kecil aku menjadi raja maling. Keonaran
kubuat di mana aku suka, ku sakiti orang-orang yang tak
suka padaku... tetapi... tetapi setelah bertemu dengan ka-
kek itu, aku menjadi insyaf, jalan hidup sudah berubah
sama sekali. Kemudian kuperistri seorang gadis jelita. Se-
mua kepandaian silat yang kami miliki kami abdikan un-
tuk orang banyak, saat itu..!"
Ucapan Mambang Sadewa, mendadak bagaikan
tercekat di tenggorokan. Tanpa tahu apa sebabnya sesaat
kemudian air matanya pun runtuh. Di sela-sela isak tan-
gisnya laki-laki bertangan buntung itu pun menyambung:
"Saat itu kehidupan kami sangat bahagia sekali.
Tapi hal itu hanya berlangsung hanya beberapa tahun. Te-
tapi tak lama setelah aku pergi memenuhi panggilan bekas
guruku, kemudian ketika aku pulang kembali ke Pagar
Dewa, rumahku hanya tinggal puing-puing belaka. Bebe-
rapa orang muridku menjadi bangkai yang sudah sangat
sulit untuk kukenali. Sedangkan istriku Pri Kumala Hijau
raib entah ke mana. Oh Dewata.,. semuanya telah hancur.
Bertahun-tahun aku mengembara untuk mencari tahu
kabar istriku. Tetapi setelah kujumpai, aku sangat kecewa
sekali! Dia telah menjadi raja dari seluruh kaum sesat.
Gurunya, yaitu orang yang telah merenggut istriku, se-
sungguhnya merupakan musuh keluargaku selama tujuh
turunan. Dialah yang telah membius istriku sehingga ber-
sedia menjadi muridnya, istrinya, bahkan seorang suru-
han yang paling setia. Aku tak pernah mampu mengajak
dan menyadarkan istriku. Manusia setengah gila itu telah
membuat kesadaran istriku menjadi hilang sama sekali.
Dia kini telah menjadi manusia yang paling sesat di kolong
jagat ini, Buang. Lihatlah tanganku ini...!" ucap Mambang
Sadewa, seraya menunjukkan kedua tangannya yang bun-
tung sebatas pangkal lengan. Sesaat Buang Sengketa meli-
rik pada tangan yang terkutung itu. Memperhatikan tan-
gan Mambang Sadewa yang buntung, tiba-tiba si pemuda
merasa sangat iba sekali.
"Tahukah kau siapa yang telah membuntun-
ginya...?" tanya laki-laki bermata redup itu seolah meng-
hendaki agar Buang Sengketa menjawabnya.
"Apakah Pri Kumala Hijau yang telah melakukan
perbuatan biadab ini?" Mendapat jawaban yang seolah-
olah merupakan pertanyaan, Mambang Sadewa nampak
berubah parasnya, Mendadak rahangnya yang bertonjolan
nampak menegang, gigi-giginya memperdengarkan bunyi
bergemeletukkan. Sorot matanya yang meredup tiba-tiba
berubah memerah dan nampak liar. Dalam keadaan se-
perti itu, kiranya dendam yang mengendap di hati Mam-
bang Sadewa mendadak telah berkobar-kobar kembali.
"Dugaanmu benar, Dialah yang telah melakukan-
nya, tetapi aku tak mampu membalasnya, sungguh keter-
laluan...!" Laki-laki itu mengeluh, kepalanya semakin ter-
tunduk.
Kasihan sekali keadaan orang ini. Padahal Mam-
bang Sadewa merupakan orang yang berilmu tinggi. Puku
lan-pukulan mautnya yang sewaktu-waktu dapat terlepas
melalui sepasang matanya yang dapat berubah-ubah itu
merupakan sebuah pukulan sakti yang belum pernah di-
miliki oleh golongan mana pun. Bahkan Buang Sengketa
sendiri dapat merasakan betapa hebatnya pukulan terse-
but. Tetapi laki-laki itu masih juga dapat dipecundangi
oleh Pri Kumala Hijau. Laki-laki bertangan buntung itu sa-
ja sudah sedemikian saktinya, lalu bagaimana pula kesak-
tian yang dimiliki oleh Pri Kumala Hijau, belum lagi gu-
runya?
"Orang tua! Setelah engkau tak mampu mengalah-
kan bekas istrimu itu, lalu apa lagi yang akan kau perbuat
untuk selanjutnya...?"" Mata Mambang Sadewa nampak
berkeriapan begitu mendengar pertanyaan yang sangat di-
nanti-nantinya itu. Dia tersenyum, walau sesungguhnya
senyum itu hanyalah membiaskan sebuah keputusasaan.
"Hampir tiga tahun aku selalu berdoa untuk dapat
bertemu dengan kakek sakti yang kini kuketahui sebagai
gurumu. Tetapi setelah kini bertemu denganmu, harapan-
ku untuk dapat menghentikan sepak terjang murid dan
guru keparat itu kuletakkan di pundakmu. Mereka harus
dihentikan, andai tidak...!"
"Jika tidak mengapa orang tua?" desak Pendekar
Hina Kelana, ketika secara tiba-tiba Mambang Sadewa
menghentikan ucapannya.
Yang ditanya nampak tercenung, sepasang ma-
tanya yang redup memandang hampa pada hamparan pa-
sir yang memutih di pantai.
"Jika tidak, dalam waktu lima tahun di muka,
kaum persilatan golongan lurus akan musnah dari tanah
leluhur ini. Lebih dari itu teror berkepanjangan tak akan
ada akhirnya...!;;"
"Menghadapi anda saja aku sudah hampir kojor!
Bagaimana mungkin kau menaruh harapan itu padaku...?"
"Engkau tak perlu merendah dan merasa sungkan,
seratus tahun yang lalu gurumu si Bangkotan Koreng Se-
ribu pernah membuat gempar di mana-mana. Aku berha-
rap engkau pun mampu mengikuti jejak gurumu...!" ka-
tanya penuh pengharapan. Sungguh pun Buang Sengketa
merasa kurang senang dengan sanjungan sanjungan yang
terasa sangat berlebihan. Tetapi untuk menolak dia tiada
berani. Apalagi Mambang Sadewa pernah kenal dengan
gurunya. Maka kemudian pemuda itu pun memutuskan!
"Baiklah kalau hal itu memang kehendakmu, tetapi
jangan kau berharap terlalu banyak andai nanti aku men-
gecewakanmu...!"
Mendengar keputusan Pendekar Hina Kelana, lega-
lah hati Mambang Sadewa, cepat-cepat laki-laki bertangan
buntung itu menjura beberapa kali.
"Aku merasa sangat bahagia sekali, andai mati pun
aku hari ini, aku sudah tidak penasaran lagi." Ucapnya
tersenyum puas.
"Apa-apaan kau orang tua! Seharusnya akulah
yang menghormat padamu,..!" berkata begitu Buang Seng-
keta melakukan hal yang sama. Tetapi begitu dia kembali
pada keadaannya, Mambang Sadewa telah lenyap dari ha-
dapannya.
"Sialan! Aku sampai lupa menanyakan Kayu Agung
itu adanya di mana." gerutunya dalam hati. Tak lama ke
mudian tanpa menoleh-noleh lagi dia pun cepat-cepat ber-
lalu dari pantai Tanjung Kait.
Dusun Embacang adalah merupakan sebuah desa
yang tanahnya sangat subur, karena dusun tersebut terle-
tak di dataran rendah dan hampir tak pernah mengalami
musim kemarau. Maka hampir semua penduduk yang
berdiam di sekitar dusun itu hidup dari hasil bercocok ta-
nam.
Sungguh pun daerah itu termasuk berpenduduk
sangat pandai, namun sebetulnya yang memimpin desa
tersebut sesungguhnya adalah seorang perempuan yang
bernama Dwi Sumirah. Hampir sepuluh tahun lebih pe-
rempuan itu mengatur kehidupan masyarakat dusunnya.
Selama itu Dusun Embacang terkenal sangat aman ten-
tram. Tak seorang pun mereka-mereka yang berasal dari
luar daerah berani mengusik kehidupan penduduk, sebab
kepala dusun mereka, yaitu Dwi Sumirah adalah bekas
seorang tokoh persilatan yang dulunya sangat disegani
baik oleh pihak kawan maupun lawan. Padahal saat itu
Dwi Sumirah yang sangat cantik itu, sesungguhnya sudah
berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Dalam umur yang
sudah lebih dari setengah perjalanan hidup itu, dia masih
tetap sendiri, belum pernah menikah apalagi punya anak.
Konon semua itu ada pengaruhnya dengan ilmu sakti yang
sangat diyakininya. Sungguh pun karena demi sebuah
keyakinan dia harus mengorbankan masa depannya tetapi
tampaknya dia. tidak pernah menyesali hal-hal yang telah
dan akan terjadi Selama ini perhatian hidupnya selalu ter-
curah untuk? kepentingan masyarakat banyak. Tak heran
kalau semua penduduk menaruh hormat dan sayang pa
danya. Demikianlah kehidupan di nusa damai itu terus
berlanjut tahun berganti tahun. Tetapi kini suasana kehi-
dupan di Dusun Embacang sudah agak berubah. Setiap
orang bisa saja saling curiga mencurigai. Setiap malam
penjagaan harus selalu diperketat. Tetapi saat-saat seperti
itu pula, anak-anak perempuan penduduk tersebut hilang
raib tak tentu rimbanya.
Hal ini sudah barang tentu membuat kecut hati
penduduk, dan yang paling pusing memikirkan kejadian
yang sangat aneh namun menyeramkan adalah Dwi Sumi-
rah. Yaitu orang yang paling bertanggung jawab atas kese-
lamatan penduduk Dusun Embacang. Sudah berhari-hari
dia secara langsung ikut melakukan pengintaian, namun
sampai sejauh itu masih belum ada tanda-tanda ditemu-
kan siapa adanya para pelaku penculikan perempuan-
perempuan tersebut.
Geram bercampur rasa penasaran berbaur menjadi
satu, hingga Dwi Sumirah akhirnya memutuskan untuk
melakukan pencarian. Dengan dibantu oleh beberapa pen-
duduk desa, pergilah Dwi Sumirah dan orang-orangnya
menuju ke suatu tempat yang bernama Kayu Agung. Hu-
tan tersebut terletak sangat jauh dari Dusun Embacang,
tetapi dengan menunggang kuda. Paling mereka akan sam-
pai ke sana sekitar dua atau tiga hari lagi.
Demikianlah setelah melakukan perjalanan seperti
yang di rencanakan, tiga hari kemudian kelima orang ang-
gota rombongan kepala Dusun Embacang yang dipimpin
langsung oleh Dwi Sumirah, sudah mulai memasuki wi-
layah Kayu Agung. Suasana di sekitar hutan bakau itu te-
rasa sunyi sepi, begitupun Dwi Sumirah menyadari bahwa
sesungguhnya daerah itu merupakan sebuah tempat ang-
ker dan tidak aman. Tak ayal lagi perempuan cantik pe-
mimpin dusun itupun segera memberi tanda-tanda pada
anak buahnya.
"Tampaknya apa yang saudara-saudara laporkan
padaku beberapa hari yang lalu, sudah mendekati kebena-
ran. Ada jejak-jejak manusia di sini!" ujar Dwi Sumirah,
seraya memperhatikan bekas tapak-tapak kaki yang
menghampar di atas tanah setengah berlumpur. Melihat
bekas jejak-jejak tersebut, Dwi Sumirah dapat menyimpul-
kan bahwa mereka itu terdiri dari laki-laki perempuan.
Mungkinkah di hutan yang sunyi itu ada penduduk yang
bermukim di sana. Tetapi menurut keterangan, orang-
orang kepercayaan Dwi Sumirah, dalam melacak hilangnya
gadis-gadis Dusun Embacang orang-orang kepercayaannya
melihat beberapa orang yang melakukan penculikan itu
lenyap di sekitar tempat ini. Dalam suasana seperti itu ti-
ba-tiba salah seorang diantara orang suruhan Dwi Sumi-
rah berseru. Hal itu sudah barang tentu membuat yang
lainnya menjadi terkejut. Lalu tanpa buang-buang waktu
lagi langsung memburu ke arah laki-laki yang sedang ber-
teriak-teriak itu.
"Ada apa Atmojo...?" tanya Dwi Sumirah terheran-
heran.
"Lihatlah Ketua Dwi... bukankah pakaian ini milik
adikku, Canting...!" ucapnya dengan harap-harap cemas,
"Tidak salahkah apa yang kau lihat...?" tanya Dwi
Sumirah sambil meneliti pakaian yang sudah dipenuhi
dengan noda darah itu.
"Tidak, Ketua Dwi...! Beberapa hari yang lalu, aku
melihat adikku berpakaian seperti ini, bahkan sebelum ti-
dur aku sempat melihatnya!" seru Atmojo merasa begitu
yakin.
"Berarti telah terjadi sesuatu dengan adikmu!" ucap
Dwi Sumirah merasa tak enak saja.
"Apa maksudmu Ketua Dwi?! Apakah adikku Cant-
ing sudah tak dapat diselamatkan lagi?" tanya Atmojo gu-
sar. Ditanya seperti itu Dwi Sumirah nampak menarik na-
pas pendek.
* * *
EMPAT
Berdoalah kita untuk keselamatannya. Semoga saja
dia dalam keadaan baik-baik saja!"
"Tetapi pakaiannya ini, Ketua Dwi... pasti telah ter-
jadi sesuatu dengannya...!" ujar Atmojo nampak semakin
bertambah gusar.
"Adikmu tidak sendirian, Atmojo...? Masih banyak
penduduk dan gadis-gadis lain yang mengalami nasib sa-
ma seperti Canting adikmu. Atau mungkin bukan perem-
puan-perempuan di dusun kita saja yang mereka culik,
desa lain mungkin pula menjadi korban. Sekarang kita su-
dah mendekati sarang mereka. Kalian tahu bahwa kita ha-
rus bertindak hati-hati.
"Mungkin kita hendak meluruk ke sarang mere-
ka"?" tanya seorang lainnya yang bernama Samino.
"Nampaknya sangat berbahaya sekali, Ketua
Dwi...?" Anak buah Dwi Sumirah ikut menimpali.
Perempuan kepala dusun itu angguk-anggukkan
kepalanya, dalam hatinya dia menduga bahwa siapapun
adanya para penculik itu, yang pasti memiliki kepandaian
yang sangat tinggi. Tetapi sesaat kemudian dia telah me-
mutuskan.
"Baiknya kita tinggalkan kuda kita di sini, hutan
bakau yang sangat rapat ini tak mungkin dapat dilalui ku-
da-kuda kita...!"
Kemudian tanpa banyak membantah keempat
orang anak buah Dwi Sumirah segera menambatkan kuda
mereka.
Perjalanan dilanjutkan mereka lalui dengan hanya
berjalan kaki saja, tetapi tak semudah apa yang dibayang-
kan oleh para anak buah Dwi Sumirah. Hutan bakau yang
mereka lalui itu ternyata sangat rapat sekali, bahkan
hampir-hampir tak bersela. Belum lagi menghadapi anca-
man ular-ular bakau yang berwarna hijau. Mana lagi jum-
lah mereka sangat banyak sekali.
Keadaan itu membuat perjalanan yang mereka
tempuh menjadi terasap sangat lambat. Melewati satu pa-
rit di depan, perjalanan yang mereka tempuh semakin ber-
tambah sulit saja. Apalagi sepanjang jalan yang mereka la-
lui, semuanya hanyalah terdiri dari tanah becek dan ber-
lumpur. Ini benar-benar membuat anak buah Dwi Sumi-
rah merasa sangat Capai. Masih untung keempat orang
anak buahnya di samping memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi, juga punya daya tahan yang sangat tinggi.
Masih dengan sikapnya, mereka terus melangkah-
kan kaki. Sementara di tangan mereka tergenggam senja-
tanya masing-masing. Kewaspadaan itu benar-benar harus
mereka perhatikan, demi menghindari terpatuknya ular
bakau yang ganas dan mematikan.
Namun baru tombak di depan mereka mengayun-
kan langkah, mendadak Atmojo. Yang berada di bagian
paling depan nampak terpekik.
"Astaga naga belekan! Eeeeh, Ketua.... lihatlah ular-
ular itu!" pekiknya.
Lalu Atmojo menunjuk satu tempat tidak begitu
jauh di depan mereka. Maka tampaklah pemandangan
yang sangat menjijikkan ratusan bahkan ribuan ular hijau
melilit-lilit dan bergelantungan di sebuah dahan yang.
sangat rendah. Tak dapat dibayangkan betapa ular yang
saling melilit sesamanya, tak ubahnya. bagai sekumpulan
cacing merah, yang sangat banyak.
"Hati-hatilah.... nampaknya ular-ular bakau itu ti-
dak menyukai kehadiran kita...!"
Kepala dusun Embacang itu mencoba mengin-
gatkan keempat anak buahnya.
"Ketua! Ular itu bubar dari kawannya... mereka
bergerak ke arah kita! Bagaimana ini Ketua...?"
Mengetahui ular-ular bakau itu bergerak dari ka-
wanannya dan nampak meluruk ke arah mereka, Samino
nampak lebih kecut lagi. Bahkan dia sampai tersurut be-
berapa tindak. Ular-ular bakau yang berwarna hijau itu te
rus mendesis-desis merangsek dan langsung menyerang
kelima orang itu.
"Putar senjata kalian dan babat saja kepalanya...!"
teriak Dwi Sumirah memberi perintah pada seluruh anggo-
tanya. Maka begitu mendengar aba-aba dari ketua mereka,
keempat orang itu secara serentak menerjang maju. Lalu
dalam sekejap saja tempat itu mendadak berubah menjadi
gegap gempita. Darah ular-ular yang hanya sebesar jempol
kaki itu mulai nampak tercecer di mana-mana. Masing-
masing orang sibuk berhadapan dengan ratusan kawanan
ular, Sungguh pun kawanan ular bakau itu tidak seberapa
besarnya, namun karena jumlahnya terlalu banyak dan
bagai tak pernah habis-habisnya. Maka gebrakan-
gebrakan selanjutnya, anak buah Dwi Sumirah mulai ke-
hilangan banyak tenaga. Padahal kawanan ular bakau itu
terus memburu mereka bagai tak pernah mengenal rasa
jera.
"Ular-ular keparat...!" maki salah seorang di antara
mereka sambil membabatkan pedangnya. Darah bersim-
bah di tanah becek berlumpur. Nampaknya serangan-
serangan ular bakau itu semakin bertambah ganas. Bau
amis dan langu segera memenuhi sekitar tempat itu. Keti-
ka sesaat kemudian dua orang anak buah Dwi Sumirah
menjerit dalam waktu hampir bersamaan. Pemimpin Du-
sun Embacang nampak sangat terkejut sekali, apalagi
hanya dalam sekejap kemudian tubuh kedua kawan mere-
ka sudah berubah membiru dan langsung ambruk karena
gigitan ular yang sangat berbisa itu.
Sambil terus berusaha mengelak dan menghindar
Samono dan Atmojo berusaha mendekati kawannya yang
sudah menjadi jadi mayat.. Tetapi usahanya itu nampak-
nya tidak membawa hasil. Satu ketika dari kerimbunan
pohon nampak melesat tiga buah benda berwarna hijau.
Saat itu Dwi Sumirah yang baru, saja membantai ular ba-
kau yang menyerangnya masih sempat melihat berkele-
batnya benda tersebut. Maka sambil berusaha menghin-
dar, Dwi Sumirah berusaha memberi peringatan pada dua
orang sisa anak buahnya.
"Samino... Atmojo... awaaaaas...!" teriak Dwi Sumi-
rah pada kedua orang bawahannya. Tetapi nampaknya se-
rangan senjata rahasia yang mempergunakan ular bakau
itu datangnya malah lebih cepat dari pada peringatan itu
sendiri. Tak ayal walaupun Samono dan Atmojo berusaha
menghindari terjangan senjata tersebut, hasilnya tetap sa-
ja ular itu melekat tepat di leher kedua anak buah Dwi
Sumirah.
Kedua orang itu nampak terbelalak kedua matanya
sebentar, mereka masih tetap berusaha membebaskan diri
dari ular yang sangat berbisa tersebut. Namun apa yang
mereka usahakan nampaknya kalah cepat dengan reaksi
bisa ular yang sangat cepat menjalar kemana-mana. Tu-
buh Samino dan Atmojo nampak gemetaran seketika la-
manya. Lalu manakala tubuh itu secara cepat berubah
membiru secara keseluruhan maka tak dapat dicegah lagi
kedua orang itu pun ambruk keatas tanah berlumpur tan-
pa mampu bangun-bangun lagi.
Demi melihat semua kejadian itu mendidihlah da-
rah Dwi Sumirah, dia nampak gusar sekali. Tak dapat di-
bayangkan Salam waktu hanya-sekejap saja para anggo-
tanya tewas menjadi korban racun ular hijau. Dia menya
dari bahwa sesungguhnya di tempat itu ada orang yang
paling bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Tetapi
yang membuatnya heran, mengapa orang itu tidak mau
keluar dari tempat persembunyiannya.
"Setan bersembunyi, manusia pengecut yang telah
membunuh orang-orangku, keluarlah! Aku kepala dusun
Embacang selamanya paling benci pada orang-orang pen-
gecut semacammu...!" ,
Tiada terduga, kiranya tak begitu lama setelahnya
terdengar sahutan!
"Hemmm, cuma kepala dusun apa hebatnya! Pula
mau apa kau kelayapan sampai ke daerah Kayu Agung
ini..?"
"Manusia pembunuh, tunjukkan tampangmu! Baru
kita bicara...!" Dalam kemarahannya itu Dwi Sumirah
membentak. Tetapi orang yang berada di balik kerimbunan
pohon bakau itu sebaliknya malah tergelak-gelak.
"Tanpa menunjukkan tampang, engkau pun sudah
dapat kulihat dari sini?" sahut orang yang berada di balik
kerimbunan pohon seenak perutnya. Hal kiranya membuat
Dwi Sumirah bertambah marah. Sesaat dia nampak ter-
menung. Kemudian sambil mengerahkan hawa murninya,
maka dia pun berkata.
“Manusia Setan, Kalau engkau tetap tidak mau ke-
luar dari tempatmu, maka aku akan membongkar kedok-
mu...!" Tanpa basa basi lagi setelah ucapannya itu, maka
Dwi Sumirah segera gerakkan tangan kanannya mengarah
ke bagian yang rimbun dari pohon-pohon bakau yang ter-
dapat tidak begitu jauh di samping kirinya.
"Wuuuus!"
Satu kekuatan sinar berwarna pelangi nampak
menderu sedemikian cepatnya meluruk ke arah tempat
persembunyian orang itu.
"Krosaaak!"
Orang yang bersembunyi di balik pohon. tersebut
nampak berkelebat menghindari pukulan yang dilepaskan
oleh Dwi Sumirah. Pukulan yang dilepaskan oleh kepala
dusun Embacang itu terus bergerak sedemikian cepatnya.
Lalu tanpa ampun lagi melabrak kerimbunan pohon tadi.
Ranting dan daun-daun hijau hancur berkeping-keping di-
landa pukulan milik Dwi Sumirah yang bernama Pelangi
Mengusir Bidadari.
Kini jelaslah sudah bahwa orang yang bersembunyi
di balik pohon tak lain hanyalah merupakan seorang wani-
ta berpakaian kulit beruang hitam. Sedangkan tangannya
nampak menggenggam sebuah kipas berwarna kuning
gading. Yang membuat heran dan ngeri Dwi Sumirah ada-
lah sepasang mata perempuan itu. Setiap kali memandang
sorot mata yang memancarkan cahaya yang aneh, bahkan
Dwi Sumirah merasakan pandangan mata si perempuan
berjubah kulit beruang hitam itu seolah bagai mengge-
rayangi seluruh tubuhnya. Sesaat setelah puas meman-
dang pada Dwi Sumirah, perempuan cantik namun punya
wajah bengis itu nampak tersenyum penuh arti. Lalu di
luar dugaan Dwi Sumirah dia pun mulai berkata kurang
ajar.
"Ah...! Sungguh pun engkau sudah cukup berumur,
tetapi kau benar-benar masih perawan tulen. Hmmm,
sungguh hal ini satu keberuntungan bagiku. Dan guruku
pasti sangat berterima kasih dengan apa yang kubawa...!"
Memerah wajah Dwi Sumirah seketika itu juga, agaknya
dia mulai tahu orang yang bagaimana kiranya perempuan
yang sedang dia hadapi itu. Maka tanpa sungkan-sungkan
lagi dia pun membentak.
"Manusia iblis, kau bunuh orang-orangku tanpa
sebab yang jelas. Agaknya engkaulah orang yang telah me-
lakukan penculikan terhadap para gadis-gadis Desa Em-
bacang.."
"Hi..., hi... hi...! Kalau Betul kau bisa apa, Ni Lurah.
Pula orang-orangmu itu memang sudah selayaknya mam-
pus. Asal kau tahu saja, bahwa ular-ular yang telah kalian
bunuh itu merupakan ular hijau milikku”
"Sialan! Jadi benar apa yang mereka katakan pada-
ku bahwa kiranya engkaulah yang telah menculik warga
kami. Di mana mereka kau sekap, cepat kembalikan...!"
perintah Dwi Sumirah.
Perempuan berkipas hanya tersenyum begitu men-
dengar perintah Dwi Sumirah. Lalu dengan nada mence-
mooh dia pun berucap:
"Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan tengil
berani memberi perintah pada salah seorang dari Sepa-
sang Iblis Bermata Dewa. Kebisaan apakah yang engkau
andalkan...?"
Sungguh pun Dwi Sumirah merupakan seorang ke-
pala desa biasa, namun dulunya juga dia bekas seorang
tokoh persilatan. Dan sudah barang tentu dia sangat men-
genal nama yang sangat menggemparkan itu. Tak urung
dia sempat dibuat terbelalak tak percaya. Tapi sungguh
pun begitu dia masih berusaha menutupi rasa kagetnya.
Sesaat setelah itu dia sudah membentak.
"Huh, kiranya engkau salah seorang iblis bermata
itu. Sayangnya kini semakin bertambah sesat saja! Bah-
kan kudengar Pri Kumala Hijau yang mempunyai julukan
menakutkan Itu kini malah menjadi gundik guru sendiri.
Bukan tak mungkin, gadis-gadis desa yang kau culik ma-
lah kau persembahkan pada manusia sesat bernama Se-
tan Joma itu”
Pri Kumala Hijau tergelak-gelak begitu mendengar
apa yang dikatakan oleh Dwi Sumirah! Dengan pandangan
liar seperti sorot mata setan, perempuan itu kemudian
menyela.
"Sungguh tajam matamu, semuanya tak ku pungki-
ri! Setelah. engkau mengetahui nama besarku, mengapa
kau tak segera merangkak minta ampuh?" bentaknya.
Semakin bertambah gusar saja Dwi Sumirah meli-
hat tingkah Pri Kumala Hijau. Sungguh pun dia menyadari
bahwa dirinya tak mungkin bakal menang berhadapan
dengan bekas pasangan Iblis Bermata Dewa. Namun un-
tuk menyerah dan minta ampun, siapa yang sudi? Baginya
mati malah lebih terhormat daripada harus bersekutu
dengan sebangsa manusia sesat.
"Perempuan sundal manusia paling durhaka! Jan-
gan kira aku sudi bertekuk lutut dibawah kakimu yang ce-
laka itu. Siapa sih yang tak kenal pada manusia setan
yang telah begitu tega membuntungi kedua tangan suami
sendiri! “ Dwi Sumirah mencemooh.
* * *
LIMA
Bukan main gusar, Pri Kumala Hijau demi men-
dengar kata-kata yang sangat menyakitkan hatinya. Dia
sangat geram sekali, membunuh kepala dusun yang telah
menghina dirinya bukanlah suatu pekerjaan yang sulit.
Tetapi bila teringat gurunya yang sangat membutuhkan
perempuan seperti Dwi Sumirah dia jadi ragu-ragu. Dwi
Sumirah sungguh pun seorang perempuan yang sudah be-
rusia lebih dari seperempat abad, namun masih perawan
tulen. Perempuan seperti itu benar-benar sangat dibutuh-
kan oleh si Setan Joma. Dia jadi serba salah, sungguh pun
di batinnya ada sedikit rasa cemburu. Tetapi akhirnya dia
memutuskan untuk meringkus Dwi Sumirah dalam kea-
daan hidup-hidup.
"Hemm! Sungguh banyak kiranya yang kau ketahui
tentang diriku. Tapi jangan kira aku akan membiarkanmu
begitu saja.
“Aku harus membekukmu..:!" teriak Pri Kumala Hi-
jau.
"Bagus! Daripada engkau mendahuluiku, lebih baik
kupotes kepalamu!"
Seiring dengan ucapannya itu, Dwi Sumirah melo-
los senjatanya yang berupa sebilah pedang biru bermata
ganda. Tanpa banyak cincong lagi orang itu pun segera
menyerang Pri Kumala Hijau dengan jurus-jurus pedang-
nya yang sangat cepat laksana kilat.
Sambil berkelit menghindar, Pri Kumala Hijau be-
rucap:
"Bagus sekali tindakanmu itu! Tapi jangan sebut
aku Iblis Bermata Dewa, kalau sepuluh jurus di muka aku
tak dapat meringkusmu...!"
"Haiiiiitt!"
Pri Kumala Hijau dengan teriakan tinggi melengk-
ing mulai membuka jurus-jurus permainan silatnya yang
terkenal sangat aneh dan banyak variasi. Dalam waktu se-
kejap saja, terjadilah pertarungan sengit di hutan bakau
yang sangat rapat itu. Masing-masing lawan nampak men-
geluarkan jurus-jurus silat yang sangat tinggi. Tetapi
sungguh pun Dwi Sumirah mempergunakan pedang ber-
mata ganda bahkan dengan jurus pedang Cakaran Wallet
Putih dia menyerang musuhnya. Namun sejauh itu dia
masih belum mampu berbuat banyak.
Sementara itu Pri Kumala Hijau sudah tidak lagi
hanya mengelak dan menangkis. Dengan mempergunakan
jurus-jurus silat tangan kosong yang diberi nama Sepa-
sang Iblis Menggila, dia mulai melancarkan serangan-
serangan balasan, ilmu silat tangan kosong yang dipergu-
nakannya sangat tangguh sekali. Sepasang tangannya
yang terkembang bagaikan cakar burung elang menghan-
tam bagian sisi pertahanan lawan yang nampak lemah.
Pada saat itu sepasang kakinya pun tidak tinggal diam.
Berulang kali kaki kanannya melakukan sapuan ke arah
kaki Dwi Sumirah yang agak terpentang.
Bukan main gusarnya kepala Dusun Embacang itu
demi melihat kelihaian lawan. Lalu dengan diawali satu te-
riakan keras, tubuh Dwi Sumirah nampak melentik ke
udara bagaikan seekor udang yang sedang berusaha
menghindari sergapan-sergapan lawannya. Lalu ketika tu
buhnya kembali menukik ke bawah jurus-jurus pedangnya
sudah berubah sama sekali. Pedang bermata ganda di tan-
gannya menderu bahkan membabat tangan musuhnya
yang bergerak bagaikan cakar-cakar yang siap mencabik-
cabik wajahnya. Sementara gerakan kaki Pri Kumala Hijau
tetap seperti semula, menyapu pinggang Dwi Sumirah di
bagian bawah. Kepala dusun Embacang semakin lama se-
makin bertambah beringas. Lagi-lagi dia kirimkan satu tu-
sukan satu babatan. Semua itu mengarah pada bagian
leher dan dada lawannya. Pedang bermata ganda itu men-
deru cepat sehingga nampak hanya merupakan kilauan
warna biru saja, Tetapi di luar dugaan, Pri Kumala Hijau
yang tetap mempergunakan ilmu silat tangan kosong.
Dengan nekad malah memapaki datangnya sambaran ma-
ta pedang yang sangat tajam. Begitu pedang di tangan Dwi
Sumirah hampir mencapai sasarannya, maka dua jari Pri
Kumala Hijau malah menyongsong.
"Traaak! Creep!"
Pedang itu bagai membentur batu cadas saja
layaknya, bahkan yang lebih celaka lagi, pedang bermata
ganda itu kini malah terjepit di sela-sela kedua jemari Pri
Kumala Hijau. Perempuan bermata dewa itu nampak ter-
senyum sinis. Tangan tetap tidak berubah dari posisinya.
Tinggallah Dwi Sumirah yang nampak sedang berusaha
mati-matian unjuk membebaskan senjatanya dari jepitan
kedua jemarinya. Tapi sungguh pun Dwi Sumirah telah
mengerahkan segenap tenaga dalamnya, namun tetap saja
pedang itu tidak bergerak dari jepitan jemari Pri kumala
Hijau yang semakin bertambah mengeras.
Begitu pun Dwi Sumirah tidak putus asa, dengan
mempergunakan Pukulan Dewi Matahari, dipukulnya dada
Pri Kumala Hijau berulang-ulang. Tapi tetap saja perem-
puan Iblis Bermata Dewa itu tiada bergeming. Sebaliknya
perempuan itu malah tertawa panjang.
"Pukulan dari neraka sekalipun yang kau perguna-
kan untuk memukulku Tak satu pun yang mampu mero-
bohkan aku...!" ejeknya. Lalu dengan satu gerakan yang
tiada terduga-duga, tangan kiri Dwi Sumirah kena dipe-
gangnya.
"Kepala dusun yang cantik, lihatlah mataku...!" pe-
rintah Pri Kumala Hijau. Bagai ada kekuatan gaib yang
menuntun batin Dwi Sumirah, tanpa kuasa kepala dusun
Embacang itu menurut. Kemudian ketika bola matanya
beradu pandang dengan Pri Kumala Hijau, mendadak dia
merasakan ada kekuatan magis yang memancar dari sepa-
sang mata Pri Kumala Hijau. Sorot matanya yang meman-
carkan sinar kemerahan itu benar-benar membuat Dwi
Sumirah tak mampu berbuat banyak. Tak lama kemudian,
dengan kekuatan batinnya Pri Kumala Hijau memerintah:
"Pedang ini tiada guna! Sebaiknya dibuang saja!"
"Ya dibuang saja!" Bersamaan dengan ucapannya
itu, maka Dwi Sumirah melepaskan pedang yang sejak tadi
berusaha ditariknya.
"Katakanlah, engkau sudah mengantuk sekali! Le-
bih baik engkau tidur...!" Begitu Pri Kumala Hijau selesai
dengan ucapannya, tiba-tiba Dwi Sumirah merasa sangat
mengantuk luar biasa, Maka tanpa dapat dicegah lagi, ma-
ta kepala dusun Embacang .Secara perlahan mulai terpe-
jam. Sampai pada akhirnya Dwi Sumirah terkulai di dalam
dekapan Pri Kumala Hijau. Perempuan Iblis Bermata Dewa
nampak tergelak-gelak. Lalu dipanggulnya tubuh Dwi Su-
mirah yang sudah tertidur pulas.
"Ajian Sirep Sukma! Mana ada duanya di dunia
ini....!" kata perempuan itu. Lalu sambil memanggul tubuh
Dwi Sumirah, maka dia pun cepat-cepat berlalu dari tem-
pat itu.
* * *
Pagar Dewa kini hanya merupakan sebuah daerah
angker tiada berpenghuni. Tak seorang pun ada orang
yang berani melintasi daerah itu. Bekas sisa kehidupan
memang pernah ada di sana. Di sebuah dataran tinggi, di
situlah Sepasang Iblis Bermata Dewa pernah menetap di
sana bersama dengan puluhan murid-muridnya. Tetapi
kini, semua itu hanya tinggal merupakan puing-puing se-
buah rumah yang nampak berserakan tiada berketentuan.
Dua tombak dari bekas rumah tersebut, nampaklah
deretan beberapa puluh makam para murid Sepasang Iblis
Bermata Dewa. Seperti diketahui, mereka tewas di tangan
istri gurunya sendiri.
Sewaktu-waktu daerah itu nampak dikunjungi oleh
seorang laki-laki bertangan buntung dan bermata redup.
Terkadang berhari-hari laki-laki setengah sinting itu bera-
da di sana, duduk berlama-lama di tengah-tengah kubur
murid-muridnya. Seperti diketahui laki-laki bertangan
buntung dan berompi merah ini, sesungguhnya bekas su-
ami Pri Kumala Hijau. Setelah menjadi pecundang oleh is-
trinya sendiri perjalanan hidup selanjutnya menjadi tiada
berketentuan. Sekali waktu dia bisa tergelak-gelak bagai
orang gila, di lain saat dia menangis, melolong bagai anak
kecil.
Mungkin karena dia merasa putus asa tidak berha-
sil mengajak istri yang sangat dicintainya itu kembali ke
jalan yang lurus, atau mungkin pula dia merasa kecewa,
karena istrinya kini telah menjadi budak iblis akibat ulah
gurunya yang bernama si Setan Joma.
Pagi itu setelah pertemuannya dengan Buang Seng-
keta di Tanjung Kait, Laki-laki yang bernama Mambang
Sadewa ini nampak kembali berada didaerah itu. Tetapi ti-
dak terlihat sorot putus asa dimatanya. Sungguh pun ma-
tanya yang redup itu sewaktu-waktu dapat memancarkan
sinar maut. Mungkin dia merasa begitu yakin bahwa Pen-
dekar Hina Kelana mampu menggusur sepak terjang Pri
Kumala Hijau dan gurunya. Begitupun kegairahan hidup
nampak sudah sirna sama sekali dari jiwanya yang merasa
amat terpukul.
Matahari di pagi itu nampak bersinar cerah, embun
pun masih terasa segar menyesaki rongga dadanya. Se-
mentara semilir angin yang berhembus demikian lembut
sekali menyibakkan anak-anak rambutnya yang diikat
dengan selembar kain berwarna kelabu, Laki-laki itu ber-
siul-siul kecil dengan irama yang tak beraturan, saat dia
berlaku seperti itu, sepasang kakinya terus bergerak-gerak
mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh menyemak di
atas makam murid-muridnya. Sesaat dalam kesendirian-
nya itu, tiba-tiba dia bergumam:
"Murid-muridku! Sungguh pun kalian telah tiada,
namun aku yakin kalau kalian masih mendengar apa yang
kukatakan ini. Walaupun kematian kalian tiada mampu
aku membalasnya. Tetapi kalian tak perlu gelisah. Setan
Joma, ataupun bekas istriku Pri Kumala Hijau, dia takkan
berumur panjang. Sepak terjangnya akan segera terhenti.
Murid orang tua yang mulia yaitu Pendekar Hina Kelana,
aku yakin Sanggup membasmi keangkara murkaan. Kalian
tak usah bersedih melihat nasibku, karena jika kalian ber-
sedih, maka aku akan menangis. Kalian pun tak usah me-
nangis, sebab jika kalian menangis aku lebih baik mati sa-
ja. Sisa-sisa hidupku hanya terbuang sia-sia!" Dalam ber-
kata seperti itu, Mambang Sadewa terus menggerak-
gerakkan kakinya mencabuti rumput-rumput liar itu. Se-
pintas lalu keadaan laki-laki itu sangat terasa menyedih-
kan. Saat itu tanpa sepengetahuan Mambang Sadewa,
nampak seorang gadis berselendang merah dan berusia
sekitar delapan belas tahun, nampak melintas tidak begitu
jauh dari tempat Mambang Sadewa. Mulanya gadis berwa-
jah cantik dan berkulit kuning langsat itu hendak mena-
nyakan sesuatu pada laki-laki berambut kelabu ini. Na-
mun begitu dia mendengar suara siulan yang tak karuan
juntrungannya, kemudian ditambah lagi dengan ucapan-
ucapan si laki-laki si tangan buntung yang menyebut-
nyebut nama Pendekar Hina Kelana. Maka dia pun men-
coba mencuri dengar apa yang dikatakan oleh laki-laki itu,
Sambil menunggu saat-saat yang baik gadis berselendang
merah jitu menyelinap di balik sebuah batu besar. Dia
dengarkan apa yang dikatakan oleh orang tua aneh terse-
but. Kemudian manakala Mambang Sadewa tidak lagi me-
lanjutkan kata-katanya, maka gadis berselendang merah
itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dan tanpa
canggung-canggung lagi, gadis belia yang berotak cerdik
ini melangkah menghampiri Mambang Sadewa yang se-
dang termangu-mangu dalam kesendiriannya.
Laki-laki bertangan buntung begitu menyadari ada
langkah-langkah kaki mendekat ke arahnya nampak ba-
likkan badan. Lalu dia pun bengong sendiri begitu melihat
ada seorang gadis berselendang merah tahu-tahu sudah
berada di depannya. Belum lagi ia angkat bicara, gadis
berselendang merah dengan beraninya terus menyela:
"Kakek! Siapakah dan bagaimanakah rupanya Pen-
dekar Hina Kelana yang baru saja kau sebut-sebut tadi...?"
tanya gadis itu setelah sebelumnya menjura beberapa kali.
Mendapat pertanyaan yang tiada terduga bahkan
dari seorang gadis yang belum pernah dikenal, membuat si
Mambang Sadewa kerutkan kening. Kecurigaan pun kem-
bali menyelimuti hatinya. Sesaat dipandanginya gadis ber-
selendang merah ini dari ujung rambut sampai keujung
kaki.
Dan tatapan si gadis yang bening dan lembut dari
sikapnya yang sopan. Mambang Sadewa pun dapat mena-
rik kesimpulan bahwa gadis itu sesungguhnya merupakan
seorang-gadis yang jujur dan baik hati. Tapi di balik ke-
lembutan itu, nampaknya seorang gadis itu juga menga-
lami penderitaan hidup yang mungkin tidak begitu beda
dengan yang dialaminya.
"'Cah ayu! Siapakah engkau ini? Apa perlumu kau
tanyakan Pendekar Hina Kelana?" tanya Mambang Sadewa
menyelidik.
Tanpa memperdulikan pertanyaan laki-laki bertan-
gan buntung, gadis berselendang merah itu terus dalam
pertanyaannya sendiri.
“Kek...katakanlah! Apakah orang itu menyandang
sebuah periuk besar, wajahnya sangat tampan dan ram-
butnya dikuncir?" desak si gadis nampak tidak sabaran la-
gi.
Mambang Sadewa belalakkan kedua matanya. Seo-
lah dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengar-
nya. Bagaimana mungkin gadis yang masih sangat muda
itu bisa mengenali Pendekar Hina Kelana, atau mungkin-
kah gadis ini merupakan salah seorang kerabat pendekar
itu? Tetapi hal itu sangat mustahil sekali mengingat Buang
Sengketa sejak kecil sudah berada dalam asuhan si Bang-
kotan Koreng Seribu,
"Bocah, dari mana dan siapa engkau ini?'' tanya
Mambang Sadewa merasa enggan dan sangsi untuk men-
jawab pertanyaan gadis berselendang merah.
* * *
ENAM
" Jawablah dulu? pertanyaanku, Kek...!" ucap si
gadis dengan nada memelas. Mambang Sadewa cepat-
cepat gelengkan kepalanya.
“Tidak bisa, bukan aku yang memerlukanmu, tetapi
engkau yang perlu aku." tukas Mambang Sadewa tegas-
tegas.
Gadis berselendang merah nampak menarik napas.
pendek. Ada rasa kesal di dalam hatinya, tetapi untuk
membantah perintah orang yang sangat dibutuhkan kete-
rangannya, rasanya tidak mungkin sekali. Keterangan itu
baginya sangat perlu. Sembilan tahun dia sangat merin-
dukan orang yang disebut-sebut oleh Mambang Sadewa.
Dalam kerinduan itu dan demi orang yang sangat menarik
simpatinya, dia selalu berusaha dengan tekun mempelajari
jurus-jurus aneh peninggalan Padri Agung Pengayom Ja-
gat. Di lereng Kerinci, bahkan hanya dengan ditemani oleh
bibinya.
Jurus-jurus tersebut dengan sangat sempurna ber-
hasil dia kuasai, semua itu dia lakukan demi orang yang
sangat dia kagumi. Buang Sengketa atau Pendekar Hina
Kelana. Lalu siapakah gadis berselendang merah itu? Di-
alah Wanti Sarati, yang saat bertemu dengan Pendekar Hi-
na Kelana baru berumur sembilan tahun. (Untuk lebih je-
lasnya silahkan anda ikuti judul Air Mata Di Sindang Da-
rah). Demikianlah setelah berfikir-fikir sejenak, pada ak-
hirnya gadis berselendang merah itupun menjawab:
"Kakek! Namaku Wanti Sarat, sengaja datang dari
tempat yang jauh hanya ingin untuk bertemu dengan
orang yang bernama Buang Sengketa…!”
Mambang Sadewa lebih terkejut begitu Wanti Sarati
menyebut nama Pendekar Hina Kelana. Maka dia pun ak-
hirnya menjadi maklum bahwa jelas-jelas gadis berselen
dang merah itu benar-benar mengenal Pendekar Hina Ke-
lana.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Mambang Sadewa pun
berucap,
"Aku yang tua dan buntung tangan ini bernama
Mambang Sadewa! Kurasa orang yang kau tanyakan itu
memang benar Pendekar Hina Kelana yang pernah kujum-
pa. Tapi ada hubungan apakah engkau dengan pendekar
itu...?"
Kalau saja tidak merasa sungkan sudah barang
tentu Wanti Sarati melonjak-lonjak kegirangan. Sebab dia
merasa usahanya selama dua tahun mencari pendekar
yang sangat dia kagumi itu kini telah membuahkan hasil.
Sesaat kemudian dengan pandangan matanya yang
berbinar-binar dia pun berkata;
"Paman Buang Sengketa adalah orang yang pernah
menyelamatkan aku, kepadanya aku berhutang nyawa.
Setiap saat aku selalu merindukannya, dia pendekar sakti
yang banyak membasmi kaum golongan sesat”.
Mambang Sadewa mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
“Benar, dia memang pendekar yang sangat meng-
gemparkan dunia persilatan. Apakah engkau ingin berte-
mu dengannya?" tanya laki berkumis dan berjanggut pan-
jang itu pada Wanti Sarati.
"Dua tahun aku melakukan pengembaraan, semua
itu adalah karena rasa rinduku ingin bertemu dengannya!"
"Wanti... seperti yang kau lihat! Saat ini pendekar
itu tidak ada bersamaku!" ujar Mambang Sadewa. Wanti
Sarati nampak sangat kecewa mendengar kata-kata kakek
tua tersebut. Kiranya hal itu tidak luput dari perhatian
Mambang Sadewa. Dengan diiringi sesungging senyum
maka dia pun berkata:
"Tapi kau tak perlu berkecil hati, sebab setelah
nanti menyelesaikan tugasnya, pendekar itu akan datang
menemuiku!"
"Tugas? Tugas apa Kek...?" tanya Wanti Sarati he-
ran.
Kemudian secara singkat Mambang Sadewa mence-
ritakan apa yang sedang dikerjakan oleh Buang Sengketa,
Wanti Sarati nampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Nampaklah dia semakin bertambah kagum pada pendekar
yang dirindukannya.
"Apakah kita tidak lebih baik menyongsongnya saja
Kek?”
Mambang Sadewa nampak mengerutkan alisnya,
sungguhpun dia setuju dengan yang dikatakan gadis ber-
selendang merah ini, namun hatinya masih diliputi kera-
gu-raguan, Sebab walau bagaimanapun jika mereka ber-
dua bermaksud menemui Buang Sengketa, maka mau tak
mau keduanya harus pergi ke daerah Kayu Agung, yaitu
tempat bermukimnya Setan Joma dan bekas istrinya, Pri
Kumala Hijau. Tetapi kalau hal itu dia lakukan, setidak-
tidaknya dia pasti bertemu dengan perempuan yang telah
turun tangan jahat itu.
Padahal dia sudah berjanji untuk tidak berjumpa
dengan Pri Kumala Hijau untuk selama-lamanya. Atau ka-
laupun terpaksa harus bertemu, setidak-tidaknya dia ha-
rus mampu membunuh orang yang telah membuatnya ca-
cat seumur hidup. Tetapi dengan keadaannya yang seperti
itu, mampukah dia berbuat banyak? Walaupun pada ke-
nyataannya memang dia akui bahwa setelah peristiwa
yang sangat memalukan itu kini dia berlatih bahkan men-
ciptakan jurus-jurus silat si Tangan Buntung. Namun
agaknya untuk dipergunakan menghadapi dua orang yang
berkepandaian sangat luar biasa, hal itu terasa masih be-
lum cukup.
Saat dia sedang berfikir begitu, Wanti Sarati yang
sejak tadi memandangi Mambang Sadewa kembali mem-
buyarkan lamunan manusia berambut kelabu itu.
“Kakek, kenapa diam? Apakah kau tidak setuju
dengan yang aku usulkan tadi?” Tanya si gadis.
“Eee…anu… tentu aku setuju saja. Tetapi untuk
bertemu dengan Pendekar Hina Kelana mau tak mau kita
harus ke Kayu Agung!".
"Mengapa harus ke Kayu Agung...?"
Andai saja Mambang Sadewa memiliki tangan yang
utuh. Tentu dia sudah garuk-garuk kepalanya yang tak
gatal.
Wanti Sarati yang. Kekanak-kanakan membutnya
menjadi salah tingkah karena pertanyaan-pertanyaannya.
Tapi dia pun maklum sesungguhnya Wanti Sarati merupa-
kan gadis yang berpikiran cerdas.
"Kalau tidak mau ke Kayu Agung, lebih baik kita
menunggu di sini saja sampai tua!" kata laki-laki bertan-
gan buntung itu kemudian.
"Jangan, Kek...!"
"Kalau tak mau, bukankah ada baiknya kalau kita
datangi sarangnya iblis itu!"
"Aku kan bagaimana kakek saja, Kalau kakek pu-
tuskan kita pergi, maka aku akan ikut. Tetapi kalau kakek
tidak ada niat pergi, maka aku pergi sendiri”.
"Weiii...bocah gendeng seenak perutmu saja kau
ngomong” tukas laki-laki berambut kelabu itu. Sesaat sete-
lahnya, maka tanpa banyak kata lagi Mambang Sadewa
sudah berkelebat pergi dari tempat itu. Begitupun Wanti
Sarati segera menyusulnya.
* * *
Dikelilingi dengan hutan bakau yang sangat luas,
rumah bertonggak yang sangat besar dan berdiri di atas
tanah berlumpur becek itu memberi kesan jorok dan ang-
ker. Dari dalamnya hampir setiap saat selalu terdengar
rintihan dan erangan suara perempuan. Sedangkan bau
yang menyebar dari rumah bertonggak itu, tak lebih me-
rupakan bau amis dan bau tak sedap lainnya. Andai dili-
hat sepintas lalu, rumah hanya berpenghuni perempuan-
perempuan saja. Mereka ini terdiri dari gadis-gadis yang
masih muda belia. Cantik dan menggiurkan. Puluhan ga-
dis yang berada di dalam rumah besar tersebut, hampir
keseluruhannya merupakan bekas korban nafsu si Setan
Joma. Yaitu guru Pri Kumala Hijau. Raja dari segala raja
ilmu sesat. Gadis-gadis itu hampir kesemuanya telah hi-
lang mahkota nya. Milik mereka satu-satunya yang paling
berharga karena direnggut oleh Setan Joma untuk mem-
perkuat ilmu hitam yang sangat diyakininya.
Sungguh malang sekali nasib mereka, Karena me-
reka tak ubahnya bagai orang tolol. Sungguhpun tangan
dan kaki mereka tidak dibelenggu. Namun mereka tidak
mempunyai hasrat sama sekali untuk melarikan diri. Bah-
kan lebih dari itu gadis-gadis bertelanjang dada itu sudah
tak dapat mengingat siapa diri mereka.
Agaknya ilmu Sirep Peteng Dedet yang telah diper-
gunakan oleh Setan Joma untuk inenguasai gadis-gadis
itu, benar-benar telah mendarah daging. Sehingga bagai
seekor kerbau dicucuk hidung gadis-gadis cantik yang be-
rasal dari berbagai desa itu hanya mengikuti saja segala
apa yang diperintahkan oleh si Setan Joma.
Sementara itu masih dalam rumah yang sama,
nampaklah Pri Kumala Hijau dan gurunya sedang berca-
kap-cakap. Di dalam kamar itu pula Dwi Sumirah nampak
terbaring di atas sebuah ranjang kayu yang berlapiskan je-
rami. Kepala dusun Embacang yang malang itu nampak-
nya masih pulas dari pengaruh sirep milik Pri Kumala Hi-
jau.
"Purnama penuh beberapa jam lagi baru tiba,
Guru... 1" ucap perempuan itu pada laki-laki gemuk ber-
wajah menyeramkan dan hanya mengenakan cawat saja.
Nampaklah mata guru setan itu berkeriap setelah men-
dengar perkataan murid tunggalnya.
Degup dada laki-laki gemuk yang bagian dadanya
selalu menyebarkan bau amis itu pun semakin bertambah
kencang. Sesekali matanya yang liar dan selalu belingsa-
tan seperti setan itu pun memandangi ranjang kayu yang
berukir tengkorak tempat dimana tubuh Dwi Sumirah dile-
takkan.
“Purnama penuh...!" sahut laki-laki bercawat itu
seolah-olah bergumam pada dirinya sendiri.
"Purnama penuh, adalah hidup yang paling berhar-
ga bagiku! Ilmu saktiku semakin bertambah menggunung.
Sementara surga dunia juga aku reguk...!" kata Setan Jo-
ma tanpa malu-malu. Saat dia berkata begitu sorot ma-
tanya memandang pada Pri Kumala Hijau. Seolah-olah
pandangan mata itu menggerayangi tubuh murid yang du-
duk bersila di depannya. Lalu setelah basahi bibirnya de-
ngan lidahnya sendiri, maka dia pun menyambung:
"Engkau benar-benar murid yang sangat berbakti
dan sangat. cerdik, Apa yang kau usahakan selama ini un-
tukku dan untukku, belum ada yang mengecewakan hati-
ku, Mudah-mudahan kehadiran perempuan yang kau ba-
wa itu benar-benar dapat menjadikan diriku semakin
sempurna!" kata Setan Joma, sementara sepasang ma-
tanya tetap berputar-putar liar.
"Semua itu kulakukan hanya demi rasa terima ka-
sihku padamu guru”.
"Betul, Lebih dari semua itu apapun yang kumiliki
toh pada akhirnya akan kuturunkan padamu. Engkau
akan menjadi pewaris tunggal dari ilmu sakti yang kumili-
ki...!" kata Guru manusia iblis itu pasti.
Pri Kumala Hijau nampak sangat gembira sekali
begitu mendengar keputusan Setan Joma. Agaknya dia
merasa bahwa usaha kerasnya selama ini demi membantu
gurunya tidak sia-sia. Dan dia pun merasa bahwa pembe-
rian itu rasanya sangat pantas dan wajar. Mengingat dia
sendiri telah berkorban cukup banyak. Segala yang dia mi-
liki telah dia berikan pada laki-laki gemuk bercawat itu.
Rasa-rasanya sudah tiada yang tersisa. Dan sebagai hasil
dari pengorbanannya itu dia telah mendapatkan ilmu sakti
yang tiada ternilai harganya. Bahkan antara sadar dan ti-
dak dia telah berhasil pula mengalahkan Mambang Sade-
wa suaminya sendiri. Dasar manusia yang sudah terlanjur
sesat., apapun yang dia lakukan tetap saja merasa diri te-
lah benar.
Sang waktu terus berjalan dengan cepat, tanpa te-
rasa senja pun telah berganti malam, Suasana nampak
samar dan remang-remang. Pintu besar yang terbuat dari
anyaman daun rumbia telah ditutupkan. Nun diufuk Ti-
mur nampak semburat merah pertanda bulan purnama
penuh akan segera tiba.
"Sebagaimana kebiasaannya tampaknya Pri Kumala
Hijau telah begitu hafal dengan apa yang akan dikerjakan
oleh gurunya.
Sesaat kemudian tanpa menunggu diperintah oleh
gurunya, Pri Kumala Hijau segera berlalu dari kamar itu.
Setelah menutupkan pintu kamar pribadi tersebut, maka
perempuan murid manusia sesat itu segera bergegas ke
luar dari rumah itu.
Sementara itu, di dalam kamarnya Setan Joma
nampak sedang menghadap sebuah dupa. Di dalam dupa
tersebut nampak setumpukan bara yang masih menyala.
Sedangkan di tangan kanan Setan Joma, nampak tergeng-
gam serpihan-serpihan kemenyan yang sudah siap untuk
ditaburkan di atas bara itu.
Mulut laki-laki berwajah menyeramkan itu terus
berkomat kamit, sesekali tangannya menaburkan serpihan
kemenyan yang ada di dalam genggaman tangannya. Kini
asap tipis mulai menyelimuti tubuh Setan Joma. Asap itu
terus bergelung-gelung, meliuk kemudian berputar-putar
disekitar Guru Iblis, yang hanya mengenakan cawat saja.
Keringat sebesar biji jagung mulai bercucuran dari dahi
dan pipi laki-laki itu. Setelah beberapa saat kemudian ma-
ka terdengarlah mantra-mantra yang dibacanya.
“Hong Wiluheng”
“Aku tahu asal usulmu, aku lihat kepulanganmu,
roh adalah kehidupan,. Sedangkan jasad adalah rumah da-
ri kehidupan itu sendiri. Aku tahu asal usulmu. Menurutlah
apa yang aku perintahkan. Engkau kini menjadi budakku,
seorang budak harus menurut keinginan majikan. Demi ke-
sempurnaan ilmuku, demi tujuh penjuru mata angin. Hai
roh pulan binti pulan. Aku meminta kehormatanmu dengan
rela”
* * *
TUJUH
Selesai membaca mantra-mantra tersebut tubuh
Guru Iblis tergetar-getar sesaat lamanya. Lalu sepasang
matanya yang terpejam rapat-rapat itu secara perlahan
membuka kembali. Namun kini sepasang mata Guru Iblis
itu merona merah. Semakin lama bertambah semakin me-
rah, kemudian manakala dia memandang suasana di seki-
tarnya. Mata itu memancarkan cahaya aneh menggidik-
kan. Sungguh posisi tubuh Guru Iblis masih tetap seperti
semula. Namun pandangan matanya yang nanar dan me-
mancarkan cahaya merah itu liar bagaikan orang yang se-
dang mencari-cari sesuatu yang sangat dibutuhkannya.
Hanya dalam penerangan lampu minyak yang samar-
samar, mata Guru Iblis itu menjelajah kesekeliling ruan-
gan itu.
Dan manakala pandangan matanya membentur
pada sesosok tubuh yang terbaring dengan posisi terlen-
tang di atas ranjang kayu, maka pandangan matanya ber-
henti di sana. Mulut Guru Iblis berkomat kamit, lagi-lagi
tangannya kembali menaburkan serbuk kemenyan pada
tungku yang baranya sudah hampir mati. Keanehan kem-
bali terjadi, bara yang tadinya hampir padam kini marak
kembali. Tubuh Guru Iblis kembali tergetar, keringat se-
makin banyak bercucuran sehingga sekilas lalu tubuhnya
nampak berkilat-kilat bagaikan patung lilin. Tak lama se-
telah itu, Guru Iblis alias si Setan Joma, segera berucap.
Sungguh pun pelan, namun cukup membangkitkan keku-
atan magis.
"Hei, pulan binti pulan, bangkitlah, Sesungguhnya
engkau tidak mengantuk Cepat bangkit...!" Suara Guru Ib-
lis bergemetaran dilanda gemuruh darahnya sendiri.
Anehnya tubuh Dwi Sumirah yang tadinya tertidur pulas
akibat pengaruh ilmu sirep milik Pri Kumala Hijau, kini
secara perlahan mulai bangkit dari pembaringan. Kedua
matanya pun sudah membuka kembali. Sesaat perempuan
kepala dusun Embacang itu nampak celingukan bagai
orang yang sedang kebingungan. Manakala pandangan
matanya membentur sosok tubuh gemuk yang hanya
mengenakan cawat saja. Tiba-tiba terasa ada hawa hangat
yang turut serta mengalir dalam pembuluh darahnya. Lalu
pandangan matanya berbinar-binar. Lalu desahan-
desahan kecil meluncur dari bibir Dwi Sumirah. Melihat
usahanya yang telah nampak mendatangkan hasil se-
sungging senyum tipis segera menghiasi wajahnya. Maka
perintah-perintah pun berlanjut.
"Turunlah kau dari atas ranjang itu...!!" perintah
Guru Iblis masih dalam kekuatan gaibnya. Dwi Sumirah
nampak turun dari atas ranjang kayu yang penuh beruki-
ran tengkorak manusia.
“Mendekat ke mari...!" lanjut si Guru Iblis, seraya
memandang pada Dwi Sumirah. Yang kini bergerak men-
dekat ke arahnya. Hanya dalam jarak setengah meter, Dwi
Sumirah menghentikan langkahnya. Guru Iblis meman-
dangi tubuh Dwi Sumirah untuk beberapa saat lamanya.
Mulutnya kemudian berdecap-decap, lalu basahi bibirnya,
Hanya dalam waktu tak sampai sepemakan sirih Guru Ib-
lis kembali berkata seolah-olah seperti pada dirinya sendi-
ri,
“Wilayah Kayu Agung ini sudah harus dipenuhi
oleh budak-budak perempuan, aku berkuasa di atas me-
reka. Sementara kesaktianku tak seorang pun ada yang
mampu menandinginya”. Bersamaan dengan ucapannya
itu, tak lama kemudian Guru Iblis kembali menoleh pada
Dwi Sumirah kemudian diapun melanjutkan ucapan-
ucapannya kembali.
"Hei, manusia yang bernama Dwi Sumirah! Kini
engkau sudah menjadi budakku, Mengertikah engkau?"
"Aku mengerti!" jawab Dwi Sumirah dengan tatapan
mata hampa.
"Aku pangeranmu yang punya hak memperlaku-
kanmu sesuka hatiku.."
"Ya...!" sahut kepala dusun Embacang itu.
"Dan engkau wajib menuruti semua kehendakku,
karena aku ini pangeranmu. Kau dengarkah apa yang ku-
katakan ini...?”
"Aku dengar, dan aku akan melakukannya...!" Dwi
Sumirah yang sudah lupa pada diri sendiri itu menyahuti.
Guru Iblis tergelak-gelak, selanjutnya dia kembali meme-
rintah.
"Sekarang buka semua pakaianmu!" perintah laki-
laki keparat itu dengan semangat yang menggebu-gebu.
Sungguh luar biasa pengaruh gaib yang dimiliki oleh Guru
Iblis itu. Karena sesuai dengan perintahnya, maka tak la-
ma kemudian Dwi Sumirah segera menanggalkan pa-
kaiannya.
"Tanggalkan semuanya...! perintah Guru Iblis sam-
bil memperhatikan pemandangan yang terpampang seten-
gah meter didepan hidungnya. Tak lama kemudian wanita
Kepala Dusun Embacang itu menanggalkan pakaian te-
rakhir miliknya. Tubuh Dwi Sumirah menebarkan bau ha-
rum yang membuat Guru Iblis blingsatan.
"Ke marilah engkau dan duduk di pangkuanku.."?
perintah laki-laki gemuk bercawat itu. Kemudian begitu
tubuh Dwi Sumirah mendekati. dia langsung saja menyen-
takkan tangan Dwi Sumirah. Tak ayal lagi perempuan
yang sudah berada dalam kekuasaan ilmu sirep milik
Guru Iblis itu pun terjerembab di pangkuan laki-laki ge-
muk itu. Tangan manusia bangsat itu lalu meranjah ke se-
genap tubuh Dwi Sumirah yang tiada berpakaian. Perem-
puan itu hanya mampu merintih begitu tangan si Guru Ib-
lis menggerayangi bagian-bagian tertentu. Tak lama sete-
lah itu Guru Iblis segera membaringkan tubuh Dwi Sumi
rah di atas lantai yang beralas tikar pandan. Lampu mi-
nyak kelapa di dalam ruangan kamar pribadi itu menda-
dak menjadi padam. Guru Iblis sudah berada dalam posi-
sinya, selanjutnya hanya erangan dan desahan-desahan
kecil saja yang terdengar. Di dalam kamar suasana gelap
gulita tubuh orang itu sudah bermandikan keringat. Se-
mentara di luar langit menjadi redup, awan putih sesekali
menutupi cahaya bulan sehingga suasana di atas bumi
menjadi gelap seketika. Nun di kejauhan sana terdengar
dengus babi hutan saling memperebutkan makanan. Se-
mentara lolongan srigala hutan pun saling bersahut-
sahutan tiada henti-hentinya.
Setelah lebih kurang dua jam kemudian, tampaklah
guru setan keluar meninggalkan kamar pribadinya. Di bi-
birnya. menyunggingkan senyum puas dan licik. Sementa-
ra di dalam kamar yang gelap gulita tubuh Dwi Sumirah
nampak terbaring lemah tiada daya. Sepanjang malam pe-
rempuan kepala dusun Embacang itu tidak pernah istira-
hat karena harus melayani Guru Iblis yang bertenaga gila.
* * *
Tanjung Lubuk di pagi hari selalu menampakkan
kesibukan yang luar biasa. Apalagi daerah itu merupakan
tempat memasarkan hasil bumi bagi penduduk yang ber-
mukim di sekitar tempat itu.
Tak heran kalau sepanjang hari Tanjung Lubuk
merupakan sebuah tempat yang tak pernah sepi dari
orang-orang yang berbelanja keperluan bahan pokok seha-
ri-hari.
Tidak jauh dari keramaian pasar itu, seorang kakek
bertangan buntung dan mengenakan topi capil pelindung
matahari, nampak sedang berjalan bersama seorang gadis
cantik berkulit kuning langsat.
Kakek dan gadis itu nampak dengan tenang me-
langkahkan kakinya menuju sebuah warung yang terdekat
dari tempat itu. Mereka tiada perduli pada orang-orang di
sekitar pasar yang sejak tadi nampak memperhatikan si
kakek buntung yang berjalan di sisi gadis itu.. Di mata
mereka ada yang memandang iba pada kakek tersebut,
ada yang mencemooh, bahkan ada pula yang merasa jijik.
Tak lama kemudian kedua orang itu pun sudah
memasuki sebuah warung penjual makanan. Nampak ada
beberapa pasang mata memandang pada mereka dengan
perasaan tak senang ketika mereka memasuki warung ter-
sebut. Namun sejauh itu kakek dan gadis yang tak lain
merupakan Mambang Sadewa dan Wanti Sarati adanya,
nampak masih dapat menahan diri.
Kedua orang itu akhirnya duduk saling berhadapan
di salah sebuah bangku yang terletak di sudut ruangan
warung itu.
Tak lama kemudian seorang pelayan warung terse-
but nampak menghampiri mereka dengan perasaan eng-
gan. Dan sudah barang tentu hal ini didalam perhatian
Mambang Sadewa, yang nampak mulai tersinggung.
"Anda pesan apa, Ki...?" tanya pelayan itu ayal-
ayalan.
Di luar dugaan kiranya Mambang Sadewa yang se-
sungguhnya berhati lembut kini nampak sudah tak saba-
ran. Lalu diinjaknya kaki pelayan yang berada di seberang
mejanya. Laki-laki pelayan itu menjerit, namun ketakutan
luar biasa. Masih dengan perasaan geram Mambang Sade-
wa berkata ketus.
"Pelayan sialan! Yang kubutuhkan sopan santun
yang baik, di sini kami bukan mengemis di warungmu ini.
Kalau aku mau. aku mampu beli seisi warungmu berikut
kepalamu dan kepala majikanmu!" bentak Mambang Sa-
dewa. Lalu tanpa terduga-duga dia merogoh sebuah kan-
tong yang menggelantung di lehernya. Pemandangan ini
sudah tentu membuat terbelalak kaget semua yang hadir
di warung itu. Sebab Mambang Sadewa yang buntung ke-
dua tangannya itu, ternyata dapat mengambil kantung
yang berisi uang emas itu dengan mulutnya. Bahkan den-
gan gerakan sangat cepat dia sekaligus membuka kantung
yang terikat tali tersebut. Dengan giginya pula dikelua-
rkannya beberapa keping uang emas. Setelah itu dia pun
berseru pada pelayan itu.
"Kau lihatlah pelayan goblok, bukankah uangku le-
bih dari cukup kalau hanya untuk membeli warung milik
majikanmu ini?" bentaknya, seraya melepaskan injakan
kakinya di atas kaki si pelayan yang sudah meringis-ringis
ketakutan.
"Ampun…ampun tuan! Maafkan kesalahanku, se-
karang katakanlah apa yang ingin tuan pesan dari wa-
rungku ini...?" tanya si pelayan dengan sikap berubah sa-
ma sekali.
"Sialan! Kau suruh dulu aku marah, baru kemu-
dian kau layani. Kalau tak ingat perutku sudah sangat la-
par sekali. Warung ini pasti sudah kubakar...!" tukas
Mambang Sadewa merasa sangat kesal sekali.
"Sekali lagi maafkanlah kami, Tuan...!" "Sudahlah,
cepat sana kau sediakan apa yang kami ingini...!" kata
Mambang Sadewa. Lalu tanpa banyak kata lagi pelayan se-
tengah baya itu pun segera meninggalkan mereka untuk
menyediakan apa yang dipesan oleh kedua orang itu.
"Sedari tadi orang-orang itu memperhatikan kita
melulu sih...!" Dalam suasana keramaian pengunjung. Ti-
ba-tiba Wanti Sarati yang sejak tadi hanya diam saja kini
ikut menyela.
Mambang Sadewa tersenyum saja mendengar uca-
pan gadis lugu dari lereng Kerinci itu
"Agaknya tikus-tikus karung itu begitu kagum me-
lihat kecantikanmu, Wanti. Atau mungkin pula mereka
merasa iba bahkan benci melihat keadaanku yang cacat
ini...!"
"Ah, kakek mengapa, berkata begitu! Kalau berani
macam-macam kita sikat saja mereka!" kata Wanti Sarati.
Karena kata-kata itu diucapkan dengan suara keras, maka
hal itu cukup menarik perhatian para pengunjung warung
itu. Beberapa orang laki-laki yang duduk di sudut lainnya
nampak memperhatikan Wanti Sarati dan Mambang Sa-
dewa silih berganti. Dari pandangan mata mereka, nampak
sekali kalau orang-orang itu tidak bersahabat sama sekali.
Bahkan salah seorang di antara laki-laki itu, nampak
mengedip-kedipkan matanya pada Wanti Sarati. Sehingga
membuat wajah gadis itu berubah merah. Masih untung
gadis itu merupakan seorang gadis yang sangat penyabar.
Kalau tidak sudah barang tentu si laki-laki sudah kena di-
damprat oleh Wanti Sarati. Namun kiranya saat itu Mam-
bang Sadewa juga sempat melihat ulah si laki-laki itu,
sungguh pun setengah kesal melihat ulah laki-laki itu,
namun dia nyeletuk juga.
"Agaknya laki-laki muka tikus itu suka padamu,
Wanti...!"
Wanti Sarati nampak cemberut tanpa sadar dia pun
berucap,
"Muka tikus itu. Heh, mana ada apa-apanya bila
dibandingkan. dengan Paman Kelana...!"
"Agaknya engkau lebih kepincut pada pendekar
yang telah menolongmu itu!" sindir Mambang Sadewa.
Wajah Wanti Sarati memerah seketika itu juga.
Kemudian buru-buru dia membantah.
"Kakek bisa-bisa saja, mana mungkin aku bisa
menganggap lain Paman Kelana! Aku tahu bagaimana si-
fatnya terhadap wanita...!"
Tahulah Mambang Sadewa, bahwa gadis yang ma-
sih sangat belia itu sesungguhnya selain memendam rasa
rindu kiranya juga menaruh perasaan pada pendekar yang
sangat tampan itu. Untuk mendesak dan mencari tahu le-
bih lanjut rasanya dia kurang enak. Apalagi pada saat itu
pelayan tadi sudah datang kembali dengan membawa pe-
sanan mereka.
Untuk sesaat mereka saling terdiam. Sementara pe-
layan setengah tua Itu dengan rasa sungkan meletakkan
makanan yang dipesan oleh Mambang Sadewa. Lalu sete-
lah meletakkan makanan tersebut berucap:
"Silahkan, Tuan... kata laki-laki itu seraya cepat-
cepat menyingkir dari tempat itu.
* * *
DELAPAN
Seperginya pelayan itu, Mambang Sadewa tanpa
menghiraukan keadaan sekelilingnya terus menyantap hi-
dangan yang mereka pesan, Wanti Sarati merasa iba meli-
hat cara Mambang Sadewa menyantap makanan yang ter-
letak di hadapannya. Sebab cara Mambang Sadewa me-
makan makanan tersebut tak ubahnya bagai seekor itik
saja. Mula-mula dengan mempergunakan dagunya dia
mendekatkan mangkuk yang berisi makanan berikut lauk
pauknya. Setelah itu, wajahnya menunduk sehingga kebe-
radaannya persis benar dengan mangkuk yang terletak di-
depannya! Lalu mulut dan bibirnya segera dia benamkan
persis di dalam mangkuk tersebut. Namun sungguh pun
begitu cepat sekali menghabiskan makanannya. Yang pasti
semua tingkah dan keadaannya mengundang tawa semua
yang hadir disitu. Terkecuali Wanti Sarati yang sejak tadi
memandangi Mambang Sadewa dengan tatapan iba.
Bahkan tiga orang laki-laki muka tikus yang sejak
tadi memperhatikan mereka, kini malah tergelak-gelak.
Salah seorang di antara mereka lalu mencemooh.
"Ah rakus sekali kawan kita yang satu itu. Bagai
satu bulan tak ketemu nasi. Lihatlah bagaimana dia. me-
nyantap hidangan yang sesungguhnya sangat layak untuk
dimakan oleh seekor anjing budukan...!"
"Engkau betul. Aku pun merasa kasihan, agaknya
kita perlu menyuapinya dengan makanan bekas...!" me-
nyela salah seorang laki-laki hitam berewokan sambil
mengetuk-ngetukkan toyanya di atas meja. Meja itu nam
pak tergetar lalu amblas sebatas siku manakala laki-laki
berewokan itu menekan meja tersebut.
Di lain pihak, baik Mambang Sadewa maupun
Wanti Sarati nampak gusar sekali begitu mendengar uca-
pan tiga orang yang belum dikenalnya.
"Kakek tak usah turun, biarkan aku yang akan ka-
sih pelajaran pada tiga ekor tikus cacingan itu!" kata Wanti
Sarati, lalu dia pun segera menghampiri tiga laki-laki yang
bertampang sangar tersebut. Laki-laki itu tergelak-gelak
begitu melihat si gadis menghampiri mereka. Sesaat sete-
lah berada di depan meja orang-orang itu Wanti Sarati be-
rucap:
"Tiga ekor monyet. sialan! Kalian bilang apa tadi
pada kakekku...?"
"Kawan! Perawan tingting ini berani sekali jual la-
gak di depan Tiga Begal Dari Tulung Seluang. Hemm, hu-
kuman apa yang paling pantas untuk manusia secantik
dia..,?' kata si Tinggi Kurus Muka Tikus Curut. Dua orang
kawannya tergelak-gelak.
"Itu gampang. Kita potes dulu kakeknya yang ber-
tangan buntung itu, setelah itu kita ringkus dia. Bukan-
kah di pondok kita sangat dingin?"
"Nah, kita bisa bergilir menidurinya!" kata yang
lainnya. Semakin bertambah gusar saja Wanti Sarati men-
dengar kata-kata yang bermaksud kurang ajar itu. Saat
yang sama si kakek bertangan buntung nampak tenang-
tenang saja. Sebab sesungguhnya dia ingin mengetahui
sampai di mana kehebatan gadis yang selalu merindukan
kehadiran Pendekar Hina Kelana itu. Sementara itu, Wanti
Sarati yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya se-
gera berseru
"Begal sialan manusia jadah! Agaknya mulut kalian
perlu dihajar terlebih dulu!" bentak Wanti Sarati.
Belum lagi gadis itu selesai dengan ucapannya,
dengan tangan terkepal dia langsung kirimkan satu seran-
gan kilat.
Nampaknya ketiga orang itu memang belum pernah
menduga sebelumnya, bahwa si gadis sesungguhnya me-
miliki kepandaian juga. Maka dengan sikap ayal-ayalan dia
mencoba untuk menangkap tangan Wanti Sarati.
"Plaaak”
Laki-laki berwajah tikus curut itu menjerit tertahan
begitu merasakan bagaikan remuk ketika berusaha me-
mapaki sekaligus menangkap tinju si gadis. Orang itu te-
rus merintih-rintih sambil memegangi tangannya yang
membengkak dan berwarna kemerah-merahan.
Sementara dua orang lainnya, di samping terkejut
juga sangat marah. Apalagi mengingat orang yang mem-
permalukan mereka hanyalah seorang gadis tanggung
yang mereka sangka tiada apa-apanya.
Dalam waktu sekejap saja orang-orang yang berada
di dalam warung itu segera menyingkir dari tempatnya.
Saat itu si Kulit Hitam Berewokan sudah berdiri
dan langsung membentak si gadis!
“Bocah! Berani betul kau menyakiti kawan kami,
tahukah kau bahwa si Tiga Begal Dari Tulung Seluang tak
pernah bertindak setengah-setengah?"
Bagaimanapun Wanti Sarati adalah seorang gadis
yang berpikiran cerdik, dia pun sudah tahu sampai dima
na kemampuan ketiga orang itu. Maka tanpa banyak cing-
cong lagi dia pun kembali kirimkan satu pukulan keras.
Pukulan yang dilancarkan oleh si gadis, terus menderu
mengarah pada bagian dada laki-laki berewokan. Masih
untung laki-laki itu kiranya sudah bersiap siaga mengha-
dapi segala kemungkinan. Maka sambil berkelit dia pun
kirimkan satu pukulan satu totokan.
"Plaaak! Deeeesss!"
Laki-laki berewokan itu terhuyung-huyung, kalau
saja tidak ada meja di belakang yang menahan tubuhnya,
sudah barang tentu dia terjengkang.
Sadarlah-laki-laki berewokan ini, bahwa gadis itu
sesungguhnya memiliki ilmu silat dan pukulan tenaga da-
lam yang tangguh.
Kini tanpa sungkan-sungkan lagi, laki-laki berewo-
kan dan dua orang lainnya segera mencabut senjata mere-
ka yang berupa toya dan clurit.
Melihat gelagat yang tak baik, maka pelayan wa-
rung itu dengan suara gemetar nampak berucap;
"Tuan-tuan dan nona, janganlah berkelahi di dalam
warungku. Modal kami kecil. Itu pun setelah menjual
kambing yang cuma satu-satunya...." kata pemilik dan pe-
layan warung itu mengiba.
Dalam pada itu Mambang Sadewa sudah menyela.
"Pelayan goblok, biarkan mereka pada bertarung di
dalam warung ini. Kau jangan takut! Kalau tiga begal tikus
itu pada bokek, nanti biar aku yang mengganti segala ke-
rusakan yang terjadi."
“Saat itu juga Mambang Sadewa dengan mulutnya
segera melemparkan tiga kepingan emas. Uang tersebut
langsung masuk ke dalam saku si pelayan. Bukan main gi-
rangnya pelayan itu begitu melihat tiga keping uang emas
pemberian Mambang Sadewa.
"Apakah tiga keping emas itu sudah cukup?" tanya
Mambang Sadewa, sambil melirik pada si pelayan dan
Wanti Sarati.
"Oh Cukup sekali, andai tuan-tuan bakar sekalipun
warungku ini kami bisa membangun dua buah yang lebih
baik dari warung yang ada...." kata pelayan itu, seraya se-
gera berlalu dari dalam warungnya.
Setelah pelayan itu menghilang di balik pintu bela-
kang maka Mambang Sadewa kembali pada tiga begal dan
Wanti Sarati.
"Tunggu apa lagi? Warung ini sudah kubayar, su-
dah lama aku tak pernah melihat pertempuran. Cepat-
cepatlah kalian bertarung!" perintah Mambang Sadewa. Ti-
ga begal kertakkan rahang, orang-orang itu langsung men-
gurung Wanti Sarati. Maka sesaat kemudian ketiga orang
langsung menyerang Wanti Sarati dengan senjata terhu-
nus.
Dalam waktu sekejap saja pertarungan sengit pun
segera terjadi. Si muka tikus dengan toya di tangannya ce-
pat-cepat kirimkan serangan-serangan ganas. Toya di tan-
gannya menderu laksana baling-baling. Mencecar ke ba-
gian-bagian tubuh Wanti Sarati yang nampak lemah per-
tahanannya. Sementara dua orang lainnya dengan pedang
tajam berkilat-kilat mencecar Wanti Sarati dari bagian be-
lakang.
Sungguhpun mereka itu hanyalah sekawanan beg-
al, namun nampaknya mereka memang sudah sangat ber
pengalaman dalam hal pertarungan seperti itu. Sungguh
pun Wanti Sarati hanyalah merupakan seorang gadis yang
sangat muda belia dan belum punya pengalaman banyak
dalam hal pertarungan, tetapi dia merupakan pewaris
tunggal dari Dua Belas Jurus Aneh peninggalan bekas-se-
orang tokoh sakti Padri Agung Sindang Darah. Gerakan-
gerakan silatnya yang bervariasi dan menggambarkan se-
bagai orang yang putus asa dalam penyesalan. Tetapi se-
lama itu belum satu pun senjata lawannya yang sampai
menyentuh kulitnya. Jangankan lagi sampai melukainya,
Suatu saat bagai seekor udang yang menghindari
sergapan seekor ikan buas, dengan begitu indahnya. Tu-
buh si gadis melentik ke atas, kemudian gadis itu berkele-
bat cepat, tangan kiri kanan kirimkan pukulan-pukulan
maut saling susul menyusul, sementara kaki kiri menen-
dang bagian selangkangan lawan-lawannya. Pada saat itu
serangan toya dari laki-laki bermuka tikus menderu men-
garah pada bagian punggungnya. Dan pada saat yang ber-
samaan pula, pedang di tangan si berewok membabat ke
bagian tangan si gadis yang sudah terjulur melakukan sa-
tu pukulan.
Baik Mambang Sadewa dan para pengeroyok Wanti
Sarati sudah menduga bahwa kali ini gadis itu pasti sudah
tak mungkin lagi mengelakkan serangan ganas yang da-
tangnya secara bersamaan itu.
Toya dan pedang di tangan lawan-lawannya terus
menderu dan timbulkan suara bercuitan. Wanti Sarati
sendiri sempat merasakan betapa sambaran angin senjata
lawannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak
luar biasa. Sungguh pun begitu dia tidak nampak menjadi
gugup, dengan, cepat begitu senjata-senjata di tangan la-
wannya hampir mencapai sasarannya. Di luar dugaan la-
wan-lawannya, Wanti Sarati jatuhkan diri, lalu berguling-
guling. Sementara kakinya menggunting kaki si berewok
yang hampir saja bertubrukan sesamanya.
Jepitan kaki Wanti Sarati bukan main kuatnya, se-
hingga memaksa si berewok terbanting di atas lantai wa-
rung. Secepat kilat Wanti Sarati menarik kakinya. Kemu-
dian tangan kanannya kirimkan satu sodokan yang sangat
telak ke bagian kiri rusuk lawannya. Si berewok yang ber-
senjatakan pedang itu menjerit keras manakala tulang
iganya patah dan timbulkan suara berderak.
Tanpa menghiraukan si berewok yang terus meng-
geliat-geliat, cepat-cepat si gadis bangkit. Sekali lagi tu-
buhnya berkelebat menyongsong serangan dua senjata
lainnya yang berupa toya dan sebilah pedang.
"Pletok! Duuuk!"
Si Tinggi Muka Tikus berseru kaget, manakala pu-
taran toyanya membentur tangan si gadis. Tangannya ter-
getar hebat. Saat itu pula senjata lain menderu kearah ba-
gian bahu si gadis. Wanti Sarati menggeser tubuhnya se-
dikit kesamping. Dengan cepat dorongkan sebuah kursi
kayu yang berada didepannya.
"Wuuus”
"Braaak!"
Kursi dipergunakan oleh Wanti Sarati sebagai ta-
meng pelindung hancur berkeping-keping dilanda ketaja-
man pedang di tangan lawannya.
Dalam pada itu Mambang Sadewa yang sejak tadi
memperhatikan pertarungan itu dengan terkagum-kagum,
kini sudah berseru tidak sabar lagi;
"Wanti! Jangan kau beri hati begal-begal cacingan
itu"! Cepat mampusi mereka...!" perintah Mambang Sade-
wa.
Begitu Wanti Sarati mendengar aba-aba dari Mam-
bang Sadewa, saat itu juga dia cepat-cepat melolos Selen-
dang Merah yang melilit pinggangnya.
Sesaat kemudian selendang di tangan si gadis me-
lesat ke arah lawannya. Selendang itu berkelebat-kelebat.
Menderu dan keluarkan suara mendesis bagai ribuan ekor
ular.
Bertarung dengan tangan kosong saja membuat ti-
ga begal itu kalang kabut, bahkan salah seorang di antara
mereka telah kena dipatahkan tulang rusuknya. Apalagi
kini si gadis sudah mempergunakan selendangnya, Yang
juga merupakan kelanjutan dari dua belas jurus silat aneh
peninggalan Padri Agung Sindang Darah.
Tak dapat dihindari lagi pertarungan menjadi se-
makin sengit. Perabotan di dalam warung itu porak poran-
da dilanda lecutan-lecutan selendang di tangan Wanti Sa-
rati.
Si tiga begal menjadi semakin kerepotan, mati-
matian mereka mempertahankan diri dari gempuran-
gempuran selendang yang sangat mematikan itu.
Satu ketika salah seorang dari mereka yang bersen-
jatakan pedang berteriak keras, tubuhnya melesat sedemi-
kian cepatnya. Dia bermaksud menerkam si gadis. Untuk
kemudian kirimkan satu tusukan ke bagian leher lawan
nya. Namun baru tiga meter tubuhnya melayang, Selen-
dang Merah di tangan Wanti Sarati sudah memapakinya.
* * *
SEMBILAN
Ujung selendang itu melecut tepat di wajah si tinggi
berewokan, laki-laki bertampang sadis ini pun menjerit,
wajahnya hancur. Tidak kepalang tanggung lagi. Si gadis
kirimkan satu pukulan lagi. Pedang di tangan orang itu
terpental. Suara raungan kembali terdengar. Bersamaan
dengan itu tubuh laki-laki itu terlempar. Tubuhnya mena-
brak dinding warung yang terbuat dari anyaman lepas.
Dinding tersebut hancur berantakan manakala tubuh si
laki-laki berewokan menabraknya. Begitu tubuh si bere-
wok terjengkang di luar warung. Sekejap salah seorang da-
ri tiga begal itu menggeliat-geliat. Wajahnya yang hancur,
dan dadanya yang remuk dilanda senjata lawannya terus
mengalirkan darah kental. Kemudian setelah berkejat-
kejat. Laki-laki berewokan itu pun meregang ajal, selan-
jutnya dia diam untuk selamanya.
Kini tinggallah laki-laki muka tikus bersenjata toya,
dan si laki-laki berewokan lainnya yang sudah patah tu-
lang rusuknya.
Mengetahui kawan mereka tewas di tangan si gadis,
dengan kemarahan yang meluap-luap dan tanpa basa basi
lagi, dua orang ini dengan sangat nekat sekali kembali
menggempur si gadis dengan serangan-serangan yang le-
bih dahsyat. Dengan mempergunakan jurus-jurus Pedang
Menyebar Maut. Nampaknya kini serangan-serangan sen-
jata mereka berubah sama sekali.
Gerakan mereka dalam menempur lawannya nam-
pak semakin cepat, pedang maupun toya di tangan mende-
ru dan mencecar tubuh Wanti Sarati tanpa putus-
putusnya.
Dalam menghadapi serangan-serangan yang sede-
mikian cepatnya, Wanti Sarati terpaksa harus mempergu-
nakan jurus silat aneh tingkat kedelapan. Sesaat si gadis
bergerak lamban, bagai orang pikun yang sudah tidak ta-
hu lagi mana kawan mana lawan, di lain waktu bagaikan
orang kesurupan tubuhnya melabrak apa saja yang ada di
sekitarnya. Kemudian berlanjut lagi? Si gadis berteriak-
teriak bagai orang yang kurang waras, sungguh nya inilah
yang merupakan salah satu unsur pengembangan jurus-
jurus aneh warisan Padri Agung Sindang Darah. Sebab tak
lama setelah teriakan- teriakan itu. Tubuh Wanti Sarati
sudah berkelebat lenyap, hal ini benar-benar membuat
bingung lawan-lawannya.
Bahkan salah seorang di antara lawannya sampai
keluarkan seruan tertahan!
"Ilmu iblissss!"
"Bet. Wuuut!"
Secara ayal-ayalan, salah seorang di antara mereka
membabatkan senjatanya. Namun pada saat itulah Selen-
dang Merah di tangan Wanti Sarati melecut!
"Breeessss!"
Bagai seekor anjing yang kena gebuk laki-laki be-
rewokan yang sudah patah tulang rusuknya itu melolong.
Bagian punggung laki-laki itu terobek sejengkal.
Darah mengucur dari luka akibat sambaran selendang
yang sangat ganas. Laki-laki itu nampak terhuyung-
huyung. Namun sebelum kawannya sempat berbuat ba-
nyak, laksana kilat selendang di tangan Wanti Sarati kem-
bali melecut ke bagian perutnya.
"Breeeet!"
Si begal yang bersenjatakan pedang itu nampak ter-
lolong kedua tangannya! menekap pada bagian perutnya
yang terburai. Darah menyembur dari sela-sela ususnya
yang berserabutan keluar.
Laki-laki itu nampak pucat pasi. Begitu dia berusa-
ha menindakkan langkahnya. Laki-laki itu terhuyung, ke-
mudian tanpa ampun tubuhnya tersungkur. Tiada eran-
gan maut yang terdengar, tanpa dapat dicegah lagi orang
itu pun tewas secara menyedihkan.
Kini tinggallah laki-laki bertoya muka tikus. Menge-
tahui kembrat-kembratnya tewas secara mengerikan, nya-
linya menjadi ciut. Dia mulai menoleh kanan kiri. Tetapi
agaknya Wanti Sarati sudah dapat menebak apa yang
akan dilakukan oleh sisa si tiga begal. Maka cepat-cepat
dia pun membentak;
"Tiga begal tiada guna! Engkau hendak coba-coba
kabur dari maut? Hemm! Enak betul, setelah menghina
kakekku, setelah kawan-kawanmu pada mampus. Hi...
hi... hi....! Kau boleh pergi, asalkan kau tinggalkan kepa-
lamu di warung ini!" tukas Wanti Sarati dengan sesungg-
ing senyum mengejek.
"Perempuan bangsat! Aku akan mengadu jiwa den-
ganmu...!" Wanti Sarati kembali tergelak-gelak.
"Bukankah tadi kau bermaksud untuk meniduri-
ku? Hmm. Setelah kau tinggal sendirian, aku mau kau
bawa ke mana pun engkau suka. Asalkan engkau bisa
mengalahkan aku!" menyela gadis itu. Walau sesungguh-
nya hatinya memaki dan menanam rasa benci pada si mu-
ka tikus.
"Wanti! Sikat saja. Bicara dengan tikus begal cacin-
gan hanya menambah umurnya beberapa saat!" Mambang
Sadewa merasa kurang sabar melihat kekonyolan gadis
yang sangat baik hati itu. Tanpa berpaling dari lawannya,
Wanti Sarati kembali membentak;
"Kakekku bilang supaya aku cepat-cepat membu-
nuhmu. Cepat-cepatlah kau bela dirimu. Kalau sudah ma-
suk ke liang kubur menyesal pun tiada guna!"
"Perempuan iblis, makanlah toyaku. Hiaaat...!"
Agaknya setelah kematian kawan-kawannya, laki-laki mu-
ka tikus itu sudah tak punya pilihan lain. Maka akhirnya
dia pun menjadi nekad. Tak ayal lagi, akhirnya dengan se-
genap kemampuannya laki-laki bertoya itu segera menge-
rahkan segenap kemampuannya. Toya di tangan kembali
menderu, sebisa-bisanya dia berusaha mencecar lawan.
Dalam amarah yang meledak-ledak, tidak lagi terpikirkan
akan keselamatan diri sendiri. Namun betapa pun hebat-
nya serangan gencar yang dia lakukan sejauh itu Wanti
Sarati nampak tenang-tenang saja.
Maju bareng bertiga, si muka tikus tidak dapat
berbuat banyak. Apalagi kini hanya sendirian. Tanpa
membuang-buang waktu lagi si gadis kembali lecutkan se
lendangnya. Begitu selendang maut meliuk-liuk ke arah si
muka tikus, dia cepat-cepat pukulkan toyanya. Tak pelak
lagi, selendang dan toya itu pun bertemu. Tetapi sungguh
pun lecutan selendang itu dapat dipatahkan oleh toya la-
wannya. Di luar dugaan Selendang Merah itu melibat toya
tersebut. Tarik menarik pun segera menjadi. Dengan sepe-
nuh tenaga, si muka tikus berusaha mempertahankan
senjatanya. Tetapi kiranya tenaga dalam di muka tikus ter-
taut jauh di bawah tenaga dalam milik Wanti Sarati.
"Breeet!"
Toya di tangan laki-laki muka tikus terenggut. Ka-
lau saja laki-laki itu tidak cepat-cepat melepaskan ceka-
lannya. Sudah barang pasti tubuhnya pun akan terbetot.
Wanti Sarati tergelak-gelak, tangan kirinya menimang-
nimang toya lawan yang kini telah berada dalam gengga-
mannya.
"Hemmm! Toya butut begini apa bagusnya? ku-
kembalikan saja pada pemiliknya!" Berkata begitu, Wanti
Sarati langsung menyambitkan toya tersebut kearah laki-
laki muka tikus. Sisa tiga begal itu terkejut sekali, karena
toya yang disambitkan oleh lawannya meluncur sedemi-
kian cepat kepadanya. Buru-buru dia mengelak, begitupun
sambaran angin dari luncuran senjata itu membuat pa-
kaiannya berkibar-kibar.
"Wuuusss!"
Serangan selendang lawan menyusul luncuran toya
yang dapat dielakkan oleh lawannya. Si muka tikus men-
jadi gugup mendapat serangan yang beruntun itu. Dia
langsung membuang tubuhnya, lalu berguling-guling me-
nabrak apa saja yang ada di ruangan itu.
Namun selendang di tangan Wanti Sarati terus
mengejarnya. Agaknya laki-laki itu mulai putus asa. Sece-
patnya dia bangkit, tetapi malang tak bisa ditolak. Selen-
dang maut itu menghantam keras pada bagian lehernya.
"Argggkh...!" Hanya suara itu yang terdengar, leher
laki-laki muka tikus terobek sampai ke bagian pangkalnya.
Bagai mata air darah memancar mengikuti irama dengan
denyut jantung. Nanar pandangan mata laki-laki itu. Pan-
dangan matanya semakin lama semakin meredup. Tubuh
laki-laki itu kemudian berputar-putar, lalu limbung karena
kehilangan keseimbangan. Tak lama setelahnya, dia pun
terbanting roboh. Pakaiannya berubah memerah karena
dibasahi darah. Hanya sesaat saja setelah itu, tubuhnya
pun tiada bergerak-gerak lagi.
Dengan tewasnya si tiga begal, maka Wanti Sarati
kembali melilitkan selendang miliknya. Nampak Mambang
Sadewa memuji-muji dirinya dengan penuh kekaguman.
Kemudian tanpa sadar dia pun bergumam seolah pada di-
rinya sendiri.
"Hebat. Jurus-jurus silat aneh bahkan belum per-
nah kukenal, selendang bagus, Selendang Merah, yang ki-
ranya merupakan senjata ampuh. Aha... gadis... cah ayu!
Siapakah gurumu...?" tanya Mambang Sadewa.
Yang ditanya nampak tersipu malu, wajahnya me-
rona merah. Kemudian setelah kembali duduk di sisi
Mambang Sadewa, setelah dia memandangi seisi warung
yang sudah berantakan. Maka dengan suara merendah dia
berucap;
"Kakek terlalu berlebihan, aku tidak ada apa-
apanya bila dibandingkan dengan kakek, apalagi dengan
Paman Kelana….!" ucapnya pelan.
"Ah.... ah...! Cah bagus. Selain kepandaianmu ting-
gi, kiranya sifatmu sangat jujur dan mulia. Sungguh be-
runtung sekali orang yang dapat memperistrimu. Di jaman
ini sangat jarang sekali gadis yang memiliki keluhuran bu-
di sepertimu...!" kata Mambang Sadewa polos.
Maka semakin bertambah memerah saja wajah
Wanti Sarati dibuatnya. Sungguh pun dia seorang gadis
yang selalu bicara apa adanya. Namun sebagaimana gadis-
gadis pada umumnya berbicara mengenai masalah yang
sangat pribadi sifatnya sudah barang tentu membuatnya
jadi salah tingkah.
"Kakek, janganlah kakek memujiku setinggi langit.
Nanti cucumu ini bisa besar kepala...!"
Mambang Sadewa tergelak-gelak. Apalagi Wanti Sa-
rati berkata dengan penuh keakraban. Keakraban seorang
cucu dengan kakeknya. Sungguh pun jelas bahwa Wanti
Sarati memang bukan cucunya. Tetapi disebut-sebut se-
perti itu, dia merasa sangat terharu di samping bahagia
sekali. Tanpa sadar dia menitikkan air mata, lalu dengan
lembut dielusnya kepala Wanti Sarati, sebagaimana layak-
nya membelai seorang cucu sendiri.
"Wanti! Puji syukur karena sang Dewata, hampir di
akhir hayatku telah berkenan mempertemukanku den-
ganmu seorang gadis yang lembut. Semua itu telah meng-
hapuskan kebencianku pada kaum perempuan di atas du-
nia ini. Engkau gadis yang sangat baik, hatimu lembut.
Andai nanti aku masih sempat bertemu dengan Pendekar
Hina Kelana. Akan kukatakan padanya bahwa sesungguh-
nya dia pantas menyayangimu, sebagaimana rasa sayang-
mu kepadanya...!" aku Mambang Sadewa dengan kata ber-
kaca-kaca.
"Kakek...." Wanti Sarati tersentak.
"Jangan bantah ucapanku Wanti, aku berkata se-
sungguhnya. Aku yang sudah tua bangka ini sayang dan
kasihan padamu. Seandainya pun aku mati, aku. tak ingin
melihatmu hidup penuh bergelimang kesedihan. Mungkin
gadis semacamulah yang telah ditakdirkan oleh Sang
Hyang Widi untuk mendampingi pendekar yang dalam hi-
dupnya selalu dalam penderitaan itu." desah Mambang
Sadewa.
"Apakah dia pernah mengatakannya padamu...?"
Mambang Sadewa gelengkan kepalanya berulang-
ulang.
"Tidak! Tetapi aku dapat melihat dari sorot ma-
tanya...!"
"Ah, sudahlah. Kakek jangan bicarakan dia te-
rus...!" kata Wanti Sarati menjadi jengah. Laki-laki bertan-
gan buntung itu tersenyum tipis.
"Wanti. Engkau tak bisa memungkiri hatimu. Aku
melihat, matamu selalu memendam rindu padanya."
Wajah Wanti Sarati kian tertunduk, kelopak ma-
tanya merembang merah. Mambang Sadewa jadi iba kare-
nanya. Kemudian sekali , lagi dibelainya kepala gadis ber-
kulit kuning langsat itu. Seraya berucap;
"Sudahlah, jangan pula engkau turut larut dalam
kesedihan. Mari kita tinggalkan tempat ini!" kata Mambang
Sadewa.
"Kita hendak ke mana kek...?" tanya Wanti bagai
orang linglung. Sambil bergerak melangkah, Mambang Sa-
dewa nyeletuk.
"Ke mana lagi! Kayu Agung tujuan kita. Semoga
pendekar yang selalu kau rindukan itu sudah pula berada
di sana."
Wanti Sarati hanya diam saja, entah apa yang dipi-
kirkannya. Namun kedua kakinya terus melangkah mengi-
ringi langkah Mambang Sadewa. Semakin lama kedua
orang itu pun telah jauh meninggalkan Tanjung Lubuk.
* * *
SEPULUH
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
dengan mempergunakan Ajian Sepi Angin. Tubuh Pende-
kar Hina Kelana berkelebat cepat, di antara hutan bakau
yang tumbuh subur di daerah Kayu Agung.
Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai di
tengah-tengah hutan tersebut. Sesaat kemudian pemuda
itu menghentikan langkahnya ketika penciumannya mem-
baui hawa tak sedap, di sekitar tempat itu. Kemudian ke-
tika dia melangkahkan kakinya beberapa tindak ke depan-
nya. Maka terlihatlah beberapa sosok mayat laki-laki yang
sudah membusuk. Buang Sengketa kernyitkan alisnya.
Menurut perhitungannya, tentu mayat-mayat itu sudah
menggeletak di situ lebih kurang tujuh hari yang lalu. Pe-
muda ini mengitarkan pandangannya. Tak ada sesuatu
pun yang mencurigakan di sana. Hanya ribuan lalat-lalat
hijau saja yang beterbangan silih berganti. Nampak dari
badan yang telah membusuk itu ribuan belatung sebesar
jari kelingking. Ulat-ulat itu melentik menggeliat tumpang
tindih di antara sesama kawannya. Buang Sengketa cepat-
cepat palingkan muka. Perutnya terasa mual dan ingin
muntah. Kemudian pemuda dari Negeri Bunian itu pun
segera meninggalkan tempat itu.
Mungkin orang-orang itu merupakan korban Pri
Kumala Hijau! Batinnya merasa sangat geram sekali.
Kini dia kembali mengerahkan Ajian Sepi Angin,
sekejap saja tubuhnya berkelebat laksana terbang. Lewat
sepeminum teh sampailah pemuda itu dekat sebuah ru-
mah bertonggak yang sangat besar sekali. Buang Sengketa
mulai meneliti keadaan sekitar. Beberapa orang perem-
puan yang masih sangat muda, nampak hilir mudik menu-
runi anak tangga dari rumah panggung tersebut. Perem-
puan-perempuan berwajah cantik-cantik itu nampak ber-
pakaian sangat menyolok sekali. Dada mereka yang padat
berisi nampak' terbuka begitu saja tanpa selembar kain
penutup pun. Sedangkan di bagian pusar hanya mengena-
kan sebuah cawat ala kadarnya. Wajah Pendekar Hina Ke-
lana berubah memerah. Cepat-cepat. dia palingkan muka
sambil menunggu perkembangan selanjutnya.
Dalam pada itu sempat terlintas dalam pikiran pe-
muda ini. Mungkin sesuatu telah terjadi pada perempuan-
perempuan itu. Cara mereka berpandangan, sorot mata
mereka nampak kosong, bahkan mereka seperti tak ber-
malu berjalan begitu saja dengan keadaannya yang seten
gah telanjang. Mungkin kali ini dia sudah sampai di tem-
pat yang dituju. Batin pemuda itu.
Ketika Buang Sengketa sedang berpikir-pikir ten-
tang perempuan-perempuan itu, tiba-tiba dari dalam ru-
mah tersebut muncul seorang laki-laki gemuk yang juga
hanya bercawat di depan pintu. Sesaat laki-laki itu nam-
pak memandang ke arah jurusan lain. Tetapi anehnya se-
saat setelah itu dia pun membentak;
"Manusia gembel yang bersembunyi di balik po-
hon... Cepat-cepat tunjukkan diri!" tukasnya dengan nada
tidak senang. Pendekar Hina Kelana garuk-garuk kepa-
lanya. Sialan! Agaknya si muka sadis inilah yang dimak-
sud oleh Mambang Sadewa. Makinya pula.
Bagaikan orang tolol dia menyeruak diantara tim-
bunan daun bakau. Diatas tanah becek dan berbau tak
sedap itu dia mengayunkan langkahnya. Laki-laki berca-
wat yang tak lain Guru Iblis adanya, nampaknya tak be-
ranjak dari depan pintu tersebut.
Dengan suara serak serasa bagai menghentikan
denyut darah. Laki-laki bercawat itu kemudian menyam-
bung kembali!
"Gembel berperiuk. Sungguh berani mati kau me-
masuki Kayu Agung, agaknya kau tak mengerti. Bahwa
siapa pun yang telah begitu berani memasuki wilayah ke-
kuasaanku ini. Tidak pernah keluar dalam keadaan hi-
dup?"
Buang Sengketa terkesiap, dia bukan merasa gen-
tar dengan bentakan yang bernada mengancam itu. Tetapi
adalah karena dalam suara pelan yang mengandung tena-
ga dalam tersebut, Buang Sengketa merasakan sekujur
tubuhnya bergetar hebat. Jantungnya serasa berhenti ber-
denyut. Pendekar ini menyadari bahwa laki-laki itu se-
sungguhnya sedang menyerang dirinya melalui suara ter-
sebut, cepat-cepat pemuda itu mengerahkan kekuatan ba-
tinnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan susulan.
Tetapi kiranya serangan melalui suara itu hanya terhenti
sampai di situ saja. Maka sesaat kemudian Buang Sengke-
ta segera menyela;
"Laki-laki bercawat. Hutan bukan milik nenek
moyangmu, siapa pun punya hak untuk memasuki hutan
ini...!"
Tanpa merasa tersinggung, Guru Iblis itu meman-
dang pada si pemuda untuk sesaat lamanya. Buang Seng-
keta lebih terkejut lagi, manakala selintasan dia melihat
bahwa sepasang mata laki-laki-bercawat itu memancarkan
sinar aneh. Mata itu memang merah sebagaimana mata
Mambang Sadewa. Tetapi mata laki-laki bercawat itu nam-
pak menyebarkan kekejian dan hawa pembunuhan yang
terpendam.
"Bocah besar sekali nyalimu. Padahal sekali saja
engkau menampak di depan hidungku, Setan Joma takkan
pernah membiarkanmu hidup walau hanya sesaat Saja."
kata Guru Iblis dengan suara serak namun berwibawa.
Sungguh pun kemampuan laki-laki bercawat itu
sangat sulit untuk diduga. Namun, begitu mendengar pen-
gakuannya Pendekar Hina Kelana nampak senang sekali.
Tetapi dalam kegembiraan itu, hatinya masih diliputi tan-
da tanya. Sebab dia tidak melihat adanya Pri Kumala Hijau
bersama dengan laki-laki itu.
"Hemmm, kiranya engkaulah kunyuk yang telah
bikin onar di mana-mana, muridmu yang durhaka itu kau
suruh menculik anak gadis orang. Kau perkosa mereka,
kau buat pula mereka menjadi dungu. Kau tak lebih dari
seekor binatang yang paling menjijikkan...!" maki Buang
Sengketa tanpa merasa sungkan-sungkan lagi.
Guru Iblis nampak tenang-tenang saja, walaupun
sesungguhnya hati dan pikirannya dipenuhi dengan rasa
geram luar biasa. Lalu dengan sepasang matanya yang
mencorong, kembali dipandanginya Buang Sengketa. Se-
saat setelahnya dia pun telah melompat dari atas rumah
bertonggak itu.
Sekejap kemudian dia sudah berdiri tiga tombak di
hadapan Pendekar Hina Kelana. Dari gerakannya, dan ca-
ra dia menginjakkan kakinya diatas tanah becek itu.
Buang Sengketa menyadari bahwa laki-laki itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.
"Kreeek... kreeek.... kreeeek...!"
Laki-laki Guru Iblis tergelak-gelak..
"Semuanya tidak ku pungkiri bocah. Kalau pun
memang benar kau bisa apa? Tak seorang pun di kolong
langit ini yang mampu bertahan hidup menghadapi puku-
lan-pukulan maut si Guru Iblis...!"
"Kejahatan, bagaimana pun hebatnya tak akan
pernah dapat bertahan lama. Sungguh pun hari ini aku
tak menang menghadapimu. Tetapi kebenaran selalu da-
pat mengalahkannya!" kata pemuda itu pasti.
"Kentut busuk! Aku muak melihat bualanmu...!"
berkata begitu Guru Iblis mulai mengawali serangannya.
Pendekar Hina Kelana menyadari betapa berba-
hayanya serangan-serangan yang dilancarkan oleh laki-
laki bercawat, Dia pun sudah memutuskan untuk tidak
mengambil resiko yang ada akhirnya dapat membahaya-
kan keselamatan jiwanya. Maka tak ayal lagi begitu tu-
buhnya bergerak untuk menghindari terjangan tangan
Guru Iblis yang sudah berubah membiru. Untuk selanjut-
nya dia segera pergunakan jurus si Gila Mengamuk yaitu
jurus di atas tingkatan Membendung Gelombang Menimba
Samudra yang dia miliki. Maka bertempurlah tokoh golon-
gan hitam tingkat tinggi ini dengan Pendekar Hina Kelana.
Sekejap saja halaman berlumpur itu sudah berubah men-
jadi arena pertarungan yang sangat mendebarkan.
Sedapat mungkin Buang Sengketa menghindari
bentrokan dengan tangan lawannya. Dia menyadari bahwa
sungguh pun tubuhnya kebal terhadap serangan berbagai
jenis pukulan beracun. Namun pukulan beracun yang di-
miliki oleh Guru Iblis itu nampaknya lain dari yang lain.
Pukulan-beracun milik Guru Iblis nyata-nyata bersumber
dari inti tenaga murni yang bukan tak mustahil di dalam-
nya mengandung unsur-unsur mistik pula.
Serangan gencar yang dilancarkan si Guru Iblis
menderu bahkan manakala jemari tangan itu berkelebat di
bagian samping tubuh si pemuda. Dia merasakan ada ha-
wa aneh yang turut, menyertainya. Bau tak sedap mulai
menebar disekitar tempat itu. Dada Buang Sengketa ber-
denyut-denyut sakit. Tetapi jurus si Gila Mengamuk bu-
kanlah jurus silat sembarangan. Sungguh pun saat itu
Guru Iblis telah kerahkan jurus Tangan Kematian, namun
dengan jurus silat si Gila Mengamuk, Buang Sengketa ma
sih dapat menghindar sergapan-sergapan tangan beracun
tersebut.
Setelah pertarungan mencapai lima belas jurus. Se-
saat ketika jurus si Gila Mengamuk sudah mencapai ting-
katan kesepuluh, maka tubuh Buang Sengketa nampak
meliuk-liuk bagai orang yang kurang waras. Sepasang ka-
kinya bergerak cepat mencecar ke arah pertahanan bagian
bawah lawannya. Sementara itu kedua tangannya dengan
gerakan-gerakan yang tiada beraturan. Menderu dan beru-
saha mematahkan serangan-serangan gencar lawannya.
Menghadapi kenyataan seperti itu sadarlah Guru
Iblis bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang lawan
yang sangat tangguh.
Secara cepat tubuhnya meletik ke udara, bersa-
maan dengan itu terdengar pula satu lengkingan yang
sangat tinggi. Semua itu membuat tubuh Buang Sengketa
tergetar hebat. Anehnya lagi gerakan-gerakan silatnya se-
cara total menjadi kacau tak menentu. Dia tahu bahwa
saat itu Guru Iblis sedang mengerahkan kekuatan mistik-
nya untuk menghancurkan pertahanan lawan. Maka sam-
bil menekan dadanya yang berdenyut sakit. Tak lama sete-
lahnya dia pun mengeluarkan jeritan serupa. Tak ayal pa-
da saat itu dia telah mengerahkan ilmu lengkingan Pe-
menggal Roh yang sangat ampuh itu.
"Haiiikkkk!"
Jeritan yang serasa merobek gendang-gendang te-
linga itu, membuat Guru Iblis nampak terkesima untuk
beberapa saat lamanya. Sementara dari dalam rumah be-
sar itu terdengar lolongan menjelang ajal dari mulut gadis-
gadis yang tiada berdosa itu. Nampaknya mereka tak kuat
menahan getaran yang sangat hebat dari lengkingan ilmu
Pemenggal Roh yang telah dilancarkan Buang Sengketa
untuk menyerang musuhnya.
Perempuan-perempuan malang itu pun menggele-
par meregang ajal, darah kental meleleh dari hidung dan
kuping mereka. Sungguh pun Guru Iblis tidak melihat
keadaan didalam rumahnya tetapi agaknya dia tahu bah-
wa semua orang-orang yang berada di dalam rumah itu te-
lah binasa semuanya. Sambil melompat mundur dia pun
berseru dengan kemarahan yang tiada terperikan.
"Bangsat! Engkau telah membunuh gadis-gadis
yang tiada berdosa. Engkau harus membayar dengan nya-
wamu...!"
Buang Sengketa meludah ke tanah.
"Puiiih! Mereka hanyalah perempuan-perempuan
sisa, hidup pun malah lebih menyakitkan bagi mereka.
Seharusnya engkaulah yang harus bertanggung jawab atas
semua yang terjadi di sini...!"
"Bangsat! Kau harus cepat-cepat mampus!"
"Heeaaaa...!"
Dengan merubah jurus-jurus silatnya, Guru Iblis
kembali menerjang. Kali ini gerakannya semakin bertam-
bah sebat, setiap serangan yang dilancarkan selalu tim-
bulkan angin kencang hingga membuat hutan bakau di
sekitarnya seperti dilanda badai topan. Menyadari lawan-
nya mempergunakan jurus Iblis Perenggut Sukma, maka
Buang Sengketa bermaksud merubah jurus silatnya. Na-
mun sebelum niat itu kesampaian dia merasakan ada an-
gin pukulan menyambar bagian bahunya. Cepat-cepat dia
berkelit. Tetapi begitu pun pukulan Iblis Perenggut Sukma
masih juga menyerempet bagian itu. Tubuh Pendekar Hina
Kelana terpental dan tergulung-gulung di atas tanah ber-
lumpur. Bahkan tanpa henti tubuhnya terus menabrak
pohon-pohon kecil yang berada di dekatnya. Tubuh si pe-
muda baru terhenti manakala menabrak sebatang pohon
yang lumayan besarnya. Dia mengeluh, tubuhnya serasa
remuk, dari sela-sela bibirnya mulai meneteskan darah.
Cepat-cepat dia himpun tenaga dalamnya. Begitu rasa se-
sak berkurang. Pemuda itu pun segera berdiri, tetapi dili-
hatnya Guru Iblis masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Di luar dugaan si pemuda, laki-laki bercawat itu menyela:
"Sungguh pun aku manusia sesat. Aku paling pan-
tang membunuh lawan yang belum siapa pada posisinya
Sekarang bersiap-siaplah engkau untuk kubunuh...!"
"Haiiiiit!"
Lagi-lagi Guru Iblis telah meluruknya, satu samba-
ran angin yang terasa sejuk namun menyimpan hawa
maut kembali menyambar ke arah si pemuda. Dia cepat-
cepat mengelak. Sesaat setelahnya dia pun telah memper-
gunakan jurus Si Jadah Terbuang.
Pendekar Hina Kelana yang tadinya terdesak hebat,
setelah merubah jurus silatnya nampak mulai dapat men-
gimbangi permainan silat lawannya. Pertarungan kembali
menjadi seru. Masing-masing lawan nampak berusaha sal-
ing gempur dengan kemampuan yang dimilikinya. Semen-
tara itu tangan Guru Iblis dari warna biru kini telah beru-
bah menjadi merah bagaikan bara. Isyarat maut menyebar
dari kedua tangan yang mengandung racun yang sangat
ganas.
Buang Sengketa menyadari bahwa serangan-
serangan gencar yang dilakukan oleh lawannya semakin
lama semakin berbahaya. Bahunya yang tadi hanya ter-
sambar cakaran tangan Guru Iblis saja masih berdenyut
sakit. Tepat seperti dugaannya, bahwa pukulan itu ber-
sumber dari inti tenaga murni. Mustahil Buang Sengketa
dapat menawarkan racun itu.
***
SEBELAS
Baginya kalau ingin selamat, hanya ada satu jalan.
Yaitu dengan jalan menempur Guru Iblis dengan pukulan-
pukulan jarak jauh.
Itu sebabnya sesaat kemudian ketika laki-laki ber-
cawat itu mencoba memancingnya dalam pertarungan ja-
rak dekat, dia sedapat-dapatnya menghindar. Tubuhnya
berjumpalitan menjauh. Setelah kini mereka benar-benar
memiliki jarak yang dirasa telah cukup. Maka sesaat sete-
lah itu, Pendekar Hina Kelana segera mengerahkan tenaga
saktinya ke arah kedua tangannya. Setelah tenaga sakti
itu terpusat di sana, sekejap kemudian dengan disertai sa-
tu teriakan menggelegar tubuh Pendekar Hina Kelana ber-
kelebat cepat. Dalam kesempatan itu, tak ayal lagi puku-
lan si Hina Kelana Merana pun dia lepaskan. Dalam uru-
tan pukulan sakti, pukulan si Hina Kelana Merana ini me-
rupakan pukulan tertinggi dan bahkan kekuatannya di
atas pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dia miliki. Ki
ni pukulan yang dilepas oleh pemuda itu menderu bagai
kilatan cahaya petir dan berwarna merah menyala. Sinar
itu melesat sedemikian cepatnya, hingga dalam waktu se-
kedipan mata cahaya yang menimbulkan suara laksana
badai topan prahara itu satu tombak berada di depan hi-
dung Guru Iblis. Laki-laki bercawat itu mengeluarkan se-
ruan kaget manakala merasakan adanya sambaran panas
yang hampir melanda tubuhnya. Pada saat-saat yang kritis
itu, dengan mempergunakan pukulan Iblis Menempur
Maut, serangkum sinar melesat pula dari jemarinya yang
kini telah berubah menjadi menghitam.
"Wuuuus!"
Serangkum sinar maut yang berhawa dingin luar
biasa dan menebarkan bau busuk beracun juga tak kalah
cepatnya menderu memapaki datangnya pukulan si Hina
Kelana Merana. Satu keadaan yang benar-benar sangat
sulit untuk dihindari, dua pukulan sakti yang berprabawa
saling bertolak belakang itu akhirnya bertubrukan di uda-
ra.
"Buuum!"
Pertemuan dua tenaga sakti itu membuat bumi
seakan runtuh, lumpur di atas tanah becek itu memuncrat
ke udara. Sementara rumah panggung yang berukuran
sangat besar itu pun ambruk begitu menerima getaran dan
goncangan yang sangat dahsyat, Masing-masing lawan ter-
lempar tubuhnya hingga puluhan tombak. Keadaan di se-
kitarnya menjadi berkabut, dengan kepulan-kepulan asap
tebal menyelimutinya. Sesaat baik Buang Sengketa mau-
pun Guru Iblis nampak roboh, diam, tak berkutik di tem-
patnya masing-masing.
Mereka tak pernah menyadari bagaimana rasanya
ketika pukulan sakti yang mereka lepaskan saling berben-
turan. Dalam ketidak sadarannya, dari mulut masing-
masing lawan telah memuntahkan darah kental berwarna
hitam pekat. Darah yang membeku itu bergumpal-gumpal.
Nyatalah kalau kedua orang itu sudah terluka dalam den-
gan keadaan cukup parah.
Secara perlahan namun pasti, beberapa saat beri-
kutnya tubuh Pendekar Hina Kelana nampak bergerak,
menggeliat, kemudian merintih-rintih. Begitu dia, tersadar
dilihatnya sekitar pertarungan nampak porak poranda,
Buang merasakan dadanya bagai remuk, badannya,, san-
gat dingin luar biasa, Maka dengan sangat dipaksakan dia
berusaha bangkit dari tanah berlumpur itu, secara perla-
han dia mulai menghimpun hawa murninya. Tetapi begitu
rasa hangat yang berpusat dari pusarnya itu mulai menja-
lar ke bagian-bagian yang terluka mendadak hawa dingin
sebagai akibat pukulan Iblis Menempur Maut menyerang
hawa panas yang berpusat dari perutnya. Hal ini benar-
benar sangat menyiksa bagi si pemuda, kegagalan untuk
memulihkan keadaan tubuhnya yang terluka, ini menan-
dakan bahwa dirinya benar-benar terserang pukulan be-
racun. Celakalah aku kali ini kalau racun itu tak mampu
kusembuhkan sendiri! Batin pemuda itu.
Pada saat yang sama keanehan pun segera terjadi
pada diri Guru Iblis. Secara perlahan tubuhnya yang tadi
nampak terdiam tiada bergerak-gerak, sampai pada akhir-
nya seperti tak pernah terjadi sesuatu dengannya, dia pun
terduduk.
Sungguh pun wajahnya pucat pasi, tetapi seperti
tidak pernah terjadi sesuatu dengannya dia segera bangkit.
Begitu dia memandang pada Pendekar Hina Kelana, ma-
tanya yang merah saga, itu, memancarkan sinar yang san-
gat aneh dan menyilaukan mata pendekar ini. Dia tahu se-
sungguhnya itulah kekuatan terakhir yang dimiliki oleh
Guru Iblis. Maka tak ayal lagi pendekar ini membuang
pandangannya jauh-jauh.
Guru Iblis atau yang lebih dikenal dengan sebagai
Iblis Joma nampak tergelak-gelak. Setelah menghentikan
tawanya, maka tanpa malu-malu lagi dia berkata;
"Bocah, di antara sekian banyak musuh-musuhku,
kuakui engkaulah lawan satu-satunya yang paling tang-
guh. Tetapi jangan kira aku tak tahu, bahwa sesungguh-
nya kita sama-sama terluka. Di tubuhmu kini mengendap
racun yang secara perlahan dapat membunuhmu, sung-
guh pun itu kematian bagimu tinggal hanya menunggu sa-
tu purnama di depan!"
Buang Sengketa hanya terdiam begitu mendengar
ucapan si Guru Iblis. Dia memang tidak bisa menyangkal
apa yang dikatakan oleh laki-laki bercawat ini. Tetapi
sungguh pun dia terluka dalam cukup parah namun dia
sudah bertekad untuk membinasakan gurunya Pri Kumala
Hijau itu.
"Guru segala dari raja manusia sesat. Kalaupun
nantinya aku mati, aku sudah merasa puas bila aku telah
memenggal kepalamu...!" kata Buang Sengketa dengan su-
ara parau.
"Krek.... krek.... kreeek...!" Guru Iblis tergelak-gelak
lagi. "Bocah, suaramu yang parau itu menandakan bahwa
pukulan Iblis Menempur Maut yang telah mengendap di-
tubuhmu sudah bekerja dengan baik. Bocah gembel,
sungguh pun engkau mampu mengalahkan aku, tetapi apa
bedanya? Sebab engkau pun segera menyusulku sebulan
di depan. Kau tahanlah sinar mataku ini. Seandainya na-
sibmu baik?. engkau masih dapat melihat dunia ini sam-
pai satu purnama di depan...!" teriak si Guru Iblis.
Begitu laki-laki bercawat itu telah bersiap-siap den-
gan pukulan pamungkas melalui sinar matanya. Maka
Buang Sengketa segera meraba Cambuk Gelap Sayuto dan
Pusaka Golok Buntung yang berada di pinggangnya. Tera-
sa ada hawa hangat yang mengaliri tangannya, manakala
tangannya meraba gagang Golok Buntung, hawa hangat
tersebut terus mengalir ke bagian dadanya. Sedikit demi
sedikit rongga dadanya yang serasa remuk itu pun mulai
berkurang. Walau memang tidak bisa dikatakan hilang
sama sekali.
Pada saat itu Guru Iblis sudah mulai menyerang-
nya kembali. Dari sepasang matanya yang merah membara
melesat selarik sinar merah menyilaukan. Sinar maut yang
telah memakan banyak korban itu meluruk ke arah la-
wannya. Dan pada waktu yang sama pula, nampak sinar
merah memancar dari golok yang berada dalam gengga-
man si pemuda.
Wajah pemuda itu nampak menegang, sepasang
matanya mengisyaratkan hawa membunuh yang meledak-
ledak. Sementara dari kedua bibirnya keluarkan bunyi
mendesis bagai kan suara ular piton yang sedang marah.
Tetapi agaknya masing-masing lawan sudah sama-sama
tidak perduli dengan perubahan-perubahan yang terjadi,
sementara sinar maut yang keluar dari mata Guru Iblis te-
lah sampai pada lawannya. Buang Sengketa kiblatkan go-
loknya untuk memapaki datangnya sinar maut tersebut.
"Wuuut! Praaang!"
Kembali terdengar suara bergemuruh manakala si-
nar merah itu melabrak pusaka Golok Buntung yang bera-
da dalam genggaman pendekar itu. Tubuh Guru Iblis ter-
guling-guling, namun cepat bangkit kembali. Wajahnya
semakin memucat bagai kain kafan. Tersiraplah darah la-
ki-laki bercawat ini, dia merasakan hawa yang sangat din-
gin mulai menyelimuti alam sekitarnya. Merasa penasaran,
lagi-lagi dia kirimkan sinar maut dengan kekuatan berlipat
ganda. Tetapi kali ini Cambuk Gelap Sayutolah yang da-
tang menyambut dan memecut.
"Ctarrr ctarrr...! Blaaammm...!"
Sinar maut yang sudah melesat itu berantakan di
udara diterpa lecutan cambuk Gelap Sayuto.
Suasana pun kemudian berubah, langit yang terang
resik tiada berawan, mendadak menjadi gelap gulita. Se-
mentara bunyi petir saling sambung menyambung. Kea-
daan tak ubahnya bagai malam hari. Kejadian ini sudah
barang tentu membuat Guru Iblis jadi kaget luar biasa.
Dalam kegelapan itu hanya kilatan sinar merah
yang terpancar dari Pusaka Golok Buntung saja yang terli-
hat. Guru Iblis kerjab-kerjabkan matanya.
Tetapi belum lagi hilang keterkejutan di hati laki-
laki ini, tubuh Pendekar Hina Kelana sudah berkelebat.
Golok di tangannya menderu dan keluarkan suara bagai
sejuta geledek. Golok itu terus menyambar-nyambar ke se-
gala penjuru. Kemarahan yang melanda diri pendekar ke
turunan seekor raja ular itu menyebabkan segalanya men-
jadi berlalu begitu cepat. Cambuk Gelap Sayuto terus dia
lecutkan. Suasana semakin bertambah gelap saja.
Sedapatnya Guru Iblis. berusaha menghindari ser-
gapan-sergapan golok si pemuda Namun dengan golok dan
cambuk berada di tangan pemuda itu, keadaannya kini
benar-benar telah berubah sama sekali.
"Haiiit...!"
Buang Sengketa keluarkan teriakan keras, saat itu
tubuhnya benar-benar telah begitu dekat dengan lawan-
nya. Maka tak ayal lagi golok di tangannya pun menyam-
bar dua kali ke bagian leher laki-laki itu.
"Creees! Creees!"
Guru Iblis keluarkan lolongan bagai seekor kerbau
disembelih, tubuhnya limbung namun anehnya tiada da-
rah yang menyembur ke luar. Laki-laki itu terjerembab ja-
tuh. Dia melolong-lolong untuk sesaat lamanya, kemudian
diam tidak berkutik-kutik lagi.
Buang Sengketa merasa lega hatinya, namun da-
danya masih berdenyut-denyut sakit. Lalu sambil meme-
gangi dadanya, pemuda berwajah tampan itu pun segera
pergi dengan membawa sebuah luka.
* * *
Kayu Agung pagi itu nampak sunyi sepi menyimpan
misteri, dari kejauhan nampak Mambang Sadewa dan
Wanti Sarati menuju ke tempat itu. Wajah mereka mem-
bayangkan rasa lelah yang teramat sangat. Hampir siang
dan malam !mereka terus melakukan perjalanan, maka
tak heran kalau dua kemudian dia telah sampai di tempat
itu. Setelah memasuki Kayu Agung, mendadak Wanti Sa-
rati menghentikan langkahnya, hal ini sudah barang tentu
membuat heran Mambang Sadewa yang bertangan bun-
tung. Dia pun terpaksa menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Nduk...? Sejak semalam kulihat wajah
murung begitu...?" tanya Mambang Sadewa sambil me-
mandang pada gadis itu. Wanti Sarati menarik napas da-
lam-dalam.
"Sejak semalam pikiranku tidak enak, Kek...!" ja-
wabnya polos.
"Apakah engkau memikirkan Pendekar Hina Kela-
na?" tanya kakek bertangan buntung itu asal-asalan.
"Ya, entah mengapa aku menjadi teringat pa-
danya...!" Mambang Sadewa nampak tersenyum tipis, begi-
tu mendengar jawaban Wanti Sarati yang polos.
"Bukankah selama ini kau juga sering memikirkan-
nya?"
"Benar, tetapi aku tak pernah segelisah ini. Aku ta-
kut kalau-kalau terjadi sesuatu dengannya. Aku-aku takut
kehilangan dia, Kakek...!" ucap gadis itu tertunduk sedih.
"Mudah-mudahan saja dugaanmu itu tidak berala-
san!" kata si kakek coba menghibur, walau sesungguhnya
hatinya sendiri diliputi rasa was-was. Wanti Sarati nampak
terdiam, tetapi setelah membuang pandangan matanya
jauh-jauh. Kemudian dia bertanya:
"Sekarang sampai di manakah kita?"
"Inilah tempat yang kita tuju itu. Mudah-mudahan
Pendekar Hina Kelana telah sampai pula di tempat ini!"
ujar Mambang Sadewa berharap.
"Kalau begitu sebentar lagi kita segera sampai ke
sarang iblis itu, ya, Kek?" "Mudah-mudahan saja begitu...!"
"Tapi, Kek...!"
Wanti Sarati tidak sempat melanjutkan ucapannya
ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya tubuh seorang
wanita.
"Kakek, orang itu...!" serunya cepat-cepat. Mam-
bang Sadewa memandang pada Wanti Sarati. Laki-laki itu
nampak terkejut sekali, sebab prang yang dilihat oleh
Wanti Sarati tak lain adalah Pri Kumala Hijau adanya.
"Berhenti,.!" bentak Mambang Sadewa, tiba-tiba
yang dibentak menghentikan langkahnya, tubuh Wanti Sa-
rati dan Mambang Sadewa berkelebat menyongsong Pri
Kumala Hijau.
Nampaknya perempuan itu pun sangat terkejut-
begitu melihat kehadiran bekas suaminya dengan seorang
gadis yang belum dikenalnya.
"Oh, kiranya engkau bekas suamiku. Ada keper-
luan apakah hingga kau datang jauh-jauh ke Kayu Agung
ini...?" tanya Pri Kumala Hijau dengan sikap acuh.
"Kudengar engkau semakin tersesat saja...! Bah-
kan, akhir-akhir ini kau mulai menculik anak gadis orang
untuk kau persembahkan pada gurumu. Apakah itu benar
adanya...?"
Pri Kumala Hijau hanya tersenyum saja begitu
mendengar apa yang dikatakan oleh Mambang Sadewa.
"Kalau benar engkau mau apa?! Bukankah diantara
kita sudah tidak ada ikatan apa-apa...?" tukas Pri Kumala
Hijau mencibir.
"Sungguh pun sudah tidak ada ikatan apa-apa.
Sampai akhir hidupku, aku akan selalu berusaha untuk
membuatmu sadar...!"
"Hemmmm, agaknya kau perlu kubuntungi dulu
kakimu itu, baru kau tidak lagi mengurusi kepentingan-
ku....!"
Mambang Sadewa tersenyum getir begitu menden-
gar ucapan bekas istrinya itu.
"Kumala! Sungguh pun kau penggal kepalaku, aku
tetap berusaha menghalangi segala sepak terjangmu yang
memalukan itu...!" Gusarlah Pri Kumala Hijau dibuatnya.
"Bangsat buntung! Cepat minggat dari hadapanku,
kalau tidak aku benar-benar akan membuntungi kedua
kakimu...!" bentak bekas pasangan Iblis Bermata Dewa itu
sangat marahnya.
"Lakukanlah kalau engkau mampu, Tapi jangan
harap selama aku masih bernapas aku akan selalu mem-
bayangi sepak terjangmu...!" kata Mambang Sadewa den-
gan suara tertekan. Dalam pada itu Wanti Sarati yang se-
jak dari tadi hanya diam saja, kini ikut pula menyela.
"Kakek! Inikah bangsatnya yang telah membuntun-
gi tanganmu? Sikat saja, Kek!"
Sudah barang tentu ucapan Wanti Sarati membuat
Pri Kumala Hijau semakin bertambah gusar. Maka dengan
pandangan penuh kebencian perempuan iblis itu pun
membentak:
"Bocah pentil. Berani lancang engkau mencampuri
urusanku! Cepat-cepatlah engkau menyingkir dari hada-
panku. Kalau tidak aku benar-benar akan membunuh-
mu...!" teriak Pri Kumala Hijau marah sekali.
"Nduk, minggirlah biar kakek bereskan iblis yang
satu ini...!"
"Bagus. Majulah kau peot bertangan buntung, hari
ini aku benar-benar akan membunuhmu...!" teriak Pri
Kumala Hijau.
Kemudian seiring dengan ucapannya itu, dengan
gerakan sangat cepat tiada terduga, maka saat itu juga dia
segera lancarkan serangan-serangan ganas kepada Mam-
bang Sadewa.
Tak ayal lagi Mambang Sadewa yang sudah menge-
tahui kehebatan bekas istrinya itu secara cepat pula mem-
balas serangan-serangan tersebut.
Hanya sesaat saja setelahnya, terjadilah pertarun-
gan maut di semak-semak hutan bakau itu. Jurus-jurus
yang sangat mereka andalkan pun menyertai serangan-
serangan gencar. Sungguh pun Mambang Sadewa tidak
memiliki kedua belah tangan, tetapi dengan jurus-jurus
baru hasil ciptaannya sendiri. Dia selalu dapat mematah-
kan serangan yang dilancarkan oleh Pri Kumala Hijau.
Tubuh kedua orang itu kini berkelebat sedemikian
cepat. Sehingga sangat sulit untuk diikuti oleh pandangan
mata biasa. Dengan rambutnya yang panjang yang sewak-
tu-waktu dapat berubah melemas dan di lain saat berubah
kaku laksana kawat baja.
Kakek itu terus berusaha meningkatkan gempuran-
gempurannya. Nampaknya masing-masing lawan berusaha
keras untuk cepat-cepat merobohkan lawannya.
* * *
DUA BELAS
Sesaat kemudian rambut Mambang Sadewa mele-
cut keras ke arah Pri Kumala Hijau. Rambut yang berubah
mengejang itu menderu mengarah bagian muka lawannya,
perempuan itu keluarkan suara mengekeh. Lalu tanpa ra-
gu-ragu lagi langsung memapaki datangnya serangan itu.
"Beees!"
Terdengar seruan tertahan dari masing-masing la-
wan. Tangan Pri Kumala Hijau serasa dicucuki ribuan ba-
tang jarum. Sumpah serapah berhamburan dari mulut pe-
rempuan iblis ini. Manakala dia melihat darah mulai me-
netes dari luka-luka kecil yang disebabkan. tercucuknya
rambut Mambang Sadewa. Pri Kumala Hijau bersurut tiga
langkah. Mulutnya menyeringai mengisyaratkan maut
yang tak bisa diduga-duga. Dalam kesempatan itu, dia pun
sudah membentak.
"Hebat! Kiranya engkau ada kemajuan juga. Pantas
saja kau berani jual lagak di depanku...!"
Mambang Sadewa tersenyum tipis!
"Selamanya aku tak pernah jual lagak pada siapa
pun. Hanya karena hatimu saja , yang sudah tersesat jauh
sehingga kau punyai anggapan seperti itu...!"
“Beh! Engkau jangan berbesar hati dulu. Sobat
buntung! Banyak ilmu simpananku yang belum kukelua-
rkan semuanya!"
"Bagus...! Lebih baik keluarkan Semuanya agar kau
bisa mati dalam keadaan puas...!" "
"Bangsat....! Lihat serangan...!"
Berkata begitu kali ini Pri Kumala Hijau keluarkan
jurus Pri Hitam Memukul Setan. Serentak dengan beru-
bahnya jurus-jurus silat perempuan iblis itu, maka seben-
tar kemudian tubuhnya sudah melesat, tangan kanannya
kirimkan satu pukulan mengarah pada . bagian kepala,
sedangkan kaki kirinya menendang pada bagian perut
Mambang Sadewa.
Detik itu juga begitu mengetahui serangan yang
mengisyaratkan maut itu, Mambang Sadewa pun segera
merubah jurus silatnya.
Dengan mempergunakan jurus silat hasil ciptaan-
nya sendiri yang diberi nama jurus Si Buntung Merana,
rambutnya yang panjang itu kembali mengejang, kemu-
dian sepasang kakinya bergerak-gerak begitu indahnya.
Sekali dia menjerit maka tubuhnya yang tiada ber-
tangan itu melentik bagaikan belalang congcongkrang.
Begitu tubuh Mambang Sadewa kembali meluncur
ke bawah. Bagai gerakan kepala ular yang menari-nari
rambut dan kaki kirinya mengirimkan satu sapuan ke
arah tubuh lawannya yang saat itu juga nampak pula ki-
rimkan dua pukulan bertubi-tubi.
"Wuuus!"
"Plaaaak!"
"Duuukkk!"
Dua orang Bekas pasangan, Iblis Bermata Dewa itu
jatuh terguling-guling. Karena masing-masing pukulan
disertai dengan tenaga dalam yang besar. Tak ayal lagi ke-
dua orang ini pun muntahkan darah segar.
Saat itu Wanti Sarati yang sedikit banyaknya men-
getahui kehebatan masing-masing mereka yang sedang
bertarung. Diam- diam dia mulai mencemaskan keadaan
Mambang Sadewa. Dia tahu bahwa sesungguhnya dalam
adu tenaga dalam tadi Pri Kumala Hijau nampak lebih un-
ggul. Apalagi mengingat bahwa Mambang Sadewa pernah
dikalahkan oleh bekas isterinya itu.
Dia mulai berpikir-pikir untuk membantu Mam-
bang Sadewa, tetapi untuk turun tangan secara terang-
terangan, dia takut kalau kakek bertangan buntung itu
menjadi marah. Tak dapat yang dilakukannya, dia tak be-
rani mengambil keputusan sendiri. Baru saja dia memikir-
kan segala kemungkinan yang terjadi, pada saat itu ter-
dengar pula bentak-bentakan keras dari masing-masing
mereka yang sedang bertarung. Begitu Wanti Sarati me-
mandang ke arah pertempuran. Dilihatnya Mambang Sa-
dewa dan Pri Kumala Hijau kini telah melancarkan puku-
lan-pukulan jarak jauh melalui pandangan mata mereka
masing-masing. Dari kedua mata orang itu nampak mele-
sat sinar merah, sinar itu kemudian saling bertemu di
udara. Masing-masing lawan saling mengerahkan segenap
kemampuannya. Dalam keadaan seperti itu mereka benar-
benar tak berani gegabah. Lengah sedikit saja sudah tentu
jiwa akan melayang.
Adu tenaga dalam itu terus berlanjut, tubuh mere-
ka sudah bermandi peluh. Bahkan kini sudah mulai terge-
tar hebat. Wanti Sarati merasa tak tega melihat keadaan
Mambang Sadewa yang nampak sudah bermandi keringat
itu kelihatan mulai jatuh di bawah angin.
Selanjutnya apa yang dirisaukan oleh Wanti Sarati
pun terjadi. Sepasang mata Mambang Sadewa nampak
semakin bertambah merah, tak lama kemudian mata ter-
sebut mulai keluarkan cairan merah pula. Darah!
Semakin lama darah yang berada di kelopak mata
Mambang Sadewa pun mulai menetes menuruni pipinya
yang cekung. Wanti Sarati dalam saat-saat yang kritis itu
nampak berpikir cepat. Kalau keadaan itu dibiarkan berla-
rut-larut, bukan tidak mungkin sebentar lagi kakek ber-
tangan buntung itu bakal mengalami nasib celaka.
Tak ada pilihan lain, demi menyelamatkan Mam-
bang Sadewa, Wanti Sarati segera melepaskan Selendang
Merah yang melilit pinggangnya.
Kemudian tanpa basa basi lagi, tubuhnya melesat.
Dengan cepat dia lecutkan selendangnya persis di tengah-
tengah beradunya sinar itu.
"Blaaaar!"
Kedua orang itu tiada bergeming, tubuh Wanti Sa-
rati malah terpental jatuh. Dia segera bangkit kembali, lalu
tanpa memperdulikan rasa nyeri di dadanya, Wanti Sarati
melecutkan selendangnya kembali. Kali ini. dengan diser-
tai tenaga dalam yang penuh.
"Breeesss!"
"Blaaaam!"
Terpentalah tubuh ketiga orang itu tunggang lang-
gang. Dari mulut Wanti Sarati meleleh darah segar. Se-
mentara baik Mambang Sadewa maupun Pri Kumala Hijau
mengalami keadaan yang tidak jauh berbeda dengan Wanti
Sarati. Tetapi dari ketiganya, Mambang Sadewalah yang
mengalami luka dalam yang teramat parah. Dalam kea-
daan masing-masing yang serba tidak menguntungkan itu,
tiba-tiba Pri Kumala Hijau cepat bangkit kembali. Dia ke
luarkan suara tawa menyeramkan. Kedua matanya yang
tetap memerah itu mengisyaratkan maut yang tiada terpe-
rikan. Lalu kedua tangannya pun terpentang tinggi-tinggi,
bibirnya berkomat kamit. Tak salah lagi perempuan itu ki-
ni telah merapal Mantra Iblis Menempur Maut. Asap tipis
menyelimuti kedua tangan tersebut. Sekejap mata kedua
tangannya telah berubah menjadi kehitam-hitaman.
Kejut di hati Mambang Sadewa dan Wanti Sarati
bukan alang kepalang. Ingin cepat-cepat menghindar me-
reka serasa tiada memiliki kemampuan. Sebab mereka me-
rasakan tubuhnya terasa sangat sakit untuk digerak kan.
Pada saat itu Pri Kumala Hijau sebelum melakukan
serangan-serangan terakhir sempat berkata:
"Kalian berdua benar-benar telah membuatku gelap
mata. Mati bagi kalian justru lebih baik daripada harus
menjadi perintang dalam. segala sepak terjangku. Mam-
puslah kalian. Hiaaat...!"
Sinar berwarna hitam kelam melesat sedemikian
cepatnya, terbagi menjadi dua bagian. Yang satu mengarah
kepada Wanti Sarati sedangkan bagian lainnya mengarah
pada Mambang Sadewa.
Kedua orang itu hanya terbelalak saja begitu meli-
hat datangnya sinar pengantar maut tersebut. Bahkan me-
reka sudah pasrah untuk menerima kematian.
Namun dalam saat-saat yang sangat kritis itu, se-
berkas sinar merah yang datang dari lain arah. Menderu
lebih cepat lagi memapaki pukulan yang dilepaskan oleh
Pri Kumala Hijau.
Karena sinar hitam pekat itu terbagi menjadi dua,
maka sinar merah itu hanya mampu menjangkau pukulan
yang lebih dekat dari padanya. Secara kebetulan Wanti Sa-
rati lah yang lebih dekat dalam jangkauan tersebut. Tak
ayal lagi.
"Buumm!"
Sinar merah yang meluruk ke arah Wanti Sarati,
kandas sampai di tengah jalan. Sementara sinar lainnya
terus meluncur dan baru terhenti ketika sudah menghan-
tam tubuh Mambang Sadewa.
Laki-laki itu nampak menggeliat sekejap, terdengar
suara rintihan kecil dari mulutnya yang tertutup kumis
berwarna kelabu. Wanti Sarati dengan susah payah me-
rangkak mendekati tubuh Mambang Sadewa yang sudah
sekarat.
Pada saat yang sama dari kerimbunan daun pohon
bakau muncullah Pendekar Hina Kelana. Pemuda itu
nampak masih memegangi dadanya, wajahnya semakin
pucat. Sementara; dalam tangannya tergenggam Pusaka
Golok Buntung yang sangat menghebohkan itu.
Dengan terhuyung-huyung dia sudah mendekati Pri
Kumala Hijau yang masih nampak terkejut.
Dengan pandangan penuh kebencian pula dilirik-
nya perempuan iblis itu mulai dari ujung rambut sampai
keujung kaki.
"Hemmm. Kiranya engkaulah bangsatnya yang te-
lah bikin sengsara orang banyak. Engkau memang pantas
mampus seperti gurumu si raja sesat itu....!" geramnya.
Pri Kumala Hijau nampak sangat terkejut sekali be-
gitu pemuda tampan berkuncir itu menyebut-nyebut gu-
runya. Apalagi pemuda itu sampai bilang bahwa gurunya
telah pula tewas.
Di lain pihak begitu mendengar suara orang yang
sangat dikenalnya, Wanti Sarati langsung menoleh. Bukan
main girangnya dia begitu melihat kehadiran orang yang
sangat dirindukannya itu. Tetapi dia agak merasa heran
melihat wajah pemuda itu yang nampak pucat. Apakah
yang telah terjadi dengannya? Batin gadis itu penuh tanda
tanya.
Tetapi dia sudah tak dapat berpikir panjang karena,
tak lama kemudian terdengar pula suara erangan Mam-
bang Sadewa. Maka perhatiannya pun beralih pada kakek
bertangan buntung.
Sementara itu perdebatan pun terjadi, antara Pen-
dekar Hina Kelana dengan Pri Kumala Hijau.
"Setan! Berani benar engkau mencampuri urusan-
ku” Maki perempuan iblis ini.
"Aku si Hina Kelana selamanya akan menumpas
segala bentuk kejahatan. Maka bersiap-siaplah engkau un-
tuk mampus." teriak Buang Sengketa. Kemudian seketika
itu juga golok di tangan pendekar itu menderu.
Mendengar nama Pendekar yang membuat gempar
dunia persilatan saja Pri Kumala Hijau sudah tercengang
luar biasa. Apalagi kini dengan golok itu ditangannya. Pri
Kumala Hijau segera berkelit berusaha mencari kesempa-
tan untuk melepaskan sinar maut melalui matanya.
Tetapi nampaknya Buang Sengketa sudah tiada
memberinya kesempatan lagi. Golok di tangannya terus
memburu lawan ke f mana pun perempuan itu menyingkir.
Dalam keadaan terdesak seperti itu dia masih berusaha ki-
rimkan serangan-serangan balasan. Namun semua itu su
dah tak berarti banyak buat pendekar yang sudah sampai
pada puncak kemarahannya itu.
Pertarungan jarak dekat seperti yang dikehendaki
oleh Buang Sengketa akhirnya terjadi. Tubuh Pendekar
Hina Kelana berkelebat. Lalu bersamaan berkelebatnya tu-
buh pendekar itu maka golok buntung di tangannya pun
menyambar.
"Breeess! Creeees!"
Pri Kumala Hijau melolong setinggi langit, darah
mengucur dari luka di perutnya yang terkoyak besar. Tak
lama kemudian tubuh wanita iblis itu pun limbung. Ber-
putar-putar kemudian terjerembab ke bumi.
Maka tewaslah Pri Kumala Hijau dengan luka yang
sangat mengerikan. Pada saat itu dengan langkah ter-
huyung-huyung, Buang Sengketa menghampiri gadis yang
bersimpuh di depan tubuh Mambang Sadewa yang sudah
meregang ajal. f
Begitu mengetahui keadaan Mambang Sadewa,
sambil memegangi dadanya yang terus berdenyut pemuda
itu pun ikut duduk bersimpuh.
"Orang tua. Oh... maafkan aku! Aku telah terlambat
datang...!" kata pemuda itu menyesali diri. Mambang Sa-
dewa memandang pada pendekar itu dengan sorot mata
yang sudah meredup.
"Akhirnya engkau.... dat... datang juga...!"
ucapnya lirih, kemudian sambungnya.
"Bagaimana dengan Guru Iblis itu...?"
"Semuanya telah tewas, Orang tua.!" sahut si pe-
muda.
"Oh, syukurlah.... akhirnya aku dapat pergi dengan
tenang.... tap.... tapi.... kau jagalah gadis yang berada di
sampingmu itu. Begitu lama dia mencarimu. Namanya
Wanti Sarati. Sayangilah dia...!"
"Wanti Sarati...?" gumamnya seolah tak percaya.
"Paman, apakah kau tidak mengingat orang yang
pernah kau tolong di Sindang Da-rah dulu...?" tanya Wanti
Sarati sambil memandangi pemuda itu dengan rasa haru
bercampur kagum.
Tentu... tentu aku mengingatmu, tetapi aku tiada
pernah menyangka kalau engkau sudah sebesar ini...!" ka-
ta pemuda itu seraya merangkul gadis itu sambil mencium
rambutnya dengan lembut. Sesaat lamanya mereka saling
berpelukan melepas rindu. Dalam hati Wanti Sarati mera-
sa sangat bersyukur karena pemuda yang selalu dirindu-
kannya itu masih tetap mengingatnya.
Tetapi begitu teringat kepada Mambang Sadewa,
kedua orang itu sama-sama saling melepas rangkulannya.
Begitu mereka menoleh, Mambang Sadewa sudah nampak
diam tiada berkutik.
"Dia telah pergi, Paman...!" kata Wanti Sarati sedih.
"Kita relakan kepergiannya, mungkin satu purnama
mendatang aku pun akan pergi meninggalkan dunia ini...!"
kata Buang Sengketa sambil menyeringai menahan sakit.
Bukan main terkejutnya di hati Wanti Sarati.
"Mengapa paman berkata begitu...?"
"Manusia iblis. itu telah memukulku dengan puku-
lan beracun yang sangat ganas dan sangat sulit pula dicari
obatnya....!"
"Paman jangan pergi aku selalu merindukanmu!"
kata Wanti Sarati kembali memeluk pendekar itu.
"Jangan bersedih, Nduk, satu purnama masih san-
gat panjang. Ada baiknya kalau kita urus mayat Mambang
Sadewa.
"Baiklah, Paman" kata Wanti Sarati sambil meman-
dang sendu pada Pendekar Hina Kelana.
Tanpa buang-buang waktu lagi dengan dibantu
oleh Wanti Sarati maka pekerjaan menguburkan mayat
Mambang Sadewa cepat selesai.
Setelah segala sesuatunya dirasa beres, kedua
orang itu nampak saling pandang. Lalu dengan memapah
tubuh pendekar yang selalu dirindukannya itu. Mereka
bergerak meninggalkan Kayu Agung, Saat itu pun hari sudah menjelang senja.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar