PUSAKA WARISAN IBLIS
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari pener-
bit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Pusaka Warisan Iblis
SATU
Hujan petir sambung menyambung tiada
henti, kilat menyambar-nyambar dengan disertai
hembusan angin yang begitu kencang. Berbagai
jenis pepohonan bertumbangan, tumpang tindih
tiada berketentuan. Tak seorang pendudukpun
yang berani keluar meninggalkan rumahnya. Su-
asana yang ada hanyalah gelegar petir dan desau
angin ribut yang menderu-deru. Dalam suasana
seperti itu nampak sesosok tubuh sedang berlari
kencang tanpa menghiraukan keadaan di sekeli-
lingnya. Tubuhnya basah penuh berlumur darah,
sementara di bagian tangannya menggengam se-
buah buntalan kecil yang juga di lumuri banyak
darah. Nampaknya orang yang sedang berlari-lari
mendapat bacokan senjata tajam yang cukup pa-
rah.
"Glegeeer....!"
Petir di angkasa serasa merobek bumi, tu-
buh laki-laki yang berlumur darah dan telah pula
basah dengan air hujan nampak bergetar. Se-
jenak dia menghentikan langkahnya. Sorot ma-
tanya liar memperhatikan suasana di sekeliling-
nya. Sepasang mata yang redup itupun nampak
berkilat-kilat ketika melirik pada buntalan yang
dibawanya.
"Aku harus segera sampai ke sana....!" kata
laki-laki setengah baya ini, selanjutnya tanpa me-
nanti lebih lama. Orang inipun kembali berlari le
bih kencang lagi. Dalam keadaan berlari itu, luka
menganga di bagian punggungnya semakin ba-
nyak mengalirkan darah. Bahkan di bagian ba-
junya yang basah, darah beku yang bergumpal-
gumpal jatuh berceceran.
"Sraaak...!"
"Gabruuuuk...!" tubuh laki-laki itu tersung-
kur ke depan saat mana sebuah tali yang diren-
tangkan sebatas lutut dan muncul dengan tiba-
tiba, menghadang kakinya.
Lalu beberapa sosok tubuh berpakaian ku-
ning gading nampak berlompatan dari semak-
semak dan langsung mengerumuni laki-laki yang
sudah dalam keadaan terluka parah ini.
"Kau telah berhasil membawa benda itu,
Jatayu...!"
"Keberanianmu sungguh luar biasa...! kau
terluka parah rupanya...? He...he...he...! Tempat
itu memang mengandung banyak jebakan, itu
makanya kami tidak berani menjarahnya. Se-
karang serahkan benda itu pada kami, Jatayu...!
Cepatlah...kalau tidak jiwamu kan segera me-
layang!" Salah seorang diantara mereka yang ber-
badan pendek namun memiliki mulut sangat le-
bar. Laki-laki yang sedang dalam keadaan ter-
sungkur dan memiliki nama Jatayu ini mende-
ngus. Tapi suara dengusannya tak ubahnya ba-
gai orang yang sedang merintih kesakitan.
"Apakah kau ingin agar kami mengambil-
nya secara paksa...!" bentak si mulut lebar nam-
pak semakin tak sabar saja.
"Glegeeer...!" petir di angkasa sana kembali
menyambar. Tetapi tiga orang laki-laki berpakaian
kuning itu sudah tiada menghiraukannya lagi.
"Kakang Gompal Pringgan! Mengapa harus
basa basi...? Orang ini sudah hendak mampus,
lebih baik kita habisi saja sekalian...!" tukas salah
seorang dari tiga orang itu merasa tak sabar.
"Mengingat Nyai Pamekasan...! Aku tak
akan bertindak segegabah itu...!" kata Gompal
Pringgan merasa segan.
"Kau dengarkan, Jatayu...! Kakangku ma-
sih mau memberi kesempatan hidup padamu ka-
rena orang yang dihormatinya... nah sekarang se-
rahkanlah bungkusan itu?"
"Ak...aku tak ingin menyerahkan bungku-
san ini pada siapapun...!" sela Jatayu. Sungguh-
pun suaranya tersendat-sendat, namun dia ma-
sih dapat berkata tegas.
"Kalau begitu, orang ini benar-benar tak
bisa dikasihani. Rebut bungkusan itu!" perintah
Gompal Pringgan kepada dua orang saudaranya.
Dengan gerakan yang sangat cepat dua orang
berpakaian serba kuning itu menggebrak Jatayu.
Namun di luar dugaan kiranya laki-laki yang su-
dah terluka parah ini bangkit kembali. Pandangan
matanya berubah beringas dan liar.
"Kalian tak akan pernah mendapatkan apa-
pun dariku...!" bentak Jatayu dengan suara ber-
getar.
"Kau memang pantas mampus...!" teriak
Gompal Pringgan. Dalam keadaan sekalap ini, la
ki-laki berpakaian kuning ini mencabut sen-
jatanya yang berupa Gading Gajah yang berhulu
ranting. Senjata aneh itu kemudian menderu ke
arah bagian, kepala, dada dan juga perut Jatayu.
Sungguhpun dalam keadaan terluka parah, na-
mun dia masih mampu menghindari terjangan
senjata di tangan tiga laki-laki berpakaian kun-
ing. Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung
lama. Tubuhnya yang sudah kehilangan banyak
darah, nampak mulai limbung, lemas tiada berte-
naga.
"Desak terus! Jangan beri dia kesempatan
untuk menghindar...!" kata Gompal Pringgan se-
makin memperhebat serangan-serangannya.
"Celaka! Tubuhku sudah tiada bertenaga
sama sekali, aku pasti tak dapat mempertahan-
kan apa yang seharusnya kusampaikan pada gu-
ruku...!" batin laki-laki yang bernama Jatayu ini
masih terus berusaha mengimbangi serangan-
serangan lawannya.
"Hiaaat! Mampuslah kau...!" teriak ketiga
orang itu bersamaan.
"Jrooos! Croook...Jrooot...!" senjata gading
gajah yang sangat tajam itu menembus batok ke-
pala, dada juga bagian perut Jatayu. Laki-laki
yang sudah dalam keadaan terluka parah ini
langsung roboh, menggelosor mencium rerum-
putan basah.
Dengan cepat Gompal Pringgan menyam-
bar bungkusan yang tergenggam erat di tangan
Jatayu. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi, ketiganya segera berlari menjauh, kemudian meng-
hilang dikegelapan malam. Hujan deras yang dis-
ertai gemuruh suara petir masih terus menggila,
tak sampai sepemakan sirih setelah perginya tiga
orang itu. Seorang perempuan tua berusia sekitar
lima puluh tahun muncul pula di tempat itu. Ne-
nek berpakaian tambal-tambal ini memiliki badan
agak bongkok. Sedangkan di tangannya nampak
tergenggam sebuah tongkat berukir kepala Singa
Merah. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai
Pengemis Tongkat Sakti. Perempuan tua yang
memiliki nama Nyai Pamekasan ini merupakan
seorang tokoh beraliran lurus yang pernah mera-
jai dunia persilatan lebih kurang sepuluh tahun
yang lalu. Selama itu dia tak pernah terkalahkan
oleh tokoh persilatan manapun karena kehebatan
permainan tongkatnya yang begitu dahsyat. Lima
tahun terakhir setelah mengalahkan Sumbadra,
yaitu tokoh sesat yang bermukim di Pulau Angsa.
Nyai Pamekasan mulai mengasingkan diri di pun-
cak Gunung Berhala yang jauh dari keramaian
dunia-ramai bersama seorang muridnya yang
bernama Jatayu.
Semua itu dilakukannya demi menjaga ke-
selamatan sebuah benda pusaka yang berupa se-
buah Geluk Emas peninggalan almarhum gu-
runya Indra Bayu, yang sejak dulu telah diincar
oleh kalangan persilatan dari berbagai golongan.
Tetapi karena akhir-akhir ini semakin bertambah
banyak saja orang yang mengincar peninggalan
gurunya itu, maka Nyai Pamekasan mengutus
muridnya untuk memindahkan Geluk Pusaka itu
dari Lereng Bromo ke tempat pertapaanya di Gu-
nung Berhala. Tetapi setelah kepergian muridnya,
mendadak hatinya dihantui rasa was-was. Jan-
gan-jangan di jalan muridnya yang bernama Ja-
tayu mengalami banyak rintangan. Dalam suasa-
na kalut seperti itu, akhirnya Nyai Pamekasan
meninggalkan Gunung Berhala, menyusul murid-
nya ke Lereng Bromo.
Ketika nenek berpakaian tambal-tambal ini
sampai di lereng Bromo dan memeriksa tempat
penyimpanan. Benda langka itu sudah tak ber-
ada di tempatnya. Diapun sudah dapat memas-
tikan Geluk Emas pastilah sudah diambil oleh
murid tunggalnya. Diam-diam nenek ini me-
ngikutinya dari belakang. Tetapi setelah melewati
beberapa desa, dalam suasana hujan petir. Ak-
hirnya orang tua ini menjadi terperanjat begitu
melihat sosok tubuh yang sangat dikenalnya ter-
geletak tanpa nyawa.
"Siapa yang telah melakukan pembunuhan
keji ini...!" batin Nyai Pamekasan, sambil meme-
riksa keadaan mayat muridnya. Melihat luka-luka
yang terdapat di sekujur tubuh Jatayu, nenek
berpakaian tambal-tambal ini kerutkan kening-
nya.
"Sebuah luka bekas goresan senjata tajam
pastilah akibat perangkap yang terpasang di da-
lam gua, dan tololnya aku sampai lupa mengin-
gatkan yang satu itu. Tapi kematiannya pastilah
bukan karena luka itu, aku tahu persis. Ya... luka
berlubang mirip tanduk kerbau ini, pastilah yang
menyebabkannya tewas...!" batin si nenek sambil
terus memeriksa tubuh muridnya di bagian lain.
"Luka bekas tanduk kerbau ini meninggal-
kan racun yang dapat membunuh seekor gajah.
Di sini terdapat tiga luka yang sama, kalau kuin-
gat-ingat aku tak pernah melihat orang yang
mempergunakan senjata seperti ini...!" kata Nyai
Pamekasan, sekejap dipandanginya tiga luka di
bagian tubuh Jatayu. Otaknya bekerja keras un-
tuk mengingat siapa sebenarnya pemilik senjata
aneh yang telah menewaskan muridnya.
"Tanduk kambing! Ah tak mungkin... tan-
duk binatang seperti kambing terlalu kecil untuk
di pergunakan sebagai senjata. Tanduk lembu
dan kerbau juga tak mungkin, apalagi tanduk ru-
sa. Tak terdapat petunjuk apapun untuk men-cari
tahu siapa pelaku pembunuhan ini...!" desah Nyai
Pamekasan, lalu garuk-garuk kepalanya yang ba-
sah oleh air hujan.
"Gajah...!" gumannya pelan. Gajah tak ber-
tanduk... tetapi gadingnya, hemmm! Itu pasti se-
kali. Tapi siapa pemilik senjata seperti itu? Sela-
ma malang melintang di rimba persilatan dulu,
aku tak mempunyai lawan yang memiliki senjata
seaneh itu. Atau mungkinkah selama lima tahun
aku mengundurkan diri dari dunia persilatan ke-
mudian muncul tokoh-tokoh baru yang memper-
gunakan gading gajah sebagai senjata andalan...!"
kata si nenek di dalam hati.
"Kemungkinan itu pasti ada saja. Dan sia
papun orang yang melakukan tindakan keji seper-
ti ini, aku harus mencarinya. Yah... akan kucari
walau sampai ke ujung bumi sekalipun. Geluk
Emas peninggalan guruku kalau sampai terjatuh
ke tangan orang-orang sesat pastilah akan me-
nimbulkan malapetaka yang banyak memakan
korban jiwa...!" batin Nyai Pamekasan. Nenek
berpakaian tambal-tambal ini kembali terdiam, la-
lu dipandanginya mayat Jatayu. Lalu tanpa sa-
dar, air matanyapun menitik. Dia nampaknya me-
rasa terpukul sekali atas kematian murid tung-
galnya. Dengan tatapan hampa, tubuhnya me-
nunduk kemudian diangkatnya mayat Jatayu, la-
lu melangkah pergi menuju Gunung Berhala.
DUA
Dalam hembusan udara pagi yang segar,
dan semerbak harumnya bunga-bunga yang tum-
buh liar. Betapa alam serasa menjanjikan suasa-
na kedamaian pada setiap mahkluk yang meng-
huninya. Namun suasana seperti itu segera ter-
pecah oleh hiruk pikuk derap langkah kuda yang
sedang dipacu cepat menuju lereng gunung Bro-
mo. Para penunggang kuda itu terdiri dari lima
orang bertubuh kekar, berpakaian cokelat, den-
gan wajah dipenuhi jambang dan bawuk, sedang-
kan di bagian punggung mereka menggelantung
sebilah pedang dengan gagang panjang beronce
merah. Siapakah mereka ini? Kalangan persilatan
mengenal mereka sebagai Lima Datuk Sesat dari
Hutan Parik. Mereka di kenal sebagai orang-orang
golongan hitam yang begitu kejam dan telenggas.
Dengan Pedang Pusaka Pembasmi Setan yang
mengandung racun sangat ganas, mereka dapat
membunuh lawannya hanya dalam sekedipan
mata saja. Dalam pada itu pemimpin rombongan
yang berada paling depan dan paling tua diantara
rombongan lainnya, nampak menghentikan lari
kuda tunggangannya secara tiba-tiba.
"Berhenti...!" perintahnya pada empat
orang penunggang kuda yang berada di bagian
belakang. Dengan cepat empat orang kawannya
menarik kekang kuda hingga binatang tunggan-
gan itu berhenti secara tiba-tiba.
"Ada apa kakang...!" tanya salah seorang
diantaranya.
"Hhh...! Menurutmu masih jauhkah lereng
Bromo dari tempat ini...? Aku pernah pergi ke sa-
na beberapa purnama yang lalu, kalau kita terus
melanjutkan perjalanan. Kira-kira setengah hari
nanti kita segera sampai...!"
"Masih jauh juga perjalanan kita dari tem-
pat ini...! Aku merasa kuatir benda langka itu te-
lah terjatuh ke tangan orang lain...!" desah laki-
laki berusia enam puluh tahun itu merasa was-
was.
"Kakang Wicak Sono! Mengapa kita harus
takut! Kalau Geluk Emas yang konon kabarnya
memiliki keajaiban dalam menyembuhkan berba-
gai penyakit itu sampai terjatuh ke tangan orang
lain. Kita dapat merampasnya, dan kita akan
menjadi lima orang tabib sesat yang tiada duanya
di kolong langit ini...!" sela lainnya dengan se-
sungging senyum licik.
"Huh...! Siapa sudi menjadi seorang tabib
yang sepanjang hidupnya terus melarat. Kalau
Geluk Emas itu telah kudapat, maka akan ku-
ciptakan racun yang mematikan. Dan membuat
teror di mana-mana...!" dengus Wicak Sono.
"Sebuah ide yang cukup jitu kakang...!
Kami bahkan mendukung dengan sepenuh ha-
ti...!" kata lain-lainnya mendukung.
"Jangan banyak membual, baiknya kita te-
ruskan saja perjalanan kita ini...!" ujar yang men-
jadi pimpinan, lalu menggebrak kudanya.
"Kakang! Lihatlah...! Di depan sana ada ti-
ga orang yang patut kita curigai." seru salah seo-
rang dari kelima datuk sesat itu.
"Kejar orang itu...!" teriak Wicak Sono. Lalu
dengan kecepatan yang menggila kelima datuk
sesat dari Bukit Bontang inipun kembali mengge-
brak kudanya dengan kecepatan luar biasa.
Dalam waktu yang begitu singkat tiga
orang pejalan kaki yang mereka curigai itupun te-
lah tersusul.
"Kisanak! Mohon berhenti...!" perintah Wi-
cak Sono pada tiga orang laki-laki berpakaian
kuning. Secara serentak mereka menoleh, tapi
nampaknya para pejalan kaki ini tidak mengenali
siapa para penunggang kuda itu.
"Siapakah anda...? Mengapa pula meng
hentikan perjalanan kami...?" tanya salah seorang
diantaranya yang berbadan pendek dan bermulut
lebar.
"Ahh... dunia yang luas ini sering kami
buat porak poranda dengan sepak terjang kami.
Empat penjuru mata angin dunia persilatan telah
mengenal kami dengan begitu baik. Tapi alang-
kah menyesalnya kami, hari ini ada tiga orang ti-
kus dapur yang kesasar tidak mengenal siapa
kami adanya...!" tukas Wicak Sono dengan ta-
tapan dingin. Memerah wajah tiga laki-laki berpa-
kaian serba kuning ini. Apalagi mengingat betapa
kelima orang penunggang kuda itu tak meman-
dang muka kepadanya.
"Tiada hujan, tiada pula angin. Tetapi aku
heran mengapa pohon-pohon bertumbangan. Dan
kalian orang-orang gila dari manakah begitu da-
tang langsung mengumbar kata-kata kasar...!"
bentak Gompal Pringgan. Geram.
"Bangsat...! Tikus-tikus ini benar-benar tak
tahu betapa tingginya gunung dan dalamnya lau-
tan. Tahukah kalian dengan siapa kalian ber-
hadapan?"
"Mengapa tidak? Kalian adalah lima ekor
monyet cokelat yang sengaja datang mencari ga-
ra-gara...!" sentak salah seorang dari tiga orang
laki-laki berpakaian kuning ini berang. Selama
malang melintang di rimba persilatan belum per-
nah ada dalam sejarahnya tokoh manapun berani
menghina mereka sedemikian rupa. Dan kali ini
tiga orang laki-laki belum pernah mereka lihat sepak terjangnya telah begitu berani menghina den-
gan kata-kata kasar. Hal ini mereka anggap seba-
gai suatu penghinaan yang tak dapat dimaafkan.
"Setan alas, anjing geladak! Kau telah begi-
tu berani menghina kami, dan hanya ada satu ca-
ra demi keselamatan jiwa kalian. Serahkan bung-
kusan itu pada kami!" perintah Wicak Sono.
"Semudah itukah kalian memberi perintah
pada orang lain...? Pula bungkusan ini tidak me-
miliki arti apa-apa...!" kata Gompal Pringgan. Se-
mentara dua orang kawannya melirik ke arah
bungkusan yang berada dibagian punggung sau-
dara seperguruannya yang paling tua.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh dua la-
ki-laki berpakaian kuning ini menarik perhatian
para penunggang kuda. Mereka menjadi curiga.
Jangan-jangan Geluk Emas yang terdapat di le-
reng Bromo, kini telah berada di tangan ke tiga
orang itu. Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba saja
Wicak Sono memberi isyarat pada empat orang
kawannya. Tanpa basa-basi lagi, empat orang ib-
lis inipun berlompatan dari punggung kuda mas-
ing-masing. Dengan gerakan sangat cepat, tahu-
tahu Gompal Pringgan dan dua orang saudara se-
perguruannya telah terkepung rapat.
"Huaaa...ha...ha...! Jangan ada seorang dari ka-
lianpun yang coba-coba mengambil tindakan yang
sangat gegabah. Serahkan buntalan itu, dan kami
hanya menghendaki dua belah tangan kalian sa-
ja...!" bentak Wicak Sono. Namun di luar dugaan
Gompal Pringgan balas tergelak-gelak. Karena suaranya di sertai dengan tenaga dalam yang tinggi.
Maka suara tawa itu terasa menggetarkan jan-
tung lawan-lawannya. Maka sadarlah Wicak Sono
dan kawan-kawannya, kalau saat itu mereka se-
dang berhadapan dengan tiga orang lawan yang
tidak dapat dipandang sebelah mata.
"Cring... Sriiing...!" secara mendadak seren-
tak keempat kawan tokoh sesat inipun mencabut
senjatanya. Sedangkan yang menjadi pimpinan
masih tetap ongkang-ongkang di atas punggung
kudanya.
"Jangan pernah bermimpi hujan kan terja-
di di tengah-tengah panas yang menyengat. Se-
tan-setan dari bukit Bontang? Bagi kami nama
kalian yang begitu kesohor di empat penjuru mata
angin tidak ada apa-apanya...! Kucing kurap dan
tikus belekan boleh keder mendengar julukan ka-
lian, tapi tidak begitu halnya dengan Tiga Hantu
Lembah Neraka...!" bentak Gompal Pringgan tan-
pa sungkan-sungkan lagi. Kenyataan yang terjadi,
lima Datuk Sesat ini memang nampak terkejut
luar biasa. Tiga Hantu Lembah Neraka bukanlah
nama yang asing bagi mereka, bahkan dunia per-
silatan mengenal tiga orang ini karena ketinggian
ilmunya. Tetapi selama ini Tiga Hantu Lembah
Neraka merupakan tokoh sesat yang sangat mis-
terius. Sangat jarang sekali terlihat berkeliaran di
rimba persilatan. Itu makanya ketika melihat ke-
hadiran ketiga laki-laki berpakaian serba kuning.
Kelima datuk sesat dari Bukit Bontang ini tidak
mengenal mereka sama sekali. Karena sebelum
nya sekalipun mereka tak pernah berjumpa apa-
lagi bentrok dengan tiga tokoh misterius ini. Se-
lanjutnya dengan sikap agak merendah, namun
tak pernah mengalah. Wicak Sono berkata: "Nama
Tiga Hantu Lembah Neraka sangat di kenal kare-
na kehebatan senjata dan ketinggian ilmunya.
Terlalu sombong demi kami karena telah begitu
jumawa menggembar-gemborkan julukan kami
yang tidak ada apa-apanya di hadapan anda se-
kalian. Maafkanlah! Tapi bolehkan kami tahu apa
isi bungkusan yang anda bawa...?" ujar Wicak
Sono tanpa mengalihkan ucapan dari tujuan se-
mula.
"Ha... ha... ha...! Bicara saja muter-muter,
tak tahunya itu-itu juga akan kau tanyakan...!"
sentak Gompal Pringgan tanpa sungkan-sungkan
lagi.
"Kami hanya sekedar ingin tahu saja...!"
kata Wicak Sono berkilah.
"Heh...kalau kau ingin tahu isi bungkusan
ini, maka tinggalkan kepala kalian disini. Nanti ji-
ka kalian benar-benar telah menjadi setan neraka
kalian baru kuberi tahu...!" antara sungkan dan
rasa penasaran berbaur menjadi satu, akhirnya
meledak menjadi sebuah amarah yang sudah ti-
dak menghiraukan akibatnya.
"Tiga Hantu Lembah Neraka! Sungguhpun
kalian memiliki sepuluh tangan sepuluh kaki.
Kami Lima Datuk Dari Bukit Bontang tidak per-
nah merasa gentar. Keenggananmu mene-
rangkan isi bungkusan itu saja sudah merupakan
satu bukti pada kami, bahwa sebenarnya isi
bungkusan itu tak lain adalah Geluk Emas yang
telah kalian curi dari Lereng Bromo...!"
"Bagus! Kalau kalian sudah mengetahui,
mengapa tidak cepat-cepat merat dari hadapan
kami...?" bentak Gompal Pringgan, secara men-
dadak berubah beringas.
"Semua kalangan persilatan menjadi gem-
par karena benda itu sobat. Mereka berlomba-
lomba untuk mendapatkannya. Tak segan-segan
mereka saling bunuh dan curiga mencurigai. Bu-
kan mustahil kamipun yang da tang jauh-jauh
dari bukit Bontang, juga ingin melihat dan memi-
liki Geluk Emas yang mengundang banyak perha-
tian golongan manapun...!"
"Lebih baik kalian bermimpi telah menda-
patkan benda ini, dari pada harus mendapatkan-
nya secara kenyataan. Benda ini sampai di ta-
ngan kami telah merenggut jiwa yang mem-
bawanya. Aku menjadi takut dalam waktu se-
kejab lagi, nyawa diantara kita menjadi korban
berikutnya...!" sentak Gompal Pringgan setengah
mengingatkan. Sungguhpun Tiga Hantu Lembah
Neraka telah memberi peringatan sedemikian ru-
pa. Tapi nampaknya Wicak Sono dan empat orang
saudara seperguruannya tidak mengindahkan pe-
ringatan itu.
"Kami siap mengadu jiwa demi Geluk Emas
yang ada di tanganmu itu...!" mengerang suara
Wicak Sono, tanda dia sudah tidak menghirau-
kan ancaman tokoh misterius yang berdiri tegak
di depannya.
"Keinginan kalian hanya akan menambah
jumlah korban lebih banyak lagi, kucing kurap
Bukit Bontang...!"
"Tunggu apa lagi...! Majulah...!" bentak sa-
lah seorang berpakaian kuning lainnya yang ber-
nama Ki Luwuh.
"Sebelum itu kita harus habisi dulu kuda-
kuda mereka...!"
"Shaaaa...!"
Gompal Pringgan menyambitkan senjata
rahasianya yang berupa serpihan tulang gajah
yang sangat kecil mirip jarum. Seperti di ketahui
senjata rahasia ini juga mengandung racun yang
sangat ganas. Begitu tangan Gompal Pringgan
melambai ke arah depannya, puluhan benda kecil
berwarna putih menghantam telak di bagian leher
kuda-kuda tunggangan milik kelima Datuk Bukit
Bontang.
"Hiiieeeeh...!"
Kuda tunggangan itupun meringkik keras
saat mana bagian lehernya tertembus senjata ra-
hasia milik Gompal Pringgan. Bahkan senjata-
senjata maut itu langsung menembus leher itu,
lalu melesat lagi dan menancap pada sebatang
pohon.
Tak dapat dicegah, lima ekor kuda tung-
gangan itupun ambruk ke bumi, begitupun den-
gan kuda milik Wicak Sono. Andai saja laki-laki
setengah baya itu tidak cepat-cepat menghindar
sudah pasti diapun menjadi sasaran empuk senjata rahasia milik lawannya.
"Huuuaa...!"
Secara serentak kelima orang itu menggem-
pur Tiga Hantu Lembah Neraka, dengan jurus pe-
dang andalannya. Sementara itu masih dengan
bertangan kosong, laki-laki berpakaian serba
kuning ini melayaninya dengan begitu mantap.
Kenyataannya kedua golongan sesat itu
memang sama-sama memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Masing-masing mereka mempunyai
kelebihan dalam setiap jurus pedang maupun ju-
rus-jurus silatnya.
Satu kesempatan secara serentak Tiga
Hantu Lembah Neraka melakukan gerakan meng-
hindar ke belakang tujuh tombak, lima orang la-
wan memburu dengan membabatkan pedangnya
secara bertubi-tubi. Namun di luar dugaan mas-
ing-masing tangan Tiga Hantu Neraka mengga-
bungkan tangannya dengan posisi berbaris ke
samping. Lima Datuk Bukit Bontang terus men-
desaknya. Pada saat itulah
"Hiaaaat...!"
Tubuh Tiga Hantu Lembah Neraka secara
serentak melayang di udara laksana terbang. Se-
cara praktis lima orang lawannya kehilangan sa-
sarannya. Ketika Wicak Sono menoleh ke be-
lakangnya, maka dilihatnya Tiga Hantu Lembah
Neraka telah berada di sana.
"Kuya...!" geram Wicak Sono dan lain-
lainnya. Lalu dengan mempergunakan jurus 'Me-
nusuk Awan Menembus Kegelapan' secara berbarengan mereka berbalik langkah kemudian me-
nerjang Gompal Pringgan dan dua orang kem-
bratnya.
TIGA
Serangan itu selama ini dikenal sebagai se-
rangan yang sangat berbahaya dan mengandung
resiko tinggi bagi setiap lawannya. Bahkan tiga
orang lawannyapun dapat merasakan angin sam-
baran pedang yang begitu keras dan ganas. Tiada
mengenal sungkan lagi Gompal Pringgan, Ki Lu-
wuh dan Pramesta segera pula mencabut senja-
tanya yang terbuat dari gading gajah dan men-
gandung racun keji luar biasa.
"Wuuk...! Wuuk...! Wuuuk...!"
Tak kalah dahsyatnya senjata merekapun
menderu. Bentrokanpun terjadi.
"Traaak...!" Wicak Sono dan empat orang
saudara seperguruannya keluarkan seruan ter-
tahan. Tubuh mereka terhuyung-huyung, tangan
terasa nyeri bagai kesemutan. Bahkan dua orang
lainnya sampai terjengkang. Lalu terbatuk bebe-
rapa kali, bahkan secara cepat tubuh dua orang
kawan Datuk sesat dari Bukit Berkabung beru-
bah membiru. Mata melotot bagai melihat setan di
siang bolong. Kejadian itu tidak berlangsung la-
ma, karena sekejap kemudian tubuhnya berkelo-
jotan, lalu terdiam untuk selama-lamanya.
Kiranya ketika senjata masing-masing me
reka saling bentrok tadi dengan kecepatan yang
sangat sulit untuk diikuti kasat mata, Gompal
Pringgan sempat pula menusukkan senjatanya ke
dada lawan. Demi melihat kenyataan ini, semakin
bertambah beringaslah Wicak Sono dan dua
orang tokoh lainnya. Akhirnya selain menyerang
Tiga Hantu Lembah Neraka dengan pedangnya,
merekapun mulai melepaskan pukulan-pukulan
"Bayangan Menggoda", untuk mengacaukan kon-
sentrasi lawannya.
"Dep...Dep...!" Tiga Hantu Lembah Neraka
yang sudah mengetahui kunci kelemahan lawan-
nya juga tidak tinggal diam. Dua orang di anta-
ranya segera berdiri merapat. Sedangkan Gompal
Pringgan nampak melompat, lalu berdiri tegak di
atas tubuh dua orang saudaranya. Gabungan ge-
rakan seperti ini sebenarnya merupakan salah sa-
tu dari tiga cara untuk melepaskan senjata raha-
sia yang mereka miliki.
Tapi mana mungkin Wicak Sono dan dua
orang lainnya mengetahui bahwa sesungguhnya
apa yang dilakukan oleh lawan-lawannya dapat
berakibat fatal bagi diri mereka. Tiga pukulan
maut dilepaskan oleh Lima Datuk Sesat yang
hanya tinggal bersisa tiga orang itu.
"Wueeess...!" Ki Luwuh dan Pramesta me-
nandingi pukulan itu dengan Ajian Perenggut De-
wa, sementara Gompal Pringgan sudah ber-siap-
siap untuk menyambitkan senjata rahasia-nya
yang berupa serpihan gading beracun.
"Dwuuuer...!" tubuh gabungan Tiga Hantu
Lembah Neraka tiada bergeming sedikitpun. Se-
mentara tiga orang lawannya dalam keadaan ter-
huyung-huyung dan muntah darah kental. Pada
saat lawannya dalam keadaan seperti itulah,
Gompal Pringgan sambitkan senjata rahasianya.
"Weeer...!"
"Creep...! Creep...!" hanya Wicak Sono saja
yang sedang terluka dalam itu, mampu mem-
babat runtuh serangan senjata rahasia milik la-
wannya. Sedangkan dua orang datuk lainnya
meskipun mampu merontokkan serangan senjata
rahasia milik Gompal Pringgan, namun beberapa
buah diantaranya berhasil menembus bagian da-
da dan perut mereka. Kejab itu juga dua orang
datuk sesat kembali terbanting roboh.
Dengan sangat cepat, tubuh orang itupun
membiru.
"Saudara-saudaraku...!" jerit Wicak Sono
begitu menyadari dalam waktu yang sangat sing-
kat empat orang saudara seperguruannya tewas
di tangan Tiga Hantu Lembah Neraka.
"Kalian, Kepar...!" ucapan Wicak Sono ter-
cekat hanya sampai di tenggorokan saja. Kiranya
mempergunakan kelengahan lawannya tiga orang
laki-laki bertampang dingin itu telah pergi begitu
saja.
"Kurang ajar! Setelah membantai orang-
orangku, manusia iblis itu pergi begitu saja. Aku
pasti akan mencari mereka walau sampai ke liang
kubur sekalipun...!" geram Wicak Sono. Dengan
hati diliputi kepedihan, tokoh dari lima datuk inipun segera membuat kubur untuk saudara-
saudaranya yang tewas di tangan Tiga Hantu
Lembah Neraka.
****
Walaupun pemuda berkuncir itu sudah
menerangkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
Namun tetap saja orang-orang yang bersenjata-
kan tombak itu terus saja menyerang dan beru-
saha mendesaknya. Hujan senjatapun tak dapat
dihindarinya lagi. Kalau sejak semula Buang
Sengketa hanya berusaha menghindar dan me-
nangkis setiap datangnya serangan, maka kali ini
nampaknya dia sudah tak dapat menahan kesa-
barannya lagi. Masih tetap mempergunakan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra,
pendekar Hina Kelana segera memutar kedua
tangannya hingga akhirnya tak ubahnya bagai
sebuah perisai yang kokoh dalam melindungi di-
rinya. Tubuh pemuda ini akhirnya nampak hanya
bagai bayang-bayang belaka. Karena tangan yang
berputar membentuk perisai diri itu di aliri tenaga
dalam yang cukup tinggi, maka setiap senjata
tombak di tangan lawannya berhasil tersentuh
tangan si pemuda, maka mata tombak yang cu-
kup tajam dan tak terhitung jumlahnya itu ber-
pentalan ke segala penjuru. Sebegitu jauh pulu-
han orang para pengeroyoknya nampak tiada ter-
pengaruh dengan tindakan yang dilakukan oleh
pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara ini.
Semakin lama bahkan puluhan pengeroyok
itu semakin memperhebat serangannya. Sedikit
banyaknya pemuda ini tentu menjadi heran, apa-
lagi ketika dia melihat hampir setiap wajah para
penyerangnya itu tiada menunjukkan ekspresi
sedikitpun. Bahkan rasa takut tak terlihat sama
sekali dalam sorot mata orang-orang itu.
"Aku begitu heran dengan keadaan orang-
orang ini, mereka menyerangku bagai orang yang
sedang dirasuki setan. Wajah mereka pucat, tiada
menunjukkan gairah kehidupan. Bahkan akupun
tiada melihat antara keseriusan dengan sikap
main-main. Hhh! Tapi di antara sekian banyak
orang-orang yang menyerangku ini, tak pernah
sekalipun kudengar suara mereka. Apakan mere-
ka ini merupakan orang-orang gagu, tuli atau
bahkan sebangsanya memedi yang mendapat pe-
rintah dari orang lain...! Ah berengsek ... sejak ta-
di mereka mengincar bagian pinggangku, ataukah
mungkin mereka menginginkan periuk mustika
ini. Lalu untuk apa mereka menghendaki periuk
yang kubawa-bawa ini. Pasti ada sesuatu yang
terjadi di tempat ini, satu persoalan yang patut
untuk kuselidiki...!" batin pemuda itu sambil te-
rus berusaha mengelakkan sabetan senjata-
senjata lawan yang datangnya bertubi-tubi.
"Aku harus mencoba mereka dengan cara
lain...!" kata pemuda itu. Secara mendadak tubuh
Buang Sengketa berkelebat lenyap. Tapi nampak-
nya semua lawan-lawannya yang rata-rata memi-
liki kepandaian lumayan itu merasa tidak kehilangan jejak. Terbukti mereka terus memburu
pendekar ini, walau kemanapun dia berusaha
menghindar. Kekesalanpun akhirnya menyelimuti
diri sang pemuda. Tak ayal lagi diapun sudah
bersiap-siap mengerahkan Lengkingan Ilmu Pe-
menggal Roh.
"Heiiikgh...!"
Tanah di sekitar perbukitan dan penuh di-
tumbuhi oleh berbagai tumbuhan menjalar itu-
pun terguncang keras bagai sedang dilanda se-
laksa gempa. Para penyerang itu berpelantingan
tunggang langgang. Namun tetap saja tiada ke-
luar sepatah katapun dari mulut mereka. Yang
membuat Buang Sengketa terheran-heran karena
tak seorangpun dari mereka yang menemui ajal
sebagaimana mestinya.
"Edan... manusia atau setankah mereka
ini... Tak satupun dari mereka yang terpengaruh
oleh lengkingan Ilmu Pemenggal Roh. Tubuh me-
reka hanya roboh saja, tapi tak seorangpun yang
mengalami akibat apa-apa...!"
"Craang... Triingg... Triiing...!"
"Hiaaa...! Hooooss...!"
Pendekar keturunan negeri alam gaib ini
mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya ke
arah bagian telapak tangannya. Sementara seba-
gian lainnya dia pergunakan untuk melindungi
diri dari hujan mata tombak yang tiada henti. Se-
kejap kemudian tubuhnya yang telah basah ber-
mandi keringat nampak menggeletar. Begitu tan-
gannya yang telah teraliri tenaga dalam itu dia
dorongkan keempat penjuru mata angin. Maka
menderulah serangkum sinar Ultra Violet me-
labrak tubuh lawan-lawannya yang berjarak begi-
tu dekat dengan dirinya. Tak salah lagi saat itu
Buang Sengketa telah melepas pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang menyebarkan hawa panas
membakar.
Kembali orang-orang yang bersenjata tom-
bak itupun berpelantingan roboh. Saat itu tubuh
mereka tak ubahnya bagai ranting kering yang di-
landa topan prahara. Sama seperti kejadian yang
telah lalu, kali inipun tiada terdengar lolongan
dan jeritan maut. Tubuh yang berpelantingan dan
jatuh tumpang tindih dalam keadaan hangus itu-
pun tidak menebarkan bau daging terbakar.
Sementara itu sisa-sisa dari para pengero-
yoknya yang selamat dari pukulan yang dilepas-
kan oleh si pemuda nampak semakin bertambah
beringas. Dengan gesit mereka menyerang si pe-
muda dengan tusukan maupun sabetan tombak
dari berbagai penjuru. Namun Buang Sengketa
yang sudah melindungi diri dengan memperguna-
kan sebagian tenaga saktinya ini tiada bergeming
sedikitpun juga. Pakaiannya hampir keseluruhan
tercabik-cabik di sana sini, tapi tubuhnya tidak
mengalami luka walau barang sedikitpun.
"Hiaaat...!"
"Weeer...!"Weeerr...!" pukulan yang sama-
pun kembali dilakukan oleh Buang Sengketa, ke-
jadian serupa terulang kembali. Pada saat lawan-
lawannya hanya tinggal beberapa gelintir saja, ketika itulah terdengar suara tawa sambung me-
nyambung tiada henti. Buang Sengketa memper-
hatikan keadaan di sekelilingnya. Tapi tak seo-
rangpun yang dia lihat berada di sekitar tempat
itu, terkecuali beberapa gelintir sisa-sisa lawan-
nya. Alis si pemuda mengkerut, kemudian garuk-
garuk rambutnya.
"Pastilah pemilik suara itu seorang perem-
puan. Tapi aku merasa kagum dengan ilmu men-
girimkan suaranya yang begitu sempurna. Satu
yang dapat kubuktikan, bahwa orang-orang yang
telah menyerangku ini besar dugaanku merupa-
kan suruhan pemilik suara tadi. Terbukti begitu
mendengar suara tawanya saja mereka sudah
menyingkir dari hadapanku...!"
"Kalau tak salah, manusia dungu pembawa
periuk dengan rambut di kuncir seperti orang
banci pastilah pendekar goblok Si Hina Kelana.
Sayang... sayang sekali...!" ujar suara itu tanpa
menghiraukan Buang Sengketa yang sedang di-
landa perasaan bingung. Bagai di sengat bina-
tang berbisa, pemuda itu terlonjak kaget. Sama
sekali dia tiada menyangka kalau perempuan
yang bicara melalui ilmu mengirimkan suara itu
begitu meremehkan dirinya.
"Huh. Aku tak pernah mengenalmu, bicara
secara sembunyi-sembunyi seperti setan. Ru-
pamu buruk seperti nenek sihir, atau bahkan
mungkin lebih jelek dari iblis...!" maki Buang
Sengketa merasa tersinggung. Pada dasarnya dia
memaklumi, perempuan yang bicara melalui ilmu
mengirimkan suara itu pastilah seorang tokoh
yang memiliki kepandaian tinggi. Sebab tak sem-
barangan orang mampu melakukannya terkecuali
mereka yang sudah memiliki tenaga dalam di atas
sempurna. Namun Buang Sengketa tiada mem-
perdulikan hal itu. Dia merasa tersinggung den-
gan kata-kata pemilik suara itu. Sebaliknya yang
diajak bicara kembali tertawa mengekeh.
"Pendekar Hina Kelana! Pemuda gembel
yang namanya kesohor di delapan penjuru persi-
latan...! Padamu kami tak perlu basa basi, karena
kau telah melewati daerah terlarang yang menjadi
kekuasaanku. Dan merupakan orang yang kucu-
rigai, maka anda harus bersedia kami geledah!
Seandainya apa yang kami cari tidak terdapat pa-
damu, maka kami persilakan segera meninggal-
kan tempat ini...!" Ujar si pemilik suara bergetar.
"Aneh, mendengar suaranya mengapa jan-
tungku berdebar-debar. Menghadapi lawan yang
sehebat apapun aku tak pernah mengalami keja-
dian seganjil ini....! Siapakah orang itu? Suaranya
seperti pernah kukenali...!" membatin pemuda ini
dengan hati diliputi tanda tanya.
"Mengapa kau diam, bocah...! Apakah kau
sudah bersedia untuk kami periksa...?" sentak
suara itu segera membuyarkan lamunan Buang
Sengketa.
"Heh...! Belum pernah seumur hidupku
dan sepanjang jalan yang kulalui, ada peraturan
seaneh ini. Mulanya kedatanganku disambut
dengan serangan berbagai tombak karatan. Bahkan aku merasa yakin orang-orang yang telah
menyerangku pastilah merupakan orang-orang
suruhanmu...!" tersendat suara pemuda itu.
"Mereka memang benar orang-orang suru-
hanku, tapi bisa engkau lihat bahwa orang itu
bukanlah manusia sungguhan. Lihatlah baik-baik
betapa mereka merupakan orang-orang yang bi-
asa dipergunakan oleh para petani untuk meng-
halau burung di sawah!" dengan sikap enggan
pendekar ini memperhatikan mayat-mayat han-
gus yang tadi kena di hantam pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Sepasang matanyapun mem-
belalak tak percaya. "Bagaimana mungkin orang-
orangan yang diciptakannya dapat menyerangku
sedemikian rupa? Pantasan tadi mayat-mayat itu
tidak mengeluarkan suara maupun jeritan apa-
pun...! Kurang ajar! Hari ini aku benar-benar ke-
na dikerjai...!" batin Buang Sengketa. Buang
Sengketa akhirnya merasa kesal sendiri, akhirnya
diapun memutuskan untuk meninggalkan tempat
itu. Tapi seperti apa yang terdapat dalam pikiran-
nya, baru saja dia melangkah tiga tindak. Dari
arah depannya, datang angin kencang menderu-
deru.
"Tak ada mendung dan tak ada hujan, tiba-
tiba angin bertiup sekencang ini...! Pastilah ulah
perempuan-perempuan itu...!" umpatnya dengan
suara perlahan. Lalu tanpa membuang-buang
waktu lagi, Buang Sengketa kerahkan tiga perem-
pat tenaga dalamnya. Kedua tangan terlipat di
depan dada, tubuh tegak bagaikan sebuah arca.
Dengan sengaja saat itu si pemuda memang sen-
gaja mencoba mengadu tenaga dalamnya dengan
pihak lawan.
Hembusan angin semakin lama semakin
bertambah kencang, pakaian Buang Sengketa
berkibar-kibar. Tapi tubuhnya tetap tidak ber-
geming sedikitpun, malah bibir pemuda itu me-
nyunggingkan seulas senyum.
"Musim kemarau panjang seperti ini, udara
memang terlalu panas. Masih untung ada orang
yang begitu berbaik hati mengipasi diriku seperti
ini...!" teriak Buang Sengketa, lalu tergelak-gelak.
"Kampreet...!" terdengar suara kesal si wa-
nita.
"Hiyaaaa...!" suara teriakan keras itu di
sertai dengan melayangnya tiga sosok tubuh
mengenakan topeng berwarna biru. Dengan gera-
kan yang sangat ringan tubuh ketiga perempuan
bertopeng ini menjejakkan kakinya persis di de-
pan Buang Sengketa.
"Kau memang hebat pemuda tampan, na-
mun jangan buru-buru berbangga diri. Sekali lagi
kukatakan padamu, kami akan memeriksamu...!"
"Gila mengapa jantungku berdebar tiada
berketentuan. Siapakah perempuan-perempuan
ini...?" batin Buang Sengketa tanpa menjawab
pertanyaan si perempuan bertopeng.
"Pemuda kurang ajar! Jangan berlagak pi-
lon, di dalam periukmu pasti kau sembunyikan
Geluk Emas yang saat ini sedang diperebutkan
oleh banyak tokoh...! Cepat-cepatlah serahkan
kepada kami...!"
"Aku tiada tahu menahu tentang geluk dan
segala macam yang diperebutkan oleh para se-
tan. Menepilah,...! Aku sedang melaksanakan tu-
gas dari seseorang atas benda yang sedang dipe-
rebutkan itu...!" Buang Sengketa mende-ngus, la-
lu berbalik langkah mencari jalan lain. Namun
dua orang bertopeng lainnya telah meng-hadang
jalan yang akan dilaluinya.
"Minggir! Aku tak punya urusan dengan
kalian...!"
"Semudah itukah engkau pergi begitu saja.
Sekarang semakin keras dugaanku benda yang
diperebutkan banyak tokoh itu pastilah berada di
dalam periuk itu!"
"Wah wong edan dari manakah kalian ini?
Mengapa begitu tolol...? Setengah hidup aku
mencari benda itu, bahkan belum ketemu hingga
sekarang. Sekarang kalian dengan seenaknya
menuduhku yang bukan-bukan...!"
"Jangan berdalih macam-macam...! Sergap
dia...!" perintah perempuan bertopeng pada dua
orang kawannya.
"Weeer...! Weeer! Weeer...!" tiga buah jala
yang terbuat dari oyot kayu mengurung tubuh
Buang Sengketa. Dengan cepat bagian bawah jala
itu disentakkan oleh mereka, hingga me-
nyebabkan tubuh pemuda itu tak dapat bergerak
dan terjerembab jatuh. Belum lagi pemuda ini
sempat berbuat banyak. Dua totokan pada bagian
urat gerak membuat tubuhnya kaku.
"Hi...hi...hi...! Ternyata pendekar yang san-
gat kesohor itu hanya memiliki nama kosong...!
Buktinya berhadapan dengan Tiga Dara Berto-
peng saja sudah tak mampu berbuat banyak...!"
dengus si Topeng Biru yang menjadi pimpinan.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar manusia
pengecut...! Lepaskan aku, mari kita bertarung
secara ksatria...!" maki si pemuda.
"Mana bisa! Kau telah kalah...! Sekarang
kau harus kami bawa ke tempat kediaman kami
untuk menjalani pemeriksaan...!"
"Pemeriksaan kentut busuk! Kalian hanya-
lah sebangsanya maling kecil yang tidak ada
apanya di depanku...!" umpat Buang Sengketa.
Ketiga perempuan bertopeng itu nampaknya su-
dah tidak menghiraukan si pemuda lagi, lalu den-
gan tergesa-gesa, salah seorang diantara mereka
langsung memanggul tubuh si pemuda. Bagai tak
memiliki bobot, tubuh si pemuda serasa melayang
laksana terbang ketika perempuan bertopeng
membawanya berlari kencang.
EMPAT
Pulau Angsa dilihat sepintas lalu tak ubah-
nya bagai sebuah perahu yang terapung di ten-
gah-tengah lautan. Nampak begitu kecil bahkan
dilihat dari kejauhan nampak hanya merupakan
sebuah titik hitam belaka. Saat itu laut memang
sedang dilanda badai, sehingga tak seorang nelayanpun yang berani menangkap ikan dalam su-
asana angin ribut selama hampir sebulan. Lain
lagi halnya dengan sebuah sampan kecil yang te-
rus melaju mengarungi gelombang besar menuju
Pulau Angsa. Seolah bagai tiada memperdulikan
deburan ombak yang menggulung dan angin ribut
yang berhembus kencang. Laki-laki berpakaian
cokelat yang berada di atas sampan kecil ini seo-
lah berpacu melawan ganasnya ombak yang se-
makin terus menggila.
Berulang kali sampan yang ditumpanginya
dihempaskan gelombang. Setiap kali salah seo-
rang dari lima datuk sesat dari Bukit Bontang ini
harus menjaga keseimbangannya. Tetapi nyalinya
tak pernah menciut dalam melawan ganasnya su-
asana alam.
"Mudah-mudahan kakang mbok berada di
tempat saat ini! Empat orang saudara seper-
guruan tewas di tangan Tiga Hantu Lembah Ne-
raka. Sakit hati ini harus dibalas dengan cara ba-
gaimana sekalipun. Pula kakang mbok pasti mau
membantuku jika kabar tentang Geluk itu ku-
sampaikan kepadanya...!" gumam Wicak Sono
sambil terus berusaha mengendalikan sampan
yang ditumpanginya. Semakin lama, Pulau Angsa
berjarak semakin dekat dengan sampan Wicak
Sono. Tak sampai sepemakan sirih, sampan itu-
pun telah merapat di pinggiran pantai pulau ter-
sebut. Wicak Sono segera menambatkan sampan-
nya pada sebatang tonggak kayu. Kemudian den-
gan langkah gontai laki-laki berusia lima puluh
sembilan tahun inipun menelusuri jalan setapak
menuju sebuah rumah bertonggak tinggi. Rumah
bertonggak yang dindingnya terbuat dari kayu api
itu nampak sepi, seolah tiada berpenghuni, bah-
kan pintunya pun tertutup rapat. Tapi laki-laki ini
merasa yakin di dalam sana penghuninya pasti
berada di tempat.
"Kakang mbok...! Kakang mbok...! Apakah
kakang berada di dalam...!" tanyanya sekedar ba-
sa-basi.
"Hik...! Hiii...! Selalu saja kau memakai se-
gala peradatan, adik Sono! Dewa laut sedang
murka, angin ribut membuat tubuh tuaku meng-
gigil. Untuk apa aku berkeliaran di luaran sa-
na...!" sebuah suara yang begitu dingin me-
nyahut dari dalam rumah bertonggak tinggi.
"Hhh. Di luar sini udara memang sangat
dingin, bahkan ketika di tengah laut sana aku
hampir mampus diterjang ombak!"
"Nah sekarang tunggu apa lagi, apakah aku
harus turun menyeretmu...?"
"Baiklah ...!" kata Wicak Sono. Karena ru-
mah bertonggak yang tingginya mencapai empat
meter itu tidak memiliki tangga. Maka Wicak Sono
terpaksa harus mengerahkan tenaganya.
"Heuuup...!" dengan sekali genjot, maka
tubuh laki-laki berpakaian cokelat inipun me-
layang ke udara. Dengan tepat pula dia menjejak-
kan kakinya di atas lantai rumah.
"Jliikgh...!"
"Masuklah, pintu tidak terkunci...!" perin
tah perempuan yang berada di dalam pondok
dengan sikap acuh. Daun pintu berderit ketika
Wicak Sono mendorongnya. Suasana di dalam
ruangan yang berukuran dua kali tiga meter me-
nebarkan bau busuk yang begitu menusuk.
Ketika Wicak Sono mengitarkan pandangan
matanya kesatu sudut, maka terlihatlah sosok
tubuh seorang wanita yang sudah tidak asing lagi
bagi dirinya. Perempuan itu berusia sekitar enam
puluh tahun. Berbadan kurus ceking, berambut
putih, sedangkan pakaiannya berwarna merah
darah dan di sana sini telah pula di penuhi den-
gan tambalan yang beraneka ragam. Perempuan
itu menyunggingkan seulas senyum kecut saat
mana Wicak Sono menghampiri dirinya. Tanpa
diperintah laki-laki berusia setengah baya inipun
langsung duduk di depan perempuan berwajah
tidak ramah.
"Kedatanganmu kemari pasti membawa
persoalan yang besar, adi Sono...?" dengus Sum-
badra seperti sudah dapat meraba apa yang ingin
disampaikan oleh adik seperguruannya.
"Apa yang kakang mbok katakan itu me-
mang tak dapat kubantah! Memang sesungguh-
nya kedatanganku ke sini membawa suatu per-
soalan yang cukup rumit, sekaligus menyangkut
sebuah penghinaan yang membuat lima iblis dari
Bukit Bontang merasa kehilangan muka di dunia
persilatan." Wajah yang tidak bersahabat itu
nampak semakin cemberut, sementara kedua ma-
tanya yang menjorok ke dalam memandang lurus
pada Wicak Sono. Gembong tokoh sesat ini buru-
buru menundukkan kepalanya.
"Dari dulu kau selalu begitu, adi...! Engkau
tak pernah mau datang menyambangi tempat
tinggalku, bila kehidupanmu tak mengalami
hambatan apa-apa. Bahkan kaupun tak mau per-
duli ketika aku beberapa purnama terbaring sakit
ketika kalah dalam bertarung dengan Nyai Pame-
kasan dari Gunung Berhala...!" terdengar satu te-
guran dari perempuan tua yang bernama Sumba-
dra.
"Aku mengaku salah, kakang mbok...! Se-
lama ini adikmu ini memang terlalu mementing-
kan diri sendiri, sehingga tidak sekalipun aku
menjengukmu di tempat yang terpencil ini...!"
Sumbadra nampak mendengus, bagaimanapun
dia tahu watak adik seperguruan yang satu ini.
Ada kalanya dalam berbagai hal Wicak Sono ba-
nyak mengalah, tetapi andai secara terus mene-
rus disudutkan. Maka diapun bisa menjadi san-
gat marah.
"Kakang mbok! Masihkah kakang marah
padaku...?" kali ini Wicak Sono menengadahkan
wajahnya. Sedangkan matanya memandang tajam
pada perempuan tua yang duduk bersimpuh di
depannya.
"Kalau aku menuruti kemarahanku, sudah
sejak tadi kau sudah kubuat seperti ini…!" berka-
ta begitu, penghuni Pulau Angsa tersebut melu-
dah ke dinding.
"Cuiiih...!"
Jrooos! Akibatnya sungguh menakjubkan
sekali. Hingga membuat Wicak Sono yang sudah
hampir lebih lima tahun tak pernah bertemu den-
gan saudara seperguruannya yang tertua itupun
membelalakkan kedua matanya. Bagaimana ti-
dak, hanya dengan sekali sembur saja dinding
yang terbuat dari bilik bambu itu nampak berlu-
bang oleh semburan ludah tadi. Dapat di bayang-
kan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki
oleh perempuan bertubuh ceking ini.
"Kakang mbok! Sama sekali aku tiada me-
nyangka kalau sekarang ini kakang memiliki te-
naga sakti yang sungguh mengagumkan...! Ahh...
aku yakin dengan kemampuan yang kakang mili-
ki, kakang pasti mau menolong adikmu yang ma-
lang ini...!" ucap Wicak Sono setengah menghiba.
"Hik...hik...hi...! Sejak kapan kau punya
minat meminta bantuanku, Wicak Sono...!" me-
merah wajah dedengkot tokoh sesat ini begitu
mendengar sindiran penghuni Pulau Angsa ini.
Tapi kelihatannya Sumbadra tiada memperduli-
kan semua ini.
"Kakang mbok! Seandainya empat orang
adik seperguruanmu tewas secara menyedihkan
di tangan orang lain, apakah hatimu tidak pernah
tergugah untuk membela atau menuntut balas
atas kematian mereka...?" tanya Wicak Sono,
langsung pada titik persoalan. Sumbadra jelas ke-
lihatan begitu terkejut demi mendengar kabar
yang disampaikan oleh adik seperguruannya ini.
Selama ini walaupun tak melihat secara langsung
nama Lima Tokoh Datuk Sesat dari Bukit Bon-
tang sudah kesohor dimana-mana, sangat jarang
sekali kalangan persilatan yang berani membuat
urusan dengan Lima Datuk Sesat dari Bukit Bon-
tang ini. Kemampuan dan permainan pedang
yang mereka miliki tidak perlu lagi diragukan.
Sumbadra cukup mengetahui hal ini, karena pada
dasarnya dulu mereka sama-sama berasal dari
satu perguruan. Yaitu Perguruan Angsa Merah
namanya.
Kini begitu datang Wicak Sono menyam-
paikan kabar yang tiada diduga-duga. Siapapun
yang mampu mengalahkan sekaligus mene-
waskan empat orang saudara seperguruannya,
pastilah memiliki ilmu kepandaian melebihi kehe-
batan yang dimiliki oleh saudara-saudara seper-
guruannya. Maka akalnyapun bekerja cepat.
Hanya sesaat saja dia membuang pandangan ma-
tanya jauh-jauh. Detik berikutnya Sumbadra su-
dah kembali berhadapan dengan adik sepergu-
ruannya.
"Empat orang saudara kita tewas begitu sa-
ja! Sedangkan yang kuketahui mereka bukanlah
orang-orang yang lemah. Bahkan mereka se-
bagaimana halnya dengan dirimu bukanlah
orang-orang yang lemah. Pula persoalan apakah
yang membuat semuanya terjadi dengan begitu
cepatnya...?" sentak Sumbadra. Melihat mimik
wajahnya nampak jelas kalau perempuan berusia
lanjut ini dirundung kesedihan.
Akhirnya secara singkat Wicak Sono men
ceritakan segala sesuatunya yang telah terjadi.
Setelah mendengar semua cerita Wicak Sono, la-
ma sekali Sumbadra berdiam diri, sama sekali dia
tidak menyangka bahwa lawan yang dihadapi oleh
adik-adik seperguruannya adalah Tiga Hantu
Lembah Neraka, yaitu tokoh misterius yang dapat
menciptakan segala jenis racun dan merupakan
tokoh sesat yang tidak dapat diukur kepandaian-
nya. Jangankan lima orang adik seperguruannya,
andai saat ini dia tidak menciptakan ilmu baru
yang diberi nama 'Semburan Iblis' belum tentu
mampu mengatasi Tiga Hantu Lembah Neraka.
Tapi saat sekarang dia merasa yakin sekali, den-
gan ilmu sakti yang baru diciptakannya itu, dia
pasti mampu menghadapi Tiga Hantu Lembah Ne-
raka. Hmm. Geluk Emas merupakan sebuah har-
ta peninggalan yang sangat langka. Konon kabar-
nya benda itu memiliki seribu satu kegaiban yang
dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu
dan bahkan lebih dari itu. Andai aku dan Wicak
Sono berhasil merebut benda itu dari tangan Tiga
Hantu Lembah Neraka, pastilah aku berhasil
mengundang si keparat Nyai Pamekasan yang
pernah mempecundangiku dulu. Heh... Geluk
Emas itu peninggalan gurunya musuh besarku,
dia pasti akan mencariku pabila Geluk Emas be-
rada di tanganku...!" batin Sumbadra dengan se-
sungging senyum licik.
"Bagaimana kakang mbok! Apakah kakang
begitu tega membiarkan saudara-saudara kita te-
was di tangan mereka begitu saja...?" tanya Wicak
Sono, harap-harap cemas.
"Seburuk-buruknya aku, tidak nantinya
Tiga Hantu Lembah Neraka berbuat semena-mena
pada saudara-saudara kita. Aku pasti akan me-
nuntut balas atas penghinaan yang sangat besar
ini...!" kata Sumbadra dengan suara meng-geram.
Legalah hati Wicak Sono mendengar ke-putusan
kakang seperguruannya itu.
"Adi Sono! Tahukah engkau mengapa aku
bersedia membantumu dalam menumpas Tiga
Hantu Lembah Neraka?" dedengkot datuk sesat
dari Bukit Bontang gelengkan kepalanya beru-
lang-ulang. Sumbadra kembali tersenyum sinis.
"Semua itu kulakukan atas nama den-
dam...!" dengus perempuan berpakaian merah da-
rah itu dengan sorot mata penuh kebencian''
"Dendam...? Apakah kakang mbok men-
dendam pada Tiga Hantu Lembah Neraka?" tanya
Wicak Sono dengan hati diliputi rasa ketidak
mengertian.
"Kemarahanku pada Tiga Hantu Lembah
Neraka karena mereka telah membunuh saudara-
saudara kita. Tapi dendamku adalah pada pemilik
Geluk Emas yang diperebutkan oleh banyak
orang...!"
"Apakah kakang mbok tahu, siapa pemilik
Geluk Emas itu...?" Meledak tawa Sumbadra keti-
ka Wicak Sono menanyakan tentang apa yang
menjadi ganjalan hatinya selama ini. Memang se-
benarnya hanya perempuan itu sajalah yang tahu
pada siapa dia menaruh dendam. Itulah sebabnya
begitu tawanya mereda, maka Sumbadra buru-
buru menyambung.
"Pemilik Geluk Emas itu sebenarnya meru-
pakan musuh besarku, yaitu Nyai Pamekasan
yang saat ini tinggal di Gunung Berhala. Dia me-
rupakan tokoh tua yang memiliki kepandaian be-
raneka ragam. Dulu sebelum kuciptakan ilmu
andalan aku pernah dikalahkan oleh tikus tua
itu...!"
"Sekarang aku membantumu dengan tu-
juan membasmi Tiga Hantu Lembah Neraka, ke-
mudian merampas Geluk Emas dengan maksud
memancing perhatian Nyai Pamekasan agar men-
cariku...! Hik...hi...hi...! Aku, yakin pabila Geluk
Emas itu berada di tanganku pastilah si tua
bangka Pamekasan akan berurusan den-
ganku...!"
"Dan kakang mbok akan melampiaskan ke-
kalahan tempo hari...?" tanya Wicak Sono sete-
ngah menduga-duga. Kali ini Sumbadra kembali
tergelak-gelak, lalu tubuhnya yang kurus kering
itupun terguncang-guncang.
"Ternyata otakmu masih encer, adi Sono...!
Kau cukup paham dengan segala rencana yang
ada di dalam kepalaku...! Dendamku pada Nyai
Pamekasan memang sedalam lautan. Semua itu
baru kuanggap impas andai aku berhasil men-
gorek biji matanya, kemudian memenggal ke-
palanya dan menghirup pula darah tuanya...!" tu-
kas Sumbadra dengan mata berkilat-kilat di ba-
kar emosi.
"Tentunya niat kakang mbok tak mungkin
pernah kesampaian andai kita belum merampas
Geluk Emas dari tangan Tiga Hantu Lembah Ne-
raka, bukan...?"
"Merampas Geluk Emas dari tangan Tiga
Hantu Lembah Neraka bukanlah satu pekerjaan
yang mudah. Tapi aku yakin dengan ilmu baru
yang telah kuciptakan, aku pasti mampu melaku-
kannya...!"
"Ahk...! Aku merasa gembira dengan ke-
sanggupan kakang mbok. Semoga saja apa yang
kakang mbok harapkan dapat terlaksana dengan
baik...!"
"Aku tak pernah ragu dengan kemampuan
yang kumiliki sekarang ini...!" ujar perempuan itu
pasti.
"Lalu kapan kita berangkat...?" tanya Wi-
cak Sono merasa tak sabaran.
"Laut sekarang sedang di landa badai, pula
aku belum menyiapkan segala sesuatunya. Ada
baiknya besok pagi kita mulai melakukan perja-
lanan...!" gumam Sumbadra memberi keputusan.
LIMA
Gontai sekali langkah perempuan berto-
peng biru ini, seolah bagai ada suatu beban yang
begitu berat menindih bagian kakinya. Sesekali
perempuan itu menyandarkan tubuhnya pada
dinding rumah, nampaknya seperti ada keraguan
di dalam hatinya. Padahal jarak antara kamarnya
dengan ruangan tempat mengurung Buang Seng-
keta hanya berjarak sepuluh meter saja. Begitu
dekat, namun hanya untuk menjenguk keadaan
pemuda yang berada dalam tawanannya, beru-
langkali tak pernah kesampaian. Bahkan beru-
lang kali perempuan bertopeng ini terpaksa harus
kembali ke kamar dengan sendirinya, saat mana
keragu-raguan itu secara tiba-tiba menyeruak
memenuhi seisi rongga dadanya. Terkadang di da-
lam kamar, tanpa sepengetahuan dua orang pem-
bantunya. Perempuan bertopeng biru ini menan-
gis, sepanjang malam. Hingga membuat kedua
kelopak matanya membengkak.
Pendekar Hina Kelana adalah sebuah nama
yang tak asing lagi bagi dirinya, bahkan hampir
setiap saat perempuan bertopeng itu selalu me-
ngingatnya. Dia tak pernah mampu melupakan
pigur seorang tokoh yang selalu dikaguminya se-
jak dia berumur sebelas tahun. Kebaikannya tak
perlu diragukan lagi, ketampanan wajahnya, ke-
hebatan ilmu yang dimilikinya membuat tokoh
manapun menjadi bergidik saat mana senjata Go-
lok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto telah be-
rada di dalam genggamannya. Bahkan perempuan
bertopeng itu masih ingat, sejak dulu telah beru-
lang kali pendekar keturunan raja ular di negeri
alam gaib itu telah menyelamatkan dirinya dari
belenggu maut. Itu tidak dapat dilupakannya be-
gitu saja, bahkan karena terdorong rasa rindu
yang begitu menggebu, ketika berada dalam asuhan seorang tokoh sakti berulang kali dia jatuh
sakit. Dalam keadaan demam yang membawa pa-
nas begitu tinggi perempuan itu sering menyebut-
nyebut nama pendekar itu. Tapi diapun tak ingin
mengecewakan harapan orang yang sangat dicin-
tainya, selama tiga tahun dia belajar dengan to-
koh sakti yang dia angkat sebagai guru sekaligus
orang tuanya. Dengan baik dia berhasil mempela-
jari jurus-jurus silat maupun pukulan sakti yang
sangat handal. Menunggu terlalu lama perem-
puan itu merasa tak betah, kemudian dia jatuh
sakit lagi. Kali ini penyakitnya begitu parah, bah-
kan nyaris tak terobati. Orang tua angkatnya su-
dah barang tentu mengkhawatirkan keadaan pe-
rempuan yang merupakan murid satu-satunya
itu. Tapi sebagai tabib, dia sendiri tak mampu
memberikan obat buat murid yang sangat di-
manjakannya. Satu saat datanglah seorang be-
gawan yang juga masih merupakan sahabat Sang
Guru. Begawan itu dengan gamblang men-
ceritakan tentang segala sesuatu yang terjadi atas
diri si wanita. Hingga sampai pada satu kesimpu-
lan yang memutuskan: Hanya satu kebebasan hi-
dup yang dapat membuat murid sahabatnya itu
sembuh sebagaimana sediakala. Sebagai orang
yang pernah mengalami masa muda, tentu sang
guru yang bijaksana itu mengerti apa sesungguh-
nya yang menjadi ganjalan hati muridnya selama
ini. Merindukan pemuda yang sangat dikasihinya,
itulah alasan pertama yang membuat gadis itu ja-
tuh sakit, hingga sedemikian parah. Maka diapun
berjanji untuk melepas muridnya itu ke rimba
persilatan.
Waktupun terus berlalu, dunia persilatan
yang tidak ramah. Membuatnya sering bentrok
dengan berbagai kalangan. Apalagi perempuan itu
memiliki wajah yang begitu cantik. Tentu kehadi-
rannya menarik perhatian banyak orang. Hingga
kemudian dia memutuskan untuk mengenakan
sebuah topeng. Setelah mengalahkan sebuah per-
guruan Topeng Biru dan kemudian menjadi Ketua
Partai persilatan di sana.
Lima bulan sejak dirinya resmi menjadi ke-
tua perguruan Topeng Biru. Perempuan berwajah
cantik itu mendengar tentang kabar Geluk Emas
yang saat itu sedang diburu oleh kalangan persi-
latan berbagai golongan. Berita mengenai Geluk
Emas itu sebenarnya tidak begitu menarik perha-
tiannya. Bahkan dia telah memutuskan untuk ti-
dak mengambil bagian dalam pemburuan benda
yang membikin gempar itu. Dihatinya hanya ada
satu harapan, semoga dengan meluasnya berita
tentang Geluk Emas itu, orang yang dinanti-
nantikannya akan muncul. Karena sebagaimana
yang diketahuinya. Pendekar Hina Kelana meru-
pakan seorang tokoh muda yang gemar sekali me-
lakukan pengembaraan ke manapun dia suka.
Bukan tidak mungkin pemuda yang sering diliputi
rasa keingintahuan ini mendengar tentang kabar
Geluk Emas yang saat itu sedang diperebutkan
oleh berbagai kalangan itu.
Kenyataannya apa yang diharap
harapkannya bukanlah hanya sekedar impian.
Pendekar Kina Kelana akhirnya muncul juga se-
cara tak terduga-duga. Lalu perempuan bertopeng
itupun menjalankan siasat dengan berpura-pura
melakukan penggeledahan terhadap diri si pemu-
da. Tetapi setelah kini pemuda itu telah berhasil
di tangkapnya, mendadak muncul keragu-raguan
di hatinya untuk menjumpai atau sekedar berpu-
ra-pura menanyakan tentang sesuatu kepadanya.
Bahkan diapun tiada mengerti apa yang seharus-
nya dia lakukan.
"Ahk... mengapa setelah aku berjumpa de-
ngannya, hatiku menjadi ragu-ragu? Padahal se-
harusnya aku merasa bersyukur karena Sang
Hyang Widi telah mempertemukan dengan di-
rinya." batin perempuan bertopeng itu sedih. Se-
lanjutnya orang inipun kembali ke dalam ka-
marnya, daun pintu dia tutupkan. Namun di da-
lam kamarnya entah mengapa hatinya menjadi
gelisah, berulang kali dia mondar mandir di da-
lam ruangan kamarnya.
Ketika hatinya sedang diliputi perasaan
was-was seperti itu, tiba-tiba pintu kamarnya di-
ketuk dari luar.
"Siapa...!" tanya si perempuan bertopeng
biru, manakala daun pintu diketuk semakin gen-
car.
"Ket... ketua...! Tawanan kita kabur..!" la-
por sebuah suara nampak begitu gugup. Ketua
Perguruan Topeng Biru nampak sangat terkejut
sekali demi mendengar laporan salah seorang
pembantunya. Hatinya menjadi berdebar tak ka-
ruan, tiba-tiba ia merasa seperti ada sesuatu yang
hilang dalam dirinya. Secara reflek perempuan
itupun menyentakkan daun pintu kamarnya. Be-
gitu berhadapan dengan pembantu yang masih
berdiri di depannya, maka:
"Bagaimana pemuda itu dapat meloloskan
diri! Bukankah kalian secara bergantian men-
jaganya...?"
"Orang itu meloloskan diri dengan jalan
membobol atap di atas kamar... cuma itu yang
kami ketahui...!"
"Membobol atap...!" gumamnya. Kemudian
sepintas lalu dia memperhatikan pembantunya
ini. "Apakah kalian tidak melakukan pengeja-
ran...?" tanyanya penuh selidik.
"Pengejaran sudah kami lakukan, namun
kami tak menemui tanda-tanda adanya orang ter-
sebut...!"
"Coba kita periksa kamarnya,...!" ujar ke-
tua perguruan Topeng Biru itu memutuskan. Ak-
hirnya dengan diikuti oleh pembantu utamanya,
maka ketua perguruan Topeng Biru itupun menu-
ju ruangan lain tempat menahan Buang Sengketa
selama beberapa hari ini. Kenyataan-nya memang
benar seperti apa yang dikatakan oleh pemban-
tunya. Pendekar Hina Kelana sudah tak berada di
dalam ruangan itu, bahkan jala yang dijadikan
sebagai alat untuk menyergap si pemuda telah
pula terbelah menjadi beberapa bagian.
"Pastilah golok buntung yang telah diper
gunakan oleh pemuda itu untuk menghancurkan
semuanya. Padahal jala itu bukanlah jala semba-
rangan. Binatang sekalipun apabila telah terpe-
rangkap di dalamnya tak mungkin dapat melo-
loskan diri. Tapi aku tak merasa heran dengan
kemampuan yang dimilikinya. Akh, akhirnya dia
pergi lagi! Kemana aku harus mencarinya...!" ba-
tinnya di dalam hati.
"Ketua! aku mendapatkan sepucuk su-
rat...!"
"Surat apa, Melur...?" tanya Ketua Pergu-
ruan Topeng Biru, lalu memperhatikan sobekan
kulit kayu yang berada di dalam genggaman tan-
gan pembantunya. Tanpa di perintah, pembantu
yang bernama Melur itupun menyerahkan kulit
kayu yang bertuliskan kata-kata yang begitu je-
las. Selanjutnya dengan hati berdebar ketua per-
guruan Topeng Biru inipun mulai membaca kali-
mat demi kalimat.
Manusia bertopeng seperti hantu.
Siapapun adanya dirimu, itu aku tak peduli.
Berada di dalam penyekapan yang mirip dengan
sebuah penginapan ini aku merasa tak betah. Pen-
gadilan dan segala sesuatu yang berbau mengiba
itu bukanlah pekerjaanku. Aku masih punya hu-
tang janji dengan Nyai Pamekasan, pemilik Geluk
Emas yang kini sedang diperebutkan. Walau ba-
gaimanapun aku tak ingin timbul banyak korban
karena benda itu. Nah, karena kutunggu beberapa
hari anda tidak muncul-muncul juga. Maka aku
memutuskan untuk pergi dengan caraku sendiri.
Tertanda Hina Kelana
Terasa lemas bagai tak bertulang tubuh ke-
tua perguruan Topeng Biru setelah membaca su-
rat yang ditulis oleh Buang Sengketa. Hatinya
menjerit bahkan menyesali diri sendiri. Mengapa
dia tidak berterus terang saja tentang siapa di-
rinya yang sesungguhnya? Kini orang itu pergi la-
gi. Entah kemana dia harus mencari. Memerah
wajahnya, hangat pula kelopak matanya. Namun
dia tetap berusaha agar butiran bening itu tak
menetes. Tak siapapun boleh tahu apa yang se-
dang terjadi pada dirinya saat itu. Tidak juga Me-
lur pembantunya. Mungkin masih banyak jalan
untuk dapat bertemu dengan pemuda itu kemba-
li. Itulah yang sedang dipikirkannya saat itu. Da-
lam keadaan gundah seperti itu, tiba-tiba dia ber-
kata pada Melur :
"Kau dan Melati, tetap tinggallah di pergu-
ruan...!"
"Ketua hendak kemana...?" tanya Melur di-
liputi rasa ketidak mengertian.
"Aku akan mencari pemuda itu! Dia orang
yang patut dicurigai...!"
"Tapi pergi seorang diri itu sangat berba-
haya ketua! Ada baiknya kalau kami turut serta.
Lagipula bukankah masih banyak murid-murid di
sini yang dapat kita percaya untuk menjaga per-
guruan...?" katanya keheran-heranan.
"Tidak! Walau bagaimanapun aku harus
pergi sendiri! Kau tak perlu merisaukan kesela-
matanku, sebab aku cukup tahu apa yang seha-
rusnya aku lakukan...!"
"Baiklah,... kalau ketua telah memberi ke-
putusan begitu, saya tak dapat membantah-
nya...!" kata Melur dengan sikap menghormat.
"Nah, sekarang juga aku harus pergi! Ja-
galah keselamatan perguruan ini sampai aku
kembali...!" pesan ketua perguruan Topeng Biru
pada bawahannya.
"Pesan ketua pasti akan kami laksanakan
sebaik mungkin...!"
"Bagus kalau kau sudah mengerti apa yang
aku maksudkan...!" kata perempuan itu. Selan-
jutanya tanpa menunggu lebih lama lagi, diapun
berbalik langkah. Lalu tanpa menoleh-noleh lagi.
Ketua Perguruan Topeng Biru itupun bergegas
pergi meninggalkan murid-muridnya.
***
Ketika Buang Sengketa sampai di lereng
Gunung Berhala, pemuda ini mendengar suara
bentakan dan denting senjata tajam di puncak
sana. Pemuda ini nampaknya menjadi kecut. Tapi
dia dapat memastikan siapapun yang sedang me-
lakukan pertempuran pada malam gelap menje-
lang dinihari itu, pastilah salah seorang di anta-
ranya Nyai Pamekasan. Siapa yang menjadi la-
wannya? Itulah yang belum diketahui oleh si pe-
muda.
"Siapapun adanya orang yang sedang ber-
tempur dengan Nyai Pamekasan, yang pasti orang
itu membawa maksud-maksud yang tak baik...!"
batinnya.
"Heeep...!" Hanya dalam-waktu sekejap sa-
ja, pemuda itu telah mengerahkan ilmu lari cepat,
Ajian Sapu Angin. Dalam kegelapan itu, tubuh si
pemuda nampak berkelebat mendaki ke arah
puncak gunung. Dengan mengandalkan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah sangat sempurna
pula, tiada kesulitan bagi pemuda itu dalam me-
lakukan pendakian yang sebenarnya sangat sulit.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu
apapun dengan orang tua itu." gumamnya lagi.
Lalu dengan sangat berhati-hati, sesampainya di
atas gunung berhala pemuda ini langsung menu-
ju ke arah belakang pondok. Suasana di tempat
itu nampaknya sudah menjadi berantakan. Bah-
kan mayat-mayat tak dikenal bergelimpangan
tumpang tindih tak berketentuan. Jelaslah sudah
semua pembunuhan yang terjadi terhadap orang-
orang ini, pelakunya pastilah Nyai Pamekasan.
Namun pemuda ini nampaknya tak dapat
berdiam di situ lebih lama lagi, saat mana dia me-
rasakan pondok kecil yang terbuat dari kayu dan
beratap kayu pula terasa terguncang-guncang.
Buang Sengketa berusaha memperjelas penden-
garannya. Tahulah dia, di depan pondok sedang
terjadi adu tenaga dalam antara Nyai Pamekasan
dengan lawan-lawannya. Laksana kilat, tubuh
pemuda itu kemudian melesat meninggalkan dapur pondok. Begitu si pemuda sampai ke tempat
terjadinya pertempuran, dengan jelas dia melihat
Nyai Pamekasan sedang bertahan mati-matian
menghadapi pukulan jarak jauh yang dilakukan
oleh dua orang laki-laki berbadan gemuk pendek
berpakaian kulit gajah. Pemuda ini jelas tidak
kenal dengan dua orang laki-laki bersenjatakan
kebutan.
"Kau serahkan Geluk Emas peninggalan
gurumu itu, Nyai...! Kami pasti segera pergi dari
tempat ini...!"
"Huh! Aturan iblis mana yang membenar-
kan milik orang lain mau kalian kangkangi secara
paksa...!" dengus Nyai Pamekasan dengan wajah
memerah dibakar amarah.
"Penghuni Gunung Berhala! Kau telah begi-
tu banyak membunuh orang-orang kami. Persoa-
lan hutang nyawa bisa berbuntut panjang andai
engkau tidak cepat-cepat menyerahkan Geluk itu
pada Sepasang Gendera Maut...!" bentak salah
seorang dari laki-laki bersenjata kebutan ini be-
rang.
ENAM
Sungguhpun Nyai Pamekasan sudah terlu-
ka dalam begitu juga halnya dengan kedua orang
lawannya. Tapi perempuan berusia lanjut ini se-
bagai orang yang sudah banyak makan asam ga-
ram dunia persilatan akhirnya menjadi geli sendiri.
"Sudah kukatakan Geluk Emas itu tak ada
di tanganku, kalaupun ada masakan aku mau
memberikannya pada kalian begitu saja, hek...
hik...hik...! Sudah jelas kalian hanyalah sebang-
sanya perampok tengik yang pantas untuk di ge-
buk...!" ejek Nyai Pamekasan sambil tergelak-
gelak. Mendapat ejekan sedemikian rupa, kedua
laki-laki gemuk yang memiliki julukan Gendewa
Maut ini menjadi gusar. Sambil bersiap-siap
membangun serangan kembali. Salah seorang di
antara mereka yang memiliki jambang dan kumis
yang begitu lebat, membentak: "Kurang ajar! Kau
memang tidak bisa diajak berdamai. Jalan satu-
satunya yang paling baik buatmu adalah mam-
pus...!"
"Hiaaaat...!"
"Caiiit...!" secara bersamaan dua laki-laki
gemuk pendek inipun melancarkan satu serangan
ganas. Senjata di tangan mereka yang berupa ke-
butan berkelebat menyambar ke arah bagian ke-
pala Nyai Pamekasan, sedangkan senjata si ge-
muk lainnya menyambar bagian perut perempuan
renta ini. Anginpun bersiuran dan mendorong
dengan keras tubuh perempuan ini. Andai saja ti-
dak sejak semula Nyai Pamekasan menjaga segala
kemungkinan yang bakal terjadi. Pastilah tubuh
perempuan itu terkena sabetan senjata lawannya
atau setidak-tidaknya terjengkang.
"Benar-benar kuya! Orang-orang ini ki-
ranya memang menghendaki jiwaku...! Akupun
tak perlu bersikap ayal-ayalan lagi...!" batin Nyai
Pamekasan di dalam hati. Setelah berhasil meng-
hindari pukulan yang dilancarkan oleh Sepasang
Gendera Maut, maka Nyai Pamekasan pun balas
melakukan pukulan yang diberi nama 'Dewi Ber-
hala Memindah Gunung'. Pukulan ini dikenal se-
bagai sebuah pengerahan tenaga sakti yang telah
begitu banyak memakan korban yang terdiri dari
orang-orang sesat. Gendera Maut sendiri sudah
jelas mengetahui kehebatan pukulan yang akan
dilepaskan oleh lawannya. Sebab dia sendiripun
dulu pernah melihatnya ketika Nyai Pamekasan
terlibat pertempuran dengan salah seorang tokoh
sesat dari Pulau Angsa. Itulah sebabnya begitu
melihat tangan Nyai Pamekasan telah berubah
menjadi kekuning-kuningan. Maka Gendera Maut
lipat gandakan tenaganya. Tak pelak lagi, mereka
inipun melepaskan pukulan 'Gendera Memburu
Mangsa'. Pada saat Nyai Pamekasan melepas pu-
kulan ‘Dewi Berhala Memindah Gunung’, maka
dua orang lawanpun tak kalah cepatnya mele-
paskan pukulan sakti pula
"Wuuuus...! Wuuuueess...!"
Dua pukulan sakti sama-sama melesat se-
demikian pesatnya. Udara di sekitar tempat itu
sontak berubah dingin luar biasa.
"Dueer...!"
Terdengar dua ledakan berturut-turut, saat
mana dua pukulan itu saling bertubrukan di uda-
ra. Dua tubuh lawan terpental secara ber-
samaan, namun Nyai Pamekasan juga mengalami
akibat yang tidak begitu jauh berbeda. Tubuh pe-
rempuan berusia lanjut itupun terhuyung-
huyung. Dadanya terasa sesak bukan alang kepa-
lang. Sementara dari bagian hidungnya mengalir
darah segar.
"Hoeeghk...!"
Dalam kegelapan itu terdengar suara ter-
batuk beberapa kali. Kiranya pihak lawannya saat
itu juga kehilangan banyak darah. Sungguhpun
demikian nampaknya mereka merupakan dua
orang lawan yang mempunyai prinsip pantang
menyerah. Terbukti sungguhpun dengan tubuh
gemetaran dan langkah terhuyung-huyung mere-
ka segera bangkit kembali dan berusaha mele-
paskan serangan balasan. Tetapi pada saat-saat
yang menegangkan seperti itu, Buang Sengketa
yang sejak tadi terus mengawasi jalannya pertem-
puran sudah keluar dari tempat persembunyian.
Dengan sekali lompat, maka tubuhnya melayang
setinggi dua tombak, kemudian mendarat persis
di tengah-tengah arena pertempuran.
"Malam-malam begini membuat kekacauan
di tempat kediaman orang lain! Sungguh hanya
orang yang sudah bosan hidup saja yang telah be-
rani melakukannya...?" kata Buang Sengketa se-
cara tiba-tiba. Dua orang lawan Nyai Pamekasan
sudah tentu menjadi terperanjat dengan kata-
kata yang bernada teguran ini. Apalagi mereka
dapat merasakan betapa pemuda yang berdiri tak
jauh di depan mereka, memiliki kepandaian ting-
gi. Begitupun mereka ini tiada perduli lagi.
"Bocah! Siapakah engkau ini? Apakah ke-
datanganmu dengan membawa maksud ingin
mencampuri urusanku...?" bentak si gemuk pen-
dek yang tiada berjenggot maupun berkumis.
Dengan sikap acuh, dalam keremangan suasana
yang hampir mulai fajar itu, Buang Sengketa
menjawab lugas.
"Kedatanganku kemari dengan maksud in-
gin menjumpai sahabatku, Nyai Pamekasan. Na-
mun siapa kira, dua ekor kunyuk gemuk dan pa-
ra kunyuk kurus telah membuat tempat ini berge-
limang darah. Syukur sahabatku sampai saat ini
kulihat tidak kekurangan sesuatu apa. Andai saja
salah satu anggota tubuhnya ada yang rusak, le-
cet apalagi copot. Maka kepala kalianpun akan
kubuat menggelinding...!"
"Ah... engkau datang juga akhirnya, Kela-
na...!" gumam Nyai Pamekasan, seraya tanpa
menghiraukan dua orang lawannya, nampak
langsung melangkah menghampiri pemuda itu.
Lalu menjabat tangan si pemuda, bagai seorang
sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu.
"Aku datang memenuhi janjiku. Tapi maaf,
hingga sampai saat ini aku masih belum berhasil
memperoleh keterangan sebagaimana yang anda
harapkan...!" kata si pemuda menyampaikan un-
eg-unegnya.
"Aku tahu, dan seharusnya waktu itu aku
memberimu kabar bahwa Geluk Emas telah di-
larikan oleh Tiga Hantu Lembah Neraka. Tapi ka-
rena saat itu engkau dalam keadaan tergesa-gesa.
Maka akupun sampai lupa mengatakan hal itu
padamu...!" kata Nyai Pamekasan sambil mene-
puk-nepuk bahu Buang Sengketa.
"Hal itu bisa kita bicarakan nanti. Tapi ba-
gaimana halnya dengan dua ekor monyet gemuk
yang menamakan dirinya Gendera Maut ini.
Bangsat itu telah membuat hancur gubukku, pula
mereka telah mencuri dengar pembicaraan ki-
ta...!" ujar perempuan berusia lanjut ini, kemu-
dian melirik pada dua orang lawannya kilasan sa-
ja. Yang dilirik malah pelototkan matanya. Salah
seorang diantaranya maju satu langkah. Dengan
kemarahan yang tiada tertahankan si gemuk
pendek berkumis lebat langsung mengayunkan
senjatanya dengan maksud mengarah pada ba-
gian wajah Buang Sengketa. Menghadapi seran-
gan yang datangnya begitu tiba-tiba, pemuda dari
Negeri Bunian ini melompat ke samping kiri.
Otomatis senjata yang dihantamkan oleh lawan-
nya mencapai sasaran kosong. Karena dalam
mempergunakan senjata itu disertai dengan pen-
gerahan tenaga dalam yang begitu kuat. Maka be-
gitu senjata itu menghantam sebuah batu, batu
yang dilanda kebutan ditangan Gendera Maut
itupun hancur berkeping-keping.
"Bangsat...!" maki laki-laki itu. Kemudian
menyerang lagi dengan kekuatan berlipat ganda.
Sambil bergerak menghindari terjangan senjata di
tangan lawannya, Buang Sengketa berseru mem-
peringatkan:
"Lebih baik kalian enyah dari hadapanku!
Kalau tidak, kalian akan menyesal seumur hi-
dup...!"
"Jangan membual! Kau juga termasuk
orang yang harus kami bunuh, karena telah begi-
tu berani mencampuri segala urusan kami den-
gan perempuan bangkotan itu!" teriak kawannya.
Tak terelakkan lagi, pertempuran sengit antara
Buang Sengketa melawan Gendera Maut terjadi-
lah. Sementara itu Nyai Pamekasan hanya berdiri
dengan sikap menonton. Memang sesungguhnya
selama ini Nyai Pamekasan memang belum per-
nah mengetahui sampai di mana kehebatan yang
dimiliki oleh pemuda itu. Kalaupun satu purnama
yang lalu dia bertemu dengan Pendekar Hina Ke-
lana kemudian menjadi begitu akrab, hal itu se-
mata-mata berdasarkan wangsit yang diteri-
manya.
Dalam wangsit itu, Nyai Pamekasan mem-
peroleh penjelasan akan datang padanya seorang
pemuda pengelana, berpakaian merah dan ku-
muh. Sedangkan pemuda itu selalu membawa-
bawa periuk kemanapun dia pergi. Hanya itu, se-
lebihnya tentang asal usul si pemuda diapun ti-
dak tahu banyak. Kini pemuda itu datang lagi un-
tuk memberi laporan tentang Geluk Emas yang
telah dilarikan oleh Tiga Hantu Lembah Neraka.
Kebetulan sekali saat itu dia bertarung melawan
Gendera Maut. "Sebuah waktu yang sangat cocok!
Apakah benar wangsit yang kuterima benar-benar
bermutu." gumam Nyai Pamekasan sambil terus
memperhatikan mereka yang sedang terlibat baku
hantam.
"Huaaaa...!" teriak Buang Sengketa, tubuh-
nya melenting ke udara setinggi dua tombak. Ke-
mudian dengan mempergunakan jurus Mem-
bendung Gelombang Menimba Samudra pemuda
ini bergerak lincah menghindari sabetan lawan
yang dapat melemas dan menjadi kaku secara ti-
ba-tiba. Namun kelihatannya, sungguhpun Gen-
dera Maut telah mengalami luka dalam yang cu-
kup serius. Pada kenyataanya masih mampu ber-
gerak cepat, bahkan hampir setiap serangannya
mencapai sasaran yang mematikan. Lima jurus di
muka Buang Sengketa nampak kerepotan juga.
Barulah setelah mempergunakan jurus Si Gila
Mengamuk, serangan-serangan gencar lawannya
berhasil dikandaskan sebelum mencapai sasa-
rannya. Menghadapi kenyataan seperti ini gusar-
nya Sepasang Gendera Maut ini. Mulanya mereka
sudah dapat membayangkan hanya dalam waktu
beberapa gebrakan di depan pemuda berpakaian
gembel itu pastilah dapat dia jatuhkan.
"Kakang brewok! Terus cecar bagian anu-
nya, biar aku yang akan menghajar bagian ke-
palanya...!" teriak si gemuk yang berkepala se-
tengah botak.
"Sialan! Tikus-tikus gemuk sepertimu jan-
gan coba-coba bergurau denganku. Salah-salah
anumu yang akan kubikin pensiun. Kau tak per-
caya ini buktinya...!" kata Buang Sengketa. Lalu
dengan gerakan cepat dan tiada terduga-duga ke
arah mana tujuannya, pemuda ini kirimkan satu
tendangan sedangkan tangan kanannya meng-
hantam ke bagian wajah lawan.
"Haiiit...!"
Dalam melakukan tendangan itu, tubuh si
pemuda berputar setengah lingkaran. Namun
tendangan cepat itu disambut dengan deru kebu-
tan di tangan lawannya, secara praktis menarik
balik kakinya, tangan kanannya yang telah me-
luncur dan siap menghantam bagian muka. Seca-
ra tiba-tiba membelok ke arah selangkangan la-
wannya.
"Jrooot...!"
"Wuiih... apa ini lembek-lembek…!" ucap-
nya sambil tergelak-gelak. Si gemuk langsung ter-
banting di atas tanah berbatu, tubuhnya mengge-
liat-geliat. Sementara kedua tangannya terus
memegangi bagian pusaka keramat yang berhasil
dipukul oleh si pemuda. Laki-laki berkumis me-
lintang yang sepintas lalu memberi kesan lucu ini
merasakan perutnya mual luar biasa, bahkan la-
ma-kelamaan rasa sakit itu naik sampai ke ulu
hati.
"Keparaat kau gembel busuk! Aku tak akan
pernah puas sebelum menghirup darahmu...!"
maki laki-laki itu. Kemudian dengan berjingkrak-
jingkrak dia bangkit kembali.
"Lakukanlah! Kini aku telah benar-benar
dalam keadaan siap melayani kalian sampai
mampus...!" desis Buang Sengketa sinis.
"Hiaat...!" teriak dua orang laki-laki gemuk
pendek ini tanpa menghiraukan ucapan lawan
nya. Lalu secara bersama-sama mereka lepaskan
pukulan 'Gendera Memburu Mangsa' tingkat pa-
mungkas. "Melihat lawan-lawannya melepaskan
pukulan yang sangat berbahaya. Maka Buang
Sengketa dengan mempergunakan sebagian tena-
ga dalamnya hantamkan kedua tangannya ke
arah dua orang lawannya. Tak ayal lagi saat itu
selarik gelombang sinar berhawa sangat panas
luar biasa menderu memapaki serangan ganas
yang dilepas oleh lawan-lawannya.
"Blaaam...! Blaaam...!"
Dua ledakan keras terjadi secara berturut-
turut. Tidak sampai di situ saja, pukulan tingkat
tinggi yang sudah tak asing lagi, yaitu pukulan Si
Hina Kelana Merana yang dilepas oleh si pemuda
terus menderu menghantam dua orang lawannya.
Jelas sekali bahwa dalam hal adu tenaga dalam,
Gendera Maut kalah beberapa tingkat di bawah si
pemuda. Dalam keadaan tubuh hangus dan tiada
berbentuk lagi tubuh kedua orang itu terpelanting
roboh. Selanjutnya tubuh mereka terdiam untuk
selama-lamanya.
"Ploook...! Ploook...!" Nyai Pamekasan ber-
tepuk tangan, lalu terdengar pula seruan sua-
ranya memuji
"Bagus! Pendekar muda yang tangguh, se-
buah wangsit yang tepat... Ah... aku kagum meli-
hat kehebatanmu, sahabatku...!' kata perempuan
penghuni Puncak Gunung Berhala itu sambil me-
langkah mendekati Buang Sengketa. Memerah
paras si pemuda demi mendengar pujian yang tidak mengenakkan hatinya itu. Kemudian dengan
suara merendah diapun berucap: "Nyai Pameka-
san! Aku bukanlah apa-apa, jangan anda sanjung
diriku setinggi langit. Aku kurang suka menden-
garnya...!" Tetapi kelihatannya Nyai Pamekasan
tiada menghiraukan semua itu, bahkan lebih lan-
jut dia bertanya, pada si pemuda.
"Aha... siapakah gurumu, Kelana...?" se-
makin kesal saja hati Buang Sengketa demi men-
dengar pertanyaan seperti itu. Selama ini dia te-
lah berjanji untuk tidak membawa-bawa nama
gurunya, terlebih-lebih saat sekarang gurunya si
manusia aneh Bangkotan Koreng Seribu sudah
meninggal dunia sejak beberapa tahun yang si-
lam.
"Nyai Pamekasan!" ujarnya, lalu meman-
dang lurus pada perempuan itu. "Kalau Nyai ma-
sih juga menanyakan tentang siapa aku dan gu-
ruku, maka lebih baik aku tak usah memban-
tumu...!" katanya dengan sikap merajuk.
"Weeeii... bocah edan. Mana bisa begitu...!"
"Itu makanya, jangan tanya ini dan itu ten-
tang diriku. Perlu anda ketahui sampai sekarang
ini aku belum mendapatkan keterangan tentang
Geluk itu!" Nyai Pamekasan angguk-anggukkan
kepalanya. Seperti pada dirinya sendiri tak lama
kemudian dia berucap.
"Maaf... sesungguhnya aku telah tahu sia-
pa sebenarnya yang telah melarikan Geluk itu.
Tapi karena waktu itu engkau terlalu tergesa-
gesa, maka aku tak sempat mengatakan padamu
pada siapa seharusnya kau mencari benda itu.
Tapi sekarang ini ada baiknya kalau kita secara
bersama-sama pergi ke sana...! Semoga benda itu
belum berpindah ke tangan orang lain...!"
"Ke sana mana...?" tanya si pemuda tiada
mengerti.
"Ikut sajalah, jangan banyak rewel...!" ser-
gah si perempuan, acuh.
"Tapi bagaimana dengan mayat-mayat me-
reka...?" tanya si pemuda ragu-ragu. Nyai Pame-
kasan geleng-gelengkan kepalanya. "Biarkan saja,
sebentar lagi mereka pasti segera terkubur di pe-
rut binatang buas yang berkeliaran di tempat
ini...!" Tak lama kemudian tanpa berkata apa-apa.
Buang Sengketa dan Nyai Pamekasan sudah mu-
lai berlari-lari menuruni Gunung Berhala. Ketika
mereka sampai di lereng gunung, saat itu mata-
hari sudah mulai memancarkan sinarnya yang
kuning keemasan.
TUJUH
Masing-masing mata nampak berbinar-bi-
nar ketika mereka membuka bungkusan Geluk
Emas yang mereka sembunyikan beberapa wak-
tu setelah mereka merampasnya dari tangan Ja-
tayu.
"Hemm...! Benda ini bentuknya mirip den-
gan sebuah kelapa yang sering dipergunakan oleh
penduduk desa untuk menyimpan garam...! Tapi
benda ini menimbulkan rebawa aneh bagai ada
satu kekuatan gaib yang menyelimutinya...!" kata
salah seorang laki-laki berpakaian kuning itu
tanpa mengalihkan perhatiannya dari benda ter-
sebut.
"Tiga Hantu Lembah Neraka memang me-
rupakan orang-orang yang bernasib mujur! Den-
gan Geluk Emas di tangan kita, Tiga Hantu Lem-
bah Neraka pasti mampu meramu racun ganas
yang bagaimanapun bentuknya...!" ujar yang
lainnya menimpali.
"Dengan adanya Geluk ini, kita akan men-
jadi tiga tokoh yang tiada tertandingi oleh siapa-
pun. Tiga Hantu Lembah Neraka akan menjadi
kaum yang tiada tertandingi di kolong jagat ini.
Ya... ha... ha... ha...! Kitalah yang akan merajai
dunia persilatan...!"
"Tapi kakang Gompal Pringgan! Walau ba-
gaimanapun benda ini ada pemiliknya yang sah,
bagaimana andai suatu saat orang itu datang
mencari kita...?"
"Aku tak pernah takut! Nyai Pamekasan
memang orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Tapi Tiga Hantu Lembah Neraka juga bukanlah
orang-orang yang lemah. Kita bertiga pasti mam-
pu menghadapi nenek-nenek yang sudah hampir
masuk ke liang kubur itu. Apa yang kita ta-
kutkan...?" selak Gompal Pringgan merasa begitu
yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.
"Tetapi dengan adanya Geluk Emas di tan-
gan kita, tentu orang-orang persilatan akan ber
datangan kemari...!"
"Mengapa harus takut, adi Pramesta....!"
"Tapi kewaspadaan itu bagi kita sangat
penting sekali, kakang Gompal? Bukan tidak
mungkin di luaran sana terdapat tokoh-tokoh
persilatan yang memiliki kepandaian tinggi di luar
perhitungan kita...!" sela Ki Lawuh yang sedari
tadi hanya diam saja.
"Ha...ha...ha...! Tak seorangpun di dalam
rimba persilatan yang kutakuti. Aku tak pernah
merasa ragu dengan segala apa yang telah kita
lakukan...! Tapi yang membuat aku heran justru,
kalian secara tiba-tiba berubah sepengecut ini..,?"
sentak Gompal Pringgan merasa tersinggung.
"Maaf, kakang...! Sama sekali kami tak per-
nah berpikir sampai sejauh itu. Tapi menjaga se-
gala kemungkinan menurutku justru lebih ba-
ik...!" kata Ki Luwuh dan Pramesta secara hampir
bersamaan. Gompal Pringgan akhirnya hanya ter-
senyum-senyum demi mendengar alasan adik-
adiknya.
"Kalau itu yang menjadi alasan kalian, su-
dah tentu aku setuju saja! Lagipula gua ini ter-
letak jauh dari keramaian. Kita pasti aman berada
di tempat ini...!" kata Gompal Pringgan me-
yakinkan dua orang saudaranya.
"Kalau kakang sudah berkata begitu maka
kami hanya mampu menurut...!" ujar Ki Luwuh.
"Tapi menurutku, alangkah lebih baik lagi
kalau mulai dari sekarang kita atur penjagaan di
luaran sana."
"Maksud kakang bagaimana...?" tanya dua
orang lainnya tiada mengerti.
"Maksudku...! Sementara aku ingin mem-
buktikan kehebatan Geluk Emas di dalam gua ini.
Adi Ki Luwuh berjaga-jaga di depan gua, sedang-
kan Adi Pramesta berjaga-jaga di bagian jalan se-
tapak menuju tempat ini...!"
"Baiklah... kalau itu sudah merupakan ke-
inginan kakang Gompal Pringgan, maka kami
akan melakukannya..!" ujar Ki Luwuh dan Pra-
mesta.
***
Gerakan tubuhnya yang begitu lincah dan
gesit merupakan suatu tanda bahwa orang yang
sedang berlari cepat itu memiliki dasar-dasar ilmu
silat yang sangat baik. Tiada tanda-tanda keleti-
han membayang di wajahnya yang tertutup to-
peng, padahal perempuan itu sudah hampir dua
malam melakukan perjalanan dengan cara seperti
itu. Hanya sesekali saja, sepasang matanya yang
indah itu mengerjab dalam basah. Entah geran-
gan apa yang membuat dirinya menjadi seperti
itu.
Kini untuk yang kesekian kalinya, perem-
puan bertopeng biru ini secara tiba-tiba memper-
lambat kecepatan larinya. Bahkan beberapa saat
setelahnya berhenti sama sekali. Pabila dia ter-
ingat sesuatu, maka kelopak matanyapun kemba-
li menjadi hangat. Ketua Perguruan Topeng Biru
ini menundukkan kepalanya. Namun se-pasang
kakinya tetap melangkah. Gontai.
"Aku tak melihat tanda-tanda kehadiran-
nya di sini. Mungkinkah dia memang benar-benar
tak dapat mengenali suaraku lagi. Paman Kela-
na...! Apakah paman tak pernah merasakan se-
perti apa yang sedang kurasakan. Hampir se-
panjang usia remajaku hingga kini, hatiku selalu
tersiksa. Aku sedetikpun tak pernah berhasil me-
lupakanmu. Bahkan tak pernah ada yang lain di
hatiku ini selain dirimu. Tapi engkau selalu da-
tang dan pergi bagai hembusan angin...! Aku ta-
hu, mungkin hanya diriku yang bodoh ini saja
yang begitu tergila-gila padamu, sedangkan eng-
kau tidak! Bahkan engkau tetap menganggapku
hanya sebagai bocah yang tidak tahu banyak ten-
tang cinta. Bahkan kau masih tetap mengang-
gapku masih belum saatnya membicarakan soal
itu. Ah, betapa kau selalu berkata begitu, kau se-
sungguhnya cukup mengetahui bagaimana pera-
saanku padamu. Tapi kau selalu bersikap seba-
liknya. Melihat sikapmu terkadang aku sering me-
rasa kecewa sekali. Bahkan aku sering berusaha
menguburkan namamu, atau membuangnya
jauh-jauh. Namun aku selalu gagal melakukan-
nya. Hal ini hanya semakin membuat hatiku ter-
siksa...!" gumam perempuan itu, lalu menyusut
air matanya. Sesaat setelah itu, perempuan ber-
topeng biru ini membuang pandangannya jauh-
jauh ke depan sana. Namun sejauh- jauhnya ma-
ta memandang, yang terlihat hanyalah rumput
rumput menghijau, lembah dan bukit yang me-
rentang, seolah tiada berbatas.
"Terkadang aku merasa putus asa, benar
kuakui dia memberikan sesuatu yang terbaik un-
tuk bekal hidupku. Tapi kasih sayang dan cinta
tak pernah dia berikan padaku. Ataukah mungkin
dia sudah punya seorang kekasih? Andai benar
apa yang kuduga, ah betapa bahagianya perem-
puan itu. Karena paman Kelana merupakan pri-
badi yang sangat baik, wajahnya sangat tampan
tanpa cela. Tentu setiap gadis akan menyu-
kainya...!" desahnya. Sesaat begitu tersadar ten-
tang apa yang diangankannya, maka wajah pe-
rempuan itu memerah. Tersipu malu.
"Mengapa aku jadi setolol ini! Bukankah
lebih baik kalau kucari ke arah sana?"
"Haiiiiit...!" perempuan bertopeng biru itu
pun langsung mengempos tubuhnya. Dalam wak-
tu yang sangat singkat tubuh perempuan itupun
telah lenyap dari pandangan mata
Namun tak sampai sepemakan sirih, dari
arah yang dituju oleh perempuan itu. Terdengar-
lah suara bentakan-bentakan keras yang disusul
dengan suara benturan beradunya senjata tajam.
Dan pabila kita ingin melihat lebih dekat lagi, ti-
dak begitu jauh dari lembah dan pada pinggiran
tebing. Saat itu nampaklah gadis bertopeng biru
itu sedang bertarung melawan seorang laki-laki
berpakaian kuning. Dalam pertarungan sengit ini,
berulang kali gadis bertopeng memberi penjelasan
pada lawannya. Tapi nampaknya yang menjadi
lawannya tiada menghiraukan kata-kata si gadis
bertopeng.
"Sudah kukatakan siapapun yang berani
memasuki wilayah kekuasaan Tiga Hantu Lembah
Neraka, mereka harus meninggalkan kepalanya di
tempat ini...!" bentak laki-laki berpakaian kuning
yang bernama Pramesta ini dengan sesungging
senyum mencemooh. Lama-kelamaan menjadi hi-
langlah kesabaran gadis bertopeng, bahkan di-
apun mulai mencurigai keberadaan laki-laki ber-
pakaian kuning itu.
"Sejak tadi aku sudah katakan pada kisa-
nak! Kehadiranku di tempat ini adalah untuk
mencari salah seorang sahabatku, tapi kisanak
malah mencurigaiku! Jangan-jangan di tempat ini
ada sesuatu yang kisanak rahasiakan...!" pancing
si gadis bertopeng sambil memandang lurus pada
lawan bicaranya.
"Kurang ajar...! Kau sepatutnya mendapat
ganjaran yang setimpal atas sikapmu yang men-
curigakan itu. Kini kau bermaksud ingin menge-
tahui lebih banyak lagi tentang isi lembah mau-
pun gua yang kami diami..!"
"Jangan banyak membual, sobat...! Mu-
lanya aku hanya secara kebetulan saja melewati
daerah ini. Tapi karena kisanak terlalu mencuri-
gaiku, maka semakin kuatlah dugaanku anda
pastilah merupakan salah seorang dari Tiga Han-
tu Lembah Neraka...?"
"Kalau betul kau bisa apa...?" sentak. Pra-
mesta dengan suara tergetar.
"Kalau begitu pastilah kalian yang telah
membunuh Jatayu, dan melarikan Geluk Emas
milik Nyai Pamekasan...! Hik...hi...hi...! Sungguh
memalukan sekali...!" ledek si gadis bertopeng.
Pramesta nnembelalakkan matanya lebar-lebar.
Sesungguhnya dia bukan merasa kecut dengan
apa yang diketahui oleh perempuan bertopeng.
Tetapi dalam waktu-waktu sebelumnya sama se-
kali dia tak pernah melihat siapa sesungguhnya
orang itu.
"Matamu begitu jeli. Kau tahu Geluk Emas
berada pada kami, tapi nampaknya engkau, me-
rupakan orang yang baru turun gunung"
"Itu bukan urusanmu, yang jelas kalian
harus menyerahkan Geluk Emas padaku. Jika ti-
dak, hari ini juga nama Tiga Hantu Lembah Nera-
ka benar-benar akan segera kukirim ke akhi-
rat...!" ancam si gadis bertopeng.
"Kurang ajar! Siapapun adanya engkau ini,
aku tak perduli. Tapi karena kau telah melakukan
dua pelanggaran secara sengaja, maka hidup atau
mati kau akan kuringkus...!"
"Enak betul! kalau kau mampu lakukan-
lah...!" cibir si gadis bertopeng dengan sikap me-
nantang. Tingkah laku perempuan itu benar-
benar membuat Pramesta menjadi gelap mata, la-
lu tanpa basa basi lagi, diapun mulai melancar-
kan serangannya dengan mempergunakan jurus-
jurus tangan kosong. Karena mengira, lawannya
hanya memiliki kepandaian yang tidak seberapa,
pada saat melakukan gebrakan demi gebrakan.
Laki-laki berusia setengah baya dan bertubuh
gempal inipun menyerang si gadis bertopeng den-
gan sikap ayal-ayalan.
"Desss...!" satu tendangan telak menghajar
bagian iga Pramesta. Laki-laki bertubuh gempal
ini menggerung sambil memegangi bagian da-
danya yang terasa nyeri. Salah seorang dari Tiga
Hantu Lembah Neraka meludah dengan sikap pe-
nuh kebencian.
"Jangan membuang-buang waktu percuma,
manusia hantu...! Kalau kau tidak cepat-cepat ke-
luarkan senjata andalanmu, sebentar lagi ke-
palamu pasti akan kubuat menggelinding...!" ben-
tak si gadis bertopeng sambil berkacak pinggang.
"Jangan sombong dulu, kunyuk betina ber-
topeng. Lihat serangan...!"
"Shaa...!"
"Hiaaat...!"
Begitu Pramesta menerjang ke arah gadis
bertopeng dengan satu jotosan yang kuat, nam-
paknya perempuan itu tidak berusaha mengelak.
Dengan jemari terkembang membentuk cakar di
sambutnya serangan lawannya.
"Deees...!"
"Creep...!"
Benturan yang sangat keras terjadi, tubuh
keduanya sama-sama terguncang. Pramesta me-
rasakan dadanya menjadi sakit dan sulit untuk
bernapas. Tetapi rasa keterkejutannya men-jadi-
jadi, saat mana dia menarik tangannya. Ternyata
tangan itu saling melekat erat dengan tangan lawannya.
"Kurang ajar...!" rutuk Pramesta, merasa
kena di kerjai. Tapi diapun tak kehabisan akal,
satu tendangan telak dilakukannya.
"Huees...! Akal bulus...!" seru si gadis ber-
topeng, sambil berusaha mengkelit serangan la-
wannya. Serangan kedua inipun ternyata menga-
lami kegagalan. Geram bukan main hati Pramesta
di buatnya. Lama kelamaan diapun merogoh saku
celananya, dengan gerakan cepat bersamaan den-
gan berkelebatnya tubuh laki-laki berbadan gem-
pal ini, maka tangannyapun dia hantamkan ke
arah lawannya. Beberapa benda berwarna putih
menderu mengarah tujuh jalan kematian di tubuh
si gadis bertopeng. Namun kiranya gadis itu me-
nyadari datangnya bahaya yang mengancam ji-
wanya. Dengan mempergunakan berbagai puku-
lan sakti yang dipelajarinya dari beberapa orang
gurunya. Maka diapun kibarkan tangannya dua
kali berturut-turut.
"Weeer...!"
"Wueess...!"
"Breees...!"
Sungguh mengagumkan sekali, selain sen-
jata rahasia yang disambitkan lawannya rontok,
juga pukulan 'Kabut Badai' yang dilepaskan oleh
si gadis bertopeng terus menderu menghantam
Pramesta. Dalam saat-saat menegangkan itu,
Pramesta hantamkan pula sebuah pukulan yang
tak kalah hebatnya.
"Dwweeer...!"
"Wuaah...!" jerit Pramesta dengan tubuh
terguling-guling. Sementara yang menjadi lawan-
nya masih tetap tegak bagaikan arca.
"Ternyata Tiga Hantu Lembah Neraka apa-
bila dalam keadaan terpecah belah menjadi tidak
memiliki arti sama sekali. Hemm... mudah-
mudahan aku mampu menggusurmu sampai ke
liang kubur...!" geram si gadis bertopeng sambil
memandangi lawannya yang sedang berusaha
bangkit kembali.
"Gerrr...! kalau aku berhasil menangkapmu
hidup atau mati, akan kutelanjangi tubuhmu, in-
gin kulihat apakah engkau seorang gadis cantik,
atau cuma nenek-nenek keriputan yang sudah
bau tanah." geram Pramesta, tak begitu lama se-
telahnya diapun mencabut senjata andalannya
yang terbuat dari gading gajah, namun mengan-
dung racun yang sangat ganas.
"Mungkin kehebatan Tiga Hantu Iblis ter-
letak pada senjatanya yang runcing itu, aku tidak
boleh bersikap sembrono menghadapi senjata
itu." gumam si gadis bertopeng.
"Sreet...sreet...!" gadis bertopeng inipun
langsung melepas setagen yang melilit di bagian
pinggangnya.
"Hak...ha...ha...! dengan senjata di tangan-
ku, kau tak bakalan unggul dalam menghadapi
aku!"
"Aku tak percaya dengan bualanmu ku-
nyuk gemuk...!" kata si gadis bertopeng memana-
si.
"Kau lihatlah! Betapa sebentar lagi dadamu
akan kubuat berlubang...!"
"Banyak mulut! Heaaaa...!" pada gebrakan-
gebrakan berikutnya, pertarunganpun berlang-
sung semakin seru. Apalagi mengingat, saat itu
masing-masing lawan mempunyai ambisi untuk
menjatuhkan secepat mungkin. Dengan senjata
andalannya Pramesta segera mencecar lawannya
tanpa kenal kompromi. Gerakan-gerakan tubuh-
nya begitu lincah, sementara senjata di tangan
terkadang bergerak menusuk pada bagian lam-
bung dan dilain kesempatan berputar sedemikian
kuat sehingga berubah menjadi sebuah perisai
pertahanan yang sangat sulit untuk dicari titik
lemahnya. Namun di pihak lawan, gadis berto-
peng ini juga bukanlah orang yang bodoh. Pada
saat Pramesta melakukan serangan cepat dan be-
rusaha mendesak dirinya dengan jarak yang begi-
tu dekat, si gadis bertopeng me-lompat mundur.
Sekali dua senjatanya yang be-rupa Selendang
yang dapat menegang bagaikan plat baja namun
dilain saat dapat melemas bagaikan kain sutera.
Dia lecutkan ke arah lawannya, lecutan-lecutan
cambuk inilah yang membuat lawan tidak bisa
bertindak leluasa dalam menghadapi serangan
yang dilakukan oleh si gadis bertopeng.
"Weeer...!"
Sekali lagi Pramesta menyambitkan senja-
tanya yang terbuat dari serpihan gading gajah.
"Ctar...! Ctaar...!"
Selendang di tangan si gadis bertopeng me
nyambut datangnya serangan senjata rahasia
yang disambitkan oleh lawannya. Sebagian senja-
ta rahasia itu dapat diruntuhkan oleh selendang
di tangan si gadis bertopeng. Tetapi sebagian
lainnya terus meluncur mencari sasaran.
"Kurang ajar...!" maki si gadis bertopeng,
lalu dengan sangat tergesa-gesa hantamkan tan-
gannya. Tak ayal menderulah segelombang angin
pukulan yang mengandung hawa dingin dan ha-
wa panas ke arah lawannya. Luncuran senjata
rahasia itupun bersambut.
"Breess...!"
"Ahhhk...!"
Pramesta membanting tubuhnya ke sam-
ping kanan, terus berguling-guling menghindari
terjangan senjatanya sendiri yang membalik.
DELAPAN
Kurang ajar! Ternyata perempuan itu me-
miliki ilmu kepandaian yang sangat hebat. Aku
tak mungkin ungkulan menghadapinya tanpa dua
orang saudaraku...!" batin Pramesta.
"Kucing kurap, mengapa kau hanya diam
saja! Bukankah kau tadi bermaksud ingin me-
nangkapku dan bermaksud kurang ajar pula! Nah
sekarang lakukanlah, sebab salah-salah aku ma-
lah segera mencopot kepalamu...!" kata gadis ber-
topeng biru ketus. Ternyata perempuan itu tidak
hanya sekedar membual, beberapa saat setelah
itu, perempuan inipun mencabut sebilah pedang
tipis yang selama ini belum pernah dipergunakan
untuk bertarung melawan siapapun.
"Beruntunglah andai engkau mampu
menghindari ketajaman pedang ditanganku ini.
Ciaaat...!"
Segera saja setelah pedang itu tercabut dari
balik jubah si topeng biru, laksana kilat diapun
menerjang musuhnya. Pramesta menjadi ter-
gagap saat mana senjata itu menderu ke arah-
hya. Apalagi ketika melihat permainan pedang la-
wan yang begitu sebat, tentu saja salah seorang
dari Tiga Hantu Lembah Neraka ini dalam bebe-
rapa jurus di depan telah pula terdesak hebat.
Nyatalah sudah, ternyata dalam berbagai hal
Pramesta berada jauh beberapa tingkat di bawah
lawannya.
"Nguuung...! Ctar... ctaaar...!"
Pedang di tangan kanan menderu, sedang-
kan selendang di tangan kiri melecut mengarah
bagian wajah Pramesta. Dengan nekad laki-laki
berpakaian kuning itu memapaki sambaran pe-
dang di tangan lawannya.
"Traaak...!
Akibat benturan senjata itu, tubuh Prames-
ta terhuyung-huyung. Jemari tangan sampai ke-
pangkal lengan terasa nyeri luar biasa. Tapi sung-
guhpun si gadis bertopeng mengalami akibat ti-
dak separah lawannya, tetap saja dia merasakan
bagian dadanya terasa kesemutan. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang mendera, perempuan itu
hantamkan selendangnya kembali.
Lawan yang sedang dalam keadaan ter-
huyung-huyung itu nampaknya tidak sempat lagi
menghalau serangan beruntun tersebut.
"Jdaaaar...!"
"Auhggk...!"
Pramesta langsung mendekap wajahnya
yang hancur dilanda lecutan selendang yang tera-
liri sebagian tenaga dalam itu. Darah segera me-
rembas melalui selah-selah tangannya. Memper-
gunakan kelengahan lawannya, dengan sekali
lompatan gadis bertopeng inipun membabatkan
pedangnya mengarah bagian perut Pramesta.
"Jrooos...! Kraaaak...!"
"Arrrggkh...!"
Laki-laki berpakaian kuning itu melolong
setinggi langit, kedua tangannya yang tadinya
mendekap bagian muka, kini beralih ke bagian
perut. Darah terus mengalir tanpa henti. Tubuh
Pramesta sekejap setelahnya langsung ambruk,
lalu terdiam buat selama-lamanya.
"Hemmm. Akhirnya kau mampus juga di
tanganku. Hih... aku yakin dua orang lainnya
pastilah ada di dalam gua...!" kata gadis berto-
peng seorang diri. Sejenak gadis itu mengitarkan
pandangan matanya ke arah lembah yang terda-
pat di bawah jurang itu.
"Ada baiknya kalau aku cepat-cepat ke sa-
na...!" Sebentar kemudian dengan sangat ber-
hati-hati, gadis bertopeng inipun mulai menu
runi lereng lembah. Dengan mempergunakan su-
lut tumbuhan merambat yang menjuntai sampai
ke dasar lembah neraka. Tak sampai sepeminum
teh, gadis bertopeng inipun telah menjejakkan
kakinya di lembah itu. Namun baru beberapa tin-
dak dia melangkahkan kakinya, dari arah depan
terasa adanya sambaran angin yang begitu deras
ke arahnya. Gadis ini cepat-cepat melompat
menghindari terjangan senjata rahasia yang telah
disambitkan oleh orang yang tidak dikenalnya da-
ri suatu tempat.
"Creeep...!"
Luput mencapai sasarannya, senjata-
senjata itu menancap pada batang pohon yang
berada tak jauh di belakang si gadis bertopeng.
Dari atas pohon si gadis memperhatikan senjata-
senjata itu.
"Yang menyambitkan senjata itu pastilah
dua diantara Tiga Hantu Lembah Neraka. Aku ha-
rus berhati-hati, bukan tak mungkin tempat ini di
pasang berbagai perangkap yang mematikan...!"
"Weeer! Praaas...!"
Satu pukulan jarak jauh dilepas oleh la-
wannya yang bersembunyi tidak begitu jauh dari
tempat si gadis bertopeng berada. Dahan yang
merupakan tempat si gadis berpijak berderak pa-
tah saat mana pukulan itu menghantamnya den-
gan telak. Dengan wajah sedikit memucat, tubuh
gadis itu melayang turun mendahului runtuhnya
dahan pohon itu.
"Siapapun adanya orang yang bersembunyi
di balik semak-semak di depan sana. Cepatlah
tunjukkan diri...!" meskipun bergetar, namun su-
ara si gadis bertopeng terdengar begitu ber-
wibawa.
"Kau telah begitu berani memasuki Lembah
Neraka. Pernahkah terlintas dalam pikiranmu,
bahwa tak seorangpun yang telah memasuki lem-
bah ini dapat keluar hidup-hidup...?" bentak satu
suara, penuh teguran.
"Karena aku tak pernah membayangkan
akibatnya maka aku berani memasuki daerah
ini...!"
"Aha...! Mendengar suaramu, meskipun
engkau memakai seribu topeng. Pastilah kau ma-
sih begitu muda. Suaramu merdu, menandakan
kau seorang gadis yang sangat cantik. Sayang se-
kali andai orang seusiamu mati dengan cara yang
amat menyedihkan. Kuperintahkan padamu sege-
ra meninggalkan tempat ini, sebelum kakang
Gompal Pringgan mengetahui kehadiranmu...!"
"Hemm. Agaknya engkau ini sebangsanya
hantu yang baik hati. Tadi di atas tebing jurang
sana kulihat sesosok hantu yang tidak ramah.
Bahkan kami sempat bentrok, tapi tidak begitu
lama. Karena setelahnya diapun benar-benar te-
lah kukirim ke neraka.!" kata gadis itu dengan si-
kap begitu tenang. Entah apa yang dirasakan oleh
orang yang bersembunyi di semak-semak itu,
yang jelas begitu si gadis bertopeng selesai den-
gan ucapannya. Mendadak sesosok tubuh berpa-
kaian kuning nampak menyeruak dari balik semak-semak. Begitu dekat dia langsung hantam-
kan satu pukulan yang begitu dahsyat. Si gadis
bertopeng yang sudah bersiap siaga sejak semula
segera menghindari terjangan pukulan lawan
yang menimbulkan rebawa dingin teramat sangat.
Pukulan spontan itupun luput mencapai sasa-
rannya. Geram bukan main laki-laki yang berna-
ma Ki Luwuh ini. Siapapun adanya orang yang te-
lah dibunuh oleh perempuan bertopeng yang ber-
diri tegak di hadapannya. Pastilah saudaranya
yang bernama Pramesta. Bagaimana mungkin pe-
rempuan bertopeng itu mampu mengalahkan
saudaranya yang dia ketahui memiliki kepan-
daian sangat tinggi.
"Kau jangan coba-coba mengelabuiku!
Adikku Pramesta bukan orang yang begitu mudah
dijatuhkan oleh siapapun. Apalagi hanya manusia
topeng monyet sepertimu mengaku telah menga-
lahkan Pramesta saudaraku. Huh.., tidak mung-
kin! Tak masuk di akal...!"
"Kau boleh percaya atau tidak! Tapi masa
engkau tak mengenal warna pakaian seperti
ini...!" si gadis bertopeng menunjukkan robekan
kain berwarna kuning kemerah-merahan bekas
noda darah.
"Tidak jugakah kau mengenal pakaian yang
sama dengan warna pakaianmu...!"
Bergetar tubuh Ki Luwuh demi melihat ke-
nyataan ini. Sama sekali dia tiada menduga kalau
saudaranya Pramesta telah tewas di tangan pe-
rempuan itu. Hal ini merupakan satu kesalahan
bagi si gadis bertopeng yang mungkin tak akan
dapat diampuni oleh Ki Luwuh.
"Kau telah melakukan kesalahan yang san-
gat besar di sarang macan. Bahkan jiwamu sendi-
ri rasanya tidak cukup untuk membayar hutang
nyawa saudaraku...!" kata Ki Luwuh dengan sua-
ra gemetaran.
"Hi...hi...hi...! Segala macan ompong mau
bertingkah di depanku. Tunggu apalagi maju-
lah...!" tantang si gadis bertopeng.
"Karena engkau hendak mampus, maka
kuberi kesempatan padamu untuk menyerangku
terlebih dahulu...!" tukas laki-laki itu dengan se-
sungging senyum licik.
"Huh. Kau pikir aku dapat dikelabui begitu
saja! Di depanmu kuketahui terdapat sebuah je-
bakan yang dapat memanggang tubuhku hidup-
hidup. Orang lain mungkin bisa kalian kelabui
dengan perangkap babi hutan yang kalian pa-
sang, tetapi tidak demikian halnya dengan aku...!
Kalau kau punya keberanian, majulah...!"
"Keparaat...!" maki laki-laki itu merasa ma-
lu hati. "Rupanya kau seekor kunyuk betina yang
begitu cerdik. Heaaaa...!"
Dengan disertai sebuah jeritan tinggi me-
lengking yang terasa menggetarkan buluh darah.
Tubuh Ki Luwuh melesat mendekati si gadis ber-
topeng. Saat itu juga dia kembali menyambitkan
senjata rahasianya. Tapi tak kalah gesitnya tubuh
si gadis melentik ke udara setinggi tiga tombak.
Serangan senjata rahasia yang dilakukan oleh Ki
Luwuh kembali menemui sasaran kosong. Tapi
laki-laki berpakaian kuning yang sudah di bakar
hawa amarah ini, tidak diam sampai di situ saja.
Sekali lagi dia sambitkan senjata rahasianya.
Dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu
meringankan tubuh gadis bertopeng inipun masih
mampu menghindari serangan ganas yang da-
tangnya bertubi-tubi.
"Habiskan senjata rahasia yang berada di
dalam kantongmu itu, kunyuk kuning. Tiga Han-
tu Lembah Neraka jika maju satu persatu tidak
ada apa-apanya...!" ejek gadis itu nampak pula
mulai mendekati lawannya. Pertarungan jarak
dekatpun dalam waktu dua jurus selanjutnya se-
gera terjadi. Kali ini si gadis bertopeng sudah pula
mencabut pedang tipis dari balik jubahnya. Pe-
dang itu langsung menderu dan timbulkan suara
bercuitan manakala si gadis bertopeng mengge-
rakkan ke segala penjuru dengan kecepatan yang
sangat luar biasa. Sinar pedang yang putih meng-
kilat nampak bergulung-gulung mendesak ke
arah lawannya. Sebagai tokoh sesat yang sudah
berpengalaman, sudah tentu Ki Luwuh tidak
menjadi gugup karenanya. Dengan cepat pula dia
mencabut senjatanya yang berupa gading gajah
berujung runcing dan mengandung racun ganas.
Segera setelah senjata andalan tokoh sesat itu be-
rada di tangannya, maka tak kalah hebatnya. Ki
Luwuh langsung mencecar lawannya dengan
mempergunakan jurus silatnya yang dipenuhi
dengan tipu-tipu dan kelicikan.
Weeer....!
Traaak...!
Pedang dan gading gajah di tangan Ki Lu-
wuh beradu, dua-duanya nampak terhuyung-
huyung. Tapi nampaknya Ki Luwuh tiada menghi-
raukan rasa nyeri yang menyerang bagian tangan
dan dadanya. Bagai dirasuki setan gila, orang ke-
dua dari Tiga Hantu Lembah Neraka itupun kem-
bali melakukan serangan yang lebih gencar lagi.
Melihat kenekatan lawannya, sejenak si Gadis
Bertopeng nampak terperangah. "Gila orang yang
satu ini benar-benar memiliki kepandaian dan te-
naga dalam yang tangguh. Padahal aku tadi telah
mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang
kumiliki. Kalau aku tidak cepat-cepat mempergu-
nakan akal untuk melumpuhkannya, cepat atau
lambat, jangan-jangan aku sendiri yang akan di
jatuhkannya." gumam si Gadis Bertopeng. Berpi-
kir sampai sejauh itu, perempuan ini kemudian
melepaskan selendang yang melilit di pinggang-
nya. Dengan bantuan senjata ini, jurus demi ju-
rus si Gadis Bertopeng nampak mulai menguasai
keadaan.
Sekali dua selendang di tangan kirinya me-
lecut ke arah bagian kaki, perut, dada serta ba-
gian kepala lawannya. Saat mana selendang di
tangannya berhasil dihalau oleh lawan, pada saat
itu pedang tipis di tangan kanannya meluncur de-
ras menusuk kebagian perut Ki Luwuh. Tentu sa-
ja laki-laki setengah baya ini semakin lama sema-
kin keteter. Sangat jarang sekali dia mampu
membalas serangan-serangan gencar lawannya,
selain bertahan dan menghindari setiap serangan
yang datang.
"Manusia yang berjuluk Tiga Hantu Lem-
bah Neraka, kulihat cuma kau seorang saja yang
menghadapi aku, ahk... cepatlah kau panggil ka-
wanmu! Andai tidak dalam waktu sekejap lagi
engkau benar-benar sendirian berangkat ke nera-
ka...!" teriak si Gadis Bertopeng.
"Jangan banyak bacot! Aku akan mengadu
jiwa denganmu...!" geram Ki Luwuh.
Akhirnya tanpa menghiraukan keselama-
tan dirinya lagi. Orang inipun menerjang si Gadis
Bertopeng dengan sabetkan senjatanya dan han-
tamkan satu pukulan di bagian dada lawannya.
"Wuees...!"
"Eiiit...!"
Sabetan senjata berhasil dielakkan dengan
manis oleh si Gadis Bertopeng. Namun pukulan
ganas yang mengarah pada bagian dada tidak da-
pat dihindarkan lagi.
"Deeeess...!"
"Gusraaak...!"
Tubuh si gadis tersungkur mencium tanah.
Perempuan itu merasakan dadanya terasa me-
nyesak dan sulit untuk bernafas, tetapi bukan itu
sesungguhnya yang membuat wajahnya menjadi
merah padam. Dia menjadi sangat marah karena
salah satu bukit kembarnya kena dipukul oleh
lawan
SEMBILAN
Baginya hal itu merupakan satu penghi-
naan yang sangat sulit untuk diampuni. Laki-laki
berpakaian kuning walau dengan cara bagaima-
napun harus dibunuh. Hanya itulah yang ada di
dalam hatinya. Sementara yang menjadi lawannya
nampak tergelak-gelak.
"Ha...ha...ha...! Ternyata kau bukan nenek-
nenek! Aku yakin kau masih perawan tulen...!"
kemarilah bocah manis, lebih baik kita bermesra-
mesraan saja. Tak perlu saling bunuh dan saling
menyakiti! Tahukah kau sorga dunia itu indah
sekali...!" kata Ki Luwuh, menggoda. Semakin
berkobarlah amarah di hati.
"Keparaat! Tua bangka tak tahu adat, kau
benar-benar akan menyesal...!"
"Hihh...!"
Dalam puncak kemarahannya, gadis berto-
peng ini seolah telah berubah menjadi seorang
dewi pembunuh yang menakutkan. Tenaganya
berlipat ganda, sedangkan setiap serangannya
mengandung hawa membunuh yang tiada terpe-
rikan. Sekali lagi, Ki Luwuh kerepotan sete-ngah
tiada berdaya membendung laju serangan lawan-
nya yang semakin menggila. Begitupun dia masih
tetap berusaha menghindari serangan si Gadis
Bertopeng. "Huh..!"
Perempuan itu lecutkan selendang maut-
nya. Serangan kilat itu masih dapat di tangkis
oleh lawannya. Namun tidak demikian halnya
dengan tusukan pedang yang datang menyusul.
"Jroooss...!''
Pedang tipis yang dapat berubah kaku lak-
sana plat baja itu menembus bagian perut Ki Lu-
wuh sampai ke bagian punggung. Tidak sampai di
situ saja, dengan cepat si Gadis Bertopeng cepat-
cepat mencabut pedang yang menancap di bagian
perut lawannya. Selanjutnya pedang yang berlu-
muran darah itu diayunkannya ke arah bagian
leher lawannya.
"Craaak...!"
Kepala Ki Luwuh jatuh menggelinding di
atas tanah berumput hijau. Darah menyembur
dari bekas tebasan senjata milik si Gadis Berto-
peng. Tak dapat di cegah lagi tubuh yang sudah
tiada berkepala itupun ambruk dengan menim-
bulkan suara berdebum.
"Ah... mengapa sekarang aku menjadi ma-
nusia sekeji ini? Biarlah. Tokh mereka merupa-
kan biang penyakit yang dapat menimbulkan ke-
sulitan kelak di kemudian hari...!" desah gadis
itu. Sejenak setelah menyarungkan senjata pada
tempatnya, Gadis Bertopeng mengitarkan pan-
dangan matanya ke sekelilingnya.
"Hemm. Mungkin di sanalah gua tempat
bersembunyinya pimpinan Tiga Hantu Lembah
Neraka. Aku harus mencari tahu apa yang di per-
buat oleh dedengkot Tiga Hantu Lembah Neraka
di tempat itu." batin perempuan itu. Saat-saat se-
lanjutnya sambil menghindari jebakan-jebakan
yang ada si Gadis Bertopeng inipun melangkah-
kan kakinya mendekati gua yang dia perkirakan
sebagai tempat bersembunyinya pentolan peng-
huni Lembah Neraka.
Tak sampai sepemakan sirih, gadis itupun
telah sampai di mulut gua. Suasana di luar mau-
pun di dalam gua itu teras sepi dan lengang. Si
Gadis Bertopeng menunggu beberapa saat la-
manya. Tiada tanda-tanda sesuatu apapun yang
mencurigakan. Namun dia tetap mengintip situasi
di dalam gua. Seisi ruangan gua nampak terang
benderang. Namun dia tak melihat siapapun di
dalam ruangan gua yang berhawa lembab.
"Mungkin pentolan Tiga Hantu Lembah Ne-
raka berada di ruangan lain di dalam gua ini. Ada
baiknya aku mulai meneliti keadaan di dalam sa-
na...!" batin si Gadis Bertopeng. Lalu dengan cara
merangkak diapun mulai menelusuri lorong gua
yang sangat panjang ini. Ketika sampai di tengah-
tengah ruangan, si Gadis Bertopeng masih belum
melihat adanya tanda-tanda orang lain berada di
tempat itu. Gadis ini lalu merangkak lebih jauh
lagi ke dalam. Barulah di ujung lorong, dia meli-
hat sesosok tubuh tergeletak diatas sebongkah
batu. Melihat keadaan dan pakaian yang dikena-
kannya, si Gadis Bertopeng dapat memastikan la-
ki-laki berpakaian kuning itu pastilah dedengkot
Tiga Hantu Lembah Neraka. Tetapi mengapa laki-
laki itu dalam keadaan terkapar seolah tanpa
nyawa itulah yang tidak dimengerti olehnya. Me-
rasa penasaran si Gadis Bertopeng segera mendekati tokoh sesaat yang tergeletak di atas batu.
Ketika sampai di dekat tubuh si laki-laki
berpakaian kuning, memucatlah wajahnya demi
melihat tubuh yang dalam keadaan terkapar itu
sudah tiada bernyawa lagi. "Apa yang membuat
laki-laki ini binasa, secara pasti aku belum me-
ngetahuinya. Tapi, eee...Geluk Emas yang ter-
campak di bawah batu itu mengeluarkan uap
berwarna putih...! Pastilah benda itu mengan-
dung racun yang sangat ganas. Heh persetan
dengan mayat orang ini, aku harus cepat-cepat
menyelamatkan benda ini dan menyerahkannya
pada yang berhak...!" kata si Gadis Bertopeng.
Beberapa saat kemudian setelah menutup per-
napasannya. Maka si Gadis Bertopeng yang telah
begitu mengenal berbagai benda beracun dari gu-
runya. Segera pula mengambil benda itu, lalu
membungkusnya dengan selembar kain yang ter-
geletak di depan mayat tokoh Tiga Hantu Lembah
Neraka.
"Geluk Emas ini benar-benar sangat ber-
bahaya bagi setiap orang yang tidak tahu banyak
tentang seluk beluk berbagai macam racun." Ak-
hirnya dengan membawa Geluk Emas dalam
bungkusan yang telah diaturnya sedemikian ru-
pa, maka si Gadis Bertopeng segera keluar me-
ninggalkan gua yang berhawa lembab. Secara per-
lahan namun cukup pasti gadis ini mulai menuju
jalan yang di telusurinya tadi.
****
Menelusuri jalan setapak, Buang Sengketa
maupun Nyai Pamekasan sama-sama saling diam.
Nampaknya mereka sama-sama tenggelam dalam
pikiran masing-masing. Mungkin mereka menya-
dari, mencari jejak Tiga Hantu Lembah Neraka
ternyata merupakan pekerjaan yang sulit dan ti-
dak setiap orang bersedia menunjukkan tempat
kediaman tiga tokoh misterius tersebut. Dalam
udara kemarau yang membuat tubuh serasa ba-
gai di bakar itu, secara mendadak, pendekar dari
Negeri Bunian ini berkata pada Nyai Pamekasan
tanpa menoleh sedikitpun juga.
"Sahabat tua! Sampai kapan kita saling
membisu dan menelusuri jalan yang tiada beru-
jung ini...!"
"Apakah kau sudah merasa bosan berjalan
dengan seorang nenek sepertiku?" tiada terduga,
Nyai Pamekasan balik bertanya. Mendapat perta-
nyaan seperti itu, si pemuda membuang pandan-
gan matanya ke arah lain.
"Coba kau jawab pertanyaanku, sahabat
muda...!"
Tiba-tiba si pemuda tergelak-gelak, lalu ga-
ruk-garuk kepalanya yang tiada bertopi.
"Engkau terlalu berperasangka yang bu-
kan-bukan, kawan...! Yang menjadi beban piki-
ranku saat ini bukanlah tentang seorang nenek-
nenek berjalan denganku, aku tak perduli dengan
semua itu. Asalkan engkau tidak minta gendong
denganku, itu saja telah membuatku lega. Tapi
yang kupikirkan selama beberapa hari ini adalah
tentang geluk milikmu yang telah dilarikan oleh
Tiga Hantu Lembah Neraka...!"
"Huh, mengapa harus pusing memikirkan
segala persoalan yang belum kita ketahui ujung-
nya. Yang terpenting pencarian itu harus kita la-
kukan terus, sampai kita mendapatkannya kem-
bali...!"
"Mencari sesuatu yang tidak mempunyai
tujuan yang pasti, lama-lama kita bisa semakin
tua dalam perjalanan...!" dengus Buang Sengketa
merasa kesal melihat ulah Nyai Pamekasan yang
tidak pernah bersungguh-sungguh dalam setiap
kali diajak berbicara.
"Kurang asem! Kau malah menyindirku...!"
"Menyindir apa...?" tanya Buang Sengketa
tiada mengerti.
"Aku memang sudah tua bangka, tapi tidak
nantinya aku merengek minta kau gendong. Pula
cepat atau lambat Geluk Emas pasti segera kem-
bali pada yang berhak, yaitu aku. Ya... aku-lah
pemiliknya yang sah, bukan kau...!" cibir Nyai
Pamekasan salah terima.
"Kau pikir aku mau mengangkangi milik
orang lain, seandainya kau berikan geluk itu pa-
daku. Akupun pasti tak mau menerimanya...!"
"Akupun tak akan memberikannya pada-
mu! Kau bisa berbuat apa...?"
"Bicara sama orang sinting, memang tak
pernah menyenangkan. Mungkinkah karena ke-
matian murid tunggalnya itu, sekarang dia beru-
bah? Padahal waktu aku berjumpa dengannya
pada beberapa purnama yang lalu, sikapnya tak
seburuk ini. Mungkin malah lebih baik lagi kalau
aku tak bicara apa-apa padanya...!" lagi-lagi pe-
muda itu membatin.
"Hei... mengapa kau secara mendadak
hanya diam saja? Apakah sekarang ini otakmu
sedang mencari jalan untuk mengakaliku...? Ti-
dak bisa... tidak bisa...! Aku mana mungkin dapat
kau akali." cibir Nyai Pamekasan dengan sikap
konyol.
"Sssst...! Diamlah... aku merasakan seperti
ada orang lain yang terus menguntit kita...!" kata
si pemuda begitu lirih.
Nyai Pamekasan sebaliknya malah terge-
lak-gelak. Tubuhnya yang kurus kerempeng itu
bahkan sampai terguncang-guncang. Beberapa
saat setelah hentikan tawanya.
"Kau pikir hanya engkau saja yang tahu,
bahwa kita sejak tadi di kuntit oleh sepasang ti-
kus geblek. Cuma aku memang sengaja diam sa-
ja, agar mereka tahu apa yang kita bicarakan...!"
kata perempuan berusia lanjut ini dengan suara
sengaja dikeraskan.
"Sekarang mereka telah mendengar semua-
nya! Lebih baik kita tangkap mereka, siapa tahu
tikus-tikus yang bersembunyi itu termasuk orang
yang kita curigai." Kata si pemuda. Lalu dengan
mempergunakan pukulan Empat Anasir Kehidu-
pan. Pemuda ini hantamkan tangannya ke arah
semak-semak. Tak ayal lagi serangkum gelom-
bang Sinar Ultra Violet menderu ke arah sasaran
nya.
"Breeees...! Gusraaak..,!" Sebelum pukulan
jarak jauh itu mencapai sasarannya, maka nam-
pak dua sosok tubuh berlompatan dari tempat
persembunyiannya. Orang itu terdiri dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Yang laki-laki
berusia beberapa tahun lebih muda dari perem-
puan yang ada di sebelahnya. Buang Sengketa
nampaknya memang tidak mengenali siapa
adanya dua orang ini. Tapi tidak begitu nampak-
nya dengan Nyai Pamekasan. Begitu melihat ke-
hadiran orang-orang ini, Nyai Pamekasan lang-
sung berubah sinis.
"Hik...hi,..hi...! Selamat bertemu lagi, mu-
suh yang pernah menjadi pecundangku....!"
"Huh. Kali ini kau kan segera mampus di
tanganku, sobat...! Aku harus membayar kekala-
hanku di masa lalu...?" dengus perempuan ber-
pakaian merah darah yang tak lain dan tak bukan
Sumbadra dan saudara seperguruannya yang
bernama Wicak Sono.
"Kudengar empat orang saudara lima datuk
sesat Bukit Bontang telah tewas di tangan Tiga
Hantu Lembah Neraka karena berebut Geluk
Emas yang sesungguhnya merupakan milikku.
Apakah itu benar, manusia cacingan dari Pulau
Angsa...?" ejek Nyai Pamekasan sengaja me-
manas-manasi lawannya. "Bukan tidak mungkin
kali ini kalian datang lagi hanya ingin mem-
peroleh Geluk Emas yang dilarikan oleh Tiga Han-
tu Lembah Neraka. Aha... memalukan sekali, seo
rang pecundang masih punya muka berhadapan
dengan Nyai Pamekasan...!"
Gusar bukan main hati Wicak Sono mau-
pun Sumbadra, menghadapi tuduhan Nyai Pame-
kasan mereka tak ubahnya bagai dua ekor mo-
nyet yang ditunjuk hidung. Bagaimana tidak! Nyai
Pamekasan tanpa mereka duga telah mengetahui
tujuan mereka yang sesungguhnya Padahal saat
meninggalkan Pulau Angsa mereka berharap su-
paya dapat memperoleh Geluk Emas itu, baru
kemudian mencari Nyai Pamekasan yang pernah
membuatnya menjadi pecundang. Tapi apa boleh
buat, sungguhpun mereka masih belum menda-
patkan Geluk Emas itu. Kini dengan sangat ter-
paksa mereka harus berhadapan dengan musuh
besarnya.
"Kau benar-benar telah menghinaku, tikus
busuk...! Bicaramu setinggi langit. Seolah di du-
nia ini hanya engkau saja yang memiliki kepan-
daian tiada terkalahkan!"
"Kenyataannya dulu kau pernah menjadi
pecundangku, bukan...?" ejek Nyai Pamekasan.
Sejenak dia melirik kearah Buang Sengketa yang
sejak tadi hanya diam saja. Namun setelah itu dia
kembali pada Sumbadra dan Wicak Sono.
SEPULUH
"Kali ini kedatanganmu ke dunia ramai tak
lain pastilah ingin mendapatkan Geluk Emas
yang sesungguhnya bukan milikmu...!" kata Nyi
Pamekasan lebih jauh. Mendapat sindiran secara
terus menerus, membuat Sumbadra maupun Wi-
cak Sono menjadi panas hatinya.
"Keparat! Beberapa tahun yang lalu engkau
memang boleh unjuk gigi di depanku. Tetapi tidak
untuk saat ini. Kau benar-benar harus membayar
hutang lama dulu, Nyai Pamekasan...!" geram
Sumbadra.
"Orang itu bicaranya kacau sahabat tua…!
Mungkin orang sinting sedang mabok berat. Apa-
kah mereka ini merupakan musuh-musuhmu…?"
tanya Buang Sengketa yang sedari tadi hanya di-
am saja.
"Tak salah, cacing betina yang kurus ker-
ing itu memang musuh bebuyutanku, sedangkan
kunyuk satunya, pastilah merupakan kambratnya
si cacing kurus"
Sebentar Buang Sengketa memperhatikan
Sumbadra dan Wicak Sono silih berganti.
"Sebaiknya kita pergi saja, kita tak perlu
melayani orang-orang sinting seperti mereka...!"
ujar si pemuda dengan suara dikeraskan.
"Bocah gembel! Kalau kau takut berurusan
dengan kami, sebaiknya cepat-cepatlah menying-
kir. Nyai Pamekasan punya hutang yang harus di-
lunasinya hari ini juga...!" bentak Sumbadra se-
makin bertambah gusar.
"Oh begitu…! Seberapa banyakkah kawan-
ku mempunyai sangkut paut hutang denganmu?"
"Bangsat! Kawanmu punya hutang den
ganku sebanyak darah yang mengalir di tubuhnya
dan tubuhmu...!"
"Kalau begitu akupun akan membantu me-
lunasi hutang-hutangnya…!" geram Buang Seng-
keta.
"Adik Wicak Sono! Bunuh pemuda itu...!"
perintah Sumbadra. Dia sendiri akhirnya segera
menyerang Nyai Pamekasan dengan jurus-jurus
silat yang baru saja diciptakannya. Tak pelak lagi
pertempuran sengitpun segera terjadi antara dua
musuh bebuyutan yang sama-sama memiliki wa-
tak yang sangat aneh.
Sementara itu, Pendekar Hina Kelana
nampaknya tak memberi hati pada Wicak Sono
yang menyerang dirinya dengan jurus-jurus pe-
dang andalan. Begitu sebat senjata di tangan
sang lawan berkelebat. Mata pedang yang sangat
tajam itu mengincar setiap bagian tubuh si pe-
muda. Dengan mempergunakan jurus Memben-
dung Gelombang Menimba Samudra dan jurus si
Gila Mengamuk. Sejauh itu Buang masih mampu
menghindari setiap sabetan maupun tusukan
senjata di tangan lawannya. Namun nampaknya
semakin lama Wicak Sono semakin meningkatkan
daya serangnya. Dengan tenaga yang sengaja dili-
pat gandakan, lawan berusaha terus mendesak si
pemuda. Begitu banyak variasi jurus pedang yang
dimiliki oleh Wicak Sono. Hingga terkadang mem-
buat lawannya jadi tertipu dalam menghindari da-
tangnya serangan.
"Hiaaat..."
Satu tendangan telak dilakukan oleh Wicak
Sono, tubuh Buang Sengketa melompat setinggi
setengah tombak ke udara. Namun pada saat itu,
pedang di tangan lawannya menderu ke arah ba-
gian pahanya. Dalam keadaan mengambang se-
perti itu sudah dapat diduga pemuda ini menga-
lami kesulitan untuk menghindar lebih jauh lagi.
Akibatnya...
"Creees! Breebet...!"
"Auuughh…!"
Pangkal paha si pemuda mendapat luka
yang cukup dalam akibat sambaran pedang di
tangan lawannya. Begitu dia menjejakkan kakinya
di atas permukaan tanah, tubuhnya langsung
terhuyung-huyung. Darah semakin banyak yang
mengalir dari luka memanjang di bagian kakinya
ini. Tapi lawannya yang sudah merasa mendapat
angin nampaknya tak ingin bertindak setengah-
setengah. Wicak Sono kembali mendesak si pe-
muda dengan tusukan maupun babatan senja-
tanya.
"Hiiiiik...!"
Dalam keadaan terdesak seperti itu, tiba-
tiba Buang Sengketa mengeluarkan lengkingan
ilmu Pemenggal Roh. Tanah tempat mereka ber-
pijak tergetar hebat. Gendang-gendang telinga
seakan-akan terkoyak bahkan mereka yang bera-
da di sekitar tempat itu merasakan dadanya men-
jadi sesak dan nyeri. Andai saja mereka yang ter-
libat dalam pertarungan itu tidak memiliki tenaga
dalam yang kuat. Dapat diduga sejak tadi pastilah
mereka terkapar dengan jiwa melayang. Sung-
guhpun begitu, baik Nyai Pamekasan maupun
Sumbadra dan Wicak Sono nampak terperangah
untuk sesaat lamanya. Sama sekali mereka tiada
menyangka kalau pemuda yang mereka anggap
hanya memiliki ilmu kepandaian biasa-biasa saja
ternyata punya kepandaian yang sulit untuk di-
ukur.
''Sobat! Pedangmu mengandung racun yang
sangat keji sekali. Hah... andai aku tak kebal
dengan berbagai jenis racun, mungkin aku telah
mampus sejak tadi...! Atas kekejian racun pada
senjatamu itu, terimalah ini…!"
Wuuuuus…!
Selarik sinar berwarna merah menyala dan
menimbulkan rebawa panas tiada tertahankan
nampak melesat dari telapak tangan Buang Seng-
keta. Tak salah lagi, saat itu kiranya si pemuda
telah melepaskan pukulan si Hina Kelana Mera-
na. Melibat datangnya pukulan yang begitu cepat,
Wicak Sono nampak terperangah. Tapi dia tak
mungkin menunggu lebih lama lagi. Lalu laki-laki
bertubuh gemuk inipun memutar pedangnya
membentuk pertahanan diri.
Blaaam...!
Terdengar satu dentuman keras saat mana
pukulan yang dilepaskan oleh Buang Sengketa
membentur pertahanan Wicak Sono. Tubuh laki-
laki setengah baya itu terbanting roboh. Sebagian
tubuhnya langsung menghitam akibat sambaran
pukulan yang begitu panas. Tapi sungguh luar
biasa daya tahan lawannya. Sungguhpun dia te-
lah terluka parah akibat benturan pukulan tadi.
Namun cepat-cepat dia bangkit kembali. Dengan
mengeram marah, Wicak Sono langsung mener-
jang.
"Kau benar-benar nekad! Akupun tak akan
segan mengirimmu ke neraka...!" berkata begitu
Buang Sengketa langsung mencabut senjata an-
dalannya. "Nguuuuung...!"
Terdengar suara mendengung bagai auman
harimau terluka saat senjata si pemuda tercabut
dari sarungnya. Udara di sekitar tempat itu men-
dadak berubah menjadi dingin luar biasa. Golok
di tangan si pemuda nampak memancarkan sinar
merah menyala. Terperangahlah mereka yang be-
rada di tempat itu, begitu melihat senjata yang
berada dalam genggaman si pemuda.
"Pendekar Golok Buntung...!" desis Wicak
Sono dengan suara yang hampir-hampir tak ke-
dengaran.
"Adi Wicak Sono, berhati-hatilah kau
menghadapi pemuda itu! Dia lebih berbahaya dari
lawan manapun...!" teriak Sumbadra mempe-
ringati.
"Segala-galanya sudah terlambat, sobat...!
Hiaaaaa...!"
Buang Sengketa langsung babatkan senja-
ta mautnya ke arah Wicak Sono. Sementara dari
sela-sela bibirnya keluar bunyi mendesis bagai
seekor raja piton yang sedang dilanda kemarahan.
Tubuh pemuda itu terus berkelebat lenyap, hanya
terasa sambaran angin yang begitu kencang, me-
nandakan bahwa pemuda itu sedang berusaha
mencari sela yang tepat untuk segera mengakhiri
pertempuran.
"Ciaaat..."
Traaang...!
Begitu senjata Wicak Sono membentur sen-
jata di tangan lawannya, maka senjata itu hancur
berkeping-keping dilanda sambaran golok di tan-
gan Buang Sengketa. Semakin bertambah pucat
wajah laki-laki berusia setengah baya ini, tapi si
pemuda nampaknya tak ingin bertindak tang-
gung-tanggung lagi. Sekali lagi andalannya me-
nyambar ke arah bagian leher lawan.
Nguuung...! Craaas...!
Terdengar bagai suara kerbau disembelih,
saat mana senjata di tangan Buang Sengketa ber-
hasil mencapai sasaran. Darah nampak me-
nyembur dari luka yang menganga. Tubuh Wicak
Sono nampak limbung kemudian ambruk di atas
tanah berdebu. Kejadian itu kiranya tak terlepas
dari perhatian Sumbadra, dia nampak terkejut
sekali melihat kejadian yang begitu cepat. Diluar
sepengetahuannya. Kelengahan yang hanya seke-
jap itu dipergunakan oleh Nyai Pamekasan untuk
menyambitkan tongkatnya. Dengan sekuat tenaga
yang dimilikinya.
"Hihh...!"
Jroooot...!
Tongkat yang berujung runcing itupun
langsung menembus tubuh Sumbadra.
"Keparaaat...! Kau manusia pengecut...!"
maki Sumbadra sambil mendekap perutnya yang
mengalirkan banyak darah.
"Hi...hi...hi...! Mestinya aku bersikap seper-
ti seorang ksatria...! Tapi karena dosa-dosamu
terlalu besar. Maka terlalu sulit bagiku untuk me-
ngampunimu, nih makanlah…!"
Tanpa perasaan Nyai Pamekasan lepaskan
satu pukulan jarak jauh. Serangkum sinar ber-
warna Biru menderu dan langsung menghajar tu-
buh Sumbadra. Perempuan bertubuh kurus itu
terjengkang roboh, berkelojotan sebentar, lalu di-
am untuk selama-lamanya.
"Kau terlalu telengas, sobat tua...!" kata si
pemuda datang menghampiri.
"Kuya! Mengapa kau perdulikan musuh be-
buyutanku, sudah selayaknya dia mati...!"
"Tapi sikapmu...!"
"Kau mau apa pendekar Golok Buntung...!
Hik...hik...hik...! Apakah kau masih ingin mera-
hasiakan tentang siapa dirimu yang sesung-
guhnya...?" bentak Nyai Pamekasan dengan mata
melotot.
"Sama sekali tidak! Aku cuma tidak ingin
mengagul-agulkan nama, cuma itu saja" ujar si
pemuda kaku.
"Baik! Nah sekarang kita harus kemana...?"
Sesaat Buang Sengketa terdiam, tapi begitu
teringat tentang Geluk Emas.
"Kita harus menemukan Geluk Emas itu
secepatnya...!"
"Tapi bagaimana dengan pengintip yang sa-
tunya lagi...!" kata Nyai Pamekasan lalu me-
mandang ke satu arah. Belum lagi sempat Buang
Sengketa berkata apa-apa. Dari kerimbunan se-
mak-semak, muncul sesosok tubuh ramping ber-
topeng biru. Buang Sengketa nampak terkejut
bukan alang kepalang demi melihat kehadiran si
perempuan bertopeng. Entah mengapa tiba-tiba
hatinya bergetar.
"Kau hendak lari ke mana lagi, pendekar
Golok Buntung...?" tanyanya dengan suara berge-
tar.
"Kalian tentu mencari Geluk Emas yang te-
lah banyak menimbulkan banyak korban itu...!"
"Kau lagi...!"
Tanpa menghiraukan ucapan si pemuda, si
gadis bertopeng mengambil buntalan yang berada
di pinggangnya.
"Geluk Emas! Hei... cepat serahkan...!" te-
riak Nyai Pamekasan begitu melihat buntalan be-
sar tergenggam di tangan si gadis bertopeng.
"Susah payah aku mengambilnya dari tan-
gan Tiga Hantu Lembah Neraka, semudah itukah
anda mau memintanya...!" kata si gadis penuh te-
guran.
"Aku tidak perduli, cepat serahkan benda
itu...!" perintah Nyai Pamekasan.
"Kalau anda ingin mengambilnya, nih...!"
dengan mempergunakan sebagian tenaga da-
lamnya, si gadis bertopeng lemparkan bungkusan
di tangannya jauh-jauh.
"Sobat tua! Kejar benda itu jangan sampai
terjatuh ke tangan orang lain...!" kata Buang
Sengketa.
"Si bangsat bertopeng ini benar-benar ingin
mengerjaiku...!" maki Nyai Pamekasan lalu me-
ngejar Geluk Emas yang masih terus melayang
menjauh. Kini yang tinggal di tempat itu hanya
Buang Sengketa dan si gadis bertopeng saja. Me-
reka saling berhadap-hadapan.
"Sekian tahun aku mencari-carimu! Dan
kau seorang pembohong besar...!" kata si gadis
bertopeng dengan suara lirih.
"Siapakah engkau! Aku tak pernah mem-
punyai persoalan denganmu! Cepatlah katakan,
tiada waktu bagiku untuk berlama-lama di si-
ni...!" ujar si pemuda dengan hati berdebar-de-
bar. Dengan sendu dan suara tersendat:
"Aku punya hutang nyawa, budi dan segala
sesuatu yang tak mungkin dapat kubalas. Selama
ini hidupku terlalu menderita, yang ku mau ki-
ranya sudilah engkau membunuhku...!"
"Apakah kau sudah gila...?"
"Aku tak pernah gila, paman Kelana! Eng-
kaulah yang membuatku hampir gila...!" kata si
gadis, lalu terisak-isak.
"Paman Kelana! Hemm. Hanya dia seorang
yang memanggilku begitu selama ini, mung-
kinkah dia...!" batin si pemuda dengan bibir ber-
getar. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu mem-
buka topengnya. Begitu Buang Sengketa melihat
wajah di balik topeng itu, sepasang matanya
membelalak.
"Wanti...!" seru pemuda itu. Selanjutnya
Buang Sengketapun langsung memeluk gadis
yang selama ini selalu membayangi pikirannya.
"Kau masih mengenalku...!" kata si gadis
bertopeng yang tak lain Wanti Sarati adanya.
"Ah…ak...! Aku bahkan tak mampu melu-
pakanmu! Itu sebabnya aku tak pernah datang ke
kediaman Satria Penggali Kubur, gurumu... kare-
na... karena...!"
"Karena apa...?" tanya gadis berwajah can-
tik dan keibuan itu terus mempererat pelukan-
nya.
"Karena aku mengira bahwa kau telah
menjadi milik orang lain..,!"
"Paman pikir aku mampu melupakanmu
begitu saja, tahukah paman selama ini aku sering
merindukan kehadiranmu...!"
"Akupun begitu...!"
"Sayangkah paman kepadaku...!" tanya
Wanti Sarati.
"Rasanya itu tak kujawab...!"
"Paman...!"
Desah si gadis dengan wajah menengadah,
Buang Sengketa tetap diam. Tetapi wajahnya se-
makin lama semakin menunduk, mendekat ke
wajah Wanti Sarati. Cinta terkadang memang tak
bermula. Hanya mereka saja yang dapat merasa-
kan gejolak apa yang sedang terjadi di dalam diri
masing-masing. Beberapa saat bibir merekapun
saling bersentuhan, begitu mesra pendekar dari
Negeri Bunian ini menciumi wajah Wanti Sarati.
Gadis berwajah cantik itupun merintih manja.
Tapi begitu tersadar merekapun sama-sama me-
lepaskan pelukannya.
"Mari kita pergi, kekasih...!" desah si pe-
muda, lalu tersenyum cerah.
Tamat
0 comments:
Posting Komentar