SATRIA TERKUTUK BERKAKI TUNGGAL
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 009 :
Satria Terkutuk Berkaki Tunggal
SATU
Sesungguh pun air di dalam telaga
itu hanya tinggal satu jengkal saja
jaraknya di atas permukaan lumpur. Namun
laki-laki kurus berkepala botak itu
tetap saja melemparkan kailnya di dalam
telaga yang tidak seberapa airnya itu.
Begitu pun tetap seperti waktu-waktu
sebelum-nya. Manakala kail yang tidak
berumpan itu menyentuh air, begitu cepat
benang yang menjadi pengikatnya nampak
bergerak-gerak. Secepat itu, laki-laki
tua berkepala botak itu pun langsung
menyentakkan gagang kail yang berada
dalam genggamannya. Anehnya meskipun
kail itu tak pernah diberi umpan apapun,
akan tetapi tetap dia mendapatkan ikan
seperti yang diharapkannya. Siapapun
adanya orang ini, kalangan persilatan
selaiu memanggilnya dengan julukan si
Pengail Aneh. Tak ada yang tahu secara
persis, apakah nama itu ada hubungannya
dengan pekerjaannya sebagai pemancing
atau karena pula kebiasaan hidupnya yang
suka bertingkah yang macam-macam.
Pada saat itu si Pengail Aneh tampak
tersenyum-senyum begitu mendapatkan
seekor ikan besar yang panjang dan gemuk.
Cepat-cepat dia memasukkan ikan yang
baru saja didapatkannya ke dalam kepis.
"Hem! Lima sepuluh ekor lagi sudah
lumayanlah." gumamnya sambil
menepuk-nepuk kepis yang melekat di
pinggangnya.
"Put! Put!"
Dua ekor ikan jurung besar kembali
melayang di udara. Ikan itu
menggelepar-gelepar. si Pengail Aneh
kembali mengekeh. Tak lama kemudian dia
pun berkata pada dirinya sendiri.
"Sepuluh dua puluh ekor lagi sudah
lumayan untuk bekal satu minggu...!"
kata si Pengail Aneh sambil memasukkan
dua ekor ikan itu ke dalam kepisnya.
Setelah itu, dia kembali melemparkan
mata kailnya. Sama seperti keadaan
semula. Begitu kailnya menyentuh
kedalaman air telaga, kail itu kembali
bergerak-gerak kembali.
"Wuut! Wuut!"
si Pengail Aneh cepat-cepat
menyentakkan kailnya, kali ini seekor
ikan jurung berukuran sangat besar
sekali, nampak mencelat dari dalam
telaga. si Pengail Aneh lagi-lagi
berucap sembari memasukkan ikan tersebut
ke dalam kepis.
"Kalau ada dua puluh sampai tiga
puluh ekor lagi sudah sangat lumayan
sekali untuk persediaan satu
purnama...." Berkata begitu, tiba-tiba
dia teringat sesuatu. Kemudian tanpa
menoleh, tangannya nampak meraba-raba
pada kepis yang melekat di pinggangnya.
Seingat laki-laki tua berkepala botak
itu, kepis yang dibawanya sesungguhnya
berukuran kecil. Akan tetapi kalau tak
salah hitung, dia sudah memasukkan ikan
ke dalamnya kurang lebih lima belas ekor.
Padahal rata-rata ikan-ikan itu
berukuran lumayan besarnya. Tetapi
mengapa masih belum penuh juga kepis itu.
Manakala si Pengail Aneh beranjak
berdiri dari tempatnya dengan hati
penasaran. Maka semakin bertambah
heranlah dia. Karena begitu dia
memeriksa pada kepis yang terikat di
pinggangnya, kepis tersebut ternyata
bolong di bagian pantatnya. Hanya
tinggal seekor saja ikan jurung di
dalamnya. Sedangkan empat belas lainnya
telah raib entah ke mana.
Heran bercampur penasaran, Pengail
Aneh ini meneliti rerumputan yang tumbuh
di sekitar tempat itu, tetapi tak seekor
pun ikan tercecer di sekitar
rumput-rumput itu. .
"Ikan-ikan pada tolol semua, sudah
dibuatkan sarang yang bagus masih juga
kabur, sia-sia saja pekerjaanku hari
ini!" si Pengail Aneh nyeletuk panjang
pendek. Dalam keadaan kebingungan
seperti itu mendadak terdengar pula nada
ucapan mencemooh.
"Hek.... hek.... hek....! Pengail
Aneh Setan Gempor! Senang sekali hari ini
aku bisa ikut menikmati hasil jerih
payahmu...!"
Mendengar teguran itu, cepat-cepat
Pengail Aneh putar badannya. Dari nada
ucapan tadi, agaknya dia sudah
mengetahui siapa adanya orang yang
bersembunyi di balik sebatang pohon
besar tersebut. Bukan main geramnya si
Pengail Aneh melihat semua hasil jerih
payahnya dihabiskan oleh orang itu. Lalu
dengan sekali lompat tubuhnya sudah
melayang begitu ringannya. Dan tahu-tahu
dia sudah berada di depan orang yang
berada di balik pohon besar tersebut.
Dalam keadaan kesal bercampur marah si
Pengail Aneh berseru.
"Setan Alas. Tak dinyana kiranya
engkaulah yang mencuri ikan-ikan
tangkapanku di dalam kepis ini. Enak
betul...!" bentaknya marah.
"Tinggal makan saja apa susahnya,
toh ikan-ikan itu tidak bertuan...!"
menyela si laki-laki yang bersembunyi di
balik pohon, dan tanpa memperdulikan
kehadiran si Pengail Aneh, dia terus saja
enak-enakkan menggerogoti ikan
jurung yang masih mentah dan berbau amis
tak karuan itu dengan lahapnya.
Mual rasanya perut si Pengail Aneh
demi melihat cara si laki-laki tua
berbadan gemuk itu demi menyaksikan
caranya mengunyah ikan yang tak pernah di
matangkan sebelumnya itu. Dalam
kejengkelannya itu, tiba tiba dia
membentak.
"Setan Kroya... sebetulnya kalau
engkau yang menjadi maling dari
ikan-ikan milikku aku tak pernah
keberatan, tetapi caramu memakan ikan
itu, yang tak jauh bedanya dengan
binatang buas membuat aku muak! Rasanya
ingin kugebuk mulutmu yang rakus
itu...!"
Mendengar celoteh si Pengail Aneh si
tua gemuk yang berjuluk Setan Kroya itu
pun tertawa mengekeh. Kemudian sambil
mengkremus kepala seekor ikan jurung
yang lebih besar lagi, maka dia pun
berkata;
"Tolol betul engkau ini, masa engkau
sampai hati menggebuk mulut sahabat
sendiri. Pula sejak dulu engkau mana
mampu melakukan itu...!" ucap Setan
Kroya mencemooh. Dihina sedemikian rupa,
si Pengail Aneh bukannya menjadi marah,
sebaliknya dia balik mengejek.
"Heh, andai bapak moyangmu masih
hidup, belum tentu dia mampu menghadapi
aku dalam sepuluh jurus saja, apalagi
cuma engkau, budak kemarin yang hanya
memiliki kepandaian silat picisan...!"
tukas si Pengail Aneh.
"Frussh!" si Setan Kroya
menyemburkan daging ikan mentah yang
masih bersisa di mulutnya. Dipandanginya
si Pengail Aneh sampai-sampai kedua bola
matanya yang lebar itu pun tiada
berkedip.
"Berani betul engkau
menyebut-nyebut bapak moyangku! Apakah
engkau sudah tahu betapa hebatnya bapak
moyangku itu...?" bentak Setan Kroya
serius sekali.
"Belum...!"
Mendapat jawaban seperti itu, Setan
Kroya nampak angguk-anggukkan
kepalanya. Dan tiba-tiba pula dia
menambahi.
"Kalau begitu sama. Aku pun tak tahu
bapak moyangku memiliki kepandaian yang
hebat atau tidak, atau bahkan tak
memiliki kepandaian sama sekali pun aku
tak tahu. Sebab, kalau bapak moyangku
orang yang hebat, sudah barang tentu aku
tak memiliki gelar yang paling jelek di
kolong langit ini! Setan Kroya si Gembel
Pengemis. Coba bayangkan betapa malunya
aku...!" ucap si Gembel Kroya seolah pada
dirinya sendiri. Sementara itu demi
mendengar pengakuan sahabatnya yang
terasa polos dan lucu, tiba-tiba si
Pengail Aneh sudah tidak dapat menahan
tawanya lagi.
"Hek... hek.. hek! Dulu pernah ada
seseorang bercerita, Setan Kroya. Dia
bilang begini, kawannya yang bernama
Setan Kroya itu, sesungguhnya anak
seorang pengemis, sedangkan nenek
moyangnya merupakan raja dari seluruh
golongan gembel...." si Pengail Aneh
tersenyum mahfum, kemudian lanjutnya.
"Jadi sesungguhnya engkau ini masih
keturunannya bangsawan, Setan
Kroya...!"
"Apa maksudmu...?" tanya laki-laki
tua berbadan gemuk itu tak mengerti.
"Ah, masa engkau sudah tua bangka
seperti itu tidak bisa mengerti apa yang
aku maksudkan...?"
"Bicara muter-muter. Ngomong terus
terang saja mengapa...?" bentak Setan
Kroya plototkan matanya yang bulat dan
besar.
"Maksudku.... engkau ini termasuk
ahli waris Pangeran gembel.... he....
he... he....!" si Pengail Aneh kali ini
ganti mengekeh.
"Kuya...! Pengail Aneh Manusia
sinting, berani sekali engkau
menghinaku. Kiranya kau benar-benar
ingin kugebuk...!"
"Jangan main gebuk seenak perutmu.
Dosamu karena mencuri ikan milikku saja
sudah sulit untuk engkau bayar. Tetapi
sebagai kawan baik, aku mengampunimu,
satu lagi yang perlu kutanyakan padamu
Gembel Bangsawan...!" Si Pengail Aneh
urungkan ucapannya, hal ini membuat
Setan Kroya semakin penasaran.
"Cacing botak, cepat katakan apa
yang ingin engkau katakan. Aku muak
melihat tampangmu yang menjijikkan itu..
!"
Si Pengail Aneh tertawa ganda.
"Sabar dulu, aku heran. Lima tahun
kita tak bertemu. aku fikir engkau sudah
menjadi manusia yang betul, tak kusangka
engkau malah menjadi nggak benar!" si
Pengail Aneh masih tetap pada sikapnya.
Setan Kroya kertakkan rahang, dia sangat
kesal sekali melihat si Pengail Aneh
dengan sengaja mempermainkannya.
"Pengail sinting, selain mencaci
maki, apakah tak ada lagi yang lainnya
yang hendak kau tanyakan padaku...?"
"Hmm. Sudah kuduga, pasti hal itu
yang akan kau tanyakan padaku, Setan
Kroya! Tetapi ada baiknya kalau aku ingin
mengetahui apa saja yang engkau bawa dari
dunia ramai itu, bagus atau malah semakin
memuakkan?"
"Pengail sinting, keadaan di rimba
persilatan bukan seperti yang kau
tanyakan itu, Sebaliknya sangat
menegangkan dan penuh harap-harap
cemas...!. Mendapat jawaban seperti itu,
si Pengail Aneh Kerutkan alisnya.
Gurat-gurat ketuaan semakin membekas di
keningnya.
Beberapa saat lamanya dia terdiam
untuk mencoba menebak apa yang
dimaksudkan oleh kawannya yang satu ini.
Tetapi karena dia belum juga menemukan
jawabannya, maka akhirnya dia pun
menyela.
"Nampaknya begitu serius sekali
berita yang engkau bawa itu, Setan Kroya!
Sampai-sampai orang Ngadiluwih yang
sudah lima tahun tak pernah menjambangi
Susukan ini, kini muncul didepan
hidungku....!"
"Engkau tak perlu
menyindir-nyindirku, manusia kropok....
masakan berita persilatan yang begitu
santer dan menghebohkan itu tak pernah
engkau dengar...?" tukas Setan Kroya
dengan mata sebelah terpicing.
si Pengail Aneh tersenyum tawar, dia
cukup menyadari. Walaupun dia dan
sahabatnya, si Setan Kroya sama-sama
edannya. Akan tetapi dalam hal-hal
tertentu laki-laki tua berbadan gembrot
itu tidak bisa dibuat main-main. Begitu
mengetahui, roman muka si Setan Kroya
nampak serius sekali, maka tanpa
basa-basi lagi diapun langsung duduk
ngejeblok di sisi sahabat karibnya itu.
"Terus.... ceritalah padaku,
mengenai segala kemelut rimba
persilatan, sesungguhnya aku yang sudah
tua bangka ini tak ingin mau perduli.
Tapi kalau berita itu, memang ternyata
cukup serius, maka kupikir-pikir tak ada
salahnya kalau sekali-sekali aku yang
sudah hampir masuk liang kubur ini
mendengarnya”. Si Pengail Aneh
menimpali.
Mendengar ucapan si Pengail Aneh,
Setan Kroya nampak terdiam untuk
beberapa saat lamanya. Lalu dia teringat
pada dirinya sendiri. Selama ini sama
seperti yang dilakukan oleh si Pengail
Aneh, dia sendiri pun sudah tak ingin
lagi muncul di rimba persilatan, dia
ingin menjauhi segala urusan dunia
ramai, semua itu semata-mata karena dia
juga ingin memanfaatkan sisa-sisa
usianya untuk melebur dosa-dosa masa
lalu yang tak bisa terhitung dengan jari.
Baik Setan Kroya maupun si Pengail Aneh,
dulunya adalah sama-sama merupakan dua
orang tokoh golongan lurus di bagian
Barat Daya. Dalam menumpas kejahatan
mereka sama-sama bertindak tak pandang
bulu. Membunuh dengan kesadisan yang
luar biasa adalah merupakan pekerjaan
rutin mereka. Hal ini sudah barang tentu
banyak pihak yang tak senang dengan
segala bentuk sepak terjangnya. Meskipun
begitu tak seorang pun dari bekas
musuh-musuhnya yang berani bertindak
maupun mengambil tindakan gegabah
terhadap orang-orang ini. Sebab selain
kedua tokoh ini memiliki ilmu silat yang
tinggi juga selama ini tak seorang pun
yang mampu mengalahkan mereka berdua.
"Hehe... he... he...! Orang
Bludrek..... Kau pikir cuma engkau saja
yang sudah muak dengan segala bentuk
sepak terjang dunia persilatan yang
penuh dengan angkara murka itu? Huh, aku
sendiri sudah sangat bosan sekali untuk
mengingat-ingatnya. Pula sampai saat ini
semua dosa-dosaku belum semuanya
diampuni oleh Sang Hyang Widi...!"
"Kalau sudah merasa bertaubat,
mengapa engkau hari ini nongol di depan
hidungku?"
Ditanya seperti itu, Setan Kroya
tundukkan kepalanya. Dalam hati dia pun
sesungguhnya sudah tak ingin keluyuran
di dunia ramai, akan tetapi haruskah dia
berdiam diri, kalau ada orang lain yang
coba-coba mencemarkan nama baiknya di
dunia ramai, padahal sudah hampir lima
tahun dia menyepi diri di Ngadiluwih.
Lalu kini, secara tiba-tiba rimba
persilatan menjadi gempar dengan sosok
iblis yang mengaku sebagai dirinya.
* * *
DUA
Dia tak mau menerima begitu saja,
apalagi orang yang mencatut namanya
tersebut berasal dari golongan hitam.
Baginya lebih baik mati dalam
mempertahankan nama baik, ketimbang
harus mati menunggu waktu dalam
penyepian.
"Pangeran Gembel.... Mengapa engkau
diam sedemikian rupa? Ataukah engkau ini
sedang berkhayal tentang istrimu yang
mampus dalam kesesatan itu...?" Bentakan
si Pengail Aneh yang begitu tiba-tiba
membuat Setan Kroya alias si Gembel Kroya
nampak tersadar dari lamunannya.
"Ah. pertanyaan tadi membuatku
teringat pada keadaan sadar atau tidak,
Pengail Sinting...!"
"Apa maksudmu...?" tanya si Pengail
Aneh tak mengerti.
"Semestinya orang yang sudah setua
aku ini, tak usah pergi ke mana-mana,
seperti engkau. Sampai saat ini tetap
ngejeplok di Susukan ini, tetapi siapa
sudi aku terus tetap melakukan nyepi,
sementara namaku di luaran sana dicatut
orang demi maksud-maksud yang kukira
memang tak baik...!"
"Hek.... Hek.... Hek...! siapa sih
yang mencatut nama jelekmu itu, hingga
membuat panas kupingmu...?" sergah si
Pengail Aneh dengan diiringi sesungging
tawa mengekeh. Agaknya Setan Kroya
merasa kurang senang dengan sikap
sahabatnya yang masih saja tetap tak mau
serius.
"Pengail goblok, terus saja engkau
bercanda, sebentar lagi kail mu itu
kupatah-patahkan...!" bentaknya marah.
"Hus. Jangan! Tanpa kail di tanganku
ini, mana mungkin engkau bisa makan ikan
itu andai tanpa kail itu, pula aku bisa
mampus tanpa senjata itu, engkau pikir
mana lebih baik antara kailku dengan toya
butut pemukul anjing milikmu?" menyela
si Pengail Aneh masih tetap saja
bercanda.
"Manusia Kropok sialan...!"
Hampir saja Setan Kroj»a
mengayunkan toyanya ke arah kepala si
Pengail Aneh jika laki-laki tua itu tidak
cepat-cepat menyergah
"Gembel Kroya... Baiklah,
baiklah.... Aku serius. Sekarang
ceritakan apa sesungguhnya yang telah
terjadi dengan namamu itu...?"
Legalah hati Setan Kroya begitu
mendengar ucapan si Pengail Aneh dari
Susukan itu. Setan Kroya kemudian nampak
menarik nafas pendek pendek, sepasang
matanya yang bulat besar itu pun nampak
memandang lurus ke depan. Lalu tak berapa
lama kemudian dia pun sudah mulai buka
bicara.
"Sekarang ini, rimba persilatan
sedang dilanda situasi yang serba tak
menentu!" desahnya seolah-olah
menyesalkan. Kemudian lanjutnya.
"Orang-orang pada mampus tanpa diketahui
sebab musababnya. Menurut kabar yang ku
dengar, sudah dua bulan purnama ini, di
kaki Gunung Gili Manuk telah terjadi
pertarungan tokoh-tokoh kelas satu, yang
berakhir dengan banyak kematian...!"
"Ee.... tunggu dulu, apa
sesungguhnya yang menjadi persoalan
sehingga pertarungan itu sampai
terjadi...?" potong si Pengail Aneh
dengan sangat penasaran sekali. Yang
ditanya terdiam sesaat lamanya.
"Menurut kabar yang kudengar pula,
sekarang ini kaum rimba persilatan
sedang memperebutkan siapa
sesungguhnya yang pantas menjadi
tokoh kelas satu di kolong langit
ini...?"
"Tokoh kelas satu? Untuk apa hal itu
diributkan?" tanya si Pengail Aneh
merasa sangat heran sekali.
"Ada yang bilang, bahwa siapa pun
yang berhasil keluar dalam adu kesaktian
itu, maka dialah yang berhak menguasai
seluruh kaum persilatan!"
"Puh! Undang-undang orang edan dari
mana itu Setan Kroya.. Kau jangan
mengada-ada...!" cibir si Pengail Aneh.
"Jangan protes dulu. Itu makanya
kalau ada orang sedang bicara engkau
jangan seenak perutmu saja main
protes...!"
"Baiklah.. baiklah, coba engkau
teruskan..." perintah si Pengail Aneh.
"Aku merasa sangat yakin ada
pihak-pihak lenentu yang dengan sengaja
memanfaatkan ini untuk kepentingan
tertentu pula. Hal itu aku tak peduli,
tetapi karena ada yang coba-coba memakai
namaku untuk suatu tujuan yang tak jelas.
Maka hal itu tidak bisa kubiarkan
berlarut-larut !” Ketus Setan Kroya
menggeram.
“Hek. hek.. hek... Agaknya
ketenaran namamu membuat orang lain iri
hati, Setan Gembel. Sampai-sampai nama
bututmu mereka bawa-bawa untuk
kepentingan yang tak jelas ..!" tukas Hi
Pengail Aneh dengan tawa mengejek. Tanpa
merasa tersinggung sedikit pun Setan
Kroya menyambung.
"Kurasa bukan itu yang menjadi
tujuan mereka. Cara mereka dalam
bertindak atau apa pun yang akan mereka
kerjakan, aku malah khawatir kalau pada
akhirnya bukan nama kita saja yang
terlibat dalam sesuatu yang tak baik.
Tetapi akhirnya malah menyeret kita pada
sesuatu yang tidak pernah kita
ingini...!" ujar Setan Kroya merasa
was-was.
"Heh... kiranya, tempat
pangasinganmu selama ini malah membuatmu
jadi seorang pengecut, Setan Gembel...!"
Merah panas Si Setan Kroya begitu
mendengar ucapan si Pengai! Aneh dengan
nada mencemooh itu. Kemudian tanpa
disangka-sangka dia pun cepat-cepat
menyela.
"Pengail sinting.... mati bagiku
sekarang dan nanti bukanlah apa-apa
Tetapi aku sangat tidak rela kalau sampai
ada orang yang tak kukenal coba-coba
mempergunakan namaku!"
si Pengail Aneh nampak
angguk-anggukkan kepalanya. dalam hati
dia juga membenarkan kata-kata Setan
Kroya. Dalam pada itu mendadak dia
teringat sesuatu"
“Lalu apa yang akan engkau
lakukan...?" Tanyanya kemudian
Si Setan Kroya terdiam untuk sesaat
lamanya!
“Kalau menurutmu apa yang paling
pantas untuk kulakukan...?" Laki-laki
tua berbadan gemuk itu balik bertanya.
Yang ditanya garuk-garuk kupingnya yang
tak gatal, lalu dia pun memandang pada si
Setan Kroya.
"Kalau menurutku, ada baiknya
engkau selidiki siapa sesungguhnya orang
yang telah mempergunakan namamu itu,
kemudian cari tahu apa tujuan dari semua
itu!" ujar si Pengail Aneh.
"Tetapi di mana harus kumulai, semua
orang-orang di jalanan sana pada bungkam
semuanya, manakala aku baru saja mencoba
tanyakan pada mereka!"
"Hemmm.... repot juga." gumam si
Pengail Aneh sambil menarik nafas
dalam-dalam. Tak lama sesudahnya dia pun
menyambung kembali.
"Menurutmu apakah pertarungan
pemilihan tokoh nomor satu seperti yang
didesas desuskan masih mungkin akan
berlangsung kembali...?"
"Agaknya sih begitu, sebab sampai
saat ini kudengar masih belum ditentukan
secara pasti siapa adanya yang menjadi
pemenang dalam adu kesaktian tersebut!"
"Huh, tolol sekali engkau ini!
Dengan belum ditentukannya siapa yang
keluar sebagai pemenang dalam
pertandingan maut itu, ini sudah dapat
dipastikan bahwa pertarungan gila itu
masih akan berlanjut lagi...!" ujar si
Pengail Aneh mcmberikan pendapat.
Lagi-lagi si Setan Kroya
menganguk-anggukkan kepalanya.
"Oh ya, benar juga pendapatmu itu!
Kalau menurut apa yang kudengar tak
sampai dua purnama yang akan datang di
Gunung Gili Manuk pula pertarungan
gila-gilaan itu berlanjut kembali!"
"Aku sangat berkeyakinan dalang
dari semua apa yang terjadi itu, pasti
juga hadir dalam pertarungan itu.. "
ucapnya berpendapat.
"Mungkin juga Pengail Botak. Tetapi
yang tak habis kumengerti, mengapa
orang-orang itu begitu tololnva mau
diadu domba dengan hal-hal yang
sesungguhnya kurang patut untuk
dilakukan oleh seorang
pendekar-pendekar persilatan..." gumam
Setan Kroya merasa sangat penasaran
sekali.
"Aku merasa yakin semua itu ada yang
melatar belakanginya...!"
Lagi-lagi laki-laki berbadan gemuk
itu pun mengagguk -angguk kan kepalanya.
"Cukup beralasan juga pendapatmu
itu Pengail Sinting, agaknya otakmu
semakin tua semakin sehat saja. Apakah
itu ada hubungannya dengan rambutmu yang
berguguran itu?"
Wei... sial sekali engkau ini, kau
pikir aku senang dengan segala pujianmu
itu Setan Gembel!” sentak si Pengail Aneh
nampak konyol kembali.
“Siapa yang memuji? Masa engkau
tidak tau kalau aku malah menghinamu?”
kata laki-laki itu sambil tertawa-tawa
lucu.
"Kutu kuprat! sial betul engkau ini,
cepat-cepat menggelindinglah dari
hadapanku...!" perintahnya marah.
"Eiiittt.... Tunggu dulu Aku masih
ada satu pertanyaan yang harus engkau
jawab hari ini juga...!"
"Cepat cepatlah katakan sebelum aku
benar-benar menendangmu ke tengah telaga
itu!"
Setan Kroya nampak cengar cengir
melihat ulah kawannya sendiri.
"Begini! Apakah engkau juga ingin
sama-sama pergi denganku...?" tanya si
Gembel Kroya penuh harap. Tetapi yang
ditanya malah tersenyum mengejek.
"Sudah kukatakan padamu sejak lima
tahun ketika kita bertemu di Bukit
Linglung bahwa aku tak mungkin pergi
meninggalkan pengasinganku di Susukan
ini. Walau seribu orang sekalipun
mempergunakan namaku untuk jalan
sesat...!" sela si Pengail Aneh mendadak
berubah seperti orang pikun. Sebaliknya
kini Setan Kroyalah yang meledak
tawanya. Dalam keadaan seperti itu,
Setan Kroya cukup menyadari bahwa
penyakit sinting sahabatnya itu sedang
kambuh kembali.
"Pengail geblek! Engkau ini
sesungguhnya cerdas namun tolol, pinter
namun bodoh. Masakan engkau yang begitu
disegani di rimba persilatan, akan
membiarkan begitu saja andai namamu
dicatut orang untuk tujuan-tujuan tak
baik...?" menyela si Setan Kroya.
Tiba-tiba seperti orang yang sedang
kebingungan si Pengail Aneh, tengok
kanan tengok kiri. Bagai orang yang baru
terjaga dari tidurnya matanya
berkeriapan pula.
"Apa katamu, aku tolol tapi pinter,
rupanya aku baru saja bilang apa padamu?"
tanyanya seperti tak mengerti apa yang
baru saja diucapkannya.
"Dasar pikun! Masakan sebagai orang
yang disegani di kalangan rimba
persilatan engkau akan membiarkan saja
namamu dipakai oleh orang lain.
Bagaimana pula andai orang itu mengaku
sebagai dirimu setelah memperkosa bini
orang...?" tanya si Setan Kroya sembari
tersenyum -senyum.
"Waa.... kurang asem. Tidak bisa,
orang itu pasti akan kuseret dan kugebuk
atau bahkan kupelintir lehernya sampai
putus...!" tukasnya terburu-buru.
"Lalu seandainya suatu saat ada
seseorang yang mempergunakan namamu
untuk tujuan-tujuan yang sesungguhnya
sangat bertentangan dengan hati kecilmu.
Apakah engkau sampai mampu akan
ngejoprak di Susukan ini...?" tanya
Setan Kroya penuh kemenangan.
si Pengail Aneh kernyitkan alisnya
yang putih namun hanya tinggal beberapa
helai saja.
"Engkau pikir apakah aku tolol,
meskipun aku sudah hampir tersungkur ke
dalam kubur, tidak nantinya kubiarkan
siapa pun memakai namaku secara
sembarangan. Engkau tahu bahwa dulu
maupun nanti kail mautku ini masih mampu
untuk menggantung siapa pun yang punya
maksud-maksud tak baik...!"
"Hemmmm! Bagus, jadi engkau pun akan
berbuat yang sama. Andai nama besarmu
dipergunakaan secara serampangan oleh
orang lain...!"
"Tentu saja...!" sahut si Pengail
Aneh.
"Bagus.... Karena saat ini
namakulah yang paling pertama dicatut
oleh orang lain, agaknya aku harus
kelayapan terlebih dahulu." kata Setan
Kroya, kemudian untuk sesaat lamanya dia
menoleh dan memandang pada si Pengail
Aneh. Setelah itu dia pun menyambung
kembali.
"Pengail sinting! Aku berharap
suatu saat namamu menjadi diminati oleh
orang lain, sehingga menyebabkanmu harus
merangkak dari sarangmu...!" ejek Setan
Kroya.
"Mudah-mudahan tidak begitu...!"
gumam si Pengail Aneh tersenyum-senyum.
"Harus begitu...!" bantah Setan
Kroya.
"Tidak mungkin, Pangeran Gembel”
"Mungkin saja...!" sergah Setan
Kroya.
"Mana bisa...!" si Pengail Aneh
nampak ngotot.
Dalam pada itu tiba-tiba Setan Kroya
menunjuk ke suatu tempat.
"Eh.....Apa itu...?" kata si Setan
Kroya pada si Pengail Aneh, serentak
pengail ini pun menoleh.
"Mana...?" tanya si Pengail Aneh.
Tiada sahutan, akhirnya dengan rasa
penasaran dia pun berpaling kembali pada
Setan Kroya. Namun dia tidak melihat
sahabatnya itu ada di tempat. Maka
tahulah dia bahwa Setan Kroya sengaja
mengerjainya. Akhirnya tanpa membuang
waktu lagi, dia pun berkelebat pergi
meninggalkan telaga itu.
* * *
TIGA
Panas terasa terik membakar.
Sejauh-jauh mata memandang hanya kepulan
debu-debu jalanan yang diterbangkan oleh
hembusan angin kering.
Nun di kejauhan sana, nampak sebuah
titik hitam berjalan terseok-seok
melintasi padang kerontang yang
membentang begitu luas. Semakin lama
titik hitam tersebut semakin bertambah
jelas, hingga pada akhirnya semakin
bertambah nyata. Maka terlihatlah sosok
bayangan seorang pemuda berusia
kira-kira dua puluh lima tahun. Pemuda
berkulit hitam legam itu berperawakan,
tinggi semampai dengan bentuk badan
kekar berotot menonjol. Sementara.
Pakaian yang dikenakannya tak jauh beda
dengan warna kulitnya. Sepintas lalu
pemuda itu mengesankan sebagai seorang
laki-laki yang sangat perkasa. Apalagi
dengan sebilah pedang panjang tergantung
di punggungnya. Tak pelak lagi siapa pun
orangnya sudah pasti dapat menduga bahwa
pemuda bertampang dingin itu tentu
merupakan seorang pengelana yang
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Sayangnya ada satu sisi terburuk
pada penampilan pemuda itu, kakinya yang
terkutung sebatas paha, telah membuatnya
harus berteman dengan sebuah tongkat,
kemana pun dia pergi. Inilah salah satu
ciri yang menonjol yang dimiliki oleh
pemuda itu. Tetapi walaupun begitu tak
seorang pun ada yang berani bertindak
sembarangan terhadapnya. Jangankan
orang-orang yang sebaya dengannya.
Sedangkan beberapa tokoh angkatan tua
saja sudah sangat banyak yang telah
menjadi pecundangnya. Bahkan puluhan di
antaranya menemui ajal secara
mengerikan. Betapapun pemuda ini
memiliki tubuh yang tidak sempurna,
tetapi siapa sangka dia memiliki
segudang cita-cita untuk dapat merajai
seluruh dunia persilatan. Lebih dari
sekedar itu dia pun secara halus dapat
memperalat orang lain untuk melakukan
tipu muslihat dan adu domba. Salah satu
sisi yang benar-benar sangat menyimpang
dari kebiasaan pada umumnya adalah
kebenciannya terhadap seorang wanita.
Dia akan bertindak lebih ganas lagi pada
lawan yang berlainan jenis dengannya.
Barangkali semua itu ada hubungannya
dengan latar belakang kehidupannya.
Kini pemuda itu nampak menghentikan
langkahnya di bawah sebatang pohon besar
yang terdapat di pinggiran jalan setapak
itu. Tak lama setelah itu maka pemuda ini
menyandarkan badannya di bawah batang
pohon tersebut. Setelah itu dia nampak
menarik nafas dalam-dalam. Lalu rasa
kantuk pun terasa menyerangnya begitu
tiba-tiba. Sorot matanya yang dingin itu
semakin lama nampak semakin meredup,
hingga pada akhirnya dia pun tertidur
dengan pulasnya. Angin kemarau yang
berhembus begitu kencangnya, membuatnya
sekejap saja telah menjadi pulas sekali.
Namun lebih kurang baru setengah jam dia
menikmati tidurnya, di luar pengetahuan
si pemuda, nampak berkelebat beberapa
sosok tubuh mendekati si pemuda ini. Tak
lama begitu sampai di depan pemuda itu,
maka salah seorang dari ketiga orang itu
langsung bertanya pada kawan-kawannya.
"Manusia pincang seperti inikah
yang telah membunuh banyak perempuan dan
para pendekar lainnya di kaki Gunung Gili
Manuk, Boim...?" tanya si Kaki Pincang
Mata Picak.
"Tak salah, Bang.... Manusia Kaki
Tunggal inilah orangnya...!" jawab yang
bernama Boim itu takut-takut.
"Kalau begitu cepat bunuh dia...!"
perintah si Kaki Pincang Mata Picak
memberi perintah.
"Bang, apa tak sebaiknya kita
banguni dulu, baru kemudian kita
bunuh...?" tanya Boim memberi usul.
"Tolol kalian semua. Kalau engkau
membanguni dia, itu sama saja artinya
dengan mencari penyakit...!" bentak si
Kaki Pincang Mata Picak marah sekali.
Namun begitu pun masih saja salah seorang
di antaranya bertanya lagi.
"Tapi Bang! Membunuh orang yang
sedang tidur dosanya berlipat ganda...!"
menyela kawannya yang lainnya pula.
"sial! Mengapa harus membantah.
Kalian mulai saja atau aku yang akan
memenggal kepala kalian satu... satu di
sini...?!" bentak si Kaki Tunggal Mata
Picak berang bukan main gusarnya. Dan
sudah barang tentu suara bentakan yang
begitu keras membuat si Kaki Tunggal
alias Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal
menjadi terjaga dari tidurnya. Walaupun
pemuda berkaki tunggal itu tidak membuka
kedua matanya yang terpejam, namun ia
dapat mengetahui dengan baik. Bahwa di
sekelilingnya kini telah, berdiri
beberapa orang laki-laki dengan senjata
terhunus. Maka masih dengan sikap
seperti orang yang sedang tertidur, dia
pun menggeram:
"Hekh.... Kiranya di sekitar sini
masih saja ada lalat-lalat menjijikkan
yang minta digebuk. Gila betul.... Tak
tahu rupanya kalau majikanmu ini baru
saja melakukan pekerjaan yang sangat
melelahkan. Cepat-cepat menyingkirlah,
atau kepala yang tidak guna itu akan
menggelinding satu demi satu..!"
ancamnya penuh teguran.
"Kuya. Tikus bangsat berkaki
tunggal, dosamu membunuhi anak bini
orang, dan nyawa orang yang tidak berdosa
itu saja, sudah sulit bagiku untuk
mengampunimu. Cepat-cepatlah berdiri
untuk menerima kematian dari kami...!"
maki Mata Picak Kaki Pincang.
"Hek.... Hek.... !" si Kaki Tunggal
tertawa dingin menyeramkan. Serta merta
dia pun membuka kedua matanya yang
terpejam. Begitu mengetahui orang-orang
yang berdiri tak begitu jauh di depannya.
Maka gelak tawanya pun kembali menggema
di siang yang terik itu. Beberapa orang
kawan si Mata Picak Kaki Pincang yang
sebelumnya meradang sudah mengetahui
sepak terjang dan kesadisan si Kaki
Tunggal nampak menggerendek dan ciut
nyalinya. Dalam pada itu, Si Kaki Tunggal
tiba-tiba sudah membentak kembali.
"Puih. Kaki Pincang Mata Picak,
agaknya keadaanmu malah tidak lebih baik
dari keadaanku. Aku sudah merasa sedih
dengan keadaanku sendiri, akan tetapi
aku malah lebih sedih lagi membayangkan
nasibmu yang lebih buruk nanti...!"
Memerah wajah Si Mata Picak Kaki
Pincang demi mendengar ucapan Si Kaki
Tunggal yang terasa sangat mencemooh
itu. Lalu tak kalah kerasnya, dia pun
memaki.
"Jahanam, Manusia iblis berkaki
tunggal.....
Berbulan-bulan kaini selalu
memata-matai, sepak terjangmu. Kami
semua sudah tahu apa sesungguhnya yang
menjadi tujuanmu. Heh, satu cara yang
keji dan kotor, sebuah kebiadaban yang
tak pantas dilakukan oleh seorang demit
yang mengaku dirinya sebagai seorang
ksatria...!" Si Boim yang sejak tadi
hanya terdiam saja kini mulai
memberanikan diri ikut menyela.
Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal
kernyitkan alisnya begitu mendengar
ucapan Si Boim. Beberapa saat lamanya dia
memandang pada laki-laki itu, dengan
sorot mata penuh kesadisan. Lalu
bibirnya yang hitam legam itu pun
menyungging seringai maut. Laki-laki
kurus yang bernama si Boim itu pun
semakin kedodoran saja nyalinya, bahkan
cepat-cepat dia palingkan muka.
Sementara itu si Kaki Tunggal sudah
berkata kembali.
"Cepat katakan apa yang engkau
ketahui tentang aku, Cacing
Kerempeng...?" perintah si pemuda tak
sabaran lagi.
Sebaliknya si Mata Picak Kaki
Pincang yang mendahului rekannya!
"Manusia bangsanya memedi! Kami
tahu, sesungguhnya kaulah yang telah
menggembar gemborkan tentang
pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi
di Gunung Gili Manuk, dua kali purnama
yang telah lalu itu. Lebih licik lagi,
engkau dengan sengaja mencoba mengadu
domba antara satu golongan dengan
golongan lainnya. Sehingga mereka
berselisih dan saling bunuh. Aku tahu
muslihatmu, setelah mereka saling bunuh.
Bukankah pada akhirnya sebagai pemenang
dalam pertarungan keji itu pada akhirnya
akan berhadapan denganmu...!" kata si
Mata Picak Kaki Pincang. Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal tertawa ganda
begitu mendengar ucapan si Mata Picak
Kaki Pincang. Sesungguhnya memang
tidak dapat dia sangkal bahwa apa yang
dikatakan oleh si Mata Picak memang
benar adanya. Maka beberapa saat setelah
itu dia pun berkata:
"Bagus! Bagus! Ternyata meskipun
matamu picak, tetapi otakmu cukup cerdas
juga. Sayangnya tokoh-tokoh sialan itu
otaknya tidak sebagus otakmu, mereka
sudah terlanjur saling bantai
sesamanya. Dan kalian...!" si
Kaki Tunggal terdiam sesaat lamanya,
lalu menyambung kembali. "Sayangnya
kalian tidak mungkin bisa meralat segala
apa yang telah kusebarluaskan pada
keledai-keledai dungu itu. Satu
purnama yang akan datang, di lereng
Gunung Gili Manuk akan terjadi
pertarungan yang paling berarti dalam
sejarah dunia persilatan. Malang sekali,
karena kalian yang sedikit punya
kecerdikan tak akan pernah sempat
menyaksikan pertarungan yang sangat
menegangkan itu...!" menggeram si
pemuda. Baik si Mata Picak Berkaki
Pincang maupun ketiga orang kawannya
nampak sangat terkejut sekali. Mereka
sadar, beberapa saat lagi akan terjadi
baku hantam yang menjadi penentu hidup
matinya mereka. Tetapi berbeda dengan
ketiga orang lainnya, kiranya si Mata
Picak Kaki Pincang memiliki keberanian
yang sangat luar biasa. Kalau tadi hanya
ketiga orang kawannya yang mencabut
senjata masing-masing, maka kini dia pun
telah meloloskan sebilah pedang berhulu
batu hitam. Dunia persilatan mengakui
akan keampuhan pedang pusaka yang kini
berada dalam genggaman si Mata Picak.
Kemudian setelahnya, laki-laki itu pun
sudah bersiap-siap untuk menyerang
lawannya.
Di luar dugaan mereka, begitu
mengetahui pedang batu hitam itu pun si
Kaki Tunggal tertawa mengekeh.
Sampai-sampai dia memegangi perutnya
yang terasa kaku.
"Mata Picak, pedangmu memang bagus,
tetapi mungkin permainan pedangmu sangat
mengecewakan aku. Hak.... hak....
hak.... Majulah kalian semua! Aku Satria
Terkutuk Berkaki Tunggal pasti akan
melayani kalian sampai tersungkur ke
liang kubur!"
"Bangsaaat! Hiaaaaa...!"
Dengan diawali satu bentakan tinggi
melengking, maka keempat orang itu
secara serentak langsung menggempur si
Kaki Tunggal dari berbagai arah. Sekejap
saja senjata di tangan masing-masing
telah berkelebat cepat, sehingga
membentuk gulungan-gulungan sinar maut
yang menggidikkan. Hebat sekali
permainan senjata mereka itu. Sehingga
dalam waktu sepemakan sirih, Satria
Terkutuk Berkaki Tunggal sudah terkurung
hebat dalam sambaran-sambaran ganas mata
senjata lawan-lawannya. Akan tetapi
meskipun permainan pedang lawan yang
terkenal dengan nama, Gerombolan Beruang
Menyergap Mangsa itu, nampak sedemikian
hebatnya, namun si Kaki Tunggal masih
nampak tenang-tenang saja. Bahkan
berulang kali dia malah keluarkan suara
tawa mengekeh. Hal ini sudah barang tentu
membuat para pengeroyok yang dipimpin
oleh Mata Picak Kaki Pincang, menjadi
marah dan penasaran sekali.
Maka akhirnya bagai sebuah titiran,
keempat orang itu pun terus memutar
senjata di tangan mereka secepatnya.
Meskipun gerakan senjata mereka
sedemikian sebatnya, namun si Kaki
Tunggal masih dengan sangat mudah
mengelakkan setiap serangan yang
datangnya bagai membadai tersebut. Satu
ketika, tubuh si Kaki Tunggal nampak
berjingkrak-jingkrak, si Mata Picak Kaki
Pincang. kirimkan satu tusukan satu
babatan. Dia berharap, kalaupun serangan
kilat itu dapat dielakkan oleh si Kaki
Tunggal, paling-paling adalah salah
satunya saja. Sedangkan serangan yang
lain pasti dapat menembus pada bagian
tubuh si Kaki Tunggal atau
setidak-tidaknya lawan akan terluka
parah, maka:
"Beet! Bet!"
Pedang berhulu batu hitam itu pun
berkelebat menyambar ke arah dada dan
kepala pihak lawannya. Sesaat si Kaki
Tunggal berseru aneh.
"Wut!"
Begitu cepat, si Kaki Tunggal
menyambar tubuh salah seorang lawannya
untuk dijadikan perisai. si Mata Picak
yang tiada pernah menyangka lawannya
akan berbuat kelicikan, nampak sangat
terkejut sekali, sedapatnya dia berusaha
untuk membelokkan ujung senjatanya yang
nampak meluncur tak terkendali. Namun
usahanya itu nampaknya menjadi sia-sia
belaka, karena lebih cepat lagi si Kaki
Tunggal telah dengan sengaja menyodorkan
tubuh lawannya ke ujung senjata yang
bermata sangat tajam itu. Maka kejadian
fatal pun sudah tak dapat lagi dihindari.
"Jbroos...!"
"Aarrrggghk!"
Mata pedang milik si Mata Picak Kaki
Pincang masih menancap di dada kawannya
sendiri ketika si Kaki Tunggal
melepaskan tubuh lawannya dari
tangannya. Darah menyembur dari luka
yang menganga, bahkan sebagian di
antaranya sampai menyemprot ke muka si
Mata Picak. Seketika itu juga si Mata
Picak dan dua orang kawannya nampak
terperangah, mata mereka sama-sama
melotot tak percaya.
Meledaklah tawa si Kaki Tunggal demi
menyaksikan kejadian dan hasil kerjanya
sendiri. Wajahnya membayangkan kepuasan
jiwanya yang penuh dengan angkara murka.
Sesaat setelahnya, serta merta dia pun
membentak
''Satu kesempatan telah begitu baik
kuberikan pada kalian. Tetapi karena
memang kalian ini tikus-tikus dungu, tak
dinyana kalian telah membantai kawan
sendiri. Puih, sungguh sangat memalukan
sekali...!" menyela Kaki Tunggal masih
dengan tawa mengejek. . .
"Sialan.... Engkau telah berbuat
licik! Mengapa bukan dirimu saja yang
engkau pasrahkan untuk ditembus pedangku
ini...?" maki Mata Picak Kaki Pincang
gusar sekali.
* * *
EMPAT
"Bah! Mata Picak, engkau sendiri
yang berbuat kesalahan, mengapa kini
engkau coba-coba menutup-nutupi
ketololanmu...?"
"Bangsaaat...!" maki si Mata Picak
Kaki Pincang, tanpa banyak kata lagi dia
pun kembali menerjang musuhnya dengan
kemarahan yang meluap-luap. Dalam
kesempatan seperti itu sambil menghindar
si Kaki Tunggal berseru:
"Kunyuk Pincang Mata Picak!
Kesempatan bagimu habislah sudah, maka
kini bersiap-siaplah kalian untuk
menerima kematian...!" Seusai dengan
kata-katanya sebentar kemudian si Kaki
Tunggal bagai tak memiliki suatu cacat
apa pun nampak begitu gesit mulai
jurus-jurus silat tingkat tinggi. Ketiga
lawan-lawannya nampak tercengang
seketika itu juga! Apalagi si Mata Picak
Kaki Pincang, Mulanya dia hanya
menyangka walaupun si Kaki Tunggal
merupakan seorang pemuda sakti, tetapi
tidaklah dia mengira sampai sehebat itu.
Apalagi dia mengetahui bahwa pemuda itu
hanyalah memiliki kaki sebelah. Tidak
seperti dirinya, meskipun pincang tetapi
memiliki dua kaki.
Maka setelah mengetahui kehebatan
pihak lawan, kini dia sudah tak ingin
bertindak tanggung lagi. Kaki Pincang
Mata Picak segera kerahkan semua
kepandaian yang dimilikinya. Begitu juga
halnya dengan dua orang kawannya,
meskipun dua orang itu memiliki
kepandaian beberapa tingkat di bawah si
Mata Picak, namun dalam keadaan tertentu
kedua orang kawannya itu memiliki
kenekatan yang sangat luar biasa.
Begitulah, seiring dengan serangan
gencar yang dilakukan oleh si Kaki
Pincang Mata Picak, maka si Boim dan
seorang lainnya yang bernama Tur Tur itu
pun melakukan gebrakan gebrakan yang
sama.
Matahari terasa kian menyengat,
sementara pertarungan itu dalam waktu
sekejab saja sudah berlangsung sangat
seru. Berulang kali serangan-serangan
beruntun dilancarkan oleh si Mata Picak
dan kawan-kawannya, namun
serangan-serangan yang mereka bangun itu
pada akhirnya menjadi kandas di tengah
jalan. Satu saat, Kaki Pincang Mata
Picak, kirimkan satu tusukan kilat
mengarah pada bagian lambung si Kaki
Tunggal. Pada saat itu pemuda berkaki
tunggal itu nampak sedang sibuk melayani
kiblatan-kiblatan senjata si Boim, dan
Tur Tur. Tentu saja si Kaki Tunggal tak
pernah menyangka akan adanya serangan
yang begitu cepat tersebut. Begitulah si
Mata Picak berpendapat, maka tanpa dapat
dicegah lagi, luncuran pedangnya hanya
tinggal beberapa inci saja menembus
kepala lawannya. Namun pada saat-saat
yang mendebarkan itu tanpa
disangka-sangka Satria Terkutuk Berkaki
Tunggal, lebih cepat gerakkan tongkatnya
ke atas. Tidak cukup sampai di situ saja
dia bertindak. Dengan kecepatan yang
sangat sulit diikuti mata. Pada saat Yang
sama, dia pun mencabut pedang yang
menggelantungi punggungnya. Detik itu
juga pedang yang telah merenggut puluhan
nyawa itu pun berkelebat.
“Creees!"
Terbeliak mata si Kaki Pincang yang
hanya cuma melek sebelah itu, mata pedang
itu terasa begitu dingin menembus bagian
dadanya, hal itu menandakan bahwa pedang
milik si Kaki Tunggal benar-benar
mengandung racun yang ganas. Kini si Mata
Picak nampak menekan dadanya yang
tertembus senjata lawan, darah berwarna
kehitam-hitaman nampak mengalir begitu
deras dari luka yang menganga. Tiada
jerit dan lolong yang terdengar, seiring
dengan seluruh tubuhnya yang
begitu tiba-tiba membiru, maka si
Kaki Pincang Mata Picak beberapa saat
setelahnya nampak terhuyung-huyung.
Hingga akhirnya tersungkur tanpa
mampu bangkit lagi. Tinggallah si Boim
dan Tur Tur berdua, mereka ini nampak
sangat terkejut sekali melihat apa yang
dialami oleh si Kaki Pincang Mata
Picak. Tetapi hal itu hanya sekejap
saja berlangsung, karena pada saat itu si
Kaki Tunggal telah menyerang kedua orang
ini dengan tongkatnya. Sudah barang
tentu meskipun kini mereka bertahan
mati-matian. Tetapi si Kaki Tunggal
bukanlah lawan mereka yang sepadan,
betapapun mereka mengerahkan segenap
kemampuan yang mereka miliki, namun
semua itu tak berarti banyak bagi pemuda
berkaki tunggal ini.
Tak ayal, dalam beberapa gebrakan
berikutnya, Boim dan Tur Tur sudah nampak
berada jauh di bawah angin. Mati-matian
mereka memutar senjata untuk melindungi
diri, tetapi tetap saja kedua orang ini
sering jatuh tunggang langgang. Hingga
pada satu kesempatan yang sesungguhnya
tidak menguntungkan bagi kedua orang
ini. Dengan nekad mereka menyerang si
Kaki Tunggal dalam jarak yang sangat
dekat sekali. Inilah saat-saat yang
paling ditunggu-tunggu oleh si Kaki
Tunggal. Begitu kedua lawannya secara
serentak membabatkan senjatanya ke
bagian leher dan kaki, pada saat itulah
laksana kilat si Kaki Tunggal melolos
pedangnya dan sekaligus membabat
lawan-lawannya. Laksana diterpa badai
prahara, kedua orang ini nampak
terhuyung-huyung tak menentu, begitu
pedang si Kaki Tunggal yang memiliki
ketajaman luar biasa membabat putus
leher kedua orang itu. Baik kepala Boim
maupun kepada Tur Tur, dua-duanya
sama-sama menggelinding ke tanah. Sesaat
tubuh mereka nampak berputar-putar
dengan darah yang membanjir ke
mana-mana. Lalu tak lama kemudian tubuh
mereka pun segera ambruk di atas tanah
berdebu. si Kaki Tunggal tersenyum
begitu dingin, demi melihat kematian
keempat orang itu. Tiba-tiba saja dia
berkata!
"Orang-orang semacam kalian memang
pantas mati. Terlebih-lebih kalian tahu
banyak tentang segala rencanaku...!"
gumam si Kaki Tunggal rawan. Tak lama
kemudian dia pun melangkah mendekati
mayat si Kaki Pincang Mata Picak. Lalu
dipungutnya sebilah pedang milik si Mata
Picak yang bergagang batu hitam
tersebut. Sesaat dia menimang-nimang
senjata tersebut.
Sementara itu si Kaki Tunggal
kiranya tak menyadari bahwa dari jarak
yang tidak begitu jauh, seorang pemuda
lain berpakaian merah dengan sebuah
periuk besar yang selalu tergantung di
bagian pinggangnya, nampak terus
mengawasi si Kaki Tunggal. Pemuda
berwajah tampan itu nampak sangat geram
sekali begitu melihat cara si Kaki
Tunggal memperlakukan lawan-lawannya.
Betapa pun tadinya dia memang hendak
turun tangan, namun pada akhirnya dia
urung. Ilmu pedang yang dimiliki oleh si
Kaki Tunggal memang tinggi, bahkan
mungkin lebih tinggi dari permainan
silat yang dimilikinya. Tetapi sayangnya
si Pemuda Berkaki Tunggal itu, dari
perdebatan yang sempat dia dengar
agaknya bukanlah seorang kaum persilatan
yang bertujuan baik. Bahkan secara
terang-terangan telah melakukan satu
teror yang berakibat sangat fatal bagi
berbagai pihak. Semua itu dia lakukan
hanya demi memenuhi ambisinya, menjadi
penguasa yang tiada tanding di dalam
rimba persilatan. Lebih dari itu,
tindakan si Kaki Tunggal yang telah
banyak membunuh pendekar-pendekar
wanita. Hal ini membuat si jubah merah,
alias Pendekar Hina Kelana menjadi naik
pitam. Maka kini tanpa tedeng
aling-aling lagi dia pun berkata lirih
namun menggetarkan pembuluh darah siapa
pun. Karena pada dasarnya, saat-saat dia
berkata itu disertai dengan tenaga dalam
yang tinggi.
"Kejam sekali perbuatanmu, Setan
Hitam! Agaknya engkau ini iblis penjagal
di neraka yang terlepas dari belenggu
yang merantaimu...!" Kata Pendekar Hina
Kelana penuh teguran. Yang ditegur
berpaling pun tidak, seolah dia begitu
memandang rendah pada lawan yang baru
saja berkata tadi. Sungguhpun dia cukup
menyadari bahwa pada saat orang yang
belum dikenalnya itu bicara, sesaat dia
merasakan dadanya tergetar hebat.
Nyatalah, bahwa sebenarnya dia seorang
tokoh yang penuh percaya diri atas segala
kemampuan yang dimilikinya. Sejenak si
Kaki Tunggal telengkan
kepalanya, sorot matanya yang
setajam rajawali itu sempat melihat
adanya seorang pemuda tampan berperiuk
yang kini nampak sedang enak-enakan
duduk di salah satu dahan besar
bercabang. Alis si Kaki Tunggal nampak
mengekerut, dia merasa sebelumnya tak
pernah bertemu dengan pemuda berpakaian
merah sedemikian rupa. Pula
dengan penampilannya yang
dekil bagai peminta-minta,
mengingatkan si Kaki Tunggal pada
gembel-gembel pengemis dari Utara. siapa
pula pemuda hina itu? Batin si Kaki
Tunggal dalam hati.
"Monyet gembel berperiuk!» Apa
pedulimu dengan segala apa yang aku
lakukan di tempat ini...?" tanya si Kaki
Tunggal masih dengan nada lunak.
"Kulihat kesewenang-wenanganmu
terhadap orang itu, hal ini sudah cukup
bagiku untuk menanyakannya padamu...!"
si Kaki Tunggal tersenyum mencibir
begitu mendengar kata-kata Buang
Sengketa. Kemudian dengan sangat
mencemooh, dia pun menyela!
"Pilih. Apa pedulimu, Monyet
Gembel...!"
"Tentu aku wajib mengetahuinya...!"
kata pemuda dari Negeri Bunian ini masih
dengan kesabarannya.
"Apakah mereka saudaramu, nenek
moyangmu, atau mungkin
kembrat-kembratmu?" tanya Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal.
Tanpa menjawab, tubuh Pendekar Hina
Kelana nampak melayang turun dari atas
sebuah dahan yang cukup tinggi. Kemudian
dengan begitu ringannya menjejakkan kaki
dua tombak tepat di depan si Kaki
Tunggal. Mengetahui ilmu meringankan
tubuh Buang Sengketa yang sudah mencapai
taraf paling sempurna itu. si Kaki
Tunggal malah tersenyum tawar.
"Mereka memang bukan saudaraku,
tetapi dari apa yang aku dengar, engkau
memang pantas mendapat hukuman yang
paling layak...!" berkata pendekar ini
kemudian.
"Hak... hak... ha...! Melihat
tampangmu, agaknya engkau ini pengemis
kerak nasi. Apakah yang bisa engkau
perbuat, Gembel Berperiuk...?" kata si
Kaki Tunggal menantang. Hal ini sudah
barang tentu membuat pendekar berwajah
tampan itu menjadi habis kesabarannya.
Kini dia mulai nampak marah, bahkan
secara perlahan wajahnya pun mulai
kelihatan memerah.
"Manusia bukit pantat kwali,
sungguh busuk sekali mulutmu. Agaknya
cacat yang engkau miliki malah tidak
membuatmu menjadi jera atau pun
bertobat. Janganlah engkau jual lagak di
depanku...!"
si Kaki Tunggal masih tetap pada
sikapnya. Bahkan kini malah semakin
bertambah menantang.
"Apa yang bisa engkau perbuat
terhadapku Monyet Gembel. Kalau engkau
punya kebisaan atau kepandaian lainnya.
Cepat-cepat keluarkanlah! Sebelum.
engkau benar-benar mati penasaran...!"
perintah si Kaki Tunggal.
"Hak...! Walaupun aku tak memiliki
kemampuan apa-apa, tetapi aku tak
menginginkan kesewenang-wenangan
terjadi di depan mataku...!''
"Puih. Semut berani coba-coba
melawan gajah, engkau akan mati sia-sia,
Gembel Berperiuk...?!" .
"Mati atau hidup itu bukan
wewenangmu...!" menggeram Buang
Sengketa. Si Kaki Tunggal tampak
tergelak-gelak demi mendengar apa yang
dikatakan oleh. Pendekar kita ini.
Nampak sekali bahwa dirinya terlalu
sombong dengan segala apa yang dimiliki.
Seolah di dunia ini dialah yang paling
hebat dalam segala hal.
“Kesombonganmu benar-benar
membuatmu menjadi celaka, Gembel
Hina...'." maki Ksatria Terkutuk Berkaki
Tunggal. Seketika itu juga, wajah
Pendekar Hina Kelana berubah menjadi
kelam membasi. Kedua bibirnya kini
terkatup rapat, sementara
rahangnya mengeluarkan bunyi
berkerokotan. Dipandanginya si Kaki
Tunggal dengan sinar mata berapi-api,
tiada satu pun kata yang terucap. Akan
tetapi beberapa saat kemudian
terdengarlah jerit suaranya yang
melengking tinggi. Suara itu terdengar
sambung menyambung tak jauh bedanya
dengan suara rentetan halilintar. Bumi
tempat mereka berpijak terasa
bergetar hebat. Seketika lamanya,
si Kaki Tunggal nampak terkesima melihat
apa yang sedang dilakukan oleh pemuda
dari Negeri Bunian ini.
Andai saja pemuda kaki tunggal
berbadan hitam legam itu tidak
cepat-cepat menutup indera
pendengarannya, alamatlah dia mengalami
nasib yang sangat mengerikan. Hal itu tak
dapat disangkal, sebab dalam
kemarahannya itu, Pendekar Hina Kelana
telah mengerahkan Lengking Ilmu
Pemenggal Roh yang terkenal sangat
dahsyat luar biasa. Walaupun si Kaki
Tunggal telah mengerahkan sebagian
tenaga saktinya, tetapi getaran Ilmu
Pemenggal Roh itu masih tetap saja
seluruh pembuluh darahnya terasa sakit
bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Beberapa saat setelah itu, bersamaan
dengan runtuhnya daun-daun hijau yang
terakhir, maka si Kaki Tunggal yang baru
saja lenyap rasa keterkejutannya,
buru-buru membentak.
"Hebat... hebat...! Andai saja ada
kambing bunting yang mendengar jeritan
lolonganmu itu, sudah pasti akan rontok
kandungannya. Gembel Berperiuk, tak
dinyana kiranya engkau punya kebisaan
juga rupanya?" kata si Kaki Tunggal tanpa
sedikit pun ada perasaan jeri terbayang
di wajahnya.
"Siapakah namamu, Bocah...?" tanya
si Kaki Tunggal masih tetap memandang
remeh pada si pemuda. Bukan main geramnya
Pendekar Hina Kelana, demi melihat mimik
wajah si Kaki Tunggal. Lebih dari itu,
agaknya dia pun merasa heran dengan
ketahanan yang dimiliki oleh lawannya.
Selama ini belum pernah tokoh sakti
golongan mana pun yang mampu bertahan
hidup dalam menghadapi senangan mendadak
dari Ilmu Pemenggal Roh yang
dimilikinya. Bahkan Majikan Neraka
Lembah Halilintar yang memiliki
kesaktian tiada tanding dan seorang ahli
sihir pula, tak tahan terhadap gempuran
Ilmu Pemenggal Roh miliknya.
Tetapi kini ada seorang pemuda
berkaki tunggal mampu menghindari
serangan yang luar biasa itu.
* * *
LIMA
Kenyataan itu saja telah
membuktikan bahwa sesungguhnya si Kaki
Tunggal memang benar-benar seorang tokoh
muda yang memiliki kesaktian luar biasa.
"Mengapa engkau malah bengong
seperti itu. Jawab pertanyaanku
cepat...!" bentak Kstaria Terkutuk
Berkaki Tunggal nampak sangat gusar
sekali.
"Kalau engkau ingin jawabanku.
Marilah bertarung dulu, sampai salah
seorang di antara kita terbujur
berkalang tanah...!"tukas Buang
Sengketa.
"Ho.... ho.... ho....! Agaknya
engkau belum tahu bagaimana adatnya,
Kstaria Te»rkutuk Berkaki Tunggal
rupanya...!"
"Hmmmn, kiranya engkaulah kunyuknya
yang telah bikin geger di Kaki Gunung
Gili Manuk itu...?!" ucap si Hina Kelana
tersenyum lega.
"Tak salah...!"
"Bagus! Bagus sekali! Untuk itu
mampuslah...!"
Bersamaan dengan ucapannya itu,
maka pendekar dari Negeri Bunian itu,
begitu bergebrak sudah kirimkan
pukulan-pukulan mautnya. Menyadari
bahwa pemuda berkuncir ini merupakan
seorang lawan yang tangguh, maka si Kaki
Tunggal pun tak ingin bertindak gegabah.
Secepat kilat dia pun langsung memutar
tongkat penyangga tubuhnya ke segala
penjuru. Tongkat penyangga tubuh yang
terbuat dari tulang kaki gajah itu pun
dalam sekejap saja sudah membentuk
sebuah perisai yang sangat sulit untuk
dicari titik kelemahannya. Mengetahui
pertahanan yang di bentuk oleh pihak
lawan nampak begitu kokoh, maka tak ayal
lagi tubuh Pendekar Hina Kelana nampak
bergerak semakin cepat.
Pada saat itu bukan tongkat di
tangannya saja yang berkelebat cepat,
akan tetapi tangan kanan si Kaki Tunggal
pun mulai lancarkan pukulan-pukulan
mautnya. Suara hiruk pikuk dari
beradunya dua tenaga sakti, memecah
keheningan siang hari yang sangat terik.
Debu-debu beterbangan, mengepul dan
membumbung tinggi ke angkasa lepas.
Keringat mulai bercucuran dari tubuh
Pendekar Hina Kelana. Baru kali ini
semenjak meninggalkan Tanjung Api tempat
tinggal gurunya si Bangkotan Koreng
Seribu, agaknya bagi pemuda keturunan
Raja Ular Piton Utara itu sudah tak ada
pilihan lain lagi terkecuali menempur si
Kaki Tunggal yang tangguh luar biasa
dengan pukulan-pukulan maut tingkat
paling tinggi.
Suatu saat, tubuh Buang Sengketa
nampak melentik ke atas, kemudian dengan
diiringi dengan satu jeritan
menggeledek, pemuda ini pun tak
sungkan-sungkan lagi langsung
melepaskan satu pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang tak pernah diragukan lagi
akan kemampuannya. Tampak selarik sinar
yang hampir tak terlihat oleh kasat mata
menderu dan timbulkan suara bagai badai
topan prahara. Pukulan maut itu melabrak
tubuhnya. Sambil tertawa mengekeh, si
Kaki Tunggal, cepat-cepat lambaikan
tangannya. Aneh sekali, meskipun gerakan
tangannya nampak begitu pelan dan
lembut, namun akibatnya Pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dilepas oleh
pendekar dari Negeri Bunian yang
terkenal ganas itu segera membalik.
Dengan kecepatan dua kali tenaga
serangan itu sendiri, pukulan maut itu
berbalik menyerang pemiliknya. Pendekar
Hina Kelana yang sebelumnya tiada
menyangka kalau si Kaki Tunggal mampu
mengembalikan pukulan miliknya bahkan
berkecepatan dua kali kelipatan tenaga
saktinya. Nampak cepat-cepat
menghindar. Tubuhnya berjumpalitan
beberapa kali, meskipun dia dapat
terlepas dari pukulan mautnya sendiri.
Tak urung bagai seekor monyet kesetanan,
dia terpaksa berguling-guling di atas
permukaan tanah berdebu.
Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang
dapat dikembalikan oleh si Kaki Tunggal
itu terus meluncur kemudian melabrak
sebatang pohon besar yang telah kering.
Pohon itu pun berkerotakan ambruk ke
bumi. Debu semakin banyak mengepul dan
membumbung tinggi ke angkasa. Sumpah
serapah berhamburan dari mulut si
pemuda. si kaki Tunggal nampak mengekeh,
kemudian berseru;
. "Hieeeh…he.... he... he...!
Gembel Hina, pukulan mautmu memang
pantas untuk kupuji. Menjadi jagoan
dalam rimba persilatan, agaknya bukan
menjadi jalan hidupmu. Bagaimana kalau
engkau menjadi penebang pohon-pohon liar
di sekitar tempat ini? Tentu hidupmu
menjadi makmur...!” ejeknya.
"Bangsat..! Engkau belum melihat
seluruh kemampuanku.... jangan sombong
dulu, Manusia Cacat...!" Marah sekali
Pendekar Hina Kelana begitu mendengar
ucapan si Kaki Tunggal
"Bagus! Keluarkanlah seluruh
kemampuanmu. Kalau perlu panggil bapak
moyangmu sekalian, biar aku tak usah
kepalang tanggung dalam bertindak...!"
Memerah wajah si pemuda, mendidih
darahnya. Maka tak lama setelahnya,
tanpa banyak kata lagi, Pendekar Hina
Kelana sudah nampak bersiap-siap dengan
pukulan si Hina Kelana Merana. Puncak
dari seluruh pukulan maut yang dia
miliki.
"Hiiiaaaattt...!"
Pemuda itu sudah menggelar
pukulan-pukulan dahsyat. Tak
tertahankan lagi, kali ini pun si Kaki
Tunggal nampaknya juga tengah
bersiap-siap dengan pukulan-pukulan
andalan, Ksatria Sakti Membelah Gunung.
Pukulan inilah yang sengaja dipergunakan
oleh si Kaki Tunggal untuk menggempur
serangan si pemuda.
Dalam kilatan sinar merah membara
dari pukulan si Hina Kelana Merana,
nampak berke-lebat-kelebat menyambar ke
segala arah. Sementara itu serangkaian
sinar ungu dari Pukulan Ksatria Sakti
Membelah Gunung yang dilancarkan oleh
Kaki Tunggal selalu nampak berhasil
mematahkan pukulan-pukulan yarig
dilepaskan oleh Buang Sengketa. Sudah
barang tentu kegagalan demi kegagalan
yang dia telan pada akhirnya membuat si
pemuda kita ini menjadi uring-uringan.
Lalu dia pun mulai berfikir-fikir untuk
mempergunakan Pusaka Golok Buntung,
maupun Cambuk Gelap Sayuto yang selalu
dia bawa ke mana-mana. Akan tetapi di
luar perhitungan, kiranya si Kaki
Tunggal di luar pengetahuan si pemuda,
detik itu juga melepaskan pukulan
beruntun yang sangat sulit untuk
dijajaki kemampuannya.
"Wuuusss...!"
Sinar ungu berhawa dingin luar biasa
itu datang membadai, menebarkan bau
busuk yang memualkan perut. Tak ayal
udara di sekitarnya mendadak berubah
dingin. Tubuh pendekar ini nampak
menggigil. Hanya sekejap, detik
berikutnya dia berusaha sedapatnya untuk
memapaki serangan yang datangnya
bertubi-tubi itu. Tetapi entah mengapa
sekalipun dia berusaha untuk mengerahkan
tenaganya, namun hasilnya tetap sia-sia
belaka. Sesaat kemudian sadarlah dia
bahwa kiranya hawa pukulan yang
dilepaskan oleh si Kaki Tungal itulah
yang menyebabkannya tak mampu
mengerahkan tenaga saktinya. Celakalah
aku kali ini, batin si pemuda. Perkiraan
Buang Pemuda kiranya memang tepat
sekali. Karena detik berikutnya,
pukulan Ksatria Sakti Membelah Gunung
telah menghantam tubuhnya.
"Bluaaaar..!?"
Tanpa ampun lagi tubuh pemuda dari
Negeri Bunian ini pun terpelanting
roboh. Darah kental menyembur dari mulut
dan hidungnya, pemandangan di sekitar
mendadak gelap gulita. Tubuh Pendekar
Hina Kelana nampak diam tiada berkutik.
si Kaki Tunggal tertawa-tawa demi
melihat keadaan lawannya. Tetapi sedikit
pun dia tiada mempunyai maksud untuk
meneliti keadaan lawannya yang tangguh
itu. Sembari melangkah pergi, Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal itu pun berkata
seorang diri.
"Baru kali ini aku mendapati lawan
yang cukup berarti dalam hidupku. Kalau
nasibmu masih beruntung,
setidak-tidaknya engkau masih dapat
hidup dalam keadaan sekarat. Tetapi
seandainya engkau dapat selamat dari
pukulan yang tiada duanya itu, sebaiknya
pulanglah engkau ke pangkuan ibumu.
Kemudian meneteklah sebanyak-banyaknya,
agar engkau nantinya bisa melihat Riung
Gunung menjadi orang nomor satu dalam
dunia persilatan. Hak... hak... hak...!"
Tawa si Kaki Tunggal, lalu sekali saja
dia menggenjot tubuhnya, maka orang itu
pun telah jauh meninggalkan Buang
Sengketa yang dalam keadaan pingsan
berat.
* * *
Salahna, Hono dan Hini, adalah
termasuk orang-orang yang termakan desas
desus adanya pemilihan tokoh nomor satu
di dunia persilatan. Pagi itu mereka
telah sampai di daerah hutan panjang.
Bagai sedang memburu sesuatu yang
teramat penting, ketiga orang gadis ini
nampak saling berlomba memacu kemampuan
mereka dalam ilmu lari cepat. Ketiga
gadis inilah yang sengaja diperalat oleh
si Kaki Tunggal untuk menimbulkan
kekisruhan di mana-mana. Mengapa
orang-orang ini sampai terseret-seret
pengaruh si Kaki Tunggal? singkat
ceritanya, setelah kepergian guru mereka
ke kaki Gunung Gili Manuk dan tak pernah
kembali, ketiga gadis ini bermaksud
menyusul si guru. Tetapi di dalam
perjalanan menuju Gunung Gili Manuk
mereka ini bertemu dengan Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal. Dari orang
itulah mereka bertiga mengetahui bahwa
gurunya telah tewas dalam pertarungan
memperebutkan tokoh nomor satu di tangan
Setan Kroya. Dengan kata-kata manis yang
sesungguhnya penuh bisa, si Kaki Tunggal
menceritakan bagaimana liciknya si Setan
Kroya yang sesungguhnya hampir kalah di
tangan guru ketiga gadis ini. Mulanya,
Salahna Hono dan Hini tidak begitu
mempercayai apa yang dikata-kan oleh si
Kaki Tunggal. Namun berkat kata-kata si
Kaki Tunggal yang begitu mengesankan,
akhirnya ketiga orang ini pun berhasil
dihasut oleh pemuda kaki tunggal yang
bernama Riung Gunung tersebut. Sebagai
murid yang sangat berbakti terhadap
gurunya, sudah barang tentu, satu hal
yang ingin mereka lakukan adalah
menuntut balas. Sungguhpun ketiga orang
ini menyadari bahwa Setan Kroya adalah
seorang tokoh tua yang ilmunya saja
sangat sulit untuk diukur, tetapi mereka
ini telah mengambil keputusan, lebih
baik mati membela guru sendiri daripada
hidup harus menanggung malu. Itulah
makanya dari niat semula ingin menuju ke
Gunung Gili Manuk secepatnya, kini
langkah mereka malah berbalik menuju..
Ngadiluwih yang merupakan tempat tinggal
Setan Kroya. Demikianlah tanpa
menghiraukan rasa letih ketiga orang ini
terus mengerahkan ilmu mengentengi
tubuh. Sehingga langkah-Iangkah
ilmu lari mereka sedemikian cepat luar
biasa.
Satu ketika sampailah ketiga orang
ini di sebuah tanah berbatuan terjal dan
gersang. Namun mendadak Salahna yang
bermata jeli itu nampak menghentikan
langkahnya. Sepasang matanya yang bening
dan indah memandang tiada berkedip ke
arah suatu tempat. Di atas sebuah tebing,
tak lama kemudian dia pun berseru:
"Hei.... Lihatlah di sebelah sana
itu...!" teriaknya sambil menungjuk ke
satu tempat. Sudah barang tentu
teriakannya itu membuat dua orang
saudara seperguruan lainnya langsung
menghentikan larinya. Lalu buru-buru
menoleh ke arah yang ditunjuk oleh kakak
seperguruannya.
"Eee... siapakah dia?" tanya
Hono pada Salahna.
"Dari sini memang tidak begitu
jelas. Ada baiknya kalau kita dekati dia,
siapa tahu dia orang yang sedang kita
cari!" ujar Salahna, lalu tanpa membuang
waktu lagi ketiga orang ini pun segera
bergegas mendekati orang yang sedang
duduk di punggung bukit. Begitu ketiga
orang ini hampir berada di depan orang
tersebut, mereka nampak terkejut.
Sebab orang yang mereka sangka sebagai
Setan Kroya, ternyata tak lain Buang
Sengketa adanya. Seperti
diketahui setelah mendapat pukulan si
Kaki Tunggal, selama dua hari dua malam
pendekar ini tak sadarkan diri. Setelah
dua hari, saat dia sadarkan diri, tahulah
dia bahwa si Kaki Tunggal memang sengaja
membiarkan dirinya terkapar di tempat
itu. Tetapi yang membuat dia begitu heran
ialah mengapa dia tidak merasakan rasa
sakit di dadanya yangt,terkena pukulan
Ksatria Sakti Membelah Gunung milik si
Kaki Tunggal. Padahal pukulan tersebut
telah menyebabkan luka dalam yang sangat
parah. Kiranya di luar kesadaran si
pemuda, kharisma Golok Buntung yang
terselip di pinggangnya itulah yang
sangat banyak mengurangi rasa sakit
sekaligus menyembuhkan luka dalam yang
dia derita. Hawa hangat yang keluar dari
senjata pusaka itu telah membuat
gumpalan-gumpalan darah yang menyumbat
pembuluh darahnya mencair kembali.
Kalau saat itu dia telah berada
begitu jauh dari tempat pertarungan
dengan si Kaki Tunggal, tak lain hanyalah
demi mencari laki-laki yang sangat
berbahaya itu. Dia ingin menghentikan
segala sepak terjang si Kaki Tunggal.
Demikianlah dalam keterlanjurannya itu
ketiga gadis murid Nini Klarah itu pun
pura-pura bertanya.
"Saudara.... apakah saudara pernah
berjumpa dengan orang yang bernama Setan
Kroya...?" tanya Salahna sambil masih
tetap memandangi pemuda yang sangat
tampan itu. Yang ditanya hanya gelengkan
kepala, sebaliknya dia malah berganti
memperhatikan ketiga gadis itu,
seolah-olah dia ingin meneliti siapakah
sesungguhnya ketiga gadis yang tengah
berdiri di hadapannya itu.
"Saudara ini siapakah...?" tanya
Hono merasa tertarik dengan penampilan
si pemuda dari Negeri Bunian ini.
Pendekar Hina Kelana nampak
tersenyum tawar begitu mendapat
pertanyaan seperti itu. Tetapi, hal itu
hanya berlangsung selama sesaat saja.
Sebab dia pun menyadari bahwa ketiga
gadis itu nampaknya merupakan gadis
baik-baik.
"Namaku tiada arti apa-apa. Untuk
apa ditanya...?" desah si pemuda pelan.
"Ah, betapapun buruk nama itu
sendiri, sesungguhnya sangat berarti
bagi seseorang...!"
"Kalau kalian ingin tahu, namaku si
Hina Kelana, pengembara di kolong jagad
yang tiada guna!" katanya hampir-hampir
tak terdengar.
"Dari manakah asalmu, Saudara
Kelana...?"
Ditanya seperti itu sudah barang
tentu Buang Sengketa menjadi geli
sendiri. Tetapi begitu dia masih
menjawab juga.
* * *
ENAM
"Ah, kalian ini seperti petugas
pencacah jiwa dari kadipaten saja.
Mengapa harus tanya asal usul segala? Toh
aku bukan seorang garong yang patut
dicurigai. Aku hanya seorang pengelana
hina...!"
"Ah maafkan kami, Saudara Kelana!
Sesungguhnya kami sedang mencari
seseorang untuk menerima hukuman dari
kami...!" menyela gadis yang bernama
Salahna, berusaha mengalihkan
pembicaraan yang tidak enak.
"Menerima hukuman? Kesalahan apa
yang telah diperbuat oleh orang itu?"
tanya Buang Sengketa penuh dengan
keinginan.
"Orang yang bernama Setan Kroya itu
telah membunuh guru kami, di lereng
Gunung Gili Manuk...!" tukas si Salahna.
Si pemuda nampak tercenung begitu
mendengar ucapan gadis itu, lalu
teringatlah dia akan kata-kata si Kaki
Pincang Mata Picak ketika berhadapan
dengan Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal.
Teringat sampai ke situ, tiba-tiba saja
dia menyela;
"Apakah gurumu itu tewas, ketika
mengikuti pemilihan tokoh nomor satu,
dua atau satu purnama yang telah lalu?"
tanya si pemuda mereka-reka.
"Betul...! Eeh, darimana engkau
tahu?"
Pendekar Hina Kelana hanya
tersenyum getir.
"Seperti yang aku dengar dari
seseorang yang hampir saja membuatku
mati!"
"Apakah yang engkau maksudkan si
Setan Kroya, yang telah membunuh Nini
Klaiah guru kami itu...?" tanya ketiga
gadis itu secarahampir bersamaan.
Buang Sengketa gelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Bukan...!" jawab si pemuda pasti.
"Lalu siapa?” S
“Si jahanam itu adalah manusia yang
menamakan dirinya Ksatria Terkutuk
Berkaki Tunggal!"
Terkejutlah ketiga gadis itu demi
mendengar apa yang dikatakan oleh si
pemuda. Kini hati mereka diliputi
keragu-raguan, benarkah ucapan si pemuda
dapat dipercayai? Sedangkan menurut si
Kaki Tunggal, dirinya hanyalah manusia
biasa yang tiada memiliki kemampuan
bermain silat seperti layaknya
orang-orang kebanyakan. Tetapi mengapa
pula si pemuda di depan mereka itu
mengatakan bahwa dirinya hampir tewas di
tangan si Kaki Tunggal? Jadi mana yang
benar?
"Apakah kata-katamu dapat
dipercaya?!" ujar si gadis meragu.
Buang Sengketa kerutkan keningnya
begitu mendengar penuturan Salahna. Dia
merasa begitu yakin, pastilah si Kaki
Tunggal telah menghasut ketiga gadis
itu.
"Hem, kiranya kalian sudah kena
diperdaya oleh si keparat itu. Agaknya
kalian tidak tahu kalau si kaki Tunggal
memiliki kepandaian yang sangat tinggi,
bahkan pukulan dan ilmu pedangnya hampir
saja membuatku celaka...!" tukas si
pemuda. Seketika lamanya ketiga gadis
itu nampak saling berpandangan, mereka
nampak menjadi bingung dengar keterangan
yang simpang siur itu. „
"Apakah kami bisa mempercayaimu,
Saudara Kelana...?" tanya Hono dan Hini
dalam kebimbangan.
"Aku tidak pernah memaksa kalian
untuk mempercayai ucapanku. Tetapi aku
sedang berkata yang sebenarnya...!"
jawab si pemuda pasti.
"Kalau begitu orang itu telah
mengecoh kita, Kakak tertua...!" ujar si
Hono.
"Tetapi menurut si Kaki Tunggal,
guru kita tewas di tangan si Setan
Kroya." ucap Salahna. masih dalam
keragu-raguan.
Meskipun ketiga gadis ini setengah
berbisik, tetapi Pendekar Hina Kelana
dapat mendengar dengan baik apa yang
sedang mereka bicarakan itu. Maka tanpa
sungkan-sungkan lagi dia pun menyela!
"Kalau berita tewasnya guru kalian,
hanya kalian ketahui dari si Kaki
Tunggal, maka aku sangat yakin bahwa
berita itu sengaja dibuat-buat...!"
"Tetapi ternyata guru kami memang
tidak pernah kembali sejak dua purnama
yang lalu!" bantah ketiga gadis itu
secara serentak.
Lagi-lagi Pendekar Hina Kelana
tersenyum dibuatnya. Gadis itu meskipun
sudah dewasa dan sudah pantas kawin,
tetapi masih tolol juga Batin si pemuda.
"Kalaupun guru kalian, memang
tewas! Tetapi aku sangat yakin, bukan
Setan Kroya yang melakukannya. Sebab
seperti yang aku dengar, kakek tua itu
pun kini sedang kelabakan mencari orang
yang mencoba-coba mempergunakan namanya
untuk maksud-maksud yang tak baik. Pula
selama ini kudengar kabar bahwa Setan
Kroya dan sahabatnya si Pengail Aneh
sudah lebih dari lima tahun mengasingkah
diri di Ngadiluwih dan Susukan...!"
Bagai burung puntul, ketiga
gadis itu nampak
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi salah seorang di antaranya
kemudian sudah menyela!
"Kalau begitu siapa yang telah
membunuh guru kami di kaki Gunung Gili
Manuk tersebut...?"
"Aku tak bisa mengatakannya secara
pasti, sebab pada saat itu, seperti apa
yang dikatakan oleh Mata Picak Kaki
Pincang sebelum tewas di tangan si Kaki
Tunggal, bahwa setiap purnama, di kaki
Gunung Gili Manuk terjadi pertarungan
maut dari berbagai golongan. Jumlah
mereka juga banyak, dalam keadaan
begitu, tentu ada pihak-pihak tertentu
yang dapat menghalalkan segala cara demi
dapat maju pada satu purnama berikutnya.
Kiranya mereka tak menyadari bahwa semua
itu sesungguhnya merupakan siasat licik
si Kaki Tungvgal...!" • *
"Apa maksudmu, Saudara Kelana...?"
potong Salahna tiada mengerti akan
kata-kata yang diucapkan oleh si pemuda.
"Maksudku, orang-orang tolol yang
bertarung di kaki Gunung Gili Manuk itu
siapa pun yang keluar sebagai pemenang,
pada akhimya akan berhadapan dengan si
Kaki Tunggal yang tangguh dan memiliki
ambisi yang besar untuk merajai seluruh
dunia persilatan...!"
"Sial betul...! Kalau begitu kita
benar-benar telah dikerjai oleh si
Kunyuk cacat itu, Adik Hono, Hini...!"
gerutu Salahna jengkel sekali.
"Baiklah, kukira dengan
keteranganku ini kalian tak perlu
bersusah payah pergi ke Ngadiluwih untuk
menemui si Setan Kroya. Kalau kalian
ingin mengetahui keadaan yang
sesungguhnya, maka datanglah satu
purnama mendatang di Kaki Gunung Gili
Manuk. Aku merasa sangat yakin bahwa si
Kaki Tunggal pasti hadir di sana, karena
pada saat itu merupakan malam terakhir
yang menjadi penentu siapa sesungguhnya
yang berhak menyandang gelar tokoh nomor
satu...!" kata Buang Sengketa memberi
saran. Gadis-gadis itu pun
mengangguk-anggukkan setuju.
"Lalu engkau mau ke manakah, Saudara
Kelana?"
"Demi menghindari jatuhnya banyak
korban, meskipun aku hampir saja mampus
di tangan si Kaki Tunggal tetapi aku akan
menyusulnya...!" jawab Pendekar Hina
Kelana seadanya.
"Bagaimana kalau kami turut serta
denganmu...?" tanya ketiga gadis itu
menawarkan diri. Si pemuda nampak
tersenyum-senyum. Tetapi kemudian
dengan halus dia menolak.
"Ah, alangkah lebih baik lagi kalau
kalian langsung menuju kaki Gunung Gili
Manuk. Kita bisa bertemu di sana."
Ketiga orang itu nampak saling
pandang sesamanya, lalu setelah itu
mereka pun kembali menoleh pada Buang
Sengketa.
"Baiklah, teritna kasih atas segala
saranmu! Kami mohon diri...!" Kemudian
setelah berpamitan pada Pendekar Hina
Kelana, maka ketiga orarig itu pun
bergegas meninggalkan si pemuda. Hanya
sesaat pemuda keturunan Raja Ular Piton
Utara itu memandangi kepergian mereka,
karena tak_ begitu lama kemudian pemuda
itu juga telah berkelebat pergi.
* * *
Lembah Tong Tong Bengong adalah
merupakan sebuah lembah yang memiliki
air terjun berketinggian tidak kurang
Air lima tombak. Tak sesosok makhluk pun
yang mendiami tempat itu. Karena daerah
itu memang dikenal sebagai daerah yang
sangat angker. Tiada tanda-tanda
kehidupan di sana, terkecuali keturunan
golongan orang utan dan sejenisnya. Itu
makanya Lembah Tong Tong Bengong juga
memiliki satu nama yaitu Lembah Seribu
Monyet. Saat itu matahari sesungguhnya
sudah meninggi, namun sebagaimana
kebiasaan yang terjadi, di sekitar
Lembah itu udara di sekitarnya nampak
remang-remang berselimut kabut tebal,
hanya suara gemuruh air terjun saja yang
terdengar. Semua itu mengingatkan pada
curahan hujan lebat yang turun dari
langit. Demikianlah di antara
bergemerosaknya suara air terjun yang
terhempas pada batu-batu yang berada di
bawahnya, ada pun suara lain yang
menonjol adalah suara teriakan ratusan
orang utan yang bergelantungan pada
oyot-oyot kayu yang terdapat di sekitar
lembah itu.
Sementara itu tidak begitu jauh dari
curahan air terjun tersebut, pada aliran
anak sungai yang bening, nampaklah
seorang laki-laki tua berbadan gemuk dan
bermata besar. Laki-laki gemuk itu terus
berjalan menelusuri pinggiran sungai
itu. Sesekali tubuhnya yang gemuk itu
melompat-lompat bagaikan seekor kodok
buntal yang berlari-lari takut terinjak
gajah. siapakah adanya laki-laki tua
yang telah begitu nekad datang ke lembah
Tong Tong yang terkenal sangat angker
itu? Tak lain dialah orangnya si Setan
Kroya.
Seperti diketahui di dalam rimba
persilatan ada seseorang yang mencoba
mencatut namanya untuk tujuan-tujuan
yang tak baik. Dia merasa tak rela nama
baiknya dicemarkan oleh orang lain.
Meskipun orang tersebut dari golongan
mana pun. Itu sebabnya setelah keluar
dari tempat pengasingannya di Ngadiluwih
dan bertemu dengan sahabatnya yaitu si
Pengail Aneh, dia langsung melanjutkan
perjalanannya menuju ke arah Utara. Akan
tetapi di tengah perjalanan siapa
sangka, ada seseorang melalui ilmu
menyusupkan suara mengaku-aku sebagai
orang yang paling bertanggung jawab
tentang pencatutan nama tersebut. Bahkan
orang yang belum dikenalnya itu telah
memberi satu tantangan untuk bertarung
di sebuah Lembah yang bernama lembah
Seribu Monyet. Setan Kroya yang memiliki
watak angin-anginan itu sudah barang
tentu tak menampik tantangan tersebut.
Apalagi hal itu ada hubungannya dengan
nama baik diri sendiri. Itulah mengapa
sebabnya hari itu dia telah sampai di
Lembah Tong Tong Begong yang menyeramkan
tersebut.
Kini kakek gendut bermata lebar itu
terus melangkahkan kakinya tnenuju ke
bagian hulu sungai tersebut. Sampas
disuatu tempat dia menghentikan
langkahnya. Sepasang matanya yang bulat
dan lebar tersebut nampak memandang
pada daerah sekelilingnya. Tiada apapun
yang terlihat di sana terkecuali deru
suara air terjun dan jerit suara
orang-orang utan yang berlompatan kian
ke mari. Melihat pemandangan seperti
itu, lama-kelamaan Setan Kroya menjadi
sangat kesal hatinya. Akhirnya dia pun
berteriak-teriak seorang diri.
"Manusia yang mengaku dirinya
sebagai calon nomor satu di rimba
persilatan keluarlah! Tunjukkan
tampangmu...!" perintah si Setan Kroya.
"Groong.... grpoog.... ngok...
nggok!" Suara riuh bunyi orang-orang
utan menyebabkan suasana di sekitarnya
semakin bertambah ramai. sialan, bukan
monyet yang aku panggil, orangutan pula
yang jadi ribut. Makinya dalam hati.
Saking kesalnya, maka dia pun berteriak
kembali!
"Calon nomor satu sialan! Di sinikah
tempat tinggalmu, engkau bapak moyangnya
orang-orang utan ini...?" Suara si Setan
Kroya menggema di mana-mana, tetapi
begitu getar-getar suaranya lenyap, maka
hanva derai air terjun saja yang
terdengar. Setan Kroya semakin bertambah
jengkel saja. Maka beberapa saat
kemudian dia sudah bermaksud
meninggalkan tempat itu. Ketika secara
tiba-tiba terdengar suara tawa yang
menggemuruh dari balik kegelapan kabut
tebal.
"Hak.... ha.... ho....! Setan
Kroya, hendak ke manakah engkau ini,
sudah sejak tadi aku menunggumu di sini.
Bahkan aku sudah mulai mengantuk
sekali...!" tukasnya di antara suara
gaduh air terjun.
"Ah, engkaukah yang telah memakai
namaku...?.'" tanya si Setan Kroya
dengan kedua mata semakin melotot.
"Betul...!"
"Apakah engkau juga yang telah
menantangku...?"
"Juga betul...!"
"Betul, betul melulu, Bangsat...!"
Bersamaan dengan ucapannya itu, Setan
Kroya pukulkan tongkatnya ke udara.
Bersamaan dengan lambaian tongkatnya
tersebut, maka serangkum sinar kuning
nampak menderu cepat ke arah sumber
datangnya suara di kegelapan sana. Tak
ayal lagi orang yang berada di kegelapan
itu melesat menyongsong ke arah Setan
Kroya yang nampak berdiri menanti.
Begitu orang itu sampai di depan
Setan Kroya, laki-laki tua berbadan
gemuk itu pun terkejut luar biasa.
"Eng.... engkaukah?” ucap Setan
Kroya terbata-bata.
Kiranya orang yang membuat si Setan
Kroya terkejut tak lain adalah si Ksatria
Terkutuk Berkaki Tunggal adanya.
Sementara itu si Kaki Tunggal
nampak tertawa mengekeh, begitu melihat
keterkejutan si Setan Kroya.
* * *
TUJUH
Kemudian dengan sorot mata penuh
kebencian pemuda berkaki tunggal itu pun
membentak marah.
"Agaknya engkau merasa sangat heran
sekali, Setan Kroya. Bangsat! Engkau dan
kawanmu si Pengail Aneh memang pernah
membuat kakiku cacat seumur hidup,
Bahkan kalian berdua pernah melemparkan
aku kedalam jurang. Kalian berdua tentu
mengira bahwa aku telah mampus di dasar
jurang itu. Huh. Tidak sama sekali, Setan
Kroya. Monyet-monyet itulah yang telah
mengajarku, menolongku bahkan membuatku
menjadi manusia yang segera akan
menguasai rimba persilatan. Dan engkau,
Setan Kroya.... hak... hak... hak.,..!
Engkau benar-benar harus mampus di
tanganku, Setan Kroya...?!" bentak si
Kaki Tunggal sambil tergelak-gelak bagai
orang gila.
"Monyet hitam, bagaimana pun
hebatnya ilmu kepandaian yang engkau
miliki. Tidak nantinya kekal
selamanya...!"
"Omong kosong, ternyata kalau
memang segala apa yang kau ucapkan dahulu
itu benar adanya. Tetapi kini engkau
telah melihat sendiri betapa kau akan
mampus di tanganku...!" menggeram di
Kaki Tunggal.
"Bagus! Engkau ini sudah
keturunannya manusia sesat, pencuri nama
orang, pengadu domba. Lebih dari itu,
kiranya engkau si keparat yang pantas
untuk menebus segala dosa-dosa nenek
moyangmu...!"
"Ha.... ha.... ha...! Aku jadi ingin
lihat sampai di mana kemampuan yang
engkau miliki hingga kini, Setan
Kroya...!"
Akhirnya tanpa mengulur-ulur waktu
lagi, Setan Kroya langsung mencabut
tongkatnya. Lalu bagai kesetanan, orang
ini pun segera menyerang si Kaki Tunggal
dengan jurus-jurus yang sangat ampuh.
Sebentar saja suara beradunya dua
senjata yang berupa tongkat itu pun
terdengarlah. Jerit dan lengking suara
teriakan masing-masing lawan meningkahi
bergemuruhnya suara air terjun.
Serangan-serangan ganas pun saling
mereka lancarkan, Setan Kroya segera
berkelebat dan menyerang si Kaki Tunggal
dengan ilmu totokan tongkatnya ke
bagian-bagian yang mematikan. Namun si
Kaki Tunggal tidak menjadi gugup, tanpa
tedeng aling-aling dia putar tongkat
penyanggah tubuh pada seputar badannya.
Karena dua tongkat masing-masing
sama-sama dialiri tenaga dalam, maka
ketika senjata itu saling beradu, baik
tubuh Setan Kroya maupun si Kaki Tunggal
sama-sama tergetar hebat.
Lebih dari dua puluh jurus telah
berlangsung, nampaknya pertarungan itu
benar-benar seimbang, Akan tetapi
manakala si Kaki Tunggal mundur dua
tombak, lalu dengan disertai satu
jeritan laksana merobek gendang-gendang
telinga, laki-laki berbadan hitam legam
menyerbu kembali. Lambat laun suara
pekik yang datangnya bagai dari beribu
penjuru itu membuat si Setan Kroya
menjadi blingsatan. Serangan maupun
pertahanan yang dimiliki menjadi kacau
tak beraturan. Sadarlah dia bahwa pihak
lawan telah mempergunakan ilmu pemecah
konsentrasi. Sebagai sesepuh persilatan
yang sudah sangat berpengalaman sudah
barang tentu dia tidak membiarkan
keadaan ini terus berlarut-larut.
Tiba-tiba dia hentikan gerakan
silatnya, setelah sebelumnya melesat
beberapa tombak. Dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dia kini telah
merubah jurus-jurus silatnya. Tongkat di
tangannya berkelebat laksana kilat,
begitu tongkat itu berputar maka
tubuhnya lebih cepat lagi berkelebat
mengitari si Kaki Tunggal.
Pukulan-pukulan dahsyat menyertai
serangan-serangan tongkat di tangannya.
Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal
keluarkan suara tawa mengekeh, manakala
serangan beruntun itu mencecar ke bagian
tubuhnya.
Namun tatkala si Setan Kroya
gerakkan tongkatnya ke arah muka dan
perut si Kaki Tunggal, laki-laki ini
nampak menjadi gugup. Kelengahannya yang
hanya beberapa detik itu membuat si Setan
Kroya memiliki satu kesempatan untuk
memukulkan tongkatnya. Maka tak ayal
lagi.
"Buuuk!"
Bagai memukul seekor anjing
kesurupan si tua gemuk bermata lebar itu
memukul si Kaki Tunggal. Tubuh laki-laki
berbadan legam itu terpelanting,
meskipun tidak sampai roboh namun
pukulan yang dilakukan oleh Setan Kroya
membuat dadanya terasa sesak luar biasa.
si Kaki Tunggal memaki dalam hati.
Secepatnya dia bersiap-siap dengan
posisinya, sekejap kemudian dia sudah
mencabut sebilah pedang panjang yang
tergenggam di tangan, pihak lawan yang
sudah barang tentu hal ini tak luput dari
perhatian si Kaki Tunggal, maka dengan
nada berapi-api dia pun membentak gusar!
"Setan Kroya manusia malang. Tentu
engkau merasa heran mengapa pedang
kematian milik si Tangan Buntung ini
berada di tanganku. Ha... ha... ha....!
Kudengar engkau dan si Pengail Aneh
pernah hampir mampus di tangan pemilik
pusaka ini. Hmm! Karena aku ini murid
tunggal si Tangan Buntung, maka aku punya
kewajiban untuk menyelesaikan tugas
guruku yang belum sempat tuntas itu. Kali
ini engkau tak mungkin luput dari
belenggu maut, Setan Kroya...!" ancam si
Kaki Tunggal.
"Hak.... hak.... hak...!" Setan
Kroya mengekeh.
"Kiranya engkau ini telah berguru
pada manusia sesat itu. Tak disangka,
bapak moyangmu sudah tersesat sangat
jauh sebagai anaknya kiranya kesesatanmu
lebih gila lagi. Meskipun seribu pedang
kematian berada dalam genggamanmu,
jangan kira aku menjadi segan untuk
menghadapimu!"
"Bagus kalau engkau memiliki
keberanian seperti itu, sekarang
bersiap-siaplah untuk menerima
kematian...!" Dengan sekali lompat,
pedang kematian di tangan si Kaki Tunggal
menderu laksana badai topan prahara.
Ngilu rasa tulang-tulang Setan Kroya
demi merasakan angin sambaran pedang
kematian itu.
Akhirnya tanpa canggung-canggung
lagi, Setan Kroya begitu menyadari akan
keganasan pedang di tangan lawannya,
cepat-cepat mengerahkan segenap
kemampuannya.
Sementara itu dengan senjata di
tangannya, si Kaki Tunggal nampak
beringas. Raut wajahnya yang nampak
kelam membesi itu nampak mengisyaratkan
hawa pembunuhan yang menyala-nyala.
Sekejap kemudian pertarungan yang
menentukan hidup dan mati dari kedua
musuh bebuyutan itu pun berlangsung
sangat seru dan mendebarkan.
Si Kaki Tunggal segera kirimkan
serangan-serangan ganas ke arah
bagian-bagian tubuh si Setan Kroya.
Melihat datangnya serangan yang sangat
dahsyat dari pihak lawan Setan Kroya
melompat mundur tiga tombak. Dia segera
pukulkan tongkatnya ke udara.
Segelombang sinar kuning keemasan
laksana topan memapaki datangnya tusukan
senjata dari pihak lawannya. Menyadari
akan adanya bahaya yang mengancam, si
Kaki Tunggal tarik balik serangannya.
Akan tetapi dari arah lain si Kaki
Tunggal segera membangun serangan
kembali.
Setan Kroya membalikkan badan
dengan cepat sewaktu di belakangnya
terasa sambaran angin yang begitu
dingin. Namun agaknya semua itu sudah
terlanjur nasib. Sambaran senjata di
tangan lawannya sempat menggores
bagian punggungnya. Setan Kroya
menggerung, meskipun sudah terluka, dia
mengambil keputusan untuk mengadu jiwa.
Maka sewaktu senjata di tangan si Kaki
Tunggal kembali menderu mengarah pada
bagian lehernya, dia pun dengan
kenekatan yang luar biasa, langsung saja
kiblatkan tongkat di tangannya. Tak
pelak lagi, pedang di tangan si Kaki
Tunggal berbenturan dengan tongkat di
tangan Setan Kroya.
"Traakk...!"
Tongkat di tangan Setan Kroya
berantakan menjadi berkeping-keping
begitu terhantam mata pedang si Kaki
Tunggal. Tidak sampai di situ saja!
Sedetik kemudian terdengar jerit
tercekik dari Setan Kroya. Dua tusukan
pada bagian leher dan dadanya. Darah
kental berwarna kehitam-hitaman tidak
lagi sempat menyembur dari luka yang
terkoyak panjang. Tak ampun lagi si Setan
Kroya tersungkur ke tanah. Begitu jatuh
maka nyawa laki-laki gemuk dari
Ngadiluwih itu pun terlepas dari
jasadnya. si Kaki Tunggal keluarkan
suara tawa mengekeh, bagai jeritan
monyet hutan yang sedang berpesta pora.
Serentak dengan suaranya itu, maka
kawanan orang utan yang berada di sekitar
tempat itu langsung menyerbu dan
mengerumuni si Kaki Tunggal. Nampak
sekali keakraban di antara mereka.
Laki-laki berkulit hitam legam itu,
untuk beberapa saat lamanya nampak
mengelus-elus beberapa ekor kepala orang
utan yang sudah begitu jinak padanya.
Setelah itu dengan bahasa isyarat,
dia memberi perintah pada
binatang-binatang tersebut. Kemudian
seperti mengerti saja,
binatang-binatang itu pun segera
menggotong tubuh si Setan Kroya yang
sudah membeku. Lalu tubuh laki-laki tua
itu pun mereka campakkan ke dalam air
terjun yang menggila. Lega hati si Kaki
Tunggal begitu melihat hasil kerja
kawan-kawannya yang berupa orang utan
tersebut. Mendadak ia pun terkekeh.
"Ha... ha... ha...! Beberapa
pembalasan yang sangat menyakitkan telah
kulakukan. Dunia persilatan sebentar
lagi akan menjadi gempar, mereka saling
bunuh karena rencana-rencanaku. Kini
hanya tinggal si Pengail Aneh saja yang
mungkin merupakan lawan tangguh bagiku.
Tetapi semuanya akan mati, ya.... mati
seperti yang lain-lainnya...!" ucap si
Kaki Tunggal tersenyum puas. Lalu
beberapa saat kemudian tubuhnya pun
segera berkelebat pergi.
* * *
Panas yang terik, kemarau yang
panjang. Hal inilah yang sesungguhnya
membuat laki-laki berkepala botak itu
mengeluh panjang pendek hampir sepanjang
perjalanan yang dia lalui. Betapa tidak,
sudah hampir sepuluh hari sejak
kepergiaannya, Setan Kroya yang berjanji
akan tiba kembali di tempat kediaman si
Pengail Aneh paling lambat tujuh hari,
akan tetapi sampai hari kesepuluh,
sahabatnya yang setengah sinting itu
belum juga nongol menemuinya. Hal itu
sudah barang tentu membuat hati si
Pengail Aneh menjadi was-was. Apalagi
Nyi Kroya sampai sempat menyusul
suaminya di Susukan. Kehadiran nenek
keriput yang juga memiliki kepandaian
tinggi itu juga membuatnya semakin
bertambah repot, bayangkan saja Nyi
Kroya bertanya ini dan itu tentang
keselamatan suaminya, sedang dia sendiri
pun tidak tahu, sedang berada di mana
Setan Kroya saat itu. Tak ada pilihan
lain, demi menghindari cekcok lebih
lanjut maka dia pun telah memutuskan
untuk menyusul Setan Kroya, sementara
Nyi Kroya dia sarankan untuk sementara
waktu supaya tinggal di pondok miliknya.
Demikianlah, sambil terus mengomel
panjang pendek si Pengail Aneh terus saja
melangkahkan kakinya. Udara panas yang
terasa begitu menyengat tubuhnya tambah
membuat keringat terus bercucuran di
sekujur badannya. Sesekali si Pengail
Aneh mengitarkan pandangannya ke segenap
keadaan di sekeliling. Tatkala sepasang
matanya yang sipit berkeriapan itu
.
menangkap berkelebatnya bayangan
seseorang, maka dengan cepat dia pun
memburu orang yang sedang berlari-lari
tersebut. Akan tetapi orang tersebut
nampaknya memiliki ilmu lari cepat luar
biasa, sehingga laki- laki berkepala
botak ini kesal bukan main, demi melihat
kemampuan orang yang dikejarnya. Barulah
setelah dia mengerahkan segenap
kemampuannya tak berapa lama kemudian
orang itu pun tersusul. Tiba-tiba si
Pengail Aneh membentak.
"Berhenti...!" teriaknya pada orang
tersebut.
Tetapi bagaikan tak mendengar saja
layaknya, orang itu tetap saja terus
berlari-lari cepat sekali. si Pengail
Aneh nampak memaki dalam hati begitu
melihat orang yang sedang dikejarnya
tidak memperdulikan perintah.
"Orang budek! Berhenti kataku...!"
perintahnya lebih keras lagi.
Barulah orang itu serentak menoleh
dan langsung menghentikan langkahnya.
Sesaat lamanya orang penyandang periuk
ini nampak cengar-cengir begitu melihat
penampilan si Pengail Aneh. siang yang
terik dimana di sana sini terjadi
kekeringan, sementara saat itu sedang
berada di daerah perbukitan tandus.
Tetapi orang tua berkepala botak itu
malah membawa-bawa sebuah kail. Untuk
apakah? Kalau bukan orang yang kurang
waras, sudah barang tentu hal itu tak
akan dilakukannya. Pemuda berperiuk yang
sudah tak asing lagi bagi kita ini,
nampaknya ingin mengatakan sesuatu namun
pada saat itu si Pengail Aneh sudah mem-
bentak.
"Hei, engkau monyet budek tak tahu
adat, apa yang engkau tertawakan?" kata
si Pengail Aneh nampak berang sekali.
Maka semakin lebarlah tawa Buang
Sengketa demi mendengar cercaan si kakek
berkepala botak.
"Sinting! Agaknya kau ini bocah
gendeng, mana adatmu...?" maki si
Pengail Aneh sangat marah sekali.
"Kakek botak! Aku berlari-lari
engkau mengejarku. siapa suruh? Kini
engkau malah marah-marah pula di
depanku, apa hakmu...?" tukas si pemuda
nampak sangat tersinggung sekali dengan
ucapan si kakek.
"Bocah tolol, berani sekali engkau
menyebutku si botak, pula aku mau marah
apa perdulimu...?" maki si Pengail Aneh,
sepasang matanya itu pun nampak me man
dang tajam pada sipemuda. Agaknya kini
sadarlah pemuda ini, bahwa sesungguhnya
sangat mungkin sekali orang yang
dihadapinya itu orang yang kurang waras.
"Aku tak tahu namamu orang tua, itu
makanya aku memanggilmu dengan botak
saja. Sebabnya kepalamu juga botak!"
jawab Pendekar Hina Kelana dengan suara
hampir tak terdengar.
"Sial betul engkau ini. Meskipun
kepalaku botak, tetapi aku masih punya
nama yang patut untuk engkau hargai!"
"Baik! Aku akan menghargaimu,
tetapi coba sebutkan dulu siapa ,
namamu...!" Mendengar kata-kata si
pemuda si Pengail Aneh nampak
tergelak-gelak. Kemudian dia pun
berucap.
* * *
DELAPAN
"Ahk, kiranya engkau punya
peradatan juga rupanya. he.... he...
he....! Begitu pun atas kekurang
ajaranmu aku pantas menghukummu!"
"Apa salahku orang tua...?" tanya
Buang Sengketa gusar.
"Apa salahmu? Bukankah engkau tadi
mengejekku dengan memanggil-manggilku,
si Botak...?"
"Hemmm. Engkau ini lucu sekali,
perkara kecil juga engkau besarkan.
Sejak tadi juga aku sudah bilang,
kupanggil engkau botak, justru karena
aku tak tahu namamu, Kalau aku tahu nama
kebesaranmu sudah baring tentu aku tak
panggil engkau begitu...!"
"Botak lagi botak lagi. sial kau...!
Sekali saja engkau sebut kembali, maka
kupecahkan batok kepalamu...!" ancam si
Pengail Aneh. Dan sudah barang tentu
tingkah laki-laki tua itu, lama-kelamaan
membuat Buang Sengketa menjadi sangat
jengkel. Lalu beberapa saat kemudian dia
pun berkata tegas!
"Kakek tua, aku tak tahu apa
tujuanmu menghentikan aku. Tetapi kalau
engkau masih saja tak mau serius, maka
aku akan segera meneruskan
perjalananku!"
"Aku si Pengail Aneh. Aku tak
perduli orang mau pergi ke Barat atau ke
Timur. Tetapi asal tahu saja, sekali aku
inginkan sesuatu dari seseorang, maka
orang itu baru akan kubiarkan pergi
setelah menuruti perintahku terlebih
dahulu." menyela kakek berkepala botak
ini sambil kedip-kedipkan matanya.
Sungguhpun Pendekar Hina Kelana
nampak sangat terkejut dengan ucapan si
Pengail Aneh, namun dia berusaha untuk
menutupinya. Kemudian setelah menjura
tiga kali, maka dia pun berkata!
"Tak disangka kiranya hari ini aku
yang bodoh ini bisa,bertemu denganmu hai
orang tua. Maafkan atas kekurang
ajaranku...!"
Dalam pada itu kiranya di luar
perhitungan si pemuda, tiba-tiba saja si
Pengail Aneh nampak berubah sikapnya.
"Tak dinyana, kiranya aku yang
sinting ini sedang berhadapan dengan
seorang yang tahu tata krama. Atas
sikapmu itu aku mencabut segala ucapanku
tadi!" kata Pengail Aneh. Dan untuk
beberapa saat lamanya dia nampak
terdiam, lalu setelah memandang pada si
pemuda, sejurus kemudian dia menyambung
kembali." Orang muda siapakah engkau ini
dan hendak ke mana?" tanya si Pengail
Aneh pelan sekali.
Pendekar Hina Kelana pun orang yang
tahu diri, begitu si botak aneh tersebut
nampak berubah dalam tutur katanya, maka
dia pun berubah lunak pula.
"Kakek Pengail Aneh, sesungguhnya
aku yang bodoh ini bernama Buang Sengketa
dan orang-orang selalu memanggilku
dengan si Hina Kelana, saat ini aku
sedang berencana untuk pergi ke kaki
Gunung Gili Manuk...!"
Si Pengail Aneh terbelalak matanya,
dari berita yang tersiar dari mulut ke
mulut selama ini dia memang pernah
mendengar bahwa ada seorang pendekar
muda yang tampan rupanya. Namun memiliki
kepandaian yang sangat tinggi, sepak
terjangnya membuat kaum, persilatan
beraliran sesat menjadi jeri. Namun
sedikit pun tiada menyangka, kalail
pendekar muda yang menghebohkan itu
berpenampilan seperti seorang gembel.
Berpakaian kumuh dan dekil, sementara
sebuah periuk menggelantung di
pinggangnya lagi. Setengah percaya dan
tidak maka dia pun berkata!
"Jadi engkaukah orangnya pendekar
yang belakangan ini membuat heboh di
mana-mana itu?"
"Engkau terlalu berlebihan orang
tua. Aku hanya pengelana biasa yang tiada
memiliki arti apa-apa bila dibandingkan
dengan dirimu...!" ucap Buang Sengketa
merendah.
"Pandai sekali engkau membawa diri,
Kelana. Meskipun berkepandaian tinggi,
namun memiliki sikap rendah hati. Aku
menyukai orang semacammu. Oh ya engkau
bilang tadi hendak pergi ke Gunung Gili
Manuk, ada keperluan apakah?" tanya si
Pengail Aneh kemudian.
Mendapat pertanyaan seperti itu,
tiba-tiba si pemuda kerutkan wajah. Dia
bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah si
Pengail Aneh tidak mengetahui apa yang
bakal terjadi di lereng Gunung Gili
Manuk? Atau sengaja berpura-purakah dia?
Batinnya.
"Orang tua, masa engkau tidak tahu
apa yang telah dan bakal terjadi di kaki
Gunung Gili Manuk?" Akhirnya pendekar
ini bertanya juga.
"He... he... he...! Tentang
pemilihan orang nomor satu di rimba
persilatan. Itu sih cuma baru kudengar
dari oratng-orang yang lewat saja.
Tetapi apa tujuanmu ke sana? Apakah
engkau berniat menjadi orang nomor satu
pula...?" tanya si Pengail Aneh dengan
pandangan menyelidik. Pendekar Hina
Kelana tersenyum getir.
"Sama sekali tidak, Orang tua! Aku
hanya bermaksud mencegah terjadinya
pertumpahan darah lebih lanjut. Pula aku
ingin menghukum orang yang menjadi
penyebab semua mala petaka itu...!"
jelas Buang Sengketa.
"Teruskan hai orang muda!" perintah
si Pengail Aneh semakin tertarik.
"Pemilihan tokoh nomor satu itu,
sesungguhnya hanyalah merupakah gagasan
dari seorang pemuda berkaki tunggal.
Dialah yang telah merencanakan itu
semua, karena dia sendiri memang punya
niat untuk menjagoi seluruh dunia
persilatan...!"
"Berkaki Tunggal? Hm, agaknya aku
baru mendengarnya kali ini, tetapi...!"
Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Ada apakah orang tua...?" "Ee....
tidak.... tak mungkin orang itu...!"
ucap si Pengail Aneh agak tergagap. Hal
ini sudah barang tentu membuat si pemuda
jadi terheran-heran.
"Siapa yang kau maksudkan..."?"
"Ah, sudahlah! Oh ya, apakah engkau
pernah bertemu dengan orang itu?" si
Pengail Aneh mengalihkan pembicaraan.
Meskipun hati Pendekar Hina Kelana
diliputi oleh ketidak mengertian, tetapi
akhirnya dia menjawab juga.
"Pernah, bahkan aku hampir mampus di
tangannya! Orang itu memiliki kepandaian
yang sangat sakti sekali...!"
"Kalau begitu demi menghindari
korban berjatuhan lebih banyak lagi, aku
pun tak akan tinggal diam. Meskipun aku
sudah kropok, agaknya sisa-sisa tenagaku
masih dapat membantu usahamu itu." si
Pengail Aneh menyanggupi.
"Terima kasih, orang tua. Tetapi
sesungguhnya engkau ini hendak ke
manakah?" si Pengail Aneh
kerjap-kerjapkan matanya, lalu
garuk-garuk kepalanya.
"Sesungguhnya aku mencari kawanku,
namanya si Setan Kroya...!"
"Setan Kroya...?"
"Betul! Kenalkah engkau
padanya...?" tanya si Pengail Aneh.
"Tidak, tetapi si Kaki Tunggal
pernah menyebut-nyebut nama kawanmu itu.
Bahkan dia bermaksud untuk membunuh si
Setan Kroya...!"
"Apa....? Sang Hyang Widi, itu
berarti kini Setan Kroya sudah tewas di
tangan manusia setan itu!" tukas si
Pengail Aneh sambil pukul-pukul jidatnya
yang pelontos.
"Bagaimana engkau bisa mengatakan
kalau sahabatmu itu telah tewas di tangan
si Kaki Tunggal...?" Si pemuda nampak
keheranan.
"Woale.... Toubaaat.... mengapa aku
setolol ini! Kelana, apakah si Kaki
Tunggal itu kulit dan wajahnya
menyerupai seekor monyet hutan...?"
Tanya si Pengail Aneh harap-harap cemas.
"Betul...!" Jawab si pemuda mantap.
Sekali ini mata si Pengail Aneh
nampak terperangah.
"Apakah si bangsat itu mengalami
cacat pada bagian kaki kirinya...?"
"Juga betul!"
"Celaka! Kiranya si Kaki Tunggal tak
lain adalah Riung Gunung yang telah kami
lemparkan ke dalam air terjun di lembah
Tong Tong Bengong. Akh rupanya dia masih
hidup hingga sampai saat ini...!" desah
laki-laki berkepala botak itu seperti
menyesalkan.
"Apakah dulunya dia musuhmu?"
"Ya, orang tuanya merupakan seorang
tokoh sesat yang memiliki pukulan
beracun dan banyak menebar onar di
mana-mana, aku bersama Setan Kroya
pernah terlibat pertarungan di Lembah
Tong Tong Bengong. Ayahnya tewas, begitu
juga dengan ibunya. Pada saat itu tanpa
sengaja Setan Kroya sempat menebas kaki
orang itu dan sebagai akibatnya...!"
kata laki-laki itu tanpa melanjutkan
ucapannya.
"Kalau begitu ada baiknya sekarang
juga kita berangkat menuju ke kaki Gunung
Gili Manuk...!"
"Baiklah, aku setuju dengan
rencanamu itu...!" jawab si Pengail
Aneh. Lalu tanpa kata lagi, kedua orang
itu pun segera melangkah pergi.
* * *
Ketika ketiga gadis itu sampai di
sebuah desa yang cukup ramai, saat itu
hari sudah menjelang malam. Mereka
berfikir bahwa meneruskan perjalanan itu
sendiri masih memakan waktu kurang lebih
satu malam lagi. Sedangkan mereka
nampaknya sudah terlalu kecapaian
setelah melakukan perjalanan
berhari-hari tanpa henti. Jalan
satu-satunya adalah mencari penginapan
dan mendapatkan warung untuk mengganjal
perut yang sudah sangat keroncongan.
Akhirnya setelah berputar-putar di
sekitar Desa Nungging Blentung hampir
dari setengah jam, barulah mereka
menemukan sebuah warung penjual makanan.
Suasana yang lengang di dalam warung itu
membuat ketiganya agak menaruh perasaan
curiga. Namun begitu pun mereka tetap
saja melangkahkan kakinya memasuki
warung tersebut. Ketika gadis-gadis ini
sudah du-uk di sebuah bangku panjang yang
terletak di tengah-tengah ruangan
tersebut, seorang pelayan laki-laki
nampak menghampiri mereka. Lalu dengan
sikap ramah yang dibuat-buat, pelayan
ini pun segera menanyakan pesanan
mereka.
"Sediakan kami nasi beserta lauk
pauknya yang lezat-lezat. Oh ya jangan
lupa bawakan kami tiga bumbung nira...!"
kata gadis yang bernama Salahna itu.
"Baik Nona....!" Pelayan tua ini
kemudian pergi kembali meninggalkan
ketiganya untuk menyediakan segala apa
yang mereka pesan. Seperginya pelayan
warung tersebut, ketiga gadis itu nampak
saling pandang sesamanya. Lalu salah
seorang di antaranya yang bernama Hini
menyeletuk.
"Warung ini sepi, desa ini juga
sunyi. Padahal banyak rumah penduduk
terdapat di sekitar sini...!"
"Kita ini tak ubahnya sedang di
pinggiran gerbang kematian saja
layaknya. Keadaan seperti ini wajib kita
curigai." Hono menimpali.
"Hush, kalian ini nampaknya terlalu
tegang dalam memikirkan sesuatu. Sehmgga
warung sunyi saja kalian curigai!"
Salahna yang .yang merupakan seorang
pimpinan dari dua orang itu pun menukas.
"Pesan guru, dalam situasi
bagaimanapun kita diwajibkan selalu
waspada!"
"Iya, tetapi lihat-lihat! Tempat
yang bagaimana yang harus kita waspadai
itu. Masakan di sebuah warung penjual
makanan kitapun harus bersikap seperti
itu!"
"Sudahlah. Mengapa harus berdebat,
lihat pelayan sudah datang...!" kata
Hini mengetengahi. Tanpa basa basi,
pelayan itu meletakkan makanan pesanan
mereka di atas sebuah meja besar yang
terletak di hadapannya. Setelah
menyelesaikan pekerjaannya, maka
pelayan itu kembali pergi.
Tanpa menaruh kecurigaan apa-apa,
Salahna yaitu salah seorang yang paling
cantik di antara ketiga orang itu, tanpa
curiga lagi segera menyantap makanan
yang di hidangkan oleh pelayan warung
tersebut. Barulah setelah melihat
saudara tertuanya menyantap makanan
tersebut dan tak berakibat apa-apa, maka
Hono dan Hini mengikutinya. Setelah
selesai menyantap hidangan yang sangat
lezat, maka ketiga orang itu pun segera
meneguk air nira yang menyertai makanan.
Dalam sekejap saja air nira yang manis
itu pun tuntas tanpa bekas! Beberapa saat
setelahnya, barulah gadis-gadis ini
merasakan kepalanya mulai sakit
berdenyut-denyut. Bumi serasa
berputar-putar. Bukan main terkejutnya
ketiga gadis-gadis ini begitu menyadari
apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Lama kelamaan orang-orang ini pun tak
sadarkan diri lagi.
Tak lama setelah ketiga gadis itu
tak sadarkan diri muncullah si Kaki
Tunggal di depan pintu warung. Pelayan
yang tadi menghidangkan makanan pada
gadis-gadis itu, kini dengan sangat
tergesa-gesa sekali datang menghampiri
si Kaki Tunggal yang saat itu masih saja
berdiri mematung di depan pintu, dengan
sangat angkernya.
"Bagaimana tugas yang kuberikan
padamu. Apakah sudah kaukerjakan dengan
baik?" tanya si Kaki Tunggal penuh
wibawa.
"Semuanya sesuai dengan apa yang
tuan perintahkan...!" jawab si1 pelayan
dengan agak terbata.
Mendengar jawaban dari si pelayan,
si Kaki Tunggal menyungging senyum
licik. Lalu dia memberi perintah.
"Pilihlah salah seorang di antara
mereka yang paling cantik buatku. Dan aku
akan segera membawanya pergi dari
sini...!"
"La... lalu dua orang lainnya
bagaimana, Tuan...?" tanya pelayan
warung itu nampak kebingungan sekali.
* * *
SEMBILAN
Beberapa saat lamanya si Kaki
Tunggal nampak tercengang. Tetapi tak
lama kemudian dia pun sudah berkata:
"Membunuh orang yang sedang
tertidur adalah sangat bertentangan
dengan naluri kebinatanganku. Sebaiknya
biarkan saja orang itu tidur sampai besok
pagi di warungmu ini!"
"Tu... tuan! Bagaimana seandainya
besok mereka menanyakan tentang
kawannya...?"
Melihat ketololan pelayan warung
tersebut, si Kaki Tunggall nampak berang
sekali. Kedua matanya nampak melotot,
hal ini hanya menambah ketakutan si
pelayan.
"Sejak kecil mengapa tidak mati saja
engkau, manusia dungu. Menghadapi dua
ekor tikus perawan saja engkau sudah
ketakutan, Bukankah kalau engkau mau,
kau bisa bersenang-senang dengannya.
Atau kalau engkau seorang banci, tolong
kau katakan saja ke mana tujuanku!"
"Ba... baiklah, Tuan...!"
si Kaki Tunggal tak berapa lama
kemudian tanpa menghiraukan pelayan
warung segera memondong tubuh Salanah,
gadis tercantik di antara ketiga gadis
itu. Tak lama setelahnya, si Kaki Tunggal
segera berlari-lari meninggalkan warung
tersebut. Sementara di atas bahunya
tubuh Salanah yang tiada sadar akibat
obat pembius yang tercampur di dalam
minuman. Nampak terkulai tiada daya.
Si Kaki Tunggal nampak masih terus
berlari-lari di celah-celah kegelapan
malam. Udara malam semakin terasa dingin
menggigit, sementara di langit lepas
tiada terlihat sinar bulan. Mendung
tebal berarak ke arah Utara, suasana itu
tidak sedikit pun berpengaruh pada si
Kaki Tunggal yang sedang melarikan gadis
Salahna murid dari mendiang Nini Klarah.
Tanpa mengalami banyak kesulitan Kaki
Tunggal berlari dan terus berlari. Namun
lebih kurang baru sepemakan sirih
tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya.
Bunyi petir sambung menyambung. Sesaat
Kaki Tunggal nampak kebingungan. Namun
setelah tengok kanan tengok kiri.
Nampaknya, Ksatria Terkutuk Berkaki
Tunggal nampak lega, sebab tak begitu
jauh dari hadapannya dia melihat ada
sebuah dangau yang tidak seberapa
besarnya. Cepat-cepat dia berlari-lari
ke sana. Setelah membukakan pintu yang
terbuat dari balok-balok kayu hutan
tersebut. si Kaki Tunggal sambil
memanggul tubuh Salahna dia segera masuk
ke dalamnya. Di dalam dangau yang
sederhana dan nampaknya telah lama
ditinggalkan oleh pemiliknya itu, hanya
terdapat sebuah balai-balai yang terbuat
dari anyaman belahan bambu. si Kaki
Tunggal nampak menyeringai begitu
mengetahui adanya tempat yang sederhana
itu. Cepat-cepat laki-laki berbadan
legam itu pun merebahkan tubuh si
gadis. Kemudian setelah menutupkan
pintu itu kembali, si Kaki Tunggal segera
menghampiri si gadis yang masih dalam
keadaan tak sadarkan diri. Dia lalu duduk
di sampingnya. Dalam pada itu darahnya
sudah mulai naik ke ubun-ubun. Jantung
berdetak lebih kencang lagi, sementara
seluruh tubuh si Kaki Tunggal nampak
gemetaran bagai orang yang sedang
terserang penyakit demam malaria.
Kemudian segalanya berlalu begitu cepat,
si Kaki Tunggal yang sudah dirasuki setan
itu pun tanpa ampun segera
mencabik-cabik pakaian yang dikenakan
oleh Salahna. Setelah itu tanpa banyak
membuang waktu lagi si Kaki Tunggal
segera menindih tubuh si gadis yang
sampai saat itu masih belum juga sadarkan
diri. Balai-balai yang terbuat dari
bambu nampak bergoyang-gonyang.
Meskipun di luar sana hujan turun bagai
tercurah dan udara sedemikian dinginnya.
Namun di dalam dangau itu tubuh si Kaki
Tunggal bermandi keringat. Sampai pada
akhirnya dia pun terkulai dan tertidur di
sisi si gadis.
Ketika di pagi keesokan harinya,
gadis itu terjaga dari sebuah ketidak
sadaran yang panjang. Dia tampak sangat
terkejut sekali begitu mendapati
tubuhnya dalam keadaan telanjang.
Hatinya menjerit pedih, lebih pedih lagi
dari rasa sakit yang terdapat di bagian
tubuhnya. Sadarlah dia, bahwa ada
seseorang yang telah menodai
kesuciannya. Gadis itu menangis,
meskipun tangis itu hanya terurai air
mata. Namun semua itu telah cukup
menggambarkan kedukaan yang
teramatdalam. siapa pun adanya pelaku
dari semua itu, dia tak ingin hidup
menanggung malu. Hanya beberapa saat
kemudian tanpa berpikir panjang lagi.
Dengan mempergunakan badik kecil
miliknya, maka dia pun dengan nekad
menghunjamkan senjata itu tepat di
tengah-tengah dadanya. Gadis itu nanya
keluarkan satu jeritan tertahan maka
gadis malang itu pun langsung tersungkur
,di atas lantai dangau. Darah membasahi
seluruh lantai dangau, beberapa saat
setelah gadis itupun menghembuskan
nafasnya yang terakhir. si Kaki Tunggal
yang tidak mengetahui kejadian yang
begitu singkat itu. Begitu selesai
membasuh muka di sebuah parit kecil yang
tidak begitu jauh dari dangau nampak
melangkah kembali ke arah dangau.
Manusia terkutuk itu memang ingin
melampiaskan nafsu bejadnya untuk yang
terakhir kalinya. Dan agaknya pula
kejadian yang berlangsung semalaman itu
tidak membuatnya menjadi puas. Begitulah
dengan bersiul-siul tak beraturan dia
kembali melongokkan kepalanya dari depan
pintu tersebut.
Namun betapa terkejutnya si
terkutuk berkaki tunggal ini demi
melihat pemandangan yang menghampar di
hadapannya. Gadis itu kiranya di luar
sepengetahuannya telah sadar dari
pingsannya, dan secara nekad telah
membunuh diri pula. Hanya sesaat
kemudian dia sudah berada di depan mayat
si gadis. Sedikitpun tiada terlihat
penyesalan di wajahnya. Dasar manusia
terkutuk, kematian si gadis bukan
membuatnya berpikir untuk sadar atau
menyesal. Sebaliknya dia malah sumpah
serapah yang tersembur dari bibirnya
vang hitam legam.
"Dasar orang tolol! Diberi
kesenangan yang paling membahagikan,
eee... malah bunuh diri! Dasar perempuan
goblok...!" maki si 'Kaki Tunggal dengan
sesungging senyum sinis.
"Akh, memang sepantasnya
perempuan-perempuan pada mati semua.
Sebentar lagi... ya sebentar lagi kalau
aku sudah berkuasa di dunia persilatan.
Hek... hek... hok... hok...!" si Kaki
Tunggal tertawa-tawa bagai orang gila.
Namun belum sempat si Kaki Tunggal
memuntahkan semua uneg-unegnya. Pada
saat itu dari luar dangau terdengar suara
bentakan-bentakan melengking.
"si Kaki Tunggal manusia terkutuk!
Keluarlah engkau dari dalam dangau itu.
Di sini ada kubawakan oleh-oleh
kepalanya si pelayan sialan itu,
terimalah...!" Bersamaan dengan
ucapannya itu, dengan sangat cepat
segera melemparkan kepala si pelayan
warung.
"Weees!"
"Bruaak!"
Dinding dangau yang terbuat dari
tepas itu langsung bobol, dan andai saja
si Kaki Tunggal tidak cepat-cepat
mengelak, sudah barang tentu kepala si
pelayan warung dengan kepalanya sendiri
pasti akan saling bertabrakan. Si Kaki
Tunggal segera bangkit. Lalu secepatnya
tubuhnya sudah melesat ke luar dari dalam
dangau tersebut. Dia keluarkn tawa
bergelak-gelak begitu melihat siapa
adanya mereka yang datang ke tempat itu.
"Wuah! Kalian rupanya. Kukira
kalian iblis yang sedang kesurupan, tak
dinyana hanyalah dua ekor tikus betina
yang sajngat menyenangkan." Ksatria
terkutuk berkaki tunggal untuk beberapa
saat lamanya nampak termangu-mangu.
Dipandanginya kedua gadis itu tanpa
pernah berkedip sedikit pun. Sudah
barang tentu dipandangi sedemikian rupa
kedua gadis ini menjadi merah parasnya.
"Setan kepura-puraan, kau
sembunyikan di mana kakak seperguruan
kami...?" bentak Hini.
"Engkau galak sekali, Gadis. He...
he... he...! Tapi aku suka pada gadis
galak semacammu. Engkau pasti seorang
gadis yang sangat menyenangkan." tukas
Kaki Tunggal dengan tawa mengekeh.
"Monyet cacat tak tahu diri, cepat
jawablah pertanyaanku...?"
"Engkau menanyakan kakak
seperguruanmu? Coba lihatlah di dalam
dangau itu!" Dengan sangat penasaran
kedua gadis itu pun cepat-cepat menyerbu
ke dalam dangau. Sementara si Kaki
Tunggal memang dengan sengaja membiarkan
kedua gadis ini melongok ke dalam dangau
yang telah reot itu. Begitu sampai di
dalam dangau tersebut, betapa sangat
terkejut Hono dan Hini. Mereka mendapati
tubuh kakak seperguruannya telah
terhadap bermandikan darah. Sementara
pakaian yang dikenakannya telah
acak-acakkan. Tak dapat terbendung lagi
kedua gadis itu menangis bermandikan air
mata. Sungguhpun mereka sadar bahwa
kematian kakaknya karena membunuh diri,
tetapi mereka juga tahu apa yang menjadi
penyebab dari semua itu.
Dengan kemarahan yang meluap-luap
mendadak kedua gadis ini secara hampir
bersamaan kembali keluar dari dalam
dangau tersebut. Pandangan matanya
menyinarkan kebencian yang teramat
sangat.
"Iblis berhati binatang. Engkau
telah membuat kakak seperguruan kami
membunuh diri. Puih, jiwa anjingmu tidak
cukup untuk membayar hutang darah dan
jiwa kakak seperguruan kami...!" kata
Hono memaki habis-habisan. Namun sejauh
itu, bagai orang yang tiada merasa
bersalah, Ksatria Terkutuk Berkaki
Tunggal masih nampak tenang-tenang saja.
"Mengapa harus marah-marah,
Tikus-tikus perawan. Kakakmu mati karena
kesalahannya sendiri. Toh aku tak pernah
menyuruhnya untuk membunuh diri..."
"Tetapi engkaulah yang menjadi
penyebab kematiannya...!" sergah Hini
yang saat itu telah bersiap-siap dengan
senjatanya yang berupa setagen biru.
Begitu pula halnya dengan Hono.
"Sudah kubilang "semua itu
kesalahan kakakmu sendiri. Aku hanya
mengajaknya untuk bersenang-senang,
kalau kemudian dia memilih jalan ke
akhirat, siapa mau perduli...!"..
"Monyet sumber malapetaka ini
memang tak bisa diajak bicara, Adik Hini.
Mari kita gebuk saja!"
"Hei jangan, kalian akan mati
sia-sia...!"
Karena memang sudah sangat kalap.
Maka kedua gadis itu pun segera menyerang
si Kaki Tunggal dengan totokan-totokan
ujung Setagen mereka. Serangan-serangan
setagen itu begitu cepat dan ganas,
sekali waktu melecut ke udara, di lain
kesempatan meliuk dan menyambar-nyambar
bagaikan seekor ular berbisa yang ingin
menyergap mangsanya. Namun sampai sejauh
itu, tak satu pun serangan-serangan yang
mereka lancarkan dapat dengan tepat
mengenai sasarannya.
Menyadari pihak lawannya sedemikian
tangguh, maka sekejab kemudian tubuh
kedua gadis itu segera berkelebat.
Gerakan-gerakan mereka nampak sangat
ringan. sekali. Hal ini menandakan bahwa
ilmu mengentengi tubuh yang mereka
miliki sudah hampir sampai pada tahap
paling sempurna. Senjata kedua gadis itu
terus melecut ke segala arah, namun si
manusia terkutuk itu masih saja dapat
mengelakkan setiap serangan dengan
sangat begitu mudahnya.
"Hauut!''
Tubuh Hono melentik ke udara, begitu
tubuhnya menukik, satu lecutan dan satu
pukulan maut yang diberi nama Bunga
Jelita Menyergap Kumbang dia lepaskan.
Begitu pula halnya yang dilakukan oleh si
Hini. Dua pukulan dan dua lecutan datang
secara hampir bersamaan. Menderulah
selarik sinar berwarna biru
kemerah-merahan dengan hebatnya.
Pukulan itu mengarah pada bagian kepala
dan dada, sementara lecutan setagen
mengarah pada bagian selang-kangan dan
kaki. Sudah barang tentu meskipun si Kaki
Tunggal merupakan tokoh sesat yang
sangat sakti, tetapi menghadapi empat
serangan yang datangnya secara hampir
bersamaan, telah membuatnya jadi kalang
kabut. Tetapi sebagai orang yang sudah
sangat berpengalaman, sudah barang tentu
dia sudah tahu pukulan mana yang paling
sangat berbahaya. Karena dia menyadari
bahwa pukulan itulah yang paling
mengancam. Maka tanpa ragu lagi dia
memapaki datangnya sinar biru kemerahan
yang sudah begitu dekat dengan tubuhnya.
"Wut! Wut!"
Pukulan Bunga Jelita Menyergap
Kumbang menjadi kandas di tengah jalan.
Namun serangan setagen yang dilecutkan
oleh si Hono terlanjur melibat tongkat
penyangga tubuhnya. Sementara lecutan
setagen si hini berhasil pula memukul
pusaka keramat yang tersimpan di kantung
celana si Kaki Tunggal. Tongkat di tangan
terlepas dari pemiliknya. Tubuh si Kaki
Tunggal nampak berguling-gujing di atas
tanah berlumpur. Dia merasakan perutnya
sakit luar biasa, rasa-rasanya dua buah
jambu miliknya sudah hancur
berkeping-keping. Belum lagi laki-laki
terkutuk itu sempat bangkit dari
tempatnya, lecutan dan pukulan datang
beruntun. Namun si Kaki Tunggal yang
sudah sangat marah itu, mana mau dirinya
menjadi sasaran pukulan-pukulan yang
mematikan untuk yang kedua kalinya.
Cepat-cepat, tubuhnya melentik dari atas
tanah berlumpur. Tanpa tongkat penyangga
bersamanya. Terlihatlah keseimbangannya
menjadi goyah. Begitu pun dia tak
kehilangan akal. Sesaat kemudian
dicabutnya pedang kematian yang sangat
panjang itu. Sementara sarungnya dia
pergunakan sebagai tongkat penyangga
tubuhnya.
Kini dengan pedang kematian di
tangannya, wajahnya serta merta berubah
menjadi sangat menggidikkan. Beberapa
saat setelahnya, dia pun menggeram.
"Tikus betina sialan. Jangan
sombong dengan kebolehanmu yang tiada
seberapa itu. Malang sekali nasib kalian
hari ini. Kalian telah bertarung dengan
iblis pencabut nyawa yang mematikan...!"
mengerang si Kaki Tunggal bagai harimau
ganas yang terluka.
* * *
SEPULUH
Mendapat ancaman sedemikian rupa
nampaknya kedua gadis itu tidak menjadi
gentar. Dibentak malah balas membentak!
"Bangsat, sekalipun kami mampus di
tanganmu. Jangan kira kami mau bertekuk
lutut di kaki manusia sinting gila
kekuasaan."
"Bagus.... Sesungguhnya aku paling
benci pada betina-betina semacam kalian!
Itu sebabnya kalian lebih baik mampus
saja...!" teriak si Kaki Tunggal.
Laki-laki hitam legam itu segera
mengayunkan pedang panjangnya. Sekejap
kemudian dia telah berbalik menyerang
kedua gadis itu. Pedang di tangan
berkelebat kesegala arah. Hawa dingin
yang keluar dari pedang kematian mulai
menyebar ke mana-mana. Sedikit demi
sedikit. Baik si Hono dan si Hini mulai
merasakan adanya kelainan dalam diri
mereka. Kiranya mereka ini tidak
menyadari betapa bau yang tak sedap itu
sesungguhnya merupakan hawa beracun yang
secara perlahan dapat mematikan syaraf
mereka.
Kini pedang di tangan si Kaki
Tunggal menderu, mencecar pertahanan
lawan. Menghadapi datangnya serangan
yang begitu ganas, maka dengan segenap
kemampuan kedua orang ini cepat-cepat
menggerakkan setagen di tangan
menyongsong datangnya sambara-sambaran
ganas senjata di tangan si Kaki Tunggal.
Satu kesempatan si Hono melecutkan
setagennya ke arah bagian dada lawannya
yang terbuka. Pada saat itu si Kaki
Tunggal sedang berusaha membuka
pertahanan si Hini yang menyerang
dirinya dalam jarak yang begitu dekat.
Namun belum lagi babatan pedang maut itu
mencapai sasarannya, mendadak dia
merasakan adanya angin sambaran senjata
dari arah belakangnya. Maka demi
menghindari lecutan yang juga tidak bisa
dianggap ringan, maka si Kaki Tunggal
menarik balik serangannya. Sebagai
gantinya dia sedikit memutar arah,
kemudian cepat-cepat kiblatkan
senjatanya begitu setagen lawan hampir
menghajar tubuhnya.
“Pras!"
Papasan pedang yang sangat tajam itu
membuat setagen si Hono menjadi hampir
tercabik-cabik. si Hono bersurut dua
langkah, pucat parasnya. Begitupun dia
tak pernah mengenal putus asa. Maka
sementara si Kaki Tunggal berbalik
menghadapi lecutan setagen di tangan si
Hini. si Hono sudah bersiap-siap kembali
dengan pukulan maut Bunga Jelita Me-
nyergap Kumbang. Selarik sinar biru
kemerahan berkekuatan lebih besar lagi
dari yang terdahu lu. Nampak menderu
sedemikian cepatnya. Mau tak mau si Kaki
Tunggal kembali membatalkan niatnya
untuk menghancurkan setagen di tangan si
Hini. Dengan mencaci maki maka dia pun
kembali berbalik. Tetapi pukulan yang
dilepas oleh si Hini datangnya begitu
cepat. Lalu pedangnyalah yang dia
tadahkan.
"Wus! Blang!"
Bukan main kharisma pedang kematian
di tangan si Kaki Tunggal itu, karena
begitu dia pergunakan untuk memapaki
pukulan lawan. Membuat pukulan Bunga
Jelita Menyergap Kumbang itu membalik
dan menghantam pemiliknya. Tubuh si Hono
terlempar sepuluh tombak, dengan dada
remuk karena termakan pukulannya
sendiri. Begitu tubuh si Hono tersungkur
di atas tanah berlumpur Begitu pula darah
kental menggelogok bagai tumpahan sayur
talas yang sudah basi. Sesaat tubuh si
Hono berkelojotan di atas tanah
berlumpur. Karena lumpur itu dalamnya
sebatas pinggang, maka gerakan-gerakan
sekarat dari gadis yang malang itu
lama-kelamaan menjadi terbenam, sampai
pada akhirnya tak terlihat sama sekali.
Terkesima si Hini demi menyaksikan
kematian kakak seperguruannya. Tetapi
hanya sesaat saja dia dapat bersikap
seperti itu. Karena sesaat kemudian si
Kaki Tunggal dengan beringas telah
menyerangnya. Kini dengan leluasa dia
bisa menggasak lawannya yang hanya
tinggal seorang itu. Bertahan seorang
diri, nampak sekali dalam waktu sekejab
si Hini terdesak hebat. Satu ketika si
Kaki Tunggal melompat mundur tiga
tindak, tangan kanannya nampak
menggenggam pedang begitu eratnya.
Sesungging seringai maut membias di
bibirnya. Kemudian dia pun membentak
dengan penuh kemenangan.
"Tikus betina. Engkau lihatlah
kawan-kawanmu sudah pada kojor semua.
Meminta ampun padaku rasa-rasanya saat
ini sudah tidak guna, aku tak bakal
mengampunimu!"
"Aku pun tak akan pernah merengek
minta ampun padamu...!" tukas si Hini
dengan sangat beraninya.
"Bagus, Bagus sekali... yang paling
pantas bagimu adalah mampus...!" Laksana
kilat, si Kaki Tunggal langsung
membabatkan pedangnya. Sedapat mungkin
si Hini berusaha mengelakkan serangan
pedang yang dilancarkan oleh lawannya.
Maka tak ayal lagi gadis itu segera
melecutkan setagennya. si Kaki Tunggal
yang sudah merasa kesal dengan hadirnya
senjata yang hampir saja menghancurkan
jambu kra-matnya, segera menyambutnya
dengan tebasan pedang kematian.
"Breet!"
Tak ayal lagi, setagen yang terbuat
dari kain sutera itu pun hancur
berkeping-keping. si Hini nampak
bersurut mundur, si Kaki Tunggal tertawa
mengekeh.
"Bukan saja Stagenmu itu yang kubuat
hancur. Sebentar lagi tubuhmu pun akan
kubuat berantakan."
"Banyak mulut...!" Satu pukulan di
lepaskan oleh si gadis bersamaan dengan
ucapannya itu. Lagi-lagi si Kaki Tunggal
tertawa mengekeh begitu mengetahui
datangnya selarik sinar maut yang di
kirimkan oleh si gadis. Lalu dengan
kepongahannya, laki-laki hitam legam
inipun tadahkan pedang kematian.
"Wees! Blaaam!"
Si gadis terpelanting, secepatnya
dia berusaha bangkit berdiri. Namun
begitu usaha ini dicobanya, mendadak
keseimbangannya menjadi goyah, darah
meleleh dari kedua kuping dan hidungnya.
Melihat keadaan ini si Kaki Tunggal tak
ingin bertindak tanggung-tanggung lagi.
Maka dia pun kirimkan satu pukulan
pamungkas diberi nama Kunyuk Gila
Menendang Gunung. Tak pelak, satu
gulungan pukulan maut berwarna jingga
melesat dan tanpa ampun lagi langsung
melabrak tubuh si Hini yang sudah
sekarat. Tiada lolongan maut yang
terdengar, begitu pukulan Kunyuk Gila
Menendang Gunung melabrak tubuhnya.
Hanya asap hitam dan debu saja yang
beterbangan. si Hini tewas secara
mengerikan seketika itu juga. Kaki
Tunggal nampak menarik nafas pendek.
Secara perlahan dia pun menyarungkan
pedang mautnya. Lalu dengan keluarkan
suara nyanyian yang tak beraturan, dia
pun segera melangkah meninggalkan dangau
tersebut. Dalam waktu sekejap, laki-laki
itu pun sudah tak nampak dari pandangan
mata. Kini suasana di sekitarnya kembali
berubah menjadi sunyi sepi. Bagai tak
pernah terjadi sesuatu kejadian apapun
di sana.
* * *
Ketika Nini Kroya yang memang sudah
mendapat firasat buruk tentang suaminya
itu sampai di kaki Gunung Gili Manuk.
Malam baru saja menunjukkan pukul
delapan. Bulan purnama lima belas nampak
menyeruak di pucuk-pucuk cemara.
sinarnya yang kuning keemasan itu
tersaruk-saruk di balik mega-mega
kelabu. Saat itu Nini Kroya yang nampak
berdiri seorang diri di tempat yang sepi
itu nampak menanti dengan harap-harap
cemas. Betapapun dia menyadari bahwa
sesungguhnya Setan Kroya suaminya sudah
tiada. Sesuai dengan mimpinya ketika
berada di pondok milik si Pengail Aneh.
Bahwa waktu itu di suatu tempat yang luas
dia melihat Setan Kroya datang padanya
dengan mengenakan pakaian warna putih,
nampak datang bagai ditiup angin menemui
dirinya, tetapi tak berapa lama kemudian
sang suami dalam mimpi itu segera pergi
kembali. Tiba-tiba saja, dia semakin
menjauh dengan wajah menyeringai menahan
sakit.
Mimpi buruk itu bagi Nini Kroya
sudah merupakan suatu bukti bahwa
meskipun dia tak melihat keadaan yang
sesungguhnya akan tetapi dia merasa
begitu sangat yakin bahwa Setan Kroya
benar-benar telah tiada. Bagi dirinya
siapapun adanya pelaku pembunuhan atas
diri suaminya, sebagai istri yang setia
dia harus mencari si bangsat pembunuh
tersebut. Kalau perlu akan mengadu jiwa
dengan orang tersebut. Seperti
diketahui, Nini Kroya sesungguhnya me-
miliki kepandaian silat dua tingkat di
atas suaminya. Demikianlah setelah lebih
kurang dua jam berdiri menanti di situ
seorang diri, namun tak siapapun yang ada
di sana selain dirinya sendiri. Lama
kelamaan dia menjadi jengkel sendiri.
"Menurut kabar yang aku dengar.
Tepat malam inilah di tempat ini akan
terjadi pertarungan itu. Tetapi aku tak
melihat adanya orang lain yang berada di
tempat ini! Ataukah berita tentang
pendekar kelas satu itu sesungguhnya
hanya merupakan isapan jempol belaka?
Tetapi tak mungkin, aku mencium adanya
bau kematian yang telah berlangsung
lebih kurang tiga puluh hari, satu
purnama yang sudah lewat berarti di
tempat ini benar-benar telah terjadi
pertarungan maut, mungkin ada baiknya
kalau aku menunggu!" batin Nini Kroya.
Suasana hening terus berlangsung, hingga
suatu ketika Nini Kroya merasakan adanya
orang lain hadir di tempat itu.
Sungguhpun dia sudah teramat tua bila
dibandingkan dengan suaminya. Namun
pendengarannya yang sudah terlatih
dengan baik dapat mengetahui bahwa
kehadiran orang lain di tempat itu sudah
semakin bertambah dekat sekali. Nini
Kroya putar badannya selangkah demi
selangkah, tatapan matanya nampak
menyapu pandang pada keremangan hutan
cemara yang berada di sekitar tempat itu.
Namun tak seorang pun terlihat dalam
keremangan itu. Nini Kroya semakin
bersikap waspada. Sesaat dua saat waktu
pun berlalu, sepi, tiada gerakan-gerakan
yang mencurigakan. Namun sejauh itu Nini
Kroya tetap merasa yakin bahwa ada
seseorang yang hadir di tempat itu.
Mungkinkah orang itu tak lain merupakan
si Pengail Aneh adanya? Kalau memang..
benar mengapa tak menemuinya? Tiba-tiba
Nini Kroya pun berkata:
"Orang yang bersembunyi di balik
pohon, keluarlah...?" bentak perempuan
tua. Tiada sahutan, suara Nini Kroya
menggema ke dasar kaki gunung.
"Orang yang berdiri di balik pohon,
mengapa ngumpet seperti tikus parit?
Keluarlah...?" kata Nini Kroya tak
sabaran. Barulah kemudian nampak
berkelebatnya sosok bayangan hitam
menyongsong ke arah si Nini Kroya.
"Jliigh!" Begitu berhadapan dengan
Nini Kroya, tahulah perempuan tua ini
bahwa sesosok bayangan berpakaian hitam
dan bertongkat itu tak lain merupakan
seorang laki-laki.
"Siapakah engkau ini Kisanak...?"
tanya Nini Kroya kemudian. Yang ditanya
hanva mendengus.
"Apa kerjamu di tempat ini perempuan
tua...?" Si orang bertongkat yang tak
lain merupakan si Kaki Tunggal adanya
balik bertanya.
"Ahh, aku hanya mencari
suamiku...!" jawab Nini Kroya.
"Suamimu? siapakah suamimu...?"
tanya si Kaki Tunggal penuh selidik.
"Suamiku bernama Setan Kroya." ucap
Nini Kroya tanpa merasa curiga sedikit
pun pada si Kaki Tunggal. Tiba-tiba si
Kaki Tunggal keluarkan suara tawa
mengekeh!
"Setan Kroya? Ha... ha... ha...!
Suamimu itu sudah mampus di tanganku."
Kata si Kaki Tunggal tanpa tedeng
aling-aling.
"Apa...?" kejut di hati perempuan
itu bukan alang kepalang, namun belum
lagi dia sempat menanyakan sesuatu, si
Kaki Tunggal langsung menukas.
"Itu adalah kesalahannya. Karena
malam ini engkau hadir pula di Kaki
Gunung Gili Manuk, yang sudah kutentukan
sebagai tempat kematian siapapun. Maka
engkau pun harus mampus di tempat ini."
teriak si Kaki Tunggal. Dan sesaat itu
juga dia sudah mencabut pedangnya. Maka
si Nini Kroya yang saat itu sedang
dilanda kemarahan tak kalah cepat dia pun
sudah mencabut senjatanya yang berupa
sebuah gada yang berukuran sangat kecil
namun berat luar biasa.
Tanpa kompromi lagi kedua orang ini
mulai saling serang dengan mengirimkan
pukulan maupun sabetan-sabetan mautnya.
Suasana nampak semakin menegangkan
manakala sesaat kemudian Nini Kroya dan
Kaki Tunggal mulai melancarkan
pukulan-pukulan jarak jauhnya. Debu dan
pasir nampak beterbangan ketika dua
pukulan sakti itu saling bertemu antara
yang satu dengan yang lainnya. Begitupun
pukulan-pukulan maut itu tidak berarti
banyak bagi masing-masing lawan, sebab
sejauh itu, nampaknya kekuatan tenaga
dalam mereka seimbang. Jalan
satu-satunya untuk dapat merobohkan
pihak lawan dalam waktu yang secepatnya.
Tak ada pilihan lain terkecuali mengadu
kehebatan permainan pedang ataupun
kecepatan lainnya. Tak pelak lagi si Kaki
Tunggal nampak memutar pedangnya dengan
sangat cepat. Kemudian dengan diawali
dengan satu bentakan-bentakan tinggi
melengking, dia pun babatkan senjatanya
mengarah pada bagian leher pihak
lawannya. Sudah barang tentu Nini Kroya
tak mau terima begitu saja. Maka sekejap
tubuh wanita tua itupun berkelebat
dengan gerakan-gerakan yang sangat
ringan sekali. Seketika Gada mustika di
tangan memukul dan mengancam bagian
kepala lawannya, senjata itu terus
meluncur sedemikian cepatnya. si Kaki
Tungigal yang sudah berniat membabat
bagian pinggang pihak lawannya, sontak
terpaksa batalkan niatnya. Lalu dia pun
memapaki datangnya Gada Mustika di
tangan Nini Kroya.
SEBELAS
Bunga api nampak berpijaran begitu
kedua senjata itu saling berbenturan.
Nini Kroya tersurut dua langkah.
Sementara tubuhnya tergetar dan tangan
seperti kesemutan. Di lain pihak si Kaki
Tunggal sendiri merasakan dadanya sesak
luar biasa. Jantungnya berdetak lebih
keras! Cepat-cepat si Kaki Tunggal telan
tiga butir pil yang berwarna
kekuning-kuningan. Sesaat dia menunggu.
Lalu manakala dia sudah merasa seperti
biasa lagi, maka tak ampun lagi dia pun
kembali menyerang Nini Kroya dengan
kekuatan yang lebih hebat lagi. Nini
Kroya yang sudah merasakan kehebatan
lawannya, nampak tak ingin bertindak
tanggung-tanggung. Kini dikerahkan
segenap kemampuannya. Gada Mustika di
tangannya yang berwana putih itu
berkelebat laksana kilat, menderu
timbulkan suara berciutan, sekilas hanya
tinggal merupakan bayang-bayang putih
belaka.
"Haiit!"
Tak mau kalah si Kaki Tunggal pun
kiblatkan senjatanya, lagi-lagi
benturan dua senjata yang sudah dialiri
oleh tenaga dalam itu pun tak dapat
dihindari lagi. Kejadiannya malah
sebaliknya. Nini Kroya malah mengalami
akibat yang sangat tiada menguntungkan.
Gada Mustika di tangannya nampak
terbabat putus oleh mata pedang di tangan
si Kaki Tunggal. Tidak cukup sampai
disitu saja, pedang kematian terus
menderu. Bagai bermata terus meluncur
dan mengarah pada pangkal leher Nini
Kroya. tak ayal lagi sekejap kemudian
pedang itupun sudah sampai pada
sasarannya. Tak seorang pun yang mampu
mencegah kejadian itu.
"Jrooookh!"
Nini Kroya melolong setinggi
gunung, matanya nampak melotot,
sedangkan kedua tangannya menekan erat
pada bagian leher yang terkoyak lebar.
Darah menyembur ke mana-mana. Setelah
tubuh Nini Kroya nampak terhuyung-huyung
untuk beberapa saat lamanya. Maka tubuh
yang lama-kelamaan kehabisan darah itu
pun nampak limbung pula. Hingga akhirnya
tanpa ampun lagi diapun ambruk untuk
selama-lamanya. Pada saat yang hampir
bersamaan, tiba-tiba terdengar jerit
tertahan dengan disertai hadirnya sosok
seorang laki-laki botak.
"Nini...!"
Si tua botak tak lain merupakan si
Pengail Aneh nampak berjongkok sambil
memeluki mayat istri sahabatnya, si
Setan Kroya.
"Engkau begitu cepat pergi, Nini,
mengapa engkau tak pernah mau mendengar
semua apa yang kukatakan. Oh...
sahabatku sudah pada pergi semuanya...!"
keluh si Pengail Aneh sambil menutupi
wajahnya.
"Jangan bersedih orang tua!
Engkaupun akan segera menyusul
mereka...!" menyela si Kaki Tunggal
dengan suaranya yang dingin
menggidikkan. Menyadari ada orang di
sekitarnya, maka si Pengail Aneh
palingkan wajahnya. Lalu terlihatlah si
Kaki Tunggal berdiri bertolak pinggang
tak jauh dari hadapannya.
"Kau... Siapakah engkau...?!" tanya
si Pengail Aneh sambil mengingat-ingat
sesuatu. Yang ditanya tertawa ganda.
"Masakan engkau sudah lupa padaku
tua pikun...!'
"Jangan bertele-tele cepat
katakan...!?" perintah si Pengail Aneh
marah sekali. Si Kaki Tunggal kini malah
tersenyum sinis.
"Masakan engkau telah lupa pada
orang yang pernah kau dan Setan Kroya,
buntungi kakinya...?"
"Buntungi kakimu. Kapan aku
melakukannya? Bicaralah yang jelas,
mengapa harus berbelit-belit!"
"Kata-kataku sudah sangat jelas
untuk kau mengerti Pengail sinting!"
tukas si Kaki Tunggal nampak kesal.
"Eeh, engkau masih tahu namaku...?"
tanya si Pengail Aneh tanpa dibuat-buat.
"Pengail Aneh, kiranya kini semakin
tua engkau semakin bertambah pikun saja!
Ingatkah engkau ketika terjadi peristiwa
di air terjun Lembah Tong Tong Bengong
beberapa tahun yang lalu...?"
Andaikan saat itu adalah siang hari,
sudah barang tentu si Kaki Tunggal dapat
melihat betapa si Pengail Aneh nampak
sangat terkejut sekali. Mendadak
parasnya nampak pucat. Hal ini bukan
berarti dia takut pada si Kaki Tunggal,
akan tetapi dalam sepanjang
petualangannya, peristiwa di air terjun
itu adalah merupakan peristiwa yang
paling bersejarah dan tak pernah
terlupakan sepanjang hidupnya.
Bagaimana tidak! Saat dia hampir saja
tewas di tangan sepasang iblis yang
merupakan orang tua si Kaki Tunggal.
Andai saja waktu itu Setan Kroya tidak
mengalihkan perhatian manusia iblis itu
dengan memotong kaki anaknya. Sudah
barang tentu dia sudah lama berangkat ke
liang kubur. Tetapi mengapa anak yang
mereka cemplungkan ke dalam jurang itu
sampai kini masih tetap hidup? Batin si
Pengail Aneh nampak sangat heran sekali.
Dia merasa yakin pasti ada seseorang yang
telah menolongnya.
"Botak tua, ingatkah apa yang telah
engkau lakukan di air terjun itu...?" Si
Pengail Aneh, angguk-anggukkan
kepalanya.
"Aku masih ingat, engkaulah si anak
malang yang telah di potong kakinya oleh
Setan Kroya!" kata Setan Kroya tanpa
sungkan-sungkan.
"Bagus! Tahukah engkau waktu itu
sangat menyakitkan sekali Pengail
sinting?"
"Sayangnya aku tak ikut
merasakannya...!"
"Bangsat...!" maki si Kaki Tunggal.
"Engkau tak perlu memaki, dosa nenek
moyangmu waktu itu benar-benar sudah
sangat bertumpuk. Mereka bakar
rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa.
Mereka rampoki harta bendanya, kemudian
mereka bunuh orang yang tiada berdosal
upah atas pekerjaanmu beberapa tahun
yang lalu itu!" ejek Ksatria Terkutuk
Berkaki Tunggal.
"Bagiku yang sudah berlalu biarlah
berlalu, aku sudah sangat tua. Aku tak
ingin mengingat-ingatnya lagi...!"
"Enak saja engkau ini, engkau harus
bayar nyawa orang tuaku...!" bentak si
Kaki Tunggal.
"Baik, kalau engkau berkata begitu,
aku terima. Tapi kapan akan kau bayar
nyawa dari setiap banyak orang yang telah
engkau bunuh semena-mena?" Ditanya
seperti itu, si Kaki Tunggal nampak
merah parasnya.
"Itu urusanku, Pengail Sinting! Tak
perlu engkau menanyakannya padaku...!"
Sesabar-sabarnya Pengail Sinting, tentu
pada akhirnya marah juga mendapat ucapan
yang sangat menyakitkan itu.
"Keturunan manusia sesat, semakin
aku mengalah engkau semakin kurang ajar
saja. Sungguh pun senjata pedangmu
berasal dari neraka sekali pun aku tak
pernah merasa takut...!" Dalam
kemarahannya itu si Pengail Aneh nampak
langsung menyerang si Kaki Tunggal
dengan senjatanya yang berupa kail.
Begitu senjata itu terayun, maka
terdengar bunyi gaung dari kenur-kenur
yang terpasang dari padanya. Senjata itu
nampak sedemikian ringannya
berkelebat-kelebat mencecar
sasaran-sasaran yang mematikan.
Mengetahui betapa berbahayanya senjata
di tangan Pengail Aneh. Maka dengan gesit
si Kaki Tunggal mengelak secepatnya.
Semakin lama gerakan gagang kail di
tangan lawan nampak berputar mengurung
dirinya dengan sangat cepat, maka tak ada
cara lain lagi. Demi menghindari
sambaran di tangan lawan, maka tubuhnya
pun melompat-lompat dengan gerakan yang
sangat sulit diikuti oleh mata. Sepintas
lalu, kalau diperhatikan dengan cermat,
nampaklah kedua orang itu seperti dua
orang bocah yang sedang bermain tali.
Begitupun sesungguhnya kedua orang ini
sedang mengadu dua kekuatan tenaga dalam
yang sangat tinggi. Andai saja si Kaki
Tunggal sampai lengah, atau sebaliknya
pula dengan si Pengail Aneh. Sudah barang
tentu nyawa taruhannya. Sebab walau
bagaimana pun sebetulnya pada saat itu si
Kaki Tunggal sedang berusaha untuk
mencari kesempatan untuk dapat
meloloskan pedangnya. Sama seperti apa
yang ada dalam pikiran si Pengail Aneh.
Jika sampai si Kaki Tunggal dapat
meloloskan pedangnya sudah barang tentu
dia akan berusaha membabat gagang kail
yang sangat panjang itu. Praktis dirinya
dapat terbebas dari kail yang mengurung
dirinya. Keringat sudah nampak
bercucuran dari tubuh kedua orang itu,
sementara pertarungan itu semakin lama
berlangsung semakin seru. Tak ada
tanda-tanda siapa yang bakal keluar
sebagai pemenangnya. Karena keduanya
nampak sedemikian tangguh.
Sampai pada suatu saat, si Kaki
Tunggal yang masih belum dapat
membebaskan dirinya dari kepungan kail
yang nampak berputar-putar dari berbagai
penjuru itu dengan sangat cepat segera
mengaiibil tindakan. Disalurkannya
sebagian tenaga dalamnya ke bagian
tangan. Saat itu dia sudah bermaksud
untuk memukul si Pengail Aneh dengan
pukulan jarak jauhnya, agaknya diluar
kesadaran si Pengail Aneh yang terus
sibuk dengan senjata di tangannya.
"Wuuut!"
Satu pukulan Kunyuk Gila Menendang
Gunung telah dilepaskan oleh si Kaki
Tunggal. Sekejap satu serbuan gelombang
dingin yang amat keji menderu laksana
badai puting beliung. Kail di tangan si
Pengail Aneh nampak terpental dilanda
pukulan tersebut. Sungguhpun senjata itu
tak sampai terlepas dari tangan si
Pengail Aneh, namun akibatnya si Kaki
Tunggal sudah punya kesempatan untuk
keluar dari kurungan kail yang
mengitarinya.
Begitu si Kaki Tunggal dapat
terbebas dari kungkungan senjata
lawannya maka dia pun langsung mencambut
pedang panjang yang menggelantung di
pinggangnya. Mengamuklah laki-laki
berbadan hitam legani itu
sejadi-jadinya. Gerakan silat maupun
permainan pedangnya nampak sangat cepat,
bahkan serangan demi serangan lama
kelamaan nampak semakin menggila. Dengan
senjata di tangannya itu, si Kaki Tunggal
nampak berubah menjadi beringas. Lama
kelamaan permainan kail si kakek botak
itu nampak sudah tiada berarti banyak,
bahkan dalam beberapa gebrakan
berikutnya si Kaki Tunggal sudah nampak
berada di atas angin. Sementara si
Pengail Aneh sudah semakin terdesak
hebat. Tetapi sebagai orang yang telah
banyak makan asam garam dunia
persilatan, keadaan seperti itu tidak
membuat si Pengail Aneh menjadi gugup.
Dia tahu senjata di tangan lawannya cukup
berbahaya. Untuk sebagai tokoh tua yang
tidak memiliki ilmu kebal. Sudah barang
tentu dia tidak ingin kontak tangan
secara langsung. Jalan satu-satunya
adalah melepas pukulan jarak jauh atau
juga mempergunakan kailnya untuk
melindungi diri. Tak pelak lagi, dia pun
segera memutar gagang kail bagai tak
ubahnya sebuah baling-baling. Maka
sebentar saja tubuh si Pengail Aneh sudah
nampak terbungkus putaran kail di
tangannya yang begitu cepat.
Berulangkali, si Kaki Tunggal berusaha
menghancurkan pertahanan lawannya.
Namun selalu saja kail yang membentuk
perisai itu yang mengkandaskan
sergapan-sergapan pedangnya. Pada saat
itu, si Pengail Aneh sambil terus memutar
senjatanya membentuk perisai. Kini dia
sudah lepaskan pukulan maut yang diberi
nama Bulan Sembunyi Di Balik Awan. Bukan
main hebatnya pukulan yang dilepaskan
oleh si Pengail Aneh ini, karena begitu
pukulan itu melesat, segera udara di
sekitarnya menjadi panas luar biasa.
Akibatnya sudah tentu sangat berpengaruh
banyak bagi si Kaki Tunggal. Maka tak
ayal lagi dia pun melepaskan pukulan,
Kunyuk Gila Menendang Gunung dengan
kekuatan yang berlipat ganda. Hawa
pukulan yang dilepas oleh si Kaki Tunggal
sebaliknya sangat dingin luar biasa. Tak
kalah hebatnya pukulan itu pun menderu
laksana badai yang menggila. Pukulan
berhawa panas bertemu dengan pukulan
yang berhawa dingin
"Bummm!"
Tubuh si Kaki Tunggal tersurut
beberapa tindak, bahkan pukulan yang
dilepas oleh si Kaki Tunggal membalik
terdorong hawa panas yang berasal dari
pukulan si Pengail Aneh. Bahkan hawa
dingin dengan dorongan hawa panas itu
terus meluncur mengarah ke tubuh si Kaki
Tunggal. Andai saja laki-laki hitam
legam itu tidak cepat-cepat kiblatkan
pedangnya sudah barang tentu tubuhnya
akan termakan pukulan sendiri ditambah
lagi dengan pukulan lawannya.
"Breeees!
Kembali tubuh si Kaki Tunggal
tergetar, namun tak berakibat apa-apa.
Nyatalah sudah bahwa dalam hal adu tenaga
sakti ternyata si Kaki Tunggal berada
satu tingkat di bawah si Pengail Aneh.
Menyadari akan kekurangannya, maka si
Kaki Tunggal kini mengandalkan permainan
pedangnya. Dalam perhitungannya kalau si
Pengail Aneh tidak pernah diberi
kesempatan untuk melepaskan
pukulan-pukulan mautnya, sudah barang
pasti kemenangan sudah tentu berada di
pihaknya. Jalan satu-satunya adalah
dengan menggempur si Pengail Aneh dalam
jarak yang sangat dekat. Maka tak begitu
lama kemudian, si Kaki Tunggal nampak
berteriak keras-keras. Bersamaan dengan
teriakannya itu maka tubuhnya
berkelebat, pedang kematian di tangannya
menderu sedemikian hebat. Hawa memuakkan
segera menebar ke mana-mana. Sadar bahwa
lawan tak memberi kesempatan untuk
melepaskan pukulan Bulang Sembunyi Di
Balik Awan. Maka si Pengail Aneh kembali
memutar kailnya sebagai perisai diri.
Akan tetapi semakin cepat si Pengail Aneh
memutar kailnya. Maka serangan pedang si
Kaki Tunggal datangnya semakin membadai.
Tak heran karena si Kaki Tunggal kini
telah mempergunakan jurus Pedang
Langlang Buana yang tidak perlu
diragukan lagi akan kemampuannya.
Hingga pada suatu kesempatan, si
laki-laki berbadan hitam ini pun kembali
sedikit demi sedikit mendesak lawannya.
Lima jurus di depannya si Pengail Aneh
benar-benar nampak sangat kepepet
sekali. Sering pedang di tangan lawan
hampir saja berhasil melukai tubuhnya.
Sialan, sialan! Ke mana pula si Hina
Kelana sampai saat sekarang belum juga
muncul! Gerutu si Pengail Aneh sudah
merasa kewalahan. Satu saat si Kaki
Tunggal kirimkan satu tusukan satu
babatan. Pedang di tangan lawan menderu
cepat. Dalam keadaan sedekat itu, sudah
barang tentu tak ada pilihan lain bagi si
Pengail Aneh, kecuali mengadu gagang
kailnya dengan pedang lawannya.
"Crak!
Tes! Tes!"
Sambil melompat mundur, si Pengail
Aneh berseru kaget, bagaimana tidak.
Begitu dia melihat ke atas kailnya.
Senjata yang telah dia pergunakan selama
puluhan tahun itu kini terputus-putus
menjadi puing-puing yang sangat pendek.
Belum lagi hilang rasa kejut di hatinya.
Sambil tertawa ngakak, si Kaki Tunggal
kembali menyerangnya dengan
tusukan-tusukan kilat. Tanpa senjata di
tangannya terasa begitu sulitlah bagi si
Pengail Aneh berkepala botak itu untuk
mengimbangi atau pun menangkis
kiblatan-kiblatan senjata lawannya.
Hingga pada satu ketika, si Pengail Aneh
benar-benar sangat kepepet. Jiwa si
Pengail Aneh benar-benar dalam keadaan
terancam saat itu. Sebab si Kaki Tunggal
sudah kirimkan satu tusukan cepat
mengarah ke bagian dada. si Pengail Aneh
sejauh itu masih saja berupaya untuk
mengelak dan berkelit, namun ke mana saja
dia menghindar, pedang kematian di
tangan si Kaki Tunggal bagai bermata saja
layaknya mengejar ke mana saja si kakek
botak itu pergi. Dalam keadaan yang
sangat keritis itu mendadak menderu
selarik sinar berwarna Ultra Violet
memapasi serangan pedang yang
dilancarkan oleh si Kaki Tunggal.
"Brees!"
Dengan senjata masih tergenggam di
tangannya. Tubuh si Kaki Tunggal
terguling-guling dilanda pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dilepas oleh Buang
Sengketa. Bersamaan dengan
terguling-gulingnya tubuh si laki-laki
hitam, maka sesosok bayangan nampak
berkelebat begitu ringannya. Dan
tahu-tahu telah berdiri di hadapan si
Pengail Aneh. Kakek berkepala botak itu
langsung marah-marah begitu melihat
kehadirannya.
* * *
DUA BELAS
"Sial betul engkau ini, Kelana.
Kunyuk itu hampir saja membunuhku.
Engkau baru muncul!" dampratnya sambil
menunjuk ke arah si Kaki Tunggal yang
nampak sedang berusaha berdiri sambil
mengurut-urut dadanya yang terasa bagai
mau pecah.
"Ah, masa engkau bisa kalah oleh
orang semacam dia itu! Bukankah seperti
apa yang aku dengar, kakinya yang sebelah
itu engkau yang membuntunginya? Mengapa
dulu tidak engkau bunuh saja sekalian,
lihatlah betapa kini dia telah menjadi
bibit penyakit yang sangat
menjijikkan...!" kata Buang Sengketa
sengaja menyindir si Kaki Tunggal.
"Ah, dulu kukira dia sudah mampus di
dasar jurang sana. siapa sangka kalau
sampai hari ini dia masih dapat
nafas...!" si Pengail Aneh menimpali.
Lalu secara bersama-sama mereka tertawa
tergelak-gelak. Mendidih darah si Kaki
Tunggal, apalagi dilihatnya orang yang
telah menyelamatkan si Pengail Aneh dari
kematian adalah pemuda berpakaian kumuh
yang dulu pernah dia ampuni jiwanya.
Sesaat kemudian dia pun sudah membentak.
"Manusia gembel berperiuk. Berani
sekali engkau mencampuri segala
urusanku?" Yang dibentak malah tertawa
rawan.
"Terhadap kunyuk berkaki buntung
siapa takut? Jangan kira aku akan lari
melihat pedangmu itu...!"
"Sompreet! Kalau dulu tidak
kuampuni jiwamu yang tiada berharga itu,
tidak nantinya engkau dapat bernafas
hingga detik itu!" maki si Kaki Tunggal
seolah menyesalkan.
"Ho... ho... ho...! Menyesal pun
sekarang sudah tiada guna, sobat...!"
tukas si pemuda sambil geleng-gelengkan
kepalanya.
"Puih! Jangan kira" malam ini aku
mengampunimu..." dengus si Kaki Tunggal.
"Sudah tiada guna, sobat. Karena
malam ini engkaulah yang terbuntang ke
liang kubur...!"
"Bangsat sombong. Sekalipun kalian
maju berdua, tak akan nantinya kalian
menang menghadapiku!" bentak si Kaki
Tunggal, tangan kananya nampak
mengamang-amangkan pedang panjang di
tangannya.
Sementara itu Pendekar Hina Kelana
nampak berpaling pada si Pengail Aneh
yang saat itu nampak berdiri
termangu-mangu memandangi Buang
Sengketa dan si Kaki Tunggal silih
berganti.
"Orang tua, kuharap engkau mau
menjadi saksi bisu dalam pertarungan
ini. Ingat, apa pun yang bakal terjadi
pada diriku, jangan coba-coba engkau
memberi bantuan apa pun...!"
"Menghadapiku seorang diri, engkau
benar-benar akan menyesal Bocah gembel!"
tukas si Kaki Tunggal meremehkan.
"Jangan banyak mulut. Seranglah aku
dengan pedangmu yang terkenal sangat
hebat itu...!"
"Lima gebrakan di depan tubuhmu
benar-benar akan kubelah dengan pedang
ini, pemuda sombong...!"
"Lakukanlah kalau engkau mampu...!"
ejek si pemuda.
"Ho... he... hi...! Aku pasti
mampu... ya pasti mampu...!"
Sekali menyerang, si Kaki Tunggal
langsung kirimkan tusukan tusukan ganas,
Buang Sengketa yang sudah tahu bahwa
pukulan-pukulan mautnya tak akan berarti
banyak. Untuk menandingi permainan
lawannya maka kini dia mengambil
keputusan untuk mengimbangi jurus-jurus
pedang lawannya dengan sebuah jurus yang
sudah tak asing lagi, yaitu Membendung
Gelombang Menimba Samudra.
Tangan diputar sedemikian rupa,
sehingga merupakan sebuah kitiran yang
berputar liat membentuk sebuah
pertahanan yang kokoh. si Kaki Tunggal
terus merangseknya dengan jurus-jurus
pedang tingkat tinggi yang diberi nama
Setan Gila Membelah Bumi. Sekejap saja
pedang di tangan lawannya menderu-deru
menyebarkan bau yang tak sedap.
"Bet! Bet!" '
Dua kali sambaran mata pedang nyaris
membeset kulit punggungnya.
"Ih...!" keluh Buang Sengketa
sambil menjatuhkan dirinya ke samping
kiri. si Kaki Tunggal memburunya lalu
menusukkan pedangnya lagi.
"Wut! Put!"
"Bret!"
Sungguhpun Pendekar Hina Kelana
bergerak sedemikian cepat, namun tetap
saja senjata di tangan lawan berhasil
menggores dan merobek bagian samping. Si
pemuda nampak menyeringai begitu
merasakan sakit yang teramat sangat.
Masih untung dia kebal terhadap segala
macam racun. Kalau tidak goresan pedang
lawan yang mengandung racun jahat sudah
membuatnya tewas. Atau paling tidak
pingsan seketika itu juga. Darah mulai
merembes membasahi baju si pemuda, dari
jarak yang tidak begitu jauh nampak si
Pengail Aneh memperhatikan keadaan si
pemuda dengan pandangan tak tega.
Sementara pertarungan itu terus
berlangsung, tetapi kini jurus-jurus
silat yang dipergunakan oleh si pemuda
nampak berubah total. Gerakan-gerakan
tubuhnya nampak meliuk-liuk tak
beraturan, sekali waktu kaki dan tangan
menghantam ke arah depan secara
serampangan. Di lain kesempatan bagai
seekor monyet yang terserang penyakit
gatal, dia menggaruk-garuk tak
karuan. Sungguh pun
gerakan-gerakan silatnya ngaco tak
beraturan. Namun sejauh itu selalu saja
sergapan-sergapan yang dilakukan oleh si
Kaki Tunggal menemui sasaran yang
kosong. Tak heran, karena saat itu
Pendekar Hina Kelana telah mempergunakan
jurus si Gila Mengamuk yang tak perlu
diragu kan lagi kehebatannya. Bukan main
kesal si Kaki Tunggal demi menghadapi
situasi pertarungan seperti itu. Maka
ketika lima puluh jurus telah berlalu,
dan keadaan masih tetap tak berubah. Maka
si Kaki Tunggal kemudian telah
bersiap-siap dengan pukulan y,ang diberi
nama, Kunyuk Gila Menendang Gunung.
"Weeer!"
Laksana kilat selarik sinar
berwarna hitam keungu-unguan nampak
melesat sedemikian cepat mengarah pada
si pemuda. Buang Sengketa menyadari
bahwa pukulan yang dilepaskan oleh
lawannya adalah sebuah pukulan ganas
yang hampir membuatnya tewas beberapa
minggu yang lalu. Maka tak ayal lagi dia
pun mengerahkan pukulan Empat Anasir
Kehidupan tingkat tinggi.
Wuuut!
Satu gelombang sinar Ultra Violet
meluruk sedemikian cepat ke arah
datangnya tenaga pukulan yang dilepas
oleh si Kaki Tunggal. Maka tak terelakkan
lagi kedua tenaga sakti itu pun saling
bertabrakan di udara.
"Blaaar!"
Suara berdentumnya dua kekuatan itu
laksana merobek langit kelam. Bumi
tempat mereka berpijak nampak bergetar
hebat. Tubuh si pemuda nampak terlempar
beberapa tombak, sementara lawannya
hanya tergetar saja. Begitu tubuh
Pendekar Hina Kelana tersungkur di atas
tanah berbatu, darah terus menggelogok
dari mulutnya. Cepat-cepat dia himpun
tenaga dalamnya. Sebentar kemudian
wajahnya yang nampak memucat itu secara
perlahan berangsur-angsur berubah
kemerahan kembali. Tetapi pada saat itu
dengan pedang terangkat tinggi-tinggi si
Kaki Tunggal sudah memburunya kembali.
Sementara itu si Pengail Aneh yang sejak
tadi memperhatikan jalannya
pertarungan, nampak semakin cemas,
apalagi sempat mengetahui bahwa si
pemuda sampai muntahkan darah segar.
Ingin rasanya dia turun tangan membantu.
Tetapi dia merasa kurang enak dengan apa
yang telah dikatakan oleh pemuda itu
sebelumnya. Sungguhpun besar sekali
keinginannya untuk dapat terjun kembali
dalam pertarungan itu, tetapi pada
akhirnya dia tak mampu berbuat banyak.
Dia tak ingin melihat Pendekar Hina
Kelana menjadi marah karena ulahnya.
Sementara itu Buang Sengketa sedang
berpikir-pikir untuk mempergunakan
Cambuk Gelap Sayuto atau Pusaka Golok
Guntung. Namun akhirnya dia memutuskan
untuk mempergunakan dua-duanya. Maka
begitu pusaka Golok Buntung tergenggam
di tangan Pendekar Hina Kelana, si Kaki
Tunggal nampak sangat terkejut sekali.
Kedua bola matanya nampak tor belalak
bagai mau meloncat ke luar. Apabila golok
di tangan si pemuda memancarkan
cahaya merah menyala. Dan apabila
mulutnya mulai mendesis-desis bagai
bunyi seekor ular piton yang sedang
marah. Maka pada detik kemudian dia pun
berseru lantang!
"Sobat! Senjata di tanganmu
tterlatlu, hebat buatku, terpaksa aku
mempergunakan golok dan cambuk yang
tiada berarti ini bagimu...!" kata si
pemuda merendah.
"Sombong, engkaukah Pendekar Hina
Kelana keparat itu. Namamu sudah sangat
tersohor di mana-mana. Tapi jangan kira
aku takut. Sungguhpun engkau memiliki
selusin golok buntung, tidak nantinya
aku lari meninggalkanmu." tukasnya ketus
sekali.
"Haiiit!"
Diawali dengan satu jeritan keras
menggelegar, tubuh si pemuda bergerak
cepat, si Kaki Tunggal tertawa mengekeh,
kemudian babatkan pedangnya untuk
menjajal kehebatan golok buntung di
tangan lawannya. Dengan sengaja Buang
Sengketa memapaki datangnya serangan
pedang pihak lawannya.
"Crang! Trang!"..
Kejut kedua orang ini bukan alang
kepalang. Kaki Tunggal terjengkang dua
tombak sementara dadanya terasa bagai
ditimpa batu gunung. Akan tetapi dia
lebih terkejut lagi manakala dia menoleh
ke arah pedangnya yang rompal di beberapa
bagian. Secepatnya dia berusaha bangkit,
begitu dia memandang pada Buang Sengketa
yang sudah melecut cambuk gelap Sayuto di
angkasa lepas.
"Ctarr! Ctarr! Ctarr!
Mendadak suasana malam yang
dalam keadaan bulan purnama, seketika
itu menjadi gelap gulita. Bunyi petir
saling sambung menyambung. Dalam keadaan
seperti itu tak satu pun yang dapat
dilihat. Dalam genggaman pendekar Hina
Kelana, pusaka Golok Buntungnya
memancarkan sinar merah bara, sehingga
tak ubahnya bagai lentera dalam
kegelapan. Hanya si Kaki Tunggal saja
yang melotot memperhatikan ke anehan
itu. Tubuh Pendekar Hina Kelana
tiba-tiba berkelebat. Cambuk di tangan
terus melecut-lecut. Sementara laksana
meteor golok di tangan si pemuda
berkelebat, mengarah pada bagian tubuh
lawannya.
"Trang! Crees!"
Pedang di tangan si Kaki Tunggal
terpelanting entah ke mana terbabat
golok di tangan Buang Sengketa. Tidak
cukup sampai di situ saja, pusaka Golok
Buntung itu pun langsung menghunjam di
pangkal tenggorokan si Kaki Tunggal.
Tiada lolongan maut, hanya darah segar
saja yang menyembur-nyembur dari luka
luka yang menganga dan beberapa saat
kemudian, tubuh Ksatria Terkutuk Berkaki
Tunggal itu pun terhuyung-huyung
kemudian terjungkel di atas tanah
berbatu dengan jiwa melayang. Tamatlah
riwayat Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal
ini, bersamaan dengan itu kabut dan suara
petir itu pun secara berangsur-angsur
mulai hilang dan tak terdengar lagi.
Bulan purnama nampak sudah berada di atas
ubun-ubun. Berulang kali si Pengail Aneh
berseru dan memuji kehebatan pendekar
itu. Tetapi akhirnya dia harus
menggerutu, karena begitu dia menoleh
pendekar yang diajaknya bicara itu sudah
tidak ada di tempat. Tinggallah si
Pengail Aneh yang meracau seorang diri
sambil berlalu dari tempat itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar