PERI BUNGA IBLIS
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Gambar Sampul oleh David
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Peri Bunga Iblis
SATU
Setelah sekian lama ditinggal oleh ke dua orang
tuanya, kedua pemuda itu kemudian memutuskan
untuk meninggalkan kampung halamannya yang
hampir sepanjang tahun dilanda kekeringan. Tiada tu-
juan lain dalam pengembaraan mereka itu terkecuali
mencari ibu mereka dan sekedar pengalaman untuk
bekal hidup mereka di masa-masa yang akan datang.
Enam belas tahun bukanlah waktu yang singkat, dan
selama itu pula mereka hidup dalam asuhan nenek
Kreot, yaitu salah seorang tokoh persilatan golongan
putih yang telah berumur kurang lebih enam puluh
sembilan tahun. Karena usia mereka baru berkisar li-
ma tahun ketika ditinggal oleh ibu kandungnya, maka
wajah sang ibu, bagi mereka sudah agak kabur dalam
ingatannya. Hanya dua buah kalung yang terbuat dari
tanduk menjangan merah itulah sebagai bekal untuk
mencari ibu kandung mereka.
Sungguhpun begitu, kedua pemuda ini merupa-
kan dua anak manusia yang berpribadi lugu, bahkan
selama ini orang-orang di sekeliling mereka mengenal-
nya dengan julukan Dwi Tolol. Sebuah julukan yang
tak sedap didengar, namun mereka menyukai-nya.
Demikianlah setelah mereka ini melewati beberapa de-
sa dan merambah dua buah hutan belantara. Tiga ha-
ri kemudian bekal yang mereka bawa pun sudah se-
makin me-nipis. Langkah dua pemuda pengembara itu
tampak mulai terseok-seok. Terlebih-lebih yang berja-
lan di bagian paling belakang.
"Kakang Ginuk...! Berhenti dulu ah,... badanku
sudah letih sekali...!" Pinta yang lebih muda, serta
merta langsung ngedeprok di atas semak-semak yang
mereka lalui. Pemuda yang berada di bagian paling
depan hentikan langkahnya, dengan sikap enggan pa-
lingkan kepala ke belakang.
"Kau ini selalu membuat aku kesal, adik Gin-
drung...! Kalau nggak kuat jalan, baiknya kau tak
usah ikut. Tinggal saja di gubuk reot desa kita...!" um-
pat kakaknya yang paling tua.
"Kakang keterlaluan! Tinggal di rumah sama sia-
pa? Nungguin kuburan nenek Kreot? Huh, aku paling
takut....!"
"Mengapa harus takut...!" kata Ginuk masih te-
tap berdiri. "Bukankah nenek Kreot selama ini sangat
baik pada kita....?" Yang ditanya nampak terdiam se-
ketika lamanya. Gindrung seperti merenungi kata-kata
yang baru saja diucapkan oleh kakaknya. Memang ka-
lau diingat-ingat, selama hidupnya, nenek Kreot selalu
bersikap baik pada mereka. Bahkan ketika umur lima
tahun mereka terlunta-lunta karena ditinggal oleh
ayah dan ibunya yang tergila-gila dalam petualangan.
Nenek Kreotlah yang mengurus mereka, membesar-
kannya, walau setiap hari mereka cuma ketemu sing-
kong. Itupun sudah sukur. Bahkan mereka malah ber-
terima kasih, karena beberapa tahun kemudian nenek
Kreot bersedia menurunkan ilmu silat 'Kurung Setra'
pada mereka berdua. Tolol-tolol begitu, mereka masih
mampu menyelesaikan jurus-jurus silat pemberian
nenek Kreot dengan sangat baik.
Tapi sebaik-baiknya nenek kreot, bukankah kini
sudah meninggal dunia. Bahkan sudah dikubur lebih
dari enam purnama yang lalu. Gindrung selamanya
paling takut pada orang yang sudah mati. Apalagi bila
melihat kuburan. Bagaimana kalau sewaktu-waktu
orang yang sudah mati itu bangkit kembali dengan so-
sok yang lain? Hhh, Gindrung benar-benar tak berani
membayangkan akibatnya.
"Apakah kau mau mungkir, kalau nenek Kreot
memang sangat baik pada kita?" ulang Ginuk, mem-
buat adiknya tersentak dari lamunannya. Lalu, den-
gan cengengesan, Gindrung membantah: "Siapa bilang
nenek Kreot tidak baik! Tapi aku takut tinggal di ru-
mah! Apalagi kuburan nenek Kreot ada di situ...!"
"Ya, sudah kalau begitu kita jalan lagi...!" bentak
kakaknya, mulai melangkah kembali. Namun baru be-
berapa langkah, Gindrung sudah memanggilnya kem-
bali.
"Kakaaaaang....!"
"Ah, masa bodoh! Kalau kau tetap duduk di situ,
biarkan saja sebentar lagi pasti ada macan yang akan
memakan dagingmu...!" kata Ginuk, sambil terus
memperlebar langkahnya.
"Ah... kampret juga kakangku itu, nggak mau
ngerti padahal perutku sudah sangat lapar sekali....!"
batin Gindrung. Sebentar kemudian dengan langkah
terseok-seok, pemuda berumur dua puluhan itu kem-
bali mengejar kakaknya yang sudah berada jauh di
depan sana.
"Nyusul juga kau heh....! Kukira mau tetap nge-
joprok di sana...!" dengus saudaranya. Tanpa menya-
huti sindiran kakaknya, Gindrung mengeluh.
"Lapar, kang.....! Dua hari lagi berjalan terus,
dua hari lagi nggak makan, aku bisa mati kakang...!"
"Bekal sudah habis, tukang loak tak mungkin
ada di pinggiran hutan ini! Kau makan apa....?" kata
Ginuk bersungut-sungut.
"Ah, celaka! Ini perut nggak bisa diajak kompro-
mi kang...!" sambil memegangi perutnya yang terasa
perih dan melilit, Gandrung menyahuti.
"Bilang saja sama perutmu, masih belum ada
makanan!" kata Ginuk sekenanya. Namun beberapa
saat kemudian wajahnya berubah cerah ketika dia me-
lihat tak begitu jauh di depan mereka terdapat sebuah
ladang penduduk yang sangat luas. "Hei... lihat, di de-
pan kita...!" Ginuk berseru sambil menunjuk pada se-
buah tempat tak begitu jauh di depan mereka.
"Mana kang....! Huh itu cuma sebuah ladang
yang nggak ada makanannya...!" sahut Gindrung se-
makin tak bersemangat.
"Goblok! Tidak kau lihatkah pohon aren yang ada
bambunya itu...?" gerutu pemuda berpakaian belang-
belang itu setengah marah.
"Eee... ya... yaa aku melihatnya....!"
"Pasti ada orang yang menyadap air Nira (aren) di
situ....!" ujar Ginuk dengan mata berbinar-binar.
"Air nira untuk apa, Kang...!" tanya adiknya, tia-
da mengerti. Sang kakak jadi garuk-garuk kepalanya
tanda merasa kesal dengan cara berpikir adiknya yang
dia anggap terlalu tolol, (padahal dia sendiri tidak le-
bih pintar dari adiknya).
"Air Nira itu untuk diminum...!" kata Ginuk,
meskipun dongkol tapi dikatakannya juga.
"Rasanya bagaimana, Kakang...?"
"Rasanya....?" Ditanya rasanya, Ginuk pun ge-
leng-gelengkan kepalanya. Karena sebenarnya seumur
hiduppun dia memang belum pernah meminum air Ni-
ra itu rasanya bagaimana. Tapi untuk tidak membuat
kecewa adiknya, pemuda itu pun berkata: "Rasanya
Nira, mungkin bisa manis, asin... ah entahlah... kalau
perlu nanti kita curi...!"
"Mencuri... mencuri itu dilarang, Kakang...!" ser-
gah Gindrung merasa tidak setuju.
"Siapa bilang....?" tanya Ginuk dengan mata
membelalak.
"Nenek Kreot pernah bilang begitu...!"
"Nenek Kreot sudah mati, dan kita sekarang la-
par...!" bantah Ginuk sambil terus melangkahkan ka-
kinya mendekati ladang.
Tak sampai sepemakan sirih, sampailah mereka
di ladang yang sangat luas itu. Lalu Ginuk dan Gin-
drung menyapu pandang pada daerah sekitarnya.
"Aman, kang....! Nggak ada siapa-siapa....!"
"Kalau begitu, kita panjat sekarang!" kata ka-
kaknya sambil mendekati sebatang pohon Aren yang
paling dekat dengan mereka.
"Kau yang duluan manjat, Kang...!"
"Kau saja. Adik Gindrung,..!"
"Baiklah...!" kata Gindrung. Kemudian tiada me-
nyia-nyiakan waktu lagi, pemuda bertampang tolol itu
mulai memanjat tangga yang terbuat dari sebatang
pohon bambu yang diberi lubang di sisi kanan kirinya.
Setelah menapak tujuh anak tangga, sampailah Gin-
drung pada bumbung yang di pasang melekat pohon
aren itu dengan maksud untuk menampung air yang
menetas dari bekas goresan tangkai bunga Nira. Ter-
cium bau harum, saat mana Gindrung mulai mene-
guk, air Nira yang terdapat dalam bumbung yang telah
penuh.
"Cgluuk... Cgluuuk... Cgluuuuk...!"
"Muanis... muaniiis... maniiis, Kakang....!" teriak
Gindrung sambil terus meneguknya.
"Sisakan untukku, jangan kau habisi....!"
"Ya...ya... kusisakan banyak untukmu....!" Dari
atas pohon Gindrung menyahuti.
"Cepat-cepatlah kau turun, Adik...!" perintah Gi-
nuk tak sabaran. Sebenarnya saat itu Ginuk masih
belum merasa kenyang dengan air Nira yang telah di-
minumnya. Tapi dia pun menyadari kalau saat itu,
kakak kandungnya juga sedang kelaparan. Itu sebab-
nya begitu dia mendapat aba-aba dari kakaknya, pe-
muda tolol itu pun langsung turun. Begitu Gindrung
telah berada di bawah, maka Ginuk pun ganti meman-
jat pohon aren itu. Lebih cepat lagi pemuda yang me
rasa penasaran itu sampai ke atas. Cepat-cepat dia
melakukan hal yang sama.
"Gluuuk... Gluuuuk.... Gluuuuk!"
"Wei iya, manis adik....!" katanya sambil meneng-
gak isi bumbung itu hingga tuntas.
"Aku mau manjat pohon yang satunya lagi, Ka-
kang...!" Tanpa menunggu. jawaban Ginuk, pemuda
ini langsung memanjat pohon Aren yang terletak di
sebelahnya. Hal yang sama pun dia lakukan. Demi-
kianlah hal itu terulang dan terulang lagi, hingga ak-
hirnya Dwi Tolol itu merasakan kenyang luar biasa.
"Kang... sekarang hari telah menjelang senja, ada
baiknya kalau kita nginap saja di gubuk itu."
"Iya. Aku pun jadi mengantuk sekali... baiknya
kita tidur di gubuk itu saja!", jawab Ginuk, langsung
menyetujui.
Demikianlah setelah berada dalam gubuk itu dan
merebahkan tubuhnya. Tak sampai setengah jam ke-
mudian, Dwi Tolol pun telah terlelap. Bahkan mereka
tak menyadari, beberapa jam kemudian pemilik ladang
itu terpaksa harus mencak-mencak begitu mengeta-
hui bumbung yang di pasangnya sejak pagi kosong
tanpa air nira.
"Kurang ajar! Tidak biasa-biasanya, bumbung
bambu pada kosong begini. Mungkin sebangsanya
memedi kelaparan dan berkeliaran di sini...! Baiknya
tak usah kusadap hari ini. Biar keberaki saja....!" batin
laki-laki pemilik kebun itu. Selanjutnya tanpa menghi-
raukan keadaan sekelilingnya, laki-laki itu membuka
celananya dan langsung buang hajat. Setelah selesai,
kotoran itu dia bagi men-jadi sepuluh bagian, kemu-
dian dimasukkan-nya ke dalam sepuluh bumbung, la-
lu diisinya bumbung itu dengan air sumur yang terda-
pat di tengah-tengah ladang. Setelah itu bumbung
yang telah terisi air dan kotoran dia aduk-aduk hingga
rata. Selesai dengan pekerjaannya, pemilik ladang se-
gera pula memasang bumbung demi bumbung pada
tempatnya. Ketika hari merembang malam, pulanglah
laki-laki berbadan gemuk pendek itu dengan sesungg-
ing senyum kemenangan di bibirnya.
Keesokan paginya Gindrung yang masih merasa
penasaran dengan kelezatan air nira, begitu terjaga
langsung memanjat pohon aren yang kemarin telah
dipanjatnya. Tak ketinggalan kakaknya yang memiliki
pikiran tak lebih dari adiknya itu mengekor di bela-
kangnya. Setelah menoleh kanan kiri, maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, Gindrung menoleh pada
Ginuk. Salah seorang Dwi Tolol itu pun nyeletuk:
"Semalam aku yang telah memanjat duluan, se-
karang giliranmu pula yang duluan!" kata Gindrung
bersemangat.
"Tak jadi soal! Hari ini merupakan hari terakhir
kita menikmati nira di sini!" kata pemuda itu.
"Heuuup...!" Dengan sekali lompat, maka peker-
jaan memanjat itu pun dimulai. Sebentar kemudian
Ginuk telah sampai pada bumbung itu. Lalu tanpa ra-
gu-ragu lagi langsung meneguk isi bumbung tersebut.
"Gleeegk... gleegk... gleeek...!"
"Ha... air ini rasanya kok tidak seperti nira, ada
bau pesing dan bau kotoran!" membatin pemuda itu.
"Kakang, sisain untukku...!" sela Gindrung yang
saat itu telah bersiap-siap untuk memanjat.
"Jangan takut. Bahkan bumbung ini akan kuba-
wa turun. Tapi yang belakangan kebagian ampas...!"
kata Ginuk, sambil terus meluncur ke bawah dengan
menggendong bumbung itu. Sesampainya di bawah
Gindrung segera merampas bumbung itu, dan lang-
sung:
"Gluuk... gluuuk... gluuuk...!"
"Wuaaaah... kurang ajar! Ini bukan air nira ka
kang... tapi kotoran manusia yang bercampur air
kencing...!" teriak Gindrung marah-marah. Kemudian
tanpa menghiraukan kakaknya, pemuda itu terus ber-
lari-lari meninggalkan kakak kandungnya.
"Adik. Tunggu, semuanya harus serba adilkan...!"
ucapnya sambil memburu adiknya.
***
DUA
Dunia persilatan menjadi gempar dengan ke-
munculan seorang tokoh wanita beraliran sesat yang
memiliki julukan 'Peri Bunga Iblis'. Sudah banyak to-
koh-tokoh persilatan tingkat tinggi, tewas di tangan-
nya. Di antaranya orang-orang segolongan sendiri.
Dengan mengandalkan senjatanya yang berupa Jarum
Bunga Iblis.
Tokoh sesat yang namanya cepat kesohor di ka-
langan persilatan itu mampu membunuh lawan-
lawannya, tanpa melalui pertarungan sengit.
Konon 'Peri Bunga Iblis' yang tokoh misterius itu,
memiliki kaki tangan yang sangat setia. Mereka-
mereka ini merupakan tokoh-tokoh golongan sesat
yang berhasil dibujuk dengan tipu muslihat kelicikan,
atau pun dengan melalui pertarungan yang mene-
gangkan. Kian tahun anggota 'Peri Bunga Iblis', kian
bertambah kuat bahkan telah memiliki markas besar
yang berpusat di hutan Jajaran yang selama ini di
kenal oleh kalangan persilatan sebagai daerah laran-
gan yang angker. Tak seorang pun pernah kembali da-
ri tempat itu, bahkan akhir-akhir ini banyak orang-
orang persilatan terperangkap di Hutan Jajaran. Apa
sesungguhnya yang sedang terjadi pada diri mereka,
tak seorang pun yang tahu.
Siang itu dua orang penunggang kuda nampak
memasuki Teratak, yang selama ini banyak di kenal
orang sebagai tempat yang terdekat letaknya dengan
hutan Jajaran. Suasana desa sebagaimana biasanya
kelihatan ramai, karena secara kebetulan desa Teratak
merupakan sebuah pasar tempat jual beli barang-
barang keperluan sehari. Tanpa menghiraukan orang
yang lalu lalang, kedua penunggang kuda berpakaian
cokelat dengan sebilah pedang yang menggelantung di
pinggangnya itu, terus saja menggebrak kuda-kuda
tunggangannya. Debu beterbangan ke udara, orang-
orang yang berada di sekitar tempat itu nampak gusar
dan keluarkan kata-kata bernada tak enak. Itu pun
tak mereka perduli. Nampaknya mereka saat itu se-
dang dalam keadaan terburu-buru. Beberapa saat se-
telah berlalunya dua orang itu, menyusul pula pe-
nunggang kuda lainnya yang berjumlah tak lebih dari
empat orang. Sama seperti dengan penunggang kuda
terdahulu, kali ini keempat orang penunggang kuda
itu pun nampak memacu kuda-kuda mereka dengan
kecepatan penuh.
"Kurang ajar! Penunggang kuda tak tahu adat.
Ketahuan di sini banyak orang begini rupa, masih juga
mereka memacu kuda secepat itu...!" umpat salah seo-
rang pedagang yang barang-barang jualannya sempat
terinjak-injak kaki kuda.
"Kau seperti tak tahu saja San! Kita ini orang ke-
cil, jangan banyak tingkah. Kalau dengar orang-orang
itu, bisa-bisa kepalamu menggelinding nggak ketemu
anak bini?!" kata yang lainnya, sesama pedagang.
"Ah paling-paling mereka para persilatan yang
sengaja cari mampus, begitu berani memasuki hutan
Jajaran!" sela orang pertama menunjukkan rasa keti-
dak senangan.
"Sudahlah itu bukan urusan kita...! Peri Bunga
Iblis tidak mengganggu penduduk daerah sini saja su-
dah seharusnya kita bersukur...!" kata kawannya,
tampak mulai sibuk melayani para pelanggannya.
Kenyataannya benar seperti apa yang dikatakan
oleh pedagang-pedagang tadi, para penunggang kuda
itu menuju hutan Jajaran tempat bermukimnya 'Peri
Bunga Iblis' dan begundal-begundalnya. Sementara
itu penunggang kuda yang berada di belakangnya, kini
sudah semakin dekat dengan dua orang penunggang
kuda yang berada di bagian paling depan. Kejar-
kejaran itu pun terus berlangsung, hingga sampai di
tikungan jalan setapak dua penunggang kuda yang
pertama pun sudah hampir tersusul. Dalam keadaan
seperti itulah tiba-tiba salah seorang dari empat pe-
nunggang di belakangnya membentak: "Kembar Kirik
Cokelat! Lebih baik batalkan niatmu untuk memasuki
hutan Jajaran! Serahkanlah Kitab Dewa Murka milik
perguruan, kami menjamin guru kita akan mengam-
puni jiwa kalian dengan hukuman yang paling rin-
gan...!" Kata yang berada di belakang. Tak terdengar
suara jawaban apa pun, terkecuali suara mendengus
yang menandakan bahwa penunggang kuda yang be-
rada di bagian paling depan meremehkan perintah
orang yang berada di belakang mereka.
"Tak ada gunanya kita memperingati mereka...!"
Gumam kawannya, kemudian tanpa membuang waktu
lagi, orang yang berada di belakang penunggang kuda
pertama tampak mencabut empat buah pisau yang
terselip di bagian pinggangnya. Dalam keadaan kuda
berlari sangat cepat, orang bertampang keren itu sam-
bitkan empat buah pisaunya mengarah pada bagian
kaki kuda yang berada di depannya. Dengan sekali
sambit:
"Ziiiiing.....!" Laksana kilat keempat pisau yang di
sambitkan oleh laki-laki bertampang keren itu meng-
hantam kaki kuda.
"Jeb....! Jeeeeb....!" Dua ekor kuda tunggangan
meringkik keras, ketika pisau itu mengenai bagian ka-
ki kuda bernasib sial ini. Tanpa ampun kuda-kuda itu
ambruk dan melemparkan kedua orang penunggang-
nya ke udara. Karena mereka berdua memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf lu-
mayan. Maka dengan berjumpalitan beberapa kali,
mereka ini mampu menjejakkan kakinya dengan baik
di atas permukaan tanah berbatu. Serentak dengan
kejadian itu, maka keempat penunggang kuda yang
terdiri dari tiga laki-laki dan seorang gadis yang masih
muda remaja itu melompat dari punggung kuda mas-
ing-masing. Begitu lincah gerakan tubuh mereka ini,
hingga dalam waktu sekedipan mata saja mereka telah
mengurung rapat dua penunggang kuda berpakaian
cokelat.
"Bangsat! Kalian benar-benar sangat keterlaluan
sekali. Membuat malu perguruan bahkan tak pernah
memandang nama besar guru, Darah Swanda...!" maki
si wajah keren sambil meludah ke tanah beberapa
kali. Dua laki-laki berpakaian cokelat yang selama ini
di kenal sebagai 'Kembar Kirik Cokelat' nampaknya
merasa menang dengan pelarian itu. Bahkan sorot
mata mereka nampak memandang remeh pada empat
orang penyusulnya. Salah seorang dari dua Kirik Co-
kelat ini maju dua tindak. Kemudian dengan penuh
kesombongan laki-laki muka anjing ini mencemooh.
"Heh.... Kitab Cakar Buana telah berhasil kami
dapatkan! Tak ada salahnya kalau kami meninggalkan
Perguruan Sangga Buana. Lalu apa-apaan kalian me-
nyusul kami....?"
"Mungkin mereka sengaja mencari mati, Ka-
kang...!" kata salah seorang yang berbadan semampai.
"Keparaat! Kalian benar-benar murid murtad! Pa-
ra Dewa pasti akan mengutuki segala tindakan kalian
yang sangat tidak terpuji itu...!" kata si Wajah Keren
berusaha meredakan emosinya yang terasa mulai me-
muncak.
"Hiee... he... he....! Pulanglah, Nak! Tak ada gu-
nanya kalian melawan kami. Sebentar lagi pemimpin
besar seluruh kaum persilatan akan menemui kami.
Beliau paling tidak senang melihat ada orang yang ti-
dak dikenalnya bebas bergerak di daerah kekuasaan-
nya. Demi mengingat hubungan baik di antara kita se-
lama ini. Kurasa peringatan kami ini sudah cukup se-
bagai imbalan buat Kitab Cakar Buana yang kami ba-
wa ini!" kata Kembar Kirik Cokelat dengan penuh ke-
menangan.
"Keparaaaaat, murid iblis! Kiranya kalian telah
bersekutu dengan betina sesat yang menjadi penguasa
di Jajaran ini...?" maki gadis berpakaian putih yang
turut menyertai ketiga rombongan itu.
"He... he... he....! Untuk sesuatu yang mendapat
imbalan sangat besar.. Rasa-rasanya tak ada salahnya
andai kami melakukannya. Pula guru Darah Swanda
yang rada pikun itu sejak dulu-dulu sudah tidak se-
nang dengan kami."
"Sekali lagi, kuperingatkan pada kalian, cepat-
cepatlah tinggalkan tempat ini sebelum Penguasa Ja-
jaran membunuh kalian semua....!" sentak Kembar Ki-
rik Cokelat dengan nada mengancam.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar menjadi seo-
rang penghianat yang sangat keji! Heh... jangan sekali-
kali bermimpi dapat lolos dari tangan kami....!" bentak
si wajah keren sambil mengedipkan mata pada kawan-
kawannya untuk menjaga segala kemungkinan.
"Sedari tadi kerjamu hanya ngebacot saja, Abi
Lawa....! Kalau kalian merasa mampu merebut kitab
Cakar Buana mengapa tidak kalian lakukan....?"
"Sial dangkal! Kembar Kirik Cokelat murid kepa-
raat! Lihat serangan....!" teriak Abi Lawa. Serta merta
laki-laki berwajah keren ini melompat ke depan, lalu
hantamkan tinju kanannya di sertai dengan sapuan
kaki mengarah bagian perut kembar Kirik Cokelat.
Dua manusia kembar berkepala anjing itu tentu me-
nyadari bahwa pukulan yang dilakukan oleh Abi Lawa
bukanlah sembarangan pukulan. Mereka mengenal
pukulan itu sebagai pukulan 'Si Langlang Buana"
tingkatan kesepuluh. Gebrakan pertama yang dilaku-
kan oleh Abi Lawa ini saja menandakan bahwa murid
dari perguruan Sangga Buana ini benar-benar meng-
hendaki nyawa mereka. Sambaran angin yang sangat
keras menderu dan membuat sesak dada si kembar
ini. Menyadari jiwanya dalam keadaan terancam, ma-
ka dengan mempergunakan jurus yang sama, kedua
orang ini langsung membanting tubuhnya ke samping
kiri. Selanjutnya berguling-guling menghindar. Namun
dari arah lain, menyambut pula serangan yang sama.
Maka tak ayal lagi dalam waktu sekejapan saja dua
orang ini langsung menjadi keteter. Apalagi mengingat
dalam tingkatan murid-murid Sangga Buana, kedua
orang ini masih memiliki kepandaian di bawah Abi
Lawa.
"Hiaaaat.....!"
"Wuuuuus.....!" Gadis berwajah cantik yang ber-
nama Andini hantamkan pukulan tangannya ke ba-
gian punggung Kembar Kirik Cokelat. Pada saat itu
Kembar Kirik Cokelat yang sedang menghadapi seran-
gan Abi Lawa, Basra dan Jatra, tampaknya sudah tak
sempat menghindari dua sodokan beruntun yang dila-
kukan oleh Andini. Maka: "Buuuuuk.....!"
"Wuuuuah......! Gusraaak....!" Salah seorang dari
kembar Kirik Cokelat terjerembab ke depan, wajahnya
mencium tanah tanpa ampun. Namun tanpa menghi-
raukan rasa sakit yang mendera punggungnya, manu-
sia berkepala anjing ini cepat bangkit kembali. Kemu-
dian tanpa merasa sungkan-sungkan lagi, mereka
langsung cabut senjatanya yang berupa palu yang ter-
buat dari batu hitam. Dengan adanya senjata aneh di
tangan mereka ini, sudah tentu keempat murid Pergu-
ruan Sangga Buana yang ditugaskan untuk mengam-
bil Kitab Cakar Buana yang tengah dilarikan oleh ke-
dua murid murtad itu merasa terkejut sekali. Sebab
selama ini mereka ketahui bahwa Kembar Kirik Coke-
lat tidak memiliki senjata jenis apa pun terkecuali se-
bilah pedang pendek yang sewaktu-waktu dapat di
pergunakan sebagai senjata rahasia.
"Keparat....! Benar-benar manusia iblis yang te-
lah merencanakan maksud-maksud terkutuk dengan
menyamar sebagai murid Sangga Buana." maki Jatra
nampak sangat marah sekali. Kembar Kirik Rogo
hanya diam saja, sebaliknya sebagai jawabannya, sen-
jata palu yang berada dalam genggaman mereka men-
deru.
"Nguuuuung....!" Empat orang murid Sangga Bu-
ana jadi terkesiap manakala merasakan adanya sam-
baran angin dingin menerpa wajah mereka. Tapi me-
reka juga bukanlah murid-murid kemarin sore, kalau
hanya menghadapi senjata yang berbau aneh ini men-
jadi keder. Walaupun mereka belum mengetahui se-
jauh mana kehebatan senjata di tangan lawannya,
namun Kembar Kirik Cokelat masih merupakan mu-
rid-murid yang berada di bawah tingkatannya.
"Wuuuuus!"
"Arggkh.......!" Salah seorang dari keempat orang
itu menjerit tertahan saat mana tangan kanannya
yang bermaksud menyarangkan satu pukulan ke ba-
gian perut lawan terhantam palu yang memiliki sisi
pipih dan tajam itu. Dengan cepat sekali luka yang
mengalirkan darah itu berubah menghitam. Sadarlah
Basra kalau senjata di tangan lawannya mengandung
racun yang sangat keji. Semua apa yang dialami oleh
Basra rupanya tak luput dari perhatian Abi Lawa, ke-
tika Basra menyeringai menahan rasa sakit, keadaan
itu sudah cukup bagi murid kedua Perguruan Sangga
Buana untuk mengerti bahwa senjata Kembar Kirik
Cokelat benar-benar sangat berbahaya. Serta merta
kemarahannya pun sudah tak mampu dia bendung
lagi. Mulai saat itu dia mulai berpikir-pikir untuk
mempergunakan pisau terbangnya. Namun dalam
keadaan melakukan keroyokan seperti itu, tampaknya
sangat tidak memungkinkan bagi dia untuk melaku-
kannya. Salah, salah bisa nyasar menghantam ka-
wannya sendiri.
"Kawan-kawan! Minggir kalian semuanya....!" te-
riak Abi Lawa memberi perintah pada adik-adik seper-
guruannya.
"Bet! Bet....!" Tiga orang lainnya serentak ber-
lompatan menjauh. Tak banyak yang bisa mereka la-
kukan terkecuali menjaga setiap kemungkinan. Dalam
pada itu, Abi Lawa berseru lantang:
"Sungguh pun kalian mempergunakan senjata
milik para iblis! Ingin kulihat sampai di mana keheba-
tan kalian...! Maka bersiap-siaplah, heaaaaa.......!"
Tanpa ampun lagi pertarungan antara hidup dan mati
berlangsung sengit. Kini Abi Lawa tanpa merasa sung-
kan-sungkan lagi segera cabut beberapa buah pisau
yang terselip di pinggangnya. Dengan mempergunakan
jurus ‘Kilat Buana Membelah Gunung’, tubuh Abi La-
wa sekejap kemudian telah pula berkelebat lenyap.
Hanya sambaran angin bersiuran saja yang menanda-
kan Abi Lawa saat itu telah bersiap-siap melepaskan
senjata rahasianya.
TIGA
Kembar Kirik Cokelat tentu menyadari adanya
bahaya ini, sejurus kemudian mereka putar senjata
palunya membentuk sebuah perisai diri. Selanjutnya
tubuh Kembar Kirik Cokelat telah pula terbungkus gu-
lungan sinar berwarna hitam. Perobahan yang sangat
mendadak ini membuat Abi Lawa kehilangan kesem-
patan untuk menyambitkan pisaunya. Kenyataannya
memang pertahanan yang di bentuk oleh Kembar Kirik
Cokelat selain sangat rapi, juga terlalu sulit untuk di-
tembus. Tapi bukan Abi Lawa orangnya kalau hanya
dalam menghadapi keadaan seperti itu saja dia lantas
menyerah. Detik selanjutnya Abi Lawa mulai bersiap-
siap kirimkan satu pukulan yang dinamakan ‘Dewa
Menyabit Rum-put’. Tubuh laki-laki berpenampilan
rapi ini nampak menggeletar beberapa saat lamanya
ketika dia berusaha menghimpun tenaga sakti ke arah
bagian tangannya.
"Hiaaa.....!" Dengan disertai jeritan tinggi me-
lengking, tubuh Abi Lawa bersalto ke udara, begitu tu-
buhnya menukik ke bawah, dua pukulan beruntun dia
lepaskan. Diikuti sambitan senjata rahasianya yang
berupa beberapa buah pisau.
"Wuuuus.....Wuuuuuss......!"
"Ziiiiing.....!" Tanpa ampun lagi pukulan 'Dewa
Menyabit Rumput' membobolkan pertahanan si Kem-
bar Kirik Cokelat.
"Blaaak.....!"
"Wuaaaaeee......!" Kedua orang itu langsung ter-
jengkang tubuhnya, sebelum mereka sempat berbuat
sesuatu. Senjata rahasia yang disambitkan oleh Abi
Lawa nyaris menghantam tubuh mereka. Namun si
Kembar Kirik Cokelat kiranya dua ekor manusia berkepala anjing yang memiliki penglihatan yang sangat
jeli. Begitu mereka melihat beberapa benda berwarna
putih meluruk ke arah mereka. Maka tanpa ampun la-
gi keduanya hantamkan senjatanya ke arah benda-
benda itu.
"Ting....! Tanggg........! Traaaang....!"
"Arggghk.....!" Walaupun beberapa senjata raha-
sia itu dapat diruntuhkan dengan putaran senjata di
tangan mereka, tak urung dua di antaranya sempat
menghantam bagian bahu kiri dua orang kembar ber-
kepala anjing tadi.
Begitu pun tampaknya daya tahan tubuh si
Kembar hebat luar biasa. Walaupun darah sudah ter-
lalu banyak yang mengalir ke luar dan bahkan pisau
yang disambitkan oleh Abi Lawa menghunjam bagian
bahu kirinya sampai begitu dalam, namun tetap saja
mereka melakukan perlawanan sengit. Melihat kene-
katan yang dilakukan oleh Kembar Kirik Cokelat, se-
bagaimana pesan guru mereka Darah Swanda. Abi
Lawa telah bersiap-siap pula untuk menghabisi ri-
wayat dua manusia kembar bersaudara ini.
"Shaaaaa.....!" Luka-luka di bahu mereka mem-
buat kembar itu marah, lalu lebih nekad lagi mereka
bergerak mendahului melakukan serangan. Dengan
Palu terayun mengancam bagian kepala Abi Lawa,
manusia kembar berkepala anjing ini juga melakukan
satu tendangan dengan mempergunakan kaki kirinya.
Sementara dari bagian belakang, kembar yang satunya
juga sedang melakukan hal yang sama seperti apa
yang dilakukan oleh saudaranya. Menyadari saudara
seperguruannya terancam bahaya, sudah barang ten-
tu, Andini, Basra dan Jatra tidak tinggal diam. Di luar
dugaan Abi Lawa hantamkan beberapa buah pisau
menyongsong ke tangan tubuh mereka.
"Siiiiing......!" Kembar kepala anjing terpaksa menarik balik serangan mereka, dan cepat-cepat mem-
banting tubuhnya ke samping saat senjata yang dis-
ambitkan oleh Abi Lawa secara cepat hampir mengha-
jar tubuhnya.
"Kurang ajar....!" maki Kembar Kirik Cokelat.
"Zaaaass.....!" Tiga senjata rahasia dari tujuh
yang disambitkan oleh Abi Lawa, kembali menghan-
tam mereka berdua. Kali ini nampaknya Kembar Kirik
Cokelat tak memiliki daya apa-apa setelah bagian kaki
kanannya terhunjam senjata rahasia yang mengan-
dung hawa panas luar biasa itu. Setelah terhantam
senjata-senjata itu Kembar Kirik Cokelat hanya mam-
pu mengerang dan beringsut-ingsut menjauh. Abi La-
wa dan tiga orang lainnya tersenyum penuh kemenan-
gan. Setindak demi setindak mereka mendekati si
Kembar Kirik Cokelat. Pucat wajah dalam bentuk so-
sok anjing itu. Bagaimana pun dalam keadaan seperti
itu mereka merasa tidak memiliki kekuatan apa-apa
untuk melakukan perlawanan.
"Badan manusia, kepala anjing....!" bentak Abi
Lawa. "Kau serahkan kitab 'Cakar Buana', atau kalian
lebih memilih untuk mati...?" ancamnya pula. Bukan-
nya menjadi takut, si kembar malah mendengus den-
gan suara hampir tak jelas. Kemudian salah seorang
di antara mereka menjawab: "Cakar Buana jauh-jauh
kami bawa dari perguruan kalian semata-mata hanya
akan kami persembahkan pada junjungan ketua persi-
latan di seluruh jagat ini." kata Kembar Kirik Cokelat
menyeringai. "Ya... hanya ketua 'Peri Bunga Iblis' saja-
lah yang pantas memiliki kitab Cakar Buana yang he-
bat ini. Sungguh pun kalian mampu mencincang tu-
buh kami, tidak nanti kami serahkan kitab yang telah
kami curi itu pada kalian....!"
Bukan main marahnya keempat orang murid se-
tia perguruan Sangga Buana ini. Nampaknya mereka
tak memiliki pilihan lain lagi, terkecuali membunuh-
nya. Maka setelah saling berpandangan sesama bebe-
rapa saat lamanya, kini tanpa membuang-buang wak-
tu lagi. Andini yang sudah sejak tadi merasa muak
melihat tampang si Kembar Kirik Cokelat langsung
membentak.
"Kepada manusia yang tidak tahu membalas gu-
na seperti kalian ini. Maka jalan yang paling baik bagi
kalian adalah mampus....!"
"Sriiiiiing....!"
"Ciaaaaaat......!" Setelah mencabut senjatanya
yang berupa sebilah pedang tipis, gadis berwajah ayu
ini langsung menerjang si Kembar Kirik Cokelat den-
gan satu tujuan, yaitu ingin memenggal kepalanya.
Namun pada saat tubuhnya melayang di udara seperti
itu, dari berbagai arah tampak melesat berbagai jenis
senjata rahasia. Jatra yang memang sejak awal-awal
selalu memperhatikan keadaan sekelilingnya, segera
mengetahui adanya bahaya yang mengancam adik se-
perguruannya.
"Adik Andini... awaaas......!" teriak Jatra memberi
peringatan. Andini menyadari arti peringatan itu, bah-
kan gadis itu merasakan adanya sambaran angin yang
sangat keras dari berbagai penjuru. Pedang yang mu-
lanya dia pergunakan untuk menebas batang leher si
Kembar Kirik Cokelat, kini dia putar untuk melindungi
tubuh dari serangan senjata rahasia. Saat yang sama
Jatra yang selama ini terlalu memberi perhatian berle-
bih pada Andini, sudah datang membantu dengan gu-
lungan sinar pedang di tangannya.
"Weeeees! Weees.....!"
"Traaaaaang....! Traaaang....!" tanpa diduga-duga
satu jeritan keras terdengar. Kemudian disertai berde-
bumnya sosok tubuh Jatra.
"Jatra.....?"
"Kakang Jatra....!" pekik Andini berusaha mem-
buru tubuh Jatra yang terkulai tewas dengan paku
bunga iblis menancap di beberapa bagian punggung-
nya.
"Pengecut.....!" teriak Abi Lawa sambil mengitar-
kan pandangan matanya ke arah sekelilingnya. Saat
itu si Kembar Kirik Cokelat nampaknya mulai menya-
dari datangnya pertolongan buat dirinya. Sedikit ba-
nyaknya mereka menjadi lega, karena merasa terbebas
dari kematian. Begitu pun tak banyak yang dapat me-
reka lakukan terkecuali memandangi pihak Abi Lawa
yang terus-menerus mengelakkan senjata-senjata ra-
hasia yang datangnya tiada mengenal henti itu.
"Andini, Basra... cepat-cepat kalian tinggalkan
tempat ini! Iblis-iblis itu telah keluar dari sarang-
nya....!" Teriak Abi Lawa sambil berusaha menyam-
bitkan senjata pisaunya untuk menyerang mereka
yang bersembunyi di atas pohon-pohon yang berada di
sekitar tempat itu.
"Arrggkh....!" Beberapa orang yang berada di atas
pohon keluarkan teriakan kesakitan diiringi berjatu-
hannya beberapa sosok tubuh. Namun dari pihak pe-
nyerang gelap juga tampaknya semakin bertambah
gencar saja dalam melakukan serangannya yang beru-
pa senjata Paku Bunga Iblis. Menghadapi serangan
yang datangnya bertubi-tubi itu, semakin bertambah
kerepotan sajalah, Abi Lawa, Basra dan Andini.
"Andini, Basra.....! Cepat tinggalkan tempat
ini......!" ulang Abi Lawa di sela-sela kesibukannya
memutar pedang melindungi diri dan adik sepergu-
ruannya.
"Bagaimana dengan Kitab Cakar Buana, ka-
kang.....!?" tanya Basra merasa cemas.
"Baiknya kalian beri laporan pada guru Darah
Swanda bahwa dua kembar berkepala anjing ini ternyata murid kesasar yang telah bersekutu dengan
penguasa sesat di Jajaran ini....!"
"Tap... tapi.... engkau sendiri bagaimana, Ka-
kang....?" tanya Andini merasa tak sampai hati untuk
meninggalkan kakak seperguruannya yang paling tua.
"Jangan hiraukan aku, cepat tinggalkan aku!
Cepat... ku lindungi kalian....!" teriak Abi Lawa.
"Kakang, lebih baik kita hadapi mereka bersama-
sama....!" kata Basra, tahu-tahu telah berada di samp-
ing Abi Lawa sambil memutar pedangnya, dengan se-
bat sekali.
"Tolol, siapa yang akan memberi laporan pada
guru andai kita semua tewas di sini...?" kata Abi Lawa
nampak gusar. Tampaknya kali ini tiada pilihan lain
lagi bagi Basra dan Andini terkecuali menuruti apa
yang dikatakan oleh saudara seperguruannya.
"Cepat, aku melindungi kalian...!"
"Hiaaaat.... Trang... Traaaang.... Traaaang.....!"
Beberapa senjata rahasia yang disambitkan oleh
pihak penyerang gelap berpentalan ke berbagai arah
saat membentur pedang di tangan Abi Lawa. Dari ben-
turan senjata gelap dengan pedang di tangannya. Abi
Lawa sudah dapat merasakan bahwa dia kalah bebe-
rapa tingkat dalam hal tenaga dalam.
Sementara itu Andini dan Basra dengan pera-
saan tak tega sudah mulai bergerak meninggalkan
tempat itu. Namun semuanya tak dapat berjalan mu-
lus, barulah setelah melalui beberapa gebrakan, Basra
dan Andini dapat membebaskan diri dari ancaman
maut itu. Belum sampai dua puluh tombak mereka
meninggalkan Abi lawa seorang diri. Mendadak ter-
dengar suara teriakan yang begitu keras.
"Arrggkhhhh.......!" Basra merasa tak tega, lalu
menoleh ke belakang. Dia jadi terpana begitu melihat
apa yang terjadi atas Abi Lawa.
"Kakang Abi Lawa roboh? Mudah-mudah-an aku
dapat menolongnya!" batin Basra.
"Adik Andini, kau teruskan dan tinggalkan tem-
pat ini! Biarkan aku menolong kakang Abi Lawa....!"
teriak Basra, lalu berbalik langkah.
"Berbahaya, Kakang.....!" kata Andini
memberi peringatan. Namun dia tetap berlari cepat
meninggalkan tempat itu. Tiada terdengar jawaban
Basra, karena saat itu dia sudah harus bertahan mati-
matian untuk menyelamatkan diri Abi Lawa maupun
dirinya sendiri.
"Ziiiiing! Ziiiiing!" Serangkum senjata rahasia
yang berwarna kekuning-kuningan yang selama ini di-
kenal oleh kalangan persilatan sebagai Paku Bunga Ib-
lis menderu ke arah Basra.
"Jeb... Jeb.....!" Dengan telak senjata-senjata ra-
hasia itu menghajar tubuh Basra, sungguh pun sebe-
lumnya dia telah memutar pedang dengan segenap
kemampuan yang dimilikinya. Tetap saja tubuhnya
terjungkal menyusul Abi Lawa yang telah tewas bebe-
rapa saat setelah terhantam senjata yang sama. Sesaat
setelah kematian Abi Lawa dan Basra, beberapa orang
penyerang gelap itu nampak berloncatan turun dari
tempat persembunyiannya, tanpa basa basi lagi orang-
orang itu langsung menyambar tubuh si Kembar Kirik
Cokelat. Lalu membawanya pergi dengan sangat terge-
sa-gesa.
***
EMPAT
Begitu banyak warung yang masih buka di se-
panjang pinggiran kota yang dilalui oleh pemuda berkuncir ini. Padahal saat itu malam telah menunjukkan
pukul tiga dini hari. Di warung-warung pinggiran jalan
itu, sering terlihat para penduduk bergerombol di sa-
na. Bahkan di jalan yang dilalui oleh pemuda tampan
berpakaian merah dan kumuh itu. Dalam hati dia me-
rasa heran juga begitu melihat orang-orang yang pada
bergerombol ini, sedemikian banyaknya. Tetapi pemu-
da berperiuk yang sudah tak asing lagi bagi kita ini
menjadi lebih terperanjat lagi saat mendengar suara
tangis dari setiap rumah yang terbuka bagian pin-
tunya. Akhirnya rasa keingintahuan membuat Buang
Sengketa menghampiri orang-orang yang sedang ber-
gerombol di pinggiran jalan yang dia lalui.
"Bapak.... apakah yang terjadi di tempat ini.....?"
tanya Pendekar Hina Kelana dengan sikap menghor-
mat. Tak ada jawaban apa-apa, orang yang ditanya
bergeming pun tidak! Mengapa orang-orang di sini pa-
da acuh semuanya? Sudah dua kali aku berusaha
menanyai orang-orang itu, tapi tetap saja mereka tak
mau bicara...? batin Buang Sengketa. Tapi ketika pe-
muda itu benar-benar meneliti, maka tahulah pemuda
keturunan Raja Ular Piton Utara itu, bahwa sebenar-
nya orang-orang yang berada di pinggiran jalan atau
pun yang berada di dalam warung itu dalam keadaan
tertotok urat bicaranya. "Apa yang telah terjadi di sini,
ada baiknya kalau aku bertanya pada salah seorang
dari mereka ini." batinnya lagi. Dengan agak tergesa-
gesa Pendekar Hina Kelana mendekati salah seorang
di antara mereka. Kemudian setelah memijit-mijit ja-
lan darah di bagian-bagian tertentu, maka orang itu
pun langsung bicara dengan suara terbata-bata.
"Cel... celaka... orang-orang itu selain merampok
juga memperkosa anak istri orang sini! Tu... tuan, to-
longlah kami! Orang-orang itu memiliki kepandaian
yang sangat tinggi. Tolonglah selamatkan mereka,
Tuan....!" kata orang itu menghiba.
"Berapa banyakkah mereka semuanya....?" tanya
Buang Sengketa mencoba mencari kepastian.
"Banyak! Bahkan sangat banyak sekali....!"
"Kenalkah bapak siapa mereka itu....?" tanya
Buang Sengketa sambil memandang ke arah rumah-
rumah penduduk yang terbuka pintunya.
"Mereka menamakan dirinya dengan sebutan
'Peri Bunga Iblis', Tuan....!" jawab laki-laki itu dengan
wajah ketakutan.
Setelah mendengar keterangan dari laki-laki tadi,
Buang Sengketa terus melesat pergi. Dalam kegelapan
malam seperti itu siapa pun tak dapat melihat kalau
kecepatan bergerak pemuda itu hebat sekali. Dalam
waktu sekejap saja pemuda itu telah sampai di sebuah
rumah, tanpa basa basi langsung saja mendobrak.
Pemuda berkuncir itu menjadi marah bercampur
malu ketika melihat pemilik rumah dalam keadaan te-
lanjang dan dipaksa melayani nafsu binatang para pe-
rampok-perampok yang mengaku sebagai anggota 'Peri
Bunga Iblis'. Melihat kehadiran Buang Sengketa, tentu
para perampok sekaligus pemerkosa itu menjadi terpe-
ranjat kaget. Namun sebelum mereka sempat bertin-
dak apa-apa, laksana kilat tubuh Buang Sengketa te-
lah berkelebat. Dan tahu-tahu telah mencengkeram
kaki maupun tangan mereka dengan sangat kasar se-
kali. Sekali saja Pendekar Hina Kelana mengerahkan
tenaga dalamnya, maka tubuh kedua orang itu lang-
sung melayang menghantam dinding yang terbuat dari
papan, dinding itu langsung bobol. Tubuh kedua
orang perampok dan pemerkosa itu terus melayang
dan terkapar setelah menabrak pohon kelapa yang ter-
letak di samping rumah.
"Tolooooooong....!" Terdengar suara teriakan yang
sama dari dalam rumah yang terletak di sebelahnya.
"Keparaaat... terbukti mereka tidak hanya bebe-
rapa orang saja....!" Maki si pemuda sambil berkelebat
mengejar ke arah rumah yang terletak di sebelahnya
itu. Hanya beberapa saat kemudian Buang Sengketa
pun telah sampai di dalam rumah yang terletak di se-
belah rumah pertama. Namun kali ini bukan perko-
saan yang sedang terjadi. Namun pertarungan sengit
antara seorang gadis melawan tiga orang laki-laki ber-
tampang kasar.
Dilihatnya gadis berpakaian hijau lumut dengan
senjatanya yang berupa, sebilah pedang tipis tampak
sedang berusaha mati-matian mempertahankan diri
dari gempuran pihak lawan yang bersenjatakan Arit
yang berbentuk melengkung seperti bulan Sabit. Nam-
paknya pertarungan itu baru saja terjadi, tetap bagi
pemuda itu sudah cukup mengerti bahwa sebenarnya
gadis berpakaian hijau lumut itu sudah sejak-sejak
tadi telah jatuh di bawah angin. Walaupun Buang
Sengketa masih belum mengetahui siapakah gadis
yang sedang menghadapi keroyokan itu, namun ak-
hirnya dia memutuskan untuk membantu gadis ber-
pakaian hijau lumut itu.
Sekali saja tubuhnya berkelebat, maka detik se-
lanjutnya terdengar suara memekik tertahan. Tiga la-
ki-laki bertampang kasar yang sedang melakukan
pengeroyokan nampak terjengkang tubuhnya meng-
hantam dinding rumah yang terbuat dari belahan
bambu. Namun secepatnya mereka bangkit kembali.
Sesaat setelah meneliti pemuda yang telah menggagal-
kan usaha mereka dalam meringkus gadis berpakaian
hijau lumut itu. Maka secara serentak dengan senjata
terhunus mereka menerjang Buang Sengketa. Dengan
ketenangan yang sangat luar biasa, pemuda itu me-
layaninya dengan jurus 'Membendung Gelombang Me-
nimba Samudra'. Dalam pada itu, di luar sepengeta
huan Buang Sengketa maupun gadis berpakaian hijau
lumut itu. Di luar rumah itu beberapa orang konco-
konco dari tiga orang yang sedang melakukan perta-
rungan tampak sedang melakukan pembakaran atas
rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar tem-
pat tersebut. Tak terkecuali rumah yang sedang dija-
dikan ajang pertarungan oleh Buang Sengketa dan la-
wannya.
"Tuan... rumah ini telah terbakar...!" teriak gadis
berpakaian hijau lumut itu ketika melihat api mulai
berkobar di sana sini. Sekejap Pendekar Hina Kelana
menoleh dan memperhatikan segala sesuatunya yang
sedang terjadi. Ternyata memang benar apa yang dika-
takan oleh gadis itu, kepengecutan pihak lawan dan
perlakuan sewenang-wenang membuat pendekar itu
menjadi marah sekali.
"Jahanam....! Hiaaaat....!" Sambil menyambar
tubuh gadis berpakaian hijau lumut, pemuda itu le-
paskan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan'. Detik itu
juga serangkum gelombang sinar berwarna Ultra Violet
menderu dahsyat menghantam ke arah lawan-lawan-
nya. Sebagai orang yang sudah sangat terlatih dalam
berbagai pertempuran, sudah barang tentu mereka
bertiga menyadari adanya bahaya yang mengancam
diri mereka. Itulah sebabnya dengan sangat cepat me-
reka memutar arit yang berada dalam genggaman me-
reka. Sementara itu api telah menjadi semakin mem-
besar. Tanpa ampun tubuh tiga orang bertampang ka-
sar itu pun terhantam pukulan yang telah dilepas oleh
Pendekar Hina Kelana.
"Blaaar.....!"
"Buuuuumm....!" Satu ledakan yang sangat keras
menyertai runtuhnya rumah yang terbakar itu. Api
dengan sangat cepat telah pula membesar. Tanpa
sempat keluar lagi dari kobaran api itu, ketiga lawan
nya yang sempat terkena pukulan 'Empat Anasir Ke-
hidupan', mendapat luka yang cukup parah. Sudah
tak sempat lagi untuk menyelamatkan diri dari koba-
ran api yang semakin bertambah besar. Tanpa ampun
lagi mereka terbakar dalam keadaan hidup-hidup.
Sementara itu Buang Sengketa dan Gadis berpa-
kaian hijau lumut telah menjauh dari rumah yang ter-
bakar itu. Namun saat Buang Sengketa menurunkan
tubuh si Gadis dari atas pundaknya, tiba-tiba nampak
berkelebat beberapa sosok bayangan tubuh dari pintu
rumah-rumah yang terbakar. Dalam waktu sekejap sa-
ja mereka telah mengepung si Pemuda dan si Gadis
dengan senjata siap di tangan
"Pemuda berperiuk! Berani mati kau mencampu-
ri urusan orang-orang Peri Bunga Iblis....!" sambut se-
buah suara begitu dingin dan berwibawa. Pendekar
Hina Kelana memperhatikan orang yang baru saja bu-
ka suara tadi, maka terlihatlah oleh pemuda ini, seso-
sok tubuh jangkung dengan pakaian sangat rapi. Sa-
ma seperti orang yang tewas dalam kobaran api tadi,
orang-orang yang kini mengepungnya juga bersenjata-
kan arit yang bentuknya hampir serupa dengan bulan
sabit.
Tiada di duga-duga, mendadak Buang Sengketa
tertawa bergelak-gelak.
"Ha... ha... ha...! Kalau kutanya apa saja yang
kalian kerjakan di tempat ini....!" kata si Pemuda den-
gan sesungging senyum mengejek.
"Manusia hina! Kau tak perlu tahu apa yang ka-
mi kerjakan di sini....!" hardik orang itu.
"Memperkosa dan merampoki harta benda pen-
duduk! Itukah yang tidak boleh aku tahu?" ejeknya
dengan pandangan mata berapi-api.
"Keparaaaat! Bocah, kuperingatkan padamu, ce-
pat-cepatlah kau menyingkir dari sini. Kalau tidak kau
akan menyesal selama-lamanya...!"
"Jangan coba-coba menggertakku, Orang Tua...!"
Dengus Buang Sengketa. Melihat mereka saling ber-
bantahan itu, nampaknya beberapa orang yang men-
jadi bawahan laki-laki berjenggot panjang itu menjadi
tak sabaran lagi, satu dua tindak mereka melangkah.
Lalu dengan suara lantang salah seorang dari mereka
membentak:
"Kakang Wisesa.....! Percuma saja kita berdebat
dengan kunyuk gembel ini. Hantam saja....!"
"Akur, hantam biar mampus! Kakang Wisesa....!"
Teriak yang lainnya. Laki-laki berjenggot panjang yang
dipanggil Wisesa itu memperhitungkan dengan sege-
brakan saja, binasalah pemuda berkuncir sekaligus
gadis yang menyertainya. Itu sebabnya tanpa me-
nunggu lebih lama lagi orang ini pun segera memberi
aba-aba:
"Serbuuuu......!" Serentak dengan suara teria-
kannya itu, lebih dari sepuluh orang pengeroyok lang-
sung menerjang sambil sambitkan senjata rahasia
mengarah pada Buang Sengketa dan gadis berjubah
hijau lumut.
"Singgg.....! Weeeerr....!" Puluhan bahkan ratusan
senjata rahasia datang dari berbagai penjuru. Meng-
hadapi kenyataan seperti itu, gadis yang berada di se-
belah Buang keluarkan jeritan tertahan. Sebaliknya
Pendekar Hina Kelana sendiri sambil memaki lang-
sung hantamkan tangannya ke segenap penjuru.
"Weeer! Weeer!" Dalam kegelapan yang hanya di-
terangi dengan nyala api rumah yang terbakar itu se-
larik gelombang sinar Ultra Violet melesat sedemikian
cepat, menyongsong datangnya senjata rahasia berupa
Paku Bunga Iblis yang telah disambitkan oleh pihak
lawannya.
"Blaaarr....!" Senjata-senjata yang mengandung
racun sangat keji itu berpentalan ke segala penjuru.
Bahkan beberapa di antaranya membalik dan hampir
saja memakan tuannya sendiri. Sukur mereka cepat-
cepat membanting tubuhnya ke samping, selanjutnya
berguling-guling menghindari sengatan hawa panas
yang bersumber dari pukulan yang dilepaskan oleh
Pendekar Hina Kelana.
"Buummm....!"
Sebagian pukulan yang dilepas si Pemuda men-
genai sasaran kosong. Debu dan pasir muncrat di
udara. Tanah di sekitar tempat itu tergetar hebat. Ke-
nyataan ini sudah barang tentu membuat Wisesa men-
jadi terbelalak tak percaya. Setelah bangkit berdiri, la-
ki-laki berjenggot panjang itu bertanya: "Bocah! Siapa-
kah engkau ini...! Pukulanmu seperti pernah kukenal,
bahkan mungkin aku pernah melihatnya....!" ujar Wi-
sesa, tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu.
"Yaa... ya... kalau tak salah itulah pukulan Empat
Anasir Kehidupan....ja....di, kau muridnya Kakek
Bangkotan Koreng Seribu....!?" katanya dengan tubuh
menggeletar.
"Hemm! Melihat caramu bicara, aku merasa kau
bukanlah orang kasar Uwa Wisesa! Aku juga yakin du-
lunya kau pasti berasal dari golongan baik-baik. Tapi
mengapa justru tindakanmu cenderung ke arah se-
sat...?" Tanya si pemuda tanpa ada maksud menjawab
apa yang ditanyakan oleh laki-laki berjenggot panjang
ini.
"Kampret! Jawab dulu pertanyaanku...!" bentak
Wisesa merasa tersinggung dengan ucapan-ucapan si
pemuda. Pendekar Hina Kelana geleng-gelengkan ke-
pala, sejurus memandang sinis pada si Jenggot Pan-
jang dan orang-orangnya.
"Kau mengenal pukulan Empat Anasir Kehidu-
pan dan kenal pula dengan guruku! Kalau memang
benar, sekarang kuperintahkan kalian bersujud di ba-
wah telapak kakiku...!" ujar pemuda itu sambil terge-
lak-gelak. Sementara itu, Wisesa tampaknya sangat
marah sekali mendengar pengakuan Buang Sengketa.
Tiba-tiba wajahnya berubah tegang.
***
LIMA
Tanpa dimengerti maksudnya oleh Buang Seng-
keta, mendadak Wisesa malah balik tergelak-gelak.
"Keparat si Bangkotan Koreng Seribu! Gara-gara
dia hidupku semakin jauh tersesat dan terlunta-lunta!
Dia pembunuh orang tuaku, mestinya kucincang dia
sejak dulu-dulu! Tapi.... he... he... he...! Kala itu ilmu
kepandaianku masih terlalu cetek. Kini setelah kepan-
daianku cukup tinggi, si keparaat Bangkotan Koreng
Seribu telah mampus pula...!" Kata Wisesa dengan
pandangan sinis. Memerah wajah pemuda itu bagai
kepiting direbus, begitu mendengar Wisesa dengan
seenaknya saja mencaci maki nama gurunya. Seumur
hidup baru manusia jenggot panjang ini saja yang te-
lah begitu berani menghina gurunya secara serampan-
gan. Itu benar-benar sangat keterlaluan sekali.
"Wah... manusia sinting jenggot kambing...! Ku-
nyuk betul kau ini, begitu berani kau menghina nama
almarhum guruku sedemikian rupa? Benar-benar cari
penyakit!" Teriak Buang Sengketa gusar bukan alang
kepalang.
"Bacot sebakul! Mewakili ketua Peri Bunga Iblis,
hari ini ku basmi muridnya si Cambuk Gelap Sayuto
yang bikin sengsara kedua orang tuaku itu...!"
"Tak mungkin orang tuamu bentrok dengan guruku jika orang tuamu itu bukanlah sebangsanya ma-
nusia sesat....!" kata Buang Sengketa lugas. Namun
nampaknya tiada reaksi, sebagai jawabannya, baik
Wisesa maupun kawan-kawannya segera melompat ke
depan dan langsung menyerang Buang Sengketa dan
gadis berpakaian hijau lumut. Kali ini masing-masing
lawan sudah tak ingin bersikap sungkan-sungkan lagi,
dalam gebrakan kedua itu mereka segera keluarkan
jurus silat tangan kosong, 'Badai Iblis Menawan Bian-
glala'. Kiranya walaupun jurus-jurus silat itu terdiri
dari satu sumber. Namun pada kenyataannya, setiap
dari mereka mempergunakan jurus itu ternyata tetap
saja memiliki variasi yang berbeda-beda.
Baik gadis berpakaian hijau lumut maupun
Buang Sengketa sendiri nampak mulai mengeluarkan
jurus silat andalannya. Buang Sengketa dengan mem-
pergunakan jurus Si Gila Mengamuk, tampak mema-
paki setiap serangan-serangan lawannya yang datang
bertubi-tubi. Dengan hanya bersikap seperti orang
pemabukan, terhuyung-huyung ke depan dan bela-
kang. Sekali dua baik pukulan tangan maupun ten-
dangan kaki dia lakukan. Tak jarang lawan-lawannya
jadi kelabakan dan terjengkang tiada berketentuan.
Sementara itu Andini dengan pedang tipis di tangan-
nya tampak mulai merangsak keroyokan yang berjum-
lah sangat banyak itu. Sekali dua pedang di tangannya
menyambar ke bagian pertahanan lawan yang nampak
kosong. Namun kiranya orang-orang Peri Bunga Iblis
ternyata juga bukanlah lawan yang begitu mudah di-
rubuhkan. Bahkan berulangkali senjata rahasia yang
mereka pergunakan untuk menyerang lawan-
lawannya nyaris mendarat ke arah sasarannya dengan
sangat baik. Hanya karena ilmu meringankan tubuh
dan kelincahan memainkan pedang saja gadis berpa-
kaian hijau lumut yang tak lain merupakan Andini
adanya dapat terhindar dari kematian.
Di lain pihak, nampaknya Buang Sengketa su-
dah merasa tidak sabar lagi melihat gelagat pertarun-
gan yang tidak menguntungkan di pihaknya itu. Bah-
kan andai secara terus menerus pemuda ini tetap
mengelak dan melompat. Lama kelamaan bisa celaka.
Tak ayal lagi, kini pemuda itu telah pula memutuskan
untuk mempergunakan Lengkingan Suara Ilmu Pe-
menggal Roh yang sangat dahsyat itu.
"Nona baju hijau! Tutuplah indera pendenga-
ranmu.... aku akan berbuat sesuatu sebagai hadiah
untuk mereka....!" Kata Buang Sengketa melalui ilmu
menyusupkan suara. Sambil terus mengkelit setiap se-
rangan yang datang, sedetik kemudian satu teriakan
menggelegar pun keluar dari mulutnya:
"Heeeiiggkh.......!"
Angkasa malam laksana terobek dengan gaung
yang ditimbulkannya akibat lengkingan Ilmu Pemeng-
gal Roh. Bumi tempat mereka berpijak pun seolah
mau runtuh. Tak kurang dari lima orang kawan-
kawan Wisesa terjengkang roboh, menggelepar sesaat,
kemudian diam untuk selama-lamanya. Dari telinga
mereka mengalir darah segar, sementara mata mereka
membelalak bagai melihat iblis pencabut nyawa. He-
ran bercampur kecut laki-laki berjenggot putih itu de-
mi melihat apa yang terjadi. Kini mereka hanya tinggal
empat orang saja, lima dengan Wisesa sendiri. Namun
empat orang kawan-kawan Wisesa tampaknya sudah
tak dapat diharapkan lagi. Ilmu Lengkingan Pemenggal
Roh membuat mereka bagai orang linglung. Mungkin
semua itu karena syaraf berpikirnya yang rusak. Em-
pat orang laki-laki itu nampak mondar mandir di seki-
tar tempat pertarungan bagai empat ekor monyet sint-
ing yang sudah kehabisan akal. Dalam keadaan yang
tiada menguntungkan itu, Wisesa bergumam seorang
diri, "Muridnya musuh bebuyutanku ini ternyata me-
miliki ilmu kepandaian yang lebih gila lagi. Seorang di-
ri sudah barang tentu aku tak mungkin mampu me-
menangkan pertarungan. Tapi aku yakin dia tak bakal
ungkulan menghadapi keroyokan orang-orang nomor
satu anggota Peri Bunga Iblis....! Heh, ada baiknya ka-
lau aku melapor pada ketua yang mulia...!" Batinnya.
Saat itu pendekar Hina Kelana yang sedang terben-
gong-bengong melihat Wisesa yang terdiam membisu,
cepat pula membentak:
"Mengapa kau diam saja, Jenggot Kambing...?
Katanya kau mau melayaniku sampai seribu jurus....!"
Gadis berpakaian hijau lumut atau Andini yang sudah
tak sabaran lagi langsung menyambut: "Tuan pende-
kar...! Mengapa harus berbasa-basi dengan tikus pe-
rampok berjenggot seperti dia...?" Si pemuda merasa
geli sendiri mendengar ucapan si gadis, tapi sebenar-
nya setuju dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu.
Namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-
tiba Wisesa telah melemparkan satu bungkusan ke
arah mereka.
"Buuuummm.....!" Terdengar satu ledakan ke-
cil, yang akhirnya menimbulkan gumpalan uap putih
menyerupai kabut. Baik Andini maupun Pendekar Hi-
na Kelana menjadi gelagapan dan berusaha membe-
baskan diri dari kungkungan kabut tebal itu. Dalam
keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara Wisesa
yang mulai bergerak menjauh.
"He... he... he...! Uap Asmara Iblis... hemmm...
kalian pasti telah menghirupnya. Sementara ini aku
memberi laporan pada ketua kami, inilah satu kesem-
patan bagi kalian untuk menikmati sorga dunia seba-
gaimana layaknya sepasang suami istri...!" kata Wise-
sa sayup-sayup.
"Keparat! Hiaaat....!" Sambil menyambar tubuh
Andini, pemuda keturunan raja dari negeri bunian itu
tampak melesat membebaskan diri dari kepungan
asap terkutuk itu.
Selanjutnya tanpa menghiraukan keadaan di se-
kelilingnya dan dalam keadaan sempoyongan kedua
muda mudi itu meninggalkan perkampungan yang pa-
dat penduduknya. Namun pada hakekatnya memang
benar seperti apa yang dikatakan oleh Wisesa, kedua
muda mudi itu telah menghirup asap Asmara Iblis
yang memiliki pengaruh rangsangan yang sangat he-
bat sekali. Bahkan pengaruh aneh itu, kini sedikit de-
mi sedikit mulai dirasakan akibatnya oleh Buang
Sengketa dan Andini. Dalam kegelapan malam dengan
langkah terhuyung-huyung seperti itu, Andini yang
hanya memiliki tenaga dalam mencapai tarap lu-
mayan, nampak mulai meracau.
"Tuan pendekar! Siapakah engkau ini...!" Ta-
nyanya dengan suara gemetaran.
"Jangan kau panggil aku tuan, aku bukan seo-
rang pangeran yang patut dihormati! Namaku Buang
Sengketa! Seorang pengelana yang tiada berketen-
tuan...!" kata pemuda itu berusaha menepiskan rang-
kulan tangan kiri Andini yang terasa begitu mencekik
pangkal lehernya.
"Nama yang bagus, aku suka nama itu...!"
"Dan kau...!?" Andini tidak buru-buru menjawab,
sebaliknya dia berusaha merangkul kembali tubuh
pemuda yang berada di sebelahnya.
"Gila! Meskipun aku masih mampu menguasai
diri, tapi sampai di manakah daya tahanku. Sekarang
ini saja aku mulai merasakan ada hawa aneh yang se-
cara terus menerus menguasai jiwaku. Dan mungkin,
gadis ini mengalami kejadian yang lebih hebat lagi da-
riku. Sebaiknya ku kerahkan hawa murni untuk
membuyarkan pengaruh iblis yang telah merasuki jiwaku ini...!" Batin pemuda itu. Kemudian secara per-
lahan pemuda itu mulai mengerahkan tenaga dalam-
nya untuk membuyarkan pengaruh aneh yang sedang
menguasai jiwanya. Namun setelah berulangkali dia
mencoba, usahanya itu tidak juga mendatangkan ha-
sil. "Celaka! Apa yang telah terjadi dengan diriku?" Da-
lam keadaan kebingungan akibat pengaruh aneh itu.
Tiba-tiba Andini dengan suaranya yang lirih dan ham-
pir-hampir tak terdengar berkata kembali.
"Namaku, Andini....! Ka... kakang... bukankah
aku lebih pantas memanggilmu begitu...!" Kata Andini
dengan tubuh menggigil karena dibakar gejolak nafsu.
Sementara Buang Sengketa sendiri terus berusaha
memerangi pengaruh aneh yang telah di timbulkan
oleh Asap Asmara Iblis. Namun tampaknya usaha itu
tidak juga mendatangkan hasil.
"Kakang....!"
"Hemm.....!"
"Malam ini terasa sangat dingin sekali yaa...?"
"Begitulah...!" jawab si pemuda sekenanya. Ke-
mudian Andini menggumamkan sesuatu yang tak je-
las. Tetapi selang beberapa detik berikutnya kembali
terdengar suaranya. Pelan, namun cukup untuk di-
dengar oleh Pendekar Hina Kelana.
"Kita istirahat, Kakang...! Badanku terasa sangat
letih sekali." Sambil berkata begitu Andini yang sudah
tak mampu mengendalikan diri itu, langsung menyen-
takkan tubuh pemuda ini, hingga sama-sama terje-
rembab jatuh. Dalam peperangan batin itu, dalam
keadaan terlentang, Buang Sengketa diam tiada ber-
geming. Lain lagi halnya dengan Andini, gadis itu
nampak mulai menindih tubuh si pemuda. Sementara
jantungnya berdetak keras tiada teratur, desahan-
desahan nafasnya yang hangat pun menyapu wajah
Pendekar Hina Kelana.
"Sialan, dewata pasti akan mengutukku jika
sampai aku melakukan perbuatan yang sangat terku-
tuk itu." makinya sambil terus berusaha bertahan pa-
da keadaannya.
"Kakang...! Aku tak tahan kakang? Apakah kau
tidak merasakannya, mengapa justru malah diam ba-
gai tugu...?" kata gadis itu sambil terus menciumi wa-
jah pemuda tampan yang berada di bawahnya.
Ketika Andini membuka pakaiannya sendiri satu
demi satu. Terbelalaklah mata pendekar itu.
"Andini! Jangan kau lakukan perbuatan terkutuk
itu. Kosongkan jiwamu dari hal-hal yang dapat mence-
lakakan diri kita...!" Cegah Buang Sengketa. Tapi gadis
itu seperti tak mendengar apa yang di katakan oleh
Buang Sengketa. Setelah melepas pakaiannya, Andini
kembali menghampiri si pemuda.
"Oh, Dewata yang Agung! Selamatkanlah kehor-
matanku dan dia...!" keluh si pemuda dan tanpa dis-
angka-sangka oleh Andini, Tangan Buang melakukan
satu totokan. "Tuuuk...!"
"Uuhhh....!" Andini mengeluh pendek, kemudian
roboh tak sadarkan diri. Sedangkan Buang Sengketa
sendiri terus berusaha mengembalikan keseimban-
gannya. Dalam saat-saat menegangkan seperti itu, te-
ringatlah Buang Sengketa dengan Golok Buntung yang
terselip di bagian pinggangnya. "Kakek guru, dulu
pernah mengatakan pusaka Golok Buntung mampu
mengusir pengaruh jahat dari tubuh seseorang, mu-
dah-mudahan usahaku ini mendatangkan hasil seperti
apa yang kuharapkan." Membatin pemuda ini sambil
mencabut golok yang terselip di pinggangnya ketika
golok itu tercabut dari sarungnya maka terlihatlah si-
nar merah menyala dan menerangi sebagian wajah si
pemuda. Secara perlahan pemuda itu menempelkan
ujung golok di bagian dadanya. Ketika itu juga ada
hawa hangat mengalir, ke sekujur tubuhnya, secara
aneh kekuatan iblis yang telah merasuki jiwanya itu
lama-kelamaan hilang sirna sama sekali.
"Hemm! Sungguh keterlaluan sekali orang-orang
dari hutan Jajaran itu. Suatu saat kelak akan kucin-
cang manusia yang bernama Wisesa itu...!" geram
pendekar ini dengan kemarahan yang tertahan-tahan.
Kini pemuda itu dengan pasti cepat pula me-
nempelkan ujung golok di bagian punggung Andini
yang tiada berpakaian sama sekali. Tubuh gadis itu
nampak tergetar beberapa saat lamanya. Kemudian
terdengar pula rintihannya, sebuah rintihan kesada-
ran. Cepat-cepat si pemuda melemparkan pakaian
Andini yang berserakan di atas rumputan. Secara
praktis pakaian itu menutupi tubuh Andini yang da-
lam keadaan menelungkup.
Begitu sadar dalam keadaannya yang normal,
gadis berwajah ayu itu keluarkan suara pekikan terta-
han.
"Kenakan pakaianmu...!" kata pemuda itu sambil
palingkan wajahnya ke arah lain. Heran bercampur
malu gadis ini dengan tergesa-gesa mengenakan pa-
kaiannya kembali.
"Kakang apa yang telah kita lakukan...?" tanya si
gadis tersendat dan wajah memerah.
"Sukur para dewa melindungi kita berdua! Andai
tidak sudah tentu kita terseret dalam gelimang do-
sa...!" kata si pemuda, ketus.
"Maafkan atas ketololanku, Kakang...!" desah
Andini tersipu malu.
"Sudahlah, kau tidak bersalah. Uap Asmara Iblis
itulah yang telah menjadi penyebabnya.....!"
"Orang-orang Peri Bunga Iblis! Heh mereka juga
telah membunuh tiga orang saudara sepergurua-
nku...!" Gerutu gadis berwajah ayu itu sambil mengepalkan kedua tangannya. Kata-kata bernada geram
yang diucapkan oleh si gadis tentu membuat pendekar
ini merasa terperanjat. Selanjutnya dia pun bertanya:
"Mengapa mereka sampai membunuh saudara
seperguruanmu...?" tanya si pemuda penuh dengan
keingintahuan. Tanpa merasa ragu lagi, Andini segera
menceritakan tentang Kembar Kirik Cokelat yang telah
melarikan kitab Cakar Buana milik perguruan. Hingga
sampai akhirnya mereka bentrok dengan orang-orang
Peri Bunga Iblis yang menyerang mereka dengan sen-
jata rahasia yang mengandung racun sangat jahat itu.
"Jangan takut! Aku pasti membantumu, sekali-
gus mengobrak abrik markas peri terkutuk yang telah
banyak menyeret kalangan golongan putih menjadi
sekutu-sekutunya...!" Janji si pemuda berkuncir itu.
"Tapi kita harus memberi laporan pada guru Da-
rah Swanda, Kakang...!" Pendekar Hina Kelana geleng-
gelengkan kepalanya: "Itu tidak perlu! Nanti saja kalau
urusan kita beres...!" sergahnya.
"Baiklah, aku menuruti mana yang ter-baik me-
nurutmu...!" Demikianlah tanpa berkata-kata lagi, me-
reka bergerak melangkah lagi. Saat itu di ufuk timur
semburat merah sudah mulai membayang ketika me-
reka meninggalkan desa Gunting Saga.
***
ENAM
Panas yang terik, sepanjang jalan pemuda ber-
tampang tolol yang bernama Gindrung itu terus mene-
rus mengeluh panjang pendek. Sepasang kaki Dwi To-
lol memang sudah melepuh di sana sini. Pada kenya-
taannya hidup selama dua puluh tahun mereka baru
sekali ini melakukan perjalanan yang sangat jauh, wa-
jar saja kalau keadaan sangat menyedihkan itu terjadi.
"Kakang... sampai kapankah kita harus berjalan
seperti ini...?" tanya Gindrung dengan langkah terpin-
cang-pincang. Tetapi orang yang diajaknya bicara
hanya diam saja, sebaliknya dengan keadaan yang
sama pula Ginuk terus saja berjalan menelusuri ping-
giran hutan lebat di samping kiri mereka.
"Kakang...!" teriak Gindrung merasa kesal. Seke-
jap Ginuk hentikan langkahnya, lalu menoleh ke bela-
kang. Walaupun saat itu dia merasakan sakit di ba-
gian kakinya, namun melihat adiknya dia jadi ingin
tertawa sejadi-jadinya.
"Apakah kau sudah tidak kuat berjalan...?"
"Bukan tidak kuat lagi, malahan hampir mam-
pus...!" Selak Gindrung merajuk.
"Bagaimana kalau kugendong...?" tanyanya Gin-
drung menyeringai, walaupun tolol begitu namun dia
masih mampu memperhitungkan sampai di mana ke-
kuatan saudara tuanya. Itu makanya dengan sikap
enggan dia menggeleng.
"Ayolah, aku tahu kau sudah terlalu letih....!"
"Kakang! Mana mungkin, aku gemuk sedangkan
kau agak kurus! Mungkinkah kau kuat menggendong-
ku...?" tanyanya, lalu tertawa bekakakan.
"Jangan menganggap remeh, aku pasti kuat
menggendongmu! Asal ingat saja, setelah kugendong,
nanti kau gantian pula menggendongku...!"
"Sama aja bohong! Tapi tak mengapa, ayolah!"
Serta merta Gindrung melompat ke punggung Ginuk,
kemudian sambil tertawa-tawa Gindrung menepuk-
nepuk bahu Ginuk:
"Husyaa... hiaaa... larilah hei kudaku, kuda ku-
rus nggak pernah mandi...!" Dengan sempoyongan dan
tanpa memperdulikan rasa sakit di bagian kakinya
yang telah banyak mengalirkan darah bercampur na-
nah, Ginuk mulai berlari-lari kecil. Karena pada da-
sarnya beban yang memberati pundaknya lebih besar
dari tubuhnya sendiri, maka sekejap kemudian dia
sudah merasa keletihan. Dengan nafas ngos-ngosan,
Ginuk berucap: "Ah kampret! Tubuhmu berat sekali!
Kau pasti terlalu banyak dosa...!"
"Bilang saja nggak kuat menggendong aku, men-
gapa harus basa basi....!"
"Gubraaak...!" Tanpa di duga-duga Ginuk mem-
bantingkan tubuh Gindrung, hingga pemuda tolol itu
menjerit-jerit kesakitan.
"Kurang ajar! Tega nian kau membantingku....
hu.... hu... hu! Emak, orang itu kurang ajar sekali, to-
long emaaak...!" Rintih Gindrung sesenggukan.
"Gobloook! Cengeng....! Mengapa emak kau
panggil-panggil, ketahuan kita sedang mencarinya...!"
"Keterlaluan kau kakang...! Bukannya aku pe-
muda cengeng, tapi gara-gara kau banting. Bisulku ja-
di pecah...!" rintih Gindrung sambil melap darah yang
merembes dari bagian pantatnya.
"Oh.... mana aku tau... maaf aku tak sengaja!"
"Su... sudahlah... sekarang kita diam di sini du-
lu! Setelah itu kita melanjutkan perjalanan kembali."
"Karena aku merasa bersalah, biarlah kali ini
aku menuruti keinginanmu...!" kata Ginuk, lalu men-
dekati adiknya dan langsung duduk di sisinya. Namun
belum sampai sepemakan sirih, mereka berada di
tempat itu tiba-tiba bermunculan beberapa sosok tu-
buh dari kanan kiri mereka. Selanjutnya terdengar
suara bentakan dari salah seorang pendatang yang
sama sekali tidak dikenali oleh Dwi Tolol.
"Dua ekor tikus bertampang tolol! Berani sekali
kalian memasuki daerah kekuasaan Peri Bunga Iblis!
Siapakah yang telah memberi izin pada kalian...?" Gi
nuk dan Gindrung jadi salah tingkah dan saling pan-
dang sesamanya. Mereka memang tidak mengerti den-
gan apa yang dikatakan oleh laki-laki gemuk berpa-
kaian loreng-loreng mirip kulit macan itu.
"Kami...!" Diam sebentar. "Kami cuma numpang
istirahat di sini, lihatlah kakiku dan kaki kakangku
sudah pada lecet semuanya...!" kata Gindrung, lalu
memperlihatkan bagian kakinya yang sudah lecet-lecet
mengeluarkan nanah dan menimbulkan bau menyen-
gat hidung. Sesaat lamanya, orang-orang berpakaian
loreng-loreng kulit macan itu saling berbisik sesa-
manya.
"Melihat tampang dan keadaan mereka, tak ada
alasan bagi kita untuk mencurigai mereka. Kalau pun
kita tangkap mereka, tak ada gunanya. Paling juga
hanya bisa menjadi kacung pengurus kuda...!" kata
salah seorang dari mereka melalui ilmu mengirimkan
suara.
"Siapa pun yang mencoba-coba memasuki kawa-
san ini, dia patut di curigai." Ucap yang lainnya mela-
lui ilmu yang sama. Dalam keragu-raguan itu, tiba-
tiba laki-laki gemuk berpakaian loreng-loreng kembali
membentak dengan nada mengancam.
"Kau pasti punya maksud-maksud tertentu ber-
keliaran di tempat ini...! Cepat mengaku, atau kupo-
tong kakimu yang tiada berguna itu!"
"Bagaimana kakang...! Kita disuruh mengaku,
apa yang harus kita katakan pada mereka agar bisa
percaya...?" tanya Gindrung, raut wajahnya mem-
bayangkan kecemasan yang tiada alang kepalang.
"Apanya yang harus di akui. Lha wong kita nggak
nyolong apa-apa kok...!" Lain halnya dengan Ginuk,
walaupun dibentak sedemikian rupa namun di wajah-
nya tiada terlihat rasa takut.
"Akui apa yang kalian kerjakan di tempat ini!
Atau kalian mau ke mana, heh...?" Dwi Tolol langsung
cengengesan begitu mendengar pertanyaan yang dilon-
tarkan oleh si gemuk berpakaian loreng-loreng.
"Kami mau mencari emak, Tuan....! Sudah ham-
pir lima belas tahun kami ditinggal emak...!" jawab Gi-
nuk tanpa ragu-ragu. Laki-laki pakaian loreng kulit
macan berbadan gemuk nampak terperangah. Heran,
namun juga geli. Bahkan setelah tidak mampu mena-
han rasa lucunya, sesaat kemudian dia pun tertawa
terbahak-bahak. Demi melihat si gemuk tertawa-tawa,
sudah tentu yang lain-lainnya pada bengong. Sebab
seperti yang mereka ketahui, selama ini tidak sekali
pun laki-laki yang dalam lingkungannya dikenal den-
gan julukan 'Macan Liar' tak pernah tertawa-tawa be-
gitu rupa. Sikapnya yang kejam dan telengas di kalan-
gan persilatan membuat dia menduduki urutan ketiga
dalam kekuasaan 'Peri Bunga Iblis'. Tak dapat di-
bayangkan dan sulit untuk mencari sebab-sebabnya
mengapa hari ini si Macan Liar bertingkah di luar ke-
biasaannya. Namun mereka yang menyertai Macan
Liar juga tak berani bertanya-tanya pada orang yang
sangat mereka segani itu. Takut kalau-kalau orang
yang mereka takuti itu menjadi marah dan turun tan-
gan.
"Bocah-bocah tolol! Bagaimanakah rupa emak
mu itu, apakah masih perawan dan cantik?" tanya si
Macan Liar, konyol. Pada dasarnya mereka yang di-
tanya itu memang orang-orang tolol, maka dengan po-
los mereka menjawab
"Aku tak tahu apakah emakku masih perawan
atau tidak, itu bukan urusanku. Mengenai ciri-cirinya,
nenek Kreot sebelum meninggal pernah mengatakan
bahwa emak kami itu berwajah cantik melebihi bida-
dari, alis matanya melengkung bagai semut hitam be-
riring. Wajah bulat lonjong kayak telur ayam, matanya
redup seperti orang yang mengantuk. Terus... terus...
apa kakang!" tanya Gindrung lalu berpaling pada sau-
dara tuanya.
"Terus... di bagian dagunya ada tahi lalat....!" ka-
ta Ginuk menambahi. Bukan tertawa-tawa lagi si Ma-
can Liar, sebaliknya ke dua matanya membelalak tak
percaya. Begitu pun dengan orang-orang yang menyer-
tai si Macan Liar. Ciri-ciri orang yang baru disebut-
sebut oleh Dwi Tolol itu rasanya tak begitu asing bagi
mereka. Ketua 'Peri Bunga Iblis', mengapa sama betul.
Merasa penasaran, akhirnya tanpa dapat dibendung
lagi si Macan Liar pun melanjutkan pertanyaannya.
"Apakah emak mu itu memiliki kulit seputih te-
lur bebek...?"
"Ya... ya... kulitnya memang mirip dengan kulit
telur bebek...!" jawab kedua pemuda itu secara seren-
tak.
"Anak-anak, ringkus mereka....!" perintah Macan
Liar kepada orang-orangnya. Secara serentak mereka
pun bergerak, tangan-tangan mereka yang kokoh ter-
julur dengan maksud sekali raih dapat menangkap
dua pemuda bertampang tolol. Namun di luar dugaan
Dwi Tolol berkelit menghindar. Kemudian berdiri ber-
jingkrakan dan balas membetot tubuh lawannya den-
gan maksud yang sama. Kali ini si Macan Liar yang
berdiri menonton bukan semakin gusar melihat ade-
gan itu, sebaliknya malah tertawa bekakakan.
"Bagus! Ada perlawanan, mau di ringkus malah
balas meringkus! He.... ha... ha...! Ayo anak-anak, ka-
lian tak mampu meringkus dua tikus tolol, maka ka-
lian mendapat hukuman yang setimpal dariku...!" kata
si Macan Liar. Meskipun dia masih terus tertawa-tawa.
Tapi orang-orangnya menyadari, bahwa ancaman itu
bukanlah ancaman kosong.
Maka dengan kemarahan dan kegusaran yang
meluap-luap, lima orang anggota si Macan Liar lang-
sung kerahkan jurus-jurus silat yang mereka miliki.
"Jangan sampai kalian melukainya...!" teriak si
Macan Liar mengingatkan. Dengan adanya peringatan
itu, sudah tentu kelima orang itu merasa sangat terba-
tas kesempatan untuk menguasai lawannya. Sebalik-
nya Dwi Tolol yang memang tanpa senjata itu begitu
bergebrak langsung mempergunakan jurus silat tan-
gan kosong "Sosor Bangau Mencatok Cacing', mereka
beberapa kali nyaris membuat lawannya celaka. Meli-
hat gelagat yang kurang menguntungkan itu, tiba-tiba
melalui ilmu mengirimkan suara, si Macan Liar mem-
beri petunjuk.
"Anak buah pada tolol, coba kalian pergunakan
jurus 'Menggusur Karang Membuat Lubang' pasti se-
jak tadi kedua tikus tolol itu sudah kena kalian ring-
kus...!" Begitu mendapat makian dari orang yang me-
reka hormati! Cepat-cepat mereka merubah jurus silat
yang mereka mainkan. Lima orang lawan maju sekali-
gus, tiga meringkus bagian kaki, sedangkan yang dua
orang lagi meringkus bagian tangan. Namun Dwi Tolol
telah bergerak mendahului.
"Wuut....!"
"Dess...! Deees...!" Dengan tangan menyilang di
depan dada, dua tendangan beruntun mereka lakukan
sekaligus. Dua lawan yang bermaksud menangkap
kaki Ginuk dan Gindrung kena ditendang bagian hi-
dungnya sehingga mengeluarkan darah.
"Ala emak, hidungku bosor....!" Keluh laki-laki
kurus berpakaian kulit macan.
"Lakukan sekali lagi, goblook...!" maki Macan
Liar bersungut-sungut. Dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh dan segenap kemampuan yang
mereka miliki. Sekali lagi mereka melakukan sergapan
serentak sambil lancarkan totokan.
"Hiaaat...." Masih dengan memandang remeh,
Dwi Tolol berkelit. Sekali lagi melakukan satu tendan-
gan. Namun luput, sebaliknya totokan-totokan yang
dilakukan oleh penyerangnya menyambar bagian tu-
buh Ginuk dan Gindrung.
"Tuuuk.... tuuuuk....!"
"Ahgk....!" Dwi Tolol keluarkan keluhan pendek,
kemudian roboh dengan keadaan tubuh kaku tak da-
pat digerakkan.
"He... he... he....! Bagus sekali pekerjaan kalian.
Sekarang gotong tubuh mereka...!" kata Macan Liar
sambil tertawa-tawa kayak orang sinting.
"Kakang, kita mau dibawa ke mana...?" tanya
Gindrung nampak cemas.
"Terserah mereka, dibawa ke mana kek, yang
penting kita tidak dipaksa jalan kaki....!" Dengan sikap
pasrah, Ginuk dan Gindrung diikat kedua tangan dan
kakinya, kemudian bagai membawa hasil buruan Dwi
Tolol diboyong memasuki kawasan hutan lebat.
***
TUJUH
Melangkah ke Tenggara hutan Jajaran, belok kiri
jalan berlapis batu gamping yang sangat licin, kemu-
dian membelok ke arah jalan sempit yang diapit dua
jurang menganga. Mendaki lagi anak tangga yang jum-
lahnya mencapai seratus anak tangga. Di situlah ber-
diri dengan megah singgasana berlapis perak milik Pe-
ri Bunga Iblis berikut begundal-begundalnya. Pabila
panas terik, dari kejauhan nampak sinar putih bagai
mutiara terpantul dari singgasana yang sangat mirip
dengan istana mini itu. Mendekati singgasana milik
Peri Bunga Iblis, terlihatlah berlapis-lapis penjaga ber-
senjata lengkap mondar mandir di seputar lingkungan
singgasana itu. Keadaan seperti itu memang tidak se-
bagaimana biasanya. Hal ini dilakukan sejak adanya
laporan dari Wisesa tentang seorang tokoh muda ber-
penampilan aneh dan memiliki kepandaian yang sulit
diukur.
Demikianlah siang itu terjadi pembicaraan serius
di ruangan pertemuan yang sangat rahasia, antara be-
gundal-begundal dengan ketuanya. Di ruangan yang
sangat rahasia itu berkumpullah, Wisesa, Macan Liar,
Kebo Bogel, yaitu tangan kanan pertama Peri Bunga
Iblis.
"Sampai saat ini aku masih meragukan tentang
keberadaan seorang pemuda aneh berilmu tinggi se-
perti apa yang dikatakan oleh saudara Wisesa itu! Se-
bab sepengetahuanku, selama ini di seluruh bagian
Tenggara tak seorang pun kaum persilatan yang ba-
gaimana pun hebatnya dapat lolos atau pun mampu
menghadapi kita...!" Kata perempuan berumur empat
puluhan itu namun masih tetap memiliki wajah yang
cantik.
"Maaf ketua! Tidak nantinya saya mengarang ce-
rita palsu, hanya untuk menyelamatkan diri dan men-
gelabuhi sesama kawan sendiri....!" jawab laki-laki
berwajah pucat yang bernama Wisesa itu, dengan wa-
jah semakin bertambah kelam. Peri Bunga Iblis yang
sedang tampak duduk angker di atas singgasana ber-
lapiskan perak, kembali mengangguk pelan. Tak lama
kemudian pandangan matanya memperhatikan wajah
para pembantunya satu demi satu. Sekejap berhenti
pada Macan Liar dan Kebo Bogel.
"Bagaimana paman Macan Liar dan Uwa Kebo
Bogel? Pernahkah anda berdua mendengar tentang
adanya seorang pemuda berkuncir berkeliaran di seki
tar wilayah kekuasaan kita?" tanya Peri Bunga Iblis
dengan pandangan matanya berkilat-kilat.
"Dunia persilatan itu tidak hanya mencakup wi-
layah Jajaran dan sekitarnya. Bahkan hampir di selu-
ruh kolong jagat itu, orang-orang sakti dan berkepan-
daian tinggi berkeliaran. Siapa tahu apa yang dikata-
kan oleh Adi Wisesa mengandung satu kebenaran
yang patut kita waspadai. Bukan mustahil orang ber-
periuk yang di sebut-sebut oleh adi Wisesa merupakan
orang luar yang patut kita curigai keberadaannya!"
sahut Kebo Bogel tanpa ragu. Mendengar jawaban
tangan kanan yang sangat di percayainya, Peri Bunga
Iblis berpaling pada Macan Liar yang berada di se-
belah laki-laki yang berbadan gemuk.
"Bagaimana pendapat paman Macan Liar....?"
Yang ditanya kali ini adalah laki-laki berpakaian lo-
reng-loreng kulit macan. Berwajah sangar menyeram-
kan. Seperti yang telah kita ketahui, seumur hidup ba-
ru sekali saja orang ini tersenyum dan tertawa-tawa.
Sekarang ini demi mendapat giliran pertanyaan, mata
si Macan Liar yang sipit bagai kurang tidur itu berke-
riapan. Dengan suaranya yang selalu serak bergetar
orang ini menjawab:
"Menurutku siapa pun adanya tokoh itu patut
dicurigai! Terkadang orang yang memiliki kepandaian
tinggi selalu berlagak bego, sebaliknya juga begitu. Da-
lam pertemuan ini juga aku ingin melaporkan tentang
dua orang bertampang tolol yang mengaku-ngaku se-
bagai anak ketua di sini...!" Memerah paras Peri Bunga
Iblis seketika, sama sekali dalam pertemuan itu dia
tiada menduga kalau Macan Liar akan mengatakan
sesuatu yang sama sekali di luar perhitungannya. Tadi
malam Peri Bunga Iblis memang sempat mendengar
tentang adanya hasil tangkapan yang kemudian dis-
ekap di ruangan bawah tanah. Tapi dia tidak begitu
perduli. Sebab sudah menjadi kebiasaan di wilayah-
nya, siapapun yang patut dicurigai akan selalu di-
tangkap hidup ataupun mati.
"Ini benar-benar sangat keterlaluan sekali. Dua
pemuda bertampang bego, mengaku dirinya sebagai
anak hantunya rimba persilatan." batin Peri Bunga Ib-
lis. Dalam keadaan diliputi kebimbangan seperti itu,
tiba-tiba perempuan setengah baya ini berkata tegas:
"Paman Macan Liar! Dari manakah asal-nya dua
pemuda tolol yang mengaku sebagai anakku itu?" Se-
mua orang yang berada di dalam ruangan pertemuan
itu nampak saling pandang dengan sorot mata mera-
gu.
"Aku tidak mengatakan mereka itu anakmu, Ke-
tua....! Cuma ciri-ciri yang mereka katakan padaku,
rasa-rasanya mirip dengan ketua. Bahkan mereka pun
tak tahu apakah benar ketua merupakan orang tua-
nya. Sebab aku pun belum mengatakannya pada me-
reka!" jawab Macan Liar tenang.
Peri Bunga Iblis nampak menarik napas pendek,
rasa sesak yang tadinya menghimpit rongga dadanya,
kini berangsur-angsur lenyap.
"Banyak orang di dunia ini yang memiliki persa-
maan wajah! Aku pun ingin tahu apakah dua pemuda
gendeng itu benar-benar anakku! Enam belas tahun
aku dirundung kesedihan hanya karena aku kehilan-
gan anak. Mereka semua tewas karena musibah banjir
yang melanda desa kami. Herannya suamiku Loga Wi-
sa yang kini meringkuk dalam tahanan itu malah ber-
suka ria atas kematian anak-anakku. Aku hampir gila
karena kuketahui kemudian si keparat Loga Wisa ter-
nyata memiliki banyak istri serta menjadi kaki tangan
si Tapak Bayangan yang telah membunuh kedua
orang tuaku! Sukur manusia sesat itu telah mampus
di tangan guruku. Kalau pun ku bangun istana Selak
sa Perak ini. Kemudian kita bergabung di dalamnya.
Semua itu semata-mata atas nama dendam! Aku baru
merasa puas setelah semua tokoh-tokoh persilatan
menjadi pecundang dan berlutut di bawah kekua-
saanku...!" kata Peri Bunga Iblis melampiaskan segala
unek-uneknya. Semua bawahan yang berada dalam
ruangan itu nampak diam membisu. Suasana menjadi
hening. Sepi. Masing-masing orang tenggelam dalam
pikirannya. Sama sekali mereka tiada menduga, kalau
akhirnya ketua mereka begitu terbuka membeberkan
masa lalunya. Merekapun tak dapat menyalahkan Peri
Kumala Hijau, jika Loga Wisa dijebloskan oleh istrinya
sendiri ke dalam sel penjara bawah tanah. Tak sampai
sepeminum teh, keheningan itu kembali terpecah oleh
suara dingin perempuan telenggas itu.
"Selesai pertemuan ini, aku ingin melihat hasil
tangkapanmu itu paman Macan Liar? Sebelum aku
memberi keputusan, kuminta jangan di apa-apakan
pemuda itu!" Kata Peri Bunga Iblis.
"Kami akan mematuhinya, Ketua...!" Jawab para
begundal-begundalnya serentak.
"Satu lagi yang harus kalian kerjakan, yaitu cari
pemuda berperiuk dan gadis yang menyertainya. Aku
yakin gadis itu muridnya Darah Swanda dari pergu-
ruan Cakar Buana..,.!"
"Perintah ketua akan kami jalankan....!" Jawab
Kebo Bogel. Tak lama setelah pembicaraan penting itu
dianggap usai, maka Peri Bunga Iblis dengan ditemani
oleh Macan Liar dan Kebo Bogel berangkat menuju
penjara yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat
kediamannya. Sementara itu, Wisesa dengan disertai
Kembar Kirik Cokelat dan dua puluh orang anak buah
segera meninggalkan istana Selaksa Perak untuk
mencari pemuda yang hampir membuat dirinya celaka
* * *
Kecepatan ilmu lari yang dimiliki oleh laki-laki
tua berjenggot putih berpakaian kembang-kembang
itu memang sangat luar biasa. Anehnya sungguh pun
laki-laki tua berkulit merah itu membawa seekor kuda
tunggangan berwarna putih bersih. Namun sepanjang
perjalanan yang di tempuhnya. Tidak sekali pun kuda
itu dia pergunakan sebagaimana lajimnya. Layaknya
laki-laki itu seperti sedang adu lomba kecepatan den-
gan kuda yang sangat terlatih itu.
"Criiing.... Criiing....!"
"Hieee.....!" Bersamaan dengan terdengarnya
bunyi bergemerincingan, kuda putih yang menyertai
laki-laki berusia tujuh puluh tahun itu meringkik ke-
ras. Mendadak menghentikan larinya dan memandang
pada laki-laki tua yang berada di sampingnya. Sekali
dua, laki-laki berpakaian kembang-kembang mengu-
sap-usap bagian hidung kuda yang sudah sangat ter-
latih itu. Tiba-tiba kuda kesayangannya membuka
mulutnya lebar-lebar.
"Criingg....!" Suara bergemerincingan kembali
terdengar, di iringi kata-kata bersahabat dari pemilik-
nya.
"Aku tahu engkau letih! Kita memang sudah sa-
ma-sama semakin tua. Dalam umur yang sudah setua
kita inipun, urusan dunia tidak kunjung selesai!" kata
laki-laki itu. Kemudian memasukkan sesuatu ke da-
lam mulut kuda yang ternganga. Terdengar bunyi
mendecap-decap saat kuda tadi mengunyah sesuatu
yang dimasukkan oleh tuannya. Sesaat laki-laki ini
memandang jauh kedepannya.
"Putih....! Bagaimana firasatmu tentang murid-
muridku yang tiada pernah kembali itu...!"
"Hieeee...! Bletak.... bletok.....!" Kuda putih meringkik keras, lalu hentak-hentakkan kakinya dua
kali. Alis putih di atas rongga mata si laki-laki yang
cekung mengernyit.
"Kau bilang murid-muridku mengalami nasib
yang jelek....!" gumam laki-laki itu dengan wajah ter-
tunduk lesu.
"Murid-murid perguruan Sangga Buana yang
malang! Aku yakin bukan Kembar Kirik
Cokelat yang telah melakukannya. Mungkin begundal-
begundalnya Peri Bunga Iblis!" Membatin laki-laki
aneh yang tak lain adalah Darah Swanda ketua pergu-
ruan Sangga Buana.
"Mengapa waktu itu bukan aku saja yang mela-
kukan pengejaran atas murid berkepala Anjing itu. Ki-
tab Cakar Buana mungkin saat ini telah berada di
tangan Iblis sesat itu! Sia-sia saja aku telah mencipta-
kannya selama hampir dua puluh tahun terakhir. Pa-
dahal kitab itu kuciptakan untuk membasmi manusia
iblis yang telah membuat ludes kaum persilatan go-
longan putih. Kutu kupret, aku benar-benar telah ke-
colongan dengan hadirnya Kembar Kirik Cokelat....!"
geram Darah Swanda. Dalam kemarahannya itu, men-
dadak Darah Swanda hantamkan tangannya ke satu
arah rimbunan pepohonan. Selarik cahaya berwarna
putih tak ubahnya laksana kilat menderu menghan-
tam sasarannya.
"Wuuuus.... Buuum....!" Pukulan yang dilepas
oleh Darah Swanda menghantam telak kerimbunan
pohon hingga hancur berantakan. Lima orang yang
bersembunyi dalam kerimbunan pohon itu terpelant-
ing roboh dalam keadaan hangus.
"Kurang ajar...! Sungguh orang tua tak tahu
adat, berada di daerah orang malah cari perkara....!"
Terdengar satu bentakan geram ditujukan pada Kakek
Darah Swanda. Kuda putih di sampingnya meringkik
keras, alis mata Darah Swanda mengernyit. Agaknya
dia menyadari orang yang baru membentak dirinya itu
memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Namun
sebagai seorang tokoh tua yang sudah banyak menge-
cap asam garam dunia persilatan. Sama sekali dia ti-
dak merasa terpengaruh dengan adanya bentakan
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tadi.
Tanpa berkata apa-apa, ketua perguruan Sangga Bua-
na ini kembali hantamkan pukulan 'Kilat Buana'
"Deeer....!" Pohon yang menjadi sasaran pukulan
kakek Darah Swanda roboh dengan menimbulkan su-
ara berdebum. Sementara dari atas pohon nampak
melesat beberapa sosok tubuh dengan suara tawanya,
bergelak-gelak.
"Jligk!. Jligk.....!" Dengan tanpa menimbulkan
suara, orang-orang yang bersembunyi di atas pohon
itu menjejakkan kakinya persis di depan Darah Swan-
da. Tersirap darah kakek ini begitu mengenali dua
orang di antara belasan laki-laki yang telah mengu-
rungnya.
"Kau.... Kembar Kirik Cokelat....!" Geramnya
dengan mulut menganga lebar. "Murid murtad.... ! Ce-
pat serahkan kitab yang telah kau larikan itu....!" ben-
tak Darah Swanda.
"He... he... he...! Kitab apa, Guru pikun...!" sen-
tak salah seorang dari Kembar Kirik Cokelat dengan
sesungging senyum mengejek. Wajah kakek Darah
Swanda mendadak berubah kelam membesi. Tubuh-
nya nampak gemetaran karena menahan amarah yang
meluap-luap.
"Tak pernah kuduga kiranya kalian sekutunya
manusia iblis....! Kini aku menyadari kiranya murid-
muridku yang tiada pernah kembali itu, telah kalian
bunuh. Hhh... hutang nyawa, di tambah dengan kesa-
lahan telah melarikan Kitab Cakar Buana! Rasa
rasanya kalau pun kupenggal kepala kalian masih ju-
ga belum lunas....!" Menggeram si kakek sambil meli-
rik pada laki-laki berbadan semampai yang berada di
sebelah Kembar Kirik Cokelat.
"Inikah manusianya yang telah menjadi guru ka-
lian, Saudara Kembar...!" gumam laki-laki yang ber-
nama Wisesa itu memandang remeh.
***
DELAPAN
"Tak salah lagi! Kunyuk tua muka merah inilah
yang dulu pernah kuangkat sebagai guru keblinger....!"
"Beranikah kalian menghadapinya....?" pancing
Wisesa memanas-manasi.
"He... he... he....! Di wilayah kekuasaan ketua Pe-
ri Bunga Iblis, dia bukanlah apa-apa...!" jawab Kembar
Kirik Cokelat berapi-api. Wisesa tertawa lebar, dia me-
rasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh orang
yang masih termasuk bawahannya itu.
"Ilmu silat kalian sudah tentu sangat dikenal
oleh si tua muka merah ini. Alangkah baiknya kalau
aku yang menghadapi dan menjajal sampai di mana
pamor ketua perguruan Sangga Buana ini...!" kata Wi-
sesa. Kemudian di awali satu bentakan keras, tubuh
laki-laki berbadan semampai itu melompat ke depan
sambil lancarkan satu jotosan ke arah kepala Darah
Swanda. Ketua Perguruan Sangga Buana, geser ka-
kinya satu langkah ke samping kiri. Dengan sedikit
miringkan badan, kakek Darah Swanda menyambut
serangan itu dengan satu cakaran dan tendangan me-
nyilang. Wisesa nampak terperanjat melihat sambaran
yang datang dari bagian kaki pihak lawannya. Secara
praktis dia tarik balik tangannya yang hampir tersam-
bar kaki lawan. Selanjutnya dengan mempergunakan
jurus 'Tiga Singa Gurun', tubuhnya berkelebat sangat
cepat. Dalam pandangan lawan, tubuh Wisesa men-
gembar menjadi tiga orang. Namun Darah Swanda ju-
ga selain memiliki kepandaian tinggi, juga mempunyai
pandangan batin yang jernih. Dengan mata meram
dan konsentrasi yang terkontrol dengan baik dia terus
mengincar tubuh lawannya.
"Husyaaa...!" Satu bentakan menyertai berde-
singnya senjata rahasia yang disambitkan oleh Wisesa
dan kawan-kawannya. Sementara itu Kembar Kirik
Cokelat masih terus menonton jalannya pertarungan
yang semakin bertambah sengit. Saat itu Darah
Swanda bukan tak menyadari adanya serangan senja-
ta rahasia yang datang dari berbagai penjuru itu. Na-
mun dia pun tak ingin kehilangan kesempatan untuk
menghajar tubuh asli pihak lawan yang telah menjadi
kembar tiga. Untuk menghindari serangan senjata ra-
hasia yang berupa Paku Bunga Iblis, ketua Perguruan
Sangga Buana kebutkan jubahnya yang berwarna
kembang-kembang. Secara aneh serangkum gelom-
bang angin yang sangat kencang menderu dari jubah
yang dikebutkan oleh Darah Swanda. Senjata rahasia
yang disambitkan oleh Wisesa dan anak buahnya den-
gan tenaga penuh jadi tertahan di udara. Bahkan se-
detik kemudian mental kembali menyerang pemilik-
nya. Yang tak sempat menghindari serangan balik sen-
jatanya sendiri nampak terpelanting roboh dengan tu-
buh menghitam dan jiwa melayang. Tercengang mere-
ka yang masih selamat dari maut yang mengancam-
nya. Sama sekali mereka tiada menduga kalau ketua
Perguruan Sangga Buana memiliki kepandaian yang
sehebat itu.
Sementara pertarungan terus berlanjut, dengan
mata masih terpejam, kakek berusia senja ini terus
menggebrak dengan serangan-serangan ganas. Kali ini
dia memang sengaja mempergunakan jurus-jurus an-
dalan untuk menggempur anggota Peri Bunga Iblis
yang selama ini dia dengar telah membantai begitu
banyak kaum persilatan golongan lurus. Saat itu tu-
buh Wisesa yang beberapa kali sempat kena gebuk
kembali dalam ujud tunggalnya. Dalam keadaan kem-
bar tiga orang nomor tiga dalam urutan anggota Peri
Bunga Iblis, tak mampu berbuat banyak. Padahal saat
itu dia telah menguras banyak tenaga. Setengah kesal
dia memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk me-
lakukan pengeroyokan. Tanpa menunggu lebih lama,
baik Kembar Kirik Cokelat dan belasan orang lainnya,
langsung memasuki gelanggang pertarungan.
"Cring.... Criiiing.... criiiing....!"
Terdengar bunyi bergemerincing saat Darah
Swanda menghentakkan kakinya yang bergelang itu
memberi isyarat pada si putih. Kuda yang sangat terla-
tih itu meringkik keras. Kemudian dengan gerakan-
gerakan aneh, kuda milik ketua Perguruan Sangga
Buana menerjang ke arah anggota Wisesa yang nam-
pak mulai melabrak dengan senjata terhunus. Terden-
gar teriakan-teriakan maut saat tubuh-tubuh yang ti-
dak sempat menghindar, terinjak-injak kaki kuda yang
sudah kalap melihat majikannya dikeroyok sedemikian
rupa.
"Hantam tubuh kuda itu...!" teriak Wisesa pada
si Kembar Kirik Cokelat yang masih terus berusaha
menghindari dan menyerang kuda milik Darah Swan-
da.
"Craaak.... Craaak....!"
"Hieeeeeh....!" Pedang pendek yang dipergunakan
oleh Kembar Kirik Cokelat mental entah ke mana, tu-
buh kuda putih milik ketua Perguruan Sangga Buana
kiranya kebal terhadap berbagai senjata tajam. Bukan
saja Kembar Kirik Cokelat yang selama ini pernah
menjadi murid Darah Swanda yang terperangah, na-
mun juga Wisesa yang sempat melihat kejadian itu
menjadi sangat terkejut. Dia sendiri merasa selama ini
belum pernah melihat seekor kuda mampu melakukan
gerakan silat dan bahkan kebal terhadap serangan
senjata tajam. Tapi kali ini dengan mata kepala sendiri
dia menyaksikan kejadian yang ganjil seperti itu.
Sungguh satu hal yang sangat langka.
"Manusia sekutu iblis! Jangan bengong, makan
seranganku...!" teriak Darah Swanda sambil hantam-
kan pukulan Kilat Buana. Wisesa terkesiap dengan
adanya sambaran udara panas yang menerpa bagian
bahunya. Secepatnya dia mencabut sebilah arit ber-
warna putih mengkilat karena ketajamannya. Senjata
itu dia putar sedemikian rupa sehingga membentuk
gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya.
"Breees....!" Tanpa ampun tubuh Wisesa terhan-
tam pukulan Kilat Buana yang menimbulkan hawa
panas itu. Namun hal itu hanya berakibat terdorong-
nya tubuh lawan beberapa tindak ke belakang. Setelah
terhuyung-huyung kemudian kembali siap dengan
kuda-kudanya. Laki-laki berpakaian hitam ini mero-
goh sesuatu dari balik bajunya. Lalu melontarkannya
ke arah Darah Swanda. Apa yang dilakukan oleh Wi-
sesa kiranya sudah berada dalam perhitungan ketua
Perguruan Sangga Buana. Lalu kesempatan yang
hanya sesaat itu dia pergunakan untuk menutup jalan
pernapasannya. Tiga buah benda berwarna hitam
yang besarnya tak lebih dari sebutir telur itik itu den-
gan sengaja dia sampok dengan tangan kanannya.
"Dweer....!" Terdengar tiga kali ledakan kecil ber-
turut-turut ketika benda itu pecah dan menimbulkan
asap putih menyerupai kabut. Namun siapa sangka
kalau dalam keadaan masih terbungkus kabut yang
berupa racun pembius itu, Kakek Darah Swanda ma-
sih dapat tergelak-gelak, dan bahkan masih dapat
mengetahui di mana posisi lawan berada. Tanpa di
duga oleh Wisesa, Kakek Darah Swanda hantamkan
pukulan andalannya yang berupa pukulan 'Sejuta Ge-
ledek' yang sangat dahsyat itu.
"Duuuk! Kraaak.....!" Dengan telak Wisesa kena
dihajar oleh Kakek Darah Swanda. Tubuh laki-laki
berbadan gempal itu terbanting keras di atas tanah
berbatu. Tiga buah tulang rusuknya patah. Begundal
Peri Bunga Iblis terbatuk beberapa kali.
"Hoeek....!" Darah menyembur dari mulut dan
hidungnya, wajahnya yang hitam berubah pucat bagai
sudah tiada berdarah lagi. Dengan tubuh gemetaran,
laki-laki itu berusaha bangkit berdiri, namun limbung
dan langsung jatuh tersungkur. Satu pukulan dengan
mengerahkan segenap kesaktian yang ada kembali di
lepas oleh Darah Swanda yang sudah gelap mata.
"Paman Sesa, awaaas....!" Teriakan salah seorang
dari Kembar Kirik Cokelat nampaknya sudah tidak
banyak artinya. Karena ternyata pukulan yang dilepas
oleh Darah Swanda telah melabrak tubuh sekarat tia-
da daya tersebut. Laksana terbang tubuh yang sudah
tiada berdaya itu dilanda pukulan Sejuta Geledek mi-
lik Darah Swanda. Begitu tubuh laki-laki berbadan
gempal itu terbanting di atas tanah, berkelojotan se-
bentar lalu terdiam untuk selama-lamanya.
Secara perlahan Darah Swanda mengerling ke
arah Kembar Kirik Cokelat dengan sudut matanya. Se-
lanjutnya menoleh pula pada kuda putih miliknya
yang masih terus mengamuk melawan beberapa gelin-
tir orang-orang Wisesa.
"Criiing... Criiing..."
"Heiiiieeeh....!" Begitu Darah Swanda memberi
isyarat pada kuda putih miliknya. Binatang terdidik
itu langsung menghentikan sepak terjangnya. Kemu-
dian berlari-lari kecil mendekati pemiliknya.
"Cukup putih! Sekarang tenang-tenang-lah kau
di sini, kau lihatlah bagaimana cara seorang bekas
guru memberi hukuman pada murid murtad berkepa-
la binatang ini!" kata Darah Swanda dengan nada
mengancam.
"He... he.., he...! Sungguh pun kau bekas seorang
guru kami, jangan kira kami takut menghadapimu.
Majulah....!" tukas salah seorang dari Kembar Kirik
Cokelat dengan suara lantang.
"Keberanian kalian memang patut di puji! Namun
sebelum kalian mati, jawab dulu beberapa pertanyaan
dariku...!"
"Heh... kau pasti mau menanyakan Kitab Cakar
Buana yang telah kami curi itu...!" katanya mengejek.
"Bukan itu saja....!"
"Yang satunya pasti tentang murid-murid mu
yang tiada kembali ke perguruan...!" tebak kembar Ki-
rik Cokelat sekenanya.
"Tak salah....!" kata ketua Perguruan Sangga Bu-
ana dengan tatapan dingin. Kembar Kirik Cokelat ber-
pandangan sesamanya, selanjutnya kembali menoleh
pada bekas gurunya.
"Apakah dengan kami beritahukan hal yang se-
benarnya lalu engkau mengampuni kami...?"
"Tergantung memuaskan tidaknya jawab-an yang
kalian berikan...!"
"Kalau begitu, di antara kita tak perlu ada kom-
promi. Asal kau tau saja, bahwa tiga orang muridmu
telah tewas di tangan kawan-kawan kami. Sedangkan
kitab Cakar Buana telah kami berikan pada ketua Peri
Bunga Iblis....!" kata Kembar Kirik Cokelat tenang.
"Keparaaaat....! Aku benar-benar akan mencincang tubuh busuk kalian!" maki Darah Swanda den-
gan kemarahan yang meluap-luap.
"Cabutlah senjata agar kalian tak mati percu-
ma.......!"..
"Baik, menghadapi guru pikun sepertimu, kami
memang memerlukan senjata...!" tukas kembar Kirik
Cokelat sambil meraba gagang pedangnya.
"Sriiing! Sriiiing!" Di tangan Kembar Kurik Coke-
lat kini telah tergenggam sebilah pedang pendek tipis.
Sebaliknya Darah Swanda yang sudah terbakar kema-
rahan nampak tak ingin mengulur-ulur waktu lagi.
Segera pula mencabut senjatanya yang berupa senjata
sebilah pedang mustika berukuran panjang berkilat-
kilat karena ketajamannya.
"Hiaaat..... Ciaaaa.....!" Secara nekad murid mur-
tad itu menyerang gurunya dengan senjata terhunus.
Dengan ganas murid berkepala anjing itu menyerang
Darah Swanda dari dua arah sekaligus. Pedang di tan-
gan berkelebat menyambar mencari sasaran. Ketua
Perguruan Sangga Buana nampak tenang sambil ter-
senyum penuh amarah. Bagaimanapun yang dilawan
oleh mereka kali ini adalah bekas gurunya sendiri. Il-
mu silat mereka berasal dari satu sumber. Dan yang
pasti Darah Swanda mengetahui kelemahan-
kelemahan jurus yang dimainkan oleh bekas murid-
nya. Demikianlah setelah pertarungan mencapai bela-
san jurus, nampaknya Darah Swanda sudah merasa
habis kesabarannya. Detik selanjutnya tubuh laki-laki
berusia tujuh puluhan itu berkelebat lenyap. Dua kali
pedang di tangannya menderu dahsyat.
"Jrees! Jrees....!" Dua Kembar Kirik Cokelat melo-
long setinggi langit. Sebelah tangannya masing-masing
yang memegang senjata terbabat buntung.
"Itu hukuman untuk kesalahan kalian telah
mengkhianati perguruan... dan yang ini....!" Kembali
pedang di tangan Darah Swanda berkelebat.
"Jrees... Jrooos....!"
"Argghk....!" Suara teriakan menyayat kembali
terdengar.
"Itu hukuman buat kesalahan kalian yang telah
membuat murid-murid tewas!" kata Darah Swanda
sambil memandang tajam tanpa ekspresi.
"Dan yang ini....!" Pedang di tangan laki-laki itu
kembali menyambar.
"Jraaak.... Jroook....!" Dua kepala manusia yang
berupa kepala anjing itu menggelinding ke tanah. Da-
rah menyembur dari luka yang mengerikan itu. Se-
mentara kepala yang terpenggal terus menggelinding
dengan mata melotot dan lidah terjulur. Bagian badan
yang sudah tiada berkepala itu nampak sempoyongan
dan melangkah tanpa tujuan. Namun setelah darah
yang mengalir dalam tubuhnya asat, tak dapat dicegah
lagi, secara hampir bersamaan tubuh Kembar Kirik
Cokelat ambruk ke bumi. Hanya sesaat saja tubuh
yang sudah dalam keadaan menggenaskan itu berkele-
jat-kelejat, kemudian diam membeku. Begitu dingin
dan tanpa perasaan, ketua Perguruan Sangga Buana
itu memperhatikan mayat bekas murid-murid yang
sangat menjengkelkan itu.
"Kalian memang pantas mati. Keberadaan kalian
di kolong langit ini hanya membikin onar saja. Heh...
tiga orang muridku telah tewas, tentu salah seorang di
antara mereka selamat. Tapi siapakah di antara mere-
ka itu? Ada baiknya kalau aku menyerbu markas Peri
Bunga Iblis, sekalian mencari tahu tentang kabar mu-
ridku yang selamat itu!" batin Darah Swanda. Selan-
jutnya setelah memberi tanda pada kuda putih milik-
nya. Maka mereka pun kembali berlari cepat menuju
tempat kediaman Peri Bunga Iblis.
SEMBILAN
Dalam kerangkeng penjara yang luasnya tak le-
bih dari dua kali tiga meter itu. Di sanalah Ginuk dan
Gindrung dipenjarakan. Sepanjang kerangkeng yang
jumlahnya lebih dari lima puluh kamar itu berbagai
kaum persilatan yang membangkang menjalani hu-
kuman yang cukup berat. Hampir setiap hari terden-
gar rintihan dari mulut orang-orang yang sedang men-
dapat siksa. Di antara sekian banyak orang, hanya
Ginuk dan Gindrung saja yang mendapat perlakukan
istimewa. Kenyataan ini membuat para tahanan yang
berada di sisi kanan kirinya menjadi iri. "Apa sih isti-
mewanya dua kunyuk bertampang tolol itu sehingga
mereka mendapat perlakuan istimewa seperti itu."
tanya mereka dalam hati. Padahal menurut mereka
Dwi Tolol hanyalah manusia biasa-biasa saja. Tak ada
yang istimewa terkecuali ketololannya. Hal ini patut
dipertanyakan! Batin salah seorang yang berada di se-
belah kerangkeng Dwi Tolol. Hingga sampai seminggu
kemudian rasa penasaran itu akhirnya tercetus juga.
"Hei... siapa nama kalian! Berasal dari mana
hingga sampai nyasar kemari...?" tanya si laki-laki
yang di sekujur badannya penuh dihiasi tatto dan
hampir setiap hari mendapat siksaan itu, penasaran.
"Kakang... orang itu menanyai kita, matanya me-
lotot seperti tidak senang!" lapor Gindrung sambil
mengguncang-guncangkan tubuh Ginuk yang sejak
pagi terus saja mendengkur.
"Apa kau bilang, adi... siapa tanya siapa...?" kata
Gipuk lalu mengucek-kucek matanya yang terasa pe-
das. Laki-laki bertatto menggebrak kerangkeng yang di
huninya.
"Aku yang tanya, gobloook....! Cepat jawab....!"
bentak laki-laki itu dengan nada geram.
"Eee.... namaku Ginuk, sedangkan adikku ini
Gindrung...!" jawab yang paling tua sambil cengenge-
san.
"Dari mana asal kalian...?" sentaknya lagi.
"Dower... eee... maksudku, kami berasal dari du-
sun dower....!" Si laki-laki bertatto manggut-manggut,
lalu "Nama yang cukup tak memberi kesan dusun ka-
lian agaknya tak tertulis dalam peta persilatan....!"
"Peta persilatan... aku pun tak tahu....!" jawab
Gindrung mendahului saudara tuanya. Si laki-laki
bertatto mendengus menampakkan rasa ketidak se-
nangannya.
"Ada hubungan apa kalian dengan ketua Peri Ce-
laka itu...?" tanyanya lagi. Kedua orang itu serentak
geleng-gelengkan kepalanya.
"Jadi kalian tak tahu...? Pantesan. Dasar kalian
orang-orang tolol...! Lalu mengapa kalian sampai di-
tangkap oleh orang-orang Peri Bunga Iblis, heh...?"
"Lha wong kami cari emak.....!"
"Cari emak...?" batin laki-laki bertatto merasa ge-
li sendiri, "Kalau hanya sekedar mencari orang tua
mengapa sampai orang-orang itu menangkap ka-
lian...?"
"Mana aku tahu, mungkin emak kami ada di si-
ni... sehingga orang-orang itu membawa kami kema-
ri....!"
"Apakah emak kalian itu rupanya mirip dengan
Peri Bunga Iblis?"
"Wow... mirip sekali! Bahkan kami menyangka
orang itulah emakku..!" jawab Dwi Tolol hampir ber-
samaan. Merah padam wajah si laki-laki bertatto
mendengar pengakuan Dwi Tolol. Serta merta di ke-
rahkannya tenaga dalam yang di milikinya. Kemudian
dengan sekali lompat diterjangnya dinding kerangkeng
yang terbuat dari kayu jati itu.
"Bruaaaak.....!" Kerangkeng yang berjeruji kayu
sebesar betis seorang anak kecil itu pun hancur ber-
keping-keping. Laki-laki bertatto menyeruak keluar,
selanjutnya menyerbu ke arah kerangkeng yang di
huni oleh Dwi Tolol.
"Keparaaat! Tampang kalian berlagak mirip orang
bego, nggak tahunya kalian ini anaknya si keparat Peri
Bunga Iblis! Hhh... aku harus mampusin kalian ber-
dua... Ciaaat....!" teriak si laki-laki bertatto sambil me-
lakukan satu terjangan.
"Bruaak...!" Di saksikan para tawanan yang begi-
tu banyak jumlahnya. Pintu kerangkeng itu pun han-
cur berantakan.
"Keluar kalian anaknya ratu sesat...!" perintah
laki-laki itu sambil menudingkan telunjuknya. Tapi
perintahnya yang menggeledek tidak segera dituruti
oleh Dwi Tolol. Hal ini hanya membuat darah laki-laki
itu semakin menggelegak sampai ke ubun-ubun. "Ku-
rang ajar! Kalian semakin berpura-pura bego... mam-
puslah...!" Si laki-laki bertatto menyerbu ke dalam ke-
rangkeng. Kemudian menyentakkan tubuh Ginuk dan
Gindrung, hingga membuat dua pemuda bertampang
tolol itu terjajar ke dinding kerangkeng.
"Kakang! Apa salah kita, orang ini kok menga-
muk kayak orang gila...?" tanya Gindrung dengan tu-
buh menggigil dan wajah pucat pasti.
"Manusia kampret... hiih...!" Dengan geram laki-
laki bertatto berbadan gemuk itu menyentakkan krah
baju yang dipakai oleh Ginuk dan Gindrung. Sehingga
tubuh pemuda itu terangkat tinggi. "Ketahuan kalian
berdua anaknya Peri Bunga Iblis, masih juga kalian
berpura-pura tolol...!"
"Buk... bukan...! Kalau memang benar perem-
puan cantik itu emak kami. Siapa sudi punya emak
jahat.... Kata nenek Kreot yang sudah meninggal,
emak kami baik sekali bukan seperti iblis...!" Sementa-
ra para tahanan lainnya nampak tergelak-gelak me-
nyaksikan adegan itu. Namun sejauh itu mereka tak
ada niat untuk membela si laki-laki bertatto, jangan-
kan lagi memberontak. Sebab mereka menganggap hal
itu hanyalah akan sia-sia belaka. Apalagi mengingat di
sekitar lingkungan tembok benteng berkeliaran berla-
pis-lapis penjaga yang rata-rata memiliki kepandaian
yang cukup tinggi.
Saat itu, Ginuk sedang berusaha melepaskan
cengkraman laki-laki berwajah kasar itu. Namun
nampaklah usaha yang dilakukannya tidak membua-
hkan hasil. Cengkraman si laki-laki bertatto semakin
bertambah kuat bagai jepitan baja
"Adi... masih hidupkah kau...!" teriak Ginuk, me-
gap-megap dan terasa sulit bernafas.
"Mmm... masih! Tapi sudah hampir kelenger...!"
"Gunakan jurus cocor bebek mencatok cacing,
adi Gindrung....!"
"Bagus! Gunakan saja jurus konyol pengantar
mampus yang kalian miliki! Aku jadi ingin lihat sebe-
rapa hebat anak-anaknya Peri Bunga Iblis....!" geram
si laki-laki bertatto.
"Husraaa....!" Kedua pemuda itu mengerahkan
segenap kemampuan yang ada. Laki-laki bertatto kali
ini malah tertawa terbahak-bahak. Tiada di sangka-
sangka, secara berbarengan Dwi Tolol hantamkan tin-
junya ke wajah orang itu, kemudian bagian kaki me-
nyodok ke arah bagian perut yang paling bawah.
"Buuk...! Buuuk....!"
"Jrooot...!"
"Auuuuh....!" Cengkeraman tangan si laki-laki
bertatto terlepas, sambil memegangi bagian terlarang
miliknya. Laki-laki itu menjerit dan berjingkrak
jingkrak.
"Kena... kena kakang...!" kata Gindrung polos.
"Kau apakan dia...?" tanya Ginuk berusaha ke-
luar dari dalam kerangkeng.
"Kutendang anunya, Kakang...!"
"Ha... anunya kau tendang?" kata Ginuk dengan
mata membelalak tak percaya.
"Biar kapok, Kang...! Biar cuti, kalau perlu untuk
selamanya....!" sahut Gindrung, berjingkrak jingkrak.
Sementara itu dengan langkah masih terpincang-
pincang, si laki-laki bertatto nampak mengejar keluar
kerangkeng.
"Keparaat kalian...! Tidak boleh tidak, aku harus
membunuhmu...!" teriak laki-laki itu terus menerjang.
"Pergunakan jurus Cocor Bebek Mencatok Cac-
ing, Adi...!" teriak Ginuk sambil berusaha berkelit
menghindar, begitu juga halnya yang dilakukan oleh
Gindrung. Karena saat melakukan serangan si laki-
laki bertatto yang dalam kalangan persilatan lebih di-
kenal dengan si Tenaga Gajah mengandalkan tenaga.
Maka begitu serangannya luput dari sasarannya. Tu-
buh si Tenaga Gajah langsung tersungkur mencium
tanah. Dengan wajah dipenuhi debu, laki-laki bertatto
ini segera bangkit, selanjutnya melakukan serangan
kembali.
"Akur! Teruskan... kalian memang badut-badut
yang menggelikan." Teriak orang-orang yang berada di
dalam kerangkeng memberi semangat.
"Kampreet...!" maki si laki-laki bertatto menyam-
but ejekan kawan-kawannya. Dengan satu gerakan
yang sulit untuk di duga-duga, laki-laki gemuk itu
menggelindingkan tubuhnya dengan maksud lancar-
kan sapuan ke arah bagian kaki lawan-lawannya. Dwi
Tolol bengong melihat keganjilan yang dilakukan oleh
lawannya. Namun kelengahan yang hanya beberapa
detik itu dipergunakan oleh pihak lawan untuk meng-
hantamkan kaki kanannya.
"Duuuuk! Buuuuuk....!" Dua kali tendangan ber-
turut-turut berhasil mencapai sasarannya dengan te-
lak. Dwi Tolol terjungkal, sambil memegangi perutnya
yang terasa mual, salah seorang dari mereka nyeletuk:
"Waduuh, aku kena adi Gindrung...!"
"Sama! Aku juga kena ditendang...!"
"Kalian memang pantas untuk menjadi raja cac-
ing tanah....!" jerit si Tenaga Gajah, terus memburu
dengan maksud untuk mengakhiri nyawa lawan-
lawannya. Tiada terduga, Dwi Tolol meraup segenggam
pasir. Begitu si Tenaga Gajah mendekat.
"Weeeeerr....!"
"Aaaahh... kurang ajar...!" maki laki-laki bertatto
sambil mengucek-ucek matanya yang kelilipan. Mem-
pergunakan kesempatan seperti itulah, Dwi Tolol lang-
sung mencecar lawannya dengan pukulan-pukulan
yang cukup keras. Si Tenaga Gajah, kini menjadi bu-
lan-bulanan Ginuk dan Gindrung. Si Laki-laki bertatto
hanya mampu mengeluh dan keluarkan kata-kata
yang kotor. Dasar orang-orang tolol yang sedang di-
landa kemarahan, mana mau perduli dengan segala
apa yang dikatakan oleh si Tenaga Gajah. Sampai ak-
hirnya terdengar suara bentakan disertai berdatan-
gannya beberapa orang penjaga meluruk ke arah me-
reka.
"Hentikan....!" hardik laki-laki berpakaian loreng-
loreng kulit macan. Seperti diketahui, laki-laki ber-
tampang angker itu berjuluk si Macan Liar. Bagai di-
hipnotis, Dwi Tolol tarik balik serangannya. Hampir
bersamaan mereka memutar langkah, lalu meman-
dang barisan pengawal yang menyertai Macan Liar.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya laki-laki
itu sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ma
tanya membelalak ketika melihat kerangkeng tempat
mengurung si Tenaga Gajah jebol berantakan.
"Kalian telah merusak penjara?" hardik si Macan
Liar menuduh.
"Eh... bukan kami yang merusak! Tapi orang itu
yang telah melakukannya...!" bantah Ginuk, lalu me-
nuding ke arah laki-laki bertatto.
"Benarkah seperti yang di katakan oleh pemuda
ini?" tanya Macan Liar, lalu memandang tajam pada
lawan Dwi tolol.
"Tidak kubantah....!"
"Mengapa kau lakukan...?" kata Macan Liar, me-
nyelidik. Sebelum menjawab, sesungging seringai
menghias di bibir si Tenaga Gajah.
"Aku harus menghajar mereka, bahkan kalau
perlu membunuhnya. Karena aku tahu dua kunyuk
bertampang tolol itu puteranya ketua kalian...!"
"Keparat!" maki si Macan Liar. Kemudian dengan
sekali lompat, sampailah begundal kedua Peri Bunga
Iblis. Tanpa basa-basi langsung hantamkan tinjunya
ke arah bagian perut si Tenaga Gajah. Laki-laki bertat-
to itu terjungkal, tidak cukup sampai di situ saja. Ma-
can Liar terus memburu kemudian hantamkan puku-
lan ke bagian wajah si laki-laki bertatto.
"Buuuuk...!" Bagian yang terhantam pukulan itu
langsung membiru dan mengeluarkan darah. Si Macan
Liar menoleh pada bawahannya.
"Seret dia ke dalam kerangkeng bawah tanah....!"
perintahnya. "Dan kalian berdua mendekat kemari....!"
Dwi Tolol mendekat.
"Apakah tuan akan menghukum kami juga...!"
tanya Ginuk dengan wajah pucat.
"Hooo... tidak! Malah ketua kami me-manggil ka-
lian berdua untuk menghadap...!" kata si Macan Liar
ramah.
"Apakah benar kami anak-anaknya Peri Bunga
Iblis...?" tanya Gindrung dengan suara gemetar.
"Aku tak layak menjawabnya. Sebaiknya kalian
tanyakanlah hal itu pada ketua kami. Sekarang patuhi
perintah...!" Tak begitu lama kemudian, dengan diikuti
oleh para pengawal Peri Bunga Iblis, berangkatlah Dwi
Tolol untuk menghadap Peri Bunga Iblis.
***
SEPULUH
Sepanjang jalan menuju sarang Peri Bunga Iblis
yang bermarkas di tengah-tengah hutan Jajaran bu-
kanlah merupakan jalan setapak yang sangat mulus
yang tiada memiliki rintangan apa-apa. Banyak sekali
jebakan-jebakan yang sangat berbahaya terpasang di
sepanjang jalan dan tempat-tempat yang dianggap
strategis untuk dilalui oleh pihak lawan-lawannya.
Syukur hal itu telah diperhitungkan oleh Pendekar Hi-
na Kelana dan gadis yang menyertainya. Sehingga se-
dikit banyaknya mereka terhindar dari bahaya yang
datangnya tiada dapat di duga-duga. Hanya terka-
dang-kadang saja sekali dua mereka bentrok dengan
beberapa orang penjaga di sepanjang hutan yang me-
reka lalui.
Di lain saat mereka juga merasa agak terkejut
dengan mereka temukan adanya korban-korban dari
pihak Peri Bunga Iblis yang tewas dengan keadaan
sangat menyedihkan. Jika melihat kondisi tubuh me-
reka, nampaknya kematian mereka belumlah begitu
lama. Bahkan di antara korban-korban itu masih ada
yang sekarat. Situasi seperti itu membuat Buang
Sengketa berpikir, mungkin di depan mereka telah be
berapa gelintir pendekar persilatan yang telah menda-
hului rencananya. Begitu pun dia tak dapat menduga
apa yang akan terjadi di depan sana, bahkan siapa
pun yang telah melakukan pembunuhan atas diri pen-
jaga di sepanjang jalan yang mereka lalui, yang jelas
pasti memiliki persoalan dengan Peri Bunga Iblis dan
para begundal-begundalnya. Demikianlah sambil terus
mengerahkan kecepatan ilmu larinya, pemuda ber-
kuncir ini melalui ilmu mengirimkan suara berkata
pada Andini! "Andini! Mungkin kita telah kedahuluan
oleh orang lain. Aku yakin orang itu pasti memiliki ke-
pandaian yang sangat tinggi...!" kata pemuda mendu-
ga-duga.
"Mayat-mayat itu masih baru, Kakang...! Melihat
bekas-bekas luka yang dialami oleh mayat-mayat itu.
Nampaknya tidak ada perlawanan yang terjadi, tokoh
yang telah menyantroni daerah ini sepertinya tak lebih
dari pada seorang pembunuh berdarah dingin...!" ucap
Andini melalui ilmu yang sama.
"Moga-moga tidak terjadi sesuatu dengan orang
itu!" desis si pemuda harap-harap cemas. "Aku yakin
walaupun orang yang setujuan dengan kita itu memi-
liki kepandaian setinggi apa pun, andai datang seo-
rang diri ke sarang iblis, firasatku mengatakan keme-
nangan baginya sangat sulit untuk didapatkan...!"
"Eee... kakang... mayat-mayat di sekitar tempat
ini semakin bertambah banyak! Mungkinkah kita su-
dah berada tidak jauh dari singgasana Peri Bunga Ib-
lis...?" tanya gadis berwajah ayu itu membelalakkan
matanya yang indah.
"Agaknya begitu! Mulai saat sekarang berhati-
hatilah... jangan-jangan semua ini hanya merupakan
satu jebakan buat kita...!" ujar si pemuda mulai me-
ningkatkan kewaspadaannya.
Setelah melewati hutan rotan yang sangat luas
lagi lebat. Tak sampai sepeminum teh, sampailah pe-
muda dan gadis itu di sebuah lapangan yang sangat
luas. Dengan cara mengendap-endap mereka melewati
lapangan itu tanpa kejadian apa pun. Akhir dari la-
pangan itu adalah jurang yang tak terhitung dalam-
nya. Sebentar pemuda titisan Raja Ular Piton dari ne-
geri alam gaib itu menoleh pada Andini.
"Sebuah tempat yang sangat berbahaya sekali.
Terlanjur kita memasuki daerah di seberang itu. Tak
ada jalan lain untuk selamat dari kematian terkecuali
kita mampu membasmi mereka hingga tiada bersi-
sa....!" desah si pemuda tanpa ragu-ragu lagi.
"Mungkinkah kita dapat melalui bukit-bukit ta-
jam di atas jurang yang tiada terukur dalamnya itu,
Kakang...!"
"Apakah engkau merasa mampu untuk melaku-
kannya....?" Si pemuda balik bertanya.
"Terus terang, aku tak bisa....!" Buang Sengketa
terdiam sesaat, sepasang matanya yang tajam berkilat-
kilat, nampak menyapu pandang pada keadaan di se-
kelilingnya.
"Pasti ada jalan rahasia untuk dapat sampai di
singgasananya Peri Bunga Iblis....!" gumamnya seperti
untuk dirinya sendiri.
"Sangat berbahaya kalau kita lalui jalan itu, Ka-
kang...! Jangan mengambil resiko terlalu besar....!" ka-
ta Andini mengingatkan.
"Bukit di atas jurang-jurang itu mungkin dapat
ku lalui, tapi bagaimana dengan kau... apakah kau
mau kutinggal seorang diri di tempat ini...?" Andini ge-
lengkan kepalanya berulang-ulang.
"Aku takut, Kakang Kelana! Aku merasa lebih
baik turut denganmu...!" ujar si gadis. Dari nada uca-
pannya terasa jelas bahwa gadis itu tak ingin berpisah
dengan Pendekar Hina Kelana. Kenyataan inilah yang
membuat si pemuda jadi pusing. Tak ada jalan lain
terkecuali dia harus menggendong Andini untuk dapat
melewati jurang-jurang itu secara bersama-sama.
"Dini...!" gumam si pemuda dengan wajah sedikit
memerah.
"Ada apa kakang...?"
"Kalau kau terus mau ikut denganku, apakah
kau mau untuk sementara ini kugendong...?"
"Digendong....!" sentak gadis itu dengan mata
membelalak. Buang Sengketa tanpa berani menoleh
hanya mampu mengangguk kecil.
"Tak ada jalan lain! Terkecuali kau merasa mam-
pu untuk melewati bukit-bukit yang jaraknya cukup
lumayan itu...!" Mendengar kata-kata si pemuda yang
cukup beralasan itu, rasanya Andini tidak punya pili-
han lain lagi. Selanjutnya dengan wajah memerah, ga-
dis itu mengangguk.
"Kalau tak ada cara lain! Aku merasa tak kebera-
tan, tokh aku tau engkau tak mempunyai niat-niat tak
baik terhadap diriku...!" selak Andini tanpa merasa
sungkan-sungkan lagi. Pendekar Hina Kelana hanya
diam saja begitu mendengar jawaban si gadis. Tapi
kemudian dia maju selangkah ke hadapan si gadis, la-
lu membalikkan tubuhnya dengan sikap menunggu.
"Kita tak punya banyak waktu, cepatlah kau naik
ke punggungku. Pejamkan matamu, dan jangan seka-
li-kali buat kesalahan yang dapat berakibat bagi kita
berdua...!" kata si pemuda tanpa maksud-maksud ter-
tentu. Sedetik kemudian tanpa merasa ragu lagi, An-
dini telah berpegangan erat pada bahu si pemuda.
"Maafkan aku, Kakang...! Aku sudah terlalu ba-
nyak merepotkanmu....!" Buang Sengketa hanya diam
saja, saat itu dia mulai memusatkan segenap konsen-
trasinya untuk mulai melakukan perjalanan yang san-
gat berbahaya itu. Berulangkali usahanya hampir saja
mengalami kegagalan saat mana dia merasakan dua
bukit kembar si gadis yang kenyal dan liat itu berges-
er-geser di punggungnya.
"Kurang ajar! Dalam keadaan seperti ini gadis
bengal ini masih juga menguji ketabahanku....!" maki
si pemuda diam hati. Tapi akhirnya terdengar pula su-
aranya, memberi peringatan keras pada Andini.
"Kau jangan bertingkah macam-macam, Andini!
Perbuatanmu yang konyol itu bisa membuat kita cela-
ka...!" dengusnya sinis.
"Maa... maaf! Aku tak sengaja kakang...!" ucap-
nya merasa malu sendiri. Buang Sengketa sudah tidak
menghiraukan jawaban Andini lagi. Selanjutnya den-
gan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang su-
dah sangat sempurna dan juga dengan memperguna-
kan Ajian Sepi Angin. Tubuh Pendekar Hina Kelana
bersama Andini tampak melesat laksana terbang.
Seringan kapas tubuh si pemuda nampak me-
lompat dari bukit yang satu ke bukit yang berada di
sebelahnya. Andini yang berada dalam keadaan mata
di pejamkan hanya merasakan suara angin bersuitan,
menderu-deru menyapu dingin bagian telinga dan
tengkuknya.
"Hiaa... hiaaat....!" Tubuh pendekar itu terus
berkelebat-kelebat semakin melesat jauh ke depan.
Tak sampai sepeminum teh. Sampailah mereka di atas
dataran yang sangat tinggi, Buang menarik nafas pen-
dek. Sepasang matanya kemudian membelalak saat
dia melihat ke arah lain. Ternyata saat itu mereka te-
lah berada di bagian belakang Singgasana putih milik
Peri Bunga Iblis. Tapi ketika mengamati suasana di
lingkungan singgasana yang di kelilingi benteng tinggi
itu, alis matanya mengernyit. Dia melihat sedang ter-
jadi pertarungan sengit di sana. Cepat-cepat pemuda
berwajah sangat tampan itu menurunkan tubuh Andini.
"Kita telah sampai! Coba kau lihat ke arah bawah
sana...!" kata si pemuda sambil menunjuk kesatu
tempat di bawahnya.
"Pertempuran...! Tapi aku kurang begitu jelas,
Kakang...!"
"Mari kita dekati tempat itu...!" kata si pemuda.
Lalu berlari-lari kecil menuruni bukit diikuti oleh An-
dini. Setelah jarak antara mereka dengan istana perak
itu sudah begitu dekat. Tampaklah oleh mereka pulu-
han pengawal Peri Bunga Iblis sedang mengurung seo-
rang kakek berwajah merah dengan seekor kuda pu-
tih. Di sisi kanan dan sisi kiri kakek dan kuda itu,
tampak puluhan pengawal istana perak terkapar ber-
kubang darah. Sementara di tangan si kakek sebilah
pedang panjang nampak tergenggam erat. Darah ma-
sih menetes dari ujung pedang yang berwarna merah.
Buang Sengketa merasa kagum dengan keberanian si
kakek berpakaian kembang-kembang ini. Orang tua
itu memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Da-
tang entah dari mana, menyebar maut di sepanjang ja-
lan yang dilaluinya. Padahal dia hanya berdua berikut
kuda putih yang nampaknya sangat terlatih dengan
baik. Lain lagi halnya dengan Andini, sejak matanya
melihat kuda putih yang menyertai si kakek. Dia men-
jadi sangat terkejut. Bahkan wajahnya mendadak be-
rubah pucat pasi. Jelas dia mengenali si kakek berba-
ju kembang-kembang berikut kuda yang menyer-
tainya. Karena orang yang sedang melakukan perta-
rungan itu tak lain merupakan gurunya sendiri.
"Kakang! Itu guruku, Kakek Darah Swanda...!"
seru si gadis mencemaskan keselamatan gurunya.
"Gurumu! Hmm... luar biasa keberanian yang dia
miliki. Pertarungan yang cukup seru...! Namun aku
tak melihat adanya Peri Bunga Iblis dan pembantu
pembantu utamanya?" kata si pemuda mulai menyapu
pandang ke arah bagian belakang istana perak.
"Heh....!" sentak Buang Sengketa terperanjat. "Di
belakang istana putih ini ada kerangkeng! Pasti itu
penjara buat orang-orang yang dicurigai. Setidak-
tidaknya mereka kaum golongan putih. Orang-orang di
dalam kerangkeng itu pun begitu banyak! Tenaga me-
reka pasti berguna untuk menempur Peri Bunga Iblis
dan orang-orangnya." kata si pemuda pada Andini.
"Apakah mereka mau membantu kita, Ka-
kang...?" tanya si gadis ragu-ragu.
"Mereka pasti butuh kebebasan! Mereka pasti
membantu kita...!"
"Lalu bagaimana, Kakang....!" tanya Andini mera-
sa masih belum dapat menangkap rencana apa yang
terkandung di hati si pemuda.
"Kau boleh menghubungi mereka dengan mak-
sud ingin membebaskan mereka. Katakan saja bahwa
mereka segolongan dengan kita. Setelah itu ajak mere-
ka bertarung me-lawan begundal-begundalnya Peri
Bunga Iblis...!" kata si pemuda begitu gamblang. Dan
Andini nampak mengangguk-anggukkan kepalanya
tanda mengerti.
"Nah sekarang kau berangkatlah ke sana! Kuli-
hat gurumu dan kuda putih miliknya sudah mulai ke-
walahan... eee... yang itu sepertinya Peri Bunga Iblis!
Aku akan membantu gurumu... cepat kau kerjakan
perintahku....!" kata Buang Sengketa. Lalu tanpa me-
nunggu jawaban Andini, tubuh Pendekar Hina Kelana
melesat cepat ke halaman depan Istana Perak. Saat itu
sedang terjadi perdebatan sengit antara Kakek Darah
Swanda dengan Peri Bunga Iblis, Kebo Bogel, dan Ma-
can Liar ketika Buang menjejakkan kakinya di samp-
ing kakek berpakaian kembang-kembang dengan dis-
ertai ucapan: "Kakek Darah Swanda, Andini ada bersamaku. Dan aku mau membantumu...!" kata si pe-
muda. Sungguh pun Kakek Darah Swanda merasa be-
lum begitu mengerti akan maksud-maksud si pemuda,
namun dengan disebut-sebutnya Andini. Akhirnya
dia merasa berlega hati juga.
"Hmm... selain tikus merah. Kiranya datang seo-
rang lagi pemuda gembel menjijikkan....! Apakah tu-
juan kalian yang sebenarnya...?" geram Peri Bunga Ib-
lis.
"Masih kurang jelaskah bagimu, Peri Keparat!
Bahwa niat kedatanganku kemari adalah untuk men-
gambil Kitab Cakar Buana, yang telah dilarikan oleh
murid-murid terkutuk itu! Dan satu lagi, aku ingin
menagih hutang darah atas kematian murid-murid ke-
sayanganku...!" bentak Darah Swanda tanpa merasa
gentar walaupun puluhan pengawal terus mengu-
rungnya begitu rapat.
"Hebat!" decak Peri Bunga Iblis. "Apakah engkau
sendiri merasa mampu untuk membayar hutang nya-
wa sekian banyak orang-orangku yang telah kalian
bunuh...?" dengus Peri Bunga Iblis. Kakek Darah
Swanda tertawa bergelak.
"Sebagaimana halnya dengan nyawamu, aku
menganggap nyawa mereka tak lebih berharga dari
nyawa binatang...!"
"Keparaat! Lancang sekali bicaramu, Kakek sint-
ing! Kau benar-benar telah menghina ketua kami....!"
Sentak Kebo Bogel merasa panas hatinya.
"Kalau kau merasa tak senang, bisa berbuat
apakah...?" sergah Buang Sengketa ikut pula menim-
pali.
"Jahanam. Gembel berperiuk ini agaknya sudah
pengin cepat-cepat mampus, Uwa...!" kata Peri Bunga
Iblis pada Kebo Bogel.
"Tunggu apa lagi, tujuan mereka sudah jelas!
Cincang mereka...!" perintah Macan Liar pada puluhan
pengawalnya. Tak begitu lama kemudian terdengar
suara riuh rendah dan ringkik si putih yang juga su-
dah mulai menerjang lawan-lawannya.
***
SEBELAS
Pada saat yang sama dari arah penjara terlihat
pula puluhan tahanan dengan senjata terhunus mem-
baur dalam arena pertempuran. Di antara para taha-
nan itu, Andini terus meluruk ke arah pengawal istana
perak. Sambil berteriak-teriak memberi peringatan ga-
dis itu terus memutar pedangnya. Kebo Bogel, Macan
Liar, juga Peri Bunga Iblis nampak sangat terkejut se-
kali melihat para tawanan dapat lepas dari kerang-
kengnya. Namun mereka juga sudah tak dapat berpi-
kir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu mereka sudah
harus mengimbangi serangan-serangan yang di-
lancarkan oleh Buang Sengketa dan Kakek muka me-
rah.
Buang Sengketa nampak sedang berhadapan
dengan Kebo Bogel dan Macan Liar. Sedangkan Kakek
Darah Swanda berhadapan pula dengan ketua Istana
Perak. Yaitu Peri Bunga Iblis. Pertarungan dua tokoh
dengan aliran berbeda itu memang benar-benar nam-
pak seru dan menegangkan. Dua-duanya begitu ber-
gebrak langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan-
nya: Sementara itu di pihak Peri Bunga Iblis, tiada
henti-hentinya menyambitkan senjata rahasia yang
sangat berbisa yang sudah dikenal oleh si kakek, yaitu
Paku Bunga Iblis. Sejauh itu dengan mengandalkan
ilmu mengentengi tubuh dan kecepatan gerak, Kakek
Darah Swanda selalu mampu menghindari serangan
senjata gelap milik lawannya. Kenyataan ini membuat
wanita berwajah cantik tersebut menjadi berang. Da-
lam gebrakan selanjutnya dia mulai mengeluarkan
pukulan 'Dewi Iblis Pengguncang Jagat' Yang di kenal
sangat ganas dan merenggut banyak korban. Sungguh
pun Kakek Darah Swanda belum mengenal secara
pasti kehebatan pukulan beracun yang sedang dike-
rahkan oleh lawannya. Namun begitu melihat tangan
Peri Bunga Iblis mulai mengeluarkan uap putih yang
menebarkan bau menyengat. Secara naluri dia dapat
merasakan betapa berbahayanya pukulan itu. Dengan
sangat cepat pula, Ketua Perguruan Sangga Buana itu
kerahkan pukulan ‘Sejuta Geledek’ tingkatan kedua.
Begitu dia mengerahkan tenaga saktinya, maka kedua
telapak tangannya berubah menjadi putih dan berki-
lauan. Peri Bunga Iblis merasa sangat kaget dengan
apa yang dilihatnya. Betapa pun dia merasa belum
pernah berhadapan dengan tokoh kosen yang satu ini.
Namun dari keterangan-keterangan yang di peroleh-
nya, pukulan pihak lawannya mampu merobohkan
dua puluh ekor gajah dalam sekali pukul. Tak ayal lagi
perempuan berusia empat puluhan ini segera menda-
hului.
"Wuuus....!" Terdengar suara menderu disertai
udara sangat dingin menggigit saat mana pukulan
'Dewi Iblis Pengguncang Jagat' melesat dari bagian te-
lapak tangan si wanita. Darah Swanda juga kiranya
tak mau kalah. Sedetik kemudian dia telah hantam-
kan tangannya ke arah depan. Sinar putih mengkilat
yang menebarkan hawa panas memapaki datangnya
pukulan ganas pihak lawannya.
"Dweeeerr.....!" Suasana di sekitar. pertempuran
berubah mengabur dilingkupi kabut dan debu yang te-
rus mengepul ke udara. Baik para pengawal istana perak mau pun orang-orang dari kerangkeng penjara
yang sedang terlibat pertarungan sengit dengan pihak
lawan. Tampak berpelantingan roboh begitu tersambar
dua kekuatan yang berlawanan itu. Tubuh ketua Per-
guruan Kilat Buana dan tubuh Peri Bunga Iblis sama-
sama tergetar hebat. Dari sudut bibir masing-masing
nampak mengeluarkan darah kental. Hal ini merupa-
kan suatu tanda bahwa masing-masing lawan sama-
sama memiliki tenaga dalam yang seimbang. Begitu
pun mereka sama-sama maklum bahwa di antara me-
reka pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Tanpa
ada terlihat berkurangnya semangat bertempur. Puku-
lan-pukulan yang sama pun kembali terulang. Kea-
daan tetap tidak berubah, Peri Bunga Iblis mulai ber-
pikir dan mencari jalan lain untuk memenangkan per-
tarungan itu lebih cepat. Akal licik pun bermunculan
dalam benaknya. Kali ini bukan pukulan-pukulan
dahsyat yang digelarnya. Sebaliknya dia mulai menca-
but senjata andalannya yang berupa sebuah paku be-
rukuran besar, berwarna kuning dan di bagian hu-
lunya bergagang tengkorak kepala Burung Nazar.
Dengan senjata andalannya ini dia mulai mencecar
Darah Swanda yang bersenjatakan pedang mustika
yang berukuran sangat panjang.
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Hi-
na Kelana dengan Kebo Bogel dan Macan Liar nampak
sudah mencapai puncaknya. Sejak awal secara bertu-
rut-turut pendekar berperiuk ini sudah mulai mem-
pergunakan jurus silat tangan kosong 'Membendung
Samudra Menimba Gelombang', jurus ini kemudian
kena didesak oleh pihak lawannya setelah kedua la-
wannya mempergunakan dua jurus berbeda, yang sa-
tu bernama jurus 'Macan Siluman Memporak poran-
dakan Hutan' sedangkan yang satu lagi memperguna-
kan jurus 'Kebo Selaksa Iblis'. Buang Sengketa merasa
tidak pernah kehilangan kesempatan. Lalu dia pun
pergunakan jurus 'Si Gila Mengamuk'. Jurus silat
yang tak ubahnya bagai seorang pemabokan itu hanya
dapat bertahan lima belas jurus, setelah pihak lawan-
nya menyerang si pemuda dengan pukulan-pukulan
yang sangat berbahaya. Tidak cukup waktu baginya
untuk mempergunakan jurus 'Si Jadah Terbuang' ba-
ginya. Terkecuali mengimbangi pukulan dua orang la-
wan dengan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan'. Ke-
sempatan itu juga dipergunakannya untuk mele-
paskan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh. Bukan saja
di pihak lawan yang telah menyusut jumlahnya itu
berpelantingan dan tewas seketika dengan telinga
mengalirkan darah. Namun di pihaknya, yaitu para
tawanan yang bergabung dengan mereka juga menga-
lami nasib yang tragis. Hanya mereka yang memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi saja yang mampu ber-
tahan dari serangan Lengkingan Ilmu Pemenggal Roh.
Di kedua belah pihak nampak sama-sama terke-
jut sekali begitu merasakan kehebatan yang di miliki
si pemuda. Bahkan Peri Bunga Iblis merasa dadanya
menjadi sesak. Dan kakek Darah Swanda, andai tidak
cepat-cepat menutup indera pendengarannya mungkin
akan merasakan hal yang sama seperti apa yang di-
alami oleh lawannya. Sungguh pun begitu, ketua ista-
na perak dan dua orang begundal utamanya ini tidak
merasa gentar sedikit pun. Bahkan mereka kini mulai
mengeluarkan senjata-senjata mautnya. Macan Liar
nampak mulai memutar senjatanya yang berbentuk
Cakar Harimau, sedangkan Kebo Bogel juga sudah
mulai hantamkan dua bola baja yang di setiap sudut-
nya terdiri dari gerigi-gerigi yang sangat tajam lagi
mengandung racun yang sangat ganas. Berulang-
ulang senjata maut itu nyaris menghantam tubuh
Buang Sengketa, bahkan saat kesempatan yang sangat baik, Macan Liar sempat mencedrai bagian iga si
Pemuda melalui sambaran Cakar Baja yang sangat mi-
rip dengan kuku macan. Darah mulai mengucur dari
luka yang tidak seberapa parah, namun menimbulkan
rasa nyeri luar biasa. Buang Sengketa menggeram,
serta merta terdengar suara mendesis bagaikan seekor
raja ular yang sedang dilanda kemarahan. Sementara
itu sepasang matanya berubah memerah saga. Me-
mandang setiap gerakan lawannya dengan gumaman
yang tiada berketentuan. Selanjutnya pemuda ini me-
mang tak pernah berkata apa-apa, namun secara pe-
lan dan cukup pasti kedua tangannya bergerak turun
dan meraba dua senjata yang sangat tinggi pamornya.
Begitu senjata itu tercabut, golok di tangan kanannya
memancarkan sinar merah menyala. Udara di sekelil-
ing tempat itu mendadak dirasakan oleh lawan-
lawannya menjadi dingin luar biasa. Sementara Buang
Sengketa merasakan adanya hawa hangat menjalari
tubuhnya lewat Pusaka Golok Buntung di tangannya.
Saat itu pertarungan antara Andini, kuda putih dan
orang-orang yang tergabung dengan mereka, telah ter-
henti. Para pengawal istana perak hampir keseluru-
hannya terbunuh. Sedangkan sisanya melarikan diri.
Hanya tinggal tiga orang tokoh istana perak, saat ini.
Yaitu Peri Bunga Iblis, Kebo Bogel dan Macan Liar.
Tapi dua orang yang disebut belakangan kemudian ju-
ga harus mati-matian mempertahankan nyawa, dari
serangan ganas dua senjata yang tiada terukur pa-
mornya.
Golok Buntung di tangan menderu, sedangkan
cambuk di tangan kiri melecut. Sebagaimana biasanya
begitu Cambuk Gelap Sayoto meliuk-liuk di udara.
Maka Gelegar petirpun sambung menyambung. Sua-
sana alam sekitarnya menjadi gelap gulita berseli-
mutkan kabut tebal dan mendung hitam. Dalam kegelapan itu, hanya kilatan sinar merah menyala meman-
car dari Golok Pusaka yang berada dalam genggaman
si pemuda. Tubuh Pendekar Hina Kelana, berkelebat,
golok dan pecut di tangan menyambar ganas. Baik
kawan mau pun lawan yang berada di sekitar tempat
itu dihantui rasa takut, cemas dan ngeri. Terlebih-
lebih ketika terdengar suara menggeledek yang di
ucapkan dengan menyertakan pengerahan tenaga da-
lam tinggi:
"Sebuah nama menyeramkan akan kuhapus dari
noda bumi! Peri Bunga Iblis, paling ringan kepala dan
kakinya akan kubuntungi.... Hiaaat....!"
"Nguuung...!"
"Ctaaar....! Ctaaar....!" Golok Buntung menderu
dan menimbulkan bunyi bising menyakitkan gendang
telinga, sementara Pecut Gelap Sayuto terus melecut
dan timbulkan suara menggeledek. Tiada memberi ke-
sempatan sedikit pun, Buang Sengketa terus mengejar
kemanapun lawan-lawannya menghindar. Suatu saat
ketika mereka dalam keadaan kepepet. Dua orang la-
wan hantamkan senjatanya masing-masing.
"Traaak....! Praaaak....!" Senjata andalan mereka
hancur berkeping-keping dilanda golok yang tergeng-
gam di tangan si pemuda.
Tiada berhenti sampai di situ saja, golok itu terus
menyambar laksana memiliki mata.
"Jrees! Craaaat....!" Terdengar jeritan panjang,
saat mana senjata itu meminta korban. Dada Kebo
Bogel terbelah. Sungguh pun tidak sampai terpisah
menjadi dua bagian, namun telah cukup untuk me-
renggutkan nyawanya. Sementara itu tubuh si Macan
Liar juga menyusul ambruk ke bumi setelah terobek
bagian pangkal lehernya. Kejadian yang dialami oleh
dua orang begundalnya kiranya tak luput dari perha-
tian Peri Bunga Iblis. Perempuan itu bermaksud untuk
kabur meninggalkan tempat itu, namun sebelum niat-
nya kesampaian. Pendekar Hina Kelana telah men-
gambil alih pertarungan itu. Merasa tugasnya dite-
ruskan oleh pemuda berkepandaian luar biasa, maka
dalam kegelapan akibat pengaruh lecutan Cambuk
Gelap Sayuto. Kakek Darah Swanda, mengajak murid-
nya, Andini untuk menyerbu ke dalam istana perak
milik Peri Bunga Iblis guna mendapatkan kembali Ki-
tab Cakar Buana milik perguruan mereka.
Sementara itu, dalam pertarungan yang sangat
menentukan ini, Peri Bunga Iblis yang sudah mulai
menciut nyalinya. Tampak sudah tak dapat lagi mela-
kukan kontrol dengan baik. Sekali waktu dengan ne-
kad dia juga memapaki serangan senjata yang sangat
berbahaya itu.
"Craaaang...!"
"Aiiih....!" Terdengar satu seruan tertahan saat
mana senjata mereka saling berbenturan. Bahkan ra-
tunya manusia sesat itu lebih terperanjat lagi ketika
mengetahui senjatanya patah menjadi dua bagian.
"Ctaar! Wuuut....!" Belum lagi hilang rasa kaget-
nya ketika sedetik berikutnya tubuh Peri Bunga Iblis
tersambat cambuk. Yang lebih celaka lagi cambuk itu
melilit pinggangnya sedemikian keras. Dengan segenap
kemampuannya dia berusaha melepaskan lilitan cam-
buk, ketika usahanya itu hampir mendatangkan hasil,
sebuah sentakan keras menerbangkan tubuhnya ke
arah jurang yang menganga.
"Aaaaahhh.....!" Dua jeritan yang sama terdengar,
pertama saat tubuh ratu sesat itu meluncur deras ke
arah jurang. Yang kedua saat tubuh perempuan can-
tik itu membentur batu-batu runcing yang berada di
dasar, jurang itu. Tubuh si pemuda diam mematung,
perlahan-lahan dia menyelipkan Golok dan melilitkan
Cambuk Gelap Sayuto di bagian pinggangnya. Sambil
berkelebat pergi, pemuda itu melalui ilmu mengirim-
kan suara berkata: "Semoga usahamu berhasil, Kakek
Darah Swanda! Selamat tinggal, Andini....!"
"Kakang... aku mencintaimu, jangan tinggalkan
aku....!" jerit gadis berwajah ayu itu terdengar lamat lamat.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar