KEMBALINYA SILUMAN HARIMAU
KUMBANG
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 014:
Kembalinya Siluman Harimau Kumbang
SATU
Dengan sekali genjot, tubuhnya yang kurus ke-
rempeng itu, telah pula melayang begitu ringannya.
Seolah tubuhnya yang kurus kerempeng tiada memiliki
bobot. Laki-laki itu memang sudah sangat tua sekali,
bahkan mungkin usianya sudah lebih dari delapan pu-
luh tahun. Namun sungguh pun begitu dia masih keli-
hatan lincah. Tidak pernah terlihat kelelahan mem-
bayang di wajahnya yang sudah keriputan di sana sini.
Laki-laki berkepala botak plontos itu dalam lingkungan
tempat tinggalnya dikenal sebagai orang tua yang san-
gat arif memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Sela-
ma malang melintang dalam dunia persilatan beberapa
puluh tahun yang lalu. Dia dikenal sebagai si Pedang
Walet Merah, ketimbang namanya sendiri Sandi Marta.
Namun sudah lebih dari dua puluh tahun semenjak
usianya menginjak enam puluh tahun, Sandi Marta
mulai mengasingkan diri di Bukit Kramat. Selanjutnya
nama besarnya yang menghebohkan itu pun sudah
mulai jarang diingat orang, lebih tepat terlupakan.
Walau begitu, sungguhpun dia telah lama me-
ninggalkan dunia persilatan tapi ajaran silatnya terus
berkembang, termasuk juga jurus-jurus Pedang Walet
Merah yang diciptakannya masih segani oleh kalangan
persilatan sampai saat itu. Bahkan murid tunggalnya
telah pula mendirikan sebuah perguruan besar yang
bernama Perguruan Walet Merah. Perguruan itu seper-
ti kabar yang didengarnya dipercaya sebagai tempat
penyimpanan Arca Harimau Kumbang lambang persa-
tuan dari kaum bergolongan lurus. Kabar yang dia
dengar itu saja bagi Sandi Marta atau si Pedang Walet
Merah merupakan satu kebanggaan tersendiri. Sebab
dengan berdirinya perguruan itu merupakan satu buk-
ti bahwa muridnya Luga Kencana memang benar telah
memenuhi pesan-pesan yang dulu pernah dia sampai-
kan pada murid tunggal itu.
Pada saat itu, Sandi Marta nampak sedang di
atas sebongkah batu yang sangat licin. Sementara itu
tidak begitu jauh di depannya nampak pula berdiri te-
gak dua batang pohon yang sangat besar. Mata tua
Sandi Marta memandang sejurus pada pohon yang
berdiri kokoh itu. Lalu alisnya yang sudah putih ke-
coklatan itu pun mengernyit. Selanjutnya dengan posi-
si tegak, sebelah tangannya sudah terangkat tinggi-
tinggi. Secara perlahan kaki kanan mulai menekuk, se-
lanjutnya dengan mengerahkan setengah dari tenaga
dalam yang dia miliki, selangkah demi selangkah dia
undur dari tempatnya berpijak. Sejenak dia memu-
satkan segala pemikirannya. Secara perlahan tenaga
sakti itu mengalir ke bagian telapak tangannya. Nam-
pak uap putih mengepul di sana lalu tubuhnya yang
kurus ceking itu pun menggeletar.
Selanjutnya dengan disertai jeritan melengking
Sandi Marta pukulkan kedua tangannya mengarah pa-
da kedua pohon itu.
"Wuuss!"
Terdengar suara berdebum manakala kedua
pohon itu roboh terhantam pukulan yang dilakukan
oleh Sandi Marta. Maka tak pelak lagi debu-debu pun
beterbangan me-ngepul ke udara. Sejenak Sandi Marta
memandang kembali pada apa yang baru saja dilaku-
kannya. Selanjutnya seorang diri dia berkata:
"Ha... kek... kek...! Aku ini sudah tua bangka.
Tapi pukulan Sepasang Walet Memburu Capung masih
juga sebaik yang dulu. Padahal telah lama aku tiada
lagi mempergunakannya. Hemm...!" Kakek Sandi Marta
bergumam. Selanjutnya sambil melayangkan pandan-
gan matanya jauh-jauh dia berkata lagi seorang diri.
"Andai saja, hidup ini bisa terulang, jika saja aku da-
pat kembali seperti seorang bayi yang baru dilahirkan.
Maka aku akan memilih hidup sebagaimana layaknya
manusia biasa saja. Tidak perlu rumit membasmi sega-
la sepak terjang segala kucing kurap, dan tiada pula
perlu membasmi tikus-tikus yang berebut kekua-
saan...!" ujar si Pedang Walet Merah yang rada-rada
budek ini. Sejenak laki-laki berkepala botak plontos itu
berjalan hilir mudik di atas batu berlumut sangat tebal
lagi licin. Wajahnya nampak menunduk, dalam tertun-
duk itu, nampaklah gagang sebilah pedang berkepala
Walet Merah tersembul di bagian tengkuknya yang
berpunuk bagaikan sapi. Namun bukan daging, me-
lainkan tonjolan tulang tua yang sudah merapuh.
Sementara itu dari tempat si Pedang Walet Me-
rah berdiri tegak, nampak tiga ekor kuda berwarna hi-
tam sedang dipacu sangat cepat oleh diri yang duduk
di atasnya. Adapun kuda yang berada di bagian depan,
nampak seorang laki-laki bertangan buntung di bagian
kanan. Laki-laki itu berbadan tinggi, sungguhpun ti-
dak begitu gemuk, tapi bagi si Pedang Walet Merah
akan tahu bahwa orang itu tak lain merupakan murid
tunggalnya. Dan dua orang lainnya merupakan murid-
murid tingkat satu dan dua dari si orang penunggang
kuda itu.
Tidak sampai sepemakan sirih, tiga orang pe-
nunggang kuda itu telah membelok ke sebuah tikun-
gan yang sangat tajam. Seperti yang diharapkannya,
begitu mereka sudah melewati tikungan yang kanan
kirinya merupakan tebing lumut. Maka terlihat oleh
mereka si Pedang Walet Merah duduk ongkang-
ongkang sambi menimang-nimang sebuah pedang ber
kepala Burung Walet Merah yang pada jamannya per-
nah menggemparkan kaum persilatan.
Kakek tua itu masih tenggelam dalam keasyi-
kannya, bahkan dia pun sampai tidak menyadari ka-
lau saat itu derap langkah kuda semakin mendekat ke
arahnya.
"Guru...!" Berseru Luga Kencana begitu dia me-
lompat turun dari punggung kudanya. Seraya sudah
menjatuhkan diri kemudian bersimpuh tujuh meter di
bawah batu besar tempat di mana si Pedang Walet Me-
rah berada. Laki-laki tua berkepala botak plontos itu
sesaat mengalihkan perhatian-nya dari pedang yang
berada di atas telapak tangannya kepada laki-laki se-
tengah baya yang bersimpuh di bawah batu itu. Begitu
dia mengenali siapa adanya laki-laki yang duduk ber-
simpuh di hadapannya itu, sontak matanya terbelalak
lebar. Alis mata menggerimit. Luga Kencana ketua Per-
guruan Walet Merah. Itu pasti, namun yang membuat
Sandi Marta terkejut adalah mengenai tangan Luga
Kencana yang terkutung. Apakah yang telah terjadi
atas diri murid tunggalnya itu? Merasa sangat penasa-
ran, maka sekejap kemudian dia sudah bertanya.
"Luga Kencana! Apa yang telah terjadi atas di-
rimu...?" Yang ditanya sebentar menundukkan kepa-
lanya, menjura lalu dengan wajah masih tertunduk dia
menjawab pelan.
"Guru! Celaka guru...!" ucap Luga Kencana
mendadak saja menjadi gugup tidak karuan. Sandi
Marta agak telengkan kepalanya, dia merasa kurang
jelas dengan apa yang dikatakan oleh murid tunggal-
nya itu. Maka:
"Sialan kau Luga! Kau ini, sudah sepuluh ta-
hun tidak ketemu dengan gurumu, tiba-tiba begitu kau
muncul telah berani pula kau memakiku, celaka...?"
gerutu Sandi Marta yang salah dengar. Luga Kencana
geleng-gelengkan kepalanya. Sama sekali dia tidak
menyangka kalau penyakit gurunya yang budek itu
semakin bertambah parah saja. Akhirnya dengan san-
gat sabar dan setengah menjura dia berucap kembali.
"Maaf, bukan itu maksudku, Guru! Sama sekali
murid tidak ada niatan untuk memaki orang tua yang
paling murid hormati. Maksud murid datang ke mari
adalah ingin menyampaikan kabar tentang lenyapnya
Arca Harimau Kumbang dari Perguruan Walet Me-
rah...!" Agak keras suara Luga Kencana, hingga mem-
buat Sandi Marta tersentak dan merasa dibentak.
"Kurang asem, berani kau membentak ku. Aku
masih belum tuli, Luga! Kalau setengah budek me-
mang iya...!" Sandi Marta diam sesaat. Sepasang ma-
tanya berputar-putar memandang Luga Kencana dan
murid dari muridnya itu silih berganti. Selanjutnya
dengan sorot mata kurang senang dia berkata lirih
namun penuh teguran: "Manusia memang selalu begi-
tu, andai dia merasa senang dalam hidupnya, dia sela-
lu lupa pada asal usulnya. Gemerlapnya dunia yang
sesungguhnya cuma sedikit itu telah pula membuat-
nya terlena. Namun sekali dia jatuh, dia akan meren-
gek meminta bantuan siapa saja. Contohnya seperti
kau ini Luga Kencana. Kedatanganmu jauh-jauh dari
Perguruan Walet Merah sudah tentu membawa tujuan
yang pada akhirnya akan menyeret-nyeret ku kembali
ke dunia ramai bukan...?"
Luga Kencana wajahnya sebentar memerah di
lain saat berubah pula memucat. Sama sekali dia tak
berani memandang wajah gurunya. Memang benar dia
akui, bahwa selama hampir sepuluh tahun dia tidak
pernah menjenguk gurunya yang mengasingkan diri di
Bukit Kramat. Hal itu sesungguhnya bukan berarti Lu
ga Kencana tidak ingat dengan segala apa yang pernah
diberikan oleh laki-laki berkepala botak ini. Tidak sa-
ma sekali. Selama ini Luga Kencana sangat sibuk den-
gan segala macam urusan perguruan. Belum lagi uru-
sannya sebagai orang yang sangat dipercaya untuk
menyimpan dan menjaga keselamatan Arca Harimau
Kumbang yang merupakan lambang persatuan kaum
persilatan bergolongan lurus. Namun walaupun arca
itu sudah dijaga sedemikian ketatnya, masih saja arca
tersebut masih dapat di curi oleh seseorang.
"Guru... maafkanlah. Murid memang salah ka-
rena tidak pernah mengunjungi guru di sini. Tapi se-
mua itu karena kesibukan murid dalam mengatur su-
asana perguruan yang masih semerawut...!" Si Pedang
Walet Merah tersenyum mencemooh begitu mendengar
pengakuan muridnya. Lalu dengan sikap acuh kakek
berkepala botak itu menukas.
"Kalau kau turuti, segala urusan dunia itu tia-
da habis-habisnya. Apa yang kau kejar Luga...? Ter-
nyata apa yang kau lakukan hasilnya. tetap sia-sia
bukan? Arca itu kini lenyap, tanganmu sudah kau
korbankan pula."
Luga Kencana hanya menarik nafas pendek,
mendadak dadanya terasa menyesak diliputi rasa ber-
salah.
"Tapi guru, tanganku ini sampai terkutung bu-
kan karena bertarung dengan pencuri arca itu. Aku te-
lah terlibat bentrokan dengan seorang pemuda gembel
yang menamakan dirinya sebagai si Hina Kelana (Da-
lam Episode Siluman Harimau Kumbang)." Terbelalak
kedua bola mata Sandi Marta begitu mendengar penje-
lasan muridnya. Sama sekali dia tiada menduga kalau
hari itu dia mendengar pengakuan bahwa muridnya
pernah bertemu dan bahkan sampai bentrok dengan
Pendekar Hina Kelana yang sangat menghebohkan itu.
Hemm. Sungguh sebagai seorang guru dan sekaligus
merupakan orang tua angkatnya dia ingin mendengar
sendiri seberapa hebat pendekar yang tak pernah ken-
al kompromi dalam membasmi segala bentuk kejaha-
tan.
"Luga Kencana, kau sampai berselisih paham
dengan bocah keturunan Raja Bunian itu. Tentu ada
alasan tertentu sehingga kau melakukannya...! Coba
katakan..,!" Luga Kencana terbelalak matanya begitu
Sandi Marta menyebut-nyebut bahwa si Hina Kelana
merupakan keturunan Raja Bunian. Sungguhpun dia
belum paham betul dengan keterangan yang di-
ucapkan gurunya itu, tapi akhirnya dia malah balik
bertanya:
"Raja Bunian? Apakah maksudmu, Guru...?"
"Ditanya malah ganti bertanya! Sungguh seba-
gai seorang ketua perguruan kau memiliki pandangan
yang sempit!" kata Sandi Marta mencela, lalu garuk-
garuk kepalanya yang botak itu.
"Apa maksud guru! Bocah gembel itu coba-coba
melindungi anak seorang tukang tadah pencurian Arca
Harimau Kumbang.
Sedangkan pencuri arca tersebut telah pula
membunuh lima orang murid-muridku. Masakan aku
harus tinggal diam, padahal bocah hina itu telah
membunuh pula puluhan orang muridku...!" cela Luga
Kencana dengan nada sedikit meninggi. Tentu saja
ucapan Luga Kencana membuat Sandi Marta menjadi
memerah wajahnya. Bagaimana mungkin seorang pen-
dekar pilih tanding bersedia melindungi anak seorang
tukang tadah, mungkin saja Luga Kencana hanya sa-
lah penilaian.
"Luga, janganlah kau memandang seseorang
hanya secara lahiriahnya saja. Sebagai seorang pende-
kar pembela kebenaran, sangat mustahil si Hina Kela-
na mau melindungi orang yang bersalah. Pula mung-
kin saja kau telah mengambil tindakan yang sangat
gegabah sehingga atau bahkan kau menyerang dia ter-
lebih dahulu sehingga pemuda itu membunuh murid-
muridmu!" Begitu tegas Sandi Marta berkata, tapi begi-
tu pun dia masih berusaha membantah apa yang dika-
takan oleh gurunya.
"Guru. Tak mungkin murid mau bertindak ge-
gabah andai orang itu benar-benar tidak mencuriga-
kan?" Sandi Marta atau si Pedang Walet Merah, hen-
tak-hentakkan kaki karena kesalnya melihat Luga
Kencana yang keras kepala itu.
"Mencurigakan bagaimana? Bukankah kau
sendiri tak melihat apa yang seperti apa yang kau tu-
duhkan itu dengan mata kepala sendiri?"
"Tapi sumber-sumber yang dapat dipercaya
mengatakan bahwa pencuri arca itu mempunyai hu-
bungan yang sangat dekat dengan Rajenta?"
Sandi Marta kembali miringkan telinganya yang
rada-rada budek itu.
"Apa katamu...?" Ulang Sandi Marta merasa ku-
rang jelas.
"Rajenta, kononnya mempunyai hubungan
dengan Gembel Pengemis dari Pulau Naga...!" kata Lu-
ga Kencana dengan suara sedikit keras.
"Hemm...!" Si Pedang Walet Merah nampak
angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian lanjutnya.
* * *
DUA
Bukankah Rajenta merupakan seorang bekas
saudagar kaya yang juga masih merupakan keturunan
bangsawan? Lalu si gembel pengemis yang berkepala
botak itu. Kuketahui sebagai seorang tokoh sesat yang
sangat berbahaya. Bagaimana mungkin mereka dapat
bekerja sama...?" tanya Sandi Marta tiada percaya.
"Dunia ini penuh dengan segala kemungkinan,
Guru! Bahkan mungkin guru tiada pernah percaya ka-
lau Gembel Pengemis dari Pulau Naga sewaktu-waktu
dapat berubah menjadi seekor Siluman Harimau Kum-
bang?"
Sandi Marta terbelalak matanya begitu men-
dengar apa yang diucapkan oleh Luga Kencana murid-
nya. Sama sekali dia tiada menduga bahwa tokoh sesat
yang dulu hampir membuatnya celaka itu kini telah
pula dapat merubah dirinya menjadi seekor siluman
yang ganas.
"Dari mana dan bagaimana hal itu bisa sampai
terjadi? Luga Kencana, bicara yang benar pada guru-
mu ini...!" kata Sandi Marta dengan sikap sangat pena-
saran sekali. Luga Kencana kembali menjura, setelah
sebelumnya melirik pada salah seorang muridnya yang
duduk bersimpuh di belakangnya.
"Salah seorang muridku yang telah kutugaskan
sebagai mata-mata melihat dengan jelas bagaimana
Gembel Pengemis dari Pulau Naga itu merobek-robek
tubuh kawan-kawannya...!" jelas Luga Kencana dengan
mimik wajah serius. Sontak Sandi Marta sambil tepuk-
tepuk jidatnya.
"Kacau-kacau.... Kalaulah bangsat itu yang kini
dapat berubah-rubah menjadi seekor siluman. Dunia
persilatan bisa jadi berantakan, dulu sebelum dia da-
pat berubah menjadi penganut ilmu sesat saja sudah
begitu banyak orang yang kojor di tangannya. Jangan-
kan sekarang ini...!"
Sungguhpun Luga Kencana ingin tertawa
demi mendengar apa yang dikatakan oleh gurunya
yang terkadang bertabiat konyol, namun sedapatnya
demi menghormati gurunya di depan murid-muridnya
sendiri, maka dia hanya menundukkan kepala saja.
Tetapi selanjutnya dia berucap: "Guru, Gembel Penge-
mis bukan penganut ilmu sesat namun arca itulah
yang membuat dia dapat berubah ujud menjadi seekor
siluman yang sangat berbahaya...!" kata Luga Kencana
menjelaskan.
Si Pedang Walet Merah manggut-manggut,
sungguhpun dia merasa kurang begitu jelas dengan
apa yang dikatakan oleh muridnya.
"Apa sih yang kau maksudkan...?" Ketua Partai
Walet merah geleng-gelengkan kepalanya. Dasar guru
budek! Umpatnya di dalam hati.
"Maksud murid begini, Guru! Di dalam mulut
Arca Harimau Kumbang terdapat sebuah kitab tipis
yang di dalamnya memuat tentang ilmu pelajaran Si-
luman Harimau Kumbang. Dari kitab itulah Gembel
Pengemis memiliki ilmu yang sangat langka itu...!"
Si Pedang Walet Merah menggerimit, walau ba-
gaimana pun, kini Gembel Pengemis merupakan orang
yang dapat membahayakan dunia persilatan. Perlukah
dia campur tangan? Sedangkan dia sendiri selama ini
sudah memutuskan untuk menjauhi keramaian dunia.
Tapi kalau dia biarkan muridnya seorang diri merebut
kembali arca yang telah dicuri oleh Gembel Pengemis.
Hal itu malah berakibat sangat fatal pada diri murid-
nya. Seperti dia ketahui Gembel Pengemis adalah me
rupakan seorang dedengkot iblis yang sewaktu-waktu
dapat melakukan pukulan-pukulan sangat keji yang
bersumber dari kepala tongkatnya yang berkepala Na-
ga Merah itu, tidak dia harus aku sertai walau ke ma-
na pun dia pergi. Batin Sandi Marta dalam hati.
"Orang itu benar-benar sangat berbahaya Luga.
Kau tak mungkin menghadapinya seorang diri...!"
Bukan main girangnya Luga Kencana demi
mendengar isyarat yang bertujuan sangat baik itu.
"Jadi guru mau menyertai muridmu ini dalam
membasmi Gembel Pengemis, dan bukan tak mungkin
masih ada orang lain yang berdiri di balik dedengkot
iblis tersebut...!"
Si Pedang Walet Merah itu nampak tercenung
beberapa saat lamanya. Sejurus kemudian dia sudah
menoleh lagi pada muridnya, lalu berkata:
"Hemm. Sudah dua puluh tahun lebih aku me-
ninggalkan dunia persilatan. Dan sesungguhnya aku
tak ingin lagi melihat darah dari pangkal leher yang
terputus. Tapi kalau kupikir-pikir, rasanya aku tak te-
ga membiarkan kau pergi menghadapi manusia iblis
itu seorang diri. Dan tak mengapa kalau dalam sisa-
sisa umurku ini ingin membantumu, atau membantu
siapa saja demi kepentingan dan sebuah kebenaran.
Tapi ingat, aku juga ingin melihat apakah ceritamu
tentang Pendekar Hina Kelana yang sangat menghe-
bohkan itu ada benarnya atau tidak. Kalau nantinya
apa yang kau katakan itu tidak benar, maka jangan
harap pertolonganku untuk memusuhi pemuda itu...!"
kata Sandi Marta begitu tegas.
"Terima kasih, Guru...! Segala apa yang guru
berikan pada muridmu ini, dengan apakah musti mu-
rid balas?" kata Luga Kencana sambil menjura hormat.
Si Pedang Walet Merah geleng-gelengkan kepalanya
yang botak mengkilat. Seraya menatap tajam pada Lu-
ga Kencana yang masih tetap duduk berlutut di hada-
pan gurunya.
"Sudah, aku tak perlu basa basi yang membuat
perutku bagai diaduk-aduk. Ayolah kita berangkat se-
karang juga!" kata Sandi Marta. Tapi alis Luga Kenca-
na menggerimit.
"Ada apa...?" tanya si Pedang Walet Merah.
Yang di tanya tersentak kaget. Lalu dengan ter-
bata-bata: "Eee... apakah guru mau murid bonceng di-
belakang kudaku...?!" tanya Luga Kencana dengan ra-
sa harap-harap cemas. Mendadak Sandi Marta tertawa
tergelak-gelak. Baik Luga Kencana, terlebih-lebih ke-
dua muridnya nampak terkesiap. Jantung mereka
bahkan berdenyut-denyut terasa sakit bukan alang
kepalang. Jelaslah sudah dalam tawanya tadi di sertai
tenaga dalam yang kuat. Namun sekejap saja Sandi
Marta telah menghentikan tawanya. Selanjutnya tanpa
menghiraukan murid dan dua orang murid Luga Ken-
cana.
"Luga Kencana, mana cepat lari kudamu den-
gan lajunya Bayu Berhembus? He... he... he...!" Luga
Kencana mau tak mau jadi tersenyum sendiri begitu
teringat bahwa gurunya memiliki Ajian Bayu Berhem-
bus.
"Kalau begitu marilah kita berangkat, Guru...!"
Belum lagi Luga Kencana selesai, si Pedang Wa-
let Merah sudah lenyap dari pandangan mata mereka.
"Sialan!" umpat Luga Kencana, kemudian tanpa
menunggu lebih lama lagi, Ketua Perguruan Walet Me-
rah yang sudah buntung tangannya itu pun melompat
ke punggung kudanya. Selanjutnya sekali saja dia
menggebrak kudanya, maka kuda-kuda itu pun mele-
sat bagai anak panah.
* * *
Delapan hari berjalan kaki, kemarau panjang
dengan terik panasnya yang membakar. Membuat ga-
dis berwajah jelita itu sebentar-sebentar mengeluh.
Bekal yang ada di dalam periuk yaitu yang berupa
dendeng ikan lumba-lumba sejak kemarin sore sudah
habis. Persediaan air juga habis. Tak terlihat parit-
parit bekas genangan air. Sumber-sumber mata air ju-
ga mengering. Kemarau hampir sepanjang tahun me-
mang membuat suasana di sekitar perkampungan
yang mereka lewati nampak kering kerontang. Cela-
kanya lagi tak ada warung penjual makanan di kanan
kiri jalan itu. Mereka terus melangkah, sesekali pemu-
da yang berjalan di sisi gadis itu nampak melirik ke
arah bagian kaki si gadis yang sudah pecah-pecah le-
cet mengeluarkan darah. Sesungguhnya dia merasa
iba dengan apa yang dialami oleh gadis di sisinya. Tapi
nampaknya gadis itu sangat keras kepala, dipapah dia
tidak mau. Digendong apalagi. Siapakah sesungguhnya
pemuda tampan yang berjalan dengan gadis cantik di
sampingnya. Tak lain dialah Pendekar Hina Kelana dan
Dewi Wening Asih yang sedang dalam perjalanannya
mencari Arca Harimau Kumbang sekaligus Siluman
Harimau Kumbang yang akhir-akhir ini mulai menye-
bar maut di mana-mana.
"Kelana, sampai kapankah kita terus melaku-
kan perjalanan seperti ini. Aku haus, kaki pun rasanya
sudah tak kuat lagi untuk melakukan perjalanan...!"
Sejenak pemuda itu menghentikan langkahnya. Meno-
leh sekejap, selanjutnya memandang ke arah rumah
penduduk yang nampak padat dan ramai.
"Cobalah bertahan sebentar! Mungkin di depan
sana kita akan mendapatkan warung tempat penjual
makanan, mudah-mudahan kita dapat melepas lelah
sekaligus mengisi perut yang sudah kekrukukan...!"
"Tapi aku sudah tidak kuat, Kelana...!" kata
Dewi Wening Asih sambil menyeringai menahan sakit
yang tiada tertahankan.
"Sudah sejak kemarin-kemarin kau kuminta
supaya kugendong saja, tapi kau tak mau, siapa sa-
lah...!" Memberungut Buang Sengketa sambil memijit-
mijit kaki Dewi Wening Asih yang masih saja terus
mengeluarkan darah. Gadis jelita itu pun tak kalah
cemberutnya.
"Kau ini sungguh membosankan. Ceriwis kayak
perempuan, kau kan tahu bahwa aku bukan anak ke-
cil lagi. Aku malu kalau kau sampai menggendong ku,
bagaimana nanti kata orang?"
"Menggendong orang saja apa susahnya, toh
aku masih memiliki sisa-sisa tenaga kalau cuma
menggendong kau yang tidak seberapa beratnya...!"
Dewi Wening Asih banting-banting kakinya, geram se-
kali rasa hatinya. Dalam penilaiannya pemuda yang
berdiri di depannya itu sangat tolol sekali. Dia tak
mengerti dengan apa yang dia maksudkan.
"Kau ini memang tampan Kelana, sayangnya
kau memiliki kepandaian tidak lebih dari seekor kele-
dai...!" Buang Sengketa nampak terbelalak matanya,
tiada dia menyangka kalau Dewi Wening Asih bisa bi-
cara seketus itu.
"Luar biasa, baru kali ini aku mendengar kata-
kata yang kasar dari mulut seorang gadis sepertimu...!"
"Kau marah...!" tanya Dewi Wening Asih sema-
kin bertambah gusar saja.
"Ya, tentu saja...!" ujar si Hina Kelana tak kalah
sengitnya.
"Kalau kau marah jalanlah sendiri, tanpa kau
sekalipun aku masih bisa mencapai desa berikut-
nya...!" tantang Dewi Wening Asih. Tantangan itu su-
dah karuan saja membuat Si Hina Kelana semakin
bertambah mendongkol. Selama dalam perjalanan
dengan gadis itu selamanya belum pernah Dewi Wen-
ing Asih membuat enak perasaannya. Maka tanpa ber-
kata sepatah kata pun dia langsung nyelonong saja.
Begitu pun Dewi Wening Asih tiada maksud untuk
mencegah kepergian Buang Sengketa yang berjalan
mendahuluinya.
Karena Buang Sengketa sedikit mengerahkan
ilmu lari cepatnya maka sekejap saja dia telah sampai
di perkampungan yang sangat ramai. Memasuki per-
kampungan yang tak ubahnya bagai sebuah pasar ke-
cil itu, Buang Sengketa mengitarkan pandangan ma-
tanya berkeliling. Nun di pertengahan desa itu, tidak
jauh dari keramaian pasar, maka nampaklah olehnya
sebuah waning yang sangat ramai dengan para pen-
gunjung. Tanpa basa basi lagi, Buang Sengketa segera
mengayunkan langkahnya memasuki warung tersebut.
Beberapa pasang mata nampak memandang jijik atas
kehadirannya. Begitu pun dengan pemilik warung yang
sejak tadi nampak sibuk melayani para langganan.
Buang Sengketa tiada perduli. Kelihatan acuh saja. Ce-
lingak celinguk sebentar, setelah melihat salah satu
meja yang terisi setengahnya oleh para pengunjung,
maka dia pun datang menghampiri.
Sebentar dia mengangguk hormat pada salah
seorang laki-laki yang duduk di meja seberang. Laki-
laki bertampang angker tersebut menanggapinya den-
gan dingin dan sorot mata kurang senang.
"Sialan, kira dia aku datang ke mari ini untuk
mengemis makanan. Hina-hina begini kalau cuma
membeli seisi warung ini pun aku sanggup...!" maki
pemuda itu dalam hati. Persetan, tanpa buang waktu
lagi dia melambaikan tangannya. Pemilik warung itu
dengan sikap enggan datang menghampiri.
"Kisanak mau pesan apa...?" tanya pemilik wa-
rung yang bernama Karjo itu merasa jengah dengan
penampilan dan kehadiran Pendekar Hina Kelana.
"Tukang warung, siapa sih namamu...?" tanya
Buang Sengketa dengan suara sengaja dikeraskan.
"Nama saya Karjo, Kisanak...!" ucapnya sedikit
ketakutan begitu melihat mata Buang Sengketa me-
mandang tajam pada dirinya.
"Sialan, namamu jelek sekali. Bahkan lebih je-
lek dari pakaian dan periuk yang berada di bahu ku
ini. Kau fikir aku datang ke mari untuk mengemis ma-
kanan padamu ya? Sialan betul kau ini...!" bentak
Pendekar Hina Kelana sambil mengitarkan pandangan
matanya ke segenap ruangan warung itu.
Menggigil tubuh Karjo begitu merasakan den-
gan sekali sambar saja tangannya telah berada dalam
genggaman si pemuda tampan berpakaian kumuh itu.
Dan matanya sedikit membeliak begitu merasakan je-
mari tangan Buang Sengketa menggenggamnya dengan
sangat erat sekali. Semakin lama semakin bertambah
sakit, bahkan seakan bagai remuk dan nyeri sampai ke
tulang sumsum.
"Cring...!" Mendadak Buang Sengketa mengelu-
arkan uang emas dari dalam periuknya. Lalu dirogoh-
nya keping dan meletakkannya di atas meja. Maka
membeliaklah mata pemilik warung dan puluhan mata
lain yang berada di dalam warung itu.
* * *
TIGA
Sama sekali siapapun tiada pernah menyangka
kalau pemuda tampan berpakaian gembel itu memiliki
uang sebanyak itu. Apalagi uang tersebut adalah me-
rupakan mata uang emas murni. Saat itu sikap pemi-
lik warung mendadak saja berubah ramah.
"Maa... maafkan saya Kisanak. Tadi itu sesung-
guhnya saya tiada memiliki prasangka seperti apa yang
Ki Sanak duga. Tolong tangan saya ini Kisanak. Saya
akan menyediakan apa yang Kisanak inginkan...!"
"Brengsek, sekarang saja kau mau bersikap se-
perti itu. Coba sedari tadi kek, aku pasti tidak akan
berlaku sekasar itu...!" Terdengar suara menggeren-
deng seperti ratusan ekor kumbang manakala Buang
Sengketa mengakhiri ucapannya. Buang Sengketa
acuh saja, dia masih berfikir tentang Dewi Wening Asih
yang belum juga muncul, padahal sudah hampir lima
belas menit dia duduk di dalam warung itu. Hee. Ke
mana saja perginya gadis bengal itu? Mungkinkah dia
nyasar dan tak pernah singgah di warung itu.
"Kisanak silahkan nikmati pesanan yang kisa-
nak minta...!" ucapan Karjo sembari meletakkan pesa-
nan yang diminta oleh Buang Sengketa.
"Hemmm, letakkanlah semuanya. Gadis bengal
itu membuat fikiran ku jadi tidak enak...!" gumam
Pendekar Hina Kelana seperti pada dirinya sendiri.
Tanpa menyahut, setelah meletakkan seluruh hidan-
gan yang diminta oleh Buang Sengketa, maka sebentar
kemudian pemilik warung itu telah meninggalkannya
dengan langkah tergesa-gesa.
Sementara itu Buang Sengketa yang benar-
benar sudah merasa sangat lapar sekali nampak sege
ra menikmati hidangan yang berada di depannya. Tapi
belum lagi dia selesai, nampak tiga orang laki-laki ber-
tampang kasar memasuki warung tersebut. Sementara
di atas pundak salah seorang dari tiga laki-laki itu
memanggul tubuh seorang gadis. Pendekar Hina Kela-
na hanya melirik dengan sudut matanya saja, bahkan
dia pun tiada merasa terkejut begitu melihat siapa se-
sungguhnya yang berada di atas pundak salah seorang
dari laki-laki tersebut. Dewi Wening Asih, tak salah la-
gi. Gadis itu memandang memelas begitu matanya ber-
sitatap pada Pendekar Hina Kelana. Rasain. Batin pe-
muda dari Negeri Bunian itu sambil meneruskan ma-
kannya.
Saat itu beberapa orang yang sedang mele-
watkan makan siang di warung itu satu demi satu te-
lah meninggalkan tempat itu. Agaknya tiga laki-laki
bertampang angker itu cukup dikenal siapa adanya
mereka. Tak dapat disangkal, tiga orang ini adalah me-
rupakan begundal-begundal Jali Sajiwa penguasa
tunggal di Lembah Weling. Mereka memang sering da-
tang menyantroni harta benda penduduk, bahkan tak
segan-segan membunuh siapa saja yang coba-coba be-
rani menghalangi maksud dan sepak terjang mereka.
Namun kedatangannya kali ini adalah dengan maksud
untuk mencari Dewi Wening Asih yang dilarikan oleh
seorang pemuda berkuncir yang datang secara menda-
dak pada hari perkawinan ketua mereka. Tak dinyana
setelah melakukan perjalanan jauh dan mencari ke
sana ke mari mereka tidak juga menemukan orang
yang mereka buru. Tapi secara kebetulan begitu mere-
ka melakukan perjalanan kembali ke Lembah Weling.
Di perjalanan dekat desa itu mereka bersua dengan
orang yang mereka buru. Karuan saja mereka lang-
sung meringkus Dewi Wening Asih dengan cara meno
toknya terlebih dahulu.
Kini tiga orang berwajah angker itu telah duduk
di atas sebuah bangku yang baru saja kosong. Semen-
tara itu Dewi Wening Asih mereka sandarkan di salah
sebuah bangku yang terletak tidak begitu jauh. Pemilik
warung yang bernama Karjo itu cepat-cepat datang
menghampiri, selanjutnya dengan tergopoh-gopoh dan
menjura hormat. Karjo langsung bertanya:
"Tuan-tuan mau pesan apa?" Tanpa menghi-
raukan pertanyaan Karjo, salah seorang dari mereka
memandang sesaat pada Buang Sengketa yang masih
sibuk dengan makanannya. Dari caranya memandang
nampak sekali kalau orang itu merasa jijik dengan ke-
beradaan pemuda dari Negeri Bunian di tempat itu.
"Pelayan! Kami inginkan semuanya, tapi usirlah
lalat-lalat menjijikkan itu, agar selera makan kami ti-
dak terganggu...!" bentak salah seorang dari mereka
sembari tetap melirik pada Pendekar Hina Kelana.
Sampai sejauh itu pemuda dari Negeri Bunian itu ma-
sih berusaha menahan kesabarannya.
"Sa... saya tidak dapat melakukannya, Tuan-
tuan...?" menyahut Karjo dengan tubuh menggigil ke-
takutan. Hal ini hanya membuat ketiga orang dari
Lembah Weling itu menjadi sangat marah sekali.
"Goblok...! Kubilang usir lalat itu, apakah kau
ingin melihat bagaimana caranya mengusir seekor lalat
menjijikkan?"
Untuk ucapannya kali ini, nampaknya Buang
Sengketa sudah tak sabar lagi melihat ulah tiga laki-
laki dari Lembah Weling ini. Maka kini dengan masih
berada di tempatnya, dia pun bergumam seperti pada
dirinya sendiri.
"Hemm. Dewi Wening Asih, mengapa kau tetap
diam saja, apakah kau merasa semakin benci pada
pangeran mu ini. Ah... ah...! Kiranya kau lebih suka
kawin dengan dedengkot sial dari Lembah Weling.
Sayang pacaran sudah cukup lama tapi kau memberi
putusan padaku dengan cara yang sangat menya-
kitkan...!" sindir Buang Sengketa tanpa menoleh-noleh
lagi. Sementara itu
Dewi Wening Asih yang sudah mengetahui ka-
lau pemuda itu sedang bersandiwara, ingin mengata-
kan sesuatu. Namun suaranya hanya sampai di batas
tenggorokan saja. Dia tiada memiliki daya, bahkan
menggerakkan sebelah tangannya pun dia tiada me-
miliki kemampuan. Dalam pada itu Buang Sengketa
mencela kembali: "Baiklah Dewi kekasihku, biarlah
Hina Kelana segera merat dari hadapanmu...!" Berkata
begitu Buang Sengketa sudah bersiap-siap untuk me-
ninggalkan tempat itu. Dewi Wening Asih nampak te-
gang sekali, dalam hati dia sudah dapat menduga ba-
gaimana nasibnya andai pemuda itu benar-benar me-
ninggalkannya. Salahnya sendiri mengapa dia tak per-
nah berlaku sebaik yang pernah dilakukan oleh Buang
Sengketa. Umpatnya.
"Jliik!"
Dua orang antara ketiga orang itu telah meng-
hadang gang sisi meja yang akan dilewati oleh pende-
kar itu.
"Ee... apa katamu tadi kunyuk gembel...?" ben-
tak salah seorang dari mereka. Alis Buang menggeri-
mit, dengan sikap acuh dia berucap pelan namun me-
nyakitkan hati yang mendengarkannya.
"Kroco-kroco laknat. Toh kau bukanlah bangsat
tengik yang sudah rusak pendengaran. Tadi kubilang
si bangsat Luga Kencana itu akan mengawini pacar ku
yang cantik itu. Maka demi kebahagiaannya aku mau
meninggalkan tempat ini secepatnya agar aku tak me
nampar mukanya yang mempesona itu...!" Ketus suara
Buang. Selanjutnya dia berusaha menerobos jalan
yang dirintangi oleh dua orang bertampang kasar ter-
sebut.
"Setelah menghina ketua kami, sesudah men-
caci maki seenak perutmu. Begitu mudahkah kau mau
meninggalkan tempat ini. Cuih... tinggalkan dulu kepa-
lamu, baru nanti kami akan membiarkan mu pergi be-
gitu saja...!" Mula-mula Buang tersenyum saja, namun
karena rasa geli terus menggelitik perutnya, maka tak
tertahankan lagi dia pun tertawa mengekeh. Karena
dalam tawanya disertai sepertiga dari tenaga dalam-
nya, tak ayal lagi orang-orang itu pun nampak terkejut
sekali. Mereka merasakan telinganya sakit luar biasa,
bahkan berdengung-dengung.
"Bangsat! Rupanya kau punya sesuatu yang
kau andalkan. Pantas saja kau berani unjuk gigi di de-
pan kami...!"
"Bicaramu ngaco belo, Sobat...! Minggirlah, ma-
jikanmu ini mau berlalu dari warung yang membosan-
kan ini!"
"Sial dangkal...! Monyet gembel berotak mir-
ing...!"
"Hajar...!" teriak salah seorang yang sejak tadi
duduk tenang-tenang di sisi Dewi Wening Asih.
"Sing! Zing!"
Sekali saja pedang-pedang berwarna hitam le-
gam itu terenggut dari sarungnya. Secara serentak dua
orang itu langsung mengurung Buang yang masih saja
tersenyum-senyum.
"Sekali saja kalian melakukan kesalahan pada-
ku, menyesal pun bagi kalian sudah tiada gunanya la-
gi...!" geram pemuda ini, selanjutnya dengan memper-
gunakan jurus Membendung Gelombang Menimba
Samudra. Maka pemuda itu tanpa merasa sungkan-
sungkan lagi segera bersiap-siap dengan pertahanan-
nya. Saat itu dua orang bertampang beringas itu su-
dah melancarkan jurus-jurus pedang yang sangat me-
reka andalkan. Tubuh mereka berkelebat sangat cepat,
tapi pedang di tangan mereka melesat lebih cepat lagi.
Gerakan-gerakan membabat, menusuk datangnya silih
berganti. Tapi bagi Buang, dengan mempergunakan
ilmu silat tangan kosong nampaknya dia masih dapat
menghindari serangan-serangan ganas yang datangnya
bertubi-tubi itu.
"Hia... kia... kia...!"
"Bet! Bet!"
Buang Sengketa membuang dirinya manakala
dia merasakan adanya angin senjata lawan menderu
dalam ruangan itu. Namun saat itu lawan terus mem-
burunya ke mana pun Buang Sengketa berusaha
menghindar. Bahkan sedetik kemudian di luar sepen-
getahuan pendekar ini, dua orang itu menyambitkan
sesuatu mengarah pada bagian tubuhnya. Sepuluh
buah benda berwarna hitam melesat sangat cepat
mengarah pada bagian-bagian yang mematikan atas
diri Buang. Namun bukanlah Pendekar Hina Kelana,
kalau serangan senjata beracun itu sedetik kemudian
tidak diketahui olehnya.
"Bangsat!" rutuknya. Lalu masih dalam kea-
daan berguling-guling dia lepaskan pukulan Empat
Anasir Kehidupan.
"Wuuus!"
Selarik sinar Ultra Violet datang menggebu
memapaki datangnya senjata rahasia yang disam-
bitkan oleh para iblis dari Lembah Weling. Udara di da-
lam ruangan warung itu son tak berubah menjadi san-
gat panas luar biasa. Semua orang yang berada di da
lamnya menjadi sangat terkejut. Sama sekali mereka
tiada menyangka kalau gembel berperiuk ini memiliki
pukulan yang sangat hebat. Hanya sesaat saja mereka
dapat berfikir, saat selanjutnya adalah bunyi berde-
bum yang sangat memekakkan gendang-gendang te-
linga. Senjata-senjata yang di sambitkan oleh lawan-
lawannya berpentalan tak tentu rimbanya. Lebih dari
itu beberapa buah di antaranya membalik kepada
tuannya. Andai saja mereka tidak cepat-cepat kib-
latkan senjatanya sudah barang tentu mereka terma-
kan oleh senjatanya sendiri. Tapi usai terlepas dari an-
caman sendiri, tanpa mereka duga Buang telah pula
mengirimkan pukulan susulan dengan tenaga dalam
yang lebih besar lagi.
Sementara itu seorang lainnya yang sejak tadi
menyaksikan jalannya pertarungan itu nampaknya
menyadari bahwa pukulan yang dilepas oleh Buang
Sengketa berkekuatan lebih besar daripada pukulan
yang dilepaskannya pertama tadi. Sadar kalau kawan-
kawannya tak mungkin mampu mengatasi datang-
nya selarik sinar panas yang sangat berbahaya itu.
Maka dia pun tidak tinggal diam. Selanjutnya dengan
mempergunakan pukulan Iblis Penunggu Mayat. Maka
dia dorongkan kedua tangannya ke depan.
"Wuuur!"
Serangkum gelombang berhawa dingin luar bi-
asa menderu menyongsong dari arah samping. Saat itu
dua orang lawan yang lainnya sudah memutar pe-
dangnya, sehingga tinggal menampak sebuah gulun-
gan sinar hitam mengurung tubuh mereka membentuk
sebuah pertahanan yang kokoh.
"Blaaar!"
Terdengar suara menggemuruh mana kala dua
pukulan sakti itu saling bertubrukan. Namun nam
paknya dalam adu tenaga dalam tersebut Buang Seng-
keta yang hanya mengerahkan setengah dari tenaga
dalamnya tidak bertindak serius. Hal inilah yang me-
rupakan satu keunggulan bagi lawannya. Tak dapat
dicegah lagi tubuh Buang Sengketa terlempar dua
tombak, tubuhnya kemudian menimpa tiang tengah,
yang besarnya tak lebih dari paha orang gemuk itu
pun patah menjadi beberapa bagian, sehingga menga-
kibatkan atap di atasnya menjadi amblas dan warung
miring hendak roboh. Pemuda muridnya si Bangkotan
Koreng Seribu merasakan punggungnya sangat sakit
luar biasa. Cepat-cepat dia seka mulutnya yang ba-
nyak mengalirkan darah. Dewi Wening Asih merasa iba
melihat keadaan Buang Sengketa. Sementara dari tiga
orang dari Lembah Weling itu tergelak-gelak penuh
kemenangan.
"Bagi kami kepandaianmu yang tiada seberapa
itu tidak ada apa-apanya, Bocah gembel. Kalau kau
masih penasaran. Keluarkanlah seluruh kepandaian-
mu, biar kami layani kau sampai mampus...!" kata la-
ki-laki yang bernama Garu Wisesa itu begitu pongah-
nya.
* * *
EMPAT
Buang yang saat itu telah bangkit berdiri nam-
pak tersenyum kecut. Dipandanginya wajah ketiga
orang silih berganti. Manusia-manusia setan seperti
mereka itu memang tak perlu diajak kompromi. Batin-
nya. Mendadak dia mengambil sesuatu dari balik ba-
junya, selanjutnya menyambitkannya dengan cepat
pada Dewi Wening Asih yang masih bersandar di se-
buah bangku dalam keadaan tertotok. Begitu sambitan
yang dilakukan Buang mengena, maka Dewi Wening
Asih sudah kembali dapat menggerak-gerakkan tu-
buhnya dengan sangat bebas. Gerakan cepat tersebut
membuat ketiga orang itu serentak hentikan tawanya.
Penuh takjub namun marah mereka sudah bersiap-
siap dengan pukulan-pukulan mautnya.
"Keparaaaat! Sudah mau mampus kiranya kau
masih juga dapat membebaskan gadis calon istri maji-
kanmu...!" Membentak Garu Wisesa dengan kemara-
hannya yang meluap-luap. Pendekar Hina Kelana kem-
bali lontarkan sesungging senyum sinis.
"Jangankan hanya membebaskan totokan
anak-anak, memenggal kepala kalian pun sebentar lagi
akan kulakukan."
"Hua... ha... ha...! Jangan mimpi sobat, bagi
kami manusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu
tidak ada apa-apanya...!" Buang Sengketa nampaknya
sangat terkejut sekali. Bagaimana mungkin tiga orang
itu dapat mengenali dirinya. Seingatnya sungguhpun
dia pernah menjarah Lembah Weling untuk membe-
baskan Dewi Wening Asih, namun dia tiada melihat
kehadiran orang itu di sana. Persetan, kalaupun
mungkin bisa saja Jali Sajiwa lah yang memberitahu-
kan ciri-cirinya pada ketiga orang itu.
"Orang-orang kesasar dari Lembah Weling, jan-
ganlah menjunjung diri setinggi langit. Aku takut ka-
lian tak akan dapat bertemu dengan anak bini lagi di
rumah...!"
"Kurang ajar. Mampuslah kau...! Hiaa...!" Sen-
jata di tangan mereka kembali menderu. Karena mere-
ka menyerang secara berbarengan, maka secepat apa
pun pemuda itu bergerak. Namun tetap saja pedang
pedang yang mengandung racun ganas itu nyaris
membabat punggungnya.
"Caaat...!" jerit Pendekar Hina Kelana seraya
melentikkan tubuhnya bagaikan seekor udang. Karena
gerakannya yang sangat tergesa-gesa dan di luar kon-
trol. Maka tak ayal lagi atap warung yang terbuat dari
daun kirai itu pun bobol berantakan. Sesaat saja ke ti-
ga orang itu celingukan. Salah seorang dari mereka
berseru membentak:
"Jangan biarkan dia kabur...!" Pada saat itu,
dari atas atap warung bekas atap yang bobol tersebut,
Buang Sengketa melayang turun kembali. Pada saat
tubuhnya melayang sedemikian rupa, satu pukulan
pamungkas yang di beri nama si Hina Kelana Merana.
Maka menderulah satu gelombang sinar merah menya-
la menghajar tubuh orang-orang yang menjadi sasaran
di bawahnya. Ketiga orang dari Lembah Weling terpa-
na, gugup namun mereka juga cepat-cepat bertindak.
"Satukan pukulan Iblis Mengembara!" teriak
yang menjadi pimpinan. Kesempatan yang sekedipan
mata itu mereka pergunakan untuk melepaskan puku-
lan Iblis Mengembara. Tak dapat dicegah, tiga larik si-
nar hitam kelam, secara bersamaan menyambut da-
tangnya sinar merah yang menderu deras ke arah me-
reka.
"Blum! Blum! Blum!"
Berpelantingan tubuh masing-masing lawan,
dengan keadaan tunggang langgang. Di antara mereka
ada yang menabrak kursi dan meja, sehingga mem-
buatnya jadi berantakan. Masing-masing dari mulut
dan hidung mereka sama-sama menyemburkan darah,
Sementara Dewi Wening Asih yang sedari tadi berlin-
dung di balik meja yang agak tersembunyi juga tak lu-
put dari guncangan yang membuat tubuhnya pontang
panting.
Saat itu Buang yang terjengkang di sudut
ruangan nampak sudah bangkit kembali. Sungguhpun
dadanya sesak luar biasa, namun sedapatnya dia be-
rusaha mengerahkan tenaganya ke arah bagian da-
danya. Setelah mengurut-urut sedikit akhirnya rasa
nyeri itu pun hilang sama sekali. Lalu dengan sorot
mata dingin dia memandang tajam pada tiga orang
yang sedang tertatih-tatih berusaha bangkit berdiri.
"Garu Wisesa...! Nama yang sangat bagus, tapi
agaknya bapak moyangmu salah memberi nama untuk
seekor monyet kesasar sepertimu. Ada baiknya nama
Garong Wisesa buat sebuah pekerjaan sekaligus ting-
kah lakumu. Hari ini juga aku tak akan memberi am-
pun pada monyet-monyet sesat sepertimu...!" tukas
Buang Sengketa dengan rahang bergemeretakan.
"Kami masih belum kalah. Kau jangan berbesar
hati dulu, sekarang terimalah jurus Pedang Iblis Lem-
bah Weling ini...!"
"Jurus pedang dari neraka sekalipun aku tak
akan mundur! Majulah kalian beramai-ramai...!" ben-
tak Buang Sengketa dalam keadaan siap siaga dan si-
kap menantang. Selanjutnya terjadilah pertarungan
pertarungan yang sangat sengit antara Buang Sengke-
ta dengan tiga orang lawan dari Lembah Weling. Se-
rangan yang mereka lancarkan datang menggebu. Da-
lam waktu sekejap saja Buang telah terkurung oleh gu-
lungan sinar dan berkelebatnya senjata maut di tan-
gan lawan-lawannya. Pemuda ini tidak tinggal diam,
dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong
yang diberi nama si Gila Mengamuk, maka dengan sa-
ngat mudahnya dia masih dapat menghindari bahkan
dapat membebaskan diri dari serangan-serangan yang
beruntun itu.
"Mainkan jurus Iblis Menggeledek!" teriak Garu
Wisesa segera merubah jurus-jurus pedangnya. Begitu
dengan dua orang lainnya. Secara total permainan pe-
dang mereka mendadak berubah cepat, Buang nampak
terkesiap. Jurus si Gila Mengamuk merupakan salah
satu jurus yang tingkatnya di atas jurus Membendung
Samudra Menimba Gelombang. Tapi bagaimana
mungkin bisa terjadi. Semakin cepat pemuda itu ber-
kelebat maka secepat itu pula senjata di tangan la-
wannya datang menderu.
Mendadak Garu Wisesa kirimkan satu tendan-
gan mengarah pada selangkangan Buang. Pedang
menderu ke arah bagian kepala si pemuda. Pada saat
yang bersamaan dua orang lainnya juga kirimkan tu-
sukan kilat.
"Wuuus!"
"Hiyaaa...!" Buang mengelit datangnya tendan-
gan kaki Garu Wisesa, sementara kaki kirinya kirim-
kan tendangan cepat ke arah perut lawan yang berada
di belakangnya. Sungguhpun tendangan itu telak
mengenai sasaran yang diinginkan, namun serangan
pedang yang datangnya dari bagian samping kanan tak
dapat dia hindari.
"Brebet...!"
"Ahhh...!"
Buang Sengketa mengeluh, tubuhnya ter-
huyung-huyung. Namun tiada kesempatan baginya
untuk berfikir panjang. Pedang di tangan Garu Wisesa
datang menyambut. Tiada pilihan lain bagi Buang, lak-
sana kilat dia meraba bagian pinggangnya.
"Nguung!" Terdengar suara menggemuruh ma-
nakala sinar merah menyala mendadak telah pula ter-
genggam di tangan pendekar dari Negeri Bunian itu.
Tak salah lagi, dialah Pusaka Golok Buntung yang
sangat menghebohkan itu. Tiga orang ini secara men-
dadak menghentikan serangannya, mata mereka sama
terbelalak begitu melihat dan memandang Golok Bun-
tung yang berada di tangan si pemuda. Dan mereka itu
menjadi lebih terkejut lagi saat mana mereka merasa-
kan udara di ruangan yang berantakan itu menjadi
sangat dingin luar biasa.
"Pendekar Golok Buntung...!" seru mereka seca-
ra hampir bersamaan. Tanpa berkata sepatah kata
pun, Pendekar Hina Kelana memandang tajam pada
mereka. Kedua bola matanya memerah, wajah mene-
gang dengan bibir terkatup rapat. Namun bibir yang
terkatup itu mengeluarkan bunyi mendesis bagaikan
seekor Ular Piton yang sedang marah.
"Hemm. Bocah keturunan raja lelembut inilah
kiranya yang telah menggemparkan dunia persilatan
itu...!" kata salah seorang dari mereka dengan wajah
pucat pasi.
"Hati-hati kawan, orang gembel ini bisa mem-
buat kita celaka semuanya!" Menimpali Garu Wisesa
dengan sikap waspada, sungguhpun dia sendiri me-
mang tak kalah kecutnya bila dibanding dengan yang
lain-lainnya.
"Ha... ha... ha...!" Kalaupun hari ini kalian me-
rengek minta ampun di hadapanku, jangan kira aku
akan mengampuni manusia yang selalu suka bikin
onar di mana-mana.
"Kami pun tak ingin merengek minta ampun di
depanmu, Pendekar Golok Buntung! Sungguhpun ke-
saktianmu sebanyak buih di lautan. Walaupun kehe-
batanmu sebanyak bintang-bintang di langit." tukas
Garu Wisesa dengan mimik wajah penuh kebencian.
Sinis tatapan Buang Sengketa, wajahnya mendadak
berubah kelam membesi. Selanjutnya satu bentakan
menggelegar pun terdengar.
"Ya Sang Hyang Widi, bukan salah bunda men-
gandung. Tetapi sudah suratan nasib menghendaki
bahwa jalan panjang yang membentang di hadapanku
sana, merupakan tetes derita berlumur darah orang-
orang angkara murka. Maafkanlah kalau aku dengan
sangat terpaksa sekali harus melakukan ini....
Hiaaa...!" Bagai dirasuki dewa pembantai, tubuh dan
golok di tangan si Hina Kelana berkelebat sangat ce-
patnya. Angin menderu menyertai melesatnya senjata
itu. Warung yang sudah reot di sana sini terasa berge-
tar, tapi tiga orang dari Lembah Weling itu pun tidak
tinggal diam. Dengan cepat mereka putar pedangnya
sambil sesekali melepaskan pukulan-pukulan maut-
nya.
Buang Sengketa memang sudah mencapai pun-
cak kemarahannya. Mulutnya terus memperdengarkan
bunyi mendesis, di pihak lawan pun serangan-
serangan belasan sering mungkin dia lakukan. Tetapi,
nampaknya senjata yang sangat menggemparkan di
tangan Pendekar Hina Kelana nampaknya bukanlah
sesuatu yang dapat dianggap remeh oleh mereka.
"Hiaaat. Mampus...!" Garu Wisesa kirim satu
pukulan jarak jauh, namun dalam waktu bersamaan
secara nekad dia juga kirimkan satu babatan pedang-
nya.
"Wuuut! Blam!"
Pendekar Hina Kelana terdorong ke belakang,
tapi Garu Wisesa juga tercampak tubuhnya hingga me-
labrak dinding kayu hingga bobol. Pendekar Hina Ke-
lana masih belum siap pada posisinya, namun datang
pula serangan dari samping kanan kiri Buang Sengke-
ta, golok di tangannya, tak dapat terhindar lagi.
"Trang! Trang!"
Pedang di tangan lawan patah menjadi dua,
tangan mereka tergetar sakit. Terasa bagai kesemutan.
Namun nampaknya Pendekar Hina Kelana anak Raja
Ular Piton Utara ini tidak ingin berlama-lama. Dia
memburu ke arah kedua lawannya.
"Nguung!"
"Awaas!" Garu Wisesa yang sudah kembali da-
lam keadaan siap tempur memberi peringatan pada
kembrat-kembratnya. Tetapi nampaknya senjata di
tangan Buang Sengketa malah bergerak lebih cepat la-
gi.
"Heuuuup...!"
"Craaas! Craaas!"
Darah memancar dari batang leher kedua la-
wannya yang hampir terputus, tubuh mereka ter-
huyung-huyung, sementara tenggorokan mereka yang
hampir terputus itu mengeluarkan bunyi berkerokokan
bagai seekor kerbau yang di sembelih. Di luar sepenge-
tahuan pemuda itu, Garu Wisesa yang sudah menciut
nyalinya tanpa berfikir panjang lagi, bahkan tiada
sempat menyambar Dewi Wening Asih, langsung saja
melarikan diri.
"Keparat! Kiranya Iblis Lembah Weling hanya-
lah sebangsanya tikus pengecut!" maki pemuda itu
sambil memandang sinis pada tubuh dua orang la-
wannya yang sudah tiada berkutik lagi. Lalu tanpa
menoleh-noleh lagi, dia sudah melangkah meninggal-
kan warung itu setelah sebelumnya meninggalkan em-
pat keping uang emas di atas meja yang masih tersisa.
Dewi Wening Asih yang sudah merasa bersalah segera
mengejarnya.
"Tunggu Kelana...!"
"Toh, kau punya kaki, berjalanlah sendirian...!"
ucap pemuda itu tanpa menoleh-noleh lagi.
"Maafkan aku...! Aku telah banyak menyusah-
kanmu...!" Penuh penyesalan Dewi Wening Asih beru-
cap.
"Meminta maaf itu memang mudah, tapi beru-
sahalah untuk menyadari kesalahan dan membetul-
kannya...!"
"Baiklah... baiklah...! Tapi bolehkah kalau aku
ikut denganmu?" tanya gadis itu setengah ragu.
"Aku tak pernah melarang siapa pun berjalan
bersamaku, yang penting jangan banyak rewel...!" Tan-
pa kata-kata lagi, mereka terus melakukan perjala-
nannya menuju Lembah Gunung Batu Siwak.
* * *
LIMA
Bulan berselimut kabut, suasana di sekitarnya
hanyalah keremangan belaka. Tiada bintang-bintang
yang bertaburan di angkasa sana, suasana alam pun
hanya memperdengarkan nyanyian sunyi. Hanya sese-
kali saja terdengar lolongan serigala hutan di kejauhan
sana. Seram dan mencekam.
Begitulah keadaan yang ada di sekitar pinggi-
ran hutan berbukit hampir setiap malamnya. Tiada
seekor binatang pun berseliweran di tempat itu, jan-
gankan lagi makhluk yang disebut manusia. Namun
malam itu sungguhpun bulan tiada menampak-kan di-
ri, tetapi ada sosok tubuh yang melintasi daerah yang
hampir tak terjamah oleh siapa pun. Gerakannya san-
gat cepat luar biasa, lincah dan berloncatan dari satu
pohon ke pohon lainnya. Seekor monyetkah dia? Sama
sekali tidak. Laki-laki berpakaian bangsawan itu tak
lain adalah Rajenta yang sedang di tugaskan oleh guru
para siluman untuk menemukan Arca Harimau Kum-
bang yang hilang. (Dalam Episode Siluman Harimau
Kumbang).
Sejak menemukan sebagian murid-murid dari
Lembah Weling, dan sedikit mendengar kabar istri dan
anaknya, dia sudah bertekad untuk mengobrak abrik
perguruan orang-orang yang telah membuat sengsara
keluarganya itu. Dengan tanpa mempunyai maksud
mengesampingkan pencarian Arca Harimau Kumbang
yang telah lenyap itu, dia juga ingin mencari tahu be-
narkah Gembel Pengemis merupakan orang yang pan-
tas dicurigainya. Padahal dia cukup tahu betul siapa
adanya kakek renta dari Pulau Naga itu. Kalau kecuri-
gaannya ternyata benar, haruskah dia merampas arca
itu dari tangan tokoh sesat yang sangat sakti tersebut?
Padahal dengan Gembel Pengemis, selama ini mereka
telah membina hubungan yang sangat baik. Setan ma-
na pun yang telah melakukan pencurian Arca Harimau
Kumbang.
Tak perduli lawan maupun kawan dia harus
merampasnya dari tangan mereka. Selanjutnya men-
gembalikannya arca itu ke Lembah Gunung Batu Si-
wak. Tetapi menemukan keluarganya kembali juga
termasuk hal yang sangat penting. Ah, Sang Hyang
Widi semoga mereka tetap dalam lindungan Mu selalu.
Doanya dalam hati.
Sementara itu Rajenta telah memasuki sege-
rombolan pohon yang sangat rindang. Tanpa menghi-
raukan keadaan di sekelilingnya dia terus memperce-
pat larinya. Tanpa sepengetahuannya mendadak me-
luncurlah beberapa batang pisau beracun dari atas
pohon yang berada di kanan kiri semak-semak yang
dilaluinya. Rajenta merasakan adanya sambaran angin
senjata-senjata itu, maka tak ayal lagi dia langsung
berjumpalitan. Senjata-senjata rahasia itu saling ber-
tabrakan, sebagian besar di antaranya menancap di
batang pohon.
"Bangsat, pembokong gelap! Nampakkanlah di-
ri! Kalau tidak aku akan robohkan pohon-pohon yang
ada di sekeliling ku ini...!" ancam Rajenta sambil mele-
paskan tiga pukulan beruntun.
"Wuuus! Bruaaak!" Dua pohon yang tegak ko-
koh di samping Rajenta tumbang dan roboh menim-
bulkan suara riuh rendah. Maka berlompatanlah bebe-
rapa sosok tubuh dari atas pohon yang roboh itu. Dari
tampang dan pakaian yang dipakai mereka, Rajenta
sudah mengetahui kalau mereka merupakan begun-
dal-begundal Jali Sajiwa dari Lembah Weling. Maka
saat itu juga mendidihlah darah Rajenta demi mengin-
gat nasib yang dialami oleh anak dan istrinya. Lalu
tanpa basa basi lagi dia membentak dengan gusar.
"Kalau tak salah, kalian pasti begundalnya Jali
Sajiwa. Hemm, biasanya kalau ada keroco-keroconya
pasti si bangsat itu ada bersama kalian. Panggillah
manusia setan itu untuk berhadapan denganku...?"
"Kampret, siapakah engkau ini, berani mati kau
memaki ketua kami...!" Tak kalah gusarnya murid-
murid dari Lembah Weling itu pun membentak.
"Kalau tak salah, si bangsat Jali Sajiwa itu te-
lah menculik anak dan istriku, dia perampok tengik
yang perlu diberi pelajaran yang, sangat setimpal."
"Ha... ha... ha...! Kiranya engkaulah Rajenta
yang telah buron sampai ke Lembah Gunung Batu Si-
wak. Pieee... kirain kau telah mampus di lembah yang
sangat angker itu...!" Beberapa orang murid tertawa
sambil mencemooh. Sementara itu beberapa orang
yang berada di atas pohon telah berlompatan turun
dari tempat persembunyiannya.
"Keparat. Kutanya di mana Jali Sajiwa bera-
da...?" geram sekali laki-laki berpakaian bangsawan itu
mencela.
"Rajenta, bangsawan yang jatuh tertimpa tang-
ga! Untuk apa engkau berurusan dengan ketua kami,
sedangkan berhadapan dengan murid-muridnya saja
engkau kalau tidak minggat pasti telah menjadi bang-
kai sejak lama...!"
"Hemm! Agaknya aku harus tunjukkan pada
kalian terlebih dahulu, siapa adanya Rajenta yang kini
telah berada di hadapan kalian ini...!"
"Som...!"
Belum lagi salah seorang yang berbadan tinggi
besar selesai dengan kata-katanya, mendadak Rajenta
sudah kirimkan satu serangan kilat. Tiga orang yang
paling dekat dengan si tinggi besar roboh dengan ba-
tang tenggorokan terputus bagai terkena sabetan pisau
belati. Sudah barang tentu kejadian yang tiada di
sangka-sangka itu membuat heran dan kejut di hati
yang lainnya. Tapi sebelum mereka sempat berpikir
apa yang harus mereka lakukan, Rajenta yang sudah
dalam keadaan kalap itu sudah menyerang mereka,
dengan kuku-kukunya yang secara tiba-tiba mencuat
panjang dan tajam. Itulah salah satu Ajian Siluman
Harimau Kumbang yang diberi nama Tangan Maut.
Mengetahui kawan-kawannya yang lain nam-
pak bergelimpangan satu demi satu dengan kecepatan
yang sangat sulit diduga-duga, maka yang masih se-
lamat pun segera mencabut senjatanya masing-
masing. Dalam waktu sekejap saja, di dalam gelap re-
mang-remang terjadilah pertarungan yang sangat sen-
git. Dalam pada itu di luar sepengetahuan Rajenta, Jali
Sajiwa nampak memperhatikan segala apa yang dilakukan oleh Rajenta terhadap muridnya. Dia sendiri
merasa menjadi heran sendiri, bagaimana mungkin da-
lam waktu yang sangat singkat Rajenta memiliki ilmu
yang sedemikian tangguhnya. Sesaat kemudian dia te-
lah memandang pada Garu Wisesa yang nampak te-
gang tak begitu jauh dari sisinya.
"Heh...! Kalau kita tidak cepat-cepat turun tan-
gan, sebentar lagi tentu orang-orang kita akan terban-
tai habis oleh Rajenta itu...!" ucap Jali Sajiwa tanpa
mengalihkan perhatiannya dari pertempuran.
"Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?" tanya
Garu Wisesa agak jeri.
"Dia sekarang merupakan. orang yang dapat
merubah ujudnya menjadi seekor harimau siluman,
bukan tak mungkin murid-murid Lembah Weling dan
kejadian lain tentang korban pembunuhan yang di la-
kukan oleh seekor binatang buas dialah pelaku-nya."
kata Jali Sajiwa dengan wajah penuh kegeraman.
"Kuya, anjing buduk, janda malang. Istrinya telah
mampus di tanganku, anaknya malah kabur. Benar-
benar nasib ini selalu apek. Sungguhpun dia bisa be-
rubah menjadi seribu siluman, aku tetap akan mem-
bunuhnya...!" ucap Jali Sajiwa, pelan namun suaranya
tergetar dalam kemarahannya.
"Lalu bagaimana, Ketua...?" tanya Garu Wisesa
masih dalam keadaan tegang.
"Guooblook! Kau hajar dia... sekarang...!"
"Ba... baiik... ketua...!" jawab laki-laki itu. Se-
lanjutnya tanpa banyak fikir lagi ke-duanya pun den-
gan sekali berkelebat telah sampai di depan Rajenta
yang nampak se-dang sibuk membantai murid-murid
dari Lembah Weling.
"Hentikan...!" teriak Jali Sajiwa dengan kema-
rahan yang meluap-luap. Sontak, baik sisa-sisa murid
Jali Sajiwa maupun Rajenta menghentikan serangan-
nya.
Jali Sajiwa nampak menyapu pandang pada
murid-muridnya yang bergelimpang-an, sementara Ra-
jenta memandang sinis pada Jali Sajiwa.
"Jali Sajiwa manusia tengik, ke mana istri dan
anakku...!" teriak Rajenta memecah keheningan ma-
lam. Tiada jawaban, sejenak Jali Sajiwa memandang
tajam pada Rajenta dari ujung rambut sampai ujung
kaki.
"Ha... ha... ha...! Mulanya aku ingin menjadikan
engkau mertuaku. Sungguh sayang anakmu dibawa
kabur oleh seorang gembel. Sedangkan istrimu, hemm.
Sayang-nya dia juga terlalu keras kepala...!" Merah pa-
dam wajah Rajenta demi mendengar apa yang di kata-
kan oleh musuh bebuyutannya itu (Dalam Episode Si-
luman Harimau Kumbang).
"Kurang ajar, kau biang kerok pencurian Area
Harimau Kumbang, kau sapu ludes se-mua harta ben-
da ku. Kini anak istriku kau binasakan...!" maki Rajen-
ta dan dalam kemarahannya itu mendadak segala-
galanya berubah, sehingga semua orang yang ada di
tempat itu menjadi ciut juga nyalinya. Mula-mula tan-
gan tumbuh bulu, kuku-kuku jemarinya semakin ber-
tambah panjang dan tajam-tajam. Selanjutnya wajah-
nya pun secara perlahan menjadi sosok muka harimau
kumbang.
"Siluman Harimau Kumbang...!" seru mereka
setengah tertahan.
"Jali Sajiwa, katakanlah dengan sebenarnya.
Kaukah yang telah mencuri Arca Harimau Kumbang?
Dan kau apakan istriku...?!"
"Arca terkutuk itu, tiada sekalipun aku mencu-
rinya. Kabar terakhir yang kudengar Gembel Pengemis
lah yang telah menyantroni tempat kediaman Pergu-
ruan Walet Merah. Hemm, kalau istrimu memang aku
yang telah membunuhnya. Kami bahkan pernah ber-
senang-senang bersama...!" ejek Jali Sajiwa, sungguh-
pun dia tak tahu seberapa hebat kemampuan yang
dimiliki oleh Rajenta yang telah berubah menjadi silu-
man itu, namun dia sengaja memancing kemarahan
Rajenta.
Memang benar kenyataan yang sesungguhnya,
Rajenta nampak sangat marah luar biasa, namun
sampai sejauh mana pun kemarahannya dia masih te-
tap ingat pada pesan guru para siluman. (Dalam Epi-
sode Siluman Harimau Kumbang). Dia tak ingin me-
langgarnya, itulah satu-satunya yang terus dia ingat
sepanjang perjalanannya mencari Arca Harimau Kum-
bang yang telah hilang itu.
"Grauuuung! Grrrr...! Dosa-dosamu telah me-
lampaui batas Jali Sajiwa. Walaupun Arca Harimau
Kumbang itu tidak ada padamu, namun hal itu bukan
berarti kau tak memiliki kesalahan lain yang sama be-
ratnya. Untuk itu, malam ini juga kau dan murid-
muridmu harus membayar lunas atas hutang-hutang
yang telah kau pinjam tempo hari...!"
Jali Sajiwa nampaknya masih kelihatan tenang-
tenang saja, dengan sudut matanya dia melirik Silu-
man Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta. Siluman
itu kini telah berdiri dengan keempat kakinya. Tiada
lagi kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya ter-
kecuali auman yang panjang yang menandakan bahwa
siluman itu telah siap untuk bertarung.
"Bekas bangsawan. Malang sekali nasibmu, du-
lu kau memang sempat lolos, namun tidak untuk saat
ini. Maka bersiap-siaplah...!"
Teriak Jali Sajiwa selanjutnya dia memberi
isyarat pada para murid-muridnya. Tanpa ampun lagi,
sepuluh orang sisa-sisa murid Lembah Weling segera
mencabut senjata masing-masing.
"Ciaaat...! Haaaiiiit...!"
"Graung...!" Dengan sangat tangkas Siluman
Harimau Kumbang berkelit, selanjutnya dengan kuku-
kukunya yang tajam dan taring-taringnya yang pan-
jang mengamuklah Siluman Harimau Kumbang utu-
san guru para siluman itu.
"Krubuti...!"
Teriak Garu Wisesa menghunus pedangnya.
Dengan sangat cepat murid-murid dari Lembah Weling
itu memutar tubuh dan membuat sebuah lingkaran.
Siluman Harimau Kumbang itu kini sudah dalam posi-
si terkurung, namun dengan pandangan matanya yang
liar dan sorot matanya yang merah berapi-api dia
kembali mengaum menjatuhkan semangat lawan-
lawannya.
"Hajar! Mengapa pada bengong saja...!" Benta-
kan Jali Sajiwa membuat murid-muridnya terbebas
dari si siluman harimau itu, mereka kembali berge-
brak.
"Grauuuuung...!"
Harimau itu melesat, sekali saja kuku-kuku
depannya yang tajam itu menyambar. Maka tiga orang
murid Lembah Weling yang datang menyongsong den-
gan senjata terhunus terkapar dengan leher hampir
terputus. Tetapi tidak sampai di situ saja dia bertin-
dak. Tubuhnya kembali berlompatan gesit dan sangat
cepat membabatkan pedangnya secara bertubi-tubi.
Harimau Kumbang itu hanya menggeram marah, na-
mun tubuhnya sedikit pun tiada terluka.
"Kurang ajar! Harimau itu ternyata kebal terha-
dap segala macam senjata tajam, kita harus mencari
jalan lain." teriak salah seorang murid dari lima orang
yang tersisa. Semakin bertambah gusar sajalah Jali
Sajiwa dibuatnya. Dalam pada itu, dua. orang Lembah
Weling kembali melolong setinggi langit. Taring-taring
yang tajam dari ujud yang buas membuat murid-murid
malang itu sudah tiada dapat tertolong lagi.
"Grauuung...! Hoaaar...!"
Harimau itu terpekik manakala merasakan
sambaran angin pukulan yang sangat dingin dan ber-
hawa keji melabrak tubuhnya. Tanpa ampun lagi, dia
terbanting, lalu bersamaan dengan terhempasnya tu-
buh siluman itu, maka terdengarlah suara tawa Jali
Sajiwa.
* * *
ENAM
"Ha... ha... ha...! Asal kau tahu saja siluman
keparat! Pukulan Iblis Beracun yang mengenai tubuh-
mu selama ini tak seorang pun mampu bertahan hi-
dup, lebih dari dua pekan. Kau boleh kebal terhadap
berbagai jenis senjata, namun di kolong jagad ini tak
seorang pun manusia yang dapat menghadapi satu-
satunya ilmu sesat yang sangat langka itu....'"
Siluman Harimau penjelmaan Rajenta mengge-
rung, dikibas-kibaskannya ekor untuk memberi kekua-
tan baru agar dapat bangkit kembali.
"Hoaaar...!" Raung siluman itu, secara perlahan
dia bangkit kembali, tubuhnya terhuyung-huyung. Jali
Sajiwa dan Garu Wisesa saling berpandangan sejenak.
Lalu mereka pun saling menggaruk.
"Kita cecar dia dengan pukulan Iblis Be
racun...!" kata mereka hampir bersamaan. Maka se-
makin bertambah marahlah Siluman Harimau Kum-
bang itu dibuatnya. Lalu, sebelum pukulan itu sampai
terlepas dari para lawan-lawannya, siluman harimau
itu dengan satu raungan yang sangat panjang dan
membahana melesat sedemikian cepat melabrak tubuh
Garu Wisesa, laki-laki bertampang angker itu menjadi
gugup. Namun secepatnya dia babatkan pedangnya ke
arah bagian kepala Harimau Kumbang yang berusaha
menerkam bagian tengkuknya.
"Craaak! Craaak!"
"Breet! Breet!" Siluman Harimau Kumbang itu
berhasil menyabetkan kuku-kuku-nya yang sangat ta-
jam pada bagian tengkuk lawannya. Sebaliknya senja-
ta Garu Wisesa bagai membentur batu karang saja
layaknya begitu menghantam tubuh Siluman Harimau
Kumbang itu. Garu Wisesa merintih-rintih, lehernya
yang terobek dan mengalirkan banyak darah sudah
sangat sulit untuk di gerakkan.
"Jahanam, kau telah melukai murid kesayan-
ganku, Weer...!" Sambil memaki Jali Sajiwa sudah ki-
rimkan pukulan Iblis Beracun tingkat tinggi. Bagaikan
angin ribut, pukulan maut itu melesat dan timbulkan
suara menggemuruh. Sementara Siluman Harimau
Kumbang yang telah merasakan kehebatan pukulan
beracun itu, juga tidak tinggal diam. Kembali dengan
kegesitan yang sangat luar biasa dia kembali berkelit
selanjutnya melompat menghindar. Celakanya, ke ma-
na pun siluman itu bergerak. Pukulan Iblis Beracun
yang dilepaskan oleh lawannya selalu mengikutinya.
Siluman penjelmaan dari Rajenta, nyatanya juga tidak
kehabisan akal. Dengan mempergunakan Ajian Tang-
kal Pati pemberian guru para siluman dia pukulkan
tangan depan yang berubah menjadi kaki tersebut.
Tak dapat dicegah, selarik gelombang berwarna
putih menyerupai kabut nampak bergerak lambat na-
mun bergumpal-gumpal. Lama kelamaan kabut itu
menebal sehingga menyerupai sebuah perisai yang
sangat kokoh. Pukulan lawan yang terus mengejarnya
itu, tak ayal lagi langsung membentur perisai yang ke-
kuatannya melebihi dinding baja.
"Brang!" Tubuh Jali Sajiwa terjengkang, dari ce-
lah-celah bibirnya mengalir darah kental. Tak dapat di
sangkal dia terkena pukulannya sendiri yang berbalik
setelah menghantam perisai baja itu.
"Ilmu Iblisss...!"
Memaki Jali Sajiwa sambil memegangi dadanya
yang terasa bagaikan remuk. Siluman Harimau Kum-
bang hanya mengaum, dalam kesempatan itu, Garu
Wisesa yang sudah banyak mengeluarkan darah, demi
melihat ketuanya dalam keadaan terluka, nampaknya
juga tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa kekuatannya,
dia menyerang siluman itu secara membabi buta. Se-
baliknya siluman harimau itu menggerung dengan ke-
marahannya yang menjadi-jadi.
"Mampus...!" teriak Garu Wisesa sambil meme-
gangi punggung lehernya yang terus berdenyut-denyut
sakit.
"Gruuung...!" Tubuh harimau itu melompat
dengan posisi menerkam, dengan sangat cepat pula
Garu Wisesa rendahkan tubuhnya serendah mungkin.
Terkaman itu luput, hanya anginnya saja yang terasa
menyambar di atas kepala. Garu Wisesa berbalik, na-
mun terlihat pula bahwa saat itu Siluman Harimau
Kumbang sudah bersiap-siap kembali dalam posisi
menerkam.
"Roaaar...!"
"Bruuk!"
Tubuh Garu Wisesa sudah terdorong jatuh ber-
guling-guling, manakala Harimau Kumbang itu mener-
jangnya dengan kekuatan tiga seperempat tenaga da-
lamnya. Sekejap saja terjadilah pergumulan sengit. Be-
gitu buas dan beringas harimau itu mencabik-cabik
tubuh Garu Wisesa dengan taring dan kuku-kukunya
yang sangat tajam. Laki-laki bertampang beringas itu
kelabakan, dia panik. Sementara tubuhnya sendiri su-
dah tak tentu ujudnya. Selanjutnya dia hanya mampu
menggeliat dan menggelepar saja manakala nyawanya
sudah tiba di ambang tenggorokan.
"Weeeer...!"
Dalam keadaan sempoyongan, Jali Sajiwa le-
paskan satu pukulan Iblis Beracun tingkat pertama.
Siluman penjelmaan Rajenta itu kembali menggeram,
selanjutnya dia pun tanpa sungkan lagi kerahkan ajian
Selaksa Harimau Kumbang Menerjang. Secara cepat
tubuh siluman harimau itu mengembar, semakin lama
semakin bertambah banyak. Bahkan jumlahnya men-
capai puluhan. Tak pelak lagi pukulan Iblis Beracun
itu menghajar beberapa ekor kembaran harimau kum-
bang. Begitu pukulan itu datang menghantam, hari-
mau-harimau itu mengaum keras, tubuh binatang-
binatang itu terbanting tak karuan. Namun manakala
tersungkur ke tanah, maka keanehan pun terjadi. Si-
luman harimau kumbang yang lainnya bermunculan
dari tubuh kawannya yang terkapar.
"Ilmu iblis...!" maki Jali Sajiwa terus mengum-
bar pukulan-pukulan beracunnya. Siluman harimau
kumbang itu kini jumlahnya mencapai ratusan ekor,
Jali Sajiwa nampak semakin kewalahan, nafas kem-
bang kempis bagai habis dikejar-kejar setan kubur.
Tiada terduga-duga, siluman harimau kumbang itu se-
cara berbarengan menyerang Jali Sajiwa dengan segenap kemampuannya.
"Graaaaar...!"
"Aakkkgggh...!" Jali Sajiwa, gembong iblis dari
Lembah Weling itu menjerit-jerit kesakitan, malang se-
kali nasibnya. Sebab dalam sekejap tubuhnya terca-
bik-cabik tak karuan ujudnya. Secara perlahan namun
menyakitkan, tubuh yang bergelimang dosa itu pun
berkelojotan bagaikan seekor ayam disembelih, selan-
jutnya terdiam untuk selama-lamanya. Dengan kema-
tian Jali Sajiwa itu, maka secara perlahan Rajenta
yang masih berujud siluman harimau kumbang, nam-
pak merapal Ajian Muluh Asal pada ujud yang sesung-
guhnya.
Satu demi satu siluman harimau yang menca-
pai puluhan ekor itu segera lenyap, berubah menjadi
asap tipis. Sementara itu tubuh siluman harimau
kumbang itu juga secara perlahan telah berubah pula
menjadi ujud Rajenta yang sesungguhnya.
Laki-laki berpakaian bangsawan itu nampak
mengeluh sambil memegangi dadanya yang terasa
sangat sakit luar biasa.
"Eeggh...! Pukulan Iblis Beracun, seumur hidup
aku baru merasakannya kali ini. Hemm... mudah-
mudahan umurku sampai untuk mencari Arca Hari-
mau Kumbang yang dicuri oleh Gembel Pengemis dari
Pulau Naga, tap,., tapi dadaku terasa sangat nyeri se-
kali. Kepalaku berdenyut-denyut bagai mau pecah.
Mungkinkah pukulan beracun yang ku derita ini tidak
separah seperti apa yang dikatakan oleh manusia iblis
itu. Tapi kalau ternyata memang benar apa yang di ka-
takannya, itu berarti hidupku hanya tinggal beberapa
hari lagi... tapi... mengapa aku tak menggeledah Jali
Sajiwa yang telah binasa itu. Mudah-mudahan pena-
warnya ada padanya...!" batin Rajenta, lalu secepatnya
dia sudah menghampiri mayat Jali Sajiwa yang terka-
par di antara murid-murid-nya yang lain.
Rajenta kemudian berlutut, selanjutnya segera
menggeledah pakaian yang melekat di tubuh Jali Saji-
wa. Kantong-kantongnya nampak kosong terkecuali
berisi senjata-senjata yang sangat beracun.
Rajenta nampak sangat kecewa, tak didapatnya
obat penawar racun yang mengidap di tubuhnya seper-
ti yang dia harapkan.
"Gembong manusia iblis ini memang sungguh
pandai sekali, dia telah memperhitungkan segala sesu-
atunya. Sekarang semuanya kuserahkan pada Sang
Hyang Widi kalaupun aku tak dapat memenuhi keingi-
nan guru para siluman, maka apa boleh buat. Yang
penting setidak-tidaknya aku telah berusaha melaku-
kan salah satu di antara apa yang diinginkannya." ba-
tinnya lagi.
Dalam keadaan bingung dan tercenung seorang
diri seperti itu, mendadak, muncullah kabut putih di
tengah-tengah kegelapan malam yang pekat. Rajenta
terkesiap, nampaknya dia sangat mengenal kehadiran
kabut tipis itu. Tak lain merupakan gurunya sendiri.
Sesaat semuanya berubah hening, Rajenta ingin men-
gatakan sesuatu, namun serta merta terdengar guru
para siluman yang tak pernah menunjukkan rupa.
"Rajenta, mengapa kau harus bingung. Aku ta-
hu saat ini kau terkena pukulan Iblis Beracun yang
sangat. ganas itu. Namun kuminta kau jangan cemas.
Berjalanlah terus ke arah Utara...!" kata suara tanpa
rupa menyarankan.
"Guru...! Benarkah apa yang dikatakan oleh Ja-
li Sajiwa itu...?" tanya Rajenta dengan hati diluputi
keingintahuan.
"Hemm. Semua apa yang dikatakannya itu
memang benar adanya, tapi itu bisa terjadi andai kau
tidak dapat mendapat pertolongan...!"
"Mungkinkah nyawaku tidak tertolong lagi...?"
tanya Rajenta dengan perasaan harap-harap cemas.
Guru para siluman memperdengarkan suara tawa pe-
nuh arif.
"Rajenta, di dunia ini tiada sakit yang tidak ada
obatnya, semuanya bisa saja terjadi asal kau berusaha
untuk melakukannya...!"
"Lalu, apakah yang harus kulakukan, Guru...?"
"Pergilah kau ke arah Utara, nanti kau akan
bertemu dengan seorang pemuda berpakaian kumal,
dia ada bersama-sama anakmu... tapi kau jangan ge-
gabah. Sebab dialah Pendekar Golok Buntung yang
masih merupakan keturunan raja negeri alam gaib.
Dia pasti dapat melakukannya, dan andai kau bersi-
kap baik padanya. aku juga merasa sangat yakin kalau
dia mau membantu usahamu dalam mencari Arca Ha-
rimau Kumbang yang selama ratusan tahun telah le-
nyap dari Lembah Gunung Batu Siwak. Kuperingatkan
padamu, Rajenta. Hanya dengan kembalinya arca itu
sajalah yang dapat membuat Lembah Gunung Batu
Siwak dapat terhindar dari bencana alam yang datang
lebih hebat lagi...!"
"Baiklah, aku akan melakukannya, Guru...!"
"Pergilah secepatnya...!" kata guru para silu-
man. Selanjutnya suasana berubah sunyi kembali, ka-
but putih itu lenyap dari pandangan mata. Maka tanpa
membuang waktu lagi, Rajenta dengan langkah ter-
huyung-huyung segera melangkah pergi.
* * *
TUJUH
Setelah melatih diri selama hampir dua purna-
ma, si kembar tangan buntung ini, atau yang lebih di-
kenal sebagai si Kembar Pedang Dewa. Mereka boleh
berbesar hati, karena kini mereka sewaktu-waktu da-
pat berubah ujud menjadi seekor harimau kumbang
yang sangat menggemparkan itu. Memiliki Arca Hari-
mau Kumbang bagi mereka memang terasa banyak
manfaatnya. Bagaimana tidak? Di dalam arca itu ter-
simpan sebuah kitab ilmu siluman yang selama berada
di tangan Ketua Perguruan Walet Merah tak seorang
pun yang mengetahui tentang rahasia itu. (Dalam Epi-
sode Siluman Harimau Kumbang). Termasuk juga se-
mua perguruan golongan lurus. Sekarang dengan
menguasai ilmu Siluman Harimau Kumbang dan den-
gan arca itu berada di tangan mereka, maka mereka
sudah dapat memastikan dalam waktu yang sangat
singkat, mereka sudah dapat menguasai dunia persila-
tan dari berbagai golongan dengan cara yang sangat
mudah saja. Dalam ruangan gua berdinding batu pua-
lam putih, si Kembar Pedang Dewa dengan dedengkot
persilatan golongan hitam, Gembel Pengemis dari Pu-
lau Naga nampak sedang berbincang-bincang dengan
sekutunya yang baru. Ruangan gua yang agak gelap
itu hanya di terangi oleh lampu minyak kelapa yang
nyalanya sangat kecil sekali, sehingga menampakkan
wajah mereka yang mirip seperti lutung itu semakin
bertambah angker saja.
"Nah seperti saudara kembar ketahui, kini se-
gala apa yang tersimpan dalam Kitab Siluman Harimau
Kumbang telah kalian peroleh dan miliki. Itu menan-
dakan sebagai orang yang menginginkan kerja sama
yang baik mau pula melakukan yang terbaik untuk
kawan-kawannya satu golongan. Pokoknya ilmu Silu-
man Harimau Kumbang yang ada dalam kitab itu telah
sama-sama kita miliki. Kini tinggal niat kita saja untuk
sama-sama menjaga arca yang sangat berharga itu. Se-
lanjutnya kita hancurkan semua kekuatan kaum go-
longan putih, dengan cara melakukan teror di mana-
mana." kata Gembel Pengemis berpakaian compang
camping itu membuka pembicaraan.
"Lalu apa yang kita lakukan mulai saat ini,
Saudara Gembel...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi.
"Niat kita sudah jelas, jalan mudah untuk men-
guasai mereka tanpa bersusah payah adalah melaku-
kan pada masing-masing perguruan. Setelah itu kita
adu domba mereka sehingga saling bertarung. sesa-
manya akibat kesalah pahaman. Setelah kekuatan me-
reka lemah, nah saat itu kita turun menyerang...!"
Gembel Pengemis mulai menanamkan gagasannya.
"Tapi, aku harus menagih hutang tanganku
yang dibuntungi oleh bocah hina yang sangat tangguh
itu. Grrttk.... Kalau saja aku sampai bertemu dengan
orang itu, aku tak akan mengampuni jiwanya...!" Me-
nyela si Kembar Gemuk Pendek.
"Saudaraku juga benar, Saudara Gembel...! Sa-
kit hati ini benar-benar harus dia bayar dengan sangat
setimpal. Kami masih akan terus penasaran selamanya
andai kami tidak dapat darahnya dan memakan pula
otaknya...!" Saudaranya yang paling tua ikut menimpa-
li.
Gembel Pengemis dari Pulau Naga nampak ter-
senyum-senyum penuh kelicikan yang sangat tersem-
bunyi.
"Membinasakan pemuda yang menamakan di-
rinya sebagai Pendekar Hina Kelana adalah sama gampangnya dengan membalikkan telapak tangan. Aku
sendiri secara pribadi merasa sangat ingin menjajal
seberapa hebatnya Golok Buntung miliknya yang san-
gat menggemparkan itu...!" Berkata Gembel Pengemis
dengan kesombongan selangit.
"Lalu sekarang ini apa yang akan kita tem-
puh...!" tanya si kembar gemuk pendek ingin sebuah
kepastian. Gembel Pengemis nampak terdiam, otaknya
berputar mencari kemungkinan terbaik, sementara ke-
dua matanya memandang tiada berkedip pada lampu
minyak yang terletak di depannya.
"Baiknya kita berpencar, masing-masing dari
kita menuju ketiga penjuru mata angin...!" ujar Gembel
Pengemis kemudian tanpa mengalihkan perhatiannya
pada lampu yang terletak di depannya. Ke dua manu-
sia kembar itu saling berpandangan sesamanya, sama
sekali mereka tak mengerti ke mana arah pembicaraan
Gembel Pengemis.
"Mengapa kita harus berpencar, saudara Gem-
bel Pengemis...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi tiada
mengerti.
"O wala dala... kalau kita tidak berserak, bera-
pa tahun kita harus dapat menguasai semua golongan
persilatan...?" Kedua kembar angguk-anggukkan kepa-
la tanda mengerti.
"Lagi pula, dengan cara berpencar begitu, teror
yang kita lakukan justru akan membingungkan semua
lawan-lawan kita." jelasnya lebih lanjut.
"Sebuah ide yang sangat tepat. He... he... he...!
Kami tiada menyangka kalau saudara Gembel meski-
pun sangat tua namun memiliki pandangan yang
awas...!" Puji Kembar Pedang Dewa hampir bersamaan.
"He... he... ho... ho... ho...! Lha wong aku kok...!
Tidak percuma aku jauh-jauh datang dari Pulau Na
ga...!"
"Ta... tapi bagaimana agar keselamatan arca itu
dapat terjamin, saudara Gembel Pengemis...?" tanya si
Gemuk Pendek agak meragu. Kiranya keraguan itu
sempat pula diketahui oleh Gembel Pengemis dari Pu-
lau Naga. Maka cepat-cepat dia menyela:
"Saudara-saudara tak usah merasa takut, ka-
lau arca biarkan saja aku yang membawanya. Sebab
kalaupun disimpan di tempat ini, aku tak berani men-
jamin keselamatannya. Biarlah aku yang membawa-
bawa-nya ke mana pun aku pergi...!" ucap Gembel
Pengemis berusaha meyakinkan.
"Baiklah, kami percaya sepenuhnya pada sau-
dara Gembel Pengemis! Tapi kalaupun kita berpencar,
lalu untuk selanjutnya di mana kita harus bertemu
kembali?" tanya salah seorang si kembar. Gembel Pen-
gemis nampak terbengong-bengong, menurut penda-
patnya pribadi tempat pertemuan akhir itu memang
pantas untuk diketahui mulai dari saat sekarang. Se-
bab apa pun yang bakal terjadi nantinya, mereka ha-
rus menentukan sebuah tempat yang pada akhirnya
merupakan ajang pertemuan di perbatasan antara Gu-
nung Batu Siwak dengan lembah maut...?"
"Mengapa harus di sana, saudara Gembel Pen-
gemis? Bukankah tempat itu merupakan sebuah tem-
pat yang hampir sepanjang tahunnya dilanda gempa.
Pula merupakan daerah yang sangat berbahaya seka-
li...!" kata si gemuk tinggi merasa kurang setuju.
"Aku memilih tempat itu bukan sembarang pi-
lih, perbatasan lembah Gunung Batu Siwak merupa-
kan sebuah daerah yang tidak pernah dijarah oleh sia-
pa pun. Kalau di sanalah kita mengadukan pertemuan,
maka aku dapat menjamin tentang keamanannya...!
"Baik...! Kami akan menurutmu kalau itu me
mang kami anggap juga cukup baik untuk sebuah per-
temuan yang sangat penting. Tetapi perguruan mana
saja yang harus kita teror...!" tanya si Gemuk Tinggi.
"Saudara Gemuk Pendek, menurutku lebih baik
menuju ke arah Utara, sepanjang jalan ke Utara sein-
gatku ada tiga perguruan yang juga patut diperhitung-
kan di sana. Sementara saudara kembar Gemuk Tinggi
sebaiknya menuju ke Tenggara. Di bagian Tenggara itu
juga terdapat dua perguruan yang sangat besar namun
memiliki pimpinan yang berjiwa lemah. Sementara aku
sendiri akan menuju ke arah Barat. Nah di sanalah
markas besar semua kaum golongan putih. Yaitu Per-
guruan Walet Merah."
"Hemm. Kami menyetujui semua gagasan mu
saudara Gembel Pengemis. Mudah-mudahan segala
apa yang kita rencanakan akan menjadi kenyataan...!"
"Terima kasih, saudara kembar berdua atas se-
gala kepercayaan yang anda berikan padaku...!"
"Kapan kita berangkat...!" tanya si Gemuk Pen-
dek. Sementara si Gemuk Tinggi mengangguk men-
giyakan.
"Ada baiknya kalau kita berangkat sekarang ju-
ga...!" kata Gembel Pengemis dari Pulau Naga tegas.
"Baiklah...!" Setelah mereka merasa tak ada lagi
yang perlu dibicarakan maka saat itu juga mereka se-
gera berangkat meninggalkan tempat itu. Berpisah
dengan tujuan masing-masing.
* * *
Angin siang hari berhembus sepoi-sepoi basah,
di saat itu Buang Sengketa dan Dewi Wening Asih yang
sedang melakukan perjalanan menuju Lembah Gu-
nung Batu Siwak, atau setidak-tidaknya menjumpai
Ketua Perguruan Walet Merah. Melalui sebuah jalan
yang sangat sempit dan licin, sejak pagi hari mereka
tiada henti-hentinya terus melangkahkan kaki. Padah-
al saat itu sesungguhnya Buang Sengketa sudah me-
rasa tak sabar lagi melihat cara jalan Dewi Wening
Asih yang sangat lambat dan mirip seekor siput.
"Jalan sedari tadi cuma muter-muter di sini sa-
ja!" gerutu Buang Sengketa.
"Ceriwis, kalau tak sabar tinggal saja...!" Dewi
Wening Asih bersungut-sungut sambil mencibirkan
mulutnya.
"Wah jadi kau benar-benar ingin kutinggal sen-
dirian...!"
"Ee... jangan...! Aku minta maaf. Bangsat-
bangsat itu membuat aku takut Kelana...!"
"Kalau begitu percepat sedikitlah langkahmu...!"
perintah Buang Sengketa setengah mempercepat lang-
kahnya. Namun mendadak pemuda itu hentikan lang-
kahnya begitu mendengar jeritan dan teriakan-
teriakan orang yang sedang melakukan pertarungan.
Atau lebih mirip lagi bila disebut sebuah pembantaian.
"Ada apa?" tanya Dewi Wening Asih ketika me-
lihat Buang Sengketa malah mengendap-endap me-
ninggalkan jalan setapak yang mereka lalui. Sebalik-
nya dia melangkah ke arah semak-semak belukar yang
berada di sisi kanan jalan itu.
Tak lama kemudian setelah memperhatikan se-
suatu yang berada di lereng bukit di bawahnya, maka
Buang Sengketa memberi isyarat pada Dewi Wening
Asih untuk men-dekat. Tanpa berfikir panjang, Dewi
Wening Asih segera mendekat lalu dia memperhatikan
ke arah yang ditunjuk oleh Buang Sengketa. Dewi
Wening Asih hampir terpekik begitu melihat beberapa
orang penduduk desa sedang menghadapi seekor Si
luman Harimau Kumbang. Yang membuat terheran-
heran pemuda itu adalah karena harimau kumbang itu
hanya memiliki tiga buah kaki. Sejenak pemuda dari
Negeri Bunian ini nampak memperhatikan gerak gerik
serangan harimau kumbang yang sangat ganas. Meng-
herankan, walau kakinya cuma tiga buah, tapi hari-
mau itu dapat bergerak secepat binatang normal. Teta-
pi bila melihat caranya membantai orang-orang itu
nampaknya harimau itu bukanlah harimau biasa.
Jangan-jangan….! Tetapi mungkinkan binatang itu ada
kaitannya dengan Siluman Harimau Kumbang. Kalau
benar sudah barang tentu harimau itu bermaksud un-
tuk membunuh semua orang yang berada di tempat
itu. Aku harus mencegah semua perbuatannya yang
brutal itu. Batin Buang Sengketa dalam hati.
"Dewi...!" panggilnya. Dewi Wening Asih sema-
kin mendekat.
"Ada apa...?" tanyanya begitu hampir di sebelah
Pendekar Hina Kelana.
"Ikutlah aku, tapi jangan berisik, aku harus
menghalangi harimau yang mengganas itu. Kalau tidak
orang-orang yang tiada berdosa itu pasti akan terban-
tai habis...!"
"Jangan, siapa tahu harimau itu sengaja mem-
balas dendam. Mungkin juga orang-orang itu merupa-
kan golongan hitam. Untuk apa kau bersusah payah
membantu mereka, lebih baik kita meneruskan perja-
lanan saja...!" Buang Sengketa gelengkan kepalanya
berulang-ulang.
"Tidak, kau lihatkah bahwa orang-orang itu me-
rupakan petani biasa, mungkin juga mereka merupa-
kan pencari rotan di hutan ini... aku harus menolong-
nya. Indera ku mengatakan bahwa harimau itu hanya-
lah merupakan seekor siluman...!" ujarnya merasa
sangat yakin sekali.
"Kalau begitu marilah kita tolong mereka, aku
tak dapat berbuat banyak. Semua itu terpulang pada-
mu, seandainya kau sampai celaka, maka nasibku ju-
ga tak akan lebih baik dari nasibmu...!" Dewi Wening
Asih setengah mengingatkan.
Buang Sengketa hanya diam saja, sesaat ke-
mudian dia sudah melangkah mendekati tempat perta-
rungan. Semakin lama langkah mereka semakin men-
dekat dan bertambah dekat. Begitu semuanya sudah
terlihat nyata, maka bukan main terperanjatnya pemu-
da dari Negeri Bunian itu. Di tempat itu lebih dari se-
puluh orang mayat-mayat tiada berdosa bergeletakan.
Keadaan tubuh mereka benar-benar sangat menyedih-
kan sekali. Buang Sengketa cepat-cepat mengalihkan
perhatiannya ke arah lain, maka nampaklah hanya
tinggal lebih kurang tujuh orang saja dengan senja-
tanya yang berupa beberapa batang golok dan tombak
mengepung harimau yang sangat ganas itu. Buang
menjadi geram karenanya, tanpa basa basi dia pun se-
gera melompat memasuki kalangan pertempuran.
Kehadiran Buang Sengketa yang tiada terduga-
duga itu membuat terkejut harimau kumbang maupun
beberapa orang penduduk desa yang sedang melaku-
kan pengeroyokan.
* * *
DELAPAN
“Minggirlah kalian semuanya, harimau kum-
bang ini nampaknya bukan harimau biasa...!" teriak
Buang Sengketa pada orang-orang itu. Tanpa menung
.
gu diperintah dua kali, para penduduk desa itu pun
berlompatan mundur. Saat itu harimau kumbang ter-
sebut demi mengetahui kehadiran Buang Sengketa,
mendadak berubah menjadi sangat beringas sekali.
Berulang kali dia mengaum, dengan raungan-raungan
yang sangat keras. Sepasang matanya yang menyorot
tajam dan liar memandang pada si pemuda dengan
dendam yang membara. Pendekar Hina Kelana jadi
terkesima karenanya. Kini dia yakin sudah bahwa ha-
rimau berkaki tiga itu tak lebih merupakan seekor si-
luman yang sedang membalas dendam.
"Hak... kek... kek...! Siluman Harimau Kum-
bang...! Melihat bentuk tubuhmu yang pendek dan
bertangan buntung, tak bisa ku sangkal. Engkau tak
lain merupakan kunyuk dari Pulau Bawean... he...
he... he...! Satu kesempatan yang bagus bagiku. Me-
lihat tampangmu yang dapat berubah menjadi seekor
siluman, aku jadi merasa sangat yakin kalian pasti ada
hubungannya dengan arca yang hilang itu. Tapi...
eeee... tapi ke mana kembaran mu yang satu lagi...?"
"Grauuuuung!" Siluman Harimau Kumbang
yang merupakan penjelmaan si kembar Gemuk Pendek
menggerung marah dengan dendamnya yang terbang-
kit kembali. Apa sebabnya sampai terjadi pembantaian
itu?
Seperti diketahui setelah masing-masing sekutu
telah mengetahui tugas-tugas-nya, maka berangkatlah
si Kembar Gemuk Pendek menuju ke arah Utara. Satu
perguruan kecil yang muridnya hanya berjumlah lebih
kurang tiga puluh orang saja telah berhasil dia obrak
abrik. Selesai menghancurkan satu perguruan milik
orang-orang golongan putih, maka dia bermaksud me-
neruskan perjalanannya untuk membasmi pergu-
ruan berikutnya. Namun bagi si Gemuk Pendek yang
sama sekali belum pernah melakukan perjalanan ke
Utara, merasa sangat kesulitan untuk menempuh ja-
lan yang sesingkat mungkin. Berulang kali dia sempat
kesasar, bahkan beberapa kali dia cuma berputar-
putar di sekitar hutan itu. Maka bertemulah dia den-
gan sekawanan pencari rotan di tengah-tengah hutan
itu. Tapi karena setiap pertanyaan selalu dijawab den-
gan kata-kata yang kurang menyenangkan, maka mau
tak mau akhirnya dia pun sangat marah. Tak dapat di-
cegah lagi, si Gemuk Pendek yang selama ini mengang-
gap bahwa setiap manusia selalu berada di bawah
tingkatannya. Dalam waktu sekejap saja telah meru-
bah dirinya menjadi seekor Siluman Harimau Kum-
bang. Satu demi satu korban-korban pun berjatuhan,
semakin lama semakin bertambah banyak. Masih un-
tuk dalam saat-saat yang sangat kritis itu muncullah
Pendekar Hina Kelana. Tetapi kemunculannya malah
semakin mengundang kemarahan Siluman Harimau
Kumbang, karena sesungguhnya dendamnya selama
ini hanyalah ditujukan pada pemuda yang dulu pernah
membuntungi tangannya (Dalam Episode Siluman Ha-
rimau Kumbang).
Saat itu baik pemuda muridnya si Bangkotan
Koreng Seribu, maupun Siluman Harimau Kumbang
penjelmaan si kembar gemuk pendek nampak saling
berpandangan. Namun sedetik kemudian Buang Seng-
keta sudah menyela:
"Aku tahu kalian sekarang pasti sedang mela-
kukan teror. Kalian berpencar untuk mengelabuhi
orang-orang persilatan. Huh. Siapa pun dan sebanyak
apa pun Siluman Harimau Kumbang, aku tak akan
pernah merasa gentar. Kau harus mati di tanganku,
kali ini benar-benar tak akan kubiarkan lolos." geram
pemuda itu selanjutnya dia sudah bersiap-siap dengan
jurus tangan kosong si Gila Mengamuk. Siluman Ha-
rimau Kumbang menggerung bagai di rasuki setan ib-
lis. Selanjutnya begitu dia menjejakkan kaki belakang-
nya, tahu-tahu tubuh Siluman Harimau Kumbang
penjelmaan dari si Kembar Gemuk Pendek telah me-
layang menerjang Buang Sengketa yang sudah barang
tentu saja berkelit dengan sangat gesitnya. Serangan
awal siluman penjelmaan si Gemuk Pendek luput. Na-
mun secepatnya dia sudah berbalik dan melakukan
serangan yang lebih gencar lagi dengan kuku taringnya
yang panjang-panjang.
Sementara itu Buang Sengketa yang saat itu
mempergunakan jurus si Gila Mengamuk, masih keli-
hatan tenang-tenang saja, sekali dua dia nampak ter-
huyung-huyung bagai seorang pemabukan, di lain saat
dia tepuk-tepuk pantatnya atau bahkan menggaruk-
nya. Gerakan silatnya memang kacau balau tak bera-
turan, bahkan pukulan maupun tendangan yang dila-
kukannya nampak selalu ngawur dan membuat geli
setiap orang yang melihatnya, tapi selalu saja pukulan-
pukulan itu menghantam telak pada sasarannya.
Sungguhpun begitu, nampaknya Siluman Harimau
Kumbang ini sangat kebal bahkan bagai tak merasa-
kan datangnya pukulan maupun tendangan yang ber-
tubi-tubi. Sebaliknya siluman harimau itu malah se-
makin bertambah buas dan terus melakukan serangan
balik dengan sangat cepat sekali.
"Grauuung...!"
"Kampret! Hampir saja...!" maki Buang Sengke-
ta, seraya melipat gandakan serangannya. Tapi sejurus
selanjutnya siluman harimau berkaki tiga itu pun den-
gan begitu nekadnya, menerkam Buang Sengketa dari
arah yang berlawanan.
"Krauuuk...!" Terdengar suara berkerokokan
manakala taring-taring harimau kumbang itu me-
nyambut kepalan tinju Buang Sengketa yang menga-
rah ke bagian kepalanya.
"Sialan kau siluman sesat. Aku ini masih maji-
kanmu, aku pangeran mu, karena aku juga masih me-
rupakan makhluk alam gaib. Kau tak mau hormat pa-
daku malah meminta tanganku. Kurang ajar...!" ma-
kinya sambil membetot-betot tangannya yang berada
di dalam mulut harimau itu. Siluman Harimau Kum-
bang mempertahankannya. Walaupun makhluk itu
merasakan bahwa tangan lawannya telah berubah se-
keras baja. Pendekar Hina Kelana akhirnya merasa tak
sabar juga setelah tarik menarik berlangsung lama.
Dia sudah mulai berfikir untuk melepaskan pukulan
maut Empat Anasir Kehidupan, atau yang lebih hebat
lagi si Hina Kelana Merana. Tapi bagaimana nantinya
dengan nasib tangan kirinya yang masih tetap tergigit
di dalam mulut siluman harimau itu. Mengeluarkan
Pusaka Golok Buntung. Hemm, rasa-rasanya hal itu
tidak perlu. Baiknya dengan mempergunakan lengkin-
gan Ilmu Pemenggal Roh tangannya segera terlepas da-
ri taring-taring lawannya.
"Hiiiikk!"
Terdengar gelegar berkepanjangan yang sam-
bung menyambung tiada henti. Bumi tempat berpijak
seakan-akan runtuh. Satu kesalahan yang berakibat
sangat fatal secara tak sengaja telah dilakukan oleh
pemuda itu. Yaitu dia lupa mengingatkan penduduk
desa yang masih tersisa itu untuk menyumbat daun
telinganya.
Tak dapat disangkal lagi, orang-orang itu men-
jerit dan jatuh terguling-guling. Gendang-gendang te-
linga mereka berantakan, darah mengalir dari dalam-
nya. Sesaat tubuh-tubuh tumpang tindih itu berkelojo
tan lalu terdiam untuk selama-lamanya. Sementara itu
Siluman Harimau Kumbang nampak terpekik, serta
merta mulutnya membuka. Secepatnya Buang Sengke-
ta menyentakkan tangan itu dari dalamnya. Siluman
Harimau Kumbang menggerung, tubuhnya terhuyung-
huyung. Tapi bagai tak menghiraukan rasa sakit di ba-
gian kuping dan dadanya, Siluman Harimau Kumbang
itu kembali bersiap-siap membangun serangan.
"Sialan, gara-gara kau, aku sampai membuat
mereka yang ingin kuselamatkan malah mampus...!"
makinya. Selanjutnya tanpa banyak membuang waktu
percuma, tubuh Buang Sengketa berkelebat sangat ce-
pat.
"Heiiiit...!"
Pendekar Hina Kelana pukulkan tangannya ke
depan. Tanpa ampun lagi, selarik sinar berwarna Ultra
Violet menderu menyambut terkaman harimau kum-
bang yang datangnya berlawanan arah.
Sama sekali Siluman Harimau Kumbang itu
tiada menyangka kalau lawannya lepaskan pukulan
yang sangat berbahaya sekali. Secepatnya dia buang
tubuhnya ke samping kanan. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dilepas oleh Pendekar Hina Kelana
mencapai sasaran kosong, namun terus melesat hing-
ga menabrak sebatang pohon hingga menyebabkannya
tumbang menimbulkan suara berdebum.
"Grauuuuung!"
"Sialan sedari tadi cuma membuat aku semakin
kesal saja. Terimalah yang ini...!" jerit Buang Sengketa
dengan suara menggelegar. Maka apabila kedua tan-
gannya terpentang ke atas. Dan saat mana mulutnya
mengeluarkan bunyi mendesis maka pada saat itulah
dia telah mulai menyalurkan sebagian tenaga dalam-
nya untuk melepaskan pukulan si Hina Kelana Mera
na, mulailah tubuhnya bergetar. Keringat mengalir de-
ras membasahi tubuh dan pakaiannya. Sementara itu,
Siluman Harimau Kumbang penjelmaan si kembar ge-
muk pendek juga nampaknya menyadari bahwa pen-
dekar yang pernah membuat buntung tangannya itu
tak ingin bertindak ayal-ayalan untuk kali ini. Maka
masih dalam ujud siluman, dia segera mengerahkan
pukulan baru hasil ciptaan mereka. Pukulan itu ada-
lah merupakan pukulan yang diberi nama Dendam Pe-
dang Dewa Kembar.
"Hiaaa...!" teriak Buang Sengketa melepaskan
pukulan andalannya.
"Grroaar...!" Sambil berlompatan Siluman Ha-
rimau Kumbang itu pun pukulkan kaki depannya yang
hanya sebelah itu. Satu gelombang sinar kuning mele-
sat melebihi kecepatan anak panah, sinar berhawa
dingin itu terus melabrak menyongsong datangnya sa-
tu gelombang sinar merah yang telah dilepaskan oleh
Pendekar Hina Kelana.
"Weeer!"
"Blaaam!"
Dua tenaga sakti saling bertubrukan di udara,
tubuh orang itu sama-sama terpental tiga tombak.
Buang Sengketa meringis-ringis sambil memegangi da-
danya yang terasa sesak luar biasa. Sementara itu si-
luman penjelmaan si Kembar Gemuk Pendek setelah
muntah darah masih juga berusaha bangkit berdiri.
Namun nampaknya pengaruh lengkingan Ilmu Pe-
menggal Roh, yang meninggalkan kerusakan pada ba-
gian otaknya membuat siluman itu mulai kehilangan
daya tempurnya. Kini setelah bangkit berdiri dalam
keadaan sempoyongan dia kembali berusaha untuk
melakukan serangan susulan. Tapi luka dalam yang
dialaminya telah pula membuat gerakan-gerakannya
sudah tak stabil lagi.
"Grrr...!"
Gemetaran suara siluman itu.
"Hiaa...!" Tubuh Buang Sengketa berkelebat,
sekali lagi dia lancarkan pukulan si Hina Kelana Mera-
na. Siluman Harimau Kumbang menggerung tanda
terkejut. Tapi pukulan yang dilepaskan oleh Buang
Sengketa datangnya laksana badai.
"Buuum!" Tubuh Siluman Harimau Kumbang
itu terbuntang dan tergulung-gulung dalam hawa yang
sangat panas menyakitkan. Binatang siluman itu melo-
long, tapi hanya sesaat saja. Begitu tubuhnya terhem-
pas, maka perubahan pun terjadi. Harimau kumbang
yang mati dalam keadaan hangus itu, secara perlahan-
lahan berubah ke dalam ujudnya semula. Hingga la-
ma-kelamaan Buang Sengketa dengan jelas dapat
mengenali bahwa sesungguhnya orang itu tak lain me-
rupakan si Kembar Pedang Dewa, yang dulu sempat
melarikan diri dari tangannya.
"Akhirnya kau harus mati dengan cara lebih
menyedihkan lagi, Orang sesat...!"
"Siapa dia...?" tanya Dewi Wening Asih yang se-
cara tiba-tiba berada di sebelah Buang Sengketa. Seje-
nak pemuda itu memandang pada si gadis, lalu uca-
pannya pelan.
"Dia salah seorang lawanku...?" katanya.
Lalu tanpa basa basi lagi disambarnya tangan
gadis itu. Detik selanjutnya Dewi Wening Asih merasa-
kan tubuhnya bagai melayang bersama Buang Sengke-
ta yang sedang mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian
Sapu Angin.
* * *
SEMBILAN
Laki-laki berpakaian bangsawan itu terus me-
lakukan perjalanan, sungguhpun tubuhnya sudah me-
rasa tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanannya.
Racun Pukulan Iblis yang telah mengidap di bagian
dadanya kini telah menjalar ke mana-mana. Seluruh
persendiannya terasa sangat kaku, sementara rasa
dingin yang sangat luar biasa membuat jantungnya
seperti enggan berdenyut. Berjalanlah dia tak ubahnya
bagai area kayu. Tegak dan kaku sekali. Sungguh pun
begitu tiada sedikitpun rasa putus asa membayang di
wajahnya yang pucat dan berwarna kebiru-biruan itu,
dia terus melangkah. Sungguhpun dia harus jatuh
bangun, dia sudah tiada perduli lagi. Hingga sampai
akhirnya tubuh Rajenta terhempas, kemudian tergul-
ing-guling sambil merintih-rintih.
Sementara itu tak begitu jauh dari tempat Ra-
jenta terkapar, nampak dua orang pejalan kaki yang
kelihatannya masih sangat muda. Seorang di anta-
ranya adalah seorang gadis yang sangat cantik, se-
dangkan yang menyertainya adalah seorang pemuda
yang tak kalah tampannya bila dibandingkan dengan
kecantikan gadis yang berjalan bersama pemuda itu.
Tiada kata-kata yang terucap dari mulut mereka, ma-
nakala mereka berjalan berdampingan seperti itu. Dewi
Wening Asih tenggelam dalam lamunannya tentang
bagaimana nasib kedua orang tuanya. Sedangkan
Pendekar Hina Kelana sendiri merasa di sibuki dengan
teror Siluman Harimau Kumbang yang mulai merajale-
la di mana-mana. Mengherankan, di mana-mana terja-
di pembunuhan secara keji dan nampaknya sangat be-
rutal sekali. Aku merasa yakin bahwa pelaku dari teror
itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja, mung-
kin juga dua, tiga, lima, atau bahkan lebih. Tapi apa
alasannya yang jelas mereka sengaja memancing keki-
sruhan, atau mungkin pula mempunyai maksud-
maksud tertentu yang belum jelas. Arca itu juga seka-
rang ini entah berada di tangan siapa. Batin pemuda
itu.
Sedang tenggelam dalam lamunannya seperti
itu, tiba-tiba saja telinganya menangkap adanya suara
rintihan seseorang. Dan nampaknya Dewi Wening Asih
juga mendengar seperti apa yang didengar oleh Buang
Sengketa.
"Nampaknya di sekitar sini seperti ada suara
rintihan seseorang...!"
"Aku juga mendengar suara yang sama, ee...
sepertinya berasal dari lereng di bawah itu...!" kata ga-
dis itu, dengan hati berdebar.
"Ayo kita ke sana saja...!"
Lalu secara bersama-sama mereka menuruni
lereng itu, tak sampai lewat sepemakan sirih maka
Buang Sengketa melihat seorang laki-laki yang tiada
dikenalnya terkapar di atas semak-semak belukar. Se-
jenak dia meneliti, selanjutnya membalikkan tubuh la-
ki-laki berpakaian bangsawan itu. Saat itu Dewi Wen-
ing Asih menjerit tertahan, tubuhnya gemetaran, lalu
tanpa dapat tertahankan lagi dia langsung menubruk
Rajenta.
"Ayah... mengapa sampai terjadi begini,
Ayah...!" jerit gadis itu sambil mendekap tubuh Rajenta
yang sudah sangat dingin sekali. Sementara itu Buang
sama sekali tiada menduga kalau laki-laki yang berpa-
kaian bangsawan itu kiranya merupakan ayah Dewi
Wening Asih. Lalu tanpa menghiraukan tangis gadis
itu, Buang Sengketa segera memeriksa nadi di pergelangan Rajenta. Luar biasa orang itu ternyata masih
hidup. Sungguhpun denyut jantungnya sudah sangat
lemah sekali.
"Hentikan tangismu Dewi, nampaknya dia ma-
sih bisa di selamatkan. Ayolah bantu aku, tolong buka
bajunya...!" kata Dewi Wening Asih memberi perintah.
Selanjutnya dengan sangat cepat mereka membuka
pakaian Rajenta. Setelah pakaiannya terbuka nampak-
lah bagian dadanya yang membiru bekas terkena pu-
kulan beracun yang sangat ganas. Buang memandang
pada Dewi Wening Asih sejenak saja, lalu:
"Dewi, cobalah kau berjaga-jaga di atas bukit
sana. Beritahukan padaku andai ada apa pun yang
mencurigakan. Aku akan menolong ayahmu ini, mu-
dah-mudahan nyawanya masih tertolong...!" perintah
Buang Sengketa. Dengan masih terisak, Dewi Wening
Asih segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
Buang Sengketa.
Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu
lagi, Buang Sengketa segera menempelkan telapak
tangannya pada bagian dada Rajenta, lalu dengan
mengerahkan segenap perhatiannya, Buang Sengketa
mulai mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke arah
telapak tangannya. Kemudian hawa yang sangat han-
gat pun mengalir pada telapak tangan Pendekar Hina
Kelana. Hawa murni itu terus mengalir ke bagian dada
yang telah mengidap pukulan beracun. Secara perla-
han namun cukup pasti, hawa murni yang disalurkan
melalui tangan Buang Sengketa terus menjalar ke se-
luruh bagian tubuh Rajenta yang tadinya terasa sangat
dingin dan kaku. Tubuh pemuda itu telah bermandi
keringat, bahkan wajahnya sendiri semakin lama be-
rubah menjadi merah padam, tubuh gemetaran demi
menahan hawa dingin beracun yang kadang memberontak ingin mengatasi hawa murni yang disalurkan
oleh Buang Sengketa. Semakin lama hawa murni yang
disalurkan oleh Buang Sengketa semakin dilipat gan-
dakan, sehingga lama-kelamaan menaikkan hawa be-
racun dan melenyapkannya, sungguhpun tidak secara
tuntas.
Rajenta mengerang manakala merasakan hawa
dingin dan hawa panas datang silih berganti. Walau-
pun begitu lama-kelamaan wajahnya yang pucat mem-
biru itu nampak mulai mengalami perubahan sedikit
demi sedikit. Setelah segalanya dianggap telah mema-
dai, maka Buang secara perlahan menarikan tangan-
nya kembali. Selanjutnya pemuda dari Negeri Bunian
itu nampak duduk bersila, kedua tangannya menekur
terlipat di dadanya. Dia merasakan letih yang teramat
sangat, dan apa yang dia ingin lakukan untuk selan-
jutnya adalah mengembalikan semangat dan tena-
ganya yang telah terkuras demi menyelamatkan Rajen-
ta, sekaligus merupakan orang tua kandung Dewi
Wening Asih. Namun sebelum Pendekar Hina Kelana
selesai dengan semadinya, mendadak Dewi Wening
Asih berlari-lari menuruni lereng yang tidak seberapa
tingginya. Melihat mimik wajahnya, nyatalah sudah
kalau dia kelihatan sangat mengkhawatirkan kesela-
matan mereka berdua.
"Cel... celaka, ada berpuluh-puluh penunggang
kuda datang ke tempat ini! Bagaimana ini Kelana...?"
lapornya tergopoh-gopoh dan wajah tegang. Seperti
tiada mendengar, pemuda itu masih juga menekur da-
lam semadinya.
"Bagaimana ini, Kelana...! Cepatlah kau ban-
gun, orang-orang itu sudah semakin mendekat ke si-
ni...!"
"Wah, aku belum lagi pulih tenagaku, sean
dainya ayah Dewi dan aku tetap bertahan di tempat
ini. Maka akan celakalah semuanya. Orang-orang ber-
kuda itu sama sekali tidak bisa diduga dari pihak ka-
wan atau lawan. Tapi dalam situasi seperti ini aku tak
bisa berharap banyak pada pihak mana pun. Tenagaku
pun belum pulih betul. Hemm, apa pun yang bakal ter-
jadi aku harus menghadapi mereka. Selanjutnya sete-
lah menarik nafas panjang, pendekar dari Negeri Bu-
nian ini beranjak berdiri, sesaat lamanya dia meman-
dang pada Dewi Wening Asih yang saat itu sedang ber-
simpuh di dekat kaki ayahandanya.
"Kesehatan ayahmu akan segera pulih kembali,
tetaplah kalian di sini. Tapi larilah ke sebuah tempat
yang aman, andai aku tak sanggup menghadapi mere-
ka." pesannya.
"Kelana! Tapi nampaknya kau sendiri masih da-
lam keadaan lemah, bagaimana mungkin engkau da-
pat mengatasi mereka yang jumlahnya mencapai pu-
luhan orang?" Dewi Wening Asih nampak sangat kha-
watir sekali. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi,
Pendekar Hina Kelana segera menjejakkan kakinya.
Tubuhnya sekejapan saja telah lenyap dari pandangan
Dewi Wening Asih.
Saat itu para penunggang kuda telah sampai
pula tidak begitu jauh dari lereng itu. Secara hampir
serentak mereka menarik tali kekang kuda, hingga
mengakibatkan kuda-kuda itu menghentikan larinya
secara mendadak pula. Adapun pemimpin penunggang
kuda tak lain adalah Luga Kencana Ketua Perguruan
Walet Merah. Sedangkan seorang yang berada di sebe-
lahnya adalah seorang kakek tua renta yang merupa-
kan guru dari Luga Kencana. Kakek itu seperti di je-
laskan pada saat awal adalah seorang tokoh golongan
putih yang bernama Sandi Marta, atau yang lebih di
kenal sebagai si Pedang Walet Merah. Kakek tua ini
sengaja menyertai perjalanan Luga Kencana, dengan
maksud ingin memberi bantuan pada muridnya dalam
menemukan kembali Arca Harimau Kumbang yang te-
lah lama lenyap dari Perguruan Walet Merah sebagai
pihak penanggung jawab.
"Tidak ada tanda-tanda ada orang yang kita cu-
rigai melintas di tempat ini. Padahal korban-korban Si-
luman Harimau Kumbang sudah terlalu banyak. Aku
merasa tak yakin kalau arca yang tercuri itu dapat le-
nyap begitu saja. Pula sudah sangat lama aku tak per-
nah mendengar lagi kabar, ke mana larinya Gembel
Pengemis dari Pulau Naga yang telah melarikan arca
itu. Heh, kalaulah benar Gembel Pengemis dapat me-
rubah dirinya menjadi seekor siluman, maka semakin
kuatlah dugaanku kalau Gembel Pengemis itulah pela-
kunya!" kata Luga Kencana.
Kakek renta berkepala botak yang merasa di
sampingnya masih juga terdiam. Tatapan matanya
menerawang jauh memandang pada semak-semak
yang membentang di hadapan mereka.
"Bagaimana pendapatmu, Guru...!" tanya Luga
Kencana begitu melihat si Pedang Walet Merah hanya
diam saja. Alis kakek tua itu menggerimit, dengan su-
dut matanya yang sudah mulai lamur dia melirik seki-
las. Lalu terdengarlah ucapannya yang berwibawa.
"Semua keputusan tentang perguruan yang kau
dirikan, semua ada di tanganmu, sedangkan aku ha-
nyalah orang yang ingin melihat murid tunggalnya da-
pat menyelesaikan sesuatunya dengan sangat baik. Ki-
ta telah banyak membuang-buang waktu hanya ingin
mendapatkan arca itu kembali. Tapi pernahkah kau
menyadari bahwa sesungguhnya arca itu pun bukan
milik Perguruan Walet Merah. Asal usulnya tidak jelas,
dan selama aku malang melintang dalam dunia persi-
latan dulu, sama sekali aku tak pernah mengetahui
dari mana sesungguhnya asal usul Arca Harimau
Kumbang itu. Ketika kau datang mendadak kau men-
gatakan bahwa arca itu merupakan lambang persa-
tuan kaum golongan lurus, keteranganmu juga sema-
kin membuat aku bertambah bingung. Tapi akhirnya
aku tiada perduli. Hingga aku mengikutimu sampai ke
sini, kini juga keputusan kembali ku pulangkan pada-
mu, dengan harapan kau dapat mengambil keputusan
yang terbaik buat kelangsungan dan kelanggengan
semua perguruan bergolongan lurus." katanya bijak-
sana.
"Guru, dengan cara bagaimana pun, arca itu
harus kembali pada Perguruan Walet Merah. Lihat sa-
jalah buktinya, satu atau tiga purnama saja arca itu
berada di tangan kaum sesat, teror tentang harimau
kumbang telah merajalela di mana-mana. Kalau tidak
kita yang menghentikannya sepak terjang mereka, lalu
siapa lagi...!" Si Pedang Walet Merah tersenyum saja
demi mendengar apa yang di katakan oleh muridnya.
"Dari caramu mengambil kesimpulan saja, su-
dah merupakan satu bukti bagiku, bahwa sebagai ke-
tua perguruan ternyata juga kau memiliki pandangan
yang sangat sempit! Luga, janganlah merasa diri itu le-
bih hebat ketimbang manusia lainnya di atas dunia ini.
Dengan hilangnya Arca Harimau Kumbang dari pergu-
ruan kalian, dan dengan bermunculannya siluman
yang mengganas di kalangan dunia persilatan. Hal itu
sudah merupakan bukti lain, bahwa kepandaian ka-
lian untuk mengetahui tentang rahasia yang ada di da-
lam arca itu tidak sampai. Munculnya siluman hari-
mau yang tiba-tiba, bagiku merupakan sesuatu yang
pasti bahwa di dalam tubuh arca itu terdapat ajaran
yang di dalamnya membuat tentang ilmu Siluman Ha-
rimau Kumbang....!" kata si Pedang Walet Merah seca-
ra panjang lebar.
"Murid memang bodoh, Guru! Murid tak memi-
liki kepandaian apa-apa. Itulah makanya murid ingin
selalu memohon petunjuk guru...!" ucap Luga Kencana
dengan nada merendah, sungguhpun hatinya san-
gat panas sekali.
"Kalau belajar sejak dulu, kau tetap merupakan
murid yang tolol, tidak dapat berbuat apa pun, lebih
baik Perguruan Walet Merah yang besar itu kau bu-
barkan saja. Setelah itu, jadilah manusia biasa agar
persoalan yang kau hadapi dalam hidupmu tidak terla-
lu berat dan membuat rontok rambutmu...!"
"Sudahlah, Guru! Aku menghormati, aku tak
ingin berdebat dengan guru sendiri, takut, nantinya
aku dikata murid yang tak tahu adat...!" kata Luga
Kencana dalam kemarahannya yang tertahan-tahan.
Sandi Marta alias si Pedang Walet Merah hanya ge-
lengkan kepalanya, dia merasa kesal menghadapi Luga
Kencana yang tak pernah memiliki pemikiran yang
luas.
Saat itu di luar dugaan mereka, dari arah se-
mak-semak yang agak tersembunyi terdengar pula su-
ara tawa tergelak-gelak.
* * *
SEPULUH
Suara tawa yang berkepanjangan itu kiranya
disertai tenaga dalam yang kuat, hingga membuat ke-
labakan murid-murid Perguruan Walet Merah yang
masih memiliki ilmu yang rendah. Sementara itu pe-
mimpin mereka yang memiliki kepandaian di atas se-
gala-galanya, cepat-cepat menutupi jalan pendengaran
mereka. Dalam kegusarannya itu, tiba-tiba Luga Ken-
cana sudah membentak:
"Bedebah bau kencur! Perlihatkanlah tampang
mu, suara tawamu yang tak ubahnya bagai ringkik ke-
ledai itu membuat aku mau muntah. Kuperintahkan
pada setan yang tertawa, tampakkanlah wajah sebe-
lum kami bertindak...!" teriak Luga Kencana dengan
matanya yang jelalatan.
"Ha... ha... ha...! Luga Kencana, bukan aku
menyanjung gurumu yang sebelumnya tiada kukenal.
Tapi menurut penglihatanku yang bodoh ini, ternyata
gurumu yang berusia sudah sangat lanjut itu memiliki
pandangan yang sangat luas! Kalau aku jadi engkau
lebih baik aku jadi tukang sayur di pasar sana, dari
pada menjadi ke tua perguruan namun tak becus ber-
buat apa-apa...!"
"Bangsat! Kau benar-benar perlu mendapat pe-
lajaran yang sangat setimpal!"
"Jangan bertindak gegabah, Luga! Kita masih
belum mengetahui siapa adanya orang itu." kata Sandi
Marta memberi teguran. Namun nampaknya Luga
Kencana merasa kurang senang dengan apa yang dika-
takan oleh gurunya. Yang menurut pendapatnya sen-
diri bersikap terlalu lembek.
"Keparat pengintip, ku hitung sampai tiga, an-
dai kau tak mau tunjukkan diri jangan salahkan aku
andai nanti aku bertindak salah...!"
Belum lagi Luga Kencana selesai dengan uca-
pannya, mendadak melayanglah sosok tubuh yang tak
lain Pendekar Hina Kelana adanya.
"Jliiik!"
Begitu ringannya Buang Sengketa menginjak-
kan kakinya di atas tanah berumput tak jauh di depan
mereka yang masih tetap duduk di atas punggung ku-
danya masing-masing.
Sejenak lamanya mereka saling berpandangan
satu sama lain, di antara mereka yang hadir di situ,
nampaknya Luga Kencanalah yang paling kaget dan
gusar. Bagaimana tidak, pemuda berpakaian kumal
dan selalu membawa-bawa periuknya ke mana pun dia
pergi. Manusia inilah yang telah membuat buntung
tangan kirinya. Dengan hilangnya tangan kiri itu dia
harus berlatih demi mengimbangi kekurangannya. Dia
sangat tersiksa dengan beban cacat yang di sandang-
nya selama ini. Lebih dari itu, menurut perhitungan-
nya, pemuda gembel itu secara sengaja telah begitu be-
rani melindungi anak seorang musuh yang mungkin
juga merupakan otak pencurian arca itu. Hanya kali
inilah kesempatan baginya untuk membalas. Ya benar-
benar harus dibalas dengan cara yang sangat setimpal
dan menyakitkan.
"Guru, bocah inilah yang telah membuat bun-
tung tanganku, dan si hina ini pulalah yang telah den-
gan sengaja melindungi anak seorang tukang tadah
Arca Harimau Kumbang yang hilang...!" lapornya tanpa
diminta. Sandi Marta melirik pada pemuda itu, selan-
jutnya kembali pula perhatiannya pada Luga Kencana
muridnya. Lama sekali mata mereka saling beradu
pandang. Hingga akhirnya dia pun berkata tegas:
"Benarkah kau yang telah membuat buntung
tangan muridku itu, hei bocah asing...?"
"Tidak salah, akulah yang telah dengan sangat
terpaksa membuntungi tangan muridmu itu, Orang
tua...!" jawabnya mengakui.
"Terpaksa karena dia telah menuduhku melin
dungi anak seorang tukang tadah arca yang sangat
menghebohkan itu, padahal, seperti yang kuketahui,
sama sekali aku tak pernah melihat ayahnya Dewi
Wening Asih menampung arca yang dicuri oleh Gembel
Pengemis dari Pulau Naga. Aku pernah datang ke ru-
mahnya yang berantakan. Lebih dari itu, secara senga-
ja atau tidak sengaja, muridmu itu telah pula menge-
jar-ngejar Rajenta sampai ke Lembah Gunung Baru
Siwak. Tuduhan muridmu itu sama sekali tidak bera-
lasan, Orang tua...!"
"Hemm, satu tindakan yang sangat tidak terpu-
ji...!" ucap si Pedang Walet Merah merasa kurang se-
nang. Bukan main marahnya Luga Kencana demi
mendengar apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa,
secara tidak langsung di depan gurunya sendiri. Pe-
muda dari Negeri Bunian itu telah dengan sengaja
membongkar semua apa yang seharusnya tidak boleh
diketahui oleh orang lain.
"Jangan percaya, Guru...! Budak hina itu sen-
gaja mencoba memutar balikkan fakta." teriak Luga
Kencana dengan kemarahan yang meluap-luap.
"Diamlah kau, Luga. Toh pada saatnya tiba pu-
la giliranmu untuk kutanya. Tukas Sandi Marta nam-
pak merasa kurang senang. Kini dia kembali pada
Pendekar Hina Kelana yang tetap berdiri tegak di tem-
patnya. Sejenak dia memperhatikan Pendekar Golok
Buntung itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Bocah, engkaukah yang berjuluk Pendekar Hi-
na Kelana, dengan Pusaka Golok Buntung dan Cam-
buk Gelap Sayutonya yang sangat menggemparkan
itu...?" Tiada berkedip pandangan mata pemuda mau-
pun Sandi Marta. Namun dengan nada merendah ak-
hirnya dia pun menjawab:
"Apalah artinya sebuah nama, hei orang tua.
Aku hanyalah manusia hina. Kepandaian yang kumili-
ki juga tidak seberapa, bila dibandingkan dengan ke-
pandaian orang-orang yang selalu memiliki pandangan
yang sangat luas dan memiliki kesabaran yang sangat
luar biasa...!"
Semua yang hadir di situ, menjadi terdiam. Se-
bagian terperangah. Namun Luga Kencana semakin ge-
lisah saja. Sementara gurunya sendiri merasa sangat
terkesan dengan apa yang dikatakan oleh pemuda itu.
Selanjutnya dia pun kembali menyambung.
"Menurutmu, apakah kata-kata muridku itu
dapat dipercaya...?" tanyanya membuat Buang Sengke-
ta tersentak kaget, tiada menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Namun dengan sangat hati-hati
dia pun menjawab.
"Mengenai benar tidaknya ucapan seseorang itu
semua tergantung pada kejujurannya. Aku sendiri ti-
dak dapat mengatakannya. Tapi orang tua juga kupi-
kir-pikir bisa menanyakannya pada Sang Hyang Wi-
di...!" Mendengar ucapan Buang Sengketa itu, Sandi
Marta atau si Pedang Walet nampak tergelak-gelak.
Luga Kencana sendiri merasa sangat heran, sebab se-
lama ini dia belum pernah melihat gurunya tertawa-
tawa sebebas itu. Dan kenyataan ini saja sudah mem-
buktikan bahwa agaknya Sandi Marta merasa sangat
setuju dengan apa yang dikatakan oleh Buang Sengke-
ta.
"Engkau masih begini muda, namun kau memi-
liki pandangan yang sangat luas tak salah kalau gu-
rumu, manusia yang memiliki umur terpanjang. Yaitu
si Bangkotan Koreng Seribu telah mengangkatmu men-
jadi seorang muridnya...!" Menyela si Pedang Walet Me-
rah di sela-sela gelak tawanya. Terkejutlah Pendekar
Hina Kelana, dia tiada menyangka kalau Sandi Marta
dapat mengetahui nama gurunya. Namun keterkejutan
itu tak berlangsung lama, karena sekejap kemudian
Sandi Marta telah berkata kembali.
"Bocah Hina Kelana adalah nama kebesaran-
mu. Siapakah namamu yang sesungguhnya...?"
"Namaku Buang Sengketa, Orang tua...!" Sandi
Marta nampak angguk-anggukkan kepalanya, lalu:
"Buang, katakanlah padaku yang telah lamur
ini, apakah kau mengetahui tentang arca itu...?" ta-
nyanya penuh harap. Buang Sengketa garuk-garuk
kepalanya yang tak gatal. Tetapi kemudian dengan ju-
jur dia menjawab juga.
"Mengetahui arca secara keseluruhan memang
tidak sama sekali. Tetapi menurut dugaanku yang da-
pat dipertanggungjawabkan kan. Arca itu sekarang be-
rada antara Gembel Pengemis dan salah seorang kem-
bar dari Pulau Bawean...!" Alis laki-laki renta itu
menggerimit, dia masih belum dapat mengerti apa arti
dari kata-kata Buang Sengketa.
"Apakah maksudmu...?"
"Orang tua kalaupun keteranganku ini agak
menyimpang, maafkanlah aku! Beberapa hari yang lalu
aku menjumpai salah seorang dari si kembar sedang
mengoyak-ngoyak mangsanya. Mereka hanyalah pen-
duduk desa biasa, aku berpendapat mereka sedang
melakukan teror di kalangan persilatan. Lebih dari itu,
sebelumnya mereka pernah bertarung dan kemudian
sama-sama menghilang dengan Gembel Pengemis dari
Pulau Naga. Kuat dugaanku bahwa di dalam arca itu
terdapat sebuah kitab yang di dalamnya ada memuat
tentang rahasia ilmu siluman...!"
"Hemm. Kiranya dugaanmu tiada meleset
Buang, aku juga berpendapat demikian. Nah apakah
kau berhasil menemukan mereka semuanya...?"
"Saat ini hanya salah seorang dari mereka saja
yang dapat ku binasakan, namun dua orang lainnya
masih dalam pencarian ku...." Sandi Marta nampak
menarik nafas lega. Selanjutnya setelah menoleh pada
muridnya, dia kembali berkata:
"Semua-semuanya sudah sangat jelas bagiku.
Aku percayakan pencarian arca itu padamu, tapi ingat
setelah arca itu kau dapat kembali, maka pulangkan-
lah pada yang berhak. Aku sendiri setelah tahu duduk
persoalannya menjadi terang begini, telah memu-
tuskan untuk kembali ke Bukit Keramat...!"
"Tapi, Guru...! Luga Kencana yang sejak tadi
hanya diam saja kini ikut menyela.
"Tapi apa...?" tanya gurunya dengan pandangan
kurang senang.
"Katanya guru ingin membantuku, tapi menga-
pa kini secara tiba-tiba saja memutuskan akan kemba-
li ke Bukit Keramat...?" protes Luga Kencana.
Sandi Marta nampak terdiam sesaat lamanya,
sama sekali dia tiada mengerti, mengapa muridnya
yang kini sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Cara
berbicaranya pun sudah sangat lain sekali. Ini yang
membuatnya semakin kecewa saja. Hingga akhirnya
dia mengambil keputusan yang sangat mengejutkan
bagi Luga Kencana.
"Sebuah kebenaran tidak dapat dicampur
adukkan dengan ketidak benaran. Kalau kau ingin
mencari jalan aman, bergabunglah dengan Buang
Sengketa dalam mencari arca itu. Namun kalau kau te-
tap menganggapnya sebagai seorang musuh, maka
kematianmu walau bagaimana pun ujudnya tidak
akan ku sesali, apalagi ku tangisi. Itulah pesanku, kau
masih punya kesempatan untuk menimbangnya, Lu-
ga...! Nah, sekarang aku harus kembali ke Bukit Kra
mat... selamat tinggal semuanya yang ada...!" Usai ber-
kata begitu, tanpa menoleh-noleh lagi, Sandi Marta
melesat meninggalkan punggung kuda tunggangannya.
Lalu dengan mempergunakan ilmu lari cepat yang di-
beri nama Bayu Berhembus, dalam sekedip mata saja
laki-laki tua renta itu pun telah menghilang dari pan-
dangan mata.
Seperginya Sandi Marta, Luga Kencana yang
memang tak pernah dapat memadamkan dendam
amarahnya nampaknya semakin bertambah berang sa-
ja melihat Buang Sengketa. Selanjutnya laki-laki se-
tengah umur itu pun mencela:
"Kunyuk gembel, pandai betul kau bermain
sandiwara di depan guruku. Gara-gara mulutmu yang
seperti mulut dewa, guruku jadi memusuhi ku. Jadah,
kau kira dengan mundurnya Sandi Marta dalam mem-
bantuku, lalu aku juga akan mengikuti jejaknya? Puih,
sekali-kali tidak. Hari ini juga semua kemarahan akan
aku lampiaskan padamu...!
"Luga Kencana. Kalau kau merupakan manusia
yang bijaksana, sudah barang tentu kau akan membu-
ru Gembel Pengemis, atau salah seorang si kembar
yang jelas-jelas menjadi biang racun dari semua per-
soalan yang ada... namun karena memang dasarnya
kau ini sejenisnya keledai tolol. Nampaknya kau lebih
mengutamakan dendam pribadi dari pada harus me-
nyelesaikan urusan demi kepentingan orang ba-
nyak...!"
"Bangsaaat, kau tak perlu menggurui ku. Sete-
lah membunuhmu aku pasti mencari mereka...!" maki
Luga Kencana. Seraya langsung memberi aba-aba pada
murid-muridnya yang berjumlah tidak lebih dari tiga
puluh orang. Sudah barang tentu, pendekar dari Nege-
ri Bunian itu menjadi sangat gusar sekali melihat ke
kerasan hati Luga Kencana. Maka untuk yang terakhir
kalinya sekali lagi dia memperingatkan.
"Ketua Perguruan Walet Merah, ku ingatkan
padamu sekali lagi jangan kau teruskan niatmu untuk
bertarung denganku. Kalian semua akan mati sia-
sia...!" menukas pendekar itu. Namun dengan tiada
memperdulikan apa yang dikatakan oleh Buang Seng-
keta, semua murid-murid Perguruan Walet Merah su-
dah mengepungnya. Rapat.
"Bocah hina, kerahkanlah segala apa yang kau
miliki. Andai tidak sekejap lagi nyawamu bakal me-
layang sia-sia...!"
"Serrbuuu...!" teriak salah seorang kepala mu-
rid pada kawan-kawannya. Tiada berbendung lagi, tiga
puluh orang murid itu akhirnya mengeroyok Pendekar
Hina Kelana dari segala penjuru.
* * *
SEBELAS
Maka dalam sekejap saja pertarungan sengit-
pun sudah tiada dapat dihindari lagi. Buang Sengketa
yang baru saja terkuras tenaganya tak ingin mengulur-
ulur waktu dengan percuma. Baginya salah satu jalan
untuk melumpuhkan kekuatan lawan adalah terletak
pada pimpinannya, kalau pimpinannya dapat dia lum-
puhkan adalah hal yang sangat mudah untuk menga-
tasi segala sepak terjang murid-muridnya. Maka tanpa
ayal-ayalan lagi, Pendekar Hina Kelana melesatkan tu-
buhnya mengarah pada Luga Kencana yang masih du-
duk di atas punggung kuda tunggangannya. Nampak-
nya pemimpin ketua Perguruan Walet Merah ini tiada
pernah menyangka kalau Buang Sengketa berinisiatif
untuk menyerang dirinya. Dalam keterbatasan apa
yang dipikirkannya, tanpa buang-buang waktu dia me-
lompat dari punggung kudanya.
"Hia...!" teriak Luga Kencana, lalu kirimkan pu-
kulan Walet Merah Menyergap Capung. Satu gelom-
bang angin pukulan menderu, menyertai berkelebat-
nya sinar ungu yang dilepaskan oleh Luga Kencana.
Bagai seekor udang, Buang melentikkan tubuhnya.
Sebentar dia berjumpalitan di udara, namun begitu
tubuhnya menukik ke bawah satu pukulan yang ber-
hawa sangat panas luar biasa menyambar dan me-
nyambuti pukulan yang dilepaskan oleh Luga Kenca-
na.
"Wuuut! Blaaang!"
Tanah tempat mereka berpijak terguncang he-
bat, murid-murid Perguruan Walet Merah yang datang
mengepung dan menghantamkan senjatanya nampak
berpelantingan ke segala penjuru arah. Sementara Lu-
ga Kencana sendiri nampak terbanting tubuhnya sete-
lah sempat bersalto beberapa kali. Pendekar Hina Ke-
lana yang sempat terhuyung-huyung, dengan sangat
cepat sekali segera menghindari babatan senjata la-
wan-lawannya yang tanpa ampun terus melabraknya.
"Ciaaat...!"
"Wuuus...!"
Pendekar Hina Kelana kembali melepaskan pu-
kulan Empat Anasir Kehidupan yang sangat ampuh
itu. Lalu dengan sangat cepat satu gelombang yang
berwarna ultra violet itu pun melabrak beberapa orang
yang datang menyongsong dengan senjatanya.
"Arrgghk...!"
Jerit dan lolongan maut membahana memenuhi
angkasa, manakala tujuh orang dari mereka sempat
tersambar pukulan maut itu. Nampak tubuh mereka
berpelantingan dengan keadaan hangus dan tercium
daging terbakar. Melihat kematian murid-muridnya
yang sangat mengenaskan itu, Luga Kencana yang su-
dah bangkit berdiri, kembali pada posisinya itu nam-
pak semakin bertambah gusar saja dibuatnya.
"Keparat kau, Gembel berperiuk. Kau bunuh
murid-muridku dengan cara demikian keji. Kubunuh
kau...!" teriak Luga Kencana, dan saat itu juga Buang
Sengketa se-dapat mungkin menghindari serangan ga-
nas yang dilancarkan oleh ketua Perguruan Walet Me-
rah.
"Haeeees...!"
Buang kembali berkelit, selanjutnya kirimkan
satu tendangan yang sangat telak ke arah bagian perut
dan selangkangan Luga Kencana. Namun di luar du-
gaan, Luga Kencana cabut pedang pusaka. Selanjutnya
pedang itu berkiblat dan menebas ke arah bagian kaki
Buang yang meluncur hampir mencapai sasarannya.
Buang Sengketa mengeluarkan seruan tertahan. Lalu
secepatnya tarik balik serangan yang dilancarkan oleh
Luga Kencana.
"Weees!"
Serangan pedang itu luput, sebaliknya tanpa
terduga-duga Luga Kencana kirimkan satu pukulan
yang sangat cepat. Angin kencang menderu menyertai
berhamburannya pukulan Walet Berkabung yang dile-
paskan oleh Luga Kencana. Nampaknya Buang Seng-
keta sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk
menghindari serangan yang datangnya sangat tiba-tiba
itu.
"Haiiiit...!"
Tubuh Buang Sengketa berjumpalitan ke bela-
kang, namun celakanya pukulan Walet Bergabung ma
sih terus saja memburunya. Pemuda itu kelabakan,
tapi dia masih sempat pukulkan tangannya untuk me-
lepaskan pukulan si Hina Kelana Merana yang paling
sangat dia andalkan itu.
Tak dapat disangkal lagi, selarik sinar berwarna
merah menyala segera menyambuti pukulan yang ber-
hawa panas dan berwarna keungu-unguan itu. Udara
di sekitar tempat pertarungan mendadak menjadi sa-
ngat panas luar biasa. Murid-murid Luga Kencana
nampak undur beberapa tindak, bahkan beberapa
orang di antaranya berloncatan menjauh. Saat itu dua
pukulan bertenaga sakti tak terhindari lagi sudah sal-
ing bertemu.
"Buuum!"
Tubuh Buang Sengketa terlempar hampir enam
tombak, dadanya terasa bagai remuk, sementara darah
pun menggelogok dari mulut dan hidungnya. Wajah
pemuda itu pucat sekali. Dia mengerang, namun kata-
katanya tak begitu jelas. Di lain pihak, keadaan yang
sama buruknya juga terjadi pada Luga Kencana. Tu-
buh ketua perguruan yang keras hati itupun sama ter-
lempar, bahkan darah lebih banyak mengalir ketim-
bang apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Namun
sungguh luar biasa kemampuan dan ketahanan tubuh
yang dimiliki oleh Luga Kencana. Sekejap kemudian
dia telah bangkit kembali. Lalu disekanya darah kental
yang berlelehan dari bibirnya, Selanjutnya dengan pe-
dang terhunus, beserta murid-muridnya dia melaku-
kan serangan kepada lawannya yang masih berusaha
mengembalikan kekuatannya.
Nampaknya kali ini tiada kesempatan lagi bagi
si pemuda untuk membebaskan diri dari serangan ki-
lat yang datangnya dari berbagai penjuru itu. Sesung-
guhnya dia merasa sangat panik sekali, namun nampaknya akal sehatnya masih dapat bekerja dengan
baik. Teringat pula olehnya akan ilmu Lengkingan Pe-
menggal Roh yang sangat luar biasa itu. Maka kesem-
patan yang sangat sempit itu cepat-cepat dia perguna-
kan untuk mengerahkan ajian Ilmu Pemenggal Roh.
Sementara itu serangan lawan-lawannya hanya tinggal
dua jengkal saja di atas kepalanya. Bahkan Luga Ken-
cana sendiri merasa sangat yakin dengan sekali saja
menebaskan pedangnya ke arah bagian leher si pe-
muda. Maka menggelindinglah kepala pemuda dari Ne-
geri Bunian itu. Maka dengan semangat yang mengge-
bu-gebu, dia pun semakin mempercepat gerakannya.
"Shaaaa...!"
"Heeiiiik...!"
Setinggi langit Buang Sengketa menjerit, lalu
bersamaan dengan jeritannya yang tinggi menggelegar,
bahkan sampai membuat luruh ranting, dan membuat
goyang tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Maka lebih dari sepuluh orang murid-murid dari Per-
guruan Walet Merah terkapar menemui ajalnya. Dari
telinga mengalir darah kental tiada henti, dan dari se-
kian banyaknya murid-murid Perguruan Walet Merah
hanya tersisa lebih kurang enam orang saja. Ini adalah
satu kejadian yang sangat luar biasa bagi Luga Kenca-
na. Selama hidupnya belum sekalipun dia melihat ke-
jadian yang mengejutkan ini. Bahkan dia sendiri mera-
sakan betapa jantungnya sampai tergetar, sementara
kepalanya juga berdenyut-denyut sakit luar biasa. An-
dai saja dia tidak cepat-cepat menutupi jalan indranya,
sudah barang tentu dia juga menemui ajal seperti yang
dialami oleh murid-muridnya yang lain. Sungguhpun
begitu mana mau dia menyerah begitu saja, sudah
menjadi prinsip hidupnya. Lebih baik mati berkalang
tanah daripada hidup bercermin bangkai. Hatinya
memang keras bagaikan baja, tetapi perhitungannya
terhadap sebuah kenyataan yang terjadi selalu saja
membawanya pada prinsip yang salah.
Kini sungguhpun langkahnya masih terhuyung-
huyung, dengan dibantu oleh beberapa gelintir murid-
muridnya, dia kembali melabrak Buang Sengketa yang
sudah siap-siap dengan posisinya. Demi melihat kene-
katan Luga Kencana, Pendekar Hina Kelana yang su-
dah merasa tidak sampai hati itu kembali memperin-
gatkan:
"Luga Kencana! Apakah engkau hendak men-
gorbankan seluruh murid-muridmu hanya demi ingin
melampiaskan dendammu yang tiada beralasan itu...?"
"Persetan...! Semuanya sudah kepalang basah,
Gembel berperiuk. Sungguhpun engkau memiliki ke-
pandaian setinggi ilmu para dewa. Walaupun engkau
punya lengkingan suara yang dapat meruntuhkan ba-
tu gunung, jangan dikira aku akan mundur walau ba-
rang selangkah pun. Huh, katanya kau memiliki Pusa-
ka Golok Buntung yang sangat kau andalkan, setan-
setan itu bilang kau juga memiliki Cambuk Gelap
Sayuto yang sangat hebat. Cek... cek... cek...! Aku jadi
kepingin lihat sampai di mana kehebatan pusaka yang
membuat namamu terkenal di mana-mana...!" teriak
Luga Kencana menantang. Pendekar Hina Kelana
hanya tersenyum getir demi mendengar apa yang dika-
takan oleh Luga Kencana. Kemudian dengan nada
sangat berwibawa dia menjawab:
"Luga Kencana manusia tolol! Di dunia ini tiada
manusia yang melebihi kepandaian dewa. Kalau kau
ingin melihat bagaimana hebatnya Pusaka Golok Bun-
tung, maka tak pernah seorang pun dari semua mu-
suh-musuhku yang mampu melihatnya, karena sebe-
lum maksudnya kesampaian orang-orang itu sudah
keburu mampus tanpa dapat mengerti apa sesung-
guhnya yang telah dan pernah terjadi pada dirinya...!"
"Kau terlalu menjunjung dirimu setinggi langit,
Gembel hina! Mampuslah!" Serentak dengan makian-
nya itu, tanpa sungkan-sungkan lagi dia telah meng-
gempur Pendekar Hina Kelana dengan semangat yang
menggebu-gebu. Buang secepatnya berkelebat meng-
hindar, dengan mempergunakan jurus tangan kosong
si Jadah Terbuang dia melayani serangan-serangan
ganas yang dilakukan oleh Luga Kencana dan bebera-
pa murid-muridnya.
"Kuperingatkan padamu sekali lagi, Ketua Per-
guruan Walet Merah! Urungkanlah seranganmu. Sekali
lagi... urungkan...!" teriak pemuda itu. Kini dia sudah
mulai berpikir-pikir untuk mempergunakan Pusaka
Golok Buntung yang terselip di pinggangnya.
"Hiaaat...!" Pedang di tangan Luga Kencana da-
tang menggebu, begitu pun senjata-senjata muridnya.
"Wut! Wut! Wut!"
"Sriiiiiiing! Trang, craaaang...!"
Terlihat bunga api berpijaran manakala senja-
ta-senjata mereka berpatahan begitu berbenturan den-
gan senjata yang ada di dalam genggaman Pendekar
Hina Kelana. Hanya tubuh Luga Kencana saja yang ti-
dak terhuyung-huyung, sementara murid-muridnya
tunggang langgang.
Sementara itu di tangan Buang Sengketa kini
sudah tergenggam sebuah senjata yang memancarkan
sinar merah menyala. Tak salah lagi itulah Pusaka Go-
lok Buntung yang sangat luar biasa itu. Udara di seki-
tar tempat itu mendadak berubah dingin, tubuh la-
wan-lawannya terlihat menggigil. Buang Sengketa me-
mandang tajam pada mereka ini, sementara dari bibir-
nya mengeluarkan bunyi mendesis-desis bagaikan
seekor ular piton yang sedang marah.
"Inilah Pusaka Golok Buntung yang ingin kau
lihat itu, Luga Kencana! Sekarang bersiap-siaplah un-
tuk menghadapi ketajamannya." Seusai dengan uca-
pannya itu, tubuh Buang Sengketa berkelebat cepat.
Golok di tangannya menyambar-nyambar sehingga
menimbulkan angin menderu. Dalam waktu tidak lebih
sejurus saja, baik Luga Kencana dan murid-muridnya
menjadi kelabakan.
"Hiaat...!" Luga Kencana berusaha mengke-
lit babatan senjata maut lawannya. Cepat-cepat dita-
dahkannya pedang miliknya.
"Traaang!"
Senjata di tangan Luga Kencana terpental, dan
patah di beberapa bagian. Maka semakin bertambah
gugup sajalah Ketua Perguruan Walet Merah ini. Tetapi
belum lagi dia sempat menarik nafas, senjata di tangan
Buang Sengketa berkelebat mengarah pada bagian le-
hernya.
"Creees...."
Luga Kencana terhuyung-huyung. Kedua bola
matanya bagai mau melompat ke luar. Secara gelaga-
pan dia berusaha menekap bagian tenggorokannya
yang sudah terputus itu. Namun darah tetap saja
membanjir tiada tercegah lagi, selanjutnya tubuh Luga
Kencana terhuyung-huyung. Kemudian tanpa mampu
berkata sepatah kata pun tubuh laki-laki tersuruk ke
bumi dengan darah masih berlelehan. Maka tewaslah
Ketua Perguruan Walet Merah yang sangat keras kepa-
la itu dengan keadaan yang sangat menyedihkan seka-
li. Sedetik kemudian Buang memandang pada sisa-sisa
murid Perguruan Walet Merah yang hanya tinggal be-
berapa orang lagi.
"Siapa yang ingin menyusul gu
runya...?"tanyanya dengan nada berapi-api. Secara se-
rentak:
"Ja... jangan bunuh kami, Tuan pendekar! Ka-
mi ini orang susah, berilah kami kesempatan untuk
hidup...!" seru mereka beramai-ramai. Alis Buang
Sengketa menggerimik. Satu demi satu Buang Sengke-
ta memandang pada orang-orang yang duduk bersim-
puh tidak begitu jauh di depannya. Dia merasa sangat
iba sekali.
"Baiklah, aku akan mengampuni kalian! Seka-
rang cepat-cepat merat dari hadapanku sebelum pen-
dirianku berubah...!"
"Terima kasih atas pengampunan pendekar.
Kami mohon diri...!" Setelah berkata begitu, secara se-
rentak mereka segera berlompatan di atas punggung
kudanya masing-masing. Secepatnya pula mereka
menggebrak kuda. Selanjutnya menghilang dari pan-
dangan pendekar itu.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi,
Buang Sengketa segera menuruni lereng bukit. Tetapi
setelah sampai di sana dia tidak melihat Dewi Wening
Asih dan juga ayahnya. Pemuda ini segera meneliti
tempat sekitar itu. Namun apa yang dicari-carinya juga
tiada di tempat.
"Hemm. Agaknya dia sudah berangkat ke dae-
rah lembah Gunung Batu Siwak!
Baiknya aku cepat-cepat menyusul mereka...!"
Maka melesatlah tubuh pendekar ini bagaikan anak
panah. Semakin lama gerakan larinya semakin ber-
tambah cepat. Tak salah karena saat itu dia tengah
mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian Sapu Angin.
* * *
DUA BELAS
Saat itu setelah merasa agak sembuh dari lu-
kanya, Rajenta dan anaknya yaitu Dewi Wening Asih
segera meninggalkan lereng bukit. Mulanya Rajenta
merasa kurang setuju dengan apa yang diusulkan oleh
putri tunggalnya itu. Sebab sebagai orang yang telah
ditolong, dia pun tak menginginkan kalau penolongnya
mengalami sesuatu yang tiada dikehendaki. Dia sangat
tahu betapa hebatnya Luga Kencana dan orang-orang-
nya. Akan tetapi karena Dewi Wening Asih memberita-
hu bahwa semua itu atas perintah Pendekar Hina Ke-
lana, maka dengan berat hati akhirnya dia menurut
apa yang dikatakan oleh putrinya itu. Dalam keadaan
Buang Sengketa masih bertarung dengan Luga Kenca-
na dan murid-muridnya, keduanya telah mulai berge-
rak meninggalkan tempat itu. Tujuan memang tak sa-
lah lagi, yaitu ke lembah Gunung Batu Siwak. Karena
memang jarak antara lereng bukit dengan lembah Gu-
nung Batu Siwak tidak seberapa lagi jauhnya. Maka
setelah mengerahkan ilmu lari cepatnya tidak sampai
sejam kemudian mereka telah sampai di perbatasan le-
reng Gunung Batu Siwak dengan lereng bukit tempat
Buang Sengketa sedang bertarung melawan Luga Ken-
cana dan murid-muridnya.
Namun begitu sampai di perbatasan lembah
Gunung Batu Siwak betapa terkejutnya Rajenta begitu
melihat kehadiran orang yang tak asing lagi dalam hi-
dupnya. Gembel Pengemis dari Pulau Naga. Batin Ra-
jenta merasa heran dan sangat penasaran. Namun
keyakinannya bahwa arca itu ada bersamanya sema-
kin terbukti begitu melihat sebuah buntalan mengge-
lantung di bahu dedengkot manusia sesat itu. Maka
tanpa sungkan-sungkan lagi begitu sampai di depan
Gembel Pengemis dia sudah langsung menukas:
"Saudara Gembel Pengemis, bertahun-tahun ki-
ta bersahabat. Sama sekali aku tiada menyangka ka-
lau akhirnya kau malah membuat susah semua
orang...!"
Gembel Pengemis nampak sangat kaget sudah
lebih setengah hari dia menunggu kedatangan para
kembrat-kebratnya, yaitu si Kembar Pedang Dewa yang
sedang melakukan tugas mengobrak-abrik markas kau
golongan putih. Dia sendiri setelah tidak menemukan
murid dan guru ketua Perguruan Walet Merah segera
menghancurkan beberapa perguruan kecil golongan
putih lainnya. Lalu setelah segalanya terselesaikan dia
segera menuju tempat itu, Namun siapa sangka apa
yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan
yang dihadapinya. Maka kini tanpa sungkan-sungkan
lagi, dia langsung berhadapan dengan Rajenta bekas,
sahabat lamanya itu.
"Ah... ah... ah...! Selamat datang sahabat lama.
Tapi ada apakah gerangan sehingga kemarahan mu
membawa kemarahan yang tiada pernah kuperhitung-
kan...?" tanya Gembel Pengemis masih berpura-pura.
"Sialan, gara-gara Arca Harimau Kumbang itu,
keluargaku jadi berantakan. Istriku menjadi korban,
bahkan nyaris aku dan anakku juga...!"
"Hei... bicaramu ngelantur, Sobat. Aku tak tahu
menahu tentang arca itu kau jangan menuduhku yang
bukan-bukan...!"
"Saudara Gembel Pengemis, kalau engkau ma-
sih menghargai sebuah persahabatan, coba kau buka-
lah bungkusan yang menggelantung di pundakmu
itu?" perintah Rajenta sudah tak mampu menahan
kemarahannya lagi.
"Oh... oh... oh...! Permintaanmu itu tak mung-
kin dapat kulakukan, sebab benda ini merupakan ba-
rang titipan orang lain...!"
"Paling juga barang titipan si Kembar Pedang
Dewa yang telah mampus salah seorang di antaranya.
Lebih baik kau kembalikan saja arca itu padaku agar
area itu kukembalikan pada yang berhak...!" teriak Ra-
jenta.
"Hmm. Kalau begitu kau bermaksud mengang-
kangi arca yang kubawa ini maka baiknya aku harus
menyingkir jauh-jauh darimu...."
"Heiiit... mau minggat ke mana kau, Gembel
Pengemis...?" Berkata begitu dia langsung kirimkan sa-
tu pukulan yang sangat telak. Lalu tanpa tinggal diam
dia pun melayani serangan gencar yang dilakukan oleh
Rajenta. Hawa dingin dan hawa panas saling memburu
dengan kecepatan yang sangat sulit untuk diukur.
"Blumm...!"
Dua-duanya terpelanting. Pukulan yang sangat
besar dan disertai tenaga sakti itu pun membuat ke-
duanya langsung muntah darah. Sementara itu nam-
paknya Gembel Pengemis menyadari bahwa Rajenta
memang bermaksud ingin mencelakainya. Bagaimana
pun dia tidak ingin arca itu sampai terjatuh ke tangan
orang lain.
"Rajenta, nampaknya kau benar-benar meng-
hendaki pertarungan yang sangat berkesan dalam hi-
dup kita. Baiklah, bagiku tiada pilihan lagi. Tapi ya-
kinkah kau, bahwa berhadapan denganku selamanya
kau tak mungkin menang...!" jerit Gembel Pengemis
tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Hiaat...!"
Tongkat di tangan Gembel Pengemis yang ber-
kepala Naga Merah berkelebat menyongsong datangnya
pukulan yang dilepas oleh Rajenta.
Maka tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras
pun terjadilah. Lagi-lagi kedua-duanya sama-sama
terpental.
"Sialan! Nampaknya kau tak mungkin mengu-
lur-ulur waktu lagi. Aku merasa yakin kalau aku robah
diriku dengan sosok Siluman Harimau Kumbang, Ra-
jenta pasti tidak dapat mengalahkan aku." batinnya
penuh harap. Tak ayal lagi ajian Siluman Harimau
Kumbang pun segera di rapalnya. Maka perubahan-
perubahan pun terjadilah. Selanjutnya dengan tiga kali
berlompatan, saat Gembel Pengemis menjejakkan diri,
tubuhnya telah berubah menjadi ujud Siluman Hari-
mau Kumbang.
Hanya Dewi Wening Asih saja yang nampak
sangat terkejut demi melihat perubahan-perubahan
yang terjadi. Sementara Rajenta sendiri nampak terse-
nyum sinis.
"Hemm. Tak salah dugaan pemuda itu, kiranya
kaulah yang selama ini membuat gempar dunia persi-
latan. Jangan kira aku pun tak dapat berubah seper-
timu...! menggeram Rajenta. Selanjutnya dengan tubuh
berlompatan, maka sekejap kemudian setelah merapal
ajian Siluman Harimau Kumbang, tubuh Rajenta pun
telah berubah pula menjadi Siluman Harimau Kum-
bang. Dewi Wening Asih menjadi terbelalak karenanya,
dia pun tidak pernah menyangka kalau ayahnya juga
dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang.
Pada saat itu Buang Sengketa juga sudah sampai di
tempat itu, maka begitu menghampiri Dewi Wening
Asih, dia langsung bertanya.
"Mana ayahmu...?" tanyanya sembari memper-
hatikan kedua ekor siluman yang sedang terlibat per-
tarungan sengit.
"Kelana... maafkan ayahku, dia rupanya juga
dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang."
kata Dewi Wening Asih memelas. Mendengar ucapan
Dewi Wening Asih, Buang Sengketa tiada bereaksi. Se-
baliknya dia memusatkan indra keenamnya untuk
menentukan sebuah kebenaran. Seperti diketahui
Buang Sengketa juga masih merupakan keturunan ra-
ja di alam kedua. Begitu pikirannya menyatu dengan
hatinya, maka terlihat jelaslah, bahwa Rajenta meru-
pakan utusan guru para siluman, dan dia pun sudah
dapat memastikan yang mana Rajenta dan yang mana
Gembel Pengemis. Sekejap dia membuka matanya
kembali.
"Aku harus segera turun membantu ayah-
mu...?!" katanya mantap.
"Tapi kau tak tahu yang mana ayahku yang
mana pula lawannya...!" menukas Dewi Wening Asih
menukas dengan ketakutan.
"Diamlah, kebenaran nanti yang akan menga-
takannya...!" Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi
Buang Sengketa segera turun ke kalangan pertempu-
ran. Sebagai orang yang telah berpengalaman, Buang
Sengketa cukup menyadari bahwa lawannya akan san-
gat kebal dengan pukulan sakti apa pun. Dan dia pun
masih ingat pesan gurunya, si Bangkotan Koreng Seri-
bu. Bagian ekor setiap siluman adalah merupakan ke-
pala dari manusianya, sedang bagian kepala adalah
merupakan kaki dari manusianya.
"Paman Rajenta, aku tahu engkau yang mana
di antara satu. Mewakili paman dan guru para silu-
man. Kuharap engkau mau mundur...!" teriak Buang
Sengketa saat itu telah pula menggenggam Golok Bun-
tung dan Cambuk Gelap Sayuto di tangannya.
"Grauuuung...!"
Serentak dengan raungannya itu, siluman pen-
jelmaan Rajenta mundur, selanjutnya setelah berjum-
palitan beberapa kali, maka dia kembali dalam ujud-
nya semula.
Saat itu golok di tangan Pendekar Hina Kelana
telah menderu disertai suara-suara lecutan membaha-
na. Saat itu juga begitu Cambuk Gelap Sayuto melecut
di udara, maka bertiuplah angin yang sangat kencang.
Petir dan halilintar saling sambung menyambung, sua-
sana di sekitarnya mendadak menjadi gelap gulita.
Langit yang tadinya cerah kini telah gelap diliputi awan
hitam. Kenyataan ini membuat terkejut semua pihak
yang menyaksikan pertarungan itu. Tidak terkecuali
siluman penjelmaan Gembel Pengemis dari Pulau Na-
ga.
"Hoaaar.... Grauuuuung!"
Siluman Harimau Kumbang memekik marah,
tanpa perduli lagi akan keselamatannya dia langsung
menyongsong Pendekar Hina Kelana dengan taring dan
kuku-kukunya yang tajam. Satu kebetulan bagi Buang
Sengketa untuk segera dapat menghabisi lawannya.
"Grrrrr...!"
"Ctar... ctar...!"
Cambuk Gelap Sayuto kembali menyambut. Si-
luman Harimau Kumbang nampaknya menjadi kalap,
tanpa mengenal rasa takut dia menerjang kembali. Da-
lam kegelapan itu sinar merah yang memancar dari
senjata di tangan Buang Sengketa berkelebat me-
nyambar pada bagian ekornya.
"Craass.... Sraaas...!" Harimau itu menggerung,
tubuhnya menggelusur begitu tersambar ketajaman
golok di tangan Pendekar Hina Kelana. Sesaat lamanya
tubuhnya berkelojotan. Perubahan pun terjadi kembali
sehingga menjelmalah menjadi ujud yang sebenarnya.
Dalam pada itu terdengar suara Pendekar Hina Kelana
yang bergerak menjauh.
"Ambillah arca itu, kembalikan ke lembah Gu-
nung Batu Siwak, agar karma yang menimpa segera
berakhir...!" Suara peringatan itu terdengar sayup-
sayup bersama berhembusnya angin dan lenyapnya
kabut tebal yang menyertainya.
Begitu suasana berubah menjadi terang kemba-
li. Hanya terdapat tubuh Gembel Pengemis saja yang
terkapar dengan jiwa melayang. Rupanya mempergu-
nakan kesempatan itu, Buang Sengketa telah pergi me-
ninggalkan tempat itu.
"Dia telah pergi...!" Dengan lesu Rajenta beru-
cap sambil mengambil Arca Harimau Kumbang yang
ada dalam bungkusan di punggung Gembel Pengemis
yang hampir putus batang lehernya.
"Mungkin kita tidak mungkin lagi bertemu den-
gannya ayah...!" keluh Dewi Wening Asih sendu.
"Memangnya kenapa...?" tanya Rajenta tanpa
menoleh.
"Aku terlalu sering menyakiti hatinya, padah-
al... padahal, aku terlalu mencintainya...." kata gadis
itu tertunduk sedih. Setelah mengambil arca itu, ke-
mudian Rajenta mengelus kepala anaknya.
"Ada kalanya orang-orang yang kita cintai begi-
tu saja pergi. Tapi yakinlah suatu saat nanti juga kita
akan bertemu dengannya...!" ujar Rajenta. Kemudian
tanpa berkata-kata lagi, mereka segera menuju lembah
Gunung Batu Siwak untuk mengembalikan area itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar