KEMBALINYA SI TANGAN SETAN
Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 008 :
Kembalinya Si Tangan Setan
SATU
Walaupun luka dalamnya semakin
parah akibat pukulan beracun, namun
dalam perjalanan panjang dan
melelahkan itu dia tak pernah
mengeluh. Paras laki-laki itu sudah
nampak semakin membiru. Empat puluh
hari berjalan berkuda mereka tempuh.
Namun Lembah Tapis Angin masih belum
kelihatan juga. Hal ini semakin
membuat resah hati perempuan yang
menyertai laki-laki itu. Hampir setiap
saat dia mengerling pada laki-laki
yang berada di sampingnya, semakin
lama keadaan laki-laki itu bertambah
menyedihkan. Padahal mereka sudah
nemperlambat kecepatan kuda-kuda
mereka. Satu waktu, laki-laki yang
bernama Kunta itu tampak menggigil
tubuhnya, andai saja perempuan yang
berada dii sampingnya tidak cepat-
cepat menangkap Kunta, sudah dapat
dipastikan Kunta akan terjatuh dari
kuda tunggangannya. Akibat yang lebih
tak terbayangkan lagi andai tubuh
Kunta sampai terperosok ke dalam
jurang yang berbatuan tajam di sisi
kanan jalan itu.
Kini laki-laki bertubuh kekar
yang berasal dari Bukit Kembar itu
mulai merintih-rintih di dalam
pangkuan Winda Murti, kekasihnya.
Beberapa saat lamanya, si gadis nampak
mengurut-urut dada si pemuda. Dia
nampak menggeliat dan merintih-rintih.
Sekejap matanya yang sayu itu nampak
memandang pada si gadis. Tapi tiada
sepatah katapun yang terucap! Tatapan
matanya layu, seluruh permukaan
tubuhnya selain bertambah membiru juga
mulai nampak membengkak. Perih hati si
gadis demi melihat keadaan yang sangat
niengenaskan ini. Serta merta dia
menitikkan air mata, lalu dalam
kesedihannya itu dia berucap:
"Kakang, bertahanlah! Lembah
Tapis Angin tidak begitu jauh lagi
dari tempat ini...!" katanya
tersendat. Pemuda yang bernama Kunta
itu nampak diam tiada bergeming. Hal
ini semakin menambah kecemasan si
gadis.
"Kakang! Engkau dengarkah apa
yang kukatakan ini...!" ulang gadis
itu. *
"Ak... aku dengar... tapi
mungkihkah aku dapat bertahan sampai
ke sana,. Aku sudah tiada daya lagi
untuk mengendalikan kuda...!" jawab
pemuda itu dengan suara tertahan.
"Bersemangatlah untuk tetap hidup
kakang...? Tabib Setan Gila pasti mau
dan dapat menyembuhkanmu,..!"
Mendengar kata-kata si gadis, Kunta
nampak gelengkan kepalanya berulang-
ulang.
"Aku tak pernah yakin, Tabib gila
dari Lembah Tapis Angin itu mau
mengobati tubuhku yang terkena pukulan
keji, manusia terkutuk itu...!" ujar
si pemuda nampak putus asa sekali.
"Tidak cintakah engkau padaku?
Mengapa engkau tidak pernah
berkeinginan untuk hidup lebih
lama...?" tukas si gadis memprotes.
Kunta nampak tersenyum, meskipun hanya
untuk berbuat seperti itupun dia harus
bersusah payah. Tiada sinar kehidupan
lagi yang terpancar dari matanya yang
kuyu itu. Lalu dengan hati gundah dia
kembali berucap:
"Hidup dan mati itu sudah ada
ketentuannya, untuk apa harus bersusah
payah memaksakan diri. Kalau pada
akhirnya sang maut itu sendiri
tak mungkin kita hindari...!"
"Itu benar, tetapi kita harus
berikhtiar...!" kata si gadis
membantah.
Mendengar kata-kata si gadis,
akhirnya dia berkata:
"Winda! Aku sudah tidak punya
tenaga lagi, bagaimana mungkin aku
bisa memegang kendali kuda. Sedangkan
untuk membawa diriku sendiri saja aku
sudah hampir tak sanggup...." Kunta
mengeluh setengah merintih. Winda
Murti nampak tercengang untuk beberapa
saat lamanya, tetapi kemudian dia
sudah mendapat akal. Cepat-cepat dia
berkata!
"Kakang. Kudamu merupakan kuda
yang tangguh dan kokoh, dia pasti
sanggup menanggung beban dua orang
sekaligus." Kunta yang sudah nampak
kepayahan itu hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya. Begitu mengetahui
Kunta menyetujui usulnya, cepat-cepat
dia menaikkan tubuh sang kekasih di
kuda yang berbulu coklat tua itu.
Kunta nampak mengerang keras begitu
merasakan sakit yang sangat luar
biasa. Tak lama setelah itu, Winda
Murti pun akhirnya segera memacu
kudanya dengan sangat cepat sekali.
Sementara itu, pada saat yang
sama di tempat kediaman Tabib Setan
Gila: Nampak kesibukan yang sangat
luar biasa sekali. Di ruangan depan
nampak bergeletakan mereka-mereka yang
sangat membutuhkan pertolongan. Orang-
orang ini nampak merintih-rintih,
wajah mereka hampir keseluruhannya
nampak biru. Pada saat itu di ruangan
dalam, Tabib Setan Gila kelihatan
sedang mengobati tiga orang
laki-laki lainnya. Pada saat-saat
seperti itulah tiba-tiba terdengar
bentakan mengancam, melalui ilmu
menyusupkan suara.
"Tabib gila. Hari ini engkau
kembali ingin menolong musuh-musuhku?
Ingatlah andai engkau tetap bersikeras
menyelamatkan mereka. Aku tak bisa
menjamin lagi keselamatanmu...." ancam
suara itu. Mendapat ancaman yang sama
dari orang yang memiliki ilmu tenaga
dalam yang sangat sempurna pula. Sudah
barang tentu laki-laki berwajah
keriput dengan sebuah tongkat
tengkorak yang tak pernah lepas-lepas
dari sisinya. Kini nampak semakin
ketakutan. Sebab siapapun suara ini,
tak lain dan tak bukan dia pula yang
merupakan biang kerok penyebar pukulan
beracun itu.
"Mereka ini membutuhkan
pertolongan, siapapun adanya mereka
itu, sebagai seorang Tabib aku
berkewajiban menolongnya!" menyahuti
Tabib Setan Gila setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
"Engkau hendak membangkang
perintah. Sungguh berani engkau pada
si Tangan Setan? Agaknya engkau benar-
benar ingin merasakan betapa hebatnya
pukulan beracunku...!" kata orang
pengirim suara itu nampak marah
sekali.
"Ah? Engkau telah salah duga. Aku
tak bermaksud membantahmu...
percayalah...!"
"Kalau begitu, engkau hentikanlah
segala usahamu dalam menyembuhkan
mereka. Atau beri racun kematian pada
setiap mereka yang coba-coba berobat
kepadamu. Hanya dengan jalan itu,
mudah-mudahan aku mengampunimu...!"
kata suara itu sambil mengekeh.
Pucatlah wajah Tabib Setan Gila,
begitu mendengar keputusan orang yang
mengaku sebagai si Tangan Setan.
"Ta... tapi... mereka membutuhkan
pertolongan...!"
"Engkau sayangkah nyawamu atau
lebih sayang pada nyawa mereka?"
"Mengenai hidupku sendiri, itu
tak begitu aku takutkan. Tapi kalau
hal itu memang sudah menjadi
kehendakmu, di masa yang akan datang
aku tak berani bertanggung jawab atas
segala apa yang kau perintahkan
ini...!" jawab Tabib Seta Gila.
Pengirim suara itu tergelak-gelak!
"Mengapa harus takut. Aku yang
bertanggung jawab atas semua perintah.
Dan sekarang ikuti kemauanku...!"
"Apa maksudmu?" tanya Tabib Setan
Gila tak mengerti.
"Di belakang pondokmu, ada
kuletakkan sebungkus racun yang sangat
mematikan kau pergunakanlah untuk
mengobati orang-orang yang sudah
sekarat itu!"
Tabib tua ini nampak sangat
terkejut sekali begitu mendengar
perintah.yang diberikan oleh si
pengirim suara. Rasa ke-manusiaannya
memberontak, tetapi dia tidak berani
melakukannya. Tiba-tiba dia mendapat
akal.
"Baiklah, aku akan melakukan
perintahmu. Tetapi aku tak dapat
melakukannya pada siang begini. "ucap
Tabib Setan Gila.
"Jadi kapan engkau
melakukannya...?" tanya si pengirim
suara.
"Nanti malam...!" jawab si Tabib
tua me-nyanggupi.
"Baik. Engkau telah menyanggupi
perintahku. Besok aku ingin melihat
hasilnya." Tabib Setan Gila merasa
lega hatinya, apa-pun yang bakal
terjadi dia sudah berniat untuk
melarikan diri dari rumahnya.
Sedangkan untuk merawat lebih dari
lima orang yang sedang berobat
kepadanya. Mau tak mau di siang itu
dia harus bekerja keras. Meskipun dia
sadar orang-orang yang telah terkena
pukulan beracun itu mungkin dapat
disembuhkan seperti sediakala, tetapi
setidak-tidaknya untuk beberapa bulan
mereka masih dapat bertahan hidup.
Pukulan beracun merupakan pukulan maut
milik si Tangan Setan yang hampir
setahun belakangan sangat
menggemparkan kalangan persilatan,
telah membuat kalangan persilatan
menjadi sangat penasaran sekali.
Korban hampir setiap hari berjatuhan.
Selama setahun mungkin sudah dari dua
ratus orang yang tewas secara
menyedihkan. Tubuhnya dalam keadaan
membiru dan tak pernah terobati. Satu-
satunya Tabib yang benar-benar tahu
siapa sesungguhnya si Tangan Setan
adalah Tabib Setan Gila dari Lembah
Tapis Angin itu. Tetapi belakangan dia
selalu mendapat ancaman dari si tangan
Setan. Bahkan barusan dia mulai
mendapat tekanan yang lebih berat
lagi. Menaburkan bubuk beracun dari
setiap ramuan yang telah dibuatnya,
ini sungguh sangat bertentangan dengan
hatinya yang jujur dan penuh cinta
kasih sesama. Kalau si Tangan Setan
sudah mengancamnya dengan cara seperti
itu, tak banyak yang dapat
dilakukannya kecuali melarikan diri.
Demikianlah menunggu malam tiba,
tanpa sepengetahuan orang-orang yang
sedang terbaring di ruang pendopo. Di
dalam kamarnya Tabib Setan Gila nampak
sibuk menyiapkan segala untuk
keperluan perjalanan nanti.
Seiring dengan perjalanan sang
waktu, akhirnya malam yang ditunggu-
tunggu pun tiba. Di langit sana, bulan
sabit hanya kelihatan bayang-bayang
saja. Cuaca memang nampak mendung di
malam itu. Di dalam kamarnya Tabib
Setan Gila nampak gelisah sekali.
Sementara di ruangan pendopo orang-
orang yang menanti saat-saat
pengobatan terus mengerang dan
merintih tanpa henti-hentinya. Hanya
beberapa orang saja di antara mereka
yang masih mampu menunggu dalam
keadaan duduk. Sedangkan belasan orang
lainnya, tanpa tertahankan nampak
rebah dalam posisi centang perenang.
Demikianlah, ketika malam semakin
larut. Ketika rasa sakit akibat racun
Raja Kobra sudah tiada tertahankan
lagi. Maka di saat itulah Tabib Setan
Gila nampak menyelinap melalui pintu
belakang. Setelah menutupkan pintu
kembali, lalu dalam waktu sekejap saja
dia sudah nampak berlari-lari menjauhi
pondok. Sebentar saja, tubuh laki-laki
tua itu telah lenyap ditelan kegelapan
malam. Dalam pada itu, orang-orang
yang berada di ruangan pendopo.
Nampaknya sudah tidak sabar lagi
menunggu saat-saat pengobatan dimulai,
bahkan beberapa orang di antara mereka
mulai memanggil-manggil nama Tabib
Setan Gila.
"Uwa Tabib... cepatlah obati
kami! Kami sudah tak tahan, sakit
sekali, Uwa Tabib... Suakiit...!"
rintih salah seorang di antara mereka.
"Tabib... matilah aku, Tabib...
lebih baik engkau cabut saja nyawaku,
engkau keterlaluan sekali. Sudah dua
hari kami menunggu, mengapa engkau
harus menunggu sampai larut malam...!"
menyela yang lainnya.
"Ini sudah tengah malam, Panjul!
Goblok banget sih elu...!"
"Ah, kalau sudah sakit begini,
ngomong ngacopun tidak apa-apa...!"
Dalam pada itu, tiba-tiba
terdengar suara tawa mengekeh! Sesaat
itu terdengar pula suara bentakan yang
menggeledak.
"Hei... orang-orang sekarat!
Lebih baik kalian mati saja, kiranya
Tabib gila itu tak mau menurut
perintah. Dia sudah kabur dari
sarangnya.... Tunggu apa kalian di
situ?" Menciutlah semua orang yang
hadir di situ begitu mendengar suara
bentakan yang terdengar begitu
mengancam. Lalu secara bersamaan
mereka menoleh ke arah datangnya
suara. Namun tak seorangpun terlihat
di situ, hanya kegelapan malam dan
kabut tebal belaka adanya. Akhirnya
mereka saling pandang sesamanya. Hati
mereka diliputi rasa was-was. Beberapa
saat kemudian kembali terdengar suara
tadi.
"Sayang sekali, kawanku dalam
turun tangan hanya setengah-setengah.
Hal ini hanya memperpanjang
penderitaan kalian saja. Untuk itu aku
akan membebaskan kalian dari
penderitaan yang menyakitkan ini...!"
Meskipun mereka dalam keadaan terluka
dalam cukup menghawatirkan, namun
mendapat ancaman seperti itu, mereka
yang terdiri dari berbagai golongan
dan berasal dari berbagai daerah pula,
secara serentak bangkit. Walaupun
tak jarang di antaranya terjatuh
kembali.
"Manusia setan dari manakah
engkau ini, ada suara tak ada rupa.
Kalau engkau benar-benar seorang
ksatria, tunjukkanlah tampangmu. Biar
kami tak segan-segan mencincangmu...!"
teriak orang-orang itu nampak sangat
marah sekali.
"Ha... ha... ha...! Nyawa sudah
di atas tenggorokan, masih juga kalian
berani jual lagak!"
***
DUA
Dalam pada itu salah seorang di
antara mereka yang baru saja memeriksa
kamar Tabib Setan Gila, dengan
tergopoh-gopoh segera memberi laporan.
"Celaka! Tabib Setan Gila benar-
benar tidak ada di dalam kamarnya...!"
ucapnya dengan wajah semakin memucat.
"Sudah kubilang, sebaiknya kalian
memang mati saja...!" menyahuti si
suara tadi. Maka semakin bertambah
gusarlah para pesakitan itu dibuatnya.
"Manusia setan! Siapakah engkau
ini, datang-datang mau ingin bunuh
saja. Apa kesalahan kami...?" teriak
salah seorang di antara mereka yang
bertelanjang dada ma-rah sekali. Si
suara tertawa rawan.
"Kalau aku inginkan nyawa
seseorang, mengapa harus pakai
perhitungan salah benar. Kalau aku mau
aku punya kekuatan untuk mencabuti
nyawa siapa saja, kalian bisa apa...?"
"Jahanam betul! Kau kira kami ini
sebangsanya pohon singkong, pakai
cabut seenaknya saja...!" Bersamaan
dengan ucapannya itu, serentak yang
lain-lainnya segera mencabut senjata
masing-masing.
"Hahaha... hahaha...! Mampu
berbuat apakah kalian dengan senjata-
senjata yang tiada guna itu? Lebih
baik kalian gorok leher kalian sendiri
demi mengakhiri penderitaan kalian."
kata si suara mencemooh.
"Ya... kami memang akan membunuh
diri, tetapi itu baru kami lakukan
setelah menggorok lehermu terlebih
dulu...!" Belum lagi laki-laki
bertelanjang baju itu usai dengan
kata-katanya, tiba-tiba satu rangkaian
gelombang pukulan yang mengandung hawa
maut menjijikkan nampak melesat dari
sebuah kerimbunan pohon. Pukulan yang
mengandung racun ganas itu terus
melesat sedemikian cepatnya ke arah
orang-orang yang berada di ruangan
pendopo. Tanpa ampun lagi pukulan-
pukulan berhawa maut itupun langsung
melabrak orang-orang di situ.
Brak
Blaam!
Pekik kematian menggema di malam
yang sepi itu, tubuh mereka
berpelantingan ke segala arah, lantai
pendopo bobol berkeping-keping. Hanya
beberapa orang saja di antara mereka
yang dapat menyelamatkan diri,
sedangkan mereka yang terkena
gelombang pukulan yang mematikan itu
nampak tewas seketika itu juga. Tak
terbayangkan betapa murkanya sisa-sisa
orang-orang pesakitan itu begitu
mengetahui kawan-kawannya yang lain
tewas secara menyedihkan. Lalu ketika
mereka memeriksa keadaan mayat-mayat
di sekitarnya, berubahlah paras mereka
ini. Kalau tadinya sisa-sisa pesakitan
itu sudah bermaksud menyerang si
pembunuh keji yang kini masih tetap
ngumpet di kegelapan malam. Maka kini
mereka mulai berfikir-fikir bagaimana
caranya untuk dapat menyelamatkan
diri.
"Kawan-kawan. Kiranya bangsat
pembunuh itu tak lain si Tangan Setan
adanya. Kita tak mungkin dapat
mengalahkannya dalam keadaan begini.
Sedangkan dalam keadaan sehat saja
kita tak mungkin mengalahkannya...!"
kata salah seorang di antara mereka
saling berbisik.
"Ha... ha... ha... tikus-tikus
malang. Terlanjur kalian mengetahui
siapa adanya aku ini. Untuk itu, aku
telah memilihkan jalan yang paling
baik buat kalian berempat. Mampuslah
kalian...!" Bersamaan dengan ucapannya
itu, maka manusia yang berjuluk si
Tangan Setan itu kembali kirimkan pu-
kulan beruntun. Laksana kilat, pukulan
yang dilancarkan oleh si Tangan Setan
menderu sedemikian cepatnya. Di lain
pihak meskipun sisa-sisa orang
pesakitan ini berusaha segenap
kemampuan untuk menghin-dari datangnya
pukulan maut tersebut, tetapi pukulan
yang dilepas oleh si Tangan Setan
bukanlah sambarangan pukulan beracun.
Pukulan beracun raja Kobra yang
diyakininya selama ini, jangankan
sisa-saia pesakitan itu yang hanya
memiliki tingkat kepandaian di bawah
korban-korban terdahulunya. Sedangkan
lebih dari sepuluh orang tokob sakti
yang pernah terlibat pertarungan
dengan dirinya saja tak satupun yang
selamat dari jangkauan tangan
mautnya.
Kini pukulan beracun yang
dilancarkan oleh si Tangan Setan terus
melesat ke segala arah. Tanpa ampun
lagi.
"Bummm!"
"Arrgghhk!" Empat orang sisa-sisa
pesakitan itu terlolong-lolong. Tubuh
mereka berpelantingan ke berbagai
arah. Tubuh seketika itu juga membiru,
sementara kedua tangan mereka menekan
pada bagian leher. Hanya beberapa saat
saja tubuh orang-orang itu nampak
berkelojotan setelah itu terdiam untuk
selama-lamanya. Dari kegelapan malam
si Tangan Setan memandang sesaat pada
mayat-mayat yang berserakan itu.
Sepasang bibirnya menyunggingkan
senyum menggidikkan, tetapi beberapa
saat kemudian bagai disapu angin
kencang, tubuhnya melesat sedemikian
cepatnya. Seiring dengan derai
tawanya, yang kian menjauh. Seperti
tak pernah terjadi suatu apapun pondok
Tapis Angin kembali sunyi sepi.
* * *
Sambil terus mengayunkan langkah,
pemuda ini nampak berkata-kata seorang
diri. Tiada kegembiraan yang terpancar
dari sepasang matanya yang setajam
mata elang itu, tiada pula terlihat
keceriaan di wajahnya yang sangat
tampan. Wajahnya yang selalu membuat
gadis jatuh cinta pagi ini nampak
murung sekali. Hatinya begitu sedih,
seingatnya sudah beberapa tahun dia
meninggalkan gurunya Si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Sesungguhnya dia sudah
begitu rindu pada kakek tua yang
berusia hampir dua abad itu. Terkadang
timbul keraguan dalam hatinya,
mungkinkah manusia aneh itu masih
hidup hingga saat ini, siapa pula yang
merawatnya andai dia sakit. Sedangkan
sejauh itu dia tak mungkin kembali ke
Tanjung Api untuk menjenguk orang yang
sejak bayi merah telah merawatnya,
bahkan telah menjadikannya seorang
pendekar tiada tanding pembela
kebenaran. Si Bangkotan Koreng Seribu
pasti tak menghendaki kehadirannya,
selama usahanya untuk mencari ayah
kandungnya, yaitu si Raja Piton Utara
yang kini sedang melakukan tapa di
tengah-tengah samudra luas. Teringat
akan ayah kandungnya, maka yang ada
dalam fikirannya adalah gambaran
tentang sosok ular raksasa yang
mengerikan. Ganas dan buas! Lalu
pemuda penyandang periuk besar tak
lain Pendekar Hina Kelana nampak
bergumam seorang diri.
"Oh, nasib! Dilahirkan membawa
mati emak. Diramalkan bakal
menimbulkan malalapetaka. Dibuang dan
dipersoalkan. Hingga namaku Buang
Sengketa. Hidup sengsara siapa sangka.
Ayah seorang raja dari segala raja
ular, tetapi yang mana satu di antara
mereka. Begitu sulit untuk menemukan
ayah, pula mengapa harus menghukum
diri sedemikian rupa...!" Mendadak si
pemuda hentikan kata-katanya ketika
dia mendengar suara-suara bentakan
jauh di belakangnya. Begitu dia
menoleh ke belakang dia melibat satu
titik putih. nampak ber-gerak begitu
cepatnya, sementara beberapa titik ini
nampak mengejar di belakangnya.
Pendekar Hina Kelana kerutkan
wajah, dia tak tahu apa yang sedang
terjadi dengan mereka. Kejar-kejaran
pun terus berlangsung, semakin lama
semakin mendekat ke arah tempat di
mana Buang Sengketa berada. Cepat-
cepat pemuda dari Negeri Bunian itu
menyelinap di balik sebatang pohon
yang rimbun. Setelah orang-orang itu
mendekat, tahulah pendekar ini bahwa
titik putih yang dikejar-kejar oleh
titik biru tak lain adalah seorang
wanita yang sudah terluka parah. Dari
wajah empat orang laki-laki yang
berpakaian biru-biru terlihat dengan
jelas bahwa orang-orang itu bernafsu
sekali untuk membunuh gadis berpakaian
putih.
Dalam waktu sekejap saja gadis
yang sudah nampak terluka itu tersusul
oleh pengejarnya. Gadis itu berbalik
langkah, serentak para pengejarnya
mengurung pula. Karena jarak antara
mereka dengan tempat persembunyian
Buang Sengketa tidak begitu jauh. Maka
dengan jelas dia dapat mendengar
segala apa yang mereka katakan.
"Perempuan sinting! Setelah
membawa lari muridku, kini hendak lari
ke manakah engkau...!" bentak laki-
laki setengah baya yang bernama Wimba
nampak marah sekali. Gadis yang tak
lain Winda Murti itu nampak tersenyum
sedih begitu mendengar tuduhan guru
kekasihnya yang telah tewas dalam
perjalanan menuju Lembah Tapis Angin.
Tetapi kini maksud baiknya malah
diartikan lain oleh laki-laki dari
Trengganu ini. Diam-diam gadis ini
mengeluh, dia menganggap Wimba yang
sudah cukup umur itu tak pernah
berpandangan luas dalam menyelesaikan
suatu persoalan. Kalaupun gurunya
Nilasari dulunya merupakan musuh
bebuyutan Wimba, tetapi bukankah
gurunya yang pernah berhutang darah
pada laki-laki dari Terengganu itu,
kini telah menebus segala dosa-
dosanya? Apakah setiap murid seorang
sesat, lalu muridnya harus mendapat
julukan pewaris kesesatan pula? Hal
ini tidak adil, sebab seingat gadis
itu, selama ini dia tak pernah
mengikuti jejak dan cara hidup gurunya
bahkan Nilasari yang menjadi gurunya
sebelum tewas di tangan Wimba sering
memberi petunjuk padanya agar dia
jangan sampai mengikuti jejaknya.
Padahal Wimba sendiripun tahu kalau
antara Kunta dan dirinya sudah lama
saling mencinta.
"Paman guru. Tak pernah aku
berniat melarikan kakang Kunta, kami
sudah sama-sama sepakat untuk menuju
Lembah Tapis Angin untuk menemui Setan
Gila. Tetapi, luka dalam akibat
pukulan beracun si Tangan Setan
nampaknya sangat parah sekali,
sehingga seperti paman ketahui, kakang
Kunta tewas dalam perjalanan...!"
ujar Winda Murti nampak sangat berduka
sekali.
"Dia hohong guru, kami bertiga
merasa sangat yakin. Ketika guru
pergi, bocah ini-ah yang telah
menyelinap ke dalam kamar Adi Kunta,
kemudian memukulnya dengan pukulan
yang keji...!" ucap salah seorang
murid Wimba. Dituduh seperti itu Winda
Murti nampak sangat marah sekali!
"Kakang Anom Kendor, engkau
jangan coba-coba memfitnahku.
Bagaimana mungkin aku tega melakukan
pukulan keji itu sedangkan sama-sama
saling mencinta...?" bantah Winda
Murti setengah menjerit. Mendengar
ucapan si gadis. Wimba nampak
tergelak-gelak.
"Engkau masih mau mengelak juga
murid manusia sesat. Padahal muridku
yang lainnya sempat mengetahui bahwa
engkau di dalam kamar Kunta, saat dia
menjerit-jerit karena pukulan beracun
itu. Apakah engkau juga masih mau
mengelak bahwa sesungguhnya engkaulah
si Tangan Setan itu...!" bentak laki-
laki setengah baya itu penuh
kebencian.
"Paman. Sungguh aku tak pernah
melakukannya!"
"Kalau bukan engkau siapa
lagi..,?" tanya Wimba tak sabar.
"Aku tak tahu, tetapi aku sempat
melihat berkelebatnya seseorang dari
balik sebuah pintu...!" Laki-laki dari
Trengganu itu kerutkan kening,
dipandanginya wajah si gadis lekat-
lekat. Kembali dia menyela.
"Mustahil engkau tidak dapat
mengenalinya, jangan coba-coba
mempersulit keadaanmu sendiri...!"
"Aku tak dapat melihat wajahnya.
Orang itu menutupi seluruh mukanya
dengan selubung kain hitam...!" kata
gadis itu, kini mulai menangis sedih.
Untuk beberapa saat lamanya keempat
orang itu saling pandang sesamanya.
Lalu Anom Kendor sebagai murid tertua
nampak melangkah beberapa tindak,
beberapa kali dia membungkuk hormat
pada laki-laki setengah umur itu.
"Guru dia hanya berbohong. Murid
seorang sesat mana ada yang jujur,
sudah terang-terangan dia yang
membunuh adik Kunta. Tetapi dia masih
juga mengelak...!"
"Hmm. Kalau kalian tidak percaya
pada apa yang kukatakan ini, supaya
kalian puas berbuatlah apa saja yang
kalian ingini, tetapi ingat meskipun
ilmu kepandaian kalian sebanyak buih
di lautan. Jangan kalian kira aku akan
berpangku tangan begitu saja. Aku tak
akan tinggal diam, majulah kalian
beramai-ramai...!" tukas Winda Murti
marah sekali.
"Bocah sinting. Gurumu sendiri
menghadapi aku seorang saja tak pernah
unggul, jangankan kini engkau hanya
muridnya...!" kata Wimba mencemooh.
"Guru. Membasmi bibit penyakit
tak usah kepalang tanggung, kita
cincang saja murid manusia sesat
ini...!" Menyela Anom Kendor sudah
tidak sabaran lagi.
"He., he., ho., ho...! Betui,
tunggu apa lagi. Masakan aku yang
sudah bangkotan ini yang harus
mengeprak bocah itu...?" Bukan main
gembiranya murid-murid Wimba begitu
mendapat perintah dari gurunya, secara
langsung. Orang-orang inipun segera
mencabut senjata mereka masing-masing.
Walaupun Winda Murti tubuhnya sudah
banyak yang terluka, tetapi dia tidak
tinggal diam begitu saja. Kini dengan
sebuah kipas di tangannya, gadis ini
mulai membuka jurus-jurus simpanannya.
Dalam waktu sekejap ketiga orang murid
dari Wimba telah menyerang si gadis
dengan senjata terhunus. Meskipun
Winda Murti hanyalah seorang gadis dan
ilmu kepandaian silatnya dua tingkat
di bawah murid-murid dari Trengganu,
tetapi dia nampak begitu gigih dalam
melakukan perlawanan. Hingga
pertarungan tak seimbang itupun
akhirnya berlangsung cukup seru.
Sementara itu, Pendekar Hina
Kelana yang sejak tadi mendengar
pertengkaran mulut antara si gadis dan
Wimba, nampaknya dia sudah mengerti
duduk persoalannya.
* * *
TIGA
Semua itu terjadi hanya karena
perselisihan paham semata. Tetapi dia
agak heran juga dengan adanya disebut-
sebut si Tangan Setan. Selama hampir
dua hari dia melakukan perjalanan ke
Tenggara, hampir sepanjang perjalanan
dia mendengar orang-orang bercerita
tentang kehadiran manusia iblis, yang
membuat resah hati orang banyak. Kalau
kini dia mendengar hal yang sama pula
dari orang-orang yang berkepandaian
silat tinggi sudah barang tentu dia
ingin mengetahuinya lebih banyak lagi
dari orang-orang yang sedang bertempur
itu. Secara diam-diam dia mulai
mencari celah terbaik untuk
menghentikan pertarungan yang sangat
tidak seimbang itu. Pada saat itu
Winda Murti sudah nampak sangat
terdesak sekali, berulang kali senjata
di tangan lawan-lawannya nyaris
melukai bagian leher dan perutnya.
Namun dengan mengerahkan segenap
kemampuannya sejauh itu dia masih
dapat menghindari serangan-serangan
yang dilancarkan lawan-lawannya. Satu
saat, murid-murid dari Terengganu ini
nampak menyerang secara berbarengan.
Senjata mereka yang berupa pedang
bermata dua itu, langsung menderu dan
timbulkan suara bercuitan. Satu
rangkaian serangan yang sangat
berbahaya datang pula dari Anom
Kendor. Menghadapi serangan yang
sedemikian gencar dari empat arah
sekaligus, Winda Murti langsung
kiblatkan kipasnya ke segala arah.
Maka bentrokan senjatapun tak dapat
dihindari lagi.
"Traang! Praak!"
Winda Murti dalam keterkejutannya
lompat mengempos tubuhnyaj hingga
melesat ke udara. Sementara kipas di
.tangannya nampak hancur berkeping
keping. Paras si gadis yang sudah
dipenuhi dengan luka itu nampak
semakin memucat. Dan baru saja dia
menginjakkan kakinya di atas permukaan
tanah, keenrpat murid-murid Winda itu
sudah mencecar kembali dengan
serangan-serangan yang lebih gencar.
Bagai harimau betina sedang
terluka, gadis murid seorang wanita
sesat namun dalam sejarah hidupnya
belum pernah melakukah kejahatan ini
nampak mengamuk tanpa mengenal takut
sama sekali. Di lain pihak, Wimba yang
sejak tadi nampak memperhatikan
jalannya pertarungan agaknya sudah tak
sabar lagi melihat pekerjaan murid-
muridnya yang dalam penilaiannya sa-
ngat lamban sekali. Maka sambil
melompat ke tengah-tengah pertarungan,
diapun berseru lantang.
"Mundur semua, anak-anak tak
becus apa-apa. Dasar murid-murid
guoblok. Mencincang tikus sesat yang
sudah terluka saja kalian tak bisa
apa-apa...!" bentaknya dengan marah
sekali.
"Murid-muridmu memang tolol,
manusia sempit pandangan. Sekarang
engkau yang sudah bangkotan dan sangat
picik dalam menilai seseorang majulah.
Aku tak pernah takut menghadapi
kematian...!" menyela gadis itu dengan
sesungging senyum yang sangat di
paksakan.
"Bagus! Memang engkau pantasnya
cepat-cepat menyusul gurumu ke liang
kubur saat ini juga...!"
"Tua dungu. Jangan banyak bicara,
cepat-cepatlah laksanakan
keinginanmu...!"
"Ha... ha... ha...! Dengan
pukulan Prahara Samudra, aku jadi
ingin menyaksikan betapa tubuhmu yang
bagus itu akan hancur berkeping-
keping...!" kata Wimba. Lalu bersamaan
dengan ucapannya itu. Laki-laki se-
tengah baya itu rangakapkan kedua
tangannya di depan dada. Wimba cepat-
cepat mengerahkan sebagian tenaga
saktinya,ke bagian tangannya. Beberapa
saat lamanya tubuh laki-laki itu
nampak bergetar hebat. Kemudian dari
kedua tangannya yang melekat erat itu,
mengepul pula kabut tipis berwarna
putih. Sadarlah Winda Murti kalau Wim-
ba benar-benar menghendaki nyawanya.
Gadis itu sadar bahwa dia tak mungkin
menghindar dari tangan maut, meskipun
begitu sedapatnya dia berusaha
menghindari pukulan yang akan
dilancarkan oleh laki-laki dari
Trengganu. Atau kalau sudah tidak
mungkin lagi dia akan mengadu jiwa
dengan guru dari almarhum Kunta.
Beberapa saat kemudian Wimba sudah
nampak bersiap-siap melancarkan
pukulan mautnya. Lalu dengan diawali
dengan satu bentakan yang menggelegar,
tubuhnya nampak berkelebat sedemikian
cepatnya.
Haitt!
Satu sapuan gelombang pukulan
yang teramat dingin menderu mengarah
pada Winda Murti. Gadis itu nampak
terperangah, sedikitpun dia tiada
menyangka kalau pukulan yang
dilancarkan oleh Wimba, sampai
sedahsyat itu. Memapaki datangnya
pukulan baginya sangat tidak mungkin
lagi. Dia menyadari kalau dia tak
mungkin dapat unggul dalam adu tenaga
dalam. Jalan satu-satunya sangat
memungkinkan adalah mengelak atau
menghindar. Maka!
"Wuaaa!
Tubuh si gadis melentik dan
membubung empat meter di atas tanah,
namun seperti bermata saja pukulan
yang dilepas oleh Wimba nampak
mengejarnya ke manapun dia berusaha
menghindar. Si gadis terluka itu
nampak kalang kabut menghindari
sergapan Prahara Samudra yang berhawa
sangat dingin itu. Tertawalah murid-
murid Wimba demi menyaksikan dengan
yang sangat mendebarkan itu.
Sementara itu di tempat
persembunyiannya, Pendekar Hina Kelana
sudah nampak tak tega lagi melihat
keadaan si gadis. Lalu tanpa banyak
fikir lagi, pemuda itupun secara lebih
cepat lagi segera gerakkan tangan
kananya. Selarik sinar Ultra Violet
nampak bergulung-gulung dan timbulkan
angin ribut. Dengan cepat bagaikan
kilat. Pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang dilepas oleh si pemuda menderu
mamapasi, gelombang pukulan Prahara
Samudra yang berhawa sangat dingin
itu. Lalu beradunya dua kekuatan sakti
itupun sudah tak dapat di hindari
lagi.
"Blamm!"
Pukulan Empat Anasir Kehidupan
terus menderu dan nampak menggulung
sinar putih Prahara Samudra milik
Wimba. Dua pukulan ini terus membalik
dan menyerang laki-laki dari Trengganu
itu dengan sangat hebat sekali.
Menyadari bahaya yang sedang mengancam
jiwanya, Wimba nampak mengelak
tunggang langgang.
Braak!
Empat Anasir Kehidupan dan
Prahara Samudra menghantam pohon besar
yang terdapat di belakang laki-laki
dari Terengganu. Wimba nampak mencaci
maki habis-habisan, wajahnya nampak
pucat pasi. Begitupun dengan empat
orang muridnya yang nampak berdiri
tidak begitu jauh darinya. Mereka
benar-benar merasa sangat heran
bagaimana mungkin pukulan yang dilepas
oleh gurunya yang terkenal sangat
ampuh dan belum ada tandingannya di
bagian Tenggara, bisa berbalik seperti
itu. Diam-diam mereka sangat penasaran
sekali. Dalam pada itu, Wimba yang
merasa ada orang lain turut campur
dalam perpoalan pribadinya, nampak
tidak senang. Secara perlahan dia
menoleh. Dia merasa sangat terkejut
begitu tiba-tiba di hadapannya telah
berdiri seorang pemuda berwajah
tampan, namun berpakaian kumal.
Begitupun halnya yang terjadi dengan
Winda Murti.
"Bocah gembel berperiuk! Siapakah
engkau ini, lancang sekali perbuatanmu
telah begitu berani mencampuri urusan
orang lain...!" hardik Wimba dengan
pandangan melotot. Dibentak seperti
itu, putra raja ular inipun tersenyum
rawan.
“Bukannya aku suka usil dengan
urusan orang lain. Tetapi pantang
bagiku melihat ketidakadilan di depan
hidungku...!" menyela pendekar ini
dengan sikap kurang senang.
"Gembel sombong. Dengan
kepandaian yang hanya setahi kuku itu,
kau kira bisa jual lagak di
depanku...!"
Kesal sakali Buang Sengketa
mendengar kata-kata Wimba yang
memuakkan itu. Lalu pemuda itupun
berkata tegas.
"Orang tua keriputan. Bicaramu
membuat mual perutku, sebagai orang
persilatan yang mengaku banyak memakan
asam garam pengalaman. Ternyata otakmu
tidak lebih dari otak udang. Sudah
ketabuan gadis itu tidak bersalah,
mengapa engkau malah hendak
membunuhnya...?"
Di hina sedemikian rupa oleh
seorang pemuda berpakaian gembel,
sudah barang tentu Anom Kendor dan
murid yang lainnya 'ak mau terima dan
sangat marah sekali. Bagaimana tidak,
Wimba adalah seorang guru yang paling
mereka hormati selama ini. Kalau kini
ada seorang pemuda gembel telah begitu
berani menghina orang yang begitu
mereka hormati, masakan sebagai murid
mereka hanya berpangku tangan. Be-
berapa saat kemudian Anom Kendor
sebagai murid tertua langsung menyela.
"Sial betul engkau ini bocah.
Engkau tak tahu persoalan yang
sebenarnya, tapi sebelum engkau
mampus, ada baiknya kalau kau tahu
bahwa gadis yang kau selamatkan itu
telah membunuh adik seperguruan
kami;..!" bentak Anom Kendor sangat
gusarnya.
"Ha... ha... ha...! Manusia kurus
cacingan, engkau ini malah lebih tolol
lagi dari gurumu. Mana ada di dunia
ini seorang manusia telah begitu tega
membunuh kekasihnya...!" Tanpa
berkata-kata lagi, Anom Kendor dengan
pedang terhunus bermaksud menyerang si
pemuda. Masih untung Wimba yang
agaknya mengetahui bagaimana hebatnya
pemuda itu segera mencegah muridnya.
Kalau tidak, sudah barang tentu
berakibat sangat fatal.
"Anom Kendor, tahan
keinginanmu...!" Bentak laki-laki itu.
Anom Kendor yang berbadan kurus macam
jerangkong hidup itu nampak
mengurungkan niatnya. Walau
sesungguhnya hatinya jengkel sekali.
"Bocah, di antara kita tidak
punya persoalan apapun. Aku mau
mengampuni jiwamu asal saja cepat-
cepat engkau tinggalkan tempat
ini...!"
"He... he... he! Aku memang mau
pergi, tetapi harus bersama dengan
gadis itu. Sebab aku tahu, kalau gadis
itu kutinggalkan di tempat ini kalian
sudah pasti akan membunuhnya...!" kata
Pendekar Hina Kelana seperti pada
dirinya sendiri.
"Orang ini benar-benar cari
mampus. Dia sengaja cari gara-gara
dengan kita!" Anom Kendor nampak
sangat tidak senang sekali dengan apa
yang baru saja dikatakan oleh si
pemuda.
"Bocah, jadi engkau benar-benar
tak mau memenuhi keinginan kami. He...
he... he... jangan kira engkau dapat
begitu saja membawa gadis yang telah
banyak bikin kesulitan pada kami. Dia
telah membunuh muridku, untuk itu dia
harus membayar hutang nyawa...."
"Dia bohong! Aku tidak pernah
membunuh kakang Kunta...!" Winda Murti
yang sedari tadi hanya diam saja kini
mulai menyela. Sesaat lamanya Pendekar
Hina Kelana memandang pada gadis itu,
kemudian perhatiannya kembali tertuju
pada Wimba.
"Orang tua, tanpa gadis itu turut
bersamaku. Aku tak bisa memenuhi
keinginanmu itu...!"
"Bangsat! Kiranya engkau
bermaksud cabul dengan gadis itu.
Kalau begitu akan kubunuh engkau
terlebih dulu, setelah itu aku dengan
leluasa membunuh murid manusia sesat
Nilasari...!"
"Guru. Jangan-jangan budak inilah
manusianya yang berjuluk si Tangan
Setan itu...!"
"Iya guru. Mungkin inilah
bangsatnya si Tangan Setan itu."
menimpali murid-murid yang lainnya.
Bukan main terkejutnya hati pemuda
dari Negeri Bunian ini begitu men-
dengar tuduhan yang tidak beralasan
sama sekali. Tanpa sadar, wajahnya
kelihatan berubah memerah menahan
kemarahan yang bagai mengguncangkan
syarat otaknya. Geraham berkerokotan,
kedua bibirnya nampak terkatup rapat.
Hanya sesaat saja tubuhnya nampak
menggigil dan menegang. Lalu diapun
berseru lantang.
"Setan-setan menjijikkan, kalian
benar-benar sangat keterlaluan sekali.
Selamanya aku si Hina Kelana tidak
pernah turun tangan secara
sembarangan. Tetapi hari ini sikap
kalian yang sangat keterlaluan benar-
benar telah menghabiskan
kesabaranku...!" teriak Buang Sengket
kalap.
"He... he... he., engkau bisa
berbuat apa bocah?" ejek Wimba. Seraya
segera memberi isyarat pada keempat
orang muridnya. Secara serentak,
keempat orang itu segera mengurung
Pendekar Hina Kelana. Semakin
bertambah marahlah pendekar ini
dibuatnya. Kemudian seiring dengan
datangnya serangan murid-murid Wimba
yang datangnya secara mendadak itu.
Pendekar Hina Kelana secepatnya
mengerahkan ilmu Pemenggal Roh. Satu
lengkingan mengglegar terdengar.
"Haaiikkhgg!" Bumi serasa dilanda
gempa yang sangat hebat, daun-daun
hijau pun luruh berjatuhan ke bumi.
Beberapa orang penyerangnya nampak
berpentalan ke berbagai arah. Dari
telinga mereka mengalirkan darah
kental. Seandainya saja pendekar ini
punya niat untuk membunuh orang-orang
ini sudah barang tentu hanya menambah
sedikit tenaga sakti dalam lengkingan
Ilmu Pemenggal Roh tadi, pastilah
lawan-lawannya saat ini sudah terkapar
dengan jiwa melayang. Tetapi walaupun
pendekar ini tidak punya keinginan
menghabisi lawan-lawannya. Tetap saja
lengkingan Ilmu Pemenggal Roh
berakibat tidak lebih baik dari sebuah
kematian. Sebab dengan rusaknya
gendang-gendang telinga mereka. Sudah
barang tentu mereka ini akan menjadi
orang tuli seumur hidup.
Wajah Wimba nampak pucat sekali
begitu melihat apa yang tak pernah
disangka-sangkanya itu terjadi begitu
cepat. Sampai-sampai dia sendiri
hampir dibuat tak percaya. Pemuda ini
memiliki kemampuan di luar dugaannya.
Masih begitu muda, tetapi bukan saja
sudah memiliki tenaga dalam beberapa
tingkat di atasnya, tetapi juga
memiliki ilmu lain yang sangat langka,
bahkan tak pernah ada di bagian
Tenggara. Siapakah pemuda berpakaian
gembel ini, dari manakah asal usulnya?
Ucapnya dalam hati. Sementara itu
Pendekar Hina Kelana kini secara
perlahan telah membuka matanya
kembali. Dengan nanar, dipandanginya
guru dan murid itu satu demi satu.
Satu seringai maut menyungging
dibibirnya. Tetapi agaknya Wimba,
kini setelah mengetahui kehebatan si
pemuda, tiba-tiba saja telah berubah
pendirian. Lalu dengan sangat berhati-
hati dia bertanya:
"Orang muda, sesungguhnya siapkah
engkau ini, dari mana asal usulmu dan
siapa pula gurumu...?"
"Bukankah engkau tadi mau
membunuhku? Mengapa perlu tahu asal
usul segala...?" Si pemuda balik
bertanya.
"Mengingat di antara kita tak
pernah ada permusuhan, maka aku
menyudahi persoalan sampai di sini
saja...!" ujar Wimba pelan. Buang
Sengketa nampak tercengang beberapa
saat lamanya, tetapi kemudian dia
segera bertanya.
"Apakah engkau juga akan
membiarkan gadis itu pergi bersamaku,
orang tua...?"
"Benar. Asalkan engkau mau
mengatakan padaku tentang siapa adanya
engkau ini yang sebenarnya...!"
Mendengar keputusan gurunya,
agak-ya Anom Kendor kurang begitu
senang. Maka diapun menyela: "Guru.
Mengapa guru malah membebaskan gadis
setan itu dengan pemuda ini...?" tanya
laki-laki kurus cacingan itu sangat
penasaran sekali.
"Diam. Ini keputusanku...."
bantah Wimba tegas. Anom Kendor
menjadi ciut nyalinya, untuk itu
begitu gurunya membentak dia langsung
tutup mulut.
"Baiklah orang tua, aku merasa
patut berterima kasih atas kebaikanmu.
Lebih dari itu, sesungguhnya tentang
asal usulku sendiri, rasanya tidak ada
yang menarik untuk kuceritakan...."
"Apapun alasanmu, aku mau tahu
siapakah sesungguhnya dirimu. Pukulan
Empat Anasir Kehidupan, dulu hanya
merupakan cerita ratusan tahun yang
kudengar dari mulut ke mulut. Tetapi
siapa sangka hari ini cerita yang
telah melegenda itu, aku melihatnya
sendiri...!" kata Wimba begitu tiba-
tiba. Dan tentu saja hal itu membuat
Pendekar Hina Kelana terkejut bukan
main. Sama sekali dia tak pernah
menyangka kalau laki-laki dari
Terengganu itu bisa mengetahui pukulan
yang baru saja dia lepaskan tadi. Maka
diapun langsung menjura hormat!
"Sungguh jeli sekali matamu,
maafkan atas kekurang ajaran sikapku
tadi. Sungguh aku tak punya maksud
untuk pamer segala pukulan picisan di
depanmu...!" ucap Pendekar Hina Kelana
penuh penyesalan. Melihat tingkah si
pemuda yang tiba-tiba saja berubah
sopan, tahulah laki-laki ini bahwa
sesungguhnya pemuda yang rendah hati
itu merupakan seorang pendekar yang
sangat tangguh.
"Engkau terlalu berlebihan. Siapa
bilang Ilmu Pemenggal Roh merupakan
ilmu picisan. Bukankah engkau ini
muridnya si Bangkotan Koreng Seribu
yang namanya saja selama ratusan tahun
masih tetap melegenda hingga sampai
saat ini!" kejut dihati pendekar ini
bukan alang kepalang, sebegitu
hebatkah kebesaran gurunya hingga
namanya tetap dikenang dan diingat di
seantoro penjuru mata angin. Begitupun
tiada sedikit rasa bangga di hati si
pemuda, sebaliknya dia malah berkata:
"Orang tua, engkau mengetahui
begitu banyak tentang si Bangkotan
Koreng Seribu. Apakah dia masih punya
hubungan darah denganmu...?"
"Oho... tidak. Tetapi Eyang guru
kami dulunya merupakan sahabat karib
dari kakek sakti mendraguna itu...
Bahkan sebelum beliau meninggal empat
puluh tahun yang lalu dia bercerita
banyak tentang Kakek Bangkotan Koreng
Seribu, si manusia pembela kebenaran
tersebut," kata Wimba, seperti mencoba
mengingat-ingat kejadian puluhan tahun
yang telah silam. Legalah hati
pendekar Hina Kelana begitu mendengar
pengakuan laki-laki dari Trengganu
itu. Kini dia merasa tak ragu lagi
untuk mencoba cari tahu tentang
kehadiran si Tangan Setan.
"Kalau begitu aku pantas
memanggilmu paman, sebab ternyata kita
masih merupakan orang-orang
sendiri...!" desah pemuda ini, lalu
membungkuk hormat tiga kali.
"Jadi benarkah engkau ini
muridnya kakek sakti itu...?" tanya
Wimba nampak kegirangan.
"Benar orang tua... eh... paman
Wimba. Namaku Buang Sengketa, Kakek
Bangkotan Koreng Seribu memang guruku
sekaligus merupakan orang tua
angkatku...!"
Mendengar jawaban si pemuda,
tiba-tiba Wimba menoleh pada murid-
muridnya, lalu pada Winda Murti pula.
"Kalian semua cepatlah beri
hormat pada Buang Sengketa, selain itu
kalian juga harus minta maaf
padanya...!" perintah Wimba pada
murid-muridnya. Tanpa menunggu
diperintah dua kali, keempat orang
inipun langsung membungkukkan
badannya, begitupun halnya dengan
Winda Murti. Lalu, murid Wimba secara
serentak berucap.
"Maafkan kami pendekar! Kami
memang benar-benar tolol tak tahu
diri...!" kata mereka hampir
bersamaan. Mendapat perlakuan seperti
itu, pemuda ini jadi salah tingkah.
Kemudian dengan terburu-buru dia
berkata.
"Ah, sudahlah. Semua itu hanya
kesalahpahaman belaka, lupakanlah."
Dalam pada itu Wimba sudah menyela
kembali!
"Pendekar... beruntung sekali
kami dapat bertemu dengan murid tokoh
sakti seperti gurumu itu. Oh, ya
bagaimana keadaan gurumu, apakah
beliau masih hidup hingga sampai saat
ini... ee... maksudku apakah beliau
dalam keadaan sehat-sehat saja...?"
Pendekar Hina Kelana nampak tersenyum-
senyum, lalu dengan ramah pula dia
menjawab.
"Guruku dalam keadaan sehat-sehat
saja hingga sampai saat ini!" jawab si
pemuda.
"Syukurlah, kami tentu sangat
.senang mendengarnya, lebih dari itu
kami sudah merasa sangat beruntung
bertemu dengan muridnya...!"
"Paman Wimba, aku ingin
mengajukan beberapa pertanyaan. Semoga
anda tidak keberatan untuk
menjawabnya!" kata si pemuda mencoba
mengalihkan pembicaraan.
"Oho, katakan saja, seandainya
aku tahu sudah pasti dengan sangat
senang hati aku akan menjawabnya...!"
jawab Wimba, seraya tersenyum-senyum.
"Begini paman.Wimba... dalam
perjalanan menuju ke Tenggara ini, aku
sering mendengar orang-orang pada
membicarakan adanya si Tangan Setan.
Bahkan barusan paman ada menyinggung-
nyinggung adanya manusia penyebar maut
tersebut. Dapatkah paman ceritakan
siapakah adanya orang ini, dan apa
alasannya sehingga orang itu sampai
menyebar onar di mana-mana...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu,
untuk beberap saat lamanya dia
terdiam. Sepasang matanya yang nampak
cekung dan penuh gurat-gurat umur
nampak semakin menyipit. Namun pada
akhirnya diapun berkata:
"Hemm. Sesungguhnya aku sendiri
secara pasti tidak tahu, siapa adanya
orang itu. Setahun belakangan dia
melakukan pembunuhan secara membabi
buta. Pukulan beracun yang dia miliki,
tak seorangpun yang dapat menahannya.
Atau bahkan mungkin sudah ratusan
orang telah menjadi korbannya, tak
seorangpun tokoh kelas satu yang mampu
menghentikan segala sepak terjang
manusia setan itu...!" kata Wimba
begitu lirihnya. Lalu tanpa diminta
diapun menyambung kembali.
"Setiap orang kini saling curiga
mencurigai, seperti yang tadi engkau
lihat dan tanpa kehadiranmu mungking
gadis itu telah tewas tanpa kesalahan
yang pasti. Oh... betapa bodohnya aku
ini,. kematian Kunta dan beberapa
orang muridku yang lain membuat aku
hampir gelap mata...!" desah laki-laki
dari Trengganu itu sangat sedih, lalu
tanpa disadarinya air matanya menetes.
"Paman Wimba... sudahlah, aku
bisa memahami perasaanmu. Percayalah
padaku, cepat atau lambat aku akan
meringkus manusia keji itu!"
"Benarkah engkau akan mencari
orang itu...?" tanya Wimba hampir
berteriak kegirangan. Pendekar Hina
Kelana mengangguk mantap.
"Sebatas yang aku mampu
Paman...!"
"Seperti Kakek Bangkotan Koreng
Seribu, nampaknya sebagai seorang
murid engkau benar-benar telah
mewarisi segala apa yang pernah
dimilikinya. Sungguh mulia sekali
hatimu, nak,..!" kata Wimba terharu.
Pemuda dari Negeri Bunian itu nampak
tersenyum-senyum.
"Ada satu yang tak pernah tak
ingin kumiliki darinya, Paman...."
ucapnya masih tetap dengan senyumnya.
"Apa itu?"
"Aku tak pernah ingin mewarisi
korengnya yang tak pernah kunjung
sembuh itu." kata Buang Sengketa geli
sendiri. Dan untuk pertama kalinya,
pemuda ini melihat Wimba tertawa
tergelak-gelak.
"Engkau ini ada-ada saja orang
muda. Tak baik menceritakan kekurangan
guru sendiri."
"Ha... ha... ha! Sesungguhnya aku
cuma ingin mengingatkan bahwa tak ada
menusia di atas dunia ini yang
sempurna...!"
"Engkau benar, tetapi sepenuhnya
aku tetap percaya akan kemampuanmu. Oh
ya, apakah engkau tidak berniat
berkunjung kepondok kami?" tanya Wimba
setelah beberapa saat lamanya nampak
terdiam.
"Rasa-rasanya untuk sekarang ini
tidak, Paman. Tetapi apabila urusah
ini telah selesai, tentu aku akan
datang ke sana."
"Hmm. Benar juga! Sebagai orang
tua aku hanya mendoakan, semoga apa
yang menjadi tanggung jawabmu dapat
engkau selesaikan dengan baik...!"
"Terima kasih paman!" Kata
Pendekar Hina Kelana.lalu diapun
menjura beberapa kali. Tak lama
setelah itu, maka dengan disertai
Winda Murti. Meka pemuda itupun
kembali melanjutkan perjalanan.
* * *
Desau angin di senja yang resik,
nampak mengibarkan anak-anak rambutnya
yang dibiarkan tergerai sebatas bahu.
Gadis manis berkulit kuning langsat
itu memang tampak cantik mempesona.
Apalagi kini dia menanggalkan topeng
penyamarannya sebagai seorang laki-
laki yang sangat keji. Kini gadis yang
bernama Hning Ksaban itu nampak terus
melangkah dengan tenangnya
meninggalkah Lembah Tapis Angin.
Berjalan seorang diri, nampaknya
gadis berwajah cantik mempesona itu
tidak mengenal rasa takut sedikitpun,
kalau-kalau ada orang yang bermaksud
jahat terhadap dirinya. Padahal di
senja itu dia nampak sedang menelusuri
pinggiran hutan. Di Lembah Tapis Angin
atau di wilayah Trengganu dan bahkan
di daerah bagian Tenggara lainnya. Tak
seorang pun yang mengenal siapa gadis
montok ini, jangankan lagi tentang
asal usulnya. Tetapi apabila orang mau
mengingat kejadian sembilan belas
tahun yang lalu. Sudah barang pasti
mereka akan dibuat terbelalak tak
percaya. Masih lekat dalam ingatan
gadis itu, ketika dia masih borumur
tiga tahun. Betapa pedih hatinya bila
teringat malapetaka yang telah menimpa
keluarganya.
Dia sadar, semua itu terjadi
akibat fitnah dari segelintir golongan
yang tidak menyukai ayahnya terpilih
menjadi Adipati Trengganu. Sebab
menurut kebiasaan di daerah itu,
menjadi satu pantangan bagi seorang
pendatang menjabat satu kedudukan
penting dalam wilayah kekuasaan Istana
Giling Wesi. Apapun keputusan sang
raja, namun tanpa sepengetahuannya.
Sewaktu-waktu pemberontak dapat
meletus sebagai akibat rasa ketidak
senangan mereka terhadap Adipati yang
baru. Dan Panji Paksi yang
sesungguhnya.seorang pendekar
persilatan berhati luhur. Sebagai
seorang pendekar di daerah Trengganu
dia telah menunjukkan sifat-sifat yang
arif. Agaknya sang raja menaruh
simpati padanya. Maka tak salah kalau
dalam pemilihan Adipati yang baru dia
terpilih menjadi Adipati di daerah
Trengganu. Kiranya nama baik yang
terangkat tidak selamanya menjanjikan
kebahagiaan. Giris Rawa, sebagai
Adipati lama merasa kurang puas dengan
keputusan sang raja. Kemudian mengutus
orang-orang ke-percayaannya untuk
menghasut penduduk setempat. Maka
malam yang naas itupun tak dapat
terelakkan lagi. Bersama Giris Rawa,
rakyat memberontak, kemudian secara
beramai-ramai mereka mengepung tempat
kediaman Panji Paksi. Sedapatnya
Adipati yang baru itu bertahan mati-
matian. Tetapi apa daya. Giris Rawa
dan para pembantunya adalah tokoh
persilatan juga, ditambah dengan
bantuan rakyat yang jumlahnya mencapai
ratusan. Sudah barang tentu pada
akhirnya Panji Paksi tewas di tangan
rakyat. Lebih dari itu yang membuat
dendam si gadis terus berkobar-kobar
bahkan bersumpah untuk membumi
hanguskan Trengganu adalah karena
kebiadaban Giris Rawa yang telah
memperkosa ibu kandungnya di depan
batang hidungnya. Masih segar dalam
ingatan gadis itu, bagaimana ibunya
merintih-rintih, bahkah menjerit-jerit
ampun. Tetapi pada saat itu Giris Rawa
dan orang-orangnya tiada pernah
perduli. Bahkan secara bergantian
mereka terus melampiaskan nafsu
binatangnya. Hingga ibunya tewas
seketika itu juga.
* * *
LIMA
Kejadian yang sangat menyakitkan
itu berlangsung begitu cepat. Giris
Rawa dan para ponduduk setempat
membakar habis rumah kediaman Panji
Paksi. Masih untung pada saat yang
kritis itu seorang kakek tua telah
menyelamatkan jiwanya. Hingga sampai
belasan tahun telah merawat dan
mendidiknya dengan berbagai ilmu sakti
yang yang tiada tanding. Dan kini
Hning Ksaban telah kembali! Menjadi
seorang gadis tangguh yang selama
hampir setahun telah membuat gempar
seantoro penjuru mata angin. Siapa
lagi gadis berwajah cantik namun
dingin ini? Dialah si Tangan Setan.
Yang membuat menggigit setiap orang,
dialah pembunuh misterius itu. Kini
gadis itu terus melangkahkan kakinya
menelusuri pinggiran hutan itu dengan
pasti.
Satu saat dia menghentikan
langkahnya, begitu pendengarannya yang
tajam itu sempat mendengar
bergemerisiknya daun-daun di
sekitarnya.
"Tikus-tikus hutan. Cepat
tunjukkan tampang kalian! Kalau tidak
aku akan hancurkan tempat
persembunyianmu...!" bentak gadis
cantik itu ketus sekali. Selesai
dengan ucapannya itu, maka secara
serentak bermunculan empat orang laki-
laki berbadan gemuk tinggi dengan
tampak bengis menyeramkan.
Orang-orang ini langsung
terbahak-bahak begitu melihat
kehadiran gadis cantik itu di hadapan
mereka.
"He... He... He...! Beruntung
sekali, hari ini Empat Begal dapat
mangsa yang sangat cuantik. Gleek...!"
Salah seorang di antara mereka yang
berkaki tunggal nampak nyerocos air
liurnya demi menyaksikan kecantikan
gadis yang berdiri di hadapannya.
"Nampaknya dia akan lebih
menyenangkan, daripada hanya sekarung
harta, ya kakang...!" menimpali yang
lainnya pula. Tanpa memperdulikan
ucapan Begal lainnya. Si Kaki Tunggal
nampak semakin mendekat pada si gadis.
"Aha... aku yakin bidadari cantik
ini tentu sangat hebat di tempat
tidur...!" kata si kaki tunggal
seperti pada dirinya sendiri.
"Melihat bentuk pinggulnya dia
masih perawan, kakang...!" Lagi-lagi
yang bertangan tunggal satunya ikut
menyela.
Melihat penampilan keempat laki-
laki bertampang bengis itu, dan
menilik caranya berbicara. Tahulah si
gadis bahwa cecunguk yang menghadang
perjalanannya itu tak lebih hanyalah
merupakan perampok hutan atau
sejenisnya. Si gadis yang berjuluk si
Tangan Setan itu nampak marah sekali.
Jangankan terhadap orang yang telah
berkata kotor kasar. Sedangkan kepada
semua golongan persilatan yang tak
punya urusan dengan dirinya saja, dia
turunkan tangan telengas. Kini ada
pula keempat monyet hutan yang telah
begitu berani berkata sekurang ajar
itu. Maka hanya ada satu dalam
hatinya. Membunuh dan terus membunuh.
"Segala begal bau! Tidak tahukah
kalian siapa yang kalian hadapi...?"
Ditanya seperti itu, keempat
begal tertawa panjang pendek.
"Yang aku tahu, tentu engkau ini
seorang bidadari yang sengaja dikirim
oleh Dewa untuk... he... he... he...!"
Tanpa meneruskan ucapannya yang cabul
itu. Sebaliknya keempat begal itu
terus mengekeh.
"Bagus! Aku memang oleh dewa
untuk mencabuti nyawa kalian. Lihatlah
ini...!" Tiba-tiba si gadis membuka
dua buah kancing bajunya yang paling
atas. Sehingga terlihatlah kebagusan
bagian dadanya yang nampak terbuka
sebagian. Keempat begal itu nampak
terbelalak tak percaya. Mata mereka
melotot bagai mau melompat ke luar.
Layaknya mereka seperti baru saja
mendapat hasil rampokan yang sangat
mahal harganya. Darah di tubuh masing-
masing segera bergolak, nafas mereka
nampak memburu dan membuat sesak
rongga dada. Tanpa fikir panjang lagi
si kaki tunggal yang bertampang paling
sangar ini langsung menubruk ke muka.
Di luar dugaannya secepat kilat Hning
Ksaban gerakkan jemari tangannya.
"Wuuut!"
Empat sinar biru melesat
sedemikian cepatnya ke arah empat
begal itu. Keempat orang ini tidak
sempat menyadari apa yang sesungguhnya
sedang terjadi. Ketika sinar biru
berhawa dingin itu amblas ke dalam
tubuh mereka. Sekejap langkah mereka
terhenti. Tiba-tiba saja mata keempat
begal itu melotot, bumi serasa semakin
gelap dan berputar-putar. Kemudian
semaunya menjadi kabur dan samar-
samar, lalu secara perlahan tubuh ke
empat orang ini mulai mengejang hingga
akhirnya ambruk dengan menimbulkan
suara bergedebukkan. Orang-orang itu
tewas secara menyedihkan pada saat itu
juga. Hning Ksaban tersenyum saja.
Seolah melakukan pekerjaan itu
merupakan suatu hal yang sudah sangat
biasa dan wajar. Kemudian tanpa
menoleh lagi dengan tenang dia
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sudah hampir satu pekan Tabib
Setan Gila melarikan diri dari
rumahnya, hampir sepanjang perjalanan
yang dia lalui. Nampak mayat-mayat
bergelimpangan, tak ada tanda-tanda
lain dari kematian mereka, terkecuali
akibat pukulan beracun Raja Cobra.
Tabib Setan Gila sudah dapat
memastikan siapa gerangan yang telah
melakukan tinda-kan keji itu. Si
Tangan Setan, ya hanya dialah manusia
penyebar maut di mana-mana. Sungguhpun
hatinya merasa sangat iba melihat
nasib gadis di balik topeng itu. Te-
tapi pembunuhan yang dilakukan secara
semena-mena, telah menimbulkan
kebencian di hati Tabib yang arif ini.
Pembunuhan dengan alasan apapun dan
dilakukan secara membabi buta tidak
dapat dia terima. Tiba-tiba fikiran
kakek tua bertongkat tengkorak itu
menjadi kacau. Ingin rasanya dia
melaporkan kejadian itu pada Adipati
Giris Rawa yang kini berkuasa kembali
di daerah Trengganu. Akan tetapi
hatinya menjadi bimbang. Dia tidak
tega melihat nasib yang akan menimpa
Hning Ksaban andai nanti sampai
tertangkap oleh Giris Rawa dan orang-
orangnya. Sudah barang tentu dia akan
menjadi korban nafsu Giris Rawa yang
tak pernah bosan menikmati wanita-
wanita cantik.
Walaupun sesungguhnya gadis itu
tak tahu bahwa Tabib Setan Gila masih
merupakan sahabat baik ayahhandanya
Panji Paksi. Dan gadis itu memang
tidak pernah akan mengerti, karena
kala itu dia masih merupakan seorang
bocah cilik berumur tiga tahun. Ah.
Entah dengan siapa keturunan Panji
Paksi itu berguru, sehingga memiliki
ilmu kepandaian yang pada akhirnya
menjadi biang bencana di mana-mana.
Tabib Setan Gila tiba-tiba saja
mengeluh dalam hati. Dalam keadaan
seperti itu, dia benar-benar tak tahu
bagaimana harus mengambil sikap.
Haruskah bencana yang mengerikan
sebagai pelampiasan dendam itu dia
biarkan terus-menerus, sementara dia
sendiri secara persis sudah mengetahui
siapa sesungguhnya si Tangan Setan
itu. Sedangkan apabila melaporkannya
pada sang Adipati, dia tak tega
melihat nasib putri sahabatnya itu,
pula Adipati Giris Rawa sesungguhnya
merupakan manusia yang licik dan
tamak. Dulu manusia iblis itu pula
yang telah membunuh dan membakar rumah
sahabat karibnya. Jalan satu-satunya
adalah bungkam dan mengungsi sejauh-
jauhnya. Teringat sampai ke situ,
tiba-tiba Tabib Setan Gila ambil
langkah seribu.
Namun baru saja beberapa tombak
dia beranjak, secara tiba-tiba dari
arah depannya muncul belasan orang
para bawahan Adipati. Beberapa orang
di antara para bawahan Adipati ini
nampak menyeringai menahan sakit.
Agaknya Tabib Setan Gila sudah
mengetahui bahwa orang-orang itu me-
rupakan korban si Tangan Setan.
Meskipun begitu Tabib Setan Gila
nampak berpura-pura, dengan menegur
marah.
"Siapakah kalian ini. Minggir aku
mau lewat!" Salah seorang di antara
mereka yang mungkin saja sebagai
pimpinan, nampak melangkah beberapa
tindak. Laki-laki ini berpakaian warna
yang kembang-kembang, wajahnya tirus
dengan beberapa helai kumis hingga
selain berkesan menyeramkan namun juga
lucu. Sambil menimang-nimang senjata
yang berupa sebilah pedang berwarna
hitam legam. Laki-laki itu berucap.
"Tabib Setan Gila. Susah payah
kami datang ke Lembah Tapis Angin,
ternyata engkau telah minggat dari
pondokmu. Bahkan engkau biarkan mayat-
mayat korban kebiadaban si Tangan
Setan bergelimpangan begitu saja...!"
Alis si Tabib tua yang sudah
nampak memutih secara keseluruhannya
itu nampak mengerut. Dia coba
mengingat-ingat dan rasa-rasanya dulu
dia pernah melihat manusia berwajah
tirus itu, tetapi entah di mana. Hmm.
Tak salah, orang itulah dulu yang
turut memperkosa istri sahabatnya
hingga tewas secara menyedihkan.
Mendadak hatinya menjadi panas bagai
terbakar. Tetapi sedapat-dapatnya dia
mencoba menekan kemarahannya.
"Aku memang sengaja meninggalkan
tempat itu, karena daerah itu sudah
tak aman lagi untuk kutinggali...!"
jawab Tabib tua ini berusaha jujur.
Laki-laki orang kepercayaan Adipati
yang bernama Dingklang itu nampak
tersenyum mencibir.
"Tabib Setan Gila! Dengan orang
kepercayaan Adipati, janganlah sekali
engkau coba-coba berdusta. Kami
melihat di tempat itu seperti baru
saja beberapa hari telah terjadi
pertarungan. Masakan engkau tak tahu
sebagai tuan rumah yang sah...!" Andai
saja tidak mengingat betapa besarnya
pengaruh dan kekuasaan Adipati. Sudah
barang tentu Tebib Setan Gila
mendengar kata-kata yang setengah
menuduh itu. Sudah pasti langsung
melabrak laki-laki yang bernama
Dingklang itu. Tetapi demi menyadari
akibat yang mungkin timbul bila dia
bertindak nekad, maka sambil berusaha
menahan kedongkolannya dia berkata
tegas.
"Kuakui, ketika aku meninggalkan
rumahku ada hampir lima belas orang
sedang dalam perawatanku, tetapi
mengenai pertarungan itu aku tak
tahu!"
"Apa alasanmu hingga meninggalkan
para pesakitan itu?" tanya laki-laki
berwajah tirus itu dipenuhi keingin
tahuan
"Sudah kukatakan bahwa Lembah
Tapis Angin sudah tak aman lagi
bagiku." jawah Tabib Setan Gila
nampaknya sudah tak dapat menahan
kekesalannya lagi.
"Tentu ada sebabnya bukan?" Sela
Dingkling mencemooh. Tabib Setan Gila
nampak terdiam dan meragu.
"Katakan saja, mengapa mesti
takut! Keberadaanmu sangat di perlukan
oleh orang banyak. Dan sebagai orang-
orang pemerintahan kami punya
kewajiban untuk melindungi orang-orang
yang sangat di perlukan...!" ucap
laki-laki itu dengan sombongnya. Tabib
Setan Gila mengangguk, dalam hatinya
mencaci maki. Omongan saja yang besar.
Sedangkan untuk melindungi diri
sendiri saja tidak becus. Buktinya
kawan-kawannya saja sampai terkena
pukulan beracun si Raja Cobra milik si
Tangan Setan. Batinnya.
"Aku tak berani mengatakannya,
Kisanak...!"
"Apakah dia pernah bertemu
denganmu...?" tanya laki-laki kumis
ikan lele ini penasaran. Tabib Setan
Gila gelengkan kepalanya.
"Tidak pernah. Dia mengancamkan
melalui ilmu menyusupkan suara." Bukan
main terkejutnya orang kepercayaan
Adipati Giris Rawa ini demi mendengar
apa yang dikatakan oleh si Tabib. Hal
yang serupa juga pernah terjadi pada
mereka dua hari yang lalu. Akibatnya
sepuluh orang bawahannya terkena
pukulan beracun. Sementara dia sendiri
malah sampai kehilangan jejak dalam
melacak si penyerang misterius itu.
"Tabib. Adakah orang yang
mengancam-mu itu seorang laki-laki?"
"Agaknya begitulah!"
"Dia memakai topeng...?!" tanya
si Dingklang lebih lanjut.
"Sudah kukatakan aku tak tahu,
sebab akupun tak pernah bertemu dengan
orang itu!" jawab Tabib Setan Gila
sangat kesal sekali.
"Hemm. Baiklah... baiklah! Kalau
engkau tak tahu, tak jadi soal.
Siapapun adanya si bangsat keji itu
cepat atau lambat dia pasti akan
tertangkap juga. Lebih dari itu
sekarang ini kami sangat membutuhkan
pertolonganmu untuk mengobati kawan-
kawanku yang terkena pukulan si Tangan
Setan! Cepatlah kerjakan sekarang
juga!" perintah Dingklang sedikit
memaksa. Memerah paras laki-laki tua
bertongkat dari Lembah Tapis Angin itu
demi mendengar kata-kata Dingklang
yang bernada memerintah. Seumur hidup
belum pernah ada orang yang meminta
pertolongannya dengan cara memaksa
seperti itu. Tetapi kini, seorang
bawahan Adipati yang sangat di
bencinya telah berani memberi perintah
seperti itu. Menolong para gelandangan
yang hidup terlunta-lunta baginya akan
baik daripada menolong manusia yang
mengaku dari golongan bersih, namun
hati yang sesungguhnya dipenuhi dengan
kekejian. Tiba-tiba amarahnya yang
sejak tadi dia tahan-tahan kini sudah
tak dapat dia bendung lagi. Tanpa
sungkan-sungkan lagi dia berkata
ketus.
"Kisanak... apakah engkau
bermaksud memaksaku...?" tanya Tabib
Setan Gila dengan pandangan berapi-
api.
"Aku tak punya maksud memaksamu
Tabib! Tetapi ini sebuah perintah yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi...!"
"Kisanak! Sejak aku meninggalkan
Lembah Tapis Angin, aku sudah
memutuskan untuk tidak menjadi Tabib
lagi...!"
"Ah! Keputusanmu terlalu tergesa-
gesa Tabib. Mengapa pada saat tenagamu
dibutuhkan oleh banyak orang, tiba-
tiba engkau mengambil keputusan yang
sangat picik seperti itu...?" Tanya
laki-laki kepercayaan Adipati Giris
Rawa sangat herannya.
"Kalian dengarlah. Meskipun aku
berusaha mengobati setiap orang yang
terkena pukulan si tangan Setan. Tak
seorangpun yang dapat kuselamatkan!
Racun itu teramat ganas, dan sejauh
ini aku belum menemukan obatnya...!"
"Hok... hok... hok...! Jangan
coba-coba mengelabuhi kami, Tabib,
semua orang tahu akan kehebatanmu,
racun apapun pernah sembuh di
tanganmu. Kini engkau malah bertingkah
yang tidak-tidak!" bentak si Dingklang
bukan main gusarnya.
* * *
ENAM
Wajah Tabib Setan Gila berubah
kelam membesi, dia sadar walau secara
apapun dia berusaha menerangkan, tidak
nantinya para begundal Adipati itu mau
mempercayai kata-katanya. ,
"Mengapa engkau hanya diam saja,
Tabib? Bukankah benar apa yang aku
katakan tadi...?"
"Tidak benar sama sekali."
celetuk si Tabib Setan Gila. Dingklang
katupkan bibir dan pelototkan matanya
yang hampir sebesar jengkol. Lalu
diapun membentak marah!
"Sialan betul engkau ini. Jadi
engkau tak mau mengobati kawan-
kawanku...?"
"Bukan tak mau, tapi aku telah
memutuskan untuk dunia ketabiban..!"
jawab si Tabib tenang.
"Bedebah... rupanya engkau benar-
benar hendak membangkang perintah
penguasa yang sah...."
"Di hatiku tidak pernah ada niat
untuk membantah kekuasaan siapapun.
Aku hanya ingin menepati janjiku
sendiril"
"Sekalipun kepalamu akan
menggelinding sebagai akibat
kesombonganmu itu?" menyela Dingklang
berang sekali.
"Sekalipun nyawaku harus
melayang, aku tak akan pernah merobah
keputusanku sendiri...!" ujar Tabib
Setan Gila mantap. Hal ini malah
membuat laki-laki dari Trengganu itu
semakin bertambah murka.
"Keparaaat... akan sia-sialah
keputusanmu itu, sebab aku tak akan
pernah membiarkan seorang pembangkang
penguasa hidup lebih lama lagi...."
Berkata begitu dia menoleh pada orang-
orangnya, kemudian segera memberi
perintah!
"Anak-anak! Cincang Tabib munafik
ini...!" perintahnya berang. Lalu
diapun segera melolos pedangriya yang
berwarna hitam legam menakutkan.
Orang-orang yang sudah terluka dalam
cukup serius itu, tanpa banyak kata
langsung saja mengurung si Tabib Setan
Gila. Tatapi sebelum mereka bergerak
lebih lanjut dia berseru lantang.
"Kaki tangan Adipati iblis,
manusia licik berhati keji. Kulihat
hanya engkau seoranglah yang tidak
mengidap pukulan beracun itu,
kuperingatkan bagimu. Lebih baik
engkau cabut ucapanmu, kemudian
menyingkirlah dari hadapanku. Andai
tidak...!' Tabib Setan Gila hentikan
ucapannya.
"Andai tidak, engkau bisa berbuat
apa Tabib tolol...?" bentak si
Dingklang dengan pedang terhunus.
" Jika tidak, dua langkah di
depan orang-orangmu akan segera
lumpuh. Racun si Raja Kobra tak pernah
ada obatnya! He... he., he...." kata
Tabib tua itu sembari mengekeh.
"Bangsat, jangan coba-coba
menggertak kami...."
"Tak percaya. Cobalah...!"
"Anak-anak, tunggu apa lagi!
Bunuh dia...!" Secara serentak empat
belas orang itu secara serentak
bergertak maju. Namun tepat seperti
apa yang dikatakan oleh si Tabib Setan
Gila. Baru beberapa tindak mereka
melangkah, tiba-tiba langkah mereka
terhenti di tengah jalan. Tubuh
keempat belas orang itu nampak
menggigil dan gemetaran. Wajah mereka
sudah pucat kebiru-biruan itu nampak
semakin bertambah membiru. Kejut di
hati Dingklang bukan alang kepalang,
sedikitpun dia tiada menyangka kalau
apa yang di katakan oleh Tabib Tangan
Setan pada akhirnya akan menjadi
sebuah kenyataan. Dan yang semakin
membuatnya terlongong-longong adalah
karena tidak begitu lama setelah itu.
Satu demi satu, para anak buahnya
nampak roboh tanpa daya. Mendidihlah
darah, laki-laki yang merupakan tangan
kanan Adipati Trengganu ini. Sesaat
lamanya Dingklang memandangi orang-
orangnya yang tewas secara
menggenaskan. Kemudian dia kembali
berpaling pada Tabib Setan Gila, sorot
matanya begitu dingin, sesungging
seringai maut membias di wajahnya yang
tirus dan sadis. Lalu dengan jerit
melengking tinggi, diapun kembali
membentak.
"Setan Gila! Puaskah hatimu
setelah melihat kematian orang-
orangku?" Tabib Setan Gila gelengkan
kepala, betapapun jiwa welas asih,
hatinya sempat terenyuh juga.
"Apapun yang menjadi sebab
kematian itu, sesungguhnya tiada
seorangpun yang punya kuasa untuk
mampu menolaknya, begitupun aku...!"
ujar laki-laki dari Lembah Tapis Angin
itu pelan.
"Kurang ajar! Aku tak butuh
khotbahmu, Tabib kropok...!"
"Jadi apa maumu, Ki Sanak...?"
Dingklang memakin panjang pendek,
dia merasa Tabib Setan Gila sengaja
mengulur-ulur waktu dengan cara
mempermainkannya.
"Tak ada yang kuinginkan darimu
terkecuali memenggal kepalamu dan
meminum darahmu.kata Dingklang geram
sekali.
"Ho... ho... ho...! Darahku
sangat pahit rasanya, Kisanak...
engkau pasti tidak menyukainya."
"Kalau darahmu memang tak enak,
biarlah pedangku yang haus darah ini
yang akan menyantapnya...!" Teriak
tangan kanan Adipati Trengganu.
Kemudian serentak mengirimkan
serangan-serangan kilat.
"Bagus! Bagus! Keluarkanlah
seluruh kepandaianmu, aku jadi ingin
lihat seberapa hebat kepandaian tangan
kanan anjing Adipati...!"
"Bangsaaat...!" maki laki-laki
berwajah tirus itu sambil kirimkan
satu tusukan satu babatan. Pada saat
seperti itu kaki kanannya terayun ke
atas. Mendapat serangan sedemikian
rupa. Tabib Setan Gila yang juga
memiliki kepandaian silat satu tingkat
di atas Dingklang terlihat tenang-
tenang saja. Dia berkelit sedikit
begitu pedang di tangan Dingklang
menderu mengancam bagian lehernya.
Sementara tongkatnya yang berupa
kepala tengkorak itu memapaki
datangnya satu sapuan kaki kanan
lawannya yang tiada menyangka si Tabib
akan mempergunakan tongkatnya nampak
berseru kaget. Lalu sedapatnya
berusaha menarik balik kaki kanannya.
Tetapi tanpa disangka-sangka, tongkat
tengkorak di tangan Tabib Setan Gila
malah bergerak lebih cepat lagi. Tak
terhindarkan.
"Bletaak!"
Masih untung bagi Dingklang
karena Tabib Setan Gila tiada
mengerahkan segenap kemampuannya.
Seandainya laki-laki tua itu memang
mempunyai maksud-maksud tak baik.
Sudah barang tentu, kaki Dingklang
akan remuk atau setidak-tidaknya
menjadi patah. Begitupun laki-laki
kepercayaan Adipati Trengganu itu
masih tetap menjerit-jerit kesakitan
sambil memaki dengan kata-kata kotor.
Dia melompat-lompat bagai seekor
anjing yang kena gebuk. Begitu dia
memeriksa tulang betisnya bagian atas
nampaklah olehnya bagian yang terpukul
itu memar dan membiru.
"Wah sial betul engkau ini Tabib
dungu. Engkau telah memukul tulang
keringku...!"
"Tidak kuremukkan saja sudah
syukur!" ejek Tabib Setan Gila
menyeringai. Hal ini malah semakin
membuat laki-laki berwajah tirus itu
panas hatinya. Lalu tanpa berkata-kata
lagi dia kembali menyerang si Tabib
tua. Senjatanya yang berwarna hitam
Itu kembali menderu sebatnya. Dalam
waktu sekejap saja pertarungan sudah
mencapai puluhan jurus. Karena
Dingklang menyerang si Tabib secara
nekad dan membabi buta, maka beberapa
jurus di depan laki-laki dari Lembah
Tapis Angin irii sudah kena didesak.
Dengan penuh kesabaran si Tabib terus
mengelak dan menangkis-.
Satu kesempatan Dingklang melihal
salah satu sisi pertahanan lawan
nampak terbuka. Tangan kanan Adipati
Trengganu itu menyeringai, lalu dengan
satu bentak kan keras dia segera putar
pedangnya ke segala arah, tubuhnya
berkelebat sedemikian cepatnya. Tak
ayal, laki-laki itu kini telah
mempergunakan jurus yang paling
menjadi andalannya. Tarian Sepasang
Garuda, yang terkenal ganas dan sangat
mematikan itu. Senjata itu terus
berkiblat dan menderu-deru mencari
sasarannya, tahulah kakek Tabib ini
bahwa lawan memang benar-benar
menghendaki nyawanya. Tanpa ampun
Tabib inipun memutar tongkatnya,
nehingga membentuk satu pertahanan
yang sangat tangguh.
"Weeer!"
Pedang di tangan si Dingklang
menyambar pada bagian perut si Tabib,
kakek ini pun dengan cepat menyambuti
dengan tongkat tengkoraknya.
"Hayaaa...!"
"Craak!"
Beradunya dua kekuatan besar,
membuat si Tabib yang tiada pernah
memiliki keinginan untuk membunuh
lawannya itu nampak terguling-guling.
Tongkat di tangannya terbabat putus,
sehingga tinggal sebagian saja. Demi
melihat kehebatannya sendiri laki-laki
dari Trengganu itu nampak menyeringai
puas. Kini dia benar-benar merasa
berada di atas angin. Dengan sekali
tebas lagi, maka menggelindinglah
kepala si Tabib tua itu. Begitulah dia
berfikir. Maka tanpa fikir panjang
lagi, dia kirimkan satu serangan
puncak pada si Tabib Setan Gila. Sudah
barang tentu hal itu dalam perhitungan
si Tabib dari Lembah Tapis Angin ini.
Maka diapun segera mencabut beberapa
bantang jarum yang biasa di pergunakan
untuk pengobatan, dari balik jubahnya.
Begitulah, ketika serangan itu datang
dengan cepat, kakek ini tidak berusaha
mengindar, seolah-olah dia sudah
pasrah menerima kematian. Namun begitu
mata pedang yang menebarkan bau
menjijikkan itu sejengkal berada di
depan dadanya. Dengan sisa tongkat
yang masih berada dalam genggamannya
dia menangkis dengan tangan kirinya,
sementara tangan kanannya bergerak
lebih cepat mengarah pada bagian
leher.
"Craaak!"
"Creep!"
Bersamaan dengan membenturnya pe-
dang pihak lawan dengan sisa
tongkatnya, pada saat itu pula jarum-
jarum di tangan si kakek ini pun
menembus jalan darah si Dingklang.
Tiada jerit maupun lolong kematian,
seketika itu juga tubuh begundalnya
Adipati Trengganu itu terasa sangat
kaku dan sulit untuk digerakkan.
Laksana patung yang dibentuk
sedemikian rupa. Kedua bola matanya
nampak melotot, senjatanya tetap
tergenggam seperti pada saat melakukan
serangan tadi. Tubuh si Dingklang
memang dalam keadaan tertotok, tak
siapapun yang mampu membebaskan laki-
laki itu. Tabib Setan Gila tertawa
tergelak-gelak demi menyaksikan
kerjanya sendiri.
"Wei... bagus sekali posisimu
itu, begundal Adipati. Kalau tubuhmu
kujadikan mummi kemudian kujual pada
raja, sudah pasti akan sangat mahal
sekali hargamu. Sekarang yang mana
satu yang akan kau pilih? Yang pertama
kucongkel kedua matamu, atau yang
kedua kutelanjangi saja...!" kata
Tabib tua itu, mendadak berubah konyol
kekanak-kanakkan.
"Oh, sial betul aku hari ini!"
keluh Dingklang kumis ikan lele.
"Engkau tak perlu mengeluh cepat
katakan yang mana satu yang engkau
pilih?"
"Tabib kentut bau. Bebaskan
totokan terkutuk ini, mari kita
bertarung seribu jurus!" teriak laki-
laki dari Trengganu itu marah sekali.
"Ho... ho... ho...! Tarian
Sepasang Garuda-ompong saja tak
mencapai seratus jurus, dari mana lagi
engkau mau menambahi yang sembilan
ratus jurus lainnya...?" Tabib Setan
Gila mengejek.
"Bangsat! Siapakah engkau ini,
sehingga tahu kalau jurus-jurus
Sepasang Garuda milikku cuina seratus
jurus...!" tanya Dingklang bloon.
"Aha., siapa sih yang tidak kenal
pada iblis-iblis tukang perkosa dan
perampas kedudukan orang. Ingatkah
engkau pada Panji Paksi dan istrinya
yang tewas karena kalian perkosa...?"
Bukan alang kepalang terkejutnya si
Dingklang ini, sedikitpun dia tiada
pernah menyangka kalau Tabib tua itu
mengetahui peristiwa yang pernah
terjadi sembilan belas tahun yang lalu
itu. Tak berapa lama kemudian dengan
sangat ketakutan sekali dia bertanya.
"Siapa.. siapakah engkau ini
Tabib sial. Engkau jangan mengada-ada!
Semua orang tau kalau Panji Paksi
tewas karena kepemimpinannya memang
tidak disukai oleh orang banyak!"
"Kurang ajar, masih jugakah
engkau mau bohong pada orang tua
sepertiku ini? Bukan si bangsat Giris
Rawa menghasut rakyat untuk
memberontak, hingga malam jahanam itu
membuat puas hati kalian...!-" bentak
Tabib setan Gila, lalu diapun maju
tiga langkah. Sehigga kini mereka
benar-benar telah berhadapan muka.
Tubuh Dingklang nampak menggigil bagai
terserang demam malaria, apa yang
telah dikatakan oleh I si Tabib tua
benar-benar bagai menelanjangi
tubuhnya bulat-bulat. Tiada kata yalig
terucap, dia nampak semakin ketakutan
sekali begitu si Tabib mengulurkan
tangannya pada bagian lehernya.
"Tabib! Apa yang hendak engkau
lakukan?"
"He... he... he...! Semestinya
aku harus memotong pusaka keramatmu,
biar tak bikin melapetaka bagi kaum
perempuan. Tetapi aku berobah
pendirian, aku telah memutuskan untuk
menghukummu seringan-ringannya.
Bagaimana kalau kuminta kumismu saja
yang cuma beberapa helai itu?" tanya
si Tabib.
***
TUJUH
Kejut hati Dingklang bukan alang
kepalang, baginya daripada
diperlakukan seperti itu masih lebih
baik dibunuh saja. Maka diapun
berteriak-teriak ketika Tabib Setan
Gila mulai memilin-milin kumisnya yang
cuma beberapa lembar itu.
"Suakiit! Jangan kau cabut
kumisku. Lebih baik kau bunuh
saja...!" jeritnya histeris.
"Wee! Engkau ini tolol sekali.
Mencabut nyawa itu bukan wewenangku,
mengapa engkau harus menjerit-jerit.
Sedangkan kala itu engkau malah
tertawa-tawa ketika istri Panji Paksi
menjerit minta di ampuni...!"
Serentak dengan ucapannya itu,
Tabib Setan Gila mulai menarik kumis
si Dingklang kanan kiri. Sebentar saja
bibir laki-laki dari Trengganu itu
nampak terangkat ke atas mengikuti
gerakan tangan si Tabib.
"Nah... bagus sekali bibirmu ini!
Cengar-cengir bagai kambing bandot
yang ketemu betinanya."
"Nah... nah... yang ini lebih
bagus lagi. Engkau memang punya bakat
menjadi kambing bandot, bisa mengumbar
nafsu seenak perutmu saja. He... he...
he... persis dan lucu sekali!" ujar
laki-laki tua dari Lembah Tapis Angin
bagai orang senewen. Sejenak dia
melepaskan kumis si Dingklang, sumpah
serapah segera berhamburan dari mulut
orang ini.
"Tabib goublook, manusia sinting.
Bunuh saja aku! Aku benci pada
perlakuanmu." makinya panjang pendek.
"Wah engkau malah memakiku!
Kurang ajar sekali mulutmu. Tahukah
engkau bahwa sesunguhnya aku sendiri
sangat benci pada Adipati gendeng dan
begundalnya...?"
"Setan gila, segala apa yang
engkau katakan itu nanti akan
kulaporkan pada Adipati Yang Mulia.
Dan engkau akan menyesal seumur-umur!"
"Cerewet sekali mulutmu, kayak
nenek-nenek saja. Nih...!" Berkata
begitu, tangan si Tabib berkelebat
menyambar ke bagian atas bibir.
"Brut!.Bruut!"
Si Dingklang yang tak mampu
berbuat banyak itu nampak menjerit-
jerit kesakitan.
Kumisnya yang cuma beberapa helai
itu, kini tercabut sudah. Tetapi si
Tabib mana mau perduli dengan keadaan
itu, sebaliknya dia terus terkekeh-
kekeh.
"He... he... he...! Semuanya
sudah beres, aku sudah muak melihat
tampangmu. Maka baiknya aku pergi
saja...."
Usai dengan ucapannya, Tabib
Setan Gila pun membalikkan langkah
kemudian setapak demi setapak dia
menjauh dari pandangan si Dingklang.
Laki-laki ini menjerit-jerit. "Tabib
sial bebaskan totokanku...
bebaskan...!" teriaknya.
"Tenang-tenang sajalah engkau di
situ, dua hari mendatang engkau sudah
terbebas dari totokan. Kalau nasibmu
baik, tentu harimau di hutan ini
enggan memangsa tubuhmu yang berlumur
dengan dosa...!"
"Tabib tolonglah aku!" rintihnya
bagai anak kecil. Si Tabib dari Lembah
Tapis Angin itu terus berlalu, bahkan
semakin lama semakin menjauh.
"Tabib.. toloooong...!" Tiada
terdengar jawaban apapun lagi,
tinggallah si Dingklang seorang diri,
menanti kebebasan dengan harap-harap
cemas.
* * *
Udara terasa sangat panas sekali,
sejauh-jauh mata memandang. Hanya
kegersangan tanah-tanah tandus dan
hutan semak yang nampak mulai layu.
Hampir setiap tahunnya kemarau panjang
memang berakibat buruk pada setiap
tanaman maupun mahluk hidup lainnya.
Apalagi daerah Trengganu dan wilayah
sekitarnya merupakan daerah yang
sangat langka dari curahan air hujan.
Suasana yang terasa panas
membakar ini, membuat salah seorang
dari dua orang yang sedang melakukan
perjalanan itu nampak sering mengeluh.
"Sudah berhari-hari kita
melakukan perjalanan. Tetapi masih
belum ada tanda-tanda, kita bisa
secepatnya bertemu dengan manusia keji
itu...."
"Cepat atau lambat kita pasti
dapat menemukan sarangnya. Sabarlah,
Winda?"
"Semua orang memburunya Kelana.
Aku merasa begitu yakin orang itu
sangat lihai sekali. Coba kita lihat
saja, sepanjang perjalanan yang kita
lalui hanya mayat-mayat saja yang kita
temui. Semuanya dari hasil pekerjaan
yang sama, mereka-mereka itu
bergelimpangan karena akibat pukulan
beracun!" keluh gadis itu. Dalam pada
itu tiba-tiba Pendekar Hina Kelana
berseru:
"Hei.. lihat! Di depan sana ada
sebuah sungai...!"'teriaknya
kegirangan.
"Wah kebetulan sekali, badanku
terasa gerah dan lengket. Ada baiknya
kalau kita mandi dulu." berkata
begitu, Winda Murti langsung berlari-
lari mendahului si pemuda. Memang
benar adanya, kini di depan mereka
terdapat sebuah sungai yang jernih
airnya. Sungai itupun tidak begitu
dalam, atau mungkin hanya setinggi
dada. Tanpa sepengetahuan Winda Murti,
Buang Sengketa nampak meneliti ke
sekitar daerah itu. Pohon-pohon liar
yang subur, suasana sekitarnya yang
terasa dingin. Hal ini benar-benar
sangat jauh berbeda dengan daerah yang
mereka lalui, kira-kira lima batu di
belakang mereka. Gersang dan tandus.
Pendekar ini nampak tercenung, dalam
hati dia merasa heran. Padahal di
bagian barat daya dan sekitarnya panas
begitu terik, tetapi mengapa di tempat
itu malah sebaliknya. Pemuda itu tiba-
tiba menjadi was-was. Diapun menoleh
untuk mengatakan sesuatu pada Winda
Murti, akan tetapi ya ampun. Gadis itu
kini sudah dalam keadaan telanjang
bulat dan sudah siap-siap untuk terjun
ke dalam sungai. Wajah si pemuda merah
jengah dan sekejap kemudian dia telah
memalingkan mukanya.
"Byuuur!"
Si gadis terjun ke dalam sungai,
laksana seekor ikan. Dia begitu lincah
berenang kian ke mari. Tiba-tiba dia
berseru,
"Kelana. Mengapa cuma berdiri di
situ saja, engkau tak punya keinginan
untuk mandi?" Tanpa berpaling dari
posisinya dia berucap.
"Winda, jangan berendam di situ
terus. Naluriku mengatakan daerah ini
sangat tidak aman...!" kata si pemuda
memberi peringatan.
"Ah engkau ini ada-ada saja!
Nampaknya pengecut sekali, apakah
engkau takut dengan kehadiran si
Tangan Setan...?"
"Janganlah berkata sembarangan,
aku bersunggguh-sungguh!" tukas si
pemuda jengkel sekali.
"Hi... hi... hi... pengecut.
Kalaupun engkau tak mau mandi. Tapi
jangan bersikap seperti itu. Aku bukan
setan, mengapa takut-takut
memandangku. Berpalinglah ke mari,
siapa tahu kata-katamu terbukti.
Setelah berkata begitu Winda
Murti berenang menjauh mengikuti arus
sungai. Tanpa fikir panjang lagi si
pemuda menoleh. Dilihatnya si gadis
sudah nampak menjauh dari tempatnya
berdiri. Meskipun tubuh si gadis
sepenuhnya berada di dalam air, tetapi
si pemuda dapat melihat dengan jelas
lekuk lengkung tubuh Winda Murti yang
kuning langsat, apalagi air sungai itu
memang benar-benar jernih sekali. Si
pemuda menggerutu dalam hati. Sial
betul gadis itu, yang tidak-tidak saja
tingkahnya. Tetapi biarlah daripada
dia terus berduka memikirkan
kekasihnya yang sudah tiada batinnya.
Di lain pihak sesungguhnya benar
apa yang diragukan oleh Pendekar Hina
Kelana. Karena ternyata tidak begitu
jauh dari pinggiran sungai itu ada
sepasang mata yang sejak tadi
memperhatikan gerak-gerik si gadis.
Begitu gadis itu mengikuti gerakan
arus ke bawah, maka sepasang mata yag
penuh dendam itupun tanpa menimbulkan
suara ikut bergerak. Hal ini sudah
tentu di luar sepengetahuan si pemuda.
Karena memang sesungguhnya pemuda ini
nampak sangat acuh dan merasa sungkan
dengan keadaan si gadis. Sementara
itu, Winda murti yang tak pernah
menyadari adanya ancaman bahaya maut
itu nampak terus berenang-renang
mengikuti arus sungai hingga semakin
lama semakin bertambah jauh. Sedangkan
di pinggiran sungai itu, dengan sangat
ringannya sang pengintai berpakaian
kuning gading dengan selubung topeng
merah itupun mulai mempersiapkan
segala sesuatunya. Begitu dua buah
taring Beracun Raja Cobra sudah siap
di tangannya, maka tanpa menimbulkan
kecurigaan sedikitpun tangannya
bergerak.
"Wes! Crep!"
"Auuu!"
Bagai orang yang sedang bercanda,
Winda Murti merintih begitu senjata
rahasia yang berupa Taring Raja Cobra
itu menembus punggungnya yang halus
mulus. Sebentar kemudian dia berusaha
meraba punggungnya yang terasa hangat.
Tetapi mendadak kedua tangannya
menjadi kaku, seluruh permukaan
kulitnya terasa meremang. Seolah bagai
orang yang sedang berada dalam gelora
asmara yang membara. Dia merintih,
tubuhnya menggeliat-geliat tak karuan.
Begitupun tiada satu patah katapun
yang terucap, sesaat tubuhnya meronta-
ronta, air di dalam sungai itupun
beriak. Kemudian tubuh si gadis secara
perlahan mulai tenggelam, terkulai
dengan nyawa melayang. Sesungging
senyum puas membias di wajah bertopeng
itu. Setelah dia benar-benar yakin
dengan kematian Winda Murti, maka dia
cepat-cepat berkelebat pergi.
Hampir setengah jam kejadian itu
berlalu, Buang Sengketa yang menunggu
di pinggiran sungai lama-kelamaan
menjadi curiga. Tak ayal diapun mulai
memanggil-manggil Winda Murti.
"Winda... cepatlah.. sebentar
lagi matahari akan tenggelam. Apakah
engkau mau bermalam di dalam sungai
ini...?" panggilnya. Tiada sahutan,
hanya desau angin senja saja yang
terdengar!
"Winda...!" ulang si pemuda,
kemudian dia bangkit dari tempatnya
lalu berjalan menelusuri sungai.
Jangan-jangan kecurigaannya beralasan.
Batinya lagi. Sambil terus menelusuri
sungai itu, matanya nampak nanar
memandang ke sekelilingnya.
"Winda...!" jeritnya tertahan.
Wajah si pemuda mendadak pucat pasi,
dalam air yang bening itu dia melihat
tubuh si gadis nampak tergeletak di
dasarnya.
"Oh, Batara Yang Agung. Hari ini
aku benar-benar telah kecolongan!
Bangsat betul. Pekerjaan siapa lagikan
ini...?" Teriaknya marah sekali. Hanya
beberapa saat kemudian tanpa buang-
buang waktu lagi dia langsung terjun
ke dalam sugai, secepatnya dia
berenang. Lalu diangkatnya tubuh Winda
Murti yang tiada mengenakan sehelai
benangpun. Sesampainya di pinggiran
sungai, cepat-cepat dia memeriksa
keadaan si gadis. Tubuh itu sudah
dingin dan kaku, tahulah si pemuda
kalau Winda Murti telah tewas,
setidak-tidaknya setengah jam yang
lalu. Setelah menutupi bagian-bagian
sensitip dengan pakaian si gadis yang
sengaja di bawanya. Pendekar Hina
Kelana segera memeriksa bagian tubuh
yang lainnya. Dia nampak terbelalak
tak percaya begitu beberapa saat
kemudian dia mendapati di bagian
punggung gadis itu terdapat benda
runcing berwarna putih. Ketika dia
mencabut benda itu, mengertilah dia
bahwa Winda Murti tewas karena senjata
beracun.
"Malang sekali nasibmu nona.
Susah payah aku menyelamatkanmu dari
tangan Wimba. Tetapi kini di depan
mataku engkau tewas secara mengerikan.
Maafkan ketololanku Winda, seharusnya
aku mengikutimu ke manapun engkau
pergi aku mesti mengikutimu... tetapi
penampilanmu yang bersahaja membuat
aku tak sanggup melakukannya. Aku tak
sanggup...!" ucapnya lirih dengan
wajah tertunduk sedih. Sesaat
setelahnya si pemuda tengadahkan
wajahnya, pandangan matanya kini
berubah liar. Kemarahan meledak secara
tiba-tiba, kini secara perlahan dia
bangkit, pandangan matanya menerawang
memandangi alam di sekitarnya. Dalam
keadaan seperti itulah tanpa dia
sadari tiba-tiba tenaga dalamnya
membuncah mencari jalan keluar. Lalu
bagai orang yang sedang kesetanan dia
berteriak-teriak.
"Oh... tolol sekali aku ini.
Manusia hina tiada guna, tiada mampu
berbuat apa-apa. Jauh di setiap aku
melangkah, mengapa selalu kudapati
pembunuhan di mana-mana. Manusia tiada
pernah kenal damai...!" Sesaat
ucapannya terhenti, kedua tangannya
kini dia tengadahkan di depan dada.
"Sang Hyang Widi, inikah jalan getir
yang harus kutempuh, menyudahi
petualangan orang-orang sesat!
Haruskah aku menjadi pembunuh dari
setiap mereka yang menyimpang dari
jalanMu? Oh... betapa dosa-dosaku akan
lebih besar daripada apa yang tidak
mereka ketahui. Tidaaaak...!"
Jerit Buang Sengketa histeris.
Dan bersamaan dengan teriakannya itu,
kedua tangannya pun terpentang ke
atas. Tubuhnya menggigil dibakar
amarahnya sendiri. Lalu dengan
disertai teriakan menggemuruh, karena
sesungguhnya dalam suara itu disertai
dengan jeritan Ilmu Pemenggal Roh.
Maka sesaat kemudian kedua tangannya
berkiblat ke segala arah.
"Haiikkgh!"
"Blar! Blar! Blar!"
Pohon-pohon besar di sekitarnya
berkerotakkan roboh, dilanda pukulan
Si Hina Kelana Merana yang terkenal
sangat dahsyat itu. Angin senja terus
mendesau menyibakkan anak-anak
rambutnya yang diikat sebatas bahu.
Kini setelah tenaga dalam yang
membucah itu tersalurkan, ada sedikit
perasaan lega di hati pemuda itu. Lalu
seperti berjanji pada dirinya sendiri
dia berucap.
"Winda. Siapapun adanya engkau
ini, aku berjanji untuk meringkus si
Tangan Setan dalam waktu secepatnya.
Aku harus menghentikan sepak
terjangnya itu...!" Setelah itu cepat-
cepat dia merapikan pakaian si mayat
dan di tempat itu pula dia menguburkan
gadis dari Trengganu ini. Setelah
pekerjaannya selesai, malam sudah
sangat larut. Tetapi tanpa perduli dia
terus melangkahkan kakinya. Pergi!
Untuk kemudian lenyap ditelan
kegelapan malam.
* * *
DELAPAN
Wimba, Anom Kendor beserta tiga
orang murid yang lainnya nampak telah
sampai di perbatasan antara Lembah
Tapis Angin dan Trengganu, daerah
kelahirannya sendiri. Sejak bertemu
dengan Pendekar Hina Kelana, guru dan
murid itu telah mempercayakan tugasnya
pada si pemuda untuk menyeret si
Tangan Setan hidup atau mati. Itu
sebabnya kini mereka kembali ke
Trengganu, sebab masih banyak urusan-
urusan lain di kadipaten yang masih
membutuhkan uluran tangannya. Seperti
diketahui, Wimba selajn merupakan
sesepuh dan penasehat Adipati Giris
Rawa. Sekaligus merangkap jabatan
ketua keamanan di wilayah Trengganu.
Tak heran dengan munculnya si Tangan
Setan, hati laki-laki setengah tua itu
begitu nampak diliputi kecemasan.
Pada saat itu dari arah yang
berlawanan, nampak pula seorang gadis
berpakaian kuning gading terlihat pula
berjalan menyongsong kehadiran orang-
orang ini. Dengan tenangnya dia terus
berjalan melenggang lenggok, hingga
pada akhirnya merekapun saling
berpapasan. Masing-masing mata
menyiratkan rasa saling curiga, tetapi
sebelum Wimba dan murid-muridnya
sempat berkata sesuatu apapun, Hning
Ksaban sudah buka bicara.
"Orang tua, yang manakah jalan
menuju Trengganu?" tanya si gadis
dengan tatapan mata dingin. Yang
ditanya bungkam, beberapa saat lamanya
dia nampak memperhatikan gadis itu,
rasa-rasanya dia tak pernah melihat
gadis berwajah cantik seperti itu
berada di Trengganu, kalaupun ada hal
itu sudah barang tentu tak luput dari
tangan Adipati yang paling gemar
mengumpulkan para wanita cantik. Lalu
dia berfikir maka wajar saja kalau si
gadis tidak mengetahui jalan ke
Trengganu. Akhirnya dengan keramahan
bercampur rasa curiga diapun berkata.
"Aha... kebetulan kami juga mau
pulang ke Trengganu, kalau engkau mau
bisa turut serta bersama kami...!"
"Apakah kalian penduduk
Trengganu?" tanya si gadis dengan
pandangan liar. Tetapi sejauh itu
nampaknya Wimba dan murid-muridnya
sedikitpun tidak menaruh rasa curiga
pada Hning Ksaban.
"Kami memang penduduk sana, dan
aku sendiri sebenarnya merupakan
sesepuh Adipati Trengganu!" jawab
Wimba sedikit bangga. Si gadis nampak
terkejut, tetapi hatinya sangat
gembira. Nafsu dendampun mulai membara
di dalam pembuluh darahnya.
"Oh, jadi engkau termasuk orang
tua yang mempunyai pengaruh di daerah
Trengganu...?"
"Bukan itu saja. Bahkan aku tahu
sejarah yang terjadi di daerah yang
subur makmur ini!"
Hning Ksaban tersenyum misterius
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudah lamakah engkau tinggal di
sana orang tua...?" pancing si gadis.
"Ho... ho... sejak kecil aku
sudah ada di sana, ada apakah?" tanya
Wimba lama-kelamaan menjadi curiga
juga rupanya.
"Hemm... ingatkah engkau
peristiwa sembilan belas tahun yang
lalu?"
Ditanya seperti itu, Wimba nampak
sangat terkejut sekali. Semua orang
Trengganu sudah pasti tahu tentang
kejadian yang menimpa keluarga Panji
Paksi. Jangankan lagi dia yang memang
pada saat itu ikut membakar rumah
kediaman Adipati yang malang itu, lalu
timbul pula pertanyaan dalam hati
laki-laki ini. Siapakah. sesungguhnya
gadis yang sedang berada di hadapan
mereka itu? Hatinya mendadak menjadi
gelisah tak menentu.
"Siapakah engkau ini yang
sesungguhnya, bocah...?" tanya Wimba
dengan harap-harap cemas.
"Hiii... hi... hi...! Jangan
kira, cuma kalian sendiri yang punya
hak untuk bercokol di Trengganu.
Kalian memang manusia-manusia serakah
berhati keji!" ucap si gadis tiba-
tiba. Hal itu membuat Wimba dan
muridnya menjadi heran dan marah
sekali.
"Guru, gadis sinting ini terlalu
kurang ajar mulutnya. Ada baiknya
kalau kutebas saja lehernya!" tukas
Anom Kendor kini ikut-ikut menyela.
"Jangan banyak bacot. Orang tua
cepat katakan apa yang pernah terjadi
sembilan belas tahun yang lalu...!"
perintah si gadis, nampaknya dia sudah
tak sabar lagi. Wimba gelengkan kepala
berulang-ulang. Agaknya dia sudah
mulai dapat mengetahui siapa adanya
gadis yang tengah dia hadapi itu.
Tiba-tiba Wimba tertawa mengekeh.
"Hie... he., he...! Sekarang aku
tahu, kiranya engkaulah anaknya
Adipati yang malang itu. Hemm, pucuk
dicinta ulam tiba! Kalau dulu
seseorang masih dapat menyelamatkanmu,
tetapi hari ini jangan sekali-kali
engkau mimpi dapat lolos dari
tanganku!" bentak laki-laki sesepuh
Trengganu itu, lalu memberi isyarat
pada murid-muridnya. Mengetahui
gelagat sebaliknya Hning Ksaban balas
membentak.
"Diam di tempat! Selangkah saja
kalian bergerak, jiwa kalian pasti
tidak akan tertolong!"
"Hei... cepat kalian ringkus dia!
Jangan hiraukan ocehannya." perintah
Wimba nampak gusar begitu melihat
murid-muridnya menjadi ragu-ragu
sesaat setelah mendengar ancaman si
gadis. Betapapun hati murid-murid
Wimba itu menjadi ragu-ragu, tetapi
mereka tak ingin mengabaikan perintah
gurunya. Bagi mereka, perintah seorang
guru adalah di atas segala-galanya,
walaupun pada akhirnya dia harus
berkorban nyawa sekalipun. Maka tanpa
mombuang-buang waktu lagi, mereka itu
langsung meloloskan senjata masing-
masing. Secepatnya mereka bermaksud
mengurung si gadis berpakaian kuning
gadis ini. Akan tetapi, sesuai dengan
ancamannya. Lebih cepat lagi tangannya
bergerak.
"Wuuuuuss!"
"Wua.. arggkh!"
Keempat murid-murid Wimba
menjerit-jerit, begitu senjata-senjata
rahasia yang disambitkan oleh si
gadis, menembus urat leher mereka.
Beberapa saat setelahnya, wajah orang-
orang ini nampak menegang, pucat dan
tiba-tiba membiru. Bukan alang
kepalang kejut sang guru demi melihat
keadaan murid-muridnya. Terlebih-lebih
lagi ketika beberapa saat kemudian
keempat orang muridnya roboh dan tewas
secara mengenaskan. Marah bercampur
penasaran berbaur menjadi satu, tanpa
sadar kini Wimba telah mencabut
pedangnya. Dengan pedang itu dia
menuding pada Hning Ksaban.
"Perempuan iblis, begitu berani
engkau membunuh murid-muridku. Tidak
tahukah engkau, bahwa sesungguhnya
kami ini merupakan keamanan
kadipaten?"
Si gadis mengekeh!
"Sekalipun engkau pengawal dari
kerajaan iblis. Tidak nantinya aku
lari meninggalkan lawan-lawan yang
telah membunuh orang tuaku." menyela
Hning Ksaban.
"Bagus! Bagus! Hari ini juga akan
ku-gusur keturunan si Panji Paksi dari
kolong langit ini...!"
"Hi... hi., hi...! Majulah...!"
Belum lagi Hning Ksaban dengan
ucapannya, mendadak pedang hitam di
tangan sesepuh dari daerah Trengganu
itu sudah menderu, berkelebat mencecar
si gadis dengan serangan-serangan yang
mematikan. Menghadapi serangan seperti
itu, sudah barang tentu Hning Ksaban
tidak tinggal diam, sekalipun dia tahu
bahwa ilmu pedang yang dimiliki orang
sesepuh Trengganu ini tak ada apa-
apanya. Kini tubuh si gadis berkelebat
cepat. Hanya Hning Ksaban memang
sengaja memberi kesempatan pada Wimba,
untuk mengumbar nafsu amarahnya.
Kini keringat mulai membasahi
tubuh si laki-laki, dia terus
mengarahkan segenap kemampuannya.
Tetapi sampai sejauh itu dia masih
belum mampu mendesak lawannya. Hingga
lama-kelamaan hatinyapun menjadi
jengkel, timbul pula tekadnya untuk
mengadu jiwa dengan si gadis. Maka
kini tanpa sungkan-sungkan lagi Wimba
segera mamainkan jurus pedangnya yang
paling dia andalkan. Menebas Hutan
Membongkar Gunung. Tak ayal gerakannya
semakin lama semakin bertambah cepat,
pedang di tangannya yang berwarna
hitam menggiriskan menderu ke segala
arah. Sese-kali pukulan-pukulan
mautpun dia lepaskan. Sialnya pukulan-
pukulan itupun tak berarti banyak buat
Hning Ksaban. Karena dengan baik
selalu saja gadis itu dapat
menghindarinya. Geram bukan main hati
si Wimba begitu melihat semua pukulan-
pukulan jarak jauhnya luput dari
sasaran. Padahal di daerah Tenggara,
belum pernah ada seorangpun dapat
menghindar dari pukulan maut si Raja
Gila hasil ciptaannya. Kalau kini
bocah keturunan Panji Paksi yang masih
bau kencur itu dengan baik dapat meng-
hindar dari semua serangan. Timbul
dalam benaknya bahwa sesungguhnya
gadis yang dia hadapi itu memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Lalu,
dengan di awali bentakan-bentakan
melengking diapun kembali membangun
serangan-serangan yang lebih gencar
lagi. Tetapi pada saat itu agaknya
Hning Ksaban alias si Tangan Setan
nampaknya sudah tidak sabaran lagi.
Gadis inipun melompat mundur, detik
berikutnya tangan kanan terangkat
tinggi-tinggi. Sedangkan tangan
sebelah kirinya merapat ke depan dada,
sementara mulutnya menyunggingkan
senyum sinis. Wimba nampak te-belalak
matanya demi menyaksikan gerakan-
gerakan tangan kiri si gadis yang
nampak mengelus-elus dadanya. Dia
benar-benar tak tahu kalau gerakan-
gerakan tangan kiri itu sesungguhnya
hanyalah merupakan siasaat mengalihkan
perhatian lawan. Hal itu sangat perlu
karena keadaan yang sesungguhnya, dia
sedang menyalurkan tenaga dalamnya
pada bagian tangan kanannya yang sudah
dia rasa sudah cukup, maka kini
terlihatlah betapa tangan kanannya
yang sudah teraliri tenaga dalam itu
nampak menghitam sebatas pangkal
lengan. Tanpa kata dengan diawali satu
teriakan tinggi meleking, gadis itupun
kirimkan satu pukulan mautnya. Wimba
nampak terperanjat, tetapi satu
rangkaian gelombang sinar hitam itu
datangnya lebih cepat dari perhi-
tungannya. Begitupun dia masih
berupaya untuk menghindar. Tetapi
tetap saja!
"Wusss!"
Tiada terdengar keluhan. Tubuh
Wimba nampak terjengkang, lalu
terguling-guling. Seluruh permukaan
kulit tubuhnya berubah hitam dan
melepuh di sana sini, pedang di
tanganya mental entah ke mana.
Begitupun dia masih berusaha bangkit
dari tempatnya. Meskipun hal itu pada
akhirnya mampu dia lakukan, tetapi
tubuhnya nampak gemetaran. Dini dengan
mata melotot karena menahan sakit, dia
memandang si gadis. Seolah-olah dia
merasa tak percaya dengan apa yang
dialaminya.
Hning Ksaban tertawa mengekeh,
nampaknya dia begitu puas dengan apa
yang telah di lakukannya pada sesepuh
dari Trengganu itu. Begitu sinis dia
berkata.
"Sesepuh Adipati sialan. Tidak
sampai sepuluh menit di muka, engkau
segera mampus! Engkau memang pantas
mampus, begitupun halnya dengan Giris
Rawa si bangsat Adipati yang telah
membunuh kedua orang tuaku...!"
"A... apa... kah engkau yang
berjuluk si Tangan Setan...?!" Tanya
laki-laki yang sudah terkena pukulan
beracun itu terbata-bata.
"Hii... hi., hi...! Karena engkau
segera mampus, maka tak ada salahnya
kalau engkau tahu, bahwa akulah si
Tangan Setan itu...!" Begitu mendengar
ucapan sigadis, sesepuh dari Trengganu
berniat berniat menerjang kembali.
Tetapi sebelum niatnya kesampaian,
tubuhnya malah terjerembab ke depan.
"Bruugkh! Arrgggkh!"
Wimba menekan lehernya yang bagai
di cekik tangan raksasa. Sesaat
lamanya tubuhnya bergoyang-goyang,
kemudian terdiam untuk selama-lamanya.
Lagi-lagi sesungging senyum sinis
mengembang di bibir Hning. Ksaban,
kemudian dia memutar langkah dan
bermaksud cepat-cepat meninggalkan
tempat itu, ketika di belakangnya ter-
dengar langkah dan suara pelan namun
menegur.
"Gadis yang berjuluk si Tangan
Setan! Sampai kapankah engkau
menyudahi petualanganmu. Ratusan jiwa
telah melayang sebagai pelampiasan
nafsu dendammu dan apakah engkau tetap
akan melakukan pembunuhan di mana-
mana?"
Tanpa merasa terkejut sedikitpun
Hning Ksaban secara perlahan menoleh,
tahulah dia dengan siapa berhadapan.
"Huh! Engkau Tabib Setan Gila.
Jangan kau kira aku tak tahu, bahwa
sejak tadi engkau mengintip di balik
batu itu. Tapi bagus, kiranya engkau
mematuhi semua perintahku...!"
bentaknya begitu dingin.
"Dengan pergi dari pondokku,
apakah engkau kira aku telah mematuhi
perintahmu yang mengancam itu...?" Si
Tabib balik bertanya.
"Setidak-tidaknya begitulah kalau
engkau memang ingin panjang umur!"
Tabib Setan Gila tertawa, begitu
mendengar ancaman si gadis putri
sahabatnya.
"Setan! Engkau telah
mentertawaiku...! Apakah engkau ingin
ku buat mampus seperti bangsat-bangsat
itu...?" bentaknya sambil menunjuk
pada mayat-mayat yang bergelimpangan
di sekitar mereka.
"Kematian tetap kematian, tetapi
jangan engkau kira semua itu bisa
sekehendakmu. Ada yang lebih berhak
atas semua itu...." ujar si Tabib
nampak tenang-tenang saja.
"Sial! Engkau benar-benar ingin
mampus, Tabib...!" Bersamaandengan
kata-kata-nya, si gadis mengangkat
tinggi-tinggi. Tetapi Tabib Setan Gila
buru-buru menyela.
* * *
SEMBILAN
"Tunggu dulu bocah. Bagimu
membunuhku adalah satu pekerjaan yang
sangat mudah. Akupun tak akan
menghindar, kalau memang kematianku
engkau menjadi puas. Tubuhku yang
kropok ini memang sudah tak ada
gunanya. Tetapi kalau dengan
kematianku engkau berjanji untuk
mengakhir petualanganmu. Maka aku rela
mati di tanganmu...!" ucap si Tabib
penuh kesabaran.
"Tidak! Aku tak pernah berhenti
sebelum bangsat-bangsat itu mampus di
tanganku. Sesungguhnya aku tak butuh
kematianmu, tabib. Engkau ingat-
ingalah itu!" sergah si gadis.
"Nduk! Sebagai seorang anak,
engkau memang wajib berbakti pada
orang tuamu. Tetapi pelampiasan dendam
yang membabi buta itu juga tidak baik.
Panji Paksi ayahmu juga pasti tidak
rela melihat sepak terjang anaknya
yang begitu serampangan tak
karuan...!" ujar si Tabib. Hning
Ksaban nampak terdiam, kedua alis
matanya terangkat ke atas. Dia merasa
agak heran mengapa si Tabib bisa
mengenal nama ayahnya. Padahal
seingatnya dia tak pernah bertemu de-
ngan Tabib itu. Dalam keheranannya itu
diapun langsung bertanya.
"Tabib Setan Gila! Siapakah
engkau ini yang sesungguhnya?
Bagaimana engkau bisa tahu nama orang
tuaku. Cepat engkau katakan atau kalau
engkau hanya bermaksud mengada-ada,
kubunuh nanti...!" Bentaknya geram dan
penasaran.
"Hning Ksaban... ketahuilah, aku
mengenal ayah dan ibumu tak jauh
bedanya seperti diriku sendiri. Bahkan
ketika kami sama-sama masih seorang
bocah, kami sudah saling kenal. Cuma
kalau ayahmu pada waktu itu cenderung
menyukai ilmu silat maka aku lebih
suka belajar ilmu keTabiban. Setelah
dewasa ayahmu berkeluarga, kemudian
memutuskan untuk merant'au di tanah
seberang ini. Maka akupun
menyertainya, Hubungan ayahmu dengan
aku bak ubahnya seperti saudara kembar
saja layaknya. Cuma karena kami
memiliki keahlian y'ahg berbeda.
Setelah sampai di negeri ini, kiranya
ayah dan ibumu lebih suka tinggal di
Trengganu yang masih merupakan kota
kecil kadipaten. Sedangkan aku lebih
suka tinggal di Lembah Tapis Angin
yang sunyi. Aku hidup dari hasil
bercocok tanam, sekali dua kami saling
kunjung mengunjungi. Aku tiada
menyangka kalau kiranya ayahmu pada
akhirnya lebih suka berkecimpung dalam
bidang pemerintahan, dan yang lebih
tak kumengerti lagi kiranya diapun
akhirnya tewas karena kekuasaan...!"
ujar si Tabib dengan wajah tertunduk
sedih.
Hning Ksaban terperangah,
sedikitpun dia tiada pernah menyangka
kalau orang selama ini dalam
ancamannya ternyata masih merupakan
sahabat baik orang tuanya. Betapapun
dia sering berkata kasar pada Tabib
dari Lembah Tapis Angin itu. Walaupun
dia merupakan yang paling sadis dalam
hal menyudahi petualangan lawan-lawan-
nya, Tak urung berhadapan dengan si
Tabib, hatinya tersentuh juga. Tiba-
tiba si gadis menundukkan kepala,
tanpa di sangka-sangka diapun menjura
hormat. "Uwa Tabib, maafkanlah aku!
Sedikitpun aku tiada pernah menyangka
kalau Uwa masih merupakan sahabat
ayah!" desah Hning Ksaban hampir tak
terdengar. Begitu pun tiada air mata
yang menetetas.
"Sudahlah, Nduk... semua ini
bukan kesalahanmu! Akupun minta maaf,
karena pada saat itu aku tak mampu
berbuat banyak kala keluargamu
mendapat musibah. Mungkin semua itu
sudah kehendak Sang Dewata, nduk...!"
"Aku tahu, Uwa... dan sebagai
anaknya! Sudah selayaknya kalau aku
berbakti pada orang tuaku...!"
"Sepak terjangmu telah membuat
dunia persilatan menjadi gempar.
Apakah engkau akan meneruskan dendam
yang sesungguhnya tidak baik itu,
nduk...?" tanya Tabib Setan Gila was-
was.
"Itu harus, Uwa! Aku tak akan
berhenti selama Giris Rawa masih
bercokol di atas kekuasaannya." jawab
Hning Ksaban mantap.
"Nduk! Apakah kematian sekian
banyak orang di tanganmu tidak pernah
membuatmu menjadi puas? Ingatlah di
antara mereka yang engkau bunuh itu,
aku merasa yakin sebagian besar di
antaranya tidak tahu menahu tentang
kejadian itu!"
"Siapapun adanya mereka itu, asal
dari Trengganu, takkan pernah
kubiarkan hidup...!" ucap si gadis
geram sekali.
"Aku sedih mendengarnya,
tetapi.mengapa harus begitu? Bukankah
masih banyak jalan lain yang bisa
engkau tempuh.,.?" Hning Ksaban
tersenyum sinis! Kemudian dengan sedih
dia berucap:
"Uwa tak tahu. Betapa kejadian
itu sangat menyakitkan sekali,
meskipun saat itu aku masih empat
tahun. Tetapi masih segar dalam
ingatanku, betapa ayah bertarung mati-
matian menghadapi keroyokan yang
jumlahnya sangat banyak sekali. Aku
masih dapat mengingat, betapa ibu
merintih dan menjerit-jerit manakala
si bangsat Giris Rawa dan beberapa
orang kawannya mencabik-cabik pakaian
ibu, lalu setelah itu... mereka..
bangsat terkutuk itu secara bergantian
menindih tubuh ibu. Kemudian setelah
dewasa seperti sekarang ini baru
kuketahui bahwa mereka memperkosa
ibuku. Aku melihatnya! Haruskah aku
berdiam diri, Uwa...?" isak Hning
Ksaban, dan untuk pertama kalinya si
Tangan Setan ini menitikkan air
matanya. Tiada kata yang terucap dari
mulut si Tabib. Dia tahu bagaimana
perasaan si gadis saat itu. Seandainya
dia sendiri yang mengalami kejadian
itu, diapun tak tahu apa yang harus
diperbuatnya terkecuali membalas
dendam.
"Menyesal sakali, waktu itu aku
tak sempat mengetahui kejadian yang
sesungguhnya. Terkadang sebagai orang
tua aku memang seringkali tak
berguna...!" kata Tabib Setan Gila
menyesali diri.
"Sudahlah, Uwa tak bersalah!
Semuanya terjadi begitu cepat, yang
penting Uwa tak perlu menghalangi
setiap apa yang ingin ku katakan!"
"Adipati Giris Rawa bukan manusia
sembarangan, nduk, di samping itu dia
juga memiliki begundal pilihan. Aku
selalu mengkhawatirkan
keselamatanmu...!"
Mendengar kata-kat si Tabib,
tiba-tiba Hning Ksaban tertawa
mengekeh. Wajahnya yang tadinya
menunduk sedih kini telah berubah
kembali menjadi beringas, liar dan
galak. Lalu dia berkata lantang!
"Hi... hi... hi! Selama lima
belas tahun guruku Setan Tua Tangan
Seribu telah mendidikku sedemikian
rupa, terlatih pula untuk memburu
lawan yang manapun. Tak seorangpun
yang mampu melukaiku dengan
senjatanya. Giris Rawa dan orang-
orangnya itu akan kubunuh, Uwa...!"
Berkata begitu, tubuh Hning Ksaban
nampak berputar-putar. Semakin lama
semakin kencang tak ubahnya bagai
sebuah gasing. Berssamaan dengan itu
bergemuruhlah angin kencang bak
laksana suara ribuan lebah. Maka
seiringan bagaikan kapas tubuh Hning
Ksaban berkelebat lenyap meninggalkan
Tabib Setan Gila yang termangu di
tempatnya-Orang ini tampak gelengkan
kepala begitu mengetahui kehebatan
yang dimiliki oleh Hning Ksaban alias
si Tangan Setan.
* * *
Rumah kediaman Adipati Giris Rawa
malam itu dipenuhi oleh para pembantu
pembantunya. Agaknya sebentar lagi
akan segera di adakan pertemuan khusus
dengan sang penguasa Trengganu itu.
Suasana hening menyelimuti segenap
ruangan. Tak se-rangpun di antara
mereka yang berani buka suara. Wajah
masing-masing nampak tertunduk dalam-
dalam. Tak berapa lama kemudian dari
balik sebuah pintu besar yang berukir
indah, muncullah sang Adipati Giris
Rawa. Laki-laki berbadan tinggi kurus
namun berperut bagaikan gentong itu
nampak melangkah dengan kewibawaan
yang dibuat-buat. Beberapa saat
setelahnya dia sudah duduk di
singgasananya yang empuk penuh
kemegahan. Laki-laki berkulit kuning
pucat dengan sepasang matanya yang tak
jauh bedanya dengan orang yang sedang
mengantuk itu. Untuk beberapa saat
lamanya nampak memandangi tujuh orang
pembantu-pembantu utamanya. Di antara
mereka terdapat pula Dingklang. Laki-
laki kumis ikan lele yang beberapa
hari lalu sempat menjadi pecundang
Tabib Setan Gila.
Setelah puas memandangi para
pembantu-pembantunya, Giris Rawa
menyenderkan kepalanya. Sejurus dia
melirik kanan kiri memberi tanda
gundik-gundiknya untuk meninggalkan
tempat itu. Setelah perempu-an-
perempuan peliharaan itu semuanya
telah berlalu dari ruangan pertemuan,
sambil mengusap-usap perutnya yang
gendut dan lucu diapun mulai membuka
percakapan.
"Saudara-saudara sekalian,
tahukah anda mengapa hari ini tidak
seperti biasanya, saya mengundang
saudara untuk mengadakan pertemuan
ini?" tanya Giris Rawa dengan
pongahnya. Yang ditanya saling
berbisik-bisik sesamanya. Lalu secara
serentak mereka menjawab.
"Tidak tahu, ya Sang Adipati
Junjungan...!" ucap mereka serentak
sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
Bukan main berangnya sang Adipati
angkuh itu dibuatnya demi mendengar
para bawahannya. Wajahnya yang kuning
pucat itu semakin bertambah pucat
karena menahan marah.
"Guoblook semua kalian ini! Dua
puluh lima sen setiap bulan yang
kuberikan pada kalian itu, bukan hanya
sekedar untuk mengatakan tidak tahu
melulu, mengerti?" ulang sang Adipati.
Lagi-lagi secara serentak:
"Mengerti Ketua...!"
"Mengerti apa...?!" bentak Giris
Rawa, seraya mengelus-elus jenggotnya
yang tidak lebih baik dari buntut
kuda.
"Maksud ketua, dua puluh lima sen
itu bukan gaji buta pemberian nenek
moyangmu, Yang Mulia...!"
"Wei... bangsat betul kalian.
Berani kali kalian menyebut-nyebut
nenek moyangku yang sudah mampus.
Apakah ingin kugantung...?" Maki sang
Adipati kesal sekali. Pucat wajah
mereka demi mendengar ancaman Sang
Junjungan, lalu cepat-cepat mereka
meralat ucapannya.
"Ketua maafkan kami! Kami tak
bermaksud menyebut-nyebut orang yang
sudah tiada. Maksud kami, gaji bulanan
itu bukanlah merupakan pemberian yang
cuma-cuma. Semua itu dibayar, sebagai
imbalan atas tugas-tugas yang telah
kami selesaikan selama ini!" ralat si
Dingklang mewakili kawan-kawannya yang
lain. Giris Rawa angguk-anggukkan
kepalanya sebagai tanda puas!
"Bagus, di antara sekian banyak.
Engkau memang salah seorang anak buah
yang memiliki kecerdasan lebih. Engkau
memang pantas mendapat penghargaan
tertinggi dariku...!" ucap sang
Adipati. Bukan alang kepalang
girangnya hati si Dingklang mendengar
keputusan sang Adipati. Tetapi begitu
Giris Rawa melanjutkan ucapannya,
wajah si Dingklang menjadi lesu
kembali.
"Tetapi penghargaan, itu nanti
Dingklang! Setelah semua urusan yang
akanu kita bicarakan ini dapat
diselesaikan dengan baik, dalam arti
pelaksanaannya...!"
"Tidak ada, Yang Mulia!" kata si
Dingklang berusaha menyembunyikan
perasaan.
"Bagus! Bagus! Aku sangat suka
pada orang yang punya pengertian
sepertimu." kata Giris Rawa Jumawa.
"Yang mulia Adipati, lebih dari
sekedar pujian. Kami yakin masih ada
hal lain yang akan Adipati bicarakan
dengan kami. Kami sudah siap untuk
mendengarkannya. Sudilah Adipati
memulainya...!" usul salah seorang di
antara mereka yang bernama Banu
Keling, nampaknya dari sekian banyak
pembantu-pembantu Adipati, laki-laki
dari Bukit Monyet selalu menunjukkan
sikap ketidaksenangannya pada sang
Adipati yang selalu membuat mual
perutnya.
"Usul yang bagus saudara Banu
keling. Saya memang segera akan
membuka pertemuan ini." menyela si
Adipati. Beberapa saat setelahnya,
keadaan di dalam ruangan itu hening
kembali. Sesekali daja terdengar desah
nafas sang pimpinan. Agaknya dia
sedang memikirkan sesuatu yang akan
dikatakannya pada para pembantu.
"Begini!" Giris Rawa membuka
percakapan kembali. Seperti yang
saudara-saudara ketahui, sudah
berjalan hampir setahun, wilayah
kekuasaanku ini menjadi gempar dengan
adanya aksi si Tangan Setan. Korban
sudah begitu banyak. Bahkan belakangan
diketahui, paman Wimba yang merupakan
sesepuh kadipaten dan juga beberapa
orang muridnya tewas secara mengerikan
di tangan iblis itu. Aku ingin saudara
ikut mencari jalan keluarnya untuk
dapat menyeret si Tangan Setan yang
telah menginjak-injak
kewibawaanku...!"
"Ampun Adipati...!" Banu Keling
menjura dalam-dalam. Sepintas sang
Adipati menoleh ke arah Banu Keling.
"Ya, kalau ada usul! Jangan
segan-segan untuk mengatakannya
Saudara Banu Keling...!"
"Begini ketua! Seperti kita sudah
ketahui, saudara Wimba sesungguhnya
bukanlah orang yang bisa dianggap
sepele dalam hal ilmu kepandaian silat
dan permainan pedang hitamnya. Bahkan
diapun seorang guru dari puluhan orang
murid! Kalau saudara Wimba dan
beberapa orang muridnya saja, yang
bisa dikatakan memiliki kepandaian
tinggi, dapat dikalahkan oleh si Ta-
ngan Setan bahkan sampai tewas di
tangannya. Maka aku yang bodoh ini
dapat menduga bahwa orang itu
berkepandaian sangat tinggi...!" Sang
Adipati angguk-anggukkan kepala, lalu
diapun menambahi!
"Engkau benar, saudara Banu
Keling! Siapapun si Tangan Setan.
Sudah pasti memiliki kepandaian yang
sangat tinggi, di samping memiliki
pukulan beracun yang sampai saat ini
tiada obatnya...!"
"Benar yang mulia. Bahkan Tabib
Setan Gila sendiri ketika bertemu
denganku mengakui kalau dirinya tak
sanggup memberikan kesembuhan!" sela
si Dingklang malu-malu.
* * *
SEPULUH
"Tetapi engkau katakan padaku,
bahwa engkau sempat bentrok dengan
Tabib itu saudara Dingklang...!" tegur
si Adipati dengan pandangan
menyelidik.
"Benar! Hal itu terjadi karena
Tabib Gila itu mengatakan tak sanggup
untuk mengobati kawan-kawan yang
terkena pukulan beracun si Tangan
Setan...!" kilah si Dingklang. Giris
Rawa sempat tercengang demi mendengar
pengakuan pembantunya itu. Lalu timbul
dalam fikirannya, kalau memang benar
bawahannya itu sempat bentrok dengan
si Tangan Setan. Itu berarti si Ding-
klang mengenali siapa adanya si Tangan
Setan itu.
"Dingklang, kelau memang benar
ucapanmu itu. Sudah barang tentu
engkau mengenali bagaimana tampangnya
si Tangan Setan itu...?"
"Ee... sulit... untuk
mengatakannya, ketua! Sebab orang itu
mengenakan topeng, tetapi kalau
menitik suaranya, aku yakin si Tangan
Setan nampaknya seorang perempuan
belaka...
"Perempuan...!" gumam Giris Rawa
tanpa sadar. Seingatnya dia tak pernah
punya musuh seorang wanita. Kalau pun
ada, mereka itu tak ada yang berumur
panjang! Menurut pendapatnya si Tangan
Setan tak mungkin menyebar teror
secara mengerikan seperti itu, kalau
tak punya alasan tertentu. Tiba-tiba
dengan sangat penasaran sekali dia
kembali bertanya.
"Tahukah engkau, bagaimana kira-
kira rupa di balik topeng itu...!"
"Tidak ketua... tetapi menurut
keyakinanku, kemungkinan besar wajah
di balik topeng itu masih sangat
muda...!" jawab si Dingklang tanpa
ragu-ragu.
"Dingklang, jangan engkau
mengada-ada. Menurutku tak mungkin
seorang wanita yang masih sedemikian
muda telah begitu berani membuat
urusan yang besar di kadipaten
Trengganu ini, lagipula apa masuk akal
kalau bocah sedemikian bau kencur
sudah mampu menguasai pukulan-pukulan
maut yang sudah sedemikian sempurna?"
menyela Banu Keling merasa kurang
sependapat dengan apa yang dikatakan
oleh Dingklang. Lain halnya dengan
Banu Keling, lain pula dengan Giris
Rawa, Saat Itu dia mulai sudah dapat
menduga-duga, siapa adanya perempuan
yang berjuluk si Tangan Setan itu. Dia
masih ingat betapa waktu itu Panji
Paksi, Adipati yang malang itu
mempunyai seorang anak perempuan yang
tidak keburu mereka binasakan karena
ada seseorang berkerudung yang
menyelamatkannya. Kejadian itu kini
sudah hampir delapan belas tahun yang
lalu. Sangat masuk akal kalau bocah
itu kini sudah berangkat dewasa, dan
mungkin saja dialah yang berjuluk Si
Tangan Setan itu. Dengan senyum penuh
kelicikan, wajahnya yang kuning pucat
itu kini nampak berobah sedikit cerah.
Kemudian begitu pongahnya dia
memandang pada para bawahannya.
"Saudara Banu Keling! Mungkin apa
yang dikatakan oleh adi Dingklang
sudah mulai mendekati kebenaran...!"
ucapnya dengan sesungging senyum
memualkan.
"Apa maksudmu, Ketua...!" tanya
yang lainnya.
"Masih ingatkah kalian dengan
peristiwa besar delapan belas tahun
yang lalu!" Giris Rawa balik bertanya.
Yang ditanya masing-masing kerutkan
kening. Sama-sama mencoba mengingat-
ingat. Begitu mereka mengerti!
"Maksud Yang Mulia Adipati,
mengenai keluarga Panji Paksi...!"
"Benar! Bagus kalau kalian masih
mengingatnya. Seperti kita ketahui
bukankah kala itu Panji Paksi punya
seorang anak perempuan yang sempat
diselamatkan oleh orang berkerudung?"
Ujar si Adipati.
"Apa hubungannya antara anak si
bangsat Panji Paksi dengan si Tangan
Setan, Ketua...!" tanya mereka hampir
bersamaan. Sudah barang tentu
pertanyaan mereka ini membuat jengkel
sang Adipati.
"Kalian ini goblok semua. Otak
kalian malah tidak lebih baik dari
otak keledai dungu. Hubungannya ya
sudah jelas ada! Bocah cilik itu sudah
barang tentu kalau masih hidup
sekarang ini sudah dewasa. Bukan tak
mungkin si manusia berkerudung itu
telah mengajarkan ilmu sakti
kepadanya!"
"Hmm. Benar juga... kalau begitu
yang menjadi sasaran utama dalam
terornya sudah jelas engkau yang mulai
Adipati...!" kata Banu Keling.
"Tolol!. Bukan aku sendiri,
tetapi kita semua yang ada di
kadipaten ini...!" ucapnya marah
sekali.
; "Benar. Mengapa dulu kita tidak
membunuhnya sekalian, bikin penyakit
saja...!" menyela si Dingklang.
"Sudah... semuanya sudah telat...
sudah terlambat! Tak perlu kita
mencari kambing hitam. Yang perlu kita
fikirkan adalah bagaimana caranya
meringkus bocah itu secepatnya...!"
bentak Giris Rawa, lalu ia gebraknya
meja berukir indah yang berada di
hadapannya. Hingga meja itupun hancur
berkeping-keping. Pucat wajah orang-
orang di sekelilingnya demi melihat
kemarahan sang junjungan, wajah mereka
nampak tertunduk dalam-dalam. Sepasang
mata Giris Rawa yang buas dan keji itu
untuk beberapa saat lamanya menyapu
pandang pada para bawahannya, setelah
itu akhirnya diapun berkata tegas.
"Dalam keadaan segawat sekarang
itu, aku tak pernah meminta pada
kalian untuk saling berbantahan,
kalian kuundang kemari adalah untuk
membicarakan bagaimana akal kita
menghadapi sepak terjang bocah itu
yang sudah melebihi takaran. Bocah itu
sangat berbahaya, bahkan bisa
menghancurkan kita dalam waktu cepat
atau lambat kalau kita tak memasang
perangkap untuk menangkapnya. Jangan
kalian-fikir kita dapat dengan mudah
meringkusnya, kalau kita tidak
mempergunakan akal lama...!" Lagi-lagi
Adipati Trengganu mendengus.
"Maksud yang mulia kita biarkan
si Tangan Setan datang sendiri ke
mari...!".:
"Tak salah...!" ujar Giris Rawa
dengan sesungging senyum penuh
kelicikan. Semua orang yang hadir di
situ nampak terdiam begitu mendengar
keputusan sang Adipati. Sebagian di
antara mereka ada yang setuju dengan
siasat yang sesungguhnya hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang pengecut,
sedangkan sebagian yang lain nampaknya
menjadi ragu-ragu. Walaupun mereka ini
memang tak berani secara terang-
terangan mengatakan apa yang
terkandung dalam hati masing-masing.
"Bagaimana apakah kalian merasa
setuju dengan usulku itu...?" tanya
sang Adipati.
"Setuju sih setuju Adipati...
tetapi yang jadi persoalannya sekarang
ini adalah, apakah si Tangan Setan mau
datang ke mari atau tidak!"
"Weii... mahluk apakah engkau
ini, kok tolol banget.. Si Tangan
Setan mengincar kita, sudah pasti dia
cepat atau lambat datang ke mari...!"
"Betul juga... kalau begitu akur
saja dah..,!". menyahut Banu Keling
dan lain-lainnya secara serentak.
Dalam pada itu salah seorang di
antara mereka di pintu utama datang
dengan tergopoh-gopoh memberi laporan.
Wajah pengawal itu nampak sangat pucat
sekali. Sesampainya di depan Adipati
pengawal pintu utama itu langsung
berlutut dan menjatuhkan diri.
"Celaka Yang Mulia, lapor Yang
Terhormat... eeh.. maksud...!" ucapnya
tersendat dan terbata-bata.
"Bajul Buntung... mau ngomong
saja pakek au.. au.. au... siapa yang
mengajarimu menjadi gugup seperti itu?
Coba bicara baik-baik...!" bentak sang
Adipati nampak sangat marah sekali.
"Ba... baik... yang mulia! Begini
ada seorang pengacau di luar sana...!"
kata si pengawal memberi laporan.
"Pengacau! Apakah kalian tidak
mampu membereskan bangsat itu?.Ke mana
kawan-kawanmu yang lain. Apakah mereka
tidur saja kerjanya...?" gerutu sang
Adipati dengan mata memerah.
"Kami sudah mengadakan
perlawanan, yang mulia! Tetapi malah
kawan-kawan kami semuanya tewas...!"
jawabnya dengan tubuh gemetaran.
"Tewaas...?" Giris Rawa sampai
terlonjak dari tempat duduknya demi
mendengar laporan pengawalnya. Tiga
puluh orang penjaga bukanlah sedikit.
Mereka juga telah dilatih dengan
berbagai ilmu kanuragan oleh Wimba.
Bagaimana bisa terjadi pengawal yang
begitu banyak jumlahnya bisa
dirobohkan oleh pengacau. Beberapa
saat kemudian dia kembali berpaling
pada pengawalnya.
"Pengawal linglung! Berapa
banyakkah para pengacau itu...?" tanya
sang Adipati.
"Tidak banyak, Yang Mulia hanya
satu orang...!"
"Tolol... sinting... guoblok...
semua! Begitu banyak orang diluaran
sana, cuma menangkap satu orang saja
nggak becus. Malah pada mati lagi...!"
"Orang itu memiliki pukulan
beracun dan berkepandaian silat sangat
tinggi, Yang Mulia...!" kata si
pengawal memberi penjelasan. Kejut di
hati Giris Rawa bukan alang kepalang.
Lalu timbul pula dugaannya bahwa orang
itulah yang sesungguhnya sedang mereka
bicarakan saat itu.
"Kalian semua!" ucap sang Adipati
memandang ke segenap ruangan! Kemudian
lanjutnya: "Di Trengganu ini tak
seorangpun yang memiliki kepandaian
melebihi kakang Wimba dan memiliki
pukulan beracun pula. Aku merasa
yakin, agaknya inilah manusianya si
Tangan Setan yang kita sedang tunggu-
tunggu itu. Aku ingin agar kalian
mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Ringkus manusia biang malapetaka itu
hidup atau mati." perintah Giris Rawa.
Akhirnya tanpa membuang-buang
waktu lagi, Sang Adipati dan orang-
orangnya nampak berserabutan ke luar
dari rumah Adipati. Sampainya di
halaman yang begitu luas, persis
seperti apa yang dilaporkan oleh
penjaga pintu. Terlihatlah pemandangan
yang benar-benar menggiriskan. Mayat-
mayat pengawal kadipaten yang
jumlahnya lebih dari tiga puluh orang
itu nampak bergelimpangan di berbagai
tempat. Mereka semuanya tewas dengan
wajah menghitam dan biru akibat
terkena pukulan Raja Cobra. Semua mata
menyaksikan pemandangan itu nampak
bergidik. Ngeri dan cemas berbaur
menjadi satu. Merah paras sang Adipati
demi melihat seluruh pengawalnya
terbantai habis. Tubuhnya yang kurus
nampak bergemetaran, kedua bibirnya
yang menghintam itu nampak terkatup
rapat. Saat itu bulan sabit ketujuh
masih berselimut kabut, sang Adipati
dan lain-lainnya nampak mengitarkan
pandangan kesegenap malam. Suasana
terasa sepi mencekam. Dalam
kemarahannya yang meluap-luap itu.
Tiba-tiba Giris Rawa berteriak
lantang:
"Setaaaaan...! Manusia yang
mengaku dirinya si Tangan Setan!
Jangan hanya ngumpet di gelapannya
malam. Keluarlah... pengawal-pengawal
itu bukan :apa-apamu! Aku Adipati
Trengganu merupakan lawan,
keluaarrr...!" perintah sang Adipati
memberi tantangan. Namun, sejauh itu
tiada sai-hutan apapun, suara Adipati
yang sedemikian lantangnya menggema di
keheningan malam yang sepi.
"Agaknya orang itu telah pergi
dari tempat ini, Adipati...!" menyela
Banu Keling. Tanpa berpaling dari
posisinya, Giris Rawa berkata gusar:
"Huh! Aku tak percaya, dia pasti
masih berada di sekitar tempat
ini...!" bantah sang Adipati.
"Manusia keparat si Tangan Setan!
Keluarlah dari tempat persembunyianmu"
Si Dingklang ikut-ikutan pula
berteriak.
"Kuatan dikit! Mungkin si Tangan
Setan jenis manusia tuli...!"sergah
salah seorang di antaranya.
"Bajul Buntung! Tadi juga sudah
kuatan, mungkin kupingmu saja yang
budek...!" kata si Dingklang pada si
botak yang berdiri di sisinya.
"Sial betul kalian ini. Mengapa
saling berbantahan... ayo cepat cari
di sekitar tempat ini!" bentak Giris
Rawa nampak sangat marah sekali.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
terdengar suara tawa mengekeh. Lalu
melesatlah sesosok bayangan dari atas
wuwungan rumah, begitu cepat bayangan
itu berkelebat hingga tahu-tahu dia
sudah menginjakkan kakinya tidak
begitu jauh dari tempat Adipati dan
orang-orangnya berdiri. Serentak
perhatian mereka tertuju pada si
manusia yang mengenakan topeng biru.
Beberapa saat kemudian tanpa diberi
komando, orang-orang Giris Rawa itupun
langsung mengepugn si Tangan Setan.
Mengetahui gelagat, si Tangan Setan
malah tertawa ngikik.
"Hi... hi... hi...! Manusia-
manusia serakah, hari ini akan kuhapus
nama kebesaranmu dari kolong langit
ini...!" teriak si Tangan Setan geram
sekali. Berkali-kali Giris Rawa
meludah ke tanah demi mendengar ucapan
si orang bertopeng itu. Lalu tak kalah
gusarnya diapun menyela:
"Ho... ho... ho...! Budak setan,
sekalipun seratus lapis engkau kenakan
topeng itu jangan kau kira aku tak
dapat mengenalimu Ayahmu Panji Paksi
telah mampus di tangan kami. Kupikir
sebentar lagi engkaupun akan mengalami
nasib yang sama pula, atau mungkin
lebih mengerikan dari sekedar apa yang
di alami oleh orang tuamu...!"
"Bagus kalau engkau mengenaliku!
Tahukah kau sudah berapa banyak dosa
yang engkau tumpuk...!" tukas si
Tangan Setan mencemooh.
"Tolol sekali engkau ini!
Pembunuhan yang engkau lakukan semena-
meha saja sudah menutup jalan bagimu
untuk bertobat. Masikah engkau
menghitung-hitung kesalahanku yang
sesungguhnya teramat kecil...!"
"Keparaat! Hieeeh...!"
"Arrghk!" Sekali lagi tangan si
gadis ber-kelebat, dua orang
bawahannya terpelanting roboh. Tewas
secara mengerikan seketika itu juga,
mendidihlah darah sang Adipati
dibuatnya.
* * *
SEBELAS
"Jahanam terkutuk! Engkau telah
membunuh. orang-orang kepercayaanku.
Ingat dan jangan harap aku mau
mengampunimu .!" maki sang Adipati,
dan saat itu juga dia sudah mencabut
senjatanya yang berupa sebuah keris
lekuk tujuh bergerigi.
"Akupun tak perlu merengek minta
ampun padamu, bangsat Giris Rawa...!"
"Sialan...!"
Adipati Giris Rawa sudah
bermaksud ke arah si Tangan Setan,
tetapi Banu Keling mencegah!
"Ketua biarkan kami yang
meringkus bocah setan ini...!"
Serentak dengan ucapannnya, Banu
Keling, si Dingklang dan dua orang
lainnya segera mengepung si Tangan.
Setan. Gadis bertopeng itu kembali
tergelak-gelak. Begitu cepat tubuhnya
berkelebat sambil keluarkan seruan.
"Hari ini Adipati sialan dan para
begundal-gundalnya benar-benar segera
kukirim ke liang kubur...!"
"Tutup bacotmu betina setan!
Sheaaa...!" Banu Keling kirimkan satu
babatan satu bacokan mengarah pada
bagian kepala dan pinggang. Pada saat
yang sama menderu pula satu serangan
dari arah samping kiri yang
dilancarkan oleh si Dingklang. Si Ta-
ngan Setan keluarkan tawa mengekeh,
tubuhnya sedikit condong ke samping
kanan, lalu tanpa terduga-duga
bagaikan seekor jangkrik tubuh itu
melentik ke udara.
"Wuaa...!"
"Semprul sialan! Hampir saja kita
saling bacok-bacokkan Banu keling...!"
gerutu si Dingklang saat mana senjata
mereka hampir saja bertemu satu sama
lain. Masih untung meskipun suasana
gelap remang-re-mang mereka nampak
sangat hati-hati dalam melakukan
penyerangan. Andai tidak, sudah barang
tentu mereka secara tak sengaja sudah
saling bunuh.
"Bet! Bet!"
Banu Keling lagi-lagi membuka
serangan, kali ini sambil menyerang
dia kirimkan satu pukulan maut yang
diberi nama, Ular Gunung mencatok
Tikus, Begitu tangan kanannya membabat
ke arah depan, tengan kiri terentang
ke atas, kemudian berkiblat.
Tak ayal satu sapuan gelombang
angin yang teramat kencang segera
menerjang ke arah si Tangan Setan.
Jubah Kuning yang dikenakan oleh si
Tangan Setan sampai berkibar-kibar di
landa angin pukulan yang dilepaskan
oleh Banu Keling. Pembantu Adipati
itu berharap satu pukulan yang
dilepaskan itu telah mampu merobohkan
si Tangan Setan atau setidak-tidaknya
membuat dia kelabakan. Akan tetapi tak
disangka-sangka si Tangan Setan
sebaliknya malah mendengus dan
keluarkan ucapan yang membuat orang-
orang Adipati semakin gusar.
"Puih! Pukulan mainan bocah
begini mana ada apa-apanya. Nih
kukembalikan. Bersamaan dengan
ucapannya. Si Tangan Setan lambaikan
tangan kirinya. Praktis pukulan yang
dilepaskan oleh Banu Keling bukan saja
tak pernah mencapai sasarannya, lebih
dari itu. Pukulan itu kini malah
berbalik menyerang pemiliknya dengan
kekuatan yang berlipat ganda.
Seandainya Banu Keling tidak cepat-
cepat menghindar dengan cara
berjumpalitan. Sudah dapat dipastikan
dia akan binasa oleh pukulannya
sendiri, Sumpah serapah berhamburan
dari mulut laki-laki itu, ketika
pukulan Ular Gunung Mencatok Tikus
masih saja. menyerempet bagian tumit
kakinya. Serentak dengan bersurutnya
Banu Keling, maka si Dingklang dan dua
orang lain nampak bergerak maju.
Dengan senjata sebilah pedang
tipis di tangan masing-masing. Ketiga
orang ini menggempur si Tangan Setan
dari berbagai arah. Akan tetapi
nampaknya si Tangan Setan sudah tak
ingin mengulur-ulur waktu lagi.
Secepatnya serangan-serangan itu da-
tang menggempurnya silih berganti,
maka lebih cepat lagi tubuhnya
berkelebat, hingga manakala dari si
Dingklang dan dua orang lainnya
menderu ke arahnya, tanpa sungkan-
sungkan kedua tangannya yang telah
teraliri tenaga dalam itupun secara
tepat memapaki.
"Crak! Crak! Crak!"
"Buk!"
Bagai membentur batu karang saja
layaknya, ketika pedang di tangan
ketiga orang itu mencapai sasarannya.
Kejut di hati mereka bukan alang
kepalang, mereka tak pernah menyangka
kalau si Tangan Setan memiliki
kekebalan tubuh yang sangat luar
biasa. Begitupun halnya dengan Adipati
Giris Rawa yang saat itu nampak
menyaksikan jalannya pertarungan anak
buahnya dari tempat yang tidak begitu
jauh dari halaman rumah Kadipaten itu.
Sementara itu si Dingklang dan
dua orang lainnya begitu mengetahui
lawannya , kebal terhadap senjata,
mereka bermaksud untuk mencari titik
kelemahan lainnya. Tetapi begitu dia
berusaha menarik senjata yang menempel
di jemari tangan si gadis bertopeng.
Ketiga orang ini dibuat lebih terkejut
lagi. Karena ternyata mata pedang di
tangan mereka telah menempel begitu
lekat di antara celah-celah jemari
lawannya. Pada saat itu pulalah si
Tangan Setan kirimkan tiga pukulan
kilat secara bertubi-tubi.
"Buk! Buk! Buk!"
"Wuaea...!"
Bagai ranting kering ditiup topan
ketika orang itupun tanpa ampun lagi
terlempar sedemian menyedihkan. Tiga
jeritan maut terdengar saling susul
menyusul. Seandainya kejadian singkat
itu berlangsung siang hari, sudah
tentu Banu Keling dan Adipati Giris
Rawa, akan menjadi jerih begitu me-
lihat tubuh orang-orangnya yang
terkena pukulan beracun, nampak
melempuh dan berubah menghitam
seketika itu juga. Kini tinggallah
pentolan-pentolan Kadipaten nampak
memandangi mayat-mayat para
pembantunya yang tewas secara
menyedihkan. Sungguhpun hati Banu
Keling dan Giris Rawa dibakar
kemarahan yang meluap-luap, tetapi
kini agaknya mereka mulai menyadari
bahwa caci maki sudah tiada gunanya.
Dan sejauh itu dia sudah dapat menduga
seberapa hebat kekuatan dan
kedahsyatan. yang dimiliki oleh si
Tangan Setan. Maka. kini tanpa banyak
kata lagi, Giris Rawa kembali mencabut
keris lekuk tujuh bergerigi miliknya.
Begitupun Banu keling, laki-laki
berkulit arang inipun tak tinggal
diam. Segera pula di lolosnya sebuah
bola baja berduri yang selama ini
nampak melilit di pinggangnya.
Beberapa saat kemudian bagai
saling berlomba, dua orang pentolan
Kadipaten Trengganu itupun dengan
senjata-senjata aneh namun
menyeramkan. Segera kirimkan serangan-
serangan ganas. Dengan senjata di
tangan mereka, setiap tusukan maupun
babatan selalu saja menimbulkan deru
angin yang menggiriskan. Agaknya
senjata-senjata milik pentolan-
pentolan Kadipaten itu juga mengandung
racun yang ganas. Ini terbukti si
Tangan Setan yang memiliki kekebalan
terhadap segala macam racun saja
nampak bertindak sangat hati-hati. Hal
ini ternyata memang membuka kesempatan
yang cukup besar bagi Banu Keling dan
Giris Rawa untuk mendesak lawannya
dengan sangat leluasa sekali.
Gebrakan-gebrakan berikut ternyata
memang si Tangan Setan nampak mulai
terdesak, gempuran-gempuran yang
dilakukan dari dua arah oleh lawan-
lawannya secara sambung-menyambung
itu. Membuat si Tangan Setan tak mampu
mengembangkan jurus-jurus silat yang
di milikinya. Akibatnya sambil terus
bertahan dia hanya mampu mengelak dan
menangkis. Bukan main kesalnya hati si
Tangan Setan, demi mangetahui betapa
hebat gabungari jurus-jurus silat
yang dimainkan oleh lawan-lawannya.
Lebih dari itu yang patut di akui oleh
si Tangan Setan adalah cara kerjasama
di antara kedua orang itu yang
sedemikian baiknya, sehingga meskipun
permainan ilmu silat mereka bukan
berasal dari satu sumber tetapi
menunjukkan kekompakkan yang sangat
serasi.
Dalam pada itu, Giris Rawa dan
Banu Keling kelihatan terus mendesak
lawannya sampai ke tembok pagar,
beberapa kali senjata di tangan Giris
Rawa yang berupa keris bergerigi
berhasil merobek beberapa bagian dari
pakaian lawannya. Giris Rawa yang saat
itu merasa berada di atas angin, nam-
pak terkekeh-kekeh. Begitu melihat
bagian-bagian tertentu dari tubuh si
Tangan Setan. Yang seperti sama-sama
diketahui sesungguhnya merupakan
seorang wanita. Beberapa saat kemudian
Banu Keling yang sudah semakin kalap
dan tak sabaran ini nampak berteriak
keras, bersamaan dengan jeritannya itu
pula, tubuhnya berkelebat lebih cepat.
Bola baja berduri yang berada dalam
genggamannya diputar sedemikian
cepatnya, hingga menimbulkan bunyi
mendengung menyakitkan gendang
telinga. Satu kesempatan, Banu Keling
tampak memberi isyarat pada Giris
Rawa. Mengetahui gelagat, Adipati
bangsat itu cepat-cepat menyurut
beberapa langkah! Pada saat itu pula
Banu Keling yang sudah merencanakan
segala sesuatunya segera mengayunkan
rantai bola baja di tangannya.
"Nguuuuung!"
Laksana suara ribuan lebah, bola
baja berduri itu mendengung.
Sesungging seringai maut membias di
bibir Banu Keling. Saat senjata di
tangannya bergerak sedemikian cepat
pada bagian kepala si Tangan Setan.
Si Tangan Setan nampak terkesima
begitu mengetahui datangnya serangan
yang begitu cepat dan tiba-tiba ini.
Sekejap dia menjadi gugup! Tetapi
bukan si Tangan Setan namanya kalau
dalam menghadapi serangan yang
demikian saja dia sudah kelabakan.
Demikianlah ketika bola berduri itu
dua jengkal hampir menghancurkan
kepalanya. Di saat Banu Keling dan
Giris Rawa menyangka bahwa kali itu si
Tangan Setan sudah tak dapat
menghindar dari kematian. Secara
mendadak dan tiada disangka-sangka
oleh pentolan-pentolan Kadipaten
Trengganu, tubuh si Tangan Setan
nampak kembali menelentik ke udara.
"Haiiiit”
Bola baja yang seharusnya
menghantam kepala si Tangan Setan,
sebaliknya terus meluncur mencapai
sasaran yang kosong.
"Craak! Bluuum"
Luncuran yang sudah sangat sulit
pada akhirnya menghantam tembok
dinding sehingga mengakibatkan tembok
itu menjadi porak poranda.
Agaknya serangan yang gagal
mencapai sasarannya itu telah membuat
Banu Keling menjadi sangat penasaran
sekali. Dengan melarang Giris Rawa
terlebih dahalu, pada akhirnya dia
maju seorang diri. Sebelum mulai
gebrakan berikutnya diapun berteriak
lantang.
"Tangan Setan! Karena hari ini
aku tak mampu mengembalikanmu ke
neraka. Maka lebih baik berhenti jadi
manusia....!"
"Bagus! Kalau engkau berhenti
jadi gembongnya manusia sesat, aku
sarankan engkau jadi Raja Cacing Tanah
saja...!"
"Hait...mampuslah engkau bocah
sombong...!" teriak Banu Keling.
Rantai Bola Baja di tangannya kembali
menderu, semakin lama nampak bergerak
semakin cepat, hingga pada akhirnya
hanya tinggal merupakan bayang-bayang
saja. Di lain pihak. Si Tangan Setan
yang diserang sedemikian rupa, kini
malah nampak tenang-tenang saja. Hal
ini sesungguhnya sangat wajar, karena
rupanya dalam keadaan terdesak tadi
sesungguhnya dia sedang berusaha
memecahkan permainan setiap jurus ilmu
silat lawannya. Kini setelah misteri
jurus-jurus ilmu silat si Giris Rawa
dan Banu Keling terpecahkan. Maka
makin mudahlah baginya untuk
mematahkan serangan pihak lawan
apalagi kini Banu Keling yang sudah
sangat penasaran itu mencegah Sang
Adipati untuk mengeroyok si Tangan
Setan.
Dalam gebrakan-gebrakan
berikutnya nyatalah bahwa permainan
silat maupun pukulan-pukulan yang
dilepaskannya, sudah dapat di baca
oleh si Tangan Setan. Hingga pada
akhirnya, sungguhpun Banu Keling
berusaha mati-matian dan bahkan telah
mengerahkan segenap kemampuannya,
namun tetap saja setiap serangan yang
di lancarkannya selalu saja patah di
tengah jalan. Satu kesempatan, bola
baja di tangan Banu Keling kembali
menderu, bahkan lebih cepat lagi bila
dibandingkan dengan serangan-serangan
terdahulu. Bersamaan dengan
berkelebatnya tubuh Banu Keling. Maka
si Tangan Setan yang memang sudah
bersiap-siap melepaskan pukulan
beracunnya juga ikut bergerak lebih
cepat lagi. Tetapi manakala bola baja
di tangan Banu Keling mengejar dari
arah belakangnya. Sebaliknya dia malah
hentikan gerakan dan berdiri tiada
bergeming. Banu Keling dan Giris Rawa
menyangka bahwa si Tangan Setan
kiranya sudah menyerah dan mau
menerima kematian.
"Nguuung!"
Beberapa inci lagi bole berduri
itu menyambar perut si Tangan Setan,
maka tangan kanannya bergerak laksana
kilat.
"Creeep!"
Dua orang pentolan Trengganu itu
sama-sama terbelalak penuh kejut
begitu mengetahui dengan sangat mudah
pihak lawannya, bukan saja dapat
mengelakkan hantaman bola baja itu,
tetapi sebaliknya malah mampu pula
menangkap dengan sangat tepat senjata
milik musuhnya. Banu Keling tak dapat
berfikir panjang manakala satu
sentakan dari tenaga yang sangat
besar, merenggutkan bola baja itu dari
tangannya. Belum lagi habis kejut di
hatinya. Tanpa terduga-duga, laksana
meteor. Si Tangan Setan menyambitkan
bola baja berduri itu pada pemiliknya.
Senjata maut itu terus melesat
sebegitu cepat, ke arah Banu Keling.
Giris Rawa yang sempat melihat
kejadian itu berteriak memberi
peringatan.
"Saudara Banu Keling...
awaaaas...!" Percuma saja Giris Rawa
memberi peringatan pada Banu Keling,
sebab laki-laki yang sudah sangat
gugup itu sudah tak mampu mengelak
lagi. Tak ampun senjatanya sendiri,
menghantam bagian dadanya.
"Broooook!" '
Banu Keling menjerit lirih
manakala bola baja itu membuat remuk
dadanya. Darah nampak memancar deras
dari tulang-tulang iga yang
berserabutan ke luar itu. Tiada
keluhan yang terdengar, mata Banu
Keling nampak melotot memandang pada
si Tangan Setan. Tetapi hanya sesaat
saja, karena tidak begitu lama
kemudian. Bagai pohon pisang yang
ditebang, maka tubuhnya ambruk tanpa
mampu berkutik lagi. Mengetahui ke-
adaan lawannya, si Tangan Setan
tertawa mengekeh. Secara perlahan dia
berpaling pada Giris Rawa, yang kini
nampak sangat gusar sekali begitu
melihat kematian kawannya. Banu
Keling! Dengan tersenyum aneh si
Tangan Setan yang hatinya, sudah
dipenuhi kobaran nafsu membunuh itupun
membentak.
"Giris Rawa...! Apa yang bisa kau
perbuat? Semua orang-orangmu telah
kubikin mampus... Sebentar lagi, sudah
barang tentu tiba giliranmu pula...!"
"Bangsat, jangan kira aku menjadi
takut menghadapimu. Majulah! Sekalipun
kulitmu sekebal kulit badak, tetapi
dengan keris pusaka ini engkau akan
segera binasa!" teriak Giris Rawa.
"Mampuslah engkau bangsat
pembunuh orang tuaku... haiiit...!"
maki si Tangan Setan. Serentak dengan
ucapannya itu, si Tangan .Setah alias
Hning Ksaban tanpa basa basi lagi
langsung saja menerjang dan kirimkan
pukulan-pukulan yang sangat diandalkan
pada Adipati Trengganu. Sebaliknya
dengan sangat gesit pula Giris Rawa
memapaki setiap datangnya serangan
yang dilancarkan oleh si Tangan Setan.
Sementara itu, Buang Sengketa
yang baru saja sampai di tempat yang
sama kurang lebih sepeminum teh
lamanya. Nampak dengan tegang
mengintai jalannya pertarungan dari
kerimbunan pohon. Dari percakapan dan
perdebatan yang sempat dia dengar
tadi, tahulah dia kini siapa
sesungguhnya si Tangan Setan yang
namanya saja menjadi momok bagi
masyarakat banyak. Sebelumnya sama
sekali dia tiada mengira kalau si
Tangan Setan sesungguhnya seorang
gadis yang berparas cantik, hal ini
dia ketahui beberapa saat kemudian,
setelah Giris Rawa berhasil
menyetakkan topeng muka yang di
kenakan oleh si gadis. Bukan main
senang nya Adipati Trengganu itu demi
melihat sosok wajah di balik topeng
itu. Sambil tertawa-tawa, Giris Rawa
segera melancarkan totokan-totokan
mautnya. Dia berharap andai si Tangan
Setan dapat diringkusnya hidup-hidup
sudah barang tentu dia bisa dengan
sangat leluasa mempermainkan si Tangan
Setan dengan sekehendak hatinya.
Lain halnya dengan pendekar kita
ini. Sejak dia tadi mendengar
perdebatan antara Giris Rawa dan si
Tangan Setan. Akhirnya dia yang semula
bermaksud menghukum si Tangan Setan
karena sepak terjangnya yang begitu
kejam. Kini nampaknya si pemuda agak
lunak sedikit dalam menjatuhkan
hukuman. Baginya paling tidak si
Tangan Setan meskipun cantik harus
dipotong kedua tangannya, sebagai
hukuman akibat pembunuhan keji yang
telah dilakukannya selama ini.
* * *
DUA BELAS
Sementara itu biarlah untuk Giris
Rawa, gadis itu sendiri yang akan
menentukan hukumannya. Demikian
pendekar ini menyimpulkan. Dalam pada
itu pertarungan antara si Tangan Setan
dan Adipati Trengganu itu sudah
berlangsung puluhan jurus. Meskipun
begitu, setelah gebrakan demi gebrakan
berlangsung, akhirnya nyatalah bahwa
Giris Rawa dalam pertarungan ini sudah
mulai nampak jatuh di bawah angin.
Kalau tadinya dia mempunyai maksud
untuk meringkus si Tangan Setan hidup-
hidup tetapi agaknya kini dia harus
merubah keinginannya. Mendahului si
Tangan Setan atau dirinya yang akan
didahului. Karena teringat sampai di
situlah maka dia berusaha mencecar
lawannya dengan keris bergerigi di ta-
ngannya. Tetapi sayang sekali, segala-
galanya telah berubah kini. Sepenuhnya
si Tangan Setan alias Hning Ksaban
telah menguasai pertarungan, hingga
jurus-jurus silat yang dia mainkanpun
kini sudah teramat sulit untuk
dikembangkan. Jurus demi jurus
terlewati, sementara Giris Rawa nampak
jatuh bangun mempertahankan diri. Satu
saat Adipati Trengganu itu menusukkan
kerisnya mengarah pada bagian dada
Hning Ksaban, tetapi gadis itu malah
lebih nekad lagi memapaki bagian
ujungnya yang runcing.
"Craaak!"
Si Tangan Setan mengekeh begitu
melihat senjata di tangan lawan
menjadi bengkok karena beradu dengan
telapak tangannya. Di tempat
persembunyiannya Buang Sengketa
sendiri sempat dibuat terbelalak tak
percaya begitu menyaksikan bahwa tubuh
si gadis tak mempan dengan pusaka
apapun. Dalam keadaan seperti itu
terdengar pula bentakan si gadis.
"Giris Rawa, senjatamu tak ada
gunanya! Sekali ini telah tiba
giliranmu untuk terima kematian
dariku. Meskipun dendamku padamu
setinggi gunung dan sedalam lautan.
Tetapi kali ini aku bertindak cukup
adil, ingatlah kalau engkau dapat
menahan dua pukulan beracun si Raja
Cobra aku akan mengampuni jiwamu,
tetapi kalau tidak. Engkau memang
lebih pantas untuk secepatnya sempai
ke neraka!"
Kalau Giris Rawa yang agaknya
licik mengerti tentang hal ihwal
pukulan beracun si Raja Cobra, tetapi
lain lagi halnya dengan pendekar ini.
Dia nampak sangat terperanjat sekali
demi mendengar pukulan beracun si Raja
Cobra ada disebut-sebut oleh si gadis.
Sebab seperti apa yang pernah
dituturkan oleh gurunya sendiri si
Bangkotan Koreng Seribu, bahwa pukulan
beracun Raja Cobra sampai sejauh itu
hanya dimiliki oleh seorang datuk
sesat tanpa nama yang sampai saat ini
tinggal di Pulau Seribu Ular. Dan
patut diakui bawah siapapun yang
terkena pukulan itu sangat sulit dan
tak mungkin ada harapan lagi jiwanya
dapat di selamatkan. Sebab hingga saat
itu tak seorangpun Tabib di empat
penjuru mata angin yang dapat
menyembuhkannya. Tetapi kini,
bagaimana mungkin gadis yang mengaku
dirinya sebagai si Tangan Setan bisa
memiliki pukulan yang sangat langka
itu. Kalaupun mungkin, bukankah Pulau
Seribu Ular itu tak seorangpun yang
tahu tempatnya. Diam-diam dia jadi
ingin tahu seberapa hebat pukulan
beracun si Raja Cobra yang telah
banyak merenggut nyawa banyak orang
itu.
Pada saat itu. Hning Ksaban alias
si Tangan Setan telah bersiap-siap
dengan pukulan mautnya. Sementara
Giris Rawa tanpa henti-hentinya terus
melakukan serangan-serangan gencar.
Ketika beberapa saat setelahnya,
tangan Hning Ksaban tiba-tiba saja
telah berubah menjadi hitam. Lalu
tanpa membuang-buang kesempatan lagi,
gadis keturunan Panji Paksi itupun
langsung melakukan pukulan mautnya
yang pertama.
"Haeeet!"
Satu gelombang biru pekat,
melesat sedemikian cepatnya pada Giris
Rawa yang saat itu sedang
berjumpalitan di udara. Sang Adipati
nampak sangat terkejut begitu
merasakan adanya sambaran angin yang
begitu dingin dan menyesakkan rongga
dadanya. Secepatnya dengan senjatanya
yang sudah tak karuan ujudnya mencoba
memapaki datangnya pukulan beracun
itu. Tetapi kiranya pukulan si Raja
Coba memiliki kekuatan tiga kali lipat
dari apa yang diperkirakannya.
"Blaaar!"
Akibatnya bukan saja senjatanya
yang sudah sangat rusak itu entah
mental ke mana. Tetapi lebih parah
lagi tubuhnya terpelanting tujuh
tombak dalam keadaan hangus menghitam.
Tubuh Giris Rawa membentur tembok
rumahnya sendiri, darah mengalir dari
mulut, hidung dan telinganya. Beberapa
saat lamanya Adipati Trengganu itu
nampak memandang sayu pada si Tangan
Setan, wajahnya yang semakin menghitam
nampak terdiam tiada bergeming.
Akhirnya secara perlahan tubuh itu
berkelojotan lemah. Hingga kemudian
tubuh itupun diam untuk selama-
lamanya. Tewaslah musuh besar si
Tangan Setan itu secara mengerikan, si
Tangan Setan terduduk dengan wajah
tertunduk. Kini setelah segalanya
berakhir dia nampak menitikkan air
mata. Tiba-tiba dia berkata lirih
namun mengandung penyesalan yang
teramat dalam.
"Ibu... ayah...! Aku telah
kembali untuk membalaskan sakit hati
ini. Aku tahu semua itu tak berarti
banyak, bagimu. Tetapi bagi anakmu
yang engkau tinggal seorang diri,
kematian mereka adalah karena
kesombongannya sendiri. Maafkan aku
ayah karena aku harus kembali pada
datuk tanpa nama yang telah
kutinggalkan di Pulau Seribu Ular
seorang diri. Biarlah dia nanti yang
akan menghukumku atas segala
tindakanku yang telah membunuh banyak
orang. Aku rela mati di tangan orang
yang telah membesarkan aku selama
ini!" kata si gadis dengan air mata
berlinangan. Namun beberapa saat
kemudian tiba-tiba dia hentikan
tangisnya, tiba-tiba dia memandang pa
da kerimbunan pohon tempat di mana
Pendekar Hina Kelana bersembunyi. Lalu
berkata pelan!
"Manusia yang memiliki julukan
Pendekar Hina Kelana! Turunlah dari
tempat per-sembunyianmu. Sebagai
seorang pendekar, katanya engkau
berniat menghukumku dengan membuntungi
tanganku. Mengapa ragu,
lakukanlah....!" perintah si gadis.
Buang Sengketa menjadi terkejut juga,
bagaimana mungkin si Tangan Setan bisa
mengenali namanya, dan lebih dari itu
dari mana dia tahu kalau dia bermaksud
menghukum si gadis dengan cara
membuntungi tangannya...?
"Anak raja Ular Piton Utara.
Ketahuilah membunuh dan menghukum itu
bukanlah wewenangmu! Nyawaku menjadi
milik guruku. Lebih dari itu pusaka
Golok Buntungmu tak kan pernah mau
mengotori dirinya dengan darahku.
Karena sesungguhnya aku dan gurukulah
yang telah menjaga sebagian badan
golokmu itu di lautan sekitar tempat
tinggal kami...!" jelas si Tangan
Setan panjang lebar. Dan tentu saja
penjelasan si gadis membuat Pendekar
Hina Kelana terheran-heran. Bagaimana
mungkin gadis yang berjuluk si Tangan
Setan itu bisa me-ngenalinya
sedemikian rupa? Dalam kebingungannya
itu, tiba-tiba si gadis kembali
menyela."
"Pemuda tampan berperiuk. Mengapa
harus bingung, bukankah engkau ini
muridnya si Bangkotan Koreng Seribu,
apakah gurumu mengatakan bermusuhan
dengan guruku?" tanya si Tangan Setan
berpura-pura tak sabar lagi, pemuda
itu segera melesat turun dari tempat
persembunyiannya. Kemudian dengan
sangat penasaran sekali dia bertanya.
"Engkau inikah orangnya yang
berjuluk si Tangan Setan yang telah
bikin onar dimana-mana...?"
"Tak salah! Tetapi salah besar
kalau engkau menilaiku sebagai tukang
buat onar!" kata si Tangan Setan
membantah.
"Engkau telah membunuh orang di
mana-mana, masihkah engkau mungkir?"
"Buang Sengketa...!" Lagi-lagi si
Tangan Setan membuat kejutan dengan
menyebut nama si pemuda.
"Engkau tahu namaku... siapakah
engkau...?" tanya si pemuda semakin
bloon.
"Ya... karena guruku pernah
bercerita tentangmu padaku...!"
"Maksudmu datuk tanpa nama itu,
atau yang berjuluk si Tangan Seribu?"
Tanya Buang Sengketa, begitu teringat
cerita gurunya.
"Ya...!''
"Tetapi mengapa engkau membunuhi
begitu banyak orang-orang yang tiada
berdosa...?"
"Engkau tak pernah tahu Kelana...
bahwa sebelum aku dirawat oleh guruku,
yaitu kakek buyutmu sendiri.
Sesungguhnya aku adalah anak seorang
Adipati di Trengganu ini. Tetapi
mereka malah memberontak dan
membunuhnya. Sedangkan orang-orang
yang engkau lihat bergelimpangan di
tanganku, itu sesuai dengan daftar
nama yang diberikan oleh sang guru.
Sebegitulah orang-orang yang telah
membantai orang tuaku dan sangat wajar
kalau mereka mendapat ganjaran yang
setimpal...!"
Buang Sengketa angguk-anggukkan
kepala, kini dia mulai mengerti bahwa
sesungguhnya si Tangan Setan adalah
seorang murid sahabat gurunya, untuk
itu dia tak perlu turun tangan sebab
dia tahu, seperti apa yang dikatakan
si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa
Datuk Tanpa Nama sudah barang tentu
sangat konsekwen dalam menghukum
muridnya. Tetapi satu yang tiada dia
sangka sama sekali. Bahwa Datuk Tanpa
nama itu masih merupakan kakek
buyutnya sendiri, pula merupakan
penjaga setengah bagian yang lainnya
dari pusaka yang dimilikinya. Lalu
timbul pula dalam fikirannya. Andai
dia dapat mengikuti si Tangan Setan,
sudah barang tentu dia dapat
mengetahui lebih cepat di manakah
sesungguhnya tempat pertapaan Raja
Piton Utara, yang merupakan ayah
kandungnya. Ketika pemuda ini menoleh
dan menarik nafas pendek-pendek,
agaknya si Tangan Sentan mengetahui
apa yang ada di dalam fikiran si
pemuda. Maka tak lama kemudian,
sebelum si pemuda mengemukakan uneg-
unegnya, dia sudah menyela terlebih
dulu.
"Aku tahu engkau sudah tak sabar
untuk mempersatukan Golok Buntungmu,
dan mungkin juga engkau sudah sangat
ingin bertemu dengan ayahmu si Raja
Ular Piton Utara. Tetapi ketahuilah,
bahwa kebajikan yang engkau perbuat
masih belum cukup bagimu untuk di
nyatakan layak atau tidak bertemu
dengan Yang Mulia Raja. Pesan sang
guru, supaya engkau banyak-banyak
menolong sesama terlebih dahulu.
Setelah itu jumpailah orang tua yang
bernama Tabib Setan Gila sewindu
kemudian, Orang itu tinggal di Lembah
Tapis Angin untuk masa yang akan
datang...!" jelas si Tangan Setan
penuh wibawa.
"Apa hakmu melarangku untuk dapat
bertemu dengan ayahku...!" Kata Buang
Sengketa tersinggung.
"Aku tak punya hak untuk
melarangmu. Aku hanya menyampaikan
pesan buyutmu. Lebih dari itu semua
ini merupakan perintah ayahmu. Sang
Maharaja Negeri Bunian!" kata si gadis
dari Pulau Seribu Ular itu.
"Mengapa harus begitu, satu windu
bukanlah sebuah waktu yang singkat “
protes Pendekar Hina Kelana.
"Semua itu adalah untuk menguji
kesabaranmu, Baiklah, aku tak punya
banyak waktu Kelaha... jangan coba-
coba menguntitku. Sebab ilmu cepatmu
Ajian Sapu Angin tak akan berarti
banyak untuk mengejarku...!" Seusai
dengan ucapannya, tanpa kata lagi
tubuh Hning Ksaban nampak berputar-
putar laksana sebuah gasing. Semakin
lama semakin cepat. Kemudian sekali
saja angin kencang bertiup, maka tubuh
si Tangan Setan bagai sebuah kapas
nampak melayang lenyap tiada berbekas.
Buang Sengketa menggerutu. Sialan dia
selalu tahu saja setiap apa yang aku
rencanakan! Kemudian tak lama setelah
itu, tanpa memperdulikan mayat-mayat
yang berserakan pendekar ini setapak
demi setapak mulai melangkah ke arah
Timur. Alam terasa semakin dingin
menggigit. Tetapi pemuda ini sudah
tiada perduli lagi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar