..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE MISTERI PATUNG KEMATIAN

Misteri Patung Kematian

 

MISTERI PATUNG KEMATIAN

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D.Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode:

Misteri Patung Kematian 


SATU


Laki-laki berbaju serba biru itu hanya dapat 

membelalakkan matanya saja ketika menemukan 

tubuh dua orang kawannya tergeletak tanpa nya-

wa di pinggir sungai Bantar Hulu. Wajahnya mem-

bersitkan kecemasan dan berubah pucat seketika. 

Tangan kanannya segera meraba gagang pedang 

yang menggantung di pinggangnya. Sepasang bola 

matanya yang nampak lelah memperhatikan 

mayat bergelimang darah di depannya. Dengan 

seksama diperhatikannya bekas-bekas luka yang 

terdapat di bagian dada dan kening kedua mayat 

itu. Ketika laki-laki bertubuh tinggi tegap, dengan 

kulit hitam legam ini sudah dapat memastikan 

adanya dua titik hitam yang masih mengeluarkan 

darah, semakin bertambah pucatlah wajahnya.

Tanpa disadarinya, laki-laki berbaju biru ini me-

langkah mundur dua tindak. Seperti dalam kea-

daan tergesa-gesa dan diburu sesuatu yang tidak 

jelas. Ia memalingkan wajahnya ke arah jalan yang 

dilaluinya tadi. Kemudian dia mengedarkan pan-

dangannya berkeliling.

Rasanya tiada alasan baginya untuk curiga 

pada tempat-tempat yang sangat jarang dilalui 

oleh manusia seperti di daerah kali Bantar Hulu 

ini. Lagi pula hari masih terlalu pagi. Namun ke-

matian dua orang kawannya dengan luka sama 

seperti dialami oleh yang lainnya, telah membuat 

laki-laki berbaju biru merasa perlu menjaga setiap 

kemungkinan yang ada. Kemudian dibesarkan ke


beraniannya untuk meneliti lebih lanjut tentang 

keadaan mayat kawannya. Tanpa mengurangi ke-

waspadaannya ia segera meraba saku kedua 

mayat ini. Dan tubuh yang tegap itu menggigil se-

ketika dengan wajah pucat bagai kehilangan da-

rah.

"Celaka! Benda itu sudah tidak ada lagi. 

Orang yang telah membunuhnya pasti sudah me-

nemukannya. Bagaimana aku mempertanggung 

jawabkan semua ini pada Eyang Wiku Swanda?" 

desisnya. Kata-katanya seakan ditujukan pada di-

rinya sendiri. Menyadari betapa berbahayanya 

benda yang telah lenyap dari saku salah seorang 

mayat itu. Laki-laki berbaju biru itu seperti merasa 

putus asa.

"Rasanya sia-sia saja pengorbanan besar 

yang telah di lakukan Eyang. Selain benda jatuh 

ke tangan orang lain, menurutku posisi kaum go-

longan putih juga semakin terjepit. Cepat atau 

lambat tokoh-tokoh persilatan aliran putih pasti 

akan tersisih!" desahnya dengan tarikan nafas se-

makin berat.

Sekali lagi dipandanginya keadaan mayat-

mayat itu. Kali ini tidak ada perubahan yang terja-

di pada wajahnya. Sorot matanya terlihat kosong, 

terarah pada luka yang terlihat samar-samar. Se-

hingga sama sekali dia tidak melihat kedua mayat 

itu menunjukkan perubahan sedikit demi sedikit. 

Mungkin karena begitu beratnya beban yang harus 

dipikulnya, atau mungkin juga karena pikirannya 

sedang kacau. Sehingga tidak menyadari kalau da-

ri pori-pori kedua mayat itu mengeluarkan cairan


berwarna putih dan berlendir. Bahkan kedua 

mayat itu semakin menyusut, sehingga kerut me-

rut mulai kelihatan di sekujur tubuhnya.

Baru saja dia hendak mengubur mayat ke-

dua kawannya ini, tiba-tiba saja ia merasakan de-

siran halus dari arah samping kanan. Cepat-cepat 

dia melakukan lompatan beberapa kali ke bela-

kang. Gerakannya begitu ringan sekali, menanda-

kan kalau kepandaiannya sudah mencapai tingkat 

yang cukup tinggi. Dan sebelum laki-laki berumur 

tiga puluh lima tahun ini sempat menjejakkan ka-

kinya dengan baik, desiran angin dingin kembali 

meluruk ke arahnya.

"Ihh!" cepat-cepat dia melakukan gerakan 

menghindar yang dilakukannya lebih cepat dari 

yang pertama tadi. Tapi serangan jarak jauh itu te-

rus saja menderu dan mengejarnya ke mana saja-

pun ia menghindar.

"Kurang ajar! Pekerjaan siapa lagi ini?" desis 

laki-laki itu bersungut dalam hati.

Saat itu juga dia merasakan serangan-

serangan gelap itu terus mengejarnya ke manapun 

dia berusaha menghindar. Sambil berjumpalitan di 

udara, laki-laki berpakaian serba biru ini meng-

hentakkan tangannya ke arah serangan gelap yang 

terus mengejarnya ini, dan saat itu juga...

"Haiit!"

Dwueer...!

Seketika terdengar suara ledakan sangat 

dahsyat, begitu kekuatan yang mengandung tena-

ga dalam tingkat tinggi itu bertemu di udara. Tam-

pak Jala Dara terbanting-banting ke tanah. Seke


tika itu juga dia merasakan dadanya sesak luar bi-

asa. Dan bagian telapak tangan yang diperguna-

kan untuk memapak serangan gelap itu terasa 

nyeri. Tanpa menghiraukan tubuhnya yang terasa 

remuk, dengan cepat ia melompat bangkit berdiri.

Sungguh mengherankan sekali, saat itu ju-

ga tak ada reaksi dari orang yang menyerangnya 

tadi. Bahkan pukulan yang menebarkan hawa din-

gin pun seperti tidak pernah ada. Kenyataan ini je-

las membuat Jala Dara menjadi sangat penasaran 

sekali. Beberapa saat dia perhatikan semak belu-

kar asal serangan tadi datang. Jala Dara menjadi 

merasa heran sendiri. Namun belum juga kehera-

nannya hilang. Tiba-tiba saja dia jadi terkesiap. 

Tampak dari arah lain terlihat sosok bayangan 

berkelebat cepat ke arah yang berlawanan.

Beeet!

"Hiyaa...!" laki-laki bertubuh tinggi tegap itu 

tanpa berpikir panjang lagi segera melesat menge-

jar. Tetapi bayangan itu sangat cepat sekali gera-

kannya. Sehingga dalam waktu yang singkat dia 

sudah kehilangan jejak. Menyadari betapa berba-

hayanya melakukan pengejaran seorang diri. Tan-

pa pikir panjang lagi dia berbalik, kemudian berlari 

sekencang-kencangnya ke arah lain.

Jala Dara terduduk lemas di atas sebong-

kah batu hitam berlumut. Wajahnya membayang-

kan rasa letih dan putus asa. Sesekali terdengar 

tarikan nafasnya yang berat. Tanpa disadarinya 

matahari telah tenggelam di ufuk Barat. Sekarang 

yang terlihat hanya rona merah membersit di ufuk 

Barat. Entah kenapa sampai saat ini ia merasa


bingung sekali melihat kejadian demi kejadian 

yang berlangsung begitu cepat. Pembunuhan-

pembunuhan dengan luka yang sama. Kemudian 

korban pembunuhan yang lenyap tanpa bekas. 

Hingga kalangan persilatan kemudian saling curi-

ga mencurigai antara golongan yang satu dengan 

golongan yang lain.

Sekarang benda berharga yang telah dilari-

kan oleh kawannya untuk disampaikan kepada 

Eyang Wiku Swanda, yaitu tokoh tua sekaligus 

merupakan ketua perguruan Teratai Putih telah 

lenyap tanpa bekas. Bagaimana harus memper-

tanggung jawabkan semua ini di depan Eyang Wi-

ku Swanda? Jala Dara tidak dapat membayangkan 

betapa marahnya ketua perguruan Teratai Putih 

dan mungkin saja menghukumnya.

"Hmm... bagaimanapun aku harus menga-

barkan semua ini pada Eyang Wiku Swanda. Aku 

khawatir dengan hilangnya benda itu, pergolakan 

besar dalam dunia persilatan segera terjadi." gu-

mam Jala Dara perlahan. Selanjutnya dengan pe-

rasaan ragu dia bangkit berdiri. Namun ketika pi-

kirannya teringat pada tugas berat dan gagal pula 

dilaksanakan, dengan cepat ia mulai mengayun-

kan langkahnya kembali.

Suasana sudah mulai gelap saat Jala Dara 

menelusuri jalan setapak menuju perguruan Tera-

tai Putih yang terletak di daerah Banjar Kemuning. 

Belum jauh ia melangkahkan kaki dari tempat ia 

melepas lelah tadi, kembali ia merasakan adanya 

desiran halus seperti yang dirasakannya pertama 

tadi. Tentu sekali ini dia tidak ingin dipermainkan.


Yang jelas sejak peristiwa-peristiwa menggempar-

kan yang pernah dia alami bersama kawan-

kawannya, sikapnya selalu mudah curiga terhadap 

siapapun.

Satu sambaran angin yang sangat deras 

menghantam ke arahnya, tanpa membuang waktu 

tubuhnya langsung melompat ringan. Kemudian 

berjumpalitan menghindari terjangan hawa panas 

yang disertai melesatnya benda putih mengkilat ke 

arahnya. Sesaat dengan gerakan manis ia telah 

menjejakkan kakinya kembali. Jala Dara memper-

hatikan suasana di sekelilingnya dengan pandan-

gan menyelidik. Tidak terlihat tanda-tanda mencu-

rigakan, bahkan semak-semak tidak bergoyang se-

dikitpun juga.

Namun laki-laki ini merasa yakin di dalam 

semak-semak itu bersembunyi beberapa orang la-

ki-laki.

"Hanya orang-orang pengecut saja yang be-

rani bertindak dan main bokong pada orang yang 

belum tentu bersalah." kata Jala Dara seolah uca-

pan itu untuk dirinya. Sepi sejenak, namun kesu-

nyian segera dipecahkan oleh suara tawa yang dis-

ertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, se-

hingga membuat sakit telinga yang mendengarnya. 

Sadarlah Jala Dara bahwa orang yang bersem-

bunyi di semak belukar itu pastilah bukan orang-

orang sembarangan. Dia pun bersiaga menjaga se-

gala kemungkinan.

"Serahkan benda yang di bawa oleh kawan-

mu itu, Jala Dara!" perintah seseorang berwibawa.

Jala Dara bersikap tenang-tenang saja.


"Aku tidak mengerti benda apa yang kau 

maksudkan, sobat."

Mendengar jawaban itu orang yang bersem-

bunyi di dalam semak-semak mendengus marah. 

Salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai 

pimpinan memberi isyarat pada kawan-kawannya. 

Maka dari kanan kiri jalan yang dilalui Jala Dara 

berloncatan delapan laki-laki berpakaian hitam 

mengurung Jala Dara dengan senjata terhunus. 

Jala Dara tersentak kaget tanpa sadar ia mengges-

er dua langkah ke belakang.

"Ka... kalian Iblis Hitam?" Jala Dara mende-

sis dengan suara bergetar. Tubuhnya langsung 

menggigil ketakutan saat melihat delapan Iblis Hi-

tam ini. Sebaliknya ketua Iblis Hitam tersenyum 

sinis.

"Benar Jala Dara, akulah Iblis Hitam. Se-

baiknya kau serahkan benda yang dibawa oleh ke-

dua kawanmu itu pada kami!" bentak laki-laki 

berpakaian serba hitam yang di seluruh wajahnya 

ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Laki-laki bersen-

jata pedang ini memang berpenampilan menye-

ramkan. Tindakannya sangat keji dan licik, se-

hingga kalangan persilatan sangat segan beruru-

san dengannya.

"Benda itu telah lenyap pagi tadi. Bahkan 

kedua kawanku telah tewas di pinggir kali Banta-

ran Hulu." jawab Jala Dara. Nada suaranya berge-

tar, menandakan ia berusaha menekan gejolak pe-

rasaannya yang tiada menentu.

"Siapa yang mau percaya dengan segala 

ocehanmu, Jala Dara!" nada suara Iblis Hitam din


gin dan menyeramkan, sehingga membuat bulu 

tengkuk Jala Dara meremang berdiri. Sebelum ra-

sa kecut di hati Jala Dara sirna sama sekali, ketua 

Iblis Hitam telah berkata kembali dengan suara 

menggelegar.

"Jala Dara! Kuperingatkan padamu untuk 

segera menyerahkan benda itu secepatnya padaku. 

Jika tidak aku tidak akan mengampuni jiwamu!"

Jala Dara terkesiap, ia telah tahu betapa ke-

jamnya orang yang berjuluk Iblis Hitam ini. An-

caman Iblis Hitam bukan merupakan kosong bela-

ka. Namun bagaimana mungkin ia dapat menye-

rahkan benda yang diinginkan oleh Iblis Hitam. 

Sedangkan Jala Dara sendiri tidak tahu siapa yang 

telah merampas benda itu dari tangan kawan-

kawannya.

"Maafkan aku kisanak. Mungkin kisanak 

sendiri telah tahu bahwa kawanku yang ditu-

gaskan membawa benda itu telah tewas di tangan 

seseorang. Benda itu lenyap tanpa meninggalkan 

jejak. Lagipula jika benda itu benar-benar ada pa-

daku, tidak mungkin aku menyerahkannya pada

orang-orang Iblis Hitam. Yang jelas merupakan go-

longan beraliran sesat...!" dengus Jala Dara. Entah 

sebab apa mendadak timbul keberanian di hati Ja-

la Dara untuk membantah perintah orang yang te-

lah ia ketahui kekejamannya.

Ucapan Jala Dara yang sangat meremehkan 

bagi Iblis Hitam tentu tidak jauh bedanya dengan 

sebuah tamparan yang sangat keras sekaligus 

menghina mereka. Selama malang melintang di 

rimba persilatan belum ada orang dari aliran manapun yang berani membantah keinginannya. Tapi 

sekarang seorang suruhan Wiku Swanda yang ia 

taksir memiliki kepandaian lebih rendah darinya 

berani membantah perintahnya. Kenyataan ini 

membuat amarahnya membara.

"Kau memang tidak pantas diberi hidup, Ja-

la Dara! Bunuh dia...!" teriak Iblis Hitam tinggi me-

lengking. Sebelum gema suara Iblis Hitam lenyap 

ditelan kegelapan malam. Delapan orang bawahan 

Iblis Hitam segera menyerang dari segala penjuru. 

Mendapat serangan ganas yang berlangsung san-

gat cepat ini, Jala Dara tidak tinggal diam. Apalagi 

ketika melihat para penyerangnya begitu berambisi 

untuk membunuhnya. Tidak pelak lagi sebelum 

senjata di tangan lawan-lawannya menghantam 

tubuhnya. Dengan gerakan yang manis Jala Dara 

melentingkan tubuhnya ke udara, serangan lawan 

luput dan menyambar tempat kosong. 

"Yeaa!" 

Bet! Wuut!

Jala Dara terpaksa membanting tubuhnya 

ke samping kiri begitu menjejakkan kakinya di 

atas rerumputan. Namun serangan-serangan ang-

gota Iblis Hitam menyambar ke bagian tubuh yang 

mematikan. Ia harus bekerja keras menghalau se-

tiap serangan yang datang tidak ubahnya air bah. 

Jala Dara bangkit berdiri, kedua kakinya melaku-

kan gerakan-gerakan lincah, sehingga acapkali ia 

berhasil mematahkan sabetan senjata yang datang 

dari sebelah kiri. Bahkan dengan kecepatan gerak 

tangan yang sulit untuk diikuti oleh mata ia ber-

hasil menjatuhkan lawannya yang menyerang dari


bagian depan.

Buuuk! Buuuk!

"Arrk...!" suara teriakan lainnya kembali 

terdengar. Seorang lawan yang menyerangnya dari 

bagian belakang terkena sambaran telak di bagian 

dada sehingga membuat orang itu tersungkur ro-

boh tanpa mampu bangkit kembali.

Apa yang dilakukan oleh Jala Dara rupanya 

di luar perhitungan ketua Iblis Hitam. Semula ia 

beranggapan sembilan orang bawahan pasti mam-

pu meringkus Jala Dara. Tapi kenyataannya ketika 

pertempuran baru saja berlangsung lima belas ju-

rus. Jala Dara yang dianggap lemah oleh Iblis Hi-

tam, telah menjatuhkan tiga orang bawahannya 

tanpa mampu bangkit kembali. Mendidih darah Ib-

lis Hitam melihat kematian tiga orangnya. Dengan 

kemarahan meluap. Seraya memungut pedang 

yang terletak di atas tanah. Laki- laki bertampang 

sadis ini segera berteriak lantang...

"Minggir kalian semuanya! Rupanya kadal 

buntung ini ingin melihat betapa tajamnya pedang 

di tanganku!"

Tanpa berkata lagi lima orang yang sedang 

mendesak Jala Dara, segera menarik balik seran-

gannya. Dengan cepat mereka melompat mundur. 

Sementara Jala Dara sendiri merasa sekaranglah 

ajalnya menjemput. Ia sepenuhnya menyadari, Ib-

lis Hitam merupakan seorang lawan yang sangat 

tangguh. Kepandaiannya bisa jadi di atas Jala Da-

ra. Namun pantang baginya untuk bersurut mun-

dur, sebelum ia sendiri membuktikan sampai di 

mana kehebatan lawannya.


"Shaa...!" sambil berteriak melengking ting-

gi, dalam kegelapan malam yang hanya diterangi 

cahaya bintang. Pedang di tangan Iblis Hitam ber-

kelebat cepat sehingga kelihatan cahaya putih me-

nyilaukan mata menderu deras ke bagian dada Ja-

la Dara. Jala Dara secepatnya menggeser bagian 

kakinya ke samping kanan sehingga serangan Iblis 

Hitam yang berupa tusukan menyilang gagal men-

capai sasaran. Dengan cepat Jala Dara segera me-

lakukan serangan balasan dengan melontarkan 

pukulan keras yang disertai seluruh tenaga dalam 

yang dimilikinya.

Gerakan kilat yang dilakukan Jala Dara ru-

panya sempat dilihat oleh Iblis Hitam. Sehingga 

dalam keadaan yang gawat itu Iblis Hitam mena-

dahkan tangan kirinya. Kiranya benturan keras ti-

dak dapat dihindari lagi. 

Duees!

"Uh...!" Jala Dara mengeluh tertahan ketika 

tangannya membentur tangan Iblis Hitam. Jala 

Dara tersungkur, ia dapat merasakan tangannya 

terasa nyeri luar biasa. Selain itu dadanyapun 

berdenyut-denyut. Tanpa menghiraukan luka da-

lam yang di deritanya. Dia secepatnya bangkit ber-

diri, langkahnya terhuyung-huyung. Namun dia te-

tap berusaha memperbaiki posisinya.

"Sebentar lagi nyawamu segera terbang ke 

Neraka, Jala Dara!" Iblis Hitam menggeram marah. 

"Lebih baik kau serahkan benda itu, siapa tahu 

pikiranku berubah...!"

Tapi orang seperti Jala Dara adalah orang 

yang mempunyai prinsip pantang menyerah. Sebelum bertarung sampai titik darah penghabisan. 

Sungguhpun ia sendiri telah merasakan kehebatan 

yang satu ini, namun tiada sedikitpun rasa gentar 

di hatinya.

Tanpa berkata apa-apa tubuhnya berkele-

bat. Dengan gerakan yang sulit untuk diduga-

duga, Jala Dara melakukan tendangan terarah pa-

da bagian perut Iblis Hitam. Tendangan itu keras 

bukan main, sebaliknya Iblis Hitam begitu mera-

sakan datangnya desiran halus dari bagian pung-

gungnya segera pula mengayunkan senjata di tan-

gannya. Lalu tebasan menyilang dilakukannya be-

berapa kali. 

Wuuus!

"Ihh!" Jala Dara mengeluh tertahan. Masih 

untung ia sempat menarik balik serangannya, se-

hingga kaki kanannya berhasil diselamatkan dari 

ketajaman mata pedang di tangan Iblis Hitam. Tia-

da diduga-duga lawannya melakukan serangan ba-

lik dengan kecepatan berlipat ganda. Jala Dara 

langsung terdesak hebat. Pada satu kesempatan 

yang sangat baik, Iblis Hitam tidak menyia-

nyiakan waktu.

Breet!

"Akkh...!" sambil memekik tertahan Jala 

Dara masih sempat melompat menghindari serga-

pan senjata berikutnya. Tidak urung bagian ba-

hunya yang tersambar ketajaman pedang di tan-

gan lawan terasa nyeri dan banyak mengeluarkan 

darah.

Darah meleleh dari luka memanjang di 

punggung laki-laki ini. Lawan yang sempat melihat


semua ini segera memburunya tanpa memberi ke-

sempatan sedikitpun pada Jala Dara untuk mela-

kukan sesuatu. Disertai jeritan tinggi melengking, 

Iblis Hitam mengayunkan senjatanya ke bagian 

kepala Jala Dara. Nampaknya dia sudah tidak 

mempunyai kemungkinan dapat meloloskan diri 

dari maut, jika pada saat yang sangat kritis itu ti-

dak berkelebat bayangan sesosok tubuh menyam-

bar Jala Dara dan langsung melesat pergi menem-

bus kegelapan malam.

"Kurang ajar!" maki Iblis Hitam ketika me-

nyadari lawannya telah dilarikan oleh sesosok 

bayangan yang tidak dikenalnya sama sekali. Den-

gan langkah tergesa-gesa mereka segera memburu 

ke arah menghilangnya bayangan tadi.

* * *

Gabruk!

Orang yang bergerak dengan kecepatan ba-

gai tidak ubahnya bayangan itu menjatuhkan tu-

buh Jala Dara di atas tanah berumput hijau. Saat 

itu bulan di langit sana mulai menampakkan diri, 

sehingga Jala Dara dapat melihat dengan jelas sia-

pa yang telah menyelamatkan dirinya dari tangan 

Iblis Hitam. Dengan rasa terima kasih yang men-

dalam dia melihat orang yang telah menyela-

matkannya.

Jala Dara tercengang ketika melihat orang 

yang telah menolongnya itu ternyata hanya seo-

rang pemuda berpakaian serba merah dengan 

rambut dikuncir, sementara di pinggangnya menggantung sebuah periuk berwarna hitam. Yang 

membuat Jala Dara kagum justru karena pemuda 

ini memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepa-

tan berlari luar biasa. Padahal usia pemuda itu 

mungkin baru sekitar dua puluhan. Di lain pihak 

pemuda berpakaian merah yang tidak lain Buang 

Sengketa ini terus memperhatikan Jala Dara tanpa 

berkata apa-apa. Jala Dara sebagai orang yang di-

tolong langsung merapatkan tangannya di depan 

dada.

"Terima kasih atas pertolongan anda, kisa-

nak! Aku berhutang nyawa pada kisanak." ucap-

nya dengan wajah tertunduk. Pemuda berpakaian 

merah melirik pada Jala Dara sekilas. Kemudian 

timbul dalam ingatannya bahwa orang di depan-

nya ini mempunyai budi pekerti yang luhur.

"Tolong menolong sesama manusia memang 

sangat dianjurkan, paman. Paman tidak usah ber-

kata begitu, sebab persoalan nyawa merupakan 

urusan Yang Maha Kuasa!"

"Tapi, kis...!"

"Panggil saja, Buang! Namaku Buang Seng-

keta, paman...!" sergah Buang Sengketa tanpa ra-

gu. Jala Dara menganggukkan kepalanya dengan 

perasaan kagum.

"Ah. Buang, jika saja kau tidak muncul. 

Mungkin sekarang ini aku hanya tinggal nama sa-

ja." ucapnya dengan suara tersendat. Mendengar 

keterangan laki-laki yang duduk tidak jauh da-

rinya ini tentu saja Buang Sengketa atau yang le-

bih di kenal dengan julukan Pendekar Hina Kelana 

ini merasa tertarik.

"Paman, sebenarnya siapakah paman ini 

dan siapa pula orang-orang yang telah mengeroyok 

paman?"

Jala Dara mendapat pertanyaan seperti itu 

nampak ragu-ragu.

"Katakanlah paman! Barangkali aku dapat 

menolongmu." desak Buang Sengketa.

Jala Dara menarik nafas, kemudian:

"Namaku Jala Dara, sedangkan orang yang 

mengeroyokku itu tidak lain Iblis Hitam. Namun 

menurut hematku sebaiknya kau tidak usah men-

campuri urusanku." Jala Dara menyarankan, se-

pertinya ia enggan persoalannya dicampuri oleh 

orang lain. 

"Mengapa paman menjadi ragu? Apakah 

paman merasa bahwa aku bukan orang yang da-

pat di percaya?" desah Buang Sengketa dengan 

suara agak keras.

"Bukan begitu, aku hanya merasa tidak ada 

gunanya menceritakan segala yang kuhadapi den-

gan orang lain. Mungkin engkau tidak tahu bahwa 

saat sekarang ini rimba persilatan di bagian Timur 

sedang di landa teror. Begitu banyak tokoh golon-

gan putih yang tewas di tangan golongan hitam."

Buang Sengketa terdiam, bagaimanapun ia 

merasa terkesan dengan keterangan Jala Dara. 

Sehingga ia bertekad untuk membantunya.

"Sudah hampir empat purnama rimba persi-

latan bagian Timur dilanda kejadian-kejadian yang 

mengejutkan. Beberapa perguruan silat yang ter-

dapat di sekitar daerah Bumi Ayu geger dengan 

tewasnya beberapa orang murid utama, dan bah


kan guru mereka ada yang tewas dengan luka 

menghitam akibat serangan senjata paku beracun 

dari Tokoh Misterius yang memiliki kepandaian 

sulit diukur. Yang lebih mengherankan mayat-

mayat mereka hilang raib tidak tentu rimbanya."

"Hmm... sebuah kejadian yang sangat lang-

ka dan jarang terdengar!" Buang bergumam sambil 

menatap Jala Dara lekat-lekat.

"Tapi menurutku si Tokoh Misterius mela-

kukan tindakan itu pastilah ada sebabnya."

Jala Dara terdiam, namun tidak lama ke-

mudian...

"Apa yang kau katakan memang benar, 

Buang. Tokoh misterius itu tidak mungkin mela-

kukan tindakan-tindakan yang keji jika tidak ada 

sesuatu yang sangat berharga yang dicarinya."

"Coba tolong paman jelaskan padaku!" 

Jala Dara menarik nafasnya panjang-

panjang.

"Aku sebenarnya penjaga benda langka di 

lembah Putus Nyawa. Benda yang ku jaga berupa 

patung yang terbuat dari emas murni. Pemilik pa-

tung itu memberi nama Patung Kematian, sebab 

siapapun yang menyentuh benda itu tanpa kain 

sutera merah, maka mereka akan menemui kema-

tian dengan kulit berubah membiru."

"Betapa beracunnya patung yang paman ja-

ga itu?" kata Buang, tubuhnya meremang mem-

bayangkan betapa ganasnya racun yang terdapat 

pada patung yang diceritakan oleh Jala Dara.

"Patung Kematian memang mengandung ra-

cun yang ganas. Namun dalam kenyataannya sangat banyak orang persilatan yang berhasrat memi-

liki patung itu. Karena di dalam Patung Kematian 

sutera yang memuat pelajaran menciptakan racun 

Seribu Wisa tingkat tinggi yang tidak ada duanya." 

jelas Jala Dara agak ragu.

Pendekar Hina Kelana merasa terkejut 

mendengar penuturan Jala Dara. Kalau benar apa 

yang dikatakan Jala Dara, sama saja artinya rimba 

persilatan berada dalam situasi curiga-mencurigai. 

Tapi apa hubungannya antara Patung Kematian 

dengan sepak terjang si Tokoh Misterius yang te-

rus mengancam keselamatan kaum persilatan go-

longan putih? Dan bagaimana mungkin orang-

orang yang menjadi korban Tokoh Misterius bisa 

hilang begitu saja? Pikir Buang Sengketa.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara 

desiran halus yang datang dari empat penjuru. 

"Paman Jala Dara! Awaas...!" teriak Buang 

Sengketa sambil melentingkan tubuhnya ke udara 

menghindari serangan gelap yang datang secara 

tiba-tiba itu.

"Aaah...!" Jala Dara menjerit tertahan. Ru-

panya ia tidak sempat menghindari serangan gelap 

berupa paku-paku beracun itu. Tubuh laki-laki ini 

langsung ambruk ke semak-semak dengan posisi 

terlentang.

"Paman...!" dalam keterkejutannya itu 

Buang Sengketa berteriak keras sambil berlari ke 

arah Jala Dara yang tergeletak tidak berdaya.

Buang Sengketa segera berlutut di samping 

tubuh Jala Dara yang mendapat luka di bagian 

dada dan keningnya. Luka yang berbentuk bulat


itu meninggalkan luka menghitam dan terus men-

galirkan darah berwarna kehitam-hitaman pula. 

Anehnya paku-paku beracun itu tidak lagi me-

nempel pada luka-luka yang di timbulkannya. Di-

lihat sekilas saja orang sudah tahu betapa orang 

yang menyambitkan senjata rahasia itu kemudian 

mencabutnya kembali setelah mencapai sasaran. 

Tentu merupakan orang yang memiliki kepandaian 

tinggi. Pendekar Hina Kelana sadar betul akan hal 

yang satu ini. Namun ia tidak perduli, yang ada 

dalam pikirannya adalah bagaimana caranya me-

nyelamatkan nyawa Jala Dara dari racun yang 

sangat ganas

"Sabarlah, paman. Aku akan berusaha me-

nolongmu..." kata Buang. Meskipun dalam hati ke-

cilnya mengatakan bahwa Jala Dara tidak mung-

kin tertolong lagi. Rupanya Jala Dara yang kulit 

tubuhnya mulai membiru akibat cepatnya racun 

itu bekerja menggelengkan kepala.

"Tid... tidak! Ajalku sudah sampai. Kalau 

kau butuh keterangan, datanglah ke perguruan 

Teratai Putih." sebelum Jala Dara sempat melan-

jutkan ucapannya, tiba-tiba kepalanya terkulai. 

Tubuh Jala Dara cepat sekali berubah dingin. 

Buang Sengketa menggelengkan kepalanya lemah. 

Dalam hati ia bertekad untuk menyelidiki tentang 

apa yang di sebut-sebut oleh Jala Dara. Dan satu-

satunya tempat yang akan ditujunya adalah per-

guruan Teratai Putih.

***


DUA


Perguruan Teratai Putih merupakan pergu-

ruan yang cukup besar. Murid-muridnya berjum-

lah tidak kurang dari tiga puluh lima orang. Pergu-

ruan ini terletak di daerah padat penduduk di kaki 

bukit Abadi. Perguruan Teratai Putih menjadi ter-

kenal, bahkan disegani baik oleh kawan maupun 

lawan karena ketinggian dan kemahiran para mu-

rid-muridnya dalam memainkan ilmu pedang.

Namun, pagi itu perguruan Teratai Putih 

yang dipimpin oleh Eyang Wiku Swanda menjadi 

gempar dengan hadirnya Iblis Hitam beserta lima 

orang kawannya. Begitu mereka menginjakkan ka-

kinya di perguruan Teratai Putih, Iblis Hitam dan 

lima orang kawannya langsung menyerang murid-

murid perguruan Teratai Putih. Murid- murid per-

guruan Teratai Putih yang rata-rata memiliki ilmu 

pedang yang sangat lumayan ini tentu saja tidak 

tinggal diam. Dengan cepat merekapun membalas 

serangan-serangan ganas lawannya dengan tidak 

kalah sengitnya.

Pertempuran serupun terjadi. Lima orang 

Iblis Hitam berusaha mendesak murid-murid per-

guruan Teratai Putih yang juga mempergunakan 

senjata pedang. Dalam waktu yang singkat, murid-

murid perguruan Teratai Putih satu demi satu ber-

gelimpanggan roboh. Semua ini tentu saja me-

mancing kemarahan yang lain. Kemudian secara 

serentak, dengan disertai teriakan-teriakan meng-

gelegar, mereka yang memiliki tingkat kepandaian


lebih tinggi segera mengeroyok kelima anggota Iblis 

Hitam. Dengan turunnya murid utama dari pergu-

ruan itu, maka sekarang keadaan menjadi berba-

lik. Kelima anggota Iblis Hitam mulai merasakan 

tekanan yang dilakukan oleh lawan-lawan mereka. 

Semua itu tidak luput dari perhatian laki-laki ber-

wajah angker yang menjadi ketua mereka. Tanpa 

berkata apa-apa, laki-laki ini segera ikut mengga-

bungkan diri ke dalam pertempuran. Dengan 

hanya bertangan kosong dia menghajar lawan-

lawannya. Tendangan kilat yang dilakukannya se-

cara beruntun maupun pukulan-pukulan kilat sal-

ing susul menyusul. Beberapa orang murid pergu-

ruan Teratai Putih yang berada dekat dengan di-

rinya nampak bergelimpangan roboh tanpa mam-

pu bangkit kembali.

Ketika Iblis Hitam berusaha membuka jalan 

darah untuk menerobos masuk ke dalam pondok 

perguruan. Pada saat itu dari bagian samping 

pondok menderu angin kencang menebarkan hawa 

panas luar biasa ke arah Iblis Hitam. Dengan ge-

rakan kilat, laki-laki berwajah bengis ini memi-

ringkan tubuhnya ke samping kiri, lalu iapun me-

lompat sejauh tiga langkah. Pukulan yang hampir 

menghajar tubuhnya dari samping pondok pun lu-

put dan menghantam tangga hingga hancur beran-

takan. Dengan cepat Iblis Hitam memandang ke 

arah datangnya pukulan tadi. Entah dari mana da-

tangnya, tahu-tahu di samping pondok telah berdi-

ri seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh 

tahun, pakaiannya warna putih tidak ubahnya ba-

gai pendeta Brahma, sedangkan rambut, jenggot


serta kumisnya juga berwarna putih. Laki-laki ini 

tidak lain Eyang Wiku Swanda. Ia memandang ta-

jam pada Iblis Hitam dengan sorot mata tajam me-

nusuk.

"Melihat dandanan kalian yang mirip orang 

gila. Aku yakin kalian pastilah Iblis Hitam, yang 

selama ini tinggal di bukit Tunggul. Ada keperluan 

apakah sehingga begitu datang kalian membunuhi 

beberapa orang muridku?" tanya laki-laki berpa-

kaian Brahma ini dengan sikap tenang dan pan-

dangan menyelidik.

Ketua Iblis Hitam sebenarnya menyadari be-

tapa tingginya ilmu kepandaian yang dimiliki oleh 

tokoh golongan putih yang satu ini. Itulah sebab-

nya walaupun mereka sempat membunuh bebera-

pa orang murid perguruan Teratai Putih. Namun 

dalam hal bertutur kata ia masih bersikap hati-

hati.

"Maafkan kami, Eyang Wiku." kata Iblis Hi-

tam yang ternyata kenal betul dengan ketua per-

guruan Teratai Putih. "Sebenarnya kedatanganku 

dengan beberapa orang kawan ke perguruan anda 

ini bukan ingin membuat ribut. Tapi karena mu-

rid-muridmu terlalu curiga dan menghalang-

halangi kami untuk berjumpa denganmu. Maka 

dengan sangat terpaksa kami memberi sedikit pe-

lajaran pada mereka." kata-kata Iblis Hitam ini di-

ucapkan seolah penuh penyesalan. Padahal semua 

murid-murid perguruan Teratai Putih jelas tahu 

bahwa merekalah yang telah melakukan serangan 

begitu mereka datang tadi. Sebagai orang yang te-

lah berpengalaman, Eyang Wiku Swanda menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Iblis Hitam 

hanya berupa kebohongan semata-mata. Diam-

diam hati ketua perguruan Teratai Putih ini men-

jadi geram bukan main, tapi di depan ketua Iblis 

Hitam ia berusaha menutupi kemarahannya. Ka-

rena ia sebenarnya ingin mengetahui apa yang 

menjadi tujuan Iblis Hitam datang ke perguruan 

yang dipimpinnya. Kemudian dengan kata-kata ta-

jam menusuk, Eyang Wiku Swanda berkata:

"Membunuh beberapa orang murid pergu-

ruan Teratai Putih bukanlah merupakan sebuah 

pelajaran. Semua itu tidak jauh bedanya dengan 

sebuah penghinaan dan pembunuhan yang tidak 

bertanggung jawab. Namun aku yang tua ini 

mungkin saja dapat memaafkan kalian, jika anda 

segera menjelaskan padaku apa sebenarnya yang 

menjadi tujuan kalian hingga datang ke perguruan 

kami?"

"Inilah saat yang kutunggu-tunggu. Tanpa 

bersusah payah menjelaskannya, kiranya Wiku 

Swanda memberi kesempatan padaku untuk bi-

cara" Pikir Iblis Hitam, sementara Eyang Wiku 

Swanda terus memandanginya dengan sikap tidak 

sabar.

"Eyang Wiku! Adapun niat kedatangan kami 

ke perguruan Teratai Putih ini, pertama-tama ada-

lah untuk melihat keselamatan Wiku. Sedangkan 

yang kedua adalah untuk menanyakan tentang pe-

rihal Patung Kematian yang kabarnya telah lenyap 

dari sebuah tempat yang hanya Wiku sendiri yang 

mengetahuinya." kata Iblis Hitam di sertai se-

sungging senyum penuh kelicikan.


Wajah Eyang Wiku Swanda berubah meme-

rah seketika. Tanpa sadar ia mengatupkan gera-

hamnya rapat-rapat. Sebenarnya ia sendiri selain 

sangat marah juga heran. Bagaimana Iblis Hitam 

bisa tahu bahwa Patung Kematian yang baru di-

ambil oleh dua orang muridnya dan jatuh ke tan-

gan orang lain bisa secepat itu beritanya sampai 

kepada Iblis Hitam. Padahal kabar itu baru diteri-

manya malam tadi. Eyang Wiku Swanda berke-

simpulan, jika saja Iblis Hitam telah mengetahui 

perihal hilangnya Patung Kematian. Bukan mus-

tahil saat itu golongan persilatan lainnya juga telah 

mengetahuinya. Kenyataan ini sangat berbahaya 

sekali. Karena Patung Kematian bisa saja dipere-

butkan oleh banyak golongan yang berambisi ingin 

memilikinya. Jika Patung Kematian sampai terja-

tuh ke tangan golongan sesat, rimba persilatan te-

rancam malapetaka yang sangat besar. Diam-diam 

Eyang Wiku Swanda bergidik ngeri membayangkan 

bencana yang mungkin saja bakal terjadi

"Bagaimana, Wiku? Apakah betul apa yang 

kukatakan tadi?" desak Iblis Hitam tidak sabar. 

Ketua perguruan Teratai Putih tersentak dari la-

munannya.

"Huh!" Eyang Wiku Swanda mendengus. 

"Dalam sejarahnya belum ada golongan sesat sikap 

baik pada golongan putih! Biasanya yang kutahu 

iblis hanya mengunjungi setan. Kalian datang in-

gin menanyakan keselamatanku. Tapi justru kare-

na kehadiran kalian, beberapa orang muridku 

menjadi tidak selamat! Bicaramu berputar-putar 

membuat pusing kepala, tidak tahunya Patung


Kematian juga yang menjadi tujuan kalian. Kalian 

memang orang-orang sesat yang tidak tahu malu." 

bentak laki-laki berpakaian putih ini dengan ke-

marahan membara. Iblis Hitam memang tokoh 

yang tidak bermalu, terbukti...

"Wiku! Kami merasa beruntung kalau Wiku 

memang telah mengetahui apa yang menjadi tu-

juan kami. Menurutku berita tentang hilangnya 

Patung Kematian itu sesungguhnya hanyalah se-

buah kabar yang tidak lucu. Dan kami yakin pa-

tung itu sekarang berada di tanganmu, singkatnya 

serahkanlah patung itu kepada kami!" perintah Ib-

lis Hitam tanpa malu-malu lagi. Keinginan tokoh 

sesat itu tentu saja membuat Eyang Wiku Swanda 

menjadi gusar. Dia merasa Iblis Hitam tidak me-

mandang muka padanya. Kenyataan inilah yang 

membuat kesabarannya hilang.

"Iblis Hitam! Kuperingatkan padamu untuk 

menyingkir dari hadapan kami." begitu dingin sua-

ra Eyang Wiku Swanda, namun Iblis Hitam malah 

tertawa tergelak-gelak. Hatinya merasa senang se-

kali karena merasa mampu memancing kemara-

han laki-laki tua ini.

"Bagaimana kalau kami tidak ingin me-

nyingkir dari tempat kediamanmu ini, Wiku...? 

Apakah kau merasa mampu mengusirku?" ejek Ib-

lis Hitam disambut gelak tawa kawan-kawannya.

"Wiku. Mengapa harus bersusah payah. Ka-

lau mereka tidak mau menyingkir, lebih baik kita 

gebuk saja mereka beramai-ramai..." entah dari 

mana datangnya tahu-tahu tidak jauh dari hada-

pan mereka telaih berdiri seorang pemuda berwajah sangat tampan berpakaian merah.

Ketika Eyang Wiku Swanda melihat kehadi-

ran Buang, laki-laki tua ini mengernyitkan alisnya. 

Sama sekali ia tidak mengenal pemuda itu. Namun 

sebagai orang yang telah berpengalaman, Eyang 

Wiku Swanda tahu kalau kehadiran pemuda ini 

bukan membawa maksud-maksud tidak baik.

Lain lagi halnya dengan ketua Iblis Hitam 

dan lima orang kawannya. Mereka ini jelas pernah 

bertemu dengan Buang Sengketa, meskipun tidak 

pernah bentrok secara langsung. Namun melihat 

gerakannya yang cepat luar biasa saat menyela-

matkan Jala Dara beberapa hari yang lalu, mereka 

segera maklum pemuda itu memiliki kepandaian 

tinggi. Karena itu ketua Iblis Hitam merasa perlu 

berbuat sesuatu agar pemuda berpakaian merah 

ini jangan sampai mencampuri urusannya dengan 

Eyang Wiku Swanda.

"Kisanak, ku harap engkau tidak mencam-

puri urusanku dengannya. Jika anda tetap ber-

sikeras, maka kami tidak segan-segan menghajar-

mu." ancam Iblis Hitam. Namun apa yang dikata-

kan oleh Buang kemudian benar-benar membuat 

Iblis Hitam mati kutu.

"Ha... ha... ha...!" Buang menghentikan ta-

wanya sejenak sambil menggaruk-garuk kepa-

lanya. "Kalian bukanlah bangsanya memedi yang 

patut ditakuti." Buang lalu berpaling pada Eyang 

Wiku Swanda. "Eyang... anda tentu belum menge-

nalku. Tapi, ketahuilah beberapa hari yang lalu Ib-

lis Hitam hampir saja membunuh paman Jala Da-

ra, yang mereka sangka membawa Patung Kematian."

Kata-kata yang disampaikan oleh Buang 

membuat terkejut kakek tua ini. Sama sekali ia ti-

dak pernah menyangka kalau pemuda ini malah 

pernah bertemu dengan Jala Dara penjaga pintu 

Kematian. Tapi Eyang Wiku Swanda menjadi bin-

gung sendiri ketika ia tidak melihat Jala Dara da-

tang bersama pemuda berpakaian merah itu. Be-

berapa orang muridnya yang melakukan pencarian 

mengatakan Jala Dara telah tewas, jadi mana yang 

benar?

"Kisanak. Siapakah engkau? Dan bagaima-

na bisa mengenal Jala Dara?" tanyanya dalam ke-

raguan.

"Namaku Buang Sengketa. Mengenai per-

jumpaanku dengan paman Jala Dara agak panjang 

ceritanya. Tapi apakah anda merasa pantas kalau 

kuceritakan segala sesuatunya di depan orang-

orang ini?" Buang langsung menunjuk ke arah Ib-

lis Hitam dan kawannya. Tokoh aliran sesat ini 

menjadi marah karena merasa diremehkan. Ketika 

Eyang Wiku Swanda belum sempat berkata apa-

apa, ketua Iblis Hitam segera menyerang Pendekar 

Hina Kelana. Sedangkan lima orang lainnya den-

gan pedang terhunus segera menyerang Eyang Wi-

ku Swanda. Eyang Wiku Swanda menyambut se-

rangan senjata kelima anggota Iblis Hitam dengan 

sikap tenang. Pada kenyataannya Eyang Wiku 

Swanda bukanlah lawan bagi lima anggota Iblis Hi-

tam. Ilmu kepandaian yang dimiliki oleh kakek tua 

ini jelas jauh lebih tinggi dari lawan-lawannya. 

Namun bagi lawan yang senantiasa haus darah,


mereka mana mau perduli dengan kenyataan yang 

mereka hadapi. Lima mata pedang laksana kilat 

menghujani laki-laki berumur tujuh puluh tahun 

ini, sehingga harus membuatnya mengerahkan il-

mu meringankan tubuh serta kecepatan gerak 

yang tiada dapat diduga-duga. 

"Uakh...!"

Wuuus!

Satu tusukan mata pedang yang mengarah 

bagian lambung kiri berhasil dielakkan oleh kakek 

ini. Pada kesempatan itu Eyang Wiku Swanda me-

lontarkan pukulan keras ke arah lawannya.

Blaaar!

"Wuaark...!"

Dua orang lawan yang terus berusaha men-

desaknya di bagian samping kiri langsung terbant-

ing roboh. Pukulan kakek tua yang disertai penge-

rahan tenaga dalam tinggi menghajar tubuh mere-

ka. Terdengar tulang-belulang berderak patah me-

nyertai jatuhnya dua sosok tubuh anggota Iblis Hi-

tam. Kedua laki-laki yang terkena pukulan kakek 

tua ini nampak memuntahkan darah segar. Tubuh 

mereka berkelojotan, selanjutnya terdiam tiada 

bergerak-gerak lagi.

Melihat dua orang kawannya dapat dijatuh-

kan oleh lawan mereka, tiga orang lainnya lang-

sung menghentikan serangan. Tapi sesaat setelah 

mereka saling berpandangan sesamanya. Dengan 

disertai teriakan-teriakan melengking tinggi, ketiga 

orang itu sudah membangun serangan kembali. 

Semakin lama serangan yang dilakukan oleh keti-

ga laki-laki ini semakin bertambah gencar Dan gannas. Meskipun laki-laki tua ini agak kerepotan ju-

ga menghadapi serangan mata pedang yang me-

luncur deras ke arahnya, Eyang Wiku Swanda ma-

sih dapat bersikap tenang. Semua ini merupakan 

suatu pertanda bahwa laki-laki itu mempunyai ke-

pandaian di atas lawan-lawannya.

Di lain pihak, ketua Iblis Hitam yang sedang 

berhadapan dengan Buang atau Pendekar Hina 

Kelana. Nampak sudah mulai mendesak pendekar 

ini. Berulangkali senjata andalannya berupa pe-

dang yang mengandung hawa panas beracun ber-

kelebat cepat terarah pada bagian-bagian tubuh 

yang mematikan. Dengan cepat Buang melentik-

kan tubuhnya ke udara. Selanjutnya dengan gera-

kan yang ringan, tubuhnya telah meluncur ke ba-

wah sambil melontarkan pukulan Empat Anasir 

Kehidupan. Serangkum gelombang pukulan yang 

menebarkan hawa panas tiada tertahankan meng-

hantam tubuh Iblis Hitam. Namun rupanya laki-

laki bertampang angker ini menyadari datangnya 

pukulan ini. Hanya sesaat saja dia terperangah. 

Selanjutnya dengan gerakan yang tiada terduga 

oleh Buang Sengketa, lawan langsung memutar 

pedangnya di atas kepala. Buang sempat tersentak 

kaget, ia memang tidak pernah menyangka lawan-

nya mampu melakukan gerakan yang sangat sulit 

seperti itu. Masih untung ia masih dapat meng-

hentikan arus pukulannya.

"Heeuph!" 

Sesaat ia terhindar dari serangan senjata 

lawannya, Buang telah menjejakkan kedua ka-

kinya kembali ke tanah. Pendekar Hina Kelana ini


berdiri tegak sambil memandang tajam pada laki-

laki berbadan pendek yang seluruh bagian wajah-

nya ditumbuhi bulu-bulu halus. Sementara Iblis 

Hitam ini juga menghentikan serangannya. Seraya 

melirik pada Buang dengan pandangan kagum 

bercampur amarah. Namun tidak lama setelahnya 

dia telah berpaling ke arah Wiku Swanda yang ba-

ru saja menyelesaikan pertarungan dengan anggo-

ta Iblis Hitam.

Iblis Hitam tersentak kaget melihat seluruh 

anak buahnya terbantai habis oleh Eyang Wiku 

Swanda, dengan geram...

"Keparaat! Kalian telah membunuh orang-

orangku!" bentak Iblis Hitam dengan amarah ber-

kobar-kobar.

Eyang Wiku Swanda dan Buang Sengketa 

saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka 

mengalihkan perhatiannya pada Iblis Hitam yang 

telah berubah tegang akibat kematian kawan-

kawannya.

"Iblis Hitam. Kalau kau tidak segera pergi 

dari tempat kediamanku ini. Jangan menyesal 

nanti jika aku sampai turun tangan kejam pada-

mu!" desis Eyang Wiku Swanda dengan suara din-

gin menggetarkan.

Ketua Iblis Hitam mendengus. Pikirannya 

yang cerdik dam dipenuhi kelicikan ini berputar 

cepat. Dia sadar karena Patung Kematian yang ka-

barnya mengandung ilmu racun ganas, dia telah 

mengorbankan nyawa lima orang kawannya. Pa-

dahal seperti yang diakui oleh Eyang Wiku Swan-

da, benda yang sedang diincar oleh berbagai tokoh


itu tidak ada padanya. Dan mengapa baru seka-

rang dia ingat bahwa dua orang murid perguruan 

Teratai Putih yang membawa Patung Kematian te-

was di tangan pembunuh misterius bersama le-

nyapnya Patung Kematian itu. Andai sekarang ini 

ia tetap bersikeras melanjutkan pertarungan den-

gan Wiku Swanda. Maka semakin kecillah harapan

baginya untuk keluar sebagai pemenang. Eyang 

Wiku Swanda adalah seorang tokoh persilatan 

yang mempunyai kepandaian tinggi, belum tentu 

dia mampu mengalahkannya, apalagi jika sampai 

pemuda berperiuk itu turut membantu. Bisa saja 

jiwanya tidak akan selamat. Kalau begitu sia-

sialah harapannya selama ini untuk memiliki Pa-

tung Kematian. Teringat sampai di situ, Iblis Hitam 

tidak mampu membayangkan bagaimana nasibnya 

nanti. Dia pun akhirnya memutuskan...

"Baiklah orangtua. Hari ini kau boleh terta-

wa atas kemenanganmu, tapi ingat di suatu saat 

kelak aku akan mencarimu!" kata Iblis Hitam pe-

nuh ancaman. Selanjutnya tanpa berkata-kata la-

gi, ia segera memutar tubuh kemudian berlari ce-

pat meninggalkan perguruan Teratai Putih.

***


TIGA



"Terlalu sulit untuk mencari kepastian siapa 

yang telah merebut patung itu, Buang!" ujar Eyang 

Wiku Swanda ketika sore itu mereka terlihat pembicaraan serius di ruangan pendopo depan.

"Lalu menurut kakek sendiri bagaimana?"

Eyang Wiku Swanda langsung terdiam se-

saat setelah Pendekar Hina Kelana ini mengajukan 

pertanyaan. Memang sebenarnya terasa sulit bagi 

laki-laki berusia tujuh puluhan ini untuk menerka 

siapa sebenarnya orang yang telah berhasil me-

rampas Patung Kematian dari tangan kedua orang 

muridnya. Sepanjang yang diketahuinya, sejak Pa-

tung Kematian berada dalam pengawasan Jala Da-

ra. Salah seorang abdi yang sangat dipercayainya, 

Patung Kematian selalu menjadi incaran kaum go-

longan sesat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, 

tokoh-tokoh persilatan dari golongan putihpun 

mengincar patung itu. Selain itu ada satu hal yang 

selalu membebani perasaannya. Yaitu siapakah 

pembunuh misterius yang mempergunakan paku 

beracun sebagai senjata rahasia? Apakah Tokoh 

Misterius itu yang telah merampas Patung Kema-

tian yang dibawa oleh kedua orang muridnya? 

Eyang Wiku Swanda tidak berani menarik kesim-

pulan sampai sejauh itu. Sebab selama ini ia me-

rasa tidak mempunyai seorang musuhpun di rim-

ba persilatan.

Sekarang ada pula seorang pemuda yang 

muncul begitu saja dan menyatakan kesanggu-

pannya untuk membantu menemukan patung 

yang hilang itu. Eyang Wiku Swanda sebenarnya 

merasa senang juga dengan kemunculan serta ke-

sanggupan Buang Sengketa. Namun keraguan ter-

kadang selalu hadir di benaknya. Entah mengapa 

akhir-akhir ini dia mudah curiga terhadap orang


lain. Terlebih-lebih sejak almarhum kakeknya Be-

su Dewa memberi amanat untuk menjaga kesela-

matan Patung Kematian. Tidak seharusnya aku 

menanamkan kecurigaan yang berlebih-lebihan 

pada itikad baik pemuda ini, pikir Eyang Wiku 

Swanda.

"Hemm...!"

Suara Pendekar Hina Kelana memecah ke-

heningan suasana yang terasa kaku. Ketua pergu-

ruan Teratai Putih yang sejak tadi di buai lamu-

nannya nampak tersentak kaget. Laki-laki ini 

menggeragap, bibirnya menyunggingkan seulas 

senyum tipis.

"Baiklah, kek! Kalau kakek masih menaruh 

kecurigaan terhadap niat saya. Baiknya saya tidak 

usah terlalu memaksakan diri. Lagi pula tidak ada 

untungnya bagi saya mencampuri urusan kakek." 

desah Buang, seakan ia dapat membaca pikiran 

orangtua yang duduk di depannya itu.

"Eh, tunggu Buang! Bukankah aku belum 

memutuskan apa-apa!" Eyang Wiku Swanda buru-

buru mencegah saat dilihatnya Buang Sengketa 

hendak beranjak dari tempat duduknya.

"Kau jangan tersinggung, Buang. Terus te-

rang kukatakan padamu, bahwa pada saat seka-

rang ini pikiranku sedang kacau. Aku mengha-

rapkan pengertianmu, sungguh...!"

Mau tidak mau Pendekar Hina Kelana kem-

bali duduk di tempatnya, namun ia tetap diam 

dengan sikap menunggu.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu 

yang sifatnya sangat rahasia sekali." ketua perguruan Teratai Putih ini melanjutkan ucapannya. 

Sebentar matanya yang agak cekung itu memper-

hatikan suasana di sekitarnya.

"Katakan saja Kek! Kakek tidak perlu mera-

sa ragu." tegas Buang Sengketa berusaha menghi-

langkan keraguan di hati Eyang Wiku Swanda.

Kakek tua ini kembali tersenyum sambil 

menarik nafasnya dalam-dalam. Sebagai orang 

berpengalaman dia tahu Buang berkata jujur. Se-

hingga sesaat kemudian...

"Telah begitu lama aku menghawatirkan 

keamanan Patung Kematian yang saat itu kusim-

pan di kuburan Mayit. Selama lima tahun tempat 

penyimpanan benda peninggalan leluhurku itu di-

jaga Jala Dara. Ia merupakan abdiku yang paling 

setia. Abdi keluarga kami itu mempunyai ilmu ka-

nuragan yang cukup tinggi, bahkan aku sendiri ti-

dak meragukan kemampuannya. Selama itu Pa-

tung Kematian tersimpan di tempat yang aman." 

jelas Eyang Wiku Swanda dengan suara tersendat 

bercampur sedih. Sesaat dia terdiam, tapi kemu-

dian segera melanjutkan kembali setelah Buang 

Sengketa hanya diam saja.

"Beberapa purnama belakangan, seorang 

Tokoh Misterius muncul dalam rimba persilatan. 

Kemunculannya menebarkan malapetaka besar, 

karena ia melakukan pembunuhan di mana-mana. 

Satu purnama yang telah lewat, Tokoh Misterius

itu datang ke perguruan Teratai Putih ini. Yang 

membuat aku terkejut justru kehadirannya di sini 

menanyakan Patung Kematian. Aku saat itu hanya 

bersikap tidak tahu menahu dengan benda yang


ditanyakannya itu. Akibatnya Tokoh Misterius itu 

membunuh beberapa orang muridku. Setelah itu 

bagai bantu yang bergentayangan ia pergi dalam 

kegelapan malam, setelah mengancamku. Jika da-

lam waktu dua purnama di depan aku tidak me-

nyerahkan benda yang diinginkannya. Maka dia 

akan menghancurkan perguruan Teratai Putih" 

kata laki-laki berpakaian serba putih itu sedih.

"Kakek menyanggupi keinginannya itu?" 

tanya Buang Sengketa penuh perhatian.

"Aku tidak pernah menuruti keinginannya, 

Buang! Karena aku tidak tahu siapakah Tokoh 

Misterius yang telah mengetahui rahasia yang ter-

kandung di dalam Patung Kematian itu."

"Lalu kakek mengutus beberapa orang mu-

rid untuk mengambil benda itu dari kuburan 

Mayit?" tebak Buang. Kemudian dijawab oleh 

Eyang Wiku Swanda dengan anggukkan kepala.

"Dua orang muridku memang kusuruh 

mengambil Patung Kematian yang selama ini di ja-

ga oleh Jala Dara di kuburan Mayit. Kemudian ke-

jadian selanjutnya kau sendiri sudah mengeta-

huinya."

"Hmm...!" Buang Sengketa menggumam ti-

dak jelas.

Suasana sunyi kembali mencekam, baik 

Buang Sengketa maupun Eyang Wiku Swanda 

nampak tenggelam dalam pikirannya masing-

masing. Bagi Pendekar Hina Kelana sendiri sudah 

tentu merasa kesulitan untuk menentukan di tan-

gan siapa sebenarnya Patung Kematian saat ini be-

rada. Repotnya begitu banyak orang-orang dari


rimba persilatan yang menginginkan benda itu. 

Mula-mula Iblis Hitam, kemudian Eyang Wiku 

Swanda ada menyebut bahwa Tokoh Misterius 

yang mempergunakan senjata paku beracun juga 

menginginkan benda itu.

Kenyataaannya paku-paku beracun itu pula 

yang telah menewaskan Jala Dara dan dua orang 

murid Teratai Putih ketika mereka diutus untuk 

mengambil Patung Kematian dari kuburan Mayit. 

Begitupun tidak tertutup kemungkinan beberapa 

tokoh lain bersembunyi di balik semua peristiwa 

yang terjadi. Namun mungkinkah mereka semua-

nya tewas di tangan Tokoh Misterius itu? Buang 

Sengketa sendiri merasa perlu tahu lebih banyak 

lagi dari Eyang Wiku Swanda.

"Kek... sepanjang yang kakek ketahui apa-

kah hanya Tokoh Misterius itu dan Iblis Hitam saja 

yang menginginkan benda itu?"

"Kalaulah hanya Iblis Hitam dan tokoh yang 

selalu memakai topeng itu saja yang menginginkan 

Patung Kematian. Tentu bagi kita sangat mudah 

untuk mencarinya. Tapi masih ada lagi dua kekua-

tan lain yang bergerak secara sembunyi-sembunyi. 

Mereka itu adalah Pengemis Partai Utara dan juga 

seorang tokoh sesat yang sangat sakti yang mem-

punyai julukan Beruang Hitam...!"

"Ternyata untuk mendapatkan benda itu 

kembali, kita harus mampu menembus lingkaran 

setan. Semua ini bukanlah pekerjaan mudah, ka-

rena kita harus menyelidiki di tangan siapa sebe-

narnya Patung Kematian berada." kata Buang 

Sengketa setengah mengeluh. Dalam hati Buang


sebenarnya agak menyesal juga karena telah ikut 

terlihat dalam urusan yang agak rumit itu. Namun 

bagi Pendekar Hina Kelana, untuk bersurut mun-

dur dan tidak mencampuri urusan yang sedang 

dihadapi oleh Eyang Wiku Swanda rasanya sangat 

mustahil sekali. Apalagi bila mengingat betapa 

berbahayanya Patung Kematian jika sampai terja-

tuh ke tangan golongan sesat. Dunia persilatan 

pastilah dilanda malapetaka.

"Semuanya memang terasa sulit, Buang! 

Tapi jika tidak kita lakukan, tidak dapat ku-

bayangkan apa yang terjadi di rimba persilatan ji-

ka kitab ilmu penggunaan racun dalam tubuh Pa-

tung Kematian diketahui oleh orang-orang sesat. 

Tidak seorang pun di kolong langit ini yang mam-

pu menandinginya." suara Eyang Wiku Swanda 

bergetar. Sementara wajahnya membayangkan ra-

sa khawatiran yang mendalam. Melihat semua ini 

Pendekar Hina Kelana merasa tidak tega jadinya.

"Baiklah, kek. Sekarang segala-galanya te-

lah jelas bagiku, aku bahkan bersedia memban-

tumu. Tapi bagaimana jika aku pergi nanti Tokoh 

Misterius itu menagih janji datang ke sini?" tanya 

Buang dengan perasaan cemas.

Eyang Wiku Swanda menyambutnya den-

gan sesungging senyum ramah.

"Aku tidak pernah merasa gentar dengan 

kehadirannya, Buang. Aku sudah terlalu tua un-

tuk menjalani sisa-sisa hidup ini. Tapi aku bisa 

menyesal seumur hidup, jika Patung Kematian itu 

salah dipergunakan oleh orang lain."

Buang Sengketa merasa tersentuh juga ha


tinya mendengar pengakuan tulus laki-laki itu. 

Dalam hati ia telah bertekad untuk membantu la-

ki-laki tua itu dengan segenap kemampuannya.

"Baiklah, kek. Besok pagi-pagi sekali aku 

akan segera memulai mencari jejak hilangnya Pa-

tung Kematian itu." janji Buang sambil mengang-

guk dengan sikap hormat.

Malamnya setelah melakukan santap ma-

lam bersama Eyang Wiku Swanda, Pendekar Hina 

Kelana segera melangkahkan kakinya memasuki 

kamar yang telah disediakan. Waktu terus berlalu 

tiada henti, di luar rumah kediaman Eyang Wiku 

Swanda terasa gelap, sepi mencekam. Hanya sese-

kali saja terdengar suara lolongan serigala di ke-

jauhan sana. Sehingga membuat merinding bulu 

kuduk murid-murid perguruan Teratai Putih yang 

sedang bertugas jaga. Sementara di dalam kamar-

nya, Buang sudah terlelap sejak dua jam tadi. Pa-

da saat itu di dalam kegelapan nampak berkelebat 

beberapa sosok tubuh mendekati kamar yang di 

tempati oleh Buang Sengketa. Melihat dari gerakan 

mereka, jelas mereka merupakan orang-orang per-

silatan yang memiliki kepandaian tinggi. Sejenak 

bayangan itu menghentikan gerakannya, kemu-

dian mereka memperhatikan kamar yang ditempati 

oleh Buang Sengketa. Selanjutnya ketiga bayangan 

itu segera mengambil sesuatu dari balik jubah hi-

tam mereka yang menjela-jela sampai ke tanah. 

Maka tidak lama kemudian terlihatlah sebuah 

benda berwarna putih berkilauan berada di tangan 

mereka. Namun pada saat itu ketiga pendatang ini 

sibuk berkasak-kusuk dengan kawan-kawannya.


Di dalam kamarnya Buang Sengketa menggeliat 

gelisah. Kemudian ia merasakan seperti menden-

gar suara almarhum gurunya membisikkan sesua-

tu tentang situasi di sekelilingnya. Pendekar Hina 

Kelana langsung terjaga dari tidurnya. Secara ref-

lek ia melirik ke arah jendela kamar. Pada saat itu-

lah matanya yang tajam melihat berkelebatnya be-

berapa buah benda berwarna putih berkilauan me-

luncur deras ke arahnya. Dengan cepat Buang 

menjatuhkan tubuhnya di samping dipan yang di-

tempatinya.

Weees! .....

Zeb! Zeb!

Benda putih yang ternyata merupakan dua 

buah pedang pendek itu luput dari sasarannya. 

Kemudian meluncur dan menancap dinding yang 

berada di belakangnya. Dengan cepat Buang 

bangkit berdiri, tanpa menghiraukan pedang-

pedang pendek yang menancap di dinding itu ia 

segera melompati jendela dan melakukan pengeja-

ran ke arah menghilangnya tiga sosok bayangan 

tadi.

Berkat ilmu lari cepat Ajian Sepi Angin, ser-

ta ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat 

sempurna. Dalam waktu yang singkat Buang telah 

berhasil menyusul tiga orang berjubah hitam yang 

hampir saja berhasil membunuhnya.

"Heeuup...!"

Tubuh Buang Sengketa melompat ke udara, 

kemudian dengan gerakan yang ringan pula tanpa 

menimbulkan suara sedikitpun, Buang telah men-

jejakkan kakinya persis di depan tiga laki-laki ber


jubah hitam ini. Mereka terpaksa menghentikan 

larinya ketika melihat Pendekar Hina Kelana 

menghadang di depannya.

"Siapa kalian!" bentak Buang Sengketa den-

gan amarah membara. Sebaliknya tidak seorang-

pun diantara ketiga orang ini yang menjawab per-

tanyaan Buang, terkecuali suara dengusan yang 

membuat Buang kehilangan rasa kesabarannya.

"Kurang ajar! Kalian benar-benar membuat 

kesabaranku hilang, manusia bertopeng jubah hi-

tam!" teriak Buang dingin menggetarkan.

Tapi anehnya tak sedikitpun ketiga laki-laki 

berjubah hitam itu terpengaruh. Bahkan tanpa 

berkata apa-apa lagi, mereka serentak mencabut 

senjata mereka berupa pedang pendek, lalu lang-

sung menyerang Pendekar Hina Kelana dari tiga 

penjuru arah. Tanpa memberi kesempatan pada 

penyerangnya, Buang segera menyambut serangan 

mereka dengan kekuatan berlipat ganda. Namun 

penyerang itu rupanya rata-rata mempunyai ke-

pandaian tinggi. Sehingga bagi Buang bukan me-

rupakan pekerjaan yang mudah untuk menjatuh-

kan lawan-lawannya.

"Huup! Ciaaat...!"

Buang dengan cepat mempergunakan jurus 

Membendung Gelombang Menimba Samudra keti-

ka dua tusukan yang datang dari depan dan bela-

kang menderu ke bagian perutnya. Serangan kilat 

yang dilakukan lawan, luput. Tapi serangan lain-

nya mengancam bagian kepalanya.

"Iih...!"

Pemuda ini merasakan serangan yang dila


kukan lawannya yang seorang lagi benar-benar 

sangat berbahaya sekali. Terbukti ketika pedang 

pendek di tangan lawan menyambar ganas, terasa 

adanya hembusan udara dingin yang membuat 

nyeri kulit tubuhnya.

"Haiit!"

Wuuus!

Hanya dengan jurus si Jadah Terbuang, 

Pendekar Hina Kelana menarik balik tubuhnya se-

jauh dua langkah ke belakang. Luput dari anca-

man maut itu, serangan lain yang datang dari dua 

penjuru arah menderanya. Bahkan sekali ini lawan 

sengaja melipat gandakan tenaga dalamnya. Se-

hingga serangan pedang mereka mengeluarkan 

bunyi menderu dan berbahaya sekali. Menyadari 

kenyataan ini tentu saja Buang Sengketa semakin 

bertambah marah. Sekali ia menghentakkan tan-

gannya ke arah depan, maka menderulah serang-

kum gelombang menebarkan hawa panas luar bi-

asa dari telapak tangannya itu. Tidak ayal lagi pa-

da saat itu Buang Sengketa telah melepaskan pu-

kulan Empat Anasir kehidupan. Salah seorang pe-

nyerang hanya sempat melihat serangkum gelom-

bang Ultra Violet melesat ke arahnya. Ia menjadi 

terkejut beberapa saat lamanya. Dengan sigap ia 

membabatkan senjatanya membentuk perisai diri. 

Di luar dugaan pukulan yang datangnya bergu-

lung-gulung itu lebih kuat lagi dari perisai diri 

yang dibuatnya. 

Blaam!

Terdengar suara ledakan yang sangat keras 

saat pukulan Buang Sengketa menghantam tubuh


lawannya.

"Arrgkh...!" laki-laki berjubah hitam itu 

langsung tersungkur roboh dengan tubuh menghi-

tam, darah kental menyembur dari mulut serta hi-

dungnya.

Dua laki-laki berjubah hitam serta berto-

peng tengkorak itu menjadi terpana karenanya. 

Serangan mereka mendadak terhenti ketika meli-

hat salah seorang kawan mereka jatuh di atas ta-

nah berpasir tanpa mampu bangkit kembali. Se-

saat mereka saling berpandangan. Bahkan tanpa 

sadar bibir mereka mendesis tidak ubahnya bagai 

melihat bantu di siang bolong.

"Pendekar Hina Kelana?!" gumamnya seren-

tak. Nyali mereka berobah ciut. Selama ini ru-

panya mereka mengenal kehebatan sepak terjang 

Pendekar Hina Kelana. Dengan senjata andalannya 

yang berupa Golok Buntung serta Cambuk Gelap 

Sayuto. Dan mereka sama sekali-tidak menyangka 

kalau malam ini orang yang harus mereka hadapi 

adalah pendekar yang sangat tangguh itu. 

"Bagus sekali jika kalian telah mengenalku. 

Sekarang katakan padaku, siapakah orang yang 

berdiri di belakang kalian?" bentak Buang Sengke-

ta dengan sorot mata tajam menusuk. 

"Kami tidak akan menjayab pertanyaanmu 

itu, pendekar! Sebuah kesetiaan bagi kami lebih 

berharga bila dibandingkan dengan kematian...!" 

dengus salah seorang dari laki-laki bertopeng itu 

dengan sikap waspada. Bukan main geramnya 

Buang Sengketa mendengar jawaban itu.

"Hemm...!" Buang menggumam tidak jelas.


Dipandanginya dua orang laki-laki berjubah hitam 

tersebut. Dan dia semakin bertambah yakin, 

orang-orang bersenjata pedang pendek itu pastilah 

bekerja atas perintah seseorang. Itulah yang perlu 

dicari jawabannya.

"Kalian orang-orang sesat masih menghar-

gai arti sebuah kesetiaan. Kalau begitu kalian 

menghendaki jalan kekerasan agar aku dapat 

membongkar topeng yang sangat menakutkan 

itu?" geram Pendekar Hina Kelana.

Tanpa berkata lagi, Buang Sengketa segera 

berkelebat melancarkan serangan-serangan mema-

tikan. Meskipun kedua laki-laki ini merasa tidak 

akan menang menghadapi Pendekar Hina Kelana. 

Namun diam-diam mereka telah memikirkan jalan 

untuk meloloskan diri. Itulah sebabnya ketika 

Buang menyerang mereka dengan memperguna-

kan jurus Si Gila Mengamuk yang tidak perlu lagi 

diragukan kedahsyatannya. Dengan segenap ke-

mampuan yang mereka miliki. Dua orang berjubah 

hitam ini berusaha mematahkan setiap serangan 

yang dilakukan oleh Buang dengan kecepatan ge-

rak pedang pendek di tangan mereka. 

"Shaa...!"

Dua orang lawan menerjang Buang Sengke-

ta dalam waktu bersamaan. Pedang di tangan me-

reka mengancam bagian kepala dan perut. Se-

dangkan kaki mereka melakukan tendangan 

menggeledek menyapu pertahanan Buang Sengke-

ta.

"Heeuup!" tidak kalah cepatnya, Pendekar 

Hina Kelana melentikkan tubuhnya ke udara. Begitu pemuda ini menjejakkan kakinya di atas ta-

nah. Dengan gerakan cepat dan sulit di duga-duga 

tubuhnya berbalik dan melontarkan pukulan si 

Hina Kelana Merana menyongsong serangan susu-

lan lawan yang berupa sambitan senjata pedang 

pendek di tangan.

Brees!

Angin kencang yang menebarkan hawa pa-

nas luar biasa menderu hebat dari kedua telapak 

tangan Buang Sengketa. Dua buah senjata yang 

disambitkan oleh lawannya hancur berantakan di-

landa pukulan Buang Sengketa. Namun beberapa 

saat kemudian pemuda ini menjadi kecewa ketika 

dilihatnya dua orang lawan bertopeng tengkorak 

itu telah lenyap dari hadapannya. 

"Kurang ajar! Mereka kiranya memilih jalan 

sebagai pengecut dari pada harus memberi kete-

rangan padaku." desis Buang Sengketa. 

Saat Pendekar Hina Kelana bermaksud 

kembali ke dalam kamarnya, dilihatnya Eyang Wi-

ku Swanda telah berada di sana bersama beberapa 

orang.

"Siapakah mereka, Buang?" tanya laki-laki 

tua ini sambil memandangi Buang Sengketa den-

gan perasaan cemas.

"Aku tidak tahu, kek. Mereka menyerangku 

dengan pedang ketika aku sedang tidur." sahut-

nya sambil memperhatikan mayat yang tergeletak 

tidak jauh dari mereka.

"Apakah itu mayat salah seorang...!"

"Betul...!" Buang menyahut.

Eyang Wiku Swanda segera memeriksa kea


daan mayat itu. Kemudian dari balik jubah manu-

sia bertopeng itu ditemukan beberapa bilah pe-

dang yang sama. Kakek tua itu mengerutkan ke-

ningnya. Nampaknya ia sedang berusaha mengin-

gat-ingat sesuatu. Namun akhirnya beliau mengge-

lengkan kepalanya ketika merasa tidak mengenali 

pemilik senjata rahasia itu.

"Tidak ada petunjuk lain kecuali senjata 

yang sama, Buang!"

"Apakah kakek tidak dapat memastikan dari 

golongan mana mereka berasal?"

"Mempergunakan pedang pendek sebagai 

senjata rahasia, baru kali ini kutemui." sahut ke-

tua perguruan Teratai Putih.

Buang Sengketa menjadi bingung sendiri. 

Lenyapnya Patung Kematian, kemunculan Tokoh 

Misterius serta kehadiran tiga laki-laki bertopeng. 

Semuanya merupakan teka-teki yang membuat 

kepalanya berdenyut-denyut.

"Bagaimana dengan Beruang Hitam?"

"Beruang Hitam merupakan tokoh tunggal 

yang tidak mempunyai kawan. Jangankan lagi 

anggota...!"

"Terlalu sulit jika kita hanya menduga-duga. 

Baiknya malam ini juga aku akan mulai mencari 

jejak mereka." keputusan Pendekar Hina Kelana 

ini tentu saja membuat Eyang Wiku Swanda men-

jadi terkejut.

"Secepat itu?" tanya kakek tua ini seolah ti-

dak percaya. Buang Sengketa menganggukkan ke-

palanya pelan.

"Melakukan perjalanan pada malam hari


terlalu besar resikonya, Buang!"

"Kakek tidak usah menghawatirkan kesela-

matanku. Pesanku kakek dan murid-murid Teratai 

Putih ini harus selalu bersiaga. Mungkin satu pur-

nama di depan aku telah kembali ke perguruan 

ini." Buang berjanji.

Selanjutnya mereka beriringan menuju ke 

padepokan, sedangkan Buang segera kembali ke 

dalam kamarnya. Sesampainya di dalam ruangan 

itu Buang Sengketa segera mengitarkan pandan-

gan matanya ke segenap ruangan. Sesaat setelah 

itu sadarlah pemuda ini ketika melihat pedang 

pendek yang disambitkan orang-orang bertopeng 

tadi salah satu diantaranya terdapat daun lontar. 

Buang segera mengambil daun lontar bertuliskan 

tinta darah itu. Dengan hati berdebar Pendekar 

Hina Kelana langsung membacanya.

Pemuda berperiuk!

Siapapun adanya engkau ini, kami harap 

kau jangan coba-coba mencampuri urusan kami. 

Apalagi sampai membantu perguruan Teratai Putih. 

Jika kau sayangkan nyawamu, baiknya kau turuti 

perintah kami!

Tertanda

Arwah Bayangan 

"Keparaat!" Buang Sengketa menggeram. 

Dengan geram diremasnya daun lontar di tangan-

nya sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil.

"Arwah Bayangan! Setan mana lagi yang 

memakai gelar menyeramkan ini." gumam si pemuda. "Tapi ada baiknya kalau apa yang kuketa-

hui ini tidak kuberitahukan pada Eyang Wiku 

Swanda. Aku harus melakukan penyelidikan sece-

patnya." Buang Sengketa akhirnya keluar kembali 

dari dalam kamarnya. Setelah berpamitan pada 

Eyang Wiku Swanda. Akhirnya malam itu juga ia 

meninggalkan perguruan Teratai Putih.

***


EMPAT


Lembah Tapis Angin merupakan sebuah 

daerah yang sangat subur. Walaupun begitu sela-

ma ratusan tahun yang lalu hingga sampai saat 

ini, lembah itu sangat jarang di jamah oleh kalan-

gan manapun. Karena daerah itu dihuni oleh ber-

bagai jenis binatang berbisa. Tapi siapa sangka 

nun jauh di tengah-tengah lembah, berdiri sebuah 

rumah berukuran cukup besar, yang lantai dan 

dindingnya terbuat dari batu pualam putih. Di 

daerah itulah orang-orang berjubah hitam berto-

peng tengkorak melakukan segala kegiatannya.

Pagi itu lembah Tapis Angin yang senantia-

sa berselimut kabut abadi nampak sunyi. Namun 

bukan berarti tidak ada tanda-tanda kehidupan di 

sana. Saat itu di dalam sebuah ruangan yang cu-

kup besar seorang laki-laki berpakaian serba hi-

tam, berkumis serta berjambang lebat nampak se-

dang duduk di atas sebuah kursi berwarna hitam. 

Kursi yang didudukinya berukiran gambar tengkorak kepala manusia. Sedangkan tidak jauh dari 

tempat laki-laki bertampang bengis itu berada, 

nampak puluhan orang yang mengenakan pakaian 

yang sama duduk bersimpuh dengan sikap penuh 

hormat. Dilihat sekilas laki-laki berwajah bengis 

ini tidak ubahnya bagai seorang raja kecil di dalam 

lingkungan lembah yang tidak terukur luasnya. 

Sejenak laki-laki yang menjadi penguasa

lembah Tapis Angin yang memiliki julukan Iblis 

Tengkorak Hitam ini memperhatikan orang-orang 

yang bersimpuh tidak begitu jauh dari hadapan-

nya.

"Sepuluh tahun aku mendidik kalian men-

jadi murid-murid pilihan. Ternyata dalam melak-

sanakan sebuah tugas kalian tidak becus sama 

sekali." walaupun kata-kata yang diucapkan oleh 

Iblis Tengkorak Hitam diucapkan dengan suara li-

rih. Namun gema suaranya menggetarkan jantung 

para pendengarnya. Dapat dibayangkan betapa 

tingginya tenaga dalam yang dimiliki oleh laki-laki 

itu. Sepuluh orang murid pilihan yang hadir di da-

lam ruangan itu terdiam. Masing-masing kepala 

nampak tertunduk dalam-dalam. Sesaat lamanya 

suasana dalam kesunyian yang mencekam. Iblis 

Tengkorak Hitam kembali memperhatikan orang-

orang yang mengelilinginya. Kemudian perhatian-

nya terhenti pada seorang laki-laki berpakaian 

tambal-tambalan. Usia laki-laki itu mungkin tidak 

lebih dari enam puluh tahun. Wajahnya tirus, air 

mukanya memancarkan mimik duka yang menda-

lam.

Di atas pangkuan laki-laki berpakaian tam


bal-tambalan itu terdapat sebuah tongkat sepan-

jang satu depa. Sedangkan pada bagian hulu 

tongkat itu berhiaskan gambar kepala seekor Na-

ga. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai ke-

tua Pengemis Partai Utara dengan julukan Tua 

Duka Tongkat Naga.

"Kau, Tua Duka! Apa pendapatmu tentang 

kegagalan yang dialami oleh ketiga orang utusan 

kita?" tanya Iblis Tengkorak Hitam dengan tatapan 

tajam menusuk. Laki-laki berpakaian tambal-

tambalan ini merapatkan kedua tangannya ke de-

pan hidung. Selanjutnya terdengar pula suaranya 

yang serak bagai orang yang mengidap penyakit 

sesak nafas.

"Ketua! Sebenarnya kita tidak perlu lagi 

mengutus orang-orang bernyawa seperti mereka 

ini. Usaha itu hanya akan sia-sia belaka."

"Maksudmu...?" tanya laki-laki itu penuh 

perhatian. Yang ditanya nampak menarik nafas 

dalam-dalam. Namun sikapnya tetap hormat se-

perti tadi.

"Maafkan aku ketua, jika pendapatku ini 

keliru nantinya...!" ujar ketua Pengemis Partai Uta-

ra ini dengan sikap ragu. Hal ini membuat Iblis 

Tengkorak Hitam menjadi tidak sabaran lagi. Den-

gan suaranya yang senantiasa membuat sakit 

gendang-gendang telinga, ia pun berucap.

"Tua Duka Tongkat Naga! Dua tahun kau 

kuangkat menjadi wakilku di singgasana Iblis, 

yang selalu kuharapkan darimu adalah demi ter-

binanya sebuah kerja sama yang baik sesama go-

longan sendiri. Karena itu aku selalu berharap


agar kau bersikap terbuka. Karena siapa tahu 

pendapatmu patut kita pertimbangkan." katanya 

tenang berwibawa.

Ketua Pengemis Partai Utara kembali mera-

patkan tangannya ke depan hidung. 

"Begini ketua. Menurut hematku, sekarang 

sudah saatnya bagi kita untuk mengerakkan 

mayat-mayat korban si Tokoh Misterius yang telah 

ketua bangkitkan kembali. Dengan kekuatan yang 

kita miliki itu, mungkin dalam waktu yang singkat 

kita sudah dapat merebut Patung Kematian dari si 

Tokoh Misterius tersebut. Keuntungan lainnya kita 

dapat menghemat tenaga tanpa harus mengorban-

kan murid-murid yang berada di singgasana iblis 

ini!" jelas Tua Duka Tongkat Naga. 

Iblis Tengkorak Hitam mengerutkan ke-

ningnya. Dalam hati ia membenarkan apa yang 

baru saja dikatakan oleh wakilnya itu. Tapi pada 

sisi lain ia masih merasa ragu, benarkah Patung 

Kematian berada di tangan si Tokoh Misterius atau 

di tangan Beruang Hitam dedengkot tokoh sesat 

yang tidak pernah mengenal arti persahabatan. 

Namun begitupun akhirnya ia memutuskan.

"Saranmu cukup baik, Tua Duka. Tapi aku 

belum begitu yakin kalau Patung Kematian seka-

rang ini telah jatuh di tangan Tokoh Misterius itu?"

"Mengapa ketua harus ragu. Bukankah 

dengan terbunuhnya penjaga serta kedua murid 

perguruan Teratai Putih yang diutus Wiku Swanda 

sudah merupakan satu bukti yang kuat bahwa 

Tokoh Misterius itulah sekarang yang telah men-

guasai Patung Kematian!" jelas ketua Pengemis


Partai Utara penuh keyakinan.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" tanya 

Iblis Tengkorak Hitam pelan.

"Beberapa orang-orang kita yang kutugas-

kan melakukan pengintaian mengatakan, bahwa 

pemilik senjata rahasia yang berupa paku beracun 

itu tidak lain dan tidak bukan si Tokoh Misterius 

itulah orangnya." jelas Tua Duka Tongkat Naga le-

bih lanjut. Sementara ini ketua singgasana iblis itu 

menganggukkan kepalanya dengan sedikit kera-

guan di hatinya.

"Beberapa laporan lain yang kuterima, pada 

saat kedua murid perguruan Teratai Putih yang 

membawa Patung Kematian mendapat serangan 

senjata rahasia seperti yang kau sebutkan itu. Ka-

barnya Iblis Hitam dan orang-orangnya juga bera-

da di sana. Bukan tidak mustahil kalau sekarang 

ini benda yang sedang diperebutkan oleh tokoh-

tokoh rimba persilatan itu berada di tangan Iblis 

Hitam."

Ketua Pengemis Partai Utara cepat-cepat 

menggelengkan kepalanya ketika Iblis Tengkorak 

Hitam menyebut-nyebut Iblis Hitam sebagai orang 

yang telah berhasil merampas Patung Kematian 

dari tangan kedua murid perguruan Teratai Putih.

"Dengan pasti aku dapat mengatakan Iblis 

Hitam bukanlah orang yang telah menguasai Pa-

tung Kematian. Sebab seingatku, Iblis Hitam me-

miliki kepandaian tidak sehebat Tokoh Misterius 

itu. Bukannya menyombongkan diri, kalau kuka-

takan kepandaian yang dimiliki oleh ketua Iblis Hi-

tam beberapa tingkat berada di bawahku." sergah

Tua Duka Tongkat Naga dengan penuh keyakinan. 

Sekali ini Iblis Tengkorak Hitam berdecak kagum 

dengan pengalaman yang dimiliki oleh wakilnya 

itu.

"Baiklah! Sekarang aku tidak ragu lagi. Ku-

rasa sekaranglah saatnya yang tepat bagi kita un-

tuk menggerakkan mayat-mayat yang telah ku-

bangkitkan dengan ilmu iblisku itu. Tetapi sebagai 

orang kepercayaanku, kuharap kau mau memim-

pin mayat-mayat itu agar maksud kita segera ter-

laksana." kata Iblis Tengkorak Hitam memberi ke-

putusan. 

"Baiklah ketua! Aku berjanji dengan sege-

nap kemampuan yang kita miliki untuk segera 

mendapatkan Patung Kematian. Tidak perduli sia-

papun yang telah berhasil mendapatkan patung 

itu kita harus mendapatkannya." ucap Tua Duka 

Tongkat Naga penuh percaya diri.

Iblis Tengkorak Hitam langsung tertawa ter-

gelak-gelak. Selain ketua Pengemis Partai Utara, 

beberapa orang lainnya yang berada di tempat itu 

terpaksa menutup indera pendengaran mereka 

demi mendengar suara tawa ketua mereka yang

menggeledek bagai bunyi petir. Pagi itu juga be-

rangkatlah Tua Duka Tongkat Naga itu memimpin 

mayat-mayat yang telah berhasil dibangkitkan oleh 

Iblis Tengkorak Hitam dengan ilmu iblisnya. Sung-

guh menyeramkan sekali iring-iringan mayat yang 

jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang ini. 

Sepintas lalu, laki-laki tua berpakaian tambal-

tambalan ini tidak ubahnya bagai seorang pen-

gembala di tengah-tengah hewan yang digembala


kannya. Suasana menyeramkan berbau kematian, 

meskipun saat itu matahari mulai naik tinggi.

* * *

Laki-laki berbadan gemuk berperut buncit 

itu tidur mendengkur tidak ubahnya bagai suara 

kodok. Tidurnya nyenyak sekali, terkadang tubuh-

nya yang gemuk bundar seperti gentong mengge-

liat beberapa kali. Di lain saat tangannya yang 

pendek mengusap air liur yang meleleh di sela-sela 

bibirnya. Nampaknya ia tidak perduli dengan terik 

matahari yang memanggang tubuhnya. Bahkan ia 

lebih baik tidak perduli lagi meskipun saat itu ia 

tertidur di pinggiran jalan.

Tidak begitu jauh di sisi laki-laki berambut 

jarang ini menggeletak sebuah benda terbungkus 

kain sutera merah. Di lihat sekilas benda yang ter-

bungkus itu tidak ubahnya bagai bocah bayi be-

rumur belasan hari. Dan bungkusan itulah yang 

menarik perhatian seorang laki-laki berbadan te-

gap yang terus memperhatikannya sejak tadi. Be-

rulang kali laki-laki berpakaian serba hitam itu be-

rusaha mempertegas penglihatannya. Semakin ta-

jam pandangan matanya memperhatikan bungku-

san yang berada di sisi laki-laki gemuk perut bun-

cit yang sedang tertidur pulas ini, maka semakin 

berdebarlah hatinya.

"Kurasa yang satu ini tidak salah lagi. 

Mungkin inilah benda yang telah membuat gempar 

delapan penjuru persilatan itu. Aku harus men-

gambilnya dari tangan Beruang Hitam. Tetapi...!"


sejenak laki-laki yang tidak lain adalah Iblis Hitam 

ini menjadi ragu. Rupanya ia sadar betul siapa 

yang dihadapinya kali ini. Dedengkot golongan se-

sat yang dapat membunuh tanpa memandang dari 

golongan mana dia berasal. "Hem. Dia sedang ter-

tidur pulas. Sangat mustahil kalau bakul nasi ini 

tahu jika aku mengambil Patung Kematian dari 

tangannya." gumamnya lagi. Selanjutnya dengan 

sikap sangat berhati-hati sekali ia mulai melang-

kah mendekati Beruang Hitam yang sedang terti-

dur pulas. 

Sementara tidak jauh dari tempat itu, pada 

sebuah kerimbunan pohon, seorang pemuda ber-

pakaian merah nampak sedang memperhatikan 

apa yang dilakukan oleh laki-laki yang sudah di-

kenalnya itu. Ternyata bukan secara kebetulan 

pemuda berpakaian merah yang tidak lain Buang 

Sengketa ini melihat Iblis Hitam di tempat itu. Se-

jak meninggalkan perguruan Teratai Putih dalam 

perjalanannya mencari jejak Patung Kematian 

yang diduga telah berhasil dirampas oleh si Tokoh 

Misterius. Di dalam perjalanan, Buang melihat 

berkelebatnya sosok bayangan hitam menuju ke 

arah Tenggara. Merasa curiga dan penasaran, dari 

jarak tertentu Buang mengikuti bayangan hitam 

yang tidak lain merupakan Iblis Hitam. Setelah 

hampir setengah hari dua sosok bayangan yang ti-

dak ubahnya bagai orang yang sedang berkejar-

kejaran. Mendadak Iblis Hitam menghentikan la-

rinya. Ia tertegun ketika melihat sosok tubuh yang 

tidak ubahnya bagai sebuah gentong nampak ter-

tidur di pinggiran jalan. Pada saat itu Buang secara diam-diam menyelinap di sebuah tempat yang 

tersembunyi. Niatnya sudah jelas ingin mengeta-

hui apa saja yang akan dilakukan oleh Iblis Hitam 

terhadap laki-laki yang tertidur pulas di pinggiran 

jalan.

Sekarang jarak antara Iblis Hitam dengan 

Beruang Hitam yang sedang tertidur pulas ini se-

makin bertambah dekat saja. Semakin dekat jarak 

diantara mereka, maka semakin bertambah berde-

barlah dada Iblis Hitam. Bagaimana tidak, orang 

yang dihadapinya kali ini adalah tokoh dari selu-

ruh kaum sesat. Ia sendiri tidak dapat mem-

bayangkan bagaimana nantinya jika sampai per-

buatannya itu ketahuan oleh laki-laki berperut 

buncit ini. Begitupun Iblis Hitam tidak ingin ber-

surut langkah, meskipun perasaannya kian tidak 

menentu, namun langkah kakinya tetap bergeser 

juga.

Ketika jarak diantara mereka tinggal hanya 

setengah tombak lagi. Maka Iblis Hitam ini menju-

lurkan tangannya untuk meraih benda yang ter-

bungkus kain sutera itu. Namun belum lagi tan-

gannya mencapai bungkusan yang tergeletak di si-

si laki-laki berbadan gembur itu. Tiba-tiba terden-

gar suara lirih.

"Eiit, mau ngapain kau? Jangan bertindak 

gegabah jika kau sayang dengan nyawamu." kata 

Beruang Hitam bagai orang yang sedang mengigau 

dalam mimpi.

Tentu saja Iblis Hitam cepat-cepat menarik 

balik tangannya yang sudah terulur. Dengan hati 

berdebar keras diperhatikannya Beruang Hitam



yang masih mendengkur bagai suara kodok. Da-

lam perkiraannya pastilah dedengkot golongan se-

sat ini sedang dalam keadaan pulas. Tapi bagai-

mana mungkin orang yang sedang tertidur dapat 

mengetahui gelagat yang tidak baik. Ataukah Be-

ruang Hitam itu sedang bermimpi? Merasa pena-

saran Iblis Hitam akhirnya mencoba mengulangi 

niatnya. Sekali ini gerakan tangannya lebih cepat 

dari yang pertama tadi. 

Celakanya begitu jemari tangannya hampir 

menyentuh benda yang terbungkus kain sutera 

merah itu. Dari arah samping sebuah gerakan 

yang lebih cepat lagi dari gerakan yang dilakukan 

Iblis Hitam menyambar ke arah tangannya.

Wuus! Dess!

"Uhh...!" Iblis Hitam mengaduh, tubuhnya 

terlempar sejauh dua tombak. Pada saat laki-laki 

berbadan tegap itu belum mengerti apa yang terja-

di. Laki-laki gemuk yang tertidur pulas itu telah 

terjaga dari tidurnya. Dengan bermalas-malasan 

Beruang Hitam bangkit dari tempatnya. Matanya 

yang sipit itu masih agak terpejam. Sementara mu-

lutnya menguap beberapa kali. Sebentar diperha-

tikannya bungkusan yang menggeletak di bawah 

kakinya. Kemudian seperti ditujukan buat dirinya 

sendiri. Laki-laki berambut jarang-jarang ini ber-

kata dengan angkernya.

"Sudah kukatakan jangan bertindak ma-

cam-macam. Terlalu berani jika seekor tikus kecil 

mengusik tidur seekor beruang. Heh, siapakah 

kau?" tanpa memandang pada Iblis Hitam sedikit-

pun. Laki-laki berbadan gemuk bertubuh pendek inipun membentak dengan suara menggeledek. Ib-

lis Hitam terkesiap demi mendengar suara teguran 

yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam 

sangat tinggi itu. Bahkan Buang Sengketa yang te-

rus memperhatikan kejadian demi kejadian itu bu-

ru-buru mengerahkan tenaga dalamnya untuk 

mengusir pengaruh suara Beruang Hitam.

"Ah. Seumur hidup Beruang Hitam paling 

tidak suka mengulang pertanyaan sampai dua 

kali. Kalau kau tetap tidak mau menjawab! Maka 

teguranku yang kedua adalah kematian bagimu!" 

kata Beruang Hitam dengan suara dingin mengan-

cam.

Iblis Hitam terdiam beberapa saat lamanya. 

Rupanya ia sadar betul dengan siapa ia berhada-

pan. Tapi baginya apakah masih mungkin meng-

hindari Beruang Hitam ini, padahal perbuatannya 

sudah sempat diketahui oleh lawannya!

* * *

"Maafkan aku, paman Beruang Hitam. 

Hanya secara kebetulan saja aku melewati daerah 

ini. Sekali lagi aku mohon maafmu jika hal ini an-

da anggap sebagai sebuah kesalahan." jawab Iblis 

Hitam dengan nada suara setenang mungkin.

Mendengar jawaban ini untuk pertama ka-

linya Beruang Hitam memperhatikan lawan bica-

ranya yang saat itu telah berdiri dengan jarak ti-

dak begitu jauh darinya. Sepasang mata Beruang 

Hitam yang tidak ubahnya bagai orang mengantuk 

ini berkedip-kedip. Kemudian sesungging seringai



maut pun menghias bibirnya.

"Setan mana yang berani mengakuiku seba-

gai pamannya. Hidup sembilan puluh tahun aku 

merasa tidak punya keponakan di kolong langit 

ini."

"Aku bukan setan, paman. Aku Iblis Hitam 

yang masih merupakan kaum segolonganmu." 

ucap laki-laki berpakaian serba merah ini dengan 

suara agak tergetar.

"Hahaha! Iblis Hitam. Aku Beruang Hitam. 

Kita sama-sama Hitam, tapi bukan berarti sauda-

ra. Julukanmu memang meyakinkan, namun tin-

dakanmu tidak jauh bedanya dengan seorang pen-

gecut. Bicara terus terang, bukankah kau meng-

hendaki isi bungkusan ini?" bentak Beruang Hitam 

dengan pandangan berapi-api. Maka semakin ber-

tambah pucatlah laki-laki berpakaian serba hitam 

ini demi mendapat kenyataan kalau laki-laki ber-

badan gembur ini sulit untuk di ajak kompromi. 

Tanpa berpikir panjang lagi akan akibatnya Iblis 

Hitam menjadi nekad.

"Bicara terus terang. Aku memang meng-

hendaki bungkusan itu, tetapi mana berani aku 

bertindak gegabah pada dedengkot rimba persila-

tan." akhirnya dengan wajah merah padam Iblis 

Hitam mengakui.

"Tahukah kau benda apa yang berada da-

lam bungkusan ini?" geram Beruang Hitam.

"Karena aku mengetahui dengan pasti isi 

bungkusan itulah maka aku ingin memilikinya." 

kata Iblis Hitam sambil bersikap waspada.

"Hemm." Beruang Hitam menggumam tidak


jelas. Sebagaimana diketahui oleh laki-laki berpa-

kaian serba hitam ini. Orang yang dihadapinya kali 

ini merupakan seorang lawan yang mempunyai 

watak aneh. Tindak tanduknya sangat sulit untuk 

diduga-duga. Apa yang diperhitungkan oleh Iblis 

Hitam ini ternyata terbukti. Pada saat itu juga, Be-

ruang Hitam menjentikkan jemari tangannya yang 

memiliki kuku panjang dan runcing. Dari jari-jari 

tangan Beruang Hitam kemudian menderu angin 

kencang yang disertai dengan menebarnya hawa 

panas ke arah Iblis Hitam.

Laki-laki berbadan tegap ini yang sudah 

memperhitungkan segala sesuatunya sejak dari 

tadi segera menghindari serangan mendadak yang 

dilakukan oleh Beruang Hitam dengan cara mem-

bantingkan tubuhnya ke sisi kanan. Serangan per-

tama itu dapat dielakkan oleh Iblis Hitam dengan 

baik. Tapi celakanya sebelum ia siap dengan posi-

sinya. Serangan lain yang dilancarkan oleh Be-

ruang Hitam telah melabraknya. Dengan kecepa-

tan yang sangat sulit untuk diduga-duga. Iblis Hi-

tam terpaksa melontarkan pukulan keras untuk 

menjajaki sampai di mana kekuatan pukulan jarak 

jauh yang dilakukan oleh lawannya. 

Wus! Wus!

Bledar!

Terdengar suara ledakan yang sangat dah-

syat ketika dua tenaga sakti itu saling bertemu. 

Tapi dalam hal adu tenaga dalam ini nampaknya 

Iblis Hitam kalah beberapa tingkat di bawah Be-

ruang Hitam. Terbukti selain tubuhnya terlempar 

agak jauh. Namun dari sela-sela bibirnya mengalir


darah segar. Di lain pihak Beruang Hitam hanya 

tergetar saja tubuhnya. Iblis Hitam cepat bangkit 

kembali. Tanpa menghiraukan luka dalam yang 

dideritanya, sekali ini ia menyerang Beruang Hitam 

dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Ta-

pi yang menjadi lawannya kali ini adalah tokoh se-

sat yang memiliki kepandaian bermacam-macam. 

Sehingga ketika melihat Iblis Hitam memperguna-

kan jurus-jurus silatnya untuk mendesak lawan. 

Beruang Hitam hanya tertawa sambil melayani se-

rangan-serangan gencar lawannya. 

"Hiyaa! Hiyaaa!"

Dengan gerakan kilat Iblis Hitam melaku-

kan tendangan terarah ke bagian perut lawannya. 

Tangannya terkepal menghantam ke bagian kepala 

Beruang Hitam. Sekali ini ia berharap salah satu 

dari serangan yang dilakukannya dapat mencapai 

sasarannya dengan baik. Namun Beruang Hitam 

yang sudah dapat membaca gerakan lawan hanya 

dalam waktu sekedipan mata, segera menggeser 

kakinya dua langkah ke samping. Dengan tubuh 

setengah menunduk dan kedua tangan terkem-

bang ia memapaki tendangan sekaligus pukulan 

lawan yang berisi tenaga dalam kuat. 

"Hep!"

Dengan perasaan kesal Iblis Hitam cepat-

cepat menarik balik arus pukulan. Rupanya ia sa-

dar betul sangat besar resikonya jika harus men-

gadu tenaga dalam dengan lawannya yang nyata-

nyata beberapa tingkat berada di atasnya. 

"Hahaha...! Kau memang pantas untuk ku-

jadikan sebagai santapan cacing tanah." Kembali



terdengar suara tawa Beruang Hitam yang dapat 

membuat merinding bulu roma siapapun. Dengan 

gerakan serta langkah yang agak lambat namun 

terarah, sekarang Beruang Hitam berbalik mela-

kukan serangan dahsyat ke arah lawannya.

Sementara itu Pendekar Hina Kelana yang 

terus mengawasi jalannya pertempuran antara Ib-

lis Hitam dan Beruang Hitam, mulai berpikir-pikir 

untuk menyelamatkan benda yang menggeletak ti-

dak jauh dari tempat pertempuran itu terjadi.

"Aku merasa yakin meskipun mereka tidak 

menyebut isi bungkusan itu. Tetapi itulah Patung 

Kematian yang menggemparkan itu. Untuk men-

gambilnya selagi mereka terlihat pertempuran se-

perti itu, rasanya tidak pantas untuk kulakukan. 

Tetapi...!" Buang Sengketa menjadi ragu-ragu. Se-

jenak perhatiannya kembali ke arah pertempuran. 

Saat itu dilihatnya Iblis Hitam sudah dalam kea-

daan terdesak hebat. Bahkan laki-laki tinggi tegap 

berpakaian serba hitam itu hanya mampu me-

nangkis setiap serangan ganas yang datang tanpa 

dapat melancarkan serangan balik.

"Sebentar lagi mungkin saja Iblis Hitam ti-

dak mampu berbuat apa-apa. Lebih baik kutunggu 

saat-saat yang tepat seperti itu. Jika Iblis Hitam te-

lah mampus di tangan laki-laki berkepala botak, 

saat itulah aku harus berhadapan dengan pencuri 

Patung Kematian." gumam Buang sambil terus 

memperhatikan jalannya pertempuran. Dan ke-

nyataannya apa yang diperhitungkan oleh Pende-

kar Hina Kelana ini tidak lama kemudian segera 

terbukti. Iblis Hitam mengeluarkan jeritan keras


ketika jemari tangan lawan menghunjam di bagian 

wajah dan lehernya. Dan ketika Beruang Hitam 

menyentakkan kuku-kukunya yang menghunjam 

dalam dari tubuh lawannya itu. Maka terdengarlah 

suara daging serta kulit tercabik-cabik dari tubuh 

lawannya. Iblis Hitam tidak mampu mengeluarkan 

jeritan lagi. Suaranya terhenti sebatas tenggoro-

kannya yang terputus akibat disentakkan oleh la-

wannya. Tidak lama kemudian tubuh laki-laki 

berpakaian serba hitam inipun jatuh tersungkur 

tanpa mampu bergerak-gerak lagi, mati.

Pendekar Hina Kelana yang melihat kesadi-

san Beruang Hitam bergidik ngeri. Tapi sekejap

kemudian dari tempat persembunyiannya tubuh-

nya berkelebat menghampiri Beruang Hitam yang 

sedang memandangi mayat Iblis Hitam sambil ter-

tawa-tawa puas bagai orang sinting.

"Ternyata nama Beruang Hitam bukan na-

ma kosong. Hem, baru sekali ini kulihat seorang 

manusia memiliki perilaku seperti binatang." kata 

Buang dengan sesungging senyum mengejek.

Beruang Hitam tentu saja merasa terkejut 

sekali mendengar suara teguran yang tidak dis-

angka-sangkanya itu. Dan laki-laki berbadan gem-

bur berperut buncit ini lebih terkejut lagi ketika ia 

memutar tubuh, entah dari mana datangnya tahu-

tahu seorang pemuda berwajah tampan berpa-

kaian merah ini telah berdiri tidak jauh di depan-

nya.

"Kau. Siapakah engkau ini? Apakah kau 

kawannya kadal buntung yang menginginkan isi 

bungkusan itu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah bungkusan yang menggeletak di atas tanah.

Buang berpikir tokoh yang satu ini sebe-

narnya merupakan figur manusia yang lucu. 

Hanya saja ia memiliki watak yang sangat kejam 

sekali. Terhadap orang yang satu ini rasanya Pen-

dekar Hina Kelana tidak perlu basa basi. Itulah 

sebabnya dengan tegas ia menjawab.

"Aku bukan kawan Iblis Hitam. Tapi keda-

tanganku ke mari adalah untuk mengambil benda 

yang telah kau curi untuk dikembalikan pada yang 

berhak." kata Buang dengan suara tajam menu-

suk.

Beruang Hitam tersentak kaget, sama sekali 

ia tidak menduga kalau kehadiran pemuda itu ju-

ga menginginkan benda yang sama. Baginya hal 

ini merupakan suatu persoalan yang patut diwas-

padai. Sekarang setindak demi setindak Beruang 

Hitam melangkahkan kakinya mendekati Patung 

Kematian yang terbungkus kain sutera merah itu. 

"Sudah begitu banyak korban berjatuhan 

akibat benda yang sangat berharga ini. Apakah 

engkau juga ingin mengorbankan nyawa hanya 

demi benda ini?" tanya laki-laki berperut buncit ini 

sambil menepuk-nepuk bungkusan yang telah be-

rada di tangannya.

Buang mendengus geram, sekarang ia me-

rasa semakin tidak sabar saja menghadapi tingkah 

Beruang Hitam yang berubah jadi memuakkan.

"Benda itu ada pemiliknya yang sah. Kalau 

sekarang ia berada di tanganmu, semua itu pasti-

lah karena kau merampasnya."

"Hey, bocah! Bicaramu kelewat lancang. Ta


hukah engkau dengan siapa kau berhadapan!" 

bentak Beruang Hitam dengan amarah membara

Pendekar Hina Kelana ini sadar betul siapa 

yang dihadapinya kali ini. Namun baginya hal itu 

sudah menjadi perhitungannya.

"Yang kutahu, kau tidak lebih dari seorang 

tokoh sesat yang terlalu kemaruk dengan benda-

benda berharga milik orang lain. Bicara terus te-

rang lebih baik kembalikan benda itu kepada per-

guruan Teratai Putih. Jika tidak aku pasti akan 

menghajarmu." bentak Buang hampir tidak dapat 

lagi mengendalikan amarahnya.

Beruang Hitam nampak tertegun beberapa 

saat lamanya. Dipandanginya Buang Sengketa 

dengan tatapan tajam menyelidik. Selama ini ra-

sanya ia belum pernah bertemu dengan seorang 

pemuda berpakaian serba merah dengan rambut 

dikuncir itu. Tapi sebagai orang yang selalu ma-

lang melintang di rimba persilatan, nampaknya ia 

sadar betul bahwa pemuda itu tidak dapat diang-

gap enteng.

"Hahaha. Kau benar-benar seorang pemuda 

pemberani yang pernah kujumpai. Tapi ketahuilah 

sama sekali aku tidak pernah mencuri Patung Ke-

matian. Hanya saja aku telah merampasnya dari 

tangan si Tokoh Misterius ketika ia sedang len-

gah."

"Kalau begitu kalian sama saja. Kukatakan 

sekali lagi padamu. Cepat kau serahkan benda di 

tanganmu itu." teriak Buang Sengketa dengan su-

ara menggeledek.

Hebatnya Beruang Hitam malah menyam


butnya dengan tawa.

"Lakukanlah kalau kau mampu." dengus 

Beruang Hitam dengan sikap menantang. 

Buang sudah dikuasai hawa amarah, ak-

hirnya tidak dapat lagi menahan diri. Dengan di-

awali lengkingan tinggi melengking. Dia mele-

paskan pukulan Si Hina Kelana Merana, yaitu sa-

lah satu pukulan maut yang memancarkan sinar 

merah membara ke arah Beruang Hitam. Laki-laki 

ini semula ingin tertawa, sekarang malah terpe-

rangah. Pukulan yang dilontarkan oleh Buang 

Sengketa di samping menimbulkan hembusan an-

gin yang sangat kuat, juga menebarkan hawa pa-

nas luar biasa. Buang memang tidak bertindak se-

tengah-setengah. Apalagi menyadari lawan yang 

dihadapinya merupakan seorang tokoh sesat be-

rilmu tangguh. Maka begitu mengawali serangan-

nya dia telah melepaskan salah satu pukulan yang 

sangat dahsyat. Serangan Buang yang datangnya 

laksana kilat membuat Beruang Hitam menjadi ke-

labakan sesaat. Namun kesempatan yang hanya 

sedetik itu telah dimanfaatkan oleh Buang Sengke-

ta dengan sebaik-baiknya.

Blaam! Blaaam!

"Uuhgk...!"

Beruang Hitam memekik keras ketika puku-

lan yang dilakukan oleh lawan menghantam di ba-

gian dadanya. Laki-laki bertubuh gembur ini jatuh 

terjengkang. Dari mulutnya meleleh darah kental. 

Buang sendiri langsung terperangah melihat keke-

balan yang dimiliki oleh lawannya. Seperti diketa-

hui, pukulan Si Hina Kelana Merana adalah merupakan pukulan pamungkas yang maha dahsyat. 

Jangankan hanya manusia biasa, sedangkan see-

kor gajahpun akan hangus bila terkena pukulan 

maut itu. Tapi kini Beruang Hitam hanya terluka 

dalam menerima pukulan itu. Kenyataan ini mem-

buat, Buang memuji kehebatan lawan dalam hati. 

Beruang Hitam sekarang telah bangkit kembali. 

Sepasang matanya yang agak sipit itu berkilat-kilat 

mengisyaratkan hawa pembunuhan. Nafasnya 

memburu tidak jauh bedanya dengan dengusan 

banteng yang sedang mengamuk.

"Tidak perduli siapa engkau. Hari ini aku 

harus membunuhmu!" desis Beruang Hitam mulai 

membuka jurus andalannya yang diberi nama Be-

ruang Hitam Mengusir Lebah.

"Hiaat...!"

Begitu lawan melancarkan serangkaian se-

rangan ganas dengan mempergunakan kuku-

kukunya yang runcing lagi berbisa. Bergegas 

Buang Sengketa berputar sambil melesat ke udara. 

Sergapan itu luput. Ketika tubuh Buang Sengketa 

kembali menukik ke bawah dengan kaki lurus di 

atas, ia kembali melepaskan pukulan Si Hina Ke-

lana Merana dengan mempergunakan setengah te-

naga dalam yang dimilikinya. Angin yang sangat 

kencang menderu di sertai bergulung-gulungnya 

udara panas bagai bara api. Beruang Hitam yang 

kehilangan posisi lawannya tersentak kaget. Begitu 

tubuhnya berbalik. Pukulan yang dilepaskan la-

wannya tepat mengenai dada. 

Blaam! 

"Wuaah...!"


Untuk kedua kalinya Beruang Hitam jatuh 

tersungkur di atas tanah berdebu. Seluruh mu-

kanya yang kotor agak basah oleh keringat ber-

campur darah yang menetes di bagian hidung. 

Buang Sengketa kembali terperangah saat melihat 

lawan yang terkena pukulannya itu telah bangkit 

kembali seolah tidak merasakan pukulan yang di-

deritanya.

"Ka... kau memang hebat, orang muda. Ge-

rakan silatmu yang sangat cepat membuat kepala-

ku berdenyut-denyut sakit. Tapi jangan kira kau 

sudah menang dalam menghadapi aku. Tidak seo-

rangpun di rimba persilatan ini yang bakal mampu 

mengalahkan Beruang Hitam!" teriak laki-laki ber-

perut buncit ini sambil tertawa-tawa bagai orang 

sinting. Sekarang tanpa menghiraukan buntalan 

yang terjatuh akibat pukulan Pendekar Hina Kela-

na. Beruang Hitam segera merentangkan kedua 

tangannya. Terdengar suara raungan bagai orang 

kesetanan saat laki-laki ini memburu ke arah si 

pemuda. Tidak salah lagi Beruang Hitam saat itu 

memang telah mempergunakan Ajian 'Raungan Ib-

lis' untuk menghadapi lawannya. Buang Sengketa 

tidak tinggal diam, ia sadar lawan kali ini benar-

benar mulai mempergunakan segenap kepandaian 

yang dimilikinya. Pada saat itu juga si pemuda 

menghentakkan tangannya ke bagian dada lawan-

nya, herannya lawan yang berperut buncit ini ti-

dak berkelit sama sekali. Sebaliknya dengan cepat 

dia menggerakkan jari tangannya yang berkuku 

runcing. Buang Sengketa merasa terkejut bukan 

main. Dengan cepat tangannya di tarik kembali.


Belum sempat Buang melakukan sesuatu, 

mendadak dari arah bawah melesat tendangan te-

lak. Pemuda ini segera mempergunakan jurus Si 

Gila Mengamuk untuk menghindari tendangan la-

wannya itu. Tubuh Buang Sengketa terhuyung-

huyung bagai seorang pemabukan. Meskipun la-

wan terus memburunya, namun berkat jurus Si 

Gila Mengamuk serangan Beruang Hitam selalu 

mencapai sasaran kosong. Satu kali tendangan Be-

ruang Hitam menyerempet punggungnya. 

Buuk!

"Aduh...!" Buang Sengketa jatuh terjeng-

kang, manakala tendangan Beruang Hitam yang 

mempergunakan tenaga dalam sepenuhnya itu 

menghantam punggungnya. Buang merasakan tu-

buhnya seperti remuk. Sambil terus berguling-

guling menghindari tendangan susulan. Cepat se-

kali Buang bangkit kembali. Namun pada saat itu 

Beruang Hitam yang sudah kalap sudah mende-

saknya dengan jurus Rentangan Cakar Berbisa. 

Pendekar Hina Kelana berkelit menghindar, caka-

ran yang sangat berbahaya itu berhasil dielakkan-

nya. Lagi-lagi satu tendangan kilat yang tiada di-

duga-duga mendarat di perut Buang Sengketa. 

"Argkh...!"

Buang Sengketa terpelanting roboh. Dari 

bagian mulutnya meleleh darah segar. Beruang Hi-

tam tersenyum tipis, raut wajahnya berubah me-

rah menggidikkan. Sebelum Buang Sengketa sem-

pat melancarkan jalan darahnya yang kacau, Be-

ruang Hitam telah menyerangnya lagi.

"Hiaa...!"


Agaknya kali ini Buang Sengketa yang se-

dang menderita luka dalam itu tidak mampu lagi 

menghindari serangan mematikan yang dilakukan 

oleh Beruang Hitam. Terlebih-lebih serangan itu 

datangnya terlalu cepat sekali, bahkan sangat sulit 

diikuti kasat mata. Pada detik-detik yang kritis itu 

terlihat sinar merah menyala yang menebarkan 

udara sedingin es. Melihat semua ini Beruang Hi-

tam nampak terperangah wajahnya bahkan beru-

bah pucat pasi. Masih syukur ia mampu menghen-

tikan arus pukulannya, bahkan sempat menarik 

balik tangannya yang mengancam bagian kepala 

Buang Sengketa.

"Pendekar Golok Buntung! Ka... kau Pende-

kar Hina Kelana?" desis Beruang Hitam dengan 

suara bergetar.

Sementara Buang Sengketa sendiri telah 

bangkit berdiri. Pusaka Golok Buntung sekarang 

telah berada dalam genggamannya. Hawa hangat 

terasa mengalir deras dari senjata andalan yang 

digenggamnya itu. Rasa sesak yang memenuhi da-

danya sekarang sedikit demi sedikit mulai berku-

rang, Buang Sengketa perlahan membuka ma-

tanya yang terpejam. Sesungging seringai menggi-

dikkan menghias di bibirnya. 

"Sekarang kau benar-benar telah mengeta-

hui siapa aku. Karena kau tidak mau menyerah-

kan Patung Kematian secara baik-baik padaku. 

Maka sekarang terimalah kematianmu! Haiit...!" 

dengan di sertai lengkingan ilmu Pemenggal Roh, 

tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat lenyap. 

Senjata di tangannya menderu dan menimbulkan


suara bercuitan. Sementara udara di sekelilingnya 

berubah dingin luar biasa. 

Beruang Hitam terkesiap, ia terpaksa men-

gerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi pen-

dengarannya dari suara lengkingan ilmu Pemeng-

gal Roh yang dikerahkan oleh lawannya. 

"Hees...!"

Ngungg...! 

Dengan tunggang langgang Beruang Hitam 

berusaha menghindari sergapan senjata di tangan 

lawannya. Tapi usaha-usaha seperti itu hanya be-

berapa kali saja berhasil dilakukannya. Sampai 

pada satu waktu, tubuh Buang Sengketa berputar 

cepat mematikan setiap gerak langkahnya. Pusaka 

yang menebarkan hawa sedingin badai es itupun 

menyambar ke bagian perut Beruang Hitam. 

Nguuung...!

Craak! Craaak!

"Aarrrhkg...!" Beruang Hitam melolong bagai 

serigala terluka saat bagian perutnya terbelah. Isi 

perut memburai keluar disertai menyemburnya 

darah dari luka itu.

"Ka... kau memang hebat, boc... aaah...!" 

Beruang Hitam jatuh tersungkur dengan tubuh 

menekuk. Seketika itu juga nyawanya melayang 

meninggalkan raga. Buang menarik nafas lega, 

namun begitu berpaling ke arah buntalan. Ia meli-

hat sesosok bayangan berkelebat menyambar bun-

talan itu, kemudian berlari cepat ke arah lain. 

Pendekar Hina Kelana hanya sesaat saja sempat 

terperangah. Kemudian...

"Hei... berhenti! Tinggalkan Patung Kema


tian!" teriak Buang Sengketa. Karena bayangan itu 

terus berlari, maka pemuda inipun segera melaku-

kan pengejaran. Tapi bayangan hijau itu cepat bu-

kan main. Buang Sengketa terpaksa mengerahkan 

Ajian Sepi Angin untuk menyusul orang di depan-

nya. Hanya dalam waktu singkat ia berhasil mem-

persempit jarak. Di luar dugaan orang yang dike-

jarnya menyambitkan senjata rahasia ke arahnya.

"Keparaaat!" Buang bersalto beberapa kali 

untuk menghindari serangan itu. Begitu ia menje-

jakkan kakinya, bayangan hijau itu telah lenyap 

dari hadapannya.

"Tidak salah lagi, orang yang memperguna-

kan senjata rahasia pastilah si Tokoh Misterius...!" 

gumamnya sambil terus bergerak ke arah hilang-

nya bayangan tadi.

***


LIMA


Setelah lebih dari satu purnama Pendekar 

Hina Kelana yang ditunggu-tunggu oleh Wiku 

Swanda tidak kembali juga ke perguruan Teratai 

Putih. Maka laki-laki berusia lanjut ini kemudian 

memutuskan untuk segera menyusulnya sekaligus 

mencari Patung Kematian yang telah jatuh ke tan-

gan golongan sesat. Pagi itu dengan memperguna-

kan kuda-kuda tunggangan. Berangkatlah Wiku 

Swanda dengan disertai oleh lima belas orang mu-

ridnya. Di sepanjang jalan yang mereka lalui, tidak


seorangpun diantara mereka yang berani buka bi-

cara. Yang terdengar hanyalah derap langkah kuda 

mereka yang dipacu dengan kecepatan luar biasa.

Kuda-kuda tunggangan itu terus menelusu-

ri jalan berbatu kapur menuju arah Utara. Menje-

lang setengah hari, Wiku Swanda dan rombongan 

telah jauh meninggalkan daerah Bayur Kemuning 

yaitu tempat perguruan yang mereka tinggalkan. 

Kecepatan kuda terus dipacu hingga terdengar su-

ara hiruk pikuk memekakkan telinga. Dan debu 

tebal nampak mengepul tinggi di angkasa. Ketika 

mereka sampai di sebuah tikungan jalan tiba-tiba 

kuda-kuda yang mereka tunggangi meringkik ke-

ras. Bahkan beberapa diantaranya ada yang me-

lonjak-lonjak, sehingga membuat murid-murid Wi-

ku Swanda jatuh terpelanting dari atas punggung 

kuda. Serentak dalam waktu yang bersamaan ter-

dengar suara bentakan-bentakan nyaring dari se-

belah kiri bukit.

"Berhenti...!"

Belum lagi gema suara teriakan itu hilang 

dari pendengaran penunggang kuda ini, dari ka-

nan dan kiri jalan itu nampak berlompatan bebe-

rapa sosok tubuh berpakaian kuning gading. Da-

lam waktu yang singkat sepuluh orang berpakaian 

kuning bertampang kasar telah mengepung rom-

bongan perguruan Teratai Putih yang di pimpin 

oleh Wiku Swanda.

"Siapa kalian!" tanya Wiku Swanda sambil 

memperhatikan orang-orang yang telah menge-

pung mereka itu satu demi satu. Kemudian ketua 

perguruan Teratai Putih itu melihat salah seorang


diantara mereka maju dua langkah mendekati ku-

da Wiku Swanda. Ketua perguruan Teratai Putih 

itu terdiam, tapi pandangan matanya terus mem-

perhatikan gerak-gerik laki-laki bercambang serta 

bawuk lebat.

"Hahaha! Kalau tak salah, anda semua me-

rupakan orang-orang dari perguruan Teratai Putih. 

Dan yang paling tua dan hendak masuk kubur, 

pastilah Wiku Swanda. Hemm. Kelihatannya akhir-

akhir ini anda sibuk sekali, Wiku? Apakah anda 

merasa bingung untuk menyembunyikan Patung 

Kematian supaya aman dari incaran kalangan 

rimba persilatan? Kalau begitu alangkah baiknya 

jika Wiku menyerahkan Patung Kematian kepada 

kami agar selalu dalam keadaan aman." kata laki-

laki berpakaian kuning yang menjadi pimpinan 

sembilan orang lainnya sambil tersenyum licik. 

Wiku Swanda maupun murid-muridnya su-

dah barang tentu menjadi marah atas sikap lan-

cang orang-orang yang tidak mereka kenal itu. 

Bahkan dua orang murid perguruan Teratai Putih 

itu tanpa berkata apa-apa langsung mencabut pe-

dangnya. Tetapi niat mereka untuk menerjang la-

ki-laki bersenjata tombak pendek berwarna putih 

ini menjadi urung begitu melihat guru mereka 

mengangkat tangannya memberi isyarat.

Tidak lama setelah itu, Wiku Swanda kem-

bali berpaling pada laki- laid yang menjadi pimpi-

nan gerombolan itu. Sekejap diamatinya orang itu 

dengan pandangan tajam menusuk.

"Umur seusia jagung. Kalian kelompok ga-

rong dari manakah, sehingga begitu berani mengguruiku orang yang sudah tua bangka?" bentak 

Wiku Swanda dengan suara menggelegar.

Beberapa orang diantara mereka nampak 

terkesiap ketika mendengar ucapan Wiku Swanda 

yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam 

yang sangat tinggi. Namun yang menjadi ketua 

orang-orang berpakaian kuning bersenjata tombak 

pendek ini malah tertawa tergelak-gelak.

"Wiku, suaramu yang melengking itu hanya 

pantas untuk mengusir monyet-monyet di hutan. 

Ah... mengapa tidak kau serahkan saja Patung 

Kematian itu kepada kami, agar semua urusan 

menjadi beres."

"Kalau itu yang kalian inginkan. Lebih baik 

kalian bermimpi telah mendapatkan benda itu da-

ripada mendapatkannya secara kenyataan tapi ji-

wa kalian tidak dapat diselamatkan...!" ucap Wiku 

Swanda dengan sikap tenang berwibawa.

"Hemm. Kau tidak bisa menggertak si Tom-

bak Perak dengan segala bualanmu itu, Wiku. Dan 

kami akan membuktikannya." teriak ketua Tom-

bak Perak. Selanjutnya tanpa berkata apa-apa lagi 

ia memberi isyarat pada sembilan orang bawahan-

nya. Tanpa menunggu di perintah dua kali. Sembi-

lan orang bawahan laki-laki berbadan tinggi besar 

ini mencabut senjata mereka yang berupa sebilah 

tombak pendek berwarna putih keperakan dari 

pinggang mereka. "Hiyaa...!"

Secara serentak dengan disertai teriakan-

teriakan melengking tinggi kesembilan orang-orang 

bawahan si Tombak Perak atau Rahasia ini mener-

jang Wiku Swanda dan murid-muridnya yang sudah berlompatan dari punggung kuda menyambut 

kedatangan serangan ganas orang-orang berpa-

kaian kuning gading ini.

Tidak terelakkan lagi pertempuran sengit-

pun terjadi. Masing- masing lawan telah menge-

rahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. 

Bahkan di pihak murid-murid perguruan Teratai 

Putih pun telah pula mengeluarkan senjata mere-

ka yang berupa sebilah pedang berwarna putih 

mengkilat karena ketajamannya. Pada kenyataan-

nya meskipun bawahan Tombak Perak hanya ber-

jumlah sembilan orang, namun dalam melakukan 

penyerangan gerakan mereka sangat cepat dan ge-

sit. Mereka terus merangsak murid-murid Wiku 

Swanda yang berjumlah lima belas orang ini. Me-

nyadari betapa berbahaya serangan tombak yang 

menimbulkan angin menderu-deru ini. Murid-

murid perguruan Teratai Putih laksana kilat lang-

sung memutar pedang mereka sehingga memben-

tuk perisai diri yang begitu kokoh.

"Haiit! Shaaa..!"

Begitu beberapa orang bawahan Rahasia

berhasil menerobos pertahanan murid-murid Wiku 

Swanda. Maka tiga orang diantaranya langsung 

terpelanting roboh dengan dada tertembus tombak 

pendek di tangan lawannya. Semua yang terjadi 

pada murid-muridnya kiranya tidak terlepas dari 

perhatian Wiku Swanda yang sudah mulai menja-

tuhkan bawahan Rahasia hanya dengan mengan-

dalkan jurus-jurus tangan kosong saja. Tentu saja 

laki-laki berusia tujuh puluhan ini menjadi sangat 

marah sekali.


"Keparaat. Kalian memang benar-benar in-

gin cepat di buat mampus!" dengus Wiku Swanda 

sambil menerjang lawannya yang bersenjata tom-

bak itu dengan serangan-serangan yang sangat 

mematikan. Dengan tendangan-tendangan kakinya 

yang disertai tenaga dalam yang tinggi, beberapa 

kali ia berhasil membuat tersungkur lawannya 

dengan dada hancur akibat terhantam tendangan 

yang menggeledek tadi. Tapi tidak sampai di situ 

saja Wiku yang sudah dirasuki hawa amarah ini 

bertindak. Beberapa kali ia melontarkan pukulan 

keras ke arah bawahan Rahasia yang hanya ting-

gal beberapa orang itu. Melihat gelagat yang ku-

rang menguntungkan ini Rahasia segera bertindak 

cepat dengan menghentakkan tangannya ke arah 

Wiku Swanda. 

Wus!

Terasa adanya sambaran angin berhawa 

panas luar biasa menderu ke arah laki-laki berusia 

lanjut ini. Selanjutnya benturan keras pun terden-

gar, membuat seisi dada bagai terguncang.

Bledaar...!

"Wuaakh...!"

Tubuh ketua perguruan Teratai Putih itu 

tergetar hebat. Dirasakannya telapak tangannya 

berdenyut-denyut sakit. Namun setelah menge-

rahkan tenaga dalamnya untuk melancarkan jalan 

darahnya yang agak kacau, sebentar kemudian 

keadaan tubuhnya sudah kembali seperti biasa. Di 

pihak Rahasia sendiri selain tubuhnya sempat ter-

banting roboh, namun ia juga merasakan puku-

lannya membalik seolah telah membentur tembok


baja. Bahkan selain ia merasakan dadanya sesak 

luar biasa. Namun juga dari celah-celah bibirnya 

telah mengalir darah segar. Sekarang sadarlah ke-

tua Tombak Perak itu betapa lawan yang dihada-

pinya kali ini memiliki tenaga dalam yang berada 

jauh di atasnya.

Namun orang yang satu ini nampaknya ti-

dak ingin bersurut langkah. Meskipun saat itu ia 

melihat seluruh bawahannya telah terbunuh di 

tangan Wiku Swanda dan murid-muridnya. Den-

gan cepat laki-laki berpakaian kuning gading ini 

telah bangkit kembali. Kemudian dipandanginya 

murid-murid perguruan Teratai Putih yang hanya 

tinggal sepuluh orang. Dengan perasaan geram ia 

menoleh ke arah Wiku Swanda yang juga sedang 

memandang ke arahnya dengan tatapan tajam 

menusuk.

"Kau hebat, Wiku! Tapi kau jangan bangga 

dulu, karena aku sama sekali belum kalah. Satu 

yang perlu kau ingat bahwa Patung Kematian ha-

rus dapat kumiliki."

"Kau benar-benar manusia yang tolol. Apa 

yang kau harapkan dari pertarungan ini sedang-

kan aku sendiri sekarang sedang berusaha mene-

mukan kembali Patung Kematian yang telah di 

rampas oleh orang lain...!" sahut laki-laki itu me-

rasa geli sendiri. Tapi mana mungkin ketua Tom-

bak Perak ini percaya dengan kata-kata Wiku 

Swanda.

Sebagai orang yang datang dari sebuah 

tempat yang jauh dari kaki gunung Cimanuk sana 

tentu saja berita tentang Patung Kematian yang


sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang rimba 

persilatan menarik perhatiannya. Apalagi seperti 

yang didengarnya patung itu selain mengandung 

racun yang sangat ganas. Juga di dalam tubuh pa-

tung itu tersimpan pelajaran ilmu silat yang sangat 

tinggi. Hal ini tentu saja menarik minat Rahasia

yang selalu keranjingan terhadap berbagai ilmu si-

lat. Itulah sebabnya dari tempat yang jauh di ba-

gian Tenggara sana ia rela menempuh perjalanan 

yang sangat jauh dan melelahkan, semata-mata 

hanya ingin merebut Patung Kematian dari tangan 

Wiku Swanda. Tidak heran jika begitu bertemu ke-

tua perguruan Teratai Putih ini sama sekali tidak 

mengenali si Tombak Perak karena sebelum itu 

mereka memang tidak pernah bertemu sama seka-

li.

Sekarang setelah berhadapan langsung 

dengan Wiku Swanda. Laki-laki tua itu mengata-

kan Patung Kematian telah hilang dari per-

guruannya. Mana mungkin Rahasia bisa percaya 

begitu saja.

"Hmm...!" Wiku Swanda menggumam tidak 

jelas. Namun perhatiannya tetap tertuju pada Ra-

hasia yang nampak tercenung seolah-olah sedang 

memikirkan sesuatu.

"Aku tidak percaya patung itu telah hilang, 

Wiku...!" katanya kemudian setelah agak lama 

hanya berdiam diri. Ketua perguruan Teratai Putih 

itu tersentak kaget. Hal ini bukan karena Wiku 

Swanda merasa gentar menghadapi si Tombak Pe-

rak. Namun disebabkan sikap Rahasia yang ngo-

tot, seolah ia merupakan pemilik Patung Kematian.


Padahal sejak beradunya tenaga dalam tadi, jelas-

jelas Wiku tua ini dapat merasakan betapa tenaga 

dalam yang dimilikinya jauh berada di atas lawan-

nya. Apakah dengan kenyataan ini Rahasia masih 

juga belum tahu gelagat?

"Kalau kau tetap tidak percaya, silahkan 

mampus saja!" geram Wiku Swanda. Kemudian se-

telah menghembuskan nafasnya dalam-dalam, ke-

tua perguruan Teratai Putih ini mendadak berte-

riak keras menggelegar. Seketika itu juga tubuh-

nya melesat secepat kilat ke udara. Ketika seben-

tar kemudian tubuhnya telah meluncur kembali ke 

bawah. Maka Wiku Swanda telah melontarkan pu-

kulan jarak jauh ke arah Rahasia. Si Tombak Pe-

rak yang sudah merasakan kehebatan lawannya 

sejak gebrakan-gebrakan pertama tadi, sekarang 

terlihat nampak berhati-hati sekali. Terbukti ketika 

ia merasakan angin keras menderu dari atas kepa-

lanya. Dengan gerakan luar biasa cepatnya ia 

membanting dirinya sambil memutar tombak pen-

dek di tangannya. Terdengar suara mendengung-

dengung ketika tombak perak di tangan Rahasia

diputar laksana baling-baling. Dalam keadaan se-

perti itu tentu merupakan kesulitan tersendiri bagi 

Wiku Swanda yang tidak menyangka akan menda-

pat serangan balik ini. Dengan cepat ia menghen-

tikan arus pukulan. Namun ketika kakinya telah 

menjejak di atas tanah, Wiku Swanda segera mele-

paskan pukulannya kembali. "Hiyaa!"

Dengan jari-jari terkembang membentuk 

kuntum bunga teratai, laki- laki berusia lanjut ini 

mendorongkan kedua tangannya ke depan. Ketika


tangan itu telah menghantam ke arah lawan. Maka 

gelombang hawa panas yang disertai gemuruh su-

ara angin menghantam pertahanan Rahasia. Laki-

laki dari lereng gunung Cimanuk ini langsung ter-

sentak ke belakang. Tombak pendek yang ia per-

gunakan untuk melindungi diri terpental jauh dan 

jatuh entah ke mana. Dapat dibayangkan betapa 

kerasnya pukulan yang dilakukan oleh Wiku 

Swanda ini.

Wajah Rahasia langsung berubah pucat se-

putih kain kafan, tapi rasa keterkejutannya itu ti-

dak berlangsung lama, karena pukulan yang di-

lancarkan oleh Wiku Swanda telah kembali men-

deranya. Sedapat-dapatnya Rahasia berusaha me-

nyelamatkan diri dari pukulan maut yang terus 

memburunya ke mana pun ia berusaha menghin-

dar.

"Heaa..!"

Ketua Tombak Perak ini mengibaskan tan-

gannya. Kemudian beberapa batang tombak yang 

lebih pendek dan sangat tipis meluncur dari tela-

pak tangannya itu. Tetapi pukulan yang dilakukan 

oleh Wiku Swanda datangnya lebih cepat lagi dari 

dugaan laki-laki itu.

Brees!

"Aaa...!" terdengar jeritan Rahasia yang me-

lengking tinggi ketika pukulan Kuntum Bunga Te-

ratai yang dilepaskan lawan dengan telak meng-

hantam tubuhnya. Untuk yang kesekian kalinya 

Rahasia jatuh terpelanting. Sementara tombak-

tombak pendek yang disambitkan oleh Rahasia

dengan baik dapat dihindari oleh Wiku Swanda,


sehingga senjata-senjata itu mengenai tempat ko-

song.

"Ka... kau...!" Rahasia yang sudah terluka 

parah itu nampak ingin mengatakan sesuatu.

Tapi niatnya itu tidak pernah kesampaian 

karena ternyata ajal lebih cepat menjemputnya. 

Melihat kematian lawannya, ketua perguruan Te-

ratai Putih ini langsung menarik nafas dalam-

dalam. Hanya sekejap dipandanginya mayat Raha-

sia yang mulai dingin membeku. Ketika laki-laki 

berpakaian serba putih ini memandang pada mu-

rid-muridnya. Maka dilihatnya mereka sedang si-

buk mempersiapkam kubur buat lima orang sau-

dara seperguruan mereka yang menjadi korban se-

rangan anak buah Tombak Perak.

"Berapa orang kawan-kawan kalian yang 

tewas, Narada?" tanya laki- laki itu pada salah seo-

rang murid tertuanya.

"Semuanya ada lima orang, Eyang guru!" 

sahut Narada dengan sikap hormat.

"Kalau begitu cepat selesaikan penguburan 

mereka. Setelah itu kita secepatnya harus me-

neruskan perjalanan kembali." perintah Wiku 

Swanda dengan perasaan sulit diduga-duga. Pada 

saat itu Narada tanpa berkata apa-apa segera 

mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru 

mereka. Sepuluh orang murid perguruan Teratai 

Putih bahu membahu menguburkan kawan-kawan 

mereka sehingga pekerjaan menguburkan mayat 

pun hanya dalam waktu yang singkat telah selesai. 

Siang itu juga Wiku Swanda dan sepuluh orang 

muridnya kembali meneruskan perjalanan mereka yang sempat tertunda.

***

ENAM


Buang merasa kesal sekali ketika ia kehi-

langan jejak orang yang diburunya. Padahal hari 

sudah mulai beranjak malam. Udara terasa dingin 

dengan datangnya hembusan angin yang sangat 

kencang. Namun suasana seperti itu tidak mem-

buat Pendekar Hina Kelana ini menghentikan pen-

cariannya. Patung Kematian sangat perlu untuk di 

selamatkan, terlebih-lebih ia pernah berjanji pada 

ketua perguruan Teratai Putih untuk menda-

patkan patung itu kembali dalam waktu secepat-

nya. Tapi setelah lebih dari satu purnama Buang 

melakukan pencarian, hingga kini ia masih belum 

berhasil mendapatkan benda itu. Hal ini yang me-

risaukan hatinya.

Semua itu merupakan masalah nasib, jika 

saja saat itu tidak muncul si Tokoh Misterius dan 

melarikan Patung Kematian. Tentu saja sekarang 

ini ia telah kembali ke perguruan Teratai Putih un-

tuk menyerahkan benda yang diperebutkan itu. 

Buang menggerutu kesal. Meskipun begitu dalam 

keadaan malam yang hanya diterangi oleh cahaya 

bulan purnama, Buang terus berlari cepat dengan 

mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya 

yang sudah mencapai taraf sempurna. Begitu ce-

patnya seolah-olah ia berlari di atas angin saja


layaknya.

Tapi Pendekar Hina Kelana ini secara men-

dadak terpaksa menghentikan larinya ketika dari 

arah depannya nampak melesat bayangan lain. Ti-

ba-tiba di depan Buang Sengketa telah mengha-

dang belasan laki-laki berjubah hitam mirip orang 

yang hampir membunuh Buang di perguruan Te-

ratai Putih. Hanya saja bedanya orang-orang yang 

telah bergerak mengepungnya itu tidak memakai 

topeng tengkorak seperti mereka terdahulu.

"Siapa kalian?" tanya pemuda itu sambil 

memperhatikan orang-orang yang berada di sekeli-

lingnya. Anehnya tidak seorangpun yang mau 

menjawab pertanyaan Buang. Hal inilah yang 

membuatnya terheran-heran. Angin dingin tiba-

tiba saja berhembus kencang.

"Uhp...!"

Buang hampir saja muntah ketika pencium-

annya yang tajam itu mengendus bau sesuatu 

yang sangat menusuk, bau bangkai.

"Aneh. Tiba-tiba saja di sekitar sini tercium 

bau begini rupa. Siapakah mereka ini? Gerakan-

nya kaku bagai patung, wajah mereka pucat bagai 

kain kafan. Tapi pandangan mata mereka kosong 

seolah tiada kehidupan di sana." gumam Pendekar 

Hina Kelana ini dengan suara tidak begitu jelas. 

Tiba-tiba sesuatu yang tidak pernah diduga-duga 

terlintas di dalam benaknya. Orang itu jelas sekali 

seperti digerakkan oleh satu kekuatan yang tidak 

terlihat sama sekali. Buang Sengketa yakin pasti 

ada sesuatu yang berbentuk kekuatan gaib berada 

di belakang mereka. Hanya ia belum begitu menyadari siapakah yang bersembunyi di balik se-

mua orang tanpa perasaan yang berada dalam po-

sisi siap menyerangnya ini.

Tidak lama setelah itu para pengepungnya 

yang berjumlah belasan orang memperdengarkan 

suara ribut dengan makna yang tidak jelas bagi 

Pendekar Hina Kelana ini. Buang terperangah me-

lihat keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh 

orang-orang berpakaian serba hitam ini. Terlebih-

lebih ketika tidak lama kemudian ia mendengar 

suara tiupan seruling tidak jauh dari tempat ia be-

rada. Bersamaan dengan terdengarnya suara ti-

upan seruling itu, maka bagai dikomando. Belasan 

laki-laki yang telah mengurung Buang itu bergerak 

serentak menyerang si pemuda. Dari serangan 

yang dilakukan secara bersamaan itu saja sekilas 

Buang dapat melihat. Meskipun gerakan mereka 

agak lamban, namun serangan-serangan itu me-

nimbulkan hawa kematian yang tidak dapat di ta-

war-tawar lagi. Menghadapi kenyataan seperti ini, 

tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Hi-

na Kelana langsung melompat menerjang orang-

orang berpakaian hitam yang berada begitu dekat 

dengan dirinya. Bukan main cepatnya serangan 

yang dilakukan oleh Buang, sehingga orang yang 

diterjangnya dan memiliki gerakan kaku bagai pa-

tung sudah tidak punya kesempatan lagi untuk 

menghindar. Diegkh...!

Pukulan telak yang dilakukan oleh Buang 

dengan tepat menghajar tubuh dua orang yang be-

rada didepannya. Selanjutnya dengan memutar 

tubuhnya ke samping kiri, kaki kanan melakukan


tendangan beruntun. Tiga orang lawan berpakaian 

serba hitam itu terpelanting roboh menyusul dua 

orang lainnya. Begitu kerasnya pukulan maupun 

tendangan kilat yang dilakukan oleh Pendekar Hi-

na Kelana ini sehingga ia dapat memperhitungkan 

lima orang yang tersungkur roboh itu pastilah te-

lah menemui ajal. 

Di lain saat ketika melihat kawan-kawannya 

terpelanting terhantam tendangan Buang. Orang-

orang berpakaian hitam lainnya nampak berubah 

menjadi beringas. Dengan gerakan kaku mereka 

menerjang Pendekar Hina Kelana ini, secara ber-

samaan. Meskipun gerakan dan langkah-langkah 

mereka agak lamban. Namun serangan-serangan 

yang dilancarkan oleh mereka ini berbahaya sekali. 

Setiap sambaran tangan-tangan mereka yang me-

nebarkan bau busuk selalu terarah pada sasaran-

nya. Hanya saja berkat kelincahan Buang dalam 

menghindari sergapan-sergapan serangan mereka, 

sampai sejauh itu Buang masih dapat menyela-

matkan diri. Hanya saja terkadang, Buang agak 

terkecoh menghadapi serangan lawan yang tidak 

pernah bicara sama sekali.

"Hiyaa...!" 

Dengan mengandalkan ilmu meringankan

tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, tu-

buh Buang melenting ke udara. Beberapa kali ia 

melakukan salto dengan gerakan-gerakan yang 

sangat manis. Begitu tubuhnya meluncur ke ba-

wah. Pemuda ini langsung mengembangkan kedua 

tangannya sambil melontarkan pukulan Si Hina 

Kelana Merana ke arah lawan-lawan yang berada


di bawahnya.

Wuus! Wuss!

Blamm! Blaam!

Terdengar suara ledakan yang sangat dah-

syat saat pukulan yang dilepaskan oleh Buang 

menghantam tubuh mereka. Tanah di sekitar tem-

pat itu bagai diguncang gempa bumi yang dahsyat. 

Beberapa orang berpakaian serba hitam itu berpe-

lantingan tidak tentu arah. Bahkan dua orang di-

antaranya terkapar di tempat itu juga dengan tu-

buh hangus menghitam. Tidak lama kemudian ter-

ciumlah bau bangkai terbakar, sehingga membuat 

Pendekar Hina Kelana ini terperangah untuk yang 

kesekian kalinya.

"Tubuh mereka menebarkan bau busuk 

bangkai. Hemm. Aku merasa yakin ada sesuatu 

yang tidak beres terjadi pada mereka." gumam 

Pendekar Hina Kelana sambil menghindari seran-

gan beberapa laki-laki berpakaian serba hitam 

yang semakin bertambah beringas menyerangnya. 

"Ups...!"

Tiba-tiba Buang memekik tertahan ketika 

merasakan adanya pukulan yang menghantam ba-

gian punggungnya. Pemuda ini tersungkur ke de-

pan. Bukan main kerasnya pukulan yang dilaku-

kan lawan, sehingga Buang merasakan sekujur 

tubuhnya terasa lemah tiada bertenaga. Dan sebe-

lum pemuda ini dapat berdiri pada posisinya, 

enam orang lainnya segera memburunya bagai se-

rigala yang haus darah. Pendekar Hina Kelana te-

rus berguling-guling. Hingga pada satu kesempa-

tan, Buang menyentakkan tubuhnya sendiri.



"Haiit!"

Dengan mengandalkan gerakan cepat, 

Buang Sengketa melompat ke samping kanan. 

Kemudian secepat gerakan pertamanya tadi ia me-

lepaskan pukulan si Hina Kelana Merana ke arah 

lawan-lawannya. Serangkum cahaya berwarna me-

rah menyala dan menimbulkan hawa panas luar 

biasa menghantam dua orang pengeroyok yang be-

rada di depannya. Blaar..!

Tanpa terdengar suara apa-apa, tubuh me-

reka terpelanting beberapa tombak ke belakang. 

Dan sebelum sisa-sisa para pengeroyoknya bertin-

dak lebih jauh, Buang Sengketa mencabut pusaka 

Golok Buntung dari sarungnya. Udara di sekitar 

tempat itu berubah sedingin es seketika itu juga. 

Senjata di tangan Buang Sengketa memancarkan 

sinar merah menyala. Lalu, tanpa membuang-

buang waktu lagi pemuda inipun segera bertindak. 

Dengan cepat tubuhnya berkelebat, senjata di tan-

gan menyambar ke bagian leher lawan-lawannya.

Craas! Crees! 

Buang Sengketa tersentak kaget ketika me-

lihat luka yang dialami lawan-lawannya sama se-

kali tidak mengeluarkan darah. Celakanya orang-

orang yang telah terluka parah akibat tebasan sen-

jata Buang Sengketa bagai tidak merasakan sakit 

sama sekali terus berjalan menghampiri Buang 

Sengketa.

"Celaka! Kiranya orang-orang ini merupakan 

orang yang tidak bernyawa. Ilmu Iblis dari mana 

yang telah dipergunakan oleh pemilik mayat-mayat 

hidup ini?" desis Pendekar Hina Kelana sambil


bergerak mundur.

Pada saat Buang Sengketa diliputi oleh rasa 

penasaran dan ketegangan itulah secara tiba-tiba 

ia mendengar suara tawa seseorang yang melengk-

ing tinggi.

"Haiiaha...! Pemuda berkuncir. Kalau tidak 

salah mataku yang lamur ini, kau pastilah orang 

yang telah membunuh salah seorang jubah hitam 

topeng tengkorak di tempat kediaman Wiku Swan-

da? Sekarang kau telah pula membunuh mayat 

bayangan milikku. Apakah kalau mayat-mayat 

bayangan itu kubangkitkan kembali kau mampu 

menghadapi mereka?"

"Siapakah kau?" dengus Buang Sengketa 

sambil memperhatikan ke satu arah.

"Aku adalah orang yang memerlukan Pa-

tung Kematian dan satu-satunya orang yang akan 

memenggal kepala Pendekar Hina Kelana...!" teriak 

orang itu sinis.

"Siapapun engkau jika menginginkan Pa-

tung Kematian yang bukan milikmu. Sama saja ar-

tinya menghendaki kematian dariku." bentak 

Buang Sengketa dengan suara tajam menusuk.

"Sombong sekali bicaramu, orang muda. 

Kau tidak pernah memandang betapa tingginya 

gunung dan dalamnya lautan..."

Tidak lama kemudian terdengar suara alu-

nan seruling. Nada suara seruling itu tidak beratu-

ran sama sekali. Setelah itu angin kencang ber-

hembus. Buang kembali terperanjat, secara reflek 

matanya memandang ke atas langit. Aneh, desis-

nya. Padahal langit terang tiada berawan, bahkan


sinar bulan purnama pun memancarkan ca-

hayanya yang kuning keemasan.

"Herrk!"

Pendekar Hina Kelana kembali memperhati-

kan suasana di sekelilingnya. Ketika itu dia men-

dengar suara-suara yang sangat aneh disertai ber-

geraknya tubuh-tubuh yang bergelimpangan tadi, 

bagai disihir mayat-mayat itu bangkit kembali seir-

ing dengan terdengarnya suara seruling yang men-

dayu-dayu dengan nada yang tidak beraturan sa-

ma sekali.

"Gila. Ini benar-benar gila! Rasanya aku ti-

dak mungkin menjatuhkan mereka selama aku be-

lum meringkus orang yang mempergunakan serul-

ing itu." gumam Buang Sengketa. Namun sebelum 

ia sempat melakukan tindakan sesuatu, dari kege-

lapan sesosok bayangan berkelebat. Sebentar saja 

orang itu telah berdiri dihadapannya.

"Bagaimana, pendekar!" desis orang itu si-

nis.

"Kau memang hebat. Tapi aku tidak men-

gerti mengapa kalian menghadang jalanku." kata 

Buang dengan amarah tertahan. Laki-laki berwa-

jah murung itu tersenyum tipis. Tapi sinar ma-

tanya tetap dingin menggidikkan.

"Kau jangan berpura-pura bodoh. Bukan-

kah kau telah membunuh salah seorang anggota 

Iblis Tengkorak Hitam? Selain itu karena kehadi-

ranmu, kami mengalami kegagalan meringkus si 

Tokoh Misterius yang kami ketahui membawa Pa-

tung Kematian." dengus pemimpin mayat-mayat 

bergentanyangan ini.


"Hahaha... rupanya kau mempunyai niat 

yang tidak jauh berbeda dengan si Tokoh Misterius 

itu? Kalian ingin memperebutkan benda yang bu-

kan milik kalian. Kalau begitu jangan coba-coba 

menghalangi langkahku. Aku mempunyai urusan 

yang tidak dapat ditunda dengan orang yang ingin 

kalian ringkus."

"Kurang ajar! Kalau begitu kau benar-benar 

memilih jalan ke neraka!" teriak Tua Duka Tongkat 

Naga.

"Heaa...!"

Ketua Pengemis Partai Utara ini langsung 

menerjang Pendekar Hina Kelana dengan serangan 

tongkatnya yang berujung runcing itu. Sementara 

itu mayat-mayat yang dikendalikan oleh Tua Duka 

hanya menatap kosong ke arah pertempuran yang 

sedang terjadi.

"Uts! Yeaah...!"

Buang cepat sekali merunduk sambil memi-

ringkan tubuhnya ketika serangan tongkat lawan-

nya menyambar deras ke bagian kepalanya. Dan 

saat itu juga ia cepat mencabut senjata andalan-

nya.

Nguung!

Tua Duka Tongkat Naga memekik tertahan 

saat melihat berkelebatnya sinar merah menyala 

ke arah tubuhnya. Dengan cepat ia memutar tong-

kat di tangannya.

Traang...!

Tua Duka Tongkat Naga memekik tertahan 

ketika merasakan tangannya yang memegang 

tongkat terasa nyeri dan berdenyut-denyut sakit.


Dan laki-laki ini menjadi terbelalak begitu melihat 

bagian tongkatnya telah terpotong menjadi dua 

bagian.

"Gila...!" desis Tua Duka Tongkat Naga. 

Mempergunakan kesempatan yang hanya bebera-

pa detik itu. Tubuh Buang Sengketa berkelebat ke 

arahnya. Laki-laki ini kembali tersentak saat me-

rasakan sambaran angin menerpa bagian ping-

gangnya. Ketika Buang bergerak menjauhinya, ta-

hu-tahu di tangan pemuda itu sekarang telah 

menggenggam sebuah seruling yang dipergunakan 

Tua Duka untuk menggerakkan mayat-mayat itu.

"Kembalikan seruling itu!" teriak Tua Duka 

dengan wajah berubah pucat. Buang menangga-

pinya dengan sesungging senyum sinis.

"Jangan coba-coba mendekat orangtua, jika 

kau tetap nekad juga maka seruling ini akan ku-

hancurkan!" ancam Buang Sengketa. Tua Duka 

menghentikan langkahnya.

"Sekali lagi kuperingatkan padamu. Kemba-

likan seruling itu! Setelah itu aku berjanji untuk 

menyudahi pertarungan ini."

Buang sama sekali tiada mengubrisnya, ma-

lah di luar dugaan dia dengan geram meremas se-

ruling di tangannya sehingga menjadi serpihan-

serpihan kecil. Maka mayat-mayat yang berdiri te-

gak tidak jauh darinya itu langsung ambruk tanpa 

dapat berkutik lagi. Tidak lama setelah itu, ter-

ciumlah bau busuk memenuhi sekitar daerah ter-

sebut. Melihat serulingnya hancur. Bukan main 

geramnya ketua Pengemis Partai Utara ini.

"Keparaat! Kau benar-benar ingin mencari


mampus bocah!" teriak lawannya. Selanjutnya 

tanpa berkata apa-apa lagi Tua Duka Tongkat Na-

ga meluruk deras ke arah Buang Sengketa dengan 

tusukan tongkat dan tendangan kaki.

Pemuda ini terkejut juga melihat datangnya 

serangan secepat itu. Sambil melompat ke samp-

ing, Buang Sengketa menghantamkan senjata di 

tangannya. Creees!

"Uaarrkgh...!" terdengar jeritan melengking 

tinggi pada saat pusaka Golok Buntung menghan-

tam pangkal leher Tua Duka Tongkat Naga. Tidak 

terhindari lagi tubuh Tua Duka tersungkur roboh 

dengan darah membasahi sekujur tubuhnya.

"Hmm...!" Buang Sengketa menggumam ti-

dak jelas sambil memandangi mayat lawannya 

yang tergeletak tidak begitu jauh darinya.

***


TUJUH



Sosok bayangan berpakaian serta berkeru-

dung hijau itu terus berlari-lari bagai di kejar se-

tan. Tanpa disengaja semakin jauh ia berlari, lang-

kah kakinya menyeret dirinya ke daerah pinggiran 

lembah Tapis Angin. Bayangan berkerudung hijau 

ini baru menghentikan larinya ketika di depannya 

mengangga sebuah lembah yang cukup dalam. Se-

bentar ia menoleh ke arah belakang, ia tidak meli-

hat sesuatu yang mencurigakan di sana.


"Lembah Tapis Angin adalah tempat kedia-

man Iblis Tengkorak Hitam. Ahh, jika aku sampai 

bertemu dengan manusia yang satu itu apalagi ji-

ka ia sempat melihat Patung Kematian berada di 

tanganku. Urusan pasti semakin bertambah ru-

nyam. Tapi jika aku berbalik langkah, bukan mus-

tahil pemuda berpakaian kulit harimau itu akan 

bertemu denganku. Tapi rasanya aku tidak mem-

punyai pilihan lain. Mana mungkin aku sanggup 

menerobos semak belukar di depan sana. Baiknya 

aku mengambil jalan lain agar aku tidak bertemu 

dengan siapapun." batin orang berkerudung hijau 

ini sambil memutar langkah dan bermaksud berla-

ri kembali. Celakanya sebelum niatnya itu kesam-

paian, entah dari mana datangnya tahu-tahu di 

depannya telah berdiri tiga orang laki-laki berju-

bah hitam. Dua orang diantaranya memakai to-

peng tengkorak. Sedangkan seorang lagi berwajah 

bengis. "Eeh...!"

Orang berkerudung hijau ini bergerak mun-

dur sejauh tiga langkah. Sedangkan laki-laki ber-

jubah hitam bertampang bengis sekaligus meru-

pakan penguasa di lembah Tapis Angin nampak 

menyeringai, sehingga membuat semakin angker 

penampilannya.

"Hahaha! Pucuk dicinta ulam tiba." kata Ib-

lis Tengkorak Hitam dengan suara menggelegar. 

"Kau pastilah Tokoh Misterius yang menggempar-

kan itu. Hemm. Sedangkan bungkusan itu mung-

kin saja merupakan Patung Kematian yang kuim-

pi-impikan. Yang membuat hatiku senang, justru 

karena Tokoh Misterius merupakan seorang wanita." Iblis Tengkorak Hitam kembali tertawa-tawa.

"Menyingkirlah, kau tidak akan sanggup 

menghadapiku!" bentak Tokoh Misterius itu sambil 

berkacak pinggang. Mendengar suaranya yang ke-

cil dan merdu. Sekarang Iblis Tengkorak Hitam 

semakin bertambah yakin kalau orang yang berdiri 

di hadapannya itu merupakan seorang wanita.

"Hmm. Suaramu merdu sekali, kau pastilah 

seorang gadis cantik yang bersembunyi di balik ke-

rudungmu. Mengingat aku masih menghargaimu, 

lebih baik kau serahkan Patung Kematian secara 

baik-baik padaku. Siapa tahu aku berkenan men-

gangkatmu menjadi seorang istri." ujar laki-laki 

berjubah hitam ini dengan sesungging senyum pe-

nuh kelicikan. Andai saja Tokoh Misterius itu tidak 

memakai kerudung. Tentu Iblis Tengkorak Hitam 

dapat melihat betapa orang yang dihadapinya 

nampak berubah memerah parasnya.

"Kau akan mati sia-sia karena kelancangan 

mulutmu itu, Iblis Tengkorak Hitam!" bentak pe-

rempuan berkerudung hijau ini tanpa maksud 

mengancam.

"Apa? Mati secara sia-sia? Tentu saja aku 

rela jika aku mati di dalam pelukanmu." ejek pen-

guasa lembah Tapis Angin itu sambil bergerak 

mendekati Tokoh Misterius.

"Berhenti...!"

"Aku tidak akan berhenti, terkecuali kau 

menyerahkan patung itu berikut dirimu." jawab Ib-

lis Tengkorak Hitam sambil tersenyum sinis.

Mendengar kata-kata yang bernada sebuah 

penghinaan ini. Si Tokoh Misterius sudah tidak


dapat lagi menahan kemarahannya.

"Hiyaaa...!"

Perempuan berkerudung hijau yang merasa 

tidak ada pilihan lain lagi, pada saat itu juga me-

nerjang Iblis Tengkorak Hitam. Gerakan Tokoh 

Misterius ini cepat dan tidak dapat di duga-duga. 

Membuat penguasa lembah Tapis Angin terperan-

jat kaget. Dan sebelum Iblis Tengkorak Hitam me-

nyadari apa yang dilakukan oleh perempuan itu. 

Tiba-tiba saja ia telah menghantamkan telapak 

tangannya ke arah Iblis Tengkorak Hitam dan dua 

orang pembantunya. Desiran halus segera mener-

pa ke arah laki-laki berjubah hitam ini, namun ia 

segera melompat ke samping menghindari seran-

gan paku-paku beracun yang dikibaskan oleh la-

wannya. Dua orang pembantu Iblis Tengkorak Hi-

tam yang tidak sempat menyelamatkan diri langs-

ing terpelanting roboh sambil melolong tinggi. Tu-

buh dua orang pembantu yang mengenakan to-

peng tengkorak itu langsung berubah menghitam 

ketika paku-paku beracun itu menembus tubuh 

mereka Iblis Tengkorak Hitam menjadi terkejut se-

tengah mati melihat kecepatan gerak perempuan 

berkerudung hijau ini.

"Setan keparaat! Kau telah membunuh 

pembantuku...!" desis Iblis Tengkorak Hitam.

"Silahkan kau cari pembantu lain di Nera-

ka...!" sambut Tokoh Misterius sambil menerjang 

ke arah lawannya yang nampak sangat marah ka-

rena kematian dua orang pembantunya.

"Haaa!"

Diiringi teriakan melengking tinggi. Iblis

Tengkorak Hitam segera menghindari terjangan 

lawan sambil melancarkan serangan balasan yang 

berupa pukulan jarak jauh yang disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Angin 

keras menderu ketika Iblis Tengkorak Hitam me-

lontarkan pukulannya ke arah depan. Merasakan 

datangnya serangan balasan yang menebarkan 

hawa dingin luar biasa. Dengan cepat sekali pe-

rempuan berkerudung serta berpakaian hijau ini 

segera menarik balik serangannya. Sebagai gan-

tinya ia mengebutkan lengan bajunya yang pan-

jang dan longgar. Maka begitu bagian baju itu 

mengibas. Dari balik baju itu menderu hawa yang 

sangat aneh. Dengan telak hawa panas aneh itu 

menghantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan 

oleh Iblis Tengkorak Hitam. Wuus!

Blaam! Bledeer!

Terdengar dua kali ledakan berturut-turut

sehingga membuat tanah yang mereka pijak bagai 

dilanda selaksa gempa. Iblis Tengkorak Hitam ter-

getar tubuhnya. Sedangkan perempuan berkeru-

dung hijau itu setelah berlompatan dengan gera-

kan-gerakan yang sangat indah, segera menjejak-

kan kakinya kembali di atas rerumputan tidak 

jauh dari tempat lawannya berdiri.

"Hem. Rupanya si Tokoh Misterius bukan-

lah nama kosong. Tapi jangan merasa menang du-

lu. Karena apa yang baru saja kau lihat hanyalah 

sebuah permulaan saja." geram Iblis Tengkorak Hi-

tam sambil meludah beberapa kali.

"Jangan banyak mulut! Terimalah!" sebelum 

teriakan perempuan berkerudung hijau ini lenyap


sama sekali. Pada saat itu juga tiba-tiba tubuhnya 

berkelebat cepat. Semakin lama gerakannya sema-

kin bertambah cepat laksana kilat, sehingga dalam 

waktu sebentar saja tubuhnya telah lenyap, se-

hingga hanya tinggal merupakan sambaran-

sambaran angin yang sangat deras menerpa tubuh 

Iblis Tengkorak Hitam.

"Keparaat!" maki Iblis Tengkorak Hitam me-

rasa dipermainkan oleh lawannya. Tiba-tiba ia 

menghentakkan tangannya secara membabi buta. 

Detik itu juga dari telapak tangannya menderu an-

gin kencang yang menebarkan hawa panas tiada 

tertahankan. Pukulan maut itu dihantamkan oleh 

Iblis Tengkorak Hitam ke delapan penjuru mata 

angin. Jelas salah satu pukulan yang dilepaskan 

secara untung-untungan ini menghantam lawan-

nya. Brees!

Terdengar pekikkan tertahan disertai ter-

pentalnya sesosok tubuh ramping perempuan itu. 

Melihat pukulannya berhasil mengenai sasaran. 

Iblis Tengkorak Hitam langsung tertawa tergelak-

gelak. Di luar sepengetahuannya, perempuan ke-

rudung hijau yang sedang tertatih-tatih untuk 

bangkit kembali dengan kecepatan laksana kilat 

mengibaskan tangannya.

Weer!

"Iih...!"

Gerakan yang tiada di duga-duga ini tentu 

sangat mengejutkan lawannya. Sehingga membuat 

Iblis Tengkorak Hitam menghentikan tawanya tiba-

tiba. Dalam keadaan terperanjat itu ia berusaha 

menghindari serangan senjata rahasia paku beracun dengan memutar kedua tangannya memben-

tuk perisai diri.

Wuts!

"Uaah...!"

Beberapa paku beracun berhasil diruntuh-

kan oleh Iblis Tengkorak Hitam. Namun dua dian-

taranya tidak dapat dihindarinya lagi. Laki-laki 

berwajah menyeramkan ini terhuyung-huyung be-

berapa tindak ke belakang. Dengan cepat ia men-

cabut paku beracun yang menancap di bagian pa-

ha dan pergelangan tangannya. Setelah itu dengan 

cepat pula ia menotok jalan darah di sekitar luka 

untuk mencegah agar racun tidak cepat menjalar 

ke sekujur tubuhnya.

"Sebentar lagi kau pasti segera menyusul 

dua orang pembantumu, Tengkorak Hitam." den-

gus perempuan berkerudung hijau ini sambil me-

lancarkan pukulan susulan.

"Sekarang kau boleh tertawa. Tapi sebentar 

lagi kau akan kubuat menangis dan minta ampun 

padaku." teriak Iblis Tengkorak Hitam sambil me-

rangkapkan kedua tangannya di atas bagian kepa-

lanya. Tidak lama kemudian kedua tangan yang 

telah menyatu di atas kepala itu telah mengepul-

kan asap putih. Tubuh Iblis Tengkorak Hitam ber-

getar hebat, keringat mengalir deras di sekujur tu-

buhnya. Tapi rupanya perempuan kerudung hijau 

ini sadar betapa lawan sekarang telah mengerah-

kan pukulan Racun Pembebas Sukma yang per-

nah dia dengar akan kehebatannya. Meskipun To-

koh Misterius ini sempat terkejut. Namun sedetik 

kemudian ia telah pula mengerahkan pukulan



yang sangat diandalkannya. Dalam waktu yang 

bersamaan... 

"Hiyaa! Hiyaa!" 

Buuum!

Dengan cepat kedua pukulan berisi dua te-

naga sakti itu saling menyambut. Iblis Tengkorak 

Hitam tidak bergeming di tempatnya. Tetapi di pi-

hak perempuan berkerudung hijau nampak jatuh 

terduduk. Ia merasakan tulang belulangnya re-

muk. Tubuhnya meskipun tidak mengalami luka 

dalam, namun lemas tiada bertenaga.

Pabila ia mencoba menggerakkan kaki dan 

tangannya. Maka tangan dan kakinya terasa kaku. 

Pucat wajah Tokoh Misterius itu seketika. Bukan 

main gembiranya Iblis Tengkorak Hitam melihat 

lawannya tidak berdaya sama sekali.

"Hahaha! Mimpi apa aku semalam. Hari ini 

aku mendapatkan keuntungan yang cukup besar. 

Patung Kematian berhasil kumiliki, lebih dari itu 

hari ini aku juga akan melihat betapa cantiknya 

wajah si Tokoh Misterius yang telah menghadiah-

kan Patung Kematian itu padaku...!"

Iblis Tengkorak Hitam kemudian berjalan 

lambat menghampiri Patung Kematian yang terge-

letak tidak jauh dari tempat perempuan berkeru-

dung hijau itu. Setelah memungut patung itu se-

bentar, laki-laki berjubah hitam itu mengamati 

bungkusan itu sebentar. Kemudian ia menggu-

mam...

"Tepat seperti dugaanku, Patung Kematian 

mengandung racun yang sangat keji. Aku tidak bo-

leh membukanya di sini. Hahaha, lebih baik ku


buka kerudung yang menutupi wajah Tokoh Miste-

rius."

Walaupun kata-kata yang diucapkan oleh 

Iblis Tengkorak Hitam hanya lirih saja, namun se-

bagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, pe-

rempuan berkerudung itu dapat menangkap kata-

kata yang diucapkan lawannya. Celakanya hingga 

sampai saat itu ia masih belum mampu mengge-

rakkan tubuhnya sama sekali. Sehingga mem-

buatnya merasa takut setengah mati.

"Kurang ajar! Jangan kau dekati aku." ben-

tak perempuan berkerudung hijau tanpa mampu 

beringsut dari tempatnya.

"Jangan takut! Aku hanya akan memberi 

kesenangan padamu!" kata Iblis Tengkorak Hitam. 

Kemudian setelah ia berada di samping Tokoh Mis-

terius yang sudah tidak mampu berbuat sesuatu 

karena pukulan beracun Pembebas Sukma yang 

menghantam tubuhnya. Selanjutnya tanpa berkata 

apa-apa lagi, laki-laki berjubah hitam ini mereng-

gut kerudung yang menutupi wajahnya.

"Ahh...!"

Iblis Tengkorak Hitam terpekik kaget. Di 

luar dugaannya rupanya perempuan bersuara 

merdu itu meskipun berusia sangat muda namun 

wajahnya jelek tidak ketulungan.

"Hihihi! Apakah setelah melihat wajahku, 

engkau masih tertarik untuk mempermainkan 

aku." kata Tokoh Misterius sambil tersenyum 

mencibir.

"Sekarang aku sedang berpikir-pikir!" den-

gus laki-laki berjubah hitam ini dengan pandangan


tajam menusuk.

"Keparaat! Bebaskan aku dari racun Pem-

bebas Sukma, setelah itu kita bertarung sampai 

salah seorang diantara kita menemui ajal." teriak 

perempuan berwajah buruk itu dengan sikap me-

nantang. Tapi Iblis Tengkorak Hitam membalasnya 

dengan senyum rawan.

"Meskipun wajahmu jelek. Dari pada kita 

harus bertarung mati-matian. Alangkah lebih baik 

lagi kalau kita bersenang-senang saja."

Sesaat setelah itu laki-laki berjubah hitam 

ini di luar dugaan segera mencabik-cabik pakaian 

Tokoh Misterius. Dan sinar matanya berubah liar 

dan jalang ketika ia melihat sesuatu yang sangat 

jarang di lihatnya. "Auu, lepaskan...!"

Tokoh Misterius berusaha meronta, ketika 

jemari tangan yang kokoh itu menyentuh kedua 

bukit yang ternyata sangat indah. Perempuan itu 

semakin berteriak-teriak histeris dan menggelin-

jang saat tangan-tangan yang kokoh itu terus me-

luncur ke arah bagian perutnya.

Breet! Breet!

Tokoh Misterius berteriak-teriak dengan su-

aranya yang semakin parau ketika Iblis Tengkorak 

Hitam melemparkan kain penutup tubuhnya yang 

terakhir. Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi. La-

ki-laki berjubah hitam inipun segera pula menang-

galkan jubahnya.

Detik-detik selanjutnya hanyalah dengus 

suara nafas yang tidak beraturan. Si Tokoh Miste-

rius, hanya mampu merintih sedih dan putus asa 

ketika Iblis Tengkorak Hitam menindih tubuhnya.



Saat laki-laki berjubah hitam ini melampiaskan 

nafsu iblisnya. Mendadak terdengar suara benta-

kan-bentakan yang disertai dengan derap langkah 

kaki kuda mendekat ke arahnya.

"Keparaat. Setan mana lagi yang berani 

mengganggu pekerjaanku." geram Iblis Tengkorak 

Hitam. Dengan sikap tergesa-gesa ia segera men-

genakan pakaiannya kembali yang berserakan. 

Sementara dibiarkannya Tokoh Misterius yang da-

lam keadaan terlentang tanpa sehelai lembar be-

nangpun.

"Kalian memang pasangan iblis yang tidak 

mempunyai rasa malu sedikitpun...!" bentak salah 

seorang penunggang kuda yang tidak lain adalah 

ketua perguruan Teratai Putih bersama sepuluh 

orang muridnya.

"Bangsat ini hendak memperkosaku orang 

tua, untung kau cepat datang." sambut Tokoh Mis-

terius sambil berusaha menggapai pakaiannya 

yang terobek di beberapa bagian. Sebentar Wiku 

Swanda menoleh ke arah perempuan yang dalam 

keadaan setengah membugil itu. Dan matanya 

menjadi terbelalak ketika melihat perempuan ber-

wajah buruk itu.

"Kau mengenaliku, orangtua!" ucap perem-

puan yang sedang dalam keadaan tidak berdaya 

itu, dingin menusuk.

"Kau... kau, Tokoh Misterius yang telah 

membunuh beberapa orang muridku?" tanya Wiku 

Swanda dengan suara bergetar.

Perempuan itu kembali tersenyum, se-

sungging senyum yang hanya diketahui maknanya


oleh Wiku Swanda. 

"Baiklah, aku punya persoalan tersendiri 

padamu, tapi saat sekarang ini aku merasa perlu 

membereskan manusia yang satu ini."

Wiku Swanda berpaling pada Iblis Tengko-

rak Hitam, tidak begitu lama perhatiannya segera

terpaku pada bungkusan kain sutera merah di 

tangan laki-laki berjubah hitam ini.

"Benda yang terbungkus kain sutera merah 

itu pastilah Patung Kematian milikku. Sekarang 

cepat kau serahkan padaku, Iblis Tengkorak Hi-

tam!" perintah Wiku Swanda dengan suara me-

lengking tinggi. Laki-laki berjubah hitam ini terse-

nyum mencibir.

"Tidak perduli Patung Kematian milik siapa. 

Tetapi apabila telah terjatuh ke tanganku. Maka 

tidak seorangpun yang akan kubiarkan merebut-

nya."

"Kurang ajar! Ringkus dan bunuh penghuni 

lembah Tapis Angin itu...!" teriak Wiku Swanda 

memberi perintah pada sepuluh orang muridnya. 

Secara serentak murid-murid perguruan Teratai 

Putih berlompatan dari atas punggung kuda mas-

ing-masing. Dengan cepat pula mereka segera me-

nyerang Iblis Tengkorak Hitam dengan pedang ter-

hunus. Laki-laki berjubah hitam ini menyambut 

serangan sepuluh orang murid perguruan Teratai 

Putih dengan tawanya yang tinggi melengking, 

membuat sakit gendang-gendang telinga.

"Shaa!"

Sepuluh mata pedang menderu deras ke 

arah Iblis Tengkorak Hitam. Penguasa lembah Tapis Angin ini tanpa sungkan-sungkan lagi melon-

tarkan pukulan deras ke arah lawan-lawannya. 

Cepat sekali serangan ganas yang dilakukan oleh 

laki-laki berjubah hitam ini sehingga membuat 

dua orang murid Wiku Swanda sudah tidak sem-

pat mengelak lagi.

Wuss!

Blaaar!

"Aaah...!"

Begitu terhantam pukulan yang menebar-

kan dingin beracun itu, maka dua orang murid 

Wiku Swanda nampak terpelanting roboh dengan 

tubuh berubah membiru dan darah menyembur 

dari mulut mereka. Melibat muridnya terkapar

tanpa mampu bergerak-gerak lagi. Ketua pergu-

ruan Teratai Putih ini menjadi sangat marah seka-

li. Dengan perasaan geram, diterjangnya Iblis 

Tengkorak Hitam dengan serangan gencar yang 

mengandung tenaga dalam cukup tinggi.

"Bagus. Guru dan murid ingin mencari mati 

bersama-sama." dengus laki-laki berjubah hitam 

sambil melentingkan tubuhnya ke udara untuk 

membebaskan diri dari kepungan lawan-lawannya. 

Sementara itu Tokoh Misterius yang sedang 

berusaha mengembalikan tenaga dalamnya yang 

sempat punah karena serangan laki-laki berjubah 

hitam itu nampak terus memperhatikan ke tempat 

terjadinya pertempuran. Di hatinya ia sama-sama 

membenci kedua belah pihak yang sedang terlibat 

pertempuran sengit itu. Kepada Iblis Tengkorak Hi-

tam ia benci bahkan ingin membunuh laki-laki 

berjubah hitam ini karena hampir saja berhasil


memperkosanya. Hal ini merupakan satu kejaha-

tan yang tidak dapat dimaafkannya. Sebaliknya 

dengan Wiku Swanda. Hmm, dendamnya setinggi 

langit dan sebanyak buih di lautan.

Masih terbayang dalam ingatannya peristi-

wa tujuh tahun yang lalu di Bukit Kematian. Wak-

tu itu malam dalam keadaan gelap gulita dan da-

lam suasana hujan lebat pula ketika datang seo-

rang laki-laki ke tempat tinggal Nyai Mawar Merah. 

Laki-laki itu dikenal sebagai adik kandung gu-

runya. Kedatangan laki-laki yang saat itu masih 

merupakan tokoh persilatan aliran hitam merupa-

kan kejadian buruk yang tidak dapat dilupakan-

nya. Kepada Nyai Mawar Merah, laki-laki berumur 

enam puluhan itu secara langsung menyatakan 

keinginannya untuk meminta Patung Kematian 

yang selama berpuluh-puluh tahun tersimpan di 

sebuah tempat yang aman.

Sebagai seorang kakak yang paham betul 

akan sifat adiknya yang ugal-ugalan itu. Tentu sa-

ja Nyai Mawar Merah yang merupakan guru si ga-

dis tidak memberikan benda itu padanya. Rupanya 

laki-laki yang seusia hampir sama dengan gurunya 

itu tidak mau terima begitu saja. Ia tetap ngotot 

ingin memiliki benda berharga peninggalan almar-

hum orangtua mereka yang berjuluk Sepasang Pe-

dang Kembar. Perselisihan pendapat itu rupanya 

terus berlanjut dengan adu pedang dan kekerasan. 

Dalam keadaan hujan lebat dan gelap gulita. Per-

tempuran sengit antara adik dan kakak ini terjadi. 

Si murid yang saat itu baru berumur belasan ta-

hun ini hanya mampu memperhatikan pertempuran yang terjadi dengan perasaan khawatir tanpa 

mampu berbuat apa-apa.

Dalam pertempuran sengit yang berlang-

sung puluhan jurus itu sebenarnya Nyai Mawar 

Merah masih unggul dalam hal segala-galanya. 

Hanya saja ia terlalu memberi hati kepada adik 

kandungnya itu. Keadaan seperti itu sudah jelas 

dimanfaatkan oleh sang adik untuk mendesak ka-

kaknya. Akhirnya dengan cara yang amat licik, la-

ki-laki itu berhasil menjatuhkan Nyai Mawar Me-

rah. Perempuan yang menjadi guru si gadis itu te-

was dengan bagian punggung tertembus pedang. 

Sebagai seorang murid kematian gurunya tentu 

merupakan satu pukulan yang sangat berat. Apa-

lagi hal seperti itu terjadi di depan matanya. Sam-

bil berteriak-teriak histeris, ia berlari-lari menda-

patkan gurunya yang telah terkapar menjadi 

mayat. Di luar dugaannya, setelah tidak berhasil 

menemukan Patung Kematian di dalam rumah 

tinggal Nyai Mawar Merah. Laki-laki itu keluar lagi, 

kemudian menyeret gadis belasan tahun yang ber-

nama 'Wulan Angraeni' untuk menunjukkan tem-

pat penyimpanan Patung Kematian. Gadis itu be-

rontak bahkan melakukan perlawanan yang sen-

git. Namun sampai sejauh mana kepandaian yang 

dimiliki oleh Wulan saat itu. Dalam pertarungan 

mencapai belasan jurus ia telah kena ditotok oleh 

laki-laki berusia enam puluhan. Ketika Wulan An-

graeni masih saja tetap menolak menunjukkan 

tempat penyimpanan Patung Kematian. Tanpa 

mengenal rasa kemanusiaan sedikitpun, laki-laki 

itu terus menyiksanya dengan cara-cara penyiksaan yang amat kejam. Bahkan ketika sampai kee-

sokan harinya Wulan Angraeni masih juga tidak 

mau membuka mulut. Laki-laki itu dengan cara 

yang sangat pengecut menyeret gadis belasan ta-

hun ini dengan beberapa ekor kuda. Sehingga wa-

jah gadis cantik itu mengalami luka-luka yang 

sangat mengerikan. Tidak dapat menahan siksaan 

yang begitu rupa akhirnya dengan sangat terpaksa 

menunjukkan tempat penyimpanan Patung Kema-

tian. Setelah mendapatkan patung itu, laki-laki te-

lenggas itu kemudian meninggalkan Wulan begitu 

saja. Bukan main marahnya gadis yang terluka 

parah pada bagian wajahnya ini menyaksikan se-

pak terjang orang yang bernama Wiku Swanda itu. 

Bahkan ia telah bersumpah di depan kubur gu-

runya. Ia akan membunuh Wiku Swanda di samp-

ing mendapatkan Patung Kematian yang telah di-

larikan oleh laki-laki itu.

Sejak peristiwa yang menghancurkan kehi-

dupannya itu, Wulan Angraeni semakin tekun 

memperdalam ilmu olah kanuragan melalui kitab-

kitab peninggalan gurunya. Hingga kemudian 

sampailah berita kepadanya bahwa musuh besar-

nya telah mendirikan sebuah perguruan silat ali-

ran putih di daerah Bayur Kemuning.

"Hmm. Betapa sangat liciknya manusia 

yang satu ini. Ia menyembunyikan segala kebu-

sukkannya di balik topeng kebaikan yang ia ta-

warkan kepada orang lain." dengus Tokoh Miste-

rius yang ternyata merupakan pemilik Patung Ke-

matian yang sah.

"Aku harus dapat mengembalikan kekua


tanku dalam waktu yang tepat. Sehingga aku da-

pat menghadapi siapapun diantara mereka yang 

keluar menjadi pemenang...!" kata Wulan sambil 

memejamkan matanya.

Sementara itu di tempat terjadinya pertem-

puran, terlihat beberapa orang murid Wiku Swan-

da sudah tergeletak tanpa nyawa lagi. Bahkan ti-

dak kepalang tanggung, tindakan yang dilakukan 

Iblis Tengkorak Hitam ini. Ia kelihatan semakin 

memperhebat serangannya. Setiap tendangan kilat 

yang dilakukannya maupun pukulan-pukulan 

yang dilepaskannya selalu meminta korban di pi-

hak Wiku Swanda. Sehingga dalam gebrakan-

gebrakan selanjutnya tidak seorangpun murid per-

guruan Teratai Putih yang tersisa. Semuanya habis 

terbantai di tangan Iblis Tengkorak Hitam secara 

menyedihkan.

"Hemm. Adakah niat di hatimu untuk tetap 

bersikeras memiliki benda ini, Wiku?" tanya Iblis 

Tengkorak Hitam dengan sesungging senyum 

mengejek.

"Kurang ajar. Selain telah merampas Patung 

Kematian dari tanganku. Engkau juga telah mem-

bunuh seluruh muridku. Aku akan mengadu jiwa 

denganmu." teriak Wiku Swanda.

Lalu dengan sekali lompatan Wiku Swanda 

telah mencabut pedang dari rangkanya. Pedang di 

tangan ketua perguruan Teratai Putih itu menderu 

dan menimbulkan angin yang sangat dingin luar 

biasa. Setiap tebasan pedang yang dilakukan oleh 

Wiku Swanda, pasti menimbulkan hawa dingin 

yang membuat nyeri kulit lawannya. Dapat di


bayangkan betapa beracunnya pedang di tangan 

Wiku Swanda ini. Iblis Tengkorak Hitam tersentak 

kaget ketika merasakan betapa berbahayanya sen-

jata di tangan lawannya. Bahkan ia merasa sejak 

lawan mempergunakan senjatanya. Setiap seran-

gan yang dilancarkan oleh laki-laki berjubah hitam 

ini selalu dapat dimentahkan oleh Wiku Swanda. 

Sekarang sadarlah Iblis Tengkorak Hitam ini, be-

tapa lawannya menjadi sangat hebat setelah pe-

dang berwarna hitam itu berada di tangannya.

***


DELAPAN



Untuk pertama kalinya dalam menghadapi 

Wiku Swanda, laki-laki berjubah hitam ini me-

rangkapkan kedua tangannya di atas kepala. Tapi 

Wiku Swanda yang sudah melihat akibat dari pu-

kulan yang akan dilepaskan oleh Iblis Tengkorak 

Hitam sudah tidak memberinya kesempatan untuk 

melepaskan pukulan maut itu. "Hiyaa...!"

Dengan senjata terhunus, Wiku Swanda 

menerjang lawannya dengan gerakan yang sangat 

cepat luar biasa. Sehingga Iblis Tengkorak Hitam 

gagal melepaskan pukulannya. Sebagai kelanju-

tannya ia terpaksa melompat ke samping kiri sam-

bil merundukkan kepalanya. Serangan itu luput, 

namun Wiku Swanda kembali memutar pedangnya 

menyusul gerakan lawannya yang terus berguling-

guling menghindari senjata di tangan ketua perguruan Teratai Putih itu. Tidak ada lagi yang dapat 

dilakukan oleh Iblis Tengkorak Hitam dalam 

menghadapi serangan yang datangnya bertubi-tubi 

ini, terkecuali menyambut serangan lawan yang 

datangnya bertubi-tubi ini. Setelah berhasil meng-

hindari serangan ganas tadi, laki-laki berjubah hi-

tam ini bagaikan kilat memutar tubuhnya. Kemu-

dian melakukan tendangan kilat ke bagian kaki 

Wiku Swanda. Namun lebih cepat lagi lawan telah 

mengibaskan pedangnya ke arah bawah. Sambil 

mengumpat geram, Iblis Tengkorak Hitam menarik 

balik serangannya yang berhasil di mentahkan 

oleh Wiku Swanda. Namun begitu serangan ka-

kinya luput. Ia telah melontarkan pukulannya ke 

arah bagian wajah lawannya.

Wuts!

Wiku Swanda yang merasakan adanya desi-

ran halus dari arah depannya segera memutar pe-

dang di tangannya dengan gerakan yang sangat 

cepat luar biasa.

Bress!

"Uhh...!"

Tubuh Iblis Tengkorak Hitam sempat ter-

huyung-huyung tiga tindak ke belakang ketika pu-

kulan yang dilepaskannya membentur senjata la-

wannya. Bukan main marahnya laki-laki berwajah 

angker ini ketika melihat pukulan maupun ten-

dangan kilat yang dilakukannya selalu saja berha-

sil dihalau oleh lawannya.

"Setan keparaat! Rupanya dengan pedang di 

tanganmu itu kau berubah menjadi tangguh. Buih. 

Tapi jangan bangga dulu, sama sekali aku belum


merasa kalah...!" dengus Iblis Tengkorak Hitam di 

sela-sela kemarahan dan rasa putus asa yang 

mendalam.

"Kalau kau masih mempunyai ilmu simpa-

nan. Cepat kau keluarkan semuanya sebelum ke-

buru mampus!" kata Wiku Swanda seolah membe-

ri kesempatan pada laki-laki berjubah hitam ini 

untuk mengeluarkan semua kepandaian yang di-

milikinya.

Di luar dugaan, tiba-tiba saja Iblis Tengko-

rak Hitam mencabut sebuah seruling dari balik ju-

bahnya. Dengan cepat ia segera meniup seruling 

itu sehingga menimbulkan bunyi yang tidak bera-

turan. Sebelum Wiku Swanda menyadari apa yang 

terjadi, tiba-tiba belasan muridnya yang menggele-

tak menjadi mayat, nampak bergerak-gerak bang-

kit kembali. Iblis Tengkorak Hitam terus meniup 

seruling di tangannya, dan anehnya mayat-mayat 

murid perguruan Teratai Putih itu seperti diko-

mando segera bergerak mengepung Wiku Swanda.

"Orangtua musuh bebuyutanku. Awas di 

belakangmu!" teriak Wulan Angraeni yang saat itu 

telah dapat memulihkan tenaga dalamnya mempe-

ringatkan. Rupanya gadis berwajah buruk ini tidak 

rela jika orang yang telah membunuh gurunya ser-

ta melarikan Patung Kematian ini sampai tewas di 

tangan Iblis Tengkorak Hitam.

* * *

"Seruling Iblis!" desis ketua perguruan Tera-

tai Putih sambil memutar pedangnya membabat


mayat-mayat muridnya yang bergerak mengikuti 

irama seruling di tangan Iblis Tengkorak Hitam. 

Marah bukan main Wiku Swanda melihat ulah la-

ki-laki berjubah hitam ini, walau bagaimanapun 

mayat-mayat yang bergerak menyerangnya itu ma-

sih merupakan muridnya sendiri. Yang pernah hi-

dup bersamanya selama beberapa tahun. Tapi 

mengingat keselamatan dirinya sendiri. Akhirnya 

hilanglah kesabaran di hati laki-laki berusia tujuh 

puluhan ini. Tanpa berpikir panjang lagi ia men-

gayungkan pedangnya yang sangat berbisa itu ke 

segala penjuru arah. Beberapa mayat langsung 

bergelimpangan roboh. Tubuh mereka terpotong-

potong menjadi beberapa bagian. Bahkan kepala 

mereka pun ada yang menggelinding.

"Hiyaa...!"

Wiku Swanda segera melesat setelah meli-

hat mayat-mayat bergentayangan itu berusaha 

bangkit sekali lagi. Luar biasa cepatnya gerakan 

laki-laki tua itu sehingga Iblis Tengkorak Hitam 

yang sedang berusaha membangkitkan mayat-

mayat lainnya tidak memperhatikan gerakan sen-

jata lawan yang menderu deras ke arahnya. Ketika 

laki-laki berjubah hitam itu merasakan adanya de-

siran halus ke arahnya. Ia hanya mampu terpe-

rangah tapi masih sempat menggerakkan seruling 

di tangannya dengan satu sentakan yang kuat. Se-

ruling di tangan Iblis Tengkorak Hitam terbabat 

putus menjadi beberapa bagian. Namun pedang di 

tangan Wiku Swanda tanpa mengenal ampun te-

rus menderu ke arah lawannya, akibatnya...

Bet! Jrees!


"Wuakgh...!"

Iblis Tengkorak Hitam menjerit setinggi lan-

git saat pedang di tangan Wiku Swanda menghan-

tam kepala laki-laki itu. Tubuh Iblis Tengkorak Hi-

tam jatuh tersungkur. Tubuhnya berkelojotan se-

bentar, kemudian terdiam untuk selama-lamanya, 

mati. Sekejap saja ketua perguruan Teratai Putih 

itu memandangi mayat lawannya yang memiliki 

ilmu luar biasa. Tidak lama setelah itu ia segera 

memungut bungkusan yang berisi Patung Kema-

tian yang tergeletak tidak jauh dari mayat Iblis 

Tengkorak Hitam.

"Tinggalkan Patung Kematian itu, Wiku ke-

paraat...!" terdengar bentakan nyaring.

"Ehh," Wiku Swanda segera berpaling, keti-

ka teringat gadis yang dalam keadaan tidak ber-

daya tadi. Tapi ia menjadi terkejut ketika melihat 

gadis berwajah buruk itu telah berdiri sambil ber-

tolak pinggang tidak begitu jauh darinya.

"Kau muridnya Nyai Mawar Merah." desis-

nya bagai melihat hantu di siang hari.

Tanpa berkata apa-apa gadis itu tersenyum 

menggidikkan. Tatapan matanya menyimpan seri-

bu dendam atas perlakuan yang pernah dirasa-

kannya dari Wiku Swanda beberapa tahun yang 

lalu.

"Kau memang manusia licik, Wiku. Kau bu-

nuh kakak kandungmu sendiri, kemudian kau ru-

sak wajah muridnya. Sehingga ia tidak memiliki 

arti hidup sama sekali. Semua kekejianmu kau la-

kukan tanpa perasaan sama sekali, hanya semata-

mata karena Patung Kematian itu. Sayangnya


hanya aku sendiri yang mengetahui tentang kelici-

kanmu itu. Kini kau berlindung dengan kedok ke-

baikan yang kau lakukan di dalam lingkunganmu. 

Kau memang terlalu rapi membuang jejak, Wiku 

keparaat... tapi kau tidak akan pernah mampu 

menghilangkan bekas-bekas luka yang membuat 

wajahku menjadi buruk rupa. Ah... sayang! Sayang 

sekali Pendekar Hina Kelana tidak pernah menya-

dari kalau dirinya kau peralat." bentak Wulan An-

graeni dengan pandangan dingin tajam menusuk.

Tetapi Wiku Swanda menanggapinya den-

gan tawa bergelak-gelak. Dengan tidak kalah sen-

gitnya ia memperhatikan Wulan Angraeni. Sinar 

matanya yang biasanya lembut dan memancarkan 

kewibawaan, sekarang sirna sama sekali. Tata-

pannya liar dan mengandung maksud licik.

"Selamanya Pendekar Hina Kelana memang 

tidak pernah mengetahuinya, Tokoh Misterius. Ka-

rena kau satu-satunya orang yang mengetahui 

duduk persoalan yang sebenarnya, sebentar lagi 

kau akan mati di tanganku." bentak Wiku Swanda 

berubah beringas. Sebenarnya pada saat gadis 

berwajah buruk itu menyebut gelar pemuda yang 

bernama Buang itu. Wiku Swanda merasa terkejut 

juga, sebab ia sendiri sama sekali tidak menyang-

ka kalau pemuda berpakaian kulit harimau yang 

telah berjanji untuk membantunya dalam mene-

mukan Patung Kematian itu ternyata seorang pen-

dekar rimba persilatan yang memiliki julukan Pen-

dekar Hina Kelana.

Apa yang ditakutkan oleh Wiku Swanda 

adalah bagaimana seandainya nanti Buang mengetahui siapa dirinya yang sesungguhnya. Ia berpikir 

jalan satu-satunya untuk melenyapkan bukti 

bahwa Patung Kematian sebenarnya bukanlah mi-

liknya yang sah. Wiku Swanda harus membunuh 

Wulan Angraeni, karena gadis itulah satu-satunya 

saksi hidup yang sewaktu-waktu dapat membong-

kar kedoknya. Itulah sebabnya tanpa berpikir pan-

jang lagi ia segera menghunus pedangnya untuk 

menyingkirkan lawan yang satunya ini. Namun se-

belum niatnya itu kesampaian, tiba-tiba dari satu 

arah berkelebat sosok bayangan begitu cepatnya 

ke arah mereka. Tidak sampai sekedipan mata, 

mendadak seorang pemuda berpakaian serba me-

rah telah berdiri tegak tidak begitu jauh dari kedua 

orang itu. Bukan main terkejut hatinya, melihat 

kehadiran Buang yang secara tiba-tiba itu.

Tapi hal yang sesungguhnya bukan secara 

kebetulan Buang sampai di tempat itu. Karena se-

jak Iblis Tengkorak Hitam dan Wiku Swanda terli-

bat pertempuran. Pendekar Hina Kelana yang te-

rus mengikuti ke manapun Tokoh Misterius itu 

melarikan diri, Buang terus bergerak mengikuti. 

Dan pemuda ini baru menghentikan langkahnya 

jika orang yang dikejarnya juga menghentikan la-

rinya. Pemuda berpakaian serba merah ini menjadi 

tertegun ketika mendengar isak tangis Tokoh Mis-

terius yang menyebut-nyebut Wiku Swanda seba-

gai orang yang menyebabkan malapetaka di rimba 

persilatan.

Bahkan di sela-sela isak tangisnya itu To-

koh Misterius itu menyatakan penyesalannya ka-

rena merasa tidak mampu menjaga rahasia tentang tempat disembunyikannya Patung Kematian. 

Dari situlah Buang tertegun dan menjadi ragu 

dengan segala apa yang pernah dikatakan oleh Wi-

ku Swanda kepadanya beberapa hari yang lalu. 

Begitu pun ia tidak ingin melepas orang yang diin-

carnya. Ke manapun Tokoh Misterius itu pergi. 

Dari jarak tertentu Buang terus mengikutinya. 

Hingga akhirnya sampailah mereka di pinggiran 

lembah Tapis Angin. Kini Pendekar Hina Kelana itu 

memandang pada Wiku Swanda dengan tatapan 

tiada berkedip sedikitpun.

"Wiku! Berkatalah jujur padaku. Benarkah 

semua apa yang dikatakan oleh gadis itu...!" panc-

ing Buang seolah tidak mengerti duduk persoalan 

yang sebenarnya.

"Mengapa kau harus percaya dengan semua 

ucapannya, Buang!" Wiku Swanda balik bertanya. 

"Perempuan muka buruk ini mencoba memutar 

balikkan fakta. Kau jangan terpancing omongan-

nya." lanjut laki-laki berpakaian serba putih ini 

dengan wajah berubah merah padam.

Mendengar kata-kata Wiku Swanda, Pende-

kar Hina Kelana ini tersenyum tipis. Sekarang je-

laslah sudah, bahwa orang yang dibelanya selama 

ini ternyata tidak lebih dari pada manusia licik 

yang tidak perlu di kasihani.

"Mengapa kau ingin membunuhnya, Wiku! 

Mengapa...?" pertanyaan Buang yang tidak pernah 

diduga oleh Wiku Swanda sama sekali membuat 

laki-laki berumur tujuh puluhan ini semakin ber-

tambah kaget. Begitupun ia masih berusaha me-

nutupi kegelisahan jiwanya.

"Dia ingin merampas patung ini!" katanya 

sambil mengangkat bungkusan yang dipegangnya 

tinggi-tinggi.

Pendekar Hina Kelana terdiam. Meskipun 

hatinya merasa geram sekali karena Wiku Swanda 

ternyata masih terus berbohong kepadanya. Den-

gan sikap seolah tidak mengetahui duduk persoa-

lan sebenarnya ia berpaling pada gadis berwajah 

buruk itu, kemudian...

"Benarkah apa yang dikatakan oleh orang 

itu Nisanak?"

"Kau telah termakan bualannya, Pendekar 

Hina Kelana. Aku bukan ingin merampas Patung 

Kematian dari tangannya, karena sebenarnya pa-

tung itu ia dapatkan setelah membunuh kakak 

kandungnya sendiri!" teriak gadis itu histeris. Se-

lanjutnya secara gamblang Wulan Angraeni men-

ceritakan segala sesuatunya kepada Buang dari 

awal hingga akhir. Pendekar Hina Kelana yang se-

benarnya telah mengetahui segala sesuatunya ten-

tang Patung Kematian semakin bertambah marah. 

Sekarang dengan pandangan tajam menusuk di-

perhatikannya laki-laki berusia tujuh puluhan itu.

"Ternyata kau seorang pembohong besar, 

Wiku! Sangat menyesal sekali aku telah memban-

tumu. Sekarang, cepat kau serahkan Patung Ke-

matian pada gadis ini, Wiku! Karena hanya dialah 

yang berhak mengembalikan patung itu ke tempat 

asalnya." perintah Buang Sengketa.

"Hem. Kalian anak-anak ingusan coba-coba 

memaksa aku?"

"Kalau kau tetap tidak mau mengembalikan


patung itu aku akan menempuh jalan kekerasan, 

Wiku!" geram Buang merasa semakin tidak sabar 

lagi.

"Keparaat! Demi Patung Kematian ini aku 

rela mengadu jiwa denganmu, Pendekar Hina Ke-

lana." bentak Wiku Swanda sambil melintangkan 

pedangnya di depan dada. Tentu saja tindakan ge-

gabah yang dilakukan oleh Wiku Swanda ini mem-

buat Pendekar Hina Kelana sudah tidak mampu 

lagi membendung amarahnya. Apalagi selama ini 

ia merasa ditipu mentah-mentah oleh ketua pergu-

ruan Teratai Putih ini.

"Manusia semacammu memang tidak pan-

tas di kasih hati Wiku keparat!"

"Heaa!"

Belum lagi Buang sempat menyelesaikan 

ucapannya, tiba-tiba dengan senjata di tangannya 

Wiku Swanda berteriak nyaring sambil melakukan 

serangan-serangan ganas ke arah Buang Sengketa. 

Dengan sikap waspada Buang menggeser kakinya 

ke kanan beberapa tindak. Sambil memiringkan 

tubuhnya dengan kepala merunduk. Serangan pe-

dang yang mengandung racun ganas ini menemui 

sasaran yang kosong. Namun begitu serangan kilat 

yang dilakukan, oleh Wiku Swanda menemui ke-

gagalan. Dengan cepat tubuhnya berbalik, kemu-

dian kembali melancarkan serangan dengan keku-

atan berlipat ganda. Buang yang merasa tidak 

punya pilihan lain lagi. Seketika itu juga mener-

jang mendahului tusukan pedang yang dilakukan 

lawannya. Dengan cepat ia melepaskan satu ten-

dangan telak ke arah tubuh Wiku Swanda.


Wust!

Diegkh!

"Uuh...!"

Mendapat serangan mendadak yang da-

tangnya lebih cepat dari tusukan pedang di tan-

gannya. Eyang Wiku Swanda sudah tidak sempat 

mengelak lagi, sehingga dengan telak tendangan 

itu menghantam dadanya. Bungkusan yang berada 

dalam genggaman Wiku Swanda terpental ke arah 

gadis berwajah jelek. Wiku Swanda yang menderita 

luka dalam itu menjadi sangat marah sekali. Den-

gan cepat ia memburu Buang Sengketa. Tapi pada 

saat itu juga Pendekar Hina Kelana yang sudah 

merasa tertipu mentah-mentah ini sudah menca-

but senjata andalannya.

Nguuung!

Terasa menebarnya udara sedingin es di se-

kitar tempat itu, seberkas sinar merah menyala 

bergulung-gulung mengurung Wiku Swanda. Laki-

laki berusia tujuh puluhan ini merasa terkejut bu-

kan main. Namun dia sudah tidak dapat berpikir 

lebih jauh lagi. Dengan segenap tenaga yang dia 

miliki, Wiku Swanda memapaki serangan golok 

Buntung itu dengan pedang di tangannya.

"Hiaat! Ciaaat!"

Traaang! Traaang!

Pedang di tangan Wiku Swanda hancur ber-

keping-keping dilanda senjata di tangan Buang 

Sengketa. Tidak sampai di situ saja. Golok itu te-

rus menderu menyambar bagian perut Wiku 

Swanda. Laki- laki tua ini benar-benar sudah tidak 

dapat berkelit lagi.


Nguung! Ngungg!

Craaas!

"Arrrgkh...!" terdengar jeritan melengking 

tinggi disertai ambruknya tubuh Wiku Swanda. 

Pada saat itu tubuh Wulan Angraeni berkelebat.

"Eh... jangan...!" teriak Buang Sengketa 

bermaksud mencegah. Tapi Wulan Angraeni yang 

sudah diliputi dendam itu tidak mengubris sama 

sekali. Diayunkan pedangnya menghantam tubuh 

Wiku Swanda. Hingga tubuh laki-laki itu tidak 

berbentuk lagi.

Ketika Wulan selesai melampiaskan naf-

sunya dan menoleh ke arah Pendekar Hina Kelana. 

Ia tidak melihat pemuda itu di sana. Dari kejauhan 

sana ia mendengar suara seseorang yang terus 

bergerak semakin menjauh.

"Maafkan aku, nona. Karena selama ini aku 

telah membantu pihak yang salah." suara itu tidak 

lain merupakan suara Pendekar Hina Kelana yang 

disampaikan melalui ilmu mengirimkan suara. 

Wulan Angraeni hanya menggelengkan kepalanya 

sambil tertunduk lesu.



                             TAMAT






Share:

0 comments:

Posting Komentar