PEMBALASAN MAHA DURJANA
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Pembalasan Maha Durjana
SATU
Hutan Komering Ilir terasa sepi di pagi itu.
Namun pemuda berwajah tampan berpakaian me-
rah ini terus melangkahkan kakinya dengan man-
tap. Sebagaimana keterangan yang didapatnya dari
beberapa penduduk setempat, padepokan Gunung
Ungkur letaknya tidak seberapa jauh lagi dari hu-
tan lebat yang sekarang sedang dilaluinya. Tanpa
merasa curiga pada keadaan disekelilingnya, si
pemuda dengan rambut dikuncir itu terus melang-
kah. Tidak kurang setengah jam ia menelusuri ja-
lan itu, mendadak ia mendengar suara jerit terta-
han jauh di belakang sana. Si pemuda yang tidak
lain Pendekar Hina Kelana, langsung menghenti-
kan langkahnya lalu menoleh ke arah suara tadi
berasal. Sesaat berlalu sepi. Suara jerit perempuan
tadi digantikan dengan suara denting beradunya
senjata tajam.
Tanpa menunggu lebih lama lagi Buang
Sengketa segera berbalik langkah, dan berlari ce-
pat menuju tempat terjadinya keributan. Se-
sampainya di sana ia melihat seorang gadis sedang
menghadapi keroyokan seorang laki-laki muda dan
seorang gadis berusia sebaya. Buang Sengketa be-
rusaha menajamkan pandangan matanya untuk
mengenali gadis yang berusaha membebaskan diri
dari tekanan-tekanan serangan dua orang lawan-
nya. Pemuda itu merasa terperanjat. Saat pandan-
gan matanya yang setajam mata elang itu menge-
nali ciri-ciri si gadis.
"Cempaka...?" serunya tertahan. Sampai se-
jauh itu ia dapat melihat bahwa siapapun yang
menjadi lawan Cempaka. Yang jelas mereka memi-
liki kepandaian lebih tinggi bila dibandingkan den-
gan kepandaian yang dimiliki oleh gadis yang di-
kenalnya. Pemuda itu masih tertegun di tempatnya
ketika terdengar suara jeritan Cempaka. Saat itu
kiranya ujung pedang yang berada dalam gengga-
man gadis yang menyertai pemuda berbaju cokelat
berhasil melukai bagian tangan Cempaka. Tetapi
nampaknya yang menjadi lawannya tidak ingin
berhenti sampai disitu saja. Ia segera memburu
Cempaka dengan pedang terhunus.
Karena jarak pertempuran dengan posisi
Buang Sengketa agak berjauhan. Maka pemuda
itu cepat mengambil sebatang ranting. Dengan
mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang
dimilikinya. Buang Sengketa menyambitkan rant-
ing tersebut ke arah senjata lawan yang menderu
ke arah Cempaka.
Siiing...!
"Traaak...!"
"Akghh...!"
Perempuan yang menyertai pemuda berpa-
kaian cokelat itu mengeluarkan jeritan tertahan,
saat mana ia merasakan adanya sebuah benda
menyambar deras ke arah bagian pedangnya. Se-
mentara tubuhnya sendiri terhuyung beberapa
tindak ke belakang. Dengan cepat ia menoleh. En-
tah dari mana datangnya perempuan itu melihat
seorang pemuda berpakaian merah telah berdiri
dua batang tombak darinya. Pemuda itu terse
nyum-senyum begitu melihat gadis yang baru saja
digagalkan niatnya nampak merah sekali.
"Kakang Kelana...!" desis Cempaka ketika
melihat kehadiran Buang Sengketa. Namun Buang
yang sudah merasa kesal karena ternyata gadis itu
terus membuntuti kepergiannya, nampak acuh-
acuh saja.
Dalam pada itu gadis yang hampir saja
membunuh Cempaka sudah membentaknya.
"Hei, pemuda usilan. Siapakah engkau ini
hingga begitu lancang mencampuri urusan orang
lain...?" sentaknya dengan suara tergetar.
"Siapapun adanya aku ini, yang jelas aku
tidak ingin melihat gadis itu mengalami hal-hal
yang tidak diharapkan oleh orang tuanya!" jawab si
pemuda begitu tenang.
"Mungkin dia merupakan kekasih gadis usi-
lan ini, adik Kurnia...!" pemuda berpakaian cokelat
yang tak lain merupakan Pramesta ikut bicara.
"Kakang Kelana. Hampir setengah hari dua
orang ini terus membuntutimu. Wajarkan bila aku
menyerangnya. Karena gerak geriknya yang men-
curigakan...!" celetuk Cempaka merasa tidak se-
nang.
"Bicara soal buntut membuntuti. Sebenar-
nya sejak beberapa hari yang lalu aku melihat kau
telah menguntitku, menyusul dua orang pemuda
dan pemudi gagah ini. Hem. Sebenarnya aku tidak
punya apa-apa yang pantas kubagi-bagikan buat
kalian. Tidak ada alasan bagi kalian untuk meng-
ganggu perjalananku. Bahkan aku sendiri merasa
tidak punya persoalan dengan kalian. He... he...
he... apa sih yang kalian inginkan dariku?" tanya
si pemuda, kemudian memukul periuknya beru-
lang-ulang hingga menimbulkan suara berkeron-
tangan.
"Eeh, siapa yang membuntuti siapa? Kami
memang sedang melakukan perjalanan jauh. Kebe-
tulan saja kami memang hendak pulang ke pade-
pokan Gunung Ungkur. Karena kulihat si gembel
berperiuk ini menuju ke arah padepokan, kami pi-
kir wajar jika mencurigainya." kata Kurnia Dewi
ketus.
Buang Sengketa langsung menjura hormat
manakala mengetahui siapa sebenarnya orang
yang telah menyerang Cempaka. Karena memang
pada dasarnya ia ingin pergi ke padepokan Gu-
nung Ungkur, ia merasa tidak perlu membantah
apa yang dikatakan oleh gadis yang berada di sisi
pemuda berpakaian cokelat itu.
"Maafkan kami saudara dan saudari. Kua-
kui terus terang, bahwa sebenarnya kami memang
ingin datang ke padepokan Gunung Ungkur. Kare-
na kebetulan anda berdua merupakan keluarga
padepokan. Kukira tak ada salahnya jika aku
numpang bertanya pada kalian...!"
"Uuuh. Enak saja, kawanmu telah menye-
rang kami. Sekarang kau meminta agar kami men-
jawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu
itu...?" sentak Pramesta ikut menimpali.
"Kakang, orang itu telah melukaiku. Menga-
pa kakang Kelana harus berbaikan kepadanya...?"
Cempaka yang tidak begitu senang dengan sikap
mereka, kali ini malah membentak.
"Sabarlah Cempaka. Luka yang kau alami
tidak begitu parah, untuk sementara kita harus
melupakan masalah pribadi. Dunia persilatan se-
perti yang telah kita ketahui sedang dilanda kere-
sahan. Sebagai pribadi akupun tidak dapat mem-
biarkan hal itu berlarut-larut. Nah saudara dan
saudari. Kalaulah memang anda berasal dari pa-
depokan Gunung Ungkur saya punya beberapa
pertanyaan yang barangkali anda berdua sudi
menjawabnya...!" ujar Buang Sengketa penuh ha-
rap.
Pramesta dan Kurnia Dewi nampak saling
berpandangan. Lalu timbul kesimpulan dalam hati
mereka. Pemuda yang berdiri di hadapan mereka
itu meskipun berpakaian dekil dan kotor tetapi
nampaknya merupakan seorang pemuda yang ju-
jur. Dan melihat gelagatnya mungkin pula seorang
pemuda yang beraliran lurus di samping berke-
pandaian tinggi pula. Rasanya bagi Pramesta tidak
ada alasan untuk mencurigainya. Berpikir sampai
ke situ, akhirnya Pramesta pun berucap: "Sauda-
ra. Siapakah saudara ini? Dan ada keperluan apa-
kah dengan padepokan Gunung Ungkur?"
Buang Sengketa tersenyum ramah, setelah
tercenung sebentar.
"Aku yang hina ini bernama Buang Sengke-
ta. Orang-orang selalu memanggilku sebagai si Hi-
na Kelana. Adapun maksud tujuanku datang ke
Gunung Ungkur adalah ingin mendapatkan bebe-
rapa keterangan yang kurasa perlu demi menye-
lamatkan sekian banyak penduduk yang menjadi
korban pembangunan Kerajaan manusia iblis...!"
Mendengar disebut-sebutnya tentang Kera-
jaan Iblis, terkejutlah Kurnia Dewi dan Pramesta.
Selama mereka melakukan perjalanan memang
banyak mereka dengar tentang hilangnya pendu-
duk laki-laki perempuan berusia masih sangat
muda. Desas-desus yang mereka dengar seseorang
yang bergelar Maha Diraja Setan Bumi-lah yang
bertanggung jawab dalam penculikan-penculikan
itu. Namun nampaknya pemuda berpakaian kumal
ini tahu lebih banyak tentang perkembangan du-
nia luar, hal ini menunjukkan sesungguhnya pe-
muda itu memiliki pengalaman yang luas dan be-
rilmu tinggi pula.
"Saudara Kelana. Kami memang benar mu-
rid padepokan Gunung Ungkur. Saya Pramesta
dan adik seperguruan saya ini bernama Kurnia
Dewi. Oh ya, kami juga mohon maaf atas kesalah-
pahaman yang telah terjadi." sambil berkata Pra-
mesta memandang sejenak pada Cempaka yang
saat itu sedang berusaha membalut lengannya
yang terluka. Kurnia Dewi pun ketika melihat
Cempaka sedang membalut lukanya segera datang
menolong. Sementara pembicaraan terus berlan-
jut.
"Kita sama-sama bersalah, lupakanlah. Oh
ya apakah si Topi Terbang merupakan murid pa-
depokan Gunung Ungkur...?" tanya si pemuda
kembali pada pokok persoalan.
Beberapa saat Pramesta terdiam. Ia me-
mang sama sekali tiada menduga kalau pemuda
yang bernama Buang Sengketa ini menanyakan
orang yang telah melarikan diri dari penjara ber
sama-sama kekasihnya, (Dalam Episode
GERHANA DI MALAM JAHANAM). Haruskah ia
mengatakan hal yang sebenarnya? Pramesta nam-
pak diliputi kebimbangan. Namun setelah menim-
bang sekian saat lamanya, pemuda inipun memu-
tuskan untuk berterus terang.
"Benar saya akui bahwa si Topi Terbang
atau Sakapala merupakan murid tertua padepo-
kan Gunung Ungkur. Namun sesungguhnya ia
merupakan murid murtad yang mungkin saja di
luar sana telah bertindak secara sesat. Beberapa
pekan yang lalu bahkan ia pernah kembali ke pa-
depokan dengan membawa niat tak baik. Saya
sendiri yang meringkusnya kemudian memenjara-
kannya selama beberapa hari." sampai disini Pra-
mesta hentikan ucapannya. Tiba-tiba ia menarik
nafas dalam-dalam, seperti ada sesuatu yang tera-
sa menghimpit perasaannya.
"Apakah kakang seperguruanmu ada di pa-
depokan hingga sampai sekarang ini?" tanya si
pemuda berharap.
Pramesta gelengkan kepalanya berulang-
ulang.
"Sayangnya ia telah melarikan diri dari pen-
jara bersama kekasihnya. Ah... menyesal sekali
kedatanganmu sangat terlambat sobat...!"
"Karena itukah maka anda berdua mening-
galkan padepokan...?"
"Ya... kami bermaksud melakukan pengeja-
ran. Namun ternyata kami kehilangan jejak sama
sekali...!"
"Sungguh sulit memang untuk memburu si
Topi Terbang. Dan sekarangpun aku merasa yakin
orang itu telah sampai di Istana Iblis. Cepat atau
lambat ia akan menyeret Maha Diraja Setan Bumi
datang meluruk ke perguruan kalian...!" gumam
Buang Sengketa, parau.
"Hh... bagaimana engkau bisa mengetahui
kalau kakang Sakapala merupakan pembantunya
manusia iblis itu?" tanya Kurnia Dewi yang baru
saja selesai memberi bantuan pada Cempaka.
"Beberapa pekan yang lalu aku melakukan
penyelidikan di sebelah bukit Iblis. Dari pembica-
raan yang sempat kudengar, mereka menyebut-
nyebut tentang tidak kembalinya si Topi Terbang
selama lebih dari setengah purnama. Hal lain yang
kuketahui bahwa di sana terdapat beratus-ratus
orang yang bekerja membangun sebuah istana
yang kemudian kuketahui sebagai istana miliknya
Maha Diraja Setan Bumi. Yang membuat aku he-
ran adalah mereka nampak begitu penurut di
samping memiliki tenaga bagai siluman...!" kata si
pemuda secara panjang lebar.
"Hemm. Sungguh sangat berbahaya sekali.
Lalu apakah yang harus kita lakukan?" tanya
Kurnia Dewi.
"Tiada jalan lain terkecuali kita menyerbu
ke markas mereka...!" ujar Pramesta merasa geram
bukan main.
"Jangan. Kita bisa mati konyol berada di sa-
rang lawan yang memiliki kepandaian yang tiada
terukur itu...!" bantah Pendekar Hina Kelana.
"Lalu bagaimana?"
Buang Sengketa kembali terdiam. Dalam
hatinya ia berpendapat, walau bagaimanapun se-
buah kekuatan siluman harus pula di lawan den-
gan siluman pula. Bahkan ia masih ingat ketika
berada di bukit Iblis. Para pekerja itu nampaknya
memiliki ketidak wajaran. Tatapan mata mereka
kosong, tiada gairah hidup. Bahkan mengerjakan
apa saja yang di perintahkan oleh beberapa orang
mandor yang menjaganya
Ketika ia teringat sesuatu, maka tak lama
setelahnya iapun kembali berucap: "Menurutku
bagaimana kalau kita berangkat ke padepokan dan
menanyakan segala sesuatunya dengan guru an-
da...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja
baik Pramesta maupun Kurnia Dewi langsung ter-
perangah.
"Bagaimana mungkin kita dapat menanya-
kan segala sesuatunya pada guru, sedangkan se-
lama menjadi muridnya sekalipun kami belum
pernah bertemu?' ujar Pramesta polos.
Seumur hidup baru kali inilah Buang men-
dengar ada sebuah padepokan yang memiliki seo-
rang guru namun sangat jarang dapat ditemui. Ini
juga merupakan sebuah persoalan baru sekaligus
merupakan keanehan yang perlu dicari jawaban-
nya.
"Ini merupakan keanehan lain yang perlu
mendapat jawaban. Ee... maaf saudara Pramesta.
Apakah selama ini murid-murid padepokan Gu-
nung Ungkur tidak pernah merasa curiga dengan
keberadaan guru kalian sendiri...?" tanya si pemu-
da berhati-hati
"Sebagian besar mungkin tidak. Namun aku
sebagai pribadi selalu merasa curiga atas kebera-
daan Eyang Guru...!" jawab Pramesta.
"Apapun yang akan terjadi ada baiknya ka-
lau kita segera pergi ke padepokan. Sesampainya
di sama kita dapat membicarakan segala sesua-
tunya secara leluasa...!" ujar Kurnia Dewi mengan-
jurkan.
Selanjutnya berangkatlah empat orang ber-
sahabat ini menuju padepokan Gunung Ungkur
yang letaknya tidak seberapa jauh lagi.
***
DUA
Gending Sora yang baru saja sembuh dari
lukanya akibat bagian tangan tertebas senjata mi-
lik Pendekar Hina Kelana. Para pembantu dan
mandor Maha Diraja Setan Bumi. Juga manusia
iblis yang mereka sebut-sebut sebagai Kanjeng
Guru, hadir di dalam ruangan Kerajaan yang baru
saja selesai pembuatannya. Puluhan bahkan ratu-
san laki-laki maupun perempuan berusia sangat
muda, nampak duduk di depan singgasana raja.
Dalam ruangan yang sama, tidak begitu jauh dari
singgasana Maha Diraja Setan Bumi. Nampak du-
duk bersimpuh seorang pemuda berpakaian serba
kuning serta seorang gadis yang berada di sisi si
Topi Terbang tak lain Asih Anggraeni, kekasih pe-
muda berpakaian serba kuning itu.
Tidak lama setelah kesunyian mewarnai
ruangan besar tersebut. Maha Diraja Setan Bumi
dengan suaranya yang besar, serak namun berwi-
bawa mulai berucap.
"Para abdiku yang setia! Sengaja kalian se-
mua kukumpulkan di ruangan kehormatan ini
adalah untuk merayakan pembangunan Kerajaan
yang kita cintai. Usaha kalian dalam melaksana-
kan tugas yang kuberikan ternyata tidak sia-sia.
Atas pengabdian kalian dan kesetiaan kalian sela-
ma ini padaku, maka aku akan mengangkat kalian
menjadi prajurit Kerajaan. Dengan adanya tugas
yang kuberikan ini, kalian mempunyai tanggung
jawab untuk melindungi Kerajaan Iblis dari setiap
ancaman musuh...!" sejenak Maha Diraja Setan
Bumi menghentikan ucapannya. Sorot matanya
yang bengis sebentar nampak memperhatikan me-
reka yang hadir di dalam ruangan itu. Lalu ia me-
lanjutkan ucapannya kembali. "Seperti yang kalian
lihat, beberapa orang saudara-saudara kalian.
Bahkan termasuk orang penting Kerajaan telah
terlibat pertempuran dengan beberapa tokoh go-
longan lurus. Aku tidak mau melihat mereka ber-
tindak sewenang-wenang terhadap orang-orang
Kerajaan. Apalagi mereka sempat melukai, bahkan
membuat cacat saudara-saudara kita. Kejadian
seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aku
sebagai Maha Diraja Kerajaan iblis telah merenca-
nakan untuk menggulung semua golongan putih,
demi kejayaan Kerajaan Iblis, dan juga demi mem-
balas kekalahan yang telah kita alami...!" dengus
Maha Diraja Setan Bumi dengan mata berbinar
binar. Sebentar laki-laki berkulit hitam legam ini
melirik pada si Topi Terbang serta gadis yang du-
duk di sampingnya.
"Topi Terbang! Siapakah orang yang telah
melukaimu?" tanyanya bersemangat. Sebagaimana
kebiasaannya, Sakapala alias si Topi Terbang
nampak membungkukkan tubuhnya beberapa
kali. Lalu dengan tenang ia berucap, "Apakah Ma-
ha Diraja Setan Bumi masih ingat tentang pembu-
nuhan dan pembakaran beberapa purnama yang
lalu?"
"Pembunuhan telah banyak kita lakukan
dimana-mana. Nah pembunuhan yang mana kau
maksudkan?" Maha Diraja Setan Bumi merasa be-
gitu bangga dengan apa yang baru saja di-
ucapkannya.
"Pembunuhan terhadap orang-orang berke-
pala gundul itu?"
Mendengar Sakapala menyebut-nyebut
orang berkepala gundul, maka Maha Diraja Setan
Bumi langsung tertawa mengekeh.
"Hhh, Mereka yang telah melukaimu?" Ma-
ha Diraja Setan Bumi menggumam tidak jelas.
"Hanya sebangsa tikus kudisan itu rupanya
yang telah membuatmu terluka...!"
Lagi-lagi Maha Diraja Setan Bumi Kerajaan
iblis menggumam. Namun kali ini wajahnya telah
berubah merah.
"Tapi orang itu telah kubunuh, yang mu-
lia...!" si Topi Terbang menjelaskan duduk persoa-
lannya.
"Sudah kau bunuh?" Maha Diraja Setan
Bumi mengerutkan alisnya. Dalam hati manusia
sesat itu tidak dapat memungkiri kemampuan
yang dimiliki oleh si Topi Terbang. Bahkan selama
ini dalam setiap melakukan tugasnya pembantu
setia ini belum pernah mengalami hambatan yang
berarti. Namun Maha Diraja Setan Bumi dapat
menarik kesimpulan siapapun yang menjadi lawan
si Topi Terbang, pastilah orang itu memiliki ke-
pandaian yang tinggi.
"Aku percaya dengan laporanmu itu. Topi
Terbang! Tetapi apakah kau dapat memastikan
bahwa orang asing itu masih memiliki kekuatan
lain yang sewaktu-waktu datang menuntut balas
kepadamu?"
"Maksud yang mulia...?" si Topi Terbang ti-
dak mengerti.
"Maksudku, apakah kau tidak menjumpai
kawan-kawan laki-laki asing berkepala gundul itu
bersamanya...?"
"Waktu itu saya tidak melihatnya, yang mu-
lia!" jawab Sakapala tegas. Maha Diraja Setan Bu-
mi menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Kalau begitu kau belum pernah berjumpa
dengan saudara seperguruan laki-laki botak yang
kau bunuh itu...!"
"Maaf yang mulia. Sama sekali saya tidak
mengira orang itu memiliki kawan atau pun sau-
dara. Karena pada saat itu saya memang tidak me-
lihat adanya orang lain bersamanya...!"
"Sudahlah. Semua itu bukan kesalahanmu,
yang terpenting. Mulai saat sekarang kita harus
berhati-hati..."
Belum lagi Maha Diraja Setan Bumi selesai
mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba Sakapala
berkata sambil menjura beberapa kali. "Kanjeng
Guru! Bagaimana halnya dengan kegagalan saya
menyeret murid-murid padepokan Gunung Un-
gkur kemari...?"
"Hemm...!" Maha Diraja Setan Bumi meng-
gumam pelan. Sesaat lamanya ia memandang pa-
da laki-laki berpakaian putih yang mereka sebut
sebagai Kanjeng Guru.
"Bagaimana pendapat anda, Kanjeng?" ta-
nyanya dengan sikap sopan. Laki-laki berkumis
tebal ini terdiam sesaat, pandangan matanya ta-
jam menusuk kepada Maha Diraja Setan Bumi.
"Sebenarnya menurutku, kita tidak perlu
mengusik padepokan Gunung Ungkur. Apalagi
sampai menghancurkan padepokan itu. Walau ba-
gaimanapun kita harus sadar, bahwa Topi Terbang
dan gadis yang bersamanya ini berasal dari sana
juga. Kau juga harus ingat, Setan Bumi! Topi Ter-
bang telah begitu banyak membantumu...!" tegas
laki-laki itu berwibawa.
"Tapi murid-murid padepokan itu pernah
memenjarakan aku. Bahkan hampir membuat
saya celaka!" ungkap Sakapala merasa tidak puas
"Tapi bukankah semua itu mereka lakukan
karena, kau terlalu memaksa mereka?" sentak
Kanjeng Guru berapi-api.
Sakapala langsung terdiam. Ucapan Kan-
jeng Guru memang tidak dapat disangkalnya. Te-
tapi ia melakukan semua itu karena mendapat pe-
rintah dari Maha Diraja Setan Bumi.
"Kanjeng. Topi Terbang datang ke Gunung
Ungkur atas perintahku. Aku yang memintanya
untuk membawa murid-murid padepokan itu ke
sini. Tetapi siapa sangka si Topi Terbang kalah
bertarung dengan adik seperguruannya sendiri...!"
gumam Maha Diraja Setan Bumi seolah tidak per-
caya.
"Sebagaimana guru mereka yang misterius.
Mata bathinku mengatakan bahwa murid-murid
padepokan Gunung Ungkur yang bernama Pra-
mesta telah menciptakan ilmu silat yang sangat
hebat...!" jelas Kanjeng Guru. Untuk diketahui, la-
ki-laki berpakaian serba putih ini dapat melihat
sesuatu yang tidak tampak oleh mata biasa.
"Tetapi apakah kita. harus membiarkan
penghinaan yang mereka lakukan terhadap kebe-
saran Kerajaan Iblis...?" tanya Setan Bumi. Nada
bicaranya menunjukkan rasa tidak senang. Na-
mun Kanjeng Guru hanya tersenyum tipis.
"Aku tahu Setan Bumi, ilmu yang kau miliki
mungkin saja melebihi kepandaian yang kumiliki.
Namun dalam hal-hal tertentu akupun mempunyai
kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua yang ha-
dir di sini. Tapi kalau kau bersikeras juga, kau ti-
dak perlu menyuruh orang-orangmu untuk me-
ringkus mereka. Kita tunggu saja disini, cepat atau
lambat mereka pasti datang ke sini...?!" Kanjeng
Guru memberi penjelasan secara panjang lebar.
"Siapakah yang Kanjeng Guru maksudkan
mereka itu?"
"Ha... ha... ha...! Mereka tentu saja orang-
orang yang punya urusan denganmu. Atau bahkan
seluruh kaum persilatan akan datang kemari un-
tuk mengadakan perhitungan denganmu. Tapi...
he... he... he... aku yakin kau mampu mengatasi
semua persoalan yang bakal terjadi di sini...!"
"Hhh. Begitukah? Ingin kulihat sampai di
mana keberanian mereka datang ke sarang iblis...!"
gumam Setan Bumi sambil memberi isyarat kepa-
da semua bawahannya agar meninggalkan ruan-
gan pertemuan itu.
* * *
Tepat seperti apa yang pernah diramalkan
oleh Kanjeng Guru. Beberapa purnama kemudian
berbagai golongan persilatan memang mulai terli-
hat berkeliaran di sekitar bukit Neraka. Tujuan
mereka sudah jelas. Yaitu ingin menghentikan se-
pak terjang Maha Diraja Setan Bumi yang selama
ini telah begitu banyak melakukan pembunuhan,
penculikan terhadap ratusan penduduk yang tiada
berdosa, serta menghancurkan Kerajaan besar mi-
lik Setan Bumi.
Namun usaha mereka nampaknya harus
kandas di tengah jalan. Apa yang mereka perhi-
tungkan benar-benar jauh dari kenyataan yang
mereka harapkan. Kerajaan iblis selain memiliki
prajurit-prajurit yang sangat tangguh, juga berte-
naga bagai siluman. Juga mereka tidak mampu
menembus benteng gaib yang menyelubungi Kera-
jaan itu. Kalaupun ada beberapa orang tokoh yang
berhasil menerobos benteng gaib yang menjadi pe-
risai Kerajaan itu. Tapi mereka tidak pernah ada
yang berhasil keluar dari Kerajaan itu dengan se-
lamat. Telah begitu banyak tokoh persilatan hilang
raib di bukit Neraka. Tidak terhitung sudah berapa
banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitar
bukit itu. Sehingga banyak kaum persilatan yang
bermaksud menghentikan sepak terjang Maha Di-
raja Setan Bumi terpaksa menghentikan usa-
hanya. Mereka akhirnya hanya mampu menunggu
perkembangan selanjutnya.
Bukit Neraka yang tadinya merupakan dae-
rah yang sangat subur. Sekarang telah berubah
menjadi sebuah daerah yang angker bahkan terse-
lubung misteri. Kejadian-kejadian yang serba
anehpun sering terjadi di sana. Kerajaan Iblis tidak
dapat dilihat lagi dengan mata biasa. Lebih dari itu
sejak gagalnya para kaum persilatan menghancur-
kan Kerajaan berselubung kegaiban itu, maka
penculikanpun merajalela di mana-mana. Kejaha-
tan yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Kerajaan
Iblis menimbulkan kematian di mana-mana.
Semua itu menimbulkan kemarahan di hati
tokoh persilatan baik golongan hitam terlebih-lebih
golongan putih. Tanpa membeda-bedakan golon-
gan dan aliran bahkan diantara mereka ada yang
bersatu padu melakukan penyerangan ke bukit
Neraka. Siang itu tiga sosok bayangan berkelebat
cepat mendaki bukit Neraka. Mereka ini terdiri dari
dua orang laki-laki berpakaian serba hijau, bersen-
jata clurit dan yang lainnya merupakan seorang
perempuan berbadan pendek ramping, di bagian
punggung menggelantung sebuah jala panjang
menjuntai ke tanah.
Di lihat sepintas lalu penampilan perem-
puan berpakaian hijau lumut ini sangat lucu seka-
li. Tubuhnya yang pendek sangat tidak sebanding
dengan senjata andalannya yang berupa jala yang
panjangnya lebih dari empat meter. Kalangan per-
silatan mengenalnya dengan julukan ‘Si Penjerat
Sukma’ dari kawah api abadi gunung Semeru. Se-
dangkan dua orang lainnya dikenal sebagai
'Sepasang Clurit Dewa' penguasa hutan belantara
Negeri Lama. Selama malang melintang di rimba
persilatan mereka ini disegani baik oleh kawan
maupun lawan karena kecepatannya dalam mem-
pergunakan senjata mautnya yang sewaktu-waktu
dapat berubah memanjang.
Demikianlah dengan gerakan sangat ringan
sekali mereka terus mendaki bukit Neraka. Namun
setelah sekian saat lamanya mereka menelusuri
bukit itu hingga hampir mencapai puncaknya. Me-
reka tidak juga menemukan Kerajaan Maha Diraja
Setan Bumi di sana. Akhirnya ketiga orang ini sal-
ing berpandangan sesamanya.
"Ternyata apa yang digembar-gemborkan
orang tentang Kerajaan Iblis ternyata hanya omong
kosong belaka. Terbukti kita tidak melihat apa-apa
di sini. Jangankan sebuah Kerajaan. Rumah seo-
rang gembelpun tidak terlihat...!" kata salah seo-
rang dari mereka dengan perasaan kecewa.
"Jangan terlalu tergesa-gesa mengambil ke-
simpulan, sobat Jayalaga...!" perempuan pendek
yang berjuluk 'Penjerat Sukma' menegur. "Musta-
hil begitu banyak kalangan persilatan yang tiada
pernah kembali itu hilang raib begitu saja. Jika di
sini memang tidak ada apa-apanya?"
"Hhh. Apanya yang mustahil! Walaupun
mereka memiliki kepandaian sehebat bapak
moyangnya iblis. Mana mungkin sebuah Kerajaan
dibangun tanpa terlihat keberadaan-nya...!"
"Tapi engkau pun tidak dapat memungkiri
bahwa keberadaan alam gaib itu memiliki kebena-
ran yang tidak dapat dibantah!"
"Ah, persetan dengan semua itu...!" dengus
Jayalaga tak mampu menutupi kekesalannya.
"Lalu sekarang apa yang harus kita laku-
kan?" tanya Jayasembara dengan sikap lebih lu-
nak bila dibandingkan dengan saudara sepergu-
ruannya itu.
"Kita telah menempuh perjalanan yang san-
gat jauh. Sebenarnya aku bukanlah manusia yang
begitu perduli dengan segala monyet persilatan.
Namun aku tidak menghendaki manusia iblis itu
merajalela dengan segala sepak terjangnya...!"
ucap si Penjerat Sukma.
"Tetapi kita tidak menemukan apa-apa di
sini...!" bantah Jayalaga. Laki-laki itu sekarang te-
lah membalikkan tubuhnya dan bersiap-siap me-
ninggalkan bukit Neraka.
"Tunggu, sobat Jayalaga! Aku tidak ingin
usaha ini sia-sia. Terlebih-lebih kita melakukan
semua ini demi ketenteraman kaum persilatan...!"
cegah si Penjerat Sukma.
"Apa yang hendak kita lakukan di sini, Ni-
ni...?" tanya Jayalaga urung.
"Kurasa Kerajaan Iblis dilindungi oleh keku-
atan gaib yang tidak mungkin dapat ditembus oleh
penglihatan biasa. Namun aku merasa begitu ya-
kin, hanya kegelapan sajalah yang mampu me-
nyingkapkan tabir misteri yang menyelimutinya...!"
"Kalau begitu kita harus menantikannya
sampai datangnya malam!" tebak Jayasembara
mulai memahami arah pembicaraan si Penjerat
Sukma.
"Tepat sekali. Kita memang harus menung-
gu datangnya malam. Sebab menurutku hanya ke-
gelapan sajalah yang mampu mengungkap tabir
yang menyelimuti Istana Iblis." jelas si Penjerat
Sukma.
Sepasang Clurit Maut saling berpandangan
sesamanya. Lalu secara hampir bersamaan mereka
menganggukkan kepala
***
TIGA
Waktu terus berlalu bagai berputarnya roda
pedati. Malampun telah menggantikan kedudukan
siang. Sekarang kegelapan merambah kaki langit.
Tidak terkecuali bukit Neraka yang senantiasa
menampilkan kesan angker. Walaupun begitu na-
mun tiga orang pendatang itu masih tetap berta-
han di tempat persembunyiannya. Tiada sepatah
katapun yang terucap, tiga pasang mata memu-
satkan perhatiannya ke segala arah. Tiba-tiba saja
si Penjerat Sukma membelalakkan matanya. Per-
hatiannya sekarang sepenuhnya tertuju pada satu
arah.
"Sungguh sangat sulit untuk dipercaya an-
dai aku tidak melihatnya dengan mata kepala sen-
diri...!" gumamnya penuh keterkejutan.
"Apa yang kau lihat, Nini...?" tanya Sepa-
sang Clurit Dewa hampir bersamaan.
"Lihatlah...!" kata si Penjerat Sukma me-
nunjuk ke satu arah.
"Haah...!" pekik Jayasembara. "Siang tadi
kita tidak melihat apa-apa di sini, terkecuali po-
hon-pohon besar menjulang tinggi. Tetapi seka-
rang sebuah singgasana yang sangat megah telah
berdiri di situ. Itukah yang disebut-sebut orang
sebagai singgasana milik Maha Diraja Setan Bu-
mi...?" tanya Jayalaga seolah pada dirinya sendiri.
"Kukira tidak salah lagi. Hemm... nampak-
nya istana itu sangat ramai sekali. Kita semua ti-
dak tahu secara pasti, apakah para pembantu Ma-
ha Diraja Setan Bumi merupakan bangsanya ma-
nusia biasa ataukah para siluman. Tapi...!"
"Beberapa orang bersenjata lengkap menda-
tangi tempat kita bersembunyi...!" potong Jayalaga.
"Ssst...! Tenang, barangkali mereka hanya
kebetulan saja mendatangi tempat ini. Kita tunggu
saja apa yang akan dilakukan oleh mereka..." ujar
si Penjerat Sukma sambil memberi isyarat pada
'Sepasang Clurit Dewa'.
Sementara beberapa orang yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan berpakaian pengawal Ke-
rajaan itu dengan sikap waspada terus melangkah
ke arah mereka. Kehadiran mereka yang terasa
ganjil ini tentu saja membuat si perempuan pen
dek dan Sepasang Clurit Dewa menjadi heran. Pe-
rempuan-perempuan diangkat menjadi prajurit ke-
rajaan. Seumur hidup baru kali ini mereka melihat
kejadian yang sangat ganjil ini. Namun rasanya
mereka tidak perlu mempersoalkan hal-hal seperti
itu lebih jauh lagi. Karena tidak lama setelah itu
terdengar suara bentakan dari seorang laki-laki
berpakaian serba hitam berbadan gemuk tinggi.
"Tiga ekor tikus busuk pencari penyakit.
Kuharap mau menunjukkan diri. Kehadiran kalian
telah kami ketahui sejak siang tadi...!" bentak laki-
laki itu dengan suara bergetar.
"Sial dangkalan. Kita, mereka bilang tikus
pencari penyakit. Benar-benar bangsanya memedi
yang perlu diajar adat...!" geram si Penjerat Suk-
ma. Sampai sejauh itu dia masih belum mengam-
bil tindakan apa-apa.
"Mengapa kita harus bertahan di sini. Kalau
mereka sudah mengetahui kehadiran kita. Bukan-
kah lebih baik kita gebuk saja begundalnya Kera-
jaan Iblis itu...!" kata Jayalaga merasa tidak sabar
lagi. "Betul. Kalau perlu sekaranglah saat yang te-
pat untuk menyerbu ke dalam istana itu...!"
"Kalau begitu baiklah...!" kata si Penjerat
Sukma. "Akupun merasa tidak enak jika kalian
menganggapku sebagai seorang pengecut...!"
Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama la-
gi, ketiga orang itu segera berlompatan dari tem-
patnya bersembunyi. Sekali mereka bergerak, ma-
ka posisi mereka sekarang telah mengurung para
pengawal yang jumlahnya lebih dari lima orang.
Namun para pengawal Kerajaan itu nam
paknya tenang-tenang saja. Seolah mereka tidak
merasa gentar melihat kehadiran para pendatang
yang tiada mereka kenal sama sekali. Bahkan sa-
lah seorang diantaranya yang bertindak sebagai
pimpinan, dengan sikap tenang langsung berucap.
Pelan namun mengancam.
"Telah begitu banyak orang-orang tiada gu-
na datang ke bukit Neraka ini tidak berumur pan-
jang. Mengherankan! Hari ini tiga ekor tikus yang
sudah bosan hidup masih juga ingin jual lagak di
wilayah singgasana Iblis...!"
"Kurang ajar! Berani sekali kau menghina si
Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tanpa
memandang sedikitpun juga...!" bentak Jayalaga
dengan wajah merah padam.
"Siapa yang mau perduli dengan segala ma-
cam setan persilatan. Tokh pada akhirnya kalian
juga akan menjadi santapan cacing tanah...!" tu-
kas si gemuk tinggi tidak kalah sengitnya.
"Sobat! Mengapa harus melayani prajurit-
prajurit iblis. Hajar...!" Jayalaga yang sudah tidak
dapat membendung emosinya menerjang lima
orang prajurit-prajurit Kerajaan Iblis, langsung
melancarkan serangan dahsyat dengan memper-
gunakan jurus-jurus tangan kosong. Menghadapi
kenyataan ini, prajurit-prajurit Kerajaan Iblis
nampaknya tidak ingin bertindak setengah-
setengah. Dengan cepat mereka mengayunkan
senjata mereka yang berupa tombak ke arah Jaya-
laga. Dua orang lainnya tidak tinggal diam. Den-
gan memandang remeh mereka menghadang se-
rangan-serangan prajurit Kerajaan Iblis secara
sembarangan. Tidak begitu lama merekapun di-
buat terkejut manakala tangan mereka membentur
senjata-senjata yang dihantamkan oleh prajurit-
prajurit itu. Bagaimana tidak, prajurit-prajurit Ke-
rajaan Iblis ternyata memiliki tenaga dalam yang
sangat tinggi. Hal ini benar-benar di luar perhitun-
gan mereka. Sekarang sadarlah tiga pendatang itu,
meskipun yang menjadi lawannya hanyalah seo-
rang prajurit biasa, namun pada dasarnya mereka
memiliki tenaga bagai siluman.
Sekarang dengan sikap bersungguh-
sungguh mereka membangun serangan kembali.
Bahkan kali ini merekapun mulai mengerahkan
jurus-jurus andalannya. Hasilnyapun segera ter-
bukti, karena dalam beberapa gebrakan kemudian
lima orang prajurit Kerajaan Iblis yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan mulai berjatuhan. Bah-
kan dua diantaranya langsung terjungkal roboh
tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
Sedangkan tiga orang pengawal lainnya segera
memberi tanda dengan sebuah suitan panjang.
Pertempuran terus berlangsung, sementara
itu begitu mendengar adanya isyarat bahaya. Maka
beberapa orang jago-jago istana berserabutan me-
nuju tempat terjadinya pertempuran.
"Munduuur...!" teriak salah seorang laki-laki
bertubuh tegap berwajah bengis serta buntung ba-
gian lengan kirinya. Serentak dengan terdengarnya
suara teriakan itu, maka tiga orang pengawal yang
sedang melakukan perlawanan segera melompat
mundur tiga langkah. Salah seorang diantara me-
reka memberi laporan pada laki-laki yang melaku
kan bentakan tadi.
"Lapor...! Tiga ekor tikus cecurut telah be-
rani menyatroni daerah kekuasaan Kerajaan Iblis.
Mereka telah membunuh dua orang prajurit. Bah-
kan jika tetua tidak segera datang, mungkin saja
kami telah menjadi pecundang...!"
"Hemm. Goblook... hiiih...!" laki-laki bertan-
gan buntung yang tidak lain Gending Sora adanya
kelihatan marah sekali. Lalu tanpa terduga-duga
langsung meninju wajah laki-laki yang memberi
laporan, hingga menyebabkan orang itu jatuh ter-
pelanting dengan wajah hancur dan jiwa melayang.
Baik si Penjerat Sukma maupun Sepasang Clurit
Maut kelihatan sangat terkejut sekali begitu meli-
hat kekejaman laki-laki bertangan buntung itu.
Yang membuat mereka heran, justru karena para
prajurit-prajurit lainnya tidak memperlihatkan wa-
jah ketakutan ataupun merasa jerih melihat segala
apa yang dilakukan oleh atasannya. Ataukah ka-
rena mereka telah terbiasa melihat kejadian-
kejadian seperti itu? Tiga orang pendatang itupun
tidak berani mengambil kesimpulan sampai sejauh
itu.
Sementara itu Gending Sora dengan sikap
angker sekarang nampak memperhatikan lawan-
lawannya.
"Berani mati kalian datang ke daerah keku-
asaan Maha Diraja Setan Bumi...!" bentaknya be-
rapi-api.
"Huh. Telah begitu banyak orang yang tiada
berdosa telah kalian culik. Bahkan akhirnya men-
jadi budak di sini...! Wajar saja kami tidak dapat
menutup mata melihat ulah bangsat iblis yang
menamakan dirinya sebagai Maha Diraja Setan
Bumi!" teriak si Penjerat Sukma tidak kalah sen-
gitnya.
"Huaa... ha... ha...! Kalian tidak mungkin
dapat bertemu dengan junjungan kami, terkecuali
kalian mampu mengalahkan aku...!" kata Gending
Sora dengan sikap angkuh.
"Puih. Bangsat! Jangankan hanya menga-
lahkan kau, membunuhmu sekalipun aku masih
sanggup...!" tukas si Penjerat Sukma tanpa dapat
menahan kesabarannya lagi.
"Tikus cacingan! Buktikanlah...!" Gending
Sora menutup kata-katanya dengan satu tendan-
gan telak mengarah pada bagian dada si perem-
puan bertubuh pendek. Sebagai orang yang sudah
berpengalaman dalam segala macam pertempuran.
Tentu saja tendangan kilat itu masih dapat dielak-
kan oleh si Penjerat Sukma. Bahkan sambil mem-
buang tubuhnya ke samping kiri, perempuan be-
rusia enam puluh tahun ini masih sempat han-
tamkan tinju kanannya mengarah bagian dada
Gending Sora. Laki-laki itu kelihatannya memang
tidak pernah mengira kalau lawannya dapat men-
gelakkan tendangan mautnya bahkan sempat pula
menghantamkan pukulan ke arahnya. Segera pula
menarik balik serangannya. Namun tetap saja tin-
ju yang dihantamkan oleh lawannya sempat me-
nyambar.
Buuuk!
Gending Sora mengumpat panjang pendek
saat tubuhnya hampir saja terjerembab ke tanah.
Dengan cepat ia segera memperbaiki kuda-
kudanya. Tetapi pada saat itu serangan lainnya te-
lah menderu ke arahnya. Hanya dengan mengan-
dalkan ilmu mengentengi tubuh yang sangat men-
gagumkan. Gending Sora dapat menghindari se-
rangan lawannya yang datang dari bagian samping
kiri dan kanan. Setelah berhasil membebaskan diri
dari kepungan lawan-lawannya. Tak pelak lagi ia
segera memberi aba-aba pada prajurit-prajurit Ke-
rajaan Iblis. Mendapat komando dari atasannya.
Maka tiada terbendung lagi mereka segera menca-
but berbagai jenis senjata yang mereka miliki. Da-
lam waktu yang singkat, pertarungan sengitpun
terjadi.
Menghadapi keroyokan sedemikian rupa da-
ri orang-orang yang dikendalikan iblis. Mau tak
mau dalam beberapa jurus selanjutnya mereka
mula nampak terdesak. Baik Sepasang Clurit De-
wa maupun si Penjerat Sukma kelihatan sangat
gusar sekali. Selama malang melintang di dunia
persilatan. Mereka merasa baru kali inilah melihat
betapa tangguhnya orang-orang yang melakukan
pengeroyokan itu. Meskipun mereka hanya memi-
liki kedudukan sebagai seorang prajurit belaka.
Bahkan sekarang mereka mulai merasa yakin
bahwa mungkin saja para prajurit yang melakukan
pengeroyokan itu telah dikendalikan oleh sebuah
kekuatan yang tidak terlihat.
Dalam keadaan terdesak dan mendapat te-
kanan dari segala penjuru. Tak ayal lagi mereka-
pun segera mencabut senjata andalannya masing-
masing. Dengan mempergunakan jala penjerat
sukma. Nenek bertubuh pendek kelihatan mulai
menjaring lawan-lawannya. Sedangkan Sepasang
Clurit Dewa nampak pula mengumbar kemara-
hannya dengan menebaskan senjatanya ke arah
prajurit-prajurit Kerajaan Iblis. Dalam waktu yang
sangat singkat korbanpun berjatuhan. Namun be-
gitu lawan-lawan mereka berhasil dibuat porak po-
randa. Entah dari mana datangnya, datang pula
berpuluh-puluh prajurit lainnya. Seakan-akan pa-
ra prajurit itu tidak ada habis-habisnya, mereka
kembali melakukan pengeroyokan terhadap para
pendatang yang sekarang kelihatan semakin ber-
tambah terdesak.
Yang membuat Sepasang Clurit Dewa dan si
Penjerat Sukma keheranan adalah setiap prajurit-
prajurit pertama berhasil di tumpas oleh mereka.
Maka kedatangan prajurit yang baru selalu memi-
liki kekuatan lebih hebat. Bahkan terasa sangat
sulit untuk dijatuhkan karena mereka ternyata ti-
dak dapat-dibunuh dengan begitu saja. Andaipun
mereka dapat dihancurkan. Namun setiap tubuh-
tubuh yang bergelimpangan itu dilompati oleh ka-
wan-kawannya. Dengan segera mereka bangkit
kembali. Bahkan serangan-serangan yang mereka
lancarkan malah berubah lebih dahsyat dan berin-
gas dari serangan mereka tingkat permulaan.
Jayalaga, Jayasembara maupun nenek Pen-
jerat Sukma merasa kehabisan akal untuk menga-
tasi lawan-lawannya yang ternyata sangat sulit se-
kali mereka tumpas.
"Mundur...!" teriak Gending Sora yang ber-
tindak sebagai pengendali dari semua prajurit yang
berada di sana. Serentak para prajurit-prajurit itu
berserabutan meninggalkan gelanggang pertempu-
ran. Tiga orang pendatang itu sekarang bergerak
menyatu dengan posisi berpunggung-punggungan.
Detik-detik selanjutnya suasana terasa hening
mencekam. Namun keheningan itu tidak berlang-
sung lama. Karena sesaat kemudian terdengar su-
ara tawa tergelak-gelak berasal dari bagian depan
istana.
"Kalian terlalu gegabah, orang-orang ma-
lang. Hanya ada dua pilihan bagi kalian mampus
atau menjadi para abdi Kerajaan Iblis...!" suara
yang dikerahkan dengan mempergunakan tenaga
dalam itu menggema di kegelapan malam. Bahkan
andai saja si Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit
Maut tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga da-
lamnya. Dapat dipastikan mereka sudah terjung-
kal sejak tadi. Dalam menghadapi situasi seperti
itu. Sebenarnya mereka merasa heran sekali kare-
na suara teriakan yang disertai tenaga dalam itu
tidak berpengaruh apa-apa bagi prajurit-prajurit
Kerajaan Iblis.
"Kami datang hanya dengan satu tujuan ib-
lis keparat! Yaitu ingin memenggal kepalamu yang
penuh dengan kelicikan itu...!" bentak si Penjerat
Sukma.
"Hemm. Begitu banyak orang yang meng-
hendaki kepalaku. Begitu berhargakah kepalaku
bagi kalian, orang-orang persilatan...?" gumam se-
buah suara yang tak lain suara Maha Diraja Setan
Bumi adanya.
"Sesungguhnya nyawamu tidak berharga
sama sekali. Tetapi karena sepak terjangmu yang
telah membuat sengsara seluruh rimba persilatan.
Itulah yang membuat kami harus membunuh-
mu...!"
"Ha... ha... ha...! Jangan sebut aku calon
penguasa jagad jika aku tidak mampu membunuh
semua penghalangku sekarang juga...!" kata Maha
Diraja Setan Bumi dengan suara menggeledak.
Selanjutnya tanpa berkata lagi. Masih di
depan istananya penguasa Kerajaan Iblis, Maha
Diraja Setan Bumi kepalkan kedua tangannya di
depan muka. Selanjutnya secara perlahan kedua
tangan yang terkepal itu ia dorongkan ke arah de-
pan. Dari tempatnya berdiri nampaknya tiga orang
pendatang ini menyadari adanya bahaya datang
mengancam. Maka dengan cepat mereka memutar
senjata masing-masing untuk membentuk sebuah
pertahanan yang sangat kokoh.
Dari bagian telapak tangan Maha Diraja Se-
tan Bumi menderu segelombang angin pukulan
yang menimbulkan hawa panas luar biasa. Den-
gan telak pukulan 'Iblis Perenggut Sukma' meng-
hantam pertahanan lawannya.
Dweerr... dweerr... blaaam!
Terdengar tiga ledakan yang sangat keras
ketika pukulan maut itu menghantam si Penjerat
Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tidak dihindari
lagi tubuh ketiga pendatang itu jatuh terpelanting
dengan menderita luka dalam yang cukup parah.
Bahkan mereka tidak mampu berbuat banyak ke-
tika para prajurit Kerajaan Iblis meringkus mere-
ka. Untuk kemudian memenjarakannya di bawah
tanah.
***
EMPAT
Bukit Neraka pagi itu berselimut kabut teb-
al. Sejauh-jauh mata memandang yang kelihatan
hanyalah kelebatan pohon cemara yang melambai-
lambai ditiup angin. Sesekali semilir angin sepoi-
sepoi terasa membelai kepala laki-laki bermata si-
pit yang tiada berambut barang sedikitpun juga.
Sesaat lamanya laki-laki asing berkepala botak itu
menajamkan penglihatannya pada satu arah. Dan
matanya yang sipit itu semakin bertambah menyi-
pit ketika ia melihat sesuatu yang sangat samar-
samar, jauh di atas bukit sana.
"Amitaba! Seumur hidup baru kali ini aku
melihat sebuah ilmu sakti yang dapat diperguna-
kan membentengi sebuah Kerajaan yang sedemi-
kian besarnya. Aku tidak tahu apakah orang-orang
yang telah membunuh saudara-saudara sepergu-
ruanku berada di sana. Hemm. Akupun masih be-
lum dapat memastikan apakah semua kekuatan
yang kumiliki mampu mengatasi mereka. Telah
begitu jauh aku melakukan perjalanan, baru di
daerah Jawa Dipa ini aku melihat berbagai ilmu
kesaktian yang beraneka ragam. Seharusnya aku
tidak perlu terlalu mengikuti nafsu angkara mur-
ka. Namun membalaskan kematian untuk saudara
segolongan dan sepaham. Rasanya hal itu merupakan sebuah kewajiban yang harus kulaksanan-
kan...!" gumam laki-laki berkepala botak itu den-
gan sesungging senyum tipis.
Kemudian tanpa berpikir panjang lagi, ma-
ka laki-laki asing yang tidak lain merupakan Biksu
Beng Lee adanya segera mengerahkan ilmu lari ce-
patnya mendekati bangunan istana yang berseli-
mut kabut tebal itu. (Untuk lebih jelasnya siapa
Biksu Beng Lee ini, terdapat dalam Episode Ger-
hana di Malam Jahanam). Tidak sampai sepema-
kan sirih. Laki-laki berkepala botak itupun telah
mendekati benteng Istana Iblis yang pada hake-
katnya tidak dapat ditembus oleh mata biasa ter-
kecuali mereka-mereka yang telah memiliki keah-
lian rohani yang tinggi.
Di luar benteng Istana Iblis keadaan terasa
sunyi sepi, namun pada bagian dalam benteng su-
ara hiruk pikuk terdengar di mana-mana. Tiba-
tiba laki-laki itu mendengar derap langkah kaki
menuju ke arahnya. Dengan cepat laki-laki berke-
pala gundul ini menyelinap di balik semak-semak
yang terletak tidak begitu jauh dari pinggir tembok
itu.
"Yang mulia Topi Terbang mengatakan ada
seekor keledai berkepala gundul telah berani me-
nyusup ke tembok istana. Betulkah itu...?" tiba-
tiba saja beberapa orang pengawal bersenjata
lengkap telah muncul di pinggir tembok istana.
Masih untung Biksu Beng Lee cepat-cepat bersem-
bunyi, jika tidak sudah tentu kehadirannya telah
diketahui oleh para prajurit-prajurit itu. Begitupun
ia sudah mulai dapat menduga. Bahwa orang yang
sedang diperbincangkan oleh para pengawal itu
tak lain pastilah dirinya. Mengingat betapa ketat-
nya penjagaan yang dilakukan di daerah Kerajaan
Iblis. Mau tak mau Biksu Beng Lee terpaksa meli-
pat gandakan kewaspadaannya. Bahkan sekarang
demi untuk menghindari segala sesuatu yang tidak
diingini, laki-laki itu kelihatan semakin mera-
patkan tubuhnya ke permukaan tanah.
"Aku yakin keledai gundul itu bersembunyi
di sekitar tempat ini...!" kata salah seorang pen-
gawal wanita. Bagian hidungnya kelihatan kem-
bang kempis, tak ubahnya seekor binatang pelacak
yang siap mencari jejak buruannya.
"Kalau begitu kita periksa seluruh tempat
ini...!" perintah salah seorang di antara mereka
berwibawa. Dengan cepat prajurit-prajurit itupun
menyebar. Rasanya Biksu Beng Lee tidak mungkin
berdiam diri selamanya menunggu sampai para
prajurit itu menemukan tempat persembunyian-
nya. Akhirnya tanpa menunggu lagi, Biksu Beng
Lee segera merogoh beberapa buah supit beruku-
ran tidak begitu panjang. Senjata rahasia sejenis
itu di dataran Tiongkok sana di kenal sebagai se-
buah senjata andalan yang dapat dipergunakan
sewaktu-waktu dalam keadaan terdesak ataupun
kepepet.
Dua tombak jarak para prajurit Kerajaan Ib-
lis dengan dirinya, Biksu Beng Lee langsung me-
nyambitkan beberapa batang supit yang telah siap
ditangannya.
"Jeeest...!" karena senjata rahasia itu dilem-
parkan dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki
oleh sang Biksu. Maka tidak heran jika senjata-
senjata maut itu pun melesat melebihi kecepatan
anak panah. Tiga orang pengawal langsung ter-
jengkang ketika senjata rahasia milik Biksu Beng
Lee menembus pangkal tenggorokan mereka. Bah-
kan para prajurit-prajurit itupun tidak mampu lagi
menjerit ataupun melolong. Namun yang membuat
Biksu Beng Lee terheran-heran adalah karena ti-
dak begitu lama setelahnya tubuh para prajurit
yang terkena serangan senjata rahasia itu telah
bergerak-gerak kembali. Bahkan kemudian bang-
kit pula seolah mereka bagai orang yang baru ter-
jaga dari sebuah mimpi buruk yang menyeramkan.
Sebagai seorang ahli rohani, laki-laki berke-
pala gundul itu nampaknya tidak perlu berlama-
lama untuk mengetahui sebab-sebab mengapa pa-
ra prajurit-prajurit itu dapat hidup kembali setelah
terkena serangan senjata rahasia miliknya. Kesim-
pulan laki-laki itu adalah karena mungkin saja
prajurit-prajurit itu telah digerakkan oleh seorang
tokoh sesat yang memiliki kesaktian tiada terukur
kehebatannya. Tanpa berpikir panjang sekali lagi
Biksu Beng Lee mencabut enam buah supit dari
balik jubahnya. Setelah menusukkannya di atas
tanah. Laki-laki itu kembali melontarkan tangan
kanannya ke segala arah.
Weeert...!
Dengan tepat senjata-senjata maut itu
menghantam tubuh prajurit di berbagai bagian.
Sekali ini terdengar jeritan tinggi menyayat mana-
kala senjata-senjata itu menembus bagian tubuh
mereka. Tak pelak lagi enam orang prajurit Kera
jaan Iblis yang terdiri dari laki-laki dan perempuan
tersungkur ke tanah dengan jiwa melayang. Di lain
pihak suara teriakan tadi sudah jelas mengundang
perhatian prajurit-prajurit lainnya. Tidak terkecua-
li mereka yang berada di dalam benteng istana.
Berpuluh-puluh orang kemudian berhamburan ke-
luar dari bagian pintu utama. Dalam waktu yang
sangat singkat tempat persembunyian Biksu Beng
Lee telah terkepung rapat dari segala penjuru.
"Cincang kaum persilatan yang berusaha
merongrong kewibawaan Maha Diraja...!" terdengar
suara riuh rendah memecah keheningan pagi.
"Kepada orang yang bersembunyi di dalam
semak-semak. Harap berani tunjukkan diri secara
ksatria...!" perintah seorang pemuda berpakaian
serba kuning. Melihat penampilannya tidak salah
lagi, dialah si Topi Terbang pembantu utama Maha
Diraja Setan Bumi bersama kekasihnya Asih An-
graeni. Biksu Beng Lee bukanlah jenis manusia
pengecut. Begitu mendengar perintah si pemuda
berpakaian serba kuning. Dengan cepat ia segera
melompat berdiri. Kemudian dengan tatapan pe-
nuh welas asih. Dipandanginya mereka yang bera-
da di tempat itu satu persatu.
"Ha... ha... ha...! Hanya seekor tikus gundul
seperti ini rupanya yang telah begitu berani me-
nyatroni Istana Iblis, lebih lancang lagi telah pula
membunuh beberapa orang prajurit Kerajaan. He-
bat! Sungguh hanya manusia yang sudah bosan
hidup saja yang begitu berani mencari urusan
dengan Maha Diraja Setan Bumi!" kata Sakapala
alias si Topi Terbang tanpa ekspresi.
"Amitaba!" Biksu Beng Lee rangkapkan ke-
dua tangannya persis di depan dada.
"Seorang anak manusia memiliki gelar yang
sedemikian menyeramkan. Heh... hanya manusia
yang paling sesat sajalah yang suka memakai gelar
itu...!"
"Puiih. Bicara muter-muter. Sebenarnya
apakah yang kau ingin orang asing sehingga begitu
berani datang ke daerah Bukit Neraka ini?" bentak
si Topi Terbang merasa tidak sabar lagi.
"Dunia ini memang penuh kepura-puraan.
Mata melihat tapi berpura-pura buta. Aku sengaja
datang dari sebuah negeri yang jauh ke daerah ini
hanya ingin menawarkan sebuah kebaikan. Tidak
disangka mereka telah merusak sebuah itikad baik
kami. Bahkan secara langsung aku berani menga-
takan bahwa kaulah orangnya yang telah begitu
tega membunuh adik seperguruanku, Beng Ju...
Amitaba... Sang Hyang Widi pasti mengutuk segala
perbuatanmu yang keji itu...!" ujar Biksu Beng Lee
dengan sikap tenang.
Merah padam wajah Sakapala demi men-
dengar apa yang dikatakan oleh Biksu Beng Lee.
Sama sekali ia tidak menyangka laki-laki berkepa-
la gundul itu mengetahui apa yang pernah ia la-
kukan terhadap Biksu Beng Ju. Namun sebagai
tokoh muda beraliran sesat ia tidak ingin semua
yang dilakukannya membawa akibat yang berke-
panjangan. Apalagi sekarang saudara seperguruan
dari orang yang telah dibunuhnya berada di wi-
layah kekuasaan Kerajaan Iblis. Baginya tidak ada
jalan lain terkecuali membunuh atau setidak
tidaknya meringkus pendeta asing itu dalam wak-
tu secepatnya.
"Keledai gundul. Kuakui baru kau seorang
yang mampu melihat singgasana iblis di siang ha-
ri. Bahkan aku merasa salut. Namun kau harus
ingat! Siapapun orang yang telah berani memasuki
wilayah kekuasaan kami. Tak seorang-pun dapat
kembali ke dunia ramai dengan selamat. Nah se-
karang bersiap-siaplah kau menghadapi serangan
kami berdua...!" setelah berkata begitu Sakapala
memberi isyarat pada Asih Angraeni. Tanpa berka-
ta apa-apa, gadis itupun akhirnya menerjang Bik-
su Beng Lee dengan jurus-jurus andalannya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat terjadilah
pertempuran sengit di tempat itu. Masing-masing
lawan saling melancarkan pukulan-pukulan
mautnya. Bahkan Asih Angraeni dengan penuh
nafsu berusaha menjatuhkan lawannya dengan
cara memperhebat serangan. Namun Biksu Beng
Lee, bukanlah seorang tokoh silat sembarangan.
Laki-laki berkepala gundul itu memiliki berbagai
pengalaman yang luas dalam setiap pertempuran.
Bahkan di negeri leluhurnya dia di kenal sebagai
Alap-Alap Putih yang telah begitu banyak meng-
hancurkan markas golongan hitam. Sekarang
menghadapi serangan lawan yang hanya memiliki
beberapa jenis jurus-jurus maut. Maka dalam
waktu yang singkat ia telah mengetahui kelema-
han permainan silat lawannya.
Setelah lima belas jurus ia hanya bertahan
menghindari serangan-serangan lawannya. Maka
sekarang ia malah berbalik merangsak Asih Angraeni dengan mempergunakan senjatanya yang
berupa tasbih. Hanya dalam beberapa gebrakan
saja, Asih Angraeni mulai jatuh di bawah angin.
"Hiaaat...!" Asih Angraeni terpaksa melom-
pat mundur tiga langkah saat tasbih di tangan
Biksu Beng Lee menderu ke arah bagian dadanya.
Gadis itu memutar pedangnya lebih sebat lagi. Pa-
da saat itu si Topi Terbang yang telah melihat be-
tapa kekasihnya tidak mampu mengatasi lawan-
nya segera membentak.
"Munduur...!" teriaknya sambil melompat
dan sekarang telah berhadapan dengan Biksu
Beng Lee. Laki-laki berkepala gundul itu rang-
kapkan kedua tangannya persis di depan dada.
"Amitaba! Mengapa tidak sejak tadi kau
menghadapiku, kisanak...!" kata Biksu Beng Lee
dengan tatapan teduh.
"Manusia keparat! Jangan merasa menang
dulu! Sebentar lagi kau segera dapat merasakan
betapa kepandaian yang kau miliki tidak ada ar-
tinya di depanku...!" bentaknya marah.
"Haeees...!" Sakapala tanpa membuang-
buang waktu lagi langsung menerjang pendeta as-
ing itu dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Pertempuran dua tokoh persilatan itu berlangsung
sengit dan seru. Beberapa kali baik pukulan mau-
pun tendangan kaki yang mereka lancarkan saling
menghantam bagian pertahanan mereka yang le-
mah. Bahkan tidak jarang si Topi Terbang harus
jatuh terguling-guling saat mana serangan Biksu
Beng Lee menghantam rusuk kirinya.
"Keparaaat...!" maki si Topi Terbang marah
bukan main. Selanjutnya pemuda ini merang-
kapkan kedua tangannya ke depan dada. Melihat
apa yang dilakukan oleh lawannya mengertilah
Biksu Beng Lee bahwa saat itu lawannya sedang
bersiap-siap melepaskan pukulan andalan. Laki-
laki ini tentu saja tidak tinggal diam. Dengan cepat
pula ia segera mengangkat kedua tangannya persis
di atas kepala. Dengan mempergunakan pukulan
'Naga Merah Memburu Burung Hong'. Pendeta dari
daratan Tiongkok itu segera menghantamkan tan-
gannya ke arah depan ketika pukulan yang dile-
paskan oleh Sakapala menderu keras ke arahnya.
"Bldeeer...!"
Satu ledakan keras terdengar saat mana
dua pukulan yang menimbulkan udara dingin dan
panas itu saling bertemu. Tubuh mereka sama-
sama terlempar tujuh batang tombak. Biksu Beng
Lee kelihatan tertatih-tatih sambil memegangi da-
danya yang terasa sesak dan sakit. Sementara da-
rah kental nampak meleleh dari sela-sela bibirnya.
Sebentar ia kelihatan berusaha mengerahkan ha-
wa murni untuk menghilangkan rasa sakit yang
mendera tubuhnya.
Di lain pihak Sakapala juga menerima aki-
bat yang tidak ringan. Namun laki-laki itu seda-
patnya berusaha menyembunyikan apa yang dira-
sakannya di depan para prajurit Kerajaan. Teru-
tama kepada kekasihnya. Sungguhpun begitu Bik-
su Beng Lee sebagai orang yang berpengalaman
dapat melihat bahwa lawannya juga mengalami
luka dalam yang serius.
"Orang asing! Sengaja aku tidak ingin men
gerahkan orang-orangku untuk menghadapimu.
Ha... ha... ha...! Sungguhpun begitu kau tetap ti-
dak punya kemungkinan untuk lolos dari kema-
tian...!" kata Sakapala dengan sesungging senyum
sinis. Sesaat kemudian pemuda itu telah mele-
paskan senjata andalannya yang berupa sebuah
tongkat baja bergerigi mirip gergaji. Laki-laki itu
kelihatan menimang-nimang senjata andalannya.
Sementara seluruh perhatiannya tertuju pada Bik-
su Beng Lee yang nampaknya tetap mengembang-
kan senyum kearipan kepada mereka yang hadir di
situ.
"Sekarang aku semakin bertambah yakin.
Kaulah orangnya yang telah membunuh saudara
seperguruanku, juga para pengikutku...!"
"Kalau memang benar kau bisa apa, orang
asing...?" ejek Sakapala mencemooh.
"Aku akan menunjukkan sebuah jalan lurus
kepadamu, shaaaa...!" teriak laki-laki berkepala
gundul itu, lalu menerjang Sakapala. Bekas murid
perguruan gunung Ungkur ini tertawa tergelak-
gelak. Tanpa menunggu lebih lama lagi Sakapala
segera menyambitkan senjatanya ke arah Biksu
Beng Lee. Terdengar suara menggaung dan me-
nimbulkan angin sangat kencang manakala senja-
ta maut itu melayang di udara. Biksu Beng Lee ti-
dak tinggal diam. Sambil mengebutkan tasbih di-
tangannya tubuh laki-laki itu melompat ke udara.
Celakanya senjata milik Sakapala terus memburu
kemanapun tubuhnya bergerak.
Traaang! Traaang!
Dua senjata saling beradu, karena masing
masing senjata itu dialiri tenaga dalam. Terlihat
bunga api berpijaran di udara ketika senjata itu
saling membentur. Anehnya senjata milik Sakapa-
la yang dapat dikendalikan dari jarak tertentu te-
rus memburu kemanapun lawannya berusaha
menghindar.
Biksu Beng Lee rasanya tidak mempunyai
pilihan lain lagi terkecuali segera mempergunakan
jurus 'Selaksa Budha Menipu Jarak'. Dengan cepat
laki-laki itu menghantamkan tangannya ke arah
depan. Selanjutnya kedua tangannya disilangkan
ke depan dada. Bibir laki-laki itu sekarang telah
berkomat-kamit. Akibatnya tentu saja membuat
mereka yang hadir di situ membelalakkan ma-
tanya. Bagaimana tidak. Sekarang tubuh Biksu
Beng Lee telah menjadi beberapa orang yang sama.
"Ilmu iblis...!" gumam Sakapala tanpa sadar.
Namun pemuda itu tetap menghantamkan senja-
tanya ke arah Beng Lee. Walaupun Sakapala tidak
dapat memastikan yang manakah ujud asli lawan-
nya dari lima orang sosok yang sama itu. Namun
ia berharap cepat atau lambat dia dapat menemu-
kan sosok asli pendeta itu.
"Ngiiing...!"
Angin kencang menderu keras mengikuti
berputarnya topi terbang milik Sakapala.
Wuees! Sreeess...!
Topi Terbang milik Sakapala berhasil meng-
gulung salah seorang dari ujud Beng Lee palsu.
"Keparat...!" maki Sakapala merasa terke-
coh.
Sekarang Biksu Beng Lee dan empat kem
barannya telah bergerak cepat mengurung Saka-
pala. Laki-laki itu tentu saja menjadi kelabakan.
Untung Asih Angraeni cepat datang membantu.
Begitupun dua pukulan yang telak datang berun-
tun menghantam dadanya.
Dess! Buuuk!
Tubuh Sakapala terpelanting roboh. Dari
mulutnya menggelogok darah kental. Wajahnya
pucat bagai kain kapan. Rasanya ia tidak mungkin
mampu menghindari serangan selanjutnya andai
saat itu tidak terdengar suara tawa yang serasa
bagai meruntuhkan lereng bukit. Sebaliknya Biksu
Beng Lee merasa terkejut sekali. Ia merasakan be-
tapa suara tawa yang disertai dengan pengerahan
tenaga dalam itu sangat mempengaruhi kosentra-
sinya. Sekarang sadarlah ia bahwa sebenarnya su-
ara tawa itu bertujuan menghancurkan kekuatan-
nya. Biksu Beng Lee segera menarik balik kekua-
tannya. Selanjutnya dengan mempergunakan ilmu
'Selubung Penglihatan'. Laki-laki itupun dengan
cepat meninggalkan tempat itu.
"Keparat! Keledai gundul itu telah merat da-
ri hadapan kita...!" teriak Sakapala merasa gusar.
"Dengan ilmunya itu. Dia bukanlah tandin-
ganmu, Topi Terbang...!" terdengar sebuah suara
serak mengumandang. Suara itu bagi mereka su-
dah tidak asing lagi.
"Dia dapat membahayakan Kerajaan Iblis,
yang mulia...!" ujar Sakapala khawatir.
"Orang itu tidak bisa berbuat banyak, sela-
ma aku berkuasa di sini. Nah sekarang kau harus
kembali ke dalam benteng bersama prajurit
prajurit itu...!" perintah Maha Diraja Setan Bumi
dengan suara bergetar. Akhirnya tanpa berani
membantah, Sakapala segera memerintahkan para
prajurit itu kembali ke dalam istana. Sementara ia
sendiri berikut kekasihnya mengiringi mereka dari
belakang.
***
LIMA
Gunung Ungkur tiga hari telah ditinggalkan
oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan ia harus pula
menitipkan Cempaka pada Pramesta serta Kurnia
Dewi di padepokan itu. Pada kenyataannya mereka
memang harus menunggu hasil penyelidikan
Buang Sengketa mengenai kekuatan yang dimiliki
oleh Kerajaan Iblis. Sekarang dengan penuh ke-
waspadaan pemuda berkuncir itu mulai mendaki
bukit Neraka yang menimbulkan kesan angker itu.
Hanya dengan mengerahkan kekuatan batinnya
saja pemuda itu dapat melihat keberadaan Kera-
jaan Iblis tidak jauh didepannya sana. Selebihnya
adalah kabut tipis yang senantiasa menyelimuti
Kerajaan itu.
Beberapa saat pemuda tampan keturunan
Raja Piton Utara dari Negeri Bunian itu menghen-
tikan langkahnya. Sekarang seluruh perhatiannya
tertuju pada sebuah tempat di atas bukit sana.
"Benar-benar hebat kekuatan yang dimiliki
oleh Maha Diraja Setan Bumi itu. Aku hampir merasa yakin pastilah usaha kaum persilatan untuk
menghancurkan tempat itu hanya merupakan se-
buah kesia-siaan belaka. Hanya orang yang memi-
liki kesaktian luar biasa saja yang mungkin mam-
pu menerobos Kerajaan itu...!" gumam Buang
Sengketa sambil geleng-gelengkan kepalanya.
Buang Sengketa kemudian kembali melangkah,
sementara panas mulai terasa menyengat. Hanya
sesekali saja angin kencang dari arah Utara ber-
hembus mengibarkan anak-anak rambut si pemu-
da.
"Rasanya aku tidak mungkin hanya berpu-
tar-putar saja di sini! Lama kelamaan mereka pasti
mengetahui kehadiranku...!" gumamnya lagi.
Buang Sengketa baru saja hendak mengerahkan
ilmu lari cepatnya. Ketika dari arah belakangnya
terdengar suara bentakan yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam.
"Berhenti...!"
Tanpa diperintah dua kali pemuda itu pun
menghentikan langkahnya. Dengan sikap enggan
iapun segera menoleh ke belakangnya. Lalu tam-
pak olehnya beberapa orang laki-laki bertampang
kasar berjalan cepat ke arahnya. Melihat penampi-
lan orang-orang itu tahulah Buang Sengketa bah-
wa orang-orang berpakaian serba cokelat itu tidak
lain merupakan para prajurit Kerajaan Iblis. Ketika
jarak mereka telah begitu dekat dengan Pendekar
Hina Kelana. Dengan senjata terhunus mereka se-
gera bergerak melakukan pengepungan. Buang
Sengketa hanya tersenyum saja begitu melihat ge-
lagat yang tidak baik ini. Apalagi ketika ia melihat
seorang laki-laki bertangan buntung yang pernah
ia kenal beberapa purnama yang telah lalu. (Dalam
episode Gerhana di Malam Jahanam).
"Selamat bertemu sobat lama! Hem... apa-
kah tanganmu yang buntung sekarang telah sem-
buh...?" ejek si pemuda berusaha memanas-
manasi laki-laki bertangan buntung yang tidak
lain Gending Sora adanya. Diejek sedemikian rupa,
terlebih-lebih di depan para prajurit-prajurit Kera-
jaan yang menjadi bawahannya. Gending Sora
kontan berubah parasnya. Walau bagaimanapun
ia masih mendendam pada pemuda yang telah
membuntungi sebelah tangannya. Apalagi seka-
rang ia merasa berada di dalam wilayahnya sendi-
ri. Betapapun hebatnya pemuda itu ia yakin dapat
dikalahkan oleh mereka.
"Kunyuk pembawa periuk nasi. Sadarkah
kau di mana saat ini kau bicara...?" bentak Gend-
ing Sora dengan tatapan tajam menusuk. Sekali
lagi Pendekar Hina Kelana hanya tersenyum tipis
mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Gend-
ing Sora.
"Hiaaa... ha... ha...ha...! Aku tidak perduli
apakah aku bicara dalam sarangnya iblis atau
bahkan di dalam rumahnya setan. Bagiku semua
sama saja. Yang jelas jauh-jauh aku datang kemari
hanyalah karena ingin bertemu dengan orang yang
bernama Maha Diraja Setan Bumi...!" kata pemuda
itu lantang.
"He... he... he...!" Gending Sora balas terta-
wa. "Jangan mimpi sobat! Tidak sembarang orang
boleh bertemu dengan orang yang kami hormati.
Terlebih-lebih kau telah membuat cacat tanganku.
Bagimu tiada waktu untuk bertemu dengan jun-
jungan kami. Kuperintahkan padamu untuk me-
nyerah...!" bentak Gending Sora berapi-api.
"Kalau kalian memang memiliki kemam-
puan. Lakukanlah...!" tukas si pemuda dengan si-
kap menantang.
"Keparaaat! Prajurit... cincang pemuda edan
itu beramai-ramai...!" Gending Sora yang sudah ti-
dak dapat membendung amarahnya langsung
memerintah puluhan prajurit yang melakukan
pengepungan atas diri Buang Sengketa.
"Serbuuu...!" teriak prajurit-prajurit itu se-
cara serentak. Tidak dapat dihindari lagi pertem-
puran sengitpun segera terjadi. Menghadapi ke-
royokan yang sedemikian banyaknya Buang Seng-
keta mempergunakan jurus silat tangan kosong
'Membendung Gelombang Menimba Samudra'. Tu-
buh pemuda itu bergerak lincah menghindari se-
tiap serangan senjata yang datangnya laksana air
bah itu. Di luar dugaan si pemuda ternyata praju-
rit-prajurit Kerajaan Iblis selain memiliki ilmu silat
lumayan juga memiliki tenaga bagai siluman. Me-
lihat kenyataan di luar dugaan ini, Pendekar Hina
Kelana untuk menghindari serangan beruntun
yang sangat membahayakan keselamatannya sege-
ra merobah jurus silatnya dengan jurus 'Si Gila
Mengamuk'. Sekarang tubuh pemuda itu berkele-
bat lenyap sehingga tinggal merupakan bayang-
bayang saja.
Para prajurit Kerajaan itu sudah tentu di-
buat kelabakan menghadapi gerakan si pemuda
yang sangat cepat sekali. Bahkan beberapa detik
kemudian Buang Sengketa telah pula berhasil me-
nyarangkan beberapa pukulannya dengan telak.
Buuk! Bruaagkh...!
"Argkh...!"
Terdengar suara lolongan menyayat mana-
kala beberapa orang prajurit itu terpelanting roboh
dengan jiwa melayang. Bahkan pemuda itu tidak
berhenti sampai di situ saja. Bagai seekor banteng
terluka ia terus menjatuhkan prajurit-prajurit Ke-
rajaan Iblis. Melihat kenyataan ini Gending Sora
kelihatan sangat marah sekali. Bahkan laki-laki
bertangan buntung ini sekarang telah bersiap-siap
untuk melakukan serangan dahsyat ke arah lawan
yang pernah membuat buntung tangannya. Na-
mun pada saat itu secara samar-samar terdengar
siulan panjang namun terasa menusuk gendang-
gendang telinga Buang Sengketa. Pemuda keturu-
nan Raja Piton Utara dari Negeri Alam Gaib ini sa-
dar betapa suara itu dikerahkan melalui ilmu te-
naga dalam yang sangat sempurna sekali. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maka
dengan cepat iapun segera pula mengerahkan te-
naga dalam untuk menutup indera pendengaran-
nya.
Tetapi saat Buang Sengketa membuka ma-
tanya kembali, betapa ia menjadi terkejut ketika
melihat para prajurit Kerajaan yang telah dibu-
nuhnya tadi sekarang telah bangkit kembali. Bah-
kan mereka dengan sikap beringas telah bersiap-
siap menyerang si pemuda. Sementara itu dari
arah pintu gerbang Istana Iblis. Lebih dari delapan
puluh orang prajurit lainnya telah datang pula
memberi bantuan. Diam-diam pemuda itu menge-
luh dalam hati. Tetapi ia merasa tidak punya pili-
han lain, terkecuali menghadapi mereka dengan
segenap kemampuan yang dimilikinya.
"Sebentar lagi kau akan segera mampus,
manusia tolol...!" kata Gending Sora mengurung-
kan niatnya untuk menyerang lawannya.
Sebaliknya sekarang ia berdiri tegak dengan
sikap menonton. Buang Sengketa sedikitpun tiada
menyahuti kata-kata yang diucapkan oleh Gending
Sora. Karena sesaat kemudian ia telah sibuk me-
layani para prajurit Kerajaan Iblis yang nyata-
nyata telah dikendalikan oleh Maha Diraja Setan
Bumi.
"Ciaaat...!" dengan mempergunakan gerakan
udang melentik sekarang tubuh pemuda itu telah
melesat ke udara. Dalam menghadapi keroyokan
yang sedemikian banyaknya Buang Sengketa ra-
sanya tidak punya pilihan lain lagi terkecuali sege-
ra melepaskan pukulan "Empat Anasir Kehidu-
pan". Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali
pemuda itu menjejakkan kakinya menjauhi per-
tempuran. Dengan cepat kedua tangannya dia
angkat di atas kepala. Sesaat tubuh Buang Seng-
keta nampak bergetar hebat. Sementara kedua
tangannya yang telah merangkap menjadi satu,
nampak mengepulkan kabut tipis. Bahkan tangan
itu sekarang telah pula berobah putih menyilau-
kan mata. Pada saat itu para prajurit Kerajaan
nampaknya sudah tidak menghiraukan adanya
bahaya yang mengancam jiwa mereka. Bahkan
orang-orang itu dengan nekad meluruk ke arah si
pemuda.
"Hiaaaa...! Wuuuus...!" Buang Sengketa
hantamkan kedua tangannya ke segenap penjuru
mata angin.
"Awaaas...!" teriak Gending Sora berusaha
memberi peringatan pada seluruh bawahannya.
Namun peringatan Gending Sora terlambat sama
sekali. Karena pada saat itu selarik gelombang si-
nar Ultra Violet yang menimbulkan udara panas
luar biasa telah melesat laksana kilat ke arah pra-
jurit-prajurit yang datang menyerang Pendekar Hi-
na Kelana.
Blaaamm...!
Terdengar beberapa kali ledakan berturut-
turut. Lebih dari lima belas orang prajurit terpe-
lanting roboh dengan tubuh hangus terbakar. Se-
bentar kemudian bau daging terbakarpun telah
menebar memenuhi daerah sekitarnya. Kenyataan
ini benar-benar membuat Gending Sora terperan-
jat bagai melihat hantu di siang bolong. Sementara
puluhan prajurit lainnya demi melihat kematian
kawan-kawannya, kelihatan semakin beringas.
Mereka terus memburu Buang Sengketa kemana-
pun pemuda itu berusaha menghindar. Berbagai
jenis senjata menghujani Pendekar Hina Kelana.
Bahkan beberapa diantaranya sempat melukai tu-
buh pemuda itu. Kini darah mulai kelihatan me-
rembas membasahi bagian punggung Buang
Sengketa. Tubuh pemuda ini kelihatan terhuyung-
huyung, bibir menyeringai menahan sakit. Dalam
situasi tidak menguntungkan itu, di luar sepenge
tahuan Buang. Gending Sora menerjang dari arah
belakangnya. Masih untung pemuda itu dapat me-
rasakan adanya sambaran angin kencang pada
bagian punggungnya, sehingga ia masih sempat
berkelit menghindar. Begitupun tendangan kilat
yang dilakukan oleh Gending Sora berhasil meng-
hantam bagian punggung kirinya.
"Buuuk!"
Keras sekali tubuh pendekar Golok Bun-
tung ini terbanting. Bagian dadanya bahkan
menghantam sebatang pohon. Pohon itupun han-
cur berantakan tertimpa tubuh si pemuda.
"Hoeeek...!" darah meleleh dari sela-sela bi-
bir si pemuda. Perut terasa mual bagai diaduk-
aduk. Sementara itu kepalanya terasa sakit berde-
nyut-denyut. Buang Sengketa berusaha mengge-
lengkan kepalanya berulang-ulang, barulah pera-
saan sakit itu agak berkurang. Namun belum
sempat lagi dia bangkit berdiri puluhan prajurit
lainnya telah pula memburunya kembali. Dengan
nafas masih belum teratur pemuda itu berguling-
guling menghindari tebasan senjata yang dilaku-
kan oleh prajurit-prajurit yang sedang kalap. Ku-
rang ajar! Mereka tidak ubahnya bagai setan pem-
bunuh yang haus darah. Batinnya merasa kesal
sekali. Dengan cepat Pendekar Hina Kelana men-
gerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tu-
buhnya dari ancaman hujan senjata yang tidak
terhitung banyaknya.
"Aaaa... heiiiigkh...!" dalam keadaan terde-
sak sedemikian rupa. Buang Sengketa mengelua-
rkan teriakan tinggi melengking. Tidak salah lagi
itulah suara lengkingan ilmu Pemenggal Roh yang
sangat dahsyat itu. Akibat yang ditimbulkannya
pun sangat menggiriskan. Bukit Neraka bagai di-
gundang selaksa gempa, daun-daun pepohonan
yang berada di sekitar daerah pertempuran lang-
sung berguguran. Sementara puluhan prajurit
yang mengeroyoknya berpelantingan roboh. Darah
mengalir dari bagian telinga dan hidung mereka.
Beberapa orang yang masih dapat bertahan hidup
kelihatan mulai bertingkah aneh. Agaknya urat sa-
raf mereka rusak berat akibat pengaruh lengkin-
gan ilmu Pemenggal Roh itu.
Di lain pihak Gending Sora yang tiada me-
nyangka bahwa pemuda itu memiliki ilmu aneh
yang sangat langka kelihatan tertatih-tatih dan be-
rusaha berdiri sebagai mana sediakala. Laki-laki
bertangan buntung itu agaknya merasa masih be-
runtung karena memiliki tenaga dalam yang tinggi.
Begitupun ia mulai merasa jerih berhadapan den-
gan Pendekar Hina Kelana.
Buang Sengketa sekarang kelihatan duduk
bersila, sepasang matanya nampak terpejam. Saat
itu ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk me-
nyembuhkan luka-luka yang dideritanya akibat
tendangan Gending Sora. Hanya dalam waktu
yang sangat singkat wajah Buang Sengketa yang
tadinya nampak pucat, sekarang telah berubah
kemerah-merahan.
Sementara itu dari arah Istana Iblis kembali
terdengar suara siulan yang tiada teratur. Suara
itu sekarang telah diketahui oleh Buang Sengketa
sebagai pembangkit orang-orang yang telah mati.
Pada kenyataannya, seiring dengan suara siulan
yang tiada berketentuan itu mayat-mayat berge-
limpangan nampak bergerak-gerak. Bahkan tidak
lama kemudian telah bangkit kembali. Tetapi
anehnya sekarang mayat-mayat itu saling serang
sesamanya. Hal ini di luar dugaan Gending Sora.
Lain halnya dengan Buang Sengketa yang sudah
mengerti mengapa mayat-mayat yang sudah tidak
karuan ujudnya itu saling serang sesamanya. Hal
ini tidak dapat dipungkiri karena bagian otak pra-
jurit-prajurit yang sebenarnya sudah mati itu
mengalami kerusakan akibat pengaruh lengkingan
ilmu Pemenggal Roh.
Sekarang Pendekar Hina Kelana malah ter-
gelak-gelak melihat semua kejadian yang berlang-
sung di depan matanya.
"Gending Sora! Cepatlah kau kabarkan pa-
da si Raja Iblis, bahwa siulan pembangkit mayat
yang dibangga-banggakannya sudah tidak dapat
dia gunakan sebagaimana mestinya...!" perintah
pemuda itu kemudian menoleh ke arah Gelding
Sora. Namun pemuda berwajah tampan ini terpak-
sa garuk-garuk kepalanya ketika melihat Gending
Sora sudah tidak berada di tempat itu. Kurang
ajar. Dia sengaja merat untuk meminta bala ban-
tuan. Tetapi akupun tidak perlu berlama-lama di
sini. Aku harus mencari cara terbaik dalam men-
gatasi seluruh penghuni Kerajaan Iblis itu. Batin-
nya. Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi pendekar
Golok Buntung segera berkelebat pergi.
Sementara itu di dalam ruangan singgasa-
nanya. Maha Diraja Setan Bumi, Si Topi Terbang,
Gending Sora serta Kanjeng Guru kelihatan se-
dang berkumpul di sana. Melihat mimik wajah me-
reka nampak jelas kalau orang-orang Kerajaan Ib-
lis itu sedang membicarakan masalah yang sangat
serius.
"Aku sangat heran sekali mengapa orang-
orang yang telah kubangkitkan kembali dengan
meminjam kekuatan iblis. Bertingkah polah seperti
itu...!" terdengar suara Maha Diraja Setan Bumi
memecah keheningan malam.
"Kita semua tidak perlu merasa heran, mu-
ridku. Siulan Pembangkit Mayat yang kau miliki
selamanya tidak akan memiliki arti jika ilmu itu
kau pergunakan untuk menghadapi pemuda aneh
itu...!" tiba-tiba Kanjeng Guru membuka suara.
Padahal selama ini laki-laki yang datang dan pergi
begitu saja tersebut dikenal sebagai orang yang
sangat jarang sekali bicara. Semua orang yang be-
rada di dalam ruangan itu terperangah begitu
mendengar keterangan Kanjeng Guru. Walau ba-
gaimanapun mereka harus mengakui bahwa laki-
laki berusia sembilan puluh tahun itu tahu banyak
tentang segala sesuatu yang dimiliki oleh orang
lain.
"Sebenarnya siapakah pemuda berpenampi-
lan aneh itu, Kanjeng Guru...?" Maha Diraja Setan
Bumi merasa penasaran sekali.
"Satu purnama yang telah lalu. Yaitu dua
hari sebelum aku membentengi istana ini dengan
'Kabut Kegelapan'. Aku melihat tanda-tanda orang
ini akan hadir di tempat kita. Justru yang sangat
mengherankan pemuda itu terus membayang
bayangi semediku. Setelah kuselidiki, barulah aku
tahu bahwa ia masih merupakan titisan seorang
Raja di Negeri Alam Gaib sana. Dialah Pendekar
Hina Kelana yang memiliki kesaktian tidak teru-
kur...!" Kanjeng Guru berkata lambat-lambat.
Seluruh ruangan mendadak berubah hen-
ing. Semua orang yang berada di dalam ruangan
utama tenggelam dalam pikirannya masing-
masing. Di lain pihak, Maha Diraja Setan Bumi
merasa yakin bahwa pemuda berperiuk itulah
yang selalu datang dalam mimpinya dengan
membawa ancaman. Sekarang dia merasa me-
nyesal sendiri, mengapa waktu pemuda itu ben-
trok dengan para prajuritnya ia tidak cepat-cepat
mengambil tindakan?
"Kanjeng. Apakah tidak ada jalan lain dalam
menghadapi pemuda itu...?" tanya Maha Diraja Se-
tan Bumi dengan alis berkerut.
"Pemuda itu memiliki berbagai kesaktian
dan juga senjata yang sangat hebat. Aku telah be-
rusaha melihat tenaga batinku tentang kelemahan
dari seluruh kesaktian yang dimilikinya. Tetapi
yang terlihat olehku justru seekor ular Piton ber-
mahkota yang sangat besar luar biasa...!" jelas
Kanjeng Guru dengan wajah sedikit pucat.
"Maksudmu...!"
"Pemuda itu ternyata titisan Raja Negeri
Bunian. Sedangkan ular bermahkota itu mungkin
saja orang tuanya. Atau paling tidak merupakan
orang yang terdekat dengan pemuda itu...!" kata
Kanjeng Guru berusaha menarik kesimpulan.
"Lalu mengapa justru ular itu yang muncul
ketika kau berusaha mencari titik kelemahan pe-
muda itu...?" tanya penguasa Kerajaan Iblis kehe-
ranan.
Kanjeng Guru kerutkan alisnya. Lalu ia ke-
lihatan menarik nafasnya dalam-dalam. Sebentar
kemudian ia telah melanjutkan kembali, "Boleh ja-
di ular raksasa itu merupakan pelindungnya yang
sewaktu-waktu dapat mencelakakan kita...!"
"Mustahil. Aku tidak percaya pemuda itu ti-
dak memiliki kelemahan...!" teriak Maha Diraja Se-
tan Bumi tanpa sadar.
"Maaf muridku, semua apa yang kukatakan
itu hanyalah bersifat dugaan saja." jelas Kanjeng
Guru.
"Baiklah, tapi aku tidak dapat tinggal diam."
ujar laki-laki itu, sebentar ia memandang pada si
Topi Terbang dan Gending Sora. Kepada orang-
orang ini Maha Diraja Setan Bumi memberi perin-
tah, "Kalian bertiga cari pemuda itu. Jika kalian
bertemu dengannya jangan beri kesempatan hi-
dup...!"
Si Topi Terbang, Asih Angraeni dan Gending
Sora tanpa berkata-kata lagi bergegas pergi.
***
6l
ENAM
Pemuda itu baru saja meninggalkan sebuah
kecil di pinggiran lembah Ampar ketika pandangan
matanya yang setajam mata elang itu melihat ber
kelebatnya sesosok tubuh berpakaian serba putih
tidak begitu jauh di depannya. Tanpa membuang
waktu lagi pemuda itu bergerak melakukan penge-
jaran.
"Berhenti...!" perintah Buang Sengketa keti-
ka jarak diantara mereka sudah semakin bertam-
bah dekat. Namun orang yang dikejarnya terus sa-
ja berlari cepat tanpa menghiraukan pemuda itu
sama sekali. Dengan perasaan kesal Buang Seng-
keta terus melakukan pengejaran. Setelah menge-
rahkan ajian Sepi Angin, tak lama kemudian laki-
laki berpakaian serba putih itupun telah terkejar.
Bahkan sekarang Buang Sengketa telah mengha-
dang jalan yang akan dilalui oleh orang itu. Seka-
rang keduanya kelihatan sama-sama terkejut begi-
tu mereka telah saling berhadap-hadapan.
"Kau... kau...! Bukankah kita pernah berte-
mu beberapa waktu yang lalu?" ucap Buang Seng-
keta merasa heran.
"Ya...! Bahkan anda sempat bentrok dengan
adik seperguruanku...!" jawab laki-laki berpakaian
serba putih yang tidak lain Biksu Beng Lee
adanya.
"Ah... maafkanlah aku. Ketika itu diantara
kita hanya terjadi kesalahpahaman saja. Tapi bo-
lehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan...?"
Laki-laki dari daratan Tiongkok itu hanya
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pe-
lan. Melihat penampilan laki-laki berkepala gundul
itu, Pendekar Hina Kelana secara sepintas sudah
dapat menduga. Bahwa sebenarnya orang yang di-
hadapinya kali ini merupakan seorang tokoh asing
berbudi luhur.
"Sebenarnya apakah yang menjadi tujuan
anda sehingga berada di Jawa Dwipa ini?" tanya
pemuda itu tanpa ragu-ragu lagi. Sebaliknya tanpa
menaruh perasaan curiga Biksu Beng Lee lang-
sung menjawab.
"Aku hanya seorang pendeta yang sengaja
datang dari negeri yang jauh sana untuk menun-
jukkan jalan yang lurus bagi siapa saja yang mau
menerimanya, tanpa ada paksaan sedikitpun juga.
Tetapi di luar dugaan orang-orang penunjuk jalan
Tuhan itu bahkan adik seperguruanku telah dibu-
nuh oleh sekelompok manusia keji yang menama-
kan dirinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi.
Amiitaba... sungguh aku ingin menyelamatkan se-
kian banyak penduduk yang tidak berdosa itu.
Namun sangat disayangkan aku merasa tidak
mampu menghadapi mereka...!"
Mendengar disebut-sebutnya Maha Diraja
Setan Bumi, Pendekar Hina Kelana tersentak ka-
get.
"Jadi apakah anda pernah bentrok dengan
orang itu...?" desak Buang Sengketa dalam ketidak
mengertiannya.
"Belum lama ini aku pernah menyelidiki
bukit Neraka. Dan apa yang kudapatkan di sana
sungguh membuat aku benar-benar terkejut seka-
li. Aku merasa heran di daerah Jawa Dipa ini ada
seorang manusia yang memiliki ilmu sedemikian
hebatnya...!" kata Biksu Beng Lee terheran-heran.
"Apakah anda melihat para prajurit Kera-
jaan iblis yang dapat mereka bangkitkan setelah
mereka terkapar mati...!"
"Maaf kisanak...! Panggil saja aku, Beng
Lee...!" potong laki-laki bermata sipit itu sambil
tersenyum ramah.
"Ah ya...! Saudara Beng Lee... apakah me-
nurut anda tiada cara lain lagi untuk menghan-
curkan mereka...?" tanya Buang Sengketa dengan
mimik serius.
Penuh kearifan Biksu Beng Lee tersenyum-
senyum.
"Sesungguhnya menurut mata hatiku.
Orang yang mampu menghancurkan mereka ha-
nyalah orang yang memiliki darah campuran.
Maksudku gabungan antara siluman dengan ma-
nusia biasa. Sayangnya... mungkin di kolong langit
ini sangat langka orang yang memiliki ciri-ciri se-
perti yang kusebutkan itu...!" jawab Biksu Beng
Lee seolah menyesali diri. Pendekar Hina Kelana
nampak terdiam agak lama sekali. Ia hanya mam-
pu menduga-duga tentang kebenaran yang di-
ucapkan oleh laki-laki itu. Namun sejak perte-
muannya pertama dulu (Dalam Episode Gerhana
Di Malam Jahanam). Laki-laki asing itu rasanya
memiliki watak yang jujur.
"Saudara Beng Lee! Seandainya ada orang
yang memiliki ciri-ciri seperti yang anda sebutkan
itu. Benarkah orang itu dapat menghancurkan ke-
saktian yang dimiliki oleh manusia iblis itu?"
"Begitulah menurut petunjuk Sang Hyang
Widi yang sampai kepadaku lewat wangsit" ucap-
nya bersemangat.
"Hemmm. Kalau begitu aku akan kembali
lagi untuk menghancurkan mereka...!" kata Pen-
dekar Hina Kelana pasti.
Sekarang laki-laki asing itulah yang dibuat
terkejut. Bagaimana mungkin ia begitu berani
mengambil tindakan nekad. Sedangkan melihat
penampilan pemuda itu kelihatannya biasa-biasa
saja. Batin Biksu Beng Lee sambil memandang tak
percaya.
"Sobat kuperingatkan padamu, jika kau me-
rasa tidak memiliki ciri-ciri seperti yang kuse-
butkan tadi. Alangkah lebih baik jangan teruskan
niatmu. Aku hampir merasa yakin jika kau me-
langgar peringatanku, mungkin saja kau akan
mendapat celaka...!" lagi-lagi Biksu Beng Lee den-
gan sikapnya yang arif memberi peringatan.
Namun sebelum pendekar keturunan Raja-
nya para siluman itu sempat berkata lebih lanjut.
Dari sebuah tempat yang agak jauh terdengar sua-
ra tawa yang disertai dengan ucapan-ucapan yang
menyakitkan.
"Benar sekali apa yang dikatakan oleh kele-
dai gundul itu, pemuda gembel. Lebih baik kau ti-
dak usah datang ke bukit Neraka. Kalau kau tetap
keras kepala juga, kami minta agar kau mau me-
mikirkannya masak-masak. Jika tidak, kau pasti
tidak mungkin pernah kembali ke dunia ramai un-
tuk selama-lamanya...!" dengan terhentinya kata-
kata yang diucapkan melalui pengerahan tenaga
dalam itu. Maka beberapa saat setelahnya tiga so-
sok tubuh yang terdiri dari dua orang laki-laki dan
seorang perempuan telah pula menjejakkan ka-
kinya tidak jauh dari tempat Buang Sengketa dan
pendeta Budha itu berdiri. Hanya dengan sekali
pandang saja, Buang Sengketa sudah dapat men-
genali salah seorang dari tiga orang pendatang itu.
Sedangkan Biksu Beng Lee yang pernah berhada-
pan dengan tiga orang pendatang itu nampak
mengerutkan alisnya.
"Saudara... inilah orang-orang yang telah
menjadi kaki tangan Raja Iblis itu. Bahkan aku
pernah bentrok dengan mereka...!" kata laki-laki
dari dataran Tiongkok itu sambil memperhatikan
lawan-lawannya. Sementara Buang Sengketa sen-
diri sejak dari tadi perhatiannya terus tertuju pada
tiga orang pendatang itu. Hingga pada akhirnya
terdengar suaranya yang begitu dingin dan menye-
ramkan.
"Bicaramu setinggi langit, keparat bertangan
buntung. Engkau sendiri pernah melihat aku per-
nah datang ke bukit Neraka. Namun kenyataannya
hingga sampai hari ini aku masih dapat bernafas.
Dan kau...!" Buang Sengketa menudingkan telun-
juknya ke arah si Topi Terbang dan Asih Angraeni.
"Kalian pastilah murid murtad yang berjuluk si
Topi Terbang dan Asih Angraeni yang telah begitu
lancang membebaskan manusia budak iblis itu...!"
Mendapat penghinaan sedemikian rupa, wa-
jah sepasang kekasih itu langsung berobah merah
padam. Sampai sejauh itu keduanya hanya dapat
menduga-duga pastilah pemuda yang telah mema-
ki mereka itu pernah datang ke Gunung Ungkur.
Atau setidak-tidaknya pernah bertemu dengan
Pramesta. Segalanya sudah kepalang tanggung,
karena ternyata pemuda berpakaian serba merah
ini mengetahui segala-galanya.
"Manusia pembawa periuk! Kudengar gem-
bel sepertimulah yang berjuluk Pendekar Hina Ke-
lana itu. Banyak sekali kalangan persilatan yang
merasa gentar begitu mendengar julukanmu. Huh,
tapi terhadap kami jangan sekali-kali kau bermim-
pi. Ketahuilah hari ini si Topi Terbang akan meng-
hapus keturunan Raja Siluman dari kolong langit
ini...!" bentak Sakapala alias si Topi Terbang den-
gan suara berapi-api.
Biksu Beng Lee spontanitas menoleh pada
Buang Sengketa ketika si Topi Terbang menyebut-
nyebut siapa sebenarnya pemuda yang berada di
sampingnya itu. Namun ia tidak berkata apa-apa.
Apalagi saat itu Buang Sengketa dengan wajah
merah padam nampak menggelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Sobat janganlah terlalu takabur engkau bi-
cara. Bisa-bisa nyawamu sendiri tidak dapat kau
selamatkan...!" teriak pendekar dari Negeri Bunian.
"Hiaaaat...!" dengan disertai jeritan tinggi
melengking tubuh pemuda itu melesat ke udara.
Diterjangnya Sakapala dengan jurus-jurus silat
tangan kosong yang tidak perlu lagi diragukan ke-
hebatannya. Sakapala yang telah mendengar ke-
hebatan yang dimiliki oleh Buang Sengketa tidak
ingin bertindak setengah-setengah. Dengan mem-
pergunakan jurus Membelah Bayang-Bayang, si
Topi Terbang segera berkelebat menghindar.
"Daripada hanya menjadi penonton. Se-
baiknya kita gempur paderi gundul ini Ni Asih An-
graeni...!" kata Gending Sora sambil menerjang
Biksu Beng Lee.
"Kalianpun memang manusia yang perlu di-
lenyapkan dari permukaan bumi ini...!" balas laki-
laki dari daratan Tiongkok itu lalu memapaki se-
rangan yang dilakukan oleh Gending Sora dan
Asih Angraeni.
Sementara itu pertempuran antara Buang
Sengketa dengan si Topi Terbang telah mencapai
lima belas jurus. Masing-masing lawan mulai pula
mengerahkan jurus-jurus andalannya. Bahkan
sampai detik itu Pendekar Hina Kelana telah pula
mempergunakan jurus si Gila Mengamuk dan ju-
rus si Jadah Terbuang. Menghadapi serangan-
serangan yang sangat gencar itu. Mau tak mau
pemuda itu segera mencabut senjata andalannya
yang berupa Topi Terbang.
Hanya beberapa saat setelah itu, senjata
maut itupun mulai mengincar pertahanan lawan-
nya. Hanya dengan mengandalkan ilmu mengen-
tengi tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna
saja Buang Sengketa beberapa kali dapat meng-
hindari serangan-serangan senjata bergerigi itu.
Namun dengan cara menghindar seperti itu secara
praktis Pendekar Hina Kelana tidak dapat mem-
pergunakan jurus-jurus silat tangan kosongnya.
Siiing...!
"Hiaaat...!" sekali lagi tubuh Buang Sengke-
ta melesat ke udara saat mana senjata di tangan
Sakapala menerjang ke arah bagian kakinya. Ka-
rena serangan itu datangnya beruntun dan sulit
diduga-duga. Semakin lama pemuda itupun men-
jadi marah juga. Serta merta ia melompat menjauhi pertempuran. Di saat lain kedua tangannya te-
lah terangkap di depan dada. Beberapa detik sete-
lahnya tubuh pemuda itupun nampak bergetar
hebat. Sementara kedua tangannya telah menge-
pulkan kabut tipis. Melihat gelagat yang tidak baik
ini. Karuan saja Sakapala kembali menghantam-
kan Topi Baja bergerigi yang berada dalam geng-
gaman tangannya.
Singgg...!
"Hiaaat... Wuuuus...!"
Begitu Buang Sengketa melontarkan tan-
gannya ke arah depan, maka pada saat itu serang-
kum gelombang yang berupa sinar merah menyala,
nampak melesat cepat ke arah Sakapala. Daerah
di sekitar pertempuran mendadak berobah menja-
di panas luar biasa. Tidak salah lagi karena pada
saat itu Buang Sengketa telah melepas pukulan 'Si
Hina Kelana Merana'.
Bledar...! Jreeng...!
Tidak dapat dihindari lagi pukulan maut
itupun menghantam Topi bergerigi milik Sakapala.
Bahkan tidak sampai di situ saja, pukulan yang di-
lepas oleh si pemuda terus melabrak tubuh Saka-
pala hingga menyebabkan tubuhnya terbanting ke-
ras dengan menderita luka dalam yang tidak rin-
gan.
Buang Sengketa menarik nafas pendek. Di-
lihatnya senjata milik lawannya hancur berkeping-
keping. Pabila ia memandang ke arah Sakapala,
maka dilihatnya pemuda itu sedang menyeka da-
rah kental yang meleleh dari celah-celah bibirnya.
Buang Sengketa tersenyum sinis. Tanpa menghiraukan pertarungan yang terjadi antara Biksu
Beng Lee dengan dua orang pengeroyoknya. Pe-
muda inipun berkata, "Bangunlah manusia mur-
tad. Bagimu masih ada jalan untuk hidup, jika
kau mau kembali ke padepokan Gunung Ungkur
untuk meminta maaf pada Pramesta...!"
Secara perlahan si Topi Terbang bangkit
berdiri, dengan sinis ia malah membentak marah,
"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, kepa-
raat! Lebih baik aku mengadu jiwa denganmu...!"
"Kukira tanpa senjata itu, kau tidak mung-
kin dapat berbuat banyak...!" Buang Sengketa
mencoba memberi peringatan. Namun usaha pe-
muda itu nampaknya sia-sia belaka. Karena bebe-
rapa saat setelahnya si Topi Terbang telah membu-
runya dengan pukulan mautnya.
"Ciaaa... hiaaat...!"
Melihat kenekatan Sakapala, Pendekar Hina
Kelana rasanya tidak perlu lagi mengulang perka-
taannya. Dengan mempergunakan tiga perempat
tenaga dalam yang dimilikinya. Maka pemuda itu
menghadang serangan ganas yang dilancarkan
oleh lawannya. Tidak dapat dielakkan lagi, bebera-
pa saat setelah itu dua kekuatan sakti itupun sal-
ing bertemu.
"Bunk...! Bluaaarr...!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana nampak terge-
tar hebat. Wajahnya berubah pucat pasi. Sementa-
ra darah mengalir dari celah-celah bibirnya. Tidak
dapat disangkal lagi saat itu Buang Sengketa me-
mang mengalami luka dalam yang cukup serius.
Dengan cepat ia menghimpun hawa murni untuk
melancarkan peredaran darahnya. Secara perla-
han pemuda itu membuka matanya. Lalu tampak-
lah olehnya Sakapada telah terkapar di atas tanah
tanpa mampu bergerak-gerak lagi. Sepintas lalu
Buang Sengketa dapat melihat bahwa lawan yang
sekarang sedang ditangisi oleh kekasihnya itu su-
dah tidak bernyawa lagi.
Dalam pada itu pertarungan antara Biksu
Beng Lee dengan Gending Sora telah mencapai
puncaknya. Namun ketika dengan seksama pemu-
da itu hendak memberikan pertolongan, niat itu
diurungkannya. Karena secara pasti ia melihat
Gending Sora sudah menderita luka dalam yang
sangat parah. Apa yang diperkirakan oleh Buang
Sengketa ini tidak lama kemudian segera terbukti.
Saat itu tubuh Gending Sora yang dalam keadaan
sempoyongan nampak tidak mungkin lagi meng-
hindari tendangan telak mengarah dada yang dila-
kukan oleh Biksu Beng Lee.
"Buuuk...!"
"Arggkh...!" Gending Sora terpelanting ro-
boh, namun yang menjadi lawannya terus membu-
ru sambil hantamkan tasbihnya mengarah bagian
kepala.
"Wuuur! Prroook...!"
"Arrrrk...!"
Gending Sora mengeluarkan jeritan setinggi
langit saat mana kepalanya rengkah dihantam
senjata milik lawannya. Tubuh laki-laki bertangan
buntung itu berkelejat-kelejat untuk sesaat la-
manya, selanjutnya terdiam buat selama-lamanya.
Melihat kawan maupun kekasihnya tewas. Maka
dengan wajah ketakutan Asih Angraeni langsung
berlari cepat meninggalkan lawan-lawannya sambil
memanggul tubuh Sakapala
"Jangan dikejar...!" cegah Buang Sengketa,
ketika melihat Biksu Beng Lee bersiap-siap mela-
kukan pengejaran. Begitu laki-laki itu menoleh ia
langsung berkata.
"Kau merupakan orang yang tepat untuk
menghancurkan Kerajaan iblis...!"
***
TUJUH
Pramesta, Kurnia Dewi serta Cempaka pagi
itu telah sampai di kaki bukit Neraka. Namun ke-
tika mereka hendak mendaki ke puncak bukit itu,
tiba-tiba perasaan was-was menghantui diri mere-
ka. Karena pada kenyataannya mereka tidak meli-
hat sebuah singgasana atau bahkan bangunan
lainnya seperti yang didengarnya selama ini. Be-
narkah Kerajaan Iblis tidak bisa dilihat dengan
mata biasa pada siang hari? Dalam hati pemuda
itu bertanya-tanya. Kalaupun berita mengenai
singgasana itu memiliki sebuah kebenaran. Mung-
kin saja Pendekar Hina Kelana saat sekarang telah
tertangkap atau bahkan mengalami nasib lebih
mengerikan lagi. Boleh jadi Pramesta mengambil
kesimpulan seperti itu, karena sebelumnya Buang
Sengketa setelah melakukan penyelidikan di bukit
Neraka telah berjanji untuk kembali menemui mereka di padepokan Gunung Ungkur. Namun sete-
lah menunggu sekian lamanya. Ternyata Pendekar
Hina Kelana tidak juga kembali menemui mereka.
Sehingga mereka mengambil keputusan untuk
menyusul Buang Sengketa ke bukit Neraka. Seka-
rang mereka telah sampai di bukit Neraka. Namun
seperti apa yang mereka saksikan rasanya tidak
ada tanda-tanda kehidupan di sana.
"Bagaimana kakang! Kita tidak melihat apa-
apa di sini terkecuali hutan belukar itu...!" tanya
Kurnia Dewi merasa hampir putus asa.
"Memang di bukit Neraka ini kita tidak me-
lihat apa-apa. Tapi mungkinkah berita yang terse-
bar di kalangan persilatan hanyalah berita bohong
belaka? Padahal kitapun sama-sama tahu telah
begitu banyak kaum persilatan yang datang ke
tempat ini tidak pernah kembali. Banyak orang
yang hilang raib di bukit ini. Mustahil kalau tidak
ada sesuatu di sini semua itu bisa terjadi!" jawab
Pramesta begitu yakin.
"Mungkin kita telah datang pada tempat
yang salah. Sehingga kita tidak menemukan apa-
apa di sini...!" tukas Cempaka memberi pendapat.
"Sepanjang yang kuketahui bukit Neraka
hanya ada di sini. Aku merasa yakin sekali bahwa
kita tidak kesasar...?"
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya
Kurnia Dewi penuh perhatian.
"Untuk menyakinkan bahwa tidak terdapat
apapun di tempat ini. Ada baiknya kalau kita
mendaki ke atas sana...!" kata pemuda itu. Namun
baik Kurnia Dewi maupun Cempaka kelihatan
menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Ada apa?" Pramesta diliputi ketidak men-
gertian.
"Aku tidak ingin melakukan pekerjaan sia-
sia...! Lagi pula untuk apa kita berlama-lama di si-
ni, bukankah lebih baik kita cari di tempat lain sa-
ja!" bantah Kurnia Dewi.
"Mana mungkin! Bukit Neraka satu-satunya
hanyalah di tempat ini. Kalaupun kita mencarinya
di tempat lain. Kita tidak pernah menemukannya,
percayalah...!" sergah Pramesta tetap teguh pada
pendiriannya. Pada saat ketiganya sedang terlihat
dalam perdebatan itu. Tiba-tiba terdengar suara
orang tergelak-gelak.
"Huaa... ha... ha... ha...! Biasanya bocah pe-
rempuan memang lebih tolol dari anak laki-laki.
Kau benar bocah! Bukit Neraka itu tidak ada dua-
nya selain di tempat ini...!" kata suara itu lugas.
Hanya Pramesta saja yang kelihatan mengerutkan
alisnya. Suara seperti itu rasanya pernah ia kenal.
Tetapi ia tidak ingat lagi di mana ia pernah men-
dengarnya.
"Siapakah engkau...!" seru Kurnia Dewi
sambil memperhatikan daerah di sekitarnya. Na-
mun ia tidak melihat siapapun di tempat itu terke-
cuali mereka bertiga.
"Aku adalah orang yang mengawasi bukit
Neraka ini. Perlu kalian ketahui tidak seorangpun
dapat kembali ke dunia ramai, setelah sampai di
tempat ini...!" jawab suara itu dengan suara berge-
tar.
"Hemm. Kelihatannya menyeramkan sekali.
Huh. Tapi yang membuatku heran, mengapa Kera-
jaan Iblis seperti yang digembar-gemborkan orang
tidak kulihat sama sekali?" kata Pramesta menye-
lidik.
"Ha... ha… ha...! Kesaktian yang kau miliki
belum cukup untuk menembus sebuah kegelapan,
orang muda! Kerajaan iblis terdapat di atas bukit
ini, tetapi kau tetap tidak akan dapat melihatnya
terkecuali kau mau bergabung dengan kami...!"
"Bangsat! Jika kami tidak mau bergabung
dengan kalian, apakah yang dapat kalian laku-
kan?" ejek Pramesta dan Kurnia Dewi hampir ber-
samaan.
Sekali lagi terdengar suara tawa tergelak-
gelak. Namun karena kali ini suara tawa itu diser-
tai dengan tenaga dalam yang tinggi. Tak ayal lagi
suara itu menggema ke seluruh penjuru bukit.
Bahkan murid padepokan Gunung Ungkur dan
Cempaka terpaksa menutup indera pendengaran-
nya untuk menghindari akibat yang lebih fatal lagi.
"Kalian juga masih dapat melihat betapa
megahnya Kerajaan Iblis pabila telah berada di ne-
raka nanti...!" lanjut suara itu penuh ancaman.
"Kalau begitu kami akan mengadu nyawa
dengan kalian...!" bentak Pramesta. Namun belum
lagi ketiganya sempat berbuat sesuatu. Dari se-
buah tempat berhembus angin kencang yang san-
gat dahsyat sekali menyerbu ke arah mereka. Tan-
pa dapat dicegah lagi dua orang diantaranya lang-
sung terpelanting roboh begitu tubuhnya terhan-
tam angin kencang berhawa dingin itu. Hanya
Pramesta saja yang masih mampu berdiri tegak ke
tika mendapat terjangan badai topan yang sangat
dahsyat itu. Namun setelah hembusan angin ken-
cang itu kembali datang beruntun, sedikit demi
sedikit tubuh Pramesta mulai tergetar, bahkan se-
pasang kakinya yang membentuk kuda-kuda itu-
pun mulai terseret-seret. Murid padepokan Gu-
nung Ungkur itu segera melipat gandakan tenaga
dalamnya agar jangan sampai tubuhnya terbanting
roboh. Dalam keadaan yang serba tidak mengun-
tungkan itu. Suara gelak tawa kembali terdengar,
sementara hembusan angin terasa semakin meng-
gila.
"Hebat! Kau mampu menahan tenaga sakti
'Badai Berhembus' milikku. Heh. Tapi yakinlah
kau bocah. Kau pasti tidak dapat bertahan pada
posisi seperti itu lebih lama lagi... lihatlah...!" den-
gan terhentinya kata-kata suara itu, hembusan
angin bertambah hebat luar biasa. Dan ucapan
suara itu benar-benar terbukti. Karena tidak lama
setelah terjangan angin ribut itu, tubuh Pramesta
langsung terjengkang menyusul Kurnia Dewi dan
Cempaka yang sampai saat itu masih belum dapat
bangkit kembali akibat terlalu kerasnya hembusan
angin itu.
Wrrrt…!
Terdengar suara berderak keras. Tiba-tiba
hembusan angin yang sedemikian kencang jadi
terhenti seketika. Dengan cepat mereka yang sem-
pat roboh tergulung hembusan angin itu segera
bangkit kembali. Wajah mereka kelihatan pucat,
bahkan kemudian saling pandang sesamanya.
"Celaka! Benar-benar siluman iblis penge
cut! Kalau tidak mana mungkin segala dedemit be-
rani berbuat namun tetap menyembunyikan di-
ri...!" maki Kurnia Dewi sambil mengatur jalan na-
fasnya.
"Ha... ha... ha...! Sudah kuperingatkan pada
kalian, tidak ada gunanya melakukan perlawa-
nan...!" suasana menjadi hening sejenak. "Lebih
baik kalian menyerah saja!" perintah suara itu.
Beberapa saat setelah itu berkelebat sosok tubuh,
dengan gerakan ringan sekali tahu-tahu di depan
mereka sekarang telah berdiri seorang laki-laki
berpakaian serba putih. Melihat penampilannya
mungkin saja laki-laki tua itu berumur sekitar
sembilan puluh tahun.
"Kek... ka.... kau...!" Pramesta bagai tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang tua itu
tersenyum sinis. Sementara Kurnia Dewi maupun
Cempaka yang tidak mengerti siapa sebenarnya
laki-laki tua itu hanya diam saja.
"Matamu benar-benar jeli, bocah...! Dari se-
kian banyaknya murid-murid padepokan Gunung
Ungkur hanya kau seorang yang berpikiran cer-
das...!" dengus laki-laki berpakaian serba putih itu
dengan sikap acuh.
"Eyang Guru...! Bedebah! Bertahun-tahun
kau menjadi manusia misterius di padepokan Gu-
nung Ungkur. Bertahun-tahun murid-muridmu
hanya dapat mengenali suaramu. Tidak disangka,
kiranya kau takut menunjukkan diri hanya karena
kau takut kebusukkanmu terbongkar...!" tukas
Pramesta dengan wajah merah padam. Sekarang
mengertilah Kurnia Dewi. Kiranya laki-laki yang
berdiri di hadapan mereka itu, yang selama berta-
hun-tahun menjadi seorang guru misterius ki-
ranya salah seorang tokoh sesat di Kerajaan Iblis.
"Kakang Pramesta. Manusia yang mengaku
sebagai Eyang Guru inikah yang selama ini menja-
di orang yang paling kita hormati?" tanya Kurnia
Dewi sambil memandang Pramesta.
"Benar adikku! Eyang guru yang selama ini
kalian anggap sebagai manusia misterius dan pal-
ing mulia itu ternyata hanyalah seorang iblis yang
sangat kejam...!" geram Pramesta merasa sangat
kecewa sekali.
"Jangan kalian salahkan aku!" bentak
Eyang Guru alias Kanjeng Guru. "Aku telah ber-
buat cukup baik pada kalian. Asal kalian tahu sa-
ja, adapun aku mendirikan padepokan Gunung
Ungkur semata-mata hanya merasa kasihan ter-
hadap yatim piatu seperti kalian. Sungguhpun aku
merupakan manusia sesat, namun aku merasa te-
lah berbaik hati telah menurunkan kepandaian
yang kumiliki pada kalian...!"
Wajah Pramesta kelihatan semakin bertam-
bah memerah. Sekarang terbuktilah sudah apa
yang dicurigainya selama ini. Pantas saja selama
bertahun-tahun, orang yang mereka panggil Eyang
Guru itu tidak pernah menunjukkan muka sama
sekali, terkecuali hanya menyampaikan pesan-
pesan dalam kegelapan malam. Tidak dinyana, ki-
ranya orang yang mereka muliakan selama ini ha-
nyalah seorang tokoh sesat yang telah menyengsa-
rakan orang banyak.
"Puih. Siapa yang sudi menganggapmu se
bagai guru kami. Sekarang aku merasa yakin se-
kali bahwa Sakapala telah bergabung dengan ka-
lian...! Keparaat! Kami telah tertipu mentah-
mentah. Terlebih-lebih adik-adik seperguruanku
yang lain. Aku bersumpah pasti akan membunuh
guru palsu sepertimu...!" teriak Pramesta sudah ti-
dak dapat menahan kesabarannya lagi.
"Diam...!" Laki-laki tua renta itu balas
membentak. Sekarang diperhatikannya orang-
orang yang berdiri tidak begitu jauh di hadapan-
nya satu persatu. Dengan suaranya yang serak, ia
pun kemudian berkata, "Aku tidak butuh penga-
kuan kalian, bocah-bocah tolol. Itu makanya aku
tidak pernah menunjukkan diri di hadapan kalian.
Sungguhpun telah bertahun-tahun aku menurun-
kan jurus-jurus silat pada kalian. Karena aku sa-
dar, seumur hidupku aku telah terlanjur menjadi
orang sesat. Lebih dari itu sejak dulupun aku telah
bersumpah untuk tidak mengangkat seorang mu-
ridpun sampai akhir hidupku. Semua apa yang
kulakukan pada kalian hanyalah bagian terkecil
yang tidak memiliki arti, dari sekian banyak keja-
hatan yang pernah aku perbuat. Aku merawat ka-
lian karena kuanggap kalian merupakan orang-
orang yang tiada berdosa. Kalian menjadi yatim
piatu karena akibat pelampiasan balas dendam se-
seorang, yang juga pernah merasa kehilangan
orang-orang yang dicintainya. Orang tua kalianlah
yang telah mengeroyok kedua orang tuanya hingga
akhirnya hidup sebatang kara. Karena orang tua
kalian dianggapnya telah bersikap adil pada si
anak malang. Itulah sebabnya ia hanya melampiaskan dendamnya pada orang-orang yang men-
ganggap dirinya sebagai golongan lurus. Masih un-
tung orang itu mengangkat kalian menjadi murid-
muridnya. Padahal kalian merupakan anak-anak
dari musuhnya...!"
"Kalau begitu, kaulah orangnya yang telah
membunuh orang tua kami...!" teriak Pramesta
dan Kurnia Dewi dengan mata membelalak tidak
percaya. Sementara Cempaka yang tidak mengeta-
hui duduk persoalannya hanya diam saja.
Kini laki-laki renta itu tersenyum kecut.
Namun sorot matanya tetap liar berapi-api.
"Terus terang kuakui, sebenarnya akulah
orangnya yang telah membunuh orang tua dari se-
luruh murid padepokan Gunung Ungkur...!"
"Keparaat! Kalau begitu sekarang saatnya-
lah bagimu untuk menuai hasil perbuatanmu...!"
maki Pramesta. Saat itu mereka telah bersiap-siap
untuk menggempur laki-laki yang selama ini me-
reka sebut-sebut sebagai Eyang Guru itu. Meski-
pun mereka sadar, sangat kecil sekali kemungki-
nan bagi mereka untuk menjatuhkan laki-laki ter-
sebut. Kanjeng Guru juga sadar, pastilah bekas
murid-muridnya itu tidak akan tinggal diam begitu
saja, apalagi setelah ia menceritakan segala-
galanya di depan mereka. Begitupun dia masih
mau memberi peringatan.
"Jangan kalian lakukan itu. Aku bukanlah
tandingan kalian. Lebih baik urungkan. Aku masih
punya hati untuk memberi maaf pada kalian... se-
karang pergilah dari tempat ini sebelum Maha Di-
raja Setan Bumi mengetahui kehadiran kalian...!"
perintah laki-laki renta itu memberi kesempatan.
Namun mana mau murid-murid padepokan Gu-
nung Ungkur terima begitu saja. Kini tanpa meng-
hiraukan peringatan Kanjeng Guru. Kedua murid
itu dengan dibantu oleh Cempaka segera mener-
jang Kanjeng Guru.
"Eyang guru! Manusia iblis. Lebih baik kami
mati berkalang tanah, daripada harus hidup ber-
putih mata. Hiaaat...!"
Menyadari yang menjadi lawannya kali ini
adalah merupakan seorang tokoh yang memiliki
kesaktian luar biasa, bahkan telah mengetahui ke-
lebihan dan kekurangan jurus-jurus silat yang me-
reka miliki. Maka tak ayal lagi dalam gebrakan
pertama itu saja mereka telah mempergunakan
pedangnya untuk menggempur kakek tua itu. Se-
baliknya Pramesta telah berhasil menciptakan ju-
rus-jurus silatnya sendiri. Segera mempergunakan
jurus-jurus itu untuk merangsak lawannya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat
pertarungan sengitpun terjadi. Murid-murid pade-
pokan Gunung Ungkur sekarang telah mengerah-
kan segenap kemampuan yang mereka miliki. Tu-
buh mereka telah bermandi keringat, bahkan sen-
jata di tangan berkelebat menyambar laksana ki-
lat. Tetapi bagi Kanjeng Guru yang telah mengeta-
hui kelebihan dam kekurangan jurus silat lawan-
nya, dengan sangat mudah selalu berhasil meng-
hindari serangan mereka.
***
DELAPAN
Sampai sejauh itu hanya permainan pedang
Pramesta saja yang dianggap cukup berbahaya
oleh Kanjeng Guru, karena ternyata pemuda itu
mempergunakan jurus-jurus ciptaannya sendiri.
Sehingga sulit bagi laki-laki renta itu untuk mem-
baca gerak pedang di tangan bekas muridnya itu.
"Hiaat...!"
"Dess! Dess...!
Sekali saja Kanjeng Guru mengibaskan tan-
gannya, tidak ampun lagi Kurnia Dewi dan Cem-
paka terpelanting roboh. Tubuh mereka menghan-
tam sebatang pohon kering. Pohon itupun tum-
bang. Sementara darah kental mengalir deras dari
hidung dan mulut mereka. Dengan cepat kedua
gadis itu menghimpun hawa mumi untuk melan-
carkan jalan darah yang agak kacau akibat kiba-
san tangan Kanjeng Guru yang disertai pengera-
han tenaga dalam itu.
Di lain pihak Pramesta segera membuka ju-
rus-jurus andalannya. Kenyataannya ia sangat
marah sekali melihat adik seperguruannya menga-
lami luka dalam yang tidak ringan.
"Masih ada kesempatan bagi kalian untuk
meninggalkan tempat ini...!" sekali lagi laki-laki
renta ini memberi peringatan.
"Lebih baik kami mengadu jiwa dengan-
mu...!" dengus Pramesta. Saat itu ia segera mem-
pergunakan jurus 'Menembus Kegelapan Mem-
bongkar Topeng'. Jurus silat yang dimainkan oleh
Pramesta itu ternyata sangat berbahaya juga. Apa-
lagi saat itu pedangnya sudah bergerak cepat me-
nutup jalan gerak yang dilakukan oleh Kanjeng
Guru. Bahkan pedang ditangannya bagaikan see-
kor ular yang terus mengejar kemanapun lawan-
nya berusaha menghindar.
Mendapat tekanan-tekanan yang semakin
berat, sekarang Kanjeng Guru menjadi gelap mata.
Beberapa kali tubuhnya melentik ke udara. Begitu
sepasang kakinya telah menjejak ke atas permu-
kaan tanah. Detik selanjutnya Kanjeng Guru me-
nyongsong serangan pedang Pramesta dengan
mempergunakan jemari tangannya.
Nguuung...! Creeep...! Deeess...!
"Wuaaarghk...!"
Begitu ujung pedang itu tertangkap jemari
tangan Kanjeng Guru. Dengan mempergunakan
tangan kirinya ia menghantam dada Pramesta
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak
ampun lagi, tubuh pemuda itu terbanting keras.
Darah langsung menyembur dari mulutnya. Pada
saat itu Kanjeng Guru yang telah kehilangan kesa-
barannya itu segera memburu dengan tujuan
menghabisi jiwa bekas muridnya itu.
"Manusia tidak tahu di untung! Lebih baik
kalian mampus saja... Hiaaa...!" laksana kilat tu-
buh laki-laki renta itu menderu ke arah Pramesta
yang nampak tertatih-tatih. Pada saat-saat yang
sangat kritis itu dari arah lain nampak berkelebat
dua bayangan putih dan merah. Bayangan putih
bergerak menyambar tubuh Pramesta. Sedangkan
bayangan merah memapaki tangan Kanjeng Guru
yang terpentang bagai cakar burung Garuda.
"Duuuk...! Uhhh...!"
Kanjeng Guru mengeluh pendek. Tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa tindak. Sementara
bayangan merah yang menggagalkan niat laki-laki
itu untuk membunuh bekas muridnya nampak
agak berubah pucat parasnya.
"Kau... siapakah kau ini...!" bentak Kanjeng
Guru seperti sedang berusaha mengingat-ingat se-
suatu. Pemuda berpakaian merah yang tidak lain
merupakan Pendekar Hina Kelana. Tanpa mem-
perdulikan Kanjeng Guru, Buang Sengketa mem-
beri perintah pada Biksu Beng Lee, "Saudara! To-
long bantu Pramesta dan lain-lainnya untuk me-
nyembuhkan luka dalamnya." katanya pelan.
Sekarang pemuda itu kembali berpaling pa-
da laki-laki tua renta dihadapannya.
"Huh guru macam apa engkau ini. Ternyata
dugaanku tidak keliru, karena kaulah bangsatnya
yang berdiri di belakang iblis itu...!" kata Buang
Sengketa dengan sikap tenang.
"Kurang ajar. Engkaukah yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana itu?" tanyannya ingin me-
mastikan.
"Tak salah akulah orangnya yang berjuluk
si Hina Kelana. Kukira tidak ada lagi yang patut
kau ketahui dariku, karena aku yakin kau telah
mengetahui siapa aku ini. Sekarang bersiap-
siaplah kau untuk mampus...!"
"Jahanam. Dalam wangsit yang kuterima,
engkaulah kunyuk hina yang ingin menghancur-
kan Istana Iblis. Puih. Jangan mimpi sobat, kau
pasti menyesal telah datang ke wilayah kekuasaan
kami...!"
"Banyak mulut. Hiaaat...!" teriak Pendekar
Hina Kelana. Saat itu kakinya telah melesat cepat
bagaikan anak panah, menghantam bagian kepala
lawannya. Tetapi Kanjeng Guru yang telah menge-
tahui kehebatan yang dimiliki oleh lawannya sege-
ra melompat menghindari serangan berbahaya itu.
Sambaran angin kencang menderu di atas kepala
laki-laki itu. Sehingga menyebabkan rambutnya
yang sudah memutih itu berkibar-kibar.
"Huaaa...!" Kanjeng Guru melakukan seran-
gan balasan yang tidak kalah hebatnya dengan se-
rangan yang dilakukan oleh Buang Sengketa.
Namun dengan mempergunakan jurus si
Gila Mengamuk, pemuda itu berhasil pula meng-
hindari tendangan kaki kanan lawannya. Melihat
pemuda itu dapat mengelakkan serangan 'Amarah
Iblis' yang sangat diyakininya. Kanjeng Guru san-
gat marah sekali. Dengan semangat menggebu-
gebu orang tua renta inipun terus meransak la-
wannya, Buang terus melayaninya dengan jurus si
Gila Mengamuk dan jurus si Jadah Terbuang seca-
ra silih berganti. Terkadang tubuhnya nampak
terhuyung-huyung bagai orang yang sedang ma-
buk. Namun di lain saat telah berkelebat lenyap
dengan gerakan-gerakan lincah. Apa yang dilaku-
kan oleh Pendekar Hina Kelana tentu saja mem-
buat bingung lawannya. Tetapi Kanjeng Guru bu-
kanlah dedengkot tokoh persilatan golongan sesat
kalau menghadapi serangan seperti itu saja ia te-
lah merasa patah arang.
Kini tanpa merasa sungkan-sungkan lagi
Kanjeng Guru segera mempergunakan jurus
'Tarian Iblis' dalam menggempur lawannya. Buang
Sengketa nampak terperangah melihat perobahan
jurus silat yang dimainkan oleh lawannya ini. Se-
kali waktu tubuh lawannya terbungkus kabut teb-
al, di lain saat meliuk-liuk bagai orang yang se-
dang menari. Setiap pemuda itu menghantamkan
pukulan maupun tendangan-tendangan kaki. Se-
rangan dahsyat itu dengan mudah dapat dihindari
oleh lawannya. Bahkan beberapa kali tubuh Pen-
dekar Hina Kelana terpaksa jatuh bangun menda-
pat serangan yang tiada diduga-duga itu. Melihat
serangan-serangan yang sedemikian gencar. Bah-
kan ia sendiri selalu gagal dalam menghantamkan
pukulan tangan dan kakinya. Sambil berlompatan
beberapa kali. Begitu berdiri, Buang Sengketa se-
karang telah menyilangkan kedua tangannya per-
sis di depan dada. Beberapa saat setelahnya kedua
tangan yang bersilangan itu mulai diselimuti kabut
putih. Sementara lawannya terus bergerak cepat
mengejar, kemanapun Buang Sengketa berusaha
menghindar.
"Hiaaaa...!"
Dengan disertai jeritan tinggi melengking.
Pemuda itu hantamkan tangannya ke arah depan.
Tidak dapat dihindari lagi, serangkum gelombang
berwarna merah menyala serta menyebarkan hawa
panas luar biasa menghantam lawannya yang ma-
sih dalam keadaan berputar-putar itu. Laki-laki
renta tersebut terpelanting roboh. Wajahnya han-
gus menghitam. Sungguh mengherankan dengan
cepat ia bangkit kembali, bahkan sekarang lawan
balas melakukan pukulan jarak jauhnya. Angin
kencang menderu keras saat mana Kanjeng Guru
melontarkan tangannya ke arah si pemuda. Tubuh
Buang Sengketa hampir saja terlempar jatuh jika
pada saat itu ia tidak cepat-cepat mengerahkan
segenap tenaga dalam yang dia miliki.
Geraham si pemuda bergemeletukan mena-
han dingin yang tiada tertahankan. Apalagi saat
itu angin kencang terus berhembus menerpa tu-
buhnya. Masih untung Buang Sengketa kebal ter-
hadap berbagai jenis racun. Jika tidak mungkin
saja ia sudah tidak dapat bernafas lagi sampai saat
itu. Begitupun ia merasa tidak mungkin dapat ber-
tahan lebih lama lagi ketika hembusan angin yang
diciptakan oleh Kanjeng Guru semakin keras
menghempas tubuhnya. Dengan perasaan geram,
Buang Sengketa segera mencabut senjata maut-
nya.
Nguuung...!
Begitu terlihat sinar merah menyala nam-
pak berkelebat mengurung tubuh si pemuda, dis-
ertai suara raungan senjata di tangannya yang ti-
dak ubahnya bagai puluhan harimau terluka. Ma-
ka hembusan angin yang diciptakan oleh lawannya
nampak tertahan bahkan tidak mampu menembus
gulungan sinar merah yang terpancar dari senjata
Golok Buntung di tangan si pemuda.
Semakin cepat Buang Sengketa memutar
senjata andalannya itu, maka secara lambat na-
mun cukup pasti tubuh Kanjeng Guru mulai ter-
dorong ke belakang. Bahkan setelah berlangsung
agak lama, Kanjeng Guru terpaksa menarik balik
'Siulan Iblis' yang hampir membuat celaka Pende-
kar Hina Kelana.
"Kau benar-benar hebat titisan Raja Silu-
man." kata Kanjeng Guru, kecut. "Tapi jangan kira
kau dapat mengalahkan aku...!" berkata begitu la-
ki-laki tua renta itu kembali menerjang. Buang
Sengketa tanpa berkata-kata lagi segera merang-
sak kaki tangan Kerajaan Iblis itu dengan senjata
ditangannya. Pertempuran kembali berlangsung.
Sampai sejauh itu Buang Sengketa tidak sempat
lagi berfikir bahwa Biksu Beng Lee, Pramesta,
Kurnia Dewi serta Cempaka saat itu telah menyer-
bu ke Istana Iblis.
Bahkan mereka yang baru saja mendapat
pengobatan dari Biksu Beng Lee itu sekarang telah
terlibat pertempuran sengit dengan prajurit-
prajurit Kerajaan.
Di lain pihak, Kanjeng Guru yang sedang
bertempur melawan Pendekar Hina Kelana itu ke-
lihatan semakin terdesak hebat. Bahkan laki-laki
itu merasakan betapa daerah sekitar pertempuran
menjadi sangat dingin sekali. Beberapa kali Kan-
jeng Guru berusaha menghindari sergapan-
sergapan yang dilakukan oleh lawannya. Hanya
dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh
yang telah mencapai taraf sempurna saja laki-laki
renta itu selalu luput dari maut. Namun ketika
Buang Sengketa mengeluarkan jeritan tinggi me-
lengking yang disertai dengan pengerahan Ilmu
Pemenggal Roh. Tidak dapat dihindari lagi, Kan-
jeng Guru menggeletar hebat. Seluruh perhatian
nya sekarang terpecah belah. Akibat ajian yang di-
kerahkan oleh pemuda itu. Mempergunakan ke-
lengahan lawannya. Pada saat itulah Buang Seng-
keta menerjang lawannya dengan menghantamkan
senjata mautnya ke bagian tubuh Kanjeng Guru.
"Craas! Arrrgkh...!"
Hanya dengan sekali tebas, kepala laki-laki
renta itu langsung menggelinding di atas tanah.
Darah menyembur dari bekas tebasan kepala itu.
Hanya beberapa saat tubuh tanpa kepala tersebut
nampak terhuyung-huyung. Setelah semburan da-
rah dari bagian luka itu melemah. Tak ampun lagi
tubuh Kanjeng Guru tersungkur di atas tanah
berdebu. Buang Sengketa mengalihkan perhatian-
nya ke arah lain.
"Lebih baik aku mendaki ke atas bukit itu,
siapa tahu mereka telah meluruk ke sana tanpa
sepengetahuanku...!"
* * *
Di dalam benteng Istana Iblis. Pertempuran
besar-besaran pun terjadi, empat orang pendatang
itu mendapat keroyokan dari sekian banyak praju-
rit Kerajaan dengan mempergunakan berbagai je-
nis senjata. Sungguhpun mereka adalah pendekar-
pendekar persilatan berilmu tinggi, namun meng-
hadapi sekian banyak prajurit yang memiliki tena-
ga bagai siluman itu. Mau tidak mau, mereka ha-
rus mengerahkan segenap kemampuan yang me-
reka miliki. Namun gempuran para prajurit itu ti-
dak ubahnya bagai air bah saja. Dua tiga orang
dapat mereka bunuh, tetapi yang datang malah
berlipat ganda jumlahnya. Apalagi mereka yang
tewas dapat kembali hidup setelah adanya suara
siulan dari dalam istana. Tentu saja hal ini sangat
menyulitkan para penyerang itu. Bahkan secara
lambat laun. Posisi mereka sekarang telah mulai
terdesak. Beberapa mata pedang di tangan praju-
rit-prajurit itu malah ada yang mengenai Kurnia
Dewi dan Cempaka. Keadaan di pihak penyerang
semakin bertambah kacau karena Biksu Beng Lee
dan Pramesta terpaksa bertempur sambil melin-
dungi dua orang gadis itu.
"Hiaaat...! Cincang tikus-tikus pengacau
ini...!"
"Jangan beri kesempatan hidup...!" teriak
para prajurit Kerajaan Iblis sambung menyam-
bung. Maka bagai serigala-serigala kelaparan,
orang-orang itu saling berlomba mengerubuti la-
wan-lawannya.
"Arrgkh...!" Pramesta mengeluarkan jeritan
tertahan manakala bagian punggungnya tersam-
bar ketajaman tombak lawannya. Namun dengan
gigih, mereka tetap berusaha mematahkan seran-
gan-serangan lawannya. Dalam keadaan terdesak
seperti itu, mendadak dari atas tembok benteng
terdengar jeritan tinggi melengking, menggetarkan
daerah sekitar Istana Iblis. Puluhan prajurit-
prajurit istana tersungkur roboh. Mereka keba-
nyakan tewas seketika itu juga. Bila dilihat dengan
jelas, maka yang menyebabkan kematian mereka
tak lain adalah akibat pengaruh lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh.
"Sobat-sobat semua! Kerahkanlah tenaga
dalam yang kalian miliki. Aku hendak mengun-
dang Maha Diraja Setan Bumi agar mau keluar da-
ri persembunyiannya...!" perintah Buang Sengketa.
Setelah itu pendekar keturunan Raga Alam Gaib
inipun kembali berteriak nyaring.
"Setan Bumi! Kau lihatlah orang-orangmu
yang tewas di tanganku. Apakah kau tidak malu
bersembunyi seperti seorang banci...!" teriaknya
lagi. Di lain pihak empat orang kawan lainnya te-
lah menggempur para prajurit yang mulai kehilan-
gan nyali.
"Aku menunggu kedatanganmu telah begitu
lama, sobat... Terimalah sambutanku...!" kata Ma-
ha Diraja Setan Bumi mendengus marah.
Detik itu juga dari bagian jendela nampak
menyembur lidah api yang sangat panas dan men-
deru ke arah Buang Sengketa. Pemuda ini tentu
tidak tinggal diam, apalagi dia pernah mendengar
kehebatan dan kekejaman manusia iblis yang satu
ini. Dengan cepat ia dorongkan tangannya ke de-
pan. Serangkum gelombang berwarna Ultra Violet
melesat dari bagian telapak tangan Buang Sengke-
ta.
Blaaam...!
Terdengar suara ledakan yang sangat keras
manakala jilatan lidah api dan pukulan sakti yang
dilepaskan oleh Buang Sengketa saling bertemu.
Beberapa prajurit yang sedang terlibat pertarun-
gan di sekitar tempat kedua tokoh yang saling me-
lepaskan pukulannya nampak terlempar ke berba-
gai arah. Tubuh mereka hangus terbakar.
Bruaaak...!
Dengan sekali tendang, bagian jendela besar
itupun porak poranda. Tubuh Maha Diraja Setan
Bumi melesat cepat menghampiri Buang Sengketa.
Hanya sebentar saja keduanya nampak saling ber-
pandangan. Laki-laki bertelanjang dada itu kemu-
dian bertanya, dengan suara keras, "Kaukah yang
berjuluk Pendekar Hina Kelana...?"
"Tidak salah, akulah Pendekar Hina Kela-
na...!" kata Buang Sengketa.
"Kau tahu hukuman apa yang akan kuberi-
kan padamu...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi,
dingin.
"Tanyalah pada seluruh orang-orangmu di
neraka sana...!" teriak Buang Sengketa. Kemudian
tanpa berkata-kata lagi pemuda inipun segera
mencabut senjata andalannya yang berupa Golok
Buntung. Begitu senjata itu telah tergenggam di
tangan Buang Sengketa. Tidak ayal lagi pemuda
inipun segera menyerang lawannya. Apalagi ia sa-
dar betul seperti apa yang dikatakan oleh Biksu
Beng Lee, bahwa dalam menyerang tokoh iblis itu
tidak boleh mengulur-ulur waktu. Bahkan kalau
perlu dengan mempergunakan dua senjatanya se-
kaligus. Karena pada hari itu merupakan hari naas
tokoh iblis tersebut. Bulan dua belas, Buang
menggumam. Sekali ia mendongakkan kepalanya
ke atas langit. Inilah saat yang sangat tepat, gu-
mamnya
"Hiaaat…! Nguuung...!" golok di tangan pe-
muda itu mendengung. Bahkan sekarang telah
berkelebat menyambar ke arah lawannya. Maha
Diraja Setan Bumi kiranya menyadari bahwa la-
wannya benar-benar telah mengetahui kesaktian-
nya akan melemah pada hari itu. Tanpa ampun
begitu senjata lawan menyambar. Ia langsung
membanting tubuhnya ke samping kiri. Tetapi
yang membuat Buang Sengketa terheran-heran.
Mengapa tokoh sesat yang dikenal sangat ganas
itu tidak sehebat yang dibayangkannya. Bahkan
tidak sehebat apa yang dikatakan oleh Biksu Beng
Lee. Tetapi ia sudah tidak dapat berpikir sampai
sejauh itu. Sekali lagi ia menerjang lawannya yang
masih dalam keadaan terguling-guling.
"Hiaaat... Jraaas...!"
"Argggkh...!"
Tubuh Maha Diraja Setan Bumi berkelojo-
tan beberapa saat lamanya. Kemudian terdiam
dengan jiwa melayang. Buang Sengketa baru saja
hendak menarik nafas, ketika terdengar suara ta-
wa tergelak-gelak.
"Kau keliru Hina Kelana. Tidak semudah itu
membunuhku. Yang kau bunuh itu hanyalah sa-
lah seorang bawahanku. Ketahuilah, aku akan
menjadi lawanmu yang tiada terkalahkan hingga
akhir jaman. Istana ini boleh runtuh, namun Maha
Diraja Setan Bumi akan tetap hidup untuk sela-
ma-lamanya...!" suara itu tiba-tiba lenyap. Begitu
juga halnya dengan istana iblis. Sekarang yang ter-
lihat hanya mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sedangkan biksu Beng Lee, Pramesta, Kurnia Dewi
dan Cempaka, hanya saling pandang sesamanya
tanpa berkata apa-apa.
"Kuterima tantanganmu, manusia sesat!"
gumam Buang Sengketa. Lalu melangkah pergi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar