..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 28 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE SEPASANG IBLIS BERMATA DEWA

Sepasang Iblis Bermata Dewa

 

SEPASANG IBLIS BERMATA DEWA

Oleh D. Affandi

Cetakan Pertama

Penerbit Mutiara, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 011 :

Sepasang Iblis Bermata Dewa


SATU


Bila pemuda itu duduk di tepian pantai itu, dan 

manakala sepasang matanya yang selalu mencorong seta-

jam mata elang, memandang ke samudra nan luas. Ra-

sanya dia ingin menyatu di dalamnya, bergulung bersama 

deburan ombak, berayun di atas alun dalam semilir hem-

busan angin yang hangat. Ah. Betapa saat itu rasa-

rasanya sang waktu berlalu begitu cepat, padahal saat itu 

begitu indah. 

Kini dia berada di salah sebuah tanjung juga, Tan-

jung. Kait namanya. Dan semua itu mengingatkan dia 

akan sebuah masa lalu. Saat di mana dia dalam asuhan si 

Kakek Super Sakti Gurunya yang tua, bahkan orang yang 

paling sangat mencintai dirinya. Siapa lagi kalau bukan Si 

Bangkotan Koreng Seribu, Tanjung Api di sana dia ter-

buang dan dibesarkan, di tempat itu pula gurunya pernah 

dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Mendidik 

dirinya dengan berbagai jurus-jurus silat dan ilmu sakti 

yang tiada landing. Tanjung Api, yang terletak di pantai 

sebelah Barat Nusantara, dengan batu-batu karangnya 

yang tajam, di sela-sela deburan ombaknya yang selalu 

menggila. Di sanalah dia pernah menyatu dengan suasana 

laut yang maha ganas namun memberinya kehidupan.

Kakek Bangkotan Koreng Seribu, ah. Sudah lebih 

dari sepuluh tahun pemuda berkuncir dan berwajah san-

gat tampan itu tak pernah menyambanginya. Bagaimana-

kah keadaannya, masih hidupkah dia. Pertanyaan-

pertanyaan itulah yang selama ini membuat galau di ha


tinya. Di hatinya sering menyesak rindu, bahkan sering 

timbul pula rasa tak tega untuk meninggalkannya. Tetapi 

semua itu sudah menjadi kehendak dan merupakan perin-

tah gurunya sendiri, pemuda yang selalu menyandang se-

buah periuk besar ke mana pun dia pergi. Mana pernah 

berani kembali ke Tanjung Api. Pula usahanya untuk 

mencari tempat di mana ayahnya berada belum pernah ke-

temu sampai saat itu. Raja Ular Piton Utara, itulah aya-

handanya, sungguh pun hanya seekor ular dan berasal 

dari alam kedua. Tetapi itulah ayahnya. Orang yang mem-

buat dirinya terlahir ke dunia ini. Ayahanda nya yang be-

rasal dari sebuah negeri yang tak dapat dilihat oleh kasat 

mata, kini mengasingkan diri di sebuah lautan yang maha 

luas lagi dalam. Samudra begitu luas, ke mana dia harus 

mencari?

Dia merasakan betapa hidup ini sunyi, dalam se-

panjang petualangan yang dia lalui. Hanya kekerasan dan 

kekejaman yang dia temui. Satu pihak ingin menguasai 

pihak lain. Golongan besar berkuasa di atas sekelompok 

kecil. Benar dan salah hanyalah merupakan sebuah bata-

san setebal kulit ari. Nilai kemanusiaan merupakan se-

buah keberadaban yang tersamar. Ah mengapa dia memi-

kirkan sampai sejauh itu? Tolol betul. Bukankah dia sen-

diri baru saja kehilangan, dan selamanya pernah kehilan-

gan orang-orang yang dia cintai seperti Sri Pamuja. Gadis 

yang untuk pertama kalinya pernah dia cinta. Dia juga te-

lah meninggalkannya. Tewas di tangan si Jubah Hitam. 

(Untuk lebih jelasnya siapa Sri Pamuja yang sangat cantik 

itu, anda dipersilahkan mengikuti judul Neraka Gunung 

Dieng). Dalam pada itu, tiba-tiba si pemuda tampan yang


tak lain Buang Sengketa atau si Pendekar Hina Kelana 

adanya, nampak tepuk-tepuk keningnya.

Untuk yang kesekian kalinya, dipandanginya ham-

paran laut yang begitu luas. Tetapi sesaat kemudian per-

hatiannya menjadi terpecah manakala pendengarannya 

yang tajam itu mendengar langkah-langkah tapak kaki 

mendekat ke arahnya. Sekejap pemuda itu menoleh, maka 

tampaklah olehnya seorang laki-laki berbadan tinggi ke-

kar, berpakaian rompi warna merah. Tegak bagaikan area 

berjarak beberapa meter saja di belakangnya. Laki-laki be-

rompi merah itu memandang pada Buang Sengketa tiada 

berkedip sedikitpun juga. Dari sepasang matanya yang 

memerah saga. Terasa ada yang sesuatu, yang membuat 

dada pendekar itu berdebar. keras. Pembuluh darah me-

remang, kenyataan ini benar-benar mengejutkan hati Pen-

dekar Hina Kelana. Tiada kata yang terucap dari bibirnya 

yang tertutup. kumis kecoklatan. Hanya jenggotnya saja

yang nampak bergerak-gerak manakala mulutnya berko-

mat kamit. Ada beberapa keadaan yang mengundang tan-

da tanya di hati si pemuda. Karena pada kenyataannya la-

ki-laki berompi merah ini tidak memiliki kedua tangan, 

sementara itu rambutnya yang sudah memutih nampak 

dibiarkan tumbuh memanjang. Tentang siapa adanya to-

koh ini, kalangan persilatan mengenalnya sebagai salah, 

seorang dari Sepasang Iblis Bermata Malaikat. Selama pu-

luhan tahun pekerjaan laki-laki berompi merah ini hanya 

mengembara mengikuti kehendak kaki ke mana pun ingin 

melangkah. Konon setelah dia berpisah dengan istrinya 

yang juga merupakan lawan yang membuat dirinya seng-

sara. Dia sudah cuci tangan dari segala macam urusan


dunia persilatan. Apalagi kini dia sudah kehilangan kedua

tangannya, yang semua itu dilakukan oleh bekas istrinya. 

Dia merasa sangat kehilangan muka di depan tokoh persi-

latan dari semua golongan, pada saat itu. Pihak istri atau 

yang dikenal sebagai Pri Kumala Dewi itu, kini benar-

benar sebagai tokoh sesat kelas satu. Sungguh pun begitu, 

tiada sedikit pun berkurang semangatnya untuk menya-

darkan bekas istrinya tersebut. Tiada rasa jera, sungguh 

pun kedua tangannya pernah dibuntungi oleh Pri Kumala 

Dewi.

Pada saat itu, laki-laki berompi merah atau yang 

lebih dikenal sebagai Mambang Sadewa. Lama setelah 

memandang pada si pemuda beberapa saat kemudian se-

gera berkata:

"Pemuda aneh! Pembawa periuk dan berpakaian 

sepertiku...! Ah, agaknya engkau keturunan orang sint-

ing...!" Kemudian setelah tak ada tanggapan dari si pemu-

da, maka laki-laki yang terkutung kedua tangannya ini 

pun kembali bergumam, seperti pada dirinya sendiri. 

"Di mana-mana, mataku yang sudah lamur ini mir-

ing melihat orang-orang yang aneh. Perempuan-

perempuan berdandan laki-laki, bayi merah terbuang tan-

pa tahu siapa bapaknya. Orang tua itu terlunta-lunta me-

rana. Apa arti nya hidup kalau cuma menumpuk dosa? 

Apakah aku masih pantas untuk hidup?"

"Sambil berkata begitu, si laki-laki bertangan bun-

tung itu menoleh pada Buang .Sengketa. Sudah barang 

tentu pemuda itu nampak sangat terkejut, apalagi kata-

kata yang sesungguhnya membutuhkan perenungan itu 

seolah-olah ditujukan buat dirinya.


"Apakah aku masih pantas untuk hidup, hai orang 

tuli...?" ulangnya setelah Buang Sengketa hanya terdiam 

saja.

"Maaf, orang tua, aku tak tahu bagaimana harus 

menjawabnya!" kata si pemuda berusaha jujur. 

"Mengapa engkau sampai tak tahu!" bentak si laki-

laki berompi, tiba-tiba menjadi marah.

"Aku tak tahu karena aku sendiri pun tak bisa me-

nilai apakah diriku ini pantas hidup atau tidak? Tetapi 

menurut aku yang bodoh ini sesuatu yang dihidupkan 

pasti memiliki arti, jangankan manusia, semut pun kebe-

radaannya di atas dunia pasti mempunyai arti. Setidak-

tidaknya untuk dirinya sendiri!” kata Pendekar. Hina Kela-

na seadanya.

Nampaknya si laki-laki bertangan buntung atau 

Mambang Sadewa itu tiada terpengaruh dengan ucapan-

nya. Masih dengan penasaran dia bertanya lagi.

"Mengapa segala semut kau bawa-bawa. Aku tanya 

padamu, apakah aku yang sudah kehilangan segala-

galanya ini masih pantas hidup atau tidak...?" bentaknya 

sangat jengkel sekali. Memerah wajah Buang Sengketa be-

gitu mendengar pertanyaan yang sesungguhnya sangat 

konyol itu. Tetapi sungguh pun hatinya sangat dongkol se-

kali, namun dia masih berusaha untuk bersabar.

"Orang tua, sekali lagi maafkan aku! Aku bukan 

seorang dewa, dan bukan pula seorang ahli agama. Untuk 

semua pertanyaanmu itu, ada baiknya kalau engkau me-

nanyakannya pada seorang ahlinya!"


"Aku tak pernah bilang kalau bocah gembel seper-

timu ahli agama. Tampangmu yang dekil membuatmu le-

bih pantas menjadi seorang ketua partai gembel!"

Mendengar kata-kata yang begitu menghina, hilan-

glah kesabaran yang dimiliki oleh si pendekar ini. Dia be-

rusaha bangkit, dengan bermaksud untuk memaki Mam-

bang Sadewa. Namun alangkah terkejutnya pemuda ini, 

karena dia merasakan ada kekuatan raksasa yang mene-

kan tubuhnya sehingga merasakan tubuhnya sangat sulit 

untuk digerakkan.

Buang Sengketa menoleh pada si Mambang Sade-

wa. Pendekar Dari Negeri Bunian itu nampak geram bukan 

main. Merasa dipermainkan seperti itu, sebaliknya Mam-

bang Sadewa malah tertawa tergelak-gelak. 

"Bocah, kalau kau mau bangun dari tempat du-

dukmu silahkan saja. Mengapa harus sungkan-sungkan?" 

kata si laki-laki berompi setengah mengejek.

Si pemuda panas hatinya, sedapatnya dia berusaha 

bangkit. Tetapi sia-sia belaka. Semakin dia mencoba, maka 

semakin besar tenaga raksasa itu menekan tubuhnya. Tak 

lama kemudian secara perlahan tubuh pemuda itu pun 

sedikit demi sedikit mulai amblas ke dalam pasir di pinggi-

ran pantai itu. Sedapat mungkin pendekar ini berusaha 

mempertahankan diri dengan mengerahkan sepertiga dari 

tenaga dalam yang dimilikinya. Alangkah terkejutnya pe-

muda ini, karena sungguh pun dia sudah mengerahkan 

sebagian besar kekuatannya, namun tetap saja tubuhnya 

secara perlahan-lahan terus amblas ke bumi.

"Kakek tua bertangan buntung ini memiliki kesak-

tian yang tidak terukur kehebatannya. Apa maksudnya


memperlakukan diriku seperti ini, juga masih belum kuke-

tahui. Tetapi siapa pun, adanya orang tua aneh ini, masa-

kan aku harus tinggal diam mendapat perlakuan seperti 

ini?" batin pemuda itu. "Tidak. Aku tidak ingin bersikap 

lemah dalam menghadapi kekasaran orang lain." Mengin-

gat sampai sebegitu jauh, tiba-tiba Pendekar Hina Kelana 

kerahkan tenaga dalamnya, dia bermaksud bersiap-siap 

dengan Ajian Pemenggal Roh untuk membubarkan kon-

sentrasi lawan. Sesaat badan Buang nampak menggigil 

bagai orang yang terserang demam malaria. Kedua mata 

terpejam, sementara keringat mulai menetes membasahi

pakaiannya. Hanya sedetik setelahnya, tanpa disangka-

sangka oleh Mambang Sadewa. Satu lengkingan keras dari 

jeritan Ilmu Pemenggal Roh pun menggelegar bagai hendak 

meruntuhkan gendang-gendang, telinga. Sungguh besar 

sekali pengaruhnya pada keadaan di sekelilingnya. Bebe-

rapa ekor bangau laut yang kebetulan berada tak begitu 

jauh dari tempat itu nampak menggelepar mati. Bumi se-

rasa bagai dilanda badai topan prahara. Laki-laki cacat 

tangan itu nampak terkejut sekali demi menyaksikan keja-

dian yang sama sekali tiada pernah dia duga itu. Tubuh-

nya nampak tergetar sesaat saja, sementara pembuluh da-

rahnya pun hanya meremang pula. Andai saja dia bukan-

lah seorang tokoh yang sangat sakti, pada saat itu sudah 

barang tentu jiwanya pasti melayang. Sebab seperti dike-

tahui, selama ini belum ada seorang pun di empat penjuru 

mata angin yang mampu bertahan hidup menghadapi pe-

kikan menggeledek dari ilmu langka yang dimiliki oleh 

Pendekar Hina Kelana.



Kalau kini ada seorang laki-laki memiliki mata se-

merah saga dapat bertahan hidup dari serangan yang am-

puh itu, Sudah barang tentu membuat pemuda ini menjadi 

terkagum-kagum.

Hanya dalam waktu seketika saja si kakek bertam-

pang angker ini nampak terperangah, sejurus kemudian 

dia sudah tergelak-gelak.

"Bocah pentil! Ilmu lengkingan monyet hutan saja 

kau pamerkan padaku, sekali pun kau menjerit bagai 

orang gila mana ada pengaruhnya padaku...!" kata Mam-

bang Sadewa di sela-sela tawanya.

Si pemuda kesal bukan main, terlebih-lebih dalam 

keadaan bicara seperti itu, laki-laki bertangan buntung 

tersebut tidak juga melepaskan tekanan jarak jauhnya. 

Sehingga membuat tubuh Buang Sengketa semakin lama 

semakin terbenam bertambah dalam.

"Orang tua, sejauh ini aku masih bisa mengalah 

padamu. Tetapi engkau telah memperlakukan aku seperti 

ini, apakah salahku?”

Mambang Sadewa mendengus seketika sepasang 

matanya yang selalu memerah ini melirik pada Pendekar 

Hina Kelana. Agaknya dia merasa kurang begitu yakin ka-

lau pemuda itu bukan salah seorang dari yang dia curigai.

"Bocah, sungguh pun engkau orang yang memiliki 

ilmu sakti tiada tanding. Namun kalau engkau utusan dari 

Kayu Agung, aku tak kan berpangku tangan...!"

Mendengar kata-kata si kakek bertangan buntung 

maka tahulah Buang Sengketa kiranya kakek cacat itu se-

dang menaruh dendam pada seseorang. Atau mungkinkah 

orang itu bekas istrinya, keluarganya atau...!


Buang Sengketa belum habis mereka-reka, Mam-

bang Sadewa sudah bicara lagi:

"Cepat kau katakan apakah kau murid-muridnya 

Pri Kumala Hijau, atau bahkan muridnya si Iblis Joma?" 

bentak Mambang Sadewa. Pendekar Hina Kelana geleng-

kan kepalanya berulang-ulang.

"Aku tak kenal dengan orang-orang yang anda se-

butkan tadi...!" bentaknya tegas. Tetapi nampaknya Mam-

bang Sadewa masih belum juga percaya dengan apa yang 

dikatakan oleh si pemuda.

"Bohong...!" tukas laki-laki cacat itu geram.

* * *


DUA



"Aku tidak berbohong, orang tua...!" bantah Pende-

kar Hina Kelana merasa sangat tersinggung sekali,

"Kurang ajar, jangan kau kelabuhi aku lagi! Dulu 

mereka juga berkata begitu. Tetapi setelah mereka menda-

pat apa yang mereka inginkan dariku. Bangsat itu men-

campakkan aku bagaikan sampah, bahkan iblis dan setan-

setan itu telah membuntungi kedua tanganku pula." jerit-

nya histeris. Dalam pada itu dia kembali memandang pada 

Pendekar Hina Kelana. Sesaat setelahnya dia pun sudah 

membentak,

"Bocah, kalau kau tidak mau mengaku, maka aku 

akan membunuhmu...!" tukasnya penuh ancaman.


"Aku tak mengerti apa yang engkau katakan itu, 

untuk apa aku berbohong!" bantahnya kesal sekali.

Kerut merut di wajah si Mambang Sadewa semakin 

bertambah banyak manakala dia mendengar jawaban Pen-

dekar Hina Kelana. Sesungguhnya sepintas lalu dia dapat 

melihat kejujuran hati pemuda itu, tetapi sikapnya yang 

selalu menaruh curiga terhadap orang lain membuat dia. 

merasa kurang percaya dengan pengakuan pemuda itu. 

Mungkin hanya ada satu cara untuk membuktikan bahwa 

pemuda itu murid seorang musuhnya. Adapun cara terse-

but adalah dengan mengenali jurus-jurus yang. dimain-

kannya.

Teringat sampai ke situ, laki-laki bertangan bun-

tung itu kembali menyela dengan ucapan sedikit lunak.

"Bocah! Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja, 

aku baru percaya dengan pengakuanmu andai kita sudah 

melakukan pertarungan yang sangat menyenangkan" kata 

laki-laki berjenggot dan berkumis kelabu itu dengan se-

sungging senyum penuh arti.

"Maaf orang tua. Aku tak memiliki kepandaian apa-

apa, Pula aku bukanlah tukang jago berkelahi”.

"Jadi kau tak mau menuruti keinginanku?” tanya si 

Mambang Sadewa tampak sangat gusar sekali. Buang 

Sengketa kembali gelengkan kepalanya.

"Sial! Engkau benar-benar menolak bertarung den-

ganku...?" katanya sambil pelototkan mukanya.

"Betul, karena aku merasa tak pernah mempunyai

persoalan denganmu, bertemu pun kita baru kali ini...!"


Semakin bertambah beranglah kakek bertangan 

buntung itu dibuatnya. Tak ampun lagi dalam kemara-

hannya yang berkobar-kobar itu dia pun berteriak:

"Bocah... mau tidak mau. Suka tidak suka... eng-

kau harus bertarung denganku. Jika tidak, jangan salah-

kan aku kalau dengan sangat terpaksa aku harus mem-

bunuhmu...!"

Terkesiaplah darah pendekar dari Negeri Bunian ini 

demi mendengar keputusan Mambang Sadewa. Sebab 

seandainya hal itu benar-benar terjadi dia tak habis men-

gerti bagaimana caranya laki-laki tua berbadan kekar itu 

menghindari serangan-serangannya. Kalau pun mungkin 

sudah barang tentu pendekar ini tak berani bahkan tak 

tega untuk melakukannya. Akhirnya dia pun telah tetap 

dengan pendiriannya.

"Orang tua yang mulia. Sungguh pun engkau me-

misahkan kepala dari badanku tidak nantinya. aku me-

layani keinginanmu yang gila-gilaan itu...!"

"Hemm… Agaknya aku harus membongkar ketolo-

lanmu itu...!"

Setelah. berkata begitu, tanpa diduga-duga Mam-

bang Sadewa atau yang dulunya dikenal sebagai Sepasang 

Iblis Bermata Dewa, langsung menjejakkan kakinya. Da-

lam sekejap itu, Buang Sengketa merasa dirinya telah ter-

bebas dari pengaruh tenaga dalam lawan yang menghimpit 

pundaknya. Dan pada saat yang bersamaan tubuh Mam-

bang Sadewa sudah bergerak dengan sangat cepat sekali.

Buang sempat dibuat terbelalak tak percaya, ma-

nakala dia melihat bahwa kakek berjenggot kecoklatan 

yang tiada memiliki kedua tangan, nampak melakukan


serangan-serangan gencar dengan kedua kakinya. Sung-

guh pun begitu, andai Pendekar Hina Kelana tidak cepat-

cepat berkelit dan menghindari terjangan-terjangan dari 

sepasang kakinya, sudah barang tentu pendekar ini men-

dapat nasib yang sangat mengenaskan. Bukan sampai di 

situ saja, beberapa saat berikutnya manakala rambut 

Mambang Sadewa secara tiba-tiba melecut kearah pende-

kar itu! Anehnya lagi rambut Mambang Sadewa yang ter-

gerai panjang itu sewaktu-waktu dapat melentur sebagai-

mana lazimnya dapat melentur. Namun di saat yang lain 

rambutnya yang panjang itu dapat berubah menjadi san-

gat kaku tak ubahnya bagaikan kawat baja.

Hal itu jelas-jelas di luar perhitungan Pendekar Hi-

na Kelana, dan yang pasti serangan rambut yang sekeras 

kawat baja dan datang secara tiba-tiba itu membuat si 

pemuda berperiuk semakin bertambah kerepotan. Beru-

lang-ulang libasan-libasan rambut Mambang Sadewa yang 

dapat melemas dan mengejang hampir saja menusuk bah-

kan melibat tangan dan tubuhnya. Buang Sengketa cepat-

cepat menghindar, lalu dengan mempergunakan jurus 

Membendung Gelombang Menimba Samudra, maka tu-

buhnya sekejap saja telah berkelebat lenyap. Tangan ber-

putar bagai sebuah baling-baling. Semakin lama semakin 

bertambah cepat hingga pada kenyataannya hanya meru-

pakan bayang-bayang saja.

Sungguh pun Mambang Sadewa sudah mengetahui 

bahwa pemuda yang dihadapinya itu jelas-jelas bukan mu-

rid musuhnya. Tetapi dia «masih merasa sangat penasaran 

sekali, mengingat jurus silat yang dimainkan oleh si pe-

muda benar-benar masih terasa sangat asing dimata


Mambang Sadewa. Bahkan dia pun merasakan sendiri, se-

bab pertarungan yang telah berlangsung puluhan jurus itu 

masih belum juga memberi tanda-tanda bahwa dirinya da-

pat mendesak atau pun memukul pemuda berkuncir yang 

menjadi lawannya.

Padahal menurutnya jurus-jurus silat yang dimain-

kan oleh si pemuda sangat sederhana .sekali, tidak ada 

yang sangat istimewa. Tetapi yang membuat dia melaku-

kan serangan-serangan gencar. Baik kedua kaki yang dia 

pergunakan untuk menyerang maupun kibasan-kibasan 

rambutnya, terasa selalu saja bagai membentur batu ka-

rang.

Rasa penasaran berbaur menjadi satu, sehingga 

tanpa terbendung lagi beberapa jurus di depan dia pun 

mulai mengumbar serangan-serangan yang sangat gencar 

sekali. Bahkan ternyata kemudian tanpa sungkan-

sungkan lagi,. dia pun melancarkan pukulan-pukulan ja-

rak jauhnya. Satu hal yang membuat Buang Sengketa 

nampak terbelalak tak percaya. Adalah karena pukulan

yang berupa lesatan cahaya maut itu bersumber pada ke-

dua matanya Hal ini bagi Pendekar Hina Kelana merupa-

kan sebuah pengalaman yang sangat langka. Mungkin ca-

haya maut yang bersumber dari kedua matanya itulah 

yang membuat dirinya selalu disebut-sebut sebagai salah 

seorang dari Sepasang Iblis Bermata Dewa. Hemm.. sangat

mengagumkan..Batin si pemuda!

Pada gebrakan selanjutnya maka dia pun sudah ke-

luarkan pukulan Empat Anasir Kehidupan. Tak ter-

bayangkan ketika selarik gelombang ultra violet itu mende-

ru dari kedua tangan pendekar ini. Sinar maut berhawa


sangat panas itu terus melesat sedemikian cepat mengarah 

pada laki-laki tua berambut coklat. Saat yang sama pula 

satu gelombang berwarna merah kebiru-biruan tak kalah 

cepatnya memapaki datangnya sinar panas yang telah be-

gitu dekat sekali dengan laki-laki bekas penghuni pagar 

dewa.

Sinar merah kebiruan yang keluar dari sepasang 

mata laki-laki itu bagaikan tiada terputus-putus, datang 

saling sambung menyambung, Tak terelakkan lagi bentu-

ran keras pun terjadi.

"Bumm...!"

Buang Sengketa terpental, tubuhnya terus bergul-

ing-guling di atas pasir putih. Dia merasakan pukulan 

yang dilepaskannya membalik, bukan hawa panas saja 

yang menyerang dirinya, tetapi juga hawa dingin yang di-

lepaskan oleh si laki-laki bertangan buntung. Yaitu sebuah 

pukulan yang diberi nama Dewa Kayangan Membasmi 

Durjana, juga turut menyertainya. Hawa dingin yang ber-

campur dengan hawa panas membuat tubuh Buang Seng-

keta menggigil bagai terserang penyakit malaria. Pemuda 

itu merasakan dada sesak luar biasa, sesaat dia terbatuk, 

kemudian menggelogoklah darah merah kehitam-hitaman 

yang sudah sangat kental. Dengan sorot mata nanar pe-

muda itu memandang pada Mambang Sadewa. Laki-laki 

yang tidak mempunyai kedua tangan itu, masih tetap ber-

diri tegak di tempatnya. Tetapi kini sorot matanya yang ta-

di nampak merah membara itu meredup. Seolah cahaya 

semerah bara yang tadinya memancar dari padanya sudah 

padam. Buang Sengketa tiada memperdulikan laki-laki itu 

lagi. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya, terasa


ada hawa hangat yang mengalir dari pusat perutnya. Hawa 

hangat itu secara perlahan menyerap ke seluruh tubuh-

nya. Sekejap kemudian dadanya yang terasa sesak luar. 

biasa itu pun mulai terasa agak berkurang. Lalu wajahnya 

yang pucat bagaikan kain kafan kini sudah kembali beru-

bah kemerah-merahan,

Tak lama kemudian dia pun telah tegak berdiri 

kembali, maka semakin bertambah heran manakala dia 

melihat wajah Mambang, Sadewa kini malah, tertunduk. 

Tanpa menghiraukan sikap laki-laki tersebut, Buang 

membentak. 

"Orang tua! Mengapa anda membatalkan serangan? 

Bukankah engkau menghendaki nyawaku...?" 

Mambang Sadewa tersenyum tetapi hatinya menje-

rit sedih.

"Urusan nyawa, bukan wewenangku“ ujarnya sam-

bil memandang hampa.

“Tetapi bukankah engkau tadi sudah turunkan pu-

kulan maut yang hampir saja merenggut nyawaku...?"

"Maafkan aku. Terkadang hidupku yang sudah 

hancur lebur karena ulahnya, membuatku selalu mencuri-

gai setiap orang. Akh, aku memang orang yang paling tolol 

di kolong langit ini. Aku hampir saja membuatmu celaka. 

Sering pula orang-orang yang tiada berdosa sepertimu, 

hampir saja mati di tanganku. Orang muda... katakanlah 

padaku apa. yang harus kuperbuat agar aku tidak terus., 

terseret dalam api dendam.,.!"

Dasar orang tolol, mana aku tahu apa yang harus 

kau perbuat. Kenal pun baru hari ini, Batin si pemuda.


Sungguh pun begitu, dia hanya mampu garuk-

garuk kepala saja.

"Orang tua, siapakah. anda ini yang sesungguh-

nya? Siapa pula yang menjadi musuhmu itu...?” tanya 

Pendekar Hina Kelana kemudian.

"Namaku Mambang Sadewa. Dulu pada jaman yang 

memuakkan itu kaum persilatan mengenal kami sebagai 

Sepasang Iblis Bermata Dewa” Ucapnya lirih, lalu dengan 

wajah tertunduk dia menyambung, “Semua itu cuma ting-

gal cerita lama yang akhirnya menyeretku kedalam ke-

sengsaraan”

Pendekar Hina Kelana angguk-anggukkan, kepala

sungguh pun dia tidak mengerti secara keseluruhan apa 

yang dikatakan oleh Mambang Sadewa.

"Dan engkau siapakah?"

"Aku cuma seorang pengelana. Namaku Buang 

Sengketa!" ujar pemuda itu seadanya. Mambang Sadewa 

kerutkan alisnya yang kecoklatan itu, sungguh baru kali 

ini dia mendengar nama yang seaneh itu. Tetapi dari per-

tarungan yang memang sengaja diperbuatnya tadi dia tahu 

kalau pemuda berwajah tampan itu memiliki kepandaian 

tinggi, atau bahkan lebih tinggi dari yang diduganya.

"Buang Sengketa! Sebuah nama yang sangat asing 

bagiku, tetapi aku tahu engkau merupakan seorang pe-

muda yang berilmu sangat tinggi. Siapakah gurumu?" se-

lanya nampak sangat penasaran sekali.

"Anda terlalu berlebihan, ilmu silatku yang hanya 

picisan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan 

kesaktian yang kau miliki...!" "


Sudah barang tentu Mambang Sadewa mengerti ka-

lau ucapan si pemuda hanyalah karena maksud merendah 

saja. Semakin tahulah dia bahwa pemuda yang Berdiri te-

gak di hadapannya itu sesungguhnya seorang pemuda 

yang rendah hati. "

"Buang! Janganlah engkau berkata seperti itu. Aku 

tahu telah berbuat salah padamu, Tapi percayalah aku ti-

dak bermaksud untuk mencelakakanmu!" kata Mambang 

Sadewa setengah memohon. 

Pendekar Hina Kelana kembali garuk-garuk kepa-

lanya yang tak gatal! Dari sorot mata Mambang Sadewa 

yang redup dan sayu, dia menyadari ada sesuatu yang 

bakal diharapkan oleh laki-laki itu darinya.

"Kakek Mambang!" ucapnya dengan nada bersaha-

bat. "Sesungguhnya aku paling segan membawa-bawa na-

ma guruku, selain itu dia sangat marah bila sampai na-

manya disebut-sebut dalam pengembaraanku."

"Orang muda. Dari jurus-jurus silat yang engkau 

mainkan, rasanya aku pernah melihat jurus-jurus itu per-

nah pula dimainkan oleh bekas sahabatku. Tetapi kini 

otakku yang sudah tumpul dan bebal ini sudah lupa siapa 

dia...!" 

"Baiklah dengan tidak mengagungkan nama be-

sarnya, sesungguhnya guruku bernama si Bangkotan Ko-

reng Seribu...!" jawab si pemuda hampir-hampir tak ter-

dengar.

* * *


TIGA


Maka tak ayal lagi begitu Buang Sengketa. menye-

but nama si Bangkotan Koreng Seribu, maka tubuh Mam-

bang Sadewa yang tiada memiliki kedua tangan nampak 

terlonjak bagai disengat puluhan ekor lebah. Kedua ma-

tanya yang meredup kini terbelalak bagai hendak meloncat 

keluar.

Serta merta laki-laki tua berbadan kekar ini berte-

riak-teriak kegirangan. Bahkan dalam luapan kegembi-

raannya dia sampai menari-nari. Pendekar Hina Kelana

hanya tersenyum dikulum. Sambil berkata dalam hati: 

"Dasar kakek edan berotak sinting!"

Sesaat setelah luapan kegembiraannya itu, Mam-

bang. Sadewa nampak menjeplak di atas tanah. Kemudian 

bagai anak kecil dia meratap bahkan menangis. Dengan 

suara memelas sekali,

"Orang tua yang mulia Si Bangkotan Koreng Seribu! 

Oh, kaum persilatan yang mana yang tak kenal dengan 

cambuk Gelap Sayuto, Empat Anasir Kehidupan. Hh, be-

tapa aku tadi telah melihat. Mataku buta, mengapa aku 

seperti ini, melihat tapi tak tampak apa-apa!" Mambang 

Sadewa menggerang.

"Kakek Mambang Sadewa, mengapa kau bertingkah 

seperti itu...?" tanya Buang Sengketa dalam kebimbangan.

"Mengapa aku seperti ini, oh, angger betapa engkau 

tak mengerti bahwa kakek yang menjadi gurumu itu sebe-

narnya orang yang. paling aku hormati, tujuh puluh tahun 

yang lalu ketika aku masih berumur lima belas tahun, be


tapa aku ingin menjadi muridnya. Tetapi kakek sakti itu 

tak pernah mengangkat seorang murid pun, mungkin se-

mua itu karena kebengalan sikapku...!"

"Kebengalan bagaimana, kakek?"

Sambil menengadahkan wajahnya Mambang Sade-

wa berucap!

"Masih kecil aku menjadi raja maling. Keonaran 

kubuat di mana aku suka, ku sakiti orang-orang yang tak 

suka padaku... tetapi... tetapi setelah bertemu dengan ka-

kek itu, aku menjadi insyaf, jalan hidup sudah berubah 

sama sekali. Kemudian kuperistri seorang gadis jelita. Se-

mua kepandaian silat yang kami miliki kami abdikan un-

tuk orang banyak, saat itu..!"

Ucapan Mambang Sadewa, mendadak bagaikan 

tercekat di tenggorokan. Tanpa tahu apa sebabnya sesaat 

kemudian air matanya pun runtuh. Di sela-sela isak tan-

gisnya laki-laki bertangan buntung itu pun menyambung: 

"Saat itu kehidupan kami sangat bahagia sekali. 

Tapi hal itu hanya berlangsung hanya beberapa tahun. Te-

tapi tak lama setelah aku pergi memenuhi panggilan bekas 

guruku, kemudian ketika aku pulang kembali ke Pagar 

Dewa, rumahku hanya tinggal puing-puing belaka. Bebe-

rapa orang muridku menjadi bangkai yang sudah sangat 

sulit untuk kukenali. Sedangkan istriku Pri Kumala Hijau 

raib entah ke mana. Oh Dewata.,. semuanya telah hancur. 

Bertahun-tahun aku mengembara untuk mencari tahu 

kabar istriku. Tetapi setelah kujumpai, aku sangat kecewa 

sekali! Dia telah menjadi raja dari seluruh kaum sesat. 

Gurunya, yaitu orang yang telah merenggut istriku, se-

sungguhnya merupakan musuh keluargaku selama tujuh


turunan. Dialah yang telah membius istriku sehingga ber-

sedia menjadi muridnya, istrinya, bahkan seorang suru-

han yang paling setia. Aku tak pernah mampu mengajak 

dan menyadarkan istriku. Manusia setengah gila itu telah 

membuat kesadaran istriku menjadi hilang sama sekali. 

Dia kini telah menjadi manusia yang paling sesat di kolong 

jagat ini, Buang. Lihatlah tanganku ini...!" ucap Mambang 

Sadewa, seraya menunjukkan kedua tangannya yang bun-

tung sebatas pangkal lengan. Sesaat Buang Sengketa meli-

rik pada tangan yang terkutung itu. Memperhatikan tan-

gan Mambang Sadewa yang buntung, tiba-tiba si pemuda 

merasa sangat iba sekali.

"Tahukah kau siapa yang telah membuntun-

ginya...?" tanya laki-laki bermata redup itu seolah meng-

hendaki agar Buang Sengketa menjawabnya.

"Apakah Pri Kumala Hijau yang telah melakukan 

perbuatan biadab ini?" Mendapat jawaban yang seolah-

olah merupakan pertanyaan, Mambang Sadewa nampak 

berubah parasnya, Mendadak rahangnya yang bertonjolan 

nampak menegang, gigi-giginya memperdengarkan bunyi 

bergemeletukkan. Sorot matanya yang meredup tiba-tiba 

berubah memerah dan nampak liar. Dalam keadaan se-

perti itu, kiranya dendam yang mengendap di hati Mam-

bang Sadewa mendadak telah berkobar-kobar kembali. 

"Dugaanmu benar, Dialah yang telah melakukan-

nya, tetapi aku tak mampu membalasnya, sungguh keter-

laluan...!" Laki-laki itu mengeluh, kepalanya semakin ter-

tunduk.

Kasihan sekali keadaan orang ini. Padahal Mam-

bang Sadewa merupakan orang yang berilmu tinggi. Puku


lan-pukulan mautnya yang sewaktu-waktu dapat terlepas 

melalui sepasang matanya yang dapat berubah-ubah itu 

merupakan sebuah pukulan sakti yang belum pernah di-

miliki oleh golongan mana pun. Bahkan Buang Sengketa 

sendiri dapat merasakan betapa hebatnya pukulan terse-

but. Tetapi laki-laki itu masih juga dapat dipecundangi 

oleh Pri Kumala Hijau. Laki-laki bertangan buntung itu sa-

ja sudah sedemikian saktinya, lalu bagaimana pula kesak-

tian yang dimiliki oleh Pri Kumala Hijau, belum lagi gu-

runya?

"Orang tua! Setelah engkau tak mampu mengalah-

kan bekas istrimu itu, lalu apa lagi yang akan kau perbuat 

untuk selanjutnya...?"" Mata Mambang Sadewa nampak 

berkeriapan begitu mendengar pertanyaan yang sangat di-

nanti-nantinya itu. Dia tersenyum, walau sesungguhnya 

senyum itu hanyalah membiaskan sebuah keputusasaan. 

"Hampir tiga tahun aku selalu berdoa untuk dapat 

bertemu dengan kakek sakti yang kini kuketahui sebagai 

gurumu. Tetapi setelah kini bertemu denganmu, harapan-

ku untuk dapat menghentikan sepak terjang murid dan 

guru keparat itu kuletakkan di pundakmu. Mereka harus 

dihentikan, andai tidak...!"

"Jika tidak mengapa orang tua?" desak Pendekar 

Hina Kelana, ketika secara tiba-tiba Mambang Sadewa 

menghentikan ucapannya.

Yang ditanya nampak tercenung, sepasang ma-

tanya yang redup memandang hampa pada hamparan pa-

sir yang memutih di pantai.

"Jika tidak, dalam waktu lima tahun di muka, 

kaum persilatan golongan lurus akan musnah dari tanah


leluhur ini. Lebih dari itu teror berkepanjangan tak akan 

ada akhirnya...!;;"

"Menghadapi anda saja aku sudah hampir kojor! 

Bagaimana mungkin kau menaruh harapan itu padaku...?"

"Engkau tak perlu merendah dan merasa sungkan, 

seratus tahun yang lalu gurumu si Bangkotan Koreng Se-

ribu pernah membuat gempar di mana-mana. Aku berha-

rap engkau pun mampu mengikuti jejak gurumu...!" ka-

tanya penuh pengharapan. Sungguh pun Buang Sengketa 

merasa kurang senang dengan sanjungan sanjungan yang 

terasa sangat berlebihan. Tetapi untuk menolak dia tiada 

berani. Apalagi Mambang Sadewa pernah kenal dengan 

gurunya. Maka kemudian pemuda itu pun memutuskan! 

"Baiklah kalau hal itu memang kehendakmu, tetapi 

jangan kau berharap terlalu banyak andai nanti aku men-

gecewakanmu...!"

Mendengar keputusan Pendekar Hina Kelana, lega-

lah hati Mambang Sadewa, cepat-cepat laki-laki bertangan 

buntung itu menjura beberapa kali.

"Aku merasa sangat bahagia sekali, andai mati pun 

aku hari ini, aku sudah tidak penasaran lagi." Ucapnya 

tersenyum puas.

"Apa-apaan kau orang tua! Seharusnya akulah 

yang menghormat padamu,..!" berkata begitu Buang Seng-

keta melakukan hal yang sama. Tetapi begitu dia kembali 

pada keadaannya, Mambang Sadewa telah lenyap dari ha-

dapannya.

"Sialan! Aku sampai lupa menanyakan Kayu Agung 

itu adanya di mana." gerutunya dalam hati. Tak lama ke


mudian tanpa menoleh-noleh lagi dia pun cepat-cepat ber-

lalu dari pantai Tanjung Kait.

Dusun Embacang adalah merupakan sebuah desa 

yang tanahnya sangat subur, karena dusun tersebut terle-

tak di dataran rendah dan hampir tak pernah mengalami 

musim kemarau. Maka hampir semua penduduk yang 

berdiam di sekitar dusun itu hidup dari hasil bercocok ta-

nam. 

Sungguh pun daerah itu termasuk berpenduduk 

sangat pandai, namun sebetulnya yang memimpin desa 

tersebut sesungguhnya adalah seorang perempuan yang 

bernama Dwi Sumirah. Hampir sepuluh tahun lebih pe-

rempuan itu mengatur kehidupan masyarakat dusunnya. 

Selama itu Dusun Embacang terkenal sangat aman ten-

tram. Tak seorang pun mereka-mereka yang berasal dari 

luar daerah berani mengusik kehidupan penduduk, sebab 

kepala dusun mereka, yaitu Dwi Sumirah adalah bekas 

seorang tokoh persilatan yang dulunya sangat disegani 

baik oleh pihak kawan maupun lawan. Padahal saat itu 

Dwi Sumirah yang sangat cantik itu, sesungguhnya sudah 

berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Dalam umur yang 

sudah lebih dari setengah perjalanan hidup itu, dia masih 

tetap sendiri, belum pernah menikah apalagi punya anak. 

Konon semua itu ada pengaruhnya dengan ilmu sakti yang 

sangat diyakininya. Sungguh pun karena demi sebuah 

keyakinan dia harus mengorbankan masa depannya tetapi 

tampaknya dia. tidak pernah menyesali hal-hal yang telah 

dan akan terjadi Selama ini perhatian hidupnya selalu ter-

curah untuk? kepentingan masyarakat banyak. Tak heran

kalau semua penduduk menaruh hormat dan sayang pa


danya. Demikianlah kehidupan di nusa damai itu terus 

berlanjut tahun berganti tahun. Tetapi kini suasana kehi-

dupan di Dusun Embacang sudah agak berubah. Setiap 

orang bisa saja saling curiga mencurigai. Setiap malam 

penjagaan harus selalu diperketat. Tetapi saat-saat seperti 

itu pula, anak-anak perempuan penduduk tersebut hilang 

raib tak tentu rimbanya.

Hal ini sudah barang tentu membuat kecut hati 

penduduk, dan yang paling pusing memikirkan kejadian 

yang sangat aneh namun menyeramkan adalah Dwi Sumi-

rah. Yaitu orang yang paling bertanggung jawab atas kese-

lamatan penduduk Dusun Embacang. Sudah berhari-hari 

dia secara langsung ikut melakukan pengintaian, namun 

sampai sejauh itu masih belum ada tanda-tanda ditemu-

kan siapa adanya para pelaku penculikan perempuan-

perempuan tersebut.

Geram bercampur rasa penasaran berbaur menjadi 

satu, hingga Dwi Sumirah akhirnya memutuskan untuk 

melakukan pencarian. Dengan dibantu oleh beberapa pen-

duduk desa, pergilah Dwi Sumirah dan orang-orangnya 

menuju ke suatu tempat yang bernama Kayu Agung. Hu-

tan tersebut terletak sangat jauh dari Dusun Embacang, 

tetapi dengan menunggang kuda. Paling mereka akan sam-

pai ke sana sekitar dua atau tiga hari lagi.

Demikianlah setelah melakukan perjalanan seperti 

yang di rencanakan, tiga hari kemudian kelima orang ang-

gota rombongan kepala Dusun Embacang yang dipimpin 

langsung oleh Dwi Sumirah, sudah mulai memasuki wi-

layah Kayu Agung. Suasana di sekitar hutan bakau itu te-

rasa sunyi sepi, begitupun Dwi Sumirah menyadari bahwa


sesungguhnya daerah itu merupakan sebuah tempat ang-

ker dan tidak aman. Tak ayal lagi perempuan cantik pe-

mimpin dusun itupun segera memberi tanda-tanda pada 

anak buahnya.

"Tampaknya apa yang saudara-saudara laporkan 

padaku beberapa hari yang lalu, sudah mendekati kebena-

ran. Ada jejak-jejak manusia di sini!" ujar Dwi Sumirah, 

seraya memperhatikan bekas tapak-tapak kaki yang 

menghampar di atas tanah setengah berlumpur. Melihat 

bekas jejak-jejak tersebut, Dwi Sumirah dapat menyimpul-

kan bahwa mereka itu terdiri dari laki-laki perempuan. 

Mungkinkah di hutan yang sunyi itu ada penduduk yang 

bermukim di sana. Tetapi menurut keterangan, orang-

orang kepercayaan Dwi Sumirah, dalam melacak hilangnya 

gadis-gadis Dusun Embacang orang-orang kepercayaannya 

melihat beberapa orang yang melakukan penculikan itu 

lenyap di sekitar tempat ini. Dalam suasana seperti itu ti-

ba-tiba salah seorang diantara orang suruhan Dwi Sumi-

rah berseru. Hal itu sudah barang tentu membuat yang 

lainnya menjadi terkejut. Lalu tanpa buang-buang waktu 

lagi langsung memburu ke arah laki-laki yang sedang ber-

teriak-teriak itu.

"Ada apa Atmojo...?" tanya Dwi Sumirah terheran-

heran.

"Lihatlah Ketua Dwi... bukankah pakaian ini milik 

adikku, Canting...!" ucapnya dengan harap-harap cemas,

"Tidak salahkah apa yang kau lihat...?" tanya Dwi 

Sumirah sambil meneliti pakaian yang sudah dipenuhi 

dengan noda darah itu.


"Tidak, Ketua Dwi...! Beberapa hari yang lalu, aku 

melihat adikku berpakaian seperti ini, bahkan sebelum ti-

dur aku sempat melihatnya!" seru Atmojo merasa begitu 

yakin.

"Berarti telah terjadi sesuatu dengan adikmu!" ucap 

Dwi Sumirah merasa tak enak saja.

"Apa maksudmu Ketua Dwi?! Apakah adikku Cant-

ing sudah tak dapat diselamatkan lagi?" tanya Atmojo gu-

sar. Ditanya seperti itu Dwi Sumirah nampak menarik na-

pas pendek. 

* * *

EMPAT



Berdoalah kita untuk keselamatannya. Semoga saja 

dia dalam keadaan baik-baik saja!" 

"Tetapi pakaiannya ini, Ketua Dwi... pasti telah ter-

jadi sesuatu dengannya...!" ujar Atmojo nampak semakin 

bertambah gusar.

"Adikmu tidak sendirian, Atmojo...? Masih banyak 

penduduk dan gadis-gadis lain yang mengalami nasib sa-

ma seperti Canting adikmu. Atau mungkin bukan perem-

puan-perempuan di dusun kita saja yang mereka culik, 

desa lain mungkin pula menjadi korban. Sekarang kita su-

dah mendekati sarang mereka. Kalian tahu bahwa kita ha-

rus bertindak hati-hati.


"Mungkin kita hendak meluruk ke sarang mere-

ka"?" tanya seorang lainnya yang bernama Samino.

"Nampaknya sangat berbahaya sekali, Ketua 

Dwi...?" Anak buah Dwi Sumirah ikut menimpali.

Perempuan kepala dusun itu angguk-anggukkan 

kepalanya, dalam hatinya dia menduga bahwa siapapun 

adanya para penculik itu, yang pasti memiliki kepandaian 

yang sangat tinggi. Tetapi sesaat kemudian dia telah me-

mutuskan.

"Baiknya kita tinggalkan kuda kita di sini, hutan 

bakau yang sangat rapat ini tak mungkin dapat dilalui ku-

da-kuda kita...!"

Kemudian tanpa banyak membantah keempat 

orang anak buah Dwi Sumirah segera menambatkan kuda 

mereka.

Perjalanan dilanjutkan mereka lalui dengan hanya 

berjalan kaki saja, tetapi tak semudah apa yang dibayang-

kan oleh para anak buah Dwi Sumirah. Hutan bakau yang 

mereka lalui itu ternyata sangat rapat sekali, bahkan 

hampir-hampir tak bersela. Belum lagi menghadapi anca-

man ular-ular bakau yang berwarna hijau. Mana lagi jum-

lah mereka sangat banyak sekali. 

Keadaan itu membuat perjalanan yang mereka 

tempuh menjadi terasap sangat lambat. Melewati satu pa-

rit di depan, perjalanan yang mereka tempuh semakin ber-

tambah sulit saja. Apalagi sepanjang jalan yang mereka la-

lui, semuanya hanyalah terdiri dari tanah becek dan ber-

lumpur. Ini benar-benar membuat anak buah Dwi Sumi-

rah merasa sangat Capai. Masih untung keempat orang


anak buahnya di samping memiliki ilmu silat yang cukup 

tinggi, juga punya daya tahan yang sangat tinggi.

Masih dengan sikapnya, mereka terus melangkah-

kan kaki. Sementara di tangan mereka tergenggam senja-

tanya masing-masing. Kewaspadaan itu benar-benar harus

mereka perhatikan, demi menghindari terpatuknya ular 

bakau yang ganas dan mematikan.

Namun baru tombak di depan mereka mengayun-

kan langkah, mendadak Atmojo. Yang berada di bagian 

paling depan nampak terpekik. 

"Astaga naga belekan! Eeeeh, Ketua.... lihatlah ular-

ular itu!" pekiknya. 

Lalu Atmojo menunjuk satu tempat tidak begitu 

jauh di depan mereka. Maka tampaklah pemandangan 

yang sangat menjijikkan ratusan bahkan ribuan ular hijau 

melilit-lilit dan bergelantungan di sebuah dahan yang. 

sangat rendah. Tak dapat dibayangkan betapa ular yang 

saling melilit sesamanya, tak ubahnya. bagai sekumpulan 

cacing merah, yang sangat banyak.

"Hati-hatilah.... nampaknya ular-ular bakau itu ti-

dak menyukai kehadiran kita...!"

Kepala dusun Embacang itu mencoba mengin-

gatkan keempat anak buahnya.

"Ketua! Ular itu bubar dari kawannya... mereka 

bergerak ke arah kita! Bagaimana ini Ketua...?"

Mengetahui ular-ular bakau itu bergerak dari ka-

wanannya dan nampak meluruk ke arah mereka, Samino 

nampak lebih kecut lagi. Bahkan dia sampai tersurut be-

berapa tindak. Ular-ular bakau yang berwarna hijau itu te


rus mendesis-desis merangsek dan langsung menyerang 

kelima orang itu.

"Putar senjata kalian dan babat saja kepalanya...!" 

teriak Dwi Sumirah memberi perintah pada seluruh anggo-

tanya. Maka begitu mendengar aba-aba dari ketua mereka, 

keempat orang itu secara serentak menerjang maju. Lalu 

dalam sekejap saja tempat itu mendadak berubah menjadi 

gegap gempita. Darah ular-ular yang hanya sebesar jempol 

kaki itu mulai nampak tercecer di mana-mana. Masing-

masing orang sibuk berhadapan dengan ratusan kawanan 

ular, Sungguh pun kawanan ular bakau itu tidak seberapa 

besarnya, namun karena jumlahnya terlalu banyak dan 

bagai tak pernah habis-habisnya. Maka gebrakan-

gebrakan selanjutnya, anak buah Dwi Sumirah mulai ke-

hilangan banyak tenaga. Padahal kawanan ular bakau itu 

terus memburu mereka bagai tak pernah mengenal rasa 

jera.

"Ular-ular keparat...!" maki salah seorang di antara 

mereka sambil membabatkan pedangnya. Darah bersim-

bah di tanah becek berlumpur. Nampaknya serangan-

serangan ular bakau itu semakin bertambah ganas. Bau 

amis dan langu segera memenuhi sekitar tempat itu. Keti-

ka sesaat kemudian dua orang anak buah Dwi Sumirah 

menjerit dalam waktu hampir bersamaan. Pemimpin Du-

sun Embacang nampak sangat terkejut sekali, apalagi 

hanya dalam sekejap kemudian tubuh kedua kawan mere-

ka sudah berubah membiru dan langsung ambruk karena 

gigitan ular yang sangat berbisa itu.

Sambil terus berusaha mengelak dan menghindar 

Samono dan Atmojo berusaha mendekati kawannya yang


sudah menjadi jadi mayat.. Tetapi usahanya itu nampak-

nya tidak membawa hasil. Satu ketika dari kerimbunan 

pohon nampak melesat tiga buah benda berwarna hijau. 

Saat itu Dwi Sumirah yang baru, saja membantai ular ba-

kau yang menyerangnya masih sempat melihat berkele-

batnya benda tersebut. Maka sambil berusaha menghin-

dar, Dwi Sumirah berusaha memberi peringatan pada dua 

orang sisa anak buahnya. 

"Samino... Atmojo... awaaaaas...!" teriak Dwi Sumi-

rah pada kedua orang bawahannya. Tetapi nampaknya se-

rangan senjata rahasia yang mempergunakan ular bakau 

itu datangnya malah lebih cepat dari pada peringatan itu 

sendiri. Tak ayal walaupun Samono dan Atmojo berusaha 

menghindari terjangan senjata tersebut, hasilnya tetap sa-

ja ular itu melekat tepat di leher kedua anak buah Dwi 

Sumirah.

Kedua orang itu nampak terbelalak kedua matanya 

sebentar, mereka masih tetap berusaha membebaskan diri 

dari ular yang sangat berbisa tersebut. Namun apa yang 

mereka usahakan nampaknya kalah cepat dengan reaksi 

bisa ular yang sangat cepat menjalar kemana-mana. Tu-

buh Samino dan Atmojo nampak gemetaran seketika la-

manya. Lalu manakala tubuh itu secara cepat berubah 

membiru secara keseluruhan maka tak dapat dicegah lagi

kedua orang itu pun ambruk keatas tanah berlumpur tan-

pa mampu bangun-bangun lagi. 

Demi melihat semua kejadian itu mendidihlah da-

rah Dwi Sumirah, dia nampak gusar sekali. Tak dapat di-

bayangkan Salam waktu hanya-sekejap saja para anggo-

tanya tewas menjadi korban racun ular hijau. Dia menya


dari bahwa sesungguhnya di tempat itu ada orang yang 

paling bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Tetapi 

yang membuatnya heran, mengapa orang itu tidak mau 

keluar dari tempat persembunyiannya.

"Setan bersembunyi, manusia pengecut yang telah 

membunuh orang-orangku, keluarlah! Aku kepala dusun 

Embacang selamanya paling benci pada orang-orang pen-

gecut semacammu...!" ,

Tiada terduga, kiranya tak begitu lama setelahnya 

terdengar sahutan! 

"Hemmm, cuma kepala dusun apa hebatnya! Pula 

mau apa kau kelayapan sampai ke daerah Kayu Agung 

ini..?" 

"Manusia pembunuh, tunjukkan tampangmu! Baru 

kita bicara...!" Dalam kemarahannya itu Dwi Sumirah 

membentak. Tetapi orang yang berada di balik kerimbunan

pohon bakau itu sebaliknya malah tergelak-gelak. 

"Tanpa menunjukkan tampang, engkau pun sudah

dapat kulihat dari sini?" sahut orang yang berada di balik 

kerimbunan pohon seenak perutnya. Hal kiranya membuat

Dwi Sumirah bertambah marah. Sesaat dia nampak ter-

menung. Kemudian sambil mengerahkan hawa murninya, 

maka dia pun berkata. 

“Manusia Setan, Kalau engkau tetap tidak mau ke-

luar dari tempatmu, maka aku akan membongkar kedok-

mu...!" Tanpa basa basi lagi setelah ucapannya itu, maka 

Dwi Sumirah segera gerakkan tangan kanannya mengarah 

ke bagian yang rimbun dari pohon-pohon bakau yang ter-

dapat tidak begitu jauh di samping kirinya.

"Wuuuus!"


Satu kekuatan sinar berwarna pelangi nampak 

menderu sedemikian cepatnya meluruk ke arah tempat 

persembunyian orang itu. 

"Krosaaak!" 

Orang yang bersembunyi di balik pohon. tersebut 

nampak berkelebat menghindari pukulan yang dilepaskan 

oleh Dwi Sumirah. Pukulan yang dilepaskan oleh kepala 

dusun Embacang itu terus bergerak sedemikian cepatnya. 

Lalu tanpa ampun lagi melabrak kerimbunan pohon tadi. 

Ranting dan daun-daun hijau hancur berkeping-keping di-

landa pukulan milik Dwi Sumirah yang bernama Pelangi 

Mengusir Bidadari.

Kini jelaslah sudah bahwa orang yang bersembunyi 

di balik pohon tak lain hanyalah merupakan seorang wani-

ta berpakaian kulit beruang hitam. Sedangkan tangannya 

nampak menggenggam sebuah kipas berwarna kuning 

gading. Yang membuat heran dan ngeri Dwi Sumirah ada-

lah sepasang mata perempuan itu. Setiap kali memandang 

sorot mata yang memancarkan cahaya yang aneh, bahkan 

Dwi Sumirah merasakan pandangan mata si perempuan 

berjubah kulit beruang hitam itu seolah bagai mengge-

rayangi seluruh tubuhnya. Sesaat setelah puas meman-

dang pada Dwi Sumirah, perempuan cantik namun punya 

wajah bengis itu nampak tersenyum penuh arti. Lalu di 

luar dugaan Dwi Sumirah dia pun mulai berkata kurang 

ajar.

"Ah...! Sungguh pun engkau sudah cukup berumur, 

tetapi kau benar-benar masih perawan tulen. Hmmm, 

sungguh hal ini satu keberuntungan bagiku. Dan guruku 

pasti sangat berterima kasih dengan apa yang kubawa...!"


Memerah wajah Dwi Sumirah seketika itu juga, agaknya 

dia mulai tahu orang yang bagaimana kiranya perempuan 

yang sedang dia hadapi itu. Maka tanpa sungkan-sungkan 

lagi dia pun membentak. 

"Manusia iblis, kau bunuh orang-orangku tanpa 

sebab yang jelas. Agaknya engkaulah orang yang telah me-

lakukan penculikan terhadap para gadis-gadis Desa Em-

bacang.."

"Hi..., hi... hi...! Kalau Betul kau bisa apa, Ni Lurah. 

Pula orang-orangmu itu memang sudah selayaknya mam-

pus. Asal kau tahu saja, bahwa ular-ular yang telah kalian 

bunuh itu merupakan ular hijau milikku”

"Sialan! Jadi benar apa yang mereka katakan pada-

ku bahwa kiranya engkaulah yang telah menculik warga 

kami. Di mana mereka kau sekap, cepat kembalikan...!" 

perintah Dwi Sumirah.

Perempuan berkipas hanya tersenyum begitu men-

dengar perintah Dwi Sumirah. Lalu dengan nada mence-

mooh dia pun berucap:

"Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan tengil 

berani memberi perintah pada salah seorang dari Sepa-

sang Iblis Bermata Dewa. Kebisaan apakah yang engkau 

andalkan...?"

Sungguh pun Dwi Sumirah merupakan seorang ke-

pala desa biasa, namun dulunya juga dia bekas seorang 

tokoh persilatan. Dan sudah barang tentu dia sangat men-

genal nama yang sangat menggemparkan itu. Tak urung 

dia sempat dibuat terbelalak tak percaya. Tapi sungguh 

pun begitu dia masih berusaha menutupi rasa kagetnya. 

Sesaat setelah itu dia sudah membentak.


"Huh, kiranya engkau salah seorang iblis bermata 

itu. Sayangnya kini semakin bertambah sesat saja! Bah-

kan kudengar Pri Kumala Hijau yang mempunyai julukan 

menakutkan Itu kini malah menjadi gundik guru sendiri. 

Bukan tak mungkin, gadis-gadis desa yang kau culik ma-

lah kau persembahkan pada manusia sesat bernama Se-

tan Joma itu”

Pri Kumala Hijau tergelak-gelak begitu mendengar 

apa yang dikatakan oleh Dwi Sumirah! Dengan pandangan 

liar seperti sorot mata setan, perempuan itu kemudian 

menyela.

"Sungguh tajam matamu, semuanya tak ku pungki-

ri! Setelah. engkau mengetahui nama besarku, mengapa 

kau tak segera merangkak minta ampuh?" bentaknya.

Semakin bertambah gusar saja Dwi Sumirah meli-

hat tingkah Pri Kumala Hijau. Sungguh pun dia menyadari 

bahwa dirinya tak mungkin bakal menang berhadapan 

dengan bekas pasangan Iblis Bermata Dewa. Namun un-

tuk menyerah dan minta ampun, siapa yang sudi? Baginya 

mati malah lebih terhormat daripada harus bersekutu 

dengan sebangsa manusia sesat.

"Perempuan sundal manusia paling durhaka! Jan-

gan kira aku sudi bertekuk lutut dibawah kakimu yang ce-

laka itu. Siapa sih yang tak kenal pada manusia setan 

yang telah begitu tega membuntungi kedua tangan suami 

sendiri! “ Dwi Sumirah mencemooh.

* * *


LIMA


Bukan main gusar, Pri Kumala Hijau demi men-

dengar kata-kata yang sangat menyakitkan hatinya. Dia 

sangat geram sekali, membunuh kepala dusun yang telah 

menghina dirinya bukanlah suatu pekerjaan yang sulit. 

Tetapi bila teringat gurunya yang sangat membutuhkan 

perempuan seperti Dwi Sumirah dia jadi ragu-ragu. Dwi 

Sumirah sungguh pun seorang perempuan yang sudah be-

rusia lebih dari seperempat abad, namun masih perawan 

tulen. Perempuan seperti itu benar-benar sangat dibutuh-

kan oleh si Setan Joma. Dia jadi serba salah, sungguh pun 

di batinnya ada sedikit rasa cemburu. Tetapi akhirnya dia 

memutuskan untuk meringkus Dwi Sumirah dalam kea-

daan hidup-hidup. 

"Hemm! Sungguh banyak kiranya yang kau ketahui 

tentang diriku. Tapi jangan kira aku akan membiarkanmu 

begitu saja. 

“Aku harus membekukmu..:!" teriak Pri Kumala Hi-

jau.

"Bagus! Daripada engkau mendahuluiku, lebih baik 

kupotes kepalamu!"

Seiring dengan ucapannya itu, Dwi Sumirah melo-

los senjatanya yang berupa sebilah pedang biru bermata 

ganda. Tanpa banyak cincong lagi orang itu pun segera 

menyerang Pri Kumala Hijau dengan jurus-jurus pedang-

nya yang sangat cepat laksana kilat.

Sambil berkelit menghindar, Pri Kumala Hijau be-

rucap:


"Bagus sekali tindakanmu itu! Tapi jangan sebut 

aku Iblis Bermata Dewa, kalau sepuluh jurus di muka aku 

tak dapat meringkusmu...!"

"Haiiiiitt!"

Pri Kumala Hijau dengan teriakan tinggi melengk-

ing mulai membuka jurus-jurus permainan silatnya yang 

terkenal sangat aneh dan banyak variasi. Dalam waktu se-

kejap saja, terjadilah pertarungan sengit di hutan bakau 

yang sangat rapat itu. Masing-masing lawan nampak men-

geluarkan jurus-jurus silat yang sangat tinggi. Tetapi 

sungguh pun Dwi Sumirah mempergunakan pedang ber-

mata ganda bahkan dengan jurus pedang Cakaran Wallet 

Putih dia menyerang musuhnya. Namun sejauh itu dia 

masih belum mampu berbuat banyak.

Sementara itu Pri Kumala Hijau sudah tidak lagi 

hanya mengelak dan menangkis. Dengan mempergunakan 

jurus-jurus silat tangan kosong yang diberi nama Sepa-

sang Iblis Menggila, dia mulai melancarkan serangan-

serangan balasan, ilmu silat tangan kosong yang dipergu-

nakannya sangat tangguh sekali. Sepasang tangannya 

yang terkembang bagaikan cakar burung elang menghan-

tam bagian sisi pertahanan lawan yang nampak lemah. 

Pada saat itu sepasang kakinya pun tidak tinggal diam. 

Berulang kali kaki kanannya melakukan sapuan ke arah 

kaki Dwi Sumirah yang agak terpentang.

Bukan main gusarnya kepala Dusun Embacang itu 

demi melihat kelihaian lawan. Lalu dengan diawali satu te-

riakan keras, tubuh Dwi Sumirah nampak melentik ke 

udara bagaikan seekor udang yang sedang berusaha 

menghindari sergapan-sergapan lawannya. Lalu ketika tu


buhnya kembali menukik ke bawah jurus-jurus pedangnya 

sudah berubah sama sekali. Pedang bermata ganda di tan-

gannya menderu bahkan membabat tangan musuhnya 

yang bergerak bagaikan cakar-cakar yang siap mencabik-

cabik wajahnya. Sementara gerakan kaki Pri Kumala Hijau 

tetap seperti semula, menyapu pinggang Dwi Sumirah di 

bagian bawah. Kepala dusun Embacang semakin lama se-

makin bertambah beringas. Lagi-lagi dia kirimkan satu tu-

sukan satu babatan. Semua itu mengarah pada bagian 

leher dan dada lawannya. Pedang bermata ganda itu men-

deru cepat sehingga nampak hanya merupakan kilauan 

warna biru saja, Tetapi di luar dugaan, Pri Kumala Hijau 

yang tetap mempergunakan ilmu silat tangan kosong. 

Dengan nekad malah memapaki datangnya sambaran ma-

ta pedang yang sangat tajam. Begitu pedang di tangan Dwi 

Sumirah hampir mencapai sasarannya, maka dua jari Pri 

Kumala Hijau malah menyongsong.

"Traaak! Creep!"

Pedang itu bagai membentur batu cadas saja 

layaknya, bahkan yang lebih celaka lagi, pedang bermata 

ganda itu kini malah terjepit di sela-sela kedua jemari Pri 

Kumala Hijau. Perempuan bermata dewa itu nampak ter-

senyum sinis. Tangan tetap tidak berubah dari posisinya. 

Tinggallah Dwi Sumirah yang nampak sedang berusaha 

mati-matian unjuk membebaskan senjatanya dari jepitan 

kedua jemarinya. Tapi sungguh pun Dwi Sumirah telah 

mengerahkan segenap tenaga dalamnya, namun tetap saja 

pedang itu tidak bergerak dari jepitan jemari Pri kumala 

Hijau yang semakin bertambah mengeras.


Begitu pun Dwi Sumirah tidak putus asa, dengan 

mempergunakan Pukulan Dewi Matahari, dipukulnya dada 

Pri Kumala Hijau berulang-ulang. Tapi tetap saja perem-

puan Iblis Bermata Dewa itu tiada bergeming. Sebaliknya 

perempuan itu malah tertawa panjang.

"Pukulan dari neraka sekalipun yang kau perguna-

kan untuk memukulku Tak satu pun yang mampu mero-

bohkan aku...!" ejeknya. Lalu dengan satu gerakan yang 

tiada terduga-duga, tangan kiri Dwi Sumirah kena dipe-

gangnya.

"Kepala dusun yang cantik, lihatlah mataku...!" pe-

rintah Pri Kumala Hijau. Bagai ada kekuatan gaib yang 

menuntun batin Dwi Sumirah, tanpa kuasa kepala dusun 

Embacang itu menurut. Kemudian ketika bola matanya 

beradu pandang dengan Pri Kumala Hijau, mendadak dia 

merasakan ada kekuatan magis yang memancar dari sepa-

sang mata Pri Kumala Hijau. Sorot matanya yang meman-

carkan sinar kemerahan itu benar-benar membuat Dwi 

Sumirah tak mampu berbuat banyak. Tak lama kemudian, 

dengan kekuatan batinnya Pri Kumala Hijau memerintah:

"Pedang ini tiada guna! Sebaiknya dibuang saja!"

"Ya dibuang saja!" Bersamaan dengan ucapannya 

itu, maka Dwi Sumirah melepaskan pedang yang sejak tadi 

berusaha ditariknya.

"Katakanlah, engkau sudah mengantuk sekali! Le-

bih baik engkau tidur...!" Begitu Pri Kumala Hijau selesai 

dengan ucapannya, tiba-tiba Dwi Sumirah merasa sangat 

mengantuk luar biasa, Maka tanpa dapat dicegah lagi, ma-

ta kepala dusun Embacang .Secara perlahan mulai terpe-

jam. Sampai pada akhirnya Dwi Sumirah terkulai di dalam


dekapan Pri Kumala Hijau. Perempuan Iblis Bermata Dewa 

nampak tergelak-gelak. Lalu dipanggulnya tubuh Dwi Su-

mirah yang sudah tertidur pulas.

"Ajian Sirep Sukma! Mana ada duanya di dunia 

ini....!" kata perempuan itu. Lalu sambil memanggul tubuh 

Dwi Sumirah, maka dia pun cepat-cepat berlalu dari tem-

pat itu.

* * *

Pagar Dewa kini hanya merupakan sebuah daerah 

angker tiada berpenghuni. Tak seorang pun ada orang 

yang berani melintasi daerah itu. Bekas sisa kehidupan 

memang pernah ada di sana. Di sebuah dataran tinggi, di 

situlah Sepasang Iblis Bermata Dewa pernah menetap di 

sana bersama dengan puluhan murid-muridnya. Tetapi 

kini, semua itu hanya tinggal merupakan puing-puing se-

buah rumah yang nampak berserakan tiada berketentuan.

Dua tombak dari bekas rumah tersebut, nampaklah 

deretan beberapa puluh makam para murid Sepasang Iblis 

Bermata Dewa. Seperti diketahui, mereka tewas di tangan 

istri gurunya sendiri.

Sewaktu-waktu daerah itu nampak dikunjungi oleh 

seorang laki-laki bertangan buntung dan bermata redup. 

Terkadang berhari-hari laki-laki setengah sinting itu bera-

da di sana, duduk berlama-lama di tengah-tengah kubur 

murid-muridnya. Seperti diketahui laki-laki bertangan 

buntung dan berompi merah ini, sesungguhnya bekas su-

ami Pri Kumala Hijau. Setelah menjadi pecundang oleh is-

trinya sendiri perjalanan hidup selanjutnya menjadi tiada


berketentuan. Sekali waktu dia bisa tergelak-gelak bagai 

orang gila, di lain saat dia menangis, melolong bagai anak 

kecil.

Mungkin karena dia merasa putus asa tidak berha-

sil mengajak istri yang sangat dicintainya itu kembali ke 

jalan yang lurus, atau mungkin pula dia merasa kecewa, 

karena istrinya kini telah menjadi budak iblis akibat ulah 

gurunya yang bernama si Setan Joma.

Pagi itu setelah pertemuannya dengan Buang Seng-

keta di Tanjung Kait, Laki-laki yang bernama Mambang 

Sadewa ini nampak kembali berada didaerah itu. Tetapi ti-

dak terlihat sorot putus asa dimatanya. Sungguh pun ma-

tanya yang redup itu sewaktu-waktu dapat memancarkan

sinar maut. Mungkin dia merasa begitu yakin bahwa Pen-

dekar Hina Kelana mampu menggusur sepak terjang Pri 

Kumala Hijau dan gurunya. Begitupun kegairahan hidup 

nampak sudah sirna sama sekali dari jiwanya yang merasa 

amat terpukul.

Matahari di pagi itu nampak bersinar cerah, embun

pun masih terasa segar menyesaki rongga dadanya. Se-

mentara semilir angin yang berhembus demikian lembut 

sekali menyibakkan anak-anak rambutnya yang diikat 

dengan selembar kain berwarna kelabu, Laki-laki itu ber-

siul-siul kecil dengan irama yang tak beraturan, saat dia 

berlaku seperti itu, sepasang kakinya terus bergerak-gerak 

mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh menyemak di 

atas makam murid-muridnya. Sesaat dalam kesendirian-

nya itu, tiba-tiba dia bergumam:

"Murid-muridku! Sungguh pun kalian telah tiada, 

namun aku yakin kalau kalian masih mendengar apa yang


kukatakan ini. Walaupun kematian kalian tiada mampu 

aku membalasnya. Tetapi kalian tak perlu gelisah. Setan 

Joma, ataupun bekas istriku Pri Kumala Hijau, dia takkan 

berumur panjang. Sepak terjangnya akan segera terhenti. 

Murid orang tua yang mulia yaitu Pendekar Hina Kelana, 

aku yakin Sanggup membasmi keangkara murkaan. Kalian 

tak usah bersedih melihat nasibku, karena jika kalian ber-

sedih, maka aku akan menangis. Kalian pun tak usah me-

nangis, sebab jika kalian menangis aku lebih baik mati sa-

ja. Sisa-sisa hidupku hanya terbuang sia-sia!" Dalam ber-

kata seperti itu, Mambang Sadewa terus menggerak-

gerakkan kakinya mencabuti rumput-rumput liar itu. Se-

pintas lalu keadaan laki-laki itu sangat terasa menyedih-

kan. Saat itu tanpa sepengetahuan Mambang Sadewa, 

nampak seorang gadis berselendang merah dan berusia 

sekitar delapan belas tahun, nampak melintas tidak begitu 

jauh dari tempat Mambang Sadewa. Mulanya gadis berwa-

jah cantik dan berkulit kuning langsat itu hendak mena-

nyakan sesuatu pada laki-laki berambut kelabu ini. Na-

mun begitu dia mendengar suara siulan yang tak karuan 

juntrungannya, kemudian ditambah lagi dengan ucapan-

ucapan si laki-laki si tangan buntung yang menyebut-

nyebut nama Pendekar Hina Kelana. Maka dia pun men-

coba mencuri dengar apa yang dikatakan oleh laki-laki itu, 

Sambil menunggu saat-saat yang baik gadis berselendang 

merah jitu menyelinap di balik sebuah batu besar. Dia 

dengarkan apa yang dikatakan oleh orang tua aneh terse-

but. Kemudian manakala Mambang Sadewa tidak lagi me-

lanjutkan kata-katanya, maka gadis berselendang merah 

itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dan tanpa


canggung-canggung lagi, gadis belia yang berotak cerdik 

ini melangkah menghampiri Mambang Sadewa yang se-

dang termangu-mangu dalam kesendiriannya.

Laki-laki bertangan buntung begitu menyadari ada 

langkah-langkah kaki mendekat ke arahnya nampak ba-

likkan badan. Lalu dia pun bengong sendiri begitu melihat 

ada seorang gadis berselendang merah tahu-tahu sudah 

berada di depannya. Belum lagi ia angkat bicara, gadis 

berselendang merah dengan beraninya terus menyela: 

"Kakek! Siapakah dan bagaimanakah rupanya Pen-

dekar Hina Kelana yang baru saja kau sebut-sebut tadi...?" 

tanya gadis itu setelah sebelumnya menjura beberapa kali.

Mendapat pertanyaan yang tiada terduga bahkan 

dari seorang gadis yang belum pernah dikenal, membuat si 

Mambang Sadewa kerutkan kening. Kecurigaan pun kem-

bali menyelimuti hatinya. Sesaat dipandanginya gadis ber-

selendang merah ini dari ujung rambut sampai keujung 

kaki.

Dan tatapan si gadis yang bening dan lembut dari 

sikapnya yang sopan. Mambang Sadewa pun dapat mena-

rik kesimpulan bahwa gadis itu sesungguhnya merupakan 

seorang-gadis yang jujur dan baik hati. Tapi di balik ke-

lembutan itu, nampaknya seorang gadis itu juga menga-

lami penderitaan hidup yang mungkin tidak begitu beda 

dengan yang dialaminya.

"'Cah ayu! Siapakah engkau ini? Apa perlumu kau 

tanyakan Pendekar Hina Kelana?" tanya Mambang Sadewa 

menyelidik.


Tanpa memperdulikan pertanyaan laki-laki bertan-

gan buntung, gadis berselendang merah itu terus dalam 

pertanyaannya sendiri.

“Kek...katakanlah! Apakah orang itu menyandang 

sebuah periuk besar, wajahnya sangat tampan dan ram-

butnya dikuncir?" desak si gadis nampak tidak sabaran la-

gi.

Mambang Sadewa belalakkan kedua matanya. Seo-

lah dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengar-

nya. Bagaimana mungkin gadis yang masih sangat muda 

itu bisa mengenali Pendekar Hina Kelana, atau mungkin-

kah gadis ini merupakan salah seorang kerabat pendekar 

itu? Tetapi hal itu sangat mustahil sekali mengingat Buang 

Sengketa sejak kecil sudah berada dalam asuhan si Bang-

kotan Koreng Seribu,

"Bocah, dari mana dan siapa engkau ini?'' tanya 

Mambang Sadewa merasa enggan dan sangsi untuk men-

jawab pertanyaan gadis berselendang merah.

* * *


ENAM



" Jawablah dulu? pertanyaanku, Kek...!" ucap si 

gadis dengan nada memelas. Mambang Sadewa cepat-

cepat gelengkan kepalanya.


“Tidak bisa, bukan aku yang memerlukanmu, tetapi 

engkau yang perlu aku." tukas Mambang Sadewa tegas-

tegas.

Gadis berselendang merah nampak menarik napas. 

pendek. Ada rasa kesal di dalam hatinya, tetapi untuk 

membantah perintah orang yang sangat dibutuhkan kete-

rangannya, rasanya tidak mungkin sekali. Keterangan itu 

baginya sangat perlu. Sembilan tahun dia sangat merin-

dukan orang yang disebut-sebut oleh Mambang Sadewa. 

Dalam kerinduan itu dan demi orang yang sangat menarik 

simpatinya, dia selalu berusaha dengan tekun mempelajari 

jurus-jurus aneh peninggalan Padri Agung Pengayom Ja-

gat. Di lereng Kerinci, bahkan hanya dengan ditemani oleh 

bibinya.

Jurus-jurus tersebut dengan sangat sempurna ber-

hasil dia kuasai, semua itu dia lakukan demi orang yang 

sangat dia kagumi. Buang Sengketa atau Pendekar Hina 

Kelana. Lalu siapakah gadis berselendang merah itu? Di-

alah Wanti Sarati, yang saat bertemu dengan Pendekar Hi-

na Kelana baru berumur sembilan tahun. (Untuk lebih je-

lasnya silahkan anda ikuti judul Air Mata Di Sindang Da-

rah). Demikianlah setelah berfikir-fikir sejenak, pada ak-

hirnya gadis berselendang merah itupun menjawab:

"Kakek! Namaku Wanti Sarat, sengaja datang dari

tempat yang jauh hanya ingin untuk bertemu dengan 

orang yang bernama Buang Sengketa…!”

Mambang Sadewa lebih terkejut begitu Wanti Sarati 

menyebut nama Pendekar Hina Kelana. Maka dia pun ak-

hirnya menjadi maklum bahwa jelas-jelas gadis berselen


dang merah itu benar-benar mengenal Pendekar Hina Ke-

lana. 

Maka tanpa ragu-ragu lagi, Mambang Sadewa pun 

berucap,

"Aku yang tua dan buntung tangan ini bernama 

Mambang Sadewa! Kurasa orang yang kau tanyakan itu 

memang benar Pendekar Hina Kelana yang pernah kujum-

pa. Tapi ada hubungan apakah engkau dengan pendekar 

itu...?"

Kalau saja tidak merasa sungkan sudah barang 

tentu Wanti Sarati melonjak-lonjak kegirangan. Sebab dia 

merasa usahanya selama dua tahun mencari pendekar 

yang sangat dia kagumi itu kini telah membuahkan hasil. 

Sesaat kemudian dengan pandangan matanya yang 

berbinar-binar dia pun berkata;

"Paman Buang Sengketa adalah orang yang pernah

menyelamatkan aku, kepadanya aku berhutang nyawa. 

Setiap saat aku selalu merindukannya, dia pendekar sakti 

yang banyak membasmi kaum golongan sesat”.

Mambang Sadewa mengangguk-anggukkan kepa-

lanya.

“Benar, dia memang pendekar yang sangat meng-

gemparkan dunia persilatan. Apakah engkau ingin berte-

mu dengannya?" tanya laki berkumis dan berjanggut pan-

jang itu pada Wanti Sarati.

"Dua tahun aku melakukan pengembaraan, semua 

itu adalah karena rasa rinduku ingin bertemu dengannya!"

"Wanti... seperti yang kau lihat! Saat ini pendekar 

itu tidak ada bersamaku!" ujar Mambang Sadewa. Wanti 

Sarati nampak sangat kecewa mendengar kata-kata kakek


tua tersebut. Kiranya hal itu tidak luput dari perhatian 

Mambang Sadewa. Dengan diiringi sesungging senyum 

maka dia pun berkata:

"Tapi kau tak perlu berkecil hati, sebab setelah 

nanti menyelesaikan tugasnya, pendekar itu akan datang 

menemuiku!"

"Tugas? Tugas apa Kek...?" tanya Wanti Sarati he-

ran.

Kemudian secara singkat Mambang Sadewa mence-

ritakan apa yang sedang dikerjakan oleh Buang Sengketa, 

Wanti Sarati nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Nampaklah dia semakin bertambah kagum pada pendekar 

yang dirindukannya.

"Apakah kita tidak lebih baik menyongsongnya saja

Kek?”

Mambang Sadewa nampak mengerutkan alisnya, 

sungguhpun dia setuju dengan yang dikatakan gadis ber-

selendang merah ini, namun hatinya masih diliputi kera-

gu-raguan, Sebab walau bagaimanapun jika mereka ber-

dua bermaksud menemui Buang Sengketa, maka mau tak 

mau keduanya harus pergi ke daerah Kayu Agung, yaitu

tempat bermukimnya Setan Joma dan bekas istrinya, Pri 

Kumala Hijau. Tetapi kalau hal itu dia lakukan, setidak-

tidaknya dia pasti bertemu dengan perempuan yang telah 

turun tangan jahat itu.

Padahal dia sudah berjanji untuk tidak berjumpa 

dengan Pri Kumala Hijau untuk selama-lamanya. Atau ka-

laupun terpaksa harus bertemu, setidak-tidaknya dia ha-

rus mampu membunuh orang yang telah membuatnya ca-

cat seumur hidup. Tetapi dengan keadaannya yang seperti


itu, mampukah dia berbuat banyak? Walaupun pada ke-

nyataannya memang dia akui bahwa setelah peristiwa 

yang sangat memalukan itu kini dia berlatih bahkan men-

ciptakan jurus-jurus silat si Tangan Buntung. Namun 

agaknya untuk dipergunakan menghadapi dua orang yang 

berkepandaian sangat luar biasa, hal itu terasa masih be-

lum cukup.

Saat dia sedang berfikir begitu, Wanti Sarati yang 

sejak tadi memandangi Mambang Sadewa kembali mem-

buyarkan lamunan manusia berambut kelabu itu.

“Kakek, kenapa diam? Apakah kau tidak setuju 

dengan yang aku usulkan tadi?” Tanya si gadis.

“Eee…anu… tentu aku setuju saja. Tetapi untuk 

bertemu dengan Pendekar Hina Kelana mau tak mau kita 

harus ke Kayu Agung!".

"Mengapa harus ke Kayu Agung...?"

Andai saja Mambang Sadewa memiliki tangan yang 

utuh. Tentu dia sudah garuk-garuk kepalanya yang tak 

gatal. 

Wanti Sarati yang. Kekanak-kanakan membutnya 

menjadi salah tingkah karena pertanyaan-pertanyaannya. 

Tapi dia pun maklum sesungguhnya Wanti Sarati merupa-

kan gadis yang berpikiran cerdas.

"Kalau tidak mau ke Kayu Agung, lebih baik kita 

menunggu di sini saja sampai tua!" kata laki-laki bertan-

gan buntung itu kemudian.

"Jangan, Kek...!"

"Kalau tak mau, bukankah ada baiknya kalau kita 

datangi sarangnya iblis itu!"


"Aku kan bagaimana kakek saja, Kalau kakek pu-

tuskan kita pergi, maka aku akan ikut. Tetapi kalau kakek 

tidak ada niat pergi, maka aku pergi sendiri”.

"Weiii...bocah gendeng seenak perutmu saja kau 

ngomong” tukas laki-laki berambut kelabu itu. Sesaat sete-

lahnya, maka tanpa banyak kata lagi Mambang Sadewa 

sudah berkelebat pergi dari tempat itu. Begitupun Wanti 

Sarati segera menyusulnya.

* * *

Dikelilingi dengan hutan bakau yang sangat luas, 

rumah bertonggak yang sangat besar dan berdiri di atas 

tanah berlumpur becek itu memberi kesan jorok dan ang-

ker. Dari dalamnya hampir setiap saat selalu terdengar 

rintihan dan erangan suara perempuan. Sedangkan bau 

yang menyebar dari rumah bertonggak itu, tak lebih me-

rupakan bau amis dan bau tak sedap lainnya. Andai dili-

hat sepintas lalu, rumah hanya berpenghuni perempuan-

perempuan saja. Mereka ini terdiri dari gadis-gadis yang 

masih muda belia. Cantik dan menggiurkan. Puluhan ga-

dis yang berada di dalam rumah besar tersebut, hampir 

keseluruhannya merupakan bekas korban nafsu si Setan 

Joma. Yaitu guru Pri Kumala Hijau. Raja dari segala raja 

ilmu sesat. Gadis-gadis itu hampir kesemuanya telah hi-

lang mahkota nya. Milik mereka satu-satunya yang paling 

berharga karena direnggut oleh Setan Joma untuk mem-

perkuat ilmu hitam yang sangat diyakininya.

Sungguh malang sekali nasib mereka, Karena me-

reka tak ubahnya bagai orang tolol. Sungguhpun tangan


dan kaki mereka tidak dibelenggu. Namun mereka tidak 

mempunyai hasrat sama sekali untuk melarikan diri. Bah-

kan lebih dari itu gadis-gadis bertelanjang dada itu sudah 

tak dapat mengingat siapa diri mereka.

Agaknya ilmu Sirep Peteng Dedet yang telah diper-

gunakan oleh Setan Joma untuk inenguasai gadis-gadis 

itu, benar-benar telah mendarah daging. Sehingga bagai 

seekor kerbau dicucuk hidung gadis-gadis cantik yang be-

rasal dari berbagai desa itu hanya mengikuti saja segala 

apa yang diperintahkan oleh si Setan Joma.

Sementara itu masih dalam rumah yang sama, 

nampaklah Pri Kumala Hijau dan gurunya sedang berca-

kap-cakap. Di dalam kamar itu pula Dwi Sumirah nampak 

terbaring di atas sebuah ranjang kayu yang berlapiskan je-

rami. Kepala dusun Embacang yang malang itu nampak-

nya masih pulas dari pengaruh sirep milik Pri Kumala Hi-

jau.

"Purnama penuh beberapa jam lagi baru tiba, 

Guru... 1" ucap perempuan itu pada laki-laki gemuk ber-

wajah menyeramkan dan hanya mengenakan cawat saja. 

Nampaklah mata guru setan itu berkeriap setelah men-

dengar perkataan murid tunggalnya.

Degup dada laki-laki gemuk yang bagian dadanya 

selalu menyebarkan bau amis itu pun semakin bertambah 

kencang. Sesekali matanya yang liar dan selalu belingsa-

tan seperti setan itu pun memandangi ranjang kayu yang 

berukir tengkorak tempat dimana tubuh Dwi Sumirah dile-

takkan.

“Purnama penuh...!" sahut laki-laki bercawat itu 

seolah-olah bergumam pada dirinya sendiri.


"Purnama penuh, adalah hidup yang paling berhar-

ga bagiku! Ilmu saktiku semakin bertambah menggunung. 

Sementara surga dunia juga aku reguk...!" kata Setan Jo-

ma tanpa malu-malu. Saat dia berkata begitu sorot ma-

tanya memandang pada Pri Kumala Hijau. Seolah-olah 

pandangan mata itu menggerayangi tubuh murid yang du-

duk bersila di depannya. Lalu setelah basahi bibirnya de-

ngan lidahnya sendiri, maka dia pun menyambung:

"Engkau benar-benar murid yang sangat berbakti 

dan sangat. cerdik, Apa yang kau usahakan selama ini un-

tukku dan untukku, belum ada yang mengecewakan hati-

ku, Mudah-mudahan kehadiran perempuan yang kau ba-

wa itu benar-benar dapat menjadikan diriku semakin 

sempurna!" kata Setan Joma, sementara sepasang ma-

tanya tetap berputar-putar liar.

"Semua itu kulakukan hanya demi rasa terima ka-

sihku padamu guru”.

"Betul, Lebih dari semua itu apapun yang kumiliki 

toh pada akhirnya akan kuturunkan padamu. Engkau

akan menjadi pewaris tunggal dari ilmu sakti yang kumili-

ki...!" kata Guru manusia iblis itu pasti.

Pri Kumala Hijau nampak sangat gembira sekali 

begitu mendengar keputusan Setan Joma. Agaknya dia 

merasa bahwa usaha kerasnya selama ini demi membantu 

gurunya tidak sia-sia. Dan dia pun merasa bahwa pembe-

rian itu rasanya sangat pantas dan wajar. Mengingat dia 

sendiri telah berkorban cukup banyak. Segala yang dia mi-

liki telah dia berikan pada laki-laki gemuk bercawat itu. 

Rasa-rasanya sudah tiada yang tersisa. Dan sebagai hasil 

dari pengorbanannya itu dia telah mendapatkan ilmu sakti


yang tiada ternilai harganya. Bahkan antara sadar dan ti-

dak dia telah berhasil pula mengalahkan Mambang Sade-

wa suaminya sendiri. Dasar manusia yang sudah terlanjur 

sesat., apapun yang dia lakukan tetap saja merasa diri te-

lah benar.

Sang waktu terus berjalan dengan cepat, tanpa te-

rasa senja pun telah berganti malam, Suasana nampak 

samar dan remang-remang. Pintu besar yang terbuat dari 

anyaman daun rumbia telah ditutupkan. Nun diufuk Ti-

mur nampak semburat merah pertanda bulan purnama 

penuh akan segera tiba.

"Sebagaimana kebiasaannya tampaknya Pri Kumala 

Hijau telah begitu hafal dengan apa yang akan dikerjakan

oleh gurunya.

Sesaat kemudian tanpa menunggu diperintah oleh 

gurunya, Pri Kumala Hijau segera berlalu dari kamar itu. 

Setelah menutupkan pintu kamar pribadi tersebut, maka 

perempuan murid manusia sesat itu segera bergegas ke 

luar dari rumah itu.

Sementara itu, di dalam kamarnya Setan Joma 

nampak sedang menghadap sebuah dupa. Di dalam dupa 

tersebut nampak setumpukan bara yang masih menyala. 

Sedangkan di tangan kanan Setan Joma, nampak tergeng-

gam serpihan-serpihan kemenyan yang sudah siap untuk 

ditaburkan di atas bara itu.

Mulut laki-laki berwajah menyeramkan itu terus 

berkomat kamit, sesekali tangannya menaburkan serpihan 

kemenyan yang ada di dalam genggaman tangannya. Kini 

asap tipis mulai menyelimuti tubuh Setan Joma. Asap itu 

terus bergelung-gelung, meliuk kemudian berputar-putar


disekitar Guru Iblis, yang hanya mengenakan cawat saja. 

Keringat sebesar biji jagung mulai bercucuran dari dahi 

dan pipi laki-laki itu. Setelah beberapa saat kemudian ma-

ka terdengarlah mantra-mantra yang dibacanya.

“Hong Wiluheng”

“Aku tahu asal usulmu, aku lihat kepulanganmu, 

roh adalah kehidupan,. Sedangkan jasad adalah rumah da-

ri kehidupan itu sendiri. Aku tahu asal usulmu. Menurutlah 

apa yang aku perintahkan. Engkau kini menjadi budakku,

seorang budak harus menurut keinginan majikan. Demi ke-

sempurnaan ilmuku, demi tujuh penjuru mata angin. Hai 

roh pulan binti pulan. Aku meminta kehormatanmu dengan 

rela”

* * *


TUJUH



Selesai membaca mantra-mantra tersebut tubuh 

Guru Iblis tergetar-getar sesaat lamanya. Lalu sepasang 

matanya yang terpejam rapat-rapat itu secara perlahan 

membuka kembali. Namun kini sepasang mata Guru Iblis 

itu merona merah. Semakin lama bertambah semakin me-

rah, kemudian manakala dia memandang suasana di seki-

tarnya. Mata itu memancarkan cahaya aneh menggidik-

kan. Sungguh posisi tubuh Guru Iblis masih tetap seperti 

semula. Namun pandangan matanya yang nanar dan me-

mancarkan cahaya merah itu liar bagaikan orang yang se-

dang mencari-cari sesuatu yang sangat dibutuhkannya.


Hanya dalam penerangan lampu minyak yang samar-

samar, mata Guru Iblis itu menjelajah kesekeliling ruan-

gan itu.

Dan manakala pandangan matanya membentur 

pada sesosok tubuh yang terbaring dengan posisi terlen-

tang di atas ranjang kayu, maka pandangan matanya ber-

henti di sana. Mulut Guru Iblis berkomat kamit, lagi-lagi 

tangannya kembali menaburkan serbuk kemenyan pada 

tungku yang baranya sudah hampir mati. Keanehan kem-

bali terjadi, bara yang tadinya hampir padam kini marak 

kembali. Tubuh Guru Iblis kembali tergetar, keringat se-

makin banyak bercucuran sehingga sekilas lalu tubuhnya 

nampak berkilat-kilat bagaikan patung lilin. Tak lama se-

telah itu, Guru Iblis alias si Setan Joma, segera berucap. 

Sungguh pun pelan, namun cukup membangkitkan keku-

atan magis.

"Hei, pulan binti pulan, bangkitlah, Sesungguhnya 

engkau tidak mengantuk Cepat bangkit...!" Suara Guru Ib-

lis bergemetaran dilanda gemuruh darahnya sendiri. 

Anehnya tubuh Dwi Sumirah yang tadinya tertidur pulas 

akibat pengaruh ilmu sirep milik Pri Kumala Hijau, kini 

secara perlahan mulai bangkit dari pembaringan. Kedua 

matanya pun sudah membuka kembali. Sesaat perempuan 

kepala dusun Embacang itu nampak celingukan bagai 

orang yang sedang kebingungan. Manakala pandangan 

matanya membentur sosok tubuh gemuk yang hanya 

mengenakan cawat saja. Tiba-tiba terasa ada hawa hangat 

yang turut serta mengalir dalam pembuluh darahnya. Lalu 

pandangan matanya berbinar-binar. Lalu desahan-

desahan kecil meluncur dari bibir Dwi Sumirah. Melihat


usahanya yang telah nampak mendatangkan hasil se-

sungging senyum tipis segera menghiasi wajahnya. Maka 

perintah-perintah pun berlanjut.

"Turunlah kau dari atas ranjang itu...!!" perintah 

Guru Iblis masih dalam kekuatan gaibnya. Dwi Sumirah

nampak turun dari atas ranjang kayu yang penuh beruki-

ran tengkorak manusia.

“Mendekat ke mari...!" lanjut si Guru Iblis, seraya 

memandang pada Dwi Sumirah. Yang kini bergerak men-

dekat ke arahnya. Hanya dalam jarak setengah meter, Dwi 

Sumirah menghentikan langkahnya. Guru Iblis meman-

dangi tubuh Dwi Sumirah untuk beberapa saat lamanya. 

Mulutnya kemudian berdecap-decap, lalu basahi bibirnya, 

Hanya dalam waktu tak sampai sepemakan sirih Guru Ib-

lis kembali berkata seolah-olah seperti pada dirinya sendi-

ri,

“Wilayah Kayu Agung ini sudah harus dipenuhi 

oleh budak-budak perempuan, aku berkuasa di atas me-

reka. Sementara kesaktianku tak seorang pun ada yang 

mampu menandinginya”. Bersamaan dengan ucapannya 

itu, tak lama kemudian Guru Iblis kembali menoleh pada 

Dwi Sumirah kemudian diapun melanjutkan ucapan-

ucapannya kembali.

"Hei, manusia yang bernama Dwi Sumirah! Kini 

engkau sudah menjadi budakku, Mengertikah engkau?"

"Aku mengerti!" jawab Dwi Sumirah dengan tatapan 

mata hampa.

"Aku pangeranmu yang punya hak memperlaku-

kanmu sesuka hatiku.."

"Ya...!" sahut kepala dusun Embacang itu.


"Dan engkau wajib menuruti semua kehendakku, 

karena aku ini pangeranmu. Kau dengarkah apa yang ku-

katakan ini...?”

"Aku dengar, dan aku akan melakukannya...!" Dwi 

Sumirah yang sudah lupa pada diri sendiri itu menyahuti. 

Guru Iblis tergelak-gelak, selanjutnya dia kembali meme-

rintah.

"Sekarang buka semua pakaianmu!" perintah laki-

laki keparat itu dengan semangat yang menggebu-gebu.

Sungguh luar biasa pengaruh gaib yang dimiliki oleh Guru 

Iblis itu. Karena sesuai dengan perintahnya, maka tak la-

ma kemudian Dwi Sumirah segera menanggalkan pa-

kaiannya.

"Tanggalkan semuanya...! perintah Guru Iblis sam-

bil memperhatikan pemandangan yang terpampang seten-

gah meter didepan hidungnya. Tak lama kemudian wanita 

Kepala Dusun Embacang itu menanggalkan pakaian te-

rakhir miliknya. Tubuh Dwi Sumirah menebarkan bau ha-

rum yang membuat Guru Iblis blingsatan.

"Ke marilah engkau dan duduk di pangkuanku.."? 

perintah laki-laki gemuk bercawat itu. Kemudian begitu 

tubuh Dwi Sumirah mendekati. dia langsung saja menyen-

takkan tangan Dwi Sumirah. Tak ayal lagi perempuan 

yang sudah berada dalam kekuasaan ilmu sirep milik 

Guru Iblis itu pun terjerembab di pangkuan laki-laki ge-

muk itu. Tangan manusia bangsat itu lalu meranjah ke se-

genap tubuh Dwi Sumirah yang tiada berpakaian. Perem-

puan itu hanya mampu merintih begitu tangan si Guru Ib-

lis menggerayangi bagian-bagian tertentu. Tak lama sete-

lah itu Guru Iblis segera membaringkan tubuh Dwi Sumi


rah di atas lantai yang beralas tikar pandan. Lampu mi-

nyak kelapa di dalam ruangan kamar pribadi itu menda-

dak menjadi padam. Guru Iblis sudah berada dalam posi-

sinya, selanjutnya hanya erangan dan desahan-desahan 

kecil saja yang terdengar. Di dalam kamar suasana gelap 

gulita tubuh orang itu sudah bermandikan keringat. Se-

mentara di luar langit menjadi redup, awan putih sesekali 

menutupi cahaya bulan sehingga suasana di atas bumi

menjadi gelap seketika. Nun di kejauhan sana terdengar 

dengus babi hutan saling memperebutkan makanan. Se-

mentara lolongan srigala hutan pun saling bersahut-

sahutan tiada henti-hentinya.

Setelah lebih kurang dua jam kemudian, tampaklah 

guru setan keluar meninggalkan kamar pribadinya. Di bi-

birnya. menyunggingkan senyum puas dan licik. Sementa-

ra di dalam kamar yang gelap gulita tubuh Dwi Sumirah 

nampak terbaring lemah tiada daya. Sepanjang malam pe-

rempuan kepala dusun Embacang itu tidak pernah istira-

hat karena harus melayani Guru Iblis yang bertenaga gila.

* * *

Tanjung Lubuk di pagi hari selalu menampakkan 

kesibukan yang luar biasa. Apalagi daerah itu merupakan 

tempat memasarkan hasil bumi bagi penduduk yang ber-

mukim di sekitar tempat itu.

Tak heran kalau sepanjang hari Tanjung Lubuk 

merupakan sebuah tempat yang tak pernah sepi dari 

orang-orang yang berbelanja keperluan bahan pokok seha-

ri-hari.


Tidak jauh dari keramaian pasar itu, seorang kakek 

bertangan buntung dan mengenakan topi capil pelindung 

matahari, nampak sedang berjalan bersama seorang gadis 

cantik berkulit kuning langsat.

Kakek dan gadis itu nampak dengan tenang me-

langkahkan kakinya menuju sebuah warung yang terdekat 

dari tempat itu. Mereka tiada perduli pada orang-orang di 

sekitar pasar yang sejak tadi nampak memperhatikan si 

kakek buntung yang berjalan di sisi gadis itu.. Di mata 

mereka ada yang memandang iba pada kakek tersebut, 

ada yang mencemooh, bahkan ada pula yang merasa jijik.

Tak lama kemudian kedua orang itu pun sudah 

memasuki sebuah warung penjual makanan. Nampak ada 

beberapa pasang mata memandang pada mereka dengan 

perasaan tak senang ketika mereka memasuki warung ter-

sebut. Namun sejauh itu kakek dan gadis yang tak lain 

merupakan Mambang Sadewa dan Wanti Sarati adanya, 

nampak masih dapat menahan diri.

Kedua orang itu akhirnya duduk saling berhadapan

di salah sebuah bangku yang terletak di sudut ruangan 

warung itu. 

Tak lama kemudian seorang pelayan warung terse-

but nampak menghampiri mereka dengan perasaan eng-

gan. Dan sudah barang tentu hal ini didalam perhatian 

Mambang Sadewa, yang nampak mulai tersinggung.

"Anda pesan apa, Ki...?" tanya pelayan itu ayal-

ayalan.

Di luar dugaan kiranya Mambang Sadewa yang se-

sungguhnya berhati lembut kini nampak sudah tak saba-

ran. Lalu diinjaknya kaki pelayan yang berada di seberang


mejanya. Laki-laki pelayan itu menjerit, namun ketakutan 

luar biasa. Masih dengan perasaan geram Mambang Sade-

wa berkata ketus.

"Pelayan sialan! Yang kubutuhkan sopan santun 

yang baik, di sini kami bukan mengemis di warungmu ini. 

Kalau aku mau. aku mampu beli seisi warungmu berikut 

kepalamu dan kepala majikanmu!" bentak Mambang Sa-

dewa. Lalu tanpa terduga-duga dia merogoh sebuah kan-

tong yang menggelantung di lehernya. Pemandangan ini

sudah tentu membuat terbelalak kaget semua yang hadir 

di warung itu. Sebab Mambang Sadewa yang buntung ke-

dua tangannya itu, ternyata dapat mengambil kantung 

yang berisi uang emas itu dengan mulutnya. Bahkan den-

gan gerakan sangat cepat dia sekaligus membuka kantung 

yang terikat tali tersebut. Dengan giginya pula dikelua-

rkannya beberapa keping uang emas. Setelah itu dia pun 

berseru pada pelayan itu.

"Kau lihatlah pelayan goblok, bukankah uangku le-

bih dari cukup kalau hanya untuk membeli warung milik 

majikanmu ini?" bentaknya, seraya melepaskan injakan 

kakinya di atas kaki si pelayan yang sudah meringis-ringis 

ketakutan.

"Ampun…ampun tuan! Maafkan kesalahanku, se-

karang katakanlah apa yang ingin tuan pesan dari wa-

rungku ini...?" tanya si pelayan dengan sikap berubah sa-

ma sekali.

"Sialan! Kau suruh dulu aku marah, baru kemu-

dian kau layani. Kalau tak ingat perutku sudah sangat la-

par sekali. Warung ini pasti sudah kubakar...!" tukas 

Mambang Sadewa merasa sangat kesal sekali.


"Sekali lagi maafkanlah kami, Tuan...!" "Sudahlah, 

cepat sana kau sediakan apa yang kami ingini...!" kata 

Mambang Sadewa. Lalu tanpa banyak kata lagi pelayan se-

tengah baya itu pun segera meninggalkan mereka untuk 

menyediakan apa yang dipesan oleh kedua orang itu.

"Sedari tadi orang-orang itu memperhatikan kita 

melulu sih...!" Dalam suasana keramaian pengunjung. Ti-

ba-tiba Wanti Sarati yang sejak tadi hanya diam saja kini 

ikut menyela. 

Mambang Sadewa tersenyum saja mendengar uca-

pan gadis lugu dari lereng Kerinci itu

"Agaknya tikus-tikus karung itu begitu kagum me-

lihat kecantikanmu, Wanti. Atau mungkin pula mereka 

merasa iba bahkan benci melihat keadaanku yang cacat

ini...!"

"Ah, kakek mengapa, berkata begitu! Kalau berani 

macam-macam kita sikat saja mereka!" kata Wanti Sarati. 

Karena kata-kata itu diucapkan dengan suara keras, maka 

hal itu cukup menarik perhatian para pengunjung warung 

itu. Beberapa orang laki-laki yang duduk di sudut lainnya 

nampak memperhatikan Wanti Sarati dan Mambang Sa-

dewa silih berganti. Dari pandangan mata mereka, nampak 

sekali kalau orang-orang itu tidak bersahabat sama sekali. 

Bahkan salah seorang di antara laki-laki itu, nampak 

mengedip-kedipkan matanya pada Wanti Sarati. Sehingga 

membuat wajah gadis itu berubah merah. Masih untung 

gadis itu merupakan seorang gadis yang sangat penyabar. 

Kalau tidak sudah barang tentu si laki-laki sudah kena di-

damprat oleh Wanti Sarati. Namun kiranya saat itu Mam-

bang Sadewa juga sempat melihat ulah si laki-laki itu,


sungguh pun setengah kesal melihat ulah laki-laki itu, 

namun dia nyeletuk juga.

"Agaknya laki-laki muka tikus itu suka padamu, 

Wanti...!" 

Wanti Sarati nampak cemberut tanpa sadar dia pun 

berucap,

"Muka tikus itu. Heh, mana ada apa-apanya bila 

dibandingkan. dengan Paman Kelana...!"

"Agaknya engkau lebih kepincut pada pendekar 

yang telah menolongmu itu!" sindir Mambang Sadewa. 

Wajah Wanti Sarati memerah seketika itu juga. 

Kemudian buru-buru dia membantah.

"Kakek bisa-bisa saja, mana mungkin aku bisa 

menganggap lain Paman Kelana! Aku tahu bagaimana si-

fatnya terhadap wanita...!"

Tahulah Mambang Sadewa, bahwa gadis yang ma-

sih sangat belia itu sesungguhnya selain memendam rasa 

rindu kiranya juga menaruh perasaan pada pendekar yang 

sangat tampan itu. Untuk mendesak dan mencari tahu le-

bih lanjut rasanya dia kurang enak. Apalagi pada saat itu 

pelayan tadi sudah datang kembali dengan membawa pe-

sanan mereka.

Untuk sesaat mereka saling terdiam. Sementara pe-

layan setengah tua Itu dengan rasa sungkan meletakkan 

makanan yang dipesan oleh Mambang Sadewa. Lalu sete-

lah meletakkan makanan tersebut berucap: 

"Silahkan, Tuan... kata laki-laki itu seraya cepat-

cepat menyingkir dari tempat itu.

* * *


DELAPAN


Seperginya pelayan itu, Mambang Sadewa tanpa 

menghiraukan keadaan sekelilingnya terus menyantap hi-

dangan yang mereka pesan, Wanti Sarati merasa iba meli-

hat cara Mambang Sadewa menyantap makanan yang ter-

letak di hadapannya. Sebab cara Mambang Sadewa me-

makan makanan tersebut tak ubahnya bagai seekor itik 

saja. Mula-mula dengan mempergunakan dagunya dia 

mendekatkan mangkuk yang berisi makanan berikut lauk 

pauknya. Setelah itu, wajahnya menunduk sehingga kebe-

radaannya persis benar dengan mangkuk yang terletak di-

depannya! Lalu mulut dan bibirnya segera dia benamkan 

persis di dalam mangkuk tersebut. Namun sungguh pun 

begitu cepat sekali menghabiskan makanannya. Yang pasti 

semua tingkah dan keadaannya mengundang tawa semua 

yang hadir disitu. Terkecuali Wanti Sarati yang sejak tadi 

memandangi Mambang Sadewa dengan tatapan iba.

Bahkan tiga orang laki-laki muka tikus yang sejak 

tadi memperhatikan mereka, kini malah tergelak-gelak. 

Salah seorang di antara mereka lalu mencemooh.

"Ah rakus sekali kawan kita yang satu itu. Bagai 

satu bulan tak ketemu nasi. Lihatlah bagaimana dia. me-

nyantap hidangan yang sesungguhnya sangat layak untuk 

dimakan oleh seekor anjing budukan...!"

"Engkau betul. Aku pun merasa kasihan, agaknya 

kita perlu menyuapinya dengan makanan bekas...!" me-

nyela salah seorang laki-laki hitam berewokan sambil 

mengetuk-ngetukkan toyanya di atas meja. Meja itu nam


pak tergetar lalu amblas sebatas siku manakala laki-laki 

berewokan itu menekan meja tersebut.

Di lain pihak, baik Mambang Sadewa maupun 

Wanti Sarati nampak gusar sekali begitu mendengar uca-

pan tiga orang yang belum dikenalnya. 

"Kakek tak usah turun, biarkan aku yang akan ka-

sih pelajaran pada tiga ekor tikus cacingan itu!" kata Wanti 

Sarati, lalu dia pun segera menghampiri tiga laki-laki yang 

bertampang sangar tersebut. Laki-laki itu tergelak-gelak 

begitu melihat si gadis menghampiri mereka. Sesaat sete-

lah berada di depan meja orang-orang itu Wanti Sarati be-

rucap:

"Tiga ekor monyet. sialan! Kalian bilang apa tadi 

pada kakekku...?"

"Kawan! Perawan tingting ini berani sekali jual la-

gak di depan Tiga Begal Dari Tulung Seluang. Hemm, hu-

kuman apa yang paling pantas untuk manusia secantik

dia..,?' kata si Tinggi Kurus Muka Tikus Curut. Dua orang 

kawannya tergelak-gelak.

"Itu gampang. Kita potes dulu kakeknya yang ber-

tangan buntung itu, setelah itu kita ringkus dia. Bukan-

kah di pondok kita sangat dingin?"

"Nah, kita bisa bergilir menidurinya!" kata yang 

lainnya. Semakin bertambah gusar saja Wanti Sarati men-

dengar kata-kata yang bermaksud kurang ajar itu. Saat 

yang sama si kakek bertangan buntung nampak tenang-

tenang saja. Sebab sesungguhnya dia ingin mengetahui 

sampai di mana kehebatan gadis yang selalu merindukan 

kehadiran Pendekar Hina Kelana itu. Sementara itu, Wanti


Sarati yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya se-

gera berseru

"Begal sialan manusia jadah! Agaknya mulut kalian 

perlu dihajar terlebih dulu!" bentak Wanti Sarati.

Belum lagi gadis itu selesai dengan ucapannya, 

dengan tangan terkepal dia langsung kirimkan satu seran-

gan kilat.

Nampaknya ketiga orang itu memang belum pernah 

menduga sebelumnya, bahwa si gadis sesungguhnya me-

miliki kepandaian juga. Maka dengan sikap ayal-ayalan dia 

mencoba untuk menangkap tangan Wanti Sarati.

"Plaaak”

Laki-laki berwajah tikus curut itu menjerit tertahan 

begitu merasakan bagaikan remuk ketika berusaha me-

mapaki sekaligus menangkap tinju si gadis. Orang itu te-

rus merintih-rintih sambil memegangi tangannya yang 

membengkak dan berwarna kemerah-merahan.

Sementara dua orang lainnya, di samping terkejut 

juga sangat marah. Apalagi mengingat orang yang mem-

permalukan mereka hanyalah seorang gadis tanggung 

yang mereka sangka tiada apa-apanya.

Dalam waktu sekejap saja orang-orang yang berada 

di dalam warung itu segera menyingkir dari tempatnya.

Saat itu si Kulit Hitam Berewokan sudah berdiri 

dan langsung membentak si gadis!

“Bocah! Berani betul kau menyakiti kawan kami, 

tahukah kau bahwa si Tiga Begal Dari Tulung Seluang tak 

pernah bertindak setengah-setengah?"

Bagaimanapun Wanti Sarati adalah seorang gadis 

yang berpikiran cerdik, dia pun sudah tahu sampai dima


na kemampuan ketiga orang itu. Maka tanpa banyak cing-

cong lagi dia pun kembali kirimkan satu pukulan keras. 

Pukulan yang dilancarkan oleh si gadis, terus menderu 

mengarah pada bagian dada laki-laki berewokan. Masih 

untung laki-laki itu kiranya sudah bersiap siaga mengha-

dapi segala kemungkinan. Maka sambil berkelit dia pun 

kirimkan satu pukulan satu totokan.

"Plaaak! Deeeesss!"

Laki-laki berewokan itu terhuyung-huyung, kalau 

saja tidak ada meja di belakang yang menahan tubuhnya, 

sudah barang tentu dia terjengkang. 

Sadarlah-laki-laki berewokan ini, bahwa gadis itu 

sesungguhnya memiliki ilmu silat dan pukulan tenaga da-

lam yang tangguh.

Kini tanpa sungkan-sungkan lagi, laki-laki berewo-

kan dan dua orang lainnya segera mencabut senjata mere-

ka yang berupa toya dan clurit. 

Melihat gelagat yang tak baik, maka pelayan wa-

rung itu dengan suara gemetar nampak berucap; 

"Tuan-tuan dan nona, janganlah berkelahi di dalam 

warungku. Modal kami kecil. Itu pun setelah menjual 

kambing yang cuma satu-satunya...." kata pemilik dan pe-

layan warung itu mengiba.

Dalam pada itu Mambang Sadewa sudah menyela.

"Pelayan goblok, biarkan mereka pada bertarung di 

dalam warung ini. Kau jangan takut! Kalau tiga begal tikus 

itu pada bokek, nanti biar aku yang mengganti segala ke-

rusakan yang terjadi."

“Saat itu juga Mambang Sadewa dengan mulutnya 

segera melemparkan tiga kepingan emas. Uang tersebut


langsung masuk ke dalam saku si pelayan. Bukan main gi-

rangnya pelayan itu begitu melihat tiga keping uang emas 

pemberian Mambang Sadewa.

"Apakah tiga keping emas itu sudah cukup?" tanya 

Mambang Sadewa, sambil melirik pada si pelayan dan 

Wanti Sarati.

"Oh Cukup sekali, andai tuan-tuan bakar sekalipun 

warungku ini kami bisa membangun dua buah yang lebih 

baik dari warung yang ada...." kata pelayan itu, seraya se-

gera berlalu dari dalam warungnya.

Setelah pelayan itu menghilang di balik pintu bela-

kang maka Mambang Sadewa kembali pada tiga begal dan 

Wanti Sarati.

"Tunggu apa lagi? Warung ini sudah kubayar, su-

dah lama aku tak pernah melihat pertempuran. Cepat-

cepatlah kalian bertarung!" perintah Mambang Sadewa. Ti-

ga begal kertakkan rahang, orang-orang itu langsung men-

gurung Wanti Sarati. Maka sesaat kemudian ketiga orang 

langsung menyerang Wanti Sarati dengan senjata terhu-

nus.

Dalam waktu sekejap saja pertarungan sengit pun 

segera terjadi. Si muka tikus dengan toya di tangannya ce-

pat-cepat kirimkan serangan-serangan ganas. Toya di tan-

gannya menderu laksana baling-baling. Mencecar ke ba-

gian-bagian tubuh Wanti Sarati yang nampak lemah per-

tahanannya. Sementara dua orang lainnya dengan pedang 

tajam berkilat-kilat mencecar Wanti Sarati dari bagian be-

lakang.

Sungguhpun mereka itu hanyalah sekawanan beg-

al, namun nampaknya mereka memang sudah sangat ber



pengalaman dalam hal pertarungan seperti itu. Sungguh 

pun Wanti Sarati hanyalah merupakan seorang gadis yang 

sangat muda belia dan belum punya pengalaman banyak 

dalam hal pertarungan, tetapi dia merupakan pewaris 

tunggal dari Dua Belas Jurus Aneh peninggalan bekas-se-

orang tokoh sakti Padri Agung Sindang Darah. Gerakan-

gerakan silatnya yang bervariasi dan menggambarkan se-

bagai orang yang putus asa dalam penyesalan. Tetapi se-

lama itu belum satu pun senjata lawannya yang sampai 

menyentuh kulitnya. Jangankan lagi sampai melukainya,

Suatu saat bagai seekor udang yang menghindari 

sergapan seekor ikan buas, dengan begitu indahnya. Tu-

buh si gadis melentik ke atas, kemudian gadis itu berkele-

bat cepat, tangan kiri kanan kirimkan pukulan-pukulan 

maut saling susul menyusul, sementara kaki kiri menen-

dang bagian selangkangan lawan-lawannya. Pada saat itu 

serangan toya dari laki-laki bermuka tikus menderu men-

garah pada bagian punggungnya. Dan pada saat yang ber-

samaan pula, pedang di tangan si berewok membabat ke 

bagian tangan si gadis yang sudah terjulur melakukan sa-

tu pukulan.

Baik Mambang Sadewa dan para pengeroyok Wanti 

Sarati sudah menduga bahwa kali ini gadis itu pasti sudah 

tak mungkin lagi mengelakkan serangan ganas yang da-

tangnya secara bersamaan itu.

Toya dan pedang di tangan lawan-lawannya terus 

menderu dan timbulkan suara bercuitan. Wanti Sarati 

sendiri sempat merasakan betapa sambaran angin senjata 

lawannya saja sudah membuat dadanya menjadi sesak 

luar biasa. Sungguh pun begitu dia tidak nampak menjadi


gugup, dengan, cepat begitu senjata-senjata di tangan la-

wannya hampir mencapai sasarannya. Di luar dugaan la-

wan-lawannya, Wanti Sarati jatuhkan diri, lalu berguling-

guling. Sementara kakinya menggunting kaki si berewok 

yang hampir saja bertubrukan sesamanya.

Jepitan kaki Wanti Sarati bukan main kuatnya, se-

hingga memaksa si berewok terbanting di atas lantai wa-

rung. Secepat kilat Wanti Sarati menarik kakinya. Kemu-

dian tangan kanannya kirimkan satu sodokan yang sangat 

telak ke bagian kiri rusuk lawannya. Si berewok yang ber-

senjatakan pedang itu menjerit keras manakala tulang 

iganya patah dan timbulkan suara berderak.

Tanpa menghiraukan si berewok yang terus meng-

geliat-geliat, cepat-cepat si gadis bangkit. Sekali lagi tu-

buhnya berkelebat menyongsong serangan dua senjata 

lainnya yang berupa toya dan sebilah pedang.

"Pletok! Duuuk!"

Si Tinggi Muka Tikus berseru kaget, manakala pu-

taran toyanya membentur tangan si gadis. Tangannya ter-

getar hebat. Saat itu pula senjata lain menderu kearah ba-

gian bahu si gadis. Wanti Sarati menggeser tubuhnya se-

dikit kesamping. Dengan cepat dorongkan sebuah kursi 

kayu yang berada didepannya. 

"Wuuus”

"Braaak!"

Kursi dipergunakan oleh Wanti Sarati sebagai ta-

meng pelindung hancur berkeping-keping dilanda ketaja-

man pedang di tangan lawannya.


Dalam pada itu Mambang Sadewa yang sejak tadi 

memperhatikan pertarungan itu dengan terkagum-kagum, 

kini sudah berseru tidak sabar lagi;

"Wanti! Jangan kau beri hati begal-begal cacingan 

itu"! Cepat mampusi mereka...!" perintah Mambang Sade-

wa.

Begitu Wanti Sarati mendengar aba-aba dari Mam-

bang Sadewa, saat itu juga dia cepat-cepat melolos Selen-

dang Merah yang melilit pinggangnya.

Sesaat kemudian selendang di tangan si gadis me-

lesat ke arah lawannya. Selendang itu berkelebat-kelebat. 

Menderu dan keluarkan suara mendesis bagai ribuan ekor 

ular.

Bertarung dengan tangan kosong saja membuat ti-

ga begal itu kalang kabut, bahkan salah seorang di antara 

mereka telah kena dipatahkan tulang rusuknya. Apalagi

kini si gadis sudah mempergunakan selendangnya, Yang 

juga merupakan kelanjutan dari dua belas jurus silat aneh 

peninggalan Padri Agung Sindang Darah.

Tak dapat dihindari lagi pertarungan menjadi se-

makin sengit. Perabotan di dalam warung itu porak poran-

da dilanda lecutan-lecutan selendang di tangan Wanti Sa-

rati.

Si tiga begal menjadi semakin kerepotan, mati-

matian mereka mempertahankan diri dari gempuran-

gempuran selendang yang sangat mematikan itu.

Satu ketika salah seorang dari mereka yang bersen-

jatakan pedang berteriak keras, tubuhnya melesat sedemi-

kian cepatnya. Dia bermaksud menerkam si gadis. Untuk 

kemudian kirimkan satu tusukan ke bagian leher lawan


nya. Namun baru tiga meter tubuhnya melayang, Selen-

dang Merah di tangan Wanti Sarati sudah memapakinya.

* * *


SEMBILAN



Ujung selendang itu melecut tepat di wajah si tinggi 

berewokan, laki-laki bertampang sadis ini pun menjerit, 

wajahnya hancur. Tidak kepalang tanggung lagi. Si gadis 

kirimkan satu pukulan lagi. Pedang di tangan orang itu 

terpental. Suara raungan kembali terdengar. Bersamaan 

dengan itu tubuh laki-laki itu terlempar. Tubuhnya mena-

brak dinding warung yang terbuat dari anyaman lepas. 

Dinding tersebut hancur berantakan manakala tubuh si 

laki-laki berewokan menabraknya. Begitu tubuh si bere-

wok terjengkang di luar warung. Sekejap salah seorang da-

ri tiga begal itu menggeliat-geliat. Wajahnya yang hancur, 

dan dadanya yang remuk dilanda senjata lawannya terus 

mengalirkan darah kental. Kemudian setelah berkejat-

kejat. Laki-laki berewokan itu pun meregang ajal, selan-

jutnya dia diam untuk selamanya.

Kini tinggallah laki-laki muka tikus bersenjata toya, 

dan si laki-laki berewokan lainnya yang sudah patah tu-

lang rusuknya.

Mengetahui kawan mereka tewas di tangan si gadis, 

dengan kemarahan yang meluap-luap dan tanpa basa basi 

lagi, dua orang ini dengan sangat nekat sekali kembali


menggempur si gadis dengan serangan-serangan yang le-

bih dahsyat. Dengan mempergunakan jurus-jurus Pedang 

Menyebar Maut. Nampaknya kini serangan-serangan sen-

jata mereka berubah sama sekali. 

Gerakan mereka dalam menempur lawannya nam-

pak semakin cepat, pedang maupun toya di tangan mende-

ru dan mencecar tubuh Wanti Sarati tanpa putus-

putusnya.

Dalam menghadapi serangan-serangan yang sede-

mikian cepatnya, Wanti Sarati terpaksa harus mempergu-

nakan jurus silat aneh tingkat kedelapan. Sesaat si gadis 

bergerak lamban, bagai orang pikun yang sudah tidak ta-

hu lagi mana kawan mana lawan, di lain waktu bagaikan 

orang kesurupan tubuhnya melabrak apa saja yang ada di 

sekitarnya. Kemudian berlanjut lagi? Si gadis berteriak-

teriak bagai orang yang kurang waras, sungguh nya inilah 

yang merupakan salah satu unsur pengembangan jurus-

jurus aneh warisan Padri Agung Sindang Darah. Sebab tak 

lama setelah teriakan- teriakan itu. Tubuh Wanti Sarati 

sudah berkelebat lenyap, hal ini benar-benar membuat 

bingung lawan-lawannya.

Bahkan salah seorang di antara lawannya sampai 

keluarkan seruan tertahan! 

"Ilmu iblissss!"

"Bet. Wuuut!"

Secara ayal-ayalan, salah seorang di antara mereka 

membabatkan senjatanya. Namun pada saat itulah Selen-

dang Merah di tangan Wanti Sarati melecut! 

"Breeessss!"



Bagai seekor anjing yang kena gebuk laki-laki be-

rewokan yang sudah patah tulang rusuknya itu melolong.

Bagian punggung laki-laki itu terobek sejengkal. 

Darah mengucur dari luka akibat sambaran selendang 

yang sangat ganas. Laki-laki itu nampak terhuyung-

huyung. Namun sebelum kawannya sempat berbuat ba-

nyak, laksana kilat selendang di tangan Wanti Sarati kem-

bali melecut ke bagian perutnya. 

"Breeeet!"

Si begal yang bersenjatakan pedang itu nampak ter-

lolong kedua tangannya! menekap pada bagian perutnya 

yang terburai. Darah menyembur dari sela-sela ususnya 

yang berserabutan keluar. 

Laki-laki itu nampak pucat pasi. Begitu dia berusa-

ha menindakkan langkahnya. Laki-laki itu terhuyung, ke-

mudian tanpa ampun tubuhnya tersungkur. Tiada eran-

gan maut yang terdengar, tanpa dapat dicegah lagi orang 

itu pun tewas secara menyedihkan.

Kini tinggallah laki-laki bertoya muka tikus. Menge-

tahui kembrat-kembratnya tewas secara mengerikan, nya-

linya menjadi ciut. Dia mulai menoleh kanan kiri. Tetapi 

agaknya Wanti Sarati sudah dapat menebak apa yang 

akan dilakukan oleh sisa si tiga begal. Maka cepat-cepat 

dia pun membentak;

"Tiga begal tiada guna! Engkau hendak coba-coba 

kabur dari maut? Hemm! Enak betul, setelah menghina 

kakekku, setelah kawan-kawanmu pada mampus. Hi... 

hi... hi....! Kau boleh pergi, asalkan kau tinggalkan kepa-

lamu di warung ini!" tukas Wanti Sarati dengan sesungg-

ing senyum mengejek.


"Perempuan bangsat! Aku akan mengadu jiwa den-

ganmu...!" Wanti Sarati kembali tergelak-gelak.

"Bukankah tadi kau bermaksud untuk meniduri-

ku? Hmm. Setelah kau tinggal sendirian, aku mau kau 

bawa ke mana pun engkau suka. Asalkan engkau bisa 

mengalahkan aku!" menyela gadis itu. Walau sesungguh-

nya hatinya memaki dan menanam rasa benci pada si mu-

ka tikus.

"Wanti! Sikat saja. Bicara dengan tikus begal cacin-

gan hanya menambah umurnya beberapa saat!" Mambang 

Sadewa merasa kurang sabar melihat kekonyolan gadis 

yang sangat baik hati itu. Tanpa berpaling dari lawannya, 

Wanti Sarati kembali membentak;

"Kakekku bilang supaya aku cepat-cepat membu-

nuhmu. Cepat-cepatlah kau bela dirimu. Kalau sudah ma-

suk ke liang kubur menyesal pun tiada guna!"

"Perempuan iblis, makanlah toyaku. Hiaaat...!" 

Agaknya setelah kematian kawan-kawannya, laki-laki mu-

ka tikus itu sudah tak punya pilihan lain. Maka akhirnya 

dia pun menjadi nekad. Tak ayal lagi, akhirnya dengan se-

genap kemampuannya laki-laki bertoya itu segera menge-

rahkan segenap kemampuannya. Toya di tangan kembali 

menderu, sebisa-bisanya dia berusaha mencecar lawan. 

Dalam amarah yang meledak-ledak, tidak lagi terpikirkan 

akan keselamatan diri sendiri. Namun betapa pun hebat-

nya serangan gencar yang dia lakukan sejauh itu Wanti 

Sarati nampak tenang-tenang saja.

Maju bareng bertiga, si muka tikus tidak dapat 

berbuat banyak. Apalagi kini hanya sendirian. Tanpa 

membuang-buang waktu lagi si gadis kembali lecutkan se


lendangnya. Begitu selendang maut meliuk-liuk ke arah si 

muka tikus, dia cepat-cepat pukulkan toyanya. Tak pelak 

lagi, selendang dan toya itu pun bertemu. Tetapi sungguh 

pun lecutan selendang itu dapat dipatahkan oleh toya la-

wannya. Di luar dugaan Selendang Merah itu melibat toya 

tersebut. Tarik menarik pun segera menjadi. Dengan sepe-

nuh tenaga, si muka tikus berusaha mempertahankan 

senjatanya. Tetapi kiranya tenaga dalam di muka tikus ter-

taut jauh di bawah tenaga dalam milik Wanti Sarati.

"Breeet!"

Toya di tangan laki-laki muka tikus terenggut. Ka-

lau saja laki-laki itu tidak cepat-cepat melepaskan ceka-

lannya. Sudah barang pasti tubuhnya pun akan terbetot. 

Wanti Sarati tergelak-gelak, tangan kirinya menimang-

nimang toya lawan yang kini telah berada dalam gengga-

mannya.

"Hemmm! Toya butut begini apa bagusnya? ku-

kembalikan saja pada pemiliknya!" Berkata begitu, Wanti 

Sarati langsung menyambitkan toya tersebut kearah laki-

laki muka tikus. Sisa tiga begal itu terkejut sekali, karena 

toya yang disambitkan oleh lawannya meluncur sedemi-

kian cepat kepadanya. Buru-buru dia mengelak, begitupun 

sambaran angin dari luncuran senjata itu membuat pa-

kaiannya berkibar-kibar. 

"Wuuusss!"

Serangan selendang lawan menyusul luncuran toya 

yang dapat dielakkan oleh lawannya. Si muka tikus men-

jadi gugup mendapat serangan yang beruntun itu. Dia 

langsung membuang tubuhnya, lalu berguling-guling me-

nabrak apa saja yang ada di ruangan itu.


Namun selendang di tangan Wanti Sarati terus 

mengejarnya. Agaknya laki-laki itu mulai putus asa. Sece-

patnya dia bangkit, tetapi malang tak bisa ditolak. Selen-

dang maut itu menghantam keras pada bagian lehernya.

"Argggkh...!" Hanya suara itu yang terdengar, leher 

laki-laki muka tikus terobek sampai ke bagian pangkalnya. 

Bagai mata air darah memancar mengikuti irama dengan 

denyut jantung. Nanar pandangan mata laki-laki itu. Pan-

dangan matanya semakin lama semakin meredup. Tubuh 

laki-laki itu kemudian berputar-putar, lalu limbung karena 

kehilangan keseimbangan. Tak lama setelahnya, dia pun 

terbanting roboh. Pakaiannya berubah memerah karena 

dibasahi darah. Hanya sesaat saja setelah itu, tubuhnya 

pun tiada bergerak-gerak lagi.

Dengan tewasnya si tiga begal, maka Wanti Sarati 

kembali melilitkan selendang miliknya. Nampak Mambang 

Sadewa memuji-muji dirinya dengan penuh kekaguman. 

Kemudian tanpa sadar dia pun bergumam seolah pada di-

rinya sendiri.

"Hebat. Jurus-jurus silat aneh bahkan belum per-

nah kukenal, selendang bagus, Selendang Merah, yang ki-

ranya merupakan senjata ampuh. Aha... gadis... cah ayu! 

Siapakah gurumu...?" tanya Mambang Sadewa.

Yang ditanya nampak tersipu malu, wajahnya me-

rona merah. Kemudian setelah kembali duduk di sisi 

Mambang Sadewa, setelah dia memandangi seisi warung 

yang sudah berantakan. Maka dengan suara merendah dia 

berucap;



"Kakek terlalu berlebihan, aku tidak ada apa-

apanya bila dibandingkan dengan kakek, apalagi dengan 

Paman Kelana….!" ucapnya pelan.

"Ah.... ah...! Cah bagus. Selain kepandaianmu ting-

gi, kiranya sifatmu sangat jujur dan mulia. Sungguh be-

runtung sekali orang yang dapat memperistrimu. Di jaman 

ini sangat jarang sekali gadis yang memiliki keluhuran bu-

di sepertimu...!" kata Mambang Sadewa polos. 

Maka semakin bertambah memerah saja wajah 

Wanti Sarati dibuatnya. Sungguh pun dia seorang gadis 

yang selalu bicara apa adanya. Namun sebagaimana gadis-

gadis pada umumnya berbicara mengenai masalah yang 

sangat pribadi sifatnya sudah barang tentu membuatnya 

jadi salah tingkah.

"Kakek, janganlah kakek memujiku setinggi langit. 

Nanti cucumu ini bisa besar kepala...!"

Mambang Sadewa tergelak-gelak. Apalagi Wanti Sa-

rati berkata dengan penuh keakraban. Keakraban seorang 

cucu dengan kakeknya. Sungguh pun jelas bahwa Wanti 

Sarati memang bukan cucunya. Tetapi disebut-sebut se-

perti itu, dia merasa sangat terharu di samping bahagia 

sekali. Tanpa sadar dia menitikkan air mata, lalu dengan 

lembut dielusnya kepala Wanti Sarati, sebagaimana layak-

nya membelai seorang cucu sendiri.

"Wanti! Puji syukur karena sang Dewata, hampir di 

akhir hayatku telah berkenan mempertemukanku den-

ganmu seorang gadis yang lembut. Semua itu telah meng-

hapuskan kebencianku pada kaum perempuan di atas du-

nia ini. Engkau gadis yang sangat baik, hatimu lembut. 

Andai nanti aku masih sempat bertemu dengan Pendekar


Hina Kelana. Akan kukatakan padanya bahwa sesungguh-

nya dia pantas menyayangimu, sebagaimana rasa sayang-

mu kepadanya...!" aku Mambang Sadewa dengan kata ber-

kaca-kaca.

"Kakek...." Wanti Sarati tersentak. 

"Jangan bantah ucapanku Wanti, aku berkata se-

sungguhnya. Aku yang sudah tua bangka ini sayang dan 

kasihan padamu. Seandainya pun aku mati, aku. tak ingin 

melihatmu hidup penuh bergelimang kesedihan. Mungkin 

gadis semacamulah yang telah ditakdirkan oleh Sang 

Hyang Widi untuk mendampingi pendekar yang dalam hi-

dupnya selalu dalam penderitaan itu." desah Mambang 

Sadewa.

"Apakah dia pernah mengatakannya padamu...?"

Mambang Sadewa gelengkan kepalanya berulang-

ulang.

"Tidak! Tetapi aku dapat melihat dari sorot ma-

tanya...!"

"Ah, sudahlah. Kakek jangan bicarakan dia te-

rus...!" kata Wanti Sarati menjadi jengah. Laki-laki bertan-

gan buntung itu tersenyum tipis.

"Wanti. Engkau tak bisa memungkiri hatimu. Aku 

melihat, matamu selalu memendam rindu padanya."

Wajah Wanti Sarati kian tertunduk, kelopak ma-

tanya merembang merah. Mambang Sadewa jadi iba kare-

nanya. Kemudian sekali , lagi dibelainya kepala gadis ber-

kulit kuning langsat itu. Seraya berucap;

"Sudahlah, jangan pula engkau turut larut dalam 

kesedihan. Mari kita tinggalkan tempat ini!" kata Mambang 

Sadewa.

"Kita hendak ke mana kek...?" tanya Wanti bagai 

orang linglung. Sambil bergerak melangkah, Mambang Sa-

dewa nyeletuk.

"Ke mana lagi! Kayu Agung tujuan kita. Semoga 

pendekar yang selalu kau rindukan itu sudah pula berada 

di sana."

Wanti Sarati hanya diam saja, entah apa yang dipi-

kirkannya. Namun kedua kakinya terus melangkah mengi-

ringi langkah Mambang Sadewa. Semakin lama kedua 

orang itu pun telah jauh meninggalkan Tanjung Lubuk.

* * *

SEPULUH



Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, 

dengan mempergunakan Ajian Sepi Angin. Tubuh Pende-

kar Hina Kelana berkelebat cepat, di antara hutan bakau 

yang tumbuh subur di daerah Kayu Agung. 

Dalam waktu yang singkat dia sudah sampai di 

tengah-tengah hutan tersebut. Sesaat kemudian pemuda 

itu menghentikan langkahnya ketika penciumannya mem-

baui hawa tak sedap, di sekitar tempat itu. Kemudian ke-

tika dia melangkahkan kakinya beberapa tindak ke depan-

nya. Maka terlihatlah beberapa sosok mayat laki-laki yang 

sudah membusuk. Buang Sengketa kernyitkan alisnya. 

Menurut perhitungannya, tentu mayat-mayat itu sudah 

menggeletak di situ lebih kurang tujuh hari yang lalu. Pe-

muda ini mengitarkan pandangannya. Tak ada sesuatu


pun yang mencurigakan di sana. Hanya ribuan lalat-lalat 

hijau saja yang beterbangan silih berganti. Nampak dari 

badan yang telah membusuk itu ribuan belatung sebesar 

jari kelingking. Ulat-ulat itu melentik menggeliat tumpang 

tindih di antara sesama kawannya. Buang Sengketa cepat-

cepat palingkan muka. Perutnya terasa mual dan ingin 

muntah. Kemudian pemuda dari Negeri Bunian itu pun 

segera meninggalkan tempat itu.

Mungkin orang-orang itu merupakan korban Pri 

Kumala Hijau! Batinnya merasa sangat geram sekali.

Kini dia kembali mengerahkan Ajian Sepi Angin, 

sekejap saja tubuhnya berkelebat laksana terbang. Lewat 

sepeminum teh sampailah pemuda itu dekat sebuah ru-

mah bertonggak yang sangat besar sekali. Buang Sengketa 

mulai meneliti keadaan sekitar. Beberapa orang perem-

puan yang masih sangat muda, nampak hilir mudik menu-

runi anak tangga dari rumah panggung tersebut. Perem-

puan-perempuan berwajah cantik-cantik itu nampak ber-

pakaian sangat menyolok sekali. Dada mereka yang padat 

berisi nampak' terbuka begitu saja tanpa selembar kain 

penutup pun. Sedangkan di bagian pusar hanya mengena-

kan sebuah cawat ala kadarnya. Wajah Pendekar Hina Ke-

lana berubah memerah. Cepat-cepat. dia palingkan muka 

sambil menunggu perkembangan selanjutnya.

Dalam pada itu sempat terlintas dalam pikiran pe-

muda ini. Mungkin sesuatu telah terjadi pada perempuan-

perempuan itu. Cara mereka berpandangan, sorot mata 

mereka nampak kosong, bahkan mereka seperti tak ber-

malu berjalan begitu saja dengan keadaannya yang seten


gah telanjang. Mungkin kali ini dia sudah sampai di tem-

pat yang dituju. Batin pemuda itu.

Ketika Buang Sengketa sedang berpikir-pikir ten-

tang perempuan-perempuan itu, tiba-tiba dari dalam ru-

mah tersebut muncul seorang laki-laki gemuk yang juga 

hanya bercawat di depan pintu. Sesaat laki-laki itu nam-

pak memandang ke arah jurusan lain. Tetapi anehnya se-

saat setelah itu dia pun membentak;

"Manusia gembel yang bersembunyi di balik po-

hon... Cepat-cepat tunjukkan diri!" tukasnya dengan nada 

tidak senang. Pendekar Hina Kelana garuk-garuk kepa-

lanya. Sialan! Agaknya si muka sadis inilah yang dimak-

sud oleh Mambang Sadewa. Makinya pula.

Bagaikan orang tolol dia menyeruak diantara tim-

bunan daun bakau. Diatas tanah becek dan berbau tak

sedap itu dia mengayunkan langkahnya. Laki-laki berca-

wat yang tak lain Guru Iblis adanya, nampaknya tak be-

ranjak dari depan pintu tersebut.

Dengan suara serak serasa bagai menghentikan 

denyut darah. Laki-laki bercawat itu kemudian menyam-

bung kembali!

"Gembel berperiuk. Sungguh berani mati kau me-

masuki Kayu Agung, agaknya kau tak mengerti. Bahwa 

siapa pun yang telah begitu berani memasuki wilayah ke-

kuasaanku ini. Tidak pernah keluar dalam keadaan hi-

dup?"

Buang Sengketa terkesiap, dia bukan merasa gen-

tar dengan bentakan yang bernada mengancam itu. Tetapi 

adalah karena dalam suara pelan yang mengandung tena-

ga dalam tersebut, Buang Sengketa merasakan sekujur


tubuhnya bergetar hebat. Jantungnya serasa berhenti ber-

denyut. Pendekar ini menyadari bahwa laki-laki itu se-

sungguhnya sedang menyerang dirinya melalui suara ter-

sebut, cepat-cepat pemuda itu mengerahkan kekuatan ba-

tinnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan susulan. 

Tetapi kiranya serangan melalui suara itu hanya terhenti 

sampai di situ saja. Maka sesaat kemudian Buang Sengke-

ta segera menyela;

"Laki-laki bercawat. Hutan bukan milik nenek 

moyangmu, siapa pun punya hak untuk memasuki hutan 

ini...!"

Tanpa merasa tersinggung, Guru Iblis itu meman-

dang pada si pemuda untuk sesaat lamanya. Buang Seng-

keta lebih terkejut lagi, manakala selintasan dia melihat 

bahwa sepasang mata laki-laki-bercawat itu memancarkan 

sinar aneh. Mata itu memang merah sebagaimana mata 

Mambang Sadewa. Tetapi mata laki-laki bercawat itu nam-

pak menyebarkan kekejian dan hawa pembunuhan yang 

terpendam.

"Bocah besar sekali nyalimu. Padahal sekali saja 

engkau menampak di depan hidungku, Setan Joma takkan 

pernah membiarkanmu hidup walau hanya sesaat Saja." 

kata Guru Iblis dengan suara serak namun berwibawa.

Sungguh pun kemampuan laki-laki bercawat itu 

sangat sulit untuk diduga. Namun, begitu mendengar pen-

gakuannya Pendekar Hina Kelana nampak senang sekali. 

Tetapi dalam kegembiraan itu, hatinya masih diliputi tan-

da tanya. Sebab dia tidak melihat adanya Pri Kumala Hijau 

bersama dengan laki-laki itu.


"Hemmm, kiranya engkaulah kunyuk yang telah

bikin onar di mana-mana, muridmu yang durhaka itu kau 

suruh menculik anak gadis orang. Kau perkosa mereka, 

kau buat pula mereka menjadi dungu. Kau tak lebih dari 

seekor binatang yang paling menjijikkan...!" maki Buang 

Sengketa tanpa merasa sungkan-sungkan lagi.

Guru Iblis nampak tenang-tenang saja, walaupun 

sesungguhnya hati dan pikirannya dipenuhi dengan rasa 

geram luar biasa. Lalu dengan sepasang matanya yang 

mencorong, kembali dipandanginya Buang Sengketa. Se-

saat setelahnya dia pun telah melompat dari atas rumah 

bertonggak itu.

Sekejap kemudian dia sudah berdiri tiga tombak di 

hadapan Pendekar Hina Kelana. Dari gerakannya, dan ca-

ra dia menginjakkan kakinya diatas tanah becek itu. 

Buang Sengketa menyadari bahwa laki-laki itu memiliki 

ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.

"Kreeek... kreeek.... kreeeek...!"

Laki-laki Guru Iblis tergelak-gelak..

"Semuanya tidak ku pungkiri bocah. Kalau pun 

memang benar kau bisa apa? Tak seorang pun di kolong 

langit ini yang mampu bertahan hidup menghadapi puku-

lan-pukulan maut si Guru Iblis...!" 

"Kejahatan, bagaimana pun hebatnya tak akan 

pernah dapat bertahan lama. Sungguh pun hari ini aku 

tak menang menghadapimu. Tetapi kebenaran selalu da-

pat mengalahkannya!" kata pemuda itu pasti.

"Kentut busuk! Aku muak melihat bualanmu...!" 

berkata begitu Guru Iblis mulai mengawali serangannya.


Pendekar Hina Kelana menyadari betapa berba-

hayanya serangan-serangan yang dilancarkan oleh laki-

laki bercawat, Dia pun sudah memutuskan untuk tidak 

mengambil resiko yang ada akhirnya dapat membahaya-

kan keselamatan jiwanya. Maka tak ayal lagi begitu tu-

buhnya bergerak untuk menghindari terjangan tangan 

Guru Iblis yang sudah berubah membiru. Untuk selanjut-

nya dia segera pergunakan jurus si Gila Mengamuk yaitu 

jurus di atas tingkatan Membendung Gelombang Menimba 

Samudra yang dia miliki. Maka bertempurlah tokoh golon-

gan hitam tingkat tinggi ini dengan Pendekar Hina Kelana.

Sekejap saja halaman berlumpur itu sudah berubah men-

jadi arena pertarungan yang sangat mendebarkan.

Sedapat mungkin Buang Sengketa menghindari 

bentrokan dengan tangan lawannya. Dia menyadari bahwa 

sungguh pun tubuhnya kebal terhadap serangan berbagai 

jenis pukulan beracun. Namun pukulan beracun yang di-

miliki oleh Guru Iblis itu nampaknya lain dari yang lain. 

Pukulan-beracun milik Guru Iblis nyata-nyata bersumber 

dari inti tenaga murni yang bukan tak mustahil di dalam-

nya mengandung unsur-unsur mistik pula.

Serangan gencar yang dilancarkan si Guru Iblis 

menderu bahkan manakala jemari tangan itu berkelebat di 

bagian samping tubuh si pemuda. Dia merasakan ada ha-

wa aneh yang turut, menyertainya. Bau tak sedap mulai 

menebar disekitar tempat itu. Dada Buang Sengketa ber-

denyut-denyut sakit. Tetapi jurus si Gila Mengamuk bu-

kanlah jurus silat sembarangan. Sungguh pun saat itu 

Guru Iblis telah kerahkan jurus Tangan Kematian, namun 

dengan jurus silat si Gila Mengamuk, Buang Sengketa ma


sih dapat menghindar sergapan-sergapan tangan beracun 

tersebut.

Setelah pertarungan mencapai lima belas jurus. Se-

saat ketika jurus si Gila Mengamuk sudah mencapai ting-

katan kesepuluh, maka tubuh Buang Sengketa nampak 

meliuk-liuk bagai orang yang kurang waras. Sepasang ka-

kinya bergerak cepat mencecar ke arah pertahanan bagian 

bawah lawannya. Sementara itu kedua tangannya dengan 

gerakan-gerakan yang tiada beraturan. Menderu dan beru-

saha mematahkan serangan-serangan gencar lawannya.

Menghadapi kenyataan seperti itu sadarlah Guru 

Iblis bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang lawan 

yang sangat tangguh.

Secara cepat tubuhnya meletik ke udara, bersa-

maan dengan itu terdengar pula satu lengkingan yang 

sangat tinggi. Semua itu membuat tubuh Buang Sengketa 

tergetar hebat. Anehnya lagi gerakan-gerakan silatnya se-

cara total menjadi kacau tak menentu. Dia tahu bahwa 

saat itu Guru Iblis sedang mengerahkan kekuatan mistik-

nya untuk menghancurkan pertahanan lawan. Maka sam-

bil menekan dadanya yang berdenyut sakit. Tak lama sete-

lahnya dia pun mengeluarkan jeritan serupa. Tak ayal pa-

da saat itu dia telah mengerahkan ilmu lengkingan Pe-

menggal Roh yang sangat ampuh itu. 

"Haiiikkkk!" 

Jeritan yang serasa merobek gendang-gendang te-

linga itu, membuat Guru Iblis nampak terkesima untuk 

beberapa saat lamanya. Sementara dari dalam rumah be-

sar itu terdengar lolongan menjelang ajal dari mulut gadis-

gadis yang tiada berdosa itu. Nampaknya mereka tak kuat


menahan getaran yang sangat hebat dari lengkingan ilmu 

Pemenggal Roh yang telah dilancarkan Buang Sengketa 

untuk menyerang musuhnya.

Perempuan-perempuan malang itu pun menggele-

par meregang ajal, darah kental meleleh dari hidung dan 

kuping mereka. Sungguh pun Guru Iblis tidak melihat 

keadaan didalam rumahnya tetapi agaknya dia tahu bah-

wa semua orang-orang yang berada di dalam rumah itu te-

lah binasa semuanya. Sambil melompat mundur dia pun 

berseru dengan kemarahan yang tiada terperikan.

"Bangsat! Engkau telah membunuh gadis-gadis 

yang tiada berdosa. Engkau harus membayar dengan nya-

wamu...!"

Buang Sengketa meludah ke tanah.

"Puiiih! Mereka hanyalah perempuan-perempuan 

sisa, hidup pun malah lebih menyakitkan bagi mereka. 

Seharusnya engkaulah yang harus bertanggung jawab atas 

semua yang terjadi di sini...!"

"Bangsat! Kau harus cepat-cepat mampus!"

"Heeaaaa...!"

Dengan merubah jurus-jurus silatnya, Guru Iblis 

kembali menerjang. Kali ini gerakannya semakin bertam-

bah sebat, setiap serangan yang dilancarkan selalu tim-

bulkan angin kencang hingga membuat hutan bakau di 

sekitarnya seperti dilanda badai topan. Menyadari lawan-

nya mempergunakan jurus Iblis Perenggut Sukma, maka 

Buang Sengketa bermaksud merubah jurus silatnya. Na-

mun sebelum niat itu kesampaian dia merasakan ada an-

gin pukulan menyambar bagian bahunya. Cepat-cepat dia 

berkelit. Tetapi begitu pun pukulan Iblis Perenggut Sukma


masih juga menyerempet bagian itu. Tubuh Pendekar Hina 

Kelana terpental dan tergulung-gulung di atas tanah ber-

lumpur. Bahkan tanpa henti tubuhnya terus menabrak 

pohon-pohon kecil yang berada di dekatnya. Tubuh si pe-

muda baru terhenti manakala menabrak sebatang pohon 

yang lumayan besarnya. Dia mengeluh, tubuhnya serasa 

remuk, dari sela-sela bibirnya mulai meneteskan darah. 

Cepat-cepat dia himpun tenaga dalamnya. Begitu rasa se-

sak berkurang. Pemuda itu pun segera berdiri, tetapi dili-

hatnya Guru Iblis masih tetap berdiri tegak di tempatnya. 

Di luar dugaan si pemuda, laki-laki bercawat itu menyela: 

"Sungguh pun aku manusia sesat. Aku paling pan-

tang membunuh lawan yang belum siapa pada posisinya 

Sekarang bersiap-siaplah engkau untuk kubunuh...!" 

"Haiiiiit!"

Lagi-lagi Guru Iblis telah meluruknya, satu samba-

ran angin yang terasa sejuk namun menyimpan hawa 

maut kembali menyambar ke arah si pemuda. Dia cepat-

cepat mengelak. Sesaat setelahnya dia pun telah memper-

gunakan jurus Si Jadah Terbuang.

Pendekar Hina Kelana yang tadinya terdesak hebat, 

setelah merubah jurus silatnya nampak mulai dapat men-

gimbangi permainan silat lawannya. Pertarungan kembali 

menjadi seru. Masing-masing lawan nampak berusaha sal-

ing gempur dengan kemampuan yang dimilikinya. Semen-

tara itu tangan Guru Iblis dari warna biru kini telah beru-

bah menjadi merah bagaikan bara. Isyarat maut menyebar 

dari kedua tangan yang mengandung racun yang sangat 

ganas.


Buang Sengketa menyadari bahwa serangan-

serangan gencar yang dilakukan oleh lawannya semakin 

lama semakin berbahaya. Bahunya yang tadi hanya ter-

sambar cakaran tangan Guru Iblis saja masih berdenyut 

sakit. Tepat seperti dugaannya, bahwa pukulan itu ber-

sumber dari inti tenaga murni. Mustahil Buang Sengketa 

dapat menawarkan racun itu.

***

SEBELAS



Baginya kalau ingin selamat, hanya ada satu jalan. 

Yaitu dengan jalan menempur Guru Iblis dengan pukulan-

pukulan jarak jauh.

Itu sebabnya sesaat kemudian ketika laki-laki ber-

cawat itu mencoba memancingnya dalam pertarungan ja-

rak dekat, dia sedapat-dapatnya menghindar. Tubuhnya 

berjumpalitan menjauh. Setelah kini mereka benar-benar

memiliki jarak yang dirasa telah cukup. Maka sesaat sete-

lah itu, Pendekar Hina Kelana segera mengerahkan tenaga 

saktinya ke arah kedua tangannya. Setelah tenaga sakti 

itu terpusat di sana, sekejap kemudian dengan disertai sa-

tu teriakan menggelegar tubuh Pendekar Hina Kelana ber-

kelebat cepat. Dalam kesempatan itu, tak ayal lagi puku-

lan si Hina Kelana Merana pun dia lepaskan. Dalam uru-

tan pukulan sakti, pukulan si Hina Kelana Merana ini me-

rupakan pukulan tertinggi dan bahkan kekuatannya di 

atas pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dia miliki. Ki


ni pukulan yang dilepas oleh pemuda itu menderu bagai 

kilatan cahaya petir dan berwarna merah menyala. Sinar 

itu melesat sedemikian cepatnya, hingga dalam waktu se-

kedipan mata cahaya yang menimbulkan suara laksana 

badai topan prahara itu satu tombak berada di depan hi-

dung Guru Iblis. Laki-laki bercawat itu mengeluarkan se-

ruan kaget manakala merasakan adanya sambaran panas 

yang hampir melanda tubuhnya. Pada saat-saat yang kritis 

itu, dengan mempergunakan pukulan Iblis Menempur 

Maut, serangkum sinar melesat pula dari jemarinya yang 

kini telah berubah menjadi menghitam.

"Wuuuus!"

Serangkum sinar maut yang berhawa dingin luar 

biasa dan menebarkan bau busuk beracun juga tak kalah 

cepatnya menderu memapaki datangnya pukulan si Hina 

Kelana Merana. Satu keadaan yang benar-benar sangat 

sulit untuk dihindari, dua pukulan sakti yang berprabawa 

saling bertolak belakang itu akhirnya bertubrukan di uda-

ra.

"Buuum!"

Pertemuan dua tenaga sakti itu membuat bumi 

seakan runtuh, lumpur di atas tanah becek itu memuncrat 

ke udara. Sementara rumah panggung yang berukuran 

sangat besar itu pun ambruk begitu menerima getaran dan 

goncangan yang sangat dahsyat, Masing-masing lawan ter-

lempar tubuhnya hingga puluhan tombak. Keadaan di se-

kitarnya menjadi berkabut, dengan kepulan-kepulan asap 

tebal menyelimutinya. Sesaat baik Buang Sengketa mau-

pun Guru Iblis nampak roboh, diam, tak berkutik di tem-

patnya masing-masing.


Mereka tak pernah menyadari bagaimana rasanya 

ketika pukulan sakti yang mereka lepaskan saling berben-

turan. Dalam ketidak sadarannya, dari mulut masing-

masing lawan telah memuntahkan darah kental berwarna 

hitam pekat. Darah yang membeku itu bergumpal-gumpal. 

Nyatalah kalau kedua orang itu sudah terluka dalam den-

gan keadaan cukup parah.

Secara perlahan namun pasti, beberapa saat beri-

kutnya tubuh Pendekar Hina Kelana nampak bergerak, 

menggeliat, kemudian merintih-rintih. Begitu dia, tersadar 

dilihatnya sekitar pertarungan nampak porak poranda, 

Buang merasakan dadanya bagai remuk, badannya,, san-

gat dingin luar biasa, Maka dengan sangat dipaksakan dia 

berusaha bangkit dari tanah berlumpur itu, secara perla-

han dia mulai menghimpun hawa murninya. Tetapi begitu 

rasa hangat yang berpusat dari pusarnya itu mulai menja-

lar ke bagian-bagian yang terluka mendadak hawa dingin 

sebagai akibat pukulan Iblis Menempur Maut menyerang 

hawa panas yang berpusat dari perutnya. Hal ini benar-

benar sangat menyiksa bagi si pemuda, kegagalan untuk 

memulihkan keadaan tubuhnya yang terluka, ini menan-

dakan bahwa dirinya benar-benar terserang pukulan be-

racun. Celakalah aku kali ini kalau racun itu tak mampu 

kusembuhkan sendiri! Batin pemuda itu.

Pada saat yang sama keanehan pun segera terjadi 

pada diri Guru Iblis. Secara perlahan tubuhnya yang tadi 

nampak terdiam tiada bergerak-gerak, sampai pada akhir-

nya seperti tak pernah terjadi sesuatu dengannya, dia pun 

terduduk.


Sungguh pun wajahnya pucat pasi, tetapi seperti 

tidak pernah terjadi sesuatu dengannya dia segera bangkit. 

Begitu dia memandang pada Pendekar Hina Kelana, ma-

tanya yang merah saga, itu, memancarkan sinar yang san-

gat aneh dan menyilaukan mata pendekar ini. Dia tahu se-

sungguhnya itulah kekuatan terakhir yang dimiliki oleh 

Guru Iblis. Maka tak ayal lagi pendekar ini membuang 

pandangannya jauh-jauh. 

Guru Iblis atau yang lebih dikenal dengan sebagai 

Iblis Joma nampak tergelak-gelak. Setelah menghentikan 

tawanya, maka tanpa malu-malu lagi dia berkata; 

"Bocah, di antara sekian banyak musuh-musuhku, 

kuakui engkaulah lawan satu-satunya yang paling tang-

guh. Tetapi jangan kira aku tak tahu, bahwa sesungguh-

nya kita sama-sama terluka. Di tubuhmu kini mengendap 

racun yang secara perlahan dapat membunuhmu, sung-

guh pun itu kematian bagimu tinggal hanya menunggu sa-

tu purnama di depan!"

Buang Sengketa hanya terdiam begitu mendengar 

ucapan si Guru Iblis. Dia memang tidak bisa menyangkal 

apa yang dikatakan oleh laki-laki bercawat ini. Tetapi 

sungguh pun dia terluka dalam cukup parah namun dia 

sudah bertekad untuk membinasakan gurunya Pri Kumala 

Hijau itu.

"Guru segala dari raja manusia sesat. Kalaupun 

nantinya aku mati, aku sudah merasa puas bila aku telah 

memenggal kepalamu...!" kata Buang Sengketa dengan su-

ara parau.

"Krek.... krek.... kreeek...!" Guru Iblis tergelak-gelak 

lagi. "Bocah, suaramu yang parau itu menandakan bahwa


pukulan Iblis Menempur Maut yang telah mengendap di-

tubuhmu sudah bekerja dengan baik. Bocah gembel, 

sungguh pun engkau mampu mengalahkan aku, tetapi apa 

bedanya? Sebab engkau pun segera menyusulku sebulan 

di depan. Kau tahanlah sinar mataku ini. Seandainya na-

sibmu baik?. engkau masih dapat melihat dunia ini sam-

pai satu purnama di depan...!" teriak si Guru Iblis.

Begitu laki-laki bercawat itu telah bersiap-siap den-

gan pukulan pamungkas melalui sinar matanya. Maka 

Buang Sengketa segera meraba Cambuk Gelap Sayuto dan 

Pusaka Golok Buntung yang berada di pinggangnya. Tera-

sa ada hawa hangat yang mengaliri tangannya, manakala 

tangannya meraba gagang Golok Buntung, hawa hangat 

tersebut terus mengalir ke bagian dadanya. Sedikit demi 

sedikit rongga dadanya yang serasa remuk itu pun mulai 

berkurang. Walau memang tidak bisa dikatakan hilang 

sama sekali.

Pada saat itu Guru Iblis sudah mulai menyerang-

nya kembali. Dari sepasang matanya yang merah membara 

melesat selarik sinar merah menyilaukan. Sinar maut yang 

telah memakan banyak korban itu meluruk ke arah la-

wannya. Dan pada waktu yang sama pula, nampak sinar 

merah memancar dari golok yang berada dalam gengga-

man si pemuda.

Wajah pemuda itu nampak menegang, sepasang 

matanya mengisyaratkan hawa membunuh yang meledak-

ledak. Sementara dari kedua bibirnya keluarkan bunyi 

mendesis bagai kan suara ular piton yang sedang marah. 

Tetapi agaknya masing-masing lawan sudah sama-sama 

tidak perduli dengan perubahan-perubahan yang terjadi,



sementara sinar maut yang keluar dari mata Guru Iblis te-

lah sampai pada lawannya. Buang Sengketa kiblatkan go-

loknya untuk memapaki datangnya sinar maut tersebut. 

"Wuuut! Praaang!"

Kembali terdengar suara bergemuruh manakala si-

nar merah itu melabrak pusaka Golok Buntung yang bera-

da dalam genggaman pendekar itu. Tubuh Guru Iblis ter-

guling-guling, namun cepat bangkit kembali. Wajahnya 

semakin memucat bagai kain kafan. Tersiraplah darah la-

ki-laki bercawat ini, dia merasakan hawa yang sangat din-

gin mulai menyelimuti alam sekitarnya. Merasa penasaran, 

lagi-lagi dia kirimkan sinar maut dengan kekuatan berlipat 

ganda. Tetapi kali ini Cambuk Gelap Sayutolah yang da-

tang menyambut dan memecut.

"Ctarrr ctarrr...! Blaaammm...!"

Sinar maut yang sudah melesat itu berantakan di 

udara diterpa lecutan cambuk Gelap Sayuto.

Suasana pun kemudian berubah, langit yang terang 

resik tiada berawan, mendadak menjadi gelap gulita. Se-

mentara bunyi petir saling sambung menyambung. Kea-

daan tak ubahnya bagai malam hari. Kejadian ini sudah 

barang tentu membuat Guru Iblis jadi kaget luar biasa.

Dalam kegelapan itu hanya kilatan sinar merah 

yang terpancar dari Pusaka Golok Buntung saja yang terli-

hat. Guru Iblis kerjab-kerjabkan matanya.

Tetapi belum lagi hilang keterkejutan di hati laki-

laki ini, tubuh Pendekar Hina Kelana sudah berkelebat. 

Golok di tangannya menderu dan keluarkan suara bagai 

sejuta geledek. Golok itu terus menyambar-nyambar ke se-

gala penjuru. Kemarahan yang melanda diri pendekar ke


turunan seekor raja ular itu menyebabkan segalanya men-

jadi berlalu begitu cepat. Cambuk Gelap Sayuto terus dia 

lecutkan. Suasana semakin bertambah gelap saja.

Sedapatnya Guru Iblis. berusaha menghindari ser-

gapan-sergapan golok si pemuda Namun dengan golok dan 

cambuk berada di tangan pemuda itu, keadaannya kini 

benar-benar telah berubah sama sekali.

"Haiiit...!" 

Buang Sengketa keluarkan teriakan keras, saat itu 

tubuhnya benar-benar telah begitu dekat dengan lawan-

nya. Maka tak ayal lagi golok di tangannya pun menyam-

bar dua kali ke bagian leher laki-laki itu. 

"Creees! Creees!"

Guru Iblis keluarkan lolongan bagai seekor kerbau 

disembelih, tubuhnya limbung namun anehnya tiada da-

rah yang menyembur ke luar. Laki-laki itu terjerembab ja-

tuh. Dia melolong-lolong untuk sesaat lamanya, kemudian 

diam tidak berkutik-kutik lagi.

Buang Sengketa merasa lega hatinya, namun da-

danya masih berdenyut-denyut sakit. Lalu sambil meme-

gangi dadanya, pemuda berwajah tampan itu pun segera 

pergi dengan membawa sebuah luka.

* * *

Kayu Agung pagi itu nampak sunyi sepi menyimpan 

misteri, dari kejauhan nampak Mambang Sadewa dan 

Wanti Sarati menuju ke tempat itu. Wajah mereka mem-

bayangkan rasa lelah yang teramat sangat. Hampir siang 

dan malam !mereka terus melakukan perjalanan, maka


tak heran kalau dua kemudian dia telah sampai di tempat 

itu. Setelah memasuki Kayu Agung, mendadak Wanti Sa-

rati menghentikan langkahnya, hal ini sudah barang tentu 

membuat heran Mambang Sadewa yang bertangan bun-

tung. Dia pun terpaksa menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Nduk...? Sejak semalam kulihat wajah 

murung begitu...?" tanya Mambang Sadewa sambil me-

mandang pada gadis itu. Wanti Sarati menarik napas da-

lam-dalam.

"Sejak semalam pikiranku tidak enak, Kek...!" ja-

wabnya polos.

"Apakah engkau memikirkan Pendekar Hina Kela-

na?" tanya kakek bertangan buntung itu asal-asalan.

"Ya, entah mengapa aku menjadi teringat pa-

danya...!" Mambang Sadewa nampak tersenyum tipis, begi-

tu mendengar jawaban Wanti Sarati yang polos.

"Bukankah selama ini kau juga sering memikirkan-

nya?" 

"Benar, tetapi aku tak pernah segelisah ini. Aku ta-

kut kalau-kalau terjadi sesuatu dengannya. Aku-aku takut 

kehilangan dia, Kakek...!" ucap gadis itu tertunduk sedih.

"Mudah-mudahan saja dugaanmu itu tidak berala-

san!" kata si kakek coba menghibur, walau sesungguhnya 

hatinya sendiri diliputi rasa was-was. Wanti Sarati nampak 

terdiam, tetapi setelah membuang pandangan matanya 

jauh-jauh. Kemudian dia bertanya:

"Sekarang sampai di manakah kita?"

"Inilah tempat yang kita tuju itu. Mudah-mudahan 

Pendekar Hina Kelana telah sampai pula di tempat ini!" 

ujar Mambang Sadewa berharap.


"Kalau begitu sebentar lagi kita segera sampai ke 

sarang iblis itu, ya, Kek?" "Mudah-mudahan saja begitu...!"

"Tapi, Kek...!"

Wanti Sarati tidak sempat melanjutkan ucapannya 

ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya tubuh seorang 

wanita.

"Kakek, orang itu...!" serunya cepat-cepat. Mam-

bang Sadewa memandang pada Wanti Sarati. Laki-laki itu 

nampak terkejut sekali, sebab prang yang dilihat oleh

Wanti Sarati tak lain adalah Pri Kumala Hijau adanya.

"Berhenti,.!" bentak Mambang Sadewa, tiba-tiba 

yang dibentak menghentikan langkahnya, tubuh Wanti Sa-

rati dan Mambang Sadewa berkelebat menyongsong Pri 

Kumala Hijau. 

Nampaknya perempuan itu pun sangat terkejut-

begitu melihat kehadiran bekas suaminya dengan seorang 

gadis yang belum dikenalnya.

"Oh, kiranya engkau bekas suamiku. Ada keper-

luan apakah hingga kau datang jauh-jauh ke Kayu Agung 

ini...?" tanya Pri Kumala Hijau dengan sikap acuh.

"Kudengar engkau semakin tersesat saja...! Bah-

kan, akhir-akhir ini kau mulai menculik anak gadis orang 

untuk kau persembahkan pada gurumu. Apakah itu benar 

adanya...?"

Pri Kumala Hijau hanya tersenyum saja begitu 

mendengar apa yang dikatakan oleh Mambang Sadewa.

"Kalau benar engkau mau apa?! Bukankah diantara 

kita sudah tidak ada ikatan apa-apa...?" tukas Pri Kumala 

Hijau mencibir.


"Sungguh pun sudah tidak ada ikatan apa-apa. 

Sampai akhir hidupku, aku akan selalu berusaha untuk 

membuatmu sadar...!"

"Hemmmm, agaknya kau perlu kubuntungi dulu 

kakimu itu, baru kau tidak lagi mengurusi kepentingan-

ku....!"

Mambang Sadewa tersenyum getir begitu menden-

gar ucapan bekas istrinya itu.

"Kumala! Sungguh pun kau penggal kepalaku, aku 

tetap berusaha menghalangi segala sepak terjangmu yang 

memalukan itu...!" Gusarlah Pri Kumala Hijau dibuatnya.

"Bangsat buntung! Cepat minggat dari hadapanku, 

kalau tidak aku benar-benar akan membuntungi kedua 

kakimu...!" bentak bekas pasangan Iblis Bermata Dewa itu 

sangat marahnya.

"Lakukanlah kalau engkau mampu, Tapi jangan 

harap selama aku masih bernapas aku akan selalu mem-

bayangi sepak terjangmu...!" kata Mambang Sadewa den-

gan suara tertekan. Dalam pada itu Wanti Sarati yang se-

jak dari tadi hanya diam saja, kini ikut pula menyela.

"Kakek! Inikah bangsatnya yang telah membuntun-

gi tanganmu? Sikat saja, Kek!"

Sudah barang tentu ucapan Wanti Sarati membuat 

Pri Kumala Hijau semakin bertambah gusar. Maka dengan 

pandangan penuh kebencian perempuan iblis itu pun 

membentak:

"Bocah pentil. Berani lancang engkau mencampuri 

urusanku! Cepat-cepatlah engkau menyingkir dari hada-

panku. Kalau tidak aku benar-benar akan membunuh-

mu...!" teriak Pri Kumala Hijau marah sekali.


"Nduk, minggirlah biar kakek bereskan iblis yang 

satu ini...!"

"Bagus. Majulah kau peot bertangan buntung, hari 

ini aku benar-benar akan membunuhmu...!" teriak Pri 

Kumala Hijau.

Kemudian seiring dengan ucapannya itu, dengan 

gerakan sangat cepat tiada terduga, maka saat itu juga dia 

segera lancarkan serangan-serangan ganas kepada Mam-

bang Sadewa.

Tak ayal lagi Mambang Sadewa yang sudah menge-

tahui kehebatan bekas istrinya itu secara cepat pula mem-

balas serangan-serangan tersebut.

Hanya sesaat saja setelahnya, terjadilah pertarun-

gan maut di semak-semak hutan bakau itu. Jurus-jurus 

yang sangat mereka andalkan pun menyertai serangan-

serangan gencar. Sungguh pun Mambang Sadewa tidak 

memiliki kedua belah tangan, tetapi dengan jurus-jurus 

baru hasil ciptaannya sendiri. Dia selalu dapat mematah-

kan serangan yang dilancarkan oleh Pri Kumala Hijau.

Tubuh kedua orang itu kini berkelebat sedemikian 

cepat. Sehingga sangat sulit untuk diikuti oleh pandangan 

mata biasa. Dengan rambutnya yang panjang yang sewak-

tu-waktu dapat berubah melemas dan di lain saat berubah 

kaku laksana kawat baja. 

Kakek itu terus berusaha meningkatkan gempuran-

gempurannya. Nampaknya masing-masing lawan berusaha 

keras untuk cepat-cepat merobohkan lawannya.

* * *


DUA BELAS



Sesaat kemudian rambut Mambang Sadewa mele-

cut keras ke arah Pri Kumala Hijau. Rambut yang berubah 

mengejang itu menderu mengarah bagian muka lawannya, 

perempuan itu keluarkan suara mengekeh. Lalu tanpa ra-

gu-ragu lagi langsung memapaki datangnya serangan itu.

"Beees!"

Terdengar seruan tertahan dari masing-masing la-

wan. Tangan Pri Kumala Hijau serasa dicucuki ribuan ba-

tang jarum. Sumpah serapah berhamburan dari mulut pe-

rempuan iblis ini. Manakala dia melihat darah mulai me-

netes dari luka-luka kecil yang disebabkan. tercucuknya 

rambut Mambang Sadewa. Pri Kumala Hijau bersurut tiga 

langkah. Mulutnya menyeringai mengisyaratkan maut 

yang tak bisa diduga-duga. Dalam kesempatan itu, dia pun 

sudah membentak. 

"Hebat! Kiranya engkau ada kemajuan juga. Pantas 

saja kau berani jual lagak di depanku...!" 

Mambang Sadewa tersenyum tipis!

"Selamanya aku tak pernah jual lagak pada siapa 

pun. Hanya karena hatimu saja , yang sudah tersesat jauh 

sehingga kau punyai anggapan seperti itu...!"

“Beh! Engkau jangan berbesar hati dulu. Sobat 

buntung! Banyak ilmu simpananku yang belum kukelua-

rkan semuanya!"

"Bagus...! Lebih baik keluarkan Semuanya agar kau 

bisa mati dalam keadaan puas...!" "

"Bangsat....! Lihat serangan...!"


Berkata begitu kali ini Pri Kumala Hijau keluarkan 

jurus Pri Hitam Memukul Setan. Serentak dengan beru-

bahnya jurus-jurus silat perempuan iblis itu, maka seben-

tar kemudian tubuhnya sudah melesat, tangan kanannya 

kirimkan satu pukulan mengarah pada . bagian kepala, 

sedangkan kaki kirinya menendang pada bagian perut 

Mambang Sadewa.

Detik itu juga begitu mengetahui serangan yang 

mengisyaratkan maut itu, Mambang Sadewa pun segera 

merubah jurus silatnya.

Dengan mempergunakan jurus silat hasil ciptaan-

nya sendiri yang diberi nama jurus Si Buntung Merana, 

rambutnya yang panjang itu kembali mengejang, kemu-

dian sepasang kakinya bergerak-gerak begitu indahnya.

Sekali dia menjerit maka tubuhnya yang tiada ber-

tangan itu melentik bagaikan belalang congcongkrang.

Begitu tubuh Mambang Sadewa kembali meluncur 

ke bawah. Bagai gerakan kepala ular yang menari-nari 

rambut dan kaki kirinya mengirimkan satu sapuan ke 

arah tubuh lawannya yang saat itu juga nampak pula ki-

rimkan dua pukulan bertubi-tubi.

"Wuuus!"

"Plaaaak!"

"Duuukkk!"

Dua orang Bekas pasangan, Iblis Bermata Dewa itu 

jatuh terguling-guling. Karena masing-masing pukulan 

disertai dengan tenaga dalam yang besar. Tak ayal lagi ke-

dua orang ini pun muntahkan darah segar.

Saat itu Wanti Sarati yang sedikit banyaknya men-

getahui kehebatan masing-masing mereka yang sedang


bertarung. Diam- diam dia mulai mencemaskan keadaan 

Mambang Sadewa. Dia tahu bahwa sesungguhnya dalam 

adu tenaga dalam tadi Pri Kumala Hijau nampak lebih un-

ggul. Apalagi mengingat bahwa Mambang Sadewa pernah 

dikalahkan oleh bekas isterinya itu.

Dia mulai berpikir-pikir untuk membantu Mam-

bang Sadewa, tetapi untuk turun tangan secara terang-

terangan, dia takut kalau kakek bertangan buntung itu 

menjadi marah. Tak dapat yang dilakukannya, dia tak be-

rani mengambil keputusan sendiri. Baru saja dia memikir-

kan segala kemungkinan yang terjadi, pada saat itu ter-

dengar pula bentak-bentakan keras dari masing-masing 

mereka yang sedang bertarung. Begitu Wanti Sarati me-

mandang ke arah pertempuran. Dilihatnya Mambang Sa-

dewa dan Pri Kumala Hijau kini telah melancarkan puku-

lan-pukulan jarak jauh melalui pandangan mata mereka 

masing-masing. Dari kedua mata orang itu nampak mele-

sat sinar merah, sinar itu kemudian saling bertemu di 

udara. Masing-masing lawan saling mengerahkan segenap 

kemampuannya. Dalam keadaan seperti itu mereka benar-

benar tak berani gegabah. Lengah sedikit saja sudah tentu 

jiwa akan melayang.

Adu tenaga dalam itu terus berlanjut, tubuh mere-

ka sudah bermandi peluh. Bahkan kini sudah mulai terge-

tar hebat. Wanti Sarati merasa tak tega melihat keadaan 

Mambang Sadewa yang nampak sudah bermandi keringat 

itu kelihatan mulai jatuh di bawah angin.

Selanjutnya apa yang dirisaukan oleh Wanti Sarati 

pun terjadi. Sepasang mata Mambang Sadewa nampak


semakin bertambah merah, tak lama kemudian mata ter-

sebut mulai keluarkan cairan merah pula. Darah!

Semakin lama darah yang berada di kelopak mata 

Mambang Sadewa pun mulai menetes menuruni pipinya 

yang cekung. Wanti Sarati dalam saat-saat yang kritis itu

nampak berpikir cepat. Kalau keadaan itu dibiarkan berla-

rut-larut, bukan tidak mungkin sebentar lagi kakek ber-

tangan buntung itu bakal mengalami nasib celaka.

Tak ada pilihan lain, demi menyelamatkan Mam-

bang Sadewa, Wanti Sarati segera melepaskan Selendang 

Merah yang melilit pinggangnya.

Kemudian tanpa basa basi lagi, tubuhnya melesat. 

Dengan cepat dia lecutkan selendangnya persis di tengah-

tengah beradunya sinar itu.

"Blaaaar!"

Kedua orang itu tiada bergeming, tubuh Wanti Sa-

rati malah terpental jatuh. Dia segera bangkit kembali, lalu 

tanpa memperdulikan rasa nyeri di dadanya, Wanti Sarati 

melecutkan selendangnya kembali. Kali ini. dengan diser-

tai tenaga dalam yang penuh. 

"Breeesss!"

"Blaaaam!"

Terpentalah tubuh ketiga orang itu tunggang lang-

gang. Dari mulut Wanti Sarati meleleh darah segar. Se-

mentara baik Mambang Sadewa maupun Pri Kumala Hijau 

mengalami keadaan yang tidak jauh berbeda dengan Wanti 

Sarati. Tetapi dari ketiganya, Mambang Sadewalah yang 

mengalami luka dalam yang teramat parah. Dalam kea-

daan masing-masing yang serba tidak menguntungkan itu,

tiba-tiba Pri Kumala Hijau cepat bangkit kembali. Dia ke


luarkan suara tawa menyeramkan. Kedua matanya yang 

tetap memerah itu mengisyaratkan maut yang tiada terpe-

rikan. Lalu kedua tangannya pun terpentang tinggi-tinggi, 

bibirnya berkomat kamit. Tak salah lagi perempuan itu ki-

ni telah merapal Mantra Iblis Menempur Maut. Asap tipis 

menyelimuti kedua tangan tersebut. Sekejap mata kedua 

tangannya telah berubah menjadi kehitam-hitaman.

Kejut di hati Mambang Sadewa dan Wanti Sarati 

bukan alang kepalang. Ingin cepat-cepat menghindar me-

reka serasa tiada memiliki kemampuan. Sebab mereka me-

rasakan tubuhnya terasa sangat sakit untuk digerak kan.

Pada saat itu Pri Kumala Hijau sebelum melakukan 

serangan-serangan terakhir sempat berkata:

"Kalian berdua benar-benar telah membuatku gelap 

mata. Mati bagi kalian justru lebih baik daripada harus 

menjadi perintang dalam. segala sepak terjangku. Mam-

puslah kalian. Hiaaat...!" 

Sinar berwarna hitam kelam melesat sedemikian 

cepatnya, terbagi menjadi dua bagian. Yang satu mengarah 

kepada Wanti Sarati sedangkan bagian lainnya mengarah 

pada Mambang Sadewa.

Kedua orang itu hanya terbelalak saja begitu meli-

hat datangnya sinar pengantar maut tersebut. Bahkan me-

reka sudah pasrah untuk menerima kematian.

Namun dalam saat-saat yang sangat kritis itu, se-

berkas sinar merah yang datang dari lain arah. Menderu 

lebih cepat lagi memapaki pukulan yang dilepaskan oleh 

Pri Kumala Hijau.

Karena sinar hitam pekat itu terbagi menjadi dua, 

maka sinar merah itu hanya mampu menjangkau pukulan



yang lebih dekat dari padanya. Secara kebetulan Wanti Sa-

rati lah yang lebih dekat dalam jangkauan tersebut. Tak 

ayal lagi. 

"Buumm!"

Sinar merah yang meluruk ke arah Wanti Sarati, 

kandas sampai di tengah jalan. Sementara sinar lainnya 

terus meluncur dan baru terhenti ketika sudah menghan-

tam tubuh Mambang Sadewa.

Laki-laki itu nampak menggeliat sekejap, terdengar 

suara rintihan kecil dari mulutnya yang tertutup kumis 

berwarna kelabu. Wanti Sarati dengan susah payah me-

rangkak mendekati tubuh Mambang Sadewa yang sudah 

sekarat.

Pada saat yang sama dari kerimbunan daun pohon

bakau muncullah Pendekar Hina Kelana. Pemuda itu 

nampak masih memegangi dadanya, wajahnya semakin 

pucat. Sementara; dalam tangannya tergenggam Pusaka 

Golok Buntung yang sangat menghebohkan itu.

Dengan terhuyung-huyung dia sudah mendekati Pri 

Kumala Hijau yang masih nampak terkejut. 

Dengan pandangan penuh kebencian pula dilirik-

nya perempuan iblis itu mulai dari ujung rambut sampai 

keujung kaki. 

"Hemmm. Kiranya engkaulah bangsatnya yang te-

lah bikin sengsara orang banyak. Engkau memang pantas 

mampus seperti gurumu si raja sesat itu....!" geramnya.

Pri Kumala Hijau nampak sangat terkejut sekali be-

gitu pemuda tampan berkuncir itu menyebut-nyebut gu-

runya. Apalagi pemuda itu sampai bilang bahwa gurunya 

telah pula tewas.


Di lain pihak begitu mendengar suara orang yang 

sangat dikenalnya, Wanti Sarati langsung menoleh. Bukan 

main girangnya dia begitu melihat kehadiran orang yang 

sangat dirindukannya itu. Tetapi dia agak merasa heran 

melihat wajah pemuda itu yang nampak pucat. Apakah 

yang telah terjadi dengannya? Batin gadis itu penuh tanda

tanya.

Tetapi dia sudah tak dapat berpikir panjang karena, 

tak lama kemudian terdengar pula suara erangan Mam-

bang Sadewa. Maka perhatiannya pun beralih pada kakek 

bertangan buntung. 

Sementara itu perdebatan pun terjadi, antara Pen-

dekar Hina Kelana dengan Pri Kumala Hijau. 

"Setan! Berani benar engkau mencampuri urusan-

ku” Maki perempuan iblis ini.

"Aku si Hina Kelana selamanya akan menumpas 

segala bentuk kejahatan. Maka bersiap-siaplah engkau un-

tuk mampus." teriak Buang Sengketa. Kemudian seketika

itu juga golok di tangan pendekar itu menderu.

Mendengar nama Pendekar yang membuat gempar 

dunia persilatan saja Pri Kumala Hijau sudah tercengang 

luar biasa. Apalagi kini dengan golok itu ditangannya. Pri 

Kumala Hijau segera berkelit berusaha mencari kesempa-

tan untuk melepaskan sinar maut melalui matanya.

Tetapi nampaknya Buang Sengketa sudah tiada 

memberinya kesempatan lagi. Golok di tangannya terus 

memburu lawan ke f mana pun perempuan itu menyingkir. 

Dalam keadaan terdesak seperti itu dia masih berusaha ki-

rimkan serangan-serangan balasan. Namun semua itu su


dah tak berarti banyak buat pendekar yang sudah sampai 

pada puncak kemarahannya itu.

Pertarungan jarak dekat seperti yang dikehendaki

oleh Buang Sengketa akhirnya terjadi. Tubuh Pendekar 

Hina Kelana berkelebat. Lalu bersamaan berkelebatnya tu-

buh pendekar itu maka golok buntung di tangannya pun 

menyambar. 

"Breeess! Creeees!"

Pri Kumala Hijau melolong setinggi langit, darah 

mengucur dari luka di perutnya yang terkoyak besar. Tak 

lama kemudian tubuh wanita iblis itu pun limbung. Ber-

putar-putar kemudian terjerembab ke bumi.

Maka tewaslah Pri Kumala Hijau dengan luka yang 

sangat mengerikan. Pada saat itu dengan langkah ter-

huyung-huyung, Buang Sengketa menghampiri gadis yang

bersimpuh di depan tubuh Mambang Sadewa yang sudah 

meregang ajal. f

Begitu mengetahui keadaan Mambang Sadewa, 

sambil memegangi dadanya yang terus berdenyut pemuda 

itu pun ikut duduk bersimpuh. 

"Orang tua. Oh... maafkan aku! Aku telah terlambat 

datang...!" kata pemuda itu menyesali diri. Mambang Sa-

dewa memandang pada pendekar itu dengan sorot mata 

yang sudah meredup.

"Akhirnya engkau.... dat... datang juga...!" 

ucapnya lirih, kemudian sambungnya. 

"Bagaimana dengan Guru Iblis itu...?"

"Semuanya telah tewas, Orang tua.!" sahut si pe-

muda.


"Oh, syukurlah.... akhirnya aku dapat pergi dengan 

tenang.... tap.... tapi.... kau jagalah gadis yang berada di 

sampingmu itu. Begitu lama dia mencarimu. Namanya 

Wanti Sarati. Sayangilah dia...!"

"Wanti Sarati...?" gumamnya seolah tak percaya.

"Paman, apakah kau tidak mengingat orang yang 

pernah kau tolong di Sindang Da-rah dulu...?" tanya Wanti 

Sarati sambil memandangi pemuda itu dengan rasa haru 

bercampur kagum.

Tentu... tentu aku mengingatmu, tetapi aku tiada 

pernah menyangka kalau engkau sudah sebesar ini...!" ka-

ta pemuda itu seraya merangkul gadis itu sambil mencium 

rambutnya dengan lembut. Sesaat lamanya mereka saling 

berpelukan melepas rindu. Dalam hati Wanti Sarati mera-

sa sangat bersyukur karena pemuda yang selalu dirindu-

kannya itu masih tetap mengingatnya.

Tetapi begitu teringat kepada Mambang Sadewa, 

kedua orang itu sama-sama saling melepas rangkulannya. 

Begitu mereka menoleh, Mambang Sadewa sudah nampak 

diam tiada berkutik.

"Dia telah pergi, Paman...!" kata Wanti Sarati sedih.

"Kita relakan kepergiannya, mungkin satu purnama 

mendatang aku pun akan pergi meninggalkan dunia ini...!" 

kata Buang Sengketa sambil menyeringai menahan sakit.

Bukan main terkejutnya di hati Wanti Sarati.

"Mengapa paman berkata begitu...?"

"Manusia iblis. itu telah memukulku dengan puku-

lan beracun yang sangat ganas dan sangat sulit pula dicari 

obatnya....!"


"Paman jangan pergi aku selalu merindukanmu!" 

kata Wanti Sarati kembali memeluk pendekar itu. 

"Jangan bersedih, Nduk, satu purnama masih san-

gat panjang. Ada baiknya kalau kita urus mayat Mambang 

Sadewa.

"Baiklah, Paman" kata Wanti Sarati sambil meman-

dang sendu pada Pendekar Hina Kelana.

Tanpa buang-buang waktu lagi dengan dibantu 

oleh Wanti Sarati maka pekerjaan menguburkan mayat 

Mambang Sadewa cepat selesai.

Setelah segala sesuatunya dirasa beres, kedua 

orang itu nampak saling pandang. Lalu dengan memapah 

tubuh pendekar yang selalu dirindukannya itu. Mereka 

bergerak meninggalkan Kayu Agung, Saat itu pun hari sudah menjelang senja.



                             TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar