PRAHARA RIMBA BUANGAN
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Gambar Sampul oleh David
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Prahara Rimba Buangan
SATU
Gelegar petir sambung menyambung, awan hitam
bergumpal-gumpal dan bergerak cepat menuju langit
sebelah Barat. Tidak lagi terlihat kemerahan matahari
senja di ufuk Barat. Suasana keremangan senja telah
berganti dengan kegelapan kabut pekat. Di langit ke-
lam, kembali suara petir menyambut, alam di sekitar-
nya sekejapan menjadi terang benderang. Namun ke-
mudian adalah kegelapan yang nyata. Sementara ge-
rimis mulai menetes membasahi hutan, bukit maupun
lembah-lembah di sekitarnya.
Manakala hujan turun menderas, pada saat itu-
lah tampak seorang laki-laki tua berpakaian serba pu-
tih dengan rambut dan kumis putih berjalan gontai
menelusuri hutan lebat Rimba Buangan. Mempergu-
nakan sebuah tongkat yang selalu menimbulkan bunyi
gemerincing, kakek berpenampilan serba putih ini te-
rus menyeruak hutan belukar di depannya. Sekali-kali
tongkat di tangannya dia gerak-gerakkan ke samping
kanan, kiri dan depan. Seolah ingin memastikan bah-
wa jalan yang akan dilaluinya bukanlah sebuah jurang
yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan dirinya.
Memang sesungguhnyalah bahwa kakek yang
berpenampilan serba putih ini merupakan seorang la-
ki-laki tuna netra yang menjadi ketua perkumpulan
orang-orang cacat di Rimba Buangan, yang banyak di-
kenal oleh kalangan persilatan sebagai si Tanpa Nama
Tongkat Selaksa Perak. Ilmu Tongkat Selaksa Perak
sangat ditakuti oleh berbagai kalangan persilatan. Ka-
rena selain terkenal sangat cepat dan ganas, juga
mempunyai daya tahan yang luar biasa terhadap ben-
turan berbagai senjata tajam dan juga senjata lainnya.
Kini kakek itu tampak hentikan langkahnya, sepasang
matanya yang tak pernah mampu melihat apapun se-
jak masa kecilnya tampak mengerjap. Kemudian ter-
dengar pula suaranya yang serak namun besar.
"He... he... he...! Hujan deras, hujan lagi! Mem-
buat tubuhku yang sudah lapuk ini semakin kisut sa-
ja. Berrrrt... dinginnya alah emak...! Tapi aku tak per-
nah melihat rupamu, dingin! Kalau rasamu memang
ada...!"
"Glegeeeerrr!"
Terdengar petir menyambar, dan tubuh si Tanpa
Nama terlonjak sekejap. Matanya yang tiada melihat
apa-apa itu menengadah ke angkasa kelam.
"Heh... suara makhluk apakah itu, kok bikin ka-
get saja...?" ujarnya tanpa maksud melucu. "Percuma
saja kalau kupelototkan mataku, tak ada bedanya an-
tara siang dan malam, hanya kegelapan saja yang ada.
Huh... andai mataku ini dapat melihat, betapa akan
kutatap wajah bintang dan rembulan, kemudian po-
hon-pohon yang hijau. Lalu...!" Si Kakek Tanpa Nama
diam sesaat, dia tercenung. Dan sepasang matanya
yang buta itu mendadak menyipit. Di wajahnya ada
gurat-gurat kesedihan yang dalam, dan tiada disang-
ka-sangka dua butir air matanya menggelinding jatuh,
menuruni pipinya yang sudah keriputan. Seumur-
umur belum pernah Kakek Tanpa Nama itu menitik-
kan air mata, apalagi menangis. Tetapi kini, mengapa
dia berubah secengeng itu?
"Nasibku tak pernah kupikiri! Tetapi nasib mere-
ka hanya aku yang perduli. Aku tak habis mengerti,
mengapa begitu tega mereka yang punya anak-anak
membuang begitu saja darah daging mereka sendiri.
Cacat seolah sebuah aib yang memalukan, apakah
orang-orang itu tak tahu bahwa cacat bukanlah satu
pilihan mereka yang lahir. Tak seorangpun manusia di
dunia ini berkeinginan dilahirkan sebagai orang yang
memiliki cacat tubuh. Seperti aku juga tak ingin memi-
liki mata yang buta. Semprul! Apa yang mereka derita
kiranya tidak cukup sampai di situ saja. Kini dunia
luar telah pula melemparkan sebuah fitnahan yang keji
terhadap kaum cacat yang tinggal di tengah-tengah
hutan Rimba Buangan. Kaumku yang tersisih mereka
permalukan, mereka benar-benar keterlaluan sekali.
Malapetaka tetap malapetaka, begitu juga musibah pe-
nyakit yang terjadi itu bukan salah kaumku...!" desah
si Tanpa Nama sedih. "Gabruk...!"
Mendadak kakek berpakaian serba putih itu
menjatuhkan diri dan duduk berlutut. Seluruh pa-
kaiannya telah basah oleh siraman air hujan. Tapi dia
tiada memperdulikan keadaan dirinya sendiri, apa
yang ada dalam pikirannya hanyalah tentang nasib
kaum cacat yang saat ini tinggal di Rimba Belantara
Buangan. Mereka semua tentu tak mengetahui apa
yang sesungguhnya sedang terjadi di dunia luar, yang
saat itu sedang meributkan adanya wabah penyakit
menular yang sedang menjangkiti sekian banyak pen-
duduk di seantero kadipaten.
Hampir setiap hari mereka yang terse-rang wabah
penyakit aneh itu menemui ke-matian secara mengeri-
kan. Mula-mula tubuh mereka kejang kemudian diser-
tai muntah yang hanya terdiri darah kental berwarna
hitam. Tubuh orang yang terserang wabah itu pun be-
robah menghitam pula. Hanya beberapa detik setelah-
nya, orang yang terserang wabah penyakit aneh itu
pun menemui kematian. Mereka yang menjadi sesepuh
desa atau pihak lain yang menjadi penanggung jawab
atas ketenteraman kehidupan masyarakat di sekitar-
nya tentu menjadi panik. Terlebih-lebih hampir setiap
hari mereka harus membuat dan menguburkan mere-
ka yang tewas dengan jumlah yang tidak sedikit. Mau
tak mau, puluhan kuburan masal pun mereka gali.
Kakek Tanpa Nama yang selama ini tinggal di tengah-
tengah hutan Rimba Buangan bukan tak berusaha me-
lakukan penyelidikan atas musibah yang diderita oleh
masyarakat di luar golongannya itu. Namun jika sam-
pai mendapat tuduhan bahwa wabah penyakit itu ber-
sumber dari Rimba Buangan sungguh tak masuk akal
bahkan merupakan tuduhan yang tidak beralasan sa-
ma sekali.
Apa yang ditakutkan oleh Kakek Tanpa Nama
adalah bagaimana seandainya sewaktu-waktu mereka
melakukan serbuan ke Rimba Buangan? Fitnahan
yang keji itu harus dia cari dari mana sumbernya, dan
dia sudah bertekad untuk menjelaskan duduk persoa-
lan yang sebenarnya. Tapi mungkinkah mereka mau
percaya begitu saja? Seperti yang dia ketahui selama
ini, Rimba Buangan merupakan tempat penampungan
orang-orang yang memiliki cacat tubuh maupun mere-
ka yang menderita penyakit menahun. Selama ini se-
bagai ketua orang-orang cacat sudah barang tentu cu-
kup mengetahui tentang status orang-orang yang men-
jadi asuhannya. Kalau pun begitu banyak kegiatan
yang mereka lakukan sudah barang tentu berkisar pa-
da bidang bercocok tanam dan sedikit ilmu silat.
"Sangat tidak beralasan kalau mereka yang telah
begitu tega mengucilkan kehidupan kami, sekarang
malah justru menanamkan satu kecurigaan yang tiada
beralasan seperti yang kudengar. Oh... orang-orangku
yang malang, aku merasa tak rela andai kalian menga-
lami nasib yang lebih tragis dari penderitaan panjang
yang kini sedang kalian jalani. Aku merasa bertang-
gung jawab atas keselamatan kalian...!" desahnya. Saat
mana kakek buta ini merasa tidak ada sesuatu mencu-
rigakan di sekelilingnya, kejab kemudian dia sudah
bangkit dari duduknya. Namun ketika ia hendak me-
langkahkan kakinya menuju ke perkampungan orang
orang cacat tempat selama dia tinggal. Kakek Tanpa
Nama ini mendengar suara lolongan panjang bagai
seekor serigala kelaparan. Kemudian bau busuk me-
nyengat hidungnya, seperti bau bangkai yang sudah
mengering, bahkan lebih dari itu. Mengandalkan keta-
jaman penciumannya, walau saat itu perutnya terasa
mual, Kakek Tanpa Nama berusaha mengikuti ke arah
sumber bau tadi. Berjalan tak lebih sepuluh langkah,
kakek tuna netra itu hentikan langkahnya. Wajah
mendongak ke langit. Kemudian bergumam seorang di-
ri. "Hh. Sukur aku berada di daerahku sendiri, bau tak
enak ini datangnya dari sebelah kananku. Dan aku
yakin pastilah Utara. Aku tak tahu ada apa di sana,
kalau kuikuti terus pasti aku akan sampai di sebuah
jurang, kalau suara lolongan itu bersumber dari bina-
tang mungkin aku mampu mengatasinya. Namun an-
dai suara itu berasal dari manusia dan bermaksud ke-
ji, keadaanku semakin bertambah repot. Hemm, bau
tak sedap itu tiba-tiba saja hilang begitu saja. Kurasa-
kan angin dari Utara memang tidak berhembus seken-
cang tadi, ee... baiknya aku pulang ke perkampungan
dan nantinya akan kukabarkan hal ini pada murid-
muridku...!" kata si Kakek Tanpa Nama mengambil sa-
tu kesimpulan. Kakek buta itu kemudian berbalik
langkah, lalu melanjutkan perjalanannya menuju per-
kampungan orang-orang cacat di tengah-tengah hutan
itu. Hujan masih deras ketika tubuh kakek berpakaian
serba putih yang basah itu lenyap di sela-sela kerim-
bunan dedaunan yang lebat.
***
Udara dingin terasa menusuk sampai ke sumsum
tulang, di seluruh seantero desa Lalang. Mungkin juga
desa-desa lain yang bersebelahan dengannya. Langit
kelam tiada berbintang. Tidak tampak lagi bulan sabit
yang senja tadi menampakkan diri. Enggan. Angin laut
mulai berhembus dari pelan hingga kencang. Suasana
dingin yang berselimutkan sepi, membuat penduduk
desa itu sejak sore menutup pintu, mengurung diri di
dalam rumahnya masing-masing. Sesekali terdengar
suara rintihan perempuan di sebuah rumah besar di
tengah-tengah desa itu. Suaranya yang mengerang-
erang terasa membangkitkan rasa kalut dan membuat
berdiri bulu tengkuk yang mendengarnya. Dari rumah
yang lain terdengar pula suara erangan seorang laki-
laki, kemudian dari rumah yang berada di pinggiran
suara yang sama juga terdengar dari mulut seorang
bocah kecil. Selanjutnya adalah isak tangis yang ter-
sendat tertahan dari keluarga yang merasa diting-
galkan. Suara rintihan yang tak ubahnya saling bersa-
hut-sahutan itu, semakin lama semakin jarang terden-
gar. Agaknya malaekat maut telah merenggutkan jiwa-
jiwa yang menderita itu terbebas dari belenggu keseng-
saraan.
Menjelang tengah malam yang terdengar hanya-
lah suara erangan dari rumah besar yang terletak di
tengah-tengah desa itu. Semakin lama suara erangan
itu terdengar semakin lemah, bahkan suara perem-
puan itu nyaris tak terdengar saat mana di luar rumah
besar tadi terdengar seseorang mengetuk daun pintu.
Si pengetuk pintu memang tak terlihat bagaimana
tampangnya, karena 1ampu minyak yang terletak di
teras rumah tak pernah dinyalakan sejak salah seo-
rang di rumah itu menderita sakit keras mulai sema-
lam.
"Tok...! Tok...! Tok...!"
"Siapa...?" tanya suara dari dalam. Menilik sua-
ranya yang berat dan serak, jelas kalau orang yang
bertanya itu dalam suasana berduka.
"Kami, Renggas dan Margono... Tuan Adipati...!"
sahut yang di luar. Orang yang dipanggil sebagai Adi-
pati menarik nafas lega. Kemudian terdengar lagi;
"Masuklah pintu tak terkunci...!" perintahnya.
Orang yang mengaku sebagai Renggas dan Margono
kemudian mendorongkan pintu yang terbuat dari kayu
cendana itu pelan-pelan. Begitu pintu terkuak lebar,
tampaklah suasana di dalam rumah yang serba mewah
dan mahal. Menandakan bahwa pemiliknya termasuk
orang yang berada dan terpandang di masyarakatnya.
Kemudian dari ruangan dalam muncul sosok laki-laki
dan perempuan berusia empat puluhan. Yang laki-
lakinya mengenakan pakaian serba mahal, dengan se-
buah blangkon di kepalanya, dan keris menyelip di ba-
gian pinggangnya.
"Duduk...!" perintahnya berwibawa. Tangan laki-
laki itu menunjuk pada sebuah permadani yang mem-
bentang lebar di ruangan tamu. Dua orang pendatang
tadi dengan sikap hormat mengikuti apa yang diperin-
tahkan oleh laki-laki empat puluhan yang tiada memi-
liki kumis serta jengggot. Sebelum mereka membuka
percakapan, laki-laki yang dipanggil Adipati itu meno-
leh sejenak pada istrinya; "Istriku baiknya masuk saja
ke dalam, tunggui anak kita yang sedang sakit...!" pin-
tanya. Lalu tanpa menghiraukan istrinya yang tampak
beranjak menuju ke belakang. Sang Adipati kembali
pada dua orang tamunya, sebagaimana dia meman-
dang pada istrinya tadi, kini laki-laki itu memperhati-
kan wajah sang tamu satu persatu. Kemudian dia me-
narik nafas pendek.
"Bagaimana? Apakah kalian ada membawa ha-
sil...?" ucapnya mengawali pembicaraan. Yang ditanya
tundukkan wajah sekejap, lalu menggelengkan kepa-
lanya berulang-ulang. Tampak laki-laki berbelangkon
itu menyimpan rasa kecewa yang dalam atas apa yang
baru saja didengarnya.
"Maafkan kami Tuan Adipati....! Tugas yang tuan
berikan pada kami tidak dapat kami kerjakan dengan
baik...!" jawab seorang diantaranya yang bernama
Ranggas.
"Apa alasanmu...?" tanya sang Adipati dengan
wajah muram. Sekejapan dua orang utusan itu saling
pandang sesamanya. Margono membungkuk, lalu:
"Sebenarnya bukan kami tak mampu menyele-
saikan tugas yang tuan berikan. Dan bukan pula tabib
itu tak mau mengobati puteri tuan...!"
"Lalu...?" potong sang Adipati merasa tak saba-
ran.
"Tabib Canda Muka ketika kami sampai di ru-
mahnya telah tewas dengan sebuah lubang kehitaman
di bagian dada dan leher-nya...!"
"Apa...?!" Setengah terlonjak tubuh sang Adipati,
kedua matanya membelalak bagai melihat setan di
siang bolong.
"Bagaimana itu bisa terjadi...?" tanya Adipati
Gupta semakin bertambah murung.
"Kami memang sedikit terlambat sampai di ru-
mah kediaman Tabib Canda Muka. Tapi melihat kema-
tian dan tubuh tabib sakti itu, rasanya pembunuhan
itu belum lama berlangsung...!" kata Margono menarik
kesimpulan.
"Hemm... sakit putriku sudah demikian parah.
Aku tak tau apakah nyawanya dapat bertahan sampai
besok. Tabib Canda Muka, tewas saat-saat aku mem-
butuhkan pertolongannya." desahnya seperti putus ha-
rapan. "Mungkinkah kematian kakek tabib itu ada hu-
bungannya dengan wabah penyakit yang sekarang ini
sedang melanda seluruh desa...?" tanpa Adipati Gupta
setengah menyelidik.
"Kita masih belum bisa menarik kesimpulan
sampai sejauh itu, menurut hemat saya. Alangkah le-
bih baik lagi kalau mulai dari sekarang kita melakukan
penyelidikan terhadap dunia persilatan.
***
DUA
"Sebuah ide yang cukup bagus! Tapi aku juga
merasa sangat perlu untuk menghubungi tokoh-tokoh
persilatan golongan putih, untuk membantu usaha ki-
ta dalam menyingkap misteri penyakit yang selama be-
berapa purnama ini telah merenggutkan nyawa ratu-
san korban...!" Baik Margono maupun Ranggas tam-
paknya masih belum mengerti apa maksud kata-kata
yang diucapkan oleh Adipati Gupta. "Maaf Tuan Adipa-
ti, untuk apa kita harus menghubungi kalangan persi-
latan. Apakah tuan merasa bahwa wabah yang saat ini
melanda hampir lebih dari tiga puluh desa itu mempu-
nyai sangkut paut dengan kalangan persilatan golon-
gan sesat...!" tanya Margono, sepertinya sudah menge-
tahui apa yang akan dikatakan oleh Adipati Gupta.
"Kemungkinan itu masih dalam dugaan-ku. Aku
sering mendengar laporan bahwa penyakit terkutuk itu
akan mewabah pabila beberapa malam sebelumnya
sosok bayangan mencurigakan bergentayangan di desa
itu. Begitu pun halnya yang terjadi di daerah kita ini."
kata sang Adipati, hampir-hampir berbisik.
"Apakah dia berujud sosok manusia, binatang
atau dalam bentuk benda-benda tertentu...!"
Adipati Gupta kembali geleng-gelengkan kepa-
lanya. Seperti ada rasa kecut yang saat itu sedang
membayangi dirinya.
"Masih belum dapat kusimpulkan. Keterangan
yang kudapat masih simpang siur!" ucapnya begitu
cemas. "Untuk mencari jawabannya, semuanya kuse-
rahkan pada kalian untuk melakukan penyelidikan."
"Lalu kapan kami harus menghubungi tokoh-
tokoh golongan putih...?" tanya Ranggas. Tetapi Adipati
Gupta tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh
orang-orangnya. Sebab tak begitu lama kemudian ter-
dengar suara erangan putrinya yang sedang dalam
keadaan sakit di dalam kamarnya.
"Kalian! Berjaga-jagalah di luar sana! Sepertinya
penyakit putriku semakin bertambah parah...!"
Ranggas dan Margono setelah menjura hormat,
lantas melangkah keluar dari ruangan tamu. Begitu
mereka melangkahkan kaki menuju gardu jaga. Kea-
daan di luar terasa sunyi sepi.
Sementara Adipati Gupta kini sudah berada di
dalam kamar putrinya. Dilihatnya putri Asih terus me-
rintih-rintih, badan panas menggigil, sementara wajah
gadis itu tampak pucat dan berkeringat.
"Sudah kau berikan obat, yang tadi, istriku...!"
tanyanya menoleh sebentar pada istrinya yang sejak
tadi terus menangisi putri satu-satunya.
"Semuanya hampir tak bersisa...!" jawab sang is-
tri tersendat. "Tapi panasnya tak pernah turun-turun.
Bahkan semakin menggila...!"
"Aku tak tau apa yang sedang terjadi. Kalau pe-
nyakit itu merupakan kutuk sang Hyang Widi, menga-
pa sampai melanda hampir seluruh desa yang menjadi
wilayah kekuasaanku. Mengapa desa di luar kekua-
saanku tak pernah terserang penyakit aneh ini...!"
ucap Adipati Gupta seperti merasa iri.
Dalam keadaan diliputi kegelisahan seperti itu,
mendadak bertiuplah angin yang sangat kencang. Hor-
den jendela, kayu yang terdapat di dalam ruangan Pu-
tri Asih tampak berkibar-kibar. Adipati Gupta dan istrinya tercekat merasakan keganjilan itu. Suami istri
saling berpandangan. "Aku merasa ada kekuatan gaib
yang menyertai hembusan angin ini. Yang pasti seseo-
rang berilmu sangat tinggi berada di sekitar rumahku.
Tapi mungkinkah Margono dan Ranggas tidak melihat
seseorang di luar sana? Atau sesuatu yang mencuriga-
kan. Hhh. Kalau orang itu memiliki maksud-maksud
tak baik, sudah sejak tadi dia pasti sudah mencelaka-
kan kami!" membatin Adipati Gupta. Tapi tanpa dis-
adarinya secara reflek dia sudah menyentuh hulu keris
yang disengkelitkannya pada bagian pinggangnya.
"Apa apakah, Kakang? Mengapa angin tiba-tiba
saja bertiup sekeras ini...?!" tanya istrinya yang biasa
dipanggil dengan nama kecil Puja.
"Psst.. jangan keras-keras bicara! Ada sesuatu
yang mungkin saja bisa terjadi sewaktu-waktu di ru-
mah kita...!" kata Adipati Gupta sambil memberi isya-
rat dengan mempergunakan jari telunjuknya. Pada ke-
nyataannya apa yang baru saja dikatakan oleh Adipati
Gupta tampaknya tidaklah berlebihan, justru karena
beberapa saat kemudian setelah ucapannya itu hem-
busan angin yang menerpa daun jendela semakin ber-
tambah keras. Kemudian disertai dengan terdengarnya
suara lirih yang disampaikan melalui ilmu mengirim-
kan suara.
"Adipati Gupta! Apakah kau tidak menyadari
bahwa penyakit putrimu itu semakin bertambah pa-
rah? Aku sendiri merasa usia anakmu itu hanya ting-
gal dua hari lagi. Dan kau harus menyadari bahwa ob-
at yang diberikan oleh istrimu untuk anakmu itu tidak
ada gunanya sama sekali. Putrimu itu akan segera ma-
ti jika... he... he... he...!" Terdengar suara mengekeh,
dan semua itu hanya Gupta sendirilah yang tahu ka-
rena di antara dia dan istrinya, hanya dia seorang saja
yang mengerti tentang dunia persilatan. Sementara itu
tampak sekali wajah Adipati Gupta selain berubah
memerah juga mulai tampak tegang. Kemudian melalui
ilmu mengirimkan suara dia pun berkata:
"Siapakah kau ini, dari mana kau tahu bahwa
putriku akan segera mati?" tanyanya tanpa mampu
menutupi rasa kecemasan hatinya. Orang yang bicara
melalui ilmu mengirimkan suara tadi kembali tertawa
mengekeh.
"Mengenai siapa aku, itu tidak penting bagimu,
Gupta! Yang perlu kau pertanyakan bagaimanakah ca-
ranya agar kau dapat memperoleh obat untuk me-
nyembuhkan putrimu!" Adipati Gupta termangu-
mangu demi mendengar apa yang dikatakan oleh si
pengirim suara. Sejauh itu dia masih belum mengerti
ada maksud apa di sebalik kata-kata yang terdengar
bagai memberi petunjuk ini.
"Heh... kau sepertinya memang benar! Tapi apa
dayaku, aku bukannya tak mau berusaha. Tapi satu-
satunya tabib yang kuanggap dapat menyembuhkan
penyakit terkutuk itu telah pula tewas entah siapa
yang telah membunuhnya...!" Berkata Adipati Gupta
seperti orang yang sedang putus asa.
"Ha... ha... ha...!" Terdengar suara tawa bergelak-
gelak menyeramkan. "Benarkah Tabib Canda Muka te-
lah tewas?" tanyanya seolah pada dirinya sendiri.
"Begitulah menurut kabar yang pernah kuden-
gar!" jawab Adipati Gupta tanpa ragu.
"He... he... he...! Tabib Canda Muka tewas, ba-
gaimana mungkin, atau mungkinkah?"
"Keterangan orang-orangku tak pernah mengan-
dung dusta...!" ucap sang Adipati tampak memerah
wajahnya.
"Manusia sering tertipu oleh penglihatannya sen-
diri, aku tak pernah yakin tabib sehebat Canda Muka
dapat tewas semudah itu. Dunia selalu penuh dengan
tipu-tipu, heh! Sekali lagi cobalah cari tau, benarkah
Tabib Canda Muka telah wafat...?" Pertanyaan yang
berisi makna-makna yang tiada dimengerti oleh Adipati
Gupta ini membuat dia tenggelam dalam keragu-
raguan.
"Secara logika aku masih belum mengetahui arti
dari semua ucapanmu. Tapi apakah putriku masih da-
pat disembuhkan?" Bergetar suara Adipati Gupta keti-
ka mengajukan pertanyaan seperti itu. Angin kencang
kembali menerpa, mengibarkan horden kain jendela.
Mengibarkan anak-anak rambut Adipati Gupta yang
tidak tertutup blangkon. Lalu menyapu wajah sang
Adipati yang pucat pias karena kurang tidur dan dibe-
bani dengan perasaan kalut.
"He... he... he...! Tergantung keberuntungan yang
dimiliki oleh putrimu...!" Ringan saja si pengirim suara
memberi jawaban. Seolah nyawa manusia baginya tia-
da memiliki arti apa-apa di matanya. Sebaliknya Adi-
pati Gupta semakin tercengang begitu mendengar ka-
ta-kata yang sangat menyepelekan ini. Sebagai Adipati
baru kali ini ada seorang tamu yang tiada terlihat
ujudnya telah begitu berani bicara seenaknya tanpa ta-
ta krama dan peradatan. Selama ini tak seorang pun
berani bicara sembarangan begitu saja. Apalagi dengan
kata-kata meremehkan seperti itu. Kecemasan tentang
keselamatan putrinya, dan rasa penasaran karena ta-
munya tidak mau menunjukkan diri. Membuat sang
Adipati mulai terbakar kemarahannya.
"Siapakah kau...! Kedatanganmu secara sem-
bunyi-sembunyi seperti ini, jangan-jangan kaulah
orangnya yang telah menyebarkan wabah penyakit ini
di seantero desa?" tukas sang Adipati tanpa sungkan-
sungkan lagi. Tiada rasa amarah yang terdengar dari
jawaban si pengirim suara.
"Manusia sering terlalu curiga terhadap sesamanya. Dan kau pun tak pantas mengetahui siapa aku
ini adanya. Apakah aku ini manusia sepertimu, apa-
kah ujudku sebagai binatang, atau bahkan sebagai jin,
itu bukan urusanmu...!"
"Keparat! Selain kau tak mengenal tata krama,
kiranya kau sosok misterius yang perlu kucurigai...."
Menggeram Adipati Gupta. Walaupun perbincangan
mereka tidak dapat didengar oleh istri sang Adipati,
tapi ketegangan yang terlihat membuat Puja diliputi
tanda tanya.
"Ada apa, Kakang...?"
Tak terdengar jawaban, terkecuali erangan terta-
han dari bibir sang Adipati Gupta.
"Heh...! Tiada yang mampu mencegah setiap tin-
dakanmu, Adipati! Sekarang kau berdiri di dalam ke-
kuasaanmu. Tapi ingat, aku bukanlah orang yang bisa
terpengaruh dengan pangkat manusia mana pun."
"Jangan kau buat aku semakin bertambah pena-
saran. Saat sekarang ini diriku sedang dalam kekalu-
tan. Kalau kau tak mempunyai urusan apa-apa den-
ganku, cepat pergilah...!" perintah Adipati Gupta se-
makin bertambah berang. Sekali lagi angin berhembus
kencang. Pada saat itulah terdengar kata-kata yang tak
ubahnya bagai sebuah sajak terdengar:
Aku datang bersama hembusan sang bayu
Rupaku tiada pernah terlihat.
karena aku berada antara ada dan tiada
Dalam kegelapan aku melihat apa-apa
yang tiada terlihat, dalam tidur,
dalam mimpi aku selalu menjaga.
Tapi aku tiada pernah mengusik
Tiada pula pernah menyapa,
Kebenaran ada pada hati yang tulus,
sedangkan kejujuran hanya ada
dalam nurani yang putih....
Kalau jiwa telah dirasuki dengan
ambisi dan nafsu
Manusia lebih jahat dari hanya
sekedar binatang buas
Hitam warnanya, angkara murka
tindakannya,
Maka jangan sesalkan andai kehancuran
yang didapatnya
Aku datang bersama hembusan bayu....
Sekali lagi terdengar suara tawa bergelak-gelak,
lalu seiring dengan hembusan angin yang sangat ken-
cang, maka si pengirim suara itu pun lenyap begitu sa-
ja. Heran bercampur bingung berbaur menjadi satu.
Adipati Gupta menyadari kata-kata si pengirim suara
yang berupa untaian sajak itu berisikan petunjuk yang
perlu dicari tahu jawabannya. Dia merasa yakin siapa
pun adanya orang yang telah berkata-kata dengannya
melalui ilmu menyusupkan suara, pastilah seorang to-
koh golongan putih yang memiliki kesaktian yang san-
gat tinggi. Tapi kalau pun memang benar, mengapa
orang itu tak mau mengatakan apa yang menjadi pe-
nyebab terjadinya wabah penyakit menular yang telah
melanda hampir tiga puluh buah desa, dan tentang
Tabib Canda Muka, benar-benarkah masih hidup
sampai sekarang ini? "Aku harus menyelidiki tentang
semua kebenaran yang ada." membatin Adipati Gupta.
Seraya lalu melirik ke arah putrinya yang masih saja
terus merintih dengan tubuh menggigil. Sementara is-
trinya sudah tampak tertidur dengan posisi duduk di
samping pembaringan anaknya.
***
TIGA
Dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan
dipenuhi dengan liku-liku serta kekerasan itu. Ada sa-
tu hal yang selalu dia ingat! Yaitu tentang semua pe-
san almarhum gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu.
Perjalanan nasib selamanya memang tidak harus ber-
pihak pada seseorang. Tapi jangan salahkan keadaan
dan menyesali diri, karena semua yang terjadi sudah
ada yang mengaturnya.
"Kakek Bangkotan Koreng Seribu! Semoga aku te-
tap berjalan pada langkah yang selalu kau restui!"
menggumam pemuda itu. Tiada mengurangi niatnya
untuk mencari tahu tempat pertapaan ayahandanya
Raja Ular Piton Utara yaitu raja diraja dari negeri alam
gaib (negeri Bunian) pemuda tampan dengan rambut
dikuncir dengan sebuah periuk berjelaga yang mengge-
lantung di bagian pinggangnya ini terus mengayunkan
langkah. Sesekali anak-anak rambutnya tampak me-
lambai-lambai ditiup semilir hembusan angin pagi nan
lembut.
Sementara pakaiannya yang berwarna merah itu
tampak sudah basah oleh keringat. Hal itu pun tak ju-
ga dia hiraukan. Yang selalu mengganggu pikirannya
adalah, selama melakukan perjalanan melewati desa-
desa yang masih merupakan wilayah kadipaten Ungga-
ran. Dia selalu melihat iring-iringan penduduk yang
sedang mengusung beberapa keranda. Dari beberapa
keterangan yang dia kumpulkan dia mengetahui bah-
wa orang-orang itu tewas karena terserang wabah pe-
nyakit misterius yang telah menewaskan banyak kor-
ban. Namun pabila dia melewati desa di sebelahnya
dan mendapati kejadian yang serupa, mau tak mau
dihatinya timbul sebuah tanda tanya.
"Mengapa sekian banyak desa sampai terserang
bahwa yang sama? Sudah berapa banyak yang me-
ninggal? Lebih celaka lagi hampir setiap mata selalu
memandangku dengan tatapan sinis dan rasa curiga.
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu di balik semua pe-
ristiwa ini." batin si pemuda.
Tanpa menghiraukan orang-orang di sekeliling-
nya, Pendekar Hina Kelana terus saja melangkah. Ma-
tanya melirik ke kanan dan kiri, mencari-cari sebuah
warung tempat penjual makanan. Tapi kalau pun ada,
warung di kanan kiri jalan itu tampak tutup. Barulah
ketika dia sampai di sudut desa, pemuda ini melihat
sebuah warung berukuran besar yang sarat pengun-
jung. Tanpa merasa ragu, Buang Sengketa mengayun-
kan langkahnya ke sana. Tiada dia hiraukan beberapa
pasang mata yang memandang curiga padanya. Den-
gan sikap tenang, si pemuda menghampiri pemilik wa-
rung. Lalu setelah memesan makanan, pemuda ini pun
segera duduk di sebuah kursi panjang yang terdapat di
sudut ruangan. Sekejapan dia mengitarkan pandangan
matanya menyapu ke segenap penjuru ruangan. Meli-
hat cara mereka menatap, tampak bagi pemuda itu ka-
lau kehadirannya tidak disukai oleh orang-orang di da-
lamnya. Tapi Buang tiada memperdulikannya, sebalik-
nya dia langsung menyantap makanan yang telah di-
pesannya begitu pemilik warung menghantarkan ma-
kanan itu.
"Pak tua...!" Terdengar bentakan seseorang me-
manggil pemilik warung itu. Yang dipanggil perlihatkan
wajah cemas bercampur rasa bersalah. Dengan gugup,
pemilik warung yang sudah berusia berkisar lima pu-
luh lima tahun ini datang menghampiri orang yang
memanggilnya.
"Sese... saya tuan...! Apakah makanannya perlu
ditambah...!" tanya si pemilik warung, gemetaran. Tanpa berkata seorang laki-laki berpakaian hitam putih
yang tadi memanggil si pemilik warung, langsung me-
nyentakkan ikat kepala yang membungkus kepala pe-
miliknya. Begitu ikat kepala pemilik warung disentak-
kan. Maka terlihatlah kepalanya yang botak plontos.
Sehingga mengundang tawa mereka yang hadir di wa-
rung itu. Semakin pucat wajah pemilik warung, kemu-
dian sambil menggaruk kepalanya yang tiada ditum-
buhi rambut, laki-laki tua ini berkata dengan penuh
permohonan: "Maafkan saya tuan. Sungguh saya be-
nar-benar lupa dengan pesan-pesan yang pernah tuan
berikan pada saya...!"
"Creep...!"
Dengan sekali sambar, maka krah baju si pemilik
warung telah tergenggam erat di tangan laki-laki ber-
pakaian hitam putih itu. Dengan keras laki-laki berpa-
kaian hitam putih itu menyentakkan tubuh si pemilik
warung ke atas, hingga membuat kakinya tidak dapat
dipergunakan untuk menjaga keseimbangan tubuh-
nya. Tubuh laki-laki tua ini bergoyang-goyang bagai
kentongan yang habis dipukul peronda.
"Sudah kubilang padamu, jangan kau layani ti-
kus-tikus pendatang di warungmu ini. Siapa tahu dia
merupakan penyebar kuman penyakit...!" geramnya
dengan kedua mata melotot.
"Berp... ee... maafkanlah saya tuan! Saya berjanji
untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Percayalah
tuan...!" Gemetaran suara pelayan itu menandakan
bahwa dia sedang dilanda rasa takut yang teramat
sangat. Laki-laki berpakaian hitam putih dengan bebe-
rapa orang kawannya, mendengus. Tanpa diduga-duga
dicampakkannya tubuh laki-laki itu ke salah sebuah
bangku yang terletak paling dekat dengan Buang
Sengketa,
"Gubraaak...!"
Laki-laki itu menjerit saat mana bagian iganya
menghantam kursi panjang tak begitu jauh darinya.
Tubuhnya menggeliat-geliat merasakan sakit yang tia-
da tertahankan.
"Bangunlah, Pak tua...!" kata Buang Sengketa.
Saat itu dia baru saja selesai menyantap pesanannya.
Dengan dibantu oleh si pemuda, laki-laki pemilik wa-
rung itu sudah terduduk di bangku yang tadi ditempati
oleh Buang Sengketa. Sekejapan dia memeriksa bagian
perut hingga ke bagian dada. Pemilik warung itu ke-
mudian menjerit saat mana tangan Buang Sengketa
meraba tulang rusuknya yang patah. Pemuda itu lalu
menarik nafas pendek. "Kejam sekali tindakan orang
itu!" batinnya.
"Bocah tak dikenal! Biarkan pemilik warung yang
tak tahu adat itu. Satu hukuman memang layak dija-
tuhkan padanya untuk satu kesalahan yang seharus-
nya tidak dia lakukan di depan mata kami!" bentak
yang lainnya di antara empat orang yang tergabung
bersama laki-laki itu.
"Apakah kesalahan yang telah dilakukan oleh
orang tua ini...?" tanyanya. Lalu melangkah dua tindak
ke depan. Masih tetap berada di tempatnya, orang itu
menjawab ketus:
"Apa yang telah dilakukan olehnya? Huh... coba
kau tanyakan saja pada orangnya...!" Dari nada uca-
pannya, tampak sekali kalau keempat orang itu me-
mang tidak menunjukkan rasa persahabatan. Akan te-
tapi Buang sudah tiada perduli, perlahan-lahan dia
berpaling pada pemilik warung.
"Apakah kesalahan yang telah pak tua laku-
kan...?" desisnya. Orang tua itu tidak segera menja-
wab. Ada keragu-raguan membayang di wajah yang te-
lah keriput itu. Sesekali dia menoleh pada keempat
orang yang tadi sempat membuat tulang rusuknya patah.
"Katakan dengan jelas, botak pikun! Asal tahu
saja, salah jawab berarti kepalamu yang botak itu kami
pecahkan...!"
"Jangan hiraukan kunyuk-kunyuk itu pak tua!
Bicaralah dengan jelas, siapa tahu aku dapat memban-
tumu...!" Hampir berbisik suara si pemuda terdengar.
Sementara lebih dari sepuluh pasang mata tampak
memusatkan perhatiannya pada Buang Sengketa dan
pemilik warung.
"Anda bukan orang sini, Tuan muda...!"
"Betul! Aku memang bukan orang sini, tapi men-
gapa...?" selak si pemuda keheranan.
"Tahukah tuan apa yang sedang terjadi di daerah
kami ini...?" tanya si pemilik warung, sambil menyerin-
gai menahan rasa sakit di bagian dadanya. Buang
mengangguk pelan. "Sedikit saja yang kuketahui, yaitu
tentang orang-orang yang tewas itu...!"
"Desa kami terserang semacam wabah penyakit
misterius. Kami mendapat pesan untuk tidak melayani
tamu asing di warungku ini...!" Buang manggut-
manggut, lalu katanya: "Oh itu sebabnya maka orang-
orang itu menghukummu...?" tanya Buang Sengketa
dengan suara sengaja dikeraskan.
"Mereka adalah kaum persilatan golongan putih
yang sengaja disewa oleh Adipati Gupta untuk mela-
kukan penyelidikan siapa sebenarnya yang bertang-
gung jawab atas wabah yang sedang melanda banyak
desa...!" kata si pemilik warung dengan suara hampir-
hampir tak terdengar. Mendengar penjelasan yang di-
berikan oleh orang itu, serta merta dia palingkan wa-
jah, dan memandang pada empat orang laki-laki ber-
pakaian hitam putih itu. Namun baru saja mata mere-
ka saling beradu pandang, tiba-tiba salah seorang dari
empat laki-laki yang bernama Sona Kirana, membentak: "Kalau kau sudah tahu tentang un-dang-
undang yang berlaku di sini, cepat- cepat menyingkir-
lah...!" perintahnya garang.
"Ah, aku bukan seekor kucing kurap, bukan pula
seorang pengacau. Tak perlu anda mengusirku, kalau
aku mau pergi tak seorang pun punya hak memberi
perintah...!"
"Brengsek! Berani sekali bocah berperiuk ini
membantah perintah Adipati, Kakang Sona...!"
"Bocah berpakaian gembel ini cukup beralasan
untuk dicurigai...!" kata Sona Kirana sambil melompat
dari tempat duduknya.
"Kalau begitu, kita ringkus dia untuk dibawa ke
hadapan Adipati...!" menyela salah seorang yang ber-
badan gemuk pendek.
Pendekar Hina Kelana tampak tersenyum-
senyum, lalu sambil bertolak pinggang pemuda ini lan-
tas nyeletuk: "Wuee... enak betul kalian bicara! Aku
bukan seorang maling. Dan kalian tak punya bukti
yang kuat untuk mencurigaiku...!"
"Kampret! Kita tak perlu berdebat dengan orang
ini. Kawan-kawan, ringkus dia...!" perintah Sona Kira-
na. Tiga orang lainnya langsung berloncatan dari tem-
pat duduk masing-masing. Dengan sangat cepat sekali
keempat tokoh dari Gunung Slamet ini mengurung
Pendekar Hina Kelana. Sementara itu pemilik warung
yang sudah tampak ketakutan itu, dengan langkah
terseok-seok tampak meninggalkan warungnya. Begitu
pun dengan para pengunjung lainnya.
"Kalian terlalu berburuk sangka pada orang lain,
Sobat...!" keluh si pemuda, sambil mengelakkan tinju
Sona Kirana yang mendera ke arah wajahnya.
"Wuuut...!"
Serangan yang dilancarkan oleh Sona Kirana lu-
put, tapi bagian kaki kanannya datang menyambut.
Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalamnya, Buang
memapaki dengan kepalan tangan kanannya.
"Duuuk...!"
"Auhh...!"
Sona Kirana terlonjak-lonjak kesakitan. Menge-
tahui salah seorang kawan dapat dicelakakan oleh si
pemuda berkuncir. Maka tiga orang kawannya segera
sadar, kalau pemuda itu kiranya memiliki kepandaian
yang dapat diandalkan. Maka mereka ini akhirnya
tanpa sungkan-sungkan lagi langsung melakukan
pengeroyokan dengan jurus-jurus silat tangan kosong
yang paling ampuh. Sekarang Sona Kirana yang kena
dihantam oleh Buang pun kembali turun ke gelang-
gang ikut melakukan pengeroyokan.
Tapi Buang Sengketa juga tidak tinggal diam,
dengan mempergunakan jurus Mem-bendung Gelom-
bang Menimba Samudra, dia papaki setiap serangan
lawannya dengan kecepatan yang sangat sulit diduga-
duga.
"Heaaat.... Shaaaaa...!"
Mempergunakan jurus 'Badai Topan Utara'
keempat orang itu tampak mundur dua tindak. Lalu
tangan mereka terpentang membentuk dua buah cakar
mirip cakar elang yang sedang bersiap-siap untuk me-
nerkam mangsanya.
"Deb... deb... deb...!"
Terdengar suara bergemuruh saat tangan-tangan
yang terpentang itu berkelebat-kelebat mengawali se-
buah serangan. Secara serentak mereka ini bergebrak.
Pukulan-pukulan mempergunakan jurus tangan ko-
song itu memang dapat dirasakan oleh si pemuda akan
kecepatannya. Bahkan pemuda itu merasa tak sempat
untuk menghindarinya. Hanya dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuh saja, kemudian dia lenting-
kan badannya ke udara. Keempat orang itu terus
memburunya.
"Haiiit...!"
Merasa sangat kewalahan, Buang Sengketa sege-
ra merobah jurus silatnya dengan jurus si Gila Men-
gamuk. Detik itu juga permainan silat si pemuda bero-
bah secara total. Tubuhnya tampak terhuyung-huyung
ke depan dan ke belakang. Sementara tangan dan ka-
kinya melakukan tendangan dan pukulan yang tiada
terduga-duga. Sungguh pun pihak lawan mampu di-
buat kelabakan, namun mereka tetap terus merang-
sak. Dengan sangat bernafsu Sona Kirana dan seorang
yang lainnya hantamkan tangan kanannya mengarah
ke bagian pelipis, sedangkan lawan yang lain lakukan
satu tendangan satu jotosan. Buang Sengketa kali ini
tak ingin bersikap ayal-ayalan. Tiada alasan baginya
untuk mengelakkan pukulan yang dilakukan oleh la-
wannya. Maka secepatnya dia kerahkan jurus Koreng
Seribu untuk memapakinya.
"Desss! Creeep... creeep...!"
Satu tangan kanan tampak melekat erat di ba-
gian pelipis Buang Sengketa, sedangkan tangan dan
kaki Sona Kirana melekat pada bagian perut dan tumit
si pemuda.
Bukan main terkejut dua orang tokoh dari Gu-
nung Slamet ini, sedapatnya mereka mencoba membe-
baskan diri dari daya tarik yang sangat luar biasa itu,
namun semakin kuat mereka mengerahkan tenaga da-
lamnya untuk membetot tangan maupun kaki yang
melekat itu, maka mereka merasakan tenaga mereka
semakin terkuras habis. Sedangkan dua orang lainnya
tampaknya merasa sangat penasaran sekali. Tanpa
berpikir panjang lagi, mereka sudah bersiap-siap un-
tuk hantamkan pukulan jarak dekatnya. Buang Seng-
keta kiranya menyadari akan semua itu. Namun dalam
keadaan sedemikian rupa mana mungkin dia dapat
menghindarinya, akalnya pun bekerja. Dengan mem-
pergunakan tenaga yang didapatnya dari pihak lawan,
maka dia lipatgandakan tenaga untuk melindungi se-
luruh tubuhnya.
"Hiaa.... Hiaaa...!"
Begitu lawan hantamkan tangannya ke depan,
maka tak pelak lagi selarik sinar warna putih meng-
hantam telak tubuh Buang Sengketa.
"Bleees.... Bleees...!"
Semakin menjadi-jadi rasa kejut di hati lawan
yang baru saja melepaskan satu pukulan tadi. Terle-
bih-lebih selain pukulan itu terasa bagai menembus
ruangan hampa, juga mereka merasakan ada kekuatan
tak terlihat membetot tubuh mereka mendekati si pe-
muda yang tadi diserangnya.
Sementara mereka terlibat tarik menarik dengan
pihak lawan. Di jalanan tak jauh dari warung itu, tam-
pak beberapa ekor kuda dengan penunggangnya tam-
pak menuju ke arah warung tersebut. Begitu kuda-
kuda itu berhenti di depan warung tadi, maka tiga
orang penunggang kuda itu pun berlompatan turun.
Pabila mereka memandang ke dalam warung. Maka
terkejutlah hati si penunggang kuda yang tak lain me-
rupakan orang-orang kepercayaan Adipati Gupta yang
sedang menjalankan tugasnya. Dengan sangat tergesa-
gesa mereka memasuki warung itu. Tampaknya tiga
orang penunggang kuda itu mengenai cukup baik sia-
pa orang yang berpakaian hitam putih dari Gunung
Slamet ini.
"Hentikan... hentikan pekerjaan yang gila-gilaan
ini...!" teriak salah seorang di antaranya yang bernama
Margono. Sontak keempat orang yang sedang berusaha
membebaskan diri dari pengaruh tarikan pihak Buang
Sengketa menoleh. Dalam keadaan seperti itu sudah
barang tentu tenaga yang mereka kerahkan sedikit
berkurang. Dan Buang Sengketa sendiri sudah merasa
cukup memberi pelajaran pada orang-orang itu. Maka
dengan sekali menghentakkan tangannya, keempat
penyerangnya jatuh terduduk dengan tubuh terasa le-
mah lunglai. Setelah memperhatikan orang-orang dari
Gunung Slamet, maka kini tiga orang penunggang ku-
da itu beralih pada Buang Sengketa.
"Hebat.... Sekali seumur hidup aku menyaksikan
permainan silat yang luar biasa sepertimu!" Berkata
Ranggas sambil memperhatikan pemuda berpakaian
kumuh itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Maafkan atas penyambutan yang kurang baik oleh
kawan-kawan kami. Kalau kami boleh tahu siapakah
anda...?"
"Aku hanya seorang pengelana, bukan perampok
menjijikkan yang perlu dicurigai!" kata pendekar ketu-
runan Raja Ular Piton Utara. Hilang keramahannya.
"Aha... sudah saya bilang, maafkanlah sobat-
sobat kami itu. Mereka hanya menjalankan perintah
Adipati Gupta." ujar Margono. Dari sikap mereka,
Buang dapat menarik satu kesimpulan bahwa kera-
mahan mereka memang tidak dibuat-buat.
"Baik, aku memaafkannya! Dan aku harus pergi
sekarang...!" kata si pemuda lalu bergegas melangkah
keluar warung. Namun baru beberapa tindak dia me-
langkahkan kaki, salah seorang dari penunggang kuda
itu memanggilnya.
"Sobat! Tunggu dulu, kami ingin membicarakan
sesuatu dengan anda...!"
Tanpa menoleh, pemuda berperiuk itu hentikan
langkahnya. Lalu: "Cepatlah katakan aku tak memiliki
banyak waktu untuk melanjutkan perjalanan...!" kata
si pemuda dingin.
"Sobat! Adipati Gupta saat ini sedang membu-
tuhkan orang-orang persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Bahkan beliau berani membayar berapa
saja. Asal yang menjadi penyebab terjadinya wabah
penyakit misterius di seantero pelosok desa dapat dike-
tahui siapa pelakunya...!" ucap salah seorang tangan
kanan Adipati Gupta sambil mendekati Buang Sengke-
ta. Pemuda keturunan alam gaib itu hanya tersenyum-
senyum saja begitu mendengar penjelasan Ranggas.
***
EMPAT
"Aku bukan jagoan bayaran! Pun tidak memiliki
kepandaian apa-apa, terkecuali hanya seorang penge-
lana hina. Carilah orang lain yang lebih tepat untuk
bidang itu, maaf aku harus pergi sekarang juga...!"
Hanya dengan sekedipan mata, tubuh Pendekar Hina
Kelana telah lenyap dari pandangan orang-orang yang
berada di depan warung itu. Kejadian itu membuat
mereka terperangah, sama sekali mereka tiada me-
nyangka kalau pemuda berpakaian lusuh itu memiliki
ilmu kepandaian yang sangat tinggi.
"Saudara Ranggas! Kami bilang apa, pemuda itu
memang pantas untuk dicurigai! Mungkin saja dia ter-
libat dan bertanggung jawab atas wabah misterius
yang kini melanda seluruh desa...?" sela Sona Kirana
bersungut-sungut. Ranggas dan Margono sebagai
orang yang berpengalaman, cepat geleng-gelengkan
kepala.
"Kita harus punya bukti yang kuat untuk mencu-
rigai seseorang. Sudahlah, alangkah lebih baik kalau
kita melakukan penyelidikan ke Utara. Adipati membu-
tuhkan laporan sudah berapa banyak penduduk yang
tewas akibat wabah terkutuk itu...!" selak Margono.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi berangkatlah mere-
ka menuju ke arah Utara.
Saat itu Pendekar Hina Kelana yang baru saja
meninggalkan orang-orang kepercayaan Adipati tam-
pak masih terus berlari-lari. Dengan mempergunakan
ajian Sepi Angin tubuh pemuda itu tampak melesat
laksana terbang. Apa yang menjadi tujuannya kini
adalah berusaha mencari keterangan di rumah kedia-
man sang Adipati. Demikianlah setelah bertanya-tanya
pada orang yang dijumpainya di jalanan, maka tak
sampai satu jam kemudian sampailah pemuda ini di
Desa Lalang. Setelah menghentikan ilmu larinya, pe-
muda itu kemudian melangkah perlahan mendekati
sebuah bangunan rumah mewah, yang pada bagian
luarnya dijaga ketat oleh beberapa orang penjaga ber-
tampang angker.
"Berhenti...!" bentak salah seorang penjaga ru-
mah mewah itu yang berada di bagian paling depan.
"Kau orang asing, ada keperluan apakah...!?" tu-
kas orang itu, kemudian beberapa kawannya yang lain
tampak mendekati, lalu bergabung dengan laki-laki
pertama berusia sekitar limapuluh tahun.
"Maaf... namaku Buang Sengketa, ingin bertemu
dengan Adipati Gupta...!" ujar pemuda itu dengan nada
bersahabat. Orang-orang yang berada di situ tampak
saling pandang sesamanya. Lalu kembali pada si pe-
muda.
"Ada keperluan apakah...?" tanya si laki-laki yang
memiliki kumis serta janggut serba putih itu.
"Aku ingin bicara mengenai penyakit putrinya...!"
jawab Buang Sengketa yang secara kebetulan dia sem-
pat mendengar tentang sakit yang diderita oleh putri
sang Adipati.
"Kalau begitu baiklah! Mari ikuti aku..." kata laki-
laki tua itu, kemudian tanpa menghiraukan Buang Sengketa laki-laki itu terus melangkah pergi. Sebenar-
nya pemuda itu merasa kurang senang dengan sikap
orang tua itu. Tapi dia pun tak mungkin bisa protes
terkecuali mengikuti dari belakangnya. Tak lama ke-
mudian setelah melewati pintu depan, maka akhirnya
sampailah mereka pada sebuah ruangan yang sangat
luas dan bertikar permadani tebal. Laki-laki tua tadi
kemudian masuk ke ruangan dalam, kemudian keluar
lagi dengan seorang laki-laki berpakaian bangsawan.
Setelah memperhatikan pemuda itu sejenak, maka
dengan ramah laki-laki berpakaian bangsawan tadi
mempersilahkan tamunya duduk di atas tikar perma-
dani.
"Benarkah anda menanyakan tentang penyakit
putri kami itu, orang muda...?" tanya Adipati Gupta.
"Ya... memang benar...!" jawab si pemuda lugas.
"Apakah anda seorang tabib...?" tanya sang Adi-
pati sambil memandang penuh selidik. Sementara laki-
laki tua yang bernama Karsa, sejak tadi terus menerus
memperhatikan Buang Sengketa.
"Aku bukan seorang tabib yang mulia Adipati,
sungguh pun aku bukan seorang ahli obat, tapi meli-
hat penyakit yang diderita oleh banyak orang, sedikit
banyaknya aku jadi ingin mengetahui sebuah ke-
mungkinan apakah penyakit itu hasil perbuatan usil
manusia, atau karena azab yang diturunkan oleh Sang
Hyang Widi...!"
Adipati Gupta tampak angguk-anggukkan kepa-
lanya pelan.
"Hemmm...! Sudah sekian banyak tabib yang be-
rusaha menyembuhkan mereka dan juga penyakit pu-
triku. Tapi tak seorang pun yang mampu memberi ke-
sembuhan pada mereka...!" ucap Adipati Gupta. Dari
nada suaranya pemuda itu dapat merasakan bahwa
laki-laki setengah baya itu merasa putus asa.
"Bolehkah aku melihat keadaan putri yang mu-
lia...?" tanya Buang Sengketa dengan sangat hati-hati.
"Bolehkah aku tahu siapa namamu, se-belum
kau kuberi izin melihat putriku, orang muda...?" ujar
Adipati Gupta curiga. Sementara Buang Sengketa sen-
diri hanya tersenyum-senyum saja.
"Namaku Buang Sengketa, yang mulia Adipati...!"
kata si pemuda tanpa punya keinginan untuk menye-
butkan julukan yang dimilikinya di rimba persilatan.
"Buang Sengketa...!" kata Adipati Gupta setengah
mengeja nama si pemuda yang baginya masih terasa
begitu asing, "Baiklah, Buang...! Mari aku antarkan
kau ke sana!" kata Adipati Gupta ramah. Ditemani
Karsa dan sang Adipati, pendekar itu kemudian me-
masuki sebuah ruangan lain merupakan kamar Putri
Asih. Buang Sengketa melihat seorang gadis terbaring
lemah di atas sebuah ranjang yang sangat indah. Wa-
jah gadis itu tampak pucat dan layu, badan kurus se-
kali. Pendekar keturunan alam gaib itu merasa sangat
iba sekali. Lalu tanpa meminta persetujuan terlebih
dulu, dia pun mendekat ke arah ranjang si gadis.
Sekejap dia memperhatikan keadaan tubuh si
gadis, lalu terlihatlah olehnya bercak-bercak merah
yang timbul di atas seluruh permukaan pori-porinya.
Tanpa disadarinya, kedua belah matanya membelalak.
"Racun Pembunuh Iblis...?" serunya tertahan.
"Apa yang kau ucapkan, orang muda...!" selak
Karsa juga tak kalah kagetnya.
"Tak seorang pun manusia di kolong langit ini
yang bertahan hidup lebih lama setelah racun maut
itu. Tapi... mengherankan, anak yang mulia bisa ber-
tahan hidup sampai hari ini...!" kata si pemuda itu ke-
heranan. Penasaran sekali Adipati Gupta mendengar
ucapan yang baru saja disampaikan oleh si pemuda.
Bahkan dia pun merasa takjub, melihat pengalaman
yang dimiliki oleh orang yang baru saja dikenalnya itu.
"Orang muda, bagaimana kau bisa menarik ke-
simpulan bahwa penyakit yang diderita oleh putriku
itu bukan merupakan wabah biasa...?" tanyanya dili-
puti rasa keingintahuan.
"Sungguh pun aku bukan seorang tabib, tapi me-
lihat keadaan putri tuan, aku dapat menarik kesimpu-
lan bahwa hanya Racun Pembasmi Iblis saja yang da-
pat meracuni sekian banyak desa. Karena sesungguh-
nya Racun Pembasmi Iblis sudah dapat bekerja dengan
sendirinya hanya dengan bantuan hembusan angin."
jelasnya tanpa merasa perlu dicurigai.
"Menurutmu! Siapakah pemilik Racun Pembasmi
Iblis itu! Dan apa pula yang menjadi tujuannya. Hingga
orang itu begitu tega menyebarkan maut di mana-
mana?"
"Aku tak berani mengatakan siapa orangnya, se-
tahuku di kolong langit ini hanya seorang tabib golon-
gan sesat yang mampu membuat Racun Pembasmi Ib-
lis itu. Tabib itu bernama Tabib Sapta Rengga yang du-
lu pernah bermukim di Gunung Tengger...!" kata pe-
muda itu.
"Tabib Sapta Rengga...?" desis Adipati Gupta.
"Baru kali ini aku mendengar adanya tabib sesat se-
perti itu. Menurutmu mungkinkah orang itu masih ada
sampai saat ini...?"
"Berita terakhir yang kudengar, Tabib Sapta
Rengga sudah tidak berada lagi di Gunung Tengger,
ada yang bilang tabib itu hidup mengelana di berbagai
tempat. Kalaulah memang benar dugaanku ini berarti
Tabib Sapta Rengga telah melakukan petualangannya
sampai ke mari... dan bukan tak mungkin seluruh
penduduk desa akan mengalami celaka dalam waktu
yang singkat...!" kata Buang Sengketa berpendapat.
"Hemmm, bagaimana dengan putriku...!" tanya
sang Adipati semakin bertambah cemas. Buang Seng-
keta tampak terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Baginya untuk menyembuhkan racun yang mengen-
dap di dalam darah putri Adipati Gupta hanya ada sa-
tu kemungkinan saja. Yaitu dengan jalan menyedotnya
dengan perantaraan Pusaka Golok Buntung. Hanya ca-
ra itulah yang dapat dipergunakan.
"Bagaimana orang muda! Apakah nyawa putriku
masih dapat tertolong...?" tanyanya dengan sikap was-
was.
"Kemungkinan dan cara satu-satunya adalah
dengan jalan menyedot habis racun yang telah men-
gendap di dalam darah putri yang mulia. Andai nasib
baik, dan kondisi pisik putri tuan memungkinkan, su-
dah jelas dia akan segera sembuh sebagaimana mes-
tinya...." jawab Buang Sengketa panjang lebar.
"Kalau begitu, daripada dia menanggung penderi-
taan yang tiada berkesudahan. Lakukanlah...!"
"Yang mulia gusti...!" Laki-laki pendek dari Gu-
nung Semeru yang sejak tadi hanya diam saja kini ikut
bicara.
"Ada apa paman...?"
"Cara pengobatan yang akan dilakukan oleh pe-
muda ini, merupakan cara yang sangat berbahaya.
Kondisi tubuh Putri Asih sudah tidak memungkinkan
lagi. Bagaimana nanti jika jiwa putri tak tertolong...?"
ucap Karsa merasa sangat khawatir dan begitu tak ya-
kin dengan apa yang akan dilakukan oleh si pemuda.
"Kurasa tak ada jalan lain lagi, Paman Karsa! Ka-
lau pun jiwa putriku sampai tidak tertolong, setidak-
tidaknya kita telah melakukan sesuatu untuk kesem-
buhannya." jawab Adipati Gupta tanpa ragu-ragu. "La-
kukanlah orang muda...!" perintah sang Adipati, tabah.
***
LIMA
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Hina Kelana segera menghampiri ranjang Putri Asih.
Kemudian pemuda itu mencabut Pusaka Golok Bun-
tung yang terselip di bagian pinggangnya. Begitu senja-
ta maut itu tergenggam di tangan si pemuda, terkejut-
lah Adipati Gupta dan Karsa, manakala mereka mera-
sakan udara di sekitar kamar itu secara tiba-tiba men-
jadi dingin luar biasa. Sampai akhirnya mereka pun
mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat senjata
di tangan si pemuda memancarkan sinar merah me-
nyala.
"Pusaka Golok Buntung! Jadi kaulah Pendekar
Hina Kelana dengan Pusaka Golok Buntungnya yang
sangat menghebohkan itu...?" desis Adipati Gupta dan
Karsa hampir bersamaan. Selama ini mereka hanya
mendengar tentang sepak terjang seorang pendekar
muda yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Hina
kelana. Siapa sangka secara tak terduga mereka malah
kedatangan tamu berpakaian kumuh yang ternyata
pendekar yang sangat kesohor itu. Maka hilanglah ra-
sa curiga di hati Adipati Gupta maupun Karsa tokoh
persilatan yang disewanya.
Sementara itu tanpa menjawab, Buang Sengketa
tampak mulai sibuk dengan tugas-tugasnya. Golok
Buntung yang sangat tajam itu dia goreskan di tangan
Putri Asih. Bekas goresan Golok Buntung di bagian te-
lapak tangan gadis itu kini telah pula mengalirkan da-
rah kehitam-hitaman. Tanpa membuang-buang waktu
lagi pemuda itu langsung menempelkan golok itu ke
bagian luka tadi. Begitu golok pusaka itu menempel di
bagian luka si gadis. Maka golok yang memancarkan
sinar merah itu tampak meredup, bahkan sekejap la
manya berubah pula kehitam-hitaman. Tubuh si pe-
muda kini telah basah oleh keringat, sementara darah
berwarna kehitaman itu sudah semakin banyak yang
tersedot oleh golok di tangan si pemuda. Sampai ak-
hirnya warna hitam itu lenyap sama sekali dan Golok
Buntung itu pun kembali memancarkan sinar merah
seperti sediakala. Sepemakan sirih mereka menunggu,
bercak-bercak merah di bagian tubuh Putri Asih pun
tampak mulai lenyap sama sekali. Melihat perobahan
itu bukan main gembiranya Adipati Gupta dan istrinya
Puja, terlebih-lebih saat-saat kemudian terdengar sua-
ra Putri Asih menjelang kesadarannya. Tiada henti-
hentinya mereka memanjatkan sukur kehadirat Sang
Hyang Widi. Sementara itu Buang dan Karsa sudah
tampak berada di ruang tengah kembali.
"Atas kesembuhan Putri Asih, kami mengu-
capkan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepa-
damu, hai orang muda! Namun terlepas dari semua
itu, alangkah baik-nya kalau kita membicarakan ten-
tang tindakan selanjutnya untuk mencari tahu, kebe-
radaan tabib sesat Sapta Rengga." ujar tokoh dari Gu-
nung Tengger itu bersahabat.
"Apakah adipati telah menyebarkan orang-
orangnya...?" tanya Buang Sengketa seolah ingin tahu
lebih banyak lagi sebagai bahan pertimbangan.
"Tidak begitu banyak! Namun mereka terdiri dari
tokoh-tokoh persilatan kelas satu."
"Ke mana saja mereka melakukan penye-
lidikan...?"
"Di antaranya ke daerah Bumi Ayu, dan ada juga
yang ke daerah Rimba Buangan, yang selama ini san-
gat dikenal sebagai tempat pengasingan orang-orang
cacat dan yang mengidap penyakit menular lainnya...!"
"Hemmm... Rimba Buangan! Sebuah nama yang
cukup menarik!" gumam pemuda itu. Sejenak nampak
tercengang.
"Paman! Tolong sampaikan salamku. Saat ini ju-
ga aku harus pergi untuk mencari tahu tentang Tabib
Sapta Rengga." kata Buang Sengketa, walau bagaima-
na pun dia sudah mengambil satu keputusan bahwa
dirinya tidak ingin dijadikan sebagai orang upahan
oleh Adipati Gupta.
"Hei... tunggu dulu orang muda! Adipati belum
memberimu satu hadiah apa pun!" ujar Karsa berusa-
ha mencegah kepergian Buang Sengketa.
"Kalau pun adipati yang sangat baik itu membe-
riku hadiah, ambillah untukmu, Paman Karsa! Aku tak
membutuhkannya...!" Samar-samar pendekar keturu-
nan raja alam gaib itu menyahuti dari kejauhan. Laki-
laki setengah baya dari Gunung Semeru itu geleng-
gelengkan kepalanya. Sementara itu Adipati Gupta te-
lah pula sampai di ruangan tamu, namun jadi tertegun
ketika dia tidak melihat lagi si pemuda berada di ruan-
gan itu.
"Paman Karsa! Ke mana perginya pendekar pen-
gelana itu?"
"Dia baru saja pergi, yang mulia! Padahal saya te-
lah melarangnya."
"Tidak paman tanya, ke mana perginya...?" tanya
Adipati Gupta merasa tak enak. Laki-laki dari Gunung
Semeru itu tampak geleng-gelengkan kepalanya. Lalu:
"Aku belum sempat mengucapkan rasa terima kasihku
padanya. Pula aku butuh bantuannya untuk mencari
tahu tentang tabib yang disebutkannya tadi." ucapnya
menyesalkan.
"Mungkin kepergiannya semata-mata hanya un-
tuk mencari manusia penyebar malapetaka di seluruh
pelosok desa kita. Tapi begitu pun ada baiknya kita
ikut ambil bagian untuk mencari Tabib Sapta Rengga...!"
"Saya pun berharap yang mulia adipati mengam-
bil tindakan seperti itu...!" kata Karsa.
Selanjutnya mulai saat itu Adipati Gupta dan be-
berapa orang sewaannya mulai mempersiapkan segala
sesuatunya untuk memulai perjalanannya.
***
Rimba Buangan hampir sepanjang hari berseli-
mut kabut. Sangat jarang sekali orang yang berlalu la-
lang di sana. Apalagi daerah itu banyak dikenal orang
sebagai tempat pembuangan bagi orang- orang cacat.
Tak seorang pun penduduk dari kadipaten maupun
desa-desa lainnya yang mau datang ke tempat itu. Bagi
mereka mungkin keberadaan orang-orang cacat itu tak
ubahnya sebagai makhluk yang sangat menjijikkan
dan perlu untuk dijauhi. Saat itu di bagian sebelah
Utara tidak begitu jauh dari tempat bermukimnya para
orang-orang cacat. Tampak mengendap-endap bebera-
pa sosok tubuh berpakaian aneka warna. Dari gelagat
yang terlihat tampak jelas kalau mereka sedang mela-
kukan pengintaian terhadap perkampungan orang-
orang cacat.
Sementara itu dari sebuah bukit yang tersem-
bunyi di bagian Timur Rimba Buangan, tampak seo-
rang laki-laki berpakaian pendeta juga sedang menga-
wasi ke arah perkampungan itu. Laki-laki berpakaian
ungu dengan sebuah tasbih di tangannya ini berusia
sekitar tujuh puluh tahun. Pada bagian wajahnya yang
tiada ditumbuhi oleh jenggot dan kumis tampak rusak
di sana sini. Sehingga menimbulkan kesan menyeram-
kan bagi orang yang melihatnya. Sesekali sepasang
matanya yang berwarna merah itu tampak meman-
dang lurus ke arah lereng di bawahnya. Namun di lain
saat mata yang cekung ke dalam dan membentuk sebuah rongga itu kembali terpejam. Kemudian terlihat
pula sesungging senyum pias di bibirnya yang seten-
gah sumbing. Lalu tanpa terduga-duga, laki-laki ber-
pakaian ungu itu seperti mendesah. Namun menghe-
rankan karena justru suara yang terdengar tak ubah-
nya bagai suara lolongan serigala hutan. Dan pabila
angin berhembus kencang, maka menebarlah bau
bangkai di sekitar tempat itu. Selanjutnya manakala
angin kencang berhembus ke arah lereng bukit yang
selama ini merupakan pemukiman orang-orang cacat.
Maka seluruh penghuni perkampungan orang-orang
cacat jadi terbatuk-batuk. Kemudian beberapa orang di
antaranya langsung menggelupur roboh sambil meme-
gangi dadanya yang terasa sakit.
Kejadian itu sudah hampir satu purnama ber-
langsung, dan sering terulang pabila bau bangkai yang
mengandung racun itu telah menebar ke arah bagian
bawah bukit, maka beberapa orang penghuni perkam-
pungan itu langsung menemui ajal secara menyedih-
kan. Kejadian demi kejadian yang terjadi sudah barang
tentu membuat kepala dusunnya yang bernama Kakek
Buta Tanpa Nama menjadi pusing dibuatnya. Seingat-
nya selama puluhan tahun mereka menetap di situ,
kejadian ganjil seperti yang sedang terjadi saat seka-
rang sangat jarang terjadi, bahkan boleh dikata tak
pernah ada. Tapi mengapa penyakit misterius itu tiba-
tiba menyerang mereka, padahal mereka sangat jauh
dalam keterasingan. Di lain pihak dia pun merasa san-
gat terpukul dengan adanya berita dari kalangan luar.
Bahwa malapetaka yang terjadi di daerah-daerah juga
bersumber dari mereka. Ini sangat keterlaluan sekali,
padahal selama ini sungguh pun mereka merasa diku-
cilkan dari kehidupan ramai, namun mereka merasa
tidak pernah membuat ulah maupun semacam pelam-
piasan dendam kepada orang-orang yang berada di
dunia ramai.
Sementara itu di atas bukit, laki-laki berpakaian
ungu itu masih tampak tersenyum-senyum seorang di-
ri. Bahkan senyumannya kini telah berubah menjadi
sebuah seringai puas.
"Auuuunngg...!" Lolongnya lirih. "Kaing.., kaing...!
Biarkan saja orang-orang cacat itu pada mampus se-
mua. Racun Pembasmi Iblis hasil ciptaanku memang
terlalu ampuh. Bahkan puluhan kampung telah ber-
hasil kuracuni, putrinya Adipati Gupta juga! He... he...
he...! Salah siapa? Dulu dia begitu berambisi menjadi
adipati. Kalau tidak karena bantuanku, mana mungkin
sekarang dia bisa hidup enak dan dihormati oleh orang
banyak. Dia kira siapa Tabib Canda Muka itu? Per-
nahkah dia berpikir jika tanpa bantuanku dia dapat
menggantikan Adipati Tambak Yoso yang telah tewas
karena Racun Pembasmi Iblis milikku. Tapi di dunia
ini terlalu jarang orang yang mampu membalas guna.
Sekarang biarkan saja Adipati Gupta mumet memikir-
kan siapa yang menjadi penyebab maut atas desa-desa
yang menjadi kekuasaannya. Hek... hek... hek...!" Se-
kejap dia memperhatikan ke arah lereng bukit. Di sana
memang terlihat sedang terjadi kekacauan. Kemudian
kembali terdengar suara lolongannya, sayup-sayup.
"Auuung... kaing... kaing...! Bagus... saling mam-
pusin saja, biar orang-orang segolongan jadi cerai be-
rai...!" dengusnya sinis.
Saat itu di lereng bukit memang sedang terjadi
kekacauan. Beberapa orang pengintai yang sejak pagi
mengawasi daerah perkampungan orang-orang cacat
itu kini sudah turun menyerbu, dan mulai membantai
orang-orang cacat yang hanya memiliki sedikit kepan-
daian. Raungan maut pun mulai membahana meme-
nuhi seluruh lereng, hingga sampai ke atas bukit tem-
pat di mana Sapta Rengga berada. Bumi perkampun
gan orang-orang cacat mulai basah bersimbah darah.
Tapi para penyerang yang sudah diliputi api amarah
itu tampaknya sudah tiada memiliki rasa kasihan lagi.
Orang-orang cacat yang tiada memiliki kepandaian
tinggi itu dalam waktu se-kejap saja menjadi kocar-
kacir dalam mem-pertahankan diri.
Sementara itu dari dalam sebuah pondok yang
berukuran sangat besar, tampak seorang kakek tua
berkelebat memasuki arena pertempuran. Tanpa me-
nunggu waktu lebih lama lagi, tongkat di tangannya
pun segera berkelebat.
"Traang.... Traaang... Traaang...!" Terdengar ben-
turan keras antara senjata si kakek dengan senjata
yang telah dipergunakan oleh pihak penyerang untuk
membunuhi orang-orang cacat itu. Tampak tergetar
tubuh para penyerang tadi begitu senjata pedang me-
reka membentur tongkat di tangan kakek buta.
"Tua keparat! Siapakah engkau ini...!" tanya sa-
lah seorang di antara mereka sambil bersurut langkah.
Pemimpin perkampungan orang-orang cacat itu men-
dengus, lalu silangkan tongkatnya ke depan dada.
"Aku Tua Bangka Tanpa Nama yang me-mimpin
perkampungan orang-orang cacat!" kata laki-laki buta
itu, dan wajahnya mendadak berubah merah padam
saat dia mendengar jeritan salah seorang masyarakat-
nya.
"Hentikan kawan-kawan kalian itu!" sentak kakek
buta. "Kalau pun kalian memang ingin memusnahkan
kami, setidak-tidaknya sebelum menutup mata kami
harus mengetahui persoalan yang sebenarnya...!" ben-
tak Kakek Buta Tanpa Nama. Si penyerang meman-
dang sejenak pada kawan-kawannya, seolah ingin min-
ta sebuah persetujuan.
"Kawan-kawan, berhenti dulu...!" perintah yang
jadi pemimpin pada kawan-kawannya. Kemudian
orang itu menyambung: "Orang-orang cacat tiada guna
ini ingin tahu apa sebabnya kita membantai mereka...!"
"Kakang Suroso, menunda pembunuhan itu sa-
ma saja artinya kalau kita menunda kematian mere-
ka...!" cela salah seorang berbadan kecil kurus merasa
kurang begitu senang dengan keputusan pemimpin-
nya.
"Sabar, Adik Bungkring! Tak ada salahnya kita
meluluskan permintaan orang yang hendak mam-
pus...!"
"Sekarang cepat kau tanyakan apa saja yang in-
gin kau ketahui, tua buta..?" sentak Suroso sembari
menimang-nimang toyanya.
"Aku ingin tahu, mengapa tiba-tiba saja kalian
datang langsung membunuhi orang-orang yang tiada
berdosa?"
"Heh... apa katamu! Kalian bukan orang-orang
yang bersalah? Pernahkah kalian dengar tentang ke-
matian beratus-ratus warga dari tiga puluh desa kare-
na terserang wabah terkutuk itu...?" sentak Suroso.
"Siapakah kalian ini...?" tanya si Kakek Buta
Tanpa Nama dengan mata berkeriapan. Lagi-lagi laki-
laki yang bernama Suroso itu mendengus.
"Siapa kami! Cukup kau tahu bahwa kami ini
merupakan utusan Adipati Gupta. Ditugaskan untuk
mencari biang penyakit yang melanda hampir seluruh
pelosok desa." kata laki-laki itu sembari menyungging-
kan senyum sinis.
"Lalu kalian menuduh kami sebagai bapak
moyangnya penyebar wabah terkutuk itu? Huh tidak
tahukah kalian bahwa orang-orangku sendiri hampir
setiap hari kedapatan tewas dengan sebab-sebab yang
tak jelas...!" kata Kakek Buta Tanpa Nama balas mem-
bentak.
***
ENAM
"Wue... pandai sekali kau berkilah kakek buta!
Padahal menurut penyelidikan kami. Dari Rimba
Buangan sinilah sumbernya dari segala macam penya-
kit yang telah merenggut banyak korban itu...!"
"Bohong! Semua itu hanya fitnah! Kami selama
hidup berpuluh-puluh tahun di sini selamanya tak
pernah mengganggu urusan dunia luar! Apalagi sam-
pai menyebarkan segala macam penyakit...!" bentak
Kakek Buta Tanpa Nama sangat marah sekali.
"Jadi kau tetap membantah, orang tua...!" tanya
Suroso tampak gusar sekali.
"Kalau kami merasa, bahwa kami berada di pihak
yang benar. Maka kami tetap tidak akan mengakuinya
walaupun nyawa sebagai taruhannya...!" Suroso,
Bungkring, Kethu Dadap dan Kali Gundil tampaknya
sudah tiada mampu lagi mengendalikan emosinya.
"Tak ada gunanya lagi kita saling berbantahan
dengan mereka Kali Gundil. Baiknya kita hancurkan
mereka." teriak Kethu Dadap.
"Seraaaang...!" teriak lawan-lawannya beramai-
ramai.
Sekejap kemudian peperangan pun berkecamuk
kembali. Karena keempat orang-orang itu rata-rata
memiliki kepandaian tinggi dan sekaligus merupakan
tokoh sewaan terpilih maka dalam waktu sepuluh ju-
rus kemudian sebagian besar penghuni perkampungan
cacat itu tewas terbantai. Sungguh pun Kakek Buta
Tanpa Nama tiada dapat melihat apa yang sedang ter-
jadi, namun dia dapat merasakan betapa orang-orang
yang segolongan dengannya banyak yang sudah me-
nemui ajal secara menyedihkan.
"Kalian mengaku-ngaku sebagai golongan lurus.
Tapi tindakan kalian melebihi kebrutalan iblis. Kepa-
rat... aku akan mengadu jiwa dengan kalian...!" teriak
Kakek Buta Tanpa Nama sambil mengayunkan tong-
katnya ke arah.
"Jangan banyak mulut! Kau harus mampus di
tangan kami, Kakek Buta...!" selak Suroso. Maka pen-
geroyokan pun terjadilah.
Dengan hanya mengandalkan indera perasa dan
permainan tongkat di tangannya. Kakek Tanpa Nama
ini terus melakukan serangan-serangan gencar. Sekali
waktu tongkat di tangannya menderu dan timbulkan
suara bercuitan. Hal ini menandakan bahwa Kakek
Tanpa Nama sebenarnya memiliki tenaga dalam yang
tinggi. Tetapi yang dihadapi oleh kakek itu bukanlah
lawan sembarangan. Selain mereka ini mempunyai
pengalaman yang tidak jauh beda dengan yang dimiliki
oleh Kakek Tanpa Nama, juga mereka memiliki senjata
andalan yang tentunya beraneka ragam.
Tidak keliru kalau dalam beberapa jurus selan-
jutnya Kakek Tanpa Nama, sudah mulai terdesak he-
bat. Bahkan lima jurus di depan dia sudah harus me-
mutar tongkatnya untuk melindungi diri dari sabetan
dan tusukan senjata pusaka di tangan lawannya. Satu
ketika dengan disertai jeritan tinggi melengking, keem-
pat orang itu secara bersama-sama langsung melaku-
kan penyergapan dengan toya, golok dan pedang ter-
hunus. Tampaknya Kakek Tanpa Nama menyadari
akan bahaya yang mengancam dirinya. Lalu tanpa
membuang-buang waktu lagi dengan mengandalkan
ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tahap
sempurna Tubuh Kakek Tanpa Nama meletik ke uda-
ra, namun dalam kesempatan itu. Lebih cepat lagi, pe-
dang di tangan Suroso berkelebat.
"Breet...!"
"Ahkk...!"
Tubuh kakek Tanpa Nama terlonjak ke atas, ba-
gian bahunya terobek sebesar ibu jari hingga membuat
sebuah luka yang terus mengalirkan darah. Tapi pihak
Suroso dan kawan-kawannya nampaknya sudah tidak
perduli lagi. Tanpa mengenai rasa belas kasihan mere-
ka bermaksud untuk menghabisi nyawa Kakek Tanpa
Nama. Tak ayal lagi, baik toya, golok maupun pedang
di tangan lawan-lawannya tampak terayun ke atas.
Sekali ini dengan sekali sabet maka tewaslah kakek
malang itu, namun di luar dugaan dalam keadaan
yang sangat kritis itu mendadak berkelebat sosok
bayangan merah begitu cepatnya. Bayangan itu terus
menyambar ke arah Kethu Dadap dan kawan-
kawannya: "Traang... trang... traang...!"
Tak ayal lagi tubuh mereka terjengkang dengan
senjata masih tergenggam di tangan masing-masing.
Namun secepatnya mereka sudah bangkit kembali. Be-
gitu dia memandang pada Kakek Tanpa Nama, mereka
melihat seorang pemuda yang tak dikenal sedang be-
rusaha menolong kakek itu. Karuan saja mereka men-
jadi sangat marah sekali.
"Kurang ajar! Siapakah engkau, bocah pembawa
periuk nasi...?" hardik Bungkring dengan tubuh geme-
taran karena memendam luapan emosi. Begitu dingin
tatapan si pemuda, menyapu pandang pada keempat
laki-laki yang telah melakukan pembantaian terhadap
orang-orang cacat di Rimba Buangan.
"Mestinya kalian tak perlu bertanya siapa aku ini.
Karena sesungguhnya kalian sendiri tiada mengerti
siapa diri kalian sendiri...!" gumam pemuda itu geram.
"Keparat! Ditanya malah balas bertanya! Ada hu-
bungan apakah kau dengan kakek buta ini...?!"
"Hemmm...! Aku tak memiliki hubungan apa-apa,
cuma aku tak habis pikir, manusia yang mengaku-
ngaku sebagai golongan lurus seperti kalian kok begitu
tega membunuhi orang yang lemah tanpa daya...?"
"Kurang ajar! Kau tau apa bocah gembel? Sudah
jelas mereka yang telah membuat sengsara orang ba-
nyak, tetapi mengapa justru kau membelanya...?" ben-
tak Suroso dengan mata melotot.
"Apakah kalian melihat dengan mata kepala sen-
diri...?" bertanya Buang Sengketa dengan pandangan
berapi-api. Tampak orang-orang itu saling pandang se-
samanya, biar bagaimana pun selama ini mereka men-
jalankan perintah hanya berdasarkan laporan yang
mereka terima dari orang-orang kepercayaan sang adi-
pati. Tetapi sebagai orang yang merasa derajat golon-
gannya lebih tinggi dari si pemuda maupun kakek bu-
ta, mana mungkin mereka mau mengakui kesalahan
mereka begitu saja.
"Sungguh pun tidak! Tapi semua itu berdasarkan
laporan orang-orang kepercayaan kadipaten?" kata Kali
Gundil, mewakili kawan-kawannya.
"Kalau sudah merupakan orang-orang upahan
kadipaten. Lantas kalian bisa berbuat sewenang-
wenang pada orang-orang yang selama hidupnya telah
banyak menelan penderitaan ini...?" sentak pemuda itu
mulai terseret-seret dalam api kemarahan.
"Kampret! Kau tau apa tentang kadipaten...?"
tanya seorang di antara mereka membanggakan diri.
"Ah... ha... ha... ha...! Sombong sekali kau ini so-
bat! Yang ku tahu di kadipaten sedang mewabah to-
koh-tokoh persilatan upahan seperti kalian ini. Juga
termasuk sakitnya Putri Asih karena Racun Pembasmi
Iblis itu. Heh... tak kusangka kalau Adipati Gupta yang
sedang dilanda kebingungan itu malah mengupah para
begal pembunuh memuakkan seperti kalian ini. Kupe-
rintahkan pada kalian untuk menyingkir dan jangan
ganggu lagi orang-orang yang tiada berdosa ini...!" ben-
tak Buang Sengketa.
Akan tetapi, mana mau orang-orang itu meneri-
ma begitu saja. Sebaliknya Kethu Dadap yaitu meru-
pakan orang-orang yang paling tua di antara keempat
utusan sang adipati malah balas membentak: "Kamp-
ret! Kau benar-benar tidak memandang muka terhadap
utusan dari kadipaten...!"
"Harus kulihat dulu apa yang telah dilakukan
oleh kunyuk-kunyuk upahan seperti kalian ini. Baru
aku akan memperhitungkan baik buruknya...!" kata
Buang Sengketa lugas.
"Kurang ajar! Menghina kami itu berarti sama sa-
ja kau menghina adipati. Ringkus kunyuk keparat ini
hidup atau mati...!" teriak Suroso marah.
"Beet...!"
Hanya sekejapan mata saja keempat orang itu te-
lah mengurung si pemuda dari empat jurusan. Suroso
tak perlu mengulangi perintahnya untuk yang kedua
kalinya, karena secara serentak mereka telah melaku-
kan serangan-serangan mautnya dengan gencar.
"Kakek Tanpa Nama, menyingkirlah...!" kata
Buang Sengketa sambil berusaha mengkelit serangan
gencar pihak lawan yang datangnya bertubi-tubi.
Namun datangnya serangan itu tak ubahnya ba-
gai luapan air bah, variasi jurus-jurus silat mereka
pun sangat banyak dan beraneka ragam. Sampai detik
itu, Pendekar Hina Kelana masih mempergunakan ju-
rus silat tangan kosong 'Membendung Samudra Me-
nimba Gelombang'. Satu kesempatan Bungkring han-
tamkan senjatanya yang berupa sebuah toya yang pa-
da bagian ujungnya terdapat sebuah pisau tajam yang
berwarna kekuning-kuningan.
"Wuuus!"
Angin sambaran toya bermata pisau itu menderu
ganas mengarah pada bagian perut Buang Sengketa.
Pemuda itu menghindari-nya dengan cara berjumpali
tan dan kirimkan satu tendangan satu pukulan terha-
dap lawan yang berada di belakangnya.
"Wuuut!"
Sambaran ujung pisau yang terdapat di ujung
toya lawan, luput. Suroso yang berada di bagian bela-
kang si pemuda tampak gelagapan.
"Buuuk! Ngeeek...!"
Terhuyung tubuh laki-laki berbadan jangkung
ini, isi perutnya terasa bagai diaduk-aduk. Saat itu
semakin bertambah meluaplah amarahnya. Serta mer-
ta tubuhnya melentik ke udara, kemudian setelah ber-
jumpalitan dan melayang turun. Pedang di tangannya
diarahkan pada bagian kepala si pemuda. Masih un-
tung dalam keadaan sangat kerepotan seperti itu,
Buang sempat menyadari adanya bahaya yang men-
gancamnya dari bagian atas. Seketika itu juga, pemu-
da ini segera robah jurus silatnya dari jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudra' kepada
jurus "Si Gila Mengamuk'. Total permainan silat si pe-
muda berubah, namun tetap saja bagian lengannya
tersambar pedang di tangan Suroso.
"Sreet...!"
"Aughk...!"
Pendekar Hina Kelana mengeluh pendek, namun
hal itu tidak mengurangi gerakan tubuhnya yang bagai
seorang pemabukan. Sungguh pun setelah merobah
jurus-jurus silatnya pemuda ini mampu mengelakkan
setiap serangan, bahkan dengan menggeser kaki dan
dalam keadaan terhuyung-huyung itu dia mampu
mengkelit tusukan pedang maupun babatan senjata
lainnya. Namun hal itu tak pernah merobah keadaan.
Karena saat itu si pemuda menyadari tak perlu turun
tangan kejam untuk menundukkan mereka-mereka
yang sedang salah paham itu, maka sering terlihat di
pihak si pemuda selalu berada dalam posisi terdesak.
Namun bagi pihak lawan mana mau tahu dengan apa
yang sedang terjadi atas diri si pemuda. Dari setiap se-
rangan-serangan yang dapat dikandaskan oleh si pe-
muda, bukan membuat mereka menyadari bahwa pi-
hak lawannya masih memberi angin pada mereka. Wa-
laupun memang keempat orang itu juga merupakan
kaum persilatan yang sudah memiliki kepandaian
tinggi. Bahkan permainan jurus-jurus pedang, toya
maupun golok mereka juga cukup tinggi.
Sebaliknya dengan kemarahan yang me-luap-
luap, keempat lawannya mulai mengerahkan jurus-
jurus simpanannya yang paling ampuh. Keadaan yang
sangat membahayakan ini tentu membuat Buang se-
makin terjepit. Dia pun tak ingin hanya karena meng-
harap pengertian dari keempat orang itu, tubuhnya
menjadi korban keganasan senjata di tangan mereka.
Fikirannya pun bekerja cepat, lalu dia memutuskan
untuk mempergunakan jurus Koreng Seribu untuk
memberi sebuah kesadaran pada lawan-lawannya. Ak-
hirnya setelah mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melindungi diri dari tebasan senjata lawan, maka pe-
muda itu pun menyalurkan sebagian tenaga dalamnya
ke arah kedua belah tangannya. Dengan sikap pasrah,
Buang Sengketa menyongsong datangnya serangan
senjata itu.
"Traaak! Creep...!"
Begitu senjata di tangan lawannya menghantam
tubuh Pendekar Hina Kelana, maka senjata-senjata itu
langsung melekat sedemikian erat. Kethu Dadap, Kali
Gundil, Bungkring dan Suroso tampak berusaha me-
narik senjata mereka yang melekat erat di tangan la-
wannya. Wajah masing-masing lawan membayangkan
rasa takut yang teramat sangat, tapi rasa keterkejutan
lebih menguasai diri mereka. Adegan tarik menarik
pun terus berlanjut, masing-masing lawan tubuh
maupun pakaiannya sudah bersimbah keringat. Cela-
kanya semakin banyak mereka mengeluarkan tenaga
untuk menyentakkan senjata-senjata yang melekat itu,
semakin terasa tubuh mereka menjadi lunglai tidak
bertenaga.
"Ilmu gila...!" pekik Kali Gundil yang sepanjang
hidupnya belum pernah menghadapi lawan yang me-
miliki ilmu kepandaian seperti yang dimiliki oleh si
pemuda. Pendekar Hina Kelana hanya memperlihatkan
sesungging seringai menggidikkan. Namun beberapa
saat kemudian dengan disertai satu jeritan melengk-
ing. Pemuda keturunan raja di negeri alam gaib itu
menyentakkan tangannya ke atas.
"Wuaaaa...!"
Bagai ranting-ranting kering ditiup angin, tubuh
keempat orang itu terpelanting roboh. Mereka memang
merasakan tubuhnya terasa lemah tiada bertenaga,
namun demi menjaga harga diri, orang-orang itu pun
segera bangkit kembali.
"Jangan kalian tunggu sampai habis kesabaran-
ku! Pergilah, mereka sesungguhnya merupakan orang-
orang yang patut kalian kasihani. Bukan dibantai se-
perti ini!" kata pemuda itu berwibawa.
"Tidak...! Walaupun kau memiliki kepandaian se-
perti dewa, jangan kira kami akan menyerah begitu sa-
ja. Kau coba-coba melindungi biangnya penyakit, maka
kami berkesimpulan bahwa kau juga merupakan
orang-orang yang patut dicurigai...!" maki Kethu Dadap
dengan sinar mata memancarkan dendam. Memerah
wajah pendekar ini seketika, telinganya terasa panas
mendengar tuduhan yang tidak beralasan itu.
"Baik! Kalau kalian masih tetap pada pendirian
kalian, lakukanlah! Tapi aku minta supaya kalian bica-
rakan dulu pada adipati!" ucap si pemuda.
***
TUJUH
"Huh...! Membunuh kunyuk-kunyuk penyebar si-
al seperti kalian tak perlu harus meminta persetujuan
adipati. Bahkan adipati akan merasa sangat berterima
kasih sekali andai kami telah berhasil membunuh be-
berapa orang yang mencurigakan seperti kalian ini...!"
dengus Suroso tetap ngotot dengan pendiriannya.
"Ah... kiranya kalian bertindak bukan berdasar-
kan atas petunjuk adipati. Kalian telah menjadi manu-
sia-manusia keparat pembabi buta! Mustahil sekali
Adipati Gupta yang bijaksana itu dapat membiarkan
kalian bertindak semau-maunya tanpa bukti-bukti
yang kuat...!"
"Jangan kau bawa-bawa nama adipati, kau tak
layak menyebutnya...!"
"Tak pantas...? Hanya kalian saja yang berkata
begitu. Sang adipati itu baik sekali, hanya kalian saja-
lah yang terlalu egois...!"
"Diammm...!" bentak Kali Gundil semakin panas
saja hatinya. "Menyingkirlah kau kunyuk pembawa pe-
riuk. Kami akan memusnahkan sarang manusia-
manusia cacat itu!"
"Kalau itulah keinginan kalian, maka langkahi
dulu mayatku...!" tukas Pendekar Hina Kelana dengan
sorot mata menggidikkan.
"Bocah keras kepala, kami akan mengadu jiwa
denganmu...?!" teriak Bungkring, dan kejab kemudian
dia telah menghantamkan toyanya mengarah pada ba-
gian bahu si pemuda. Sadarlah Buang Sengketa, kini
tiada gunanya memberi peringatan apa pun pada me-
reka. Tiada pilihan lain lagi, terkecuali menempur me-
reka sampai titik darah penghabisan.
"Hemm! Kalau itulah keinginan kalian, berarti
aku lebih menghargai jiwa orang-orang cacat di sini.
Kau dan kembrat-kembratmu (kawan-kawan), memang
pantas untuk mendapat ganjaran yang setimpal dari-
ku...!"
"Hiyaaaa...!"
"Nguung.... Nguuung...!"
Hanya dalam waktu sesaat saja pertarungan sen-
git pun terjadi kembali, kalau mulanya Buang Sengke-
ta dalam bertindak masih memperhitungkan jiwa
orang lain, tapi kali ini semua itu lenyap dalam inga-
tannya. Apa yang sedang bergejolak di dalam dadanya
adalah unsur siluman yang diwariskan oleh ayah kan-
dungnya, Raja Ular Piton Utara dari negeri alam gaib.
Tak dapat disangkal lagi, dalam detik-detik selan-
jutnya wajah pemuda itu berubah kelam membesi, se-
pasang matanya tampak memerah saga, sementara da-
ri celah-celah bibirnya memperdengarkan bunyi men-
desis bagai seekor ular piton yang sedang dilanda ke-
marahan. Sejurus kemudian pihak lawan-lawannya te-
lah pula melancarkan pukulan-pukulan mautnya. Su-
roso, saat itu telah bersiap-siap dengan pukulan 'Dewa
Mabok Mengejar Peri' sedangkan Bungkring dan Kathu
Dadap saudara seperguruan yang memiliki pukulan
yang sama telah pula mengerahkan pukulan 'Malaikat
Seribu Muka'. Orang terakhir yang juga mengerahkan
pukulan mautnya adalah Kali Gundil. Laki-laki tua
renta itu mengerahkan pula pukulan 'Dewa Renta
Memburu Perawan Ting-Ting'.
Terkesiaplah Pendekar Hina Kelana dibuatnya,
tapi dia juga tidak kehabisan akal untuk menghadapi
pukulan maut yang datangnya secara bersamaan itu.
Dengan menyertakan ilmu 'Lengkingan Pemenggal
Roh', pendekar berwajah sangat tampan ini mele-
paskan pukulan tingkat tertinggi yang dimilikinya. Tak
ayal, pukulan si "Hina Kelana Merana' pun dia per
siapkan.
"Wuuuss...!"
"Heiiik...!"
Sambil melepaskan pukulan 'Si Hina Kelana Me-
rana' yang memancarkan cahaya merah berkilauan itu,
ilmu Lengkingan Pemenggal Roh turut menyertainya.
Pukulan pamungkas yang dilepaskan si pemuda terpe-
cah menuju keempat penjuru mata angin. Sungguh
pun pukulan itu menjadi tak sehebat andai dilepaskan
secara utuh tetapi lengkingan ilmu Pemenggal Roh,
memang terasa banyak membantu. Terbukti kosentrasi
lawan menjadi terganggu sehingga tak dapat melaku-
kan pukulan susulan lagi.
"Buuuuummm...!"
Bumi bagai dilanda selaksa gempa. Perkampun-
gan orang-orang cacat menjadi porak poranda. Semen-
tara pohon-pohon yang berada di sekitar tempat itu
tampak bertumbangan, pasir dan debu mengepul ke
udara, membubung tinggi dan membuat suasana di
sekitarnya menjadi samar-samar. Mayat-mayat kaum
cacat yang tergeletak di sekitar pertempuran berpelan-
tingan ke segala penjuru. Sementara tubuh lawan-
lawan si pemuda tercampak entah ke mana. Dengan
susah payah pemuda itu berusaha membebaskan diri
dari kungkungan tanah yang menjepit tubuhnya. Ru-
panya saat pukulan sakti mereka saling bertenturan
tadi, tubuh pemuda itu melesak ke dalam tanah sam-
pai sebatas pinggang. Dengan masih memegangi ba-
gian dadanya yang terasa bagai remuk pemuda itu ak-
hirnya dapat keluar dari himpitan tanah tadi. Tapi ke-
mudian dia terbatuk-batuk, sesaat setelah itu mengge-
logoklah darah kental dari dalam mulutnya.
"Tuan penolong! Tidak apa-apakah kau...!" ucap
sebuah suara, secara tiba-tiba telah mengurut bagian
dada pemuda itu. Dengan pandangan masih berkunang-kunang, Buang Sengketa menoleh. Dan terlihat-
lah olehnya bahwa orang yang sedang melakukan per-
tolongan itu, si Kakek Buta Tanpa Nama. Buang ge-
leng-gelengkan kepalanya. Sungguh pun dadanya tera-
sa mau pecah, walaupun kepalanya bagai remuk. Na-
mun begitu melihat lawan-lawannya telah mengurung
dirinya dan telah siap pula melancarkan pukulan
mautnya. Pemuda itu lalu memberi perintah pada si
Kakek Buta Tanpa Nama:
"Kakek! Menyingkirlah...! Manusia-manusia ber-
hati iblis itu nampaknya memang benar-benar men-
ginginkan jiwaku...!" Menggeram suara si pemuda ba-
gai banteng yang terluka. Tapi di luar dugaan Kakek
Tanpa Nama gelengkan kepala berulang-ulang.
"Tidak... kau telah pertaruhkan jiwamu, hanya
demi membela nyawaku yang sudah tiada harganya
itu. Agar iblis yang mengaku sebagai kaum yang lurus
ini puas, biarlah nyawaku sebagai tebusannya..." ja-
wab Kakek Tanpa Nama begitu tegas.
"Bagus! Kalian berdua memang pantas untuk
mati secara bersama-sama." tukas Kathu Dadap sinis.
"Kakek Tanpa Nama... kuperingatkan padamu,
cepat-cepatlah menyingkir. Biar kuhadapi orang-orang
sinting ini seorang diri...!" teriak Pendekar Hina Kelana
merasa sangat gusar. Tampaknya Kakek Tanpa Nama
menyadari bahwa dirinya tak mungkin membantah
keinginan si pemuda. Maka dengan sekali berkelebat,
lenyaplah kakek itu dari arena pertarungan.
"Wuuus...!"
"Blaaar...!"
Pukulan yang dilakukan dengan mempergunakan
kelengahan Pendekar Hina Kelana, memang sama se-
kali di luar dugaan pemuda ini. Tak ayal lagi tubuhnya
pun terbanting keras beberapa tombak ke belakang.
"Hoeeekgh...!"
Semakin bertambah banyaklah darah kental yang
menggelogok dari mulut si pemuda. Tubuhnya terasa
panas bagai terbakar. Dengan bersusah payah dia be-
rusaha bangkit kembali.
"Keparaaaat...!"
Maki si pemuda, serta merta dia cabut senjata
yang terselip di bagian pinggangnya. Begitu senjata itu
tergenggam di tangannya, maka terasa ada aliran han-
gat menjalar di sekujur tubuhnya hingga menyebab-
kan rasa sakit itu pun sedikit berkurang. Sebaliknya
mereka yang hadir di situ secara tiba-tiba merasakan
hawa dingin luar biasa. Dan mereka lebih terkejut lagi
begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan pe-
muda itu memancarkan sinar merah menyala.
"Kepalang basah, majulah kalian semuanya!
Sampai di sini aku benar-benar tak bisa mengampuni
jiwa kalian...!" desis pemuda itu. Walaupun hati mere-
ka kini diliputi oleh rasa ragu, namun semuanya su-
dah terlambat.
Bahkan Kali Gundil sendiri yang selama ini
hanya mendengar tentang adanya seorang tokoh yang
berjuluk si Hina Kelana, hanya mampu berharap, se-
moga pemuda yang sedang mereka hadapi itu bukan-
lah Pendekar Golok Buntung. Tak perduli dia sudah
melihat bahwa kini pemuda itu sudah menggenggam
Pusaka Golok Buntung di tangannya.
"Heaaa... heaaa...!"
Mempergunakan senjata dan pukulan-pukulan
mautnya, keempat orang itu secara serentak maju me-
nyerang. Golok di tangan Buang Sengketa menggaung
memperdengarkan suara puluhan ekor harimau terlu-
ka. Angin akibat sambaran golok itu menyambar-
nyambar dan membuat ngilu tulang belulang lawan-
lawannya.
Satu kesempatan dengan disertai jeritan tinggi
melengking tubuh pemuda itu tampak berkelebat le-
nyap. Jurus 'Si Jadah Terbuang' telah menyebabkan
gerakan senjata maupun tubuhnya hanya kelihatan
bagai bayang-bayang saja. Hal itu membuat lawan-
lawannya menjadi bingung dan merasa kesulitan un-
tuk melakukan serangan.
"Ihh...!"
Kali Gundil berseru kaget saat mana merasakan
adanya sambaran angin di belakangnya. Dia berkelit,
tubuhnya hampir saja menabrak si Bungkring yang
berada di samping kirinya. Laksana kilat, satu keleba-
tan bayangan merah menyambar.
"Creess.... Creees...!"
"Wuaaghrk... arggghkt...!"
Terdengar dua kali jeritan berturut-turut. Kali
Gundil dan Bungkring tampak mendekap bagian pe-
rutnya yang terobek besar. Darah terus merembas
membasahi bagian tangan yang mereka pergunakan
untuk mendekap bagian luka tadi. Namun tetap saja
aliran darah tak dapat dicegah. Dengan mata melotot,
tubuh kedua orang itu kemudian ambruk tanpa sem-
pat berkelojotan lagi.
Pucat pasi wajah Suroso dan Kethu Dadap demi
melihat apa yang dialami oleh kawan-kawannya. Tiba-
tiba seramnya kematian membayangi jiwa mereka. Ba-
gaimana pun mereka sadar pemuda itu bukanlah la-
wan sembarangan. Bahkan rupa kematian pun mereka
tak berani membayangkannya. Mana lagi masih bujan-
gan dan belum pernah merasakan bagaimana enaknya
sebuah perkawinan dan hidup serumah dengan seo-
rang perempuan. Secara tak terduga mereka mengam-
bil keputusan yang sama. Kabur! Itulah. Namun ki-
ranya pemuda itu dapat membaca gelagat. Maka den-
gan geram dia berseru:
"Kalian baru boleh kabur, setelah meninggalkan
sebelah tangan masing-masing...!" Buang Sengketa
kembali memburu, dalam keadaan jiwa tak menentu,
lawannya menjadi gugup. Golok Buntung di tangan
pemuda dengan telak menyambar ke bagian bahu Su-
roso dan Kethu Dadap.
"Jraaas.... Creeess...!"
"Auuu.... sakiit..,!" teriak Suroso dan Kethu Da-
dap sambil berusaha meninggalkan tempat itu.
"So... tanganmu tidak kau ambil...!" jerit Kethu
Dadap, sambil terus berlari dia berusaha menotok ja-
lan darah untuk mencegah agar darahnya tidak ba-
nyak yang keluar.
"Masa bodoh...! Kehilangan sebelah tangan tidak
berarti apa-apa daripada harus kehilangan nyawa...!"
balas Suroso, terbirit-birit. Tak lama kemudian Suroso
dan Kethu Dadap telah lenyap pula dari pandangan si
pemuda.
"Kakek Tanpa Nama... uruslah jenazah orang-
orangmu...!" kata pemuda itu beberapa saat setelah
itu.
"Aku akan mengurusnya, Pendekar...! Dan kuu-
capkan banyak terima kasih padamu." kata Kakek
Tanpa Nama. Namun tiada sahutan, karena sesung-
guhnya Pendekar Hina Kelana telah bergegas pergi
meninggalkan tempat itu.
***
DELAPAN
Merambah hutan rimba, bagi orang-orang keper-
cayaan Adipati Gupta bukanlah satu hal yang baru.
Namun menginjakkan kaki di Rimba Buangan baru
kali inilah mereka lakukan. Namun Ranggas dan Margono serta kaum persilatan golongan putih lainnya ju-
ga termasuk Karsa yang tergabung dalam regu pe-
numpasan penyebar Racun Pembasmi Iblis, untuk kali
ini diliputi oleh rasa was-was yang teramat sangat. Ba-
gaimana tidak, waktu pertama kali mereka menam-
batkan kuda-kuda di pinggiran Rimba Buangan, mere-
ka menemukan mayat Lawuk Ambara tergeletak dalam
keadaan membusuk. Ternyata setelah diperiksa sana
sini, tak terdapat adanya luka ataupun bekas pukulan
beracun lainnya. Wajah Lawuk Ambara yaitu orang-
orang utusan kadipaten dan termasuk orang upahan
itu tampak menggembung kebiru-biruan, sepasang
mata melotot, sementara kedua tangannya mendekap
erat pada bagian leher. Melihat mulutnya yang berbusa
dan menebarkan bau busuk. Rasa-rasanya kematian
Lawuk Ambara tak jauh beda dengan yang dialami
oleh para penduduk yang terserang wabah.
Kemudian ketika mereka melangkah dan mene-
lusuri hutan agak lebih ke dalam lagi, maka rombon-
gan Ranggas dan Margono menemukan pula mayat
Giling Wesi dengan keadaan tidak begitu berbeda den-
gan apa yang dialami oleh Lawuk Ambara. Orang baya-
ran dari 'Puncak Sinar Akherat' itu juga tewas dengan
keadaan mata melotot. Sedangkan di bagian tangannya
masih tergenggam seruling maut yaitu yang merupa-
kan sebuah senjata andalan milik Giling Wesi. Namun
Margo, Ranggas, Karsa serta beberapa orang lainnya
yang turut serta dalam rombongan itu sedikit terperan-
jat begitu melihat tangan kiri Giling Wesi. Margono
langsung mendekat, lalu berjongkok dan memeriksa
bagian tangan Giling Wesi. Tetapi benda yang berada
dalam genggaman tangan Giling Wesi terasa sangat su-
lit untuk diambil karena genggaman jemari yang Su-
dah kaku itu ternyata mencengkeram begitu eratnya.
Barulah setelah dibantu oleh Ranggas dan Karsa
benda yang tergenggam di tangan Giling Wesi dapat di-
ambil.
"Hemmm... tiga buah batu menyerupai untaian
tasbih, apakah benda ini ada hubungannya dengan
penyebar wabah penyakit itu...!" gumam Margono den-
gan alis mata berkerut. Yang lainnya langsung saling
pandang.
"Kemungkinan hal itu ada hubungannya. Tapi
siapa-siapa sajakah yang tinggal di hutan seperti ini
selain para orang-orang cacat itu...?" tanya Karsa se-
perti menuduh.
"Kita tak mungkin berprasangka sampai sejauh
itu. Tapi menurut Adipati Gupta, seperti yang pernah
dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana yang telah me-
nyelamatkan putrinya. Wabah penyakit misterius itu
sesungguhnya berasal dari seorang tabib yang memili-
ki racun ampun yang diberi nama 'Racun Pembasmi
Iblis'. Di kolong langit ini hanya manusia sesat Ki Sap-
ta Rengga seoranglah yang memilikinya. Justru begitu
aku sendiri merasa heran mengapa Tabib Canda Muka
yang beberapa hari lalu kudapati tewas. Namun saat
mana kami datang kembali ke tempat kediamannya,
mayatnya mendadak raib begitu saja...!"
"Kejadian yang pelik...!" sergah Ranggas merasa
pusing sendiri. "Sungguh pun pemuda yang memiliki
julukan Pendekar Hina Kelana itu telah menolong tuan
putri. Tapi entah mengapa justru aku menaruh rasa
curiga padanya. Bukan tak mungkin bahwa wabah pe-
nyakit yang melanda banyak desa itu, dialah yang
menjadi biang keladinya,..!"
"Tidak mungkin...!" bantah Karsa dan dengan
terburu-buru langsung geleng-gelengkan kepalanya.
"Jauh sebelum aku bertemu dengan Pendekar Golok
Buntung, aku telah mendengar tentang sepak terjang-
nya. Dia seorang tokoh muda yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Berasal dari golongan lurus dan
tak pernah bertindak setengah-setengah dalam mem-
basmi kejahatan...!!" bela laki-laki dari Gunung Seme-
ru itu tegas.
"Kalaulah benar tapi mengapa dia pergi mening-
galkan rumah kediaman Adipati Gupta begitu saja...?"
"Heh... bagi kalian hal itu memang terasa janggal,
karena selama ini kalian hidup dalam lingkungan tata
krama dan peradatan. Tapi tingkah orang-orang persi-
latan memang selalu begitu, aneh menurut kita, tetapi
biasa bagi mereka yang sudah mengerti...?"
"Menurut Paman Karsa, mungkinkah saat seka-
rang ini pendekar berperiuk itu juga sedang mencari
biang keladi penyebab malapetaka itu...?" tanya Rang-
gas berusaha ingin mencari kepastian.
"Kemungkinan itu ada, tapi aku tak dapat me-
mastikan apakah dia sedang berusaha mencari tabib
sesat Ki Sapta Rengga atau tidak! Tokh selamanya dia
tak mau terikat dengan segala macam hal yang berbau
kerja sama...!"
"Sulit juga! Tapi tak mengapa, ada baiknya kalau
sekarang kita teruskan saja perjalanan kita ini menuju
perkampungan orang-orang cacat." kata Margono. Ke-
mudian tanpa berkata-kata lagi delapan orang utusan
Adipati Gupta itu pun kembali melanjutkan perjala-
nannya.
***
Sementara itu di sela-sela teriknya cahaya men-
tari tengah hari, tampak sesosok tubuh berpakaian
serba putih dengan sebuah tongkat yang selalu me-
nyertainya kemanapun dia pergi, tengah mendaki Bu-
kit yang terletak di bagian Barat perkampungan kaum
cacat. Sekali dua tongkat di tangannya dia pukul
pukulkan ke arah bagian depan. Kakek berpakaian
serba putih ini tak lain adalah Kakek Buta Tanpa Na-
ma. Rupanya kejadian yang menimpa para murid-
muridnya membuat kakek ini merasa terpukul. Tak
dapat dibayangkan bahwa pembantaian yang membabi
buta yang telah dilakukan oleh Suroso, Kali Gundil,
Bungkring dan Kethu Dadap telah membangkitkan se-
buah dendam dan kemarahan terhadap biang penye-
bar wabah misterius yang dia tahu telah pula mereng-
gut jiwa orang- orangnya. Sebagian besar orang-orang
sengsara yang telah dikucilkan dari kehidupan ramai
selama puluhan tahun itu, kini telah tewas. Tetapi
yang membuat batinnya terguncang justru kematian
mereka disebabkan oleh segolongan manusia yang
mengaku dirinya sebagai kaum yang lurus dan memi-
liki derajat hidup yang tinggi.
Sungguh hal ini benar-benar tak dapat diterima
oleh akal sehatnya. Dia memang ingin marah, atau
pun melakukan balas dendam, tapi mungkinkah? Atau
pantaskah hal itu untuk dilakukannya? Dia berpikir,
dendam mendendam sesungguhnya tiada guna-nya
dan itu tak perlu dilakukannya. Biarlah mereka meru-
pakan kaum yang tersisihkan dan dikucilkan oleh ma-
syarakat banyak. Asalkan sampai menutup mata me-
reka tak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk
apa pun! Membatin Kakek Buta Tanpa Nama. Kini ka-
kek berpakaian putih itu tanpa memperdulikan terik-
nya sang surya yang terasa begitu menyengat terus
mendaki bukit terjal itu. Tekadnya sudah bulat, yaitu
ingin mencari tau sumber bau yang berasal dari atas
bukit yang kini sedang didakinya. Kalau pun nantinya
dia menemukan tempat dan menjadi sumber malape-
taka itu, dia telah bertekad untuk memusnahkannya.
Tak perduli apakah di atas bukit itu dihuni oleh bina-
tang buas, jin, setan apalagi manusia. Kalau perlu dia
akan mengadu jiwa dengan orang itu.
Demikianlah Kakek Tanpa Nama yang sudah ter-
biasa dengan kegelapan itu, sedikit demi sedikit terus
merangsak medan yang sulit dan berbatu terjal. Bukan
hal yang mudah bagi si kakek untuk cepat sampai di
tempat yang ditujunya. Berulangkali, tubuhnya terpe-
leset bahkan hampir terpelanting jatuh. Hanya karena
mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan memiliki
keseimbangan gerak saja. Kakek Buta Tanpa Nama
sampai sejauh itu masih mampu menghindari anca-
man batu-batu runcing yang terdapat di bawah bukit.
Lewat sepemakan sirih, sampailah kakek itu di atas
bukit. Tenaganya yang sudah terkuras habis, membuat
dirinya langsung ngejeplok di atas rerumputan hijau.
Napas ngos-ngosan bagai habis dikejar-kejar perem-
puan setan muka jelek, sementara matanya yang tiada
dapat melihat, bekerlipan. Sekejap kemudian Kakek
Buta Tanpa Nama sudah mulai memasang indera pen-
dengarannya, yang dalam usia lanjut ini sudah mulai
rada-rada budek.
Lamat-lamat dia mendengar adanya suara lolon-
gan serigala hutan. Mula-mula kakek itu mendengar
lolongan serigala tadi dari berbagai penjuru, tetapi be-
berapa saat kemudian suara itu bersumber dari satu
arah. Menyertai hembusan angin dari Barat Laut, ter-
cium pula bau bangkai. Kakek Tanpa Nama segera
menyadari bahwa bau tak sedap itu terkadang sampai
menjarah ke bagian lereng bukit. Dan bau itu pula
yang telah menyebabkan orang-orang cacat tewas se-
cara mengerikan. Cepat-cepat, ketua perkampungan
orang-orang cacat itu menutup pernapasannya. Begitu
pernapasan tertutup, bau menjijikkan itu pun sudah
tak tercium lagi. Namun seberapa lamakah Kakek Buta
Tanpa Nama dapat bertahan seperti itu? Bagaimana
pun saktinya kakek ini, dia tak mungkin terus menerus menutup jalan nafasnya. Pada saat itu tiupan an-
gin dari satu arah terasa semakin bertambah kencang.
Pohon-pohon sebesar paha kerbau berderak patah.
Bahkan andai Kakek Buta Tanpa Nama tidak menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk bertahan, sudah pasti
tubuhnya yang sudah renta itu akan terbang tertiup
angin yang datangnya bagai badai topan yang sangat
dahsyat.
"Hehhh...!" Menggigil tubuh Kakek Buta Tanpa
Nama, "Angin sehebat ini jelas bukan badai topan bi-
asa. Setidak-tidaknya seorang tokoh sakti yang telah
melakukan pekerjaan gila-gilaan ini...! Tapi siapa-
kah...?" gumam kakek itu sambil terus bertahan agar
tubuhnya tidak ikut terbetot hembusan angin.
"Mahluk Tuna Netra! Turunlah kau dari atas bu-
kit ini... apa yang kau cari-cari itu sesungguhnya bu-
kanlah lawanmu!" Dalam hembusan angin itu terden-
gar pula suara gaib yang tiada dikenal oleh kakek bu-
ta.
"Siapakah kau... apakah kau penyebar wabah
penyakit itu...?" tanya kakek itu dengan tubuh meng-
gigil.
"Bukan! Justru akulah yang menjadi pencegah
agar tidak jatuh banyak korban!" kata suara dalam
hembusan angin itu menyahuti.
"Kalau begitu, engkau tahu siapa biang keladi
semua yang telah terjadi...?" tanya si kakek.
"Aku tahu! Tapi aku tak mampu menghentikan
sepak terjangnya...!" jawab suara gaib dalam hembu-
san angin tadi.
"Coba tolong kau sebutkan manusia-nya...?" pin-
ta Kakek Buta Tanpa Nama.
"Orang itu bernama Ki Sapta Rengga!" jawab si
suara gaib.
Alis mata Kakek Buta Tanpa Nama tampak
mengkerut. Dicoba-cobanya untuk mengingat sesuatu,
hingga beberapa saat. Namun tetap saja dia tak bisa
mengingat siapa adanya Ki Sapta Rengga yang disebut-
sebut oleh si suara gaib itu.
"Kau pasti tak mengenalnya, manusia... sudahlah
cepat-cepat kau turun dan tinggalkan bukit ini. Orang
itu sebentar lagi akan sampai di depanmu...!" kata si
suara gaib merasa khawatir.
"Tidak! Percuma saja aku menghabiskan sisa-sisa
hidupku andai selamanya aku dan masyarakatku sela-
lu terhina!" Kakek Buta Tanpa Nama membantah.
"Kau memang keras kepala orang tua! Jangan sa-
lahkan aku, karena aku tak mampu melakukan pem-
belaan atas keselamatan dirimu!"
"Pergilah! Saat ini aku tidak memerlukan pembe-
laan siapa pun...!" pinta Kakek Buta Tanpa Nama pe-
nuh percaya diri. Seiring dengan hembusan angin yang
sangat kuat, maka suara gaib itu pun tak terdengar la-
gi. Tinggallah pohon-pohon yang berserakan, dan ke-
sunyian yang mencekam. Tapi sunyi itu tidak berlang-
sung lama, karena saat selanjutnya terdengar pula su-
ara lolongan serigala. Meremang bulu tengkuk Kakek
Buta Tanpa Nama, kala itu Kakek Buta telah membu-
ka jalan pernafasannya. Hingga tak ayal lagi, bau tak
sedap pun kembali tercium.
"Jliigkh...!"
Dari kerimbunan pohon sesosok bayangan nam-
pak melayang turun dan mendaratkan kakinya persis
di depan si kakek. Sejenak lamanya sepasang mata
orang itu memandang sinis pada laki-laki tuna netra
ini. Kemudian dia mendengus dan kembangkan se-
sungging senyum yang hanya membuat wajahnya yang
buruk itu semakin bertambah mengerikan.
"Kau orang buta! Ada keperluan apakah sehingga
berani lancang memasuki pekarangan orang lain?" bertanya laki-laki bertampang menyeramkan berpakaian
ungu pada Kakek Buta Tanpa Nama.
"Sering kudengar lolongan anjing kurap, selalu
pula kuendus bau bangkai yang berasal dari bukit ini.
Selama berpuluh-puluh tahun baru beberapa waktu
ini saja aku merasakannya. Sialnya bau bangkai itu
justru bukan membuat kehidupan kaumku dan kaum
orang banyak semakin bertambah makmur! Malah se-
baliknya, pabila bau celaka itu menyebar, maka orang-
orangku pada bergelimpangan menemui ajal...!" berka-
ta Kakek Buta Tanpa Nama setengah menuduh.
"Hehh...! Sekali pun penduduk perkampungan
orang-orang cacat pada mampus semuanya, aku be-
lum puas. Terkecuali bila seluruh penduduk yang be-
rada di bawah perintah Adipati Gupta yang pada
mampus, itulah yang ku ingini."
"Jad... jadi kaulah yang menyebar malapetaka
yang sekarang ini melanda seluruh desa dan perkam-
punganku...!" tanya Kakek Buta Tanpa Nama dengan
mata membelalak.
"Tidak salah!" kata laki-laki berpakaian pendeta
sambil memutar-mutar tasbih di tangannya.
"Tapi mengapa pula kau pergunakan Rimba
Buangan sebagai markas besarmu...?" sentak Kakek
Buta Tanpa Nama, penuh teguran.
***
SEMBILAN
Laki-laki berpakaian warna ungu itu tergelak-
gelak, kalau di dengarkan dengan seksama sesung-
guhnya suara laki-laki itu tak ubahnya bagai lolongan
serigala. Dengan nada dingin sekali kemudian laki-laki
itu berucap: "Engkau ini selain buta rupanya sangat
tolol sekali! Dengan bersembunyi di Rimba Buangan
ini! Tentu dunia luar akan menyangka kalau semua
sumber malapetaka itu berasal dari kalian...?"
"Dan niatmu itu telah kesampaian...?" tanya Ka-
kek Buta Tanpa Nama sudah merasakan sangat geram
sekali.
"Ya, tapi tidak keseluruhannya! Sebab Adipati
Gupta pada gilirannya harus pula mampus di tangan-
ku, setelah sebelumnya kubuat dia jadi kelabakan...!"
"Keparaaat...! Jadi engkaulah yang disebut-sebut
oleh seorang pendekar muda, sebagai biangnya penye-
bar Racun Pembasmi Iblis?"
Mendengar disebut-sebutnya 'Racun Pembasmi
Iblis' laki-laki pemegang tasbih yang bernama Ki Sapta
Rengga itu tampak membelalakkan matanya. Sama se-
kali dia tiada menyangka kalau masih saja ada orang
lain yang mengetahui siapa dirinya. Tapi sebagaimana
sifatnya yang sering berterus terang, maka kali ini di-
apun mengakui dengan pasti.
"Tabib Sapta Rengga, namaku! Racun Pembasmi
Iblis hasil ciptaanku! Dan semua orang yang ada di ko-
long langit ini akan kujadikan manusia-manusia per-
cobaan dari semua hasil ciptaanku...!"
"Keparat...!" maki Kakek Buta sudah tak mampu
lagi membendung amarahnya. "Aku benar-benar akan
mengadu jiwa dengan-mu...!" teriak kakek itu kalap,
dan serta merta dia hantamkan tongkatnya ke depan.
Tapi dengan sangat mudahnya Ki Sapta Rengga meng-
kelit serangan kilat yang dilakukan oleh Kakek Buta
Tanpa Nama. Hanya sambaran angin saja yang terasa
menerpa tubuh Ki Sapta Rengga, sementara tongkat
itu sendiri menerpa tempat yang kosong. Tampak debu
mengepul di udara. Laki-laki pemegang tasbih itu ke-
luarkan suara tawa bergelak-gelak.
Kakek Buta Tanpa Nama menyadari kalau saat
itu dia sedang berhadapan dengan seorang tokoh sesat
yang tiada terukur kesaktiannya. Bahkan dia pun me-
nyadari pukulan tongkatnya yang diberi nama 'Tongkat
Baja Menghantam Setan Kembar' yang tiada duanya
itu masih mampu dikelit oleh pihak lawan. Ini menan-
dakan bahwa Ki Sapta Rengga ternyata memang selain
seorang pencipta segala macam racun, ternyata juga
memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Tiada pilihan
lain lagi, sebelum pihak lawan sempat berbuat sesua-
tu, maka dengan mempergunakan jurus tongkat 'Badai
Gila Menerpa Gurun', Kakek Buta Tanpa Nama kemba-
li menyerang Ki Sapta Rengga dengan segenap ke-
mampuannya.
"Wuuut... wuuut...!"
Tongkat di tangan Kakek Buta kembali menderu
mengintai pertahanan Ki Sapta Rengga yang lowong.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya pada bagian
tangan, Ki Sapta Rengga dengan berani memapaki
hantaman tongkat tadi.
"Duuk...!"
"Plaaak...!"
Begitu tongkat di tangan Kakek Buta membentur
tangan Ki Sapta Rengga, tubuh laki-laki itu terhuyung.
Tidak berhenti sampai di situ saja, satu tamparan ke-
ras membuat tubuh Kakek Buta terbanting roboh.
"Auuung... kek... kek... kek...!" Lepas tawa laki-
laki berwajah seram itu melihat si Kakek Buta tergul-
ing-guling dan kerengkangan bangkit kembali. "Sebe-
lum kau mampus dengan Racun Pembasmi Iblis milik-
ku, memang tak salah kalau aku terpaksa harus men-
jajal permainanmu itu, tua buta...!" dengus Ki Sapta
Rengga.
Bagai orang tuli saja, Kakek Buta Tanpa Nama
langsung berdiri pada posisi, kemudian dia putar
putarkan tongkatnya, sehingga membentuk sebuah
benteng pertahanan yang kokoh. Sementara itu tangan
kirinya telah pula bersiap-siap melakukan satu puku-
lan jarak dekat.
"Beet! Wuuuus...!"
Satu sabetan satu tusukan tongkat disertai den-
gan satu pukulan yang bernama 'Macan Sehari Tiga',
datang menghantam tubuh Ki Sapta Rengga yang diam
tiada bergerak. Satu sambaran angin yang sangat ke-
ras langsung menghajar tubuh laki-laki berpakaian
ungu ini.
"Buuuum...!"
Terdengar satu ledakan terasa menggoncangkan
bukit itu, celakanya malah tubuh si Kakek Buta yang
terpental jauh, bahkan hampir terpental ke dalam ju-
rang. Sedangkan Ki Sapta Rengga hanya tergetar saja,
sambil geleng-gelengkan kepalanya.
"Hek... permainan tongkat yang tiada guna! Juga
pukulan yang tiada bermutu...!" maki laki-laki bertas-
bih itu dengan wajah memerah. "Permainanmu yang
tiada guna kurasa cukuplah sudah. Kini tibalah gili-
ranmu untuk mampus...!" teriak laki-laki iblis ini. Se-
detik kemudian dia sudah rangkapkan kedua tangan-
nya di atas kepala. Sekejap mulutnya berkomat kamit.
Tasbih dia kalungkan ke bagian leher. Sedangkan ke-
dua tangan yang telah menyatu itu tampak menggele-
tar, tubuh basah oleh keringat. Tak sampai sepemakan
sirih, kedua tangan yang menyatu tadi telah pula men-
geluarkan uap berwarna hitam. Tubuh Ki Sapta Reng-
ga kini telah terbungkus kabut yang semakin menebal.
Bersamaan dengan semakin menebalnya kabut hitam
yang menyelimuti diri Ki Sapta Rengga, maka tercium
pula bau busuk yang sangat mengganggu pernapasan
Kakek Buta Tanpa Nama. Ketika dia menyadari bahwa
sesungguhnya bau busuk itu mengandung racun yang
sangat mematikan. Segalanya terasa sudah sangat ter-
lambat. Tapi dia masih berusaha menutup jalan per-
napasannya. Kemudian manakala Ki Sapta Rengga me-
luruk ke arah dirinya dengan satu pukulan 'Racun
Pembasmi Iblis'. Maka Kakek Buta Tanpa Nama han-
tamkan tongkatnya ke depan.
"Braak...!"
Tongkat di tangan Kakek Buta hancur berkeping-
keping, satu pukulan mempergunakan tangan kanan
dengan telak menghantam tubuh renta Kakek Buta
Tanpa Nama. Tidak berhenti sampai di situ saja, Ki
Sapta Rengga hamtamkan pula tangan kirinya ke arah
bagian perut lawannya.
"Hoeeeek...!"
Darah muncrat dari mulut Kakek Buta Tanpa
Nama, darah yang menyembur itu berwarna hitam pe-
kat. Ketua perkampungan orang-orang cacat ini tak la-
gi sempat mengeluh, jangankan lagi melolong. Dalam
waktu sebentar saja tubuhnya telah berubah menghi-
tam secara keseluruhan. Lalu tubuh renta tanpa nya-
wa itu pun ambruk untuk selama-lamanya. Ki Sapta
Rengga tergelak-gelak tanda puas, kemudian terdengar
pula suara lolongannya yang tak ubahnya bagai seriga-
la kelaparan.
"Kaum persilatan sebentar lagi memang akan ku-
buat cerai berai. Tak satu orangpun tokoh yang kua-
nggap sakti kuberi hidup. Jangankan cuma Adipati
Gupta manusia pengecut yang tak tahu membalas bu-
di itu...! Kek... kek... kek...!" Laki-laki berpakaian ungu
itu tiba-tiba saja hentikan tawanya. Sejurus matanya
memandang ke arah lereng bukit bawah sana. Tampak
olehnya beberapa orang laki-laki sedang memasuki
perkampungan orang-orang cacat yang hanya dihuni
oleh beberapa gelintir manusia saja.
Dengan cermat Ki Sapta Rengga mengawasi gerak
gerik orang-orang yang berada di bawah bukit itu.
"Aku merasa yakin orang-orang itu pasti meru-
pakan kaki tangan Adipati Gupta! Hek... kek... kek...!
Ada baiknya kalau aku menyingkir dulu, atau kupapak
mereka di bawah lereng bukit sana!" batin Ki Sapta
Rengga sambil berlalu dari bukit itu.
***
Saat itu rombongan Ranggas dan kawan-
kawannya tampak sudah mulai memeriksa keadaan di
sekitar perkampungan orang-orang cacat yang sudah
berantakan. Tak terlihat sesuatu yang mencurigakan
di sana, kecuali beberapa orang bisu berpakaian gem-
bel yang ternyata sangat sulit untuk diajak bertanya
jawab. Sementara di bagian halaman rumah perkam-
pungan orang cacat yang tak ubahnya bagai sebuah
kandang ayam itu. Tampak berpuluh-puluh mayat
bergelimpangan tak tentu ujudnya. Dengan teliti Rang-
gas, Margono dan Karsa memeriksa keadaan mayat-
mayat itu. Setelah melakukan pemeriksaan sana sini.
Salah seorang dari mereka kemudian berteriak sembari
membalikkan tubuh mayat yang sedang dihadapinya.
"Lihat! Ini mayat Kali Gundil dan Bungkring...!"
desis Ranggas dengan mata membelalak tak percaya.
Dengan tergesa-gesa beberapa orang lainnya segera
mendatangi Ranggas, dan ternyata memang benar
bahwa mayat itu tak lain merupakan mayat Kali Gun-
dil dan Bungkring, dua orang tokoh persilatan yang
mereka sewa.
"Agaknya telah terjadi pembantaian di sini!" gu-
mam Karsa, tanpa sadar meraba bagian hulu pedang-
nya.
"Mungkinkah Kali Gundil dan Bungkring yang
melakukan pembunuhan terhadap orang-orang cacat
ini, lalu kemana perginya Suroso dan Kethu Dadap?
Padahal mereka pergi secara bersama-sama...!" ucap
Margono penuh tanda tanya.
"Heh... benar! Kemana perginya kedua orang itu?
Atau mungkinkah ada orang lain lagi, yang telah mem-
bunuh orang-orang kita. Lihatlah... luka di bagian pe-
rut kawan-kawan kita ini bagai bekas sabetan senjata
yang sangat tajam! Tak mungkin ketua perkampungan
orang-orang cacat yang telah melakukannya!"
"Tapi Kakek Buta Tanpa Nama juga tidak ada di
tempat...!" membantah salah seorang anggota rombon-
gan.
"Kalau begitu pasti ada orang lain yang telah me-
lakukan pembantaian di sini!" sergah Ranggas menarik
satu kesimpulan. Karsa maupun Margono tampak sa-
ma-sama terdiam. Mereka tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Tapi sesaat setelah itu kesunyian itu
pun terpecah dengan terdengarnya suara Margono.
"Melihat mayat orang-orang cacat ini, rasa-
rasanya, pembunuhannya tidak dilakukan oleh seo-
rang saja, dua orang atau bahkan lebih. Bukan tak
mungkin Kali Gundil dan Bungkring yang telah mela-
kukan penyerangan terhadap orang-orang cacat ini.
Kemudian datang seseorang berusaha menyelamatkan
orang-orang yang malang! Sayang sekali Kali Gundil
dan Bungkring terlalu bertindak ceroboh, sehingga se-
kian banyak korban tanpa dosa menjadi pelampiasan
tindakan yang membabi buta...!" keluh Karsa menye-
salkan.
"Hei... Paman bisa mengambil kesimpulan seperti
itu, apakah paman mengenal siapa orang-orang cacat
di sini?" tanya Margono curiga.
"Kenal mereka secara keseluruhan, sih tidak! Ta-
pi aku mengenal Kakek Buta Tanpa Nama yang jadi
pimpinan mereka dengan baik! Seharusnya kita merasa tak perlu untuk mencurigai mereka secara berlebih-
lebihan. Karena mereka pun selama hidupnya tak per-
nah pula mencampuri segala urusan yang berhubun-
gan dengan dunia luar...!"
"Bukankah asalnya wabah itu berasal dari Rimba
Buangan ini...?" bantah Ranggas. Laki-laki dari Gu-
nung Semeru itu angguk-anggukkan kepalanya.
***
SEPULUH
Seraya pun berucap: "Kalau memang benar, itu
bukan berarti orang-orang cacat itu yang menjadi pe-
nyebabnya. Mungkin saja ada orang lain yang sengaja
memanfaatkan tempat ini menjadi sarangnya dalam
bergerak...!"
"Kejadian-kejadian yang mencurigakan! Tapi aku
tak pernah dan belum melihat se-suatu yang ada hu-
bungannya dengan wabah penyakit itu!" keluh orang
kepercayaan Adipati Gupta yang bernama Ranggas.
"Sudahlah tak ada gunanya kita saling bertanya-
tanya. Ada baiknya kalau kita meneruskan penca-
rian...!" kata Margono. Namun belum lagi rombongan
utusan adipati yang berjumlah delapan orang itu sem-
pat beranjak meninggalkan perkampungan orang-
orang cacat. Tiba-tiba salah seorang dari kelima orang-
orang cacat yang tersisa, tampak menyeruak dari da-
lam sebuah gubuk yang sudah berantakan. Orang ini
selain memiliki cacat lahir pada kedua belah tangan-
nya, ternyata juga gagu (alias tidak bisa bicara). Sete-
lah berlari-lari mendekati mereka, kemudian tanpa
merasa curiga apa pun dengan mempergunakan seba-
tang ranting yang terkepit pada bagian ketiaknya kayu
itu dia tudingkan ke arah atas bukit.
"Hei... apa maksudmu..?" tanya Margono tiada
mengerti.
"Auu... auuu...!"
"Coba biar aku saja yang menanyainya!" kata
Karsa yang sedikit banyaknya mengetahui bahasa
isyarat. Beberapa saat kemudian pertanyaan demi per-
tanyaan dilontarkan oleh laki-laki dari Gunung Semeru
ini.
"Apa yang ingin kau katakan..,?" tanya Karsa,
dan laki-laki itu pencong-pencongkan bibirnya ke atas
dan ke bawah. "Kau bilang ketuamu mendaki ke atas
bukit itu?" Laki-laki tiada bertangan itu angguk-
anggukkan kepalanya. Kemudian dia menggerak-
gerakkan bibirnya lagi.
"Ha.... .... dia bilang... dari atas bukit sanalah
sumber terjadinya malapetaka...!" kata Karsa setelah
sedapatnya berusaha mengerti apa yang dikatakan
oleh si cacat gagu barusan.
"Hhh.... Mungkin dari sanalah kita bisa memulai
pemburuan terhadap biang kerok penyebab terjadinya
wabah penyakit itu...!" selak Margono.
"Kita ke sana sekarang...!" perintah Ranggas. Ke-
mudian tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, mere-
ka pun bergerak ke arah bukit. Namun tak sampai se-
tengah jam kemudian rombongan itu mulai melintasi
batu-batu yang sangat tajam. Namun dengan mengan-
dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai
taraf sempurna, rombongan itu pun dapat melalui dae-
rah berbatu itu dengan sangat baik. Namun menuju
jalan mendaki yang berada di depannya lagi, keadaan
jalan yang mereka lalui terasa sulit dan licin. Berulang
kali mereka hampir saja tergelincir jatuh.
"Wuuust...!"
Tanpa mereka duga, tiba-tiba satu sambaran angin yang begitu keras menerpa dengan telak tubuh me-
reka ini.
"Sialan...!" maki Ranggas dan lain-lainnya hampir
bersamaan. Mereka jatuh terguling-guling. Namun ti-
dak percuma karena sesungguhnya mereka ini terdiri
dari orang-orang pilihan. Andai tidak sudah dapat di-
duga serangan gelap yang datangnya secara mendadak
itu pasti membuat tubuh mereka jatuh ke dalam ju-
rang yang lumayan dalamnya. Dengan sigap mereka
segera bangkit kembali, kemudian membentuk sebuah
pertahanan dengan posisi melingkar dengan posisi
punggung saling berhadap-hadapan.
"Pembokong gelap! Cepat-cepatlah tunjukkan
muka, kalau tidak jangan kau salahkan kami...!" teriak
Ranggas dan Margono hampir bersamaan. Suara teria-
kan mereka menggema menjarah sampai ke lereng bu-
kit bahkan hingga sampai pada tebing batu yang san-
gat curam itu. Sesaat kemudian adalah kesunyian
yang mencekam. Namun utusan Adipati Gupta itu ti-
dak bisa lengah dari kewaspadaan.
"Tidak seorang pun muncul dari depan sana! Pu-
kulan yang hampir saja mencelakakan kita tadi sudah
jelas bukan pukulan biasa, bahkan aku yang sudah
tua lapuk ini dapat merasakan bahwa di sekitar tem-
pat ini terdapat hawa racun jahat. Berhati-hatilah kita.
Siapa tahu nyawa kita masih melekat hingga kita da-
pat kembali ke kadipaten dengan keadaan utuh...!"
menggumam laki-laki dari Gunung Semeru melalui il-
mu menyusupkan suara.
"Kita tak mungkin bertahan seperti ini secara te-
rus menerus, Paman Karsa...!" jawab Margono, juga
melalui ilmu menyusupkan suara.
"Atau ada baiknya kalau kita terus mendaki bukit
jahanam ini hingga sampai pada puncaknya...?" desah
Ranggas memberi usul.
"Jangan, terlalu berbahaya andai kita melaku-
kannya! Aku yakin, si keparat itu berada tidak begitu
jauh di sekeliling kita. Atau bahkan mungkin sekarang
ini si penyebar maut itu malah sedang mentertawakan
kita...!" kata Karsa, melalui ilmu mengirimkan suara
itu masih juga dia sempat bercanda demi mengurangi
ketegangan.
"Paman! Aku tak suka kau bertingkah konyol se-
perti itu, seharusnya kita pecahkan bagaimana jalan
keluarnya...!" kata Ranggas dengan wajah memerah.
Gusar.
"Jangan bertindak gegabah, tak ada gunanya kita
melakukan tindakan ceroboh. Salah-salah nyawa kita
yang akan melayang."
"Tapi apakah kita harus tetap bertahan dengan
posisi menggelikan seperti ini? Orang-orang persilatan
pasti akan mentertawai kita andai mereka sampai me-
lihat kepengecutan ini...!" sentak Margono masih den-
gan mempergunakan ilmu mengirimkan suara. Karsa
geleng-gelengkan kepalanya, detik kemudian dilayang-
kannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan tem-
pat di mana pukulan gelap tadi berasal. Karena selain
sebagai tokoh persilatan dan kiranya juga Karsa meru-
pakan seorang ahli kebatinan. Maka tak salah kalau
saat itu sepasang matanya yang telah berubah meme-
rah saga dapat melihat sepasang mata yang mirip den-
gan mata binatang buas tampak mengintai ke arah
mereka dari jarak tak kurang dari dua puluh tombak.
Mengkirik bulu tengkuk laki-laki berbadan kecil dari
Gunung Semeru itu dibuatnya. Tanpa sadar kemudian
dia berkata,
"Benar! Musuh tidak begitu jauh lagi di depan ki-
ta, celakanya kita sekarang berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan. Aku tak tahu, apakah pemilik
sepasang mata dalam kelebatan pohon itu, binatang
menjijikkan, jin setan atau apa. Tapi aku merasa ada
darah siluman mengalir dalam tubuhnya...."
"Apa maksudmu, Paman! Kau jangan bi-kin bin-
gung kami. Di depan sana aku tak melihat apa-apa...!"
kata Margono dengan perasaan serba tak menentu.
"Kalian memang tak melihat. Tapi mata batinku
melihat dengan jelas...!" bantah laki-laki berbadan
pendek kurus itu dengan bibir terus berkomat kamit
membacakan sesuatu yang tak jelas.
"Sukur-sukur Adipati Gupta tak pernah muncul
di Rimba Buangan ini. Sehingga dia akan memerintah
daerahnya hingga akhir hayatnya. Tapi kalau orang-
orang dari kadipaten sampai ke mari semua, alamat
celakalah kita...!" Akhirnya habislah sudah kesabaran
Ranggas, Margono dan yang lain-lainnya. Apalagi kata-
kata Karsa semakin melantur tak menentu. Selanjut-
nya tanpa mempergunakan ilmu menyusupkan suara
lagi, Margono berkata ketus:
"Bicaramu semakin kacau balau, Paman...! Pa-
dahal semua orang juga tau kau bukan seorang pema-
buk! Apalagi sinting...! Namun kami semakin tak men-
gerti saja dengan apa yang kau katakan...!" kata laki-
laki berkumis tipis itu.
Karsa terdiam, sepasang matanya tampak mem-
beliak bagai hendak melompat ke-luar. Semua keane-
han yang terjadi atas diri Karsa kiranya tak luput dari
perhatian Margono dan kawan-kawannya.
"Ada apa, Paman...!"
"Musuh sudah datang...!" jawab Karsa sambil
menunjuk ke arah depan mereka. Apa yang baru saja
dikatakan oleh Karsa memang tak dapat dipungkiri,
karena sebentar kemudian berhembuslah angin yang
sangat kencang. Disertai dengan suara lolongan seriga-
la hutan. Kemudian terendus bau yang sangat busuk.
Serta merta, tampak sesosok tubuh melayang dari ke
rimbunan pohon.
"Jleeekgh...!"
Di atas sebuah batu besar, sosok tubuh berpa-
kaian ungu telah berdiri di sana. Sepasang matanya
yang menjorok ke dalam tampak berkilat-kilat penuh
kesadisan ketika menyapu pandang pada orang- orang
kadipaten, kemudian sesungging senyum maut meng-
hias di bibirnya yang berwarna hitam pekat. Hanya
Karsa seorang yang tiada merasa terkejut atas kehadi-
ran orang ini, sedangkan Margono dan Ranggas sam-
pai keluarkan suara memekik:
"Tabib Canda Muka...?" seru Margono, dengan
mata membelalak tak percaya.
"Bukankah engkau telah mati...?" tanya Ranggas,
secara tak sadar dia sudah meraba bagian hulu pe-
dangnya. Si jubah ungu hanya keluarkan suara meng-
gereng bagai suara lolongan serigala lapar.
"Tabib Canda Muka memang telah mampus! Ju-
stru karena itu hanya nama samaran belaka. Sedang-
kan namaku yang sebenarnya adalah Tabib Sapta
Rengga dari Gunung Tengger...!" kata laki-laki peme-
gang tasbih muka menyeramkan itu ketus.
"Hah...!" Mata Margono semakin membelalak le-
bar. Sementara tubuhnya tersentak ke belakang.
"Jadi betul, kau iblis penyebar wabah penyakit
misterius itu...?" tanya Ranggas masih kurang begitu
yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Tak salah...!"
"Mengapa kau lakukan itu, bukankah selama ini
kau bersahabat baik dengan Adipati Gupta...?" Laki-
laki berwajah menyeramkan itu, lagi-lagi mendengus.
"Secara lahiriah memang aku bersahabat baik
dengan junjunganmu itu, namun secara batin, aku
menaruh dendam dengannya setinggi langit...!"
"Tidak salahkah apa yang kudengar?" tanya Margono semakin keheranan.
"Sama sekali tidak! Hek... hek... hek...! Sebenar-
nya aku segan memberi penjelasan pada anjing-anjing
Adipati. Tapi karena kalian termasuk dalam daftar
orang-orang yang harus mampus. Kukira tak ada sa-
lahnya kalau aku memberi sedikit penjelasan pada ka-
lian...!" Ki Sapta Rengga alias Tabib Canda Muka, tam-
pak terdiam sesaat lamanya. Suasana dingin mence-
kam menyelimuti utusan dari kadipaten. Kemudian Ki
Sapta Rengga menyambung: "Sedikit banyaknya kalian
pasti tau bahwa Adipati Gupta tidaklah terpilih menja-
di seorang adipati, andai bukan aku yang membantu
dia dalam melenyapkan nyawa Adipati Tambak Yoso.
Aku yang telah meracuninya, sehingga adipati tua
Tambak Yoso tewas secara misterius. Kalian pikir apa-
kah semua itu tidak ada imbalannya? Huh... Adipati
Gupta keparat itu telah memberiku janji yang muluk-
muluk. Katanya aku akan diberi hadiah sebidang ta-
nah yang luas. Sebuah istana yang bagus, juga sepu-
luh istri yang cantik-cantik. Tak taunya janji hanya
tinggal janji, bahkan dia malah mengulur-ngulur wak-
tu...! Kalau aku dapat secara tidak langsung mengang-
kat derajat hidupnya. Apakah kalian pikir aku tak
mampu menjatuhkan martabatnya...?" sentak Ki Sapta
Rengga dingin.
"Bicaramu ngaco, tabib celaka! Adipati Gupta
menduduki jabatan itu melalui pemilihan yang sah...!"
bantah Ranggas merasa sangat tersinggung.
"Omong kosong! Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui...!"
"Keparat! Kau benar-benar telah menghina adipa-
ti...!"
"Bukan hanya sekedar menghina saja, tapi tidak
lama lagi, jiwanya pun akan kurenggut...!" ancam Ki
Sapta Rengga. Kata-kata laki-laki berpakaian ungu itu
benar-benar telah membuat kesabaran Ranggas dan
kawan-kawannya hilang sama sekali. Detik kemudian
dengan disertai kemarahan yang meluap-luap. Kedela-
pan orang itu pun langsung melakukan serangan-
serangan gencar.
Pertarungan sengit di celah yang sempit itu pun
tak dapat dihindari lagi. Walau pun Ki Sapta Rengga
mendapat keroyokan sedemikian rupa dari orang-
orang yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Tapi
masih belum terlihat tanda-tanda dirinya menjadi ke-
teter. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tu-
buh yang sudah sangat sempurna. Tubuhnya terus
berkelebat di antara cecaran serangan pihak lawannya.
Kenyataan ini sudah barang tentu di luar perhitungan
Margono dan Ranggas, yang selama ini mengetahui se-
cara pasti. Bahwa Tabib Canda Muka yang sesung-
guhnya, tidak memiliki ilmu silat yang luar biasa selain
ilmu ketabiban. Tapi kenyataannya, kiranya Tabib
Canda Muka alias Ki Sapta Rengga merupakan tokoh
persilatan yang sangat tangguh. Bahkan dalam perta-
rungan sengit menjelang lima belas jurus itu. Jangan-
kan serangan kedelapan orang itu mencapai sasaran
dengan baik. Sebaliknya menyentuh pakaiannya saja
tak dapat. "Benar-benar sangat keterlaluan sekali, ma-
nusia iblis ini" membatin Margono.
"Sebelum mampus, aku memang suka memper-
mainkan setiap lawan supaya jangan mati penasa-
ran...!" celetuk Ki Sapta Rengga sambil terus tergelak-
gelak. Tanpa memperdulikan ocehan Ki Sapta Rengga,
orang-orang itu segera mencabut senjatanya masing-
masing.
"Sriiing! Sriiing...!"
Senjata pedang di tangan mereka tampak berki-
lat-kilat diterpa cahaya matahari.
SEBELAS
Tapi walaupun Ki Sapta Rengga telah melihat pi-
hak lawan telah mencabut senjatanya. Tetap saja dia
masih kelihatan masih tenang-tenang saja.
"Keluarkanlah semua kebisaan kalian! Masih ku-
beri waktu untuk memamerkan ilmu silat picisan yang
kalian miliki...!"
"Jahanam...! Kau harus mampus di tangan kami,
tabib keparat...!" teriak salah seorang utusan Adipati
Gupta sambil melompat dan hantamkan senjatanya ke
bagian dada si laki-laki pemegang tasbih. Sambaran
angin yang sangat kuat menderu ke arah Ki Sapta
Rengga. Tiada mengelak laki-laki berwajah angker ini
kembangkan sebelah tangannya. Sedangkan tangan
yang lain terkepal membentuk tinju, kemudian dia
hantamkan ke muka.
"Creep! Pletak...!"
"Braaak...!"
Tangan kiri berhasil menangkap pedang di tan-
gan lawan, sekaligus membetot dan mematahkannya,
sedangkan tangan kanan berhasil memukul hancur
wajah salah seorang dari utusan kadipaten itu. Dengan
muka remuk, laki-laki malang itu terbanting tubuh-
nya, berkelojotan sesaat kemudian terdiam untuk se-
lama-lamanya.
"Bagus, majulah semuanya! Aku pasti akan me-
layani kalian dengan senang hati!" kata Ki Sapta Reng-
ga dengan diiringi tawa menggidikkan.
"Heaa.... ciaaat...!"
"Weeer...! Weeeeer...!"
Senjata di tangan Margono dan Karsa menderu
laksana kilat, saat itu dari bagian belakang Ki Sapta
Rengga, senjata yang sama juga tampak meluruk ke
arahnya. Laki-laki berpakaian ungu itu hantamkan
dua pukulan berturut-turut ke arah belakang dan mu-
ka. Dua larik gelombang bersinar hitam kebiru-biruan
menghajar mereka dengan telak. Sementara Margono
dan Ranggas serta Karsa mampu mengelakkan puku-
lan yang datang dengan cepat berguling-guling. Seba-
liknya keempat orang kawan mereka yang berada di
bagian belakang Ki Sapta Rengga, sudah tak sempat
lagi.
"Breeess...!"
Bagai ranting kering tubuh keempatnya tersapu
pukulan Ki Sapta Rengga, celakanya di belakang me-
reka merupakan sebuah jurang yang menganga. Hing-
ga tanpa dapat dicegah lagi tubuh yang sudah dalam
keadaan hangus akibat terkena pukulan beracun itu
melayang ke bawah. Sementara di dasar jurang sana,
batu-batu yang sangat tajam telah pula siap memang-
gang tubuh mereka. Tidak lagi terdengar lolongan
maut saat mana keempat tubuh yang sudah tiada ber-
daya itu menghantam batu yang berada di dasar ju-
rang itu hingga menimbulkan suara berdebum. Demi
melihat kematian keempat kawannya hanya dalam
waktu segebrakan saja, bukan main marahnya Margo-
no, Ranggas dan Karsa.
"Kau... kau telah membunuh kawan-kawan ka-
mi...?" jerit Margono. "Cincang iblis berkedok manusia
ini...!" perintah laki-laki berbadan tegap itu, kalap.
"Ha... hak... hak...! Cincang bagian mana saja
yang kalian suka...!" bentak Ki Sapta Rengga dengan
sikap pasrah. Tak ayal lagi sambaran-sambaran senja-
ta di tangan mereka datang menggebur. Kemudian
menghunjani tubuh Ki Sapta Rengga dari berbagai
penjuru. Namun ternyata tubuh laki-laki berpakaian
pendeta itu tidak mempan dengan bacokan-bacokan
senjata di tangan mereka. Tiada perduli lagi, Karsa,
Margono dan Ranggas terus membabatkan senjatanya
ke sekujur tubuh Ki Sapta Rengga.
"Craak... craaak... craaak...!"
"Terus... terus hantam mana saja yang kalian su-
ka...!" kata Ki Sapta Rengga dengan disertai tawa ber-
gelak-gelak.
"Keparat... ternyata iblis ini kebal segala macam
senjata...!" teriak Margono. Dan tampaknya mereka
merasa tak putus asa, pukulan dan babatan pedang
mereka lakukan secara silih berganti, namun hanya
pakaian laki-laki itu saja yang tercabik-cabik di bebe-
rapa bagian sehingga Ki Sapta Rengga nyaris tak ber-
baju.
"Creeep...!"
"Kurasa cukup waktu bagi kalian untuk main-
main dengan Tabib Sapta Rengga. Lihatlah betapa pa-
kaianku yang mahal ini harus kalian gantikan dengan
jiwa kalian"
"Creeep...!"
Dua kepala dengan dua kali renggut telah berada
dalam cengkeraman jemari tangannya. Margono dan
Ranggas meronta-ronta, namun semakin dia memper-
hebat gerakannya, maka semakin bertambah eratlah
cengkeraman tangan itu.
"Hrrr...! Kalian sekejap lagi akan mampus secara
mengerikan...!" geram Ki Sapta Rengga menggeram.
Menyadari bahaya yang sedang mengancam keselama-
tan kawan-kawannya, maka Karsa pun tidak tinggal
diam. Dia hantamkan pukulan 'Segara Geni', yang se-
lama ini merupakan pukulan maut yang sangat dian-
dalkannya. Dengan sangat cepat begitu dia mengerah-
kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangan kanan-
nya, maka beberapa saat kemudian tangan itu telah
berubah pula menjadi merah laksana bara.
Alis mata Ki Sapta Rengga tampak mengkerut,
tapi dia juga tak melepaskan rambut lawannya yang
masih tetap berada dalam genggaman tangannya. Di
luar sepengetahuan Karsa, Ki Sapta Rengga telah pula
mengerahkan Racun Pembasmi Iblis ke segenap tu-
buhnya.
"Haaaaaat...!"
Tubuh Karsa langsung melompat dan hantamkan
tangan kanannya yang telah berubah merah laksana
bara.
"Buuuk...!"
"Wuaaaah...!"
Terdengar jeritan, keluar dari mulut Karsa. Se-
mentara itu, tubuh laki-laki dari Gunung Semeru itu
terhuyung-huyung ke belakang. Rupanya ketika dia
menghantamkan tangan kanannya ke bagian dada la-
wan tadi, selain pukulan miliknya membalik dan
menghantam tubuhnya sendiri. Kiranya tangannya
yang sempat menyentuh dada lawan yang mengan-
dung racun ganas tak dapat dia elakkan lagi, tak dapat
disangkal kalau kemudian dengan sangat cepat dia be-
rusaha menyelamatkan diri dengan cara menarik balik
serangan itu. Namun terlambat karena selain terkena
pukulannya sendiri tapi juga 'Racun Pembasmi Iblis'
milik Ki Sapta Rengga sempat tersentuh oleh laki-laki
itu.
"Hoeeeeekgh...!"
Dengan mata melotot, Karsa muntahkan darah
kental berwarna hitam pekat. Tidak sampai di situ sa-
ja, secara perlahan namun pasti, sekujur tubuh Karsa
pun mulai mengalami perubahan. Mula-mula tubuh
yang sudah tiada nyawa itu, tampak pucat bagaikan
kapas. Semakin lama berubah kebiru-biruan hingga
menghitam.
"Hek... hek... hek...! Lihat... lihatlah kematian
kawan-kawan kalian itu! Menggelikan. Konyol... dan...!
Sebentar lagi giliran kalian berdua...!" kata Ki Sapta
Rengga. Serta merta Ki Sapta Rengga menotok urat ge-
rak Margono dan Ranggas. Tubuh kedua orang itu
langsung menjadi kaku. Sementara kedua tangan Ki
Sapta Rengga sekarang telah terangkat tinggi-tinggi di
atas kepala. Margono dan Ranggas hanya mampu
membelalakkan matanya saat mana kedua tangan Ki
Sapta Rengga tampak menggeletar dan mengepulkan
asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Setelah asap be-
racun itu semakin menebal dan bertambah banyak,
tiada ragu-ragu lagi. Ki Sapta Rengga bersiap-siap
dengan posisinya untuk segera lepaskan pukulan be-
racun yang sangat ganas itu.
Tak ada hal lain yang dapat dilakukan oleh
Ranggas dan Margono, jangankan untuk melawan atau
pun menghindar. Sedangkan untuk menggerakkan tu-
buhnya saja sudah terasa sangat sulit sekali. Tak ada
pilihan lain bagi mereka berdua terkecuali pejamkan
matanya untuk menerima kematian dengan sikap pa-
srah.
"Hiaaaat...!"
Ki Sapta Rengga menerjang ke depan dengan se-
kali lompatan saja. Namun pada saat-saat yang sangat
menegangkan itu, dari atas bukit tampak berkelebat
bayangan merah dengan gerakan sangat cepat sekali.
"Buuuum...!"
Terdengar satu ledakan keras saat mana bayan-
gan merah tadi berusaha memapaki serangan maut
yang bersumber dari kekuatan Racun Pembasmi Iblis.
Tampak tubuh Ki Sapta Rengga terhuyung beberapa
tindak ke belakang. Sementara si bayangan merah
dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu men-
gentengi tubuh, setelah berjumpalitan langsung menje-
jakkan kakinya di atas sebuah batu besar. Siapakah
pemuda berpakaian merah dengan rambut dikuncir
ini? Tak lain dan tak bukan adalah Pendekar Hina Ke-
lana adanya.
Seperti diketahui setelah pemuda itu menolong
Kakek Buta Tanpa Nama dari serangan, Suroso,
Bungkring, Kethu Dadap dan Kali Gundil. Buang
Sengketa meninggalkan perkampungan orang-orang
cacat begitu saja. Pemuda itu terus memburu ke arah
bagian Barat Rimba Buangan dengan maksud ingin
menyelidiki sumber bau bangkai yang sempat dia en-
dus dan berasal dari arah itu. Namun setelah mencari-
cari, di bagian yang dia maksud. Ternyata di sana ti-
dak ada apa-apanya terkecuali sosok mayat yang su-
dah membusuk. Melihat keadaan mayat yang sudah
tak karuan ujudnya, sadarlah pemuda keturunan raja
alam gaib itu, bahwa sebenarnya orang itu mati karena
Racun Pembasmi Iblis. Dia dapat berkesimpulan begitu
justru sebelumnya dia pernah mengerti berbagai jenis
racun yang sangat ganas sekali pun. Pemuda ini ak-
hirnya merasa curiga bahwa Rimba Buangan merupa-
kan sarangnya tabib sesat Sapta Rengga, yang telah
meninggalkan Gunung Tengger beberapa tahun yang
lalu. Akhirnya Buang Sengketa merasa perlu untuk
melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu. Barulah
ketika dia tidak menemukan Ki Sapta Rengga di seki-
tar mayat yang dia temukan, akhirnya pemuda ini
memutuskan untuk kembali ke perkampungan orang-
orang cacat.
***
DUA BELAS
Kebetulan saat dia sampai di tempat itu, dua
orang utusan adipati yang pernah dia jumpai pada salah sebuah warung hampir saja mendapat celaka di
tangan Ki Sapta Rengga. Tanpa sungkan-sungkan pe-
muda itu pun langsung bertindak. Setelah menggagal-
kan pukulan yang dilakukan oleh Ki Sapta Rengga,
maka kembali tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat
membebaskan totokan yang dialami oleh Margono dan
Ranggas. Ketika kedua utusan dari kadipaten itu telah
terbebas dari pengaruh totokan yang telah dilakukan
oleh Ki Sapta Rengga, maka keduanya cepat-cepat me-
nyingkir menjauh. Bukan main gusar laki-laki muka
bengis dari Gunung Tengger itu demi melihat ada seo-
rang bocah asing telah menggagalkan rencananya un-
tuk membunuh orang-orang kepercayaan Adipati Gup-
ta.
Tetapi sedikit banyaknya dia menjadi terkejut ju-
ga, pabila mengingat bahwa pemuda berpakaian gem-
bel itu dengan baik dapat memapaki pukulan bera-
cunnya. Padahal dia menyadari selama ini belum per-
nah seorang tokoh persilatan golongan mana pun yang
mampu menahan pukulan sakti yang mengandung ra-
cun jahat miliknya. Menurutnya pemuda yang kini se-
dang memandang sinis padanya itu paling-paling baru
berusia dua puluh satu tahun. Tapi bagaimana mung-
kin bocah semuda itu sudah memiliki tenaga dalam
yang sudah sangat sempurna, pula tidak mempan
dengan racun ganas miliknya. Sungguh luar biasa. Ke-
tika Ki Sapta Rengga sedang berpikir atau tepatnya
merenungkan kehebatan yang dimiliki oleh si pemuda,
dalam pada itu Buang Sengketa sudah membentak:
"Manusia muka jelek dari Gunung Tengger! Su-
dah berapa banyakkah jiwa yang me-layang karena
ulahmu...?"
"Heh... kau tau dari mana asal usulku...!" sentak
Ki Sapta Rengga, dan entah mengapa tiba-tiba saja da-
rahnya bagai tersirep. Jantung terasa kian lambat berdetak: "Ha... mata itu! Rasanya dia bukanlah manusia
biasa...!" batinnya pula.
"Bahkan aku tau siapa kau yang sesungguhnya
Ki Sapta Rengga! Cepat kau tarik kembali Racun Pem-
basmi Iblis yang telah kau sebarkan bersama hembu-
san bayu, di beberapa puluh desa...!" perintah Pende-
kar Hina Kelana, secara tak diduga-duga, bersama
hembusan angin, pemuda itu mengendus adanya bau
siluman.
"Tidak bisa! Adipati Gupta harus mampus di tan-
ganku dulu...!" bantah Ki Sapta Rengga. "Eee... men-
gapa bicara padanya aku tak selantang ketika aku bi-
cara dengan orang lain? Tatapan matanya terasa me-
nembus ke ulu hati. Suaranya yang pelan itu bagai su-
ara gelegar halilintar! Mungkinkah ini manusianya
yang masih merupakan titisan rajanya para siluman.
Andai benar, aku tak mungkin mampu mengalahkan-
nya...!" batin Ki Sapta Rengga. Diam- diam dia mulai
mempersiapkan segala sesuatunya.
"Aha... ha... ha...!" Tawa pemuda itu, dan dalam
tawanya itu, Buang menyertakan ilmu 'Lengkingan
Pemenggal Roh', yang sangat dahsyat itu. Sehingga
Margono dan Ranggas terpaksa menyumpal lubang te-
linganya dengan kedua jari telunjuknya. Sementara Ki
Sapta Rengga cukup menutupi telinganya dengan je-
mari tangan terkembang
"Aku tau siapa kau manusia setengah siluman,
bahkan aku mengenal kembaranmu yang selalu bicara
melalui perantaraan angin. Aku kenal dengan Batara
Bayu yang selalu memberi peringatan padamu, apakah
kau masih mau mungkir bahwa Batara Bayu itu se-
sungguhnya masih merupakan saudara kembar mu...!"
kata Buang Sengketa yang mengenal dengan baik silsi-
lah keluarganya para siluman. Pucat pasi wajah Ki
Sapta Rengga, tahulah dia kini mengapa tubuhnya terasa lemah tiada bertenaga. Karena sebenarnya saat
itu dia berhadapan dengan titisan raja negeri alam
gaib.
"Engkaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kela-
na?" tanya Ki Sapta Rengga menyelidik.
"Tak salah...!"
"Kalau begitu kau merupakan titisan rajanya ne-
geri alam gaib...!" desah laki-laki berpakaian ungu itu
bagai tak percaya.
"Kalau kau sudah tau, cepatlah kau sujud di de-
panku, kemudian tarik kembali Racun Pembasmi Iblis
yang telah kau sebar di mana-mana...!" perintah pe-
muda itu.
"Enak saja, kau pikir aku bisa percaya begitu sa-
ja. Huh tidak nantinya aku bersikap seperti itu sebe-
lum kulihat sampai di maha kehebatan titisan raja pa-
ra siluman...!"
"Manusia siluman sepertimu memang terlalu su-
lit untuk diajak kompromi, Ki Sapta Rengga. Mampus-
lah... heeeeeaa...!" Buang Sengketa memang merasa
tak perlu lagi berdebat dengan Ki Sapta Rengga. Maka
sebelum manusia setengah siluman itu berkata lebih
lanjut. Sekali menerjang pemuda ini langsung han-
tamkan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan', tapi Ki
Sapta Rengga bukanlah manusia bodoh, dia tau puku-
lan yang memancarkan sinar Ultra Violet itu masih
merupakan hasil ciptaan manusia. Tak ayal lagi, dia
pun lepaskan pukulan 'Banteng Topan Melanda Iblis'.
Serangkum sinar berwarna biru melesat memapaki
pukulan yang dilepas Pendekar Hina Kelana. Dua
rangkum gelombang dari arah berlawanan menderu
dahsyat, untuk kemudian saling bertubrukan.
"Blaaar...!"
Lereng bukit Rimba Buangan terasa bagai digun-
cang gempa bumi. Tubuh Buang Sengketa terpelanting
roboh dan langsung muntahkan darah segar. Semen-
tara di pihak lawan hanya tergetar saja.
"Sialan! Dia benar-benar manusia siluman...!"
gumam pemuda itu, lalu dengan terhuyung-huyung
dia seka darah yang terus meleleh membasahi bibir-
nya. Setelah itu, cepat-cepat si pemuda mengerahkan
tenaga dalam untuk melepaskan pukulan 'Si Hina Ke-
lana Merana' yaitu puncak dari segala pukulan sakti
yang dimilikinya. Ki Sapta Rengga hanya mendengus
begitu melihat pendekar ini hantamkan tangan kanan-
nya ke depan. Ketika dia melihat berkelebatnya sinar
merah menyala dan menimbulkan udara panas luar
biasa. Ki Sapta Rengga hantamkan pula kedua tan-
gannya ke depan. Serangkum gelombang sinar hitam
pekat dan menebarkan bau bangkai tampak melesat
lebih cepat lagi.
"Buuuuum...!"
"Aghhk... hoeeeeek...!"
Buang Sengketa kembali muntahkan darah ken-
tal, masih sukur dia kebal terhadap segala jenis racun.
Andai tidak sudah tentu dia menemui ajalnya sudah
sejak tadi. Sungguh pun begitu, pemuda ini merasa-
kan kepalanya berdenyut-denyut sakit. Dada semakin
bertambah sesak dan terasa sulit untuk bernafas. Se-
mentara itu Margono dan Ranggas hanya mampu me-
mandangi Pendekar Hina Kelana, tanpa kuasa untuk
memberi pertolongan. Di lain pihak, Ki Sapta Rengga,
tampaknya merasa puas dengan apa yang telah dila-
kukannya. Dia memang menyadari, pendekar titisan
raja dari negeri alam gaib itu tak mungkin mempan
dengan jenis racun apa pun yang ada padanya. Tapi
dia masih punya senjata yang pasti dapat membuat
remuk batok kepala Buang Sengketa.
Akhirnya tanpa membuang-buang waktu, lagi, Ki
Sapta Rengga segera mengayunkan senjatanya yang
berupa tasbih. Senjata itu langsung menderu me-
nyambar ke arah bahu lawannya yang masih belum
siap dengan kuda-kudanya. Menyadari adanya bahaya
yang mengancam, pemuda itu membuang tubuhnya ke
samping, selanjutnya terus berguling-guling sambil
mencabut senjatanya yang berupa Golok Buntung. Be-
gitu senjata menggemparkan itu tergenggam di tan-
gannya, tak ayal lagi dia hantamkan golok itu ke arah
tasbih yang terus menderu merangsak tubuhnya.
"Traak... praaang...!"
Secepatnya Buang Sengketa melompat bangkit,
tasbih di tangan Ki Sapta Rengga hancur berantakan
terhantam senjata di tangan pemuda ini. Saat itu kea-
nehan pun terjadi. Ki Sapta Rengga tampak meraung-
raung dan undur selangkah demi selangkah ketika la-
ki-laki setengah siluman itu melihat golok pusaka yang
memancarkan sinar merah menyala.
"Touuubaaat...! Pusaka kebesaran milik raja ne-
geri Bunian. Oh... ampun, aku mengaku kalah...! Ak...
aku akan a... kan menarik balik wabah penyakit yang
telah merenggut nyawa banyak orang... tobaat...!" te-
riak Ki Sapta Rengga.
"Kau harus mampus... heaaa...!"
Pendekar Hina Kelana yang sudah kalap ini, te-
rus mencecar dengan senjatanya. Tubuh laki-laki se-
tengah siluman itu terus pula terguling-guling men-
jauh. Dengan mempergunakan sebagian tenaga da-
lamnya, pendekar ini melompat sambil babatkan go-
loknya.
"Craaas...!"
"Wuaaaa...!"
Bersamaan dengan lolongan Ki Sapta Rengga,
maka bertiuplah angin yang sangat kencang. Dan tiba-
tiba saja tubuh laki-laki setengah siluman itu pun le-
nyap. Beberapa saat setelah lenyapnya tubuh Ki Sapta
Rengga, maka terdengar pula bisikan gaib, yang dapat
didengar oleh semua orang yang hadir di situ:
"Kuucapkan terima kasih padamu pangeran dari
negeri Bunian. Aku Batara Bayu, saudara kembar Ki
Sapta Rengga, saudaraku
itu memang bengal. Tapi jangan khawatir. Sebab den-
gan kekalahannya itu, dia telah menarik balik wabah
yang telah melanda desa-desa di sekitar sini. Aku
hanya berpesan, janganlah coba-coba berjanji, apalagi
dengan para siluman, karena janji itu adalah hu-
tang...!" kata Batara Bayu.
Sekali lagi angin kencang berhembus, maka suara gaib
itu sudah tak terlihat lagi. Begitu pun Pendekar Hina
Kelana telah lenyap pula dari hadapan utusan Adipati
Gupta. Tinggallah Margono dan Ranggas saling pan-
dang dan mengurut dada, karena mereka merasa terlepas dari maut.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar