..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE KEMBALINYA HARIMAU SILUMAN KUMBANG

Kembalinya Siluman Harimau Kumbang

 

KEMBALINYA SILUMAN HARIMAU 

KUMBANG

Oleh D. Affandi

Cetakan Pertama, 1991

Penerbit Mutiara, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 014:

Kembalinya Siluman Harimau Kumbang


SATU


Dengan sekali genjot, tubuhnya yang kurus ke-

rempeng itu, telah pula melayang begitu ringannya. 

Seolah tubuhnya yang kurus kerempeng tiada memiliki 

bobot. Laki-laki itu memang sudah sangat tua sekali, 

bahkan mungkin usianya sudah lebih dari delapan pu-

luh tahun. Namun sungguh pun begitu dia masih keli-

hatan lincah. Tidak pernah terlihat kelelahan mem-

bayang di wajahnya yang sudah keriputan di sana sini. 

Laki-laki berkepala botak plontos itu dalam lingkungan 

tempat tinggalnya dikenal sebagai orang tua yang san-

gat arif memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Sela-

ma malang melintang dalam dunia persilatan beberapa 

puluh tahun yang lalu. Dia dikenal sebagai si Pedang 

Walet Merah, ketimbang namanya sendiri Sandi Marta. 

Namun sudah lebih dari dua puluh tahun semenjak 

usianya menginjak enam puluh tahun, Sandi Marta 

mulai mengasingkan diri di Bukit Kramat. Selanjutnya 

nama besarnya yang menghebohkan itu pun sudah 

mulai jarang diingat orang, lebih tepat terlupakan.

Walau begitu, sungguhpun dia telah lama me-

ninggalkan dunia persilatan tapi ajaran silatnya terus 

berkembang, termasuk juga jurus-jurus Pedang Walet 

Merah yang diciptakannya masih segani oleh kalangan 

persilatan sampai saat itu. Bahkan murid tunggalnya 

telah pula mendirikan sebuah perguruan besar yang 

bernama Perguruan Walet Merah. Perguruan itu seper-

ti kabar yang didengarnya dipercaya sebagai tempat 

penyimpanan Arca Harimau Kumbang lambang persa-

tuan dari kaum bergolongan lurus. Kabar yang dia 

dengar itu saja bagi Sandi Marta atau si Pedang Walet 

Merah merupakan satu kebanggaan tersendiri. Sebab


dengan berdirinya perguruan itu merupakan satu buk-

ti bahwa muridnya Luga Kencana memang benar telah 

memenuhi pesan-pesan yang dulu pernah dia sampai-

kan pada murid tunggal itu.

Pada saat itu, Sandi Marta nampak sedang di 

atas sebongkah batu yang sangat licin. Sementara itu 

tidak begitu jauh di depannya nampak pula berdiri te-

gak dua batang pohon yang sangat besar. Mata tua 

Sandi Marta memandang sejurus pada pohon yang 

berdiri kokoh itu. Lalu alisnya yang sudah putih ke-

coklatan itu pun mengernyit. Selanjutnya dengan posi-

si tegak, sebelah tangannya sudah terangkat tinggi-

tinggi. Secara perlahan kaki kanan mulai menekuk, se-

lanjutnya dengan mengerahkan setengah dari tenaga 

dalam yang dia miliki, selangkah demi selangkah dia 

undur dari tempatnya berpijak. Sejenak dia memu-

satkan segala pemikirannya. Secara perlahan tenaga 

sakti itu mengalir ke bagian telapak tangannya. Nam-

pak uap putih mengepul di sana lalu tubuhnya yang 

kurus ceking itu pun menggeletar.

Selanjutnya dengan disertai jeritan melengking 

Sandi Marta pukulkan kedua tangannya mengarah pa-

da kedua pohon itu.

"Wuuss!"

Terdengar suara berdebum manakala kedua 

pohon itu roboh terhantam pukulan yang dilakukan 

oleh Sandi Marta. Maka tak pelak lagi debu-debu pun 

beterbangan me-ngepul ke udara. Sejenak Sandi Marta 

memandang kembali pada apa yang baru saja dilaku-

kannya. Selanjutnya seorang diri dia berkata:

"Ha... kek... kek...! Aku ini sudah tua bangka. 

Tapi pukulan Sepasang Walet Memburu Capung masih 

juga sebaik yang dulu. Padahal telah lama aku tiada 

lagi mempergunakannya. Hemm...!" Kakek Sandi Marta


bergumam. Selanjutnya sambil melayangkan pandan-

gan matanya jauh-jauh dia berkata lagi seorang diri. 

"Andai saja, hidup ini bisa terulang, jika saja aku da-

pat kembali seperti seorang bayi yang baru dilahirkan. 

Maka aku akan memilih hidup sebagaimana layaknya 

manusia biasa saja. Tidak perlu rumit membasmi sega-

la sepak terjang segala kucing kurap, dan tiada pula 

perlu membasmi tikus-tikus yang berebut kekua-

saan...!" ujar si Pedang Walet Merah yang rada-rada 

budek ini. Sejenak laki-laki berkepala botak plontos itu 

berjalan hilir mudik di atas batu berlumut sangat tebal 

lagi licin. Wajahnya nampak menunduk, dalam tertun-

duk itu, nampaklah gagang sebilah pedang berkepala 

Walet Merah tersembul di bagian tengkuknya yang 

berpunuk bagaikan sapi. Namun bukan daging, me-

lainkan tonjolan tulang tua yang sudah merapuh.

Sementara itu dari tempat si Pedang Walet Me-

rah berdiri tegak, nampak tiga ekor kuda berwarna hi-

tam sedang dipacu sangat cepat oleh diri yang duduk 

di atasnya. Adapun kuda yang berada di bagian depan, 

nampak seorang laki-laki bertangan buntung di bagian 

kanan. Laki-laki itu berbadan tinggi, sungguhpun ti-

dak begitu gemuk, tapi bagi si Pedang Walet Merah 

akan tahu bahwa orang itu tak lain merupakan murid 

tunggalnya. Dan dua orang lainnya merupakan murid-

murid tingkat satu dan dua dari si orang penunggang 

kuda itu.

Tidak sampai sepemakan sirih, tiga orang pe-

nunggang kuda itu telah membelok ke sebuah tikun-

gan yang sangat tajam. Seperti yang diharapkannya, 

begitu mereka sudah melewati tikungan yang kanan 

kirinya merupakan tebing lumut. Maka terlihat oleh 

mereka si Pedang Walet Merah duduk ongkang-

ongkang sambi menimang-nimang sebuah pedang ber


kepala Burung Walet Merah yang pada jamannya per-

nah menggemparkan kaum persilatan.

Kakek tua itu masih tenggelam dalam keasyi-

kannya, bahkan dia pun sampai tidak menyadari ka-

lau saat itu derap langkah kuda semakin mendekat ke 

arahnya.

"Guru...!" Berseru Luga Kencana begitu dia me-

lompat turun dari punggung kudanya. Seraya sudah 

menjatuhkan diri kemudian bersimpuh tujuh meter di 

bawah batu besar tempat di mana si Pedang Walet Me-

rah berada. Laki-laki tua berkepala botak plontos itu 

sesaat mengalihkan perhatian-nya dari pedang yang 

berada di atas telapak tangannya kepada laki-laki se-

tengah baya yang bersimpuh di bawah batu itu. Begitu 

dia mengenali siapa adanya laki-laki yang duduk ber-

simpuh di hadapannya itu, sontak matanya terbelalak 

lebar. Alis mata menggerimit. Luga Kencana ketua Per-

guruan Walet Merah. Itu pasti, namun yang membuat 

Sandi Marta terkejut adalah mengenai tangan Luga 

Kencana yang terkutung. Apakah yang telah terjadi 

atas diri murid tunggalnya itu? Merasa sangat penasa-

ran, maka sekejap kemudian dia sudah bertanya.

"Luga Kencana! Apa yang telah terjadi atas di-

rimu...?" Yang ditanya sebentar menundukkan kepa-

lanya, menjura lalu dengan wajah masih tertunduk dia 

menjawab pelan.

"Guru! Celaka guru...!" ucap Luga Kencana 

mendadak saja menjadi gugup tidak karuan. Sandi 

Marta agak telengkan kepalanya, dia merasa kurang 

jelas dengan apa yang dikatakan oleh murid tunggal-

nya itu. Maka: 

"Sialan kau Luga! Kau ini, sudah sepuluh ta-

hun tidak ketemu dengan gurumu, tiba-tiba begitu kau 

muncul telah berani pula kau memakiku, celaka...?"


gerutu Sandi Marta yang salah dengar. Luga Kencana 

geleng-gelengkan kepalanya. Sama sekali dia tidak 

menyangka kalau penyakit gurunya yang budek itu 

semakin bertambah parah saja. Akhirnya dengan san-

gat sabar dan setengah menjura dia berucap kembali.

"Maaf, bukan itu maksudku, Guru! Sama sekali 

murid tidak ada niatan untuk memaki orang tua yang 

paling murid hormati. Maksud murid datang ke mari 

adalah ingin menyampaikan kabar tentang lenyapnya 

Arca Harimau Kumbang dari Perguruan Walet Me-

rah...!" Agak keras suara Luga Kencana, hingga mem-

buat Sandi Marta tersentak dan merasa dibentak.

"Kurang asem, berani kau membentak ku. Aku 

masih belum tuli, Luga! Kalau setengah budek me-

mang iya...!" Sandi Marta diam sesaat. Sepasang ma-

tanya berputar-putar memandang Luga Kencana dan 

murid dari muridnya itu silih berganti. Selanjutnya 

dengan sorot mata kurang senang dia berkata lirih 

namun penuh teguran: "Manusia memang selalu begi-

tu, andai dia merasa senang dalam hidupnya, dia sela-

lu lupa pada asal usulnya. Gemerlapnya dunia yang 

sesungguhnya cuma sedikit itu telah pula membuat-

nya terlena. Namun sekali dia jatuh, dia akan meren-

gek meminta bantuan siapa saja. Contohnya seperti 

kau ini Luga Kencana. Kedatanganmu jauh-jauh dari 

Perguruan Walet Merah sudah tentu membawa tujuan 

yang pada akhirnya akan menyeret-nyeret ku kembali 

ke dunia ramai bukan...?"

Luga Kencana wajahnya sebentar memerah di 

lain saat berubah pula memucat. Sama sekali dia tak 

berani memandang wajah gurunya. Memang benar dia 

akui, bahwa selama hampir sepuluh tahun dia tidak 

pernah menjenguk gurunya yang mengasingkan diri di 

Bukit Kramat. Hal itu sesungguhnya bukan berarti Lu


ga Kencana tidak ingat dengan segala apa yang pernah 

diberikan oleh laki-laki berkepala botak ini. Tidak sa-

ma sekali. Selama ini Luga Kencana sangat sibuk den-

gan segala macam urusan perguruan. Belum lagi uru-

sannya sebagai orang yang sangat dipercaya untuk 

menyimpan dan menjaga keselamatan Arca Harimau 

Kumbang yang merupakan lambang persatuan kaum 

persilatan bergolongan lurus. Namun walaupun arca 

itu sudah dijaga sedemikian ketatnya, masih saja arca 

tersebut masih dapat di curi oleh seseorang.

"Guru... maafkanlah. Murid memang salah ka-

rena tidak pernah mengunjungi guru di sini. Tapi se-

mua itu karena kesibukan murid dalam mengatur su-

asana perguruan yang masih semerawut...!" Si Pedang 

Walet Merah tersenyum mencemooh begitu mendengar 

pengakuan muridnya. Lalu dengan sikap acuh kakek 

berkepala botak itu menukas.

"Kalau kau turuti, segala urusan dunia itu tia-

da habis-habisnya. Apa yang kau kejar Luga...? Ter-

nyata apa yang kau lakukan hasilnya. tetap sia-sia 

bukan? Arca itu kini lenyap, tanganmu sudah kau 

korbankan pula."

Luga Kencana hanya menarik nafas pendek, 

mendadak dadanya terasa menyesak diliputi rasa ber-

salah.

"Tapi guru, tanganku ini sampai terkutung bu-

kan karena bertarung dengan pencuri arca itu. Aku te-

lah terlibat bentrokan dengan seorang pemuda gembel 

yang menamakan dirinya sebagai si Hina Kelana (Da-

lam Episode Siluman Harimau Kumbang)." Terbelalak 

kedua bola mata Sandi Marta begitu mendengar penje-

lasan muridnya. Sama sekali dia tiada menduga kalau 

hari itu dia mendengar pengakuan bahwa muridnya 

pernah bertemu dan bahkan sampai bentrok dengan


Pendekar Hina Kelana yang sangat menghebohkan itu. 

Hemm. Sungguh sebagai seorang guru dan sekaligus 

merupakan orang tua angkatnya dia ingin mendengar 

sendiri seberapa hebat pendekar yang tak pernah ken-

al kompromi dalam membasmi segala bentuk kejaha-

tan.

"Luga Kencana, kau sampai berselisih paham 

dengan bocah keturunan Raja Bunian itu. Tentu ada 

alasan tertentu sehingga kau melakukannya...! Coba 

katakan..,!" Luga Kencana terbelalak matanya begitu 

Sandi Marta menyebut-nyebut bahwa si Hina Kelana 

merupakan keturunan Raja Bunian. Sungguhpun dia 

belum paham betul dengan keterangan yang di-

ucapkan gurunya itu, tapi akhirnya dia malah balik 

bertanya:

"Raja Bunian? Apakah maksudmu, Guru...?"

"Ditanya malah ganti bertanya! Sungguh seba-

gai seorang ketua perguruan kau memiliki pandangan 

yang sempit!" kata Sandi Marta mencela, lalu garuk-

garuk kepalanya yang botak itu.

"Apa maksud guru! Bocah gembel itu coba-coba 

melindungi anak seorang tukang tadah pencurian Arca 

Harimau Kumbang.

Sedangkan pencuri arca tersebut telah pula 

membunuh lima orang murid-muridku. Masakan aku 

harus tinggal diam, padahal bocah hina itu telah 

membunuh pula puluhan orang muridku...!" cela Luga 

Kencana dengan nada sedikit meninggi. Tentu saja 

ucapan Luga Kencana membuat Sandi Marta menjadi 

memerah wajahnya. Bagaimana mungkin seorang pen-

dekar pilih tanding bersedia melindungi anak seorang 

tukang tadah, mungkin saja Luga Kencana hanya sa-

lah penilaian.

"Luga, janganlah kau memandang seseorang



hanya secara lahiriahnya saja. Sebagai seorang pende-

kar pembela kebenaran, sangat mustahil si Hina Kela-

na mau melindungi orang yang bersalah. Pula mung-

kin saja kau telah mengambil tindakan yang sangat 

gegabah sehingga atau bahkan kau menyerang dia ter-

lebih dahulu sehingga pemuda itu membunuh murid-

muridmu!" Begitu tegas Sandi Marta berkata, tapi begi-

tu pun dia masih berusaha membantah apa yang dika-

takan oleh gurunya.

"Guru. Tak mungkin murid mau bertindak ge-

gabah andai orang itu benar-benar tidak mencuriga-

kan?" Sandi Marta atau si Pedang Walet Merah, hen-

tak-hentakkan kaki karena kesalnya melihat Luga 

Kencana yang keras kepala itu.

"Mencurigakan bagaimana? Bukankah kau 

sendiri tak melihat apa yang seperti apa yang kau tu-

duhkan itu dengan mata kepala sendiri?"

"Tapi sumber-sumber yang dapat dipercaya 

mengatakan bahwa pencuri arca itu mempunyai hu-

bungan yang sangat dekat dengan Rajenta?"

Sandi Marta kembali miringkan telinganya yang 

rada-rada budek itu.

"Apa katamu...?" Ulang Sandi Marta merasa ku-

rang jelas.

"Rajenta, kononnya mempunyai hubungan 

dengan Gembel Pengemis dari Pulau Naga...!" kata Lu-

ga Kencana dengan suara sedikit keras.

"Hemm...!" Si Pedang Walet Merah nampak 

angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian lanjutnya.

* * *

DUA


Bukankah Rajenta merupakan seorang bekas 

saudagar kaya yang juga masih merupakan keturunan 

bangsawan? Lalu si gembel pengemis yang berkepala 

botak itu. Kuketahui sebagai seorang tokoh sesat yang 

sangat berbahaya. Bagaimana mungkin mereka dapat 

bekerja sama...?" tanya Sandi Marta tiada percaya.

"Dunia ini penuh dengan segala kemungkinan, 

Guru! Bahkan mungkin guru tiada pernah percaya ka-

lau Gembel Pengemis dari Pulau Naga sewaktu-waktu 

dapat berubah menjadi seekor Siluman Harimau Kum-

bang?"

Sandi Marta terbelalak matanya begitu men-

dengar apa yang diucapkan oleh Luga Kencana murid-

nya. Sama sekali dia tiada menduga bahwa tokoh sesat 

yang dulu hampir membuatnya celaka itu kini telah 

pula dapat merubah dirinya menjadi seekor siluman 

yang ganas.

"Dari mana dan bagaimana hal itu bisa sampai 

terjadi? Luga Kencana, bicara yang benar pada guru-

mu ini...!" kata Sandi Marta dengan sikap sangat pena-

saran sekali. Luga Kencana kembali menjura, setelah 

sebelumnya melirik pada salah seorang muridnya yang 

duduk bersimpuh di belakangnya.

"Salah seorang muridku yang telah kutugaskan 

sebagai mata-mata melihat dengan jelas bagaimana 

Gembel Pengemis dari Pulau Naga itu merobek-robek 

tubuh kawan-kawannya...!" jelas Luga Kencana dengan 

mimik wajah serius. Sontak Sandi Marta sambil tepuk-

tepuk jidatnya.

"Kacau-kacau.... Kalaulah bangsat itu yang kini 

dapat berubah-rubah menjadi seekor siluman. Dunia


persilatan bisa jadi berantakan, dulu sebelum dia da-

pat berubah menjadi penganut ilmu sesat saja sudah 

begitu banyak orang yang kojor di tangannya. Jangan-

kan sekarang ini...!"

Sungguhpun Luga Kencana ingin tertawa 

demi mendengar apa yang dikatakan oleh gurunya 

yang terkadang bertabiat konyol, namun sedapatnya 

demi menghormati gurunya di depan murid-muridnya 

sendiri, maka dia hanya menundukkan kepala saja. 

Tetapi selanjutnya dia berucap: "Guru, Gembel Penge-

mis bukan penganut ilmu sesat namun arca itulah 

yang membuat dia dapat berubah ujud menjadi seekor 

siluman yang sangat berbahaya...!" kata Luga Kencana 

menjelaskan.

Si Pedang Walet Merah manggut-manggut, 

sungguhpun dia merasa kurang begitu jelas dengan 

apa yang dikatakan oleh muridnya.

"Apa sih yang kau maksudkan...?" Ketua Partai 

Walet merah geleng-gelengkan kepalanya. Dasar guru 

budek! Umpatnya di dalam hati.

"Maksud murid begini, Guru! Di dalam mulut 

Arca Harimau Kumbang terdapat sebuah kitab tipis 

yang di dalamnya memuat tentang ilmu pelajaran Si-

luman Harimau Kumbang. Dari kitab itulah Gembel 

Pengemis memiliki ilmu yang sangat langka itu...!"

Si Pedang Walet Merah menggerimit, walau ba-

gaimana pun, kini Gembel Pengemis merupakan orang 

yang dapat membahayakan dunia persilatan. Perlukah 

dia campur tangan? Sedangkan dia sendiri selama ini 

sudah memutuskan untuk menjauhi keramaian dunia. 

Tapi kalau dia biarkan muridnya seorang diri merebut 

kembali arca yang telah dicuri oleh Gembel Pengemis. 

Hal itu malah berakibat sangat fatal pada diri murid-

nya. Seperti dia ketahui Gembel Pengemis adalah me


rupakan seorang dedengkot iblis yang sewaktu-waktu 

dapat melakukan pukulan-pukulan sangat keji yang 

bersumber dari kepala tongkatnya yang berkepala Na-

ga Merah itu, tidak dia harus aku sertai walau ke ma-

na pun dia pergi. Batin Sandi Marta dalam hati.

"Orang itu benar-benar sangat berbahaya Luga. 

Kau tak mungkin menghadapinya seorang diri...!"

Bukan main girangnya Luga Kencana demi 

mendengar isyarat yang bertujuan sangat baik itu.

"Jadi guru mau menyertai muridmu ini dalam 

membasmi Gembel Pengemis, dan bukan tak mungkin 

masih ada orang lain yang berdiri di balik dedengkot

iblis tersebut...!"

Si Pedang Walet Merah itu nampak tercenung 

beberapa saat lamanya. Sejurus kemudian dia sudah 

menoleh lagi pada muridnya, lalu berkata:

"Hemm. Sudah dua puluh tahun lebih aku me-

ninggalkan dunia persilatan. Dan sesungguhnya aku 

tak ingin lagi melihat darah dari pangkal leher yang 

terputus. Tapi kalau kupikir-pikir, rasanya aku tak te-

ga membiarkan kau pergi menghadapi manusia iblis 

itu seorang diri. Dan tak mengapa kalau dalam sisa-

sisa umurku ini ingin membantumu, atau membantu 

siapa saja demi kepentingan dan sebuah kebenaran. 

Tapi ingat, aku juga ingin melihat apakah ceritamu 

tentang Pendekar Hina Kelana yang sangat menghe-

bohkan itu ada benarnya atau tidak. Kalau nantinya 

apa yang kau katakan itu tidak benar, maka jangan 

harap pertolonganku untuk memusuhi pemuda itu...!" 

kata Sandi Marta begitu tegas.

"Terima kasih, Guru...! Segala apa yang guru 

berikan pada muridmu ini, dengan apakah musti mu-

rid balas?" kata Luga Kencana sambil menjura hormat. 

Si Pedang Walet Merah geleng-gelengkan kepalanya


yang botak mengkilat. Seraya menatap tajam pada Lu-

ga Kencana yang masih tetap duduk berlutut di hada-

pan gurunya.

"Sudah, aku tak perlu basa basi yang membuat 

perutku bagai diaduk-aduk. Ayolah kita berangkat se-

karang juga!" kata Sandi Marta. Tapi alis Luga Kenca-

na menggerimit.

"Ada apa...?" tanya si Pedang Walet Merah.

Yang di tanya tersentak kaget. Lalu dengan ter-

bata-bata: "Eee... apakah guru mau murid bonceng di-

belakang kudaku...?!" tanya Luga Kencana dengan ra-

sa harap-harap cemas. Mendadak Sandi Marta tertawa 

tergelak-gelak. Baik Luga Kencana, terlebih-lebih ke-

dua muridnya nampak terkesiap. Jantung mereka 

bahkan berdenyut-denyut terasa sakit bukan alang 

kepalang. Jelaslah sudah dalam tawanya tadi di sertai 

tenaga dalam yang kuat. Namun sekejap saja Sandi 

Marta telah menghentikan tawanya. Selanjutnya tanpa 

menghiraukan murid dan dua orang murid Luga Ken-

cana.

"Luga Kencana, mana cepat lari kudamu den-

gan lajunya Bayu Berhembus? He... he... he...!" Luga 

Kencana mau tak mau jadi tersenyum sendiri begitu 

teringat bahwa gurunya memiliki Ajian Bayu Berhem-

bus.

"Kalau begitu marilah kita berangkat, Guru...!"

Belum lagi Luga Kencana selesai, si Pedang Wa-

let Merah sudah lenyap dari pandangan mata mereka.

"Sialan!" umpat Luga Kencana, kemudian tanpa 

menunggu lebih lama lagi, Ketua Perguruan Walet Me-

rah yang sudah buntung tangannya itu pun melompat 

ke punggung kudanya. Selanjutnya sekali saja dia 

menggebrak kudanya, maka kuda-kuda itu pun mele-

sat bagai anak panah.


* * *

Delapan hari berjalan kaki, kemarau panjang 

dengan terik panasnya yang membakar. Membuat ga-

dis berwajah jelita itu sebentar-sebentar mengeluh. 

Bekal yang ada di dalam periuk yaitu yang berupa 

dendeng ikan lumba-lumba sejak kemarin sore sudah 

habis. Persediaan air juga habis. Tak terlihat parit-

parit bekas genangan air. Sumber-sumber mata air ju-

ga mengering. Kemarau hampir sepanjang tahun me-

mang membuat suasana di sekitar perkampungan 

yang mereka lewati nampak kering kerontang. Cela-

kanya lagi tak ada warung penjual makanan di kanan 

kiri jalan itu. Mereka terus melangkah, sesekali pemu-

da yang berjalan di sisi gadis itu nampak melirik ke

arah bagian kaki si gadis yang sudah pecah-pecah le-

cet mengeluarkan darah. Sesungguhnya dia merasa 

iba dengan apa yang dialami oleh gadis di sisinya. Tapi 

nampaknya gadis itu sangat keras kepala, dipapah dia 

tidak mau. Digendong apalagi. Siapakah sesungguhnya 

pemuda tampan yang berjalan dengan gadis cantik di 

sampingnya. Tak lain dialah Pendekar Hina Kelana dan 

Dewi Wening Asih yang sedang dalam perjalanannya 

mencari Arca Harimau Kumbang sekaligus Siluman 

Harimau Kumbang yang akhir-akhir ini mulai menye-

bar maut di mana-mana.

"Kelana, sampai kapankah kita terus melaku-

kan perjalanan seperti ini. Aku haus, kaki pun rasanya 

sudah tak kuat lagi untuk melakukan perjalanan...!" 

Sejenak pemuda itu menghentikan langkahnya. Meno-

leh sekejap, selanjutnya memandang ke arah rumah 

penduduk yang nampak padat dan ramai.

"Cobalah bertahan sebentar! Mungkin di depan 

sana kita akan mendapatkan warung tempat penjual


makanan, mudah-mudahan kita dapat melepas lelah 

sekaligus mengisi perut yang sudah kekrukukan...!"

"Tapi aku sudah tidak kuat, Kelana...!" kata 

Dewi Wening Asih sambil menyeringai menahan sakit 

yang tiada tertahankan.

"Sudah sejak kemarin-kemarin kau kuminta 

supaya kugendong saja, tapi kau tak mau, siapa sa-

lah...!" Memberungut Buang Sengketa sambil memijit-

mijit kaki Dewi Wening Asih yang masih saja terus

mengeluarkan darah. Gadis jelita itu pun tak kalah 

cemberutnya.

"Kau ini sungguh membosankan. Ceriwis kayak 

perempuan, kau kan tahu bahwa aku bukan anak ke-

cil lagi. Aku malu kalau kau sampai menggendong ku, 

bagaimana nanti kata orang?"

"Menggendong orang saja apa susahnya, toh 

aku masih memiliki sisa-sisa tenaga kalau cuma 

menggendong kau yang tidak seberapa beratnya...!" 

Dewi Wening Asih banting-banting kakinya, geram se-

kali rasa hatinya. Dalam penilaiannya pemuda yang 

berdiri di depannya itu sangat tolol sekali. Dia tak 

mengerti dengan apa yang dia maksudkan.

"Kau ini memang tampan Kelana, sayangnya 

kau memiliki kepandaian tidak lebih dari seekor kele-

dai...!" Buang Sengketa nampak terbelalak matanya, 

tiada dia menyangka kalau Dewi Wening Asih bisa bi-

cara seketus itu.

"Luar biasa, baru kali ini aku mendengar kata-

kata yang kasar dari mulut seorang gadis sepertimu...!"

"Kau marah...!" tanya Dewi Wening Asih sema-

kin bertambah gusar saja.

"Ya, tentu saja...!" ujar si Hina Kelana tak kalah 

sengitnya.

"Kalau kau marah jalanlah sendiri, tanpa kau


sekalipun aku masih bisa mencapai desa berikut-

nya...!" tantang Dewi Wening Asih. Tantangan itu su-

dah karuan saja membuat Si Hina Kelana semakin 

bertambah mendongkol. Selama dalam perjalanan 

dengan gadis itu selamanya belum pernah Dewi Wen-

ing Asih membuat enak perasaannya. Maka tanpa ber-

kata sepatah kata pun dia langsung nyelonong saja. 

Begitu pun Dewi Wening Asih tiada maksud untuk 

mencegah kepergian Buang Sengketa yang berjalan 

mendahuluinya.

Karena Buang Sengketa sedikit mengerahkan 

ilmu lari cepatnya maka sekejap saja dia telah sampai 

di perkampungan yang sangat ramai. Memasuki per-

kampungan yang tak ubahnya bagai sebuah pasar ke-

cil itu, Buang Sengketa mengitarkan pandangan ma-

tanya berkeliling. Nun di pertengahan desa itu, tidak 

jauh dari keramaian pasar, maka nampaklah olehnya 

sebuah waning yang sangat ramai dengan para pen-

gunjung. Tanpa basa basi lagi, Buang Sengketa segera 

mengayunkan langkahnya memasuki warung tersebut. 

Beberapa pasang mata nampak memandang jijik atas 

kehadirannya. Begitu pun dengan pemilik warung yang 

sejak tadi nampak sibuk melayani para langganan. 

Buang Sengketa tiada perduli. Kelihatan acuh saja. Ce-

lingak celinguk sebentar, setelah melihat salah satu 

meja yang terisi setengahnya oleh para pengunjung, 

maka dia pun datang menghampiri.

Sebentar dia mengangguk hormat pada salah 

seorang laki-laki yang duduk di meja seberang. Laki-

laki bertampang angker tersebut menanggapinya den-

gan dingin dan sorot mata kurang senang.

"Sialan, kira dia aku datang ke mari ini untuk 

mengemis makanan. Hina-hina begini kalau cuma 

membeli seisi warung ini pun aku sanggup...!" maki


pemuda itu dalam hati. Persetan, tanpa buang waktu 

lagi dia melambaikan tangannya. Pemilik warung itu 

dengan sikap enggan datang menghampiri.

"Kisanak mau pesan apa...?" tanya pemilik wa-

rung yang bernama Karjo itu merasa jengah dengan 

penampilan dan kehadiran Pendekar Hina Kelana.

"Tukang warung, siapa sih namamu...?" tanya 

Buang Sengketa dengan suara sengaja dikeraskan.

"Nama saya Karjo, Kisanak...!" ucapnya sedikit 

ketakutan begitu melihat mata Buang Sengketa me-

mandang tajam pada dirinya.

"Sialan, namamu jelek sekali. Bahkan lebih je-

lek dari pakaian dan periuk yang berada di bahu ku

ini. Kau fikir aku datang ke mari untuk mengemis ma-

kanan padamu ya? Sialan betul kau ini...!" bentak 

Pendekar Hina Kelana sambil mengitarkan pandangan 

matanya ke segenap ruangan warung itu.

Menggigil tubuh Karjo begitu merasakan den-

gan sekali sambar saja tangannya telah berada dalam 

genggaman si pemuda tampan berpakaian kumuh itu. 

Dan matanya sedikit membeliak begitu merasakan je-

mari tangan Buang Sengketa menggenggamnya dengan 

sangat erat sekali. Semakin lama semakin bertambah

sakit, bahkan seakan bagai remuk dan nyeri sampai ke 

tulang sumsum.

"Cring...!" Mendadak Buang Sengketa mengelu-

arkan uang emas dari dalam periuknya. Lalu dirogoh-

nya keping dan meletakkannya di atas meja. Maka 

membeliaklah mata pemilik warung dan puluhan mata 

lain yang berada di dalam warung itu. 

* * *


TIGA


Sama sekali siapapun tiada pernah menyangka 

kalau pemuda tampan berpakaian gembel itu memiliki 

uang sebanyak itu. Apalagi uang tersebut adalah me-

rupakan mata uang emas murni. Saat itu sikap pemi-

lik warung mendadak saja berubah ramah.

"Maa... maafkan saya Kisanak. Tadi itu sesung-

guhnya saya tiada memiliki prasangka seperti apa yang 

Ki Sanak duga. Tolong tangan saya ini Kisanak. Saya 

akan menyediakan apa yang Kisanak inginkan...!"

"Brengsek, sekarang saja kau mau bersikap se-

perti itu. Coba sedari tadi kek, aku pasti tidak akan 

berlaku sekasar itu...!" Terdengar suara menggeren-

deng seperti ratusan ekor kumbang manakala Buang 

Sengketa mengakhiri ucapannya. Buang Sengketa 

acuh saja, dia masih berfikir tentang Dewi Wening Asih 

yang belum juga muncul, padahal sudah hampir lima 

belas menit dia duduk di dalam warung itu. Hee. Ke 

mana saja perginya gadis bengal itu? Mungkinkah dia 

nyasar dan tak pernah singgah di warung itu.

"Kisanak silahkan nikmati pesanan yang kisa-

nak minta...!" ucapan Karjo sembari meletakkan pesa-

nan yang diminta oleh Buang Sengketa.

"Hemmm, letakkanlah semuanya. Gadis bengal 

itu membuat fikiran ku jadi tidak enak...!" gumam 

Pendekar Hina Kelana seperti pada dirinya sendiri. 

Tanpa menyahut, setelah meletakkan seluruh hidan-

gan yang diminta oleh Buang Sengketa, maka sebentar 

kemudian pemilik warung itu telah meninggalkannya 

dengan langkah tergesa-gesa.

Sementara itu Buang Sengketa yang benar-

benar sudah merasa sangat lapar sekali nampak sege


ra menikmati hidangan yang berada di depannya. Tapi 

belum lagi dia selesai, nampak tiga orang laki-laki ber-

tampang kasar memasuki warung tersebut. Sementara 

di atas pundak salah seorang dari tiga laki-laki itu 

memanggul tubuh seorang gadis. Pendekar Hina Kela-

na hanya melirik dengan sudut matanya saja, bahkan 

dia pun tiada merasa terkejut begitu melihat siapa se-

sungguhnya yang berada di atas pundak salah seorang 

dari laki-laki tersebut. Dewi Wening Asih, tak salah la-

gi. Gadis itu memandang memelas begitu matanya ber-

sitatap pada Pendekar Hina Kelana. Rasain. Batin pe-

muda dari Negeri Bunian itu sambil meneruskan ma-

kannya.

Saat itu beberapa orang yang sedang mele-

watkan makan siang di warung itu satu demi satu te-

lah meninggalkan tempat itu. Agaknya tiga laki-laki 

bertampang angker itu cukup dikenal siapa adanya 

mereka. Tak dapat disangkal, tiga orang ini adalah me-

rupakan begundal-begundal Jali Sajiwa penguasa 

tunggal di Lembah Weling. Mereka memang sering da-

tang menyantroni harta benda penduduk, bahkan tak 

segan-segan membunuh siapa saja yang coba-coba be-

rani menghalangi maksud dan sepak terjang mereka. 

Namun kedatangannya kali ini adalah dengan maksud 

untuk mencari Dewi Wening Asih yang dilarikan oleh 

seorang pemuda berkuncir yang datang secara menda-

dak pada hari perkawinan ketua mereka. Tak dinyana 

setelah melakukan perjalanan jauh dan mencari ke 

sana ke mari mereka tidak juga menemukan orang 

yang mereka buru. Tapi secara kebetulan begitu mere-

ka melakukan perjalanan kembali ke Lembah Weling. 

Di perjalanan dekat desa itu mereka bersua dengan 

orang yang mereka buru. Karuan saja mereka lang-

sung meringkus Dewi Wening Asih dengan cara meno


toknya terlebih dahulu.

Kini tiga orang berwajah angker itu telah duduk 

di atas sebuah bangku yang baru saja kosong. Semen-

tara itu Dewi Wening Asih mereka sandarkan di salah 

sebuah bangku yang terletak tidak begitu jauh. Pemilik 

warung yang bernama Karjo itu cepat-cepat datang 

menghampiri, selanjutnya dengan tergopoh-gopoh dan 

menjura hormat. Karjo langsung bertanya:

"Tuan-tuan mau pesan apa?" Tanpa menghi-

raukan pertanyaan Karjo, salah seorang dari mereka 

memandang sesaat pada Buang Sengketa yang masih 

sibuk dengan makanannya. Dari caranya memandang 

nampak sekali kalau orang itu merasa jijik dengan ke-

beradaan pemuda dari Negeri Bunian di tempat itu.

"Pelayan! Kami inginkan semuanya, tapi usirlah 

lalat-lalat menjijikkan itu, agar selera makan kami ti-

dak terganggu...!" bentak salah seorang dari mereka 

sembari tetap melirik pada Pendekar Hina Kelana. 

Sampai sejauh itu pemuda dari Negeri Bunian itu ma-

sih berusaha menahan kesabarannya.

"Sa... saya tidak dapat melakukannya, Tuan-

tuan...?" menyahut Karjo dengan tubuh menggigil ke-

takutan. Hal ini hanya membuat ketiga orang dari 

Lembah Weling itu menjadi sangat marah sekali.

"Goblok...! Kubilang usir lalat itu, apakah kau 

ingin melihat bagaimana caranya mengusir seekor lalat 

menjijikkan?"

Untuk ucapannya kali ini, nampaknya Buang 

Sengketa sudah tak sabar lagi melihat ulah tiga laki-

laki dari Lembah Weling ini. Maka kini dengan masih 

berada di tempatnya, dia pun bergumam seperti pada 

dirinya sendiri.

"Hemm. Dewi Wening Asih, mengapa kau tetap 

diam saja, apakah kau merasa semakin benci pada


pangeran mu ini. Ah... ah...! Kiranya kau lebih suka 

kawin dengan dedengkot sial dari Lembah Weling. 

Sayang pacaran sudah cukup lama tapi kau memberi 

putusan padaku dengan cara yang sangat menya-

kitkan...!" sindir Buang Sengketa tanpa menoleh-noleh 

lagi. Sementara itu

Dewi Wening Asih yang sudah mengetahui ka-

lau pemuda itu sedang bersandiwara, ingin mengata-

kan sesuatu. Namun suaranya hanya sampai di batas 

tenggorokan saja. Dia tiada memiliki daya, bahkan 

menggerakkan sebelah tangannya pun dia tiada me-

miliki kemampuan. Dalam pada itu Buang Sengketa 

mencela kembali: "Baiklah Dewi kekasihku, biarlah 

Hina Kelana segera merat dari hadapanmu...!" Berkata 

begitu Buang Sengketa sudah bersiap-siap untuk me-

ninggalkan tempat itu. Dewi Wening Asih nampak te-

gang sekali, dalam hati dia sudah dapat menduga ba-

gaimana nasibnya andai pemuda itu benar-benar me-

ninggalkannya. Salahnya sendiri mengapa dia tak per-

nah berlaku sebaik yang pernah dilakukan oleh Buang 

Sengketa. Umpatnya. 

"Jliik!"

Dua orang antara ketiga orang itu telah meng-

hadang gang sisi meja yang akan dilewati oleh pende-

kar itu.

"Ee... apa katamu tadi kunyuk gembel...?" ben-

tak salah seorang dari mereka. Alis Buang menggeri-

mit, dengan sikap acuh dia berucap pelan namun me-

nyakitkan hati yang mendengarkannya.

"Kroco-kroco laknat. Toh kau bukanlah bangsat 

tengik yang sudah rusak pendengaran. Tadi kubilang 

si bangsat Luga Kencana itu akan mengawini pacar ku

yang cantik itu. Maka demi kebahagiaannya aku mau 

meninggalkan tempat ini secepatnya agar aku tak me


nampar mukanya yang mempesona itu...!" Ketus suara 

Buang. Selanjutnya dia berusaha menerobos jalan 

yang dirintangi oleh dua orang bertampang kasar ter-

sebut.

"Setelah menghina ketua kami, sesudah men-

caci maki seenak perutmu. Begitu mudahkah kau mau 

meninggalkan tempat ini. Cuih... tinggalkan dulu kepa-

lamu, baru nanti kami akan membiarkan mu pergi be-

gitu saja...!" Mula-mula Buang tersenyum saja, namun 

karena rasa geli terus menggelitik perutnya, maka tak 

tertahankan lagi dia pun tertawa mengekeh. Karena 

dalam tawanya disertai sepertiga dari tenaga dalam-

nya, tak ayal lagi orang-orang itu pun nampak terkejut 

sekali. Mereka merasakan telinganya sakit luar biasa, 

bahkan berdengung-dengung.

"Bangsat! Rupanya kau punya sesuatu yang 

kau andalkan. Pantas saja kau berani unjuk gigi di de-

pan kami...!"

"Bicaramu ngaco belo, Sobat...! Minggirlah, ma-

jikanmu ini mau berlalu dari warung yang membosan-

kan ini!"

"Sial dangkal...! Monyet gembel berotak mir-

ing...!"

"Hajar...!" teriak salah seorang yang sejak tadi 

duduk tenang-tenang di sisi Dewi Wening Asih.

"Sing! Zing!"

Sekali saja pedang-pedang berwarna hitam le-

gam itu terenggut dari sarungnya. Secara serentak dua 

orang itu langsung mengurung Buang yang masih saja 

tersenyum-senyum.

"Sekali saja kalian melakukan kesalahan pada-

ku, menyesal pun bagi kalian sudah tiada gunanya la-

gi...!" geram pemuda ini, selanjutnya dengan memper-

gunakan jurus Membendung Gelombang Menimba


Samudra. Maka pemuda itu tanpa merasa sungkan-

sungkan lagi segera bersiap-siap dengan pertahanan-

nya. Saat itu dua orang bertampang beringas itu su-

dah melancarkan jurus-jurus pedang yang sangat me-

reka andalkan. Tubuh mereka berkelebat sangat cepat, 

tapi pedang di tangan mereka melesat lebih cepat lagi. 

Gerakan-gerakan membabat, menusuk datangnya silih 

berganti. Tapi bagi Buang, dengan mempergunakan 

ilmu silat tangan kosong nampaknya dia masih dapat 

menghindari serangan-serangan ganas yang datangnya 

bertubi-tubi itu.

"Hia... kia... kia...!" 

"Bet! Bet!"

Buang Sengketa membuang dirinya manakala 

dia merasakan adanya angin senjata lawan menderu 

dalam ruangan itu. Namun saat itu lawan terus mem-

burunya ke mana pun Buang Sengketa berusaha 

menghindar. Bahkan sedetik kemudian di luar sepen-

getahuan pendekar ini, dua orang itu menyambitkan 

sesuatu mengarah pada bagian tubuhnya. Sepuluh 

buah benda berwarna hitam melesat sangat cepat 

mengarah pada bagian-bagian yang mematikan atas 

diri Buang. Namun bukanlah Pendekar Hina Kelana, 

kalau serangan senjata beracun itu sedetik kemudian 

tidak diketahui olehnya.

"Bangsat!" rutuknya. Lalu masih dalam kea-

daan berguling-guling dia lepaskan pukulan Empat 

Anasir Kehidupan.

"Wuuus!"

Selarik sinar Ultra Violet datang menggebu 

memapaki datangnya senjata rahasia yang disam-

bitkan oleh para iblis dari Lembah Weling. Udara di da-

lam ruangan warung itu son tak berubah menjadi san-

gat panas luar biasa. Semua orang yang berada di da


lamnya menjadi sangat terkejut. Sama sekali mereka 

tiada menyangka kalau gembel berperiuk ini memiliki 

pukulan yang sangat hebat. Hanya sesaat saja mereka 

dapat berfikir, saat selanjutnya adalah bunyi berde-

bum yang sangat memekakkan gendang-gendang te-

linga. Senjata-senjata yang di sambitkan oleh lawan-

lawannya berpentalan tak tentu rimbanya. Lebih dari 

itu beberapa buah di antaranya membalik kepada 

tuannya. Andai saja mereka tidak cepat-cepat kib-

latkan senjatanya sudah barang tentu mereka terma-

kan oleh senjatanya sendiri. Tapi usai terlepas dari an-

caman sendiri, tanpa mereka duga Buang telah pula 

mengirimkan pukulan susulan dengan tenaga dalam 

yang lebih besar lagi.

Sementara itu seorang lainnya yang sejak tadi 

menyaksikan jalannya pertarungan itu nampaknya 

menyadari bahwa pukulan yang dilepas oleh Buang 

Sengketa berkekuatan lebih besar daripada pukulan 

yang dilepaskannya pertama tadi. Sadar kalau kawan-

kawannya tak mungkin mampu mengatasi datang-

nya selarik sinar panas yang sangat berbahaya itu. 

Maka dia pun tidak tinggal diam. Selanjutnya dengan 

mempergunakan pukulan Iblis Penunggu Mayat. Maka 

dia dorongkan kedua tangannya ke depan.

"Wuuur!"

Serangkum gelombang berhawa dingin luar bi-

asa menderu menyongsong dari arah samping. Saat itu 

dua orang lawan yang lainnya sudah memutar pe-

dangnya, sehingga tinggal menampak sebuah gulun-

gan sinar hitam mengurung tubuh mereka membentuk 

sebuah pertahanan yang kokoh. 

"Blaaar!"

Terdengar suara menggemuruh mana kala dua 

pukulan sakti itu saling bertubrukan. Namun nam


paknya dalam adu tenaga dalam tersebut Buang Seng-

keta yang hanya mengerahkan setengah dari tenaga 

dalamnya tidak bertindak serius. Hal inilah yang me-

rupakan satu keunggulan bagi lawannya. Tak dapat 

dicegah lagi tubuh Buang Sengketa terlempar dua 

tombak, tubuhnya kemudian menimpa tiang tengah, 

yang besarnya tak lebih dari paha orang gemuk itu 

pun patah menjadi beberapa bagian, sehingga menga-

kibatkan atap di atasnya menjadi amblas dan warung 

miring hendak roboh. Pemuda muridnya si Bangkotan 

Koreng Seribu merasakan punggungnya sangat sakit 

luar biasa. Cepat-cepat dia seka mulutnya yang ba-

nyak mengalirkan darah. Dewi Wening Asih merasa iba 

melihat keadaan Buang Sengketa. Sementara dari tiga 

orang dari Lembah Weling itu tergelak-gelak penuh 

kemenangan.

"Bagi kami kepandaianmu yang tiada seberapa 

itu tidak ada apa-apanya, Bocah gembel. Kalau kau 

masih penasaran. Keluarkanlah seluruh kepandaian-

mu, biar kami layani kau sampai mampus...!" kata la-

ki-laki yang bernama Garu Wisesa itu begitu pongah-

nya.

* * *

EMPAT



Buang yang saat itu telah bangkit berdiri nam-

pak tersenyum kecut. Dipandanginya wajah ketiga 

orang silih berganti. Manusia-manusia setan seperti 

mereka itu memang tak perlu diajak kompromi. Batin-

nya. Mendadak dia mengambil sesuatu dari balik ba-

junya, selanjutnya menyambitkannya dengan cepat



pada Dewi Wening Asih yang masih bersandar di se-

buah bangku dalam keadaan tertotok. Begitu sambitan 

yang dilakukan Buang mengena, maka Dewi Wening 

Asih sudah kembali dapat menggerak-gerakkan tu-

buhnya dengan sangat bebas. Gerakan cepat tersebut 

membuat ketiga orang itu serentak hentikan tawanya. 

Penuh takjub namun marah mereka sudah bersiap-

siap dengan pukulan-pukulan mautnya.

"Keparaaaat! Sudah mau mampus kiranya kau 

masih juga dapat membebaskan gadis calon istri maji-

kanmu...!" Membentak Garu Wisesa dengan kemara-

hannya yang meluap-luap. Pendekar Hina Kelana kem-

bali lontarkan sesungging senyum sinis.

"Jangankan hanya membebaskan totokan 

anak-anak, memenggal kepala kalian pun sebentar lagi 

akan kulakukan."

"Hua... ha... ha...! Jangan mimpi sobat, bagi 

kami manusia yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu 

tidak ada apa-apanya...!" Buang Sengketa nampaknya 

sangat terkejut sekali. Bagaimana mungkin tiga orang 

itu dapat mengenali dirinya. Seingatnya sungguhpun 

dia pernah menjarah Lembah Weling untuk membe-

baskan Dewi Wening Asih, namun dia tiada melihat 

kehadiran orang itu di sana. Persetan, kalaupun 

mungkin bisa saja Jali Sajiwa lah yang memberitahu-

kan ciri-cirinya pada ketiga orang itu.

"Orang-orang kesasar dari Lembah Weling, jan-

ganlah menjunjung diri setinggi langit. Aku takut ka-

lian tak akan dapat bertemu dengan anak bini lagi di 

rumah...!"

"Kurang ajar. Mampuslah kau...! Hiaa...!" Sen-

jata di tangan mereka kembali menderu. Karena mere-

ka menyerang secara berbarengan, maka secepat apa 

pun pemuda itu bergerak. Namun tetap saja pedang


pedang yang mengandung racun ganas itu nyaris 

membabat punggungnya.

"Caaat...!" jerit Pendekar Hina Kelana seraya 

melentikkan tubuhnya bagaikan seekor udang. Karena 

gerakannya yang sangat tergesa-gesa dan di luar kon-

trol. Maka tak ayal lagi atap warung yang terbuat dari 

daun kirai itu pun bobol berantakan. Sesaat saja ke ti-

ga orang itu celingukan. Salah seorang dari mereka 

berseru membentak:

"Jangan biarkan dia kabur...!" Pada saat itu, 

dari atas atap warung bekas atap yang bobol tersebut, 

Buang Sengketa melayang turun kembali. Pada saat 

tubuhnya melayang sedemikian rupa, satu pukulan 

pamungkas yang di beri nama si Hina Kelana Merana. 

Maka menderulah satu gelombang sinar merah menya-

la menghajar tubuh orang-orang yang menjadi sasaran 

di bawahnya. Ketiga orang dari Lembah Weling terpa-

na, gugup namun mereka juga cepat-cepat bertindak.

"Satukan pukulan Iblis Mengembara!" teriak 

yang menjadi pimpinan. Kesempatan yang sekedipan 

mata itu mereka pergunakan untuk melepaskan puku-

lan Iblis Mengembara. Tak dapat dicegah, tiga larik si-

nar hitam kelam, secara bersamaan menyambut da-

tangnya sinar merah yang menderu deras ke arah me-

reka.

"Blum! Blum! Blum!"

Berpelantingan tubuh masing-masing lawan, 

dengan keadaan tunggang langgang. Di antara mereka 

ada yang menabrak kursi dan meja, sehingga mem-

buatnya jadi berantakan. Masing-masing dari mulut 

dan hidung mereka sama-sama menyemburkan darah, 

Sementara Dewi Wening Asih yang sedari tadi berlin-

dung di balik meja yang agak tersembunyi juga tak lu-

put dari guncangan yang membuat tubuhnya pontang


panting.

Saat itu Buang yang terjengkang di sudut 

ruangan nampak sudah bangkit kembali. Sungguhpun 

dadanya sesak luar biasa, namun sedapatnya dia be-

rusaha mengerahkan tenaganya ke arah bagian da-

danya. Setelah mengurut-urut sedikit akhirnya rasa 

nyeri itu pun hilang sama sekali. Lalu dengan sorot 

mata dingin dia memandang tajam pada tiga orang 

yang sedang tertatih-tatih berusaha bangkit berdiri.

"Garu Wisesa...! Nama yang sangat bagus, tapi 

agaknya bapak moyangmu salah memberi nama untuk 

seekor monyet kesasar sepertimu. Ada baiknya nama 

Garong Wisesa buat sebuah pekerjaan sekaligus ting-

kah lakumu. Hari ini juga aku tak akan memberi am-

pun pada monyet-monyet sesat sepertimu...!" tukas 

Buang Sengketa dengan rahang bergemeretakan.

"Kami masih belum kalah. Kau jangan berbesar 

hati dulu, sekarang terimalah jurus Pedang Iblis Lem-

bah Weling ini...!"

"Jurus pedang dari neraka sekalipun aku tak 

akan mundur! Majulah kalian beramai-ramai...!" ben-

tak Buang Sengketa dalam keadaan siap siaga dan si-

kap menantang. Selanjutnya terjadilah pertarungan 

pertarungan yang sangat sengit antara Buang Sengke-

ta dengan tiga orang lawan dari Lembah Weling. Se-

rangan yang mereka lancarkan datang menggebu. Da-

lam waktu sekejap saja Buang telah terkurung oleh gu-

lungan sinar dan berkelebatnya senjata maut di tan-

gan lawan-lawannya. Pemuda ini tidak tinggal diam, 

dengan mempergunakan jurus silat tangan kosong 

yang diberi nama si Gila Mengamuk, maka dengan sa-

ngat mudahnya dia masih dapat menghindari bahkan 

dapat membebaskan diri dari serangan-serangan yang 

beruntun itu.



"Mainkan jurus Iblis Menggeledek!" teriak Garu 

Wisesa segera merubah jurus-jurus pedangnya. Begitu 

dengan dua orang lainnya. Secara total permainan pe-

dang mereka mendadak berubah cepat, Buang nampak 

terkesiap. Jurus si Gila Mengamuk merupakan salah 

satu jurus yang tingkatnya di atas jurus Membendung 

Samudra Menimba Gelombang. Tapi bagaimana 

mungkin bisa terjadi. Semakin cepat pemuda itu ber-

kelebat maka secepat itu pula senjata di tangan la-

wannya datang menderu.

Mendadak Garu Wisesa kirimkan satu tendan-

gan mengarah pada selangkangan Buang. Pedang 

menderu ke arah bagian kepala si pemuda. Pada saat 

yang bersamaan dua orang lainnya juga kirimkan tu-

sukan kilat.

"Wuuus!"

"Hiyaaa...!" Buang mengelit datangnya tendan-

gan kaki Garu Wisesa, sementara kaki kirinya kirim-

kan tendangan cepat ke arah perut lawan yang berada 

di belakangnya. Sungguhpun tendangan itu telak 

mengenai sasaran yang diinginkan, namun serangan 

pedang yang datangnya dari bagian samping kanan tak 

dapat dia hindari.

"Brebet...!"

"Ahhh...!"

Buang Sengketa mengeluh, tubuhnya ter-

huyung-huyung. Namun tiada kesempatan baginya 

untuk berfikir panjang. Pedang di tangan Garu Wisesa 

datang menyambut. Tiada pilihan lain bagi Buang, lak-

sana kilat dia meraba bagian pinggangnya.

"Nguung!" Terdengar suara menggemuruh ma-

nakala sinar merah menyala mendadak telah pula ter-

genggam di tangan pendekar dari Negeri Bunian itu. 

Tak salah lagi, dialah Pusaka Golok Buntung yang


sangat menghebohkan itu. Tiga orang ini secara men-

dadak menghentikan serangannya, mata mereka sama 

terbelalak begitu melihat dan memandang Golok Bun-

tung yang berada di tangan si pemuda. Dan mereka itu 

menjadi lebih terkejut lagi saat mana mereka merasa-

kan udara di ruangan yang berantakan itu menjadi 

sangat dingin luar biasa.

"Pendekar Golok Buntung...!" seru mereka seca-

ra hampir bersamaan. Tanpa berkata sepatah kata 

pun, Pendekar Hina Kelana memandang tajam pada 

mereka. Kedua bola matanya memerah, wajah mene-

gang dengan bibir terkatup rapat. Namun bibir yang 

terkatup itu mengeluarkan bunyi mendesis bagaikan 

seekor Ular Piton yang sedang marah.

"Hemm. Bocah keturunan raja lelembut inilah 

kiranya yang telah menggemparkan dunia persilatan 

itu...!" kata salah seorang dari mereka dengan wajah 

pucat pasi.

"Hati-hati kawan, orang gembel ini bisa mem-

buat kita celaka semuanya!" Menimpali Garu Wisesa 

dengan sikap waspada, sungguhpun dia sendiri me-

mang tak kalah kecutnya bila dibanding dengan yang 

lain-lainnya.

"Ha... ha... ha...!" Kalaupun hari ini kalian me-

rengek minta ampun di hadapanku, jangan kira aku 

akan mengampuni manusia yang selalu suka bikin 

onar di mana-mana.

"Kami pun tak ingin merengek minta ampun di 

depanmu, Pendekar Golok Buntung! Sungguhpun ke-

saktianmu sebanyak buih di lautan. Walaupun kehe-

batanmu sebanyak bintang-bintang di langit." tukas 

Garu Wisesa dengan mimik wajah penuh kebencian. 

Sinis tatapan Buang Sengketa, wajahnya mendadak 

berubah kelam membesi. Selanjutnya satu bentakan


menggelegar pun terdengar.

"Ya Sang Hyang Widi, bukan salah bunda men-

gandung. Tetapi sudah suratan nasib menghendaki 

bahwa jalan panjang yang membentang di hadapanku 

sana, merupakan tetes derita berlumur darah orang-

orang angkara murka. Maafkanlah kalau aku dengan 

sangat terpaksa sekali harus melakukan ini.... 

Hiaaa...!" Bagai dirasuki dewa pembantai, tubuh dan 

golok di tangan si Hina Kelana berkelebat sangat ce-

patnya. Angin menderu menyertai melesatnya senjata 

itu. Warung yang sudah reot di sana sini terasa berge-

tar, tapi tiga orang dari Lembah Weling itu pun tidak 

tinggal diam. Dengan cepat mereka putar pedangnya 

sambil sesekali melepaskan pukulan-pukulan maut-

nya.

Buang Sengketa memang sudah mencapai pun-

cak kemarahannya. Mulutnya terus memperdengarkan 

bunyi mendesis, di pihak lawan pun serangan-

serangan belasan sering mungkin dia lakukan. Tetapi, 

nampaknya senjata yang sangat menggemparkan di 

tangan Pendekar Hina Kelana nampaknya bukanlah 

sesuatu yang dapat dianggap remeh oleh mereka.

"Hiaaat. Mampus...!" Garu Wisesa kirim satu 

pukulan jarak jauh, namun dalam waktu bersamaan 

secara nekad dia juga kirimkan satu babatan pedang-

nya.

"Wuuut! Blam!" 

Pendekar Hina Kelana terdorong ke belakang, 

tapi Garu Wisesa juga tercampak tubuhnya hingga me-

labrak dinding kayu hingga bobol. Pendekar Hina Ke-

lana masih belum siap pada posisinya, namun datang 

pula serangan dari samping kanan kiri Buang Sengke-

ta, golok di tangannya, tak dapat terhindar lagi. 

"Trang! Trang!"


Pedang di tangan lawan patah menjadi dua, 

tangan mereka tergetar sakit. Terasa bagai kesemutan. 

Namun nampaknya Pendekar Hina Kelana anak Raja 

Ular Piton Utara ini tidak ingin berlama-lama. Dia 

memburu ke arah kedua lawannya.

"Nguung!"

"Awaas!" Garu Wisesa yang sudah kembali da-

lam keadaan siap tempur memberi peringatan pada 

kembrat-kembratnya. Tetapi nampaknya senjata di 

tangan Buang Sengketa malah bergerak lebih cepat la-

gi.

"Heuuuup...!"

"Craaas! Craaas!" 

Darah memancar dari batang leher kedua la-

wannya yang hampir terputus, tubuh mereka ter-

huyung-huyung, sementara tenggorokan mereka yang 

hampir terputus itu mengeluarkan bunyi berkerokokan 

bagai seekor kerbau yang di sembelih. Di luar sepenge-

tahuan pemuda itu, Garu Wisesa yang sudah menciut 

nyalinya tanpa berfikir panjang lagi, bahkan tiada 

sempat menyambar Dewi Wening Asih, langsung saja 

melarikan diri.

"Keparat! Kiranya Iblis Lembah Weling hanya-

lah sebangsanya tikus pengecut!" maki pemuda itu 

sambil memandang sinis pada tubuh dua orang la-

wannya yang sudah tiada berkutik lagi. Lalu tanpa 

menoleh-noleh lagi, dia sudah melangkah meninggal-

kan warung itu setelah sebelumnya meninggalkan em-

pat keping uang emas di atas meja yang masih tersisa. 

Dewi Wening Asih yang sudah merasa bersalah segera 

mengejarnya.

"Tunggu Kelana...!"

"Toh, kau punya kaki, berjalanlah sendirian...!" 

ucap pemuda itu tanpa menoleh-noleh lagi.


"Maafkan aku...! Aku telah banyak menyusah-

kanmu...!" Penuh penyesalan Dewi Wening Asih beru-

cap.

"Meminta maaf itu memang mudah, tapi beru-

sahalah untuk menyadari kesalahan dan membetul-

kannya...!"

"Baiklah... baiklah...! Tapi bolehkah kalau aku 

ikut denganmu?" tanya gadis itu setengah ragu.

"Aku tak pernah melarang siapa pun berjalan 

bersamaku, yang penting jangan banyak rewel...!" Tan-

pa kata-kata lagi, mereka terus melakukan perjala-

nannya menuju Lembah Gunung Batu Siwak.

* * *

LIMA



Bulan berselimut kabut, suasana di sekitarnya 

hanyalah keremangan belaka. Tiada bintang-bintang 

yang bertaburan di angkasa sana, suasana alam pun 

hanya memperdengarkan nyanyian sunyi. Hanya sese-

kali saja terdengar lolongan serigala hutan di kejauhan 

sana. Seram dan mencekam.

Begitulah keadaan yang ada di sekitar pinggi-

ran hutan berbukit hampir setiap malamnya. Tiada 

seekor binatang pun berseliweran di tempat itu, jan-

gankan lagi makhluk yang disebut manusia. Namun 

malam itu sungguhpun bulan tiada menampak-kan di-

ri, tetapi ada sosok tubuh yang melintasi daerah yang 

hampir tak terjamah oleh siapa pun. Gerakannya san-

gat cepat luar biasa, lincah dan berloncatan dari satu 

pohon ke pohon lainnya. Seekor monyetkah dia? Sama 

sekali tidak. Laki-laki berpakaian bangsawan itu tak


lain adalah Rajenta yang sedang di tugaskan oleh guru 

para siluman untuk menemukan Arca Harimau Kum-

bang yang hilang. (Dalam Episode Siluman Harimau 

Kumbang).

Sejak menemukan sebagian murid-murid dari 

Lembah Weling, dan sedikit mendengar kabar istri dan 

anaknya, dia sudah bertekad untuk mengobrak abrik 

perguruan orang-orang yang telah membuat sengsara 

keluarganya itu. Dengan tanpa mempunyai maksud 

mengesampingkan pencarian Arca Harimau Kumbang 

yang telah lenyap itu, dia juga ingin mencari tahu be-

narkah Gembel Pengemis merupakan orang yang pan-

tas dicurigainya. Padahal dia cukup tahu betul siapa

adanya kakek renta dari Pulau Naga itu. Kalau kecuri-

gaannya ternyata benar, haruskah dia merampas arca 

itu dari tangan tokoh sesat yang sangat sakti tersebut? 

Padahal dengan Gembel Pengemis, selama ini mereka 

telah membina hubungan yang sangat baik. Setan ma-

na pun yang telah melakukan pencurian Arca Harimau 

Kumbang.

Tak perduli lawan maupun kawan dia harus 

merampasnya dari tangan mereka. Selanjutnya men-

gembalikannya arca itu ke Lembah Gunung Batu Si-

wak. Tetapi menemukan keluarganya kembali juga 

termasuk hal yang sangat penting. Ah, Sang Hyang 

Widi semoga mereka tetap dalam lindungan Mu selalu. 

Doanya dalam hati.

Sementara itu Rajenta telah memasuki sege-

rombolan pohon yang sangat rindang. Tanpa menghi-

raukan keadaan di sekelilingnya dia terus memperce-

pat larinya. Tanpa sepengetahuannya mendadak me-

luncurlah beberapa batang pisau beracun dari atas 

pohon yang berada di kanan kiri semak-semak yang 

dilaluinya. Rajenta merasakan adanya sambaran angin



senjata-senjata itu, maka tak ayal lagi dia langsung 

berjumpalitan. Senjata-senjata rahasia itu saling ber-

tabrakan, sebagian besar di antaranya menancap di 

batang pohon.

"Bangsat, pembokong gelap! Nampakkanlah di-

ri! Kalau tidak aku akan robohkan pohon-pohon yang 

ada di sekeliling ku ini...!" ancam Rajenta sambil mele-

paskan tiga pukulan beruntun.

"Wuuus! Bruaaak!" Dua pohon yang tegak ko-

koh di samping Rajenta tumbang dan roboh menim-

bulkan suara riuh rendah. Maka berlompatanlah bebe-

rapa sosok tubuh dari atas pohon yang roboh itu. Dari 

tampang dan pakaian yang dipakai mereka, Rajenta 

sudah mengetahui kalau mereka merupakan begun-

dal-begundal Jali Sajiwa dari Lembah Weling. Maka 

saat itu juga mendidihlah darah Rajenta demi mengin-

gat nasib yang dialami oleh anak dan istrinya. Lalu 

tanpa basa basi lagi dia membentak dengan gusar.

"Kalau tak salah, kalian pasti begundalnya Jali 

Sajiwa. Hemm, biasanya kalau ada keroco-keroconya 

pasti si bangsat itu ada bersama kalian. Panggillah 

manusia setan itu untuk berhadapan denganku...?"

"Kampret, siapakah engkau ini, berani mati kau 

memaki ketua kami...!" Tak kalah gusarnya murid-

murid dari Lembah Weling itu pun membentak.

"Kalau tak salah, si bangsat Jali Sajiwa itu te-

lah menculik anak dan istriku, dia perampok tengik 

yang perlu diberi pelajaran yang, sangat setimpal."

"Ha... ha... ha...! Kiranya engkaulah Rajenta 

yang telah buron sampai ke Lembah Gunung Batu Si-

wak. Pieee... kirain kau telah mampus di lembah yang 

sangat angker itu...!" Beberapa orang murid tertawa 

sambil mencemooh. Sementara itu beberapa orang 

yang berada di atas pohon telah berlompatan turun


dari tempat persembunyiannya.

"Keparat. Kutanya di mana Jali Sajiwa bera-

da...?" geram sekali laki-laki berpakaian bangsawan itu 

mencela.

"Rajenta, bangsawan yang jatuh tertimpa tang-

ga! Untuk apa engkau berurusan dengan ketua kami, 

sedangkan berhadapan dengan murid-muridnya saja 

engkau kalau tidak minggat pasti telah menjadi bang-

kai sejak lama...!"

"Hemm! Agaknya aku harus tunjukkan pada 

kalian terlebih dahulu, siapa adanya Rajenta yang kini 

telah berada di hadapan kalian ini...!"

"Som...!"

Belum lagi salah seorang yang berbadan tinggi 

besar selesai dengan kata-katanya, mendadak Rajenta 

sudah kirimkan satu serangan kilat. Tiga orang yang 

paling dekat dengan si tinggi besar roboh dengan ba-

tang tenggorokan terputus bagai terkena sabetan pisau 

belati. Sudah barang tentu kejadian yang tiada di 

sangka-sangka itu membuat heran dan kejut di hati 

yang lainnya. Tapi sebelum mereka sempat berpikir 

apa yang harus mereka lakukan, Rajenta yang sudah 

dalam keadaan kalap itu sudah menyerang mereka, 

dengan kuku-kukunya yang secara tiba-tiba mencuat 

panjang dan tajam. Itulah salah satu Ajian Siluman 

Harimau Kumbang yang diberi nama Tangan Maut.

Mengetahui kawan-kawannya yang lain nam-

pak bergelimpangan satu demi satu dengan kecepatan 

yang sangat sulit diduga-duga, maka yang masih se-

lamat pun segera mencabut senjatanya masing-

masing. Dalam waktu sekejap saja, di dalam gelap re-

mang-remang terjadilah pertarungan yang sangat sen-

git. Dalam pada itu di luar sepengetahuan Rajenta, Jali 

Sajiwa nampak memperhatikan segala apa yang dilakukan oleh Rajenta terhadap muridnya. Dia sendiri 

merasa menjadi heran sendiri, bagaimana mungkin da-

lam waktu yang sangat singkat Rajenta memiliki ilmu 

yang sedemikian tangguhnya. Sesaat kemudian dia te-

lah memandang pada Garu Wisesa yang nampak te-

gang tak begitu jauh dari sisinya.

"Heh...! Kalau kita tidak cepat-cepat turun tan-

gan, sebentar lagi tentu orang-orang kita akan terban-

tai habis oleh Rajenta itu...!" ucap Jali Sajiwa tanpa 

mengalihkan perhatiannya dari pertempuran.

"Apa yang harus kita lakukan, Ketua...?" tanya 

Garu Wisesa agak jeri.

"Dia sekarang merupakan. orang yang dapat 

merubah ujudnya menjadi seekor harimau siluman, 

bukan tak mungkin murid-murid Lembah Weling dan 

kejadian lain tentang korban pembunuhan yang di la-

kukan oleh seekor binatang buas dialah pelaku-nya." 

kata Jali Sajiwa dengan wajah penuh kegeraman. 

"Kuya, anjing buduk, janda malang. Istrinya telah 

mampus di tanganku, anaknya malah kabur. Benar-

benar nasib ini selalu apek. Sungguhpun dia bisa be-

rubah menjadi seribu siluman, aku tetap akan mem-

bunuhnya...!" ucap Jali Sajiwa, pelan namun suaranya 

tergetar dalam kemarahannya.

"Lalu bagaimana, Ketua...?" tanya Garu Wisesa 

masih dalam keadaan tegang.

"Guooblook! Kau hajar dia... sekarang...!"

"Ba... baiik... ketua...!" jawab laki-laki itu. Se-

lanjutnya tanpa banyak fikir lagi ke-duanya pun den-

gan sekali berkelebat telah sampai di depan Rajenta 

yang nampak se-dang sibuk membantai murid-murid 

dari Lembah Weling.

"Hentikan...!" teriak Jali Sajiwa dengan kema-

rahan yang meluap-luap. Sontak, baik sisa-sisa murid


Jali Sajiwa maupun Rajenta menghentikan serangan-

nya.

Jali Sajiwa nampak menyapu pandang pada 

murid-muridnya yang bergelimpang-an, sementara Ra-

jenta memandang sinis pada Jali Sajiwa.

"Jali Sajiwa manusia tengik, ke mana istri dan 

anakku...!" teriak Rajenta memecah keheningan ma-

lam. Tiada jawaban, sejenak Jali Sajiwa memandang 

tajam pada Rajenta dari ujung rambut sampai ujung 

kaki.

"Ha... ha... ha...! Mulanya aku ingin menjadikan 

engkau mertuaku. Sungguh sayang anakmu dibawa 

kabur oleh seorang gembel. Sedangkan istrimu, hemm. 

Sayang-nya dia juga terlalu keras kepala...!" Merah pa-

dam wajah Rajenta demi mendengar apa yang di kata-

kan oleh musuh bebuyutannya itu (Dalam Episode Si-

luman Harimau Kumbang).

"Kurang ajar, kau biang kerok pencurian Area 

Harimau Kumbang, kau sapu ludes se-mua harta ben-

da ku. Kini anak istriku kau binasakan...!" maki Rajen-

ta dan dalam kemarahannya itu mendadak segala-

galanya berubah, sehingga semua orang yang ada di 

tempat itu menjadi ciut juga nyalinya. Mula-mula tan-

gan tumbuh bulu, kuku-kuku jemarinya semakin ber-

tambah panjang dan tajam-tajam. Selanjutnya wajah-

nya pun secara perlahan menjadi sosok muka harimau 

kumbang.

"Siluman Harimau Kumbang...!" seru mereka 

setengah tertahan.

"Jali Sajiwa, katakanlah dengan sebenarnya. 

Kaukah yang telah mencuri Arca Harimau Kumbang? 

Dan kau apakan istriku...?!"

"Arca terkutuk itu, tiada sekalipun aku mencu-

rinya. Kabar terakhir yang kudengar Gembel Pengemis


lah yang telah menyantroni tempat kediaman Pergu-

ruan Walet Merah. Hemm, kalau istrimu memang aku 

yang telah membunuhnya. Kami bahkan pernah ber-

senang-senang bersama...!" ejek Jali Sajiwa, sungguh-

pun dia tak tahu seberapa hebat kemampuan yang 

dimiliki oleh Rajenta yang telah berubah menjadi silu-

man itu, namun dia sengaja memancing kemarahan 

Rajenta.

Memang benar kenyataan yang sesungguhnya, 

Rajenta nampak sangat marah luar biasa, namun 

sampai sejauh mana pun kemarahannya dia masih te-

tap ingat pada pesan guru para siluman. (Dalam Epi-

sode Siluman Harimau Kumbang). Dia tak ingin me-

langgarnya, itulah satu-satunya yang terus dia ingat 

sepanjang perjalanannya mencari Arca Harimau Kum-

bang yang telah hilang itu.

"Grauuuung! Grrrr...! Dosa-dosamu telah me-

lampaui batas Jali Sajiwa. Walaupun Arca Harimau 

Kumbang itu tidak ada padamu, namun hal itu bukan 

berarti kau tak memiliki kesalahan lain yang sama be-

ratnya. Untuk itu, malam ini juga kau dan murid-

muridmu harus membayar lunas atas hutang-hutang 

yang telah kau pinjam tempo hari...!"

Jali Sajiwa nampaknya masih kelihatan tenang-

tenang saja, dengan sudut matanya dia melirik Silu-

man Harimau Kumbang penjelmaan Rajenta. Siluman 

itu kini telah berdiri dengan keempat kakinya. Tiada 

lagi kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya ter-

kecuali auman yang panjang yang menandakan bahwa 

siluman itu telah siap untuk bertarung.

"Bekas bangsawan. Malang sekali nasibmu, du-

lu kau memang sempat lolos, namun tidak untuk saat 

ini. Maka bersiap-siaplah...!"

Teriak Jali Sajiwa selanjutnya dia memberi


isyarat pada para murid-muridnya. Tanpa ampun lagi, 

sepuluh orang sisa-sisa murid Lembah Weling segera 

mencabut senjata masing-masing.

"Ciaaat...! Haaaiiiit...!"

"Graung...!" Dengan sangat tangkas Siluman 

Harimau Kumbang berkelit, selanjutnya dengan kuku-

kukunya yang tajam dan taring-taringnya yang pan-

jang mengamuklah Siluman Harimau Kumbang utu-

san guru para siluman itu.

"Krubuti...!"

Teriak Garu Wisesa menghunus pedangnya. 

Dengan sangat cepat murid-murid dari Lembah Weling 

itu memutar tubuh dan membuat sebuah lingkaran. 

Siluman Harimau Kumbang itu kini sudah dalam posi-

si terkurung, namun dengan pandangan matanya yang 

liar dan sorot matanya yang merah berapi-api dia 

kembali mengaum menjatuhkan semangat lawan-

lawannya.

"Hajar! Mengapa pada bengong saja...!" Benta-

kan Jali Sajiwa membuat murid-muridnya terbebas 

dari si siluman harimau itu, mereka kembali berge-

brak.

"Grauuuuung...!"

Harimau itu melesat, sekali saja kuku-kuku 

depannya yang tajam itu menyambar. Maka tiga orang 

murid Lembah Weling yang datang menyongsong den-

gan senjata terhunus terkapar dengan leher hampir 

terputus. Tetapi tidak sampai di situ saja dia bertin-

dak. Tubuhnya kembali berlompatan gesit dan sangat 

cepat membabatkan pedangnya secara bertubi-tubi. 

Harimau Kumbang itu hanya menggeram marah, na-

mun tubuhnya sedikit pun tiada terluka.

"Kurang ajar! Harimau itu ternyata kebal terha-

dap segala macam senjata tajam, kita harus mencari


jalan lain." teriak salah seorang murid dari lima orang 

yang tersisa. Semakin bertambah gusar sajalah Jali 

Sajiwa dibuatnya. Dalam pada itu, dua. orang Lembah 

Weling kembali melolong setinggi langit. Taring-taring 

yang tajam dari ujud yang buas membuat murid-murid 

malang itu sudah tiada dapat tertolong lagi.

"Grauuung...! Hoaaar...!" 

Harimau itu terpekik manakala merasakan 

sambaran angin pukulan yang sangat dingin dan ber-

hawa keji melabrak tubuhnya. Tanpa ampun lagi, dia 

terbanting, lalu bersamaan dengan terhempasnya tu-

buh siluman itu, maka terdengarlah suara tawa Jali 

Sajiwa.

* * *

ENAM



"Ha... ha... ha...! Asal kau tahu saja siluman 

keparat! Pukulan Iblis Beracun yang mengenai tubuh-

mu selama ini tak seorang pun mampu bertahan hi-

dup, lebih dari dua pekan. Kau boleh kebal terhadap 

berbagai jenis senjata, namun di kolong jagad ini tak 

seorang pun manusia yang dapat menghadapi satu-

satunya ilmu sesat yang sangat langka itu....'"

Siluman Harimau penjelmaan Rajenta mengge-

rung, dikibas-kibaskannya ekor untuk memberi kekua-

tan baru agar dapat bangkit kembali.

"Hoaaar...!" Raung siluman itu, secara perlahan 

dia bangkit kembali, tubuhnya terhuyung-huyung. Jali 

Sajiwa dan Garu Wisesa saling berpandangan sejenak. 

Lalu mereka pun saling menggaruk.

"Kita cecar dia dengan pukulan Iblis Be


racun...!" kata mereka hampir bersamaan. Maka se-

makin bertambah marahlah Siluman Harimau Kum-

bang itu dibuatnya. Lalu, sebelum pukulan itu sampai 

terlepas dari para lawan-lawannya, siluman harimau 

itu dengan satu raungan yang sangat panjang dan 

membahana melesat sedemikian cepat melabrak tubuh 

Garu Wisesa, laki-laki bertampang angker itu menjadi 

gugup. Namun secepatnya dia babatkan pedangnya ke 

arah bagian kepala Harimau Kumbang yang berusaha 

menerkam bagian tengkuknya.

"Craaak! Craaak!"

"Breet! Breet!" Siluman Harimau Kumbang itu 

berhasil menyabetkan kuku-kuku-nya yang sangat ta-

jam pada bagian tengkuk lawannya. Sebaliknya senja-

ta Garu Wisesa bagai membentur batu karang saja 

layaknya begitu menghantam tubuh Siluman Harimau 

Kumbang itu. Garu Wisesa merintih-rintih, lehernya 

yang terobek dan mengalirkan banyak darah sudah 

sangat sulit untuk di gerakkan.

"Jahanam, kau telah melukai murid kesayan-

ganku, Weer...!" Sambil memaki Jali Sajiwa sudah ki-

rimkan pukulan Iblis Beracun tingkat tinggi. Bagaikan 

angin ribut, pukulan maut itu melesat dan timbulkan 

suara menggemuruh. Sementara Siluman Harimau 

Kumbang yang telah merasakan kehebatan pukulan 

beracun itu, juga tidak tinggal diam. Kembali dengan 

kegesitan yang sangat luar biasa dia kembali berkelit 

selanjutnya melompat menghindar. Celakanya, ke ma-

na pun siluman itu bergerak. Pukulan Iblis Beracun 

yang dilepaskan oleh lawannya selalu mengikutinya. 

Siluman penjelmaan dari Rajenta, nyatanya juga tidak 

kehabisan akal. Dengan mempergunakan Ajian Tang-

kal Pati pemberian guru para siluman dia pukulkan 

tangan depan yang berubah menjadi kaki tersebut.


Tak dapat dicegah, selarik gelombang berwarna 

putih menyerupai kabut nampak bergerak lambat na-

mun bergumpal-gumpal. Lama kelamaan kabut itu 

menebal sehingga menyerupai sebuah perisai yang 

sangat kokoh. Pukulan lawan yang terus mengejarnya 

itu, tak ayal lagi langsung membentur perisai yang ke-

kuatannya melebihi dinding baja.

"Brang!" Tubuh Jali Sajiwa terjengkang, dari ce-

lah-celah bibirnya mengalir darah kental. Tak dapat di 

sangkal dia terkena pukulannya sendiri yang berbalik 

setelah menghantam perisai baja itu. 

"Ilmu Iblisss...!"

Memaki Jali Sajiwa sambil memegangi dadanya 

yang terasa bagaikan remuk. Siluman Harimau Kum-

bang hanya mengaum, dalam kesempatan itu, Garu 

Wisesa yang sudah banyak mengeluarkan darah, demi 

melihat ketuanya dalam keadaan terluka, nampaknya 

juga tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa kekuatannya, 

dia menyerang siluman itu secara membabi buta. Se-

baliknya siluman harimau itu menggerung dengan ke-

marahannya yang menjadi-jadi.

"Mampus...!" teriak Garu Wisesa sambil meme-

gangi punggung lehernya yang terus berdenyut-denyut 

sakit.

"Gruuung...!" Tubuh harimau itu melompat 

dengan posisi menerkam, dengan sangat cepat pula 

Garu Wisesa rendahkan tubuhnya serendah mungkin. 

Terkaman itu luput, hanya anginnya saja yang terasa 

menyambar di atas kepala. Garu Wisesa berbalik, na-

mun terlihat pula bahwa saat itu Siluman Harimau 

Kumbang sudah bersiap-siap kembali dalam posisi 

menerkam.

"Roaaar...!"

"Bruuk!"



Tubuh Garu Wisesa sudah terdorong jatuh ber-

guling-guling, manakala Harimau Kumbang itu mener-

jangnya dengan kekuatan tiga seperempat tenaga da-

lamnya. Sekejap saja terjadilah pergumulan sengit. Be-

gitu buas dan beringas harimau itu mencabik-cabik 

tubuh Garu Wisesa dengan taring dan kuku-kukunya 

yang sangat tajam. Laki-laki bertampang beringas itu 

kelabakan, dia panik. Sementara tubuhnya sendiri su-

dah tak tentu ujudnya. Selanjutnya dia hanya mampu 

menggeliat dan menggelepar saja manakala nyawanya 

sudah tiba di ambang tenggorokan.

"Weeeer...!"

Dalam keadaan sempoyongan, Jali Sajiwa le-

paskan satu pukulan Iblis Beracun tingkat pertama. 

Siluman penjelmaan Rajenta itu kembali menggeram, 

selanjutnya dia pun tanpa sungkan lagi kerahkan ajian 

Selaksa Harimau Kumbang Menerjang. Secara cepat 

tubuh siluman harimau itu mengembar, semakin lama 

semakin bertambah banyak. Bahkan jumlahnya men-

capai puluhan. Tak pelak lagi pukulan Iblis Beracun 

itu menghajar beberapa ekor kembaran harimau kum-

bang. Begitu pukulan itu datang menghantam, hari-

mau-harimau itu mengaum keras, tubuh binatang-

binatang itu terbanting tak karuan. Namun manakala 

tersungkur ke tanah, maka keanehan pun terjadi. Si-

luman harimau kumbang yang lainnya bermunculan 

dari tubuh kawannya yang terkapar.

"Ilmu iblis...!" maki Jali Sajiwa terus mengum-

bar pukulan-pukulan beracunnya. Siluman harimau 

kumbang itu kini jumlahnya mencapai ratusan ekor, 

Jali Sajiwa nampak semakin kewalahan, nafas kem-

bang kempis bagai habis dikejar-kejar setan kubur. 

Tiada terduga-duga, siluman harimau kumbang itu se-

cara berbarengan menyerang Jali Sajiwa dengan segenap kemampuannya.

"Graaaaar...!"

"Aakkkgggh...!" Jali Sajiwa, gembong iblis dari 

Lembah Weling itu menjerit-jerit kesakitan, malang se-

kali nasibnya. Sebab dalam sekejap tubuhnya terca-

bik-cabik tak karuan ujudnya. Secara perlahan namun 

menyakitkan, tubuh yang bergelimang dosa itu pun 

berkelojotan bagaikan seekor ayam disembelih, selan-

jutnya terdiam untuk selama-lamanya. Dengan kema-

tian Jali Sajiwa itu, maka secara perlahan Rajenta 

yang masih berujud siluman harimau kumbang, nam-

pak merapal Ajian Muluh Asal pada ujud yang sesung-

guhnya.

Satu demi satu siluman harimau yang menca-

pai puluhan ekor itu segera lenyap, berubah menjadi 

asap tipis. Sementara itu tubuh siluman harimau 

kumbang itu juga secara perlahan telah berubah pula 

menjadi ujud Rajenta yang sesungguhnya.

Laki-laki berpakaian bangsawan itu nampak 

mengeluh sambil memegangi dadanya yang terasa 

sangat sakit luar biasa.

"Eeggh...! Pukulan Iblis Beracun, seumur hidup 

aku baru merasakannya kali ini. Hemm... mudah-

mudahan umurku sampai untuk mencari Arca Hari-

mau Kumbang yang dicuri oleh Gembel Pengemis dari 

Pulau Naga, tap,., tapi dadaku terasa sangat nyeri se-

kali. Kepalaku berdenyut-denyut bagai mau pecah. 

Mungkinkah pukulan beracun yang ku derita ini tidak 

separah seperti apa yang dikatakan oleh manusia iblis 

itu. Tapi kalau ternyata memang benar apa yang di ka-

takannya, itu berarti hidupku hanya tinggal beberapa 

hari lagi... tapi... mengapa aku tak menggeledah Jali 

Sajiwa yang telah binasa itu. Mudah-mudahan pena-

warnya ada padanya...!" batin Rajenta, lalu secepatnya


dia sudah menghampiri mayat Jali Sajiwa yang terka-

par di antara murid-murid-nya yang lain.

Rajenta kemudian berlutut, selanjutnya segera 

menggeledah pakaian yang melekat di tubuh Jali Saji-

wa. Kantong-kantongnya nampak kosong terkecuali 

berisi senjata-senjata yang sangat beracun.

Rajenta nampak sangat kecewa, tak didapatnya 

obat penawar racun yang mengidap di tubuhnya seper-

ti yang dia harapkan.

"Gembong manusia iblis ini memang sungguh 

pandai sekali, dia telah memperhitungkan segala sesu-

atunya. Sekarang semuanya kuserahkan pada Sang 

Hyang Widi kalaupun aku tak dapat memenuhi keingi-

nan guru para siluman, maka apa boleh buat. Yang 

penting setidak-tidaknya aku telah berusaha melaku-

kan salah satu di antara apa yang diinginkannya." ba-

tinnya lagi.

Dalam keadaan bingung dan tercenung seorang 

diri seperti itu, mendadak, muncullah kabut putih di 

tengah-tengah kegelapan malam yang pekat. Rajenta 

terkesiap, nampaknya dia sangat mengenal kehadiran 

kabut tipis itu. Tak lain merupakan gurunya sendiri. 

Sesaat semuanya berubah hening, Rajenta ingin men-

gatakan sesuatu, namun serta merta terdengar guru 

para siluman yang tak pernah menunjukkan rupa.

"Rajenta, mengapa kau harus bingung. Aku ta-

hu saat ini kau terkena pukulan Iblis Beracun yang 

sangat. ganas itu. Namun kuminta kau jangan cemas. 

Berjalanlah terus ke arah Utara...!" kata suara tanpa 

rupa menyarankan.

"Guru...! Benarkah apa yang dikatakan oleh Ja-

li Sajiwa itu...?" tanya Rajenta dengan hati diluputi 

keingintahuan.

"Hemm. Semua apa yang dikatakannya itu


memang benar adanya, tapi itu bisa terjadi andai kau 

tidak dapat mendapat pertolongan...!"

"Mungkinkah nyawaku tidak tertolong lagi...?" 

tanya Rajenta dengan perasaan harap-harap cemas. 

Guru para siluman memperdengarkan suara tawa pe-

nuh arif.

"Rajenta, di dunia ini tiada sakit yang tidak ada 

obatnya, semuanya bisa saja terjadi asal kau berusaha 

untuk melakukannya...!"

"Lalu, apakah yang harus kulakukan, Guru...?" 

"Pergilah kau ke arah Utara, nanti kau akan 

bertemu dengan seorang pemuda berpakaian kumal, 

dia ada bersama-sama anakmu... tapi kau jangan ge-

gabah. Sebab dialah Pendekar Golok Buntung yang 

masih merupakan keturunan raja negeri alam gaib. 

Dia pasti dapat melakukannya, dan andai kau bersi-

kap baik padanya. aku juga merasa sangat yakin kalau 

dia mau membantu usahamu dalam mencari Arca Ha-

rimau Kumbang yang selama ratusan tahun telah le-

nyap dari Lembah Gunung Batu Siwak. Kuperingatkan 

padamu, Rajenta. Hanya dengan kembalinya arca itu 

sajalah yang dapat membuat Lembah Gunung Batu 

Siwak dapat terhindar dari bencana alam yang datang 

lebih hebat lagi...!"

"Baiklah, aku akan melakukannya, Guru...!"

"Pergilah secepatnya...!" kata guru para silu-

man. Selanjutnya suasana berubah sunyi kembali, ka-

but putih itu lenyap dari pandangan mata. Maka tanpa 

membuang waktu lagi, Rajenta dengan langkah ter-

huyung-huyung segera melangkah pergi.

* * *


TUJUH


Setelah melatih diri selama hampir dua purna-

ma, si kembar tangan buntung ini, atau yang lebih di-

kenal sebagai si Kembar Pedang Dewa. Mereka boleh 

berbesar hati, karena kini mereka sewaktu-waktu da-

pat berubah ujud menjadi seekor harimau kumbang 

yang sangat menggemparkan itu. Memiliki Arca Hari-

mau Kumbang bagi mereka memang terasa banyak 

manfaatnya. Bagaimana tidak? Di dalam arca itu ter-

simpan sebuah kitab ilmu siluman yang selama berada 

di tangan Ketua Perguruan Walet Merah tak seorang 

pun yang mengetahui tentang rahasia itu. (Dalam Epi-

sode Siluman Harimau Kumbang). Termasuk juga se-

mua perguruan golongan lurus. Sekarang dengan 

menguasai ilmu Siluman Harimau Kumbang dan den-

gan arca itu berada di tangan mereka, maka mereka 

sudah dapat memastikan dalam waktu yang sangat 

singkat, mereka sudah dapat menguasai dunia persila-

tan dari berbagai golongan dengan cara yang sangat 

mudah saja. Dalam ruangan gua berdinding batu pua-

lam putih, si Kembar Pedang Dewa dengan dedengkot 

persilatan golongan hitam, Gembel Pengemis dari Pu-

lau Naga nampak sedang berbincang-bincang dengan 

sekutunya yang baru. Ruangan gua yang agak gelap 

itu hanya di terangi oleh lampu minyak kelapa yang 

nyalanya sangat kecil sekali, sehingga menampakkan 

wajah mereka yang mirip seperti lutung itu semakin 

bertambah angker saja.

"Nah seperti saudara kembar ketahui, kini se-

gala apa yang tersimpan dalam Kitab Siluman Harimau 

Kumbang telah kalian peroleh dan miliki. Itu menan-

dakan sebagai orang yang menginginkan kerja sama


yang baik mau pula melakukan yang terbaik untuk 

kawan-kawannya satu golongan. Pokoknya ilmu Silu-

man Harimau Kumbang yang ada dalam kitab itu telah 

sama-sama kita miliki. Kini tinggal niat kita saja untuk 

sama-sama menjaga arca yang sangat berharga itu. Se-

lanjutnya kita hancurkan semua kekuatan kaum go-

longan putih, dengan cara melakukan teror di mana-

mana." kata Gembel Pengemis berpakaian compang 

camping itu membuka pembicaraan.

"Lalu apa yang kita lakukan mulai saat ini, 

Saudara Gembel...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi.

"Niat kita sudah jelas, jalan mudah untuk men-

guasai mereka tanpa bersusah payah adalah melaku-

kan pada masing-masing perguruan. Setelah itu kita 

adu domba mereka sehingga saling bertarung. sesa-

manya akibat kesalah pahaman. Setelah kekuatan me-

reka lemah, nah saat itu kita turun menyerang...!" 

Gembel Pengemis mulai menanamkan gagasannya.

"Tapi, aku harus menagih hutang tanganku 

yang dibuntungi oleh bocah hina yang sangat tangguh 

itu. Grrttk.... Kalau saja aku sampai bertemu dengan 

orang itu, aku tak akan mengampuni jiwanya...!" Me-

nyela si Kembar Gemuk Pendek.

"Saudaraku juga benar, Saudara Gembel...! Sa-

kit hati ini benar-benar harus dia bayar dengan sangat 

setimpal. Kami masih akan terus penasaran selamanya 

andai kami tidak dapat darahnya dan memakan pula

otaknya...!" Saudaranya yang paling tua ikut menimpa-

li.

Gembel Pengemis dari Pulau Naga nampak ter-

senyum-senyum penuh kelicikan yang sangat tersem-

bunyi.

"Membinasakan pemuda yang menamakan di-

rinya sebagai Pendekar Hina Kelana adalah sama gampangnya dengan membalikkan telapak tangan. Aku 

sendiri secara pribadi merasa sangat ingin menjajal 

seberapa hebatnya Golok Buntung miliknya yang san-

gat menggemparkan itu...!" Berkata Gembel Pengemis 

dengan kesombongan selangit.

"Lalu sekarang ini apa yang akan kita tem-

puh...!" tanya si kembar gemuk pendek ingin sebuah 

kepastian. Gembel Pengemis nampak terdiam, otaknya 

berputar mencari kemungkinan terbaik, sementara ke-

dua matanya memandang tiada berkedip pada lampu 

minyak yang terletak di depannya.

"Baiknya kita berpencar, masing-masing dari 

kita menuju ketiga penjuru mata angin...!" ujar Gembel 

Pengemis kemudian tanpa mengalihkan perhatiannya 

pada lampu yang terletak di depannya. Ke dua manu-

sia kembar itu saling berpandangan sesamanya, sama 

sekali mereka tak mengerti ke mana arah pembicaraan 

Gembel Pengemis.

"Mengapa kita harus berpencar, saudara Gem-

bel Pengemis...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi tiada 

mengerti.

"O wala dala... kalau kita tidak berserak, bera-

pa tahun kita harus dapat menguasai semua golongan 

persilatan...?" Kedua kembar angguk-anggukkan kepa-

la tanda mengerti.

"Lagi pula, dengan cara berpencar begitu, teror 

yang kita lakukan justru akan membingungkan semua 

lawan-lawan kita." jelasnya lebih lanjut.

"Sebuah ide yang sangat tepat. He... he... he...! 

Kami tiada menyangka kalau saudara Gembel meski-

pun sangat tua namun memiliki pandangan yang 

awas...!" Puji Kembar Pedang Dewa hampir bersamaan.

"He... he... ho... ho... ho...! Lha wong aku kok...! 

Tidak percuma aku jauh-jauh datang dari Pulau Na


ga...!"

"Ta... tapi bagaimana agar keselamatan arca itu 

dapat terjamin, saudara Gembel Pengemis...?" tanya si 

Gemuk Pendek agak meragu. Kiranya keraguan itu 

sempat pula diketahui oleh Gembel Pengemis dari Pu-

lau Naga. Maka cepat-cepat dia menyela:

"Saudara-saudara tak usah merasa takut, ka-

lau arca biarkan saja aku yang membawanya. Sebab 

kalaupun disimpan di tempat ini, aku tak berani men-

jamin keselamatannya. Biarlah aku yang membawa-

bawa-nya ke mana pun aku pergi...!" ucap Gembel 

Pengemis berusaha meyakinkan.

"Baiklah, kami percaya sepenuhnya pada sau-

dara Gembel Pengemis! Tapi kalaupun kita berpencar, 

lalu untuk selanjutnya di mana kita harus bertemu 

kembali?" tanya salah seorang si kembar. Gembel Pen-

gemis nampak terbengong-bengong, menurut penda-

patnya pribadi tempat pertemuan akhir itu memang 

pantas untuk diketahui mulai dari saat sekarang. Se-

bab apa pun yang bakal terjadi nantinya, mereka ha-

rus menentukan sebuah tempat yang pada akhirnya 

merupakan ajang pertemuan di perbatasan antara Gu-

nung Batu Siwak dengan lembah maut...?"

"Mengapa harus di sana, saudara Gembel Pen-

gemis? Bukankah tempat itu merupakan sebuah tem-

pat yang hampir sepanjang tahunnya dilanda gempa. 

Pula merupakan daerah yang sangat berbahaya seka-

li...!" kata si gemuk tinggi merasa kurang setuju.

"Aku memilih tempat itu bukan sembarang pi-

lih, perbatasan lembah Gunung Batu Siwak merupa-

kan sebuah daerah yang tidak pernah dijarah oleh sia-

pa pun. Kalau di sanalah kita mengadukan pertemuan, 

maka aku dapat menjamin tentang keamanannya...!

"Baik...! Kami akan menurutmu kalau itu me


mang kami anggap juga cukup baik untuk sebuah per-

temuan yang sangat penting. Tetapi perguruan mana 

saja yang harus kita teror...!" tanya si Gemuk Tinggi.

"Saudara Gemuk Pendek, menurutku lebih baik 

menuju ke arah Utara, sepanjang jalan ke Utara sein-

gatku ada tiga perguruan yang juga patut diperhitung-

kan di sana. Sementara saudara kembar Gemuk Tinggi 

sebaiknya menuju ke Tenggara. Di bagian Tenggara itu 

juga terdapat dua perguruan yang sangat besar namun 

memiliki pimpinan yang berjiwa lemah. Sementara aku 

sendiri akan menuju ke arah Barat. Nah di sanalah 

markas besar semua kaum golongan putih. Yaitu Per-

guruan Walet Merah."

"Hemm. Kami menyetujui semua gagasan mu 

saudara Gembel Pengemis. Mudah-mudahan segala 

apa yang kita rencanakan akan menjadi kenyataan...!"

"Terima kasih, saudara kembar berdua atas se-

gala kepercayaan yang anda berikan padaku...!"

"Kapan kita berangkat...!" tanya si Gemuk Pen-

dek. Sementara si Gemuk Tinggi mengangguk men-

giyakan.

"Ada baiknya kalau kita berangkat sekarang ju-

ga...!" kata Gembel Pengemis dari Pulau Naga tegas.

"Baiklah...!" Setelah mereka merasa tak ada lagi 

yang perlu dibicarakan maka saat itu juga mereka se-

gera berangkat meninggalkan tempat itu. Berpisah 

dengan tujuan masing-masing.

* * *

Angin siang hari berhembus sepoi-sepoi basah, 

di saat itu Buang Sengketa dan Dewi Wening Asih yang 

sedang melakukan perjalanan menuju Lembah Gu-

nung Batu Siwak, atau setidak-tidaknya menjumpai


Ketua Perguruan Walet Merah. Melalui sebuah jalan 

yang sangat sempit dan licin, sejak pagi hari mereka 

tiada henti-hentinya terus melangkahkan kaki. Padah-

al saat itu sesungguhnya Buang Sengketa sudah me-

rasa tak sabar lagi melihat cara jalan Dewi Wening 

Asih yang sangat lambat dan mirip seekor siput.

"Jalan sedari tadi cuma muter-muter di sini sa-

ja!" gerutu Buang Sengketa.

"Ceriwis, kalau tak sabar tinggal saja...!" Dewi 

Wening Asih bersungut-sungut sambil mencibirkan 

mulutnya.

"Wah jadi kau benar-benar ingin kutinggal sen-

dirian...!"

"Ee... jangan...! Aku minta maaf. Bangsat-

bangsat itu membuat aku takut Kelana...!"

"Kalau begitu percepat sedikitlah langkahmu...!" 

perintah Buang Sengketa setengah mempercepat lang-

kahnya. Namun mendadak pemuda itu hentikan lang-

kahnya begitu mendengar jeritan dan teriakan-

teriakan orang yang sedang melakukan pertarungan. 

Atau lebih mirip lagi bila disebut sebuah pembantaian.

"Ada apa?" tanya Dewi Wening Asih ketika me-

lihat Buang Sengketa malah mengendap-endap me-

ninggalkan jalan setapak yang mereka lalui. Sebalik-

nya dia melangkah ke arah semak-semak belukar yang 

berada di sisi kanan jalan itu.

Tak lama kemudian setelah memperhatikan se-

suatu yang berada di lereng bukit di bawahnya, maka 

Buang Sengketa memberi isyarat pada Dewi Wening 

Asih untuk men-dekat. Tanpa berfikir panjang, Dewi 

Wening Asih segera mendekat lalu dia memperhatikan 

ke arah yang ditunjuk oleh Buang Sengketa. Dewi 

Wening Asih hampir terpekik begitu melihat beberapa 

orang penduduk desa sedang menghadapi seekor Si


luman Harimau Kumbang. Yang membuat terheran-

heran pemuda itu adalah karena harimau kumbang itu 

hanya memiliki tiga buah kaki. Sejenak pemuda dari 

Negeri Bunian ini nampak memperhatikan gerak gerik 

serangan harimau kumbang yang sangat ganas. Meng-

herankan, walau kakinya cuma tiga buah, tapi hari-

mau itu dapat bergerak secepat binatang normal. Teta-

pi bila melihat caranya membantai orang-orang itu 

nampaknya harimau itu bukanlah harimau biasa. 

Jangan-jangan….! Tetapi mungkinkan binatang itu ada 

kaitannya dengan Siluman Harimau Kumbang. Kalau 

benar sudah barang tentu harimau itu bermaksud un-

tuk membunuh semua orang yang berada di tempat 

itu. Aku harus mencegah semua perbuatannya yang 

brutal itu. Batin Buang Sengketa dalam hati.

"Dewi...!" panggilnya. Dewi Wening Asih sema-

kin mendekat.

"Ada apa...?" tanyanya begitu hampir di sebelah

Pendekar Hina Kelana.

"Ikutlah aku, tapi jangan berisik, aku harus 

menghalangi harimau yang mengganas itu. Kalau tidak 

orang-orang yang tiada berdosa itu pasti akan terban-

tai habis...!"

"Jangan, siapa tahu harimau itu sengaja mem-

balas dendam. Mungkin juga orang-orang itu merupa-

kan golongan hitam. Untuk apa kau bersusah payah 

membantu mereka, lebih baik kita meneruskan perja-

lanan saja...!" Buang Sengketa gelengkan kepalanya 

berulang-ulang.

"Tidak, kau lihatkah bahwa orang-orang itu me-

rupakan petani biasa, mungkin juga mereka merupa-

kan pencari rotan di hutan ini... aku harus menolong-

nya. Indera ku mengatakan bahwa harimau itu hanya-

lah merupakan seekor siluman...!" ujarnya merasa


sangat yakin sekali.

"Kalau begitu marilah kita tolong mereka, aku 

tak dapat berbuat banyak. Semua itu terpulang pada-

mu, seandainya kau sampai celaka, maka nasibku ju-

ga tak akan lebih baik dari nasibmu...!" Dewi Wening 

Asih setengah mengingatkan.

Buang Sengketa hanya diam saja, sesaat ke-

mudian dia sudah melangkah mendekati tempat perta-

rungan. Semakin lama langkah mereka semakin men-

dekat dan bertambah dekat. Begitu semuanya sudah 

terlihat nyata, maka bukan main terperanjatnya pemu-

da dari Negeri Bunian itu. Di tempat itu lebih dari se-

puluh orang mayat-mayat tiada berdosa bergeletakan. 

Keadaan tubuh mereka benar-benar sangat menyedih-

kan sekali. Buang Sengketa cepat-cepat mengalihkan 

perhatiannya ke arah lain, maka nampaklah hanya 

tinggal lebih kurang tujuh orang saja dengan senja-

tanya yang berupa beberapa batang golok dan tombak 

mengepung harimau yang sangat ganas itu. Buang 

menjadi geram karenanya, tanpa basa basi dia pun se-

gera melompat memasuki kalangan pertempuran. 

Kehadiran Buang Sengketa yang tiada terduga-

duga itu membuat terkejut harimau kumbang maupun 

beberapa orang penduduk desa yang sedang melaku-

kan pengeroyokan.

* * *

DELAPAN



“Minggirlah kalian semuanya, harimau kum-

bang ini nampaknya bukan harimau biasa...!" teriak 

Buang Sengketa pada orang-orang itu. Tanpa menung

.

gu diperintah dua kali, para penduduk desa itu pun 

berlompatan mundur. Saat itu harimau kumbang ter-

sebut demi mengetahui kehadiran Buang Sengketa, 

mendadak berubah menjadi sangat beringas sekali. 

Berulang kali dia mengaum, dengan raungan-raungan 

yang sangat keras. Sepasang matanya yang menyorot 

tajam dan liar memandang pada si pemuda dengan 

dendam yang membara. Pendekar Hina Kelana jadi 

terkesima karenanya. Kini dia yakin sudah bahwa ha-

rimau berkaki tiga itu tak lebih merupakan seekor si-

luman yang sedang membalas dendam.

"Hak... kek... kek...! Siluman Harimau Kum-

bang...! Melihat bentuk tubuhmu yang pendek dan 

bertangan buntung, tak bisa ku sangkal. Engkau tak 

lain merupakan kunyuk dari Pulau Bawean... he... 

he... he...! Satu kesempatan yang bagus bagiku. Me-

lihat tampangmu yang dapat berubah menjadi seekor 

siluman, aku jadi merasa sangat yakin kalian pasti ada 

hubungannya dengan arca yang hilang itu. Tapi... 

eeee... tapi ke mana kembaran mu yang satu lagi...?"

"Grauuuuung!" Siluman Harimau Kumbang 

yang merupakan penjelmaan si kembar Gemuk Pendek 

menggerung marah dengan dendamnya yang terbang-

kit kembali. Apa sebabnya sampai terjadi pembantaian 

itu?

Seperti diketahui setelah masing-masing sekutu 

telah mengetahui tugas-tugas-nya, maka berangkatlah 

si Kembar Gemuk Pendek menuju ke arah Utara. Satu 

perguruan kecil yang muridnya hanya berjumlah lebih 

kurang tiga puluh orang saja telah berhasil dia obrak 

abrik. Selesai menghancurkan satu perguruan milik 

orang-orang golongan putih, maka dia bermaksud me-

neruskan perjalanannya untuk membasmi pergu-

ruan berikutnya. Namun bagi si Gemuk Pendek yang


sama sekali belum pernah melakukan perjalanan ke 

Utara, merasa sangat kesulitan untuk menempuh ja-

lan yang sesingkat mungkin. Berulang kali dia sempat 

kesasar, bahkan beberapa kali dia cuma berputar-

putar di sekitar hutan itu. Maka bertemulah dia den-

gan sekawanan pencari rotan di tengah-tengah hutan 

itu. Tapi karena setiap pertanyaan selalu dijawab den-

gan kata-kata yang kurang menyenangkan, maka mau 

tak mau akhirnya dia pun sangat marah. Tak dapat di-

cegah lagi, si Gemuk Pendek yang selama ini mengang-

gap bahwa setiap manusia selalu berada di bawah 

tingkatannya. Dalam waktu sekejap saja telah meru-

bah dirinya menjadi seekor Siluman Harimau Kum-

bang. Satu demi satu korban-korban pun berjatuhan, 

semakin lama semakin bertambah banyak. Masih un-

tuk dalam saat-saat yang sangat kritis itu muncullah 

Pendekar Hina Kelana. Tetapi kemunculannya malah 

semakin mengundang kemarahan Siluman Harimau 

Kumbang, karena sesungguhnya dendamnya selama 

ini hanyalah ditujukan pada pemuda yang dulu pernah 

membuntungi tangannya (Dalam Episode Siluman Ha-

rimau Kumbang).

Saat itu baik pemuda muridnya si Bangkotan 

Koreng Seribu, maupun Siluman Harimau Kumbang 

penjelmaan si kembar gemuk pendek nampak saling 

berpandangan. Namun sedetik kemudian Buang Seng-

keta sudah menyela:

"Aku tahu kalian sekarang pasti sedang mela-

kukan teror. Kalian berpencar untuk mengelabuhi 

orang-orang persilatan. Huh. Siapa pun dan sebanyak 

apa pun Siluman Harimau Kumbang, aku tak akan 

pernah merasa gentar. Kau harus mati di tanganku, 

kali ini benar-benar tak akan kubiarkan lolos." geram 

pemuda itu selanjutnya dia sudah bersiap-siap dengan


jurus tangan kosong si Gila Mengamuk. Siluman Ha-

rimau Kumbang menggerung bagai di rasuki setan ib-

lis. Selanjutnya begitu dia menjejakkan kaki belakang-

nya, tahu-tahu tubuh Siluman Harimau Kumbang 

penjelmaan dari si Kembar Gemuk Pendek telah me-

layang menerjang Buang Sengketa yang sudah barang 

tentu saja berkelit dengan sangat gesitnya. Serangan 

awal siluman penjelmaan si Gemuk Pendek luput. Na-

mun secepatnya dia sudah berbalik dan melakukan 

serangan yang lebih gencar lagi dengan kuku taringnya 

yang panjang-panjang.

Sementara itu Buang Sengketa yang saat itu 

mempergunakan jurus si Gila Mengamuk, masih keli-

hatan tenang-tenang saja, sekali dua dia nampak ter-

huyung-huyung bagai seorang pemabukan, di lain saat 

dia tepuk-tepuk pantatnya atau bahkan menggaruk-

nya. Gerakan silatnya memang kacau balau tak bera-

turan, bahkan pukulan maupun tendangan yang dila-

kukannya nampak selalu ngawur dan membuat geli 

setiap orang yang melihatnya, tapi selalu saja pukulan-

pukulan itu menghantam telak pada sasarannya. 

Sungguhpun begitu, nampaknya Siluman Harimau 

Kumbang ini sangat kebal bahkan bagai tak merasa-

kan datangnya pukulan maupun tendangan yang ber-

tubi-tubi. Sebaliknya siluman harimau itu malah se-

makin bertambah buas dan terus melakukan serangan 

balik dengan sangat cepat sekali.

"Grauuung...!"

"Kampret! Hampir saja...!" maki Buang Sengke-

ta, seraya melipat gandakan serangannya. Tapi sejurus 

selanjutnya siluman harimau berkaki tiga itu pun den-

gan begitu nekadnya, menerkam Buang Sengketa dari 

arah yang berlawanan.

"Krauuuk...!" Terdengar suara berkerokokan


manakala taring-taring harimau kumbang itu me-

nyambut kepalan tinju Buang Sengketa yang menga-

rah ke bagian kepalanya.

"Sialan kau siluman sesat. Aku ini masih maji-

kanmu, aku pangeran mu, karena aku juga masih me-

rupakan makhluk alam gaib. Kau tak mau hormat pa-

daku malah meminta tanganku. Kurang ajar...!" ma-

kinya sambil membetot-betot tangannya yang berada 

di dalam mulut harimau itu. Siluman Harimau Kum-

bang mempertahankannya. Walaupun makhluk itu 

merasakan bahwa tangan lawannya telah berubah se-

keras baja. Pendekar Hina Kelana akhirnya merasa tak 

sabar juga setelah tarik menarik berlangsung lama. 

Dia sudah mulai berfikir untuk melepaskan pukulan 

maut Empat Anasir Kehidupan, atau yang lebih hebat 

lagi si Hina Kelana Merana. Tapi bagaimana nantinya 

dengan nasib tangan kirinya yang masih tetap tergigit 

di dalam mulut siluman harimau itu. Mengeluarkan 

Pusaka Golok Buntung. Hemm, rasa-rasanya hal itu 

tidak perlu. Baiknya dengan mempergunakan lengkin-

gan Ilmu Pemenggal Roh tangannya segera terlepas da-

ri taring-taring lawannya.

"Hiiiikk!"

Terdengar gelegar berkepanjangan yang sam-

bung menyambung tiada henti. Bumi tempat berpijak 

seakan-akan runtuh. Satu kesalahan yang berakibat 

sangat fatal secara tak sengaja telah dilakukan oleh 

pemuda itu. Yaitu dia lupa mengingatkan penduduk 

desa yang masih tersisa itu untuk menyumbat daun 

telinganya.

Tak dapat disangkal lagi, orang-orang itu men-

jerit dan jatuh terguling-guling. Gendang-gendang te-

linga mereka berantakan, darah mengalir dari dalam-

nya. Sesaat tubuh-tubuh tumpang tindih itu berkelojo


tan lalu terdiam untuk selama-lamanya. Sementara itu 

Siluman Harimau Kumbang nampak terpekik, serta 

merta mulutnya membuka. Secepatnya Buang Sengke-

ta menyentakkan tangan itu dari dalamnya. Siluman 

Harimau Kumbang menggerung, tubuhnya terhuyung-

huyung. Tapi bagai tak menghiraukan rasa sakit di ba-

gian kuping dan dadanya, Siluman Harimau Kumbang 

itu kembali bersiap-siap membangun serangan.

"Sialan, gara-gara kau, aku sampai membuat 

mereka yang ingin kuselamatkan malah mampus...!" 

makinya. Selanjutnya tanpa banyak membuang waktu 

percuma, tubuh Buang Sengketa berkelebat sangat ce-

pat.

"Heiiiit...!"

Pendekar Hina Kelana pukulkan tangannya ke 

depan. Tanpa ampun lagi, selarik sinar berwarna Ultra 

Violet menderu menyambut terkaman harimau kum-

bang yang datangnya berlawanan arah.

Sama sekali Siluman Harimau Kumbang itu 

tiada menyangka kalau lawannya lepaskan pukulan 

yang sangat berbahaya sekali. Secepatnya dia buang 

tubuhnya ke samping kanan. Pukulan Empat Anasir 

Kehidupan yang dilepas oleh Pendekar Hina Kelana 

mencapai sasaran kosong, namun terus melesat hing-

ga menabrak sebatang pohon hingga menyebabkannya 

tumbang menimbulkan suara berdebum.

"Grauuuuung!"

"Sialan sedari tadi cuma membuat aku semakin 

kesal saja. Terimalah yang ini...!" jerit Buang Sengketa 

dengan suara menggelegar. Maka apabila kedua tan-

gannya terpentang ke atas. Dan saat mana mulutnya 

mengeluarkan bunyi mendesis maka pada saat itulah 

dia telah mulai menyalurkan sebagian tenaga dalam-

nya untuk melepaskan pukulan si Hina Kelana Mera


na, mulailah tubuhnya bergetar. Keringat mengalir de-

ras membasahi tubuh dan pakaiannya. Sementara itu, 

Siluman Harimau Kumbang penjelmaan si kembar ge-

muk pendek juga nampaknya menyadari bahwa pen-

dekar yang pernah membuat buntung tangannya itu 

tak ingin bertindak ayal-ayalan untuk kali ini. Maka 

masih dalam ujud siluman, dia segera mengerahkan 

pukulan baru hasil ciptaan mereka. Pukulan itu ada-

lah merupakan pukulan yang diberi nama Dendam Pe-

dang Dewa Kembar.

"Hiaaa...!" teriak Buang Sengketa melepaskan 

pukulan andalannya.

"Grroaar...!" Sambil berlompatan Siluman Ha-

rimau Kumbang itu pun pukulkan kaki depannya yang 

hanya sebelah itu. Satu gelombang sinar kuning mele-

sat melebihi kecepatan anak panah, sinar berhawa 

dingin itu terus melabrak menyongsong datangnya sa-

tu gelombang sinar merah yang telah dilepaskan oleh 

Pendekar Hina Kelana.

"Weeer!"

"Blaaam!"

Dua tenaga sakti saling bertubrukan di udara, 

tubuh orang itu sama-sama terpental tiga tombak. 

Buang Sengketa meringis-ringis sambil memegangi da-

danya yang terasa sesak luar biasa. Sementara itu si-

luman penjelmaan si Kembar Gemuk Pendek setelah 

muntah darah masih juga berusaha bangkit berdiri. 

Namun nampaknya pengaruh lengkingan Ilmu Pe-

menggal Roh, yang meninggalkan kerusakan pada ba-

gian otaknya membuat siluman itu mulai kehilangan 

daya tempurnya. Kini setelah bangkit berdiri dalam 

keadaan sempoyongan dia kembali berusaha untuk 

melakukan serangan susulan. Tapi luka dalam yang 

dialaminya telah pula membuat gerakan-gerakannya


sudah tak stabil lagi.

"Grrr...!"

Gemetaran suara siluman itu.

"Hiaa...!" Tubuh Buang Sengketa berkelebat, 

sekali lagi dia lancarkan pukulan si Hina Kelana Mera-

na. Siluman Harimau Kumbang menggerung tanda 

terkejut. Tapi pukulan yang dilepaskan oleh Buang 

Sengketa datangnya laksana badai.

"Buuum!" Tubuh Siluman Harimau Kumbang 

itu terbuntang dan tergulung-gulung dalam hawa yang 

sangat panas menyakitkan. Binatang siluman itu melo-

long, tapi hanya sesaat saja. Begitu tubuhnya terhem-

pas, maka perubahan pun terjadi. Harimau kumbang 

yang mati dalam keadaan hangus itu, secara perlahan-

lahan berubah ke dalam ujudnya semula. Hingga la-

ma-kelamaan Buang Sengketa dengan jelas dapat 

mengenali bahwa sesungguhnya orang itu tak lain me-

rupakan si Kembar Pedang Dewa, yang dulu sempat 

melarikan diri dari tangannya.

"Akhirnya kau harus mati dengan cara lebih 

menyedihkan lagi, Orang sesat...!"

"Siapa dia...?" tanya Dewi Wening Asih yang se-

cara tiba-tiba berada di sebelah Buang Sengketa. Seje-

nak pemuda itu memandang pada si gadis, lalu uca-

pannya pelan.

"Dia salah seorang lawanku...?" katanya.

Lalu tanpa basa basi lagi disambarnya tangan 

gadis itu. Detik selanjutnya Dewi Wening Asih merasa-

kan tubuhnya bagai melayang bersama Buang Sengke-

ta yang sedang mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian 

Sapu Angin.

* * *


SEMBILAN


Laki-laki berpakaian bangsawan itu terus me-

lakukan perjalanan, sungguhpun tubuhnya sudah me-

rasa tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanannya. 

Racun Pukulan Iblis yang telah mengidap di bagian 

dadanya kini telah menjalar ke mana-mana. Seluruh 

persendiannya terasa sangat kaku, sementara rasa 

dingin yang sangat luar biasa membuat jantungnya 

seperti enggan berdenyut. Berjalanlah dia tak ubahnya 

bagai area kayu. Tegak dan kaku sekali. Sungguh pun 

begitu tiada sedikitpun rasa putus asa membayang di 

wajahnya yang pucat dan berwarna kebiru-biruan itu, 

dia terus melangkah. Sungguhpun dia harus jatuh 

bangun, dia sudah tiada perduli lagi. Hingga sampai 

akhirnya tubuh Rajenta terhempas, kemudian tergul-

ing-guling sambil merintih-rintih.

Sementara itu tak begitu jauh dari tempat Ra-

jenta terkapar, nampak dua orang pejalan kaki yang 

kelihatannya masih sangat muda. Seorang di anta-

ranya adalah seorang gadis yang sangat cantik, se-

dangkan yang menyertainya adalah seorang pemuda 

yang tak kalah tampannya bila dibandingkan dengan 

kecantikan gadis yang berjalan bersama pemuda itu. 

Tiada kata-kata yang terucap dari mulut mereka, ma-

nakala mereka berjalan berdampingan seperti itu. Dewi 

Wening Asih tenggelam dalam lamunannya tentang 

bagaimana nasib kedua orang tuanya. Sedangkan 

Pendekar Hina Kelana sendiri merasa di sibuki dengan 

teror Siluman Harimau Kumbang yang mulai merajale-

la di mana-mana. Mengherankan, di mana-mana terja-

di pembunuhan secara keji dan nampaknya sangat be-

rutal sekali. Aku merasa yakin bahwa pelaku dari teror


itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja, mung-

kin juga dua, tiga, lima, atau bahkan lebih. Tapi apa 

alasannya yang jelas mereka sengaja memancing keki-

sruhan, atau mungkin pula mempunyai maksud-

maksud tertentu yang belum jelas. Arca itu juga seka-

rang ini entah berada di tangan siapa. Batin pemuda 

itu.

Sedang tenggelam dalam lamunannya seperti 

itu, tiba-tiba saja telinganya menangkap adanya suara 

rintihan seseorang. Dan nampaknya Dewi Wening Asih 

juga mendengar seperti apa yang didengar oleh Buang 

Sengketa.

"Nampaknya di sekitar sini seperti ada suara 

rintihan seseorang...!"

"Aku juga mendengar suara yang sama, ee... 

sepertinya berasal dari lereng di bawah itu...!" kata ga-

dis itu, dengan hati berdebar.

"Ayo kita ke sana saja...!"

Lalu secara bersama-sama mereka menuruni 

lereng itu, tak sampai lewat sepemakan sirih maka 

Buang Sengketa melihat seorang laki-laki yang tiada 

dikenalnya terkapar di atas semak-semak belukar. Se-

jenak dia meneliti, selanjutnya membalikkan tubuh la-

ki-laki berpakaian bangsawan itu. Saat itu Dewi Wen-

ing Asih menjerit tertahan, tubuhnya gemetaran, lalu 

tanpa dapat tertahankan lagi dia langsung menubruk 

Rajenta.

"Ayah... mengapa sampai terjadi begini, 

Ayah...!" jerit gadis itu sambil mendekap tubuh Rajenta 

yang sudah sangat dingin sekali. Sementara itu Buang 

sama sekali tiada menduga kalau laki-laki yang berpa-

kaian bangsawan itu kiranya merupakan ayah Dewi 

Wening Asih. Lalu tanpa menghiraukan tangis gadis 

itu, Buang Sengketa segera memeriksa nadi di pergelangan Rajenta. Luar biasa orang itu ternyata masih 

hidup. Sungguhpun denyut jantungnya sudah sangat 

lemah sekali.

"Hentikan tangismu Dewi, nampaknya dia ma-

sih bisa di selamatkan. Ayolah bantu aku, tolong buka 

bajunya...!" kata Dewi Wening Asih memberi perintah. 

Selanjutnya dengan sangat cepat mereka membuka 

pakaian Rajenta. Setelah pakaiannya terbuka nampak-

lah bagian dadanya yang membiru bekas terkena pu-

kulan beracun yang sangat ganas. Buang memandang 

pada Dewi Wening Asih sejenak saja, lalu: 

"Dewi, cobalah kau berjaga-jaga di atas bukit 

sana. Beritahukan padaku andai ada apa pun yang 

mencurigakan. Aku akan menolong ayahmu ini, mu-

dah-mudahan nyawanya masih tertolong...!" perintah 

Buang Sengketa. Dengan masih terisak, Dewi Wening 

Asih segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh 

Buang Sengketa.

Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu 

lagi, Buang Sengketa segera menempelkan telapak 

tangannya pada bagian dada Rajenta, lalu dengan 

mengerahkan segenap perhatiannya, Buang Sengketa 

mulai mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke arah 

telapak tangannya. Kemudian hawa yang sangat han-

gat pun mengalir pada telapak tangan Pendekar Hina 

Kelana. Hawa murni itu terus mengalir ke bagian dada 

yang telah mengidap pukulan beracun. Secara perla-

han namun cukup pasti, hawa murni yang disalurkan 

melalui tangan Buang Sengketa terus menjalar ke se-

luruh bagian tubuh Rajenta yang tadinya terasa sangat 

dingin dan kaku. Tubuh pemuda itu telah bermandi 

keringat, bahkan wajahnya sendiri semakin lama be-

rubah menjadi merah padam, tubuh gemetaran demi 

menahan hawa dingin beracun yang kadang memberontak ingin mengatasi hawa murni yang disalurkan 

oleh Buang Sengketa. Semakin lama hawa murni yang 

disalurkan oleh Buang Sengketa semakin dilipat gan-

dakan, sehingga lama-kelamaan menaikkan hawa be-

racun dan melenyapkannya, sungguhpun tidak secara 

tuntas.

Rajenta mengerang manakala merasakan hawa 

dingin dan hawa panas datang silih berganti. Walau-

pun begitu lama-kelamaan wajahnya yang pucat mem-

biru itu nampak mulai mengalami perubahan sedikit 

demi sedikit. Setelah segalanya dianggap telah mema-

dai, maka Buang secara perlahan menarikan tangan-

nya kembali. Selanjutnya pemuda dari Negeri Bunian 

itu nampak duduk bersila, kedua tangannya menekur 

terlipat di dadanya. Dia merasakan letih yang teramat 

sangat, dan apa yang dia ingin lakukan untuk selan-

jutnya adalah mengembalikan semangat dan tena-

ganya yang telah terkuras demi menyelamatkan Rajen-

ta, sekaligus merupakan orang tua kandung Dewi 

Wening Asih. Namun sebelum Pendekar Hina Kelana 

selesai dengan semadinya, mendadak Dewi Wening 

Asih berlari-lari menuruni lereng yang tidak seberapa 

tingginya. Melihat mimik wajahnya, nyatalah sudah 

kalau dia kelihatan sangat mengkhawatirkan kesela-

matan mereka berdua.

"Cel... celaka, ada berpuluh-puluh penunggang 

kuda datang ke tempat ini! Bagaimana ini Kelana...?" 

lapornya tergopoh-gopoh dan wajah tegang. Seperti 

tiada mendengar, pemuda itu masih juga menekur da-

lam semadinya.

"Bagaimana ini, Kelana...! Cepatlah kau ban-

gun, orang-orang itu sudah semakin mendekat ke si-

ni...!"

"Wah, aku belum lagi pulih tenagaku, sean


dainya ayah Dewi dan aku tetap bertahan di tempat 

ini. Maka akan celakalah semuanya. Orang-orang ber-

kuda itu sama sekali tidak bisa diduga dari pihak ka-

wan atau lawan. Tapi dalam situasi seperti ini aku tak 

bisa berharap banyak pada pihak mana pun. Tenagaku 

pun belum pulih betul. Hemm, apa pun yang bakal ter-

jadi aku harus menghadapi mereka. Selanjutnya sete-

lah menarik nafas panjang, pendekar dari Negeri Bu-

nian ini beranjak berdiri, sesaat lamanya dia meman-

dang pada Dewi Wening Asih yang saat itu sedang ber-

simpuh di dekat kaki ayahandanya.

"Kesehatan ayahmu akan segera pulih kembali, 

tetaplah kalian di sini. Tapi larilah ke sebuah tempat 

yang aman, andai aku tak sanggup menghadapi mere-

ka." pesannya.

"Kelana! Tapi nampaknya kau sendiri masih da-

lam keadaan lemah, bagaimana mungkin engkau da-

pat mengatasi mereka yang jumlahnya mencapai pu-

luhan orang?" Dewi Wening Asih nampak sangat kha-

watir sekali. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh lagi, 

Pendekar Hina Kelana segera menjejakkan kakinya. 

Tubuhnya sekejapan saja telah lenyap dari pandangan 

Dewi Wening Asih.

Saat itu para penunggang kuda telah sampai 

pula tidak begitu jauh dari lereng itu. Secara hampir 

serentak mereka menarik tali kekang kuda, hingga 

mengakibatkan kuda-kuda itu menghentikan larinya 

secara mendadak pula. Adapun pemimpin penunggang 

kuda tak lain adalah Luga Kencana Ketua Perguruan 

Walet Merah. Sedangkan seorang yang berada di sebe-

lahnya adalah seorang kakek tua renta yang merupa-

kan guru dari Luga Kencana. Kakek itu seperti di je-

laskan pada saat awal adalah seorang tokoh golongan 

putih yang bernama Sandi Marta, atau yang lebih di


kenal sebagai si Pedang Walet Merah. Kakek tua ini 

sengaja menyertai perjalanan Luga Kencana, dengan 

maksud ingin memberi bantuan pada muridnya dalam 

menemukan kembali Arca Harimau Kumbang yang te-

lah lama lenyap dari Perguruan Walet Merah sebagai 

pihak penanggung jawab.

"Tidak ada tanda-tanda ada orang yang kita cu-

rigai melintas di tempat ini. Padahal korban-korban Si-

luman Harimau Kumbang sudah terlalu banyak. Aku 

merasa tak yakin kalau arca yang tercuri itu dapat le-

nyap begitu saja. Pula sudah sangat lama aku tak per-

nah mendengar lagi kabar, ke mana larinya Gembel 

Pengemis dari Pulau Naga yang telah melarikan arca 

itu. Heh, kalaulah benar Gembel Pengemis dapat me-

rubah dirinya menjadi seekor siluman, maka semakin 

kuatlah dugaanku kalau Gembel Pengemis itulah pela-

kunya!" kata Luga Kencana.

Kakek renta berkepala botak yang merasa di 

sampingnya masih juga terdiam. Tatapan matanya 

menerawang jauh memandang pada semak-semak 

yang membentang di hadapan mereka.

"Bagaimana pendapatmu, Guru...!" tanya Luga 

Kencana begitu melihat si Pedang Walet Merah hanya 

diam saja. Alis kakek tua itu menggerimit, dengan su-

dut matanya yang sudah mulai lamur dia melirik seki-

las. Lalu terdengarlah ucapannya yang berwibawa.

"Semua keputusan tentang perguruan yang kau 

dirikan, semua ada di tanganmu, sedangkan aku ha-

nyalah orang yang ingin melihat murid tunggalnya da-

pat menyelesaikan sesuatunya dengan sangat baik. Ki-

ta telah banyak membuang-buang waktu hanya ingin 

mendapatkan arca itu kembali. Tapi pernahkah kau 

menyadari bahwa sesungguhnya arca itu pun bukan 

milik Perguruan Walet Merah. Asal usulnya tidak jelas,


dan selama aku malang melintang dalam dunia persi-

latan dulu, sama sekali aku tak pernah mengetahui 

dari mana sesungguhnya asal usul Arca Harimau 

Kumbang itu. Ketika kau datang mendadak kau men-

gatakan bahwa arca itu merupakan lambang persa-

tuan kaum golongan lurus, keteranganmu juga sema-

kin membuat aku bertambah bingung. Tapi akhirnya 

aku tiada perduli. Hingga aku mengikutimu sampai ke 

sini, kini juga keputusan kembali ku pulangkan pada-

mu, dengan harapan kau dapat mengambil keputusan 

yang terbaik buat kelangsungan dan kelanggengan 

semua perguruan bergolongan lurus." katanya bijak-

sana.

"Guru, dengan cara bagaimana pun, arca itu 

harus kembali pada Perguruan Walet Merah. Lihat sa-

jalah buktinya, satu atau tiga purnama saja arca itu 

berada di tangan kaum sesat, teror tentang harimau 

kumbang telah merajalela di mana-mana. Kalau tidak 

kita yang menghentikannya sepak terjang mereka, lalu 

siapa lagi...!" Si Pedang Walet Merah tersenyum saja 

demi mendengar apa yang di katakan oleh muridnya.

"Dari caramu mengambil kesimpulan saja, su-

dah merupakan satu bukti bagiku, bahwa sebagai ke-

tua perguruan ternyata juga kau memiliki pandangan 

yang sangat sempit! Luga, janganlah merasa diri itu le-

bih hebat ketimbang manusia lainnya di atas dunia ini. 

Dengan hilangnya Arca Harimau Kumbang dari pergu-

ruan kalian, dan dengan bermunculannya siluman 

yang mengganas di kalangan dunia persilatan. Hal itu 

sudah merupakan bukti lain, bahwa kepandaian ka-

lian untuk mengetahui tentang rahasia yang ada di da-

lam arca itu tidak sampai. Munculnya siluman hari-

mau yang tiba-tiba, bagiku merupakan sesuatu yang 

pasti bahwa di dalam tubuh arca itu terdapat ajaran


yang di dalamnya membuat tentang ilmu Siluman Ha-

rimau Kumbang....!" kata si Pedang Walet Merah seca-

ra panjang lebar.

"Murid memang bodoh, Guru! Murid tak memi-

liki kepandaian apa-apa. Itulah makanya murid ingin 

selalu memohon petunjuk guru...!" ucap Luga Kencana 

dengan nada merendah, sungguhpun hatinya san-

gat panas sekali.

"Kalau belajar sejak dulu, kau tetap merupakan 

murid yang tolol, tidak dapat berbuat apa pun, lebih 

baik Perguruan Walet Merah yang besar itu kau bu-

barkan saja. Setelah itu, jadilah manusia biasa agar 

persoalan yang kau hadapi dalam hidupmu tidak terla-

lu berat dan membuat rontok rambutmu...!"

"Sudahlah, Guru! Aku menghormati, aku tak 

ingin berdebat dengan guru sendiri, takut, nantinya 

aku dikata murid yang tak tahu adat...!" kata Luga 

Kencana dalam kemarahannya yang tertahan-tahan. 

Sandi Marta alias si Pedang Walet Merah hanya ge-

lengkan kepalanya, dia merasa kesal menghadapi Luga 

Kencana yang tak pernah memiliki pemikiran yang 

luas.

Saat itu di luar dugaan mereka, dari arah se-

mak-semak yang agak tersembunyi terdengar pula su-

ara tawa tergelak-gelak.

* * *

SEPULUH



Suara tawa yang berkepanjangan itu kiranya 

disertai tenaga dalam yang kuat, hingga membuat ke-

labakan murid-murid Perguruan Walet Merah yang


masih memiliki ilmu yang rendah. Sementara itu pe-

mimpin mereka yang memiliki kepandaian di atas se-

gala-galanya, cepat-cepat menutupi jalan pendengaran 

mereka. Dalam kegusarannya itu, tiba-tiba Luga Ken-

cana sudah membentak:

"Bedebah bau kencur! Perlihatkanlah tampang

mu, suara tawamu yang tak ubahnya bagai ringkik ke-

ledai itu membuat aku mau muntah. Kuperintahkan 

pada setan yang tertawa, tampakkanlah wajah sebe-

lum kami bertindak...!" teriak Luga Kencana dengan 

matanya yang jelalatan.

"Ha... ha... ha...! Luga Kencana, bukan aku 

menyanjung gurumu yang sebelumnya tiada kukenal. 

Tapi menurut penglihatanku yang bodoh ini, ternyata 

gurumu yang berusia sudah sangat lanjut itu memiliki 

pandangan yang sangat luas! Kalau aku jadi engkau 

lebih baik aku jadi tukang sayur di pasar sana, dari 

pada menjadi ke tua perguruan namun tak becus ber-

buat apa-apa...!"

"Bangsat! Kau benar-benar perlu mendapat pe-

lajaran yang sangat setimpal!"

"Jangan bertindak gegabah, Luga! Kita masih 

belum mengetahui siapa adanya orang itu." kata Sandi 

Marta memberi teguran. Namun nampaknya Luga 

Kencana merasa kurang senang dengan apa yang dika-

takan oleh gurunya. Yang menurut pendapatnya sen-

diri bersikap terlalu lembek.

"Keparat pengintip, ku hitung sampai tiga, an-

dai kau tak mau tunjukkan diri jangan salahkan aku 

andai nanti aku bertindak salah...!"

Belum lagi Luga Kencana selesai dengan uca-

pannya, mendadak melayanglah sosok tubuh yang tak 

lain Pendekar Hina Kelana adanya.

"Jliiik!"


Begitu ringannya Buang Sengketa menginjak-

kan kakinya di atas tanah berumput tak jauh di depan 

mereka yang masih tetap duduk di atas punggung ku-

danya masing-masing.

Sejenak lamanya mereka saling berpandangan 

satu sama lain, di antara mereka yang hadir di situ, 

nampaknya Luga Kencanalah yang paling kaget dan 

gusar. Bagaimana tidak, pemuda berpakaian kumal 

dan selalu membawa-bawa periuknya ke mana pun dia 

pergi. Manusia inilah yang telah membuat buntung 

tangan kirinya. Dengan hilangnya tangan kiri itu dia 

harus berlatih demi mengimbangi kekurangannya. Dia 

sangat tersiksa dengan beban cacat yang di sandang-

nya selama ini. Lebih dari itu, menurut perhitungan-

nya, pemuda gembel itu secara sengaja telah begitu be-

rani melindungi anak seorang musuh yang mungkin 

juga merupakan otak pencurian arca itu. Hanya kali 

inilah kesempatan baginya untuk membalas. Ya benar-

benar harus dibalas dengan cara yang sangat setimpal 

dan menyakitkan.

"Guru, bocah inilah yang telah membuat bun-

tung tanganku, dan si hina ini pulalah yang telah den-

gan sengaja melindungi anak seorang tukang tadah 

Arca Harimau Kumbang yang hilang...!" lapornya tanpa 

diminta. Sandi Marta melirik pada pemuda itu, selan-

jutnya kembali pula perhatiannya pada Luga Kencana 

muridnya. Lama sekali mata mereka saling beradu 

pandang. Hingga akhirnya dia pun berkata tegas: 

"Benarkah kau yang telah membuat buntung 

tangan muridku itu, hei bocah asing...?"

"Tidak salah, akulah yang telah dengan sangat 

terpaksa membuntungi tangan muridmu itu, Orang 

tua...!" jawabnya mengakui.

"Terpaksa karena dia telah menuduhku melin



dungi anak seorang tukang tadah arca yang sangat 

menghebohkan itu, padahal, seperti yang kuketahui, 

sama sekali aku tak pernah melihat ayahnya Dewi 

Wening Asih menampung arca yang dicuri oleh Gembel 

Pengemis dari Pulau Naga. Aku pernah datang ke ru-

mahnya yang berantakan. Lebih dari itu, secara senga-

ja atau tidak sengaja, muridmu itu telah pula menge-

jar-ngejar Rajenta sampai ke Lembah Gunung Baru 

Siwak. Tuduhan muridmu itu sama sekali tidak bera-

lasan, Orang tua...!"

"Hemm, satu tindakan yang sangat tidak terpu-

ji...!" ucap si Pedang Walet Merah merasa kurang se-

nang. Bukan main marahnya Luga Kencana demi 

mendengar apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa, 

secara tidak langsung di depan gurunya sendiri. Pe-

muda dari Negeri Bunian itu telah dengan sengaja 

membongkar semua apa yang seharusnya tidak boleh 

diketahui oleh orang lain.

"Jangan percaya, Guru...! Budak hina itu sen-

gaja mencoba memutar balikkan fakta." teriak Luga 

Kencana dengan kemarahan yang meluap-luap.

"Diamlah kau, Luga. Toh pada saatnya tiba pu-

la giliranmu untuk kutanya. Tukas Sandi Marta nam-

pak merasa kurang senang. Kini dia kembali pada 

Pendekar Hina Kelana yang tetap berdiri tegak di tem-

patnya. Sejenak dia memperhatikan Pendekar Golok 

Buntung itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Bocah, engkaukah yang berjuluk Pendekar Hi-

na Kelana, dengan Pusaka Golok Buntung dan Cam-

buk Gelap Sayutonya yang sangat menggemparkan 

itu...?" Tiada berkedip pandangan mata pemuda mau-

pun Sandi Marta. Namun dengan nada merendah ak-

hirnya dia pun menjawab:

"Apalah artinya sebuah nama, hei orang tua.



Aku hanyalah manusia hina. Kepandaian yang kumili-

ki juga tidak seberapa, bila dibandingkan dengan ke-

pandaian orang-orang yang selalu memiliki pandangan 

yang sangat luas dan memiliki kesabaran yang sangat 

luar biasa...!"

Semua yang hadir di situ, menjadi terdiam. Se-

bagian terperangah. Namun Luga Kencana semakin ge-

lisah saja. Sementara gurunya sendiri merasa sangat 

terkesan dengan apa yang dikatakan oleh pemuda itu. 

Selanjutnya dia pun kembali menyambung.

"Menurutmu, apakah kata-kata muridku itu 

dapat dipercaya...?" tanyanya membuat Buang Sengke-

ta tersentak kaget, tiada menyangka akan mendapat 

pertanyaan seperti itu. Namun dengan sangat hati-hati 

dia pun menjawab.

"Mengenai benar tidaknya ucapan seseorang itu 

semua tergantung pada kejujurannya. Aku sendiri ti-

dak dapat mengatakannya. Tapi orang tua juga kupi-

kir-pikir bisa menanyakannya pada Sang Hyang Wi-

di...!" Mendengar ucapan Buang Sengketa itu, Sandi 

Marta atau si Pedang Walet nampak tergelak-gelak. 

Luga Kencana sendiri merasa sangat heran, sebab se-

lama ini dia belum pernah melihat gurunya tertawa-

tawa sebebas itu. Dan kenyataan ini saja sudah mem-

buktikan bahwa agaknya Sandi Marta merasa sangat 

setuju dengan apa yang dikatakan oleh Buang Sengke-

ta.

"Engkau masih begini muda, namun kau memi-

liki pandangan yang sangat luas tak salah kalau gu-

rumu, manusia yang memiliki umur terpanjang. Yaitu 

si Bangkotan Koreng Seribu telah mengangkatmu men-

jadi seorang muridnya...!" Menyela si Pedang Walet Me-

rah di sela-sela gelak tawanya. Terkejutlah Pendekar 

Hina Kelana, dia tiada menyangka kalau Sandi Marta


dapat mengetahui nama gurunya. Namun keterkejutan 

itu tak berlangsung lama, karena sekejap kemudian 

Sandi Marta telah berkata kembali.

"Bocah Hina Kelana adalah nama kebesaran-

mu. Siapakah namamu yang sesungguhnya...?"

"Namaku Buang Sengketa, Orang tua...!" Sandi 

Marta nampak angguk-anggukkan kepalanya, lalu:

"Buang, katakanlah padaku yang telah lamur 

ini, apakah kau mengetahui tentang arca itu...?" ta-

nyanya penuh harap. Buang Sengketa garuk-garuk 

kepalanya yang tak gatal. Tetapi kemudian dengan ju-

jur dia menjawab juga.

"Mengetahui arca secara keseluruhan memang 

tidak sama sekali. Tetapi menurut dugaanku yang da-

pat dipertanggungjawabkan kan. Arca itu sekarang be-

rada antara Gembel Pengemis dan salah seorang kem-

bar dari Pulau Bawean...!" Alis laki-laki renta itu 

menggerimit, dia masih belum dapat mengerti apa arti 

dari kata-kata Buang Sengketa.

"Apakah maksudmu...?"

"Orang tua kalaupun keteranganku ini agak 

menyimpang, maafkanlah aku! Beberapa hari yang lalu 

aku menjumpai salah seorang dari si kembar sedang 

mengoyak-ngoyak mangsanya. Mereka hanyalah pen-

duduk desa biasa, aku berpendapat mereka sedang 

melakukan teror di kalangan persilatan. Lebih dari itu, 

sebelumnya mereka pernah bertarung dan kemudian 

sama-sama menghilang dengan Gembel Pengemis dari 

Pulau Naga. Kuat dugaanku bahwa di dalam arca itu 

terdapat sebuah kitab yang di dalamnya ada memuat 

tentang rahasia ilmu siluman...!"

"Hemm. Kiranya dugaanmu tiada meleset 

Buang, aku juga berpendapat demikian. Nah apakah 

kau berhasil menemukan mereka semuanya...?"


"Saat ini hanya salah seorang dari mereka saja 

yang dapat ku binasakan, namun dua orang lainnya 

masih dalam pencarian ku...." Sandi Marta nampak 

menarik nafas lega. Selanjutnya setelah menoleh pada 

muridnya, dia kembali berkata:

"Semua-semuanya sudah sangat jelas bagiku. 

Aku percayakan pencarian arca itu padamu, tapi ingat 

setelah arca itu kau dapat kembali, maka pulangkan-

lah pada yang berhak. Aku sendiri setelah tahu duduk 

persoalannya menjadi terang begini, telah memu-

tuskan untuk kembali ke Bukit Keramat...!"

"Tapi, Guru...! Luga Kencana yang sejak tadi 

hanya diam saja kini ikut menyela.

"Tapi apa...?" tanya gurunya dengan pandangan 

kurang senang.

"Katanya guru ingin membantuku, tapi menga-

pa kini secara tiba-tiba saja memutuskan akan kemba-

li ke Bukit Keramat...?" protes Luga Kencana.

Sandi Marta nampak terdiam sesaat lamanya, 

sama sekali dia tiada mengerti, mengapa muridnya 

yang kini sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Cara 

berbicaranya pun sudah sangat lain sekali. Ini yang 

membuatnya semakin kecewa saja. Hingga akhirnya 

dia mengambil keputusan yang sangat mengejutkan 

bagi Luga Kencana.

"Sebuah kebenaran tidak dapat dicampur 

adukkan dengan ketidak benaran. Kalau kau ingin 

mencari jalan aman, bergabunglah dengan Buang 

Sengketa dalam mencari arca itu. Namun kalau kau te-

tap menganggapnya sebagai seorang musuh, maka 

kematianmu walau bagaimana pun ujudnya tidak 

akan ku sesali, apalagi ku tangisi. Itulah pesanku, kau 

masih punya kesempatan untuk menimbangnya, Lu-

ga...! Nah, sekarang aku harus kembali ke Bukit Kra


mat... selamat tinggal semuanya yang ada...!" Usai ber-

kata begitu, tanpa menoleh-noleh lagi, Sandi Marta 

melesat meninggalkan punggung kuda tunggangannya. 

Lalu dengan mempergunakan ilmu lari cepat yang di-

beri nama Bayu Berhembus, dalam sekedip mata saja 

laki-laki tua renta itu pun telah menghilang dari pan-

dangan mata.

Seperginya Sandi Marta, Luga Kencana yang 

memang tak pernah dapat memadamkan dendam 

amarahnya nampaknya semakin bertambah berang sa-

ja melihat Buang Sengketa. Selanjutnya laki-laki se-

tengah umur itu pun mencela:

"Kunyuk gembel, pandai betul kau bermain 

sandiwara di depan guruku. Gara-gara mulutmu yang 

seperti mulut dewa, guruku jadi memusuhi ku. Jadah, 

kau kira dengan mundurnya Sandi Marta dalam mem-

bantuku, lalu aku juga akan mengikuti jejaknya? Puih, 

sekali-kali tidak. Hari ini juga semua kemarahan akan 

aku lampiaskan padamu...!

"Luga Kencana. Kalau kau merupakan manusia 

yang bijaksana, sudah barang tentu kau akan membu-

ru Gembel Pengemis, atau salah seorang si kembar 

yang jelas-jelas menjadi biang racun dari semua per-

soalan yang ada... namun karena memang dasarnya 

kau ini sejenisnya keledai tolol. Nampaknya kau lebih 

mengutamakan dendam pribadi dari pada harus me-

nyelesaikan urusan demi kepentingan orang ba-

nyak...!"

"Bangsaaat, kau tak perlu menggurui ku. Sete-

lah membunuhmu aku pasti mencari mereka...!" maki 

Luga Kencana. Seraya langsung memberi aba-aba pada 

murid-muridnya yang berjumlah tidak lebih dari tiga 

puluh orang. Sudah barang tentu, pendekar dari Nege-

ri Bunian itu menjadi sangat gusar sekali melihat ke


kerasan hati Luga Kencana. Maka untuk yang terakhir 

kalinya sekali lagi dia memperingatkan.

"Ketua Perguruan Walet Merah, ku ingatkan

padamu sekali lagi jangan kau teruskan niatmu untuk 

bertarung denganku. Kalian semua akan mati sia-

sia...!" menukas pendekar itu. Namun dengan tiada 

memperdulikan apa yang dikatakan oleh Buang Seng-

keta, semua murid-murid Perguruan Walet Merah su-

dah mengepungnya. Rapat.

"Bocah hina, kerahkanlah segala apa yang kau 

miliki. Andai tidak sekejap lagi nyawamu bakal me-

layang sia-sia...!"

"Serrbuuu...!" teriak salah seorang kepala mu-

rid pada kawan-kawannya. Tiada berbendung lagi, tiga 

puluh orang murid itu akhirnya mengeroyok Pendekar 

Hina Kelana dari segala penjuru.

* * *

SEBELAS



Maka dalam sekejap saja pertarungan sengit-

pun sudah tiada dapat dihindari lagi. Buang Sengketa 

yang baru saja terkuras tenaganya tak ingin mengulur-

ulur waktu dengan percuma. Baginya salah satu jalan 

untuk melumpuhkan kekuatan lawan adalah terletak 

pada pimpinannya, kalau pimpinannya dapat dia lum-

puhkan adalah hal yang sangat mudah untuk menga-

tasi segala sepak terjang murid-muridnya. Maka tanpa 

ayal-ayalan lagi, Pendekar Hina Kelana melesatkan tu-

buhnya mengarah pada Luga Kencana yang masih du-

duk di atas punggung kuda tunggangannya. Nampak-

nya pemimpin ketua Perguruan Walet Merah ini tiada


pernah menyangka kalau Buang Sengketa berinisiatif

untuk menyerang dirinya. Dalam keterbatasan apa 

yang dipikirkannya, tanpa buang-buang waktu dia me-

lompat dari punggung kudanya.

"Hia...!" teriak Luga Kencana, lalu kirimkan pu-

kulan Walet Merah Menyergap Capung. Satu gelom-

bang angin pukulan menderu, menyertai berkelebat-

nya sinar ungu yang dilepaskan oleh Luga Kencana. 

Bagai seekor udang, Buang melentikkan tubuhnya. 

Sebentar dia berjumpalitan di udara, namun begitu 

tubuhnya menukik ke bawah satu pukulan yang ber-

hawa sangat panas luar biasa menyambar dan me-

nyambuti pukulan yang dilepaskan oleh Luga Kenca-

na.

"Wuuut! Blaaang!"

Tanah tempat mereka berpijak terguncang he-

bat, murid-murid Perguruan Walet Merah yang datang 

mengepung dan menghantamkan senjatanya nampak 

berpelantingan ke segala penjuru arah. Sementara Lu-

ga Kencana sendiri nampak terbanting tubuhnya sete-

lah sempat bersalto beberapa kali. Pendekar Hina Ke-

lana yang sempat terhuyung-huyung, dengan sangat 

cepat sekali segera menghindari babatan senjata la-

wan-lawannya yang tanpa ampun terus melabraknya.

"Ciaaat...!"

"Wuuus...!"

Pendekar Hina Kelana kembali melepaskan pu-

kulan Empat Anasir Kehidupan yang sangat ampuh 

itu. Lalu dengan sangat cepat satu gelombang yang 

berwarna ultra violet itu pun melabrak beberapa orang 

yang datang menyongsong dengan senjatanya.

"Arrgghk...!"

Jerit dan lolongan maut membahana memenuhi 

angkasa, manakala tujuh orang dari mereka sempat


tersambar pukulan maut itu. Nampak tubuh mereka 

berpelantingan dengan keadaan hangus dan tercium 

daging terbakar. Melihat kematian murid-muridnya 

yang sangat mengenaskan itu, Luga Kencana yang su-

dah bangkit berdiri, kembali pada posisinya itu nam-

pak semakin bertambah gusar saja dibuatnya.

"Keparat kau, Gembel berperiuk. Kau bunuh 

murid-muridku dengan cara demikian keji. Kubunuh 

kau...!" teriak Luga Kencana, dan saat itu juga Buang 

Sengketa se-dapat mungkin menghindari serangan ga-

nas yang dilancarkan oleh ketua Perguruan Walet Me-

rah.

"Haeeees...!"

Buang kembali berkelit, selanjutnya kirimkan 

satu tendangan yang sangat telak ke arah bagian perut 

dan selangkangan Luga Kencana. Namun di luar du-

gaan, Luga Kencana cabut pedang pusaka. Selanjutnya 

pedang itu berkiblat dan menebas ke arah bagian kaki 

Buang yang meluncur hampir mencapai sasarannya. 

Buang Sengketa mengeluarkan seruan tertahan. Lalu

secepatnya tarik balik serangan yang dilancarkan oleh 

Luga Kencana.

"Weees!"

Serangan pedang itu luput, sebaliknya tanpa 

terduga-duga Luga Kencana kirimkan satu pukulan 

yang sangat cepat. Angin kencang menderu menyertai 

berhamburannya pukulan Walet Berkabung yang dile-

paskan oleh Luga Kencana. Nampaknya Buang Seng-

keta sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk 

menghindari serangan yang datangnya sangat tiba-tiba 

itu.

"Haiiiit...!"

Tubuh Buang Sengketa berjumpalitan ke bela-

kang, namun celakanya pukulan Walet Bergabung ma


sih terus saja memburunya. Pemuda itu kelabakan, 

tapi dia masih sempat pukulkan tangannya untuk me-

lepaskan pukulan si Hina Kelana Merana yang paling 

sangat dia andalkan itu.

Tak dapat disangkal lagi, selarik sinar berwarna 

merah menyala segera menyambuti pukulan yang ber-

hawa panas dan berwarna keungu-unguan itu. Udara 

di sekitar tempat pertarungan mendadak menjadi sa-

ngat panas luar biasa. Murid-murid Luga Kencana 

nampak undur beberapa tindak, bahkan beberapa 

orang di antaranya berloncatan menjauh. Saat itu dua 

pukulan bertenaga sakti tak terhindari lagi sudah sal-

ing bertemu.

"Buuum!"

Tubuh Buang Sengketa terlempar hampir enam 

tombak, dadanya terasa bagai remuk, sementara darah 

pun menggelogok dari mulut dan hidungnya. Wajah 

pemuda itu pucat sekali. Dia mengerang, namun kata-

katanya tak begitu jelas. Di lain pihak, keadaan yang 

sama buruknya juga terjadi pada Luga Kencana. Tu-

buh ketua perguruan yang keras hati itupun sama ter-

lempar, bahkan darah lebih banyak mengalir ketim-

bang apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Namun 

sungguh luar biasa kemampuan dan ketahanan tubuh 

yang dimiliki oleh Luga Kencana. Sekejap kemudian 

dia telah bangkit kembali. Lalu disekanya darah kental 

yang berlelehan dari bibirnya, Selanjutnya dengan pe-

dang terhunus, beserta murid-muridnya dia melaku-

kan serangan kepada lawannya yang masih berusaha 

mengembalikan kekuatannya.

Nampaknya kali ini tiada kesempatan lagi bagi 

si pemuda untuk membebaskan diri dari serangan ki-

lat yang datangnya dari berbagai penjuru itu. Sesung-

guhnya dia merasa sangat panik sekali, namun nampaknya akal sehatnya masih dapat bekerja dengan 

baik. Teringat pula olehnya akan ilmu Lengkingan Pe-

menggal Roh yang sangat luar biasa itu. Maka kesem-

patan yang sangat sempit itu cepat-cepat dia perguna-

kan untuk mengerahkan ajian Ilmu Pemenggal Roh. 

Sementara itu serangan lawan-lawannya hanya tinggal 

dua jengkal saja di atas kepalanya. Bahkan Luga Ken-

cana sendiri merasa sangat yakin dengan sekali saja 

menebaskan pedangnya ke arah bagian leher si pe-

muda. Maka menggelindinglah kepala pemuda dari Ne-

geri Bunian itu. Maka dengan semangat yang mengge-

bu-gebu, dia pun semakin mempercepat gerakannya.

"Shaaaa...!"

"Heeiiiik...!"

Setinggi langit Buang Sengketa menjerit, lalu 

bersamaan dengan jeritannya yang tinggi menggelegar, 

bahkan sampai membuat luruh ranting, dan membuat 

goyang tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. 

Maka lebih dari sepuluh orang murid-murid dari Per-

guruan Walet Merah terkapar menemui ajalnya. Dari 

telinga mengalir darah kental tiada henti, dan dari se-

kian banyaknya murid-murid Perguruan Walet Merah 

hanya tersisa lebih kurang enam orang saja. Ini adalah 

satu kejadian yang sangat luar biasa bagi Luga Kenca-

na. Selama hidupnya belum sekalipun dia melihat ke-

jadian yang mengejutkan ini. Bahkan dia sendiri mera-

sakan betapa jantungnya sampai tergetar, sementara 

kepalanya juga berdenyut-denyut sakit luar biasa. An-

dai saja dia tidak cepat-cepat menutupi jalan indranya, 

sudah barang tentu dia juga menemui ajal seperti yang 

dialami oleh murid-muridnya yang lain. Sungguhpun 

begitu mana mau dia menyerah begitu saja, sudah 

menjadi prinsip hidupnya. Lebih baik mati berkalang 

tanah daripada hidup bercermin bangkai. Hatinya


memang keras bagaikan baja, tetapi perhitungannya 

terhadap sebuah kenyataan yang terjadi selalu saja 

membawanya pada prinsip yang salah.

Kini sungguhpun langkahnya masih terhuyung-

huyung, dengan dibantu oleh beberapa gelintir murid-

muridnya, dia kembali melabrak Buang Sengketa yang 

sudah siap-siap dengan posisinya. Demi melihat kene-

katan Luga Kencana, Pendekar Hina Kelana yang su-

dah merasa tidak sampai hati itu kembali memperin-

gatkan:

"Luga Kencana! Apakah engkau hendak men-

gorbankan seluruh murid-muridmu hanya demi ingin 

melampiaskan dendammu yang tiada beralasan itu...?"

"Persetan...! Semuanya sudah kepalang basah, 

Gembel berperiuk. Sungguhpun engkau memiliki ke-

pandaian setinggi ilmu para dewa. Walaupun engkau 

punya lengkingan suara yang dapat meruntuhkan ba-

tu gunung, jangan dikira aku akan mundur walau ba-

rang selangkah pun. Huh, katanya kau memiliki Pusa-

ka Golok Buntung yang sangat kau andalkan, setan-

setan itu bilang kau juga memiliki Cambuk Gelap 

Sayuto yang sangat hebat. Cek... cek... cek...! Aku jadi 

kepingin lihat sampai di mana kehebatan pusaka yang 

membuat namamu terkenal di mana-mana...!" teriak 

Luga Kencana menantang. Pendekar Hina Kelana 

hanya tersenyum getir demi mendengar apa yang dika-

takan oleh Luga Kencana. Kemudian dengan nada 

sangat berwibawa dia menjawab:

"Luga Kencana manusia tolol! Di dunia ini tiada 

manusia yang melebihi kepandaian dewa. Kalau kau 

ingin melihat bagaimana hebatnya Pusaka Golok Bun-

tung, maka tak pernah seorang pun dari semua mu-

suh-musuhku yang mampu melihatnya, karena sebe-

lum maksudnya kesampaian orang-orang itu sudah


keburu mampus tanpa dapat mengerti apa sesung-

guhnya yang telah dan pernah terjadi pada dirinya...!"

"Kau terlalu menjunjung dirimu setinggi langit, 

Gembel hina! Mampuslah!" Serentak dengan makian-

nya itu, tanpa sungkan-sungkan lagi dia telah meng-

gempur Pendekar Hina Kelana dengan semangat yang 

menggebu-gebu. Buang secepatnya berkelebat meng-

hindar, dengan mempergunakan jurus tangan kosong 

si Jadah Terbuang dia melayani serangan-serangan 

ganas yang dilakukan oleh Luga Kencana dan bebera-

pa murid-muridnya.

"Kuperingatkan padamu sekali lagi, Ketua Per-

guruan Walet Merah! Urungkanlah seranganmu. Sekali 

lagi... urungkan...!" teriak pemuda itu. Kini dia sudah 

mulai berpikir-pikir untuk mempergunakan Pusaka 

Golok Buntung yang terselip di pinggangnya.

"Hiaaat...!" Pedang di tangan Luga Kencana da-

tang menggebu, begitu pun senjata-senjata muridnya.

"Wut! Wut! Wut!"

"Sriiiiiiing! Trang, craaaang...!"

Terlihat bunga api berpijaran manakala senja-

ta-senjata mereka berpatahan begitu berbenturan den-

gan senjata yang ada di dalam genggaman Pendekar 

Hina Kelana. Hanya tubuh Luga Kencana saja yang ti-

dak terhuyung-huyung, sementara murid-muridnya 

tunggang langgang.

Sementara itu di tangan Buang Sengketa kini 

sudah tergenggam sebuah senjata yang memancarkan 

sinar merah menyala. Tak salah lagi itulah Pusaka Go-

lok Buntung yang sangat luar biasa itu. Udara di seki-

tar tempat itu mendadak berubah dingin, tubuh la-

wan-lawannya terlihat menggigil. Buang Sengketa me-

mandang tajam pada mereka ini, sementara dari bibir-

nya mengeluarkan bunyi mendesis-desis bagaikan


seekor ular piton yang sedang marah.

"Inilah Pusaka Golok Buntung yang ingin kau 

lihat itu, Luga Kencana! Sekarang bersiap-siaplah un-

tuk menghadapi ketajamannya." Seusai dengan uca-

pannya itu, tubuh Buang Sengketa berkelebat cepat. 

Golok di tangannya menyambar-nyambar sehingga 

menimbulkan angin menderu. Dalam waktu tidak lebih 

sejurus saja, baik Luga Kencana dan murid-muridnya 

menjadi kelabakan.

"Hiaat...!" Luga Kencana berusaha mengke-

lit babatan senjata maut lawannya. Cepat-cepat dita-

dahkannya pedang miliknya.

"Traaang!"

Senjata di tangan Luga Kencana terpental, dan 

patah di beberapa bagian. Maka semakin bertambah 

gugup sajalah Ketua Perguruan Walet Merah ini. Tetapi 

belum lagi dia sempat menarik nafas, senjata di tangan 

Buang Sengketa berkelebat mengarah pada bagian le-

hernya.

"Creees...."

Luga Kencana terhuyung-huyung. Kedua bola 

matanya bagai mau melompat ke luar. Secara gelaga-

pan dia berusaha menekap bagian tenggorokannya 

yang sudah terputus itu. Namun darah tetap saja 

membanjir tiada tercegah lagi, selanjutnya tubuh Luga 

Kencana terhuyung-huyung. Kemudian tanpa mampu 

berkata sepatah kata pun tubuh laki-laki tersuruk ke 

bumi dengan darah masih berlelehan. Maka tewaslah 

Ketua Perguruan Walet Merah yang sangat keras kepa-

la itu dengan keadaan yang sangat menyedihkan seka-

li. Sedetik kemudian Buang memandang pada sisa-sisa 

murid Perguruan Walet Merah yang hanya tinggal be-

berapa orang lagi.

"Siapa yang ingin menyusul gu


runya...?"tanyanya dengan nada berapi-api. Secara se-

rentak:

"Ja... jangan bunuh kami, Tuan pendekar! Ka-

mi ini orang susah, berilah kami kesempatan untuk 

hidup...!" seru mereka beramai-ramai. Alis Buang 

Sengketa menggerimik. Satu demi satu Buang Sengke-

ta memandang pada orang-orang yang duduk bersim-

puh tidak begitu jauh di depannya. Dia merasa sangat 

iba sekali.

"Baiklah, aku akan mengampuni kalian! Seka-

rang cepat-cepat merat dari hadapanku sebelum pen-

dirianku berubah...!"

"Terima kasih atas pengampunan pendekar. 

Kami mohon diri...!" Setelah berkata begitu, secara se-

rentak mereka segera berlompatan di atas punggung 

kudanya masing-masing. Secepatnya pula mereka 

menggebrak kuda. Selanjutnya menghilang dari pan-

dangan pendekar itu.

Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Buang Sengketa segera menuruni lereng bukit. Tetapi 

setelah sampai di sana dia tidak melihat Dewi Wening 

Asih dan juga ayahnya. Pemuda ini segera meneliti 

tempat sekitar itu. Namun apa yang dicari-carinya juga 

tiada di tempat.

"Hemm. Agaknya dia sudah berangkat ke dae-

rah lembah Gunung Batu Siwak!

Baiknya aku cepat-cepat menyusul mereka...!" 

Maka melesatlah tubuh pendekar ini bagaikan anak 

panah. Semakin lama gerakan larinya semakin ber-

tambah cepat. Tak salah karena saat itu dia tengah 

mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian Sapu Angin.

* * *


DUA BELAS


Saat itu setelah merasa agak sembuh dari lu-

kanya, Rajenta dan anaknya yaitu Dewi Wening Asih 

segera meninggalkan lereng bukit. Mulanya Rajenta 

merasa kurang setuju dengan apa yang diusulkan oleh 

putri tunggalnya itu. Sebab sebagai orang yang telah 

ditolong, dia pun tak menginginkan kalau penolongnya 

mengalami sesuatu yang tiada dikehendaki. Dia sangat 

tahu betapa hebatnya Luga Kencana dan orang-orang-

nya. Akan tetapi karena Dewi Wening Asih memberita-

hu bahwa semua itu atas perintah Pendekar Hina Ke-

lana, maka dengan berat hati akhirnya dia menurut 

apa yang dikatakan oleh putrinya itu. Dalam keadaan 

Buang Sengketa masih bertarung dengan Luga Kenca-

na dan murid-muridnya, keduanya telah mulai berge-

rak meninggalkan tempat itu. Tujuan memang tak sa-

lah lagi, yaitu ke lembah Gunung Batu Siwak. Karena 

memang jarak antara lereng bukit dengan lembah Gu-

nung Batu Siwak tidak seberapa lagi jauhnya. Maka 

setelah mengerahkan ilmu lari cepatnya tidak sampai 

sejam kemudian mereka telah sampai di perbatasan le-

reng Gunung Batu Siwak dengan lereng bukit tempat 

Buang Sengketa sedang bertarung melawan Luga Ken-

cana dan murid-muridnya.

Namun begitu sampai di perbatasan lembah 

Gunung Batu Siwak betapa terkejutnya Rajenta begitu 

melihat kehadiran orang yang tak asing lagi dalam hi-

dupnya. Gembel Pengemis dari Pulau Naga. Batin Ra-

jenta merasa heran dan sangat penasaran. Namun 

keyakinannya bahwa arca itu ada bersamanya sema-

kin terbukti begitu melihat sebuah buntalan mengge-

lantung di bahu dedengkot manusia sesat itu. Maka


tanpa sungkan-sungkan lagi begitu sampai di depan 

Gembel Pengemis dia sudah langsung menukas:

"Saudara Gembel Pengemis, bertahun-tahun ki-

ta bersahabat. Sama sekali aku tiada menyangka ka-

lau akhirnya kau malah membuat susah semua 

orang...!"

Gembel Pengemis nampak sangat kaget sudah 

lebih setengah hari dia menunggu kedatangan para 

kembrat-kebratnya, yaitu si Kembar Pedang Dewa yang 

sedang melakukan tugas mengobrak-abrik markas kau 

golongan putih. Dia sendiri setelah tidak menemukan 

murid dan guru ketua Perguruan Walet Merah segera 

menghancurkan beberapa perguruan kecil golongan 

putih lainnya. Lalu setelah segalanya terselesaikan dia 

segera menuju tempat itu, Namun siapa sangka apa 

yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan 

yang dihadapinya. Maka kini tanpa sungkan-sungkan 

lagi, dia langsung berhadapan dengan Rajenta bekas, 

sahabat lamanya itu.

"Ah... ah... ah...! Selamat datang sahabat lama. 

Tapi ada apakah gerangan sehingga kemarahan mu 

membawa kemarahan yang tiada pernah kuperhitung-

kan...?" tanya Gembel Pengemis masih berpura-pura.

"Sialan, gara-gara Arca Harimau Kumbang itu, 

keluargaku jadi berantakan. Istriku menjadi korban, 

bahkan nyaris aku dan anakku juga...!"

"Hei... bicaramu ngelantur, Sobat. Aku tak tahu 

menahu tentang arca itu kau jangan menuduhku yang 

bukan-bukan...!"

"Saudara Gembel Pengemis, kalau engkau ma-

sih menghargai sebuah persahabatan, coba kau buka-

lah bungkusan yang menggelantung di pundakmu 

itu?" perintah Rajenta sudah tak mampu menahan 

kemarahannya lagi.



"Oh... oh... oh...! Permintaanmu itu tak mung-

kin dapat kulakukan, sebab benda ini merupakan ba-

rang titipan orang lain...!"

"Paling juga barang titipan si Kembar Pedang 

Dewa yang telah mampus salah seorang di antaranya. 

Lebih baik kau kembalikan saja arca itu padaku agar 

area itu kukembalikan pada yang berhak...!" teriak Ra-

jenta.

"Hmm. Kalau begitu kau bermaksud mengang-

kangi arca yang kubawa ini maka baiknya aku harus 

menyingkir jauh-jauh darimu...."

"Heiiit... mau minggat ke mana kau, Gembel 

Pengemis...?" Berkata begitu dia langsung kirimkan sa-

tu pukulan yang sangat telak. Lalu tanpa tinggal diam 

dia pun melayani serangan gencar yang dilakukan oleh 

Rajenta. Hawa dingin dan hawa panas saling memburu 

dengan kecepatan yang sangat sulit untuk diukur.

"Blumm...!"

Dua-duanya terpelanting. Pukulan yang sangat 

besar dan disertai tenaga sakti itu pun membuat ke-

duanya langsung muntah darah. Sementara itu nam-

paknya Gembel Pengemis menyadari bahwa Rajenta 

memang bermaksud ingin mencelakainya. Bagaimana 

pun dia tidak ingin arca itu sampai terjatuh ke tangan 

orang lain.

"Rajenta, nampaknya kau benar-benar meng-

hendaki pertarungan yang sangat berkesan dalam hi-

dup kita. Baiklah, bagiku tiada pilihan lagi. Tapi ya-

kinkah kau, bahwa berhadapan denganku selamanya 

kau tak mungkin menang...!" jerit Gembel Pengemis 

tanpa sungkan-sungkan lagi.

"Hiaat...!"

Tongkat di tangan Gembel Pengemis yang ber-

kepala Naga Merah berkelebat menyongsong datangnya


pukulan yang dilepas oleh Rajenta.

Maka tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras 

pun terjadilah. Lagi-lagi kedua-duanya sama-sama 

terpental.

"Sialan! Nampaknya kau tak mungkin mengu-

lur-ulur waktu lagi. Aku merasa yakin kalau aku robah 

diriku dengan sosok Siluman Harimau Kumbang, Ra-

jenta pasti tidak dapat mengalahkan aku." batinnya 

penuh harap. Tak ayal lagi ajian Siluman Harimau 

Kumbang pun segera di rapalnya. Maka perubahan-

perubahan pun terjadilah. Selanjutnya dengan tiga kali 

berlompatan, saat Gembel Pengemis menjejakkan diri, 

tubuhnya telah berubah menjadi ujud Siluman Hari-

mau Kumbang.

Hanya Dewi Wening Asih saja yang nampak 

sangat terkejut demi melihat perubahan-perubahan 

yang terjadi. Sementara Rajenta sendiri nampak terse-

nyum sinis.

"Hemm. Tak salah dugaan pemuda itu, kiranya 

kaulah yang selama ini membuat gempar dunia persi-

latan. Jangan kira aku pun tak dapat berubah seper-

timu...! menggeram Rajenta. Selanjutnya dengan tubuh 

berlompatan, maka sekejap kemudian setelah merapal 

ajian Siluman Harimau Kumbang, tubuh Rajenta pun 

telah berubah pula menjadi Siluman Harimau Kum-

bang. Dewi Wening Asih menjadi terbelalak karenanya, 

dia pun tidak pernah menyangka kalau ayahnya juga 

dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang. 

Pada saat itu Buang Sengketa juga sudah sampai di 

tempat itu, maka begitu menghampiri Dewi Wening 

Asih, dia langsung bertanya.

"Mana ayahmu...?" tanyanya sembari memper-

hatikan kedua ekor siluman yang sedang terlibat per-

tarungan sengit.


"Kelana... maafkan ayahku, dia rupanya juga 

dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang." 

kata Dewi Wening Asih memelas. Mendengar ucapan 

Dewi Wening Asih, Buang Sengketa tiada bereaksi. Se-

baliknya dia memusatkan indra keenamnya untuk 

menentukan sebuah kebenaran. Seperti diketahui 

Buang Sengketa juga masih merupakan keturunan ra-

ja di alam kedua. Begitu pikirannya menyatu dengan 

hatinya, maka terlihat jelaslah, bahwa Rajenta meru-

pakan utusan guru para siluman, dan dia pun sudah

dapat memastikan yang mana Rajenta dan yang mana 

Gembel Pengemis. Sekejap dia membuka matanya 

kembali.

"Aku harus segera turun membantu ayah-

mu...?!" katanya mantap.

"Tapi kau tak tahu yang mana ayahku yang 

mana pula lawannya...!" menukas Dewi Wening Asih 

menukas dengan ketakutan.

"Diamlah, kebenaran nanti yang akan menga-

takannya...!" Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi 

Buang Sengketa segera turun ke kalangan pertempu-

ran. Sebagai orang yang telah berpengalaman, Buang 

Sengketa cukup menyadari bahwa lawannya akan san-

gat kebal dengan pukulan sakti apa pun. Dan dia pun 

masih ingat pesan gurunya, si Bangkotan Koreng Seri-

bu. Bagian ekor setiap siluman adalah merupakan ke-

pala dari manusianya, sedang bagian kepala adalah 

merupakan kaki dari manusianya.

"Paman Rajenta, aku tahu engkau yang mana 

di antara satu. Mewakili paman dan guru para silu-

man. Kuharap engkau mau mundur...!" teriak Buang 

Sengketa saat itu telah pula menggenggam Golok Bun-

tung dan Cambuk Gelap Sayuto di tangannya.

"Grauuuung...!"


Serentak dengan raungannya itu, siluman pen-

jelmaan Rajenta mundur, selanjutnya setelah berjum-

palitan beberapa kali, maka dia kembali dalam ujud-

nya semula.

Saat itu golok di tangan Pendekar Hina Kelana 

telah menderu disertai suara-suara lecutan membaha-

na. Saat itu juga begitu Cambuk Gelap Sayuto melecut 

di udara, maka bertiuplah angin yang sangat kencang. 

Petir dan halilintar saling sambung menyambung, sua-

sana di sekitarnya mendadak menjadi gelap gulita. 

Langit yang tadinya cerah kini telah gelap diliputi awan 

hitam. Kenyataan ini membuat terkejut semua pihak 

yang menyaksikan pertarungan itu. Tidak terkecuali 

siluman penjelmaan Gembel Pengemis dari Pulau Na-

ga.

"Hoaaar.... Grauuuuung!"

Siluman Harimau Kumbang memekik marah, 

tanpa perduli lagi akan keselamatannya dia langsung 

menyongsong Pendekar Hina Kelana dengan taring dan 

kuku-kukunya yang tajam. Satu kebetulan bagi Buang 

Sengketa untuk segera dapat menghabisi lawannya.

"Grrrrr...!"

"Ctar... ctar...!"

Cambuk Gelap Sayuto kembali menyambut. Si-

luman Harimau Kumbang nampaknya menjadi kalap, 

tanpa mengenal rasa takut dia menerjang kembali. Da-

lam kegelapan itu sinar merah yang memancar dari 

senjata di tangan Buang Sengketa berkelebat me-

nyambar pada bagian ekornya.

"Craass.... Sraaas...!" Harimau itu menggerung, 

tubuhnya menggelusur begitu tersambar ketajaman 

golok di tangan Pendekar Hina Kelana. Sesaat lamanya 

tubuhnya berkelojotan. Perubahan pun terjadi kembali 

sehingga menjelmalah menjadi ujud yang sebenarnya.


Dalam pada itu terdengar suara Pendekar Hina Kelana 

yang bergerak menjauh.

"Ambillah arca itu, kembalikan ke lembah Gu-

nung Batu Siwak, agar karma yang menimpa segera 

berakhir...!" Suara peringatan itu terdengar sayup-

sayup bersama berhembusnya angin dan lenyapnya 

kabut tebal yang menyertainya.

Begitu suasana berubah menjadi terang kemba-

li. Hanya terdapat tubuh Gembel Pengemis saja yang 

terkapar dengan jiwa melayang. Rupanya mempergu-

nakan kesempatan itu, Buang Sengketa telah pergi me-

ninggalkan tempat itu.

"Dia telah pergi...!" Dengan lesu Rajenta beru-

cap sambil mengambil Arca Harimau Kumbang yang 

ada dalam bungkusan di punggung Gembel Pengemis 

yang hampir putus batang lehernya.

"Mungkin kita tidak mungkin lagi bertemu den-

gannya ayah...!" keluh Dewi Wening Asih sendu.

"Memangnya kenapa...?" tanya Rajenta tanpa 

menoleh.

"Aku terlalu sering menyakiti hatinya, padah-

al... padahal, aku terlalu mencintainya...." kata gadis 

itu tertunduk sedih. Setelah mengambil arca itu, ke-

mudian Rajenta mengelus kepala anaknya.

"Ada kalanya orang-orang yang kita cintai begi-

tu saja pergi. Tapi yakinlah suatu saat nanti juga kita 

akan bertemu dengannya...!" ujar Rajenta. Kemudian 

tanpa berkata-kata lagi, mereka segera menuju lembah 

Gunung Batu Siwak untuk mengembalikan area itu.



                            TAMAT




Share:

0 comments:

Posting Komentar