..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE KEMBALINYA SITANGAN SETAN

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


KEMBALINYA SI TANGAN SETAN

Oleh D. Affandi

Cetakan Pertama

Penerbit Mutiara, Jakarta

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

D. Affandi

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam Episode 008 :

Kembalinya Si Tangan Setan 


SATU


Walaupun luka dalamnya semakin 

parah akibat pukulan beracun, namun 

dalam perjalanan panjang dan 

melelahkan itu dia tak pernah 

mengeluh. Paras laki-laki itu sudah 

nampak semakin membiru. Empat puluh 

hari berjalan berkuda mereka tempuh. 

Namun Lembah Tapis Angin masih belum 

kelihatan juga. Hal ini semakin 

membuat resah hati perempuan yang 

menyertai laki-laki itu. Hampir setiap 

saat dia mengerling pada laki-laki 

yang berada di sampingnya, semakin 

lama keadaan laki-laki itu bertambah 

menyedihkan. Padahal mereka sudah 

nemperlambat kecepatan kuda-kuda 

mereka. Satu waktu, laki-laki yang 

bernama Kunta itu tampak menggigil

tubuhnya, andai saja perempuan yang 

berada dii sampingnya tidak cepat-

cepat menangkap Kunta, sudah dapat 

dipastikan Kunta akan terjatuh dari 

kuda tunggangannya. Akibat yang lebih

tak terbayangkan lagi andai tubuh 

Kunta sampai terperosok ke dalam


jurang yang berbatuan tajam di sisi 

kanan jalan itu.

Kini laki-laki bertubuh kekar 

yang berasal dari Bukit Kembar itu 

mulai merintih-rintih di dalam 

pangkuan Winda Murti, kekasihnya. 

Beberapa saat lamanya, si gadis nampak 

mengurut-urut dada si pemuda. Dia 

nampak menggeliat dan merintih-rintih. 

Sekejap matanya yang sayu itu nampak 

memandang pada si gadis. Tapi tiada 

sepatah katapun yang terucap! Tatapan 

matanya layu, seluruh permukaan 

tubuhnya selain bertambah membiru juga 

mulai nampak membengkak. Perih hati si 

gadis demi melihat keadaan yang sangat 

niengenaskan ini. Serta merta dia 

menitikkan air mata, lalu dalam 

kesedihannya itu dia berucap:

"Kakang, bertahanlah! Lembah 

Tapis Angin tidak begitu jauh lagi 

dari tempat ini...!" katanya 

tersendat. Pemuda yang bernama Kunta 

itu nampak diam tiada bergeming. Hal 

ini semakin menambah kecemasan si 

gadis.

"Kakang! Engkau dengarkah apa 

yang kukatakan ini...!" ulang gadis 

itu. *


"Ak... aku dengar... tapi 

mungkihkah aku dapat bertahan sampai 

ke sana,. Aku sudah tiada daya lagi 

untuk mengendalikan kuda...!" jawab 

pemuda itu dengan suara tertahan.

"Bersemangatlah untuk tetap hidup 

kakang...? Tabib Setan Gila pasti mau 

dan dapat menyembuhkanmu,..!" 

Mendengar kata-kata si gadis, Kunta 

nampak gelengkan kepalanya berulang-

ulang.

"Aku tak pernah yakin, Tabib gila 

dari Lembah Tapis Angin itu mau 

mengobati tubuhku yang terkena pukulan 

keji, manusia terkutuk itu...!" ujar 

si pemuda nampak putus asa sekali. 

"Tidak cintakah engkau padaku? 

Mengapa engkau tidak pernah 

berkeinginan untuk hidup lebih 

lama...?" tukas si gadis memprotes. 

Kunta nampak tersenyum, meskipun hanya 

untuk berbuat seperti itupun dia harus 

bersusah payah. Tiada sinar kehidupan 

lagi yang terpancar dari matanya yang 

kuyu itu. Lalu dengan hati gundah dia 

kembali berucap:

"Hidup dan mati itu sudah ada 

ketentuannya, untuk apa harus bersusah 

payah memaksakan diri. Kalau pada


akhirnya sang maut itu sendiri 

tak mungkin kita hindari...!"

"Itu benar, tetapi kita harus 

berikhtiar...!" kata si gadis 

membantah.

Mendengar kata-kata si gadis, 

akhirnya dia berkata: 

"Winda! Aku sudah tidak punya 

tenaga lagi, bagaimana mungkin aku 

bisa memegang kendali kuda. Sedangkan 

untuk membawa diriku sendiri saja aku 

sudah hampir tak sanggup...." Kunta 

mengeluh setengah merintih. Winda 

Murti nampak tercengang untuk beberapa 

saat lamanya, tetapi kemudian dia 

sudah mendapat akal. Cepat-cepat dia 

berkata!

"Kakang. Kudamu merupakan kuda 

yang tangguh dan kokoh, dia pasti 

sanggup menanggung beban dua orang 

sekaligus." Kunta yang sudah nampak 

kepayahan itu hanya mengangguk-

anggukkan kepalanya. Begitu mengetahui 

Kunta menyetujui usulnya, cepat-cepat 

dia menaikkan tubuh sang kekasih di 

kuda yang berbulu coklat tua itu. 

Kunta nampak mengerang keras begitu 

merasakan sakit yang sangat luar 

biasa. Tak lama setelah itu, Winda


Murti pun akhirnya segera memacu 

kudanya dengan sangat cepat sekali.

Sementara itu, pada saat yang 

sama di tempat kediaman Tabib Setan 

Gila: Nampak kesibukan yang sangat 

luar biasa sekali. Di ruangan depan 

nampak bergeletakan mereka-mereka yang 

sangat membutuhkan pertolongan. Orang-

orang ini nampak merintih-rintih, 

wajah mereka hampir keseluruhannya 

nampak biru. Pada saat itu di ruangan 

dalam, Tabib Setan Gila kelihatan 

sedang mengobati tiga orang 

laki-laki lainnya. Pada saat-saat 

seperti itulah tiba-tiba terdengar 

bentakan mengancam, melalui ilmu 

menyusupkan suara.

"Tabib gila. Hari ini engkau 

kembali ingin menolong musuh-musuhku? 

Ingatlah andai engkau tetap bersikeras 

menyelamatkan mereka. Aku tak bisa 

menjamin lagi keselamatanmu...." ancam 

suara itu. Mendapat ancaman yang sama 

dari orang yang memiliki ilmu tenaga 

dalam yang sangat sempurna pula. Sudah 

barang tentu laki-laki berwajah 

keriput dengan sebuah tongkat 

tengkorak yang tak pernah lepas-lepas 

dari sisinya. Kini nampak semakin 

ketakutan. Sebab siapapun suara ini,


tak lain dan tak bukan dia pula yang 

merupakan biang kerok penyebar pukulan 

beracun itu.

"Mereka ini membutuhkan 

pertolongan, siapapun adanya mereka 

itu, sebagai seorang Tabib aku 

berkewajiban menolongnya!" menyahuti 

Tabib Setan Gila setelah beberapa saat 

lamanya terdiam.

"Engkau hendak membangkang 

perintah. Sungguh berani engkau pada 

si Tangan Setan? Agaknya engkau benar-

benar ingin merasakan betapa hebatnya 

pukulan beracunku...!" kata orang 

pengirim suara itu nampak marah 

sekali.

"Ah? Engkau telah salah duga. Aku 

tak bermaksud membantahmu... 

percayalah...!"

"Kalau begitu, engkau hentikanlah 

segala usahamu dalam menyembuhkan 

mereka. Atau beri racun kematian pada 

setiap mereka yang coba-coba berobat 

kepadamu. Hanya dengan jalan itu, 

mudah-mudahan aku mengampunimu...!" 

kata suara itu sambil mengekeh. 

Pucatlah wajah Tabib Setan Gila, 

begitu mendengar keputusan orang yang 

mengaku sebagai si Tangan Setan.


"Ta... tapi... mereka membutuhkan 

pertolongan...!"

"Engkau sayangkah nyawamu atau 

lebih sayang pada nyawa mereka?"

"Mengenai hidupku sendiri, itu 

tak begitu aku takutkan. Tapi kalau 

hal itu memang sudah menjadi 

kehendakmu, di masa yang akan datang 

aku tak berani bertanggung jawab atas 

segala apa yang kau perintahkan 

ini...!" jawab Tabib Seta Gila. 

Pengirim suara itu tergelak-gelak!

"Mengapa harus takut. Aku yang 

bertanggung jawab atas semua perintah. 

Dan sekarang ikuti kemauanku...!"

"Apa maksudmu?" tanya Tabib Setan 

Gila tak mengerti.

"Di belakang pondokmu, ada 

kuletakkan sebungkus racun yang sangat 

mematikan kau pergunakanlah untuk 

mengobati orang-orang yang sudah 

sekarat itu!"

Tabib tua ini nampak sangat 

terkejut sekali begitu mendengar

perintah.yang diberikan oleh si 

pengirim suara. Rasa ke-manusiaannya 

memberontak, tetapi dia tidak berani 

melakukannya. Tiba-tiba dia mendapat 

akal.


"Baiklah, aku akan melakukan 

perintahmu. Tetapi aku tak dapat 

melakukannya pada siang begini. "ucap 

Tabib Setan Gila.

"Jadi kapan engkau 

melakukannya...?" tanya si pengirim 

suara.

"Nanti malam...!" jawab si Tabib 

tua me-nyanggupi.

"Baik. Engkau telah menyanggupi 

perintahku. Besok aku ingin melihat 

hasilnya." Tabib Setan Gila merasa 

lega hatinya, apa-pun yang bakal 

terjadi dia sudah berniat untuk 

melarikan diri dari rumahnya. 

Sedangkan untuk merawat lebih dari 

lima orang yang sedang berobat 

kepadanya. Mau tak mau di siang itu 

dia harus bekerja keras. Meskipun dia 

sadar orang-orang yang telah terkena 

pukulan beracun itu mungkin dapat 

disembuhkan seperti sediakala, tetapi 

setidak-tidaknya untuk beberapa bulan 

mereka masih dapat bertahan hidup. 

Pukulan beracun merupakan pukulan maut 

milik si Tangan Setan yang hampir 

setahun belakangan sangat 

menggemparkan kalangan persilatan, 

telah membuat kalangan persilatan 

menjadi sangat penasaran sekali.


Korban hampir setiap hari berjatuhan. 

Selama setahun mungkin sudah dari dua 

ratus orang yang tewas secara 

menyedihkan. Tubuhnya dalam keadaan 

membiru dan tak pernah terobati. Satu-

satunya Tabib yang benar-benar tahu 

siapa sesungguhnya si Tangan Setan 

adalah Tabib Setan Gila dari Lembah 

Tapis Angin itu. Tetapi belakangan dia 

selalu mendapat ancaman dari si tangan 

Setan. Bahkan barusan dia mulai 

mendapat tekanan yang lebih berat 

lagi. Menaburkan bubuk beracun dari 

setiap ramuan yang telah dibuatnya, 

ini sungguh sangat bertentangan dengan 

hatinya yang jujur dan penuh cinta 

kasih sesama. Kalau si Tangan Setan 

sudah mengancamnya dengan cara seperti 

itu, tak banyak yang dapat 

dilakukannya kecuali melarikan diri.

Demikianlah menunggu malam tiba, 

tanpa sepengetahuan orang-orang yang 

sedang terbaring di ruang pendopo. Di 

dalam kamarnya Tabib Setan Gila nampak 

sibuk menyiapkan segala untuk 

keperluan perjalanan nanti.

Seiring dengan perjalanan sang 

waktu, akhirnya malam yang ditunggu-

tunggu pun tiba. Di langit sana, bulan 

sabit hanya kelihatan bayang-bayang


saja. Cuaca memang nampak mendung di 

malam itu. Di dalam kamarnya Tabib 

Setan Gila nampak gelisah sekali. 

Sementara di ruangan pendopo orang-

orang yang menanti saat-saat 

pengobatan terus mengerang dan 

merintih tanpa henti-hentinya. Hanya 

beberapa orang saja di antara mereka 

yang masih mampu menunggu dalam 

keadaan duduk. Sedangkan belasan orang 

lainnya, tanpa tertahankan nampak 

rebah dalam posisi centang perenang.

Demikianlah, ketika malam semakin 

larut. Ketika rasa sakit akibat racun 

Raja Kobra sudah tiada tertahankan 

lagi. Maka di saat itulah Tabib Setan 

Gila nampak menyelinap melalui pintu 

belakang. Setelah menutupkan pintu 

kembali, lalu dalam waktu sekejap saja 

dia sudah nampak berlari-lari menjauhi 

pondok. Sebentar saja, tubuh laki-laki 

tua itu telah lenyap ditelan kegelapan 

malam. Dalam pada itu, orang-orang 

yang berada di ruangan pendopo. 

Nampaknya sudah tidak sabar lagi 

menunggu saat-saat pengobatan dimulai, 

bahkan beberapa orang di antara mereka 

mulai memanggil-manggil nama Tabib 

Setan Gila.


"Uwa Tabib... cepatlah obati 

kami! Kami sudah tak tahan, sakit 

sekali, Uwa Tabib... Suakiit...!" 

rintih salah seorang di antara mereka.

"Tabib... matilah aku, Tabib... 

lebih baik engkau cabut saja nyawaku, 

engkau keterlaluan sekali. Sudah dua 

hari kami menunggu, mengapa engkau 

harus menunggu sampai larut malam...!" 

menyela yang lainnya.

"Ini sudah tengah malam, Panjul! 

Goblok banget sih elu...!"

"Ah, kalau sudah sakit begini, 

ngomong ngacopun tidak apa-apa...!"

Dalam pada itu, tiba-tiba 

terdengar suara tawa mengekeh! Sesaat 

itu terdengar pula suara bentakan yang 

menggeledak.

"Hei... orang-orang sekarat! 

Lebih baik kalian mati saja, kiranya 

Tabib gila itu tak mau menurut 

perintah. Dia sudah kabur dari 

sarangnya.... Tunggu apa kalian di 

situ?" Menciutlah semua orang yang 

hadir di situ begitu mendengar suara 

bentakan yang terdengar begitu 

mengancam. Lalu secara bersamaan 

mereka menoleh ke arah datangnya 

suara. Namun tak seorangpun terlihat 

di situ, hanya kegelapan malam dan


kabut tebal belaka adanya. Akhirnya 

mereka saling pandang sesamanya. Hati 

mereka diliputi rasa was-was. Beberapa 

saat kemudian kembali terdengar suara 

tadi.

"Sayang sekali, kawanku dalam 

turun tangan hanya setengah-setengah. 

Hal ini hanya memperpanjang 

penderitaan kalian saja. Untuk itu aku 

akan membebaskan kalian dari 

penderitaan yang menyakitkan ini...!" 

Meskipun mereka dalam keadaan terluka 

dalam cukup menghawatirkan, namun 

mendapat ancaman seperti itu, mereka 

yang terdiri dari berbagai golongan 

dan berasal dari berbagai daerah pula, 

secara serentak bangkit. Walaupun 

tak jarang di antaranya terjatuh 

kembali.

"Manusia setan dari manakah 

engkau ini, ada suara tak ada rupa. 

Kalau engkau benar-benar seorang 

ksatria, tunjukkanlah tampangmu. Biar 

kami tak segan-segan mencincangmu...!" 

teriak orang-orang itu nampak sangat 

marah sekali.

"Ha... ha... ha...! Nyawa sudah 

di atas tenggorokan, masih juga kalian 

berani jual lagak!"


***


DUA


Dalam pada itu salah seorang di 

antara mereka yang baru saja memeriksa 

kamar Tabib Setan Gila, dengan 

tergopoh-gopoh segera memberi laporan.

"Celaka! Tabib Setan Gila benar-

benar tidak ada di dalam kamarnya...!" 

ucapnya dengan wajah semakin memucat.

"Sudah kubilang, sebaiknya kalian 

memang mati saja...!" menyahuti si 

suara tadi. Maka semakin bertambah 

gusarlah para pesakitan itu dibuatnya.

"Manusia setan! Siapakah engkau 

ini, datang-datang mau ingin bunuh 

saja. Apa kesalahan kami...?" teriak 

salah seorang di antara mereka yang 

bertelanjang dada ma-rah sekali. Si 

suara tertawa rawan.

"Kalau aku inginkan nyawa 

seseorang, mengapa harus pakai 

perhitungan salah benar. Kalau aku mau 

aku punya kekuatan untuk mencabuti 

nyawa siapa saja, kalian bisa apa...?"

"Jahanam betul! Kau kira kami ini 

sebangsanya pohon singkong, pakai


cabut seenaknya saja...!" Bersamaan 

dengan ucapannya itu, serentak yang 

lain-lainnya segera mencabut senjata 

masing-masing.

"Hahaha... hahaha...! Mampu 

berbuat apakah kalian dengan senjata-

senjata yang tiada guna itu? Lebih 

baik kalian gorok leher kalian sendiri

demi mengakhiri penderitaan kalian." 

kata si suara mencemooh.

"Ya... kami memang akan membunuh 

diri, tetapi itu baru kami lakukan 

setelah menggorok lehermu terlebih 

dulu...!" Belum lagi laki-laki 

bertelanjang baju itu usai dengan 

kata-katanya, tiba-tiba satu rangkaian 

gelombang pukulan yang mengandung hawa 

maut menjijikkan nampak melesat dari 

sebuah kerimbunan pohon. Pukulan yang 

mengandung racun ganas itu terus 

melesat sedemikian cepatnya ke arah 

orang-orang yang berada di ruangan 

pendopo. Tanpa ampun lagi pukulan-

pukulan berhawa maut itupun langsung 

melabrak orang-orang di situ.

Brak

Blaam! 

Pekik kematian menggema di malam 

yang sepi itu, tubuh mereka 

berpelantingan ke segala arah, lantai


pendopo bobol berkeping-keping. Hanya 

beberapa orang saja di antara mereka 

yang dapat menyelamatkan diri, 

sedangkan mereka yang terkena 

gelombang pukulan yang mematikan itu 

nampak tewas seketika itu juga. Tak 

terbayangkan betapa murkanya sisa-sisa 

orang-orang pesakitan itu begitu 

mengetahui kawan-kawannya yang lain 

tewas secara menyedihkan. Lalu ketika 

mereka memeriksa keadaan mayat-mayat 

di sekitarnya, berubahlah paras mereka 

ini. Kalau tadinya sisa-sisa pesakitan 

itu sudah bermaksud menyerang si 

pembunuh keji yang kini masih tetap 

ngumpet di kegelapan malam. Maka kini 

mereka mulai berfikir-fikir bagaimana 

caranya untuk dapat menyelamatkan 

diri.

"Kawan-kawan. Kiranya bangsat 

pembunuh itu tak lain si Tangan Setan 

adanya. Kita tak mungkin dapat 

mengalahkannya dalam keadaan begini. 

Sedangkan dalam keadaan sehat saja 

kita tak mungkin mengalahkannya...!" 

kata salah seorang di antara mereka 

saling berbisik.

"Ha... ha... ha... tikus-tikus 

malang. Terlanjur kalian mengetahui 

siapa adanya aku ini. Untuk itu, aku


telah memilihkan jalan yang paling 

baik buat kalian berempat. Mampuslah 

kalian...!" Bersamaan dengan ucapannya 

itu, maka manusia yang berjuluk si 

Tangan Setan itu kembali kirimkan pu-

kulan beruntun. Laksana kilat, pukulan 

yang dilancarkan oleh si Tangan Setan 

menderu sedemikian cepatnya. Di lain 

pihak meskipun sisa-sisa orang 

pesakitan ini berusaha segenap 

kemampuan untuk menghin-dari datangnya 

pukulan maut tersebut, tetapi pukulan 

yang dilepas oleh si Tangan Setan 

bukanlah sambarangan pukulan beracun. 

Pukulan beracun raja Kobra yang 

diyakininya selama ini, jangankan 

sisa-saia pesakitan itu yang hanya 

memiliki tingkat kepandaian di bawah 

korban-korban terdahulunya. Sedangkan 

lebih dari sepuluh orang tokob sakti 

yang pernah terlibat pertarungan 

dengan dirinya saja tak satupun yang 

selamat dari jangkauan tangan 

mautnya.

Kini pukulan beracun yang 

dilancarkan oleh si Tangan Setan terus 

melesat ke segala arah. Tanpa ampun 

lagi.

"Bummm!"


"Arrgghhk!" Empat orang sisa-sisa 

pesakitan itu terlolong-lolong. Tubuh 

mereka berpelantingan ke berbagai 

arah. Tubuh seketika itu juga membiru, 

sementara kedua tangan mereka menekan 

pada bagian leher. Hanya beberapa saat 

saja tubuh orang-orang itu nampak 

berkelojotan setelah itu terdiam untuk 

selama-lamanya. Dari kegelapan malam 

si Tangan Setan memandang sesaat pada 

mayat-mayat yang berserakan itu. 

Sepasang bibirnya menyunggingkan 

senyum menggidikkan, tetapi beberapa 

saat kemudian bagai disapu angin 

kencang, tubuhnya melesat sedemikian 

cepatnya. Seiring dengan derai 

tawanya, yang kian menjauh. Seperti 

tak pernah terjadi suatu apapun pondok 

Tapis Angin kembali sunyi sepi.

* * *

Sambil terus mengayunkan langkah, 

pemuda ini nampak berkata-kata seorang 

diri. Tiada kegembiraan yang terpancar 

dari sepasang matanya yang setajam 

mata elang itu, tiada pula terlihat 

keceriaan di wajahnya yang sangat 

tampan. Wajahnya yang selalu membuat 

gadis jatuh cinta pagi ini nampak



murung sekali. Hatinya begitu sedih, 

seingatnya sudah beberapa tahun dia 

meninggalkan gurunya Si Bangkotan Ko-

reng Seribu. Sesungguhnya dia sudah 

begitu rindu pada kakek tua yang 

berusia hampir dua abad itu. Terkadang 

timbul keraguan dalam hatinya, 

mungkinkah manusia aneh itu masih 

hidup hingga saat ini, siapa pula yang 

merawatnya andai dia sakit. Sedangkan 

sejauh itu dia tak mungkin kembali ke 

Tanjung Api untuk menjenguk orang yang 

sejak bayi merah telah merawatnya, 

bahkan telah menjadikannya seorang 

pendekar tiada tanding pembela 

kebenaran. Si Bangkotan Koreng Seribu 

pasti tak menghendaki kehadirannya, 

selama usahanya untuk mencari ayah 

kandungnya, yaitu si Raja Piton Utara 

yang kini sedang melakukan tapa di 

tengah-tengah samudra luas. Teringat 

akan ayah kandungnya, maka yang ada 

dalam fikirannya adalah gambaran 

tentang sosok ular raksasa yang 

mengerikan. Ganas dan buas! Lalu 

pemuda penyandang periuk besar tak 

lain Pendekar Hina Kelana nampak 

bergumam seorang diri.

"Oh, nasib! Dilahirkan membawa 

mati emak. Diramalkan bakal


menimbulkan malalapetaka. Dibuang dan 

dipersoalkan. Hingga namaku Buang 

Sengketa. Hidup sengsara siapa sangka. 

Ayah seorang raja dari segala raja 

ular, tetapi yang mana satu di antara 

mereka. Begitu sulit untuk menemukan 

ayah, pula mengapa harus menghukum 

diri sedemikian rupa...!" Mendadak si 

pemuda hentikan kata-katanya ketika 

dia mendengar suara-suara bentakan 

jauh di belakangnya. Begitu dia 

menoleh ke belakang dia melibat satu 

titik putih. nampak ber-gerak begitu 

cepatnya, sementara beberapa titik ini 

nampak mengejar di belakangnya.

Pendekar Hina Kelana kerutkan 

wajah, dia tak tahu apa yang sedang 

terjadi dengan mereka. Kejar-kejaran

pun terus berlangsung, semakin lama 

semakin mendekat ke arah tempat di 

mana Buang Sengketa berada. Cepat-

cepat pemuda dari Negeri Bunian itu 

menyelinap di balik sebatang pohon 

yang rimbun. Setelah orang-orang itu 

mendekat, tahulah pendekar ini bahwa 

titik putih yang dikejar-kejar oleh 

titik biru tak lain adalah seorang 

wanita yang sudah terluka parah. Dari 

wajah empat orang laki-laki yang 

berpakaian biru-biru terlihat dengan


jelas bahwa orang-orang itu bernafsu 

sekali untuk membunuh gadis berpakaian 

putih.

Dalam waktu sekejap saja gadis 

yang sudah nampak terluka itu tersusul 

oleh pengejarnya. Gadis itu berbalik 

langkah, serentak para pengejarnya 

mengurung pula. Karena jarak antara 

mereka dengan tempat persembunyian 

Buang Sengketa tidak begitu jauh. Maka 

dengan jelas dia dapat mendengar 

segala apa yang mereka katakan.

"Perempuan sinting! Setelah 

membawa lari muridku, kini hendak lari 

ke manakah engkau...!" bentak laki-

laki setengah baya yang bernama Wimba 

nampak marah sekali. Gadis yang tak 

lain Winda Murti itu nampak tersenyum

sedih begitu mendengar tuduhan guru 

kekasihnya yang telah tewas dalam 

perjalanan menuju Lembah Tapis Angin. 

Tetapi kini maksud baiknya malah 

diartikan lain oleh laki-laki dari 

Trengganu ini. Diam-diam gadis ini 

mengeluh, dia menganggap Wimba yang 

sudah cukup umur itu tak pernah 

berpandangan luas dalam menyelesaikan 

suatu persoalan. Kalaupun gurunya 

Nilasari dulunya merupakan musuh 

bebuyutan Wimba, tetapi bukankah


gurunya yang pernah berhutang darah 

pada laki-laki dari Terengganu itu, 

kini telah menebus segala dosa-

dosanya? Apakah setiap murid seorang 

sesat, lalu muridnya harus mendapat 

julukan pewaris kesesatan pula? Hal 

ini tidak adil, sebab seingat gadis 

itu, selama ini dia tak pernah 

mengikuti jejak dan cara hidup gurunya 

bahkan Nilasari yang menjadi gurunya 

sebelum tewas di tangan Wimba sering 

memberi petunjuk padanya agar dia 

jangan sampai mengikuti jejaknya. 

Padahal Wimba sendiripun tahu kalau 

antara Kunta dan dirinya sudah lama 

saling mencinta.

"Paman guru. Tak pernah aku 

berniat melarikan kakang Kunta, kami 

sudah sama-sama sepakat untuk menuju 

Lembah Tapis Angin untuk menemui Setan 

Gila. Tetapi, luka dalam akibat 

pukulan beracun si Tangan Setan 

nampaknya sangat parah sekali, 

sehingga seperti paman ketahui, kakang 

Kunta tewas dalam perjalanan...!" 

ujar Winda Murti nampak sangat berduka 

sekali.

"Dia hohong guru, kami bertiga 

merasa sangat yakin. Ketika guru 

pergi, bocah ini-ah yang telah


menyelinap ke dalam kamar Adi Kunta, 

kemudian memukulnya dengan pukulan 

yang keji...!" ucap salah seorang 

murid Wimba. Dituduh seperti itu Winda 

Murti nampak sangat marah sekali!

"Kakang Anom Kendor, engkau 

jangan coba-coba memfitnahku. 

Bagaimana mungkin aku tega melakukan 

pukulan keji itu sedangkan sama-sama 

saling mencinta...?" bantah Winda 

Murti setengah menjerit. Mendengar 

ucapan si gadis. Wimba nampak 

tergelak-gelak.

"Engkau masih mau mengelak juga 

murid manusia sesat. Padahal muridku 

yang lainnya sempat mengetahui bahwa 

engkau di dalam kamar Kunta, saat dia 

menjerit-jerit karena pukulan beracun 

itu. Apakah engkau juga masih mau 

mengelak bahwa sesungguhnya engkaulah 

si Tangan Setan itu...!" bentak laki-

laki setengah baya itu penuh 

kebencian.

"Paman. Sungguh aku tak pernah 

melakukannya!"

"Kalau bukan engkau siapa 

lagi..,?" tanya Wimba tak sabar.

"Aku tak tahu, tetapi aku sempat 

melihat berkelebatnya seseorang dari 

balik sebuah pintu...!" Laki-laki dari



Trengganu itu kerutkan kening, 

dipandanginya wajah si gadis lekat-

lekat. Kembali dia menyela.

"Mustahil engkau tidak dapat 

mengenalinya, jangan coba-coba 

mempersulit keadaanmu sendiri...!"

"Aku tak dapat melihat wajahnya. 

Orang itu menutupi seluruh mukanya 

dengan selubung kain hitam...!" kata 

gadis itu, kini mulai menangis sedih. 

Untuk beberapa saat lamanya keempat 

orang itu saling pandang sesamanya. 

Lalu Anom Kendor sebagai murid tertua 

nampak melangkah beberapa tindak, 

beberapa kali dia membungkuk hormat 

pada laki-laki setengah umur itu.

"Guru dia hanya berbohong. Murid 

seorang sesat mana ada yang jujur, 

sudah terang-terangan dia yang 

membunuh adik Kunta. Tetapi dia masih 

juga mengelak...!"

"Hmm. Kalau kalian tidak percaya 

pada apa yang kukatakan ini, supaya 

kalian puas berbuatlah apa saja yang 

kalian ingini, tetapi ingat meskipun 

ilmu kepandaian kalian sebanyak buih 

di lautan. Jangan kalian kira aku akan 

berpangku tangan begitu saja. Aku tak 

akan tinggal diam, majulah kalian


beramai-ramai...!" tukas Winda Murti 

marah sekali.

"Bocah sinting. Gurumu sendiri 

menghadapi aku seorang saja tak pernah 

unggul, jangankan kini engkau hanya 

muridnya...!" kata Wimba mencemooh.

"Guru. Membasmi bibit penyakit 

tak usah kepalang tanggung, kita 

cincang saja murid manusia sesat 

ini...!" Menyela Anom Kendor sudah 

tidak sabaran lagi.

"He., he., ho., ho...! Betui, 

tunggu apa lagi. Masakan aku yang 

sudah bangkotan ini yang harus 

mengeprak bocah itu...?" Bukan main 

gembiranya murid-murid Wimba begitu 

mendapat perintah dari gurunya, secara 

langsung. Orang-orang inipun segera 

mencabut senjata mereka masing-masing. 

Walaupun Winda Murti tubuhnya sudah 

banyak yang terluka, tetapi dia tidak 

tinggal diam begitu saja. Kini dengan 

sebuah kipas di tangannya, gadis ini 

mulai membuka jurus-jurus simpanannya. 

Dalam waktu sekejap ketiga orang murid 

dari Wimba telah menyerang si gadis 

dengan senjata terhunus. Meskipun 

Winda Murti hanyalah seorang gadis dan 

ilmu kepandaian silatnya dua tingkat 

di bawah murid-murid dari Trengganu,


tetapi dia nampak begitu gigih dalam 

melakukan perlawanan. Hingga 

pertarungan tak seimbang itupun 

akhirnya berlangsung cukup seru.

Sementara itu, Pendekar Hina 

Kelana yang sejak tadi mendengar 

pertengkaran mulut antara si gadis dan 

Wimba, nampaknya dia sudah mengerti 

duduk persoalannya.

* * *

TIGA



Semua itu terjadi hanya karena 

perselisihan paham semata. Tetapi dia 

agak heran juga dengan adanya disebut-

sebut si Tangan Setan. Selama hampir 

dua hari dia melakukan perjalanan ke 

Tenggara, hampir sepanjang perjalanan 

dia mendengar orang-orang bercerita 

tentang kehadiran manusia iblis, yang 

membuat resah hati orang banyak. Kalau 

kini dia mendengar hal yang sama pula 

dari orang-orang yang berkepandaian 

silat tinggi sudah barang tentu dia 

ingin mengetahuinya lebih banyak lagi 

dari orang-orang yang sedang bertempur


itu. Secara diam-diam dia mulai 

mencari celah terbaik untuk 

menghentikan pertarungan yang sangat 

tidak seimbang itu. Pada saat itu 

Winda Murti sudah nampak sangat 

terdesak sekali, berulang kali senjata 

di tangan lawan-lawannya nyaris 

melukai bagian leher dan perutnya. 

Namun dengan mengerahkan segenap 

kemampuannya sejauh itu dia masih

dapat menghindari serangan-serangan 

yang dilancarkan lawan-lawannya. Satu 

saat, murid-murid dari Terengganu ini 

nampak menyerang secara berbarengan. 

Senjata mereka yang berupa pedang 

bermata dua itu, langsung menderu dan 

timbulkan suara bercuitan. Satu 

rangkaian serangan yang sangat 

berbahaya datang pula dari Anom 

Kendor. Menghadapi serangan yang 

sedemikian gencar dari empat arah 

sekaligus, Winda Murti langsung 

kiblatkan kipasnya ke segala arah. 

Maka bentrokan senjatapun tak dapat 

dihindari lagi.

"Traang! Praak!" 

Winda Murti dalam keterkejutannya 

lompat mengempos tubuhnyaj hingga 

melesat ke udara. Sementara kipas di 

.tangannya nampak hancur berkeping


keping. Paras si gadis yang sudah 

dipenuhi dengan luka itu nampak 

semakin memucat. Dan baru saja dia 

menginjakkan kakinya di atas permukaan 

tanah, keenrpat murid-murid Winda itu 

sudah mencecar kembali dengan 

serangan-serangan yang lebih gencar.

Bagai harimau betina sedang 

terluka, gadis murid seorang wanita 

sesat namun dalam sejarah hidupnya 

belum pernah melakukah kejahatan ini 

nampak mengamuk tanpa mengenal takut 

sama sekali. Di lain pihak, Wimba yang 

sejak tadi nampak memperhatikan 

jalannya pertarungan agaknya sudah tak 

sabar lagi melihat pekerjaan murid-

muridnya yang dalam penilaiannya sa-

ngat lamban sekali. Maka sambil 

melompat ke tengah-tengah pertarungan, 

diapun berseru lantang. 

"Mundur semua, anak-anak tak 

becus apa-apa. Dasar murid-murid 

guoblok. Mencincang tikus sesat yang 

sudah terluka saja kalian tak bisa 

apa-apa...!" bentaknya dengan marah 

sekali.

"Murid-muridmu memang tolol, 

manusia sempit pandangan. Sekarang 

engkau yang sudah bangkotan dan sangat 

picik dalam menilai seseorang majulah.


Aku tak pernah takut menghadapi 

kematian...!" menyela gadis itu dengan 

sesungging senyum yang sangat di 

paksakan.

"Bagus! Memang engkau pantasnya 

cepat-cepat menyusul gurumu ke liang 

kubur saat ini juga...!"

"Tua dungu. Jangan banyak bicara, 

cepat-cepatlah laksanakan 

keinginanmu...!"

"Ha... ha... ha...! Dengan 

pukulan Prahara Samudra, aku jadi 

ingin menyaksikan betapa tubuhmu yang 

bagus itu akan hancur berkeping-

keping...!" kata Wimba. Lalu bersamaan 

dengan ucapannya itu. Laki-laki se-

tengah baya itu rangakapkan kedua 

tangannya di depan dada. Wimba cepat-

cepat mengerahkan sebagian tenaga 

saktinya,ke bagian tangannya. Beberapa 

saat lamanya tubuh laki-laki itu 

nampak bergetar hebat. Kemudian dari 

kedua tangannya yang melekat erat itu, 

mengepul pula kabut tipis berwarna 

putih. Sadarlah Winda Murti kalau Wim-

ba benar-benar menghendaki nyawanya. 

Gadis itu sadar bahwa dia tak mungkin 

menghindar dari tangan maut, meskipun 

begitu sedapatnya dia berusaha 

menghindari pukulan yang akan


dilancarkan oleh laki-laki dari 

Trengganu. Atau kalau sudah tidak 

mungkin lagi dia akan mengadu jiwa 

dengan guru dari almarhum Kunta. 

Beberapa saat kemudian Wimba sudah 

nampak bersiap-siap melancarkan 

pukulan mautnya. Lalu dengan diawali 

dengan satu bentakan yang menggelegar, 

tubuhnya nampak berkelebat sedemikian 

cepatnya.

Haitt! 

Satu sapuan gelombang pukulan 

yang teramat dingin menderu mengarah 

pada Winda Murti. Gadis itu nampak 

terperangah, sedikitpun dia tiada 

menyangka kalau pukulan yang 

dilancarkan oleh Wimba, sampai 

sedahsyat itu. Memapaki datangnya 

pukulan baginya sangat tidak mungkin 

lagi. Dia menyadari kalau dia tak 

mungkin dapat unggul dalam adu tenaga 

dalam. Jalan satu-satunya sangat 

memungkinkan adalah mengelak atau 

menghindar. Maka!

"Wuaaa! 

Tubuh si gadis melentik dan 

membubung empat meter di atas tanah, 

namun seperti bermata saja pukulan 

yang dilepas oleh Wimba nampak 

mengejarnya ke manapun dia berusaha


menghindar. Si gadis terluka itu 

nampak kalang kabut menghindari 

sergapan Prahara Samudra yang berhawa 

sangat dingin itu. Tertawalah murid-

murid Wimba demi menyaksikan dengan 

yang sangat mendebarkan itu.

Sementara itu di tempat 

persembunyiannya, Pendekar Hina Kelana 

sudah nampak tak tega lagi melihat 

keadaan si gadis. Lalu tanpa banyak 

fikir lagi, pemuda itupun secara lebih 

cepat lagi segera gerakkan tangan 

kananya. Selarik sinar Ultra Violet 

nampak bergulung-gulung dan timbulkan 

angin ribut. Dengan cepat bagaikan 

kilat. Pukulan Empat Anasir Kehidupan 

yang dilepas oleh si pemuda menderu 

mamapasi, gelombang pukulan Prahara 

Samudra yang berhawa sangat dingin 

itu. Lalu beradunya dua kekuatan sakti 

itupun sudah tak dapat di hindari 

lagi.

"Blamm!"

Pukulan Empat Anasir Kehidupan 

terus menderu dan nampak menggulung 

sinar putih Prahara Samudra milik 

Wimba. Dua pukulan ini terus membalik 

dan menyerang laki-laki dari Trengganu 

itu dengan sangat hebat sekali. 

Menyadari bahaya yang sedang mengancam


jiwanya, Wimba nampak mengelak 

tunggang langgang.

Braak!

Empat Anasir Kehidupan dan 

Prahara Samudra menghantam pohon besar 

yang terdapat di belakang laki-laki 

dari Terengganu. Wimba nampak mencaci 

maki habis-habisan, wajahnya nampak 

pucat pasi. Begitupun dengan empat 

orang muridnya yang nampak berdiri 

tidak begitu jauh darinya. Mereka 

benar-benar merasa sangat heran 

bagaimana mungkin pukulan yang dilepas 

oleh gurunya yang terkenal sangat 

ampuh dan belum ada tandingannya di 

bagian Tenggara, bisa berbalik seperti 

itu. Diam-diam mereka sangat penasaran 

sekali. Dalam pada itu, Wimba yang 

merasa ada orang lain turut campur 

dalam perpoalan pribadinya, nampak 

tidak senang. Secara perlahan dia

menoleh. Dia merasa sangat terkejut 

begitu tiba-tiba di hadapannya telah 

berdiri seorang pemuda berwajah 

tampan, namun berpakaian kumal. 

Begitupun halnya yang terjadi dengan 

Winda Murti.

"Bocah gembel berperiuk! Siapakah 

engkau ini, lancang sekali perbuatanmu 

telah begitu berani mencampuri urusan


orang lain...!" hardik Wimba dengan 

pandangan melotot. Dibentak seperti 

itu, putra raja ular inipun tersenyum 

rawan.

“Bukannya aku suka usil dengan 

urusan orang lain. Tetapi pantang 

bagiku melihat ketidakadilan di depan 

hidungku...!" menyela pendekar ini 

dengan sikap kurang senang.

"Gembel sombong. Dengan 

kepandaian yang hanya setahi kuku itu, 

kau kira bisa jual lagak di 

depanku...!"

Kesal sakali Buang Sengketa 

mendengar kata-kata Wimba yang 

memuakkan itu. Lalu pemuda itupun 

berkata tegas.

"Orang tua keriputan. Bicaramu 

membuat mual perutku, sebagai orang 

persilatan yang mengaku banyak memakan 

asam garam pengalaman. Ternyata otakmu 

tidak lebih dari otak udang. Sudah 

ketabuan gadis itu tidak bersalah, 

mengapa engkau malah hendak 

membunuhnya...?"

Di hina sedemikian rupa oleh 

seorang pemuda berpakaian gembel, 

sudah barang tentu Anom Kendor dan 

murid yang lainnya 'ak mau terima dan 

sangat marah sekali. Bagaimana tidak,


Wimba adalah seorang guru yang paling 

mereka hormati selama ini. Kalau kini 

ada seorang pemuda gembel telah begitu 

berani menghina orang yang begitu 

mereka hormati, masakan sebagai murid 

mereka hanya berpangku tangan. Be-

berapa saat kemudian Anom Kendor 

sebagai murid tertua langsung menyela.

"Sial betul engkau ini bocah. 

Engkau tak tahu persoalan yang 

sebenarnya, tapi sebelum engkau 

mampus, ada baiknya kalau kau tahu 

bahwa gadis yang kau selamatkan itu 

telah membunuh adik seperguruan 

kami;..!" bentak Anom Kendor sangat 

gusarnya.

"Ha... ha... ha...! Manusia kurus 

cacingan, engkau ini malah lebih tolol 

lagi dari gurumu. Mana ada di dunia 

ini seorang manusia telah begitu tega 

membunuh kekasihnya...!" Tanpa 

berkata-kata lagi, Anom Kendor dengan 

pedang terhunus bermaksud menyerang si 

pemuda. Masih untung Wimba yang 

agaknya mengetahui bagaimana hebatnya 

pemuda itu segera mencegah muridnya. 

Kalau tidak, sudah barang tentu

berakibat sangat fatal.

"Anom Kendor, tahan 

keinginanmu...!" Bentak laki-laki itu.


Anom Kendor yang berbadan kurus macam 

jerangkong hidup itu nampak

mengurungkan niatnya. Walau 

sesungguhnya hatinya jengkel sekali.

"Bocah, di antara kita tidak 

punya persoalan apapun. Aku mau 

mengampuni jiwamu asal saja cepat-

cepat engkau tinggalkan tempat 

ini...!"

"He... he... he! Aku memang mau 

pergi, tetapi harus bersama dengan 

gadis itu. Sebab aku tahu, kalau gadis 

itu kutinggalkan di tempat ini kalian 

sudah pasti akan membunuhnya...!" kata 

Pendekar Hina Kelana seperti pada 

dirinya sendiri.

"Orang ini benar-benar cari 

mampus. Dia sengaja cari gara-gara 

dengan kita!" Anom Kendor nampak 

sangat tidak senang sekali dengan apa 

yang baru saja dikatakan oleh si 

pemuda.

"Bocah, jadi engkau benar-benar 

tak mau memenuhi keinginan kami. He... 

he... he... jangan kira engkau dapat 

begitu saja membawa gadis yang telah 

banyak bikin kesulitan pada kami. Dia 

telah membunuh muridku, untuk itu dia 

harus membayar hutang nyawa...."


"Dia bohong! Aku tidak pernah 

membunuh kakang Kunta...!" Winda Murti 

yang sedari tadi hanya diam saja kini 

mulai menyela. Sesaat lamanya Pendekar 

Hina Kelana memandang pada gadis itu, 

kemudian perhatiannya kembali tertuju 

pada Wimba.

"Orang tua, tanpa gadis itu turut 

bersamaku. Aku tak bisa memenuhi 

keinginanmu itu...!"

"Bangsat! Kiranya engkau 

bermaksud cabul dengan gadis itu. 

Kalau begitu akan kubunuh engkau 

terlebih dulu, setelah itu aku dengan 

leluasa membunuh murid manusia sesat 

Nilasari...!"

"Guru. Jangan-jangan budak inilah 

manusianya yang berjuluk si Tangan 

Setan itu...!"

"Iya guru. Mungkin inilah 

bangsatnya si Tangan Setan itu." 

menimpali murid-murid yang lainnya. 

Bukan main terkejutnya hati pemuda 

dari Negeri Bunian ini begitu men-

dengar tuduhan yang tidak beralasan 

sama sekali. Tanpa sadar, wajahnya 

kelihatan berubah memerah menahan 

kemarahan yang bagai mengguncangkan 

syarat otaknya. Geraham berkerokotan, 

kedua bibirnya nampak terkatup rapat.


Hanya sesaat saja tubuhnya nampak 

menggigil dan menegang. Lalu diapun 

berseru lantang.

"Setan-setan menjijikkan, kalian 

benar-benar sangat keterlaluan sekali. 

Selamanya aku si Hina Kelana tidak 

pernah turun tangan secara 

sembarangan. Tetapi hari ini sikap 

kalian yang sangat keterlaluan benar-

benar telah menghabiskan 

kesabaranku...!" teriak Buang Sengket 

kalap.

"He... he... he., engkau bisa 

berbuat apa bocah?" ejek Wimba. Seraya 

segera memberi isyarat pada keempat 

orang muridnya. Secara serentak, 

keempat orang itu segera mengurung 

Pendekar Hina Kelana. Semakin 

bertambah marahlah pendekar ini 

dibuatnya. Kemudian seiring dengan 

datangnya serangan murid-murid Wimba 

yang datangnya secara mendadak itu. 

Pendekar Hina Kelana secepatnya 

mengerahkan ilmu Pemenggal Roh. Satu 

lengkingan mengglegar terdengar.

"Haaiikkhgg!" Bumi serasa dilanda 

gempa yang sangat hebat, daun-daun 

hijau pun luruh berjatuhan ke bumi. 

Beberapa orang penyerangnya nampak 

berpentalan ke berbagai arah. Dari


telinga mereka mengalirkan darah 

kental. Seandainya saja pendekar ini 

punya niat untuk membunuh orang-orang 

ini sudah barang tentu hanya menambah 

sedikit tenaga sakti dalam lengkingan 

Ilmu Pemenggal Roh tadi, pastilah 

lawan-lawannya saat ini sudah terkapar 

dengan jiwa melayang. Tetapi walaupun 

pendekar ini tidak punya keinginan 

menghabisi lawan-lawannya. Tetap saja 

lengkingan Ilmu Pemenggal Roh 

berakibat tidak lebih baik dari sebuah 

kematian. Sebab dengan rusaknya 

gendang-gendang telinga mereka. Sudah 

barang tentu mereka ini akan menjadi 

orang tuli seumur hidup.

Wajah Wimba nampak pucat sekali 

begitu melihat apa yang tak pernah 

disangka-sangkanya itu terjadi begitu 

cepat. Sampai-sampai dia sendiri 

hampir dibuat tak percaya. Pemuda ini 

memiliki kemampuan di luar dugaannya. 

Masih begitu muda, tetapi bukan saja 

sudah memiliki tenaga dalam beberapa 

tingkat di atasnya, tetapi juga 

memiliki ilmu lain yang sangat langka, 

bahkan tak pernah ada di bagian 

Tenggara. Siapakah pemuda berpakaian 

gembel ini, dari manakah asal usulnya? 

Ucapnya dalam hati. Sementara itu


Pendekar Hina Kelana kini secara 

perlahan telah membuka matanya 

kembali. Dengan nanar, dipandanginya 

guru dan murid itu satu demi satu. 

Satu seringai maut menyungging 

dibibirnya. Tetapi agaknya Wimba, 

kini setelah mengetahui kehebatan si 

pemuda, tiba-tiba saja telah berubah 

pendirian. Lalu dengan sangat berhati-

hati dia bertanya:

"Orang muda, sesungguhnya siapkah 

engkau ini, dari mana asal usulmu dan 

siapa pula gurumu...?"

"Bukankah engkau tadi mau 

membunuhku? Mengapa perlu tahu asal 

usul segala...?" Si pemuda balik 

bertanya.

"Mengingat di antara kita tak 

pernah ada permusuhan, maka aku 

menyudahi persoalan sampai di sini 

saja...!" ujar Wimba pelan. Buang 

Sengketa nampak tercengang beberapa 

saat lamanya, tetapi kemudian dia 

segera bertanya.

"Apakah engkau juga akan 

membiarkan gadis itu pergi bersamaku, 

orang tua...?"

"Benar. Asalkan engkau mau 

mengatakan padaku tentang siapa adanya 

engkau ini yang sebenarnya...!"



Mendengar keputusan gurunya, 

agak-ya Anom Kendor kurang begitu 

senang. Maka diapun menyela: "Guru. 

Mengapa guru malah membebaskan gadis

setan itu dengan pemuda ini...?" tanya 

laki-laki kurus cacingan itu sangat 

penasaran sekali.

"Diam. Ini keputusanku...." 

bantah Wimba tegas. Anom Kendor 

menjadi ciut nyalinya, untuk itu 

begitu gurunya membentak dia langsung 

tutup mulut.

"Baiklah orang tua, aku merasa 

patut berterima kasih atas kebaikanmu. 

Lebih dari itu, sesungguhnya tentang 

asal usulku sendiri, rasanya tidak ada 

yang menarik untuk kuceritakan...."

"Apapun alasanmu, aku mau tahu 

siapakah sesungguhnya dirimu. Pukulan 

Empat Anasir Kehidupan, dulu hanya 

merupakan cerita ratusan tahun yang 

kudengar dari mulut ke mulut. Tetapi 

siapa sangka hari ini cerita yang 

telah melegenda itu, aku melihatnya 

sendiri...!" kata Wimba begitu tiba-

tiba. Dan tentu saja hal itu membuat 

Pendekar Hina Kelana terkejut bukan 

main. Sama sekali dia tak pernah 

menyangka kalau laki-laki dari 

Terengganu itu bisa mengetahui pukulan


yang baru saja dia lepaskan tadi. Maka 

diapun langsung menjura hormat!

"Sungguh jeli sekali matamu, 

maafkan atas kekurang ajaran sikapku 

tadi. Sungguh aku tak punya maksud 

untuk pamer segala pukulan picisan di 

depanmu...!" ucap Pendekar Hina Kelana 

penuh penyesalan. Melihat tingkah si 

pemuda yang tiba-tiba saja berubah 

sopan, tahulah laki-laki ini bahwa 

sesungguhnya pemuda yang rendah hati 

itu merupakan seorang pendekar yang 

sangat tangguh.

"Engkau terlalu berlebihan. Siapa 

bilang Ilmu Pemenggal Roh merupakan 

ilmu picisan. Bukankah engkau ini 

muridnya si Bangkotan Koreng Seribu 

yang namanya saja selama ratusan tahun 

masih tetap melegenda hingga sampai 

saat ini!" kejut dihati pendekar ini 

bukan alang kepalang, sebegitu 

hebatkah kebesaran gurunya hingga 

namanya tetap dikenang dan diingat di 

seantoro penjuru mata angin. Begitupun 

tiada sedikit rasa bangga di hati si 

pemuda, sebaliknya dia malah berkata:

"Orang tua, engkau mengetahui 

begitu banyak tentang si Bangkotan 

Koreng Seribu. Apakah dia masih punya 

hubungan darah denganmu...?"


"Oho... tidak. Tetapi Eyang guru 

kami dulunya merupakan sahabat karib 

dari kakek sakti mendraguna itu... 

Bahkan sebelum beliau meninggal empat 

puluh tahun yang lalu dia bercerita 

banyak tentang Kakek Bangkotan Koreng 

Seribu, si manusia pembela kebenaran 

tersebut," kata Wimba, seperti mencoba 

mengingat-ingat kejadian puluhan tahun 

yang telah silam. Legalah hati 

pendekar Hina Kelana begitu mendengar 

pengakuan laki-laki dari Trengganu 

itu. Kini dia merasa tak ragu lagi 

untuk mencoba cari tahu tentang 

kehadiran si Tangan Setan.

"Kalau begitu aku pantas 

memanggilmu paman, sebab ternyata kita 

masih merupakan orang-orang 

sendiri...!" desah pemuda ini, lalu 

membungkuk hormat tiga kali.

"Jadi benarkah engkau ini 

muridnya kakek sakti itu...?" tanya 

Wimba nampak kegirangan.

"Benar orang tua... eh... paman

Wimba. Namaku Buang Sengketa, Kakek 

Bangkotan Koreng Seribu memang guruku 

sekaligus merupakan orang tua 

angkatku...!"


Mendengar jawaban si pemuda, 

tiba-tiba Wimba menoleh pada murid-

muridnya, lalu pada Winda Murti pula.

"Kalian semua cepatlah beri 

hormat pada Buang Sengketa, selain itu 

kalian juga harus minta maaf 

padanya...!" perintah Wimba pada 

murid-muridnya. Tanpa menunggu 

diperintah dua kali, keempat orang 

inipun langsung membungkukkan 

badannya, begitupun halnya dengan 

Winda Murti. Lalu, murid Wimba secara 

serentak berucap.

"Maafkan kami pendekar! Kami 

memang benar-benar tolol tak tahu 

diri...!" kata mereka hampir 

bersamaan. Mendapat perlakuan seperti 

itu, pemuda ini jadi salah tingkah. 

Kemudian dengan terburu-buru dia 

berkata.

"Ah, sudahlah. Semua itu hanya 

kesalahpahaman belaka, lupakanlah." 

Dalam pada itu Wimba sudah menyela 

kembali!

"Pendekar... beruntung sekali 

kami dapat bertemu dengan murid tokoh 

sakti seperti gurumu itu. Oh, ya 

bagaimana keadaan gurumu, apakah 

beliau masih hidup hingga sampai saat 

ini... ee... maksudku apakah beliau


dalam keadaan sehat-sehat saja...?" 

Pendekar Hina Kelana nampak tersenyum-

senyum, lalu dengan ramah pula dia 

menjawab.

"Guruku dalam keadaan sehat-sehat 

saja hingga sampai saat ini!" jawab si 

pemuda.

"Syukurlah, kami tentu sangat 

.senang mendengarnya, lebih dari itu 

kami sudah merasa sangat beruntung 

bertemu dengan muridnya...!"

"Paman Wimba, aku ingin 

mengajukan beberapa pertanyaan. Semoga 

anda tidak keberatan untuk 

menjawabnya!" kata si pemuda mencoba 

mengalihkan pembicaraan.

"Oho, katakan saja, seandainya 

aku tahu sudah pasti dengan sangat 

senang hati aku akan menjawabnya...!" 

jawab Wimba, seraya tersenyum-senyum.

"Begini paman.Wimba... dalam 

perjalanan menuju ke Tenggara ini, aku 

sering mendengar orang-orang pada 

membicarakan adanya si Tangan Setan. 

Bahkan barusan paman ada menyinggung-

nyinggung adanya manusia penyebar maut 

tersebut. Dapatkah paman ceritakan 

siapakah adanya orang ini, dan apa 

alasannya sehingga orang itu sampai 

menyebar onar di mana-mana...?"


Mendapat pertanyaan seperti itu, 

untuk beberap saat lamanya dia 

terdiam. Sepasang matanya yang nampak 

cekung dan penuh gurat-gurat umur 

nampak semakin menyipit. Namun pada 

akhirnya diapun berkata:

"Hemm. Sesungguhnya aku sendiri 

secara pasti tidak tahu, siapa adanya 

orang itu. Setahun belakangan dia 

melakukan pembunuhan secara membabi 

buta. Pukulan beracun yang dia miliki, 

tak seorangpun yang dapat menahannya. 

Atau bahkan mungkin sudah ratusan 

orang telah menjadi korbannya, tak 

seorangpun tokoh kelas satu yang mampu 

menghentikan segala sepak terjang 

manusia setan itu...!" kata Wimba 

begitu lirihnya. Lalu tanpa diminta 

diapun menyambung kembali.

"Setiap orang kini saling curiga 

mencurigai, seperti yang tadi engkau 

lihat dan tanpa kehadiranmu mungking 

gadis itu telah tewas tanpa kesalahan 

yang pasti. Oh... betapa bodohnya aku

ini,. kematian Kunta dan beberapa 

orang muridku yang lain membuat aku 

hampir gelap mata...!" desah laki-laki 

dari Trengganu itu sangat sedih, lalu 

tanpa disadarinya air matanya menetes.


"Paman Wimba... sudahlah, aku 

bisa memahami perasaanmu. Percayalah 

padaku, cepat atau lambat aku akan 

meringkus manusia keji itu!"

"Benarkah engkau akan mencari 

orang itu...?" tanya Wimba hampir 

berteriak kegirangan. Pendekar Hina 

Kelana mengangguk mantap.

"Sebatas yang aku mampu 

Paman...!"

"Seperti Kakek Bangkotan Koreng 

Seribu, nampaknya sebagai seorang 

murid engkau benar-benar telah 

mewarisi segala apa yang pernah 

dimilikinya. Sungguh mulia sekali 

hatimu, nak,..!" kata Wimba terharu. 

Pemuda dari Negeri Bunian itu nampak 

tersenyum-senyum.

"Ada satu yang tak pernah tak

ingin kumiliki darinya, Paman...." 

ucapnya masih tetap dengan senyumnya.

"Apa itu?"

"Aku tak pernah ingin mewarisi 

korengnya yang tak pernah kunjung 

sembuh itu." kata Buang Sengketa geli 

sendiri. Dan untuk pertama kalinya, 

pemuda ini melihat Wimba tertawa 

tergelak-gelak.


"Engkau ini ada-ada saja orang 

muda. Tak baik menceritakan kekurangan 

guru sendiri."

"Ha... ha... ha! Sesungguhnya aku 

cuma ingin mengingatkan bahwa tak ada 

menusia di atas dunia ini yang 

sempurna...!"

"Engkau benar, tetapi sepenuhnya 

aku tetap percaya akan kemampuanmu. Oh 

ya, apakah engkau tidak berniat 

berkunjung kepondok kami?" tanya Wimba 

setelah beberapa saat lamanya nampak 

terdiam.

"Rasa-rasanya untuk sekarang ini 

tidak, Paman. Tetapi apabila urusah 

ini telah selesai, tentu aku akan

datang ke sana."

"Hmm. Benar juga! Sebagai orang 

tua aku hanya mendoakan, semoga apa 

yang menjadi tanggung jawabmu dapat 

engkau selesaikan dengan baik...!"

"Terima kasih paman!" Kata 

Pendekar Hina Kelana.lalu diapun 

menjura beberapa kali. Tak lama 

setelah itu, maka dengan disertai 

Winda Murti. Meka pemuda itupun 

kembali melanjutkan perjalanan.

* * *


Desau angin di senja yang resik, 

nampak mengibarkan anak-anak rambutnya 

yang dibiarkan tergerai sebatas bahu. 

Gadis manis berkulit kuning langsat 

itu memang tampak cantik mempesona. 

Apalagi kini dia menanggalkan topeng 

penyamarannya sebagai seorang laki-

laki yang sangat keji. Kini gadis yang 

bernama Hning Ksaban itu nampak terus 

melangkah dengan tenangnya 

meninggalkah Lembah Tapis Angin. 

Berjalan seorang diri, nampaknya 

gadis berwajah cantik mempesona itu 

tidak mengenal rasa takut sedikitpun, 

kalau-kalau ada orang yang bermaksud 

jahat terhadap dirinya. Padahal di

senja itu dia nampak sedang menelusuri 

pinggiran hutan. Di Lembah Tapis Angin 

atau di wilayah Trengganu dan bahkan 

di daerah bagian Tenggara lainnya. Tak 

seorang pun yang mengenal siapa gadis 

montok ini, jangankan lagi tentang 

asal usulnya. Tetapi apabila orang mau 

mengingat kejadian sembilan belas 

tahun yang lalu. Sudah barang pasti 

mereka akan dibuat terbelalak tak 

percaya. Masih lekat dalam ingatan 

gadis itu, ketika dia masih borumur 

tiga tahun. Betapa pedih hatinya bila


teringat malapetaka yang telah menimpa 

keluarganya.

Dia sadar, semua itu terjadi 

akibat fitnah dari segelintir golongan 

yang tidak menyukai ayahnya terpilih 

menjadi Adipati Trengganu. Sebab 

menurut kebiasaan di daerah itu, 

menjadi satu pantangan bagi seorang 

pendatang menjabat satu kedudukan 

penting dalam wilayah kekuasaan Istana 

Giling Wesi. Apapun keputusan sang 

raja, namun tanpa sepengetahuannya. 

Sewaktu-waktu pemberontak dapat 

meletus sebagai akibat rasa ketidak 

senangan mereka terhadap Adipati yang 

baru. Dan Panji Paksi yang 

sesungguhnya.seorang pendekar 

persilatan berhati luhur. Sebagai 

seorang pendekar di daerah Trengganu 

dia telah menunjukkan sifat-sifat yang 

arif. Agaknya sang raja menaruh 

simpati padanya. Maka tak salah kalau 

dalam pemilihan Adipati yang baru dia 

terpilih menjadi Adipati di daerah 

Trengganu. Kiranya nama baik yang 

terangkat tidak selamanya menjanjikan

kebahagiaan. Giris Rawa, sebagai 

Adipati lama merasa kurang puas dengan 

keputusan sang raja. Kemudian mengutus 

orang-orang ke-percayaannya untuk

menghasut penduduk setempat. Maka 

malam yang naas itupun tak dapat 

terelakkan lagi. Bersama Giris Rawa, 

rakyat memberontak, kemudian secara 

beramai-ramai mereka mengepung tempat 

kediaman Panji Paksi. Sedapatnya 

Adipati yang baru itu bertahan mati-

matian. Tetapi apa daya. Giris Rawa 

dan para pembantunya adalah tokoh 

persilatan juga, ditambah dengan 

bantuan rakyat yang jumlahnya mencapai 

ratusan. Sudah barang tentu pada 

akhirnya Panji Paksi tewas di tangan 

rakyat. Lebih dari itu yang membuat 

dendam si gadis terus berkobar-kobar 

bahkan bersumpah untuk membumi 

hanguskan Trengganu adalah karena 

kebiadaban Giris Rawa yang telah 

memperkosa ibu kandungnya di depan 

batang hidungnya. Masih segar dalam 

ingatan gadis itu, bagaimana ibunya 

merintih-rintih, bahkah menjerit-jerit 

ampun. Tetapi pada saat itu Giris Rawa 

dan orang-orangnya tiada pernah 

perduli. Bahkan secara bergantian 

mereka terus melampiaskan nafsu 

binatangnya. Hingga ibunya tewas 

seketika itu juga.

* * *


LIMA


Kejadian yang sangat menyakitkan 

itu berlangsung begitu cepat. Giris 

Rawa dan para ponduduk setempat 

membakar habis rumah kediaman Panji 

Paksi. Masih untung pada saat yang 

kritis itu seorang kakek tua telah 

menyelamatkan jiwanya. Hingga sampai 

belasan tahun telah merawat dan 

mendidiknya dengan berbagai ilmu sakti 

yang yang tiada tanding. Dan kini 

Hning Ksaban telah kembali! Menjadi 

seorang gadis tangguh yang selama 

hampir setahun telah membuat gempar 

seantoro penjuru mata angin. Siapa 

lagi gadis berwajah cantik namun 

dingin ini? Dialah si Tangan Setan. 

Yang membuat menggigit setiap orang, 

dialah pembunuh misterius itu. Kini 

gadis itu terus melangkahkan kakinya 

menelusuri pinggiran hutan itu dengan 

pasti.

Satu saat dia menghentikan 

langkahnya, begitu pendengarannya yang 

tajam itu sempat mendengar 

bergemerisiknya daun-daun di 

sekitarnya.


"Tikus-tikus hutan. Cepat 

tunjukkan tampang kalian! Kalau tidak 

aku akan hancurkan tempat 

persembunyianmu...!" bentak gadis 

cantik itu ketus sekali. Selesai 

dengan ucapannya itu, maka secara 

serentak bermunculan empat orang laki-

laki berbadan gemuk tinggi dengan 

tampak bengis menyeramkan.

Orang-orang ini langsung

terbahak-bahak begitu melihat 

kehadiran gadis cantik itu di hadapan 

mereka.

"He... He... He...! Beruntung 

sekali, hari ini Empat Begal dapat 

mangsa yang sangat cuantik. Gleek...!" 

Salah seorang di antara mereka yang 

berkaki tunggal nampak nyerocos air 

liurnya demi menyaksikan kecantikan 

gadis yang berdiri di hadapannya.

"Nampaknya dia akan lebih 

menyenangkan, daripada hanya sekarung 

harta, ya kakang...!" menimpali yang 

lainnya pula. Tanpa memperdulikan

ucapan Begal lainnya. Si Kaki Tunggal 

nampak semakin mendekat pada si gadis.

"Aha... aku yakin bidadari cantik 

ini tentu sangat hebat di tempat 

tidur...!" kata si kaki tunggal 

seperti pada dirinya sendiri.


"Melihat bentuk pinggulnya dia 

masih perawan, kakang...!" Lagi-lagi 

yang bertangan tunggal satunya ikut 

menyela.

Melihat penampilan keempat laki-

laki bertampang bengis itu, dan 

menilik caranya berbicara. Tahulah si 

gadis bahwa cecunguk yang menghadang 

perjalanannya itu tak lebih hanyalah 

merupakan perampok hutan atau 

sejenisnya. Si gadis yang berjuluk si

Tangan Setan itu nampak marah sekali. 

Jangankan terhadap orang yang telah 

berkata kotor kasar. Sedangkan kepada 

semua golongan persilatan yang tak 

punya urusan dengan dirinya saja, dia 

turunkan tangan telengas. Kini ada 

pula keempat monyet hutan yang telah 

begitu berani berkata sekurang ajar 

itu. Maka hanya ada satu dalam 

hatinya. Membunuh dan terus membunuh.

"Segala begal bau! Tidak tahukah 

kalian siapa yang kalian hadapi...?"

Ditanya seperti itu, keempat 

begal tertawa panjang pendek.

"Yang aku tahu, tentu engkau ini 

seorang bidadari yang sengaja dikirim 

oleh Dewa untuk... he... he... he...!" 

Tanpa meneruskan ucapannya yang cabul


itu. Sebaliknya keempat begal itu 

terus mengekeh.

"Bagus! Aku memang oleh dewa 

untuk mencabuti nyawa kalian. Lihatlah 

ini...!" Tiba-tiba si gadis membuka 

dua buah kancing bajunya yang paling 

atas. Sehingga terlihatlah kebagusan 

bagian dadanya yang nampak terbuka 

sebagian. Keempat begal itu nampak 

terbelalak tak percaya. Mata mereka 

melotot bagai mau melompat ke luar. 

Layaknya mereka seperti baru saja 

mendapat hasil rampokan yang sangat 

mahal harganya. Darah di tubuh masing-

masing segera bergolak, nafas mereka 

nampak memburu dan membuat sesak 

rongga dada. Tanpa fikir panjang lagi 

si kaki tunggal yang bertampang paling 

sangar ini langsung menubruk ke muka. 

Di luar dugaannya secepat kilat Hning 

Ksaban gerakkan jemari tangannya. 

"Wuuut!"

Empat sinar biru melesat 

sedemikian cepatnya ke arah empat 

begal itu. Keempat orang ini tidak 

sempat menyadari apa yang sesungguhnya 

sedang terjadi. Ketika sinar biru 

berhawa dingin itu amblas ke dalam 

tubuh mereka. Sekejap langkah mereka 

terhenti. Tiba-tiba saja mata keempat


begal itu melotot, bumi serasa semakin 

gelap dan berputar-putar. Kemudian 

semaunya menjadi kabur dan samar-

samar, lalu secara perlahan tubuh ke 

empat orang ini mulai mengejang hingga 

akhirnya ambruk dengan menimbulkan 

suara bergedebukkan. Orang-orang itu 

tewas secara menyedihkan pada saat itu 

juga. Hning Ksaban tersenyum saja. 

Seolah melakukan pekerjaan itu 

merupakan suatu hal yang sudah sangat 

biasa dan wajar. Kemudian tanpa 

menoleh lagi dengan tenang dia 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

Sudah hampir satu pekan Tabib 

Setan Gila melarikan diri dari 

rumahnya, hampir sepanjang perjalanan

yang dia lalui. Nampak mayat-mayat 

bergelimpangan, tak ada tanda-tanda

lain dari kematian mereka, terkecuali 

akibat pukulan beracun Raja Cobra. 

Tabib Setan Gila sudah dapat 

memastikan siapa gerangan yang telah 

melakukan tinda-kan keji itu. Si 

Tangan Setan, ya hanya dialah manusia 

penyebar maut di mana-mana. Sungguhpun 

hatinya merasa sangat iba melihat 

nasib gadis di balik topeng itu. Te-

tapi pembunuhan yang dilakukan secara 

semena-mena, telah menimbulkan


kebencian di hati Tabib yang arif ini. 

Pembunuhan dengan alasan apapun dan 

dilakukan secara membabi buta tidak 

dapat dia terima. Tiba-tiba fikiran 

kakek tua bertongkat tengkorak itu 

menjadi kacau. Ingin rasanya dia 

melaporkan kejadian itu pada Adipati 

Giris Rawa yang kini berkuasa kembali 

di daerah Trengganu. Akan tetapi 

hatinya menjadi bimbang. Dia tidak 

tega melihat nasib yang akan menimpa 

Hning Ksaban andai nanti sampai 

tertangkap oleh Giris Rawa dan orang-

orangnya. Sudah barang tentu dia akan 

menjadi korban nafsu Giris Rawa yang 

tak pernah bosan menikmati wanita-

wanita cantik.

Walaupun sesungguhnya gadis itu 

tak tahu bahwa Tabib Setan Gila masih 

merupakan sahabat baik ayahhandanya 

Panji Paksi. Dan gadis itu memang 

tidak pernah akan mengerti, karena 

kala itu dia masih merupakan seorang 

bocah cilik berumur tiga tahun. Ah. 

Entah dengan siapa keturunan Panji 

Paksi itu berguru, sehingga memiliki 

ilmu kepandaian yang pada akhirnya 

menjadi biang bencana di mana-mana. 

Tabib Setan Gila tiba-tiba saja 

mengeluh dalam hati. Dalam keadaan


seperti itu, dia benar-benar tak tahu 

bagaimana harus mengambil sikap. 

Haruskah bencana yang mengerikan 

sebagai pelampiasan dendam itu dia 

biarkan terus-menerus, sementara dia 

sendiri secara persis sudah mengetahui 

siapa sesungguhnya si Tangan Setan 

itu. Sedangkan apabila melaporkannya 

pada sang Adipati, dia tak tega 

melihat nasib putri sahabatnya itu, 

pula Adipati Giris Rawa sesungguhnya 

merupakan manusia yang licik dan 

tamak. Dulu manusia iblis itu pula 

yang telah membunuh dan membakar rumah 

sahabat karibnya. Jalan satu-satunya 

adalah bungkam dan mengungsi sejauh-

jauhnya. Teringat sampai ke situ, 

tiba-tiba Tabib Setan Gila ambil 

langkah seribu.

Namun baru saja beberapa tombak 

dia beranjak, secara tiba-tiba dari 

arah depannya muncul belasan orang 

para bawahan Adipati. Beberapa orang 

di antara para bawahan Adipati ini 

nampak menyeringai menahan sakit. 

Agaknya Tabib Setan Gila sudah 

mengetahui bahwa orang-orang itu me-

rupakan korban si Tangan Setan. 

Meskipun begitu Tabib Setan Gila


nampak berpura-pura, dengan menegur 

marah.

"Siapakah kalian ini. Minggir aku 

mau lewat!" Salah seorang di antara 

mereka yang mungkin saja sebagai 

pimpinan, nampak melangkah beberapa 

tindak. Laki-laki ini berpakaian warna 

yang kembang-kembang, wajahnya tirus 

dengan beberapa helai kumis hingga 

selain berkesan menyeramkan namun juga 

lucu. Sambil menimang-nimang senjata 

yang berupa sebilah pedang berwarna 

hitam legam. Laki-laki itu berucap.

"Tabib Setan Gila. Susah payah 

kami datang ke Lembah Tapis Angin, 

ternyata engkau telah minggat dari 

pondokmu. Bahkan engkau biarkan mayat-

mayat korban kebiadaban si Tangan 

Setan bergelimpangan begitu saja...!"

Alis si Tabib tua yang sudah 

nampak memutih secara keseluruhannya 

itu nampak mengerut. Dia coba 

mengingat-ingat dan rasa-rasanya dulu 

dia pernah melihat manusia berwajah 

tirus itu, tetapi entah di mana. Hmm. 

Tak salah, orang itulah dulu yang 

turut memperkosa istri sahabatnya 

hingga tewas secara menyedihkan. 

Mendadak hatinya menjadi panas bagai


terbakar. Tetapi sedapat-dapatnya dia 

mencoba menekan kemarahannya.

"Aku memang sengaja meninggalkan 

tempat itu, karena daerah itu sudah 

tak aman lagi untuk kutinggali...!" 

jawab Tabib tua ini berusaha jujur. 

Laki-laki orang kepercayaan Adipati 

yang bernama Dingklang itu nampak 

tersenyum mencibir.

"Tabib Setan Gila! Dengan orang 

kepercayaan Adipati, janganlah sekali 

engkau coba-coba berdusta. Kami 

melihat di tempat itu seperti baru 

saja beberapa hari telah terjadi 

pertarungan. Masakan engkau tak tahu 

sebagai tuan rumah yang sah...!" Andai 

saja tidak mengingat betapa besarnya 

pengaruh dan kekuasaan Adipati. Sudah 

barang tentu Tebib Setan Gila 

mendengar kata-kata yang setengah 

menuduh itu. Sudah pasti langsung 

melabrak laki-laki yang bernama 

Dingklang itu. Tetapi demi menyadari 

akibat yang mungkin timbul bila dia 

bertindak nekad, maka sambil berusaha 

menahan kedongkolannya dia berkata 

tegas.

"Kuakui, ketika aku meninggalkan 

rumahku ada hampir lima belas orang 

sedang dalam perawatanku, tetapi


mengenai pertarungan itu aku tak 

tahu!"

"Apa alasanmu hingga meninggalkan 

para pesakitan itu?" tanya laki-laki 

berwajah tirus itu dipenuhi keingin 

tahuan

"Sudah kukatakan bahwa Lembah 

Tapis Angin sudah tak aman lagi 

bagiku." jawah Tabib Setan Gila 

nampaknya sudah tak dapat menahan 

kekesalannya lagi.

"Tentu ada sebabnya bukan?" Sela 

Dingkling mencemooh. Tabib Setan Gila 

nampak terdiam dan meragu.

"Katakan saja, mengapa mesti 

takut! Keberadaanmu sangat di perlukan 

oleh orang banyak. Dan sebagai orang-

orang pemerintahan kami punya 

kewajiban untuk melindungi orang-orang 

yang sangat di perlukan...!" ucap 

laki-laki itu dengan sombongnya. Tabib 

Setan Gila mengangguk, dalam hatinya 

mencaci maki. Omongan saja yang besar. 

Sedangkan untuk melindungi diri 

sendiri saja tidak becus. Buktinya 

kawan-kawannya saja sampai terkena 

pukulan beracun si Raja Cobra milik si

Tangan Setan. Batinnya.

"Aku tak berani mengatakannya, 

Kisanak...!"


"Apakah dia pernah bertemu 

denganmu...?" tanya laki-laki kumis 

ikan lele ini penasaran. Tabib Setan 

Gila gelengkan kepalanya.

"Tidak pernah. Dia mengancamkan 

melalui ilmu menyusupkan suara." Bukan 

main terkejutnya orang kepercayaan 

Adipati Giris Rawa ini demi mendengar 

apa yang dikatakan oleh si Tabib. Hal 

yang serupa juga pernah terjadi pada 

mereka dua hari yang lalu. Akibatnya 

sepuluh orang bawahannya terkena 

pukulan beracun. Sementara dia sendiri 

malah sampai kehilangan jejak dalam 

melacak si penyerang misterius itu.

"Tabib. Adakah orang yang 

mengancam-mu itu seorang laki-laki?"

"Agaknya begitulah!"

"Dia memakai topeng...?!" tanya 

si Dingklang lebih lanjut.

"Sudah kukatakan aku tak tahu, 

sebab akupun tak pernah bertemu dengan 

orang itu!" jawab Tabib Setan Gila 

sangat kesal sekali.

"Hemm. Baiklah... baiklah! Kalau 

engkau tak tahu, tak jadi soal. 

Siapapun adanya si bangsat keji itu 

cepat atau lambat dia pasti akan 

tertangkap juga. Lebih dari itu 

sekarang ini kami sangat membutuhkan


pertolonganmu untuk mengobati kawan-

kawanku yang terkena pukulan si Tangan 

Setan! Cepatlah kerjakan sekarang 

juga!" perintah Dingklang sedikit 

memaksa. Memerah paras laki-laki tua 

bertongkat dari Lembah Tapis Angin itu 

demi mendengar kata-kata Dingklang 

yang bernada memerintah. Seumur hidup 

belum pernah ada orang yang meminta 

pertolongannya dengan cara memaksa 

seperti itu. Tetapi kini, seorang 

bawahan Adipati yang sangat di 

bencinya telah berani memberi perintah 

seperti itu. Menolong para gelandangan 

yang hidup terlunta-lunta baginya akan 

baik daripada menolong manusia yang 

mengaku dari golongan bersih, namun 

hati yang sesungguhnya dipenuhi dengan 

kekejian. Tiba-tiba amarahnya yang 

sejak tadi dia tahan-tahan kini sudah 

tak dapat dia bendung lagi. Tanpa 

sungkan-sungkan lagi dia berkata 

ketus.

"Kisanak... apakah engkau 

bermaksud memaksaku...?" tanya Tabib 

Setan Gila dengan pandangan berapi-

api.

"Aku tak punya maksud memaksamu 

Tabib! Tetapi ini sebuah perintah yang 

tidak bisa ditawar-tawar lagi...!"


"Kisanak! Sejak aku meninggalkan 

Lembah Tapis Angin, aku sudah 

memutuskan untuk tidak menjadi Tabib 

lagi...!"

"Ah! Keputusanmu terlalu tergesa-

gesa Tabib. Mengapa pada saat tenagamu 

dibutuhkan oleh banyak orang, tiba-

tiba engkau mengambil keputusan yang 

sangat picik seperti itu...?" Tanya 

laki-laki kepercayaan Adipati Giris 

Rawa sangat herannya.

"Kalian dengarlah. Meskipun aku 

berusaha mengobati setiap orang yang 

terkena pukulan si tangan Setan. Tak 

seorangpun yang dapat kuselamatkan! 

Racun itu teramat ganas, dan sejauh 

ini aku belum menemukan obatnya...!"

"Hok... hok... hok...! Jangan 

coba-coba mengelabuhi kami, Tabib, 

semua orang tahu akan kehebatanmu, 

racun apapun pernah sembuh di 

tanganmu. Kini engkau malah bertingkah 

yang tidak-tidak!" bentak si Dingklang 

bukan main gusarnya.

* * *


ENAM


Wajah Tabib Setan Gila berubah 

kelam membesi, dia sadar walau secara 

apapun dia berusaha menerangkan, tidak 

nantinya para begundal Adipati itu mau 

mempercayai kata-katanya. ,

"Mengapa engkau hanya diam saja, 

Tabib? Bukankah benar apa yang aku 

katakan tadi...?"

"Tidak benar sama sekali." 

celetuk si Tabib Setan Gila. Dingklang 

katupkan bibir dan pelototkan matanya 

yang hampir sebesar jengkol. Lalu 

diapun membentak marah!

"Sialan betul engkau ini. Jadi 

engkau tak mau mengobati kawan-

kawanku...?"

"Bukan tak mau, tapi aku telah 

memutuskan untuk dunia ketabiban..!" 

jawab si Tabib tenang.

"Bedebah... rupanya engkau benar-

benar hendak membangkang perintah 

penguasa yang sah...."

"Di hatiku tidak pernah ada niat 

untuk membantah kekuasaan siapapun. 

Aku hanya ingin menepati janjiku 

sendiril"


"Sekalipun kepalamu akan 

menggelinding sebagai akibat 

kesombonganmu itu?" menyela Dingklang 

berang sekali.

"Sekalipun nyawaku harus 

melayang, aku tak akan pernah merobah 

keputusanku sendiri...!" ujar Tabib 

Setan Gila mantap. Hal ini malah 

membuat laki-laki dari Trengganu itu 

semakin bertambah murka.

"Keparaaat... akan sia-sialah 

keputusanmu itu, sebab aku tak akan 

pernah membiarkan seorang pembangkang 

penguasa hidup lebih lama lagi...." 

Berkata begitu dia menoleh pada orang-

orangnya, kemudian segera memberi 

perintah!

"Anak-anak! Cincang Tabib munafik 

ini...!" perintahnya berang. Lalu 

diapun segera melolos pedangriya yang 

berwarna hitam legam menakutkan. 

Orang-orang yang sudah terluka dalam 

cukup serius itu, tanpa banyak kata 

langsung saja mengurung si Tabib Setan 

Gila. Tatapi sebelum mereka bergerak 

lebih lanjut dia berseru lantang.

"Kaki tangan Adipati iblis, 

manusia licik berhati keji. Kulihat 

hanya engkau seoranglah yang tidak 

mengidap pukulan beracun itu,


kuperingatkan bagimu. Lebih baik 

engkau cabut ucapanmu, kemudian 

menyingkirlah dari hadapanku. Andai 

tidak...!' Tabib Setan Gila hentikan 

ucapannya.

"Andai tidak, engkau bisa berbuat

apa Tabib tolol...?" bentak si 

Dingklang dengan pedang terhunus.

" Jika tidak, dua langkah di 

depan orang-orangmu akan segera 

lumpuh. Racun si Raja Kobra tak pernah 

ada obatnya! He... he., he...." kata 

Tabib tua itu sembari mengekeh.

"Bangsat, jangan coba-coba 

menggertak kami...."

"Tak percaya. Cobalah...!"

"Anak-anak, tunggu apa lagi! 

Bunuh dia...!" Secara serentak empat 

belas orang itu secara serentak 

bergertak maju. Namun tepat seperti 

apa yang dikatakan oleh si Tabib Setan 

Gila. Baru beberapa tindak mereka 

melangkah, tiba-tiba langkah mereka 

terhenti di tengah jalan. Tubuh 

keempat belas orang itu nampak 

menggigil dan gemetaran. Wajah mereka 

sudah pucat kebiru-biruan itu nampak 

semakin bertambah membiru. Kejut di 

hati Dingklang bukan alang kepalang, 

sedikitpun dia tiada menyangka kalau


apa yang di katakan oleh Tabib Tangan 

Setan pada akhirnya akan menjadi 

sebuah kenyataan. Dan yang semakin 

membuatnya terlongong-longong adalah 

karena tidak begitu lama setelah itu.

Satu demi satu, para anak buahnya 

nampak roboh tanpa daya. Mendidihlah 

darah, laki-laki yang merupakan tangan 

kanan Adipati Trengganu ini. Sesaat 

lamanya Dingklang memandangi orang-

orangnya yang tewas secara 

menggenaskan. Kemudian dia kembali 

berpaling pada Tabib Setan Gila, sorot 

matanya begitu dingin, sesungging 

seringai maut membias di wajahnya yang 

tirus dan sadis. Lalu dengan jerit 

melengking tinggi, diapun kembali 

membentak.

"Setan Gila! Puaskah hatimu 

setelah melihat kematian orang-

orangku?" Tabib Setan Gila gelengkan 

kepala, betapapun jiwa welas asih, 

hatinya sempat terenyuh juga.

"Apapun yang menjadi sebab 

kematian itu, sesungguhnya tiada 

seorangpun yang punya kuasa untuk 

mampu menolaknya, begitupun aku...!" 

ujar laki-laki dari Lembah Tapis Angin 

itu pelan.


"Kurang ajar! Aku tak butuh

khotbahmu, Tabib kropok...!"

"Jadi apa maumu, Ki Sanak...?"

Dingklang memakin panjang pendek, 

dia merasa Tabib Setan Gila sengaja 

mengulur-ulur waktu dengan cara 

mempermainkannya.

"Tak ada yang kuinginkan darimu 

terkecuali memenggal kepalamu dan 

meminum darahmu.kata Dingklang geram 

sekali.

"Ho... ho... ho...! Darahku 

sangat pahit rasanya, Kisanak... 

engkau pasti tidak menyukainya."

"Kalau darahmu memang tak enak, 

biarlah pedangku yang haus darah ini 

yang akan menyantapnya...!" Teriak 

tangan kanan Adipati Trengganu. 

Kemudian serentak mengirimkan 

serangan-serangan kilat.

"Bagus! Bagus! Keluarkanlah 

seluruh kepandaianmu, aku jadi ingin 

lihat seberapa hebat kepandaian tangan 

kanan anjing Adipati...!"

"Bangsaaat...!" maki laki-laki 

berwajah tirus itu sambil kirimkan 

satu tusukan satu babatan. Pada saat 

seperti itu kaki kanannya terayun ke 

atas. Mendapat serangan sedemikian 

rupa. Tabib Setan Gila yang juga


memiliki kepandaian silat satu tingkat 

di atas Dingklang terlihat tenang-

tenang saja. Dia berkelit sedikit 

begitu pedang di tangan Dingklang 

menderu mengancam bagian lehernya. 

Sementara tongkatnya yang berupa 

kepala tengkorak itu memapaki 

datangnya satu sapuan kaki kanan 

lawannya yang tiada menyangka si Tabib 

akan mempergunakan tongkatnya nampak 

berseru kaget. Lalu sedapatnya 

berusaha menarik balik kaki kanannya. 

Tetapi tanpa disangka-sangka, tongkat 

tengkorak di tangan Tabib Setan Gila 

malah bergerak lebih cepat lagi. Tak 

terhindarkan.

"Bletaak!"

Masih untung bagi Dingklang 

karena Tabib Setan Gila tiada 

mengerahkan segenap kemampuannya. 

Seandainya laki-laki tua itu memang 

mempunyai maksud-maksud tak baik. 

Sudah barang tentu, kaki Dingklang 

akan remuk atau setidak-tidaknya 

menjadi patah. Begitupun laki-laki 

kepercayaan Adipati Trengganu itu 

masih tetap menjerit-jerit kesakitan 

sambil memaki dengan kata-kata kotor. 

Dia melompat-lompat bagai seekor 

anjing yang kena gebuk. Begitu dia


memeriksa tulang betisnya bagian atas 

nampaklah olehnya bagian yang terpukul 

itu memar dan membiru.

"Wah sial betul engkau ini Tabib 

dungu. Engkau telah memukul tulang 

keringku...!"

"Tidak kuremukkan saja sudah 

syukur!" ejek Tabib Setan Gila 

menyeringai. Hal ini malah semakin 

membuat laki-laki berwajah tirus itu 

panas hatinya. Lalu tanpa berkata-kata 

lagi dia kembali menyerang si Tabib 

tua. Senjatanya yang berwarna hitam 

Itu kembali menderu sebatnya. Dalam 

waktu sekejap saja pertarungan sudah 

mencapai puluhan jurus. Karena 

Dingklang menyerang si Tabib secara 

nekad dan membabi buta, maka beberapa 

jurus di depan laki-laki dari Lembah 

Tapis Angin irii sudah kena didesak. 

Dengan penuh kesabaran si Tabib terus 

mengelak dan menangkis-.

Satu kesempatan Dingklang melihal 

salah satu sisi pertahanan lawan 

nampak terbuka. Tangan kanan Adipati 

Trengganu itu menyeringai, lalu dengan 

satu bentak kan keras dia segera putar 

pedangnya ke segala arah, tubuhnya 

berkelebat sedemikian cepatnya. Tak 

ayal, laki-laki itu kini telah


mempergunakan jurus yang paling 

menjadi andalannya. Tarian Sepasang 

Garuda, yang terkenal ganas dan sangat 

mematikan itu. Senjata itu terus 

berkiblat dan menderu-deru mencari 

sasarannya, tahulah kakek Tabib ini 

bahwa lawan memang benar-benar 

menghendaki nyawanya. Tanpa ampun 

Tabib inipun memutar tongkatnya, 

nehingga membentuk satu pertahanan 

yang sangat tangguh.

"Weeer!"

Pedang di tangan si Dingklang 

menyambar pada bagian perut si Tabib, 

kakek ini pun dengan cepat menyambuti 

dengan tongkat tengkoraknya.

"Hayaaa...!"

"Craak!"

Beradunya dua kekuatan besar, 

membuat si Tabib yang tiada pernah

memiliki keinginan untuk membunuh 

lawannya itu nampak terguling-guling. 

Tongkat di tangannya terbabat putus, 

sehingga tinggal sebagian saja. Demi 

melihat kehebatannya sendiri laki-laki 

dari Trengganu itu nampak menyeringai 

puas. Kini dia benar-benar merasa 

berada di atas angin. Dengan sekali 

tebas lagi, maka menggelindinglah 

kepala si Tabib tua itu. Begitulah dia


berfikir. Maka tanpa fikir panjang 

lagi, dia kirimkan satu serangan 

puncak pada si Tabib Setan Gila. Sudah 

barang tentu hal itu dalam perhitungan 

si Tabib dari Lembah Tapis Angin ini. 

Maka diapun segera mencabut beberapa 

bantang jarum yang biasa di pergunakan 

untuk pengobatan, dari balik jubahnya. 

Begitulah, ketika serangan itu datang 

dengan cepat, kakek ini tidak berusaha 

mengindar, seolah-olah dia sudah 

pasrah menerima kematian. Namun begitu 

mata pedang yang menebarkan bau 

menjijikkan itu sejengkal berada di 

depan dadanya. Dengan sisa tongkat 

yang masih berada dalam genggamannya 

dia menangkis dengan tangan kirinya, 

sementara tangan kanannya bergerak 

lebih cepat mengarah pada bagian 

leher.

"Craaak!"

"Creep!"

Bersamaan dengan membenturnya pe-

dang pihak lawan dengan sisa 

tongkatnya, pada saat itu pula jarum-

jarum di tangan si kakek ini pun 

menembus jalan darah si Dingklang. 

Tiada jerit maupun lolong kematian, 

seketika itu juga tubuh begundalnya 

Adipati Trengganu itu terasa sangat


kaku dan sulit untuk digerakkan. 

Laksana patung yang dibentuk 

sedemikian rupa. Kedua bola matanya 

nampak melotot, senjatanya tetap 

tergenggam seperti pada saat melakukan 

serangan tadi. Tubuh si Dingklang 

memang dalam keadaan tertotok, tak 

siapapun yang mampu membebaskan laki-

laki itu. Tabib Setan Gila tertawa 

tergelak-gelak demi menyaksikan 

kerjanya sendiri.

"Wei... bagus sekali posisimu 

itu, begundal Adipati. Kalau tubuhmu 

kujadikan mummi kemudian kujual pada 

raja, sudah pasti akan sangat mahal 

sekali hargamu. Sekarang yang mana 

satu yang akan kau pilih? Yang pertama 

kucongkel kedua matamu, atau yang 

kedua kutelanjangi saja...!" kata 

Tabib tua itu, mendadak berubah konyol 

kekanak-kanakkan.

"Oh, sial betul aku hari ini!" 

keluh Dingklang kumis ikan lele.

"Engkau tak perlu mengeluh cepat 

katakan yang mana satu yang engkau 

pilih?"

"Tabib kentut bau. Bebaskan 

totokan terkutuk ini, mari kita 

bertarung seribu jurus!" teriak laki-

laki dari Trengganu itu marah sekali.


"Ho... ho... ho...! Tarian 

Sepasang Garuda-ompong saja tak 

mencapai seratus jurus, dari mana lagi 

engkau mau menambahi yang sembilan 

ratus jurus lainnya...?" Tabib Setan 

Gila mengejek.

"Bangsat! Siapakah engkau ini, 

sehingga tahu kalau jurus-jurus 

Sepasang Garuda milikku cuina seratus 

jurus...!" tanya Dingklang bloon.

"Aha., siapa sih yang tidak kenal 

pada iblis-iblis tukang perkosa dan 

perampas kedudukan orang. Ingatkah 

engkau pada Panji Paksi dan istrinya

yang tewas karena kalian perkosa...?" 

Bukan alang kepalang terkejutnya si 

Dingklang ini, sedikitpun dia tiada 

pernah menyangka kalau Tabib tua itu 

mengetahui peristiwa yang pernah 

terjadi sembilan belas tahun yang lalu 

itu. Tak berapa lama kemudian dengan 

sangat ketakutan sekali dia bertanya.

"Siapa.. siapakah engkau ini 

Tabib sial. Engkau jangan mengada-ada! 

Semua orang tau kalau Panji Paksi 

tewas karena kepemimpinannya memang 

tidak disukai oleh orang banyak!"

"Kurang ajar, masih jugakah 

engkau mau bohong pada orang tua 

sepertiku ini? Bukan si bangsat Giris


Rawa menghasut rakyat untuk 

memberontak, hingga malam jahanam itu 

membuat puas hati kalian...!-" bentak 

Tabib setan Gila, lalu diapun maju 

tiga langkah. Sehigga kini mereka 

benar-benar telah berhadapan muka. 

Tubuh Dingklang nampak menggigil bagai 

terserang demam malaria, apa yang 

telah dikatakan oleh I si Tabib tua 

benar-benar bagai menelanjangi 

tubuhnya bulat-bulat. Tiada kata yalig 

terucap, dia nampak semakin ketakutan 

sekali begitu si Tabib mengulurkan 

tangannya pada bagian lehernya.

"Tabib! Apa yang hendak engkau 

lakukan?"

"He... he... he...! Semestinya 

aku harus memotong pusaka keramatmu, 

biar tak bikin melapetaka bagi kaum 

perempuan. Tetapi aku berobah 

pendirian, aku telah memutuskan untuk 

menghukummu seringan-ringannya. 

Bagaimana kalau kuminta kumismu saja 

yang cuma beberapa helai itu?" tanya 

si Tabib.

***


TUJUH


Kejut hati Dingklang bukan alang 

kepalang, baginya daripada 

diperlakukan seperti itu masih lebih 

baik dibunuh saja. Maka diapun 

berteriak-teriak ketika Tabib Setan 

Gila mulai memilin-milin kumisnya yang 

cuma beberapa lembar itu.

"Suakiit! Jangan kau cabut 

kumisku. Lebih baik kau bunuh 

saja...!" jeritnya histeris.

"Wee! Engkau ini tolol sekali. 

Mencabut nyawa itu bukan wewenangku, 

mengapa engkau harus menjerit-jerit. 

Sedangkan kala itu engkau malah 

tertawa-tawa ketika istri Panji Paksi 

menjerit minta di ampuni...!"

Serentak dengan ucapannya itu, 

Tabib Setan Gila mulai menarik kumis 

si Dingklang kanan kiri. Sebentar saja 

bibir laki-laki dari Trengganu itu 

nampak terangkat ke atas mengikuti 

gerakan tangan si Tabib.

"Nah... bagus sekali bibirmu ini! 

Cengar-cengir bagai kambing bandot 

yang ketemu betinanya."

"Nah... nah... yang ini lebih 

bagus lagi. Engkau memang punya bakat


menjadi kambing bandot, bisa mengumbar 

nafsu seenak perutmu saja. He... he... 

he... persis dan lucu sekali!" ujar 

laki-laki tua dari Lembah Tapis Angin 

bagai orang senewen. Sejenak dia 

melepaskan kumis si Dingklang, sumpah 

serapah segera berhamburan dari mulut 

orang ini.

"Tabib goublook, manusia sinting. 

Bunuh saja aku! Aku benci pada 

perlakuanmu." makinya panjang pendek.

"Wah engkau malah memakiku! 

Kurang ajar sekali mulutmu. Tahukah 

engkau bahwa sesunguhnya aku sendiri 

sangat benci pada Adipati gendeng dan 

begundalnya...?"

"Setan gila, segala apa yang 

engkau katakan itu nanti akan 

kulaporkan pada Adipati Yang Mulia. 

Dan engkau akan menyesal seumur-umur!"

"Cerewet sekali mulutmu, kayak 

nenek-nenek saja. Nih...!" Berkata 

begitu, tangan si Tabib berkelebat 

menyambar ke bagian atas bibir.

"Brut!.Bruut!"

Si Dingklang yang tak mampu 

berbuat banyak itu nampak menjerit-

jerit kesakitan.

Kumisnya yang cuma beberapa helai 

itu, kini tercabut sudah. Tetapi si


Tabib mana mau perduli dengan keadaan 

itu, sebaliknya dia terus terkekeh-

kekeh.

"He... he... he...! Semuanya 

sudah beres, aku sudah muak melihat 

tampangmu. Maka baiknya aku pergi 

saja...."

Usai dengan ucapannya, Tabib 

Setan Gila pun membalikkan langkah 

kemudian setapak demi setapak dia 

menjauh dari pandangan si Dingklang. 

Laki-laki ini menjerit-jerit. "Tabib 

sial bebaskan totokanku... 

bebaskan...!" teriaknya.

"Tenang-tenang sajalah engkau di 

situ, dua hari mendatang engkau sudah 

terbebas dari totokan. Kalau nasibmu 

baik, tentu harimau di hutan ini 

enggan memangsa tubuhmu yang berlumur 

dengan dosa...!"

"Tabib tolonglah aku!" rintihnya 

bagai anak kecil. Si Tabib dari Lembah 

Tapis Angin itu terus berlalu, bahkan 

semakin lama semakin menjauh.

"Tabib.. toloooong...!" Tiada 

terdengar jawaban apapun lagi, 

tinggallah si Dingklang seorang diri, 

menanti kebebasan dengan harap-harap 

cemas.

* * *


Udara terasa sangat panas sekali, 

sejauh-jauh mata memandang. Hanya 

kegersangan tanah-tanah tandus dan 

hutan semak yang nampak mulai layu. 

Hampir setiap tahunnya kemarau panjang 

memang berakibat buruk pada setiap 

tanaman maupun mahluk hidup lainnya. 

Apalagi daerah Trengganu dan wilayah 

sekitarnya merupakan daerah yang 

sangat langka dari curahan air hujan.

Suasana yang terasa panas 

membakar ini, membuat salah seorang 

dari dua orang yang sedang melakukan 

perjalanan itu nampak sering mengeluh.

"Sudah berhari-hari kita 

melakukan perjalanan. Tetapi masih 

belum ada tanda-tanda, kita bisa 

secepatnya bertemu dengan manusia keji 

itu...."

"Cepat atau lambat kita pasti 

dapat menemukan sarangnya. Sabarlah, 

Winda?"

"Semua orang memburunya Kelana. 

Aku merasa begitu yakin orang itu 

sangat lihai sekali. Coba kita lihat 

saja, sepanjang perjalanan yang kita 

lalui hanya mayat-mayat saja yang kita 

temui. Semuanya dari hasil pekerjaan 

yang sama, mereka-mereka itu


bergelimpangan karena akibat pukulan 

beracun!" keluh gadis itu. Dalam pada 

itu tiba-tiba Pendekar Hina Kelana 

berseru:

"Hei.. lihat! Di depan sana ada 

sebuah sungai...!"'teriaknya 

kegirangan.

"Wah kebetulan sekali, badanku 

terasa gerah dan lengket. Ada baiknya 

kalau kita mandi dulu." berkata 

begitu, Winda Murti langsung berlari-

lari mendahului si pemuda. Memang 

benar adanya, kini di depan mereka 

terdapat sebuah sungai yang jernih 

airnya. Sungai itupun tidak begitu 

dalam, atau mungkin hanya setinggi 

dada. Tanpa sepengetahuan Winda Murti, 

Buang Sengketa nampak meneliti ke 

sekitar daerah itu. Pohon-pohon liar 

yang subur, suasana sekitarnya yang 

terasa dingin. Hal ini benar-benar 

sangat jauh berbeda dengan daerah yang 

mereka lalui, kira-kira lima batu di 

belakang mereka. Gersang dan tandus. 

Pendekar ini nampak tercenung, dalam 

hati dia merasa heran. Padahal di 

bagian barat daya dan sekitarnya panas 

begitu terik, tetapi mengapa di tempat 

itu malah sebaliknya. Pemuda itu tiba-

tiba menjadi was-was. Diapun menoleh


untuk mengatakan sesuatu pada Winda 

Murti, akan tetapi ya ampun. Gadis itu 

kini sudah dalam keadaan telanjang 

bulat dan sudah siap-siap untuk terjun 

ke dalam sungai. Wajah si pemuda merah 

jengah dan sekejap kemudian dia telah 

memalingkan mukanya. 

"Byuuur!" 

Si gadis terjun ke dalam sungai, 

laksana seekor ikan. Dia begitu lincah 

berenang kian ke mari. Tiba-tiba dia 

berseru,

"Kelana. Mengapa cuma berdiri di 

situ saja, engkau tak punya keinginan 

untuk mandi?" Tanpa berpaling dari 

posisinya dia berucap. 

"Winda, jangan berendam di situ 

terus. Naluriku mengatakan daerah ini 

sangat tidak aman...!" kata si pemuda 

memberi peringatan.

"Ah engkau ini ada-ada saja! 

Nampaknya pengecut sekali, apakah 

engkau takut dengan kehadiran si 

Tangan Setan...?"

"Janganlah berkata sembarangan, 

aku bersunggguh-sungguh!" tukas si 

pemuda jengkel sekali.

"Hi... hi... hi... pengecut. 

Kalaupun engkau tak mau mandi. Tapi 

jangan bersikap seperti itu. Aku bukan


setan, mengapa takut-takut 

memandangku. Berpalinglah ke mari, 

siapa tahu kata-katamu terbukti. 

Setelah berkata begitu Winda 

Murti berenang menjauh mengikuti arus 

sungai. Tanpa fikir panjang lagi si 

pemuda menoleh. Dilihatnya si gadis 

sudah nampak menjauh dari tempatnya 

berdiri. Meskipun tubuh si gadis 

sepenuhnya berada di dalam air, tetapi 

si pemuda dapat melihat dengan jelas 

lekuk lengkung tubuh Winda Murti yang 

kuning langsat, apalagi air sungai itu 

memang benar-benar jernih sekali. Si 

pemuda menggerutu dalam hati. Sial 

betul gadis itu, yang tidak-tidak saja 

tingkahnya. Tetapi biarlah daripada 

dia terus berduka memikirkan 

kekasihnya yang sudah tiada batinnya.

Di lain pihak sesungguhnya benar 

apa yang diragukan oleh Pendekar Hina 

Kelana. Karena ternyata tidak begitu 

jauh dari pinggiran sungai itu ada 

sepasang mata yang sejak tadi 

memperhatikan gerak-gerik si gadis. 

Begitu gadis itu mengikuti gerakan 

arus ke bawah, maka sepasang mata yag 

penuh dendam itupun tanpa menimbulkan 

suara ikut bergerak. Hal ini sudah 

tentu di luar sepengetahuan si pemuda.


Karena memang sesungguhnya pemuda ini 

nampak sangat acuh dan merasa sungkan 

dengan keadaan si gadis. Sementara 

itu, Winda murti yang tak pernah 

menyadari adanya ancaman bahaya maut 

itu nampak terus berenang-renang 

mengikuti arus sungai hingga semakin 

lama semakin bertambah jauh. Sedangkan 

di pinggiran sungai itu, dengan sangat 

ringannya sang pengintai berpakaian 

kuning gading dengan selubung topeng 

merah itupun mulai mempersiapkan 

segala sesuatunya. Begitu dua buah 

taring Beracun Raja Cobra sudah siap 

di tangannya, maka tanpa menimbulkan 

kecurigaan sedikitpun tangannya 

bergerak.

"Wes! Crep!"

"Auuu!"

Bagai orang yang sedang bercanda, 

Winda Murti merintih begitu senjata 

rahasia yang berupa Taring Raja Cobra 

itu menembus punggungnya yang halus 

mulus. Sebentar kemudian dia berusaha 

meraba punggungnya yang terasa hangat. 

Tetapi mendadak kedua tangannya 

menjadi kaku, seluruh permukaan 

kulitnya terasa meremang. Seolah bagai 

orang yang sedang berada dalam gelora 

asmara yang membara. Dia merintih,


tubuhnya menggeliat-geliat tak karuan. 

Begitupun tiada satu patah katapun 

yang terucap, sesaat tubuhnya meronta-

ronta, air di dalam sungai itupun 

beriak. Kemudian tubuh si gadis secara 

perlahan mulai tenggelam, terkulai 

dengan nyawa melayang. Sesungging 

senyum puas membias di wajah bertopeng 

itu. Setelah dia benar-benar yakin 

dengan kematian Winda Murti, maka dia 

cepat-cepat berkelebat pergi.

Hampir setengah jam kejadian itu 

berlalu, Buang Sengketa yang menunggu 

di pinggiran sungai lama-kelamaan 

menjadi curiga. Tak ayal diapun mulai 

memanggil-manggil Winda Murti.

"Winda... cepatlah.. sebentar 

lagi matahari akan tenggelam. Apakah 

engkau mau bermalam di dalam sungai 

ini...?" panggilnya. Tiada sahutan, 

hanya desau angin senja saja yang 

terdengar!

"Winda...!" ulang si pemuda, 

kemudian dia bangkit dari tempatnya 

lalu berjalan menelusuri sungai. 

Jangan-jangan kecurigaannya beralasan. 

Batinya lagi. Sambil terus menelusuri 

sungai itu, matanya nampak nanar 

memandang ke sekelilingnya.


"Winda...!" jeritnya tertahan. 

Wajah si pemuda mendadak pucat pasi, 

dalam air yang bening itu dia melihat 

tubuh si gadis nampak tergeletak di 

dasarnya.

"Oh, Batara Yang Agung. Hari ini 

aku benar-benar telah kecolongan! 

Bangsat betul. Pekerjaan siapa lagikan 

ini...?" Teriaknya marah sekali. Hanya 

beberapa saat kemudian tanpa buang-

buang waktu lagi dia langsung terjun 

ke dalam sugai, secepatnya dia 

berenang. Lalu diangkatnya tubuh Winda 

Murti yang tiada mengenakan sehelai 

benangpun. Sesampainya di pinggiran 

sungai, cepat-cepat dia memeriksa 

keadaan si gadis. Tubuh itu sudah 

dingin dan kaku, tahulah si pemuda 

kalau Winda Murti telah tewas, 

setidak-tidaknya setengah jam yang 

lalu. Setelah menutupi bagian-bagian 

sensitip dengan pakaian si gadis yang 

sengaja di bawanya. Pendekar Hina 

Kelana segera memeriksa bagian tubuh 

yang lainnya. Dia nampak terbelalak 

tak percaya begitu beberapa saat 

kemudian dia mendapati di bagian 

punggung gadis itu terdapat benda 

runcing berwarna putih. Ketika dia 

mencabut benda itu, mengertilah dia


bahwa Winda Murti tewas karena senjata 

beracun.

"Malang sekali nasibmu nona. 

Susah payah aku menyelamatkanmu dari 

tangan Wimba. Tetapi kini di depan 

mataku engkau tewas secara mengerikan. 

Maafkan ketololanku Winda, seharusnya 

aku mengikutimu ke manapun engkau 

pergi aku mesti mengikutimu... tetapi 

penampilanmu yang bersahaja membuat 

aku tak sanggup melakukannya. Aku tak 

sanggup...!" ucapnya lirih dengan 

wajah tertunduk sedih. Sesaat 

setelahnya si pemuda tengadahkan 

wajahnya, pandangan matanya kini 

berubah liar. Kemarahan meledak secara 

tiba-tiba, kini secara perlahan dia 

bangkit, pandangan matanya menerawang 

memandangi alam di sekitarnya. Dalam 

keadaan seperti itulah tanpa dia 

sadari tiba-tiba tenaga dalamnya 

membuncah mencari jalan keluar. Lalu 

bagai orang yang sedang kesetanan dia 

berteriak-teriak.

"Oh... tolol sekali aku ini. 

Manusia hina tiada guna, tiada mampu 

berbuat apa-apa. Jauh di setiap aku 

melangkah, mengapa selalu kudapati 

pembunuhan di mana-mana. Manusia tiada 

pernah kenal damai...!" Sesaat


ucapannya terhenti, kedua tangannya 

kini dia tengadahkan di depan dada. 

"Sang Hyang Widi, inikah jalan getir 

yang harus kutempuh, menyudahi 

petualangan orang-orang sesat! 

Haruskah aku menjadi pembunuh dari 

setiap mereka yang menyimpang dari 

jalanMu? Oh... betapa dosa-dosaku akan 

lebih besar daripada apa yang tidak 

mereka ketahui. Tidaaaak...!"

Jerit Buang Sengketa histeris. 

Dan bersamaan dengan teriakannya itu, 

kedua tangannya pun terpentang ke 

atas. Tubuhnya menggigil dibakar 

amarahnya sendiri. Lalu dengan 

disertai teriakan menggemuruh, karena 

sesungguhnya dalam suara itu disertai 

dengan jeritan Ilmu Pemenggal Roh. 

Maka sesaat kemudian kedua tangannya 

berkiblat ke segala arah.

"Haiikkgh!"

"Blar! Blar! Blar!"

Pohon-pohon besar di sekitarnya 

berkerotakkan roboh, dilanda pukulan 

Si Hina Kelana Merana yang terkenal 

sangat dahsyat itu. Angin senja terus 

mendesau menyibakkan anak-anak 

rambutnya yang diikat sebatas bahu. 

Kini setelah tenaga dalam yang 

membucah itu tersalurkan, ada sedikit


perasaan lega di hati pemuda itu. Lalu 

seperti berjanji pada dirinya sendiri

dia berucap.

"Winda. Siapapun adanya engkau 

ini, aku berjanji untuk meringkus si 

Tangan Setan dalam waktu secepatnya. 

Aku harus menghentikan sepak 

terjangnya itu...!" Setelah itu cepat-

cepat dia merapikan pakaian si mayat 

dan di tempat itu pula dia menguburkan 

gadis dari Trengganu ini. Setelah 

pekerjaannya selesai, malam sudah 

sangat larut. Tetapi tanpa perduli dia 

terus melangkahkan kakinya. Pergi! 

Untuk kemudian lenyap ditelan 

kegelapan malam.

* * *

DELAPAN



Wimba, Anom Kendor beserta tiga 

orang murid yang lainnya nampak telah 

sampai di perbatasan antara Lembah 

Tapis Angin dan Trengganu, daerah 

kelahirannya sendiri. Sejak bertemu 

dengan Pendekar Hina Kelana, guru dan


murid itu telah mempercayakan tugasnya 

pada si pemuda untuk menyeret si 

Tangan Setan hidup atau mati. Itu 

sebabnya kini mereka kembali ke 

Trengganu, sebab masih banyak urusan-

urusan lain di kadipaten yang masih 

membutuhkan uluran tangannya. Seperti 

diketahui, Wimba selajn merupakan 

sesepuh dan penasehat Adipati Giris 

Rawa. Sekaligus merangkap jabatan 

ketua keamanan di wilayah Trengganu. 

Tak heran dengan munculnya si Tangan 

Setan, hati laki-laki setengah tua itu 

begitu nampak diliputi kecemasan.

Pada saat itu dari arah yang 

berlawanan, nampak pula seorang gadis 

berpakaian kuning gading terlihat pula 

berjalan menyongsong kehadiran orang-

orang ini. Dengan tenangnya dia terus 

berjalan melenggang lenggok, hingga 

pada akhirnya merekapun saling 

berpapasan. Masing-masing mata 

menyiratkan rasa saling curiga, tetapi 

sebelum Wimba dan murid-muridnya 

sempat berkata sesuatu apapun, Hning 

Ksaban sudah buka bicara.

"Orang tua, yang manakah jalan 

menuju Trengganu?" tanya si gadis 

dengan tatapan mata dingin. Yang 

ditanya bungkam, beberapa saat lamanya


dia nampak memperhatikan gadis itu, 

rasa-rasanya dia tak pernah melihat 

gadis berwajah cantik seperti itu 

berada di Trengganu, kalaupun ada hal 

itu sudah barang tentu tak luput dari 

tangan Adipati yang paling gemar 

mengumpulkan para wanita cantik. Lalu 

dia berfikir maka wajar saja kalau si 

gadis tidak mengetahui jalan ke 

Trengganu. Akhirnya dengan keramahan 

bercampur rasa curiga diapun berkata.

"Aha... kebetulan kami juga mau 

pulang ke Trengganu, kalau engkau mau 

bisa turut serta bersama kami...!"

"Apakah kalian penduduk 

Trengganu?" tanya si gadis dengan 

pandangan liar. Tetapi sejauh itu 

nampaknya Wimba dan murid-muridnya 

sedikitpun tidak menaruh rasa curiga 

pada Hning Ksaban.

"Kami memang penduduk sana, dan 

aku sendiri sebenarnya merupakan 

sesepuh Adipati Trengganu!" jawab 

Wimba sedikit bangga. Si gadis nampak 

terkejut, tetapi hatinya sangat

gembira. Nafsu dendampun mulai membara 

di dalam pembuluh darahnya.

"Oh, jadi engkau termasuk orang 

tua yang mempunyai pengaruh di daerah 

Trengganu...?"

"Bukan itu saja. Bahkan aku tahu 

sejarah yang terjadi di daerah yang 

subur makmur ini!"

Hning Ksaban tersenyum misterius 

sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sudah lamakah engkau tinggal di 

sana orang tua...?" pancing si gadis.

"Ho... ho... sejak kecil aku 

sudah ada di sana, ada apakah?" tanya 

Wimba lama-kelamaan menjadi curiga 

juga rupanya.

"Hemm... ingatkah engkau 

peristiwa sembilan belas tahun yang 

lalu?"

Ditanya seperti itu, Wimba nampak 

sangat terkejut sekali. Semua orang 

Trengganu sudah pasti tahu tentang 

kejadian yang menimpa keluarga Panji 

Paksi. Jangankan lagi dia yang memang 

pada saat itu ikut membakar rumah 

kediaman Adipati yang malang itu, lalu 

timbul pula pertanyaan dalam hati 

laki-laki ini. Siapakah. sesungguhnya 

gadis yang sedang berada di hadapan 

mereka itu? Hatinya mendadak menjadi 

gelisah tak menentu.

"Siapakah engkau ini yang 

sesungguhnya, bocah...?" tanya Wimba 

dengan harap-harap cemas.


"Hiii... hi... hi...! Jangan 

kira, cuma kalian sendiri yang punya 

hak untuk bercokol di Trengganu. 

Kalian memang manusia-manusia serakah 

berhati keji!" ucap si gadis tiba-

tiba. Hal itu membuat Wimba dan 

muridnya menjadi heran dan marah 

sekali.

"Guru, gadis sinting ini terlalu 

kurang ajar mulutnya. Ada baiknya 

kalau kutebas saja lehernya!" tukas 

Anom Kendor kini ikut-ikut menyela.

"Jangan banyak bacot. Orang tua 

cepat katakan apa yang pernah terjadi 

sembilan belas tahun yang lalu...!" 

perintah si gadis, nampaknya dia sudah 

tak sabar lagi. Wimba gelengkan kepala 

berulang-ulang. Agaknya dia sudah 

mulai dapat mengetahui siapa adanya 

gadis yang tengah dia hadapi itu. 

Tiba-tiba Wimba tertawa mengekeh.

"Hie... he., he...! Sekarang aku 

tahu, kiranya engkaulah anaknya 

Adipati yang malang itu. Hemm, pucuk 

dicinta ulam tiba! Kalau dulu 

seseorang masih dapat menyelamatkanmu, 

tetapi hari ini jangan sekali-kali 

engkau mimpi dapat lolos dari 

tanganku!" bentak laki-laki sesepuh 

Trengganu itu, lalu memberi isyarat


pada murid-muridnya. Mengetahui 

gelagat sebaliknya Hning Ksaban balas 

membentak.

"Diam di tempat! Selangkah saja 

kalian bergerak, jiwa kalian pasti 

tidak akan tertolong!"

"Hei... cepat kalian ringkus dia! 

Jangan hiraukan ocehannya." perintah 

Wimba nampak gusar begitu melihat 

murid-muridnya menjadi ragu-ragu 

sesaat setelah mendengar ancaman si 

gadis. Betapapun hati murid-murid 

Wimba itu menjadi ragu-ragu, tetapi 

mereka tak ingin mengabaikan perintah 

gurunya. Bagi mereka, perintah seorang 

guru adalah di atas segala-galanya, 

walaupun pada akhirnya dia harus 

berkorban nyawa sekalipun. Maka tanpa 

mombuang-buang waktu lagi, mereka itu 

langsung meloloskan senjata masing-

masing. Secepatnya mereka bermaksud 

mengurung si gadis berpakaian kuning 

gadis ini. Akan tetapi, sesuai dengan 

ancamannya. Lebih cepat lagi tangannya 

bergerak.

"Wuuuuuss!"

"Wua.. arggkh!"

Keempat murid-murid Wimba 

menjerit-jerit, begitu senjata-senjata 

rahasia yang disambitkan oleh si


gadis, menembus urat leher mereka. 

Beberapa saat setelahnya, wajah orang-

orang ini nampak menegang, pucat dan 

tiba-tiba membiru. Bukan alang 

kepalang kejut sang guru demi melihat 

keadaan murid-muridnya. Terlebih-lebih 

lagi ketika beberapa saat kemudian 

keempat orang muridnya roboh dan tewas 

secara mengenaskan. Marah bercampur 

penasaran berbaur menjadi satu, tanpa 

sadar kini Wimba telah mencabut 

pedangnya. Dengan pedang itu dia 

menuding pada Hning Ksaban.

"Perempuan iblis, begitu berani 

engkau membunuh murid-muridku. Tidak 

tahukah engkau, bahwa sesungguhnya 

kami ini merupakan keamanan 

kadipaten?"

Si gadis mengekeh!

"Sekalipun engkau pengawal dari 

kerajaan iblis. Tidak nantinya aku 

lari meninggalkan lawan-lawan yang 

telah membunuh orang tuaku." menyela 

Hning Ksaban.

"Bagus! Bagus! Hari ini juga akan 

ku-gusur keturunan si Panji Paksi dari 

kolong langit ini...!"

"Hi... hi., hi...! Majulah...!" 

Belum lagi Hning Ksaban dengan 

ucapannya, mendadak pedang hitam di


tangan sesepuh dari daerah Trengganu 

itu sudah menderu, berkelebat mencecar 

si gadis dengan serangan-serangan yang 

mematikan. Menghadapi serangan seperti 

itu, sudah barang tentu Hning Ksaban 

tidak tinggal diam, sekalipun dia tahu 

bahwa ilmu pedang yang dimiliki orang 

sesepuh Trengganu ini tak ada apa-

apanya. Kini tubuh si gadis berkelebat 

cepat. Hanya Hning Ksaban memang 

sengaja memberi kesempatan pada Wimba, 

untuk mengumbar nafsu amarahnya.

Kini keringat mulai membasahi 

tubuh si laki-laki, dia terus 

mengarahkan segenap kemampuannya. 

Tetapi sampai sejauh itu dia masih 

belum mampu mendesak lawannya. Hingga 

lama-kelamaan hatinyapun menjadi 

jengkel, timbul pula tekadnya untuk 

mengadu jiwa dengan si gadis. Maka 

kini tanpa sungkan-sungkan lagi Wimba 

segera mamainkan jurus pedangnya yang 

paling dia andalkan. Menebas Hutan 

Membongkar Gunung. Tak ayal gerakannya 

semakin lama semakin bertambah cepat, 

pedang di tangannya yang berwarna 

hitam menggiriskan menderu ke segala 

arah. Sese-kali pukulan-pukulan 

mautpun dia lepaskan. Sialnya pukulan-

pukulan itupun tak berarti banyak buat


Hning Ksaban. Karena dengan baik 

selalu saja gadis itu dapat 

menghindarinya. Geram bukan main hati 

si Wimba begitu melihat semua pukulan-

pukulan jarak jauhnya luput dari 

sasaran. Padahal di daerah Tenggara, 

belum pernah ada seorangpun dapat 

menghindar dari pukulan maut si Raja 

Gila hasil ciptaannya. Kalau kini 

bocah keturunan Panji Paksi yang masih 

bau kencur itu dengan baik dapat meng-

hindar dari semua serangan. Timbul 

dalam benaknya bahwa sesungguhnya 

gadis yang dia hadapi itu memiliki 

kepandaian yang sangat tinggi. Lalu, 

dengan di awali bentakan-bentakan 

melengking diapun kembali membangun 

serangan-serangan yang lebih gencar 

lagi. Tetapi pada saat itu agaknya 

Hning Ksaban alias si Tangan Setan 

nampaknya sudah tidak sabaran lagi. 

Gadis inipun melompat mundur, detik 

berikutnya tangan kanan terangkat 

tinggi-tinggi. Sedangkan tangan 

sebelah kirinya merapat ke depan dada, 

sementara mulutnya menyunggingkan 

senyum sinis. Wimba nampak te-belalak

matanya demi menyaksikan gerakan-

gerakan tangan kiri si gadis yang 

nampak mengelus-elus dadanya. Dia


benar-benar tak tahu kalau gerakan-

gerakan tangan kiri itu sesungguhnya 

hanyalah merupakan siasaat mengalihkan 

perhatian lawan. Hal itu sangat perlu 

karena keadaan yang sesungguhnya, dia 

sedang menyalurkan tenaga dalamnya 

pada bagian tangan kanannya yang sudah 

dia rasa sudah cukup, maka kini 

terlihatlah betapa tangan kanannya 

yang sudah teraliri tenaga dalam itu 

nampak menghitam sebatas pangkal 

lengan. Tanpa kata dengan diawali satu 

teriakan tinggi meleking, gadis itupun 

kirimkan satu pukulan mautnya. Wimba 

nampak terperanjat, tetapi satu 

rangkaian gelombang sinar hitam itu 

datangnya lebih cepat dari perhi-

tungannya. Begitupun dia masih 

berupaya untuk menghindar. Tetapi 

tetap saja! 

"Wusss!"

Tiada terdengar keluhan. Tubuh 

Wimba nampak terjengkang, lalu 

terguling-guling. Seluruh permukaan 

kulit tubuhnya berubah hitam dan 

melepuh di sana sini, pedang di 

tanganya mental entah ke mana. 

Begitupun dia masih berusaha bangkit 

dari tempatnya. Meskipun hal itu pada 

akhirnya mampu dia lakukan, tetapi


tubuhnya nampak gemetaran. Dini dengan 

mata melotot karena menahan sakit, dia 

memandang si gadis. Seolah-olah dia 

merasa tak percaya dengan apa yang 

dialaminya.

Hning Ksaban tertawa mengekeh, 

nampaknya dia begitu puas dengan apa 

yang telah di lakukannya pada sesepuh 

dari Trengganu itu. Begitu sinis dia 

berkata.

"Sesepuh Adipati sialan. Tidak 

sampai sepuluh menit di muka, engkau 

segera mampus! Engkau memang pantas 

mampus, begitupun halnya dengan Giris 

Rawa si bangsat Adipati yang telah 

membunuh kedua orang tuaku...!"

"A... apa... kah engkau yang 

berjuluk si Tangan Setan...?!" Tanya 

laki-laki yang sudah terkena pukulan 

beracun itu terbata-bata.

"Hii... hi., hi...! Karena engkau 

segera mampus, maka tak ada salahnya 

kalau engkau tahu, bahwa akulah si 

Tangan Setan itu...!" Begitu mendengar 

ucapan sigadis, sesepuh dari Trengganu 

berniat berniat menerjang kembali. 

Tetapi sebelum niatnya kesampaian, 

tubuhnya malah terjerembab ke depan.

"Bruugkh! Arrgggkh!"


Wimba menekan lehernya yang bagai 

di cekik tangan raksasa. Sesaat 

lamanya tubuhnya bergoyang-goyang, 

kemudian terdiam untuk selama-lamanya. 

Lagi-lagi sesungging senyum sinis 

mengembang di bibir Hning. Ksaban, 

kemudian dia memutar langkah dan 

bermaksud cepat-cepat meninggalkan 

tempat itu, ketika di belakangnya ter-

dengar langkah dan suara pelan namun 

menegur.

"Gadis yang berjuluk si Tangan 

Setan! Sampai kapankah engkau 

menyudahi petualanganmu. Ratusan jiwa 

telah melayang sebagai pelampiasan 

nafsu dendammu dan apakah engkau tetap

akan melakukan pembunuhan di mana-

mana?"

Tanpa merasa terkejut sedikitpun 

Hning Ksaban secara perlahan menoleh, 

tahulah dia dengan siapa berhadapan.

"Huh! Engkau Tabib Setan Gila. 

Jangan kau kira aku tak tahu, bahwa 

sejak tadi engkau mengintip di balik 

batu itu. Tapi bagus, kiranya engkau 

mematuhi semua perintahku...!" 

bentaknya begitu dingin.

"Dengan pergi dari pondokku, 

apakah engkau kira aku telah mematuhi


perintahmu yang mengancam itu...?" Si 

Tabib balik bertanya.

"Setidak-tidaknya begitulah kalau 

engkau memang ingin panjang umur!"

Tabib Setan Gila tertawa, begitu 

mendengar ancaman si gadis putri 

sahabatnya.

"Setan! Engkau telah 

mentertawaiku...! Apakah engkau ingin 

ku buat mampus seperti bangsat-bangsat 

itu...?" bentaknya sambil menunjuk 

pada mayat-mayat yang bergelimpangan 

di sekitar mereka.

"Kematian tetap kematian, tetapi 

jangan engkau kira semua itu bisa 

sekehendakmu. Ada yang lebih berhak 

atas semua itu...." ujar si Tabib 

nampak tenang-tenang saja.

"Sial! Engkau benar-benar ingin 

mampus, Tabib...!" Bersamaandengan 

kata-kata-nya, si gadis mengangkat 

tinggi-tinggi. Tetapi Tabib Setan Gila 

buru-buru menyela.

* * *


SEMBILAN


"Tunggu dulu bocah. Bagimu 

membunuhku adalah satu pekerjaan yang 

sangat mudah. Akupun tak akan 

menghindar, kalau memang kematianku 

engkau menjadi puas. Tubuhku yang 

kropok ini memang sudah tak ada 

gunanya. Tetapi kalau dengan 

kematianku engkau berjanji untuk 

mengakhir petualanganmu. Maka aku rela 

mati di tanganmu...!" ucap si Tabib 

penuh kesabaran.

"Tidak! Aku tak pernah berhenti 

sebelum bangsat-bangsat itu mampus di 

tanganku. Sesungguhnya aku tak butuh 

kematianmu, tabib. Engkau ingat-

ingalah itu!" sergah si gadis.

"Nduk! Sebagai seorang anak, 

engkau memang wajib berbakti pada 

orang tuamu. Tetapi pelampiasan dendam 

yang membabi buta itu juga tidak baik. 

Panji Paksi ayahmu juga pasti tidak 

rela melihat sepak terjang anaknya

yang begitu serampangan tak 

karuan...!" ujar si Tabib. Hning 

Ksaban nampak terdiam, kedua alis 

matanya terangkat ke atas. Dia merasa 

agak heran mengapa si Tabib bisa


mengenal nama ayahnya. Padahal 

seingatnya dia tak pernah bertemu de-

ngan Tabib itu. Dalam keheranannya itu 

diapun langsung bertanya.

"Tabib Setan Gila! Siapakah 

engkau ini yang sesungguhnya? 

Bagaimana engkau bisa tahu nama orang

tuaku. Cepat engkau katakan atau kalau 

engkau hanya bermaksud mengada-ada, 

kubunuh nanti...!" Bentaknya geram dan 

penasaran.

"Hning Ksaban... ketahuilah, aku 

mengenal ayah dan ibumu tak jauh 

bedanya seperti diriku sendiri. Bahkan 

ketika kami sama-sama masih seorang 

bocah, kami sudah saling kenal. Cuma 

kalau ayahmu pada waktu itu cenderung 

menyukai ilmu silat maka aku lebih 

suka belajar ilmu keTabiban. Setelah 

dewasa ayahmu berkeluarga, kemudian 

memutuskan untuk merant'au di tanah 

seberang ini. Maka akupun 

menyertainya, Hubungan ayahmu dengan 

aku bak ubahnya seperti saudara kembar 

saja layaknya. Cuma karena kami 

memiliki keahlian y'ahg berbeda. 

Setelah sampai di negeri ini, kiranya 

ayah dan ibumu lebih suka tinggal di 

Trengganu yang masih merupakan kota 

kecil kadipaten. Sedangkan aku lebih


suka tinggal di Lembah Tapis Angin 

yang sunyi. Aku hidup dari hasil 

bercocok tanam, sekali dua kami saling 

kunjung mengunjungi. Aku tiada 

menyangka kalau kiranya ayahmu pada 

akhirnya lebih suka berkecimpung dalam 

bidang pemerintahan, dan yang lebih 

tak kumengerti lagi kiranya diapun 

akhirnya tewas karena kekuasaan...!" 

ujar si Tabib dengan wajah tertunduk 

sedih.

Hning Ksaban terperangah, 

sedikitpun dia tiada pernah menyangka 

kalau orang selama ini dalam 

ancamannya ternyata masih merupakan 

sahabat baik orang tuanya. Betapapun 

dia sering berkata kasar pada Tabib 

dari Lembah Tapis Angin itu. Walaupun 

dia merupakan yang paling sadis dalam 

hal menyudahi petualangan lawan-lawan-

nya, Tak urung berhadapan dengan si 

Tabib, hatinya tersentuh juga. Tiba-

tiba si gadis menundukkan kepala, 

tanpa di sangka-sangka diapun menjura 

hormat. "Uwa Tabib, maafkanlah aku! 

Sedikitpun aku tiada pernah menyangka 

kalau Uwa masih merupakan sahabat 

ayah!" desah Hning Ksaban hampir tak 

terdengar. Begitu pun tiada air mata 

yang menetetas.


"Sudahlah, Nduk... semua ini 

bukan kesalahanmu! Akupun minta maaf, 

karena pada saat itu aku tak mampu 

berbuat banyak kala keluargamu 

mendapat musibah. Mungkin semua itu 

sudah kehendak Sang Dewata, nduk...!"

"Aku tahu, Uwa... dan sebagai 

anaknya! Sudah selayaknya kalau aku 

berbakti pada orang tuaku...!"

"Sepak terjangmu telah membuat 

dunia persilatan menjadi gempar. 

Apakah engkau akan meneruskan dendam 

yang sesungguhnya tidak baik itu, 

nduk...?" tanya Tabib Setan Gila was-

was.

"Itu harus, Uwa! Aku tak akan 

berhenti selama Giris Rawa masih 

bercokol di atas kekuasaannya." jawab 

Hning Ksaban mantap.

"Nduk! Apakah kematian sekian 

banyak orang di tanganmu tidak pernah 

membuatmu menjadi puas? Ingatlah di 

antara mereka yang engkau bunuh itu, 

aku merasa yakin sebagian besar di 

antaranya tidak tahu menahu tentang 

kejadian itu!"

"Siapapun adanya mereka itu, asal 

dari Trengganu, takkan pernah 

kubiarkan hidup...!" ucap si gadis 

geram sekali.


"Aku sedih mendengarnya, 

tetapi.mengapa harus begitu? Bukankah 

masih banyak jalan lain yang bisa 

engkau tempuh.,.?" Hning Ksaban 

tersenyum sinis! Kemudian dengan sedih 

dia berucap:

"Uwa tak tahu. Betapa kejadian 

itu sangat menyakitkan sekali, 

meskipun saat itu aku masih empat 

tahun. Tetapi masih segar dalam 

ingatanku, betapa ayah bertarung mati-

matian menghadapi keroyokan yang 

jumlahnya sangat banyak sekali. Aku 

masih dapat mengingat, betapa ibu 

merintih dan menjerit-jerit manakala 

si bangsat Giris Rawa dan beberapa 

orang kawannya mencabik-cabik pakaian 

ibu, lalu setelah itu... mereka.. 

bangsat terkutuk itu secara bergantian 

menindih tubuh ibu. Kemudian setelah 

dewasa seperti sekarang ini baru 

kuketahui bahwa mereka memperkosa 

ibuku. Aku melihatnya! Haruskah aku 

berdiam diri, Uwa...?" isak Hning 

Ksaban, dan untuk pertama kalinya si 

Tangan Setan ini menitikkan air 

matanya. Tiada kata yang terucap dari 

mulut si Tabib. Dia tahu bagaimana 

perasaan si gadis saat itu. Seandainya 

dia sendiri yang mengalami kejadian


itu, diapun tak tahu apa yang harus 

diperbuatnya terkecuali membalas 

dendam.

"Menyesal sakali, waktu itu aku 

tak sempat mengetahui kejadian yang 

sesungguhnya. Terkadang sebagai orang 

tua aku memang seringkali tak 

berguna...!" kata Tabib Setan Gila 

menyesali diri.

"Sudahlah, Uwa tak bersalah! 

Semuanya terjadi begitu cepat, yang 

penting Uwa tak perlu menghalangi 

setiap apa yang ingin ku katakan!"

"Adipati Giris Rawa bukan manusia 

sembarangan, nduk, di samping itu dia 

juga memiliki begundal pilihan. Aku 

selalu mengkhawatirkan 

keselamatanmu...!"

Mendengar kata-kat si Tabib, 

tiba-tiba Hning Ksaban tertawa 

mengekeh. Wajahnya yang tadinya 

menunduk sedih kini telah berubah 

kembali menjadi beringas, liar dan 

galak. Lalu dia berkata lantang!

"Hi... hi... hi! Selama lima 

belas tahun guruku Setan Tua Tangan 

Seribu telah mendidikku sedemikian 

rupa, terlatih pula untuk memburu 

lawan yang manapun. Tak seorangpun 

yang mampu melukaiku dengan


senjatanya. Giris Rawa dan orang-

orangnya itu akan kubunuh, Uwa...!" 

Berkata begitu, tubuh Hning Ksaban 

nampak berputar-putar. Semakin lama 

semakin kencang tak ubahnya bagai 

sebuah gasing. Berssamaan dengan itu 

bergemuruhlah angin kencang bak 

laksana suara ribuan lebah. Maka 

seiringan bagaikan kapas tubuh Hning 

Ksaban berkelebat lenyap meninggalkan 

Tabib Setan Gila yang termangu di 

tempatnya-Orang ini tampak gelengkan 

kepala begitu mengetahui kehebatan 

yang dimiliki oleh Hning Ksaban alias 

si Tangan Setan.

* * *

Rumah kediaman Adipati Giris Rawa 

malam itu dipenuhi oleh para pembantu 

pembantunya. Agaknya sebentar lagi 

akan segera di adakan pertemuan khusus 

dengan sang penguasa Trengganu itu. 

Suasana hening menyelimuti segenap 

ruangan. Tak se-rangpun di antara 

mereka yang berani buka suara. Wajah 

masing-masing nampak tertunduk dalam-

dalam. Tak berapa lama kemudian dari 

balik sebuah pintu besar yang berukir 

indah, muncullah sang Adipati Giris


Rawa. Laki-laki berbadan tinggi kurus 

namun berperut bagaikan gentong itu 

nampak melangkah dengan kewibawaan 

yang dibuat-buat. Beberapa saat 

setelahnya dia sudah duduk di 

singgasananya yang empuk penuh 

kemegahan. Laki-laki berkulit kuning 

pucat dengan sepasang matanya yang tak 

jauh bedanya dengan orang yang sedang 

mengantuk itu. Untuk beberapa saat 

lamanya nampak memandangi tujuh orang 

pembantu-pembantu utamanya. Di antara 

mereka terdapat pula Dingklang. Laki-

laki kumis ikan lele yang beberapa 

hari lalu sempat menjadi pecundang 

Tabib Setan Gila.

Setelah puas memandangi para 

pembantu-pembantunya, Giris Rawa 

menyenderkan kepalanya. Sejurus dia 

melirik kanan kiri memberi tanda 

gundik-gundiknya untuk meninggalkan 

tempat itu. Setelah perempu-an-

perempuan peliharaan itu semuanya 

telah berlalu dari ruangan pertemuan, 

sambil mengusap-usap perutnya yang 

gendut dan lucu diapun mulai membuka 

percakapan.

"Saudara-saudara sekalian, 

tahukah anda mengapa hari ini tidak 

seperti biasanya, saya mengundang


saudara untuk mengadakan pertemuan 

ini?" tanya Giris Rawa dengan 

pongahnya. Yang ditanya saling 

berbisik-bisik sesamanya. Lalu secara 

serentak mereka menjawab.

"Tidak tahu, ya Sang Adipati 

Junjungan...!" ucap mereka serentak 

sambil menundukkan kepala dalam-dalam. 

Bukan main berangnya sang Adipati 

angkuh itu dibuatnya demi mendengar 

para bawahannya. Wajahnya yang kuning 

pucat itu semakin bertambah pucat 

karena menahan marah.

"Guoblook semua kalian ini! Dua 

puluh lima sen setiap bulan yang 

kuberikan pada kalian itu, bukan hanya 

sekedar untuk mengatakan tidak tahu 

melulu, mengerti?" ulang sang Adipati. 

Lagi-lagi secara serentak:

"Mengerti Ketua...!"

"Mengerti apa...?!" bentak Giris 

Rawa, seraya mengelus-elus jenggotnya 

yang tidak lebih baik dari buntut 

kuda.

"Maksud ketua, dua puluh lima sen 

itu bukan gaji buta pemberian nenek 

moyangmu, Yang Mulia...!"

"Wei... bangsat betul kalian. 

Berani kali kalian menyebut-nyebut 

nenek moyangku yang sudah mampus.


Apakah ingin kugantung...?" Maki sang 

Adipati kesal sekali. Pucat wajah 

mereka demi mendengar ancaman Sang 

Junjungan, lalu cepat-cepat mereka 

meralat ucapannya.

"Ketua maafkan kami! Kami tak 

bermaksud menyebut-nyebut orang yang 

sudah tiada. Maksud kami, gaji bulanan 

itu bukanlah merupakan pemberian yang 

cuma-cuma. Semua itu dibayar, sebagai 

imbalan atas tugas-tugas yang telah 

kami selesaikan selama ini!" ralat si 

Dingklang mewakili kawan-kawannya yang 

lain. Giris Rawa angguk-anggukkan 

kepalanya sebagai tanda puas!

"Bagus, di antara sekian banyak. 

Engkau memang salah seorang anak buah 

yang memiliki kecerdasan lebih. Engkau 

memang pantas mendapat penghargaan 

tertinggi dariku...!" ucap sang 

Adipati. Bukan alang kepalang 

girangnya hati si Dingklang mendengar 

keputusan sang Adipati. Tetapi begitu 

Giris Rawa melanjutkan ucapannya, 

wajah si Dingklang menjadi lesu 

kembali.

"Tetapi penghargaan, itu nanti 

Dingklang! Setelah semua urusan yang 

akanu kita bicarakan ini dapat


diselesaikan dengan baik, dalam arti

pelaksanaannya...!"

"Tidak ada, Yang Mulia!" kata si 

Dingklang berusaha menyembunyikan 

perasaan.

"Bagus! Bagus! Aku sangat suka 

pada orang yang punya pengertian 

sepertimu." kata Giris Rawa Jumawa.

"Yang mulia Adipati, lebih dari 

sekedar pujian. Kami yakin masih ada 

hal lain yang akan Adipati bicarakan 

dengan kami. Kami sudah siap untuk 

mendengarkannya. Sudilah Adipati 

memulainya...!" usul salah seorang di 

antara mereka yang bernama Banu 

Keling, nampaknya dari sekian banyak 

pembantu-pembantu Adipati, laki-laki 

dari Bukit Monyet selalu menunjukkan 

sikap ketidaksenangannya pada sang 

Adipati yang selalu membuat mual 

perutnya.

"Usul yang bagus saudara Banu 

keling. Saya memang segera akan 

membuka pertemuan ini." menyela si 

Adipati. Beberapa saat setelahnya, 

keadaan di dalam ruangan itu hening 

kembali. Sesekali daja terdengar desah 

nafas sang pimpinan. Agaknya dia 

sedang memikirkan sesuatu yang akan 

dikatakannya pada para pembantu.


"Begini!" Giris Rawa membuka 

percakapan kembali. Seperti yang 

saudara-saudara ketahui, sudah 

berjalan hampir setahun, wilayah 

kekuasaanku ini menjadi gempar dengan 

adanya aksi si Tangan Setan. Korban 

sudah begitu banyak. Bahkan belakangan 

diketahui, paman Wimba yang merupakan 

sesepuh kadipaten dan juga beberapa 

orang muridnya tewas secara mengerikan 

di tangan iblis itu. Aku ingin saudara 

ikut mencari jalan keluarnya untuk 

dapat menyeret si Tangan Setan yang 

telah menginjak-injak 

kewibawaanku...!"

"Ampun Adipati...!" Banu Keling 

menjura dalam-dalam. Sepintas sang 

Adipati menoleh ke arah Banu Keling.

"Ya, kalau ada usul! Jangan 

segan-segan untuk mengatakannya 

Saudara Banu Keling...!"

"Begini ketua! Seperti kita sudah 

ketahui, saudara Wimba sesungguhnya 

bukanlah orang yang bisa dianggap 

sepele dalam hal ilmu kepandaian silat 

dan permainan pedang hitamnya. Bahkan 

diapun seorang guru dari puluhan orang 

murid! Kalau saudara Wimba dan 

beberapa orang muridnya saja, yang 

bisa dikatakan memiliki kepandaian


tinggi, dapat dikalahkan oleh si Ta-

ngan Setan bahkan sampai tewas di 

tangannya. Maka aku yang bodoh ini 

dapat menduga bahwa orang itu 

berkepandaian sangat tinggi...!" Sang 

Adipati angguk-anggukkan kepala, lalu 

diapun menambahi!

"Engkau benar, saudara Banu 

Keling! Siapapun si Tangan Setan. 

Sudah pasti memiliki kepandaian yang 

sangat tinggi, di samping memiliki 

pukulan beracun yang sampai saat ini 

tiada obatnya...!"

"Benar yang mulia. Bahkan Tabib 

Setan Gila sendiri ketika bertemu 

denganku mengakui kalau dirinya tak 

sanggup memberikan kesembuhan!" sela 

si Dingklang malu-malu.

* * *


SEPULUH


"Tetapi engkau katakan padaku, 

bahwa engkau sempat bentrok dengan 

Tabib itu saudara Dingklang...!" tegur 

si Adipati dengan pandangan 

menyelidik.

"Benar! Hal itu terjadi karena 

Tabib Gila itu mengatakan tak sanggup 

untuk mengobati kawan-kawan yang 

terkena pukulan beracun si Tangan 

Setan...!" kilah si Dingklang. Giris 

Rawa sempat tercengang demi mendengar 

pengakuan pembantunya itu. Lalu timbul 

dalam fikirannya, kalau memang benar 

bawahannya itu sempat bentrok dengan 

si Tangan Setan. Itu berarti si Ding-

klang mengenali siapa adanya si Tangan 

Setan itu.

"Dingklang, kelau memang benar 

ucapanmu itu. Sudah barang tentu 

engkau mengenali bagaimana tampangnya 

si Tangan Setan itu...?"

"Ee... sulit... untuk 

mengatakannya, ketua! Sebab orang itu 

mengenakan topeng, tetapi kalau 

menitik suaranya, aku yakin si Tangan 

Setan nampaknya seorang perempuan 

belaka...


"Perempuan...!" gumam Giris Rawa 

tanpa sadar. Seingatnya dia tak pernah 

punya musuh seorang wanita. Kalau pun 

ada, mereka itu tak ada yang berumur 

panjang! Menurut pendapatnya si Tangan 

Setan tak mungkin menyebar teror 

secara mengerikan seperti itu, kalau 

tak punya alasan tertentu. Tiba-tiba 

dengan sangat penasaran sekali dia 

kembali bertanya.

"Tahukah engkau, bagaimana kira-

kira rupa di balik topeng itu...!"

"Tidak ketua... tetapi menurut 

keyakinanku, kemungkinan besar wajah 

di balik topeng itu masih sangat 

muda...!" jawab si Dingklang tanpa 

ragu-ragu.

"Dingklang, jangan engkau 

mengada-ada. Menurutku tak mungkin 

seorang wanita yang masih sedemikian 

muda telah begitu berani membuat 

urusan yang besar di kadipaten

Trengganu ini, lagipula apa masuk akal 

kalau bocah sedemikian bau kencur 

sudah mampu menguasai pukulan-pukulan 

maut yang sudah sedemikian sempurna?" 

menyela Banu Keling merasa kurang 

sependapat dengan apa yang dikatakan 

oleh Dingklang. Lain halnya dengan 

Banu Keling, lain pula dengan Giris


Rawa, Saat Itu dia mulai sudah dapat 

menduga-duga, siapa adanya perempuan 

yang berjuluk si Tangan Setan itu. Dia 

masih ingat betapa waktu itu Panji 

Paksi, Adipati yang malang itu 

mempunyai seorang anak perempuan yang 

tidak keburu mereka binasakan karena 

ada seseorang berkerudung yang 

menyelamatkannya. Kejadian itu kini 

sudah hampir delapan belas tahun yang 

lalu. Sangat masuk akal kalau bocah 

itu kini sudah berangkat dewasa, dan 

mungkin saja dialah yang berjuluk Si 

Tangan Setan itu. Dengan senyum penuh 

kelicikan, wajahnya yang kuning pucat 

itu kini nampak berobah sedikit cerah. 

Kemudian begitu pongahnya dia 

memandang pada para bawahannya.

"Saudara Banu Keling! Mungkin apa 

yang dikatakan oleh adi Dingklang 

sudah mulai mendekati kebenaran...!" 

ucapnya dengan sesungging senyum 

memualkan.

"Apa maksudmu, Ketua...!" tanya 

yang lainnya.

"Masih ingatkah kalian dengan 

peristiwa besar delapan belas tahun 

yang lalu!" Giris Rawa balik bertanya. 

Yang ditanya masing-masing kerutkan


kening. Sama-sama mencoba mengingat-

ingat. Begitu mereka mengerti!

"Maksud Yang Mulia Adipati, 

mengenai keluarga Panji Paksi...!"

"Benar! Bagus kalau kalian masih 

mengingatnya. Seperti kita ketahui

bukankah kala itu Panji Paksi punya 

seorang anak perempuan yang sempat 

diselamatkan oleh orang berkerudung?" 

Ujar si Adipati.

"Apa hubungannya antara anak si 

bangsat Panji Paksi dengan si Tangan 

Setan, Ketua...!" tanya mereka hampir 

bersamaan. Sudah barang tentu 

pertanyaan mereka ini membuat jengkel 

sang Adipati.

"Kalian ini goblok semua. Otak 

kalian malah tidak lebih baik dari 

otak keledai dungu. Hubungannya ya 

sudah jelas ada! Bocah cilik itu sudah 

barang tentu kalau masih hidup 

sekarang ini sudah dewasa. Bukan tak 

mungkin si manusia berkerudung itu 

telah mengajarkan ilmu sakti 

kepadanya!"

"Hmm. Benar juga... kalau begitu 

yang menjadi sasaran utama dalam 

terornya sudah jelas engkau yang mulai 

Adipati...!" kata Banu Keling.


"Tolol!. Bukan aku sendiri,

tetapi kita semua yang ada di 

kadipaten ini...!" ucapnya marah 

sekali.

; "Benar. Mengapa dulu kita tidak 

membunuhnya sekalian, bikin penyakit 

saja...!" menyela si Dingklang.

"Sudah... semuanya sudah telat... 

sudah terlambat! Tak perlu kita 

mencari kambing hitam. Yang perlu kita 

fikirkan adalah bagaimana caranya 

meringkus bocah itu secepatnya...!" 

bentak Giris Rawa, lalu ia gebraknya 

meja berukir indah yang berada di 

hadapannya. Hingga meja itupun hancur 

berkeping-keping. Pucat wajah orang-

orang di sekelilingnya demi melihat 

kemarahan sang junjungan, wajah mereka 

nampak tertunduk dalam-dalam. Sepasang 

mata Giris Rawa yang buas dan keji itu 

untuk beberapa saat lamanya menyapu 

pandang pada para bawahannya, setelah 

itu akhirnya diapun berkata tegas.

"Dalam keadaan segawat sekarang 

itu, aku tak pernah meminta pada 

kalian untuk saling berbantahan, 

kalian kuundang kemari adalah untuk 

membicarakan bagaimana akal kita 

menghadapi sepak terjang bocah itu 

yang sudah melebihi takaran. Bocah itu


sangat berbahaya, bahkan bisa 

menghancurkan kita dalam waktu cepat 

atau lambat kalau kita tak memasang 

perangkap untuk menangkapnya. Jangan 

kalian-fikir kita dapat dengan mudah 

meringkusnya, kalau kita tidak 

mempergunakan akal lama...!" Lagi-lagi 

Adipati Trengganu mendengus.

"Maksud yang mulia kita biarkan 

si Tangan Setan datang sendiri ke 

mari...!".:

"Tak salah...!" ujar Giris Rawa 

dengan sesungging senyum penuh 

kelicikan. Semua orang yang hadir di 

situ nampak terdiam begitu mendengar 

keputusan sang Adipati. Sebagian di 

antara mereka ada yang setuju dengan 

siasat yang sesungguhnya hanya dapat 

dilakukan oleh orang-orang pengecut, 

sedangkan sebagian yang lain nampaknya 

menjadi ragu-ragu. Walaupun mereka ini 

memang tak berani secara terang-

terangan mengatakan apa yang 

terkandung dalam hati masing-masing.

"Bagaimana apakah kalian merasa 

setuju dengan usulku itu...?" tanya 

sang Adipati.

"Setuju sih setuju Adipati... 

tetapi yang jadi persoalannya sekarang


ini adalah, apakah si Tangan Setan mau 

datang ke mari atau tidak!"

"Weii... mahluk apakah engkau 

ini, kok tolol banget.. Si Tangan 

Setan mengincar kita, sudah pasti dia 

cepat atau lambat datang ke mari...!"

"Betul juga... kalau begitu akur 

saja dah..,!". menyahut Banu Keling 

dan lain-lainnya secara serentak.

Dalam pada itu salah seorang di 

antara mereka di pintu utama datang 

dengan tergopoh-gopoh memberi laporan. 

Wajah pengawal itu nampak sangat pucat 

sekali. Sesampainya di depan Adipati 

pengawal pintu utama itu langsung 

berlutut dan menjatuhkan diri.

"Celaka Yang Mulia, lapor Yang 

Terhormat... eeh.. maksud...!" ucapnya 

tersendat dan terbata-bata.

"Bajul Buntung... mau ngomong 

saja pakek au.. au.. au... siapa yang 

mengajarimu menjadi gugup seperti itu? 

Coba bicara baik-baik...!" bentak sang 

Adipati nampak sangat marah sekali.

"Ba... baik... yang mulia! Begini 

ada seorang pengacau di luar sana...!" 

kata si pengawal memberi laporan.

"Pengacau! Apakah kalian tidak 

mampu membereskan bangsat itu?.Ke mana 

kawan-kawanmu yang lain. Apakah mereka


tidur saja kerjanya...?" gerutu sang 

Adipati dengan mata memerah.

"Kami sudah mengadakan 

perlawanan, yang mulia! Tetapi malah 

kawan-kawan kami semuanya tewas...!" 

jawabnya dengan tubuh gemetaran.

"Tewaas...?" Giris Rawa sampai 

terlonjak dari tempat duduknya demi 

mendengar laporan pengawalnya. Tiga 

puluh orang penjaga bukanlah sedikit. 

Mereka juga telah dilatih dengan 

berbagai ilmu kanuragan oleh Wimba. 

Bagaimana bisa terjadi pengawal yang 

begitu banyak jumlahnya bisa 

dirobohkan oleh pengacau. Beberapa 

saat kemudian dia kembali berpaling 

pada pengawalnya.

"Pengawal linglung! Berapa 

banyakkah para pengacau itu...?" tanya 

sang Adipati.

"Tidak banyak, Yang Mulia hanya 

satu orang...!"

"Tolol... sinting... guoblok... 

semua! Begitu banyak orang diluaran 

sana, cuma menangkap satu orang saja 

nggak becus. Malah pada mati lagi...!"

"Orang itu memiliki pukulan 

beracun dan berkepandaian silat sangat 

tinggi, Yang Mulia...!" kata si 

pengawal memberi penjelasan. Kejut di


hati Giris Rawa bukan alang kepalang. 

Lalu timbul pula dugaannya bahwa orang 

itulah yang sesungguhnya sedang mereka 

bicarakan saat itu.

"Kalian semua!" ucap sang Adipati 

memandang ke segenap ruangan! Kemudian 

lanjutnya: "Di Trengganu ini tak 

seorangpun yang memiliki kepandaian 

melebihi kakang Wimba dan memiliki 

pukulan beracun pula. Aku merasa 

yakin, agaknya inilah manusianya si 

Tangan Setan yang kita sedang tunggu-

tunggu itu. Aku ingin agar kalian 

mempersiapkan diri sebaik-baiknya. 

Ringkus manusia biang malapetaka itu 

hidup atau mati." perintah Giris Rawa.

Akhirnya tanpa membuang-buang 

waktu lagi, Sang Adipati dan orang-

orangnya nampak berserabutan ke luar 

dari rumah Adipati. Sampainya di 

halaman yang begitu luas, persis 

seperti apa yang dilaporkan oleh 

penjaga pintu. Terlihatlah pemandangan 

yang benar-benar menggiriskan. Mayat-

mayat pengawal kadipaten yang 

jumlahnya lebih dari tiga puluh orang 

itu nampak bergelimpangan di berbagai 

tempat. Mereka semuanya tewas dengan 

wajah menghitam dan biru akibat 

terkena pukulan Raja Cobra. Semua mata


menyaksikan pemandangan itu nampak 

bergidik. Ngeri dan cemas berbaur 

menjadi satu. Merah paras sang Adipati 

demi melihat seluruh pengawalnya 

terbantai habis. Tubuhnya yang kurus 

nampak bergemetaran, kedua bibirnya 

yang menghintam itu nampak terkatup 

rapat. Saat itu bulan sabit ketujuh 

masih berselimut kabut, sang Adipati 

dan lain-lainnya nampak mengitarkan 

pandangan kesegenap malam. Suasana 

terasa sepi mencekam. Dalam 

kemarahannya yang meluap-luap itu. 

Tiba-tiba Giris Rawa berteriak 

lantang:

"Setaaaaan...! Manusia yang 

mengaku dirinya si Tangan Setan! 

Jangan hanya ngumpet di gelapannya 

malam. Keluarlah... pengawal-pengawal 

itu bukan :apa-apamu! Aku Adipati 

Trengganu merupakan lawan, 

keluaarrr...!" perintah sang Adipati 

memberi tantangan. Namun, sejauh itu 

tiada sai-hutan apapun, suara Adipati 

yang sedemikian lantangnya menggema di 

keheningan malam yang sepi.

"Agaknya orang itu telah pergi 

dari tempat ini, Adipati...!" menyela 

Banu Keling. Tanpa berpaling dari 

posisinya, Giris Rawa berkata gusar:


"Huh! Aku tak percaya, dia pasti 

masih berada di sekitar tempat 

ini...!" bantah sang Adipati.

"Manusia keparat si Tangan Setan! 

Keluarlah dari tempat persembunyianmu" 

Si Dingklang ikut-ikutan pula 

berteriak.

"Kuatan dikit! Mungkin si Tangan 

Setan jenis manusia tuli...!"sergah 

salah seorang di antaranya.

"Bajul Buntung! Tadi juga sudah 

kuatan, mungkin kupingmu saja yang 

budek...!" kata si Dingklang pada si 

botak yang berdiri di sisinya.

"Sial betul kalian ini. Mengapa 

saling berbantahan... ayo cepat cari 

di sekitar tempat ini!" bentak Giris 

Rawa nampak sangat marah sekali.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja 

terdengar suara tawa mengekeh. Lalu 

melesatlah sesosok bayangan dari atas 

wuwungan rumah, begitu cepat bayangan 

itu berkelebat hingga tahu-tahu dia 

sudah menginjakkan kakinya tidak 

begitu jauh dari tempat Adipati dan 

orang-orangnya berdiri. Serentak 

perhatian mereka tertuju pada si 

manusia yang mengenakan topeng biru. 

Beberapa saat kemudian tanpa diberi 

komando, orang-orang Giris Rawa itupun


langsung mengepugn si Tangan Setan. 

Mengetahui gelagat, si Tangan Setan 

malah tertawa ngikik.

"Hi... hi... hi...! Manusia-

manusia serakah, hari ini akan kuhapus 

nama kebesaranmu dari kolong langit 

ini...!" teriak si Tangan Setan geram 

sekali. Berkali-kali Giris Rawa 

meludah ke tanah demi mendengar ucapan 

si orang bertopeng itu. Lalu tak kalah 

gusarnya diapun menyela:

"Ho... ho... ho...! Budak setan, 

sekalipun seratus lapis engkau kenakan 

topeng itu jangan kau kira aku tak 

dapat mengenalimu Ayahmu Panji Paksi 

telah mampus di tangan kami. Kupikir 

sebentar lagi engkaupun akan mengalami 

nasib yang sama pula, atau mungkin 

lebih mengerikan dari sekedar apa yang 

di alami oleh orang tuamu...!" 

"Bagus kalau engkau mengenaliku! 

Tahukah kau sudah berapa banyak dosa 

yang engkau tumpuk...!" tukas si 

Tangan Setan mencemooh.

"Tolol sekali engkau ini!

Pembunuhan yang engkau lakukan semena-

meha saja sudah menutup jalan bagimu 

untuk bertobat. Masikah engkau 

menghitung-hitung kesalahanku yang 

sesungguhnya teramat kecil...!"



"Keparaat! Hieeeh...!"

"Arrghk!" Sekali lagi tangan si 

gadis ber-kelebat, dua orang 

bawahannya terpelanting roboh. Tewas 

secara mengerikan seketika itu juga, 

mendidihlah darah sang Adipati 

dibuatnya.

* * *

SEBELAS



"Jahanam terkutuk! Engkau telah 

membunuh. orang-orang kepercayaanku. 

Ingat dan jangan harap aku mau 

mengampunimu .!" maki sang Adipati, 

dan saat itu juga dia sudah mencabut 

senjatanya yang berupa sebuah keris 

lekuk tujuh bergerigi.

"Akupun tak perlu merengek minta 

ampun padamu, bangsat Giris Rawa...!"

"Sialan...!"

Adipati Giris Rawa sudah 

bermaksud ke arah si Tangan Setan, 

tetapi Banu Keling mencegah!

"Ketua biarkan kami yang 

meringkus bocah setan ini...!" 

Serentak dengan ucapannnya, Banu


Keling, si Dingklang dan dua orang 

lainnya segera mengepung si Tangan. 

Setan. Gadis bertopeng itu kembali 

tergelak-gelak. Begitu cepat tubuhnya 

berkelebat sambil keluarkan seruan.

"Hari ini Adipati sialan dan para 

begundal-gundalnya benar-benar segera 

kukirim ke liang kubur...!"

"Tutup bacotmu betina setan! 

Sheaaa...!" Banu Keling kirimkan satu 

babatan satu bacokan mengarah pada 

bagian kepala dan pinggang. Pada saat 

yang sama menderu pula satu serangan 

dari arah samping kiri yang 

dilancarkan oleh si Dingklang. Si Ta-

ngan Setan keluarkan tawa mengekeh, 

tubuhnya sedikit condong ke samping 

kanan, lalu tanpa terduga-duga 

bagaikan seekor jangkrik tubuh itu 

melentik ke udara.

"Wuaa...!"

"Semprul sialan! Hampir saja kita 

saling bacok-bacokkan Banu keling...!" 

gerutu si Dingklang saat mana senjata 

mereka hampir saja bertemu satu sama 

lain. Masih untung meskipun suasana 

gelap remang-re-mang mereka nampak 

sangat hati-hati dalam melakukan 

penyerangan. Andai tidak, sudah barang


tentu mereka secara tak sengaja sudah 

saling bunuh.

"Bet! Bet!"

Banu Keling lagi-lagi membuka 

serangan, kali ini sambil menyerang 

dia kirimkan satu pukulan maut yang 

diberi nama, Ular Gunung mencatok 

Tikus, Begitu tangan kanannya membabat 

ke arah depan, tengan kiri terentang 

ke atas, kemudian berkiblat.

Tak ayal satu sapuan gelombang 

angin yang teramat kencang segera 

menerjang ke arah si Tangan Setan. 

Jubah Kuning yang dikenakan oleh si 

Tangan Setan sampai berkibar-kibar di 

landa angin pukulan yang dilepaskan 

oleh Banu Keling. Pembantu Adipati 

itu berharap satu pukulan yang 

dilepaskan itu telah mampu merobohkan 

si Tangan Setan atau setidak-tidaknya 

membuat dia kelabakan. Akan tetapi tak 

disangka-sangka si Tangan Setan 

sebaliknya malah mendengus dan 

keluarkan ucapan yang membuat orang-

orang Adipati semakin gusar.

"Puih! Pukulan mainan bocah 

begini mana ada apa-apanya. Nih 

kukembalikan. Bersamaan dengan 

ucapannya. Si Tangan Setan lambaikan 

tangan kirinya. Praktis pukulan yang


dilepaskan oleh Banu Keling bukan saja 

tak pernah mencapai sasarannya, lebih 

dari itu. Pukulan itu kini malah 

berbalik menyerang pemiliknya dengan 

kekuatan yang berlipat ganda. 

Seandainya Banu Keling tidak cepat-

cepat menghindar dengan cara 

berjumpalitan. Sudah dapat dipastikan 

dia akan binasa oleh pukulannya 

sendiri, Sumpah serapah berhamburan 

dari mulut laki-laki itu, ketika 

pukulan Ular Gunung Mencatok Tikus 

masih saja. menyerempet bagian tumit

kakinya. Serentak dengan bersurutnya 

Banu Keling, maka si Dingklang dan dua 

orang lain nampak bergerak maju.

Dengan senjata sebilah pedang 

tipis di tangan masing-masing. Ketiga 

orang ini menggempur si Tangan Setan 

dari berbagai arah. Akan tetapi 

nampaknya si Tangan Setan sudah tak 

ingin mengulur-ulur waktu lagi. 

Secepatnya serangan-serangan itu da-

tang menggempurnya silih berganti, 

maka lebih cepat lagi tubuhnya 

berkelebat, hingga manakala dari si 

Dingklang dan dua orang lainnya 

menderu ke arahnya, tanpa sungkan-

sungkan kedua tangannya yang telah


teraliri tenaga dalam itupun secara 

tepat memapaki.

"Crak! Crak! Crak!"

"Buk!"

Bagai membentur batu karang saja 

layaknya, ketika pedang di tangan 

ketiga orang itu mencapai sasarannya. 

Kejut di hati mereka bukan alang 

kepalang, mereka tak pernah menyangka 

kalau si Tangan Setan memiliki 

kekebalan tubuh yang sangat luar 

biasa. Begitupun halnya dengan Adipati 

Giris Rawa yang saat itu nampak 

menyaksikan jalannya pertarungan anak 

buahnya dari tempat yang tidak begitu 

jauh dari halaman rumah Kadipaten itu.

Sementara itu si Dingklang dan 

dua orang lainnya begitu mengetahui 

lawannya , kebal terhadap senjata, 

mereka bermaksud untuk mencari titik 

kelemahan lainnya. Tetapi begitu dia 

berusaha menarik senjata yang menempel 

di jemari tangan si gadis bertopeng. 

Ketiga orang ini dibuat lebih terkejut 

lagi. Karena ternyata mata pedang di 

tangan mereka telah menempel begitu 

lekat di antara celah-celah jemari 

lawannya. Pada saat itu pulalah si 

Tangan Setan kirimkan tiga pukulan 

kilat secara bertubi-tubi.


"Buk! Buk! Buk!"

"Wuaea...!"

Bagai ranting kering ditiup topan 

ketika orang itupun tanpa ampun lagi 

terlempar sedemian menyedihkan. Tiga 

jeritan maut terdengar saling susul 

menyusul. Seandainya kejadian singkat 

itu berlangsung siang hari, sudah 

tentu Banu Keling dan Adipati Giris 

Rawa, akan menjadi jerih begitu me-

lihat tubuh orang-orangnya yang 

terkena pukulan beracun, nampak 

melempuh dan berubah menghitam 

seketika itu juga. Kini tinggallah 

pentolan-pentolan Kadipaten nampak 

memandangi mayat-mayat para 

pembantunya yang tewas secara 

menyedihkan. Sungguhpun hati Banu 

Keling dan Giris Rawa dibakar 

kemarahan yang meluap-luap, tetapi 

kini agaknya mereka mulai menyadari 

bahwa caci maki sudah tiada gunanya. 

Dan sejauh itu dia sudah dapat menduga 

seberapa hebat kekuatan dan 

kedahsyatan. yang dimiliki oleh si 

Tangan Setan. Maka. kini tanpa banyak 

kata lagi, Giris Rawa kembali mencabut 

keris lekuk tujuh bergerigi miliknya. 

Begitupun Banu keling, laki-laki 

berkulit arang inipun tak tinggal


diam. Segera pula di lolosnya sebuah 

bola baja berduri yang selama ini 

nampak melilit di pinggangnya.

Beberapa saat kemudian bagai 

saling berlomba, dua orang pentolan 

Kadipaten Trengganu itupun dengan 

senjata-senjata aneh namun 

menyeramkan. Segera kirimkan serangan-

serangan ganas. Dengan senjata di 

tangan mereka, setiap tusukan maupun 

babatan selalu saja menimbulkan deru 

angin yang menggiriskan. Agaknya 

senjata-senjata milik pentolan-

pentolan Kadipaten itu juga mengandung 

racun yang ganas. Ini terbukti si 

Tangan Setan yang memiliki kekebalan 

terhadap segala macam racun saja 

nampak bertindak sangat hati-hati. Hal 

ini ternyata memang membuka kesempatan 

yang cukup besar bagi Banu Keling dan 

Giris Rawa untuk mendesak lawannya 

dengan sangat leluasa sekali. 

Gebrakan-gebrakan berikut ternyata 

memang si Tangan Setan nampak mulai 

terdesak, gempuran-gempuran yang 

dilakukan dari dua arah oleh lawan-

lawannya secara sambung-menyambung 

itu. Membuat si Tangan Setan tak mampu 

mengembangkan jurus-jurus silat yang 

di milikinya. Akibatnya sambil terus


bertahan dia hanya mampu mengelak dan 

menangkis. Bukan main kesalnya hati si 

Tangan Setan, demi mangetahui betapa 

hebat gabungari jurus-jurus silat 

yang dimainkan oleh lawan-lawannya. 

Lebih dari itu yang patut di akui oleh 

si Tangan Setan adalah cara kerjasama 

di antara kedua orang itu yang 

sedemikian baiknya, sehingga meskipun 

permainan ilmu silat mereka bukan 

berasal dari satu sumber tetapi 

menunjukkan kekompakkan yang sangat 

serasi.

Dalam pada itu, Giris Rawa dan 

Banu Keling kelihatan terus mendesak 

lawannya sampai ke tembok pagar, 

beberapa kali senjata di tangan Giris 

Rawa yang berupa keris bergerigi 

berhasil merobek beberapa bagian dari 

pakaian lawannya. Giris Rawa yang saat 

itu merasa berada di atas angin, nam-

pak terkekeh-kekeh. Begitu melihat 

bagian-bagian tertentu dari tubuh si 

Tangan Setan. Yang seperti sama-sama 

diketahui sesungguhnya merupakan 

seorang wanita. Beberapa saat kemudian 

Banu Keling yang sudah semakin kalap 

dan tak sabaran ini nampak berteriak 

keras, bersamaan dengan jeritannya itu 

pula, tubuhnya berkelebat lebih cepat.



Bola baja berduri yang berada dalam 

genggamannya diputar sedemikian 

cepatnya, hingga menimbulkan bunyi 

mendengung menyakitkan gendang 

telinga. Satu kesempatan, Banu Keling 

tampak memberi isyarat pada Giris 

Rawa. Mengetahui gelagat, Adipati 

bangsat itu cepat-cepat menyurut 

beberapa langkah! Pada saat itu pula 

Banu Keling yang sudah merencanakan 

segala sesuatunya segera mengayunkan 

rantai bola baja di tangannya. 

"Nguuuuung!"

Laksana suara ribuan lebah, bola 

baja berduri itu mendengung. 

Sesungging seringai maut membias di 

bibir Banu Keling. Saat senjata di 

tangannya bergerak sedemikian cepat 

pada bagian kepala si Tangan Setan.

Si Tangan Setan nampak terkesima 

begitu mengetahui datangnya serangan 

yang begitu cepat dan tiba-tiba ini. 

Sekejap dia menjadi gugup! Tetapi 

bukan si Tangan Setan namanya kalau 

dalam menghadapi serangan yang 

demikian saja dia sudah kelabakan. 

Demikianlah ketika bola berduri itu 

dua jengkal hampir menghancurkan 

kepalanya. Di saat Banu Keling dan 

Giris Rawa menyangka bahwa kali itu si


Tangan Setan sudah tak dapat 

menghindar dari kematian. Secara 

mendadak dan tiada disangka-sangka 

oleh pentolan-pentolan Kadipaten 

Trengganu, tubuh si Tangan Setan 

nampak kembali menelentik ke udara.

"Haiiiit”

Bola baja yang seharusnya 

menghantam kepala si Tangan Setan, 

sebaliknya terus meluncur mencapai 

sasaran yang kosong.

"Craak! Bluuum"

Luncuran yang sudah sangat sulit

pada akhirnya menghantam tembok 

dinding sehingga mengakibatkan tembok 

itu menjadi porak poranda.

Agaknya serangan yang gagal 

mencapai sasarannya itu telah membuat 

Banu Keling menjadi sangat penasaran 

sekali. Dengan melarang Giris Rawa 

terlebih dahalu, pada akhirnya dia 

maju seorang diri. Sebelum mulai 

gebrakan berikutnya diapun berteriak 

lantang.

"Tangan Setan! Karena hari ini 

aku tak mampu mengembalikanmu ke 

neraka. Maka lebih baik berhenti jadi 

manusia....!"

"Bagus! Kalau engkau berhenti 

jadi gembongnya manusia sesat, aku


sarankan engkau jadi Raja Cacing Tanah 

saja...!"

"Hait...mampuslah engkau bocah 

sombong...!" teriak Banu Keling. 

Rantai Bola Baja di tangannya kembali 

menderu, semakin lama nampak bergerak 

semakin cepat, hingga pada akhirnya 

hanya tinggal merupakan bayang-bayang 

saja. Di lain pihak. Si Tangan Setan 

yang diserang sedemikian rupa, kini 

malah nampak tenang-tenang saja. Hal 

ini sesungguhnya sangat wajar, karena

rupanya dalam keadaan terdesak tadi 

sesungguhnya dia sedang berusaha 

memecahkan permainan setiap jurus ilmu 

silat lawannya. Kini setelah misteri 

jurus-jurus ilmu silat si Giris Rawa 

dan Banu Keling terpecahkan. Maka 

makin mudahlah baginya untuk 

mematahkan serangan pihak lawan 

apalagi kini Banu Keling yang sudah 

sangat penasaran itu mencegah Sang 

Adipati untuk mengeroyok si Tangan 

Setan.

Dalam gebrakan-gebrakan 

berikutnya nyatalah bahwa permainan 

silat maupun pukulan-pukulan yang 

dilepaskannya, sudah dapat di baca 

oleh si Tangan Setan. Hingga pada 

akhirnya, sungguhpun Banu Keling


berusaha mati-matian dan bahkan telah 

mengerahkan segenap kemampuannya, 

namun tetap saja setiap serangan yang 

di lancarkannya selalu saja patah di 

tengah jalan. Satu kesempatan, bola 

baja di tangan Banu Keling kembali 

menderu, bahkan lebih cepat lagi bila 

dibandingkan dengan serangan-serangan 

terdahulu. Bersamaan dengan 

berkelebatnya tubuh Banu Keling. Maka 

si Tangan Setan yang memang sudah 

bersiap-siap melepaskan pukulan 

beracunnya juga ikut bergerak lebih 

cepat lagi. Tetapi manakala bola baja 

di tangan Banu Keling mengejar dari 

arah belakangnya. Sebaliknya dia malah 

hentikan gerakan dan berdiri tiada 

bergeming. Banu Keling dan Giris Rawa 

menyangka bahwa si Tangan Setan 

kiranya sudah menyerah dan mau 

menerima kematian.

"Nguuung!"

Beberapa inci lagi bole berduri 

itu menyambar perut si Tangan Setan, 

maka tangan kanannya bergerak laksana 

kilat.

"Creeep!"

Dua orang pentolan Trengganu itu 

sama-sama terbelalak penuh kejut 

begitu mengetahui dengan sangat mudah


pihak lawannya, bukan saja dapat 

mengelakkan hantaman bola baja itu, 

tetapi sebaliknya malah mampu pula 

menangkap dengan sangat tepat senjata 

milik musuhnya. Banu Keling tak dapat 

berfikir panjang manakala satu 

sentakan dari tenaga yang sangat 

besar, merenggutkan bola baja itu dari 

tangannya. Belum lagi habis kejut di 

hatinya. Tanpa terduga-duga, laksana 

meteor. Si Tangan Setan menyambitkan 

bola baja berduri itu pada pemiliknya. 

Senjata maut itu terus melesat 

sebegitu cepat, ke arah Banu Keling. 

Giris Rawa yang sempat melihat 

kejadian itu berteriak memberi 

peringatan.

"Saudara Banu Keling... 

awaaaas...!" Percuma saja Giris Rawa 

memberi peringatan pada Banu Keling, 

sebab laki-laki yang sudah sangat 

gugup itu sudah tak mampu mengelak

lagi. Tak ampun senjatanya sendiri, 

menghantam bagian dadanya.

"Broooook!" '

Banu Keling menjerit lirih 

manakala bola baja itu membuat remuk 

dadanya. Darah nampak memancar deras 

dari tulang-tulang iga yang 

berserabutan ke luar itu. Tiada


keluhan yang terdengar, mata Banu 

Keling nampak melotot memandang pada 

si Tangan Setan. Tetapi hanya sesaat 

saja, karena tidak begitu lama 

kemudian. Bagai pohon pisang yang 

ditebang, maka tubuhnya ambruk tanpa 

mampu berkutik lagi. Mengetahui ke-

adaan lawannya, si Tangan Setan 

tertawa mengekeh. Secara perlahan dia 

berpaling pada Giris Rawa, yang kini 

nampak sangat gusar sekali begitu 

melihat kematian kawannya. Banu 

Keling! Dengan tersenyum aneh si 

Tangan Setan yang hatinya, sudah 

dipenuhi kobaran nafsu membunuh itupun 

membentak.

"Giris Rawa...! Apa yang bisa kau 

perbuat? Semua orang-orangmu telah 

kubikin mampus... Sebentar lagi, sudah 

barang tentu tiba giliranmu pula...!"

"Bangsat, jangan kira aku menjadi 

takut menghadapimu. Majulah! Sekalipun 

kulitmu sekebal kulit badak, tetapi 

dengan keris pusaka ini engkau akan 

segera binasa!" teriak Giris Rawa.

"Mampuslah engkau bangsat 

pembunuh orang tuaku... haiiit...!" 

maki si Tangan Setan. Serentak dengan 

ucapannya itu, si Tangan .Setah alias 

Hning Ksaban tanpa basa basi lagi


langsung saja menerjang dan kirimkan 

pukulan-pukulan yang sangat diandalkan 

pada Adipati Trengganu. Sebaliknya 

dengan sangat gesit pula Giris Rawa 

memapaki setiap datangnya serangan 

yang dilancarkan oleh si Tangan Setan.

Sementara itu, Buang Sengketa 

yang baru saja sampai di tempat yang 

sama kurang lebih sepeminum teh 

lamanya. Nampak dengan tegang 

mengintai jalannya pertarungan dari 

kerimbunan pohon. Dari percakapan dan 

perdebatan yang sempat dia dengar 

tadi, tahulah dia kini siapa 

sesungguhnya si Tangan Setan yang 

namanya saja menjadi momok bagi 

masyarakat banyak. Sebelumnya sama 

sekali dia tiada mengira kalau si 

Tangan Setan sesungguhnya seorang 

gadis yang berparas cantik, hal ini 

dia ketahui beberapa saat kemudian, 

setelah Giris Rawa berhasil 

menyetakkan topeng muka yang di 

kenakan oleh si gadis. Bukan main 

senang nya Adipati Trengganu itu demi 

melihat sosok wajah di balik topeng 

itu. Sambil tertawa-tawa, Giris Rawa 

segera melancarkan totokan-totokan 

mautnya. Dia berharap andai si Tangan 

Setan dapat diringkusnya hidup-hidup


sudah barang tentu dia bisa dengan 

sangat leluasa mempermainkan si Tangan 

Setan dengan sekehendak hatinya.

Lain halnya dengan pendekar kita 

ini. Sejak dia tadi mendengar 

perdebatan antara Giris Rawa dan si 

Tangan Setan. Akhirnya dia yang semula 

bermaksud menghukum si Tangan Setan 

karena sepak terjangnya yang begitu 

kejam. Kini nampaknya si pemuda agak 

lunak sedikit dalam menjatuhkan 

hukuman. Baginya paling tidak si 

Tangan Setan meskipun cantik harus 

dipotong kedua tangannya, sebagai 

hukuman akibat pembunuhan keji yang 

telah dilakukannya selama ini.

* * *

DUA BELAS



Sementara itu biarlah untuk Giris 

Rawa, gadis itu sendiri yang akan 

menentukan hukumannya. Demikian 

pendekar ini menyimpulkan. Dalam pada 

itu pertarungan antara si Tangan Setan 

dan Adipati Trengganu itu sudah


berlangsung puluhan jurus. Meskipun 

begitu, setelah gebrakan demi gebrakan 

berlangsung, akhirnya nyatalah bahwa 

Giris Rawa dalam pertarungan ini sudah 

mulai nampak jatuh di bawah angin. 

Kalau tadinya dia mempunyai maksud 

untuk meringkus si Tangan Setan hidup-

hidup tetapi agaknya kini dia harus 

merubah keinginannya. Mendahului si 

Tangan Setan atau dirinya yang akan 

didahului. Karena teringat sampai di 

situlah maka dia berusaha mencecar 

lawannya dengan keris bergerigi di ta-

ngannya. Tetapi sayang sekali, segala-

galanya telah berubah kini. Sepenuhnya 

si Tangan Setan alias Hning Ksaban 

telah menguasai pertarungan, hingga 

jurus-jurus silat yang dia mainkanpun 

kini sudah teramat sulit untuk 

dikembangkan. Jurus demi jurus 

terlewati, sementara Giris Rawa nampak 

jatuh bangun mempertahankan diri. Satu 

saat Adipati Trengganu itu menusukkan 

kerisnya mengarah pada bagian dada 

Hning Ksaban, tetapi gadis itu malah 

lebih nekad lagi memapaki bagian 

ujungnya yang runcing.

"Craaak!" 

Si Tangan Setan mengekeh begitu 

melihat senjata di tangan lawan


menjadi bengkok karena beradu dengan 

telapak tangannya. Di tempat 

persembunyiannya Buang Sengketa 

sendiri sempat dibuat terbelalak tak 

percaya begitu menyaksikan bahwa tubuh 

si gadis tak mempan dengan pusaka 

apapun. Dalam keadaan seperti itu 

terdengar pula bentakan si gadis.

"Giris Rawa, senjatamu tak ada 

gunanya! Sekali ini telah tiba 

giliranmu untuk terima kematian 

dariku. Meskipun dendamku padamu 

setinggi gunung dan sedalam lautan. 

Tetapi kali ini aku bertindak cukup 

adil, ingatlah kalau engkau dapat 

menahan dua pukulan beracun si Raja 

Cobra aku akan mengampuni jiwamu, 

tetapi kalau tidak. Engkau memang 

lebih pantas untuk secepatnya sempai 

ke neraka!"

Kalau Giris Rawa yang agaknya 

licik mengerti tentang hal ihwal 

pukulan beracun si Raja Cobra, tetapi 

lain lagi halnya dengan pendekar ini. 

Dia nampak sangat terperanjat sekali 

demi mendengar pukulan beracun si Raja 

Cobra ada disebut-sebut oleh si gadis. 

Sebab seperti apa yang pernah 

dituturkan oleh gurunya sendiri si 

Bangkotan Koreng Seribu, bahwa pukulan


beracun Raja Cobra sampai sejauh itu 

hanya dimiliki oleh seorang datuk 

sesat tanpa nama yang sampai saat ini 

tinggal di Pulau Seribu Ular. Dan 

patut diakui bawah siapapun yang 

terkena pukulan itu sangat sulit dan 

tak mungkin ada harapan lagi jiwanya 

dapat di selamatkan. Sebab hingga saat 

itu tak seorangpun Tabib di empat 

penjuru mata angin yang dapat 

menyembuhkannya. Tetapi kini, 

bagaimana mungkin gadis yang mengaku 

dirinya sebagai si Tangan Setan bisa 

memiliki pukulan yang sangat langka 

itu. Kalaupun mungkin, bukankah Pulau 

Seribu Ular itu tak seorangpun yang 

tahu tempatnya. Diam-diam dia jadi 

ingin tahu seberapa hebat pukulan 

beracun si Raja Cobra yang telah 

banyak merenggut nyawa banyak orang 

itu.

Pada saat itu. Hning Ksaban alias 

si Tangan Setan telah bersiap-siap 

dengan pukulan mautnya. Sementara 

Giris Rawa tanpa henti-hentinya terus 

melakukan serangan-serangan gencar. 

Ketika beberapa saat setelahnya, 

tangan Hning Ksaban tiba-tiba saja 

telah berubah menjadi hitam. Lalu 

tanpa membuang-buang kesempatan lagi,


gadis keturunan Panji Paksi itupun 

langsung melakukan pukulan mautnya 

yang pertama.

"Haeeet!" 

Satu gelombang biru pekat, 

melesat sedemikian cepatnya pada Giris 

Rawa yang saat itu sedang 

berjumpalitan di udara. Sang Adipati 

nampak sangat terkejut begitu 

merasakan adanya sambaran angin yang 

begitu dingin dan menyesakkan rongga 

dadanya. Secepatnya dengan senjatanya 

yang sudah tak karuan ujudnya mencoba 

memapaki datangnya pukulan beracun 

itu. Tetapi kiranya pukulan si Raja 

Coba memiliki kekuatan tiga kali lipat 

dari apa yang diperkirakannya.

"Blaaar!"

Akibatnya bukan saja senjatanya 

yang sudah sangat rusak itu entah 

mental ke mana. Tetapi lebih parah 

lagi tubuhnya terpelanting tujuh 

tombak dalam keadaan hangus menghitam. 

Tubuh Giris Rawa membentur tembok 

rumahnya sendiri, darah mengalir dari 

mulut, hidung dan telinganya. Beberapa 

saat lamanya Adipati Trengganu itu 

nampak memandang sayu pada si Tangan 

Setan, wajahnya yang semakin menghitam 

nampak terdiam tiada bergeming.


Akhirnya secara perlahan tubuh itu 

berkelojotan lemah. Hingga kemudian 

tubuh itupun diam untuk selama-

lamanya. Tewaslah musuh besar si 

Tangan Setan itu secara mengerikan, si 

Tangan Setan terduduk dengan wajah 

tertunduk. Kini setelah segalanya 

berakhir dia nampak menitikkan air 

mata. Tiba-tiba dia berkata lirih 

namun mengandung penyesalan yang 

teramat dalam.

"Ibu... ayah...! Aku telah 

kembali untuk membalaskan sakit hati 

ini. Aku tahu semua itu tak berarti 

banyak, bagimu. Tetapi bagi anakmu 

yang engkau tinggal seorang diri, 

kematian mereka adalah karena 

kesombongannya sendiri. Maafkan aku 

ayah karena aku harus kembali pada 

datuk tanpa nama yang telah 

kutinggalkan di Pulau Seribu Ular 

seorang diri. Biarlah dia nanti yang 

akan menghukumku atas segala 

tindakanku yang telah membunuh banyak 

orang. Aku rela mati di tangan orang 

yang telah membesarkan aku selama 

ini!" kata si gadis dengan air mata 

berlinangan. Namun beberapa saat 

kemudian tiba-tiba dia hentikan 

tangisnya, tiba-tiba dia memandang pa


da kerimbunan pohon tempat di mana 

Pendekar Hina Kelana bersembunyi. Lalu 

berkata pelan!

"Manusia yang memiliki julukan 

Pendekar Hina Kelana! Turunlah dari 

tempat per-sembunyianmu. Sebagai 

seorang pendekar, katanya engkau 

berniat menghukumku dengan membuntungi 

tanganku. Mengapa ragu, 

lakukanlah....!" perintah si gadis. 

Buang Sengketa menjadi terkejut juga,

bagaimana mungkin si Tangan Setan bisa 

mengenali namanya, dan lebih dari itu 

dari mana dia tahu kalau dia bermaksud 

menghukum si gadis dengan cara 

membuntungi tangannya...?

"Anak raja Ular Piton Utara. 

Ketahuilah membunuh dan menghukum itu 

bukanlah wewenangmu! Nyawaku menjadi 

milik guruku. Lebih dari itu pusaka 

Golok Buntungmu tak kan pernah mau 

mengotori dirinya dengan darahku. 

Karena sesungguhnya aku dan gurukulah 

yang telah menjaga sebagian badan 

golokmu itu di lautan sekitar tempat 

tinggal kami...!" jelas si Tangan 

Setan panjang lebar. Dan tentu saja 

penjelasan si gadis membuat Pendekar 

Hina Kelana terheran-heran. Bagaimana 

mungkin gadis yang berjuluk si Tangan


Setan itu bisa me-ngenalinya 

sedemikian rupa? Dalam kebingungannya 

itu, tiba-tiba si gadis kembali 

menyela."

"Pemuda tampan berperiuk. Mengapa 

harus bingung, bukankah engkau ini 

muridnya si Bangkotan Koreng Seribu, 

apakah gurumu mengatakan bermusuhan 

dengan guruku?" tanya si Tangan Setan 

berpura-pura tak sabar lagi, pemuda 

itu segera melesat turun dari tempat 

persembunyiannya. Kemudian dengan 

sangat penasaran sekali dia bertanya.

"Engkau inikah orangnya yang 

berjuluk si Tangan Setan yang telah 

bikin onar dimana-mana...?" 

"Tak salah! Tetapi salah besar 

kalau engkau menilaiku sebagai tukang 

buat onar!" kata si Tangan Setan 

membantah.

"Engkau telah membunuh orang di 

mana-mana, masihkah engkau mungkir?"

"Buang Sengketa...!" Lagi-lagi si 

Tangan Setan membuat kejutan dengan 

menyebut nama si pemuda.

"Engkau tahu namaku... siapakah 

engkau...?" tanya si pemuda semakin 

bloon.

"Ya... karena guruku pernah

bercerita tentangmu padaku...!"


"Maksudmu datuk tanpa nama itu, 

atau yang berjuluk si Tangan Seribu?" 

Tanya Buang Sengketa, begitu teringat 

cerita gurunya.

"Ya...!''

"Tetapi mengapa engkau membunuhi 

begitu banyak orang-orang yang tiada 

berdosa...?"

"Engkau tak pernah tahu Kelana... 

bahwa sebelum aku dirawat oleh guruku, 

yaitu kakek buyutmu sendiri. 

Sesungguhnya aku adalah anak seorang 

Adipati di Trengganu ini. Tetapi 

mereka malah memberontak dan 

membunuhnya. Sedangkan orang-orang 

yang engkau lihat bergelimpangan di 

tanganku, itu sesuai dengan daftar 

nama yang diberikan oleh sang guru. 

Sebegitulah orang-orang yang telah 

membantai orang tuaku dan sangat wajar 

kalau mereka mendapat ganjaran yang 

setimpal...!"

Buang Sengketa angguk-anggukkan 

kepala, kini dia mulai mengerti bahwa 

sesungguhnya si Tangan Setan adalah 

seorang murid sahabat gurunya, untuk 

itu dia tak perlu turun tangan sebab 

dia tahu, seperti apa yang dikatakan 

si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa 

Datuk Tanpa Nama sudah barang tentu


sangat konsekwen dalam menghukum 

muridnya. Tetapi satu yang tiada dia 

sangka sama sekali. Bahwa Datuk Tanpa 

nama itu masih merupakan kakek 

buyutnya sendiri, pula merupakan 

penjaga setengah bagian yang lainnya 

dari pusaka yang dimilikinya. Lalu 

timbul pula dalam fikirannya. Andai 

dia dapat mengikuti si Tangan Setan, 

sudah barang tentu dia dapat 

mengetahui lebih cepat di manakah 

sesungguhnya tempat pertapaan Raja 

Piton Utara, yang merupakan ayah 

kandungnya. Ketika pemuda ini menoleh 

dan menarik nafas pendek-pendek, 

agaknya si Tangan Sentan mengetahui 

apa yang ada di dalam fikiran si 

pemuda. Maka tak lama kemudian, 

sebelum si pemuda mengemukakan uneg-

unegnya, dia sudah menyela terlebih 

dulu. 

"Aku tahu engkau sudah tak sabar 

untuk mempersatukan Golok Buntungmu, 

dan mungkin juga engkau sudah sangat 

ingin bertemu dengan ayahmu si Raja 

Ular Piton Utara. Tetapi ketahuilah, 

bahwa kebajikan yang engkau perbuat 

masih belum cukup bagimu untuk di 

nyatakan layak atau tidak bertemu 

dengan Yang Mulia Raja. Pesan sang


guru, supaya engkau banyak-banyak 

menolong sesama terlebih dahulu. 

Setelah itu jumpailah orang tua yang 

bernama Tabib Setan Gila sewindu 

kemudian, Orang itu tinggal di Lembah 

Tapis Angin untuk masa yang akan 

datang...!" jelas si Tangan Setan 

penuh wibawa.

"Apa hakmu melarangku untuk dapat 

bertemu dengan ayahku...!" Kata Buang 

Sengketa tersinggung.

"Aku tak punya hak untuk 

melarangmu. Aku hanya menyampaikan 

pesan buyutmu. Lebih dari itu semua 

ini merupakan perintah ayahmu. Sang 

Maharaja Negeri Bunian!" kata si gadis 

dari Pulau Seribu Ular itu.

"Mengapa harus begitu, satu windu 

bukanlah sebuah waktu yang singkat “ 

protes Pendekar Hina Kelana.

"Semua itu adalah untuk menguji

kesabaranmu, Baiklah, aku tak punya 

banyak waktu Kelaha... jangan coba-

coba menguntitku. Sebab ilmu cepatmu

Ajian Sapu Angin tak akan berarti 

banyak untuk mengejarku...!" Seusai 

dengan ucapannya, tanpa kata lagi 

tubuh Hning Ksaban nampak berputar-

putar laksana sebuah gasing. Semakin 

lama semakin cepat. Kemudian sekali


saja angin kencang bertiup, maka tubuh 

si Tangan Setan bagai sebuah kapas 

nampak melayang lenyap tiada berbekas. 

Buang Sengketa menggerutu. Sialan dia 

selalu tahu saja setiap apa yang aku 

rencanakan! Kemudian tak lama setelah 

itu, tanpa memperdulikan mayat-mayat 

yang berserakan pendekar ini setapak 

demi setapak mulai melangkah ke arah 

Timur. Alam terasa semakin dingin 

menggigit. Tetapi pemuda ini sudah 

tiada perduli lagi.



                              TAMAT


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar