..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 28 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE SATRIA TERKUTUK BERKAKI TUNGGAL

SATRIA TERKUTUK BERKAKI TUNGGAL

 

SATRIA TERKUTUK BERKAKI TUNGGAL 

Oleh D. Affandi 

Cetakan Pertama

Penerbit Mutiara, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 009 :

Satria Terkutuk Berkaki Tunggal


SATU


Sesungguh pun air di dalam telaga 

itu hanya tinggal satu jengkal saja 

jaraknya di atas permukaan lumpur. Namun 

laki-laki kurus berkepala botak itu 

tetap saja melemparkan kailnya di dalam 

telaga yang tidak seberapa airnya itu. 

Begitu pun tetap seperti waktu-waktu 

sebelum-nya. Manakala kail yang tidak 

berumpan itu menyentuh air, begitu cepat 

benang yang menjadi pengikatnya nampak 

bergerak-gerak. Secepat itu, laki-laki 

tua berkepala botak itu pun langsung 

menyentakkan gagang kail yang berada 

dalam genggamannya. Anehnya meskipun 

kail itu tak pernah diberi umpan apapun, 

akan tetapi tetap dia mendapatkan ikan 

seperti yang diharapkannya. Siapapun 

adanya orang ini, kalangan persilatan 

selaiu memanggilnya dengan julukan si 

Pengail Aneh. Tak ada yang tahu secara 

persis, apakah nama itu ada hubungannya 

dengan pekerjaannya sebagai pemancing 

atau karena pula kebiasaan hidupnya yang 

suka bertingkah yang macam-macam.

Pada saat itu si Pengail Aneh tampak 

tersenyum-senyum begitu mendapatkan


seekor ikan besar yang panjang dan gemuk. 

Cepat-cepat dia memasukkan ikan yang 

baru saja didapatkannya ke dalam kepis. 

"Hem! Lima sepuluh ekor lagi sudah 

lumayanlah." gumamnya sambil 

menepuk-nepuk kepis yang melekat di 

pinggangnya.

"Put! Put!"

Dua ekor ikan jurung besar kembali 

melayang di udara. Ikan itu 

menggelepar-gelepar. si Pengail Aneh 

kembali mengekeh. Tak lama kemudian dia 

pun berkata pada dirinya sendiri.

"Sepuluh dua puluh ekor lagi sudah 

lumayan untuk bekal satu minggu...!" 

kata si Pengail Aneh sambil memasukkan 

dua ekor ikan itu ke dalam kepisnya.

Setelah itu, dia kembali melemparkan 

mata kailnya. Sama seperti keadaan 

semula. Begitu kailnya menyentuh 

kedalaman air telaga, kail itu kembali 

bergerak-gerak kembali.

"Wuut! Wuut!"

si Pengail Aneh cepat-cepat 

menyentakkan kailnya, kali ini seekor 

ikan jurung berukuran sangat besar 

sekali, nampak mencelat dari dalam 

telaga. si Pengail Aneh lagi-lagi 

berucap sembari memasukkan ikan tersebut 

ke dalam kepis.


"Kalau ada dua puluh sampai tiga 

puluh ekor lagi sudah sangat lumayan 

sekali untuk persediaan satu 

purnama...." Berkata begitu, tiba-tiba 

dia teringat sesuatu. Kemudian tanpa 

menoleh, tangannya nampak meraba-raba 

pada kepis yang melekat di pinggangnya. 

Seingat laki-laki tua berkepala botak 

itu, kepis yang dibawanya sesungguhnya 

berukuran kecil. Akan tetapi kalau tak 

salah hitung, dia sudah memasukkan ikan 

ke dalamnya kurang lebih lima belas ekor. 

Padahal rata-rata ikan-ikan itu 

berukuran lumayan besarnya. Tetapi 

mengapa masih belum penuh juga kepis itu. 

Manakala si Pengail Aneh beranjak 

berdiri dari tempatnya dengan hati 

penasaran. Maka semakin bertambah 

heranlah dia. Karena begitu dia 

memeriksa pada kepis yang terikat di 

pinggangnya, kepis tersebut ternyata 

bolong di bagian pantatnya. Hanya 

tinggal seekor saja ikan jurung di 

dalamnya. Sedangkan empat belas lainnya 

telah raib entah ke mana.

Heran bercampur penasaran, Pengail 

Aneh ini meneliti rerumputan yang tumbuh 

di sekitar tempat itu, tetapi tak seekor 

pun ikan tercecer di sekitar 

rumput-rumput itu. .


"Ikan-ikan pada tolol semua, sudah 

dibuatkan sarang yang bagus masih juga 

kabur, sia-sia saja pekerjaanku hari 

ini!" si Pengail Aneh nyeletuk panjang 

pendek. Dalam keadaan kebingungan 

seperti itu mendadak terdengar pula nada 

ucapan mencemooh.

"Hek.... hek.... hek....! Pengail 

Aneh Setan Gempor! Senang sekali hari ini 

aku bisa ikut menikmati hasil jerih 

payahmu...!"

Mendengar teguran itu, cepat-cepat 

Pengail Aneh putar badannya. Dari nada 

ucapan tadi, agaknya dia sudah 

mengetahui siapa adanya orang yang 

bersembunyi di balik sebatang pohon 

besar tersebut. Bukan main geramnya si 

Pengail Aneh melihat semua hasil jerih 

payahnya dihabiskan oleh orang itu. Lalu 

dengan sekali lompat tubuhnya sudah 

melayang begitu ringannya. Dan tahu-tahu 

dia sudah berada di depan orang yang 

berada di balik pohon besar tersebut. 

Dalam keadaan kesal bercampur marah si 

Pengail Aneh berseru.

"Setan Alas. Tak dinyana kiranya 

engkaulah yang mencuri ikan-ikan 

tangkapanku di dalam kepis ini. Enak 

betul...!" bentaknya marah.


"Tinggal makan saja apa susahnya, 

toh ikan-ikan itu tidak bertuan...!" 

menyela si laki-laki yang bersembunyi di 

balik pohon, dan tanpa memperdulikan 

kehadiran si Pengail Aneh, dia terus saja 

enak-enakkan menggerogoti ikan 

jurung yang masih mentah dan berbau amis 

tak karuan itu dengan lahapnya.

Mual rasanya perut si Pengail Aneh 

demi melihat cara si laki-laki tua 

berbadan gemuk itu demi menyaksikan 

caranya mengunyah ikan yang tak pernah di 

matangkan sebelumnya itu. Dalam 

kejengkelannya itu, tiba tiba dia 

membentak.

"Setan Kroya... sebetulnya kalau 

engkau yang menjadi maling dari 

ikan-ikan milikku aku tak pernah 

keberatan, tetapi caramu memakan ikan 

itu, yang tak jauh bedanya dengan 

binatang buas membuat aku muak! Rasanya 

ingin kugebuk mulutmu yang rakus 

itu...!"

Mendengar celoteh si Pengail Aneh si 

tua gemuk yang berjuluk Setan Kroya itu 

pun tertawa mengekeh. Kemudian sambil 

mengkremus kepala seekor ikan jurung 

yang lebih besar lagi, maka dia pun 

berkata;



"Tolol betul engkau ini, masa engkau 

sampai hati menggebuk mulut sahabat 

sendiri. Pula sejak dulu engkau mana 

mampu melakukan itu...!" ucap Setan 

Kroya mencemooh. Dihina sedemikian rupa, 

si Pengail Aneh bukannya menjadi marah, 

sebaliknya dia balik mengejek.

"Heh, andai bapak moyangmu masih 

hidup, belum tentu dia mampu menghadapi 

aku dalam sepuluh jurus saja, apalagi 

cuma engkau, budak kemarin yang hanya 

memiliki kepandaian silat picisan...!" 

tukas si Pengail Aneh.

"Frussh!" si Setan Kroya 

menyemburkan daging ikan mentah yang 

masih bersisa di mulutnya. Dipandanginya 

si Pengail Aneh sampai-sampai kedua bola 

matanya yang lebar itu pun tiada 

berkedip.

"Berani betul engkau 

menyebut-nyebut bapak moyangku! Apakah 

engkau sudah tahu betapa hebatnya bapak 

moyangku itu...?" bentak Setan Kroya 

serius sekali.

"Belum...!"

Mendapat jawaban seperti itu, Setan 

Kroya nampak angguk-anggukkan 

kepalanya. Dan tiba-tiba pula dia 

menambahi.


"Kalau begitu sama. Aku pun tak tahu 

bapak moyangku memiliki kepandaian yang 

hebat atau tidak, atau bahkan tak 

memiliki kepandaian sama sekali pun aku 

tak tahu. Sebab, kalau bapak moyangku 

orang yang hebat, sudah barang tentu aku 

tak memiliki gelar yang paling jelek di 

kolong langit ini! Setan Kroya si Gembel 

Pengemis. Coba bayangkan betapa malunya 

aku...!" ucap si Gembel Kroya seolah pada 

dirinya sendiri. Sementara itu demi 

mendengar pengakuan sahabatnya yang 

terasa polos dan lucu, tiba-tiba si 

Pengail Aneh sudah tidak dapat menahan 

tawanya lagi.

"Hek... hek.. hek! Dulu pernah ada

seseorang bercerita, Setan Kroya. Dia 

bilang begini, kawannya yang bernama 

Setan Kroya itu, sesungguhnya anak 

seorang pengemis, sedangkan nenek 

moyangnya merupakan raja dari seluruh 

golongan gembel...." si Pengail Aneh 

tersenyum mahfum, kemudian lanjutnya. 

"Jadi sesungguhnya engkau ini masih 

keturunannya bangsawan, Setan 

Kroya...!"

"Apa maksudmu...?" tanya laki-laki 

tua berbadan gemuk itu tak mengerti.


"Ah, masa engkau sudah tua bangka 

seperti itu tidak bisa mengerti apa yang 

aku maksudkan...?"

"Bicara muter-muter. Ngomong terus 

terang saja mengapa...?" bentak Setan 

Kroya plototkan matanya yang bulat dan 

besar.

"Maksudku.... engkau ini termasuk 

ahli waris Pangeran gembel.... he.... 

he... he....!" si Pengail Aneh kali ini 

ganti mengekeh.

"Kuya...! Pengail Aneh Manusia 

sinting, berani sekali engkau 

menghinaku. Kiranya kau benar-benar 

ingin kugebuk...!"

"Jangan main gebuk seenak perutmu. 

Dosamu karena mencuri ikan milikku saja 

sudah sulit untuk engkau bayar. Tetapi 

sebagai kawan baik, aku mengampunimu, 

satu lagi yang perlu kutanyakan padamu 

Gembel Bangsawan...!" Si Pengail Aneh 

urungkan ucapannya, hal ini membuat 

Setan Kroya semakin penasaran.

"Cacing botak, cepat katakan apa 

yang ingin engkau katakan. Aku muak 

melihat tampangmu yang menjijikkan itu.. 

!"

Si Pengail Aneh tertawa ganda.

"Sabar dulu, aku heran. Lima tahun 

kita tak bertemu. aku fikir engkau sudah


menjadi manusia yang betul, tak kusangka 

engkau malah menjadi nggak benar!" si 

Pengail Aneh masih tetap pada sikapnya. 

Setan Kroya kertakkan rahang, dia sangat 

kesal sekali melihat si Pengail Aneh 

dengan sengaja mempermainkannya.

"Pengail sinting, selain mencaci 

maki, apakah tak ada lagi yang lainnya 

yang hendak kau tanyakan padaku...?"

"Hmm. Sudah kuduga, pasti hal itu 

yang akan kau tanyakan padaku, Setan 

Kroya! Tetapi ada baiknya kalau aku ingin 

mengetahui apa saja yang engkau bawa dari 

dunia ramai itu, bagus atau malah semakin 

memuakkan?"

"Pengail sinting, keadaan di rimba 

persilatan bukan seperti yang kau 

tanyakan itu, Sebaliknya sangat 

menegangkan dan penuh harap-harap 

cemas...!. Mendapat jawaban seperti itu, 

si Pengail Aneh Kerutkan alisnya. 

Gurat-gurat ketuaan semakin membekas di 

keningnya.

Beberapa saat lamanya dia terdiam 

untuk mencoba menebak apa yang 

dimaksudkan oleh kawannya yang satu ini. 

Tetapi karena dia belum juga menemukan 

jawabannya, maka akhirnya dia pun 

menyela.



"Nampaknya begitu serius sekali 

berita yang engkau bawa itu, Setan Kroya! 

Sampai-sampai orang Ngadiluwih yang 

sudah lima tahun tak pernah menjambangi 

Susukan ini, kini muncul didepan 

hidungku....!"

"Engkau tak perlu 

menyindir-nyindirku, manusia kropok.... 

masakan berita persilatan yang begitu 

santer dan menghebohkan itu tak pernah 

engkau dengar...?" tukas Setan Kroya 

dengan mata sebelah terpicing.

si Pengail Aneh tersenyum tawar, dia 

cukup menyadari. Walaupun dia dan 

sahabatnya, si Setan Kroya sama-sama 

edannya. Akan tetapi dalam hal-hal 

tertentu laki-laki tua berbadan gembrot 

itu tidak bisa dibuat main-main. Begitu 

mengetahui, roman muka si Setan Kroya 

nampak serius sekali, maka tanpa 

basa-basi lagi diapun langsung duduk 

ngejeblok di sisi sahabat karibnya itu.

"Terus.... ceritalah padaku, 

mengenai segala kemelut rimba 

persilatan, sesungguhnya aku yang sudah 

tua bangka ini tak ingin mau perduli. 

Tapi kalau berita itu, memang ternyata 

cukup serius, maka kupikir-pikir tak ada 

salahnya kalau sekali-sekali aku yang 

sudah hampir masuk liang kubur ini


mendengarnya”. Si Pengail Aneh 

menimpali.

Mendengar ucapan si Pengail Aneh, 

Setan Kroya nampak terdiam untuk 

beberapa saat lamanya. Lalu dia teringat 

pada dirinya sendiri. Selama ini sama 

seperti yang dilakukan oleh si Pengail 

Aneh, dia sendiri pun sudah tak ingin 

lagi muncul di rimba persilatan, dia 

ingin menjauhi segala urusan dunia 

ramai, semua itu semata-mata karena dia 

juga ingin memanfaatkan sisa-sisa 

usianya untuk melebur dosa-dosa masa 

lalu yang tak bisa terhitung dengan jari. 

Baik Setan Kroya maupun si Pengail Aneh, 

dulunya adalah sama-sama merupakan dua 

orang tokoh golongan lurus di bagian 

Barat Daya. Dalam menumpas kejahatan 

mereka sama-sama bertindak tak pandang 

bulu. Membunuh dengan kesadisan yang 

luar biasa adalah merupakan pekerjaan 

rutin mereka. Hal ini sudah barang tentu 

banyak pihak yang tak senang dengan 

segala bentuk sepak terjangnya. Meskipun 

begitu tak seorang pun dari bekas 

musuh-musuhnya yang berani bertindak 

maupun mengambil tindakan gegabah 

terhadap orang-orang ini. Sebab selain 

kedua tokoh ini memiliki ilmu silat yang


tinggi juga selama ini tak seorang pun 

yang mampu mengalahkan mereka berdua.

"Hehe... he... he...! Orang 

Bludrek..... Kau pikir cuma engkau saja 

yang sudah muak dengan segala bentuk 

sepak terjang dunia persilatan yang 

penuh dengan angkara murka itu? Huh, aku 

sendiri sudah sangat bosan sekali untuk 

mengingat-ingatnya. Pula sampai saat ini 

semua dosa-dosaku belum semuanya 

diampuni oleh Sang Hyang Widi...!"

"Kalau sudah merasa bertaubat, 

mengapa engkau hari ini nongol di depan 

hidungku?"

Ditanya seperti itu, Setan Kroya 

tundukkan kepalanya. Dalam hati dia pun 

sesungguhnya sudah tak ingin keluyuran 

di dunia ramai, akan tetapi haruskah dia 

berdiam diri, kalau ada orang lain yang 

coba-coba mencemarkan nama baiknya di 

dunia ramai, padahal sudah hampir lima 

tahun dia menyepi diri di Ngadiluwih. 

Lalu kini, secara tiba-tiba rimba 

persilatan menjadi gempar dengan sosok 

iblis yang mengaku sebagai dirinya.

* * *

DUA


Dia tak mau menerima begitu saja, 

apalagi orang yang mencatut namanya 

tersebut berasal dari golongan hitam. 

Baginya lebih baik mati dalam 

mempertahankan nama baik, ketimbang 

harus mati menunggu waktu dalam 

penyepian.

"Pangeran Gembel.... Mengapa engkau 

diam sedemikian rupa? Ataukah engkau ini 

sedang berkhayal tentang istrimu yang 

mampus dalam kesesatan itu...?" Bentakan 

si Pengail Aneh yang begitu tiba-tiba 

membuat Setan Kroya alias si Gembel Kroya 

nampak tersadar dari lamunannya.

"Ah. pertanyaan tadi membuatku 

teringat pada keadaan sadar atau tidak, 

Pengail Sinting...!"

"Apa maksudmu...?" tanya si Pengail 

Aneh tak mengerti.

"Semestinya orang yang sudah setua 

aku ini, tak usah pergi ke mana-mana, 

seperti engkau. Sampai saat ini tetap 

ngejeplok di Susukan ini, tetapi siapa 

sudi aku terus tetap melakukan nyepi, 

sementara namaku di luaran sana dicatut


orang demi maksud-maksud yang kukira 

memang tak baik...!"

"Hek.... Hek.... Hek...! siapa sih 

yang mencatut nama jelekmu itu, hingga 

membuat panas kupingmu...?" sergah si 

Pengail Aneh dengan diiringi sesungging 

tawa mengekeh. Agaknya Setan Kroya 

merasa kurang senang dengan sikap 

sahabatnya yang masih saja tetap tak mau 

serius.

"Pengail goblok, terus saja engkau 

bercanda, sebentar lagi kail mu itu 

kupatah-patahkan...!" bentaknya marah.

"Hus. Jangan! Tanpa kail di tanganku 

ini, mana mungkin engkau bisa makan ikan 

itu andai tanpa kail itu, pula aku bisa 

mampus tanpa senjata itu, engkau pikir 

mana lebih baik antara kailku dengan toya 

butut pemukul anjing milikmu?" menyela 

si Pengail Aneh masih tetap saja 

bercanda. 

"Manusia Kropok sialan...!"

Hampir saja Setan Kroj»a 

mengayunkan toyanya ke arah kepala si 

Pengail Aneh jika laki-laki tua itu tidak 

cepat-cepat menyergah

"Gembel Kroya... Baiklah, 

baiklah.... Aku serius. Sekarang 

ceritakan apa sesungguhnya yang telah 

terjadi dengan namamu itu...?"



Legalah hati Setan Kroya begitu 

mendengar ucapan si Pengail Aneh dari 

Susukan itu. Setan Kroya kemudian nampak 

menarik nafas pendek pendek, sepasang 

matanya yang bulat besar itu pun nampak 

memandang lurus ke depan. Lalu tak berapa 

lama kemudian dia pun sudah mulai buka 

bicara.

"Sekarang ini, rimba persilatan 

sedang dilanda situasi yang serba tak 

menentu!" desahnya seolah-olah 

menyesalkan. Kemudian lanjutnya. 

"Orang-orang pada mampus tanpa diketahui 

sebab musababnya. Menurut kabar yang ku 

dengar, sudah dua bulan purnama ini, di 

kaki Gunung Gili Manuk telah terjadi 

pertarungan tokoh-tokoh kelas satu, yang 

berakhir dengan banyak kematian...!"

"Ee.... tunggu dulu, apa 

sesungguhnya yang menjadi persoalan 

sehingga pertarungan itu sampai 

terjadi...?" potong si Pengail Aneh 

dengan sangat penasaran sekali. Yang 

ditanya terdiam sesaat lamanya.

"Menurut kabar yang kudengar pula, 

sekarang ini kaum rimba persilatan 

sedang memperebutkan siapa 

sesungguhnya yang pantas menjadi 

tokoh kelas satu di kolong langit 

ini...?"


"Tokoh kelas satu? Untuk apa hal itu 

diributkan?" tanya si Pengail Aneh 

merasa sangat heran sekali.

"Ada yang bilang, bahwa siapa pun 

yang berhasil keluar dalam adu kesaktian 

itu, maka dialah yang berhak menguasai 

seluruh kaum persilatan!"

"Puh! Undang-undang orang edan dari 

mana itu Setan Kroya.. Kau jangan 

mengada-ada...!" cibir si Pengail Aneh.

"Jangan protes dulu. Itu makanya 

kalau ada orang sedang bicara engkau 

jangan seenak perutmu saja main 

protes...!"

"Baiklah.. baiklah, coba engkau 

teruskan..." perintah si Pengail Aneh.

"Aku merasa sangat yakin ada 

pihak-pihak lenentu yang dengan sengaja 

memanfaatkan ini untuk kepentingan

tertentu pula. Hal itu aku tak peduli, 

tetapi karena ada yang coba-coba memakai 

namaku untuk suatu tujuan yang tak jelas. 

Maka hal itu tidak bisa kubiarkan 

berlarut-larut !” Ketus Setan Kroya 

menggeram.

“Hek. hek.. hek... Agaknya 

ketenaran namamu membuat orang lain iri 

hati, Setan Gembel. Sampai-sampai nama 

bututmu mereka bawa-bawa untuk 

kepentingan yang tak jelas ..!" tukas Hi


Pengail Aneh dengan tawa mengejek. Tanpa 

merasa tersinggung sedikit pun Setan 

Kroya menyambung.

"Kurasa bukan itu yang menjadi 

tujuan mereka. Cara mereka dalam 

bertindak atau apa pun yang akan mereka 

kerjakan, aku malah khawatir kalau pada 

akhirnya bukan nama kita saja yang 

terlibat dalam sesuatu yang tak baik. 

Tetapi akhirnya malah menyeret kita pada 

sesuatu yang tidak pernah kita 

ingini...!" ujar Setan Kroya merasa 

was-was.

"Heh... kiranya, tempat 

pangasinganmu selama ini malah membuatmu 

jadi seorang pengecut, Setan Gembel...!"

Merah panas Si Setan Kroya begitu 

mendengar ucapan si Pengai! Aneh dengan 

nada mencemooh itu. Kemudian tanpa 

disangka-sangka dia pun cepat-cepat 

menyela.

"Pengail sinting.... mati bagiku 

sekarang dan nanti bukanlah apa-apa 

Tetapi aku sangat tidak rela kalau sampai 

ada orang yang tak kukenal coba-coba 

mempergunakan namaku!"

si Pengail Aneh nampak 

angguk-anggukkan kepalanya. dalam hati 

dia juga membenarkan kata-kata Setan



Kroya. Dalam pada itu mendadak dia 

teringat sesuatu"

“Lalu apa yang akan engkau 

lakukan...?" Tanyanya kemudian

Si Setan Kroya terdiam untuk sesaat 

lamanya!

“Kalau menurutmu apa yang paling 

pantas untuk kulakukan...?" Laki-laki 

tua berbadan gemuk itu balik bertanya. 

Yang ditanya garuk-garuk kupingnya yang 

tak gatal, lalu dia pun memandang pada si 

Setan Kroya.

"Kalau menurutku, ada baiknya 

engkau selidiki siapa sesungguhnya orang 

yang telah mempergunakan namamu itu, 

kemudian cari tahu apa tujuan dari semua 

itu!" ujar si Pengail Aneh.

"Tetapi di mana harus kumulai, semua 

orang-orang di jalanan sana pada bungkam 

semuanya, manakala aku baru saja mencoba 

tanyakan pada mereka!"

"Hemmm.... repot juga." gumam si 

Pengail Aneh sambil menarik nafas 

dalam-dalam. Tak lama sesudahnya dia pun 

menyambung kembali.

"Menurutmu apakah pertarungan 

pemilihan tokoh nomor satu seperti yang 

didesas desuskan masih mungkin akan 

berlangsung kembali...?"


"Agaknya sih begitu, sebab sampai 

saat ini kudengar masih belum ditentukan 

secara pasti siapa adanya yang menjadi 

pemenang dalam adu kesaktian tersebut!"

"Huh, tolol sekali engkau ini! 

Dengan belum ditentukannya siapa yang 

keluar sebagai pemenang dalam 

pertandingan maut itu, ini sudah dapat 

dipastikan bahwa pertarungan gila itu 

masih akan berlanjut lagi...!" ujar si 

Pengail Aneh mcmberikan pendapat. 

Lagi-lagi si Setan Kroya 

menganguk-anggukkan kepalanya.

"Oh ya, benar juga pendapatmu itu! 

Kalau menurut apa yang kudengar tak 

sampai dua purnama yang akan datang di 

Gunung Gili Manuk pula pertarungan 

gila-gilaan itu berlanjut kembali!"

"Aku sangat berkeyakinan dalang 

dari semua apa yang terjadi itu, pasti 

juga hadir dalam pertarungan itu.. " 

ucapnya berpendapat.

"Mungkin juga Pengail Botak. Tetapi 

yang tak habis kumengerti, mengapa 

orang-orang itu begitu tololnva mau 

diadu domba dengan hal-hal yang 

sesungguhnya kurang patut untuk 

dilakukan oleh seorang 

pendekar-pendekar persilatan..." gumam


Setan Kroya merasa sangat penasaran 

sekali.

"Aku merasa yakin semua itu ada yang 

melatar belakanginya...!"

Lagi-lagi laki-laki berbadan gemuk 

itu pun mengagguk -angguk kan kepalanya.

"Cukup beralasan juga pendapatmu 

itu Pengail Sinting, agaknya otakmu 

semakin tua semakin sehat saja. Apakah 

itu ada hubungannya dengan rambutmu yang

berguguran itu?"

Wei... sial sekali engkau ini, kau 

pikir aku senang dengan segala pujianmu 

itu Setan Gembel!” sentak si Pengail Aneh

nampak konyol kembali.

“Siapa yang memuji? Masa engkau 

tidak tau kalau aku malah menghinamu?” 

kata laki-laki itu sambil tertawa-tawa 

lucu.

"Kutu kuprat! sial betul engkau ini, 

cepat-cepat menggelindinglah dari 

hadapanku...!" perintahnya marah.

"Eiiittt.... Tunggu dulu Aku masih 

ada satu pertanyaan yang harus engkau 

jawab hari ini juga...!"

"Cepat cepatlah katakan sebelum aku 

benar-benar menendangmu ke tengah telaga 

itu!"

Setan Kroya nampak cengar cengir 

melihat ulah kawannya sendiri.



"Begini! Apakah engkau juga ingin 

sama-sama pergi denganku...?" tanya si 

Gembel Kroya penuh harap. Tetapi yang 

ditanya malah tersenyum mengejek.

"Sudah kukatakan padamu sejak lima

tahun ketika kita bertemu di Bukit 

Linglung bahwa aku tak mungkin pergi 

meninggalkan pengasinganku di Susukan

ini. Walau seribu orang sekalipun 

mempergunakan namaku untuk jalan 

sesat...!" sela si Pengail Aneh mendadak 

berubah seperti orang pikun. Sebaliknya 

kini Setan Kroyalah yang meledak 

tawanya. Dalam keadaan seperti itu, 

Setan Kroya cukup menyadari bahwa 

penyakit sinting sahabatnya itu sedang 

kambuh kembali.

"Pengail geblek! Engkau ini 

sesungguhnya cerdas namun tolol, pinter 

namun bodoh. Masakan engkau yang begitu 

disegani di rimba persilatan, akan 

membiarkan begitu saja andai namamu 

dicatut orang untuk tujuan-tujuan tak 

baik...?" menyela si Setan Kroya. 

Tiba-tiba seperti orang yang sedang 

kebingungan si Pengail Aneh, tengok 

kanan tengok kiri. Bagai orang yang baru 

terjaga dari tidurnya matanya 

berkeriapan pula.


"Apa katamu, aku tolol tapi pinter, 

rupanya aku baru saja bilang apa padamu?" 

tanyanya seperti tak mengerti apa yang 

baru saja diucapkannya.

"Dasar pikun! Masakan sebagai orang 

yang disegani di kalangan rimba 

persilatan engkau akan membiarkan saja 

namamu dipakai oleh orang lain. 

Bagaimana pula andai orang itu mengaku 

sebagai dirimu setelah memperkosa bini 

orang...?" tanya si Setan Kroya sembari 

tersenyum -senyum.

"Waa.... kurang asem. Tidak bisa, 

orang itu pasti akan kuseret dan kugebuk 

atau bahkan kupelintir lehernya sampai 

putus...!" tukasnya terburu-buru. 

"Lalu seandainya suatu saat ada 

seseorang yang mempergunakan namamu 

untuk tujuan-tujuan yang sesungguhnya 

sangat bertentangan dengan hati kecilmu. 

Apakah engkau sampai mampu akan 

ngejoprak di Susukan ini...?" tanya 

Setan Kroya penuh kemenangan.

si Pengail Aneh kernyitkan alisnya 

yang putih namun hanya tinggal beberapa 

helai saja.

"Engkau pikir apakah aku tolol, 

meskipun aku sudah hampir tersungkur ke 

dalam kubur, tidak nantinya kubiarkan 

siapa pun memakai namaku secara


sembarangan. Engkau tahu bahwa dulu 

maupun nanti kail mautku ini masih mampu 

untuk menggantung siapa pun yang punya 

maksud-maksud tak baik...!"

"Hemmmm! Bagus, jadi engkau pun akan 

berbuat yang sama. Andai nama besarmu 

dipergunakaan secara serampangan oleh 

orang lain...!"

"Tentu saja...!" sahut si Pengail 

Aneh.

"Bagus.... Karena saat ini 

namakulah yang paling pertama dicatut 

oleh orang lain, agaknya aku harus 

kelayapan terlebih dahulu." kata Setan 

Kroya, kemudian untuk sesaat lamanya dia 

menoleh dan memandang pada si Pengail 

Aneh. Setelah itu dia pun menyambung 

kembali.

"Pengail sinting! Aku berharap 

suatu saat namamu menjadi diminati oleh 

orang lain, sehingga menyebabkanmu harus 

merangkak dari sarangmu...!" ejek Setan 

Kroya.

"Mudah-mudahan tidak begitu...!" 

gumam si Pengail Aneh tersenyum-senyum.

"Harus begitu...!" bantah Setan 

Kroya.

"Tidak mungkin, Pangeran Gembel”

"Mungkin saja...!" sergah Setan 

Kroya.

"Mana bisa...!" si Pengail Aneh 

nampak ngotot.

Dalam pada itu tiba-tiba Setan Kroya 

menunjuk ke suatu tempat.

"Eh.....Apa itu...?" kata si Setan 

Kroya pada si Pengail Aneh, serentak 

pengail ini pun menoleh.

"Mana...?" tanya si Pengail Aneh. 

Tiada sahutan, akhirnya dengan rasa 

penasaran dia pun berpaling kembali pada 

Setan Kroya. Namun dia tidak melihat 

sahabatnya itu ada di tempat. Maka 

tahulah dia bahwa Setan Kroya sengaja 

mengerjainya. Akhirnya tanpa membuang 

waktu lagi, dia pun berkelebat pergi 

meninggalkan telaga itu.

* * *


TIGA


Panas terasa terik membakar. 

Sejauh-jauh mata memandang hanya kepulan 

debu-debu jalanan yang diterbangkan oleh 

hembusan angin kering.

Nun di kejauhan sana, nampak sebuah 

titik hitam berjalan terseok-seok 

melintasi padang kerontang yang


membentang begitu luas. Semakin lama 

titik hitam tersebut semakin bertambah 

jelas, hingga pada akhirnya semakin 

bertambah nyata. Maka terlihatlah sosok 

bayangan seorang pemuda berusia 

kira-kira dua puluh lima tahun. Pemuda

berkulit hitam legam itu berperawakan, 

tinggi semampai dengan bentuk badan 

kekar berotot menonjol. Sementara. 

Pakaian yang dikenakannya tak jauh beda 

dengan warna kulitnya. Sepintas lalu 

pemuda itu mengesankan sebagai seorang 

laki-laki yang sangat perkasa. Apalagi 

dengan sebilah pedang panjang tergantung 

di punggungnya. Tak pelak lagi siapa pun 

orangnya sudah pasti dapat menduga bahwa 

pemuda bertampang dingin itu tentu 

merupakan seorang pengelana yang 

memiliki kepandaian sangat tinggi.

Sayangnya ada satu sisi terburuk 

pada penampilan pemuda itu, kakinya yang 

terkutung sebatas paha, telah membuatnya 

harus berteman dengan sebuah tongkat, 

kemana pun dia pergi. Inilah salah satu 

ciri yang menonjol yang dimiliki oleh 

pemuda itu. Tetapi walaupun begitu tak 

seorang pun ada yang berani bertindak 

sembarangan terhadapnya. Jangankan

orang-orang yang sebaya dengannya. 

Sedangkan beberapa tokoh angkatan tua


saja sudah sangat banyak yang telah 

menjadi pecundangnya. Bahkan puluhan di 

antaranya menemui ajal secara 

mengerikan. Betapapun pemuda ini 

memiliki tubuh yang tidak sempurna, 

tetapi siapa sangka dia memiliki 

segudang cita-cita untuk dapat merajai 

seluruh dunia persilatan. Lebih dari 

sekedar itu dia pun secara halus dapat 

memperalat orang lain untuk melakukan 

tipu muslihat dan adu domba. Salah satu 

sisi yang benar-benar sangat menyimpang

dari kebiasaan pada umumnya adalah 

kebenciannya terhadap seorang wanita. 

Dia akan bertindak lebih ganas lagi pada 

lawan yang berlainan jenis dengannya. 

Barangkali semua itu ada hubungannya 

dengan latar belakang kehidupannya.

Kini pemuda itu nampak menghentikan 

langkahnya di bawah sebatang pohon besar 

yang terdapat di pinggiran jalan setapak 

itu. Tak lama setelah itu maka pemuda ini 

menyandarkan badannya di bawah batang 

pohon tersebut. Setelah itu dia nampak 

menarik nafas dalam-dalam. Lalu rasa 

kantuk pun terasa menyerangnya begitu 

tiba-tiba. Sorot matanya yang dingin itu 

semakin lama nampak semakin meredup, 

hingga pada akhirnya dia pun tertidur 

dengan pulasnya. Angin kemarau yang


berhembus begitu kencangnya, membuatnya 

sekejap saja telah menjadi pulas sekali. 

Namun lebih kurang baru setengah jam dia 

menikmati tidurnya, di luar pengetahuan 

si pemuda, nampak berkelebat beberapa 

sosok tubuh mendekati si pemuda ini. Tak 

lama begitu sampai di depan pemuda itu, 

maka salah seorang dari ketiga orang itu 

langsung bertanya pada kawan-kawannya.

"Manusia pincang seperti inikah 

yang telah membunuh banyak perempuan dan 

para pendekar lainnya di kaki Gunung Gili 

Manuk, Boim...?" tanya si Kaki Pincang 

Mata Picak.

"Tak salah, Bang.... Manusia Kaki 

Tunggal inilah orangnya...!" jawab yang 

bernama Boim itu takut-takut.

"Kalau begitu cepat bunuh dia...!" 

perintah si Kaki Pincang Mata Picak 

memberi perintah.

"Bang, apa tak sebaiknya kita 

banguni dulu, baru kemudian kita 

bunuh...?" tanya Boim memberi usul.

"Tolol kalian semua. Kalau engkau 

membanguni dia, itu sama saja artinya 

dengan mencari penyakit...!" bentak si 

Kaki Pincang Mata Picak marah sekali. 

Namun begitu pun masih saja salah seorang 

di antaranya bertanya lagi.


"Tapi Bang! Membunuh orang yang 

sedang tidur dosanya berlipat ganda...!" 

menyela kawannya yang lainnya pula.

"sial! Mengapa harus membantah. 

Kalian mulai saja atau aku yang akan 

memenggal kepala kalian satu... satu di 

sini...?!" bentak si Kaki Tunggal Mata 

Picak berang bukan main gusarnya. Dan

sudah barang tentu suara bentakan yang 

begitu keras membuat si Kaki Tunggal 

alias Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal 

menjadi terjaga dari tidurnya. Walaupun 

pemuda berkaki tunggal itu tidak membuka 

kedua matanya yang terpejam, namun ia 

dapat mengetahui dengan baik. Bahwa di 

sekelilingnya kini telah, berdiri 

beberapa orang laki-laki dengan senjata 

terhunus. Maka masih dengan sikap 

seperti orang yang sedang tertidur, dia 

pun menggeram:

"Hekh.... Kiranya di sekitar sini 

masih saja ada lalat-lalat menjijikkan 

yang minta digebuk. Gila betul.... Tak 

tahu rupanya kalau majikanmu ini baru 

saja melakukan pekerjaan yang sangat 

melelahkan. Cepat-cepat menyingkirlah, 

atau kepala yang tidak guna itu akan 

menggelinding satu demi satu..!" 

ancamnya penuh teguran.


"Kuya. Tikus bangsat berkaki 

tunggal, dosamu membunuhi anak bini 

orang, dan nyawa orang yang tidak berdosa 

itu saja, sudah sulit bagiku untuk 

mengampunimu. Cepat-cepatlah berdiri 

untuk menerima kematian dari kami...!" 

maki Mata Picak Kaki Pincang.

"Hek.... Hek.... !" si Kaki Tunggal 

tertawa dingin menyeramkan. Serta merta 

dia pun membuka kedua matanya yang 

terpejam. Begitu mengetahui orang-orang 

yang berdiri tak begitu jauh di depannya. 

Maka gelak tawanya pun kembali menggema 

di siang yang terik itu. Beberapa orang 

kawan si Mata Picak Kaki Pincang yang 

sebelumnya meradang sudah mengetahui 

sepak terjang dan kesadisan si Kaki 

Tunggal nampak menggerendek dan ciut 

nyalinya. Dalam pada itu, Si Kaki Tunggal 

tiba-tiba sudah membentak kembali. 

"Puih. Kaki Pincang Mata Picak, 

agaknya keadaanmu malah tidak lebih baik 

dari keadaanku. Aku sudah merasa sedih 

dengan keadaanku sendiri, akan tetapi 

aku malah lebih sedih lagi membayangkan 

nasibmu yang lebih buruk nanti...!"

Memerah wajah Si Mata Picak Kaki 

Pincang demi mendengar ucapan Si Kaki 

Tunggal yang terasa sangat mencemooh

itu. Lalu tak kalah kerasnya, dia pun 

memaki.

"Jahanam, Manusia iblis berkaki 

tunggal.....

Berbulan-bulan kaini selalu 

memata-matai, sepak terjangmu. Kami 

semua sudah tahu apa sesungguhnya yang 

menjadi tujuanmu. Heh, satu cara yang

keji dan kotor, sebuah kebiadaban yang 

tak pantas dilakukan oleh seorang demit 

yang mengaku dirinya sebagai seorang 

ksatria...!" Si Boim yang sejak tadi 

hanya terdiam saja kini mulai 

memberanikan diri ikut menyela.

Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal 

kernyitkan alisnya begitu mendengar 

ucapan Si Boim. Beberapa saat lamanya dia 

memandang pada laki-laki itu, dengan 

sorot mata penuh kesadisan. Lalu 

bibirnya yang hitam legam itu pun 

menyungging seringai maut. Laki-laki 

kurus yang bernama si Boim itu pun 

semakin kedodoran saja nyalinya, bahkan 

cepat-cepat dia palingkan muka. 

Sementara itu si Kaki Tunggal sudah 

berkata kembali.

"Cepat katakan apa yang engkau 

ketahui tentang aku, Cacing 

Kerempeng...?" perintah si pemuda tak 

sabaran lagi.


Sebaliknya si Mata Picak Kaki 

Pincang yang mendahului rekannya!

"Manusia bangsanya memedi! Kami 

tahu, sesungguhnya kaulah yang telah 

menggembar gemborkan tentang 

pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi 

di Gunung Gili Manuk, dua kali purnama 

yang telah lalu itu. Lebih licik lagi, 

engkau dengan sengaja mencoba mengadu 

domba antara satu golongan dengan 

golongan lainnya. Sehingga mereka 

berselisih dan saling bunuh. Aku tahu 

muslihatmu, setelah mereka saling bunuh. 

Bukankah pada akhirnya sebagai pemenang 

dalam pertarungan keji itu pada akhirnya 

akan berhadapan denganmu...!" kata si 

Mata Picak Kaki Pincang. Ksatria 

Terkutuk Berkaki Tunggal tertawa ganda 

begitu mendengar ucapan si Mata Picak 

Kaki Pincang. Sesungguhnya memang 

tidak dapat dia sangkal bahwa apa yang

dikatakan oleh si Mata Picak memang 

benar adanya. Maka beberapa saat setelah 

itu dia pun berkata:

"Bagus! Bagus! Ternyata meskipun 

matamu picak, tetapi otakmu cukup cerdas 

juga. Sayangnya tokoh-tokoh sialan itu

otaknya tidak sebagus otakmu, mereka 

sudah terlanjur saling bantai 

sesamanya. Dan kalian...!" si


Kaki Tunggal terdiam sesaat lamanya, 

lalu menyambung kembali. "Sayangnya 

kalian tidak mungkin bisa meralat segala 

apa yang telah kusebarluaskan pada 

keledai-keledai dungu itu. Satu 

purnama yang akan datang, di lereng 

Gunung Gili Manuk akan terjadi 

pertarungan yang paling berarti dalam 

sejarah dunia persilatan. Malang sekali, 

karena kalian yang sedikit punya 

kecerdikan tak akan pernah sempat 

menyaksikan pertarungan yang sangat 

menegangkan itu...!" menggeram si 

pemuda. Baik si Mata Picak Berkaki 

Pincang maupun ketiga orang kawannya 

nampak sangat terkejut sekali. Mereka 

sadar, beberapa saat lagi akan terjadi 

baku hantam yang menjadi penentu hidup 

matinya mereka. Tetapi berbeda dengan 

ketiga orang lainnya, kiranya si Mata 

Picak Kaki Pincang memiliki keberanian 

yang sangat luar biasa. Kalau tadi hanya 

ketiga orang kawannya yang mencabut 

senjata masing-masing, maka kini dia pun 

telah meloloskan sebilah pedang berhulu 

batu hitam. Dunia persilatan mengakui 

akan keampuhan pedang pusaka yang kini 

berada dalam genggaman si Mata Picak. 

Kemudian setelahnya, laki-laki itu pun


sudah bersiap-siap untuk menyerang 

lawannya.

Di luar dugaan mereka, begitu 

mengetahui pedang batu hitam itu pun si 

Kaki Tunggal tertawa mengekeh. 

Sampai-sampai dia memegangi perutnya 

yang terasa kaku.

"Mata Picak, pedangmu memang bagus, 

tetapi mungkin permainan pedangmu sangat 

mengecewakan aku. Hak.... hak.... 

hak.... Majulah kalian semua! Aku Satria 

Terkutuk Berkaki Tunggal pasti akan 

melayani kalian sampai tersungkur ke 

liang kubur!"

"Bangsaaat! Hiaaaaa...!"

Dengan diawali satu bentakan tinggi 

melengking, maka keempat orang itu 

secara serentak langsung menggempur si 

Kaki Tunggal dari berbagai arah. Sekejap 

saja senjata di tangan masing-masing 

telah berkelebat cepat, sehingga 

membentuk gulungan-gulungan sinar maut 

yang menggidikkan. Hebat sekali 

permainan senjata mereka itu. Sehingga 

dalam waktu sepemakan sirih, Satria 

Terkutuk Berkaki Tunggal sudah terkurung 

hebat dalam sambaran-sambaran ganas mata 

senjata lawan-lawannya. Akan tetapi 

meskipun permainan pedang lawan yang

terkenal dengan nama, Gerombolan Beruang


Menyergap Mangsa itu, nampak sedemikian 

hebatnya, namun si Kaki Tunggal masih 

nampak tenang-tenang saja. Bahkan 

berulang kali dia malah keluarkan suara 

tawa mengekeh. Hal ini sudah barang tentu 

membuat para pengeroyok yang dipimpin 

oleh Mata Picak Kaki Pincang, menjadi 

marah dan penasaran sekali.

Maka akhirnya bagai sebuah titiran, 

keempat orang itu pun terus memutar 

senjata di tangan mereka secepatnya. 

Meskipun gerakan senjata mereka 

sedemikian sebatnya, namun si Kaki 

Tunggal masih dengan sangat mudah 

mengelakkan setiap serangan yang 

datangnya bagai membadai tersebut. Satu 

ketika, tubuh si Kaki Tunggal nampak 

berjingkrak-jingkrak, si Mata Picak Kaki 

Pincang. kirimkan satu tusukan satu 

babatan. Dia berharap, kalaupun serangan 

kilat itu dapat dielakkan oleh si Kaki 

Tunggal, paling-paling adalah salah 

satunya saja. Sedangkan serangan yang 

lain pasti dapat menembus pada bagian 

tubuh si Kaki Tunggal atau 

setidak-tidaknya lawan akan terluka 

parah, maka:

"Beet! Bet!"

Pedang berhulu batu hitam itu pun 

berkelebat menyambar ke arah dada dan


kepala pihak lawannya. Sesaat si Kaki 

Tunggal berseru aneh.

"Wut!"

Begitu cepat, si Kaki Tunggal 

menyambar tubuh salah seorang lawannya 

untuk dijadikan perisai. si Mata Picak 

yang tiada pernah menyangka lawannya 

akan berbuat kelicikan, nampak sangat 

terkejut sekali, sedapatnya dia berusaha 

untuk membelokkan ujung senjatanya yang 

nampak meluncur tak terkendali. Namun 

usahanya itu nampaknya menjadi sia-sia 

belaka, karena lebih cepat lagi si Kaki 

Tunggal telah dengan sengaja menyodorkan 

tubuh lawannya ke ujung senjata yang 

bermata sangat tajam itu. Maka kejadian 

fatal pun sudah tak dapat lagi dihindari.

"Jbroos...!"

"Aarrrggghk!"

Mata pedang milik si Mata Picak Kaki 

Pincang masih menancap di dada kawannya 

sendiri ketika si Kaki Tunggal 

melepaskan tubuh lawannya dari 

tangannya. Darah menyembur dari luka 

yang menganga, bahkan sebagian di 

antaranya sampai menyemprot ke muka si 

Mata Picak. Seketika itu juga si Mata 

Picak dan dua orang kawannya nampak 

terperangah, mata mereka sama-sama 

melotot tak percaya.


Meledaklah tawa si Kaki Tunggal demi 

menyaksikan kejadian dan hasil kerjanya 

sendiri. Wajahnya membayangkan kepuasan 

jiwanya yang penuh dengan angkara murka. 

Sesaat setelahnya, serta merta dia pun 

membentak

''Satu kesempatan telah begitu baik 

kuberikan pada kalian. Tetapi karena 

memang kalian ini tikus-tikus dungu, tak 

dinyana kalian telah membantai kawan 

sendiri. Puih, sungguh sangat memalukan 

sekali...!" menyela Kaki Tunggal masih 

dengan tawa mengejek. . .

"Sialan.... Engkau telah berbuat 

licik! Mengapa bukan dirimu saja yang 

engkau pasrahkan untuk ditembus pedangku 

ini...?" maki Mata Picak Kaki Pincang 

gusar sekali.

* * *


EMPAT



"Bah! Mata Picak, engkau sendiri 

yang berbuat kesalahan, mengapa kini 

engkau coba-coba menutup-nutupi 

ketololanmu...?"


"Bangsaaat...!" maki si Mata Picak 

Kaki Pincang, tanpa banyak kata lagi dia 

pun kembali menerjang musuhnya dengan 

kemarahan yang meluap-luap. Dalam 

kesempatan seperti itu sambil menghindar 

si Kaki Tunggal berseru:

"Kunyuk Pincang Mata Picak! 

Kesempatan bagimu habislah sudah, maka 

kini bersiap-siaplah kalian untuk 

menerima kematian...!" Seusai dengan 

kata-katanya sebentar kemudian si Kaki 

Tunggal bagai tak memiliki suatu cacat 

apa pun nampak begitu gesit mulai 

jurus-jurus silat tingkat tinggi. Ketiga 

lawan-lawannya nampak tercengang 

seketika itu juga! Apalagi si Mata Picak 

Kaki Pincang, Mulanya dia hanya 

menyangka walaupun si Kaki Tunggal 

merupakan seorang pemuda sakti, tetapi 

tidaklah dia mengira sampai sehebat itu. 

Apalagi dia mengetahui bahwa pemuda itu 

hanyalah memiliki kaki sebelah. Tidak 

seperti dirinya, meskipun pincang tetapi 

memiliki dua kaki.

Maka setelah mengetahui kehebatan 

pihak lawan, kini dia sudah tak ingin 

bertindak tanggung lagi. Kaki Pincang 

Mata Picak segera kerahkan semua 

kepandaian yang dimilikinya. Begitu juga 

halnya dengan dua orang kawannya,



meskipun dua orang itu memiliki 

kepandaian beberapa tingkat di bawah si 

Mata Picak, namun dalam keadaan tertentu 

kedua orang kawannya itu memiliki 

kenekatan yang sangat luar biasa. 

Begitulah, seiring dengan serangan 

gencar yang dilakukan oleh si Kaki 

Pincang Mata Picak, maka si Boim dan 

seorang lainnya yang bernama Tur Tur itu 

pun melakukan gebrakan gebrakan yang 

sama.

Matahari terasa kian menyengat, 

sementara pertarungan itu dalam waktu 

sekejab saja sudah berlangsung sangat 

seru. Berulang kali serangan-serangan 

beruntun dilancarkan oleh si Mata Picak 

dan kawan-kawannya, namun 

serangan-serangan yang mereka bangun itu 

pada akhirnya menjadi kandas di tengah 

jalan. Satu saat, Kaki Pincang Mata 

Picak, kirimkan satu tusukan kilat 

mengarah pada bagian lambung si Kaki 

Tunggal. Pada saat itu pemuda berkaki 

tunggal itu nampak sedang sibuk melayani 

kiblatan-kiblatan senjata si Boim, dan 

Tur Tur. Tentu saja si Kaki Tunggal tak 

pernah menyangka akan adanya serangan 

yang begitu cepat tersebut. Begitulah si 

Mata Picak berpendapat, maka tanpa dapat 

dicegah lagi, luncuran pedangnya hanya


tinggal beberapa inci saja menembus 

kepala lawannya. Namun pada saat-saat 

yang mendebarkan itu tanpa 

disangka-sangka Satria Terkutuk Berkaki 

Tunggal, lebih cepat gerakkan tongkatnya 

ke atas. Tidak cukup sampai di situ saja 

dia bertindak. Dengan kecepatan yang 

sangat sulit diikuti mata. Pada saat Yang 

sama, dia pun mencabut pedang yang 

menggelantungi punggungnya. Detik itu 

juga pedang yang telah merenggut puluhan 

nyawa itu pun berkelebat.

“Creees!"

Terbeliak mata si Kaki Pincang yang 

hanya cuma melek sebelah itu, mata pedang 

itu terasa begitu dingin menembus bagian 

dadanya, hal itu menandakan bahwa pedang 

milik si Kaki Tunggal benar-benar 

mengandung racun yang ganas. Kini si Mata 

Picak nampak menekan dadanya yang 

tertembus senjata lawan, darah berwarna 

kehitam-hitaman nampak mengalir begitu 

deras dari luka yang menganga. Tiada 

jerit dan lolong yang terdengar, seiring 

dengan seluruh tubuhnya yang 

begitu tiba-tiba membiru, maka si 

Kaki Pincang Mata Picak beberapa saat 

setelahnya nampak terhuyung-huyung. 

Hingga akhirnya tersungkur tanpa 

mampu bangkit lagi. Tinggallah si Boim


dan Tur Tur berdua, mereka ini nampak 

sangat terkejut sekali melihat apa yang 

dialami oleh si Kaki Pincang Mata 

Picak. Tetapi hal itu hanya sekejap 

saja berlangsung, karena pada saat itu si 

Kaki Tunggal telah menyerang kedua orang 

ini dengan tongkatnya. Sudah barang 

tentu meskipun kini mereka bertahan 

mati-matian. Tetapi si Kaki Tunggal 

bukanlah lawan mereka yang sepadan, 

betapapun mereka mengerahkan segenap 

kemampuan yang mereka miliki, namun 

semua itu tak berarti banyak bagi pemuda 

berkaki tunggal ini.

Tak ayal, dalam beberapa gebrakan 

berikutnya, Boim dan Tur Tur sudah nampak 

berada jauh di bawah angin. Mati-matian 

mereka memutar senjata untuk melindungi 

diri, tetapi tetap saja kedua orang ini 

sering jatuh tunggang langgang. Hingga 

pada satu kesempatan yang sesungguhnya 

tidak menguntungkan bagi kedua orang 

ini. Dengan nekad mereka menyerang si 

Kaki Tunggal dalam jarak yang sangat 

dekat sekali. Inilah saat-saat yang 

paling ditunggu-tunggu oleh si Kaki 

Tunggal. Begitu kedua lawannya secara 

serentak membabatkan senjatanya ke 

bagian leher dan kaki, pada saat itulah 

laksana kilat si Kaki Tunggal melolos


pedangnya dan sekaligus membabat 

lawan-lawannya. Laksana diterpa badai 

prahara, kedua orang ini nampak 

terhuyung-huyung tak menentu, begitu 

pedang si Kaki Tunggal yang memiliki 

ketajaman luar biasa membabat putus 

leher kedua orang itu. Baik kepala Boim 

maupun kepada Tur Tur, dua-duanya 

sama-sama menggelinding ke tanah. Sesaat 

tubuh mereka nampak berputar-putar 

dengan darah yang membanjir ke 

mana-mana. Lalu tak lama kemudian tubuh 

mereka pun segera ambruk di atas tanah 

berdebu. si Kaki Tunggal tersenyum 

begitu dingin, demi melihat kematian 

keempat orang itu. Tiba-tiba saja dia 

berkata!

"Orang-orang semacam kalian memang 

pantas mati. Terlebih-lebih kalian tahu 

banyak tentang segala rencanaku...!" 

gumam si Kaki Tunggal rawan. Tak lama 

kemudian dia pun melangkah mendekati 

mayat si Kaki Pincang Mata Picak. Lalu 

dipungutnya sebilah pedang milik si Mata 

Picak yang bergagang batu hitam 

tersebut. Sesaat dia menimang-nimang 

senjata tersebut.

Sementara itu si Kaki Tunggal 

kiranya tak menyadari bahwa dari jarak 

yang tidak begitu jauh, seorang pemuda


lain berpakaian merah dengan sebuah 

periuk besar yang selalu tergantung di 

bagian pinggangnya, nampak terus 

mengawasi si Kaki Tunggal. Pemuda 

berwajah tampan itu nampak sangat geram 

sekali begitu melihat cara si Kaki 

Tunggal memperlakukan lawan-lawannya. 

Betapa pun tadinya dia memang hendak 

turun tangan, namun pada akhirnya dia 

urung. Ilmu pedang yang dimiliki oleh si 

Kaki Tunggal memang tinggi, bahkan 

mungkin lebih tinggi dari permainan 

silat yang dimilikinya. Tetapi sayangnya 

si Pemuda Berkaki Tunggal itu, dari 

perdebatan yang sempat dia dengar 

agaknya bukanlah seorang kaum persilatan 

yang bertujuan baik. Bahkan secara 

terang-terangan telah melakukan satu 

teror yang berakibat sangat fatal bagi 

berbagai pihak. Semua itu dia lakukan 

hanya demi memenuhi ambisinya, menjadi 

penguasa yang tiada tanding di dalam 

rimba persilatan. Lebih dari itu, 

tindakan si Kaki Tunggal yang telah 

banyak membunuh pendekar-pendekar 

wanita. Hal ini membuat si jubah merah, 

alias Pendekar Hina Kelana menjadi naik 

pitam. Maka kini tanpa tedeng 

aling-aling lagi dia pun berkata lirih 

namun menggetarkan pembuluh darah siapa


pun. Karena pada dasarnya, saat-saat dia 

berkata itu disertai dengan tenaga dalam 

yang tinggi.

"Kejam sekali perbuatanmu, Setan 

Hitam! Agaknya engkau ini iblis penjagal 

di neraka yang terlepas dari belenggu 

yang merantaimu...!" Kata Pendekar Hina 

Kelana penuh teguran. Yang ditegur 

berpaling pun tidak, seolah dia begitu 

memandang rendah pada lawan yang baru 

saja berkata tadi. Sungguhpun dia cukup 

menyadari bahwa pada saat orang yang 

belum dikenalnya itu bicara, sesaat dia 

merasakan dadanya tergetar hebat. 

Nyatalah, bahwa sebenarnya dia seorang 

tokoh yang penuh percaya diri atas segala 

kemampuan yang dimilikinya. Sejenak si 

Kaki Tunggal telengkan 

kepalanya, sorot matanya yang 

setajam rajawali itu sempat melihat 

adanya seorang pemuda tampan berperiuk 

yang kini nampak sedang enak-enakan 

duduk di salah satu dahan besar 

bercabang. Alis si Kaki Tunggal nampak 

mengekerut, dia merasa sebelumnya tak 

pernah bertemu dengan pemuda berpakaian 

merah sedemikian rupa. Pula 

dengan penampilannya yang 

dekil bagai peminta-minta, 

mengingatkan si Kaki Tunggal pada


gembel-gembel pengemis dari Utara. siapa 

pula pemuda hina itu? Batin si Kaki 

Tunggal dalam hati. 

"Monyet gembel berperiuk!» Apa 

pedulimu dengan segala apa yang aku 

lakukan di tempat ini...?" tanya si Kaki 

Tunggal masih dengan nada lunak. 

"Kulihat kesewenang-wenanganmu 

terhadap orang itu, hal ini sudah cukup 

bagiku untuk menanyakannya padamu...!"

si Kaki Tunggal tersenyum mencibir 

begitu mendengar kata-kata Buang 

Sengketa. Kemudian dengan sangat 

mencemooh, dia pun menyela!

"Pilih. Apa pedulimu, Monyet 

Gembel...!"

"Tentu aku wajib mengetahuinya...!" 

kata pemuda dari Negeri Bunian ini masih 

dengan kesabarannya.

"Apakah mereka saudaramu, nenek 

moyangmu, atau mungkin 

kembrat-kembratmu?" tanya Ksatria 

Terkutuk Berkaki Tunggal.

Tanpa menjawab, tubuh Pendekar Hina 

Kelana nampak melayang turun dari atas 

sebuah dahan yang cukup tinggi. Kemudian 

dengan begitu ringannya menjejakkan kaki 

dua tombak tepat di depan si Kaki 

Tunggal. Mengetahui ilmu meringankan 

tubuh Buang Sengketa yang sudah mencapai



taraf paling sempurna itu. si Kaki 

Tunggal malah tersenyum tawar.

"Mereka memang bukan saudaraku, 

tetapi dari apa yang aku dengar, engkau 

memang pantas mendapat hukuman yang 

paling layak...!" berkata pendekar ini 

kemudian.

"Hak... hak... ha...! Melihat 

tampangmu, agaknya engkau ini pengemis 

kerak nasi. Apakah yang bisa engkau 

perbuat, Gembel Berperiuk...?" kata si 

Kaki Tunggal menantang. Hal ini sudah 

barang tentu membuat pendekar berwajah 

tampan itu menjadi habis kesabarannya. 

Kini dia mulai nampak marah, bahkan 

secara perlahan wajahnya pun mulai 

kelihatan memerah.

"Manusia bukit pantat kwali, 

sungguh busuk sekali mulutmu. Agaknya 

cacat yang engkau miliki malah tidak 

membuatmu menjadi jera atau pun 

bertobat. Janganlah engkau jual lagak di 

depanku...!" 

si Kaki Tunggal masih tetap pada 

sikapnya. Bahkan kini malah semakin 

bertambah menantang. 

"Apa yang bisa engkau perbuat 

terhadapku Monyet Gembel. Kalau engkau 

punya kebisaan atau kepandaian lainnya. 

Cepat-cepat keluarkanlah! Sebelum.

engkau benar-benar mati penasaran...!" 

perintah si Kaki Tunggal.

"Hak...! Walaupun aku tak memiliki 

kemampuan apa-apa, tetapi aku tak 

menginginkan kesewenang-wenangan 

terjadi di depan mataku...!''

"Puih. Semut berani coba-coba 

melawan gajah, engkau akan mati sia-sia, 

Gembel Berperiuk...?!" .

"Mati atau hidup itu bukan 

wewenangmu...!" menggeram Buang 

Sengketa. Si Kaki Tunggal tampak 

tergelak-gelak demi mendengar apa yang 

dikatakan oleh. Pendekar kita ini. 

Nampak sekali bahwa dirinya terlalu 

sombong dengan segala apa yang dimiliki. 

Seolah di dunia ini dialah yang paling 

hebat dalam segala hal.

“Kesombonganmu benar-benar 

membuatmu menjadi celaka, Gembel 

Hina...'." maki Ksatria Terkutuk Berkaki 

Tunggal. Seketika itu juga, wajah 

Pendekar Hina Kelana berubah menjadi 

kelam membasi. Kedua bibirnya kini 

terkatup rapat, sementara 

rahangnya mengeluarkan bunyi 

berkerokotan. Dipandanginya si Kaki 

Tunggal dengan sinar mata berapi-api, 

tiada satu pun kata yang terucap. Akan 

tetapi beberapa saat kemudian


terdengarlah jerit suaranya yang 

melengking tinggi. Suara itu terdengar 

sambung menyambung tak jauh bedanya 

dengan suara rentetan halilintar. Bumi 

tempat mereka berpijak terasa 

bergetar hebat. Seketika lamanya, 

si Kaki Tunggal nampak terkesima melihat 

apa yang sedang dilakukan oleh pemuda 

dari Negeri Bunian ini.

Andai saja pemuda kaki tunggal 

berbadan hitam legam itu tidak 

cepat-cepat menutup indera 

pendengarannya, alamatlah dia mengalami 

nasib yang sangat mengerikan. Hal itu tak 

dapat disangkal, sebab dalam 

kemarahannya itu, Pendekar Hina Kelana 

telah mengerahkan Lengking Ilmu 

Pemenggal Roh yang terkenal sangat 

dahsyat luar biasa. Walaupun si Kaki

Tunggal telah mengerahkan sebagian 

tenaga saktinya, tetapi getaran Ilmu 

Pemenggal Roh itu masih tetap saja 

seluruh pembuluh darahnya terasa sakit 

bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum. 

Beberapa saat setelah itu, bersamaan 

dengan runtuhnya daun-daun hijau yang 

terakhir, maka si Kaki Tunggal yang baru 

saja lenyap rasa keterkejutannya, 

buru-buru membentak.


"Hebat... hebat...! Andai saja ada 

kambing bunting yang mendengar jeritan 

lolonganmu itu, sudah pasti akan rontok 

kandungannya. Gembel Berperiuk, tak 

dinyana kiranya engkau punya kebisaan 

juga rupanya?" kata si Kaki Tunggal tanpa 

sedikit pun ada perasaan jeri terbayang 

di wajahnya.

"Siapakah namamu, Bocah...?" tanya 

si Kaki Tunggal masih tetap memandang 

remeh pada si pemuda. Bukan main geramnya 

Pendekar Hina Kelana, demi melihat mimik 

wajah si Kaki Tunggal. Lebih dari itu, 

agaknya dia pun merasa heran dengan 

ketahanan yang dimiliki oleh lawannya. 

Selama ini belum pernah tokoh sakti 

golongan mana pun yang mampu bertahan 

hidup dalam menghadapi senangan mendadak 

dari Ilmu Pemenggal Roh yang 

dimilikinya. Bahkan Majikan Neraka 

Lembah Halilintar yang memiliki 

kesaktian tiada tanding dan seorang ahli 

sihir pula, tak tahan terhadap gempuran 

Ilmu Pemenggal Roh miliknya. 

Tetapi kini ada seorang pemuda 

berkaki tunggal mampu menghindari 

serangan yang luar biasa itu.

* * *


LIMA


Kenyataan itu saja telah 

membuktikan bahwa sesungguhnya si Kaki 

Tunggal memang benar-benar seorang tokoh 

muda yang memiliki kesaktian luar biasa.

"Mengapa engkau malah bengong 

seperti itu. Jawab pertanyaanku 

cepat...!" bentak Kstaria Terkutuk 

Berkaki Tunggal nampak sangat gusar 

sekali.

"Kalau engkau ingin jawabanku. 

Marilah bertarung dulu, sampai salah 

seorang di antara kita terbujur 

berkalang tanah...!"tukas Buang 

Sengketa.

"Ho.... ho.... ho....! Agaknya 

engkau belum tahu bagaimana adatnya, 

Kstaria Te»rkutuk Berkaki Tunggal 

rupanya...!"

"Hmmmn, kiranya engkaulah kunyuknya 

yang telah bikin geger di Kaki Gunung 

Gili Manuk itu...?!" ucap si Hina Kelana 

tersenyum lega.

"Tak salah...!"

"Bagus! Bagus sekali! Untuk itu 

mampuslah...!"


Bersamaan dengan ucapannya itu, 

maka pendekar dari Negeri Bunian itu, 

begitu bergebrak sudah kirimkan 

pukulan-pukulan mautnya. Menyadari 

bahwa pemuda berkuncir ini merupakan 

seorang lawan yang tangguh, maka si Kaki 

Tunggal pun tak ingin bertindak gegabah. 

Secepat kilat dia pun langsung memutar 

tongkat penyangga tubuhnya ke segala 

penjuru. Tongkat penyangga tubuh yang 

terbuat dari tulang kaki gajah itu pun 

dalam sekejap saja sudah membentuk 

sebuah perisai yang sangat sulit untuk 

dicari titik kelemahannya. Mengetahui 

pertahanan yang di bentuk oleh pihak 

lawan nampak begitu kokoh, maka tak ayal 

lagi tubuh Pendekar Hina Kelana nampak 

bergerak semakin cepat.

Pada saat itu bukan tongkat di

tangannya saja yang berkelebat cepat, 

akan tetapi tangan kanan si Kaki Tunggal 

pun mulai lancarkan pukulan-pukulan 

mautnya. Suara hiruk pikuk dari 

beradunya dua tenaga sakti, memecah 

keheningan siang hari yang sangat terik. 

Debu-debu beterbangan, mengepul dan 

membumbung tinggi ke angkasa lepas. 

Keringat mulai bercucuran dari tubuh 

Pendekar Hina Kelana. Baru kali ini 

semenjak meninggalkan Tanjung Api tempat


tinggal gurunya si Bangkotan Koreng 

Seribu, agaknya bagi pemuda keturunan 

Raja Ular Piton Utara itu sudah tak ada 

pilihan lain lagi terkecuali menempur si 

Kaki Tunggal yang tangguh luar biasa 

dengan pukulan-pukulan maut tingkat 

paling tinggi.

Suatu saat, tubuh Buang Sengketa 

nampak melentik ke atas, kemudian dengan 

diiringi dengan satu jeritan 

menggeledek, pemuda ini pun tak 

sungkan-sungkan lagi langsung 

melepaskan satu pukulan Empat Anasir 

Kehidupan yang tak pernah diragukan lagi 

akan kemampuannya. Tampak selarik sinar 

yang hampir tak terlihat oleh kasat mata 

menderu dan timbulkan suara bagai badai 

topan prahara. Pukulan maut itu melabrak 

tubuhnya. Sambil tertawa mengekeh, si 

Kaki Tunggal, cepat-cepat lambaikan 

tangannya. Aneh sekali, meskipun gerakan 

tangannya nampak begitu pelan dan 

lembut, namun akibatnya Pukulan Empat 

Anasir Kehidupan yang dilepas oleh 

pendekar dari Negeri Bunian yang 

terkenal ganas itu segera membalik. 

Dengan kecepatan dua kali tenaga 

serangan itu sendiri, pukulan maut itu 

berbalik menyerang pemiliknya. Pendekar 

Hina Kelana yang sebelumnya tiada


menyangka kalau si Kaki Tunggal mampu 

mengembalikan pukulan miliknya bahkan 

berkecepatan dua kali kelipatan tenaga 

saktinya. Nampak cepat-cepat 

menghindar. Tubuhnya berjumpalitan 

beberapa kali, meskipun dia dapat 

terlepas dari pukulan mautnya sendiri. 

Tak urung bagai seekor monyet kesetanan, 

dia terpaksa berguling-guling di atas 

permukaan tanah berdebu.

Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang 

dapat dikembalikan oleh si Kaki Tunggal 

itu terus meluncur kemudian melabrak 

sebatang pohon besar yang telah kering. 

Pohon itu pun berkerotakan ambruk ke 

bumi. Debu semakin banyak mengepul dan 

membumbung tinggi ke angkasa. Sumpah 

serapah berhamburan dari mulut si 

pemuda. si kaki Tunggal nampak mengekeh, 

kemudian berseru;

. "Hieeeh…he.... he... he...! 

Gembel Hina, pukulan mautmu memang 

pantas untuk kupuji. Menjadi jagoan 

dalam rimba persilatan, agaknya bukan 

menjadi jalan hidupmu. Bagaimana kalau 

engkau menjadi penebang pohon-pohon liar 

di sekitar tempat ini? Tentu hidupmu 

menjadi makmur...!” ejeknya.

"Bangsat..! Engkau belum melihat 

seluruh kemampuanku.... jangan sombong


dulu, Manusia Cacat...!" Marah sekali 

Pendekar Hina Kelana begitu mendengar 

ucapan si Kaki Tunggal

"Bagus! Keluarkanlah seluruh 

kemampuanmu. Kalau perlu panggil bapak 

moyangmu sekalian, biar aku tak usah 

kepalang tanggung dalam bertindak...!"

Memerah wajah si pemuda, mendidih 

darahnya. Maka tak lama setelahnya, 

tanpa banyak kata lagi, Pendekar Hina 

Kelana sudah nampak bersiap-siap dengan 

pukulan si Hina Kelana Merana. Puncak 

dari seluruh pukulan maut yang dia 

miliki.

"Hiiiaaaattt...!"

Pemuda itu sudah menggelar 

pukulan-pukulan dahsyat. Tak 

tertahankan lagi, kali ini pun si Kaki 

Tunggal nampaknya juga tengah 

bersiap-siap dengan pukulan-pukulan 

andalan, Ksatria Sakti Membelah Gunung. 

Pukulan inilah yang sengaja dipergunakan 

oleh si Kaki Tunggal untuk menggempur 

serangan si pemuda.

Dalam kilatan sinar merah membara 

dari pukulan si Hina Kelana Merana, 

nampak berke-lebat-kelebat menyambar ke 

segala arah. Sementara itu serangkaian 

sinar ungu dari Pukulan Ksatria Sakti 

Membelah Gunung yang dilancarkan oleh


Kaki Tunggal selalu nampak berhasil 

mematahkan pukulan-pukulan yarig 

dilepaskan oleh Buang Sengketa. Sudah 

barang tentu kegagalan demi kegagalan 

yang dia telan pada akhirnya membuat si 

pemuda kita ini menjadi uring-uringan. 

Lalu dia pun mulai berfikir-fikir untuk 

mempergunakan Pusaka Golok Buntung, 

maupun Cambuk Gelap Sayuto yang selalu 

dia bawa ke mana-mana. Akan tetapi di 

luar perhitungan, kiranya si Kaki 

Tunggal di luar pengetahuan si pemuda, 

detik itu juga melepaskan pukulan 

beruntun yang sangat sulit untuk 

dijajaki kemampuannya. 

"Wuuusss...!"

Sinar ungu berhawa dingin luar biasa 

itu datang membadai, menebarkan bau 

busuk yang memualkan perut. Tak ayal 

udara di sekitarnya mendadak berubah 

dingin. Tubuh pendekar ini nampak 

menggigil. Hanya sekejap, detik 

berikutnya dia berusaha sedapatnya untuk 

memapaki serangan yang datangnya 

bertubi-tubi itu. Tetapi entah mengapa 

sekalipun dia berusaha untuk mengerahkan 

tenaganya, namun hasilnya tetap sia-sia 

belaka. Sesaat kemudian sadarlah dia 

bahwa kiranya hawa pukulan yang 

dilepaskan oleh si Kaki Tungal itulah


yang menyebabkannya tak mampu 

mengerahkan tenaga saktinya. Celakalah 

aku kali ini, batin si pemuda. Perkiraan 

Buang Pemuda kiranya memang tepat 

sekali. Karena detik berikutnya, 

pukulan Ksatria Sakti Membelah Gunung 

telah menghantam tubuhnya.

"Bluaaaar..!?"

Tanpa ampun lagi tubuh pemuda dari 

Negeri Bunian ini pun terpelanting 

roboh. Darah kental menyembur dari mulut 

dan hidungnya, pemandangan di sekitar 

mendadak gelap gulita. Tubuh Pendekar 

Hina Kelana nampak diam tiada berkutik. 

si Kaki Tunggal tertawa-tawa demi 

melihat keadaan lawannya. Tetapi sedikit 

pun dia tiada mempunyai maksud untuk 

meneliti keadaan lawannya yang tangguh 

itu. Sembari melangkah pergi, Ksatria 

Terkutuk Berkaki Tunggal itu pun berkata 

seorang diri.

"Baru kali ini aku mendapati lawan 

yang cukup berarti dalam hidupku. Kalau 

nasibmu masih beruntung, 

setidak-tidaknya engkau masih dapat 

hidup dalam keadaan sekarat. Tetapi 

seandainya engkau dapat selamat dari 

pukulan yang tiada duanya itu, sebaiknya 

pulanglah engkau ke pangkuan ibumu. 

Kemudian meneteklah sebanyak-banyaknya,


agar engkau nantinya bisa melihat Riung 

Gunung menjadi orang nomor satu dalam 

dunia persilatan. Hak... hak... hak...!" 

Tawa si Kaki Tunggal, lalu sekali saja 

dia menggenjot tubuhnya, maka orang itu 

pun telah jauh meninggalkan Buang 

Sengketa yang dalam keadaan pingsan 

berat.

* * *

Salahna, Hono dan Hini, adalah 

termasuk orang-orang yang termakan desas 

desus adanya pemilihan tokoh nomor satu 

di dunia persilatan. Pagi itu mereka 

telah sampai di daerah hutan panjang. 

Bagai sedang memburu sesuatu yang 

teramat penting, ketiga orang gadis ini 

nampak saling berlomba memacu kemampuan 

mereka dalam ilmu lari cepat. Ketiga 

gadis inilah yang sengaja diperalat oleh 

si Kaki Tunggal untuk menimbulkan 

kekisruhan di mana-mana. Mengapa 

orang-orang ini sampai terseret-seret 

pengaruh si Kaki Tunggal? singkat 

ceritanya, setelah kepergian guru mereka 

ke kaki Gunung Gili Manuk dan tak pernah 

kembali, ketiga gadis ini bermaksud 

menyusul si guru. Tetapi di dalam 

perjalanan menuju Gunung Gili Manuk


mereka ini bertemu dengan Ksatria 

Terkutuk Berkaki Tunggal. Dari orang 

itulah mereka bertiga mengetahui bahwa 

gurunya telah tewas dalam pertarungan 

memperebutkan tokoh nomor satu di tangan 

Setan Kroya. Dengan kata-kata manis yang 

sesungguhnya penuh bisa, si Kaki Tunggal 

menceritakan bagaimana liciknya si Setan 

Kroya yang sesungguhnya hampir kalah di 

tangan guru ketiga gadis ini. Mulanya, 

Salahna Hono dan Hini tidak begitu 

mempercayai apa yang dikata-kan oleh si 

Kaki Tunggal. Namun berkat kata-kata si 

Kaki Tunggal yang begitu mengesankan, 

akhirnya ketiga orang ini pun berhasil 

dihasut oleh pemuda kaki tunggal yang 

bernama Riung Gunung tersebut. Sebagai 

murid yang sangat berbakti terhadap 

gurunya, sudah barang tentu, satu hal 

yang ingin mereka lakukan adalah 

menuntut balas. Sungguhpun ketiga orang 

ini menyadari bahwa Setan Kroya adalah 

seorang tokoh tua yang ilmunya saja 

sangat sulit untuk diukur, tetapi mereka 

ini telah mengambil keputusan, lebih 

baik mati membela guru sendiri daripada 

hidup harus menanggung malu. Itulah 

makanya dari niat semula ingin menuju ke 

Gunung Gili Manuk secepatnya, kini 

langkah mereka malah berbalik menuju..


Ngadiluwih yang merupakan tempat tinggal 

Setan Kroya. Demikianlah tanpa 

menghiraukan rasa letih ketiga orang ini 

terus mengerahkan ilmu mengentengi 

tubuh. Sehingga langkah-Iangkah 

ilmu lari mereka sedemikian cepat luar 

biasa.

Satu ketika sampailah ketiga orang 

ini di sebuah tanah berbatuan terjal dan 

gersang. Namun mendadak Salahna yang 

bermata jeli itu nampak menghentikan 

langkahnya. Sepasang matanya yang bening 

dan indah memandang tiada berkedip ke 

arah suatu tempat. Di atas sebuah tebing, 

tak lama kemudian dia pun berseru: 

"Hei.... Lihatlah di sebelah sana 

itu...!" teriaknya sambil menungjuk ke 

satu tempat. Sudah barang tentu 

teriakannya itu membuat dua orang 

saudara seperguruan lainnya langsung 

menghentikan larinya. Lalu buru-buru 

menoleh ke arah yang ditunjuk oleh kakak 

seperguruannya.

"Eee... siapakah dia?" tanya 

Hono pada Salahna.

"Dari sini memang tidak begitu 

jelas. Ada baiknya kalau kita dekati dia, 

siapa tahu dia orang yang sedang kita 

cari!" ujar Salahna, lalu tanpa membuang 

waktu lagi ketiga orang ini pun segera


bergegas mendekati orang yang sedang 

duduk di punggung bukit. Begitu ketiga 

orang ini hampir berada di depan orang 

tersebut, mereka nampak terkejut. 

Sebab orang yang mereka sangka sebagai 

Setan Kroya, ternyata tak lain Buang 

Sengketa adanya. Seperti 

diketahui setelah mendapat pukulan si 

Kaki Tunggal, selama dua hari dua malam 

pendekar ini tak sadarkan diri. Setelah 

dua hari, saat dia sadarkan diri, tahulah 

dia bahwa si Kaki Tunggal memang sengaja 

membiarkan dirinya terkapar di tempat 

itu. Tetapi yang membuat dia begitu heran 

ialah mengapa dia tidak merasakan rasa 

sakit di dadanya yangt,terkena pukulan 

Ksatria Sakti Membelah Gunung milik si 

Kaki Tunggal. Padahal pukulan tersebut 

telah menyebabkan luka dalam yang sangat 

parah. Kiranya di luar kesadaran si 

pemuda, kharisma Golok Buntung yang 

terselip di pinggangnya itulah yang 

sangat banyak mengurangi rasa sakit 

sekaligus menyembuhkan luka dalam yang 

dia derita. Hawa hangat yang keluar dari 

senjata pusaka itu telah membuat 

gumpalan-gumpalan darah yang menyumbat 

pembuluh darahnya mencair kembali.

Kalau saat itu dia telah berada 

begitu jauh dari tempat pertarungan


dengan si Kaki Tunggal, tak lain hanyalah

demi mencari laki-laki yang sangat 

berbahaya itu. Dia ingin menghentikan 

segala sepak terjang si Kaki Tunggal. 

Demikianlah dalam keterlanjurannya itu 

ketiga gadis murid Nini Klarah itu pun 

pura-pura bertanya.

"Saudara.... apakah saudara pernah 

berjumpa dengan orang yang bernama Setan 

Kroya...?" tanya Salahna sambil masih 

tetap memandangi pemuda yang sangat 

tampan itu. Yang ditanya hanya gelengkan 

kepala, sebaliknya dia malah berganti 

memperhatikan ketiga gadis itu, 

seolah-olah dia ingin meneliti siapakah 

sesungguhnya ketiga gadis yang tengah 

berdiri di hadapannya itu.

"Saudara ini siapakah...?" tanya 

Hono merasa tertarik dengan penampilan 

si pemuda dari Negeri Bunian ini.

Pendekar Hina Kelana nampak 

tersenyum tawar begitu mendapat 

pertanyaan seperti itu. Tetapi, hal itu 

hanya berlangsung selama sesaat saja. 

Sebab dia pun menyadari bahwa ketiga 

gadis itu nampaknya merupakan gadis 

baik-baik.

"Namaku tiada arti apa-apa. Untuk 

apa ditanya...?" desah si pemuda pelan.


"Ah, betapapun buruk nama itu 

sendiri, sesungguhnya sangat berarti 

bagi seseorang...!"

"Kalau kalian ingin tahu, namaku si 

Hina Kelana, pengembara di kolong jagad 

yang tiada guna!" katanya hampir-hampir 

tak terdengar.

"Dari manakah asalmu, Saudara 

Kelana...?"

Ditanya seperti itu sudah barang 

tentu Buang Sengketa menjadi geli 

sendiri. Tetapi begitu dia masih 

menjawab juga.

* * *


ENAM



"Ah, kalian ini seperti petugas 

pencacah jiwa dari kadipaten saja. 

Mengapa harus tanya asal usul segala? Toh 

aku bukan seorang garong yang patut 

dicurigai. Aku hanya seorang pengelana 

hina...!"

"Ah maafkan kami, Saudara Kelana! 

Sesungguhnya kami sedang mencari 

seseorang untuk menerima hukuman dari 

kami...!" menyela gadis yang bernama 

Salahna, berusaha mengalihkan 

pembicaraan yang tidak enak.


"Menerima hukuman? Kesalahan apa 

yang telah diperbuat oleh orang itu?" 

tanya Buang Sengketa penuh dengan 

keinginan.

"Orang yang bernama Setan Kroya itu 

telah membunuh guru kami, di lereng 

Gunung Gili Manuk...!" tukas si Salahna.

Si pemuda nampak tercenung begitu 

mendengar ucapan gadis itu, lalu 

teringatlah dia akan kata-kata si Kaki 

Pincang Mata Picak ketika berhadapan 

dengan Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal. 

Teringat sampai ke situ, tiba-tiba saja 

dia menyela;

"Apakah gurumu itu tewas, ketika 

mengikuti pemilihan tokoh nomor satu, 

dua atau satu purnama yang telah lalu?" 

tanya si pemuda mereka-reka.

"Betul...! Eeh, darimana engkau 

tahu?"

Pendekar Hina Kelana hanya 

tersenyum getir.

"Seperti yang aku dengar dari 

seseorang yang hampir saja membuatku 

mati!"

"Apakah yang engkau maksudkan si 

Setan Kroya, yang telah membunuh Nini 

Klaiah guru kami itu...?" tanya ketiga 

gadis itu secarahampir bersamaan.


Buang Sengketa gelengkan kepalanya 

berulang-ulang.

"Bukan...!" jawab si pemuda pasti. 

"Lalu siapa?” S

“Si jahanam itu adalah manusia yang 

menamakan dirinya Ksatria Terkutuk 

Berkaki Tunggal!" 

Terkejutlah ketiga gadis itu demi 

mendengar apa yang dikatakan oleh si 

pemuda. Kini hati mereka diliputi 

keragu-raguan, benarkah ucapan si pemuda 

dapat dipercayai? Sedangkan menurut si 

Kaki Tunggal, dirinya hanyalah manusia 

biasa yang tiada memiliki kemampuan 

bermain silat seperti layaknya 

orang-orang kebanyakan. Tetapi mengapa 

pula si pemuda di depan mereka itu 

mengatakan bahwa dirinya hampir tewas di 

tangan si Kaki Tunggal? Jadi mana yang 

benar?

"Apakah kata-katamu dapat 

dipercaya?!" ujar si gadis meragu.

Buang Sengketa kerutkan keningnya 

begitu mendengar penuturan Salahna. Dia 

merasa begitu yakin, pastilah si Kaki 

Tunggal telah menghasut ketiga gadis 

itu.

"Hem, kiranya kalian sudah kena 

diperdaya oleh si keparat itu. Agaknya 

kalian tidak tahu kalau si kaki Tunggal


memiliki kepandaian yang sangat tinggi, 

bahkan pukulan dan ilmu pedangnya hampir 

saja membuatku celaka...!" tukas si 

pemuda. Seketika lamanya ketiga gadis 

itu nampak saling berpandangan, mereka 

nampak menjadi bingung dengar keterangan 

yang simpang siur itu. „

"Apakah kami bisa mempercayaimu, 

Saudara Kelana...?" tanya Hono dan Hini 

dalam kebimbangan. 

"Aku tidak pernah memaksa kalian 

untuk mempercayai ucapanku. Tetapi aku 

sedang berkata yang sebenarnya...!" 

jawab si pemuda pasti.

"Kalau begitu orang itu telah 

mengecoh kita, Kakak tertua...!" ujar si 

Hono.

"Tetapi menurut si Kaki Tunggal, 

guru kita tewas di tangan si Setan 

Kroya." ucap Salahna. masih dalam 

keragu-raguan.

Meskipun ketiga gadis ini setengah 

berbisik, tetapi Pendekar Hina Kelana 

dapat mendengar dengan baik apa yang 

sedang mereka bicarakan itu. Maka tanpa 

sungkan-sungkan lagi dia pun menyela!

"Kalau berita tewasnya guru kalian, 

hanya kalian ketahui dari si Kaki 

Tunggal, maka aku sangat yakin bahwa 

berita itu sengaja dibuat-buat...!"


"Tetapi ternyata guru kami memang 

tidak pernah kembali sejak dua purnama 

yang lalu!" bantah ketiga gadis itu 

secara serentak.

Lagi-lagi Pendekar Hina Kelana 

tersenyum dibuatnya. Gadis itu meskipun 

sudah dewasa dan sudah pantas kawin, 

tetapi masih tolol juga Batin si pemuda. 

"Kalaupun guru kalian, memang 

tewas! Tetapi aku sangat yakin, bukan 

Setan Kroya yang melakukannya. Sebab 

seperti yang aku dengar, kakek tua itu 

pun kini sedang kelabakan mencari orang 

yang mencoba-coba mempergunakan namanya 

untuk maksud-maksud yang tak baik. Pula 

selama ini kudengar kabar bahwa Setan 

Kroya dan sahabatnya si Pengail Aneh 

sudah lebih dari lima tahun mengasingkah 

diri di Ngadiluwih dan Susukan...!"

Bagai burung puntul, ketiga 

gadis itu nampak 

mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Tetapi salah seorang di antaranya 

kemudian sudah menyela!

"Kalau begitu siapa yang telah 

membunuh guru kami di kaki Gunung Gili 

Manuk tersebut...?"

"Aku tak bisa mengatakannya secara 

pasti, sebab pada saat itu, seperti apa 

yang dikatakan oleh Mata Picak Kaki


Pincang sebelum tewas di tangan si Kaki 

Tunggal, bahwa setiap purnama, di kaki 

Gunung Gili Manuk terjadi pertarungan 

maut dari berbagai golongan. Jumlah 

mereka juga banyak, dalam keadaan 

begitu, tentu ada pihak-pihak tertentu 

yang dapat menghalalkan segala cara demi 

dapat maju pada satu purnama berikutnya. 

Kiranya mereka tak menyadari bahwa semua 

itu sesungguhnya merupakan siasat licik 

si Kaki Tungvgal...!" • *

"Apa maksudmu, Saudara Kelana...?" 

potong Salahna tiada mengerti akan 

kata-kata yang diucapkan oleh si pemuda. 

"Maksudku, orang-orang tolol yang 

bertarung di kaki Gunung Gili Manuk itu 

siapa pun yang keluar sebagai pemenang, 

pada akhimya akan berhadapan dengan si 

Kaki Tunggal yang tangguh dan memiliki 

ambisi yang besar untuk merajai seluruh 

dunia persilatan...!"

"Sial betul...! Kalau begitu kita 

benar-benar telah dikerjai oleh si 

Kunyuk cacat itu, Adik Hono, Hini...!" 

gerutu Salahna jengkel sekali.

"Baiklah, kukira dengan 

keteranganku ini kalian tak perlu 

bersusah payah pergi ke Ngadiluwih untuk 

menemui si Setan Kroya. Kalau kalian 

ingin mengetahui keadaan yang


sesungguhnya, maka datanglah satu 

purnama mendatang di Kaki Gunung Gili 

Manuk. Aku merasa sangat yakin bahwa si 

Kaki Tunggal pasti hadir di sana, karena 

pada saat itu merupakan malam terakhir 

yang menjadi penentu siapa sesungguhnya 

yang berhak menyandang gelar tokoh nomor 

satu...!" kata Buang Sengketa memberi 

saran. Gadis-gadis itu pun 

mengangguk-anggukkan setuju.

"Lalu engkau mau ke manakah, Saudara 

Kelana?"

"Demi menghindari jatuhnya banyak 

korban, meskipun aku hampir saja mampus 

di tangan si Kaki Tunggal tetapi aku akan 

menyusulnya...!" jawab Pendekar Hina 

Kelana seadanya.

"Bagaimana kalau kami turut serta 

denganmu...?" tanya ketiga gadis itu 

menawarkan diri. Si pemuda nampak 

tersenyum-senyum. Tetapi kemudian 

dengan halus dia menolak.

"Ah, alangkah lebih baik lagi kalau 

kalian langsung menuju kaki Gunung Gili 

Manuk. Kita bisa bertemu di sana."

Ketiga orang itu nampak saling 

pandang sesamanya, lalu setelah itu 

mereka pun kembali menoleh pada Buang 

Sengketa.


"Baiklah, teritna kasih atas segala 

saranmu! Kami mohon diri...!" Kemudian 

setelah berpamitan pada Pendekar Hina 

Kelana, maka ketiga orarig itu pun 

bergegas meninggalkan si pemuda. Hanya 

sesaat pemuda keturunan Raja Ular Piton 

Utara itu memandangi kepergian mereka, 

karena tak_ begitu lama kemudian pemuda 

itu juga telah berkelebat pergi.

* * *

Lembah Tong Tong Bengong adalah 

merupakan sebuah lembah yang memiliki 

air terjun berketinggian tidak kurang 

Air lima tombak. Tak sesosok makhluk pun 

yang mendiami tempat itu. Karena daerah 

itu memang dikenal sebagai daerah yang 

sangat angker. Tiada tanda-tanda 

kehidupan di sana, terkecuali keturunan 

golongan orang utan dan sejenisnya. Itu 

makanya Lembah Tong Tong Bengong juga 

memiliki satu nama yaitu Lembah Seribu 

Monyet. Saat itu matahari sesungguhnya 

sudah meninggi, namun sebagaimana 

kebiasaan yang terjadi, di sekitar 

Lembah itu udara di sekitarnya nampak 

remang-remang berselimut kabut tebal, 

hanya suara gemuruh air terjun saja yang 

terdengar. Semua itu mengingatkan pada


curahan hujan lebat yang turun dari 

langit. Demikianlah di antara

bergemerosaknya suara air terjun yang 

terhempas pada batu-batu yang berada di 

bawahnya, ada pun suara lain yang 

menonjol adalah suara teriakan ratusan 

orang utan yang bergelantungan pada 

oyot-oyot kayu yang terdapat di sekitar 

lembah itu.

Sementara itu tidak begitu jauh dari 

curahan air terjun tersebut, pada aliran 

anak sungai yang bening, nampaklah 

seorang laki-laki tua berbadan gemuk dan 

bermata besar. Laki-laki gemuk itu terus 

berjalan menelusuri pinggiran sungai 

itu. Sesekali tubuhnya yang gemuk itu 

melompat-lompat bagaikan seekor kodok

buntal yang berlari-lari takut terinjak 

gajah. siapakah adanya laki-laki tua 

yang telah begitu nekad datang ke lembah 

Tong Tong yang terkenal sangat angker 

itu? Tak lain dialah orangnya si Setan 

Kroya.

Seperti diketahui di dalam rimba 

persilatan ada seseorang yang mencoba 

mencatut namanya untuk tujuan-tujuan 

yang tak baik. Dia merasa tak rela nama 

baiknya dicemarkan oleh orang lain. 

Meskipun orang tersebut dari golongan 

mana pun. Itu sebabnya setelah keluar


dari tempat pengasingannya di Ngadiluwih 

dan bertemu dengan sahabatnya yaitu si 

Pengail Aneh, dia langsung melanjutkan 

perjalanannya menuju ke arah Utara. Akan 

tetapi di tengah perjalanan siapa 

sangka, ada seseorang melalui ilmu 

menyusupkan suara mengaku-aku sebagai 

orang yang paling bertanggung jawab 

tentang pencatutan nama tersebut. Bahkan 

orang yang belum dikenalnya itu telah 

memberi satu tantangan untuk bertarung 

di sebuah Lembah yang bernama lembah 

Seribu Monyet. Setan Kroya yang memiliki 

watak angin-anginan itu sudah barang 

tentu tak menampik tantangan tersebut. 

Apalagi hal itu ada hubungannya dengan 

nama baik diri sendiri. Itulah mengapa 

sebabnya hari itu dia telah sampai di 

Lembah Tong Tong Begong yang menyeramkan 

tersebut. 

Kini kakek gendut bermata lebar itu 

terus melangkahkan kakinya tnenuju ke 

bagian hulu sungai tersebut. Sampas 

disuatu tempat dia menghentikan 

langkahnya. Sepasang matanya yang bulat 

dan lebar tersebut nampak memandang 

pada daerah sekelilingnya. Tiada apapun 

yang terlihat di sana terkecuali deru 

suara air terjun dan jerit suara 

orang-orang utan yang berlompatan kian


ke mari. Melihat pemandangan seperti 

itu, lama-kelamaan Setan Kroya menjadi 

sangat kesal hatinya. Akhirnya dia pun 

berteriak-teriak seorang diri.

"Manusia yang mengaku dirinya 

sebagai calon nomor satu di rimba 

persilatan keluarlah! Tunjukkan 

tampangmu...!" perintah si Setan Kroya.

"Groong.... grpoog.... ngok... 

nggok!" Suara riuh bunyi orang-orang 

utan menyebabkan suasana di sekitarnya 

semakin bertambah ramai. sialan, bukan 

monyet yang aku panggil, orangutan pula 

yang jadi ribut. Makinya dalam hati. 

Saking kesalnya, maka dia pun berteriak 

kembali!

"Calon nomor satu sialan! Di sinikah 

tempat tinggalmu, engkau bapak moyangnya 

orang-orang utan ini...?" Suara si Setan 

Kroya menggema di mana-mana, tetapi 

begitu getar-getar suaranya lenyap, maka 

hanva derai air terjun saja yang 

terdengar. Setan Kroya semakin bertambah 

jengkel saja. Maka beberapa saat 

kemudian dia sudah bermaksud 

meninggalkan tempat itu. Ketika secara 

tiba-tiba terdengar suara tawa yang 

menggemuruh dari balik kegelapan kabut 

tebal.


"Hak.... ha.... ho....! Setan 

Kroya, hendak ke manakah engkau ini, 

sudah sejak tadi aku menunggumu di sini. 

Bahkan aku sudah mulai mengantuk 

sekali...!" tukasnya di antara suara 

gaduh air terjun.

"Ah, engkaukah yang telah memakai 

namaku...?.'" tanya si Setan Kroya 

dengan kedua mata semakin melotot.

"Betul...!"

"Apakah engkau juga yang telah 

menantangku...?"

"Juga betul...!"

"Betul, betul melulu, Bangsat...!" 

Bersamaan dengan ucapannya itu, Setan 

Kroya pukulkan tongkatnya ke udara. 

Bersamaan dengan lambaian tongkatnya 

tersebut, maka serangkum sinar kuning 

nampak menderu cepat ke arah sumber 

datangnya suara di kegelapan sana. Tak 

ayal lagi orang yang berada di kegelapan 

itu melesat menyongsong ke arah Setan 

Kroya yang nampak berdiri menanti.

Begitu orang itu sampai di depan 

Setan Kroya, laki-laki tua berbadan 

gemuk itu pun terkejut luar biasa. 

"Eng.... engkaukah?” ucap Setan 

Kroya terbata-bata.


Kiranya orang yang membuat si Setan 

Kroya terkejut tak lain adalah si Ksatria 

Terkutuk Berkaki Tunggal adanya. 

Sementara itu si Kaki Tunggal 

nampak tertawa mengekeh, begitu melihat 

keterkejutan si Setan Kroya.

* * *


TUJUH



Kemudian dengan sorot mata penuh 

kebencian pemuda berkaki tunggal itu pun 

membentak marah.

"Agaknya engkau merasa sangat heran 

sekali, Setan Kroya. Bangsat! Engkau dan 

kawanmu si Pengail Aneh memang pernah 

membuat kakiku cacat seumur hidup, 

Bahkan kalian berdua pernah melemparkan 

aku kedalam jurang. Kalian berdua tentu 

mengira bahwa aku telah mampus di dasar 

jurang itu. Huh. Tidak sama sekali, Setan 

Kroya. Monyet-monyet itulah yang telah 

mengajarku, menolongku bahkan membuatku 

menjadi manusia yang segera akan 

menguasai rimba persilatan. Dan engkau, 

Setan Kroya.... hak... hak... hak.,..! 

Engkau benar-benar harus mampus di 

tanganku, Setan Kroya...?!" bentak si


Kaki Tunggal sambil tergelak-gelak bagai 

orang gila.

"Monyet hitam, bagaimana pun 

hebatnya ilmu kepandaian yang engkau 

miliki. Tidak nantinya kekal 

selamanya...!"

"Omong kosong, ternyata kalau 

memang segala apa yang kau ucapkan dahulu 

itu benar adanya. Tetapi kini engkau 

telah melihat sendiri betapa kau akan 

mampus di tanganku...!" menggeram di 

Kaki Tunggal.

"Bagus! Engkau ini sudah 

keturunannya manusia sesat, pencuri nama 

orang, pengadu domba. Lebih dari itu, 

kiranya engkau si keparat yang pantas 

untuk menebus segala dosa-dosa nenek 

moyangmu...!"

"Ha.... ha.... ha...! Aku jadi ingin 

lihat sampai di mana kemampuan yang 

engkau miliki hingga kini, Setan 

Kroya...!"

Akhirnya tanpa mengulur-ulur waktu 

lagi, Setan Kroya langsung mencabut 

tongkatnya. Lalu bagai kesetanan, orang 

ini pun segera menyerang si Kaki Tunggal 

dengan jurus-jurus yang sangat ampuh. 

Sebentar saja suara beradunya dua 

senjata yang berupa tongkat itu pun 

terdengarlah. Jerit dan lengking suara


teriakan masing-masing lawan meningkahi 

bergemuruhnya suara air terjun.

Serangan-serangan ganas pun saling 

mereka lancarkan, Setan Kroya segera 

berkelebat dan menyerang si Kaki Tunggal 

dengan ilmu totokan tongkatnya ke 

bagian-bagian yang mematikan. Namun si 

Kaki Tunggal tidak menjadi gugup, tanpa 

tedeng aling-aling dia putar tongkat 

penyanggah tubuh pada seputar badannya. 

Karena dua tongkat masing-masing 

sama-sama dialiri tenaga dalam, maka 

ketika senjata itu saling beradu, baik 

tubuh Setan Kroya maupun si Kaki Tunggal 

sama-sama tergetar hebat.

Lebih dari dua puluh jurus telah 

berlangsung, nampaknya pertarungan itu 

benar-benar seimbang, Akan tetapi 

manakala si Kaki Tunggal mundur dua 

tombak, lalu dengan disertai satu 

jeritan laksana merobek gendang-gendang 

telinga, laki-laki berbadan hitam legam 

menyerbu kembali. Lambat laun suara 

pekik yang datangnya bagai dari beribu 

penjuru itu membuat si Setan Kroya 

menjadi blingsatan. Serangan maupun 

pertahanan yang dimiliki menjadi kacau 

tak beraturan. Sadarlah dia bahwa pihak 

lawan telah mempergunakan ilmu pemecah 

konsentrasi. Sebagai sesepuh persilatan


yang sudah sangat berpengalaman sudah 

barang tentu dia tidak membiarkan 

keadaan ini terus berlarut-larut.

Tiba-tiba dia hentikan gerakan 

silatnya, setelah sebelumnya melesat 

beberapa tombak. Dalam waktu yang 

sesingkat-singkatnya dia kini telah 

merubah jurus-jurus silatnya. Tongkat di 

tangannya berkelebat laksana kilat, 

begitu tongkat itu berputar maka 

tubuhnya lebih cepat lagi berkelebat 

mengitari si Kaki Tunggal. 

Pukulan-pukulan dahsyat menyertai 

serangan-serangan tongkat di tangannya. 

Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal 

keluarkan suara tawa mengekeh, manakala 

serangan beruntun itu mencecar ke bagian 

tubuhnya.

Namun tatkala si Setan Kroya 

gerakkan tongkatnya ke arah muka dan 

perut si Kaki Tunggal, laki-laki ini 

nampak menjadi gugup. Kelengahannya yang 

hanya beberapa detik itu membuat si Setan 

Kroya memiliki satu kesempatan untuk 

memukulkan tongkatnya. Maka tak ayal 

lagi.

"Buuuk!"

Bagai memukul seekor anjing 

kesurupan si tua gemuk bermata lebar itu 

memukul si Kaki Tunggal. Tubuh laki-laki


berbadan legam itu terpelanting, 

meskipun tidak sampai roboh namun 

pukulan yang dilakukan oleh Setan Kroya 

membuat dadanya terasa sesak luar biasa. 

si Kaki Tunggal memaki dalam hati.

Secepatnya dia bersiap-siap dengan 

posisinya, sekejap kemudian dia sudah 

mencabut sebilah pedang panjang yang 

tergenggam di tangan, pihak lawan yang 

sudah barang tentu hal ini tak luput dari 

perhatian si Kaki Tunggal, maka dengan 

nada berapi-api dia pun membentak gusar!

"Setan Kroya manusia malang. Tentu 

engkau merasa heran mengapa pedang 

kematian milik si Tangan Buntung ini 

berada di tanganku. Ha... ha... ha....! 

Kudengar engkau dan si Pengail Aneh 

pernah hampir mampus di tangan pemilik 

pusaka ini. Hmm! Karena aku ini murid 

tunggal si Tangan Buntung, maka aku punya 

kewajiban untuk menyelesaikan tugas 

guruku yang belum sempat tuntas itu. Kali 

ini engkau tak mungkin luput dari 

belenggu maut, Setan Kroya...!" ancam si 

Kaki Tunggal.

"Hak.... hak.... hak...!" Setan 

Kroya mengekeh.

"Kiranya engkau ini telah berguru 

pada manusia sesat itu. Tak disangka, 

bapak moyangmu sudah tersesat sangat


jauh sebagai anaknya kiranya kesesatanmu 

lebih gila lagi. Meskipun seribu pedang 

kematian berada dalam genggamanmu, 

jangan kira aku menjadi segan untuk 

menghadapimu!"

"Bagus kalau engkau memiliki 

keberanian seperti itu, sekarang 

bersiap-siaplah untuk menerima 

kematian...!" Dengan sekali lompat, 

pedang kematian di tangan si Kaki Tunggal 

menderu laksana badai topan prahara.

Ngilu rasa tulang-tulang Setan Kroya 

demi merasakan angin sambaran pedang 

kematian itu.

Akhirnya tanpa canggung-canggung 

lagi, Setan Kroya begitu menyadari akan 

keganasan pedang di tangan lawannya, 

cepat-cepat mengerahkan segenap 

kemampuannya.

Sementara itu dengan senjata di 

tangannya, si Kaki Tunggal nampak 

beringas. Raut wajahnya yang nampak 

kelam membesi itu nampak mengisyaratkan 

hawa pembunuhan yang menyala-nyala. 

Sekejap kemudian pertarungan yang 

menentukan hidup dan mati dari kedua 

musuh bebuyutan itu pun berlangsung 

sangat seru dan mendebarkan.

Si Kaki Tunggal segera kirimkan 

serangan-serangan ganas ke arah


bagian-bagian tubuh si Setan Kroya. 

Melihat datangnya serangan yang sangat 

dahsyat dari pihak lawan Setan Kroya 

melompat mundur tiga tombak. Dia segera 

pukulkan tongkatnya ke udara. 

Segelombang sinar kuning keemasan 

laksana topan memapaki datangnya tusukan

senjata dari pihak lawannya. Menyadari

akan adanya bahaya yang mengancam, si 

Kaki Tunggal tarik balik serangannya. 

Akan tetapi dari arah lain si Kaki 

Tunggal segera membangun serangan 

kembali.

Setan Kroya membalikkan badan 

dengan cepat sewaktu di belakangnya 

terasa sambaran angin yang begitu 

dingin. Namun agaknya semua itu sudah 

terlanjur nasib. Sambaran senjata di 

tangan lawannya sempat menggores 

bagian punggungnya. Setan Kroya 

menggerung, meskipun sudah terluka, dia 

mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. 

Maka sewaktu senjata di tangan si Kaki 

Tunggal kembali menderu mengarah pada 

bagian lehernya, dia pun dengan 

kenekatan yang luar biasa, langsung saja 

kiblatkan tongkat di tangannya. Tak 

pelak lagi, pedang di tangan si Kaki 

Tunggal berbenturan dengan tongkat di 

tangan Setan Kroya.



"Traakk...!"

Tongkat di tangan Setan Kroya 

berantakan menjadi berkeping-keping 

begitu terhantam mata pedang si Kaki 

Tunggal. Tidak sampai di situ saja! 

Sedetik kemudian terdengar jerit 

tercekik dari Setan Kroya. Dua tusukan 

pada bagian leher dan dadanya. Darah 

kental berwarna kehitam-hitaman tidak 

lagi sempat menyembur dari luka yang 

terkoyak panjang. Tak ampun lagi si Setan 

Kroya tersungkur ke tanah. Begitu jatuh 

maka nyawa laki-laki gemuk dari 

Ngadiluwih itu pun terlepas dari 

jasadnya. si Kaki Tunggal keluarkan 

suara tawa mengekeh, bagai jeritan 

monyet hutan yang sedang berpesta pora. 

Serentak dengan suaranya itu, maka 

kawanan orang utan yang berada di sekitar 

tempat itu langsung menyerbu dan 

mengerumuni si Kaki Tunggal. Nampak 

sekali keakraban di antara mereka. 

Laki-laki berkulit hitam legam itu, 

untuk beberapa saat lamanya nampak 

mengelus-elus beberapa ekor kepala orang

utan yang sudah begitu jinak padanya.

Setelah itu dengan bahasa isyarat, 

dia memberi perintah pada 

binatang-binatang tersebut. Kemudian 

seperti mengerti saja,


binatang-binatang itu pun segera 

menggotong tubuh si Setan Kroya yang 

sudah membeku. Lalu tubuh laki-laki tua 

itu pun mereka campakkan ke dalam air 

terjun yang menggila. Lega hati si Kaki 

Tunggal begitu melihat hasil kerja 

kawan-kawannya yang berupa orang utan 

tersebut. Mendadak ia pun terkekeh.

"Ha... ha... ha...! Beberapa 

pembalasan yang sangat menyakitkan telah 

kulakukan. Dunia persilatan sebentar 

lagi akan menjadi gempar, mereka saling 

bunuh karena rencana-rencanaku. Kini 

hanya tinggal si Pengail Aneh saja yang 

mungkin merupakan lawan tangguh bagiku. 

Tetapi semuanya akan mati, ya.... mati 

seperti yang lain-lainnya...!" ucap si 

Kaki Tunggal tersenyum puas. Lalu 

beberapa saat kemudian tubuhnya pun 

segera berkelebat pergi.

* * *

Panas yang terik, kemarau yang 

panjang. Hal inilah yang sesungguhnya 

membuat laki-laki berkepala botak itu 

mengeluh panjang pendek hampir sepanjang 

perjalanan yang dia lalui. Betapa tidak, 

sudah hampir sepuluh hari sejak 

kepergiaannya, Setan Kroya yang berjanji


akan tiba kembali di tempat kediaman si 

Pengail Aneh paling lambat tujuh hari, 

akan tetapi sampai hari kesepuluh, 

sahabatnya yang setengah sinting itu 

belum juga nongol menemuinya. Hal itu 

sudah barang tentu membuat hati si 

Pengail Aneh menjadi was-was. Apalagi 

Nyi Kroya sampai sempat menyusul 

suaminya di Susukan. Kehadiran nenek 

keriput yang juga memiliki kepandaian 

tinggi itu juga membuatnya semakin 

bertambah repot, bayangkan saja Nyi 

Kroya bertanya ini dan itu tentang 

keselamatan suaminya, sedang dia sendiri 

pun tidak tahu, sedang berada di mana 

Setan Kroya saat itu. Tak ada pilihan 

lain, demi menghindari cekcok lebih 

lanjut maka dia pun telah memutuskan 

untuk menyusul Setan Kroya, sementara 

Nyi Kroya dia sarankan untuk sementara 

waktu supaya tinggal di pondok miliknya. 

Demikianlah, sambil terus mengomel 

panjang pendek si Pengail Aneh terus saja 

melangkahkan kakinya. Udara panas yang 

terasa begitu menyengat tubuhnya tambah 

membuat keringat terus bercucuran di 

sekujur badannya. Sesekali si Pengail 

Aneh mengitarkan pandangannya ke segenap 

keadaan di sekeliling. Tatkala sepasang 

matanya yang sipit berkeriapan itu

.


menangkap berkelebatnya bayangan 

seseorang, maka dengan cepat dia pun

memburu orang yang sedang berlari-lari 

tersebut. Akan tetapi orang tersebut 

nampaknya memiliki ilmu lari cepat luar 

biasa, sehingga laki- laki berkepala 

botak ini kesal bukan main, demi melihat 

kemampuan orang yang dikejarnya. Barulah 

setelah dia mengerahkan segenap 

kemampuannya tak berapa lama kemudian 

orang itu pun tersusul. Tiba-tiba si 

Pengail Aneh membentak.

"Berhenti...!" teriaknya pada orang 

tersebut.

Tetapi bagaikan tak mendengar saja 

layaknya, orang itu tetap saja terus 

berlari-lari cepat sekali. si Pengail 

Aneh nampak memaki dalam hati begitu 

melihat orang yang sedang dikejarnya 

tidak memperdulikan perintah.

"Orang budek! Berhenti kataku...!" 

perintahnya lebih keras lagi.

Barulah orang itu serentak menoleh 

dan langsung menghentikan langkahnya. 

Sesaat lamanya orang penyandang periuk 

ini nampak cengar-cengir begitu melihat 

penampilan si Pengail Aneh. siang yang 

terik dimana di sana sini terjadi 

kekeringan, sementara saat itu sedang 

berada di daerah perbukitan tandus.


Tetapi orang tua berkepala botak itu 

malah membawa-bawa sebuah kail. Untuk 

apakah? Kalau bukan orang yang kurang 

waras, sudah barang tentu hal itu tak 

akan dilakukannya. Pemuda berperiuk yang 

sudah tak asing lagi bagi kita ini, 

nampaknya ingin mengatakan sesuatu namun 

pada saat itu si Pengail Aneh sudah mem-

bentak.

"Hei, engkau monyet budek tak tahu 

adat, apa yang engkau tertawakan?" kata 

si Pengail Aneh nampak berang sekali.

Maka semakin lebarlah tawa Buang

Sengketa demi mendengar cercaan si kakek 

berkepala botak.

"Sinting! Agaknya kau ini bocah 

gendeng, mana adatmu...?" maki si 

Pengail Aneh sangat marah sekali.

"Kakek botak! Aku berlari-lari 

engkau mengejarku. siapa suruh? Kini 

engkau malah marah-marah pula di 

depanku, apa hakmu...?" tukas si pemuda 

nampak sangat tersinggung sekali dengan 

ucapan si kakek.

"Bocah tolol, berani sekali engkau 

menyebutku si botak, pula aku mau marah 

apa perdulimu...?" maki si Pengail Aneh, 

sepasang matanya itu pun nampak me man

dang tajam pada sipemuda. Agaknya kini 

sadarlah pemuda ini, bahwa sesungguhnya


sangat mungkin sekali orang yang 

dihadapinya itu orang yang kurang waras. 

"Aku tak tahu namamu orang tua, itu 

makanya aku memanggilmu dengan botak 

saja. Sebabnya kepalamu juga botak!" 

jawab Pendekar Hina Kelana dengan suara 

hampir tak terdengar.

"Sial betul engkau ini. Meskipun 

kepalaku botak, tetapi aku masih punya 

nama yang patut untuk engkau hargai!"

"Baik! Aku akan menghargaimu, 

tetapi coba sebutkan dulu siapa , 

namamu...!" Mendengar kata-kata si 

pemuda si Pengail Aneh nampak 

tergelak-gelak. Kemudian dia pun 

berucap.

* * *


DELAPAN



"Ahk, kiranya engkau punya 

peradatan juga rupanya. he.... he... 

he....! Begitu pun atas kekurang 

ajaranmu aku pantas menghukummu!"

"Apa salahku orang tua...?" tanya 

Buang Sengketa gusar.


"Apa salahmu? Bukankah engkau tadi 

mengejekku dengan memanggil-manggilku, 

si Botak...?"

"Hemmm. Engkau ini lucu sekali, 

perkara kecil juga engkau besarkan. 

Sejak tadi juga aku sudah bilang, 

kupanggil engkau botak, justru karena 

aku tak tahu namamu, Kalau aku tahu nama 

kebesaranmu sudah baring tentu aku tak 

panggil engkau begitu...!" 

"Botak lagi botak lagi. sial kau...! 

Sekali saja engkau sebut kembali, maka 

kupecahkan batok kepalamu...!" ancam si 

Pengail Aneh. Dan sudah barang tentu 

tingkah laki-laki tua itu, lama-kelamaan 

membuat Buang Sengketa menjadi sangat 

jengkel. Lalu beberapa saat kemudian dia 

pun berkata tegas!

"Kakek tua, aku tak tahu apa 

tujuanmu menghentikan aku. Tetapi kalau 

engkau masih saja tak mau serius, maka 

aku akan segera meneruskan 

perjalananku!"

"Aku si Pengail Aneh. Aku tak 

perduli orang mau pergi ke Barat atau ke 

Timur. Tetapi asal tahu saja, sekali aku 

inginkan sesuatu dari seseorang, maka 

orang itu baru akan kubiarkan pergi 

setelah menuruti perintahku terlebih


dahulu." menyela kakek berkepala botak 

ini sambil kedip-kedipkan matanya.

Sungguhpun Pendekar Hina Kelana 

nampak sangat terkejut dengan ucapan si 

Pengail Aneh, namun dia berusaha untuk 

menutupinya. Kemudian setelah menjura 

tiga kali, maka dia pun berkata!

"Tak disangka kiranya hari ini aku 

yang bodoh ini bisa,bertemu denganmu hai 

orang tua. Maafkan atas kekurang 

ajaranku...!"

Dalam pada itu kiranya di luar 

perhitungan si pemuda, tiba-tiba saja si 

Pengail Aneh nampak berubah sikapnya.

"Tak dinyana, kiranya aku yang 

sinting ini sedang berhadapan dengan 

seorang yang tahu tata krama. Atas 

sikapmu itu aku mencabut segala ucapanku 

tadi!" kata Pengail Aneh. Dan untuk 

beberapa saat lamanya dia nampak 

terdiam, lalu setelah memandang pada si 

pemuda, sejurus kemudian dia menyambung 

kembali." Orang muda siapakah engkau ini 

dan hendak ke mana?" tanya si Pengail 

Aneh pelan sekali.

Pendekar Hina Kelana pun orang yang 

tahu diri, begitu si botak aneh tersebut 

nampak berubah dalam tutur katanya, maka 

dia pun berubah lunak pula.



"Kakek Pengail Aneh, sesungguhnya 

aku yang bodoh ini bernama Buang Sengketa 

dan orang-orang selalu memanggilku 

dengan si Hina Kelana, saat ini aku 

sedang berencana untuk pergi ke kaki 

Gunung Gili Manuk...!"

Si Pengail Aneh terbelalak matanya, 

dari berita yang tersiar dari mulut ke 

mulut selama ini dia memang pernah 

mendengar bahwa ada seorang pendekar 

muda yang tampan rupanya. Namun memiliki 

kepandaian yang sangat tinggi, sepak 

terjangnya membuat kaum, persilatan 

beraliran sesat menjadi jeri. Namun 

sedikit pun tiada menyangka, kalail 

pendekar muda yang menghebohkan itu 

berpenampilan seperti seorang gembel. 

Berpakaian kumuh dan dekil, sementara 

sebuah periuk menggelantung di 

pinggangnya lagi. Setengah percaya dan 

tidak maka dia pun berkata!

"Jadi engkaukah orangnya pendekar 

yang belakangan ini membuat heboh di 

mana-mana itu?"

"Engkau terlalu berlebihan orang 

tua. Aku hanya pengelana biasa yang tiada 

memiliki arti apa-apa bila dibandingkan 

dengan dirimu...!" ucap Buang Sengketa 

merendah.


"Pandai sekali engkau membawa diri, 

Kelana. Meskipun berkepandaian tinggi, 

namun memiliki sikap rendah hati. Aku 

menyukai orang semacammu. Oh ya engkau 

bilang tadi hendak pergi ke Gunung Gili 

Manuk, ada keperluan apakah?" tanya si 

Pengail Aneh kemudian.

Mendapat pertanyaan seperti itu, 

tiba-tiba si pemuda kerutkan wajah. Dia 

bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah si 

Pengail Aneh tidak mengetahui apa yang 

bakal terjadi di lereng Gunung Gili 

Manuk? Atau sengaja berpura-purakah dia? 

Batinnya.

"Orang tua, masa engkau tidak tahu 

apa yang telah dan bakal terjadi di kaki 

Gunung Gili Manuk?" Akhirnya pendekar 

ini bertanya juga.

"He... he... he...! Tentang 

pemilihan orang nomor satu di rimba 

persilatan. Itu sih cuma baru kudengar 

dari oratng-orang yang lewat saja. 

Tetapi apa tujuanmu ke sana? Apakah 

engkau berniat menjadi orang nomor satu 

pula...?" tanya si Pengail Aneh dengan 

pandangan menyelidik. Pendekar Hina 

Kelana tersenyum getir. 

"Sama sekali tidak, Orang tua! Aku 

hanya bermaksud mencegah terjadinya 

pertumpahan darah lebih lanjut. Pula aku


ingin menghukum orang yang menjadi 

penyebab semua mala petaka itu...!" 

jelas Buang Sengketa.

"Teruskan hai orang muda!" perintah 

si Pengail Aneh semakin tertarik.

"Pemilihan tokoh nomor satu itu, 

sesungguhnya hanyalah merupakah gagasan 

dari seorang pemuda berkaki tunggal. 

Dialah yang telah merencanakan itu 

semua, karena dia sendiri memang punya 

niat untuk menjagoi seluruh dunia 

persilatan...!"

"Berkaki Tunggal? Hm, agaknya aku 

baru mendengarnya kali ini, tetapi...!" 

Tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Ada apakah orang tua...?" "Ee.... 

tidak.... tak mungkin orang itu...!" 

ucap si Pengail Aneh agak tergagap. Hal 

ini sudah barang tentu membuat si pemuda 

jadi terheran-heran. 

"Siapa yang kau maksudkan..."?"

"Ah, sudahlah! Oh ya, apakah engkau 

pernah bertemu dengan orang itu?" si 

Pengail Aneh mengalihkan pembicaraan. 

Meskipun hati Pendekar Hina Kelana 

diliputi oleh ketidak mengertian, tetapi 

akhirnya dia menjawab juga.

"Pernah, bahkan aku hampir mampus di 

tangannya! Orang itu memiliki kepandaian 

yang sangat sakti sekali...!"



"Kalau begitu demi menghindari 

korban berjatuhan lebih banyak lagi, aku 

pun tak akan tinggal diam. Meskipun aku 

sudah kropok, agaknya sisa-sisa tenagaku 

masih dapat membantu usahamu itu." si 

Pengail Aneh menyanggupi.

"Terima kasih, orang tua. Tetapi 

sesungguhnya engkau ini hendak ke 

manakah?" si Pengail Aneh 

kerjap-kerjapkan matanya, lalu 

garuk-garuk kepalanya.

"Sesungguhnya aku mencari kawanku, 

namanya si Setan Kroya...!"

"Setan Kroya...?"

"Betul! Kenalkah engkau 

padanya...?" tanya si Pengail Aneh.

"Tidak, tetapi si Kaki Tunggal 

pernah menyebut-nyebut nama kawanmu itu. 

Bahkan dia bermaksud untuk membunuh si 

Setan Kroya...!"

"Apa....? Sang Hyang Widi, itu 

berarti kini Setan Kroya sudah tewas di 

tangan manusia setan itu!" tukas si 

Pengail Aneh sambil pukul-pukul jidatnya 

yang pelontos.

"Bagaimana engkau bisa mengatakan 

kalau sahabatmu itu telah tewas di tangan 

si Kaki Tunggal...?" Si pemuda nampak 

keheranan.


"Woale.... Toubaaat.... mengapa aku 

setolol ini! Kelana, apakah si Kaki 

Tunggal itu kulit dan wajahnya 

menyerupai seekor monyet hutan...?" 

Tanya si Pengail Aneh harap-harap cemas.

"Betul...!" Jawab si pemuda mantap.

Sekali ini mata si Pengail Aneh 

nampak terperangah.

"Apakah si bangsat itu mengalami 

cacat pada bagian kaki kirinya...?" 

"Juga betul!"

"Celaka! Kiranya si Kaki Tunggal tak 

lain adalah Riung Gunung yang telah kami 

lemparkan ke dalam air terjun di lembah 

Tong Tong Bengong. Akh rupanya dia masih 

hidup hingga sampai saat ini...!" desah 

laki-laki berkepala botak itu seperti 

menyesalkan.

"Apakah dulunya dia musuhmu?"

"Ya, orang tuanya merupakan seorang 

tokoh sesat yang memiliki pukulan 

beracun dan banyak menebar onar di 

mana-mana, aku bersama Setan Kroya 

pernah terlibat pertarungan di Lembah 

Tong Tong Bengong. Ayahnya tewas, begitu 

juga dengan ibunya. Pada saat itu tanpa 

sengaja Setan Kroya sempat menebas kaki 

orang itu dan sebagai akibatnya...!" 

kata laki-laki itu tanpa melanjutkan 

ucapannya.



"Kalau begitu ada baiknya sekarang 

juga kita berangkat menuju ke kaki Gunung 

Gili Manuk...!"

"Baiklah, aku setuju dengan 

rencanamu itu...!" jawab si Pengail 

Aneh. Lalu tanpa kata lagi, kedua orang 

itu pun segera melangkah pergi.

* * *

Ketika ketiga gadis itu sampai di 

sebuah desa yang cukup ramai, saat itu 

hari sudah menjelang malam. Mereka 

berfikir bahwa meneruskan perjalanan itu 

sendiri masih memakan waktu kurang lebih 

satu malam lagi. Sedangkan mereka 

nampaknya sudah terlalu kecapaian 

setelah melakukan perjalanan 

berhari-hari tanpa henti. Jalan 

satu-satunya adalah mencari penginapan 

dan mendapatkan warung untuk mengganjal 

perut yang sudah sangat keroncongan. 

Akhirnya setelah berputar-putar di 

sekitar Desa Nungging Blentung hampir 

dari setengah jam, barulah mereka 

menemukan sebuah warung penjual makanan. 

Suasana yang lengang di dalam warung itu 

membuat ketiganya agak menaruh perasaan 

curiga. Namun begitu pun mereka tetap 

saja melangkahkan kakinya memasuki


warung tersebut. Ketika gadis-gadis ini 

sudah du-uk di sebuah bangku panjang yang 

terletak di tengah-tengah ruangan 

tersebut, seorang pelayan laki-laki 

nampak menghampiri mereka. Lalu dengan 

sikap ramah yang dibuat-buat, pelayan 

ini pun segera menanyakan pesanan 

mereka.

"Sediakan kami nasi beserta lauk 

pauknya yang lezat-lezat. Oh ya jangan 

lupa bawakan kami tiga bumbung nira...!" 

kata gadis yang bernama Salahna itu.

"Baik Nona....!" Pelayan tua ini 

kemudian pergi kembali meninggalkan 

ketiganya untuk menyediakan segala apa 

yang mereka pesan. Seperginya pelayan 

warung tersebut, ketiga gadis itu nampak 

saling pandang sesamanya. Lalu salah 

seorang di antaranya yang bernama Hini 

menyeletuk.

"Warung ini sepi, desa ini juga 

sunyi. Padahal banyak rumah penduduk 

terdapat di sekitar sini...!"

"Kita ini tak ubahnya sedang di

pinggiran gerbang kematian saja

layaknya. Keadaan seperti ini wajib kita 

curigai." Hono menimpali.

"Hush, kalian ini nampaknya terlalu 

tegang dalam memikirkan sesuatu. Sehmgga 

warung sunyi saja kalian curigai!"


Salahna yang .yang merupakan seorang 

pimpinan dari dua orang itu pun menukas.

"Pesan guru, dalam situasi 

bagaimanapun kita diwajibkan selalu 

waspada!"

"Iya, tetapi lihat-lihat! Tempat 

yang bagaimana yang harus kita waspadai 

itu. Masakan di sebuah warung penjual 

makanan kitapun harus bersikap seperti 

itu!"

"Sudahlah. Mengapa harus berdebat, 

lihat pelayan sudah datang...!" kata 

Hini mengetengahi. Tanpa basa basi, 

pelayan itu meletakkan makanan pesanan 

mereka di atas sebuah meja besar yang 

terletak di hadapannya. Setelah 

menyelesaikan pekerjaannya, maka 

pelayan itu kembali pergi.

Tanpa menaruh kecurigaan apa-apa, 

Salahna yaitu salah seorang yang paling 

cantik di antara ketiga orang itu, tanpa 

curiga lagi segera menyantap makanan 

yang di hidangkan oleh pelayan warung 

tersebut. Barulah setelah melihat 

saudara tertuanya menyantap makanan 

tersebut dan tak berakibat apa-apa, maka 

Hono dan Hini mengikutinya. Setelah 

selesai menyantap hidangan yang sangat 

lezat, maka ketiga orang itu pun segera 

meneguk air nira yang menyertai makanan.


Dalam sekejap saja air nira yang manis

itu pun tuntas tanpa bekas! Beberapa saat 

setelahnya, barulah gadis-gadis ini 

merasakan kepalanya mulai sakit 

berdenyut-denyut. Bumi serasa 

berputar-putar. Bukan main terkejutnya 

ketiga gadis-gadis ini begitu menyadari 

apa sesungguhnya yang sedang terjadi. 

Lama kelamaan orang-orang ini pun tak 

sadarkan diri lagi.

Tak lama setelah ketiga gadis itu 

tak sadarkan diri muncullah si Kaki 

Tunggal di depan pintu warung. Pelayan 

yang tadi menghidangkan makanan pada 

gadis-gadis itu, kini dengan sangat 

tergesa-gesa sekali datang menghampiri 

si Kaki Tunggal yang saat itu masih saja 

berdiri mematung di depan pintu, dengan 

sangat angkernya.

"Bagaimana tugas yang kuberikan 

padamu. Apakah sudah kaukerjakan dengan 

baik?" tanya si Kaki Tunggal penuh 

wibawa.

"Semuanya sesuai dengan apa yang 

tuan perintahkan...!" jawab si1 pelayan 

dengan agak terbata.

Mendengar jawaban dari si pelayan, 

si Kaki Tunggal menyungging senyum 

licik. Lalu dia memberi perintah.


"Pilihlah salah seorang di antara 

mereka yang paling cantik buatku. Dan aku 

akan segera membawanya pergi dari 

sini...!"

"La... lalu dua orang lainnya 

bagaimana, Tuan...?" tanya pelayan 

warung itu nampak kebingungan sekali.

* * *


SEMBILAN



Beberapa saat lamanya si Kaki 

Tunggal nampak tercengang. Tetapi tak 

lama kemudian dia pun sudah berkata:

"Membunuh orang yang sedang 

tertidur adalah sangat bertentangan 

dengan naluri kebinatanganku. Sebaiknya 

biarkan saja orang itu tidur sampai besok 

pagi di warungmu ini!"

"Tu... tuan! Bagaimana seandainya 

besok mereka menanyakan tentang 

kawannya...?"

Melihat ketololan pelayan warung 

tersebut, si Kaki Tunggall nampak berang 

sekali. Kedua matanya nampak melotot, 

hal ini hanya menambah ketakutan si 

pelayan.


"Sejak kecil mengapa tidak mati saja 

engkau, manusia dungu. Menghadapi dua 

ekor tikus perawan saja engkau sudah 

ketakutan, Bukankah kalau engkau mau, 

kau bisa bersenang-senang dengannya. 

Atau kalau engkau seorang banci, tolong 

kau katakan saja ke mana tujuanku!"

"Ba... baiklah, Tuan...!"

si Kaki Tunggal tak berapa lama 

kemudian tanpa menghiraukan pelayan 

warung segera memondong tubuh Salanah, 

gadis tercantik di antara ketiga gadis 

itu. Tak lama setelahnya, si Kaki Tunggal 

segera berlari-lari meninggalkan warung 

tersebut. Sementara di atas bahunya 

tubuh Salanah yang tiada sadar akibat 

obat pembius yang tercampur di dalam 

minuman. Nampak terkulai tiada daya.

Si Kaki Tunggal nampak masih terus 

berlari-lari di celah-celah kegelapan 

malam. Udara malam semakin terasa dingin 

menggigit, sementara di langit lepas 

tiada terlihat sinar bulan. Mendung 

tebal berarak ke arah Utara, suasana itu 

tidak sedikit pun berpengaruh pada si 

Kaki Tunggal yang sedang melarikan gadis 

Salahna murid dari mendiang Nini Klarah. 

Tanpa mengalami banyak kesulitan Kaki 

Tunggal berlari dan terus berlari. Namun 

lebih kurang baru sepemakan sirih


tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya. 

Bunyi petir sambung menyambung. Sesaat 

Kaki Tunggal nampak kebingungan. Namun 

setelah tengok kanan tengok kiri. 

Nampaknya, Ksatria Terkutuk Berkaki 

Tunggal nampak lega, sebab tak begitu 

jauh dari hadapannya dia melihat ada 

sebuah dangau yang tidak seberapa 

besarnya. Cepat-cepat dia berlari-lari 

ke sana. Setelah membukakan pintu yang 

terbuat dari balok-balok kayu hutan 

tersebut. si Kaki Tunggal sambil 

memanggul tubuh Salahna dia segera masuk 

ke dalamnya. Di dalam dangau yang 

sederhana dan nampaknya telah lama 

ditinggalkan oleh pemiliknya itu, hanya 

terdapat sebuah balai-balai yang terbuat 

dari anyaman belahan bambu. si Kaki 

Tunggal nampak menyeringai begitu 

mengetahui adanya tempat yang sederhana 

itu. Cepat-cepat laki-laki berbadan 

legam itu pun merebahkan tubuh si 

gadis. Kemudian setelah menutupkan 

pintu itu kembali, si Kaki Tunggal segera 

menghampiri si gadis yang masih dalam 

keadaan tak sadarkan diri. Dia lalu duduk 

di sampingnya. Dalam pada itu darahnya 

sudah mulai naik ke ubun-ubun. Jantung 

berdetak lebih kencang lagi, sementara 

seluruh tubuh si Kaki Tunggal nampak


gemetaran bagai orang yang sedang 

terserang penyakit demam malaria. 

Kemudian segalanya berlalu begitu cepat, 

si Kaki Tunggal yang sudah dirasuki setan 

itu pun tanpa ampun segera 

mencabik-cabik pakaian yang dikenakan 

oleh Salahna. Setelah itu tanpa banyak

membuang waktu lagi si Kaki Tunggal 

segera menindih tubuh si gadis yang 

sampai saat itu masih belum juga sadarkan 

diri. Balai-balai yang terbuat dari 

bambu nampak bergoyang-gonyang. 

Meskipun di luar sana hujan turun bagai 

tercurah dan udara sedemikian dinginnya. 

Namun di dalam dangau itu tubuh si Kaki 

Tunggal bermandi keringat. Sampai pada 

akhirnya dia pun terkulai dan tertidur di 

sisi si gadis.

Ketika di pagi keesokan harinya, 

gadis itu terjaga dari sebuah ketidak 

sadaran yang panjang. Dia tampak sangat 

terkejut sekali begitu mendapati 

tubuhnya dalam keadaan telanjang. 

Hatinya menjerit pedih, lebih pedih lagi 

dari rasa sakit yang terdapat di bagian 

tubuhnya. Sadarlah dia, bahwa ada 

seseorang yang telah menodai 

kesuciannya. Gadis itu menangis, 

meskipun tangis itu hanya terurai air 

mata. Namun semua itu telah cukup


menggambarkan kedukaan yang 

teramatdalam. siapa pun adanya pelaku 

dari semua itu, dia tak ingin hidup 

menanggung malu. Hanya beberapa saat 

kemudian tanpa berpikir panjang lagi. 

Dengan mempergunakan badik kecil 

miliknya, maka dia pun dengan nekad 

menghunjamkan senjata itu tepat di

tengah-tengah dadanya. Gadis itu nanya 

keluarkan satu jeritan tertahan maka 

gadis malang itu pun langsung tersungkur 

,di atas lantai dangau. Darah membasahi 

seluruh lantai dangau, beberapa saat 

setelah gadis itupun menghembuskan 

nafasnya yang terakhir. si Kaki Tunggal 

yang tidak mengetahui kejadian yang 

begitu singkat itu. Begitu selesai 

membasuh muka di sebuah parit kecil yang 

tidak begitu jauh dari dangau nampak 

melangkah kembali ke arah dangau. 

Manusia terkutuk itu memang ingin 

melampiaskan nafsu bejadnya untuk yang 

terakhir kalinya. Dan agaknya pula 

kejadian yang berlangsung semalaman itu 

tidak membuatnya menjadi puas. Begitulah 

dengan bersiul-siul tak beraturan dia 

kembali melongokkan kepalanya dari depan 

pintu tersebut.

Namun betapa terkejutnya si 

terkutuk berkaki tunggal ini demi



melihat pemandangan yang menghampar di 

hadapannya. Gadis itu kiranya di luar 

sepengetahuannya telah sadar dari 

pingsannya, dan secara nekad telah 

membunuh diri pula. Hanya sesaat 

kemudian dia sudah berada di depan mayat 

si gadis. Sedikitpun tiada terlihat 

penyesalan di wajahnya. Dasar manusia 

terkutuk, kematian si gadis bukan 

membuatnya berpikir untuk sadar atau 

menyesal. Sebaliknya dia malah sumpah 

serapah yang tersembur dari bibirnya 

vang hitam legam.

"Dasar orang tolol! Diberi 

kesenangan yang paling membahagikan, 

eee... malah bunuh diri! Dasar perempuan 

goblok...!" maki si 'Kaki Tunggal dengan 

sesungging senyum sinis.

"Akh, memang sepantasnya 

perempuan-perempuan pada mati semua. 

Sebentar lagi... ya sebentar lagi kalau 

aku sudah berkuasa di dunia persilatan. 

Hek... hek... hok... hok...!" si Kaki 

Tunggal tertawa-tawa bagai orang gila. 

Namun belum sempat si Kaki Tunggal 

memuntahkan semua uneg-unegnya. Pada 

saat itu dari luar dangau terdengar suara 

bentakan-bentakan melengking.

"si Kaki Tunggal manusia terkutuk! 

Keluarlah engkau dari dalam dangau itu.


Di sini ada kubawakan oleh-oleh 

kepalanya si pelayan sialan itu, 

terimalah...!" Bersamaan dengan 

ucapannya itu, dengan sangat cepat 

segera melemparkan kepala si pelayan 

warung.

"Weees!"

"Bruaak!"

Dinding dangau yang terbuat dari 

tepas itu langsung bobol, dan andai saja 

si Kaki Tunggal tidak cepat-cepat 

mengelak, sudah barang tentu kepala si 

pelayan warung dengan kepalanya sendiri 

pasti akan saling bertabrakan. Si Kaki 

Tunggal segera bangkit. Lalu secepatnya 

tubuhnya sudah melesat ke luar dari dalam 

dangau tersebut. Dia keluarkn tawa 

bergelak-gelak begitu melihat siapa 

adanya mereka yang datang ke tempat itu.

"Wuah! Kalian rupanya. Kukira 

kalian iblis yang sedang kesurupan, tak 

dinyana hanyalah dua ekor tikus betina 

yang sajngat menyenangkan." Ksatria 

terkutuk berkaki tunggal untuk beberapa 

saat lamanya nampak termangu-mangu. 

Dipandanginya kedua gadis itu tanpa 

pernah berkedip sedikit pun. Sudah 

barang tentu dipandangi sedemikian rupa 

kedua gadis ini menjadi merah parasnya.


"Setan kepura-puraan, kau 

sembunyikan di mana kakak seperguruan 

kami...?" bentak Hini.

"Engkau galak sekali, Gadis. He... 

he... he...! Tapi aku suka pada gadis 

galak semacammu. Engkau pasti seorang 

gadis yang sangat menyenangkan." tukas 

Kaki Tunggal dengan tawa mengekeh.

"Monyet cacat tak tahu diri, cepat 

jawablah pertanyaanku...?"

"Engkau menanyakan kakak 

seperguruanmu? Coba lihatlah di dalam 

dangau itu!" Dengan sangat penasaran 

kedua gadis itu pun cepat-cepat menyerbu 

ke dalam dangau. Sementara si Kaki 

Tunggal memang dengan sengaja membiarkan 

kedua gadis ini melongok ke dalam dangau 

yang telah reot itu. Begitu sampai di 

dalam dangau tersebut, betapa sangat 

terkejut Hono dan Hini. Mereka mendapati 

tubuh kakak seperguruannya telah 

terhadap bermandikan darah. Sementara 

pakaian yang dikenakannya telah 

acak-acakkan. Tak dapat terbendung lagi 

kedua gadis itu menangis bermandikan air 

mata. Sungguhpun mereka sadar bahwa 

kematian kakaknya karena membunuh diri, 

tetapi mereka juga tahu apa yang menjadi 

penyebab dari semua itu.


Dengan kemarahan yang meluap-luap 

mendadak kedua gadis ini secara hampir 

bersamaan kembali keluar dari dalam 

dangau tersebut. Pandangan matanya 

menyinarkan kebencian yang teramat 

sangat.

"Iblis berhati binatang. Engkau 

telah membuat kakak seperguruan kami 

membunuh diri. Puih, jiwa anjingmu tidak 

cukup untuk membayar hutang darah dan 

jiwa kakak seperguruan kami...!" kata 

Hono memaki habis-habisan. Namun sejauh 

itu, bagai orang yang tiada merasa 

bersalah, Ksatria Terkutuk Berkaki 

Tunggal masih nampak tenang-tenang saja.

"Mengapa harus marah-marah, 

Tikus-tikus perawan. Kakakmu mati karena 

kesalahannya sendiri. Toh aku tak pernah 

menyuruhnya untuk membunuh diri..."

"Tetapi engkaulah yang menjadi 

penyebab kematiannya...!" sergah Hini 

yang saat itu telah bersiap-siap dengan 

senjatanya yang berupa setagen biru. 

Begitu pula halnya dengan Hono.

"Sudah kubilang "semua itu 

kesalahan kakakmu sendiri. Aku hanya 

mengajaknya untuk bersenang-senang, 

kalau kemudian dia memilih jalan ke 

akhirat, siapa mau perduli...!"..


"Monyet sumber malapetaka ini 

memang tak bisa diajak bicara, Adik Hini. 

Mari kita gebuk saja!"

"Hei jangan, kalian akan mati 

sia-sia...!"

Karena memang sudah sangat kalap. 

Maka kedua gadis itu pun segera menyerang 

si Kaki Tunggal dengan totokan-totokan 

ujung Setagen mereka. Serangan-serangan 

setagen itu begitu cepat dan ganas, 

sekali waktu melecut ke udara, di lain 

kesempatan meliuk dan menyambar-nyambar 

bagaikan seekor ular berbisa yang ingin 

menyergap mangsanya. Namun sampai sejauh 

itu, tak satu pun serangan-serangan yang 

mereka lancarkan dapat dengan tepat 

mengenai sasarannya.

Menyadari pihak lawannya sedemikian 

tangguh, maka sekejab kemudian tubuh 

kedua gadis itu segera berkelebat. 

Gerakan-gerakan mereka nampak sangat 

ringan. sekali. Hal ini menandakan bahwa 

ilmu mengentengi tubuh yang mereka 

miliki sudah hampir sampai pada tahap 

paling sempurna. Senjata kedua gadis itu 

terus melecut ke segala arah, namun si 

manusia terkutuk itu masih saja dapat 

mengelakkan setiap serangan dengan 

sangat begitu mudahnya.

"Hauut!''


Tubuh Hono melentik ke udara, begitu 

tubuhnya menukik, satu lecutan dan satu 

pukulan maut yang diberi nama Bunga 

Jelita Menyergap Kumbang dia lepaskan. 

Begitu pula halnya yang dilakukan oleh si 

Hini. Dua pukulan dan dua lecutan datang 

secara hampir bersamaan. Menderulah 

selarik sinar berwarna biru 

kemerah-merahan dengan hebatnya. 

Pukulan itu mengarah pada bagian kepala 

dan dada, sementara lecutan setagen 

mengarah pada bagian selang-kangan dan 

kaki. Sudah barang tentu meskipun si Kaki 

Tunggal merupakan tokoh sesat yang 

sangat sakti, tetapi menghadapi empat 

serangan yang datangnya secara hampir 

bersamaan, telah membuatnya jadi kalang 

kabut. Tetapi sebagai orang yang sudah 

sangat berpengalaman, sudah barang tentu 

dia sudah tahu pukulan mana yang paling 

sangat berbahaya. Karena dia menyadari 

bahwa pukulan itulah yang paling 

mengancam. Maka tanpa ragu lagi dia 

memapaki datangnya sinar biru kemerahan 

yang sudah begitu dekat dengan tubuhnya. 

"Wut! Wut!"

Pukulan Bunga Jelita Menyergap 

Kumbang menjadi kandas di tengah jalan. 

Namun serangan setagen yang dilecutkan 

oleh si Hono terlanjur melibat tongkat


penyangga tubuhnya. Sementara lecutan 

setagen si hini berhasil pula memukul 

pusaka keramat yang tersimpan di kantung 

celana si Kaki Tunggal. Tongkat di tangan 

terlepas dari pemiliknya. Tubuh si Kaki 

Tunggal nampak berguling-gujing di atas

tanah berlumpur. Dia merasakan perutnya 

sakit luar biasa, rasa-rasanya dua buah 

jambu miliknya sudah hancur 

berkeping-keping. Belum lagi laki-laki 

terkutuk itu sempat bangkit dari 

tempatnya, lecutan dan pukulan datang 

beruntun. Namun si Kaki Tunggal yang 

sudah sangat marah itu, mana mau dirinya 

menjadi sasaran pukulan-pukulan yang 

mematikan untuk yang kedua kalinya. 

Cepat-cepat, tubuhnya melentik dari atas 

tanah berlumpur. Tanpa tongkat penyangga 

bersamanya. Terlihatlah keseimbangannya 

menjadi goyah. Begitu pun dia tak 

kehilangan akal. Sesaat kemudian 

dicabutnya pedang kematian yang sangat 

panjang itu. Sementara sarungnya dia 

pergunakan sebagai tongkat penyangga 

tubuhnya.

Kini dengan pedang kematian di 

tangannya, wajahnya serta merta berubah 

menjadi sangat menggidikkan. Beberapa 

saat setelahnya, dia pun menggeram.


"Tikus betina sialan. Jangan 

sombong dengan kebolehanmu yang tiada 

seberapa itu. Malang sekali nasib kalian 

hari ini. Kalian telah bertarung dengan

iblis pencabut nyawa yang mematikan...!" 

mengerang si Kaki Tunggal bagai harimau 

ganas yang terluka.

* * *


SEPULUH



Mendapat ancaman sedemikian rupa 

nampaknya kedua gadis itu tidak menjadi 

gentar. Dibentak malah balas membentak!

"Bangsat, sekalipun kami mampus di 

tanganmu. Jangan kira kami mau bertekuk 

lutut di kaki manusia sinting gila 

kekuasaan."

"Bagus.... Sesungguhnya aku paling 

benci pada betina-betina semacam kalian! 

Itu sebabnya kalian lebih baik mampus 

saja...!" teriak si Kaki Tunggal. 

Laki-laki hitam legam itu segera 

mengayunkan pedang panjangnya. Sekejap 

kemudian dia telah berbalik menyerang 

kedua gadis itu. Pedang di tangan 

berkelebat kesegala arah. Hawa dingin

yang keluar dari pedang kematian mulai

menyebar ke mana-mana. Sedikit demi 

sedikit. Baik si Hono dan si Hini mulai 

merasakan adanya kelainan dalam diri 

mereka. Kiranya mereka ini tidak 

menyadari betapa bau yang tak sedap itu 

sesungguhnya merupakan hawa beracun yang 

secara perlahan dapat mematikan syaraf 

mereka.

Kini pedang di tangan si Kaki 

Tunggal menderu, mencecar pertahanan 

lawan. Menghadapi datangnya serangan 

yang begitu ganas, maka dengan segenap 

kemampuan kedua orang ini cepat-cepat 

menggerakkan setagen di tangan 

menyongsong datangnya sambara-sambaran 

ganas senjata di tangan si Kaki Tunggal. 

Satu kesempatan si Hono melecutkan 

setagennya ke arah bagian dada lawannya 

yang terbuka. Pada saat itu si Kaki 

Tunggal sedang berusaha membuka 

pertahanan si Hini yang menyerang 

dirinya dalam jarak yang begitu dekat. 

Namun belum lagi babatan pedang maut itu 

mencapai sasarannya, mendadak dia 

merasakan adanya angin sambaran senjata 

dari arah belakangnya. Maka demi 

menghindari lecutan yang juga tidak bisa 

dianggap ringan, maka si Kaki Tunggal 

menarik balik serangannya. Sebagai 

gantinya dia sedikit memutar arah,


kemudian cepat-cepat kiblatkan 

senjatanya begitu setagen lawan hampir 

menghajar tubuhnya.

“Pras!" 

Papasan pedang yang sangat tajam itu 

membuat setagen si Hono menjadi hampir 

tercabik-cabik. si Hono bersurut dua 

langkah, pucat parasnya. Begitupun dia 

tak pernah mengenal putus asa. Maka 

sementara si Kaki Tunggal berbalik 

menghadapi lecutan setagen di tangan si 

Hini. si Hono sudah bersiap-siap kembali 

dengan pukulan maut Bunga Jelita Me-

nyergap Kumbang. Selarik sinar biru 

kemerahan berkekuatan lebih besar lagi 

dari yang terdahu lu. Nampak menderu 

sedemikian cepatnya. Mau tak mau si Kaki 

Tunggal kembali membatalkan niatnya 

untuk menghancurkan setagen di tangan si 

Hini. Dengan mencaci maki maka dia pun 

kembali berbalik. Tetapi pukulan yang 

dilepas oleh si Hini datangnya begitu 

cepat. Lalu pedangnyalah yang dia 

tadahkan.

"Wus! Blang!" 

Bukan main kharisma pedang kematian 

di tangan si Kaki Tunggal itu, karena 

begitu dia pergunakan untuk memapaki 

pukulan lawan. Membuat pukulan Bunga 

Jelita Menyergap Kumbang itu membalik


dan menghantam pemiliknya. Tubuh si Hono 

terlempar sepuluh tombak, dengan dada 

remuk karena termakan pukulannya 

sendiri. Begitu tubuh si Hono tersungkur 

di atas tanah berlumpur Begitu pula darah 

kental menggelogok bagai tumpahan sayur 

talas yang sudah basi. Sesaat tubuh si 

Hono berkelojotan di atas tanah 

berlumpur. Karena lumpur itu dalamnya 

sebatas pinggang, maka gerakan-gerakan 

sekarat dari gadis yang malang itu 

lama-kelamaan menjadi terbenam, sampai 

pada akhirnya tak terlihat sama sekali.

Terkesima si Hini demi menyaksikan 

kematian kakak seperguruannya. Tetapi 

hanya sesaat saja dia dapat bersikap 

seperti itu. Karena sesaat kemudian si 

Kaki Tunggal dengan beringas telah 

menyerangnya. Kini dengan leluasa dia 

bisa menggasak lawannya yang hanya 

tinggal seorang itu. Bertahan seorang 

diri, nampak sekali dalam waktu sekejab 

si Hini terdesak hebat. Satu ketika si 

Kaki Tunggal melompat mundur tiga 

tindak, tangan kanannya nampak 

menggenggam pedang begitu eratnya. 

Sesungging seringai maut membias di 

bibirnya. Kemudian dia pun membentak 

dengan penuh kemenangan.


"Tikus betina. Engkau lihatlah 

kawan-kawanmu sudah pada kojor semua. 

Meminta ampun padaku rasa-rasanya saat 

ini sudah tidak guna, aku tak bakal 

mengampunimu!"

"Aku pun tak akan pernah merengek 

minta ampun padamu...!" tukas si Hini 

dengan sangat beraninya.

"Bagus, Bagus sekali... yang paling 

pantas bagimu adalah mampus...!" Laksana 

kilat, si Kaki Tunggal langsung 

membabatkan pedangnya. Sedapat mungkin 

si Hini berusaha mengelakkan serangan 

pedang yang dilancarkan oleh lawannya. 

Maka tak ayal lagi gadis itu segera 

melecutkan setagennya. si Kaki Tunggal 

yang sudah merasa kesal dengan hadirnya 

senjata yang hampir saja menghancurkan 

jambu kra-matnya, segera menyambutnya 

dengan tebasan pedang kematian.

"Breet!" 

Tak ayal lagi, setagen yang terbuat 

dari kain sutera itu pun hancur 

berkeping-keping. si Hini nampak 

bersurut mundur, si Kaki Tunggal tertawa 

mengekeh.

"Bukan saja Stagenmu itu yang kubuat 

hancur. Sebentar lagi tubuhmu pun akan 

kubuat berantakan."


"Banyak mulut...!" Satu pukulan di 

lepaskan oleh si gadis bersamaan dengan 

ucapannya itu. Lagi-lagi si Kaki Tunggal 

tertawa mengekeh begitu mengetahui 

datangnya selarik sinar maut yang di 

kirimkan oleh si gadis. Lalu dengan 

kepongahannya, laki-laki hitam legam 

inipun tadahkan pedang kematian.

"Wees! Blaaam!" 

Si gadis terpelanting, secepatnya 

dia berusaha bangkit berdiri. Namun 

begitu usaha ini dicobanya, mendadak 

keseimbangannya menjadi goyah, darah 

meleleh dari kedua kuping dan hidungnya. 

Melihat keadaan ini si Kaki Tunggal tak 

ingin bertindak tanggung-tanggung lagi. 

Maka dia pun kirimkan satu pukulan 

pamungkas diberi nama Kunyuk Gila 

Menendang Gunung. Tak pelak, satu 

gulungan pukulan maut berwarna jingga 

melesat dan tanpa ampun lagi langsung 

melabrak tubuh si Hini yang sudah 

sekarat. Tiada lolongan maut yang 

terdengar, begitu pukulan Kunyuk Gila 

Menendang Gunung melabrak tubuhnya. 

Hanya asap hitam dan debu saja yang 

beterbangan. si Hini tewas secara 

mengerikan seketika itu juga. Kaki 

Tunggal nampak menarik nafas pendek. 

Secara perlahan dia pun menyarungkan


pedang mautnya. Lalu dengan keluarkan 

suara nyanyian yang tak beraturan, dia 

pun segera melangkah meninggalkan dangau 

tersebut. Dalam waktu sekejap, laki-laki 

itu pun sudah tak nampak dari pandangan 

mata. Kini suasana di sekitarnya kembali 

berubah menjadi sunyi sepi. Bagai tak 

pernah terjadi sesuatu kejadian apapun 

di sana.

* * *

Ketika Nini Kroya yang memang sudah 

mendapat firasat buruk tentang suaminya 

itu sampai di kaki Gunung Gili Manuk. 

Malam baru saja menunjukkan pukul 

delapan. Bulan purnama lima belas nampak 

menyeruak di pucuk-pucuk cemara. 

sinarnya yang kuning keemasan itu 

tersaruk-saruk di balik mega-mega 

kelabu. Saat itu Nini Kroya yang nampak 

berdiri seorang diri di tempat yang sepi 

itu nampak menanti dengan harap-harap 

cemas. Betapapun dia menyadari bahwa 

sesungguhnya Setan Kroya suaminya sudah 

tiada. Sesuai dengan mimpinya ketika 

berada di pondok milik si Pengail Aneh. 

Bahwa waktu itu di suatu tempat yang luas 

dia melihat Setan Kroya datang padanya 

dengan mengenakan pakaian warna putih,


nampak datang bagai ditiup angin menemui 

dirinya, tetapi tak berapa lama kemudian 

sang suami dalam mimpi itu segera pergi 

kembali. Tiba-tiba saja, dia semakin 

menjauh dengan wajah menyeringai menahan 

sakit.

Mimpi buruk itu bagi Nini Kroya 

sudah merupakan suatu bukti bahwa 

meskipun dia tak melihat keadaan yang 

sesungguhnya akan tetapi dia merasa 

begitu sangat yakin bahwa Setan Kroya 

benar-benar telah tiada. Bagi dirinya 

siapapun adanya pelaku pembunuhan atas 

diri suaminya, sebagai istri yang setia 

dia harus mencari si bangsat pembunuh 

tersebut. Kalau perlu akan mengadu jiwa 

dengan orang tersebut. Seperti 

diketahui, Nini Kroya sesungguhnya me-

miliki kepandaian silat dua tingkat di 

atas suaminya. Demikianlah setelah lebih 

kurang dua jam berdiri menanti di situ 

seorang diri, namun tak siapapun yang ada 

di sana selain dirinya sendiri. Lama 

kelamaan dia menjadi jengkel sendiri.

"Menurut kabar yang aku dengar. 

Tepat malam inilah di tempat ini akan 

terjadi pertarungan itu. Tetapi aku tak 

melihat adanya orang lain yang berada di 

tempat ini! Ataukah berita tentang 

pendekar kelas satu itu sesungguhnya


hanya merupakan isapan jempol belaka? 

Tetapi tak mungkin, aku mencium adanya 

bau kematian yang telah berlangsung 

lebih kurang tiga puluh hari, satu 

purnama yang sudah lewat berarti di 

tempat ini benar-benar telah terjadi 

pertarungan maut, mungkin ada baiknya 

kalau aku menunggu!" batin Nini Kroya. 

Suasana hening terus berlangsung, hingga 

suatu ketika Nini Kroya merasakan adanya 

orang lain hadir di tempat itu. 

Sungguhpun dia sudah teramat tua bila 

dibandingkan dengan suaminya. Namun 

pendengarannya yang sudah terlatih 

dengan baik dapat mengetahui bahwa 

kehadiran orang lain di tempat itu sudah 

semakin bertambah dekat sekali. Nini 

Kroya putar badannya selangkah demi 

selangkah, tatapan matanya nampak 

menyapu pandang pada keremangan hutan 

cemara yang berada di sekitar tempat itu. 

Namun tak seorang pun terlihat dalam 

keremangan itu. Nini Kroya semakin 

bersikap waspada. Sesaat dua saat waktu 

pun berlalu, sepi, tiada gerakan-gerakan 

yang mencurigakan. Namun sejauh itu Nini 

Kroya tetap merasa yakin bahwa ada 

seseorang yang hadir di tempat itu. 

Mungkinkah orang itu tak lain merupakan 

si Pengail Aneh adanya? Kalau memang..


benar mengapa tak menemuinya? Tiba-tiba 

Nini Kroya pun berkata:

"Orang yang bersembunyi di balik 

pohon, keluarlah...?" bentak perempuan 

tua. Tiada sahutan, suara Nini Kroya 

menggema ke dasar kaki gunung.

"Orang yang berdiri di balik pohon, 

mengapa ngumpet seperti tikus parit? 

Keluarlah...?" kata Nini Kroya tak 

sabaran. Barulah kemudian nampak 

berkelebatnya sosok bayangan hitam 

menyongsong ke arah si Nini Kroya.

"Jliigh!" Begitu berhadapan dengan 

Nini Kroya, tahulah perempuan tua ini 

bahwa sesosok bayangan berpakaian hitam 

dan bertongkat itu tak lain merupakan 

seorang laki-laki.

"Siapakah engkau ini Kisanak...?" 

tanya Nini Kroya kemudian. Yang ditanya 

hanva mendengus. 

"Apa kerjamu di tempat ini perempuan 

tua...?" Si orang bertongkat yang tak 

lain merupakan si Kaki Tunggal adanya 

balik bertanya.

"Ahh, aku hanya mencari 

suamiku...!" jawab Nini Kroya.

"Suamimu? siapakah suamimu...?" 

tanya si Kaki Tunggal penuh selidik.

"Suamiku bernama Setan Kroya." ucap 

Nini Kroya tanpa merasa curiga sedikit

pun pada si Kaki Tunggal. Tiba-tiba si 

Kaki Tunggal keluarkan suara tawa 

mengekeh!

"Setan Kroya? Ha... ha... ha...! 

Suamimu itu sudah mampus di tanganku." 

Kata si Kaki Tunggal tanpa tedeng 

aling-aling.

"Apa...?" kejut di hati perempuan 

itu bukan alang kepalang, namun belum 

lagi dia sempat menanyakan sesuatu, si 

Kaki Tunggal langsung menukas.

"Itu adalah kesalahannya. Karena 

malam ini engkau hadir pula di Kaki 

Gunung Gili Manuk, yang sudah kutentukan 

sebagai tempat kematian siapapun. Maka 

engkau pun harus mampus di tempat ini." 

teriak si Kaki Tunggal. Dan sesaat itu 

juga dia sudah mencabut pedangnya. Maka 

si Nini Kroya yang saat itu sedang 

dilanda kemarahan tak kalah cepat dia pun 

sudah mencabut senjatanya yang berupa 

sebuah gada yang berukuran sangat kecil 

namun berat luar biasa.

Tanpa kompromi lagi kedua orang ini 

mulai saling serang dengan mengirimkan 

pukulan maupun sabetan-sabetan mautnya. 

Suasana nampak semakin menegangkan 

manakala sesaat kemudian Nini Kroya dan 

Kaki Tunggal mulai melancarkan 

pukulan-pukulan jarak jauhnya. Debu dan


pasir nampak beterbangan ketika dua 

pukulan sakti itu saling bertemu antara 

yang satu dengan yang lainnya. Begitupun 

pukulan-pukulan maut itu tidak berarti 

banyak bagi masing-masing lawan, sebab 

sejauh itu, nampaknya kekuatan tenaga 

dalam mereka seimbang. Jalan 

satu-satunya untuk dapat merobohkan 

pihak lawan dalam waktu yang secepatnya. 

Tak ada pilihan lain terkecuali mengadu 

kehebatan permainan pedang ataupun 

kecepatan lainnya. Tak pelak lagi si Kaki 

Tunggal nampak memutar pedangnya dengan 

sangat cepat. Kemudian dengan diawali 

dengan satu bentakan-bentakan tinggi 

melengking, dia pun babatkan senjatanya 

mengarah pada bagian leher pihak 

lawannya. Sudah barang tentu Nini Kroya 

tak mau terima begitu saja. Maka sekejap 

tubuh wanita tua itupun berkelebat 

dengan gerakan-gerakan yang sangat 

ringan sekali. Seketika Gada mustika di 

tangan memukul dan mengancam bagian 

kepala lawannya, senjata itu terus 

meluncur sedemikian cepatnya. si Kaki 

Tungigal yang sudah berniat membabat 

bagian pinggang pihak lawannya, sontak 

terpaksa batalkan niatnya. Lalu dia pun 

memapaki datangnya Gada Mustika di 

tangan Nini Kroya.



SEBELAS


Bunga api nampak berpijaran begitu 

kedua senjata itu saling berbenturan. 

Nini Kroya tersurut dua langkah. 

Sementara tubuhnya tergetar dan tangan 

seperti kesemutan. Di lain pihak si Kaki 

Tunggal sendiri merasakan dadanya sesak 

luar biasa. Jantungnya berdetak lebih 

keras! Cepat-cepat si Kaki Tunggal telan 

tiga butir pil yang berwarna 

kekuning-kuningan. Sesaat dia menunggu. 

Lalu manakala dia sudah merasa seperti 

biasa lagi, maka tak ampun lagi dia pun 

kembali menyerang Nini Kroya dengan 

kekuatan yang lebih hebat lagi. Nini 

Kroya yang sudah merasakan kehebatan 

lawannya, nampak tak ingin bertindak 

tanggung-tanggung. Kini dikerahkan 

segenap kemampuannya. Gada Mustika di 

tangannya yang berwana putih itu 

berkelebat laksana kilat, menderu 

timbulkan suara berciutan, sekilas hanya 

tinggal merupakan bayang-bayang putih 

belaka. 

"Haiit!"

Tak mau kalah si Kaki Tunggal pun 

kiblatkan senjatanya, lagi-lagi 

benturan dua senjata yang sudah dialiri


oleh tenaga dalam itu pun tak dapat 

dihindari lagi. Kejadiannya malah 

sebaliknya. Nini Kroya malah mengalami 

akibat yang sangat tiada menguntungkan. 

Gada Mustika di tangannya nampak 

terbabat putus oleh mata pedang di tangan 

si Kaki Tunggal. Tidak cukup sampai 

disitu saja, pedang kematian terus 

menderu. Bagai bermata terus meluncur 

dan mengarah pada pangkal leher Nini 

Kroya. tak ayal lagi sekejap kemudian 

pedang itupun sudah sampai pada 

sasarannya. Tak seorang pun yang mampu 

mencegah kejadian itu.

"Jrooookh!"

Nini Kroya melolong setinggi 

gunung, matanya nampak melotot, 

sedangkan kedua tangannya menekan erat 

pada bagian leher yang terkoyak lebar. 

Darah menyembur ke mana-mana. Setelah

tubuh Nini Kroya nampak terhuyung-huyung 

untuk beberapa saat lamanya. Maka tubuh 

yang lama-kelamaan kehabisan darah itu 

pun nampak limbung pula. Hingga akhirnya 

tanpa ampun lagi diapun ambruk untuk 

selama-lamanya. Pada saat yang hampir 

bersamaan, tiba-tiba terdengar jerit 

tertahan dengan disertai hadirnya sosok 

seorang laki-laki botak. 

"Nini...!"


Si tua botak tak lain merupakan si 

Pengail Aneh nampak berjongkok sambil 

memeluki mayat istri sahabatnya, si 

Setan Kroya.

"Engkau begitu cepat pergi, Nini, 

mengapa engkau tak pernah mau mendengar 

semua apa yang kukatakan. Oh... 

sahabatku sudah pada pergi semuanya...!" 

keluh si Pengail Aneh sambil menutupi 

wajahnya.

"Jangan bersedih orang tua! 

Engkaupun akan segera menyusul 

mereka...!" menyela si Kaki Tunggal 

dengan suaranya yang dingin 

menggidikkan. Menyadari ada orang di 

sekitarnya, maka si Pengail Aneh 

palingkan wajahnya. Lalu terlihatlah si 

Kaki Tunggal berdiri bertolak pinggang 

tak jauh dari hadapannya.

"Kau... Siapakah engkau...?!" tanya 

si Pengail Aneh sambil mengingat-ingat 

sesuatu. Yang ditanya tertawa ganda.

"Masakan engkau sudah lupa padaku 

tua pikun...!' 

"Jangan bertele-tele cepat 

katakan...!?" perintah si Pengail Aneh 

marah sekali. Si Kaki Tunggal kini malah 

tersenyum sinis.



"Masakan engkau telah lupa pada 

orang yang pernah kau dan Setan Kroya, 

buntungi kakinya...?"

"Buntungi kakimu. Kapan aku 

melakukannya? Bicaralah yang jelas, 

mengapa harus berbelit-belit!"

"Kata-kataku sudah sangat jelas 

untuk kau mengerti Pengail sinting!" 

tukas si Kaki Tunggal nampak kesal.

"Eeh, engkau masih tahu namaku...?" 

tanya si Pengail Aneh tanpa dibuat-buat.

"Pengail Aneh, kiranya kini semakin 

tua engkau semakin bertambah pikun saja! 

Ingatkah engkau ketika terjadi peristiwa 

di air terjun Lembah Tong Tong Bengong 

beberapa tahun yang lalu...?"

Andaikan saat itu adalah siang hari, 

sudah barang tentu si Kaki Tunggal dapat 

melihat betapa si Pengail Aneh nampak 

sangat terkejut sekali. Mendadak 

parasnya nampak pucat. Hal ini bukan 

berarti dia takut pada si Kaki Tunggal, 

akan tetapi dalam sepanjang 

petualangannya, peristiwa di air terjun 

itu adalah merupakan peristiwa yang 

paling bersejarah dan tak pernah 

terlupakan sepanjang hidupnya. 

Bagaimana tidak! Saat dia hampir saja 

tewas di tangan sepasang iblis yang 

merupakan orang tua si Kaki Tunggal.



Andai saja waktu itu Setan Kroya tidak 

mengalihkan perhatian manusia iblis itu 

dengan memotong kaki anaknya. Sudah 

barang tentu dia sudah lama berangkat ke 

liang kubur. Tetapi mengapa anak yang 

mereka cemplungkan ke dalam jurang itu 

sampai kini masih tetap hidup? Batin si 

Pengail Aneh nampak sangat heran sekali. 

Dia merasa yakin pasti ada seseorang yang 

telah menolongnya.

"Botak tua, ingatkah apa yang telah 

engkau lakukan di air terjun itu...?" Si 

Pengail Aneh, angguk-anggukkan 

kepalanya.

"Aku masih ingat, engkaulah si anak 

malang yang telah di potong kakinya oleh 

Setan Kroya!" kata Setan Kroya tanpa 

sungkan-sungkan.

"Bagus! Tahukah engkau waktu itu 

sangat menyakitkan sekali Pengail 

sinting?"

"Sayangnya aku tak ikut 

merasakannya...!"

"Bangsat...!" maki si Kaki Tunggal.

"Engkau tak perlu memaki, dosa nenek 

moyangmu waktu itu benar-benar sudah 

sangat bertumpuk. Mereka bakar 

rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. 

Mereka rampoki harta bendanya, kemudian 

mereka bunuh orang yang tiada berdosal


upah atas pekerjaanmu beberapa tahun 

yang lalu itu!" ejek Ksatria Terkutuk 

Berkaki Tunggal.

"Bagiku yang sudah berlalu biarlah 

berlalu, aku sudah sangat tua. Aku tak 

ingin mengingat-ingatnya lagi...!"

"Enak saja engkau ini, engkau harus 

bayar nyawa orang tuaku...!" bentak si 

Kaki Tunggal.

"Baik, kalau engkau berkata begitu, 

aku terima. Tapi kapan akan kau bayar 

nyawa dari setiap banyak orang yang telah 

engkau bunuh semena-mena?" Ditanya 

seperti itu, si Kaki Tunggal nampak 

merah parasnya.

"Itu urusanku, Pengail Sinting! Tak 

perlu engkau menanyakannya padaku...!" 

Sesabar-sabarnya Pengail Sinting, tentu 

pada akhirnya marah juga mendapat ucapan 

yang sangat menyakitkan itu.

"Keturunan manusia sesat, semakin 

aku mengalah engkau semakin kurang ajar 

saja. Sungguh pun senjata pedangmu 

berasal dari neraka sekali pun aku tak 

pernah merasa takut...!" Dalam 

kemarahannya itu si Pengail Aneh nampak 

langsung menyerang si Kaki Tunggal 

dengan senjatanya yang berupa kail. 

Begitu senjata itu terayun, maka 

terdengar bunyi gaung dari kenur-kenur


yang terpasang dari padanya. Senjata itu 

nampak sedemikian ringannya 

berkelebat-kelebat mencecar 

sasaran-sasaran yang mematikan. 

Mengetahui betapa berbahayanya senjata 

di tangan Pengail Aneh. Maka dengan gesit 

si Kaki Tunggal mengelak secepatnya. 

Semakin lama gerakan gagang kail di 

tangan lawan nampak berputar mengurung 

dirinya dengan sangat cepat, maka tak ada 

cara lain lagi. Demi menghindari 

sambaran di tangan lawan, maka tubuhnya 

pun melompat-lompat dengan gerakan yang 

sangat sulit diikuti oleh mata. Sepintas 

lalu, kalau diperhatikan dengan cermat, 

nampaklah kedua orang itu seperti dua 

orang bocah yang sedang bermain tali. 

Begitupun sesungguhnya kedua orang ini 

sedang mengadu dua kekuatan tenaga dalam 

yang sangat tinggi. Andai saja si Kaki 

Tunggal sampai lengah, atau sebaliknya 

pula dengan si Pengail Aneh. Sudah barang 

tentu nyawa taruhannya. Sebab walau 

bagaimana pun sebetulnya pada saat itu si 

Kaki Tunggal sedang berusaha untuk 

mencari kesempatan untuk dapat 

meloloskan pedangnya. Sama seperti apa 

yang ada dalam pikiran si Pengail Aneh. 

Jika sampai si Kaki Tunggal dapat 

meloloskan pedangnya sudah barang tentu


dia akan berusaha membabat gagang kail 

yang sangat panjang itu. Praktis dirinya 

dapat terbebas dari kail yang mengurung 

dirinya. Keringat sudah nampak 

bercucuran dari tubuh kedua orang itu, 

sementara pertarungan itu semakin lama 

berlangsung semakin seru. Tak ada 

tanda-tanda siapa yang bakal keluar 

sebagai pemenangnya. Karena keduanya 

nampak sedemikian tangguh.

Sampai pada suatu saat, si Kaki 

Tunggal yang masih belum dapat 

membebaskan dirinya dari kepungan kail 

yang nampak berputar-putar dari berbagai 

penjuru itu dengan sangat cepat segera 

mengaiibil tindakan. Disalurkannya 

sebagian tenaga dalamnya ke bagian 

tangan. Saat itu dia sudah bermaksud 

untuk memukul si Pengail Aneh dengan

pukulan jarak jauhnya, agaknya diluar 

kesadaran si Pengail Aneh yang terus 

sibuk dengan senjata di tangannya.

"Wuuut!"

Satu pukulan Kunyuk Gila Menendang 

Gunung telah dilepaskan oleh si Kaki 

Tunggal. Sekejap satu serbuan gelombang 

dingin yang amat keji menderu laksana 

badai puting beliung. Kail di tangan si 

Pengail Aneh nampak terpental dilanda 

pukulan tersebut. Sungguhpun senjata itu


tak sampai terlepas dari tangan si 

Pengail Aneh, namun akibatnya si Kaki 

Tunggal sudah punya kesempatan untuk 

keluar dari kurungan kail yang 

mengitarinya.

Begitu si Kaki Tunggal dapat 

terbebas dari kungkungan senjata 

lawannya maka dia pun langsung mencambut 

pedang panjang yang menggelantung di 

pinggangnya. Mengamuklah laki-laki 

berbadan hitam legani itu 

sejadi-jadinya. Gerakan silat maupun 

permainan pedangnya nampak sangat cepat, 

bahkan serangan demi serangan lama 

kelamaan nampak semakin menggila. Dengan 

senjata di tangannya itu, si Kaki Tunggal 

nampak berubah menjadi beringas. Lama 

kelamaan permainan kail si kakek botak 

itu nampak sudah tiada berarti banyak, 

bahkan dalam beberapa gebrakan 

berikutnya si Kaki Tunggal sudah nampak 

berada di atas angin. Sementara si 

Pengail Aneh sudah semakin terdesak 

hebat. Tetapi sebagai orang yang telah 

banyak makan asam garam dunia 

persilatan, keadaan seperti itu tidak 

membuat si Pengail Aneh menjadi gugup. 

Dia tahu senjata di tangan lawannya cukup 

berbahaya. Untuk sebagai tokoh tua yang 

tidak memiliki ilmu kebal. Sudah barang


tentu dia tidak ingin kontak tangan 

secara langsung. Jalan satu-satunya 

adalah melepas pukulan jarak jauh atau 

juga mempergunakan kailnya untuk 

melindungi diri. Tak pelak lagi, dia pun 

segera memutar gagang kail bagai tak 

ubahnya sebuah baling-baling. Maka 

sebentar saja tubuh si Pengail Aneh sudah 

nampak terbungkus putaran kail di 

tangannya yang begitu cepat. 

Berulangkali, si Kaki Tunggal berusaha 

menghancurkan pertahanan lawannya. 

Namun selalu saja kail yang membentuk 

perisai itu yang mengkandaskan 

sergapan-sergapan pedangnya. Pada saat 

itu, si Pengail Aneh sambil terus memutar 

senjatanya membentuk perisai. Kini dia 

sudah lepaskan pukulan maut yang diberi 

nama Bulan Sembunyi Di Balik Awan. Bukan 

main hebatnya pukulan yang dilepaskan 

oleh si Pengail Aneh ini, karena begitu 

pukulan itu melesat, segera udara di 

sekitarnya menjadi panas luar biasa. 

Akibatnya sudah tentu sangat berpengaruh 

banyak bagi si Kaki Tunggal. Maka tak 

ayal lagi dia pun melepaskan pukulan, 

Kunyuk Gila Menendang Gunung dengan 

kekuatan yang berlipat ganda. Hawa 

pukulan yang dilepas oleh si Kaki Tunggal 

sebaliknya sangat dingin luar biasa. Tak


kalah hebatnya pukulan itu pun menderu 

laksana badai yang menggila. Pukulan 

berhawa panas bertemu dengan pukulan 

yang berhawa dingin 

"Bummm!"

Tubuh si Kaki Tunggal tersurut 

beberapa tindak, bahkan pukulan yang 

dilepas oleh si Kaki Tunggal membalik 

terdorong hawa panas yang berasal dari 

pukulan si Pengail Aneh. Bahkan hawa 

dingin dengan dorongan hawa panas itu 

terus meluncur mengarah ke tubuh si Kaki 

Tunggal. Andai saja laki-laki hitam 

legam itu tidak cepat-cepat kiblatkan 

pedangnya sudah barang tentu tubuhnya 

akan termakan pukulan sendiri ditambah 

lagi dengan pukulan lawannya.

"Breeees!

Kembali tubuh si Kaki Tunggal 

tergetar, namun tak berakibat apa-apa. 

Nyatalah sudah bahwa dalam hal adu tenaga 

sakti ternyata si Kaki Tunggal berada 

satu tingkat di bawah si Pengail Aneh. 

Menyadari akan kekurangannya, maka si 

Kaki Tunggal kini mengandalkan permainan 

pedangnya. Dalam perhitungannya kalau si 

Pengail Aneh tidak pernah diberi 

kesempatan untuk melepaskan 

pukulan-pukulan mautnya, sudah barang 

pasti kemenangan sudah tentu berada di


pihaknya. Jalan satu-satunya adalah 

dengan menggempur si Pengail Aneh dalam

jarak yang sangat dekat. Maka tak begitu 

lama kemudian, si Kaki Tunggal nampak 

berteriak keras-keras. Bersamaan dengan 

teriakannya itu maka tubuhnya 

berkelebat, pedang kematian di tangannya 

menderu sedemikian hebat. Hawa memuakkan 

segera menebar ke mana-mana. Sadar bahwa 

lawan tak memberi kesempatan untuk 

melepaskan pukulan Bulang Sembunyi Di 

Balik Awan. Maka si Pengail Aneh kembali 

memutar kailnya sebagai perisai diri. 

Akan tetapi semakin cepat si Pengail Aneh 

memutar kailnya. Maka serangan pedang si 

Kaki Tunggal datangnya semakin membadai. 

Tak heran karena si Kaki Tunggal kini 

telah mempergunakan jurus Pedang 

Langlang Buana yang tidak perlu 

diragukan lagi akan kemampuannya.

Hingga pada suatu kesempatan, si 

laki-laki berbadan hitam ini pun kembali 

sedikit demi sedikit mendesak lawannya. 

Lima jurus di depannya si Pengail Aneh 

benar-benar nampak sangat kepepet 

sekali. Sering pedang di tangan lawan 

hampir saja berhasil melukai tubuhnya. 

Sialan, sialan! Ke mana pula si Hina 

Kelana sampai saat sekarang belum juga 

muncul! Gerutu si Pengail Aneh sudah


merasa kewalahan. Satu saat si Kaki 

Tunggal kirimkan satu tusukan satu 

babatan. Pedang di tangan lawan menderu 

cepat. Dalam keadaan sedekat itu, sudah 

barang tentu tak ada pilihan lain bagi si 

Pengail Aneh, kecuali mengadu gagang 

kailnya dengan pedang lawannya. 

"Crak! 

Tes! Tes!"

Sambil melompat mundur, si Pengail 

Aneh berseru kaget, bagaimana tidak. 

Begitu dia melihat ke atas kailnya. 

Senjata yang telah dia pergunakan selama 

puluhan tahun itu kini terputus-putus 

menjadi puing-puing yang sangat pendek. 

Belum lagi hilang rasa kejut di hatinya. 

Sambil tertawa ngakak, si Kaki Tunggal 

kembali menyerangnya dengan 

tusukan-tusukan kilat. Tanpa senjata di 

tangannya terasa begitu sulitlah bagi si 

Pengail Aneh berkepala botak itu untuk 

mengimbangi atau pun menangkis 

kiblatan-kiblatan senjata lawannya. 

Hingga pada satu ketika, si Pengail Aneh 

benar-benar sangat kepepet. Jiwa si 

Pengail Aneh benar-benar dalam keadaan 

terancam saat itu. Sebab si Kaki Tunggal 

sudah kirimkan satu tusukan cepat 

mengarah ke bagian dada. si Pengail Aneh 

sejauh itu masih saja berupaya untuk


mengelak dan berkelit, namun ke mana saja 

dia menghindar, pedang kematian di 

tangan si Kaki Tunggal bagai bermata saja 

layaknya mengejar ke mana saja si kakek 

botak itu pergi. Dalam keadaan yang 

sangat keritis itu mendadak menderu 

selarik sinar berwarna Ultra Violet 

memapasi serangan pedang yang 

dilancarkan oleh si Kaki Tunggal. 

"Brees!"

Dengan senjata masih tergenggam di 

tangannya. Tubuh si Kaki Tunggal 

terguling-guling dilanda pukulan Empat 

Anasir Kehidupan yang dilepas oleh Buang 

Sengketa. Bersamaan dengan 

terguling-gulingnya tubuh si laki-laki 

hitam, maka sesosok bayangan nampak 

berkelebat begitu ringannya. Dan 

tahu-tahu telah berdiri di hadapan si 

Pengail Aneh. Kakek berkepala botak itu 

langsung marah-marah begitu melihat 

kehadirannya.

* * *


DUA BELAS


"Sial betul engkau ini, Kelana. 

Kunyuk itu hampir saja membunuhku. 

Engkau baru muncul!" dampratnya sambil 

menunjuk ke arah si Kaki Tunggal yang 

nampak sedang berusaha berdiri sambil 

mengurut-urut dadanya yang terasa bagai 

mau pecah.

"Ah, masa engkau bisa kalah oleh 

orang semacam dia itu! Bukankah seperti 

apa yang aku dengar, kakinya yang sebelah 

itu engkau yang membuntunginya? Mengapa 

dulu tidak engkau bunuh saja sekalian, 

lihatlah betapa kini dia telah menjadi 

bibit penyakit yang sangat 

menjijikkan...!" kata Buang Sengketa 

sengaja menyindir si Kaki Tunggal. 

"Ah, dulu kukira dia sudah mampus di 

dasar jurang sana. siapa sangka kalau 

sampai hari ini dia masih dapat

nafas...!" si Pengail Aneh menimpali. 

Lalu secara bersama-sama mereka tertawa 

tergelak-gelak. Mendidih darah si Kaki 

Tunggal, apalagi dilihatnya orang yang 

telah menyelamatkan si Pengail Aneh dari 

kematian adalah pemuda berpakaian kumuh


yang dulu pernah dia ampuni jiwanya. 

Sesaat kemudian dia pun sudah membentak.

"Manusia gembel berperiuk. Berani 

sekali engkau mencampuri segala 

urusanku?" Yang dibentak malah tertawa 

rawan.

"Terhadap kunyuk berkaki buntung

siapa takut? Jangan kira aku akan lari 

melihat pedangmu itu...!"

"Sompreet! Kalau dulu tidak 

kuampuni jiwamu yang tiada berharga itu, 

tidak nantinya engkau dapat bernafas 

hingga detik itu!" maki si Kaki Tunggal 

seolah menyesalkan.

"Ho... ho... ho...! Menyesal pun 

sekarang sudah tiada guna, sobat...!" 

tukas si pemuda sambil geleng-gelengkan 

kepalanya. 

"Puih! Jangan kira" malam ini aku 

mengampunimu..." dengus si Kaki Tunggal.

"Sudah tiada guna, sobat. Karena 

malam ini engkaulah yang terbuntang ke 

liang kubur...!" 

"Bangsat sombong. Sekalipun kalian 

maju berdua, tak akan nantinya kalian 

menang menghadapiku!" bentak si Kaki 

Tunggal, tangan kananya nampak 

mengamang-amangkan pedang panjang di 

tangannya.


Sementara itu Pendekar Hina Kelana 

nampak berpaling pada si Pengail Aneh 

yang saat itu nampak berdiri 

termangu-mangu memandangi Buang 

Sengketa dan si Kaki Tunggal silih 

berganti.

"Orang tua, kuharap engkau mau 

menjadi saksi bisu dalam pertarungan 

ini. Ingat, apa pun yang bakal terjadi 

pada diriku, jangan coba-coba engkau 

memberi bantuan apa pun...!"

"Menghadapiku seorang diri, engkau 

benar-benar akan menyesal Bocah gembel!" 

tukas si Kaki Tunggal meremehkan.

"Jangan banyak mulut. Seranglah aku 

dengan pedangmu yang terkenal sangat 

hebat itu...!"

"Lima gebrakan di depan tubuhmu 

benar-benar akan kubelah dengan pedang 

ini, pemuda sombong...!"

"Lakukanlah kalau engkau mampu...!" 

ejek si pemuda.

"Ho... he... hi...! Aku pasti 

mampu... ya pasti mampu...!" 

Sekali menyerang, si Kaki Tunggal 

langsung kirimkan tusukan tusukan ganas, 

Buang Sengketa yang sudah tahu bahwa 

pukulan-pukulan mautnya tak akan berarti 

banyak. Untuk menandingi permainan 

lawannya maka kini dia mengambil


keputusan untuk mengimbangi jurus-jurus 

pedang lawannya dengan sebuah jurus yang 

sudah tak asing lagi, yaitu Membendung 

Gelombang Menimba Samudra.

Tangan diputar sedemikian rupa, 

sehingga merupakan sebuah kitiran yang 

berputar liat membentuk sebuah 

pertahanan yang kokoh. si Kaki Tunggal 

terus merangseknya dengan jurus-jurus 

pedang tingkat tinggi yang diberi nama 

Setan Gila Membelah Bumi. Sekejap saja 

pedang di tangan lawannya menderu-deru 

menyebarkan bau yang tak sedap.

"Bet! Bet!" '

Dua kali sambaran mata pedang nyaris 

membeset kulit punggungnya.

"Ih...!" keluh Buang Sengketa 

sambil menjatuhkan dirinya ke samping 

kiri. si Kaki Tunggal memburunya lalu 

menusukkan pedangnya lagi.

"Wut! Put!"

"Bret!"

Sungguhpun Pendekar Hina Kelana 

bergerak sedemikian cepat, namun tetap 

saja senjata di tangan lawan berhasil 

menggores dan merobek bagian samping. Si 

pemuda nampak menyeringai begitu 

merasakan sakit yang teramat sangat. 

Masih untung dia kebal terhadap segala 

macam racun. Kalau tidak goresan pedang


lawan yang mengandung racun jahat sudah 

membuatnya tewas. Atau paling tidak 

pingsan seketika itu juga. Darah mulai 

merembes membasahi baju si pemuda, dari 

jarak yang tidak begitu jauh nampak si 

Pengail Aneh memperhatikan keadaan si 

pemuda dengan pandangan tak tega.

Sementara pertarungan itu terus 

berlangsung, tetapi kini jurus-jurus 

silat yang dipergunakan oleh si pemuda 

nampak berubah total. Gerakan-gerakan 

tubuhnya nampak meliuk-liuk tak 

beraturan, sekali waktu kaki dan tangan 

menghantam ke arah depan secara 

serampangan. Di lain kesempatan bagai 

seekor monyet yang terserang penyakit 

gatal, dia menggaruk-garuk tak 

karuan. Sungguh pun 

gerakan-gerakan silatnya ngaco tak 

beraturan. Namun sejauh itu selalu saja 

sergapan-sergapan yang dilakukan oleh si 

Kaki Tunggal menemui sasaran yang 

kosong. Tak heran, karena saat itu 

Pendekar Hina Kelana telah mempergunakan 

jurus si Gila Mengamuk yang tak perlu 

diragu kan lagi kehebatannya. Bukan main 

kesal si Kaki Tunggal demi menghadapi 

situasi pertarungan seperti itu. Maka 

ketika lima puluh jurus telah berlalu, 

dan keadaan masih tetap tak berubah. Maka


si Kaki Tunggal kemudian telah 

bersiap-siap dengan pukulan y,ang diberi 

nama, Kunyuk Gila Menendang Gunung. 

"Weeer!"

Laksana kilat selarik sinar 

berwarna hitam keungu-unguan nampak 

melesat sedemikian cepat mengarah pada 

si pemuda. Buang Sengketa menyadari 

bahwa pukulan yang dilepaskan oleh 

lawannya adalah sebuah pukulan ganas 

yang hampir membuatnya tewas beberapa 

minggu yang lalu. Maka tak ayal lagi dia 

pun mengerahkan pukulan Empat Anasir 

Kehidupan tingkat tinggi.

Wuuut!

Satu gelombang sinar Ultra Violet 

meluruk sedemikian cepat ke arah 

datangnya tenaga pukulan yang dilepas 

oleh si Kaki Tunggal. Maka tak terelakkan 

lagi kedua tenaga sakti itu pun saling 

bertabrakan di udara.

"Blaaar!"

Suara berdentumnya dua kekuatan itu 

laksana merobek langit kelam. Bumi 

tempat mereka berpijak nampak bergetar 

hebat. Tubuh si pemuda nampak terlempar 

beberapa tombak, sementara lawannya 

hanya tergetar saja. Begitu tubuh 

Pendekar Hina Kelana tersungkur di atas 

tanah berbatu, darah terus menggelogok


dari mulutnya. Cepat-cepat dia himpun 

tenaga dalamnya. Sebentar kemudian 

wajahnya yang nampak memucat itu secara 

perlahan berangsur-angsur berubah 

kemerahan kembali. Tetapi pada saat itu 

dengan pedang terangkat tinggi-tinggi si 

Kaki Tunggal sudah memburunya kembali. 

Sementara itu si Pengail Aneh yang sejak 

tadi memperhatikan jalannya 

pertarungan, nampak semakin cemas, 

apalagi sempat mengetahui bahwa si 

pemuda sampai muntahkan darah segar. 

Ingin rasanya dia turun tangan membantu. 

Tetapi dia merasa kurang enak dengan apa 

yang telah dikatakan oleh pemuda itu 

sebelumnya. Sungguhpun besar sekali 

keinginannya untuk dapat terjun kembali 

dalam pertarungan itu, tetapi pada 

akhirnya dia tak mampu berbuat banyak. 

Dia tak ingin melihat Pendekar Hina 

Kelana menjadi marah karena ulahnya.

Sementara itu Buang Sengketa sedang 

berpikir-pikir untuk mempergunakan 

Cambuk Gelap Sayuto atau Pusaka Golok 

Guntung. Namun akhirnya dia memutuskan 

untuk mempergunakan dua-duanya. Maka 

begitu pusaka Golok Buntung tergenggam 

di tangan Pendekar Hina Kelana, si Kaki 

Tunggal nampak sangat terkejut sekali. 

Kedua bola matanya nampak tor belalak


bagai mau meloncat ke luar. Apabila golok 

di tangan si pemuda memancarkan 

cahaya merah menyala. Dan apabila 

mulutnya mulai mendesis-desis bagai 

bunyi seekor ular piton yang sedang 

marah. Maka pada detik kemudian dia pun 

berseru lantang! 

"Sobat! Senjata di tanganmu 

tterlatlu, hebat buatku, terpaksa aku 

mempergunakan golok dan cambuk yang 

tiada berarti ini bagimu...!" kata si 

pemuda merendah.

"Sombong, engkaukah Pendekar Hina 

Kelana keparat itu. Namamu sudah sangat

tersohor di mana-mana. Tapi jangan kira 

aku takut. Sungguhpun engkau memiliki 

selusin golok buntung, tidak nantinya 

aku lari meninggalkanmu." tukasnya ketus 

sekali.

"Haiiit!"

Diawali dengan satu jeritan keras 

menggelegar, tubuh si pemuda bergerak 

cepat, si Kaki Tunggal tertawa mengekeh, 

kemudian babatkan pedangnya untuk 

menjajal kehebatan golok buntung di 

tangan lawannya. Dengan sengaja Buang 

Sengketa memapaki datangnya serangan 

pedang pihak lawannya.

"Crang! Trang!"..


Kejut kedua orang ini bukan alang 

kepalang. Kaki Tunggal terjengkang dua 

tombak sementara dadanya terasa bagai 

ditimpa batu gunung. Akan tetapi dia 

lebih terkejut lagi manakala dia menoleh 

ke arah pedangnya yang rompal di beberapa 

bagian. Secepatnya dia berusaha bangkit, 

begitu dia memandang pada Buang Sengketa 

yang sudah melecut cambuk gelap Sayuto di 

angkasa lepas.

"Ctarr! Ctarr! Ctarr! 

Mendadak suasana malam yang 

dalam keadaan bulan purnama, seketika 

itu menjadi gelap gulita. Bunyi petir 

saling sambung menyambung. Dalam keadaan 

seperti itu tak satu pun yang dapat 

dilihat. Dalam genggaman pendekar Hina 

Kelana, pusaka Golok Buntungnya 

memancarkan sinar merah bara, sehingga 

tak ubahnya bagai lentera dalam 

kegelapan. Hanya si Kaki Tunggal saja 

yang melotot memperhatikan ke anehan 

itu. Tubuh Pendekar Hina Kelana 

tiba-tiba berkelebat. Cambuk di tangan 

terus melecut-lecut. Sementara laksana 

meteor golok di tangan si pemuda 

berkelebat, mengarah pada bagian tubuh 

lawannya. 

"Trang! Crees!"


Pedang di tangan si Kaki Tunggal 

terpelanting entah ke mana terbabat 

golok di tangan Buang Sengketa. Tidak 

cukup sampai di situ saja, pusaka Golok 

Buntung itu pun langsung menghunjam di 

pangkal tenggorokan si Kaki Tunggal. 

Tiada lolongan maut, hanya darah segar 

saja yang menyembur-nyembur dari luka 

luka yang menganga dan beberapa saat 

kemudian, tubuh Ksatria Terkutuk Berkaki 

Tunggal itu pun terhuyung-huyung 

kemudian terjungkel di atas tanah 

berbatu dengan jiwa melayang. Tamatlah 

riwayat Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal 

ini, bersamaan dengan itu kabut dan suara 

petir itu pun secara berangsur-angsur 

mulai hilang dan tak terdengar lagi. 

Bulan purnama nampak sudah berada di atas 

ubun-ubun. Berulang kali si Pengail Aneh 

berseru dan memuji kehebatan pendekar 

itu. Tetapi akhirnya dia harus 

menggerutu, karena begitu dia menoleh 

pendekar yang diajaknya bicara itu sudah

tidak ada di tempat. Tinggallah si 

Pengail Aneh yang meracau seorang diri 

sambil berlalu dari tempat itu.



                                 TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar