..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 30 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE PUSAKA WARISAN IBLIS


 

PUSAKA WARISAN IBLIS

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari pener-

bit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: 

Pusaka Warisan Iblis


SATU


Hujan petir sambung menyambung tiada 

henti, kilat menyambar-nyambar dengan disertai 

hembusan angin yang begitu kencang. Berbagai 

jenis pepohonan bertumbangan, tumpang tindih 

tiada berketentuan. Tak seorang pendudukpun 

yang berani keluar meninggalkan rumahnya. Su-

asana yang ada hanyalah gelegar petir dan desau 

angin ribut yang menderu-deru. Dalam suasana 

seperti itu nampak sesosok tubuh sedang berlari 

kencang tanpa menghiraukan keadaan di sekeli-

lingnya. Tubuhnya basah penuh berlumur darah, 

sementara di bagian tangannya menggengam se-

buah buntalan kecil yang juga di lumuri banyak 

darah. Nampaknya orang yang sedang berlari-lari 

mendapat bacokan senjata tajam yang cukup pa-

rah.

"Glegeeer....!"

Petir di angkasa serasa merobek bumi, tu-

buh laki-laki yang berlumur darah dan telah pula 

basah dengan air hujan nampak bergetar. Se-

jenak dia menghentikan langkahnya. Sorot ma-

tanya liar memperhatikan suasana di sekeliling-

nya. Sepasang mata yang redup itupun nampak 

berkilat-kilat ketika melirik pada buntalan yang 

dibawanya.

"Aku harus segera sampai ke sana....!" kata 

laki-laki setengah baya ini, selanjutnya tanpa me-

nanti lebih lama. Orang inipun kembali berlari le


bih kencang lagi. Dalam keadaan berlari itu, luka 

menganga di bagian punggungnya semakin ba-

nyak mengalirkan darah. Bahkan di bagian ba-

junya yang basah, darah beku yang bergumpal-

gumpal jatuh berceceran.

"Sraaak...!"

"Gabruuuuk...!" tubuh laki-laki itu tersung-

kur ke depan saat mana sebuah tali yang diren-

tangkan sebatas lutut dan muncul dengan tiba-

tiba, menghadang kakinya. 

Lalu beberapa sosok tubuh berpakaian ku-

ning gading nampak berlompatan dari semak-

semak dan langsung mengerumuni laki-laki yang 

sudah dalam keadaan terluka parah ini.

"Kau telah berhasil membawa benda itu, 

Jatayu...!"

"Keberanianmu sungguh luar biasa...! kau 

terluka parah rupanya...? He...he...he...! Tempat 

itu memang mengandung banyak jebakan, itu 

makanya kami tidak berani menjarahnya. Se-

karang serahkan benda itu pada kami, Jatayu...! 

Cepatlah...kalau tidak jiwamu kan segera me-

layang!" Salah seorang diantara mereka yang ber-

badan pendek namun memiliki mulut sangat le-

bar. Laki-laki yang sedang dalam keadaan ter-

sungkur dan memiliki nama Jatayu ini mende-

ngus. Tapi suara dengusannya tak ubahnya ba-

gai orang yang sedang merintih kesakitan.

"Apakah kau ingin agar kami mengambil-

nya secara paksa...!" bentak si mulut lebar nam-

pak semakin tak sabar saja.


"Glegeeer...!" petir di angkasa sana kembali 

menyambar. Tetapi tiga orang laki-laki berpakaian 

kuning itu sudah tiada menghiraukannya lagi.

"Kakang Gompal Pringgan! Mengapa harus 

basa basi...? Orang ini sudah hendak mampus, 

lebih baik kita habisi saja sekalian...!" tukas salah 

seorang dari tiga orang itu merasa tak sabar.

"Mengingat Nyai Pamekasan...! Aku tak 

akan bertindak segegabah itu...!" kata Gompal 

Pringgan merasa segan.

"Kau dengarkan, Jatayu...! Kakangku ma-

sih mau memberi kesempatan hidup padamu ka-

rena orang yang dihormatinya... nah sekarang se-

rahkanlah bungkusan itu?"

"Ak...aku tak ingin menyerahkan bungku-

san ini pada siapapun...!" sela Jatayu. Sungguh-

pun suaranya tersendat-sendat, namun dia ma-

sih dapat berkata tegas.

"Kalau begitu, orang ini benar-benar tak 

bisa dikasihani. Rebut bungkusan itu!" perintah 

Gompal Pringgan kepada dua orang saudaranya. 

Dengan gerakan yang sangat cepat dua orang 

berpakaian serba kuning itu menggebrak Jatayu. 

Namun di luar dugaan kiranya laki-laki yang su-

dah terluka parah ini bangkit kembali. Pandangan 

matanya berubah beringas dan liar.

"Kalian tak akan pernah mendapatkan apa-

pun dariku...!" bentak Jatayu dengan suara ber-

getar.

"Kau memang pantas mampus...!" teriak 

Gompal Pringgan. Dalam keadaan sekalap ini, la


ki-laki berpakaian kuning ini mencabut sen-

jatanya yang berupa Gading Gajah yang berhulu 

ranting. Senjata aneh itu kemudian menderu ke 

arah bagian, kepala, dada dan juga perut Jatayu. 

Sungguhpun dalam keadaan terluka parah, na-

mun dia masih mampu menghindari terjangan 

senjata di tangan tiga laki-laki berpakaian kun-

ing. Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung 

lama. Tubuhnya yang sudah kehilangan banyak 

darah, nampak mulai limbung, lemas tiada berte-

naga.

"Desak terus! Jangan beri dia kesempatan 

untuk menghindar...!" kata Gompal Pringgan se-

makin memperhebat serangan-serangannya.

"Celaka! Tubuhku sudah tiada bertenaga 

sama sekali, aku pasti tak dapat mempertahan-

kan apa yang seharusnya kusampaikan pada gu-

ruku...!" batin laki-laki yang bernama Jatayu ini 

masih terus berusaha mengimbangi serangan-

serangan lawannya.

"Hiaaat! Mampuslah kau...!" teriak ketiga 

orang itu bersamaan.

"Jrooos! Croook...Jrooot...!" senjata gading 

gajah yang sangat tajam itu menembus batok ke-

pala, dada juga bagian perut Jatayu. Laki-laki 

yang sudah dalam keadaan terluka parah ini 

langsung roboh, menggelosor mencium rerum-

putan basah.

Dengan cepat Gompal Pringgan menyam-

bar bungkusan yang tergenggam erat di tangan 

Jatayu. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi, ketiganya segera berlari menjauh, kemudian meng-

hilang dikegelapan malam. Hujan deras yang dis-

ertai gemuruh suara petir masih terus menggila, 

tak sampai sepemakan sirih setelah perginya tiga 

orang itu. Seorang perempuan tua berusia sekitar 

lima puluh tahun muncul pula di tempat itu. Ne-

nek berpakaian tambal-tambal ini memiliki badan 

agak bongkok. Sedangkan di tangannya nampak 

tergenggam sebuah tongkat berukir kepala Singa 

Merah. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai 

Pengemis Tongkat Sakti. Perempuan tua yang 

memiliki nama Nyai Pamekasan ini merupakan 

seorang tokoh beraliran lurus yang pernah mera-

jai dunia persilatan lebih kurang sepuluh tahun 

yang lalu. Selama itu dia tak pernah terkalahkan 

oleh tokoh persilatan manapun karena kehebatan 

permainan tongkatnya yang begitu dahsyat. Lima

tahun terakhir setelah mengalahkan Sumbadra, 

yaitu tokoh sesat yang bermukim di Pulau Angsa. 

Nyai Pamekasan mulai mengasingkan diri di pun-

cak Gunung Berhala yang jauh dari keramaian 

dunia-ramai bersama seorang muridnya yang 

bernama Jatayu.

Semua itu dilakukannya demi menjaga ke-

selamatan sebuah benda pusaka yang berupa se-

buah Geluk Emas peninggalan almarhum gu-

runya Indra Bayu, yang sejak dulu telah diincar 

oleh kalangan persilatan dari berbagai golongan. 

Tetapi karena akhir-akhir ini semakin bertambah 

banyak saja orang yang mengincar peninggalan 

gurunya itu, maka Nyai Pamekasan mengutus


muridnya untuk memindahkan Geluk Pusaka itu 

dari Lereng Bromo ke tempat pertapaanya di Gu-

nung Berhala. Tetapi setelah kepergian muridnya, 

mendadak hatinya dihantui rasa was-was. Jan-

gan-jangan di jalan muridnya yang bernama Ja-

tayu mengalami banyak rintangan. Dalam suasa-

na kalut seperti itu, akhirnya Nyai Pamekasan 

meninggalkan Gunung Berhala, menyusul murid-

nya ke Lereng Bromo.

Ketika nenek berpakaian tambal-tambal ini 

sampai di lereng Bromo dan memeriksa tempat 

penyimpanan. Benda langka itu sudah tak ber-

ada di tempatnya. Diapun sudah dapat memas-

tikan Geluk Emas pastilah sudah diambil oleh 

murid tunggalnya. Diam-diam nenek ini me-

ngikutinya dari belakang. Tetapi setelah melewati 

beberapa desa, dalam suasana hujan petir. Ak-

hirnya orang tua ini menjadi terperanjat begitu 

melihat sosok tubuh yang sangat dikenalnya ter-

geletak tanpa nyawa.

"Siapa yang telah melakukan pembunuhan 

keji ini...!" batin Nyai Pamekasan, sambil meme-

riksa keadaan mayat muridnya. Melihat luka-luka 

yang terdapat di sekujur tubuh Jatayu, nenek 

berpakaian tambal-tambal ini kerutkan kening-

nya.

"Sebuah luka bekas goresan senjata tajam

pastilah akibat perangkap yang terpasang di da-

lam gua, dan tololnya aku sampai lupa mengin-

gatkan yang satu itu. Tapi kematiannya pastilah 

bukan karena luka itu, aku tahu persis. Ya... luka


berlubang mirip tanduk kerbau ini, pastilah yang 

menyebabkannya tewas...!" batin si nenek sambil 

terus memeriksa tubuh muridnya di bagian lain.

"Luka bekas tanduk kerbau ini meninggal-

kan racun yang dapat membunuh seekor gajah. 

Di sini terdapat tiga luka yang sama, kalau kuin-

gat-ingat aku tak pernah melihat orang yang 

mempergunakan senjata seperti ini...!" kata Nyai 

Pamekasan, sekejap dipandanginya tiga luka di 

bagian tubuh Jatayu. Otaknya bekerja keras un-

tuk mengingat siapa sebenarnya pemilik senjata 

aneh yang telah menewaskan muridnya.

"Tanduk kambing! Ah tak mungkin... tan-

duk binatang seperti kambing terlalu kecil untuk 

di pergunakan sebagai senjata. Tanduk lembu 

dan kerbau juga tak mungkin, apalagi tanduk ru-

sa. Tak terdapat petunjuk apapun untuk men-cari 

tahu siapa pelaku pembunuhan ini...!" desah Nyai 

Pamekasan, lalu garuk-garuk kepalanya yang ba-

sah oleh air hujan.

"Gajah...!" gumannya pelan. Gajah tak ber-

tanduk... tetapi gadingnya, hemmm! Itu pasti se-

kali. Tapi siapa pemilik senjata seperti itu? Sela-

ma malang melintang di rimba persilatan dulu, 

aku tak mempunyai lawan yang memiliki senjata 

seaneh itu. Atau mungkinkah selama lima tahun 

aku mengundurkan diri dari dunia persilatan ke-

mudian muncul tokoh-tokoh baru yang memper-

gunakan gading gajah sebagai senjata andalan...!" 

kata si nenek di dalam hati.

"Kemungkinan itu pasti ada saja. Dan sia

papun orang yang melakukan tindakan keji seper-

ti ini, aku harus mencarinya. Yah... akan kucari 

walau sampai ke ujung bumi sekalipun. Geluk 

Emas peninggalan guruku kalau sampai terjatuh 

ke tangan orang-orang sesat pastilah akan me-

nimbulkan malapetaka yang banyak memakan 

korban jiwa...!" batin Nyai Pamekasan. Nenek 

berpakaian tambal-tambal ini kembali terdiam, la-

lu dipandanginya mayat Jatayu. Lalu tanpa sa-

dar, air matanyapun menitik. Dia nampaknya me-

rasa terpukul sekali atas kematian murid tung-

galnya. Dengan tatapan hampa, tubuhnya me-

nunduk kemudian diangkatnya mayat Jatayu, la-

lu melangkah pergi menuju Gunung Berhala. 


DUA



Dalam hembusan udara pagi yang segar, 

dan semerbak harumnya bunga-bunga yang tum-

buh liar. Betapa alam serasa menjanjikan suasa-

na kedamaian pada setiap mahkluk yang meng-

huninya. Namun suasana seperti itu segera ter-

pecah oleh hiruk pikuk derap langkah kuda yang 

sedang dipacu cepat menuju lereng gunung Bro-

mo. Para penunggang kuda itu terdiri dari lima 

orang bertubuh kekar, berpakaian cokelat, den-

gan wajah dipenuhi jambang dan bawuk, sedang-

kan di bagian punggung mereka menggelantung 

sebilah pedang dengan gagang panjang beronce 

merah. Siapakah mereka ini? Kalangan persilatan


mengenal mereka sebagai Lima Datuk Sesat dari 

Hutan Parik. Mereka di kenal sebagai orang-orang 

golongan hitam yang begitu kejam dan telenggas. 

Dengan Pedang Pusaka Pembasmi Setan yang 

mengandung racun sangat ganas, mereka dapat 

membunuh lawannya hanya dalam sekedipan 

mata saja. Dalam pada itu pemimpin rombongan 

yang berada paling depan dan paling tua diantara 

rombongan lainnya, nampak menghentikan lari 

kuda tunggangannya secara tiba-tiba.

"Berhenti...!" perintahnya pada empat 

orang penunggang kuda yang berada di bagian 

belakang. Dengan cepat empat orang kawannya 

menarik kekang kuda hingga binatang tunggan-

gan itu berhenti secara tiba-tiba.

"Ada apa kakang...!" tanya salah seorang 

diantaranya.

"Hhh...! Menurutmu masih jauhkah lereng 

Bromo dari tempat ini...? Aku pernah pergi ke sa-

na beberapa purnama yang lalu, kalau kita terus 

melanjutkan perjalanan. Kira-kira setengah hari 

nanti kita segera sampai...!"

"Masih jauh juga perjalanan kita dari tem-

pat ini...! Aku merasa kuatir benda langka itu te-

lah terjatuh ke tangan orang lain...!" desah laki-

laki berusia enam puluh tahun itu merasa was-

was.

"Kakang Wicak Sono! Mengapa kita harus 

takut! Kalau Geluk Emas yang konon kabarnya 

memiliki keajaiban dalam menyembuhkan berba-

gai penyakit itu sampai terjatuh ke tangan orang


lain. Kita dapat merampasnya, dan kita akan 

menjadi lima orang tabib sesat yang tiada duanya 

di kolong langit ini...!" sela lainnya dengan se-

sungging senyum licik.

"Huh...! Siapa sudi menjadi seorang tabib 

yang sepanjang hidupnya terus melarat. Kalau 

Geluk Emas itu telah kudapat, maka akan ku-

ciptakan racun yang mematikan. Dan membuat 

teror di mana-mana...!" dengus Wicak Sono.

"Sebuah ide yang cukup jitu kakang...! 

Kami bahkan mendukung dengan sepenuh ha-

ti...!" kata lain-lainnya mendukung.

"Jangan banyak membual, baiknya kita te-

ruskan saja perjalanan kita ini...!" ujar yang men-

jadi pimpinan, lalu menggebrak kudanya.

"Kakang! Lihatlah...! Di depan sana ada ti-

ga orang yang patut kita curigai." seru salah seo-

rang dari kelima datuk sesat itu.

"Kejar orang itu...!" teriak Wicak Sono. Lalu 

dengan kecepatan yang menggila kelima datuk 

sesat dari Bukit Bontang inipun kembali mengge-

brak kudanya dengan kecepatan luar biasa.

Dalam waktu yang begitu singkat tiga 

orang pejalan kaki yang mereka curigai itupun te-

lah tersusul.

"Kisanak! Mohon berhenti...!" perintah Wi-

cak Sono pada tiga orang laki-laki berpakaian 

kuning. Secara serentak mereka menoleh, tapi 

nampaknya para pejalan kaki ini tidak mengenali 

siapa para penunggang kuda itu.

"Siapakah anda...? Mengapa pula meng


hentikan perjalanan kami...?" tanya salah seorang 

diantaranya yang berbadan pendek dan bermulut 

lebar.

"Ahh... dunia yang luas ini sering kami 

buat porak poranda dengan sepak terjang kami. 

Empat penjuru mata angin dunia persilatan telah 

mengenal kami dengan begitu baik. Tapi alang-

kah menyesalnya kami, hari ini ada tiga orang ti-

kus dapur yang kesasar tidak mengenal siapa 

kami adanya...!" tukas Wicak Sono dengan ta-

tapan dingin. Memerah wajah tiga laki-laki berpa-

kaian serba kuning ini. Apalagi mengingat betapa 

kelima orang penunggang kuda itu tak meman-

dang muka kepadanya.

"Tiada hujan, tiada pula angin. Tetapi aku 

heran mengapa pohon-pohon bertumbangan. Dan 

kalian orang-orang gila dari manakah begitu da-

tang langsung mengumbar kata-kata kasar...!" 

bentak Gompal Pringgan. Geram.

"Bangsat...! Tikus-tikus ini benar-benar tak 

tahu betapa tingginya gunung dan dalamnya lau-

tan. Tahukah kalian dengan siapa kalian ber-

hadapan?"

"Mengapa tidak? Kalian adalah lima ekor 

monyet cokelat yang sengaja datang mencari ga-

ra-gara...!" sentak salah seorang dari tiga orang 

laki-laki berpakaian kuning ini berang. Selama 

malang melintang di rimba persilatan belum per-

nah ada dalam sejarahnya tokoh manapun berani 

menghina mereka sedemikian rupa. Dan kali ini 

tiga orang laki-laki belum pernah mereka lihat sepak terjangnya telah begitu berani menghina den-

gan kata-kata kasar. Hal ini mereka anggap seba-

gai suatu penghinaan yang tak dapat dimaafkan.

"Setan alas, anjing geladak! Kau telah begi-

tu berani menghina kami, dan hanya ada satu ca-

ra demi keselamatan jiwa kalian. Serahkan bung-

kusan itu pada kami!" perintah Wicak Sono. 

"Semudah itukah kalian memberi perintah 

pada orang lain...? Pula bungkusan ini tidak me-

miliki arti apa-apa...!" kata Gompal Pringgan. Se-

mentara dua orang kawannya melirik ke arah 

bungkusan yang berada dibagian punggung sau-

dara seperguruannya yang paling tua.

Tentu saja apa yang dilakukan oleh dua la-

ki-laki berpakaian kuning ini menarik perhatian 

para penunggang kuda. Mereka menjadi curiga. 

Jangan-jangan Geluk Emas yang terdapat di le-

reng Bromo, kini telah berada di tangan ke tiga 

orang itu. Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba saja 

Wicak Sono memberi isyarat pada empat orang 

kawannya. Tanpa basa-basi lagi, empat orang ib-

lis inipun berlompatan dari punggung kuda mas-

ing-masing. Dengan gerakan sangat cepat, tahu-

tahu Gompal Pringgan dan dua orang saudara se-

perguruannya telah terkepung rapat. 

"Huaaa...ha...ha...! Jangan ada seorang dari ka-

lianpun yang coba-coba mengambil tindakan yang 

sangat gegabah. Serahkan buntalan itu, dan kami 

hanya menghendaki dua belah tangan kalian sa-

ja...!" bentak Wicak Sono. Namun di luar dugaan 

Gompal Pringgan balas tergelak-gelak. Karena suaranya di sertai dengan tenaga dalam yang tinggi. 

Maka suara tawa itu terasa menggetarkan jan-

tung lawan-lawannya. Maka sadarlah Wicak Sono 

dan kawan-kawannya, kalau saat itu mereka se-

dang berhadapan dengan tiga orang lawan yang 

tidak dapat dipandang sebelah mata.

"Cring... Sriiing...!" secara mendadak seren-

tak keempat kawan tokoh sesat inipun mencabut 

senjatanya. Sedangkan yang menjadi pimpinan 

masih tetap ongkang-ongkang di atas punggung 

kudanya. 

"Jangan pernah bermimpi hujan kan terja-

di di tengah-tengah panas yang menyengat. Se-

tan-setan dari bukit Bontang? Bagi kami nama 

kalian yang begitu kesohor di empat penjuru mata 

angin tidak ada apa-apanya...! Kucing kurap dan 

tikus belekan boleh keder mendengar julukan ka-

lian, tapi tidak begitu halnya dengan Tiga Hantu 

Lembah Neraka...!" bentak Gompal Pringgan tan-

pa sungkan-sungkan lagi. Kenyataan yang terjadi, 

lima Datuk Sesat ini memang nampak terkejut 

luar biasa. Tiga Hantu Lembah Neraka bukanlah 

nama yang asing bagi mereka, bahkan dunia per-

silatan mengenal tiga orang ini karena ketinggian 

ilmunya. Tetapi selama ini Tiga Hantu Lembah 

Neraka merupakan tokoh sesat yang sangat mis-

terius. Sangat jarang sekali terlihat berkeliaran di 

rimba persilatan. Itu makanya ketika melihat ke-

hadiran ketiga laki-laki berpakaian serba kuning. 

Kelima datuk sesat dari Bukit Bontang ini tidak 

mengenal mereka sama sekali. Karena sebelum


nya sekalipun mereka tak pernah berjumpa apa-

lagi bentrok dengan tiga tokoh misterius ini. Se-

lanjutnya dengan sikap agak merendah, namun 

tak pernah mengalah. Wicak Sono berkata: "Nama 

Tiga Hantu Lembah Neraka sangat di kenal kare-

na kehebatan senjata dan ketinggian ilmunya. 

Terlalu sombong demi kami karena telah begitu 

jumawa menggembar-gemborkan julukan kami 

yang tidak ada apa-apanya di hadapan anda se-

kalian. Maafkanlah! Tapi bolehkan kami tahu apa 

isi bungkusan yang anda bawa...?" ujar Wicak 

Sono tanpa mengalihkan ucapan dari tujuan se-

mula.

"Ha... ha... ha...! Bicara saja muter-muter, 

tak tahunya itu-itu juga akan kau tanyakan...!" 

sentak Gompal Pringgan tanpa sungkan-sungkan 

lagi.

"Kami hanya sekedar ingin tahu saja...!" 

kata Wicak Sono berkilah.

"Heh...kalau kau ingin tahu isi bungkusan 

ini, maka tinggalkan kepala kalian disini. Nanti ji-

ka kalian benar-benar telah menjadi setan neraka 

kalian baru kuberi tahu...!" antara sungkan dan 

rasa penasaran berbaur menjadi satu, akhirnya 

meledak menjadi sebuah amarah yang sudah ti-

dak menghiraukan akibatnya.

"Tiga Hantu Lembah Neraka! Sungguhpun 

kalian memiliki sepuluh tangan sepuluh kaki. 

Kami Lima Datuk Dari Bukit Bontang tidak per-

nah merasa gentar. Keenggananmu mene-

rangkan isi bungkusan itu saja sudah merupakan


satu bukti pada kami, bahwa sebenarnya isi 

bungkusan itu tak lain adalah Geluk Emas yang 

telah kalian curi dari Lereng Bromo...!"

"Bagus! Kalau kalian sudah mengetahui, 

mengapa tidak cepat-cepat merat dari hadapan 

kami...?" bentak Gompal Pringgan, secara men-

dadak berubah beringas. 

"Semua kalangan persilatan menjadi gem-

par karena benda itu sobat. Mereka berlomba-

lomba untuk mendapatkannya. Tak segan-segan 

mereka saling bunuh dan curiga mencurigai. Bu-

kan mustahil kamipun yang da tang jauh-jauh 

dari bukit Bontang, juga ingin melihat dan memi-

liki Geluk Emas yang mengundang banyak perha-

tian golongan manapun...!"

"Lebih baik kalian bermimpi telah menda-

patkan benda ini, dari pada harus mendapatkan-

nya secara kenyataan. Benda ini sampai di ta-

ngan kami telah merenggut jiwa yang mem-

bawanya. Aku menjadi takut dalam waktu se-

kejab lagi, nyawa diantara kita menjadi korban 

berikutnya...!" sentak Gompal Pringgan setengah 

mengingatkan. Sungguhpun Tiga Hantu Lembah 

Neraka telah memberi peringatan sedemikian ru-

pa. Tapi nampaknya Wicak Sono dan empat orang 

saudara seperguruannya tidak mengindahkan pe-

ringatan itu.

"Kami siap mengadu jiwa demi Geluk Emas 

yang ada di tanganmu itu...!" mengerang suara 

Wicak Sono, tanda dia sudah tidak menghirau-

kan ancaman tokoh misterius yang berdiri tegak



di depannya.

"Keinginan kalian hanya akan menambah 

jumlah korban lebih banyak lagi, kucing kurap 

Bukit Bontang...!"

"Tunggu apa lagi...! Majulah...!" bentak sa-

lah seorang berpakaian kuning lainnya yang ber-

nama Ki Luwuh.

"Sebelum itu kita harus habisi dulu kuda-

kuda mereka...!" 

"Shaaaa...!"

Gompal Pringgan menyambitkan senjata 

rahasianya yang berupa serpihan tulang gajah 

yang sangat kecil mirip jarum. Seperti di ketahui 

senjata rahasia ini juga mengandung racun yang 

sangat ganas. Begitu tangan Gompal Pringgan 

melambai ke arah depannya, puluhan benda kecil 

berwarna putih menghantam telak di bagian leher 

kuda-kuda tunggangan milik kelima Datuk Bukit 

Bontang. 

"Hiiieeeeh...!"

Kuda tunggangan itupun meringkik keras 

saat mana bagian lehernya tertembus senjata ra-

hasia milik Gompal Pringgan. Bahkan senjata-

senjata maut itu langsung menembus leher itu, 

lalu melesat lagi dan menancap pada sebatang 

pohon.

Tak dapat dicegah, lima ekor kuda tung-

gangan itupun ambruk ke bumi, begitupun den-

gan kuda milik Wicak Sono. Andai saja laki-laki 

setengah baya itu tidak cepat-cepat menghindar

sudah pasti diapun menjadi sasaran empuk senjata rahasia milik lawannya.

"Huuuaa...!"

Secara serentak kelima orang itu menggem-

pur Tiga Hantu Lembah Neraka, dengan jurus pe-

dang andalannya. Sementara itu masih dengan 

bertangan kosong, laki-laki berpakaian serba 

kuning ini melayaninya dengan begitu mantap.

Kenyataannya kedua golongan sesat itu 

memang sama-sama memiliki kepandaian yang 

sangat tinggi. Masing-masing mereka mempunyai 

kelebihan dalam setiap jurus pedang maupun ju-

rus-jurus silatnya.

Satu kesempatan secara serentak Tiga 

Hantu Lembah Neraka melakukan gerakan meng-

hindar ke belakang tujuh tombak, lima orang la-

wan memburu dengan membabatkan pedangnya 

secara bertubi-tubi. Namun di luar dugaan mas-

ing-masing tangan Tiga Hantu Neraka mengga-

bungkan tangannya dengan posisi berbaris ke 

samping. Lima Datuk Bukit Bontang terus men-

desaknya. Pada saat itulah

"Hiaaaat...!"

Tubuh Tiga Hantu Lembah Neraka secara 

serentak melayang di udara laksana terbang. Se-

cara praktis lima orang lawannya kehilangan sa-

sarannya. Ketika Wicak Sono menoleh ke be-

lakangnya, maka dilihatnya Tiga Hantu Lembah 

Neraka telah berada di sana.

"Kuya...!" geram Wicak Sono dan lain-

lainnya. Lalu dengan mempergunakan jurus 'Me-

nusuk Awan Menembus Kegelapan' secara berbarengan mereka berbalik langkah kemudian me-

nerjang Gompal Pringgan dan dua orang kem-

bratnya. 


TIGA



Serangan itu selama ini dikenal sebagai se-

rangan yang sangat berbahaya dan mengandung 

resiko tinggi bagi setiap lawannya. Bahkan tiga 

orang lawannyapun dapat merasakan angin sam-

baran pedang yang begitu keras dan ganas. Tiada 

mengenal sungkan lagi Gompal Pringgan, Ki Lu-

wuh dan Pramesta segera pula mencabut senja-

tanya yang terbuat dari gading gajah dan men-

gandung racun keji luar biasa. 

"Wuuk...! Wuuk...! Wuuuk...!"

Tak kalah dahsyatnya senjata merekapun 

menderu. Bentrokanpun terjadi.

"Traaak...!" Wicak Sono dan empat orang 

saudara seperguruannya keluarkan seruan ter-

tahan. Tubuh mereka terhuyung-huyung, tangan 

terasa nyeri bagai kesemutan. Bahkan dua orang 

lainnya sampai terjengkang. Lalu terbatuk bebe-

rapa kali, bahkan secara cepat tubuh dua orang 

kawan Datuk sesat dari Bukit Berkabung beru-

bah membiru. Mata melotot bagai melihat setan di 

siang bolong. Kejadian itu tidak berlangsung la-

ma, karena sekejap kemudian tubuhnya berkelo-

jotan, lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Kiranya ketika senjata masing-masing me


reka saling bentrok tadi dengan kecepatan yang 

sangat sulit untuk diikuti kasat mata, Gompal 

Pringgan sempat pula menusukkan senjatanya ke 

dada lawan. Demi melihat kenyataan ini, semakin 

bertambah beringaslah Wicak Sono dan dua 

orang tokoh lainnya. Akhirnya selain menyerang 

Tiga Hantu Lembah Neraka dengan pedangnya, 

merekapun mulai melepaskan pukulan-pukulan 

"Bayangan Menggoda", untuk mengacaukan kon-

sentrasi lawannya.

"Dep...Dep...!" Tiga Hantu Lembah Neraka 

yang sudah mengetahui kunci kelemahan lawan-

nya juga tidak tinggal diam. Dua orang di anta-

ranya segera berdiri merapat. Sedangkan Gompal 

Pringgan nampak melompat, lalu berdiri tegak di 

atas tubuh dua orang saudaranya. Gabungan ge-

rakan seperti ini sebenarnya merupakan salah sa-

tu dari tiga cara untuk melepaskan senjata raha-

sia yang mereka miliki.

Tapi mana mungkin Wicak Sono dan dua 

orang lainnya mengetahui bahwa sesungguhnya 

apa yang dilakukan oleh lawan-lawannya dapat 

berakibat fatal bagi diri mereka. Tiga pukulan 

maut dilepaskan oleh Lima Datuk Sesat yang 

hanya tinggal bersisa tiga orang itu.

"Wueeess...!" Ki Luwuh dan Pramesta me-

nandingi pukulan itu dengan Ajian Perenggut De-

wa, sementara Gompal Pringgan sudah ber-siap-

siap untuk menyambitkan senjata rahasia-nya 

yang berupa serpihan gading beracun.

"Dwuuuer...!" tubuh gabungan Tiga Hantu


Lembah Neraka tiada bergeming sedikitpun. Se-

mentara tiga orang lawannya dalam keadaan ter-

huyung-huyung dan muntah darah kental. Pada 

saat lawannya dalam keadaan seperti itulah, 

Gompal Pringgan sambitkan senjata rahasianya.

"Weeer...!"

"Creep...! Creep...!" hanya Wicak Sono saja 

yang sedang terluka dalam itu, mampu mem-

babat runtuh serangan senjata rahasia milik la-

wannya. Sedangkan dua orang datuk lainnya 

meskipun mampu merontokkan serangan senjata 

rahasia milik Gompal Pringgan, namun beberapa 

buah diantaranya berhasil menembus bagian da-

da dan perut mereka. Kejab itu juga dua orang 

datuk sesat kembali terbanting roboh.

Dengan sangat cepat, tubuh orang itupun 

membiru.

"Saudara-saudaraku...!" jerit Wicak Sono 

begitu menyadari dalam waktu yang sangat sing-

kat empat orang saudara seperguruannya tewas 

di tangan Tiga Hantu Lembah Neraka.

"Kalian, Kepar...!" ucapan Wicak Sono ter-

cekat hanya sampai di tenggorokan saja. Kiranya 

mempergunakan kelengahan lawannya tiga orang 

laki-laki bertampang dingin itu telah pergi begitu 

saja.

"Kurang ajar! Setelah membantai orang-

orangku, manusia iblis itu pergi begitu saja. Aku 

pasti akan mencari mereka walau sampai ke liang 

kubur sekalipun...!" geram Wicak Sono. Dengan 

hati diliputi kepedihan, tokoh dari lima datuk inipun segera membuat kubur untuk saudara-

saudaranya yang tewas di tangan Tiga Hantu 

Lembah Neraka.

****

Walaupun pemuda berkuncir itu sudah 

menerangkan siapa dirinya yang sesungguhnya. 

Namun tetap saja orang-orang yang bersenjata-

kan tombak itu terus saja menyerang dan beru-

saha mendesaknya. Hujan senjatapun tak dapat 

dihindarinya lagi. Kalau sejak semula Buang 

Sengketa hanya berusaha menghindar dan me-

nangkis setiap datangnya serangan, maka kali ini 

nampaknya dia sudah tak dapat menahan kesa-

barannya lagi. Masih tetap mempergunakan jurus 

Membendung Gelombang Menimba Samudra, 

pendekar Hina Kelana segera memutar kedua 

tangannya hingga akhirnya tak ubahnya bagai 

sebuah perisai yang kokoh dalam melindungi di-

rinya. Tubuh pemuda ini akhirnya nampak hanya 

bagai bayang-bayang belaka. Karena tangan yang 

berputar membentuk perisai diri itu di aliri tenaga 

dalam yang cukup tinggi, maka setiap senjata 

tombak di tangan lawannya berhasil tersentuh 

tangan si pemuda, maka mata tombak yang cu-

kup tajam dan tak terhitung jumlahnya itu ber-

pentalan ke segala penjuru. Sebegitu jauh pulu-

han orang para pengeroyoknya nampak tiada ter-

pengaruh dengan tindakan yang dilakukan oleh 

pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara ini.


Semakin lama bahkan puluhan pengeroyok 

itu semakin memperhebat serangannya. Sedikit 

banyaknya pemuda ini tentu menjadi heran, apa-

lagi ketika dia melihat hampir setiap wajah para 

penyerangnya itu tiada menunjukkan ekspresi 

sedikitpun. Bahkan rasa takut tak terlihat sama 

sekali dalam sorot mata orang-orang itu.

"Aku begitu heran dengan keadaan orang-

orang ini, mereka menyerangku bagai orang yang 

sedang dirasuki setan. Wajah mereka pucat, tiada 

menunjukkan gairah kehidupan. Bahkan akupun 

tiada melihat antara keseriusan dengan sikap 

main-main. Hhh! Tapi di antara sekian banyak 

orang-orang yang menyerangku ini, tak pernah 

sekalipun kudengar suara mereka. Apakan mere-

ka ini merupakan orang-orang gagu, tuli atau 

bahkan sebangsanya memedi yang mendapat pe-

rintah dari orang lain...! Ah berengsek ... sejak ta-

di mereka mengincar bagian pinggangku, ataukah 

mungkin mereka menginginkan periuk mustika 

ini. Lalu untuk apa mereka menghendaki periuk 

yang kubawa-bawa ini. Pasti ada sesuatu yang 

terjadi di tempat ini, satu persoalan yang patut 

untuk kuselidiki...!" batin pemuda itu sambil te-

rus berusaha mengelakkan sabetan senjata-

senjata lawan yang datangnya bertubi-tubi.

"Aku harus mencoba mereka dengan cara 

lain...!" kata pemuda itu. Secara mendadak tubuh 

Buang Sengketa berkelebat lenyap. Tapi nampak-

nya semua lawan-lawannya yang rata-rata memi-

liki kepandaian lumayan itu merasa tidak kehilangan jejak. Terbukti mereka terus memburu 

pendekar ini, walau kemanapun dia berusaha 

menghindar. Kekesalanpun akhirnya menyelimuti 

diri sang pemuda. Tak ayal lagi diapun sudah 

bersiap-siap mengerahkan Lengkingan Ilmu Pe-

menggal Roh.

"Heiiikgh...!" 

Tanah di sekitar perbukitan dan penuh di-

tumbuhi oleh berbagai tumbuhan menjalar itu-

pun terguncang keras bagai sedang dilanda se-

laksa gempa. Para penyerang itu berpelantingan 

tunggang langgang. Namun tetap saja tiada ke-

luar sepatah katapun dari mulut mereka. Yang 

membuat Buang Sengketa terheran-heran karena 

tak seorangpun dari mereka yang menemui ajal 

sebagaimana mestinya.

"Edan... manusia atau setankah mereka 

ini... Tak satupun dari mereka yang terpengaruh 

oleh lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Tubuh me-

reka hanya roboh saja, tapi tak seorangpun yang 

mengalami akibat apa-apa...!" 

"Craang... Triingg... Triiing...!" 

"Hiaaa...! Hooooss...!" 

Pendekar keturunan negeri alam gaib ini 

mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya ke 

arah bagian telapak tangannya. Sementara seba-

gian lainnya dia pergunakan untuk melindungi 

diri dari hujan mata tombak yang tiada henti. Se-

kejap kemudian tubuhnya yang telah basah ber-

mandi keringat nampak menggeletar. Begitu tan-

gannya yang telah teraliri tenaga dalam itu dia

dorongkan keempat penjuru mata angin. Maka 

menderulah serangkum sinar Ultra Violet me-

labrak tubuh lawan-lawannya yang berjarak begi-

tu dekat dengan dirinya. Tak salah lagi saat itu 

Buang Sengketa telah melepas pukulan Empat 

Anasir Kehidupan yang menyebarkan hawa panas 

membakar.

Kembali orang-orang yang bersenjata tom-

bak itupun berpelantingan roboh. Saat itu tubuh 

mereka tak ubahnya bagai ranting kering yang di-

landa topan prahara. Sama seperti kejadian yang 

telah lalu, kali inipun tiada terdengar lolongan 

dan jeritan maut. Tubuh yang berpelantingan dan 

jatuh tumpang tindih dalam keadaan hangus itu-

pun tidak menebarkan bau daging terbakar.

Sementara itu sisa-sisa dari para pengero-

yoknya yang selamat dari pukulan yang dilepas-

kan oleh si pemuda nampak semakin bertambah 

beringas. Dengan gesit mereka menyerang si pe-

muda dengan tusukan maupun sabetan tombak 

dari berbagai penjuru. Namun Buang Sengketa 

yang sudah melindungi diri dengan memperguna-

kan sebagian tenaga saktinya ini tiada bergeming 

sedikitpun juga. Pakaiannya hampir keseluruhan 

tercabik-cabik di sana sini, tapi tubuhnya tidak 

mengalami luka walau barang sedikitpun. 

"Hiaaat...!"

"Weeer...!"Weeerr...!" pukulan yang sama-

pun kembali dilakukan oleh Buang Sengketa, ke-

jadian serupa terulang kembali. Pada saat lawan-

lawannya hanya tinggal beberapa gelintir saja, ketika itulah terdengar suara tawa sambung me-

nyambung tiada henti. Buang Sengketa memper-

hatikan keadaan di sekelilingnya. Tapi tak seo-

rangpun yang dia lihat berada di sekitar tempat 

itu, terkecuali beberapa gelintir sisa-sisa lawan-

nya. Alis si pemuda mengkerut, kemudian garuk-

garuk rambutnya.

"Pastilah pemilik suara itu seorang perem-

puan. Tapi aku merasa kagum dengan ilmu men-

girimkan suaranya yang begitu sempurna. Satu 

yang dapat kubuktikan, bahwa orang-orang yang 

telah menyerangku ini besar dugaanku merupa-

kan suruhan pemilik suara tadi. Terbukti begitu 

mendengar suara tawanya saja mereka sudah 

menyingkir dari hadapanku...!" 

"Kalau tak salah, manusia dungu pembawa 

periuk dengan rambut di kuncir seperti orang 

banci pastilah pendekar goblok Si Hina Kelana. 

Sayang... sayang sekali...!" ujar suara itu tanpa 

menghiraukan Buang Sengketa yang sedang di-

landa perasaan bingung. Bagai di sengat bina-

tang berbisa, pemuda itu terlonjak kaget. Sama 

sekali dia tiada menyangka kalau perempuan 

yang bicara melalui ilmu mengirimkan suara itu 

begitu meremehkan dirinya.

"Huh. Aku tak pernah mengenalmu, bicara 

secara sembunyi-sembunyi seperti setan. Ru-

pamu buruk seperti nenek sihir, atau bahkan 

mungkin lebih jelek dari iblis...!" maki Buang 

Sengketa merasa tersinggung. Pada dasarnya dia 

memaklumi, perempuan yang bicara melalui ilmu


mengirimkan suara itu pastilah seorang tokoh 

yang memiliki kepandaian tinggi. Sebab tak sem-

barangan orang mampu melakukannya terkecuali 

mereka yang sudah memiliki tenaga dalam di atas 

sempurna. Namun Buang Sengketa tiada mem-

perdulikan hal itu. Dia merasa tersinggung den-

gan kata-kata pemilik suara itu. Sebaliknya yang 

diajak bicara kembali tertawa mengekeh.

"Pendekar Hina Kelana! Pemuda gembel 

yang namanya kesohor di delapan penjuru persi-

latan...! Padamu kami tak perlu basa basi, karena 

kau telah melewati daerah terlarang yang menjadi 

kekuasaanku. Dan merupakan orang yang kucu-

rigai, maka anda harus bersedia kami geledah! 

Seandainya apa yang kami cari tidak terdapat pa-

damu, maka kami persilakan segera meninggal-

kan tempat ini...!" Ujar si pemilik suara bergetar.

"Aneh, mendengar suaranya mengapa jan-

tungku berdebar-debar. Menghadapi lawan yang 

sehebat apapun aku tak pernah mengalami keja-

dian seganjil ini....! Siapakah orang itu? Suaranya 

seperti pernah kukenali...!" membatin pemuda ini 

dengan hati diliputi tanda tanya.

"Mengapa kau diam, bocah...! Apakah kau 

sudah bersedia untuk kami periksa...?" sentak 

suara itu segera membuyarkan lamunan Buang 

Sengketa.

"Heh...! Belum pernah seumur hidupku 

dan sepanjang jalan yang kulalui, ada peraturan 

seaneh ini. Mulanya kedatanganku disambut 

dengan serangan berbagai tombak karatan. Bahkan aku merasa yakin orang-orang yang telah 

menyerangku pastilah merupakan orang-orang 

suruhanmu...!" tersendat suara pemuda itu.

"Mereka memang benar orang-orang suru-

hanku, tapi bisa engkau lihat bahwa orang itu 

bukanlah manusia sungguhan. Lihatlah baik-baik 

betapa mereka merupakan orang-orang yang bi-

asa dipergunakan oleh para petani untuk meng-

halau burung di sawah!" dengan sikap enggan 

pendekar ini memperhatikan mayat-mayat han-

gus yang tadi kena di hantam pukulan Empat 

Anasir Kehidupan. Sepasang matanyapun mem-

belalak tak percaya. "Bagaimana mungkin orang-

orangan yang diciptakannya dapat menyerangku 

sedemikian rupa? Pantasan tadi mayat-mayat itu 

tidak mengeluarkan suara maupun jeritan apa-

pun...! Kurang ajar! Hari ini aku benar-benar ke-

na dikerjai...!" batin Buang Sengketa. Buang 

Sengketa akhirnya merasa kesal sendiri, akhirnya 

diapun memutuskan untuk meninggalkan tempat 

itu. Tapi seperti apa yang terdapat dalam pikiran-

nya, baru saja dia melangkah tiga tindak. Dari 

arah depannya, datang angin kencang menderu-

deru. 

"Tak ada mendung dan tak ada hujan, tiba-

tiba angin bertiup sekencang ini...! Pastilah ulah 

perempuan-perempuan itu...!" umpatnya dengan 

suara perlahan. Lalu tanpa membuang-buang 

waktu lagi, Buang Sengketa kerahkan tiga perem-

pat tenaga dalamnya. Kedua tangan terlipat di 

depan dada, tubuh tegak bagaikan sebuah arca.



Dengan sengaja saat itu si pemuda memang sen-

gaja mencoba mengadu tenaga dalamnya dengan 

pihak lawan.

Hembusan angin semakin lama semakin 

bertambah kencang, pakaian Buang Sengketa 

berkibar-kibar. Tapi tubuhnya tetap tidak ber-

geming sedikitpun, malah bibir pemuda itu me-

nyunggingkan seulas senyum. 

"Musim kemarau panjang seperti ini, udara 

memang terlalu panas. Masih untung ada orang 

yang begitu berbaik hati mengipasi diriku seperti 

ini...!" teriak Buang Sengketa, lalu tergelak-gelak.

"Kampreet...!" terdengar suara kesal si wa-

nita.

"Hiyaaaa...!" suara teriakan keras itu di 

sertai dengan melayangnya tiga sosok tubuh 

mengenakan topeng berwarna biru. Dengan gera-

kan yang sangat ringan tubuh ketiga perempuan 

bertopeng ini menjejakkan kakinya persis di de-

pan Buang Sengketa.

"Kau memang hebat pemuda tampan, na-

mun jangan buru-buru berbangga diri. Sekali lagi 

kukatakan padamu, kami akan memeriksamu...!"

"Gila mengapa jantungku berdebar tiada 

berketentuan. Siapakah perempuan-perempuan 

ini...?" batin Buang Sengketa tanpa menjawab 

pertanyaan si perempuan bertopeng.

"Pemuda kurang ajar! Jangan berlagak pi-

lon, di dalam periukmu pasti kau sembunyikan 

Geluk Emas yang saat ini sedang diperebutkan 

oleh banyak tokoh...! Cepat-cepatlah serahkan


kepada kami...!"

"Aku tiada tahu menahu tentang geluk dan 

segala macam yang diperebutkan oleh para se-

tan. Menepilah,...! Aku sedang melaksanakan tu-

gas dari seseorang atas benda yang sedang dipe-

rebutkan itu...!" Buang Sengketa mende-ngus, la-

lu berbalik langkah mencari jalan lain. Namun 

dua orang bertopeng lainnya telah meng-hadang 

jalan yang akan dilaluinya.

"Minggir! Aku tak punya urusan dengan 

kalian...!"

"Semudah itukah engkau pergi begitu saja. 

Sekarang semakin keras dugaanku benda yang 

diperebutkan banyak tokoh itu pastilah berada di 

dalam periuk itu!"

"Wah wong edan dari manakah kalian ini? 

Mengapa begitu tolol...? Setengah hidup aku 

mencari benda itu, bahkan belum ketemu hingga 

sekarang. Sekarang kalian dengan seenaknya 

menuduhku yang bukan-bukan...!"

"Jangan berdalih macam-macam...! Sergap 

dia...!" perintah perempuan bertopeng pada dua 

orang kawannya. 

"Weeer...! Weeer! Weeer...!" tiga buah jala 

yang terbuat dari oyot kayu mengurung tubuh 

Buang Sengketa. Dengan cepat bagian bawah jala 

itu disentakkan oleh mereka, hingga me-

nyebabkan tubuh pemuda itu tak dapat bergerak 

dan terjerembab jatuh. Belum lagi pemuda ini 

sempat berbuat banyak. Dua totokan pada bagian 

urat gerak membuat tubuhnya kaku.


"Hi...hi...hi...! Ternyata pendekar yang san-

gat kesohor itu hanya memiliki nama kosong...! 

Buktinya berhadapan dengan Tiga Dara Berto-

peng saja sudah tak mampu berbuat banyak...!" 

dengus si Topeng Biru yang menjadi pimpinan.

"Kurang ajar! Kalian benar-benar manusia 

pengecut...! Lepaskan aku, mari kita bertarung 

secara ksatria...!" maki si pemuda.

"Mana bisa! Kau telah kalah...! Sekarang 

kau harus kami bawa ke tempat kediaman kami 

untuk menjalani pemeriksaan...!"

"Pemeriksaan kentut busuk! Kalian hanya-

lah sebangsanya maling kecil yang tidak ada 

apanya di depanku...!" umpat Buang Sengketa. 

Ketiga perempuan bertopeng itu nampaknya su-

dah tidak menghiraukan si pemuda lagi, lalu den-

gan tergesa-gesa, salah seorang diantara mereka 

langsung memanggul tubuh si pemuda. Bagai tak 

memiliki bobot, tubuh si pemuda serasa melayang 

laksana terbang ketika perempuan bertopeng 

membawanya berlari kencang.


EMPAT



Pulau Angsa dilihat sepintas lalu tak ubah-

nya bagai sebuah perahu yang terapung di ten-

gah-tengah lautan. Nampak begitu kecil bahkan 

dilihat dari kejauhan nampak hanya merupakan 

sebuah titik hitam belaka. Saat itu laut memang 

sedang dilanda badai, sehingga tak seorang nelayanpun yang berani menangkap ikan dalam su-

asana angin ribut selama hampir sebulan. Lain 

lagi halnya dengan sebuah sampan kecil yang te-

rus melaju mengarungi gelombang besar menuju 

Pulau Angsa. Seolah bagai tiada memperdulikan 

deburan ombak yang menggulung dan angin ribut 

yang berhembus kencang. Laki-laki berpakaian 

cokelat yang berada di atas sampan kecil ini seo-

lah berpacu melawan ganasnya ombak yang se-

makin terus menggila.

Berulang kali sampan yang ditumpanginya 

dihempaskan gelombang. Setiap kali salah seo-

rang dari lima datuk sesat dari Bukit Bontang ini 

harus menjaga keseimbangannya. Tetapi nyalinya 

tak pernah menciut dalam melawan ganasnya su-

asana alam.

"Mudah-mudahan kakang mbok berada di 

tempat saat ini! Empat orang saudara seper-

guruan tewas di tangan Tiga Hantu Lembah Ne-

raka. Sakit hati ini harus dibalas dengan cara ba-

gaimana sekalipun. Pula kakang mbok pasti mau 

membantuku jika kabar tentang Geluk itu ku-

sampaikan kepadanya...!" gumam Wicak Sono 

sambil terus berusaha mengendalikan sampan 

yang ditumpanginya. Semakin lama, Pulau Angsa 

berjarak semakin dekat dengan sampan Wicak 

Sono. Tak sampai sepemakan sirih, sampan itu-

pun telah merapat di pinggiran pantai pulau ter-

sebut. Wicak Sono segera menambatkan sampan-

nya pada sebatang tonggak kayu. Kemudian den-

gan langkah gontai laki-laki berusia lima puluh


sembilan tahun inipun menelusuri jalan setapak 

menuju sebuah rumah bertonggak tinggi. Rumah 

bertonggak yang dindingnya terbuat dari kayu api

itu nampak sepi, seolah tiada berpenghuni, bah-

kan pintunya pun tertutup rapat. Tapi laki-laki ini 

merasa yakin di dalam sana penghuninya pasti 

berada di tempat.

"Kakang mbok...! Kakang mbok...! Apakah 

kakang berada di dalam...!" tanyanya sekedar ba-

sa-basi.

"Hik...! Hiii...! Selalu saja kau memakai se-

gala peradatan, adik Sono! Dewa laut sedang 

murka, angin ribut membuat tubuh tuaku meng-

gigil. Untuk apa aku berkeliaran di luaran sa-

na...!" sebuah suara yang begitu dingin me-

nyahut dari dalam rumah bertonggak tinggi.

"Hhh. Di luar sini udara memang sangat 

dingin, bahkan ketika di tengah laut sana aku 

hampir mampus diterjang ombak!"

"Nah sekarang tunggu apa lagi, apakah aku 

harus turun menyeretmu...?"

"Baiklah ...!" kata Wicak Sono. Karena ru-

mah bertonggak yang tingginya mencapai empat 

meter itu tidak memiliki tangga. Maka Wicak Sono 

terpaksa harus mengerahkan tenaganya.

"Heuuup...!" dengan sekali genjot, maka 

tubuh laki-laki berpakaian cokelat inipun me-

layang ke udara. Dengan tepat pula dia menjejak-

kan kakinya di atas lantai rumah.

"Jliikgh...!"

"Masuklah, pintu tidak terkunci...!" perin


tah perempuan yang berada di dalam pondok 

dengan sikap acuh. Daun pintu berderit ketika 

Wicak Sono mendorongnya. Suasana di dalam 

ruangan yang berukuran dua kali tiga meter me-

nebarkan bau busuk yang begitu menusuk.

Ketika Wicak Sono mengitarkan pandangan 

matanya kesatu sudut, maka terlihatlah sosok 

tubuh seorang wanita yang sudah tidak asing lagi 

bagi dirinya. Perempuan itu berusia sekitar enam 

puluh tahun. Berbadan kurus ceking, berambut 

putih, sedangkan pakaiannya berwarna merah 

darah dan di sana sini telah pula di penuhi den-

gan tambalan yang beraneka ragam. Perempuan 

itu menyunggingkan seulas senyum kecut saat 

mana Wicak Sono menghampiri dirinya. Tanpa 

diperintah laki-laki berusia setengah baya inipun 

langsung duduk di depan perempuan berwajah 

tidak ramah.

"Kedatanganmu kemari pasti membawa 

persoalan yang besar, adi Sono...?" dengus Sum-

badra seperti sudah dapat meraba apa yang ingin 

disampaikan oleh adik seperguruannya.

"Apa yang kakang mbok katakan itu me-

mang tak dapat kubantah! Memang sesungguh-

nya kedatanganku ke sini membawa suatu per-

soalan yang cukup rumit, sekaligus menyangkut 

sebuah penghinaan yang membuat lima iblis dari 

Bukit Bontang merasa kehilangan muka di dunia 

persilatan." Wajah yang tidak bersahabat itu 

nampak semakin cemberut, sementara kedua ma-

tanya yang menjorok ke dalam memandang lurus


pada Wicak Sono. Gembong tokoh sesat ini buru-

buru menundukkan kepalanya.

"Dari dulu kau selalu begitu, adi...! Engkau 

tak pernah mau datang menyambangi tempat 

tinggalku, bila kehidupanmu tak mengalami 

hambatan apa-apa. Bahkan kaupun tak mau per-

duli ketika aku beberapa purnama terbaring sakit 

ketika kalah dalam bertarung dengan Nyai Pame-

kasan dari Gunung Berhala...!" terdengar satu te-

guran dari perempuan tua yang bernama Sumba-

dra.

"Aku mengaku salah, kakang mbok...! Se-

lama ini adikmu ini memang terlalu mementing-

kan diri sendiri, sehingga tidak sekalipun aku 

menjengukmu di tempat yang terpencil ini...!" 

Sumbadra nampak mendengus, bagaimanapun 

dia tahu watak adik seperguruan yang satu ini. 

Ada kalanya dalam berbagai hal Wicak Sono ba-

nyak mengalah, tetapi andai secara terus mene-

rus disudutkan. Maka diapun bisa menjadi san-

gat marah.

"Kakang mbok! Masihkah kakang marah

padaku...?" kali ini Wicak Sono menengadahkan 

wajahnya. Sedangkan matanya memandang tajam 

pada perempuan tua yang duduk bersimpuh di 

depannya.

"Kalau aku menuruti kemarahanku, sudah 

sejak tadi kau sudah kubuat seperti ini…!" berka-

ta begitu, penghuni Pulau Angsa tersebut melu-

dah ke dinding. 

"Cuiiih...!"


Jrooos! Akibatnya sungguh menakjubkan 

sekali. Hingga membuat Wicak Sono yang sudah 

hampir lebih lima tahun tak pernah bertemu den-

gan saudara seperguruannya yang tertua itupun 

membelalakkan kedua matanya. Bagaimana ti-

dak, hanya dengan sekali sembur saja dinding 

yang terbuat dari bilik bambu itu nampak berlu-

bang oleh semburan ludah tadi. Dapat di bayang-

kan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki 

oleh perempuan bertubuh ceking ini.

"Kakang mbok! Sama sekali aku tiada me-

nyangka kalau sekarang ini kakang memiliki te-

naga sakti yang sungguh mengagumkan...! Ahh... 

aku yakin dengan kemampuan yang kakang mili-

ki, kakang pasti mau menolong adikmu yang ma-

lang ini...!" ucap Wicak Sono setengah menghiba.

"Hik...hik...hi...! Sejak kapan kau punya 

minat meminta bantuanku, Wicak Sono...!" me-

merah wajah dedengkot tokoh sesat ini begitu 

mendengar sindiran penghuni Pulau Angsa ini. 

Tapi kelihatannya Sumbadra tiada memperduli-

kan semua ini.

"Kakang mbok! Seandainya empat orang 

adik seperguruanmu tewas secara menyedihkan 

di tangan orang lain, apakah hatimu tidak pernah 

tergugah untuk membela atau menuntut balas 

atas kematian mereka...?" tanya Wicak Sono, 

langsung pada titik persoalan. Sumbadra jelas ke-

lihatan begitu terkejut demi mendengar kabar 

yang disampaikan oleh adik seperguruannya ini. 

Selama ini walaupun tak melihat secara langsung



nama Lima Tokoh Datuk Sesat dari Bukit Bon-

tang sudah kesohor dimana-mana, sangat jarang 

sekali kalangan persilatan yang berani membuat 

urusan dengan Lima Datuk Sesat dari Bukit Bon-

tang ini. Kemampuan dan permainan pedang 

yang mereka miliki tidak perlu lagi diragukan. 

Sumbadra cukup mengetahui hal ini, karena pada 

dasarnya dulu mereka sama-sama berasal dari 

satu perguruan. Yaitu Perguruan Angsa Merah 

namanya.

Kini begitu datang Wicak Sono menyam-

paikan kabar yang tiada diduga-duga. Siapapun 

yang mampu mengalahkan sekaligus mene-

waskan empat orang saudara seperguruannya, 

pastilah memiliki ilmu kepandaian melebihi kehe-

batan yang dimiliki oleh saudara-saudara seper-

guruannya. Maka akalnyapun bekerja cepat. 

Hanya sesaat saja dia membuang pandangan ma-

tanya jauh-jauh. Detik berikutnya Sumbadra su-

dah kembali berhadapan dengan adik sepergu-

ruannya.

"Empat orang saudara kita tewas begitu sa-

ja! Sedangkan yang kuketahui mereka bukanlah 

orang-orang yang lemah. Bahkan mereka se-

bagaimana halnya dengan dirimu bukanlah 

orang-orang yang lemah. Pula persoalan apakah 

yang membuat semuanya terjadi dengan begitu 

cepatnya...?" sentak Sumbadra. Melihat mimik 

wajahnya nampak jelas kalau perempuan berusia 

lanjut ini dirundung kesedihan.

Akhirnya secara singkat Wicak Sono men


ceritakan segala sesuatunya yang telah terjadi. 

Setelah mendengar semua cerita Wicak Sono, la-

ma sekali Sumbadra berdiam diri, sama sekali dia 

tidak menyangka bahwa lawan yang dihadapi oleh 

adik-adik seperguruannya adalah Tiga Hantu 

Lembah Neraka, yaitu tokoh misterius yang dapat 

menciptakan segala jenis racun dan merupakan 

tokoh sesat yang tidak dapat diukur kepandaian-

nya. Jangankan lima orang adik seperguruannya, 

andai saat ini dia tidak menciptakan ilmu baru 

yang diberi nama 'Semburan Iblis' belum tentu 

mampu mengatasi Tiga Hantu Lembah Neraka. 

Tapi saat sekarang dia merasa yakin sekali, den-

gan ilmu sakti yang baru diciptakannya itu, dia 

pasti mampu menghadapi Tiga Hantu Lembah Ne-

raka. Hmm. Geluk Emas merupakan sebuah har-

ta peninggalan yang sangat langka. Konon kabar-

nya benda itu memiliki seribu satu kegaiban yang 

dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu 

dan bahkan lebih dari itu. Andai aku dan Wicak 

Sono berhasil merebut benda itu dari tangan Tiga 

Hantu Lembah Neraka, pastilah aku berhasil 

mengundang si keparat Nyai Pamekasan yang 

pernah mempecundangiku dulu. Heh... Geluk 

Emas itu peninggalan gurunya musuh besarku, 

dia pasti akan mencariku pabila Geluk Emas be-

rada di tanganku...!" batin Sumbadra dengan se-

sungging senyum licik.

"Bagaimana kakang mbok! Apakah kakang 

begitu tega membiarkan saudara-saudara kita te-

was di tangan mereka begitu saja...?" tanya Wicak


Sono, harap-harap cemas.

"Seburuk-buruknya aku, tidak nantinya 

Tiga Hantu Lembah Neraka berbuat semena-mena 

pada saudara-saudara kita. Aku pasti akan me-

nuntut balas atas penghinaan yang sangat besar 

ini...!" kata Sumbadra dengan suara meng-geram. 

Legalah hati Wicak Sono mendengar ke-putusan 

kakang seperguruannya itu.

"Adi Sono! Tahukah engkau mengapa aku 

bersedia membantumu dalam menumpas Tiga 

Hantu Lembah Neraka?" dedengkot datuk sesat 

dari Bukit Bontang gelengkan kepalanya beru-

lang-ulang. Sumbadra kembali tersenyum sinis. 

"Semua itu kulakukan atas nama den-

dam...!" dengus perempuan berpakaian merah da-

rah itu dengan sorot mata penuh kebencian''

"Dendam...? Apakah kakang mbok men-

dendam pada Tiga Hantu Lembah Neraka?" tanya 

Wicak Sono dengan hati diliputi rasa ketidak 

mengertian.

"Kemarahanku pada Tiga Hantu Lembah 

Neraka karena mereka telah membunuh saudara-

saudara kita. Tapi dendamku adalah pada pemilik 

Geluk Emas yang diperebutkan oleh banyak 

orang...!"

"Apakah kakang mbok tahu, siapa pemilik 

Geluk Emas itu...?" Meledak tawa Sumbadra keti-

ka Wicak Sono menanyakan tentang apa yang 

menjadi ganjalan hatinya selama ini. Memang se-

benarnya hanya perempuan itu sajalah yang tahu 

pada siapa dia menaruh dendam. Itulah sebabnya



begitu tawanya mereda, maka Sumbadra buru-

buru menyambung.

"Pemilik Geluk Emas itu sebenarnya meru-

pakan musuh besarku, yaitu Nyai Pamekasan 

yang saat ini tinggal di Gunung Berhala. Dia me-

rupakan tokoh tua yang memiliki kepandaian be-

raneka ragam. Dulu sebelum kuciptakan ilmu 

andalan aku pernah dikalahkan oleh tikus tua 

itu...!"

"Sekarang aku membantumu dengan tu-

juan membasmi Tiga Hantu Lembah Neraka, ke-

mudian merampas Geluk Emas dengan maksud 

memancing perhatian Nyai Pamekasan agar men-

cariku...! Hik...hi...hi...! Aku, yakin pabila Geluk 

Emas itu berada di tanganku pastilah si tua 

bangka Pamekasan akan berurusan den-

ganku...!" 

"Dan kakang mbok akan melampiaskan ke-

kalahan tempo hari...?" tanya Wicak Sono sete-

ngah menduga-duga. Kali ini Sumbadra kembali 

tergelak-gelak, lalu tubuhnya yang kurus kering 

itupun terguncang-guncang.

"Ternyata otakmu masih encer, adi Sono...! 

Kau cukup paham dengan segala rencana yang 

ada di dalam kepalaku...! Dendamku pada Nyai 

Pamekasan memang sedalam lautan. Semua itu 

baru kuanggap impas andai aku berhasil men-

gorek biji matanya, kemudian memenggal ke-

palanya dan menghirup pula darah tuanya...!" tu-

kas Sumbadra dengan mata berkilat-kilat di ba-

kar emosi.


"Tentunya niat kakang mbok tak mungkin 

pernah kesampaian andai kita belum merampas 

Geluk Emas dari tangan Tiga Hantu Lembah Ne-

raka, bukan...?"

"Merampas Geluk Emas dari tangan Tiga 

Hantu Lembah Neraka bukanlah satu pekerjaan 

yang mudah. Tapi aku yakin dengan ilmu baru 

yang telah kuciptakan, aku pasti mampu melaku-

kannya...!"

"Ahk...! Aku merasa gembira dengan ke-

sanggupan kakang mbok. Semoga saja apa yang 

kakang mbok harapkan dapat terlaksana dengan 

baik...!"

"Aku tak pernah ragu dengan kemampuan 

yang kumiliki sekarang ini...!" ujar perempuan itu 

pasti.

"Lalu kapan kita berangkat...?" tanya Wi-

cak Sono merasa tak sabaran.

"Laut sekarang sedang di landa badai, pula 

aku belum menyiapkan segala sesuatunya. Ada 

baiknya besok pagi kita mulai melakukan perja-

lanan...!" gumam Sumbadra memberi keputusan.


LIMA



Gontai sekali langkah perempuan berto-

peng biru ini, seolah bagai ada suatu beban yang 

begitu berat menindih bagian kakinya. Sesekali 

perempuan itu menyandarkan tubuhnya pada 

dinding rumah, nampaknya seperti ada keraguan


di dalam hatinya. Padahal jarak antara kamarnya 

dengan ruangan tempat mengurung Buang Seng-

keta hanya berjarak sepuluh meter saja. Begitu 

dekat, namun hanya untuk menjenguk keadaan 

pemuda yang berada dalam tawanannya, beru-

langkali tak pernah kesampaian. Bahkan beru-

lang kali perempuan bertopeng ini terpaksa harus 

kembali ke kamar dengan sendirinya, saat mana 

keragu-raguan itu secara tiba-tiba menyeruak 

memenuhi seisi rongga dadanya. Terkadang di da-

lam kamar, tanpa sepengetahuan dua orang pem-

bantunya. Perempuan bertopeng biru ini menan-

gis, sepanjang malam. Hingga membuat kedua 

kelopak matanya membengkak.

Pendekar Hina Kelana adalah sebuah nama 

yang tak asing lagi bagi dirinya, bahkan hampir 

setiap saat perempuan bertopeng itu selalu me-

ngingatnya. Dia tak pernah mampu melupakan 

pigur seorang tokoh yang selalu dikaguminya se-

jak dia berumur sebelas tahun. Kebaikannya tak 

perlu diragukan lagi, ketampanan wajahnya, ke-

hebatan ilmu yang dimilikinya membuat tokoh 

manapun menjadi bergidik saat mana senjata Go-

lok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto telah be-

rada di dalam genggamannya. Bahkan perempuan 

bertopeng itu masih ingat, sejak dulu telah beru-

lang kali pendekar keturunan raja ular di negeri 

alam gaib itu telah menyelamatkan dirinya dari 

belenggu maut. Itu tidak dapat dilupakannya be-

gitu saja, bahkan karena terdorong rasa rindu 

yang begitu menggebu, ketika berada dalam asuhan seorang tokoh sakti berulang kali dia jatuh 

sakit. Dalam keadaan demam yang membawa pa-

nas begitu tinggi perempuan itu sering menyebut-

nyebut nama pendekar itu. Tapi diapun tak ingin 

mengecewakan harapan orang yang sangat dicin-

tainya, selama tiga tahun dia belajar dengan to-

koh sakti yang dia angkat sebagai guru sekaligus 

orang tuanya. Dengan baik dia berhasil mempela-

jari jurus-jurus silat maupun pukulan sakti yang 

sangat handal. Menunggu terlalu lama perem-

puan itu merasa tak betah, kemudian dia jatuh 

sakit lagi. Kali ini penyakitnya begitu parah, bah-

kan nyaris tak terobati. Orang tua angkatnya su-

dah barang tentu mengkhawatirkan keadaan pe-

rempuan yang merupakan murid satu-satunya 

itu. Tapi sebagai tabib, dia sendiri tak mampu 

memberikan obat buat murid yang sangat di-

manjakannya. Satu saat datanglah seorang be-

gawan yang juga masih merupakan sahabat Sang 

Guru. Begawan itu dengan gamblang men-

ceritakan tentang segala sesuatu yang terjadi atas 

diri si wanita. Hingga sampai pada satu kesimpu-

lan yang memutuskan: Hanya satu kebebasan hi-

dup yang dapat membuat murid sahabatnya itu 

sembuh sebagaimana sediakala. Sebagai orang 

yang pernah mengalami masa muda, tentu sang 

guru yang bijaksana itu mengerti apa sesungguh-

nya yang menjadi ganjalan hati muridnya selama 

ini. Merindukan pemuda yang sangat dikasihinya, 

itulah alasan pertama yang membuat gadis itu ja-

tuh sakit, hingga sedemikian parah. Maka diapun


berjanji untuk melepas muridnya itu ke rimba 

persilatan.

Waktupun terus berlalu, dunia persilatan 

yang tidak ramah. Membuatnya sering bentrok 

dengan berbagai kalangan. Apalagi perempuan itu 

memiliki wajah yang begitu cantik. Tentu kehadi-

rannya menarik perhatian banyak orang. Hingga 

kemudian dia memutuskan untuk mengenakan 

sebuah topeng. Setelah mengalahkan sebuah per-

guruan Topeng Biru dan kemudian menjadi Ketua 

Partai persilatan di sana.

Lima bulan sejak dirinya resmi menjadi ke-

tua perguruan Topeng Biru. Perempuan berwajah 

cantik itu mendengar tentang kabar Geluk Emas 

yang saat itu sedang diburu oleh kalangan persi-

latan berbagai golongan. Berita mengenai Geluk 

Emas itu sebenarnya tidak begitu menarik perha-

tiannya. Bahkan dia telah memutuskan untuk ti-

dak mengambil bagian dalam pemburuan benda 

yang membikin gempar itu. Dihatinya hanya ada 

satu harapan, semoga dengan meluasnya berita 

tentang Geluk Emas itu, orang yang dinanti-

nantikannya akan muncul. Karena sebagaimana 

yang diketahuinya. Pendekar Hina Kelana meru-

pakan seorang tokoh muda yang gemar sekali me-

lakukan pengembaraan ke manapun dia suka. 

Bukan tidak mungkin pemuda yang sering diliputi 

rasa keingintahuan ini mendengar tentang kabar 

Geluk Emas yang saat itu sedang diperebutkan 

oleh berbagai kalangan itu.

Kenyataannya apa yang diharap


harapkannya bukanlah hanya sekedar impian. 

Pendekar Kina Kelana akhirnya muncul juga se-

cara tak terduga-duga. Lalu perempuan bertopeng 

itupun menjalankan siasat dengan berpura-pura 

melakukan penggeledahan terhadap diri si pemu-

da. Tetapi setelah kini pemuda itu telah berhasil 

di tangkapnya, mendadak muncul keragu-raguan 

di hatinya untuk menjumpai atau sekedar berpu-

ra-pura menanyakan tentang sesuatu kepadanya. 

Bahkan diapun tiada mengerti apa yang seharus-

nya dia lakukan.

"Ahk... mengapa setelah aku berjumpa de-

ngannya, hatiku menjadi ragu-ragu? Padahal se-

harusnya aku merasa bersyukur karena Sang 

Hyang Widi telah mempertemukan dengan di-

rinya." batin perempuan bertopeng itu sedih. Se-

lanjutnya orang inipun kembali ke dalam ka-

marnya, daun pintu dia tutupkan. Namun di da-

lam kamarnya entah mengapa hatinya menjadi 

gelisah, berulang kali dia mondar mandir di da-

lam ruangan kamarnya.

Ketika hatinya sedang diliputi perasaan 

was-was seperti itu, tiba-tiba pintu kamarnya di-

ketuk dari luar.

"Siapa...!" tanya si perempuan bertopeng 

biru, manakala daun pintu diketuk semakin gen-

car.

"Ket... ketua...! Tawanan kita kabur..!" la-

por sebuah suara nampak begitu gugup. Ketua 

Perguruan Topeng Biru nampak sangat terkejut 

sekali demi mendengar laporan salah seorang


pembantunya. Hatinya menjadi berdebar tak ka-

ruan, tiba-tiba ia merasa seperti ada sesuatu yang 

hilang dalam dirinya. Secara reflek perempuan 

itupun menyentakkan daun pintu kamarnya. Be-

gitu berhadapan dengan pembantu yang masih 

berdiri di depannya, maka:

"Bagaimana pemuda itu dapat meloloskan 

diri! Bukankah kalian secara bergantian men-

jaganya...?"

"Orang itu meloloskan diri dengan jalan 

membobol atap di atas kamar... cuma itu yang 

kami ketahui...!"

"Membobol atap...!" gumamnya. Kemudian 

sepintas lalu dia memperhatikan pembantunya 

ini. "Apakah kalian tidak melakukan pengeja-

ran...?" tanyanya penuh selidik.

"Pengejaran sudah kami lakukan, namun 

kami tak menemui tanda-tanda adanya orang ter-

sebut...!" 

"Coba kita periksa kamarnya,...!" ujar ke-

tua perguruan Topeng Biru itu memutuskan. Ak-

hirnya dengan diikuti oleh pembantu utamanya, 

maka ketua perguruan Topeng Biru itupun menu-

ju ruangan lain tempat menahan Buang Sengketa 

selama beberapa hari ini. Kenyataan-nya memang 

benar seperti apa yang dikatakan oleh pemban-

tunya. Pendekar Hina Kelana sudah tak berada di 

dalam ruangan itu, bahkan jala yang dijadikan 

sebagai alat untuk menyergap si pemuda telah 

pula terbelah menjadi beberapa bagian.

"Pastilah golok buntung yang telah diper


gunakan oleh pemuda itu untuk menghancurkan 

semuanya. Padahal jala itu bukanlah jala semba-

rangan. Binatang sekalipun apabila telah terpe-

rangkap di dalamnya tak mungkin dapat melo-

loskan diri. Tapi aku tak merasa heran dengan 

kemampuan yang dimilikinya. Akh, akhirnya dia 

pergi lagi! Kemana aku harus mencarinya...!" ba-

tinnya di dalam hati.

"Ketua! aku mendapatkan sepucuk su-

rat...!" 

"Surat apa, Melur...?" tanya Ketua Pergu-

ruan Topeng Biru, lalu memperhatikan sobekan 

kulit kayu yang berada di dalam genggaman tan-

gan pembantunya. Tanpa di perintah, pembantu 

yang bernama Melur itupun menyerahkan kulit 

kayu yang bertuliskan kata-kata yang begitu je-

las. Selanjutnya dengan hati berdebar ketua per-

guruan Topeng Biru inipun mulai membaca kali-

mat demi kalimat.

Manusia bertopeng seperti hantu.

Siapapun adanya dirimu, itu aku tak peduli. 

Berada di dalam penyekapan yang mirip dengan 

sebuah penginapan ini aku merasa tak betah. Pen-

gadilan dan segala sesuatu yang berbau mengiba 

itu bukanlah pekerjaanku. Aku masih punya hu-

tang janji dengan Nyai Pamekasan, pemilik Geluk 

Emas yang kini sedang diperebutkan. Walau ba-

gaimanapun aku tak ingin timbul banyak korban 

karena benda itu. Nah, karena kutunggu beberapa 

hari anda tidak muncul-muncul juga. Maka aku


memutuskan untuk pergi dengan caraku sendiri.

Tertanda Hina Kelana

Terasa lemas bagai tak bertulang tubuh ke-

tua perguruan Topeng Biru setelah membaca su-

rat yang ditulis oleh Buang Sengketa. Hatinya 

menjerit bahkan menyesali diri sendiri. Mengapa 

dia tidak berterus terang saja tentang siapa di-

rinya yang sesungguhnya? Kini orang itu pergi la-

gi. Entah kemana dia harus mencari. Memerah 

wajahnya, hangat pula kelopak matanya. Namun 

dia tetap berusaha agar butiran bening itu tak 

menetes. Tak siapapun boleh tahu apa yang se-

dang terjadi pada dirinya saat itu. Tidak juga Me-

lur pembantunya. Mungkin masih banyak jalan 

untuk dapat bertemu dengan pemuda itu kemba-

li. Itulah yang sedang dipikirkannya saat itu. Da-

lam keadaan gundah seperti itu, tiba-tiba dia ber-

kata pada Melur :

"Kau dan Melati, tetap tinggallah di pergu-

ruan...!"

"Ketua hendak kemana...?" tanya Melur di-

liputi rasa ketidak mengertian.

"Aku akan mencari pemuda itu! Dia orang 

yang patut dicurigai...!"

"Tapi pergi seorang diri itu sangat berba-

haya ketua! Ada baiknya kalau kami turut serta. 

Lagipula bukankah masih banyak murid-murid di 

sini yang dapat kita percaya untuk menjaga per-

guruan...?" katanya keheran-heranan.

"Tidak! Walau bagaimanapun aku harus


pergi sendiri! Kau tak perlu merisaukan kesela-

matanku, sebab aku cukup tahu apa yang seha-

rusnya aku lakukan...!"

"Baiklah,... kalau ketua telah memberi ke-

putusan begitu, saya tak dapat membantah-

nya...!" kata Melur dengan sikap menghormat.

"Nah, sekarang juga aku harus pergi! Ja-

galah keselamatan perguruan ini sampai aku 

kembali...!" pesan ketua perguruan Topeng Biru 

pada bawahannya.

"Pesan ketua pasti akan kami laksanakan 

sebaik mungkin...!"

"Bagus kalau kau sudah mengerti apa yang

aku maksudkan...!" kata perempuan itu. Selan-

jutanya tanpa menunggu lebih lama lagi, diapun 

berbalik langkah. Lalu tanpa menoleh-noleh lagi. 

Ketua Perguruan Topeng Biru itupun bergegas 

pergi meninggalkan murid-muridnya.

***

Ketika Buang Sengketa sampai di lereng 

Gunung Berhala, pemuda ini mendengar suara 

bentakan dan denting senjata tajam di puncak 

sana. Pemuda ini nampaknya menjadi kecut. Tapi 

dia dapat memastikan siapapun yang sedang me-

lakukan pertempuran pada malam gelap menje-

lang dinihari itu, pastilah salah seorang di anta-

ranya Nyai Pamekasan. Siapa yang menjadi la-

wannya? Itulah yang belum diketahui oleh si pe-

muda.


"Siapapun adanya orang yang sedang ber-

tempur dengan Nyai Pamekasan, yang pasti orang 

itu membawa maksud-maksud yang tak baik...!" 

batinnya.

"Heeep...!" Hanya dalam-waktu sekejap sa-

ja, pemuda itu telah mengerahkan ilmu lari cepat, 

Ajian Sapu Angin. Dalam kegelapan itu, tubuh si 

pemuda nampak berkelebat mendaki ke arah 

puncak gunung. Dengan mengandalkan ilmu 

mengentengi tubuh yang sudah sangat sempurna 

pula, tiada kesulitan bagi pemuda itu dalam me-

lakukan pendakian yang sebenarnya sangat sulit.

"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu 

apapun dengan orang tua itu." gumamnya lagi. 

Lalu dengan sangat berhati-hati, sesampainya di 

atas gunung berhala pemuda ini langsung menu-

ju ke arah belakang pondok. Suasana di tempat 

itu nampaknya sudah menjadi berantakan. Bah-

kan mayat-mayat tak dikenal bergelimpangan 

tumpang tindih tak berketentuan. Jelaslah sudah 

semua pembunuhan yang terjadi terhadap orang-

orang ini, pelakunya pastilah Nyai Pamekasan.

Namun pemuda ini nampaknya tak dapat 

berdiam di situ lebih lama lagi, saat mana dia me-

rasakan pondok kecil yang terbuat dari kayu dan 

beratap kayu pula terasa terguncang-guncang. 

Buang Sengketa berusaha memperjelas penden-

garannya. Tahulah dia, di depan pondok sedang 

terjadi adu tenaga dalam antara Nyai Pamekasan 

dengan lawan-lawannya. Laksana kilat, tubuh 

pemuda itu kemudian melesat meninggalkan dapur pondok. Begitu si pemuda sampai ke tempat 

terjadinya pertempuran, dengan jelas dia melihat 

Nyai Pamekasan sedang bertahan mati-matian 

menghadapi pukulan jarak jauh yang dilakukan 

oleh dua orang laki-laki berbadan gemuk pendek 

berpakaian kulit gajah. Pemuda ini jelas tidak 

kenal dengan dua orang laki-laki bersenjatakan 

kebutan.

"Kau serahkan Geluk Emas peninggalan 

gurumu itu, Nyai...! Kami pasti segera pergi dari 

tempat ini...!"

"Huh! Aturan iblis mana yang membenar-

kan milik orang lain mau kalian kangkangi secara 

paksa...!" dengus Nyai Pamekasan dengan wajah 

memerah dibakar amarah.

"Penghuni Gunung Berhala! Kau telah begi-

tu banyak membunuh orang-orang kami. Persoa-

lan hutang nyawa bisa berbuntut panjang andai 

engkau tidak cepat-cepat menyerahkan Geluk itu 

pada Sepasang Gendera Maut...!" bentak salah 

seorang dari laki-laki bersenjata kebutan ini be-

rang.


ENAM



Sungguhpun Nyai Pamekasan sudah terlu-

ka dalam begitu juga halnya dengan kedua orang 

lawannya. Tapi perempuan berusia lanjut ini se-

bagai orang yang sudah banyak makan asam ga-

ram dunia persilatan akhirnya menjadi geli sendiri.

"Sudah kukatakan Geluk Emas itu tak ada 

di tanganku, kalaupun ada masakan aku mau 

memberikannya pada kalian begitu saja, hek... 

hik...hik...! Sudah jelas kalian hanyalah sebang-

sanya perampok tengik yang pantas untuk di ge-

buk...!" ejek Nyai Pamekasan sambil tergelak-

gelak. Mendapat ejekan sedemikian rupa, kedua 

laki-laki gemuk yang memiliki julukan Gendewa 

Maut ini menjadi gusar. Sambil bersiap-siap 

membangun serangan kembali. Salah seorang di 

antara mereka yang memiliki jambang dan kumis 

yang begitu lebat, membentak: "Kurang ajar! Kau 

memang tidak bisa diajak berdamai. Jalan satu-

satunya yang paling baik buatmu adalah mam-

pus...!" 

"Hiaaaat...!"

"Caiiit...!" secara bersamaan dua laki-laki 

gemuk pendek inipun melancarkan satu serangan 

ganas. Senjata di tangan mereka yang berupa ke-

butan berkelebat menyambar ke arah bagian ke-

pala Nyai Pamekasan, sedangkan senjata si ge-

muk lainnya menyambar bagian perut perempuan 

renta ini. Anginpun bersiuran dan mendorong 

dengan keras tubuh perempuan ini. Andai saja ti-

dak sejak semula Nyai Pamekasan menjaga segala 

kemungkinan yang bakal terjadi. Pastilah tubuh 

perempuan itu terkena sabetan senjata lawannya 

atau setidak-tidaknya terjengkang.

"Benar-benar kuya! Orang-orang ini ki-

ranya memang menghendaki jiwaku...! Akupun


tak perlu bersikap ayal-ayalan lagi...!" batin Nyai 

Pamekasan di dalam hati. Setelah berhasil meng-

hindari pukulan yang dilancarkan oleh Sepasang 

Gendera Maut, maka Nyai Pamekasan pun balas 

melakukan pukulan yang diberi nama 'Dewi Ber-

hala Memindah Gunung'. Pukulan ini dikenal se-

bagai sebuah pengerahan tenaga sakti yang telah 

begitu banyak memakan korban yang terdiri dari 

orang-orang sesat. Gendera Maut sendiri sudah 

jelas mengetahui kehebatan pukulan yang akan 

dilepaskan oleh lawannya. Sebab dia sendiripun 

dulu pernah melihatnya ketika Nyai Pamekasan 

terlibat pertempuran dengan salah seorang tokoh 

sesat dari Pulau Angsa. Itulah sebabnya begitu 

melihat tangan Nyai Pamekasan telah berubah 

menjadi kekuning-kuningan. Maka Gendera Maut 

lipat gandakan tenaganya. Tak pelak lagi, mereka 

inipun melepaskan pukulan 'Gendera Memburu 

Mangsa'. Pada saat Nyai Pamekasan melepas pu-

kulan ‘Dewi Berhala Memindah Gunung’, maka 

dua orang lawanpun tak kalah cepatnya mele-

paskan pukulan sakti pula

"Wuuuus...! Wuuuueess...!"

Dua pukulan sakti sama-sama melesat se-

demikian pesatnya. Udara di sekitar tempat itu 

sontak berubah dingin luar biasa.

"Dueer...!"

Terdengar dua ledakan berturut-turut, saat 

mana dua pukulan itu saling bertubrukan di uda-

ra. Dua tubuh lawan terpental secara ber-

samaan, namun Nyai Pamekasan juga mengalami


akibat yang tidak begitu jauh berbeda. Tubuh pe-

rempuan berusia lanjut itupun terhuyung-

huyung. Dadanya terasa sesak bukan alang kepa-

lang. Sementara dari bagian hidungnya mengalir 

darah segar. 

"Hoeeghk...!" 

Dalam kegelapan itu terdengar suara ter-

batuk beberapa kali. Kiranya pihak lawannya saat 

itu juga kehilangan banyak darah. Sungguhpun 

demikian nampaknya mereka merupakan dua 

orang lawan yang mempunyai prinsip pantang 

menyerah. Terbukti sungguhpun dengan tubuh 

gemetaran dan langkah terhuyung-huyung mere-

ka segera bangkit kembali dan berusaha mele-

paskan serangan balasan. Tetapi pada saat-saat 

yang menegangkan seperti itu, Buang Sengketa 

yang sejak tadi terus mengawasi jalannya pertem-

puran sudah keluar dari tempat persembunyian. 

Dengan sekali lompat, maka tubuhnya melayang 

setinggi dua tombak, kemudian mendarat persis 

di tengah-tengah arena pertempuran.

"Malam-malam begini membuat kekacauan 

di tempat kediaman orang lain! Sungguh hanya 

orang yang sudah bosan hidup saja yang telah be-

rani melakukannya...?" kata Buang Sengketa se-

cara tiba-tiba. Dua orang lawan Nyai Pamekasan 

sudah tentu menjadi terperanjat dengan kata-

kata yang bernada teguran ini. Apalagi mereka 

dapat merasakan betapa pemuda yang berdiri tak 

jauh di depan mereka, memiliki kepandaian ting-

gi. Begitupun mereka ini tiada perduli lagi.


"Bocah! Siapakah engkau ini? Apakah ke-

datanganmu dengan membawa maksud ingin 

mencampuri urusanku...?" bentak si gemuk pen-

dek yang tiada berjenggot maupun berkumis. 

Dengan sikap acuh, dalam keremangan suasana 

yang hampir mulai fajar itu, Buang Sengketa 

menjawab lugas.

"Kedatanganku kemari dengan maksud in-

gin menjumpai sahabatku, Nyai Pamekasan. Na-

mun siapa kira, dua ekor kunyuk gemuk dan pa-

ra kunyuk kurus telah membuat tempat ini berge-

limang darah. Syukur sahabatku sampai saat ini 

kulihat tidak kekurangan sesuatu apa. Andai saja 

salah satu anggota tubuhnya ada yang rusak, le-

cet apalagi copot. Maka kepala kalianpun akan 

kubuat menggelinding...!"

"Ah... engkau datang juga akhirnya, Kela-

na...!" gumam Nyai Pamekasan, seraya tanpa 

menghiraukan dua orang lawannya, nampak 

langsung melangkah menghampiri pemuda itu. 

Lalu menjabat tangan si pemuda, bagai seorang 

sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu.

"Aku datang memenuhi janjiku. Tapi maaf, 

hingga sampai saat ini aku masih belum berhasil 

memperoleh keterangan sebagaimana yang anda 

harapkan...!" kata si pemuda menyampaikan un-

eg-unegnya.

"Aku tahu, dan seharusnya waktu itu aku 

memberimu kabar bahwa Geluk Emas telah di-

larikan oleh Tiga Hantu Lembah Neraka. Tapi ka-

rena saat itu engkau dalam keadaan tergesa-gesa.


Maka akupun sampai lupa mengatakan hal itu 

padamu...!" kata Nyai Pamekasan sambil mene-

puk-nepuk bahu Buang Sengketa.

"Hal itu bisa kita bicarakan nanti. Tapi ba-

gaimana halnya dengan dua ekor monyet gemuk 

yang menamakan dirinya Gendera Maut ini. 

Bangsat itu telah membuat hancur gubukku, pula 

mereka telah mencuri dengar pembicaraan ki-

ta...!" ujar perempuan berusia lanjut ini, kemu-

dian melirik pada dua orang lawannya kilasan sa-

ja. Yang dilirik malah pelototkan matanya. Salah 

seorang diantaranya maju satu langkah. Dengan 

kemarahan yang tiada tertahankan si gemuk 

pendek berkumis lebat langsung mengayunkan 

senjatanya dengan maksud mengarah pada ba-

gian wajah Buang Sengketa. Menghadapi seran-

gan yang datangnya begitu tiba-tiba, pemuda dari 

Negeri Bunian ini melompat ke samping kiri. 

Otomatis senjata yang dihantamkan oleh lawan-

nya mencapai sasaran kosong. Karena dalam 

mempergunakan senjata itu disertai dengan pen-

gerahan tenaga dalam yang begitu kuat. Maka be-

gitu senjata itu menghantam sebuah batu, batu 

yang dilanda kebutan ditangan Gendera Maut 

itupun hancur berkeping-keping.

"Bangsat...!" maki laki-laki itu. Kemudian 

menyerang lagi dengan kekuatan berlipat ganda. 

Sambil bergerak menghindari terjangan senjata di 

tangan lawannya, Buang Sengketa berseru mem-

peringatkan:

"Lebih baik kalian enyah dari hadapanku!


Kalau tidak, kalian akan menyesal seumur hi-

dup...!" 

"Jangan membual! Kau juga termasuk 

orang yang harus kami bunuh, karena telah begi-

tu berani mencampuri segala urusan kami den-

gan perempuan bangkotan itu!" teriak kawannya. 

Tak terelakkan lagi, pertempuran sengit antara 

Buang Sengketa melawan Gendera Maut terjadi-

lah. Sementara itu Nyai Pamekasan hanya berdiri 

dengan sikap menonton. Memang sesungguhnya 

selama ini Nyai Pamekasan memang belum per-

nah mengetahui sampai di mana kehebatan yang 

dimiliki oleh pemuda itu. Kalaupun satu purnama 

yang lalu dia bertemu dengan Pendekar Hina Ke-

lana kemudian menjadi begitu akrab, hal itu se-

mata-mata berdasarkan wangsit yang diteri-

manya.

Dalam wangsit itu, Nyai Pamekasan mem-

peroleh penjelasan akan datang padanya seorang 

pemuda pengelana, berpakaian merah dan ku-

muh. Sedangkan pemuda itu selalu membawa-

bawa periuk kemanapun dia pergi. Hanya itu, se-

lebihnya tentang asal usul si pemuda diapun ti-

dak tahu banyak. Kini pemuda itu datang lagi un-

tuk memberi laporan tentang Geluk Emas yang 

telah dilarikan oleh Tiga Hantu Lembah Neraka. 

Kebetulan sekali saat itu dia bertarung melawan 

Gendera Maut. "Sebuah waktu yang sangat cocok! 

Apakah benar wangsit yang kuterima benar-benar

bermutu." gumam Nyai Pamekasan sambil terus 

memperhatikan mereka yang sedang terlibat baku


hantam.

"Huaaaa...!" teriak Buang Sengketa, tubuh-

nya melenting ke udara setinggi dua tombak. Ke-

mudian dengan mempergunakan jurus Mem-

bendung Gelombang Menimba Samudra pemuda 

ini bergerak lincah menghindari sabetan lawan 

yang dapat melemas dan menjadi kaku secara ti-

ba-tiba. Namun kelihatannya, sungguhpun Gen-

dera Maut telah mengalami luka dalam yang cu-

kup serius. Pada kenyataanya masih mampu ber-

gerak cepat, bahkan hampir setiap serangannya 

mencapai sasaran yang mematikan. Lima jurus di 

muka Buang Sengketa nampak kerepotan juga. 

Barulah setelah mempergunakan jurus Si Gila 

Mengamuk, serangan-serangan gencar lawannya 

berhasil dikandaskan sebelum mencapai sasa-

rannya. Menghadapi kenyataan seperti ini gusar-

nya Sepasang Gendera Maut ini. Mulanya mereka 

sudah dapat membayangkan hanya dalam waktu 

beberapa gebrakan di depan pemuda berpakaian 

gembel itu pastilah dapat dia jatuhkan.

"Kakang brewok! Terus cecar bagian anu-

nya, biar aku yang akan menghajar bagian ke-

palanya...!" teriak si gemuk yang berkepala se-

tengah botak.

"Sialan! Tikus-tikus gemuk sepertimu jan-

gan coba-coba bergurau denganku. Salah-salah 

anumu yang akan kubikin pensiun. Kau tak per-

caya ini buktinya...!" kata Buang Sengketa. Lalu 

dengan gerakan cepat dan tiada terduga-duga ke 

arah mana tujuannya, pemuda ini kirimkan satu



tendangan sedangkan tangan kanannya meng-

hantam ke bagian wajah lawan. 

"Haiiit...!"

Dalam melakukan tendangan itu, tubuh si 

pemuda berputar setengah lingkaran. Namun

tendangan cepat itu disambut dengan deru kebu-

tan di tangan lawannya, secara praktis menarik 

balik kakinya, tangan kanannya yang telah me-

luncur dan siap menghantam bagian muka. Seca-

ra tiba-tiba membelok ke arah selangkangan la-

wannya.

"Jrooot...!"

"Wuiih... apa ini lembek-lembek…!" ucap-

nya sambil tergelak-gelak. Si gemuk langsung ter-

banting di atas tanah berbatu, tubuhnya mengge-

liat-geliat. Sementara kedua tangannya terus 

memegangi bagian pusaka keramat yang berhasil 

dipukul oleh si pemuda. Laki-laki berkumis me-

lintang yang sepintas lalu memberi kesan lucu ini 

merasakan perutnya mual luar biasa, bahkan la-

ma-kelamaan rasa sakit itu naik sampai ke ulu 

hati. 

"Keparaat kau gembel busuk! Aku tak akan 

pernah puas sebelum menghirup darahmu...!" 

maki laki-laki itu. Kemudian dengan berjingkrak-

jingkrak dia bangkit kembali.

"Lakukanlah! Kini aku telah benar-benar 

dalam keadaan siap melayani kalian sampai 

mampus...!" desis Buang Sengketa sinis.

"Hiaat...!" teriak dua orang laki-laki gemuk 

pendek ini tanpa menghiraukan ucapan lawan


nya. Lalu secara bersama-sama mereka lepaskan 

pukulan 'Gendera Memburu Mangsa' tingkat pa-

mungkas. "Melihat lawan-lawannya melepaskan 

pukulan yang sangat berbahaya. Maka Buang 

Sengketa dengan mempergunakan sebagian tena-

ga dalamnya hantamkan kedua tangannya ke 

arah dua orang lawannya. Tak ayal lagi saat itu 

selarik gelombang sinar berhawa sangat panas 

luar biasa menderu memapaki serangan ganas 

yang dilepas oleh lawan-lawannya.

"Blaaam...! Blaaam...!"

Dua ledakan keras terjadi secara berturut-

turut. Tidak sampai di situ saja, pukulan tingkat 

tinggi yang sudah tak asing lagi, yaitu pukulan Si 

Hina Kelana Merana yang dilepas oleh si pemuda 

terus menderu menghantam dua orang lawannya. 

Jelas sekali bahwa dalam hal adu tenaga dalam, 

Gendera Maut kalah beberapa tingkat di bawah si 

pemuda. Dalam keadaan tubuh hangus dan tiada 

berbentuk lagi tubuh kedua orang itu terpelanting 

roboh. Selanjutnya tubuh mereka terdiam untuk 

selama-lamanya.

"Ploook...! Ploook...!" Nyai Pamekasan ber-

tepuk tangan, lalu terdengar pula seruan sua-

ranya memuji

"Bagus! Pendekar muda yang tangguh, se-

buah wangsit yang tepat... Ah... aku kagum meli-

hat kehebatanmu, sahabatku...!' kata perempuan 

penghuni Puncak Gunung Berhala itu sambil me-

langkah mendekati Buang Sengketa. Memerah 

paras si pemuda demi mendengar pujian yang tidak mengenakkan hatinya itu. Kemudian dengan 

suara merendah diapun berucap: "Nyai Pameka-

san! Aku bukanlah apa-apa, jangan anda sanjung 

diriku setinggi langit. Aku kurang suka menden-

garnya...!" Tetapi kelihatannya Nyai Pamekasan 

tiada menghiraukan semua itu, bahkan lebih lan-

jut dia bertanya, pada si pemuda.

"Aha... siapakah gurumu, Kelana...?" se-

makin kesal saja hati Buang Sengketa demi men-

dengar pertanyaan seperti itu. Selama ini dia te-

lah berjanji untuk tidak membawa-bawa nama 

gurunya, terlebih-lebih saat sekarang gurunya si 

manusia aneh Bangkotan Koreng Seribu sudah 

meninggal dunia sejak beberapa tahun yang si-

lam.

"Nyai Pamekasan!" ujarnya, lalu meman-

dang lurus pada perempuan itu. "Kalau Nyai ma-

sih juga menanyakan tentang siapa aku dan gu-

ruku, maka lebih baik aku tak usah memban-

tumu...!" katanya dengan sikap merajuk.

"Weeeii... bocah edan. Mana bisa begitu...!"

"Itu makanya, jangan tanya ini dan itu ten-

tang diriku. Perlu anda ketahui sampai sekarang 

ini aku belum mendapatkan keterangan tentang 

Geluk itu!" Nyai Pamekasan angguk-anggukkan 

kepalanya. Seperti pada dirinya sendiri tak lama 

kemudian dia berucap.

"Maaf... sesungguhnya aku telah tahu sia-

pa sebenarnya yang telah melarikan Geluk itu. 

Tapi karena waktu itu engkau terlalu tergesa-

gesa, maka aku tak sempat mengatakan padamu


pada siapa seharusnya kau mencari benda itu. 

Tapi sekarang ini ada baiknya kalau kita secara 

bersama-sama pergi ke sana...! Semoga benda itu 

belum berpindah ke tangan orang lain...!"

"Ke sana mana...?" tanya si pemuda tiada 

mengerti.

"Ikut sajalah, jangan banyak rewel...!" ser-

gah si perempuan, acuh.

"Tapi bagaimana dengan mayat-mayat me-

reka...?" tanya si pemuda ragu-ragu. Nyai Pame-

kasan geleng-gelengkan kepalanya. "Biarkan saja, 

sebentar lagi mereka pasti segera terkubur di pe-

rut binatang buas yang berkeliaran di tempat 

ini...!" Tak lama kemudian tanpa berkata apa-apa. 

Buang Sengketa dan Nyai Pamekasan sudah mu-

lai berlari-lari menuruni Gunung Berhala. Ketika 

mereka sampai di lereng gunung, saat itu mata-

hari sudah mulai memancarkan sinarnya yang 

kuning keemasan.


TUJUH



Masing-masing mata nampak berbinar-bi-

nar ketika mereka membuka bungkusan Geluk 

Emas yang mereka sembunyikan beberapa wak-

tu setelah mereka merampasnya dari tangan Ja-

tayu.

"Hemm...! Benda ini bentuknya mirip den-

gan sebuah kelapa yang sering dipergunakan oleh 

penduduk desa untuk menyimpan garam...! Tapi

benda ini menimbulkan rebawa aneh bagai ada 

satu kekuatan gaib yang menyelimutinya...!" kata 

salah seorang laki-laki berpakaian kuning itu 

tanpa mengalihkan perhatiannya dari benda ter-

sebut.

"Tiga Hantu Lembah Neraka memang me-

rupakan orang-orang yang bernasib mujur! Den-

gan Geluk Emas di tangan kita, Tiga Hantu Lem-

bah Neraka pasti mampu meramu racun ganas 

yang bagaimanapun bentuknya...!" ujar yang 

lainnya menimpali.

"Dengan adanya Geluk ini, kita akan men-

jadi tiga tokoh yang tiada tertandingi oleh siapa-

pun. Tiga Hantu Lembah Neraka akan menjadi 

kaum yang tiada tertandingi di kolong jagat ini. 

Ya... ha... ha... ha...! Kitalah yang akan merajai 

dunia persilatan...!"

"Tapi kakang Gompal Pringgan! Walau ba-

gaimanapun benda ini ada pemiliknya yang sah, 

bagaimana andai suatu saat orang itu datang 

mencari kita...?"

"Aku tak pernah takut! Nyai Pamekasan 

memang orang yang memiliki kepandaian tinggi. 

Tapi Tiga Hantu Lembah Neraka juga bukanlah 

orang-orang yang lemah. Kita bertiga pasti mam-

pu menghadapi nenek-nenek yang sudah hampir 

masuk ke liang kubur itu. Apa yang kita ta-

kutkan...?" selak Gompal Pringgan merasa begitu 

yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.

"Tetapi dengan adanya Geluk Emas di tan-

gan kita, tentu orang-orang persilatan akan ber


datangan kemari...!"

"Mengapa harus takut, adi Pramesta....!"

"Tapi kewaspadaan itu bagi kita sangat 

penting sekali, kakang Gompal? Bukan tidak 

mungkin di luaran sana terdapat tokoh-tokoh 

persilatan yang memiliki kepandaian tinggi di luar 

perhitungan kita...!" sela Ki Lawuh yang sedari 

tadi hanya diam saja.

"Ha...ha...ha...! Tak seorangpun di dalam 

rimba persilatan yang kutakuti. Aku tak pernah 

merasa ragu dengan segala apa yang telah kita 

lakukan...! Tapi yang membuat aku heran justru, 

kalian secara tiba-tiba berubah sepengecut ini..,?" 

sentak Gompal Pringgan merasa tersinggung.

"Maaf, kakang...! Sama sekali kami tak per-

nah berpikir sampai sejauh itu. Tapi menjaga se-

gala kemungkinan menurutku justru lebih ba-

ik...!" kata Ki Luwuh dan Pramesta secara hampir 

bersamaan. Gompal Pringgan akhirnya hanya ter-

senyum-senyum demi mendengar alasan adik-

adiknya.

"Kalau itu yang menjadi alasan kalian, su-

dah tentu aku setuju saja! Lagipula gua ini ter-

letak jauh dari keramaian. Kita pasti aman berada 

di tempat ini...!" kata Gompal Pringgan me-

yakinkan dua orang saudaranya.

"Kalau kakang sudah berkata begitu maka 

kami hanya mampu menurut...!" ujar Ki Luwuh.

"Tapi menurutku, alangkah lebih baik lagi 

kalau mulai dari sekarang kita atur penjagaan di 

luaran sana."


"Maksud kakang bagaimana...?" tanya dua 

orang lainnya tiada mengerti.

"Maksudku...! Sementara aku ingin mem-

buktikan kehebatan Geluk Emas di dalam gua ini. 

Adi Ki Luwuh berjaga-jaga di depan gua, sedang-

kan Adi Pramesta berjaga-jaga di bagian jalan se-

tapak menuju tempat ini...!"

"Baiklah... kalau itu sudah merupakan ke-

inginan kakang Gompal Pringgan, maka kami 

akan melakukannya..!" ujar Ki Luwuh dan Pra-

mesta.

***

Gerakan tubuhnya yang begitu lincah dan 

gesit merupakan suatu tanda bahwa orang yang 

sedang berlari cepat itu memiliki dasar-dasar ilmu 

silat yang sangat baik. Tiada tanda-tanda keleti-

han membayang di wajahnya yang tertutup to-

peng, padahal perempuan itu sudah hampir dua 

malam melakukan perjalanan dengan cara seperti 

itu. Hanya sesekali saja, sepasang matanya yang 

indah itu mengerjab dalam basah. Entah geran-

gan apa yang membuat dirinya menjadi seperti 

itu. 

Kini untuk yang kesekian kalinya, perem-

puan bertopeng biru ini secara tiba-tiba memper-

lambat kecepatan larinya. Bahkan beberapa saat 

setelahnya berhenti sama sekali. Pabila dia ter-

ingat sesuatu, maka kelopak matanyapun kemba-

li menjadi hangat. Ketua Perguruan Topeng Biru



ini menundukkan kepalanya. Namun se-pasang 

kakinya tetap melangkah. Gontai.

"Aku tak melihat tanda-tanda kehadiran-

nya di sini. Mungkinkah dia memang benar-benar 

tak dapat mengenali suaraku lagi. Paman Kela-

na...! Apakah paman tak pernah merasakan se-

perti apa yang sedang kurasakan. Hampir se-

panjang usia remajaku hingga kini, hatiku selalu 

tersiksa. Aku sedetikpun tak pernah berhasil me-

lupakanmu. Bahkan tak pernah ada yang lain di 

hatiku ini selain dirimu. Tapi engkau selalu da-

tang dan pergi bagai hembusan angin...! Aku ta-

hu, mungkin hanya diriku yang bodoh ini saja 

yang begitu tergila-gila padamu, sedangkan eng-

kau tidak! Bahkan engkau tetap menganggapku 

hanya sebagai bocah yang tidak tahu banyak ten-

tang cinta. Bahkan kau masih tetap mengang-

gapku masih belum saatnya membicarakan soal 

itu. Ah, betapa kau selalu berkata begitu, kau se-

sungguhnya cukup mengetahui bagaimana pera-

saanku padamu. Tapi kau selalu bersikap seba-

liknya. Melihat sikapmu terkadang aku sering me-

rasa kecewa sekali. Bahkan aku sering berusaha 

menguburkan namamu, atau membuangnya 

jauh-jauh. Namun aku selalu gagal melakukan-

nya. Hal ini hanya semakin membuat hatiku ter-

siksa...!" gumam perempuan itu, lalu menyusut 

air matanya. Sesaat setelah itu, perempuan ber-

topeng biru ini membuang pandangannya jauh-

jauh ke depan sana. Namun sejauh- jauhnya ma-

ta memandang, yang terlihat hanyalah rumput


rumput menghijau, lembah dan bukit yang me-

rentang, seolah tiada berbatas.

"Terkadang aku merasa putus asa, benar 

kuakui dia memberikan sesuatu yang terbaik un-

tuk bekal hidupku. Tapi kasih sayang dan cinta 

tak pernah dia berikan padaku. Ataukah mungkin 

dia sudah punya seorang kekasih? Andai benar 

apa yang kuduga, ah betapa bahagianya perem-

puan itu. Karena paman Kelana merupakan pri-

badi yang sangat baik, wajahnya sangat tampan 

tanpa cela. Tentu setiap gadis akan menyu-

kainya...!" desahnya. Sesaat begitu tersadar ten-

tang apa yang diangankannya, maka wajah pe-

rempuan itu memerah. Tersipu malu.

"Mengapa aku jadi setolol ini! Bukankah 

lebih baik kalau kucari ke arah sana?"

"Haiiiiit...!" perempuan bertopeng biru itu 

pun langsung mengempos tubuhnya. Dalam wak-

tu yang sangat singkat tubuh perempuan itupun 

telah lenyap dari pandangan mata

Namun tak sampai sepemakan sirih, dari 

arah yang dituju oleh perempuan itu. Terdengar-

lah suara bentakan-bentakan keras yang disusul 

dengan suara benturan beradunya senjata tajam. 

Dan pabila kita ingin melihat lebih dekat lagi, ti-

dak begitu jauh dari lembah dan pada pinggiran 

tebing. Saat itu nampaklah gadis bertopeng biru 

itu sedang bertarung melawan seorang laki-laki 

berpakaian kuning. Dalam pertarungan sengit ini, 

berulang kali gadis bertopeng memberi penjelasan 

pada lawannya. Tapi nampaknya yang menjadi

lawannya tiada menghiraukan kata-kata si gadis 

bertopeng.

"Sudah kukatakan siapapun yang berani 

memasuki wilayah kekuasaan Tiga Hantu Lembah 

Neraka, mereka harus meninggalkan kepalanya di 

tempat ini...!" bentak laki-laki berpakaian kuning 

yang bernama Pramesta ini dengan sesungging 

senyum mencemooh. Lama-kelamaan menjadi hi-

langlah kesabaran gadis bertopeng, bahkan di-

apun mulai mencurigai keberadaan laki-laki ber-

pakaian kuning itu. 

"Sejak tadi aku sudah katakan pada kisa-

nak! Kehadiranku di tempat ini adalah untuk 

mencari salah seorang sahabatku, tapi kisanak 

malah mencurigaiku! Jangan-jangan di tempat ini 

ada sesuatu yang kisanak rahasiakan...!" pancing 

si gadis bertopeng sambil memandang lurus pada 

lawan bicaranya.

"Kurang ajar...! Kau sepatutnya mendapat 

ganjaran yang setimpal atas sikapmu yang men-

curigakan itu. Kini kau bermaksud ingin menge-

tahui lebih banyak lagi tentang isi lembah mau-

pun gua yang kami diami..!"

"Jangan banyak membual, sobat...! Mu-

lanya aku hanya secara kebetulan saja melewati 

daerah ini. Tapi karena kisanak terlalu mencuri-

gaiku, maka semakin kuatlah dugaanku anda 

pastilah merupakan salah seorang dari Tiga Han-

tu Lembah Neraka...?"

"Kalau betul kau bisa apa...?" sentak. Pra-

mesta dengan suara tergetar.


"Kalau begitu pastilah kalian yang telah 

membunuh Jatayu, dan melarikan Geluk Emas 

milik Nyai Pamekasan...! Hik...hi...hi...! Sungguh 

memalukan sekali...!" ledek si gadis bertopeng. 

Pramesta nnembelalakkan matanya lebar-lebar. 

Sesungguhnya dia bukan merasa kecut dengan 

apa yang diketahui oleh perempuan bertopeng. 

Tetapi dalam waktu-waktu sebelumnya sama se-

kali dia tak pernah melihat siapa sesungguhnya 

orang itu.

"Matamu begitu jeli. Kau tahu Geluk Emas 

berada pada kami, tapi nampaknya engkau, me-

rupakan orang yang baru turun gunung"

"Itu bukan urusanmu, yang jelas kalian 

harus menyerahkan Geluk Emas padaku. Jika ti-

dak, hari ini juga nama Tiga Hantu Lembah Nera-

ka benar-benar akan segera kukirim ke akhi-

rat...!" ancam si gadis bertopeng. 

"Kurang ajar! Siapapun adanya engkau ini, 

aku tak perduli. Tapi karena kau telah melakukan 

dua pelanggaran secara sengaja, maka hidup atau 

mati kau akan kuringkus...!"

"Enak betul! kalau kau mampu lakukan-

lah...!" cibir si gadis bertopeng dengan sikap me-

nantang. Tingkah laku perempuan itu benar-

benar membuat Pramesta menjadi gelap mata, la-

lu tanpa basa basi lagi, diapun mulai melancar-

kan serangannya dengan mempergunakan jurus-

jurus tangan kosong. Karena mengira, lawannya 

hanya memiliki kepandaian yang tidak seberapa, 

pada saat melakukan gebrakan demi gebrakan.


Laki-laki berusia setengah baya dan bertubuh 

gempal inipun menyerang si gadis bertopeng den-

gan sikap ayal-ayalan. 

"Desss...!" satu tendangan telak menghajar 

bagian iga Pramesta. Laki-laki bertubuh gempal 

ini menggerung sambil memegangi bagian da-

danya yang terasa nyeri. Salah seorang dari Tiga 

Hantu Lembah Neraka meludah dengan sikap pe-

nuh kebencian.

"Jangan membuang-buang waktu percuma, 

manusia hantu...! Kalau kau tidak cepat-cepat ke-

luarkan senjata andalanmu, sebentar lagi ke-

palamu pasti akan kubuat menggelinding...!" ben-

tak si gadis bertopeng sambil berkacak pinggang.

"Jangan sombong dulu, kunyuk betina ber-

topeng. Lihat serangan...!" 

"Shaa...!" 

"Hiaaat...!"

Begitu Pramesta menerjang ke arah gadis 

bertopeng dengan satu jotosan yang kuat, nam-

paknya perempuan itu tidak berusaha mengelak. 

Dengan jemari terkembang membentuk cakar di 

sambutnya serangan lawannya.

"Deees...!"

"Creep...!"

Benturan yang sangat keras terjadi, tubuh 

keduanya sama-sama terguncang. Pramesta me-

rasakan dadanya menjadi sakit dan sulit untuk 

bernapas. Tetapi rasa keterkejutannya men-jadi-

jadi, saat mana dia menarik tangannya. Ternyata 

tangan itu saling melekat erat dengan tangan lawannya. 

"Kurang ajar...!" rutuk Pramesta, merasa 

kena di kerjai. Tapi diapun tak kehabisan akal, 

satu tendangan telak dilakukannya.

"Huees...! Akal bulus...!" seru si gadis ber-

topeng, sambil berusaha mengkelit serangan la-

wannya. Serangan kedua inipun ternyata menga-

lami kegagalan. Geram bukan main hati Pramesta 

di buatnya. Lama kelamaan diapun merogoh saku 

celananya, dengan gerakan cepat bersamaan den-

gan berkelebatnya tubuh laki-laki berbadan gem-

pal ini, maka tangannyapun dia hantamkan ke 

arah lawannya. Beberapa benda berwarna putih 

menderu mengarah tujuh jalan kematian di tubuh 

si gadis bertopeng. Namun kiranya gadis itu me-

nyadari datangnya bahaya yang mengancam ji-

wanya. Dengan mempergunakan berbagai puku-

lan sakti yang dipelajarinya dari beberapa orang

gurunya. Maka diapun kibarkan tangannya dua 

kali berturut-turut.

"Weeer...!"

"Wueess...!"

"Breees...!"

Sungguh mengagumkan sekali, selain sen-

jata rahasia yang disambitkan lawannya rontok, 

juga pukulan 'Kabut Badai' yang dilepaskan oleh 

si gadis bertopeng terus menderu menghantam 

Pramesta. Dalam saat-saat menegangkan itu, 

Pramesta hantamkan pula sebuah pukulan yang 

tak kalah hebatnya. 

"Dwweeer...!"


"Wuaah...!" jerit Pramesta dengan tubuh 

terguling-guling. Sementara yang menjadi lawan-

nya masih tetap tegak bagaikan arca.

"Ternyata Tiga Hantu Lembah Neraka apa-

bila dalam keadaan terpecah belah menjadi tidak 

memiliki arti sama sekali. Hemm... mudah-

mudahan aku mampu menggusurmu sampai ke 

liang kubur...!" geram si gadis bertopeng sambil 

memandangi lawannya yang sedang berusaha 

bangkit kembali.

"Gerrr...! kalau aku berhasil menangkapmu 

hidup atau mati, akan kutelanjangi tubuhmu, in-

gin kulihat apakah engkau seorang gadis cantik, 

atau cuma nenek-nenek keriputan yang sudah 

bau tanah." geram Pramesta, tak begitu lama se-

telahnya diapun mencabut senjata andalannya 

yang terbuat dari gading gajah, namun mengan-

dung racun yang sangat ganas.

"Mungkin kehebatan Tiga Hantu Iblis ter-

letak pada senjatanya yang runcing itu, aku tidak 

boleh bersikap sembrono menghadapi senjata 

itu." gumam si gadis bertopeng.

"Sreet...sreet...!" gadis bertopeng inipun 

langsung melepas setagen yang melilit di bagian 

pinggangnya.

"Hak...ha...ha...! dengan senjata di tangan-

ku, kau tak bakalan unggul dalam menghadapi 

aku!"

"Aku tak percaya dengan bualanmu ku-

nyuk gemuk...!" kata si gadis bertopeng memana-

si.


"Kau lihatlah! Betapa sebentar lagi dadamu 

akan kubuat berlubang...!"

"Banyak mulut! Heaaaa...!" pada gebrakan-

gebrakan berikutnya, pertarunganpun berlang-

sung semakin seru. Apalagi mengingat, saat itu 

masing-masing lawan mempunyai ambisi untuk 

menjatuhkan secepat mungkin. Dengan senjata 

andalannya Pramesta segera mencecar lawannya 

tanpa kenal kompromi. Gerakan-gerakan tubuh-

nya begitu lincah, sementara senjata di tangan 

terkadang bergerak menusuk pada bagian lam-

bung dan dilain kesempatan berputar sedemikian 

kuat sehingga berubah menjadi sebuah perisai 

pertahanan yang sangat sulit untuk dicari titik 

lemahnya. Namun di pihak lawan, gadis berto-

peng ini juga bukanlah orang yang bodoh. Pada 

saat Pramesta melakukan serangan cepat dan be-

rusaha mendesak dirinya dengan jarak yang begi-

tu dekat, si gadis bertopeng me-lompat mundur. 

Sekali dua senjatanya yang be-rupa Selendang 

yang dapat menegang bagaikan plat baja namun 

dilain saat dapat melemas bagaikan kain sutera. 

Dia lecutkan ke arah lawannya, lecutan-lecutan 

cambuk inilah yang membuat lawan tidak bisa 

bertindak leluasa dalam menghadapi serangan 

yang dilakukan oleh si gadis bertopeng. 

"Weeer...!"

Sekali lagi Pramesta menyambitkan senja-

tanya yang terbuat dari serpihan gading gajah.

"Ctar...! Ctaar...!"

Selendang di tangan si gadis bertopeng me


nyambut datangnya serangan senjata rahasia 

yang disambitkan oleh lawannya. Sebagian senja-

ta rahasia itu dapat diruntuhkan oleh selendang 

di tangan si gadis bertopeng. Tetapi sebagian 

lainnya terus meluncur mencari sasaran.

"Kurang ajar...!" maki si gadis bertopeng, 

lalu dengan sangat tergesa-gesa hantamkan tan-

gannya. Tak ayal menderulah segelombang angin 

pukulan yang mengandung hawa dingin dan ha-

wa panas ke arah lawannya. Luncuran senjata 

rahasia itupun bersambut.

"Breess...!"

"Ahhhk...!"

Pramesta membanting tubuhnya ke sam-

ping kanan, terus berguling-guling menghindari 

terjangan senjatanya sendiri yang membalik.


DELAPAN



Kurang ajar! Ternyata perempuan itu me-

miliki ilmu kepandaian yang sangat hebat. Aku 

tak mungkin ungkulan menghadapinya tanpa dua 

orang saudaraku...!" batin Pramesta.

"Kucing kurap, mengapa kau hanya diam 

saja! Bukankah kau tadi bermaksud ingin me-

nangkapku dan bermaksud kurang ajar pula! Nah 

sekarang lakukanlah, sebab salah-salah aku ma-

lah segera mencopot kepalamu...!" kata gadis ber-

topeng biru ketus. Ternyata perempuan itu tidak


hanya sekedar membual, beberapa saat setelah 

itu, perempuan inipun mencabut sebilah pedang 

tipis yang selama ini belum pernah dipergunakan 

untuk bertarung melawan siapapun.

"Beruntunglah andai engkau mampu 

menghindari ketajaman pedang ditanganku ini. 

Ciaaat...!"

Segera saja setelah pedang itu tercabut dari 

balik jubah si topeng biru, laksana kilat diapun 

menerjang musuhnya. Pramesta menjadi ter-

gagap saat mana senjata itu menderu ke arah-

hya. Apalagi ketika melihat permainan pedang la-

wan yang begitu sebat, tentu saja salah seorang 

dari Tiga Hantu Lembah Neraka ini dalam bebe-

rapa jurus di depan telah pula terdesak hebat. 

Nyatalah sudah, ternyata dalam berbagai hal 

Pramesta berada jauh beberapa tingkat di bawah 

lawannya.

"Nguuung...! Ctar... ctaaar...!"

Pedang di tangan kanan menderu, sedang-

kan selendang di tangan kiri melecut mengarah 

bagian wajah Pramesta. Dengan nekad laki-laki 

berpakaian kuning itu memapaki sambaran pe-

dang di tangan lawannya.

"Traaak...!

Akibat benturan senjata itu, tubuh Prames-

ta terhuyung-huyung. Jemari tangan sampai ke-

pangkal lengan terasa nyeri luar biasa. Tapi sung-

guhpun si gadis bertopeng mengalami akibat ti-

dak separah lawannya, tetap saja dia merasakan 

bagian dadanya terasa kesemutan. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang mendera, perempuan itu 

hantamkan selendangnya kembali. 

Lawan yang sedang dalam keadaan ter-

huyung-huyung itu nampaknya tidak sempat lagi 

menghalau serangan beruntun tersebut.

"Jdaaaar...!"

"Auhggk...!" 

Pramesta langsung mendekap wajahnya 

yang hancur dilanda lecutan selendang yang tera-

liri sebagian tenaga dalam itu. Darah segera me-

rembas melalui selah-selah tangannya. Memper-

gunakan kelengahan lawannya, dengan sekali 

lompatan gadis bertopeng inipun membabatkan 

pedangnya mengarah bagian perut Pramesta.

"Jrooos...! Kraaaak...!"

"Arrrggkh...!"

Laki-laki berpakaian kuning itu melolong 

setinggi langit, kedua tangannya yang tadinya 

mendekap bagian muka, kini beralih ke bagian 

perut. Darah terus mengalir tanpa henti. Tubuh 

Pramesta sekejap setelahnya langsung ambruk, 

lalu terdiam buat selama-lamanya.

"Hemmm. Akhirnya kau mampus juga di 

tanganku. Hih... aku yakin dua orang lainnya 

pastilah ada di dalam gua...!" kata gadis berto-

peng seorang diri. Sejenak gadis itu mengitarkan 

pandangan matanya ke arah lembah yang terda-

pat di bawah jurang itu.

"Ada baiknya kalau aku cepat-cepat ke sa-

na...!" Sebentar kemudian dengan sangat ber-

hati-hati, gadis bertopeng inipun mulai menu


runi lereng lembah. Dengan mempergunakan su-

lut tumbuhan merambat yang menjuntai sampai 

ke dasar lembah neraka. Tak sampai sepeminum 

teh, gadis bertopeng inipun telah menjejakkan 

kakinya di lembah itu. Namun baru beberapa tin-

dak dia melangkahkan kakinya, dari arah depan 

terasa adanya sambaran angin yang begitu deras 

ke arahnya. Gadis ini cepat-cepat melompat 

menghindari terjangan senjata rahasia yang telah 

disambitkan oleh orang yang tidak dikenalnya da-

ri suatu tempat. 

"Creeep...!"

Luput mencapai sasarannya, senjata-

senjata itu menancap pada batang pohon yang 

berada tak jauh di belakang si gadis bertopeng. 

Dari atas pohon si gadis memperhatikan senjata-

senjata itu.

"Yang menyambitkan senjata itu pastilah 

dua diantara Tiga Hantu Lembah Neraka. Aku ha-

rus berhati-hati, bukan tak mungkin tempat ini di 

pasang berbagai perangkap yang mematikan...!"

"Weeer! Praaas...!"

Satu pukulan jarak jauh dilepas oleh la-

wannya yang bersembunyi tidak begitu jauh dari 

tempat si gadis bertopeng berada. Dahan yang 

merupakan tempat si gadis berpijak berderak pa-

tah saat mana pukulan itu menghantamnya den-

gan telak. Dengan wajah sedikit memucat, tubuh 

gadis itu melayang turun mendahului runtuhnya 

dahan pohon itu.

"Siapapun adanya orang yang bersembunyi

di balik semak-semak di depan sana. Cepatlah 

tunjukkan diri...!" meskipun bergetar, namun su-

ara si gadis bertopeng terdengar begitu ber-

wibawa.

"Kau telah begitu berani memasuki Lembah 

Neraka. Pernahkah terlintas dalam pikiranmu, 

bahwa tak seorangpun yang telah memasuki lem-

bah ini dapat keluar hidup-hidup...?" bentak satu 

suara, penuh teguran.

"Karena aku tak pernah membayangkan 

akibatnya maka aku berani memasuki daerah 

ini...!"

"Aha...! Mendengar suaramu, meskipun 

engkau memakai seribu topeng. Pastilah kau ma-

sih begitu muda. Suaramu merdu, menandakan 

kau seorang gadis yang sangat cantik. Sayang se-

kali andai orang seusiamu mati dengan cara yang

amat menyedihkan. Kuperintahkan padamu sege-

ra meninggalkan tempat ini, sebelum kakang 

Gompal Pringgan mengetahui kehadiranmu...!" 

"Hemm. Agaknya engkau ini sebangsanya 

hantu yang baik hati. Tadi di atas tebing jurang 

sana kulihat sesosok hantu yang tidak ramah. 

Bahkan kami sempat bentrok, tapi tidak begitu 

lama. Karena setelahnya diapun benar-benar te-

lah kukirim ke neraka.!" kata gadis itu dengan si-

kap begitu tenang. Entah apa yang dirasakan oleh 

orang yang bersembunyi di semak-semak itu, 

yang jelas begitu si gadis bertopeng selesai den-

gan ucapannya. Mendadak sesosok tubuh berpa-

kaian kuning nampak menyeruak dari balik semak-semak. Begitu dekat dia langsung hantam-

kan satu pukulan yang begitu dahsyat. Si gadis 

bertopeng yang sudah bersiap siaga sejak semula 

segera menghindari terjangan pukulan lawan 

yang menimbulkan rebawa dingin teramat sangat. 

Pukulan spontan itupun luput mencapai sasa-

rannya. Geram bukan main laki-laki yang berna-

ma Ki Luwuh ini. Siapapun adanya orang yang te-

lah dibunuh oleh perempuan bertopeng yang ber-

diri tegak di hadapannya. Pastilah saudaranya 

yang bernama Pramesta. Bagaimana mungkin pe-

rempuan bertopeng itu mampu mengalahkan 

saudaranya yang dia ketahui memiliki kepan-

daian sangat tinggi.

"Kau jangan coba-coba mengelabuiku! 

Adikku Pramesta bukan orang yang begitu mudah 

dijatuhkan oleh siapapun. Apalagi hanya manusia 

topeng monyet sepertimu mengaku telah menga-

lahkan Pramesta saudaraku. Huh.., tidak mung-

kin! Tak masuk di akal...!"

"Kau boleh percaya atau tidak! Tapi masa 

engkau tak mengenal warna pakaian seperti 

ini...!" si gadis bertopeng menunjukkan robekan 

kain berwarna kuning kemerah-merahan bekas 

noda darah.

"Tidak jugakah kau mengenal pakaian yang 

sama dengan warna pakaianmu...!"

Bergetar tubuh Ki Luwuh demi melihat ke-

nyataan ini. Sama sekali dia tiada menduga kalau 

saudaranya Pramesta telah tewas di tangan pe-

rempuan itu. Hal ini merupakan satu kesalahan


bagi si gadis bertopeng yang mungkin tak akan 

dapat diampuni oleh Ki Luwuh.

"Kau telah melakukan kesalahan yang san-

gat besar di sarang macan. Bahkan jiwamu sendi-

ri rasanya tidak cukup untuk membayar hutang 

nyawa saudaraku...!" kata Ki Luwuh dengan sua-

ra gemetaran.

"Hi...hi...hi...! Segala macan ompong mau 

bertingkah di depanku. Tunggu apalagi maju-

lah...!" tantang si gadis bertopeng.

"Karena engkau hendak mampus, maka 

kuberi kesempatan padamu untuk menyerangku 

terlebih dahulu...!" tukas laki-laki itu dengan se-

sungging senyum licik.

"Huh. Kau pikir aku dapat dikelabui begitu 

saja! Di depanmu kuketahui terdapat sebuah je-

bakan yang dapat memanggang tubuhku hidup-

hidup. Orang lain mungkin bisa kalian kelabui 

dengan perangkap babi hutan yang kalian pa-

sang, tetapi tidak demikian halnya dengan aku...! 

Kalau kau punya keberanian, majulah...!"

"Keparaat...!" maki laki-laki itu merasa ma-

lu hati. "Rupanya kau seekor kunyuk betina yang 

begitu cerdik. Heaaaa...!"

Dengan disertai sebuah jeritan tinggi me-

lengking yang terasa menggetarkan buluh darah.

Tubuh Ki Luwuh melesat mendekati si gadis ber-

topeng. Saat itu juga dia kembali menyambitkan 

senjata rahasianya. Tapi tak kalah gesitnya tubuh 

si gadis melentik ke udara setinggi tiga tombak. 

Serangan senjata rahasia yang dilakukan oleh Ki



Luwuh kembali menemui sasaran kosong. Tapi 

laki-laki berpakaian kuning yang sudah di bakar 

hawa amarah ini, tidak diam sampai di situ saja. 

Sekali lagi dia sambitkan senjata rahasianya. 

Dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu 

meringankan tubuh gadis bertopeng inipun masih 

mampu menghindari serangan ganas yang da-

tangnya bertubi-tubi.

"Habiskan senjata rahasia yang berada di 

dalam kantongmu itu, kunyuk kuning. Tiga Han-

tu Lembah Neraka jika maju satu persatu tidak 

ada apa-apanya...!" ejek gadis itu nampak pula 

mulai mendekati lawannya. Pertarungan jarak 

dekatpun dalam waktu dua jurus selanjutnya se-

gera terjadi. Kali ini si gadis bertopeng sudah pula 

mencabut pedang tipis dari balik jubahnya. Pe-

dang itu langsung menderu dan timbulkan suara 

bercuitan manakala si gadis bertopeng mengge-

rakkan ke segala penjuru dengan kecepatan yang 

sangat luar biasa. Sinar pedang yang putih meng-

kilat nampak bergulung-gulung mendesak ke 

arah lawannya. Sebagai tokoh sesat yang sudah 

berpengalaman, sudah tentu Ki Luwuh tidak 

menjadi gugup karenanya. Dengan cepat pula dia 

mencabut senjatanya yang berupa gading gajah 

berujung runcing dan mengandung racun ganas. 

Segera setelah senjata andalan tokoh sesat itu be-

rada di tangannya, maka tak kalah hebatnya. Ki 

Luwuh langsung mencecar lawannya dengan 

mempergunakan jurus silatnya yang dipenuhi 

dengan tipu-tipu dan kelicikan.


Weeer....! 

Traaak...!

Pedang dan gading gajah di tangan Ki Lu-

wuh beradu, dua-duanya nampak terhuyung-

huyung. Tapi nampaknya Ki Luwuh tiada menghi-

raukan rasa nyeri yang menyerang bagian tangan 

dan dadanya. Bagai dirasuki setan gila, orang ke-

dua dari Tiga Hantu Lembah Neraka itupun kem-

bali melakukan serangan yang lebih gencar lagi. 

Melihat kenekatan lawannya, sejenak si Gadis 

Bertopeng nampak terperangah. "Gila orang yang 

satu ini benar-benar memiliki kepandaian dan te-

naga dalam yang tangguh. Padahal aku tadi telah 

mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang 

kumiliki. Kalau aku tidak cepat-cepat mempergu-

nakan akal untuk melumpuhkannya, cepat atau 

lambat, jangan-jangan aku sendiri yang akan di 

jatuhkannya." gumam si Gadis Bertopeng. Berpi-

kir sampai sejauh itu, perempuan ini kemudian 

melepaskan selendang yang melilit di pinggang-

nya. Dengan bantuan senjata ini, jurus demi ju-

rus si Gadis Bertopeng nampak mulai menguasai 

keadaan.

Sekali dua selendang di tangan kirinya me-

lecut ke arah bagian kaki, perut, dada serta ba-

gian kepala lawannya. Saat mana selendang di

tangannya berhasil dihalau oleh lawan, pada saat 

itu pedang tipis di tangan kanannya meluncur de-

ras menusuk kebagian perut Ki Luwuh. Tentu sa-

ja laki-laki setengah baya ini semakin lama sema-

kin keteter. Sangat jarang sekali dia mampu



membalas serangan-serangan gencar lawannya, 

selain bertahan dan menghindari setiap serangan 

yang datang.

"Manusia yang berjuluk Tiga Hantu Lem-

bah Neraka, kulihat cuma kau seorang saja yang 

menghadapi aku, ahk... cepatlah kau panggil ka-

wanmu! Andai tidak dalam waktu sekejap lagi 

engkau benar-benar sendirian berangkat ke nera-

ka...!" teriak si Gadis Bertopeng.

"Jangan banyak bacot! Aku akan mengadu 

jiwa denganmu...!" geram Ki Luwuh.

Akhirnya tanpa menghiraukan keselama-

tan dirinya lagi. Orang inipun menerjang si Gadis 

Bertopeng dengan sabetkan senjatanya dan han-

tamkan satu pukulan di bagian dada lawannya.

"Wuees...!"

"Eiiit...!"

Sabetan senjata berhasil dielakkan dengan 

manis oleh si Gadis Bertopeng. Namun pukulan 

ganas yang mengarah pada bagian dada tidak da-

pat dihindarkan lagi.

"Deeeess...!"

"Gusraaak...!"

Tubuh si gadis tersungkur mencium tanah. 

Perempuan itu merasakan dadanya terasa me-

nyesak dan sulit untuk bernafas, tetapi bukan itu 

sesungguhnya yang membuat wajahnya menjadi 

merah padam. Dia menjadi sangat marah karena

salah satu bukit kembarnya kena dipukul oleh 

lawan


SEMBILAN


Baginya hal itu merupakan satu penghi-

naan yang sangat sulit untuk diampuni. Laki-laki 

berpakaian kuning walau dengan cara bagaima-

napun harus dibunuh. Hanya itulah yang ada di 

dalam hatinya. Sementara yang menjadi lawannya 

nampak tergelak-gelak.

"Ha...ha...ha...! Ternyata kau bukan nenek-

nenek! Aku yakin kau masih perawan tulen...!" 

kemarilah bocah manis, lebih baik kita bermesra-

mesraan saja. Tak perlu saling bunuh dan saling 

menyakiti! Tahukah kau sorga dunia itu indah 

sekali...!" kata Ki Luwuh, menggoda. Semakin 

berkobarlah amarah di hati.

"Keparaat! Tua bangka tak tahu adat, kau 

benar-benar akan menyesal...!"

"Hihh...!"

Dalam puncak kemarahannya, gadis berto-

peng ini seolah telah berubah menjadi seorang 

dewi pembunuh yang menakutkan. Tenaganya 

berlipat ganda, sedangkan setiap serangannya 

mengandung hawa membunuh yang tiada terpe-

rikan. Sekali lagi, Ki Luwuh kerepotan sete-ngah 

tiada berdaya membendung laju serangan lawan-

nya yang semakin menggila. Begitupun dia masih 

tetap berusaha menghindari serangan si Gadis 

Bertopeng. "Huh..!"

Perempuan itu lecutkan selendang maut-

nya. Serangan kilat itu masih dapat di tangkis


oleh lawannya. Namun tidak demikian halnya 

dengan tusukan pedang yang datang menyusul.

"Jroooss...!''

Pedang tipis yang dapat berubah kaku lak-

sana plat baja itu menembus bagian perut Ki Lu-

wuh sampai ke bagian punggung. Tidak sampai di 

situ saja, dengan cepat si Gadis Bertopeng cepat-

cepat mencabut pedang yang menancap di bagian 

perut lawannya. Selanjutnya pedang yang berlu-

muran darah itu diayunkannya ke arah bagian 

leher lawannya. 

"Craaak...!"

Kepala Ki Luwuh jatuh menggelinding di 

atas tanah berumput hijau. Darah menyembur 

dari bekas tebasan senjata milik si Gadis Berto-

peng. Tak dapat di cegah lagi tubuh yang sudah 

tiada berkepala itupun ambruk dengan menim-

bulkan suara berdebum.

"Ah... mengapa sekarang aku menjadi ma-

nusia sekeji ini? Biarlah. Tokh mereka merupa-

kan biang penyakit yang dapat menimbulkan ke-

sulitan kelak di kemudian hari...!" desah gadis 

itu. Sejenak setelah menyarungkan senjata pada 

tempatnya, Gadis Bertopeng mengitarkan pan-

dangan matanya ke sekelilingnya.

"Hemm. Mungkin di sanalah gua tempat 

bersembunyinya pimpinan Tiga Hantu Lembah 

Neraka. Aku harus mencari tahu apa yang di per-

buat oleh dedengkot Tiga Hantu Lembah Neraka 

di tempat itu." batin perempuan itu. Saat-saat se-

lanjutnya sambil menghindari jebakan-jebakan


yang ada si Gadis Bertopeng inipun melangkah-

kan kakinya mendekati gua yang dia perkirakan 

sebagai tempat bersembunyinya pentolan peng-

huni Lembah Neraka.

Tak sampai sepemakan sirih, gadis itupun 

telah sampai di mulut gua. Suasana di luar mau-

pun di dalam gua itu teras sepi dan lengang. Si 

Gadis Bertopeng menunggu beberapa saat la-

manya. Tiada tanda-tanda sesuatu apapun yang 

mencurigakan. Namun dia tetap mengintip situasi 

di dalam gua. Seisi ruangan gua nampak terang 

benderang. Namun dia tak melihat siapapun di 

dalam ruangan gua yang berhawa lembab.

"Mungkin pentolan Tiga Hantu Lembah Ne-

raka berada di ruangan lain di dalam gua ini. Ada 

baiknya aku mulai meneliti keadaan di dalam sa-

na...!" batin si Gadis Bertopeng. Lalu dengan cara 

merangkak diapun mulai menelusuri lorong gua 

yang sangat panjang ini. Ketika sampai di tengah-

tengah ruangan, si Gadis Bertopeng masih belum 

melihat adanya tanda-tanda orang lain berada di 

tempat itu. Gadis ini lalu merangkak lebih jauh 

lagi ke dalam. Barulah di ujung lorong, dia meli-

hat sesosok tubuh tergeletak diatas sebongkah 

batu. Melihat keadaan dan pakaian yang dikena-

kannya, si Gadis Bertopeng dapat memastikan la-

ki-laki berpakaian kuning itu pastilah dedengkot 

Tiga Hantu Lembah Neraka. Tetapi mengapa laki-

laki itu dalam keadaan terkapar seolah tanpa 

nyawa itulah yang tidak dimengerti olehnya. Me-

rasa penasaran si Gadis Bertopeng segera mendekati tokoh sesaat yang tergeletak di atas batu.

Ketika sampai di dekat tubuh si laki-laki 

berpakaian kuning, memucatlah wajahnya demi 

melihat tubuh yang dalam keadaan terkapar itu 

sudah tiada bernyawa lagi. "Apa yang membuat 

laki-laki ini binasa, secara pasti aku belum me-

ngetahuinya. Tapi, eee...Geluk Emas yang ter-

campak di bawah batu itu mengeluarkan uap 

berwarna putih...! Pastilah benda itu mengan-

dung racun yang sangat ganas. Heh persetan 

dengan mayat orang ini, aku harus cepat-cepat 

menyelamatkan benda ini dan menyerahkannya 

pada yang berhak...!" kata si Gadis Bertopeng. 

Beberapa saat kemudian setelah menutup per-

napasannya. Maka si Gadis Bertopeng yang telah 

begitu mengenal berbagai benda beracun dari gu-

runya. Segera pula mengambil benda itu, lalu 

membungkusnya dengan selembar kain yang ter-

geletak di depan mayat tokoh Tiga Hantu Lembah 

Neraka.

"Geluk Emas ini benar-benar sangat ber-

bahaya bagi setiap orang yang tidak tahu banyak 

tentang seluk beluk berbagai macam racun." Ak-

hirnya dengan membawa Geluk Emas dalam 

bungkusan yang telah diaturnya sedemikian ru-

pa, maka si Gadis Bertopeng segera keluar me-

ninggalkan gua yang berhawa lembab. Secara per-

lahan namun cukup pasti gadis ini mulai menuju 

jalan yang di telusurinya tadi.

****



Menelusuri jalan setapak, Buang Sengketa 

maupun Nyai Pamekasan sama-sama saling diam. 

Nampaknya mereka sama-sama tenggelam dalam 

pikiran masing-masing. Mungkin mereka menya-

dari, mencari jejak Tiga Hantu Lembah Neraka 

ternyata merupakan pekerjaan yang sulit dan ti-

dak setiap orang bersedia menunjukkan tempat 

kediaman tiga tokoh misterius tersebut. Dalam 

udara kemarau yang membuat tubuh serasa ba-

gai di bakar itu, secara mendadak, pendekar dari 

Negeri Bunian ini berkata pada Nyai Pamekasan 

tanpa menoleh sedikitpun juga. 

"Sahabat tua! Sampai kapan kita saling 

membisu dan menelusuri jalan yang tiada beru-

jung ini...!"

"Apakah kau sudah merasa bosan berjalan 

dengan seorang nenek sepertiku?" tiada terduga, 

Nyai Pamekasan balik bertanya. Mendapat perta-

nyaan seperti itu, si pemuda membuang pandan-

gan matanya ke arah lain.

"Coba kau jawab pertanyaanku, sahabat 

muda...!"

Tiba-tiba si pemuda tergelak-gelak, lalu ga-

ruk-garuk kepalanya yang tiada bertopi.

"Engkau terlalu berperasangka yang bu-

kan-bukan, kawan...! Yang menjadi beban piki-

ranku saat ini bukanlah tentang seorang nenek-

nenek berjalan denganku, aku tak perduli dengan 

semua itu. Asalkan engkau tidak minta gendong 

denganku, itu saja telah membuatku lega. Tapi 

yang kupikirkan selama beberapa hari ini adalah


tentang geluk milikmu yang telah dilarikan oleh 

Tiga Hantu Lembah Neraka...!"

"Huh, mengapa harus pusing memikirkan 

segala persoalan yang belum kita ketahui ujung-

nya. Yang terpenting pencarian itu harus kita la-

kukan terus, sampai kita mendapatkannya kem-

bali...!"

"Mencari sesuatu yang tidak mempunyai 

tujuan yang pasti, lama-lama kita bisa semakin 

tua dalam perjalanan...!" dengus Buang Sengketa 

merasa kesal melihat ulah Nyai Pamekasan yang 

tidak pernah bersungguh-sungguh dalam setiap 

kali diajak berbicara.

"Kurang asem! Kau malah menyindirku...!"

"Menyindir apa...?" tanya Buang Sengketa 

tiada mengerti.

"Aku memang sudah tua bangka, tapi tidak 

nantinya aku merengek minta kau gendong. Pula 

cepat atau lambat Geluk Emas pasti segera kem-

bali pada yang berhak, yaitu aku. Ya... aku-lah 

pemiliknya yang sah, bukan kau...!" cibir Nyai 

Pamekasan salah terima.

"Kau pikir aku mau mengangkangi milik 

orang lain, seandainya kau berikan geluk itu pa-

daku. Akupun pasti tak mau menerimanya...!"

"Akupun tak akan memberikannya pada-

mu! Kau bisa berbuat apa...?"

"Bicara sama orang sinting, memang tak 

pernah menyenangkan. Mungkinkah karena ke-

matian murid tunggalnya itu, sekarang dia beru-

bah? Padahal waktu aku berjumpa dengannya


pada beberapa purnama yang lalu, sikapnya tak 

seburuk ini. Mungkin malah lebih baik lagi kalau 

aku tak bicara apa-apa padanya...!" lagi-lagi pe-

muda itu membatin.

"Hei... mengapa kau secara mendadak 

hanya diam saja? Apakah sekarang ini otakmu 

sedang mencari jalan untuk mengakaliku...? Ti-

dak bisa... tidak bisa...! Aku mana mungkin dapat 

kau akali." cibir Nyai Pamekasan dengan sikap 

konyol.

"Sssst...! Diamlah... aku merasakan seperti 

ada orang lain yang terus menguntit kita...!" kata 

si pemuda begitu lirih.

Nyai Pamekasan sebaliknya malah terge-

lak-gelak. Tubuhnya yang kurus kerempeng itu 

bahkan sampai terguncang-guncang. Beberapa 

saat setelah hentikan tawanya.

"Kau pikir hanya engkau saja yang tahu, 

bahwa kita sejak tadi di kuntit oleh sepasang ti-

kus geblek. Cuma aku memang sengaja diam sa-

ja, agar mereka tahu apa yang kita bicarakan...!" 

kata perempuan berusia lanjut ini dengan suara 

sengaja dikeraskan.

"Sekarang mereka telah mendengar semua-

nya! Lebih baik kita tangkap mereka, siapa tahu 

tikus-tikus yang bersembunyi itu termasuk orang 

yang kita curigai." Kata si pemuda. Lalu dengan 

mempergunakan pukulan Empat Anasir Kehidu-

pan. Pemuda ini hantamkan tangannya ke arah 

semak-semak. Tak ayal lagi serangkum gelom-

bang Sinar Ultra Violet menderu ke arah sasaran


nya.

"Breeees...! Gusraaak..,!" Sebelum pukulan 

jarak jauh itu mencapai sasarannya, maka nam-

pak dua sosok tubuh berlompatan dari tempat 

persembunyiannya. Orang itu terdiri dari seorang 

laki-laki dan seorang perempuan. Yang laki-laki 

berusia beberapa tahun lebih muda dari perem-

puan yang ada di sebelahnya. Buang Sengketa 

nampaknya memang tidak mengenali siapa 

adanya dua orang ini. Tapi tidak begitu nampak-

nya dengan Nyai Pamekasan. Begitu melihat ke-

hadiran orang-orang ini, Nyai Pamekasan lang-

sung berubah sinis.

"Hik...hi,..hi...! Selamat bertemu lagi, mu-

suh yang pernah menjadi pecundangku....!" 

"Huh. Kali ini kau kan segera mampus di

tanganku, sobat...! Aku harus membayar kekala-

hanku di masa lalu...?" dengus perempuan ber-

pakaian merah darah yang tak lain dan tak bukan 

Sumbadra dan saudara seperguruannya yang 

bernama Wicak Sono. 

"Kudengar empat orang saudara lima datuk 

sesat Bukit Bontang telah tewas di tangan Tiga 

Hantu Lembah Neraka karena berebut Geluk 

Emas yang sesungguhnya merupakan milikku. 

Apakah itu benar, manusia cacingan dari Pulau 

Angsa...?" ejek Nyai Pamekasan sengaja me-

manas-manasi lawannya. "Bukan tidak mungkin 

kali ini kalian datang lagi hanya ingin mem-

peroleh Geluk Emas yang dilarikan oleh Tiga Han-

tu Lembah Neraka. Aha... memalukan sekali, seo


rang pecundang masih punya muka berhadapan 

dengan Nyai Pamekasan...!"

Gusar bukan main hati Wicak Sono mau-

pun Sumbadra, menghadapi tuduhan Nyai Pame-

kasan mereka tak ubahnya bagai dua ekor mo-

nyet yang ditunjuk hidung. Bagaimana tidak! Nyai 

Pamekasan tanpa mereka duga telah mengetahui 

tujuan mereka yang sesungguhnya Padahal saat 

meninggalkan Pulau Angsa mereka berharap su-

paya dapat memperoleh Geluk Emas itu, baru 

kemudian mencari Nyai Pamekasan yang pernah 

membuatnya menjadi pecundang. Tapi apa boleh 

buat, sungguhpun mereka masih belum menda-

patkan Geluk Emas itu. Kini dengan sangat ter-

paksa mereka harus berhadapan dengan musuh 

besarnya.

"Kau benar-benar telah menghinaku, tikus 

busuk...! Bicaramu setinggi langit. Seolah di du-

nia ini hanya engkau saja yang memiliki kepan-

daian tiada terkalahkan!"

"Kenyataannya dulu kau pernah menjadi 

pecundangku, bukan...?" ejek Nyai Pamekasan. 

Sejenak dia melirik kearah Buang Sengketa yang 

sejak tadi hanya diam saja. Namun setelah itu dia 

kembali pada Sumbadra dan Wicak Sono. 


SEPULUH



"Kali ini kedatanganmu ke dunia ramai tak 

lain pastilah ingin mendapatkan Geluk Emas


yang sesungguhnya bukan milikmu...!" kata Nyi 

Pamekasan lebih jauh. Mendapat sindiran secara 

terus menerus, membuat Sumbadra maupun Wi-

cak Sono menjadi panas hatinya.

"Keparat! Beberapa tahun yang lalu engkau 

memang boleh unjuk gigi di depanku. Tetapi tidak 

untuk saat ini. Kau benar-benar harus membayar 

hutang lama dulu, Nyai Pamekasan...!" geram 

Sumbadra.

"Orang itu bicaranya kacau sahabat tua…! 

Mungkin orang sinting sedang mabok berat. Apa-

kah mereka ini merupakan musuh-musuhmu…?" 

tanya Buang Sengketa yang sedari tadi hanya di-

am saja.

"Tak salah, cacing betina yang kurus ker-

ing itu memang musuh bebuyutanku, sedangkan 

kunyuk satunya, pastilah merupakan kambratnya 

si cacing kurus"

Sebentar Buang Sengketa memperhatikan 

Sumbadra dan Wicak Sono silih berganti.

"Sebaiknya kita pergi saja, kita tak perlu 

melayani orang-orang sinting seperti mereka...!" 

ujar si pemuda dengan suara dikeraskan.

"Bocah gembel! Kalau kau takut berurusan 

dengan kami, sebaiknya cepat-cepatlah menying-

kir. Nyai Pamekasan punya hutang yang harus di-

lunasinya hari ini juga...!" bentak Sumbadra se-

makin bertambah gusar.

"Oh begitu…! Seberapa banyakkah kawan-

ku mempunyai sangkut paut hutang denganmu?"

"Bangsat! Kawanmu punya hutang den


ganku sebanyak darah yang mengalir di tubuhnya 

dan tubuhmu...!"

"Kalau begitu akupun akan membantu me-

lunasi hutang-hutangnya…!" geram Buang Seng-

keta.

"Adik Wicak Sono! Bunuh pemuda itu...!" 

perintah Sumbadra. Dia sendiri akhirnya segera 

menyerang Nyai Pamekasan dengan jurus-jurus 

silat yang baru saja diciptakannya. Tak pelak lagi 

pertempuran sengitpun segera terjadi antara dua 

musuh bebuyutan yang sama-sama memiliki wa-

tak yang sangat aneh.

Sementara itu, Pendekar Hina Kelana 

nampaknya tak memberi hati pada Wicak Sono 

yang menyerang dirinya dengan jurus-jurus pe-

dang andalan. Begitu sebat senjata di tangan 

sang lawan berkelebat. Mata pedang yang sangat 

tajam itu mengincar setiap bagian tubuh si pe-

muda. Dengan mempergunakan jurus Memben-

dung Gelombang Menimba Samudra dan jurus si 

Gila Mengamuk. Sejauh itu Buang masih mampu 

menghindari setiap sabetan maupun tusukan 

senjata di tangan lawannya. Namun nampaknya 

semakin lama Wicak Sono semakin meningkatkan 

daya serangnya. Dengan tenaga yang sengaja dili-

pat gandakan, lawan berusaha terus mendesak si 

pemuda. Begitu banyak variasi jurus pedang yang 

dimiliki oleh Wicak Sono. Hingga terkadang mem-

buat lawannya jadi tertipu dalam menghindari da-

tangnya serangan.

"Hiaaat..."


Satu tendangan telak dilakukan oleh Wicak 

Sono, tubuh Buang Sengketa melompat setinggi 

setengah tombak ke udara. Namun pada saat itu, 

pedang di tangan lawannya menderu ke arah ba-

gian pahanya. Dalam keadaan mengambang se-

perti itu sudah dapat diduga pemuda ini menga-

lami kesulitan untuk menghindar lebih jauh lagi. 

Akibatnya...

"Creees! Breebet...!" 

"Auuughh…!"

Pangkal paha si pemuda mendapat luka 

yang cukup dalam akibat sambaran pedang di 

tangan lawannya. Begitu dia menjejakkan kakinya 

di atas permukaan tanah, tubuhnya langsung 

terhuyung-huyung. Darah semakin banyak yang 

mengalir dari luka memanjang di bagian kakinya 

ini. Tapi lawannya yang sudah merasa mendapat 

angin nampaknya tak ingin bertindak setengah-

setengah. Wicak Sono kembali mendesak si pe-

muda dengan tusukan maupun babatan senja-

tanya.

"Hiiiiik...!"

Dalam keadaan terdesak seperti itu, tiba-

tiba Buang Sengketa mengeluarkan lengkingan 

ilmu Pemenggal Roh. Tanah tempat mereka ber-

pijak tergetar hebat. Gendang-gendang telinga 

seakan-akan terkoyak bahkan mereka yang bera-

da di sekitar tempat itu merasakan dadanya men-

jadi sesak dan nyeri. Andai saja mereka yang ter-

libat dalam pertarungan itu tidak memiliki tenaga 

dalam yang kuat. Dapat diduga sejak tadi pastilah


mereka terkapar dengan jiwa melayang. Sung-

guhpun begitu, baik Nyai Pamekasan maupun 

Sumbadra dan Wicak Sono nampak terperangah 

untuk sesaat lamanya. Sama sekali mereka tiada 

menyangka kalau pemuda yang mereka anggap 

hanya memiliki ilmu kepandaian biasa-biasa saja 

ternyata punya kepandaian yang sulit untuk di-

ukur.

''Sobat! Pedangmu mengandung racun yang 

sangat keji sekali. Hah... andai aku tak kebal 

dengan berbagai jenis racun, mungkin aku telah 

mampus sejak tadi...! Atas kekejian racun pada 

senjatamu itu, terimalah ini…!" 

Wuuuuus…!

Selarik sinar berwarna merah menyala dan 

menimbulkan rebawa panas tiada tertahankan 

nampak melesat dari telapak tangan Buang Seng-

keta. Tak salah lagi, saat itu kiranya si pemuda 

telah melepaskan pukulan si Hina Kelana Mera-

na. Melibat datangnya pukulan yang begitu cepat, 

Wicak Sono nampak terperangah. Tapi dia tak 

mungkin menunggu lebih lama lagi. Lalu laki-laki 

bertubuh gemuk inipun memutar pedangnya 

membentuk pertahanan diri.

Blaaam...! 

Terdengar satu dentuman keras saat mana 

pukulan yang dilepaskan oleh Buang Sengketa 

membentur pertahanan Wicak Sono. Tubuh laki-

laki setengah baya itu terbanting roboh. Sebagian 

tubuhnya langsung menghitam akibat sambaran 

pukulan yang begitu panas. Tapi sungguh luar


biasa daya tahan lawannya. Sungguhpun dia te-

lah terluka parah akibat benturan pukulan tadi. 

Namun cepat-cepat dia bangkit kembali. Dengan 

mengeram marah, Wicak Sono langsung mener-

jang.

"Kau benar-benar nekad! Akupun tak akan 

segan mengirimmu ke neraka...!" berkata begitu 

Buang Sengketa langsung mencabut senjata an-

dalannya. "Nguuuuung...!"

Terdengar suara mendengung bagai auman 

harimau terluka saat senjata si pemuda tercabut 

dari sarungnya. Udara di sekitar tempat itu men-

dadak berubah menjadi dingin luar biasa. Golok 

di tangan si pemuda nampak memancarkan sinar 

merah menyala. Terperangahlah mereka yang be-

rada di tempat itu, begitu melihat senjata yang 

berada dalam genggaman si pemuda.

"Pendekar Golok Buntung...!" desis Wicak 

Sono dengan suara yang hampir-hampir tak ke-

dengaran.

"Adi Wicak Sono, berhati-hatilah kau 

menghadapi pemuda itu! Dia lebih berbahaya dari 

lawan manapun...!" teriak Sumbadra mempe-

ringati.

"Segala-galanya sudah terlambat, sobat...! 

Hiaaaaa...!"

Buang Sengketa langsung babatkan senja-

ta mautnya ke arah Wicak Sono. Sementara dari 

sela-sela bibirnya keluar bunyi mendesis bagai 

seekor raja piton yang sedang dilanda kemarahan. 

Tubuh pemuda itu terus berkelebat lenyap, hanya



terasa sambaran angin yang begitu kencang, me-

nandakan bahwa pemuda itu sedang berusaha 

mencari sela yang tepat untuk segera mengakhiri 

pertempuran.

"Ciaaat..."

Traaang...!

Begitu senjata Wicak Sono membentur sen-

jata di tangan lawannya, maka senjata itu hancur 

berkeping-keping dilanda sambaran golok di tan-

gan Buang Sengketa. Semakin bertambah pucat 

wajah laki-laki berusia setengah baya ini, tapi si 

pemuda nampaknya tak ingin bertindak tang-

gung-tanggung lagi. Sekali lagi andalannya me-

nyambar ke arah bagian leher lawan.

Nguuung...! Craaas...!

Terdengar bagai suara kerbau disembelih, 

saat mana senjata di tangan Buang Sengketa ber-

hasil mencapai sasaran. Darah nampak me-

nyembur dari luka yang menganga. Tubuh Wicak 

Sono nampak limbung kemudian ambruk di atas 

tanah berdebu. Kejadian itu kiranya tak terlepas 

dari perhatian Sumbadra, dia nampak terkejut 

sekali melihat kejadian yang begitu cepat. Diluar 

sepengetahuannya. Kelengahan yang hanya seke-

jap itu dipergunakan oleh Nyai Pamekasan untuk 

menyambitkan tongkatnya. Dengan sekuat tenaga 

yang dimilikinya.

"Hihh...!" 

Jroooot...!

Tongkat yang berujung runcing itupun 

langsung menembus tubuh Sumbadra.


"Keparaaat...! Kau manusia pengecut...!"

maki Sumbadra sambil mendekap perutnya yang 

mengalirkan banyak darah.

"Hi...hi...hi...! Mestinya aku bersikap seper-

ti seorang ksatria...! Tapi karena dosa-dosamu 

terlalu besar. Maka terlalu sulit bagiku untuk me-

ngampunimu, nih makanlah…!"

Tanpa perasaan Nyai Pamekasan lepaskan 

satu pukulan jarak jauh. Serangkum sinar ber-

warna Biru menderu dan langsung menghajar tu-

buh Sumbadra. Perempuan bertubuh kurus itu 

terjengkang roboh, berkelojotan sebentar, lalu di-

am untuk selama-lamanya.

"Kau terlalu telengas, sobat tua...!" kata si 

pemuda datang menghampiri.

"Kuya! Mengapa kau perdulikan musuh be-

buyutanku, sudah selayaknya dia mati...!"

"Tapi sikapmu...!" 

"Kau mau apa pendekar Golok Buntung...! 

Hik...hik...hik...! Apakah kau masih ingin mera-

hasiakan tentang siapa dirimu yang sesung-

guhnya...?" bentak Nyai Pamekasan dengan mata 

melotot.

"Sama sekali tidak! Aku cuma tidak ingin 

mengagul-agulkan nama, cuma itu saja" ujar si 

pemuda kaku.

"Baik! Nah sekarang kita harus kemana...?"

Sesaat Buang Sengketa terdiam, tapi begitu 

teringat tentang Geluk Emas.

"Kita harus menemukan Geluk Emas itu 

secepatnya...!"


"Tapi bagaimana dengan pengintip yang sa-

tunya lagi...!" kata Nyai Pamekasan lalu me-

mandang ke satu arah. Belum lagi sempat Buang 

Sengketa berkata apa-apa. Dari kerimbunan se-

mak-semak, muncul sesosok tubuh ramping ber-

topeng biru. Buang Sengketa nampak terkejut 

bukan alang kepalang demi melihat kehadiran si 

perempuan bertopeng. Entah mengapa tiba-tiba 

hatinya bergetar.

"Kau hendak lari ke mana lagi, pendekar 

Golok Buntung...?" tanyanya dengan suara berge-

tar.

"Kalian tentu mencari Geluk Emas yang te-

lah banyak menimbulkan banyak korban itu...!"

"Kau lagi...!" 

Tanpa menghiraukan ucapan si pemuda, si 

gadis bertopeng mengambil buntalan yang berada 

di pinggangnya. 

"Geluk Emas! Hei... cepat serahkan...!" te-

riak Nyai Pamekasan begitu melihat buntalan be-

sar tergenggam di tangan si gadis bertopeng.

"Susah payah aku mengambilnya dari tan-

gan Tiga Hantu Lembah Neraka, semudah itukah 

anda mau memintanya...!" kata si gadis penuh te-

guran.

"Aku tidak perduli, cepat serahkan benda 

itu...!" perintah Nyai Pamekasan.

"Kalau anda ingin mengambilnya, nih...!" 

dengan mempergunakan sebagian tenaga da-

lamnya, si gadis bertopeng lemparkan bungkusan 

di tangannya jauh-jauh.


"Sobat tua! Kejar benda itu jangan sampai 

terjatuh ke tangan orang lain...!" kata Buang 

Sengketa.

"Si bangsat bertopeng ini benar-benar ingin 

mengerjaiku...!" maki Nyai Pamekasan lalu me-

ngejar Geluk Emas yang masih terus melayang 

menjauh. Kini yang tinggal di tempat itu hanya 

Buang Sengketa dan si gadis bertopeng saja. Me-

reka saling berhadap-hadapan.

"Sekian tahun aku mencari-carimu! Dan 

kau seorang pembohong besar...!" kata si gadis 

bertopeng dengan suara lirih.

"Siapakah engkau! Aku tak pernah mem-

punyai persoalan denganmu! Cepatlah katakan, 

tiada waktu bagiku untuk berlama-lama di si-

ni...!" ujar si pemuda dengan hati berdebar-de-

bar. Dengan sendu dan suara tersendat: 

"Aku punya hutang nyawa, budi dan segala 

sesuatu yang tak mungkin dapat kubalas. Selama 

ini hidupku terlalu menderita, yang ku mau ki-

ranya sudilah engkau membunuhku...!"

"Apakah kau sudah gila...?" 

"Aku tak pernah gila, paman Kelana! Eng-

kaulah yang membuatku hampir gila...!" kata si 

gadis, lalu terisak-isak.

"Paman Kelana! Hemm. Hanya dia seorang 

yang memanggilku begitu selama ini, mung-

kinkah dia...!" batin si pemuda dengan bibir ber-

getar. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu mem-

buka topengnya. Begitu Buang Sengketa melihat 

wajah di balik topeng itu, sepasang matanya


membelalak. 

"Wanti...!" seru pemuda itu. Selanjutnya 

Buang Sengketapun langsung memeluk gadis 

yang selama ini selalu membayangi pikirannya.

"Kau masih mengenalku...!" kata si gadis 

bertopeng yang tak lain Wanti Sarati adanya.

"Ah…ak...! Aku bahkan tak mampu melu-

pakanmu! Itu sebabnya aku tak pernah datang ke 

kediaman Satria Penggali Kubur, gurumu... kare-

na... karena...!"

"Karena apa...?" tanya gadis berwajah can-

tik dan keibuan itu terus mempererat pelukan-

nya.

"Karena aku mengira bahwa kau telah 

menjadi milik orang lain..,!"

"Paman pikir aku mampu melupakanmu 

begitu saja, tahukah paman selama ini aku sering 

merindukan kehadiranmu...!" 

"Akupun begitu...!"

"Sayangkah paman kepadaku...!" tanya 

Wanti Sarati.

"Rasanya itu tak kujawab...!" 

"Paman...!"

Desah si gadis dengan wajah menengadah, 

Buang Sengketa tetap diam. Tetapi wajahnya se-

makin lama semakin menunduk, mendekat ke 

wajah Wanti Sarati. Cinta terkadang memang tak 

bermula. Hanya mereka saja yang dapat merasa-

kan gejolak apa yang sedang terjadi di dalam diri 

masing-masing. Beberapa saat bibir merekapun

saling bersentuhan, begitu mesra pendekar dari


Negeri Bunian ini menciumi wajah Wanti Sarati. 

Gadis berwajah cantik itupun merintih manja. 

Tapi begitu tersadar merekapun sama-sama me-

lepaskan pelukannya.

"Mari kita pergi, kekasih...!" desah si pe-

muda, lalu tersenyum cerah.



                            Tamat




Share:

0 comments:

Posting Komentar