MISTERI PATUNG KEMATIAN
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Misteri Patung Kematian
SATU
Laki-laki berbaju serba biru itu hanya dapat
membelalakkan matanya saja ketika menemukan
tubuh dua orang kawannya tergeletak tanpa nya-
wa di pinggir sungai Bantar Hulu. Wajahnya mem-
bersitkan kecemasan dan berubah pucat seketika.
Tangan kanannya segera meraba gagang pedang
yang menggantung di pinggangnya. Sepasang bola
matanya yang nampak lelah memperhatikan
mayat bergelimang darah di depannya. Dengan
seksama diperhatikannya bekas-bekas luka yang
terdapat di bagian dada dan kening kedua mayat
itu. Ketika laki-laki bertubuh tinggi tegap, dengan
kulit hitam legam ini sudah dapat memastikan
adanya dua titik hitam yang masih mengeluarkan
darah, semakin bertambah pucatlah wajahnya.
Tanpa disadarinya, laki-laki berbaju biru ini me-
langkah mundur dua tindak. Seperti dalam kea-
daan tergesa-gesa dan diburu sesuatu yang tidak
jelas. Ia memalingkan wajahnya ke arah jalan yang
dilaluinya tadi. Kemudian dia mengedarkan pan-
dangannya berkeliling.
Rasanya tiada alasan baginya untuk curiga
pada tempat-tempat yang sangat jarang dilalui
oleh manusia seperti di daerah kali Bantar Hulu
ini. Lagi pula hari masih terlalu pagi. Namun ke-
matian dua orang kawannya dengan luka sama
seperti dialami oleh yang lainnya, telah membuat
laki-laki berbaju biru merasa perlu menjaga setiap
kemungkinan yang ada. Kemudian dibesarkan ke
beraniannya untuk meneliti lebih lanjut tentang
keadaan mayat kawannya. Tanpa mengurangi ke-
waspadaannya ia segera meraba saku kedua
mayat ini. Dan tubuh yang tegap itu menggigil se-
ketika dengan wajah pucat bagai kehilangan da-
rah.
"Celaka! Benda itu sudah tidak ada lagi.
Orang yang telah membunuhnya pasti sudah me-
nemukannya. Bagaimana aku mempertanggung
jawabkan semua ini pada Eyang Wiku Swanda?"
desisnya. Kata-katanya seakan ditujukan pada di-
rinya sendiri. Menyadari betapa berbahayanya
benda yang telah lenyap dari saku salah seorang
mayat itu. Laki-laki berbaju biru itu seperti merasa
putus asa.
"Rasanya sia-sia saja pengorbanan besar
yang telah di lakukan Eyang. Selain benda jatuh
ke tangan orang lain, menurutku posisi kaum go-
longan putih juga semakin terjepit. Cepat atau
lambat tokoh-tokoh persilatan aliran putih pasti
akan tersisih!" desahnya dengan tarikan nafas se-
makin berat.
Sekali lagi dipandanginya keadaan mayat-
mayat itu. Kali ini tidak ada perubahan yang terja-
di pada wajahnya. Sorot matanya terlihat kosong,
terarah pada luka yang terlihat samar-samar. Se-
hingga sama sekali dia tidak melihat kedua mayat
itu menunjukkan perubahan sedikit demi sedikit.
Mungkin karena begitu beratnya beban yang harus
dipikulnya, atau mungkin juga karena pikirannya
sedang kacau. Sehingga tidak menyadari kalau da-
ri pori-pori kedua mayat itu mengeluarkan cairan
berwarna putih dan berlendir. Bahkan kedua
mayat itu semakin menyusut, sehingga kerut me-
rut mulai kelihatan di sekujur tubuhnya.
Baru saja dia hendak mengubur mayat ke-
dua kawannya ini, tiba-tiba saja ia merasakan de-
siran halus dari arah samping kanan. Cepat-cepat
dia melakukan lompatan beberapa kali ke bela-
kang. Gerakannya begitu ringan sekali, menanda-
kan kalau kepandaiannya sudah mencapai tingkat
yang cukup tinggi. Dan sebelum laki-laki berumur
tiga puluh lima tahun ini sempat menjejakkan ka-
kinya dengan baik, desiran angin dingin kembali
meluruk ke arahnya.
"Ihh!" cepat-cepat dia melakukan gerakan
menghindar yang dilakukannya lebih cepat dari
yang pertama tadi. Tapi serangan jarak jauh itu te-
rus saja menderu dan mengejarnya ke mana saja-
pun ia menghindar.
"Kurang ajar! Pekerjaan siapa lagi ini?" desis
laki-laki itu bersungut dalam hati.
Saat itu juga dia merasakan serangan-
serangan gelap itu terus mengejarnya ke manapun
dia berusaha menghindar. Sambil berjumpalitan di
udara, laki-laki berpakaian serba biru ini meng-
hentakkan tangannya ke arah serangan gelap yang
terus mengejarnya ini, dan saat itu juga...
"Haiit!"
Dwueer...!
Seketika terdengar suara ledakan sangat
dahsyat, begitu kekuatan yang mengandung tena-
ga dalam tingkat tinggi itu bertemu di udara. Tam-
pak Jala Dara terbanting-banting ke tanah. Seke
tika itu juga dia merasakan dadanya sesak luar bi-
asa. Dan bagian telapak tangan yang diperguna-
kan untuk memapak serangan gelap itu terasa
nyeri. Tanpa menghiraukan tubuhnya yang terasa
remuk, dengan cepat ia melompat bangkit berdiri.
Sungguh mengherankan sekali, saat itu ju-
ga tak ada reaksi dari orang yang menyerangnya
tadi. Bahkan pukulan yang menebarkan hawa din-
gin pun seperti tidak pernah ada. Kenyataan ini je-
las membuat Jala Dara menjadi sangat penasaran
sekali. Beberapa saat dia perhatikan semak belu-
kar asal serangan tadi datang. Jala Dara menjadi
merasa heran sendiri. Namun belum juga kehera-
nannya hilang. Tiba-tiba saja dia jadi terkesiap.
Tampak dari arah lain terlihat sosok bayangan
berkelebat cepat ke arah yang berlawanan.
Beeet!
"Hiyaa...!" laki-laki bertubuh tinggi tegap itu
tanpa berpikir panjang lagi segera melesat menge-
jar. Tetapi bayangan itu sangat cepat sekali gera-
kannya. Sehingga dalam waktu yang singkat dia
sudah kehilangan jejak. Menyadari betapa berba-
hayanya melakukan pengejaran seorang diri. Tan-
pa pikir panjang lagi dia berbalik, kemudian berlari
sekencang-kencangnya ke arah lain.
Jala Dara terduduk lemas di atas sebong-
kah batu hitam berlumut. Wajahnya membayang-
kan rasa letih dan putus asa. Sesekali terdengar
tarikan nafasnya yang berat. Tanpa disadarinya
matahari telah tenggelam di ufuk Barat. Sekarang
yang terlihat hanya rona merah membersit di ufuk
Barat. Entah kenapa sampai saat ini ia merasa
bingung sekali melihat kejadian demi kejadian
yang berlangsung begitu cepat. Pembunuhan-
pembunuhan dengan luka yang sama. Kemudian
korban pembunuhan yang lenyap tanpa bekas.
Hingga kalangan persilatan kemudian saling curi-
ga mencurigai antara golongan yang satu dengan
golongan yang lain.
Sekarang benda berharga yang telah dilari-
kan oleh kawannya untuk disampaikan kepada
Eyang Wiku Swanda, yaitu tokoh tua sekaligus
merupakan ketua perguruan Teratai Putih telah
lenyap tanpa bekas. Bagaimana harus memper-
tanggung jawabkan semua ini di depan Eyang Wi-
ku Swanda? Jala Dara tidak dapat membayangkan
betapa marahnya ketua perguruan Teratai Putih
dan mungkin saja menghukumnya.
"Hmm... bagaimanapun aku harus menga-
barkan semua ini pada Eyang Wiku Swanda. Aku
khawatir dengan hilangnya benda itu, pergolakan
besar dalam dunia persilatan segera terjadi." gu-
mam Jala Dara perlahan. Selanjutnya dengan pe-
rasaan ragu dia bangkit berdiri. Namun ketika pi-
kirannya teringat pada tugas berat dan gagal pula
dilaksanakan, dengan cepat ia mulai mengayun-
kan langkahnya kembali.
Suasana sudah mulai gelap saat Jala Dara
menelusuri jalan setapak menuju perguruan Tera-
tai Putih yang terletak di daerah Banjar Kemuning.
Belum jauh ia melangkahkan kaki dari tempat ia
melepas lelah tadi, kembali ia merasakan adanya
desiran halus seperti yang dirasakannya pertama
tadi. Tentu sekali ini dia tidak ingin dipermainkan.
Yang jelas sejak peristiwa-peristiwa menggempar-
kan yang pernah dia alami bersama kawan-
kawannya, sikapnya selalu mudah curiga terhadap
siapapun.
Satu sambaran angin yang sangat deras
menghantam ke arahnya, tanpa membuang waktu
tubuhnya langsung melompat ringan. Kemudian
berjumpalitan menghindari terjangan hawa panas
yang disertai melesatnya benda putih mengkilat ke
arahnya. Sesaat dengan gerakan manis ia telah
menjejakkan kakinya kembali. Jala Dara memper-
hatikan suasana di sekelilingnya dengan pandan-
gan menyelidik. Tidak terlihat tanda-tanda mencu-
rigakan, bahkan semak-semak tidak bergoyang se-
dikitpun juga.
Namun laki-laki ini merasa yakin di dalam
semak-semak itu bersembunyi beberapa orang la-
ki-laki.
"Hanya orang-orang pengecut saja yang be-
rani bertindak dan main bokong pada orang yang
belum tentu bersalah." kata Jala Dara seolah uca-
pan itu untuk dirinya. Sepi sejenak, namun kesu-
nyian segera dipecahkan oleh suara tawa yang dis-
ertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, se-
hingga membuat sakit telinga yang mendengarnya.
Sadarlah Jala Dara bahwa orang yang bersem-
bunyi di semak belukar itu pastilah bukan orang-
orang sembarangan. Dia pun bersiaga menjaga se-
gala kemungkinan.
"Serahkan benda yang di bawa oleh kawan-
mu itu, Jala Dara!" perintah seseorang berwibawa.
Jala Dara bersikap tenang-tenang saja.
"Aku tidak mengerti benda apa yang kau
maksudkan, sobat."
Mendengar jawaban itu orang yang bersem-
bunyi di dalam semak-semak mendengus marah.
Salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai
pimpinan memberi isyarat pada kawan-kawannya.
Maka dari kanan kiri jalan yang dilalui Jala Dara
berloncatan delapan laki-laki berpakaian hitam
mengurung Jala Dara dengan senjata terhunus.
Jala Dara tersentak kaget tanpa sadar ia mengges-
er dua langkah ke belakang.
"Ka... kalian Iblis Hitam?" Jala Dara mende-
sis dengan suara bergetar. Tubuhnya langsung
menggigil ketakutan saat melihat delapan Iblis Hi-
tam ini. Sebaliknya ketua Iblis Hitam tersenyum
sinis.
"Benar Jala Dara, akulah Iblis Hitam. Se-
baiknya kau serahkan benda yang dibawa oleh ke-
dua kawanmu itu pada kami!" bentak laki-laki
berpakaian serba hitam yang di seluruh wajahnya
ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Laki-laki bersen-
jata pedang ini memang berpenampilan menye-
ramkan. Tindakannya sangat keji dan licik, se-
hingga kalangan persilatan sangat segan beruru-
san dengannya.
"Benda itu telah lenyap pagi tadi. Bahkan
kedua kawanku telah tewas di pinggir kali Banta-
ran Hulu." jawab Jala Dara. Nada suaranya berge-
tar, menandakan ia berusaha menekan gejolak pe-
rasaannya yang tiada menentu.
"Siapa yang mau percaya dengan segala
ocehanmu, Jala Dara!" nada suara Iblis Hitam din
gin dan menyeramkan, sehingga membuat bulu
tengkuk Jala Dara meremang berdiri. Sebelum ra-
sa kecut di hati Jala Dara sirna sama sekali, ketua
Iblis Hitam telah berkata kembali dengan suara
menggelegar.
"Jala Dara! Kuperingatkan padamu untuk
segera menyerahkan benda itu secepatnya padaku.
Jika tidak aku tidak akan mengampuni jiwamu!"
Jala Dara terkesiap, ia telah tahu betapa ke-
jamnya orang yang berjuluk Iblis Hitam ini. An-
caman Iblis Hitam bukan merupakan kosong bela-
ka. Namun bagaimana mungkin ia dapat menye-
rahkan benda yang diinginkan oleh Iblis Hitam.
Sedangkan Jala Dara sendiri tidak tahu siapa yang
telah merampas benda itu dari tangan kawan-
kawannya.
"Maafkan aku kisanak. Mungkin kisanak
sendiri telah tahu bahwa kawanku yang ditu-
gaskan membawa benda itu telah tewas di tangan
seseorang. Benda itu lenyap tanpa meninggalkan
jejak. Lagipula jika benda itu benar-benar ada pa-
daku, tidak mungkin aku menyerahkannya pada
orang-orang Iblis Hitam. Yang jelas merupakan go-
longan beraliran sesat...!" dengus Jala Dara. Entah
sebab apa mendadak timbul keberanian di hati Ja-
la Dara untuk membantah perintah orang yang te-
lah ia ketahui kekejamannya.
Ucapan Jala Dara yang sangat meremehkan
bagi Iblis Hitam tentu tidak jauh bedanya dengan
sebuah tamparan yang sangat keras sekaligus
menghina mereka. Selama malang melintang di
rimba persilatan belum ada orang dari aliran manapun yang berani membantah keinginannya. Tapi
sekarang seorang suruhan Wiku Swanda yang ia
taksir memiliki kepandaian lebih rendah darinya
berani membantah perintahnya. Kenyataan ini
membuat amarahnya membara.
"Kau memang tidak pantas diberi hidup, Ja-
la Dara! Bunuh dia...!" teriak Iblis Hitam tinggi me-
lengking. Sebelum gema suara Iblis Hitam lenyap
ditelan kegelapan malam. Delapan orang bawahan
Iblis Hitam segera menyerang dari segala penjuru.
Mendapat serangan ganas yang berlangsung san-
gat cepat ini, Jala Dara tidak tinggal diam. Apalagi
ketika melihat para penyerangnya begitu berambisi
untuk membunuhnya. Tidak pelak lagi sebelum
senjata di tangan lawan-lawannya menghantam
tubuhnya. Dengan gerakan yang manis Jala Dara
melentingkan tubuhnya ke udara, serangan lawan
luput dan menyambar tempat kosong.
"Yeaa!"
Bet! Wuut!
Jala Dara terpaksa membanting tubuhnya
ke samping kiri begitu menjejakkan kakinya di
atas rerumputan. Namun serangan-serangan ang-
gota Iblis Hitam menyambar ke bagian tubuh yang
mematikan. Ia harus bekerja keras menghalau se-
tiap serangan yang datang tidak ubahnya air bah.
Jala Dara bangkit berdiri, kedua kakinya melaku-
kan gerakan-gerakan lincah, sehingga acapkali ia
berhasil mematahkan sabetan senjata yang datang
dari sebelah kiri. Bahkan dengan kecepatan gerak
tangan yang sulit untuk diikuti oleh mata ia ber-
hasil menjatuhkan lawannya yang menyerang dari
bagian depan.
Buuuk! Buuuk!
"Arrk...!" suara teriakan lainnya kembali
terdengar. Seorang lawan yang menyerangnya dari
bagian belakang terkena sambaran telak di bagian
dada sehingga membuat orang itu tersungkur ro-
boh tanpa mampu bangkit kembali.
Apa yang dilakukan oleh Jala Dara rupanya
di luar perhitungan ketua Iblis Hitam. Semula ia
beranggapan sembilan orang bawahan pasti mam-
pu meringkus Jala Dara. Tapi kenyataannya ketika
pertempuran baru saja berlangsung lima belas ju-
rus. Jala Dara yang dianggap lemah oleh Iblis Hi-
tam, telah menjatuhkan tiga orang bawahannya
tanpa mampu bangkit kembali. Mendidih darah Ib-
lis Hitam melihat kematian tiga orangnya. Dengan
kemarahan meluap. Seraya memungut pedang
yang terletak di atas tanah. Laki- laki bertampang
sadis ini segera berteriak lantang...
"Minggir kalian semuanya! Rupanya kadal
buntung ini ingin melihat betapa tajamnya pedang
di tanganku!"
Tanpa berkata lagi lima orang yang sedang
mendesak Jala Dara, segera menarik balik seran-
gannya. Dengan cepat mereka melompat mundur.
Sementara Jala Dara sendiri merasa sekaranglah
ajalnya menjemput. Ia sepenuhnya menyadari, Ib-
lis Hitam merupakan seorang lawan yang sangat
tangguh. Kepandaiannya bisa jadi di atas Jala Da-
ra. Namun pantang baginya untuk bersurut mun-
dur, sebelum ia sendiri membuktikan sampai di
mana kehebatan lawannya.
"Shaa...!" sambil berteriak melengking ting-
gi, dalam kegelapan malam yang hanya diterangi
cahaya bintang. Pedang di tangan Iblis Hitam ber-
kelebat cepat sehingga kelihatan cahaya putih me-
nyilaukan mata menderu deras ke bagian dada Ja-
la Dara. Jala Dara secepatnya menggeser bagian
kakinya ke samping kanan sehingga serangan Iblis
Hitam yang berupa tusukan menyilang gagal men-
capai sasaran. Dengan cepat Jala Dara segera me-
lakukan serangan balasan dengan melontarkan
pukulan keras yang disertai seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
Gerakan kilat yang dilakukan Jala Dara ru-
panya sempat dilihat oleh Iblis Hitam. Sehingga
dalam keadaan yang gawat itu Iblis Hitam mena-
dahkan tangan kirinya. Kiranya benturan keras ti-
dak dapat dihindari lagi.
Duees!
"Uh...!" Jala Dara mengeluh tertahan ketika
tangannya membentur tangan Iblis Hitam. Jala
Dara tersungkur, ia dapat merasakan tangannya
terasa nyeri luar biasa. Selain itu dadanyapun
berdenyut-denyut. Tanpa menghiraukan luka da-
lam yang di deritanya. Dia secepatnya bangkit ber-
diri, langkahnya terhuyung-huyung. Namun dia te-
tap berusaha memperbaiki posisinya.
"Sebentar lagi nyawamu segera terbang ke
Neraka, Jala Dara!" Iblis Hitam menggeram marah.
"Lebih baik kau serahkan benda itu, siapa tahu
pikiranku berubah...!"
Tapi orang seperti Jala Dara adalah orang
yang mempunyai prinsip pantang menyerah. Sebelum bertarung sampai titik darah penghabisan.
Sungguhpun ia sendiri telah merasakan kehebatan
yang satu ini, namun tiada sedikitpun rasa gentar
di hatinya.
Tanpa berkata apa-apa tubuhnya berkele-
bat. Dengan gerakan yang sulit untuk diduga-
duga, Jala Dara melakukan tendangan terarah pa-
da bagian perut Iblis Hitam. Tendangan itu keras
bukan main, sebaliknya Iblis Hitam begitu mera-
sakan datangnya desiran halus dari bagian pung-
gungnya segera pula mengayunkan senjata di tan-
gannya. Lalu tebasan menyilang dilakukannya be-
berapa kali.
Wuuus!
"Ihh!" Jala Dara mengeluh tertahan. Masih
untung ia sempat menarik balik serangannya, se-
hingga kaki kanannya berhasil diselamatkan dari
ketajaman mata pedang di tangan Iblis Hitam. Tia-
da diduga-duga lawannya melakukan serangan ba-
lik dengan kecepatan berlipat ganda. Jala Dara
langsung terdesak hebat. Pada satu kesempatan
yang sangat baik, Iblis Hitam tidak menyia-
nyiakan waktu.
Breet!
"Akkh...!" sambil memekik tertahan Jala
Dara masih sempat melompat menghindari serga-
pan senjata berikutnya. Tidak urung bagian ba-
hunya yang tersambar ketajaman pedang di tan-
gan lawan terasa nyeri dan banyak mengeluarkan
darah.
Darah meleleh dari luka memanjang di
punggung laki-laki ini. Lawan yang sempat melihat
semua ini segera memburunya tanpa memberi ke-
sempatan sedikitpun pada Jala Dara untuk mela-
kukan sesuatu. Disertai jeritan tinggi melengking,
Iblis Hitam mengayunkan senjatanya ke bagian
kepala Jala Dara. Nampaknya dia sudah tidak
mempunyai kemungkinan dapat meloloskan diri
dari maut, jika pada saat yang sangat kritis itu ti-
dak berkelebat bayangan sesosok tubuh menyam-
bar Jala Dara dan langsung melesat pergi menem-
bus kegelapan malam.
"Kurang ajar!" maki Iblis Hitam ketika me-
nyadari lawannya telah dilarikan oleh sesosok
bayangan yang tidak dikenalnya sama sekali. Den-
gan langkah tergesa-gesa mereka segera memburu
ke arah menghilangnya bayangan tadi.
* * *
Gabruk!
Orang yang bergerak dengan kecepatan ba-
gai tidak ubahnya bayangan itu menjatuhkan tu-
buh Jala Dara di atas tanah berumput hijau. Saat
itu bulan di langit sana mulai menampakkan diri,
sehingga Jala Dara dapat melihat dengan jelas sia-
pa yang telah menyelamatkan dirinya dari tangan
Iblis Hitam. Dengan rasa terima kasih yang men-
dalam dia melihat orang yang telah menyela-
matkannya.
Jala Dara tercengang ketika melihat orang
yang telah menolongnya itu ternyata hanya seo-
rang pemuda berpakaian serba merah dengan
rambut dikuncir, sementara di pinggangnya menggantung sebuah periuk berwarna hitam. Yang
membuat Jala Dara kagum justru karena pemuda
ini memiliki ilmu meringankan tubuh dan kecepa-
tan berlari luar biasa. Padahal usia pemuda itu
mungkin baru sekitar dua puluhan. Di lain pihak
pemuda berpakaian merah yang tidak lain Buang
Sengketa ini terus memperhatikan Jala Dara tanpa
berkata apa-apa. Jala Dara sebagai orang yang di-
tolong langsung merapatkan tangannya di depan
dada.
"Terima kasih atas pertolongan anda, kisa-
nak! Aku berhutang nyawa pada kisanak." ucap-
nya dengan wajah tertunduk. Pemuda berpakaian
merah melirik pada Jala Dara sekilas. Kemudian
timbul dalam ingatannya bahwa orang di depan-
nya ini mempunyai budi pekerti yang luhur.
"Tolong menolong sesama manusia memang
sangat dianjurkan, paman. Paman tidak usah ber-
kata begitu, sebab persoalan nyawa merupakan
urusan Yang Maha Kuasa!"
"Tapi, kis...!"
"Panggil saja, Buang! Namaku Buang Seng-
keta, paman...!" sergah Buang Sengketa tanpa ra-
gu. Jala Dara menganggukkan kepalanya dengan
perasaan kagum.
"Ah. Buang, jika saja kau tidak muncul.
Mungkin sekarang ini aku hanya tinggal nama sa-
ja." ucapnya dengan suara tersendat. Mendengar
keterangan laki-laki yang duduk tidak jauh da-
rinya ini tentu saja Buang Sengketa atau yang le-
bih di kenal dengan julukan Pendekar Hina Kelana
ini merasa tertarik.
"Paman, sebenarnya siapakah paman ini
dan siapa pula orang-orang yang telah mengeroyok
paman?"
Jala Dara mendapat pertanyaan seperti itu
nampak ragu-ragu.
"Katakanlah paman! Barangkali aku dapat
menolongmu." desak Buang Sengketa.
Jala Dara menarik nafas, kemudian:
"Namaku Jala Dara, sedangkan orang yang
mengeroyokku itu tidak lain Iblis Hitam. Namun
menurut hematku sebaiknya kau tidak usah men-
campuri urusanku." Jala Dara menyarankan, se-
pertinya ia enggan persoalannya dicampuri oleh
orang lain.
"Mengapa paman menjadi ragu? Apakah
paman merasa bahwa aku bukan orang yang da-
pat di percaya?" desah Buang Sengketa dengan
suara agak keras.
"Bukan begitu, aku hanya merasa tidak ada
gunanya menceritakan segala yang kuhadapi den-
gan orang lain. Mungkin engkau tidak tahu bahwa
saat sekarang ini rimba persilatan di bagian Timur
sedang di landa teror. Begitu banyak tokoh golon-
gan putih yang tewas di tangan golongan hitam."
Buang Sengketa terdiam, bagaimanapun ia
merasa terkesan dengan keterangan Jala Dara.
Sehingga ia bertekad untuk membantunya.
"Sudah hampir empat purnama rimba persi-
latan bagian Timur dilanda kejadian-kejadian yang
mengejutkan. Beberapa perguruan silat yang ter-
dapat di sekitar daerah Bumi Ayu geger dengan
tewasnya beberapa orang murid utama, dan bah
kan guru mereka ada yang tewas dengan luka
menghitam akibat serangan senjata paku beracun
dari Tokoh Misterius yang memiliki kepandaian
sulit diukur. Yang lebih mengherankan mayat-
mayat mereka hilang raib tidak tentu rimbanya."
"Hmm... sebuah kejadian yang sangat lang-
ka dan jarang terdengar!" Buang bergumam sambil
menatap Jala Dara lekat-lekat.
"Tapi menurutku si Tokoh Misterius mela-
kukan tindakan itu pastilah ada sebabnya."
Jala Dara terdiam, namun tidak lama ke-
mudian...
"Apa yang kau katakan memang benar,
Buang. Tokoh misterius itu tidak mungkin mela-
kukan tindakan-tindakan yang keji jika tidak ada
sesuatu yang sangat berharga yang dicarinya."
"Coba tolong paman jelaskan padaku!"
Jala Dara menarik nafasnya panjang-
panjang.
"Aku sebenarnya penjaga benda langka di
lembah Putus Nyawa. Benda yang ku jaga berupa
patung yang terbuat dari emas murni. Pemilik pa-
tung itu memberi nama Patung Kematian, sebab
siapapun yang menyentuh benda itu tanpa kain
sutera merah, maka mereka akan menemui kema-
tian dengan kulit berubah membiru."
"Betapa beracunnya patung yang paman ja-
ga itu?" kata Buang, tubuhnya meremang mem-
bayangkan betapa ganasnya racun yang terdapat
pada patung yang diceritakan oleh Jala Dara.
"Patung Kematian memang mengandung ra-
cun yang ganas. Namun dalam kenyataannya sangat banyak orang persilatan yang berhasrat memi-
liki patung itu. Karena di dalam Patung Kematian
sutera yang memuat pelajaran menciptakan racun
Seribu Wisa tingkat tinggi yang tidak ada duanya."
jelas Jala Dara agak ragu.
Pendekar Hina Kelana merasa terkejut
mendengar penuturan Jala Dara. Kalau benar apa
yang dikatakan Jala Dara, sama saja artinya rimba
persilatan berada dalam situasi curiga-mencurigai.
Tapi apa hubungannya antara Patung Kematian
dengan sepak terjang si Tokoh Misterius yang te-
rus mengancam keselamatan kaum persilatan go-
longan putih? Dan bagaimana mungkin orang-
orang yang menjadi korban Tokoh Misterius bisa
hilang begitu saja? Pikir Buang Sengketa.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara
desiran halus yang datang dari empat penjuru.
"Paman Jala Dara! Awaas...!" teriak Buang
Sengketa sambil melentingkan tubuhnya ke udara
menghindari serangan gelap yang datang secara
tiba-tiba itu.
"Aaah...!" Jala Dara menjerit tertahan. Ru-
panya ia tidak sempat menghindari serangan gelap
berupa paku-paku beracun itu. Tubuh laki-laki ini
langsung ambruk ke semak-semak dengan posisi
terlentang.
"Paman...!" dalam keterkejutannya itu
Buang Sengketa berteriak keras sambil berlari ke
arah Jala Dara yang tergeletak tidak berdaya.
Buang Sengketa segera berlutut di samping
tubuh Jala Dara yang mendapat luka di bagian
dada dan keningnya. Luka yang berbentuk bulat
itu meninggalkan luka menghitam dan terus men-
galirkan darah berwarna kehitam-hitaman pula.
Anehnya paku-paku beracun itu tidak lagi me-
nempel pada luka-luka yang di timbulkannya. Di-
lihat sekilas saja orang sudah tahu betapa orang
yang menyambitkan senjata rahasia itu kemudian
mencabutnya kembali setelah mencapai sasaran.
Tentu merupakan orang yang memiliki kepandaian
tinggi. Pendekar Hina Kelana sadar betul akan hal
yang satu ini. Namun ia tidak perduli, yang ada
dalam pikirannya adalah bagaimana caranya me-
nyelamatkan nyawa Jala Dara dari racun yang
sangat ganas
"Sabarlah, paman. Aku akan berusaha me-
nolongmu..." kata Buang. Meskipun dalam hati ke-
cilnya mengatakan bahwa Jala Dara tidak mung-
kin tertolong lagi. Rupanya Jala Dara yang kulit
tubuhnya mulai membiru akibat cepatnya racun
itu bekerja menggelengkan kepala.
"Tid... tidak! Ajalku sudah sampai. Kalau
kau butuh keterangan, datanglah ke perguruan
Teratai Putih." sebelum Jala Dara sempat melan-
jutkan ucapannya, tiba-tiba kepalanya terkulai.
Tubuh Jala Dara cepat sekali berubah dingin.
Buang Sengketa menggelengkan kepalanya lemah.
Dalam hati ia bertekad untuk menyelidiki tentang
apa yang di sebut-sebut oleh Jala Dara. Dan satu-
satunya tempat yang akan ditujunya adalah per-
guruan Teratai Putih.
***
DUA
Perguruan Teratai Putih merupakan pergu-
ruan yang cukup besar. Murid-muridnya berjum-
lah tidak kurang dari tiga puluh lima orang. Pergu-
ruan ini terletak di daerah padat penduduk di kaki
bukit Abadi. Perguruan Teratai Putih menjadi ter-
kenal, bahkan disegani baik oleh kawan maupun
lawan karena ketinggian dan kemahiran para mu-
rid-muridnya dalam memainkan ilmu pedang.
Namun, pagi itu perguruan Teratai Putih
yang dipimpin oleh Eyang Wiku Swanda menjadi
gempar dengan hadirnya Iblis Hitam beserta lima
orang kawannya. Begitu mereka menginjakkan ka-
kinya di perguruan Teratai Putih, Iblis Hitam dan
lima orang kawannya langsung menyerang murid-
murid perguruan Teratai Putih. Murid- murid per-
guruan Teratai Putih yang rata-rata memiliki ilmu
pedang yang sangat lumayan ini tentu saja tidak
tinggal diam. Dengan cepat merekapun membalas
serangan-serangan ganas lawannya dengan tidak
kalah sengitnya.
Pertempuran serupun terjadi. Lima orang
Iblis Hitam berusaha mendesak murid-murid per-
guruan Teratai Putih yang juga mempergunakan
senjata pedang. Dalam waktu yang singkat, murid-
murid perguruan Teratai Putih satu demi satu ber-
gelimpanggan roboh. Semua ini tentu saja me-
mancing kemarahan yang lain. Kemudian secara
serentak, dengan disertai teriakan-teriakan meng-
gelegar, mereka yang memiliki tingkat kepandaian
lebih tinggi segera mengeroyok kelima anggota Iblis
Hitam. Dengan turunnya murid utama dari pergu-
ruan itu, maka sekarang keadaan menjadi berba-
lik. Kelima anggota Iblis Hitam mulai merasakan
tekanan yang dilakukan oleh lawan-lawan mereka.
Semua itu tidak luput dari perhatian laki-laki ber-
wajah angker yang menjadi ketua mereka. Tanpa
berkata apa-apa, laki-laki ini segera ikut mengga-
bungkan diri ke dalam pertempuran. Dengan
hanya bertangan kosong dia menghajar lawan-
lawannya. Tendangan kilat yang dilakukannya se-
cara beruntun maupun pukulan-pukulan kilat sal-
ing susul menyusul. Beberapa orang murid pergu-
ruan Teratai Putih yang berada dekat dengan di-
rinya nampak bergelimpangan roboh tanpa mam-
pu bangkit kembali.
Ketika Iblis Hitam berusaha membuka jalan
darah untuk menerobos masuk ke dalam pondok
perguruan. Pada saat itu dari bagian samping
pondok menderu angin kencang menebarkan hawa
panas luar biasa ke arah Iblis Hitam. Dengan ge-
rakan kilat, laki-laki berwajah bengis ini memi-
ringkan tubuhnya ke samping kiri, lalu iapun me-
lompat sejauh tiga langkah. Pukulan yang hampir
menghajar tubuhnya dari samping pondok pun lu-
put dan menghantam tangga hingga hancur beran-
takan. Dengan cepat Iblis Hitam memandang ke
arah datangnya pukulan tadi. Entah dari mana da-
tangnya, tahu-tahu di samping pondok telah berdi-
ri seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh
tahun, pakaiannya warna putih tidak ubahnya ba-
gai pendeta Brahma, sedangkan rambut, jenggot
serta kumisnya juga berwarna putih. Laki-laki ini
tidak lain Eyang Wiku Swanda. Ia memandang ta-
jam pada Iblis Hitam dengan sorot mata tajam me-
nusuk.
"Melihat dandanan kalian yang mirip orang
gila. Aku yakin kalian pastilah Iblis Hitam, yang
selama ini tinggal di bukit Tunggul. Ada keperluan
apakah sehingga begitu datang kalian membunuhi
beberapa orang muridku?" tanya laki-laki berpa-
kaian Brahma ini dengan sikap tenang dan pan-
dangan menyelidik.
Ketua Iblis Hitam sebenarnya menyadari be-
tapa tingginya ilmu kepandaian yang dimiliki oleh
tokoh golongan putih yang satu ini. Itulah sebab-
nya walaupun mereka sempat membunuh bebera-
pa orang murid perguruan Teratai Putih. Namun
dalam hal bertutur kata ia masih bersikap hati-
hati.
"Maafkan kami, Eyang Wiku." kata Iblis Hi-
tam yang ternyata kenal betul dengan ketua per-
guruan Teratai Putih. "Sebenarnya kedatanganku
dengan beberapa orang kawan ke perguruan anda
ini bukan ingin membuat ribut. Tapi karena mu-
rid-muridmu terlalu curiga dan menghalang-
halangi kami untuk berjumpa denganmu. Maka
dengan sangat terpaksa kami memberi sedikit pe-
lajaran pada mereka." kata-kata Iblis Hitam ini di-
ucapkan seolah penuh penyesalan. Padahal semua
murid-murid perguruan Teratai Putih jelas tahu
bahwa merekalah yang telah melakukan serangan
begitu mereka datang tadi. Sebagai orang yang te-
lah berpengalaman, Eyang Wiku Swanda menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Iblis Hitam
hanya berupa kebohongan semata-mata. Diam-
diam hati ketua perguruan Teratai Putih ini men-
jadi geram bukan main, tapi di depan ketua Iblis
Hitam ia berusaha menutupi kemarahannya. Ka-
rena ia sebenarnya ingin mengetahui apa yang
menjadi tujuan Iblis Hitam datang ke perguruan
yang dipimpinnya. Kemudian dengan kata-kata ta-
jam menusuk, Eyang Wiku Swanda berkata:
"Membunuh beberapa orang murid pergu-
ruan Teratai Putih bukanlah merupakan sebuah
pelajaran. Semua itu tidak jauh bedanya dengan
sebuah penghinaan dan pembunuhan yang tidak
bertanggung jawab. Namun aku yang tua ini
mungkin saja dapat memaafkan kalian, jika anda
segera menjelaskan padaku apa sebenarnya yang
menjadi tujuan kalian hingga datang ke perguruan
kami?"
"Inilah saat yang kutunggu-tunggu. Tanpa
bersusah payah menjelaskannya, kiranya Wiku
Swanda memberi kesempatan padaku untuk bi-
cara" Pikir Iblis Hitam, sementara Eyang Wiku
Swanda terus memandanginya dengan sikap tidak
sabar.
"Eyang Wiku! Adapun niat kedatangan kami
ke perguruan Teratai Putih ini, pertama-tama ada-
lah untuk melihat keselamatan Wiku. Sedangkan
yang kedua adalah untuk menanyakan tentang pe-
rihal Patung Kematian yang kabarnya telah lenyap
dari sebuah tempat yang hanya Wiku sendiri yang
mengetahuinya." kata Iblis Hitam di sertai se-
sungging senyum penuh kelicikan.
Wajah Eyang Wiku Swanda berubah meme-
rah seketika. Tanpa sadar ia mengatupkan gera-
hamnya rapat-rapat. Sebenarnya ia sendiri selain
sangat marah juga heran. Bagaimana Iblis Hitam
bisa tahu bahwa Patung Kematian yang baru di-
ambil oleh dua orang muridnya dan jatuh ke tan-
gan orang lain bisa secepat itu beritanya sampai
kepada Iblis Hitam. Padahal kabar itu baru diteri-
manya malam tadi. Eyang Wiku Swanda berke-
simpulan, jika saja Iblis Hitam telah mengetahui
perihal hilangnya Patung Kematian. Bukan mus-
tahil saat itu golongan persilatan lainnya juga telah
mengetahuinya. Kenyataan ini sangat berbahaya
sekali. Karena Patung Kematian bisa saja dipere-
butkan oleh banyak golongan yang berambisi ingin
memilikinya. Jika Patung Kematian sampai terja-
tuh ke tangan golongan sesat, rimba persilatan te-
rancam malapetaka yang sangat besar. Diam-diam
Eyang Wiku Swanda bergidik ngeri membayangkan
bencana yang mungkin saja bakal terjadi
"Bagaimana, Wiku? Apakah betul apa yang
kukatakan tadi?" desak Iblis Hitam tidak sabar.
Ketua perguruan Teratai Putih tersentak dari la-
munannya.
"Huh!" Eyang Wiku Swanda mendengus.
"Dalam sejarahnya belum ada golongan sesat sikap
baik pada golongan putih! Biasanya yang kutahu
iblis hanya mengunjungi setan. Kalian datang in-
gin menanyakan keselamatanku. Tapi justru kare-
na kehadiran kalian, beberapa orang muridku
menjadi tidak selamat! Bicaramu berputar-putar
membuat pusing kepala, tidak tahunya Patung
Kematian juga yang menjadi tujuan kalian. Kalian
memang orang-orang sesat yang tidak tahu malu."
bentak laki-laki berpakaian putih ini dengan ke-
marahan membara. Iblis Hitam memang tokoh
yang tidak bermalu, terbukti...
"Wiku! Kami merasa beruntung kalau Wiku
memang telah mengetahui apa yang menjadi tu-
juan kami. Menurutku berita tentang hilangnya
Patung Kematian itu sesungguhnya hanyalah se-
buah kabar yang tidak lucu. Dan kami yakin pa-
tung itu sekarang berada di tanganmu, singkatnya
serahkanlah patung itu kepada kami!" perintah Ib-
lis Hitam tanpa malu-malu lagi. Keinginan tokoh
sesat itu tentu saja membuat Eyang Wiku Swanda
menjadi gusar. Dia merasa Iblis Hitam tidak me-
mandang muka padanya. Kenyataan inilah yang
membuat kesabarannya hilang.
"Iblis Hitam! Kuperingatkan padamu untuk
menyingkir dari hadapan kami." begitu dingin sua-
ra Eyang Wiku Swanda, namun Iblis Hitam malah
tertawa tergelak-gelak. Hatinya merasa senang se-
kali karena merasa mampu memancing kemara-
han laki-laki tua ini.
"Bagaimana kalau kami tidak ingin me-
nyingkir dari tempat kediamanmu ini, Wiku...?
Apakah kau merasa mampu mengusirku?" ejek Ib-
lis Hitam disambut gelak tawa kawan-kawannya.
"Wiku. Mengapa harus bersusah payah. Ka-
lau mereka tidak mau menyingkir, lebih baik kita
gebuk saja mereka beramai-ramai..." entah dari
mana datangnya tahu-tahu tidak jauh dari hada-
pan mereka telaih berdiri seorang pemuda berwajah sangat tampan berpakaian merah.
Ketika Eyang Wiku Swanda melihat kehadi-
ran Buang, laki-laki tua ini mengernyitkan alisnya.
Sama sekali ia tidak mengenal pemuda itu. Namun
sebagai orang yang telah berpengalaman, Eyang
Wiku Swanda tahu kalau kehadiran pemuda ini
bukan membawa maksud-maksud tidak baik.
Lain lagi halnya dengan ketua Iblis Hitam
dan lima orang kawannya. Mereka ini jelas pernah
bertemu dengan Buang Sengketa, meskipun tidak
pernah bentrok secara langsung. Namun melihat
gerakannya yang cepat luar biasa saat menyela-
matkan Jala Dara beberapa hari yang lalu, mereka
segera maklum pemuda itu memiliki kepandaian
tinggi. Karena itu ketua Iblis Hitam merasa perlu
berbuat sesuatu agar pemuda berpakaian merah
ini jangan sampai mencampuri urusannya dengan
Eyang Wiku Swanda.
"Kisanak, ku harap engkau tidak mencam-
puri urusanku dengannya. Jika anda tetap ber-
sikeras, maka kami tidak segan-segan menghajar-
mu." ancam Iblis Hitam. Namun apa yang dikata-
kan oleh Buang kemudian benar-benar membuat
Iblis Hitam mati kutu.
"Ha... ha... ha...!" Buang menghentikan ta-
wanya sejenak sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya. "Kalian bukanlah bangsanya memedi yang
patut ditakuti." Buang lalu berpaling pada Eyang
Wiku Swanda. "Eyang... anda tentu belum menge-
nalku. Tapi, ketahuilah beberapa hari yang lalu Ib-
lis Hitam hampir saja membunuh paman Jala Da-
ra, yang mereka sangka membawa Patung Kematian."
Kata-kata yang disampaikan oleh Buang
membuat terkejut kakek tua ini. Sama sekali ia ti-
dak pernah menyangka kalau pemuda ini malah
pernah bertemu dengan Jala Dara penjaga pintu
Kematian. Tapi Eyang Wiku Swanda menjadi bin-
gung sendiri ketika ia tidak melihat Jala Dara da-
tang bersama pemuda berpakaian merah itu. Be-
berapa orang muridnya yang melakukan pencarian
mengatakan Jala Dara telah tewas, jadi mana yang
benar?
"Kisanak. Siapakah engkau? Dan bagaima-
na bisa mengenal Jala Dara?" tanyanya dalam ke-
raguan.
"Namaku Buang Sengketa. Mengenai per-
jumpaanku dengan paman Jala Dara agak panjang
ceritanya. Tapi apakah anda merasa pantas kalau
kuceritakan segala sesuatunya di depan orang-
orang ini?" Buang langsung menunjuk ke arah Ib-
lis Hitam dan kawannya. Tokoh aliran sesat ini
menjadi marah karena merasa diremehkan. Ketika
Eyang Wiku Swanda belum sempat berkata apa-
apa, ketua Iblis Hitam segera menyerang Pendekar
Hina Kelana. Sedangkan lima orang lainnya den-
gan pedang terhunus segera menyerang Eyang Wi-
ku Swanda. Eyang Wiku Swanda menyambut se-
rangan senjata kelima anggota Iblis Hitam dengan
sikap tenang. Pada kenyataannya Eyang Wiku
Swanda bukanlah lawan bagi lima anggota Iblis Hi-
tam. Ilmu kepandaian yang dimiliki oleh kakek tua
ini jelas jauh lebih tinggi dari lawan-lawannya.
Namun bagi lawan yang senantiasa haus darah,
mereka mana mau perduli dengan kenyataan yang
mereka hadapi. Lima mata pedang laksana kilat
menghujani laki-laki berumur tujuh puluh tahun
ini, sehingga harus membuatnya mengerahkan il-
mu meringankan tubuh serta kecepatan gerak
yang tiada dapat diduga-duga.
"Uakh...!"
Wuuus!
Satu tusukan mata pedang yang mengarah
bagian lambung kiri berhasil dielakkan oleh kakek
ini. Pada kesempatan itu Eyang Wiku Swanda me-
lontarkan pukulan keras ke arah lawannya.
Blaaar!
"Wuaark...!"
Dua orang lawan yang terus berusaha men-
desaknya di bagian samping kiri langsung terbant-
ing roboh. Pukulan kakek tua yang disertai penge-
rahan tenaga dalam tinggi menghajar tubuh mere-
ka. Terdengar tulang-belulang berderak patah me-
nyertai jatuhnya dua sosok tubuh anggota Iblis Hi-
tam. Kedua laki-laki yang terkena pukulan kakek
tua ini nampak memuntahkan darah segar. Tubuh
mereka berkelojotan, selanjutnya terdiam tiada
bergerak-gerak lagi.
Melihat dua orang kawannya dapat dijatuh-
kan oleh lawan mereka, tiga orang lainnya lang-
sung menghentikan serangan. Tapi sesaat setelah
mereka saling berpandangan sesamanya. Dengan
disertai teriakan-teriakan melengking tinggi, ketiga
orang itu sudah membangun serangan kembali.
Semakin lama serangan yang dilakukan oleh keti-
ga laki-laki ini semakin bertambah gencar Dan gannas. Meskipun laki-laki tua ini agak kerepotan ju-
ga menghadapi serangan mata pedang yang me-
luncur deras ke arahnya, Eyang Wiku Swanda ma-
sih dapat bersikap tenang. Semua ini merupakan
suatu pertanda bahwa laki-laki itu mempunyai ke-
pandaian di atas lawan-lawannya.
Di lain pihak, ketua Iblis Hitam yang sedang
berhadapan dengan Buang atau Pendekar Hina
Kelana. Nampak sudah mulai mendesak pendekar
ini. Berulangkali senjata andalannya berupa pe-
dang yang mengandung hawa panas beracun ber-
kelebat cepat terarah pada bagian-bagian tubuh
yang mematikan. Dengan cepat Buang melentik-
kan tubuhnya ke udara. Selanjutnya dengan gera-
kan yang ringan, tubuhnya telah meluncur ke ba-
wah sambil melontarkan pukulan Empat Anasir
Kehidupan. Serangkum gelombang pukulan yang
menebarkan hawa panas tiada tertahankan meng-
hantam tubuh Iblis Hitam. Namun rupanya laki-
laki bertampang angker ini menyadari datangnya
pukulan ini. Hanya sesaat saja dia terperangah.
Selanjutnya dengan gerakan yang tiada terduga
oleh Buang Sengketa, lawan langsung memutar
pedangnya di atas kepala. Buang sempat tersentak
kaget, ia memang tidak pernah menyangka lawan-
nya mampu melakukan gerakan yang sangat sulit
seperti itu. Masih untung ia masih dapat meng-
hentikan arus pukulannya.
"Heeuph!"
Sesaat ia terhindar dari serangan senjata
lawannya, Buang telah menjejakkan kedua ka-
kinya kembali ke tanah. Pendekar Hina Kelana ini
berdiri tegak sambil memandang tajam pada laki-
laki berbadan pendek yang seluruh bagian wajah-
nya ditumbuhi bulu-bulu halus. Sementara Iblis
Hitam ini juga menghentikan serangannya. Seraya
melirik pada Buang dengan pandangan kagum
bercampur amarah. Namun tidak lama setelahnya
dia telah berpaling ke arah Wiku Swanda yang ba-
ru saja menyelesaikan pertarungan dengan anggo-
ta Iblis Hitam.
Iblis Hitam tersentak kaget melihat seluruh
anak buahnya terbantai habis oleh Eyang Wiku
Swanda, dengan geram...
"Keparaat! Kalian telah membunuh orang-
orangku!" bentak Iblis Hitam dengan amarah ber-
kobar-kobar.
Eyang Wiku Swanda dan Buang Sengketa
saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka
mengalihkan perhatiannya pada Iblis Hitam yang
telah berubah tegang akibat kematian kawan-
kawannya.
"Iblis Hitam. Kalau kau tidak segera pergi
dari tempat kediamanku ini. Jangan menyesal
nanti jika aku sampai turun tangan kejam pada-
mu!" desis Eyang Wiku Swanda dengan suara din-
gin menggetarkan.
Ketua Iblis Hitam mendengus. Pikirannya
yang cerdik dam dipenuhi kelicikan ini berputar
cepat. Dia sadar karena Patung Kematian yang ka-
barnya mengandung ilmu racun ganas, dia telah
mengorbankan nyawa lima orang kawannya. Pa-
dahal seperti yang diakui oleh Eyang Wiku Swan-
da, benda yang sedang diincar oleh berbagai tokoh
itu tidak ada padanya. Dan mengapa baru seka-
rang dia ingat bahwa dua orang murid perguruan
Teratai Putih yang membawa Patung Kematian te-
was di tangan pembunuh misterius bersama le-
nyapnya Patung Kematian itu. Andai sekarang ini
ia tetap bersikeras melanjutkan pertarungan den-
gan Wiku Swanda. Maka semakin kecillah harapan
baginya untuk keluar sebagai pemenang. Eyang
Wiku Swanda adalah seorang tokoh persilatan
yang mempunyai kepandaian tinggi, belum tentu
dia mampu mengalahkannya, apalagi jika sampai
pemuda berperiuk itu turut membantu. Bisa saja
jiwanya tidak akan selamat. Kalau begitu sia-
sialah harapannya selama ini untuk memiliki Pa-
tung Kematian. Teringat sampai di situ, Iblis Hitam
tidak mampu membayangkan bagaimana nasibnya
nanti. Dia pun akhirnya memutuskan...
"Baiklah orangtua. Hari ini kau boleh terta-
wa atas kemenanganmu, tapi ingat di suatu saat
kelak aku akan mencarimu!" kata Iblis Hitam pe-
nuh ancaman. Selanjutnya tanpa berkata-kata la-
gi, ia segera memutar tubuh kemudian berlari ce-
pat meninggalkan perguruan Teratai Putih.
***
TIGA
"Terlalu sulit untuk mencari kepastian siapa
yang telah merebut patung itu, Buang!" ujar Eyang
Wiku Swanda ketika sore itu mereka terlihat pembicaraan serius di ruangan pendopo depan.
"Lalu menurut kakek sendiri bagaimana?"
Eyang Wiku Swanda langsung terdiam se-
saat setelah Pendekar Hina Kelana ini mengajukan
pertanyaan. Memang sebenarnya terasa sulit bagi
laki-laki berusia tujuh puluhan ini untuk menerka
siapa sebenarnya orang yang telah berhasil me-
rampas Patung Kematian dari tangan kedua orang
muridnya. Sepanjang yang diketahuinya, sejak Pa-
tung Kematian berada dalam pengawasan Jala Da-
ra. Salah seorang abdi yang sangat dipercayainya,
Patung Kematian selalu menjadi incaran kaum go-
longan sesat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan,
tokoh-tokoh persilatan dari golongan putihpun
mengincar patung itu. Selain itu ada satu hal yang
selalu membebani perasaannya. Yaitu siapakah
pembunuh misterius yang mempergunakan paku
beracun sebagai senjata rahasia? Apakah Tokoh
Misterius itu yang telah merampas Patung Kema-
tian yang dibawa oleh kedua orang muridnya?
Eyang Wiku Swanda tidak berani menarik kesim-
pulan sampai sejauh itu. Sebab selama ini ia me-
rasa tidak mempunyai seorang musuhpun di rim-
ba persilatan.
Sekarang ada pula seorang pemuda yang
muncul begitu saja dan menyatakan kesanggu-
pannya untuk membantu menemukan patung
yang hilang itu. Eyang Wiku Swanda sebenarnya
merasa senang juga dengan kemunculan serta ke-
sanggupan Buang Sengketa. Namun keraguan ter-
kadang selalu hadir di benaknya. Entah mengapa
akhir-akhir ini dia mudah curiga terhadap orang
lain. Terlebih-lebih sejak almarhum kakeknya Be-
su Dewa memberi amanat untuk menjaga kesela-
matan Patung Kematian. Tidak seharusnya aku
menanamkan kecurigaan yang berlebih-lebihan
pada itikad baik pemuda ini, pikir Eyang Wiku
Swanda.
"Hemm...!"
Suara Pendekar Hina Kelana memecah ke-
heningan suasana yang terasa kaku. Ketua pergu-
ruan Teratai Putih yang sejak tadi di buai lamu-
nannya nampak tersentak kaget. Laki-laki ini
menggeragap, bibirnya menyunggingkan seulas
senyum tipis.
"Baiklah, kek! Kalau kakek masih menaruh
kecurigaan terhadap niat saya. Baiknya saya tidak
usah terlalu memaksakan diri. Lagi pula tidak ada
untungnya bagi saya mencampuri urusan kakek."
desah Buang, seakan ia dapat membaca pikiran
orangtua yang duduk di depannya itu.
"Eh, tunggu Buang! Bukankah aku belum
memutuskan apa-apa!" Eyang Wiku Swanda buru-
buru mencegah saat dilihatnya Buang Sengketa
hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Kau jangan tersinggung, Buang. Terus te-
rang kukatakan padamu, bahwa pada saat seka-
rang ini pikiranku sedang kacau. Aku mengha-
rapkan pengertianmu, sungguh...!"
Mau tidak mau Pendekar Hina Kelana kem-
bali duduk di tempatnya, namun ia tetap diam
dengan sikap menunggu.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu
yang sifatnya sangat rahasia sekali." ketua perguruan Teratai Putih ini melanjutkan ucapannya.
Sebentar matanya yang agak cekung itu memper-
hatikan suasana di sekitarnya.
"Katakan saja Kek! Kakek tidak perlu mera-
sa ragu." tegas Buang Sengketa berusaha menghi-
langkan keraguan di hati Eyang Wiku Swanda.
Kakek tua ini kembali tersenyum sambil
menarik nafasnya dalam-dalam. Sebagai orang
berpengalaman dia tahu Buang berkata jujur. Se-
hingga sesaat kemudian...
"Telah begitu lama aku menghawatirkan
keamanan Patung Kematian yang saat itu kusim-
pan di kuburan Mayit. Selama lima tahun tempat
penyimpanan benda peninggalan leluhurku itu di-
jaga Jala Dara. Ia merupakan abdiku yang paling
setia. Abdi keluarga kami itu mempunyai ilmu ka-
nuragan yang cukup tinggi, bahkan aku sendiri ti-
dak meragukan kemampuannya. Selama itu Pa-
tung Kematian tersimpan di tempat yang aman."
jelas Eyang Wiku Swanda dengan suara tersendat
bercampur sedih. Sesaat dia terdiam, tapi kemu-
dian segera melanjutkan kembali setelah Buang
Sengketa hanya diam saja.
"Beberapa purnama belakangan, seorang
Tokoh Misterius muncul dalam rimba persilatan.
Kemunculannya menebarkan malapetaka besar,
karena ia melakukan pembunuhan di mana-mana.
Satu purnama yang telah lewat, Tokoh Misterius
itu datang ke perguruan Teratai Putih ini. Yang
membuat aku terkejut justru kehadirannya di sini
menanyakan Patung Kematian. Aku saat itu hanya
bersikap tidak tahu menahu dengan benda yang
ditanyakannya itu. Akibatnya Tokoh Misterius itu
membunuh beberapa orang muridku. Setelah itu
bagai bantu yang bergentayangan ia pergi dalam
kegelapan malam, setelah mengancamku. Jika da-
lam waktu dua purnama di depan aku tidak me-
nyerahkan benda yang diinginkannya. Maka dia
akan menghancurkan perguruan Teratai Putih"
kata laki-laki berpakaian serba putih itu sedih.
"Kakek menyanggupi keinginannya itu?"
tanya Buang Sengketa penuh perhatian.
"Aku tidak pernah menuruti keinginannya,
Buang! Karena aku tidak tahu siapakah Tokoh
Misterius yang telah mengetahui rahasia yang ter-
kandung di dalam Patung Kematian itu."
"Lalu kakek mengutus beberapa orang mu-
rid untuk mengambil benda itu dari kuburan
Mayit?" tebak Buang. Kemudian dijawab oleh
Eyang Wiku Swanda dengan anggukkan kepala.
"Dua orang muridku memang kusuruh
mengambil Patung Kematian yang selama ini di ja-
ga oleh Jala Dara di kuburan Mayit. Kemudian ke-
jadian selanjutnya kau sendiri sudah mengeta-
huinya."
"Hmm...!" Buang Sengketa menggumam ti-
dak jelas.
Suasana sunyi kembali mencekam, baik
Buang Sengketa maupun Eyang Wiku Swanda
nampak tenggelam dalam pikirannya masing-
masing. Bagi Pendekar Hina Kelana sendiri sudah
tentu merasa kesulitan untuk menentukan di tan-
gan siapa sebenarnya Patung Kematian saat ini be-
rada. Repotnya begitu banyak orang-orang dari
rimba persilatan yang menginginkan benda itu.
Mula-mula Iblis Hitam, kemudian Eyang Wiku
Swanda ada menyebut bahwa Tokoh Misterius
yang mempergunakan senjata paku beracun juga
menginginkan benda itu.
Kenyataaannya paku-paku beracun itu pula
yang telah menewaskan Jala Dara dan dua orang
murid Teratai Putih ketika mereka diutus untuk
mengambil Patung Kematian dari kuburan Mayit.
Begitupun tidak tertutup kemungkinan beberapa
tokoh lain bersembunyi di balik semua peristiwa
yang terjadi. Namun mungkinkah mereka semua-
nya tewas di tangan Tokoh Misterius itu? Buang
Sengketa sendiri merasa perlu tahu lebih banyak
lagi dari Eyang Wiku Swanda.
"Kek... sepanjang yang kakek ketahui apa-
kah hanya Tokoh Misterius itu dan Iblis Hitam saja
yang menginginkan benda itu?"
"Kalaulah hanya Iblis Hitam dan tokoh yang
selalu memakai topeng itu saja yang menginginkan
Patung Kematian. Tentu bagi kita sangat mudah
untuk mencarinya. Tapi masih ada lagi dua kekua-
tan lain yang bergerak secara sembunyi-sembunyi.
Mereka itu adalah Pengemis Partai Utara dan juga
seorang tokoh sesat yang sangat sakti yang mem-
punyai julukan Beruang Hitam...!"
"Ternyata untuk mendapatkan benda itu
kembali, kita harus mampu menembus lingkaran
setan. Semua ini bukanlah pekerjaan mudah, ka-
rena kita harus menyelidiki di tangan siapa sebe-
narnya Patung Kematian berada." kata Buang
Sengketa setengah mengeluh. Dalam hati Buang
sebenarnya agak menyesal juga karena telah ikut
terlihat dalam urusan yang agak rumit itu. Namun
bagi Pendekar Hina Kelana, untuk bersurut mun-
dur dan tidak mencampuri urusan yang sedang
dihadapi oleh Eyang Wiku Swanda rasanya sangat
mustahil sekali. Apalagi bila mengingat betapa
berbahayanya Patung Kematian jika sampai terja-
tuh ke tangan golongan sesat. Dunia persilatan
pastilah dilanda malapetaka.
"Semuanya memang terasa sulit, Buang!
Tapi jika tidak kita lakukan, tidak dapat ku-
bayangkan apa yang terjadi di rimba persilatan ji-
ka kitab ilmu penggunaan racun dalam tubuh Pa-
tung Kematian diketahui oleh orang-orang sesat.
Tidak seorang pun di kolong langit ini yang mam-
pu menandinginya." suara Eyang Wiku Swanda
bergetar. Sementara wajahnya membayangkan ra-
sa khawatiran yang mendalam. Melihat semua ini
Pendekar Hina Kelana merasa tidak tega jadinya.
"Baiklah, kek. Sekarang segala-galanya te-
lah jelas bagiku, aku bahkan bersedia memban-
tumu. Tapi bagaimana jika aku pergi nanti Tokoh
Misterius itu menagih janji datang ke sini?" tanya
Buang dengan perasaan cemas.
Eyang Wiku Swanda menyambutnya den-
gan sesungging senyum ramah.
"Aku tidak pernah merasa gentar dengan
kehadirannya, Buang. Aku sudah terlalu tua un-
tuk menjalani sisa-sisa hidup ini. Tapi aku bisa
menyesal seumur hidup, jika Patung Kematian itu
salah dipergunakan oleh orang lain."
Buang Sengketa merasa tersentuh juga ha
tinya mendengar pengakuan tulus laki-laki itu.
Dalam hati ia telah bertekad untuk membantu la-
ki-laki tua itu dengan segenap kemampuannya.
"Baiklah, kek. Besok pagi-pagi sekali aku
akan segera memulai mencari jejak hilangnya Pa-
tung Kematian itu." janji Buang sambil mengang-
guk dengan sikap hormat.
Malamnya setelah melakukan santap ma-
lam bersama Eyang Wiku Swanda, Pendekar Hina
Kelana segera melangkahkan kakinya memasuki
kamar yang telah disediakan. Waktu terus berlalu
tiada henti, di luar rumah kediaman Eyang Wiku
Swanda terasa gelap, sepi mencekam. Hanya sese-
kali saja terdengar suara lolongan serigala di ke-
jauhan sana. Sehingga membuat merinding bulu
kuduk murid-murid perguruan Teratai Putih yang
sedang bertugas jaga. Sementara di dalam kamar-
nya, Buang sudah terlelap sejak dua jam tadi. Pa-
da saat itu di dalam kegelapan nampak berkelebat
beberapa sosok tubuh mendekati kamar yang di
tempati oleh Buang Sengketa. Melihat dari gerakan
mereka, jelas mereka merupakan orang-orang per-
silatan yang memiliki kepandaian tinggi. Sejenak
bayangan itu menghentikan gerakannya, kemu-
dian mereka memperhatikan kamar yang ditempati
oleh Buang Sengketa. Selanjutnya ketiga bayangan
itu segera mengambil sesuatu dari balik jubah hi-
tam mereka yang menjela-jela sampai ke tanah.
Maka tidak lama kemudian terlihatlah sebuah
benda berwarna putih berkilauan berada di tangan
mereka. Namun pada saat itu ketiga pendatang ini
sibuk berkasak-kusuk dengan kawan-kawannya.
Di dalam kamarnya Buang Sengketa menggeliat
gelisah. Kemudian ia merasakan seperti menden-
gar suara almarhum gurunya membisikkan sesua-
tu tentang situasi di sekelilingnya. Pendekar Hina
Kelana langsung terjaga dari tidurnya. Secara ref-
lek ia melirik ke arah jendela kamar. Pada saat itu-
lah matanya yang tajam melihat berkelebatnya be-
berapa buah benda berwarna putih berkilauan me-
luncur deras ke arahnya. Dengan cepat Buang
menjatuhkan tubuhnya di samping dipan yang di-
tempatinya.
Weees! .....
Zeb! Zeb!
Benda putih yang ternyata merupakan dua
buah pedang pendek itu luput dari sasarannya.
Kemudian meluncur dan menancap dinding yang
berada di belakangnya. Dengan cepat Buang
bangkit berdiri, tanpa menghiraukan pedang-
pedang pendek yang menancap di dinding itu ia
segera melompati jendela dan melakukan pengeja-
ran ke arah menghilangnya tiga sosok bayangan
tadi.
Berkat ilmu lari cepat Ajian Sepi Angin, ser-
ta ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat
sempurna. Dalam waktu yang singkat Buang telah
berhasil menyusul tiga orang berjubah hitam yang
hampir saja berhasil membunuhnya.
"Heeuup...!"
Tubuh Buang Sengketa melompat ke udara,
kemudian dengan gerakan yang ringan pula tanpa
menimbulkan suara sedikitpun, Buang telah men-
jejakkan kakinya persis di depan tiga laki-laki ber
jubah hitam ini. Mereka terpaksa menghentikan
larinya ketika melihat Pendekar Hina Kelana
menghadang di depannya.
"Siapa kalian!" bentak Buang Sengketa den-
gan amarah membara. Sebaliknya tidak seorang-
pun diantara ketiga orang ini yang menjawab per-
tanyaan Buang, terkecuali suara dengusan yang
membuat Buang kehilangan rasa kesabarannya.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar membuat
kesabaranku hilang, manusia bertopeng jubah hi-
tam!" teriak Buang dingin menggetarkan.
Tapi anehnya tak sedikitpun ketiga laki-laki
berjubah hitam itu terpengaruh. Bahkan tanpa
berkata apa-apa lagi, mereka serentak mencabut
senjata mereka berupa pedang pendek, lalu lang-
sung menyerang Pendekar Hina Kelana dari tiga
penjuru arah. Tanpa memberi kesempatan pada
penyerangnya, Buang segera menyambut serangan
mereka dengan kekuatan berlipat ganda. Namun
penyerang itu rupanya rata-rata mempunyai ke-
pandaian tinggi. Sehingga bagi Buang bukan me-
rupakan pekerjaan yang mudah untuk menjatuh-
kan lawan-lawannya.
"Huup! Ciaaat...!"
Buang dengan cepat mempergunakan jurus
Membendung Gelombang Menimba Samudra keti-
ka dua tusukan yang datang dari depan dan bela-
kang menderu ke bagian perutnya. Serangan kilat
yang dilakukan lawan, luput. Tapi serangan lain-
nya mengancam bagian kepalanya.
"Iih...!"
Pemuda ini merasakan serangan yang dila
kukan lawannya yang seorang lagi benar-benar
sangat berbahaya sekali. Terbukti ketika pedang
pendek di tangan lawan menyambar ganas, terasa
adanya hembusan udara dingin yang membuat
nyeri kulit tubuhnya.
"Haiit!"
Wuuus!
Hanya dengan jurus si Jadah Terbuang,
Pendekar Hina Kelana menarik balik tubuhnya se-
jauh dua langkah ke belakang. Luput dari anca-
man maut itu, serangan lain yang datang dari dua
penjuru arah menderanya. Bahkan sekali ini lawan
sengaja melipat gandakan tenaga dalamnya. Se-
hingga serangan pedang mereka mengeluarkan
bunyi menderu dan berbahaya sekali. Menyadari
kenyataan ini tentu saja Buang Sengketa semakin
bertambah marah. Sekali ia menghentakkan tan-
gannya ke arah depan, maka menderulah serang-
kum gelombang menebarkan hawa panas luar bi-
asa dari telapak tangannya itu. Tidak ayal lagi pa-
da saat itu Buang Sengketa telah melepaskan pu-
kulan Empat Anasir kehidupan. Salah seorang pe-
nyerang hanya sempat melihat serangkum gelom-
bang Ultra Violet melesat ke arahnya. Ia menjadi
terkejut beberapa saat lamanya. Dengan sigap ia
membabatkan senjatanya membentuk perisai diri.
Di luar dugaan pukulan yang datangnya bergu-
lung-gulung itu lebih kuat lagi dari perisai diri
yang dibuatnya.
Blaam!
Terdengar suara ledakan yang sangat keras
saat pukulan Buang Sengketa menghantam tubuh
lawannya.
"Arrgkh...!" laki-laki berjubah hitam itu
langsung tersungkur roboh dengan tubuh menghi-
tam, darah kental menyembur dari mulut serta hi-
dungnya.
Dua laki-laki berjubah hitam serta berto-
peng tengkorak itu menjadi terpana karenanya.
Serangan mereka mendadak terhenti ketika meli-
hat salah seorang kawan mereka jatuh di atas ta-
nah berpasir tanpa mampu bangkit kembali. Se-
saat mereka saling berpandangan. Bahkan tanpa
sadar bibir mereka mendesis tidak ubahnya bagai
melihat bantu di siang bolong.
"Pendekar Hina Kelana?!" gumamnya seren-
tak. Nyali mereka berobah ciut. Selama ini ru-
panya mereka mengenal kehebatan sepak terjang
Pendekar Hina Kelana. Dengan senjata andalannya
yang berupa Golok Buntung serta Cambuk Gelap
Sayuto. Dan mereka sama sekali-tidak menyangka
kalau malam ini orang yang harus mereka hadapi
adalah pendekar yang sangat tangguh itu.
"Bagus sekali jika kalian telah mengenalku.
Sekarang katakan padaku, siapakah orang yang
berdiri di belakang kalian?" bentak Buang Sengke-
ta dengan sorot mata tajam menusuk.
"Kami tidak akan menjayab pertanyaanmu
itu, pendekar! Sebuah kesetiaan bagi kami lebih
berharga bila dibandingkan dengan kematian...!"
dengus salah seorang dari laki-laki bertopeng itu
dengan sikap waspada. Bukan main geramnya
Buang Sengketa mendengar jawaban itu.
"Hemm...!" Buang menggumam tidak jelas.
Dipandanginya dua orang laki-laki berjubah hitam
tersebut. Dan dia semakin bertambah yakin,
orang-orang bersenjata pedang pendek itu pastilah
bekerja atas perintah seseorang. Itulah yang perlu
dicari jawabannya.
"Kalian orang-orang sesat masih menghar-
gai arti sebuah kesetiaan. Kalau begitu kalian
menghendaki jalan kekerasan agar aku dapat
membongkar topeng yang sangat menakutkan
itu?" geram Pendekar Hina Kelana.
Tanpa berkata lagi, Buang Sengketa segera
berkelebat melancarkan serangan-serangan mema-
tikan. Meskipun kedua laki-laki ini merasa tidak
akan menang menghadapi Pendekar Hina Kelana.
Namun diam-diam mereka telah memikirkan jalan
untuk meloloskan diri. Itulah sebabnya ketika
Buang menyerang mereka dengan memperguna-
kan jurus Si Gila Mengamuk yang tidak perlu lagi
diragukan kedahsyatannya. Dengan segenap ke-
mampuan yang mereka miliki. Dua orang berjubah
hitam ini berusaha mematahkan setiap serangan
yang dilakukan oleh Buang dengan kecepatan ge-
rak pedang pendek di tangan mereka.
"Shaa...!"
Dua orang lawan menerjang Buang Sengke-
ta dalam waktu bersamaan. Pedang di tangan me-
reka mengancam bagian kepala dan perut. Se-
dangkan kaki mereka melakukan tendangan
menggeledek menyapu pertahanan Buang Sengke-
ta.
"Heeuup!" tidak kalah cepatnya, Pendekar
Hina Kelana melentikkan tubuhnya ke udara. Begitu pemuda ini menjejakkan kakinya di atas ta-
nah. Dengan gerakan cepat dan sulit di duga-duga
tubuhnya berbalik dan melontarkan pukulan si
Hina Kelana Merana menyongsong serangan susu-
lan lawan yang berupa sambitan senjata pedang
pendek di tangan.
Brees!
Angin kencang yang menebarkan hawa pa-
nas luar biasa menderu hebat dari kedua telapak
tangan Buang Sengketa. Dua buah senjata yang
disambitkan oleh lawannya hancur berantakan di-
landa pukulan Buang Sengketa. Namun beberapa
saat kemudian pemuda ini menjadi kecewa ketika
dilihatnya dua orang lawan bertopeng tengkorak
itu telah lenyap dari hadapannya.
"Kurang ajar! Mereka kiranya memilih jalan
sebagai pengecut dari pada harus memberi kete-
rangan padaku." desis Buang Sengketa.
Saat Pendekar Hina Kelana bermaksud
kembali ke dalam kamarnya, dilihatnya Eyang Wi-
ku Swanda telah berada di sana bersama beberapa
orang.
"Siapakah mereka, Buang?" tanya laki-laki
tua ini sambil memandangi Buang Sengketa den-
gan perasaan cemas.
"Aku tidak tahu, kek. Mereka menyerangku
dengan pedang ketika aku sedang tidur." sahut-
nya sambil memperhatikan mayat yang tergeletak
tidak jauh dari mereka.
"Apakah itu mayat salah seorang...!"
"Betul...!" Buang menyahut.
Eyang Wiku Swanda segera memeriksa kea
daan mayat itu. Kemudian dari balik jubah manu-
sia bertopeng itu ditemukan beberapa bilah pe-
dang yang sama. Kakek tua itu mengerutkan ke-
ningnya. Nampaknya ia sedang berusaha mengin-
gat-ingat sesuatu. Namun akhirnya beliau mengge-
lengkan kepalanya ketika merasa tidak mengenali
pemilik senjata rahasia itu.
"Tidak ada petunjuk lain kecuali senjata
yang sama, Buang!"
"Apakah kakek tidak dapat memastikan dari
golongan mana mereka berasal?"
"Mempergunakan pedang pendek sebagai
senjata rahasia, baru kali ini kutemui." sahut ke-
tua perguruan Teratai Putih.
Buang Sengketa menjadi bingung sendiri.
Lenyapnya Patung Kematian, kemunculan Tokoh
Misterius serta kehadiran tiga laki-laki bertopeng.
Semuanya merupakan teka-teki yang membuat
kepalanya berdenyut-denyut.
"Bagaimana dengan Beruang Hitam?"
"Beruang Hitam merupakan tokoh tunggal
yang tidak mempunyai kawan. Jangankan lagi
anggota...!"
"Terlalu sulit jika kita hanya menduga-duga.
Baiknya malam ini juga aku akan mulai mencari
jejak mereka." keputusan Pendekar Hina Kelana
ini tentu saja membuat Eyang Wiku Swanda men-
jadi terkejut.
"Secepat itu?" tanya kakek tua ini seolah ti-
dak percaya. Buang Sengketa menganggukkan ke-
palanya pelan.
"Melakukan perjalanan pada malam hari
terlalu besar resikonya, Buang!"
"Kakek tidak usah menghawatirkan kesela-
matanku. Pesanku kakek dan murid-murid Teratai
Putih ini harus selalu bersiaga. Mungkin satu pur-
nama di depan aku telah kembali ke perguruan
ini." Buang berjanji.
Selanjutnya mereka beriringan menuju ke
padepokan, sedangkan Buang segera kembali ke
dalam kamarnya. Sesampainya di dalam ruangan
itu Buang Sengketa segera mengitarkan pandan-
gan matanya ke segenap ruangan. Sesaat setelah
itu sadarlah pemuda ini ketika melihat pedang
pendek yang disambitkan orang-orang bertopeng
tadi salah satu diantaranya terdapat daun lontar.
Buang segera mengambil daun lontar bertuliskan
tinta darah itu. Dengan hati berdebar Pendekar
Hina Kelana langsung membacanya.
Pemuda berperiuk!
Siapapun adanya engkau ini, kami harap
kau jangan coba-coba mencampuri urusan kami.
Apalagi sampai membantu perguruan Teratai Putih.
Jika kau sayangkan nyawamu, baiknya kau turuti
perintah kami!
Tertanda
Arwah Bayangan
"Keparaat!" Buang Sengketa menggeram.
Dengan geram diremasnya daun lontar di tangan-
nya sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil.
"Arwah Bayangan! Setan mana lagi yang
memakai gelar menyeramkan ini." gumam si pemuda. "Tapi ada baiknya kalau apa yang kuketa-
hui ini tidak kuberitahukan pada Eyang Wiku
Swanda. Aku harus melakukan penyelidikan sece-
patnya." Buang Sengketa akhirnya keluar kembali
dari dalam kamarnya. Setelah berpamitan pada
Eyang Wiku Swanda. Akhirnya malam itu juga ia
meninggalkan perguruan Teratai Putih.
***
EMPAT
Lembah Tapis Angin merupakan sebuah
daerah yang sangat subur. Walaupun begitu sela-
ma ratusan tahun yang lalu hingga sampai saat
ini, lembah itu sangat jarang di jamah oleh kalan-
gan manapun. Karena daerah itu dihuni oleh ber-
bagai jenis binatang berbisa. Tapi siapa sangka
nun jauh di tengah-tengah lembah, berdiri sebuah
rumah berukuran cukup besar, yang lantai dan
dindingnya terbuat dari batu pualam putih. Di
daerah itulah orang-orang berjubah hitam berto-
peng tengkorak melakukan segala kegiatannya.
Pagi itu lembah Tapis Angin yang senantia-
sa berselimut kabut abadi nampak sunyi. Namun
bukan berarti tidak ada tanda-tanda kehidupan di
sana. Saat itu di dalam sebuah ruangan yang cu-
kup besar seorang laki-laki berpakaian serba hi-
tam, berkumis serta berjambang lebat nampak se-
dang duduk di atas sebuah kursi berwarna hitam.
Kursi yang didudukinya berukiran gambar tengkorak kepala manusia. Sedangkan tidak jauh dari
tempat laki-laki bertampang bengis itu berada,
nampak puluhan orang yang mengenakan pakaian
yang sama duduk bersimpuh dengan sikap penuh
hormat. Dilihat sekilas laki-laki berwajah bengis
ini tidak ubahnya bagai seorang raja kecil di dalam
lingkungan lembah yang tidak terukur luasnya.
Sejenak laki-laki yang menjadi penguasa
lembah Tapis Angin yang memiliki julukan Iblis
Tengkorak Hitam ini memperhatikan orang-orang
yang bersimpuh tidak begitu jauh dari hadapan-
nya.
"Sepuluh tahun aku mendidik kalian men-
jadi murid-murid pilihan. Ternyata dalam melak-
sanakan sebuah tugas kalian tidak becus sama
sekali." walaupun kata-kata yang diucapkan oleh
Iblis Tengkorak Hitam diucapkan dengan suara li-
rih. Namun gema suaranya menggetarkan jantung
para pendengarnya. Dapat dibayangkan betapa
tingginya tenaga dalam yang dimiliki oleh laki-laki
itu. Sepuluh orang murid pilihan yang hadir di da-
lam ruangan itu terdiam. Masing-masing kepala
nampak tertunduk dalam-dalam. Sesaat lamanya
suasana dalam kesunyian yang mencekam. Iblis
Tengkorak Hitam kembali memperhatikan orang-
orang yang mengelilinginya. Kemudian perhatian-
nya terhenti pada seorang laki-laki berpakaian
tambal-tambalan. Usia laki-laki itu mungkin tidak
lebih dari enam puluh tahun. Wajahnya tirus, air
mukanya memancarkan mimik duka yang menda-
lam.
Di atas pangkuan laki-laki berpakaian tam
bal-tambalan itu terdapat sebuah tongkat sepan-
jang satu depa. Sedangkan pada bagian hulu
tongkat itu berhiaskan gambar kepala seekor Na-
ga. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai ke-
tua Pengemis Partai Utara dengan julukan Tua
Duka Tongkat Naga.
"Kau, Tua Duka! Apa pendapatmu tentang
kegagalan yang dialami oleh ketiga orang utusan
kita?" tanya Iblis Tengkorak Hitam dengan tatapan
tajam menusuk. Laki-laki berpakaian tambal-
tambalan ini merapatkan kedua tangannya ke de-
pan hidung. Selanjutnya terdengar pula suaranya
yang serak bagai orang yang mengidap penyakit
sesak nafas.
"Ketua! Sebenarnya kita tidak perlu lagi
mengutus orang-orang bernyawa seperti mereka
ini. Usaha itu hanya akan sia-sia belaka."
"Maksudmu...?" tanya laki-laki itu penuh
perhatian. Yang ditanya nampak menarik nafas
dalam-dalam. Namun sikapnya tetap hormat se-
perti tadi.
"Maafkan aku ketua, jika pendapatku ini
keliru nantinya...!" ujar ketua Pengemis Partai Uta-
ra ini dengan sikap ragu. Hal ini membuat Iblis
Tengkorak Hitam menjadi tidak sabaran lagi. Den-
gan suaranya yang senantiasa membuat sakit
gendang-gendang telinga, ia pun berucap.
"Tua Duka Tongkat Naga! Dua tahun kau
kuangkat menjadi wakilku di singgasana Iblis,
yang selalu kuharapkan darimu adalah demi ter-
binanya sebuah kerja sama yang baik sesama go-
longan sendiri. Karena itu aku selalu berharap
agar kau bersikap terbuka. Karena siapa tahu
pendapatmu patut kita pertimbangkan." katanya
tenang berwibawa.
Ketua Pengemis Partai Utara kembali mera-
patkan tangannya ke depan hidung.
"Begini ketua. Menurut hematku, sekarang
sudah saatnya bagi kita untuk mengerakkan
mayat-mayat korban si Tokoh Misterius yang telah
ketua bangkitkan kembali. Dengan kekuatan yang
kita miliki itu, mungkin dalam waktu yang singkat
kita sudah dapat merebut Patung Kematian dari si
Tokoh Misterius tersebut. Keuntungan lainnya kita
dapat menghemat tenaga tanpa harus mengorban-
kan murid-murid yang berada di singgasana iblis
ini!" jelas Tua Duka Tongkat Naga.
Iblis Tengkorak Hitam mengerutkan ke-
ningnya. Dalam hati ia membenarkan apa yang
baru saja dikatakan oleh wakilnya itu. Tapi pada
sisi lain ia masih merasa ragu, benarkah Patung
Kematian berada di tangan si Tokoh Misterius atau
di tangan Beruang Hitam dedengkot tokoh sesat
yang tidak pernah mengenal arti persahabatan.
Namun begitupun akhirnya ia memutuskan.
"Saranmu cukup baik, Tua Duka. Tapi aku
belum begitu yakin kalau Patung Kematian seka-
rang ini telah jatuh di tangan Tokoh Misterius itu?"
"Mengapa ketua harus ragu. Bukankah
dengan terbunuhnya penjaga serta kedua murid
perguruan Teratai Putih yang diutus Wiku Swanda
sudah merupakan satu bukti yang kuat bahwa
Tokoh Misterius itulah sekarang yang telah men-
guasai Patung Kematian!" jelas ketua Pengemis
Partai Utara penuh keyakinan.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" tanya
Iblis Tengkorak Hitam pelan.
"Beberapa orang-orang kita yang kutugas-
kan melakukan pengintaian mengatakan, bahwa
pemilik senjata rahasia yang berupa paku beracun
itu tidak lain dan tidak bukan si Tokoh Misterius
itulah orangnya." jelas Tua Duka Tongkat Naga le-
bih lanjut. Sementara ini ketua singgasana iblis itu
menganggukkan kepalanya dengan sedikit kera-
guan di hatinya.
"Beberapa laporan lain yang kuterima, pada
saat kedua murid perguruan Teratai Putih yang
membawa Patung Kematian mendapat serangan
senjata rahasia seperti yang kau sebutkan itu. Ka-
barnya Iblis Hitam dan orang-orangnya juga bera-
da di sana. Bukan tidak mustahil kalau sekarang
ini benda yang sedang diperebutkan oleh tokoh-
tokoh rimba persilatan itu berada di tangan Iblis
Hitam."
Ketua Pengemis Partai Utara cepat-cepat
menggelengkan kepalanya ketika Iblis Tengkorak
Hitam menyebut-nyebut Iblis Hitam sebagai orang
yang telah berhasil merampas Patung Kematian
dari tangan kedua murid perguruan Teratai Putih.
"Dengan pasti aku dapat mengatakan Iblis
Hitam bukanlah orang yang telah menguasai Pa-
tung Kematian. Sebab seingatku, Iblis Hitam me-
miliki kepandaian tidak sehebat Tokoh Misterius
itu. Bukannya menyombongkan diri, kalau kuka-
takan kepandaian yang dimiliki oleh ketua Iblis Hi-
tam beberapa tingkat berada di bawahku." sergah
Tua Duka Tongkat Naga dengan penuh keyakinan.
Sekali ini Iblis Tengkorak Hitam berdecak kagum
dengan pengalaman yang dimiliki oleh wakilnya
itu.
"Baiklah! Sekarang aku tidak ragu lagi. Ku-
rasa sekaranglah saatnya yang tepat bagi kita un-
tuk menggerakkan mayat-mayat yang telah ku-
bangkitkan dengan ilmu iblisku itu. Tetapi sebagai
orang kepercayaanku, kuharap kau mau memim-
pin mayat-mayat itu agar maksud kita segera ter-
laksana." kata Iblis Tengkorak Hitam memberi ke-
putusan.
"Baiklah ketua! Aku berjanji dengan sege-
nap kemampuan yang kita miliki untuk segera
mendapatkan Patung Kematian. Tidak perduli sia-
papun yang telah berhasil mendapatkan patung
itu kita harus mendapatkannya." ucap Tua Duka
Tongkat Naga penuh percaya diri.
Iblis Tengkorak Hitam langsung tertawa ter-
gelak-gelak. Selain ketua Pengemis Partai Utara,
beberapa orang lainnya yang berada di tempat itu
terpaksa menutup indera pendengaran mereka
demi mendengar suara tawa ketua mereka yang
menggeledek bagai bunyi petir. Pagi itu juga be-
rangkatlah Tua Duka Tongkat Naga itu memimpin
mayat-mayat yang telah berhasil dibangkitkan oleh
Iblis Tengkorak Hitam dengan ilmu iblisnya. Sung-
guh menyeramkan sekali iring-iringan mayat yang
jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang ini.
Sepintas lalu, laki-laki tua berpakaian tambal-
tambalan ini tidak ubahnya bagai seorang pen-
gembala di tengah-tengah hewan yang digembala
kannya. Suasana menyeramkan berbau kematian,
meskipun saat itu matahari mulai naik tinggi.
* * *
Laki-laki berbadan gemuk berperut buncit
itu tidur mendengkur tidak ubahnya bagai suara
kodok. Tidurnya nyenyak sekali, terkadang tubuh-
nya yang gemuk bundar seperti gentong mengge-
liat beberapa kali. Di lain saat tangannya yang
pendek mengusap air liur yang meleleh di sela-sela
bibirnya. Nampaknya ia tidak perduli dengan terik
matahari yang memanggang tubuhnya. Bahkan ia
lebih baik tidak perduli lagi meskipun saat itu ia
tertidur di pinggiran jalan.
Tidak begitu jauh di sisi laki-laki berambut
jarang ini menggeletak sebuah benda terbungkus
kain sutera merah. Di lihat sekilas benda yang ter-
bungkus itu tidak ubahnya bagai bocah bayi be-
rumur belasan hari. Dan bungkusan itulah yang
menarik perhatian seorang laki-laki berbadan te-
gap yang terus memperhatikannya sejak tadi. Be-
rulang kali laki-laki berpakaian serba hitam itu be-
rusaha mempertegas penglihatannya. Semakin ta-
jam pandangan matanya memperhatikan bungku-
san yang berada di sisi laki-laki gemuk perut bun-
cit yang sedang tertidur pulas ini, maka semakin
berdebarlah hatinya.
"Kurasa yang satu ini tidak salah lagi.
Mungkin inilah benda yang telah membuat gempar
delapan penjuru persilatan itu. Aku harus men-
gambilnya dari tangan Beruang Hitam. Tetapi...!"
sejenak laki-laki yang tidak lain adalah Iblis Hitam
ini menjadi ragu. Rupanya ia sadar betul siapa
yang dihadapinya kali ini. Dedengkot golongan se-
sat yang dapat membunuh tanpa memandang dari
golongan mana dia berasal. "Hem. Dia sedang ter-
tidur pulas. Sangat mustahil kalau bakul nasi ini
tahu jika aku mengambil Patung Kematian dari
tangannya." gumamnya lagi. Selanjutnya dengan
sikap sangat berhati-hati sekali ia mulai melang-
kah mendekati Beruang Hitam yang sedang terti-
dur pulas.
Sementara tidak jauh dari tempat itu, pada
sebuah kerimbunan pohon, seorang pemuda ber-
pakaian merah nampak sedang memperhatikan
apa yang dilakukan oleh laki-laki yang sudah di-
kenalnya itu. Ternyata bukan secara kebetulan
pemuda berpakaian merah yang tidak lain Buang
Sengketa ini melihat Iblis Hitam di tempat itu. Se-
jak meninggalkan perguruan Teratai Putih dalam
perjalanannya mencari jejak Patung Kematian
yang diduga telah berhasil dirampas oleh si Tokoh
Misterius. Di dalam perjalanan, Buang melihat
berkelebatnya sosok bayangan hitam menuju ke
arah Tenggara. Merasa curiga dan penasaran, dari
jarak tertentu Buang mengikuti bayangan hitam
yang tidak lain merupakan Iblis Hitam. Setelah
hampir setengah hari dua sosok bayangan yang ti-
dak ubahnya bagai orang yang sedang berkejar-
kejaran. Mendadak Iblis Hitam menghentikan la-
rinya. Ia tertegun ketika melihat sosok tubuh yang
tidak ubahnya bagai sebuah gentong nampak ter-
tidur di pinggiran jalan. Pada saat itu Buang secara diam-diam menyelinap di sebuah tempat yang
tersembunyi. Niatnya sudah jelas ingin mengeta-
hui apa saja yang akan dilakukan oleh Iblis Hitam
terhadap laki-laki yang tertidur pulas di pinggiran
jalan.
Sekarang jarak antara Iblis Hitam dengan
Beruang Hitam yang sedang tertidur pulas ini se-
makin bertambah dekat saja. Semakin dekat jarak
diantara mereka, maka semakin bertambah berde-
barlah dada Iblis Hitam. Bagaimana tidak, orang
yang dihadapinya kali ini adalah tokoh dari selu-
ruh kaum sesat. Ia sendiri tidak dapat mem-
bayangkan bagaimana nantinya jika sampai per-
buatannya itu ketahuan oleh laki-laki berperut
buncit ini. Begitupun Iblis Hitam tidak ingin ber-
surut langkah, meskipun perasaannya kian tidak
menentu, namun langkah kakinya tetap bergeser
juga.
Ketika jarak diantara mereka tinggal hanya
setengah tombak lagi. Maka Iblis Hitam ini menju-
lurkan tangannya untuk meraih benda yang ter-
bungkus kain sutera itu. Namun belum lagi tan-
gannya mencapai bungkusan yang tergeletak di si-
si laki-laki berbadan gembur itu. Tiba-tiba terden-
gar suara lirih.
"Eiit, mau ngapain kau? Jangan bertindak
gegabah jika kau sayang dengan nyawamu." kata
Beruang Hitam bagai orang yang sedang mengigau
dalam mimpi.
Tentu saja Iblis Hitam cepat-cepat menarik
balik tangannya yang sudah terulur. Dengan hati
berdebar keras diperhatikannya Beruang Hitam
yang masih mendengkur bagai suara kodok. Da-
lam perkiraannya pastilah dedengkot golongan se-
sat ini sedang dalam keadaan pulas. Tapi bagai-
mana mungkin orang yang sedang tertidur dapat
mengetahui gelagat yang tidak baik. Ataukah Be-
ruang Hitam itu sedang bermimpi? Merasa pena-
saran Iblis Hitam akhirnya mencoba mengulangi
niatnya. Sekali ini gerakan tangannya lebih cepat
dari yang pertama tadi.
Celakanya begitu jemari tangannya hampir
menyentuh benda yang terbungkus kain sutera
merah itu. Dari arah samping sebuah gerakan
yang lebih cepat lagi dari gerakan yang dilakukan
Iblis Hitam menyambar ke arah tangannya.
Wuus! Dess!
"Uhh...!" Iblis Hitam mengaduh, tubuhnya
terlempar sejauh dua tombak. Pada saat laki-laki
berbadan tegap itu belum mengerti apa yang terja-
di. Laki-laki gemuk yang tertidur pulas itu telah
terjaga dari tidurnya. Dengan bermalas-malasan
Beruang Hitam bangkit dari tempatnya. Matanya
yang sipit itu masih agak terpejam. Sementara mu-
lutnya menguap beberapa kali. Sebentar diperha-
tikannya bungkusan yang menggeletak di bawah
kakinya. Kemudian seperti ditujukan buat dirinya
sendiri. Laki-laki berambut jarang-jarang ini ber-
kata dengan angkernya.
"Sudah kukatakan jangan bertindak ma-
cam-macam. Terlalu berani jika seekor tikus kecil
mengusik tidur seekor beruang. Heh, siapakah
kau?" tanpa memandang pada Iblis Hitam sedikit-
pun. Laki-laki berbadan gemuk bertubuh pendek inipun membentak dengan suara menggeledek. Ib-
lis Hitam terkesiap demi mendengar suara teguran
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
sangat tinggi itu. Bahkan Buang Sengketa yang te-
rus memperhatikan kejadian demi kejadian itu bu-
ru-buru mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengusir pengaruh suara Beruang Hitam.
"Ah. Seumur hidup Beruang Hitam paling
tidak suka mengulang pertanyaan sampai dua
kali. Kalau kau tetap tidak mau menjawab! Maka
teguranku yang kedua adalah kematian bagimu!"
kata Beruang Hitam dengan suara dingin mengan-
cam.
Iblis Hitam terdiam beberapa saat lamanya.
Rupanya ia sadar betul dengan siapa ia berhada-
pan. Tapi baginya apakah masih mungkin meng-
hindari Beruang Hitam ini, padahal perbuatannya
sudah sempat diketahui oleh lawannya!
* * *
"Maafkan aku, paman Beruang Hitam.
Hanya secara kebetulan saja aku melewati daerah
ini. Sekali lagi aku mohon maafmu jika hal ini an-
da anggap sebagai sebuah kesalahan." jawab Iblis
Hitam dengan nada suara setenang mungkin.
Mendengar jawaban ini untuk pertama ka-
linya Beruang Hitam memperhatikan lawan bica-
ranya yang saat itu telah berdiri dengan jarak ti-
dak begitu jauh darinya. Sepasang mata Beruang
Hitam yang tidak ubahnya bagai orang mengantuk
ini berkedip-kedip. Kemudian sesungging seringai
maut pun menghias bibirnya.
"Setan mana yang berani mengakuiku seba-
gai pamannya. Hidup sembilan puluh tahun aku
merasa tidak punya keponakan di kolong langit
ini."
"Aku bukan setan, paman. Aku Iblis Hitam
yang masih merupakan kaum segolonganmu."
ucap laki-laki berpakaian serba merah ini dengan
suara agak tergetar.
"Hahaha! Iblis Hitam. Aku Beruang Hitam.
Kita sama-sama Hitam, tapi bukan berarti sauda-
ra. Julukanmu memang meyakinkan, namun tin-
dakanmu tidak jauh bedanya dengan seorang pen-
gecut. Bicara terus terang, bukankah kau meng-
hendaki isi bungkusan ini?" bentak Beruang Hitam
dengan pandangan berapi-api. Maka semakin ber-
tambah pucatlah laki-laki berpakaian serba hitam
ini demi mendapat kenyataan kalau laki-laki ber-
badan gembur ini sulit untuk di ajak kompromi.
Tanpa berpikir panjang lagi akan akibatnya Iblis
Hitam menjadi nekad.
"Bicara terus terang. Aku memang meng-
hendaki bungkusan itu, tetapi mana berani aku
bertindak gegabah pada dedengkot rimba persila-
tan." akhirnya dengan wajah merah padam Iblis
Hitam mengakui.
"Tahukah kau benda apa yang berada da-
lam bungkusan ini?" geram Beruang Hitam.
"Karena aku mengetahui dengan pasti isi
bungkusan itulah maka aku ingin memilikinya."
kata Iblis Hitam sambil bersikap waspada.
"Hemm." Beruang Hitam menggumam tidak
jelas. Sebagaimana diketahui oleh laki-laki berpa-
kaian serba hitam ini. Orang yang dihadapinya kali
ini merupakan seorang lawan yang mempunyai
watak aneh. Tindak tanduknya sangat sulit untuk
diduga-duga. Apa yang diperhitungkan oleh Iblis
Hitam ini ternyata terbukti. Pada saat itu juga, Be-
ruang Hitam menjentikkan jemari tangannya yang
memiliki kuku panjang dan runcing. Dari jari-jari
tangan Beruang Hitam kemudian menderu angin
kencang yang disertai dengan menebarnya hawa
panas ke arah Iblis Hitam.
Laki-laki berbadan tegap ini yang sudah
memperhitungkan segala sesuatunya sejak dari
tadi segera menghindari serangan mendadak yang
dilakukan oleh Beruang Hitam dengan cara mem-
bantingkan tubuhnya ke sisi kanan. Serangan per-
tama itu dapat dielakkan oleh Iblis Hitam dengan
baik. Tapi celakanya sebelum ia siap dengan posi-
sinya. Serangan lain yang dilancarkan oleh Be-
ruang Hitam telah melabraknya. Dengan kecepa-
tan yang sangat sulit untuk diduga-duga. Iblis Hi-
tam terpaksa melontarkan pukulan keras untuk
menjajaki sampai di mana kekuatan pukulan jarak
jauh yang dilakukan oleh lawannya.
Wus! Wus!
Bledar!
Terdengar suara ledakan yang sangat dah-
syat ketika dua tenaga sakti itu saling bertemu.
Tapi dalam hal adu tenaga dalam ini nampaknya
Iblis Hitam kalah beberapa tingkat di bawah Be-
ruang Hitam. Terbukti selain tubuhnya terlempar
agak jauh. Namun dari sela-sela bibirnya mengalir
darah segar. Di lain pihak Beruang Hitam hanya
tergetar saja tubuhnya. Iblis Hitam cepat bangkit
kembali. Tanpa menghiraukan luka dalam yang
dideritanya, sekali ini ia menyerang Beruang Hitam
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Ta-
pi yang menjadi lawannya kali ini adalah tokoh se-
sat yang memiliki kepandaian bermacam-macam.
Sehingga ketika melihat Iblis Hitam memperguna-
kan jurus-jurus silatnya untuk mendesak lawan.
Beruang Hitam hanya tertawa sambil melayani se-
rangan-serangan gencar lawannya.
"Hiyaa! Hiyaaa!"
Dengan gerakan kilat Iblis Hitam melaku-
kan tendangan terarah ke bagian perut lawannya.
Tangannya terkepal menghantam ke bagian kepala
Beruang Hitam. Sekali ini ia berharap salah satu
dari serangan yang dilakukannya dapat mencapai
sasarannya dengan baik. Namun Beruang Hitam
yang sudah dapat membaca gerakan lawan hanya
dalam waktu sekedipan mata, segera menggeser
kakinya dua langkah ke samping. Dengan tubuh
setengah menunduk dan kedua tangan terkem-
bang ia memapaki tendangan sekaligus pukulan
lawan yang berisi tenaga dalam kuat.
"Hep!"
Dengan perasaan kesal Iblis Hitam cepat-
cepat menarik balik arus pukulan. Rupanya ia sa-
dar betul sangat besar resikonya jika harus men-
gadu tenaga dalam dengan lawannya yang nyata-
nyata beberapa tingkat berada di atasnya.
"Hahaha...! Kau memang pantas untuk ku-
jadikan sebagai santapan cacing tanah." Kembali
terdengar suara tawa Beruang Hitam yang dapat
membuat merinding bulu roma siapapun. Dengan
gerakan serta langkah yang agak lambat namun
terarah, sekarang Beruang Hitam berbalik mela-
kukan serangan dahsyat ke arah lawannya.
Sementara itu Pendekar Hina Kelana yang
terus mengawasi jalannya pertempuran antara Ib-
lis Hitam dan Beruang Hitam, mulai berpikir-pikir
untuk menyelamatkan benda yang menggeletak ti-
dak jauh dari tempat pertempuran itu terjadi.
"Aku merasa yakin meskipun mereka tidak
menyebut isi bungkusan itu. Tetapi itulah Patung
Kematian yang menggemparkan itu. Untuk men-
gambilnya selagi mereka terlihat pertempuran se-
perti itu, rasanya tidak pantas untuk kulakukan.
Tetapi...!" Buang Sengketa menjadi ragu-ragu. Se-
jenak perhatiannya kembali ke arah pertempuran.
Saat itu dilihatnya Iblis Hitam sudah dalam kea-
daan terdesak hebat. Bahkan laki-laki tinggi tegap
berpakaian serba hitam itu hanya mampu me-
nangkis setiap serangan ganas yang datang tanpa
dapat melancarkan serangan balik.
"Sebentar lagi mungkin saja Iblis Hitam ti-
dak mampu berbuat apa-apa. Lebih baik kutunggu
saat-saat yang tepat seperti itu. Jika Iblis Hitam te-
lah mampus di tangan laki-laki berkepala botak,
saat itulah aku harus berhadapan dengan pencuri
Patung Kematian." gumam Buang sambil terus
memperhatikan jalannya pertempuran. Dan ke-
nyataannya apa yang diperhitungkan oleh Pende-
kar Hina Kelana ini tidak lama kemudian segera
terbukti. Iblis Hitam mengeluarkan jeritan keras
ketika jemari tangan lawan menghunjam di bagian
wajah dan lehernya. Dan ketika Beruang Hitam
menyentakkan kuku-kukunya yang menghunjam
dalam dari tubuh lawannya itu. Maka terdengarlah
suara daging serta kulit tercabik-cabik dari tubuh
lawannya. Iblis Hitam tidak mampu mengeluarkan
jeritan lagi. Suaranya terhenti sebatas tenggoro-
kannya yang terputus akibat disentakkan oleh la-
wannya. Tidak lama kemudian tubuh laki-laki
berpakaian serba hitam inipun jatuh tersungkur
tanpa mampu bergerak-gerak lagi, mati.
Pendekar Hina Kelana yang melihat kesadi-
san Beruang Hitam bergidik ngeri. Tapi sekejap
kemudian dari tempat persembunyiannya tubuh-
nya berkelebat menghampiri Beruang Hitam yang
sedang memandangi mayat Iblis Hitam sambil ter-
tawa-tawa puas bagai orang sinting.
"Ternyata nama Beruang Hitam bukan na-
ma kosong. Hem, baru sekali ini kulihat seorang
manusia memiliki perilaku seperti binatang." kata
Buang dengan sesungging senyum mengejek.
Beruang Hitam tentu saja merasa terkejut
sekali mendengar suara teguran yang tidak dis-
angka-sangkanya itu. Dan laki-laki berbadan gem-
bur berperut buncit ini lebih terkejut lagi ketika ia
memutar tubuh, entah dari mana datangnya tahu-
tahu seorang pemuda berwajah tampan berpa-
kaian merah ini telah berdiri tidak jauh di depan-
nya.
"Kau. Siapakah engkau ini? Apakah kau
kawannya kadal buntung yang menginginkan isi
bungkusan itu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah bungkusan yang menggeletak di atas tanah.
Buang berpikir tokoh yang satu ini sebe-
narnya merupakan figur manusia yang lucu.
Hanya saja ia memiliki watak yang sangat kejam
sekali. Terhadap orang yang satu ini rasanya Pen-
dekar Hina Kelana tidak perlu basa basi. Itulah
sebabnya dengan tegas ia menjawab.
"Aku bukan kawan Iblis Hitam. Tapi keda-
tanganku ke mari adalah untuk mengambil benda
yang telah kau curi untuk dikembalikan pada yang
berhak." kata Buang dengan suara tajam menu-
suk.
Beruang Hitam tersentak kaget, sama sekali
ia tidak menduga kalau kehadiran pemuda itu ju-
ga menginginkan benda yang sama. Baginya hal
ini merupakan suatu persoalan yang patut diwas-
padai. Sekarang setindak demi setindak Beruang
Hitam melangkahkan kakinya mendekati Patung
Kematian yang terbungkus kain sutera merah itu.
"Sudah begitu banyak korban berjatuhan
akibat benda yang sangat berharga ini. Apakah
engkau juga ingin mengorbankan nyawa hanya
demi benda ini?" tanya laki-laki berperut buncit ini
sambil menepuk-nepuk bungkusan yang telah be-
rada di tangannya.
Buang mendengus geram, sekarang ia me-
rasa semakin tidak sabar saja menghadapi tingkah
Beruang Hitam yang berubah jadi memuakkan.
"Benda itu ada pemiliknya yang sah. Kalau
sekarang ia berada di tanganmu, semua itu pasti-
lah karena kau merampasnya."
"Hey, bocah! Bicaramu kelewat lancang. Ta
hukah engkau dengan siapa kau berhadapan!"
bentak Beruang Hitam dengan amarah membara
Pendekar Hina Kelana ini sadar betul siapa
yang dihadapinya kali ini. Namun baginya hal itu
sudah menjadi perhitungannya.
"Yang kutahu, kau tidak lebih dari seorang
tokoh sesat yang terlalu kemaruk dengan benda-
benda berharga milik orang lain. Bicara terus te-
rang lebih baik kembalikan benda itu kepada per-
guruan Teratai Putih. Jika tidak aku pasti akan
menghajarmu." bentak Buang hampir tidak dapat
lagi mengendalikan amarahnya.
Beruang Hitam nampak tertegun beberapa
saat lamanya. Dipandanginya Buang Sengketa
dengan tatapan tajam menyelidik. Selama ini ra-
sanya ia belum pernah bertemu dengan seorang
pemuda berpakaian serba merah dengan rambut
dikuncir itu. Tapi sebagai orang yang selalu ma-
lang melintang di rimba persilatan, nampaknya ia
sadar betul bahwa pemuda itu tidak dapat diang-
gap enteng.
"Hahaha. Kau benar-benar seorang pemuda
pemberani yang pernah kujumpai. Tapi ketahuilah
sama sekali aku tidak pernah mencuri Patung Ke-
matian. Hanya saja aku telah merampasnya dari
tangan si Tokoh Misterius ketika ia sedang len-
gah."
"Kalau begitu kalian sama saja. Kukatakan
sekali lagi padamu. Cepat kau serahkan benda di
tanganmu itu." teriak Buang Sengketa dengan su-
ara menggeledek.
Hebatnya Beruang Hitam malah menyam
butnya dengan tawa.
"Lakukanlah kalau kau mampu." dengus
Beruang Hitam dengan sikap menantang.
Buang sudah dikuasai hawa amarah, ak-
hirnya tidak dapat lagi menahan diri. Dengan di-
awali lengkingan tinggi melengking. Dia mele-
paskan pukulan Si Hina Kelana Merana, yaitu sa-
lah satu pukulan maut yang memancarkan sinar
merah membara ke arah Beruang Hitam. Laki-laki
ini semula ingin tertawa, sekarang malah terpe-
rangah. Pukulan yang dilontarkan oleh Buang
Sengketa di samping menimbulkan hembusan an-
gin yang sangat kuat, juga menebarkan hawa pa-
nas luar biasa. Buang memang tidak bertindak se-
tengah-setengah. Apalagi menyadari lawan yang
dihadapinya merupakan seorang tokoh sesat be-
rilmu tangguh. Maka begitu mengawali serangan-
nya dia telah melepaskan salah satu pukulan yang
sangat dahsyat. Serangan Buang yang datangnya
laksana kilat membuat Beruang Hitam menjadi ke-
labakan sesaat. Namun kesempatan yang hanya
sedetik itu telah dimanfaatkan oleh Buang Sengke-
ta dengan sebaik-baiknya.
Blaam! Blaaam!
"Uuhgk...!"
Beruang Hitam memekik keras ketika puku-
lan yang dilakukan oleh lawan menghantam di ba-
gian dadanya. Laki-laki bertubuh gembur ini jatuh
terjengkang. Dari mulutnya meleleh darah kental.
Buang sendiri langsung terperangah melihat keke-
balan yang dimiliki oleh lawannya. Seperti diketa-
hui, pukulan Si Hina Kelana Merana adalah merupakan pukulan pamungkas yang maha dahsyat.
Jangankan hanya manusia biasa, sedangkan see-
kor gajahpun akan hangus bila terkena pukulan
maut itu. Tapi kini Beruang Hitam hanya terluka
dalam menerima pukulan itu. Kenyataan ini mem-
buat, Buang memuji kehebatan lawan dalam hati.
Beruang Hitam sekarang telah bangkit kembali.
Sepasang matanya yang agak sipit itu berkilat-kilat
mengisyaratkan hawa pembunuhan. Nafasnya
memburu tidak jauh bedanya dengan dengusan
banteng yang sedang mengamuk.
"Tidak perduli siapa engkau. Hari ini aku
harus membunuhmu!" desis Beruang Hitam mulai
membuka jurus andalannya yang diberi nama Be-
ruang Hitam Mengusir Lebah.
"Hiaat...!"
Begitu lawan melancarkan serangkaian se-
rangan ganas dengan mempergunakan kuku-
kukunya yang runcing lagi berbisa. Bergegas
Buang Sengketa berputar sambil melesat ke udara.
Sergapan itu luput. Ketika tubuh Buang Sengketa
kembali menukik ke bawah dengan kaki lurus di
atas, ia kembali melepaskan pukulan Si Hina Ke-
lana Merana dengan mempergunakan setengah te-
naga dalam yang dimilikinya. Angin yang sangat
kencang menderu di sertai bergulung-gulungnya
udara panas bagai bara api. Beruang Hitam yang
kehilangan posisi lawannya tersentak kaget. Begitu
tubuhnya berbalik. Pukulan yang dilepaskan la-
wannya tepat mengenai dada.
Blaam!
"Wuaah...!"
Untuk kedua kalinya Beruang Hitam jatuh
tersungkur di atas tanah berdebu. Seluruh mu-
kanya yang kotor agak basah oleh keringat ber-
campur darah yang menetes di bagian hidung.
Buang Sengketa kembali terperangah saat melihat
lawan yang terkena pukulannya itu telah bangkit
kembali seolah tidak merasakan pukulan yang di-
deritanya.
"Ka... kau memang hebat, orang muda. Ge-
rakan silatmu yang sangat cepat membuat kepala-
ku berdenyut-denyut sakit. Tapi jangan kira kau
sudah menang dalam menghadapi aku. Tidak seo-
rangpun di rimba persilatan ini yang bakal mampu
mengalahkan Beruang Hitam!" teriak laki-laki ber-
perut buncit ini sambil tertawa-tawa bagai orang
sinting. Sekarang tanpa menghiraukan buntalan
yang terjatuh akibat pukulan Pendekar Hina Kela-
na. Beruang Hitam segera merentangkan kedua
tangannya. Terdengar suara raungan bagai orang
kesetanan saat laki-laki ini memburu ke arah si
pemuda. Tidak salah lagi Beruang Hitam saat itu
memang telah mempergunakan Ajian 'Raungan Ib-
lis' untuk menghadapi lawannya. Buang Sengketa
tidak tinggal diam, ia sadar lawan kali ini benar-
benar mulai mempergunakan segenap kepandaian
yang dimilikinya. Pada saat itu juga si pemuda
menghentakkan tangannya ke bagian dada lawan-
nya, herannya lawan yang berperut buncit ini ti-
dak berkelit sama sekali. Sebaliknya dengan cepat
dia menggerakkan jari tangannya yang berkuku
runcing. Buang Sengketa merasa terkejut bukan
main. Dengan cepat tangannya di tarik kembali.
Belum sempat Buang melakukan sesuatu,
mendadak dari arah bawah melesat tendangan te-
lak. Pemuda ini segera mempergunakan jurus Si
Gila Mengamuk untuk menghindari tendangan la-
wannya itu. Tubuh Buang Sengketa terhuyung-
huyung bagai seorang pemabukan. Meskipun la-
wan terus memburunya, namun berkat jurus Si
Gila Mengamuk serangan Beruang Hitam selalu
mencapai sasaran kosong. Satu kali tendangan Be-
ruang Hitam menyerempet punggungnya.
Buuk!
"Aduh...!" Buang Sengketa jatuh terjeng-
kang, manakala tendangan Beruang Hitam yang
mempergunakan tenaga dalam sepenuhnya itu
menghantam punggungnya. Buang merasakan tu-
buhnya seperti remuk. Sambil terus berguling-
guling menghindari tendangan susulan. Cepat se-
kali Buang bangkit kembali. Namun pada saat itu
Beruang Hitam yang sudah kalap sudah mende-
saknya dengan jurus Rentangan Cakar Berbisa.
Pendekar Hina Kelana berkelit menghindar, caka-
ran yang sangat berbahaya itu berhasil dielakkan-
nya. Lagi-lagi satu tendangan kilat yang tiada di-
duga-duga mendarat di perut Buang Sengketa.
"Argkh...!"
Buang Sengketa terpelanting roboh. Dari
bagian mulutnya meleleh darah segar. Beruang Hi-
tam tersenyum tipis, raut wajahnya berubah me-
rah menggidikkan. Sebelum Buang Sengketa sem-
pat melancarkan jalan darahnya yang kacau, Be-
ruang Hitam telah menyerangnya lagi.
"Hiaa...!"
Agaknya kali ini Buang Sengketa yang se-
dang menderita luka dalam itu tidak mampu lagi
menghindari serangan mematikan yang dilakukan
oleh Beruang Hitam. Terlebih-lebih serangan itu
datangnya terlalu cepat sekali, bahkan sangat sulit
diikuti kasat mata. Pada detik-detik yang kritis itu
terlihat sinar merah menyala yang menebarkan
udara sedingin es. Melihat semua ini Beruang Hi-
tam nampak terperangah wajahnya bahkan beru-
bah pucat pasi. Masih syukur ia mampu menghen-
tikan arus pukulannya, bahkan sempat menarik
balik tangannya yang mengancam bagian kepala
Buang Sengketa.
"Pendekar Golok Buntung! Ka... kau Pende-
kar Hina Kelana?" desis Beruang Hitam dengan
suara bergetar.
Sementara Buang Sengketa sendiri telah
bangkit berdiri. Pusaka Golok Buntung sekarang
telah berada dalam genggamannya. Hawa hangat
terasa mengalir deras dari senjata andalan yang
digenggamnya itu. Rasa sesak yang memenuhi da-
danya sekarang sedikit demi sedikit mulai berku-
rang, Buang Sengketa perlahan membuka ma-
tanya yang terpejam. Sesungging seringai menggi-
dikkan menghias di bibirnya.
"Sekarang kau benar-benar telah mengeta-
hui siapa aku. Karena kau tidak mau menyerah-
kan Patung Kematian secara baik-baik padaku.
Maka sekarang terimalah kematianmu! Haiit...!"
dengan di sertai lengkingan ilmu Pemenggal Roh,
tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat lenyap.
Senjata di tangannya menderu dan menimbulkan
suara bercuitan. Sementara udara di sekelilingnya
berubah dingin luar biasa.
Beruang Hitam terkesiap, ia terpaksa men-
gerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi pen-
dengarannya dari suara lengkingan ilmu Pemeng-
gal Roh yang dikerahkan oleh lawannya.
"Hees...!"
Ngungg...!
Dengan tunggang langgang Beruang Hitam
berusaha menghindari sergapan senjata di tangan
lawannya. Tapi usaha-usaha seperti itu hanya be-
berapa kali saja berhasil dilakukannya. Sampai
pada satu waktu, tubuh Buang Sengketa berputar
cepat mematikan setiap gerak langkahnya. Pusaka
yang menebarkan hawa sedingin badai es itupun
menyambar ke bagian perut Beruang Hitam.
Nguuung...!
Craak! Craaak!
"Aarrrhkg...!" Beruang Hitam melolong bagai
serigala terluka saat bagian perutnya terbelah. Isi
perut memburai keluar disertai menyemburnya
darah dari luka itu.
"Ka... kau memang hebat, boc... aaah...!"
Beruang Hitam jatuh tersungkur dengan tubuh
menekuk. Seketika itu juga nyawanya melayang
meninggalkan raga. Buang menarik nafas lega,
namun begitu berpaling ke arah buntalan. Ia meli-
hat sesosok bayangan berkelebat menyambar bun-
talan itu, kemudian berlari cepat ke arah lain.
Pendekar Hina Kelana hanya sesaat saja sempat
terperangah. Kemudian...
"Hei... berhenti! Tinggalkan Patung Kema
tian!" teriak Buang Sengketa. Karena bayangan itu
terus berlari, maka pemuda inipun segera melaku-
kan pengejaran. Tapi bayangan hijau itu cepat bu-
kan main. Buang Sengketa terpaksa mengerahkan
Ajian Sepi Angin untuk menyusul orang di depan-
nya. Hanya dalam waktu singkat ia berhasil mem-
persempit jarak. Di luar dugaan orang yang dike-
jarnya menyambitkan senjata rahasia ke arahnya.
"Keparaaat!" Buang bersalto beberapa kali
untuk menghindari serangan itu. Begitu ia menje-
jakkan kakinya, bayangan hijau itu telah lenyap
dari hadapannya.
"Tidak salah lagi, orang yang memperguna-
kan senjata rahasia pastilah si Tokoh Misterius...!"
gumamnya sambil terus bergerak ke arah hilang-
nya bayangan tadi.
***
LIMA
Setelah lebih dari satu purnama Pendekar
Hina Kelana yang ditunggu-tunggu oleh Wiku
Swanda tidak kembali juga ke perguruan Teratai
Putih. Maka laki-laki berusia lanjut ini kemudian
memutuskan untuk segera menyusulnya sekaligus
mencari Patung Kematian yang telah jatuh ke tan-
gan golongan sesat. Pagi itu dengan memperguna-
kan kuda-kuda tunggangan. Berangkatlah Wiku
Swanda dengan disertai oleh lima belas orang mu-
ridnya. Di sepanjang jalan yang mereka lalui, tidak
seorangpun diantara mereka yang berani buka bi-
cara. Yang terdengar hanyalah derap langkah kuda
mereka yang dipacu dengan kecepatan luar biasa.
Kuda-kuda tunggangan itu terus menelusu-
ri jalan berbatu kapur menuju arah Utara. Menje-
lang setengah hari, Wiku Swanda dan rombongan
telah jauh meninggalkan daerah Bayur Kemuning
yaitu tempat perguruan yang mereka tinggalkan.
Kecepatan kuda terus dipacu hingga terdengar su-
ara hiruk pikuk memekakkan telinga. Dan debu
tebal nampak mengepul tinggi di angkasa. Ketika
mereka sampai di sebuah tikungan jalan tiba-tiba
kuda-kuda yang mereka tunggangi meringkik ke-
ras. Bahkan beberapa diantaranya ada yang me-
lonjak-lonjak, sehingga membuat murid-murid Wi-
ku Swanda jatuh terpelanting dari atas punggung
kuda. Serentak dalam waktu yang bersamaan ter-
dengar suara bentakan-bentakan nyaring dari se-
belah kiri bukit.
"Berhenti...!"
Belum lagi gema suara teriakan itu hilang
dari pendengaran penunggang kuda ini, dari ka-
nan dan kiri jalan itu nampak berlompatan bebe-
rapa sosok tubuh berpakaian kuning gading. Da-
lam waktu yang singkat sepuluh orang berpakaian
kuning bertampang kasar telah mengepung rom-
bongan perguruan Teratai Putih yang di pimpin
oleh Wiku Swanda.
"Siapa kalian!" tanya Wiku Swanda sambil
memperhatikan orang-orang yang telah menge-
pung mereka itu satu demi satu. Kemudian ketua
perguruan Teratai Putih itu melihat salah seorang
diantara mereka maju dua langkah mendekati ku-
da Wiku Swanda. Ketua perguruan Teratai Putih
itu terdiam, tapi pandangan matanya terus mem-
perhatikan gerak-gerik laki-laki bercambang serta
bawuk lebat.
"Hahaha! Kalau tak salah, anda semua me-
rupakan orang-orang dari perguruan Teratai Putih.
Dan yang paling tua dan hendak masuk kubur,
pastilah Wiku Swanda. Hemm. Kelihatannya akhir-
akhir ini anda sibuk sekali, Wiku? Apakah anda
merasa bingung untuk menyembunyikan Patung
Kematian supaya aman dari incaran kalangan
rimba persilatan? Kalau begitu alangkah baiknya
jika Wiku menyerahkan Patung Kematian kepada
kami agar selalu dalam keadaan aman." kata laki-
laki berpakaian kuning yang menjadi pimpinan
sembilan orang lainnya sambil tersenyum licik.
Wiku Swanda maupun murid-muridnya su-
dah barang tentu menjadi marah atas sikap lan-
cang orang-orang yang tidak mereka kenal itu.
Bahkan dua orang murid perguruan Teratai Putih
itu tanpa berkata apa-apa langsung mencabut pe-
dangnya. Tetapi niat mereka untuk menerjang la-
ki-laki bersenjata tombak pendek berwarna putih
ini menjadi urung begitu melihat guru mereka
mengangkat tangannya memberi isyarat.
Tidak lama setelah itu, Wiku Swanda kem-
bali berpaling pada laki- laid yang menjadi pimpi-
nan gerombolan itu. Sekejap diamatinya orang itu
dengan pandangan tajam menusuk.
"Umur seusia jagung. Kalian kelompok ga-
rong dari manakah, sehingga begitu berani mengguruiku orang yang sudah tua bangka?" bentak
Wiku Swanda dengan suara menggelegar.
Beberapa orang diantara mereka nampak
terkesiap ketika mendengar ucapan Wiku Swanda
yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
yang sangat tinggi. Namun yang menjadi ketua
orang-orang berpakaian kuning bersenjata tombak
pendek ini malah tertawa tergelak-gelak.
"Wiku, suaramu yang melengking itu hanya
pantas untuk mengusir monyet-monyet di hutan.
Ah... mengapa tidak kau serahkan saja Patung
Kematian itu kepada kami, agar semua urusan
menjadi beres."
"Kalau itu yang kalian inginkan. Lebih baik
kalian bermimpi telah mendapatkan benda itu da-
ripada mendapatkannya secara kenyataan tapi ji-
wa kalian tidak dapat diselamatkan...!" ucap Wiku
Swanda dengan sikap tenang berwibawa.
"Hemm. Kau tidak bisa menggertak si Tom-
bak Perak dengan segala bualanmu itu, Wiku. Dan
kami akan membuktikannya." teriak ketua Tom-
bak Perak. Selanjutnya tanpa berkata apa-apa lagi
ia memberi isyarat pada sembilan orang bawahan-
nya. Tanpa menunggu di perintah dua kali. Sembi-
lan orang bawahan laki-laki berbadan tinggi besar
ini mencabut senjata mereka yang berupa sebilah
tombak pendek berwarna putih keperakan dari
pinggang mereka. "Hiyaa...!"
Secara serentak dengan disertai teriakan-
teriakan melengking tinggi kesembilan orang-orang
bawahan si Tombak Perak atau Rahasia ini mener-
jang Wiku Swanda dan murid-muridnya yang sudah berlompatan dari punggung kuda menyambut
kedatangan serangan ganas orang-orang berpa-
kaian kuning gading ini.
Tidak terelakkan lagi pertempuran sengit-
pun terjadi. Masing- masing lawan telah menge-
rahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Bahkan di pihak murid-murid perguruan Teratai
Putih pun telah pula mengeluarkan senjata mere-
ka yang berupa sebilah pedang berwarna putih
mengkilat karena ketajamannya. Pada kenyataan-
nya meskipun bawahan Tombak Perak hanya ber-
jumlah sembilan orang, namun dalam melakukan
penyerangan gerakan mereka sangat cepat dan ge-
sit. Mereka terus merangsak murid-murid Wiku
Swanda yang berjumlah lima belas orang ini. Me-
nyadari betapa berbahaya serangan tombak yang
menimbulkan angin menderu-deru ini. Murid-
murid perguruan Teratai Putih laksana kilat lang-
sung memutar pedang mereka sehingga memben-
tuk perisai diri yang begitu kokoh.
"Haiit! Shaaa..!"
Begitu beberapa orang bawahan Rahasia
berhasil menerobos pertahanan murid-murid Wiku
Swanda. Maka tiga orang diantaranya langsung
terpelanting roboh dengan dada tertembus tombak
pendek di tangan lawannya. Semua yang terjadi
pada murid-muridnya kiranya tidak terlepas dari
perhatian Wiku Swanda yang sudah mulai menja-
tuhkan bawahan Rahasia hanya dengan mengan-
dalkan jurus-jurus tangan kosong saja. Tentu saja
laki-laki berusia tujuh puluhan ini menjadi sangat
marah sekali.
"Keparaat. Kalian memang benar-benar in-
gin cepat di buat mampus!" dengus Wiku Swanda
sambil menerjang lawannya yang bersenjata tom-
bak itu dengan serangan-serangan yang sangat
mematikan. Dengan tendangan-tendangan kakinya
yang disertai tenaga dalam yang tinggi, beberapa
kali ia berhasil membuat tersungkur lawannya
dengan dada hancur akibat terhantam tendangan
yang menggeledek tadi. Tapi tidak sampai di situ
saja Wiku yang sudah dirasuki hawa amarah ini
bertindak. Beberapa kali ia melontarkan pukulan
keras ke arah bawahan Rahasia yang hanya ting-
gal beberapa orang itu. Melihat gelagat yang ku-
rang menguntungkan ini Rahasia segera bertindak
cepat dengan menghentakkan tangannya ke arah
Wiku Swanda.
Wus!
Terasa adanya sambaran angin berhawa
panas luar biasa menderu ke arah laki-laki berusia
lanjut ini. Selanjutnya benturan keras pun terden-
gar, membuat seisi dada bagai terguncang.
Bledaar...!
"Wuaakh...!"
Tubuh ketua perguruan Teratai Putih itu
tergetar hebat. Dirasakannya telapak tangannya
berdenyut-denyut sakit. Namun setelah menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk melancarkan jalan
darahnya yang agak kacau, sebentar kemudian
keadaan tubuhnya sudah kembali seperti biasa. Di
pihak Rahasia sendiri selain tubuhnya sempat ter-
banting roboh, namun ia juga merasakan puku-
lannya membalik seolah telah membentur tembok
baja. Bahkan selain ia merasakan dadanya sesak
luar biasa. Namun juga dari celah-celah bibirnya
telah mengalir darah segar. Sekarang sadarlah ke-
tua Tombak Perak itu betapa lawan yang dihada-
pinya kali ini memiliki tenaga dalam yang berada
jauh di atasnya.
Namun orang yang satu ini nampaknya ti-
dak ingin bersurut langkah. Meskipun saat itu ia
melihat seluruh bawahannya telah terbunuh di
tangan Wiku Swanda dan murid-muridnya. Den-
gan cepat laki-laki berpakaian kuning gading ini
telah bangkit kembali. Kemudian dipandanginya
murid-murid perguruan Teratai Putih yang hanya
tinggal sepuluh orang. Dengan perasaan geram ia
menoleh ke arah Wiku Swanda yang juga sedang
memandang ke arahnya dengan tatapan tajam
menusuk.
"Kau hebat, Wiku! Tapi kau jangan bangga
dulu, karena aku sama sekali belum kalah. Satu
yang perlu kau ingat bahwa Patung Kematian ha-
rus dapat kumiliki."
"Kau benar-benar manusia yang tolol. Apa
yang kau harapkan dari pertarungan ini sedang-
kan aku sendiri sekarang sedang berusaha mene-
mukan kembali Patung Kematian yang telah di
rampas oleh orang lain...!" sahut laki-laki itu me-
rasa geli sendiri. Tapi mana mungkin ketua Tom-
bak Perak ini percaya dengan kata-kata Wiku
Swanda.
Sebagai orang yang datang dari sebuah
tempat yang jauh dari kaki gunung Cimanuk sana
tentu saja berita tentang Patung Kematian yang
sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang rimba
persilatan menarik perhatiannya. Apalagi seperti
yang didengarnya patung itu selain mengandung
racun yang sangat ganas. Juga di dalam tubuh pa-
tung itu tersimpan pelajaran ilmu silat yang sangat
tinggi. Hal ini tentu saja menarik minat Rahasia
yang selalu keranjingan terhadap berbagai ilmu si-
lat. Itulah sebabnya dari tempat yang jauh di ba-
gian Tenggara sana ia rela menempuh perjalanan
yang sangat jauh dan melelahkan, semata-mata
hanya ingin merebut Patung Kematian dari tangan
Wiku Swanda. Tidak heran jika begitu bertemu ke-
tua perguruan Teratai Putih ini sama sekali tidak
mengenali si Tombak Perak karena sebelum itu
mereka memang tidak pernah bertemu sama seka-
li.
Sekarang setelah berhadapan langsung
dengan Wiku Swanda. Laki-laki tua itu mengata-
kan Patung Kematian telah hilang dari per-
guruannya. Mana mungkin Rahasia bisa percaya
begitu saja.
"Hmm...!" Wiku Swanda menggumam tidak
jelas. Namun perhatiannya tetap tertuju pada Ra-
hasia yang nampak tercenung seolah-olah sedang
memikirkan sesuatu.
"Aku tidak percaya patung itu telah hilang,
Wiku...!" katanya kemudian setelah agak lama
hanya berdiam diri. Ketua perguruan Teratai Putih
itu tersentak kaget. Hal ini bukan karena Wiku
Swanda merasa gentar menghadapi si Tombak Pe-
rak. Namun disebabkan sikap Rahasia yang ngo-
tot, seolah ia merupakan pemilik Patung Kematian.
Padahal sejak beradunya tenaga dalam tadi, jelas-
jelas Wiku tua ini dapat merasakan betapa tenaga
dalam yang dimilikinya jauh berada di atas lawan-
nya. Apakah dengan kenyataan ini Rahasia masih
juga belum tahu gelagat?
"Kalau kau tetap tidak percaya, silahkan
mampus saja!" geram Wiku Swanda. Kemudian se-
telah menghembuskan nafasnya dalam-dalam, ke-
tua perguruan Teratai Putih ini mendadak berte-
riak keras menggelegar. Seketika itu juga tubuh-
nya melesat secepat kilat ke udara. Ketika seben-
tar kemudian tubuhnya telah meluncur kembali ke
bawah. Maka Wiku Swanda telah melontarkan pu-
kulan jarak jauh ke arah Rahasia. Si Tombak Pe-
rak yang sudah merasakan kehebatan lawannya
sejak gebrakan-gebrakan pertama tadi, sekarang
terlihat nampak berhati-hati sekali. Terbukti ketika
ia merasakan angin keras menderu dari atas kepa-
lanya. Dengan gerakan luar biasa cepatnya ia
membanting dirinya sambil memutar tombak pen-
dek di tangannya. Terdengar suara mendengung-
dengung ketika tombak perak di tangan Rahasia
diputar laksana baling-baling. Dalam keadaan se-
perti itu tentu merupakan kesulitan tersendiri bagi
Wiku Swanda yang tidak menyangka akan menda-
pat serangan balik ini. Dengan cepat ia menghen-
tikan arus pukulan. Namun ketika kakinya telah
menjejak di atas tanah, Wiku Swanda segera mele-
paskan pukulannya kembali. "Hiyaa!"
Dengan jari-jari terkembang membentuk
kuntum bunga teratai, laki- laki berusia lanjut ini
mendorongkan kedua tangannya ke depan. Ketika
tangan itu telah menghantam ke arah lawan. Maka
gelombang hawa panas yang disertai gemuruh su-
ara angin menghantam pertahanan Rahasia. Laki-
laki dari lereng gunung Cimanuk ini langsung ter-
sentak ke belakang. Tombak pendek yang ia per-
gunakan untuk melindungi diri terpental jauh dan
jatuh entah ke mana. Dapat dibayangkan betapa
kerasnya pukulan yang dilakukan oleh Wiku
Swanda ini.
Wajah Rahasia langsung berubah pucat se-
putih kain kafan, tapi rasa keterkejutannya itu ti-
dak berlangsung lama, karena pukulan yang di-
lancarkan oleh Wiku Swanda telah kembali men-
deranya. Sedapat-dapatnya Rahasia berusaha me-
nyelamatkan diri dari pukulan maut yang terus
memburunya ke mana pun ia berusaha menghin-
dar.
"Heaa..!"
Ketua Tombak Perak ini mengibaskan tan-
gannya. Kemudian beberapa batang tombak yang
lebih pendek dan sangat tipis meluncur dari tela-
pak tangannya itu. Tetapi pukulan yang dilakukan
oleh Wiku Swanda datangnya lebih cepat lagi dari
dugaan laki-laki itu.
Brees!
"Aaa...!" terdengar jeritan Rahasia yang me-
lengking tinggi ketika pukulan Kuntum Bunga Te-
ratai yang dilepaskan lawan dengan telak meng-
hantam tubuhnya. Untuk yang kesekian kalinya
Rahasia jatuh terpelanting. Sementara tombak-
tombak pendek yang disambitkan oleh Rahasia
dengan baik dapat dihindari oleh Wiku Swanda,
sehingga senjata-senjata itu mengenai tempat ko-
song.
"Ka... kau...!" Rahasia yang sudah terluka
parah itu nampak ingin mengatakan sesuatu.
Tapi niatnya itu tidak pernah kesampaian
karena ternyata ajal lebih cepat menjemputnya.
Melihat kematian lawannya, ketua perguruan Te-
ratai Putih ini langsung menarik nafas dalam-
dalam. Hanya sekejap dipandanginya mayat Raha-
sia yang mulai dingin membeku. Ketika laki-laki
berpakaian serba putih ini memandang pada mu-
rid-muridnya. Maka dilihatnya mereka sedang si-
buk mempersiapkam kubur buat lima orang sau-
dara seperguruan mereka yang menjadi korban se-
rangan anak buah Tombak Perak.
"Berapa orang kawan-kawan kalian yang
tewas, Narada?" tanya laki- laki itu pada salah seo-
rang murid tertuanya.
"Semuanya ada lima orang, Eyang guru!"
sahut Narada dengan sikap hormat.
"Kalau begitu cepat selesaikan penguburan
mereka. Setelah itu kita secepatnya harus me-
neruskan perjalanan kembali." perintah Wiku
Swanda dengan perasaan sulit diduga-duga. Pada
saat itu Narada tanpa berkata apa-apa segera
mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru
mereka. Sepuluh orang murid perguruan Teratai
Putih bahu membahu menguburkan kawan-kawan
mereka sehingga pekerjaan menguburkan mayat
pun hanya dalam waktu yang singkat telah selesai.
Siang itu juga Wiku Swanda dan sepuluh orang
muridnya kembali meneruskan perjalanan mereka yang sempat tertunda.
***
ENAM
Buang merasa kesal sekali ketika ia kehi-
langan jejak orang yang diburunya. Padahal hari
sudah mulai beranjak malam. Udara terasa dingin
dengan datangnya hembusan angin yang sangat
kencang. Namun suasana seperti itu tidak mem-
buat Pendekar Hina Kelana ini menghentikan pen-
cariannya. Patung Kematian sangat perlu untuk di
selamatkan, terlebih-lebih ia pernah berjanji pada
ketua perguruan Teratai Putih untuk menda-
patkan patung itu kembali dalam waktu secepat-
nya. Tapi setelah lebih dari satu purnama Buang
melakukan pencarian, hingga kini ia masih belum
berhasil mendapatkan benda itu. Hal ini yang me-
risaukan hatinya.
Semua itu merupakan masalah nasib, jika
saja saat itu tidak muncul si Tokoh Misterius dan
melarikan Patung Kematian. Tentu saja sekarang
ini ia telah kembali ke perguruan Teratai Putih un-
tuk menyerahkan benda yang diperebutkan itu.
Buang menggerutu kesal. Meskipun begitu dalam
keadaan malam yang hanya diterangi oleh cahaya
bulan purnama, Buang terus berlari cepat dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai taraf sempurna. Begitu ce-
patnya seolah-olah ia berlari di atas angin saja
layaknya.
Tapi Pendekar Hina Kelana ini secara men-
dadak terpaksa menghentikan larinya ketika dari
arah depannya nampak melesat bayangan lain. Ti-
ba-tiba di depan Buang Sengketa telah mengha-
dang belasan laki-laki berjubah hitam mirip orang
yang hampir membunuh Buang di perguruan Te-
ratai Putih. Hanya saja bedanya orang-orang yang
telah bergerak mengepungnya itu tidak memakai
topeng tengkorak seperti mereka terdahulu.
"Siapa kalian?" tanya pemuda itu sambil
memperhatikan orang-orang yang berada di sekeli-
lingnya. Anehnya tidak seorangpun yang mau
menjawab pertanyaan Buang. Hal inilah yang
membuatnya terheran-heran. Angin dingin tiba-
tiba saja berhembus kencang.
"Uhp...!"
Buang hampir saja muntah ketika pencium-
annya yang tajam itu mengendus bau sesuatu
yang sangat menusuk, bau bangkai.
"Aneh. Tiba-tiba saja di sekitar sini tercium
bau begini rupa. Siapakah mereka ini? Gerakan-
nya kaku bagai patung, wajah mereka pucat bagai
kain kafan. Tapi pandangan mata mereka kosong
seolah tiada kehidupan di sana." gumam Pendekar
Hina Kelana ini dengan suara tidak begitu jelas.
Tiba-tiba sesuatu yang tidak pernah diduga-duga
terlintas di dalam benaknya. Orang itu jelas sekali
seperti digerakkan oleh satu kekuatan yang tidak
terlihat sama sekali. Buang Sengketa yakin pasti
ada sesuatu yang berbentuk kekuatan gaib berada
di belakang mereka. Hanya ia belum begitu menyadari siapakah yang bersembunyi di balik se-
mua orang tanpa perasaan yang berada dalam po-
sisi siap menyerangnya ini.
Tidak lama setelah itu para pengepungnya
yang berjumlah belasan orang memperdengarkan
suara ribut dengan makna yang tidak jelas bagi
Pendekar Hina Kelana ini. Buang terperangah me-
lihat keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh
orang-orang berpakaian serba hitam ini. Terlebih-
lebih ketika tidak lama kemudian ia mendengar
suara tiupan seruling tidak jauh dari tempat ia be-
rada. Bersamaan dengan terdengarnya suara ti-
upan seruling itu, maka bagai dikomando. Belasan
laki-laki yang telah mengurung Buang itu bergerak
serentak menyerang si pemuda. Dari serangan
yang dilakukan secara bersamaan itu saja sekilas
Buang dapat melihat. Meskipun gerakan mereka
agak lamban, namun serangan-serangan itu me-
nimbulkan hawa kematian yang tidak dapat di ta-
war-tawar lagi. Menghadapi kenyataan seperti ini,
tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Hi-
na Kelana langsung melompat menerjang orang-
orang berpakaian hitam yang berada begitu dekat
dengan dirinya. Bukan main cepatnya serangan
yang dilakukan oleh Buang, sehingga orang yang
diterjangnya dan memiliki gerakan kaku bagai pa-
tung sudah tidak punya kesempatan lagi untuk
menghindar. Diegkh...!
Pukulan telak yang dilakukan oleh Buang
dengan tepat menghajar tubuh dua orang yang be-
rada didepannya. Selanjutnya dengan memutar
tubuhnya ke samping kiri, kaki kanan melakukan
tendangan beruntun. Tiga orang lawan berpakaian
serba hitam itu terpelanting roboh menyusul dua
orang lainnya. Begitu kerasnya pukulan maupun
tendangan kilat yang dilakukan oleh Pendekar Hi-
na Kelana ini sehingga ia dapat memperhitungkan
lima orang yang tersungkur roboh itu pastilah te-
lah menemui ajal.
Di lain saat ketika melihat kawan-kawannya
terpelanting terhantam tendangan Buang. Orang-
orang berpakaian hitam lainnya nampak berubah
menjadi beringas. Dengan gerakan kaku mereka
menerjang Pendekar Hina Kelana ini, secara ber-
samaan. Meskipun gerakan dan langkah-langkah
mereka agak lamban. Namun serangan-serangan
yang dilancarkan oleh mereka ini berbahaya sekali.
Setiap sambaran tangan-tangan mereka yang me-
nebarkan bau busuk selalu terarah pada sasaran-
nya. Hanya saja berkat kelincahan Buang dalam
menghindari sergapan-sergapan serangan mereka,
sampai sejauh itu Buang masih dapat menyela-
matkan diri. Hanya saja terkadang, Buang agak
terkecoh menghadapi serangan lawan yang tidak
pernah bicara sama sekali.
"Hiyaa...!"
Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, tu-
buh Buang melenting ke udara. Beberapa kali ia
melakukan salto dengan gerakan-gerakan yang
sangat manis. Begitu tubuhnya meluncur ke ba-
wah. Pemuda ini langsung mengembangkan kedua
tangannya sambil melontarkan pukulan Si Hina
Kelana Merana ke arah lawan-lawan yang berada
di bawahnya.
Wuus! Wuss!
Blamm! Blaam!
Terdengar suara ledakan yang sangat dah-
syat saat pukulan yang dilepaskan oleh Buang
menghantam tubuh mereka. Tanah di sekitar tem-
pat itu bagai diguncang gempa bumi yang dahsyat.
Beberapa orang berpakaian serba hitam itu berpe-
lantingan tidak tentu arah. Bahkan dua orang di-
antaranya terkapar di tempat itu juga dengan tu-
buh hangus menghitam. Tidak lama kemudian ter-
ciumlah bau bangkai terbakar, sehingga membuat
Pendekar Hina Kelana ini terperangah untuk yang
kesekian kalinya.
"Tubuh mereka menebarkan bau busuk
bangkai. Hemm. Aku merasa yakin ada sesuatu
yang tidak beres terjadi pada mereka." gumam
Pendekar Hina Kelana sambil menghindari seran-
gan beberapa laki-laki berpakaian serba hitam
yang semakin bertambah beringas menyerangnya.
"Ups...!"
Tiba-tiba Buang memekik tertahan ketika
merasakan adanya pukulan yang menghantam ba-
gian punggungnya. Pemuda ini tersungkur ke de-
pan. Bukan main kerasnya pukulan yang dilaku-
kan lawan, sehingga Buang merasakan sekujur
tubuhnya terasa lemah tiada bertenaga. Dan sebe-
lum pemuda ini dapat berdiri pada posisinya,
enam orang lainnya segera memburunya bagai se-
rigala yang haus darah. Pendekar Hina Kelana te-
rus berguling-guling. Hingga pada satu kesempa-
tan, Buang menyentakkan tubuhnya sendiri.
"Haiit!"
Dengan mengandalkan gerakan cepat,
Buang Sengketa melompat ke samping kanan.
Kemudian secepat gerakan pertamanya tadi ia me-
lepaskan pukulan si Hina Kelana Merana ke arah
lawan-lawannya. Serangkum cahaya berwarna me-
rah menyala dan menimbulkan hawa panas luar
biasa menghantam dua orang pengeroyok yang be-
rada di depannya. Blaar..!
Tanpa terdengar suara apa-apa, tubuh me-
reka terpelanting beberapa tombak ke belakang.
Dan sebelum sisa-sisa para pengeroyoknya bertin-
dak lebih jauh, Buang Sengketa mencabut pusaka
Golok Buntung dari sarungnya. Udara di sekitar
tempat itu berubah sedingin es seketika itu juga.
Senjata di tangan Buang Sengketa memancarkan
sinar merah menyala. Lalu, tanpa membuang-
buang waktu lagi pemuda inipun segera bertindak.
Dengan cepat tubuhnya berkelebat, senjata di tan-
gan menyambar ke bagian leher lawan-lawannya.
Craas! Crees!
Buang Sengketa tersentak kaget ketika me-
lihat luka yang dialami lawan-lawannya sama se-
kali tidak mengeluarkan darah. Celakanya orang-
orang yang telah terluka parah akibat tebasan sen-
jata Buang Sengketa bagai tidak merasakan sakit
sama sekali terus berjalan menghampiri Buang
Sengketa.
"Celaka! Kiranya orang-orang ini merupakan
orang yang tidak bernyawa. Ilmu Iblis dari mana
yang telah dipergunakan oleh pemilik mayat-mayat
hidup ini?" desis Pendekar Hina Kelana sambil
bergerak mundur.
Pada saat Buang Sengketa diliputi oleh rasa
penasaran dan ketegangan itulah secara tiba-tiba
ia mendengar suara tawa seseorang yang melengk-
ing tinggi.
"Haiiaha...! Pemuda berkuncir. Kalau tidak
salah mataku yang lamur ini, kau pastilah orang
yang telah membunuh salah seorang jubah hitam
topeng tengkorak di tempat kediaman Wiku Swan-
da? Sekarang kau telah pula membunuh mayat
bayangan milikku. Apakah kalau mayat-mayat
bayangan itu kubangkitkan kembali kau mampu
menghadapi mereka?"
"Siapakah kau?" dengus Buang Sengketa
sambil memperhatikan ke satu arah.
"Aku adalah orang yang memerlukan Pa-
tung Kematian dan satu-satunya orang yang akan
memenggal kepala Pendekar Hina Kelana...!" teriak
orang itu sinis.
"Siapapun engkau jika menginginkan Pa-
tung Kematian yang bukan milikmu. Sama saja ar-
tinya menghendaki kematian dariku." bentak
Buang Sengketa dengan suara tajam menusuk.
"Sombong sekali bicaramu, orang muda.
Kau tidak pernah memandang betapa tingginya
gunung dan dalamnya lautan..."
Tidak lama kemudian terdengar suara alu-
nan seruling. Nada suara seruling itu tidak beratu-
ran sama sekali. Setelah itu angin kencang ber-
hembus. Buang kembali terperanjat, secara reflek
matanya memandang ke atas langit. Aneh, desis-
nya. Padahal langit terang tiada berawan, bahkan
sinar bulan purnama pun memancarkan ca-
hayanya yang kuning keemasan.
"Herrk!"
Pendekar Hina Kelana kembali memperhati-
kan suasana di sekelilingnya. Ketika itu dia men-
dengar suara-suara yang sangat aneh disertai ber-
geraknya tubuh-tubuh yang bergelimpangan tadi,
bagai disihir mayat-mayat itu bangkit kembali seir-
ing dengan terdengarnya suara seruling yang men-
dayu-dayu dengan nada yang tidak beraturan sa-
ma sekali.
"Gila. Ini benar-benar gila! Rasanya aku ti-
dak mungkin menjatuhkan mereka selama aku be-
lum meringkus orang yang mempergunakan serul-
ing itu." gumam Buang Sengketa. Namun sebelum
ia sempat melakukan tindakan sesuatu, dari kege-
lapan sesosok bayangan berkelebat. Sebentar saja
orang itu telah berdiri dihadapannya.
"Bagaimana, pendekar!" desis orang itu si-
nis.
"Kau memang hebat. Tapi aku tidak men-
gerti mengapa kalian menghadang jalanku." kata
Buang dengan amarah tertahan. Laki-laki berwa-
jah murung itu tersenyum tipis. Tapi sinar ma-
tanya tetap dingin menggidikkan.
"Kau jangan berpura-pura bodoh. Bukan-
kah kau telah membunuh salah seorang anggota
Iblis Tengkorak Hitam? Selain itu karena kehadi-
ranmu, kami mengalami kegagalan meringkus si
Tokoh Misterius yang kami ketahui membawa Pa-
tung Kematian." dengus pemimpin mayat-mayat
bergentanyangan ini.
"Hahaha... rupanya kau mempunyai niat
yang tidak jauh berbeda dengan si Tokoh Misterius
itu? Kalian ingin memperebutkan benda yang bu-
kan milik kalian. Kalau begitu jangan coba-coba
menghalangi langkahku. Aku mempunyai urusan
yang tidak dapat ditunda dengan orang yang ingin
kalian ringkus."
"Kurang ajar! Kalau begitu kau benar-benar
memilih jalan ke neraka!" teriak Tua Duka Tongkat
Naga.
"Heaa...!"
Ketua Pengemis Partai Utara ini langsung
menerjang Pendekar Hina Kelana dengan serangan
tongkatnya yang berujung runcing itu. Sementara
itu mayat-mayat yang dikendalikan oleh Tua Duka
hanya menatap kosong ke arah pertempuran yang
sedang terjadi.
"Uts! Yeaah...!"
Buang cepat sekali merunduk sambil memi-
ringkan tubuhnya ketika serangan tongkat lawan-
nya menyambar deras ke bagian kepalanya. Dan
saat itu juga ia cepat mencabut senjata andalan-
nya.
Nguung!
Tua Duka Tongkat Naga memekik tertahan
saat melihat berkelebatnya sinar merah menyala
ke arah tubuhnya. Dengan cepat ia memutar tong-
kat di tangannya.
Traang...!
Tua Duka Tongkat Naga memekik tertahan
ketika merasakan tangannya yang memegang
tongkat terasa nyeri dan berdenyut-denyut sakit.
Dan laki-laki ini menjadi terbelalak begitu melihat
bagian tongkatnya telah terpotong menjadi dua
bagian.
"Gila...!" desis Tua Duka Tongkat Naga.
Mempergunakan kesempatan yang hanya bebera-
pa detik itu. Tubuh Buang Sengketa berkelebat ke
arahnya. Laki-laki ini kembali tersentak saat me-
rasakan sambaran angin menerpa bagian ping-
gangnya. Ketika Buang bergerak menjauhinya, ta-
hu-tahu di tangan pemuda itu sekarang telah
menggenggam sebuah seruling yang dipergunakan
Tua Duka untuk menggerakkan mayat-mayat itu.
"Kembalikan seruling itu!" teriak Tua Duka
dengan wajah berubah pucat. Buang menangga-
pinya dengan sesungging senyum sinis.
"Jangan coba-coba mendekat orangtua, jika
kau tetap nekad juga maka seruling ini akan ku-
hancurkan!" ancam Buang Sengketa. Tua Duka
menghentikan langkahnya.
"Sekali lagi kuperingatkan padamu. Kemba-
likan seruling itu! Setelah itu aku berjanji untuk
menyudahi pertarungan ini."
Buang sama sekali tiada mengubrisnya, ma-
lah di luar dugaan dia dengan geram meremas se-
ruling di tangannya sehingga menjadi serpihan-
serpihan kecil. Maka mayat-mayat yang berdiri te-
gak tidak jauh darinya itu langsung ambruk tanpa
dapat berkutik lagi. Tidak lama setelah itu, ter-
ciumlah bau busuk memenuhi sekitar daerah ter-
sebut. Melihat serulingnya hancur. Bukan main
geramnya ketua Pengemis Partai Utara ini.
"Keparaat! Kau benar-benar ingin mencari
mampus bocah!" teriak lawannya. Selanjutnya
tanpa berkata apa-apa lagi Tua Duka Tongkat Na-
ga meluruk deras ke arah Buang Sengketa dengan
tusukan tongkat dan tendangan kaki.
Pemuda ini terkejut juga melihat datangnya
serangan secepat itu. Sambil melompat ke samp-
ing, Buang Sengketa menghantamkan senjata di
tangannya. Creees!
"Uaarrkgh...!" terdengar jeritan melengking
tinggi pada saat pusaka Golok Buntung menghan-
tam pangkal leher Tua Duka Tongkat Naga. Tidak
terhindari lagi tubuh Tua Duka tersungkur roboh
dengan darah membasahi sekujur tubuhnya.
"Hmm...!" Buang Sengketa menggumam ti-
dak jelas sambil memandangi mayat lawannya
yang tergeletak tidak begitu jauh darinya.
***
TUJUH
Sosok bayangan berpakaian serta berkeru-
dung hijau itu terus berlari-lari bagai di kejar se-
tan. Tanpa disengaja semakin jauh ia berlari, lang-
kah kakinya menyeret dirinya ke daerah pinggiran
lembah Tapis Angin. Bayangan berkerudung hijau
ini baru menghentikan larinya ketika di depannya
mengangga sebuah lembah yang cukup dalam. Se-
bentar ia menoleh ke arah belakang, ia tidak meli-
hat sesuatu yang mencurigakan di sana.
"Lembah Tapis Angin adalah tempat kedia-
man Iblis Tengkorak Hitam. Ahh, jika aku sampai
bertemu dengan manusia yang satu itu apalagi ji-
ka ia sempat melihat Patung Kematian berada di
tanganku. Urusan pasti semakin bertambah ru-
nyam. Tapi jika aku berbalik langkah, bukan mus-
tahil pemuda berpakaian kulit harimau itu akan
bertemu denganku. Tapi rasanya aku tidak mem-
punyai pilihan lain. Mana mungkin aku sanggup
menerobos semak belukar di depan sana. Baiknya
aku mengambil jalan lain agar aku tidak bertemu
dengan siapapun." batin orang berkerudung hijau
ini sambil memutar langkah dan bermaksud berla-
ri kembali. Celakanya sebelum niatnya itu kesam-
paian, entah dari mana datangnya tahu-tahu di
depannya telah berdiri tiga orang laki-laki berju-
bah hitam. Dua orang diantaranya memakai to-
peng tengkorak. Sedangkan seorang lagi berwajah
bengis. "Eeh...!"
Orang berkerudung hijau ini bergerak mun-
dur sejauh tiga langkah. Sedangkan laki-laki ber-
jubah hitam bertampang bengis sekaligus meru-
pakan penguasa di lembah Tapis Angin nampak
menyeringai, sehingga membuat semakin angker
penampilannya.
"Hahaha! Pucuk dicinta ulam tiba." kata Ib-
lis Tengkorak Hitam dengan suara menggelegar.
"Kau pastilah Tokoh Misterius yang menggempar-
kan itu. Hemm. Sedangkan bungkusan itu mung-
kin saja merupakan Patung Kematian yang kuim-
pi-impikan. Yang membuat hatiku senang, justru
karena Tokoh Misterius merupakan seorang wanita." Iblis Tengkorak Hitam kembali tertawa-tawa.
"Menyingkirlah, kau tidak akan sanggup
menghadapiku!" bentak Tokoh Misterius itu sambil
berkacak pinggang. Mendengar suaranya yang ke-
cil dan merdu. Sekarang Iblis Tengkorak Hitam
semakin bertambah yakin kalau orang yang berdiri
di hadapannya itu merupakan seorang wanita.
"Hmm. Suaramu merdu sekali, kau pastilah
seorang gadis cantik yang bersembunyi di balik ke-
rudungmu. Mengingat aku masih menghargaimu,
lebih baik kau serahkan Patung Kematian secara
baik-baik padaku. Siapa tahu aku berkenan men-
gangkatmu menjadi seorang istri." ujar laki-laki
berjubah hitam ini dengan sesungging senyum pe-
nuh kelicikan. Andai saja Tokoh Misterius itu tidak
memakai kerudung. Tentu Iblis Tengkorak Hitam
dapat melihat betapa orang yang dihadapinya
nampak berubah memerah parasnya.
"Kau akan mati sia-sia karena kelancangan
mulutmu itu, Iblis Tengkorak Hitam!" bentak pe-
rempuan berkerudung hijau ini tanpa maksud
mengancam.
"Apa? Mati secara sia-sia? Tentu saja aku
rela jika aku mati di dalam pelukanmu." ejek pen-
guasa lembah Tapis Angin itu sambil bergerak
mendekati Tokoh Misterius.
"Berhenti...!"
"Aku tidak akan berhenti, terkecuali kau
menyerahkan patung itu berikut dirimu." jawab Ib-
lis Tengkorak Hitam sambil tersenyum sinis.
Mendengar kata-kata yang bernada sebuah
penghinaan ini. Si Tokoh Misterius sudah tidak
dapat lagi menahan kemarahannya.
"Hiyaaa...!"
Perempuan berkerudung hijau yang merasa
tidak ada pilihan lain lagi, pada saat itu juga me-
nerjang Iblis Tengkorak Hitam. Gerakan Tokoh
Misterius ini cepat dan tidak dapat di duga-duga.
Membuat penguasa lembah Tapis Angin terperan-
jat kaget. Dan sebelum Iblis Tengkorak Hitam me-
nyadari apa yang dilakukan oleh perempuan itu.
Tiba-tiba saja ia telah menghantamkan telapak
tangannya ke arah Iblis Tengkorak Hitam dan dua
orang pembantunya. Desiran halus segera mener-
pa ke arah laki-laki berjubah hitam ini, namun ia
segera melompat ke samping menghindari seran-
gan paku-paku beracun yang dikibaskan oleh la-
wannya. Dua orang pembantu Iblis Tengkorak Hi-
tam yang tidak sempat menyelamatkan diri langs-
ing terpelanting roboh sambil melolong tinggi. Tu-
buh dua orang pembantu yang mengenakan to-
peng tengkorak itu langsung berubah menghitam
ketika paku-paku beracun itu menembus tubuh
mereka Iblis Tengkorak Hitam menjadi terkejut se-
tengah mati melihat kecepatan gerak perempuan
berkerudung hijau ini.
"Setan keparaat! Kau telah membunuh
pembantuku...!" desis Iblis Tengkorak Hitam.
"Silahkan kau cari pembantu lain di Nera-
ka...!" sambut Tokoh Misterius sambil menerjang
ke arah lawannya yang nampak sangat marah ka-
rena kematian dua orang pembantunya.
"Haaa!"
Diiringi teriakan melengking tinggi. Iblis
Tengkorak Hitam segera menghindari terjangan
lawan sambil melancarkan serangan balasan yang
berupa pukulan jarak jauh yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Angin
keras menderu ketika Iblis Tengkorak Hitam me-
lontarkan pukulannya ke arah depan. Merasakan
datangnya serangan balasan yang menebarkan
hawa dingin luar biasa. Dengan cepat sekali pe-
rempuan berkerudung serta berpakaian hijau ini
segera menarik balik serangannya. Sebagai gan-
tinya ia mengebutkan lengan bajunya yang pan-
jang dan longgar. Maka begitu bagian baju itu
mengibas. Dari balik baju itu menderu hawa yang
sangat aneh. Dengan telak hawa panas aneh itu
menghantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan
oleh Iblis Tengkorak Hitam. Wuus!
Blaam! Bledeer!
Terdengar dua kali ledakan berturut-turut
sehingga membuat tanah yang mereka pijak bagai
dilanda selaksa gempa. Iblis Tengkorak Hitam ter-
getar tubuhnya. Sedangkan perempuan berkeru-
dung hijau itu setelah berlompatan dengan gera-
kan-gerakan yang sangat indah, segera menjejak-
kan kakinya kembali di atas rerumputan tidak
jauh dari tempat lawannya berdiri.
"Hem. Rupanya si Tokoh Misterius bukan-
lah nama kosong. Tapi jangan merasa menang du-
lu. Karena apa yang baru saja kau lihat hanyalah
sebuah permulaan saja." geram Iblis Tengkorak Hi-
tam sambil meludah beberapa kali.
"Jangan banyak mulut! Terimalah!" sebelum
teriakan perempuan berkerudung hijau ini lenyap
sama sekali. Pada saat itu juga tiba-tiba tubuhnya
berkelebat cepat. Semakin lama gerakannya sema-
kin bertambah cepat laksana kilat, sehingga dalam
waktu sebentar saja tubuhnya telah lenyap, se-
hingga hanya tinggal merupakan sambaran-
sambaran angin yang sangat deras menerpa tubuh
Iblis Tengkorak Hitam.
"Keparaat!" maki Iblis Tengkorak Hitam me-
rasa dipermainkan oleh lawannya. Tiba-tiba ia
menghentakkan tangannya secara membabi buta.
Detik itu juga dari telapak tangannya menderu an-
gin kencang yang menebarkan hawa panas tiada
tertahankan. Pukulan maut itu dihantamkan oleh
Iblis Tengkorak Hitam ke delapan penjuru mata
angin. Jelas salah satu pukulan yang dilepaskan
secara untung-untungan ini menghantam lawan-
nya. Brees!
Terdengar pekikkan tertahan disertai ter-
pentalnya sesosok tubuh ramping perempuan itu.
Melihat pukulannya berhasil mengenai sasaran.
Iblis Tengkorak Hitam langsung tertawa tergelak-
gelak. Di luar sepengetahuannya, perempuan ke-
rudung hijau yang sedang tertatih-tatih untuk
bangkit kembali dengan kecepatan laksana kilat
mengibaskan tangannya.
Weer!
"Iih...!"
Gerakan yang tiada di duga-duga ini tentu
sangat mengejutkan lawannya. Sehingga membuat
Iblis Tengkorak Hitam menghentikan tawanya tiba-
tiba. Dalam keadaan terperanjat itu ia berusaha
menghindari serangan senjata rahasia paku beracun dengan memutar kedua tangannya memben-
tuk perisai diri.
Wuts!
"Uaah...!"
Beberapa paku beracun berhasil diruntuh-
kan oleh Iblis Tengkorak Hitam. Namun dua dian-
taranya tidak dapat dihindarinya lagi. Laki-laki
berwajah menyeramkan ini terhuyung-huyung be-
berapa tindak ke belakang. Dengan cepat ia men-
cabut paku beracun yang menancap di bagian pa-
ha dan pergelangan tangannya. Setelah itu dengan
cepat pula ia menotok jalan darah di sekitar luka
untuk mencegah agar racun tidak cepat menjalar
ke sekujur tubuhnya.
"Sebentar lagi kau pasti segera menyusul
dua orang pembantumu, Tengkorak Hitam." den-
gus perempuan berkerudung hijau ini sambil me-
lancarkan pukulan susulan.
"Sekarang kau boleh tertawa. Tapi sebentar
lagi kau akan kubuat menangis dan minta ampun
padaku." teriak Iblis Tengkorak Hitam sambil me-
rangkapkan kedua tangannya di atas bagian kepa-
lanya. Tidak lama kemudian kedua tangan yang
telah menyatu di atas kepala itu telah mengepul-
kan asap putih. Tubuh Iblis Tengkorak Hitam ber-
getar hebat, keringat mengalir deras di sekujur tu-
buhnya. Tapi rupanya perempuan kerudung hijau
ini sadar betapa lawan sekarang telah mengerah-
kan pukulan Racun Pembebas Sukma yang per-
nah dia dengar akan kehebatannya. Meskipun To-
koh Misterius ini sempat terkejut. Namun sedetik
kemudian ia telah pula mengerahkan pukulan
yang sangat diandalkannya. Dalam waktu yang
bersamaan...
"Hiyaa! Hiyaa!"
Buuum!
Dengan cepat kedua pukulan berisi dua te-
naga sakti itu saling menyambut. Iblis Tengkorak
Hitam tidak bergeming di tempatnya. Tetapi di pi-
hak perempuan berkerudung hijau nampak jatuh
terduduk. Ia merasakan tulang belulangnya re-
muk. Tubuhnya meskipun tidak mengalami luka
dalam, namun lemas tiada bertenaga.
Pabila ia mencoba menggerakkan kaki dan
tangannya. Maka tangan dan kakinya terasa kaku.
Pucat wajah Tokoh Misterius itu seketika. Bukan
main gembiranya Iblis Tengkorak Hitam melihat
lawannya tidak berdaya sama sekali.
"Hahaha! Mimpi apa aku semalam. Hari ini
aku mendapatkan keuntungan yang cukup besar.
Patung Kematian berhasil kumiliki, lebih dari itu
hari ini aku juga akan melihat betapa cantiknya
wajah si Tokoh Misterius yang telah menghadiah-
kan Patung Kematian itu padaku...!"
Iblis Tengkorak Hitam kemudian berjalan
lambat menghampiri Patung Kematian yang terge-
letak tidak jauh dari tempat perempuan berkeru-
dung hijau itu. Setelah memungut patung itu se-
bentar, laki-laki berjubah hitam itu mengamati
bungkusan itu sebentar. Kemudian ia menggu-
mam...
"Tepat seperti dugaanku, Patung Kematian
mengandung racun yang sangat keji. Aku tidak bo-
leh membukanya di sini. Hahaha, lebih baik ku
buka kerudung yang menutupi wajah Tokoh Miste-
rius."
Walaupun kata-kata yang diucapkan oleh
Iblis Tengkorak Hitam hanya lirih saja, namun se-
bagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, pe-
rempuan berkerudung itu dapat menangkap kata-
kata yang diucapkan lawannya. Celakanya hingga
sampai saat itu ia masih belum mampu mengge-
rakkan tubuhnya sama sekali. Sehingga mem-
buatnya merasa takut setengah mati.
"Kurang ajar! Jangan kau dekati aku." ben-
tak perempuan berkerudung hijau tanpa mampu
beringsut dari tempatnya.
"Jangan takut! Aku hanya akan memberi
kesenangan padamu!" kata Iblis Tengkorak Hitam.
Kemudian setelah ia berada di samping Tokoh Mis-
terius yang sudah tidak mampu berbuat sesuatu
karena pukulan beracun Pembebas Sukma yang
menghantam tubuhnya. Selanjutnya tanpa berkata
apa-apa lagi, laki-laki berjubah hitam ini mereng-
gut kerudung yang menutupi wajahnya.
"Ahh...!"
Iblis Tengkorak Hitam terpekik kaget. Di
luar dugaannya rupanya perempuan bersuara
merdu itu meskipun berusia sangat muda namun
wajahnya jelek tidak ketulungan.
"Hihihi! Apakah setelah melihat wajahku,
engkau masih tertarik untuk mempermainkan
aku." kata Tokoh Misterius sambil tersenyum
mencibir.
"Sekarang aku sedang berpikir-pikir!" den-
gus laki-laki berjubah hitam ini dengan pandangan
tajam menusuk.
"Keparaat! Bebaskan aku dari racun Pem-
bebas Sukma, setelah itu kita bertarung sampai
salah seorang diantara kita menemui ajal." teriak
perempuan berwajah buruk itu dengan sikap me-
nantang. Tapi Iblis Tengkorak Hitam membalasnya
dengan senyum rawan.
"Meskipun wajahmu jelek. Dari pada kita
harus bertarung mati-matian. Alangkah lebih baik
lagi kalau kita bersenang-senang saja."
Sesaat setelah itu laki-laki berjubah hitam
ini di luar dugaan segera mencabik-cabik pakaian
Tokoh Misterius. Dan sinar matanya berubah liar
dan jalang ketika ia melihat sesuatu yang sangat
jarang di lihatnya. "Auu, lepaskan...!"
Tokoh Misterius berusaha meronta, ketika
jemari tangan yang kokoh itu menyentuh kedua
bukit yang ternyata sangat indah. Perempuan itu
semakin berteriak-teriak histeris dan menggelin-
jang saat tangan-tangan yang kokoh itu terus me-
luncur ke arah bagian perutnya.
Breet! Breet!
Tokoh Misterius berteriak-teriak dengan su-
aranya yang semakin parau ketika Iblis Tengkorak
Hitam melemparkan kain penutup tubuhnya yang
terakhir. Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi. La-
ki-laki berjubah hitam inipun segera pula menang-
galkan jubahnya.
Detik-detik selanjutnya hanyalah dengus
suara nafas yang tidak beraturan. Si Tokoh Miste-
rius, hanya mampu merintih sedih dan putus asa
ketika Iblis Tengkorak Hitam menindih tubuhnya.
Saat laki-laki berjubah hitam ini melampiaskan
nafsu iblisnya. Mendadak terdengar suara benta-
kan-bentakan yang disertai dengan derap langkah
kaki kuda mendekat ke arahnya.
"Keparaat. Setan mana lagi yang berani
mengganggu pekerjaanku." geram Iblis Tengkorak
Hitam. Dengan sikap tergesa-gesa ia segera men-
genakan pakaiannya kembali yang berserakan.
Sementara dibiarkannya Tokoh Misterius yang da-
lam keadaan terlentang tanpa sehelai lembar be-
nangpun.
"Kalian memang pasangan iblis yang tidak
mempunyai rasa malu sedikitpun...!" bentak salah
seorang penunggang kuda yang tidak lain adalah
ketua perguruan Teratai Putih bersama sepuluh
orang muridnya.
"Bangsat ini hendak memperkosaku orang
tua, untung kau cepat datang." sambut Tokoh Mis-
terius sambil berusaha menggapai pakaiannya
yang terobek di beberapa bagian. Sebentar Wiku
Swanda menoleh ke arah perempuan yang dalam
keadaan setengah membugil itu. Dan matanya
menjadi terbelalak ketika melihat perempuan ber-
wajah buruk itu.
"Kau mengenaliku, orangtua!" ucap perem-
puan yang sedang dalam keadaan tidak berdaya
itu, dingin menusuk.
"Kau... kau, Tokoh Misterius yang telah
membunuh beberapa orang muridku?" tanya Wiku
Swanda dengan suara bergetar.
Perempuan itu kembali tersenyum, se-
sungging senyum yang hanya diketahui maknanya
oleh Wiku Swanda.
"Baiklah, aku punya persoalan tersendiri
padamu, tapi saat sekarang ini aku merasa perlu
membereskan manusia yang satu ini."
Wiku Swanda berpaling pada Iblis Tengko-
rak Hitam, tidak begitu lama perhatiannya segera
terpaku pada bungkusan kain sutera merah di
tangan laki-laki berjubah hitam ini.
"Benda yang terbungkus kain sutera merah
itu pastilah Patung Kematian milikku. Sekarang
cepat kau serahkan padaku, Iblis Tengkorak Hi-
tam!" perintah Wiku Swanda dengan suara me-
lengking tinggi. Laki-laki berjubah hitam ini terse-
nyum mencibir.
"Tidak perduli Patung Kematian milik siapa.
Tetapi apabila telah terjatuh ke tanganku. Maka
tidak seorangpun yang akan kubiarkan merebut-
nya."
"Kurang ajar! Ringkus dan bunuh penghuni
lembah Tapis Angin itu...!" teriak Wiku Swanda
memberi perintah pada sepuluh orang muridnya.
Secara serentak murid-murid perguruan Teratai
Putih berlompatan dari atas punggung kuda mas-
ing-masing. Dengan cepat pula mereka segera me-
nyerang Iblis Tengkorak Hitam dengan pedang ter-
hunus. Laki-laki berjubah hitam ini menyambut
serangan sepuluh orang murid perguruan Teratai
Putih dengan tawanya yang tinggi melengking,
membuat sakit gendang-gendang telinga.
"Shaa!"
Sepuluh mata pedang menderu deras ke
arah Iblis Tengkorak Hitam. Penguasa lembah Tapis Angin ini tanpa sungkan-sungkan lagi melon-
tarkan pukulan deras ke arah lawan-lawannya.
Cepat sekali serangan ganas yang dilakukan oleh
laki-laki berjubah hitam ini sehingga membuat
dua orang murid Wiku Swanda sudah tidak sem-
pat mengelak lagi.
Wuss!
Blaaar!
"Aaah...!"
Begitu terhantam pukulan yang menebar-
kan dingin beracun itu, maka dua orang murid
Wiku Swanda nampak terpelanting roboh dengan
tubuh berubah membiru dan darah menyembur
dari mulut mereka. Melibat muridnya terkapar
tanpa mampu bergerak-gerak lagi. Ketua pergu-
ruan Teratai Putih ini menjadi sangat marah seka-
li. Dengan perasaan geram, diterjangnya Iblis
Tengkorak Hitam dengan serangan gencar yang
mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
"Bagus. Guru dan murid ingin mencari mati
bersama-sama." dengus laki-laki berjubah hitam
sambil melentingkan tubuhnya ke udara untuk
membebaskan diri dari kepungan lawan-lawannya.
Sementara itu Tokoh Misterius yang sedang
berusaha mengembalikan tenaga dalamnya yang
sempat punah karena serangan laki-laki berjubah
hitam itu nampak terus memperhatikan ke tempat
terjadinya pertempuran. Di hatinya ia sama-sama
membenci kedua belah pihak yang sedang terlibat
pertempuran sengit itu. Kepada Iblis Tengkorak Hi-
tam ia benci bahkan ingin membunuh laki-laki
berjubah hitam ini karena hampir saja berhasil
memperkosanya. Hal ini merupakan satu kejaha-
tan yang tidak dapat dimaafkannya. Sebaliknya
dengan Wiku Swanda. Hmm, dendamnya setinggi
langit dan sebanyak buih di lautan.
Masih terbayang dalam ingatannya peristi-
wa tujuh tahun yang lalu di Bukit Kematian. Wak-
tu itu malam dalam keadaan gelap gulita dan da-
lam suasana hujan lebat pula ketika datang seo-
rang laki-laki ke tempat tinggal Nyai Mawar Merah.
Laki-laki itu dikenal sebagai adik kandung gu-
runya. Kedatangan laki-laki yang saat itu masih
merupakan tokoh persilatan aliran hitam merupa-
kan kejadian buruk yang tidak dapat dilupakan-
nya. Kepada Nyai Mawar Merah, laki-laki berumur
enam puluhan itu secara langsung menyatakan
keinginannya untuk meminta Patung Kematian
yang selama berpuluh-puluh tahun tersimpan di
sebuah tempat yang aman.
Sebagai seorang kakak yang paham betul
akan sifat adiknya yang ugal-ugalan itu. Tentu sa-
ja Nyai Mawar Merah yang merupakan guru si ga-
dis tidak memberikan benda itu padanya. Rupanya
laki-laki yang seusia hampir sama dengan gurunya
itu tidak mau terima begitu saja. Ia tetap ngotot
ingin memiliki benda berharga peninggalan almar-
hum orangtua mereka yang berjuluk Sepasang Pe-
dang Kembar. Perselisihan pendapat itu rupanya
terus berlanjut dengan adu pedang dan kekerasan.
Dalam keadaan hujan lebat dan gelap gulita. Per-
tempuran sengit antara adik dan kakak ini terjadi.
Si murid yang saat itu baru berumur belasan ta-
hun ini hanya mampu memperhatikan pertempuran yang terjadi dengan perasaan khawatir tanpa
mampu berbuat apa-apa.
Dalam pertempuran sengit yang berlang-
sung puluhan jurus itu sebenarnya Nyai Mawar
Merah masih unggul dalam hal segala-galanya.
Hanya saja ia terlalu memberi hati kepada adik
kandungnya itu. Keadaan seperti itu sudah jelas
dimanfaatkan oleh sang adik untuk mendesak ka-
kaknya. Akhirnya dengan cara yang amat licik, la-
ki-laki itu berhasil menjatuhkan Nyai Mawar Me-
rah. Perempuan yang menjadi guru si gadis itu te-
was dengan bagian punggung tertembus pedang.
Sebagai seorang murid kematian gurunya tentu
merupakan satu pukulan yang sangat berat. Apa-
lagi hal seperti itu terjadi di depan matanya. Sam-
bil berteriak-teriak histeris, ia berlari-lari menda-
patkan gurunya yang telah terkapar menjadi
mayat. Di luar dugaannya, setelah tidak berhasil
menemukan Patung Kematian di dalam rumah
tinggal Nyai Mawar Merah. Laki-laki itu keluar lagi,
kemudian menyeret gadis belasan tahun yang ber-
nama 'Wulan Angraeni' untuk menunjukkan tem-
pat penyimpanan Patung Kematian. Gadis itu be-
rontak bahkan melakukan perlawanan yang sen-
git. Namun sampai sejauh mana kepandaian yang
dimiliki oleh Wulan saat itu. Dalam pertarungan
mencapai belasan jurus ia telah kena ditotok oleh
laki-laki berusia enam puluhan. Ketika Wulan An-
graeni masih saja tetap menolak menunjukkan
tempat penyimpanan Patung Kematian. Tanpa
mengenal rasa kemanusiaan sedikitpun, laki-laki
itu terus menyiksanya dengan cara-cara penyiksaan yang amat kejam. Bahkan ketika sampai kee-
sokan harinya Wulan Angraeni masih juga tidak
mau membuka mulut. Laki-laki itu dengan cara
yang sangat pengecut menyeret gadis belasan ta-
hun ini dengan beberapa ekor kuda. Sehingga wa-
jah gadis cantik itu mengalami luka-luka yang
sangat mengerikan. Tidak dapat menahan siksaan
yang begitu rupa akhirnya dengan sangat terpaksa
menunjukkan tempat penyimpanan Patung Kema-
tian. Setelah mendapatkan patung itu, laki-laki te-
lenggas itu kemudian meninggalkan Wulan begitu
saja. Bukan main marahnya gadis yang terluka
parah pada bagian wajahnya ini menyaksikan se-
pak terjang orang yang bernama Wiku Swanda itu.
Bahkan ia telah bersumpah di depan kubur gu-
runya. Ia akan membunuh Wiku Swanda di samp-
ing mendapatkan Patung Kematian yang telah di-
larikan oleh laki-laki itu.
Sejak peristiwa yang menghancurkan kehi-
dupannya itu, Wulan Angraeni semakin tekun
memperdalam ilmu olah kanuragan melalui kitab-
kitab peninggalan gurunya. Hingga kemudian
sampailah berita kepadanya bahwa musuh besar-
nya telah mendirikan sebuah perguruan silat ali-
ran putih di daerah Bayur Kemuning.
"Hmm. Betapa sangat liciknya manusia
yang satu ini. Ia menyembunyikan segala kebu-
sukkannya di balik topeng kebaikan yang ia ta-
warkan kepada orang lain." dengus Tokoh Miste-
rius yang ternyata merupakan pemilik Patung Ke-
matian yang sah.
"Aku harus dapat mengembalikan kekua
tanku dalam waktu yang tepat. Sehingga aku da-
pat menghadapi siapapun diantara mereka yang
keluar menjadi pemenang...!" kata Wulan sambil
memejamkan matanya.
Sementara itu di tempat terjadinya pertem-
puran, terlihat beberapa orang murid Wiku Swan-
da sudah tergeletak tanpa nyawa lagi. Bahkan ti-
dak kepalang tanggung, tindakan yang dilakukan
Iblis Tengkorak Hitam ini. Ia kelihatan semakin
memperhebat serangannya. Setiap tendangan kilat
yang dilakukannya maupun pukulan-pukulan
yang dilepaskannya selalu meminta korban di pi-
hak Wiku Swanda. Sehingga dalam gebrakan-
gebrakan selanjutnya tidak seorangpun murid per-
guruan Teratai Putih yang tersisa. Semuanya habis
terbantai di tangan Iblis Tengkorak Hitam secara
menyedihkan.
"Hemm. Adakah niat di hatimu untuk tetap
bersikeras memiliki benda ini, Wiku?" tanya Iblis
Tengkorak Hitam dengan sesungging senyum
mengejek.
"Kurang ajar. Selain telah merampas Patung
Kematian dari tanganku. Engkau juga telah mem-
bunuh seluruh muridku. Aku akan mengadu jiwa
denganmu." teriak Wiku Swanda.
Lalu dengan sekali lompatan Wiku Swanda
telah mencabut pedang dari rangkanya. Pedang di
tangan ketua perguruan Teratai Putih itu menderu
dan menimbulkan angin yang sangat dingin luar
biasa. Setiap tebasan pedang yang dilakukan oleh
Wiku Swanda, pasti menimbulkan hawa dingin
yang membuat nyeri kulit lawannya. Dapat di
bayangkan betapa beracunnya pedang di tangan
Wiku Swanda ini. Iblis Tengkorak Hitam tersentak
kaget ketika merasakan betapa berbahayanya sen-
jata di tangan lawannya. Bahkan ia merasa sejak
lawan mempergunakan senjatanya. Setiap seran-
gan yang dilancarkan oleh laki-laki berjubah hitam
ini selalu dapat dimentahkan oleh Wiku Swanda.
Sekarang sadarlah Iblis Tengkorak Hitam ini, be-
tapa lawannya menjadi sangat hebat setelah pe-
dang berwarna hitam itu berada di tangannya.
***
DELAPAN
Untuk pertama kalinya dalam menghadapi
Wiku Swanda, laki-laki berjubah hitam ini me-
rangkapkan kedua tangannya di atas kepala. Tapi
Wiku Swanda yang sudah melihat akibat dari pu-
kulan yang akan dilepaskan oleh Iblis Tengkorak
Hitam sudah tidak memberinya kesempatan untuk
melepaskan pukulan maut itu. "Hiyaa...!"
Dengan senjata terhunus, Wiku Swanda
menerjang lawannya dengan gerakan yang sangat
cepat luar biasa. Sehingga Iblis Tengkorak Hitam
gagal melepaskan pukulannya. Sebagai kelanju-
tannya ia terpaksa melompat ke samping kiri sam-
bil merundukkan kepalanya. Serangan itu luput,
namun Wiku Swanda kembali memutar pedangnya
menyusul gerakan lawannya yang terus berguling-
guling menghindari senjata di tangan ketua perguruan Teratai Putih itu. Tidak ada lagi yang dapat
dilakukan oleh Iblis Tengkorak Hitam dalam
menghadapi serangan yang datangnya bertubi-tubi
ini, terkecuali menyambut serangan lawan yang
datangnya bertubi-tubi ini. Setelah berhasil meng-
hindari serangan ganas tadi, laki-laki berjubah hi-
tam ini bagaikan kilat memutar tubuhnya. Kemu-
dian melakukan tendangan kilat ke bagian kaki
Wiku Swanda. Namun lebih cepat lagi lawan telah
mengibaskan pedangnya ke arah bawah. Sambil
mengumpat geram, Iblis Tengkorak Hitam menarik
balik serangannya yang berhasil di mentahkan
oleh Wiku Swanda. Namun begitu serangan ka-
kinya luput. Ia telah melontarkan pukulannya ke
arah bagian wajah lawannya.
Wuts!
Wiku Swanda yang merasakan adanya desi-
ran halus dari arah depannya segera memutar pe-
dang di tangannya dengan gerakan yang sangat
cepat luar biasa.
Bress!
"Uhh...!"
Tubuh Iblis Tengkorak Hitam sempat ter-
huyung-huyung tiga tindak ke belakang ketika pu-
kulan yang dilepaskannya membentur senjata la-
wannya. Bukan main marahnya laki-laki berwajah
angker ini ketika melihat pukulan maupun ten-
dangan kilat yang dilakukannya selalu saja berha-
sil dihalau oleh lawannya.
"Setan keparaat! Rupanya dengan pedang di
tanganmu itu kau berubah menjadi tangguh. Buih.
Tapi jangan bangga dulu, sama sekali aku belum
merasa kalah...!" dengus Iblis Tengkorak Hitam di
sela-sela kemarahan dan rasa putus asa yang
mendalam.
"Kalau kau masih mempunyai ilmu simpa-
nan. Cepat kau keluarkan semuanya sebelum ke-
buru mampus!" kata Wiku Swanda seolah membe-
ri kesempatan pada laki-laki berjubah hitam ini
untuk mengeluarkan semua kepandaian yang di-
milikinya.
Di luar dugaan, tiba-tiba saja Iblis Tengko-
rak Hitam mencabut sebuah seruling dari balik ju-
bahnya. Dengan cepat ia segera meniup seruling
itu sehingga menimbulkan bunyi yang tidak bera-
turan. Sebelum Wiku Swanda menyadari apa yang
terjadi, tiba-tiba belasan muridnya yang menggele-
tak menjadi mayat, nampak bergerak-gerak bang-
kit kembali. Iblis Tengkorak Hitam terus meniup
seruling di tangannya, dan anehnya mayat-mayat
murid perguruan Teratai Putih itu seperti diko-
mando segera bergerak mengepung Wiku Swanda.
"Orangtua musuh bebuyutanku. Awas di
belakangmu!" teriak Wulan Angraeni yang saat itu
telah dapat memulihkan tenaga dalamnya mempe-
ringatkan. Rupanya gadis berwajah buruk ini tidak
rela jika orang yang telah membunuh gurunya ser-
ta melarikan Patung Kematian ini sampai tewas di
tangan Iblis Tengkorak Hitam.
* * *
"Seruling Iblis!" desis ketua perguruan Tera-
tai Putih sambil memutar pedangnya membabat
mayat-mayat muridnya yang bergerak mengikuti
irama seruling di tangan Iblis Tengkorak Hitam.
Marah bukan main Wiku Swanda melihat ulah la-
ki-laki berjubah hitam ini, walau bagaimanapun
mayat-mayat yang bergerak menyerangnya itu ma-
sih merupakan muridnya sendiri. Yang pernah hi-
dup bersamanya selama beberapa tahun. Tapi
mengingat keselamatan dirinya sendiri. Akhirnya
hilanglah kesabaran di hati laki-laki berusia tujuh
puluhan ini. Tanpa berpikir panjang lagi ia men-
gayungkan pedangnya yang sangat berbisa itu ke
segala penjuru arah. Beberapa mayat langsung
bergelimpangan roboh. Tubuh mereka terpotong-
potong menjadi beberapa bagian. Bahkan kepala
mereka pun ada yang menggelinding.
"Hiyaa...!"
Wiku Swanda segera melesat setelah meli-
hat mayat-mayat bergentayangan itu berusaha
bangkit sekali lagi. Luar biasa cepatnya gerakan
laki-laki tua itu sehingga Iblis Tengkorak Hitam
yang sedang berusaha membangkitkan mayat-
mayat lainnya tidak memperhatikan gerakan sen-
jata lawan yang menderu deras ke arahnya. Ketika
laki-laki berjubah hitam itu merasakan adanya de-
siran halus ke arahnya. Ia hanya mampu terpe-
rangah tapi masih sempat menggerakkan seruling
di tangannya dengan satu sentakan yang kuat. Se-
ruling di tangan Iblis Tengkorak Hitam terbabat
putus menjadi beberapa bagian. Namun pedang di
tangan Wiku Swanda tanpa mengenal ampun te-
rus menderu ke arah lawannya, akibatnya...
Bet! Jrees!
"Wuakgh...!"
Iblis Tengkorak Hitam menjerit setinggi lan-
git saat pedang di tangan Wiku Swanda menghan-
tam kepala laki-laki itu. Tubuh Iblis Tengkorak Hi-
tam jatuh tersungkur. Tubuhnya berkelojotan se-
bentar, kemudian terdiam untuk selama-lamanya,
mati. Sekejap saja ketua perguruan Teratai Putih
itu memandangi mayat lawannya yang memiliki
ilmu luar biasa. Tidak lama setelah itu ia segera
memungut bungkusan yang berisi Patung Kema-
tian yang tergeletak tidak jauh dari mayat Iblis
Tengkorak Hitam.
"Tinggalkan Patung Kematian itu, Wiku ke-
paraat...!" terdengar bentakan nyaring.
"Ehh," Wiku Swanda segera berpaling, keti-
ka teringat gadis yang dalam keadaan tidak ber-
daya tadi. Tapi ia menjadi terkejut ketika melihat
gadis berwajah buruk itu telah berdiri sambil ber-
tolak pinggang tidak begitu jauh darinya.
"Kau muridnya Nyai Mawar Merah." desis-
nya bagai melihat hantu di siang hari.
Tanpa berkata apa-apa gadis itu tersenyum
menggidikkan. Tatapan matanya menyimpan seri-
bu dendam atas perlakuan yang pernah dirasa-
kannya dari Wiku Swanda beberapa tahun yang
lalu.
"Kau memang manusia licik, Wiku. Kau bu-
nuh kakak kandungmu sendiri, kemudian kau ru-
sak wajah muridnya. Sehingga ia tidak memiliki
arti hidup sama sekali. Semua kekejianmu kau la-
kukan tanpa perasaan sama sekali, hanya semata-
mata karena Patung Kematian itu. Sayangnya
hanya aku sendiri yang mengetahui tentang kelici-
kanmu itu. Kini kau berlindung dengan kedok ke-
baikan yang kau lakukan di dalam lingkunganmu.
Kau memang terlalu rapi membuang jejak, Wiku
keparaat... tapi kau tidak akan pernah mampu
menghilangkan bekas-bekas luka yang membuat
wajahku menjadi buruk rupa. Ah... sayang! Sayang
sekali Pendekar Hina Kelana tidak pernah menya-
dari kalau dirinya kau peralat." bentak Wulan An-
graeni dengan pandangan dingin tajam menusuk.
Tetapi Wiku Swanda menanggapinya den-
gan tawa bergelak-gelak. Dengan tidak kalah sen-
gitnya ia memperhatikan Wulan Angraeni. Sinar
matanya yang biasanya lembut dan memancarkan
kewibawaan, sekarang sirna sama sekali. Tata-
pannya liar dan mengandung maksud licik.
"Selamanya Pendekar Hina Kelana memang
tidak pernah mengetahuinya, Tokoh Misterius. Ka-
rena kau satu-satunya orang yang mengetahui
duduk persoalan yang sebenarnya, sebentar lagi
kau akan mati di tanganku." bentak Wiku Swanda
berubah beringas. Sebenarnya pada saat gadis
berwajah buruk itu menyebut gelar pemuda yang
bernama Buang itu. Wiku Swanda merasa terkejut
juga, sebab ia sendiri sama sekali tidak menyang-
ka kalau pemuda berpakaian kulit harimau yang
telah berjanji untuk membantunya dalam mene-
mukan Patung Kematian itu ternyata seorang pen-
dekar rimba persilatan yang memiliki julukan Pen-
dekar Hina Kelana.
Apa yang ditakutkan oleh Wiku Swanda
adalah bagaimana seandainya nanti Buang mengetahui siapa dirinya yang sesungguhnya. Ia berpikir
jalan satu-satunya untuk melenyapkan bukti
bahwa Patung Kematian sebenarnya bukanlah mi-
liknya yang sah. Wiku Swanda harus membunuh
Wulan Angraeni, karena gadis itulah satu-satunya
saksi hidup yang sewaktu-waktu dapat membong-
kar kedoknya. Itulah sebabnya tanpa berpikir pan-
jang lagi ia segera menghunus pedangnya untuk
menyingkirkan lawan yang satunya ini. Namun se-
belum niatnya itu kesampaian, tiba-tiba dari satu
arah berkelebat sosok bayangan begitu cepatnya
ke arah mereka. Tidak sampai sekedipan mata,
mendadak seorang pemuda berpakaian serba me-
rah telah berdiri tegak tidak begitu jauh dari kedua
orang itu. Bukan main terkejut hatinya, melihat
kehadiran Buang yang secara tiba-tiba itu.
Tapi hal yang sesungguhnya bukan secara
kebetulan Buang sampai di tempat itu. Karena se-
jak Iblis Tengkorak Hitam dan Wiku Swanda terli-
bat pertempuran. Pendekar Hina Kelana yang te-
rus mengikuti ke manapun Tokoh Misterius itu
melarikan diri, Buang terus bergerak mengikuti.
Dan pemuda ini baru menghentikan langkahnya
jika orang yang dikejarnya juga menghentikan la-
rinya. Pemuda berpakaian serba merah ini menjadi
tertegun ketika mendengar isak tangis Tokoh Mis-
terius yang menyebut-nyebut Wiku Swanda seba-
gai orang yang menyebabkan malapetaka di rimba
persilatan.
Bahkan di sela-sela isak tangisnya itu To-
koh Misterius itu menyatakan penyesalannya ka-
rena merasa tidak mampu menjaga rahasia tentang tempat disembunyikannya Patung Kematian.
Dari situlah Buang tertegun dan menjadi ragu
dengan segala apa yang pernah dikatakan oleh Wi-
ku Swanda kepadanya beberapa hari yang lalu.
Begitu pun ia tidak ingin melepas orang yang diin-
carnya. Ke manapun Tokoh Misterius itu pergi.
Dari jarak tertentu Buang terus mengikutinya.
Hingga akhirnya sampailah mereka di pinggiran
lembah Tapis Angin. Kini Pendekar Hina Kelana itu
memandang pada Wiku Swanda dengan tatapan
tiada berkedip sedikitpun.
"Wiku! Berkatalah jujur padaku. Benarkah
semua apa yang dikatakan oleh gadis itu...!" panc-
ing Buang seolah tidak mengerti duduk persoalan
yang sebenarnya.
"Mengapa kau harus percaya dengan semua
ucapannya, Buang!" Wiku Swanda balik bertanya.
"Perempuan muka buruk ini mencoba memutar
balikkan fakta. Kau jangan terpancing omongan-
nya." lanjut laki-laki berpakaian serba putih ini
dengan wajah berubah merah padam.
Mendengar kata-kata Wiku Swanda, Pende-
kar Hina Kelana ini tersenyum tipis. Sekarang je-
laslah sudah, bahwa orang yang dibelanya selama
ini ternyata tidak lebih dari pada manusia licik
yang tidak perlu di kasihani.
"Mengapa kau ingin membunuhnya, Wiku!
Mengapa...?" pertanyaan Buang yang tidak pernah
diduga oleh Wiku Swanda sama sekali membuat
laki-laki berumur tujuh puluhan ini semakin ber-
tambah kaget. Begitupun ia masih berusaha me-
nutupi kegelisahan jiwanya.
"Dia ingin merampas patung ini!" katanya
sambil mengangkat bungkusan yang dipegangnya
tinggi-tinggi.
Pendekar Hina Kelana terdiam. Meskipun
hatinya merasa geram sekali karena Wiku Swanda
ternyata masih terus berbohong kepadanya. Den-
gan sikap seolah tidak mengetahui duduk persoa-
lan sebenarnya ia berpaling pada gadis berwajah
buruk itu, kemudian...
"Benarkah apa yang dikatakan oleh orang
itu Nisanak?"
"Kau telah termakan bualannya, Pendekar
Hina Kelana. Aku bukan ingin merampas Patung
Kematian dari tangannya, karena sebenarnya pa-
tung itu ia dapatkan setelah membunuh kakak
kandungnya sendiri!" teriak gadis itu histeris. Se-
lanjutnya secara gamblang Wulan Angraeni men-
ceritakan segala sesuatunya kepada Buang dari
awal hingga akhir. Pendekar Hina Kelana yang se-
benarnya telah mengetahui segala sesuatunya ten-
tang Patung Kematian semakin bertambah marah.
Sekarang dengan pandangan tajam menusuk di-
perhatikannya laki-laki berusia tujuh puluhan itu.
"Ternyata kau seorang pembohong besar,
Wiku! Sangat menyesal sekali aku telah memban-
tumu. Sekarang, cepat kau serahkan Patung Ke-
matian pada gadis ini, Wiku! Karena hanya dialah
yang berhak mengembalikan patung itu ke tempat
asalnya." perintah Buang Sengketa.
"Hem. Kalian anak-anak ingusan coba-coba
memaksa aku?"
"Kalau kau tetap tidak mau mengembalikan
patung itu aku akan menempuh jalan kekerasan,
Wiku!" geram Buang merasa semakin tidak sabar
lagi.
"Keparaat! Demi Patung Kematian ini aku
rela mengadu jiwa denganmu, Pendekar Hina Ke-
lana." bentak Wiku Swanda sambil melintangkan
pedangnya di depan dada. Tentu saja tindakan ge-
gabah yang dilakukan oleh Wiku Swanda ini mem-
buat Pendekar Hina Kelana sudah tidak mampu
lagi membendung amarahnya. Apalagi selama ini
ia merasa ditipu mentah-mentah oleh ketua pergu-
ruan Teratai Putih ini.
"Manusia semacammu memang tidak pan-
tas di kasih hati Wiku keparat!"
"Heaa!"
Belum lagi Buang sempat menyelesaikan
ucapannya, tiba-tiba dengan senjata di tangannya
Wiku Swanda berteriak nyaring sambil melakukan
serangan-serangan ganas ke arah Buang Sengketa.
Dengan sikap waspada Buang menggeser kakinya
ke kanan beberapa tindak. Sambil memiringkan
tubuhnya dengan kepala merunduk. Serangan pe-
dang yang mengandung racun ganas ini menemui
sasaran yang kosong. Namun begitu serangan kilat
yang dilakukan, oleh Wiku Swanda menemui ke-
gagalan. Dengan cepat tubuhnya berbalik, kemu-
dian kembali melancarkan serangan dengan keku-
atan berlipat ganda. Buang yang merasa tidak
punya pilihan lain lagi. Seketika itu juga mener-
jang mendahului tusukan pedang yang dilakukan
lawannya. Dengan cepat ia melepaskan satu ten-
dangan telak ke arah tubuh Wiku Swanda.
Wust!
Diegkh!
"Uuh...!"
Mendapat serangan mendadak yang da-
tangnya lebih cepat dari tusukan pedang di tan-
gannya. Eyang Wiku Swanda sudah tidak sempat
mengelak lagi, sehingga dengan telak tendangan
itu menghantam dadanya. Bungkusan yang berada
dalam genggaman Wiku Swanda terpental ke arah
gadis berwajah jelek. Wiku Swanda yang menderita
luka dalam itu menjadi sangat marah sekali. Den-
gan cepat ia memburu Buang Sengketa. Tapi pada
saat itu juga Pendekar Hina Kelana yang sudah
merasa tertipu mentah-mentah ini sudah menca-
but senjata andalannya.
Nguuung!
Terasa menebarnya udara sedingin es di se-
kitar tempat itu, seberkas sinar merah menyala
bergulung-gulung mengurung Wiku Swanda. Laki-
laki berusia tujuh puluhan ini merasa terkejut bu-
kan main. Namun dia sudah tidak dapat berpikir
lebih jauh lagi. Dengan segenap tenaga yang dia
miliki, Wiku Swanda memapaki serangan golok
Buntung itu dengan pedang di tangannya.
"Hiaat! Ciaaat!"
Traaang! Traaang!
Pedang di tangan Wiku Swanda hancur ber-
keping-keping dilanda senjata di tangan Buang
Sengketa. Tidak sampai di situ saja. Golok itu te-
rus menderu menyambar bagian perut Wiku
Swanda. Laki- laki tua ini benar-benar sudah tidak
dapat berkelit lagi.
Nguung! Ngungg!
Craaas!
"Arrrgkh...!" terdengar jeritan melengking
tinggi disertai ambruknya tubuh Wiku Swanda.
Pada saat itu tubuh Wulan Angraeni berkelebat.
"Eh... jangan...!" teriak Buang Sengketa
bermaksud mencegah. Tapi Wulan Angraeni yang
sudah diliputi dendam itu tidak mengubris sama
sekali. Diayunkan pedangnya menghantam tubuh
Wiku Swanda. Hingga tubuh laki-laki itu tidak
berbentuk lagi.
Ketika Wulan selesai melampiaskan naf-
sunya dan menoleh ke arah Pendekar Hina Kelana.
Ia tidak melihat pemuda itu di sana. Dari kejauhan
sana ia mendengar suara seseorang yang terus
bergerak semakin menjauh.
"Maafkan aku, nona. Karena selama ini aku
telah membantu pihak yang salah." suara itu tidak
lain merupakan suara Pendekar Hina Kelana yang
disampaikan melalui ilmu mengirimkan suara.
Wulan Angraeni hanya menggelengkan kepalanya
sambil tertunduk lesu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar