..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE PRAHARA RIMBA BUANGAN

Praha Rimba Buangan


PRAHARA RIMBA BUANGAN

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69

Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Gambar Sampul oleh David

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Prahara Rimba Buangan


SATU


Gelegar petir sambung menyambung, awan hitam 

bergumpal-gumpal dan bergerak cepat menuju langit 

sebelah Barat. Tidak lagi terlihat kemerahan matahari 

senja di ufuk Barat. Suasana keremangan senja telah 

berganti dengan kegelapan kabut pekat. Di langit ke-

lam, kembali suara petir menyambut, alam di sekitar-

nya sekejapan menjadi terang benderang. Namun ke-

mudian adalah kegelapan yang nyata. Sementara ge-

rimis mulai menetes membasahi hutan, bukit maupun 

lembah-lembah di sekitarnya.

Manakala hujan turun menderas, pada saat itu-

lah tampak seorang laki-laki tua berpakaian serba pu-

tih dengan rambut dan kumis putih berjalan gontai 

menelusuri hutan lebat Rimba Buangan. Mempergu-

nakan sebuah tongkat yang selalu menimbulkan bunyi 

gemerincing, kakek berpenampilan serba putih ini te-

rus menyeruak hutan belukar di depannya. Sekali-kali 

tongkat di tangannya dia gerak-gerakkan ke samping 

kanan, kiri dan depan. Seolah ingin memastikan bah-

wa jalan yang akan dilaluinya bukanlah sebuah jurang 

yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan dirinya.

Memang sesungguhnyalah bahwa kakek yang 

berpenampilan serba putih ini merupakan seorang la-

ki-laki tuna netra yang menjadi ketua perkumpulan 

orang-orang cacat di Rimba Buangan, yang banyak di-

kenal oleh kalangan persilatan sebagai si Tanpa Nama 

Tongkat Selaksa Perak. Ilmu Tongkat Selaksa Perak 

sangat ditakuti oleh berbagai kalangan persilatan. Ka-

rena selain terkenal sangat cepat dan ganas, juga 

mempunyai daya tahan yang luar biasa terhadap ben-

turan berbagai senjata tajam dan juga senjata lainnya. 

Kini kakek itu tampak hentikan langkahnya, sepasang


matanya yang tak pernah mampu melihat apapun se-

jak masa kecilnya tampak mengerjap. Kemudian ter-

dengar pula suaranya yang serak namun besar. 

"He... he... he...! Hujan deras, hujan lagi! Mem-

buat tubuhku yang sudah lapuk ini semakin kisut sa-

ja. Berrrrt... dinginnya alah emak...! Tapi aku tak per-

nah melihat rupamu, dingin! Kalau rasamu memang 

ada...!" 

"Glegeeeerrr!"

Terdengar petir menyambar, dan tubuh si Tanpa 

Nama terlonjak sekejap. Matanya yang tiada melihat 

apa-apa itu menengadah ke angkasa kelam.

"Heh... suara makhluk apakah itu, kok bikin ka-

get saja...?" ujarnya tanpa maksud melucu. "Percuma 

saja kalau kupelototkan mataku, tak ada bedanya an-

tara siang dan malam, hanya kegelapan saja yang ada. 

Huh... andai mataku ini dapat melihat, betapa akan 

kutatap wajah bintang dan rembulan, kemudian po-

hon-pohon yang hijau. Lalu...!" Si Kakek Tanpa Nama 

diam sesaat, dia tercenung. Dan sepasang matanya 

yang buta itu mendadak menyipit. Di wajahnya ada 

gurat-gurat kesedihan yang dalam, dan tiada disang-

ka-sangka dua butir air matanya menggelinding jatuh, 

menuruni pipinya yang sudah keriputan. Seumur-

umur belum pernah Kakek Tanpa Nama itu menitik-

kan air mata, apalagi menangis. Tetapi kini, mengapa 

dia berubah secengeng itu?

"Nasibku tak pernah kupikiri! Tetapi nasib mere-

ka hanya aku yang perduli. Aku tak habis mengerti, 

mengapa begitu tega mereka yang punya anak-anak 

membuang begitu saja darah daging mereka sendiri. 

Cacat seolah sebuah aib yang memalukan, apakah 

orang-orang itu tak tahu bahwa cacat bukanlah satu 

pilihan mereka yang lahir. Tak seorangpun manusia di 

dunia ini berkeinginan dilahirkan sebagai orang yang


memiliki cacat tubuh. Seperti aku juga tak ingin memi-

liki mata yang buta. Semprul! Apa yang mereka derita 

kiranya tidak cukup sampai di situ saja. Kini dunia 

luar telah pula melemparkan sebuah fitnahan yang keji 

terhadap kaum cacat yang tinggal di tengah-tengah 

hutan Rimba Buangan. Kaumku yang tersisih mereka 

permalukan, mereka benar-benar keterlaluan sekali. 

Malapetaka tetap malapetaka, begitu juga musibah pe-

nyakit yang terjadi itu bukan salah kaumku...!" desah 

si Tanpa Nama sedih. "Gabruk...!"

Mendadak kakek berpakaian serba putih itu 

menjatuhkan diri dan duduk berlutut. Seluruh pa-

kaiannya telah basah oleh siraman air hujan. Tapi dia 

tiada memperdulikan keadaan dirinya sendiri, apa 

yang ada dalam pikirannya hanyalah tentang nasib 

kaum cacat yang saat ini tinggal di Rimba Belantara 

Buangan. Mereka semua tentu tak mengetahui apa 

yang sesungguhnya sedang terjadi di dunia luar, yang 

saat itu sedang meributkan adanya wabah penyakit 

menular yang sedang menjangkiti sekian banyak pen-

duduk di seantero kadipaten.

Hampir setiap hari mereka yang terse-rang wabah 

penyakit aneh itu menemui ke-matian secara mengeri-

kan. Mula-mula tubuh mereka kejang kemudian diser-

tai muntah yang hanya terdiri darah kental berwarna 

hitam. Tubuh orang yang terserang wabah itu pun be-

robah menghitam pula. Hanya beberapa detik setelah-

nya, orang yang terserang wabah penyakit aneh itu 

pun menemui kematian. Mereka yang menjadi sesepuh 

desa atau pihak lain yang menjadi penanggung jawab 

atas ketenteraman kehidupan masyarakat di sekitar-

nya tentu menjadi panik. Terlebih-lebih hampir setiap 

hari mereka harus membuat dan menguburkan mere-

ka yang tewas dengan jumlah yang tidak sedikit. Mau 

tak mau, puluhan kuburan masal pun mereka gali.


Kakek Tanpa Nama yang selama ini tinggal di tengah-

tengah hutan Rimba Buangan bukan tak berusaha me-

lakukan penyelidikan atas musibah yang diderita oleh 

masyarakat di luar golongannya itu. Namun jika sam-

pai mendapat tuduhan bahwa wabah penyakit itu ber-

sumber dari Rimba Buangan sungguh tak masuk akal 

bahkan merupakan tuduhan yang tidak beralasan sa-

ma sekali.

Apa yang ditakutkan oleh Kakek Tanpa Nama 

adalah bagaimana seandainya sewaktu-waktu mereka 

melakukan serbuan ke Rimba Buangan? Fitnahan 

yang keji itu harus dia cari dari mana sumbernya, dan 

dia sudah bertekad untuk menjelaskan duduk persoa-

lan yang sebenarnya. Tapi mungkinkah mereka mau 

percaya begitu saja? Seperti yang dia ketahui selama 

ini, Rimba Buangan merupakan tempat penampungan 

orang-orang yang memiliki cacat tubuh maupun mere-

ka yang menderita penyakit menahun. Selama ini se-

bagai ketua orang-orang cacat sudah barang tentu cu-

kup mengetahui tentang status orang-orang yang men-

jadi asuhannya. Kalau pun begitu banyak kegiatan 

yang mereka lakukan sudah barang tentu berkisar pa-

da bidang bercocok tanam dan sedikit ilmu silat.

"Sangat tidak beralasan kalau mereka yang telah 

begitu tega mengucilkan kehidupan kami, sekarang 

malah justru menanamkan satu kecurigaan yang tiada 

beralasan seperti yang kudengar. Oh... orang-orangku 

yang malang, aku merasa tak rela andai kalian menga-

lami nasib yang lebih tragis dari penderitaan panjang 

yang kini sedang kalian jalani. Aku merasa bertang-

gung jawab atas keselamatan kalian...!" desahnya. Saat 

mana kakek buta ini merasa tidak ada sesuatu mencu-

rigakan di sekelilingnya, kejab kemudian dia sudah 

bangkit dari duduknya. Namun ketika ia hendak me-

langkahkan kakinya menuju ke perkampungan orang



orang cacat tempat selama dia tinggal. Kakek Tanpa 

Nama ini mendengar suara lolongan panjang bagai 

seekor serigala kelaparan. Kemudian bau busuk me-

nyengat hidungnya, seperti bau bangkai yang sudah 

mengering, bahkan lebih dari itu. Mengandalkan keta-

jaman penciumannya, walau saat itu perutnya terasa 

mual, Kakek Tanpa Nama berusaha mengikuti ke arah 

sumber bau tadi. Berjalan tak lebih sepuluh langkah, 

kakek tuna netra itu hentikan langkahnya. Wajah 

mendongak ke langit. Kemudian bergumam seorang di-

ri. "Hh. Sukur aku berada di daerahku sendiri, bau tak 

enak ini datangnya dari sebelah kananku. Dan aku 

yakin pastilah Utara. Aku tak tahu ada apa di sana, 

kalau kuikuti terus pasti aku akan sampai di sebuah 

jurang, kalau suara lolongan itu bersumber dari bina-

tang mungkin aku mampu mengatasinya. Namun an-

dai suara itu berasal dari manusia dan bermaksud ke-

ji, keadaanku semakin bertambah repot. Hemm, bau 

tak sedap itu tiba-tiba saja hilang begitu saja. Kurasa-

kan angin dari Utara memang tidak berhembus seken-

cang tadi, ee... baiknya aku pulang ke perkampungan 

dan nantinya akan kukabarkan hal ini pada murid-

muridku...!" kata si Kakek Tanpa Nama mengambil sa-

tu kesimpulan. Kakek buta itu kemudian berbalik 

langkah, lalu melanjutkan perjalanannya menuju per-

kampungan orang-orang cacat di tengah-tengah hutan 

itu. Hujan masih deras ketika tubuh kakek berpakaian 

serba putih yang basah itu lenyap di sela-sela kerim-

bunan dedaunan yang lebat.

***

Udara dingin terasa menusuk sampai ke sumsum 

tulang, di seluruh seantero desa Lalang. Mungkin juga 

desa-desa lain yang bersebelahan dengannya. Langit


kelam tiada berbintang. Tidak tampak lagi bulan sabit 

yang senja tadi menampakkan diri. Enggan. Angin laut 

mulai berhembus dari pelan hingga kencang. Suasana 

dingin yang berselimutkan sepi, membuat penduduk 

desa itu sejak sore menutup pintu, mengurung diri di 

dalam rumahnya masing-masing. Sesekali terdengar 

suara rintihan perempuan di sebuah rumah besar di 

tengah-tengah desa itu. Suaranya yang mengerang-

erang terasa membangkitkan rasa kalut dan membuat 

berdiri bulu tengkuk yang mendengarnya. Dari rumah 

yang lain terdengar pula suara erangan seorang laki-

laki, kemudian dari rumah yang berada di pinggiran 

suara yang sama juga terdengar dari mulut seorang 

bocah kecil. Selanjutnya adalah isak tangis yang ter-

sendat tertahan dari keluarga yang merasa diting-

galkan. Suara rintihan yang tak ubahnya saling bersa-

hut-sahutan itu, semakin lama semakin jarang terden-

gar. Agaknya malaekat maut telah merenggutkan jiwa-

jiwa yang menderita itu terbebas dari belenggu keseng-

saraan.

Menjelang tengah malam yang terdengar hanya-

lah suara erangan dari rumah besar yang terletak di 

tengah-tengah desa itu. Semakin lama suara erangan 

itu terdengar semakin lemah, bahkan suara perem-

puan itu nyaris tak terdengar saat mana di luar rumah 

besar tadi terdengar seseorang mengetuk daun pintu. 

Si pengetuk pintu memang tak terlihat bagaimana 

tampangnya, karena 1ampu minyak yang terletak di 

teras rumah tak pernah dinyalakan sejak salah seo-

rang di rumah itu menderita sakit keras mulai sema-

lam.

"Tok...! Tok...! Tok...!"

"Siapa...?" tanya suara dari dalam. Menilik sua-

ranya yang berat dan serak, jelas kalau orang yang 

bertanya itu dalam suasana berduka.


"Kami, Renggas dan Margono... Tuan Adipati...!" 

sahut yang di luar. Orang yang dipanggil sebagai Adi-

pati menarik nafas lega. Kemudian terdengar lagi; 

"Masuklah pintu tak terkunci...!" perintahnya. 

Orang yang mengaku sebagai Renggas dan Margono 

kemudian mendorongkan pintu yang terbuat dari kayu 

cendana itu pelan-pelan. Begitu pintu terkuak lebar, 

tampaklah suasana di dalam rumah yang serba mewah 

dan mahal. Menandakan bahwa pemiliknya termasuk 

orang yang berada dan terpandang di masyarakatnya. 

Kemudian dari ruangan dalam muncul sosok laki-laki 

dan perempuan berusia empat puluhan. Yang laki-

lakinya mengenakan pakaian serba mahal, dengan se-

buah blangkon di kepalanya, dan keris menyelip di ba-

gian pinggangnya.

"Duduk...!" perintahnya berwibawa. Tangan laki-

laki itu menunjuk pada sebuah permadani yang mem-

bentang lebar di ruangan tamu. Dua orang pendatang 

tadi dengan sikap hormat mengikuti apa yang diperin-

tahkan oleh laki-laki empat puluhan yang tiada memi-

liki kumis serta jengggot. Sebelum mereka membuka 

percakapan, laki-laki yang dipanggil Adipati itu meno-

leh sejenak pada istrinya; "Istriku baiknya masuk saja 

ke dalam, tunggui anak kita yang sedang sakit...!" pin-

tanya. Lalu tanpa menghiraukan istrinya yang tampak 

beranjak menuju ke belakang. Sang Adipati kembali 

pada dua orang tamunya, sebagaimana dia meman-

dang pada istrinya tadi, kini laki-laki itu memperhati-

kan wajah sang tamu satu persatu. Kemudian dia me-

narik nafas pendek.

"Bagaimana? Apakah kalian ada membawa ha-

sil...?" ucapnya mengawali pembicaraan. Yang ditanya 

tundukkan wajah sekejap, lalu menggelengkan kepa-

lanya berulang-ulang. Tampak laki-laki berbelangkon 

itu menyimpan rasa kecewa yang dalam atas apa yang



baru saja didengarnya.

"Maafkan kami Tuan Adipati....! Tugas yang tuan 

berikan pada kami tidak dapat kami kerjakan dengan 

baik...!" jawab seorang diantaranya yang bernama 

Ranggas.

"Apa alasanmu...?" tanya sang Adipati dengan 

wajah muram. Sekejapan dua orang utusan itu saling 

pandang sesamanya. Margono membungkuk, lalu:

"Sebenarnya bukan kami tak mampu menyele-

saikan tugas yang tuan berikan. Dan bukan pula tabib 

itu tak mau mengobati puteri tuan...!"

"Lalu...?" potong sang Adipati merasa tak saba-

ran.

"Tabib Canda Muka ketika kami sampai di ru-

mahnya telah tewas dengan sebuah lubang kehitaman 

di bagian dada dan leher-nya...!"

"Apa...?!" Setengah terlonjak tubuh sang Adipati, 

kedua matanya membelalak bagai melihat setan di 

siang bolong.

"Bagaimana itu bisa terjadi...?" tanya Adipati 

Gupta semakin bertambah murung.

"Kami memang sedikit terlambat sampai di ru-

mah kediaman Tabib Canda Muka. Tapi melihat kema-

tian dan tubuh tabib sakti itu, rasanya pembunuhan 

itu belum lama berlangsung...!" kata Margono menarik 

kesimpulan.

"Hemm... sakit putriku sudah demikian parah. 

Aku tak tau apakah nyawanya dapat bertahan sampai 

besok. Tabib Canda Muka, tewas saat-saat aku mem-

butuhkan pertolongannya." desahnya seperti putus ha-

rapan. "Mungkinkah kematian kakek tabib itu ada hu-

bungannya dengan wabah penyakit yang sekarang ini 

sedang melanda seluruh desa...?" tanpa Adipati Gupta 

setengah menyelidik.

"Kita masih belum bisa menarik kesimpulan

sampai sejauh itu, menurut hemat saya. Alangkah le-

bih baik lagi kalau mulai dari sekarang kita melakukan 

penyelidikan terhadap dunia persilatan.

***

DUA



"Sebuah ide yang cukup bagus! Tapi aku juga 

merasa sangat perlu untuk menghubungi tokoh-tokoh 

persilatan golongan putih, untuk membantu usaha ki-

ta dalam menyingkap misteri penyakit yang selama be-

berapa purnama ini telah merenggutkan nyawa ratu-

san korban...!" Baik Margono maupun Ranggas tam-

paknya masih belum mengerti apa maksud kata-kata 

yang diucapkan oleh Adipati Gupta. "Maaf Tuan Adipa-

ti, untuk apa kita harus menghubungi kalangan persi-

latan. Apakah tuan merasa bahwa wabah yang saat ini 

melanda hampir lebih dari tiga puluh desa itu mempu-

nyai sangkut paut dengan kalangan persilatan golon-

gan sesat...!" tanya Margono, sepertinya sudah menge-

tahui apa yang akan dikatakan oleh Adipati Gupta.

"Kemungkinan itu masih dalam dugaan-ku. Aku 

sering mendengar laporan bahwa penyakit terkutuk itu 

akan mewabah pabila beberapa malam sebelumnya 

sosok bayangan mencurigakan bergentayangan di desa 

itu. Begitu pun halnya yang terjadi di daerah kita ini." 

kata sang Adipati, hampir-hampir berbisik.

"Apakah dia berujud sosok manusia, binatang 

atau dalam bentuk benda-benda tertentu...!" 

Adipati Gupta kembali geleng-gelengkan kepa-

lanya. Seperti ada rasa kecut yang saat itu sedang 

membayangi dirinya.

"Masih belum dapat kusimpulkan. Keterangan


yang kudapat masih simpang siur!" ucapnya begitu 

cemas. "Untuk mencari jawabannya, semuanya kuse-

rahkan pada kalian untuk melakukan penyelidikan."

"Lalu kapan kami harus menghubungi tokoh-

tokoh golongan putih...?" tanya Ranggas. Tetapi Adipati 

Gupta tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh 

orang-orangnya. Sebab tak begitu lama kemudian ter-

dengar suara erangan putrinya yang sedang dalam 

keadaan sakit di dalam kamarnya.

"Kalian! Berjaga-jagalah di luar sana! Sepertinya 

penyakit putriku semakin bertambah parah...!"

Ranggas dan Margono setelah menjura hormat, 

lantas melangkah keluar dari ruangan tamu. Begitu 

mereka melangkahkan kaki menuju gardu jaga. Kea-

daan di luar terasa sunyi sepi.

Sementara Adipati Gupta kini sudah berada di 

dalam kamar putrinya. Dilihatnya putri Asih terus me-

rintih-rintih, badan panas menggigil, sementara wajah 

gadis itu tampak pucat dan berkeringat.

"Sudah kau berikan obat, yang tadi, istriku...!" 

tanyanya menoleh sebentar pada istrinya yang sejak 

tadi terus menangisi putri satu-satunya.

"Semuanya hampir tak bersisa...!" jawab sang is-

tri tersendat. "Tapi panasnya tak pernah turun-turun. 

Bahkan semakin menggila...!"

"Aku tak tau apa yang sedang terjadi. Kalau pe-

nyakit itu merupakan kutuk sang Hyang Widi, menga-

pa sampai melanda hampir seluruh desa yang menjadi 

wilayah kekuasaanku. Mengapa desa di luar kekua-

saanku tak pernah terserang penyakit aneh ini...!" 

ucap Adipati Gupta seperti merasa iri.

Dalam keadaan diliputi kegelisahan seperti itu, 

mendadak bertiuplah angin yang sangat kencang. Hor-

den jendela, kayu yang terdapat di dalam ruangan Pu-

tri Asih tampak berkibar-kibar. Adipati Gupta dan istrinya tercekat merasakan keganjilan itu. Suami istri 

saling berpandangan. "Aku merasa ada kekuatan gaib 

yang menyertai hembusan angin ini. Yang pasti seseo-

rang berilmu sangat tinggi berada di sekitar rumahku. 

Tapi mungkinkah Margono dan Ranggas tidak melihat 

seseorang di luar sana? Atau sesuatu yang mencuriga-

kan. Hhh. Kalau orang itu memiliki maksud-maksud 

tak baik, sudah sejak tadi dia pasti sudah mencelaka-

kan kami!" membatin Adipati Gupta. Tapi tanpa dis-

adarinya secara reflek dia sudah menyentuh hulu keris 

yang disengkelitkannya pada bagian pinggangnya.

"Apa apakah, Kakang? Mengapa angin tiba-tiba 

saja bertiup sekeras ini...?!" tanya istrinya yang biasa 

dipanggil dengan nama kecil Puja.

"Psst.. jangan keras-keras bicara! Ada sesuatu 

yang mungkin saja bisa terjadi sewaktu-waktu di ru-

mah kita...!" kata Adipati Gupta sambil memberi isya-

rat dengan mempergunakan jari telunjuknya. Pada ke-

nyataannya apa yang baru saja dikatakan oleh Adipati 

Gupta tampaknya tidaklah berlebihan, justru karena 

beberapa saat kemudian setelah ucapannya itu hem-

busan angin yang menerpa daun jendela semakin ber-

tambah keras. Kemudian disertai dengan terdengarnya 

suara lirih yang disampaikan melalui ilmu mengirim-

kan suara.

"Adipati Gupta! Apakah kau tidak menyadari 

bahwa penyakit putrimu itu semakin bertambah pa-

rah? Aku sendiri merasa usia anakmu itu hanya ting-

gal dua hari lagi. Dan kau harus menyadari bahwa ob-

at yang diberikan oleh istrimu untuk anakmu itu tidak 

ada gunanya sama sekali. Putrimu itu akan segera ma-

ti jika... he... he... he...!" Terdengar suara mengekeh, 

dan semua itu hanya Gupta sendirilah yang tahu ka-

rena di antara dia dan istrinya, hanya dia seorang saja 

yang mengerti tentang dunia persilatan. Sementara itu


tampak sekali wajah Adipati Gupta selain berubah 

memerah juga mulai tampak tegang. Kemudian melalui 

ilmu mengirimkan suara dia pun berkata: 

"Siapakah kau ini, dari mana kau tahu bahwa 

putriku akan segera mati?" tanyanya tanpa mampu 

menutupi rasa kecemasan hatinya. Orang yang bicara 

melalui ilmu mengirimkan suara tadi kembali tertawa 

mengekeh.

"Mengenai siapa aku, itu tidak penting bagimu, 

Gupta! Yang perlu kau pertanyakan bagaimanakah ca-

ranya agar kau dapat memperoleh obat untuk me-

nyembuhkan putrimu!" Adipati Gupta termangu-

mangu demi mendengar apa yang dikatakan oleh si 

pengirim suara. Sejauh itu dia masih belum mengerti 

ada maksud apa di sebalik kata-kata yang terdengar 

bagai memberi petunjuk ini.

"Heh... kau sepertinya memang benar! Tapi apa 

dayaku, aku bukannya tak mau berusaha. Tapi satu-

satunya tabib yang kuanggap dapat menyembuhkan 

penyakit terkutuk itu telah pula tewas entah siapa 

yang telah membunuhnya...!" Berkata Adipati Gupta 

seperti orang yang sedang putus asa.

"Ha... ha... ha...!" Terdengar suara tawa bergelak-

gelak menyeramkan. "Benarkah Tabib Canda Muka te-

lah tewas?" tanyanya seolah pada dirinya sendiri.

"Begitulah menurut kabar yang pernah kuden-

gar!" jawab Adipati Gupta tanpa ragu.

"He... he... he...! Tabib Canda Muka tewas, ba-

gaimana mungkin, atau mungkinkah?"

"Keterangan orang-orangku tak pernah mengan-

dung dusta...!" ucap sang Adipati tampak memerah 

wajahnya.

"Manusia sering tertipu oleh penglihatannya sen-

diri, aku tak pernah yakin tabib sehebat Canda Muka 

dapat tewas semudah itu. Dunia selalu penuh dengan


tipu-tipu, heh! Sekali lagi cobalah cari tau, benarkah 

Tabib Canda Muka telah wafat...?" Pertanyaan yang 

berisi makna-makna yang tiada dimengerti oleh Adipati 

Gupta ini membuat dia tenggelam dalam keragu-

raguan.

"Secara logika aku masih belum mengetahui arti 

dari semua ucapanmu. Tapi apakah putriku masih da-

pat disembuhkan?" Bergetar suara Adipati Gupta keti-

ka mengajukan pertanyaan seperti itu. Angin kencang 

kembali menerpa, mengibarkan horden kain jendela. 

Mengibarkan anak-anak rambut Adipati Gupta yang 

tidak tertutup blangkon. Lalu menyapu wajah sang 

Adipati yang pucat pias karena kurang tidur dan dibe-

bani dengan perasaan kalut.

"He... he... he...! Tergantung keberuntungan yang 

dimiliki oleh putrimu...!" Ringan saja si pengirim suara 

memberi jawaban. Seolah nyawa manusia baginya tia-

da memiliki arti apa-apa di matanya. Sebaliknya Adi-

pati Gupta semakin tercengang begitu mendengar ka-

ta-kata yang sangat menyepelekan ini. Sebagai Adipati 

baru kali ini ada seorang tamu yang tiada terlihat

ujudnya telah begitu berani bicara seenaknya tanpa ta-

ta krama dan peradatan. Selama ini tak seorang pun 

berani bicara sembarangan begitu saja. Apalagi dengan 

kata-kata meremehkan seperti itu. Kecemasan tentang 

keselamatan putrinya, dan rasa penasaran karena ta-

munya tidak mau menunjukkan diri. Membuat sang 

Adipati mulai terbakar kemarahannya.

"Siapakah kau...! Kedatanganmu secara sem-

bunyi-sembunyi seperti ini, jangan-jangan kaulah 

orangnya yang telah menyebarkan wabah penyakit ini 

di seantero desa?" tukas sang Adipati tanpa sungkan-

sungkan lagi. Tiada rasa amarah yang terdengar dari 

jawaban si pengirim suara.

"Manusia sering terlalu curiga terhadap sesamanya. Dan kau pun tak pantas mengetahui siapa aku 

ini adanya. Apakah aku ini manusia sepertimu, apa-

kah ujudku sebagai binatang, atau bahkan sebagai jin, 

itu bukan urusanmu...!"

"Keparat! Selain kau tak mengenal tata krama, 

kiranya kau sosok misterius yang perlu kucurigai...." 

Menggeram Adipati Gupta. Walaupun perbincangan 

mereka tidak dapat didengar oleh istri sang Adipati, 

tapi ketegangan yang terlihat membuat Puja diliputi 

tanda tanya.

"Ada apa, Kakang...?" 

Tak terdengar jawaban, terkecuali erangan terta-

han dari bibir sang Adipati Gupta.

"Heh...! Tiada yang mampu mencegah setiap tin-

dakanmu, Adipati! Sekarang kau berdiri di dalam ke-

kuasaanmu. Tapi ingat, aku bukanlah orang yang bisa 

terpengaruh dengan pangkat manusia mana pun."

"Jangan kau buat aku semakin bertambah pena-

saran. Saat sekarang ini diriku sedang dalam kekalu-

tan. Kalau kau tak mempunyai urusan apa-apa den-

ganku, cepat pergilah...!" perintah Adipati Gupta se-

makin bertambah berang. Sekali lagi angin berhembus 

kencang. Pada saat itulah terdengar kata-kata yang tak 

ubahnya bagai sebuah sajak terdengar:

Aku datang bersama hembusan sang bayu

Rupaku tiada pernah terlihat. 

karena aku berada antara ada dan tiada 

Dalam kegelapan aku melihat apa-apa

yang tiada terlihat, dalam tidur, 

dalam mimpi aku selalu menjaga. 

Tapi aku tiada pernah mengusik 

Tiada pula pernah menyapa, 

Kebenaran ada pada hati yang tulus, 

sedangkan kejujuran hanya ada


dalam nurani yang putih.... 

Kalau jiwa telah dirasuki dengan

ambisi dan nafsu

Manusia lebih jahat dari hanya

sekedar binatang buas

Hitam warnanya, angkara murka

tindakannya,

Maka jangan sesalkan andai kehancuran

yang didapatnya

Aku datang bersama hembusan bayu....

Sekali lagi terdengar suara tawa bergelak-gelak, 

lalu seiring dengan hembusan angin yang sangat ken-

cang, maka si pengirim suara itu pun lenyap begitu sa-

ja. Heran bercampur bingung berbaur menjadi satu. 

Adipati Gupta menyadari kata-kata si pengirim suara 

yang berupa untaian sajak itu berisikan petunjuk yang 

perlu dicari tahu jawabannya. Dia merasa yakin siapa 

pun adanya orang yang telah berkata-kata dengannya 

melalui ilmu menyusupkan suara, pastilah seorang to-

koh golongan putih yang memiliki kesaktian yang san-

gat tinggi. Tapi kalau pun memang benar, mengapa 

orang itu tak mau mengatakan apa yang menjadi pe-

nyebab terjadinya wabah penyakit menular yang telah 

melanda hampir tiga puluh buah desa, dan tentang 

Tabib Canda Muka, benar-benarkah masih hidup 

sampai sekarang ini? "Aku harus menyelidiki tentang 

semua kebenaran yang ada." membatin Adipati Gupta. 

Seraya lalu melirik ke arah putrinya yang masih saja 

terus merintih dengan tubuh menggigil. Sementara is-

trinya sudah tampak tertidur dengan posisi duduk di 

samping pembaringan anaknya.

***


TIGA


Dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan 

dipenuhi dengan liku-liku serta kekerasan itu. Ada sa-

tu hal yang selalu dia ingat! Yaitu tentang semua pe-

san almarhum gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. 

Perjalanan nasib selamanya memang tidak harus ber-

pihak pada seseorang. Tapi jangan salahkan keadaan 

dan menyesali diri, karena semua yang terjadi sudah 

ada yang mengaturnya.

"Kakek Bangkotan Koreng Seribu! Semoga aku te-

tap berjalan pada langkah yang selalu kau restui!" 

menggumam pemuda itu. Tiada mengurangi niatnya 

untuk mencari tahu tempat pertapaan ayahandanya 

Raja Ular Piton Utara yaitu raja diraja dari negeri alam 

gaib (negeri Bunian) pemuda tampan dengan rambut 

dikuncir dengan sebuah periuk berjelaga yang mengge-

lantung di bagian pinggangnya ini terus mengayunkan 

langkah. Sesekali anak-anak rambutnya tampak me-

lambai-lambai ditiup semilir hembusan angin pagi nan 

lembut.

Sementara pakaiannya yang berwarna merah itu 

tampak sudah basah oleh keringat. Hal itu pun tak ju-

ga dia hiraukan. Yang selalu mengganggu pikirannya 

adalah, selama melakukan perjalanan melewati desa-

desa yang masih merupakan wilayah kadipaten Ungga-

ran. Dia selalu melihat iring-iringan penduduk yang 

sedang mengusung beberapa keranda. Dari beberapa 

keterangan yang dia kumpulkan dia mengetahui bah-

wa orang-orang itu tewas karena terserang wabah pe-

nyakit misterius yang telah menewaskan banyak kor-

ban. Namun pabila dia melewati desa di sebelahnya 

dan mendapati kejadian yang serupa, mau tak mau 

dihatinya timbul sebuah tanda tanya.



"Mengapa sekian banyak desa sampai terserang 

bahwa yang sama? Sudah berapa banyak yang me-

ninggal? Lebih celaka lagi hampir setiap mata selalu 

memandangku dengan tatapan sinis dan rasa curiga. 

Jangan-jangan telah terjadi sesuatu di balik semua pe-

ristiwa ini." batin si pemuda.

Tanpa menghiraukan orang-orang di sekeliling-

nya, Pendekar Hina Kelana terus saja melangkah. Ma-

tanya melirik ke kanan dan kiri, mencari-cari sebuah 

warung tempat penjual makanan. Tapi kalau pun ada, 

warung di kanan kiri jalan itu tampak tutup. Barulah 

ketika dia sampai di sudut desa, pemuda ini melihat 

sebuah warung berukuran besar yang sarat pengun-

jung. Tanpa merasa ragu, Buang Sengketa mengayun-

kan langkahnya ke sana. Tiada dia hiraukan beberapa 

pasang mata yang memandang curiga padanya. Den-

gan sikap tenang, si pemuda menghampiri pemilik wa-

rung. Lalu setelah memesan makanan, pemuda ini pun 

segera duduk di sebuah kursi panjang yang terdapat di 

sudut ruangan. Sekejapan dia mengitarkan pandangan 

matanya menyapu ke segenap penjuru ruangan. Meli-

hat cara mereka menatap, tampak bagi pemuda itu ka-

lau kehadirannya tidak disukai oleh orang-orang di da-

lamnya. Tapi Buang tiada memperdulikannya, sebalik-

nya dia langsung menyantap makanan yang telah di-

pesannya begitu pemilik warung menghantarkan ma-

kanan itu.

"Pak tua...!" Terdengar bentakan seseorang me-

manggil pemilik warung itu. Yang dipanggil perlihatkan 

wajah cemas bercampur rasa bersalah. Dengan gugup, 

pemilik warung yang sudah berusia berkisar lima pu-

luh lima tahun ini datang menghampiri orang yang 

memanggilnya.

"Sese... saya tuan...! Apakah makanannya perlu 

ditambah...!" tanya si pemilik warung, gemetaran. Tanpa berkata seorang laki-laki berpakaian hitam putih 

yang tadi memanggil si pemilik warung, langsung me-

nyentakkan ikat kepala yang membungkus kepala pe-

miliknya. Begitu ikat kepala pemilik warung disentak-

kan. Maka terlihatlah kepalanya yang botak plontos. 

Sehingga mengundang tawa mereka yang hadir di wa-

rung itu. Semakin pucat wajah pemilik warung, kemu-

dian sambil menggaruk kepalanya yang tiada ditum-

buhi rambut, laki-laki tua ini berkata dengan penuh 

permohonan: "Maafkan saya tuan. Sungguh saya be-

nar-benar lupa dengan pesan-pesan yang pernah tuan 

berikan pada saya...!"

"Creep...!"

Dengan sekali sambar, maka krah baju si pemilik 

warung telah tergenggam erat di tangan laki-laki ber-

pakaian hitam putih itu. Dengan keras laki-laki berpa-

kaian hitam putih itu menyentakkan tubuh si pemilik 

warung ke atas, hingga membuat kakinya tidak dapat 

dipergunakan untuk menjaga keseimbangan tubuh-

nya. Tubuh laki-laki tua ini bergoyang-goyang bagai 

kentongan yang habis dipukul peronda.

"Sudah kubilang padamu, jangan kau layani ti-

kus-tikus pendatang di warungmu ini. Siapa tahu dia 

merupakan penyebar kuman penyakit...!" geramnya 

dengan kedua mata melotot.

"Berp... ee... maafkanlah saya tuan! Saya berjanji 

untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Percayalah 

tuan...!" Gemetaran suara pelayan itu menandakan 

bahwa dia sedang dilanda rasa takut yang teramat 

sangat. Laki-laki berpakaian hitam putih dengan bebe-

rapa orang kawannya, mendengus. Tanpa diduga-duga 

dicampakkannya tubuh laki-laki itu ke salah sebuah 

bangku yang terletak paling dekat dengan Buang 

Sengketa,

"Gubraaak...!"


Laki-laki itu menjerit saat mana bagian iganya 

menghantam kursi panjang tak begitu jauh darinya. 

Tubuhnya menggeliat-geliat merasakan sakit yang tia-

da tertahankan.

"Bangunlah, Pak tua...!" kata Buang Sengketa. 

Saat itu dia baru saja selesai menyantap pesanannya. 

Dengan dibantu oleh si pemuda, laki-laki pemilik wa-

rung itu sudah terduduk di bangku yang tadi ditempati 

oleh Buang Sengketa. Sekejapan dia memeriksa bagian 

perut hingga ke bagian dada. Pemilik warung itu ke-

mudian menjerit saat mana tangan Buang Sengketa 

meraba tulang rusuknya yang patah. Pemuda itu lalu 

menarik nafas pendek. "Kejam sekali tindakan orang 

itu!" batinnya.

"Bocah tak dikenal! Biarkan pemilik warung yang 

tak tahu adat itu. Satu hukuman memang layak dija-

tuhkan padanya untuk satu kesalahan yang seharus-

nya tidak dia lakukan di depan mata kami!" bentak 

yang lainnya di antara empat orang yang tergabung 

bersama laki-laki itu.

"Apakah kesalahan yang telah dilakukan oleh 

orang tua ini...?" tanyanya. Lalu melangkah dua tindak 

ke depan. Masih tetap berada di tempatnya, orang itu 

menjawab ketus: 

"Apa yang telah dilakukan olehnya? Huh... coba 

kau tanyakan saja pada orangnya...!" Dari nada uca-

pannya, tampak sekali kalau keempat orang itu me-

mang tidak menunjukkan rasa persahabatan. Akan te-

tapi Buang sudah tiada perduli, perlahan-lahan dia 

berpaling pada pemilik warung.

"Apakah kesalahan yang telah pak tua laku-

kan...?" desisnya. Orang tua itu tidak segera menja-

wab. Ada keragu-raguan membayang di wajah yang te-

lah keriput itu. Sesekali dia menoleh pada keempat 

orang yang tadi sempat membuat tulang rusuknya patah.

"Katakan dengan jelas, botak pikun! Asal tahu 

saja, salah jawab berarti kepalamu yang botak itu kami 

pecahkan...!"

"Jangan hiraukan kunyuk-kunyuk itu pak tua! 

Bicaralah dengan jelas, siapa tahu aku dapat memban-

tumu...!" Hampir berbisik suara si pemuda terdengar. 

Sementara lebih dari sepuluh pasang mata tampak 

memusatkan perhatiannya pada Buang Sengketa dan 

pemilik warung.

"Anda bukan orang sini, Tuan muda...!"

"Betul! Aku memang bukan orang sini, tapi men-

gapa...?" selak si pemuda keheranan.

"Tahukah tuan apa yang sedang terjadi di daerah 

kami ini...?" tanya si pemilik warung, sambil menyerin-

gai menahan rasa sakit di bagian dadanya. Buang 

mengangguk pelan. "Sedikit saja yang kuketahui, yaitu 

tentang orang-orang yang tewas itu...!"

"Desa kami terserang semacam wabah penyakit 

misterius. Kami mendapat pesan untuk tidak melayani 

tamu asing di warungku ini...!" Buang manggut-

manggut, lalu katanya: "Oh itu sebabnya maka orang-

orang itu menghukummu...?" tanya Buang Sengketa 

dengan suara sengaja dikeraskan.

"Mereka adalah kaum persilatan golongan putih 

yang sengaja disewa oleh Adipati Gupta untuk mela-

kukan penyelidikan siapa sebenarnya yang bertang-

gung jawab atas wabah yang sedang melanda banyak 

desa...!" kata si pemilik warung dengan suara hampir-

hampir tak terdengar. Mendengar penjelasan yang di-

berikan oleh orang itu, serta merta dia palingkan wa-

jah, dan memandang pada empat orang laki-laki ber-

pakaian hitam putih itu. Namun baru saja mata mere-

ka saling beradu pandang, tiba-tiba salah seorang dari 

empat laki-laki yang bernama Sona Kirana, membentak: "Kalau kau sudah tahu tentang un-dang-

undang yang berlaku di sini, cepat- cepat menyingkir-

lah...!" perintahnya garang.

"Ah, aku bukan seekor kucing kurap, bukan pula 

seorang pengacau. Tak perlu anda mengusirku, kalau 

aku mau pergi tak seorang pun punya hak memberi 

perintah...!" 

"Brengsek! Berani sekali bocah berperiuk ini 

membantah perintah Adipati, Kakang Sona...!"

"Bocah berpakaian gembel ini cukup beralasan 

untuk dicurigai...!" kata Sona Kirana sambil melompat 

dari tempat duduknya.

"Kalau begitu, kita ringkus dia untuk dibawa ke 

hadapan Adipati...!" menyela salah seorang yang ber-

badan gemuk pendek. 

Pendekar Hina Kelana tampak tersenyum-

senyum, lalu sambil bertolak pinggang pemuda ini lan-

tas nyeletuk: "Wuee... enak betul kalian bicara! Aku 

bukan seorang maling. Dan kalian tak punya bukti 

yang kuat untuk mencurigaiku...!"

"Kampret! Kita tak perlu berdebat dengan orang 

ini. Kawan-kawan, ringkus dia...!" perintah Sona Kira-

na. Tiga orang lainnya langsung berloncatan dari tem-

pat duduk masing-masing. Dengan sangat cepat sekali 

keempat tokoh dari Gunung Slamet ini mengurung 

Pendekar Hina Kelana. Sementara itu pemilik warung 

yang sudah tampak ketakutan itu, dengan langkah 

terseok-seok tampak meninggalkan warungnya. Begitu 

pun dengan para pengunjung lainnya.

"Kalian terlalu berburuk sangka pada orang lain, 

Sobat...!" keluh si pemuda, sambil mengelakkan tinju 

Sona Kirana yang mendera ke arah wajahnya.

"Wuuut...!"

Serangan yang dilancarkan oleh Sona Kirana lu-

put, tapi bagian kaki kanannya datang menyambut.


Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalamnya, Buang 

memapaki dengan kepalan tangan kanannya.

"Duuuk...!" 

"Auhh...!"

Sona Kirana terlonjak-lonjak kesakitan. Menge-

tahui salah seorang kawan dapat dicelakakan oleh si 

pemuda berkuncir. Maka tiga orang kawannya segera 

sadar, kalau pemuda itu kiranya memiliki kepandaian 

yang dapat diandalkan. Maka mereka ini akhirnya 

tanpa sungkan-sungkan lagi langsung melakukan 

pengeroyokan dengan jurus-jurus silat tangan kosong 

yang paling ampuh. Sekarang Sona Kirana yang kena 

dihantam oleh Buang pun kembali turun ke gelang-

gang ikut melakukan pengeroyokan.

Tapi Buang Sengketa juga tidak tinggal diam, 

dengan mempergunakan jurus Mem-bendung Gelom-

bang Menimba Samudra, dia papaki setiap serangan 

lawannya dengan kecepatan yang sangat sulit diduga-

duga.

"Heaaat.... Shaaaaa...!"

Mempergunakan jurus 'Badai Topan Utara' 

keempat orang itu tampak mundur dua tindak. Lalu 

tangan mereka terpentang membentuk dua buah cakar 

mirip cakar elang yang sedang bersiap-siap untuk me-

nerkam mangsanya.

"Deb... deb... deb...!" 

Terdengar suara bergemuruh saat tangan-tangan 

yang terpentang itu berkelebat-kelebat mengawali se-

buah serangan. Secara serentak mereka ini bergebrak. 

Pukulan-pukulan mempergunakan jurus tangan ko-

song itu memang dapat dirasakan oleh si pemuda akan 

kecepatannya. Bahkan pemuda itu merasa tak sempat 

untuk menghindarinya. Hanya dengan mengandalkan 

ilmu meringankan tubuh saja, kemudian dia lenting-

kan badannya ke udara. Keempat orang itu terus


memburunya.

"Haiiit...!"

Merasa sangat kewalahan, Buang Sengketa sege-

ra merobah jurus silatnya dengan jurus si Gila Men-

gamuk. Detik itu juga permainan silat si pemuda bero-

bah secara total. Tubuhnya tampak terhuyung-huyung 

ke depan dan ke belakang. Sementara tangan dan ka-

kinya melakukan tendangan dan pukulan yang tiada 

terduga-duga. Sungguh pun pihak lawan mampu di-

buat kelabakan, namun mereka tetap terus merang-

sak. Dengan sangat bernafsu Sona Kirana dan seorang 

yang lainnya hantamkan tangan kanannya mengarah 

ke bagian pelipis, sedangkan lawan yang lain lakukan 

satu tendangan satu jotosan. Buang Sengketa kali ini 

tak ingin bersikap ayal-ayalan. Tiada alasan baginya 

untuk mengelakkan pukulan yang dilakukan oleh la-

wannya. Maka secepatnya dia kerahkan jurus Koreng 

Seribu untuk memapakinya.

"Desss! Creeep... creeep...!"

Satu tangan kanan tampak melekat erat di ba-

gian pelipis Buang Sengketa, sedangkan tangan dan 

kaki Sona Kirana melekat pada bagian perut dan tumit 

si pemuda.

Bukan main terkejut dua orang tokoh dari Gu-

nung Slamet ini, sedapatnya mereka mencoba membe-

baskan diri dari daya tarik yang sangat luar biasa itu, 

namun semakin kuat mereka mengerahkan tenaga da-

lamnya untuk membetot tangan maupun kaki yang 

melekat itu, maka mereka merasakan tenaga mereka 

semakin terkuras habis. Sedangkan dua orang lainnya 

tampaknya merasa sangat penasaran sekali. Tanpa 

berpikir panjang lagi, mereka sudah bersiap-siap un-

tuk hantamkan pukulan jarak dekatnya. Buang Seng-

keta kiranya menyadari akan semua itu. Namun dalam 

keadaan sedemikian rupa mana mungkin dia dapat


menghindarinya, akalnya pun bekerja. Dengan mem-

pergunakan tenaga yang didapatnya dari pihak lawan, 

maka dia lipatgandakan tenaga untuk melindungi se-

luruh tubuhnya.

"Hiaa.... Hiaaa...!"

Begitu lawan hantamkan tangannya ke depan, 

maka tak pelak lagi selarik sinar warna putih meng-

hantam telak tubuh Buang Sengketa. 

"Bleees.... Bleees...!"

Semakin menjadi-jadi rasa kejut di hati lawan 

yang baru saja melepaskan satu pukulan tadi. Terle-

bih-lebih selain pukulan itu terasa bagai menembus 

ruangan hampa, juga mereka merasakan ada kekuatan 

tak terlihat membetot tubuh mereka mendekati si pe-

muda yang tadi diserangnya. 

Sementara mereka terlibat tarik menarik dengan 

pihak lawan. Di jalanan tak jauh dari warung itu, tam-

pak beberapa ekor kuda dengan penunggangnya tam-

pak menuju ke arah warung tersebut. Begitu kuda-

kuda itu berhenti di depan warung tadi, maka tiga 

orang penunggang kuda itu pun berlompatan turun. 

Pabila mereka memandang ke dalam warung. Maka 

terkejutlah hati si penunggang kuda yang tak lain me-

rupakan orang-orang kepercayaan Adipati Gupta yang 

sedang menjalankan tugasnya. Dengan sangat tergesa-

gesa mereka memasuki warung itu. Tampaknya tiga 

orang penunggang kuda itu mengenai cukup baik sia-

pa orang yang berpakaian hitam putih dari Gunung

Slamet ini.

"Hentikan... hentikan pekerjaan yang gila-gilaan 

ini...!" teriak salah seorang di antaranya yang bernama 

Margono. Sontak keempat orang yang sedang berusaha 

membebaskan diri dari pengaruh tarikan pihak Buang 

Sengketa menoleh. Dalam keadaan seperti itu sudah 

barang tentu tenaga yang mereka kerahkan sedikit


berkurang. Dan Buang Sengketa sendiri sudah merasa 

cukup memberi pelajaran pada orang-orang itu. Maka 

dengan sekali menghentakkan tangannya, keempat 

penyerangnya jatuh terduduk dengan tubuh terasa le-

mah lunglai. Setelah memperhatikan orang-orang dari 

Gunung Slamet, maka kini tiga orang penunggang ku-

da itu beralih pada Buang Sengketa.

"Hebat.... Sekali seumur hidup aku menyaksikan 

permainan silat yang luar biasa sepertimu!" Berkata 

Ranggas sambil memperhatikan pemuda berpakaian 

kumuh itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. 

"Maafkan atas penyambutan yang kurang baik oleh 

kawan-kawan kami. Kalau kami boleh tahu siapakah 

anda...?"

"Aku hanya seorang pengelana, bukan perampok 

menjijikkan yang perlu dicurigai!" kata pendekar ketu-

runan Raja Ular Piton Utara. Hilang keramahannya.

"Aha... sudah saya bilang, maafkanlah sobat-

sobat kami itu. Mereka hanya menjalankan perintah 

Adipati Gupta." ujar Margono. Dari sikap mereka, 

Buang dapat menarik satu kesimpulan bahwa kera-

mahan mereka memang tidak dibuat-buat.

"Baik, aku memaafkannya! Dan aku harus pergi 

sekarang...!" kata si pemuda lalu bergegas melangkah 

keluar warung. Namun baru beberapa tindak dia me-

langkahkan kaki, salah seorang dari penunggang kuda 

itu memanggilnya.

"Sobat! Tunggu dulu, kami ingin membicarakan 

sesuatu dengan anda...!"

Tanpa menoleh, pemuda berperiuk itu hentikan 

langkahnya. Lalu: "Cepatlah katakan aku tak memiliki 

banyak waktu untuk melanjutkan perjalanan...!" kata 

si pemuda dingin.

"Sobat! Adipati Gupta saat ini sedang membu-

tuhkan orang-orang persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Bahkan beliau berani membayar berapa 

saja. Asal yang menjadi penyebab terjadinya wabah 

penyakit misterius di seantero pelosok desa dapat dike-

tahui siapa pelakunya...!" ucap salah seorang tangan 

kanan Adipati Gupta sambil mendekati Buang Sengke-

ta. Pemuda keturunan alam gaib itu hanya tersenyum-

senyum saja begitu mendengar penjelasan Ranggas.

***

EMPAT



"Aku bukan jagoan bayaran! Pun tidak memiliki 

kepandaian apa-apa, terkecuali hanya seorang penge-

lana hina. Carilah orang lain yang lebih tepat untuk 

bidang itu, maaf aku harus pergi sekarang juga...!" 

Hanya dengan sekedipan mata, tubuh Pendekar Hina 

Kelana telah lenyap dari pandangan orang-orang yang 

berada di depan warung itu. Kejadian itu membuat 

mereka terperangah, sama sekali mereka tiada me-

nyangka kalau pemuda berpakaian lusuh itu memiliki 

ilmu kepandaian yang sangat tinggi.

"Saudara Ranggas! Kami bilang apa, pemuda itu 

memang pantas untuk dicurigai! Mungkin saja dia ter-

libat dan bertanggung jawab atas wabah misterius 

yang kini melanda seluruh desa...?" sela Sona Kirana 

bersungut-sungut. Ranggas dan Margono sebagai 

orang yang berpengalaman, cepat geleng-gelengkan 

kepala.

"Kita harus punya bukti yang kuat untuk mencu-

rigai seseorang. Sudahlah, alangkah lebih baik kalau 

kita melakukan penyelidikan ke Utara. Adipati membu-

tuhkan laporan sudah berapa banyak penduduk yang 

tewas akibat wabah terkutuk itu...!" selak Margono.


Kemudian tanpa berkata-kata lagi berangkatlah mere-

ka menuju ke arah Utara.

Saat itu Pendekar Hina Kelana yang baru saja 

meninggalkan orang-orang kepercayaan Adipati tam-

pak masih terus berlari-lari. Dengan mempergunakan 

ajian Sepi Angin tubuh pemuda itu tampak melesat 

laksana terbang. Apa yang menjadi tujuannya kini 

adalah berusaha mencari keterangan di rumah kedia-

man sang Adipati. Demikianlah setelah bertanya-tanya 

pada orang yang dijumpainya di jalanan, maka tak 

sampai satu jam kemudian sampailah pemuda ini di 

Desa Lalang. Setelah menghentikan ilmu larinya, pe-

muda itu kemudian melangkah perlahan mendekati 

sebuah bangunan rumah mewah, yang pada bagian 

luarnya dijaga ketat oleh beberapa orang penjaga ber-

tampang angker.

"Berhenti...!" bentak salah seorang penjaga ru-

mah mewah itu yang berada di bagian paling depan.

"Kau orang asing, ada keperluan apakah...!?" tu-

kas orang itu, kemudian beberapa kawannya yang lain 

tampak mendekati, lalu bergabung dengan laki-laki 

pertama berusia sekitar limapuluh tahun.

"Maaf... namaku Buang Sengketa, ingin bertemu 

dengan Adipati Gupta...!" ujar pemuda itu dengan nada 

bersahabat. Orang-orang yang berada di situ tampak 

saling pandang sesamanya. Lalu kembali pada si pe-

muda.

"Ada keperluan apakah...?" tanya si laki-laki yang 

memiliki kumis serta janggut serba putih itu.

"Aku ingin bicara mengenai penyakit putrinya...!" 

jawab Buang Sengketa yang secara kebetulan dia sem-

pat mendengar tentang sakit yang diderita oleh putri 

sang Adipati.

"Kalau begitu baiklah! Mari ikuti aku..." kata laki-

laki tua itu, kemudian tanpa menghiraukan Buang Sengketa laki-laki itu terus melangkah pergi. Sebenar-

nya pemuda itu merasa kurang senang dengan sikap 

orang tua itu. Tapi dia pun tak mungkin bisa protes 

terkecuali mengikuti dari belakangnya. Tak lama ke-

mudian setelah melewati pintu depan, maka akhirnya 

sampailah mereka pada sebuah ruangan yang sangat 

luas dan bertikar permadani tebal. Laki-laki tua tadi 

kemudian masuk ke ruangan dalam, kemudian keluar 

lagi dengan seorang laki-laki berpakaian bangsawan. 

Setelah memperhatikan pemuda itu sejenak, maka 

dengan ramah laki-laki berpakaian bangsawan tadi 

mempersilahkan tamunya duduk di atas tikar perma-

dani.

"Benarkah anda menanyakan tentang penyakit 

putri kami itu, orang muda...?" tanya Adipati Gupta.

"Ya... memang benar...!" jawab si pemuda lugas.

"Apakah anda seorang tabib...?" tanya sang Adi-

pati sambil memandang penuh selidik. Sementara laki-

laki tua yang bernama Karsa, sejak tadi terus menerus 

memperhatikan Buang Sengketa.

"Aku bukan seorang tabib yang mulia Adipati, 

sungguh pun aku bukan seorang ahli obat, tapi meli-

hat penyakit yang diderita oleh banyak orang, sedikit 

banyaknya aku jadi ingin mengetahui sebuah ke-

mungkinan apakah penyakit itu hasil perbuatan usil 

manusia, atau karena azab yang diturunkan oleh Sang 

Hyang Widi...!"

Adipati Gupta tampak angguk-anggukkan kepa-

lanya pelan.

"Hemmm...! Sudah sekian banyak tabib yang be-

rusaha menyembuhkan mereka dan juga penyakit pu-

triku. Tapi tak seorang pun yang mampu memberi ke-

sembuhan pada mereka...!" ucap Adipati Gupta. Dari 

nada suaranya pemuda itu dapat merasakan bahwa 

laki-laki setengah baya itu merasa putus asa.


"Bolehkah aku melihat keadaan putri yang mu-

lia...?" tanya Buang Sengketa dengan sangat hati-hati.

"Bolehkah aku tahu siapa namamu, se-belum 

kau kuberi izin melihat putriku, orang muda...?" ujar 

Adipati Gupta curiga. Sementara Buang Sengketa sen-

diri hanya tersenyum-senyum saja.

"Namaku Buang Sengketa, yang mulia Adipati...!" 

kata si pemuda tanpa punya keinginan untuk menye-

butkan julukan yang dimilikinya di rimba persilatan.

"Buang Sengketa...!" kata Adipati Gupta setengah 

mengeja nama si pemuda yang baginya masih terasa 

begitu asing, "Baiklah, Buang...! Mari aku antarkan 

kau ke sana!" kata Adipati Gupta ramah. Ditemani 

Karsa dan sang Adipati, pendekar itu kemudian me-

masuki sebuah ruangan lain merupakan kamar Putri 

Asih. Buang Sengketa melihat seorang gadis terbaring 

lemah di atas sebuah ranjang yang sangat indah. Wa-

jah gadis itu tampak pucat dan layu, badan kurus se-

kali. Pendekar keturunan alam gaib itu merasa sangat 

iba sekali. Lalu tanpa meminta persetujuan terlebih 

dulu, dia pun mendekat ke arah ranjang si gadis.

Sekejap dia memperhatikan keadaan tubuh si 

gadis, lalu terlihatlah olehnya bercak-bercak merah 

yang timbul di atas seluruh permukaan pori-porinya. 

Tanpa disadarinya, kedua belah matanya membelalak.

"Racun Pembunuh Iblis...?" serunya tertahan.

"Apa yang kau ucapkan, orang muda...!" selak 

Karsa juga tak kalah kagetnya.

"Tak seorang pun manusia di kolong langit ini 

yang bertahan hidup lebih lama setelah racun maut 

itu. Tapi... mengherankan, anak yang mulia bisa ber-

tahan hidup sampai hari ini...!" kata si pemuda itu ke-

heranan. Penasaran sekali Adipati Gupta mendengar 

ucapan yang baru saja disampaikan oleh si pemuda. 

Bahkan dia pun merasa takjub, melihat pengalaman


yang dimiliki oleh orang yang baru saja dikenalnya itu.

"Orang muda, bagaimana kau bisa menarik ke-

simpulan bahwa penyakit yang diderita oleh putriku 

itu bukan merupakan wabah biasa...?" tanyanya dili-

puti rasa keingintahuan.

"Sungguh pun aku bukan seorang tabib, tapi me-

lihat keadaan putri tuan, aku dapat menarik kesimpu-

lan bahwa hanya Racun Pembasmi Iblis saja yang da-

pat meracuni sekian banyak desa. Karena sesungguh-

nya Racun Pembasmi Iblis sudah dapat bekerja dengan 

sendirinya hanya dengan bantuan hembusan angin." 

jelasnya tanpa merasa perlu dicurigai.

"Menurutmu! Siapakah pemilik Racun Pembasmi 

Iblis itu! Dan apa pula yang menjadi tujuannya. Hingga 

orang itu begitu tega menyebarkan maut di mana-

mana?"

"Aku tak berani mengatakan siapa orangnya, se-

tahuku di kolong langit ini hanya seorang tabib golon-

gan sesat yang mampu membuat Racun Pembasmi Ib-

lis itu. Tabib itu bernama Tabib Sapta Rengga yang du-

lu pernah bermukim di Gunung Tengger...!" kata pe-

muda itu.

"Tabib Sapta Rengga...?" desis Adipati Gupta. 

"Baru kali ini aku mendengar adanya tabib sesat se-

perti itu. Menurutmu mungkinkah orang itu masih ada 

sampai saat ini...?"

"Berita terakhir yang kudengar, Tabib Sapta 

Rengga sudah tidak berada lagi di Gunung Tengger, 

ada yang bilang tabib itu hidup mengelana di berbagai 

tempat. Kalaulah memang benar dugaanku ini berarti 

Tabib Sapta Rengga telah melakukan petualangannya 

sampai ke mari... dan bukan tak mungkin seluruh 

penduduk desa akan mengalami celaka dalam waktu 

yang singkat...!" kata Buang Sengketa berpendapat.

"Hemmm, bagaimana dengan putriku...!" tanya


sang Adipati semakin bertambah cemas. Buang Seng-

keta tampak terdiam untuk beberapa saat lamanya. 

Baginya untuk menyembuhkan racun yang mengen-

dap di dalam darah putri Adipati Gupta hanya ada sa-

tu kemungkinan saja. Yaitu dengan jalan menyedotnya 

dengan perantaraan Pusaka Golok Buntung. Hanya ca-

ra itulah yang dapat dipergunakan.

"Bagaimana orang muda! Apakah nyawa putriku 

masih dapat tertolong...?" tanyanya dengan sikap was-

was.

"Kemungkinan dan cara satu-satunya adalah 

dengan jalan menyedot habis racun yang telah men-

gendap di dalam darah putri yang mulia. Andai nasib 

baik, dan kondisi pisik putri tuan memungkinkan, su-

dah jelas dia akan segera sembuh sebagaimana mes-

tinya...." jawab Buang Sengketa panjang lebar.

"Kalau begitu, daripada dia menanggung penderi-

taan yang tiada berkesudahan. Lakukanlah...!"

"Yang mulia gusti...!" Laki-laki pendek dari Gu-

nung Semeru yang sejak tadi hanya diam saja kini ikut 

bicara.

"Ada apa paman...?"

"Cara pengobatan yang akan dilakukan oleh pe-

muda ini, merupakan cara yang sangat berbahaya. 

Kondisi tubuh Putri Asih sudah tidak memungkinkan 

lagi. Bagaimana nanti jika jiwa putri tak tertolong...?" 

ucap Karsa merasa sangat khawatir dan begitu tak ya-

kin dengan apa yang akan dilakukan oleh si pemuda.

"Kurasa tak ada jalan lain lagi, Paman Karsa! Ka-

lau pun jiwa putriku sampai tidak tertolong, setidak-

tidaknya kita telah melakukan sesuatu untuk kesem-

buhannya." jawab Adipati Gupta tanpa ragu-ragu. "La-

kukanlah orang muda...!" perintah sang Adipati, tabah.

***


LIMA


Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar 

Hina Kelana segera menghampiri ranjang Putri Asih. 

Kemudian pemuda itu mencabut Pusaka Golok Bun-

tung yang terselip di bagian pinggangnya. Begitu senja-

ta maut itu tergenggam di tangan si pemuda, terkejut-

lah Adipati Gupta dan Karsa, manakala mereka mera-

sakan udara di sekitar kamar itu secara tiba-tiba men-

jadi dingin luar biasa. Sampai akhirnya mereka pun 

mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat senjata 

di tangan si pemuda memancarkan sinar merah me-

nyala.

"Pusaka Golok Buntung! Jadi kaulah Pendekar 

Hina Kelana dengan Pusaka Golok Buntungnya yang 

sangat menghebohkan itu...?" desis Adipati Gupta dan 

Karsa hampir bersamaan. Selama ini mereka hanya 

mendengar tentang sepak terjang seorang pendekar 

muda yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Hina 

kelana. Siapa sangka secara tak terduga mereka malah 

kedatangan tamu berpakaian kumuh yang ternyata 

pendekar yang sangat kesohor itu. Maka hilanglah ra-

sa curiga di hati Adipati Gupta maupun Karsa tokoh 

persilatan yang disewanya. 

Sementara itu tanpa menjawab, Buang Sengketa 

tampak mulai sibuk dengan tugas-tugasnya. Golok 

Buntung yang sangat tajam itu dia goreskan di tangan 

Putri Asih. Bekas goresan Golok Buntung di bagian te-

lapak tangan gadis itu kini telah pula mengalirkan da-

rah kehitam-hitaman. Tanpa membuang-buang waktu 

lagi pemuda itu langsung menempelkan golok itu ke 

bagian luka tadi. Begitu golok pusaka itu menempel di 

bagian luka si gadis. Maka golok yang memancarkan 

sinar merah itu tampak meredup, bahkan sekejap la


manya berubah pula kehitam-hitaman. Tubuh si pe-

muda kini telah basah oleh keringat, sementara darah 

berwarna kehitaman itu sudah semakin banyak yang 

tersedot oleh golok di tangan si pemuda. Sampai ak-

hirnya warna hitam itu lenyap sama sekali dan Golok 

Buntung itu pun kembali memancarkan sinar merah 

seperti sediakala. Sepemakan sirih mereka menunggu, 

bercak-bercak merah di bagian tubuh Putri Asih pun 

tampak mulai lenyap sama sekali. Melihat perobahan 

itu bukan main gembiranya Adipati Gupta dan istrinya 

Puja, terlebih-lebih saat-saat kemudian terdengar sua-

ra Putri Asih menjelang kesadarannya. Tiada henti-

hentinya mereka memanjatkan sukur kehadirat Sang 

Hyang Widi. Sementara itu Buang dan Karsa sudah 

tampak berada di ruang tengah kembali.

"Atas kesembuhan Putri Asih, kami mengu-

capkan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepa-

damu, hai orang muda! Namun terlepas dari semua 

itu, alangkah baik-nya kalau kita membicarakan ten-

tang tindakan selanjutnya untuk mencari tahu, kebe-

radaan tabib sesat Sapta Rengga." ujar tokoh dari Gu-

nung Tengger itu bersahabat.

"Apakah adipati telah menyebarkan orang-

orangnya...?" tanya Buang Sengketa seolah ingin tahu 

lebih banyak lagi sebagai bahan pertimbangan.

"Tidak begitu banyak! Namun mereka terdiri dari 

tokoh-tokoh persilatan kelas satu."

"Ke mana saja mereka melakukan penye-

lidikan...?"

"Di antaranya ke daerah Bumi Ayu, dan ada juga 

yang ke daerah Rimba Buangan, yang selama ini san-

gat dikenal sebagai tempat pengasingan orang-orang 

cacat dan yang mengidap penyakit menular lainnya...!"

"Hemmm... Rimba Buangan! Sebuah nama yang 

cukup menarik!" gumam pemuda itu. Sejenak nampak


tercengang.

"Paman! Tolong sampaikan salamku. Saat ini ju-

ga aku harus pergi untuk mencari tahu tentang Tabib 

Sapta Rengga." kata Buang Sengketa, walau bagaima-

na pun dia sudah mengambil satu keputusan bahwa 

dirinya tidak ingin dijadikan sebagai orang upahan 

oleh Adipati Gupta.

"Hei... tunggu dulu orang muda! Adipati belum 

memberimu satu hadiah apa pun!" ujar Karsa berusa-

ha mencegah kepergian Buang Sengketa.

"Kalau pun adipati yang sangat baik itu membe-

riku hadiah, ambillah untukmu, Paman Karsa! Aku tak 

membutuhkannya...!" Samar-samar pendekar keturu-

nan raja alam gaib itu menyahuti dari kejauhan. Laki-

laki setengah baya dari Gunung Semeru itu geleng-

gelengkan kepalanya. Sementara itu Adipati Gupta te-

lah pula sampai di ruangan tamu, namun jadi tertegun 

ketika dia tidak melihat lagi si pemuda berada di ruan-

gan itu.

"Paman Karsa! Ke mana perginya pendekar pen-

gelana itu?"

"Dia baru saja pergi, yang mulia! Padahal saya te-

lah melarangnya."

"Tidak paman tanya, ke mana perginya...?" tanya 

Adipati Gupta merasa tak enak. Laki-laki dari Gunung 

Semeru itu tampak geleng-gelengkan kepalanya. Lalu: 

"Aku belum sempat mengucapkan rasa terima kasihku 

padanya. Pula aku butuh bantuannya untuk mencari 

tahu tentang tabib yang disebutkannya tadi." ucapnya 

menyesalkan.

"Mungkin kepergiannya semata-mata hanya un-

tuk mencari manusia penyebar malapetaka di seluruh 

pelosok desa kita. Tapi begitu pun ada baiknya kita 

ikut ambil bagian untuk mencari Tabib Sapta Rengga...!"



"Saya pun berharap yang mulia adipati mengam-

bil tindakan seperti itu...!" kata Karsa.

Selanjutnya mulai saat itu Adipati Gupta dan be-

berapa orang sewaannya mulai mempersiapkan segala 

sesuatunya untuk memulai perjalanannya.

***

Rimba Buangan hampir sepanjang hari berseli-

mut kabut. Sangat jarang sekali orang yang berlalu la-

lang di sana. Apalagi daerah itu banyak dikenal orang 

sebagai tempat pembuangan bagi orang- orang cacat. 

Tak seorang pun penduduk dari kadipaten maupun 

desa-desa lainnya yang mau datang ke tempat itu. Bagi 

mereka mungkin keberadaan orang-orang cacat itu tak 

ubahnya sebagai makhluk yang sangat menjijikkan 

dan perlu untuk dijauhi. Saat itu di bagian sebelah 

Utara tidak begitu jauh dari tempat bermukimnya para 

orang-orang cacat. Tampak mengendap-endap bebera-

pa sosok tubuh berpakaian aneka warna. Dari gelagat 

yang terlihat tampak jelas kalau mereka sedang mela-

kukan pengintaian terhadap perkampungan orang-

orang cacat.

Sementara itu dari sebuah bukit yang tersem-

bunyi di bagian Timur Rimba Buangan, tampak seo-

rang laki-laki berpakaian pendeta juga sedang menga-

wasi ke arah perkampungan itu. Laki-laki berpakaian 

ungu dengan sebuah tasbih di tangannya ini berusia 

sekitar tujuh puluh tahun. Pada bagian wajahnya yang 

tiada ditumbuhi oleh jenggot dan kumis tampak rusak 

di sana sini. Sehingga menimbulkan kesan menyeram-

kan bagi orang yang melihatnya. Sesekali sepasang 

matanya yang berwarna merah itu tampak meman-

dang lurus ke arah lereng di bawahnya. Namun di lain 

saat mata yang cekung ke dalam dan membentuk sebuah rongga itu kembali terpejam. Kemudian terlihat 

pula sesungging senyum pias di bibirnya yang seten-

gah sumbing. Lalu tanpa terduga-duga, laki-laki ber-

pakaian ungu itu seperti mendesah. Namun menghe-

rankan karena justru suara yang terdengar tak ubah-

nya bagai suara lolongan serigala hutan. Dan pabila 

angin berhembus kencang, maka menebarlah bau 

bangkai di sekitar tempat itu. Selanjutnya manakala 

angin kencang berhembus ke arah lereng bukit yang 

selama ini merupakan pemukiman orang-orang cacat. 

Maka seluruh penghuni perkampungan orang-orang 

cacat jadi terbatuk-batuk. Kemudian beberapa orang di 

antaranya langsung menggelupur roboh sambil meme-

gangi dadanya yang terasa sakit.

Kejadian itu sudah hampir satu purnama ber-

langsung, dan sering terulang pabila bau bangkai yang 

mengandung racun itu telah menebar ke arah bagian 

bawah bukit, maka beberapa orang penghuni perkam-

pungan itu langsung menemui ajal secara menyedih-

kan. Kejadian demi kejadian yang terjadi sudah barang 

tentu membuat kepala dusunnya yang bernama Kakek 

Buta Tanpa Nama menjadi pusing dibuatnya. Seingat-

nya selama puluhan tahun mereka menetap di situ, 

kejadian ganjil seperti yang sedang terjadi saat seka-

rang sangat jarang terjadi, bahkan boleh dikata tak 

pernah ada. Tapi mengapa penyakit misterius itu tiba-

tiba menyerang mereka, padahal mereka sangat jauh 

dalam keterasingan. Di lain pihak dia pun merasa san-

gat terpukul dengan adanya berita dari kalangan luar. 

Bahwa malapetaka yang terjadi di daerah-daerah juga 

bersumber dari mereka. Ini sangat keterlaluan sekali, 

padahal selama ini sungguh pun mereka merasa diku-

cilkan dari kehidupan ramai, namun mereka merasa 

tidak pernah membuat ulah maupun semacam pelam-

piasan dendam kepada orang-orang yang berada di


dunia ramai.

Sementara itu di atas bukit, laki-laki berpakaian 

ungu itu masih tampak tersenyum-senyum seorang di-

ri. Bahkan senyumannya kini telah berubah menjadi 

sebuah seringai puas.

"Auuuunngg...!" Lolongnya lirih. "Kaing.., kaing...! 

Biarkan saja orang-orang cacat itu pada mampus se-

mua. Racun Pembasmi Iblis hasil ciptaanku memang 

terlalu ampuh. Bahkan puluhan kampung telah ber-

hasil kuracuni, putrinya Adipati Gupta juga! He... he... 

he...! Salah siapa? Dulu dia begitu berambisi menjadi 

adipati. Kalau tidak karena bantuanku, mana mungkin 

sekarang dia bisa hidup enak dan dihormati oleh orang 

banyak. Dia kira siapa Tabib Canda Muka itu? Per-

nahkah dia berpikir jika tanpa bantuanku dia dapat 

menggantikan Adipati Tambak Yoso yang telah tewas 

karena Racun Pembasmi Iblis milikku. Tapi di dunia 

ini terlalu jarang orang yang mampu membalas guna. 

Sekarang biarkan saja Adipati Gupta mumet memikir-

kan siapa yang menjadi penyebab maut atas desa-desa 

yang menjadi kekuasaannya. Hek... hek... hek...!" Se-

kejap dia memperhatikan ke arah lereng bukit. Di sana 

memang terlihat sedang terjadi kekacauan. Kemudian 

kembali terdengar suara lolongannya, sayup-sayup.

"Auuung... kaing... kaing...! Bagus... saling mam-

pusin saja, biar orang-orang segolongan jadi cerai be-

rai...!" dengusnya sinis.

Saat itu di lereng bukit memang sedang terjadi 

kekacauan. Beberapa orang pengintai yang sejak pagi 

mengawasi daerah perkampungan orang-orang cacat 

itu kini sudah turun menyerbu, dan mulai membantai 

orang-orang cacat yang hanya memiliki sedikit kepan-

daian. Raungan maut pun mulai membahana meme-

nuhi seluruh lereng, hingga sampai ke atas bukit tem-

pat di mana Sapta Rengga berada. Bumi perkampun


gan orang-orang cacat mulai basah bersimbah darah. 

Tapi para penyerang yang sudah diliputi api amarah 

itu tampaknya sudah tiada memiliki rasa kasihan lagi. 

Orang-orang cacat yang tiada memiliki kepandaian 

tinggi itu dalam waktu se-kejap saja menjadi kocar-

kacir dalam mem-pertahankan diri.

Sementara itu dari dalam sebuah pondok yang 

berukuran sangat besar, tampak seorang kakek tua 

berkelebat memasuki arena pertempuran. Tanpa me-

nunggu waktu lebih lama lagi, tongkat di tangannya 

pun segera berkelebat.

"Traang.... Traaang... Traaang...!" Terdengar ben-

turan keras antara senjata si kakek dengan senjata 

yang telah dipergunakan oleh pihak penyerang untuk 

membunuhi orang-orang cacat itu. Tampak tergetar 

tubuh para penyerang tadi begitu senjata pedang me-

reka membentur tongkat di tangan kakek buta.

"Tua keparat! Siapakah engkau ini...!" tanya sa-

lah seorang di antara mereka sambil bersurut langkah. 

Pemimpin perkampungan orang-orang cacat itu men-

dengus, lalu silangkan tongkatnya ke depan dada.

"Aku Tua Bangka Tanpa Nama yang me-mimpin 

perkampungan orang-orang cacat!" kata laki-laki buta 

itu, dan wajahnya mendadak berubah merah padam 

saat dia mendengar jeritan salah seorang masyarakat-

nya.

"Hentikan kawan-kawan kalian itu!" sentak kakek 

buta. "Kalau pun kalian memang ingin memusnahkan 

kami, setidak-tidaknya sebelum menutup mata kami 

harus mengetahui persoalan yang sebenarnya...!" ben-

tak Kakek Buta Tanpa Nama. Si penyerang meman-

dang sejenak pada kawan-kawannya, seolah ingin min-

ta sebuah persetujuan.

"Kawan-kawan, berhenti dulu...!" perintah yang 

jadi pemimpin pada kawan-kawannya. Kemudian


orang itu menyambung: "Orang-orang cacat tiada guna 

ini ingin tahu apa sebabnya kita membantai mereka...!"

"Kakang Suroso, menunda pembunuhan itu sa-

ma saja artinya kalau kita menunda kematian mere-

ka...!" cela salah seorang berbadan kecil kurus merasa 

kurang begitu senang dengan keputusan pemimpin-

nya.

"Sabar, Adik Bungkring! Tak ada salahnya kita 

meluluskan permintaan orang yang hendak mam-

pus...!"

"Sekarang cepat kau tanyakan apa saja yang in-

gin kau ketahui, tua buta..?" sentak Suroso sembari 

menimang-nimang toyanya.

"Aku ingin tahu, mengapa tiba-tiba saja kalian 

datang langsung membunuhi orang-orang yang tiada 

berdosa?"

"Heh... apa katamu! Kalian bukan orang-orang 

yang bersalah? Pernahkah kalian dengar tentang ke-

matian beratus-ratus warga dari tiga puluh desa kare-

na terserang wabah terkutuk itu...?" sentak Suroso.

"Siapakah kalian ini...?" tanya si Kakek Buta 

Tanpa Nama dengan mata berkeriapan. Lagi-lagi laki-

laki yang bernama Suroso itu mendengus.

"Siapa kami! Cukup kau tahu bahwa kami ini 

merupakan utusan Adipati Gupta. Ditugaskan untuk 

mencari biang penyakit yang melanda hampir seluruh 

pelosok desa." kata laki-laki itu sembari menyungging-

kan senyum sinis.

"Lalu kalian menuduh kami sebagai bapak 

moyangnya penyebar wabah terkutuk itu? Huh tidak 

tahukah kalian bahwa orang-orangku sendiri hampir 

setiap hari kedapatan tewas dengan sebab-sebab yang 

tak jelas...!" kata Kakek Buta Tanpa Nama balas mem-

bentak.

***

ENAM


"Wue... pandai sekali kau berkilah kakek buta! 

Padahal menurut penyelidikan kami. Dari Rimba 

Buangan sinilah sumbernya dari segala macam penya-

kit yang telah merenggut banyak korban itu...!"

"Bohong! Semua itu hanya fitnah! Kami selama 

hidup berpuluh-puluh tahun di sini selamanya tak 

pernah mengganggu urusan dunia luar! Apalagi sam-

pai menyebarkan segala macam penyakit...!" bentak 

Kakek Buta Tanpa Nama sangat marah sekali.

"Jadi kau tetap membantah, orang tua...!" tanya

Suroso tampak gusar sekali.

"Kalau kami merasa, bahwa kami berada di pihak 

yang benar. Maka kami tetap tidak akan mengakuinya 

walaupun nyawa sebagai taruhannya...!" Suroso, 

Bungkring, Kethu Dadap dan Kali Gundil tampaknya 

sudah tiada mampu lagi mengendalikan emosinya.

"Tak ada gunanya lagi kita saling berbantahan 

dengan mereka Kali Gundil. Baiknya kita hancurkan 

mereka." teriak Kethu Dadap.

"Seraaaang...!" teriak lawan-lawannya beramai-

ramai.

Sekejap kemudian peperangan pun berkecamuk 

kembali. Karena keempat orang-orang itu rata-rata 

memiliki kepandaian tinggi dan sekaligus merupakan 

tokoh sewaan terpilih maka dalam waktu sepuluh ju-

rus kemudian sebagian besar penghuni perkampungan 

cacat itu tewas terbantai. Sungguh pun Kakek Buta 

Tanpa Nama tiada dapat melihat apa yang sedang ter-

jadi, namun dia dapat merasakan betapa orang-orang 

yang segolongan dengannya banyak yang sudah me-

nemui ajal secara menyedihkan.

"Kalian mengaku-ngaku sebagai golongan lurus.


Tapi tindakan kalian melebihi kebrutalan iblis. Kepa-

rat... aku akan mengadu jiwa dengan kalian...!" teriak 

Kakek Buta Tanpa Nama sambil mengayunkan tong-

katnya ke arah.

"Jangan banyak mulut! Kau harus mampus di 

tangan kami, Kakek Buta...!" selak Suroso. Maka pen-

geroyokan pun terjadilah.

Dengan hanya mengandalkan indera perasa dan 

permainan tongkat di tangannya. Kakek Tanpa Nama 

ini terus melakukan serangan-serangan gencar. Sekali 

waktu tongkat di tangannya menderu dan timbulkan 

suara bercuitan. Hal ini menandakan bahwa Kakek 

Tanpa Nama sebenarnya memiliki tenaga dalam yang 

tinggi. Tetapi yang dihadapi oleh kakek itu bukanlah 

lawan sembarangan. Selain mereka ini mempunyai 

pengalaman yang tidak jauh beda dengan yang dimiliki 

oleh Kakek Tanpa Nama, juga mereka memiliki senjata 

andalan yang tentunya beraneka ragam.

Tidak keliru kalau dalam beberapa jurus selan-

jutnya Kakek Tanpa Nama, sudah mulai terdesak he-

bat. Bahkan lima jurus di depan dia sudah harus me-

mutar tongkatnya untuk melindungi diri dari sabetan 

dan tusukan senjata pusaka di tangan lawannya. Satu 

ketika dengan disertai jeritan tinggi melengking, keem-

pat orang itu secara bersama-sama langsung melaku-

kan penyergapan dengan toya, golok dan pedang ter-

hunus. Tampaknya Kakek Tanpa Nama menyadari 

akan bahaya yang mengancam dirinya. Lalu tanpa 

membuang-buang waktu lagi dengan mengandalkan 

ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tahap 

sempurna Tubuh Kakek Tanpa Nama meletik ke uda-

ra, namun dalam kesempatan itu. Lebih cepat lagi, pe-

dang di tangan Suroso berkelebat.

"Breet...!"

"Ahkk...!"



Tubuh kakek Tanpa Nama terlonjak ke atas, ba-

gian bahunya terobek sebesar ibu jari hingga membuat 

sebuah luka yang terus mengalirkan darah. Tapi pihak 

Suroso dan kawan-kawannya nampaknya sudah tidak 

perduli lagi. Tanpa mengenai rasa belas kasihan mere-

ka bermaksud untuk menghabisi nyawa Kakek Tanpa 

Nama. Tak ayal lagi, baik toya, golok maupun pedang 

di tangan lawan-lawannya tampak terayun ke atas. 

Sekali ini dengan sekali sabet maka tewaslah kakek 

malang itu, namun di luar dugaan dalam keadaan 

yang sangat kritis itu mendadak berkelebat sosok 

bayangan merah begitu cepatnya. Bayangan itu terus 

menyambar ke arah Kethu Dadap dan kawan-

kawannya: "Traang... trang... traang...!" 

Tak ayal lagi tubuh mereka terjengkang dengan 

senjata masih tergenggam di tangan masing-masing. 

Namun secepatnya mereka sudah bangkit kembali. Be-

gitu dia memandang pada Kakek Tanpa Nama, mereka 

melihat seorang pemuda yang tak dikenal sedang be-

rusaha menolong kakek itu. Karuan saja mereka men-

jadi sangat marah sekali.

"Kurang ajar! Siapakah engkau, bocah pembawa 

periuk nasi...?" hardik Bungkring dengan tubuh geme-

taran karena memendam luapan emosi. Begitu dingin 

tatapan si pemuda, menyapu pandang pada keempat 

laki-laki yang telah melakukan pembantaian terhadap 

orang-orang cacat di Rimba Buangan.

"Mestinya kalian tak perlu bertanya siapa aku ini. 

Karena sesungguhnya kalian sendiri tiada mengerti 

siapa diri kalian sendiri...!" gumam pemuda itu geram.

"Keparat! Ditanya malah balas bertanya! Ada hu-

bungan apakah kau dengan kakek buta ini...?!"

"Hemmm...! Aku tak memiliki hubungan apa-apa, 

cuma aku tak habis pikir, manusia yang mengaku-

ngaku sebagai golongan lurus seperti kalian kok begitu


tega membunuhi orang yang lemah tanpa daya...?"

"Kurang ajar! Kau tau apa bocah gembel? Sudah 

jelas mereka yang telah membuat sengsara orang ba-

nyak, tetapi mengapa justru kau membelanya...?" ben-

tak Suroso dengan mata melotot.

"Apakah kalian melihat dengan mata kepala sen-

diri...?" bertanya Buang Sengketa dengan pandangan 

berapi-api. Tampak orang-orang itu saling pandang se-

samanya, biar bagaimana pun selama ini mereka men-

jalankan perintah hanya berdasarkan laporan yang 

mereka terima dari orang-orang kepercayaan sang adi-

pati. Tetapi sebagai orang yang merasa derajat golon-

gannya lebih tinggi dari si pemuda maupun kakek bu-

ta, mana mungkin mereka mau mengakui kesalahan 

mereka begitu saja.

"Sungguh pun tidak! Tapi semua itu berdasarkan 

laporan orang-orang kepercayaan kadipaten?" kata Kali 

Gundil, mewakili kawan-kawannya.

"Kalau sudah merupakan orang-orang upahan 

kadipaten. Lantas kalian bisa berbuat sewenang-

wenang pada orang-orang yang selama hidupnya telah 

banyak menelan penderitaan ini...?" sentak pemuda itu 

mulai terseret-seret dalam api kemarahan.

"Kampret! Kau tau apa tentang kadipaten...?" 

tanya seorang di antara mereka membanggakan diri.

"Ah... ha... ha... ha...! Sombong sekali kau ini so-

bat! Yang ku tahu di kadipaten sedang mewabah to-

koh-tokoh persilatan upahan seperti kalian ini. Juga 

termasuk sakitnya Putri Asih karena Racun Pembasmi 

Iblis itu. Heh... tak kusangka kalau Adipati Gupta yang 

sedang dilanda kebingungan itu malah mengupah para 

begal pembunuh memuakkan seperti kalian ini. Kupe-

rintahkan pada kalian untuk menyingkir dan jangan 

ganggu lagi orang-orang yang tiada berdosa ini...!" ben-

tak Buang Sengketa.



Akan tetapi, mana mau orang-orang itu meneri-

ma begitu saja. Sebaliknya Kethu Dadap yaitu meru-

pakan orang-orang yang paling tua di antara keempat 

utusan sang adipati malah balas membentak: "Kamp-

ret! Kau benar-benar tidak memandang muka terhadap 

utusan dari kadipaten...!"

"Harus kulihat dulu apa yang telah dilakukan 

oleh kunyuk-kunyuk upahan seperti kalian ini. Baru 

aku akan memperhitungkan baik buruknya...!" kata 

Buang Sengketa lugas.

"Kurang ajar! Menghina kami itu berarti sama sa-

ja kau menghina adipati. Ringkus kunyuk keparat ini 

hidup atau mati...!" teriak Suroso marah.

"Beet...!"

Hanya sekejapan mata saja keempat orang itu te-

lah mengurung si pemuda dari empat jurusan. Suroso 

tak perlu mengulangi perintahnya untuk yang kedua 

kalinya, karena secara serentak mereka telah melaku-

kan serangan-serangan mautnya dengan gencar.

"Kakek Tanpa Nama, menyingkirlah...!" kata 

Buang Sengketa sambil berusaha mengkelit serangan 

gencar pihak lawan yang datangnya bertubi-tubi.

Namun datangnya serangan itu tak ubahnya ba-

gai luapan air bah, variasi jurus-jurus silat mereka 

pun sangat banyak dan beraneka ragam. Sampai detik 

itu, Pendekar Hina Kelana masih mempergunakan ju-

rus silat tangan kosong 'Membendung Samudra Me-

nimba Gelombang'. Satu kesempatan Bungkring han-

tamkan senjatanya yang berupa sebuah toya yang pa-

da bagian ujungnya terdapat sebuah pisau tajam yang 

berwarna kekuning-kuningan. 

"Wuuus!"

Angin sambaran toya bermata pisau itu menderu 

ganas mengarah pada bagian perut Buang Sengketa. 

Pemuda itu menghindari-nya dengan cara berjumpali


tan dan kirimkan satu tendangan satu pukulan terha-

dap lawan yang berada di belakangnya.

"Wuuut!"

Sambaran ujung pisau yang terdapat di ujung 

toya lawan, luput. Suroso yang berada di bagian bela-

kang si pemuda tampak gelagapan.

"Buuuk! Ngeeek...!"

Terhuyung tubuh laki-laki berbadan jangkung

ini, isi perutnya terasa bagai diaduk-aduk. Saat itu 

semakin bertambah meluaplah amarahnya. Serta mer-

ta tubuhnya melentik ke udara, kemudian setelah ber-

jumpalitan dan melayang turun. Pedang di tangannya 

diarahkan pada bagian kepala si pemuda. Masih un-

tung dalam keadaan sangat kerepotan seperti itu, 

Buang sempat menyadari adanya bahaya yang men-

gancamnya dari bagian atas. Seketika itu juga, pemu-

da ini segera robah jurus silatnya dari jurus 

'Membendung Gelombang Menimba Samudra' kepada 

jurus "Si Gila Mengamuk'. Total permainan silat si pe-

muda berubah, namun tetap saja bagian lengannya 

tersambar pedang di tangan Suroso.

"Sreet...!"

"Aughk...!"

Pendekar Hina Kelana mengeluh pendek, namun 

hal itu tidak mengurangi gerakan tubuhnya yang bagai 

seorang pemabukan. Sungguh pun setelah merobah 

jurus-jurus silatnya pemuda ini mampu mengelakkan 

setiap serangan, bahkan dengan menggeser kaki dan 

dalam keadaan terhuyung-huyung itu dia mampu 

mengkelit tusukan pedang maupun babatan senjata 

lainnya. Namun hal itu tak pernah merobah keadaan. 

Karena saat itu si pemuda menyadari tak perlu turun 

tangan kejam untuk menundukkan mereka-mereka 

yang sedang salah paham itu, maka sering terlihat di 

pihak si pemuda selalu berada dalam posisi terdesak.


Namun bagi pihak lawan mana mau tahu dengan apa 

yang sedang terjadi atas diri si pemuda. Dari setiap se-

rangan-serangan yang dapat dikandaskan oleh si pe-

muda, bukan membuat mereka menyadari bahwa pi-

hak lawannya masih memberi angin pada mereka. Wa-

laupun memang keempat orang itu juga merupakan 

kaum persilatan yang sudah memiliki kepandaian 

tinggi. Bahkan permainan jurus-jurus pedang, toya 

maupun golok mereka juga cukup tinggi.

Sebaliknya dengan kemarahan yang me-luap-

luap, keempat lawannya mulai mengerahkan jurus-

jurus simpanannya yang paling ampuh. Keadaan yang 

sangat membahayakan ini tentu membuat Buang se-

makin terjepit. Dia pun tak ingin hanya karena meng-

harap pengertian dari keempat orang itu, tubuhnya 

menjadi korban keganasan senjata di tangan mereka. 

Fikirannya pun bekerja cepat, lalu dia memutuskan 

untuk mempergunakan jurus Koreng Seribu untuk 

memberi sebuah kesadaran pada lawan-lawannya. Ak-

hirnya setelah mengerahkan tenaga dalamnya untuk 

melindungi diri dari tebasan senjata lawan, maka pe-

muda itu pun menyalurkan sebagian tenaga dalamnya 

ke arah kedua belah tangannya. Dengan sikap pasrah, 

Buang Sengketa menyongsong datangnya serangan 

senjata itu.

"Traaak! Creep...!"

Begitu senjata di tangan lawannya menghantam 

tubuh Pendekar Hina Kelana, maka senjata-senjata itu 

langsung melekat sedemikian erat. Kethu Dadap, Kali 

Gundil, Bungkring dan Suroso tampak berusaha me-

narik senjata mereka yang melekat erat di tangan la-

wannya. Wajah masing-masing lawan membayangkan 

rasa takut yang teramat sangat, tapi rasa keterkejutan 

lebih menguasai diri mereka. Adegan tarik menarik 

pun terus berlanjut, masing-masing lawan tubuh


maupun pakaiannya sudah bersimbah keringat. Cela-

kanya semakin banyak mereka mengeluarkan tenaga 

untuk menyentakkan senjata-senjata yang melekat itu, 

semakin terasa tubuh mereka menjadi lunglai tidak 

bertenaga.

"Ilmu gila...!" pekik Kali Gundil yang sepanjang 

hidupnya belum pernah menghadapi lawan yang me-

miliki ilmu kepandaian seperti yang dimiliki oleh si 

pemuda. Pendekar Hina Kelana hanya memperlihatkan 

sesungging seringai menggidikkan. Namun beberapa 

saat kemudian dengan disertai satu jeritan melengk-

ing. Pemuda keturunan raja di negeri alam gaib itu 

menyentakkan tangannya ke atas.

"Wuaaaa...!" 

Bagai ranting-ranting kering ditiup angin, tubuh 

keempat orang itu terpelanting roboh. Mereka memang 

merasakan tubuhnya terasa lemah tiada bertenaga, 

namun demi menjaga harga diri, orang-orang itu pun 

segera bangkit kembali.

"Jangan kalian tunggu sampai habis kesabaran-

ku! Pergilah, mereka sesungguhnya merupakan orang-

orang yang patut kalian kasihani. Bukan dibantai se-

perti ini!" kata pemuda itu berwibawa.

"Tidak...! Walaupun kau memiliki kepandaian se-

perti dewa, jangan kira kami akan menyerah begitu sa-

ja. Kau coba-coba melindungi biangnya penyakit, maka 

kami berkesimpulan bahwa kau juga merupakan 

orang-orang yang patut dicurigai...!" maki Kethu Dadap 

dengan sinar mata memancarkan dendam. Memerah 

wajah pendekar ini seketika, telinganya terasa panas 

mendengar tuduhan yang tidak beralasan itu.

"Baik! Kalau kalian masih tetap pada pendirian 

kalian, lakukanlah! Tapi aku minta supaya kalian bica-

rakan dulu pada adipati!" ucap si pemuda.

***


TUJUH


"Huh...! Membunuh kunyuk-kunyuk penyebar si-

al seperti kalian tak perlu harus meminta persetujuan 

adipati. Bahkan adipati akan merasa sangat berterima 

kasih sekali andai kami telah berhasil membunuh be-

berapa orang yang mencurigakan seperti kalian ini...!" 

dengus Suroso tetap ngotot dengan pendiriannya.

"Ah... kiranya kalian bertindak bukan berdasar-

kan atas petunjuk adipati. Kalian telah menjadi manu-

sia-manusia keparat pembabi buta! Mustahil sekali 

Adipati Gupta yang bijaksana itu dapat membiarkan 

kalian bertindak semau-maunya tanpa bukti-bukti 

yang kuat...!"

"Jangan kau bawa-bawa nama adipati, kau tak 

layak menyebutnya...!"

"Tak pantas...? Hanya kalian saja yang berkata 

begitu. Sang adipati itu baik sekali, hanya kalian saja-

lah yang terlalu egois...!"

"Diammm...!" bentak Kali Gundil semakin panas

saja hatinya. "Menyingkirlah kau kunyuk pembawa pe-

riuk. Kami akan memusnahkan sarang manusia-

manusia cacat itu!"

"Kalau itulah keinginan kalian, maka langkahi 

dulu mayatku...!" tukas Pendekar Hina Kelana dengan 

sorot mata menggidikkan. 

"Bocah keras kepala, kami akan mengadu jiwa 

denganmu...?!" teriak Bungkring, dan kejab kemudian 

dia telah menghantamkan toyanya mengarah pada ba-

gian bahu si pemuda. Sadarlah Buang Sengketa, kini 

tiada gunanya memberi peringatan apa pun pada me-

reka. Tiada pilihan lain lagi, terkecuali menempur me-

reka sampai titik darah penghabisan.

"Hemm! Kalau itulah keinginan kalian, berarti


aku lebih menghargai jiwa orang-orang cacat di sini. 

Kau dan kembrat-kembratmu (kawan-kawan), memang 

pantas untuk mendapat ganjaran yang setimpal dari-

ku...!"

"Hiyaaaa...!"

"Nguung.... Nguuung...!"

Hanya dalam waktu sesaat saja pertarungan sen-

git pun terjadi kembali, kalau mulanya Buang Sengke-

ta dalam bertindak masih memperhitungkan jiwa 

orang lain, tapi kali ini semua itu lenyap dalam inga-

tannya. Apa yang sedang bergejolak di dalam dadanya 

adalah unsur siluman yang diwariskan oleh ayah kan-

dungnya, Raja Ular Piton Utara dari negeri alam gaib.

Tak dapat disangkal lagi, dalam detik-detik selan-

jutnya wajah pemuda itu berubah kelam membesi, se-

pasang matanya tampak memerah saga, sementara da-

ri celah-celah bibirnya memperdengarkan bunyi men-

desis bagai seekor ular piton yang sedang dilanda ke-

marahan. Sejurus kemudian pihak lawan-lawannya te-

lah pula melancarkan pukulan-pukulan mautnya. Su-

roso, saat itu telah bersiap-siap dengan pukulan 'Dewa 

Mabok Mengejar Peri' sedangkan Bungkring dan Kathu 

Dadap saudara seperguruan yang memiliki pukulan 

yang sama telah pula mengerahkan pukulan 'Malaikat 

Seribu Muka'. Orang terakhir yang juga mengerahkan 

pukulan mautnya adalah Kali Gundil. Laki-laki tua 

renta itu mengerahkan pula pukulan 'Dewa Renta 

Memburu Perawan Ting-Ting'.

Terkesiaplah Pendekar Hina Kelana dibuatnya, 

tapi dia juga tidak kehabisan akal untuk menghadapi 

pukulan maut yang datangnya secara bersamaan itu. 

Dengan menyertakan ilmu 'Lengkingan Pemenggal 

Roh', pendekar berwajah sangat tampan ini mele-

paskan pukulan tingkat tertinggi yang dimilikinya. Tak 

ayal, pukulan si "Hina Kelana Merana' pun dia per


siapkan.

"Wuuuss...!" 

"Heiiik...!"

Sambil melepaskan pukulan 'Si Hina Kelana Me-

rana' yang memancarkan cahaya merah berkilauan itu, 

ilmu Lengkingan Pemenggal Roh turut menyertainya. 

Pukulan pamungkas yang dilepaskan si pemuda terpe-

cah menuju keempat penjuru mata angin. Sungguh 

pun pukulan itu menjadi tak sehebat andai dilepaskan 

secara utuh tetapi lengkingan ilmu Pemenggal Roh, 

memang terasa banyak membantu. Terbukti kosentrasi 

lawan menjadi terganggu sehingga tak dapat melaku-

kan pukulan susulan lagi.

"Buuuuummm...!"

Bumi bagai dilanda selaksa gempa. Perkampun-

gan orang-orang cacat menjadi porak poranda. Semen-

tara pohon-pohon yang berada di sekitar tempat itu 

tampak bertumbangan, pasir dan debu mengepul ke 

udara, membubung tinggi dan membuat suasana di 

sekitarnya menjadi samar-samar. Mayat-mayat kaum 

cacat yang tergeletak di sekitar pertempuran berpelan-

tingan ke segala penjuru. Sementara tubuh lawan-

lawan si pemuda tercampak entah ke mana. Dengan 

susah payah pemuda itu berusaha membebaskan diri 

dari kungkungan tanah yang menjepit tubuhnya. Ru-

panya saat pukulan sakti mereka saling bertenturan 

tadi, tubuh pemuda itu melesak ke dalam tanah sam-

pai sebatas pinggang. Dengan masih memegangi ba-

gian dadanya yang terasa bagai remuk pemuda itu ak-

hirnya dapat keluar dari himpitan tanah tadi. Tapi ke-

mudian dia terbatuk-batuk, sesaat setelah itu mengge-

logoklah darah kental dari dalam mulutnya.

"Tuan penolong! Tidak apa-apakah kau...!" ucap 

sebuah suara, secara tiba-tiba telah mengurut bagian 

dada pemuda itu. Dengan pandangan masih berkunang-kunang, Buang Sengketa menoleh. Dan terlihat-

lah olehnya bahwa orang yang sedang melakukan per-

tolongan itu, si Kakek Buta Tanpa Nama. Buang ge-

leng-gelengkan kepalanya. Sungguh pun dadanya tera-

sa mau pecah, walaupun kepalanya bagai remuk. Na-

mun begitu melihat lawan-lawannya telah mengurung 

dirinya dan telah siap pula melancarkan pukulan 

mautnya. Pemuda itu lalu memberi perintah pada si 

Kakek Buta Tanpa Nama:

"Kakek! Menyingkirlah...! Manusia-manusia ber-

hati iblis itu nampaknya memang benar-benar men-

ginginkan jiwaku...!" Menggeram suara si pemuda ba-

gai banteng yang terluka. Tapi di luar dugaan Kakek 

Tanpa Nama gelengkan kepala berulang-ulang.

"Tidak... kau telah pertaruhkan jiwamu, hanya 

demi membela nyawaku yang sudah tiada harganya 

itu. Agar iblis yang mengaku sebagai kaum yang lurus 

ini puas, biarlah nyawaku sebagai tebusannya..." ja-

wab Kakek Tanpa Nama begitu tegas.

"Bagus! Kalian berdua memang pantas untuk 

mati secara bersama-sama." tukas Kathu Dadap sinis.

"Kakek Tanpa Nama... kuperingatkan padamu, 

cepat-cepatlah menyingkir. Biar kuhadapi orang-orang 

sinting ini seorang diri...!" teriak Pendekar Hina Kelana 

merasa sangat gusar. Tampaknya Kakek Tanpa Nama 

menyadari bahwa dirinya tak mungkin membantah 

keinginan si pemuda. Maka dengan sekali berkelebat, 

lenyaplah kakek itu dari arena pertarungan.

"Wuuus...!"

"Blaaar...!"

Pukulan yang dilakukan dengan mempergunakan 

kelengahan Pendekar Hina Kelana, memang sama se-

kali di luar dugaan pemuda ini. Tak ayal lagi tubuhnya 

pun terbanting keras beberapa tombak ke belakang.

"Hoeeekgh...!"



Semakin bertambah banyaklah darah kental yang 

menggelogok dari mulut si pemuda. Tubuhnya terasa 

panas bagai terbakar. Dengan bersusah payah dia be-

rusaha bangkit kembali.

"Keparaaaat...!"

Maki si pemuda, serta merta dia cabut senjata 

yang terselip di bagian pinggangnya. Begitu senjata itu 

tergenggam di tangannya, maka terasa ada aliran han-

gat menjalar di sekujur tubuhnya hingga menyebab-

kan rasa sakit itu pun sedikit berkurang. Sebaliknya 

mereka yang hadir di situ secara tiba-tiba merasakan 

hawa dingin luar biasa. Dan mereka lebih terkejut lagi 

begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan pe-

muda itu memancarkan sinar merah menyala.

"Kepalang basah, majulah kalian semuanya! 

Sampai di sini aku benar-benar tak bisa mengampuni 

jiwa kalian...!" desis pemuda itu. Walaupun hati mere-

ka kini diliputi oleh rasa ragu, namun semuanya su-

dah terlambat.

Bahkan Kali Gundil sendiri yang selama ini 

hanya mendengar tentang adanya seorang tokoh yang 

berjuluk si Hina Kelana, hanya mampu berharap, se-

moga pemuda yang sedang mereka hadapi itu bukan-

lah Pendekar Golok Buntung. Tak perduli dia sudah 

melihat bahwa kini pemuda itu sudah menggenggam 

Pusaka Golok Buntung di tangannya. 

"Heaaa... heaaa...!"

Mempergunakan senjata dan pukulan-pukulan 

mautnya, keempat orang itu secara serentak maju me-

nyerang. Golok di tangan Buang Sengketa menggaung 

memperdengarkan suara puluhan ekor harimau terlu-

ka. Angin akibat sambaran golok itu menyambar-

nyambar dan membuat ngilu tulang belulang lawan-

lawannya.

Satu kesempatan dengan disertai jeritan tinggi


melengking tubuh pemuda itu tampak berkelebat le-

nyap. Jurus 'Si Jadah Terbuang' telah menyebabkan 

gerakan senjata maupun tubuhnya hanya kelihatan 

bagai bayang-bayang saja. Hal itu membuat lawan-

lawannya menjadi bingung dan merasa kesulitan un-

tuk melakukan serangan.

"Ihh...!"

Kali Gundil berseru kaget saat mana merasakan 

adanya sambaran angin di belakangnya. Dia berkelit, 

tubuhnya hampir saja menabrak si Bungkring yang 

berada di samping kirinya. Laksana kilat, satu keleba-

tan bayangan merah menyambar.

"Creess.... Creees...!"

"Wuaaghrk... arggghkt...!"

Terdengar dua kali jeritan berturut-turut. Kali 

Gundil dan Bungkring tampak mendekap bagian pe-

rutnya yang terobek besar. Darah terus merembas 

membasahi bagian tangan yang mereka pergunakan 

untuk mendekap bagian luka tadi. Namun tetap saja 

aliran darah tak dapat dicegah. Dengan mata melotot, 

tubuh kedua orang itu kemudian ambruk tanpa sem-

pat berkelojotan lagi.

Pucat pasi wajah Suroso dan Kethu Dadap demi 

melihat apa yang dialami oleh kawan-kawannya. Tiba-

tiba seramnya kematian membayangi jiwa mereka. Ba-

gaimana pun mereka sadar pemuda itu bukanlah la-

wan sembarangan. Bahkan rupa kematian pun mereka 

tak berani membayangkannya. Mana lagi masih bujan-

gan dan belum pernah merasakan bagaimana enaknya 

sebuah perkawinan dan hidup serumah dengan seo-

rang perempuan. Secara tak terduga mereka mengam-

bil keputusan yang sama. Kabur! Itulah. Namun ki-

ranya pemuda itu dapat membaca gelagat. Maka den-

gan geram dia berseru:

"Kalian baru boleh kabur, setelah meninggalkan


sebelah tangan masing-masing...!" Buang Sengketa 

kembali memburu, dalam keadaan jiwa tak menentu, 

lawannya menjadi gugup. Golok Buntung di tangan 

pemuda dengan telak menyambar ke bagian bahu Su-

roso dan Kethu Dadap. 

"Jraaas.... Creeess...!"

"Auuu.... sakiit..,!" teriak Suroso dan Kethu Da-

dap sambil berusaha meninggalkan tempat itu.

"So... tanganmu tidak kau ambil...!" jerit Kethu 

Dadap, sambil terus berlari dia berusaha menotok ja-

lan darah untuk mencegah agar darahnya tidak ba-

nyak yang keluar.

"Masa bodoh...! Kehilangan sebelah tangan tidak 

berarti apa-apa daripada harus kehilangan nyawa...!" 

balas Suroso, terbirit-birit. Tak lama kemudian Suroso 

dan Kethu Dadap telah lenyap pula dari pandangan si 

pemuda.

"Kakek Tanpa Nama... uruslah jenazah orang-

orangmu...!" kata pemuda itu beberapa saat setelah 

itu. 

"Aku akan mengurusnya, Pendekar...! Dan kuu-

capkan banyak terima kasih padamu." kata Kakek 

Tanpa Nama. Namun tiada sahutan, karena sesung-

guhnya Pendekar Hina Kelana telah bergegas pergi 

meninggalkan tempat itu.

***

DELAPAN



Merambah hutan rimba, bagi orang-orang keper-

cayaan Adipati Gupta bukanlah satu hal yang baru. 

Namun menginjakkan kaki di Rimba Buangan baru 

kali inilah mereka lakukan. Namun Ranggas dan Margono serta kaum persilatan golongan putih lainnya ju-

ga termasuk Karsa yang tergabung dalam regu pe-

numpasan penyebar Racun Pembasmi Iblis, untuk kali 

ini diliputi oleh rasa was-was yang teramat sangat. Ba-

gaimana tidak, waktu pertama kali mereka menam-

batkan kuda-kuda di pinggiran Rimba Buangan, mere-

ka menemukan mayat Lawuk Ambara tergeletak dalam 

keadaan membusuk. Ternyata setelah diperiksa sana 

sini, tak terdapat adanya luka ataupun bekas pukulan 

beracun lainnya. Wajah Lawuk Ambara yaitu orang-

orang utusan kadipaten dan termasuk orang upahan 

itu tampak menggembung kebiru-biruan, sepasang 

mata melotot, sementara kedua tangannya mendekap 

erat pada bagian leher. Melihat mulutnya yang berbusa 

dan menebarkan bau busuk. Rasa-rasanya kematian 

Lawuk Ambara tak jauh beda dengan yang dialami 

oleh para penduduk yang terserang wabah.

Kemudian ketika mereka melangkah dan mene-

lusuri hutan agak lebih ke dalam lagi, maka rombon-

gan Ranggas dan Margono menemukan pula mayat 

Giling Wesi dengan keadaan tidak begitu berbeda den-

gan apa yang dialami oleh Lawuk Ambara. Orang baya-

ran dari 'Puncak Sinar Akherat' itu juga tewas dengan 

keadaan mata melotot. Sedangkan di bagian tangannya 

masih tergenggam seruling maut yaitu yang merupa-

kan sebuah senjata andalan milik Giling Wesi. Namun 

Margo, Ranggas, Karsa serta beberapa orang lainnya 

yang turut serta dalam rombongan itu sedikit terperan-

jat begitu melihat tangan kiri Giling Wesi. Margono 

langsung mendekat, lalu berjongkok dan memeriksa 

bagian tangan Giling Wesi. Tetapi benda yang berada 

dalam genggaman tangan Giling Wesi terasa sangat su-

lit untuk diambil karena genggaman jemari yang Su-

dah kaku itu ternyata mencengkeram begitu eratnya.

Barulah setelah dibantu oleh Ranggas dan Karsa


benda yang tergenggam di tangan Giling Wesi dapat di-

ambil.

"Hemmm... tiga buah batu menyerupai untaian 

tasbih, apakah benda ini ada hubungannya dengan 

penyebar wabah penyakit itu...!" gumam Margono den-

gan alis mata berkerut. Yang lainnya langsung saling 

pandang.

"Kemungkinan hal itu ada hubungannya. Tapi 

siapa-siapa sajakah yang tinggal di hutan seperti ini 

selain para orang-orang cacat itu...?" tanya Karsa se-

perti menuduh.

"Kita tak mungkin berprasangka sampai sejauh 

itu. Tapi menurut Adipati Gupta, seperti yang pernah 

dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana yang telah me-

nyelamatkan putrinya. Wabah penyakit misterius itu 

sesungguhnya berasal dari seorang tabib yang memili-

ki racun ampun yang diberi nama 'Racun Pembasmi 

Iblis'. Di kolong langit ini hanya manusia sesat Ki Sap-

ta Rengga seoranglah yang memilikinya. Justru begitu 

aku sendiri merasa heran mengapa Tabib Canda Muka 

yang beberapa hari lalu kudapati tewas. Namun saat 

mana kami datang kembali ke tempat kediamannya, 

mayatnya mendadak raib begitu saja...!"

"Kejadian yang pelik...!" sergah Ranggas merasa 

pusing sendiri. "Sungguh pun pemuda yang memiliki 

julukan Pendekar Hina Kelana itu telah menolong tuan 

putri. Tapi entah mengapa justru aku menaruh rasa 

curiga padanya. Bukan tak mungkin bahwa wabah pe-

nyakit yang melanda banyak desa itu, dialah yang 

menjadi biang keladinya,..!" 

"Tidak mungkin...!" bantah Karsa dan dengan 

terburu-buru langsung geleng-gelengkan kepalanya. 

"Jauh sebelum aku bertemu dengan Pendekar Golok 

Buntung, aku telah mendengar tentang sepak terjang-

nya. Dia seorang tokoh muda yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Berasal dari golongan lurus dan 

tak pernah bertindak setengah-setengah dalam mem-

basmi kejahatan...!!" bela laki-laki dari Gunung Seme-

ru itu tegas.

"Kalaulah benar tapi mengapa dia pergi mening-

galkan rumah kediaman Adipati Gupta begitu saja...?"

"Heh... bagi kalian hal itu memang terasa janggal, 

karena selama ini kalian hidup dalam lingkungan tata 

krama dan peradatan. Tapi tingkah orang-orang persi-

latan memang selalu begitu, aneh menurut kita, tetapi 

biasa bagi mereka yang sudah mengerti...?"

"Menurut Paman Karsa, mungkinkah saat seka-

rang ini pendekar berperiuk itu juga sedang mencari 

biang keladi penyebab malapetaka itu...?" tanya Rang-

gas berusaha ingin mencari kepastian.

"Kemungkinan itu ada, tapi aku tak dapat me-

mastikan apakah dia sedang berusaha mencari tabib 

sesat Ki Sapta Rengga atau tidak! Tokh selamanya dia 

tak mau terikat dengan segala macam hal yang berbau 

kerja sama...!"

"Sulit juga! Tapi tak mengapa, ada baiknya kalau 

sekarang kita teruskan saja perjalanan kita ini menuju 

perkampungan orang-orang cacat." kata Margono. Ke-

mudian tanpa berkata-kata lagi delapan orang utusan 

Adipati Gupta itu pun kembali melanjutkan perjala-

nannya.

***

Sementara itu di sela-sela teriknya cahaya men-

tari tengah hari, tampak sesosok tubuh berpakaian 

serba putih dengan sebuah tongkat yang selalu me-

nyertainya kemanapun dia pergi, tengah mendaki Bu-

kit yang terletak di bagian Barat perkampungan kaum 

cacat. Sekali dua tongkat di tangannya dia pukul


pukulkan ke arah bagian depan. Kakek berpakaian 

serba putih ini tak lain adalah Kakek Buta Tanpa Na-

ma. Rupanya kejadian yang menimpa para murid-

muridnya membuat kakek ini merasa terpukul. Tak 

dapat dibayangkan bahwa pembantaian yang membabi 

buta yang telah dilakukan oleh Suroso, Kali Gundil, 

Bungkring dan Kethu Dadap telah membangkitkan se-

buah dendam dan kemarahan terhadap biang penye-

bar wabah misterius yang dia tahu telah pula mereng-

gut jiwa orang- orangnya. Sebagian besar orang-orang 

sengsara yang telah dikucilkan dari kehidupan ramai 

selama puluhan tahun itu, kini telah tewas. Tetapi 

yang membuat batinnya terguncang justru kematian 

mereka disebabkan oleh segolongan manusia yang 

mengaku dirinya sebagai kaum yang lurus dan memi-

liki derajat hidup yang tinggi.

Sungguh hal ini benar-benar tak dapat diterima 

oleh akal sehatnya. Dia memang ingin marah, atau 

pun melakukan balas dendam, tapi mungkinkah? Atau 

pantaskah hal itu untuk dilakukannya? Dia berpikir, 

dendam mendendam sesungguhnya tiada guna-nya 

dan itu tak perlu dilakukannya. Biarlah mereka meru-

pakan kaum yang tersisihkan dan dikucilkan oleh ma-

syarakat banyak. Asalkan sampai menutup mata me-

reka tak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk 

apa pun! Membatin Kakek Buta Tanpa Nama. Kini ka-

kek berpakaian putih itu tanpa memperdulikan terik-

nya sang surya yang terasa begitu menyengat terus 

mendaki bukit terjal itu. Tekadnya sudah bulat, yaitu 

ingin mencari tau sumber bau yang berasal dari atas 

bukit yang kini sedang didakinya. Kalau pun nantinya 

dia menemukan tempat dan menjadi sumber malape-

taka itu, dia telah bertekad untuk memusnahkannya. 

Tak perduli apakah di atas bukit itu dihuni oleh bina-

tang buas, jin, setan apalagi manusia. Kalau perlu dia



akan mengadu jiwa dengan orang itu.

Demikianlah Kakek Tanpa Nama yang sudah ter-

biasa dengan kegelapan itu, sedikit demi sedikit terus 

merangsak medan yang sulit dan berbatu terjal. Bukan 

hal yang mudah bagi si kakek untuk cepat sampai di 

tempat yang ditujunya. Berulangkali, tubuhnya terpe-

leset bahkan hampir terpelanting jatuh. Hanya karena 

mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan memiliki 

keseimbangan gerak saja. Kakek Buta Tanpa Nama 

sampai sejauh itu masih mampu menghindari anca-

man batu-batu runcing yang terdapat di bawah bukit. 

Lewat sepemakan sirih, sampailah kakek itu di atas 

bukit. Tenaganya yang sudah terkuras habis, membuat 

dirinya langsung ngejeplok di atas rerumputan hijau. 

Napas ngos-ngosan bagai habis dikejar-kejar perem-

puan setan muka jelek, sementara matanya yang tiada 

dapat melihat, bekerlipan. Sekejap kemudian Kakek 

Buta Tanpa Nama sudah mulai memasang indera pen-

dengarannya, yang dalam usia lanjut ini sudah mulai 

rada-rada budek.

Lamat-lamat dia mendengar adanya suara lolon-

gan serigala hutan. Mula-mula kakek itu mendengar 

lolongan serigala tadi dari berbagai penjuru, tetapi be-

berapa saat kemudian suara itu bersumber dari satu 

arah. Menyertai hembusan angin dari Barat Laut, ter-

cium pula bau bangkai. Kakek Tanpa Nama segera 

menyadari bahwa bau tak sedap itu terkadang sampai 

menjarah ke bagian lereng bukit. Dan bau itu pula 

yang telah menyebabkan orang-orang cacat tewas se-

cara mengerikan. Cepat-cepat, ketua perkampungan 

orang-orang cacat itu menutup pernapasannya. Begitu 

pernapasan tertutup, bau menjijikkan itu pun sudah 

tak tercium lagi. Namun seberapa lamakah Kakek Buta 

Tanpa Nama dapat bertahan seperti itu? Bagaimana 

pun saktinya kakek ini, dia tak mungkin terus menerus menutup jalan nafasnya. Pada saat itu tiupan an-

gin dari satu arah terasa semakin bertambah kencang. 

Pohon-pohon sebesar paha kerbau berderak patah. 

Bahkan andai Kakek Buta Tanpa Nama tidak menge-

rahkan tenaga dalamnya untuk bertahan, sudah pasti 

tubuhnya yang sudah renta itu akan terbang tertiup 

angin yang datangnya bagai badai topan yang sangat 

dahsyat.

"Hehhh...!" Menggigil tubuh Kakek Buta Tanpa 

Nama, "Angin sehebat ini jelas bukan badai topan bi-

asa. Setidak-tidaknya seorang tokoh sakti yang telah 

melakukan pekerjaan gila-gilaan ini...! Tapi siapa-

kah...?" gumam kakek itu sambil terus bertahan agar 

tubuhnya tidak ikut terbetot hembusan angin.

"Mahluk Tuna Netra! Turunlah kau dari atas bu-

kit ini... apa yang kau cari-cari itu sesungguhnya bu-

kanlah lawanmu!" Dalam hembusan angin itu terden-

gar pula suara gaib yang tiada dikenal oleh kakek bu-

ta.

"Siapakah kau... apakah kau penyebar wabah 

penyakit itu...?" tanya kakek itu dengan tubuh meng-

gigil.

"Bukan! Justru akulah yang menjadi pencegah 

agar tidak jatuh banyak korban!" kata suara dalam 

hembusan angin itu menyahuti.

"Kalau begitu, engkau tahu siapa biang keladi 

semua yang telah terjadi...?" tanya si kakek.

"Aku tahu! Tapi aku tak mampu menghentikan 

sepak terjangnya...!" jawab suara gaib dalam hembu-

san angin tadi.

"Coba tolong kau sebutkan manusia-nya...?" pin-

ta Kakek Buta Tanpa Nama.

"Orang itu bernama Ki Sapta Rengga!" jawab si 

suara gaib.

Alis mata Kakek Buta Tanpa Nama tampak


mengkerut. Dicoba-cobanya untuk mengingat sesuatu, 

hingga beberapa saat. Namun tetap saja dia tak bisa 

mengingat siapa adanya Ki Sapta Rengga yang disebut-

sebut oleh si suara gaib itu.

"Kau pasti tak mengenalnya, manusia... sudahlah 

cepat-cepat kau turun dan tinggalkan bukit ini. Orang 

itu sebentar lagi akan sampai di depanmu...!" kata si 

suara gaib merasa khawatir.

"Tidak! Percuma saja aku menghabiskan sisa-sisa 

hidupku andai selamanya aku dan masyarakatku sela-

lu terhina!" Kakek Buta Tanpa Nama membantah.

"Kau memang keras kepala orang tua! Jangan sa-

lahkan aku, karena aku tak mampu melakukan pem-

belaan atas keselamatan dirimu!" 

"Pergilah! Saat ini aku tidak memerlukan pembe-

laan siapa pun...!" pinta Kakek Buta Tanpa Nama pe-

nuh percaya diri. Seiring dengan hembusan angin yang 

sangat kuat, maka suara gaib itu pun tak terdengar la-

gi. Tinggallah pohon-pohon yang berserakan, dan ke-

sunyian yang mencekam. Tapi sunyi itu tidak berlang-

sung lama, karena saat selanjutnya terdengar pula su-

ara lolongan serigala. Meremang bulu tengkuk Kakek 

Buta Tanpa Nama, kala itu Kakek Buta telah membu-

ka jalan pernafasannya. Hingga tak ayal lagi, bau tak 

sedap pun kembali tercium. 

"Jliigkh...!"

Dari kerimbunan pohon sesosok bayangan nam-

pak melayang turun dan mendaratkan kakinya persis 

di depan si kakek. Sejenak lamanya sepasang mata 

orang itu memandang sinis pada laki-laki tuna netra 

ini. Kemudian dia mendengus dan kembangkan se-

sungging senyum yang hanya membuat wajahnya yang 

buruk itu semakin bertambah mengerikan.

"Kau orang buta! Ada keperluan apakah sehingga 

berani lancang memasuki pekarangan orang lain?" bertanya laki-laki bertampang menyeramkan berpakaian 

ungu pada Kakek Buta Tanpa Nama.

"Sering kudengar lolongan anjing kurap, selalu 

pula kuendus bau bangkai yang berasal dari bukit ini. 

Selama berpuluh-puluh tahun baru beberapa waktu 

ini saja aku merasakannya. Sialnya bau bangkai itu 

justru bukan membuat kehidupan kaumku dan kaum 

orang banyak semakin bertambah makmur! Malah se-

baliknya, pabila bau celaka itu menyebar, maka orang-

orangku pada bergelimpangan menemui ajal...!" berka-

ta Kakek Buta Tanpa Nama setengah menuduh.

"Hehh...! Sekali pun penduduk perkampungan 

orang-orang cacat pada mampus semuanya, aku be-

lum puas. Terkecuali bila seluruh penduduk yang be-

rada di bawah perintah Adipati Gupta yang pada 

mampus, itulah yang ku ingini."

"Jad... jadi kaulah yang menyebar malapetaka 

yang sekarang ini melanda seluruh desa dan perkam-

punganku...!" tanya Kakek Buta Tanpa Nama dengan 

mata membelalak.

"Tidak salah!" kata laki-laki berpakaian pendeta 

sambil memutar-mutar tasbih di tangannya.

"Tapi mengapa pula kau pergunakan Rimba 

Buangan sebagai markas besarmu...?" sentak Kakek 

Buta Tanpa Nama, penuh teguran.

***

SEMBILAN



Laki-laki berpakaian warna ungu itu tergelak-

gelak, kalau di dengarkan dengan seksama sesung-

guhnya suara laki-laki itu tak ubahnya bagai lolongan 

serigala. Dengan nada dingin sekali kemudian laki-laki


itu berucap: "Engkau ini selain buta rupanya sangat 

tolol sekali! Dengan bersembunyi di Rimba Buangan 

ini! Tentu dunia luar akan menyangka kalau semua 

sumber malapetaka itu berasal dari kalian...?" 

"Dan niatmu itu telah kesampaian...?" tanya Ka-

kek Buta Tanpa Nama sudah merasakan sangat geram 

sekali.

"Ya, tapi tidak keseluruhannya! Sebab Adipati 

Gupta pada gilirannya harus pula mampus di tangan-

ku, setelah sebelumnya kubuat dia jadi kelabakan...!"

"Keparaaat...! Jadi engkaulah yang disebut-sebut 

oleh seorang pendekar muda, sebagai biangnya penye-

bar Racun Pembasmi Iblis?" 

Mendengar disebut-sebutnya 'Racun Pembasmi 

Iblis' laki-laki pemegang tasbih yang bernama Ki Sapta 

Rengga itu tampak membelalakkan matanya. Sama se-

kali dia tiada menyangka kalau masih saja ada orang 

lain yang mengetahui siapa dirinya. Tapi sebagaimana 

sifatnya yang sering berterus terang, maka kali ini di-

apun mengakui dengan pasti.

"Tabib Sapta Rengga, namaku! Racun Pembasmi 

Iblis hasil ciptaanku! Dan semua orang yang ada di ko-

long langit ini akan kujadikan manusia-manusia per-

cobaan dari semua hasil ciptaanku...!"

"Keparat...!" maki Kakek Buta sudah tak mampu 

lagi membendung amarahnya. "Aku benar-benar akan 

mengadu jiwa dengan-mu...!" teriak kakek itu kalap, 

dan serta merta dia hantamkan tongkatnya ke depan. 

Tapi dengan sangat mudahnya Ki Sapta Rengga meng-

kelit serangan kilat yang dilakukan oleh Kakek Buta 

Tanpa Nama. Hanya sambaran angin saja yang terasa 

menerpa tubuh Ki Sapta Rengga, sementara tongkat 

itu sendiri menerpa tempat yang kosong. Tampak debu 

mengepul di udara. Laki-laki pemegang tasbih itu ke-

luarkan suara tawa bergelak-gelak.


Kakek Buta Tanpa Nama menyadari kalau saat 

itu dia sedang berhadapan dengan seorang tokoh sesat 

yang tiada terukur kesaktiannya. Bahkan dia pun me-

nyadari pukulan tongkatnya yang diberi nama 'Tongkat 

Baja Menghantam Setan Kembar' yang tiada duanya 

itu masih mampu dikelit oleh pihak lawan. Ini menan-

dakan bahwa Ki Sapta Rengga ternyata memang selain 

seorang pencipta segala macam racun, ternyata juga 

memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Tiada pilihan 

lain lagi, sebelum pihak lawan sempat berbuat sesua-

tu, maka dengan mempergunakan jurus tongkat 'Badai 

Gila Menerpa Gurun', Kakek Buta Tanpa Nama kemba-

li menyerang Ki Sapta Rengga dengan segenap ke-

mampuannya.

"Wuuut... wuuut...!"

Tongkat di tangan Kakek Buta kembali menderu 

mengintai pertahanan Ki Sapta Rengga yang lowong. 

Dengan mengerahkan tenaga dalamnya pada bagian 

tangan, Ki Sapta Rengga dengan berani memapaki 

hantaman tongkat tadi.

"Duuk...!"

"Plaaak...!"

Begitu tongkat di tangan Kakek Buta membentur 

tangan Ki Sapta Rengga, tubuh laki-laki itu terhuyung. 

Tidak berhenti sampai di situ saja, satu tamparan ke-

ras membuat tubuh Kakek Buta terbanting roboh.

"Auuung... kek... kek... kek...!" Lepas tawa laki-

laki berwajah seram itu melihat si Kakek Buta tergul-

ing-guling dan kerengkangan bangkit kembali. "Sebe-

lum kau mampus dengan Racun Pembasmi Iblis milik-

ku, memang tak salah kalau aku terpaksa harus men-

jajal permainanmu itu, tua buta...!" dengus Ki Sapta 

Rengga.

Bagai orang tuli saja, Kakek Buta Tanpa Nama 

langsung berdiri pada posisi, kemudian dia putar


putarkan tongkatnya, sehingga membentuk sebuah 

benteng pertahanan yang kokoh. Sementara itu tangan 

kirinya telah pula bersiap-siap melakukan satu puku-

lan jarak dekat.

"Beet! Wuuuus...!"

Satu sabetan satu tusukan tongkat disertai den-

gan satu pukulan yang bernama 'Macan Sehari Tiga', 

datang menghantam tubuh Ki Sapta Rengga yang diam 

tiada bergerak. Satu sambaran angin yang sangat ke-

ras langsung menghajar tubuh laki-laki berpakaian 

ungu ini.

"Buuuum...!"

Terdengar satu ledakan terasa menggoncangkan 

bukit itu, celakanya malah tubuh si Kakek Buta yang 

terpental jauh, bahkan hampir terpental ke dalam ju-

rang. Sedangkan Ki Sapta Rengga hanya tergetar saja, 

sambil geleng-gelengkan kepalanya.

"Hek... permainan tongkat yang tiada guna! Juga 

pukulan yang tiada bermutu...!" maki laki-laki bertas-

bih itu dengan wajah memerah. "Permainanmu yang 

tiada guna kurasa cukuplah sudah. Kini tibalah gili-

ranmu untuk mampus...!" teriak laki-laki iblis ini. Se-

detik kemudian dia sudah rangkapkan kedua tangan-

nya di atas kepala. Sekejap mulutnya berkomat kamit. 

Tasbih dia kalungkan ke bagian leher. Sedangkan ke-

dua tangan yang telah menyatu itu tampak menggele-

tar, tubuh basah oleh keringat. Tak sampai sepemakan 

sirih, kedua tangan yang menyatu tadi telah pula men-

geluarkan uap berwarna hitam. Tubuh Ki Sapta Reng-

ga kini telah terbungkus kabut yang semakin menebal. 

Bersamaan dengan semakin menebalnya kabut hitam 

yang menyelimuti diri Ki Sapta Rengga, maka tercium 

pula bau busuk yang sangat mengganggu pernapasan 

Kakek Buta Tanpa Nama. Ketika dia menyadari bahwa 

sesungguhnya bau busuk itu mengandung racun yang


sangat mematikan. Segalanya terasa sudah sangat ter-

lambat. Tapi dia masih berusaha menutup jalan per-

napasannya. Kemudian manakala Ki Sapta Rengga me-

luruk ke arah dirinya dengan satu pukulan 'Racun 

Pembasmi Iblis'. Maka Kakek Buta Tanpa Nama han-

tamkan tongkatnya ke depan. 

"Braak...!"

Tongkat di tangan Kakek Buta hancur berkeping-

keping, satu pukulan mempergunakan tangan kanan 

dengan telak menghantam tubuh renta Kakek Buta 

Tanpa Nama. Tidak berhenti sampai di situ saja, Ki 

Sapta Rengga hamtamkan pula tangan kirinya ke arah 

bagian perut lawannya. 

"Hoeeeek...!"

Darah muncrat dari mulut Kakek Buta Tanpa 

Nama, darah yang menyembur itu berwarna hitam pe-

kat. Ketua perkampungan orang-orang cacat ini tak la-

gi sempat mengeluh, jangankan lagi melolong. Dalam 

waktu sebentar saja tubuhnya telah berubah menghi-

tam secara keseluruhan. Lalu tubuh renta tanpa nya-

wa itu pun ambruk untuk selama-lamanya. Ki Sapta 

Rengga tergelak-gelak tanda puas, kemudian terdengar 

pula suara lolongannya yang tak ubahnya bagai seriga-

la kelaparan.

"Kaum persilatan sebentar lagi memang akan ku-

buat cerai berai. Tak satu orangpun tokoh yang kua-

nggap sakti kuberi hidup. Jangankan cuma Adipati 

Gupta manusia pengecut yang tak tahu membalas bu-

di itu...! Kek... kek... kek...!" Laki-laki berpakaian ungu 

itu tiba-tiba saja hentikan tawanya. Sejurus matanya 

memandang ke arah lereng bukit bawah sana. Tampak 

olehnya beberapa orang laki-laki sedang memasuki 

perkampungan orang-orang cacat yang hanya dihuni 

oleh beberapa gelintir manusia saja.

Dengan cermat Ki Sapta Rengga mengawasi gerak



gerik orang-orang yang berada di bawah bukit itu.

"Aku merasa yakin orang-orang itu pasti meru-

pakan kaki tangan Adipati Gupta! Hek... kek... kek...! 

Ada baiknya kalau aku menyingkir dulu, atau kupapak 

mereka di bawah lereng bukit sana!" batin Ki Sapta 

Rengga sambil berlalu dari bukit itu.

***

Saat itu rombongan Ranggas dan kawan-

kawannya tampak sudah mulai memeriksa keadaan di 

sekitar perkampungan orang-orang cacat yang sudah 

berantakan. Tak terlihat sesuatu yang mencurigakan 

di sana, kecuali beberapa orang bisu berpakaian gem-

bel yang ternyata sangat sulit untuk diajak bertanya 

jawab. Sementara di bagian halaman rumah perkam-

pungan orang cacat yang tak ubahnya bagai sebuah 

kandang ayam itu. Tampak berpuluh-puluh mayat 

bergelimpangan tak tentu ujudnya. Dengan teliti Rang-

gas, Margono dan Karsa memeriksa keadaan mayat-

mayat itu. Setelah melakukan pemeriksaan sana sini. 

Salah seorang dari mereka kemudian berteriak sembari 

membalikkan tubuh mayat yang sedang dihadapinya.

"Lihat! Ini mayat Kali Gundil dan Bungkring...!" 

desis Ranggas dengan mata membelalak tak percaya. 

Dengan tergesa-gesa beberapa orang lainnya segera 

mendatangi Ranggas, dan ternyata memang benar 

bahwa mayat itu tak lain merupakan mayat Kali Gun-

dil dan Bungkring, dua orang tokoh persilatan yang 

mereka sewa.

"Agaknya telah terjadi pembantaian di sini!" gu-

mam Karsa, tanpa sadar meraba bagian hulu pedang-

nya.

"Mungkinkah Kali Gundil dan Bungkring yang 

melakukan pembunuhan terhadap orang-orang cacat


ini, lalu kemana perginya Suroso dan Kethu Dadap? 

Padahal mereka pergi secara bersama-sama...!" ucap 

Margono penuh tanda tanya.

"Heh... benar! Kemana perginya kedua orang itu? 

Atau mungkinkah ada orang lain lagi, yang telah mem-

bunuh orang-orang kita. Lihatlah... luka di bagian pe-

rut kawan-kawan kita ini bagai bekas sabetan senjata 

yang sangat tajam! Tak mungkin ketua perkampungan 

orang-orang cacat yang telah melakukannya!"

"Tapi Kakek Buta Tanpa Nama juga tidak ada di 

tempat...!" membantah salah seorang anggota rombon-

gan.

"Kalau begitu pasti ada orang lain yang telah me-

lakukan pembantaian di sini!" sergah Ranggas menarik 

satu kesimpulan. Karsa maupun Margono tampak sa-

ma-sama terdiam. Mereka tenggelam dalam pikiran 

masing-masing. Tapi sesaat setelah itu kesunyian itu 

pun terpecah dengan terdengarnya suara Margono.

"Melihat mayat orang-orang cacat ini, rasa-

rasanya, pembunuhannya tidak dilakukan oleh seo-

rang saja, dua orang atau bahkan lebih. Bukan tak 

mungkin Kali Gundil dan Bungkring yang telah mela-

kukan penyerangan terhadap orang-orang cacat ini. 

Kemudian datang seseorang berusaha menyelamatkan 

orang-orang yang malang! Sayang sekali Kali Gundil 

dan Bungkring terlalu bertindak ceroboh, sehingga se-

kian banyak korban tanpa dosa menjadi pelampiasan 

tindakan yang membabi buta...!" keluh Karsa menye-

salkan.

"Hei... Paman bisa mengambil kesimpulan seperti 

itu, apakah paman mengenal siapa orang-orang cacat 

di sini?" tanya Margono curiga.

"Kenal mereka secara keseluruhan, sih tidak! Ta-

pi aku mengenal Kakek Buta Tanpa Nama yang jadi 

pimpinan mereka dengan baik! Seharusnya kita merasa tak perlu untuk mencurigai mereka secara berlebih-

lebihan. Karena mereka pun selama hidupnya tak per-

nah pula mencampuri segala urusan yang berhubun-

gan dengan dunia luar...!"

"Bukankah asalnya wabah itu berasal dari Rimba 

Buangan ini...?" bantah Ranggas. Laki-laki dari Gu-

nung Semeru itu angguk-anggukkan kepalanya.

***

SEPULUH



Seraya pun berucap: "Kalau memang benar, itu 

bukan berarti orang-orang cacat itu yang menjadi pe-

nyebabnya. Mungkin saja ada orang lain yang sengaja 

memanfaatkan tempat ini menjadi sarangnya dalam 

bergerak...!"

"Kejadian-kejadian yang mencurigakan! Tapi aku 

tak pernah dan belum melihat se-suatu yang ada hu-

bungannya dengan wabah penyakit itu!" keluh orang 

kepercayaan Adipati Gupta yang bernama Ranggas.

"Sudahlah tak ada gunanya kita saling bertanya-

tanya. Ada baiknya kalau kita meneruskan penca-

rian...!" kata Margono. Namun belum lagi rombongan 

utusan adipati yang berjumlah delapan orang itu sem-

pat beranjak meninggalkan perkampungan orang-

orang cacat. Tiba-tiba salah seorang dari kelima orang-

orang cacat yang tersisa, tampak menyeruak dari da-

lam sebuah gubuk yang sudah berantakan. Orang ini 

selain memiliki cacat lahir pada kedua belah tangan-

nya, ternyata juga gagu (alias tidak bisa bicara). Sete-

lah berlari-lari mendekati mereka, kemudian tanpa 

merasa curiga apa pun dengan mempergunakan seba-

tang ranting yang terkepit pada bagian ketiaknya kayu


itu dia tudingkan ke arah atas bukit.

"Hei... apa maksudmu..?" tanya Margono tiada 

mengerti.

"Auu... auuu...!"

"Coba biar aku saja yang menanyainya!" kata 

Karsa yang sedikit banyaknya mengetahui bahasa 

isyarat. Beberapa saat kemudian pertanyaan demi per-

tanyaan dilontarkan oleh laki-laki dari Gunung Semeru 

ini.

"Apa yang ingin kau katakan..,?" tanya Karsa, 

dan laki-laki itu pencong-pencongkan bibirnya ke atas 

dan ke bawah. "Kau bilang ketuamu mendaki ke atas 

bukit itu?" Laki-laki tiada bertangan itu angguk-

anggukkan kepalanya. Kemudian dia menggerak-

gerakkan bibirnya lagi.

"Ha.... .... dia bilang... dari atas bukit sanalah 

sumber terjadinya malapetaka...!" kata Karsa setelah 

sedapatnya berusaha mengerti apa yang dikatakan 

oleh si cacat gagu barusan.

"Hhh.... Mungkin dari sanalah kita bisa memulai 

pemburuan terhadap biang kerok penyebab terjadinya 

wabah penyakit itu...!" selak Margono.

"Kita ke sana sekarang...!" perintah Ranggas. Ke-

mudian tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, mere-

ka pun bergerak ke arah bukit. Namun tak sampai se-

tengah jam kemudian rombongan itu mulai melintasi 

batu-batu yang sangat tajam. Namun dengan mengan-

dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai 

taraf sempurna, rombongan itu pun dapat melalui dae-

rah berbatu itu dengan sangat baik. Namun menuju 

jalan mendaki yang berada di depannya lagi, keadaan 

jalan yang mereka lalui terasa sulit dan licin. Berulang 

kali mereka hampir saja tergelincir jatuh.

"Wuuust...!"

Tanpa mereka duga, tiba-tiba satu sambaran angin yang begitu keras menerpa dengan telak tubuh me-

reka ini.

"Sialan...!" maki Ranggas dan lain-lainnya hampir 

bersamaan. Mereka jatuh terguling-guling. Namun ti-

dak percuma karena sesungguhnya mereka ini terdiri 

dari orang-orang pilihan. Andai tidak sudah dapat di-

duga serangan gelap yang datangnya secara mendadak 

itu pasti membuat tubuh mereka jatuh ke dalam ju-

rang yang lumayan dalamnya. Dengan sigap mereka 

segera bangkit kembali, kemudian membentuk sebuah 

pertahanan dengan posisi melingkar dengan posisi 

punggung saling berhadap-hadapan.

"Pembokong gelap! Cepat-cepatlah tunjukkan

muka, kalau tidak jangan kau salahkan kami...!" teriak 

Ranggas dan Margono hampir bersamaan. Suara teria-

kan mereka menggema menjarah sampai ke lereng bu-

kit bahkan hingga sampai pada tebing batu yang san-

gat curam itu. Sesaat kemudian adalah kesunyian 

yang mencekam. Namun utusan Adipati Gupta itu ti-

dak bisa lengah dari kewaspadaan.

"Tidak seorang pun muncul dari depan sana! Pu-

kulan yang hampir saja mencelakakan kita tadi sudah 

jelas bukan pukulan biasa, bahkan aku yang sudah 

tua lapuk ini dapat merasakan bahwa di sekitar tem-

pat ini terdapat hawa racun jahat. Berhati-hatilah kita. 

Siapa tahu nyawa kita masih melekat hingga kita da-

pat kembali ke kadipaten dengan keadaan utuh...!" 

menggumam laki-laki dari Gunung Semeru melalui il-

mu menyusupkan suara.

"Kita tak mungkin bertahan seperti ini secara te-

rus menerus, Paman Karsa...!" jawab Margono, juga 

melalui ilmu menyusupkan suara.

"Atau ada baiknya kalau kita terus mendaki bukit 

jahanam ini hingga sampai pada puncaknya...?" desah 

Ranggas memberi usul.


"Jangan, terlalu berbahaya andai kita melaku-

kannya! Aku yakin, si keparat itu berada tidak begitu 

jauh di sekeliling kita. Atau bahkan mungkin sekarang 

ini si penyebar maut itu malah sedang mentertawakan 

kita...!" kata Karsa, melalui ilmu mengirimkan suara 

itu masih juga dia sempat bercanda demi mengurangi 

ketegangan.

"Paman! Aku tak suka kau bertingkah konyol se-

perti itu, seharusnya kita pecahkan bagaimana jalan 

keluarnya...!" kata Ranggas dengan wajah memerah. 

Gusar. 

"Jangan bertindak gegabah, tak ada gunanya kita 

melakukan tindakan ceroboh. Salah-salah nyawa kita 

yang akan melayang."

"Tapi apakah kita harus tetap bertahan dengan 

posisi menggelikan seperti ini? Orang-orang persilatan 

pasti akan mentertawai kita andai mereka sampai me-

lihat kepengecutan ini...!" sentak Margono masih den-

gan mempergunakan ilmu mengirimkan suara. Karsa 

geleng-gelengkan kepalanya, detik kemudian dilayang-

kannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan tem-

pat di mana pukulan gelap tadi berasal. Karena selain 

sebagai tokoh persilatan dan kiranya juga Karsa meru-

pakan seorang ahli kebatinan. Maka tak salah kalau

saat itu sepasang matanya yang telah berubah meme-

rah saga dapat melihat sepasang mata yang mirip den-

gan mata binatang buas tampak mengintai ke arah 

mereka dari jarak tak kurang dari dua puluh tombak. 

Mengkirik bulu tengkuk laki-laki berbadan kecil dari 

Gunung Semeru itu dibuatnya. Tanpa sadar kemudian 

dia berkata,

"Benar! Musuh tidak begitu jauh lagi di depan ki-

ta, celakanya kita sekarang berada dalam posisi yang 

tidak menguntungkan. Aku tak tahu, apakah pemilik 

sepasang mata dalam kelebatan pohon itu, binatang


menjijikkan, jin setan atau apa. Tapi aku merasa ada 

darah siluman mengalir dalam tubuhnya...."

"Apa maksudmu, Paman! Kau jangan bi-kin bin-

gung kami. Di depan sana aku tak melihat apa-apa...!" 

kata Margono dengan perasaan serba tak menentu.

"Kalian memang tak melihat. Tapi mata batinku 

melihat dengan jelas...!" bantah laki-laki berbadan 

pendek kurus itu dengan bibir terus berkomat kamit 

membacakan sesuatu yang tak jelas.

"Sukur-sukur Adipati Gupta tak pernah muncul 

di Rimba Buangan ini. Sehingga dia akan memerintah 

daerahnya hingga akhir hayatnya. Tapi kalau orang-

orang dari kadipaten sampai ke mari semua, alamat 

celakalah kita...!" Akhirnya habislah sudah kesabaran 

Ranggas, Margono dan yang lain-lainnya. Apalagi kata-

kata Karsa semakin melantur tak menentu. Selanjut-

nya tanpa mempergunakan ilmu menyusupkan suara 

lagi, Margono berkata ketus:

"Bicaramu semakin kacau balau, Paman...! Pa-

dahal semua orang juga tau kau bukan seorang pema-

buk! Apalagi sinting...! Namun kami semakin tak men-

gerti saja dengan apa yang kau katakan...!" kata laki-

laki berkumis tipis itu.

Karsa terdiam, sepasang matanya tampak mem-

beliak bagai hendak melompat ke-luar. Semua keane-

han yang terjadi atas diri Karsa kiranya tak luput dari 

perhatian Margono dan kawan-kawannya. 

"Ada apa, Paman...!"

"Musuh sudah datang...!" jawab Karsa sambil 

menunjuk ke arah depan mereka. Apa yang baru saja 

dikatakan oleh Karsa memang tak dapat dipungkiri, 

karena sebentar kemudian berhembuslah angin yang 

sangat kencang. Disertai dengan suara lolongan seriga-

la hutan. Kemudian terendus bau yang sangat busuk. 

Serta merta, tampak sesosok tubuh melayang dari ke



rimbunan pohon. 

"Jleeekgh...!"

Di atas sebuah batu besar, sosok tubuh berpa-

kaian ungu telah berdiri di sana. Sepasang matanya 

yang menjorok ke dalam tampak berkilat-kilat penuh 

kesadisan ketika menyapu pandang pada orang- orang 

kadipaten, kemudian sesungging senyum maut meng-

hias di bibirnya yang berwarna hitam pekat. Hanya 

Karsa seorang yang tiada merasa terkejut atas kehadi-

ran orang ini, sedangkan Margono dan Ranggas sam-

pai keluarkan suara memekik: 

"Tabib Canda Muka...?" seru Margono, dengan 

mata membelalak tak percaya.

"Bukankah engkau telah mati...?" tanya Ranggas, 

secara tak sadar dia sudah meraba bagian hulu pe-

dangnya. Si jubah ungu hanya keluarkan suara meng-

gereng bagai suara lolongan serigala lapar.

"Tabib Canda Muka memang telah mampus! Ju-

stru karena itu hanya nama samaran belaka. Sedang-

kan namaku yang sebenarnya adalah Tabib Sapta 

Rengga dari Gunung Tengger...!" kata laki-laki peme-

gang tasbih muka menyeramkan itu ketus.

"Hah...!" Mata Margono semakin membelalak le-

bar. Sementara tubuhnya tersentak ke belakang.

"Jadi betul, kau iblis penyebar wabah penyakit 

misterius itu...?" tanya Ranggas masih kurang begitu 

yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. 

"Tak salah...!"

"Mengapa kau lakukan itu, bukankah selama ini 

kau bersahabat baik dengan Adipati Gupta...?" Laki-

laki berwajah menyeramkan itu, lagi-lagi mendengus.

"Secara lahiriah memang aku bersahabat baik 

dengan junjunganmu itu, namun secara batin, aku 

menaruh dendam dengannya setinggi langit...!"

"Tidak salahkah apa yang kudengar?" tanya Margono semakin keheranan.

"Sama sekali tidak! Hek... hek... hek...! Sebenar-

nya aku segan memberi penjelasan pada anjing-anjing 

Adipati. Tapi karena kalian termasuk dalam daftar 

orang-orang yang harus mampus. Kukira tak ada sa-

lahnya kalau aku memberi sedikit penjelasan pada ka-

lian...!" Ki Sapta Rengga alias Tabib Canda Muka, tam-

pak terdiam sesaat lamanya. Suasana dingin mence-

kam menyelimuti utusan dari kadipaten. Kemudian Ki 

Sapta Rengga menyambung: "Sedikit banyaknya kalian 

pasti tau bahwa Adipati Gupta tidaklah terpilih menja-

di seorang adipati, andai bukan aku yang membantu 

dia dalam melenyapkan nyawa Adipati Tambak Yoso. 

Aku yang telah meracuninya, sehingga adipati tua 

Tambak Yoso tewas secara misterius. Kalian pikir apa-

kah semua itu tidak ada imbalannya? Huh... Adipati 

Gupta keparat itu telah memberiku janji yang muluk-

muluk. Katanya aku akan diberi hadiah sebidang ta-

nah yang luas. Sebuah istana yang bagus, juga sepu-

luh istri yang cantik-cantik. Tak taunya janji hanya 

tinggal janji, bahkan dia malah mengulur-ngulur wak-

tu...! Kalau aku dapat secara tidak langsung mengang-

kat derajat hidupnya. Apakah kalian pikir aku tak 

mampu menjatuhkan martabatnya...?" sentak Ki Sapta 

Rengga dingin.

"Bicaramu ngaco, tabib celaka! Adipati Gupta 

menduduki jabatan itu melalui pemilihan yang sah...!" 

bantah Ranggas merasa sangat tersinggung.

"Omong kosong! Aku mengetahui apa yang tidak 

kalian ketahui...!"

"Keparat! Kau benar-benar telah menghina adipa-

ti...!"

"Bukan hanya sekedar menghina saja, tapi tidak 

lama lagi, jiwanya pun akan kurenggut...!" ancam Ki 

Sapta Rengga. Kata-kata laki-laki berpakaian ungu itu


benar-benar telah membuat kesabaran Ranggas dan 

kawan-kawannya hilang sama sekali. Detik kemudian 

dengan disertai kemarahan yang meluap-luap. Kedela-

pan orang itu pun langsung melakukan serangan-

serangan gencar.

Pertarungan sengit di celah yang sempit itu pun 

tak dapat dihindari lagi. Walau pun Ki Sapta Rengga 

mendapat keroyokan sedemikian rupa dari orang-

orang yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Tapi 

masih belum terlihat tanda-tanda dirinya menjadi ke-

teter. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tu-

buh yang sudah sangat sempurna. Tubuhnya terus 

berkelebat di antara cecaran serangan pihak lawannya. 

Kenyataan ini sudah barang tentu di luar perhitungan 

Margono dan Ranggas, yang selama ini mengetahui se-

cara pasti. Bahwa Tabib Canda Muka yang sesung-

guhnya, tidak memiliki ilmu silat yang luar biasa selain 

ilmu ketabiban. Tapi kenyataannya, kiranya Tabib 

Canda Muka alias Ki Sapta Rengga merupakan tokoh 

persilatan yang sangat tangguh. Bahkan dalam perta-

rungan sengit menjelang lima belas jurus itu. Jangan-

kan serangan kedelapan orang itu mencapai sasaran 

dengan baik. Sebaliknya menyentuh pakaiannya saja 

tak dapat. "Benar-benar sangat keterlaluan sekali, ma-

nusia iblis ini" membatin Margono.

"Sebelum mampus, aku memang suka memper-

mainkan setiap lawan supaya jangan mati penasa-

ran...!" celetuk Ki Sapta Rengga sambil terus tergelak-

gelak. Tanpa memperdulikan ocehan Ki Sapta Rengga, 

orang-orang itu segera mencabut senjatanya masing-

masing.

"Sriiing! Sriiing...!"

Senjata pedang di tangan mereka tampak berki-

lat-kilat diterpa cahaya matahari.


SEBELAS


Tapi walaupun Ki Sapta Rengga telah melihat pi-

hak lawan telah mencabut senjatanya. Tetap saja dia 

masih kelihatan masih tenang-tenang saja.

"Keluarkanlah semua kebisaan kalian! Masih ku-

beri waktu untuk memamerkan ilmu silat picisan yang 

kalian miliki...!"

"Jahanam...! Kau harus mampus di tangan kami, 

tabib keparat...!" teriak salah seorang utusan Adipati 

Gupta sambil melompat dan hantamkan senjatanya ke 

bagian dada si laki-laki pemegang tasbih. Sambaran 

angin yang sangat kuat menderu ke arah Ki Sapta 

Rengga. Tiada mengelak laki-laki berwajah angker ini 

kembangkan sebelah tangannya. Sedangkan tangan 

yang lain terkepal membentuk tinju, kemudian dia 

hantamkan ke muka.

"Creep! Pletak...!" 

"Braaak...!"

Tangan kiri berhasil menangkap pedang di tan-

gan lawan, sekaligus membetot dan mematahkannya, 

sedangkan tangan kanan berhasil memukul hancur 

wajah salah seorang dari utusan kadipaten itu. Dengan 

muka remuk, laki-laki malang itu terbanting tubuh-

nya, berkelojotan sesaat kemudian terdiam untuk se-

lama-lamanya.

"Bagus, majulah semuanya! Aku pasti akan me-

layani kalian dengan senang hati!" kata Ki Sapta Reng-

ga dengan diiringi tawa menggidikkan.

"Heaa.... ciaaat...!"

"Weeer...! Weeeeer...!"

Senjata di tangan Margono dan Karsa menderu 

laksana kilat, saat itu dari bagian belakang Ki Sapta 

Rengga, senjata yang sama juga tampak meluruk ke


arahnya. Laki-laki berpakaian ungu itu hantamkan 

dua pukulan berturut-turut ke arah belakang dan mu-

ka. Dua larik gelombang bersinar hitam kebiru-biruan 

menghajar mereka dengan telak. Sementara Margono 

dan Ranggas serta Karsa mampu mengelakkan puku-

lan yang datang dengan cepat berguling-guling. Seba-

liknya keempat orang kawan mereka yang berada di 

bagian belakang Ki Sapta Rengga, sudah tak sempat 

lagi.

"Breeess...!"

Bagai ranting kering tubuh keempatnya tersapu 

pukulan Ki Sapta Rengga, celakanya di belakang me-

reka merupakan sebuah jurang yang menganga. Hing-

ga tanpa dapat dicegah lagi tubuh yang sudah dalam 

keadaan hangus akibat terkena pukulan beracun itu 

melayang ke bawah. Sementara di dasar jurang sana, 

batu-batu yang sangat tajam telah pula siap memang-

gang tubuh mereka. Tidak lagi terdengar lolongan 

maut saat mana keempat tubuh yang sudah tiada ber-

daya itu menghantam batu yang berada di dasar ju-

rang itu hingga menimbulkan suara berdebum. Demi 

melihat kematian keempat kawannya hanya dalam 

waktu segebrakan saja, bukan main marahnya Margo-

no, Ranggas dan Karsa.

"Kau... kau telah membunuh kawan-kawan ka-

mi...?" jerit Margono. "Cincang iblis berkedok manusia 

ini...!" perintah laki-laki berbadan tegap itu, kalap.

"Ha... hak... hak...! Cincang bagian mana saja

yang kalian suka...!" bentak Ki Sapta Rengga dengan 

sikap pasrah. Tak ayal lagi sambaran-sambaran senja-

ta di tangan mereka datang menggebur. Kemudian 

menghunjani tubuh Ki Sapta Rengga dari berbagai 

penjuru. Namun ternyata tubuh laki-laki berpakaian 

pendeta itu tidak mempan dengan bacokan-bacokan 

senjata di tangan mereka. Tiada perduli lagi, Karsa,


Margono dan Ranggas terus membabatkan senjatanya 

ke sekujur tubuh Ki Sapta Rengga.

"Craak... craaak... craaak...!"

"Terus... terus hantam mana saja yang kalian su-

ka...!" kata Ki Sapta Rengga dengan disertai tawa ber-

gelak-gelak.

"Keparat... ternyata iblis ini kebal segala macam 

senjata...!" teriak Margono. Dan tampaknya mereka 

merasa tak putus asa, pukulan dan babatan pedang 

mereka lakukan secara silih berganti, namun hanya 

pakaian laki-laki itu saja yang tercabik-cabik di bebe-

rapa bagian sehingga Ki Sapta Rengga nyaris tak ber-

baju.

"Creeep...!"

"Kurasa cukup waktu bagi kalian untuk main-

main dengan Tabib Sapta Rengga. Lihatlah betapa pa-

kaianku yang mahal ini harus kalian gantikan dengan 

jiwa kalian"

"Creeep...!"

Dua kepala dengan dua kali renggut telah berada 

dalam cengkeraman jemari tangannya. Margono dan 

Ranggas meronta-ronta, namun semakin dia memper-

hebat gerakannya, maka semakin bertambah eratlah 

cengkeraman tangan itu.

"Hrrr...! Kalian sekejap lagi akan mampus secara 

mengerikan...!" geram Ki Sapta Rengga menggeram. 

Menyadari bahaya yang sedang mengancam keselama-

tan kawan-kawannya, maka Karsa pun tidak tinggal 

diam. Dia hantamkan pukulan 'Segara Geni', yang se-

lama ini merupakan pukulan maut yang sangat dian-

dalkannya. Dengan sangat cepat begitu dia mengerah-

kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangan kanan-

nya, maka beberapa saat kemudian tangan itu telah 

berubah pula menjadi merah laksana bara.

Alis mata Ki Sapta Rengga tampak mengkerut,


tapi dia juga tak melepaskan rambut lawannya yang 

masih tetap berada dalam genggaman tangannya. Di 

luar sepengetahuan Karsa, Ki Sapta Rengga telah pula 

mengerahkan Racun Pembasmi Iblis ke segenap tu-

buhnya.

"Haaaaaat...!"

Tubuh Karsa langsung melompat dan hantamkan 

tangan kanannya yang telah berubah merah laksana 

bara.

"Buuuk...!"

"Wuaaaah...!"

Terdengar jeritan, keluar dari mulut Karsa. Se-

mentara itu, tubuh laki-laki dari Gunung Semeru itu 

terhuyung-huyung ke belakang. Rupanya ketika dia 

menghantamkan tangan kanannya ke bagian dada la-

wan tadi, selain pukulan miliknya membalik dan 

menghantam tubuhnya sendiri. Kiranya tangannya 

yang sempat menyentuh dada lawan yang mengan-

dung racun ganas tak dapat dia elakkan lagi, tak dapat 

disangkal kalau kemudian dengan sangat cepat dia be-

rusaha menyelamatkan diri dengan cara menarik balik 

serangan itu. Namun terlambat karena selain terkena 

pukulannya sendiri tapi juga 'Racun Pembasmi Iblis' 

milik Ki Sapta Rengga sempat tersentuh oleh laki-laki 

itu.

"Hoeeeeekgh...!"

Dengan mata melotot, Karsa muntahkan darah 

kental berwarna hitam pekat. Tidak sampai di situ sa-

ja, secara perlahan namun pasti, sekujur tubuh Karsa 

pun mulai mengalami perubahan. Mula-mula tubuh 

yang sudah tiada nyawa itu, tampak pucat bagaikan 

kapas. Semakin lama berubah kebiru-biruan hingga 

menghitam.

"Hek... hek... hek...! Lihat... lihatlah kematian 

kawan-kawan kalian itu! Menggelikan. Konyol... dan...!


Sebentar lagi giliran kalian berdua...!" kata Ki Sapta 

Rengga. Serta merta Ki Sapta Rengga menotok urat ge-

rak Margono dan Ranggas. Tubuh kedua orang itu 

langsung menjadi kaku. Sementara kedua tangan Ki 

Sapta Rengga sekarang telah terangkat tinggi-tinggi di 

atas kepala. Margono dan Ranggas hanya mampu 

membelalakkan matanya saat mana kedua tangan Ki 

Sapta Rengga tampak menggeletar dan mengepulkan 

asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Setelah asap be-

racun itu semakin menebal dan bertambah banyak, 

tiada ragu-ragu lagi. Ki Sapta Rengga bersiap-siap 

dengan posisinya untuk segera lepaskan pukulan be-

racun yang sangat ganas itu.

Tak ada hal lain yang dapat dilakukan oleh 

Ranggas dan Margono, jangankan untuk melawan atau 

pun menghindar. Sedangkan untuk menggerakkan tu-

buhnya saja sudah terasa sangat sulit sekali. Tak ada 

pilihan lain bagi mereka berdua terkecuali pejamkan 

matanya untuk menerima kematian dengan sikap pa-

srah. 

"Hiaaaat...!"

Ki Sapta Rengga menerjang ke depan dengan se-

kali lompatan saja. Namun pada saat-saat yang sangat 

menegangkan itu, dari atas bukit tampak berkelebat 

bayangan merah dengan gerakan sangat cepat sekali. 

"Buuuum...!"

Terdengar satu ledakan keras saat mana bayan-

gan merah tadi berusaha memapaki serangan maut 

yang bersumber dari kekuatan Racun Pembasmi Iblis. 

Tampak tubuh Ki Sapta Rengga terhuyung beberapa 

tindak ke belakang. Sementara si bayangan merah 

dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu men-

gentengi tubuh, setelah berjumpalitan langsung menje-

jakkan kakinya di atas sebuah batu besar. Siapakah 

pemuda berpakaian merah dengan rambut dikuncir



ini? Tak lain dan tak bukan adalah Pendekar Hina Ke-

lana adanya.

Seperti diketahui setelah pemuda itu menolong 

Kakek Buta Tanpa Nama dari serangan, Suroso, 

Bungkring, Kethu Dadap dan Kali Gundil. Buang 

Sengketa meninggalkan perkampungan orang-orang 

cacat begitu saja. Pemuda itu terus memburu ke arah 

bagian Barat Rimba Buangan dengan maksud ingin 

menyelidiki sumber bau bangkai yang sempat dia en-

dus dan berasal dari arah itu. Namun setelah mencari-

cari, di bagian yang dia maksud. Ternyata di sana ti-

dak ada apa-apanya terkecuali sosok mayat yang su-

dah membusuk. Melihat keadaan mayat yang sudah 

tak karuan ujudnya, sadarlah pemuda keturunan raja 

alam gaib itu, bahwa sebenarnya orang itu mati karena 

Racun Pembasmi Iblis. Dia dapat berkesimpulan begitu 

justru sebelumnya dia pernah mengerti berbagai jenis 

racun yang sangat ganas sekali pun. Pemuda ini ak-

hirnya merasa curiga bahwa Rimba Buangan merupa-

kan sarangnya tabib sesat Sapta Rengga, yang telah 

meninggalkan Gunung Tengger beberapa tahun yang 

lalu. Akhirnya Buang Sengketa merasa perlu untuk 

melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu. Barulah 

ketika dia tidak menemukan Ki Sapta Rengga di seki-

tar mayat yang dia temukan, akhirnya pemuda ini 

memutuskan untuk kembali ke perkampungan orang-

orang cacat.

***

DUA BELAS



Kebetulan saat dia sampai di tempat itu, dua 

orang utusan adipati yang pernah dia jumpai pada salah sebuah warung hampir saja mendapat celaka di 

tangan Ki Sapta Rengga. Tanpa sungkan-sungkan pe-

muda itu pun langsung bertindak. Setelah menggagal-

kan pukulan yang dilakukan oleh Ki Sapta Rengga, 

maka kembali tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat 

membebaskan totokan yang dialami oleh Margono dan 

Ranggas. Ketika kedua utusan dari kadipaten itu telah 

terbebas dari pengaruh totokan yang telah dilakukan 

oleh Ki Sapta Rengga, maka keduanya cepat-cepat me-

nyingkir menjauh. Bukan main gusar laki-laki muka 

bengis dari Gunung Tengger itu demi melihat ada seo-

rang bocah asing telah menggagalkan rencananya un-

tuk membunuh orang-orang kepercayaan Adipati Gup-

ta.

Tetapi sedikit banyaknya dia menjadi terkejut ju-

ga, pabila mengingat bahwa pemuda berpakaian gem-

bel itu dengan baik dapat memapaki pukulan bera-

cunnya. Padahal dia menyadari selama ini belum per-

nah seorang tokoh persilatan golongan mana pun yang 

mampu menahan pukulan sakti yang mengandung ra-

cun jahat miliknya. Menurutnya pemuda yang kini se-

dang memandang sinis padanya itu paling-paling baru 

berusia dua puluh satu tahun. Tapi bagaimana mung-

kin bocah semuda itu sudah memiliki tenaga dalam 

yang sudah sangat sempurna, pula tidak mempan 

dengan racun ganas miliknya. Sungguh luar biasa. Ke-

tika Ki Sapta Rengga sedang berpikir atau tepatnya 

merenungkan kehebatan yang dimiliki oleh si pemuda, 

dalam pada itu Buang Sengketa sudah membentak:

"Manusia muka jelek dari Gunung Tengger! Su-

dah berapa banyakkah jiwa yang me-layang karena 

ulahmu...?"

"Heh... kau tau dari mana asal usulku...!" sentak 

Ki Sapta Rengga, dan entah mengapa tiba-tiba saja da-

rahnya bagai tersirep. Jantung terasa kian lambat berdetak: "Ha... mata itu! Rasanya dia bukanlah manusia 

biasa...!" batinnya pula.

"Bahkan aku tau siapa kau yang sesungguhnya 

Ki Sapta Rengga! Cepat kau tarik kembali Racun Pem-

basmi Iblis yang telah kau sebarkan bersama hembu-

san bayu, di beberapa puluh desa...!" perintah Pende-

kar Hina Kelana, secara tak diduga-duga, bersama 

hembusan angin, pemuda itu mengendus adanya bau 

siluman.

"Tidak bisa! Adipati Gupta harus mampus di tan-

ganku dulu...!" bantah Ki Sapta Rengga. "Eee... men-

gapa bicara padanya aku tak selantang ketika aku bi-

cara dengan orang lain? Tatapan matanya terasa me-

nembus ke ulu hati. Suaranya yang pelan itu bagai su-

ara gelegar halilintar! Mungkinkah ini manusianya 

yang masih merupakan titisan rajanya para siluman. 

Andai benar, aku tak mungkin mampu mengalahkan-

nya...!" batin Ki Sapta Rengga. Diam- diam dia mulai 

mempersiapkan segala sesuatunya.

"Aha... ha... ha...!" Tawa pemuda itu, dan dalam 

tawanya itu, Buang menyertakan ilmu 'Lengkingan 

Pemenggal Roh', yang sangat dahsyat itu. Sehingga 

Margono dan Ranggas terpaksa menyumpal lubang te-

linganya dengan kedua jari telunjuknya. Sementara Ki 

Sapta Rengga cukup menutupi telinganya dengan je-

mari tangan terkembang

"Aku tau siapa kau manusia setengah siluman, 

bahkan aku mengenal kembaranmu yang selalu bicara 

melalui perantaraan angin. Aku kenal dengan Batara

Bayu yang selalu memberi peringatan padamu, apakah 

kau masih mau mungkir bahwa Batara Bayu itu se-

sungguhnya masih merupakan saudara kembar mu...!" 

kata Buang Sengketa yang mengenal dengan baik silsi-

lah keluarganya para siluman. Pucat pasi wajah Ki 

Sapta Rengga, tahulah dia kini mengapa tubuhnya terasa lemah tiada bertenaga. Karena sebenarnya saat 

itu dia berhadapan dengan titisan raja negeri alam 

gaib.

"Engkaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kela-

na?" tanya Ki Sapta Rengga menyelidik.

"Tak salah...!"

"Kalau begitu kau merupakan titisan rajanya ne-

geri alam gaib...!" desah laki-laki berpakaian ungu itu 

bagai tak percaya.

"Kalau kau sudah tau, cepatlah kau sujud di de-

panku, kemudian tarik kembali Racun Pembasmi Iblis 

yang telah kau sebar di mana-mana...!" perintah pe-

muda itu.

"Enak saja, kau pikir aku bisa percaya begitu sa-

ja. Huh tidak nantinya aku bersikap seperti itu sebe-

lum kulihat sampai di maha kehebatan titisan raja pa-

ra siluman...!"

"Manusia siluman sepertimu memang terlalu su-

lit untuk diajak kompromi, Ki Sapta Rengga. Mampus-

lah... heeeeeaa...!" Buang Sengketa memang merasa 

tak perlu lagi berdebat dengan Ki Sapta Rengga. Maka 

sebelum manusia setengah siluman itu berkata lebih 

lanjut. Sekali menerjang pemuda ini langsung han-

tamkan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan', tapi Ki 

Sapta Rengga bukanlah manusia bodoh, dia tau puku-

lan yang memancarkan sinar Ultra Violet itu masih 

merupakan hasil ciptaan manusia. Tak ayal lagi, dia 

pun lepaskan pukulan 'Banteng Topan Melanda Iblis'. 

Serangkum sinar berwarna biru melesat memapaki 

pukulan yang dilepas Pendekar Hina Kelana. Dua 

rangkum gelombang dari arah berlawanan menderu 

dahsyat, untuk kemudian saling bertubrukan.

"Blaaar...!"

Lereng bukit Rimba Buangan terasa bagai digun-

cang gempa bumi. Tubuh Buang Sengketa terpelanting


roboh dan langsung muntahkan darah segar. Semen-

tara di pihak lawan hanya tergetar saja.

"Sialan! Dia benar-benar manusia siluman...!" 

gumam pemuda itu, lalu dengan terhuyung-huyung 

dia seka darah yang terus meleleh membasahi bibir-

nya. Setelah itu, cepat-cepat si pemuda mengerahkan 

tenaga dalam untuk melepaskan pukulan 'Si Hina Ke-

lana Merana' yaitu puncak dari segala pukulan sakti 

yang dimilikinya. Ki Sapta Rengga hanya mendengus 

begitu melihat pendekar ini hantamkan tangan kanan-

nya ke depan. Ketika dia melihat berkelebatnya sinar 

merah menyala dan menimbulkan udara panas luar 

biasa. Ki Sapta Rengga hantamkan pula kedua tan-

gannya ke depan. Serangkum gelombang sinar hitam 

pekat dan menebarkan bau bangkai tampak melesat 

lebih cepat lagi.

"Buuuuum...!"

"Aghhk... hoeeeeek...!"

Buang Sengketa kembali muntahkan darah ken-

tal, masih sukur dia kebal terhadap segala jenis racun. 

Andai tidak sudah tentu dia menemui ajalnya sudah 

sejak tadi. Sungguh pun begitu, pemuda ini merasa-

kan kepalanya berdenyut-denyut sakit. Dada semakin 

bertambah sesak dan terasa sulit untuk bernafas. Se-

mentara itu Margono dan Ranggas hanya mampu me-

mandangi Pendekar Hina Kelana, tanpa kuasa untuk 

memberi pertolongan. Di lain pihak, Ki Sapta Rengga, 

tampaknya merasa puas dengan apa yang telah dila-

kukannya. Dia memang menyadari, pendekar titisan 

raja dari negeri alam gaib itu tak mungkin mempan 

dengan jenis racun apa pun yang ada padanya. Tapi 

dia masih punya senjata yang pasti dapat membuat 

remuk batok kepala Buang Sengketa.

Akhirnya tanpa membuang-buang waktu, lagi, Ki 

Sapta Rengga segera mengayunkan senjatanya yang


berupa tasbih. Senjata itu langsung menderu me-

nyambar ke arah bahu lawannya yang masih belum 

siap dengan kuda-kudanya. Menyadari adanya bahaya 

yang mengancam, pemuda itu membuang tubuhnya ke 

samping, selanjutnya terus berguling-guling sambil 

mencabut senjatanya yang berupa Golok Buntung. Be-

gitu senjata menggemparkan itu tergenggam di tan-

gannya, tak ayal lagi dia hantamkan golok itu ke arah 

tasbih yang terus menderu merangsak tubuhnya.

"Traak... praaang...!" 

Secepatnya Buang Sengketa melompat bangkit, 

tasbih di tangan Ki Sapta Rengga hancur berantakan 

terhantam senjata di tangan pemuda ini. Saat itu kea-

nehan pun terjadi. Ki Sapta Rengga tampak meraung-

raung dan undur selangkah demi selangkah ketika la-

ki-laki setengah siluman itu melihat golok pusaka yang 

memancarkan sinar merah menyala.

"Touuubaaat...! Pusaka kebesaran milik raja ne-

geri Bunian. Oh... ampun, aku mengaku kalah...! Ak... 

aku akan a... kan menarik balik wabah penyakit yang 

telah merenggut nyawa banyak orang... tobaat...!" te-

riak Ki Sapta Rengga.

"Kau harus mampus... heaaa...!"

Pendekar Hina Kelana yang sudah kalap ini, te-

rus mencecar dengan senjatanya. Tubuh laki-laki se-

tengah siluman itu terus pula terguling-guling men-

jauh. Dengan mempergunakan sebagian tenaga da-

lamnya, pendekar ini melompat sambil babatkan go-

loknya.

"Craaas...!"

"Wuaaaa...!"

Bersamaan dengan lolongan Ki Sapta Rengga, 

maka bertiuplah angin yang sangat kencang. Dan tiba-

tiba saja tubuh laki-laki setengah siluman itu pun le-

nyap. Beberapa saat setelah lenyapnya tubuh Ki Sapta


Rengga, maka terdengar pula bisikan gaib, yang dapat 

didengar oleh semua orang yang hadir di situ:

"Kuucapkan terima kasih padamu pangeran dari 

negeri Bunian. Aku Batara Bayu, saudara kembar Ki 

Sapta Rengga, saudaraku

itu memang bengal. Tapi jangan khawatir. Sebab den-

gan kekalahannya itu, dia telah menarik balik wabah 

yang telah melanda desa-desa di sekitar sini. Aku 

hanya berpesan, janganlah coba-coba berjanji, apalagi 

dengan para siluman, karena janji itu adalah hu-

tang...!" kata Batara Bayu.

Sekali lagi angin kencang berhembus, maka suara gaib 

itu sudah tak terlihat lagi. Begitu pun Pendekar Hina 

Kelana telah lenyap pula dari hadapan utusan Adipati 

Gupta. Tinggallah Margono dan Ranggas saling pan-

dang dan mengurut dada, karena mereka merasa terlepas dari maut.



                             TAMAT



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar