..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 11 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE MISTERI NERAKA LEMBAH HALILINTAR

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE MISTERI NERAKA LEMBAH HALILINTAR

 MISTERI NERAKA LEMBAH

HALILINTAR

Oleh D. Affandy

Cetakan Pertama, 1991

Penerbit Mutiara, Jakarta

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis Dari Penerbit

Hak Cipta Ada Pada Penerbit Mutiara Jakarta

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 002:

Misteri Neraka Lembah Halilintar



SATU


Temaram mentari senja yang berwarna

kuning kemerah-merahan mulai membayangi

di ufuk Barat. Udara kemarau yang terasa

kering, berhembus enggan melintasi sebuah

kota kecil Mentoak yang kian hari kian sepi.

Mentoak yang kecil dan gersang itu kini

tak ubahnya bagai sebuah kota yang mati.

Hanya kadang-kadang saja kelihatan

beberapa gelintir manusia melintasi kota

yang selalu memberi kesan angker. Semua

dari mereka menuju ke satu arah, namun

seperti para pendahulunya mereka ini pun

tak pernah kembali, hilang raib tak tentu

rimbanya.

Sore itu serombongan pejalan kaki

kembali hadir di Mentoak. Mereka terdiri dari

lima laki-laki dan dua orang perempuan yang

masih sangat muda belia. Melihat kondisi

fisik mereka, agaknya rombongan ini yang

terdiri dari tujuh orang baru saja melakukan

perjalanan yang sangat jauh. Dari

penampilan mereka sudah dapat di-duga

kalau mereka ini bukanlah orang-orang

sembarangan. Setidak-tidaknya mereka ini

adalah orang-orang yang memiliki


kepandaian silat yang tinggi. Atau mungkin

juga mereka berasal dari beberapa

perguruan yang ingin menuju ke suatu

tempat.

Demikianlah begitu mereka berada di

tengah-tengah kota kecil Mentoak, hati

mereka diliputi tanda tanya. Mengapa kota

kecil itu terasa sepi, ke manakah perginya

penduduk setempat? Mereka dengan hati

masih diliputi tanda tanya segera mencari

kedai penjual makanan dan juga mencari

sekedar keterangan yang mereka butuhkan.

Setelah berputar melalui beberapa lorong

akhirnya mereka menemukan sebuah kedai

penjual makanan seperti yang mereka

inginkan.

Tanpa mengenal rasa ragu mereka

segera memasuki kedai itu. Begitu sampai di

dalamnya mereka segera mengambil tempat

di pojok ruangan, lalu segera duduk. Mereka

nampak saling diam, namun dua orang di

antaranya yang mungkin juga merupakan

pemimpin rombongan. Segera saja

mengedarkan pandangan ke segenap

penjuru ruangan. Di salah satu sudut

ruangan pimpinan rombongan itu melihat

ada seorang kakek berpakaian rombeng,

rambutnya yang putih kecoklat-coklatan

serta kerut merut di wajahnya menandakan


bahwa kakek ini selain sudah sangat tua tapi

juga sedang menderita beban batin yang

sangat berat. Begitu ketua rombongan ini

mengitarkan pandangannya lagi, di sudut

yang lain dia melihat dua orang laki-laki

berwajah angker nampak dengan sikap yang

acuh sedang melahap makanan pesanannya

dengan sangat rakus sekali. Mungkin juga

dua orang laki-laki ini mempunyai maksud

yang sama dengan rombongan itu. Menuju

ke suatu tempat. Laki-laki yang menjadi

ketua rombongan itu tidak tahu.

Kini laki-laki yang menjadi kepala

rombongan itu kembali pada si kakek tua

yang sedang duduk menekuri meja, apa

yang menarik dari kakek tua itu adalah alat

musik yang berupa kecapi yang diletakkan di

atas meja. Sesekali tangannya yang sudah

keriputan itu nampak gemetaran menyentuh

senar-senar kecapi yang sudah tua pula.

Sama seperti dua orang berwajah angker

yang berada di sebuah sudut yang lainnya, si

kakek tua berpakaian rombeng ini pun

nampak acuh dengan kehadiran mereka.

Pada saat pimpinan rombongan itu sedang

berpikir tentang kakek tua ini, tiba-tiba saja

pemilik kedai makanan itu menghampiri

mereka. Pimpinan rombongan itu agak

terkejut begitu dilihatnya bahwa pemilik


warung itu adalah seorang gadis jelita

berkulit kuning langsat dengan wajah bulat

telur. Gadis itu tersenyum ramah pada

mereka.

"Bapak-bapak dan Nona-nona ini mau

pesan apa?" tanyanya masih dengan

senyumnya yang ramah.

"Eee... tolong sediakan kami makanan

berikut beberapa guci nira...!"

Si pemimpin mengemukakan keinginan

mereka. Si gadis manggut-manggut.

Kemudian sambil melangkah pergi:

"Tunggulah sebentar! Pesanan akan kami

siapkan!" Gadis itu kemudian menghilang di

balik pintu dapur. Seperginya gadis itu salah

seorang dari anggota rombongan berbisik

pada sesamanya:

"Tempat ini begini sunyi! Mungkin kita

bisa dapatkan keterangan dari pemilik

warung ini, sekalian mencari tahu di mana

sebenarnya letak lembah itu adanya...!" ujar

salah seorang yang berbaju biru terung.

"Tapi, kita juga butuh istirahat dan juga

butuh penginapan...." sela salah seorang

gadis yang ikut dalam rombongan itu.

'Itu gampang! Nanti juga kita bisa

tanyakan pada orang itu...!" ujar yang jadi

pimpinan menengahi. Sedang mereka saling

berbisik seperti itu, pemilik kedai kembali


dengan membawakan pesanan mereka. Lalu

seolah mengerti dengan apa yang barusan

dibicarakan rombongan itu. Sambil

meletakkan pesanan mereka, gadis jelita

berpakaian abu-abu itu menyela: "Daerah itu

memang menyeramkan, Tuan dan Nona!

Penduduk banyak bepergian memburu yang

berlimpah ruah! Kalau Tuan-tuan butuh

penginapan, Tuan dan Nona bisa bermalam

di penginapan milik kami yang berada di

sebelah kedai ini! Dan kalau Tuan dan Nona

bermaksud ambil bagian dalam memperoleh

harta karun itu, Tuan dapat pergi ke arah

matahari terbit! Jaraknya pun tidak jauh lagi

dari Mentoak ini!"

Kata-kata si gadis walau hanya

diucapkan dengan suara lirih saja, akan

tetapi cukup membuat rombongan ini sangat

terkejut. Mereka berfikir dari mana gadis

jelita ini bisa tahu maksud dan tujuan

mereka? Bukankah tadi mereka bicara

berbisik-bisik, bahkan suara mereka lebih

lirih dari ucapan gadis barusan, dan lagipula

mereka tidak pernah menyinggung tentang

keinginan dan tujuan mereka. Dengan hati

masih bertanya-tanya seperti itu tiba-tiba

gadis itu bagai mengerti apa yang sedang

mereka fikirkan, menyela kembali:


"Tuan-tuan dan Nona-nona tentu heran

mengapa saya bisa berkata begitu!" ujarnya.

Kemudian tanpa peduli dengan rombongan

itu dia menyambung kembali.

"Biasanya orang yang melewati Mentoak

ini, hanya mempunyai satu tujuan! Yaitu

ingin mengeruk emas permata yang

tersimpan di dasar lembah itu." ujarnya

masih dengan suara lirih.

Mendengar penjelasan gadis itu, tiba-tiba

saja yang jadi pimpinan rombongan

menyela: "Kami hanya ingin tahu saja!

Bukan kemaruk untuk memiliki harta itu!"

bantah laki-laki yang jadi pimpinan

rombongan. Gadis itu lagi-lagi tersenyum.

Sebuah senyum ramah yang masih penuh

dengan tanda tanya.

"Setiap orang yang singgah di kedai ini

selalu berkata begitu! Tapi maaf hal itu

memang hak semua orang, dan saya cuma

berharap semoga anda sekalian bisa cepat

berhasil...!"

Setelah berkata begitu, gadis berpakaian

abu-abu itu berlalu meninggalkan mereka.

Sepeninggalan si gadis, mereka nampak

saling berpandangan. Akan tetapi tiada satu

pun kata yang terucap. Dengan masih diliputi

penasaran tak lama kemudian mereka

segera melahap makanan yang tersedia.


Baru saja mereka sedang enak-enaknya

menikmati hidangan, tiba-tiba terdengar

petikan suara kecapi yang disertai syair-syair

lagu:

Dunia sudah semakin tua

Bayi-bayi tercecer dan dibuang

bagaikan sampah

Ada bapak memakan anaknya

Orang tua terlunta-lunta merana

Nyawa tiada harga

Oh... nasib

Apa yang kau cari di atas dunia

Harta benda yang tertinggal

Hanya membuat malapetaka

Hei, mahluk yang disebut Manusia

Kehadiranmu di atas dunia pana

Membuat malapetaka di mana-mana

Dan aku si tua papa

Tiada harga

Penjaga harta tiada guna

Orang menjerit dalam penyesalan

Akan tetapi....

Aku hanya diam

Tiada daya

Demikianlah seiring dengan berakhirnya

bait-bait syair lagunya, si kakek tua itu

menghentikan petikan-petikan kecapinya.


Akan tetapi sungguh membuat heran orang-

orang yang berada di dalam kedai itu, sebab

tak lama kemudian si kakek pakaian

rombeng nampak menangis bagai anak kecil.

Bahkan suara tangisnya semakin lama

semakin keras. Agaknya si kakek bukanlah

orang sembarangan sebab begitu suara

tangis itu meninggi, semua orang yang hadir

di situ merasakan adanya satu tenaga gaib

yang terasa menggetarkan jantung dan

pembuluh darah mereka. Dengan segera

rombongan yang terdiri dari tujuh orang itu

yang ternyata juga memiliki kepandaian

sangat tinggi mengerahkan kemampuan

mereka intuk melindungi diri. Pada saat itu

pula terdengar suara bentakan menggelegar

di ruangan jitu. Begitu rombongan itu

menoleh tahulah mereka bahwa bentakan

tadi berasal dari dua orang berwajah angker

berpakaian hitam-hitam. Sambil membentak

dua berwajah pucat itu menghampiri si

kakek. Kemudian setelah benar-benar berada

di hadapan si kakek, lagi-lagi salah seorang

berwajah pucat ini membentak: "Kakek tua

berpakaian rombeng tiada guna! Kami Si

Kembar Dari Bukit Sumplung, selamanya

tidak pernah usil dengan orang lain. Akan

tetapi selalu muntah melihat ilmu picisan di

pamerkan di hadapan kami?" tukas salah


seorang dari si Kembar sambil bertolak

pinggang. Tanpa menghiraukan ocehan si

Kembar sebaliknya si kakek berpakaian rom-

beng malah terkekeh.

"Huahaha...! Sungguh kalian pintar

menebak namaku. Aku memang Si Tua

Rombeng Tiada Guna. Tapi apa pedulimu aku

mau tertawa, menyanyi, menangis atau

bahkan merobek mulut kalian...!"

"Orang tua sombong! Sungguh lancang

sekali mulutmu...." Sambil berkata begitu si

Kembar Dari Bukit Sumplung itu kirimkan

satu jotosan mengarah ke wajah Si Kakek

Rombeng. Serangan kilat itu demikian

cepatnya hingga orang-orang dapat

memastikan jotosan yang dilakukan oleh Si

Kembar Muka Pucat pasti tepat pada

sasarannya. Lalu dengan sekali, "Prook!"

Remuklah batok kepala Si Tua Rombeng ini.

Akan tetapi di luar dugaan Si Kakek

Rombeng dengan cepat berkelit. Jotosan Si

Kembar Muka Pucat menemui tempat yang

kosong, sebaliknya si kakek tanpa terduga-

duga mengirimkan satu serangan balasan.

Dengan ujung-ujung jemarinya yang

bergemetaran dia menotok si Kembar dari

Bukit Sumplung ini. Pada saat itu juga tubuh

orang berwajah angker ini menjadi kaku

bagaikan arca. Gerakan kakek yang begitu


cepat ini sudah barang tentu mengejutkan

rombongan yang turut menyaksikan kejadian

itu. Lain lagi halnya dengan si Kembar yang

satunya lagi. Begitu mengetahui saudara

Kembarnya kena dikerjai oleh si kakek

berpakaian rombeng ini dia menjadi marah

luar biasa. Wajahnya yang pucat itu tiba-tiba

saja berubah kelam membesi. Sebaliknya Si

Kakek Rombeng begitu mengetahui

kemarahan si Kembar yang satunya ia malah

tertawa terkekeh: "Huahaha-ha... hahaha...

kau mau apa bocah! Ingin membela

Kembaranmu?" ucapnya sambil

mempermainkan senar kecapi. Lalu si kakek

menyambung lagi, "Kepandaianmu baru

seusia jagung! Sudah berani berlagak di

depan Juru Kunci Lembah Halilintar...!"

Ucapan si kakek barusan sudah barang tentu

sangat mengejutkan rombongan itu. Sebab

seperti yang mereka rencanakan.

Sesungguhnya mereka sedang melakukan

perjalanan menuju Lembah Halilintar. Dan

kalau kini mereka ber-temu dengan juru

kuncinya bukankah merupakan satu

kesempatan yang sangat baik. Untuk itu

mereka tidak akan turut campur pada urusan

dua orang pucat dari Bukit Sumplung ini.

Sementara itu Si Kembar Muka Pucat

yang satunya karena dalam keadaan marah,


mana mau perduli dengan apa yang baru

saja diucapkan oleh Si Kakek Rombeng.

Sebaliknya dia malah balas membentak:

"Selamanya kami Si Kembar Dari Bukit

Sumplung tidak pernah usil dengan urusan

orang, tapi karena kau telah memulainya,

sekarang aku akan meremukkan batok

kepala mu…!”

Kembali si kakek terkekeh.

"Orang goblok... perjalananmu ke

Lembah Halilintar saja nantinya akan

membuat urusan yang berbuntut panjang

denganku... kau masih mau berdalih pada

juru kuncinya...?" si kakek membentak.

* * * * *


DUA



Semakin bertambah merahlah wajah Si

Kembar Dari Bukit Sumplung ini. Dengan

gertakkan rahang: "Kalaupun kau seorang

juru kuncinya setan iblis sekalipun, jangan

dikira aku jadi gentar...!" Seusai berkata

begitu dia kirimkan satu serangan kilat yang

lebih hebat dari serangan si Kembar

pertama. Si kakek kembali terkekeh dan

hanya dengan bergeser sekali saja, lagi-lagi

serangan si Kembar kedua pun luput.

Dengan gerakan yang sangat sulit untuk

dilihat kasat mata. Kembali si kakek

melakukan tindakan yang sama. Si Kembar

kedua ini pun mengalami nasib seperti

saudaranya. Kemudian tanpa peduli si kakek

angkat kecapinya, tak lama kemudian dia

melangkah pergi. Akan tetapi begitu dia

sampai di depan pintu kedai sejenak dia

hentikan langkah. Lalu tanpa berpaling si

kakek rombeng bergumam: "Manusia

semakin lupa segala! Harta dunia malah

dipuja-puja." Lalu lanjutnya: "Kalau air nira

berubah menjadi darah! Itu adalah sebuah

alamat celaka...!" Usai berkata begitu tanpa

menoleh-noleh lagi si kakek berkelebat pergi.


Suasana yang menjadi malam membuat

tubuhnya lenyap ditelan kegelapan.

Sepeninggalannya si kakek nampak

rombongan itu saling berpandangan

sesamanya. Mereka menduga ucapan si

kakek barusan mungkin saja dialamatkan

kepada rombongan itu. Begitulah ketika

pimpinan rombongan itu bermaksud

menenggak habis nira yang tersisa di dalam

bumbung, alangkah terperanjatnya orang

yang bernama Sudiro ini, melalui cahaya

lampu minyak dengan jelas dia dapat melihat

bahwa air nira di dalam bumbung itu benar-

benar telah berubah menjadi darah. Begitu

anggota yang lainnya memperhatikan

bumbung-nya masing-masing. Mereka ini

pun tak kalah kagetnya dengan Sudiro

"Kakang... nira di dalam bumbungku pun

telah menjadi darah...!"

Laki-laki yang berpakaian biru terung ini

pun tersentak kaget.

"Punyaku juga... Kakang...?" sentak dua

gadis yang menyertai rombongan itu secara

berbareng. Pimpinan rombongan yang

bernama Sudiro ini pun kerutkan kening. Dia

merasa sangat heran dengan kejadian itu.

Kalau ucapan si kakek rombeng itu saja

merupakan suatu kenyataan. Apakah nasib

celaka itu bakal menimpa diri mereka?


Membayangkan ucapan si kakek, tiba-tiba

saja bulu roma Sudiro meremang berdiri.

Bahkan perasaan ngeri menyelimuti hati

anggota rombongan yang lainnya. Akan

tetapi bagi Sudiro untuk bersurut langkah,

paling pantang baginya. Mereka sudah

melakukan perjalanan yang teramat jauh,

hanya demi ingin membuktikan kebenaran

kabar burung tentang harta terpendam yang

tidak akan habis dimakan selama lima puluh

turunan itu. Pada saat-saat hatinya diliputi

kebimbangan seperti itulah tiba-tiba saja si

pemilik kedai datang menghampiri mereka.

Akan tetapi begitu si gadis jelita ini melewati

si Kembar dari Bukit Sumplung ini. Anggota

rombongan itu sempat melihat tangan si

gadis menyenggol tubuh si Kembar, dan

sangat mengherankan tiba-tiba saja si

Kembar dari Bukit Sumplung itu segera

terbebas dari pengaruh totokan yang telah

dilakukan oleh si kakek rombeng. Merasa diri

mereka telah ditolong, si Kembar menjura

hormat. Kemudian setelah membayar

pesanannya, dua orang Kembar ini saling

berpandangan.

"Bagaimana, Kakang...!" tanya salah

seorang di antaranya.

Si Kembar satunya ditanya begitu

gertakkan rahang.


"Kita harus kejar si kakek gombal amoh

itu! Kemudian kita balas sakit hati ini!"

"Baik, aku setuju! Nanti tubuhnya kita

cincang sampai rombeng! Biar mayatnya

berganti nama si Rombeng-Rombeng...!"

Berkata begitu tanpa menoleh-noleh lagi

mereka segera melesat pergi. Begitu kedua

orang Kembar itu berlalu, si gadis jelita

seperti bergumam pada dirinya sendiri

nyeletuk: "Jangankan untuk mencincang

tubuhnya! Kalau niatnya mau mencari si juru

kunci seratus tahun lagi pun tidak akan

berjumpa...!" Berkata begitu si gadis terus

melangkah ke arah rombongan itu.

Menyaksikan cara si gadis membebaskan

totokan saja mereka ini sudah tahu kalau

gadis cantik jelita pemilik warung itu berilmu

tinggi. Itulah makanya begitu gadis itu

benar-benar sampai di depan mereka.

Rombongan itu mulai bersikap sangat hati-

hati.

Sejenak gadis jelita itu memperhatikan

anggota rombongan satu persatu. Kemudian

seolah mengerti apa yang sedang mereka

fikirkan, si gadis ini pun berkata,.masih

dengan suara yang lirih: "Kalian jangan

percaya dengan omongan si kakek rombeng

itu! Dia memang orang yang kuras waras!

Minuman yang ada di dalam bumbung tuan


itu sesungguhnya tetap merupakan air nira

akan tetapi karena pengaruh ilmu sihir-nya,

dia dapat saja membuktikan bahwa yang dia

katakan itu benar adanya! Sekarang lihatlah

bahwa minuman itu benar-benar tak berubah

sama sekali...!" ucap si gadis sambil

tersenyum-senyum. Begitu mendengar

ucapan si gadis jelita, sudah barang tentu

orang-orang ini segera memperhatikan

bumbung yang berada di hadapan mereka.

Dan benar saja, ternyata air nira yang

berada di dalam bumbung itu tidak pernah

berubah. Kembali mereka dibuat kaget.

Dalam keadaan begitu, tiba-tiba saja Sudiro

menyela: "Ma... maaf, Nona. Benarkah si

kakek rombeng tadi merupakan juru kunci

dari Lembah Halilintar...?"

"Namaku Jelita... panggil saja begitu...!"

jelasnya memperkenalkan diri. Tak lama

kemudian dia menyambung. "Apa yang

dikatakannya itu tidak benar! Tapi mungkin

juga dia merupakan Juru Kunci Setan

Kuburan...!" ucap gadis itu tampak

memendam sesuatu.

"Kalau begitu walau sesungguhnya

kurang waras, tetapi kakek itu seorang ahli

sihir yang sangat handal...!" sela laki-laki

berpakaian biru terung yang bernama Soma.


"Huh... ilmu sihir picisan mengapa terlalu

Tuan pikirkan! Aku tahu Tuan mempunyai

tujuan. Tempat itu tiada bertuan! Siapa pun

punya kesempatan yang sama untuk dapat

memiliki harta itu...!" tukas si gadis seolah

menuduh.

'Tapi kami tak bermaksud untuk

mem...!" Belum lagi kata-kata Sudiro selesai

sudah dipotong oleh si gadis.

'Tuan tidak usah berbohong, aku tahu

apa yang terkandung dalam niat anda

semuanya...!"

Mendengar pernyataan gadis yang

bernama Jelita ini memerahlah wajah Sudiro,

akan tetapi untuk marah itu jelas tidak

mungkin. Sebab apa yang dikatakan oleh si

gadis sesungguhnya benar adanya. Sudiro

dan yang lain-lainnya terdiam tanpa mampu

membantah.

Tuan dan Nona! Hari sudah larut malam,

kalau anda semua bermaksud menginap di

tempat ini, mari aku tunjukkan kamar-

kamarnya...!"

Lagi lagi rombongan itu bagai kerbau

dicucuk hidung hanya mampu menurut.

Setelah menunjukkan kamar-kamar

untuk bermalam para tamunya, gadis itu

segera meninggalkan mereka menuju sebuah


lorong kecil. Kemudian menghilang di sebuah

pintu lainnya.

Malam terasa semakin larut, rombongan

itu pun sudah berada di kamarnya masing-

masing. Seiring dengan perjalanan waktu di

sebuah kamar yang misterius dan

menyeramkan, tubuh gadis cantik pemilik

kedai makanan dan rumah penginapan itu

secara perlahan namun cukup pasti mulai

berubah menjadi sosok burung Hantu.

Burung hantu itu mengepak-ngepakkan

sayapnya.

Begitu matanya yang liar memandang ke

arah jendela seberkas cahaya aneh

memancar dari sepasang matanya yang liar.

Tak lama kemudian jendela itu pun terbuka.

"Aku harus segera melaporkan kejadian ini

secepatnya pada Sang Guru!" batin Burung

hantu jelmaan Jelita dalam hati. Beberapa

saat kemudian dengan sekali kepak burung

jelmaan itu telah meluncur ke arah jendela,

kemudian setelah berputar-putar di atas

penginapan, secepat kilat burung itu

meluncur menuju Lembah Halilintar.

Sementara itu di dalam penginapan,

tujuh orang anggota rombongan yang tengah

terbaring di kamarnya masing-masing

kelihatan sangat gelisah. Penginapan yang

mereka tempati itu tak ubahnya bagai


sebuah rumah hantu, dengan kamar di sana

sini yang senantiasa terasa menyebarkan

bau tak sedap. Dalam hati mereka pun

bertanya-tanya, mengapa penginapan

sebesar itu tak memiliki seorang pelayan

pun? Pada malam hari itu mereka baru

menyadari, bahwa Mentoak yang kecil tak

berpenghuni kiranya lebih menakutkan lagi

bila dibandingkan pada saat siangnya.

Demikianlah dalam keadaan resah seperti itu

tiba-tiba saja terdengar sayup-sayup Burung

Hantu dari kejauhan. Orang-orang ini

menajamkan pendengarannya.

"Guk... guk-guk... guk!"

Demikian suara burung itu saling

bersahutan, makin lama makin bertambah

ramai. Hingga pada akhirnya burung-burung

yang sama berdatangan mengitari

penginapan itu. Suara-suara yang sama pun

terdengar di mana-mana. Perasaan gentar

mulai menyelimuti hati para rombongan.

Tujuh orang yang tinggal di penginapan itu

menjadi resah. Lalu secara hampir

bersamaan membuka dan keluar dari

kamarnya masing-masing. Dengan langkah

terburu-buru mereka menghampiri kamar

pimpinan mereka. Setelah mengetuk tiga

kali, pintu kamar itu pun terbuka. Begitu

mereka berada di dalam ruangan untuk

beberapa saat lamanya mereka saling

berpandangan.

"Kakang... apakah kakang mendengar

suara-suara itu...?" tanya salah seorang di

antara mereka yang bernama Sekar Sari.

"Burung-burung keparat itu bikin kita

susah tidur, kakang...!" sela yang lainnya

pula.

Sudiro mengerutkan kening. Dalam hati

dia bertanya-tanya mengapa burung-burung

itu jumlahnya bisa mencapai ratusan ekor,

mungkinkah telah terjadi sesuatu yang tidak

beres di kota kecil yang serasa bagai kota

mati itu? Dalam hati laki-laki itu mulai

merasa curiga dan was-was. Akan tetapi

demi membesarkan hati kawan-kawannya,

Sudiro segera saja berkata:

"Apa yang kalian takutkan! Burung-

burung sialan itu toh tidak mengganggu

kita...!"

"Tapi kakang, mengapa jumlahnya bisa

mencapai ratusan ekor seperti itu...?" ujar

yang berpakaian Biru Terong yang bernama

Permana itu curiga. Lalu tanpa menunggu

jawaban Sudiro, Permana segera membuka

jendela yang menghadap ke arah halaman

penginapan. Begitu pintu jendela itu terbuka,

Permana terbelalak bagai melihat setan

sadis. Tubuhnya kelihatan menggigil. Tentu


saja hal ini membuat heran yang lain-

lainnya. Tanpa bertanya lagi mereka pun

segera memburu ke arah Permana. Seperti

apa yang terjadi pada diri Permana, orang-

orang ini pun bukan main kagetnya, tidak

terkecuali Sudiro.

Tidak begitu jauh jaraknya dari

penginapan itu, di beberapa batang pohon

dalam kegelapan malam mereka melihat

sinar kebiru-biruan dari beratus-ratus pasang

mata Burung Hantu, berkedap-kedip

memandang kepada mereka. Sepintas lalu

ratusan pasang mata yang berkedap kedip

bagai kunang-kunang itu, bagai pelita milik

seorang dewa. Akan tetapi ada satu hal yang

membuat jantung mereka semakin berdetak

keras adalah karena ratusan pasang mata

burung itu memancarkan sinar aneh yang

mengisyaratkan sebuah kepedihan hati dan

rasa putus asa. Tentu saja hanya Sudiro

yang berilmu kebatinan sangat tinggi yang

mengetahui pesan lewat tatapan mata

burung-burung itu. Dengan cepat laki-laki

berperawakan tinggi itu menutup jendela

kembali. Begitu jendela itu tertutup burung-

burung malam itu menimbulkan suara riuh.

Seakan-akan ingin memprotes. Suara-suara

itu terasa semakin menyeramkan.


Akan tetapi Sudiro tanpa memperdulikan

suara-suara burung yang menggidikkan bulu

roma segera berkata pada kawan-kawannya

yang lain.

"Semua ini merupakan teka-teki! Akan

tetapi peduli apa? Besok kita sudah harus

melanjutkan perjalanan...."

"Kakang...! Tentu malam ini kami tidak

bisa tidur! Penginapan ini bagai rumah

hantu...!" sela Sekar Sari.

"Sudahlah lupakan masalah yang hanya

setahi kuku ini! Yang menjadi tujuan kita

adalah bahwa usaha ini harus berhasil!

Walau nyawa sekalipun sebagai

taruhannya...!" kata Sudiro tegas.

"Kalau memang sudah begitu menjadi

kehendak Kakang, tentu kami tidak bisa

membantah...." kata Permana pula.

Demikianlah tekad dan keputusan sang

ketua. Tak berapa lama kemudian suasana

menjadi sunyi sepi. Suara-suara burung

hantu sudah tak terdengar sejak beberapa

saat yang lalu. Malam itu mereka

melewatkan malam dengan tidur berdesakan

dalam satu kamar.

* * * * *


TIGA


Rambutnya yang selalu dikuncir dan

tergerai sebatas bahu itu berkibar-kibar

ditiup angin. Dengan pakaian merah-merah

disertai sebuah periuk besar yang selalu

tergantung di pun daknya. Keanehan tingkah

lakunya sedikit pun tidak berpengaruh pada

ketampanan wajahnya. Siapa lagi pemuda

berperangai aneh itu, kalau bukan Buang

Sengketa Si Pendekar Hina Kelana.

Siang itu Buang Sengketa yang berjuluk

Pendekar Hina Kelana, nampak

menginjakkan kakinya di seberang tanah

Jawa. Memang demikianlah adanya, sesuai

janji yang pernah dia ucapkan pada gurunya,

si Bangkotan Koreng Seribu. Pemuda itu

telah bertekad untuk menimba pengalaman

di dunia ramai, sambil berpetualang dia ingin

mencoba mencari tahu di manakah

sebenarnya ayahandanya mengasingkan diri.

Walau pun dia sadari bahwa ujud ayahnya

bukanlah seperti manusia biasa, tetapi dia

telah bertekad untuk mencari jejak ayahnya

walau berada di ujung dunia sekalipun. Dia

berfikir, meski pun ayahandanya si Piton

Utara berujud seekor ular raksasa. Setidak


tidaknya karena ayahnya itulah maka dia

terlahir di atas dunia pana ini. Buang

Sengketa menyadari walau pun kelahirannya

di atas dunia ini telah ditandai dengan

berbagai peristiwa mengerikan, termasuk

juga hujan petir yang meluluh lantakkan

desanya. Tak terkecuali dengan usaha

penduduk untuk membunuhnya. Karena

memang menurut ramalan banyak orang

kelak di kemudian hari kehadirannya hanya

akan menimbulkan malapetaka di mana-

mana. Akan tetapi untuk membuktikan

bahwa cerita itu sesungguhnya tidak benar.

Dia telah bertekad untuk berbuat kebajikan

di mana pun dia berada. Apa lagi apabila

Buang teringat bahwa ibunya binasa di

tangan orang-orang yang tidak bertanggung

jawab. Hanya demi membela keselamatan

dirinya. Tentu begitu masgul hati pemuda ini.

Buang Sengketa sesuai dengan namanya

adalah orang yang dibuang hanya demi

menegakkan sebuah kasih sayang dan

kebenaran. Di hatinya memang tiada

dendam, karena memang sifat-sifat seperti

itu tiada terwaris dari orang tuanya. Akan

tetapi demi sebuah kebenaran dia sangat

berani mempertaruhkan nyawanya.

Demikianlah, siang itu di tempat yang

baginya masih sangat asing, pemuda itu


nampak sedang berjalan melenggang.

Kadang-kadang tangannya merogoh bekal

makanan apa saja yang diletakkannya di

dalam periuk besar berjelaga itu dan di saat

yang lain sambil terus berjalan pemuda itu

terlihat sedang berdecak-decak mengunyah

makanan. Sepintas lalu pendekar ini walau

berwajah tampan akan tetapi sepertinya

tidak dapat merawat diri, ini terbukti dari

caranya berpakaian dan juga wajahnya yang

selalu nampak kumal bagai tak pernah

mandi. Mungkin semua ini ada kaitannya

dengan watak yang dimilikinya, selalu acuh

walau pada dirinya sendiri.

Kini setelah melewati sebuah hutan

cemara sampailah Buang Sengketa di sebuah

dusun yang agak padat dengan rumah-

rumah penduduk. Pemuda itu mulai celingak-

celinguk mencari sebuah kedai makanan

demi untuk menambah perbekalannya yang

sudah semakin menipis. Sangat

mengherankan pemuda ini karena hampir

keseluruhan penduduk yang dia lihat,

semuanya terdiri dari kaum wanita dan anak-

anak. Ke manakah perginya kaum laki-laki

atau bahkan suami mereka? Tak mungkin

perempuan-perempuan itu dapat melahirkan

tanpa adanya kehadiran kaum laki-laki.

Pikirnya diiringi senyum lucu.


Kira-kira langkahnya sudah sampai di

pertengahan dusun, barulah dia melihat

adanya sebuah kedai penjual makanan yang

agak sepi pengunjung. Dengan langkah

mantap Pendekar Si Hina Kelana memasuki

kedai tersebut. Begitu dia duduk menghadap

meja yang terbuat dari anyaman bambu,

seorang laki-laki pemilik kedai datang

menghampiri. Laki-laki setengah tua itu

langsung saja bertanya: "Kisanak mau pesan

apa...?" ucapnya ramah.

Sejenak Buang Sengketa nampak

berpikir.

"Bapak tua... tolong sediakan sop daging

menjangan, satu kendi arak dan beberapa

bungkus makanan kering...!" kata Buang

Sengketa sopan.

Begitu mendengar apa yang dipesan oleh

si Hina Kelana. Laki-laki pemilik warung itu

geleng-gelengkan kepala.

"Ada apa pak, Tua! Apakah bapak

mengira bahwa aku tak sanggup bayar...?"

tegur pemuda itu agak tersinggung.

Pemilik kedai itu buru-buru meralat

ucapannya.

"Maaf, Ki sanak. Sama sekali aku tak

punya dugaan seperti itu. Maaf saja

penyadap tuak langganan kami sudah tak

pernah datang mengantar tuak lagi ke sini!


Sedangkan sop daging manjangan juga tidak

ada. Orang-orang yang biasa berburu ke

hutan kini sudah tidak ada lagi...!" ucap laki-

laki pemilik kedai itu dengan sangat berhati-

hati.

"Jadi yang kau jual apa...?" tanya si Hina

Kelana kesal.

Dengan gugup dan setengah takut-takut.

"Yang ada cuma sate kucing dan sup daging

tikus...!"

Mendengar penjelasan pemilik kedai

alangkah terperanjatnya Pendekar dari

Negeri Bunian ini.

"Haaaa... apa..,?!" tukas Buang Sengketa

tak percaya. Kemudian sambungnya lagi:

"Kucing kau bikin sate dan tikus kau buat

sop...! Mengapa tak sekalian kau potong saja

dagingmu untuk kau jadikan dendeng...?"

bentak pendekar ini marah.

Menggigillah tubuh pemilik kedai itu

begitu melihat kemarahan pemuda ini.

Kemudian dengan suara terbata-bata, laki-

laki ini mencoba menjelaskan.

"Maafkan aku yang bodoh ini, Kisanak...!

Sesungguhnya sejak dulu aku berjualan

belum pernah walau sekalipun menyembelih

kucing apa-lagi memotong tikus. Akan tetapi

karena ini adalah karena perintah seseorang

dan di bawah ancaman pula. Maka demi


keselamatan keluargaku, aku terpaksa

melakukannya...!"

Mendengar penjelasan pemilik kedai

tentu saja hal ini sangat mengejutkan Buang

sekaligus merasa tertarik. Sesungguhnya

tadi dia ingin marah pada laki-laki di

hadapannya itu. Karena dia merasa bahwa

pemilik kedai itu menghina dirinya. Akan

tetapi karena pemilik warung itu segera

memberi penjelasan padanya, akhirnya dia

menjadi sangat maklum. Lalu dengan sangat

penasaran Buang langsung bertanya: "Pak

tua... siapakah sesungguhnya orang yang

mengancammu itu! Dan apakah yang

sesungguhnya telah terjadi di daerah ini...?"

Mendengar pertanyaan yang tak pernah

terduga seperti ini, mendadak wajah pak tua

berubah pucat. Setelah celingak-celinguk

kian ke mari, seolah takut apa yang akan dia

katakan didengar oleh setan kuburan.

Dengan suara agak berbisik dia mulai bicara.

"Kisanak... kalau Kisanak ingin selamat,

cepat-cepat tinggalkanlah tempat ini. Sebab

sebentar lagi mereka akan segera muncul!

Dan jika mereka sempat melihat kehadiran

Kisanak, saya takut Kisanak akan mengalami

nasib seperti penduduk dusun ini...!" ujar

pemilik kedai itu was-was.


"Hemmm... jangankan hanya pada

sesama manusia! Terhadap Setan Belang

dari sumur hantu pun aku tak akan

gentar...!" kata Buang Sengketa dengan

suara keras.

"Kisanak bicara jangan keras-keras!

Mereka berilmu sangat tinggi. Pergilah

sebelum mereka datang...!" Pemilik kedai

nampak semakin khawatir.

"Jadi kau mengusirku...!" sela si Hina

Kelana.

"Oh... maaf, sama sekali aku tak

mempunyai maksud demikian! Aku hanya

mengkhawatirkan keselamatan Kisanak...!"

Buang Sengketa manggut-manggut.

"Terima kasih atas perhatianmu, Orang

tua... tapi aku tak akan pergi. Aku jadi ingin

lihat bagaimana rupanya anjing-anjing yang

menakutkan kalian itu!"

"Kisanak tak mengerti apa yang aku

maksudkan! Ketahuilah mengapa

perempuan-perempuan itu harus kehilangan

suaminya...!" Agak ragu si laki-laki tua

menghentikan kata-katanya.

”Teruskan ucapanmu tadi, Orang tua!

Kalau ada apa-apa aku akan membelamu...!"

kata Buang Sengketa tegas.

"Orang-orang si Tiga Angkara itu datang

dan pergi bagaikan hantu menakutkan. Dan


setiap kedatangannya, mereka membawa

semua laki-laki di dusun ini untuk membantu

usaha mereka dalam menggali harta benda

yang tak ternilai harganya di sebuah tempat

yang bernama Lembah Halilintar. Akan tetapi

setiap mereka membawa laki-laki di dusun

ini sampai kini tak seorang pun ada yang

kembali... itulah sebabnya seperti yang Ki

sanak lihat di setiap rumah penduduk tak

seorang laki-laki pun tersisa, kecuali aku!

Itupun atas kehendak mereka...."

"Lembah Halilintar...! Hemmm...

sungguh sebuah nama yang sangat menarik.

Pak tua, dapatkah kau sedikit ceritakan

tentang lembah itu...?" tanya Buang

Sengketa sedikit memaksa.

Laki-laki pemilik kedai dengan tubuh

semakin gemetaran kembali berkata:

"Keadaan yang terjadi sesungguhnya aku

belum tahu pasti! Akan tetapi menurut kabar

angin, sesuai dengan namanya lembah itu

merupakan sebuah daerah lintasan petir.

Hanya pohon-pohon tertentu saja yang dapat

tumbuh dan hidup dengan baik di sana.

Sudah dua tahun ini daerah itu menjadi

tumpuan bagi mereka yang kemaruk harta.

Sebab daerah itu merupakan sebuah lembah

emas yang jumlahnya tidak ternilai... konon

di lembah itu hidup ribuan burung hantu


bahkan setiap tahun-nya terus bertambah.

Dan manusia-manusia yang berjuluk Tiga

Angkara itu kiranya memaksa penduduk

untuk mereka kerahkan ke sana. Kami yang

tersisa ini tidak tahu bagaimana dengan

nasib mereka...." ujar pemilik kedai dan

tanpa sadar sempat menitikkan air mata.

"Pak tua... kau tak perlu bersedih! Aku

ingin menghentikan sepak terjang manusia-

manusia serakah itu. Setelah itu aku baru

melacak para penduduk yang hilang...!" ujar

Pendekar si Hina Kelana tegas.

"Tapi, Kisanak. Jumlah mereka cukup

banyak di samping memiliki ilmu silat yang

sangat tinggi pula...!" sela laki-laki itu

ketakutan.

Buang Sengketa tersenyum maklum.

"Kau tak perlu cemas, Orang tua! Kita

lihat saja bagaimana nanti...!"

Demikianlah pada saat mereka sedang

bercakap-cakap seperti itu, tanpa mereka

sadari akan kedatangannya. Tiba-tiba di

halaman kedai terdengar derap dan suara

ringkik kuda. Begitu Buang menoleh,

tampaklah olehnya lebih dari tiga belas orang

penunggang kuda yang hadir di depan kedai

itu. Agaknya laki-laki pemilik kedai itu hapal

benar siapa adanya yang datang. Dengan

langkah tergopoh-gopoh laki-laki tua itu


segera menyongsong kedatangan orang-

orang itu. Tak lama kemudian rombongan

berkuda itu sudah memasuki ruangan kedai.

Lagi-lagi pak tua dengan agak tergesa-gesa

segera bergegas ke belakang untuk

menyediakan pesanan mereka.

Seperginya pak tua, rombongan berkuda

yang menamakan dirinya si Tiga Angkara

segera duduk mengelilingi sebuah meja

besar yang terbuat dari anyaman bambu.

Buang Sengketa yang sejak tadi hanya

menghadapi segelas kopi pahit terus

memperhatikan tingkah orang ini dengan

sudut matanya. Pada saat seperti itu tiba-

tiba saja salah seorang di antaranya yang

berbibir sumbing membentak pada pemilik

kedai sambil memperhatikan kehadiran

Buang Sengketa pula.

"Pak tua... mana sate kucing dan sop

tikus-nya! Kerja mu sangat lambat sekali

apakah kau ingin segera di kirim ke Lembah

Halilintar...?" tukas laki-laki yang berbibir

sumbing ketus.

Terdengar sahutan dari dalam suara

bergemetaran: "Maafkan, Tuan-tuan. Kami

sedang mempersiapkannya...!"

"Mana anak gadismu... suruh dia

menemani kami!" sela laki-laki yang seorang


lagi dengan suara yang sengau dan

berhidung besar.

Lagi-lagi suara pak tua dari dalam dapur

menyahut: "Maaf, Tuan... anak saya itu

dalam keadaan sakit kini dia tinggal di rumah

neneknya...!

* * * * *


EMPAT



Mendengar jawaban pak tua, salah

seorang dari Tiga Angkara yang berkepala

botak plontos menyambut dengan rasa tak

senang.

“Tua bangka! Kau jangan berbohong

pada kami, tadi aku melihat anakmu berlari

ke belakang... masihkah kau bilang dia

sakit...?"

Laki-laki pemilik kedai yang saat itu

sudah melangkah membawakan pesanan

orang-orang berkuda itu, tiba-tiba saja

wajahnya berubah pucat. Dengan langkah

gemetaran pemilik kedai itu terus melangkah

ke arah meja rombongan Tiga Angkara.

Dengan gemetaran pula dia meletakkan

makanan itu di hadapan mereka. Belum lagi

laki-laki itu menghidangkan makanan, lagi-

lagi si botak membentak: "Cepat kau suruh

anakmu menemani kami! Kalau tidak

kubakar kedaimu ini...!" ancamnya.

"Jangan.... Tuan! Baiklah saya akan

memanggilnya...!" kata laki-laki itu

ketakutan. Kemudian dengan tergopoh-

gopoh dia bergegas ke belakang. Tak lama

kemudian seorang gadis yang berparas


lumayan dengan langkah ketakutan nampak

menghampiri mereka.

Demi melihat kehadiran gadis itu, si Tiga

Angkara serentak tertawa tergelak-

gelak. "Hahaha... hahaha... mendekat

kemarilah, Cah ayu! Mengapa harus takut!

Kita dapat bersenang-senang di sini...!" kata

hidung besar suara sangau diiringi tawa yang

lainnya. Demikianlah, begitu gadis itu hampir

di hadapan mereka segera saja salah

seorang di antara mereka memeluk gadis itu,

kemudian menjatuhkan tubuh si gadis di atas

pangkuannya. Jemari si hidung besar

nampak membelai-belai pipi si gadis.

Kemudian hidungnya yang besar dan jelek

itu menciumi wajah si gadis. Diperlakukan

seperti itu sudah jelas membuat gadis ini

meronta-ronta dengan wajah ketakutan.

Sementara orang tua si gadis yang merasa

tak mampu berbuat banyak itu hanya

memandang geram pada tingkah orang-

orang Tiga Angkara. Terus diiringi suara tawa

yang lainnya si hidung besar terus

bertingkah. Dalam hatinya mungkin dia

sengaja membuat gadis itu menjerit

ketakutan, dengan tujuan untuk memancing

pemuda pendatang yang berpenampilan

aneh tak jauh dari mereka.


Sementara itu Pendekar Hina Kelana

yang sejak tadi hanya menahan

kemarahannya, akhirnya habis juga batas

kesabarannya. Dengan tatapan dingin, dia

memandang penuh kebencian, dia berkata

lirih namun sangat mengejutkan. "Anjing-

anjing geladak! Berhentilah bertingkah...

sebelum aku, si Hina Kelana lupa, bahwa

kalian masih seorang manusia...!"

Tangan si hidung besar suara sengau

yang sejak tadi nampak membelai-belai pipi

si gadis mendadak terhenti, begitu pula

pelukannya pada si gadis mengendor. Tanpa

menyia-nyiakan kesempatan si gadis berlari

menjauh meninggalkan Tiga Angkara. Kini

perhatian rombongan berkuda itu praktis

tertuju pada si pemuda. Dari ujung rambut

sampai ke ujung kaki mereka meneliti.

Melihat dari caranya berpakaian dan juga

caranya bicara mereka ini dapat memastikan

bahwa pemuda yang berada tak begitu jauh

dari tempat mereka duduk bukanlah

penduduk dusun itu, atau pun daerah lain

yang mereka kenal. Akan tetapi siapa pun

pemuda ini, begitu mereka melihat sebuah

periuk besar tergantung di pundak Buang

Sengketa maka meledaklah tawa mereka.

"Huahahaha... hahaha...! Gembel hina

dari mana yang berani mencampuri urusan si


Tiga Angkara...!" si Bibir Sumbing

membentak.

"Iblis dari neraka sekalipun, tidak akan

kubiarkan hidup! Jika berani bertingkah di

hadapanku...!" tukas Buang Sengketa

menghardik.

"Kucing kurap! Haram jadah, mulutmu

yang busuk itu perlu dirobek-robek!" maki si

kepaia botak marah sekali. Bersamaan

dengan itu pula, si kepala botak melompat,

kemudian kirim satu serangan gencar, ke

arah Buang Sengketa. Kembrat-kembratnya

yang lain sudah dapat memastikan hanya

satu gebrakan saja, tentu remuklah dada

pemuda ini. Sebab seperti yang mereka

ketahui bahwa kawan mereka ini dalam

menyerang mempergunakan satu jurus yang

sangat mereka andalkan, yaitu jurus "Godam

Menggempur Karang"." Jangankan hanya

tubuh manusia, batu gunung sekalipun

menjadi berantakan terpukul jurus ini.

Begitulah, mereka begitu yakin dengan

kemampuan yang dimiliki oleh kawan

seperguruannya. Akan tetapi Buang

Sengketa meskipun merupakan orang baru

dalam rimba persilatan akan tetapi karena

memang sejak kecil dia sudah mengenal ilmu

silat dan berbagai ilmu kanuragan. Ditambah

lagi dalam gemblengan-gemblengan seorang


kakek yang sangat sakti, dan merupakan

seorang tokoh yang namanya saja sangat

melegenda dalam dunia persilatan. Sudah

barang tentu serangan yang dilancarkan oleh

si Kepala Botak tidak berarti banyak untuk

dirinya.

Dengan sekali berkelit saja, luputlah

serangan yang dilancarkan oleh si Kepala

Botak. Pukulan yang berisi tenaga dalam itu

terus meluncur untuk kemudian langsung

menabrak kursi, tempat di mana pemuda itu

duduk. Buang Sengketa kini telah berdiri

sambil berkacak pinggang. Sementara begitu

serangannya dapat dielakkan oleh si pemuda

berkuncir, si Botak menjadi sangat

penasaran sekali. Kini dia meluruk kembali

ke arah Buang. Dia melancarkan serangkaian

serangan yang lebih dahsyat Disertai

lengkingan dahsyat si Botak menerjang

kembali. Pendekar Hina Kelana yang sudah

merasa muak melihat orang-orang ini segera

saja menadahkan periuknya. Tanpa dapat

dihindari lagi.

"Prengg... blaaar...!"

Si Botak terpental beberapa tombak,

tubuhnya menabrak meja yang berada di

ruangan itu. Meja jadi berantakan. Si Botak

berusaha bangun dan merintih. Begitu dia

sudah tegak kembali, terbelalaklah mata


kawan-kawannya, begitu melihat kedua

tangan si Botak menjadi patah dan

mengucurkan darah segar. Melihat nasib

yang dialami kawannya, yang lainnya

menjadi sangat murka.

Kemudian dengan pandangan penuh

kebencian si Bibir Sumbing meludah dan

membentak: "Bocah... besar sekali nyalimu!

Telah berani benar melukai kawan kami. Kau

harus menebus luka kawanku itu dengan

nyawamu yang tiada harga."

Mendengar kata-kata yang diucapkan

oleh si Bibir Sumbing, pendekar dari negeri

Bunian ini terkekeh. "Hua, hahha... keg...

keg...!" Seusai tawanya mendadak wajah

pemuda itu berubah dingin, naluri

membunuh mulai menyentak-nyentak

memenuhi rongga dadanya. Kemudian

dengan suara lantang: "Hei... sampah-

sampah dunia! Cepat cabutlah senjata kalian,

sebelum segalanya terlambat...!"

"Puih...! Kalau cuma menghadapi gembel

busuk sepertimu, jangankan cuma satu,

seratus sekali maju pun aku si Tiga Angkara

tak kan gentar...!" Usai berkata begitu,

diiringi suara lengkingan yang tinggi si Bibir

Sumbing dengan masih di tempatnya

kirimkan satu pukulan, seberkas cahaya

dengan bau tikus warok, menderu dan


menimbulkan suara bercuitan. Cahaya maut

itu terus meluncur ke arah Buang Sengketa.

Pemuda itu yang memang sudah

memperhitungkan segala sesuatunya

nampak berkelebat, kemudian melesat ke

luar halaman kedai. Pukulan yang

dilancarkan oleh si Bibir Sumbing segera saja

melabrak dinding tepas kedai. Mengetahui

lawannya mencelat ke luar, mereka segera

mem-burunya. Sementara itu pemilik kedai

dan putrinya nampak bersembunyi di balik

pintu dengan tubuh menggigil ketakutan.

Si Tiga Angkara begitu sampai di

halaman kedai, nampak terkekeh. Dengan

penuh kesadisan dia membentak Pendekar

Hina Kelana yang saat itu berdiri menanti.

"Bocah hina... katakanlah namamu! Jika

tidak, kuburmu tak akan dikenal orang...!"

Buang Sengketa kembali terkekeh:

"Hahaha-ha... hahaha... sebaiknya cepat

berangkatlah ke neraka...!" Buang yang

sudah tidak sabaran ini gebrakkan tangan,

begitu pemuda ini mendorong tangannya ke

depan, laksana badai topan yang berhawa

sangat panas angin kencang menderu dan

melabrak mereka. Kecuali Bibir Sumbing,

Hidung Besar dan juga si Kepala Botak.

Kawan-kawan mereka yang lainnya

berpelantingan roboh. Tak ayal lagi jerit


kesakitan dan suara lolongan maut bergema

di tempat itu. Mengetahui lebih kurang

sembilan orang kawan-kawannya seketika

dalam keadaan tubuh hangus mengerikan. Si

Tiga Angkara walaupun mulai diliputi

perasaan was-was akan tetapi segera

membentak.

"Bocah... sebelumnya kami tak pernah

berurusan denganmu! Akan tetapi karena

kau telah membunuh kawan-kawan kami!

Hari ini kami si Tiga Angkara tidak akan

mengampuni jiwamu...!" ujar si Bibir

Sumbing sambil mencabut senjatanya yang

berupa sebuah Gada berwarna putih

keperak-perakkan. Sekali gada di tangan si

Bibir Sumbing terayun terdengar suara

bercuitan. Dengan sebat senjata andalannya

melabrak Buang Sengketa tanpa ampun.

Tentu saja pemuda ini tidak tinggal diam, dia

segera membentengi diri dengan jurus "Si

Hina Mengusir Lalat." Tubuh Buang Sengketa

berkelebat bagai bayang-bayang. Tangannya

yang berputar tak ubahnya dengan sebuah

baling-baling itu semakin ketat melindungi

dirinya.

Si Bibir Sumbing semakin membabi buta,

berkali-kali senjata mautnya itu bergerak

cepat mencari sasaran akan tetapi berkali-

kali pula serangan-serangannya dapat


dikandaskan oleh Pendekar Hina Kelana.

Mengetahui kawannya selalu gagal

membangun serangan. Si Hidung Besar dan

si Kepala Botak yang sudah terluka ikut

membantu. Pertempuran sengit pun segera

berlangsung. Dengan masih mempergunakan

jurus Si Hina Mengusir Lalat, Buang

Sengketa berseru lantang.

"Bagus... kalian sudah maju semua!

Kalau perlu bapak moyang kalian pun suruh

maju! Biar hari ini aku, si Hina Dina dapat

kirim kalian semua ke liang kubur!"

"Gembel sombong! Jangan ngebacot,

sebentar lagi kepalamu akan kubikin remuk!"

Si Tiga Angkara berhidung besar ikut

membentak dan mulai meningkatkan

serangannya. Lalu dengan menggerung, dia

lancarkan satu pukulan yang diberi nama

‘Hantu Gila Berkabung’. Dengan tangan

terjulur ke depan si Hidung Besar meng-

hantam ke arah bagian dada Buang

Sengketa, pemuda itu berkelit. Akan tetapi

walaupun serangan yang dilancarkan oleh si

Hidung Besar dapat dielakkannya, tak urung

dia berseru kaget.

"Ihh... ilmu iblis!" gumam pemuda itu

terus bergerak cepat. Dan belum lagi

pemuda itu sempat menarik napas, datang

pula serangan dari arah lain. Hanya dengan


sekali berpaling tahulah pemuda itu bahwa si

Bibir Sumbing dan si Kepala Botak sedang

berusaha merubuhkannya dari arah

belakang. Kalau hanya bertahan seperti itu

sudah jelas hanya akan membuang-buang

waktu saja, dia tak ingin pekerjaan yang

bertele-tele. Batin pemuda itu. Kemudian di

luar dugaan si Tiga Angkara, dengan sekali

genjot, melesatlah tubuhnya ke udara.

Begitu tubuhnya menukik ke bawah sebuah

pukulan yang diberi nama ‘Empat Anasir

Kehidupan’ dia lepaskan. Tak ayal selarik

sinar Ultra Violet melesat ke arah Tiga

Angkara. Mata mereka hanya sempat

terbelalak sebentar, sebelum mereka sadar

apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu,

sinar tadi telah melabrak tubuh mereka.

Meskipun mereka nampak berusaha

memapaki serangan itu, akan tetapi sudah

tak banyak berarti.

"Blaaar...." Tubuh mereka berpentalan

ke segala arah. Jerit kematian pun terdengar

kembali. Dari ketiga manusia itu hanya si

Kepala Botak saja yang luput dari kematian,

itu pun karena dia sempat ke luar dari arena

pertempuran. Begitu mengetahui kembrat-

kembratnya terkapar mati dengan keadaan

yang sangat sulit untuk dilukiskan. Lumerlah

nyali si Kepala Botak.


*********


LIMA



Setelah memandangi mayat-mayat

saudaranya, kini si Kepala Botak berpaling

pada Buang Sengketa dengan perasaan jera.

Namun begitu pun dia berusaha

membesarkan hatinya. Melihat keadaan si

Botak, Pendekar Hina Kelana pun tertawa

sinis.

"Botak... kini tinggal hanya kau seorang

diri, masihkah ada nyalimu untuk

membunuhku?" kata Buang Sengketa

mengejek.

"Hari ini aku memang kalah, tapi ingat

aku akan membalas sakit hati ini...!" Selesai

berkata begitu, si Kepala Botak bermaksud

meningalkan tempat itu. Akan tetapi tanpa

terduga, Buang kirimkan satu pukulan maut.

Sekali lagi sinar Ultra Violet itu memakan

korban, tubuh si Botak bagai dilemparkan

tangan-tangan raksasa tersambar "Empat

Anasir Kehidupan". Beberapa saat lamanya

tubuh si Botak berkelojotan untuk kemudian

diam selama-lamanya. Tanpa menghiraukan


mayat-mayat itu, Buang Sengketa berkelebat

pergi menuju Lembah Halilintar. Pemilik

kedai yang menyaksikan jalannya

pertarungan itu, nampak bernafas lega.

Apalagi bila melihat Si Tiga Angkara yang

selama ini bikin sengsara penduduk dusun itu

terkapar tanpa nyawa. Dia dan siapa pun

adanya mereka, merasa sangat berterima

kasih pada pendekar yang berilmu sangat

tinggi dan belum sempat mereka kenali

namanya. Demikianlah dengan dibantu oleh

putrinya dan juga penduduk dusun yang

semuanya terdiri dari kaum perempuan sore

itu juga mereka segera menguburkan mayat-

mayat anggota si Tiga Angkara.

* * * * *

Siang itu si Kembar Muka Pucat dari

Bukit Sumplung nampak sedang duduk di

bawah sebuah pohon yang sangat rindang.

Wajah mereka membayangkan kelesuan

yang teramat sangat. Perasaan kesal masih

menyelimuti hati mereka. Apalagi bila

teringat pada si Kakek Rombeng yang

menyebalkan itu. Mereka menjadi geram,

bagaimana tidak, mereka telah gagal

membalaskan sakit hati, dan orang tua bau


tanah itu bagai hantu malam lenyap begitu

saja dalam pandangan mereka. Sementara

itu tujuan mereka untuk dapat secepatnya

sampai di Lembah Halilintar sampai saat ini

masih menemui jalan buntu.

Sebagai pelampiasan kekesalannya,

salah seorang dari Bukit Sumplung itu

menjejakkan kakinya pada batang pohon di

mana tempat mereka berteduh. Tentu saja

tendangan kakinya ini bukan sembarangan

saja. Sebab sebelumnya telah disaluri tenaga

dalam. Begitu kakinya menggedor batang

pohon, suara bergemuruh bagai durian hutan

runtuh pun terdengar. Beberapa benda dari

pucuk pohon itu pun berjatuhan ke bumi.

Benda-benda yang berjatuhan itu di

antaranya menimpa salah seorang dari Bukit

Sumplung. Begitu si Kembar Muka Pucat ini

meneliti. Mendadak wajahnya menjadi merah

padam.

"Kurang ajar, monyet iblis dari mana

yang berani lancang menghina si Kembar

dari Bukit Sumplung! Tunjukkanlah

tampangmu..!" makinya, lalu mendongakkan

kepalanya ke atas. Melihat tingkah

saudaranya tentu si Kembar yang lainnya

jadi tertawa.


"Hehehe... hehehe...! Ada apa tadi?

Seperti monyet belepotan tahi ayam saja!"

selanya masih dengan terkekeh.

Namun tanpa terduga-duga dari atas

pohon benda yang berupa kotoran itu

kembali berjatuhan dan tepat menimpa

kepala si Kembar yang sedang mentertawai

saudaranya. Begitu dia meraba-raba

kepalanya. Tangannya tersentuh benda yang

lembek tadi. Tak ayal lagi dia mencium

tangannya, si Kembar ini terbatuk beberapa

kali, bau kotoran manusia yang terasa

menyengat memenuhi rongga hidungnya.

Tentu saja tak jauh beda dengan

saudaranya, sumpah serapahpun

berhamburan dari mulut si Kembar ini.

Sedangkan saudaranya yang lain, yang

tadinya menjadi bahan tertawaan, kini

meskipun masih dalam keadaan marah, mau

tak mau jadi ikut tertawa. Si Kembar ini

segera membentak, matanya menatap tajam

ke atas pohon.

"Monyet gila yang di atas pohon! Cepat-

cepatlah tunjukkan diri! Kalau tidak jangan

salahkan si Kembar dari Bukit Sumplung...!"

Begitu si Kembar Muka Pucat ini selesai

dengan ucapannya, tiba-tiba dari atas pohon

terdengar tawa suara serak seorang laki-laki.


"Hehehe... apakah telingaku yang sudah

budek ini tidak salah dengar? Bukankah

jauh-jauh kalian dari Bukit Sumplung, hanya

ingin memburu harta yang menggiurkan itu?"

kata suara di atas pohon mengejek. Kini

tahulah mereka bahwa orang yang di atas

pohon itu tak lain adalah si Kakek Rombeng

yang mereka buru. Dengan geram salah

seorang si Kembar membentak: "Rombeng

keparat... kau telah menghina kami di kedai

itu dan kini kau telah menghina lagi dengan

memberaki kepala kami, dosamu sudah

bertumpuk. Kau harus membayar dengan

nyawa busukmu!" Lagi-lagi si Kakek

Rombeng di atas pohon terkekeh.

"Kakusku ada di mana-mana... siapa

suruh kau duduk di bawah kakusku...?"

Merahlah wajah si Kembar muka pucat ini,

begitu mendengar kata-kata si Kakek.

Dengan sekali hentak, tangan si Kembar

secara bersamaan melepaskan sebuah

pukulan. "Mampuslah kau monyet busuk...!"

Pukulan yang dilancarkan si Kembar

terus melesat ke atas. Namun bersamaan

dengan itu si Kakek Rombeng juga

melepaskan sebuah pukulan pula. Akibatnya,

"Blaaar...!"

Dua tenaga dalam bertemu, seruan

tertahan keluar dari mulut si muka pucat.


Dari beradunya dua tangan itu, sadarlah si

Kembar dari Bukit Sumplung ini bahwa

tenaga dalam mereka terpaut jauh di bawah

si Kakek Rombeng. Kini mereka harus

mengakui bahwa mereka berdua tak

mungkin unggul melawan si kakek. Untuk itu

secara jujur mereka berterus terang. Namun

begitu mereka ingin mengatakan sesuatu, si

kakek telah mendahului.

"Hehehe...! Bagaimana, apakah kalian

masih bermaksud untuk membinasakan si

monyet busuk ini...!" kata si kakek sambil

tertawa tergelak-gelak. Dengan menjura

hormat ke atas pohon, hampir bersamaan si

Kembar dari Bukit Sumplung ini berkata:

"Orang tua terhormat, maafkan mata kami

yang lamur ini. Hingga kami benar-benar tak

mengetahui betapa tingginya gunung di

hadapan kami!"

Si kakek masih tetap di atas pohon

mendengus, "Huh... kau fikir dengan

menyanjung diriku seperti itu lantas aku

akan mengampunimu...!" Mendengar

jawaban si Kakek Rombeng terkesiaplah si

Kembar ini, akan tetapi mereka telah pasrah

untuk menerima nasib. Dengan merendah

mereka berkata: "Orang tua, kalau pun kau

bermaksud untuk membunuh kami semua,

kami tidak akan melawan...!"


Si kakek masih dengan terkekeh segera

melayang turun, tubuhnya nampak begitu

ringannya mendarat persis di depan si

Kembar. Sementara Si Kembar dari Bukit

Sumplung ini yang sudah merasa takluk di

bawah si kakek sudah siap menanti nasib.

Beberapa saat kemudian si kakek nampak

bergumam.

"Apakah kalian sudah siap untuk mati...!"

bentak si Kakek Rombeng, wajahnya yang

sudah keriputan itu mendadak berubah

bengis. Si Kembar yang tiada mengenal rasa

takut, dengan tenang menyahut: "Kalau itu

memang sudah merupakan keputusanmu,

kami sudah siap...!" jawab si Kembar Muka

Pucat serentak.

"Hahaha... wee, enak saja! Kalian fikir

aku akan membunuh kalian begitu saja?

Dengan jujur kalian harus menjawab

pertanyaanku dulu...!" kata si kakek,

kemudian masih dengan tertawa-tawa dia

menyambung kembali: "Selama malang

melintang dalam dunia persilatan, sudah

berapa banyak dosa yang telah kalian

perbuat, berapa banyak orang yang kalian

bunuh...?" tanya si kakek yang sudah barang

tentu membuat heran kedua orang ini.

"Apakah maksudmu orang tua...?" tanya

si Kembar Muka Pucat tak mengerti. Ditanya


malah balik bertanya, membuat si kakek

nampak semakin kesal. Dengan membentak:

"Orang-orang goblok... kalian dengar baik-

baik! Yang menentukan hidup matinya kalian

hanyalah hasil perbuatan kalian sendiri,

kalau selama hidup kalian banyak melakukan

kejahatan, maka hari ini kalian harus

menggorok leher kalian sendiri! Sekarang

jawab pertanyaanku tadi, ingat jangan coba-

coba berbohong. Aku tahu perjalanan masa

lalu siapa pun...!" si kakek berkata tegas.

Sesungguhnya si Kembar begitu mendengar

pertanyaan si Kakek Rombeng yang bertele-

tele itu sudah merasa kesal. Kalau mau

bunuh, bunuh saja. Bukankah mereka sudah

menyerah kalah. Begitu mereka berfikir.

Bagaimana pun kesalnya hati mereka tak

urung mereka juga menjawab: "Orang tua

rombeng... meskipun kami golongan hitam,

rasa-rasanya selama ini kami tak pernah

membunuh orang tanpa alasan tertentu,

akan tetapi kalau mencuri itu sering, bahkan

sudah tak terhitung lagi...!" si Kembar muka

pucat mengakui. Mendengar jawaban si

Kembar dari Bukit Sumplung yang terdengar

begitu polos, si kakek nampak angguk-

anggukkan kepalanya.


"Ohhh... jadi kalian ini sebangsanya

maling. Kalau dosa maling aku masih bisa

mempertimbangkan...!"

"Orang tua, setelah kami mengakui apa

adanya! Masihkah kau berniat untuk

membunuh kami? Kalau bisa jangan orang

tua, istriku di rumah sedang bunting besar,

bukan aku takut mati, tapi aku kasihan pada

istriku...!" ujar salah seorang si Kembar

memohon. Bersamaan dengan itu si Kembar

lainnya pun menyahut: "Aku mohon kau pun

jangan membunuhku orang tua, anakku lima

belas orang dan masih kecil-kecil, kalau aku

mati siapa yang akan memberi makan me-

reka...!" si Kembar ini pun menghiba. Untuk

yang kesekian kalinya si kakek ini kembali

tertawa.

"Hohoho... hohoho, rupanya beban kalian

berat juga, hee...?" tanya si Kakek Rombeng.

"Benar, Orang tua...!"

Si Kembar cepat menyahut. Laki-lagi si

Kakek Rombeng manggut-manggut. Lalu

katanya lagi: "Apakah dengan penjelasan

kalian, lalu kalian berfikir bahwa aku akan

mengampuni kalian...?" tanya si kakek

sambil tersenyum-senyum. Si Kembar dari

Bukit Sumplung ini yang sudah begitu

jengkel dan sangat putus asa segera men


jawab: "Kami sudah katakan semua orang

tua! Kini tinggal pengertianmu saja...!"

Mendengar ucapan si Kembar, beberapa

saat lamanya si Kakek Rombeng terdiam,

lalu.

"Hemmm.... Nasib kalian tinggal

tergantung pada dua pertanyaanku lagi.

Kalau kalian dapat menjawab seperti yang

kuinginkan berarti kalian akan selamat dan

tentu saja masih dapat bertemu dengan anak

bini, tapi kalau tidak jangan kalian harap

dapat ke luar dari daerah ini dengan

selamat...!" ancam si kakek.

"Apakah dua persyaratan itu, Orang

tua...?"

Si Kakek Rombeng terbatuk beberapa

kali, kemudian di pandanginya si Kembar

muka pucat dari Bukit Sumplung ini dalam-

dalam. Tak lama kemudian seperti berkata

pada diri sendiri:

"Masih adakah keinginan untuk sampai

ke Lembah Halilintar?" ujar si kakek.

Dengan serentak si Kembar menjawab

pasti: "Kami lebih baik pulang daripada harus

pergi ke neraka mempertaruhkan nyawa...!"

Jawaban si Kembar tentu saja mengejutkan

hati si Kakek Rombeng, akan tetapi ia

berusaha menutupinya di depan orang dari

Bukit Sumplung ini.


"Dari manakah kalian tahu, tentang

semua itu...!" tanya si kakek penuh selidik.

"Kami sudah menyelidikinya di sekitar

lembah! Sangat menakutkan, ribuan burung

hantu terdapat di sana! Ketika kami datang

mereka menyerang...!" ujar si Kembar masih

diliputi rasa ngeri.

"Apakah kau sangka mereka itu burung

sungguhan...?" tanya si kakek.

"Mengenai itu kami tidak tahu, Orang

tua...!" jawab si Kembar polos.

Saat itu si kakek nampak tertunduk,

mendadak wajahnya berubah sedih dan

putus asa, saat-saat seperti itu hilanglah

keangkeran si kakek. Tak lama kemudian dia

mulai berkata lirih: "Mereka itu dulunya

manusia pemburu harta, kian tahun jumlah

mereka kian bertambah banyak. Aku sebagai

juru kunci di lembah itu tidak mampu

berbuat banyak. Karena tempat itu sekarang

telah dikuasai oleh seorang ahli sihir yang

bernama, Nukman Jaya Tiga Momba. Orang-

orang itu di sihirnya, sedang harta yang

terpendam dikuasai nya. Kalau kalian tidak

keberatan, kalian bergabunglah denganku

untuk mencari kekuatan agar aku dapat

memusnahkan Lembah Halilintar yang kini

telah berubah jadi neraka buat orang-orang

yang telah berubah menjadi ribuan burung


hantu itu. Kita bisa menunggu saat-saat baik

untuk memusnahkan ahli sihir itu, agar

burung-burung jadi-jadian itu bisa kembali

ke asalnya...!"

Mendengar penjelasan si kakek mengerti

lah si Kembar dari Bukit Sumplung ini,

kemudian dengan senang hati mereka

berkata: "Orang tua, kalau kau memang

memerlukan tenaga kami dengan sukarela

kami akan membantu!" kata si Kembar.

Mendengar keputusan si Kembar tentu saja

si Kakek Rombeng sangat gembira. Untuk itu

si kakek mengajak si Kembar berkunjung ke

pondoknya yang terletak di pucuk kayu.

* * * * *


ENAM


Hari itu merupakan saat pertama kali

pemuda berpakaian merah-merah itu

menginjakkan kakinya di kota kecil Mentoak.

Keadaan kota yang sunyi sepi membuat

setengah bertanya-tanya dalam hati. Apa

yang telah terjadi di kota ini? Tanda tanya

itulah yang mengawali langkahnya.

Begitupun pemuda yang selalu membawa

sebuah periuk besar ke mana-mana ini,

tanpa ada perasaan ragu tetap

melangkahkan kakinya, mencari sebuah

kedai demi menambah perbekalannya yang

sudah hampir habis. Sepanjang jalanan yang

sepi matanya yang setajam mata elang itu

terus memperhatikan ke sekelilingnya. Pintu-

pintu rumah penduduk tak satu pun yang

terbuka. Begitu pun dengan kedai-kedai yang

ada. Semuanya nampak tutup. Hal ini tentu

saja semakin membuat tanda tanya besar di

dalam hati Pendekar Hina Kelana. Agaknya di

Mentoak yang kecil ini sedang terjadi sesuatu

yang sangat misterius hingga para

penduduknya pindah ke tempat yang lebih

aman, atau bahkan.... Buang Sengketa tidak

punya keberanian untuk mereka-reka lebih


lanjut. Dari lorong ke lorong pemuda itu

keluar masuk, namun sejauh itu, dia belum

mendapatkan apa yang diharapkannya.

Ketika dia sudah mulai bosan berkeliling,

tidak begitu jauh di sudut jalan, pemuda itu

melihat berkelebatnya tiga sosok bayangan

di hadapannya. Dengan penasaran pemuda

itu memburunya, begitu dia sampai di

tempat itu barulah dia dapat bernafas lega.

Sebuah kedai makanan dengan bau masakan

yang sedap menyengat, membuat rasa

laparnya semakin menjadi-jadi. Lalu tanpa

canggung-canggung lagi pemuda itu masuk

ke dalam kedai, lalu segera duduk di tengah-

tengah ruangan. Sekilas matanya menyapu

ke segenap ruangan. Kecuali tiga orang yang

tadi sempat dilihatnya. Tak ada lagi orang

lain di tempat itu. Kelihatannya ketiga orang

ini pun sangat acuh dengan kehadiran Buang

Sengketa.

Begitu pemuda ini sedang menekuri

meja, seorang gadis berwajah sangat jelita

menghampirinya. Diiringi senyum yang

ramah, si gadis ini langsung menegurnya:

"Tuan muda mau pesan apa...!" tanya si

gadis sambil mengagumi keta-panan pemuda

itu. Buang Sengketa melirik sekilas, lalu

dengan tersenyum pula dia mengatakan

keinginannya.


"Tolong bawakan aku sop manjangan

juga beberapa bendul tuak...!" kata Buang

Sengketa antusias.

"Tuan yang tampan... kalau tuak tidak

ada! Akan tetapi kalau nira kelapa ada.

Apakah kau mau...?" tanya si gadis

menawarkan.

"Aku sedang lapar, apa pun yang kau

bawa pasti kumakan! Dan yang penting

enak!" kata Buang Sengketa polos.

Kembali si gadis tersenyum, kemudian

tambahnya: "Jangan takut, Tuan. Makanan

yang kami sediakan selalu yang enak-

enak...!" ujar si gadis setengah bangga.

"Cepatlah sediakan... tok aku tak kan

kenyang kalau cuma mendengar saja...!"

tukas Pendekar Hina Kelana tak sabaran.

Setelah membungkuk sopan gadis itu berlalu

meninggalkan si pemuda. Lagi-lagi Buang

melirik ke tempat tiga orang tadi. Melihat

penampilan mereka ini, tentu bukanlah orang

sembarangan. Terlebih-lebih si kakek tua

yang berpakaian rombeng dengan sebuah

kecapi selalu berada di pundaknya. Pastilah

seorang tokoh persilatan yang berilmu

sangat tinggi. Begitu pun dengan dua orang

bermuka pucat yang duduk di samping si

kakek, meskipun ilmu kepandaiannya masih

di bawah si kakek akan tetapi Buang


Sengketa merasa sangat yakin bahwa orang

itu berilmu tinggi juga. Pemuda itu juga tahu

meskipun sikap mereka selalu acuh akan

tetapi sesungguhnya sejak tadi mereka

mengawasi tingkah pemuda itu. Apa pun

yang akan dilakukan orang itu, Pendekar

Hina Kelana tidak perduli. Begitu tak lama

kemudian menghidangkan pesanan Buang di

atas meja, tanpa ragu pemuda itu segera

melahapnya. Sigadis jelita yang sejak tadi

memperhatikan tingkah si pemuda kembali

tersenyum-senyum. Tanpa dipersilahkan

gadis itu duduk di hadapan Buang.

Sebagaimana kebiasaannya, gadis itu

bertanya lirih pada Pendekar Hina Kelana.

"Agaknya tuan muda baru melakukan

perjalanan yang sangat jauh...!"

Tanpa menjawab, sekilas Buang

memperhatikan gadis itu, gadis ini begitu

cantik akan tetapi Buang merasakan adanya

sesuatu yang tak baik tersimpan di mata

gadis itu. Bahkan nalurinya mengatakan

bahwa ada hawa siluman terpancar dari

tubuh gadis itu. Diam-diam Buang mulai

menaruh rasa curiga. Agaknya gadis itu

mengerti apa yang sedang difikirkan oleh

pemuda itu, beberapa saat kemudian

kembali dia berkata lirih: "Tuan tak perlu

menaruh rasa curiga...! Bahkan kalau tuan


mau saya dapat membantu tuan untuk

menemukan tempat yang bernama Lembah

Halilintar itu.”

Mendengar keterusterangan si gadis,

bukan main terkejutnya hati pemuda itu.

Sebab seingatnya dia tak pernah

membicarakan maksud dan tujuannya pada

siapa pun. Tapi mengapa gadis itu bisa

mengetahuinya? Melihat kenyataan ini

semakin bertambah besarlah rasa curiga di

hati Buang Sengketa.

"Mengapa tempat ini begini sepi...?!"

tanya Buang dengan pandangan menyelidik.

"Mengapa tuan bertanya seperti itu...?"

si gadis malah balik bertanya.

Buang Sengketa tersenyum getir. "Aku

hanya ingin tahu saja...!" kilah pemuda itu.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba si kakek

yang berada di sudut ruangan nampak

terbatuk beberapa kali. Dengan sekali lirik

saja tahulah pendekar dari negeri Bunian ini

bahwa batuk kakek itu hanya dibuat-buat.

Beberapa saat berikutnya terdengar

denting-denting kecapi, si Kakek Rombeng

kembali alun-kan bait-bait syair lagunya:

Hidup di dunia sengsara

Setan-setan pergi berburu harta

Meninggalkan sarangnya

Kemudian hilang entah ke mana


Kalau demikian adanya

Benar kata emak

Hantu yang paling menakutkan

Adanya di dalam diri

Peperangan yang tiada berkesudahan

Adalah melawan hawa nafsu

Angin, api, air dan tanah adalah

kehidupan

Untuk apa menyesal dan bertanya-tanya

Kalau nanti terjawab juga

Hidup sebuah teka-teki

Untuk apa sedih

Bila esok kita berpulang jua

Oh....

Aku cuma juru kunci

Yang tiada guna

Tak berdaya....

Begitu syair-syair yang dinyanyikan si

Kakek Rombeng usai, wajahnya yang keriput

itu tertunduk sedih. Ada sebersit sesal

membayang di pelupuk matanya. Tingkah si

kakek sudah barang tentu sangat menarik

perhatian si pemuda. Tanpa tertahankan lagi

akhirnya dia bertanya pada si gadis.

"Siapakah kakek itu...?"

Si gadis melirik sebentar pada si kakek,

kemudian kembali lagi pada Buang

Sengketa.


"Dia orang sinting! Jangan tuan

layani...!" jawab si gadis.

“Tapi nampaknya dari syair-syair lagunya

rasa-rasanya ada sesuatu yang

tersembunyi...!"

Gadis itu lagi-lagi tersenyum, sebuah

senyum yang membuat kecurigaan si

pemuda semakin bertambah-tambah. Saat-

saat begitu, tiba-tiba saja si gadis

mengalihkan pembicaraan.

"Apakah tuan butuh penginapan...?"

tanya si gadis menawarkan.

"Hemm, cara gadis ini berbicara sangat

menarik sekali, agaknya aku perlu

menyelidiki gadis ini dulu." batin pemuda itu.

"Tentu aku sangat membutuhkannya...!"

jawab si pemuda dengan wajah berseri-seri.

Kemudian dia menyambung lagi: "Apakah

penginapan masih jauh lagi dari kedai ini...!"

"Di sini tidak ada penginapan, Tuan....

kalau pun ada sudah sangat lama

ditinggalkan oleh pemiliknya. Biasa mereka

merasa lebih beruntung berburu harta dari

pada mengharapkan hasil dari

penginapannya...!"

Pendekar Hina Kelana manggut-

manggut. "Kalau begitu malam ini aku

kembali tidur di kolong rumah...!" ujar Buang

Sengketa berpura-pura menyesalkan.


"Mengapa harus di kolong...? Kalau tuan

mau, di sebelah kedai ini sesungguhnya ada

penginapan yang masih milikku! Kalau tuan

mau tuan boleh melewatkan malam di

situ...!" ujar si gadis.

"Kalau begitu aku merasa sangat

beruntung sekali...!" sela Buang Sengketa.

Pada saat mereka terlibat pembicaraan

seperti itu, mendadak ketiga orang itu

beranjak meninggalkan tempat duduknya.

Kemudian sebelum melangkah pergi mereka

menghampiri meja Buang Sengketa, lalu

seolah-olah tanpa sengaja salah seorang

muka pucat menjegal kaki si Kakek

Rombeng. Kakek itu terjerembab persis di

pangkuan Pendekar Hina Kelana. Kejadian

yang hanya beberapa detik itu dengan tanpa

sepengetahuan siapa pun, si kakek

memasukkan sesuatu ke dalam saku Buang

Sengketa. Buang Sengketa yang mengetahui

kejadian ini, walaupun sesungguhnya dia

masih merasa heran tapi dia berpura-pura

membentak: "Kakek goblok... kau telah

menumpahkan makananku! Aku tak

terima...!"

Si kakek yang memang sudah merasa

bersalah, segera, menjura hormat: "Maafkan

aku yang lamur dan tiada guna ini. Aku akan

mengganti makananmu yang tertumpah...!"


ujar si kakek sambil merogoh sakunya.

Namun tiba-tiba saja

Buang Sengketa menampik: "Eee...

sudahlah jangan...!" sergah Buang Sengketa.

"Kalau begitu terima kasih atas segala

kemurahan hatimu...!" kata si kakek sambil

membungkuk hormat. Setelah berkata begitu

tanpa menoleh lagi ketiga orang itu serentak

melangkah pergi. Buang memperhatikan

ketiga orang aneh itu sampai kemudian

menghilang dari pandangan matanya.

Seperginya orang-orang tadi, Buang

kembali memperhatikan gadis jelita yang kini

masih tetap duduk di hadapannya. Kemudian

seperti berkata pada dirinya sendiri: "Orang-

orang aneh, sebuah tempat yang

menyeramkan...! Aku tak tahu apa yang

akan terjadi di depan sana...!" desah

pemuda itu dengan suara pelan. Namun tiba-

tiba saja si gadis jelita itu menimpali.

"Maaf, Tuan yang tampan! Jangan

hiraukan dia. Dia itu memang orang sinting

bertabiat aneh dan suka meratap sendirian."

kilah si gadis diiringi seulas senyum yang

mendebarkan.

"Tapi benarkah si kakek tua itu

merupakan juru kunci Lembah Halilintar

seperti yang dia katakan...?" tukas pemuda

itu dengan pandangan penuh selidik.


"'Hihihik.... Mengapa tuan harus percaya

pada orang tua edan!" kata si gadis diiringi

tawa.

"Gadis itu meskipun punya wajah

secantik bidadari, agaknya mempunyai

kepandaian yang cukup tinggi. Baiknya aku

akan mencobanya." batin si pemuda.

Bersamaan dengan itu secepat kilat Pendekar

Hina Kelana gerakan tangannya mengarah ke

dada si gadis. Namun begitu tangan itu

hampir mencapai sasarannya tiba-tiba si

gadis menangkis.

"Thaak... plaak... plaaak!" Buang

Sengketa berseru kaget. Benar seperti apa

yang dia duga bahwa memang ternyata

gadis jelita ini berilmu sangat tinggi.

Sementara itu masih dengan senyumnya

yang ramah si gadis ini menegur: "Ihh...

ternyata tuan muda orang yang genit dan

nakal...!"

Buang Sengketa nampak tersipu malu,

akan tetapi katanya kemudian: "Maafkan

aku, Nona...!"

* * * * *


TUJUH


"Nona Jelita." kata si gadis

menyambung. "Hemm, Nona Jelita, namamu

secantik wajahmu! Oh, ya maafkan aku, kau

membuatku geregetan saja...!" ujar Buang

Sengketa berpura-pura.

"Aku pun suka pada orang setampan

tuan...!" kata gadis itu mengakui.

Tanpa menanggapi ucapan si gadis,

pendekar dari negeri Bunian ini mengalihkan

pembicaraan.

"Oh ya, bagaimana dengan kakek tua

tadi...?" tanya Buang Sengketa kembali pada

persoalan semula.

"Maksud tuan...! Apakah orang tua

gendeng itu merupakan juru kunci Lembah

Halilintar, begitu...?"

Tanpa menjawab, Buang Sengketa

mengangguk.

Lagi-lagi gadis yang bernama Jelita ini

tersenyum manis.

"Kalau pun orang sinting itu seorang juru

kunci, paling tidak merupakan juru kuncinya

kuburan setan...!" ujar gadis itu. Dengan

cermat Buang memperhatikan wajah si

Jelita, dari beradunya pandangan mata


mereka yang sesaat itu, Buang Sengketa

dapat mengetahui bahwa sesungguhnya

bahwa si gadis ada menyimpan rasa tak

senang pada si kakek. Apa pula ini! Hal ini

harus dia selidiki. Batinnya lagi. Mungkin

juga telah terjadi sesuatu antara si Kakek

Rombeng dengan si Jelita. Hal ini sangat

mungkin saja terjadi. Ketika Buang Sengketa

sedang berfikir seperti itu, tiba-tiba si gadis

kembali berkata: "Apakah tuan jadi

menginap di tempatku...?" Pertanyaan yang

mendadak ini sudah barang tentu membuat

Pendekar Hina Kelana jadi gelagapan. Akan

tetapi ia segera menjawab.

"Ee... ten... tentu saja!" kata Buang

Sengketa terbata.

"Sebaiknya memang begitu, Tuan.

Banyak orang yang akan meneruskan

perjalanan selalu menginap di sini...!"

"Maksudmu...?" tanya pemuda itu tak

mengerti.

"Maksudku, mereka yang datang dari

tempat yang jauh, untuk memburu harta

yang menghebohkan itu! Biasanya sebelum

melanjutkan perjalanan mereka akan

menginap di sini...!" jelas si gadis.

Buang Sengketa menjadi semakin

tertarik.


"Benarkah Lembah Halilintar merupakan

sebuah gudang penyimpanan harta karun?"

pancing Pendekar Hina Kelana.

Gadis yang bernama Jelita itu tersenyum

penuh arti.

"Apakah tuan juga bermaksud untuk

mengadu untung di Lembah Halilintar...?"

tanya Jelita.

Mendengar pertanyaan si gadis, Buang

Sengketa tersenyum getir.

"Mungkin juga aku akan ke sana! Siapa

tahu aku termasuk orang yang beruntung

untuk mendapatkan harta itu...!" pancing

Buang Sengketa.

Begitu mendengar kata-kata Buang

Sengketa, wajah si gadis nampak berubah

cerah lalu dengan sesungging senyum yang

sangat menawan gadis itu menyambung:

"Saya berharap tuan bisa cepat berhasil...!"

Mendengar ucapan si gadis, Buang

Sengketa nampak terdiam beberapa saat

lamanya. Akan tetapi begitu dia teringat

sesuatu, dia menoleh pada si gadis,

kemudian bertanya: "Tapi bukankah untuk

dapat masuk ke sana aku harus menemui

juru kuncinya...?"

"Hihihi... hihihi...!" gadis itu kembali

tertawa, sederetan giginya yang putih bersih


tersembul di antara kedua bibirnya yang

nampak malu-malu.

"Barangkali tuan terpengaruh ucapan si

kakek edan itu! Ketahuilah, Tuan. Bahwa

Lembah Halilintar itu merupakan sebuah

daerah bebas, tidak memakai juru kunci

sebagaimana layaknya sebuah kuburan.

Tuan dapat ke sana kapan saja tuan mau."

"Oh... begitu!" gumam si pemuda

ketololan.

Demikianlah mereka nampak terlibat

pembicaraan sampai larut malam, ketika

pendekar ini ingin melepaskan lelah. Si gadis

segera mengantarkannya ke arah kamar

yang sudah tersedia. Setelah berbasa basi,

tak begitu lama kemudian gadis itu segera

bergegas ke beiakang. Kemudian memasuki

sebuah kamar yang sangat menyeramkan.

Sepeninggalnya gadis pemilik kedai dan

juga penginapan itu. Buang Sengketa yang

memang sudah merasa sangat lelah segera

membaringkan tubuhnya di sebuah balai

bambu yang tersedia di kamar itu. Tubuhnya

terlentang, matanya memandang ke langit-

langit kamar. Akan tetapi begitu dia teringat

pada si kakek, teringat pula dia akan sesuatu

yang dimasukkan si Kakek Rombeng ke

dalam saku celananya, tangannya segera

bergerak merogoh, sejenak Pendekar Hina


Kelana ini memperhatikan sebuah benda

berlipat yang berasal dari kulit kayu. Dengan

hati berdebar dia membuka kulit kayu yang

terlipat rapi itu. Isinya sangat mengejutkan

hati pemuda ini, hanya tiga baris kalimat.

Akan tetapi isinya sangat mendebarkan

hatinya.

"KI SANAK! AKU TAHU KAU MEMPUNYAI

KEPANDAIAN YANG SANGAT TINGGI. AKU

BUTUH BANTUANMU. BERHATI-HATILAH DE-

NGAN PEREMPUAN ITU. SEWAKTU-WAKTU

DIA DAPAT MENGGOROK LEHERMU. TERIMA

KASIH, TERTANDA: JURU KUNCI LEMBAH

HALILINTAR."

Usai membaca surat yang diberikan oleh

si Kakek Rombeng, pemuda itu nampaknya

tercenung, tak begitu lama kemudian dia

sudah bangkit dari pcmbaringan dan lagi-lagi

ia merenung. Lalu dia mulai membanding-

bandingkan isi surat dengan apa yang

dikatakan oleh si Jelita. Mungkin dua orang

ini merupakan musuh bebuyutan? Akan

tetapi mengapa si kakek begitu bebasnya

keluar masuk di kedai milik si gadis. Kalau

begitu aku harus menyelidiki gadis itu. Batin

si pemuda, kemudian dengan sangat berhati-

hati pemuda itu menyelinap pergi.

Sementara itu, di kamar si gadis yang

berkesan menyeramkan nampak gadis Jelita


itu sedang duduk bersila di atas sebuah

meja, sedangkan wajahnya menghadap ke

arah sebuah jendela yang sudah terbuka.

Pada saat yang bersamaan kiranya Buang

Sengketa sudah berada di depan pintu,

dengan penasaran dia mencari-cari lubang

untuk mengintip, akan tetapi setelah

bergerak kian ke mari dia tak menemukan

apa yang dicari-carinya. Akhirnya dia

mengambil keputusan untuk melubangi salah

satu sisi dinding yang terbuat dari papan

kayu. Tanpa menimbulkan suara dan dengan

sedikit mengerahkan tenaga dalam dinding

papan itu pun berlubang. Pendekar Hina

Kelana ini segera melakukan pengintaian.

Pada saat itu di dalam kamar yang

menyeramkan. Gadis yang bernama Jelita itu

nampak begitu khusuknya sedang

membacakan mantera-mantera. Kedua

tangannya nampak disilangkan ke depan

dada. Tak lama kemudian dari tubuh gadis

itu memancarkan seberkas cahaya aneh lalu

secara perlahan namun cukup pasti tubuh si

Jelita tiba-tiba saja lenyap hanya beberapa

saat saja tubuh gadis cantik itu telah

berubah menjadi seekor burung hantu.

Burung hantu celingak-celinguk ke

sekelilingnya, seolah mengetahui kehadiran

Buang Sengketa namun membiarkannya.


Kembali perhatian burung itu tertuju pada

jendela yang sudah terbuka lebar. Setelah

mengeluarkan suara aneh dengan sekali

mengepakkan sayapnya, burung itu melesat

menembus kepekatan malam.

Sementara itu Buang Sengketa yang

sejak tadi memperhatikan peristiwa yang

mendebarkan itu, kini nampak bersandar

pada dinding kamar. Kejadian itu benar-

benar sangat sulit untuk dipercaya. Siapa

sangka gadis cantik jelita itu sesungguhnya

seekor siluman yang sewaktu-waktu dapat

berubah. Kalau begitu benar apa yang

dituliskan si kakek dalam suratnya, bahwa

dia harus bersikap hati-hati terhadap

perempuan itu. Kalau gadis itu dapat

berubah-ubah sesuai dengan keinginannya,

sudah barang pasti mungkin ada sesuatu

yang ingin ditujunya. Diam-diam Buang

Sengketa mulai menghubung-hubungkan

kejadian itu dengan keadaan di Lembah

Halilintar. Sungguh menyedihkan nasib

pemburu harta itu, entah apa sesungguhnya

yang telah terjadi di sana. Tanpa terasa bulu

kuduk Pendekar Hina Kelana ini pun

merinding.

Suasana sepi telah menyelimuti kota

mati Mentoak, saat itu Buang Sengketa

sudah berada kembali di kamarnya. Berbagai


kemelut berkecamuk di dalam benaknya.

Hingga tak lama kemudian matanya mulai

terasa ngantuk. Buang kembali merebahkan

tubuhnya di atas dipan. Namun ketika

matanya hampir terpejam, pada saat

angannya mulai melayang jauh. Sayup-

sayup dari kejauhan dia mendengar suara

burung hantu. Semakin lama semakin

banyak, lalu terdengar semakin dekat.

Hingga akhirnya benar-benar seperti berada

di sekeliling penginapan. Buang Sengketa

segera terjaga, lalu mengusap-usap

matanya. Begitu suara-suara burung malam

itu semakin bertambah ramai terdengar,

dengan hati diliputi tanda tanya pemuda itu

segera membuka daun jendela. Begitu

matanya yang setajam mata elang itu

memandang ke arah kegelapan malam,

tubuh pemuda itu bagai tersengat ribuan

kalajengking tersentak kaget. Kedua bola

matanya terbelalak tak percaya. Sebab sama

seperti apa yang dilihat oleh orang-orang

yang menempati kamar-kamar itu

sebelumnya. Pendekar Hina Kelana ini juga

melihat, di beberapa pohon yang terdapat di

sekeliling penginapan, nampak ribuan pasang

mata, dari sosok hewan yang sangat dia

kenal memandang padanya dengan tatapan

menghiba. Burung itu mengeluarkan suara


dan saling bersahutan sesamanya. Seumur

hidup belum pernah pendekar dari negeri

Bunian ini melihat burung hantu sampai

sebanyak itu. Ketika pemuda itu ingin

mengetahui lebih lanjut apa sesungguhnya

yang sedang terjadi. Dengan cepat pemuda

ini mengerahkan segenap perhatiannya pada

burung-burung yang beterbangan ke mana-

mana ini. Tak berapa lama kemudian setelah

segala kekuatannya terfokus menjadi satu,

maka tahulah pendekar bernaluri tajam ini,

bahwa sesungguhnya burung-burung itu

adalah jelmaan manusia biasa. Mungkin saja

burung-burung itu adalah para pencari harta

yang dikutuk oleh pemiliknya. Kalaulah benar

memang demikian adanya, tentu penghuni

Lembah Halilintar adalah seorang tokoh sakti

yang memiliki berbagai ilmu kepandaian

yang tidak sembarangan dan tidak bisa

dianggap enteng. Demikianlah tak lama

setelah itu Buang Sengketa kembali menutup

jendela kamarnya. Begitu jendela tertutup

bunyi burung hantu itu kembali memecah

keheningan. Buang Sengketa sudah tak mau

ambil perduli. Dengan menutup kedua

telinganya pendekar dari negeri Bunian itu

pun akhirnya tertidur.

* * * * *


Sementara itu pada saat yang sama,

burung hantu jelmaan Jelita sudah sampai di

Lembah Halilintar, tempat di mana harta

yang sangat menghebohkan itu tersimpan.

Burung hantu jelmaan Jelita nampak hinggap

di atas permukaan tanah, sementara di

sekelilingnya burung-burung yang sama

kelihatan bersuara riuh menyambut

kehadirannya. Mungkin juga burung-burung

ini merupakan jelmaan tokoh-tokoh

persilatan tingkat atas yang sengaja

dijadikan pengawal untuk menjaga Lembah

Halilintar oleh ahli sihir Nukman Jaya Tiga

Momba.

Kembali pada burung hantu jelmaan si

Jelita yang saat itu telah kembali ke ujud

semula. Setelah kembali dalam keadaan

yang sesungguhnya, gadis ini segera

menghampiri sebuah bangunan tua yang

sangat mirip dengan sebuah istana tak

begitu jauh di depannya. Bangunan tua itu

meskipun tampak megah akan tetapi terasa

sangat angker. Di samping hanya terlihat

secara samar, tidak mengherankan karena

bangunan itu selalu diselimuti kabut tebal

yang abadi. Dengan di jaga dengan ribuan

burung hantu, bangunan itu sepintas lalu


mempunyai kesan tak jauh beda dengan

istana hantu. Gadis itu terus melangkah

dengan mantap, sementara ratusan pasang

mata yang berujud burung hantu nampak

memandang kepadanya dengan tatapan

penuh takluk. Kini gadis itu telah tiba di

depan sebuah pintu yang hampir

keseluruhannya terbuat dari emas permata.

Beberapa saat mulut si gadis nampak

berkomat-kamit. Begitu dia selesai dengan

mantera-manteranya dari dalam istana itu

terdengar suara lirih namun terasa berat.

"Anakku... mengapa hanya berdiri saja di

situ? Masuklah...!" perintah si suara begitu

berwibawa.

"Terima kasih, Ayahanda! Nanda segera

menghadap...!"

Bersamaan dengan itu, pintu yang

berlapis emas itu pun terbuka, dengan

segera si gadis jelita melangkah masuk, dia

terus melangkah ke arah sebuah ruangan

yang berlantai marmer biru yang sangat

luas sekali. Di tengah-tengah ruangan

itulah seorang laki-laki bertampang bengis

dengan segala kemegahan nampak duduk di

sebuah singgasana yang hampir

keseluruhannya terbuat dari emas. Gadis itu

segera bersimpuh di hadapan laki-laki itu,

untuk kemudian menghaturkan sembah


beberapa kali. Melihat bakti si gadis, laki-laki

yang bernama Nukman Jaya Tiga Momba itu

pun berseru.

"Sudahlah, Nanda. Dengan ayah

kandungmu sendiri mengapa memakai

segala peradatan! Toh di sini cuma kita

berdua...!" tegurnya.

"Terima kasih, Ayanda...." ujar si gadis

takjub.

* * * * *


DELAPAN


Berbeda dengan anaknya yang kerap kali

tersenyum, laki-laki bertampang bengis

menyeramkan ini sepanjang hidupnya tak

pernah tersenyum. Hal ini mungkin erat

kaitannya dengan ilmu sihir yang sangat

diyakininya. Begitu pun saat dia sedang

bertemu dengan anak kandungnya. Sekali

pun keramahan tidak terlihat dari wajah laki-

laki yang menjadi penguasa Lembah

Halilintar itu. Akan tetapi sebagai orang tua

tentu dia sangat sayang pada putrinya yang

cuma satu-satunya ini. Tak begitu lama

kemudian dia berkata: "Anakku... tentu

kedatanganmu ke mari ini bukanlah hanya

sekedar melihat ayahmu saja bukan? Nah

sekarang coba katakan padaku berita apa

yang kau bawa!"

"Ayanda, sebelum nanda memberi kabar

lebih lanjut, nanda ingin tahu dan ayanda

apakah tujuh orang rombongan yang datang

ke mari beberapa hari yang lalu itu...?!"

tanya si Jelita sambil membungkuk hormat.

Ditanya seperti itu oleh anak

kandungnya, ahli sihir Nukman Jaya Tiga

Momba nampak terdiam beberapa saat


lamanya. Wajahnya yang bengis itu nampak

mengkerut, tak berapa lama kemudian

ditatapnya wajah si gadis, kemudian dengan

suara petan dia berkata: "Sesungguhnya apa

yang kau maui dari orang-orang yang tiada

berguna itu...?"

"Ayahanda, kalau nanda boleh

memohon, ananda ingin agar orang itu

jangan disihir menjadi burung hantu...." ujar

si gadis takut-takut.

"Maksudmu...?" tanya laki-laki itu tak

mengerti.

"Maksud nanda, supaya orang-orang itu

disihir menjadi kuda tunggangan saja.

Lagipula bukankah orang-orang sakti yang

ayanda sihir menjadi burung-burung yang

sedemikian banyak itu telah cukup untuk

menjadi pengawal di Lembah Halilintar ini...!"

Mendengar kata-kata anaknya tiba-tiba

saja laki-laki bertampang bengis itu menyela.

"Kau ingin ayandamu ini menyihir

mereka menjadi beberapa ekor kuda

tunggangan? Hemmm... tidak bisa!

Ayandamu ini tak ingin kau nantinya

mendapat kesulitan. Untuk itu aku telah

menyihir mereka menjadi tujuh burung

hantu raksasa!"

"Bukankah orang-orang yang kau sihir

menjadi burung hantu jumlahnya telah


mencapai ratusan bahkan ribuan...?" protes

anaknya.

"Orang-orang tiada guna itu walaupun

jumlahnya mencapai ribuan, tapi apa

gunanya. Mereka tidak memiliki kepandaian

apa-apa! Mereka hanya sampah yang

memuakkan...." ujar laki-laki itu geram.

"Kalau begitu mengapa ayahanda tidak

membebaskan mereka saja...?" tanya si

gadis.

"Apa? Membebaskan mereka? Huh...

selamanya itu tak akan aku lakukan, lebih

baik mereka itu menjadi burung hantu

sampai beranak pinak...!" kata laki-laki itu

tegas. Dan sudah barang tentu membuat si

anak terkejut luar biasa. Namun begitu pun

si gadis tidak berani memprotes keputusan

orang tuanya ini. Sebab biar bagaimana pun

dia cukup tahu bagaimana tabiat orang

tuanya.

"Kalau hal itu memang sudah menjadi

keputusan ayanda tentu ananda hanya

menurut saja...!" ujar si anak pasrah.

"Hemm... bagus! Kau benar-benar

seorang anak yang sangat berbakti pada

orang tua. Mudah-mudahan saja kau dapat

mewarisi segala kesaktian yang kumiliki!"

ujar si orang tua. Dan kemudian dia

menyambung lagi: "Sekarang ayahanda ingin


tahu berita apa yang sesungguhnya nanda

bawa...!"

Ditanya seperti itu, Jelita nampak

tercenung, dia berfikir. Haruskah dia

memberi tahu tentang kedatangan seorang

pemuda tampan yang nantinya akan segera

sampai di lembah itu. Ayahandanya terlalu

kejam, bagaimana pula jika nanti pemuda

yang telah meluluhkan hatinya itu

mengalami nasib seperti yang lainnya. Disihir

menjadi burung hantu. Oh, sungguh

menyakitkan sekali, dia telah jatuh cinta

pada pemuda yang sangat tampan itu.

Haruskah dia mencegah atau bahkan

melindungi pemuda yang sangat dicintainya

itu. Bagaimana pula kalau ayahnya nanti

menjadi murka. Dalam kebimbangan itu,

tiba-tiba saja laki-laki bertampang bengis itu

menegurnya.

"Anakku, mengapa kau diam! Adakah

sesuatu yang mengganjal hatimu...?"

Ditanya seperti itu oleh orang tuanya,

gadis jelita itu nampak gugup.

"Mengapa nanda menjadi segugup

itu...?" tanya si orang tua nampak tak sabar.

"Tidak biasanya kau seperti ini.

Katakanlah siapa tahu aku bisa

membantumu!" sambungnya lagi.


"Ayahanda... sesungguhnya nanda ingin

mengatakan sesuatu. Akan tetapi nanda

takut nanti ayanda akan menjadikan dia

seekor burung hantu di Lembah Halilintar

ini...!" jawab Jelita pelan. mendengar

jawaban anaknya sudah barang tentu si

orang tua ini merasa sangat heran. Sebab

tak biasanya putri satu-satunya ini

menyampaikan sesuatu dalam keadaan ragu-

ragu. Meskipun laki-laki ini merupakan

seorang tukang sihir yang sangat kejam,

akan tetapi terhadap anaknya sendiri sudah

barang tentu dia sangat menyayanginya.

"Apakah si tua Rombeng tiada guna itu

yang telah membuat hatimu sedih...?"

Jelita menggeleng pelan.

"Lalu apa...?" tanya si orang tua semakin

tak sabaran.

"Maukah ayanda berjanji untuk tidak

menyihir dan menyakiti orang itu...!"

Mendengar permohonan anaknya si ahli

sihir ini semakin bertambah heran.

"Maksudmu...?"

"Begini ayanda! Mungkin tak lama lagi

ada seorang pemuda yang sangat tampan

datang ke tempat kita ini. Mungkin juga dia

bermaksud ingin menggali harta yang

tersimpan di Lembah Halilintar. Kalau hal itu

benar terjadi, nanda ingin agar ayanda


bermurah hati untuk mengampuninya...!"

ujar si gadis malu-malu. mendengar

keterangan anaknya, maka tahulah orang

tua itu bahwa sesungguhnya putrinya yang

cuma satu-satunya itu sedang jatuh cinta.

Kemudian dengan suara lunak, laki-laki

bertampang bengis itu berkata: "Kalau orang

itu mampu mengalahkan aku. Baru aku akan

mengampuninya, akan tetapi jika tidak, aku

akan menyihirnya menjadi sosok yang

sangat mengerikan...!"

Terkesiaplah gadis jelita itu begitu

mendengar keputusan orang tuanya,

kemudian dengan perasaan kecewa, dia

bergumam seperti pada diri sendiri.

"Kalau dia mati di tangan ayanda! Di

depan ayanda pula nanda akan bunuh

diri...!" tukas gadis itu memutuskan.

Keputusan yang baru saja diucapkan

oleh si gadis tentu saja sangat mengejutkan

orang tuanya.

"Anakku, mengapa kau berkata seperti

itu...!" serunya dengan kemarahan yang

tertahan.

"Untuk apa hidup lebih lama, kalau

permintaan nanda tak satu pun yang pernah

ayanda turuti...!" ujar si gadis. Mendengar

kata-kata anaknya, laki-laki itu kembali

terdiam. Tiba-tiba saja dia kembali teringat


pada almarhum istrinya. Betapa pada saat

melahirkan yang akhirnya mempertaruhkan

nyawa, istrinya sempat berpesan agar dia

dapat menjaga dan merawat anaknya

dengan baik. Istrinya juga menginginkan

agar anaknya yang cuma satu-satunya itu

dapat hidup bahagia kelak di kemudian hari.

Kenyataannya selama ini dia hanya

memperalat anaknya sendiri hanya demi

kepentingannya pula. Teringat akan hal itu,

tiba-tiba saja ia berkata dengan suara lunak.

"Baiklah.. baiklah aku akan memenuhi

keinginamu. Akan tetapi dengan syarat

bahwa laki-laki yang kau cintai itu, harus

bersedia membantuku...!"

Mendengar keputusan ayahnya, tentu si

gadis sangat gembira sekali, bahkan

beberapa kali dia membungkuk hormat pada

orang tuanya. Walau sesungguhnya dia

sendiri belum merasa yakin apakah pemuda

yang menginap di rumahnya itu menaruh

hati padanya atau tidak, akan tetapi tanpa

berfikir panjang dia menyanggupi syarat

yang diajukan oleh orang tuanya. Beberapa

saat kemudian laki-laki bertampang beringas

itu kembali berpesan pada anaknya.

"Aku berharap kau tidak mengecewakan

harapan orang tuamu yang sudah tua ini,

akan tetapi walau aku memberi sebuah


kepercayaan padamu! Kau selalu berhati-

hatilah pada setiap orang...!"

"Terima kasih, Ayanda...!" jawab Jelita

tersenyum.

"Kukira hanya itu kan yang perlu kau

sampaikan padaku...?" tanya ahli sihir

Nukman Jaya Tiga Momba pada si gadis.

"Benar, Ayanda...."

"Nah kalau begitu kembalilah ke

kedaimu, jangan lupa beri laporan padaku

setiap ada orang yang mempunyai maksud

untuk datang ke sini...!" pesan laki-laki itu.

Si Jelita hanya mengangguk-kan kepala.

Setelah memberi hormat pada ayahnya,

gadis yang sangat menawan itu melangkah

pergi. Sesampainya di halaman bangunan

yang megah itu, si gadis nampak berdiri

mematung. Sementara mulutnya nampak

berkomat-kamit membaca mantera, tak lama

kemudian dari tubuh si gadis kembali

mengepulkan asap tipis, asap itu bergulung-

gulung menyelimuti tubuh si gadis. Beberapa

saat berikutnya tubuh si gadis sudah

berubah menjadi seekor burung hatu

kembali. Setelah mengeluarkan suara aneh

beberapa kali.

Dengan hanya sekali kepak saja burung

hantu jelmaan si gadis sudah melesat

menembus kegelapan malam.


* * * * *

Pagi-pagi sekali Pendekar dari Negeri

Bunian itu telah terjaga dari tidurnya yang

menggelisahkan. Dengan terburu-buru

pemuda itu segera memeriksa kamar si gadis

jelita yang terletak di sebuah lorong kecil di

ujung bangunan penginapan. Melalui lubang

yang dibuatnya tadi malam. Pendekar Hina

Kelana mengintai ke dalam kamar. Dia

melihat gadis itu tengah tertidur pulas. Saat

itu tiada niat si pemuda untuk

membangunkan si gadis. Baginya sebuah

pertanyaan sudah tidak memerlukan

jawaban lagi. Dia sudah bertekad untuk

menembus rahasia Lembah Halilintar, walau

apa pun yang akan terjadi. Dia berpikir

kalaulah memang gadis yang sangat cantik

itu mempunyai hubungan dengan penghuni

Lembah Halilintar, toh pada akhirnya akan

ketahuan juga. Kalau hal itu nantinya

memang benar-benar terbukti, maka

pemuda ini sudah berniat untuk tidak

pandang bulu dalam menumpas mereka.

Didasari dengan alasan-alasan itu dengan

cepat pula Buang Sengketa segera

meninggalkan kamar si gadis sekaligus


merupakan tempat dia menginap. Dengan

mempergunakan ajian Sapu Angin sebentar

saja Pendekar Hina Kelana mi sudah berada

jauh meninggalkan kota kecil Mentoak.

Begitu menjelang matahari terbit pemuda itu

sudah sampai di tengah-tengah rimba

belantara. Kini pemuda itu sudah kembali

berjalan seperti biasa. Buang terus

melangkah dan melangkah, hingga beberapa

saat kemudian nalurinya mengatakan bahwa

ada sesuatu yang sedang mengintainya.

Ternyata benar dugaannya karena tak begitu

lama puluhan batu kerikil menderu dan

melesat ke arahnya, dalam keadaan seperti

itu tiada pilihan lain bagi Buang Sengketa

tiada memiliki kesempatan yang terkecuali

memapasinya. Begitu tangannya terputar

dan bergerak ke atas maka benturan dua

tenaga besar tidak dapat dihindari lagi.

"Blaamm...!"

Senjata rahasia berupa kerikil-kerikil tadi

terpental ke mana-mana. Baru saja pemuda

itu akan berkata, tiba-tiba saja kembali

senjata rahasia yang berupa tusuk kayu

Nibung yang ujung-ujung-nya runcing

bagaikan sembilu kembali meluruk ke arah

dirinya. Sumpah serapah berhamburan dari

mulut Pendekar dari Negeri Bunian. Dengan

mempergunakan jurus si Hina Mengusir


Lalat. Tangannya diputar bagai sebuah

baling-baling. Begitu senjata-senjata beracun

itu melabrak tubuhnya.

"Praat.... plaar...!"

Kembali senjata-senjata itu berpentalan

ke mana-mana, bahkan dua di antaranya

berbalik dan menyerang pemiliknya.

Bersamaan dengan desah tertahan orang-

orang yang menyerang Buang Sengketa

dengan senjata rahasia itu melompat ke luar

dari tempat persembunyiannya. Begitu

melihat siapa adanya orang yang menyerang

dirinya, dengan dingin pemuda itu menegur.

"Kakek tua! Kau telah membuatku repot,

apakah arti perbuatanmu ini...?" tanya

Pendekar Hina Kelana heran.

Ditanya seperti itu, bukannya menjawab,

si kakek malah terkekeh.

"Hahaha... hehehe... huhuhu...!"

"Orang tua, aku tak butuh tawamu yang

jelek itu. Katakan sebelum habis

kesabaranku...." bentak Buang Sengketa

merasa muak melihat tawa si kakek. Namun

di luar dugaannya si kakek malam

membentak.

"Apa pedulimu! Aku mau tertawa,

menangis atau bahkan kencing di

mukamu...?"


Melihat si kakek malah menghina dirinya,

mendadak telinganya jadi gatal-gatal panas.

"Hanya Orang gila saja yang bertingkah

seperti itu! Atau barangkali kau memang

orang yang tidak waras? Minggirlah sebelum

kau kubuat lebih gila lagi...!"

Diejek seperti itu si kakek menjadi

sangat marah: "Bocah sombong! Lancang

sekali mulutmu terhadap si tua Juru Kunci

Lembah Halilintar...!"

Kemarahan si Kakek Rombeng

sebaliknya malah membuat Pendekar dari

Negeri Bunian ini malah balik tertawa.

"Sekali pun kau merupakan juru

kuncinya bapak moyangmu lembah iblis

sekali pun siapa takut...!" tukas si pemuda

diiringi senyum getir.

Melihat si kakek tua yang sangat

dihormati itu dihina sedemikian rupa sudah

barang tentu si Kembar dari Bukit Sumplung

ini menjadi naik darah.

"Kakek! Potes saja kepalanya. Bukankah

bocah edan ini juga bermaksud menuju

Lembah Halilintar...?" sela salah seorang di

antaranya.

"Benar, Kek. Remukkan saja batok

kepalanya, supaya jangan bertingkah lagi di

depan kita...!" kata yang satunya pula.

Si kakek tersenyum penuh maksud.


"Sabar dulu! Aku jadi ingin tahu apakah

nyawanya cukup berharga untuk ditukar

dengan harta yang sangat menghebohkan

itu...!"

Mendengar ocehan si kakek tentu saja

membuat pemuda ini, menjadi berubah sinis.

"Orang-orang sinting! Kalian kira aku

sangat tergiur dengan kilauan permata?

Jangan menyangka bahwa aku ingin ikut

berburu harta itu...!"

"Jadi apa tujuanmu pergi ke Lembah

Halilintar kalau tidak ingin mengangkangi

harta itu...!" pancing si Kakek Rombeng.

Tiba-tiba Buang Sengketa mendengus,

kedua matanya berubah bagai mata seekor

ular Piton yang sedang marah.

"Puih.... Kakek Rombeng, dan kalian

orang Kembar kurang darah. Catat dalam

otak kalian bahwa kedatanganku ke mari

hanyalah ingin mengetahui mengapa orang-

orang dusun yang gila harta itu tak pernah

kembali ke kampung halamannya. Aku ingin

mengetahui bagaimana nasib mereka.

Seandainya mereka mengalami nasib seperti

yang tak kuingini. Maka Lembah Halilintar

yang menghebohkan itu akan kuobrak-

abrik...!" tukas pemuda itu sangat marah.


Mendengar kata-kata Buang Sengketa,

seketika itu juga ketiga orang itu tergelak-

gelak.

"Huahahaha... hahaha....! Bocah pentil,

besar sekali nyalimu untuk dapat sampai ke

sana, dengan keinginan yang besar pula. Kau

tak tahu betapa tingginya sebuah gunung.

Apakah yang kau andalkan?" ejek si kakek.

"Untuk memberantas kejahatan, sebuah

keyakinan dan dua tanganku ini sudah cukup

untuk melakukannya...!"

"Hemmmm... hebat! Sungguh hebat...!"

si kakek mencemooh.

Melihat tingkah si kakek Buang Sengketa

semakin bertambah jengkel.

"Kalian bertiga... aku tak punya urusan

dengan kalian! Minggiriah...!" bentaknya.

"Wee... enak saja! Begitu mudahnya kau

mau berlalu dari hadapan kami...!" kata si

Kembar Muka Pucat menghadang.

"Heemmm... agaknya kalian merupakan

kaki tangan penghuni Lembah Halilintar,

kepalang basah. Menebang pohon harus

sampai ke akar-akarnya supaya tidak jadi

bumerang di kemudian hari!" gumam

Pendekar Hina Kelana.

"Hahaha... bagus! Aku orang tua, betapa

ingin mengetahui kehebatan di balik nyalimu

yang besar itu...." Setelah berkata begitu,


Kakek Rombeng segera memberi isyarat

pada si Kembar dari Bukit Sumplung ini.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, dua

orang Kembar ini pun serentak maju dan

mulai melakukan serangan-serangan gencar.

Demikianlah pertarungan sengit pun tak

dapat dihindari lagi si Kembar Muka Pucat ini

melakukan serangan dari dua arah, pukulan-

pukulan mematikan pun mencecar ke arah

bagian-bagian yang mematikan. Sementara

itu Buang Sengketa yang digempur dari dua

arah masih kelihatan tenang-tenang saja.

Setiap pukulan yang dilancarkan oleh si

Kembar selalu dapat dia elakkan dengan

mudah. Hal ini sudah barang tentu membuat

dua orang Kembar ini semakin bertambah

penasaran. Lalu keduanya pun segera

meningkatkan serangannya. Tenaga dalam

mereka lipat gandakan. Setelah setiap

serangan-serangan dapat dikandaskan oleh

Pendekar Hina Kelana. Keduanya pun

bersurut beberapa langkah. Mereka saling

pandang sesamanya. Kemudian salah

seorang di antaranya berseru lantang:

"Adi...! Sebaiknya kita pukul remuk batok

kepala bocah hina ini...!"

"Kalau begitu, kita pergunakan jurus

Sepasang Dewa Kembar Menangis...!" sela

yang seorang lagi sambil melompat


mendekat ke arah saudaranya. Lalu dengan

cepat tangan kanan mereka saling bertautan

dan bersatu. Hanya beberapa saat berselang

kedua tangan yang saling melekat itu

mengepulkan uap panas berwarna kuning

kebiru-biruan. Mengetahui lawannya ber-

maksud mengadu jiwa dengannya, maka

dengan cepat pula dia mengerahkan

seperempat tenaganya ke seluruh dua

tangannya.

Diiringi dengan sebuah lengkingan

menggelegar secara berbareng kedua

Kembar ini melancarkan serangan. Tangan

keduanya terus meluncur ke arah Buang

Sengketa. Namun begitu tangan-tangan

beracun itu hanya tinggal beberapa senti

saja sampai pada sasarannya. Pemuda itu

tanpa mengelak segera menyambut.

"Thaatk.... Thaatk...!"

Ditambah dengan satu pukulan susulan.

Tubuh kedua orang Kembar itu terlempar

beberapa tombak. Darah segar meleleh dari

celah hidung dan bibir keduanya. Kenyataan

ini tentu saja membuat si kakek yang sejak

tadi mengawasi jalannya pertarungan

menjadi terbelalak tak percaya. Melihat

kemampuan pemuda ini tahulah si Kakek

Rombeng bahwa pemuda berperiuk ini

mempunyai kepandaian di atas si Kembar,


Apa-lagi tadi dia sempat melihat kedua

kawannya itu bagai memukul gunung batu,

ditambah dengan begitu cepatnya pemuda

itu menyerang. Hal ini semakin membuat si

Kakek Rombeng menjadi penasaran sekali.

Di lain pihak, si Kembar yang sempat

dibuat tunggang langgang oleh si pemuda

nampak sangat marah dan berubah menjadi

beringas. Kini keduanya telah bersiap-siap

membangun serangan kembali. Hal ini sudah

barang tentu tak lepas dari perhatian si

kakek yang punya penilaian, kalau si Kembar

kembali melakukan serangan dalam dua

gebrakan di depan sudah barang tentu akan

berakibat fatal buat kawannya ini. Begitu si

Kembar Muka Pucat ini kembali menerjang,

si kakek mencegah.

"Sahabat Kembar hentikanlah! Pemuda

itu bukan tandinganmu...!"

Bagai dihipnotis, dua orang Kembar dari

Bukit Sumplung mendadak hentikan langkah

kemudian berpaling pada si kakek. Dengan

perasaan kurang senang mereka menegur:

"Mengapa engkau melarang kami, Orang

tua...?"

Si Kakek Rombeng terkekeh: "Kalau

kalian tidak menuruti perintah! Dua jurus di

depan kalian segera mampus...!"


Mendengar peringatan si kakek yang

mereka ketahui sebagai orang tua yang

berilmu sangat tinggi maklumlah kedua

orang ini, dengan perasaan kesal. Mereka

menepi Si kakek maju beberapa tindak

menghadapi pemuda itu. Kemudian setelah

memperhatikan Buang Sengketa dengan

teliti, orang tua itu berkata lirih.

"Orang muda! Kukira aku cukup pantas

menjadi lawanmu...!"

Buang Sengketa mendengus. "Orang tua,

masih ada kesempatan bagi kalian untuk

segera minggat dari hadapanku. Aku tak

punya persoalan denganmu...!" kata pemuda

itu mengingatkan.

"Kentut busuk! Kalau kau bisa

mengalahkan aku. Aku baru bisa

mengatakan bahwa kau pantas untuk

mengobrak-abrik Lembah Halilintar...!" si

kakek rombeng nampak marah sekali.

"Orang tua, Siapakah kau...!" tanya

Buang Sengketa penasaran. Belum lagi

pemuda ini menyelesaikan kata-katanya, si

kakek berpakaian compang camping sudah

menerjang. "Mampuslah kau...."

Berkata begitu, si kakek langsung

pukulkan senjatanya yang berupa sebuah

kecapi ke arah kepala si pemuda. Buang

Sengketa dengan cepat berkelit. Serangan si


kakek menemui sasaran kosong. Mengetahui

serangannya gagal dengan cepat pula dia

babatkan senjatanya ke arah kaki si pemuda.

Senjata di tangan si kakek mengeluarkan

bunyi irama tak karuan. Buang Sengketa

masih dengan mempergunakan si Hina

Mengusir Lalat herkelebat kian ke mari. Lagi-

lagi senjata yang berupa kecapi itu mencapai

tempat yang kosong pula. Si Kakek Rombeng

itu tercenung beberapa saat lamanya, akan

tetapi tidak berapa lama kemudian laki-laki

itu tersenyum Kemudian dia memainkan alat

musik yang berupa kecapi itu, kakek tua

bukannya malah bertempur akan tetapi kini

dia mulai menyanyi-nyanyi sambil menangis.

Buang Sengketa demi melihat ulah si kakek

nampak terdiam, akan tetapi bagai dirasuki

kekuatan raksasa, pemuda itu tiba-tiba saja

merasakan kesedihan yang teramat sangat.

Tak pelak lagi kini pemuda itu jadi ikut-

ikutan menyanyi sambil menggerung. Begitu

pun dengan dua orang kawan si kakek.

Mereka jadi ikut-ikutan menyanyi-nyanyi dan

di saat yang lain mereka menangis tersedu-

sedu. Nampaknya ilmu kepandaian si kakek

tua itu sedang menguasai jiwa mereka. Kini

keadaan mereka bagai orang gila saja

layaknya. Lama-kelamaan Buang menyadari

apa sesungguhnya yang sedang terjadi.


Dengan sebisa-bisanya ia mencoba

memusatkan konsentrasinya. Tidak begitu

lama kemudian pemuda itu mengeluarkan

jeritan melengking yang berkepanjangan.

Daun-daun berguguran, dua orang kawan si

kakek terpental puluhan tombak. Bahkan si

Kakek Rombeng sempat surut beberapa

langkah. Menyaksikan kejadian ini sudah

barang tentu si kakek berseru kaget. Bahkan

senjata kecapi yang sangat diandalkannya

pun hancur berkeping-keping. Andai saja

kakek rombeng itu tidak memiliki tenaga

dalam yang sudah sangat sempurna sudah

barang pasti kakek tua itu tewas seketika itu

juga. Sebab apa yang baru saja dilakukan

oleh si pemuda tak lain adalah sebuah

kekuatan dahsyat dari sebuah ilmu

Pemenggal Roh. Kini sadarlah kakek

rombeng bahwa pemuda yang berdiri di

hadapannya itu merupakan lawan yang

sangat tangguh akan tetapi biarpun begitu

dia masih ingin menguji sampai di mana

kekuatan si pemuda. Setelah memandang

beberapa saat lamanya pada pemuda itu, tak

begitu lama kemudian dia berkata: "Bocah,

kiranya kau berisi juga! Tapi jangan kau kira

aku telah kalah. Sekarang sebutkan

namamu, sebelum segala-galanya terlambat

bagimu...!"


Pendekar dari Negeri Bunian itu

mendengus: "Kakek tua... apa artinya

sebuah nama! Aku hanyalah manusia Hina

Kelana yang mengembara kemana saja aku

mau! Sekali lagi kuperingatkan padamu,

kalau kau memang bukan merupakan antek-

antek penguasa Lembah Halilintar,

minggirlah! Sebab aku tak pernah bertindak

setengah-setengah...!" tukas si pemuda

sambil menatap tajam pada si kakek.

Dipandang seperti itu sebaliknya si kakek

malah tertawa

"Ohh... rupanya julukanmu si Hina

Kelana... hehehe. . tapi walau kau

menyandang gelar dedemit sekalipun jangan

kau kira aku takut...!"

Melihat ulah si kakek ini lama-kelamaan

Buang Sengketa menjadi jengkel. Kemudian

dia Membentak: "Kakek gila! Aku tak punya

banyak waktu untuk melayanimu, kalau kau

punya senjata yang kau andalkan cepat

cabutlah...!"

Usai berkata begitu, tanpa memberi

kesempatan pada si kakek untuk berkata-

kata lagi Buang Sengketa langsung

menerjang si Kakek Rombeng. Si kakek

berhasil berkelit dan lancarkan serangan

balasan. Pertempuran berlangsung semakin

seru. Apalagi mengingat si Kakek Rombeng


ini juga termasuk salah seorang tokoh kosen

di bagian tanah Jawa Wetan. Yang tentunya

sudah banyak makan asam garam dunia

persilatan selama belasan tahun. Tentu dia

telah mengenal seluk beluk dan liku-liku

dunia persilatan. Akan halnya Buang

Sengketa yang benar-benar masih hijau

dalam sepak terjang dunia persilatan.

Menghadapi serangan-serangan gencar yang

dilakukan oleh si kakek tentu dia merasa

agak kerepotan juga. Masih untung dulunya

pemuda ini mendapat gemblengan yang

cukup matang dari gurunya si Bangkotan

Koreng Seribu. Di samping itu dengan

berbekal berbagai ilmu silat yang diciptakan

oleh si kakek sakti itu secara sempurna.

Sedikit banyaknya dalam menghadapi

serangan-serangan yang dilancarkan oleh si

kakek, pemuda itu tidak menjadi gugup.

Demikianlah pertarungan telah mencapai

puluhan jurus, namun tak satu pun serangan

si Kakek Rombeng mengenai sasarannya.

Sementara itu Buang Sengketa untuk

melindungi dirinya, kini telah

mempergunakan jurus "Si Gila Mengamuk".

Sebuah jurus tingkat kedua yang pernah

diturunkan oleh gurunya. Hal ini saja sudah

membuktikan bahwa kakek perpakaian


compang camping itu adalah merupakan

seorang lawan yang sangat tangguh.

Mungkin karena setiap pukulan-

pukulan yang dia lancarkan selalu dapat

dipatahkan oleh Buang Sengketa atau karena

si kakek sudah merasa sangat jengkel.

Beberapa saat kemudian kakek ini nampak

melompat ke belakang beberapa langkah.

Kemudian dia berseru lantang: "Bocah... kau

sungguh luar biasa. Tiga puluh jurus andalan

telah kupergunakan! Selama aku malang

melintang di dunia persilatan belum pernah

hal itu sampai terjadi. Akan tetapi kau

jangan bangga dulu! Aku masih mempunyai

dua pukulan andalan, yang kuberi nama Dua

Jalan Neraka Lembah Halilintar. Mengapa aku

memberi nama pukulan itu begitu. Nanti

akan kuceritakan padamu jika kau mampu

menahan dua pukulanku itu. Akan tetapi jika

kau tak mampu, aku hanya bisa

mengucapkan selamat jalan ke neraka

padamu...!"

* * * * *


SEPULUH


Mendengar keputusan si Kakek

Rombeng, Buang Sengketa tiba-tiba saja

mendengus:

"Huhh... enak di kau tapi tak enak di

aku...!"

”Tunggu dulu penjelasanku... begini

kalau kau bisa keluar sebagai pemenang

dalam adu jiwa nanti, maka aku si Tua

Rombeng dari Lembah Halilintar yang

terbuang, dengan rela hati akan merelakan

sisa-sisa hidupku untuk menjadi seorang

abdimu yang paling setia...!"

Lagi-lagi pemuda itu mendengus dengan

perasaan tak senang.

"Heh... aku bukan seorang raja, bukan

seorang majikan dan bukan pula seorang

kesepuhan. Manusia Hina Kelana sepertiku

ini, tentu tak akan sanggup memberimu

makan, apalagi memberimu pakaian

rombeng...!" ejek Buang Sengketa

tersenyum kecut.

"Bocah edan, pokoknya, mau tidak mau,

rela tidak rela! Aku akan menepati janjiku.

Sekarang bersiap-siaplah engkau...!


Usai dengan kata-katanya, si kakek

segera merangkapkan kedua tangannya di

depan dada. Dengan cepat dia mengerahkan

segenap kemampuannya, tak lama kemudian

kedua telapak tangan yang menyatu itu

mulai mengepulkan uap panas, udara di

sekitar si kakek mulai diliputi kabut.

Sementara itu kedua tangan si kakek

semakin lama nampak berubah menjadi

merah bara. Si kakek menyeringai puas,

keringat terus bercucuran membasahi

pakaiannya. Hanya sekilas saja Buang

Sengketa menyaksikan perubahan yang

dialami oleh Kakek Rombeng, saat-saat

berikutnya dia mulai menyiapkan sebuah

pukulan pula. Dengan tangan terpentang di

atas kepala, dia telah mempersiapkan

sebuah pukulan andalan, yaitu salah satu

dari Empat Anasir Kehidupan. Berbeda

dengan keadaan si Kakek yang saat itu

tubuhnya akibat pengaruh ilmu Dua Jalan

Neraka Lembah Halilintar, merasakan panas

yang teramat sangat, sedangkan si pemuda

merasakan tubuhnya kedinginan yang luar

biasa.

Segalanya berlalu cepat, sampai-sampai

si Kembar yang dalam keadaan terluka parah

terbeliak seolah tak percaya dengan apa

yang mereka saksikan. Disertai dengan


lengkingan keras, tubuh si Kakek melesat

bagai sebuah busur ke arah Buang Sengketa.

Saat tangan yang bagaikan bara itu tinggal

beberapa senti saja menerpa wajah Pendekar

dari Negeri Bunian, saat itu pula tangan si

pemuda berkiblat. Benturan tangan maha

dahsyat pun tak dapat dihindari lagi.

"Plaaak... blaam...!"

Tubuh si Kakek Rombeng terpental

berpuluh-puluh tombak, darah berlelehan

dari celah bibirnya, bahkan dia sempat

merasakan hawa dingin menjalari sekujur

tubuhnya. Setelah mengerahkan hawa murni

barulah dia merasakan tubuhnya normal

kembali. Kakek ini segera maklum bahwa

pemuda itu tidaklah bernama kosong. Begitu

pun dengan cepat dia bangkit kembali. lalu

kembali menghampiri Buang Sengketa yang

sedang menarik kedua kaki yang sempat

terbenam sebatas tumit.

Dengan tatapan iba dipandanginya Kakek

Rombeng. Wajah kakek ini nampak sedikit

memucat, akan tetapi agaknya si kakek tidak

perduli dengan keadaannya.

"Kau memang hebat, bocah! Tapi masih

ada satu pukulanku lagi yang harus kau

tahan...!" tukasnya dengan nafas terengah-

engah.


"Orang tua, luka dalammu saja sudah

parah! Masihkah kau ingin menyerangku

kembali...!" kata pemuda itu sedih.

Si Kakek Rombeng ini agaknya sangat

keras kepala, terbukti di beri peringatan

seperti itu dia malah ngotot.

"Perduli apa...! Aku harus memenuhi

janjiku, kalaupun aku mati, aku merasa

sangat puas...." sela si kakek. Kemudian dia

mulai mempersiapkan pukulan terakhir.

"Bersiap-siaplah, bocah...!" Buang

Sengketa meskipun sesungguhnya sudah

tidak sampai hati untuk melayani si Kakek,

akhirnya dengan sangat terpaksa bersiap-

siap juga. Kemudian segera mempersiapkan

pukulan berikutnya. Sebuah pukulan yang

masih merupakan rangkaian dari "Empat

Anasir Kehidupan". Sementara itu si Kakek

Rombeng sudah nampak siap dengan sebuah

pukulan pamungkas. Kini kedua tangannya

terpentang bagaikan cakar burung hantu,

dengan sorot mata menggidikkan. Kedua

tangannya kembali mengepulkan asap, lama

kelamaan asap itu semakin menebal,

berputar-putar di sekitar tubuh si kakek dan

hanya beberapa saat setelah itu, tubuh si

Kakek Rombeng ini pun lenyap terbungkus

kabut. Diiringi dengan jeritan melengking,

kabut yang membungkus tubuh si kake

bergelung-gelung dengan cepat ke arah

Buang Sengketa. Kabut tebal itu terus

melesat dan melabrak apa saja yang berada

di sekitarnya. Hingga tak begitu lama, ketika

kabut tebal itu hanya tinggal beberapa depa

saja sampai pada sasarannya, dengan

perasaan setengah tega, Pendekar Hina

Kelana itu segera kiblatkan tangan kanannya

ke arah kabut yang menggulung tubuh si

kakek. Seberkas sinar Ultra Violet melesat

cepat ke arah tubuh si kakek. Kembali

benturan tenaga sakti pun tak dapat

dihindari lagi.

"Bress... blaaarr...!"

Si Kakek Rombeng kembali terpental

jauh lalu muntahkan darah segar. Sementara

Buang Sengketa sendiri nampak bersurut

beberapa langkah, sambil memegangi

dadanya yang terasa sesak.

Pemuda itu tersenyum getir begitu

dilihatnya si Kakek berjalan sempoyongan

menuju ke arahnya. Si kakek Rombeng

terbatuk beberapa kali, darah berlelehan dari

celah-celah bibirnya. Buang Sengketa

semakin merasa iba saja begitu melihat

keadaan si kakek yang agaknya terluka

cukup parah.


"Orang tua... lukamu cukup parah! Kau

harus segera mendapat pertolongan...!" ujar

Buang Sengketa merasa sangat prihatin.

Si kakek geleng kepala lalu terkekeh.

"Aku tak apa-apa, orang muda, aku

mengaku kalah! Untuk itu aku akan

memenuhi janjku yang pertama...!"

"Janji...!" sela pemuda itu. "Aku lupa apa

janjimu...." sambungnya pula.

"Bocah bukankah aku telah berjanji

andai aku kalah, aku akan cerita tentang

Lembah Halilintar? Dan karena ternyata aku

kalah aku ingin mengatakan sesuatu padamu

dan juga telah siap untuk mengabdi padamu.

Akan tetapi sebelumnya, bolehkah aku yang

tua ini tahu, siapa namamu, dari mana asal

usulmu dan siapa pula gurumu...!" kata si

kakek rombeng. Mendapat pertanyaan

beruntun Buang Sengketa jadi tergelak.

"Kakek Rombeng, dengan pertanyaan

seabrek-abrek seperti itu yang mana lebih

dulu yang harus kujawab...?"

"Hehehe... terserah saja. Toh aku hanya

seorang abdimu...!" ujar si kakek kini

berubah ramah. Begitu si kakek menyebut-

nyebut abdi, Buang Sengketa

menggelengkan kepala: 'Tidak! Kau bukan

seorang abdi, kalau kau masih tetap

menyebut-nyebut dirimu sebagai seorang


abdiku maka aku tak akan sudi mendengar

ceritamu dan akan segera pergi dari tempat

ini...!"

"Baiklah... baiklah! Kalau engkau tak

ingin aku mengabdi padamu. Tapi jawab dulu

pertanyaanku...!" sela si Kakek Rombeng.

Sementara si Kembar dari Bukit Sumplung

pun kini sudah berkumpul dan bergabung

dengan mereka,

"Aku paling tidak suka bicara muter-

muter! Untuk itu kalian dengarlah apa yang

akan kukatakan ini." kata Buang Sengketa,

lalu menarik nafas sejenak. Lalu

dipandanginya ketiga orang itu masih dengan

tatapan curiga.

"Orang tua, sesungguhnya aku bukanlah

orang yang suka mengagung-agungkan

nama akan tetapi agar kalian tidak merasa

penasaran dengan terpaksa aku harus

mengatakannya juga. Namaku Buang

Sengketa, asalku dari seberang, sedangkan

guruku... aku tak bisa mengatakan siapa

guruku...!"

Agaknya si kakek menjadi sangat

maklum, untuk itu dia pun menyela: "Siapa

pun adanya gurumu itu aku sangat yakin

bahwa dia berilmu sangat tinggi, bahkan

secara sepintas rasa-rasanya jurus-jurus

yang kau pergunakan tadi aku pernah


mengenalnya. Tapi tak mungkin... sebab

tokoh yang sangat menggegerkan itu sudah

ratusan tahun yang lalu adanya...!"

"Kau terlalu memuji setinggi langit,

orang tua...." sela Buang Sengketa.

Tanpa menjawab protes si pemuda. Si

Kakek Rombeng langsung bicara pada

persoalan yang sebenarnya.

"Buang Sengketa... maafkan aku karena

telah menguji segala kemampuanmu! Akan

tetapi hanya dengan cara itulah aku bisa

mengetahui. Apa yang kau inginkan dengan

maksud apa kau datang ke Neraka Lembah

Halilintar...?"

Masih belum selesai si kakek berbicara,

tiba-tiba saja Buang Sengketa memotong.

"Tunggu dulu, orang tua! Sedari tadi kau

menyebut-nyebut Neraka Lembah Halilintar,

apakah maksudmu...!"

"Aku mengatakan demikian karena

memang benar adanya, bahwa lembah itu

kini benar-benar berubah menjadi sebuah

neraka bagi mereka pemburu-pemburu harta

karun itu...!" ujar si kakek lebih lanjut.

Tentu saja keterangan si kakek sangat

menarik perhatian Buang Sengketa, untuk itu

dia kembali menyela: "Sesungguhnya apakah

yang telah terjadi di Lembah Halilintar, orang

tua...?"


Ditanya seperti itu, kakek berpakaian

compang camping ini nampak terdiam tiba-

tiba saja wajahnya tertunduk sedih. Lalu

tanpa terasa beberapa butir air matanya

menggelinding menuruni kedua pipinya yang

keriput. Kemudian dengan suara tersendat,

dia berkata: "Semuanya ini adalah karena

salahku, dulu lembah itu merupakan sebuah

daerah yang sangat damai. Secara turun

temurun keluargaku tinggal di sana. Kami

hidup dari hasil bercocok tanam. Akan tetapi

sejak kedatangan laki-laki keparat itu,

semuanya menjadi berubah. Dia yang pada

mulanya hanya hidup menumpang pada

kami, akhirnya merampas segala yang kami

miliki. Mulanya kami tak tahu mengapa dia

begitu berhasrat untuk memiliki lembah itu.

Akan tetapi akhirnya kami tahu juga, kiranya

di luar sepengetahuan kami. Lembah itu

merupakan yang besar...!"

Dalam keadaan begitu, tiba-tiba saja

Buang Sengketa menyela: "Mengapa orang

tua tidak melawannya atau sekaligus

mengusir orang itu dari tanah leluhurmu?"

tanya Buang Sengketa dengan penasaran

sekali.

Mendapat pertanyaan seperti itu si Kakek

Rombeng tersenyum getir, Buang melihat


ada sesuatu yang nampak menekan

perasaan si kakek.

"Bukan kami tak mengadakan

perlawanan, bahkan keluargaku pun hanya

tinggal aku yang tersisa. Orang itu di

samping memiliki kepandaian yang sangat

tinggi, tetapi juga seorang ahli sihir yang

tiada duanya. Bahkan dua orang anakku

telah disihir menjadi burung hantu...!"

Terkejutlah pendekar dari negeri Bunian

itu begitu mendengar apa yang baru saja

dikatakan oleh si kakek. Dengan cepat dia

memotong.

"Orang tua, jadi tepat seperti apa yang

kuduga, bahwa sesungguhnya burung-

burung itu merupakan manusia yang telah

disihir olehnya...?"

"Benar, Buang. Mereka berasal dari

tokoh-tokoh sakti, yang ditugaskan menjadi

pengawal Lembah Halilintar, sedangkan

kebanyakan dari padanya adalah penduduk

desa biasa yang sebelumnya merupakan

pemburu harta. Jadi burung-burung itu

terbagi antara yang biasa dan yang buas...!"

Tahulah Buang Sengketa dengan makna

yang baru dikatakan si kakek rombeng.

Kalau begitu dia segera harus turun tangan.

Dengan menggertakan rahangnya dia


kembali bertanya pada si kakek: "Orang tua,

siapakah si keparat ahli sihir itu...?"

"Namanya Nukman Jaya Tiga Momba...!"

Buang Sengketa mengangguk-

anggukkan kepala, namun begitu dia teringat

akan sesuatu. Kembali matanya melirik pada

ketiga orang itu dengan tatapan menyelidik.

"Orang tua... apakah gadis cantik yang

menjadi pemilik waning dan penginapan itu

anakmu...!" tanya si pemuda.

Mendadak si Kakek Rombeng terkekeh.

"Anakku...? Sungguh beruntung aku

mempunyai anak secantik dia, agaknya kau

kepincut pada gadis itu...!" si Kakek

Rombeng menyindir. Diejek seperti itu,

seketika wajah pendekar tampan ini tampak

memerah. Dengan dia menegur: "Siapa sudi

pada perempuan siluman yang setiap waktu

dapat berubah menjadi burung hantu yang

menakutkan!"

Si kakek tersenyum lega, "Syukurlah

kalau kau sudah mengetahuinya! Dan perlu

kau ingat bahwa dia adalah anak

musuhku...!"

Tentu saja jawaban si kakek membuat

Buang Sengketa merasa heran, kalau gadis

itu merupakan anak musuhnya, tapi

mengapa si kakek tidak menculiknya atau

bahkan membunuhnya? Bahkan dia sendiri


sempat melihat bahwa si kakek berkunjung

di kedai itu. Apakah artinya semua ini? Batin

pemuda itu.

* * * * *


SEBELAS


Agaknya Kakek Rombeng ini mengetahui

apa yang sedang difikirkan oleh si pemuda.

Sebab tak begitu lama kemudian dia

menyela: "Kau jangan salah paham dan

mungkin dalam hatimu bertanya-tanya,

mengapa aku tak melakukan seperti apa

yang ada di dalam fikiranmu? Perlu kau

ketahui, bahwa gadis itu memiliki tingkat

kepandaian jauh di atasku. Aku tak mampu

menandingi segala ilmu yang dimilikinya...!"

Lagi-lagi Buang Sengketa memotong:

"Kalau memang benar apa yang kau katakan

itu, akan tetapi mengapa justru kau kulihat

malah datang ke kedai itu?"

Melihat kecurigaan Buang Sengketa, si

Kakek Rombeng tertawa tergelak-geiak.

Setelah itu sambil tetap terkekeh dia

menyela: "Buang Sengketa! Kau tak perlu

curiga. Ketahuilah, aku tak pernah

bermusuhan dengannya, dan sesungguhnya

dia seorang gadis yang baik, jauh berbeda

dengan sikap ayahnya. Akan tetapi karena

dia hanya ingin berbakti pada orang tuanya,

mau tak mau dia harus patuh dengan segala


apa yang diperintahkan oleh orang

tuanya...!"

"Hemm... hebat! Sungguh kau orang tua

yang bijaksana, walau menderita sekali

pun...!" Buang Sengketa tersenyum

mengejek.

"Aku memang tolol, bocah... akan tetapi

semua itu karena aku tidak sanggup

mengatasi kesaktian yang dimilikinya. Akan

tetapi aku yakin kau mampu mewakili

aku...!" ujar si Kakek Rombeng. Seketika itu

Buang Sengketa memelototkan matanya

pada si kakek.

"Kalau aku tak mau melakukannya, kau

mau apa...?"

"Kalau pendekar tidak merasa kasihan

dengan apa yang dialami oleh para pemburu

harta itu. Tentu kami juga tidak bisa

memaksakan kehendak kami pada

pendekar."

Tiba-tiba si Kembar ini memberanikan

diri ikut bicara. Tidak lagi melotot, kali ini

sepasang mata Buang Sengketa bagai mau

meloncat ke luar, begitu mendengar ucapan

si Kembar muka pucat ini.

"Hei... Kembar kurang darah! Aku tak

perlu nasehatmu...!" tukasnya sambil

menuding pada si Kembar dari Bukit

Sumplung ini. Dibentak seperti itu dua orang


kembar ini langsung tutup mulut. Kini

pendekar Hina Kelana itu kembali menoleh

pada si kakek, dipandanginya wajah lelaki

tua yang banyak menanggung derita. Tiba-

tiba saja dia merasa sangat iba pada si

kakek, kemudian Buang Sengketa berucap:

"Kakek Rombeng, aku telah memutuskan

agar secepatnya aku sampai di Lembah

Halilintar, untuk itu bagaimana saranmu...?"

Sudah barang tentu keputusan pemuda

itu sangat melegakan hati si kakek, sebab

setelah mengetahui kehebatan si pemuda.

Kakek Rombeng itu merasa, mungkin hanya

Buang Sengketa seoranglah yang mampu

melawan ahli sihir Nukman Jaya Tiga Momba.

Itu makanya dengan senang hati dia segera

berujar: "Untuk sampai di lembah itu kau

harus dapat mengalahkan burung-burung

jejadian yang telah dipengaruhi oleh si

keparat itu terlebih dulu! Jumlahnya yang

ribuan ekor itu mengharuskan kau agar

selalu bersikap waspada. Kita harus terpisah,

dan menyerbu dari dua arah. Mungkin aku

dan kawanku ini hanya dapat membantumu

sebatas membasmi burung-burung buas itu.

Sedangkan untuk menghadapi Nukman Jaya

Tiga Momba, sepenuhnya kuserahkan

padamu...!" kata si kakek berterus terang.


Namun tiba-tiba Buang Sengketa me-

nyela: "Bukankah tadi kau bilang bahwa

burung-burung itu merupakan jelmaan

manusia, begitu tegakah kau

membunuhnya...?" tanya Buang Sengketa.

Si kakek tertunduk sedih, beberapa saat

lamanya dia hanya terdiam. Akan tetapi

kemudian dia berkata tegas: "Walaupun

mereka itu manusia kau tak mungkin

mengalah pada mereka! Sebab mereka itu di

bawah pengaruh Nukman Jaya Tiga Momba.

Burung-burung itu sedemikian buas dan

sangat berbisa sekali. Kalau dagingmu tak

ingin hancur dicabik-cabiknya, sudah

seharusnya kau mengambil keputusan yang

bijaksana...!" jelas si kakek rombeng. Buang

Sengketa kembali manggut-manggut.

"Baiklah, aku sangat setuju dengan

saranmu! Dan kuharap saja kita masih dapat

berjumpa lagi dalam keadaan hidup...!" kata

pemuda itu dengan diiringi seulas senyum

getir.

"Aku juga berharap begitu...!" sela si

kakek.

Demikianlah, setelah segalanya menjadi

jelas, mereka segera berpisah. Akan tetapi

dengan satu tujuan. Neraka Lembah

Halilintar tentunya.


Cuaca berkabut di siang hari itu,

mengiringi langkah-langkah Pendekar Hina

Kelana. Namun sedikit pun keadaan ini tiada

mengurangi semangat Buang Sengketa

untuk dapat secepatnya sampai di Lembah

Halilintar. Ketika tak begitu lama kemudian

murid si Bangkotan Koreng Seribu ini segera

berkelebat. Dengan mempergunakan ajian

Sapu Angin, sebentar saja tubuhnya telah

lenyap ditelan bayang-bayangnya sendiri.

Hanya dalam waktu sekejap saja, Buang

Sengketa telah jauh meninggalkan hutan

belantara Mentoak dan Lembah Halilintar.

Untuk sesaat dia menghentikan langkahnya.

Sepasang matanya nanar memandang pada

keadaan di sekelilingnya.

Pemuda itu menyadari beratus-ratus

pasang mata memandang padanya dengan

nafsu membunuh yang berkobar-kobar.

Pendekar dari Negeri Bunian ini segera

tingkatkan kewaspadaannya. Dengan sikap

tenang dia terus melangkah, namun begitu

langkahnya baru beberapa tindak. Dengan

tiba-tiba diawali dengan suara riuh,

bermunculanlah ratusan burung hantu

meluruk ke arahnya. Dengan ganas burung-

burung itu menyambar dan menyerang si

pemuda tanpa ampun. Buang Sengketa

segera bertindak. Dengan mempergunakan


sebuah jurus andalan si Hina Mengusir Lalat

dia segera bertindak cepat. Bagai sebuah

baling-baling, tangan berputar melindungi

tubuhnya. Akan tetapi jumlah burung-burung

mengerikan itu jumlahnya semakin

bertambah banyak saja. Buang Sengketa

melompat kian ke mari. Laksana seekor

monyet yang kebakaran ekor, dia

berjingkrak, melompat, menendang bahkan

mencaci maki. Meskipun begitu, burung-

burung itu semakin bertambah gencar

menyerangnya.

Hingga kemudian kesabarannya pun

habislah sudah. Diawali dengan jeritah

dahsyat melengking. Tidak pelak lagi kiranya

kini pemuda itu sudah mempergunakan

sebuah ilmu sakti yang diberi nama ilmu

Pemenggal Roh. Demikianlah setelah

berjumpalitan beberapa kali, pemuda itu

nampak berdiri tenang. Burung-burung hantu

itu terus menyambar tanpa ampun. Akan

tetapi ketika tidak berapa lama kemudian,

terdengar kembali jerit menggelegar. Tak

pelak lagi, bagai daun-daun kering, ratusan

burung-burung itu, diawali dengan pekik

kematian, nampak rontok ke bumi. Tubuh

burung-burung hantu itu bertebaran di

mana-mana, akan tetapi, keanehan segera

terjadi. Secara perlahan namun pasti ujud


burung-burung yang sudah menjadi bangkai

itu segera berubah dan kembali pada

asalnya. Buang Sengketa meskipun

sebelumnya sudah diberi tahu oleh si kakek

rombeng tak urung merasa sangat menyesal

dengan kenyataan yang dialaminya. Dia

tidak dapat memikirkan kenyataan ini lebih

jauh lagi, karena tak begitu lama kemudian

bagai tak ada habis-habisnya terdengar

kembali jerit suara burung yang sama dalam

kemarahan. Begitu pemuda itu menoleh ke

arah datangnya suara, kiranya burung-

burung itu telah begitu dekat dan langsung

menyambar-nyambar menyerang si pemuda.

Buang Sengketa tidak dapat berfikir panjang.

Burung hantu yang jumlahnya menjadi

berlipat ganda itu terus mencecamya tanpa

ampun. Pendekar dari Negeri Bunian ini

menjadi kalang kabut Akan tetapi tanpa

membuang-buang waktu lagi Buang

Sengketa segera lipat gandakan tenaganya,

hingga hanya dalam waktu yang singkat dia

telah bersiap-siap kembali dengan ajian Pe-

menggal Rohnya yang sangat ampuh itu.

Lagi-lagi terdengar suara teriakan yang

menggelegar.

"Heig... heaaaat...!"

Jerit dan pekikan Buang Sengketa

terdengar sambung menyambung. Bagai


rentetan gemuruh halilintar tiada terhenti.

Jerit kepanikan dan pekik kematian berbaur

menjadi satu. Puluhan burung-burung hantu

dan bahkan ratusan, berjatuhan dan

menggelepar mati. Berserakan bagai puing

puing bangunan yang runtuh.

Begitu pemuda ini baru saja akan

menarik nafas, terlihat kembali burung-

burung yang sama meluruk ke arah pemuda

ini. Meski pun jumlahnya hanya mencapai

puluhan ekor akan tetapi burung-burung ini

lebih ganas dan bahkan lebih buas dari para

pendahulunya. Menghadapi kenyataan

seperti ini pendekar dari negeri Bunian ini tak

ingin berlama-lama.

"Burung-burung keparat... sungguh

malang sekali nasibmu! Kau datang dari jauh

ingin mencari penghidupan baru... siapa

sangka begini jadinya. Enyahlah dari

hadapanku, sebelum cahaya maut kejam

merenggutmu...!"

Usai dengan bentakannya itu, dengan

diiringi pekik menggelegar, Buang Sengketa

segera kiblatkan kedua tangannya ke segala

penjuru. Seberkas sinar Ultra Violet melesat

dan menderu ke segala arah dengan begitu

cepatnya. Tak ayal lagi, jerit kematian

kembali membahana meningkahi sunyi.

Dengan tubuh hangus disertai lelehan darah


yang keluar dari telinga maupun hidung

burung-burung itu secara bersamaan mereka

pun rontok ke bumi. Apa yang terjadi

sesudahnya, tidak jauh beda dengan burung-

burung lainnya. Secara perlahan tubuh

burung-burung ini kembali pada ujud

semula. Melihat kenyataan ini, pendekar Hina

Kelana ini semakin tertunduk sedih. Dia

merasa sangat menyesal dengan kejadian

itu, kini ditatapnya mayat-mayat yang

bergelimpangan itu dengan hampa. Puluhan

bahkan ratusan nyawa telah melayang

karena tangannya. Akan tetapi begitu dia

ingat bahwa untuk mewujudkan sesuatu itu

harus rela mengorbankan yang lain. Maka

sedikit banyaknya hatinya merasa lega.

"Semoga pengorbanan kalian tidak sia-

sia...!" kata pemuda itu seorang diri.

Pada saat itu sesungguhnya pemuda itu

tak menyadari bahwa ada sepasang mata

yang sejak tadi mengawasi segala sepak

terjangnya. Bahkan pemilik sepasang mata

itu sempat dibuat terbelalak tak percaya. Kini

semakin bertambah kagumlah dia pada

kehebatan si pemuda. Tak berapa lama

kemudian ketika dia melihat bahwa pemuda

itu bermaksud meninggalkan tempat itu,

maka melompatlah dia dari tempat

persembunyiannya. Buang Sengketa yang


merasa dikejutkan oleh kehadiarannya serta

merta berbalik ke arah datangnya suara.

Begitu melihat kehadiran orang itu, maka

terkesiaplah darah Buang Sengketa. Dengan

sikap sangat hati-hati dan waspada, Buang

Sengketa menegur: "Hemmm... rupanya kau

menguntitku. Apa yang kau inginkan...?"

tanya pemuda itu tiada berkedip.

Gadis yang bernama Jelita itu dengan

pandangan penuh arti, menjawab lirih:

"Tuan benar-benar seorang laki-laki yang

hebat! Hanya dalam beberapa gebrakan saja

burung-burung menakutkan itu telah binasa

di tangan Tuan...!"

Mendengar jawaban si gadis Buang

Sengketa tersenyum mencibir: "Bukan

burung-burung itu yang mati! Akan tetapi

manusia-manusia yang malang itu yang

kojor!" ujar Buang Sengketa acuh tak acuh.

Lagi-lagi si gadis nampak tersenyum

walau dia tahu si pemuda memandang sinis

padanya.

"Apa pun kenyataannya, Tuan

merupakan orang yang pantas mendapat

pujian... aku kagum pada Tuan...!"

"Oh begitu. Sayangnya aku bukanlah

orang yang gila sanjungan!" ujar Buang

Sengketa, tak lama kemudian ia

menyambung lagi: "Orang secantik kau,


apakah tidak takut keluyuran di hutan ini

seorang diri...!" pancing pemuda itu.

Kali ini gadis itu tertawa: "Hihihi... Tuan

lucu. Aku sudah biasa pergi di hutan

sendirian...."

"Kau tidak takut kalau burung-burung itu

menyerangmu...!" sindirnya.

Agaknya, gadis yang bemama Jelita itu

merupakan seorang gadis yang cukup cerdik.

Terbukti dia masih saja dapat berkilah:

"Burung itu hanya mau menyerang pada

orang yang belum dikenalnya tuan,

sedangkan aku sudah sangat sering bertemu

dengan burung-burung itu. Selama ini dan

sampai sekarang mereka tak pernah

menyerangku...!"

"Hemm... gadis ini sungguh licin untuk

dijebak." batin Buang Sengketa mulai kesal.

"Agaknya kau merupakan pemilik dari

burung-burung itu...!" kata Pendekar dari

Negeri Bunian ketus. Terbelalaklah mata

gadis ini begitu mendengar tuduhan Buang

Sengketa. Akan tetapi dengan berpura-pura

marah si gadis menegur: "Kejam sekali

tuduhan Tuan... Tuan tak berperasaan!

Ketahuilah, Tuan. Sengaja aku meninggalkan

kedaiku, semata-mata hanya karena aku

mengkhawatirkan keselamatan Tuan...!"


Mendengar jawaban si gadis mendadak

Buang Sengketa tertawa tergelak-gelak:

"Hehahaha... hahaha... tidak salahkah apa

yang aku dengar? Kalau tiba-tiba saja ada

seorang gadis yang sangat cantik

mengkhawatirkan keselamatan gembel Hina

Kelana seperti aku ini! Tetangga bukan

saudara bukan... mengapa justru kau

mengkhawatirkan keselamatanku...?" tanya

Buang Sengketa.

Mendapat pertanyaan seperti itu tentu

saja si gadis menjadi kalang kabut.

Wajahnya mendadak berubah memerah.

Sebagai seorang gadis walaupun dia

merupakan anak seorang sesat sudah barang

tentu dia tidak bisa melupakan kodratnya

sebaga wanita. Baginya terasa sangat

mustahil untuk menyatakan perasaan isi

hatinya pada si pemuda, terlebih-lebih Buang

Sengketa baginya merupakan sosok yang

masih sangat asing dalam hidupnya. Akan

tetapi dia tidak dapat membohongi

perasaannya sendiri.


DUA BELAS


Haruskah dia mengatakan keadaan yang

sebenarnya, bagaimana pula andai nantinya

pemuda itu menjadi salah mengerti? Dalam

keadaan resah seperti itu, tiba-tiba saja

Buang Sengketa nyeletuk: "Mengapa kau

tidak menjawab pertanyaanku!"

"Apa yang perlu kujawab, pertanyaan

Tuan yang aneh-aneh saja...!" ujar si gadis

dengan wajah kemerah-merahan.

"Agaknya kau telah jatuh cinta padaku,

bukan...!" kata Buang Sengketa sekenanya.

Jelita semakin tesipu malu, kemudian dengan

lirik-lirik mesra dia menjawab.

"Mana ada orang mau pada gadis

semacamku ini...!"

Pendekar Hina Kelana terbatuk beberapa

kali begitu mendengar jawaban si gadis.

Akan tetapi agaknya sedikit pun dia tidak

terpengaruh dengan gadis itu, karena

beberapa saat kemudian dia berkata tegas:

"Sayang... sungguh sayang...!"

"Apa maksudmu, Tuan...?" sela Jelita

harap-harap cemas.

Sebelum menjawab, Pendekar dari

Negeri Bunian itu menatap tajam pada si


gadis. Dalam hati dia membenarkan apa

yang dikatakan oleh si Kakek Rombeng.

Gadis ini sesungguhnya merupakan seorang

gadis yang jujur dan lugu, siapa pun tak

akan menyangka kalau dia anak seorang ahli

sihir yang sangat kejam. Akan tetapi walau

bagaimana pun baiknya hati gadis itu sedikit

pun Buang Sengketa tetap tidak ingin

terpengaruh padanya. Untuk itu dia segera

berkata tegas: "Aku paling tidak suka pada

orang yang selalu bersikap pura-pura.

Maaf... lebih dari itu, aku tak akan bersekutu

dengan anak seorang tukang sihir...!"

Terkesiaplah darah gadis jelita ini,

wajahnya berubah pucat. Rasanya dia ingin

menangis. Merah bercampur malu berbaur

menjadi satu, akan tetapi karena perasaan

cintanya itulah membuatnya berusaha

bersabar. Lalu dengan bibir gemetar dia pun

bertanya: "Tuan... dari mana Tuan

mengetahui semuanya ini? Apakah Kakek

Rombeng orang tua edan itu yang

mengatakannya padamu...?"

Lagi-lagi Buang Sengketa tersenyum

mengejek: "Darimana pun aku memperoleh

keterangan ini. Apa peduliku... kau tidak

mungkin mungkir bahwa malam itu kau telah

berubah menjadi seekor burung hantu...."

tukas pemuda itu dengan sesungging


senyum kemenangan. Akan tetapi betapa

sabarnya gadis yang bernama Jelita ini,

sebab sedikit pun dia tidak terpengaruh

dengan penghinaan yang sengaja dilakukan

Buang Sengketa demi memancing

kemarahannya.

“Tuan... mengapa tuan berkata sekejam

itu. Tidak bisakah tuan membedakan yang

mana musuh dan yang mana kawan.

Ketahuilah Tuan bahwa aku bersedia ikut

dengan Tuan ke mana pun Tuan mau, asal

saja Tuan mau mengerti bagaimana

perasaanku ini!" sela Jelita dengan wajah

tertunduk sedih.

"Maaf, Nona yang baik. Aku menghargai

akan maksud baikmu! Untuk itu minggirlah

aku mau pergi ke Lembah Halilintar...!" kata

Buang Sengketa.

"Jangan, Tuan! Hal itu sangat berbahaya

bagi Tuan, ayahku sangat kejam, sekali Tuan

bisa mendapat celaka...!" tukas Jelita

berusaha mencegah.

Pendekar Hina Kelana mendengus kesal:

"Kalau orang tuamu itu sangat kejam, sangat

kebetulan sekali. Biar aku tidak bertindak

setengah-setengah...!"

"Jadi tuan tetap berniat ke sana? Untuk

kemudian membunuh ayahku...." Jelita

nampak khawatir sekali.


"Ya... sekalian mengobrak-abrik Lembah

Neraka itu...!" jawab Buang Sengketa. Demi

mendengar keputusan si pemuda, wajah

gadis jelita ini nampak berubah merah

padam. Jelita memang benar-benar marah,

walau sesungguhnya dia telah jatuh cinta

pada si pemuda, akan tetapi sebesar apa pun

cintanya pada pemuda itu siapa rela orang

tua kandungnya diperlakukan tidak baik.

Walau sesungguhnya gadis itu pun tahu

bahwa ayandanya merupakan orang yang

sangat kejam. Dia telah membujuk,

memohon bahkan telah mengutarakan

perasaannya. Kalau semua itu tak membawa

hasil bahkan orang yang berdiri di

hadapannya itu malah berniat mencelakakan

orang tuanya. Sebagai seorang anak yang

ber-akti tentu dia tak akan membiarkan

pemuda itu berbuat semau-maunya.

Demikianlah yang ada dalam fikiran si

gadis. Ketika setelah beberapa saat lamanya

mereka saling terdiam, kini gadis itu segera

bertanya kembali: "Jadi Tuan tetap

bermaksud meneruskan niat Tuan...?"

"Keputusanku tidak bisa ditawar-tawar

lagi...!" kata Buang Sengketa tegas.

Mendengar jawaban Buang Sengketa,

dengan perasaan kecewa gadis itu pun

berubahlah pendiriannya.


"Kalau Tuan memang sudah tidak dapat

di cegah lagi, kalau begitu akulah orang

pertama yang akan merintangi niatmu itu...!"

sela Jelita dengan tatapan berapi-api.

Mendengar keputusan si gadis, Buang

Sengketa nampak tergelak-gelak.

"Huahahaha... bagus, membabat rumput

kalau bisa memang harus sampai ke akar-

akar-nya...!"

Buang Sengketa yang sudah mengetahui

kehebatan gadis jelita ini dari si Kakek

Rombeng sudah sejak awal sudah

mempersiapkan segala sesuatunya.

"Tuan, sungguhpun Tuan dapat

memusnahkan ratusan ribu ekor burung

hantu, hal itu tidak akan berarti banyak

bagiku! Hati-hatilah...!" kata si gadis

mengingatkan. Selesai dengan ucapannya,

tanpa banyak berkata lagi Jelita mulai

melancarkan serangan-serangannya. Setiap

pukulan yang dilancarkannya selalu

mengarah pada bagian-bagian yang

mematikan. Baru beberapa jurus saja si

gadis melakukan serangan, sudah cukup bagi

Buang Sengketa untuk mengetahui bahwa

gadis cantik ini benar-benar patut

diperhitungkan. Kini dengan permainan silat

tangan kosong Jelita menggempur dari

segala arah, dengan jurus-jurus andalan


tangan-tangan si gadis bergerak demikian

cepat. Bahkan dalam pandangan si pemuda,

tangan-tangan itu jumlahnya seperti

bertambah banyak. Tak ayal lagi Buang

Sengketa segera membentengi diri dengan

jurus si Gila Mengamuk. Dengan gerakan

ringan sekali tubuhnya berkelebat kian ke

mari. Terkadang memukul membalas

serangan si gadis di lain saat dia mengelak,

menendang dan di lain kesempatan dia

menggaruk pantatnya sendiri. Pertarungan

nampak semakin seru, masing-masing dari

mereka punya ambisi yang sama yaitu

menjatuhkan lawan secepat mungkin.

Sementara itu si gadis dengan

mempergunakan jurus Burung Hantu

Mengintai Mangsa nampak sangat lincah.

Dengan ilmu mengentengi tubuh yang sangat

sempurna dia terus mencecar bahkan

berkelebat kian ke mari. Menghadapi lawan

yang sangat tangguh. Buang Sengketa terus

kerahkan segala kemampuan yang ada.

Suara pukulan saling bercuitan, debu dan

batu kecil beterbangan di sekitar tempat itu.

Agaknya kekuatan mereka sangat

berimbang. Hingga pada satu kesempatan, si

gadis berhasil menyarangkan sebuah

pukulannya dengan telak ke dada Pendekar

dari Negeri Bunian ini. Si pemuda


terjengkang dua tombak. Namun dengan

cepat dia bangkit kembali. Beberapa saat dia

pegangi dadanya yang terasa sesak. Namun

begitu dia menarik nafas rasa sakit itu pun

hilang. Melihat kenyataan itu gadis jelita itu

tersenyum penuh arti.

"Sudan kubilang, berhati-hatilah,

Tuan...!" ulangnya memperingatkan. Buang

Sengketa mendengus.

"Huh... aku masih belum apa-apa.

Haait...!" Buang Sengketa menerjang

kembali. Pertarungan semakin seru pun

terjadi lagi. Buang Sengketa kembali lipat

gandakan serangannya. Jelita terus

mendesaknya tanpa ampun, dalam waktu

sekejap saja pemuda itu menjadi kalang

kabut. Hingga tak lama kemudian Buang

Sengketa berjumpalitan menjauhi

pertarungan. Gadis itu terus memburu ke

mana pun Buang mengelak, secepat kilat

Buang mengerahkan setengah dari

tenaganya ke arah kedua tangannya, kini dia

telah bersiap-siap dengan pukulan Empat

Anasir Kehidupan yang sudah tidak

diragukan akan kemampuannya.

Saat itu Jelita sudah datang kembali

dengan sebuah pukulan Burung Hantu

Melempar Mangsa, tak ayal lagi pemuda itu

mendahului. Seberkas sinar Ultra Violet


meluncur cepat dengan disertai suara

menderu-deru. Sementara itu dari pihak si

gadis, selarik sinar ungu juga meluruk ke

arah Buang Sengketa. Tak dapat dihindari

lagi. Dua tenaga sakti itu pun bertemu.

"Blaammm...!"

Bumi seakan amblas, seketika udara di

sekitarnya terasa sangat panas. Tujuh Jelita

terpelanting berpuluh-puluh tombak,

sementara Buang Sengketa sendiri tunggang

langgang. Dengan cepat Buang Sengketa

segera bangkit kembali, begitu pun halnya

dengan Jelita, meskipun tubuhnya nampak

limbung, akan tetapi seulas senyum getir

menghias di bibirnya yang menawan.

Sambil mencabut senjatanya yang

berupa sebuah kipas yang berwarna kuning

keemasan dia berucap: "Tuan, kau memang

benar-benar hebat! Kalau kau punya senjata

cabutlah... sebab aku juga tidak pernah

bertindak setengah-setengah."

Kemudian sambil memandang sinis pada

si gadis dia menyela: "Bila tiba saatnya

tanpa kau perintah pun tentu aku akan

mencabut senjata-ku...r

Belum lagi Buang Sengketa selesai

dengan kata-katanya, gadis ini dengan

geram telah meluruk kembali. Buang

Sengketa menyadari, meskipun senjata si


gadis hanya sebuah Kipas, namun dia dapat

merasakan bahwa senjata itu merupakan

senjata yang sangat ampuh. Di tangan si

gadis senjata itu berkelebat kian ke mari,

mengintai setiap pertahanan yang lemah

untuk kemudian bagai malaikat maut,

mencabut nyawa dengan paksa. Buang terus

menghindar sambil melakukan serangan-

serangan balasan. Sesekali dia berjumpalitan

ke udara, di lain saat tubuhnya berkelit

menghindari kipas ampuh yang datangnya

bertubi-tubi. Hingga pada suatu saat pende-

kar Hina Kelana ini nampak terdesak dengan

hebat, senjata di tangan si gadis terus

meluncur mengarah ke lehernya. Buang

sudah tidak mempunyai pilihan lain. Dengan

mempergunakan pukulan Empat Anasir

Kehidupan tingkat kedua pemuda ini pun

kembali kiblatkan tangannya. Lagi-lagi

selarik sinar Ultra Violet melesat begitu

cepat. Agaknya Jelita tidak menduga akan

datangnya serangan yang begitu cepat itu.

Dengan gugup, senjata kipas yang tadinya

meluncur untuk menebas leher lawannya,

dengan sangat cepat dia merubah kipas itu

untuk melindungi diri, tak pelak lagi.

"Braak... Plaaar...!"

Senjata di tangan Jelita hancur

berkeping-keping dilanda pukulan Empat


Anasir Kehidupan yang dilepaskan oleh

pendekar Hina Kelana. Tubuh Jelita

terjengkang beberapa tombak. Sementara

dari mulutnya menyembur darah segar.

Meskipun keadaannya sudah begitu gadis ini

masih menyunggingkan seulas senyum

penuh arti. Buang Sengketa nampak diam

tiada bergeming. Tak lama setelah gadis itu

berhasil menghimpun hawa murni, dengan

tegar dia kembali bangkit, kemudian dengan

langkah mantap kini dia kembali berhadapan

dengan Pendekar dari Negeri Bunian yang

tampan namun bersikap dingin. Lalu dengan

tatapan sendu gadis itu memandang pada

Buang Sengketa beberapa saat lamanya.

"Tuan... sesungguhnya aku tak

menghendaki hal ini terjadi, akan tetapi

kalau pun aku mati di tanganmu. Bagiku hal

itu tidak menjadi soal...!"

"Kau sudah terluka, Nona, kau tak

mungkin mampu membendung

seranganku..!" ujar Buang Sengketa dengan

tatapan iba. Lagi-lagi si gadis tersenyum

getir, ada perasaan sedih bergelayut di

dadanya.

"Tuan jangan berbangga diri! Aku masih

mempunyai beberapa ilmu yang belum

pernah Tuan lihat...!"


Setelah berkata begitu, gadis ini tanpa

banyak cakap lagi kembali meluruk dan

mendesak Buang Sengketa, kali ini dengan

pukulan-pukulan yang sangat ampuh yang

juga dipenuhi dengan berbagai tipuan sihir

dipergelarkan di depan pendekar Hina

Kelana. Di lain waktu tubuh berubah menjadi

kembar, dua, tiga dan empat dan sudah

barang pasti Buang Sengketa sering

terkecoh. "Hemm... ilmu sihir." batin pemuda

itu dalam hati. Dengan disertai jeritan

melengking Buang segera merubah variasi

jurus-jurus silatnya. Keadaan segera

berubah, tanpa ampun pemuda itu sudah tak

memberi kesempatan pada si gadis untuk

mempergunakan ilmu sihirnya.

Kiranya jurus pamungkas yang diberi

nama Si Jadah Terbuang inilah yang kini

dipergunakan oleh pemuda itu. Saat-saat

berikutnya si gadis jelita semakin

bertambah-tambah terdesak. Hingga

kemudian tubuhnya nampak melesat ke

udara. Keanehan pun segera terjadi. Sebab

hanya dalam waktu beberapa detik saja

tubuh si gadis telah berubah menjadi ribuan

burung hantu dan menyerang Buang

Sengketa tanpa ampun. Meskipun tubuh si

gadis telah berubah menjadi ribuan burung

hantu namun dia masih dapat mengenali


yang mana sebenarnya gadis berada. Dalam

keadaan seperti itu sudah barang tentu

Buang Sengketa tidak ingin mati konyol.

Dengan cepat dia meraba pinggangnya.

Begitu pusaka Golok Buntung itu berada di

tangan sinar berwarna merah darah itu pun

memancar dari golok yang berada dalam

genggamannya. Burung hantu jelmaan Jelita

kembali menyambar tanpa mengenal rasa

jera. Pada saat itulah dengan diiringi satu

pekikan dahsyat, golok di tangannya pun

berkelebat.

"Craaas...!"

Pekik kesakitan dari mulut seorang

gadis, menyertai ambruknya tubuh si gadis

dengan bersimbah darah. Buang segera

memburunya, gadis cantik itu merintih-rintih

sambil memandang penuh arti, sementara

darah terus mengucur dari perutnya yang

terobek. Begitu pun dia masih tetap

tersenyum, Buang Sengketa nampak

tertunduk sedih.

"Tuan... biarkanlah aku mati di pangkuan

ayahku! Tuan benar-benar hebat. Aku

semakin kagum padamu, kalau kau ingin

membunuh ayahku. Kelemahannya ada pada

lehernya. Selain itu, dia kebal terhadap

senjata apa pun. Sampai hari matiku aku

tetap mencintaimu, Tuan. Selamat


tinggal...!" Setelah berkata begitu, tubuh

Jelita kembali berubah ujud.

Burung hantu yang terluka itu setelah

begitu lama menatap pada Buang Sengketa

nampak menitikkan air mata. Pendekar Hina

Kelana ini jadi iba karenanya. Lalu dengan

perasaan sedih dia menghampiri burung

jelmaan Jelita. Dengan penuh penyesalan

pula dia mengelus kepala burung itu. Lalu

tanpa sadar dia berucap: "Maafkan aku! Aku

tahu sesungguhnya kau merupakan gadis

yang baik, aku berharap kau bisa sembuh

kembali...!" kata Buang Sengketa lirih.

Burung itu nampak menggelengkan kepala.

Agaknya dia sadar bahwa lukanya tak

mungkin tersembuhkan.

Kemudian dengan diiringi suara lirih,

setelah kembali memandang pada Buang

Sengketa beberapa saat lamanya. Lalu

dengan gerakan yang sangat dipaksakan

burung itu pun segera terbang meninggalkan

Buang Sengketa seorang diri.

* * * *


TIGA BELAS



Ahli sihir Nukman Tiga Momba begitu

mengetahui putri satu-satunya datang ke

tempat kediamannya dalam keadaan luka

parah, nampak menjadi sangat murka.

Dengan segenap kemampuan yang dia miliki

dia berusaha menyelamatkan anak gadisnya

yang cuma satu-satunya itu. Namun karena

luka yang diderita anaknya memang cukup

parah, pada akhirnya gadis itu

menghembuskan nafasnya di pangkuan sang

ayah. Sampai menjelang kematiannya

kiranya gadis itu tetap tidak mau

menyebutkan siapa yang telah melukainya.

Hal inilah yang menjadi penyesalan orang

tua itu. Kini si ahli sihir itu menangis

menggerung-gerung bagai anak kecil.

Dipeluknya tubuh anaknya yang telah kaku

menjadi mayat. Kemarahan yang meluap-

luap membuat tubuhnya yang jangkung itu

nampak meng-gigil. Dia segera menutupi

tubuh anaknya yang sudah membeku itu.

Lalu dengan menggertakkan rahang dia

berdiri, dan menatap nanar pada ruangan

sekitarnya.


"Siapa pun yang telah melakukan semua

ini, aku akan mencari dan membalasnya

dengan setimpal...!" geramnya.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba saja

terdengar suara tantangan dari luar.

"Ahli sihir Nukman Jaya Tiga Momba...

kau tak perlu repot-repot mencari siapa

pembunuh anakmu! Keluarlah kau, kalau

ingin tau siapa yang telah melakukannya...!"

Nukman Jaya Tiga Momba

menggerendeng: "Keparat... belum tahu

siapa aku rupanya...!" Sambil berkata begitu

tubuhnya berkelebat ke luar dari istananya.

Setelah berada di luar, tahulah laki-laki itu

bahwa orang yang telah membunuh anaknya

itu ternyata hanya seorang pemuda

berpakaian lusuh warna merah. Dengan

rambut di kuncir serta menyandang sebuah

priuk penuh jelaga di pundaknya. Dengan

kemarahan yang sudah mencapai ubun-

ubun, laki-laki itu langsung mendamprat:

"Gembel busuk... kau telah membunuh

anakku! Dosa apakah yang telah dia perbuat

sehingga kau begitu telengas

membunuhnya.. ?"

Pemuda yang memang tak lain Buang

Sengketa adanya, tertawa sinis

"Nyawanya saja tidak cukup untuk

menebus dosa-dosamu, masihkah kau ingin

berhitung soal hutang...!"

Laki-laki itu mendengus, kemudian

menoleh ke salah satu pintu yang terbuka.

Selanjutnya dia memberi perintah: 'Tujuh

burung hantu pilihan, hadapi dan kunyah

tubuh di gembel ini, cepaat...!"

Sesuai dengan kata-katanya dari dalam

pintu itu berserabutanlah burung-burung itu

keluar, pada saat yang sama terdengar pula

bentakan dari arah lain.

"Buang Sengketa, burung-burung

keparat itu bagian kami...!"

Bersamaan dengan suaranya, tiba-tiba

saja kakek Rombeng telah hadir di antara

mereka disertai dengan si Kembar dari Bukit

Sumplung. Nukman Jaya Tiga Momba agak

terkejut melihat kehadiran kakek ini. Akan

tetapi meskipun begitu, tak begitu lama

kemudian dia membentak.

"Oh... rupanya setelah merasa punya

kawan yang dapat diandalkan kau baru

berani datang ke mari! Bagus hari ini aku

tidak segan-segan lagi mengirim kalian ke

liang kubur...!"

Berkata begitu, laki-laki bertampang

bengis itu langsung lancarkan satu serangan

pada Buang Sengketa. Masih untung sudah


sejak semula pemuda ini telah bersiap siaga.

Kalau tidak tentu saja dia sudah mati konyol.

Dalam waktu sebentar saja pertarungan pun

segera terjadi. Si Kakek Rombeng dan si

Kembar dari Bukit Sumplung melawan

kawanan burung hantu. Sedangkan Buang

Sengketa melawan ahli sihir Nukman Jaya

Tiga Momba. Pertarungan baru saja

berlangsung beberapa jurus akan tetapi

segera terlihat bahwa Buang Sengketa

nampak sangat keteter, bahkan sekali pun

dia tak diberi kesempatan untuk

melancarkan serangan-serangan balasan.

Maklumlah pemuda ini, bahwa kini dia benar-

benar meng-hadapi lawan yang benar-benar

tangguh. Dengan satu teriakan memekakkan

telinga kembali Nukman Jaya mendesaknya

tanpa ampun. Hingga pada satu kesempatan

pemuda ini sudah tidak dapat mengelak lagi,

maka dengan nekad dia memapasi.

"Blarrr...!"

Laki-laki itu tersurut beberapa langkah,

akan halnya dengan Buang Sengketa yang

nampak terjengkang beberapa tombak.

Nampaknya Nukman Jaya Tiga Momba sudah

tak memberinya ampun. Belum lagi Buang

Sengketa sempat bangkit, laki-laki itu telah

memburunya, pukulan-pukulan sakti pun dia

lancarkan dengan gencar. Buang mengelak


kian ke mari. Ketika serangan itu kembali

datang bertubi-tubi, salah satu darinya

sempat luput dari perhatian pemuda itu. Tak

pelak lagi, pukulan yang diberi nama

Gendewa Halilintar itu kembali melabrak

tubuh Buang Sengketa. Tubuh pemuda itu

terlempar beberapa tombak. Darah meleleh

dari celah-celah bibirnya. Dalam keadaan

seperti itu teringatlah Buang pada pesan si

gadis bahwa kelemahan orang tuanya

terletak pada bagian lehernya. Buang

Sengketa sudah tak ingin mengulur-ulur

waktu lagi. Dan dia pun tak ingin laki-laki itu

sempat mempergunakan ilmu sihirnya yang

terkenal jahat. Dengan cepat pemuda itu

segera bangkit. Sementara itu Nukman

Jaya Tiga Momba telah meluruknya kembali

dengan satu serangan yang mematikan.

Dengan cepat Buang Sengketa segera

mencabut golok serta melolos cambuknya.

Sinar kemerahan serta warna pelangi

nampak terpencar dari golok dan cambuk

yang tergenggam di tangannya itu.

Begitu tangan laki-laki itu terulur ke arah

perut Buang Sengketa, dia segera kiblatkan

Golok Buntungnya. Disertai suara menjerit

golok itu menyambar ke arah tangan si laki-

laki. Nukman Jaya menarik balik tangannya.

Sambil berseru kaget. Tak lama kemudian


laki-laki itu telah merubah jurus-jurus

silatnya. Tapi sebaliknya Buang Sengketa

pun sudah tidak memberinya ampun. Segera

pula Buang memainkan Cambuk Gelap

Sayuto yang berada di tangannya.

"Ctar! Ctarr! Ctar!"

Begitu cambuk itu terayun ke atas dan

mengeluarkan bunyi yang merontokkan

gendang-gendang telinga, seketika itu juga

langit berubah hitam pekat. Mendadak alam

di sekeliling mereka menjadi gelap gulita.

Tak lama kemudian suara petir pun sambung

menyambung. Sementara cambuk di tangan

pemuda itu bagai mempunyai mata saja

terus bergerak mengejar si ahli sihir yang

masih diliputi keheranan.

Nukman Jaya yang tadinya sudah

bersiap-siap dengan ilmu sihirnya, jadi

mengurungkan niatnya demi menyaksikan

keanehan yang terjadi, dan sudah barang

tentu hal itu sangat menguntungkan Buang

Sengketa. Dengan cepat dia bertindak, sekali

saja golok di tangan pemuda itu berkelebat,

maka jerit lolong kematian pun membahana

memecah kesunyian lembah. Tubuh Nukman

Jaya Tiga Momba ambruk ke bumi dengan

nyawa melayang. Tamatlah riwayat

Penguasa Lembah Halilintar ini dengan

keadaan sangat menyedihkan. Buang


Sengketa segera menyimpan golok dan

cambuk pusakanya. Begitu cambuk itu

tersimpan kembali di pinggangnya. Keanehan

pun terjadi kembali. Alam sekitar yang

tadinya gelap gulita secara perlahan kembali

kepada keadaan semula. Begitu Buang

Sengketa menoleh dilihatnya Kakek

Rombeng dan dua orang dari Bukit Sumplung

itu pun telah melaksanakan tugasnya dengan

baik. Dengan kematian Nukman Jaya Tiga

Momba, maka secara pasti pengaruh ilmu

sihirnya pun lenyap. Dan burung-burung

hantu itu pun kembali pula menjadi manusia

biasa. Dengan segera Pemuda dari Negeri

Bunian itu pun berkelebat pergi.



                        TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar