..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE PERI BUNGA IBLIS

Peri Bunga Iblis

 

PERI BUNGA IBLIS

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69

Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Gambar Sampul oleh David

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-

ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Peri Bunga Iblis


SATU

Setelah sekian lama ditinggal oleh ke dua orang 

tuanya, kedua pemuda itu kemudian memutuskan 

untuk meninggalkan kampung halamannya yang 

hampir sepanjang tahun dilanda kekeringan. Tiada tu-

juan lain dalam pengembaraan mereka itu terkecuali 

mencari ibu mereka dan sekedar pengalaman untuk 

bekal hidup mereka di masa-masa yang akan datang. 

Enam belas tahun bukanlah waktu yang singkat, dan 

selama itu pula mereka hidup dalam asuhan nenek 

Kreot, yaitu salah seorang tokoh persilatan golongan 

putih yang telah berumur kurang lebih enam puluh 

sembilan tahun. Karena usia mereka baru berkisar li-

ma tahun ketika ditinggal oleh ibu kandungnya, maka 

wajah sang ibu, bagi mereka sudah agak kabur dalam 

ingatannya. Hanya dua buah kalung yang terbuat dari 

tanduk menjangan merah itulah sebagai bekal untuk 

mencari ibu kandung mereka.

Sungguhpun begitu, kedua pemuda ini merupa-

kan dua anak manusia yang berpribadi lugu, bahkan 

selama ini orang-orang di sekeliling mereka mengenal-

nya dengan julukan Dwi Tolol. Sebuah julukan yang 

tak sedap didengar, namun mereka menyukai-nya. 

Demikianlah setelah mereka ini melewati beberapa de-

sa dan merambah dua buah hutan belantara. Tiga ha-

ri kemudian bekal yang mereka bawa pun sudah se-

makin me-nipis. Langkah dua pemuda pengembara itu 

tampak mulai terseok-seok. Terlebih-lebih yang berja-

lan di bagian paling belakang.

"Kakang Ginuk...! Berhenti dulu ah,... badanku 

sudah letih sekali...!" Pinta yang lebih muda, serta 

merta langsung ngedeprok di atas semak-semak yang 

mereka lalui. Pemuda yang berada di bagian paling


depan hentikan langkahnya, dengan sikap enggan pa-

lingkan kepala ke belakang.

"Kau ini selalu membuat aku kesal, adik Gin-

drung...! Kalau nggak kuat jalan, baiknya kau tak 

usah ikut. Tinggal saja di gubuk reot desa kita...!" um-

pat kakaknya yang paling tua.

"Kakang keterlaluan! Tinggal di rumah sama sia-

pa? Nungguin kuburan nenek Kreot? Huh, aku paling 

takut....!"

"Mengapa harus takut...!" kata Ginuk masih te-

tap berdiri. "Bukankah nenek Kreot selama ini sangat 

baik pada kita....?" Yang ditanya nampak terdiam se-

ketika lamanya. Gindrung seperti merenungi kata-kata 

yang baru saja diucapkan oleh kakaknya. Memang ka-

lau diingat-ingat, selama hidupnya, nenek Kreot selalu 

bersikap baik pada mereka. Bahkan ketika umur lima 

tahun mereka terlunta-lunta karena ditinggal oleh 

ayah dan ibunya yang tergila-gila dalam petualangan. 

Nenek Kreotlah yang mengurus mereka, membesar-

kannya, walau setiap hari mereka cuma ketemu sing-

kong. Itupun sudah sukur. Bahkan mereka malah ber-

terima kasih, karena beberapa tahun kemudian nenek 

Kreot bersedia menurunkan ilmu silat 'Kurung Setra' 

pada mereka berdua. Tolol-tolol begitu, mereka masih 

mampu menyelesaikan jurus-jurus silat pemberian 

nenek Kreot dengan sangat baik.

Tapi sebaik-baiknya nenek kreot, bukankah kini 

sudah meninggal dunia. Bahkan sudah dikubur lebih 

dari enam purnama yang lalu. Gindrung selamanya 

paling takut pada orang yang sudah mati. Apalagi bila 

melihat kuburan. Bagaimana kalau sewaktu-waktu 

orang yang sudah mati itu bangkit kembali dengan so-

sok yang lain? Hhh, Gindrung benar-benar tak berani 

membayangkan akibatnya.

"Apakah kau mau mungkir, kalau nenek Kreot


memang sangat baik pada kita?" ulang Ginuk, mem-

buat adiknya tersentak dari lamunannya. Lalu, den-

gan cengengesan, Gindrung membantah: "Siapa bilang 

nenek Kreot tidak baik! Tapi aku takut tinggal di ru-

mah! Apalagi kuburan nenek Kreot ada di situ...!"

"Ya, sudah kalau begitu kita jalan lagi...!" bentak 

kakaknya, mulai melangkah kembali. Namun baru be-

berapa langkah, Gindrung sudah memanggilnya kem-

bali.

"Kakaaaaang....!"

"Ah, masa bodoh! Kalau kau tetap duduk di situ, 

biarkan saja sebentar lagi pasti ada macan yang akan 

memakan dagingmu...!" kata Ginuk, sambil terus 

memperlebar langkahnya.

"Ah... kampret juga kakangku itu, nggak mau

ngerti padahal perutku sudah sangat lapar sekali....!" 

batin Gindrung. Sebentar kemudian dengan langkah 

terseok-seok, pemuda berumur dua puluhan itu kem-

bali mengejar kakaknya yang sudah berada jauh di 

depan sana.

"Nyusul juga kau heh....! Kukira mau tetap nge-

joprok di sana...!" dengus saudaranya. Tanpa menya-

huti sindiran kakaknya, Gindrung mengeluh.

"Lapar, kang.....! Dua hari lagi berjalan terus, 

dua hari lagi nggak makan, aku bisa mati kakang...!"

"Bekal sudah habis, tukang loak tak mungkin 

ada di pinggiran hutan ini! Kau makan apa....?" kata 

Ginuk bersungut-sungut.

"Ah, celaka! Ini perut nggak bisa diajak kompro-

mi kang...!" sambil memegangi perutnya yang terasa 

perih dan melilit, Gandrung menyahuti.

"Bilang saja sama perutmu, masih belum ada 

makanan!" kata Ginuk sekenanya. Namun beberapa 

saat kemudian wajahnya berubah cerah ketika dia me-

lihat tak begitu jauh di depan mereka terdapat sebuah


ladang penduduk yang sangat luas. "Hei... lihat, di de-

pan kita...!" Ginuk berseru sambil menunjuk pada se-

buah tempat tak begitu jauh di depan mereka.

"Mana kang....! Huh itu cuma sebuah ladang 

yang nggak ada makanannya...!" sahut Gindrung se-

makin tak bersemangat.

"Goblok! Tidak kau lihatkah pohon aren yang ada 

bambunya itu...?" gerutu pemuda berpakaian belang-

belang itu setengah marah.

"Eee... ya... yaa aku melihatnya....!"

"Pasti ada orang yang menyadap air Nira (aren) di 

situ....!" ujar Ginuk dengan mata berbinar-binar. 

"Air nira untuk apa, Kang...!" tanya adiknya, tia-

da mengerti. Sang kakak jadi garuk-garuk kepalanya 

tanda merasa kesal dengan cara berpikir adiknya yang 

dia anggap terlalu tolol, (padahal dia sendiri tidak le-

bih pintar dari adiknya).

"Air Nira itu untuk diminum...!" kata Ginuk, 

meskipun dongkol tapi dikatakannya juga. 

"Rasanya bagaimana, Kakang...?" 

"Rasanya....?" Ditanya rasanya, Ginuk pun ge-

leng-gelengkan kepalanya. Karena sebenarnya seumur 

hiduppun dia memang belum pernah meminum air Ni-

ra itu rasanya bagaimana. Tapi untuk tidak membuat 

kecewa adiknya, pemuda itu pun berkata: "Rasanya 

Nira, mungkin bisa manis, asin... ah entahlah... kalau 

perlu nanti kita curi...!"

"Mencuri... mencuri itu dilarang, Kakang...!" ser-

gah Gindrung merasa tidak setuju.

"Siapa bilang....?" tanya Ginuk dengan mata 

membelalak.

"Nenek Kreot pernah bilang begitu...!"

"Nenek Kreot sudah mati, dan kita sekarang la-

par...!" bantah Ginuk sambil terus melangkahkan ka-

kinya mendekati ladang.


Tak sampai sepemakan sirih, sampailah mereka 

di ladang yang sangat luas itu. Lalu Ginuk dan Gin-

drung menyapu pandang pada daerah sekitarnya.

"Aman, kang....! Nggak ada siapa-siapa....!"

"Kalau begitu, kita panjat sekarang!" kata ka-

kaknya sambil mendekati sebatang pohon Aren yang 

paling dekat dengan mereka.

"Kau yang duluan manjat, Kang...!"

"Kau saja. Adik Gindrung,..!"

"Baiklah...!" kata Gindrung. Kemudian tiada me-

nyia-nyiakan waktu lagi, pemuda bertampang tolol itu 

mulai memanjat tangga yang terbuat dari sebatang 

pohon bambu yang diberi lubang di sisi kanan kirinya. 

Setelah menapak tujuh anak tangga, sampailah Gin-

drung pada bumbung yang di pasang melekat pohon 

aren itu dengan maksud untuk menampung air yang 

menetas dari bekas goresan tangkai bunga Nira. Ter-

cium bau harum, saat mana Gindrung mulai mene-

guk, air Nira yang terdapat dalam bumbung yang telah 

penuh.

"Cgluuk... Cgluuuk... Cgluuuuk...!"

"Muanis... muaniiis... maniiis, Kakang....!" teriak 

Gindrung sambil terus meneguknya.

"Sisakan untukku, jangan kau habisi....!"

"Ya...ya... kusisakan banyak untukmu....!" Dari 

atas pohon Gindrung menyahuti.

"Cepat-cepatlah kau turun, Adik...!" perintah Gi-

nuk tak sabaran. Sebenarnya saat itu Ginuk masih 

belum merasa kenyang dengan air Nira yang telah di-

minumnya. Tapi dia pun menyadari kalau saat itu, 

kakak kandungnya juga sedang kelaparan. Itu sebab-

nya begitu dia mendapat aba-aba dari kakaknya, pe-

muda tolol itu pun langsung turun. Begitu Gindrung 

telah berada di bawah, maka Ginuk pun ganti meman-

jat pohon aren itu. Lebih cepat lagi pemuda yang me


rasa penasaran itu sampai ke atas. Cepat-cepat dia 

melakukan hal yang sama. 

"Gluuuk... Gluuuuk.... Gluuuuk!"

"Wei iya, manis adik....!" katanya sambil meneng-

gak isi bumbung itu hingga tuntas.

"Aku mau manjat pohon yang satunya lagi, Ka-

kang...!" Tanpa menunggu. jawaban Ginuk, pemuda 

ini langsung memanjat pohon Aren yang terletak di 

sebelahnya. Hal yang sama pun dia lakukan. Demi-

kianlah hal itu terulang dan terulang lagi, hingga ak-

hirnya Dwi Tolol itu merasakan kenyang luar biasa.

"Kang... sekarang hari telah menjelang senja, ada 

baiknya kalau kita nginap saja di gubuk itu."

"Iya. Aku pun jadi mengantuk sekali... baiknya 

kita tidur di gubuk itu saja!", jawab Ginuk, langsung 

menyetujui. 

Demikianlah setelah berada dalam gubuk itu dan 

merebahkan tubuhnya. Tak sampai setengah jam ke-

mudian, Dwi Tolol pun telah terlelap. Bahkan mereka 

tak menyadari, beberapa jam kemudian pemilik ladang 

itu terpaksa harus mencak-mencak begitu mengeta-

hui bumbung yang di pasangnya sejak pagi kosong 

tanpa air nira.

"Kurang ajar! Tidak biasa-biasanya, bumbung 

bambu pada kosong begini. Mungkin sebangsanya 

memedi kelaparan dan berkeliaran di sini...! Baiknya 

tak usah kusadap hari ini. Biar keberaki saja....!" batin 

laki-laki pemilik kebun itu. Selanjutnya tanpa menghi-

raukan keadaan sekelilingnya, laki-laki itu membuka 

celananya dan langsung buang hajat. Setelah selesai, 

kotoran itu dia bagi men-jadi sepuluh bagian, kemu-

dian dimasukkan-nya ke dalam sepuluh bumbung, la-

lu diisinya bumbung itu dengan air sumur yang terda-

pat di tengah-tengah ladang. Setelah itu bumbung 

yang telah terisi air dan kotoran dia aduk-aduk hingga


rata. Selesai dengan pekerjaannya, pemilik ladang se-

gera pula memasang bumbung demi bumbung pada 

tempatnya. Ketika hari merembang malam, pulanglah 

laki-laki berbadan gemuk pendek itu dengan sesungg-

ing senyum kemenangan di bibirnya.

Keesokan paginya Gindrung yang masih merasa 

penasaran dengan kelezatan air nira, begitu terjaga 

langsung memanjat pohon aren yang kemarin telah 

dipanjatnya. Tak ketinggalan kakaknya yang memiliki 

pikiran tak lebih dari adiknya itu mengekor di bela-

kangnya. Setelah menoleh kanan kiri, maka tanpa 

membuang-buang waktu lagi, Gindrung menoleh pada 

Ginuk. Salah seorang Dwi Tolol itu pun nyeletuk: 

"Semalam aku yang telah memanjat duluan, se-

karang giliranmu pula yang duluan!" kata Gindrung 

bersemangat.

"Tak jadi soal! Hari ini merupakan hari terakhir 

kita menikmati nira di sini!" kata pemuda itu.

"Heuuup...!" Dengan sekali lompat, maka peker-

jaan memanjat itu pun dimulai. Sebentar kemudian 

Ginuk telah sampai pada bumbung itu. Lalu tanpa ra-

gu-ragu lagi langsung meneguk isi bumbung tersebut.

"Gleeegk... gleegk... gleeek...!"

"Ha... air ini rasanya kok tidak seperti nira, ada 

bau pesing dan bau kotoran!" membatin pemuda itu.

"Kakang, sisain untukku...!" sela Gindrung yang 

saat itu telah bersiap-siap untuk memanjat.

"Jangan takut. Bahkan bumbung ini akan kuba-

wa turun. Tapi yang belakangan kebagian ampas...!" 

kata Ginuk, sambil terus meluncur ke bawah dengan 

menggendong bumbung itu. Sesampainya di bawah 

Gindrung segera merampas bumbung itu, dan lang-

sung:

"Gluuk... gluuuk... gluuuk...!"

"Wuaaaah... kurang ajar! Ini bukan air nira ka

kang... tapi kotoran manusia yang bercampur air 

kencing...!" teriak Gindrung marah-marah. Kemudian 

tanpa menghiraukan kakaknya, pemuda itu terus ber-

lari-lari meninggalkan kakak kandungnya.

"Adik. Tunggu, semuanya harus serba adilkan...!" 

ucapnya sambil memburu adiknya.

***

DUA



Dunia persilatan menjadi gempar dengan ke-

munculan seorang tokoh wanita beraliran sesat yang 

memiliki julukan 'Peri Bunga Iblis'. Sudah banyak to-

koh-tokoh persilatan tingkat tinggi, tewas di tangan-

nya. Di antaranya orang-orang segolongan sendiri. 

Dengan mengandalkan senjatanya yang berupa Jarum 

Bunga Iblis. 

Tokoh sesat yang namanya cepat kesohor di ka-

langan persilatan itu mampu membunuh lawan-

lawannya, tanpa melalui pertarungan sengit.

Konon 'Peri Bunga Iblis' yang tokoh misterius itu, 

memiliki kaki tangan yang sangat setia. Mereka-

mereka ini merupakan tokoh-tokoh golongan sesat 

yang berhasil dibujuk dengan tipu muslihat kelicikan, 

atau pun dengan melalui pertarungan yang mene-

gangkan. Kian tahun anggota 'Peri Bunga Iblis', kian 

bertambah kuat bahkan telah memiliki markas besar 

yang berpusat di hutan Jajaran yang selama ini di 

kenal oleh kalangan persilatan sebagai daerah laran-

gan yang angker. Tak seorang pun pernah kembali da-

ri tempat itu, bahkan akhir-akhir ini banyak orang-

orang persilatan terperangkap di Hutan Jajaran. Apa 

sesungguhnya yang sedang terjadi pada diri mereka,


tak seorang pun yang tahu.

Siang itu dua orang penunggang kuda nampak 

memasuki Teratak, yang selama ini banyak di kenal 

orang sebagai tempat yang terdekat letaknya dengan 

hutan Jajaran. Suasana desa sebagaimana biasanya 

kelihatan ramai, karena secara kebetulan desa Teratak 

merupakan sebuah pasar tempat jual beli barang-

barang keperluan sehari. Tanpa menghiraukan orang 

yang lalu lalang, kedua penunggang kuda berpakaian 

cokelat dengan sebilah pedang yang menggelantung di 

pinggangnya itu, terus saja menggebrak kuda-kuda 

tunggangannya. Debu beterbangan ke udara, orang-

orang yang berada di sekitar tempat itu nampak gusar 

dan keluarkan kata-kata bernada tak enak. Itu pun 

tak mereka perduli. Nampaknya mereka saat itu se-

dang dalam keadaan terburu-buru. Beberapa saat se-

telah berlalunya dua orang itu, menyusul pula pe-

nunggang kuda lainnya yang berjumlah tak lebih dari 

empat orang. Sama seperti dengan penunggang kuda 

terdahulu, kali ini keempat orang penunggang kuda 

itu pun nampak memacu kuda-kuda mereka dengan 

kecepatan penuh.

"Kurang ajar! Penunggang kuda tak tahu adat. 

Ketahuan di sini banyak orang begini rupa, masih juga 

mereka memacu kuda secepat itu...!" umpat salah seo-

rang pedagang yang barang-barang jualannya sempat 

terinjak-injak kaki kuda.

"Kau seperti tak tahu saja San! Kita ini orang ke-

cil, jangan banyak tingkah. Kalau dengar orang-orang 

itu, bisa-bisa kepalamu menggelinding nggak ketemu 

anak bini?!" kata yang lainnya, sesama pedagang.

"Ah paling-paling mereka para persilatan yang 

sengaja cari mampus, begitu berani memasuki hutan 

Jajaran!" sela orang pertama menunjukkan rasa keti-

dak senangan.



"Sudahlah itu bukan urusan kita...! Peri Bunga 

Iblis tidak mengganggu penduduk daerah sini saja su-

dah seharusnya kita bersukur...!" kata kawannya, 

tampak mulai sibuk melayani para pelanggannya.

Kenyataannya benar seperti apa yang dikatakan 

oleh pedagang-pedagang tadi, para penunggang kuda 

itu menuju hutan Jajaran tempat bermukimnya 'Peri 

Bunga Iblis' dan begundal-begundalnya. Sementara 

itu penunggang kuda yang berada di belakangnya, kini 

sudah semakin dekat dengan dua orang penunggang 

kuda yang berada di bagian paling depan. Kejar-

kejaran itu pun terus berlangsung, hingga sampai di 

tikungan jalan setapak dua penunggang kuda yang 

pertama pun sudah hampir tersusul. Dalam keadaan 

seperti itulah tiba-tiba salah seorang dari empat pe-

nunggang di belakangnya membentak: "Kembar Kirik 

Cokelat! Lebih baik batalkan niatmu untuk memasuki 

hutan Jajaran! Serahkanlah Kitab Dewa Murka milik 

perguruan, kami menjamin guru kita akan mengam-

puni jiwa kalian dengan hukuman yang paling rin-

gan...!" Kata yang berada di belakang. Tak terdengar 

suara jawaban apa pun, terkecuali suara mendengus 

yang menandakan bahwa penunggang kuda yang be-

rada di bagian paling depan meremehkan perintah 

orang yang berada di belakang mereka.

"Tak ada gunanya kita memperingati mereka...!" 

Gumam kawannya, kemudian tanpa membuang waktu 

lagi, orang yang berada di belakang penunggang kuda 

pertama tampak mencabut empat buah pisau yang 

terselip di bagian pinggangnya. Dalam keadaan kuda 

berlari sangat cepat, orang bertampang keren itu sam-

bitkan empat buah pisaunya mengarah pada bagian 

kaki kuda yang berada di depannya. Dengan sekali 

sambit:

"Ziiiiing.....!" Laksana kilat keempat pisau yang di


sambitkan oleh laki-laki bertampang keren itu meng-

hantam kaki kuda.

"Jeb....! Jeeeeb....!" Dua ekor kuda tunggangan

meringkik keras, ketika pisau itu mengenai bagian ka-

ki kuda bernasib sial ini. Tanpa ampun kuda-kuda itu 

ambruk dan melemparkan kedua orang penunggang-

nya ke udara. Karena mereka berdua memiliki ilmu 

meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf lu-

mayan. Maka dengan berjumpalitan beberapa kali, 

mereka ini mampu menjejakkan kakinya dengan baik 

di atas permukaan tanah berbatu. Serentak dengan 

kejadian itu, maka keempat penunggang kuda yang 

terdiri dari tiga laki-laki dan seorang gadis yang masih 

muda remaja itu melompat dari punggung kuda mas-

ing-masing. Begitu lincah gerakan tubuh mereka ini, 

hingga dalam waktu sekedipan mata saja mereka telah 

mengurung rapat dua penunggang kuda berpakaian 

cokelat.

"Bangsat! Kalian benar-benar sangat keterlaluan 

sekali. Membuat malu perguruan bahkan tak pernah 

memandang nama besar guru, Darah Swanda...!" maki 

si wajah keren sambil meludah ke tanah beberapa 

kali. Dua laki-laki berpakaian cokelat yang selama ini 

di kenal sebagai 'Kembar Kirik Cokelat' nampaknya 

merasa menang dengan pelarian itu. Bahkan sorot 

mata mereka nampak memandang remeh pada empat 

orang penyusulnya. Salah seorang dari dua Kirik Co-

kelat ini maju dua tindak. Kemudian dengan penuh 

kesombongan laki-laki muka anjing ini mencemooh.

"Heh.... Kitab Cakar Buana telah berhasil kami 

dapatkan! Tak ada salahnya kalau kami meninggalkan 

Perguruan Sangga Buana. Lalu apa-apaan kalian me-

nyusul kami....?"

"Mungkin mereka sengaja mencari mati, Ka-

kang...!" kata salah seorang yang berbadan semampai.


"Keparaat! Kalian benar-benar murid murtad! Pa-

ra Dewa pasti akan mengutuki segala tindakan kalian 

yang sangat tidak terpuji itu...!" kata si Wajah Keren 

berusaha meredakan emosinya yang terasa mulai me-

muncak.

"Hiee... he... he....! Pulanglah, Nak! Tak ada gu-

nanya kalian melawan kami. Sebentar lagi pemimpin 

besar seluruh kaum persilatan akan menemui kami. 

Beliau paling tidak senang melihat ada orang yang ti-

dak dikenalnya bebas bergerak di daerah kekuasaan-

nya. Demi mengingat hubungan baik di antara kita se-

lama ini. Kurasa peringatan kami ini sudah cukup se-

bagai imbalan buat Kitab Cakar Buana yang kami ba-

wa ini!" kata Kembar Kirik Cokelat dengan penuh ke-

menangan.

"Keparaaaaat, murid iblis! Kiranya kalian telah 

bersekutu dengan betina sesat yang menjadi penguasa 

di Jajaran ini...?" maki gadis berpakaian putih yang 

turut menyertai ketiga rombongan itu.

"He... he... he....! Untuk sesuatu yang mendapat 

imbalan sangat besar.. Rasa-rasanya tak ada salahnya 

andai kami melakukannya. Pula guru Darah Swanda 

yang rada pikun itu sejak dulu-dulu sudah tidak se-

nang dengan kami."

"Sekali lagi, kuperingatkan pada kalian, cepat-

cepatlah tinggalkan tempat ini sebelum Penguasa Ja-

jaran membunuh kalian semua....!" sentak Kembar Ki-

rik Cokelat dengan nada mengancam.

"Kurang ajar! Kalian benar-benar menjadi seo-

rang penghianat yang sangat keji! Heh... jangan sekali-

kali bermimpi dapat lolos dari tangan kami....!" bentak 

si wajah keren sambil mengedipkan mata pada kawan-

kawannya untuk menjaga segala kemungkinan.

"Sedari tadi kerjamu hanya ngebacot saja, Abi 

Lawa....! Kalau kalian merasa mampu merebut kitab



Cakar Buana mengapa tidak kalian lakukan....?"

"Sial dangkal! Kembar Kirik Cokelat murid kepa-

raat! Lihat serangan....!" teriak Abi Lawa. Serta merta 

laki-laki berwajah keren ini melompat ke depan, lalu 

hantamkan tinju kanannya di sertai dengan sapuan 

kaki mengarah bagian perut kembar Kirik Cokelat. 

Dua manusia kembar berkepala anjing itu tentu me-

nyadari bahwa pukulan yang dilakukan oleh Abi Lawa 

bukanlah sembarangan pukulan. Mereka mengenal 

pukulan itu sebagai pukulan 'Si Langlang Buana" 

tingkatan kesepuluh. Gebrakan pertama yang dilaku-

kan oleh Abi Lawa ini saja menandakan bahwa murid 

dari perguruan Sangga Buana ini benar-benar meng-

hendaki nyawa mereka. Sambaran angin yang sangat 

keras menderu dan membuat sesak dada si kembar 

ini. Menyadari jiwanya dalam keadaan terancam, ma-

ka dengan mempergunakan jurus yang sama, kedua 

orang ini langsung membanting tubuhnya ke samping 

kiri. Selanjutnya berguling-guling menghindar. Namun 

dari arah lain, menyambut pula serangan yang sama. 

Maka tak ayal lagi dalam waktu sekejapan saja dua 

orang ini langsung menjadi keteter. Apalagi mengingat 

dalam tingkatan murid-murid Sangga Buana, kedua 

orang ini masih memiliki kepandaian di bawah Abi 

Lawa.

"Hiaaaat.....!"

"Wuuuuus.....!" Gadis berwajah cantik yang ber-

nama Andini hantamkan pukulan tangannya ke ba-

gian punggung Kembar Kirik Cokelat. Pada saat itu 

Kembar Kirik Cokelat yang sedang menghadapi seran-

gan Abi Lawa, Basra dan Jatra, tampaknya sudah tak 

sempat menghindari dua sodokan beruntun yang dila-

kukan oleh Andini. Maka: "Buuuuuk.....!"

"Wuuuuah......! Gusraaak....!" Salah seorang dari 

kembar Kirik Cokelat terjerembab ke depan, wajahnya


mencium tanah tanpa ampun. Namun tanpa menghi-

raukan rasa sakit yang mendera punggungnya, manu-

sia berkepala anjing ini cepat bangkit kembali. Kemu-

dian tanpa merasa sungkan-sungkan lagi, mereka 

langsung cabut senjatanya yang berupa palu yang ter-

buat dari batu hitam. Dengan adanya senjata aneh di 

tangan mereka ini, sudah tentu keempat murid Pergu-

ruan Sangga Buana yang ditugaskan untuk mengam-

bil Kitab Cakar Buana yang tengah dilarikan oleh ke-

dua murid murtad itu merasa terkejut sekali. Sebab 

selama ini mereka ketahui bahwa Kembar Kirik Coke-

lat tidak memiliki senjata jenis apa pun terkecuali se-

bilah pedang pendek yang sewaktu-waktu dapat di 

pergunakan sebagai senjata rahasia.

"Keparat....! Benar-benar manusia iblis yang te-

lah merencanakan maksud-maksud terkutuk dengan 

menyamar sebagai murid Sangga Buana." maki Jatra 

nampak sangat marah sekali. Kembar Kirik Rogo 

hanya diam saja, sebaliknya sebagai jawabannya, sen-

jata palu yang berada dalam genggaman mereka men-

deru.

"Nguuuuung....!" Empat orang murid Sangga Bu-

ana jadi terkesiap manakala merasakan adanya sam-

baran angin dingin menerpa wajah mereka. Tapi me-

reka juga bukanlah murid-murid kemarin sore, kalau 

hanya menghadapi senjata yang berbau aneh ini men-

jadi keder. Walaupun mereka belum mengetahui se-

jauh mana kehebatan senjata di tangan lawannya, 

namun Kembar Kirik Cokelat masih merupakan mu-

rid-murid yang berada di bawah tingkatannya.

"Wuuuuus!"

"Arggkh.......!" Salah seorang dari keempat orang 

itu menjerit tertahan saat mana tangan kanannya 

yang bermaksud menyarangkan satu pukulan ke ba-

gian perut lawan terhantam palu yang memiliki sisi


pipih dan tajam itu. Dengan cepat sekali luka yang 

mengalirkan darah itu berubah menghitam. Sadarlah 

Basra kalau senjata di tangan lawannya mengandung 

racun yang sangat keji. Semua apa yang dialami oleh 

Basra rupanya tak luput dari perhatian Abi Lawa, ke-

tika Basra menyeringai menahan rasa sakit, keadaan 

itu sudah cukup bagi murid kedua Perguruan Sangga 

Buana untuk mengerti bahwa senjata Kembar Kirik 

Cokelat benar-benar sangat berbahaya. Serta merta 

kemarahannya pun sudah tak mampu dia bendung 

lagi. Mulai saat itu dia mulai berpikir-pikir untuk 

mempergunakan pisau terbangnya. Namun dalam 

keadaan melakukan keroyokan seperti itu, tampaknya 

sangat tidak memungkinkan bagi dia untuk melaku-

kannya. Salah, salah bisa nyasar menghantam ka-

wannya sendiri. 

"Kawan-kawan! Minggir kalian semuanya....!" te-

riak Abi Lawa memberi perintah pada adik-adik seper-

guruannya.

"Bet! Bet....!" Tiga orang lainnya serentak ber-

lompatan menjauh. Tak banyak yang bisa mereka la-

kukan terkecuali menjaga setiap kemungkinan. Dalam 

pada itu, Abi Lawa berseru lantang: 

"Sungguh pun kalian mempergunakan senjata 

milik para iblis! Ingin kulihat sampai di mana keheba-

tan kalian...! Maka bersiap-siaplah, heaaaaa.......!" 

Tanpa ampun lagi pertarungan antara hidup dan mati 

berlangsung sengit. Kini Abi Lawa tanpa merasa sung-

kan-sungkan lagi segera cabut beberapa buah pisau 

yang terselip di pinggangnya. Dengan mempergunakan 

jurus ‘Kilat Buana Membelah Gunung’, tubuh Abi La-

wa sekejap kemudian telah pula berkelebat lenyap. 

Hanya sambaran angin bersiuran saja yang menanda-

kan Abi Lawa saat itu telah bersiap-siap melepaskan 

senjata rahasianya.


TIGA


Kembar Kirik Cokelat tentu menyadari adanya 

bahaya ini, sejurus kemudian mereka putar senjata 

palunya membentuk sebuah perisai diri. Selanjutnya 

tubuh Kembar Kirik Cokelat telah pula terbungkus gu-

lungan sinar berwarna hitam. Perobahan yang sangat 

mendadak ini membuat Abi Lawa kehilangan kesem-

patan untuk menyambitkan pisaunya. Kenyataannya 

memang pertahanan yang di bentuk oleh Kembar Kirik 

Cokelat selain sangat rapi, juga terlalu sulit untuk di-

tembus. Tapi bukan Abi Lawa orangnya kalau hanya 

dalam menghadapi keadaan seperti itu saja dia lantas 

menyerah. Detik selanjutnya Abi Lawa mulai bersiap-

siap kirimkan satu pukulan yang dinamakan ‘Dewa 

Menyabit Rum-put’. Tubuh laki-laki berpenampilan 

rapi ini nampak menggeletar beberapa saat lamanya 

ketika dia berusaha menghimpun tenaga sakti ke arah 

bagian tangannya.

"Hiaaa.....!" Dengan disertai jeritan tinggi me-

lengking, tubuh Abi Lawa bersalto ke udara, begitu tu-

buhnya menukik ke bawah, dua pukulan beruntun dia 

lepaskan. Diikuti sambitan senjata rahasianya yang 

berupa beberapa buah pisau.

"Wuuuus.....Wuuuuuss......!"

"Ziiiiing.....!" Tanpa ampun lagi pukulan 'Dewa 

Menyabit Rumput' membobolkan pertahanan si Kem-

bar Kirik Cokelat.

"Blaaak.....!"

"Wuaaaaeee......!" Kedua orang itu langsung ter-

jengkang tubuhnya, sebelum mereka sempat berbuat 

sesuatu. Senjata rahasia yang disambitkan oleh Abi 

Lawa nyaris menghantam tubuh mereka. Namun si 

Kembar Kirik Cokelat kiranya dua ekor manusia berkepala anjing yang memiliki penglihatan yang sangat 

jeli. Begitu mereka melihat beberapa benda berwarna 

putih meluruk ke arah mereka. Maka tanpa ampun la-

gi keduanya hantamkan senjatanya ke arah benda-

benda itu.

"Ting....! Tanggg........! Traaaang....!"

"Arggghk.....!" Walaupun beberapa senjata raha-

sia itu dapat diruntuhkan dengan putaran senjata di 

tangan mereka, tak urung dua di antaranya sempat 

menghantam bagian bahu kiri dua orang kembar ber-

kepala anjing tadi.

Begitu pun tampaknya daya tahan tubuh si 

Kembar hebat luar biasa. Walaupun darah sudah ter-

lalu banyak yang mengalir ke luar dan bahkan pisau 

yang disambitkan oleh Abi Lawa menghunjam bagian 

bahu kirinya sampai begitu dalam, namun tetap saja 

mereka melakukan perlawanan sengit. Melihat kene-

katan yang dilakukan oleh Kembar Kirik Cokelat, se-

bagaimana pesan guru mereka Darah Swanda. Abi 

Lawa telah bersiap-siap pula untuk menghabisi ri-

wayat dua manusia kembar bersaudara ini.

"Shaaaaa.....!" Luka-luka di bahu mereka mem-

buat kembar itu marah, lalu lebih nekad lagi mereka 

bergerak mendahului melakukan serangan. Dengan 

Palu terayun mengancam bagian kepala Abi Lawa, 

manusia kembar berkepala anjing ini juga melakukan 

satu tendangan dengan mempergunakan kaki kirinya. 

Sementara dari bagian belakang, kembar yang satunya 

juga sedang melakukan hal yang sama seperti apa 

yang dilakukan oleh saudaranya. Menyadari saudara 

seperguruannya terancam bahaya, sudah barang ten-

tu, Andini, Basra dan Jatra tidak tinggal diam. Di luar 

dugaan Abi Lawa hantamkan beberapa buah pisau 

menyongsong ke tangan tubuh mereka.

"Siiiiing......!" Kembar kepala anjing terpaksa menarik balik serangan mereka, dan cepat-cepat mem-

banting tubuhnya ke samping saat senjata yang dis-

ambitkan oleh Abi Lawa secara cepat hampir mengha-

jar tubuhnya.

"Kurang ajar....!" maki Kembar Kirik Cokelat.

"Zaaaass.....!" Tiga senjata rahasia dari tujuh 

yang disambitkan oleh Abi Lawa, kembali menghan-

tam mereka berdua. Kali ini nampaknya Kembar Kirik 

Cokelat tak memiliki daya apa-apa setelah bagian kaki 

kanannya terhunjam senjata rahasia yang mengan-

dung hawa panas luar biasa itu. Setelah terhantam 

senjata-senjata itu Kembar Kirik Cokelat hanya mam-

pu mengerang dan beringsut-ingsut menjauh. Abi La-

wa dan tiga orang lainnya tersenyum penuh kemenan-

gan. Setindak demi setindak mereka mendekati si 

Kembar Kirik Cokelat. Pucat wajah dalam bentuk so-

sok anjing itu. Bagaimana pun dalam keadaan seperti 

itu mereka merasa tidak memiliki kekuatan apa-apa 

untuk melakukan perlawanan. 

"Badan manusia, kepala anjing....!" bentak Abi 

Lawa. "Kau serahkan kitab 'Cakar Buana', atau kalian 

lebih memilih untuk mati...?" ancamnya pula. Bukan-

nya menjadi takut, si kembar malah mendengus den-

gan suara hampir tak jelas. Kemudian salah seorang 

di antara mereka menjawab: "Cakar Buana jauh-jauh 

kami bawa dari perguruan kalian semata-mata hanya 

akan kami persembahkan pada junjungan ketua persi-

latan di seluruh jagat ini." kata Kembar Kirik Cokelat 

menyeringai. "Ya... hanya ketua 'Peri Bunga Iblis' saja-

lah yang pantas memiliki kitab Cakar Buana yang he-

bat ini. Sungguh pun kalian mampu mencincang tu-

buh kami, tidak nanti kami serahkan kitab yang telah 

kami curi itu pada kalian....!"

Bukan main marahnya keempat orang murid se-

tia perguruan Sangga Buana ini. Nampaknya mereka


tak memiliki pilihan lain lagi, terkecuali membunuh-

nya. Maka setelah saling berpandangan sesama bebe-

rapa saat lamanya, kini tanpa membuang-buang wak-

tu lagi. Andini yang sudah sejak tadi merasa muak 

melihat tampang si Kembar Kirik Cokelat langsung 

membentak.

"Kepada manusia yang tidak tahu membalas gu-

na seperti kalian ini. Maka jalan yang paling baik bagi 

kalian adalah mampus....!"

"Sriiiiiing....!"

"Ciaaaaaat......!" Setelah mencabut senjatanya 

yang berupa sebilah pedang tipis, gadis berwajah ayu 

ini langsung menerjang si Kembar Kirik Cokelat den-

gan satu tujuan, yaitu ingin memenggal kepalanya. 

Namun pada saat tubuhnya melayang di udara seperti 

itu, dari berbagai arah tampak melesat berbagai jenis 

senjata rahasia. Jatra yang memang sejak awal-awal 

selalu memperhatikan keadaan sekelilingnya, segera 

mengetahui adanya bahaya yang mengancam adik se-

perguruannya.

"Adik Andini... awaaas......!" teriak Jatra memberi 

peringatan. Andini menyadari arti peringatan itu, bah-

kan gadis itu merasakan adanya sambaran angin yang 

sangat keras dari berbagai penjuru. Pedang yang mu-

lanya dia pergunakan untuk menebas batang leher si 

Kembar Kirik Cokelat, kini dia putar untuk melindungi 

tubuh dari serangan senjata rahasia. Saat yang sama 

Jatra yang selama ini terlalu memberi perhatian berle-

bih pada Andini, sudah datang membantu dengan gu-

lungan sinar pedang di tangannya.

"Weeeees! Weees.....!"

"Traaaaaang....! Traaaang....!" tanpa diduga-duga 

satu jeritan keras terdengar. Kemudian disertai berde-

bumnya sosok tubuh Jatra.

"Jatra.....?"


"Kakang Jatra....!" pekik Andini berusaha mem-

buru tubuh Jatra yang terkulai tewas dengan paku 

bunga iblis menancap di beberapa bagian punggung-

nya.

"Pengecut.....!" teriak Abi Lawa sambil mengitar-

kan pandangan matanya ke arah sekelilingnya. Saat 

itu si Kembar Kirik Cokelat nampaknya mulai menya-

dari datangnya pertolongan buat dirinya. Sedikit ba-

nyaknya mereka menjadi lega, karena merasa terbebas 

dari kematian. Begitu pun tak banyak yang dapat me-

reka lakukan terkecuali memandangi pihak Abi Lawa 

yang terus-menerus mengelakkan senjata-senjata ra-

hasia yang datangnya tiada mengenal henti itu.

"Andini, Basra... cepat-cepat kalian tinggalkan 

tempat ini! Iblis-iblis itu telah keluar dari sarang-

nya....!" Teriak Abi Lawa sambil berusaha menyam-

bitkan senjata pisaunya untuk menyerang mereka 

yang bersembunyi di atas pohon-pohon yang berada di 

sekitar tempat itu.

"Arrggkh....!" Beberapa orang yang berada di atas 

pohon keluarkan teriakan kesakitan diiringi berjatu-

hannya beberapa sosok tubuh. Namun dari pihak pe-

nyerang gelap juga tampaknya semakin bertambah 

gencar saja dalam melakukan serangannya yang beru-

pa senjata Paku Bunga Iblis. Menghadapi serangan 

yang datangnya bertubi-tubi itu, semakin bertambah 

kerepotan sajalah, Abi Lawa, Basra dan Andini.

"Andini, Basra.....! Cepat tinggalkan tempat 

ini......!" ulang Abi Lawa di sela-sela kesibukannya 

memutar pedang melindungi diri dan adik sepergu-

ruannya.

"Bagaimana dengan Kitab Cakar Buana, ka-

kang.....!?" tanya Basra merasa cemas.

"Baiknya kalian beri laporan pada guru Darah 

Swanda bahwa dua kembar berkepala anjing ini ternyata murid kesasar yang telah bersekutu dengan 

penguasa sesat di Jajaran ini....!" 

"Tap... tapi.... engkau sendiri bagaimana, Ka-

kang....?" tanya Andini merasa tak sampai hati untuk 

meninggalkan kakak seperguruannya yang paling tua.

"Jangan hiraukan aku, cepat tinggalkan aku! 

Cepat... ku lindungi kalian....!" teriak Abi Lawa.

"Kakang, lebih baik kita hadapi mereka bersama-

sama....!" kata Basra, tahu-tahu telah berada di samp-

ing Abi Lawa sambil memutar pedangnya, dengan se-

bat sekali.

"Tolol, siapa yang akan memberi laporan pada 

guru andai kita semua tewas di sini...?" kata Abi Lawa 

nampak gusar. Tampaknya kali ini tiada pilihan lain 

lagi bagi Basra dan Andini terkecuali menuruti apa 

yang dikatakan oleh saudara seperguruannya.

"Cepat, aku melindungi kalian...!"

"Hiaaaat.... Trang... Traaaang.... Traaaang.....!"

Beberapa senjata rahasia yang disambitkan oleh 

pihak penyerang gelap berpentalan ke berbagai arah 

saat membentur pedang di tangan Abi Lawa. Dari ben-

turan senjata gelap dengan pedang di tangannya. Abi 

Lawa sudah dapat merasakan bahwa dia kalah bebe-

rapa tingkat dalam hal tenaga dalam.

Sementara itu Andini dan Basra dengan pera-

saan tak tega sudah mulai bergerak meninggalkan 

tempat itu. Namun semuanya tak dapat berjalan mu-

lus, barulah setelah melalui beberapa gebrakan, Basra 

dan Andini dapat membebaskan diri dari ancaman 

maut itu. Belum sampai dua puluh tombak mereka 

meninggalkan Abi lawa seorang diri. Mendadak ter-

dengar suara teriakan yang begitu keras.

"Arrggkhhhh.......!" Basra merasa tak tega, lalu 

menoleh ke belakang. Dia jadi terpana begitu melihat 

apa yang terjadi atas Abi Lawa.


"Kakang Abi Lawa roboh? Mudah-mudah-an aku 

dapat menolongnya!" batin Basra.

"Adik Andini, kau teruskan dan tinggalkan tem-

pat ini! Biarkan aku menolong kakang Abi Lawa....!" 

teriak Basra, lalu berbalik langkah.

"Berbahaya, Kakang.....!" kata Andini

memberi peringatan. Namun dia tetap berlari cepat 

meninggalkan tempat itu. Tiada terdengar jawaban 

Basra, karena saat itu dia sudah harus bertahan mati-

matian untuk menyelamatkan diri Abi Lawa maupun 

dirinya sendiri.

"Ziiiiing! Ziiiiing!" Serangkum senjata rahasia 

yang berwarna kekuning-kuningan yang selama ini di-

kenal oleh kalangan persilatan sebagai Paku Bunga Ib-

lis menderu ke arah Basra.

"Jeb... Jeb.....!" Dengan telak senjata-senjata ra-

hasia itu menghajar tubuh Basra, sungguh pun sebe-

lumnya dia telah memutar pedang dengan segenap 

kemampuan yang dimilikinya. Tetap saja tubuhnya 

terjungkal menyusul Abi Lawa yang telah tewas bebe-

rapa saat setelah terhantam senjata yang sama. Sesaat 

setelah kematian Abi Lawa dan Basra, beberapa orang 

penyerang gelap itu nampak berloncatan turun dari 

tempat persembunyiannya, tanpa basa basi lagi orang-

orang itu langsung menyambar tubuh si Kembar Kirik 

Cokelat. Lalu membawanya pergi dengan sangat terge-

sa-gesa.

***

EMPAT



Begitu banyak warung yang masih buka di se-

panjang pinggiran kota yang dilalui oleh pemuda berkuncir ini. Padahal saat itu malam telah menunjukkan 

pukul tiga dini hari. Di warung-warung pinggiran jalan 

itu, sering terlihat para penduduk bergerombol di sa-

na. Bahkan di jalan yang dilalui oleh pemuda tampan 

berpakaian merah dan kumuh itu. Dalam hati dia me-

rasa heran juga begitu melihat orang-orang yang pada 

bergerombol ini, sedemikian banyaknya. Tetapi pemu-

da berperiuk yang sudah tak asing lagi bagi kita ini 

menjadi lebih terperanjat lagi saat mendengar suara 

tangis dari setiap rumah yang terbuka bagian pin-

tunya. Akhirnya rasa keingintahuan membuat Buang 

Sengketa menghampiri orang-orang yang sedang ber-

gerombol di pinggiran jalan yang dia lalui.

"Bapak.... apakah yang terjadi di tempat ini.....?" 

tanya Pendekar Hina Kelana dengan sikap menghor-

mat. Tak ada jawaban apa-apa, orang yang ditanya 

bergeming pun tidak! Mengapa orang-orang di sini pa-

da acuh semuanya? Sudah dua kali aku berusaha 

menanyai orang-orang itu, tapi tetap saja mereka tak 

mau bicara...? batin Buang Sengketa. Tapi ketika pe-

muda itu benar-benar meneliti, maka tahulah pemuda 

keturunan Raja Ular Piton Utara itu, bahwa sebenar-

nya orang-orang yang berada di pinggiran jalan atau 

pun yang berada di dalam warung itu dalam keadaan 

tertotok urat bicaranya. "Apa yang telah terjadi di sini, 

ada baiknya kalau aku bertanya pada salah seorang 

dari mereka ini." batinnya lagi. Dengan agak tergesa-

gesa Pendekar Hina Kelana mendekati salah seorang 

di antara mereka. Kemudian setelah memijit-mijit ja-

lan darah di bagian-bagian tertentu, maka orang itu 

pun langsung bicara dengan suara terbata-bata.

"Cel... celaka... orang-orang itu selain merampok 

juga memperkosa anak istri orang sini! Tu... tuan, to-

longlah kami! Orang-orang itu memiliki kepandaian 

yang sangat tinggi. Tolonglah selamatkan mereka,


Tuan....!" kata orang itu menghiba.

"Berapa banyakkah mereka semuanya....?" tanya 

Buang Sengketa mencoba mencari kepastian.

"Banyak! Bahkan sangat banyak sekali....!"

"Kenalkah bapak siapa mereka itu....?" tanya 

Buang Sengketa sambil memandang ke arah rumah-

rumah penduduk yang terbuka pintunya.

"Mereka menamakan dirinya dengan sebutan 

'Peri Bunga Iblis', Tuan....!" jawab laki-laki itu dengan 

wajah ketakutan.

Setelah mendengar keterangan dari laki-laki tadi, 

Buang Sengketa terus melesat pergi. Dalam kegelapan 

malam seperti itu siapa pun tak dapat melihat kalau 

kecepatan bergerak pemuda itu hebat sekali. Dalam 

waktu sekejap saja pemuda itu telah sampai di sebuah 

rumah, tanpa basa basi langsung saja mendobrak.

Pemuda berkuncir itu menjadi marah bercampur 

malu ketika melihat pemilik rumah dalam keadaan te-

lanjang dan dipaksa melayani nafsu binatang para pe-

rampok-perampok yang mengaku sebagai anggota 'Peri 

Bunga Iblis'. Melihat kehadiran Buang Sengketa, tentu 

para perampok sekaligus pemerkosa itu menjadi terpe-

ranjat kaget. Namun sebelum mereka sempat bertin-

dak apa-apa, laksana kilat tubuh Buang Sengketa te-

lah berkelebat. Dan tahu-tahu telah mencengkeram 

kaki maupun tangan mereka dengan sangat kasar se-

kali. Sekali saja Pendekar Hina Kelana mengerahkan 

tenaga dalamnya, maka tubuh kedua orang itu lang-

sung melayang menghantam dinding yang terbuat dari 

papan, dinding itu langsung bobol. Tubuh kedua 

orang perampok dan pemerkosa itu terus melayang 

dan terkapar setelah menabrak pohon kelapa yang ter-

letak di samping rumah.

"Tolooooooong....!" Terdengar suara teriakan yang 

sama dari dalam rumah yang terletak di sebelahnya.


"Keparaaat... terbukti mereka tidak hanya bebe-

rapa orang saja....!" Maki si pemuda sambil berkelebat 

mengejar ke arah rumah yang terletak di sebelahnya 

itu. Hanya beberapa saat kemudian Buang Sengketa 

pun telah sampai di dalam rumah yang terletak di se-

belah rumah pertama. Namun kali ini bukan perko-

saan yang sedang terjadi. Namun pertarungan sengit 

antara seorang gadis melawan tiga orang laki-laki ber-

tampang kasar.

Dilihatnya gadis berpakaian hijau lumut dengan 

senjatanya yang berupa, sebilah pedang tipis tampak 

sedang berusaha mati-matian mempertahankan diri 

dari gempuran pihak lawan yang bersenjatakan Arit 

yang berbentuk melengkung seperti bulan Sabit. Nam-

paknya pertarungan itu baru saja terjadi, tetap bagi 

pemuda itu sudah cukup mengerti bahwa sebenarnya 

gadis berpakaian hijau lumut itu sudah sejak-sejak 

tadi telah jatuh di bawah angin. Walaupun Buang 

Sengketa masih belum mengetahui siapakah gadis 

yang sedang menghadapi keroyokan itu, namun ak-

hirnya dia memutuskan untuk membantu gadis ber-

pakaian hijau lumut itu.

Sekali saja tubuhnya berkelebat, maka detik se-

lanjutnya terdengar suara memekik tertahan. Tiga la-

ki-laki bertampang kasar yang sedang melakukan 

pengeroyokan nampak terjengkang tubuhnya meng-

hantam dinding rumah yang terbuat dari belahan 

bambu. Namun secepatnya mereka bangkit kembali. 

Sesaat setelah meneliti pemuda yang telah menggagal-

kan usaha mereka dalam meringkus gadis berpakaian 

hijau lumut itu. Maka secara serentak dengan senjata 

terhunus mereka menerjang Buang Sengketa. Dengan 

ketenangan yang sangat luar biasa, pemuda itu me-

layaninya dengan jurus 'Membendung Gelombang Me-

nimba Samudra'. Dalam pada itu, di luar sepengeta


huan Buang Sengketa maupun gadis berpakaian hijau 

lumut itu. Di luar rumah itu beberapa orang konco-

konco dari tiga orang yang sedang melakukan perta-

rungan tampak sedang melakukan pembakaran atas 

rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar tem-

pat tersebut. Tak terkecuali rumah yang sedang dija-

dikan ajang pertarungan oleh Buang Sengketa dan la-

wannya.

"Tuan... rumah ini telah terbakar...!" teriak gadis 

berpakaian hijau lumut itu ketika melihat api mulai 

berkobar di sana sini. Sekejap Pendekar Hina Kelana 

menoleh dan memperhatikan segala sesuatunya yang 

sedang terjadi. Ternyata memang benar apa yang dika-

takan oleh gadis itu, kepengecutan pihak lawan dan 

perlakuan sewenang-wenang membuat pendekar itu 

menjadi marah sekali. 

"Jahanam....! Hiaaaat....!" Sambil menyambar 

tubuh gadis berpakaian hijau lumut, pemuda itu le-

paskan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan'. Detik itu 

juga serangkum gelombang sinar berwarna Ultra Violet 

menderu dahsyat menghantam ke arah lawan-lawan-

nya. Sebagai orang yang sudah sangat terlatih dalam 

berbagai pertempuran, sudah barang tentu mereka 

bertiga menyadari adanya bahaya yang mengancam 

diri mereka. Itulah sebabnya dengan sangat cepat me-

reka memutar arit yang berada dalam genggaman me-

reka. Sementara itu api telah menjadi semakin mem-

besar. Tanpa ampun tubuh tiga orang bertampang ka-

sar itu pun terhantam pukulan yang telah dilepas oleh 

Pendekar Hina Kelana.

"Blaaar.....!"

"Buuuuumm....!" Satu ledakan yang sangat keras 

menyertai runtuhnya rumah yang terbakar itu. Api 

dengan sangat cepat telah pula membesar. Tanpa 

sempat keluar lagi dari kobaran api itu, ketiga lawan


nya yang sempat terkena pukulan 'Empat Anasir Ke-

hidupan', mendapat luka yang cukup parah. Sudah 

tak sempat lagi untuk menyelamatkan diri dari koba-

ran api yang semakin bertambah besar. Tanpa ampun 

lagi mereka terbakar dalam keadaan hidup-hidup.

Sementara itu Buang Sengketa dan Gadis berpa-

kaian hijau lumut telah menjauh dari rumah yang ter-

bakar itu. Namun saat Buang Sengketa menurunkan 

tubuh si Gadis dari atas pundaknya, tiba-tiba nampak 

berkelebat beberapa sosok bayangan tubuh dari pintu 

rumah-rumah yang terbakar. Dalam waktu sekejap sa-

ja mereka telah mengepung si Pemuda dan si Gadis 

dengan senjata siap di tangan

"Pemuda berperiuk! Berani mati kau mencampu-

ri urusan orang-orang Peri Bunga Iblis....!" sambut se-

buah suara begitu dingin dan berwibawa. Pendekar 

Hina Kelana memperhatikan orang yang baru saja bu-

ka suara tadi, maka terlihatlah oleh pemuda ini, seso-

sok tubuh jangkung dengan pakaian sangat rapi. Sa-

ma seperti orang yang tewas dalam kobaran api tadi, 

orang-orang yang kini mengepungnya juga bersenjata-

kan arit yang bentuknya hampir serupa dengan bulan 

sabit.

Tiada di duga-duga, mendadak Buang Sengketa 

tertawa bergelak-gelak.

"Ha... ha... ha...! Kalau kutanya apa saja yang 

kalian kerjakan di tempat ini....!" kata si Pemuda den-

gan sesungging senyum mengejek.

"Manusia hina! Kau tak perlu tahu apa yang ka-

mi kerjakan di sini....!" hardik orang itu.

"Memperkosa dan merampoki harta benda pen-

duduk! Itukah yang tidak boleh aku tahu?" ejeknya 

dengan pandangan mata berapi-api.

"Keparaaaat! Bocah, kuperingatkan padamu, ce-

pat-cepatlah kau menyingkir dari sini. Kalau tidak kau


akan menyesal selama-lamanya...!"

"Jangan coba-coba menggertakku, Orang Tua...!" 

Dengus Buang Sengketa. Melihat mereka saling ber-

bantahan itu, nampaknya beberapa orang yang men-

jadi bawahan laki-laki berjenggot panjang itu menjadi 

tak sabaran lagi, satu dua tindak mereka melangkah. 

Lalu dengan suara lantang salah seorang dari mereka 

membentak:

"Kakang Wisesa.....! Percuma saja kita berdebat 

dengan kunyuk gembel ini. Hantam saja....!"

"Akur, hantam biar mampus! Kakang Wisesa....!" 

Teriak yang lainnya. Laki-laki berjenggot panjang yang 

dipanggil Wisesa itu memperhitungkan dengan sege-

brakan saja, binasalah pemuda berkuncir sekaligus 

gadis yang menyertainya. Itu sebabnya tanpa me-

nunggu lebih lama lagi orang ini pun segera memberi 

aba-aba:

"Serbuuuu......!" Serentak dengan suara teria-

kannya itu, lebih dari sepuluh orang pengeroyok lang-

sung menerjang sambil sambitkan senjata rahasia 

mengarah pada Buang Sengketa dan gadis berjubah 

hijau lumut.

"Singgg.....! Weeeerr....!" Puluhan bahkan ratusan 

senjata rahasia datang dari berbagai penjuru. Meng-

hadapi kenyataan seperti itu, gadis yang berada di se-

belah Buang keluarkan jeritan tertahan. Sebaliknya 

Pendekar Hina Kelana sendiri sambil memaki lang-

sung hantamkan tangannya ke segenap penjuru.

"Weeer! Weeer!" Dalam kegelapan yang hanya di-

terangi dengan nyala api rumah yang terbakar itu se-

larik gelombang sinar Ultra Violet melesat sedemikian 

cepat, menyongsong datangnya senjata rahasia berupa 

Paku Bunga Iblis yang telah disambitkan oleh pihak 

lawannya.

"Blaaarr....!" Senjata-senjata yang mengandung


racun sangat keji itu berpentalan ke segala penjuru. 

Bahkan beberapa di antaranya membalik dan hampir 

saja memakan tuannya sendiri. Sukur mereka cepat-

cepat membanting tubuhnya ke samping, selanjutnya 

berguling-guling menghindari sengatan hawa panas 

yang bersumber dari pukulan yang dilepaskan oleh 

Pendekar Hina Kelana.

"Buummm....!"

Sebagian pukulan yang dilepas si Pemuda men-

genai sasaran kosong. Debu dan pasir muncrat di 

udara. Tanah di sekitar tempat itu tergetar hebat. Ke-

nyataan ini sudah barang tentu membuat Wisesa men-

jadi terbelalak tak percaya. Setelah bangkit berdiri, la-

ki-laki berjenggot panjang itu bertanya: "Bocah! Siapa-

kah engkau ini...! Pukulanmu seperti pernah kukenal, 

bahkan mungkin aku pernah melihatnya....!" ujar Wi-

sesa, tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu. 

"Yaa... ya... kalau tak salah itulah pukulan Empat 

Anasir Kehidupan....ja....di, kau muridnya Kakek 

Bangkotan Koreng Seribu....!?" katanya dengan tubuh 

menggeletar.

"Hemm! Melihat caramu bicara, aku merasa kau 

bukanlah orang kasar Uwa Wisesa! Aku juga yakin du-

lunya kau pasti berasal dari golongan baik-baik. Tapi 

mengapa justru tindakanmu cenderung ke arah se-

sat...?" Tanya si pemuda tanpa ada maksud menjawab 

apa yang ditanyakan oleh laki-laki berjenggot panjang 

ini.

"Kampret! Jawab dulu pertanyaanku...!" bentak 

Wisesa merasa tersinggung dengan ucapan-ucapan si 

pemuda. Pendekar Hina Kelana geleng-gelengkan ke-

pala, sejurus memandang sinis pada si Jenggot Pan-

jang dan orang-orangnya. 

"Kau mengenal pukulan Empat Anasir Kehidu-

pan dan kenal pula dengan guruku! Kalau memang

benar, sekarang kuperintahkan kalian bersujud di ba-

wah telapak kakiku...!" ujar pemuda itu sambil terge-

lak-gelak. Sementara itu, Wisesa tampaknya sangat 

marah sekali mendengar pengakuan Buang Sengketa. 

Tiba-tiba wajahnya berubah tegang.

***

LIMA



Tanpa dimengerti maksudnya oleh Buang Seng-

keta, mendadak Wisesa malah balik tergelak-gelak.

"Keparat si Bangkotan Koreng Seribu! Gara-gara 

dia hidupku semakin jauh tersesat dan terlunta-lunta! 

Dia pembunuh orang tuaku, mestinya kucincang dia 

sejak dulu-dulu! Tapi.... he... he... he...! Kala itu ilmu 

kepandaianku masih terlalu cetek. Kini setelah kepan-

daianku cukup tinggi, si keparaat Bangkotan Koreng 

Seribu telah mampus pula...!" Kata Wisesa dengan 

pandangan sinis. Memerah wajah pemuda itu bagai 

kepiting direbus, begitu mendengar Wisesa dengan 

seenaknya saja mencaci maki nama gurunya. Seumur 

hidup baru manusia jenggot panjang ini saja yang te-

lah begitu berani menghina gurunya secara serampan-

gan. Itu benar-benar sangat keterlaluan sekali.

"Wah... manusia sinting jenggot kambing...! Ku-

nyuk betul kau ini, begitu berani kau menghina nama 

almarhum guruku sedemikian rupa? Benar-benar cari 

penyakit!" Teriak Buang Sengketa gusar bukan alang 

kepalang.

"Bacot sebakul! Mewakili ketua Peri Bunga Iblis, 

hari ini ku basmi muridnya si Cambuk Gelap Sayuto 

yang bikin sengsara kedua orang tuaku itu...!"

"Tak mungkin orang tuamu bentrok dengan guruku jika orang tuamu itu bukanlah sebangsanya ma-

nusia sesat....!" kata Buang Sengketa lugas. Namun 

nampaknya tiada reaksi, sebagai jawabannya, baik 

Wisesa maupun kawan-kawannya segera melompat ke 

depan dan langsung menyerang Buang Sengketa dan 

gadis berpakaian hijau lumut. Kali ini masing-masing 

lawan sudah tak ingin bersikap sungkan-sungkan lagi, 

dalam gebrakan kedua itu mereka segera keluarkan 

jurus silat tangan kosong, 'Badai Iblis Menawan Bian-

glala'. Kiranya walaupun jurus-jurus silat itu terdiri 

dari satu sumber. Namun pada kenyataannya, setiap 

dari mereka mempergunakan jurus itu ternyata tetap 

saja memiliki variasi yang berbeda-beda.

Baik gadis berpakaian hijau lumut maupun 

Buang Sengketa sendiri nampak mulai mengeluarkan 

jurus silat andalannya. Buang Sengketa dengan mem-

pergunakan jurus Si Gila Mengamuk, tampak mema-

paki setiap serangan-serangan lawannya yang datang 

bertubi-tubi. Dengan hanya bersikap seperti orang 

pemabukan, terhuyung-huyung ke depan dan bela-

kang. Sekali dua baik pukulan tangan maupun ten-

dangan kaki dia lakukan. Tak jarang lawan-lawannya 

jadi kelabakan dan terjengkang tiada berketentuan. 

Sementara itu Andini dengan pedang tipis di tangan-

nya tampak mulai merangsak keroyokan yang berjum-

lah sangat banyak itu. Sekali dua pedang di tangannya 

menyambar ke bagian pertahanan lawan yang nampak 

kosong. Namun kiranya orang-orang Peri Bunga Iblis 

ternyata juga bukanlah lawan yang begitu mudah di-

rubuhkan. Bahkan berulangkali senjata rahasia yang 

mereka pergunakan untuk menyerang lawan-

lawannya nyaris mendarat ke arah sasarannya dengan 

sangat baik. Hanya karena ilmu meringankan tubuh 

dan kelincahan memainkan pedang saja gadis berpa-

kaian hijau lumut yang tak lain merupakan Andini



adanya dapat terhindar dari kematian.

Di lain pihak, nampaknya Buang Sengketa su-

dah merasa tidak sabar lagi melihat gelagat pertarun-

gan yang tidak menguntungkan di pihaknya itu. Bah-

kan andai secara terus menerus pemuda ini tetap 

mengelak dan melompat. Lama kelamaan bisa celaka. 

Tak ayal lagi, kini pemuda itu telah pula memutuskan 

untuk mempergunakan Lengkingan Suara Ilmu Pe-

menggal Roh yang sangat dahsyat itu. 

"Nona baju hijau! Tutuplah indera pendenga-

ranmu.... aku akan berbuat sesuatu sebagai hadiah 

untuk mereka....!" Kata Buang Sengketa melalui ilmu 

menyusupkan suara. Sambil terus mengkelit setiap se-

rangan yang datang, sedetik kemudian satu teriakan 

menggelegar pun keluar dari mulutnya:

"Heeeiiggkh.......!"

Angkasa malam laksana terobek dengan gaung 

yang ditimbulkannya akibat lengkingan Ilmu Pemeng-

gal Roh. Bumi tempat mereka berpijak pun seolah 

mau runtuh. Tak kurang dari lima orang kawan-

kawan Wisesa terjengkang roboh, menggelepar sesaat, 

kemudian diam untuk selama-lamanya. Dari telinga 

mereka mengalir darah segar, sementara mata mereka 

membelalak bagai melihat iblis pencabut nyawa. He-

ran bercampur kecut laki-laki berjenggot putih itu de-

mi melihat apa yang terjadi. Kini mereka hanya tinggal 

empat orang saja, lima dengan Wisesa sendiri. Namun 

empat orang kawan-kawan Wisesa tampaknya sudah 

tak dapat diharapkan lagi. Ilmu Lengkingan Pemenggal 

Roh membuat mereka bagai orang linglung. Mungkin 

semua itu karena syaraf berpikirnya yang rusak. Em-

pat orang laki-laki itu nampak mondar mandir di seki-

tar tempat pertarungan bagai empat ekor monyet sint-

ing yang sudah kehabisan akal. Dalam keadaan yang 

tiada menguntungkan itu, Wisesa bergumam seorang


diri, "Muridnya musuh bebuyutanku ini ternyata me-

miliki ilmu kepandaian yang lebih gila lagi. Seorang di-

ri sudah barang tentu aku tak mungkin mampu me-

menangkan pertarungan. Tapi aku yakin dia tak bakal 

ungkulan menghadapi keroyokan orang-orang nomor 

satu anggota Peri Bunga Iblis....! Heh, ada baiknya ka-

lau aku melapor pada ketua yang mulia...!" Batinnya. 

Saat itu pendekar Hina Kelana yang sedang terben-

gong-bengong melihat Wisesa yang terdiam membisu, 

cepat pula membentak:

"Mengapa kau diam saja, Jenggot Kambing...? 

Katanya kau mau melayaniku sampai seribu jurus....!" 

Gadis berpakaian hijau lumut atau Andini yang sudah 

tak sabaran lagi langsung menyambut: "Tuan pende-

kar...! Mengapa harus berbasa-basi dengan tikus pe-

rampok berjenggot seperti dia...?" Si pemuda merasa 

geli sendiri mendengar ucapan si gadis, tapi sebenar-

nya setuju dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu. 

Namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-

tiba Wisesa telah melemparkan satu bungkusan ke 

arah mereka.

"Buuuummm.....!" Terdengar satu ledakan ke-

cil, yang akhirnya menimbulkan gumpalan uap putih 

menyerupai kabut. Baik Andini maupun Pendekar Hi-

na Kelana menjadi gelagapan dan berusaha membe-

baskan diri dari kungkungan kabut tebal itu. Dalam 

keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara Wisesa 

yang mulai bergerak menjauh.

"He... he... he...! Uap Asmara Iblis... hemmm... 

kalian pasti telah menghirupnya. Sementara ini aku 

memberi laporan pada ketua kami, inilah satu kesem-

patan bagi kalian untuk menikmati sorga dunia seba-

gaimana layaknya sepasang suami istri...!" kata Wise-

sa sayup-sayup.

"Keparat! Hiaaat....!" Sambil menyambar tubuh


Andini, pemuda keturunan raja dari negeri bunian itu 

tampak melesat membebaskan diri dari kepungan 

asap terkutuk itu.

Selanjutnya tanpa menghiraukan keadaan di se-

kelilingnya dan dalam keadaan sempoyongan kedua 

muda mudi itu meninggalkan perkampungan yang pa-

dat penduduknya. Namun pada hakekatnya memang 

benar seperti apa yang dikatakan oleh Wisesa, kedua 

muda mudi itu telah menghirup asap Asmara Iblis 

yang memiliki pengaruh rangsangan yang sangat he-

bat sekali. Bahkan pengaruh aneh itu, kini sedikit de-

mi sedikit mulai dirasakan akibatnya oleh Buang 

Sengketa dan Andini. Dalam kegelapan malam dengan 

langkah terhuyung-huyung seperti itu, Andini yang 

hanya memiliki tenaga dalam mencapai tarap lu-

mayan, nampak mulai meracau.

"Tuan pendekar! Siapakah engkau ini...!" Ta-

nyanya dengan suara gemetaran.

"Jangan kau panggil aku tuan, aku bukan seo-

rang pangeran yang patut dihormati! Namaku Buang 

Sengketa! Seorang pengelana yang tiada berketen-

tuan...!" kata pemuda itu berusaha menepiskan rang-

kulan tangan kiri Andini yang terasa begitu mencekik 

pangkal lehernya.

"Nama yang bagus, aku suka nama itu...!"

"Dan kau...!?" Andini tidak buru-buru menjawab, 

sebaliknya dia berusaha merangkul kembali tubuh 

pemuda yang berada di sebelahnya.

"Gila! Meskipun aku masih mampu menguasai 

diri, tapi sampai di manakah daya tahanku. Sekarang 

ini saja aku mulai merasakan ada hawa aneh yang se-

cara terus menerus menguasai jiwaku. Dan mungkin, 

gadis ini mengalami kejadian yang lebih hebat lagi da-

riku. Sebaiknya ku kerahkan hawa murni untuk 

membuyarkan pengaruh iblis yang telah merasuki jiwaku ini...!" Batin pemuda itu. Kemudian secara per-

lahan pemuda itu mulai mengerahkan tenaga dalam-

nya untuk membuyarkan pengaruh aneh yang sedang 

menguasai jiwanya. Namun setelah berulangkali dia 

mencoba, usahanya itu tidak juga mendatangkan ha-

sil. "Celaka! Apa yang telah terjadi dengan diriku?" Da-

lam keadaan kebingungan akibat pengaruh aneh itu. 

Tiba-tiba Andini dengan suaranya yang lirih dan ham-

pir-hampir tak terdengar berkata kembali.

"Namaku, Andini....! Ka... kakang... bukankah 

aku lebih pantas memanggilmu begitu...!" Kata Andini 

dengan tubuh menggigil karena dibakar gejolak nafsu. 

Sementara Buang Sengketa sendiri terus berusaha 

memerangi pengaruh aneh yang telah di timbulkan 

oleh Asap Asmara Iblis. Namun tampaknya usaha itu 

tidak juga mendatangkan hasil.

"Kakang....!"

"Hemm.....!"

"Malam ini terasa sangat dingin sekali yaa...?"

"Begitulah...!" jawab si pemuda sekenanya. Ke-

mudian Andini menggumamkan sesuatu yang tak je-

las. Tetapi selang beberapa detik berikutnya kembali 

terdengar suaranya. Pelan, namun cukup untuk di-

dengar oleh Pendekar Hina Kelana. 

"Kita istirahat, Kakang...! Badanku terasa sangat 

letih sekali." Sambil berkata begitu Andini yang sudah 

tak mampu mengendalikan diri itu, langsung menyen-

takkan tubuh pemuda ini, hingga sama-sama terje-

rembab jatuh. Dalam peperangan batin itu, dalam 

keadaan terlentang, Buang Sengketa diam tiada ber-

geming. Lain lagi halnya dengan Andini, gadis itu 

nampak mulai menindih tubuh si pemuda. Sementara 

jantungnya berdetak keras tiada teratur, desahan-

desahan nafasnya yang hangat pun menyapu wajah 

Pendekar Hina Kelana.


"Sialan, dewata pasti akan mengutukku jika 

sampai aku melakukan perbuatan yang sangat terku-

tuk itu." makinya sambil terus berusaha bertahan pa-

da keadaannya.

"Kakang...! Aku tak tahan kakang? Apakah kau 

tidak merasakannya, mengapa justru malah diam ba-

gai tugu...?" kata gadis itu sambil terus menciumi wa-

jah pemuda tampan yang berada di bawahnya.

Ketika Andini membuka pakaiannya sendiri satu 

demi satu. Terbelalaklah mata pendekar itu.

"Andini! Jangan kau lakukan perbuatan terkutuk 

itu. Kosongkan jiwamu dari hal-hal yang dapat mence-

lakakan diri kita...!" Cegah Buang Sengketa. Tapi gadis 

itu seperti tak mendengar apa yang di katakan oleh 

Buang Sengketa. Setelah melepas pakaiannya, Andini 

kembali menghampiri si pemuda.

"Oh, Dewata yang Agung! Selamatkanlah kehor-

matanku dan dia...!" keluh si pemuda dan tanpa dis-

angka-sangka oleh Andini, Tangan Buang melakukan 

satu totokan. "Tuuuk...!"

"Uuhhh....!" Andini mengeluh pendek, kemudian 

roboh tak sadarkan diri. Sedangkan Buang Sengketa 

sendiri terus berusaha mengembalikan keseimban-

gannya. Dalam saat-saat menegangkan seperti itu, te-

ringatlah Buang Sengketa dengan Golok Buntung yang 

terselip di bagian pinggangnya. "Kakek guru, dulu 

pernah mengatakan pusaka Golok Buntung mampu 

mengusir pengaruh jahat dari tubuh seseorang, mu-

dah-mudahan usahaku ini mendatangkan hasil seperti 

apa yang kuharapkan." Membatin pemuda ini sambil 

mencabut golok yang terselip di pinggangnya ketika 

golok itu tercabut dari sarungnya maka terlihatlah si-

nar merah menyala dan menerangi sebagian wajah si 

pemuda. Secara perlahan pemuda itu menempelkan 

ujung golok di bagian dadanya. Ketika itu juga ada



hawa hangat mengalir, ke sekujur tubuhnya, secara 

aneh kekuatan iblis yang telah merasuki jiwanya itu 

lama-kelamaan hilang sirna sama sekali.

"Hemm! Sungguh keterlaluan sekali orang-orang 

dari hutan Jajaran itu. Suatu saat kelak akan kucin-

cang manusia yang bernama Wisesa itu...!" geram 

pendekar ini dengan kemarahan yang tertahan-tahan.

Kini pemuda itu dengan pasti cepat pula me-

nempelkan ujung golok di bagian punggung Andini 

yang tiada berpakaian sama sekali. Tubuh gadis itu 

nampak tergetar beberapa saat lamanya. Kemudian 

terdengar pula rintihannya, sebuah rintihan kesada-

ran. Cepat-cepat si pemuda melemparkan pakaian 

Andini yang berserakan di atas rumputan. Secara 

praktis pakaian itu menutupi tubuh Andini yang da-

lam keadaan menelungkup.

Begitu sadar dalam keadaannya yang normal, 

gadis berwajah ayu itu keluarkan suara pekikan terta-

han.

"Kenakan pakaianmu...!" kata pemuda itu sambil 

palingkan wajahnya ke arah lain. Heran bercampur 

malu gadis ini dengan tergesa-gesa mengenakan pa-

kaiannya kembali.

"Kakang apa yang telah kita lakukan...?" tanya si 

gadis tersendat dan wajah memerah.

"Sukur para dewa melindungi kita berdua! Andai 

tidak sudah tentu kita terseret dalam gelimang do-

sa...!" kata si pemuda, ketus.

"Maafkan atas ketololanku, Kakang...!" desah 

Andini tersipu malu.

"Sudahlah, kau tidak bersalah. Uap Asmara Iblis 

itulah yang telah menjadi penyebabnya.....!"

"Orang-orang Peri Bunga Iblis! Heh mereka juga 

telah membunuh tiga orang saudara sepergurua-

nku...!" Gerutu gadis berwajah ayu itu sambil mengepalkan kedua tangannya. Kata-kata bernada geram 

yang diucapkan oleh si gadis tentu membuat pendekar 

ini merasa terperanjat. Selanjutnya dia pun bertanya:

"Mengapa mereka sampai membunuh saudara 

seperguruanmu...?" tanya si pemuda penuh dengan 

keingintahuan. Tanpa merasa ragu lagi, Andini segera 

menceritakan tentang Kembar Kirik Cokelat yang telah 

melarikan kitab Cakar Buana milik perguruan. Hingga 

sampai akhirnya mereka bentrok dengan orang-orang 

Peri Bunga Iblis yang menyerang mereka dengan sen-

jata rahasia yang mengandung racun sangat jahat itu.

"Jangan takut! Aku pasti membantumu, sekali-

gus mengobrak abrik markas peri terkutuk yang telah 

banyak menyeret kalangan golongan putih menjadi 

sekutu-sekutunya...!" Janji si pemuda berkuncir itu.

"Tapi kita harus memberi laporan pada guru Da-

rah Swanda, Kakang...!" Pendekar Hina Kelana geleng-

gelengkan kepalanya: "Itu tidak perlu! Nanti saja kalau 

urusan kita beres...!" sergahnya.

"Baiklah, aku menuruti mana yang ter-baik me-

nurutmu...!" Demikianlah tanpa berkata-kata lagi, me-

reka bergerak melangkah lagi. Saat itu di ufuk timur 

semburat merah sudah mulai membayang ketika me-

reka meninggalkan desa Gunting Saga.

***

ENAM



Panas yang terik, sepanjang jalan pemuda ber-

tampang tolol yang bernama Gindrung itu terus mene-

rus mengeluh panjang pendek. Sepasang kaki Dwi To-

lol memang sudah melepuh di sana sini. Pada kenya-

taannya hidup selama dua puluh tahun mereka baru



sekali ini melakukan perjalanan yang sangat jauh, wa-

jar saja kalau keadaan sangat menyedihkan itu terjadi.

"Kakang... sampai kapankah kita harus berjalan 

seperti ini...?" tanya Gindrung dengan langkah terpin-

cang-pincang. Tetapi orang yang diajaknya bicara 

hanya diam saja, sebaliknya dengan keadaan yang 

sama pula Ginuk terus saja berjalan menelusuri ping-

giran hutan lebat di samping kiri mereka.

"Kakang...!" teriak Gindrung merasa kesal. Seke-

jap Ginuk hentikan langkahnya, lalu menoleh ke bela-

kang. Walaupun saat itu dia merasakan sakit di ba-

gian kakinya, namun melihat adiknya dia jadi ingin 

tertawa sejadi-jadinya.

"Apakah kau sudah tidak kuat berjalan...?"

"Bukan tidak kuat lagi, malahan hampir mam-

pus...!" Selak Gindrung merajuk.

"Bagaimana kalau kugendong...?" tanyanya Gin-

drung menyeringai, walaupun tolol begitu namun dia 

masih mampu memperhitungkan sampai di mana ke-

kuatan saudara tuanya. Itu makanya dengan sikap 

enggan dia menggeleng.

"Ayolah, aku tahu kau sudah terlalu letih....!"

"Kakang! Mana mungkin, aku gemuk sedangkan 

kau agak kurus! Mungkinkah kau kuat menggendong-

ku...?" tanyanya, lalu tertawa bekakakan.

"Jangan menganggap remeh, aku pasti kuat 

menggendongmu! Asal ingat saja, setelah kugendong, 

nanti kau gantian pula menggendongku...!"

"Sama aja bohong! Tapi tak mengapa, ayolah!" 

Serta merta Gindrung melompat ke punggung Ginuk, 

kemudian sambil tertawa-tawa Gindrung menepuk-

nepuk bahu Ginuk:

"Husyaa... hiaaa... larilah hei kudaku, kuda ku-

rus nggak pernah mandi...!" Dengan sempoyongan dan 

tanpa memperdulikan rasa sakit di bagian kakinya



yang telah banyak mengalirkan darah bercampur na-

nah, Ginuk mulai berlari-lari kecil. Karena pada da-

sarnya beban yang memberati pundaknya lebih besar 

dari tubuhnya sendiri, maka sekejap kemudian dia 

sudah merasa keletihan. Dengan nafas ngos-ngosan, 

Ginuk berucap: "Ah kampret! Tubuhmu berat sekali! 

Kau pasti terlalu banyak dosa...!"

"Bilang saja nggak kuat menggendong aku, men-

gapa harus basa basi....!"

"Gubraaak...!" Tanpa di duga-duga Ginuk mem-

bantingkan tubuh Gindrung, hingga pemuda tolol itu 

menjerit-jerit kesakitan.

"Kurang ajar! Tega nian kau membantingku.... 

hu.... hu... hu! Emak, orang itu kurang ajar sekali, to-

long emaaak...!" Rintih Gindrung sesenggukan.

"Gobloook! Cengeng....! Mengapa emak kau 

panggil-panggil, ketahuan kita sedang mencarinya...!"

"Keterlaluan kau kakang...! Bukannya aku pe-

muda cengeng, tapi gara-gara kau banting. Bisulku ja-

di pecah...!" rintih Gindrung sambil melap darah yang 

merembes dari bagian pantatnya.

"Oh.... mana aku tau... maaf aku tak sengaja!" 

"Su... sudahlah... sekarang kita diam di sini du-

lu! Setelah itu kita melanjutkan perjalanan kembali."

"Karena aku merasa bersalah, biarlah kali ini 

aku menuruti keinginanmu...!" kata Ginuk, lalu men-

dekati adiknya dan langsung duduk di sisinya. Namun 

belum sampai sepemakan sirih, mereka berada di 

tempat itu tiba-tiba bermunculan beberapa sosok tu-

buh dari kanan kiri mereka. Selanjutnya terdengar 

suara bentakan dari salah seorang pendatang yang 

sama sekali tidak dikenali oleh Dwi Tolol.

"Dua ekor tikus bertampang tolol! Berani sekali 

kalian memasuki daerah kekuasaan Peri Bunga Iblis! 

Siapakah yang telah memberi izin pada kalian...?" Gi


nuk dan Gindrung jadi salah tingkah dan saling pan-

dang sesamanya. Mereka memang tidak mengerti den-

gan apa yang dikatakan oleh laki-laki gemuk berpa-

kaian loreng-loreng mirip kulit macan itu.

"Kami...!" Diam sebentar. "Kami cuma numpang 

istirahat di sini, lihatlah kakiku dan kaki kakangku 

sudah pada lecet semuanya...!" kata Gindrung, lalu 

memperlihatkan bagian kakinya yang sudah lecet-lecet 

mengeluarkan nanah dan menimbulkan bau menyen-

gat hidung. Sesaat lamanya, orang-orang berpakaian 

loreng-loreng kulit macan itu saling berbisik sesa-

manya.

"Melihat tampang dan keadaan mereka, tak ada 

alasan bagi kita untuk mencurigai mereka. Kalau pun 

kita tangkap mereka, tak ada gunanya. Paling juga 

hanya bisa menjadi kacung pengurus kuda...!" kata 

salah seorang dari mereka melalui ilmu mengirimkan 

suara.

"Siapa pun yang mencoba-coba memasuki kawa-

san ini, dia patut di curigai." Ucap yang lainnya mela-

lui ilmu yang sama. Dalam keragu-raguan itu, tiba-

tiba laki-laki gemuk berpakaian loreng-loreng kembali 

membentak dengan nada mengancam.

"Kau pasti punya maksud-maksud tertentu ber-

keliaran di tempat ini...! Cepat mengaku, atau kupo-

tong kakimu yang tiada berguna itu!"

"Bagaimana kakang...! Kita disuruh mengaku, 

apa yang harus kita katakan pada mereka agar bisa 

percaya...?" tanya Gindrung, raut wajahnya mem-

bayangkan kecemasan yang tiada alang kepalang.

"Apanya yang harus di akui. Lha wong kita nggak 

nyolong apa-apa kok...!" Lain halnya dengan Ginuk, 

walaupun dibentak sedemikian rupa namun di wajah-

nya tiada terlihat rasa takut.

"Akui apa yang kalian kerjakan di tempat ini!


Atau kalian mau ke mana, heh...?" Dwi Tolol langsung 

cengengesan begitu mendengar pertanyaan yang dilon-

tarkan oleh si gemuk berpakaian loreng-loreng.

"Kami mau mencari emak, Tuan....! Sudah ham-

pir lima belas tahun kami ditinggal emak...!" jawab Gi-

nuk tanpa ragu-ragu. Laki-laki pakaian loreng kulit 

macan berbadan gemuk nampak terperangah. Heran, 

namun juga geli. Bahkan setelah tidak mampu mena-

han rasa lucunya, sesaat kemudian dia pun tertawa 

terbahak-bahak. Demi melihat si gemuk tertawa-tawa, 

sudah tentu yang lain-lainnya pada bengong. Sebab 

seperti yang mereka ketahui, selama ini tidak sekali 

pun laki-laki yang dalam lingkungannya dikenal den-

gan julukan 'Macan Liar' tak pernah tertawa-tawa be-

gitu rupa. Sikapnya yang kejam dan telengas di kalan-

gan persilatan membuat dia menduduki urutan ketiga

dalam kekuasaan 'Peri Bunga Iblis'. Tak dapat di-

bayangkan dan sulit untuk mencari sebab-sebabnya 

mengapa hari ini si Macan Liar bertingkah di luar ke-

biasaannya. Namun mereka yang menyertai Macan 

Liar juga tak berani bertanya-tanya pada orang yang 

sangat mereka segani itu. Takut kalau-kalau orang 

yang mereka takuti itu menjadi marah dan turun tan-

gan.

"Bocah-bocah tolol! Bagaimanakah rupa emak

mu itu, apakah masih perawan dan cantik?" tanya si 

Macan Liar, konyol. Pada dasarnya mereka yang di-

tanya itu memang orang-orang tolol, maka dengan po-

los mereka menjawab

"Aku tak tahu apakah emakku masih perawan 

atau tidak, itu bukan urusanku. Mengenai ciri-cirinya, 

nenek Kreot sebelum meninggal pernah mengatakan 

bahwa emak kami itu berwajah cantik melebihi bida-

dari, alis matanya melengkung bagai semut hitam be-

riring. Wajah bulat lonjong kayak telur ayam, matanya


redup seperti orang yang mengantuk. Terus... terus... 

apa kakang!" tanya Gindrung lalu berpaling pada sau-

dara tuanya.

"Terus... di bagian dagunya ada tahi lalat....!" ka-

ta Ginuk menambahi. Bukan tertawa-tawa lagi si Ma-

can Liar, sebaliknya ke dua matanya membelalak tak 

percaya. Begitu pun dengan orang-orang yang menyer-

tai si Macan Liar. Ciri-ciri orang yang baru disebut-

sebut oleh Dwi Tolol itu rasanya tak begitu asing bagi 

mereka. Ketua 'Peri Bunga Iblis', mengapa sama betul. 

Merasa penasaran, akhirnya tanpa dapat dibendung 

lagi si Macan Liar pun melanjutkan pertanyaannya.

"Apakah emak mu itu memiliki kulit seputih te-

lur bebek...?"

"Ya... ya... kulitnya memang mirip dengan kulit 

telur bebek...!" jawab kedua pemuda itu secara seren-

tak.

"Anak-anak, ringkus mereka....!" perintah Macan 

Liar kepada orang-orangnya. Secara serentak mereka 

pun bergerak, tangan-tangan mereka yang kokoh ter-

julur dengan maksud sekali raih dapat menangkap 

dua pemuda bertampang tolol. Namun di luar dugaan 

Dwi Tolol berkelit menghindar. Kemudian berdiri ber-

jingkrakan dan balas membetot tubuh lawannya den-

gan maksud yang sama. Kali ini si Macan Liar yang 

berdiri menonton bukan semakin gusar melihat ade-

gan itu, sebaliknya malah tertawa bekakakan.

"Bagus! Ada perlawanan, mau di ringkus malah 

balas meringkus! He.... ha... ha...! Ayo anak-anak, ka-

lian tak mampu meringkus dua tikus tolol, maka ka-

lian mendapat hukuman yang setimpal dariku...!" kata 

si Macan Liar. Meskipun dia masih terus tertawa-tawa. 

Tapi orang-orangnya menyadari, bahwa ancaman itu 

bukanlah ancaman kosong.

Maka dengan kemarahan dan kegusaran yang


meluap-luap, lima orang anggota si Macan Liar lang-

sung kerahkan jurus-jurus silat yang mereka miliki.

"Jangan sampai kalian melukainya...!" teriak si 

Macan Liar mengingatkan. Dengan adanya peringatan 

itu, sudah tentu kelima orang itu merasa sangat terba-

tas kesempatan untuk menguasai lawannya. Sebalik-

nya Dwi Tolol yang memang tanpa senjata itu begitu 

bergebrak langsung mempergunakan jurus silat tan-

gan kosong "Sosor Bangau Mencatok Cacing', mereka 

beberapa kali nyaris membuat lawannya celaka. Meli-

hat gelagat yang kurang menguntungkan itu, tiba-tiba 

melalui ilmu mengirimkan suara, si Macan Liar mem-

beri petunjuk.

"Anak buah pada tolol, coba kalian pergunakan 

jurus 'Menggusur Karang Membuat Lubang' pasti se-

jak tadi kedua tikus tolol itu sudah kena kalian ring-

kus...!" Begitu mendapat makian dari orang yang me-

reka hormati! Cepat-cepat mereka merubah jurus silat 

yang mereka mainkan. Lima orang lawan maju sekali-

gus, tiga meringkus bagian kaki, sedangkan yang dua 

orang lagi meringkus bagian tangan. Namun Dwi Tolol 

telah bergerak mendahului.

"Wuut....!"

"Dess...! Deees...!" Dengan tangan menyilang di 

depan dada, dua tendangan beruntun mereka lakukan 

sekaligus. Dua lawan yang bermaksud menangkap 

kaki Ginuk dan Gindrung kena ditendang bagian hi-

dungnya sehingga mengeluarkan darah.

"Ala emak, hidungku bosor....!" Keluh laki-laki 

kurus berpakaian kulit macan.

"Lakukan sekali lagi, goblook...!" maki Macan 

Liar bersungut-sungut. Dengan mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh dan segenap kemampuan yang 

mereka miliki. Sekali lagi mereka melakukan sergapan 

serentak sambil lancarkan totokan.


"Hiaaat...." Masih dengan memandang remeh, 

Dwi Tolol berkelit. Sekali lagi melakukan satu tendan-

gan. Namun luput, sebaliknya totokan-totokan yang 

dilakukan oleh penyerangnya menyambar bagian tu-

buh Ginuk dan Gindrung.

"Tuuuk.... tuuuuk....!"

"Ahgk....!" Dwi Tolol keluarkan keluhan pendek, 

kemudian roboh dengan keadaan tubuh kaku tak da-

pat digerakkan.

"He... he... he....! Bagus sekali pekerjaan kalian. 

Sekarang gotong tubuh mereka...!" kata Macan Liar 

sambil tertawa-tawa kayak orang sinting.

"Kakang, kita mau dibawa ke mana...?" tanya 

Gindrung nampak cemas.

"Terserah mereka, dibawa ke mana kek, yang 

penting kita tidak dipaksa jalan kaki....!" Dengan sikap 

pasrah, Ginuk dan Gindrung diikat kedua tangan dan 

kakinya, kemudian bagai membawa hasil buruan Dwi 

Tolol diboyong memasuki kawasan hutan lebat.

***

TUJUH



Melangkah ke Tenggara hutan Jajaran, belok kiri 

jalan berlapis batu gamping yang sangat licin, kemu-

dian membelok ke arah jalan sempit yang diapit dua 

jurang menganga. Mendaki lagi anak tangga yang jum-

lahnya mencapai seratus anak tangga. Di situlah ber-

diri dengan megah singgasana berlapis perak milik Pe-

ri Bunga Iblis berikut begundal-begundalnya. Pabila 

panas terik, dari kejauhan nampak sinar putih bagai 

mutiara terpantul dari singgasana yang sangat mirip 

dengan istana mini itu. Mendekati singgasana milik


Peri Bunga Iblis, terlihatlah berlapis-lapis penjaga ber-

senjata lengkap mondar mandir di seputar lingkungan 

singgasana itu. Keadaan seperti itu memang tidak se-

bagaimana biasanya. Hal ini dilakukan sejak adanya 

laporan dari Wisesa tentang seorang tokoh muda ber-

penampilan aneh dan memiliki kepandaian yang sulit 

diukur.

Demikianlah siang itu terjadi pembicaraan serius 

di ruangan pertemuan yang sangat rahasia, antara be-

gundal-begundal dengan ketuanya. Di ruangan yang 

sangat rahasia itu berkumpullah, Wisesa, Macan Liar, 

Kebo Bogel, yaitu tangan kanan pertama Peri Bunga 

Iblis.

"Sampai saat ini aku masih meragukan tentang 

keberadaan seorang pemuda aneh berilmu tinggi se-

perti apa yang dikatakan oleh saudara Wisesa itu! Se-

bab sepengetahuanku, selama ini di seluruh bagian 

Tenggara tak seorang pun kaum persilatan yang ba-

gaimana pun hebatnya dapat lolos atau pun mampu 

menghadapi kita...!" Kata perempuan berumur empat 

puluhan itu namun masih tetap memiliki wajah yang 

cantik.

"Maaf ketua! Tidak nantinya saya mengarang ce-

rita palsu, hanya untuk menyelamatkan diri dan men-

gelabuhi sesama kawan sendiri....!" jawab laki-laki 

berwajah pucat yang bernama Wisesa itu, dengan wa-

jah semakin bertambah kelam. Peri Bunga Iblis yang 

sedang tampak duduk angker di atas singgasana ber-

lapiskan perak, kembali mengangguk pelan. Tak lama 

kemudian pandangan matanya memperhatikan wajah 

para pembantunya satu demi satu. Sekejap berhenti 

pada Macan Liar dan Kebo Bogel.

"Bagaimana paman Macan Liar dan Uwa Kebo 

Bogel? Pernahkah anda berdua mendengar tentang 

adanya seorang pemuda berkuncir berkeliaran di seki



tar wilayah kekuasaan kita?" tanya Peri Bunga Iblis 

dengan pandangan matanya berkilat-kilat.

"Dunia persilatan itu tidak hanya mencakup wi-

layah Jajaran dan sekitarnya. Bahkan hampir di selu-

ruh kolong jagat itu, orang-orang sakti dan berkepan-

daian tinggi berkeliaran. Siapa tahu apa yang dikata-

kan oleh Adi Wisesa mengandung satu kebenaran 

yang patut kita waspadai. Bukan mustahil orang ber-

periuk yang di sebut-sebut oleh adi Wisesa merupakan 

orang luar yang patut kita curigai keberadaannya!" 

sahut Kebo Bogel tanpa ragu. Mendengar jawaban 

tangan kanan yang sangat di percayainya, Peri Bunga 

Iblis berpaling pada Macan Liar yang berada di se-

belah laki-laki yang berbadan gemuk.

"Bagaimana pendapat paman Macan Liar....?" 

Yang ditanya kali ini adalah laki-laki berpakaian lo-

reng-loreng kulit macan. Berwajah sangar menyeram-

kan. Seperti yang telah kita ketahui, seumur hidup ba-

ru sekali saja orang ini tersenyum dan tertawa-tawa. 

Sekarang ini demi mendapat giliran pertanyaan, mata 

si Macan Liar yang sipit bagai kurang tidur itu berke-

riapan. Dengan suaranya yang selalu serak bergetar 

orang ini menjawab:

"Menurutku siapa pun adanya tokoh itu patut 

dicurigai! Terkadang orang yang memiliki kepandaian 

tinggi selalu berlagak bego, sebaliknya juga begitu. Da-

lam pertemuan ini juga aku ingin melaporkan tentang 

dua orang bertampang tolol yang mengaku-ngaku se-

bagai anak ketua di sini...!" Memerah paras Peri Bunga 

Iblis seketika, sama sekali dalam pertemuan itu dia 

tiada menduga kalau Macan Liar akan mengatakan 

sesuatu yang sama sekali di luar perhitungannya. Tadi 

malam Peri Bunga Iblis memang sempat mendengar 

tentang adanya hasil tangkapan yang kemudian dis-

ekap di ruangan bawah tanah. Tapi dia tidak begitu


perduli. Sebab sudah menjadi kebiasaan di wilayah-

nya, siapapun yang patut dicurigai akan selalu di-

tangkap hidup ataupun mati.

"Ini benar-benar sangat keterlaluan sekali. Dua 

pemuda bertampang bego, mengaku dirinya sebagai 

anak hantunya rimba persilatan." batin Peri Bunga Ib-

lis. Dalam keadaan diliputi kebimbangan seperti itu, 

tiba-tiba perempuan setengah baya ini berkata tegas:

"Paman Macan Liar! Dari manakah asal-nya dua 

pemuda tolol yang mengaku sebagai anakku itu?" Se-

mua orang yang berada di dalam ruangan pertemuan 

itu nampak saling pandang dengan sorot mata mera-

gu.

"Aku tidak mengatakan mereka itu anakmu, Ke-

tua....! Cuma ciri-ciri yang mereka katakan padaku, 

rasa-rasanya mirip dengan ketua. Bahkan mereka pun 

tak tahu apakah benar ketua merupakan orang tua-

nya. Sebab aku pun belum mengatakannya pada me-

reka!" jawab Macan Liar tenang.

Peri Bunga Iblis nampak menarik napas pendek, 

rasa sesak yang tadinya menghimpit rongga dadanya, 

kini berangsur-angsur lenyap.

"Banyak orang di dunia ini yang memiliki persa-

maan wajah! Aku pun ingin tahu apakah dua pemuda 

gendeng itu benar-benar anakku! Enam belas tahun 

aku dirundung kesedihan hanya karena aku kehilan-

gan anak. Mereka semua tewas karena musibah banjir 

yang melanda desa kami. Herannya suamiku Loga Wi-

sa yang kini meringkuk dalam tahanan itu malah ber-

suka ria atas kematian anak-anakku. Aku hampir gila 

karena kuketahui kemudian si keparat Loga Wisa ter-

nyata memiliki banyak istri serta menjadi kaki tangan 

si Tapak Bayangan yang telah membunuh kedua 

orang tuaku! Sukur manusia sesat itu telah mampus 

di tangan guruku. Kalau pun ku bangun istana Selak



sa Perak ini. Kemudian kita bergabung di dalamnya. 

Semua itu semata-mata atas nama dendam! Aku baru 

merasa puas setelah semua tokoh-tokoh persilatan 

menjadi pecundang dan berlutut di bawah kekua-

saanku...!" kata Peri Bunga Iblis melampiaskan segala 

unek-uneknya. Semua bawahan yang berada dalam 

ruangan itu nampak diam membisu. Suasana menjadi 

hening. Sepi. Masing-masing orang tenggelam dalam 

pikirannya. Sama sekali mereka tiada menduga, kalau

akhirnya ketua mereka begitu terbuka membeberkan 

masa lalunya. Merekapun tak dapat menyalahkan Peri 

Kumala Hijau, jika Loga Wisa dijebloskan oleh istrinya 

sendiri ke dalam sel penjara bawah tanah. Tak sampai 

sepeminum teh, keheningan itu kembali terpecah oleh 

suara dingin perempuan telenggas itu.

"Selesai pertemuan ini, aku ingin melihat hasil 

tangkapanmu itu paman Macan Liar? Sebelum aku 

memberi keputusan, kuminta jangan di apa-apakan 

pemuda itu!" Kata Peri Bunga Iblis.

"Kami akan mematuhinya, Ketua...!" Jawab para 

begundal-begundalnya serentak.

"Satu lagi yang harus kalian kerjakan, yaitu cari 

pemuda berperiuk dan gadis yang menyertainya. Aku 

yakin gadis itu muridnya Darah Swanda dari pergu-

ruan Cakar Buana..,.!"

"Perintah ketua akan kami jalankan....!" Jawab 

Kebo Bogel. Tak lama setelah pembicaraan penting itu 

dianggap usai, maka Peri Bunga Iblis dengan ditemani 

oleh Macan Liar dan Kebo Bogel berangkat menuju 

penjara yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat 

kediamannya. Sementara itu, Wisesa dengan disertai 

Kembar Kirik Cokelat dan dua puluh orang anak buah 

segera meninggalkan istana Selaksa Perak untuk 

mencari pemuda yang hampir membuat dirinya celaka


* * *

Kecepatan ilmu lari yang dimiliki oleh laki-laki 

tua berjenggot putih berpakaian kembang-kembang 

itu memang sangat luar biasa. Anehnya sungguh pun 

laki-laki tua berkulit merah itu membawa seekor kuda 

tunggangan berwarna putih bersih. Namun sepanjang 

perjalanan yang di tempuhnya. Tidak sekali pun kuda 

itu dia pergunakan sebagaimana lajimnya. Layaknya

laki-laki itu seperti sedang adu lomba kecepatan den-

gan kuda yang sangat terlatih itu.

"Criiing.... Criiing....!"

"Hieee.....!" Bersamaan dengan terdengarnya 

bunyi bergemerincingan, kuda putih yang menyertai 

laki-laki berusia tujuh puluh tahun itu meringkik ke-

ras. Mendadak menghentikan larinya dan memandang 

pada laki-laki tua yang berada di sampingnya. Sekali 

dua, laki-laki berpakaian kembang-kembang mengu-

sap-usap bagian hidung kuda yang sudah sangat ter-

latih itu. Tiba-tiba kuda kesayangannya membuka 

mulutnya lebar-lebar.

"Criingg....!" Suara bergemerincingan kembali 

terdengar, di iringi kata-kata bersahabat dari pemilik-

nya.

"Aku tahu engkau letih! Kita memang sudah sa-

ma-sama semakin tua. Dalam umur yang sudah setua 

kita inipun, urusan dunia tidak kunjung selesai!" kata 

laki-laki itu. Kemudian memasukkan sesuatu ke da-

lam mulut kuda yang ternganga. Terdengar bunyi 

mendecap-decap saat kuda tadi mengunyah sesuatu 

yang dimasukkan oleh tuannya. Sesaat laki-laki ini 

memandang jauh kedepannya.

"Putih....! Bagaimana firasatmu tentang murid-

muridku yang tiada pernah kembali itu...!"

"Hieeee...! Bletak.... bletok.....!" Kuda putih meringkik keras, lalu hentak-hentakkan kakinya dua 

kali. Alis putih di atas rongga mata si laki-laki yang 

cekung mengernyit.

"Kau bilang murid-muridku mengalami nasib 

yang jelek....!" gumam laki-laki itu dengan wajah ter-

tunduk lesu.

"Murid-murid perguruan Sangga Buana yang 

malang! Aku yakin bukan Kembar Kirik

Cokelat yang telah melakukannya. Mungkin begundal-

begundalnya Peri Bunga Iblis!" Membatin laki-laki 

aneh yang tak lain adalah Darah Swanda ketua pergu-

ruan Sangga Buana. 

"Mengapa waktu itu bukan aku saja yang mela-

kukan pengejaran atas murid berkepala Anjing itu. Ki-

tab Cakar Buana mungkin saat ini telah berada di 

tangan Iblis sesat itu! Sia-sia saja aku telah mencipta-

kannya selama hampir dua puluh tahun terakhir. Pa-

dahal kitab itu kuciptakan untuk membasmi manusia 

iblis yang telah membuat ludes kaum persilatan go-

longan putih. Kutu kupret, aku benar-benar telah ke-

colongan dengan hadirnya Kembar Kirik Cokelat....!" 

geram Darah Swanda. Dalam kemarahannya itu, men-

dadak Darah Swanda hantamkan tangannya ke satu 

arah rimbunan pepohonan. Selarik cahaya berwarna 

putih tak ubahnya laksana kilat menderu menghan-

tam sasarannya.

"Wuuuus.... Buuum....!" Pukulan yang dilepas 

oleh Darah Swanda menghantam telak kerimbunan 

pohon hingga hancur berantakan. Lima orang yang 

bersembunyi dalam kerimbunan pohon itu terpelant-

ing roboh dalam keadaan hangus.

"Kurang ajar...! Sungguh orang tua tak tahu 

adat, berada di daerah orang malah cari perkara....!" 

Terdengar satu bentakan geram ditujukan pada Kakek 

Darah Swanda. Kuda putih di sampingnya meringkik


keras, alis mata Darah Swanda mengernyit. Agaknya 

dia menyadari orang yang baru membentak dirinya itu 

memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Namun 

sebagai seorang tokoh tua yang sudah banyak menge-

cap asam garam dunia persilatan. Sama sekali dia ti-

dak merasa terpengaruh dengan adanya bentakan 

yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tadi. 

Tanpa berkata apa-apa, ketua perguruan Sangga Bua-

na ini kembali hantamkan pukulan 'Kilat Buana'

"Deeer....!" Pohon yang menjadi sasaran pukulan 

kakek Darah Swanda roboh dengan menimbulkan su-

ara berdebum. Sementara dari atas pohon nampak 

melesat beberapa sosok tubuh dengan suara tawanya, 

bergelak-gelak.

"Jligk!. Jligk.....!" Dengan tanpa menimbulkan 

suara, orang-orang yang bersembunyi di atas pohon 

itu menjejakkan kakinya persis di depan Darah Swan-

da. Tersirap darah kakek ini begitu mengenali dua 

orang di antara belasan laki-laki yang telah mengu-

rungnya.

"Kau.... Kembar Kirik Cokelat....!" Geramnya 

dengan mulut menganga lebar. "Murid murtad.... ! Ce-

pat serahkan kitab yang telah kau larikan itu....!" ben-

tak Darah Swanda.

"He... he... he...! Kitab apa, Guru pikun...!" sen-

tak salah seorang dari Kembar Kirik Cokelat dengan 

sesungging senyum mengejek. Wajah kakek Darah 

Swanda mendadak berubah kelam membesi. Tubuh-

nya nampak gemetaran karena menahan amarah yang 

meluap-luap.

"Tak pernah kuduga kiranya kalian sekutunya 

manusia iblis....! Kini aku menyadari kiranya murid-

muridku yang tiada pernah kembali itu, telah kalian 

bunuh. Hhh... hutang nyawa, di tambah dengan kesa-

lahan telah melarikan Kitab Cakar Buana! Rasa


rasanya kalau pun kupenggal kepala kalian masih ju-

ga belum lunas....!" Menggeram si kakek sambil meli-

rik pada laki-laki berbadan semampai yang berada di 

sebelah Kembar Kirik Cokelat.

"Inikah manusianya yang telah menjadi guru ka-

lian, Saudara Kembar...!" gumam laki-laki yang ber-

nama Wisesa itu memandang remeh.

***

DELAPAN



"Tak salah lagi! Kunyuk tua muka merah inilah 

yang dulu pernah kuangkat sebagai guru keblinger....!"

"Beranikah kalian menghadapinya....?" pancing 

Wisesa memanas-manasi.

"He... he... he....! Di wilayah kekuasaan ketua Pe-

ri Bunga Iblis, dia bukanlah apa-apa...!" jawab Kembar 

Kirik Cokelat berapi-api. Wisesa tertawa lebar, dia me-

rasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh orang 

yang masih termasuk bawahannya itu.

"Ilmu silat kalian sudah tentu sangat dikenal 

oleh si tua muka merah ini. Alangkah baiknya kalau 

aku yang menghadapi dan menjajal sampai di mana 

pamor ketua perguruan Sangga Buana ini...!" kata Wi-

sesa. Kemudian di awali satu bentakan keras, tubuh 

laki-laki berbadan semampai itu melompat ke depan 

sambil lancarkan satu jotosan ke arah kepala Darah 

Swanda. Ketua Perguruan Sangga Buana, geser ka-

kinya satu langkah ke samping kiri. Dengan sedikit 

miringkan badan, kakek Darah Swanda menyambut 

serangan itu dengan satu cakaran dan tendangan me-

nyilang. Wisesa nampak terperanjat melihat sambaran 

yang datang dari bagian kaki pihak lawannya. Secara



praktis dia tarik balik tangannya yang hampir tersam-

bar kaki lawan. Selanjutnya dengan mempergunakan 

jurus 'Tiga Singa Gurun', tubuhnya berkelebat sangat 

cepat. Dalam pandangan lawan, tubuh Wisesa men-

gembar menjadi tiga orang. Namun Darah Swanda ju-

ga selain memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai 

pandangan batin yang jernih. Dengan mata meram 

dan konsentrasi yang terkontrol dengan baik dia terus 

mengincar tubuh lawannya.

"Husyaaa...!" Satu bentakan menyertai berde-

singnya senjata rahasia yang disambitkan oleh Wisesa 

dan kawan-kawannya. Sementara itu Kembar Kirik 

Cokelat masih terus menonton jalannya pertarungan 

yang semakin bertambah sengit. Saat itu Darah 

Swanda bukan tak menyadari adanya serangan senja-

ta rahasia yang datang dari berbagai penjuru itu. Na-

mun dia pun tak ingin kehilangan kesempatan untuk 

menghajar tubuh asli pihak lawan yang telah menjadi 

kembar tiga. Untuk menghindari serangan senjata ra-

hasia yang berupa Paku Bunga Iblis, ketua Perguruan 

Sangga Buana kebutkan jubahnya yang berwarna 

kembang-kembang. Secara aneh serangkum gelom-

bang angin yang sangat kencang menderu dari jubah 

yang dikebutkan oleh Darah Swanda. Senjata rahasia 

yang disambitkan oleh Wisesa dan anak buahnya den-

gan tenaga penuh jadi tertahan di udara. Bahkan se-

detik kemudian mental kembali menyerang pemilik-

nya. Yang tak sempat menghindari serangan balik sen-

jatanya sendiri nampak terpelanting roboh dengan tu-

buh menghitam dan jiwa melayang. Tercengang mere-

ka yang masih selamat dari maut yang mengancam-

nya. Sama sekali mereka tiada menduga kalau ketua 

Perguruan Sangga Buana memiliki kepandaian yang 

sehebat itu.

Sementara pertarungan terus berlanjut, dengan



mata masih terpejam, kakek berusia senja ini terus 

menggebrak dengan serangan-serangan ganas. Kali ini 

dia memang sengaja mempergunakan jurus-jurus an-

dalan untuk menggempur anggota Peri Bunga Iblis 

yang selama ini dia dengar telah membantai begitu 

banyak kaum persilatan golongan lurus. Saat itu tu-

buh Wisesa yang beberapa kali sempat kena gebuk 

kembali dalam ujud tunggalnya. Dalam keadaan kem-

bar tiga orang nomor tiga dalam urutan anggota Peri 

Bunga Iblis, tak mampu berbuat banyak. Padahal saat 

itu dia telah menguras banyak tenaga. Setengah kesal 

dia memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk me-

lakukan pengeroyokan. Tanpa menunggu lebih lama, 

baik Kembar Kirik Cokelat dan belasan orang lainnya, 

langsung memasuki gelanggang pertarungan.

"Cring.... Criiiing.... criiiing....!"

Terdengar bunyi bergemerincing saat Darah 

Swanda menghentakkan kakinya yang bergelang itu 

memberi isyarat pada si putih. Kuda yang sangat terla-

tih itu meringkik keras. Kemudian dengan gerakan-

gerakan aneh, kuda milik ketua Perguruan Sangga 

Buana menerjang ke arah anggota Wisesa yang nam-

pak mulai melabrak dengan senjata terhunus. Terden-

gar teriakan-teriakan maut saat tubuh-tubuh yang ti-

dak sempat menghindar, terinjak-injak kaki kuda yang 

sudah kalap melihat majikannya dikeroyok sedemikian 

rupa.

"Hantam tubuh kuda itu...!" teriak Wisesa pada 

si Kembar Kirik Cokelat yang masih terus berusaha 

menghindari dan menyerang kuda milik Darah Swan-

da.

"Craaak.... Craaak....!"

"Hieeeeeh....!" Pedang pendek yang dipergunakan 

oleh Kembar Kirik Cokelat mental entah ke mana, tu-

buh kuda putih milik ketua Perguruan Sangga Buana


kiranya kebal terhadap berbagai senjata tajam. Bukan 

saja Kembar Kirik Cokelat yang selama ini pernah 

menjadi murid Darah Swanda yang terperangah, na-

mun juga Wisesa yang sempat melihat kejadian itu 

menjadi sangat terkejut. Dia sendiri merasa selama ini 

belum pernah melihat seekor kuda mampu melakukan 

gerakan silat dan bahkan kebal terhadap serangan 

senjata tajam. Tapi kali ini dengan mata kepala sendiri 

dia menyaksikan kejadian yang ganjil seperti itu. 

Sungguh satu hal yang sangat langka.

"Manusia sekutu iblis! Jangan bengong, makan 

seranganku...!" teriak Darah Swanda sambil hantam-

kan pukulan Kilat Buana. Wisesa terkesiap dengan 

adanya sambaran udara panas yang menerpa bagian 

bahunya. Secepatnya dia mencabut sebilah arit ber-

warna putih mengkilat karena ketajamannya. Senjata 

itu dia putar sedemikian rupa sehingga membentuk 

gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya.

"Breees....!" Tanpa ampun tubuh Wisesa terhan-

tam pukulan Kilat Buana yang menimbulkan hawa

panas itu. Namun hal itu hanya berakibat terdorong-

nya tubuh lawan beberapa tindak ke belakang. Setelah 

terhuyung-huyung kemudian kembali siap dengan 

kuda-kudanya. Laki-laki berpakaian hitam ini mero-

goh sesuatu dari balik bajunya. Lalu melontarkannya 

ke arah Darah Swanda. Apa yang dilakukan oleh Wi-

sesa kiranya sudah berada dalam perhitungan ketua 

Perguruan Sangga Buana. Lalu kesempatan yang 

hanya sesaat itu dia pergunakan untuk menutup jalan 

pernapasannya. Tiga buah benda berwarna hitam 

yang besarnya tak lebih dari sebutir telur itik itu den-

gan sengaja dia sampok dengan tangan kanannya.

"Dweer....!" Terdengar tiga kali ledakan kecil ber-

turut-turut ketika benda itu pecah dan menimbulkan 

asap putih menyerupai kabut. Namun siapa sangka


kalau dalam keadaan masih terbungkus kabut yang 

berupa racun pembius itu, Kakek Darah Swanda ma-

sih dapat tergelak-gelak, dan bahkan masih dapat 

mengetahui di mana posisi lawan berada. Tanpa di 

duga oleh Wisesa, Kakek Darah Swanda hantamkan 

pukulan andalannya yang berupa pukulan 'Sejuta Ge-

ledek' yang sangat dahsyat itu.

"Duuuk! Kraaak.....!" Dengan telak Wisesa kena 

dihajar oleh Kakek Darah Swanda. Tubuh laki-laki 

berbadan gempal itu terbanting keras di atas tanah 

berbatu. Tiga buah tulang rusuknya patah. Begundal 

Peri Bunga Iblis terbatuk beberapa kali.

"Hoeek....!" Darah menyembur dari mulut dan 

hidungnya, wajahnya yang hitam berubah pucat bagai 

sudah tiada berdarah lagi. Dengan tubuh gemetaran, 

laki-laki itu berusaha bangkit berdiri, namun limbung 

dan langsung jatuh tersungkur. Satu pukulan dengan 

mengerahkan segenap kesaktian yang ada kembali di 

lepas oleh Darah Swanda yang sudah gelap mata.

"Paman Sesa, awaaas....!" Teriakan salah seorang 

dari Kembar Kirik Cokelat nampaknya sudah tidak 

banyak artinya. Karena ternyata pukulan yang dilepas 

oleh Darah Swanda telah melabrak tubuh sekarat tia-

da daya tersebut. Laksana terbang tubuh yang sudah 

tiada berdaya itu dilanda pukulan Sejuta Geledek mi-

lik Darah Swanda. Begitu tubuh laki-laki berbadan 

gempal itu terbanting di atas tanah, berkelojotan se-

bentar lalu terdiam untuk selama-lamanya.

Secara perlahan Darah Swanda mengerling ke 

arah Kembar Kirik Cokelat dengan sudut matanya. Se-

lanjutnya menoleh pula pada kuda putih miliknya 

yang masih terus mengamuk melawan beberapa gelin-

tir orang-orang Wisesa.

"Criiing... Criiing..."

"Heiiiieeeh....!" Begitu Darah Swanda memberi


isyarat pada kuda putih miliknya. Binatang terdidik 

itu langsung menghentikan sepak terjangnya. Kemu-

dian berlari-lari kecil mendekati pemiliknya.

"Cukup putih! Sekarang tenang-tenang-lah kau 

di sini, kau lihatlah bagaimana cara seorang bekas 

guru memberi hukuman pada murid murtad berkepa-

la binatang ini!" kata Darah Swanda dengan nada 

mengancam.

"He... he.., he...! Sungguh pun kau bekas seorang 

guru kami, jangan kira kami takut menghadapimu. 

Majulah....!" tukas salah seorang dari Kembar Kirik 

Cokelat dengan suara lantang.

"Keberanian kalian memang patut di puji! Namun 

sebelum kalian mati, jawab dulu beberapa pertanyaan 

dariku...!"

"Heh... kau pasti mau menanyakan Kitab Cakar 

Buana yang telah kami curi itu...!" katanya mengejek.

"Bukan itu saja....!"

"Yang satunya pasti tentang murid-murid mu 

yang tiada kembali ke perguruan...!" tebak kembar Ki-

rik Cokelat sekenanya.

"Tak salah....!" kata ketua Perguruan Sangga Bu-

ana dengan tatapan dingin. Kembar Kirik Cokelat ber-

pandangan sesamanya, selanjutnya kembali menoleh 

pada bekas gurunya.

"Apakah dengan kami beritahukan hal yang se-

benarnya lalu engkau mengampuni kami...?"

"Tergantung memuaskan tidaknya jawab-an yang 

kalian berikan...!"

"Kalau begitu, di antara kita tak perlu ada kom-

promi. Asal kau tau saja, bahwa tiga orang muridmu 

telah tewas di tangan kawan-kawan kami. Sedangkan 

kitab Cakar Buana telah kami berikan pada ketua Peri 

Bunga Iblis....!" kata Kembar Kirik Cokelat tenang.

"Keparaaaat....! Aku benar-benar akan mencincang tubuh busuk kalian!" maki Darah Swanda den-

gan kemarahan yang meluap-luap.

"Cabutlah senjata agar kalian tak mati percu-

ma.......!"..

"Baik, menghadapi guru pikun sepertimu, kami 

memang memerlukan senjata...!" tukas kembar Kirik 

Cokelat sambil meraba gagang pedangnya.

"Sriiing! Sriiiing!" Di tangan Kembar Kurik Coke-

lat kini telah tergenggam sebilah pedang pendek tipis. 

Sebaliknya Darah Swanda yang sudah terbakar kema-

rahan nampak tak ingin mengulur-ulur waktu lagi. 

Segera pula mencabut senjatanya yang berupa senjata 

sebilah pedang mustika berukuran panjang berkilat-

kilat karena ketajamannya.

"Hiaaat..... Ciaaaa.....!" Secara nekad murid mur-

tad itu menyerang gurunya dengan senjata terhunus. 

Dengan ganas murid berkepala anjing itu menyerang 

Darah Swanda dari dua arah sekaligus. Pedang di tan-

gan berkelebat menyambar mencari sasaran. Ketua 

Perguruan Sangga Buana nampak tenang sambil ter-

senyum penuh amarah. Bagaimanapun yang dilawan 

oleh mereka kali ini adalah bekas gurunya sendiri. Il-

mu silat mereka berasal dari satu sumber. Dan yang 

pasti Darah Swanda mengetahui kelemahan-

kelemahan jurus yang dimainkan oleh bekas murid-

nya. Demikianlah setelah pertarungan mencapai bela-

san jurus, nampaknya Darah Swanda sudah merasa 

habis kesabarannya. Detik selanjutnya tubuh laki-laki 

berusia tujuh puluhan itu berkelebat lenyap. Dua kali 

pedang di tangannya menderu dahsyat.

"Jrees! Jrees....!" Dua Kembar Kirik Cokelat melo-

long setinggi langit. Sebelah tangannya masing-masing 

yang memegang senjata terbabat buntung.

"Itu hukuman untuk kesalahan kalian telah 

mengkhianati perguruan... dan yang ini....!" Kembali


pedang di tangan Darah Swanda berkelebat.

"Jrees... Jrooos....!"

"Argghk....!" Suara teriakan menyayat kembali 

terdengar.

"Itu hukuman buat kesalahan kalian yang telah 

membuat murid-murid tewas!" kata Darah Swanda 

sambil memandang tajam tanpa ekspresi.

"Dan yang ini....!" Pedang di tangan laki-laki itu 

kembali menyambar.

"Jraaak.... Jroook....!" Dua kepala manusia yang 

berupa kepala anjing itu menggelinding ke tanah. Da-

rah menyembur dari luka yang mengerikan itu. Se-

mentara kepala yang terpenggal terus menggelinding 

dengan mata melotot dan lidah terjulur. Bagian badan 

yang sudah tiada berkepala itu nampak sempoyongan 

dan melangkah tanpa tujuan. Namun setelah darah 

yang mengalir dalam tubuhnya asat, tak dapat dicegah 

lagi, secara hampir bersamaan tubuh Kembar Kirik 

Cokelat ambruk ke bumi. Hanya sesaat saja tubuh 

yang sudah dalam keadaan menggenaskan itu berkele-

jat-kelejat, kemudian diam membeku. Begitu dingin 

dan tanpa perasaan, ketua Perguruan Sangga Buana 

itu memperhatikan mayat bekas murid-murid yang 

sangat menjengkelkan itu.

"Kalian memang pantas mati. Keberadaan kalian 

di kolong langit ini hanya membikin onar saja. Heh... 

tiga orang muridku telah tewas, tentu salah seorang di 

antara mereka selamat. Tapi siapakah di antara mere-

ka itu? Ada baiknya kalau aku menyerbu markas Peri 

Bunga Iblis, sekalian mencari tahu tentang kabar mu-

ridku yang selamat itu!" batin Darah Swanda. Selan-

jutnya setelah memberi tanda pada kuda putih milik-

nya. Maka mereka pun kembali berlari cepat menuju 

tempat kediaman Peri Bunga Iblis.


SEMBILAN


Dalam kerangkeng penjara yang luasnya tak le-

bih dari dua kali tiga meter itu. Di sanalah Ginuk dan 

Gindrung dipenjarakan. Sepanjang kerangkeng yang 

jumlahnya lebih dari lima puluh kamar itu berbagai 

kaum persilatan yang membangkang menjalani hu-

kuman yang cukup berat. Hampir setiap hari terden-

gar rintihan dari mulut orang-orang yang sedang men-

dapat siksa. Di antara sekian banyak orang, hanya 

Ginuk dan Gindrung saja yang mendapat perlakukan 

istimewa. Kenyataan ini membuat para tahanan yang 

berada di sisi kanan kirinya menjadi iri. "Apa sih isti-

mewanya dua kunyuk bertampang tolol itu sehingga 

mereka mendapat perlakuan istimewa seperti itu." 

tanya mereka dalam hati. Padahal menurut mereka 

Dwi Tolol hanyalah manusia biasa-biasa saja. Tak ada 

yang istimewa terkecuali ketololannya. Hal ini patut 

dipertanyakan! Batin salah seorang yang berada di se-

belah kerangkeng Dwi Tolol. Hingga sampai seminggu 

kemudian rasa penasaran itu akhirnya tercetus juga.

"Hei... siapa nama kalian! Berasal dari mana 

hingga sampai nyasar kemari...?" tanya si laki-laki 

yang di sekujur badannya penuh dihiasi tatto dan 

hampir setiap hari mendapat siksaan itu, penasaran.

"Kakang... orang itu menanyai kita, matanya me-

lotot seperti tidak senang!" lapor Gindrung sambil 

mengguncang-guncangkan tubuh Ginuk yang sejak 

pagi terus saja mendengkur.

"Apa kau bilang, adi... siapa tanya siapa...?" kata 

Gipuk lalu mengucek-kucek matanya yang terasa pe-

das. Laki-laki bertatto menggebrak kerangkeng yang di 

huninya.

"Aku yang tanya, gobloook....! Cepat jawab....!"



bentak laki-laki itu dengan nada geram.

"Eee.... namaku Ginuk, sedangkan adikku ini 

Gindrung...!" jawab yang paling tua sambil cengenge-

san.

"Dari mana asal kalian...?" sentaknya lagi.

"Dower... eee... maksudku, kami berasal dari du-

sun dower....!" Si laki-laki bertatto manggut-manggut, 

lalu "Nama yang cukup tak memberi kesan dusun ka-

lian agaknya tak tertulis dalam peta persilatan....!"

"Peta persilatan... aku pun tak tahu....!" jawab 

Gindrung mendahului saudara tuanya. Si laki-laki 

bertatto mendengus menampakkan rasa ketidak se-

nangannya.

"Ada hubungan apa kalian dengan ketua Peri Ce-

laka itu...?" tanyanya lagi. Kedua orang itu serentak 

geleng-gelengkan kepalanya. 

"Jadi kalian tak tahu...? Pantesan. Dasar kalian 

orang-orang tolol...! Lalu mengapa kalian sampai di-

tangkap oleh orang-orang Peri Bunga Iblis, heh...?"

"Lha wong kami cari emak.....!"

"Cari emak...?" batin laki-laki bertatto merasa ge-

li sendiri, "Kalau hanya sekedar mencari orang tua 

mengapa sampai orang-orang itu menangkap ka-

lian...?"

"Mana aku tahu, mungkin emak kami ada di si-

ni... sehingga orang-orang itu membawa kami kema-

ri....!"

"Apakah emak kalian itu rupanya mirip dengan 

Peri Bunga Iblis?"

"Wow... mirip sekali! Bahkan kami menyangka 

orang itulah emakku..!" jawab Dwi Tolol hampir ber-

samaan. Merah padam wajah si laki-laki bertatto 

mendengar pengakuan Dwi Tolol. Serta merta di ke-

rahkannya tenaga dalam yang di milikinya. Kemudian 

dengan sekali lompat diterjangnya dinding kerangkeng



yang terbuat dari kayu jati itu.

"Bruaaaak.....!" Kerangkeng yang berjeruji kayu 

sebesar betis seorang anak kecil itu pun hancur ber-

keping-keping. Laki-laki bertatto menyeruak keluar, 

selanjutnya menyerbu ke arah kerangkeng yang di 

huni oleh Dwi Tolol.

"Keparaaat! Tampang kalian berlagak mirip orang 

bego, nggak tahunya kalian ini anaknya si keparat Peri 

Bunga Iblis! Hhh... aku harus mampusin kalian ber-

dua... Ciaaat....!" teriak si laki-laki bertatto sambil me-

lakukan satu terjangan.

"Bruaak...!" Di saksikan para tawanan yang begi-

tu banyak jumlahnya. Pintu kerangkeng itu pun han-

cur berantakan.

"Keluar kalian anaknya ratu sesat...!" perintah 

laki-laki itu sambil menudingkan telunjuknya. Tapi 

perintahnya yang menggeledek tidak segera dituruti 

oleh Dwi Tolol. Hal ini hanya membuat darah laki-laki 

itu semakin menggelegak sampai ke ubun-ubun. "Ku-

rang ajar! Kalian semakin berpura-pura bego... mam-

puslah...!" Si laki-laki bertatto menyerbu ke dalam ke-

rangkeng. Kemudian menyentakkan tubuh Ginuk dan 

Gindrung, hingga membuat dua pemuda bertampang 

tolol itu terjajar ke dinding kerangkeng.

"Kakang! Apa salah kita, orang ini kok menga-

muk kayak orang gila...?" tanya Gindrung dengan tu-

buh menggigil dan wajah pucat pasti.

"Manusia kampret... hiih...!" Dengan geram laki-

laki bertatto berbadan gemuk itu menyentakkan krah 

baju yang dipakai oleh Ginuk dan Gindrung. Sehingga 

tubuh pemuda itu terangkat tinggi. "Ketahuan kalian 

berdua anaknya Peri Bunga Iblis, masih juga kalian 

berpura-pura tolol...!"

"Buk... bukan...! Kalau memang benar perem-

puan cantik itu emak kami. Siapa sudi punya emak


jahat.... Kata nenek Kreot yang sudah meninggal, 

emak kami baik sekali bukan seperti iblis...!" Sementa-

ra para tahanan lainnya nampak tergelak-gelak me-

nyaksikan adegan itu. Namun sejauh itu mereka tak 

ada niat untuk membela si laki-laki bertatto, jangan-

kan lagi memberontak. Sebab mereka menganggap hal 

itu hanyalah akan sia-sia belaka. Apalagi mengingat di 

sekitar lingkungan tembok benteng berkeliaran berla-

pis-lapis penjaga yang rata-rata memiliki kepandaian 

yang cukup tinggi.

Saat itu, Ginuk sedang berusaha melepaskan 

cengkraman laki-laki berwajah kasar itu. Namun 

nampaklah usaha yang dilakukannya tidak membua-

hkan hasil. Cengkraman si laki-laki bertatto semakin 

bertambah kuat bagai jepitan baja

"Adi... masih hidupkah kau...!" teriak Ginuk, me-

gap-megap dan terasa sulit bernafas.

"Mmm... masih! Tapi sudah hampir kelenger...!"

"Gunakan jurus cocor bebek mencatok cacing, 

adi Gindrung....!"

"Bagus! Gunakan saja jurus konyol pengantar 

mampus yang kalian miliki! Aku jadi ingin lihat sebe-

rapa hebat anak-anaknya Peri Bunga Iblis....!" geram 

si laki-laki bertatto.

"Husraaa....!" Kedua pemuda itu mengerahkan 

segenap kemampuan yang ada. Laki-laki bertatto kali 

ini malah tertawa terbahak-bahak. Tiada di sangka-

sangka, secara berbarengan Dwi Tolol hantamkan tin-

junya ke wajah orang itu, kemudian bagian kaki me-

nyodok ke arah bagian perut yang paling bawah.

"Buuk...! Buuuk....!" 

"Jrooot...!" 

"Auuuuh....!" Cengkeraman tangan si laki-laki 

bertatto terlepas, sambil memegangi bagian terlarang 

miliknya. Laki-laki itu menjerit dan berjingkrak


jingkrak.

"Kena... kena kakang...!" kata Gindrung polos.

"Kau apakan dia...?" tanya Ginuk berusaha ke-

luar dari dalam kerangkeng.

"Kutendang anunya, Kakang...!"

"Ha... anunya kau tendang?" kata Ginuk dengan 

mata membelalak tak percaya.

"Biar kapok, Kang...! Biar cuti, kalau perlu untuk 

selamanya....!" sahut Gindrung, berjingkrak jingkrak. 

Sementara itu dengan langkah masih terpincang-

pincang, si laki-laki bertatto nampak mengejar keluar 

kerangkeng.

"Keparaat kalian...! Tidak boleh tidak, aku harus 

membunuhmu...!" teriak laki-laki itu terus menerjang.

"Pergunakan jurus Cocor Bebek Mencatok Cac-

ing, Adi...!" teriak Ginuk sambil berusaha berkelit 

menghindar, begitu juga halnya yang dilakukan oleh 

Gindrung. Karena saat melakukan serangan si laki-

laki bertatto yang dalam kalangan persilatan lebih di-

kenal dengan si Tenaga Gajah mengandalkan tenaga. 

Maka begitu serangannya luput dari sasarannya. Tu-

buh si Tenaga Gajah langsung tersungkur mencium 

tanah. Dengan wajah dipenuhi debu, laki-laki bertatto 

ini segera bangkit, selanjutnya melakukan serangan 

kembali.

"Akur! Teruskan... kalian memang badut-badut 

yang menggelikan." Teriak orang-orang yang berada di 

dalam kerangkeng memberi semangat.

"Kampreet...!" maki si laki-laki bertatto menyam-

but ejekan kawan-kawannya. Dengan satu gerakan 

yang sulit untuk di duga-duga, laki-laki gemuk itu 

menggelindingkan tubuhnya dengan maksud lancar-

kan sapuan ke arah bagian kaki lawan-lawannya. Dwi 

Tolol bengong melihat keganjilan yang dilakukan oleh 

lawannya. Namun kelengahan yang hanya beberapa


detik itu dipergunakan oleh pihak lawan untuk meng-

hantamkan kaki kanannya.

"Duuuuk! Buuuuuk....!" Dua kali tendangan ber-

turut-turut berhasil mencapai sasarannya dengan te-

lak. Dwi Tolol terjungkal, sambil memegangi perutnya 

yang terasa mual, salah seorang dari mereka nyeletuk: 

"Waduuh, aku kena adi Gindrung...!"

"Sama! Aku juga kena ditendang...!"

"Kalian memang pantas untuk menjadi raja cac-

ing tanah....!" jerit si Tenaga Gajah, terus memburu 

dengan maksud untuk mengakhiri nyawa lawan-

lawannya. Tiada terduga, Dwi Tolol meraup segenggam 

pasir. Begitu si Tenaga Gajah mendekat.

"Weeeeerr....!"

"Aaaahh... kurang ajar...!" maki laki-laki bertatto 

sambil mengucek-ucek matanya yang kelilipan. Mem-

pergunakan kesempatan seperti itulah, Dwi Tolol lang-

sung mencecar lawannya dengan pukulan-pukulan 

yang cukup keras. Si Tenaga Gajah, kini menjadi bu-

lan-bulanan Ginuk dan Gindrung. Si Laki-laki bertatto 

hanya mampu mengeluh dan keluarkan kata-kata 

yang kotor. Dasar orang-orang tolol yang sedang di-

landa kemarahan, mana mau perduli dengan segala 

apa yang dikatakan oleh si Tenaga Gajah. Sampai ak-

hirnya terdengar suara bentakan disertai berdatan-

gannya beberapa orang penjaga meluruk ke arah me-

reka.

"Hentikan....!" hardik laki-laki berpakaian loreng-

loreng kulit macan. Seperti diketahui, laki-laki ber-

tampang angker itu berjuluk si Macan Liar. Bagai di-

hipnotis, Dwi Tolol tarik balik serangannya. Hampir 

bersamaan mereka memutar langkah, lalu meman-

dang barisan pengawal yang menyertai Macan Liar.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya laki-laki 

itu sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ma


tanya membelalak ketika melihat kerangkeng tempat 

mengurung si Tenaga Gajah jebol berantakan.

"Kalian telah merusak penjara?" hardik si Macan 

Liar menuduh.

"Eh... bukan kami yang merusak! Tapi orang itu 

yang telah melakukannya...!" bantah Ginuk, lalu me-

nuding ke arah laki-laki bertatto.

"Benarkah seperti yang di katakan oleh pemuda 

ini?" tanya Macan Liar, lalu memandang tajam pada 

lawan Dwi tolol.

"Tidak kubantah....!"

"Mengapa kau lakukan...?" kata Macan Liar, me-

nyelidik. Sebelum menjawab, sesungging seringai 

menghias di bibir si Tenaga Gajah.

"Aku harus menghajar mereka, bahkan kalau 

perlu membunuhnya. Karena aku tahu dua kunyuk 

bertampang tolol itu puteranya ketua kalian...!"

"Keparat!" maki si Macan Liar. Kemudian dengan 

sekali lompat, sampailah begundal kedua Peri Bunga 

Iblis. Tanpa basa-basi langsung hantamkan tinjunya 

ke arah bagian perut si Tenaga Gajah. Laki-laki bertat-

to itu terjungkal, tidak cukup sampai di situ saja. Ma-

can Liar terus memburu kemudian hantamkan puku-

lan ke bagian wajah si laki-laki bertatto.

"Buuuuk...!" Bagian yang terhantam pukulan itu 

langsung membiru dan mengeluarkan darah. Si Macan 

Liar menoleh pada bawahannya.

"Seret dia ke dalam kerangkeng bawah tanah....!" 

perintahnya. "Dan kalian berdua mendekat kemari....!" 

Dwi Tolol mendekat. 

"Apakah tuan akan menghukum kami juga...!" 

tanya Ginuk dengan wajah pucat.

"Hooo... tidak! Malah ketua kami me-manggil ka-

lian berdua untuk menghadap...!" kata si Macan Liar 

ramah.


"Apakah benar kami anak-anaknya Peri Bunga 

Iblis...?" tanya Gindrung dengan suara gemetar.

"Aku tak layak menjawabnya. Sebaiknya kalian 

tanyakanlah hal itu pada ketua kami. Sekarang patuhi 

perintah...!" Tak begitu lama kemudian, dengan diikuti 

oleh para pengawal Peri Bunga Iblis, berangkatlah Dwi 

Tolol untuk menghadap Peri Bunga Iblis.

***

SEPULUH



Sepanjang jalan menuju sarang Peri Bunga Iblis 

yang bermarkas di tengah-tengah hutan Jajaran bu-

kanlah merupakan jalan setapak yang sangat mulus 

yang tiada memiliki rintangan apa-apa. Banyak sekali 

jebakan-jebakan yang sangat berbahaya terpasang di 

sepanjang jalan dan tempat-tempat yang dianggap 

strategis untuk dilalui oleh pihak lawan-lawannya. 

Syukur hal itu telah diperhitungkan oleh Pendekar Hi-

na Kelana dan gadis yang menyertainya. Sehingga se-

dikit banyaknya mereka terhindar dari bahaya yang 

datangnya tiada dapat di duga-duga. Hanya terka-

dang-kadang saja sekali dua mereka bentrok dengan 

beberapa orang penjaga di sepanjang hutan yang me-

reka lalui.

Di lain saat mereka juga merasa agak terkejut 

dengan mereka temukan adanya korban-korban dari 

pihak Peri Bunga Iblis yang tewas dengan keadaan 

sangat menyedihkan. Jika melihat kondisi tubuh me-

reka, nampaknya kematian mereka belumlah begitu 

lama. Bahkan di antara korban-korban itu masih ada 

yang sekarat. Situasi seperti itu membuat Buang 

Sengketa berpikir, mungkin di depan mereka telah be


berapa gelintir pendekar persilatan yang telah menda-

hului rencananya. Begitu pun dia tak dapat menduga 

apa yang akan terjadi di depan sana, bahkan siapa 

pun yang telah melakukan pembunuhan atas diri pen-

jaga di sepanjang jalan yang mereka lalui, yang jelas 

pasti memiliki persoalan dengan Peri Bunga Iblis dan 

para begundal-begundalnya. Demikianlah sambil terus 

mengerahkan kecepatan ilmu larinya, pemuda ber-

kuncir ini melalui ilmu mengirimkan suara berkata 

pada Andini! "Andini! Mungkin kita telah kedahuluan 

oleh orang lain. Aku yakin orang itu pasti memiliki ke-

pandaian yang sangat tinggi...!" kata pemuda mendu-

ga-duga.

"Mayat-mayat itu masih baru, Kakang...! Melihat 

bekas-bekas luka yang dialami oleh mayat-mayat itu. 

Nampaknya tidak ada perlawanan yang terjadi, tokoh 

yang telah menyantroni daerah ini sepertinya tak lebih 

dari pada seorang pembunuh berdarah dingin...!" ucap 

Andini melalui ilmu yang sama.

"Moga-moga tidak terjadi sesuatu dengan orang 

itu!" desis si pemuda harap-harap cemas. "Aku yakin 

walaupun orang yang setujuan dengan kita itu memi-

liki kepandaian setinggi apa pun, andai datang seo-

rang diri ke sarang iblis, firasatku mengatakan keme-

nangan baginya sangat sulit untuk didapatkan...!"

"Eee... kakang... mayat-mayat di sekitar tempat 

ini semakin bertambah banyak! Mungkinkah kita su-

dah berada tidak jauh dari singgasana Peri Bunga Ib-

lis...?" tanya gadis berwajah ayu itu membelalakkan 

matanya yang indah. 

"Agaknya begitu! Mulai saat sekarang berhati-

hatilah... jangan-jangan semua ini hanya merupakan 

satu jebakan buat kita...!" ujar si pemuda mulai me-

ningkatkan kewaspadaannya.

Setelah melewati hutan rotan yang sangat luas


lagi lebat. Tak sampai sepeminum teh, sampailah pe-

muda dan gadis itu di sebuah lapangan yang sangat 

luas. Dengan cara mengendap-endap mereka melewati 

lapangan itu tanpa kejadian apa pun. Akhir dari la-

pangan itu adalah jurang yang tak terhitung dalam-

nya. Sebentar pemuda titisan Raja Ular Piton dari ne-

geri alam gaib itu menoleh pada Andini.

"Sebuah tempat yang sangat berbahaya sekali. 

Terlanjur kita memasuki daerah di seberang itu. Tak 

ada jalan lain untuk selamat dari kematian terkecuali 

kita mampu membasmi mereka hingga tiada bersi-

sa....!" desah si pemuda tanpa ragu-ragu lagi.

"Mungkinkah kita dapat melalui bukit-bukit ta-

jam di atas jurang yang tiada terukur dalamnya itu, 

Kakang...!"

"Apakah engkau merasa mampu untuk melaku-

kannya....?" Si pemuda balik bertanya.

"Terus terang, aku tak bisa....!" Buang Sengketa 

terdiam sesaat, sepasang matanya yang tajam berkilat-

kilat, nampak menyapu pandang pada keadaan di se-

kelilingnya.

"Pasti ada jalan rahasia untuk dapat sampai di 

singgasananya Peri Bunga Iblis....!" gumamnya seperti 

untuk dirinya sendiri.

"Sangat berbahaya kalau kita lalui jalan itu, Ka-

kang...! Jangan mengambil resiko terlalu besar....!" ka-

ta Andini mengingatkan.

"Bukit di atas jurang-jurang itu mungkin dapat 

ku lalui, tapi bagaimana dengan kau... apakah kau 

mau kutinggal seorang diri di tempat ini...?" Andini ge-

lengkan kepalanya berulang-ulang.

"Aku takut, Kakang Kelana! Aku merasa lebih 

baik turut denganmu...!" ujar si gadis. Dari nada uca-

pannya terasa jelas bahwa gadis itu tak ingin berpisah 

dengan Pendekar Hina Kelana. Kenyataan inilah yang


membuat si pemuda jadi pusing. Tak ada jalan lain 

terkecuali dia harus menggendong Andini untuk dapat 

melewati jurang-jurang itu secara bersama-sama.

"Dini...!" gumam si pemuda dengan wajah sedikit 

memerah.

"Ada apa kakang...?"

"Kalau kau terus mau ikut denganku, apakah 

kau mau untuk sementara ini kugendong...?" 

"Digendong....!" sentak gadis itu dengan mata 

membelalak. Buang Sengketa tanpa berani menoleh 

hanya mampu mengangguk kecil.

"Tak ada jalan lain! Terkecuali kau merasa mam-

pu untuk melewati bukit-bukit yang jaraknya cukup 

lumayan itu...!" Mendengar kata-kata si pemuda yang 

cukup beralasan itu, rasanya Andini tidak punya pili-

han lain lagi. Selanjutnya dengan wajah memerah, ga-

dis itu mengangguk.

"Kalau tak ada cara lain! Aku merasa tak kebera-

tan, tokh aku tau engkau tak mempunyai niat-niat tak 

baik terhadap diriku...!" selak Andini tanpa merasa 

sungkan-sungkan lagi. Pendekar Hina Kelana hanya 

diam saja begitu mendengar jawaban si gadis. Tapi 

kemudian dia maju selangkah ke hadapan si gadis, la-

lu membalikkan tubuhnya dengan sikap menunggu.

"Kita tak punya banyak waktu, cepatlah kau naik 

ke punggungku. Pejamkan matamu, dan jangan seka-

li-kali buat kesalahan yang dapat berakibat bagi kita 

berdua...!" kata si pemuda tanpa maksud-maksud ter-

tentu. Sedetik kemudian tanpa merasa ragu lagi, An-

dini telah berpegangan erat pada bahu si pemuda.

"Maafkan aku, Kakang...! Aku sudah terlalu ba-

nyak merepotkanmu....!" Buang Sengketa hanya diam 

saja, saat itu dia mulai memusatkan segenap konsen-

trasinya untuk mulai melakukan perjalanan yang san-

gat berbahaya itu. Berulangkali usahanya hampir saja


mengalami kegagalan saat mana dia merasakan dua 

bukit kembar si gadis yang kenyal dan liat itu berges-

er-geser di punggungnya.

"Kurang ajar! Dalam keadaan seperti ini gadis 

bengal ini masih juga menguji ketabahanku....!" maki 

si pemuda diam hati. Tapi akhirnya terdengar pula su-

aranya, memberi peringatan keras pada Andini.

"Kau jangan bertingkah macam-macam, Andini! 

Perbuatanmu yang konyol itu bisa membuat kita cela-

ka...!" dengusnya sinis.

"Maa... maaf! Aku tak sengaja kakang...!" ucap-

nya merasa malu sendiri. Buang Sengketa sudah tidak 

menghiraukan jawaban Andini lagi. Selanjutnya den-

gan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang su-

dah sangat sempurna dan juga dengan memperguna-

kan Ajian Sepi Angin. Tubuh Pendekar Hina Kelana 

bersama Andini tampak melesat laksana terbang.

Seringan kapas tubuh si pemuda nampak me-

lompat dari bukit yang satu ke bukit yang berada di 

sebelahnya. Andini yang berada dalam keadaan mata 

di pejamkan hanya merasakan suara angin bersuitan, 

menderu-deru menyapu dingin bagian telinga dan 

tengkuknya.

"Hiaa... hiaaat....!" Tubuh pendekar itu terus 

berkelebat-kelebat semakin melesat jauh ke depan. 

Tak sampai sepeminum teh. Sampailah mereka di atas 

dataran yang sangat tinggi, Buang menarik nafas pen-

dek. Sepasang matanya kemudian membelalak saat 

dia melihat ke arah lain. Ternyata saat itu mereka te-

lah berada di bagian belakang Singgasana putih milik 

Peri Bunga Iblis. Tapi ketika mengamati suasana di 

lingkungan singgasana yang di kelilingi benteng tinggi 

itu, alis matanya mengernyit. Dia melihat sedang ter-

jadi pertarungan sengit di sana. Cepat-cepat pemuda 

berwajah sangat tampan itu menurunkan tubuh Andini.

"Kita telah sampai! Coba kau lihat ke arah bawah 

sana...!" kata si pemuda sambil menunjuk kesatu 

tempat di bawahnya.

"Pertempuran...! Tapi aku kurang begitu jelas, 

Kakang...!"

"Mari kita dekati tempat itu...!" kata si pemuda. 

Lalu berlari-lari kecil menuruni bukit diikuti oleh An-

dini. Setelah jarak antara mereka dengan istana perak 

itu sudah begitu dekat. Tampaklah oleh mereka pulu-

han pengawal Peri Bunga Iblis sedang mengurung seo-

rang kakek berwajah merah dengan seekor kuda pu-

tih. Di sisi kanan dan sisi kiri kakek dan kuda itu, 

tampak puluhan pengawal istana perak terkapar ber-

kubang darah. Sementara di tangan si kakek sebilah 

pedang panjang nampak tergenggam erat. Darah ma-

sih menetes dari ujung pedang yang berwarna merah. 

Buang Sengketa merasa kagum dengan keberanian si 

kakek berpakaian kembang-kembang ini. Orang tua 

itu memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Da-

tang entah dari mana, menyebar maut di sepanjang ja-

lan yang dilaluinya. Padahal dia hanya berdua berikut 

kuda putih yang nampaknya sangat terlatih dengan 

baik. Lain lagi halnya dengan Andini, sejak matanya 

melihat kuda putih yang menyertai si kakek. Dia men-

jadi sangat terkejut. Bahkan wajahnya mendadak be-

rubah pucat pasi. Jelas dia mengenali si kakek berba-

ju kembang-kembang berikut kuda yang menyer-

tainya. Karena orang yang sedang melakukan perta-

rungan itu tak lain merupakan gurunya sendiri.

"Kakang! Itu guruku, Kakek Darah Swanda...!" 

seru si gadis mencemaskan keselamatan gurunya.

"Gurumu! Hmm... luar biasa keberanian yang dia 

miliki. Pertarungan yang cukup seru...! Namun aku 

tak melihat adanya Peri Bunga Iblis dan pembantu


pembantu utamanya?" kata si pemuda mulai menyapu 

pandang ke arah bagian belakang istana perak.

"Heh....!" sentak Buang Sengketa terperanjat. "Di 

belakang istana putih ini ada kerangkeng! Pasti itu 

penjara buat orang-orang yang dicurigai. Setidak-

tidaknya mereka kaum golongan putih. Orang-orang di 

dalam kerangkeng itu pun begitu banyak! Tenaga me-

reka pasti berguna untuk menempur Peri Bunga Iblis 

dan orang-orangnya." kata si pemuda pada Andini.

"Apakah mereka mau membantu kita, Ka-

kang...?" tanya si gadis ragu-ragu.

"Mereka pasti butuh kebebasan! Mereka pasti 

membantu kita...!"

"Lalu bagaimana, Kakang....!" tanya Andini mera-

sa masih belum dapat menangkap rencana apa yang 

terkandung di hati si pemuda.

"Kau boleh menghubungi mereka dengan mak-

sud ingin membebaskan mereka. Katakan saja bahwa 

mereka segolongan dengan kita. Setelah itu ajak mere-

ka bertarung me-lawan begundal-begundalnya Peri 

Bunga Iblis...!" kata si pemuda begitu gamblang. Dan 

Andini nampak mengangguk-anggukkan kepalanya 

tanda mengerti.

"Nah sekarang kau berangkatlah ke sana! Kuli-

hat gurumu dan kuda putih miliknya sudah mulai ke-

walahan... eee... yang itu sepertinya Peri Bunga Iblis! 

Aku akan membantu gurumu... cepat kau kerjakan 

perintahku....!" kata Buang Sengketa. Lalu tanpa me-

nunggu jawaban Andini, tubuh Pendekar Hina Kelana 

melesat cepat ke halaman depan Istana Perak. Saat itu 

sedang terjadi perdebatan sengit antara Kakek Darah 

Swanda dengan Peri Bunga Iblis, Kebo Bogel, dan Ma-

can Liar ketika Buang menjejakkan kakinya di samp-

ing kakek berpakaian kembang-kembang dengan dis-

ertai ucapan: "Kakek Darah Swanda, Andini ada bersamaku. Dan aku mau membantumu...!" kata si pe-

muda. Sungguh pun Kakek Darah Swanda merasa be-

lum begitu mengerti akan maksud-maksud si pemuda, 

namun dengan disebut-sebutnya Andini. Akhirnya 

dia merasa berlega hati juga.

"Hmm... selain tikus merah. Kiranya datang seo-

rang lagi pemuda gembel menjijikkan....! Apakah tu-

juan kalian yang sebenarnya...?" geram Peri Bunga Ib-

lis. 

"Masih kurang jelaskah bagimu, Peri Keparat! 

Bahwa niat kedatanganku kemari adalah untuk men-

gambil Kitab Cakar Buana, yang telah dilarikan oleh 

murid-murid terkutuk itu! Dan satu lagi, aku ingin 

menagih hutang darah atas kematian murid-murid ke-

sayanganku...!" bentak Darah Swanda tanpa merasa 

gentar walaupun puluhan pengawal terus mengu-

rungnya begitu rapat.

"Hebat!" decak Peri Bunga Iblis. "Apakah engkau 

sendiri merasa mampu untuk membayar hutang nya-

wa sekian banyak orang-orangku yang telah kalian 

bunuh...?" dengus Peri Bunga Iblis. Kakek Darah 

Swanda tertawa bergelak.

"Sebagaimana halnya dengan nyawamu, aku 

menganggap nyawa mereka tak lebih berharga dari 

nyawa binatang...!"

"Keparaat! Lancang sekali bicaramu, Kakek sint-

ing! Kau benar-benar telah menghina ketua kami....!" 

Sentak Kebo Bogel merasa panas hatinya.

"Kalau kau merasa tak senang, bisa berbuat 

apakah...?" sergah Buang Sengketa ikut pula menim-

pali.

"Jahanam. Gembel berperiuk ini agaknya sudah 

pengin cepat-cepat mampus, Uwa...!" kata Peri Bunga 

Iblis pada Kebo Bogel.

"Tunggu apa lagi, tujuan mereka sudah jelas!


Cincang mereka...!" perintah Macan Liar pada puluhan 

pengawalnya. Tak begitu lama kemudian terdengar 

suara riuh rendah dan ringkik si putih yang juga su-

dah mulai menerjang lawan-lawannya.

***

SEBELAS



Pada saat yang sama dari arah penjara terlihat 

pula puluhan tahanan dengan senjata terhunus mem-

baur dalam arena pertempuran. Di antara para taha-

nan itu, Andini terus meluruk ke arah pengawal istana 

perak. Sambil berteriak-teriak memberi peringatan ga-

dis itu terus memutar pedangnya. Kebo Bogel, Macan 

Liar, juga Peri Bunga Iblis nampak sangat terkejut se-

kali melihat para tawanan dapat lepas dari kerang-

kengnya. Namun mereka juga sudah tak dapat berpi-

kir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu mereka sudah 

harus mengimbangi serangan-serangan yang di-

lancarkan oleh Buang Sengketa dan Kakek muka me-

rah.

Buang Sengketa nampak sedang berhadapan

dengan Kebo Bogel dan Macan Liar. Sedangkan Kakek 

Darah Swanda berhadapan pula dengan ketua Istana 

Perak. Yaitu Peri Bunga Iblis. Pertarungan dua tokoh 

dengan aliran berbeda itu memang benar-benar nam-

pak seru dan menegangkan. Dua-duanya begitu ber-

gebrak langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan-

nya: Sementara itu di pihak Peri Bunga Iblis, tiada 

henti-hentinya menyambitkan senjata rahasia yang 

sangat berbisa yang sudah dikenal oleh si kakek, yaitu 

Paku Bunga Iblis. Sejauh itu dengan mengandalkan 

ilmu mengentengi tubuh dan kecepatan gerak, Kakek


Darah Swanda selalu mampu menghindari serangan 

senjata gelap milik lawannya. Kenyataan ini membuat

wanita berwajah cantik tersebut menjadi berang. Da-

lam gebrakan selanjutnya dia mulai mengeluarkan 

pukulan 'Dewi Iblis Pengguncang Jagat' Yang di kenal 

sangat ganas dan merenggut banyak korban. Sungguh 

pun Kakek Darah Swanda belum mengenal secara 

pasti kehebatan pukulan beracun yang sedang dike-

rahkan oleh lawannya. Namun begitu melihat tangan 

Peri Bunga Iblis mulai mengeluarkan uap putih yang 

menebarkan bau menyengat. Secara naluri dia dapat 

merasakan betapa berbahayanya pukulan itu. Dengan 

sangat cepat pula, Ketua Perguruan Sangga Buana itu 

kerahkan pukulan ‘Sejuta Geledek’ tingkatan kedua. 

Begitu dia mengerahkan tenaga saktinya, maka kedua 

telapak tangannya berubah menjadi putih dan berki-

lauan. Peri Bunga Iblis merasa sangat kaget dengan 

apa yang dilihatnya. Betapa pun dia merasa belum 

pernah berhadapan dengan tokoh kosen yang satu ini. 

Namun dari keterangan-keterangan yang di peroleh-

nya, pukulan pihak lawannya mampu merobohkan 

dua puluh ekor gajah dalam sekali pukul. Tak ayal lagi 

perempuan berusia empat puluhan ini segera menda-

hului.

"Wuuus....!" Terdengar suara menderu disertai 

udara sangat dingin menggigit saat mana pukulan 

'Dewi Iblis Pengguncang Jagat' melesat dari bagian te-

lapak tangan si wanita. Darah Swanda juga kiranya 

tak mau kalah. Sedetik kemudian dia telah hantam-

kan tangannya ke arah depan. Sinar putih mengkilat 

yang menebarkan hawa panas memapaki datangnya 

pukulan ganas pihak lawannya.

"Dweeeerr.....!" Suasana di sekitar. pertempuran 

berubah mengabur dilingkupi kabut dan debu yang te-

rus mengepul ke udara. Baik para pengawal istana perak mau pun orang-orang dari kerangkeng penjara 

yang sedang terlibat pertarungan sengit dengan pihak 

lawan. Tampak berpelantingan roboh begitu tersambar 

dua kekuatan yang berlawanan itu. Tubuh ketua Per-

guruan Kilat Buana dan tubuh Peri Bunga Iblis sama-

sama tergetar hebat. Dari sudut bibir masing-masing 

nampak mengeluarkan darah kental. Hal ini merupa-

kan suatu tanda bahwa masing-masing lawan sama-

sama memiliki tenaga dalam yang seimbang. Begitu 

pun mereka sama-sama maklum bahwa di antara me-

reka pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tanpa 

ada terlihat berkurangnya semangat bertempur. Puku-

lan-pukulan yang sama pun kembali terulang. Kea-

daan tetap tidak berubah, Peri Bunga Iblis mulai ber-

pikir dan mencari jalan lain untuk memenangkan per-

tarungan itu lebih cepat. Akal licik pun bermunculan 

dalam benaknya. Kali ini bukan pukulan-pukulan 

dahsyat yang digelarnya. Sebaliknya dia mulai menca-

but senjata andalannya yang berupa sebuah paku be-

rukuran besar, berwarna kuning dan di bagian hu-

lunya bergagang tengkorak kepala Burung Nazar. 

Dengan senjata andalannya ini dia mulai mencecar 

Darah Swanda yang bersenjatakan pedang mustika 

yang berukuran sangat panjang.

Sementara itu pertarungan antara Pendekar Hi-

na Kelana dengan Kebo Bogel dan Macan Liar nampak 

sudah mencapai puncaknya. Sejak awal secara bertu-

rut-turut pendekar berperiuk ini sudah mulai mem-

pergunakan jurus silat tangan kosong 'Membendung 

Samudra Menimba Gelombang', jurus ini kemudian 

kena didesak oleh pihak lawannya setelah kedua la-

wannya mempergunakan dua jurus berbeda, yang sa-

tu bernama jurus 'Macan Siluman Memporak poran-

dakan Hutan' sedangkan yang satu lagi memperguna-

kan jurus 'Kebo Selaksa Iblis'. Buang Sengketa merasa


tidak pernah kehilangan kesempatan. Lalu dia pun 

pergunakan jurus 'Si Gila Mengamuk'. Jurus silat 

yang tak ubahnya bagai seorang pemabokan itu hanya 

dapat bertahan lima belas jurus, setelah pihak lawan-

nya menyerang si pemuda dengan pukulan-pukulan 

yang sangat berbahaya. Tidak cukup waktu baginya 

untuk mempergunakan jurus 'Si Jadah Terbuang' ba-

ginya. Terkecuali mengimbangi pukulan dua orang la-

wan dengan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan'. Ke-

sempatan itu juga dipergunakannya untuk mele-

paskan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh. Bukan saja 

di pihak lawan yang telah menyusut jumlahnya itu 

berpelantingan dan tewas seketika dengan telinga 

mengalirkan darah. Namun di pihaknya, yaitu para 

tawanan yang bergabung dengan mereka juga menga-

lami nasib yang tragis. Hanya mereka yang memiliki 

tenaga dalam yang sangat tinggi saja yang mampu ber-

tahan dari serangan Lengkingan Ilmu Pemenggal Roh.

Di kedua belah pihak nampak sama-sama terke-

jut sekali begitu merasakan kehebatan yang di miliki 

si pemuda. Bahkan Peri Bunga Iblis merasa dadanya 

menjadi sesak. Dan kakek Darah Swanda, andai tidak 

cepat-cepat menutup indera pendengarannya mungkin 

akan merasakan hal yang sama seperti apa yang di-

alami oleh lawannya. Sungguh pun begitu, ketua ista-

na perak dan dua orang begundal utamanya ini tidak 

merasa gentar sedikit pun. Bahkan mereka kini mulai

mengeluarkan senjata-senjata mautnya. Macan Liar 

nampak mulai memutar senjatanya yang berbentuk 

Cakar Harimau, sedangkan Kebo Bogel juga sudah 

mulai hantamkan dua bola baja yang di setiap sudut-

nya terdiri dari gerigi-gerigi yang sangat tajam lagi 

mengandung racun yang sangat ganas. Berulang-

ulang senjata maut itu nyaris menghantam tubuh 

Buang Sengketa, bahkan saat kesempatan yang sangat baik, Macan Liar sempat mencedrai bagian iga si 

Pemuda melalui sambaran Cakar Baja yang sangat mi-

rip dengan kuku macan. Darah mulai mengucur dari 

luka yang tidak seberapa parah, namun menimbulkan 

rasa nyeri luar biasa. Buang Sengketa menggeram, 

serta merta terdengar suara mendesis bagaikan seekor 

raja ular yang sedang dilanda kemarahan. Sementara 

itu sepasang matanya berubah memerah saga. Me-

mandang setiap gerakan lawannya dengan gumaman 

yang tiada berketentuan. Selanjutnya pemuda ini me-

mang tak pernah berkata apa-apa, namun secara pe-

lan dan cukup pasti kedua tangannya bergerak turun 

dan meraba dua senjata yang sangat tinggi pamornya. 

Begitu senjata itu tercabut, golok di tangan kanannya 

memancarkan sinar merah menyala. Udara di sekelil-

ing tempat itu mendadak dirasakan oleh lawan-

lawannya menjadi dingin luar biasa. Sementara Buang 

Sengketa merasakan adanya hawa hangat menjalari

tubuhnya lewat Pusaka Golok Buntung di tangannya. 

Saat itu pertarungan antara Andini, kuda putih dan 

orang-orang yang tergabung dengan mereka, telah ter-

henti. Para pengawal istana perak hampir keseluru-

hannya terbunuh. Sedangkan sisanya melarikan diri. 

Hanya tinggal tiga orang tokoh istana perak, saat ini. 

Yaitu Peri Bunga Iblis, Kebo Bogel dan Macan Liar. 

Tapi dua orang yang disebut belakangan kemudian ju-

ga harus mati-matian mempertahankan nyawa, dari 

serangan ganas dua senjata yang tiada terukur pa-

mornya.

Golok Buntung di tangan menderu, sedangkan 

cambuk di tangan kiri melecut. Sebagaimana biasanya 

begitu Cambuk Gelap Sayoto meliuk-liuk di udara. 

Maka Gelegar petirpun sambung menyambung. Sua-

sana alam sekitarnya menjadi gelap gulita berseli-

mutkan kabut tebal dan mendung hitam. Dalam kegelapan itu, hanya kilatan sinar merah menyala meman-

car dari Golok Pusaka yang berada dalam genggaman 

si pemuda. Tubuh Pendekar Hina Kelana, berkelebat, 

golok dan pecut di tangan menyambar ganas. Baik 

kawan mau pun lawan yang berada di sekitar tempat 

itu dihantui rasa takut, cemas dan ngeri. Terlebih-

lebih ketika terdengar suara menggeledek yang di 

ucapkan dengan menyertakan pengerahan tenaga da-

lam tinggi:

"Sebuah nama menyeramkan akan kuhapus dari 

noda bumi! Peri Bunga Iblis, paling ringan kepala dan 

kakinya akan kubuntungi.... Hiaaat....!" 

"Nguuung...!" 

"Ctaaar....! Ctaaar....!" Golok Buntung menderu 

dan menimbulkan bunyi bising menyakitkan gendang 

telinga, sementara Pecut Gelap Sayuto terus melecut 

dan timbulkan suara menggeledek. Tiada memberi ke-

sempatan sedikit pun, Buang Sengketa terus mengejar 

kemanapun lawan-lawannya menghindar. Suatu saat 

ketika mereka dalam keadaan kepepet. Dua orang la-

wan hantamkan senjatanya masing-masing.

"Traaak....! Praaaak....!" Senjata andalan mereka 

hancur berkeping-keping dilanda golok yang tergeng-

gam di tangan si pemuda.

Tiada berhenti sampai di situ saja, golok itu terus 

menyambar laksana memiliki mata.

"Jrees! Craaaat....!" Terdengar jeritan panjang, 

saat mana senjata itu meminta korban. Dada Kebo 

Bogel terbelah. Sungguh pun tidak sampai terpisah 

menjadi dua bagian, namun telah cukup untuk me-

renggutkan nyawanya. Sementara itu tubuh si Macan 

Liar juga menyusul ambruk ke bumi setelah terobek 

bagian pangkal lehernya. Kejadian yang dialami oleh 

dua orang begundalnya kiranya tak luput dari perha-

tian Peri Bunga Iblis. Perempuan itu bermaksud untuk


kabur meninggalkan tempat itu, namun sebelum niat-

nya kesampaian. Pendekar Hina Kelana telah men-

gambil alih pertarungan itu. Merasa tugasnya dite-

ruskan oleh pemuda berkepandaian luar biasa, maka 

dalam kegelapan akibat pengaruh lecutan Cambuk 

Gelap Sayuto. Kakek Darah Swanda, mengajak murid-

nya, Andini untuk menyerbu ke dalam istana perak 

milik Peri Bunga Iblis guna mendapatkan kembali Ki-

tab Cakar Buana milik perguruan mereka.

Sementara itu, dalam pertarungan yang sangat 

menentukan ini, Peri Bunga Iblis yang sudah mulai 

menciut nyalinya. Tampak sudah tak dapat lagi mela-

kukan kontrol dengan baik. Sekali waktu dengan ne-

kad dia juga memapaki serangan senjata yang sangat 

berbahaya itu.

"Craaaang...!"

"Aiiih....!" Terdengar satu seruan tertahan saat 

mana senjata mereka saling berbenturan. Bahkan ra-

tunya manusia sesat itu lebih terperanjat lagi ketika 

mengetahui senjatanya patah menjadi dua bagian.

"Ctaar! Wuuut....!" Belum lagi hilang rasa kaget-

nya ketika sedetik berikutnya tubuh Peri Bunga Iblis 

tersambat cambuk. Yang lebih celaka lagi cambuk itu 

melilit pinggangnya sedemikian keras. Dengan segenap 

kemampuannya dia berusaha melepaskan lilitan cam-

buk, ketika usahanya itu hampir mendatangkan hasil, 

sebuah sentakan keras menerbangkan tubuhnya ke 

arah jurang yang menganga.

"Aaaaahhh.....!" Dua jeritan yang sama terdengar, 

pertama saat tubuh ratu sesat itu meluncur deras ke 

arah jurang. Yang kedua saat tubuh perempuan can-

tik itu membentur batu-batu runcing yang berada di 

dasar, jurang itu. Tubuh si pemuda diam mematung, 

perlahan-lahan dia menyelipkan Golok dan melilitkan 

Cambuk Gelap Sayuto di bagian pinggangnya. Sambil


berkelebat pergi, pemuda itu melalui ilmu mengirim-

kan suara berkata: "Semoga usahamu berhasil, Kakek 

Darah Swanda! Selamat tinggal, Andini....!"

"Kakang... aku mencintaimu, jangan tinggalkan 

aku....!" jerit gadis berwajah ayu itu terdengar lamat lamat.




                               TAMAT





Share:

0 comments:

Posting Komentar