..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE PEMBALASAN MAHA DURJANA

Pembalasan Maha Durjana

 

PEMBALASAN MAHA DURJANA

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: 

Pembalasan Maha Durjana


SATU


Hutan Komering Ilir terasa sepi di pagi itu. 

Namun pemuda berwajah tampan berpakaian me-

rah ini terus melangkahkan kakinya dengan man-

tap. Sebagaimana keterangan yang didapatnya dari 

beberapa penduduk setempat, padepokan Gunung 

Ungkur letaknya tidak seberapa jauh lagi dari hu-

tan lebat yang sekarang sedang dilaluinya. Tanpa 

merasa curiga pada keadaan disekelilingnya, si 

pemuda dengan rambut dikuncir itu terus melang-

kah. Tidak kurang setengah jam ia menelusuri ja-

lan itu, mendadak ia mendengar suara jerit terta-

han jauh di belakang sana. Si pemuda yang tidak 

lain Pendekar Hina Kelana, langsung menghenti-

kan langkahnya lalu menoleh ke arah suara tadi 

berasal. Sesaat berlalu sepi. Suara jerit perempuan 

tadi digantikan dengan suara denting beradunya 

senjata tajam.

Tanpa menunggu lebih lama lagi Buang 

Sengketa segera berbalik langkah, dan berlari ce-

pat menuju tempat terjadinya keributan. Se-

sampainya di sana ia melihat seorang gadis sedang 

menghadapi keroyokan seorang laki-laki muda dan 

seorang gadis berusia sebaya. Buang Sengketa be-

rusaha menajamkan pandangan matanya untuk 

mengenali gadis yang berusaha membebaskan diri 

dari tekanan-tekanan serangan dua orang lawan-

nya. Pemuda itu merasa terperanjat. Saat pandan-

gan matanya yang setajam mata elang itu menge-

nali ciri-ciri si gadis.


"Cempaka...?" serunya tertahan. Sampai se-

jauh itu ia dapat melihat bahwa siapapun yang 

menjadi lawan Cempaka. Yang jelas mereka memi-

liki kepandaian lebih tinggi bila dibandingkan den-

gan kepandaian yang dimiliki oleh gadis yang di-

kenalnya. Pemuda itu masih tertegun di tempatnya 

ketika terdengar suara jeritan Cempaka. Saat itu 

kiranya ujung pedang yang berada dalam gengga-

man gadis yang menyertai pemuda berbaju cokelat 

berhasil melukai bagian tangan Cempaka. Tetapi 

nampaknya yang menjadi lawannya tidak ingin 

berhenti sampai disitu saja. Ia segera memburu 

Cempaka dengan pedang terhunus.

Karena jarak pertempuran dengan posisi 

Buang Sengketa agak berjauhan. Maka pemuda 

itu cepat mengambil sebatang ranting. Dengan 

mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang 

dimilikinya. Buang Sengketa menyambitkan rant-

ing tersebut ke arah senjata lawan yang menderu 

ke arah Cempaka.

Siiing...!

"Traaak...!"

"Akghh...!"

Perempuan yang menyertai pemuda berpa-

kaian cokelat itu mengeluarkan jeritan tertahan, 

saat mana ia merasakan adanya sebuah benda 

menyambar deras ke arah bagian pedangnya. Se-

mentara tubuhnya sendiri terhuyung beberapa 

tindak ke belakang. Dengan cepat ia menoleh. En-

tah dari mana datangnya perempuan itu melihat 

seorang pemuda berpakaian merah telah berdiri 

dua batang tombak darinya. Pemuda itu terse


nyum-senyum begitu melihat gadis yang baru saja 

digagalkan niatnya nampak merah sekali.

"Kakang Kelana...!" desis Cempaka ketika 

melihat kehadiran Buang Sengketa. Namun Buang 

yang sudah merasa kesal karena ternyata gadis itu 

terus membuntuti kepergiannya, nampak acuh-

acuh saja.

Dalam pada itu gadis yang hampir saja 

membunuh Cempaka sudah membentaknya.

"Hei, pemuda usilan. Siapakah engkau ini 

hingga begitu lancang mencampuri urusan orang 

lain...?" sentaknya dengan suara tergetar.

"Siapapun adanya aku ini, yang jelas aku 

tidak ingin melihat gadis itu mengalami hal-hal 

yang tidak diharapkan oleh orang tuanya!" jawab si 

pemuda begitu tenang.

"Mungkin dia merupakan kekasih gadis usi-

lan ini, adik Kurnia...!" pemuda berpakaian cokelat 

yang tak lain merupakan Pramesta ikut bicara.

"Kakang Kelana. Hampir setengah hari dua 

orang ini terus membuntutimu. Wajarkan bila aku 

menyerangnya. Karena gerak geriknya yang men-

curigakan...!" celetuk Cempaka merasa tidak se-

nang.

"Bicara soal buntut membuntuti. Sebenar-

nya sejak beberapa hari yang lalu aku melihat kau 

telah menguntitku, menyusul dua orang pemuda 

dan pemudi gagah ini. Hem. Sebenarnya aku tidak 

punya apa-apa yang pantas kubagi-bagikan buat 

kalian. Tidak ada alasan bagi kalian untuk meng-

ganggu perjalananku. Bahkan aku sendiri merasa 

tidak punya persoalan dengan kalian. He... he...


he... apa sih yang kalian inginkan dariku?" tanya 

si pemuda, kemudian memukul periuknya beru-

lang-ulang hingga menimbulkan suara berkeron-

tangan.

"Eeh, siapa yang membuntuti siapa? Kami 

memang sedang melakukan perjalanan jauh. Kebe-

tulan saja kami memang hendak pulang ke pade-

pokan Gunung Ungkur. Karena kulihat si gembel 

berperiuk ini menuju ke arah padepokan, kami pi-

kir wajar jika mencurigainya." kata Kurnia Dewi 

ketus.

Buang Sengketa langsung menjura hormat 

manakala mengetahui siapa sebenarnya orang 

yang telah menyerang Cempaka. Karena memang 

pada dasarnya ia ingin pergi ke padepokan Gu-

nung Ungkur, ia merasa tidak perlu membantah 

apa yang dikatakan oleh gadis yang berada di sisi 

pemuda berpakaian cokelat itu.

"Maafkan kami saudara dan saudari. Kua-

kui terus terang, bahwa sebenarnya kami memang 

ingin datang ke padepokan Gunung Ungkur. Kare-

na kebetulan anda berdua merupakan keluarga 

padepokan. Kukira tak ada salahnya jika aku 

numpang bertanya pada kalian...!"

"Uuuh. Enak saja, kawanmu telah menye-

rang kami. Sekarang kau meminta agar kami men-

jawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu 

itu...?" sentak Pramesta ikut menimpali.

"Kakang, orang itu telah melukaiku. Menga-

pa kakang Kelana harus berbaikan kepadanya...?" 

Cempaka yang tidak begitu senang dengan sikap 

mereka, kali ini malah membentak.


"Sabarlah Cempaka. Luka yang kau alami 

tidak begitu parah, untuk sementara kita harus 

melupakan masalah pribadi. Dunia persilatan se-

perti yang telah kita ketahui sedang dilanda kere-

sahan. Sebagai pribadi akupun tidak dapat mem-

biarkan hal itu berlarut-larut. Nah saudara dan 

saudari. Kalaulah memang anda berasal dari pa-

depokan Gunung Ungkur saya punya beberapa 

pertanyaan yang barangkali anda berdua sudi 

menjawabnya...!" ujar Buang Sengketa penuh ha-

rap.

Pramesta dan Kurnia Dewi nampak saling 

berpandangan. Lalu timbul kesimpulan dalam hati 

mereka. Pemuda yang berdiri di hadapan mereka 

itu meskipun berpakaian dekil dan kotor tetapi 

nampaknya merupakan seorang pemuda yang ju-

jur. Dan melihat gelagatnya mungkin pula seorang 

pemuda yang beraliran lurus di samping berke-

pandaian tinggi pula. Rasanya bagi Pramesta tidak 

ada alasan untuk mencurigainya. Berpikir sampai 

ke situ, akhirnya Pramesta pun berucap: "Sauda-

ra. Siapakah saudara ini? Dan ada keperluan apa-

kah dengan padepokan Gunung Ungkur?"

Buang Sengketa tersenyum ramah, setelah 

tercenung sebentar.

"Aku yang hina ini bernama Buang Sengke-

ta. Orang-orang selalu memanggilku sebagai si Hi-

na Kelana. Adapun maksud tujuanku datang ke 

Gunung Ungkur adalah ingin mendapatkan bebe-

rapa keterangan yang kurasa perlu demi menye-

lamatkan sekian banyak penduduk yang menjadi 

korban pembangunan Kerajaan manusia iblis...!"


Mendengar disebut-sebutnya tentang Kera-

jaan Iblis, terkejutlah Kurnia Dewi dan Pramesta. 

Selama mereka melakukan perjalanan memang 

banyak mereka dengar tentang hilangnya pendu-

duk laki-laki perempuan berusia masih sangat 

muda. Desas-desus yang mereka dengar seseorang 

yang bergelar Maha Diraja Setan Bumi-lah yang 

bertanggung jawab dalam penculikan-penculikan 

itu. Namun nampaknya pemuda berpakaian kumal 

ini tahu lebih banyak tentang perkembangan du-

nia luar, hal ini menunjukkan sesungguhnya pe-

muda itu memiliki pengalaman yang luas dan be-

rilmu tinggi pula.

"Saudara Kelana. Kami memang benar mu-

rid padepokan Gunung Ungkur. Saya Pramesta 

dan adik seperguruan saya ini bernama Kurnia 

Dewi. Oh ya, kami juga mohon maaf atas kesalah-

pahaman yang telah terjadi." sambil berkata Pra-

mesta memandang sejenak pada Cempaka yang 

saat itu sedang berusaha membalut lengannya 

yang terluka. Kurnia Dewi pun ketika melihat 

Cempaka sedang membalut lukanya segera datang 

menolong. Sementara pembicaraan terus berlan-

jut.

"Kita sama-sama bersalah, lupakanlah. Oh 

ya apakah si Topi Terbang merupakan murid pa-

depokan Gunung Ungkur...?" tanya si pemuda 

kembali pada pokok persoalan.

Beberapa saat Pramesta terdiam. Ia me-

mang sama sekali tiada menduga kalau pemuda 

yang bernama Buang Sengketa ini menanyakan 

orang yang telah melarikan diri dari penjara ber

sama-sama kekasihnya, (Dalam Episode 

GERHANA DI MALAM JAHANAM). Haruskah ia 

mengatakan hal yang sebenarnya? Pramesta nam-

pak diliputi kebimbangan. Namun setelah menim-

bang sekian saat lamanya, pemuda inipun memu-

tuskan untuk berterus terang.

"Benar saya akui bahwa si Topi Terbang 

atau Sakapala merupakan murid tertua padepo-

kan Gunung Ungkur. Namun sesungguhnya ia 

merupakan murid murtad yang mungkin saja di 

luar sana telah bertindak secara sesat. Beberapa 

pekan yang lalu bahkan ia pernah kembali ke pa-

depokan dengan membawa niat tak baik. Saya 

sendiri yang meringkusnya kemudian memenjara-

kannya selama beberapa hari." sampai disini Pra-

mesta hentikan ucapannya. Tiba-tiba ia menarik 

nafas dalam-dalam, seperti ada sesuatu yang tera-

sa menghimpit perasaannya.

"Apakah kakang seperguruanmu ada di pa-

depokan hingga sampai sekarang ini?" tanya si 

pemuda berharap.

Pramesta gelengkan kepalanya berulang-

ulang.

"Sayangnya ia telah melarikan diri dari pen-

jara bersama kekasihnya. Ah... menyesal sekali 

kedatanganmu sangat terlambat sobat...!"

"Karena itukah maka anda berdua mening-

galkan padepokan...?"

"Ya... kami bermaksud melakukan pengeja-

ran. Namun ternyata kami kehilangan jejak sama 

sekali...!"

"Sungguh sulit memang untuk memburu si

Topi Terbang. Dan sekarangpun aku merasa yakin 

orang itu telah sampai di Istana Iblis. Cepat atau 

lambat ia akan menyeret Maha Diraja Setan Bumi 

datang meluruk ke perguruan kalian...!" gumam 

Buang Sengketa, parau.

"Hh... bagaimana engkau bisa mengetahui 

kalau kakang Sakapala merupakan pembantunya 

manusia iblis itu?" tanya Kurnia Dewi yang baru 

saja selesai memberi bantuan pada Cempaka.

"Beberapa pekan yang lalu aku melakukan 

penyelidikan di sebelah bukit Iblis. Dari pembica-

raan yang sempat kudengar, mereka menyebut-

nyebut tentang tidak kembalinya si Topi Terbang 

selama lebih dari setengah purnama. Hal lain yang 

kuketahui bahwa di sana terdapat beratus-ratus 

orang yang bekerja membangun sebuah istana 

yang kemudian kuketahui sebagai istana miliknya 

Maha Diraja Setan Bumi. Yang membuat aku he-

ran adalah mereka nampak begitu penurut di 

samping memiliki tenaga bagai siluman...!" kata si 

pemuda secara panjang lebar.

"Hemm. Sungguh sangat berbahaya sekali. 

Lalu apakah yang harus kita lakukan?" tanya 

Kurnia Dewi.

"Tiada jalan lain terkecuali kita menyerbu 

ke markas mereka...!" ujar Pramesta merasa geram 

bukan main.

"Jangan. Kita bisa mati konyol berada di sa-

rang lawan yang memiliki kepandaian yang tiada 

terukur itu...!" bantah Pendekar Hina Kelana.

"Lalu bagaimana?"

Buang Sengketa kembali terdiam. Dalam


hatinya ia berpendapat, walau bagaimanapun se-

buah kekuatan siluman harus pula di lawan den-

gan siluman pula. Bahkan ia masih ingat ketika 

berada di bukit Iblis. Para pekerja itu nampaknya 

memiliki ketidak wajaran. Tatapan mata mereka 

kosong, tiada gairah hidup. Bahkan mengerjakan 

apa saja yang di perintahkan oleh beberapa orang 

mandor yang menjaganya

Ketika ia teringat sesuatu, maka tak lama 

setelahnya iapun kembali berucap: "Menurutku 

bagaimana kalau kita berangkat ke padepokan dan 

menanyakan segala sesuatunya dengan guru an-

da...?"

Mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja 

baik Pramesta maupun Kurnia Dewi langsung ter-

perangah.

"Bagaimana mungkin kita dapat menanya-

kan segala sesuatunya pada guru, sedangkan se-

lama menjadi muridnya sekalipun kami belum 

pernah bertemu?' ujar Pramesta polos.

Seumur hidup baru kali inilah Buang men-

dengar ada sebuah padepokan yang memiliki seo-

rang guru namun sangat jarang dapat ditemui. Ini 

juga merupakan sebuah persoalan baru sekaligus 

merupakan keanehan yang perlu dicari jawaban-

nya.

"Ini merupakan keanehan lain yang perlu 

mendapat jawaban. Ee... maaf saudara Pramesta. 

Apakah selama ini murid-murid padepokan Gu-

nung Ungkur tidak pernah merasa curiga dengan 

keberadaan guru kalian sendiri...?" tanya si pemu-

da berhati-hati



"Sebagian besar mungkin tidak. Namun aku 

sebagai pribadi selalu merasa curiga atas kebera-

daan Eyang Guru...!" jawab Pramesta.

"Apapun yang akan terjadi ada baiknya ka-

lau kita segera pergi ke padepokan. Sesampainya 

di sama kita dapat membicarakan segala sesua-

tunya secara leluasa...!" ujar Kurnia Dewi mengan-

jurkan.

Selanjutnya berangkatlah empat orang ber-

sahabat ini menuju padepokan Gunung Ungkur 

yang letaknya tidak seberapa jauh lagi.

***


DUA



Gending Sora yang baru saja sembuh dari 

lukanya akibat bagian tangan tertebas senjata mi-

lik Pendekar Hina Kelana. Para pembantu dan 

mandor Maha Diraja Setan Bumi. Juga manusia 

iblis yang mereka sebut-sebut sebagai Kanjeng 

Guru, hadir di dalam ruangan Kerajaan yang baru 

saja selesai pembuatannya. Puluhan bahkan ratu-

san laki-laki maupun perempuan berusia sangat 

muda, nampak duduk di depan singgasana raja. 

Dalam ruangan yang sama, tidak begitu jauh dari 

singgasana Maha Diraja Setan Bumi. Nampak du-

duk bersimpuh seorang pemuda berpakaian serba 

kuning serta seorang gadis yang berada di sisi si 

Topi Terbang tak lain Asih Anggraeni, kekasih pe-

muda berpakaian serba kuning itu.


Tidak lama setelah kesunyian mewarnai 

ruangan besar tersebut. Maha Diraja Setan Bumi 

dengan suaranya yang besar, serak namun berwi-

bawa mulai berucap.

"Para abdiku yang setia! Sengaja kalian se-

mua kukumpulkan di ruangan kehormatan ini 

adalah untuk merayakan pembangunan Kerajaan 

yang kita cintai. Usaha kalian dalam melaksana-

kan tugas yang kuberikan ternyata tidak sia-sia. 

Atas pengabdian kalian dan kesetiaan kalian sela-

ma ini padaku, maka aku akan mengangkat kalian 

menjadi prajurit Kerajaan. Dengan adanya tugas 

yang kuberikan ini, kalian mempunyai tanggung 

jawab untuk melindungi Kerajaan Iblis dari setiap 

ancaman musuh...!" sejenak Maha Diraja Setan 

Bumi menghentikan ucapannya. Sorot matanya 

yang bengis sebentar nampak memperhatikan me-

reka yang hadir di dalam ruangan itu. Lalu ia me-

lanjutkan ucapannya kembali. "Seperti yang kalian 

lihat, beberapa orang saudara-saudara kalian. 

Bahkan termasuk orang penting Kerajaan telah 

terlibat pertempuran dengan beberapa tokoh go-

longan lurus. Aku tidak mau melihat mereka ber-

tindak sewenang-wenang terhadap orang-orang 

Kerajaan. Apalagi mereka sempat melukai, bahkan 

membuat cacat saudara-saudara kita. Kejadian 

seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aku 

sebagai Maha Diraja Kerajaan iblis telah merenca-

nakan untuk menggulung semua golongan putih, 

demi kejayaan Kerajaan Iblis, dan juga demi mem-

balas kekalahan yang telah kita alami...!" dengus 

Maha Diraja Setan Bumi dengan mata berbinar

binar. Sebentar laki-laki berkulit hitam legam ini 

melirik pada si Topi Terbang serta gadis yang du-

duk di sampingnya.

"Topi Terbang! Siapakah orang yang telah 

melukaimu?" tanyanya bersemangat. Sebagaimana 

kebiasaannya, Sakapala alias si Topi Terbang 

nampak membungkukkan tubuhnya beberapa 

kali. Lalu dengan tenang ia berucap, "Apakah Ma-

ha Diraja Setan Bumi masih ingat tentang pembu-

nuhan dan pembakaran beberapa purnama yang 

lalu?"

"Pembunuhan telah banyak kita lakukan 

dimana-mana. Nah pembunuhan yang mana kau 

maksudkan?" Maha Diraja Setan Bumi merasa be-

gitu bangga dengan apa yang baru saja di-

ucapkannya.

"Pembunuhan terhadap orang-orang berke-

pala gundul itu?"

Mendengar Sakapala menyebut-nyebut 

orang berkepala gundul, maka Maha Diraja Setan 

Bumi langsung tertawa mengekeh. 

"Hhh, Mereka yang telah melukaimu?" Ma-

ha Diraja Setan Bumi menggumam tidak jelas.

"Hanya sebangsa tikus kudisan itu rupanya 

yang telah membuatmu terluka...!"

Lagi-lagi Maha Diraja Setan Bumi Kerajaan 

iblis menggumam. Namun kali ini wajahnya telah 

berubah merah.

"Tapi orang itu telah kubunuh, yang mu-

lia...!" si Topi Terbang menjelaskan duduk persoa-

lannya.

"Sudah kau bunuh?" Maha Diraja Setan



Bumi mengerutkan alisnya. Dalam hati manusia 

sesat itu tidak dapat memungkiri kemampuan

yang dimiliki oleh si Topi Terbang. Bahkan selama 

ini dalam setiap melakukan tugasnya pembantu 

setia ini belum pernah mengalami hambatan yang 

berarti. Namun Maha Diraja Setan Bumi dapat 

menarik kesimpulan siapapun yang menjadi lawan 

si Topi Terbang, pastilah orang itu memiliki ke-

pandaian yang tinggi.

"Aku percaya dengan laporanmu itu. Topi 

Terbang! Tetapi apakah kau dapat memastikan 

bahwa orang asing itu masih memiliki kekuatan

lain yang sewaktu-waktu datang menuntut balas 

kepadamu?"

"Maksud yang mulia...?" si Topi Terbang ti-

dak mengerti.

"Maksudku, apakah kau tidak menjumpai 

kawan-kawan laki-laki asing berkepala gundul itu 

bersamanya...?"

"Waktu itu saya tidak melihatnya, yang mu-

lia!" jawab Sakapala tegas. Maha Diraja Setan Bu-

mi menggelengkan kepalanya berulang-ulang. 

"Kalau begitu kau belum pernah berjumpa 

dengan saudara seperguruan laki-laki botak yang 

kau bunuh itu...!"

"Maaf yang mulia. Sama sekali saya tidak 

mengira orang itu memiliki kawan atau pun sau-

dara. Karena pada saat itu saya memang tidak me-

lihat adanya orang lain bersamanya...!"

"Sudahlah. Semua itu bukan kesalahanmu, 

yang terpenting. Mulai saat sekarang kita harus 

berhati-hati..."


Belum lagi Maha Diraja Setan Bumi selesai 

mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba Sakapala 

berkata sambil menjura beberapa kali. "Kanjeng 

Guru! Bagaimana halnya dengan kegagalan saya 

menyeret murid-murid padepokan Gunung Un-

gkur kemari...?"

"Hemm...!" Maha Diraja Setan Bumi meng-

gumam pelan. Sesaat lamanya ia memandang pa-

da laki-laki berpakaian putih yang mereka sebut 

sebagai Kanjeng Guru.

"Bagaimana pendapat anda, Kanjeng?" ta-

nyanya dengan sikap sopan. Laki-laki berkumis 

tebal ini terdiam sesaat, pandangan matanya ta-

jam menusuk kepada Maha Diraja Setan Bumi.

"Sebenarnya menurutku, kita tidak perlu 

mengusik padepokan Gunung Ungkur. Apalagi 

sampai menghancurkan padepokan itu. Walau ba-

gaimanapun kita harus sadar, bahwa Topi Terbang 

dan gadis yang bersamanya ini berasal dari sana 

juga. Kau juga harus ingat, Setan Bumi! Topi Ter-

bang telah begitu banyak membantumu...!" tegas 

laki-laki itu berwibawa.

"Tapi murid-murid padepokan itu pernah 

memenjarakan aku. Bahkan hampir membuat 

saya celaka!" ungkap Sakapala merasa tidak puas

"Tapi bukankah semua itu mereka lakukan 

karena, kau terlalu memaksa mereka?" sentak 

Kanjeng Guru berapi-api. 

Sakapala langsung terdiam. Ucapan Kan-

jeng Guru memang tidak dapat disangkalnya. Te-

tapi ia melakukan semua itu karena mendapat pe-

rintah dari Maha Diraja Setan Bumi.



"Kanjeng. Topi Terbang datang ke Gunung 

Ungkur atas perintahku. Aku yang memintanya 

untuk membawa murid-murid padepokan itu ke 

sini. Tetapi siapa sangka si Topi Terbang kalah 

bertarung dengan adik seperguruannya sendiri...!" 

gumam Maha Diraja Setan Bumi seolah tidak per-

caya.

"Sebagaimana guru mereka yang misterius. 

Mata bathinku mengatakan bahwa murid-murid 

padepokan Gunung Ungkur yang bernama Pra-

mesta telah menciptakan ilmu silat yang sangat 

hebat...!" jelas Kanjeng Guru. Untuk diketahui, la-

ki-laki berpakaian serba putih ini dapat melihat 

sesuatu yang tidak tampak oleh mata biasa.

"Tetapi apakah kita. harus membiarkan 

penghinaan yang mereka lakukan terhadap kebe-

saran Kerajaan Iblis...?" tanya Setan Bumi. Nada 

bicaranya menunjukkan rasa tidak senang. Na-

mun Kanjeng Guru hanya tersenyum tipis.

"Aku tahu Setan Bumi, ilmu yang kau miliki 

mungkin saja melebihi kepandaian yang kumiliki. 

Namun dalam hal-hal tertentu akupun mempunyai 

kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua yang ha-

dir di sini. Tapi kalau kau bersikeras juga, kau ti-

dak perlu menyuruh orang-orangmu untuk me-

ringkus mereka. Kita tunggu saja disini, cepat atau 

lambat mereka pasti datang ke sini...?!" Kanjeng 

Guru memberi penjelasan secara panjang lebar.

"Siapakah yang Kanjeng Guru maksudkan 

mereka itu?"

"Ha... ha... ha...! Mereka tentu saja orang-

orang yang punya urusan denganmu. Atau bahkan


seluruh kaum persilatan akan datang kemari un-

tuk mengadakan perhitungan denganmu. Tapi... 

he... he... he... aku yakin kau mampu mengatasi 

semua persoalan yang bakal terjadi di sini...!"

"Hhh. Begitukah? Ingin kulihat sampai di 

mana keberanian mereka datang ke sarang iblis...!" 

gumam Setan Bumi sambil memberi isyarat kepa-

da semua bawahannya agar meninggalkan ruan-

gan pertemuan itu.

* * *

Tepat seperti apa yang pernah diramalkan 

oleh Kanjeng Guru. Beberapa purnama kemudian 

berbagai golongan persilatan memang mulai terli-

hat berkeliaran di sekitar bukit Neraka. Tujuan 

mereka sudah jelas. Yaitu ingin menghentikan se-

pak terjang Maha Diraja Setan Bumi yang selama 

ini telah begitu banyak melakukan pembunuhan, 

penculikan terhadap ratusan penduduk yang tiada 

berdosa, serta menghancurkan Kerajaan besar mi-

lik Setan Bumi.

Namun usaha mereka nampaknya harus 

kandas di tengah jalan. Apa yang mereka perhi-

tungkan benar-benar jauh dari kenyataan yang

mereka harapkan. Kerajaan iblis selain memiliki 

prajurit-prajurit yang sangat tangguh, juga berte-

naga bagai siluman. Juga mereka tidak mampu 

menembus benteng gaib yang menyelubungi Kera-

jaan itu. Kalaupun ada beberapa orang tokoh yang 

berhasil menerobos benteng gaib yang menjadi pe-

risai Kerajaan itu. Tapi mereka tidak pernah ada


yang berhasil keluar dari Kerajaan itu dengan se-

lamat. Telah begitu banyak tokoh persilatan hilang 

raib di bukit Neraka. Tidak terhitung sudah berapa 

banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitar 

bukit itu. Sehingga banyak kaum persilatan yang 

bermaksud menghentikan sepak terjang Maha Di-

raja Setan Bumi terpaksa menghentikan usa-

hanya. Mereka akhirnya hanya mampu menunggu 

perkembangan selanjutnya.

Bukit Neraka yang tadinya merupakan dae-

rah yang sangat subur. Sekarang telah berubah 

menjadi sebuah daerah yang angker bahkan terse-

lubung misteri. Kejadian-kejadian yang serba 

anehpun sering terjadi di sana. Kerajaan Iblis tidak 

dapat dilihat lagi dengan mata biasa. Lebih dari itu 

sejak gagalnya para kaum persilatan menghancur-

kan Kerajaan berselubung kegaiban itu, maka 

penculikanpun merajalela di mana-mana. Kejaha-

tan yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Kerajaan 

Iblis menimbulkan kematian di mana-mana.

Semua itu menimbulkan kemarahan di hati 

tokoh persilatan baik golongan hitam terlebih-lebih 

golongan putih. Tanpa membeda-bedakan golon-

gan dan aliran bahkan diantara mereka ada yang 

bersatu padu melakukan penyerangan ke bukit 

Neraka. Siang itu tiga sosok bayangan berkelebat 

cepat mendaki bukit Neraka. Mereka ini terdiri dari 

dua orang laki-laki berpakaian serba hijau, bersen-

jata clurit dan yang lainnya merupakan seorang 

perempuan berbadan pendek ramping, di bagian 

punggung menggelantung sebuah jala panjang 

menjuntai ke tanah.


Di lihat sepintas lalu penampilan perem-

puan berpakaian hijau lumut ini sangat lucu seka-

li. Tubuhnya yang pendek sangat tidak sebanding 

dengan senjata andalannya yang berupa jala yang 

panjangnya lebih dari empat meter. Kalangan per-

silatan mengenalnya dengan julukan ‘Si Penjerat 

Sukma’ dari kawah api abadi gunung Semeru. Se-

dangkan dua orang lainnya dikenal sebagai 

'Sepasang Clurit Dewa' penguasa hutan belantara 

Negeri Lama. Selama malang melintang di rimba 

persilatan mereka ini disegani baik oleh kawan 

maupun lawan karena kecepatannya dalam mem-

pergunakan senjata mautnya yang sewaktu-waktu 

dapat berubah memanjang.

Demikianlah dengan gerakan sangat ringan 

sekali mereka terus mendaki bukit Neraka. Namun 

setelah sekian saat lamanya mereka menelusuri 

bukit itu hingga hampir mencapai puncaknya. Me-

reka tidak juga menemukan Kerajaan Maha Diraja 

Setan Bumi di sana. Akhirnya ketiga orang ini sal-

ing berpandangan sesamanya.

"Ternyata apa yang digembar-gemborkan 

orang tentang Kerajaan Iblis ternyata hanya omong 

kosong belaka. Terbukti kita tidak melihat apa-apa 

di sini. Jangankan sebuah Kerajaan. Rumah seo-

rang gembelpun tidak terlihat...!" kata salah seo-

rang dari mereka dengan perasaan kecewa.

"Jangan terlalu tergesa-gesa mengambil ke-

simpulan, sobat Jayalaga...!" perempuan pendek 

yang berjuluk 'Penjerat Sukma' menegur. "Musta-

hil begitu banyak kalangan persilatan yang tiada 

pernah kembali itu hilang raib begitu saja. Jika di



sini memang tidak ada apa-apanya?"

"Hhh. Apanya yang mustahil! Walaupun 

mereka memiliki kepandaian sehebat bapak 

moyangnya iblis. Mana mungkin sebuah Kerajaan 

dibangun tanpa terlihat keberadaan-nya...!"

"Tapi engkau pun tidak dapat memungkiri 

bahwa keberadaan alam gaib itu memiliki kebena-

ran yang tidak dapat dibantah!"

"Ah, persetan dengan semua itu...!" dengus 

Jayalaga tak mampu menutupi kekesalannya.

"Lalu sekarang apa yang harus kita laku-

kan?" tanya Jayasembara dengan sikap lebih lu-

nak bila dibandingkan dengan saudara sepergu-

ruannya itu. 

"Kita telah menempuh perjalanan yang san-

gat jauh. Sebenarnya aku bukanlah manusia yang 

begitu perduli dengan segala monyet persilatan. 

Namun aku tidak menghendaki manusia iblis itu 

merajalela dengan segala sepak terjangnya...!" 

ucap si Penjerat Sukma.

"Tetapi kita tidak menemukan apa-apa di 

sini...!" bantah Jayalaga. Laki-laki itu sekarang te-

lah membalikkan tubuhnya dan bersiap-siap me-

ninggalkan bukit Neraka.

"Tunggu, sobat Jayalaga! Aku tidak ingin 

usaha ini sia-sia. Terlebih-lebih kita melakukan 

semua ini demi ketenteraman kaum persilatan...!" 

cegah si Penjerat Sukma.

"Apa yang hendak kita lakukan di sini, Ni-

ni...?" tanya Jayalaga urung.

"Kurasa Kerajaan Iblis dilindungi oleh keku-

atan gaib yang tidak mungkin dapat ditembus oleh


penglihatan biasa. Namun aku merasa begitu ya-

kin, hanya kegelapan sajalah yang mampu me-

nyingkapkan tabir misteri yang menyelimutinya...!"

"Kalau begitu kita harus menantikannya 

sampai datangnya malam!" tebak Jayasembara 

mulai memahami arah pembicaraan si Penjerat 

Sukma.

"Tepat sekali. Kita memang harus menung-

gu datangnya malam. Sebab menurutku hanya ke-

gelapan sajalah yang mampu mengungkap tabir 

yang menyelimuti Istana Iblis." jelas si Penjerat 

Sukma.

Sepasang Clurit Maut saling berpandangan 

sesamanya. Lalu secara hampir bersamaan mereka 

menganggukkan kepala

***


TIGA



Waktu terus berlalu bagai berputarnya roda 

pedati. Malampun telah menggantikan kedudukan 

siang. Sekarang kegelapan merambah kaki langit. 

Tidak terkecuali bukit Neraka yang senantiasa 

menampilkan kesan angker. Walaupun begitu na-

mun tiga orang pendatang itu masih tetap berta-

han di tempat persembunyiannya. Tiada sepatah 

katapun yang terucap, tiga pasang mata memu-

satkan perhatiannya ke segala arah. Tiba-tiba saja 

si Penjerat Sukma membelalakkan matanya. Per-

hatiannya sekarang sepenuhnya tertuju pada satu


arah.

"Sungguh sangat sulit untuk dipercaya an-

dai aku tidak melihatnya dengan mata kepala sen-

diri...!" gumamnya penuh keterkejutan.

"Apa yang kau lihat, Nini...?" tanya Sepa-

sang Clurit Dewa hampir bersamaan.

"Lihatlah...!" kata si Penjerat Sukma me-

nunjuk ke satu arah.

"Haah...!" pekik Jayasembara. "Siang tadi 

kita tidak melihat apa-apa di sini, terkecuali po-

hon-pohon besar menjulang tinggi. Tetapi seka-

rang sebuah singgasana yang sangat megah telah 

berdiri di situ. Itukah yang disebut-sebut orang 

sebagai singgasana milik Maha Diraja Setan Bu-

mi...?" tanya Jayalaga seolah pada dirinya sendiri.

"Kukira tidak salah lagi. Hemm... nampak-

nya istana itu sangat ramai sekali. Kita semua ti-

dak tahu secara pasti, apakah para pembantu Ma-

ha Diraja Setan Bumi merupakan bangsanya ma-

nusia biasa ataukah para siluman. Tapi...!"

"Beberapa orang bersenjata lengkap menda-

tangi tempat kita bersembunyi...!" potong Jayalaga.

"Ssst...! Tenang, barangkali mereka hanya 

kebetulan saja mendatangi tempat ini. Kita tunggu 

saja apa yang akan dilakukan oleh mereka..." ujar 

si Penjerat Sukma sambil memberi isyarat pada 

'Sepasang Clurit Dewa'.

Sementara beberapa orang yang terdiri dari 

laki-laki dan perempuan berpakaian pengawal Ke-

rajaan itu dengan sikap waspada terus melangkah 

ke arah mereka. Kehadiran mereka yang terasa 

ganjil ini tentu saja membuat si perempuan pen



dek dan Sepasang Clurit Dewa menjadi heran. Pe-

rempuan-perempuan diangkat menjadi prajurit ke-

rajaan. Seumur hidup baru kali ini mereka melihat 

kejadian yang sangat ganjil ini. Namun rasanya 

mereka tidak perlu mempersoalkan hal-hal seperti 

itu lebih jauh lagi. Karena tidak lama setelah itu 

terdengar suara bentakan dari seorang laki-laki 

berpakaian serba hitam berbadan gemuk tinggi.

"Tiga ekor tikus busuk pencari penyakit. 

Kuharap mau menunjukkan diri. Kehadiran kalian 

telah kami ketahui sejak siang tadi...!" bentak laki-

laki itu dengan suara bergetar.

"Sial dangkalan. Kita, mereka bilang tikus 

pencari penyakit. Benar-benar bangsanya memedi 

yang perlu diajar adat...!" geram si Penjerat Suk-

ma. Sampai sejauh itu dia masih belum mengam-

bil tindakan apa-apa.

"Mengapa kita harus bertahan di sini. Kalau 

mereka sudah mengetahui kehadiran kita. Bukan-

kah lebih baik kita gebuk saja begundalnya Kera-

jaan Iblis itu...!" kata Jayalaga merasa tidak sabar 

lagi. "Betul. Kalau perlu sekaranglah saat yang te-

pat untuk menyerbu ke dalam istana itu...!"

"Kalau begitu baiklah...!" kata si Penjerat 

Sukma. "Akupun merasa tidak enak jika kalian 

menganggapku sebagai seorang pengecut...!"

Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama la-

gi, ketiga orang itu segera berlompatan dari tem-

patnya bersembunyi. Sekali mereka bergerak, ma-

ka posisi mereka sekarang telah mengurung para 

pengawal yang jumlahnya lebih dari lima orang.

Namun para pengawal Kerajaan itu nam



paknya tenang-tenang saja. Seolah mereka tidak 

merasa gentar melihat kehadiran para pendatang 

yang tiada mereka kenal sama sekali. Bahkan sa-

lah seorang diantaranya yang bertindak sebagai 

pimpinan, dengan sikap tenang langsung berucap. 

Pelan namun mengancam.

"Telah begitu banyak orang-orang tiada gu-

na datang ke bukit Neraka ini tidak berumur pan-

jang. Mengherankan! Hari ini tiga ekor tikus yang 

sudah bosan hidup masih juga ingin jual lagak di 

wilayah singgasana Iblis...!"

"Kurang ajar! Berani sekali kau menghina si 

Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tanpa 

memandang sedikitpun juga...!" bentak Jayalaga 

dengan wajah merah padam.

"Siapa yang mau perduli dengan segala ma-

cam setan persilatan. Tokh pada akhirnya kalian 

juga akan menjadi santapan cacing tanah...!" tu-

kas si gemuk tinggi tidak kalah sengitnya.

"Sobat! Mengapa harus melayani prajurit-

prajurit iblis. Hajar...!" Jayalaga yang sudah tidak 

dapat membendung emosinya menerjang lima 

orang prajurit-prajurit Kerajaan Iblis, langsung

melancarkan serangan dahsyat dengan memper-

gunakan jurus-jurus tangan kosong. Menghadapi 

kenyataan ini, prajurit-prajurit Kerajaan Iblis 

nampaknya tidak ingin bertindak setengah-

setengah. Dengan cepat mereka mengayunkan 

senjata mereka yang berupa tombak ke arah Jaya-

laga. Dua orang lainnya tidak tinggal diam. Den-

gan memandang remeh mereka menghadang se-

rangan-serangan prajurit Kerajaan Iblis secara


sembarangan. Tidak begitu lama merekapun di-

buat terkejut manakala tangan mereka membentur 

senjata-senjata yang dihantamkan oleh prajurit-

prajurit itu. Bagaimana tidak, prajurit-prajurit Ke-

rajaan Iblis ternyata memiliki tenaga dalam yang 

sangat tinggi. Hal ini benar-benar di luar perhitun-

gan mereka. Sekarang sadarlah tiga pendatang itu, 

meskipun yang menjadi lawannya hanyalah seo-

rang prajurit biasa, namun pada dasarnya mereka 

memiliki tenaga bagai siluman.

Sekarang dengan sikap bersungguh-

sungguh mereka membangun serangan kembali. 

Bahkan kali ini merekapun mulai mengerahkan 

jurus-jurus andalannya. Hasilnyapun segera ter-

bukti, karena dalam beberapa gebrakan kemudian 

lima orang prajurit Kerajaan Iblis yang terdiri dari 

laki-laki dan perempuan mulai berjatuhan. Bah-

kan dua diantaranya langsung terjungkal roboh 

tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. 

Sedangkan tiga orang pengawal lainnya segera 

memberi tanda dengan sebuah suitan panjang.

Pertempuran terus berlangsung, sementara 

itu begitu mendengar adanya isyarat bahaya. Maka 

beberapa orang jago-jago istana berserabutan me-

nuju tempat terjadinya pertempuran.

"Munduuur...!" teriak salah seorang laki-laki 

bertubuh tegap berwajah bengis serta buntung ba-

gian lengan kirinya. Serentak dengan terdengarnya 

suara teriakan itu, maka tiga orang pengawal yang 

sedang melakukan perlawanan segera melompat 

mundur tiga langkah. Salah seorang diantara me-

reka memberi laporan pada laki-laki yang melaku


kan bentakan tadi.

"Lapor...! Tiga ekor tikus cecurut telah be-

rani menyatroni daerah kekuasaan Kerajaan Iblis. 

Mereka telah membunuh dua orang prajurit. Bah-

kan jika tetua tidak segera datang, mungkin saja 

kami telah menjadi pecundang...!"

"Hemm. Goblook... hiiih...!" laki-laki bertan-

gan buntung yang tidak lain Gending Sora adanya 

kelihatan marah sekali. Lalu tanpa terduga-duga 

langsung meninju wajah laki-laki yang memberi 

laporan, hingga menyebabkan orang itu jatuh ter-

pelanting dengan wajah hancur dan jiwa melayang. 

Baik si Penjerat Sukma maupun Sepasang Clurit 

Maut kelihatan sangat terkejut sekali begitu meli-

hat kekejaman laki-laki bertangan buntung itu. 

Yang membuat mereka heran, justru karena para 

prajurit-prajurit lainnya tidak memperlihatkan wa-

jah ketakutan ataupun merasa jerih melihat segala 

apa yang dilakukan oleh atasannya. Ataukah ka-

rena mereka telah terbiasa melihat kejadian-

kejadian seperti itu? Tiga orang pendatang itupun 

tidak berani mengambil kesimpulan sampai sejauh 

itu.

Sementara itu Gending Sora dengan sikap 

angker sekarang nampak memperhatikan lawan-

lawannya. 

"Berani mati kalian datang ke daerah keku-

asaan Maha Diraja Setan Bumi...!" bentaknya be-

rapi-api.

"Huh. Telah begitu banyak orang yang tiada 

berdosa telah kalian culik. Bahkan akhirnya men-

jadi budak di sini...! Wajar saja kami tidak dapat


menutup mata melihat ulah bangsat iblis yang 

menamakan dirinya sebagai Maha Diraja Setan 

Bumi!" teriak si Penjerat Sukma tidak kalah sen-

gitnya.

"Huaa... ha... ha...! Kalian tidak mungkin 

dapat bertemu dengan junjungan kami, terkecuali 

kalian mampu mengalahkan aku...!" kata Gending 

Sora dengan sikap angkuh.

"Puih. Bangsat! Jangankan hanya menga-

lahkan kau, membunuhmu sekalipun aku masih 

sanggup...!" tukas si Penjerat Sukma tanpa dapat 

menahan kesabarannya lagi.

"Tikus cacingan! Buktikanlah...!" Gending 

Sora menutup kata-katanya dengan satu tendan-

gan telak mengarah pada bagian dada si perem-

puan bertubuh pendek. Sebagai orang yang sudah 

berpengalaman dalam segala macam pertempuran. 

Tentu saja tendangan kilat itu masih dapat dielak-

kan oleh si Penjerat Sukma. Bahkan sambil mem-

buang tubuhnya ke samping kiri, perempuan be-

rusia enam puluh tahun ini masih sempat han-

tamkan tinju kanannya mengarah bagian dada 

Gending Sora. Laki-laki itu kelihatannya memang 

tidak pernah mengira kalau lawannya dapat men-

gelakkan tendangan mautnya bahkan sempat pula 

menghantamkan pukulan ke arahnya. Segera pula 

menarik balik serangannya. Namun tetap saja tin-

ju yang dihantamkan oleh lawannya sempat me-

nyambar.

Buuuk!

Gending Sora mengumpat panjang pendek 

saat tubuhnya hampir saja terjerembab ke tanah.


Dengan cepat ia segera memperbaiki kuda-

kudanya. Tetapi pada saat itu serangan lainnya te-

lah menderu ke arahnya. Hanya dengan mengan-

dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sangat men-

gagumkan. Gending Sora dapat menghindari se-

rangan lawannya yang datang dari bagian samping 

kiri dan kanan. Setelah berhasil membebaskan diri 

dari kepungan lawan-lawannya. Tak pelak lagi ia 

segera memberi aba-aba pada prajurit-prajurit Ke-

rajaan Iblis. Mendapat komando dari atasannya. 

Maka tiada terbendung lagi mereka segera menca-

but berbagai jenis senjata yang mereka miliki. Da-

lam waktu yang singkat, pertarungan sengitpun 

terjadi. 

Menghadapi keroyokan sedemikian rupa da-

ri orang-orang yang dikendalikan iblis. Mau tak 

mau dalam beberapa jurus selanjutnya mereka 

mula nampak terdesak. Baik Sepasang Clurit De-

wa maupun si Penjerat Sukma kelihatan sangat 

gusar sekali. Selama malang melintang di dunia 

persilatan. Mereka merasa baru kali inilah melihat 

betapa tangguhnya orang-orang yang melakukan 

pengeroyokan itu. Meskipun mereka hanya memi-

liki kedudukan sebagai seorang prajurit belaka. 

Bahkan sekarang mereka mulai merasa yakin 

bahwa mungkin saja para prajurit yang melakukan 

pengeroyokan itu telah dikendalikan oleh sebuah 

kekuatan yang tidak terlihat.

Dalam keadaan terdesak dan mendapat te-

kanan dari segala penjuru. Tak ayal lagi mereka-

pun segera mencabut senjata andalannya masing-

masing. Dengan mempergunakan jala penjerat


sukma. Nenek bertubuh pendek kelihatan mulai 

menjaring lawan-lawannya. Sedangkan Sepasang 

Clurit Dewa nampak pula mengumbar kemara-

hannya dengan menebaskan senjatanya ke arah 

prajurit-prajurit Kerajaan Iblis. Dalam waktu yang 

sangat singkat korbanpun berjatuhan. Namun be-

gitu lawan-lawan mereka berhasil dibuat porak po-

randa. Entah dari mana datangnya, datang pula 

berpuluh-puluh prajurit lainnya. Seakan-akan pa-

ra prajurit itu tidak ada habis-habisnya, mereka 

kembali melakukan pengeroyokan terhadap para 

pendatang yang sekarang kelihatan semakin ber-

tambah terdesak.

Yang membuat Sepasang Clurit Dewa dan si 

Penjerat Sukma keheranan adalah setiap prajurit-

prajurit pertama berhasil di tumpas oleh mereka. 

Maka kedatangan prajurit yang baru selalu memi-

liki kekuatan lebih hebat. Bahkan terasa sangat 

sulit untuk dijatuhkan karena mereka ternyata ti-

dak dapat-dibunuh dengan begitu saja. Andaipun 

mereka dapat dihancurkan. Namun setiap tubuh-

tubuh yang bergelimpangan itu dilompati oleh ka-

wan-kawannya. Dengan segera mereka bangkit 

kembali. Bahkan serangan-serangan yang mereka 

lancarkan malah berubah lebih dahsyat dan berin-

gas dari serangan mereka tingkat permulaan.

Jayalaga, Jayasembara maupun nenek Pen-

jerat Sukma merasa kehabisan akal untuk menga-

tasi lawan-lawannya yang ternyata sangat sulit se-

kali mereka tumpas.

"Mundur...!" teriak Gending Sora yang ber-

tindak sebagai pengendali dari semua prajurit yang

berada di sana. Serentak para prajurit-prajurit itu 

berserabutan meninggalkan gelanggang pertempu-

ran. Tiga orang pendatang itu sekarang bergerak 

menyatu dengan posisi berpunggung-punggungan. 

Detik-detik selanjutnya suasana terasa hening 

mencekam. Namun keheningan itu tidak berlang-

sung lama. Karena sesaat kemudian terdengar su-

ara tawa tergelak-gelak berasal dari bagian depan 

istana.

"Kalian terlalu gegabah, orang-orang ma-

lang. Hanya ada dua pilihan bagi kalian mampus 

atau menjadi para abdi Kerajaan Iblis...!" suara 

yang dikerahkan dengan mempergunakan tenaga 

dalam itu menggema di kegelapan malam. Bahkan 

andai saja si Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit 

Maut tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga da-

lamnya. Dapat dipastikan mereka sudah terjung-

kal sejak tadi. Dalam menghadapi situasi seperti 

itu. Sebenarnya mereka merasa heran sekali kare-

na suara teriakan yang disertai tenaga dalam itu 

tidak berpengaruh apa-apa bagi prajurit-prajurit 

Kerajaan Iblis.

"Kami datang hanya dengan satu tujuan ib-

lis keparat! Yaitu ingin memenggal kepalamu yang 

penuh dengan kelicikan itu...!" bentak si Penjerat 

Sukma.

"Hemm. Begitu banyak orang yang meng-

hendaki kepalaku. Begitu berhargakah kepalaku 

bagi kalian, orang-orang persilatan...?" gumam se-

buah suara yang tak lain suara Maha Diraja Setan 

Bumi adanya.

"Sesungguhnya nyawamu tidak berharga


sama sekali. Tetapi karena sepak terjangmu yang 

telah membuat sengsara seluruh rimba persilatan. 

Itulah yang membuat kami harus membunuh-

mu...!"

"Ha... ha... ha...! Jangan sebut aku calon 

penguasa jagad jika aku tidak mampu membunuh 

semua penghalangku sekarang juga...!" kata Maha 

Diraja Setan Bumi dengan suara menggeledak.

Selanjutnya tanpa berkata lagi. Masih di 

depan istananya penguasa Kerajaan Iblis, Maha 

Diraja Setan Bumi kepalkan kedua tangannya di 

depan muka. Selanjutnya secara perlahan kedua 

tangan yang terkepal itu ia dorongkan ke arah de-

pan. Dari tempatnya berdiri nampaknya tiga orang 

pendatang ini menyadari adanya bahaya datang 

mengancam. Maka dengan cepat mereka memutar 

senjata masing-masing untuk membentuk sebuah 

pertahanan yang sangat kokoh.

Dari bagian telapak tangan Maha Diraja Se-

tan Bumi menderu segelombang angin pukulan 

yang menimbulkan hawa panas luar biasa. Den-

gan telak pukulan 'Iblis Perenggut Sukma' meng-

hantam pertahanan lawannya.

Dweerr... dweerr... blaaam!

Terdengar tiga ledakan yang sangat keras 

ketika pukulan maut itu menghantam si Penjerat 

Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tidak dihindari 

lagi tubuh ketiga pendatang itu jatuh terpelanting 

dengan menderita luka dalam yang cukup parah. 

Bahkan mereka tidak mampu berbuat banyak ke-

tika para prajurit Kerajaan Iblis meringkus mere-

ka. Untuk kemudian memenjarakannya di bawah

tanah.

***

EMPAT



Bukit Neraka pagi itu berselimut kabut teb-

al. Sejauh-jauh mata memandang yang kelihatan 

hanyalah kelebatan pohon cemara yang melambai-

lambai ditiup angin. Sesekali semilir angin sepoi-

sepoi terasa membelai kepala laki-laki bermata si-

pit yang tiada berambut barang sedikitpun juga. 

Sesaat lamanya laki-laki asing berkepala botak itu

menajamkan penglihatannya pada satu arah. Dan 

matanya yang sipit itu semakin bertambah menyi-

pit ketika ia melihat sesuatu yang sangat samar-

samar, jauh di atas bukit sana.

"Amitaba! Seumur hidup baru kali ini aku 

melihat sebuah ilmu sakti yang dapat diperguna-

kan membentengi sebuah Kerajaan yang sedemi-

kian besarnya. Aku tidak tahu apakah orang-orang 

yang telah membunuh saudara-saudara sepergu-

ruanku berada di sana. Hemm. Akupun masih be-

lum dapat memastikan apakah semua kekuatan 

yang kumiliki mampu mengatasi mereka. Telah 

begitu jauh aku melakukan perjalanan, baru di 

daerah Jawa Dipa ini aku melihat berbagai ilmu 

kesaktian yang beraneka ragam. Seharusnya aku 

tidak perlu terlalu mengikuti nafsu angkara mur-

ka. Namun membalaskan kematian untuk saudara 

segolongan dan sepaham. Rasanya hal itu merupakan sebuah kewajiban yang harus kulaksanan-

kan...!" gumam laki-laki berkepala botak itu den-

gan sesungging senyum tipis.

Kemudian tanpa berpikir panjang lagi, ma-

ka laki-laki asing yang tidak lain merupakan Biksu 

Beng Lee adanya segera mengerahkan ilmu lari ce-

patnya mendekati bangunan istana yang berseli-

mut kabut tebal itu. (Untuk lebih jelasnya siapa 

Biksu Beng Lee ini, terdapat dalam Episode Ger-

hana di Malam Jahanam). Tidak sampai sepema-

kan sirih. Laki-laki berkepala botak itupun telah 

mendekati benteng Istana Iblis yang pada hake-

katnya tidak dapat ditembus oleh mata biasa ter-

kecuali mereka-mereka yang telah memiliki keah-

lian rohani yang tinggi.

Di luar benteng Istana Iblis keadaan terasa 

sunyi sepi, namun pada bagian dalam benteng su-

ara hiruk pikuk terdengar di mana-mana. Tiba-

tiba laki-laki itu mendengar derap langkah kaki 

menuju ke arahnya. Dengan cepat laki-laki berke-

pala gundul ini menyelinap di balik semak-semak 

yang terletak tidak begitu jauh dari pinggir tembok 

itu.

"Yang mulia Topi Terbang mengatakan ada 

seekor keledai berkepala gundul telah berani me-

nyusup ke tembok istana. Betulkah itu...?" tiba-

tiba saja beberapa orang pengawal bersenjata 

lengkap telah muncul di pinggir tembok istana. 

Masih untung Biksu Beng Lee cepat-cepat bersem-

bunyi, jika tidak sudah tentu kehadirannya telah 

diketahui oleh para prajurit-prajurit itu. Begitupun 

ia sudah mulai dapat menduga. Bahwa orang yang


sedang diperbincangkan oleh para pengawal itu 

tak lain pastilah dirinya. Mengingat betapa ketat-

nya penjagaan yang dilakukan di daerah Kerajaan 

Iblis. Mau tak mau Biksu Beng Lee terpaksa meli-

pat gandakan kewaspadaannya. Bahkan sekarang 

demi untuk menghindari segala sesuatu yang tidak 

diingini, laki-laki itu kelihatan semakin mera-

patkan tubuhnya ke permukaan tanah.

"Aku yakin keledai gundul itu bersembunyi 

di sekitar tempat ini...!" kata salah seorang pen-

gawal wanita. Bagian hidungnya kelihatan kem-

bang kempis, tak ubahnya seekor binatang pelacak 

yang siap mencari jejak buruannya.

"Kalau begitu kita periksa seluruh tempat 

ini...!" perintah salah seorang di antara mereka 

berwibawa. Dengan cepat prajurit-prajurit itupun 

menyebar. Rasanya Biksu Beng Lee tidak mungkin 

berdiam diri selamanya menunggu sampai para 

prajurit itu menemukan tempat persembunyian-

nya. Akhirnya tanpa menunggu lagi, Biksu Beng 

Lee segera merogoh beberapa buah supit beruku-

ran tidak begitu panjang. Senjata rahasia sejenis 

itu di dataran Tiongkok sana di kenal sebagai se-

buah senjata andalan yang dapat dipergunakan 

sewaktu-waktu dalam keadaan terdesak ataupun 

kepepet.

Dua tombak jarak para prajurit Kerajaan Ib-

lis dengan dirinya, Biksu Beng Lee langsung me-

nyambitkan beberapa batang supit yang telah siap 

ditangannya.

"Jeeest...!" karena senjata rahasia itu dilem-

parkan dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki


oleh sang Biksu. Maka tidak heran jika senjata-

senjata maut itu pun melesat melebihi kecepatan 

anak panah. Tiga orang pengawal langsung ter-

jengkang ketika senjata rahasia milik Biksu Beng 

Lee menembus pangkal tenggorokan mereka. Bah-

kan para prajurit-prajurit itupun tidak mampu lagi 

menjerit ataupun melolong. Namun yang membuat 

Biksu Beng Lee terheran-heran adalah karena ti-

dak begitu lama setelahnya tubuh para prajurit 

yang terkena serangan senjata rahasia itu telah 

bergerak-gerak kembali. Bahkan kemudian bang-

kit pula seolah mereka bagai orang yang baru ter-

jaga dari sebuah mimpi buruk yang menyeramkan.

Sebagai seorang ahli rohani, laki-laki berke-

pala gundul itu nampaknya tidak perlu berlama-

lama untuk mengetahui sebab-sebab mengapa pa-

ra prajurit-prajurit itu dapat hidup kembali setelah 

terkena serangan senjata rahasia miliknya. Kesim-

pulan laki-laki itu adalah karena mungkin saja 

prajurit-prajurit itu telah digerakkan oleh seorang 

tokoh sesat yang memiliki kesaktian tiada terukur 

kehebatannya. Tanpa berpikir panjang sekali lagi 

Biksu Beng Lee mencabut enam buah supit dari 

balik jubahnya. Setelah menusukkannya di atas 

tanah. Laki-laki itu kembali melontarkan tangan 

kanannya ke segala arah.

Weeert...!

Dengan tepat senjata-senjata maut itu 

menghantam tubuh prajurit di berbagai bagian. 

Sekali ini terdengar jeritan tinggi menyayat mana-

kala senjata-senjata itu menembus bagian tubuh 

mereka. Tak pelak lagi enam orang prajurit Kera


jaan Iblis yang terdiri dari laki-laki dan perempuan 

tersungkur ke tanah dengan jiwa melayang. Di lain 

pihak suara teriakan tadi sudah jelas mengundang 

perhatian prajurit-prajurit lainnya. Tidak terkecua-

li mereka yang berada di dalam benteng istana. 

Berpuluh-puluh orang kemudian berhamburan ke-

luar dari bagian pintu utama. Dalam waktu yang 

sangat singkat tempat persembunyian Biksu Beng 

Lee telah terkepung rapat dari segala penjuru. 

"Cincang kaum persilatan yang berusaha 

merongrong kewibawaan Maha Diraja...!" terdengar 

suara riuh rendah memecah keheningan pagi.

"Kepada orang yang bersembunyi di dalam 

semak-semak. Harap berani tunjukkan diri secara 

ksatria...!" perintah seorang pemuda berpakaian 

serba kuning. Melihat penampilannya tidak salah 

lagi, dialah si Topi Terbang pembantu utama Maha 

Diraja Setan Bumi bersama kekasihnya Asih An-

graeni. Biksu Beng Lee bukanlah jenis manusia 

pengecut. Begitu mendengar perintah si pemuda 

berpakaian serba kuning. Dengan cepat ia segera 

melompat berdiri. Kemudian dengan tatapan pe-

nuh welas asih. Dipandanginya mereka yang bera-

da di tempat itu satu persatu.

"Ha... ha... ha...! Hanya seekor tikus gundul 

seperti ini rupanya yang telah begitu berani me-

nyatroni Istana Iblis, lebih lancang lagi telah pula 

membunuh beberapa orang prajurit Kerajaan. He-

bat! Sungguh hanya manusia yang sudah bosan 

hidup saja yang begitu berani mencari urusan 

dengan Maha Diraja Setan Bumi!" kata Sakapala 

alias si Topi Terbang tanpa ekspresi.


"Amitaba!" Biksu Beng Lee rangkapkan ke-

dua tangannya persis di depan dada.

"Seorang anak manusia memiliki gelar yang 

sedemikian menyeramkan. Heh... hanya manusia

yang paling sesat sajalah yang suka memakai gelar 

itu...!"

"Puiih. Bicara muter-muter. Sebenarnya 

apakah yang kau ingin orang asing sehingga begitu 

berani datang ke daerah Bukit Neraka ini?" bentak 

si Topi Terbang merasa tidak sabar lagi.

"Dunia ini memang penuh kepura-puraan. 

Mata melihat tapi berpura-pura buta. Aku sengaja 

datang dari sebuah negeri yang jauh ke daerah ini 

hanya ingin menawarkan sebuah kebaikan. Tidak 

disangka mereka telah merusak sebuah itikad baik 

kami. Bahkan secara langsung aku berani menga-

takan bahwa kaulah orangnya yang telah begitu 

tega membunuh adik seperguruanku, Beng Ju... 

Amitaba... Sang Hyang Widi pasti mengutuk segala 

perbuatanmu yang keji itu...!" ujar Biksu Beng Lee 

dengan sikap tenang.

Merah padam wajah Sakapala demi men-

dengar apa yang dikatakan oleh Biksu Beng Lee. 

Sama sekali ia tidak menyangka laki-laki berkepa-

la gundul itu mengetahui apa yang pernah ia la-

kukan terhadap Biksu Beng Ju. Namun sebagai 

tokoh muda beraliran sesat ia tidak ingin semua 

yang dilakukannya membawa akibat yang berke-

panjangan. Apalagi sekarang saudara seperguruan 

dari orang yang telah dibunuhnya berada di wi-

layah kekuasaan Kerajaan Iblis. Baginya tidak ada 

jalan lain terkecuali membunuh atau setidak


tidaknya meringkus pendeta asing itu dalam wak-

tu secepatnya. 

"Keledai gundul. Kuakui baru kau seorang 

yang mampu melihat singgasana iblis di siang ha-

ri. Bahkan aku merasa salut. Namun kau harus 

ingat! Siapapun orang yang telah berani memasuki 

wilayah kekuasaan kami. Tak seorang-pun dapat 

kembali ke dunia ramai dengan selamat. Nah se-

karang bersiap-siaplah kau menghadapi serangan 

kami berdua...!" setelah berkata begitu Sakapala 

memberi isyarat pada Asih Angraeni. Tanpa berka-

ta apa-apa, gadis itupun akhirnya menerjang Bik-

su Beng Lee dengan jurus-jurus andalannya. 

Hanya dalam waktu yang sangat singkat terjadilah 

pertempuran sengit di tempat itu. Masing-masing 

lawan saling melancarkan pukulan-pukulan 

mautnya. Bahkan Asih Angraeni dengan penuh 

nafsu berusaha menjatuhkan lawannya dengan 

cara memperhebat serangan. Namun Biksu Beng 

Lee, bukanlah seorang tokoh silat sembarangan. 

Laki-laki berkepala gundul itu memiliki berbagai 

pengalaman yang luas dalam setiap pertempuran. 

Bahkan di negeri leluhurnya dia di kenal sebagai 

Alap-Alap Putih yang telah begitu banyak meng-

hancurkan markas golongan hitam. Sekarang 

menghadapi serangan lawan yang hanya memiliki 

beberapa jenis jurus-jurus maut. Maka dalam 

waktu yang singkat ia telah mengetahui kelema-

han permainan silat lawannya.

Setelah lima belas jurus ia hanya bertahan 

menghindari serangan-serangan lawannya. Maka 

sekarang ia malah berbalik merangsak Asih Angraeni dengan mempergunakan senjatanya yang 

berupa tasbih. Hanya dalam beberapa gebrakan 

saja, Asih Angraeni mulai jatuh di bawah angin.

"Hiaaat...!" Asih Angraeni terpaksa melom-

pat mundur tiga langkah saat tasbih di tangan 

Biksu Beng Lee menderu ke arah bagian dadanya. 

Gadis itu memutar pedangnya lebih sebat lagi. Pa-

da saat itu si Topi Terbang yang telah melihat be-

tapa kekasihnya tidak mampu mengatasi lawan-

nya segera membentak.

"Munduur...!" teriaknya sambil melompat 

dan sekarang telah berhadapan dengan Biksu 

Beng Lee. Laki-laki berkepala gundul itu rang-

kapkan kedua tangannya persis di depan dada.

"Amitaba! Mengapa tidak sejak tadi kau 

menghadapiku, kisanak...!" kata Biksu Beng Lee 

dengan tatapan teduh.

"Manusia keparat! Jangan merasa menang 

dulu! Sebentar lagi kau segera dapat merasakan 

betapa kepandaian yang kau miliki tidak ada ar-

tinya di depanku...!" bentaknya marah.

"Haeees...!" Sakapala tanpa membuang-

buang waktu lagi langsung menerjang pendeta as-

ing itu dengan segenap kemampuan yang dimiliki. 

Pertempuran dua tokoh persilatan itu berlangsung 

sengit dan seru. Beberapa kali baik pukulan mau-

pun tendangan kaki yang mereka lancarkan saling 

menghantam bagian pertahanan mereka yang le-

mah. Bahkan tidak jarang si Topi Terbang harus 

jatuh terguling-guling saat mana serangan Biksu 

Beng Lee menghantam rusuk kirinya.

"Keparaaat...!" maki si Topi Terbang marah


bukan main. Selanjutnya pemuda ini merang-

kapkan kedua tangannya ke depan dada. Melihat 

apa yang dilakukan oleh lawannya mengertilah 

Biksu Beng Lee bahwa saat itu lawannya sedang 

bersiap-siap melepaskan pukulan andalan. Laki-

laki ini tentu saja tidak tinggal diam. Dengan cepat 

pula ia segera mengangkat kedua tangannya persis 

di atas kepala. Dengan mempergunakan pukulan 

'Naga Merah Memburu Burung Hong'. Pendeta dari 

daratan Tiongkok itu segera menghantamkan tan-

gannya ke arah depan ketika pukulan yang dile-

paskan oleh Sakapala menderu keras ke arahnya. 

"Bldeeer...!"

Satu ledakan keras terdengar saat mana 

dua pukulan yang menimbulkan udara dingin dan 

panas itu saling bertemu. Tubuh mereka sama-

sama terlempar tujuh batang tombak. Biksu Beng 

Lee kelihatan tertatih-tatih sambil memegangi da-

danya yang terasa sesak dan sakit. Sementara da-

rah kental nampak meleleh dari sela-sela bibirnya. 

Sebentar ia kelihatan berusaha mengerahkan ha-

wa murni untuk menghilangkan rasa sakit yang 

mendera tubuhnya.

Di lain pihak Sakapala juga menerima aki-

bat yang tidak ringan. Namun laki-laki itu seda-

patnya berusaha menyembunyikan apa yang dira-

sakannya di depan para prajurit Kerajaan. Teru-

tama kepada kekasihnya. Sungguhpun begitu Bik-

su Beng Lee sebagai orang yang berpengalaman 

dapat melihat bahwa lawannya juga mengalami 

luka dalam yang serius.

"Orang asing! Sengaja aku tidak ingin men


gerahkan orang-orangku untuk menghadapimu. 

Ha... ha... ha...! Sungguhpun begitu kau tetap ti-

dak punya kemungkinan untuk lolos dari kema-

tian...!" kata Sakapala dengan sesungging senyum 

sinis. Sesaat kemudian pemuda itu telah mele-

paskan senjata andalannya yang berupa sebuah 

tongkat baja bergerigi mirip gergaji. Laki-laki itu 

kelihatan menimang-nimang senjata andalannya. 

Sementara seluruh perhatiannya tertuju pada Bik-

su Beng Lee yang nampaknya tetap mengembang-

kan senyum kearipan kepada mereka yang hadir di 

situ. 

"Sekarang aku semakin bertambah yakin. 

Kaulah orangnya yang telah membunuh saudara 

seperguruanku, juga para pengikutku...!" 

"Kalau memang benar kau bisa apa, orang 

asing...?" ejek Sakapala mencemooh. 

"Aku akan menunjukkan sebuah jalan lurus 

kepadamu, shaaaa...!" teriak laki-laki berkepala

gundul itu, lalu menerjang Sakapala. Bekas murid 

perguruan gunung Ungkur ini tertawa tergelak-

gelak. Tanpa menunggu lebih lama lagi Sakapala 

segera menyambitkan senjatanya ke arah Biksu 

Beng Lee. Terdengar suara menggaung dan me-

nimbulkan angin sangat kencang manakala senja-

ta maut itu melayang di udara. Biksu Beng Lee ti-

dak tinggal diam. Sambil mengebutkan tasbih di-

tangannya tubuh laki-laki itu melompat ke udara. 

Celakanya senjata milik Sakapala terus memburu 

kemanapun tubuhnya bergerak.

Traaang! Traaang!

Dua senjata saling beradu, karena masing


masing senjata itu dialiri tenaga dalam. Terlihat 

bunga api berpijaran di udara ketika senjata itu 

saling membentur. Anehnya senjata milik Sakapa-

la yang dapat dikendalikan dari jarak tertentu te-

rus memburu kemanapun lawannya berusaha 

menghindar.

Biksu Beng Lee rasanya tidak mempunyai 

pilihan lain lagi terkecuali segera mempergunakan 

jurus 'Selaksa Budha Menipu Jarak'. Dengan cepat 

laki-laki itu menghantamkan tangannya ke arah 

depan. Selanjutnya kedua tangannya disilangkan 

ke depan dada. Bibir laki-laki itu sekarang telah 

berkomat-kamit. Akibatnya tentu saja membuat 

mereka yang hadir di situ membelalakkan ma-

tanya. Bagaimana tidak. Sekarang tubuh Biksu 

Beng Lee telah menjadi beberapa orang yang sama.

"Ilmu iblis...!" gumam Sakapala tanpa sadar. 

Namun pemuda itu tetap menghantamkan senja-

tanya ke arah Beng Lee. Walaupun Sakapala tidak 

dapat memastikan yang manakah ujud asli lawan-

nya dari lima orang sosok yang sama itu. Namun 

ia berharap cepat atau lambat dia dapat menemu-

kan sosok asli pendeta itu.

"Ngiiing...!"

Angin kencang menderu keras mengikuti 

berputarnya topi terbang milik Sakapala. 

Wuees! Sreeess...!

Topi Terbang milik Sakapala berhasil meng-

gulung salah seorang dari ujud Beng Lee palsu.

"Keparat...!" maki Sakapala merasa terke-

coh.

Sekarang Biksu Beng Lee dan empat kem


barannya telah bergerak cepat mengurung Saka-

pala. Laki-laki itu tentu saja menjadi kelabakan. 

Untung Asih Angraeni cepat datang membantu. 

Begitupun dua pukulan yang telak datang berun-

tun menghantam dadanya. 

Dess! Buuuk!

Tubuh Sakapala terpelanting roboh. Dari 

mulutnya menggelogok darah kental. Wajahnya 

pucat bagai kain kapan. Rasanya ia tidak mungkin 

mampu menghindari serangan selanjutnya andai 

saat itu tidak terdengar suara tawa yang serasa 

bagai meruntuhkan lereng bukit. Sebaliknya Biksu 

Beng Lee merasa terkejut sekali. Ia merasakan be-

tapa suara tawa yang disertai dengan pengerahan 

tenaga dalam itu sangat mempengaruhi kosentra-

sinya. Sekarang sadarlah ia bahwa sebenarnya su-

ara tawa itu bertujuan menghancurkan kekuatan-

nya. Biksu Beng Lee segera menarik balik kekua-

tannya. Selanjutnya dengan mempergunakan ilmu 

'Selubung Penglihatan'. Laki-laki itupun dengan 

cepat meninggalkan tempat itu.

"Keparat! Keledai gundul itu telah merat da-

ri hadapan kita...!" teriak Sakapala merasa gusar.

"Dengan ilmunya itu. Dia bukanlah tandin-

ganmu, Topi Terbang...!" terdengar sebuah suara 

serak mengumandang. Suara itu bagi mereka su-

dah tidak asing lagi.

"Dia dapat membahayakan Kerajaan Iblis, 

yang mulia...!" ujar Sakapala khawatir. 

"Orang itu tidak bisa berbuat banyak, sela-

ma aku berkuasa di sini. Nah sekarang kau harus 

kembali ke dalam benteng bersama prajurit

prajurit itu...!" perintah Maha Diraja Setan Bumi 

dengan suara bergetar. Akhirnya tanpa berani 

membantah, Sakapala segera memerintahkan para 

prajurit itu kembali ke dalam istana. Sementara ia 

sendiri berikut kekasihnya mengiringi mereka dari 

belakang.

***

LIMA



Gunung Ungkur tiga hari telah ditinggalkan 

oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan ia harus pula 

menitipkan Cempaka pada Pramesta serta Kurnia 

Dewi di padepokan itu. Pada kenyataannya mereka 

memang harus menunggu hasil penyelidikan 

Buang Sengketa mengenai kekuatan yang dimiliki 

oleh Kerajaan Iblis. Sekarang dengan penuh ke-

waspadaan pemuda berkuncir itu mulai mendaki 

bukit Neraka yang menimbulkan kesan angker itu. 

Hanya dengan mengerahkan kekuatan batinnya 

saja pemuda itu dapat melihat keberadaan Kera-

jaan Iblis tidak jauh didepannya sana. Selebihnya 

adalah kabut tipis yang senantiasa menyelimuti 

Kerajaan itu.

Beberapa saat pemuda tampan keturunan 

Raja Piton Utara dari Negeri Bunian itu menghen-

tikan langkahnya. Sekarang seluruh perhatiannya 

tertuju pada sebuah tempat di atas bukit sana.

"Benar-benar hebat kekuatan yang dimiliki 

oleh Maha Diraja Setan Bumi itu. Aku hampir merasa yakin pastilah usaha kaum persilatan untuk 

menghancurkan tempat itu hanya merupakan se-

buah kesia-siaan belaka. Hanya orang yang memi-

liki kesaktian luar biasa saja yang mungkin mam-

pu menerobos Kerajaan itu...!" gumam Buang 

Sengketa sambil geleng-gelengkan kepalanya. 

Buang Sengketa kemudian kembali melangkah, 

sementara panas mulai terasa menyengat. Hanya 

sesekali saja angin kencang dari arah Utara ber-

hembus mengibarkan anak-anak rambut si pemu-

da.

"Rasanya aku tidak mungkin hanya berpu-

tar-putar saja di sini! Lama kelamaan mereka pasti 

mengetahui kehadiranku...!" gumamnya lagi. 

Buang Sengketa baru saja hendak mengerahkan 

ilmu lari cepatnya. Ketika dari arah belakangnya 

terdengar suara bentakan yang disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam.

"Berhenti...!"

Tanpa diperintah dua kali pemuda itu pun 

menghentikan langkahnya. Dengan sikap enggan 

iapun segera menoleh ke belakangnya. Lalu tam-

pak olehnya beberapa orang laki-laki bertampang 

kasar berjalan cepat ke arahnya. Melihat penampi-

lan orang-orang itu tahulah Buang Sengketa bah-

wa orang-orang berpakaian serba cokelat itu tidak 

lain merupakan para prajurit Kerajaan Iblis. Ketika 

jarak mereka telah begitu dekat dengan Pendekar 

Hina Kelana. Dengan senjata terhunus mereka se-

gera bergerak melakukan pengepungan. Buang 

Sengketa hanya tersenyum saja begitu melihat ge-

lagat yang tidak baik ini. Apalagi ketika ia melihat


seorang laki-laki bertangan buntung yang pernah 

ia kenal beberapa purnama yang telah lalu. (Dalam 

episode Gerhana di Malam Jahanam).

"Selamat bertemu sobat lama! Hem... apa-

kah tanganmu yang buntung sekarang telah sem-

buh...?" ejek si pemuda berusaha memanas-

manasi laki-laki bertangan buntung yang tidak 

lain Gending Sora adanya. Diejek sedemikian rupa, 

terlebih-lebih di depan para prajurit-prajurit Kera-

jaan yang menjadi bawahannya. Gending Sora 

kontan berubah parasnya. Walau bagaimanapun 

ia masih mendendam pada pemuda yang telah 

membuntungi sebelah tangannya. Apalagi seka-

rang ia merasa berada di dalam wilayahnya sendi-

ri. Betapapun hebatnya pemuda itu ia yakin dapat 

dikalahkan oleh mereka.

"Kunyuk pembawa periuk nasi. Sadarkah 

kau di mana saat ini kau bicara...?" bentak Gend-

ing Sora dengan tatapan tajam menusuk. Sekali 

lagi Pendekar Hina Kelana hanya tersenyum tipis 

mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Gend-

ing Sora.

"Hiaaa... ha... ha...ha...! Aku tidak perduli 

apakah aku bicara dalam sarangnya iblis atau 

bahkan di dalam rumahnya setan. Bagiku semua 

sama saja. Yang jelas jauh-jauh aku datang kemari 

hanyalah karena ingin bertemu dengan orang yang 

bernama Maha Diraja Setan Bumi...!" kata pemuda 

itu lantang.

"He... he... he...!" Gending Sora balas terta-

wa. "Jangan mimpi sobat! Tidak sembarang orang 

boleh bertemu dengan orang yang kami hormati.


Terlebih-lebih kau telah membuat cacat tanganku. 

Bagimu tiada waktu untuk bertemu dengan jun-

jungan kami. Kuperintahkan padamu untuk me-

nyerah...!" bentak Gending Sora berapi-api.

"Kalau kalian memang memiliki kemam-

puan. Lakukanlah...!" tukas si pemuda dengan si-

kap menantang.

"Keparaaat! Prajurit... cincang pemuda edan 

itu beramai-ramai...!" Gending Sora yang sudah ti-

dak dapat membendung amarahnya langsung 

memerintah puluhan prajurit yang melakukan 

pengepungan atas diri Buang Sengketa.

"Serbuuu...!" teriak prajurit-prajurit itu se-

cara serentak. Tidak dapat dihindari lagi pertem-

puran sengitpun segera terjadi. Menghadapi ke-

royokan yang sedemikian banyaknya Buang Seng-

keta mempergunakan jurus silat tangan kosong 

'Membendung Gelombang Menimba Samudra'. Tu-

buh pemuda itu bergerak lincah menghindari se-

tiap serangan senjata yang datangnya laksana air 

bah itu. Di luar dugaan si pemuda ternyata praju-

rit-prajurit Kerajaan Iblis selain memiliki ilmu silat 

lumayan juga memiliki tenaga bagai siluman. Me-

lihat kenyataan di luar dugaan ini, Pendekar Hina 

Kelana untuk menghindari serangan beruntun 

yang sangat membahayakan keselamatannya sege-

ra merobah jurus silatnya dengan jurus 'Si Gila 

Mengamuk'. Sekarang tubuh pemuda itu berkele-

bat lenyap sehingga tinggal merupakan bayang-

bayang saja.

Para prajurit Kerajaan itu sudah tentu di-

buat kelabakan menghadapi gerakan si pemuda


yang sangat cepat sekali. Bahkan beberapa detik 

kemudian Buang Sengketa telah pula berhasil me-

nyarangkan beberapa pukulannya dengan telak.

Buuk! Bruaagkh...! 

"Argkh...!"

Terdengar suara lolongan menyayat mana-

kala beberapa orang prajurit itu terpelanting roboh 

dengan jiwa melayang. Bahkan pemuda itu tidak 

berhenti sampai di situ saja. Bagai seekor banteng 

terluka ia terus menjatuhkan prajurit-prajurit Ke-

rajaan Iblis. Melihat kenyataan ini Gending Sora 

kelihatan sangat marah sekali. Bahkan laki-laki 

bertangan buntung ini sekarang telah bersiap-siap 

untuk melakukan serangan dahsyat ke arah lawan 

yang pernah membuat buntung tangannya. Na-

mun pada saat itu secara samar-samar terdengar 

siulan panjang namun terasa menusuk gendang-

gendang telinga Buang Sengketa. Pemuda keturu-

nan Raja Piton Utara dari Negeri Alam Gaib ini sa-

dar betapa suara itu dikerahkan melalui ilmu te-

naga dalam yang sangat sempurna sekali. Untuk 

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maka 

dengan cepat iapun segera pula mengerahkan te-

naga dalam untuk menutup indera pendengaran-

nya.

Tetapi saat Buang Sengketa membuka ma-

tanya kembali, betapa ia menjadi terkejut ketika 

melihat para prajurit Kerajaan yang telah dibu-

nuhnya tadi sekarang telah bangkit kembali. Bah-

kan mereka dengan sikap beringas telah bersiap-

siap menyerang si pemuda. Sementara itu dari 

arah pintu gerbang Istana Iblis. Lebih dari delapan


puluh orang prajurit lainnya telah datang pula 

memberi bantuan. Diam-diam pemuda itu menge-

luh dalam hati. Tetapi ia merasa tidak punya pili-

han lain, terkecuali menghadapi mereka dengan 

segenap kemampuan yang dimilikinya.

"Sebentar lagi kau akan segera mampus, 

manusia tolol...!" kata Gending Sora mengurung-

kan niatnya untuk menyerang lawannya.

Sebaliknya sekarang ia berdiri tegak dengan 

sikap menonton. Buang Sengketa sedikitpun tiada 

menyahuti kata-kata yang diucapkan oleh Gending 

Sora. Karena sesaat kemudian ia telah sibuk me-

layani para prajurit Kerajaan Iblis yang nyata-

nyata telah dikendalikan oleh Maha Diraja Setan 

Bumi.

"Ciaaat...!" dengan mempergunakan gerakan 

udang melentik sekarang tubuh pemuda itu telah 

melesat ke udara. Dalam menghadapi keroyokan 

yang sedemikian banyaknya Buang Sengketa ra-

sanya tidak punya pilihan lain lagi terkecuali sege-

ra melepaskan pukulan "Empat Anasir Kehidu-

pan". Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali 

pemuda itu menjejakkan kakinya menjauhi per-

tempuran. Dengan cepat kedua tangannya dia 

angkat di atas kepala. Sesaat tubuh Buang Seng-

keta nampak bergetar hebat. Sementara kedua 

tangannya yang telah merangkap menjadi satu, 

nampak mengepulkan kabut tipis. Bahkan tangan 

itu sekarang telah pula berobah putih menyilau-

kan mata. Pada saat itu para prajurit Kerajaan 

nampaknya sudah tidak menghiraukan adanya 

bahaya yang mengancam jiwa mereka. Bahkan


orang-orang itu dengan nekad meluruk ke arah si 

pemuda.

"Hiaaaa...! Wuuuus...!" Buang Sengketa 

hantamkan kedua tangannya ke segenap penjuru 

mata angin.

"Awaaas...!" teriak Gending Sora berusaha 

memberi peringatan pada seluruh bawahannya. 

Namun peringatan Gending Sora terlambat sama 

sekali. Karena pada saat itu selarik gelombang si-

nar Ultra Violet yang menimbulkan udara panas 

luar biasa telah melesat laksana kilat ke arah pra-

jurit-prajurit yang datang menyerang Pendekar Hi-

na Kelana.

Blaaamm...!

Terdengar beberapa kali ledakan berturut-

turut. Lebih dari lima belas orang prajurit terpe-

lanting roboh dengan tubuh hangus terbakar. Se-

bentar kemudian bau daging terbakarpun telah 

menebar memenuhi daerah sekitarnya. Kenyataan 

ini benar-benar membuat Gending Sora terperan-

jat bagai melihat hantu di siang bolong. Sementara 

puluhan prajurit lainnya demi melihat kematian 

kawan-kawannya, kelihatan semakin beringas. 

Mereka terus memburu Buang Sengketa kemana-

pun pemuda itu berusaha menghindar. Berbagai 

jenis senjata menghujani Pendekar Hina Kelana. 

Bahkan beberapa diantaranya sempat melukai tu-

buh pemuda itu. Kini darah mulai kelihatan me-

rembas membasahi bagian punggung Buang 

Sengketa. Tubuh pemuda ini kelihatan terhuyung-

huyung, bibir menyeringai menahan sakit. Dalam 

situasi tidak menguntungkan itu, di luar sepenge



tahuan Buang. Gending Sora menerjang dari arah 

belakangnya. Masih untung pemuda itu dapat me-

rasakan adanya sambaran angin kencang pada 

bagian punggungnya, sehingga ia masih sempat 

berkelit menghindar. Begitupun tendangan kilat 

yang dilakukan oleh Gending Sora berhasil meng-

hantam bagian punggung kirinya. 

"Buuuk!"

Keras sekali tubuh pendekar Golok Bun-

tung ini terbanting. Bagian dadanya bahkan 

menghantam sebatang pohon. Pohon itupun han-

cur berantakan tertimpa tubuh si pemuda.

"Hoeeek...!" darah meleleh dari sela-sela bi-

bir si pemuda. Perut terasa mual bagai diaduk-

aduk. Sementara itu kepalanya terasa sakit berde-

nyut-denyut. Buang Sengketa berusaha mengge-

lengkan kepalanya berulang-ulang, barulah pera-

saan sakit itu agak berkurang. Namun belum 

sempat lagi dia bangkit berdiri puluhan prajurit 

lainnya telah pula memburunya kembali. Dengan 

nafas masih belum teratur pemuda itu berguling-

guling menghindari tebasan senjata yang dilaku-

kan oleh prajurit-prajurit yang sedang kalap. Ku-

rang ajar! Mereka tidak ubahnya bagai setan pem-

bunuh yang haus darah. Batinnya merasa kesal 

sekali. Dengan cepat Pendekar Hina Kelana men-

gerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tu-

buhnya dari ancaman hujan senjata yang tidak 

terhitung banyaknya.

"Aaaa... heiiiigkh...!" dalam keadaan terde-

sak sedemikian rupa. Buang Sengketa mengelua-

rkan teriakan tinggi melengking. Tidak salah lagi




itulah suara lengkingan ilmu Pemenggal Roh yang 

sangat dahsyat itu. Akibat yang ditimbulkannya 

pun sangat menggiriskan. Bukit Neraka bagai di-

gundang selaksa gempa, daun-daun pepohonan 

yang berada di sekitar daerah pertempuran lang-

sung berguguran. Sementara puluhan prajurit 

yang mengeroyoknya berpelantingan roboh. Darah 

mengalir dari bagian telinga dan hidung mereka. 

Beberapa orang yang masih dapat bertahan hidup 

kelihatan mulai bertingkah aneh. Agaknya urat sa-

raf mereka rusak berat akibat pengaruh lengkin-

gan ilmu Pemenggal Roh itu.

Di lain pihak Gending Sora yang tiada me-

nyangka bahwa pemuda itu memiliki ilmu aneh 

yang sangat langka kelihatan tertatih-tatih dan be-

rusaha berdiri sebagai mana sediakala. Laki-laki 

bertangan buntung itu agaknya merasa masih be-

runtung karena memiliki tenaga dalam yang tinggi. 

Begitupun ia mulai merasa jerih berhadapan den-

gan Pendekar Hina Kelana.

Buang Sengketa sekarang kelihatan duduk 

bersila, sepasang matanya nampak terpejam. Saat 

itu ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk me-

nyembuhkan luka-luka yang dideritanya akibat 

tendangan Gending Sora. Hanya dalam waktu 

yang sangat singkat wajah Buang Sengketa yang 

tadinya nampak pucat, sekarang telah berubah 

kemerah-merahan.

Sementara itu dari arah Istana Iblis kembali 

terdengar suara siulan yang tiada teratur. Suara 

itu sekarang telah diketahui oleh Buang Sengketa 

sebagai pembangkit orang-orang yang telah mati.


Pada kenyataannya, seiring dengan suara siulan 

yang tiada berketentuan itu mayat-mayat berge-

limpangan nampak bergerak-gerak. Bahkan tidak 

lama kemudian telah bangkit kembali. Tetapi 

anehnya sekarang mayat-mayat itu saling serang 

sesamanya. Hal ini di luar dugaan Gending Sora. 

Lain halnya dengan Buang Sengketa yang sudah 

mengerti mengapa mayat-mayat yang sudah tidak 

karuan ujudnya itu saling serang sesamanya. Hal 

ini tidak dapat dipungkiri karena bagian otak pra-

jurit-prajurit yang sebenarnya sudah mati itu 

mengalami kerusakan akibat pengaruh lengkingan 

ilmu Pemenggal Roh.

Sekarang Pendekar Hina Kelana malah ter-

gelak-gelak melihat semua kejadian yang berlang-

sung di depan matanya.

"Gending Sora! Cepatlah kau kabarkan pa-

da si Raja Iblis, bahwa siulan pembangkit mayat 

yang dibangga-banggakannya sudah tidak dapat 

dia gunakan sebagaimana mestinya...!" perintah 

pemuda itu kemudian menoleh ke arah Gelding 

Sora. Namun pemuda berwajah tampan ini terpak-

sa garuk-garuk kepalanya ketika melihat Gending 

Sora sudah tidak berada di tempat itu. Kurang 

ajar. Dia sengaja merat untuk meminta bala ban-

tuan. Tetapi akupun tidak perlu berlama-lama di 

sini. Aku harus mencari cara terbaik dalam men-

gatasi seluruh penghuni Kerajaan Iblis itu. Batin-

nya. Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi pendekar 

Golok Buntung segera berkelebat pergi.

Sementara itu di dalam ruangan singgasa-

nanya. Maha Diraja Setan Bumi, Si Topi Terbang,


Gending Sora serta Kanjeng Guru kelihatan se-

dang berkumpul di sana. Melihat mimik wajah me-

reka nampak jelas kalau orang-orang Kerajaan Ib-

lis itu sedang membicarakan masalah yang sangat 

serius.

"Aku sangat heran sekali mengapa orang-

orang yang telah kubangkitkan kembali dengan 

meminjam kekuatan iblis. Bertingkah polah seperti 

itu...!" terdengar suara Maha Diraja Setan Bumi 

memecah keheningan malam.

"Kita semua tidak perlu merasa heran, mu-

ridku. Siulan Pembangkit Mayat yang kau miliki 

selamanya tidak akan memiliki arti jika ilmu itu 

kau pergunakan untuk menghadapi pemuda aneh 

itu...!" tiba-tiba Kanjeng Guru membuka suara. 

Padahal selama ini laki-laki yang datang dan pergi 

begitu saja tersebut dikenal sebagai orang yang 

sangat jarang sekali bicara. Semua orang yang be-

rada di dalam ruangan itu terperangah begitu 

mendengar keterangan Kanjeng Guru. Walau ba-

gaimanapun mereka harus mengakui bahwa laki-

laki berusia sembilan puluh tahun itu tahu banyak 

tentang segala sesuatu yang dimiliki oleh orang 

lain.

"Sebenarnya siapakah pemuda berpenampi-

lan aneh itu, Kanjeng Guru...?" Maha Diraja Setan 

Bumi merasa penasaran sekali.

"Satu purnama yang telah lalu. Yaitu dua 

hari sebelum aku membentengi istana ini dengan 

'Kabut Kegelapan'. Aku melihat tanda-tanda orang 

ini akan hadir di tempat kita. Justru yang sangat 

mengherankan pemuda itu terus membayang


bayangi semediku. Setelah kuselidiki, barulah aku 

tahu bahwa ia masih merupakan titisan seorang 

Raja di Negeri Alam Gaib sana. Dialah Pendekar 

Hina Kelana yang memiliki kesaktian tidak teru-

kur...!" Kanjeng Guru berkata lambat-lambat.

Seluruh ruangan mendadak berubah hen-

ing. Semua orang yang berada di dalam ruangan 

utama tenggelam dalam pikirannya masing-

masing. Di lain pihak, Maha Diraja Setan Bumi 

merasa yakin bahwa pemuda berperiuk itulah 

yang selalu datang dalam mimpinya dengan 

membawa ancaman. Sekarang dia merasa me-

nyesal sendiri, mengapa waktu pemuda itu ben-

trok dengan para prajuritnya ia tidak cepat-cepat 

mengambil tindakan?

"Kanjeng. Apakah tidak ada jalan lain dalam 

menghadapi pemuda itu...?" tanya Maha Diraja Se-

tan Bumi dengan alis berkerut.

"Pemuda itu memiliki berbagai kesaktian 

dan juga senjata yang sangat hebat. Aku telah be-

rusaha melihat tenaga batinku tentang kelemahan 

dari seluruh kesaktian yang dimilikinya. Tetapi 

yang terlihat olehku justru seekor ular Piton ber-

mahkota yang sangat besar luar biasa...!" jelas 

Kanjeng Guru dengan wajah sedikit pucat. 

"Maksudmu...!"

"Pemuda itu ternyata titisan Raja Negeri 

Bunian. Sedangkan ular bermahkota itu mungkin 

saja orang tuanya. Atau paling tidak merupakan 

orang yang terdekat dengan pemuda itu...!" kata 

Kanjeng Guru berusaha menarik kesimpulan.

"Lalu mengapa justru ular itu yang muncul


ketika kau berusaha mencari titik kelemahan pe-

muda itu...?" tanya penguasa Kerajaan Iblis kehe-

ranan.

Kanjeng Guru kerutkan alisnya. Lalu ia ke-

lihatan menarik nafasnya dalam-dalam. Sebentar 

kemudian ia telah melanjutkan kembali, "Boleh ja-

di ular raksasa itu merupakan pelindungnya yang 

sewaktu-waktu dapat mencelakakan kita...!"

"Mustahil. Aku tidak percaya pemuda itu ti-

dak memiliki kelemahan...!" teriak Maha Diraja Se-

tan Bumi tanpa sadar.

"Maaf muridku, semua apa yang kukatakan 

itu hanyalah bersifat dugaan saja." jelas Kanjeng 

Guru.

"Baiklah, tapi aku tidak dapat tinggal diam." 

ujar laki-laki itu, sebentar ia memandang pada si 

Topi Terbang dan Gending Sora. Kepada orang-

orang ini Maha Diraja Setan Bumi memberi perin-

tah, "Kalian bertiga cari pemuda itu. Jika kalian 

bertemu dengannya jangan beri kesempatan hi-

dup...!"

Si Topi Terbang, Asih Angraeni dan Gending 

Sora tanpa berkata-kata lagi bergegas pergi.

***

6l

ENAM


Pemuda itu baru saja meninggalkan sebuah 

kecil di pinggiran lembah Ampar ketika pandangan 

matanya yang setajam mata elang itu melihat ber

kelebatnya sesosok tubuh berpakaian serba putih 

tidak begitu jauh di depannya. Tanpa membuang 

waktu lagi pemuda itu bergerak melakukan penge-

jaran.

"Berhenti...!" perintah Buang Sengketa keti-

ka jarak diantara mereka sudah semakin bertam-

bah dekat. Namun orang yang dikejarnya terus sa-

ja berlari cepat tanpa menghiraukan pemuda itu 

sama sekali. Dengan perasaan kesal Buang Seng-

keta terus melakukan pengejaran. Setelah menge-

rahkan ajian Sepi Angin, tak lama kemudian laki-

laki berpakaian serba putih itupun telah terkejar. 

Bahkan sekarang Buang Sengketa telah mengha-

dang jalan yang akan dilalui oleh orang itu. Seka-

rang keduanya kelihatan sama-sama terkejut begi-

tu mereka telah saling berhadap-hadapan.

"Kau... kau...! Bukankah kita pernah berte-

mu beberapa waktu yang lalu?" ucap Buang Seng-

keta merasa heran.

"Ya...! Bahkan anda sempat bentrok dengan 

adik seperguruanku...!" jawab laki-laki berpakaian 

serba putih yang tidak lain Biksu Beng Lee 

adanya.

"Ah... maafkanlah aku. Ketika itu diantara 

kita hanya terjadi kesalahpahaman saja. Tapi bo-

lehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan...?"

Laki-laki dari daratan Tiongkok itu hanya

tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pe-

lan. Melihat penampilan laki-laki berkepala gundul 

itu, Pendekar Hina Kelana secara sepintas sudah 

dapat menduga. Bahwa sebenarnya orang yang di-

hadapinya kali ini merupakan seorang tokoh asing


berbudi luhur.

"Sebenarnya apakah yang menjadi tujuan 

anda sehingga berada di Jawa Dwipa ini?" tanya 

pemuda itu tanpa ragu-ragu lagi. Sebaliknya tanpa 

menaruh perasaan curiga Biksu Beng Lee lang-

sung menjawab.

"Aku hanya seorang pendeta yang sengaja 

datang dari negeri yang jauh sana untuk menun-

jukkan jalan yang lurus bagi siapa saja yang mau 

menerimanya, tanpa ada paksaan sedikitpun juga. 

Tetapi di luar dugaan orang-orang penunjuk jalan 

Tuhan itu bahkan adik seperguruanku telah dibu-

nuh oleh sekelompok manusia keji yang menama-

kan dirinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi. 

Amiitaba... sungguh aku ingin menyelamatkan se-

kian banyak penduduk yang tidak berdosa itu. 

Namun sangat disayangkan aku merasa tidak 

mampu menghadapi mereka...!"

Mendengar disebut-sebutnya Maha Diraja 

Setan Bumi, Pendekar Hina Kelana tersentak ka-

get.

"Jadi apakah anda pernah bentrok dengan 

orang itu...?" desak Buang Sengketa dalam ketidak 

mengertiannya.

"Belum lama ini aku pernah menyelidiki 

bukit Neraka. Dan apa yang kudapatkan di sana 

sungguh membuat aku benar-benar terkejut seka-

li. Aku merasa heran di daerah Jawa Dipa ini ada 

seorang manusia yang memiliki ilmu sedemikian

hebatnya...!" kata Biksu Beng Lee terheran-heran.

"Apakah anda melihat para prajurit Kera-

jaan iblis yang dapat mereka bangkitkan setelah


mereka terkapar mati...!"

"Maaf kisanak...! Panggil saja aku, Beng 

Lee...!" potong laki-laki bermata sipit itu sambil 

tersenyum ramah.

"Ah ya...! Saudara Beng Lee... apakah me-

nurut anda tiada cara lain lagi untuk menghan-

curkan mereka...?" tanya Buang Sengketa dengan 

mimik serius.

Penuh kearifan Biksu Beng Lee tersenyum-

senyum.

"Sesungguhnya menurut mata hatiku. 

Orang yang mampu menghancurkan mereka ha-

nyalah orang yang memiliki darah campuran. 

Maksudku gabungan antara siluman dengan ma-

nusia biasa. Sayangnya... mungkin di kolong langit 

ini sangat langka orang yang memiliki ciri-ciri se-

perti yang kusebutkan itu...!" jawab Biksu Beng 

Lee seolah menyesali diri. Pendekar Hina Kelana 

nampak terdiam agak lama sekali. Ia hanya mam-

pu menduga-duga tentang kebenaran yang di-

ucapkan oleh laki-laki itu. Namun sejak perte-

muannya pertama dulu (Dalam Episode Gerhana 

Di Malam Jahanam). Laki-laki asing itu rasanya 

memiliki watak yang jujur.

"Saudara Beng Lee! Seandainya ada orang 

yang memiliki ciri-ciri seperti yang anda sebutkan 

itu. Benarkah orang itu dapat menghancurkan ke-

saktian yang dimiliki oleh manusia iblis itu?"

"Begitulah menurut petunjuk Sang Hyang 

Widi yang sampai kepadaku lewat wangsit" ucap-

nya bersemangat.

"Hemmm. Kalau begitu aku akan kembali


lagi untuk menghancurkan mereka...!" kata Pen-

dekar Hina Kelana pasti.

Sekarang laki-laki asing itulah yang dibuat 

terkejut. Bagaimana mungkin ia begitu berani 

mengambil tindakan nekad. Sedangkan melihat 

penampilan pemuda itu kelihatannya biasa-biasa 

saja. Batin Biksu Beng Lee sambil memandang tak 

percaya.

"Sobat kuperingatkan padamu, jika kau me-

rasa tidak memiliki ciri-ciri seperti yang kuse-

butkan tadi. Alangkah lebih baik jangan teruskan 

niatmu. Aku hampir merasa yakin jika kau me-

langgar peringatanku, mungkin saja kau akan 

mendapat celaka...!" lagi-lagi Biksu Beng Lee den-

gan sikapnya yang arif memberi peringatan.

Namun sebelum pendekar keturunan Raja-

nya para siluman itu sempat berkata lebih lanjut. 

Dari sebuah tempat yang agak jauh terdengar sua-

ra tawa yang disertai dengan ucapan-ucapan yang 

menyakitkan.

"Benar sekali apa yang dikatakan oleh kele-

dai gundul itu, pemuda gembel. Lebih baik kau ti-

dak usah datang ke bukit Neraka. Kalau kau tetap 

keras kepala juga, kami minta agar kau mau me-

mikirkannya masak-masak. Jika tidak, kau pasti 

tidak mungkin pernah kembali ke dunia ramai un-

tuk selama-lamanya...!" dengan terhentinya kata-

kata yang diucapkan melalui pengerahan tenaga 

dalam itu. Maka beberapa saat setelahnya tiga so-

sok tubuh yang terdiri dari dua orang laki-laki dan 

seorang perempuan telah pula menjejakkan ka-

kinya tidak jauh dari tempat Buang Sengketa dan


pendeta Budha itu berdiri. Hanya dengan sekali 

pandang saja, Buang Sengketa sudah dapat men-

genali salah seorang dari tiga orang pendatang itu. 

Sedangkan Biksu Beng Lee yang pernah berhada-

pan dengan tiga orang pendatang itu nampak 

mengerutkan alisnya.

"Saudara... inilah orang-orang yang telah 

menjadi kaki tangan Raja Iblis itu. Bahkan aku 

pernah bentrok dengan mereka...!" kata laki-laki 

dari dataran Tiongkok itu sambil memperhatikan 

lawan-lawannya. Sementara Buang Sengketa sen-

diri sejak dari tadi perhatiannya terus tertuju pada 

tiga orang pendatang itu. Hingga pada akhirnya 

terdengar suaranya yang begitu dingin dan menye-

ramkan.

"Bicaramu setinggi langit, keparat bertangan 

buntung. Engkau sendiri pernah melihat aku per-

nah datang ke bukit Neraka. Namun kenyataannya 

hingga sampai hari ini aku masih dapat bernafas. 

Dan kau...!" Buang Sengketa menudingkan telun-

juknya ke arah si Topi Terbang dan Asih Angraeni. 

"Kalian pastilah murid murtad yang berjuluk si 

Topi Terbang dan Asih Angraeni yang telah begitu 

lancang membebaskan manusia budak iblis itu...!"

Mendapat penghinaan sedemikian rupa, wa-

jah sepasang kekasih itu langsung berobah merah 

padam. Sampai sejauh itu keduanya hanya dapat 

menduga-duga pastilah pemuda yang telah mema-

ki mereka itu pernah datang ke Gunung Ungkur. 

Atau setidak-tidaknya pernah bertemu dengan 

Pramesta. Segalanya sudah kepalang tanggung, 

karena ternyata pemuda berpakaian serba merah


ini mengetahui segala-galanya.

"Manusia pembawa periuk! Kudengar gem-

bel sepertimulah yang berjuluk Pendekar Hina Ke-

lana itu. Banyak sekali kalangan persilatan yang 

merasa gentar begitu mendengar julukanmu. Huh, 

tapi terhadap kami jangan sekali-kali kau bermim-

pi. Ketahuilah hari ini si Topi Terbang akan meng-

hapus keturunan Raja Siluman dari kolong langit 

ini...!" bentak Sakapala alias si Topi Terbang den-

gan suara berapi-api.

Biksu Beng Lee spontanitas menoleh pada 

Buang Sengketa ketika si Topi Terbang menyebut-

nyebut siapa sebenarnya pemuda yang berada di 

sampingnya itu. Namun ia tidak berkata apa-apa. 

Apalagi saat itu Buang Sengketa dengan wajah 

merah padam nampak menggelengkan kepalanya 

berulang-ulang.

"Sobat janganlah terlalu takabur engkau bi-

cara. Bisa-bisa nyawamu sendiri tidak dapat kau 

selamatkan...!" teriak pendekar dari Negeri Bunian.

"Hiaaaat...!" dengan disertai jeritan tinggi 

melengking tubuh pemuda itu melesat ke udara. 

Diterjangnya Sakapala dengan jurus-jurus silat 

tangan kosong yang tidak perlu lagi diragukan ke-

hebatannya. Sakapala yang telah mendengar ke-

hebatan yang dimiliki oleh Buang Sengketa tidak 

ingin bertindak setengah-setengah. Dengan mem-

pergunakan jurus Membelah Bayang-Bayang, si 

Topi Terbang segera berkelebat menghindar.

"Daripada hanya menjadi penonton. Se-

baiknya kita gempur paderi gundul ini Ni Asih An-

graeni...!" kata Gending Sora sambil menerjang


Biksu Beng Lee.

"Kalianpun memang manusia yang perlu di-

lenyapkan dari permukaan bumi ini...!" balas laki-

laki dari daratan Tiongkok itu lalu memapaki se-

rangan yang dilakukan oleh Gending Sora dan 

Asih Angraeni.

Sementara itu pertempuran antara Buang 

Sengketa dengan si Topi Terbang telah mencapai 

lima belas jurus. Masing-masing lawan mulai pula 

mengerahkan jurus-jurus andalannya. Bahkan 

sampai detik itu Pendekar Hina Kelana telah pula 

mempergunakan jurus si Gila Mengamuk dan ju-

rus si Jadah Terbuang. Menghadapi serangan-

serangan yang sangat gencar itu. Mau tak mau 

pemuda itu segera mencabut senjata andalannya 

yang berupa Topi Terbang.

Hanya beberapa saat setelah itu, senjata 

maut itupun mulai mengincar pertahanan lawan-

nya. Hanya dengan mengandalkan ilmu mengen-

tengi tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna 

saja Buang Sengketa beberapa kali dapat meng-

hindari serangan-serangan senjata bergerigi itu. 

Namun dengan cara menghindar seperti itu secara 

praktis Pendekar Hina Kelana tidak dapat mem-

pergunakan jurus-jurus silat tangan kosongnya. 

Siiing...!

"Hiaaat...!" sekali lagi tubuh Buang Sengke-

ta melesat ke udara saat mana senjata di tangan 

Sakapala menerjang ke arah bagian kakinya. Ka-

rena serangan itu datangnya beruntun dan sulit 

diduga-duga. Semakin lama pemuda itupun men-

jadi marah juga. Serta merta ia melompat menjauhi pertempuran. Di saat lain kedua tangannya te-

lah terangkap di depan dada. Beberapa detik sete-

lahnya tubuh pemuda itupun nampak bergetar 

hebat. Sementara kedua tangannya telah menge-

pulkan kabut tipis. Melihat gelagat yang tidak baik 

ini. Karuan saja Sakapala kembali menghantam-

kan Topi Baja bergerigi yang berada dalam geng-

gaman tangannya.

Singgg...! 

"Hiaaat... Wuuuus...!"

Begitu Buang Sengketa melontarkan tan-

gannya ke arah depan, maka pada saat itu serang-

kum gelombang yang berupa sinar merah menyala, 

nampak melesat cepat ke arah Sakapala. Daerah 

di sekitar pertempuran mendadak berobah menja-

di panas luar biasa. Tidak salah lagi karena pada 

saat itu Buang Sengketa telah melepas pukulan 'Si 

Hina Kelana Merana'.

Bledar...! Jreeng...! 

Tidak dapat dihindari lagi pukulan maut 

itupun menghantam Topi bergerigi milik Sakapala. 

Bahkan tidak sampai di situ saja, pukulan yang di-

lepas oleh si pemuda terus melabrak tubuh Saka-

pala hingga menyebabkan tubuhnya terbanting ke-

ras dengan menderita luka dalam yang tidak rin-

gan.

Buang Sengketa menarik nafas pendek. Di-

lihatnya senjata milik lawannya hancur berkeping-

keping. Pabila ia memandang ke arah Sakapala, 

maka dilihatnya pemuda itu sedang menyeka da-

rah kental yang meleleh dari celah-celah bibirnya. 

Buang Sengketa tersenyum sinis. Tanpa menghiraukan pertarungan yang terjadi antara Biksu 

Beng Lee dengan dua orang pengeroyoknya. Pe-

muda inipun berkata, "Bangunlah manusia mur-

tad. Bagimu masih ada jalan untuk hidup, jika 

kau mau kembali ke padepokan Gunung Ungkur 

untuk meminta maaf pada Pramesta...!"

Secara perlahan si Topi Terbang bangkit 

berdiri, dengan sinis ia malah membentak marah, 

"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, kepa-

raat! Lebih baik aku mengadu jiwa denganmu...!"

"Kukira tanpa senjata itu, kau tidak mung-

kin dapat berbuat banyak...!" Buang Sengketa 

mencoba memberi peringatan. Namun usaha pe-

muda itu nampaknya sia-sia belaka. Karena bebe-

rapa saat setelahnya si Topi Terbang telah membu-

runya dengan pukulan mautnya.

"Ciaaa... hiaaat...!"

Melihat kenekatan Sakapala, Pendekar Hina 

Kelana rasanya tidak perlu lagi mengulang perka-

taannya. Dengan mempergunakan tiga perempat 

tenaga dalam yang dimilikinya. Maka pemuda itu 

menghadang serangan ganas yang dilancarkan 

oleh lawannya. Tidak dapat dielakkan lagi, bebera-

pa saat setelah itu dua kekuatan sakti itupun sal-

ing bertemu. 

"Bunk...! Bluaaarr...!"

Tubuh Pendekar Hina Kelana nampak terge-

tar hebat. Wajahnya berubah pucat pasi. Sementa-

ra darah mengalir dari celah-celah bibirnya. Tidak 

dapat disangkal lagi saat itu Buang Sengketa me-

mang mengalami luka dalam yang cukup serius. 

Dengan cepat ia menghimpun hawa murni untuk


melancarkan peredaran darahnya. Secara perla-

han pemuda itu membuka matanya. Lalu tampak-

lah olehnya Sakapada telah terkapar di atas tanah 

tanpa mampu bergerak-gerak lagi. Sepintas lalu 

Buang Sengketa dapat melihat bahwa lawan yang 

sekarang sedang ditangisi oleh kekasihnya itu su-

dah tidak bernyawa lagi.

Dalam pada itu pertarungan antara Biksu 

Beng Lee dengan Gending Sora telah mencapai 

puncaknya. Namun ketika dengan seksama pemu-

da itu hendak memberikan pertolongan, niat itu 

diurungkannya. Karena secara pasti ia melihat 

Gending Sora sudah menderita luka dalam yang 

sangat parah. Apa yang diperkirakan oleh Buang 

Sengketa ini tidak lama kemudian segera terbukti. 

Saat itu tubuh Gending Sora yang dalam keadaan 

sempoyongan nampak tidak mungkin lagi meng-

hindari tendangan telak mengarah dada yang dila-

kukan oleh Biksu Beng Lee. 

"Buuuk...!"

"Arggkh...!" Gending Sora terpelanting ro-

boh, namun yang menjadi lawannya terus membu-

ru sambil hantamkan tasbihnya mengarah bagian 

kepala.

"Wuuur! Prroook...!"

"Arrrrk...!"

Gending Sora mengeluarkan jeritan setinggi 

langit saat mana kepalanya rengkah dihantam 

senjata milik lawannya. Tubuh laki-laki bertangan 

buntung itu berkelejat-kelejat untuk sesaat la-

manya, selanjutnya terdiam buat selama-lamanya. 

Melihat kawan maupun kekasihnya tewas. Maka


dengan wajah ketakutan Asih Angraeni langsung 

berlari cepat meninggalkan lawan-lawannya sambil 

memanggul tubuh Sakapala

"Jangan dikejar...!" cegah Buang Sengketa, 

ketika melihat Biksu Beng Lee bersiap-siap mela-

kukan pengejaran. Begitu laki-laki itu menoleh ia 

langsung berkata. 

"Kau merupakan orang yang tepat untuk 

menghancurkan Kerajaan iblis...!"

***

TUJUH



Pramesta, Kurnia Dewi serta Cempaka pagi 

itu telah sampai di kaki bukit Neraka. Namun ke-

tika mereka hendak mendaki ke puncak bukit itu, 

tiba-tiba perasaan was-was menghantui diri mere-

ka. Karena pada kenyataannya mereka tidak meli-

hat sebuah singgasana atau bahkan bangunan 

lainnya seperti yang didengarnya selama ini. Be-

narkah Kerajaan Iblis tidak bisa dilihat dengan 

mata biasa pada siang hari? Dalam hati pemuda 

itu bertanya-tanya. Kalaupun berita mengenai 

singgasana itu memiliki sebuah kebenaran. Mung-

kin saja Pendekar Hina Kelana saat sekarang telah 

tertangkap atau bahkan mengalami nasib lebih 

mengerikan lagi. Boleh jadi Pramesta mengambil 

kesimpulan seperti itu, karena sebelumnya Buang 

Sengketa setelah melakukan penyelidikan di bukit 

Neraka telah berjanji untuk kembali menemui mereka di padepokan Gunung Ungkur. Namun sete-

lah menunggu sekian lamanya. Ternyata Pendekar 

Hina Kelana tidak juga kembali menemui mereka. 

Sehingga mereka mengambil keputusan untuk 

menyusul Buang Sengketa ke bukit Neraka. Seka-

rang mereka telah sampai di bukit Neraka. Namun 

seperti apa yang mereka saksikan rasanya tidak 

ada tanda-tanda kehidupan di sana.

"Bagaimana kakang! Kita tidak melihat apa-

apa di sini terkecuali hutan belukar itu...!" tanya 

Kurnia Dewi merasa hampir putus asa.

"Memang di bukit Neraka ini kita tidak me-

lihat apa-apa. Tapi mungkinkah berita yang terse-

bar di kalangan persilatan hanyalah berita bohong 

belaka? Padahal kitapun sama-sama tahu telah 

begitu banyak kaum persilatan yang datang ke 

tempat ini tidak pernah kembali. Banyak orang 

yang hilang raib di bukit ini. Mustahil kalau tidak 

ada sesuatu di sini semua itu bisa terjadi!" jawab 

Pramesta begitu yakin. 

"Mungkin kita telah datang pada tempat 

yang salah. Sehingga kita tidak menemukan apa-

apa di sini...!" tukas Cempaka memberi pendapat.

"Sepanjang yang kuketahui bukit Neraka 

hanya ada di sini. Aku merasa yakin sekali bahwa 

kita tidak kesasar...?" 

"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya 

Kurnia Dewi penuh perhatian.

"Untuk menyakinkan bahwa tidak terdapat 

apapun di tempat ini. Ada baiknya kalau kita 

mendaki ke atas sana...!" kata pemuda itu. Namun 

baik Kurnia Dewi maupun Cempaka kelihatan


menggelengkan kepalanya berulang-ulang.

"Ada apa?" Pramesta diliputi ketidak men-

gertian. 

"Aku tidak ingin melakukan pekerjaan sia-

sia...! Lagi pula untuk apa kita berlama-lama di si-

ni, bukankah lebih baik kita cari di tempat lain sa-

ja!" bantah Kurnia Dewi.

"Mana mungkin! Bukit Neraka satu-satunya 

hanyalah di tempat ini. Kalaupun kita mencarinya 

di tempat lain. Kita tidak pernah menemukannya, 

percayalah...!" sergah Pramesta tetap teguh pada 

pendiriannya. Pada saat ketiganya sedang terlihat 

dalam perdebatan itu. Tiba-tiba terdengar suara 

orang tergelak-gelak.

"Huaa... ha... ha... ha...! Biasanya bocah pe-

rempuan memang lebih tolol dari anak laki-laki. 

Kau benar bocah! Bukit Neraka itu tidak ada dua-

nya selain di tempat ini...!" kata suara itu lugas. 

Hanya Pramesta saja yang kelihatan mengerutkan 

alisnya. Suara seperti itu rasanya pernah ia kenal. 

Tetapi ia tidak ingat lagi di mana ia pernah men-

dengarnya.

"Siapakah engkau...!" seru Kurnia Dewi 

sambil memperhatikan daerah di sekitarnya. Na-

mun ia tidak melihat siapapun di tempat itu terke-

cuali mereka bertiga.

"Aku adalah orang yang mengawasi bukit 

Neraka ini. Perlu kalian ketahui tidak seorangpun 

dapat kembali ke dunia ramai, setelah sampai di 

tempat ini...!" jawab suara itu dengan suara berge-

tar. 

"Hemm. Kelihatannya menyeramkan sekali.


Huh. Tapi yang membuatku heran, mengapa Kera-

jaan Iblis seperti yang digembar-gemborkan orang 

tidak kulihat sama sekali?" kata Pramesta menye-

lidik.

"Ha... ha… ha...! Kesaktian yang kau miliki 

belum cukup untuk menembus sebuah kegelapan, 

orang muda! Kerajaan iblis terdapat di atas bukit 

ini, tetapi kau tetap tidak akan dapat melihatnya 

terkecuali kau mau bergabung dengan kami...!"

"Bangsat! Jika kami tidak mau bergabung 

dengan kalian, apakah yang dapat kalian laku-

kan?" ejek Pramesta dan Kurnia Dewi hampir ber-

samaan.

Sekali lagi terdengar suara tawa tergelak-

gelak. Namun karena kali ini suara tawa itu diser-

tai dengan tenaga dalam yang tinggi. Tak ayal lagi 

suara itu menggema ke seluruh penjuru bukit. 

Bahkan murid padepokan Gunung Ungkur dan 

Cempaka terpaksa menutup indera pendengaran-

nya untuk menghindari akibat yang lebih fatal lagi.

"Kalian juga masih dapat melihat betapa 

megahnya Kerajaan Iblis pabila telah berada di ne-

raka nanti...!" lanjut suara itu penuh ancaman.

"Kalau begitu kami akan mengadu nyawa 

dengan kalian...!" bentak Pramesta. Namun belum

lagi ketiganya sempat berbuat sesuatu. Dari se-

buah tempat berhembus angin kencang yang san-

gat dahsyat sekali menyerbu ke arah mereka. Tan-

pa dapat dicegah lagi dua orang diantaranya lang-

sung terpelanting roboh begitu tubuhnya terhan-

tam angin kencang berhawa dingin itu. Hanya 

Pramesta saja yang masih mampu berdiri tegak ke

tika mendapat terjangan badai topan yang sangat 

dahsyat itu. Namun setelah hembusan angin ken-

cang itu kembali datang beruntun, sedikit demi 

sedikit tubuh Pramesta mulai tergetar, bahkan se-

pasang kakinya yang membentuk kuda-kuda itu-

pun mulai terseret-seret. Murid padepokan Gu-

nung Ungkur itu segera melipat gandakan tenaga 

dalamnya agar jangan sampai tubuhnya terbanting 

roboh. Dalam keadaan yang serba tidak mengun-

tungkan itu. Suara gelak tawa kembali terdengar, 

sementara hembusan angin terasa semakin meng-

gila.

"Hebat! Kau mampu menahan tenaga sakti 

'Badai Berhembus' milikku. Heh. Tapi yakinlah 

kau bocah. Kau pasti tidak dapat bertahan pada 

posisi seperti itu lebih lama lagi... lihatlah...!" den-

gan terhentinya kata-kata suara itu, hembusan 

angin bertambah hebat luar biasa. Dan ucapan 

suara itu benar-benar terbukti. Karena tidak lama 

setelah terjangan angin ribut itu, tubuh Pramesta 

langsung terjengkang menyusul Kurnia Dewi dan 

Cempaka yang sampai saat itu masih belum dapat 

bangkit kembali akibat terlalu kerasnya hembusan 

angin itu. 

Wrrrt…!

Terdengar suara berderak keras. Tiba-tiba 

hembusan angin yang sedemikian kencang jadi 

terhenti seketika. Dengan cepat mereka yang sem-

pat roboh tergulung hembusan angin itu segera 

bangkit kembali. Wajah mereka kelihatan pucat, 

bahkan kemudian saling pandang sesamanya.

"Celaka! Benar-benar siluman iblis penge



cut! Kalau tidak mana mungkin segala dedemit be-

rani berbuat namun tetap menyembunyikan di-

ri...!" maki Kurnia Dewi sambil mengatur jalan na-

fasnya.

"Ha... ha... ha...! Sudah kuperingatkan pada 

kalian, tidak ada gunanya melakukan perlawa-

nan...!" suasana menjadi hening sejenak. "Lebih 

baik kalian menyerah saja!" perintah suara itu. 

Beberapa saat setelah itu berkelebat sosok tubuh, 

dengan gerakan ringan sekali tahu-tahu di depan 

mereka sekarang telah berdiri seorang laki-laki 

berpakaian serba putih. Melihat penampilannya 

mungkin saja laki-laki tua itu berumur sekitar 

sembilan puluh tahun.

"Kek... ka.... kau...!" Pramesta bagai tidak 

percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang tua itu 

tersenyum sinis. Sementara Kurnia Dewi maupun 

Cempaka yang tidak mengerti siapa sebenarnya 

laki-laki tua itu hanya diam saja.

"Matamu benar-benar jeli, bocah...! Dari se-

kian banyaknya murid-murid padepokan Gunung 

Ungkur hanya kau seorang yang berpikiran cer-

das...!" dengus laki-laki berpakaian serba putih itu 

dengan sikap acuh.

"Eyang Guru...! Bedebah! Bertahun-tahun 

kau menjadi manusia misterius di padepokan Gu-

nung Ungkur. Bertahun-tahun murid-muridmu 

hanya dapat mengenali suaramu. Tidak disangka, 

kiranya kau takut menunjukkan diri hanya karena 

kau takut kebusukkanmu terbongkar...!" tukas 

Pramesta dengan wajah merah padam. Sekarang 

mengertilah Kurnia Dewi. Kiranya laki-laki yang


berdiri di hadapan mereka itu, yang selama berta-

hun-tahun menjadi seorang guru misterius ki-

ranya salah seorang tokoh sesat di Kerajaan Iblis.

"Kakang Pramesta. Manusia yang mengaku 

sebagai Eyang Guru inikah yang selama ini menja-

di orang yang paling kita hormati?" tanya Kurnia 

Dewi sambil memandang Pramesta.

"Benar adikku! Eyang guru yang selama ini 

kalian anggap sebagai manusia misterius dan pal-

ing mulia itu ternyata hanyalah seorang iblis yang 

sangat kejam...!" geram Pramesta merasa sangat 

kecewa sekali.

"Jangan kalian salahkan aku!" bentak 

Eyang Guru alias Kanjeng Guru. "Aku telah ber-

buat cukup baik pada kalian. Asal kalian tahu sa-

ja, adapun aku mendirikan padepokan Gunung 

Ungkur semata-mata hanya merasa kasihan ter-

hadap yatim piatu seperti kalian. Sungguhpun aku 

merupakan manusia sesat, namun aku merasa te-

lah berbaik hati telah menurunkan kepandaian 

yang kumiliki pada kalian...!"

Wajah Pramesta kelihatan semakin bertam-

bah memerah. Sekarang terbuktilah sudah apa 

yang dicurigainya selama ini. Pantas saja selama 

bertahun-tahun, orang yang mereka panggil Eyang 

Guru itu tidak pernah menunjukkan muka sama 

sekali, terkecuali hanya menyampaikan pesan-

pesan dalam kegelapan malam. Tidak dinyana, ki-

ranya orang yang mereka muliakan selama ini ha-

nyalah seorang tokoh sesat yang telah menyengsa-

rakan orang banyak.

"Puih. Siapa yang sudi menganggapmu se


bagai guru kami. Sekarang aku merasa yakin se-

kali bahwa Sakapala telah bergabung dengan ka-

lian...! Keparaat! Kami telah tertipu mentah-

mentah. Terlebih-lebih adik-adik seperguruanku 

yang lain. Aku bersumpah pasti akan membunuh 

guru palsu sepertimu...!" teriak Pramesta sudah ti-

dak dapat menahan kesabarannya lagi.

"Diam...!" Laki-laki tua renta itu balas 

membentak. Sekarang diperhatikannya orang-

orang yang berdiri tidak begitu jauh di hadapan-

nya satu persatu. Dengan suaranya yang serak, ia 

pun kemudian berkata, "Aku tidak butuh penga-

kuan kalian, bocah-bocah tolol. Itu makanya aku 

tidak pernah menunjukkan diri di hadapan kalian. 

Sungguhpun telah bertahun-tahun aku menurun-

kan jurus-jurus silat pada kalian. Karena aku sa-

dar, seumur hidupku aku telah terlanjur menjadi 

orang sesat. Lebih dari itu sejak dulupun aku telah 

bersumpah untuk tidak mengangkat seorang mu-

ridpun sampai akhir hidupku. Semua apa yang 

kulakukan pada kalian hanyalah bagian terkecil 

yang tidak memiliki arti, dari sekian banyak keja-

hatan yang pernah aku perbuat. Aku merawat ka-

lian karena kuanggap kalian merupakan orang-

orang yang tiada berdosa. Kalian menjadi yatim 

piatu karena akibat pelampiasan balas dendam se-

seorang, yang juga pernah merasa kehilangan 

orang-orang yang dicintainya. Orang tua kalianlah 

yang telah mengeroyok kedua orang tuanya hingga 

akhirnya hidup sebatang kara. Karena orang tua 

kalian dianggapnya telah bersikap adil pada si 

anak malang. Itulah sebabnya ia hanya melampiaskan dendamnya pada orang-orang yang men-

ganggap dirinya sebagai golongan lurus. Masih un-

tung orang itu mengangkat kalian menjadi murid-

muridnya. Padahal kalian merupakan anak-anak 

dari musuhnya...!"

"Kalau begitu, kaulah orangnya yang telah 

membunuh orang tua kami...!" teriak Pramesta 

dan Kurnia Dewi dengan mata membelalak tidak 

percaya. Sementara Cempaka yang tidak mengeta-

hui duduk persoalannya hanya diam saja.

Kini laki-laki renta itu tersenyum kecut. 

Namun sorot matanya tetap liar berapi-api.

"Terus terang kuakui, sebenarnya akulah 

orangnya yang telah membunuh orang tua dari se-

luruh murid padepokan Gunung Ungkur...!"

"Keparaat! Kalau begitu sekarang saatnya-

lah bagimu untuk menuai hasil perbuatanmu...!" 

maki Pramesta. Saat itu mereka telah bersiap-siap 

untuk menggempur laki-laki yang selama ini me-

reka sebut-sebut sebagai Eyang Guru itu. Meski-

pun mereka sadar, sangat kecil sekali kemungki-

nan bagi mereka untuk menjatuhkan laki-laki ter-

sebut. Kanjeng Guru juga sadar, pastilah bekas 

murid-muridnya itu tidak akan tinggal diam begitu 

saja, apalagi setelah ia menceritakan segala-

galanya di depan mereka. Begitupun dia masih 

mau memberi peringatan.

"Jangan kalian lakukan itu. Aku bukanlah 

tandingan kalian. Lebih baik urungkan. Aku masih 

punya hati untuk memberi maaf pada kalian... se-

karang pergilah dari tempat ini sebelum Maha Di-

raja Setan Bumi mengetahui kehadiran kalian...!"


perintah laki-laki renta itu memberi kesempatan. 

Namun mana mau murid-murid padepokan Gu-

nung Ungkur terima begitu saja. Kini tanpa meng-

hiraukan peringatan Kanjeng Guru. Kedua murid 

itu dengan dibantu oleh Cempaka segera mener-

jang Kanjeng Guru.

"Eyang guru! Manusia iblis. Lebih baik kami 

mati berkalang tanah, daripada harus hidup ber-

putih mata. Hiaaat...!"

Menyadari yang menjadi lawannya kali ini 

adalah merupakan seorang tokoh yang memiliki 

kesaktian luar biasa, bahkan telah mengetahui ke-

lebihan dan kekurangan jurus-jurus silat yang me-

reka miliki. Maka tak ayal lagi dalam gebrakan 

pertama itu saja mereka telah mempergunakan 

pedangnya untuk menggempur kakek tua itu. Se-

baliknya Pramesta telah berhasil menciptakan ju-

rus-jurus silatnya sendiri. Segera mempergunakan 

jurus-jurus itu untuk merangsak lawannya.

Hanya dalam waktu yang sangat singkat 

pertarungan sengitpun terjadi. Murid-murid pade-

pokan Gunung Ungkur sekarang telah mengerah-

kan segenap kemampuan yang mereka miliki. Tu-

buh mereka telah bermandi keringat, bahkan sen-

jata di tangan berkelebat menyambar laksana ki-

lat. Tetapi bagi Kanjeng Guru yang telah mengeta-

hui kelebihan dam kekurangan jurus silat lawan-

nya, dengan sangat mudah selalu berhasil meng-

hindari serangan mereka.

***

DELAPAN


Sampai sejauh itu hanya permainan pedang 

Pramesta saja yang dianggap cukup berbahaya 

oleh Kanjeng Guru, karena ternyata pemuda itu 

mempergunakan jurus-jurus ciptaannya sendiri. 

Sehingga sulit bagi laki-laki renta itu untuk mem-

baca gerak pedang di tangan bekas muridnya itu.

"Hiaat...!" 

"Dess! Dess...!

Sekali saja Kanjeng Guru mengibaskan tan-

gannya, tidak ampun lagi Kurnia Dewi dan Cem-

paka terpelanting roboh. Tubuh mereka menghan-

tam sebatang pohon kering. Pohon itupun tum-

bang. Sementara darah kental mengalir deras dari 

hidung dan mulut mereka. Dengan cepat kedua 

gadis itu menghimpun hawa mumi untuk melan-

carkan jalan darah yang agak kacau akibat kiba-

san tangan Kanjeng Guru yang disertai pengera-

han tenaga dalam itu.

Di lain pihak Pramesta segera membuka ju-

rus-jurus andalannya. Kenyataannya ia sangat 

marah sekali melihat adik seperguruannya menga-

lami luka dalam yang tidak ringan.

"Masih ada kesempatan bagi kalian untuk 

meninggalkan tempat ini...!" sekali lagi laki-laki 

renta ini memberi peringatan. 

"Lebih baik kami mengadu jiwa dengan-

mu...!" dengus Pramesta. Saat itu ia segera mem-

pergunakan jurus 'Menembus Kegelapan Mem-

bongkar Topeng'. Jurus silat yang dimainkan oleh


Pramesta itu ternyata sangat berbahaya juga. Apa-

lagi saat itu pedangnya sudah bergerak cepat me-

nutup jalan gerak yang dilakukan oleh Kanjeng 

Guru. Bahkan pedang ditangannya bagaikan see-

kor ular yang terus mengejar kemanapun lawan-

nya berusaha menghindar.

Mendapat tekanan-tekanan yang semakin 

berat, sekarang Kanjeng Guru menjadi gelap mata. 

Beberapa kali tubuhnya melentik ke udara. Begitu 

sepasang kakinya telah menjejak ke atas permu-

kaan tanah. Detik selanjutnya Kanjeng Guru me-

nyongsong serangan pedang Pramesta dengan 

mempergunakan jemari tangannya.

Nguuung...! Creeep...! Deeess...! 

"Wuaaarghk...!"

Begitu ujung pedang itu tertangkap jemari 

tangan Kanjeng Guru. Dengan mempergunakan 

tangan kirinya ia menghantam dada Pramesta 

dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak 

ampun lagi, tubuh pemuda itu terbanting keras. 

Darah langsung menyembur dari mulutnya. Pada 

saat itu Kanjeng Guru yang telah kehilangan kesa-

barannya itu segera memburu dengan tujuan 

menghabisi jiwa bekas muridnya itu.

"Manusia tidak tahu di untung! Lebih baik 

kalian mampus saja... Hiaaa...!" laksana kilat tu-

buh laki-laki renta itu menderu ke arah Pramesta 

yang nampak tertatih-tatih. Pada saat-saat yang 

sangat kritis itu dari arah lain nampak berkelebat 

dua bayangan putih dan merah. Bayangan putih 

bergerak menyambar tubuh Pramesta. Sedangkan 

bayangan merah memapaki tangan Kanjeng Guru


yang terpentang bagai cakar burung Garuda. 

"Duuuk...! Uhhh...!"

Kanjeng Guru mengeluh pendek. Tubuhnya 

terhuyung-huyung beberapa tindak. Sementara 

bayangan merah yang menggagalkan niat laki-laki 

itu untuk membunuh bekas muridnya nampak 

agak berubah pucat parasnya.

"Kau... siapakah kau ini...!" bentak Kanjeng 

Guru seperti sedang berusaha mengingat-ingat se-

suatu. Pemuda berpakaian merah yang tidak lain 

merupakan Pendekar Hina Kelana. Tanpa mem-

perdulikan Kanjeng Guru, Buang Sengketa mem-

beri perintah pada Biksu Beng Lee, "Saudara! To-

long bantu Pramesta dan lain-lainnya untuk me-

nyembuhkan luka dalamnya." katanya pelan.

Sekarang pemuda itu kembali berpaling pa-

da laki-laki tua renta dihadapannya.

"Huh guru macam apa engkau ini. Ternyata 

dugaanku tidak keliru, karena kaulah bangsatnya 

yang berdiri di belakang iblis itu...!" kata Buang 

Sengketa dengan sikap tenang.

"Kurang ajar. Engkaukah yang berjuluk 

Pendekar Hina Kelana itu?" tanyannya ingin me-

mastikan.

"Tak salah akulah orangnya yang berjuluk 

si Hina Kelana. Kukira tidak ada lagi yang patut 

kau ketahui dariku, karena aku yakin kau telah 

mengetahui siapa aku ini. Sekarang bersiap-

siaplah kau untuk mampus...!"

"Jahanam. Dalam wangsit yang kuterima, 

engkaulah kunyuk hina yang ingin menghancur-

kan Istana Iblis. Puih. Jangan mimpi sobat, kau


pasti menyesal telah datang ke wilayah kekuasaan 

kami...!"

"Banyak mulut. Hiaaat...!" teriak Pendekar 

Hina Kelana. Saat itu kakinya telah melesat cepat 

bagaikan anak panah, menghantam bagian kepala 

lawannya. Tetapi Kanjeng Guru yang telah menge-

tahui kehebatan yang dimiliki oleh lawannya sege-

ra melompat menghindari serangan berbahaya itu. 

Sambaran angin kencang menderu di atas kepala 

laki-laki itu. Sehingga menyebabkan rambutnya 

yang sudah memutih itu berkibar-kibar.

"Huaaa...!" Kanjeng Guru melakukan seran-

gan balasan yang tidak kalah hebatnya dengan se-

rangan yang dilakukan oleh Buang Sengketa.

Namun dengan mempergunakan jurus si 

Gila Mengamuk, pemuda itu berhasil pula meng-

hindari tendangan kaki kanan lawannya. Melihat 

pemuda itu dapat mengelakkan serangan 'Amarah 

Iblis' yang sangat diyakininya. Kanjeng Guru san-

gat marah sekali. Dengan semangat menggebu-

gebu orang tua renta inipun terus meransak la-

wannya, Buang terus melayaninya dengan jurus si 

Gila Mengamuk dan jurus si Jadah Terbuang seca-

ra silih berganti. Terkadang tubuhnya nampak 

terhuyung-huyung bagai orang yang sedang ma-

buk. Namun di lain saat telah berkelebat lenyap 

dengan gerakan-gerakan lincah. Apa yang dilaku-

kan oleh Pendekar Hina Kelana tentu saja mem-

buat bingung lawannya. Tetapi Kanjeng Guru bu-

kanlah dedengkot tokoh persilatan golongan sesat 

kalau menghadapi serangan seperti itu saja ia te-

lah merasa patah arang.


Kini tanpa merasa sungkan-sungkan lagi 

Kanjeng Guru segera mempergunakan jurus 

'Tarian Iblis' dalam menggempur lawannya. Buang 

Sengketa nampak terperangah melihat perobahan 

jurus silat yang dimainkan oleh lawannya ini. Se-

kali waktu tubuh lawannya terbungkus kabut teb-

al, di lain saat meliuk-liuk bagai orang yang se-

dang menari. Setiap pemuda itu menghantamkan 

pukulan maupun tendangan-tendangan kaki. Se-

rangan dahsyat itu dengan mudah dapat dihindari 

oleh lawannya. Bahkan beberapa kali tubuh Pen-

dekar Hina Kelana terpaksa jatuh bangun menda-

pat serangan yang tiada diduga-duga itu. Melihat 

serangan-serangan yang sedemikian gencar. Bah-

kan ia sendiri selalu gagal dalam menghantamkan 

pukulan tangan dan kakinya. Sambil berlompatan 

beberapa kali. Begitu berdiri, Buang Sengketa se-

karang telah menyilangkan kedua tangannya per-

sis di depan dada. Beberapa saat setelahnya kedua 

tangan yang bersilangan itu mulai diselimuti kabut 

putih. Sementara lawannya terus bergerak cepat 

mengejar, kemanapun Buang Sengketa berusaha 

menghindar. 

"Hiaaaa...!"

Dengan disertai jeritan tinggi melengking. 

Pemuda itu hantamkan tangannya ke arah depan. 

Tidak dapat dihindari lagi, serangkum gelombang 

berwarna merah menyala serta menyebarkan hawa 

panas luar biasa menghantam lawannya yang ma-

sih dalam keadaan berputar-putar itu. Laki-laki 

renta tersebut terpelanting roboh. Wajahnya han-

gus menghitam. Sungguh mengherankan dengan


cepat ia bangkit kembali, bahkan sekarang lawan 

balas melakukan pukulan jarak jauhnya. Angin 

kencang menderu keras saat mana Kanjeng Guru 

melontarkan tangannya ke arah si pemuda. Tubuh 

Buang Sengketa hampir saja terlempar jatuh jika 

pada saat itu ia tidak cepat-cepat mengerahkan 

segenap tenaga dalam yang dia miliki.

Geraham si pemuda bergemeletukan mena-

han dingin yang tiada tertahankan. Apalagi saat 

itu angin kencang terus berhembus menerpa tu-

buhnya. Masih untung Buang Sengketa kebal ter-

hadap berbagai jenis racun. Jika tidak mungkin 

saja ia sudah tidak dapat bernafas lagi sampai saat 

itu. Begitupun ia merasa tidak mungkin dapat ber-

tahan lebih lama lagi ketika hembusan angin yang 

diciptakan oleh Kanjeng Guru semakin keras 

menghempas tubuhnya. Dengan perasaan geram, 

Buang Sengketa segera mencabut senjata maut-

nya.

Nguuung...!

Begitu terlihat sinar merah menyala nam-

pak berkelebat mengurung tubuh si pemuda, dis-

ertai suara raungan senjata di tangannya yang ti-

dak ubahnya bagai puluhan harimau terluka. Ma-

ka hembusan angin yang diciptakan oleh lawannya 

nampak tertahan bahkan tidak mampu menembus 

gulungan sinar merah yang terpancar dari senjata 

Golok Buntung di tangan si pemuda.

Semakin cepat Buang Sengketa memutar 

senjata andalannya itu, maka secara lambat na-

mun cukup pasti tubuh Kanjeng Guru mulai ter-

dorong ke belakang. Bahkan setelah berlangsung



agak lama, Kanjeng Guru terpaksa menarik balik 

'Siulan Iblis' yang hampir membuat celaka Pende-

kar Hina Kelana.

"Kau benar-benar hebat titisan Raja Silu-

man." kata Kanjeng Guru, kecut. "Tapi jangan kira 

kau dapat mengalahkan aku...!" berkata begitu la-

ki-laki tua renta itu kembali menerjang. Buang 

Sengketa tanpa berkata-kata lagi segera merang-

sak kaki tangan Kerajaan Iblis itu dengan senjata 

ditangannya. Pertempuran kembali berlangsung. 

Sampai sejauh itu Buang Sengketa tidak sempat 

lagi berfikir bahwa Biksu Beng Lee, Pramesta, 

Kurnia Dewi serta Cempaka saat itu telah menyer-

bu ke Istana Iblis. 

Bahkan mereka yang baru saja mendapat 

pengobatan dari Biksu Beng Lee itu sekarang telah 

terlibat pertempuran sengit dengan prajurit-

prajurit Kerajaan.

Di lain pihak, Kanjeng Guru yang sedang 

bertempur melawan Pendekar Hina Kelana itu ke-

lihatan semakin terdesak hebat. Bahkan laki-laki 

itu merasakan betapa daerah sekitar pertempuran 

menjadi sangat dingin sekali. Beberapa kali Kan-

jeng Guru berusaha menghindari sergapan-

sergapan yang dilakukan oleh lawannya. Hanya 

dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh 

yang telah mencapai taraf sempurna saja laki-laki 

renta itu selalu luput dari maut. Namun ketika 

Buang Sengketa mengeluarkan jeritan tinggi me-

lengking yang disertai dengan pengerahan Ilmu 

Pemenggal Roh. Tidak dapat dihindari lagi, Kan-

jeng Guru menggeletar hebat. Seluruh perhatian



nya sekarang terpecah belah. Akibat ajian yang di-

kerahkan oleh pemuda itu. Mempergunakan ke-

lengahan lawannya. Pada saat itulah Buang Seng-

keta menerjang lawannya dengan menghantamkan 

senjata mautnya ke bagian tubuh Kanjeng Guru.

"Craas! Arrrgkh...!"

Hanya dengan sekali tebas, kepala laki-laki 

renta itu langsung menggelinding di atas tanah. 

Darah menyembur dari bekas tebasan kepala itu. 

Hanya beberapa saat tubuh tanpa kepala tersebut 

nampak terhuyung-huyung. Setelah semburan da-

rah dari bagian luka itu melemah. Tak ampun lagi 

tubuh Kanjeng Guru tersungkur di atas tanah 

berdebu. Buang Sengketa mengalihkan perhatian-

nya ke arah lain.

"Lebih baik aku mendaki ke atas bukit itu, 

siapa tahu mereka telah meluruk ke sana tanpa 

sepengetahuanku...!"

* * *

Di dalam benteng Istana Iblis. Pertempuran 

besar-besaran pun terjadi, empat orang pendatang 

itu mendapat keroyokan dari sekian banyak praju-

rit Kerajaan dengan mempergunakan berbagai je-

nis senjata. Sungguhpun mereka adalah pendekar-

pendekar persilatan berilmu tinggi, namun meng-

hadapi sekian banyak prajurit yang memiliki tena-

ga bagai siluman itu. Mau tidak mau, mereka ha-

rus mengerahkan segenap kemampuan yang me-

reka miliki. Namun gempuran para prajurit itu ti-

dak ubahnya bagai air bah saja. Dua tiga orang



dapat mereka bunuh, tetapi yang datang malah 

berlipat ganda jumlahnya. Apalagi mereka yang 

tewas dapat kembali hidup setelah adanya suara 

siulan dari dalam istana. Tentu saja hal ini sangat 

menyulitkan para penyerang itu. Bahkan secara 

lambat laun. Posisi mereka sekarang telah mulai 

terdesak. Beberapa mata pedang di tangan praju-

rit-prajurit itu malah ada yang mengenai Kurnia 

Dewi dan Cempaka. Keadaan di pihak penyerang 

semakin bertambah kacau karena Biksu Beng Lee 

dan Pramesta terpaksa bertempur sambil melin-

dungi dua orang gadis itu.

"Hiaaat...! Cincang tikus-tikus pengacau 

ini...!"

"Jangan beri kesempatan hidup...!" teriak 

para prajurit Kerajaan Iblis sambung menyam-

bung. Maka bagai serigala-serigala kelaparan, 

orang-orang itu saling berlomba mengerubuti la-

wan-lawannya.

"Arrgkh...!" Pramesta mengeluarkan jeritan 

tertahan manakala bagian punggungnya tersam-

bar ketajaman tombak lawannya. Namun dengan 

gigih, mereka tetap berusaha mematahkan seran-

gan-serangan lawannya. Dalam keadaan terdesak 

seperti itu, mendadak dari atas tembok benteng 

terdengar jeritan tinggi melengking, menggetarkan 

daerah sekitar Istana Iblis. Puluhan prajurit-

prajurit istana tersungkur roboh. Mereka keba-

nyakan tewas seketika itu juga. Bila dilihat dengan 

jelas, maka yang menyebabkan kematian mereka 

tak lain adalah akibat pengaruh lengkingan Ilmu 

Pemenggal Roh.


"Sobat-sobat semua! Kerahkanlah tenaga 

dalam yang kalian miliki. Aku hendak mengun-

dang Maha Diraja Setan Bumi agar mau keluar da-

ri persembunyiannya...!" perintah Buang Sengketa. 

Setelah itu pendekar keturunan Raga Alam Gaib 

inipun kembali berteriak nyaring.

"Setan Bumi! Kau lihatlah orang-orangmu 

yang tewas di tanganku. Apakah kau tidak malu 

bersembunyi seperti seorang banci...!" teriaknya 

lagi. Di lain pihak empat orang kawan lainnya te-

lah menggempur para prajurit yang mulai kehilan-

gan nyali.

"Aku menunggu kedatanganmu telah begitu 

lama, sobat... Terimalah sambutanku...!" kata Ma-

ha Diraja Setan Bumi mendengus marah.

Detik itu juga dari bagian jendela nampak 

menyembur lidah api yang sangat panas dan men-

deru ke arah Buang Sengketa. Pemuda ini tentu 

tidak tinggal diam, apalagi dia pernah mendengar 

kehebatan dan kekejaman manusia iblis yang satu 

ini. Dengan cepat ia dorongkan tangannya ke de-

pan. Serangkum gelombang berwarna Ultra Violet 

melesat dari bagian telapak tangan Buang Sengke-

ta.

Blaaam...!

Terdengar suara ledakan yang sangat keras 

manakala jilatan lidah api dan pukulan sakti yang 

dilepaskan oleh Buang Sengketa saling bertemu. 

Beberapa prajurit yang sedang terlibat pertarun-

gan di sekitar tempat kedua tokoh yang saling me-

lepaskan pukulannya nampak terlempar ke berba-

gai arah. Tubuh mereka hangus terbakar.


Bruaaak...!

Dengan sekali tendang, bagian jendela besar 

itupun porak poranda. Tubuh Maha Diraja Setan 

Bumi melesat cepat menghampiri Buang Sengketa. 

Hanya sebentar saja keduanya nampak saling ber-

pandangan. Laki-laki bertelanjang dada itu kemu-

dian bertanya, dengan suara keras, "Kaukah yang 

berjuluk Pendekar Hina Kelana...?"

"Tidak salah, akulah Pendekar Hina Kela-

na...!" kata Buang Sengketa.

"Kau tahu hukuman apa yang akan kuberi-

kan padamu...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi, 

dingin.

"Tanyalah pada seluruh orang-orangmu di 

neraka sana...!" teriak Buang Sengketa. Kemudian 

tanpa berkata-kata lagi pemuda inipun segera 

mencabut senjata andalannya yang berupa Golok 

Buntung. Begitu senjata itu telah tergenggam di 

tangan Buang Sengketa. Tidak ayal lagi pemuda 

inipun segera menyerang lawannya. Apalagi ia sa-

dar betul seperti apa yang dikatakan oleh Biksu 

Beng Lee, bahwa dalam menyerang tokoh iblis itu 

tidak boleh mengulur-ulur waktu. Bahkan kalau 

perlu dengan mempergunakan dua senjatanya se-

kaligus. Karena pada hari itu merupakan hari naas 

tokoh iblis tersebut. Bulan dua belas, Buang 

menggumam. Sekali ia mendongakkan kepalanya 

ke atas langit. Inilah saat yang sangat tepat, gu-

mamnya

"Hiaaat…! Nguuung...!" golok di tangan pe-

muda itu mendengung. Bahkan sekarang telah 

berkelebat menyambar ke arah lawannya. Maha

Diraja Setan Bumi kiranya menyadari bahwa la-

wannya benar-benar telah mengetahui kesaktian-

nya akan melemah pada hari itu. Tanpa ampun 

begitu senjata lawan menyambar. Ia langsung 

membanting tubuhnya ke samping kiri. Tetapi 

yang membuat Buang Sengketa terheran-heran. 

Mengapa tokoh sesat yang dikenal sangat ganas 

itu tidak sehebat yang dibayangkannya. Bahkan 

tidak sehebat apa yang dikatakan oleh Biksu Beng 

Lee. Tetapi ia sudah tidak dapat berpikir sampai 

sejauh itu. Sekali lagi ia menerjang lawannya yang 

masih dalam keadaan terguling-guling.

"Hiaaat... Jraaas...!" 

"Argggkh...!"

Tubuh Maha Diraja Setan Bumi berkelojo-

tan beberapa saat lamanya. Kemudian terdiam 

dengan jiwa melayang. Buang Sengketa baru saja 

hendak menarik nafas, ketika terdengar suara ta-

wa tergelak-gelak.

"Kau keliru Hina Kelana. Tidak semudah itu 

membunuhku. Yang kau bunuh itu hanyalah sa-

lah seorang bawahanku. Ketahuilah, aku akan 

menjadi lawanmu yang tiada terkalahkan hingga 

akhir jaman. Istana ini boleh runtuh, namun Maha 

Diraja Setan Bumi akan tetap hidup untuk sela-

ma-lamanya...!" suara itu tiba-tiba lenyap. Begitu 

juga halnya dengan istana iblis. Sekarang yang ter-

lihat hanya mayat-mayat yang bergelimpangan. 

Sedangkan biksu Beng Lee, Pramesta, Kurnia Dewi 

dan Cempaka, hanya saling pandang sesamanya 

tanpa berkata apa-apa.

"Kuterima tantanganmu, manusia sesat!"


gumam Buang Sengketa. Lalu melangkah pergi.


                           TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar